Pencarian

Hantu Wanita Berambut Putih 5

Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 5


negeri. Cuma It Hang adalah yang membuat Seng Houw raguragu.
Orang she To ini, ia tahu, adalah ketua dari Boetong pay
dan dengan pihak Boetong pay, tidak ingin ia menanam bibit
permusuhan. Maka yang sulit sekarang, It Hang itu adalah
sahabatnya Tjiauw Hie. Perkelahian telah berhenti dalam sekejap, kedua pihak
lantas mengawasi tentara negeri itu, Segera juga Lian Seng
Houw teriaki orang-orangnya: "Di sana ada To Kongtjoe,
sahabat baik dari aku, aku larang siapa juga melukai padanya!
Yang mesti dibekuk adalah ketiga penjahat itu! " To Kongtjoe,"
ia teruskan kepada It Hang, "silakan kau undurkan diri dari
tempat berbahaya ini, lekas kau pergi!"
It Hang sebaliknya menjadi gusar, tanpa bilang suatu apa
lagi, ia lompat menerjang dengan tipu pedangnya "Kiamkiap
hongloei" atau "Pedang yang merangkap badai dan guntur".
Inilah tidak disangka Lian Seng Houw, maka Lian
Tjongkoan menjadi kaget sekali, hampir saja ia tidak keburu
berkelit, hampir jeriji tangannya kutung tertabas. Tentu sekali,
ia menjadi gusar. "Kau tidak sudi dengar nasihat baik, pada akhirnya kau
akan menyesal!" ia berseru dengan mendongkolnya. Lalu ia
gerakkan sepasang gaetannya, untuk mencantel pedang
orang. Berbareng dengan itu Kim Tjian Giam kepalai rombongan
pahlawan untuk mulai menyerbu kedua saudara Sien dan Ong
Tjiauw Hie. "Bagaimana dengan kita?" teriak Tay Goan, kepada Tjiauw
Hie. Ia ada sangat mendongkol.
"Mari kita berlayar bersama!" sambut Tjiauw Hie, yang
terus gunakan pedangnya untuk menyambut Tjian Giam.
Kedua saudara Sien perdengarkan tertawa mereka yang
aneh, lantas mereka maju menyerang. Dengan gerakan yang
luar biasa itu, segera juga mereka dapat merobohkan dua
lawan. Akan tetapi, di antara pahlawan-pahlawan itu ada yang
benar-benar berarti kepandaiannya, dengan mainkan
216 gegaman mereka, mereka membuatnya perlawanan dengan
dahsyat, hingga ke empat orang itu sudah lantas kena
dikurung. Lian Seng Houw gagah sekali, bila It Hang tidak peroleh
kemajuan, pasti sekali ia tidak bakal sanggup melayaninya,
walaupun demikian, ia masih terdesak, hingga sulit untuknya
melakukan serangan membalas, ia lebih banyak membela diri
saja. Syukur untuknya. Seng Houw tetap mengarah Ong
Tjiauw Hie, maka meski orang layani dia, orang masih selalu
gunakan kesempatannya akan serang Tjiauw Hie.
Orang she Ong itu membuat perlawanan yang gigih,
dengan It Hang tetap di dampingnya, berdua mereka
membuat Seng Houw tidak dapat berbuat banyak.
Perkelahian berjalan terus sampai fajar. Karena mesti
berkelahi secara hebat, orang she Sien ini terganggu lukanya,
hingga karenanya, berkuranglah
kegesitannya, malah tertampak keletihannya.
Lian Seng Houw bermata sangat awas, ia segera tampak
kelemahannya lawan itu, maka tanpa mensia-siakan ketika
lagi, ia berseru: "Bereskan dahulu itu satu bangsat!" Lalu
dengan tinggalkan It Hang dan Tjiauw Hie, ia lompat pada Tay
Goan, guna menyambar batang lehernya dengan gaetannya
yang liehay. Sien Tay Goan menjadi sangat gusar, melihat serangan itu,
yang baginya merupakan satu ancaman hebat, dia berseru,
dia hendak mendahului. Dia tidak mundur atau berkelit,
sebaliknya, dia merangsak. Ketika tubuhnya bergerak,
dibarengi dengan gerakkan tangan kanannya, segeralah
terdengar satu suara keras.
Hebat serangannya kedua jago ini, sama-sama mereka
mengenai sasaran mereka, sama-sama mereka tak sempat
berkelit. Serangan mereka telah datang saling susul, dengan
berbareng. Dua tulang pundaknya Seng Houw terpatah
karena kepalan Tay Goan. sebaliknya, dagingnya Tay Goan
terluka parah terkena gaetan Seng Houw.
Tjiauw Hie terperanjat, dia lompat menerjang, dengan
tindakannya ini, ia hindarkan Tay Goan dari bencana terlebih
jauh. 217 Hebat keadaannya Tay Goan, karena lukanya bekas
pedang dan gaetan itu. Sebenarnya, di antara mereka
berempat, ialah yang paling tangguh, tetapi sekarang, ia yang
menjadi paling lemah, hingga ia mesti dilindungi tiga
kawannya. Karena ini, pihak Lian Seng Houw jadi menang di
atas angin. Pertempuran masih berlanjut, hingga sinar fajar mulai
menyingsing. Dalam keadaan kalut dan riuh itu. karena pelbagai alat
senjata senantiasa bentrok satu pada lain, dengan mendadak
terdengar seman panjang dan keras, datangnya dari
kejauhan, lalu makin lama makin tegas, hingga semua orang
dapat mendengarnya nyata sekali.
Tjiauw Hie dan It Hang segera menjadi girang.
"Tiat Lootjianpwee datang!" keduanya berseru dengan
berbareng. "Sien Lotoa, jangan kuatir!" kemudian Tjiauw Hie serukan
orang she Sien itu. "Yang datang itu adalah Tiat Hoei Liong,
jago dari Barat utara! Kita akan segera terlepas dari
kurungan!" Tjiauw Hie mengatakan demikian tanpa ia mengetahui
antara Hoei Liong dan dua saudara itu ada sangkutan dan dua
saudara itu pernah dikalahkan oleh jago dari Barat utara itu.
Seng Houw sebaliknya kaget mendengar seruan panjang
itu. "Lekas bereskan empat bangsat cilik ini!" dia berteriak.
"Habis itu kita mesti layani itu bangsat tua!"
Lalu ia mulai menyerang pula dengan seru. Sama sekali ia
tidak hiraukan dua tulang pundaknya yang telah terpatah, ia
tetap berlaku gagah dan telengas.
Kim Tjian Giam gunakan kepandaiannya yaitu tangan
Imhong Toksee tjiang yang liehay melayani tangan Yaho
tjiang, "Rase Liar", dari dua saudara Sien itu. Kepandaian
mereka satu sama lain bersamaan, yaitu ilmu silat "luar", maka
itu, mereka sama imbangannya. Tapi orang she Kim ini insaf
akan keadaan, ia taati anjurannya Seng Houw, maka itu ia
segera desak hebat pada It Goan.
218 Makin dekatnya seruan Hoei Liong itu, membuat kedua
saudara Sien berpikir dengan keras. Nyata mereka berpikir
serupa. Mereka pikir: "Selagi menghadapi bencana pasti
sekali Tjiauw Hie suka bersama kita melawan musuh, akan
tetapi bila nanti bahaya sudah lewat, apa akan mereka pikir"
Jikalau dia berserikat dengan Tiat Hoei Liong maka celakalah
kita..." Lantas mereka ambil sikapnya satu siauwdjin, satu pada
lain mereka saling melirik dan mengedipkan mata. Di saat
yang berbahaya itu, mendadak mereka bekerja masingmasing,
mereka turun tangan dengan berbareng: Tay Goan
samber Tjiauw Hie, It Goan cekuk It Hang, lantas mereka
sama-sama berseru: "Kami membantu kamu! Lekas
tangkap orangmu!" Kejadian ada demikian mendadak, hingga Lian Seng Houw
terperanjat karenanya. Ia heran sekali.
"Bagus!" dia berseru. Sien Tay Goan maju dua tindak,
untuk mendekati Kim Tjian Giam.
Orang she Kim ini menyangka kedua saudara itu
mengkhianati kawannya untuk mendapat muka. ia anggap
mereka sebagai orang-orangnya sendiri, ia tidak bersiap
sedia. Ia hanya bersedia menyambut orang tawanan. Akan
tetapi Sien Tay Goan, begitu lekas dia datang dekat, dengan
sekonyong-konyong dia berseru keras, sebelah tangannya
menyambar pundak musuh, setelah mana, dia angkat tubuh
orang itu, untuk diputar, guna dipakai sebagai senjata. Dia
tertawa pula dan berkata dengan nyaring: "Aku tidak pedulikan
siapa juga! Saudaraku, lekas!" Dan terus ia menerjang keluar!
Kejadian ada sangat luar biasa, cepatnya bukan kepalang.
Semua boesoe menjadi kaget dan heran, tentu saja, mereka
terpaksa mesti mundur, guna membuka jalan. Tidak berani
mereka memegat atau menyerang, sebab itu artinya mereka
akan mencelakai kawan sendiri.
Lian Seng Houw besar nyalinya, dengan lekas ia dapatkan
kembali ketabahannya. Akan tetapi, sudah kasip untuknya.
Kedua saudara Sien itu, yang bekerja sebat dan pesat, sudah
menyerbu dan lolos hingga keluar kuil. Tentu sekali, ia jadi
sangat mendongkol dan gusar. Maka sekarang ia serang pula
219 It Hang dan Tjiauw Hie, yang telah dilepaskan oleh kedua
saudara Sien itu, hingga mereka mendapat kemerdekaan
pula. Kedua pemuda she To dan Ong ini telah terluka
karena bokongannya dua saudara Sien itu. yang mereka tidak
sangka begitu pandai memainkan peran, mereka pun baru
saja dimerdekakan, maka itu mereka kaget untuk ancaman
sepasang gaetan dari tjongkoan itu. Mereka tahu. tidak ada
daya lagi untuk mereka. Akan tetapi tak sudi It Hang terima
bahaya dengan diam saja, ia masih mencoba, dengan
sekonyong-konyong tubuhnya terhuyung, selagi ia hendak
jatuh, pedangnya dilonjorkan ke depan. Kelihatannya ia tidak
bersilat sebagaimana mestinya. Tapi gerakannya ini justeru
membuat Seng Houw menyerang sasaran kosong, hingga di
luar dugaannya, bahu kirinya kena tertikam pedang sampai
kepada tulangnya. "Aduh!" dia berteriak dengan hebat, terus saja ia mundur,
sakitnya bukan kepalang. Tentu saja, lengan kirinya turun
dengan sendirinya. Tidak pernah ia menyangka sedikit juga
atas serangan itu. It Hang di lain pihak menggunakan salah satu jurus warisan
dari Tat Mo Tjouwsoe. Lain-lain tetua dari Boetong pay tidak
pernah melatih diri dengan tipu silat pedang itu, sebab mereka
lihat, gerakan tanpa junterungannya, tak mau mereka
menggunakannya, mereka malah tidak memikirnya.
Tapi It Hang, yang telah melatih itu. telah berpikir untuk
mencobanya, dan sekarang tibalah saatnya. Nyata ia telah
berhasil, hasilnya pun luar biasa!
Setelah mendapat hasil ini, semangatnya It Hang jadi
terempos, seolah-olah ia mendapat tenaga baru. lalu ia
menyerang lebih jauh, secara bertubi-tubi, ke timur dan ke
barat, ke selatan dan utara, hingga ia dapat melukai lagi
beberapa lawan. Seng Houw kaget, berbareng gusar, karenanya ia menjadi
dapat hati. Ia maju pula, tangan kirinya pun dipaksa digunakan
lagi, kali ini lebih banyak untuk melindungi diri.
220 Kembali It Hang kena terdesak, ia mesti main mundur.
Maka bersama Tjiauw Hie, kedudukannya kembali menjadi
buruk. Di luar pintu terdengar pula suaranya Tiat Hoei Liong. It
Hang girang tak terhingga, kembali ia berkelahi keras. Ia
percaya Hoei Liong akan segera sampai. Tapi dugaannya
meleset. Dengan tiba-tiba, seruan panjang itu berhenti, dan
Hoei Liong tak tampak muncul! Ia menjadi kaget pula!
Dalam kalutnya pertempuran itu, akhirnya pinggang It Hang
kena satu sasaran golok, saking sakitnya, ia sampai berteriak.
Tapi ia telah menjadi nekat, ia tetap melawan.
"Tiat Looenghiong. kenapa kau masih belum datang juga?"
teriak Ong Tjiauw Hie. yang tampak suasana makin buruk. Ia
bergelisah karena orang tidak juga kunjung tiba.
Hoei Liong ada seorang yang berpengalaman, yang cerdik.
Setelah dengar dari Pek Bin halnya Ong Tjiauw Hie dan ia
menanti dengan sia-sia datangnya orang she Ong itu, ia
menduga kepada kejadian yang di luar dugaan, maka itu
dengan mengajak Pek Bin dan Peng Teng. dengan
menunggang kuda. mereka lakukan perjalanan cepat. Setelah
satu hari satu malam, tibalah mereka di Tiongtiauw san.
Begitu lekas jago tua itu lihat belasan ekor kuda sedang
mencari makan sendiri di tanah pegunungan itu, ia lantas
turun dari kudanya, untuk mendekam di tanah, guna
memasang kuping. Dengan samar-samar ia dengar suara
pertempuran, maka ia jadi heran dan bercuriga. Akhirnya, ia
kata pada Pek Bin: "Tjiauw Hie sedang diganggu musuh, kita
sampai pada waktunya yang tepat."
Lantas setelah itu, ia perdengarkan seruannya yang
nyaring dan panjang, guna memberi tanda kepada Ong Tjiauw
Hie. supaya Tjiauw Hie mendapat tahu dan bertambah
semangatnya. Sesudah itu Hoei Liong ajak Peng Teng dan Pek Bin turun
dari kuda mereka, guna merayap naik ke atas, hingga mereka
tampak kuil dari mana terdengar beradunya pelbagai senjata.
"Heran!" kata Pek Bin sambil tertawa. "Untuk berkelahi,
orang mesti cari tempat di luar, yang lebar dan luas, kenapa
221 orang justeru pilih di dalam kuil" Apakah orang hendak
membuatnya malaikatmalaikat kaget?"
Kek Peng Teng tertawa geli karena ketololan orang itu.
"Eh. Nona Kek. apakah aku bicara salah?" tanya si polos
tolol itu. Justeru itu. selagi mereka mendekati kuil, dua orang
kelihatan lari keluar dari kuil itu. disusul dengan bentakannya
Tiat Hoei Liong: "Tahan!"
Nyata kedua orang itu adalah dua saudara Sien. makhlukmakhluk
luar biasa itu, dan di pundaknya Sien Tay Goan ada
tergemblok tubuhnya Kim Tjian Giam. keponakannya Kim Tok
Ek. Tentu saja. mengenali mereka, jago dari Barat utara itu
menjadi heran. "Apakah Ong Tjiauw Hie ada di dalam?" ia tanya mereka.
"Ong Tjiauw Hie?" jawab Tay Goan. "Aku tidak tahu! Kita
singgah di kuil malaikat gunung ini untuk melindungi diri dari
salju, kita kena dibayhok kepala dari Tongtjiang serta belasan
pahlawan-pahlawannya Tan Kie Djie, setelah dapat menawan
binatang ini, berhasil kita meloloskan diri. Tiat Loo, sekarang
ini kita sedang lelah dan habis tenaga, umpama kata kau
hendak menawannya, guna serahkan kita untuk memperoleh
jasa, inilah saatnya..."


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ngaco belo!" bentak Hoei Liong. "Apakah kamu kira aku
ada orang demikian hina dina" Siapa lagi yang masih ada di
dalam kuil?" dia tanya. "Kenapa hamba-hamba negeri itu tidak
memburu keluar untuk membekuk kamu?"
Tay Goan tertawa. "Orang tua she Tiat. apakah kau sangka kami bersaudara
ada orang-orang biasa saja?" dia mengatakannya. "Walaupun
kita terluka tetapi kita masih dapat melukai belasan di antara
mereka itu! Mereka sekarang sedang repot menolongi kawankawan
mereka. Kim Tjian Giam ini, dapat kita tawan! Mana
mereka berani kejar kita?"
Hoei Liong lihat orang bertindak pincang, kaki mereka pun
berdarah-darah, sedang Kim Tjian Giam ada di tangan
mereka, ia suka percaya mereka itu. Memang ia tahu, dua
saudara itu liehay ilmu silatnya, mungkin mereka tidak
mendusta. 222 "Karena tidak ada Ong Tjiauw Hie di dalam kuil. buat apa
aku bentrok dengan hamba-hamba negeri yang sedang
terluka itu?" kemudian ia berpikir.
Karena ini, ia jadi bersangsi. "Orang tua she Tiat," berkata
pula Tay Goan yang menampak orang berdiam.
"Karena kau tak ingin membekuk kita untuk meminta jasa.
nah. maafkan saja, kita hendak pergi!"
"Jikalau kamu hendak pergi.
pergilah, untuk apa kamu ngoceh saja!" bentak jago tua itu.
Dua saudara Sien ini lantas buka tindakan mereka, untuk
lari turun gunung. "Eh, tunggu dulu!" sekonyong-konyong Hoei Liong berseru.
"Apa?" Tay Goan tegaskan. "Apakah kau ubah pikiranmu?"
"Serahkan Kim Tjian Giam padaku!" kata Hoei Liong
Tanpa bilang suatu apa, Sien Tay Goan lemparkan
tubuhnya Tjian Giam ke arah Hoei Liong, siapa
menyambutnya dengan cekatannya. Selagi dilemparkan, Tjian Giam telah
perdengarkan jeritan hebat, sesampainya di tangan jago tua
dari Barat utara itu, dia bungkam, tubuhnya tak bergeming.
Ketika Hoei Liong turunkan tubuh orang itu, untuk diperiksa, ia
dapatkan tenggorokan orang she Kim itu telah terluka bekas
cekekan hebat dari si orang she Sien. yang tenaga tangannya
besar luar biasa. "Binatang ini ada pembunuhnya Tjeng Kian Toodjin," kata
Hoei Liong, "la pun bertanggung jawab dalam hal mencelakai
anakku perempuan, maka itu, kematiannya tak usah
disayangi! Biarlah dia jadi umpannya srigala!"
Dan ia ayunkan tangannya, melontarkan tubuh Tjian Giam
ke dalam lembah! Tiba-tiba jago tua ini curiga.
"Kenapa Tay Goan serahkan padaku setelah dia menjadi
mayat?" demikian pikirnya. Sebagai seorang berpengalaman,
ia mempunyakan kecerdikan, otaknya hidup. Ia pun kenal baik
adatnya orang-orang kangouw serta segala akal muslihat atau
sepak terjangnya kaum Hektoo. Jalan Hitam. Maka mendadak
ia ingat. Urusan apa dari Tay Goan itu yang dia tak ingin aku
mengetahuinya"..."
223 Belum sempat jago tua ini berpikir lebih jauh, dari dalam
kuil di mana terus terdengar suara berisik terdengar satu
jeritan hebat disusul dengan teriakannya Ong Tjiauvv Hie
memanggil namanya sendiri. Dia menjadi terkejut sekali.
"Celaka, aku dipedayakan!" dia berseru. "Sien Tay Goan
sudah gunakan akal muslihatnya! Di sini dia libat aku, guna
membunuh orang dengan pinjam tangan lain orang -- supaya
hamba-hamba negeri dapat ketika membinasakan Tjiauw
Hie!..." Tentu saja ia menjadi sangat gusar. Tak sempat ia urus
lebih jauh kedua saudara Sien itu. sambil berseru keras, ia
lompat, untuk lari naik terus, menuju kuil. Dengan cepat ia
telah sampai, di mana ia tampak Lian Seng Houvv tengah
desak Tjiauw Hie dengan sepasang gaetannya untuk
membikin habis riwayat hidupnya si orang she Ong! Murka
Tiat Hoei Liong menyaksikan pemandangan itu. sambil
membelalakan mata dan berseru, ia lompat maju. akan terjang
satu pahlawan yang mengandang di hadapannya. Ia cekuk
pahlawan itu. yang ia terus lemparkan ke arah Lian Seng
Houw! Kepala Tongtjiang itu berkelit sambil menangkis, maka
tepat sepasang gaetannya mengenai pahlawan itu!
Ong Tjiauw Hie mendapat ketika, sambil bernapas lega, ia
tikam lawannya itu, hingga silawan menjadi repot, berbareng
dengan itu, To It Hang juga mendapat semangat, ketika ia
menerjang dengan hebat, dengan beruntun ia telah lukai tiga
pahlawan yang mengepung padanya.
"It Hang, kau pun di sini?" teriak Hoei Liong dengan
pertanyaannya. Belum lagi jago tua ini peroleh penyahutan atau ia telah
diserang Lian Seng Houw. yang menjadi gusar karena ia
diganggu dan dirintangi, sambil berlompat maju, ia menyerang
dengan gaetannya yang liehay itu. Karena lengan kirinya telah
terluka. gaetan kirinya itu tidak sehebat gaetan kanan.
Hoei Liong tidak jeri terhadap gaetan lawan itu. dengan
berani ia menyambutnya, untuk menangkis. Tentu saja ia
menangkis demikian rupa hingga ia tidak hadapi bagian tajam
dari gaetan itu -- siangkauw.
224 Seng Houw tidak menyangka ketangguhan musuh, ia kaget
setelah senjatanya bentrok dengan tangan musuh. Karena
lemahnya tangan kirinya, gaetan di tangan itu mencelat dalam
sekejap, terlepas dari cekalannya mencelat ke atas, nancap di
atas rumah. Ia menjadi kaget, ia menjadi jeri sendirinya. Maka
tanpa ayal lagi, ia. lompat keluar kalangan.
Hoei Liong tidak mau mengerti, ia lompat mengejar.
Pek Bin dan Peng Teng tengah maju, kebetulan sekali,
mereka menghalangi Seng Houw. Ia terkejut, hendak ia
membela diri, maka dengan sebelah gaetannya, ia
mendahulukan menyerang. Pek Bin memegang ruyung. ruyung itu kena tertangkis,
sedang pedangnya si nona kena tersampok mental, hingga
mereka tidak dapat merintangi lolosnya orang itu. Celakanya,
mereka minggir justeru ke jalannya Hoei Liong, hingga jago itu
kena terhalang. Karena itu, Seng Houw dapat meloloskan diri,
terus saja dia kabur keluar kuil, dia lari sekuat-kuatnya.
"Oh, Engko Ong, kau terluka?" seru Pek Bin apabila ia lihat
Tjiauw Hie. Masih ia rampas goloknya satu boesoe dengan apa ia
menyerang kalang kabutan.
Kawanan pahlawan itu juga sudah lantas angkat kaki begitu
mereka tampak pemimpin mereka telah angkat kaki, mereka
kabur bersama setelah satu di antaranya berseru sebagai
tanda. "Jangan sembarangan bunuh orang!" Peng Teng
mencegah. Nona ini anggap pembasmian tidak ada perlunya.
Pek Bin dengar kata, ia berhenti dengan segera.
Maka dalam sekejap saja, kuil itu telah kosong dari
kawanan pahlawan itu. Hoei Liong segera dekati Tjiauw Hie dan To It Hang, untuk
periksa luka orang. "Semua adalah korban tangan liehay dari dua saudara
Sien," katanya yang segera kenali luka-luka itu.
"Benar," It Hang beritahu. "Mereka itu telengas!" kata Hoei
Liong dengan sengit. "Mereka itu tidak sudi menakluk pada pembesar negeri,
mereka dapat dikatakan masih mempunyai semangat." kata
225 Tjiauw Hie. "Cuma mereka ada orang-orang yang licik sekali.
Jikalau mereka diantap berada di dampingnya Thio Hian
Tiong, akhirnya mereka akan merupakan satu bahaya
besar..." Tjiauw Hie segera beber sepak terjang mereka.
"Nanti, setelah bertemu dengan Thio Hian Tiong, akan aku
beber keburukan mereka berdua," Hoei Liong berjanji.
Tjiauw Hie dan' It Hang tidak terluka parah, mereka cuma
lelah akibat bertempur terlalu lama, maka itu, setelab jago tua
she Tiat itu beri mereka obat, mereka dititahkan beristirahat
dengan jalan duduk bersemedhi, supaya kesegaran mereka
dapat pulih kembali. Peng Teng awasi It Hang, dengan diam-diam ia tanya Pek
Bin: "Adakah anak sekolah yang muda dan bermuka putih itu
It Hang adanya?" Ia pun menunjuk. "Benar," sahut orang yang
ditanya. "Kau belum tahu" Ia adalah sahabatku."
"Oh, kau punyakan sahabat semacam dia?" kata Peng
Teng, suaranya lain. Pek Bin dengar suara orang yang beda, ia menyangka
Peng Teng tidak memperhatikan.
"Apakah jeleknya?" tanya dia, kurang puas.
"Sst!" Hoei Liong cegah orang bersuara keras, karena
kedua pemuda itu tengah bersemedhi-
"Jikalau dia seorang yang baik hati, kenapa dia
menyebabkan entjie Lian sakit hati?" tanya Peng Teng.
Pek Bin melongo. Ia memang tak tahu lelakon asmara itu.
"Entjie Lian yang mana!" ia tegaskan. Ia pun tak ketahui
shenya Giok Lo Sat. "Giok Lo Sat!" si nona jelaskan. Pek Bin tahu siapa Giok Lo
Sat. Terhadap nona itu ia tidak bersimpati tetapi juga tidak
jemu. "Apakah hantu iblis itu bisa bersusah hati?" dia tanya.
"Percuma kau menjadi orang Rimba Hijau!" Nona Kek
menegur. "Kenapa kau menyebutnya dia iblis wanita" Dia itu
melainkan membenci kejahatan dan
karena tabiatnya, dia biasa melakukan segala apa menurut
kehendak hatinya sendiri!"
226 "Baiklah, anggap saja aku keliru," Pek Bin segera perbaiki
diri, "dia bukannya iblis wanita. Dia bersusah hati, itu tentunya
bukan disebabkan urusan sangat besar..."
"Hai, orang tolol kau!" kata Peng Teng mendelu. "Sekarang
aku tanya kau: Umpama kata kau membuatnya aku berduka,
kau masih terhitung orang baik atau bukan?"
Pek Bin berpikir sebelumnya dia menjawab.
"Kau pernah tolong aku," jawabnya kemudian, "kau juga
perlakukan aku baik sekali, umpama kata aku menyebabkan
kau berduka, aku adalah seekor kura-kura!"
Mau atau tidak, Peng Teng tertawa geli.
"Baiklah," katanya. "Apakah sekarang kau masih tidak
mengerti?" Mereka bicara perlahan setelah tegurannya Tiat Hoei
Liong, akan tetapi It Hang yang sedang beristirahat, ia tengah
bersemedhi, pendengarannya terang sekali, dari itu, ia dapat
dengar kata-kata orang itu, dengan sendirinya wajahnya
berubah menjadi pucat dan merah sendirinya, ia merasa
sangat masgul. Maka, tanpa tunggu sampai ia telah
beristirahat cukup, dengan tiba-tiba ia lompat bangun.
Pek Bin terkejut, ia menyangka orang keliru mengerti.
"Engko To." katanya lekas, "aku cuma bilang, andaikata
aku membuatnya Nona Kek bersusah hati. aku adalah kurakura,
aku bukan maksudkan kau, aku harap kau tidak menjadi
gusar..." It Hang tidak pedulikan orang tolol ini, ia hanya hampirkan
Peng Teng di hadapan siapa ia menjura.
"Nona, tepat teguranmu," katanya, suaranya agak parau.
Setelah itu, ia pun hampirkan Hoei Liong, untuk menjura pula
dengan dalam, hingga hampir berlutut.
"Mana entjie Lian," dia tanya. "Kenapa entjie Lian tidak
datang bersama" Apakah dia bukannya di rumah
looenghiong?" Jago tua itu bersikap tawar. "Dia pernah datang padaku!..."
sahutnya dengan dingin. "Di manakah dia sekarang?" It Hang tanya dengan cepat.
"Sudah pergi." Hoei Liong menjawab dengan pendek.
"Ke mana perginya?" desak It Hang.
227 "Tak tahu," jawab Hoei Liong. "Kau tentunya tahu ke mana
dia pergi. Jika benar kau tak tahu, dalam dunia ini tak ada lain
orang yang mengetahuinya.
Dalam penirisan ini. jika aku tidak dapat bertemu muka lagi
dengan dia, aku akan mati dengan mata tidak meram,"
berkata It Hang dengan suara sedih.
Hoei Liong tidak menyahuti. Dia angkat kepalanya dan
matanya memandang ke langit yang lebar, dengan awanawannya
yang beraneka warna dan sinar matahari yang
gilang gemilang. "Dia berada di tepi langit," kata Kek Peng Teng dengan
suara mendongkol. "Biarpun dia berada di tepi langit, aku toh akan menyusul
juga," kata It Hang.
Hoei Liong kerutkan alisnya dan sesudah berpikir sesaat,
dia berkata: "Meskipun dia bukannya berada di tepi langit, tapi
boleh dibilang dia berada di situ. Aku duga, dia mungkin pergi
ke gunung Thiansan. Jika kau ingin mencari dia, kau harus
lakoni kesengsaraan padang pasir, topan dan hawa dingin.
Apakah kau, sebagai satu kongtjoe yang biasa hidup senang,
dapat menahan kesengsaraan itu?" "Jangan pula padang
pasir, angin dan hawa dingin, biarpun masuk dalam air atau
terjang lautan api, aku toh akan pergi juga," sahut It Hang
dengan suara tetap. "Panjangnya Thiansan ada 3000 li lebih. Kurasa kau belum
tentu dapat cari dia," berkata Tiat Hoei Liong.
"Lian Tjitji juga belum tentu mau menemui kau!" Peng Teng
menyelak. Mendengar kata-kata demikian, hatinya It Hang seolah-olah
ditusuk dan air matanya meleleh di kedua pipinya." "Biarpun ia
tak sudi menemui aku, aku toh akan menemui padanya. Kalau
sampai aku tidak juga dapat mencari padanya, hatiku toh akan
terhibur juga karena bisa berada di tempat yang berdekatan
dengannya." berkata It Hang dengan suara pilu.
Mendengar begitu, Tiat Hoei Liong jadi merasa kasihan
pada pemuda itu. "Jika kau begitu sungguh-sungguh, nah, kau
pergilah!" katanya. 228 "Tapi sekarang rambutnya sudah putih," menyelak lagi Kek


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Peng Teng. "Dia sekarang bukan lagi Lian Nie Siang yang
dahulu. Meskipun bertemu, kau akan merasa kecewa."
"Apa?" tanya It Hang dengan suara kaget. "Ah", dia
sambung, "rambutnya jadi putih tentu juga lantaran
kesengsaraan hati gara-garaku."
"Baguslah, jika kau tahu," sahut Peng Teng dengan suara
ketus. Saat itu. hatinya It Hang seperti diiris-iris. "Jangan kata
cuma rambutnya putih," katanya dengan suara pilu. biarpun
dia sudah jadi nenek yang kulitnya keriput, hatiku tak akan
berubah. Laut bisa jadi kering, batu bisa jadi hancur,
kecintaanku tak akan berubah. Langit dan bumi jadi saksinya."
"Kata-kata itu baiklah kau simpan dan keluarkan nanti di
hadapan Entjie Lian," Kek Peng Teng menggerutu lagi.
Mendengar begitu. Hoei Liong tidak sampai hati. Ia uruturut
kumisnya dan berkata sambil mesem. "Sudahlah. Peng
Teng, jangan ganggu terus padanya. Jika seseorang
bersungguh-sungguh, segala apa bisa kejadian. Sesudah
lukamu sembuh, kau boleh pergi."
"Lukaku sudah sembuh," berkata It Hang.
"Saudara To, apakah kau mau berangkat sekarang juga?"
tanya Ong Tjiauw Hie seraya loncat bangun, sesudah selesai
bersemedhi. "Ya, sekarang juga." "Soal cinta memang juga penting,
akan tetapi, soal negara pun harus diperhatikan. Maka itu, aku
harap kau akan balik kemari, andaikata kau tidak dapat
mencari padanya," berkata Tjiauw Hie. "Soal negara, ada
kalian yang mengurusnya, dan aku, tak usah kuatirkan. Jika
aku tak dapat mencari padanya, aku akan menetap di
Thiansan. Mungkin kita tidak akan bertemu muka lagi. Aku
doakan kalian berhasil dalam usaha menegakkan negara.
Nanti, jika berita bagus itu sampai padaku, dari kejauhan, dari
Thiansan aku akan memberi selamat kepada kalian." "Di
Sinkiang kau pun dapat menolong sesama manusia.
Pribumi di situ adalah sangat polos.
Mungkin mereka ada gunanya di kemudian hari," berkata
Hoei Liong. 229 "Pekerjaan menolong sesama manusia memang adalah
kewajiban kita. Pesan Lootjianpwee ini tidak akan kulupakan,"
kata To It Hang. Sesudah mengucap demikian, It Hang segera ambil
selamat berpisah dari Tiat Hoei Liong dan Ong Tjiauw Hie. >
Dengan mata mendelong dan kepala digeleng-gelengkan,
Ong Tjiauw Hie awasi sahabat itu yang semakin lama semakin
jauh. dan tidak lama kemudian lenyaplah dari pandangannya.
Sekarang marilah kita balik melihat Gak Beng Kie, yang
setelah meninggalnya Tiat San Ho. dengan patah hati pergi ke
Thiansan buat menyingkir dari segala keduniawian.
Begitu tiba di gunung itu, Beng Kie segera mencukur
rambutnya dan menukar namanya menjadi Hoei Beng
Siansoe. Waktu berlalu laksana kilat, dengan tidak terasa 4 tahun
telah lewat. Pada tahun kedua, setibanya dia di Thiansan, Lo
Tiat Pie datang berkunjung dengan membawa Yo In Tjong,
dengan memberitahukan bahwa Giok Lo Sat-lah yang
menyuruhnya dengan permintaan agar Hoei Beng sudi terima
anak itu sebagai muridnya.
"Ah, dia itu benar rewel. Bisa jadi dia kasih aku kerjaan!"
katanya. Akan tetapi, meskipun mulutnya berkata begitu,
hatinya merasa sangat girang, oleh karena In Tjong bukan
saja mempunyai paras muka yang tidak sembarangan, tetapi
ia juga ada turanannya satu menteri setia. Maka itu tanpa
banyak rewel, ia segera lakukan upacara menerima murid.
Mulai saat itu, di samping meyakinkan terus ilmu pedang,
setiap hari Hoei Beng didik muridnya. Waktu naik gunung, In
Tjong baru berusia 7 tahun. Pertama-tama Hoei Beng latih dia
dengan dasar-dasar ilmu silat yang sederhana, dan oleh
karena anak itu memang mempunyai bakat baik, maka baru
saja lewat tiga tahun, dia sudah memiliki dasar yang kuat dan
sudah dapat memburu binatang-binatang alas, seperti
harimau dll. Melihat kemajuan muridnya yang sangat pesat itu,
hatinya Hoei Beng jadi girang sekali.
Demikianlah dengan sepenuh hati Hoei Beng didik
muridnya. Dia jarang sekali turun gunung, sehingga sedikit
sekali mengetahui keadaan dunia luar. Kadang-kadang, pada
230 malam-malam terang bulan, dia melatih diri dengan
pedangnya. Pada malam-malam yang sunyi itu, ia selalu ingat
kepada kematian yang menyedihkan dari Him Keng Liak dan
Tiat San Ho, sehingga, sering-sering ia menghela napas
panjang, sambil mengawasi sang puteri malam.
Pada waktu-waktu yang senggang, Hoei Beng mencari lima
macam logam istimewa keluaran pegunungan Thiansan.
Belakangan dengan menggunakan bahan-bahan itu, dia
memperbarui dua batang pedang peninggalan gurunya.
Pada tahun ketiga, beberapa orang kenamaan di daerah
Sinkiang telah datang berkunjung untuk menanyakan apakah
Hoei Beng mengetahui hal ikhwalnya seorang wanita luar
biasa, yang belum lama tiba di Thiansan.
Meskipun Hoei Beng mempunyai ilmu silat yang sangat
tinggi, tapi dia belum pernah berlaku sombong, sehingga,
sesudah berdiam beberapa tahun di Thiansan, dia sangat
dihormati orang. Oleh karena dia datang dari
Tionggoan dan juga karena dia mempunyai pemandangan
yang sangat luas, maka orang-orang gagah di daerah selatan
dan utara Thiansan selalu datang padanya, jika bertemu
dengan soal-soal yang sulit.
Menurut penuturan mereka, pada kira-kira setengah tahun
berselang, di Thiansan telah datang seorang wanita luar
biasa. Wanita itu putih rambutnya, tapi muda paras mukanya.
Dilihat dari rambutnya, dia seperti nenek tua, tapi dipandang
dari mukanya, dia laksana gadis yang baru berusia dua
puluhan. Berapa usianya, tak ada orang yang dapat menebak.
Yang membikin orang tercengang adalah ilmu silatnya.
Berapa dalamnya ilmu silat wanita itu, tidak ada orang yang
dapat jajaki. Baru saja tiba di Thiansan. dia sudah berhasil
mengusir "Sianke Samjauw" (Tiga Siluman she Sian) yang
tadinya malang melintang di wilayah selatan Thiansan.
"Sianke Samjauw" masing-masing mempunyai ilmu yang
istimewa. Siluman Pertama, Sian Kian namanya,
menggunakan Tjittjiat Tjoehoen Kiam (Pedang Pembunuh
Roh) yang sangat beracun. Racun itu berada di ujung pedang,
dan kalau orang tergores sedikit saja. dan mengeluarkan
darah, maka orang itu tidak akan dapat ditolong lagi jiwanya.
231 Siluman Kedua, Sian Houw, menggunakan palu Taylek
Kimkong. Dia ini terutama hebat ilmu luarnya (gwake), yang
sudah sampai pada puncak kesempurnaan. Sian Djin
(Siluman Ketiga) mempunyai ilmu pukulan Imyang Pekhong
Tjiang. Musuh yang kena dihantam dengan pukulan itu rusak
isi perutnya dan tidak bakal dapat hidup lama lagi. Oleh
karena keistimewaan itu, maka orang menjulukkan mereka
sebagai "Tiga Siluman".
Sudah lama mereka berkelana dan melakukan perbuatanperbuatan
jahat. Pada suatu hari, mereka bertemu dengan
seorang wanita rambut putih, yang tingkah lakunya luar biasa.
Mereka mencoba permainkan wanita itu, tapi sungguh tak
disangka, mereka sendirilah yang kena dibikin sungsang
sumbal dari hampir-hampir saja ketiga-tiganya tewas di bawah
pedangnya wanita itu. Mulai saat itu, "Samjauw" tidak berani
tancap kaki lagi di wilayah Thiansan dan mabur ke Tibet.
Demikian penuturan orang kepada Hoei Beng. Kejadian itu
hanyalah salah satu dari sepak terjangnya wanita rambut putih
yang luar biasa itu. "Sianke Samjauw" memang dikenal
sebagai orang-orang busuk, sehingga tindakan wanita rambut
putih sangat dibuat syukur. Akan tetapi, dia juga mempunyai
adat aneh. Jika orang, salah sedikit saja, dia lantas turun
tangan. Di samping itu, dia juga suka sekali cari orang-orang
yang ternama pandai silat untuk diajak mengadu kepandaian.
Tapi sebegitu jauh, semua orang sudah digulingkan dalam
beberapa gebrakan saja. Dan jika sang lawan sudah roboh,
kadang-kadang dia pergi sambil tertawa nyaring dan kadangkadang
dia menghela napas panjang, sambil mendongakkan
kepalanya dan menggerutu karena tidak dapat menemui
tandingan yang setimpal. Itulah sebabnya maka orang-orang ternama di daerah
selatan dan utara Thiansan rata-rata sangat jeri padanya. Dan
karena rambutnya putih, maka orang memanggilnya "Pek
Hoat Mo Lie" (Wanita Siluman Rambut Putih). Belakangan
nama ini perlahan-lahan melekat padanya, sehingga orang
kata dia seorang she Pek.
Berhubung dengan sepak terjangnya "Pek Hoat Mo Lie",
maka sejumlah orang menduga dia itu adalah seorang
232 perampok wanita yang mabur dari Tionggoan. Sebab itu,
mereka datang kepada Hoei Beng Siansoe untuk
menanyakan, dan malahan ada beberapa orang yang
menganjurkan supaya Hoei Beng mengadu pedang dengan
dia. Mendengar penuturan orang itu, Hoei Beng lantas
menduga-duga, bahwa orang itu mestinya Giok Lo Sat. Cuma
dia merasa sangsi, kenapa rambutnya Giok Lo Sat jadi putih
semuanya. Mungkin sekali karena menderita, demikian Hoei
Beng menduga, dan dugaan itu ternyata tepat. Beberapa saat
Hoei Beng menggeleng-gelengkan kepalanya, karena dia
ingat, bahwa adatnya Giok Loo Sat yang suka berkelahi
ternyata belum dapat diubah.
"Apakah Pek Hoat Mo Lie tidak mempunyai kawan?" tanya
Hoei Beng yang ingat kepada Tiat Hoei Liong.
"Satu saja sudah sukar dilawan! Bagaimana kalau ada
kawannya! Gerak-geriknya seperti setan. Datang sendirian,
pergi juga sendirian. Munculnya tiba-tiba, perginya mendadak,
dan tidak ada orang yang dapat mengetahui gerak-geriknya
itu," demikian jawab orang-orang yang ditanya.
Giok Lo Sat mengumpet di Sinkiang, tentunya tidak ingin
orang mengetahui asal-usulnya, demikian Hoei Beng pikir.
Karena memikir demikian, dia lantas berkata: "Aku pun tidak
tahu siapa dia. Kalau orang bilang dia she Pek. mungkin sekali
dia memang she Pek. Sebenarnya nama itu cuma merupakan
satu papan merek, maka itu. rasanya kita tidak perlu
menyelidiki terlalu mendalam."
Atas pertanyaan apakah di Tionggoan ada penjahat wanita
yang tersohor. Hoei Beng menjawab: "Sebelum mencukur
rambut, aku turut Him Keng Liak di daerah perbatasan, hal
mana membikin aku tidak tahu banyak mengenai keadaan
Rimba Hijau di daerah Tionggoan. Mungkin sekali dia itu
dahulunya satu perampok wanita yang tak berkawan."
Beberapa orang lalu mendesak agar Hoei Beng turun
gunung untuk mencoba wanita rambut putih itu. Sambil
merangkapkan kedua tangannya. Hoei Beng Siansoe berkata:
"Aku adalah seorang yang telah menyingkirkan diri dari segala
keduniawian. Agama Buddha tak mengizinkan aku berebut
kemenangan." 233 "Kalau begitu. perasaan mendongkol kita tak dapat
dilampiaskan," kata seorang antaranya.
"Meskipun dia menggunakan tangan besi, tapi. apakah di
sampingnya orang-orang jahat, dia pernah mencelakakan juga
orang-orang baik?" tanya Hoei Beng.
"Ya, hal ini memang kami belum pernah dengar," sahut
mereka. "Nah, kalau begitu, dia toh sebenarnya tidak mempunyai
permusuhan apa-apa dengan kalian. Dalam dunia ini.
memang banyak orang yang mempunyai kegemaran
istimewa. Umpama saja, ada orang-orang yang sok catur.
Kalau dia nonton lain orang main catur, biarpun di atas papan
catur ada tulisan yang berbunyi "nonton catur tutup mulut
adalah kuntju". dia toh tidak dapat menahan untuk tidak
membuka mulut. Sudah tentu, adalah terlebih baik jika orang
dapat tutup mulutnya waktu nonton permainan catur, akan
tetapi, buka mulut pun tidak dapat dibilang berbuat suatu
kesalahan besar. Menurut pendapatku, Pek Hoat Mo Lie
mungkin adalah seorang yang sok ilmu silat, sehingga, jika dia
bertemu dengan orang-orang yang terkenal pandai silat,
tangannya jadi gatal, seperti juga seorang ahli catur ketemu
tandingannya. Maka itu. menurut pikiranku, sebegitu jauh dia
tidak lakukan perbuatan-perbuatan yang jahat atau menindas
yang lemah, kita juga tidak perlu cari permusuhan
dengannya." Mendengar pembicaraan itu, sebagian orang menjadi
kagum atas pemandangan luas dari Hoei Beng, tapi sebagian
lagi ada juga yang tidak sependapat dengannya. Tapi karena
Hoei Beng tidak mau turun gunung, mereka juga tidak dapat
berbuat apa-apa. Sesudah lewat setengah tahun, berita tentang Pek Hoat Mo
Lie perlahan-lahan menjadi sirap. Dalam hatinya, Hoei
Beng menduga bahwa karena tidak dapat menemui tandingan,
maka Pek Hoat Mo Lie jadi bosan mencari-cari lawan lagi.
Sebagaimana telah dituturkan di atas, bahwa sesudah Yo
In Tjong naik ke gunung, Hoei Beng telah mengumpulkan lima
macam logam istimewa keluaran Thiansan, dan belakangan
234 dengan mengikuti ilmu rahasia dari Siauwlim sie, dia
memperbarui dua batang pedang peninggalan gurunya. Tiga
tahun lamanya dia mengolah dengan teliti dan seksama dan
sebagai hasilnya dia menciptakan dua batang pedang, satu
panjang dan satu pendek. Yang panjang diberi nama "Yoe
Liong" (Naga Berenang) dan yang pendek dipanggil "Toan
Giok" (Putuskan Batu Giok). Kedua-duanya sama tajamnya
dan dapat membacok putus besi dan baja.
Pada suatu hari. ketika sedang bersemedhi, Hoei Beng
rasakan hatinya berdebar. Dia ingat, musim dingin sudah
hampir tiba, dan dia mesti turun gunung guna membeli
sekedar barang-barang buat melewati musim dingin itu.
Maka itu, dia segera memberi pedang "Toan Giok" kepada Yo
In Tjong. serta pesan supaya sang murid menjaga rumah baikbaik.
sedang dia sendiri, dengan membawa "Yoe Liong Kiam"
untuk menjaga diri. sudah lantas turun gunung untuk pergi ke
kota Pulo, di Sinkiang Utara, guna membeli bahan makanan.


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesudah berselang sebulan, barulah Hoei Beng berangkat
pulang dari kota Pulo. Ketika itu adalah akhir musim rontok.
Hawa sudah mulai sangat dingin. Air sudah mulai membeku.
Satu hari, Hoei Beng jalan melintasi padang rumput Kehta.
Mendadak, di kejauhan, dia lihat seorang yang berdandan
seperti kepala suku dan membawa banyak serdadu, sedang
mengiring sejumlah besar kerbau dan kambing, dan di
belakang rerotan itu, terdapat banyak rakyat yang
mengikuti dengan mengeluarkan tangisan sedih.
Hatinya Hoei Beng jadi tidak tega. Dia maju menghampiri
dan tanyakan sebab-sebabnya. Satu orang yang ditanya
menerangkan, bahwa kerbau dan kambingnya telah dirampas,
karena mereka berhutang pada kepala suku Bengsatsi. Lain
pemandangan menyedihkan yang dilihat Hoei Beng adalah
dua mayat yang menggeletak di luar tenda rombeng, dan di
damping kedua mayat itu, ada satu bocah sedang nangis
mengulun. Hoei Beng segera mendekati.
"Kerbau dan kambing mereka juga kena dirampas."
menerangkan satu orang. "Lantaran jengkel, ayah dan ibunya
bunuh diri. Hai! Kita benar-benar sengsara, tapi anak ini lebihlebih
sengsara." 235 Bocah itu berusia kira-kira 6 atau 7 tahun. Meskipun
badannya tinggal tulang terbungkus kulit, tapi mukanya
menunjukkan kecerdikan, sedang kedua biji matanya yang hitam jengat
bersorot terang sekali. Sesudah mengawasi beberapa saat,
Hoei Beng tanya: "Apakah kau orang Han?"
"Aku she Tjouw," jawabnya. "Kata ayah, kita asalnya dari
Ouwlam. Aku sendiri tak tahu. apa Ouwlam tempatnya orang
Han atau bukan. Dahulu ayah pernah berkata, bahwa
pembesar-pembesar negeri di Ouwlam ada lebih kejam dari
serigala, Thaka itu kita kabur kemari untuk mencari hidup."
"Bengsatsi di sini tidak banyak bedanya dengan pembesarpembesar
Han yang kejam," menyelak seorang tua yang
berdiri di situ. Sesudah menjawab pertanyaan Hoei Beng, bocah itu
mengulun lebih keras, sambil peluki mayatnya kedua orang
tuanya. Hoei Beng merasa sangat tidak tega. Dia membujuki
dengan halus, sambil mengusap-usap kepala anak itu.
"In Tjong tidak punya kawan bermain. Lebih baik aku ambil
dia menjadi murid, supaya mereka bisa menjadi kawan.
Tulang anak ini sangat baik dan juga kelihatannya mempunyai
kecerdikan. Mestinya dia mempunyai bakat untuk belajar
silat," demikian Hoei Beng memikir dalam hatinya.
Sesudah mengambil keputusan, Hoei Beng segera berkata:
"Sudahlah, kau jangan nangis. Apakah kau mau turut aku"
Aku ingin ambil kau menjadi murid.
Mendengar perkataan orang, bocah itu lantas susut air
matanya. Dia lantas berlutut di hadapan Hoei Beng sambil
manggutkan kepalanya tiga kali, dan mulutnya menyebut:
"Soehoe" (guru). Hoei Beng jadi girang sekali. Ketika ia mau
gendong anak itu, mendadak seorang berteriak: "Kepala suku
datang!" Mendengar teriakan itu, semua rakyat gembala lari
berserabutan ke empat penjuru. Dua serdadu yang bersikap
garang menghampiri Hoei Beng dan membentak: "Kau
pendeta alas, lagi bikin apa di sini?"
"Kasihan anak ini. Kau jangan takuti padanya," menjawab
Hoei Beng dengan adem. 236 "Hm!" bentak serdadu itu, "jangan banyak bicara! Kepala
suku kita bilang, orang tua anak ini sudah mati dan dia tidak
punya senderan, maka kami diperintahkan mengajak dia
pulang. Kau lihat, kepala suku kami sungguh baik hati."
Bocah itu menangis lagi. "Dia galak. Aku tak mau ikut,"
katanya tersedu-sedu."
Melihat kedua kaki tangannya sedang bicara dengan satu
pendeta, Bengsatsi berteriak dari kejauhan: "Siapa pendeta
itu" Kamu sedang bicara apa" Hayo lekas pondong anak itu.
Kita mesti pergi ke lain tempat guna menagih hutang."
Bengsatsi berniat merampas bocah itu untuk dijadikan
budak puteranya. Melihat gelagat kurang baik, Hoei Beng buru-buru pondong
anak itu dan berkata: "Anak ini adalah muridku. Harap ampuni
dia!" "Nyalimu benar besar!" bentak kedua serdadu itu. "Kau
berani merampas anak ini! Hayo, lekas lepaskan!"
Hoei Beng tidak menyahut. Dia tundukan kepalanya dan
menyebut "O-mi-to-hoed." Melihat orang tidak meladeni,
kedua serdadu itu jadi sangat gusar dan lantas saja
menghantam Hoei Beng dengan tangan dan kaki. Hoei Beng
dukung muridnya dengan lengan kiri dan mulutnya kembali
menyebut "O-mi-to-hoed." Dia sama-sekali tidak bikin
perlawanan. Tapi, tidak disangka, begitu kepalan dan
kakinya kedua serdadu itu mampir di badannya Hoei Beng,
lantas terdengar dua suara "buk, buk", tahu-tahu mereka
sudah mental kira-kira setumbak dan jatuh tersungkur. Masih
bagus Hoei Beng berlaku murah, sehingga mereka tidak
sampai patah kaki tangannya.
Melihat kejadian itu, Bengsatsi jadi sangat terkejut. Lewat
beberapa saat baru dia berteriak: "Bekuk padanya!"
Waktu itu satu lhama berjubah merah yang berdiri di
dampingnya Bengsatsi, bicara beberapa patah kata dengan
seorang yang berdandan seperti orang Han. Mendadak lhama
itu berteriak: "Tunggu! Pendeta itu bukan orang sembarang.
Biar aku tanyakan dia." Sehabis berteriak begitu, dia lantas
loncat maju sambii berseru: " Hai! Dari mana kau datang"
Lekas beritahukan namamu!"
237 "Aku adalah pendeta berkelana yang tidak mempunyai
nama," sahut Hoei Beng.
Lhama itu keluarkan tertawanya yang menyeramkan dan
berkata: "Kau kira aku tak tahu" Kau adalah Gak Beng Kie.
Betul, tidak?" Hoei Beng terkejut. Dia mengawasi, tapi tidak mengenali
siapa lhama itu. "Taysu," kata Hoei Beng, "janganlah kau
main-main. Hawa begini dingin, bocah ini kedinginan dan
kelaparan. Aku perlu buru-buru bawa dia pulang."
"Jangan kira kau bisa lari dengan menyamar sebagai
pendeta," bentak lama itu. "Lekas kau serahkan kitab
perangnya Him Teng Pek. Kalau tidak, aku nanti antar kau
pulang ke akherat." Hoei Beng menjadi lebih terkejut lagi. Cara bagaimana
lhama ini tahu, bahwa kitab perang Him Keng Liak pernah
dititipkan padaku" pikir Hoei Beng. Lhama ini rupanya cuma
tahu satu. dan tidak tahu, bahwa kitab perang itu belakangan
sudah diserahkan kepada Giok Lo Sat. Dengan menanyakan
kitab perang itu, lhama ini mestinya anggauta kawanan dorna,
dan hari ini aku rasa mesti buka juga pantangan membunuh,
demikian pikir Hoei Beng dalam hatinya.
Melihat orang tidak meladeni. Lhama berjubah merah itu
membentak lagi: "Hayo, lekas, Gak Beng Kie, ya atau tidak?"
"O-mi-to-hoed," jawab Hoei Beng, "pintjeng cuma tahu
membaca kitab-kitab suci dan benci akan segala perkara
pembunuhan. Bagaimana pintjeng bisa mempunyai kitab
perang?" "Baiklah," bentak pula lhama itu, "jika kau belum rasakan
keliehayanku, kau tentu belum mau tunduk."
Sesudah menuentak begitu, dari pinggangnya dia
keluarkan sepasang cecer tembaga, yang lantas ditakepkan
sehingga mengeluarkan suara nyaring. Berbareng dengan itu.
ia, enjot tubuhnya yang lantas mencelat ke atas dan
menerjang Hoei Beng seperti segumpalan awan merah.
Lengan kiri Hoei Beng tetap memeluk muridnya, sedang
tangan kanannya dilonjorkan ke atas buat menyambut
serangan musuh. Lhama berjubah merah itu lantas
rangkapkan kedua cecernya guna menggencet telapakan
238 tangannya Hoei Beng. Tapi tak diduga, tangannya Hoei Beng
licin seperti lindung dan dengan mudah lolos dari takepan
kedua cecer itu, berbareng dengan itu, dua jerijinya digunakan
buat menyodok kedua matanya sang lhama.
Sambil keluarkan seruan seram, Lhama berjuba merah itu
memutar tubuhnya, cecer kin membabat ke atas, sedang
cecer kanan menyabet ke bawah. Hoei Beng buru-buru rubah
gerakannya dan mereka masing-masing mundur tiga tindak.
Kedua-duanya jadi sangat kaget. Lhama berjubah merah
itu mengetahui bahwa ilmu pedangnya Hoei Beng sangat
tinggi dan tenaga dalamnya juga sudah matang, akan tetapi
dia sama sekali tidak menduga, bahwa sambil mendukung
bocah dan dengan sebelah tangan, Hoei Beng masih begitu
liehay! Di lain pihak, Hoei Beng pun tidak menyangka, bahwa
di tempat belukar itu masih terdapat orang yang
berkepandaian demikian tinggi.
Hoei Beng telah umpetkan diri di pegunungan Thiansan
beberapa tahun lamanya, maka tidaklah heran, bila dia tidak
mengetahui perubahanperubahan besar yang telah terjadi di
lingkungan istana kaisar. Kaisar Yoe Kauw yang terlalu
banyak pelesir, sehingga badannya jadi rusak telah wafat
dalam usia 22 tahun, setelah duduk sebagai kaisar selama
tujuh tahun lamanya. Sesudah Yoe Kauw meninggal dunia,
adiknya yang bernama Tjoe Yoe Kiam menggantikan dia
sebagai kaisar Tjong Tjeng. Sesudah duduk di singgasana,
Tjong Tjeng mengambil beberapa tindakan tepat, Goei Tiong
Hian dihukum mati, Kek Sie diusir keluar dari istana dan
belakangan juga dihukum mati, dan lain-lain kawanan dorna,
seperti Tjoei Teng Sioe dan sebagainya, juga tidak luput dari
kebinasaan. Kaki tangannya Goei Tiong Hian yang dosanya
lebih enteng dipecat pangkatnya dan dijadikan serdadu atau
dilepas sebagai rakyat biasa. Berbareng dengan itu, Tjong
Tjeng telah mengangkat Wan Tjong Hoan sebagai panglima
perang dan gunakan juga orang-orang pandai dari kalangan
Tonglim. Begitulah selama beberapa waktu suasana jadi
sangat baik dan rakyat menaruh harapan besar akan
kemakmuran negara. Akan tetapi, belakangan ternyata
tindakan-tindakan Tjong Tjeng dalam membinasakan Goei
239 Tiong Hian dan kawan-kawannya cuma merupakan tindakan
untuk kepentingan pribadi. Sesudah membasmi kawanan
dorna, sebaliknya dari bertindak untuk membangun negara,
Tjong Tjeng lalu memeras rakyat, sehingga akhirnya
kerajaannya runtuh. Sesudah Goei Tiong Hian dan Kek Sie terbinasa, kawankawannya
pada kabur ke berbagai tempat. Lhama Agama
Merah yang bernama Tjiang Kim Tayhoatsoe kabur ke Tibet
dan belakangan Lian Seng Houw (orang kepercayaan Goei
Tiong Hian) juga pergi ke Tibet untuk mencari Tjiang Kim.
Ketika itu, Bengsatsi, kepala suku Kehta di Sinkiang
mempunyai niatan yang besar. Dia berangan-angan
mempersatukan Sinkiang di bawah kekuasaannya. Ketika
mendapat tahu Tjiang Kim sudah pulang dari kota raja, dia
lantas mengundang dengan mengirimkan bingkisan yang
mahal harganya. Sebenarnya Tjiang Kim tidak mau pergi,
akan tetapi Lian Seng Houw desak padanya.
Dalam desakannya itu, Lian Seng Houw mempunyai
maksud tertentu. Dia adalah mata-mata orang Boan. Dia
anggap, bangsa Boan akan berhasil merebut Tiongkok dan
lambat laun orang Boan tentu akan menyerang Sinkiang.
Wilayah Sinkiang adalah luas tapi penduduknya sedikit,
sehinggga gerakan tentara menghadapi banyak kesukaran.
Maka itu, dia ingin menggunakan Bengsatsi untuk
menciptakan satu fondamen yang kuat terlebih dahulu. Itulah
sebabnya maka dia bujuk Tjiang Kim menerima saja
undangan Bengsatsi dan dia pun ikut bersama-sama datang di
Sinkiang. Tidak terduga, di padang rumput Sinkiang mereka bertemu
dengan Gak Beng Kie yang sudah mencukur rambut
menjadi pendeta. Lian Seng Houw ingat, bahwa Gak Beng Kie
menyimpan kitab perang peninggalan Him Keng Liak. Jika dia
dapat merebut kitab tersebut, maka dengan bangga dia bisa
lantas pergi ke negeri Boan untuk terima anugerah, sehingga
tidak usah berdiam lama-lama lagi di Sinkiang. Memikir begitu,
dia lantas kisiki Tjiang Kim buat minta kitab perang itu.
Melihat kepandaian Hoei Beng, hatinya Tjiang Kim jadi
goncang. Tapi hatinya Hoei Beng juga tidak tenteram, karena
240 sebelah tangannya harus mendukung muridnya. Masih bagus
nyalinya bocah itu ada besar. Ketika menyaksikan cara
bagaimana dengan tangan kosong gurunya melayani lhama
yang tinggi besar itu, dia merasa sangat gembira sehingga dia
lupa akan kematian kedua orang tuanya. Dalam dukungan
Hoei Beng, dia berulang-ulang berseru: "Bagus! Bagus,
soehoe! Ajarkan aku ilmu ini."
Meskipun hatinya girang melihat ketabahan sang murid,
tapi Hoei Beng kuatir murid itu nanti mendapat luka. Maka itu,
sesudah kirim beberapa serangan, Hoei Beng lantas loncat
mundur. Tjiang Kim itu heran melihat lawannya mundur
sebelum keteter dan pada saat itu, di depan matanya
berkelebat sehelai sinar terang yang berhawa dingin, dan
ternyata, pada waktu loncat mundur, Hoei Beng sudah cabut
Yoeliong kiam-nya, yang lantas disabetkan ke arah musuh.
Satu suara "trang" terdengar, dan satu cecernya Tjiang Kim
putus jadi dua potong. Tjiang Kim terkejut bukan main. Dia mundur beberapa
tindak. Di lain pihak, Hoei Beng merasa sangat gembira
karena pedangnya ternyata telah memenuhi harapannya. Dia
terus enjot tubuhnya dan Yoeliong kiam ditujukan ke arah
jalan darah hunbun hiat di bebokongnya Tjiang Kim. Pada
saat itu, Bengsatsi keluarkan satu teriakan komando dan
ratusan anak panah menyambar ke arah Hoei Beng untuk
melindungi Tjiang Kim. Hoei Beng segera putar pedangnya
seperti titiran dan "trang... trang... trang..." anak-anak panah
itu putus jadi dua potong dan jatuh di seputarnya Hoei Beng.
Hoei Beng tertawa keras. "O-mi-to-hoed," katanya, "maaf,
pintjeng, aku tak dapat berdiam lebih lama lagi." Waktu Hoei
Beng sedang putar pedangnya buat tahan serangan anak
panah, Tjiang Kim loloskan jubahnya. "Tak bisa," dia berseru,
"hoedya masih mau jajal kepandaianmu!" Dengan gunakan
tenaga dalam yang sangat kuat, dia sabetkan jubah itu yang


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyambar ke arah Hoei Beng seperti gumpalan awan
merah. Yoeliong kiam papaki serangan itu, dan "brettt"
jubahnya Tjiang Kim terbeset sebagian. Akan tetapi, jubah
bukannya seperti senjata biasa Senjata bila terputus tak dapat
digunakan lagi, tapi jubah terbeset masih tetap dapat dipakai.
241 Maka itu, sambil menyusul jubahnya buat coba lilit Yoeliong
kiam, Tjiang Kim sabetkan cecernya ke arah lawan. Tapi Hoei
Beng tak mudah dapat diselomoti secara begitu saja Dengan
sebat dia tarik kembali pedangnya yang dibarengi membabat
cecernya Tjiang Kim. Tjiang Kim yang tahu tajamnya Yoe
Liong Kiam tak berani menyambut sabetan itu. Dia loncat
mundur tiga tindak buat loloskan diri. Tapi ilmu pedang
Thiansan adalah sangat luar biasa. Begitu lekas terkurung,
Tjiang Kim tak dapat meloloskan diri lagi dari sinar Yoeliong
kiam. Tapi, selagi Hoei Beng niat sabet putus cecernya Tjiang
Kim yang sebelah kanan, belasan pahlawan Bengsatsi sudah
meluruk mengerubuti padanya. Antara mereka itu, seorang
yang menggunakan sepasang gaetan bukan saja tinggi ilmu
silatnya, tapi juga sangat telengas. Begitu maju, dia lantas
kirim serangan membinasakan kepada bocah yang sedang
didukung Hoei Beng. Hoei Beng jejek kakinya dan badannya melesat seperti
anak panah guna mengelakan serangan tersebut. Matanya
melirik orang itu. "Hm!" katanya sambil tertawa dingin, "aku
kira siapa! Tak tahunya Lian Toatjongkoan. Kalian sudah
celakakan Him Keng Liak, apa itu belum cukup" Aku sekarang
sudah cukur rambut menjadi pendeta, sebenarnya Goei Tiong
Hian sudah boleh merasa lega. Tapi rupanya kamu belum
puas dan perlu menyusul ke tempat ini." Hoei Beng masih
belum tahu bahwa Goei Tiong Hian sudah terbinasa. Dia
menduga, bahwa Lian Seng Houw dan Tjiang Kim telah
dikirim oleh dorna itu untuk mengejar padanya sampai di
Thiansan. Lian Seng Houw tidak menjawab. Dia hanya tertawa getir
dan melanjutkan serangannya. Manusia itu memang licik dan
sangat beracun. Melihat tangan kiri Hoei Beng mendukung
sang bocah, dia terus tujukan serangannya ke arah bagian
yang lemah ini. Sang bocah, biarpun nyalinya besar, menjadi
ketakutan. Dia peluk pundak gurunya erat-erat, dan kadangkadang
ia keluarkan teriakan ketakutan. Tjiang Kim juga tak
mau sia-siakan ketika yang baik. Dengan cecer di tangan
kanan dan jubahnya di tangan kiri, dia berikan seranganserangan
hebat dengan beruntun saling susul.
242 Hoei Beng menjadi sangat gusar. Sambil berseru keras, ia
keluarkan ilmu silat Thiansan yang telah disusun oleh dia dan
gurunya. Sinar Yoeliong kiam yang berhawa dingin
menyambar-nyambar seperti kilat dan angin, sehingga Lian
Seng Houw dan Tjiang Kim ciut hatinya dan tak berani maju
terlalu dekat. Biar bagaimana juga. Lian Seng Houw dan Tjiang Kim
Hoatsoe adalah ahli-ahli silat kelas satu. Dan Hoei Beng, oleh
karena sedang mendukung orang, tidak berani bertempur
mati-matian. Maka itu, setelah bertempur kira-kira 70 jurus,
keadaan kedua belah pihak masih tetap berimbang.
Sementara itu, Bengsatsi memerintahkan pahlawanpahlawannya
mengurung dari tempat kira-kira seratus tindak
jauhnya. Anak panah mereka sudah disiapkan pada busurnya.
Mereka hanya menunggu keteternya Hoei Beng guna segera
melepaskan anak-anak panah itu.
Waktu tiga orang sedang berkutet, dari tempat kejauhan
mendadak terdengar suara tertawa yang nyaring dan panjang.
Hatinya Hoei Beng jadi bergoncang. Sesaat kemudian, satu
bayangan putih melesat di tengah-tengah padang rumput
dengan kecepatan bagaikan kilat, dan beberapa detik
kemudian, terdengarlah suara teriakan yang riuh. Sejumlah
pahlawan Bengsatsi tahu-tahu sudah roboh kena tusukan
pedang! "Hayo, lari! Pek Hoat Mo Lie datang!" demikian
kedengaran orang berteriak.
Hoei Beng segera putarkan pedangnya lebih keras
sehingga Lian Seng Houw dan Tjiang Kim terdesak mundur
beberapa tindak. "Apakah kau baik selama berpisah" Tempo
yang dijanjikan belum tiba, tapi aku sudah datang lebih
dahulu!" Itulah suaranya Giok Lo Sat! Suara dari seorang
ksatria, cuma lebih tua sedikit!
Melihat siapa yang datang, Tjiang Kim Hoatsoe terkesiap.
Semangatnya terbang ke awang-awang. Sebagai seorang
yang pernah merasakan liehaynya Lian Nie Siang, Tjiang Kim
tahu artinya kedatangan itu. Dengan Gak Beng Kie dan Pek
Hoat Mo Lie, dia tahu jiwanya pasti akan melayang ke akherat.
Maka itu, tanpa ayal lagi, dia putar tubuhnya dan kabur
243 secepat dia bisa. Lian Seng Houw iiiga tidak kurang kagetnya.
Dia juga niat mabur, cuma ilmu enteng tubuhnya masih kalah
dengan Tjiang Kim. Dia cepat, tapi Pek Hoat Mo Lie lebih
cepat lagi. Belum ada sepuluh tombak, bayangan Pek Hoat
Mo Lie yang menakutkan sudah tiba dekat bebokongnya dan
sinar pedangnya menyambar ke arah bebokongnya. Mau tak
mau, Lian Seng Houw putar tubuhnya dan mengadakan
perlawanan. Pek Hoat Me Lie tak mengasih hati padanya.
Belum cukup 10 gebrakan, Pek Hoat Mo Lie berteriak
"kena!" dan Lian Seng Houw roboh terguling di atas padang
rumput. Sesudah dapat merobohkan lawannya, dia lantas totok
jalan darahnya Lian Seng Houw dan kemudian berpaling
kepada Hoei Beng sambil berkata: "Hayo, berangkat!"
"Ke mana?" tanya Hoei Beng. "Ke mana kau pergi, aku
ikuti. Apakah kau takut adu lari denganku?"
Hoei Beng tertawa geli dalam hatinya. Adatnya Giok Lo Sat
masih sama saja. Sesudah berpisah beberapa tahun, bukan
lebih dahulu menanyakan keselamatan dan kesehatan
masing-masing, tahu-tahu mengajak adu ilmu enteng tubuh.
"Hayo, jalan! Kau gendong bocah cilik itu, sedang aku
gendong orang dewasa, apakah kau masih takut?" berkata
pula Pek Hoat Mo Lie. Hoei Beng tersenyum. "Beberapa tahun berselang, aku
memang kalah, tapi sekarang belum tentu." demikian ia kata
dalam hatinya. "Baik," katanya sambil tertawa, tubuhnya
lantas melayang seperti ditiup angin, diikuti oleh Pek Hoat Mo
Lie dari belakang. Sesudah berlari-lari setengah harian, mereka tiba pada tepi
padang rumput. Maju sedikit lagi, mereka akan sampai di
tanah tinggi dari pegunungan Thiansan. Sebegitu jauh, Pek
Hoat Mo Lie tidak berhasil menyusul Hoei Beng. yang tetap
berada belasan tindak di depannya.
Setibanya di situ, Pek Hoat Mo Lie hentikan tindakannya
dan berkata: "Tak usah adu lagi. kepandaian kita adalah
berimbang. Kau berlatih beberapa tahun dan mendapat
kemajuan begini pesat. Sungguh dapat dibanggakan."
244 Mereka segera berhenti lari. Bocah yang digendong tampak
sangat girang sehingga dia tepuk-tepuk tangan dan berseru:
"Soehoe, kau pandai ilmu dewa" Aku menggemblok di
belakangmu seperti juga melayang di awang-awang."
"Ini adalah ilmu enteng tubuh dan bukan ilmu dewa. Kalau
kau sudah besar, kau nanti tahu," sahut
Hoei Beng sambil tertawa.
"Soehoe, akupun mau pelajarkan," berkata anak itu.
Pek Hoat Mo Lie awasi bocah itu dan berkata: "Apakah dia
muridmu yang baru?" Hoei Beng menganggukan kepalanya.
"Kecerdikan bocah ini tidak berada di sebelah bawah In
Tjong, tapi hatinya tidaklah sama." berkata Pek Hoat Mo Lie.
41 "Ah, usianya masih terlalu muda. Baik atau tidak, jadi atau
tidak, masih belum dapat dibilang dari sekarang," berkata Hoei
Beng. Pek Hoat Me Lie lalu turunkan Lian Seng Houw dari
gendongannya dan membuka jalan darahnya. "Sekarang kita
harus periksa padanya?" katanya sambil tertawa.
"Kita mesti tanya, berapa banyak Goei Tiong Hian kirim
orang," berkata Hoei Beng.
"Goei Tjongtjoe sudah mati," sahut Lian Seng Houw
sebelum ditanya. Hoei Beng dan Pek Hoat Mo Lie kaget. "Bagaimana
kematiannya?" tanya Pek Hoat Mo Lie. "Dihukum mati dengan
dijirat lehernya oleh kaisar baru," menyahut yang
ditanya. "Masih bagus. Aku kira dia mati di atas ranjang." berkata
Hoei Beng. "Dan Kek Sie?" tanya Pek Hoat Mo Lie.
"Juga dihukum mati."
Hoei Beng merasa girang dalam hatinya karena dia pernah
menyaksikan kecabulan Kek Sie dan cara-caranya mengaduk
dalam urusan pemerintahan.
Pek Hoat Mo Lie sebaliknya merasa kurang enak, karena
dia ingat kepada Kek Peng Teng. "Sebetulnya dia kena
digunakan oleh Goei Tiong Hian.
"Sebenarnya cukup jika dia diusir saja dari istana." katanya
245 Sesudah itu. mereka ajukan berbagai pertanyaan kepada
Lian Seng Houw, yang dijawab dengan sejujurnya karena dia
takut akan tangan yang telengas dari Pek Hoat Mo Lie.
Cuma ada satu hal yang disembunyikan, yaitu: Dia jadi
mata-mata orang Boan. Tapi rahasia ini sudah diketahui oleh
Pek Hoat Mo Lie, berdasarkan pengakuannya Eng Sioe Yang.
Sesudah orang menutur habis, dia berkata sambil mesem:
?"Apakah pengakuanmu sudah seluruhnya?"
Keringat dingin mengucur, tapi dia keraskan hati. "Tidak
ada lagi," katanya. "Kau adalah mata-mata orang Boan, kenapa kau tidak
bilang?" kata Pek Hoat Mo Lie sambil tertawa dingin.
Mukanya Lian Seng Houw jadi pucat. Dia diam saja. "Kau
terlalu lahat, sehingga tak dapat diampuni," kata Pek Hoat Mo
Lie sambil menyabetkan pedangnya dan Lian Seng Houw
terputus menjadi dua. Sesudah membinasakan penghianat itu. Pek Hoat Mo Lie
tertawa berkakakan. "Gak Beng Kie, oh salah, aku lupa kau sudah jadi
hweeshio. Hoei Beng Siansoe, marilah kita adu pedang," dia
berseru. "Ini tidak adil," kata Hoei Beng. "Kenapa tidak adil?" Hoei
Beng cabut Yoeliong kiam-nya yang disabetkan kepada
sebuah batu besar, yang lantas terbelah dua. Pek Hoat Mo Lie
mengawasi dengan kagum dan berkata: "Kalau begitu, kau
juga bisa mengolah pedang."
"Sebenarnya jika ilmu silat sudah sampai pada puncak
kesempurnaannya, menggunakan senjata apa juga adalah
sama. Aku membuat kedua pedang ini untuk murid-muridku."
Pek Hoat Mo Lie agaknya kurang percaya. "Tapi biar
bagaimana juga, orang yang mempunyai pedang mestika
berada di atas angin," kata dia.
"Jika dua orang latihannya belum sempurna betul dan ilmu
pedangnya tidak beda seberapa, memang orang yang pegang
pedang wasiat berada di atas angin. Antara kau dan aku, ilmu
pedang dan latihan kira-kira berimbang.
246 Cobalah kau gunakan pedangku, dan kita lihat, apakah kau
dapat mengalahkan aku dalam 100 jurus," berkata Hoei Beng
Siansoe. "Jika aku gunakan pedangmu, tidak sampai seratus jurus."
katanya dalam hati yang agak mendongkol.
Tanpa berkata apa-apa lagi, dia lantas sambuti Yoeliong
kiam. pasang kuda-kuda dan berkata: "Majulah."
"Kau maju dahulu," kata Hoei Beng.
Sambil berseru, Pek Hoat Mo Lie menikam. Hoei Beng
berkelit, sehingga tikaman itu jatuh di tempat kosong. Melihat
tidak berhasil, Pek Hoat Mo Lie teruskan pedang itu buat
membabat. Hoei Beng tidak menangkis. Sebaliknya
pedangnya menikam. Inilah satu tipu menyerang untuk
menolong diri. Sejurus demi sejurus lewat tanpa hasil. Pek
Hoat Mo Lie masih tetap belum dapat menjatuhkan Hoei
Beng. Pedang mestika ternyata benar tak ada gunanya. Pek
Hoat Mo Lie jadi penasaran. Sambil berseru keras, dia rubah
caranya bersilat. Melihat begitu, secara diam-diam Hoei Beng
gerakan tenaga hiankong-nya. Dia berdiri tegak, tak bergerak.
Ketika Yoe Liong Kiam menyambar, dia tempel dengan
pedangnya Pek Hoat Mo Lie yang dia pegang. Heran, kedua
pedang itu seperti juga besi berani kena besi.
Pedangnya Pek Hoat Mo Lie ke timur, pedangnya Hoei
Beng ke timur, ke barat juga ikut ke barat. Itu waktu belum ada
seratus jurus. Pek Hoat Mo Lie segera tarik pulang Yoeliong kiam. "Dua
puluh tahun kemudian, kita akan coba lagi." katanya dengan
mendongkol. Setelah berkata begitu, ia serahkan Yoeliong
kiam kepada Hoei Beng dan ambil kembali pedangnya sendiri,
dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, dia berlalu dengan
tindakan cepat... Hoei Beng menghela napas sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Ah, sampai sekarang masih belum berubah
adatnya, ingin menang saja." Hoei Beng sebenarnya ingin
menanyakan tentang To It Hang. Ong Tjiauw Hie dan lain-lain
kawan lama dan juga ingin tanya pengalamanpengalamannya.
tapi sudah tak keburu. 247 Dengan membawa muridnya, Hoei Beng pulang
ketempatnya. Murid itu dia beri nama Tjouw Tjiauw Lam.
Di samping memberi latihan Tongtjoe kang (Ilmu buat
kanak-kanak) kepada murid baru itu. Hoei Beng, perintahkan
In Tjong mengajarkan kawan itu dasar-dasar lain dari ilmu
silat, seperti melatih mata, melatih gerakan jalan, pukulan dan
sebagainya. Beberapa bulan telah lewat. Dalam musim dingin,
hawa di Thiansan luar biasa dinginnya. Tiap bangun pagi,
kedua bocah itu lebih dahulu berlatih buat membikin hangat
badan. Satu hari, ketika Hoei Beng sedang bersemedhi dalam
kamarnya, dia dengar kedua murid sedang berbicara dengan
seseorang. Hoei Beng segera keluar dari kamarnya. Dia lihat
seorang wanita tua yang bermuka jelek sekali sedang
berputar-putar di tengah ruangan, sedang kedua muridnya tak


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hentinya menerjang dan menjotos. Hoei Beng terkejut.
Dalam hawa yang begini dingin, orang yang dapat mendaki
Thiansan ilmu silatnya sudah bukan main, pikir Hoei Beng.
Melihat gerakan wanita itu, Hoei Beng ingat seperti sudah
melihat beberapa kali. "Hei, siapa kau?" dia tanya. "Kenapa
kau hinakan segala bocah?"
"Soehoe, hayo turun tangan! Dia kata, ilmu silat Thiansan
cuma nama kosong," teriak Tjouw Tjiauw Lam.
Nenek itu tetap tutup mulutnya. Mendadak telapakan
tangannya memukul ke arah Hoei Beng dengan angin yang
sangat santer. Buru-buru Hoei Beng sambut serangan orang
dan mereka lalu bertempur. Sesudah berkelahi beberapa
jurus, Hoei Beng lantas dapat terka siapa adanya nenek yang
jail itu, tapi dia diam saja.
Dalam seratus gebrakan lebih, Hoei Beng memperoleh
kemenangan dalam satu pukulan dan nenek itu, tanpa
mengeluarkan sepatah suara, segera mabur.
"Hei!" berseru Hoei Beng, "apakah kau datang ke sini cuma
untuk menjajal ilmu silatku?". Sesudah menguber dua puncak
gunung, nenek itu hentikan tindakannya. Dalam tangan-nya
memegang satu kedok dan dia berpaling. Nenek itu adalah
Pekk Hoat Mo Lie. Barusan ia memakai satu kedok, sehingga
mukanya jadi tidak keruan macam.
"Ha, kau benar jail," berkata Hoei Beng.
248 Mukanya Pek Hoat Mo Lie tetap sungguh-sungguh.
"Bukankah kedok ini sangat surup dengan rambutku yang
putih?" dia berkata dengan suara perlahan.
Melihat paras orang yang sungguh-sungguh itu, Hoei Beng
tahu Lian Nie Siang sedang bersedih hati. Maka itu dia diam
saja. "Apakah To It Hang pernah cari padamu?" tanya Pek Hoat
Mo Lie sesudah beberapa saat.
"Kapan It Hang datang di Thiansan?" Hoei Beng balik
menanya dengan heran. "Jadi kau belum bertemu dengan dia."
"Kalau dia benar datang, tentunya terlebih dahulu dia cari
kau," berkata Hoei Beng.
"Memang dia mencari aku," berkata Pek Hoat Mo Lie
dengan tertawa sedih. "Kau berdua jadi belum bertemu muka. Aku sungguh tak
mengerti. Kau berdua seharusnya berkumpul sama-sama,
kenapa kau mesti ribut-ribut sampai di tempat ini?"
Pek Hoat Mo Lie menggeleng-gelengkan kepalanya. Hoei
Beng ingin bertanya pula, tapi dia mendadak berkata: "Jika dia
datang tolong bujuk supaya dia pulang saja dan jangan cari
padaku." "Kenapa?" Paras mukanya Pek Hoat Mo Lie berubah. "Aku mesti pergi
sekarang!" katanya sambil menghela napas.
"Hei, tunggu dulu'" seru Hoei Beng. "Sebetulnya ada
urusan apakah sampai mesti ribut-ribut cara begini?"
"Gunung Thiansan mempunyai dua puncak, puncak selatan
dan puncak utara, keduanya terpisah ribuan li. Kau berdiam di
puncak utara dan aku akan menetap di puncak selatan."
berkata Pek Hoat Mo Lie. "Kalau To It Hang datang, aku nanti suruh dia cari
padamu." "Kenapa kau begitu usilan" Biar bagaimana juga, aku tak
akan menemui padanya." Sehabis berkata begitu, Pek Hoat
Mo Lie balik badannya dan turun gunung seperti terbang.
Hoei Beng Siansoe tahu, meski diudak juga tidak ada
gunanya. 249 "Percintaan gampang terikat, tapi sukar lepas. Dalam dunia
ini, berapa banyak orang menderita lantaran itu?" berkata Hoei
Beng seorang diri sambil menghela napas. Mukanya
mendadak menjadi panas. Dia ingat nasibnya sendiri. Buruburu
dia balik ke kamar dan bersemedhi buat tetapkan hatinya
yang goncang. Kira-kira setengah bulan berselang, pada suatu magrib,
tatkala bulan sisir baru munculkan diri, Hoei Beng Siansoe
berlatih pedang di atas puncak Thiansan. Pedang diputarputar
sedemikian cepat, sehingga sinar pedang dan sinar
rembulan agaknya bergumpal menjadi satu. Selagi enak
berlatih, di lamping gunung mendadak terdengar suara
keresekan. Hoei Beng cepat-cepat menghampiri. "Ilmu pedang
yang sungguh bagus!" berkata seorang. Waktu Hoei Beng
datang lebih dekat, ia segera kenali, orang itu ialah tidak lain
daripada To It Hang, yang menggigil kedinginan. Mukanya
merah, kaki tangannya membeku, dan dia tengah merangkang
di atas salju. "Kau banyak sengsara," berkata Hoei Beng.
It Hang bangun sambil gosok-gosok kedua tangannya.
"Sekarang sudah mendingan," katanya sambil tertawa. "Waktu
baru datang, lebih sengsara lagi. Beberapa hari ini hawa luar
biasa dinginnya Hampir-hampir aku tidak sampai di sini."
Hoei Beng cepat-cepat ajak sahabatnya pulang ke kuilnya
dan perintahkan In Tjong ambil teh panas, buat hangatkan
badan. Sesudah sahabatnya minum dan mengaso, barulah
Hoei Beng menanyakan pengalamannya It Hang. Ternyata,
oleh karena tidak paham akan selak-seluknya daerah Utara
barat, dari Shoasay ke Sinkiang, It Hang menggunakan tempo
hampir satu tahun. Sesampainya di Sinkiang, seperti seorang
buta yang meraba-raba, It Hang mendaki Gunung Thiansan
yang panjangnya 3000 li lebih. Di tengah jalan, dia makan
salju jika merasa haus dan memburu kambing Thiansan jika
merasa lapar. Kira-kira setengah tahun, barulah dia tiba di
tempatnya Hoei Beng. Satu keuntungan di antara banyak
kesengsaraan itu, adalah badannya jadi banyak lebih kuat dan
ilmu silatnya juga maju pesat.
250 Seperti biasanya jika dua sahabat kekal bertemu muka,
kedua belah pihak merasa sangat girang. Dalam beberapa
hari bersama Hoei Beng, secara panjang lebar It Hang
ceritakan segala pengalamannya yang pahit getir kepada
sahabat itu. Waktu menuturkan cara bagaimana
Giok Lo Sat mabur karena sedih sesudah bertempur hebat
di Boetong san. tanpa terasa air matanya It Hang turun
menetes. "Ah, aku belum memberitahukan kau," kata Hoei Beng. "Beberapa hari
berselang. Giok Lo Sat baru saja datang. Di sini semua orang
namakan dia Pek Hoat Mo Lie. Mereka tidak tahu, bahwa dia
itu adalah Giok Lo Sat yang pernah menggetarkan dunia
Kangouw." "Ya, rambutnya telah menjadi putih gara-garaku," berkata It
Hang sambil tarik napas panjang. "Dan aku sendiri tidak bisa
mencari obat untuk mengembalikan lagi kecantikannya."
Mendengar perkataan It Hang, Hoei Beng, Siansoe jadi
ingat satu cerita yang tersiar di antara rakyat gembala di
Thiansan Utara dan Selatan.
"Obat untuk membikin orang menjadi muda lagi mungkin
tidak ada, tetapi obat buat bikin rambut putih berubah menjadi
hitam bisa jadi masih bisa dapat dicari," berkata Hoei Beng
sambil tertawa. "Di mana?" tanya It Hang.
"Menurut ceritanya rakyat di daerah padang rumput di
pegunungan Thiansan terdapat serupa kembang dewa yang
diberi nama Yoetam Sianhoa. Katanya, kembang itu berbunga
satu kali dalam tempo 60 tahun, dan tiap kali berbunga,
mengeluarkan dua kuntum kembang sebesar mangkok,
satu putih dan satu merah. Orang bilang, kembang itu dapat
merubah rambut putih menjadi hitam, orang tua menjadi
muda lagi. Rasanya, obat ini lebih berharga daripada sioeouw.
Aku sendiri tidak percaya, bahwa kembang itu dapat merubah
orang tua menjadi muda, tapi buat bikin rambut putih menjadi
hitam kembali rasanya bukannya tidak bisa jadi," demikian
Hoei Beng berikan keterangannya.
251 Mendengar kembang itu 60 tahun baru berbunga satu kali
dan juga tidak ketahuan di mana adanya, It Hang jadi putus
harapan. "Kalau kembang itu sekarang baru saja berbunga, artinya
mesti tunggu 60 tahun lagi. Bukankah dalam 60 tahun, dia
sudah berusia hampir 100 tahun?" kata It Hang dengan
tertawa getir. Kemudian Hoei Beng Siansoe tuturkan ucapanucapan
dan sikapnya Pek Hoat Mo Lie. "Kalau benar-benar
dia tidak mau menemui padaku, dia tentu tidak akan
memberitahukan tempat tinggalnya," berkata It Hang yang
masih mempunyai harapan. "Puncak sebelah selatan ada terlebih dingin daripada di
sini. dan selain itu, sepanjang jalanan penuh dengan hutanhutan
lebat yang tak pernah dilintasi manusia. Aku kuatir
tempatnya Lian Nie Siang ada terlebih sukar dicari daripada
tempatku ini," berkata Hoei Beng.
"Biarpun aku mesti membeku seperti batu dan binasa di
pegunungan belukar, aku toh akan cari juga padanya," berkata
It Hang dengan suara tetap.
"Jika demikian, sedikitnya kau harus tunggu sampai
permulaan musim panas barulah boleh berangkat."
"Tidak. Hatiku tak sabaran seperti juga orang dibakar.
Bagaimana aku dapat menunggu sampai permulaan musim
panas?" Dengan separuh paksa Hoei Beng dapat menahan sahabat
itu sampai tujuh hari. Selama tujuh hari, mereka berdua samasama
mempelajari ilmu tenaga dalam. It Hang memang
mempunyai dasar yang kuat, maka, setelah mendapat
beberapa pengunjukan Hoei Beng, dia telah dapat banyak
pengetahuan baru. "Beberapa paman guruku adalah seperti kodok di dalam
sumur," katanya sambil menghela napas. "Mereka tak tahu
adanya samudera yang luas. Mereka anggap, ilmu silat
Boetong tak ada bandingannya dalam dunia, tapi sebenarnya,
jika dibandingkan dengan ilmu silatmu, sungguh masih
berbeda jauh sekali."
"Biarpun mereka itu sombong, tetapi ilmu tenaga dalam dari
Boetong san memang benar sangat dikagumi oleh kalangan
252 Rimba Persilatan. Mungkin sekali, sedari menghilangnya kitab
Tat Mo Tjouw Soe, orang-orang Boetong tidak ada yang kenal
lagi isinya," berkata Hoei Beng.
"Aku sesungguhnya ingin angkat kau sebagai guru buat
majukan ilmu pedangku," berkata It Hang."
"Saudara To, kau mulai keluarkan segala omongan mainmain,"
kata Hoei Beng sambil tertawa. "Kalau kita bersamasama
meyakinkan, masih boleh jugalah. Tapi cara bagaimana
aku dapat menjadi gurumu. Sebenarnya kau sendiri
mempunyai satu guru pandai, satu sahabat setia dan kawan
hidup yang laksana dewi. Maka, untuk apalah kau meminta
kepada lain orang?" It Hang tahu siapa yang dimaksudkan Hoei Beng. Dia
kembali tertawa getir. "Jika dia mau menemui padaku, aku
sudah merasa puas. Mengenai pernikahan, aku kuatir, dalam
penitisan ini, sudah tidak ada harapan lagi."
Sesudah lewat 7 hari, It Hang segera pamitan pada Hoei
Beng dan dengan hati tetap dia mulai melakukan perjalanan
ke puncak selatan. Lebih sebulan, It Hang menjelajah di tengah-tengah hutan
yang luas. Banyak kesengsaraan dia rasakan. Angin dingin
yang menusuk-nusuk seperti pedang, hujan salju, gangguan
ular dan binatang-binatang buas. Akhirnya tiba juga dia di kaki
puncak selatan. Melihat ke atas, dia tampak puncak gunung
yang tertutup salju dan menembus awan, dan memandang
seputarnya, dia nampak keadaan yang belukar dan
menyeramkan, dengan burung-burung elang yang terbang
berputar-putar dan kambing-kambing Thiansan berlari-lari ke
sana kemari. Hawa yang dingin dirasakannya sampai
meresap ke tulang-tulang.
Perginya It Hang ke puncak selatan adalah seperti juga
seorang penganut agama berziarah ke tempatnya nabi. Dalam
hatinya sedikitpun tidak ia takuti kesengsaraan. Maka itu,
dengan hati tetap, dia mulai mendaki puncak selatan itu.
Sesudah jalan tiga hari, dia sampai pada lamping gunung.
Bahwa dia bisa sampai di situ adalah karena tenaga dalamnya
sudah banyak maju, sehingga kekuatannya banyak
bertambah. 253 Hari itu, ketika dia sedang merayap naik perlahan-lahan,
angin keras mendadak menyambar-nyambar, sehingga
gumpalan-gumpalan es yang besar menggelinding jatuh ke
bawah, akibat tiupan sang angin. It Hang lekas-lekas hentikan
tindakannya dan mencari perlindungan di antara pohon-pohon
tua yang besar. Lewat beberapa lama, angin mulai reda. Baru saja It Hang
niat bangun, atau kupingnya dengar suara manusia di
kejauhan. "Apa kau tahu benar bahwa Pek Hoat Mo Lie
adalah Giok Lo Sat?" tanya satu suara orang tua.
It Hang terkejut. Satu orang menjawab: "Tak bisa salah.
Biar rambutnya putih dan mukanya jelek, tapi masih dapat
dikenali. Juga ilmu pedangnya yang tiada keduanya dalam
dunia ini." It Hang mengintip. Kira-kira 10 tumbak dari tempat
sembunyinya, keluarlah 4 orang dari antara pohon-pohon.
Rupanya mereka itu juga mencari perlindungan dari serangan
angin dan salju." Dandanan ke empat orang ini berlainan satu sama lain.
Yang satu adalah satu Ihama yang mengenakan jubah merah.
Di sebelah Lama itu. berjalan satu toosoe yang memakai
pakaian warna hitam. Yang satu lagi adalah seorang pendeta
luar biasa, yang memakai kasut rambut dan pada lehernya
tergantung beberapa tengkorak manusia. Orang ke empat
adalah seorang tua. It Hang sangat heran. Apakah mereka semua mau mencari
Giok Lo Sat" tanya dia dalam hatinya.
Orang tua itu ternyata kupingnya sangat tajam. Waktu It
Hang melongok keluar, dia menerbitkan sedikit suara.
Rupanya suara itu dapat didengar olehnya yang lantas
berkata: "Ada orang!" Ke empat orang itu lantas baris berjejer,
seperti juga sedang menghadapi musuh tangguh. Mengetahui


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa dia tak dapat mengumpet lagi, It Hang lantas keluar.
"Apakah tuan-tuan mau pergi ke puncak selatan?" tanya dia
sambil memberi hormat. Melihat dia itu bukannya Pek Hoat Mo Lie, mereka
bernapas lega. "Siapa, kau" Dalam hawa yang begini dingin,
254 perlu apa kau naik ke puncak selatan seorang diri?" tanya
seorang di antaranya. It Hang masih menimbang-nimbang harus menjawab
bagaimana, atau Ihama berjubah merah sudah menyeletuk:
"Sudah, jangan tanya. Dia tentu mau cari Pek Hoat Mo Lie.
Betulkah begitu?" "Kalau benar, ada halangan apakah?" It Hang balas tanya.
"Apakah kau cari dia buat balas sakit hati?"
Mendengar begitu, It Hang segera mengetahui bahwa ke
empat orang itu adalah musuh-musuh Giok Lo Sat. Hatinya
jadi sangat gusar. "Orang yang seperti aku, biarpun ada sepuluh orang juga
masih tidak berani cari permusuhan dengan dianya," berkata It
Hang dengan tertawa tawar.
Mukanya orang tua itu jadi berubah. "Siapa kau!" dia
membentak. "Murid Boetong pay, To It Hang," jawabnya dengan
angkuh. "Ha, ha, ha!" dia tertawa terbahak-bahak. "Kalau begitu
tjiangboendjin dari Boetong pay! Kedudukan sebagai
tjiangboendjin kau ke sampingkan, sekarang berbalik mencari
itu iblis perempuan. Hm! Aku sekarang mau beri sedikit
pelajaran padamu!" Sambil berkata demikian, dia tarik keluar satu pecut lemas
dari pinggangnya dan sabetkan senjata itu ke arah
pinggangnya It Hang. Mereka itu adalah Tjiang Kim Tayhoatsoe, Hok Goan
Tiong, Tjoat Todjin dan Ouw Tauw Tiangloo dari Thianliong
pay di Tibet. Sesudah mendapat hajaran keras dari tangannya
Pek Hoat Mo Lie, I liang Kim segera cari sahabatnya, yaitu
Ouw Tauw Tiangloo, buat minta bantuannya. Mengenai Hok
Goan Tiong dan Tjoat Todjin, sebagaimana diketahui, mereka
itu adalah musuh-musuhnya Anghoa Koeibo. Satu waktu
mereka pernah menyatroni rumahnya Anghoa Koeibo buat
menuntut balas, tapi kena dihajar oleh Tiat Hoei Liong dan
Giok Lo Sat. Sejak itu, mereka lari ke Tibet dan umpetkan diri.
Mereka dikenal baik oleh Ouw Tauw Tiangloo, yang ajak
mereka sama-sama pergi cari Giok Lo Sat.
255 Hok Goan Tiong dan Tjie Yang Tootiang sama
tingkatannya. Beberapa puluh tahun yang lalu, dia pernah
bertemu muka dengan Tjie Yang. Bahwa To It Hang pegang
tampuk pimpinan (tjiangboendjin) dari Boetong pay pada masa
itu, sudah diketahui oleh semua orang dari Rimba Persilatan.
Banyak tahun yang lalu, Hok Goan Tiong pernah rundingkan
ilmu silat dengan Oei Yap Toodjin dan Pek Sek Toodjin, dan
dalam perundingan itu, dia kena dibikin berdongkol. Sekarang,
melihat To It Hang datang sendirian buat cari Pek Hoat Mo
Lie. Hok Goan Tiong yang cupat pikirannya, segera
mengambil keputusan buat menghalangi dan usir pemuda itu
dari Thiansan. Di lain pihak To It Hang yang mendengar bahwa mereka itu
adalah musuh-musuhnya Giok Lo Sat, sudah lantas cabut
pedangnya dan maju menyerang dengan gunakan ilmu
pedang Boetong. Hok Goan Tiong menyambut dengan
pecutnya dan keduanya lantas bertanding dengan seru.
Sesudah beberapa gebrakan, Hok Goan Tiong terkejut, sebab
dia tidak menduga, murid Boetong turunan kedua bisa
mempunyai ilmu silat yang sedemikian tinggi.
Melihat kawannya tidak dapat menjatuhkan It Hang. Tjiang
Kim Hoatsoe jadi jengkel sekali. "Hok Loodji kenapa begitu
tidak berguna," katanya dalam hatinya.
Antara mereka, adalah Ouw Tauw Tiangloo yang paling
berangasan. "Anak ini adalah kawannya Pek Hoat Mo Lie, kita
tidak usah berlaku sungkan!" dia membentak sambil angkat
tongkatnya buat membantu Hok Goan Tiong.
Latihan Ouw Tauw Tiangloo sudah sangat mendalam.
Begitu dia turun tangan, tongkatnya menyambar-nyambar,
disertai dengan menderunya angin yang santer. Dikepung
secara begitu, It Hang tidak berdaya. Dia terpaksa terus
mundur dan jiwanya berada dalam keadaan sangat
berbahaya. Dalam keadaan yang sangat genting, kupingnya mendadak
dengar suara orang, disertai dengan tertawa dingin: "Siapa
berani bikin ribut-ribut di sini?"
256 Begitu mendengar suara tersebut, hatinya It Hang meluap
dengan kegirangan. "Lian Tjietjie! Lian Tjietjie!" dia berseru
seperti orang kalap. Tapi begitu matanya berbentrok dengan orang yang baru
datang, hatinya terkesiap. Di hadapan dia muncul seorang
nenek yang mukanya kisut dan rambutnya putih! Waktu Hoei
Beng Siansoe tuturkan halnya Pek Hoat Mo Lie. dia tidak
memberitahukan, bahwa jago wanita itu memakai kedok. It
Hang tidak berani berseru lagi. Biarpun Lian Tjietjie putih
rambutnya, tapi tidak mungkin mukanya jadi begitu rusak,
demikian It Hang pikir. "Siapa kau?" Tjiang Kim Tay Hoatsoe membentak. Pek
Hoat Mo Lie membungkam. Badannya mencelat ke atas dan
menubruk ke arah Ouw Tauw Tiangloo. Dengan gerakan
"Tokoa pengho" (Sungai es yang nyungsang), dia menikam
ketika badannya masih berada di udara. Ouw Tauw Tiangloo
buru-buru melengakkan badannya, sedang tongkatnya
menyapu ke belakang. Tapi sudah terlambat... "srrt",
pundaknya terkena satu tikaman. Tjiang Kim dan Tjoat Toodjin
lantas loncat buat mengerubuti.
"Hm! Hok Goan Tiong! Tjoat Toodjin! Kalian masih
penasaran dan cari aku sampai di sini?" kata Pek Hoat Mo Lie.
"Ha! Kalau begitu, dia ini adalah Pek Hoat Mo Lie!" berseru
Hok Goan Tiong. Melihat caranya orang bersilat, sedari tadi It
Hang memang sudah mengetahui, bahwa nenek itu adalah
Giok Lo Sat. Giok Lo Sat tidak mau kasih hati kepada lawannya. Begitu
bergebrak, dia kirim serentetan serangan-serangan yang
membinasakan. Mendengar Pek Hoat Mo Lie menyebut
namanya Hok Goan Tiong dan Tjoat Toodjin, It Hang jadi
ingat, bahwa gurunya pernah mengatakan bahwa dia
(gurunya) dan mereka berdua mempunyai hubungan yang
baik. Ingat begitu, It Hang segera berseru: "Lian Tjietjie!
Ampunilah kedua orang itu."
Pek Hoat Mo Lie tidak meladeni, pedangnya digerakkan
semakin gencar. It Hang jadi kebogehan. Dia tak dapat
berbuat lain daripada memusatkan perhatiannya buat serang
Tjiang Kim Tay Hoatsoe. Sedang enaknya bertempur,
257 kupingnya mendadak dengar suara teriakan ngeri. Hok Goan
Tiong dan Tjoat Toodjin masing-masing sudah kena satu
tikaman! "Lekas pergi dari sini!" bentak Pek Hoat Mo Lie. "Apakah
kau mau mendapat lain tanda?"
"Hok Goan Tiong dan Tjoat Toodjin sama sekali tidak
menduga, bahwa ilmu silatnya Pek Hoat Mo Lie sudah maju
begitu jauh. Dengan kesakitan dan semangatnya terbang,
mereka gulingkan diri di atas salju dan menggelinding turun ke
bawah puncak. Melihat Pek Hoat Mo Lie tidak turunkan tangan jahat atas
dirinya kedua orang itu, hatinya It Hang jadi girang. Ah, dia
masih dengar juga nasehatku, demikian dalam hatinya.
Sekarang cuma ketinggalan Ouw Tauw dan Tjiang Kim
yang terus melawan dengan mati-matian. Sesudah lewat
kurang lebih 30 gebrakan, Pek Hoat Mo Lie berseru "kena!"
dan pedangnya yang seperti kilat sudah kutungkan kepalanya
Ouw Tauw! Tjiang Kim kertek giginya. Sebagai gerakan terakhir, dia
menimpuk dengan kedua cecernya, satu menyambar Pek
Hoat Mo Lie, sedang yang lain terbang ke arah It Hang. Dan
berbareng dengan itu, dia buka langkah seribu.
It Hang tangkis cecer itu dengan pedangnya. Sambil
tertawa dingin Pek Hoat Mo Lie sambuti cecer yang lain
dengan ujung pedangnya. "Senjatamu tidak bisa dipakai
olehku. Aku kembalikan!" dia membentak sambil menimpuk.
Cecer itu yang tajam seputarnya melayang seperti kilat
dengan keluarkan suara mengaung, dan menyambar ke arah
tubuhnya Tjiang Kim yang belum lari jauh. Dengan satu
teriakan ngeri, tubuhnya Tjiang Kim kutung jadi dua potong!
Mukanya Pek Hoat Mo Lie sungguh menyeramkan, sama
sekali tidak melukiskan perasaan manusia. Hatinya It Hang
tergetar. Dia tidak tahu, bahwa Pek Hoat Mo Lie memakai
kedok. Sesudah tetapkan hatinya, dia berseru pula: "Lian
Tjietjie! Lian Tjietjie!"
Pek Hoat Mo Lie tidak menyahut. Sebaliknya, sambil
melengoskan kepalanya, dia pentang kedua kakinya. It Hang
258 mengubar sambil berteriak-teriak dengan suara pedih: "Lian
Tjietjie! Lian Tjietjie!"
Ilmu enteng tubuh Pek Hoat Mo Lie ada beberapa kali lipat
lebih tinggi daripada To It Hang. Jika dia benar-benar lari
keras, It Hang tidak nanti dapat mengikuti. Tapi Pek Hoat Mo
Lie rupanya sengaja pertahankan tindakannya dan selalu
terpisah kurang lebih 30 tindak dari It Hang yang mengubar.
Mereka berlari-lari sampai di puncak gunung, dan di situ Pek
Hoat Mo Lie hentikan tindakannya.
Dengan kedua matanya yang tajam, yang bersinar
gemilang, dia awasi It Hang. Kedua biji matanya bercahaya
laksana dua butir intan di atas muka yang kisut dan
menakutkan itu. Hatinya It Hang perih sekali. Kecuali dua
mata itu, yang merupakan sisa dari kecantikannya Lian Nie
Siang, di atas muka nenek tua itu tak terdapat lagi bayangbayangan
kecantikan Giok Lo Sat. Ketika itu, It Hang rasakan dirinya seakan-akan berada
dalam dunia impian. Di manakah, di manakah mungkin,
seorang gadis yang belum lama berselang ada sedemikian
cantik sekarang berubah menjadi begitu jelek"
Tanpa merasa, air matanya turun meleleh di kedua pipinya.
"Lian Tjietjie!" dia berseru dengan suara menyayatkan sambil
menubruk. Pek Hoat Mo Lie berkelit, sehingga It Hang tubruk
tempat kosong dan hampir-hampir dia jatuh tersungkur.
"Siapa Lian Tjietjie-mu" Kau salah melihat orang!" Pek
Hoat Mo Lie berkata dengan dingin.
"Lian Tjietjie! Dua tahun aku cari padamu!"
"Buat apa kau cari dia?" "Aku mengaku bersalah," berkata
It Hang. "Sekarang aku sudah lemparkan segala pangkat
tjiangboendjin. Harapan satu-satunya adalah supaya dapat
berkumpul dengan kau buat selama-lamanya. Oh, Lian Tjietjie!
Kita tidak akan berpisahan lagi!"
"Kau mau hidup bersama-sama aku" Ha, ha! Apakah kau
tidak lihat, bahwa aku sudah jadi satu tua bangka bangkotan"
Masih omong, buat selama-lamanya!"
It Hang kembali menubruk dan sekali lagi tubruk tempat
kosong. 259 "Semuanya... semuanya... adalah salahku," katanya
dengan tersedu-sedu. "Lian Tjietjie-mu sudah lama mati!" berkata Pek Hoat Mo
Lie dengan suara tawar. "Apa maksudmu menubruk-nubruk
aku?" "Biarpun kau tidak mau kenal lagi padaku, aku toh akan
terus mengikuti engkau seperti satu bayangan. Tak peduli kau
berubah bagaimana juga, hatiku akan tetap tidak berubah!"
berkata It Hang. Pek Hoat Mo Lie terus keluarkan tertawa dingin. Mendadak,
dia sodorkan mukanya yang menyeramkan itu ke depan
mukanya It Hang! . "Benar-benar?" dia tanya dengan suara seram. "Kau lihat
yang terang! Lihatlah yang terang! Apakah Lian Tjietjie-mu
bermuka seperti ini?"
It Hang bergidik. Tapi sesaat kemudian, dia dapat
kumpulkan keberaniannya Dia tarik tangannya Pek Hoat Mo
Lie dan berkata dengan suara nyaring: "Lian Tjietjie! Biar kau
terbakar menjadi debu, aku akan mengenali padamu. Di
mataku, kau masih secantik dahulu!"
Pek Hoat Mo Lie kembali tertawa dingin. Dia tarik
tangannya dari cekalan It Hang.
"Pergi cari Lian Tjietjie-mu. Pergi! Kenapa kau tidak mau
pergi?" "It Hang mendadak ingat sesuatu. "Lian Tjietjie," katanya
dengan cepat. "Apa yang aku pernah katakan, aku tidak akan
lupakan. Aku pasti akan cari obat mustajab untuk
mengembalikan kecantikanmu."
"Itu urusan kau sendiri. Aku tidak peduli. Kau ambil jalanmu
sendiri, aku ambil jalanku sendiri.
Antara kita tidak ada hubungan apa juga. Jangan kata aku
memang bukannya Lian Tjietjie-mu, andaikata benar, dia
sudah seperti mati. Buat apa diungkat-ungkat lagi hal yang
dahulu?" Mendengar suaranya Lian Nie Siang, It Hang merasa,
bahwa meskipun masih sangat keren, tapi tekukannya sudah
berubah lunak. 260 "Aku tahu, bahwa di padang rumput ada tumbuh serupa
kembang dewa yang dapat merubah rambut putih menjadi
hitam dan orang tua menjadi anak-anak lagi. Marilah kita
bersama-sama cari kembang itu," berkata To It Hang.
Dengan mendadak saja, Pek Hoat Mo Lie kembali
keluarkan tertawa dingin. "Aku tak ada 'tempo! Kalau kau
begitu hargakan segala kulit busuk, pergilah cari sendiri.
Dalam dunia ini banyak gadis-gadis cantik, yang bisa
bersama-sama kau makan kembang itu."
Demikianlah jalan pikiran Pek Hoat Mo Lie yang luar biasa
yang bertentangan satu dengan lainnya. Dia sayang
kecantikannya, tapi dengan berbareng, dia benci jika
kecintaannya di dasarkan pada kecantikannya.
It Hang jadi bingung. Dia maju dua tindak dan berseru


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan suara berkuatir: "Bukan! Bukan! Lian Tjietjie! Bukan
begitu yang aku maksudkan..."
Tapi, sebelum It Hang habis bicara, dia sudah putar
badannya dan berjalan pergi.
"Lian Tjietjie! Kau tak dapat pergi cara begini!" teriak It
Hang dengan suara pedih. "Apakah kau tidak menaruh belas
kasihan atas diriku, yang setelah melintasi laksaan sungai dan
ribuan gunung, ditimpa hujan angin dan salju, barulah dapat
bertemu dengan kau?"
Pek Hoat Mo Lie hentikan tindakannya dan lagi-lagi ia
tertawa dingin. "Ya," katanya, "kau adalah kongtjoe yang mahal harganya,
seorang tjiangboendjin dari satu partai. Bahwa kau sudah rela
menerima kesengsaraan, dipukul hujan angin, Lian Tjietjie-mu
tentu merasa berterima kasih tidak habisnya!"
Mendengar kata-kata itu yang mengandung sindiran. It
Hang jadi terkejut sehingga tidak dapat buka suara. Dengan
perkataannya itu. Pek Hoat Mo Lie seperti juga mau bilang,
bahwa It Hang tidak perlu membanggakan penderitaannya
buat mencari dirinya Dan di antara suara tertawa dingin. Pek
Hoat Mo Lie enjot tubuhnya dan melesat turun dari atas
puncak gunung. It Hang keluarkan teriakan tertahan! Di lain
saat. dia lihat jubahnya Pek Hoat Mo Lie melambai-lambai di
261 antara sampokan angin dan orang yang dicintainya itu
menghilang dari pandangannya!
Pek Hoat Mo Lie sudah pergi dengan gunakan ilmu enteng
tubuh yang paling tinggi!
To It Hang berdiri menjublak sambil menghadapi jurang
yang ratusan tombak dalamnya. Lama dia berdiri di situ, dan
tiap-tiap kali menghela napas. Mula-mula dia sesali Giok Lo
Sat, kemudian ia sesali dirinya sendiri.
Ketika berangkat mencari kecintaannya, It Hang menduga,
bahwa jika dia perlihatkan, hatinya yang sungguh-sungguh,
dia tentu akan berhasil membikin tergerak hati kecintaannya
itu. Sekarang, di antara kesunyian puncak gunung Thiansan
yang diliputi salju, dia memikir dan menimbang-nimbang.
Kejadian-kejadian yang telah lampau terbayang kembali di
depan matanya. Dia merasa, bahwa pada masa yang sudah
lewat, banyak kali dia membikin Giok Lo Sat menderita,
sedang dia sendiri sedikit sekali menunjukkan kecintaannya
yang tulus. Dia sekarang insaf, bahwa kecintaannya yang suci keluar
secara wajar, tidak dibuat-buat, tidak diomongi atau
dibanggakan. Demi kecintaan, penderitaan padang pasir, penderitaan
hujan angin, es atau salju adalah sewajarnya saja. Sunguh
tidak pantas dibangga-banggakan!
Mengingat sampai di situ. It Hang merasa, bahwa
kecintaannya terhadap Giok Lo Sat sebenarnya tidak cukup
dalam, tidak cukup suci dan murni!
Demikianlah, sehari penuh It Hang duduk terpekur,
menimbang-nimbang. Tiba-tiba dia mendusin. Dia tahu, tidak
ada gunanya lagi mencari Giok Lo Sat, sebab dia tidak akan
mau menemuinya Hari itu, It Hang tinggalkan puncak selatan
dan kembali di puncak utara untuk mencari Hoei Beng
Siansoe. Begitu bertemu, dia lantas menanya: "Cara bagaimanakah
aku dapat menyeberangi sungai yang airnya lemah, dengan
satu loncatan?" 262 "Sungai yang airnya lemah sebenarnya tidak ada. Untuk
apakah kau tanyakan soal timbul dan tenggelam?" sahut Hoei
Beng sambil merangkapkan kedua tangannya
It Hang tanya lagi: "Jika jalanan di Saythi tidak ada Loei Im
Sie. cara bagaimanakah Tong Sam Tjong mengambil Kitab
Suci" Kalau Loei Im Sie itu ada, tapi tidak juga dapat dicapai,
apakah yang orang harus berbuat?"
"Bukankah Tong Sam Tjong. mengambil Kitab Suci dengan
tujuan untuk menjadi Buddha" Ada atau tidak adanya Loei Im
Sie di Saythi, itu tidak menjadi soal. Jika satu orang bertekad
buat satu tujuan, maka dia tidak pikirkan lagi jauh atau
dekatnya jalanan itu."
"Terima kasih buat pengajaranmu," kata It Hang sambil
menjura dalam. Sehabis berkata begitu, dia berlalu dengan cepat. Hoei
Beng juga tidak mencegah. Orang beribadat itu mengawasi
dengan mesem, akan kemudian menghela napas panjang.
Demikianlah It Hang meminta nasehat dari Hoei Beng
mengenai percintaannya dengan Giok Lo Sat. Dia bandingkan
"Lautan cinta" dengan "sungai yang airnya lemah". Menurut
dongeng, di atas "sungai yang airnya lemah" tidak ada satu
benda yang bisa ngambang. Segala apa, sampai bulu burung,
tenggelam di dasar sungai itu.
It Hang menanya: Cara bagaimana dia dapat loncati sungai
itu" Hoei Beng nasehatkan, supaya dia jangan pikirkan soal
tenggelam/timbul, sebab "sungai yang airnya lemah"
sesungguhnya tidak ada. It Hang kuatir, bahwa meskipun dia
berusaha sekeras-kerasnya buat bikin mengerti Giok Lo Sat,
Giok Lo Sat tidak akan dapat mengerti. Atau. kalau toh Giok
Lo Sat akhirnya mau mengerti, dia kuatir pada waktu itu dia
sudah jadi seorang tua. Maka itu, dengan gunakan
perumpamaan Tong Sam Tjong mengambil Kitab Suci (Tong
Sam Tjong Tjie Keng), It Hang minta nasehatnya Hoei Beng.
Dan Hoei Beng menasehatkan, bahwa seorang yang bertekad
akan satu tujuan tertentu, dalam hatinya tentu tidak timbul
segala perkataan "kalau", tidak tahan akan penderitaan dan
tidak pikirkan jauh atau dekatnya perjalanan. (Kisah Tong Sam
263 Tjong mengambil Kitab Suci dapat dibaca dalam buku See
Yoe). Sesudah turun dari puncak utara, It Hang merasa sangat
cocok dengan nasehat sahabatnya. Dia merasa, bahwa jika
dia mempunyai tekad yang teguh, satu hari Giok Lo Sat akan
mengerti isi hatinya. Dia menduga, bahwa sikapnya Giok Lo
Sat kali ini adalah untuk mencoba ketulusan hatinya. Dan
mengingat cerita Yoetam Sianhoa (kembang dewa), dalam
hatinya, It Hang mengambil keputusan untuk mencari
kembang itu dan mempersembahkannya kepada Giok Lo Sat,
tanpa mempedulikan kesukaran dan tempo.
Mulai saat itu, It Hang berkeliling di seluruh padang rumput
yang luas dan berputar-putar di selatan dan utara Thiansan.
Tidak terasa tiga tahun sudah lewat, tapi kembang dewa itu
masih belum dapat dicari juga.
Pada suatu hari, ketika berada di Thiansan Utara. It Hang
merasa tertarik pada satu puncak gunung yang tertutup salju.
Puncak ini merupakan seekor onta, kepalanya di sebelah
timur dan buntutnya di sebelah barat, dengan badannya
ditutupi bulu berwarna putih. Ketika tiba di kaki puncak
tersebut, It Hang lihat satu rumah batu yang berdiri terpencil di
lereng gunung. Di kaki pegunungan Thiansan memang
banyak rakyat yang hidup sebagai gembala, akan tetapi,
terdapatnya satu rumah yang terpencil di lereng yang tertutup
salju adalah kejadian yang agak langka. Maka itu. dengan
perasaan heran, It Hang lalu mendaki ke atas.
Dalam beberapa tahun ini, It Hang telah mendapat latihan
berat, sehingga bukan saja ilmu silatnya sudah maju pesat,
tapi tubuhnya juga sudah lebih ulet daripada dahulu.
Karenanya dia mendaki gunung seperti juga jalan di atas
tanah datar. Dalam sekejap saja, dia sudah tiba di depan
rumah batu itu, di mana terdapat beberapa orang yang sedang
bicara dengan suara keras.
It Hang segera umpetkan dirinya di belakang sebuah batu
besar. Dari situ dia dapat lihat dua lhama, satu tua dan satu
muda, yang sedang membentak-bentak seorang penduduk
gunung dari suku Hapsatkek, dan tangannya menuntun satu
bocah kira-kira usia 12 tahun. Bocah ini kurus badannya
264 seperti kera, tapi kedua matanya yang bundar dan besar
menunjukkan adanya semangat yang tinggi.
Lhama yang tua membentak: "Sin Loo Ngo! Soatlian
(teratai salju) yang kamu harus serahkan tidak ada, sedang
cula badak pun tidak cukup. Bagaimana sih! Bagaimana aku
mesti memberi keterangan kepada Ongya?"
"Tahun ini aku cuma dapat cari beberapa soatlian, tapi
semuanya sudah dijual kepada pedagang obat-obatan,
sedang cula badak aku cuma bisa dapatkan satu biji. Taysoe,
sukalah kau berlaku murah," kata orang itu dengan suara
memohon. Lhama tua itu adalah Thian Tek Siangdjin, salah satu tetua
dari Thianliong pay di Tibet, yang sekarang bekerja pada
kepala dari suku Hapsatkek. Lhama yang usianya muda
adalah salah satu muridnya. Hapsatkek adalah satu suku
bangsa yang hidup sebagai gembala di padang rumput.
Rakyat di situ tiap tahun biasanya membawa bingkisan untuk
dihadiahkan kepada kepala suku " " rakyat gembala
membawa kerbau dan kambing, sedang rakyat pegunungan
membawa obat-obatan atau binatang-binatang alas hasil
buruannya. Suku Hapsatkek sebagian besar hidup sebagai
gembala, sedang golongan pemburu cuma kurang lebih 100
keluarga. Mereka itu hidup terpencar di lamping-lamping
gunung yang sukar dicapai, sehingga kepala suku sukar
memungut hadiah (cukai) yang biasa diberikan tiap tahun.
Sesudah bekerja di situ, Thian Tek Siangdjin mempunyai
satu niatan buat keuntungannya sendiri. Dengan andalkan
kegagahannya, saban tahun dia keliling di daerah
pegunungan buat pungut hadiah, sekalian buat padatkan
kantongnya sendiri dengan bahan-bahan obat Thiansan yang
langka dan mahal harganya. Umpamanya, kalau kepala suku
menetapkan tiap keluarga setahunnya harus menyerahkan
satu cula badak, dia tetapkan dua, supaya yang satu bisa
masuk dalam kantongnya. Kalau kepala suku menetapkan
dua soatlian, dia minta empat biji. Rakyat tidak mendapat
kesempatan untuk menemui kepalanya untuk minta
pertimbangan, sedang buat melawan, mereka juga tidak
265 ungkulan. Maka itu, mau tidak mau, mereka biarkan dirinya
diperas oleh Thian Tek Siangdjin.
Sin Ngo, adalah satu pemburu ternama di daerah itu.
Tahun itu dia sedang naas, sehingga tidak dapat memenuhi
tuntutannya Thian Tek, dan terpaksa dia mesti memohon
belas kasihan. "Dijual kepada pedagang obat?" Thian Tek Siangdjin
membentak sambil mendelik. "Hm! Kau betul berani mati! Ada
barang bukan diberikan kepada Ongya. tapi dijual!"
"Tidak dijual, kita makan apa" Sedang soatlian tak bisa
kenyangkan perut," kata Sin Ngo. "Ongya kita biasanya
perlakukan kita dengan baik. Dahulu jika kita tidak dapat cari
soatlian. dua tiga tahun juga tidak ditagih. Taysoe. jika kau
menceritakan kesengsaraan kita, beliau tentu akan
mengampuni." Mukanya Thian Tek Siangdjin jadi berubah. "Ongya baik
hati, kalian lantas main gila." katanya. "Biar Ongya
mengampuni, aku tidak akan mengampuni! Kau mau serahkan
atau tidak" Kalau tidak, aku akan bekuk kau!"
Sebelum mendapat perintah. Ihama yang berusia muda itu
sudah maju buat membekuk. Sin Ngo mundur dengan
mulutnya tak hentinya minta dikasihani tapi lhama muda itu
tidak menggubris. Pada saat yang sangat genting, bocah itu mendadak
berteriak: "Perampok! Kau berani hinakan ayahku!" Dia
membungkuk, enjot kedua kakinya dan menyeruduk dengan
kepalanya. Lhama muda itu, yang sama sekali tidak menduga,
sudah kena diseruduk kempungannya, dan tidak ampun lagi
dia jatuh celentang! Thian Tek Siangdjin terkejut. Sesudah menjatuhkan satu
lawan, bocah itu jadi dapat hati dan teruskan menyeruduk
Thian Tek, yang cepat-cepat berkelit, sehingga dia
menyelonong dan kepalanya membentur pohon, sampai
pohon itu bergoyang-goyang. Dan heran sungguh, bocah itu
sedikitpun tidak mengeluarkan teriakan kesakitan.
It Hang merasa kagum. Dia tidak duga, anak itu
mempunyai tenaga yang sedemikian besar. Thian Tek
Siangdjin tertawa terbahak-bahak dan dengan sekali jambret,
266 dia sudah cekal lengannya bocah iitu. Thian Tek adalah salah
satu tetua dari suatu partai, tentu saja dia mempunyai ilmu
silat yang sangat tinggi. Meskipun bocah itu bertenaga besar,
mana dia dapat berontak dari cekalan Thian Tek.
"Tayhoatsoe, bocah itu tidak tahu suatu apa. Ampunilah
padanya. Aku akan tempuh segala bahaya buat cari soatlian
yang kau ingini." Sin Ngo memohon.
Kembali Thian Tek tertawa terbahak-bahak: "Sin Loo Ngo!
Kau beruntung! Mempunyai anak yang begini baik bakatnya!
Bukan sadia aku tidak akan menyusahkan padanya, sekarang
aku malahan tidak mau lagi soatlian-mu."
Sin Ngo girang, tapi waktu dia hendak menghaturkan
terima kasih, Thian Tek mendadak berkata:
"Tunggu! Anakmu ini walaupun mempunyai tenaga ribuan
kati, akan tetapi, jika tidak dapat pimpinan guru yang pandai,
di kemudian hari paling banyak dia akan mempunyai tenaga
kerbau, yang tidak ada gunanya."
Mendengar begitu, Sin Ngo tahu maksud orang. Dia diam
saja. Thian Tek lepaskan cekalannya. "Eh, bocah, coba kau
lihat," katanya sambil tertawa. Mendadak dia sabetkan
tangannya ke arah pohon itu. "Gubrakk!" dan pohon itu roboh,
seperti dikampak. "Lihatlah!" kata dia dengan bangga. "Kau seruduk pohon
itu, daunnya cuma jatuh beberapa lembar. Tapi dengan sekali
hantam, aku merobohkan. Bukankah kepandaianku banyak
terlebih tinggi dari tenagamu?"
Bocah itu mengawasi dengan matanya yang besar. "Tiap
tahun kau perhina ayahku. Aku tidak kesudian mempunyai
kepandaian untuk menghina orang!" kata dia dengan berani.
Mukanya Thian Tek berubah dan dengan lekas dia tertawa
pula. "Anak tolol!" kata dia "Aku kasih tahu kau, bintangmu
sudah terbuka. Aku sekarang mau ambil kau sebagai murid
dan mulai sekarang aku tidak mau lagi barang ayahmu."
Paras muka bocah itu berseri-seri, tapi mendadak dia


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata: "Apakah kau masih mau ambil barangnya lain-lain paman?"
"Dari mana kau mempunyai begitu banyak paman?" kata
Thian Tek dengan perasaan heran.
267 "Dahulu Ongya tidak pernah mengejar kita guna memungut
hadiah. Sesudah kau datang, barulah banyak keinginannya
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 11 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Lencana Pembunuh Naga 6
^