Pencarian

Hantu Wanita Berambut Putih 6

Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 6


Kau inginkan kambing dan kerbau miliknya paman di luar
gunung dan inginkan juga segala macam obat-obatan miliknya
paman-paman di pegunungan."
"Anak kecil jangan omong sembarangan," Sin Ngo bentak
anaknya. "Tayhoatsoe, aku cuma mempunyai satu anak ini
yang dibuat andalan. Aku mohon Tayhoatsoe jangan ambil
dia." "Hm!" berseru Thian Tek dengan gusar. "Kau berani
tentang aku! Jika tidak memandang anakmu, terlebih dulu aku
sudah kirim kau ke akherat! Sekarang aku tidak mau soatlian.
Aku mau anakmu. Lain orang minta jadi murid, aku masih
tidak mau terima. Mengerti?"
"Kau maki ayahku, kau hinakan kita, sudahlah, aku tidak
kesudian jadi muridmu!" berteriak bocah itu.
"Kau tidak mau. juga tidak bisa." berkata Thian Tek sambil
tertawa. "Aku akan bawa kau pulang. Lebih dahulu aku akan
cambuki kau buat takluki adatmu yang liar. Kemudian sesudah
kau menurut, aku akan ajarkan kau kepandaian."
Bocah itu berontak, tapi Thian Tek pijit gelangan
tangannya, sehingga bila berontak dirasakannya semakin
sakit. Tapi dia benar kepala batu. Sedikit juga dia tidak
mengeluarkan suara kesakitan.
Melihat begitu, It Hang tidak dapat menahan lagi hawa
amarahnya. Sambil loncat keluar dari belakang batu. dia
membentak: "Di mana ada orang ambil murid cara begitu!"
Thian Tek menoleh. Melihat It Hang adalah seorang Han
yang dandanannya seperti anak sekolah, segera juga dia
tertawa besar: "Aku ambil murid, apa sangkutannya dengan
kau?" "Mengambil murid haruslah sama-sama suka."
"Kalau Hudya mau begitu, mesti jadi begitu," katanya
sambil tertawa sombong. "Kalau kau rewel, aku akan
patahkan dengkulmu sekalian."
"Waduh. tinggi benar kepandaianmu!" kata It Hang sambil
menyindir. "Aku beritahu kau terang-terangan. Bocah ini
268 mempunyai bakat yang sangat bagus. Tidak pantas dia jadi
muridmu!" "Ha! ha! ha!" tertawa Thian Tek. "Dia tidak pantas jadi
muridku" Jadi, pantas jadi muridmu" Bagus! Mendengar
omonganmu, kau rupanya tahu juga sejurus dua jurus. Mari,
mari! Mari kita main-main sedikit!"
It Hang tidak bergerak. "Kau mau main-main, kenapa belum
bergerak?" dia tanya sambil tersenyum.
Melihat lawannya tidak pasang kuda-kuda dan bawa sikap
acuh tak acuh. Thian Tek jadi gusar sekali. Sambil
mengibaskan tangan bajunya, dia menyerang dengan sabetan
yang barusan digunakan buat robohkan pohon.
Tapi dengan kegusarannya ini. dia justeru masuk
perangkapnya It Hang. Barusan ketika melihat caranya Thian
Tek merobohkan pohon. It Hang merasa bahwa meskipun dia
tidak akan kalah bertempur, akan tetapi buat menangkan
Thian Tek juga bukan perkara gampang. Maka itu. di luar dia
memperlihatkan sikap acuh tak acuh. tapi diam-diam dia
kerahkan tenaga dalamnya. Di pihak lawan, Thian Tek sangat
pandang rendah musuhnya dan juga dia menyerang dengan
penuh kegusaran, sehingga pukulannya biarpun hebat, tidak
cukup berat. It Hang tunggu sampai tangan musuh hampir nempel pada
badannya, dan dengan kecepatan luar biasa, ia sodorkan
tangannya sambil menggaet, dengan tenaga telapakan tangan
mendorong keluar dan tenaga jeriji menggaet ke dalam. Thian
Tek yang sedang memukul dengan telapakan tangannya,
mendadak rasakan adanya satu tenaga besar yang
mendorong padanya, sehingga badannya jadi miring. Dia
segera gunakan ilmu "Tjiankin toei" (ilmu bikin berat badan)
buat tetapkan badannya, akan tetapi, siapa duga, tenaga
jerijinya It Hang yang menggaet ke dalam menarik padanya,
sehingga dia kehilangan imbangan badannya dan
menyelonong ke depan. Berbareng dengan itu, telapakan
tangan kirinya It Hang menyabet dan dengan satu suara "buk!"
dadanya Thian Tek kena dengan jitu.
"Pergi!" seru It Hang sambil mendorong dan... badannya
Thian Tek yang tinggi besar mencelat dan jatuh celentang!
269 It Hang tertawa terbahak-bahak. Tapi sang lawan pun
mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi. Dia jatuh dengan
kepala di bawah, kaki di atas, tapi begitu lekas kedua
telapakan tangannya menempel pada tanah, dengan satu
gerakan tenaganya, dia sudah jungkir balik dan kedua kakinya
sudah menginjak tanah lagi, dan berbareng dengan jejekan
kakinya, badannya sudah melesat ke arah It Hang dan kedua
tangannya sudah memukul. It Hang tak menjadi gugup. Cepat-cepat dia mengegos,
sambil maju setindak. Telapakan tangan kirinya digunakan buat bentur sikutnya
musuh, sedang tangan kanannya, sambil mendek, menyodok
ke pinggang orang, Gerakan itu cepat bagaikan kilat. Thian
Tek yang menyerang dengan bernafsu, mendadak rasakan
pinggangnya kesemutan. Dia terkesiap dan buru-buru jalankan napasnya buat
lindungi jalan darahnya yang barusan kena disodok, sehingga
gerakannya jadi sedikit lambat. It Hang tidak mau sia-siakan
kesempatan baik ini. Kedua tangannya segera menyambar saling susul.
Sesudah dua kali kena tubruk tembok, hatinya Thian Tek jadi
ciut. Maka itu, baru saja pertempuran berjalan kira-kira 10
gebrakan, mendadak kelihatan kaki kirinya It Hang
menendang dan tangan kanannya berbareng menyambar
dalam gerakan "Siangha Tjiauwtjeng" (Pukulan atas bawah)
dari Boetong pay. "Bukk!" pundaknya Thian Tek kena dipukul
dengan telak, dan dia jatuh celentang. Lama juga barulah dia
dapat bangun berdiri. Dengan muka merah seperti kepiting
direbus, Thian Tek ajak muridnya buru-buru kabur turun
gunung. Bocah itu sangat girang dan tertawa terbahak-bahak
sambil tepuk-tepuk tangan.
Sin Ngo segera menghaturkan terima kasih. "Lootiang
(bapak, panggilan untuk seorang tua) tidak usah bilang terima
kasih," kata It Hang. "Berapa usianya anak ini" Siapa
namanya" Kalau dilihat caranya dia turun tangan barusan, di
hari kemudian dia mempunyai harapan yang sangat besar."
"Liong Tjoe! Lekas haturkan terima kasih pada indjin (tuan
penolong)," Sin Ngo perintahkan puteranya. "Jika tidak dapat
270 pertolongan siangkong (tuan), kau tentu sudah dibawa oleh
pendeta jahat itu! Siangkong, janganlah mentertawakan.
Usianya sudah 13 tahun, tapi belum tahu suatu apa. Masih liar
sekali!" Bocah itu mendadak berlutut di hadapan lt Hang sambil
berkata: "Indjin! Mohon terima aku sebagai muridmu. Aku, Sin
Liong Tjoe, dengan ini jalankan kehormatan terhadapmu!"
Sebetulnya It Hang tidak berniat mengambil murid, tapi,
sekarang sesudah lihat paras mukanya Sin Liong Tjoe yang
angker dan tenaganya yang besar luar biasa, hatinya jadi
sangat gembira dan lalu berkata: "Baik, aku terima kau
sebagai murid. Tapi sesudah mempunyai kepandaian, kau
tidaklah boleh hinakan sesama manusia."
"Jika aku hinakan orang dengan andalkan kekuatan, biarlah
aku binasa secara tidak wajar," Sin Liong Tjoe bersumpah.
Sin Ngo juga merasa girang sekali, cuma dia kuatir It Hang
ajak puteranya pergi. "Aku tahu anak ini adalah andalanmu satu-satunya. Maka
itu aku akan ajarkan dia. ilmu silat di sini saja," berkata It
Hang. Sin Ngo lantas ajak tetamunya masuk. Perabotan dalam
rumah itu sederhana sekali. Di atas tembok tergantung dua
busur dan anak panahnya serta beberapa lembar kulit
binatang liar, sedang di atas tanah terdapat beberapa batu
besar, yang digunakan sebagai kursi.
"Kenapa kalian berdiam di gunung es ini?" tanya It Hang.
"Kami sudah biasa dengan hawa dingin." jawab Sin Ngo.
"Tinggal di sini lebih gampang cari makan. Di atas gunung
banyak kambing-kambing dan obat-obatan juga gampang
didapat." "Soehoe (guru)! Besok aku ajak kau pesiar di atas puncak
salju." kata Sin Liong Tjoe dengan gembira. "Di situ ada telaga
es dan di tengah-tengah telaga ada dua pohon soatlian. Tiap
tiga tahun soatlian itu berkembang satu kali. Sungguh sayang,
tahun ini sudah dipetik dan ditukar dengan garam pada
pedagang obat. kalau tidak kau tentu bisa lihat bagaimana
indahnya soatlian itu. Kembangnya putih, besar dan harum
sekali. Satu kuntum dapat ditukar dengan 10 kati garam."
271 "Soatlian adalah bahan obat yang sangat langka, kalau
dijual di luaran, satu kembang sedikitnya berharga satu tail
emas. Lain kali kau jangan jual begitu murah," kata It Hang.
"Emas buat apa" Tak dapat dimakan," kata sang murid.
"Kami juga tahu soatlian tinggi harganya," kata Sin Ngo
sambil menghela napas. "Tapi, kalau dijual di lain tempat, kita
sukar mendapat pembeli yang mau membayar secara pantas.
Di samping itu, kita juga perlu uang buat ongkos pergi dan
pulang. Dari mana kita dapat pinjam uang itu?"
It Hang yang biasa hidup mewah sebagai puteranya
seorang pembesr tinggi, tidak banyak mengetahui
kesengsaraannya orang miskin. Mendengar keterangan itu,
dia tak dapat buka suara dan dalam hatinya dia tertawai
kecupatannya sendiri. "Soehoe. Aku sekarang ingat, di atas gunung masih ada
dua kembang lain, cuma sayang belum mekar," kata Sin Liong
Tjoe. Hatinya It Hang jadi berdebar. "Bukankah kembang itu satu
putih dan satu merah?" dia tanya dengan cepat.
"Benar! Bagaimana soehoe tahu?"
Hatinya It Hang meluap kegirangan. "Apa ada sebesar
mangkok?" dia tanya lagi sambil menahan napas.
"Baru sebesar jeriji. Masih kuncup!"
"Dapatkah hari ini kau ajak aku pergi ke sana?" It Hang
tanya. "Ah, soehoe rupanya suka pesiar!" kata Sin Liong Tjoe
dengan girang. Sin Ngo yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan
orang, jadi merasa heran. "Kapan kau lihat kembang itu"
Kenapa tidak diberitahukan padaku?" dia tanya.
"Aku ketemukan kembang itu kemarin dulu, waktu mau cari
telur burung elang. Keduanya masih kuncup. Memberitahukan
ayah tak ada gunanya."
"Anak tolol," kata Sin Ngo, "kembang itu mungkin kembang
yang dinamakan..." "Yoetam Sianhoa?" It Hang potong pembicaraan orang.
"Inkong! Kau juga tahu Yoetam Sianhoa?" kata Sin Ngo
dengan perasaan heran. 272 "Aku justeru sedang cari kembang itu," sahut It Hang.
"Inkong, kau bukan saja telah menolong kita, tapi juga sudi
mengajarkan ilmu silat kepada anakku. Kami tidak mempunyai
suatu apa buat membalas budimu, maka biarlah kami
menjaga kembang itu. Kalau mendengar keterangannya Liong
Tjoe. mungkin kembang itu masih sangat lama mekarnya.
Inkong, biarlah kau makan dulu sedikit sarapan, kemudian
baru kita pergi melihat," kata Sin Ngo.
It Hang lalu makan sedikit kue terigu dan daging bakar, dan
kemudian, dengan diantar oleh Sin Ngo dan puteranya, dia
naik ke atas gunung. Gunung itu ditutupi salju. Waktu itu
sudah pada permulaan musim semi, tapi angin dingin masih
meresap sampai di tulang-tulang Dengan diantar oleh Sin
Ngo, ayah dan anak, It Hang mendaki gunung itu dengan
perasaan heran. Biasanya, semakin tinggi orang naik gunung,
semakin dingin hawa udaranya. Tapi di situ justeru sebaliknya.
Di lamping gunung rasanya luar biasa dingin, tapi sesudah
tiba di atas, hawa menjadi lebih hangat.
"Gunung ini dinamakan Boksip Tatkok." menerangkan Sin
Ngo. "Dalam bahasa pribumi, 'es' dinamakan 'Bok Sip',
sedang 'gunung' dipanggil 'Tat Kok', maka Boksip Tatkok
sebenarnya berarti Gunung Es. Seluruh gunung ditutupi salju,
sehingga hawanya luar biasa dingin, tapi hawa udara di
puncak ini adalah hangat seperti hawa di musim semi."
"Kenapa begitu?" tanya It Hang.
"Sepanjang cerita. pada beberapa ribu tahun berselang, di
puncak ini terdapat kawah gunung berapi, yang tiap-tiap kali
menyemburkan api," Sin Ngo lanjutkan keterangannya.
"Belakangan gunung berapi itu berhenti kerja, dan di situ
lantas muncul satu telaga. Akan tetapi, tanah di sekitarnya
masih mempertahankan hawa panasnya sehingga hawa di
puncak ini agak hangat."
"Ah, kalau begitu tempat ini adalah tempat yang paling
cocok buat orang hidup mengasingkan diri," kata It Hang
sambil tertawa. Dia bertindak lebih cepat dan tidak lama
kemudian tibalah dia di puncak gunung.
It Hang pentang kedua matanya dan memandang keadaan
di seputarnya. Oh, sungguh indah! Seluruh puncak ditutup
273 dengan rumput, sehingga merupakan mantel yang berwarna
hijau. Dari puncak paling atas mengalir turun air yang sangat
jernih dan berkumpul di sebelah bawah, sehingga merupakan
satu telaga kecil. Di atas telaga itu terlihat kepingan-kepingan
es yang baru turun dari atas dan belum dicairkan oleh hawa
yang hangat. Selainnya kepingan es, di atas air juga tersebar
rontokan bunga. Apa yang membikin lebih indah lagi adalah
beribu-ribu pohon kembang yang tumbuh di sekitar telaga
tersebut, dengan kembangnya yang beraneka warna dan
harum baunya. "Soehoe!" berteriak Sin Liong Tjoe. "Kau lihat!
Itu dua kembang dewa terdapat di situ, di antara kembang itu."
Menuruti pengunjukan muridnya, It Hang segera masuk di
antara pohon-pohon kembang yang lebat itu. Mendadak,
serupa wewangian yang luar biasa menyampok hidungnya,
dan badannya dirasakan segar sekali, dan di depannya terlihat
dua kembang yang masih kuncup, masing-masing sebesar
jeriji tangan. Yang merah seperti cat bibir warnanya, sedang
yang putih laksana batu giok. Itulah Yoetam Sianhoa! Hatinya


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

It Hang mula-mula merasa girang, tetapi kemudian disusul
dengan kekesalan. Dia girang oleh karena pada akhirnya dia
dapat juga menemukan kembang dewa itu. Dia kesal, karena
tidak tahu, bila kembang itu akan mekar.
Sesudah mengawasi beberapa lama, It Hang melambaikan
tangan pada Sin Ngo. "Inkong," kata Sin Ngo sesudah datang
dekat. "Apakah maksud kau mencari kembang dewa ini?"
"Aku mempunyai seorang sahabat wanita yang sudah
berambut putih dalam usia muda. Aku sangat perlu akan
kembang ini, supaya dia bisa dapat pulang kecantikannya," It
Hang menerangkan. Sesudah berkata begitu. It Hang perlihatkan paras muka
yang sangat tidak sabar dan bingung. Sin Ngo tidak dapat
berkata apa-apa. Pada waktu kembang ini mekar, anakku
mungkin sudah ubanan, katanya di dalam hati.
Menurut cerita, Yoetam Sianhoa berkembang satu kali
dalam 60 tahun. Waktu mekar, besarnya sebesar mangkok
dan warnanya bersinar seperti bianglala. Sebelum berusia
cukup 10 tahun, kembang itu sebesar jeriji, dan sesudah 10
tahun, barulah menjadi besar dengan perlahan. To It Hang
274 cuma tahu cerita tentang kembang dewa itu, tapi tidak tahu.
cara bagaimana menaksir usianya.
"Coba lihat! Kapan dia akan berkembang?" tanya lagi It
Hang. "Apakah dari cerita-cerita kuno kalian tidak mendengar
lain keterangan mengenai kembang ini?"
Oleh karena melihat tuan penolongnya begitu tidak
sabaran, Sin Ngo tidak tega buat bicara sebenarnya. "Siapa
juga belum pernah lihat kembang ini," katanya. "Aku pun tidak
tahu, kapan mekarnya. Mungkin 5 tahun lagi, mungkin 10
tahun dan bisa jadi 20 tahun lagi." Tapi dalam hatinya Sin Ngo
tahu, bahwa sampai waktu mekarnya, paling sedikit orang
harus tunggu 50 tahun lagi.
It Hang kerutkan alisnya. Dia tidak berkata apa-apa.
"Inkong, legakan hatimu," berkata Sin Ngo.
"Kami ayah dan anak, akan jaga kembang ini. Kalau aku
mati, masih ada Liong Tjoe. Biar bagaimana juga, di antara
kita mesti ada yang akan menyaksikan mekarnya kembang
dewa ini." It Hang tertawa sedih. "Baiklah," kata dia. "Kalau bisa
tunggu sampai kembang ini mekar, tak peduli sampai berusia
berapa, boleh dibilang sudah memenuhi juga pengharapan
kita." Sesudah keluar dari semak-semak pohon kembang, Sin
Ngo mendadak ingat suatu hal dan lantas berkata: "Aku cuma
kuatir itu pendeta jahat datang mengacau lagi. Kalau sampai
kejadian begitu, biarpun mau, kami ayah dan anak belum
tentu dapat memenuhi tugas menjaga kembang itu."
It Hang berpikir beberapa saat akan kemudian berkata
dengan suara perlahan: "Aku sebetulnya tidak ingin
mencampuri urusan di antara suku-suku bangsa. Akan tetapi,
jika pendeta itu benar-benar mengganggu lagi, aku tidak dapat
berbuat lain daripada melayani dia satu kali lagi."
"Apa Inkong mau cari dia?" tanya Sin Ngo. "Thianliong pay
mempunyai pengaruh besar, sedang pendeta itu telah
mendapat kepercayaannya kepala suku. Inkong haruslah
berhati-hati." Mendengar gurunya mau berkelahi. Sin Liong Tjoe
sebaliknya jadi sangat girang. "Bagus! Bagus!" dia berseru
275 sambil tepuk-tepuk tangan. "Soehoe hantam dia lagi sekali.
Paling bagus usir dia dari daerah padang rumput ini."
It Hang tersenyum. "Liong Tjoe, kau harus ingat, seorang
yang belajar silat, tidak boleh unjuk kegagahan diri dan juga
tidak boleh suka berkelahi. Aku cuma ingin gebah dia dari
daerah padang rumput, dan bukannya mau berkelahi," berkata
sang guru. Sesudah berdiam beberapa saat, It Hang berpaling kepada
Sin Ngo dan berkata: "Sesudah berkelana beberapa tahun di
selatan dan utara Thiansan. sedikit-banyak aku mengetahui
juga keadaan berbagai suku bangsa di padang rumput ini. Di
antara berbagai suku bangsa, suku Hapsatkek, Kektatdjie dan
Lopo adalah yang paling kuat. Aku dengar, kepala dari suku
Lopo yang bernama Tongno adalah seorang gagah yang
mulia, sehingga dia sangat dihormati orang.
Bengsatsi. kepala suku Kektatdjie. adalah seorang pandai,
akan tetapi, karena dia kejam dan angan-angannya besar,
maka orang lebih banyak takuti daripada hormati dia. Kepala
suku kalian sebenarnya bukannya orang jahat, cuma sayang,
dia belakangan ini kena dipengaruhi oleh pendeta jahat dan
lain-lain orang sebawahannya yang buruk. Maka itu, dalam
beberapa tahun ini, dia agaknya telah melakukan perbuatanperbuatan
yang kurang pantas. Benarkah begitu?"
"Betul, Inkong," jawab Sin Ngo. "Karena itu aku sekarang
niat menemui kepala sukumu untuk membeber segala
perbuatan pendeta jahat itu, supaya kepala sukumu usir
padanya." "Begitu pun baik," berkata Sin Ngo sesudah berpikir
beberapa saat. "Cuma saja, aku kuatir, bahwa sebagai orang
asing omongan inkong tidak gampang-gampang dapat
dipercaya. Maka itu, aku rasa baik inkong lebih dahulu
ketemui Pa Liong, seorang tangan kanan kepala suka kita. Pa
Liong ini sangat setia dan juga sangat menyinta rakyat. Aku
dengar, dia adalah lawannya pendeta jahat itu. Jika inkong
lebih dahulu berdamai dengan dia, aku rasa inkong akan lebih
gampang berhasil." 276 "Baiklah," kata It Hang. "Lebih dahulu aku akan ajarkan
Liong Tjoe beberapa pokok dasar ilmu silat, kemudian barulah
aku pergi." Sin Liong Tjoe dibesarkan di Puncak Onta dari Gunung Es.
Sedari masih kecil sekali, dia sudah membantu ayahnya
memburu binatang-binatang alas, sehingga badannya jadi
sangat kekar dan gerakannya luar biasa gesit. Di samping itu,
dia juga mempunyai tenaga luar biasa besar, pemberian alam.
Dengan mempunyai dasar-dasar sedemikian, dia sangat
cocok belajar silat. Bermula It Hang ajarkan dia beberapa
pelajaran pokok, dan kemudian turunkan ilmu pukulan
Kioekiong Sinheng Tjianghoat. Tiga bulan It Hang berdiam di
Puncak Onta buat melatih muridnya, dan sesudah muridnya
mendapat dasar-dasar pokok ilmu silat Boetong pay dan
sesudah memesan supaya muridnya terus berlatih sendiri,
barulah It Hang berlalu buat merantau di Sinkiang Utara.
Pada suatu hari, It Hang sedang lewati gunung Mostako,
yaitu satu anak gunung dari pegunungan Thiansan. Sesudah
lewat gunung ini, dia akan tiba di daerah penggembalaan yang
sangat subur, yang terletak di Sinkiang Utara. Meskipun
tidak dapat dibandingkan dengan puncak Thiansan, akan
tetapi gunung Mostako juga penuh dengan tebing yang curam
dan berbahaya. Oleh karena gunung ini menghubungi
Sinkiang Selatan dengan Sinkiang Utara, maka di lamping
gunung, rakyat telah membuat satu jalanan kecil yang berbelitbelit.
Sebab orang yang jalan di situ tidak banyak, maka
jalanan tersebut penuh dengan pohon-pohon berduri dan
rumput tinggi. Sesudah berjalan beberapa lama, It Hang
menjumpai dua puncak yang berhadapan satu sama lain. Di
tengah-tengah dua puncak tersebut terbuka satu jalanan
sempit, yang cuma muat satu orang dan seekor kuda.
Selagi enak jalan, kupingnya It Hang mendadak dengar
kelenengan kuda yang dilarikan cepat. Penunggang kuda itu
mestinya mahir sekali ilmu tunggang kudanya, sebab tidaklaji
gampang untuk melarikan kuda begitu keras di jalanan
gunung yang berbahaya itu. It Hang jadi kepingin tahu dan
naik ke tempat tinggi sambil memandang ke bawah. Di
kejauhan dia lihat dua ekor kuda yang dilarikan keras. Akan
277 tetapi, baru saja mereka tiba di mulut jalanan yang terbuka di
antara dua puncak itu, lantas terdengar satu suara pertandaan
dan menjepretnya busur. Kedua kuda itu meringkik kesakitan,
berjingkrak dan terguling, sehingga kedua penunggangnya
jatuh melayang ke jurang yang sangat dalam!
To It Hang terkejut, dia menduga kawanan perampok
sedang beraksi. Sekarang tidak ada tempo buat menolong kedua orang itu
dan hatinya It Hang menjadi sangat gusar. Mendadak dia lihat
mereka jungkir balik, dengan tangan masing-masing
memegang sebatang anak panah, yang rupanya mereka
barusan tangkap, dan begitu kakinya menempel pada lamping
jurang, badannya kedua orang itu sudah mumbul lagi ke atas.
Waktu itu dari belakang batu-batu besar loncat keluar belasan
orang, yang bersenjatakan busur dan anak panah atau golok,
dan mereka lalu mengepung kedua penunggang kuda itu.
Dari pakaiannya, dapat diketahui bahwa mereka itu adalah
dari suku Lopo. Mereka semua kekar badannya, lincah
gerakannya, dan dapat bergerak cepat sekali di atas tanah
yang penuh batu-batu tajam. Anak panah yang berbunyi "sretsret"
juga menandakan tenaganya orang-orang yang
melepaskannya. It Hang tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Sambil
menghunus pedangnya, dia berseru: "Penjahat kurang ajar!
Kamu berani merampok di siang hari bolong!"
Mendadak tubuhnya kedua penunggang kuda itu melesat
ke atas dan berbareng dengan itu terdengar teriakan
mengerikan, karena kedua orang suku Lopo itu jatuh ke dalam
jurang. Sesudah lolos dari kepungan, kedua orang itu kabur,
dikejar oleh orang-orang Lopo. Orang yang jadi pemimpin
memakai tiga batang bulu burung di kepalanya. Di atas
jalanan gunung yang sukar, dia berlari-lari seperti terbang. Di
lain saat, dia pentang busurnya dan beberapa anak panah
menyambar ke arah dua orang itu, yang menangkis dengan
goloknya. Mereka rupanya sudah capai, tindakannya semakin
perlahan dan tidak lama lagi tentu akan dapat dicandak oleh
pengejarnya. "Bertahan sebentaran! Aku tolong kalian!" It
278 Hang berseru sambil pentang langkahnya dengan gunakan
ilmu enteng tubuh. Sebelum It Hang sampai, orang-orang
Lopo sudah dapat menyandak kedua orang itu. Mereka
berbalik melawan, satu antaranya bergulat dengan pemimpin
Lopo itu dan dengan berpeluk-pelukan, kedua orang itu
menggelinding turun ke bawah gunung. Dengan gunakan
kesempatan ini, penunggang kuda lainnya lantas membuka
langkah. It Hang yang mengejar, ketika itu sudah datang dekat. Dia
mengawasi dan rasanya dia kenal orang itu.
"To Kongtjoe tolongi aku!" orang itu berteriak. Sekarang It
Hang ingat. Orang itu adalah tidak lain daripada Tjio Ho,
dahulu menjadi pemimpin barisan Kimiewie.
Pertemuan ini tidak diduga-duga oleh It Hang. Dari Tiat
Hoei Liong, dia pernah dengar halnya Tjio Ho mencoba
menangkap Wan Tjong Hoan dengan mengajak utlisan Boantjioe. Dengan begitu,
Tjio Ho mestinya mempunyai hubungan dengan bangsa Boan.
Sekarang, sesudah Kek Sie dan Goei Tiong Hian roboh, Tjio
Ho rupanya lari ke Sinkiang. Mengingat begitu, It Hang jadi
sangsi. Mendadak kedengaran Tjio Ho berseru: "Kau tahan
pengejar itu, aku pergi tolong kawan yang satu!" Saat itu,
orang-orang Lopo sudah datang meluruk, sambil melepas
anak panah. Buat lindungi diri, It Hang putar pedangnya. Tjio
Ho loncat ke samping, tangannya diayun dan beberapa
senjata rahasia melesat ke arah badannya pemimpin Lopo
yang sedang berkutet dengan kawannya
"Tjio Ho, tahan!" It Hang berseru. Tangannya bergerak dan
dengan beruntun ia tangkap 3 batang anak panah yang
dilepaskan oleh orang Lopo, dan sambil loncat, dia pukul jatuh
beberapa senjata rahasianya Tjio Ho. akan tetapi, beberapa
antaranya yang dilepaskan lebih dahulu sudah mengenai
badannya pemimpin Lopo itu.
Orang-orang Lopo berteriak-teriak dengan gusar. Tjio Ho
sudah menggunakan kesempatan yang baik itu buat kabur.
Melihat musuhnya kabur, orang-orang Lopo berbalik
menyerang It Hang. "Harap kalian jangan gusar, aku bukanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
279 nya Rawan dia," berkata It Hang. Tapi mereka tentu sadia
tidak mau percaya dan terus menyerang sambil memaki-maki:
"Kalian datang ke sini buat mengacau dan jadi mata-matanya
bangsa Boan. Sekarang kamu juga melukai pemimpin kami.
Kalau tidak bisa menghancur leburkan badanmu, jangan
panggil kami orang-orang gagah dari suku Lopo!"
It Hang mengeluh. Dia tidak duga, bahwa orang yang
dilukai oleb Tjio Ho adalah orang gagah yang paling
kenamaan di daerah padang rumput, yaitu Tongno!
It Hang segera perlihatkan ilmu enteng tubuhnya. Dia
melawan sambil loncat ke sana-sini dan matanya terus
mengincar dua orang yang sedang berkutetan itu. Mendadak
dia lihat kawannya Tjio Ho dapat menunggangi Tongno,
sedang goloknya dicoba menikam. Tongno tangkap lengannya
dan menahan dengan sekuat tenaga. Beberapa boesoe Lopo
memburu buat menolongi. tapi sebelum bisa datang dekat,
orang itu membentak: "Kalau kamu maju setindak lagi. aku
akan ambil kepala pemimpinmu!" Meskipun sangat gusar,
mereka tidak berani maju lagi karena kuatir keselamatan
pemimpinnya. Melihat keadaan yang genting itu, dengan cepat It Hang
membabat dengan pedangnya.
Suara berkrontrangan terdengar dan senjata beberapa
orang Lopo putus menjadi dua. Mereka kaget dan mundur
beberapa tindak. It Hang segera loncat dan memburu ke arah
Tongno. Beberapa boesoe yang berada di situ coba mencegat, tapi
It Hang berkelit beberapa kali dan lari terus. Kawannya Tjio
Ho, yang menduga It Hang adalah orang sendiri, jadi sangat
girang dan berteriak: "Tak usah datang ke sini. Aku tidak luka.
Kau tolong buka jalan supaya kita bisa menerjang keluar." It
Hang tidak menjawab, tapi terus menghampiri, dengan tangan
menggenggam bweehoa tjiam (senjata rahasia berbentuk
jarum). Belum habis orang itu berseru, mendadak dia rasakan
lengannya kesakitan dan goloknya jatuh di tanah.


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berseru keras. Tongno berontak dan sekarang
dialah yang berbalik tunggangi kawannya Tjio Ho.
280 Kawan Tjio Ho itu bernama Kotuh, seorang utusan bangsa
Boan, yang dikirim kepada suku Kektatdjie. Ilmu silatnya
Kotuh cukup tinggi dan meskipun sudah kena ditunggangi, dia
masih melawan terus. Sementara itu. racun senjata rahasia
Tjio Ho sudah mulai bekerja dalam tubuhnya Tongno. dan
oleh karena Tongno terlalu bergerak-gerak, maka racun
bekerja secara lebih cepat. Pada saat yang genting,
mendadak matanya Tongno berkunang-kunang. Ketika itu,
tangan kirinya Kotuh sedang tahan tangannya Tongno yang
menghantam dirinya, sedang lima jeriji tangan kanannya coba
menyodok tenggorokan lawannya.
Sesudah melepaskan jarumnya, It Hang memburu seperti
kilat dan tiba pada waktu yang tepat. Jerijinya menotok
pundaknya Kotuh yang lantas rasakan tangannya kesemutan
dan lima jerijinya yang sudah terpentang bagaikan gaetan. tak
dapat diteruskan ke tenggorokannya Tongno.
Serangan jarum dan totokan It Hang dilakukan secara kilat,
sehingga orang Lopo yang melihat Kotuh roboh, tidak
mengetahui bahwa dia roboh atas serangan It Hang. Maka itu.
mereka ramai-ramai meluruk mengepung pemuda itu. Tongno
paksakan bangun duduk dan berteriak: "Dia adalah
penolongku." Orang-orang Lopo heran. "Dia berkelahi melawan pihak kita
dan lepaskan mata-mata musuh," kata satu antaranya. "Cara
bagaimana dia dikatakan tuan penolong?"
Tongno juga tak dapat menerka apa maksud It Hang. "Kau
telah menolongi jiwaku dan aku tidak nanti menyusahkan kau,"
katanya. "Akan tetapi, aku sangat kepingin tahu, kenapa kau
di satu pihak menolongi aku, di lain pihak kau lepaskan matamata
bangsa Boan itu?" Mendengar pertanyaan itu, It Hang merasa tidak enak
dalam hatinya. Tanpa berkata apa-apa, dia keluarkan kantong obat-obatan
dan ambil satu botol kecil yang terbuat dari batu giok. Dia
tuangkan sedikit obat bubuk di atas selembar daun. "Kau bikin
apa?" bentak seorang Lopo.
"Pemimpinmu kena senjata beracun. Ambillah ini, sebagian
digosokan di tempat yang luka dan sebagian lagi diminum.
281 Sesudah selang 24 jam, pemimpinmu akan sembuh kembali,"
kata It Hang. Pahlawan-pahlawan Lopo masih sangsikan kejujuran It
Hang, tapi Tongno segera berkata: "Berikan padaku! Kalau dia
mau celakakan aku, kenapa mesti tunggu sampai sekarang?"
Perkataan Tongno telah dapat menyingkirkan segala
kesangsian pahlawan-pahlawan Lopo itu dan hatinya It Hang
menjadi lega. Sesudah menerima obat itu, Tongno berkata
sambil menghela napas: "Sunguh sayang mesti tunggu 24
jam, sehingga aku tak dapat mengejar mata-mata itu."
"Kau telah menolong jiwaku, tapi kau juga telah
melepaskan musuhku. Aku sungguh tak mengerti," berkata
pula Tongno sambil berpaling kepada It Hang.
It Hang dongak memandang matahari dan kemudian ia
berkata dengan suara nyaring: "Aku akan bekuk mata-mata
itu. Beberapa orang tunggu di sini, aku akan kembali kira-kira
waktu magrib." Mendengar omongan It Hang, orang-orang Lopo
memperlihatkan paras kurang percaya. Mereka sudah
saksikan kecepatan larinya Tjio Ho dan sesudah selang begitu
lama, paling sedikit Tjio Ho sudah kabur belasan li. Cara
bagaimana pemuda itu dapat menyandak" Demikian mereka
berpikir dalam hatinya. It Hang tak mau buang tempo dan
segera berangkat dengan gunakan ilmu entengkan tubuh.
"Sesudah bekuk mata-mata itu, kau tidak usah balik di sini.
Serahkan saja kepada Pa Liong, yang menunggu di mulut
selat," Tongno berseru kepada It Hang.
It Hang sekarang mengetahui, bahwa buat bekuk Tjio Ho
dan kawannya. Tongno telah pasang jaring di dalam dan di
luar gunung. Mendengar disebutnya nama Pa Liong. It Hang
jadi girang, sebab dia pun justeru mau cari pahlawan itu.
Panjangnya gunung Mostako ada 100 li lebih, sedang
panjangnya jalanan gunung yang dibuka oleh rakyat juga kirakira
100 li. Selama beberapa tahun ini, ilmu silatnya It Hang
sudah banyak maju dan di samping itu, dia sudah biasa
dengan jalanan gunung yang sukar. Sebab itu, menurut
taksirannya, biarpun Tjio Ho berilmu silat tinggi, dia akan
282 dapat menyandak sebelum orang itu bisa keluar dari gunung
Mostako. Dengan cepat It Hang mengejar. Selang kira-kira satu jam.
samar-samar dia dapat lihat Tjio Ho. "Tjio Ho! Aku datang.
Tunggulah! Kita jalan sama-sama!" seru It Hang sesudah
datang lebih dekat. Tjio Ho tidak meladeni. Sebaliknya, dia lari
semakin keras. "Kalau begini, perkataan Tongno tidaklah salah," pikir It
Hang. "Kau tidak berhenti, kau kira aku tidak mampu
menyusulmu?" Dia kerahkan tenaga kakinya dan mengejar
semakin hebat. Sesudah lewati lagi dua mulut selat, jarak antara kedua
orang itu sudah sangat dekat. Mendadak, Tjio Ho berhenti dan
sambil tertawa ia berseru keras: "To It Hang, apa maksudmu
mengejar aku?" "Maksudku mengejar kau, kau sendiri juga sudah tahu,"
sahut It Hang dengan tertawa dingin.
"Aku bukan cacing dalam perutmu, bagaimana aku bisa
mengetahui isi perutmu?" Tjio Ho mengejek.
"Siapa kawanmu itu?" "To Kongtjoe. buat apa kau campuri
urusan orang lain." Mukanya It Hang jadi berubah.
"Sekarang aku mau campur," kata dia dengan suara keras.
"Hayo bilang! Bukankah kawanmu itu ada utusan bangsa
Boan?" "Kalau benar, kau mau apa?" sahut Tjio Ho sambil tertawa,
It Hang jadi semakin gusar. "Apa kau mau aku turun
tangan" Hayo, ikut aku!" dia membentak.
"To Kongtjoe," berkata lagi Tjio Ho dengan sikap tenang
dan sambil tertawa-tawa. "Kedudukan sebagai tjiangboendjin
kau lepaskan dan rela berkelana datang ke tempat ini buat
campuri urusan lain orang. Hm! Cuma saja kau datang
terlambat sedikit, urusan ini tak dapat kau mencampurinya."
Baru saja Tjio Ho habis bicara, atau dari kejauhan
terdengar suara orang: "Tjio Toako, siapa bocah ini" Dia mau
campur urusan siapa?" Berbareng dengan itu, dari lamping
gunung muncul dua orang, yang satu berpakaian seperti
283 pahlawan Hapsatkek, sedang yang lain adalah satu tauwtoo
(pendeta) yang memakai jubah pendeta warna merah.
"Bocah ini bukan sembarang orang, dia adalah tjiangboen
Boetong pay!" Tauwtoo itu mengawasi It Hang sambil mendelik. "Hm! Kau,
tjiangboendjin Boetong pay?" kata dia dalam bahasa Han.
"Sudah lama aku dengar Boetong san mendapat kedudukan
nomor satu dalam kalangan Rimba Persilatan di Tionggoan.
Justeru itu sekarang aku mau coba-coba."
"To Kongtjoe," kata Tjio Ho, "mengingat barusan kau sudah
membantu aku, maka aku tidak niat membinasakan kau. Lebih
baik kau lekas keluar dari Sinkiang dan balik ke Boetong. Di
sini bukan tempat kau menjagoi."
"Penghianat!" berseru It Hang. "Semua orang ingin
membinasakan kau! Jangan rewel, kau bertiga maju
sekaligus!" Sesudah mendapat bala bantuan, hatinya Tjio Ho jadi
tetap dan dia dapat bicara secara tenang: "To Kongtjoe,
apakah kau betul-betul mau berkelahi" Tapi, biar bagaimana
juga perlu aku saling memperkenalkannya. Saudara ini adalah
murid kepala Thianliong Siangdjin, yaitu Loei Bong Hoatsoe.
Di daerah Sinkiang, Thianliong pay mempunyai banyak
pengaruh, seperti juga kedudukan-nya Boetong pay di daerah
Tionggoan. Di sini adalah wilayah mereka, bukan wilayah
kamu. Dan saudara ini adalah Hap Tjoan. seorang ahli silat
kenamaan dari suku Hapsatkek. Berapa lama sudah kau
berdiam di sini, apa belum pernah dengar namanya?"
Tjio Ho mengetahui bahwa ilmu siiat Boetong sangat liehay,
maka itu, dia menggunakan kata-kata itu untuk membikin It
Hang jadi panas. Akan tetapi, dalam beberapa tahun, ilmu silatnya It Hang
sudah lebih mendalam dan dengan sendirinya dia jadi terlebih
tenang. Kupingnya mendengarkan kata-kata musuh, matanya
terus memperhatikan gerak-geriknya. Betul saja, waktu Tjio
Ho sedang bicara, Loei Bong ayunkan tangannya dan
lepaskan senjata rahasia Koentohoan. Senjata itu adalah
senjata tunggal yang sangat liehay dari pendeta lhama itu.
Dalam Koentohoan tersimpan 12 pisau kecil, yang, begitu
284 lekas mendekati sasarannya, lantas menyambar dengan
berbareng. Begitu dengar suara mengaungnya senjata rahasia
dan menyambarnya serupa benda ke arah dirinya, It Hang
lantas enjot tubuhnya yang melesat ke atas dalam gerakan
"Itho Tjiongtian" (Seekor burung ho menembus langit), sedang
pedang-nya digunakan buat menyampok senjata rahasia itu,
yang lantas mental 4/5 tombak tingginya. Ke-12 pisau kecil itu
menyambar keluar di udara dan jatuh meluruk ke dalam
jurang. Loei Bong menjadi sangat gusar dan lantas menerjang
dengan tongkatnya. "Paman gurumu masih belum bisa
menang, bagaimana kau?" pikir It Hang. Sebagai ketua
Thianliong pay, ilmu silatnya Thianliong Siangdjin banyak lebih
tinggi dari saudara-saudara seperguruannya, dan Loei
Bong, sebagai murid kepala dari Thianliong Siangdjin,
mempunyai ilmu silat yang berimbang dengan sekalian paman
gurunya. Oleh karena memandang enteng musuhnya, dalam
gebrakan yang pertama, pedangnya It Hang hampir-hampir
disampok jatuh oleh tongkatnya Loei Bong.
"Ha, ha! Dengar nama tidak sama dengan ketemu muka.
Aku tidak menduga kepandaian tjiangboendjin Boetong cuma
sebegini saja!" Loei Bong tertawa dengan sombong sekali.
Akan tetapi, belum habis dia bicara, It Hang sudah menikam
bagaikan kilat. Selagi Loei Bong angkat tongkatnya buat
menangkis, It Hang balik pedangnya sambil kembali kirim dua
serangan yaitu "Kongtjiak Tekleng" dan "Lie Kong Hiattjiok"
(Burung merak sisir bulunya dan Lie Kong panah batu),
"srett... srett" dan ikat pinggangnya Loei Bong putus.
"Bagaimana kiamhoat Boetong?" It Hang mengejek. Bukan
main kagetnya Loei Bong. It Hang lantas saja menyerang
seperti hujan angin dan dalam beberapa gebrakan saja, Loei
Bong jadi sangat repot, terlebih pula karena jubahnya, yang
putus ikatannya, tiap-tiap kali terbuka dan menghalangi
gerakannya. Melihat kawannya berada dibawah angin, Tjio Ho lantas
cabut golok untuk mengerubuti. It Hang kertek giginya karena
gergetan, dan serang pula penghianat itu dengan tikamantikaman
hebat. Akan tetapi, Tjio Ho juga bukan ahli silat
285 sembarangan, sehingga tidaklah mudah bagi It Hang untuk
menjatuhkannya. Sesudah bertempur beberapa lama,
keadaan masih berimbang. Melihat liehaynya It Hang, Hap Tjoan itu boesoe dari suku
Hapsatkek, segera bantu mengerubuti. Senjatanya Hap Tjoan
adalah boneka tembaga yang berkaki satu, dan begitu maju,
dia lantas menimpa dengan gerakan "Thaysan apteng".
Melihat senjata musuh yang berat, It Hang tak berani
menyambuti dengan pedangnya, tapi loncat ke samping,
dengan anggapan, bahwa orang yang tenaganya besar, ilmu
enteng tubuhnya tentu tidak begitu baik.
Sesudah ia berkelit, It Hang menikam miring ke arah
kakinya. Akan tetapi, tidak dinyana, meskipun ilmu enteng
tubuhnya tidak seberapa, Hap Tjoan mahir sekali
menggunakan kakinya. Waktu It Hang agak doyong badannya
selagi menikam, kakinya Hap Tjoan menggaet, sehingga
tubuhnya It Hang jadi miring dan pedangnya juga menikam
tempat kosong. Hap Tjoan tertawa sambil menimpakan
boneka tembaganya kedada musuh. Syukur, dalam keadaan
berbahaya, It Hang tidak jadi gugup. Melihat senjata musuh
sudah datang dekat dan tidak nanti keburu berkelit lagi,
sedang tubuhnya sendiri doyong ke depan, It Hang segera
lonjorkan tangannya dan totok lengan musuhnya. Ketika itu
juga Hap Tjoan rasakan tangannya kesemutan dan senjatanya
yang sudah terangkat jadi turun lagi. Lekas-lekas It Hang putar
tubuhnya, sambil tangkis senjatanya Tjio Ho dan Loei Bong.
Dalam kalangan Hapsatkek, Hap Tjoan dikenal sebagai
pahlawan nomor satu yang ilmu silatnya tinggi, terlebih pula
ilmu menggaetnya. Sekarang, bukan saja tidak berhasil, tapi
hampir-hampir jadi celaka. Hatinya jadi kaget dan tidak berani
memandang enteng lagi musuhnya.
Biar bagaimana juga gagahnya It Hang, dia sukar lawan
tiga musuh yang tangguh itu. Sesudah lewat 100 jurus, dia
mulai jatuh di bawah angin. "Mengingat kau adalah
tjiangboendjin dari satu partai, serahkan saja pedangmu, aku
tidak akan menyusahkan," bentak Loei Bong. Mendengar
kawannya mau lepas It Hang. Tjio Ho terkejut dan buru-buru
berkata: "Tidak! Jangan ampuni dia. Memang gampang
286 melepas harimau, tapi sukar menangkapnya lagi." Tjio Ho
tahu, bahwa terhadap luar, orang-orang Boetong sangat
ragam, dan juga dia mengetahui, It Hang tidak akan
mengampuni dia. Maka itu, sedapat mungkin, dia mau
binasakan musuhnya, supaya tidak jadi bahaya di belakang
hari. Sebagai turunan orang berpangkat dan tjiangboen dari satu
partai besar, It Hang mempunyai keangkuhan. Mendengar
Loei Bong suruh dia menyerahkan pedang, amarahnya lantas
memuncak, dan sesudah mendengar omongannya Tjio Ho,
dadanya dirasakan mau meledak. "Hari ini, kau hidup atau aku
hidup! Orang she To ini bukannya sebangsa tukang mintaminta
ampun!" Sehabis berseru begitu, It Hang segera
keluarkan beberapa jurus ilmu silat Tat Mo, yang dia sendiri
mendapatkannya.

Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat perubahan cara bersilatnya It Hang, yang banyak
lebih liehay daripada tadi, ketiga orang itu menjadi kaget.
Semuanya mundur sambil memutarkan senjatanya buat
menjaga diri. Kalau saat itu, It Hang menerjang keluar dari
kepungan dan melarikan diri, mereka tentu tidak berani
mengejar. Tapi, It Hang sudah seperti kalap.
Dia tidak ingat mundur --- dia cuma ingat cara bagaimana
dapat merobohkan musuh-musuhnya. Sesudah bertempur
beberapa lama, Tjio Ho segera dapat lihat, bahwa silatnya It
Hang yang berbahaya cuma terdiri dari beberapa jalan saja.
"To It Hang," kata Tjio Ho sambil tertawa mengejek. "Modalmu
cuma sebegitu saja" Tempat ini sudah pasti akan jadi
kuburanmu!" Dia lambaikan tangannya dan bersama dua
kawannya, dia mengepung pula dengan rapat.
Pertempuran benar-benar hebat. Dengan Tjitcapdjie tjioe
Lianhoan Kiamhoat (ilmu silat Boetong yang berantai dan
mempunyai 72 jalan), ditambah dengan beberapa jurus ilmu
pedang Tat Mo: It Hang dapat membela dirinya. Akan tetapi,
tenaganya perlahan-lahan berkurang. Sesudah melawan lagi
kurang lebih 100 jurus, napasnya mulai sengal-sengal dan
keringatnya mulai mengucur turun.
Tjio Ho girang bukan main. Dia kerahkan tenaganya dan
menyerang sehebat-hebatnya. Satu waktu, ketika It Hang
287 sedang tangkis senjatanya Hap Tjoan, Tjio Ho mendadak
sabet lengannya dengan goloknya. Keadaan saat itu luar
biasa gentingnya. It Hang sudah tidak berdaya singkirkan diri
dari serangan itu. Mendadak... dengan tiba-tiba, satu suara
tertawa yang panjang dan nyaring terdengar di puncak
gumung. Hatinya Tjio Ho terkesiap, tangannya gemetar. Goloknya
hampir mengenai sasarannya, jadi doyong sedikit dan
menyabet tempat kosong. "Lian Tjietjie!" It Hang berteriak kegirangan.
Melihat parasnya Tjio Ho yang mendadak pucat, Loei Bong
dan Hap Tjoan jadi heran. "Kau takuti apa?" mereka tanya.
"Lian Tjietjie!" It Hang berseru pula.
"Oh, kalau begitu kau mempunyai saudara perempuan
untuk membantui berkelahi" Dilihat dari mukamu, saudara
perempuanmu mestinya cantik sekali!" kata Loei Bong sambil
tertawa tengal. Baru saja dia tutup mulutnya, dia sudah
menjerit kesakitan dan jatuh terjengkang! Hap Tjoan angkat
senjatanya, tapi It Hang sudah mendahului menikam
pundaknya. Oleh karena memikir Tjio Ho masih berdiri di
dampingnya, Hap Tjoan tidak berkhawatir. Pedangnya It Hang
mampir pada pundaknya dan dengan satu teriakan, dia juga
roboh. Sebagaimana diketahui, beberapa kali Tjio Ho hampir
binasa dalam tangannya Giok Lo Sat. Maka tidaklah heran,
begitu dengar suara tertawanya Giok Lo Sat, nyalinya jadi ciut.
Buru-buru dia kabur, tapi kedua kakinya sudah keburu lemas
bahna ketakutan. Semakin dia ingin lari keras, semakin
perlahan tindakannya. Dengan lekas It Hang candak dia
sambil mengayunkan pedangnya dan dia juga terguling di atas
tanah. Tanpa pedulikan musuh-musuhnya yang sudah
menggeletak, It Hang segera berlari-lari ke puncak dengan
sekuat tenaga dan tiap-tiap kali memanggil-manggil: "Lian
Tjietjie! Lian Tjietjie! Keluarlah temui aku!" Tapi, di atas puncak
hanya terdapat awan-awan putih. Lian Nie Siang tak kelihatan
mata hidungnya! 288 "Lian Tjietjie! Lian Tjietjie! Aku sudah dapat cari kembang
dewa di puncak Onta dari gunung Boksip Tatkek. Lian Tjietjie,
hayolah kemari!" berseru It Hang dengan suara sedih. Tapi
Lian Tjietjie tak juga muncul. Cuma suaranya sendiri yang
berkumandang di lembah-lembah.
It Hang jadi sedih. Dengan badan lemas, dia mendeprok di
atas batu. "Dia menolong, kenapa sungkan menemui" Pergi
datangnya tanpa bayangan. Dalam beberapa tahun ini,
mungkin dia terus membayangi diriku, tanpa aku mengetahui,"
pikir It Hang. Girang, jengkel, putus harapan, menyesal,
sedih... rupa-rupa perasaan mengutak dalam hatinya pemuda
itu. Dengan mata mendelong, dia mengawasi awan-awan,
sambil tiap-tiap kali menghela napas panjang.
Tak lama kemudian kupingnya It Hang mendadak dengar
suara kaki kuda di mulut gunung. Dia ingat Tjio Ho dan Hap
Tjoan yang masih menggeletak di jalanan.
"Lian Tjietjie tidak sudi menemui aku, tak ada gunanya
bagiku diam terus di sini. Siapakah orang-orang yang baru
datang itu" Kalau mereka kawannya Tjio Ho, bukankah aku
jadi tak dapat memenuhi janji terhadap Tongno dan juga siasiakan
pertolongan Lian Tjietjie?" Karena memikir begitu,
buru-buru dia turun dari puncak.
Tjio Ho kena ditusuk dengkulnya. Sesudah It Hang pergi,
dia merayap mendekati Hap Tjoan. Dia berniat membuka jalan
darahnya Hap Tjoan yang tadi kena ditusuk pedang, dan
kemudian minta digendong buat keluar dari pegunungan itu.
Tapi sebelum berhasil, apa mau It Hang sudah datang lagi
dan lantas totok jalan darahnya. Sesudah menotok Tjio Ho, It
Hang ambil rotan dan ikat Tjio Ho dan Hap Tjoan menjadi satu
dan kemudian pergi menengok keadaannya Loei Bong. Loei
Bong rebah celentang dengan tanda merah di bagian
lehernya. It Hang tendang padanya, tapi tak berkutik. It Hang
lalu memeriksa sambil membungkuk dan dia keluarkan
teriakan tertahan, sebab pada tenggorokan Loei Bong
menancap satu jarum perak yang sebagian nongol keluar.
Jarum itu adalah senjata rahasia tunggal dari Giok Lo Sat
yang diberi nama Kioeseng Tengheng Tjiam. Bahwa Giok Lo
289 Sat dapat mengambil jiwanya seorang ahli silat dengan
jarumnya tanpa memperlihatkan dirinya, sungguh membikin
orang jadi kagum sekali. Taruh kata dia mengumpet di belakang batu-batu dekat
tempat pertempuran, jaraknya yang paling dekat masih lebih
dari 5 tombak. Bahwa dari tempat yang begitu jauh dia masih
dapat melepaskan jarum yang membinasakan, menandakan
bahwa, bukan saja ilmu melepas jarumnya sudah mencapai
puncak kesempurnaan, tapi tenaga dalamnya pun sudah tak
dapat diukur lagi. "Tak diduga kepandaian Lian Tjietjie sudah
sampai begitu jauh. Cuma saja agak sedikit kejam," kata It
Hang seorang diri. Sementara itu. suara tindakan kuda kedengaran semakin
dekat. Tidak lama kemudian, dari selat gunung keluar satu
pasukan kecil dari suku Hapsatkek yang di kepalai oleh
seorang jenderal tua yang jenggotnya melambai-lambai dan
tangannya memegang satu golok besar, sehingga
kelihatannya angker sekali. "Apakah yang datang
Looenghiong dari Hapsatkek, Pa Liong Tjiangkoen?" tanya It
Hang sambil menghampiri. Paras panglima itu mengunjukan perasaan heran. "Siapa
kau?" dia balas menanya. "Kau orang Han, bagaimana kau
tahu namaku?" Matanya menyapu dan mendadak ia lihat Tjio
Ho dan Hap Tjoan yang diikat menjadi satu. "Eh, eh! Hap
Tjoan! Kau juga jadi mata-matanya bangsa Boan?" dia berkata
dengan kaget. "Mata-mata Boantjioe?" bentak Hap Tjoan dengan mata
mendelik. "Dengan suatu rencana yang sangat bagus, aku niat
membantu pemimpin kita mempersatukan daerah Thiansan
Utara dan Selatan, tapi rencana ini telah dirusak oleh kalian!"
"Rencana apa?" tanya Pa Liong.
"Tentara Boantjioe berada di tempat jauh, cara bagaimana
mereka dapat menggencet kita di sini?" Hap Tjoan
menerangkan. "Kalau kita bersatu dengan mereka untuk
bersama-sama melawan kerajaan Beng. untuk kita banyak
baiknya dan tidak ada jahatnya. Cuma menyesal, kau bangsat
tua menghalang-halangi, sehingga Ongya tidak dengar
segala nasehatku. (Ongya = raja = panggilan untuk kepala
290 suku di Sinkiang). Maka itu. aku berserikat dengan Thian Tek
Siangdjin, dan dengan bantuan Ongya suku Kektatdjie,
mereka setuju buat angkat Ongya kita menjadi kepala
perserikatan suku-suku di Sinkiang.
Nanti, kalau tentara Boantjioe sudah musnahkan kerajaan
Beng, kita di sini dapat berdiri sebagai satu negara yang
merdeka. Apa itu tidak bagus?"
Hap Tjoan adalah orang gagah nomor satu di antara suku
Hapsatkek. Cuma sayang, dia kurang cerdik, dan sampai
waktu itu, belum mendusin.
"Hap Tjoan, kau benar tolol," kata Pa Liong sambil
menghela napas. "Apakah kau masih tidak tahu, bahwa dirimu
telah digunakan sebagai alat?" Tapi Pa Liong diam-diam
merasa girang akan kejujuran Hap Tjoan, yang sudah buka
persekutuannya Bengsatsi, Thian Tek Siangdjin dan bangsa
Boan. "Apakah kau yang menangkap kedua orang ini?" tanya Pa
Liong pada It Hang. "Benar." jawabnya. "Kenapa kau menangkapnya" Apakah
kau tahu. mereka itu adalah mata-mata bangsa Boan?"
"Andaikata aku tak tahu persekutuan busuknya, tapi aku
mesti tangkap juga padanya," jawab It Hang sambil menunjuk
Tjio Ho. "Looenghiong! Apakah kau tahu dia siapa" Dia adalah
kaki tangannya Goei Tiong Hian yang telah merusak kerajaan
Beng dan membikin rakyat jadi sengsara. Dia bernama Tjio
Ho, yang dahulu pernah jadi kepala dari pasukan Kimiewie!"
Goei Tiong Hian main gila dalam banyak tahun dan segala
perbuatan busuknya sudah dapat didengar sampai ke daerah
perbatasan. Maka, itu, mendengar keterangannya It Hang.
tanpa merasa Pa Liong berseru "Aya!"
"Di daerah padang rumput ada satu pepatah: Sampah
berkumpul dengan sampah. Tidak heran dia berkawan dengan
si gundul Thian Tek," kata Pa Liong sambil tertawa.
Mendengar perkataan Pa Liong, Hap Tjoan jadi gusar. "Pa
Liong! Kau caci aku bagaikan sampah?"
"Bukan, kau bukan sampah," jawab Pa Liong. "Tapi kau
kena dibikin mabuk oleh bau busuknya sampah!"
291 Sesudah berdiam beberapa saat, Pa Liong berpaling
kepada It Hang dan berkata: "Dua orang ini telah dibekuk
olehmu, dan menurut pantas, mereka harus dihukum olehmu
sendiri. Tapi, aku ingin memohon sesuatu. Dapatkah kau
melepaskan Hap Tjoan?"
"Aku serahkan mereka kepada putusan Tjiangkoen." kata It
Hang. Pa Liong segera buka ikatannya Hap Tjoan dan ajak dia ke
tempat agak jauh, di mana dengan sabar dia memberi
keterangan-keterangan mengenai akal busuknya Tjio Ho dan
kawan-kawannya, (t Hang juga menceritakan segala
pengalamannya Dia ceritakan cara bagaimana Thian Tek
Siangdjin telah menindas rakyat Hapsatkek.
Perlahan-lahan Hap Tjoan jadi sadar. Dia malu dan jengkel,
sehingga bajunya basah dengan keringat. "Benar! Omongan
kalian tidak salah!" dia berseru sambil loncat. "Bangsat Thian
Tek telah mempedayai aku dan bikin aku jadi tukang
pukulnya. Aku nanti cari dia buat bikin perhitungan!"
"Tak usah terburu napsu," kata Pa Liong. "Biar bagaimana
juga kita akan bikin perhitungan. Sekarang aku tanya: Hari ini
kau datang di sini, apakah atas perintah Thian Tek?"
"Benar," sahut Hap Tjoan. "Dia suruh aku bersama soetitnya
menyambut satu utusan Boantjioe. Tapi, sang utusan
tidak muncul, yang muncul adalah Tjio Ho."
"Utusan Boan itu sudah dibekuk oleh Tongno," kata It
Hang. Pa Liong jadi girang dan berkata: "Siang-siang Tongno
sudah mengetahui, bahwa utusan Boan itu berada di
tempatnya Bengsatsi. Berhubung dengan pengaruhnya
Bengsatsi, Tongno tidak mau sembarangan bergerak. Waktu
mendengar, dia berlalu dari tempatnya suku Kektatdjie.
Tongno segera ajak aku pasang perangkap buat bekuk
padanya, cuma sayang, aku datang sedikit terlambat."
Sesudah menyerahkan Tjio Ho kepada Pa Liong, It Hang
segera pamitan sambil berkata: "Sesudah mengetahui sepak
terjangnya Thian Tek, aku mohon Tjiangkoen membujuk
Ongya supaya usir dia dari daerah padang rumput. Sekarang
aku mau pergi." 292 "Giesoe (orang gagah yang mulia), aku ingin mendapat
pertolonganmu," kata Pa Liong. "Lusa, berbagai suku bangsa
di Sinkiang Utara akan berkumpul di padang rumput Keksim.
Dalam perhimpunan ini, berbagai suku akan mengangkat satu
kepala perserikatan dari suku-suku. Aku sangat berkuatir
Bengsatsi akan bikin onar, sedang ilmu silatnya Thian Tek
tidak dapat dilawan oleh sembarang orang. Maka itu, aku
memohon pertolonganmu, untuk mana, aku akan merasa
berterima kasih tidak habisnya."
It Hang merasa berat untuk menolak dan segera
meluluskan. Dengan mengajak Hap Tjoan dan It Hang, Pa Liong pulang
ke tempatnya. Dia tidak mau lantas menemui kepala suku, tapi
segera membuat persiapan untuk hari lusa Selang dua hari.
kepala berbagai suku, dengan membawa sebawahannya yang
penting, sudah berkumpul di padang rumput Keksim buat
menghadiri perhimpunan besar. Waktu itu, kepala suku
Hapsatkek berada dalam kebingungan, lantaran Pa Liong,
orangnya yang paling diandali, sedari beberapa hari telah
melenyapkan diri. Dia tidak mengerti. kenapa dalam
menghadapi perhimpunan yang begitu penting, Pa Liong
menghilang. Ketika itu adalah musim panas. Hawa udara di padang
rumput, di waktu siang panasnya saperti dibakar, waktu
malam agak dingin, sehingga orang mesti pakai baju tebal.
Maka itu, segala gerakan kebanyakan diadakan di waktu
malam. Hari sudah jadi gelap dan sang rembulan sudah mulai naik,
tapi Pa Liong belum juga muncul. Dengan mendongkol, kepala
suku Hapsatkek segera ajak Thian Tek dan yang lain pergi
ketempat perhimpunan. Di tengah-tengah tempat
perhimpunan dinyalakan api unggun, sedang para kepala
suku dan orang-orangnya sudah berkumpul di tanah lapang


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dikelilingi dengan tenda-tenda.
Begitu perhimpunan dibuka, mereka lantas mulai tarik urat.
Bengsatsi, kepala suku Kektatdjie, berhasrat buat menjadi
ketua perserikatan. Tapi, kepala suku Lopo, Tongno, sudah
gusur itu utusan Boan yang kena dibekuk dan umumkan
293 persekutuannya. Di Tiongkok, "berhubungan dengan
Boantjioe" adalah suatu kedosaan yang tak dapat diampuni,
akan tetapi, berbagai suku di padang rumput tidak berada
dalam keadaan perang dengan bangsa Boan, sehingga
"berhubungan dengan Boantjioe" hanya merupakan suatu soal
politik yang dapat diperdebatkan. Bengsatsi berbalik mencela
Tongno, yang dikatakan tidak pantas menahan utusan Boan
yang berkunjung padanya. Perdebatan sengit lantas terjadi. Sebagian besar kepala
suku tidak setuju dengan politik melawan kerajaan Beng dan
berserikat dengan bangsa Boan, akan tetapi, mereka juga
tidak dapat membenarkan tindakan Tongno yang menahan
utusan Boan. Sedang hebatnya perdebatan, serdadu yang
menjaga lapangan melaporkan bahwa Pa Liong datang
dengan membawa orang. Kedudukan Pa Liong dalam Hapsatkek cuma lebih rendah
setingkat dari kepala suku. Maka itu, kedatangannya yang
terlambat membikin semua orang jadi heran, sedang kepala
suku Hapsatkek merasa tidak senang.
Perdebatan tertunda sementara dan semua mata ditujukan
kepada Pa Liong yang masuk dengan tindakan tenang,
bersama seorang Han. Begitu mengenali, paras mukanya
Thian Tek Siangdjin lantas berubah, sebab orang itu tidak lain
daripada To It Hang. "Perhimpunan malam ini adalah perhimpunan berbagai
suku di padang rumput. Cara bagaimana orang Han bisa turut
dalam perhimpunan kita?" demikian Bengsatsi ajukan
protesnya "Orang Han ini mempunyai hubungan dengan perhimpunan
kita," sahut Pa Liong sambil tertawa. "Thian Tek Siangdjin juga
bukannya orang padang rumput, tapi kenapa hadirnya tidak
diprotes olehmu?" Bengsatsi jadi bungkam. Lewat beberapa saat, dia berkata
lagi: "Dia ada hubungan apa dengan kita" Paling baik minta
dia bicara lebih dahulu, dan sesudah beres, minta dia lantas
undurkan diri." Selagi It Hang mau buka mulut, orang-orang yang hadir
berdiri di sebelah luar mendadak kelihatan bergerak dan
294 seorang berkata sambil tertawa: "Tongno Ongya, puterimu tak
mau main-main di luar dan ingin masuk di sini!"
Perhimpunan di padang rumput tak mempunyai peraturan
sidang yang keras, sehingga masuknya puteri kepala suku
sama sekali tidak mengherankan orang. To It Hang diam-diam
tertawa dalam hatinya. Beberapa saat kemudian, satu gadis
kecil, yang berusia kurang lebih 12 tahun, masuk berlari-lari.
Anak itu mengenakan baju pahlawan perang yang berwarna
hijau, rambutnya dikepang jadi dua kuncir dan pada tiap kuncir
dipasang pita sutera merah.
"Ayah," kata anak itu. "Tidak enak bermain di luar, anginnya
terlalu keras. Hei! Apa sebentar ada adu silat?"
Menurut kebiasaan di padang rumput, jika di dalam
pemilihan ketua perserikatan terjadi pertengkaran, maka
calon-calon sering mengadu tunggang kuda, memanah dan
lain-lain buat menetapkan siapa yang berhak jadi ketua.
Mungkin anak itu dengar omongan serdadu-serdadu penjaga
lapangan, bahwa di dalam terjadi pertengkaran sengit, maka
itu dia masuk dan menanyakan begitu.
"Jangan ribut," kata sang ayah sambil tertawa. "Kalau mau
di sini, tak boleh ribut. Kalau ribut, aku suruh kau keluar."
"Hoei Ang Kin kecil." kata satu kepala suku sambil
tersenyum. "Kalau ada adu silat, kita angkat kau jadi juri.
Bolehkah?" (Hoei Ang Kin = Selampe merah yang terbang).
Anak itu mengawasi ayahnya. Dia tak berani buka suara,
cuma kepalanya manggut-manggut beberapa kali.
Oleh karena pembicaraannya kena ditahan oleh datangnya
anak itu. To It Hang merasa sedikit jengkel. Tapi sesudah lihat
lincahnya dan simpatiknya gadis cilik yang cantik itu. dia pun
jadi turut mesem. "Kenapa namanya puteri Tongno begitu luar
biasa" Kenapa dinamakan Hoei Ang Kin?" It Hang berbisik di
kupingnya Pa Liong. "Itu bukan namanya yang sejati," Pa Liong menerangkan.
"Nama betulnya adalah Hamaya. Karena pada kuncirnya
selalu dipasang selampe (pita) merah dan karena dia suka
sekali menunggang kuda... biar masih kecil, tapi kudanya
295 selalu lari seperti terbang... maka orang menjuluki dia dengan
panggilan Hoei Ang Kin."
Datangnya Hoei Ang Kin telah meredakan suasana yang
panas. Sesudah suara tertawa berhenti, Bengsatsi kembali
perlihatkan muka seram dan berkata: "Pa Liong, siapa nama
orang Han itu" Apa dia mau bicara?"
To It Hang maju ke tengah-tengah dan memberi hormat ke
empat penjuru. "Namaku To It Hang." kata dia. "Aku adalah tjiangboen dari
Boetong pay di Tionggoan."
Baru saja It Hang berkata, Thian Tek Siangdjin sudah
berteriak: "Pa Liong bersekutu dengan orang kalangan Rimba
Persilatan bangsa Han. Apakah kau mau rebut kekuasaan?"
Pa Liong tertawa dingin. Kepala suku Hapsatkek sebegitu jauh kenal Pa Liong
sebagai orang yang sangat setia, akan tetapi, karena dalam
beberapa hari dia menghilang, hatinya jadi bercuriga, maka
sesudah dengar omongannya Thian Tek, dia lantas berkata:
"Aku dengar Boetong pay adalah partai utama dari Rimba
Persilatan di Tionggoan. Jika kau benar tjiangboen Boetong
pay, kenapa kau datang di sini?"
"Orang Kangouw berkelana ke sana-sini adalah soal biasa
saja," jawab It Hang dengan sabar. "Jika Ongya mau tanya
kenapa aku ada di sini, lebih baik kau tanya kaki tangannya
Goei Tiong Hian, kenapa dia juga berada di sini. Aku datang di
sini buat urusan pribadi, tapi kaki tangan Goei Tiong Hian dan
utusan Boantjioe datang di sini buat rebut kekuasaanmu, dan
malahan buat ambil jiwamu!"
Mukanya Thian Tek pucat. "Dusta!" dia membentak. "Di sini
di mana ada kaki tangan Goei Tiong Hian" Pertengkaran di
antara orang Han tak ada sangkut pautnya dengan kita."
Ketika Goei Tiong Hian memegang kekuasaan, dia pernah
peras kepala-kepala suku daerah perbatasan supaya
mengirim lebih banyak upeti. Maka itu, orang-orang di
Sinkiang juga tahu, bahwa dia itu adalah satu menteri dorna.
Sesudah diperas satu dua kali. mereka ngambek dan tidak
296 mau bayar upeti lagi, tapi kejengkelan mereka terhadap Goei
Tiong Hian sampai sekarang belum terlupakan.
To It Hang tertawa dingin. "Apa kau mau lihat orangnya?"
dia tanya. Pa Liong bersiul nyaring dan panjang. Orang-orang yang
sudah siap di luar lantas saja gusur masuk Tjio Ho dan Hap
Tjoan. "Dia pernah menginap beberapa malam di tendamu." kata
It Hang, sambil menunjuk Tjio Ho, "Masakah kau sudah lupa?"
Sebagai ikan dalam jaring, mulutnya Tjio Ho tidak hentinya
memohon ampun. Buat mengentengkan dosanya, dia
sebaliknya jadi menekan kawan-kawannya. Kata dia:
"Siangdjin, jika tidak mendapat perlindunganmu dan Bengsatsi
Ongya, cara bagaimana sebagai orang I Ian yang sebatang
kara aku berani bikin ribut-ribut di sini?"
Bengsatsi terkejut, tapi dia coba loloskan diri. "Hai, orangorang
Han benar-benar licik!" dia membentak. "Tak salah lagi
kau sudah suap orang ini. supaya dia mengaku sebagai kaki
tangannya Goei Tiong Hian guna menjelekkan namaku!"
It Hang tertawa terbahak-bahak. "Di tiap tempat di kolong
langit terdapat orang-orang licik, dan orang licik bukan cuma
terdapat di antara bangsa Han saja." katanya. "Hapsatkek
Ongya! Jika orang tidak percaya mulutnya orang Han ini, di
sini masih ada orangmu yang setia."
"Ongya! Aku mohon maaf!" Hap Tjoan menyambut dengan
suara nyaring. "Bermula Thian Tek Siangdjin mengajak aku
bersama-sama berusaha supaya kau dapat menjadi ketua
perserikatan. Itu sebabnya aku jadi menyetujui dan bekerja
sama dengan Bengsatsi Ongya dan utusan Boantjioe, untuk
mempersatukan Thiansan Selatan dan Utara di hari nanti.
Belakangan barulah aku ketahui, bahwa mereka mempunyai
maksud lain Mereka ingin gunakan diriku sebagai alat buat
gantikan Pa Liong Tjiangkoen. Sesudah merampas kekuasaan
tentara dari tanganmu, mereka mau jadikan kau sebagai
boneka, dan jika kau menolak, kau akan dibinasakan. Nanti,
sesudah bangsa Boan merebut Tionggoan (Tiongkok),
Bengsatsi Ongya akan telan berbagai suku dan berdirikan
297 satu negara baru, yang akan berada di bawah pengaruh
Boantjioe!" Baru saja Hap Tjoan tutup mulutnya, suara gemuruh
terdengar di seluruh lapangan.
"Kau punya bukti!" Bengsatsi membentak dengan penuh
kegusaran. "Kau menyembur orang dengan darah! Hapsatkek
Ongya! Orangmu telah menjelekkan namaku, aku akan bikin
perhitungan denganmu!"
Kepala suku Hapsatkek jadi bingung. "Hap Tjoan!" dia turut
membentak. "Kalau tidak ada bukti jangan kau bicara
sembarangan!" "Bukti" Tentu saja aku mempunyai bukti!" jawab Hap Tjoan
dengan tenang. Saat itu, tangannya Thian Tek Siangdjin sudah diayunkan
dan satu garpu tusukan daging kerbau menyambar ke arah
tenggorokan Hap Tjoan. It Hang yang selalu waspada loncat
menyambar garpu itu. "Thian Tek Siangdjin gunakan senjata
guna menutup mulut saksi! Ini juga satu bukti tegas!" berseru
It Hang "Bekuk padanya!" Tongno membentak.
Keadaan menjadi kalut. Dalam kekalutan mendadak
terdengar suara jeritan. Thian Tek Siangdjin kelihatan loncat
naik ke atas satu panggung, yang didirikan buat sembahyang
sesudah pemilihan ketua perserikatan, dengan tangan
mengempit Hoei Ang Kin! "Tongno! Pa Liong!" Thian Tek berseru sambil menyeringai.
"Kau beli Hap Tjoan dan kedua orang Han ini buat
mencelakakan diriku. Hm! Aku bukan orang yang gampang
dipermainkan. Jiwa anakmu sekarang berada dalam
tanganku. Sekali pencet saja, dia mampus!" Sambil berseru
begitu, jerijinya Thian Tek menekan batang lehernya Hoei Ang
Kin. "Pendeta jahat yang tak kenal malu! Hayo, lepaskan!"
Tongno berteriak dengan kalap. Semua orang jadi gusar, tapi
mengingat keselamatan Hoei Ang Kin, tidak ada yang berani
bergerak. 298 "Thian Tek," kata kepala suku Keksan. "Mau bicara kau
harus bicara baik-baik. Dengan hinakan satu bocah, namaku
menjadi rusak." "Benar, ada omongan harus bicara baik-baik," Thian Tek
tertawa. "Aku sekarang tidak sudi berdiam lagi di tempat ini.
Tongno, kau antar aku pulang ke Tibet, sesudah tiba di Tibet,
aku kembalikan puterimu."
Thian Tek mengambil putusan begitu, karena dia tahu
sudah tidak ada tempat lagi bagi dirinya di padang rumput
Sinkiang. Tongno gusar tidak kepalang. Mendadak dia lihat
puterinya kedukan matanya. "Hamaya," dia berseru. "Kau
jangan takut, aku akan luluskan tuntutannya!"
"Siapa kata aku takut?" Hoei Ang Kin berseru dari
kempitannya Thian Tek. Mendengar Tongno sudah meluluskan, Thian Tek jadi
girang dan kendorkan tekanan jerijinya. Dalam hatinya Thian
Tek juga kuatir Hoei Ang Kin binasa, jika ditekan terlalu keras,
dan kalau sampai kejadian begitu, dia tentu tidak akan dapat
loloskan diri. Siapa tahu. begitu lekas jerijinya kendor,
tangannya Hamaya menghantam pundaknya dengan sekuat
tenaga, di bagian yang sangat berbahaya. Thian Tek
keluarkan teriakan kesakitan, dibarengi dengan berontaknya
Hamaya, yang pada lain saat, sudah berdiri tegak di atas
panggung. Pukulan itu adalah pukulan yang sangat hebat. Masih
untung tenaga Hoei Ang Kin sangat kecil. Jika tidak, Thian Tek
tentu roboh seketika itu juga. Meskipun begitu, dia rasakan
sakitnya sampai ke tulang-tulang dan berteriak-teriak. Seperti
kalap, Thian Tek menubruk. Hoei Ang Kin berkelit sambil
ayunkan tangannya dan dua batang jarum menyambar ke
arah musuhnya. Melihat menyambarnya senjata rahasia.
Thian Tek buru-buru kibaskan tangan bajunya guna
menyampok kedua jarum itu.
Kejadian di atas terjadi luar biasa cepat, sehingga orangorang
yang berdiri di bawah panggung tidak mengetahui, cara
bagaimana Hamaya dapat meloloskan diri. Cuma satu orang
yang terkesiap melihat gerakannya Hoei Ang Kin dan orang itu
299 tidak lain daripada To It Hang, karena pukulan itu adalah
pukulan tunggal dari Giok Lo Sat! Dahulu, ketika Giok Lo Sat
hantam Kwee Yoe Tjiang guna merampas sela kuda emas,
dia gunakan pukulan tersebut! Dan jarum itu juga adalah
senjata rahasia tunggal dari Lian Nie Siang, yaitu Kioeheng
Tengheng Tjiam. It Hang sama sekali tidak menduga bahwa di
daerah padang rumput ini, dia ketemukan anak yang mewarisi
kepandaiannya Giok Lo Sat!
Saat itu, Tongno, Pa Liong dan yang lain-lain memburu ke
atas panggung. Sambil berseru keras, It Hang enjot badannya
dan seperti burung, dia hinggap di atas panggung, sesudah
loncati kepala banyak orang.
Sesudah menyampok jarumnya Hoei Ang Kin, Thian Tek
pentang lima jerijinya buat cengkeram kepalanya anak itu.
Tapi tangan yang sedang turun itu kena ditangkis oleh It Hang,


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga dia mundur sempoyongan beberapa tindak. Hoei
Ang Kin segera loncat turun sambil tertawa dan lari ke pelukan
ayahnya. Mukanya Thian Tek pucat dan kedua matanya bersinar
bagaikan api. Dia cabut pedangnya, yang dituruti oleh It Hang
dan segera mereka bertempur. Di bawah panggung juga
terjadi sedikit kekalutan. Melihat rencananya hancur.
Bengsatsi berlalu dari tempat perhimpunan sambil ajak semua
orang-orangnya. "Sekarang aku tak sudi jadi ketua lagi!" dia
berseru. "Mulai ini waktu aku putuskan hubungan dengan
kamu orang!" Semua orang merasa mendongkol melihat sikapnya itu.
tapi mengingat dia adalah kepala dari suatu suku, maka
mereka membiarkan Bengsatsi berlalu.
Di atas panggung, Thian Tek sudah bertempur mati hidup
melawan It Hang. 162 jalan ilmu pedang Thianliong, dia jalani
semuanya dan serang It Hang dengan seluruh tenaganya.
Melihat musuhnya berkelahi seperti kerbau gila, It Hang
melayani dengan sangat hati-hati dengan ilmu silat Boetongnya.
Sementara itu, Hap Tjoan menyerahkan sejumlah suratsurat
kepada kepala suku Hapsatkek dan berkata: "Tjoekong
(majikan), inilah bukti-buktinya."
300 Itu semua adalah siasatnya Pa Liong. Dia tunggu sampai
Thian Tek Siangdjin berangkat menghadiri perhimpunan,
barulah menyerbu tendanya Thian Tek bersama To It Hang
dan Hap Tjoan. Beberapa muridnya Thian Tek dengan
gampang dapat dibekuk semua. Dalam penggeledahan, Pa
Liong ketemukan bukti surat menyurat antara Thian Tek dan
Bengsatsi. Di samping itu, dia dapatkan juga surat-surat yang
membuktikan adanya persekutuan dengan utusan Boantjioe.
Semua surat itu lalu diserahkan kepada Hap Tjoan untuk
diperlihatkan kepada kepala sukunya.
"Tak usah lihat!" kata kepala Hapsatkek. "Aku merasa malu
sudah menuntun serigala masuk ke dalam kamar."
"Dahulu aku pun kena dikelabui," kata Hap Tjoan.
"Sesudah membaca surat-surat itu barulah diketahui niatnya
yang begitu busuk." Tongno menghampiri sambil menuntun Hoei Ang Kin.
"Sekarang segala apa sudah menjadi terang, bukti-bukti tak
usah diperiksa lagi," katanya sambil tertawa. "Sekarang
marilah kita lihat jalannya pertempuran."
"Pergi kau bantu orang Han itu," berkata kepala Hapsatkek
kepada Hap Tjoan. "Dia adalah pemimpin dari satu partai dan tidak suka
dibantu orang," jawab Hap Tjoan yang sedikit-banyak
mengetahui kebiasaan kalangan Rimba Persilatan di
Tionggoan. Waktu itu Thian Tek sedang serang To It Hang secara
hebat. Sinar pedangnya yang berkelebat-kelebat tak hentinya,
seperti juga sedang kurung seluruh badannya It Hang. "Ilmu
silatnya Thian Tek bukan main tingginya. Apakah orang Han
itu dapat melawan menang?" kata kepala Hapsatkek dengan
perasaan kuatir. "Beberapa hari berselang, aku juga masih beranggapan,
bahwa ilmu silatnya Thian Tek tidak ada tandingannya dalam
dunia," sahut Hap Tjoan dengan tenang.
"Apa benar ada orang yang lebih tinggi ilmu silatnya dari
Thian Tek?" tanya kepala Hapsatkek dengan perasaan kurang
percaya. 301 "Orang Han itu jauh lebih tinggi ilmunya," jawab Hap Tjoan,
yang lantas tuturkan pengalamannya di gunung Mostako. cara
bagaimana seorang diri It Hang layani Loei Bong, Tjio Ho dan
dirinya sendiri. Baru saja Hap Tjoan habis cerita, jalannya
pertempuran di atas panggung sudah berubah.
Ilmu pedangnya It Hang sebenarnya lebih tinggi setingkat
dari Thian Tek. Jika barusan dia cuma membela diri adalah
karena dia tidak mau berkelahi mati-matian dan mau tunggu
lelahnya musuh. Sesudah keluarkan 162 jurus ilmu pedang
Thianliong tanpa dapat kemenangan, semangatnya Thian Tek
mulai runtuh dan silatnya mulai kalut. It Hang tak mau siasiakan
kesempatan itu. Sambil berseru dia menyerang hebat
dengan pedangnya, sehingga Thian Tek jadi repot sekali.
Mendadak badannya Thian Tek kelihatan mencelat maju
dan pedangnya menikam bagian muka It Hang yang sedang
terbuka. "Celaka!" kepala Hapsatkek berseru sebab dia kira lt
Hang tidak akan bisa lolos dari serangan itu. Tiba-tiba
kedengaran lt Hang berseru: "Kena!" dan di lain saat,
badannya Thian Tek yang besar menggelinding jatuh ke
bawah panggung dengan dada berlubang dan terus tewas.
Ternyata, ketika lihat musuhnya menyerang dengan kalap. It
Hang pancing dia dengan sengaja buka mukanya supaya
diserang. Selagi Thian Tek menyerang, It Hang barengi
menikam dengan tikaman rahasia Boetong pay. dan karena
Thian Tek tidak keburu menangkis, dadanya sendiri yang
berbalik kena tikaman. "Hari ini barulah kedua mataku terbuka. Itulah baru ilmu
pedang yang tidak ada bandingannya dalam dunia." kata
kepala suku Hapsatkek sambil menghela napas.
Tongno tersenyum. Kalau dia lihat gurunya Hamaya, tak
tahu dia bakal jadi bagaimana kagumnya, kata Tongno dalam
hatinya. Sesudah binasanya Thian Tek dan kaburnya Bengsatsi,
pemilihan kepala perserikatan berjalan lancar. Dengan
dukungan suara terbanyak, kepala suku Lopo, Tongno,
diangkat sebagai kepala perserikatan berbagai suku di
Sinkiang Utara. Upacara pelantikan diikuti dengan sorak-sorai
302 yang gemuruh, dan sesudah itu. semua orang bersuka ria
sehingga pagi. Kepala Hapsatkek berulang-ulang menghaturkan terima
kasih kepada It Hang dan malahan mengundang juga pemuda
itu supaya berdiam terus di tempatnya guna mengajar silat
kepada pahlawan-pahlawan Hapsatkek. It Hang tolak dengan
manis undangan itu dan buru-buru pergi cari Tongno.
Waktu lt Hang menghampiri, Tongno dan Hoei Ang Kin
sedang menyaksikan pacuan kuda. "Ongya" kata lt Hang.
"Dapatkah aku bicara sedikit?"
"Ah, aku memang mau cari kau," kata Tongno. "Dalam tiga
hari ini, kau sudah menolong jiwa kami, ayah dan anak. Aku
tak tahu, cara bagaimana harus membalas budimu!"
Hoei Ang Kin juga senang pada pemuda itu. "Sioksiok
(paman)," kata dia sambil tertawa. "Kau benar mulia. Kalau
bukan kau, aku tentu sudah kena dicengkeram oleh pendeta
itu. Guruku kata, lelaki jarang yang baik. dan kalau sudah
besar, aku harus berhati-hati. Tapi aku lihat kau baik sekali."
It Hang tertawa getir. Sambil tuntun puterinya, Tongno
segera menyingkir dari orang banyak dan bersama-sama lt
Hang mereka jalan perlahan-lahan di padang rumput yang
luas itu. Ketika itu, langit terang tak berawan, sedang ribuan
bintang adalah laksana intan-intan yang bertaburan di atas
layar yang biru. It Hang mengawasi bintang-bintang di langit
dengan mata mendelong dengan mulut kemak-kemik.
Tongno jadi heran. "Tuan To," dia tanya. "Apakah yang kau
mau katakan?" "Terlebih dahulu aku minta kau sudi memaafkan," jawab It
Hang. "Bolehkah aku tanya, siapa guru puterimu ini?"
"Guru pesan, aku tak boleh memberitahukan siapa juga,"
jawab Hamaya sambil mengedipkan matanya.
"Tuan To tidak boleh disamakan dengan orang lain.
Bolehlah kau beritahukan," kata ayahnya sambil tertawa.
"Kalau begitu, ayah saja yang kasih tahu. Kalau nanti guru
tahu, dia tak marahi diriku," kata Hamaya.
"Ah, benar-benar murid yang baik," Tongno tertawa
berkakakan. 303 "Tuan To, dengarlah ceritaku," Tongno mulai menutur.
"Pada kira-kira sepuluh tahun berselang, aku pernah datang di
Pakkhia buat membayar upeti. Waktu itu kaisarnya masih
berusia sangat muda dan beliau, perlakukan aku dengan baik.
Waktu mau pulang, dia menghadiahkan banyak barang
berharga, tapi justeru karena barang-barang itu, hampirhampir
hilang jiwaku." "Kenapa" Apa tidak ada pengantar?" tanya It Hang.
"Ah, justeru pengantar-pengantar itu yang menjadi
bangsatnya," kata Tongno. "Syukur ajalku belum sampai dan
pada saat yang sangat berbahaya, satu enghiong wanita
mendadak muncul dan menolong jiwaku."
It Hang belum pernah mendengar cerita itu, tapi dia lantas
dapat menduga. "Giok Lo Sat?" katanya.
"Giok Lo Sat" Bukan, dia bernama Lian Nie Siang," jawab
Tongno. "Sekarang dia berada di padang rumput dan banyak
orang menamakan dia Pek Hoat Mo Lie."
"Meskipun rambut guruku putih semua, tapi parasnya luar
biasa cantik," Hoei Ang Kin menyeletuk. "Senang benar, kalau
aku bisa secantik dia."
Hatinya It Hang terkejut, tapi sebelum dapat menanya lebih
jauh, Jongno sudah berkata lagi: "Dia adalah penolongku yang
nomor satu. Waktu itu, aku berkata begini padanya: Kalau kau
pada suatu hari bisa datang di Thiansan. datanglah ke
tempatku. Ketika itu, aku bicara sekedar buat mengutarakan
perasaan terima kasih. Tapi, siapa sangka, pada beberapa
tahun yang lalu, dia benar-benar datang. Dia belum
melupakan aku dan pada suatu hari dia datang berkunjung.
Waktu bertemu Hamaya, dia merasa suka sekali. Mungkin
cuma mau berdiam satu dua hari saja, tapi setelah bertemu
dengan Hamaya, dia menetap agak lama."
"Sekarang dia di mana?" It Hang putuskan omongan orang.
"Jangan kesusu, aku nanti ceritakan," kata Tongno. "Dia
kata, dia mempunyai satu sahabat yang berdiam di puncak
selatan dari gunung Thiansan. Sahabat itu mempunyai satu
murid yang berbakat sangat baik, maka itu, dia juga ingin
mengambil murid, supaya tidak jadi kalah."
304 It Hang tersenyum. Dia ingat adatnya Lian Nie Siang yang
tidak mau kalah sama orang, dan sampai urusan murid, dia
sungkan kalah dari Gak Beng Kie. Dia ingat itu kata-kata yang
membilang bahwa "Gelombang Tiangkang yang sebelah
belakang mendorong gelombang yang sebelah depan", seperti
juga itu murid-murid kecil yang berbakat, yang di hari
kemudian mungkin akan lebih menang dari guru-gurunya.
Mengingat begitu hatinya menjadi terhibur. Dia ingat, Gak
Beng Kie mempunyai Yo In Tjong, Lian Tjietjie mempunyai
Hoei Ang Kin, sedang dia sendiri mempunyai Sin Liong Tjoe.
"Begitulah Hamaya lantas dijadikan muridnya." Tongno
lanjutkan penuturannya. "Aku sungguh girang. Hamaya
sekarang sudah belajar dua tahun lebih. Tuan To, apa ilmu
silatnya boleh juga?"
"Hebat!" sahut It Hang. "Tapi sekarang di mana dia?"
"Adatnya sangat luar biasa," jawab Tongno. "Tiap kali
datang dia cuma berdiam sepuluh hari atau paling lama
setengah bulan buat beri pengunjukan kepada Hamaya.
Sesudah itu, dia pergi lagi. Saban tahun dia datang tiga
sampai lima kali." "Sayang sungguh kau datang terlambat beberapa hari,"
kata Hamaya. "Kalau tidak, kau dapat bertemu dengannya.
Ilmu pedangnya lebih hebat daripada kau. Aku pernah
saksikan, dengan sekali loncat ke atas pohon, dia dapat tikam
seekor burung kecil dengan pedangnya!"
"Ah, sungguh menyesal. Tapi, tahukah kau ke mana dia
mau pergi?" "Aku tidak tahu," kata Tongno. "Kalau pergi, dia belum
pernah memberitahukan tujuannya. Tapi kali ini, dia ada
pesan omongan." "Omongan apa?" tanya It Hang dengan cepat.
"Sebelum berangkat, dia kasih tahu, bahwa sekarang ada
satu sahabat yang sedang cari padanya. Tapi, dia belum mau
ketemui sahabat itu. Dia pesan aku, kalau ada orang tanyatanya
tentang dirinya, bilang saja, jangan terburu napsu, nanti
juga bisa bertemu." "Benar?" It Hang menegaskan dengan kegirangan.
305 "Ayahku belum pernah dusta." selak Hoei Ang Kin sambil
mancungkan mulutnya. "Tuan To," kata Tongno. "Kalau begini, kau adalah sahabat
yang sedang mencari padanya."
"Betul," jawab It Hang.
Sehabis berkata begitu, dia dongak memandang ke langit
yang bersih. Ketika itu, seperti juga sang langit, hatinya It
Hang bebas dari gumpalan awan. Dalam beberapa tahun,
baru sekarang dia merasa gembira.
"Sioksiok, kau juga suka memandang bintang?" tanya Hoei
Ang Kin. "Ya," jawabnya. "Aku suka memandang sinar bintang.
Bintang-bintang itu sebenarnya sangat jauh, tapi kelihatannya
dekat sekali." Sehabis berkata begitu, It Hang tertawa tanpa
merasa. Mana anak kecil mengerti omongannya, pikir dia.
"Guruku juga suka memandang bintang," kata Hoei Ang Kin
sambil menunjuk tepi langit. "Guruku kata, dia adalah sebutir
Pakkek tjhee (bintang di tempat yang paling ' utara) di tepi
langit. Bintang itu baru bersinar kalau tidak terdapat awan di
langit." It Hang mendadak sadar. Waktu dia dongak lagi. malam
sudah hampir berganti siang dan sinar bintang pun sudah
mulai guram. Lewat beberapa hari. It Hang ambil selamat berpisah dari
Tongno dan puterinya. Dia pergi dengan hati girang. Dia tahu.
suatu waktu Giok Lo Sat dapat berada di dampingnya dan
mengawasi dirinya seperti sang bintang. Siapa tahu, kalau
malam ini atau besok dia dapat bertemu dengan jiwa hatinya
itu! Demikianlah, dengan penuh harapan dia berkelana di
padang rumput. Sepuluh hari lewat, setengah bulan, sebulan,
dua bulan, tapi Giok Lo Sat belum juga muncul. Perlahanlahan
harapannya menipis dan semangatnya yang terbangun
merosot kembali. Mendadak dia ingat Sin Liong Tjoe, dia ingat itu kedua
kuntum kembang dewa di puncak Onta. Mengingat begitu, dia
lantas tujukan kakinya ke arah gunung Boksip Tatkek buat


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

306 menunggu bunga, sekalian menantikan kedatangannya Lian
Tjietjie. Belum jalan berapa jam, It Hang ketemukan tanda-tanda
orang Kangouw. Di atas batu kadang-kadang dia lihat guratanguratan
luar biasa, dan kadang-kadang dia tampak gambar
kepala anak panah di atas tanah. Tapi sebagai orang yang
berkepandaian tinggi, nyalinya It Hang besar dan tidak gubris
segala tanda itu. Suatu hari. ketika dia tiba di padang pasir, udara mendadak
berubah dan topan menyambar-nyambar, sehingga gundukangundukan
pasir berpindah-pindah akibat tiupan sang angin. It
Hang tahu, topan di padang pasir sangat berbahaya, dan jika
tidak waspada, manusia bisa dikubur hidup-hidup di bawah
bukit pasir. Dalam beberapa tahun ini It Hang sudah banyak juga
pengalamannya. Dia tidak jadi bingung dan buru-buru cari
tempat yang selamat buat sembunyikan diri. Tidak lama
kemudian, topan menjadi reda. Topan itu cepat datangnya dan
cepat juga perginya. It Hang segera keluar dari tempat
sembunyinya guna meneruskan perjalanan, supaya dapat
menyeberangi padang pasir terlebih cepat.
Mendadak, kupingnya dengar suara orang sedang
bertempur. Karena ingin tahu, dia tujukan tindakannya ke arah
itu. Di kejauhan, ia lihat seorang wanita muda lari di depan,
sedang di belakangnya memburu dua orang lelaki. Wanita itu
sangat cepat larinya, tapi kena dicandak juga. Begitu
kecandak, wanita tersebut melawan dan mereka lantas
bertempur. Karena pernah satu kali membuat kesalahan, kini It Hang
ambil putusan untuk berhati-hati sebelum turun tangan. Dia
menghampiri sambil mengawasi orang-orang yang bertempur.
Mendadak dia kaget dan heran, sebab kedua lelaki itu adalah
Sin Tay Goan dan Sin It Goan. "Apakah
Thio Hian Tiong sudah kena diubrak-abrik oleh tentara
negen?" dia tanya dalam hatinya. Kalau bukan begitu, kedua
anak emas itu tentu tidak bisa datang di padang pasir. Tapi
siapa adanya wanita itu"
307 It Hang raba pedangnya. Tiba-tiba dia dengar seruan: "To
Toako!" It Hang terkesiap. "Aku Lok Hoa! Toako, bantui aku!"
berseru lagi wanita itu. It Hang kaget dan girang dengan berbareng. Wanita itu
ternyata adalah puteri kedua dari Pek Sek Toodjin. Dia ingat,
waktu masih berada di Siongsan, Lok Hoa baru berusia 7-8
tahun, dan sekarang sudah begitu besar! Apa Pek Sek
Soesiok turut datang" It Hang tanya dalam hatinya.
Tapi dia tidak sempat memikir banyak. Ilmu silatnya dua
saudara Sin bukan sembarangan dan Lok Hoa berada dalam
bahaya. Sambil membentak, dia cabut pedangnya dan
menerjang. "Manusia masih hidup masih dapat bertemu," kata Sin Tay
Goan sambil tertawa menyeramkan. "Sungguh tak disangka
aku bisa ketemu kau di sini!"
"Kenapa kalian hinakan soemoay-ku?" bentak To It Hang. It
Goan tertawa terbahak-bahak. "Soesiok-mu sendiri kami mau
hinakan! Habis mau apa kau?" katanya. It Hang gusar bukan
main dan lantas menikam. Baru saja bergebrak, kedua saudara Sin jadi terkejut.
Mereka tidak menduga, dalam beberapa tahun, ilmu silatnya It
Hang sudah maju begitu jauh. Jika dua kerubuti satu,
meskipun belum tentu bisa menang, dua saudara Sin bisa
juga berada di atas angin. Akan tetapi, di samping It Hang,
masih ada Ho Lok Hoa. Biar ilmu silatnya Lok Hoa kalah jauh
dengan It Hang, akan tetapi biar bagaimana juga, dia telah
mendapat pelajaran Boetong yang tulen dan di samping itu,
dia sangat pintar. Tiap kali It Hang mendesak, begitu ada
kesempatan baik, dia kirim tikaman atau sabetan berbahaya,
sehingga kedua saudara jadi repot dan harus waspada sekali.
Sesudah lewat beberapa puluh jurus, Sin It Goan kena satu
tikaman dan terpaksa berkelahi mundur. Sin Tay Goan jadi
hilang napsu berkelahinya, maka, sambil lindungi adiknya, dia
loncat kabur. To It Hang juga tidak mengejar.
"Kenapa kau jadi bertempur dengan mereka?" It Hang
tanya Lok Hoa. "Apa Pek Sek Soesiok turut datang?"
308 Lok Hoa bersihkan pasir di mukanya dan sambil tertawa dia
menyahut: "Jika ayah tidak turut, bagaimana aku bisa datang
di sini dengan sendirian?"
Hatinya It Hang berdebar-debar. "Dji Soepeh selalu
memikirkan kau dan dia masih sangat menginginkan kau
menjadi tjiangboen," kata Lok Hoa lebih lanjut. "Maka itu dia
minta ayah datang kemari buat coba cari padamu. Tjietjie
sudah menikah. Beberapa tahun yang lalu, tjiehoe (suami
kakak perempuan) masih berdiam di Boetong, tapi sekarang
sudah balik ke Ngotay, bersama-sama tjietjie. Karena itu,
cuma aku sendiri yang berada di damping ayah dan kita
sangat kesepian. Aku juga sudah tidak betah tinggal di
Boetong. Maka itu, aku mendesak supaya ayah ajak aku
datang kemari, dan belakangan ayah meluluskan juga.
Lok Hoa adalah satu gadis yang lincah, disertai dengan
sifat anak-anak yang nakal, sehingga dia jadi simpatik sekali,
berbeda dengan saudara perempuannya yang pendiam.
It Hang tidak berkata-kata. Otaknya berputar, cara
bagaimana dia harus menghadapi paman gurunya itu, cara
bagaimana dia harus menolak buat balik ke Boetong.
"Setibanya di sini." Lok Hoa melanjutkan penuturannya. "Air
dalam kantong tinggal sedikit. Di sana ada satu bukit dan di
situ samar-samar kita lihat satu gua. Ayah bilang, dalam gua
itu mungkin ada air dan dia lantas pergi ke situ. Karena aku
merasa lelah, ayah suruh aku tunggu saja di sini.
Tidak diduga, sesudah ayah pergi, lantas turun angin
besar. Aku mengumpet dalam solokan, dan sesudah sang
angin reda, muncullah kedua orang itu. Setahu bagaimana
mereka kenal nama ayah dan lantas mengubar aku. Ah, jika
kau tidak datang, aku tentu celaka."
It Hang memandang ke arah yang ditunjuk Lok Hoa. Benar
saja di kejauhan dia lihat satu bukit kecil. Padang pasir itu
tidak seberapa besar dan terletak di antara dua padang
rumput yang luas. Sesudah mengawasi beberapa lama, It
Hang berkata: "Soesiok adalah seorang yang biasanya
bijaksana. Letaknya bukit itu tidak terlalu jauh dari sini, kenapa
Soesiok tidak dengar teriakanmu?"
"Ya, aku pun heran," kata nona Ho.
309 Buru-buru mereka menghampiri bukit itu. Di situ tidak
terdapat bayangannya Pek Sek Toodjin. Gua itu tidak besar
dan di dalamnya terdapat banyak pasir. It Hang merasa
sangat heran. Mendadak terdengar teriakan Lok Hoa. Waktu It
Hang menghampiri, tangan gadis itu menunjuk kepada rumput
di luar gua, dan di atas batu-batu sekitar itu, terlihat tandatanda
darah. Paras mukanya Lok Hoa jadi pucat. "Apakah
ayah dicelakakan orang?" dia berkata dengan suara di
tenggorokan. It Hang pun terkejut. Dia memeriksa dengan teliti. Selain
beberapa tetes darah, tidak ada lain tanda yang
mencurigakan. "Adik Hoa, jangan kuatir," dia menghibur. "Jika Soesiok
dibunuh orang, tanda darah tentu bukannya cuma sebegitu."
"Habis ke mana perginya ayah?"
"Topan di padang pasir sandal besar kekuatannya," kata It
liang "Kalau turun topan, kadang-kadang bukit pasir
berpindah-pindah sehingga orang bisa kesasar. Mungkin
sekali Soesiok juga kesasar. Beberapa tetes darah itu
mungkin adalah darahnya Soesiok yang luka akibat hantaman
batu pasir yang berterbangan."
Hatinya Lok Hoa jadi tetap, sebab dia anggap
keterangannya It Hang cukup beralasan. "Waktu dua bangsat
itu ketemu aku, dia sebut nama ayah, seperti juga terdapat
permusuhan antara mereka dan ayah. Jika mereka
mempunyai kawan, aku kuatir kawannya nanti bentrok dengan
ayah," kata Lok Hoa.
"Aku kenal kedua bangsat itu." kata It Hang. "Sebetulnya
mereka tidak mempunyai dendam pada Soesiok. Selainnya
begitu, ilmu silatnya Soesiok sangat tinggi, maka kita tak usah
kuatirkan beberapa bangsat kecil. Apa yang aku kuatirkan
adalah Soesiok kesasar."
Demikianlah mereka lalu cari Pek Sek di padang pasir itu,
tapi sesudah jalan setengah harian, Pek Sek belum juga dapat
diketemukan. Ketika itu, matahari sudah mulai silam ke barat,
angin dingin sudah mulai turun. "Soesiok tentu tidak bisa
hilang," kata It Hang. "Mungkin sekali karena tidak dapat
mencari kau, dia sudah pergi ke padang rumput itu. Sekarang
310 sudah mulai gelap. Hawa malam di padang pasir sangat
dingin dan kita juga tidak mempunyai tenda. Maka itu lebih
baik kita pergi ke padang rumput untuk beristirahat di situ."
Tidak lama mereka berjalan, mereka sudah tiba di padang
rumput. Ketika itu ribuan bintang sudah muncul di atas langit
yang biru. Jauh, di tepi padang rumput, orang dapat lihat
puncak-puncak tinggi dari gunung Thiansan, sedang Puncak
Es yang tertutup salju bersinar seperti marmer yang
mengkilap. Angin menderu dengan perlahan dan kambingkambing
berlari-larian. Demikian pemandangan malam di
daerah perbatasan itu. It Hang dongak mengawasi langit. Mendadak dia menghela
napas. "Sepuluh tahun tidak bertemu, kau sekarang sudah
begini besar. Waktu berlalu seperti melesatnya anak panah.
Bagaimana orang tidak menjadi terharu." Lok Hoa angkat
mukanya. "To Toako," katanya sambil tertawa. "Kau benar awet muda,
masih sama seperti dahulu, cuma hitaman sedikit. Aku masih
ingat, ketika kau pertama naik di Siongsan, kau tampak
kemalu-maluan seperti lagaknya satu gadis, waktu ayah
perkenalkan kau dengan tjietjie. Di belakangmu, aku dan
tjietjie tertawakan kau. Hai! waktu itu kau masih gendonggendong
aku. Apa kau masih ingat?"
"Mana bisa lupa?" It Hang tertawa getir. Dia ingat, kalau
waktu itu bukan gara-garanya Pek Sek Toodjin, dia dan Giok
Lo Sat tentu tidak bakal menemui begitu banyak gelombang.
"To Toako, apa kau mau pulang?" tanya Lok Hoa.
"Padang rumput di daerah perbatasan ini adalah rumahku.
Buat apa aku pulang?" jawab It Hang. Sesudah berdiam
beberapa saat, dia bertanya: "Bagaimana keadaan di Boetong
san sekarang" Apa Djiesoepeh sehat?"
"Sedari kau pergi, Djiesoepeh selalu berdiam di dalam
kamar dan tidak mau keluar," menerangkan Lok Hoa. "Dia
sekarang banyak lebih loyo. Pada musim rontok tahun yang
lalu. dia menderita sakit berat dan mulutnya selalu menyebutnyebut
kau dan minta ayah cari padamu. Sekarang di atas
gunung banyak lebih sepi. Tak seperti dahulu."
311 Mendengar begitu It Hang kembali menghela napas
panjang. Saat itu, depan matanya terbayang parasnya Oey
Yap Toodjin, yang, dengan kedua mata yang bersorot angker
dan memohon, mengawasi dia. Mendadak dia merasa, bahwa
meskipun paman-paman gurunya menyebalkan, mereka juga
harus dikasihani. "To Toako, benar-benar kau tidak mau pulang?" tanya pula
Lok Hoa. "Ya. Tidak pulang." "Kau sudah dapat cari dia?" tanya Lok
Hoa. "Siapa?" It Hang menegaskan dengan hati berdebar.
"Urusan Toako dengan Giok Lo Sat, tidak ada manusia di
kolong langit yang tidak mengetahui," katanya sambil tertawa.
"Sayang aku belum pernah berjumpa dengannya. Pamanpaman
guru bilang, dia adalah musuh umum partai kita,
sedang ayah sangat benci padanya. Tapi tjietjie belum pernah
bicara jelek tentang dirinya."
"Dan kau?" tanya It Hang. "Aku belum pernah ketemu,
bagaimana bisa tahu?" jawab Lok Hoa. "Paman-paman guru
semua menamakan dia iblis perempuan. Tapi aku merasa,
bahwa sebagai satu wanita dia bisa menjagoi Rimba
Persilatan, biar bagaimana juga dia adalah wanita jantan."
It Hang tidak kata apa-apa. Dia cuma tertawa.
"Toako, benar-benar kau mau mati sama-sama dia di
daerah perbatasan ini?" nona Ho mendesak.
"Aku belum berjumpa dengan dia," kata It Hang. "Dia
adalah seperti topan di padang pasir, datangnya mendadak
sambil menggulung pasir kuning, perginya juga dengan tibatiba."
Sang angin yang agak besar kembali turun. Hawa menjadi
semakin dingin. Di kejauhan mereka lihat sinar api. "Itulah api
unggun rakyat gembala guna menghangatkan badan," kata It
Hang sambil menunjuk api itu. "Penduduk di sini sangat ramah
tamah terhadap tetamu. Aku pikir baik kita pergi ke sana buat
lewati malam yang dingin ini."
Sehabis berkata begitu, It Hang lalu mengajak Lok Hoa
berjalan ke arah api itu.
312 Di seputar api unggun itu terdapat sejumlah orang
Hapsatkek dengan belasan onta yang menggendong barangbarang.
Rupanya mereka orang dagang bukan rakyat
gembala. Melihat datangnya It Hang dan Lok Hoa mereka
mengawasi dengan mata heran. Antara mereka ada yang
mengerti bahasa Han. Sesudah It Hang ceritakan bahwa
mereka kesasar akibat turunnya angin, dua orang lantas
bangun dan mengundang It Hang dan Lok Hoa duduk.
Saudagar di padang pasir tidak mempunyai tempat tinggal
yang tentu dan berdagang sambil mundar-mandir. Sang onta
adalah rumahnya. Mereka pergi berdagang dengan seluruh
keluarga, dan oleh karena padang pasir banyak bahayanya,
beberapa keluarga bergabung jadi satu dan berjalan bersamasama.
Cara hidup mereka tidak banyak bedanya seperti rakyat
gembala. Orang-orang suku Hapsatkek paling suka menyanyi dan
menari. Pemuda-pemudi lalu mengitari api unggun sambil
menyanyi, dan di antara mereka, seorang gadis mempunyai
suara yang sangat bagus. Sesudah nyanyi beramai, gadis itu
nyanyi sendirian. Satu pemuda mengambil ohkim sebagai
tetabuhannya. Karena sudah berdiam beberapa tahun, It Hang


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerti juga bahasa Hapsatkek. Nyanyian gadis itu berbunyi
seperti berikut: Pasir kuning-kuning, ditiup topan.
Elang melayang-layang, ingin
turun ke bawah. Kanda, kau adalah sang elang itu.
Kau tak takut angin, tak takut pasir.
Tapi jangan turun, jangan turun ke bawah!
Pasir kuning-kuning, ditiup topan.
Elang melayang-layang ingin
turun ke bawah, 'Ku bukan tak takut angin dan pasir,
Untuk berjumpa denganmu, 'dinda, 'Ku tunggang angin buat ajak kau pulang ke rumah.
313 Di tengah malam yang sunyi dan di antara alam padang
rumput yang indah, nyanyian itu sunguh merdu. It Hang jadi
seperti orang kesengsem. "Sayang aku bukannya sang elang,
dialah (Giok Lo Sat) yang menjadi elang. Tapi dia tak sudi
tunggang angin buat mencari padaku," demikian It Hang
berkata dalam hatinya. Sesudah mereka menari dan menyanyi lagi, satu pemuda
menghampiri dan berkata: "Kami mohon kedua tetamu yang
terhormat juga sudi menyumbang satu nyanyiafr?""Satu orang
lantas angsurkan ohkim kepada Ho Lok Hoa dan minta It
Hang nyanyi terlebih dahulu.
Ketika itu It Hang sedang diliputi kesedihan, cara
bagaimana dia mempunyai kegembiraan buat menyanyi. Akan
tetapi, undangan itu adalah adat istiadat suku Hapsatkek yang
tak mungkin ditolak. Jika It Hang menolak, artinya dia tidak
senang dan melanggar adat.
Karenanya dia lantas menyanyi:
Mata memandang kepada penghidupan yang ngambang
laksana awan. Kliping mendengar suara kim yang mengharukan,
Tjouwkeh (orang dari Tjouw) yang patah hati merajuk dengan
penasaran, Pendaki gunung, layari air buat cari sedikit hiburan
Rumput layu selebar bumi, Anggrek menyiarkan bebauan
wangi. Daun kuning jatuh sendiri. Awan mendung, bersusah hati.
Jika langit mengenal cinta, langit pun menjadi tua,
Kemenyesalan bergumpal di dada, tak habis-habisnya.
Keberuntungan yang lampau, hanya impian belaka. Begitu
sadar, tak tahu lagi ke mana carinya.
Ketika nyanyi sampai pada bagian. "Jika langit mengenal
cinta, langit pun menjadi tua", It Hang hampir-hampir
mengeluarkan air mata. sedang suaranya pun kedengaran
sedih sekali. Dia ingat dahulu di Benggoat kiap. Giok Lo Sat
pernah berkata begini: "Di kolong langit mana ada orang yang selamanya muda"
Jika langit sama seperti manusia, yang mempunyai banyak
pikiran dan banyak kekesalan, sang langit juga bisa menjadi
314 tua! Kita bertemu satu kali lantas cekcok satu kali. Lain kali,
jika kau bertemu dengan aku, mungkin sekali rambutku sudah
putih semua!" Tidak disangka, kata-kata Giok Lo Sat itu sekarang sudah
menjadi satu kenyataan. Adalah karena dia ingat
kecintaannya, maka barusan It Hang nyanyikan syair "Ho
Boan Tjoe" itu, buah kalam Soen Tjoe dari ahala Song.
Sesudah It Hang berhenti menyanyi, semua orang tidak
merasa gembira. Meskipun suku Hapsatkek tidak mengerti
bahasa Han, akan tetapi mereka dapat mendengar lagu dan
suara yang menyedihkan itu.
"Orang sedang bergembira, kenapa dia menyanyikan lagu
begitu!" Lok Hoa berkata dalam hatinya. Maka itu, sebelum
diminta, dia sudah kata: "Biarlah aku nyanyikan satu lagu."
dan lalu menyerahkan ohkim kepada It Hang.
Tu malam angin meniup perlahan.
Cagak menclok di dahan lioe. Rembulan di tepi langit.
Sunyi senyap. Kere tergantung di gaetan emas. Lampu padam dalam
tempayan perak, Tidur nyenyak atas ranjang banji. Anggrek semerbak dalam
kelambu sulam. Mendadak suara kaki dekat jendela.
Tapi tak kelihatan si dia yang tercinta,
Ah, mungkin anak-anak unjuk kenakalan.
Buka pintu mau keluarkan makian.
Tapi tak kelihatan satu manusia. Cuma bayangan bambu,
rontokan bunga. Menghela napas, sesali lamunan.
Itulah satu nyanyian rakyat di daerah Kanglam yang riang
gembira, sehingga suasana kembali jadi gembira.
"Nona nyanyi bagus sekali," kata satu pemuda Hapsatkek
seraya mengangsurkan satu ohkim yang mahal sebagai
hadiah. It Hang beritahukan. bahwa hadiah itu adalah satu
kehormatan, sehingga tak dapat ditolak, dan Lok Hoa pun
lantas menerimanya sambil tertawa.
Pemuda-pemudi Hapsatkek merasa tertarik sekali pada
Lok Hoa yang simpatik dan mereka mengerumuni nona Ho
untuk diajak bercakap-cakap.
315 "Kalian datang dari mana?" tanya Lok Hoa.
"Kami datang dari Ih dengan melintasi padang pasir
Tjemalahan," jawab satu pemuda.
Lok Hoa tergerak hatinya dan terus menanya: "Apa di
tengah jalan kalian pernah bertemu dengan seorang
pendeta?" Lok Hoa lalu lukiskan roman ayahnya.
"Oh, betul ketemu!" jawabnya "Apa dia kawanmu" Pendeta
itu luar biasa. Mukanya mengunjukkan kegusaran. Dia
menunggang kuda di tengah sejumlah Ihama."
"Apa" Lhama!" Lok Hoa heran dan terkejut. "Ayah belum
pernah mempunyai hubungan dengan Ihama."
"Betul. Kita juga heran," jawab pemuda itu.
"Apa pendeta itu diikat di atas kuda?" Lok Hoa semakin
berkuatir. Pemuda itu geleng-geleng kepalanya.
"Kami tidak lihat terang. Pendeta itu, yang berada di
tengah-tengah sejumlah Ihama kelihatannya gusar dan
jengkel sambil tundukkan kepalanya. Mereka larikan kuda
keras sekali, dan beberapa orang antara kami yang tak keburu
menyingkir, sudah kena dipecut beberapa kali."
"Ke jurusan manakah mereka jalan?" tanya It Hang.
"Ke jurusan yang kita lewati," jawabnya.
"Kalau begitu," kata It Hang, "mereka juga mau lintasi
padang pasir Tjemalahan."
It Hang diam beberapa saat. Mendadak, dari kantongnya
dia keluarkan beberapa soatlian.
"Coba kau lihat beberapa soatlian ini?" It Hang menyuruh.
Teratai salju itu dipetik lt Hang waktu dia mengunjungi Hoei
Beng Siansoe di puncak utara Thiansan. Kembangnya besar
dan putih meletak bagaikan salju. Orang-orang Hapsatkek
semua merasa kagum sekali. "Soatlian semacam ini, kami
belum pernah lihat. Di mana kau petik?" tanya satu antaranya.
"Jika aku tukar soatlian ini dengan seekor onta dan satu
tenda, apa kau suka?" tanya It Hang.
"Onta gampang didapat, soatlian sukar dicari. "Soatlian ini
berharga lebih mahal daripada seekor onta." jawab satu
antaranya. 316 "Tapi buat aku, onta sukar didapat, soatlian gampang
dicari. Jika kalian suka, kita tukar saja," kata pula It Hang.
Mereka jadi girang. Mereka serahkan onta, tenda, ditambah
dengan beberapa alat untuk di padang pasir dan makanan
kering dan terima soatlian itu dengan gembira sekali.
Pada esok paginya, It Hang dan Lok Hoa berpisahan
dengan orang-orang Hapsatkek. Mereka lalu naik ke
punggung onta, perlahan-lahan menuju ke arah barat.
"Kenapa kau mau gunakan onta" Bukankah kita dapat jalan
lebih cepat?" tanya Lok Hoa.
"Padang pasir Tjemalahan adalah sangat luas," jawab It
Hang. "Selain itu kau juga tidak biasa dengan keadaan padang
pasir. Tanpa ini perahu padang pasir, bagaimana kau dapat
menyeberangi-nya?" "Aku sungguh tidak mengerti kenapa ayah jalan bersamasama
rombongan lhama," kata pula Lok Hoa. "Apa ayah
ditangkap" Tapi ayah belum pernah datang di daerah
perbatasan, sama sekali belum pernah berhubungan dengan
kaum Ihama. Sungguh heran."
It Hang jadi ingat kepada lhama Thianliong pay... Tapi cara
bagaimana Ihama Thianliong bisa kenal Pek Sek" Di samping
itu, It Hang ingat bahwa ilmu silatnya Pek Sek pun sangat
tinggi dan tidak gampang-gampang kena dibikin celaka.
"Sekarang ada warta mereka sudah masuk di padang pasir,
maka kita pun tak dapat berbuat lain daripada coba
menyelidiki," demikian kata It Hang.
Berjalan di padang pasir, ada baiknya juga jika mereka ada
berdua, sehingga tidak terlalu kesepian.
Ho Lok Hoa adalah seorang gadis remaja yang baru
berusia 17-18 tahun. Ini adalah buat pertama kalinya dia
mengunjungi daerah perbatasan dan hatinya penuh dengan
keheranan melihat pemandangan lautan pasir. Selainnya itu,
dia juga belum banyak pengalaman mengenai Kangouw dan
sering menanya ini atau itu kepada It Hang. Demikian, mereka
jalan sambil bercakap-cakap dan hari berlalu dengan cepat.
Cuma saja tiap kali Lok Hoa sebutkan Giok Lo Sat, It Hang
selalu tertawa dan tidak mau bicara.
317 Di tengah jalan, sering mereka ketemukan tapak onta dan
kuda, tapi tapak-tapak itu sangat samar karena ditutup lagi
dengan pasir yang berterbangan. Sesudah jalan kurang lebih
setengah bulan, tepi . daratan belum juga kelihatan, sehingga
Lok Hoa jadi tidak sabaran. Pada suatu magrib turun angin
dan awan kuning kelihatan naik ke atas.
"Malam ini rasanya bakal turun angin besar. Kita harus
pasang tenda dengan membelakangi angin," kata It Hang.
Benar saja malam itu turun angin besar. Tendanya It Hang
diikat dengan batu besar di empat penjuru, sedang sang onta
yang meringkuk di luar tenda merupakan tembok buat
menahan angin. Tapi meskipun begitu, tenda bergoyanggoyang
karena santernya angin. "Aku tak menduga angin di padang pasir begini hebat," kata
Lok Hoa. "Sekarang belum musim angin," kata It Hang sambil
tertawa. "Kalau sudah musim angin, bukit pasir bisa
berpindah-pindah. Manusia atau binatang yang mengandang
di tempat yang melawan angin bisa digulung ke tengah udara.
Selainnya onta, segala apa tak dapat menahannya. Angin ini
tidak seberapa besar. Rasanya tidak lama keadaan akan
menjadi reda." Benar saja. tidak lama angin meniup lebih perlahan.
Mendadak sang onta berbunyi keras. It Hang loncat keluar
dan lihat dua bayangan manusia muncul dari samping onta.
"Angin masih belum reda. Tuan-tuan kenapa tak mau masuk
ke dalam tenda." kata It Hang sambil mengacungkan
tangannya. Dua orang itu berdiri diam. Mereka mengenakan pakaian
orang Han. "Kuda kami roboh ditiup angin." kata satu di
antaranya sambil memberi hormat. "Binatang tersebut hampir
mati dan tidak dapat ditunggangi lagi. Terima kasih banyak
buat undangan siangkong (tuan)." Sehabis berkata begitu,
mereka ikut It Hang masuk ke dalam tenda.
It Hang tahu mereka mau mencuri onta, tapi mengingat
keadaannya, dia anggap mereka tidak boleh terlalu
disalahkan. Maka itu, bukan saja tidak membuka kedok orang,
dia malahan mengundang masuk.
318 Pada pinggang kedua orang itu tergantung golok dan
mukanya menyeramkan. Lok Hoa lirik It Hang dengan
perasaan kurang senang. "Hawanya dingin sekali. Coba kau tolong masak air," kata It
Hang kepada Lok Hoa sambil tertawa
Nona Ho segera nyalakan api, ambil teko tembaga dan
tuangkan air dari kantong. "Coba tolong bikin dapur. Tanpa
dapur bagaimana bisa masak air," kata Lok Hoa.
It Hang memandang ke sekeliling tenda. "Di sini tak ada
batu-batu kecil. Batu besar yang dipakai tindih tenda tidak
dapat digunakan. Bagaimana ya?"
"Siangkong tak usah repot. Kami sudah biasa hidup di
padang pasir, badan kami dapat menahan hawa yang dingin,"
kata kedua orang itu. "Tak apa. Coba lihat dulu, mungkin ada jalan." jawab It
Hang sambil mengawasi lagi seputar tenda. "Ada jalan,"
katanya. "Coba kita coba-coba." Sehabis berkata begitu, dia
ambil satu batu besar yang dipakai menindih tenda.
Diam-diam dia kerahkan tenaga dalamnya dan sambil
berseru: "terbuka!" dia tepuk batu itu dengan kedua
tangannya. Dan batu itu terbelah empat! "Nah, sekarang bisa
masak air!" katanya sambil bikin dapur. Dua orang mengawasi
dengan mulut melompong dan tak berani berkata apa-apa.
It Hang keluarkan kepandaiannya buat menjaga kalaukalau
orang itu berniat kurang baik. Sesudah itu, seperti tidak
terjadi apa-apa, dia pasang omong dengan mereka. Tak lama
air berdidih dan angin pun sudah berhenti. Sehabis minum,
mereka lantas pamitan sambil haturkan terima kasih. It Hang
coba menahan. "Kami sudah biasa jalan di padang pasir," kata satu
antaranya. "Sekarang bukan musim angin. Sesudah angin ini
lewat, rasanya 4-5 hari lagi tidak akan turun angin. Jalan
waktu siang atau malam sama saja, dan juga melihat
siangkong membawa isteri, kami tidak pantas mengganggu
terlalu lama." Mukanya Lok Hoa jadi merah.
Kisah Si Pedang Kilat 8 Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Harimau Mendekam Naga Sembunyi 10
^