Pencarian

Hina Kelana 18

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 18


"Kenapa mesti khawatir, paling-paling Toako dan lain-lain memburu tiba dan membunuh habis pula segenap keluarga orang ini," kata Tho-ki-sian.
"Hm," terdengar si buntak mendengus. "Kematian kalian sudah di depan mata, masih berani mengigau akan membunuh orang segala. Lebih baik tutup mulut kalian supaya telingaku tidak panas."
Lalu terdengar Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian bersuara bertahan. Agaknya si buntak telah menyumbat sesuatu di mulut kedua orang itu sehingga tidak mampu membuka suara.
Gak Put-kun pasang kuping pula sejenak, tapi tidak mendengar sesuatu suara. Ia coba mengitar ke belakang sana, tertampak di luar pekarangan tumbuh satu pohon besar. Ia memanjat pohon itu dan memandang ke dalam. Kiranya di dalam situ adalah sebuah rumah genting yang kecil, kira-kira dua-tiga meter jaraknya dengan pagar tembok dan rumah itu tentu ada perangkapnya.
Maka ia sengaja sembunyi di atas pohon yang tertutup oleh daun lebat, ia kerahkan Ci-he-sin-kang untuk mendengarkan. Terdengarlah suara si buntak sedang bertanya, "Sesungguhnya Coh Jian-jiu si tua bangka itu ada hubungan apa dengan dirimu?"
"Baru pertama kali ini aku melihat orang seperti Coh Jian-jiu itu, maka tak dapat dikatakan ada hubungan apa," demikian suara Lenghou Tiong sedang menjawab.
"Urusan sudah begini dan kau masih berdusta," seru si buntak dengan gusar, "Apa kau tidak tahu bahwa sekali sudah jatuh dalam cengkeramanku, maka kau pasti akan mati dengan mengerikan."
"Aku tahu engkau tentu sangat marah karena obatmu yang katanya mujarab itu telah kumakan tanpa sengaja," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. "Tapi rasanya obatmu itu toh tiada tampak khasiatnya, sudah sekian lamanya kuminum obatmu itu namun sedikit pun aku tidak merasakan apa-apa."
"Memangnya kau kira begitu cepat akan tampak khasiatnya?" kata si buntak dengan gusar. "Datangnya penyakit biasanya mendadak, sembuhnya penyakit justru sedikit demi sedikit. Khasiatnya obat itu baru dapat tampak sesudah tiga hari nanti."
"Baiklah, jika kau mau membunuh aku boleh silakan, toh aku tak bertenaga dan tak mampu melawan," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Hm, kau ingin mati dengan enak, jangan harap. Aku harus menanyai lebih dulu," damprat si buntak. "Keparat, Coh Jian-jiu adalah kawanku selama beberapa puluh tahun, sekarang ternyata mengkhianati kawan sendiri, tentu dalam hal ini ada sebab-sebabnya. Hoa-san-pay kalian tidak laku sepeser pun bagi penilaian "Hongho Lo-coh" kami, sudah tentu bukan lantaran kau adalah murid Hoa-san-pay sehingga dia perlu mencuri aku punya Siok-beng-wan untuk diminumkan padamu. Ai, sungguh aneh bin ajaib, ajaib binti heran!"
"O, kiranya julukanmu adalah "Hongho Lo-coh" maafkan kalau aku berlaku kurang hormat," kata Lenghou Tiong.
"Ngaco-belo," semprot si buntak dengan marah. "Seorang diri mana aku dapat menjadi Hongho Lo-coh?"
"He, mengapa tidak dapat?" tanya Lenghou Tiong heran.
"Hongho Lo-coh terdiri dari dua orang, yang satu she Lo, yang lain she Coh, masakah begini saja tidak paham, sungguh goblok," omel si buntak. "Coh Cong, Coh Jian-jiu she Coh, aku Lo Ya, Lo Thau-cu she Lo, kami berdua bersemayam di sepanjang lembah Hongho, maka kami disebut sebagai Hongho Lo-coh."
"Aneh, mengapa yang seorang bernama Lo Ya (tuan besar) dan yang lain bernama Coh (kakek moyang)?" tanya Lenghou Tiong.
"Kau sendiri masih hijau seperti katak dalam tempurung dan tidak tahu bahwa di dunia ini ada orang she Lo dan she Coh," kata si buntak. "Aku sendiri she Lo (tua) bernama Ya (tua) alias Thau-cu (kakek), atau Lo Thau-cu (kakek tua) ...."
Saking gelinya Lenghou Tiong mengakak tawa, katanya, "Jika demikian, Coh Jian-jiu itu she Coh bernama Cong (nenek moyang)?"
"Memang begitulah," sahut si buntak alias Lo Thau-cu. Setelah merandek sejenak lalu ia berkata pula, "Eh, kau tidak kenal nama Coh Jian-jiu, jika begitu boleh jadi kau memang tiada hubungan keluarga apa-apa dengan dia. Tapi, ai, salah. Apa kau bukan anaknya Coh Jian-jiu?"
Lenghou Tiong tambah geli, sahutnya, "Cara bagaimana aku bisa menjadi anaknya" Dia she Coh, aku she Lenghou, mana dapat keduanya dihubung-hubungkan?"
"Sungguh aneh," demikian Lo Thau-cu bergumam sendiri. "Dengan susah payah, dengan segala tipu daya akhirnya baru dapat kuracik delapan biji Siok-beng-wan yang mestinya hendak kugunakan mengobati penyakit putri mestikaku. Kau bukan anaknya Coh Jian-jiu, mengapa dia sengaja mencuri obat untukmu?"
Mendengar itu barulah Lenghou Tiong paham duduknya perkara. Katanya, "Kiranya obat Lo-siansing ini akan digunakan untuk menyembuhkan penyakit putrimu, tetapi keliru kumakan sekarang, sungguh aku merasa tidak enak hati. Entah penyakit apakah yang diderita putrimu" Mengapa engkau tidak minta pertolongan kepada Sat-jin-beng-ih Peng-tayhu untuk mengobatinya?"
"Cis, siapa yang tidak tahu bila sakit harus minta pertolongan kepada Peng It-ci?" semprot Lo Thau-cu. "Dia menetapkan suatu peraturan setiap orang yang disembuhkan harus membunuh pula seorang sebagai pengganti nyawa. Aku khawatir dia menolak mengobati putriku, lebih dulu telah kubunuh habis delapan jiwa keluarga bininya, dengan demikian barulah dia merasa sungkan dan terpaksa memeriksa penyakit putriku. Menurut kesimpulannya penyakit putriku yang aneh itu sudah ada ketika meninggalkan kandungan ibunya, maka dia membuka resep obat Siok-beng-wan sebanyak delapan biji pil itu. Kalau tidak, aku sendiri bukan tabib, dari mana aku paham cara meracik obat segala?"
Cerita si buntak mengherankan Lenghou Tiong, tanyanya pula, "Cianpwe telah minta pertolongan kepada Peng-tayhu untuk mengobati putrimu, tapi mengapa malah membunuh habis seluruh keluarga mertuanya?"
"Kau ini benar-benar sangat goblok, kalau tidak dijelaskan tidak paham," omel Lo Thau-cu. "Musuh Peng It-ci sebenarnya tidak banyak, apa lagi beberapa tahun terakhir ini sudah habis dibunuh oleh pasien yang disembuhkan olehnya. Tapi selama hidup Peng It-ci paling benci kepada ibu mertuanya, soalnya dia takut bini, dia tidak berani membunuh ibu mertuanya itu, maka akulah yang mewakilkan dia turun tangan. Sesudah aku membunuh segenap keluarga ibu mertuanya, Peng It-ci sangat senang dan baru mengobati putriku dengan sesungguh hati."
"O, kiranya demikian," kata Lenghou Tiong. "Padahal obatmu yang katanya sangat mustajab itu tidak cocok bagi penyakitku. Entah bagaimana keadaan penyakit putrimu" Apakah masih keburu bila mengulangi mencari obat baru?"
Lo Thau-cu menjadi gusar, katanya, "Putriku paling lama hanya tahan hidup setengah atau setahun saja dan pasti akan mati, masakah sempat untuk mencari obat yang sangat sukar ditemukan itu" Sekarang tiada jalan lain, terpaksa aku mengobati dia dengan caraku sendiri."
Segera ia tarik sebuah kursi, ia paksa Lenghou Tiong duduk di situ, ia ambil pula seutas tambang dan mengikat kaki tangan Lenghou Tiong sekencangnya di kursi. Lalu ia robek baju bagian dada Lenghou Tiong sehingga kelihatan kulit dadanya yang putih.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Lenghou Tiong.
"Jangan terburu-buru, sebentar lagi kau akan tahu sendiri," sahut Lo Thau-cu dengan menyeringai. Habis itu ia terus angkat Lenghou Tiong berikut kursinya dan dibawa ke belakang. Sesudah menyusuri serambi samping, akhirnya ia menyingkap tirai dan masuk ke sebuah kamar.
Begitu berada dalam kamar itu, Lenghou Tiong lantas merasa sumpek luar biasa. Tertampak celah-celah jendela kamar itu dilem rapat dengar kertas sehingga kamar itu benar-benar tak tembus angin sedikit pun.
Di dalam kamar ada dua anglo, arangnya tampak membara. Kelambu tempat tidur tampak menjulai. Seluruh kamar hanya bau obat belaka.
Sesudah menaruh kursi bersama Lenghou Tiong yang terikat kencang di atasnya, si buntak lantas membuka kelambu, katanya dengan suara lembut, "Anak Ih, bagaimana keadaanmu hari ini?"
Di atas bantal berwarna kuning telur itu tampak berbaring sebuah wajah yang pucat dengan rambut yang panjang terurai di atas selimut sutra warna kuning gading. Usia nona itu kira-kira baru 17-18 tahun, kedua matanya terpejam rapat, bulu matanya sangat panjang. Terdengar dia menyapa, "Ayah!" dengan mata tetap tertutup.
"Anak Ih," kata Lo Thau-cu, "Siok-beng-wan yang kubuatkan untukmu sudah selesai. Hari ini juga boleh dimakan dan penyakitmu tentu akan segera sembuh, tidak lama kemudian kau pun dapat bangun dan bermain lagi."
Nona itu hanya bersuara perlahan sekali, agaknya tidak begitu tertarik akan ucapan sang ayah.
Lenghou Tiong merasa tidak tenteram demi melihat penyakit si nona yang payah itu. Ia dapat mengerti cinta kasih si buntak terhadap putrinya itu, apa yang diucapkannya tadi agaknya sekadar untuk menghibur putrinya saja.
Tapi Lo Thau-cu lantas memondong putrinya untuk didudukkan, katanya, "Kau duduk saja agar lebih leluasa minum obatmu ini. Obat ini tidak mudah diperoleh, jangan kau meremehkannya."
Perlahan nona itu bangun duduk, Lo Thau-cu mengambilkan dua buah bantal untuk mengganjal punggung putrinya itu. Waktu nona itu membuka mata, ia menjadi heran demi melihat Lenghou Tiong.
"Ayah, sia ... siapakah dia?" tanyanya kemudian sambil memandang Lenghou Tiong dengan sepasang mata bola yang hitam guram.
"Dia" O, dia bukan orang, dia adalah obat," sahut Lo Thau-cu sambil tersenyum.
"Dia adalah obat?" si nona menegas dengan bingung.
"Ya, dia adalah obat," kata pula Lo Thau-cu. "Pil Siok-beng-wan itu terlalu keras untuk dimakan begitu saja olehmu, maka lebih dulu dimakan dia, lalu kuambil darahnya untuk diminumkan kepadamu, dengan demikian barulah cocok."
"Oo," hanya sekian saja nona itu bersuara, lalu memejamkan mata pula.
Sudah tentu Lenghou Tiong terkejut dan gusar pula mendengar kata-kata Lo Thau-cu, segera ia bermaksud memakinya, tapi lantas terpikir olehnya, "Aku telah makan obat mujarab yang mestinya akan digunakan untuk menolong jiwa nona ini, walaupun tidak sengaja, tapi akulah yang telah membikin susah dia. Apalagi aku sendiri sudah tidak ingin hidup lebih lama lagi, jika sekarang darahku digunakan untuk menolong jiwanya sebagai penebus dosaku, cara ini pun boleh juga."
Karena itu ia hanya tersenyum pedih saja dan tidak membuka suara.
Lo Thou-cu berdiri di samping Lenghou Tiong, ia sudah siap, begitu Lenghou Tiong berteriak segera akan menutuk Hiat-to bisunya. Siapa duga sikap Lenghou Tiong tetap tenang-tenang saja dan tak ambil peduli, hal ini berbalik di luar dugaannya.
Segera Lo Thau-cu bertanya, "Aku akan menusuk ulu hatimu dan mengambil darahmu untuk mengobati putriku, kau takut atau tidak?"
"Kenapa mesti takut?" sahut Lenghou Tiong dengan hambar saja.
Lo Thau-cu coba mengamat-amati Lenghou Tiong, benar juga dilihatnya sikapnya tenang saja tanpa gentar, ia rada heran. Tanyanya pula, "Sekali kutusuk ulu hatimu, seketika jiwamu melayang. Sudah kukatakan di muka, nanti jangan menyalahkan aku."
Lenghou Tiong tersenyum pula, sahutnya, "Setiap orang akhirnya toh mesti mati, mati lebih cepat beberapa tahun atau mati lebih lambat beberapa tahun apa sih bedanya" Jika darahku dapat menolong jiwa nona itulah sangat bagus daripada aku mati percuma tanpa berfaedah bagi siapa pun."
"Sungguh hebat!" puji Lo Thau-cu sambil mengacungkan jari jempolnya. "Kesatria yang tidak gentar mati seperti dirimu jarang sekali kutemukan selama hidupku ini. Sayang putriku terpaksa harus minum darahmu supaya bisa sembuh, kalau tidak sungguh aku ingin mengampunimu saja."
Segera ia menuju ke dapur dan membawa datang sebuah baskom air panas yang masih mendidih. Tangan kanannya lantas memegang sebilah belati, tangan kiri mengambil sepotong handuk kecil, ia basahi dengan air panas itu, belati lantas ditempelkan di depan ulu hati Lenghou Tiong.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seruan Coh Jian-jiu di luar, "Lo Thau-cu! Lo Thau-cu! Lekas membuka pintu lekas! Aku membawa suatu barang baik untuk nona Siau Ih."
Lo Thau-cu tampak mengerut kening, sekali belatinya menggores, ia potong handuk kecil tadi menjadi dua, satu potong dijejalkan ke mulut Lenghou Tiong agar tidak dapat bersuara, lalu serunya, "Barang baik apa yang kau maksudkan?"
Sembari bicara ia lantas menaruh belatinya, kemudian lari keluar untuk membuka pintu dan menyilakan Coh Jian-jiu masuk ke dalam rumah.
Terdengar Coh Jian-jiu berkata pula, "Lo Thau-cu, cara bagaimana kau akan berterima kasih padaku dalam urusan ini" Karena urusannya terlalu mendesak, seketika aku tak bisa bertemu denganmu, terpaksa aku ambil Siok-beng-wanmu tanpa permisi dan menipu dia untuk meminumnya semua. Jika kau sendiri mengetahui persoalannya tentu kau pun akan mengantar sendiri obatmu kepadanya, tapi belum tentu dia mau meminumnya begitu saja."
Dengan gusar Lo Thau-cu mengomel, "Ngaco ...."
Tapi Coh Jian-jiu lantas menempelkan mulutnya ke tepi telinga Lo Thau-cu dan berbisik-bisik padanya beberapa patah kata. Habis itu sekonyong-konyong Lo Thau-cu melonjak kaget, teriaknya, "Apa betul demikian" Kau ... kau tidak mendustai aku?"
"Buat apa aku dusta?" sahut Coh Jian-jiu. "Sebelumnya aku sudah mencari tahu, setelah yakin dan pasti baru kukerjakan. Lo Thau-cu, kita adalah sahabat berpuluh tahun, kita sama-sama tahu perasaan masing-masing. Urusan yang telah kukerjakan ini cocok dengan perasaanmu atau tidak?"
"Betul, betul! Kurang ajar, kurang ajar!" sahut Lo Thau-cu.
"He, kenapa sudah betul kok kurang ajar lagi?" tanya Coh Jian-jiu terheran-heran.
"Kau yang betul dan aku yang kurang ajar!" sahut Lo Thau-cu.
Tanpa bicara Lo Thau-cu lantas menyeret Coh Jian-jiu masuk ke kamar putrinya, segera ia menjura dan menyembah kepada Lenghou Tiong, katanya, "Lenghou-kongcu, Lenghou-tayjin, Lenghou-siauya, hamba telah berbuat salah besar dan membikin susah padamu. Untung Thian Maha Pengasih, Coh Jian-jiu keburu tiba, kalau tidak, bila aku telanjur menubles hulu hatimu, biarpun aku dihukum gantung juga belum cukup untuk menebus dosaku ini."
Mulut Lenghou Tiong masih tersumbat, maka dia tidak dapat membuka suara. Syukur Coh Jian-jiu cukup teliti, segera ia mengorek keluar kain penyumbat mulut itu dan bertanya, "Lenghou-kongcu, mengapa engkau berada di sini?"
"He, Locianpwe silakan lekas bangun, penghormatan setinggi ini aku tak berani menerimanya," seru Lenghou Tiong.
Lo Thau-cu berkata pula, "Aku tidak tahu kalau Lenghou-kongcu mempunyai hubungan serapat ini dengan tuan penolongku yang paling berbudi sehingga telah banyak membikin susah padamu, ai, benar-benar kurang ajar aku ini dan pantas dihukum mampus. Seumpama aku mempunyai seratus orang putri dan harus mati semuanya juga aku tak berani minta pengaliran darah Lenghou-kongcu sedikit pun untuk menolong jiwa mereka."
Coh Jian-jiu masih belum paham duduknya perkara, dengan mata terbelalak ia tanya, "Lo Thau-cu, apa maksudmu kau meringkus Lenghou-kongcu di atas kursi ini?"
"Ai, pendek kata akulah yang salah, harap saja kau jangan tanya lebih jauh," sahut Lo Thau-cu dengan menyesal.
"Dan belati ini serta air panas di dalam baskom ini akan digunakan untuk apa?" tanya pula Jian-jiu.
Mendadak terdengar suara "plak-plok" berulang-ulang, Lo Thau-cu telah menggampar pipinya sendiri beberapa kali sehingga mukanya yang memang sudah gemuk bulat itu tambah bengkak melembung.
"Ya, aku pun tidak paham duduknya perkara dan masih bingung, diharap kedua Cianpwe sudi memberi penjelasan," kata Lenghou Tiong.
Lekas-lekas Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu melepaskan tali pengikatnya dan berkata, "Marilah kita sambil minum arak sembari bicara."
"Apakah penyakit putrimu takkan berubah gawat?" tanya Lenghou Tiong sambil memandang sekejap kepada si nona yang terbaring di tempat tidurnya itu.
"Tidak, takkan berubah," sahut Lo Thau-cu. "Seumpama akan berubah gawat juga ... ai, apa mau dikata lagi ...."
Begitulah Lo Thau-cu menyilakan Lenghou Tiong dan Coh Jian-jiu ke ruangan tamu, ia menuang tiga mangkuk arak dan menyiapkan pula sedikit makanan sebangsa kacang goreng dan lain-lain sebagai teman arak. Dengan penuh hormat ia angkat mangkuknya untuk ajak minum Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong coba menghirup seceguk, ia merasa arak itu kurang keras dan hambar, bedanya seperti langit dan bumi dengan ke-16 guci arak di perahunya itu. Tapi kalau dibandingkan kedelapan cawan arak yang disuguhkan Coh Jian-jiu itu rasanya jauh lebih sedap.
"Lenghou-kongcu, aku sudah tua bangka dan telah membikin susah padamu, ai, sungguh ... sungguh ...." begitulah Lo Thau-cu masih merasa menyesal, wajahnya tampak gugup dan entah apa yang harus diucapkannya baru dapat menggambarkan rasa menyesalnya itu.
"Lenghou-kongcu yang berjiwa besar tentu takkan menyalahkan dirimu," ujar Coh Jian-jiu. "Pula kau punya Siok-beng-wan itu jika benar-benar ada khasiatnya dan berfaedah bagi kesehatan Lenghou-kongcu, tentu kau berbalik akan berjasa malah."
"Tentang ... tentang jasa segala aku tidak berani terima," sahut Lo Thau-cu. "Coh-hiante, adalah jasamu yang paling besar."
"Aku telah mengambil obatmu, mungkin akan mengganggu kesehatan nona Siau Ih," kata Coh Jian-jiu dengan tertawa. "Ini ada sedikit jinsom, boleh minumkan padanya sekadar menguatkan badannya."
Habis berkata ia lantas mengambil sebuah bakul bambu yang dibawanya, dari dalam bakul dikeluarkannya beberapa batang jinsom yang beratnya ada sepuluhan kati.
"Wah, dari mana kau memperoleh jinsom sebanyak ini?" tanya Lo Thau-cu.
"Sudah tentu kupinjam dari toko obat," sahut Coh Jian-jiu dengan tertawa.
Lo Thau-cu ikut terbahak-bahak, katanya, "Ada ubi ada talas, pinjaman ini entah kapan baru bisa dibalas."
Walaupun si buntak tertawa-tawa, tapi di antara mata alisnya tertampak rasa sedih.
Lenghou Tiong lantas berkata, "Lo-siansing dan Coh-siansing, kalian masing-masing telah menipu aku, kemudian menculik dan meringkus aku di sini, semuanya ini sesungguhnya terlalu memandang enteng padaku."
"Ya, ya, memang kami berdua tua bangka ini pantas dihukum mati, entah cara bagaimana Lenghou kongcu akan menjatuhkan hukuman, sedikit pun kami tak berani mengelak," sahut Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu berbareng.
"Baik, ada sesuatu yang aku merasa tidak mengerti, kuharap kalian suka menjawab terus terang," kata Lenghou Tiong. "Aku ingin tanya, kalian segan kepada siapakah sehingga kalian demikian menghormat padaku?"
Kedua kakek itu saling pandang sekejap, lalu Coh Jian-jiu menjawab, "Lenghou-kongcu tentu sudah tahu di dalam batin, tentang nama tokoh itu, harap maaf, kami tak berani menyebutnya."
"Tapi aku benar-benar tidak tahu," kata Lenghou Tiong. Diam-diam ia pun menimbang-nimbang siapakah tokoh yang dimaksudkan itu" Apakah Hong-thaysiokco" Atau Put-kay Taysu" Atau Dian Pek-kong" Atau Lik-tiok-ong" Tapi kalau dipikirkan lebih mendalam rasanya toh bukan.
"Lenghou-kongcu," kata Coh Jian-jiu kemudian. "Pertanyaanmu ini sekali-kali kami tidak berani memberi jawaban, biarpun kau bunuh kami juga takkan kami katakan. Toh di dalam batin Kongcuya sendiri sudah tahu, buat apa mesti minta kami menyebut namanya?"
Melihat ucapan mereka sangat pasti, agaknya susah disuruh mengaku biarpun dipaksa, terpaksa Lenghou Tiong berkata, "Baiklah, kalian tidak mau mengatakan, tentu rasa mendongkolku juga sukar dilenyapkan. Lo-siansing, kau telah mengikat aku di atas kursi sehingga aku ketakutan setengah mati, sekarang aku pun ingin balas mengikat kalian di kursi, boleh jadi aku masih belum puas dan akan mengorek keluar hati kalian dengan belati."
Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu saling pandang sekejap, kata mereka kemudian, "Jika Lenghou-kongcu ingin meringkus kami, sudah tentu kami tidak berani melawan."
Segera Lo Thau-cu mengambilkan dua buah kursi dan beberapa utas tambang. Di dalam batin mereka tidak percaya Lenghou Tiong berniat meringkus mereka secara sungguh-sungguh, besar kemungkinan cuma bergurau saja.
Tak terduga Lenghou Tiong benar-benar lantas mengambil tali terus mengikat tangan mereka dengan menelikungnya ke belakang sandaran kursi. Lalu ia pegang belati milik Lo Thau-cu tadi, katanya, "Tenaga dalamku sudah punah, aku tak bisa menutuk kalian dengan jari tangan, terpaksa aku menggunakan gagang belati ini untuk menutuk Hiat-to kalian."
Habis itu ia lantas membalik belati yang dipegangnya itu, dengan gagang belati ia ketuk beberapa Hiat-to tertentu di atas tubuh kedua kakek itu sehingga tak bisa bergerak.
Keruan Coh Jian-jiu dan Lo Thau-cu saling pandang dengan heran, tanpa merasa timbul juga rasa khawatir mereka karena tidak tahu apa maksud tujuan Lenghou Tiong yang sebenarnya.
"Hendaknya kalian tunggu sebentar di sini," demikian Lenghou Tiong berkata, lalu putar tubuh dan melangkah keluar ruangan tamu.
Dengan membawa belati Lenghou Tiong menuju ke kamar putri Lo Thau-cu, setiba di luar kamar, ia berdehem dulu, lalu berkata, "Nona ... nona Siau Ih, bagaimana keadaanmu."
Semula Lenghou Tiong bermaksud memanggilnya "nona Lo", tapi ini berarti "nona tua" dan tidak pantas bagi gadis yang masih muda belia, maka dia lantas memanggil namanya seperti apa yang didengarnya dari panggilan Coh Jian-jiu tadi.
Maka terdengar nona Siau Ih hanya bersuara "Ehmmm" dan tidak menjawab.
Perlahan Lenghou Tiong menyingkap tirai pintu kamar dan melangkah masuk. Terlihat nona itu masih tetap duduk bersandar di atas bantal, kedua mata sedikit terbuka dan seperti orang baru bangun tidur.
Lenghou Tiong melangkah lebih dekat, tertampak kulit muka si nona putih halus laksana kaca sehingga otot-otot hijau di dalam daging kelihatan jelas. Keadaan nona itu agaknya sangat payah, tampaknya lebih banyak mengembuskan napas daripada menyedot hawa segar.
"Nona ini mestinya dapat diselamatkan, tapi obatnya telah telanjur kumakan sehingga membikin susah padanya. Aku sendiri toh sudah pasti akan mati, bisa hidup lebih lama beberapa hari atau tidak toh tiada bedanya bagiku," demikian pikir Lenghou Tiong sambil menghela napas panjang.
Segera ia ambil sebuah mangkuk porselen, ia taruh di atas meja, lalu belati digunakan untuk memotong nadi pergelangan tangan kiri, seketika darah bercucuran dan mengalir ke dalam mangkuk. Ia lihat air mendidih yang disiapkan Lo Thau-cu tadi masih mengepulkan asap panas, segera ia taruh belatinya, tangannya dicelup ke dalam air panas itu, lalu diusapkan pada luka pergelangan tangan kiri agar darah di tempat luka itu tidak lekas membeku. Maka hanya sebentar saja mangkuk porselen itu sudah hampir diisi dengan darah segar.
Dalam keadaan sadar tak sadar nona Siau Ih mencium bau anyirnya darah, ia membuka mata, melihat darah mengucur dari pergelangan tangan Lenghou Tiong, sakit kagetnya ia sampai menjerit.
Mendengar suara jeritan Siau Ih itu, Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu yang terikat di ruang tamu sana saling pandang dengan bingung karena tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Lenghou Tiong atas diri gadis itu. Di dalam hati kedua orang ada dugaan tertentu, tapi keduanya sama-sama tidak berani mengemukakan perasaannya lebih dahulu.
Dalam pada itu Lenghou Tiong sudah penuh mengisi mangkuk tadi dengan darahnya, segera ia membawa darah itu ke hadapan Siau Ih dan berkata, "Lekas kau minum, di dalam darah ini mengandung obat mujarab yang dapat menyembuhkan penyakitmu."
"Ti ... tidak, aku ... aku takut, aku tidak mau minum," sahut Siau Ih.
Sesudah mengalirkan darah semangkuk, rasa badan Lenghou Tiong menjadi enteng dan kaki tangannya lemas. Jika si nona tak mau minum darah itu kan sia-sia saja pengorbanannya"
Maka ia coba menggertaknya, dengan belati terhunus ia membentaknya, "Kau mau minum tidak" Jika tidak, segera kutikam mati kau?"
Menyusul ujung belatinya ia ancam di tenggorokan si nona.
Siau Ih menjadi takut, terpaksa membuka mulut dan menghirup darah di dalam mangkuk itu. Beberapa kali ia merasa mual dan hendak muntah, tapi demi melihat ujung belati yang mengilap itu, dalam takutnya hilanglah rasa mualnya.
Setelah habis darah semangkuk itu, Lenghou Tiong melihat luka pada pergelangan tangan sendiri itu sudah membeku, darah tidak menetes keluar lagi. Ia pikir kadar obat Siok-beng-wan yang tercampur dalam darah yang diminumkan kepada Siau Ih itu tentu terlalu sedikit dan tak berguna, rasanya harus mencekoki si nona beberapa mangkuk lagi, sampai diri sendiri lemas dan tak bisa berkutik barulah jadi.
Segera Lenghou Tiong memotong pula nadi pergelangan kanan dan mencurahkan darahnya untuk mencekoki Siau Ih.
"Janganlah kau paksa aku, aku benar-benar tidak ... tidak sanggup lagi," kata Siau Ih sambil mengerut kening.
"Sanggup atau tidak sanggup harus kau minum lekas!" kata Lenghou Tiong.
"Ken ... kenapa engkau berbuat begini" Cara ... cara demikian kan merugikan badanmu sendiri?" ujar Siau Ih.
"Merugikan badanku tidak menjadi soal, aku hanya ingin kau sembuh," sahut Lenghou Tiong sambil tersenyum getir.
Di sebelah sana Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian yang kena dijaring oleh Lo Thau-cu tadi sudah kehabisan akal karena semakin mereka meronta semakin kencang pula jaring itu menyurut, sampai akhirnya kedua orang tak bisa berkutik lagi. Namun mata telinga mereka tetap tidak mau menganggur dan masih saling berdebat.
Waktu Lenghou Tiong mengikat Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu di kursi, semula Tho-ki-sian mengira pemuda itu pasti akan membunuh kedua kakek itu, sedang Tho-sit-sian percaya dia pasti akan membebaskan mereka berdua yang terjebak itu. Tak terduga percuma saja mereka berdebat setengah harian, sama sekali Lenghou Tiong tidak urus mereka sebaliknya masuk ke kamar Siau Ih.
Karena kamar Siau Ih itu ditutup dengan rapat, sampai celah-celah jendela pun dilem dengan kertas sehingga percakapan Lenghou Tiong dan Siau Ih sayup-sayup hanya dapat terdengar sebagian.
Tho-ki-sian, Tho-sit-sian, Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu serta Gak Put-kun yang sedang mengintip di luar itu semuanya memiliki Lwekang sangat tinggi, tapi apa yang dilakukan Lenghou Tiong di dalam kamar Siau Ih, mereka hanya dapat menduga-duga menurut jalan pikirannya masing-masing.
Ketika mendadak terdengar jeritan Siau Ih, wajah kelima orang itu sama berubah semua.
Tho-ki-sian berkata, "Seorang pemuda seperti Lenghou Tiong itu, untuk apa dia masuk ke kamar anak gadis orang?"
"Coba dengar," sahut Tho-sit-sian. "Nona itu agak sangat takut, dia sedang meratap, "Aku ... takut!" Wah, Lenghou Tiong lagi mengancam akan membunuhnya, katanya, "Jika kau tidak mau ...." Tidak mau apa maksudnya?"
"Apa lagi" Sudah tentu dia sedang memaksa nona itu menjadi istrinya," ujar Tho-ki-sian.
"Hahaha! Sungguh menggelikan!" Tho-sit-sian terbahak-bahak. "Putri si buntak yang berpotongan buah semangka itu dengan sendirinya juga pendek gemuk bulat seperti bola, mengapa Lenghou Tiong paksa memperistrikan dia?"
"Ah, masakan apa pun, setiap orang mempunyai selera dan kesukaan sendiri-sendiri. Boleh jadi Lenghou Tiong itu paling suka pada wanita gemuk buntak, maka begitu melihatnya semangatnya lantas terbang ke awang-awang," demikian kata Tho-ki-sian.
"He, coba dengarkan!" bisik Tho-sit-sian. "Nona gemuk itu sedang minta ampun, katanya, "Janganlah kau paksa aku, aku benar-benar tidak sanggup lagi.?"
"Ya, agaknya Lenghou Tiong itu benar-benar pemuda mahaperkasa, katanya, "Sanggup atau tidak sanggup juga harus lekas, lekas!?"
"Lekas" Apa maksudnya Lenghou Tiong suruh dia lekas?" tanya Tho-sit-sian.
"Kau tidak pernah beristri, masih jejaka, sudah tentu kau tidak paham," kata Tho-ki-sian.
"Memangnya kau sendiri pernah beristri" Huh, tidak tahu malu!" jawab Tho-sit-sian. Habis itu ia lantas berteriak-teriak, "He, hei! Lo Thau-cu. Lenghou Tiong sedang memaksa putrimu untuk menjadi istrinya, mengapa kau diam-diam saja tanpa memberi pertolongan?"
Meskipun tubuh Tho-sit-sian tak bisa berkutik, tapi mulutnya tetap tidak mau menganggur, terus-menerus ia berdebat dengan Tho-ki-sian, katanya, "Toako dan lain-lain tidak ada di sini, biarpun kau dapat menyusul si buntak juga tak bisa mengapa-apakan dia. Jika tak mampu mengapa-apakan dia, kau bilang akan mengudak dia sampai ke mana pun kan hanya gertak sambal belaka?"
"Walaupun cuma gertak sambal juga ada faedahnya untuk menggertak musuh daripada tidak berbuat apa-apa," ujar Tho-ki-sian.
Ginkang Tho-ki-sian benar-benar hebat, tenaga dalamnya juga sangat kuat, biarpun membawa beban satu orang sambil mulut mencerocos, tapi kecepatan larinya tak pernah kendur.
Diam-diam Gak Put-kun terperanjat. Ia tidak tahu dari golongan manakah kepandaian keenam manusia kosen itu" Untung mereka suka angin-anginan, tingkah lakunya rada dogol, kalau tidak tentu akan merupakan musuh yang sukar dilayani.
Begitulah tiga orang itu kejar-mengejar dengan cepat menuju ke arah timur laut. Jalanan makin lama makin terjal, nyata mereka sedang mendaki jalan pegunungan.
Mendadak Gak Put-kun teringat, "Jangan-jangan si buntak itu menyembunyikan bala bantuan lihai di lembah pegunungan ini untuk memancing kedatanganku" Jika demikian sungguh teramat bahaya jika aku masuk perangkapnya."
Selagi ia merandek untuk memikir, tertampak si buntak yang membawa lari Lenghou Tiong itu telah menuju ke suatu rumah genting di lereng gunung sana, sesudah dekat ia terus melompat masuk ke halaman rumah itu dengan melintasi pagar tembok.
Kelihatan Tho-ki-sian yang memondong Tho-sit-sian itu juga lantas melompati pagar tembok. Tapi mendadak terdengar suara jeritannya, nyata dia telah masuk perangkap yang terpasang di balik pagar tembok.
Gak Put-kun juga sudah mengejar sampai di tepi pagar tembok itu, tapi ia lantas berhenti dan pasang kuping. Terdengar Tho-sit-sian sedang berkata, "Sudah lama kukatakan padamu agar hati-hati, coba sekarang kau kena diringkus orang di dalam jaring sehingga mirip seekor ikan, sungguh sialan."
"Pertama, bukan seekor, tapi dua ekor ikan. Kedua, kapan kau pernah menyuruh aku berhati-hati?" demikian sahut Tho-ki-sian.
"Eh, dahulu waktu kecil, ketika kita pergi mencuri buah mangga orang yang pohonnya berada di halaman rumah, bukankah pernah kusuruh kau berhati-hati" Masakah kau sudah lupa?"
"Itu kan dahulu, kejadian 40 tahun yang lalu ada sangkut paut apa dengan kejadian sekarang ini?" sahut Tho-ki-sian.
"Sudah tentu ada sangkut pautnya," Tho-sit-sian. "Karena dahulu kau kurang hati-hati sehingga terperosot jatuh dan ditangkap orang dan dihajar. Untung Toako, Jiko dan lain-lain keburu datang menolong dan membunuh habis keluarga orang itu. Sekarang kau kurang hati-hati lagi dan kembali tertangkap pula."
"Kenapa mesti khawatir, paling-paling Toako dan lain-lain memburu tiba dan membunuh habis pula segenap keluarga orang ini," kata Tho-ki-sian.
"Hm," terdengar si buntak mendengus. "Kematian kalian sudah di depan mata, masih berani mengigau akan membunuh orang segala. Lebih baik tutup mulut kalian supaya telingaku tidak panas."
Lalu terdengar Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian bersuara bertahan. Agaknya si buntak telah menyumbat sesuatu di mulut kedua orang itu sehingga tidak mampu membuka suara.
Gak Put-kun pasang kuping pula sejenak, tapi tidak mendengar sesuatu suara. Ia coba mengitar ke belakang sana, tertampak di luar pekarangan tumbuh satu pohon besar. Ia memanjat pohon itu dan memandang ke dalam. Kiranya di dalam situ adalah sebuah rumah genting yang kecil, kira-kira dua-tiga meter jaraknya dengan pagar tembok dan rumah itu tentu ada perangkapnya.
Maka ia sengaja sembunyi di atas pohon yang tertutup oleh daun lebat, ia kerahkan Ci-he-sin-kang untuk mendengarkan. Terdengarlah suara si buntak sedang bertanya, "Sesungguhnya Coh Jian-jiu si tua bangka itu ada hubungan apa dengan dirimu?"
"Baru pertama kali ini aku melihat orang seperti Coh Jian-jiu itu, maka tak dapat dikatakan ada hubungan apa," demikian suara Lenghou Tiong sedang menjawab.
"Urusan sudah begini dan kau masih berdusta," seru si buntak dengan gusar, "Apa kau tidak tahu bahwa sekali sudah jatuh dalam cengkeramanku, maka kau pasti akan mati dengan mengerikan."
"Aku tahu engkau tentu sangat marah karena obatmu yang katanya mujarab itu telah kumakan tanpa sengaja," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. "Tapi rasanya obatmu itu toh tiada tampak khasiatnya, sudah sekian lamanya kuminum obatmu itu namun sedikit pun aku tidak merasakan apa-apa."
"Memangnya kau kira begitu cepat akan tampak khasiatnya?" kata si buntak dengan gusar. "Datangnya penyakit biasanya mendadak, sembuhnya penyakit justru sedikit demi sedikit. Khasiatnya obat itu baru dapat tampak sesudah tiga hari nanti."
"Baiklah, jika kau mau membunuh aku boleh silakan, toh aku tak bertenaga dan tak mampu melawan," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Hm, kau ingin mati dengan enak, jangan harap. Aku harus menanyai lebih dulu," damprat si buntak. "Keparat, Coh Jian-jiu adalah kawanku selama beberapa puluh tahun, sekarang ternyata mengkhianati kawan sendiri, tentu dalam hal ini ada sebab-sebabnya. Hoa-san-pay kalian tidak laku sepeser pun bagi penilaian "Hongho Lo-coh" kami, sudah tentu bukan lantaran kau adalah murid Hoa-san-pay sehingga dia perlu mencuri aku punya Siok-beng-wan untuk diminumkan padamu. Ai, sungguh aneh bin ajaib, ajaib binti heran!"
"O, kiranya julukanmu adalah "Hongho Lo-coh" maafkan kalau aku berlaku kurang hormat," kata Lenghou Tiong.
"Ngaco-belo," semprot si buntak dengan marah. "Seorang diri mana aku dapat menjadi Hongho Lo-coh?"
"He, mengapa tidak dapat?" tanya Lenghou Tiong heran.
"Hongho Lo-coh terdiri dari dua orang, yang satu she Lo, yang lain she Coh, masakah begini saja tidak paham, sungguh goblok," omel si buntak. "Coh Cong, Coh Jian-jiu she Coh, aku Lo Ya, Lo Thau-cu she Lo, kami berdua bersemayam di sepanjang lembah Hongho, maka kami disebut sebagai Hongho Lo-coh."
"Aneh, mengapa yang seorang bernama Lo Ya (tuan besar) dan yang lain bernama Coh (kakek moyang)?" tanya Lenghou Tiong.
"Kau sendiri masih hijau seperti katak dalam tempurung dan tidak tahu bahwa di dunia ini ada orang she Lo dan she Coh," kata si buntak. "Aku sendiri she Lo (tua) bernama Ya (tua) alias Thau-cu (kakek), atau Lo Thau-cu (kakek tua) ...."
Saking gelinya Lenghou Tiong mengakak tawa, katanya, "Jika demikian, Coh Jian-jiu itu she Coh bernama Cong (nenek moyang)?"
"Memang begitulah," sahut si buntak alias Lo Thau-cu. Setelah merandek sejenak lalu ia berkata pula, "Eh, kau tidak kenal nama Coh Jian-jiu, jika begitu boleh jadi kau memang tiada hubungan keluarga apa-apa dengan dia. Tapi, ai, salah. Apa kau bukan anaknya Coh Jian-jiu?"
Lenghou Tiong tambah geli, sahutnya, "Cara bagaimana aku bisa menjadi anaknya" Dia she Coh, aku she Lenghou, mana dapat keduanya dihubung-hubungkan?"
"Sungguh aneh," demikian Lo Thau-cu bergumam sendiri. "Dengan susah payah, dengan segala tipu daya akhirnya baru dapat kuracik delapan biji Siok-beng-wan yang mestinya hendak kugunakan mengobati penyakit putri mestikaku. Kau bukan anaknya Coh Jian-jiu, mengapa dia sengaja mencuri obat untukmu?"
Mendengar itu barulah Lenghou Tiong paham duduknya perkara. Katanya, "Kiranya obat Lo-siansing ini akan digunakan untuk menyembuhkan penyakit putrimu, tetapi keliru kumakan sekarang, sungguh aku merasa tidak enak hati. Entah penyakit apakah yang diderita putrimu" Mengapa engkau tidak minta pertolongan kepada Sat-jin-beng-ih Peng-tayhu untuk mengobatinya?"
"Cis, siapa yang tidak tahu bila sakit harus minta pertolongan kepada Peng It-ci?" semprot Lo Thau-cu. "Dia menetapkan suatu peraturan setiap orang yang disembuhkan harus membunuh pula seorang sebagai pengganti nyawa. Aku khawatir dia menolak mengobati putriku, lebih dulu telah kubunuh habis delapan jiwa keluarga bininya, dengan demikian barulah dia merasa sungkan dan terpaksa memeriksa penyakit putriku. Menurut kesimpulannya penyakit putriku yang aneh itu sudah ada ketika meninggalkan kandungan ibunya, maka dia membuka resep obat Siok-beng-wan sebanyak delapan biji pil itu. Kalau tidak, aku sendiri bukan tabib, dari mana aku paham cara meracik obat segala?"
Cerita si buntak mengherankan Lenghou Tiong, tanyanya pula, "Cianpwe telah minta pertolongan kepada Peng-tayhu untuk mengobati putrimu, tapi mengapa malah membunuh habis seluruh keluarga mertuanya?"
"Kau ini benar-benar sangat goblok, kalau tidak dijelaskan tidak paham," omel Lo Thau-cu. "Musuh Peng It-ci sebenarnya tidak banyak, apa lagi beberapa tahun terakhir ini sudah habis dibunuh oleh pasien yang disembuhkan olehnya. Tapi selama hidup Peng It-ci paling benci kepada ibu mertuanya, soalnya dia takut bini, dia tidak berani membunuh ibu mertuanya itu, maka akulah yang mewakilkan dia turun tangan. Sesudah aku membunuh segenap keluarga ibu mertuanya, Peng It-ci sangat senang dan baru mengobati putriku dengan sesungguh hati."
"O, kiranya demikian," kata Lenghou Tiong. "Padahal obatmu yang katanya sangat mustajab itu tidak cocok bagi penyakitku. Entah bagaimana keadaan penyakit putrimu" Apakah masih keburu bila mengulangi mencari obat baru?"
Lo Thau-cu menjadi gusar, katanya, "Putriku paling lama hanya tahan hidup setengah atau setahun saja dan pasti akan mati, masakah sempat untuk mencari obat yang sangat sukar ditemukan itu" Sekarang tiada jalan lain, terpaksa aku mengobati dia dengan caraku sendiri."
Segera ia tarik sebuah kursi, ia paksa Lenghou Tiong duduk di situ, ia ambil pula seutas tambang dan mengikat kaki tangan Lenghou Tiong sekencangnya di kursi. Lalu ia robek baju bagian dada Lenghou Tiong sehingga kelihatan kulit dadanya yang putih.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Lenghou Tiong.
"Jangan terburu-buru, sebentar lagi kau akan tahu sendiri," sahut Lo Thau-cu dengan menyeringai. Habis itu ia terus angkat Lenghou Tiong berikut kursinya dan dibawa ke belakang. Sesudah menyusuri serambi samping, akhirnya ia menyingkap tirai dan masuk ke sebuah kamar.
Begitu berada dalam kamar itu, Lenghou Tiong lantas merasa sumpek luar biasa. Tertampak celah-celah jendela kamar itu dilem rapat dengar kertas sehingga kamar itu benar-benar tak tembus angin sedikit pun.
Di dalam kamar ada dua anglo, arangnya tampak membara. Kelambu tempat tidur tampak menjulai. Seluruh kamar hanya bau obat belaka.
Sesudah menaruh kursi bersama Lenghou Tiong yang terikat kencang di atasnya, si buntak lantas membuka kelambu, katanya dengan suara lembut, "Anak Ih, bagaimana keadaanmu hari ini?"
Di atas bantal berwarna kuning telur itu tampak berbaring sebuah wajah yang pucat dengan rambut yang panjang terurai di atas selimut sutra warna kuning gading. Usia nona itu kira-kira baru 17-18 tahun, kedua matanya terpejam rapat, bulu matanya sangat panjang. Terdengar dia menyapa, "Ayah!" dengan mata tetap tertutup.
"Anak Ih," kata Lo Thau-cu, "Siok-beng-wan yang kubuatkan untukmu sudah selesai. Hari ini juga boleh dimakan dan penyakitmu tentu akan segera sembuh, tidak lama kemudian kau pun dapat bangun dan bermain lagi."
Nona itu hanya bersuara perlahan sekali, agaknya tidak begitu tertarik akan ucapan sang ayah.
Lenghou Tiong merasa tidak tenteram demi melihat penyakit si nona yang payah itu. Ia dapat mengerti cinta kasih si buntak terhadap putrinya itu, apa yang diucapkannya tadi agaknya sekadar untuk menghibur putrinya saja.
Tapi Lo Thau-cu lantas memondong putrinya untuk didudukkan, katanya, "Kau duduk saja agar lebih leluasa minum obatmu ini. Obat ini tidak mudah diperoleh, jangan kau meremehkannya."
Perlahan nona itu bangun duduk, Lo Thau-cu mengambilkan dua buah bantal untuk mengganjal punggung putrinya itu. Waktu nona itu membuka mata, ia menjadi heran demi melihat Lenghou Tiong.
"Ayah, sia ... siapakah dia?" tanyanya kemudian sambil memandang Lenghou Tiong dengan sepasang mata bola yang hitam guram.
"Dia" O, dia bukan orang, dia adalah obat," sahut Lo Thau-cu sambil tersenyum.
"Dia adalah obat?" si nona menegas dengan bingung.
"Ya, dia adalah obat," kata pula Lo Thau-cu. "Pil Siok-beng-wan itu terlalu keras untuk dimakan begitu saja olehmu, maka lebih dulu dimakan dia, lalu kuambil darahnya untuk diminumkan kepadamu, dengan demikian barulah cocok."
"Oo," hanya sekian saja nona itu bersuara, lalu memejamkan mata pula.
Sudah tentu Lenghou Tiong terkejut dan gusar pula mendengar kata-kata Lo Thau-cu, segera ia bermaksud memakinya, tapi lantas terpikir olehnya, "Aku telah makan obat mujarab yang mestinya akan digunakan untuk menolong jiwa nona ini, walaupun tidak sengaja, tapi akulah yang telah membikin susah dia. Apalagi aku sendiri sudah tidak ingin hidup lebih lama lagi, jika sekarang darahku digunakan untuk menolong jiwanya sebagai penebus dosaku, cara ini pun boleh juga."
Karena itu ia hanya tersenyum pedih saja dan tidak membuka suara.
Lo Thou-cu berdiri di samping Lenghou Tiong, ia sudah siap, begitu Lenghou Tiong berteriak segera akan menutuk Hiat-to bisunya. Siapa duga sikap Lenghou Tiong tetap tenang-tenang saja dan tak ambil peduli, hal ini berbalik di luar dugaannya.
Segera Lo Thau-cu bertanya, "Aku akan menusuk ulu hatimu dan mengambil darahmu untuk mengobati putriku, kau takut atau tidak?"
"Kenapa mesti takut?" sahut Lenghou Tiong dengan hambar saja.
Lo Thau-cu coba mengamat-amati Lenghou Tiong, benar juga dilihatnya sikapnya tenang saja tanpa gentar, ia rada heran. Tanyanya pula, "Sekali kutusuk ulu hatimu, seketika jiwamu melayang. Sudah kukatakan di muka, nanti jangan menyalahkan aku."
Lenghou Tiong tersenyum pula, sahutnya, "Setiap orang akhirnya toh mesti mati, mati lebih cepat beberapa tahun atau mati lebih lambat beberapa tahun apa sih bedanya" Jika darahku dapat menolong jiwa nona itulah sangat bagus daripada aku mati percuma tanpa berfaedah bagi siapa pun."
"Sungguh hebat!" puji Lo Thau-cu sambil mengacungkan jari jempolnya. "Kesatria yang tidak gentar mati seperti dirimu jarang sekali kutemukan selama hidupku ini. Sayang putriku terpaksa harus minum darahmu supaya bisa sembuh, kalau tidak sungguh aku ingin mengampunimu saja."
Segera ia menuju ke dapur dan membawa datang sebuah baskom air panas yang masih mendidih. Tangan kanannya lantas memegang sebilah belati, tangan kiri mengambil sepotong handuk kecil, ia basahi dengan air panas itu, belati lantas ditempelkan di depan ulu hati Lenghou Tiong.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seruan Coh Jian-jiu di luar, "Lo Thau-cu! Lo Thau-cu! Lekas membuka pintu lekas! Aku membawa suatu barang baik untuk nona Siau Ih."
Lo Thau-cu tampak mengerut kening, sekali belatinya menggores, ia potong handuk kecil tadi menjadi dua, satu potong dijejalkan ke mulut Lenghou Tiong agar tidak dapat bersuara, lalu serunya, "Barang baik apa yang kau maksudkan?"
Sembari bicara ia lantas menaruh belatinya, kemudian lari keluar untuk membuka pintu dan menyilakan Coh Jian-jiu masuk ke dalam rumah.
Terdengar Coh Jian-jiu berkata pula, "Lo Thau-cu, cara bagaimana kau akan berterima kasih padaku dalam urusan ini" Karena urusannya terlalu mendesak, seketika aku tak bisa bertemu denganmu, terpaksa aku ambil Siok-beng-wanmu tanpa permisi dan menipu dia untuk meminumnya semua. Jika kau sendiri mengetahui persoalannya tentu kau pun akan mengantar sendiri obatmu kepadanya, tapi belum tentu dia mau meminumnya begitu saja."
Dengan gusar Lo Thau-cu mengomel, "Ngaco ...."
Tapi Coh Jian-jiu lantas menempelkan mulutnya ke tepi telinga Lo Thau-cu dan berbisik-bisik padanya beberapa patah kata. Habis itu sekonyong-konyong Lo Thau-cu melonjak kaget, teriaknya, "Apa betul demikian" Kau ... kau tidak mendustai aku?"
"Buat apa aku dusta?" sahut Coh Jian-jiu. "Sebelumnya aku sudah mencari tahu, setelah yakin dan pasti baru kukerjakan. Lo Thau-cu, kita adalah sahabat berpuluh tahun, kita sama-sama tahu perasaan masing-masing. Urusan yang telah kukerjakan ini cocok dengan perasaanmu atau tidak?"
"Betul, betul! Kurang ajar, kurang ajar!" sahut Lo Thau-cu.
"He, kenapa sudah betul kok kurang ajar lagi?" tanya Coh Jian-jiu terheran-heran.
"Kau yang betul dan aku yang kurang ajar!" sahut Lo Thau-cu.
Tanpa bicara Lo Thau-cu lantas menyeret Coh Jian-jiu masuk ke kamar putrinya, segera ia menjura dan menyembah kepada Lenghou Tiong, katanya, "Lenghou-kongcu, Lenghou-tayjin, Lenghou-siauya, hamba telah berbuat salah besar dan membikin susah padamu. Untung Thian Maha Pengasih, Coh Jian-jiu keburu tiba, kalau tidak, bila aku telanjur menubles hulu hatimu, biarpun aku dihukum gantung juga belum cukup untuk menebus dosaku ini."
Mulut Lenghou Tiong masih tersumbat, maka dia tidak dapat membuka suara. Syukur Coh Jian-jiu cukup teliti, segera ia mengorek keluar kain penyumbat mulut itu dan bertanya, "Lenghou-kongcu, mengapa engkau berada di sini?"
"He, Locianpwe silakan lekas bangun, penghormatan setinggi ini aku tak berani menerimanya," seru Lenghou Tiong.
Lo Thau-cu berkata pula, "Aku tidak tahu kalau Lenghou-kongcu mempunyai hubungan serapat ini dengan tuan penolongku yang paling berbudi sehingga telah banyak membikin susah padamu, ai, benar-benar kurang ajar aku ini dan pantas dihukum mampus. Seumpama aku mempunyai seratus orang putri dan harus mati semuanya juga aku tak berani minta pengaliran darah Lenghou-kongcu sedikit pun untuk menolong jiwa mereka."
Coh Jian-jiu masih belum paham duduknya perkara, dengan mata terbelalak ia tanya, "Lo Thau-cu, apa maksudmu kau meringkus Lenghou-kongcu di atas kursi ini?"
"Ai, pendek kata akulah yang salah, harap saja kau jangan tanya lebih jauh," sahut Lo Thau-cu dengan menyesal.
"Dan belati ini serta air panas di dalam baskom ini akan digunakan untuk apa?" tanya pula Jian-jiu.
Mendadak terdengar suara "plak-plok" berulang-ulang, Lo Thau-cu telah menggampar pipinya sendiri beberapa kali sehingga mukanya yang memang sudah gemuk bulat itu tambah bengkak melembung.
"Ya, aku pun tidak paham duduknya perkara dan masih bingung, diharap kedua Cianpwe sudi memberi penjelasan," kata Lenghou Tiong.
Lekas-lekas Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu melepaskan tali pengikatnya dan berkata, "Marilah kita sambil minum arak sembari bicara."
"Apakah penyakit putrimu takkan berubah gawat?" tanya Lenghou Tiong sambil memandang sekejap kepada si nona yang terbaring di tempat tidurnya itu.
"Tidak, takkan berubah," sahut Lo Thau-cu. "Seumpama akan berubah gawat juga ... ai, apa mau dikata lagi ...."
Begitulah Lo Thau-cu menyilakan Lenghou Tiong dan Coh Jian-jiu ke ruangan tamu, ia menuang tiga mangkuk arak dan menyiapkan pula sedikit makanan sebangsa kacang goreng dan lain-lain sebagai teman arak. Dengan penuh hormat ia angkat mangkuknya untuk ajak minum Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong coba menghirup seceguk, ia merasa arak itu kurang keras dan hambar, bedanya seperti langit dan bumi dengan ke-16 guci arak di perahunya itu. Tapi kalau dibandingkan kedelapan cawan arak yang disuguhkan Coh Jian-jiu itu rasanya jauh lebih sedap.
"Lenghou-kongcu, aku sudah tua bangka dan telah membikin susah padamu, ai, sungguh ... sungguh ...." begitulah Lo Thau-cu masih merasa menyesal, wajahnya tampak gugup dan entah apa yang harus diucapkannya baru dapat menggambarkan rasa menyesalnya itu.
"Lenghou-kongcu yang berjiwa besar tentu takkan menyalahkan dirimu," ujar Coh Jian-jiu. "Pula kau punya Siok-beng-wan itu jika benar-benar ada khasiatnya dan berfaedah bagi kesehatan Lenghou-kongcu, tentu kau berbalik akan berjasa malah."
"Tentang ... tentang jasa segala aku tidak berani terima," sahut Lo Thau-cu. "Coh-hiante, adalah jasamu yang paling besar."
"Aku telah mengambil obatmu, mungkin akan mengganggu kesehatan nona Siau Ih," kata Coh Jian-jiu dengan tertawa. "Ini ada sedikit jinsom, boleh minumkan padanya sekadar menguatkan badannya."
Habis berkata ia lantas mengambil sebuah bakul bambu yang dibawanya, dari dalam bakul dikeluarkannya beberapa batang jinsom yang beratnya ada sepuluhan kati.
"Wah, dari mana kau memperoleh jinsom sebanyak ini?" tanya Lo Thau-cu.
"Sudah tentu kupinjam dari toko obat," sahut Coh Jian-jiu dengan tertawa.
Lo Thau-cu ikut terbahak-bahak, katanya, "Ada ubi ada talas, pinjaman ini entah kapan baru bisa dibalas."
Walaupun si buntak tertawa-tawa, tapi di antara mata alisnya tertampak rasa sedih.
Lenghou Tiong lantas berkata, "Lo-siansing dan Coh-siansing, kalian masing-masing telah menipu aku, kemudian menculik dan meringkus aku di sini, semuanya ini sesungguhnya terlalu memandang enteng padaku."
"Ya, ya, memang kami berdua tua bangka ini pantas dihukum mati, entah cara bagaimana Lenghou kongcu akan menjatuhkan hukuman, sedikit pun kami tak berani mengelak," sahut Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu berbareng.
"Baik, ada sesuatu yang aku merasa tidak mengerti, kuharap kalian suka menjawab terus terang," kata Lenghou Tiong. "Aku ingin tanya, kalian segan kepada siapakah sehingga kalian demikian menghormat padaku?"
Kedua kakek itu saling pandang sekejap, lalu Coh Jian-jiu menjawab, "Lenghou-kongcu tentu sudah tahu di dalam batin, tentang nama tokoh itu, harap maaf, kami tak berani menyebutnya."
"Tapi aku benar-benar tidak tahu," kata Lenghou Tiong. Diam-diam ia pun menimbang-nimbang siapakah tokoh yang dimaksudkan itu" Apakah Hong-thaysiokco" Atau Put-kay Taysu" Atau Dian Pek-kong" Atau Lik-tiok-ong" Tapi kalau dipikirkan lebih mendalam rasanya toh bukan.
"Lenghou-kongcu," kata Coh Jian-jiu kemudian. "Pertanyaanmu ini sekali-kali kami tidak berani memberi jawaban, biarpun kau bunuh kami juga takkan kami katakan. Toh di dalam batin Kongcuya sendiri sudah tahu, buat apa mesti minta kami menyebut namanya?"
Melihat ucapan mereka sangat pasti, agaknya susah disuruh mengaku biarpun dipaksa, terpaksa Lenghou Tiong berkata, "Baiklah, kalian tidak mau mengatakan, tentu rasa mendongkolku juga sukar dilenyapkan. Lo-siansing, kau telah mengikat aku di atas kursi sehingga aku ketakutan setengah mati, sekarang aku pun ingin balas mengikat kalian di kursi, boleh jadi aku masih belum puas dan akan mengorek keluar hati kalian dengan belati."
Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu saling pandang sekejap, kata mereka kemudian, "Jika Lenghou-kongcu ingin meringkus kami, sudah tentu kami tidak berani melawan."
Segera Lo Thau-cu mengambilkan dua buah kursi dan beberapa utas tambang. Di dalam batin mereka tidak percaya Lenghou Tiong berniat meringkus mereka secara sungguh-sungguh, besar kemungkinan cuma bergurau saja.
Tak terduga Lenghou Tiong benar-benar lantas mengambil tali terus mengikat tangan mereka dengan menelikungnya ke belakang sandaran kursi. Lalu ia pegang belati milik Lo Thau-cu tadi, katanya, "Tenaga dalamku sudah punah, aku tak bisa menutuk kalian dengan jari tangan, terpaksa aku menggunakan gagang belati ini untuk menutuk Hiat-to kalian."
Habis itu ia lantas membalik belati yang dipegangnya itu, dengan gagang belati ia ketuk beberapa Hiat-to tertentu di atas tubuh kedua kakek itu sehingga tak bisa bergerak.
Keruan Coh Jian-jiu dan Lo Thau-cu saling pandang dengan heran, tanpa merasa timbul juga rasa khawatir mereka karena tidak tahu apa maksud tujuan Lenghou Tiong yang sebenarnya.
"Hendaknya kalian tunggu sebentar di sini," demikian Lenghou Tiong berkata, lalu putar tubuh dan melangkah keluar ruangan tamu.
Dengan membawa belati Lenghou Tiong menuju ke kamar putri Lo Thau-cu, setiba di luar kamar, ia berdehem dulu, lalu berkata, "Nona ... nona Siau Ih, bagaimana keadaanmu."
Semula Lenghou Tiong bermaksud memanggilnya "nona Lo", tapi ini berarti "nona tua" dan tidak pantas bagi gadis yang masih muda belia, maka dia lantas memanggil namanya seperti apa yang didengarnya dari panggilan Coh Jian-jiu tadi.


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka terdengar nona Siau Ih hanya bersuara "Ehmmm" dan tidak menjawab.
Perlahan Lenghou Tiong menyingkap tirai pintu kamar dan melangkah masuk. Terlihat nona itu masih tetap duduk bersandar di atas bantal, kedua mata sedikit terbuka dan seperti orang baru bangun tidur.
Lenghou Tiong melangkah lebih dekat, tertampak kulit muka si nona putih halus laksana kaca sehingga otot-otot hijau di dalam daging kelihatan jelas. Keadaan nona itu agaknya sangat payah, tampaknya lebih banyak mengembuskan napas daripada menyedot hawa segar.
"Nona ini mestinya dapat diselamatkan, tapi obatnya telah telanjur kumakan sehingga membikin susah padanya. Aku sendiri toh sudah pasti akan mati, bisa hidup lebih lama beberapa hari atau tidak toh tiada bedanya bagiku," demikian pikir Lenghou Tiong sambil menghela napas panjang.
Segera ia ambil sebuah mangkuk porselen, ia taruh di atas meja, lalu belati digunakan untuk memotong nadi pergelangan tangan kiri, seketika darah bercucuran dan mengalir ke dalam mangkuk. Ia lihat air mendidih yang disiapkan Lo Thau-cu tadi masih mengepulkan asap panas, segera ia taruh belatinya, tangannya dicelup ke dalam air panas itu, lalu diusapkan pada luka pergelangan tangan kiri agar darah di tempat luka itu tidak lekas membeku. Maka hanya sebentar saja mangkuk porselen itu sudah hampir diisi dengan darah segar.
Dalam keadaan sadar tak sadar nona Siau Ih mencium bau anyirnya darah, ia membuka mata, melihat darah mengucur dari pergelangan tangan Lenghou Tiong, sakit kagetnya ia sampai menjerit.
Mendengar suara jeritan Siau Ih itu, Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu yang terikat di ruang tamu sana saling pandang dengan bingung karena tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Lenghou Tiong atas diri gadis itu. Di dalam hati kedua orang ada dugaan tertentu, tapi keduanya sama-sama tidak berani mengemukakan perasaannya lebih dahulu.
Dalam pada itu Lenghou Tiong sudah penuh mengisi mangkuk tadi dengan darahnya, segera ia membawa darah itu ke hadapan Siau Ih dan berkata, "Lekas kau minum, di dalam darah ini mengandung obat mujarab yang dapat menyembuhkan penyakitmu."
"Ti ... tidak, aku ... aku takut, aku tidak mau minum," sahut Siau Ih.
Sesudah mengalirkan darah semangkuk, rasa badan Lenghou Tiong menjadi enteng dan kaki tangannya lemas. Jika si nona tak mau minum darah itu kan sia-sia saja pengorbanannya"
Maka ia coba menggertaknya, dengan belati terhunus ia membentaknya, "Kau mau minum tidak" Jika tidak, segera kutikam mati kau?"
Menyusul ujung belatinya ia ancam di tenggorokan si nona.
Siau Ih menjadi takut, terpaksa membuka mulut dan menghirup darah di dalam mangkuk itu. Beberapa kali ia merasa mual dan hendak muntah, tapi demi melihat ujung belati yang mengilap itu, dalam takutnya hilanglah rasa mualnya.
Setelah habis darah semangkuk itu, Lenghou Tiong melihat luka pada pergelangan tangan sendiri itu sudah membeku, darah tidak menetes keluar lagi. Ia pikir kadar obat Siok-beng-wan yang tercampur dalam darah yang diminumkan kepada Siau Ih itu tentu terlalu sedikit dan tak berguna, rasanya harus mencekoki si nona beberapa mangkuk lagi, sampai diri sendiri lemas dan tak bisa berkutik barulah jadi.
Segera Lenghou Tiong memotong pula nadi pergelangan kanan dan mencurahkan darahnya untuk mencekoki Siau Ih.
"Janganlah kau paksa aku, aku benar-benar tidak ... tidak sanggup lagi," kata Siau Ih sambil mengerut kening.
"Sanggup atau tidak sanggup harus kau minum lekas!" kata Lenghou Tiong.
"Ken ... kenapa engkau berbuat begini" Cara ... cara demikian kan merugikan badanmu sendiri?" ujar Siau Ih.
"Merugikan badanku tidak menjadi soal, aku hanya ingin kau sembuh," sahut Lenghou Tiong sambil tersenyum getir.
Di sebelah sana Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian yang kena dijaring oleh Lo Thau-cu tadi sudah kehabisan akal karena semakin mereka meronta semakin kencang pula jaring itu menyurut, sampai akhirnya kedua orang tak bisa berkutik lagi. Namun mata telinga mereka tetap tidak mau menganggur dan masih saling berdebat.
Waktu Lenghou Tiong mengikat Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu di kursi, semula Tho-ki-sian mengira pemuda itu pasti akan membunuh kedua kakek itu, sedang Tho-sit-sian percaya dia pasti akan membebaskan mereka berdua yang terjebak itu. Tak terduga percuma saja mereka berdebat setengah harian, sama sekali Lenghou Tiong tidak urus mereka sebaliknya masuk ke kamar Siau Ih.
Karena kamar Siau Ih itu ditutup dengan rapat, sampai celah-celah jendela pun dilem dengan kertas sehingga percakapan Lenghou Tiong dan Siau Ih sayup-sayup hanya dapat terdengar sebagian.
Tho-ki-sian, Tho-sit-sian, Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu serta Gak Put-kun yang sedang mengintip di luar itu semuanya memiliki Lwekang sangat tinggi, tapi apa yang dilakukan Lenghou Tiong di dalam kamar Siau Ih, mereka hanya dapat menduga-duga menurut jalan pikirannya masing-masing.
Ketika mendadak terdengar jeritan Siau Ih, wajah kelima orang itu sama berubah semua.
Tho-ki-sian berkata, "Seorang pemuda seperti Lenghou Tiong itu, untuk apa dia masuk ke kamar anak gadis orang?"
"Coba dengar," sahut Tho-sit-sian. "Nona itu agak sangat takut, dia sedang meratap, "Aku ... takut!" Wah, Lenghou Tiong lagi mengancam akan membunuhnya, katanya, "Jika kau tidak mau ...." Tidak mau apa maksudnya?"
"Apa lagi" Sudah tentu dia sedang memaksa nona itu menjadi istrinya," ujar Tho-ki-sian.
"Hahaha! Sungguh menggelikan!" Tho-sit-sian terbahak-bahak. "Putri si buntak yang berpotongan buah semangka itu dengan sendirinya juga pendek gemuk bulat seperti bola, mengapa Lenghou Tiong paksa memperistrikan dia?"
"Ah, masakan apa pun, setiap orang mempunyai selera dan kesukaan sendiri-sendiri. Boleh jadi Lenghou Tiong itu paling suka pada wanita gemuk buntak, maka begitu melihatnya semangatnya lantas terbang ke awang-awang," demikian kata Tho-ki-sian.
"He, coba dengarkan!" bisik Tho-sit-sian. "Nona gemuk itu sedang minta ampun, katanya, "Janganlah kau paksa aku, aku benar-benar tidak sanggup lagi.?"
"Ya, agaknya Lenghou Tiong itu benar-benar pemuda mahaperkasa, katanya, "Sanggup atau tidak sanggup juga harus lekas, lekas!?"
"Lekas" Apa maksudnya Lenghou Tiong suruh dia lekas?" tanya Tho-sit-sian.
"Kau tidak pernah beristri, masih jejaka, sudah tentu kau tidak paham," kata Tho-ki-sian.
"Memangnya kau sendiri pernah beristri" Huh, tidak tahu malu!" jawab Tho-sit-sian. Habis itu ia lantas berteriak-teriak, "He, hei! Lo Thau-cu. Lenghou Tiong sedang memaksa putrimu untuk menjadi istrinya, mengapa kau diam-diam saja tanpa memberi pertolongan?"
Bab 53. Ya-niau-cu Keh Bu-si si Kokokbeluk
Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu yang diikat di atas kursi, pula hiat-to mereka tertutuk sehingga tak bisa bergerak, mereka hanya dapat mendengar suara jeritan dan permohonan Siau Ih di dalam kamar, keruan mereka saling pandang dengan bingung.
Memangnya mereka sudah sangsi, sekarang mendengar pula percakapan Tho-kok-ji-sian itu, Coh Jian-jiu berulang-ulang geleng-geleng kepala dan Lo Thau-cu merasa malu dan gusar.
"Lo-heng, perbuatan itu harus dicegah, sungguh tidak nyana Lenghou Tiong itu ternyata pemuda bajul, jangan-jangan akan menimbulkan gara-gara," demikian kata Coh Jian-jiu.
"Ai, kalau aku punya Siau Ih yang menjadi korban tidaklah menjadi soal, tapi ... tapi bagaimana harus bertanggung jawab kepada orang," kata Lo Thau-cu.
"Coba dengar, agaknya Siau Ih juga telah mencintainya, dia mengatakan, "Perbuatanmu ini kan merugikan kesehatanmu sendiri." Dan apa yang dikatakan Lenghou Tiong" Kau dengar tidak?"
"Dia bilang, "Kesehatanku tidak menjadi soal asal untuk kebaikanmu!". Setan alas, kedua bocah itu benar-benar ...."
"Hahahaha!" Coh Jian-jiu bergelak tertawa. "Selamat, selamat!"
"Selamat apa" Selamat nenekmu!" damprat Lo Thau-cu.
"Kenapa kau marah" Aku memberi selamat kepadamu karena mendapat seorang menantu yang baik!" ujar Coh Jian-jiu.
"Ngaco-belo!" bentak Lo Thau-cu. "Kau jangan sembarangan omong lagi, kalau peristiwa ini sampai tersiar, apakah kau kira jiwa kita dapat diselamatkan?"
Ucapan si buntak penuh mengandung nada khawatir dan sangat takut. Cepat Coh Jian-jiu mengiakan juga dengan suara rada gemetar.
Gak Put-kun yang bersembunyi rada jauh, biarpun ia telah mengerahkan Ci-he-sin-kang juga yang dapat didengarnya hanya samar-samar saja, maka diam-diam ia pun menyangka Lenghou Tiong benar-benar melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadap si nona. Semula ia bermaksud menerjang ke dalam kamar untuk mencegah perbuatan muridnya itu, tapi ketika terpikir lagi bahwa orang-orang itu termasuk juga Lenghou Tiong semuanya penuh rahasia dan mencurigakan, entah tipu muslihat apa yang teratur di balik kejadian-kejadian selama ini, maka ia merasa lebih baik jangan bertindak secara gegabah. Sedapat mungkin ia menahan perasaannya dan terus mendengarkan pula.
Tiba-tiba terdengar nona Siau Ih menjerit pula, "Ja ... jangan ... o, darah ... o, kumohon ...."
Pada saat itu pula di luar sana ada orang berseru, "Lo Thau-cu, Tho-kok-si-kui telah kupancing dan kutinggalkan!"
"Bluk", tahu-tahu laki-laki yang membawa bendera putih yang menggoda dan dikejar Tho-kok-si-sian itu telah berdiri di tengah ruangan.
Ketika melihat Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu terikat di atas kursi, orang itu terkejut dan berseru, "He, ken ... kenapakah kalian?"
Berbareng ia mengeluarkan sebilah belati yang mengilap, hanya beberapa kali gerakan saja ia sudah memotong putus tali-tali yang mengikat kaki dan tangan kedua kakek itu.
Dalam pada itu terdengar pula jeritan melengking Siau Ih di dalam kamar, "O, kumohon kau jang ... jangan begitu ...."
Mendengar suara jeritan Siau Ih yang agaknya dalam keadaan gawat, laki-laki itu kaget. "Nona Siau Ih!" teriaknya sambil berlari ke arah kamar.
Tapi gerak tangan Lo Thau-cu teramat cepat, ia telah pegang lengan laki-laki itu dan membentak, "Jangan masuk ke sana!"
Laki-laki itu tampak tercengang dan menghentikan langkahnya.
Lalu terdengar Tho-ki-sian mengoceh pula di luar, "Kupikir si buntak tentu girang setengah mati karena bisa memperoleh menantu setampan Lenghou Tiong itu."
"Lenghou Tiong sudah hampir mati, apa yang perlu digirangkan kalau mendapatkan menantu dalam keadaan sudah setengah mati?" ujar Tho-sit-sian.
"Putri si buntak itu pun dalam keadaan sekarat, sepasang suami istri itu menjadi sama-sama setengah mati dan setengah hidup," sahut Tho-ki-sian.
"Blung", mendadak terdengar suara bergedebuk di dalam kamar, suara jatuhnya sesuatu benda berat. Menyusul Siau Ih menjerit pula, meski lemah suaranya, tapi penuh rasa cemas dan khawatir, "Ayah lekas kemari, ayah!"
Segera Lo Thau-cu memburu ke dalam kamar, dilihatnya Lenghou Tiong sudah menggeletak di lantai, sebuah mangkuk tengkurap di atas dadanya, badannya penuh berlumuran darah, Siau Ih sendiri duduk bersandar di atas ranjang, mulutnya juga berlepotan darah.
Coh Jian-jiu dan laki-laki tadi pun menyusul ke dalam kamar, mereka sebentar-sebentar memandang Lenghou Tiong dan lain saat memandang Siau Ih dengan rasa heran dan bingung.
"Ayah," kata Siau Di dengan suara lemah, "orang ini telah memotong nadi sendiri dan mengambil darah, aku di ... dipaksa minum dua mangkuk darahnya dan dia masih ... masih akan ...."
Kejut Lo Thau-cu tidak kepalang, cepat ia memayang bangun Lenghou Tiong, dilihatnya nadi pergelangan tangan kanan pemuda itu masih mengucurkan darah. Segera ia berlari keluar kamar untuk mengambil obat luka. Walaupun di dalam rumah sendiri, rupanya saking gugupnya sehingga batok kepalanya benjut terbentur kosen pintu.
Melihat Lo Thau-cu dan lain-lain berlari ke dalam kamar, Tho-ki-sian mengira mereka hendak menghajar Lenghou Tiong. Segera ia berteriak, "Hei, Lo Thau-cu! Lenghou Tiong adalah sobat baik Tho-kok-lak-sian, jangan sekali-kali kau memukul dia. Jika terjadi apa-apa atas dirinya tentu kami Tho-kok-lak-sian akan merobek badanmu seperti membeset daging ayam."
"Salah, salah besar!" kata Tho-sit-sian.
"Apakah yang salah?" tanya Tho-ki-sian heran.
"Jika dia berbadan kurus, maka dagingnya akan mudah kau robek, tapi jelas dia berbadan gemuk, cara bagaimana badan yang padat gemuk itu dapat dirobek?" ujar Tho-sit-sian.
Lo Thau-cu tidak ambil pusing terhadap ocehan mereka yang tak keruan juntrungannya itu. Tapi cepat ia membubuhkan obat di atas luka Lenghou Tiong, lalu mengurut-urut pula beberapa tempat hiat-to di dada dan di perutnya, tidak lama kemudian mulailah Lenghou Tiong siuman.
"Lenghou-kongcu," kata Lo Thau-cu dengan perasaan lega, "sungguh kami merasa tidak ... tidak .... Ai, benar-benar susah untuk kukatakan."
Segera Coh Jian-jiu ikut bicara, "Lenghou-kongcu, tadi Lo Thau-cu telah mengikat kau, hal ini terjadi karena salah paham, mengapa engkau anggap sungguh-sungguh sehingga membikin dia merasa berdosa."
Lenghou Tiong tersenyum, sahutnya, "Penyakitku sesungguhnya tak bisa disembuhkan dengan obat mukjizat apa pun, maksud baik Coh-locianpwe yang telah mengambil obat Lo-cianpwe untukku, sesungguhnya sangat sayang obat mujarab itu terbuang sia-sia."
Bicara sampai di sini, karena terlalu banyak kehilangan darah, ia merasa pusing dan kembali jatuh pingsan pula.
Cepat Lo Thau-cu memondongnya keluar dan direbahkan di atas tempat tidur di kamarnya sendiri, dengan sedih ia menggumam, "Wah, bagaimana ini?"
"Lenghou-kongcu terlalu banyak kehilangan darah, mungkin jiwanya terancam bahaya, marilah dengan sepenuh tenaga kita bertiga lekas kita curahkan tenaga dalam masing-masing ke dalam tubuhnya," demikian ajak Coh Jian-jiu.
"Ya, harus begitu," sahut Lo Thau-cu.
Segera ia mengangkat bangun Lenghou Tiong dengan perlahan, telapak tangan kanan ditempelkan ke punggung pemuda itu. Tapi baru saja ia mengerahkan tenaga, seketika badannya tergetar. "Krak", kursi yang dia duduki itu sampai tergetar hancur.
Rupanya tenaga yang dia kerahkan itu telah menimbulkan daya lawan dari hawa murni Put-kay Hwesio dan Tho-kok-lak-sian yang mengeram di dalam tubuh Lenghou Tiong itu, keruan Lo Thau-cu tidak sanggup melawan gabungan tenaga murni ketujuh tokoh.
Terdengar Tho-ki-sian terbahak-bahak di luar, serunya, "Penyakitnya Lenghou Tiong justru timbul karena kami berenam saudara hendak menyembuhkan dia dengan tenaga murni kami. Sekarang si buntak itu hendak menirukan cara kita tentu saja penyakit Lenghou Tiong akan tambah parah!"
"Coba dengarkan, suara "krak" tadi pasti hancurnya sesuatu benda karena benturan si buntak yang terpental oleh getaran tenaga dalam yang mengeram di tubuh Lenghou Tiong itu," kata Tho-sit-sian. "Aha, si buntak kembali kecundang lagi oleh Tho-kok-lak-sian kita. Haha, sungguh menggelikan."
Percakapan Tho-kok-ji-sian itu sangat keras sehingga dapat didengar dengan jelas oleh kedua kakek dari Hongho dan si lelaki tadi.
"Ah, jika Lenghou-kongcu masih tidak siuman, tiada jalan lain terpaksa aku harus membunuh diri," kata Lo Thau-cu dengan menghela napas.
"Nanti dulu," ujar lelaki itu. Mendadak ia berteriak, "Itu orang yang menongkrong di atas pohon di luar pagar tembok itu apakah ketua Hoa-san-pay, Gak-siansing adanya?"
Keruan Gak Put-kun terperanjat, hampir-hampir saja ia jatuh terjungkal dari tempat sembunyinya. Jadi jejaknya sebenarnya sejak tadi sudah diketahui orang.
Terdengar lelaki itu berseru pula, "Gak-siansing adalah tamu yang datang dari tempat jauh, mengapa tidak masuk kemari untuk beramah tamah?"
Gak Put-kun menjadi serbasusah, kalau masuk ke rumah itu terang tidak menguntungkan, tapi dirinya juga tidak dapat menongkrong terus di atas pohon.
"Muridmu Lenghou-kongcu dalam keadaan pingsan, silakan Gak-siansing masuk kemari untuk ikut menjaganya," seru pula si lelaki.
Terpaksa Gak Put-kun melompat turun, sekali loncat ia tancapkan kakinya di serambi sana. Sementara itu Lo Thau-cu sudah memapak keluar. Katanya sambil memberi hormat, "Silakan masuk, Gak-siansing."
"Cayhe mengkhawatirkan keselamatan muridku sehingga kedatanganku ini sangat sembrono," kata Gak Put-kun.
"Ah, semuanya adalah salahku," ujar Lo Thau-cu. "Jika ... jika ...."
"Kau tidak perlu khawatir," tiba-tiba Tho-ki-sian berseru, "tidak nanti Lenghou Tiong bisa mati!"
Lo Thau-cu menjadi girang. "Dari mana kau bisa tahu dia takkan mati?" tanyanya.
"Dia jauh lebih muda daripada kau dan juga lebih muda daripadaku, bukan?"
"Benar. Lantas kenapa?" Lo Thau-cu menegas.
"Umumnya orang tua mati lebih dulu atau orang muda mati lebih dulu?" sahut Tho-ki-sian. "Sudah tentu yang tua mati lebih dulu. Jika demikian, sebelum kau mati dan aku pun belum mati, mengapa Lenghou Tiong bisa mati?"
Tadinya Lo Thau-cu mengira Tho-ki-sian mempunyai sesuatu resep yang dapat menolong Lenghou Tiong, tak tahunya hanya ocehan yang tak keruan. Maka dengan menyengir ia tidak gubris orang pula.
Waktu masuk ke dalam kamar Gak Put-kun melihat Lenghou Tiong menggeletak di atas ranjang dan tak sadarkan diri. Ia membatin, "Jika aku tidak perlihatkan keampuhan Ci-he-sin-kang tentu Hoa-san-pay akan dipandang rendah oleh orang-orang ini."
Maka diam-diam ia mengerahkan tenaga sakti, mukanya menghadap bagian dalam tempat tidur agar warna ungu yang timbul di wajahnya tidak dilihat orang. Perlahan-lahan ia julurkan telapak tangan ke Tay-cui-hiat di punggung Lenghou Tiong. Ia sudah mengetahui keadaan hawa murni yang bergolak di dalam tubuh sang murid, maka ia tidak mengerahkan tenaga sekuatnya, tapi menyalurkan tenaga dengan sedikit demi sedikit, bila terasa timbul daya lawan dari tubuh Lenghou Tiong segera ia menarik sedikit tangannya, sejenak kemudian tangannya lantas ditempelkan pula.
Benar juga, tidak lama kemudian Lenghou Tiong tampak mulai siuman. Segera ia berseru, "Suhu, engkau juga ... juga datang kemari!"
Melihat Gak Put-kun dapat menyadarkan Lenghou Tiong dengan sangat gampang, tentu saja Lo Thau-cu sangat kagum.
Diam-diam Gak Put-kun merasa ada lebih baik cepat meninggalkan tempat yang misteri ini, apalagi ia pun mengkhawatirkan keadaan sang istri dan para murid yang tertinggal di atas perahu itu. Segera ia memberi hormat dan berkata, "Banyak terima kasih atas segala pelayanan kalian terhadap kami guru dan murid. Sekarang juga biarlah kami mohon diri saja."
"Ya, ya, kesehatan Lenghou-kongcu terganggu dan kami tak dapat memberi perawatan yang baik, sungguh kami sangat tidak sopan, harap kalian suka memberi maaf," kata Lo Thau-cu.
"Jangan sungkan," sahut Gak Put-kun. Mendadak dilihatnya sepasang mata lelaki tadi bercahaya mengilap. Tergerak pikirannya. Segera ia bertanya, "Tolong tanya siapakah nama sobat ini yang terhormat."
"Kiranya Gak-siansing tidak kenal kawan kita Ya-niau-cu Keh Bu-si, si Kucing Malam," sela Coh Jian-jiu dengan tertawa.
Terkesiap juga Gak Put-kun. Katanya di dalam hati, "Kiranya orang inilah Ya-niau-cu Keh Bu-si. Nama orang ini sudah menggetarkan kalangan Kangouw pada 30 tahun yang lalu. Konon dia mempunyai keajaiban pembawaan, yaitu matanya dapat memandang sesuatu di malam hari sejelas keadaan di siang hari. Tindak tanduknya tidak menentu, kadang-kadang baik, sering kali juga jahat, dia terkenal sebagai seorang tokoh yang mahalihai, mengapa bisa berada bersama dengan Lo Thau-cu ini?"
Cepat ia pun memberi hormat dan menyapa, "Sudah lama kudengar nama besar Keh-suhu, sungguh beruntung hari ini bisa berjumpa di sini."
Keh Bu-si tersenyum, sahutnya, "Hari ini kita berjumpa di sini, besok kita masih harus bertemu pula di Ngo-pah-kang."
Kembali Gak Put-kun terkesiap. Walaupun orang baru dikenalnya dan tidak pantas mencari tahu sesuatu kepadanya, tapi diculiknya anak perempuannya yang merupakan darah dagingnya itu mendorongnya dia membuka suara, "Cayhe tidak tahu di manakah pernah berbuat salah terhadap kawan-kawan Bu-lim di sini. Boleh jadi lantaran perjalananku ini tidak berkunjung kepada para sobat di wilayah sini dan dianggap kurang adat, maka putriku dan seorang muridku she Lim telah dibawa oleh salah seorang sobat, untuk ini apakah Keh-siansing dapat memberi sesuatu petunjuk?"
"O, tentang ini aku tidak jelas," sahut Keh Bu-si dengan tersenyum.
Sebenarnya Gak Put-kun sudah merasa merendahkan derajatnya sebagai seorang ketua suatu aliran ternama, sekarang jawaban Keh Bu-si itu ternyata acuh tak acuh, meski ia merasa mendongkol dan cemas pula, tapi rasanya tak bisa tanya lebih lanjut. Segera ia mohon diri pula, "Sudah lama mengganggu, biarlah sekarang kami minta diri."
Ketika hendak memondong Lenghou Tiong, tiba-tiba Lo Thau-cu menyusup ke tengah, ia mendahului Lenghou Tiong dan berkata, "Akulah yang mengundang Lenghou-kongcu ke sini, sudah seharusnya aku pula yang mengantarnya pulang."
Sembari berkata ia pun mengambil sehelai selimut dan ditutupkan di atas badan Lenghou Tiong, habis itu barulah ia bertindak keluar dengan langkah lebar.
"Hei, hei! Lalu bagaimana dengan kedua ekor ikan besar kami ini" Apakah ditinggalkan begini saja?" teriak Tho-ki-sian.
Lo Thau-cu merandek. "Tentang kalian ... kukira ...." ia tahu menangkap harimau adalah lebih gampang daripada melepaskan harimau, jika kedua saudara itu dibebaskan, tentu Tho-kok-lak-sian akan mencari balas lagi ke tempatnya ini dan tentu akan banyak menimbulkan kesukaran.
Lenghou Tiong tahu pikirannya, katanya, "Lo-cianpwe, silakan kau membebaskan mereka berdua. Dan kalian Tho-kok-lak-sian selanjutnya janganlah mencari perkara lagi kepada Lo dan Coh berdua Cianpwe, biarlah kedua pihak dari lawan berubah menjadi kawan."
"Tidak mencari perkara kepada mereka sih boleh saja," sahut Tho-sit-sian, "Tapi bicara tentang dari lawan berubah menjadi kawan, inilah yang tidak bisa jadi, sekali lagi tidak bisa jadi!"
Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu sama mendengus, pikir mereka, "Hm, hanya mengingat kehormatan Lenghou-kongcu maka kami tidak sudi merecoki kalian, memangnya kalian sangka kami takut kepada Tho-kok-lak-sian segala?"
Dalam pada itu Lenghou Tiong telah bertanya, "Apa sebabnya?"
"Habis Tho-kok-lak-sian memangnya tiada punya rasa dendam dan permusuhan apa-apa dengan Hongho Lo-coh mereka, hakikatnya kedua pihak bukan musuh dan bukan lawan, dan kalau bukan lawan dari mana bisa dikatakan mengubah lawan menjadi kawan?"
Mendengar jawaban seenaknya itu bergelak tertawalah semua orang. Segera Coh Jian-jiu membuka ikatan jala dan melepaskan Tho-ki-sian berdua. Jala itu terbuat dari campuran rambut manusia, sutra pilihan serta benang emas murni, uletnya luar biasa, senjata yang betapa tajam pun sukar merusaknya, jika orang terjaring, semakin meronta semakin teringkus kencang.
Sesudah bebas, tanpa bicara lagi Tho-ki-sian terus membuka celana dan mengencingi jala ikan itu.
"He, apa-apaan kau?" tanya Coh Jian-jiu terkesiap.
"Kalau tidak mengencingi jala busuk ini tak terlampias rasa dongkolku," sahut Tho-ki-sian.
Begitulah beramai-ramai mereka lantas menuju ke tepi sungai. Dari jauh Gak Put-kun melihat Lo Tek-nau dan Ko Kin-beng berdua dengan senjata terhunus masih menjaga di haluan kapal. Legalah hatinya karena tahu tidak terjadi apa-apa di atas kapalnya.
Sesudah mengantar Lenghou Tiong sampai di dalam kapal, dengan penuh hormat Lo Thau-cu lalu mohon diri, "Budi luhur Lenghou-kongcu sudah aku merasa terima kasih tak terhingga. Sementara ini aku mohon diri, tidak lama lagi tentu dapat berjumpa pula."
Karena guncangan dalam perjalanan, Lenghou Tiong masih dalam keadaan samar-samar dan hampir-hampir pingsan pula, maka ia hanya mengiakan dengan suara lemah.
Yang terheran-heran adalah Gak-hujin, sungguh ia tidak mengerti mengapa "si bola daging" yang semula sangat garang itu ternyata sedemikian hormat dan segan terhadap Lenghou Tiong.
Rupanya khawatir kalau Tho-kin-sian dan lain-lain selekasnya akan pulang, maka Lo Thau-cu dan Coh Jian-jiu tidak berani tinggal lebih lama di situ, cepat-cepat ia memberi salam kepada Gak Put-kun dan lain-lain, lalu hendak melangkah pergi.
"Tunggu dulu, Coh-heng!" tiba-tiba Tho-ki-sian berseru.
"Mau apa?" tanya Coh Jian-jiu.
"Mau ini!" sahut Tho-ki-sian. Berbareng dengan badan miring ia terus menyeruduk maju.
Cara menyeruduknya ini teramat aneh dan cepat, jarak kedua orang rada dekat pula dan dilakukan dengan tak tersangka-sangka, karena tak bisa menghindar lagi, terpaksa Coh Jian-jiu mengerahkan tenaga untuk menerima serudukan itu. Dalam sekejap saja kekuatan sudah memenuhi pusarnya, perutnya sudah sekeras baja. Maka terdengarlah suara "brak, brek" yang ramai, suara hancurnya benda-benda pecah belah. Sedangkan Tho-ki-sian lantas melompat mundur beberapa kaki jauhnya sembari bergelak tertawa.
"Aduh, celaka!" teriak Coh Jian-jiu sambil memasukkan tangan ke dalam bajunya, berbagai potong pecahan sebangsa porselen, kemala dan sebagainya telah dirogoh keluar. Kiranya puluhan buah cawan arak yang terdiri dari macam-macam jenis itu telah hancur lebur semua. Keruan rasa sedihnya tak terlukiskan ditambah rasa murka yang tidak kepalang. Serentak ia menghamburkan pecahan-pecahan beling itu ke arah Tho-ki-sian.
Akan tetapi Tho-ki-sian sudah siap sedia dan dapat mengelakkan serangan itu. Teriaknya, "Lenghou Tiong suruh kita dari lawan berubah menjadi kawan, apa yang dia katakan harus kita turut. Maka kita harus menjadi musuh atau lawan dulu baru kemudian dapat berubah menjadi kawan."
Berbagai jenis cawan arak mestika yang telah dikumpulkannya dengan susah payah selama hidupnya ini sekaligus telah dihancurkan oleh Tho-ki-sian, keruan gusar Coh Jian-jiu sukar dilukiskan. Sebenarnya dia akan menyerang lebih lanjut, tapi demi mendengar ucapan Tho-ki-sian itu segera ia menghentikan tindakannya. Terpaksa ia menjawab dengan menyeringai, "Ya, benar dari lawan berubah menjadi kawan!"
Habis itu bersama Lo Thau-cu dan Keh Bu-si mereka pun bertindak pergi.
Dalam keadaan sadar tak sadar Lenghou Tiong masih mengkhawatirkan keselamatannya Gak Leng-sian, ia masih sempat berkata, "Tho-ki-sian, harap kau minta mereka jangan ... jangan mengganggu Sumoayku."
"Baik," sahut Tho-ki-sian. Lalu ia berseru keras-keras, "Hai, hai! Sobat-sobat Lo Thau-cu, Ya-niau-cu dan Coh Jian-jiu, dengarkan pesan Lenghou Tiong ini, dia suruh kalian jangan mengganggu sumoaynya."
Sebenarnya Lo Thau-cu bertiga sudah rada jauh jaraknya, tapi demi mendengar seruan Tho-ki-sian itu seketika mereka berhenti dan tampaknya berunding sejenak, habis itu baru bertindak pergi pula.
Baru saja Gak Put-kun mulai menceritakan pengalamannya kepada sang istri, tiba-tiba terdengar suara orang ribut di daratan sana. Kiranya Tho-kin-sian berempat sudah pulang.
Mereka berempat terus membual, katanya orang yang membawa bendera putih itu telah kena ditangkap dan sudah mereka robek menjadi empat potong.
Tho-sit-sian lantas terbahak-bahak, katanya, "Lihai, sungguh kalian sangat lihai!"
Tho-ki-sian juga bicara, "Kalian telah merobek orang itu menjadi empat potong, apakah kalian mengetahui dia bernama siapa?"
"Dia sudah mati, peduli dia bernama siapa" Memangnya kau sendiri tahu?" sahut Tho-kan-sian.
"Sudah tentu aku tahu," sahut Tho-ki-sian. "Dia she Keh, bernama Bu-si, dia punya julukan pula, yaitu Ya-niau-cu."
"Wah, jadi dia bernama Keh Bu-si (tak berdaya), rupanya dia sudah tahu sebelumnya bahwa kelak pasti akan ditangkap oleh Tho-kok-lak-sian dan pasti tak berdaya sama sekali, karena itulah dia memakai nama demikian itu," seru Tho-yap-sian.
"Ilmu Ya-niau-cu Keh Bu-si itu benar-benar lain daripada yang lain dan tiada bandingannya di dunia ini," kata Tho-sit-sian.
"Memang betul, kepandaiannya yang lihai itu kalau bukan ketemukan Tho-kok-lak-sian, cukup dengan ginkangnya saja sudah merupakan tokoh kelas satu di dunia persilatan," timbrung Tho-kin-sian.
"Kalau cukup ginkang saja masih belum apa-apa, yang hebat adalah caranya dia hidup kembali sesudah badannya dirobek menjadi empat potong, dia dapat menggabungkan kembali potongan-potongan badannya dan berjalan seperti biasa. Bahkan barusan saja dia masih datang kemari untuk bicara dengan aku," demikian kata Tho-sit-sian.
Baru sekarang Tho-kin-sian berempat tahu bahwa obrolan mereka telah terbongkar. Tapi mereka pun tidak ambil pusing, bahkan pura-pura memperlihatkan air muka terkejut, Tho-hoa-sian malah bertanya, "Hah, jadi Keh Bu-si itu mempunyai ilmu selihai itu, ini benar-benar luar biasa, makanya menilai orang jangan dilihat dari mukanya saja."
Di sebelah sana Gak Put-kun dan istrinya diam-diam sedang bersedih. Putri kesayangan mereka diculik orang, sampai-sampai siapa pihak lawan pun tidak tahu. Sungguh tidak nyana bahwa nama Hoa-san-pay yang termasyhur selama beberapa ratus tahun sekarang telah terjungkal habis-habisan di lembah Hongho ini. Tapi khawatir kalau para muridnya ikut sedih dan takut, maka lahirnya mereka tidak memperlihatkan sesuatu tanda apa-apa.
Selang agak lama, ketika fajar hampir menyingsing, tiba-tiba terdengar suara ramai orang berjalan di daratan. Sejenak kemudian tertampak dua buah joli telah diusung sampai di tepi sungai. Tukang joli yang pertama lantas berseru, "Lenghou-kongcu memberi pesan agar jangan mengganggu nona Gak, tapi majikan kami telah telanjur berbuat, maka diharap Lenghou-kongcu sudi memberi maaf."
Dan setelah memberi hormat ke arah perahu, segera empat tukang joli itu meninggalkan kedua buah joli itu dan melangkah pergi dengan cepat.
"Ayah, ibu!" demikian terdengar suara Leng-sian di dalam joli.
Kejut dan girang pula Gak Put-kun dan istrinya. Cepat ia melompat ke gili-gili dan membuka kerai joli, benar juga putri kesayangannya duduk dengan baik-baik di dalam joli, hanya hiat-to bagian kakinya tertutuk, maka tak bisa berjalan. Orang yang duduk di dalam joli lain adalah Lim Peng-ci.
Segera Gak Put-kun menepuk beberapa hiat-to tertentu di kaki putrinya. Tapi Leng-sian malah menjerit, tampaknya menahan rasa sakit dan hiat-to yang tertutuk itu tetap tak terbuka.
"Ayah, dia mengatakan Tiam-hiat-hoat yang dia gunakan adalah ilmu tunggalnya, katanya ayah tidak mampu membukanya," kata Leng-sian kemudian dengan suara tertahan.
"Siapakah orang yang kau maksudkan?" tanya Put-kun.
"Yaitu orang yang tinggi besar tadi. Dia ... dia ...." hanya sampai di sini saja dia lantas mewek-mewek ingin menangis.
Perlahan-lahan Gak-hujin membelai rambut putrinya. Lalu memondongnya ke dalam perahu. Dengan suara perlahan ia bertanya, "Apakah kau diperlakukan dengan kasar?"
Karena pertanyaan ibundanya itu benar-benar Leng-sian lantas menangis.
Gak-hujin menjadi khawatir, pikirnya, "Tindak tanduk orang-orang itu tidak beres, sedangkan anak Sian telah diculik mereka selama beberapa jam, jangan-jangan telah mengalami perlakuan yang tidak senonoh?"
Maka cepat ia bertanya pula, "Apa yang telah terjadi. Tak apa-apa, katakanlah kepada ibu."
Tapi Leng-sian hanya menangis saja. Keruan hal ini membuat Gak-hujin tambah cemas. Karena banyak orang, Gak-hujin tidak berani tanya lebih jauh. Segera ia merebahkan putrinya di atas dipan dan menutupinya dengan selimut.
Mendadak Leng-sian berkata sambil menangis, "Ibu, orang besar itu telah mencaci maki aku."
Ucapan Leng-sian ini membuat perasaan Gak-hujin merasa lega. Katanya dengan tersenyum, "Hanya dimaki orang saja masakan mesti begini sedih?"
"Tapi ... tapi dia mengancam dan menggertak hendak memukul aku pula," gerutu Leng-sian.
"Sudahlah, lain kali kalau ketemu dia biar kita balas memaki dan menggertak dia," ujar Gak-hujin dengan tertawa.
"Padahal aku pun tidak mengucapkan apa-apa yang menjelekkan Toasuko, Siau-lim-cu juga tidak. Tapi si gede itu tetap mencak-mencak, katanya selama hidupnya paling tidak senang bila mendengar orang menjelek-jelekkan Lenghou Tiong. Katanya bila dia marah bisa jadi orang yang tak disukainya akan disembelih dan dimakan olehnya," demikian tutur Leng-sian sambil terguguk-guguk.
"Orang itu memang jahat," ujar Gak-hujin. "Tiong-ji siapakah orang tinggi besar itu?"
Pikiran Lenghou Tiong masih belum sadar benar-benar, ketika mendengar panggilan ibu gurunya ia lantas menjawab, "Yang tinggi besar itu" O, aku ... aku ...."
Saat itu Lim Peng-ci juga sudah dipondong masuk ke ruangan kapal oleh Ko Kin-beng, segera ia menyela, "Sunio, orang tinggi besar dan hwesio itu memang benar-benar makan daging manusia, hal ini bukan omong kosong atau gertakan saja."
Gak-hujin terkesiap, "Mereka berdua benar-benar makan daging manusia" Da ... dari mana kau mendapat tahu?"
"Hwesio itu telah menanyai aku tentang Pi-sia-kiam-boh, sambil bertanya tiba-tiba ia mengeluarkan sepotong makanan terus digerogoti dengan lahapnya," tutur Peng-ci. "Bahkan jelas terlihat yang dia gerogoti itu adalah sepotong telapak tangan. Malahan aku pun disuruh mencicipi."
"Hah, mengapa tidak ... tidak kau ceritakan sejak tadi-tadi?" teriak Gak Leng-sian.
"Aku khawatir kau terkejut, maka tidak berani menceritakan padamu," sahut Peng-ci.
"Ah, ingatlah aku," tiba-tiba Gak Put-kun menyela. "Mereka ialah "Boh-pak-siang-him". Yang tinggi besar itu berkulit sangat putih dan si hwesio berkulit hitam, betul tidak?"
"Betul," sahut Leng-sian. "Kau kenal mereka, ayah?"
Put-kun menggeleng, "Tidak, aku tidak kenal mereka. Hanya kudengar cerita orang bahwa di padang pasir utara ada dua begal besar yang satu bernama Pek-him (Beruang Putih) dan yang lain bernama Oh-him (Beruang Hitam). Sering kali mereka membegal harta benda dan melepaskan pemiliknya. Tapi bila pemilik barang mendapat pengawalan, maka Siang-him (Sepasang Beruang) itu sering menangkap pengawalnya dan makan dagingnya. Katanya orang yang melatih silat otot dagingnya jauh lebih keras dan lebih gurih kalau dimakan."
Kembali Leng-sian menjerit mendengar cerita sang ayah.
"Suko, mengapa kau bercerita hal-hal yang memuakkan itu?" ujar Gak-hujin.
Gak Put-kun tersenyum. Sejenak kemudian baru ia menyambung, "Selamanya tak pernah mendengar Boh-pak-siang-him melintasi Tiongsia (tembok besar), mengapa sekarang telah berada di lembah Hongho" Tiong-ji, dari mana kau bisa kenal Boh-pak-siang-him itu?"
"Boh-pak-siang-hiong?" Lenghou Tiong menegas. Dia mengira yang diucapkan sang guru adalah "Siang-hiong" (kedua kesatria), tak tahunya adalah Siang-him (sepasang beruang). Maka setelah termenung sejenak, akhirnya ia menjawab, "Entah, aku tidak kenal."
Tiba-tiba Leng-sian berseru, "Siau-lim-cu, hwesio itu suruh kau mencicipi daging manusia itu, kau mencicipi atau tidak?"
Bab 54. Ih Jong-hay, Ketua Jing-sia-pay Terkepung Musuh
"Sudah tentu tidak," sahut Peng-ci.
"Tak apalah jika tidak, kalau sudah, hm, masakah selanjutnya aku mau gubris lagi padamu?" kata Leng-sian.
Mendadak terdengar Tho-kan-sian menimbrung dari luar, "Daharan yang paling lezat di dunia ini tidak lain adalah daging manusia. Siau-lim-cu diam-diam tentu sudah mencicipinya, hanya saja ia tidak mau mengaku."
"Ya, kalau tidak mencicipi mengapa tidak bilang sejak tadi-tadi, kok baru sekarang menyangkal mati-matian," demikian Tho-yap-sian menambahkan.
Sejak mengalami berbagai kejadian-kejadian, setiap tindak tanduk Lim Peng-ci selalu sangat hati-hati. Ia menjadi tercengang demi mendengar ucapan Tho-kan-sian dan Tho-yap-sian itu dan sukar menjawab.
"Nah, betul tidak," Tho-hoa-sian ikut menimpali. "Dia tidak bersuara pula. Kalau diam berarti mengaku. Nona Gak, manusia yang tidak jujur begini, sudah makan daging manusia tapi tidak mengaku, orang demikian mana boleh diajak hidup bersama."
"Ya, bila kau kawin dengan dia, kelak dia tentu main gila pula dengan perempuan lain dan bila kau tanya dia pasti dia akan menyangkal," timbrung Tho-kin-sian.
"Malahan ada yang lebih celaka lagi," tambah Tho-yap-sian. "Bila kau tidur bersama dia, di tengah malam mendadak ia ketagihan makan daging manusia. Jangan-jangan kau sendirilah yang akan dimakan olehnya."
Kiranya sesudah Tho-kok-lak-sian diberi tugas oleh Peng It-ci agar menjaga Lenghou Tiong, biarpun aneh tingkah laku mereka berenam, tapi sebenarnya mereka bukan orang bodoh. Seluk-beluk antara Lenghou Tiong yang mencintai Gak Leng-sian tapi tak terbalas itu diam-diam sudah dapat dilihat oleh mereka. Kini sedikit kelemahan Lim Peng-ci itu segera digunakan oleh mereka untuk memecah belah hubungan pemuda itu dengan Gak Leng-sian.
"Kalian ngaco-belo belaka, aku tidak mau dengar!" teriak Leng-sian sambil menutupi telinganya.
Di tengah ocehan Tho-kok-lak-sian itu perahu sudah mengangkat sauh dan mulai berlayar ke hilir. Fajar baru menyingsing, kabut pagi belum buyar seluruhnya, di permukaan sungai kabut pulih masih bergumpal-gumpal menyesakkan pandangan mata.
Tidak lama perahu berlayar mendadak berjangkit gelombang ombak, perahu besar itu berguncang dengan hebat sekali. Para penumpangnya tidak biasa hidup di atas air, maka tidak sedikit yang mulai pening kepala dan tumpah-tumpah.
Melihat juru mudi perahu sendiri juga ikut tumpah-tumpah dan perahu itu masih miring ke sana dan doyong ke sini, tampaknya sangat berbahaya, segera Gak Put-kun melompat ke buritan untuk memegang kemudi dan mengarahkan perahu ke tepian selatan.
Betapa pun lwekangnya memang sangat tinggi, sesudah mengatur napas beberapa kali rasa muaknya sudah mulai lenyap. Ketika perahu itu perlahan-lahan menepi, segera ia melompat ke haluan perahu, ia mengangkat jangkar dan dilemparkan ke tepian.
Beramai-ramai semua orang sama melompat ke daratan dan berebut berjongkok di tepi sungai untuk minum air sebanyak-banyaknya, lalu menumpahkannya keluar. Setelah tumpah-minum beberapa kali, akhirnya rasa muak mereka barulah mereda.
Lembah sungai itu ternyata suatu tempat terpencil dan sunyi, rumput alang-alang tumbuh dengan suburnya. Hanya di kejauhan sana kelihatan ada deretan rumah, tampaknya adalah sebuah kota kecil.
"Agaknya di dalam perahu masih terdapat sisa-sisa racun, terpaksa kita tak bisa menumpang perahu lagi, marilah kita menuju ke kota itu," kata Put-kun.
Segera Tho-kan-sian menggendong Lenghou Tiong dan Tho-ki-sian menggendong Tho-sit-sian terus mendahului jalan di depan.
Para murid Hoa-san-pay juga sama menggendong Li Peng-ci dan Gak Leng-sian menuju ke arah kota tadi.
Sampai di dalam kota, tanpa disuruh lagi Tho-kan-sian dan Tho-ki-sian lantas memasuki sebuah rumah makan, mereka menaruh Lenghou Tiong dan Tho-sit-sian di atas kursi, habis itu lantas berteriak-teriak, "Hai, pelayan! Sediakan arak, buatkan daharan yang paling lezat!"
Sekilas Lenghou Tiong melihat di dalam rumah makan itu berduduk satu orang, ia tercengang sebab orang itu adalah tojin yang berperawakan pendek kecil dan dikenalnya dengan baik sebagai ketua Jing-sia-pay, Ih Jong-hay adanya.
Jika dalam keadaan biasa, kepergoknya dia dengan Ih Jong-hay pasti akan menimbulkan suatu pertarungan sengit. Tapi sekarang keadaan agaknya tidak mengizinkan sebab ketua Jing-sia-pay itu sendiri tampaknya sudah berada di tengah kepungan musuh.
Ih Jong-hay duduk menyanding sebuah meja kecil, di atas meja tersedia arak dan beberapa piring masakan, selain itu sebatang pedang yang mengilap sudah tertaruh di atas meja pula. Di sekeliling meja itu adalah tujuh buah bangku panjang, setiap bangku diduduki satu orang.
Orang-orang itu terdiri dari macam-macam jenis, ada lelaki ada perempuan, rata-rata berwajah bengis dan jahat. Di atas bangku masing-masing juga tertaruh senjata, tujuh macam senjata pun dalam bentuk yang aneh-aneh, tiada satu pun yang terdiri dari golok atau pedang biasa.
Ketujuh orang itu sama sekali tidak bersuara, semuanya menatap tajam kepada Ih Jong-hay. Sebaliknya ketua Jing-sia-pay itu tenang-tenang saja, tangan kirinya tampak memegang cawan arak terus menenggak, ternyata sedikit pun tidak keder.
"Tojin kerdil ini sebenarnya ketakutan setengah mati di dalam hati, dia hanya berlagak tidak gentar," ujar Tho-kin-sian.
"Sudah tentu dia takut, satu orang dikeroyok tujuh orang, pasti dia akan kalah," kata Tho-ki-sian.
"Ya, jika dia tidak takut, kenapa tangan kiri yang dipakai memegang cawan arak dan tidak menggunakan tangan kanan" Tentunya tangan kanannya siap sedia menyambar pedangnya bila perlu," timbrung Tho-kan-sian.
Mendadak Ih Jong-hay mendengus, cawan arak dipindahkan dari tangan kiri ke tangan kanan.
"Ha, dia sudah mendengar ucapan Jiko," kata Tho-hoa-sian. "Tapi matanya sama sekali tak berani memandang ke arah Jiko, itu berarti dia memang takut. Bukannya takut kepada Jiko, tapi takut sedikit lengahnya itu akan diserang serentak oleh ketujuh orang musuh."
Meski Lenghou Tiong bermusuhan dengan Ih Jong-hay, tapi demi menyaksikan ketua Jing-sia-pay itu sedang dikepung musuh-musuh tangguh, maka ia pun tidak sudi menggunakan kesempatan bagus itu untuk menuntut balas kepada Ih Jong-hay. Bahkan ia lantas berkata, "Keenam Tho-heng, Totiang ini adalah ketua Jing-sia-pay."
"Kenapa sih kalau ketua Jing-sia-pay" Apakah dia sahabatmu?" sahut Tho-kin-sian.
"Ah mana aku berani mengikat persahabatan dengan tokoh-tokoh terkemuka seperti dia," kata Lenghou Tiong.
"Jika dia bukan sahabatmu, maka kita dapat menyaksikan tontonan yang menarik," ujar Tho-kan-sian.
"Benar," seru Tho-yap-sian sambil bertepuk tangan. "Pelayan, mana daharannya dan araknya" Aku akan minum arak sambil menyaksikan orang-orang itu mencacah tosu kerdil itu menjadi delapan potong."
"Aku berani bertaruh dengan kau bahwa dia akan terpotong menjadi sembilan dan bukan delapan," seru Tho-sit-sian, walaupun masih dalam keadaan terluka dia tidak lupa ikut bicara.
"Sebab apa?" tanya Tho-yap-sian.
"Habis mereka kan tujuh orang, tapi thauto (hwesio berambut) itu membawa dua batang golok, tentu dia akan membacok dua kali."
"Sudahlah, kalian jangan bicara lagi. Kita takkan membantu pihak mana pun, tapi juga jangan memencarkan perhatian Ih-koancu dari Jing-sia-pay yang sedang menghadapi lawan-lawannya," demikian sela Lenghou Tiong.
Maka Tho-kok-lak-sian tidak bicara lagi, dengan cengar-cengir mereka memandangi Ih Jong-hay. Sebaliknya satu per satu Lenghou Tiong mengamat-amati ketujuh orang pengepung itu.
Dilihatnya thauto itu rambutnya menjulai sampai di pundak, kepalanya memakai ikat tembaga yang bercahaya mengilap, di sampingnya tertaruh sepasang golok melengkung berbentuk sabit. Di sebelahnya adalah seorang wanita berusia 50-an, rambut sudah beruban, air mukanya suram, senjata yang terletak di sampingnya adalah sebatang tongkat besi pendek.
Sebelahnya lagi berturut-turut adalah seorang hwesio dan seorang tosu. Si hwesio memakai kasa (jubah padri) warna merah marun, di sampingnya tertaruh sebuah kecer dan sebuah mangkuk, tampaknya semua terbuat dari baja. Tepian kecer itu tampak sangat tajam, terang itulah sejenis senjata yang lihai. Sedangkan perawakan si tojin tampak tinggi besar, senjata yang terletak di atas bangkunya adalah sebuah gandin segi delapan, tampaknya sangat berat.
Di sebelah si tojin berduduk seorang pengemis setengah umur, bajunya kotor dan compang-camping, di atas pundaknya melingkar dua ekor ular hijau yang melilit di seputar lehernya. Dari bentuk kepala ular-ular yang bersegitiga itu terang adalah sejenis ular-ular berbisa. Dia tidak membawa senjata tajam, agaknya kedua ekor ular itu adalah gegamannya.
Dua orang lagi terdiri dari laki-laki dan perempuan. Yang lelaki mata kirinya buta, sedangkan yang perempuan buta mata kanan. Ini masih belum, yang lebih aneh adalah si lelaki kaki kirinya buntung dan yang perempuan buntung juga kaki sebelah kanan. Kedua orang sama-sama memakai tongkat penyangga, warna tongkat yang kuning gilap itu bentuknya serupa, sama-sama besar dan kasar, jika terbuat dari emas tulen tentu bobotnya tidaklah ringan. Dilihat dari usia mereka agaknya baru 40-an tahun, badan mereka begitu lemah, tapi justru membawa tongkat yang begitu berat sehingga semakin menambah keseraman mereka.
Dalam pada itu kelihatan si thauto mulai meraba gagang sepasang goloknya, si pengemis juga sudah memegang seekor ularnya dengan kepala ular menjulur ke arah Ih Jong-hay. Begitu pula yang lain-lain telah sama, memegangi senjata masing-masing, tampaknya, segera mereka akan menyerang secara serentak.
"Hahaha!" mendadak Ih Jong-hay bergelak tertawa. "Main kerubut memangnya adalah kebiasaan golongan keroco dan kaum penjahat. Kenapa aku Ih Jong-hay harus merasa gentar?"
Tiba-tiba si lelaki pecak tadi berkata, "Orang she Ih, kami tidak bermaksud membunuh kau."
"Benar," sambung si wanita pecak. "Asal kau menyerahkan Pi-sia-kiam-boh itu secara baik-baik, maka dengan baik-baik pula kami akan membiarkan kau pergi."
Gak Put-kun, Lenghou Tiong, Lim Peng-ci dan lain-lain menjadi tercengang demi mendengar "Pi-sia-kiam-boh" tiba-tiba disebut. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa sebabnya ketujuh orang itu mengepung Ih Jong-hay tujuannya ialah ingin merebut Pi-sia-kiam-boh dari ketua Jing-sia-pay itu.
Begitulah Lenghou Tiong menjadi saling pandang dengan Gak Put-kun dan Lim Peng-ci. Mereka sama-sama membatin, "Apakah Pi-sia-kiam-boh itu benar-benar telah jatuh di tangan Ih Jong-hay?"
Dalam pada itu terdengar si wanita beruban sedang bicara, "Buat apa banyak omong dengan orang kerdil ini" Bunuh saja dia, lalu kita menggeledah badannya."
"Boleh jadi dia telah menyembunyikan kitab pusaka itu di suatu tempat rahasia, kalau kita bunuh dia kan urusan bisa runyam malah?" ujar si wanita pecak.
Si wanita beruban tampak mencibir. Sahutnya, "Tidak ketemukan kitab itu pun tak apa, masakah urusan mesti runyam segala?"
Ucapannya itu kedengarannya kurang jelas seperti angin bocor keluar dari mulutnya. Kiranya giginya telah banyak yang rontok dan hampir ompong seluruhnya.
"Orang she Ih," seru si wanita pecak, "aku kira lebih baik kau menyerahkan kitab itu secara baik-baik. Kitab itu toh bukan milikmu, kau sudah mengangkangi kitab itu sekian lamanya, isinya tentu juga sudah kau hafalkan di luar kepala. Buat apa kau mengangkanginya mati-matian pula?"
Ih Jong-hay tetap bungkam saja. Ia tahu ketujuh lawan itu semuanya sangat lihai, diam-diam ia telah menghimpun tenaga dan mencurahkan segenap perhatian untuk menghadapi segala kemungkinan, maka apa yang dibicarakan ketiga orang tadi sama sekali tak tertangkap olehnya.
Mendadak si hwesio membentak satu kali, lalu komat-kamit entah apa yang dia katakan. Tertampak dia berbangkit, tangan kiri memegang mangkuk dan tangan kanan mengangkat kecer, tampaknya setiap saat siap untuk menerjang Ih Jong-hay.
Pada saat itulah sekonyong-konyong di luar sana ada suara gelak tertawa orang, menyusul masuklah seorang yang bermuka berseri-seri. Orang ini memakai jubah sutra, kepalanya setengah botak, kelihatannya sangat ramah tamah. Tangan kanan orang ini membawa sebuah pipa tembakau warna hijau zamrud. Tangan kiri membawa kipas lempit, pakaiannya perlente, dandanannya ini jelas adalah seorang saudagar kaya raya.
Begitu melangkah masuk ke dalam restoran dan melihat orang sebanyak itu, ia menjadi tercengang dan lenyap seketika air mukanya yang berseri-seri tadi. Tapi sejenak kemudian ia lantas bergelak tertawa pula sambil memberi salam dan berseru, "Aha, selamat bertemu, selamat bertemu! Sungguh tidak nyana bahwa para kesatria yang terkenal pada zaman ini ternyata berkumpul semua di sini. Sungguh aku sangat beruntung sekali dapat ikut hadir."
Lalu orang itu mengangkat tangannya memberi salam kepada Ih Jong-hay, sapanya, "Wah, angin apakah yang membawa Ih-koancu dari Jing-sia-pay sampai ke Holam sini" Sudah lama kudengar "Kiu-siau-sin-kang" Jing-sia-pay merupakan salah satu ilmu tunggal di dunia persilatan, bukan mustahil hari ini aku akan dapat menyaksikannya untuk menambah pengalaman."
Ih Jong-hay sendiri sedang menghimpun tenaga, maka dia tidak melihat kedatangan orang itu, lebih tidak ambil pusing terhadap apa yang diucapkannya.
Kemudian orang itu menyapa kedua laki dan wanita tadi dengan tertawa, "Eh, sudah lama tidak berjumpa dengan "Tong-pek-siang-ki" (Dua Manusia Aneh Pohon Tong dan Pek), apakah selama ini banyak mendapat rezeki?"
Si lelaki pecak menjawab dengan tersenyum, "Rezeki kami mana bisa lebih besar daripada rezeki Yu-taylopan (juragan besar Yu)."
Rupanya orang yang berdandan seperti saudagar ini she Yu.
Orang itu bergelak tertawa beberapa kali dan berkata pula, "Sesungguhnya diriku cuma nama kosong belaka, tangan kiri masuk tangan kanan keluar. Cukup dari julukanku saja sudah diketahui bahwa hanya tampaknya saja diriku ini hebat, tapi dalamnya sebenarnya keropos."


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa sih julukanmu?" tiba-tiba Tho-ki-sian bertanya.
Orang itu memandang ke arah Tho-ki-sian, ia bersuara heran karena melihat wajah Tho-kok-lak-sian yang aneh itu, tapi tidak kenal asal usul mereka. Mendadak ia berseru pula, "Wah, sungguh hebat, sungguh luar biasa, sampai-sampai ketua Hoa-san-pay Gak-siansing dan nyonya juga berada di sini. Akhir-akhir ini Gak-siansing sekali tusuk membutakan 15 orang lawan tangguh, kejadian ini benar-benar mengguncangkan Kangouw, setiap orang merasa kagum. Benar-benar ilmu pedang yang hebat!"
Gak Put-kun hanya mendengus sekali saja, ia merasa tidak pernah kenal orang ini, maka ia pun tidak memberi penjelasan.
Orang itu tertawa pula dan berkata, "Julukanku sebenarnya tidak enak didengar, yaitu "Kut-put-liu-jiu" (Licin Susah Dipegang). Para kawan mengatakan diriku suka bersahabat. Demi sahabat sedikit pun aku tidak sayang mengeluarkan uang. Meski aku pandai mencari uang, tapi uang itu selamanya susah dipegang dan selalu memberosot dengan licin meninggalkan tangan."
Mendengar itu mendadak Gak Put-kun teringat kepada seorang. Katanya, "Ah, kiranya adalah "Kut-put-liu-jiu" Yu Siok, Yu-heng. Sudah lama kudengar namamu, kagum, sungguh kagum!"
"Wah, sampai-sampai ketua Hoa-san-pay juga kenal namaku yang tak berarti ini, sungguh aku merasa sangat bangga," sahut orang itu.
"Sobat she Yu ini agaknya masih mempunyai suatu nama julukan yang lain," tiba-tiba Gak-hujin ikut bicara.
"Apa ya" Wah, aku sendiri malah tidak tahu," kata orang yang bernama Yu Siok itu.
"Julukannya yang lain adalah "belut berminyak"," terdengar suara seorang menyela, kiranya si wanita beruban dan ompong itu.
"Wah, luar biasa!" teriak Tho-hoa-sian. "Belut saja sudah licin sekali, berminyak pula, lalu siapa yang mampu memegangnya."
"Ah, itu kan cuma poyokan yang diberikan oleh kawan-kawan Kangouw kepada sedikit ginkangku yang lumayan ini, katanya segesit belut, padahal sedikit kepandaian yang tak berarti ini sebenarnya tidak ada harganya untuk dibicarakan. Eh, Thio-hujin, apakah engkau baik-baik saja selama ini, terimalah salamku ini," habis berkata Yu Siok terus memberi hormat.
Wanita beruban yang dipanggil Thio-hujin itu melototinya sekali dan menjawab, "Ah, mulut usil, lekas enyah sana!"
Laron Pengisap Darah 8 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Pendekar Riang 4
^