Pencarian

Hina Kelana 19

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 19


Tapi perangai Yu Siok ini ternyata sangat sabar, sedikit pun ia tidak marah. Ia lantas berkata pula terhadap si pengemis, "Siang-liong-sin-kay (Pengemis Sakti Berpasangan Naga) Giam-heng, kedua ekor naga hijau piaraanmu itu tampaknya makin lama makin gemuk dan lincah."
Pengemis itu bernama Giam Sam-seng, sebenarnya berjuluk "Siang-coa-ok-kay" (Pengemis Jahat Berpasangan Ular), tapi Yu Siok sekenanya telah menyebut dia sebagai Siang-liong-sin-kay, bahkan kedua ekor ularnya disebut sebagai sepasang naga, istilah "ok" yang berarti jahat di ganti pula dengan kata-kata "sin" yang berarti sakti, keruan Giam Sam-seng merasa syur juga dan mengunjuk senyuman meski wataknya sebenarnya sangat bengis.
Thauto berambut panjang itu bernama Siu Siong-lian dan si hwesio bergelar Say-po, tojin itu bergelar Giok-leng, asal usul ketiga orang ini pun diketahui semua oleh Yu Siok, maka kepada masing-masing ia pun memberi pujian beberapa patah kata. Begitulah dengan cengar-cengir ke sana dan ke sini, dalam sekejap saja Yu Siok telah membikin suasana yang tegang tadi menjadi damai.
Diam-diam Gak Put-kun membatin, "Sudah lama kudengar di daerah Soatang ada seorang tokoh ajaib yang berjuluk "belut berminyak", kiranya beginilah macamnya."
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Tho-yap-sian berseru, "He, belut berminyak, kenapa kau tidak memuji kepandaian kami berenam saudara yang hebat ini."
"O, sudah ... sudah tentu akan kupuji ...." sahut Yu Siok dengan tertawa. Tak tersangka belum habis ucapannya, kedua kaki dan kedua tangannya tahu-tahu sudah kena dipegang oleh Tho-kin-sian, Tho-kan-sian, Tho-ki-sian dan Tho-yap-sian berempat dan terus diangkat ke atas, tapi seketika mereka tidak lantas membetot tubuh Yu Siok.
Keruan Yu Siok terkejut, cepat ia memuji, "Hebat, sungguh kepandaian yang hebat! Ilmu silat setinggi ini sungguh selama ini jarang terdapat."
Pada umumnya manusia memang suka disanjung puji, sedangkan Tho-kok-lak-sian justru paling senang kalau diumpak orang. Kini demi mendengar pujian Yu Siok itu dengan sendirinya mereka tidak ingin lekas-lekas membetot dan merobek badan pecundangnya itu. Berbareng Tho-kin-sian dan Tho-ki-sian bertanya, "Apa dasarnya kau mengatakan ilmu silat kami jarang terdapat di dunia ini?"
"Seperti sudah kukatakan, julukanku adalah Kut-put-liu-jiu, licin susah dipegang, selama ini siapa pun tidak mampu memegang diriku," sahut Yu Siok. "Tapi sekali bergerak saja kalian berempat sudah dapat menangkap aku, sedikit pun tidak merasa licin dan sama sekali tak terlepas. Nyata kepandaian kalian memang jarang ada selama ini. Selanjutnya ke mana kupergi tentu aku akan menyiarkan nama kebesaran kalian berenam agar segenap kawan Bu-lim mengenal bahwa di dunia ini ada tokoh-tokoh sedemikian lihainya."
Sungguh girang sekali Tho-kin-sian dan kawan-kawannya, segera mereka melepaskan Yu Siok.
"Hm, benar-benar licin seperti belut, memang tidak beromong kosong. Sekali ini kau bisa lolos pula dari pegangan orang," jengek Thio-hujin.
"Ah, memang kepandaian keenam Cianpwe ini terlampau hebat sehingga membikin setiap orang merasa segan dan hormat," kata Yu Siok pula. "Cuma sayang pengalamanku terlalu cetek dan belum kenal siapakah gelaran keenam Cianpwe yang mulia?"
"Kami berenam saudara bernama "Tho-kok-lak-sian". Aku sendiri bernama Tho-kin-sian, yang ini Tho-kan-sian, yang itu Tho-ki-sian ...." begitulah Tho-kin-sian memperkenalkan kawan-kawannya itu satu per satu.
"Bagus, benar-benar bagus!" sorak Yu Siok. "Nama "Sian" itu sungguh cocok dan sesuai dengan ilmu silat kalian berenam. Memang kepandaian kalian sudah mendekati kesaktian dewa, maka kalian sudah seharusnya bernama "Tho-kok-lak-sian"."
Keruan Tho-ki-sian berenam bertambah senang, seru mereka, "Pikiranmu memang tajam, pandanganmu memang tepat, kau benar-benar seorang yang mahabaik."
Di sebelah sana Thio-hujin sedang melotot kepada Ih Jong-hay sambil berkata, "Orang she Ih, Pi-sia-kiam-boh itu akan kau serahkan atau tidak?"
Namun Ih Jong-hay sedikit pun tidak menggubrisnya, ia asyik menghimpun tenaga.
"Ai, ai! Apa yang sedang kalian ributkan?" sela Yu Siok tiba-tiba. "Pi-sia-kiam-boh kata kalian" Setahuku kitab pusaka itu tidaklah berada di tangannya Ih-koancu."
"Setahumu kitab itu berada di tangan siapa?" tukas Thio-hujin.
"Orang itu sangat ternama, kalau kusebutkan mungkin kau akan ketakutan," sahut Yu Siok.
"Lekas katakan," bentak Siu Siong-lian, si thauto. "Tapi kalau tidak tahu ada lebih baik lekas enyah dari sini!"
"Wah, watak Suhu ini ternyata sedemikian gampang terbakar," sahut Yu Siok dengan tertawa. "Dalam hal ilmu silat memang aku tidak seberapa, tapi tentang berita kalian boleh tanya padaku. Setiap kabar hangat dan berita rahasia di dunia Kangouw rasanya tidak mudah lolos dari intaian mata dari telingaku."
Tong-pek-siang-ki, Thio-hujin dan lain-lain cukup kenal Yu Siok, mereka tahu apa yang dikatakannya itu memang bukan bualan belaka. Yu Siok itu paling suka ikut campur urusan tetek bengek, dia tidak punya pekerjaan, segala apa ingin tahu, maka segala kejadian di dunia persilatan memang hampir semuanya diketahui olehnya.
Berbareng Thio-hujin dan lain-lain membentak, "Tidak perlu kau jual mahal. Sebenarnya Pi-sia-kiam-boh itu berada di tangan siapa, lekas katakan!"
"Kalian kan kenal julukanku "licin susah dipegang", harta benda yang datang padaku selalu memberosot keluar lagi," sahut Yu Siok dengan tertawa. "Sungguh sial, beberapa hari terakhir ini aku benar-benar lagi miskin, pasaran sepi, dagangan macet. Kalian adalah hartawan-hartawan semua, seujung rambut kalian saja sudah lebih bernilai daripada segala milikku. Untung aku telah memperoleh berita yang berharga ini. Ya, sudah tentu, berita baik ini sudah sepantasnya kupersembahkan kepada pihak yang berkepentingan. Jadi yang kujual ini tidaklah mahal, tapi dengan harga pantas."
"Baik, kau tidak mau bilang bolehlah kau tunggu dulu. Nanti sesudah kami bunuh keparat she Ih itu lalu membekuk si belut she Yu ini, coba nanti kau mengaku atau tidak," demikian kata Thio-hujin. Mendadak ia memberi komando, "Maju!"
Serentak terdengarlah suara "crang-cring" yang ramai, berbagai macam senjata telah saling bentur. Thio-hujin bertujuh telah meninggalkan tempat duduk masing-masing dan saling gebrak beberapa jurus dengan Ih Jong-hay. Habis menyerang serentak mereka lantas melompat mundur pula. Tapi posisi mereka masih tetap dalam keadaan mengepung.
Maka tertampaklah kaki Say-po Hwesio dan si thauto Si Siong-lian mencucurkan darah. Sebaliknya Ih Jong-hay telah memindahkan pedang dari tangan kanan ke tangan kiri, jubah di bagian pundak kanan hancur, entah kena dipukul oleh siapa.
"Coba lagi!" teriak pula Thio-hujin dan kembali mereka bertujuh mengerubut maju pula. Setelah suara "trang-tring" berbunyi riuh pula, lalu mereka melompat mundur lagi dalam keadaan masih mengepung.
Kini kelihatan muka Thio-hujin sendiri terluka, dari tengah alis miring ke kiri bawah hingga sampai di dagu telah tergores suatu luka panjang. Sebaliknya lengan kiri Ih Jong-hay telah kena terbacok oleh golok, agaknya kena serangan golok melengkung si thauto.
Karena tangan kiri tak bisa memainkan pedang pula, terpaksa senjata dipindahkan kembali ke tangan kanan. Cuma pundak kanannya juga sudah terluka, kalau ketujuh lawan menyerang pula untuk ketiga kalinya pasti dia akan binasa di bawah hujan senjata mereka.
"Ih-koancu," seru Giok-leng Tojin sambil mengacungkan senjatanya, "kita adalah seagama, lebih baik kau menyerah saja."
Ih Jong-hay mendengus sekali, tangan kanan hendak mengangkat pedangnya. Tapi baru terangkat sedikit saja lengannya sudah terasa lemas.
Thio-hujin itu tampaknya adalah seorang wanita tua yang sudah loyo, tapi ternyata sangat garang dan tangkas. Ia pun tidak mengusap darah yang mengalir dari luka di mukanya itu, tongkat diangkat dan mengincar ke arah Ih Jong-hay, lalu berteriak pula, "Maju ...."
Belum selesai teriakannya, tiba-tiba ada orang membentak, "Nanti dulu!"
Menyusul seorang telah melangkah ke tengah kalangan dan berdiri di samping Ih Jong-hay, lalu katanya, "Kalian bertujuh mengeroyok satu orang, cara ini terlalu tidak adil. Apalagi Yu-lopan itu sudah mengatakan bahwa Pi-sia-kiam-boh sesungguhnya tidak berada di tangan Ih-koancu, mengapa kalian masih menyerangnya terus?"
Orang yang menengahi ternyata bukan lain adalah Lenghou Tiong.
Namun Siu Siong-lian bertujuh tiada seorang pun yang kenal pemuda yang berwajah pucat ini. Dengan suara berat Thio-hujin mendamprat, "Siapakah kau" Apakah kau ingin mampus bersama dia?"
"Mampus bersama dia sih bukan keinginanku," sahut Lenghou Tiong. "Soalnya aku merasa urusan ini terlalu tidak adil, maka aku ingin bicara sebagai orang tengah. Lebih baik kalian jangan bertempur saja."
"Marilah kita bunuh sekalian bocah ini," seru Siu Siong-lian.
"Siapa kau" Besar amat nyalimu sehingga kau berani menjadi tameng orang?" bentak Giok-leng Tojin.
"Aku bernama Lenghou Tiong, aku tidak bermaksud menjadi ...." belum habis Lenghou Tiong bicara, terdengarlah Tong-pek-siang-ki, Siang-coa-ok-kay dan lain-lain sama berseru kaget, "Hei, jadi ... jadi kau inilah Lenghou-kongcu?"
"Cayhe adalah pemuda desa, aku tidak berani dipanggil sebagai "Kongcu" segala," sahut Lenghou Tiong. "Apa barangkali kalian pun kenal seorang sahabatku?"
Sepanjang jalan Lenghou Tiong telah mendapat perlakuan sangat hormat dari berbagai tokoh dan orang kosen, semuanya mengatakan perbuatan mereka itu disebabkan seorang sahabat Lenghou Tiong yang paling mereka hormati. Untuk ini Lenghou Tiong sampai pusing kepala juga tidak tahu siapakah sahabatnya yang dimaksudkan itu, ia tidak tahu bilakah dia mengikat seorang sahabat yang berwibawa sedemikian besar" Kini demi melihat sikap Siu Siong-lian bertujuh, segera ia menduga pasti sahabat aneh yang belum diketahuinya itulah yang menyebabkan segannya Siu Siong-lian bertujuh.
Benar juga, tertampak Giok-leng Tojin lantas menurunkan senjatanya dan membungkuk tubuh memberi hormat, katanya, "Ketika mendapat kabar segera kami bertujuh memburu kemari siang dan malam dengan harapan akan bertemu dengan Lenghou-kongcu. Barusan kami bersikap tidak sopan, mohon dimaafkan."
Thio-hujin juga lantas menyimpan kembali tongkatnya yang pendek itu, katanya, "Kami tidak tahu Ih-koancu adalah sahabat Lenghou-kongcu sehingga tadi telah bersikap kasar padanya, untung kedua pihak hanya terluka ringan saja."
Ih Jong-hay mendengus, "trang", mendadak pedangnya jatuh ke lantai. Kiranya pundaknya tadi telah kena diketok sekali oleh gandin Giok-leng Tojin sehingga tulang pundaknya retak, lukanya tidaklah ringan, setelah bertahan sekuatnya kini benar-benar tidak sanggup memegangi pedang lagi.
Ia menjadi heran pula ketika mengetahui orang yang membantunya itu adalah Lenghou Tiong. Tapi dasar wataknya memang kepala batu, segera ia berkata, "Bocah she Lenghou ini bukanlah sahabatku."
"Lenghou-kongcu bukan sahabatmu, inilah sangat kebetulan, memangnya kami bermaksud sembelih kau," ujar Siang-coa-ok-kay. Walaupun demikian ucapannya, tapi dia tahu Lenghou Tiong tidak ingin mereka membunuh Ih Jong-hay, maka hanya mulut saja bicara, tapi tidak turun tangan sungguh-sungguh.
Si belut berminyak Yu Siok lantas mendekati Lenghou Tiong, ia terbahak-bahak dan berkata, "Aku datang dari sebelah timur, sepanjang jalan banyak sekali kawan Kangouw menyebut nama Lenghou-kongcu yang mulia, sungguh hatiku sangat kagum. Menurut berita yang kuperoleh bahwa ada beberapa puluh orang pangcu, kaucu, tongcu, dan tocu, semuanya bermaksud menemui Lenghou-kongcu di atas Ngo-pah-kang. Maka buru-buru aku pun datang kemari ingin melihat keramaian. Sungguh tidak nyana rezekiku sangat besar dan dapat berjumpa lebih dulu dengan Lenghou-kongcu di sini. Tidak apa-apa, jangan khawatir, sekali ini obat-obat mujarab yang dibawa ke Ngo-pah-kang kalau tidak ada 100 macam sedikitnya juga ada 99 macam. Sedikit penyakit Kongcu yang tak berarti itu pasti gampang disembuhkan. Hahaha, bagus, bagus!"
Lenghou Tiong menjadi terkejut malah. "Kau bilang beberapa puluh orang pangcu, kaucu, tongcu, tocu dan seratus macam obat mujarab apa segala, sungguh Cayhe tidak paham?" demikian ia menegas.
Kembali Yu Siok mengakak beberapa kali, katanya, "Lenghou-kongcu jangan khawatir, seluk-beluk urusan ini betapa pun besar nyaliku juga tidak berani sembarangan omong. Hendaklah Kongcu jangan khawatir, hahaha, seumpama aku sembarangan omong dan Lenghou-kongcu tidak marah padaku, tapi bila diketahui orang lain, biarpun aku mempunyai 10 buah kepala juga akan dibetot semua oleh orang itu."
"Kau bilang tidak berani sembarangan omong, tapi mengapa terus mengoceh tentang urusan ini?" omel Thio-hujin. "Soal Ngo-pah-kang sebentar lagi Lenghou-kongcu akan dapat menyaksikan sendiri, buat apa kau mesti cerewet lebih dulu" Coba jawab, Pi-sia-kiam-boh itu sebenarnya berada di tangan siapa?"
"Berikan 100 tahil perak padaku dan segera aku memberitahukan padamu," kata Yu Siok dengan tertawa sambil menjulurkan sebelah tangannya.
"Buset, barangkali hidupmu di jelmaan yang dulu tidak pernah melihat duit, maka sekarang kau mata duitan, segala apa pakai uang, uang, uang melulu!" damprat Thio-hujin.
Mendadak si lelaki pecak mengeluarkan serenceng perak dan dilemparkan kepada Yu Siok, katanya, "Itu, 100 tahil perak tanggung lebih. Nah, lekas bicara, lekas!"
Yu Siok sambuti rencengan perak itu dan menimbang-nimbangnya dengan tangan, lalu menjawab, "Banyak terima kasih. Marilah kita keluar sana, biar kukatakan padamu."
"Buat apa keluar" Bicara saja di sini agar didengar semua orang," kata si lelaki pecak.
"Ya, benar, kenapa mesti dirahasiakan?" seru orang banyak.
Tapi Yu Siok telah menggeleng-geleng. Katanya, "Tidak, tidak bisa. Aku minta 100 tahil perak, maksudku setiap orang membayar 100 tahil dan bukan menjual berita sepenting ini dengan cuma 100 tahil perak saja. Memangnya kalian kira aku menjual obral?"
Mendadak lelaki pecak itu memberi tanda, serentak Siu Siong-lian, Thio-hujin, Siang-coa-ok-kay, Say-po Hwesio dan lain-lain-lain mengepung maju, seketika Yu Siok terjepit di tengah seperti Ih Jong-hay yang terkepung tadi.
"Dia berjuluk licin susah dipegang, terhadap dia kita jangan memakai tangan, tapi gunakan senjata, biar dia mampus," kata Thio-hujin.
"Benar," seru Giok-leng Tojin sambil putar gandinnya, "biar dia rasakan gandinku ini, ingin kulihat apakah kepalanya benar-benar licin atau tidak?"
Gandin andalan Giok-leng Tojin itu bergigi tajam dan mengilap. Kalau kepala Yu Siok yang setengah botak itu benar-benar berkenalan dengan gandin itu tentu bisa konyol.
Tak terduga mendadak Yu Siok berkata kepada Lenghou Tiong, "Lenghou-kongcu, tadi kau menolong Ih-koancu dari kerubutan mereka, mengapa kau pilih kasih dan anggap sepi diriku yang terancam bahaya ini?"
"Haha, jika kau tidak menerangkan di mana beradanya Pi-sia-kiam-boh, bahkan aku pun akan ikut membantu Thio-hujin dan kawan-kawannya," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Bagus, bagus! Harap Lenghou-kongcu turun tangan sekalian!" seru Thio-hujin bertujuh.
"Ai!" Yu Siok menghela napas. "Baiklah, biar kukatakan saja, silakan kalian kembali ke tempat masing-masing, buat apa mengelilingi diriku?"
"Terhadap belut yang licin terpaksa kami harus lebih waspada," ujar Thio-hujin..
"Wah, ini namanya cari penyakit, ular mencari gebuk," gumam Yu Siok. "Sebenarnya aku bisa melihat ramai-ramai ke Ngo-pah-kang, tapi malah mengantarkan kematian ke sini."
"Sudahlah, tak perlu cerewet lagi. Kau mau bicara atau tidak?" ancam Thio-hujin.
"Baik, baik, akan kukatakan, mengapa tidak?" sahut Yu Siok. "Eh Tonghong-kaucu, kiranya engkau orang tua juga berkunjung kemari?"
Kedua kalimatnya yang terakhir itu diucapkan dengan cukup keras, berbareng itu matanya memandang keluar restoran itu dengan air muka penuh heran dan segan. Keruan semua orang ikut terperanjat dan beramai-ramai menoleh ke arah yang dipandang Yu Siok itu. Tapi yang tertampak di jalan raya sana adalah seorang tukang sayur dan sekali-kali bukan Tonghong Put-pay, itu ketua Mo-kau yang namanya menggetarkan dunia.
Bab 55. Pertemuan di Atas Ngo-pah-kang
Waktu semua orang berpaling kembali, ternyata Yu Siok mudah menghilang entah ke mana. Baru sekarang mereka sadar telah tertipu. Siu Siong-lian, Giok-leng Tojin, dan lain-lain lantas mencaci maki. Mereka tahu ginkang si belut itu sangat hebat, pula orangnya memang cerdik, sekali sudah lolos terang sukar menangkapnya pula.
Tiba-tiba Lenghou Tiong berseru keras, "Aha, kiranya Pi-sia-kiam-boh itu sebenarnya dipegang oleh Yu Siok, Yu-heng sendiri. Sungguh tidak nyana bahwa dia yang menemukannya."
"Apa betul?" tanya orang banyak. "Kitab pusaka itu benar-benar di tangan Yu Siok?"
"Sudah tentu berada di tangannya," sahut Lenghou Tiong. "Kalau tidak mengapa dia tidak mau mengaku sejujurnya, sebaliknya lari terbirit-birit."
Dia sengaja bicara dengan suara keras, keruan napasnya megap-megap dan badan lemas.
Mendadak terdengar suara Yu Siok berteriak di luar pintu, "Lenghou-kongcu, mengapa kau sengaja memfitnah diriku?"
Menyusul orangnya telah melangkah masuk kembali ke dalam restoran itu.
Dengan sebat luar biasa Thio-hujin, Giok-leng Tojin dan lain-lain lantas melompat maju dan mengepungnya di tengah-tengah pula. "Haha, kau telah masuk perangkapnya Lenghou-kongcu!" seru Giok-leng dengan tertawa.
Yu Siok tampak bersungut dan sedih, katanya, "Benar, benar, aku pun tahu perangkap Lenghou-kongcu ini. Tapi kalau ucapannya tadi tersiar di Kangouw, maka selanjutnya hidupku pasti tiada satu detik pun bisa berlalu dengan tenang, setiap orang Kangouw tentu mengira aku benar-benar telah mendapatkan Pi-sia-kiam-boh dan semua orang pasti akan mencari perkara padaku. Ai, Lenghou-kongcu, kau sungguh lihai, hanya satu ucapanmu saja sudah dapat menangkap kembali diriku yang licin susah dipegang ini."
Lenghou Tiong hanya tersenyum. Pikirnya, "Apaku yang lihai" Aku justru pernah juga difitnah orang dengan cara demikian."
Tanpa merasa pandangnya mengarah Gak Leng-sian. Ternyata nona itu juga sedang memandang padanya, sinar mata kedua orang kebentrok, wajah keduanya sama-sama merah dan cepat-cepat berpaling kembali.
"Yu-loheng," kata Thio-hujin, "tadi kau telah menyembunyikan Pi-sia-kiam-boh agar tidak kena digeledah kami, betul tidak?"
"Wah, celaka, celaka! Ucapan Thio-hujin ini benar-benar bisa membikin kapiran diriku ini," sahut Yu Siok. "Coba kalian pikir, jika Pi-sia-kiam-boh itu berada padaku, tentu senjata yang kupakai adalah pedang, bahkan ilmu pedangku pasti mahatinggi, paling sedikit juga selihai Ih-koancu dari Jing-sia-pay ini, tapi mengapa sekarang aku tidak membawa pedang dan juga tidak mengeluarkan ilmu pedang, malahan ilmu silatku tergolong nomor buncit?"
Semua orang pikir beralasan juga ucapannya itu, bahkan kata-katanya itu seakan-akan mengalihkan persoalannya kepada Ih Jong-hay pula. Maka tanpa merasa pandangan semua orang kembali berpindah kepada si tojin kerdil yang sudah terluka parah itu.
Mendadak Tho-kin-sian menimbrung pula, "Biarpun Pi-sia-kiam-boh berada padamu juga belum tentu kau mampu mempelajarinya. Seumpama mempelajarinya juga belum tentu mahir. Kau bilang tidak membawa pedang, bisa jadi pedangmu jatuh hilang atau telah dirampas orang."
"Ya, seperti kipas yang kau bawa itu pun mirip dengan pedang pendek, tadi sekali bergerak kipasmu itu juga mirip dengan satu diurus ilmu pedang dari Pi-sia-kiam-hoat," demikian Tho-kan-sian menambahkan.
"Tepat," seru Tho-ki-sian. "Coba lihat, sekarang kipasnya itu menuding miring ke depan, terang itu adalah jurus "Ki-tah-kan-sia" (menuding dan menghantam penjahat), yaitu jurus ke-59 dari Pi-sia-kiam-hoat. Ke mana ujung kipasnya menuding, ke situlah sasarannya akan dibinasakan."
Tatkala itu yang kebetulan berhadapan dengan ujung kipas Yu Siok itu adalah Siu Siong-lian. Dasar thauto ini orang yang berangasan, tanpa pikir lagi segera ia menggeram terus menerjang maju dengan sepasang goloknya.
"He, he. Jangan kau anggap sungguh-sungguh, dia hanya bergurau saja," seru Yu Siok sambil menghindar.
Maka terdengarlah suara nyaring empat kali, sepasang golok Siu Siong-lian telah membacok empat kali, tapi semuanya kena ditangkis oleh Yu Siok. Dari suara beradunya senjata itu memang benar kipas lempitnya itu terbuat dari baja murni. Jangan menyangka badan Yu Siok itu kelihatannya gemuk putih seperti lazimnya kaum hartawan, tapi gerak-geriknya ternyata sangat gesit. Bahkan ketika kipasnya menutuk perlahan segera golok Siu Siong-lian itu tergetar ke samping. Dari gebrakan ini saja sudah jelas bahwa ilmu silatnya sesungguhnya masih lebih tinggi daripada si thauto yang menyerangnya itu. Hanya saja ia terkepung oleh tujuh lawan maka tidak berani sembarangan melakukan serangan balasan.
Dalam pada itu Tho-hoa-sian telah berseru, "Nah, nah, jurus itu adalah diurus ke-32 dari Pi-sia-kiam-hoat yang bernama "Oh-kui-pang-bui" (kura-kura kentut) dan jurus tangkisannya ini adalah jurus ke-25 yang bernama "Ka-hi-hoan-sin" (bulus membalik tubuh)!"
Semua orang sudah tahu Tho-kok-lak-sian itu suka membual, maka tiada seorang pun yang menggubris lagi kepada ocehannya.
Segera Lenghou Tiong berkata, "Yu-siansing, jika Pi-sia-kiam-boh itu benar-benar tidak berada padamu, lalu berada di tangan siapa?"
"Ya, sesungguhnya berada di tangan siapa?" demikian Giok-leng Tojin dan Thio-hujin ikut bertanya.
"Hahaha, sebabnya aku tidak mau bilang adalah karena aku ingin menjual cerita rahasia ini dengan harga lebih bagus, tapi kalian terlalu kikir, pelit," demikian jawab Yu Siok dengan tertawa. "Tapi baiklah, akan kukatakan. Cuma biarpun kalian kuberi tahu juga tiada gunanya, sebab Pi-sia-kiam-boh itu berada di tangan tokoh dunia persilatan yang terpuja, itu Locianpwe yang ilmu silatnya paling tinggi dan paling disegani."
"Siapa" Siapa dia?" tanya orang banyak.
"Jika kusebut orang ini tentu akan membikin kalian melonjak kaget, boleh jadi kalian nanti akan menyesal tak terhingga," ujar Yu Siok.
"Kenapa mesti menyesal?" ujar Thio-hujin. "Hanya tanya Pi-sia-kiam-boh itu berada di tangan siapa, apakah hal ini berarti suatu dosa besar dan harus masuk neraka?"
"Masuk neraka sih rasanya tidak sampai," sahut Yu Siok sambil menghela napas. "Cuma sesudah kalian mengetahui kitab pusaka berada di tangan tokoh itu, kukira kalian tentu tak bisa berbuat apa-apa, tapi rasa kalian tetap akan penasaran, pertentangan batin demikian bukankah akan membikin kalian menyesal" Tentang tokoh itu, justru beliau ada hubungan rapat dengan ketua Hoa-san-pay Gak-siansing yang juga hadir di sini ini."
Seketika pandangan semua orang lantas beralih kepada Gak Put-kun. Tapi ketua Hoa-san-pay itu tersenyum saja, katanya di dalam hati, "Biarkan kau mengoceh sesukamu."
Dalam pada itu Yu Siok tengah mengoceh pula, "Ya, celakanya Pi-sia-kiam-boh itu justru jatuh di tangan seorang tokoh demikian, ini sungguh ... sungguh ...."
Semua orang sampai menahan napas karena ingin mendengar nama tokoh yang akan disebutkan itu. Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh ada suara derapan kaki kuda diseling suara nyaring menggelindingnya roda kereta. Agaknya kereta itu sedang mendatangi dengan cepat, hal ini seketika memutuskan ucapan Yu Siok tadi.
Giok-leng Tojin menjadi aseran. "Lekas katakan, siapa yang memperoleh kiam-boh itu?" desaknya.
"Sudah tentu akan kukatakan, kenapa buru-buru?" sahut Yu Siok.
Sementara itu suara kereta kuda tadi sudah sampai di depan restoran itu dan lantas berhenti. Terdengar suara seorang tua serak sedang bertanya, "Apakah Lenghou-kongcu berada di sini" Pang kami sengaja mengirimkan kereta untuk menyambut kedatanganmu!"
Karena ingin lekas-lekas mengetahui di mana beradanya Pi-sia-kiam-boh untuk membersihkan rasa curiga sang guru serta ibu-guru dan lain-lain atas dirinya, maka ia tidak lantas menjawab seruan orang di luar itu, tapi tetap tanya kepada Yu Siok, "Di luar ada orang datang, lekas-lekas kau menerangkan!"
"Hendaklah Kongcu maklum, dengan datangnya orang luar menjadi tidak leluasa untuk kuterangkan urusan ini," sahut Yu Siok.
Mendadak terdengar ringkikan kuda yang ramai, kembali datang pula beberapa penunggang kuda dan segera berhenti di luar restoran. Lalu suara seorang yang nyaring keras berseru, "Ui-lopangcu, apakah engkau juga datang kemari untuk menyambut Lenghou-kongcu?"
Lalu suara seorang tua sedang menjawab, "Betul, kiranya Suma-tocu sendiri juga datang kemari!"
Orang yang bersuara nyaring keras itu menjengek sekali, menyusul terdengar suara tindakan yang kedengaran sangat berat. Seorang yang berperawakan tinggi besar telah melangkah masuk ke dalam restoran.
Perawakan si thauto Siu Siong-lian sesungguhnya sudah sangat tinggi besar, tapi kalau dibandingkan pendatang baru ini ternyata masih kalah jauh.
"Suma-tocu, kiranya engkau juga datang?" segera Giok-leng Tojin menyapa.
Orang tinggi besar yang dipanggil sebagai Suma-tocu itu hanya mendengus sekali saja, ia lantas berseru, "Yang manakah Lenghou-kongcu adanya" Silakan berkunjung ke Ngo-pah-kang untuk bertemu dengan para kesatria."
Terpaksa Lenghou Tiong memberi salam dan berkata, "Cayhe Lenghou Tiong berada di sini, aku tidak berani membikin capek Suma-tocu."
"Siaujin (hamba) bernama Suma Toa," sahut Suma-tocu itu. "Soalnya hamba dilahirkan dengan badan tinggi besar, maka orang tua telah memberi nama Toa (besar) kepadaku. Selanjutnya harap Lenghou-kongcu memanggil aku Suma Toa saja, atau boleh juga saja si A Toa dan tidak perlu pakai Tocu apa segala."
"Ah, mana boleh," ujar Lenghou Tiong. Lalu memperkenalkan Gak Put-kun dan istrinya. "Kedua orang ini adalah guru dan ibu-guruku."
"Sudah lama aku mengagumi," sahut Suma Toa sambil memberi hormat. Lalu ia berpaling pula dan berkata, "Penyambutan hamba ini agak terlambat, mohon Kongcu sudi memberi maaf."
Sebenarnya nama Gak Put-kun cukup menggetarkan Bu-lim, siapa pun yang mendengar namanya biasanya tentu bersikap hormat dan segan padanya, apalagi kalau bertemu muka, kebanyakan akan tergetar perasaannya. Akan tetapi Suma Toa beserta Thio-hujin, Siu Siong-lian dan lain-lain itu semuanya hanya menaruh hormat terhadap Lenghou Tiong saja, terhadap Gak Put-kun jelas mereka merasa acuh tak acuh, jika ada rasa hormat mereka juga timbul lantaran mereka menghormati Lenghou Tiong.
Gak Put-kun sudah menjabat ketua Hoa-san-pay selama lebih 20 tahun, selamanya ia sangat dihormati orang-orang Kangouw. Tapi orang-orang di hadapannya sekarang ini ternyata tidak memandang sebelah mata padanya, ini jauh lebih menyinggung perasaan daripada orang mencaci maki terang-terangan padanya. Untung "Kun-cu-kiam" Gak Put-kun memang seorang sangat sabar dan bisa mengekang perasaan lahirnya, sama sekali ia tidak memperlihatkan rasa gusar dan mendongkol.
Sementara itu pangcu yang she Ui tadi pun sudah melangkah masuk. Orang ini usianya sudah ada 80-an tahun, jenggotnya yang putih panjang menjulai sampai di depan dada. Tapi semangatnya tampak masih menyala. Dia membungkuk tubuh sedikit kepada Lenghou Tiong, lalu berkata, "Lenghou-kongcu, hamba Ui Pek-liu, banyak anggota pang kami mencari makan di sekitar wilayah sini, tapi tidak sempat menyambut kedatangan Kongcu, sungguh dosa kami pantas dihukum mati."
"Ah, Pangcu terlalu sungkan," sahut Lenghou Tiong sambil membalas hormat.
"Harap Kongcu panggil namaku Ui Pek-liu saja dan tidak perlu pakai Pangcu segala," kata kakek she Ui itu.
"Ah, mana boleh," kata Lenghou Tiong.
"Lenghou-kongcu," Ui Pek-liu bicara pula, "para kesatria sudah berkumpul di Ngo-pah-kang dan sangat ingin menemui Kongcu, maka silakan sekarang juga Kongcu berkunjung ke sana."
Habis ini ia lantas berpaling dan memberi salam kepada Gak Put-kun suami-istri, Thio-hujin, Yu Siok dan lain-lain, katanya, "Silakan para hadirin juga ikut Lenghou-kongcu ke Ngo-pah-kang sana."
Habis berkata ia terus mendahului jalan di depan sebagai penunjuk jalan diikuti orang banyak. Ternyata di luar restoran sudah tersedia beberapa buah kereta kuda. Suma Toa dan Ui Pek-liu mengiringi Lenghou Tiong naik di suatu kereta, beramai-ramai Gak Put-kun suami-istri serta Thio-hujin dan lain-lain juga menumpang kereta yang sudah siap itu dan berangkat.
Tidak terlalu lama, iring-iringan kereta kuda itu berhenti di kaki suatu bukit, mereka turun dari kereta dan berjalan mendaki ke atas bukit itu. Sampai di atas bukit, ternyata di situ adalah suatu tanah datar yang cukup luas, di tengahnya terbangun sebuah rumah gedek bambu, keadaan sunyi senyap tiada seorang pun.
Pada saat itulah tiba-tiba dari dalam rumah gedek itu terdengar suara "creng" satu kali, menyusul bergemalah suara kecapi yang nyaring.
Suma Toa, Ui Pek-liu, Thio-hujin dan lain-lain sama bersuara heran dengan air muka mengunjuk rasa kejut dan tercengang.
Pada saat lain tiba-tiba di luar bukit ada suara seruan orang, "Kaum setan iblis macam apa yang berada di atas bukit itu?"
Suara orang ini begitu keras berkumandang sehingga anak telinga para jago di atas bukit itu sampai mendengung-dengung.
Suma Toa, Ui Pek-liu, Thio-hujin dan lain-lain segera mengundurkan diri dan menghilang di balik bukit sana. Melihat begitu gugupnya jago-jago itu, Gak Put-kun menduga orang yang berada di bawah bukit itu pasti lawan yang tangguh. Agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka segera ia pun membawa anak muridnya mengundurkan diri ke belakang bukit.
Maka yang tertinggal hanya Lenghou Tiong seorang yang masih asyik mendengarkan suara kecapi yang berkumandang dari dalam rumah gedek itu. Pikirnya, "Bukankah ini adalah suara kecapi yang dipetik oleh si nenek di kota Lokyang itu?"
Sementara itu di bawah bukit ada suara seorang yang sangat keras sedang berkata, "Kaum setan iblis itu ternyata berani main gila ke Holam sini dan anggap sepi kepada kita."
Habis berkata demikian segera ia perkeras suaranya dan membentak, "Kawanan bangsat keparat dari manakah yang berani main gila di atas Ngo-pah-kang" Hayo, semuanya laporkan nama kalian!"
Begitu kuat lwekangnya sehingga suaranya berkumandang dan menggetar lembah sekeliling bukit.
Mendengar itu diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Pantas Suma Toa dan lain-lain merasa ketakutan dan melarikan diri seketika, agaknya ada tokoh terkemuka dari kaum Cing-pay (aliran baik) yang telah datang mencari perkara."
Diam-diam ia merasa Suma Toa dan lain-lain terlalu penakut, masakan belum ketemu lawan sudah lantas kabur. Tapi bila pendatang ini sedemikian ditakuti, tentulah kaum cianpwe yang memiliki ilmu silat luar biasa. Jika sebentar dirinya ditanyai rasanya akan serbasusah juga untuk menjawabnya. Maka ia pikir ada lebih baik dirinya juga menghindari saja.
Segera ia menggeser ke belakang rumah gedek. Ia percaya si nenek loyo yang berada di dalam rumah gedek itu pasti takkan dibikin susah oleh pendatang-pendatang itu. Dalam pada itu suara di dalam rumah gedek itu pun sudah berhenti.
Terdengarlah suara tindakan orang, muncullah tiga orang. Dua orang di antaranya berjalan dengan tindakan berat, sedangkan seorang lagi sangat enteng. Kalau tidak diperhatikan dengan cermat jalan orang ketiga ini seakan-akan tidak menimbulkan suara.
Setelah sampai di atas bukit, ketiga orang itu sama bersuara heran. Agaknya mereka merasa aneh terhadap suasana yang sunyi senyap di atas bukit itu.
Orang yang bersuara nyaring keras tadi telah berkata, "Kawanan keparat tadi itu sudah pergi ke mana?"
Lalu suara seorang yang lemah lembut menanggapi, "Tentu karena mereka mendengar kedua tokoh Siau-lim-pay hendak datang ke sini untuk menumpas kawanan setan iblis itu, maka siang-siang mereka sudah melarikan diri dengan mencawat ekor."
"Aha, kukira tidak demikian," ujar seorang lagi sambil tertawa. "Besar kemungkinan kaburnya mereka, adalah karena jeri kepada wibawa Tam-heng dari Kun-lun-pay."
Begitulah ketiga orang itu lantas bergelak tertawa senang. Dari suara tertawa mereka yang nyaring memekak telinga itu Lenghou Tiong tahu tenaga dalam ketiga orang itu benar-benar jarang ada bandingannya di dunia persilatan. Katanya di dalam hati, "Kiranya dua orang di antara mereka adalah tokoh Siau-lim-pay dan yang satu jago dari Kun-lun-pay. Selama beberapa ratus tahun Siau-lim-pay selalu menjagoi dunia persilatan. Melulu Siau-lim-pay saja namanya sudah jauh lebih tinggi daripada Ngo-gak-kiam-pay kami, kekuatan yang sesungguhnya tentunya juga lebih hebat. Suhu sering mengatakan juga bahwa Kun-lun-pay memiliki ilmu pedang yang tersendiri dan mengutamakan kelincahan serta ketangkasan. Sekarang tokoh-tokoh Siau-lim dan Kun-lun ini bergabung sudah tentu sangat lihai. Boleh jadi mereka bertiga ini adalah pembuka jalan dan di belakang mereka masih akan tiba pula bala bantuan yang lebih kuat. Akan tetapi, lalu mengapa Suhu dan Sunio ikut-ikut menyingkir pergi?"
Tapi sesudah dipikir pula ia lantas paham maksud gurunya itu, Hoa-san-pay tergolong Cing-pay juga, sebagai ketua suatu aliran baik adalah tidak pantas dan akan merasa malu kalau sampai tokoh-tokoh Siau-lim dan Kun-lun melihat gurunya itu bergaul bersama Suma Toa, Ui Pek-liu dan lain-lain yang namanya kurang terhormat.
Maka terdengar tokoh she Tam dari Kun-lun-pay itu sedang berkata pula, "Tadi kita baru saja mendengar ada suara kecapi di atas bukit ini. Sekarang pemetik kecapi itu sembunyi ke mana lagi" Sin-heng dan Ih-heng, kukira di dalam kejadian ini ada sesuatu yang tidak beres."
Orang she Sin yang bersuara nyaring tadi menjawab, "Ya, benar, Tam-heng memang sangat cermat. Marilah kita coba menggeledah sekitar sini dan menyeretnya keluar."
"Coba kuperiksa di dalam rumah gedek itu," kata orang she Ih.
Tapi baru saja ia berjalan beberapa langkah ke arah rumah gedek segera terdengar suara seorang wanita yang nyaring merdu sedang berkata, "Aku hanya tinggal sendirian di sini, di tengah malam tidaklah pantas laki-laki dan perempuan mengadakan pertemuan."
Perasaan Lenghou Tiong tergetar seketika mendengar suara itu. Pikirnya, "Ternyata, benar si nenek dari kota Lokyang itu."
"Eh, kiranya seorang wanita," demikian orang she Sin tadi berkata.
Si orang she Ih lantas bertanya, "Apakah tadi kau yang memetik kecapi?"
"Benar," sahut si nenek.
"Coba kau memetiknya beberapa kali lagi?" kata orang she Ih.
"Selamanya tidak saling kenal, mana boleh sembarangan memetik kecapi bagimu," sahut nenek itu.
"Hm, apa dikira kami kepingin" Banyak alasan saja," jengek orang she Sin. "Di dalam rumah gedek itu pasti ada apa-apa yang ganjil, coba kita masuk memeriksanya."
"Katanya wanita seorang diri, tapi mengapa di tengah malam buta berada di atas Ngo-pah-kang ini" Besar kemungkinan dia adalah begundal kawanan setan iblis itu. Mari kita menggeledah ke dalam," orang she Ih berkata. Habis itu dengan langkah lebar ia terus berjalan ke pintu rumah gedek.
Mendengar kata-kata mereka itu Lenghou Tiong menjadi naik pitam, tanpa pikir lagi ia lantas menyelinap keluar dari tempat sembunyinya dan merintangi di depan pintu. Bentaknya, "Berhenti!"
Sama sekali ketiga orang itu tidak menduga bahwa mendadak bisa muncul seorang dari tempat gelap. Mereka rada terkejut, namun mereka adalah tokoh-tokoh yang berpengalaman dan terkemuka, sudah tentu mereka anggap sepele sesudah melihat orang yang dihadapi adalah seorang pemuda saja.
"Anak muda, siapa kau" Kerja apa kau main sembunyi-sembunyi di sini?" segera orang she Sin balas membentak.
"Cayhe Lenghou Tiong dari Hoa-san-pay menyampaikan salam hormat kepada para Cianpwe dari Siau-lim dan Kun-lun-pay," sahut Lenghou Tiong dengan memberi hormat.
"Apa kau orang Hoa-san-pay?" orang she Sin itu mendengus. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Waktu Lenghou Tiong berdiri setegaknya, ia merasa perawakan orang she Sin itu juga tidak terlalu besar, hanya dadanya membusung, pantas suaranya begitu keras.
Laki-laki setengah umur yang lain juga memakai jubah kuning yang serupa dengan orang she Sin, terang inilah orang she Ih yang seperguruan dengan dia. Orang she Tam dari Kun-lun-pay itu punggungnya menyandang pedang, jubahnya longgar dan lengan bajunya lebar, sikapnya gagah ramah.
"Jadi kau adalah murid Hoa-san-pay yang tergolong Cing-pay, mengapa kau berada di Ngo-pah-kang sini?" demikian orang she Ih tadi menegas pula.
Memangnya Lenghou Tiong sudah naik pitam ketika mendengar caci maki mereka tadi, maka jawabnya ketus, "Cianpwe bertiga bukankah juga dari golongan Cing-pay dan bukankah sekarang juga berada di Ngo-pah-kang sini?"
Orang she Tam dari Kun-lun-pay tertawa, katanya, "Jawaban yang bagus. Tapi apakah kau tahu siapakah wanita yang memetik kecapi di dalam rumah gedek itu?"
"Beliau adalah seorang nenek yang berusia lanjut dan berbudi luhur, seorang tua yang tiada punya persengketaan dengan siapa pun di dunia ini," sahut Lenghou Tiong.
"Ngaco-belo," semprot si orang she Ih. "Jelas suara wanita itu nyaring dan lembut, terang usianya masih sangat muda. Mengapa kau bilang nenek tua apa segala?"
"Suara nenek ini memang merdu dan enak didengar, kenapa mesti diherankan?" ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. "Padahal keponakannya saja juga lebih tua dua-tiga puluh tahun daripada kalian jangankan lagi si nenek sendiri."
"Minggir, biar kami masuk untuk melihatnya sendiri," bentak orang she Ih.
Tapi Lenghou Tiong menjulurkan kedua tangannya untuk mengadang malah, katanya, "Popo (nenek) tadi sudah mengatakan bahwa di malam hari tidaklah leluasa kaum lelaki dan wanita mengadakan pertemuan. Apalagi beliau juga tidak pernah kenal kalian, tanpa alasan apa gunanya kalian melihatnya."
Mendadak orang she Ih mengebaskan lengan bajunya, suatu tenaga mahakuat segera menyambar tiba. Saat itu Lenghou Tiong dalam keadaan lemah, sedikit pun tidak bertenaga lagi, keruan ia tidak sanggup bertahan, kontan ia terdorong jatuh terguling.
Rupanya orang she Ih itu sama sekali tidak menyangka akan kelemahan Lenghou Tiong, ia menjadi tertegun dan berkata, "Kau benar-benar murid Hoa-san-pay" Huh, kukira kau omong kosong saja!"
Habis berkata segera ia hendak melangkah lagi ke pintu gubuk.
Cepat Lenghou Tiong merangkak bangun, ternyata pipinya sudah babak dan lecet sedikit. Segera ia berseru, "Popo tidak ingin bertemu dengan kalian, mengapa kalian tidak tahu aturan" Aku sendiri sudah pernah bicara cukup lama dengan Popo di kota Lokyang tempo hari, tapi sampai saat ini pun aku belum melihat mukanya."
"Bocah ini bicara tak keruan," semprot orang she Ih. "Lekas minggir! Apa kau ingin dibanting lagi?"
Namun Lenghou Tiong lantas menjawab, "Siau-lim-pay adalah suatu aliran besar dan paling dihormati di dunia persilatan, kedua Cianpwe juga tokoh terkemuka. Cianpwe yang itu tentu pula jago ternama dari Kun-lun-pay, tapi sekarang di tengah malam buta kalian bertiga hendak merecoki seorang nenek yang tak bersenjata apa pun, perbuatan kalian apakah takkan dibuat buah tertawaan orang-orang Kangouw?"
"Dasar cerewet, enyah sana!" bentak orang she Ih. Mendadak tangan kirinya menampar, "plok", dengan telak pipi kiri Lenghou Tiong kena digampar dengan keras.
Walaupun tenaga dalam Lenghou Tiong sudah lenyap, tapi dari gerak-gerik orang ia pun tahu dirinya akan diserang. Cepat ia pun berusaha berkelit, celakanya badannya terasa lemas, kaki tidak menurut perintah lagi, pukulan orang she Ih sukar dihindarkan. Keruan tubuhnya sampai berputar dua kali, matanya berkunang-kunang dan kepala pusing tujuh keliling, akhirnya ia jatuh terduduk pula.
"Ih-sute, bocah ini tidak becus ilmu silat, tak perlu buang tempo dengan dia," kata orang she Sin. "Rupanya kawanan setan iblis tadi sudah kabur semua, marilah kita pergi saja!"
Tetapi orang she Ih menjawab, "Kawanan setan iblis Sia-pay dari wilayah beberapa provinsi mendadak berkumpul di Ngo-pah-kang sini, dalam sekejapan saja mereka menghilang pula secara cepat. Berkumpulnya aneh, bubarnya juga mencurigakan. Urusan ini harus kita selidiki sejelasnya. Di dalam gubuk ini boleh jadi kita akan menemukan sesuatu."
Sembari berkata tangannya lantas bermaksud mendorong pintu rumah gedek.
Saat itu Lenghou Tiong sudah berbangkit kembali, tangannya sudah menghunus pedang, serunya, "Ih-cianpwe, nenek di dalam gubuk itu pernah menanam budi padaku, maka kau harus menghadapi aku lebih dulu sebelum mengganggu beliau, asal aku masih bernapas jangan harap kau bisa bertindak sesukamu terhadap beliau."
Orang she Ih bergelak tertawa. Katanya, "Berdasarkan apa kau berani merintangi aku" Apakah mengandalkan pedang yang kau pegang itu?"
"Kepandaian Wanpwe terlalu rendah, mana bisa menandingi tokoh pilihan Siau-lim-pay?" sahut Lenghou Tiong. "Cuma segala urusan harus berdasarkan keadilan dan kebenaran. Untuk bisa memasuki rumah gedek ini kau harus melangkah mayatku lebih dulu."
"Ih-sute, bocah ini ternyata gagah perwira, boleh dikata seorang laki-laki, biarkan dia, mari kita pergi saja," kata pula si orang she Sin.
Tapi orang she Ih itu tertawa dan berkata pula terhadap Lenghou Tiong, "Kabarnya ilmu pedang Hoa-san-pay mempunyai ciri-ciri keistimewaan tersendiri. Malahan terbagi menjadi Kiam-cong dan Khi-cong segala. Kau sendiri dari Kiam-cong atau Khi-cong" Atau Cong kentut apa lagi" Hahahaha!"
Karena ucapannya itu, orang sute Sin dan tokoh Kun-lun-pay yang she Tam menjadi ikut tertawa geli.
"Huh, mentang-mentang lebih kuat, lalu main menang-menangan, apakah beginilah yang disebut kaum Cing-pay?" jawab Lenghou Tiong dengan suara lantang. "Apakah kau benar-benar murid Siau-lim-pay" Kukira, omong kosong belaka!"
Keruan orang she Ih itu sangat gusar. Tangan kanan diangkat, segera ia hendak menghantam ke dada Lenghou Tiong. Tampaknya bila serangannya dilancarkan, seketika juga Lenghou Tiong pasti akan binasa.
"Nanti dulu!" seru si orang she Sin. "Lenghou Tiong, menurut jalan pikiranmu, apakah orang dari Cing-pay lantas tidak boleh bergebrak dengan orang?"
"Setiap orang dari Cing-pay, setiap kali turun tangan harus dapat memberikan alasannya," jawab Lenghou Tiong tegas.
"Baik," kata orang she Ih sambil perlahan-lahan menjulurkan telapak tangannya. "Aku akan menghitung satu sampai tiga. Bila aku menghitung sampai tiga kali kau masih tetap tidak mau menyingkir, maka tiga batang tulang rusukmu akan kupatahkan."
"Hanya tiga batang tulang rusuk saja apa artinya?" sahut Lenghou Tiong sambil tersenyum.
Segera orang she Ih mulai menghitung, "Satu ... dua ...."
"Sobat kecil," sela si orang she Sin. "Ih-suteku ini selalu melaksanakan apa yang pernah diucapkannya. Lebih baik kau lekas menyingkir saja."
Lenghou Tiong tersenyum. Katanya, "Mulutku ini pun selalu menepati apa yang pernah diucapkan. Selama Lenghou Tiong masih hidup takkan membiarkan kalian berlaku kurang ajar terhadap Popo."
Habis berkata ia tahu pukulan orang she Ih sewaktu-waktu dapat dilontarkan. Maka diam ia menarik napas dalam-dalam, ia himpun tenaga seadanya ke lengan kanan, tapi dada lantas terasa sakit, mata berkunang-kunang.
"Tiga!" bentak orang she Ih, berbareng ia terus melangkah maju. Dilihatnya Lenghou Tiong tersenyum-senyum dingin saja membelakangi pintu, sedikit pun tidak bermaksud menyingkir. Maka tanpa pikir lagi pukulannya, terus dilontarkan.
Seketika Lenghou Tiong merasa napasnya menjadi sesak, tenaga pukulan lawan telah menyambar tiba. Sekuatnya ia angkat pedangnya terus menusuk, yang diincar adalah titik tengah telapak tangan musuh.
Gerak pedangnya ini baik tempat yang diincar maupun waktunya boleh dikata sangat tepat, sedikit pun tidak meleset. Ternyata pukulan orang she Ih yang telanjur dilontarkan itu tidak sempat ditarik kembali lagi. Maka terdengarlah suara "cret", menyusul suara jeritan keras, "Auuh!"
Nyata ujung pedang Lenghou Tiong telah menusuk tembus telapak tangan orang she Ih itu. Lekas-lekas orang itu menarik kembali tangannya sehingga terlepas dari sundukan ujung pedang. Lukanya ini benar-benar amat parah. Cepat ia melompat mundur, "sret" segera ia melolos keluar pedangnya dan berteriak, "Anak keparat, kiranya kau hanya berlagak bodoh, tak tahunya ilmu silatmu sangat hebat. Biar ... biar kuadu jiwa saja dengan kau."
Hendaklah dimaklumi bahwa orang she Ih ini adalah tokoh pilihan angkatan kedua Siau-lim-pay pada masa itu. Baik ilmu pukulan (dengan kepalan maupun telapak tangan) maupun ilmu pedang sudah memperoleh pelajaran murni perguruannya. Gerak pedang Lenghou Tiong tadi toh tidak kelihatan ada sesuatu yang luar biasa, yang hebat hanya arah yang jitu serta waktunya yang tepat sehingga telapak tangannya itu seakan-akan dijulurkan sendiri untuk ditusuk dan untuk menghindar pun tidak sempat. Nyata dalam hal ilmu pedang pemuda yang mengaku murid Hoa-san-pay ini sudah mencapai tingkatan yang sukar diukur.
Sesungguhnya Sin, Ih dan Tam bertiga adalah ahli pedang semua, sudah tentu mereka dapat menilai kejadian itu.
Karena tangan kanan terluka, orang she Ih memindahkan pedang ke tangan kiri. Meski hatinya amat gusar, tapi sekarang ia tidak berani pandang enteng lagi terhadap Lenghou Tiong. "Sret-sret-sret", kembali ia melancarkan tiga kali serangan, tapi semuanya hanya serangan pancingan belaka, sampai di tengah jalan segera serangannya ditarik kembali.
Dahulu di kelenteng Yok-ong-bio pernah sekaligus Lenghou Tiong membutakan mata 15 orang jago tangguh, walaupun waktu itu tenaga dalamnya juga sudah punah, tapi kalau dibandingkan masih lebih mendingan daripada sekarang, secara beruntun telah mengalami tiga kali cedera pula sehingga untuk mengangkat pedang saja hampir-hampir tidak mampu. Tampaknya tiga kali serangan orang she Ih itu adalah ilmu pedang kelas wahid Siau-lim-pay, maka cepat ia berseru, "Sesungguhnya Cayhe tidak bermaksud memusuhi ketiga Cianpwe, asalkan kalian sudi meninggalkan tempat ini, maka Cayhe bersedia meminta maaf dengan setulus hati."
"Hm," orang she Ih itu mendengus. "Sekarang hendak minta ampun rasanya sudah terlambat!"
"Sret", dengan cepat pedangnya menusuk ke arah leher Lenghou Tiong.
Beruntun-runtun Lenghou Tiong telah kena digampar, ia sadar gerak-geriknya sendiri teramat lamban. Serangan lawan ini terang sukar dihindarkan. Tanpa pikir lagi ia pun membarengi menusuk dengan pedangnya. Menyerang belakangan tapi sampai lebih dulu, "ces", dengan tepat hiat-to penting di pergelangan tangan orang she Ih telah tertusuk.
Tanpa kuasa lagi orang she Ih membuka jarinya sehingga pedangnya jatuh ke tanah.
Tatkala itu sang surya sudah mulai mengintip di ufuk timur. Dengan jelas orang she Ih dapat melihat darah segar menetes keluar dari pergelangan tangan sendiri, rumput hijau menjadi merah tersiram oleh darahnya. Untuk sejenak ia termangu-mangu, sungguh ia tidak percaya bahwa di dunia ini bisa terjadi demikian. Selang agak lama barulah ia menghela napas panjang, tanpa bicara lagi ia terus putar tubuh dan melangkah pergi.
"Ih-sute!" seru si orang she Sin, segera ia pun menyusul pergi dengan cepat.
Orang she Tam mengamat-amati Lenghou Tiong dengan lirikan ragu-ragu. Tanyanya kemudian, "Apakah saudara benar-benar murid Hoa-san-pay?"
Tubuh Lenghou Tiong terasa sangat lemas dan terhuyung-huyung hendak roboh, sekuatnya ia menjawab, "Ya, benar."
Keadaan Lenghou Tiong yang parah itu dapat dilihat dengan jelas oleh orang she Tam. Ia. pikir biarpun ilmu pedang pemuda ini sangat hebat, asal menunggu lagi sebentar, tanpa diserang juga pemuda itu akan ambruk sendiri. Jadi di depan matanya sekarang adalah suatu kesempatan bagus yang dapat dipergunakan.
Pikir orang she Tam, "Tadi kedua tokoh Siau-lim-pay telah dikalahkan oleh pemuda dari Hoa-san-pay ini. Jika sekarang aku dapat merobohkan dia, kutangkap dia dan membawanya ke Siau-lim-si untuk diserahkan kepada Hongtiang, jalan demikian bukan saja berarti Siau-lim-si utang budi padaku, bahkan pamor Kun-lun-pay juga dapat dijunjung lebih tinggi di daerah Tionggoan."
Bab 56. Si Nenek Aneh dan Ketua Siau-lim-si
Sesudah ambil keputusan licik itu, segera ia melangkah maju, katanya sambil tersenyum, "Anak muda, ilmu pedangmu sungguh hebat. Marilah kita coba-coba ilmu pukulan saja."
Melihat sikap orang she Tam itu segera Lenghou Tiong dapat meraba apa maksud tujuannya. Diam-diam ia menggerutu akan kelicikan jahanam Kun-lun-pay ini, perbuatannya ini bahkan lebih jahat daripada orang she Ih dari Siau-lim-pay tadi. Tanpa pikir lagi segera ia angkat pedang terus menusuk ke bahu lawan.
Tak tersangka, baru saja pedangnya terangkat atau lengannya sudah terasa lemas, sedikit pun tidak bertenaga. "Trang", pedang lantas jatuh ke tanah.
Keruan orang she Tam itu sangat girang, "Brak", kontan ia melancarkan pukulan, dengan tepat dada Lenghou Tiong kena disodok oleh telapak tangannya. "Huekk", tanpa ampun lagi darah segar lantas menyembur keluar dari mulut Lenghou Tiong.
Jarak kedua orang itu sangat dekat, darah segar yang ditumpahkan Lenghou Tiong itu tepat menyembur ke arah muka orang she Tam. Lekas-lekas orang she Tam itu mengegos kepala untuk menghindar, tapi tidak urung ada sebagian kecil menciprat di atas mukanya, bahkan ada beberapa titik jatuh ke dalam mulutnya.
Ia pun tidak ambil pusing walaupun mulutnya merasakan anyirnya darah. Ia khawatir Lenghou Tiong menjemput pedang kembali melancarkan serangan balasan, maka cepat telapak tangannya diangkat, kembali ia hendak menghantam pula. Tapi mendadak kepalanya terasa pening dan mata berkunang-kunang, seketika ia pun roboh terguling.
Tentu saja Lenghou Tiong terheran-heran. Ia tidak habis mengerti mengapa musuh yang sudah menang itu kok mendadak roboh sendiri malah.
Ia tidak tahu bahwa ia pernah minum arak beracun "Ngo-hoa-lo-tek-ciu" antaran dari Ngo-tok-kau (agama pancabisa/racun), di dalam darahnya telah mengandung racun yang keras, untung dia telah minum Siok-beng-pat-wan (delapan biji pil penyambung nyawa) milik Lo Thau-cu, kadar racun di dalam darahnya telah diperlunak oleh obat mujarab itu sehingga jiwanya tidak berbahaya. Tapi darahnya yang berbisa itu sekarang menciprat ke dalam mulut orang she Tam, keruan ia tidak tahan. Masih untung baginya darah yang menciprat ke dalam mulutnya itu hanya beberapa titik kecil saja sehingga jiwanya tidak sampai melayang seketika.
Dalam pada itu sang surya telah mulai memancarkan sinarnya, wajah orang she Tam itu tampak jelas bersemu hitam kebiru-biruan, kulit mukanya tiada hentinya berkejang, berkerut-kerut, keadaannya sangat aneh dan menyeramkan.
"Kau bermaksud membinasakan diriku, tapi kau sendiri ketularan," kata Lenghou Tiong.
Waktu ia memandang sekelilingnya, ternyata di atas Ngo-pah-kang itu tiada bayangan seorang pun. Yang ada hanya suara kicauan burung, di atas tanah banyak tersebar macam-macam senjata dan cawan arak serta macam-macam perabot lain, keadaannya rada ganjil.
Sesudah mengusap mulutnya yang berdarah, lalu Lenghou Tiong berkata, "Popo, apakah baik-baik saja selama berpisah?"
"Saat ini Kongcu jangan banyak buang tenaga lagi, silakan duduk mengaso saja," kata si nenek di dalam rumah gedek.
Lenghou Tiong memang merasa seluruh badannya sudah lemas lunglai, segera ia menurut dan berduduk.
Lalu terdengar suara kecapi berkumandang pula dari dalam rumah gedek itu, suaranya ulem, bening dan merdu, badannya terasa segar seakan-akan disaluri oleh suatu hawa hangat, hawa hangat ini terus mengalir pula ke sekeliling anggota badannya.
Selang agak lama, suara kecapi itu makin lama makin rendah, sampai akhirnya hampir-hampir tak terdengar dan entah mulai berhenti sejak kapan. Ketika mendadak Lenghou Tiong merasa semangatnya terbangkit, segera ia berdiri, ia memberi hormat dalam-dalam dan berkata, "Banyak terima kasih atas tabuhan sakti Popo sehingga banyak memberi manfaat bagi Wanpwe."
"Tanpa kenal bahaya kau telah menghalaukan musuh bagiku sehingga aku tidak sampai dihina kawanan bangsat itu, akulah yang harus berterima kasih padamu," kata si nenek.
"Mana boleh berkata demikian, apa yang kulakukan adalah kewajiban yang layak," ujar Lenghou Tiong.
Nenek itu tidak bicara lagi untuk sejenak, kecapinya mengeluarkan suara "cring-creng, cring-creng" yang perlahan, agaknya tangan si nenek tetap memetik kecapinya, tapi pikirannya sedang melayang-layang seakan-akan ada sesuatu persoalan yang susah diambil keputusan. Selang agak lama barulah ia bertanya, "Sekarang kau akan ... akan ke mana?"
Pertanyaannya ini membikin darah Lenghou Tiong seketika bergolak memenuhi dadanya, ia merasa dunia seluas ini seakan-akan tiada tempat berpijak baginya. Tanpa merasa ia terbatuk-batuk, sampai lama baru ia dapat menghentikan batuknya itu, lalu menjawab, "Aku ... aku tidak tahu harus ke mana?"
"Apa kau tidak pergi mencari guru dan ibu-gurumu" Tidak pergi mencari Sute dan ... dan Sumoaymu?" tanya si nenek.
"Mereka ... mereka entah sudah pergi ke mana, lukaku rada parah, aku tidak sanggup mencari mereka. Seumpama dapat menemukan mereka juga ... juga, aiii!"
Lenghou Tiong menghela napas panjang dan membatin, "Ya, seumpama sudah ketemukan mereka, lalu mau apa" Mereka toh tidak suka padaku lagi."
"Jika lukamu tidak ringan, mengapa kau tidak mencari suatu tempat yang baik, yang cocok untuk menghibur hatimu yang lara daripada kau berduka dan menyesal percuma."
"Hahaha! Ucapan Popo memang benar juga. Soal mati-hidupku sebenarnya tidak kupikirkan. Tapi biarlah sekarang juga Wanpwe mohon diri untuk pergi pesiar dan mencari suatu tempat yang indah," sembari berkata ia terus memberi hormat ke arah rumah gedek, lalu putar tubuh dan melangkah pergi.
Baru dia berjalan beberapa tindak, mendadak terdengar seruan si nenek, "Apakah kau ... sekarang juga lantas pergi?"


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lenghou Tiong menghentikan langkahnya dan mengiakan.
Kata pula si nenek, "Tapi lukamu tidak ringan, kau mengadakan perjalanan seorang diri, di tengah jalan tak ada orang yang menjaga kau, hal ini tentu akan menyusahkan kau."
Hati Lenghou Tiong menjadi terharu demi mendengar ucapan si nenek yang simpatik itu. Jawabnya, "Banyak terima kasih atas perhatian Popo. Penyakitku ini terang tak bisa disembuhkan lagi. Mati lebih cepat atau lambat dan mati di mana saja bagiku tiada banyak bedanya."
"O, kiranya demikian," kata si nenek. "Cuma ... cuma, kalau kau sudah pergi, lalu orang jahat dari Siau-lim-pay itu putar balik ke sini, lantas bagaimana" Tam Tik-jin, orang Kun-lun-pay ini hanya jatuh pingsan saja, sesudah siuman boleh jadi ia pun akan mencari perkara padaku."
"Kau hendak ke mana Popo" Biar aku mengantarkan kau," kata Lenghou Tiong.
"Baik sekali maksudmu ini. Cuma untuk ini rasanya ada suatu kesukaran dan mungkin akan membikin susah padamu."
"Membikin susah padaku" Sedangkan jiwaku ini saja adalah Popo yang menyelamatkan, kenapa pakai membikin susah padaku atau tidak?"
Nenek itu menghela, napas, katanya, "Aku ada seorang musuh yang sangat lihai, dia telah mencari aku ke kota Lokyang sana, terpaksa aku menyingkir ke sini, tapi rasanya tidak lama lagi ia pun akan menyusul kemari, dalam keadaan payah sehingga tidak mampu bergebrak dengan dia. Aku hanya ingin mencari suatu tempat yang baik untuk menghindarinya sementara waktu. Kelak aku sudah mengumpulkan bala bantuan baru aku akan membikin perhitungan dengan dia. Namun untuk minta kau mengantar dan mengawal aku, pertama, kau sendiri terluka, kedua, kau adalah seorang pemuda yang lincah dan gagah, bila mengiringi seorang nenek apakah kau takkan merasa kesal?"
"Hahaha, kukira Popo ada apa-apa yang sukar dilakukan, tak tahunya hanya soal sepele ini," seru Lenghou Tiong dengan tertawa. "Popo hendak ke mana biarlah aku mengantarmu, ke ujung langit sekalipun asalkan aku masih belum mati pasti akan kukawal juga ke sana."
"Jika demikian harus membikin capek padamu," kata si nenek, agaknya merasa sangat senang. "Apakah betul ke ujung langit sekalipun juga, kau akan mengantar aku ke sana?"
"Benar, tak peduli ke ujung langit atau ke pojok samudra pasti Lenghou Tiong akan mengantar Popo ke sana."
"Tapi ada lagi suatu kesukaran yang lain."
"Kesukaran apa lagi?"
"Wajahku ini sangat jelek, siapa pun yang melihat mukaku pasti akan kaget setengah mati, sebab itulah aku tidak ingin memperlihatkan muka asliku kepada orang. Untuk ini kau harus menerima suatu syaratku bahwa di mana pun dan dalam keadaan apa pun juga kau tak boleh memandang sekejap saja padaku. Tidak boleh memandang mukaku, dilarang melihat perawakan dan kaki atau tanganku, juga dilarang memandang bajuku atau sepatuku."
"Hati Wanpwe sepenuhnya menghormati Popo, aku merasa terima kasih atas perhatian Popo terhadap diriku. Adapun mengenai keadaan wajah Popo apa sih sangkut pautnya?"
"Jika kau tidak dapat menerima syaratku ini, maka bolehlah kau pergi saja sesukamu."
"Baik, baik, kuterima baik, tak peduli di mana dan dalam keadaan apa pun juga aku pasti takkan memandang berhadapan kepada Popo."
"Bayangan ke belakangku pun tidak boleh dipandang," si nenek menambahkan.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Masakah sampai bayangan belakangmu juga amat buruk untuk dipandang" Bayangan belakang yang paling jelek di dunia ini tidak lebih dari manusia bungkuk, orang kerdil. Tapi ini pun tidak menjadi soal bagiku. Namun sepanjang jalan sampai-sampai bayangan belakang pun aku dilarang memandangnya, lalu cara bagaimana aku harus mengawal kau, kan runyam?"
Melihat Lenghou Tiong merasa ragu-ragu dan tidak menjawab, segera si nenek menegas, "Apakah kau tidak sanggup?"
"Sanggup, pasti sanggup. Bila aku sampai memandang sekejap saja kepada Popo, biarlah nanti aku mengorek biji mataku sendiri."
"Asal kau ingat baik-baik saja janjimu ini. Nah, sekarang kau jalan di depan, biar aku mengintil dari belakang."
"Baik," sahut Lenghou Tiong terus mulai berjalan ke bawah bukit. Terdengar suara tindakan halus di belakangnya, nyata nenek itu telah menyusulnya.
Belasan meter jauhnya, tiba-tiba si nenek mengangsurkan sebatang ranting kayu, katanya, "Kau gunakan ini sebagai tongkat, jalan perlahan-lahan saja."
Lenghou Tiong mengiakan pula. Dengan tongkat darurat itu ia menuruni bukit itu dan ternyata tidak begitu payah langkahnya.
Sesudah sekian jauhnya, tiba-tiba ia ingat sesuatu, tanyanya, "Popo, orang she Tam dari Kun-lun-pay itu kok kau kenal namanya?"
"Ya," sahut si nenek. "Tam Tik-jin itu adalah jago nomor tiga di antara anak murid angkatan kedua Kun-lun-pay, dalam hal ilmu pedang ia sudah memperoleh enam atau bagian dari kepandaian gurunya. Dibandingkan toasuheng dan jisuhengnya juga masih selisih jauh. Sedangkan ilmu pedang orang Siau-lim-pay yang tinggi besar yang bernama Sin Kok-liong itu pun jauh lebih tinggi daripada dia."
"O, kiranya si gede itu bernama Sin Kok-liong. Masih kenal aturan juga dia daripada orang she Ih itu."
"Sutenya itu bernama Ih Kok-cu, orang ini memang lebih kurang ajar. Tadi sekali tusuk kau menembus telapak tangannya, lalu pedangmu melukai pergelangannya pula. Kedua kali serangan itu sungguh sangat bagus."
"Ah, itu hanya karena terpaksa saja," ujar Lenghou Tiong. "Kini aku menjadi mengikat permusuhan dengan Siau-lim-pay, bahaya di kemudian hari tentu takkan habis-habis."
"Apanya yang hebat hanya Siau-lim-pay saja?" jengek si nenek. "Kita pun belum tentu kalah dengan mereka. Tadi aku sama sekali tidak menduga bahwa Tam Tik-jin itu bisa menghantam kau, lebih-lebih tidak nyana kau akan muntah darah."
"Eh, jadi Popo telah mengikuti semua kejadian tadi" Aku pun tidak tahu mengapa Tam Tik-jin itu mendadak bisa jatuh tak sadarkan diri?"
"Masakah kau sendiri pun tidak tahu?" si nenek menegas. "Di dalam darahmu banyak terserap racun jahat dari Ngo-tok-kau, yaitu gara-gara perbuatan wanita siluman Na Hong-hong, itu Kaucu dari Ngo-tok-kau. Rupanya darahmu menciprat ke dalam mulutnya Tam Tik-jin, keruan ia tidak tahan."
Baru sekarang Lenghou Tiong paham duduknya perkara, "O, kiranya demikian. Tapi aku sendiri mengapa malah tapi aku sendiri mengapa malah tahan, sungguh aneh. Selamanya aku tiada punya permusuhan apa-apa dengan Na-kaucu dari Ngo-tok-kau itu, entah sebab apa dia sengaja meracuni aku?"
"Siapa bilang dia sengaja meracuni kau?" sahut si nenek. "Dia justru bermaksud baik terhadapmu. Hm, dia berkhayal akan menyembuhkan penyakitmu yang aneh. Dia sengaja menyalurkan racun ke dalam darahmu agar jiwamu tidak berbahaya. Cara demikian adalah cara kesukaan Ngo-tok-kau mereka."
"Ya, makanya. Memang aku pun tiada punya permusuhan apa-apa dengan Na-kaucu, masakan tanpa sebab dia hendak membikin celaka padaku."
"Sudah tentu dia tidak bermaksud membikin celaka padamu. Bahkan ia justru ingin memberikan kebaikan padamu sebisanya."
Lenghou Tiong tersenyum. Lalu tanya pula, "Entah Tam Tik-jin itu bisa mati atau tidak?"
"Ini harus tergantung kepada kekuatan lwekangnya. Entah darah berbisa yang menciprat ke dalam mulutnya itu sedikit atau banyak?"
Bila membayangkan muka Tam Tik-jin yang kejang dan berkerut-kerut sesudah terkena racun tadi, tanpa merasa Lenghou Tiong bergidik sendiri.
Kira-kira beberapa li jauhnya, sampailah mereka di tempat yang datar.
Tiba-tiba si nenek berkata, "Coba pentang telapak tanganmu!"
Lenghou Tiong mengiakan dengan heran karena tidak tahu permainan apa yang hendak dilakukan nenek itu. Tapi segera ia pun membuka tangannya, "pluk", mendadak terdengar suara perlahan, ada sesuatu benda kecil tertimpuk ke tengah telapak tangannya dari arah belakang. Waktu diperiksa, kiranya adalah sebutir obat pil sebesar biji lengkeng.
"Telanlah obat itu dan duduk mengaso di bawah pohon besar sana," kata si nenek.
Sesudah mengiakan pula, segera Lenghou Tiong masukkan pil itu ke dalam mulut dan ditelannya tanpa pikir.
"Aku ingin memperoleh perlindungan ilmu pedangmu yang sakti untuk menjaga keselamatanku, makanya aku mau memberikan obatku ini untuk mempertahankan jiwamu supaya kau tidak mati mendadak dan aku kehilangan pengawal yang kuandalkan," demikian kata si nenek. "Jadi bukan maksudku hendak ... hendak berbaik hati kepadamu, lebih-lebih aku tidak bermaksud menolong jiwamu. Untuk ini hendaklah kau ingat betul-betul."
Kembali Lenghou Tiong mengiakan saja, sampai di bawah pohon, segera ia duduk mengaso bersandar di batang pohon. Di dalam perut tiba-tiba terasa ada suatu hawa hangat perlahan-lahan menyongsong ke atas, seakan-akan timbul tenaga baru yang tak terbatas menyusup ke berbagai isi perut serta urat-urat nadinya.
Diam-diam ia, merenung, "Obat pil tadi jelas banyak memberi manfaat kepada kesehatan badanku, tapi si nenek justru tidak mau mengaku telah memberi kebaikan padaku, katanya pula aku hanya hendak diperalat sebagai pengawalnya saja. Sungguh aneh, padahal di dunia ini umumnya orang justru tidak mau mengaku bahwa dia telah memperalat orang lain, masakah kini dia justru sengaja menyatakan hendak memperalat diriku, padahal tidak?"
Lalu terpikir pula olehnya, "Tadi waktu dia melemparkan pil itu ke dalam tanganku, pil itu jatuh di telapak tangannya tanpa mencelat jatuh, caranya melemparkan tadi terang menggunakan semacam tenaga lunak yang sangat tinggi dalam ilmu lwekang. Jadi jelas ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripadaku, mengapa dia menghendaki pengawalanku" Tapi, ai, biarlah, apa yang dia inginkan biar aku menurutkan saja."
Hanya duduk sebentar saja Lenghou Tiong lantas berbangkit, katanya, "Marilah kita melanjutkan perjalanan. Apakah Popo masih lelah?"
"Ya, aku sangat letih, biarlah kita mengaso sebentar lagi," sahut si nenek.
"Baik," Lenghou Tiong pikir usia si nenek tentu sudah amat lanjut, sekalipun ilmu silatnya sangat tinggi dalam hal tenaga tentu tak bisa sama dengan orang muda. Maka kembali ia duduk pula di tempatnya.
Selang sejenak pula barulah si nenek berkata, "Marilah berangkat!"
Lenghou Tiong mengiakan dan segera mendahului berjalan di depan dan si nenek tetap mengintil dari belakang. Sesudah makan obat tadi, seketika Lenghou Tiong merasa langkahnya menjadi jauh lebih enteng dan cepat daripada sebelumnya. Ia menurut petunjuk si nenek, yang dipilih selalu adalah jalan kecil yang sepi.
Kira-kira belasan li jauhnya, mereka telah memasuki jalan pegunungan yang berliku-liku dan berbatu. Setelah membelok suatu lereng, tiba-tiba terdengar suara seorang sedang berkata, "Lekas kita makan dan secepatnya meninggalkan tempat berbahaya ini."
Lalu terdengar suara beberapa puluh orang sama mengiakan.
Lenghou Tiong menghentikan langkahnya, dilihatnya di tanah rumput di tepi tebing sana ada beberapa puluh orang laki-laki sedang duduk makan minum. Pada saat itulah orang-orang itu pun juga sudah melihat Lenghou Tiong, seorang di antaranya lantas mendesis, "Itulah Lenghou-kongcu!"
Samar-samar Lenghou Tiong juga masih dapat mengenal orang-orang itu yang beramai-ramai ikut datang ke atas Ngo-pah-kang tadi malam. Baru saja ia bermaksud menyapa, sekonyong-konyong beberapa puluh orang itu tiada satu pun yang bersuara pula, semuanya diam sebagai bisu, pandang mereka sama terbelalak ke belakang Lenghou Tiong.
Air muka orang-orang itu sangat aneh, ada yang sangat ketakutan, ada yang kaget dan gugup sekali seakan-akan mendadak ketemukan sesuatu yang sukar dilukiskan, sesuatu yang sukar dihadapi.
Melihat keadaan demikian seketika Lenghou Tiong bermaksud menoleh untuk melihat apa yang berada di belakangnya sehingga membuat beberapa puluh orang itu sesaat itu termangu seperti patung" Tapi segera ia lantas sadar bahwa sebabnya orang-orang itu bersikap demikian tentu karena mendadak melihat si nenek yang ikut di belakangnya itu. Padahal dirinya sendiri telah berjanji takkan memandang sekejap pun kepadanya. Maka cepat ia tarik kembali lehernya sendiri yang sudah setengah tergeser itu.
Sungguh tidak habis herannya, mengapa orang-orang itu lantas sedemikian kaget dan takut demi melihat si nenek" Apakah benar-benar muka si nenek sangat aneh, lain daripada manusia, yang lain"
Tiba-tiba seorang laki-laki di antaranya berbangkit, belati diangkat terus ditikamkan ke arah sepasang matanya sendiri, seketika darah segar bercucuran.
Keruan kaget Lenghou Tiong tak terperikan. "Kenapa kau berbuat demikian?" teriaknya.
"Mata hamba ini sudah buta sejak tiga hari yang lalu dan tidak dapat melihat apa-apa lagi!" teriak orang itu.
Menyusul dua orang lagi lantas mencabut goloknya masing-masing untuk membutakan matanya sendiri, semuanya berseru, "Mata hamba sudah lama buta, segala apa tidak bisa lihat lagi!"
Sungguh kejut dan heran Lenghou Tiong tak terkatakan. Dilihatnya laki-laki yang lain beramai-ramai juga melolos senjata masing-masing dan bermaksud membutakan matanya sendiri-sendiri. Cepat ia berseru, "Hei, hei! Nanti dulu! Ada urusan apa dapat dibicarakan dengan baik-baik, tapi jangan membutakan matanya sendiri. Sebenarnya apa ... apakah sebabnya?"
Seorang di antaranya menjawab dengan sedih, "Sebenarnya hamba berani bersumpah bahwa sekali-kali hamba takkan banyak mulut, cuma hamba khawatir tak dipercayai."
"Popo," seru Lenghou Tiong, "harap engkau menolong mereka dan suruh mereka jangan membutakan matanya sendiri."
"Baik, aku dapat memercayai kalian," tiba-tiba si nenek bersuara. "Di lautan timur ada sebuah Boan-liong-to (pulau naga melingkar), apakah di antara kalian ada yang tahu?"
"Ya, pernah kudengar cerita orang bahwa kira-kira 500 li di tenggara Coanciu di provinsi Hokkian ada sebuah pulau Boan-liong-to yang tak pernah dijejaki manusia, keadaan pulau itu sunyi senyap dan terpencil," demikian sahut seorang tua.
"Nah, memang pulau itulah yang kumaksudkan," kata si nenek. "Sekarang juga kalian segera berangkat pesiarlah ke pulau itu, selama hidup ini tak perlu lagi pulang ke Tionggoan sini."
Serentak puluhan orang itu mengiakan dengan rasa kegirangan. Seru mereka, "Baik, segera kami akan berangkat."
"Sepanjang jalan kami pasti takkan bicara apa pun juga dengan orang lain!"
"Kalian akan bicara atau tidak peduli apa dengan aku?" kata si nenek.
"Ya, benar! Memang hamba yang ngaco-belo tak keruan!" seru orang itu sembari angkat tangan dan menempeleng mukanya sendiri.
"Enyahlah!" kata si nenek.
Tanpa bersuara lagi puluhan laki-laki itu lantas berlari-lari pergi seperti kesetanan. Tiga orang di antaranya yang matanya buta telah diusung oleh teman-temannya, dalam sekejap saja mereka sudah menghilang di kejauhan.
Diam-diam Lenghou Tiong terkesiap. Pikirnya, "Hanya sepatah kata si nenek saja orang-orang itu sudah digebah mengasingkan diri ke pulau terpencil di lautan timur dan dilarang pulang untuk selama hidup. Tapi orang-orang itu tidak bersusah, sebaliknya kegirangan setengah mati seperti mendapat pengampunan saja. Seluk-beluk urusan ini benar-benar membikin aku tidak habis mengerti."
Tanpa bersuara Lenghou Tiong meneruskan perjalanan ke depan, pikirannya bergolak dengan hebat, ia merasa nenek yang mengikut di belakangnya itu benar-benar manusia aneh yang selamanya belum pernah didengar dan dilihatnya. Pikirnya, "Semoga sepanjang jalan nanti jangan bertemu pula dengan kawan-kawan yang pernah berkumpul di Ngo-pah-kang itu. Padahal dengan penuh simpatik mereka datang dengan maksud hendak menyembuhkan penyakitku, tapi kalau mereka kepergok dengan nenek, tentu mereka akan membutakan matanya sendiri atau dihukum buang ke pulau terpencil, jika demikian bukankah mereka sangat penasaran?"
Setelah beberapa li lagi, jalanan makin berliku dan makin terjal. Tiba-tiba terdengar di belakang mereka ada orang berteriak, "Hah, yang berjalan di depan itulah Lenghou Tiong."
Suara orang itu sangat nyaring dan keras, sekali dengar lantas dikenal adalah suaranya Sin Kok-liong dari Siau-lim-pay itu.
"Aku tidak ingin bertemu dengan dia, boleh kau melayani sekadarnya," kata si nenek.
Lenghou Tiong mengiakan. Lalu terdengar suara gemeresik disertai berguncangnya semak-semak rumput di tepi jalan. Agaknya si nenek telah menyusup ke dalam semak-semak.
Maka terdengar suaranya Sin Kok-liong sedang berkata pula, "Susiok, Lenghou Tiong itu terluka, tentu dia tak bisa berjalan cepat."
Jaraknya waktu itu sebenarnya masih cukup jauh, tapi suara Sin Kok-liong betul-betul teramat keras, hanya bicara biasanya saja suaranya sudah dapat didengar dengan jelas oleh Lenghou Tiong.
"Kiranya dia tidak sendirian, tapi membawa pula seorang susioknya," demikian Lenghou Tiong membatin. Ia pikir akhirnya toh akan tersusul, buat apa capek-capek berjalan lebih jauh. Segera ia berduduk di tepi jalan untuk menunggu.
Tidak lama kemudian terdengarlah suara tindakan orang. Beberapa orang telah muncul. Sin Kok-liong dan Ih Kok-cu termasuk di antaranya. Selain mereka ada pula dua orang hwesio dan seorang laki-laki setengah umur. Laki-laki itu dan Ih Kok-cu berjalan paling belakang, kedua hwesio itu yang seorang usianya sudah sangat lanjut, mukanya, penuh berkeriput. Hwesio yang lain baru berumur 40-an, tangannya membawa Hong-pian-jan (tongkat kaum hwesio).
Segera Lenghou Tiong berbangkit dan memberi hormat, sapanya, "Wanpwe Lenghou Tiong dari Hoa-san-pay menyampaikan salam hormat kepada para Cianpwe dari Siau-lim-pay. Numpang tanya siapakah gelaran Cianpwe yang mulia?"
"Anak ...." baru Ih Kok-cu hendak mendamprat, tiba-tiba si hwesio tua sudah membuka suara, "Gelar Lolap adalah Hong-sing."
Karena si padri tua membuka suara, terpaksa Ih Kok-cu tutup mulut seketika. Tapi wajahnya masih mengunjuk rasa murka, agaknya dia masih keki karena kecundangnya tadi.
"Terimalah hormatku, Taysu," Lenghou Tiong menjalankan penghormatan pula.
Hong-sing manggut-manggut, katanya dengan ramah tamah, "Siauhiap tidak perlu banyak adat. Apakah gurumu Gak-siansing baik-baik saja?"
Semula waktu dirinya dikejar sebenarnya hati Lenghou Tiong rada khawatir dan kebat-kebit. Tapi kini sesudah melihat sikap Hong-sing yang ramah, terang seorang padri yang saleh dan beragama tinggi. Ia tahu padri Siau-lim-si yang pakai gelaran "Hong" adalah angkatan tertua pada zaman ini, Hong-sing ini pastilah saudara seperguruan dengan Hong-ting, ketua Siau-lim-si yang sekarang. Maka ia menduga padri tua ini pasti tidak kasar seperti Ih Kok-cu. Seketika legalah hati Lenghou Tiong. Dengan penuh hormat ia lantas menjawab, "Berkat doa restu Taysu, guru baik-baik saja."
"Keempat orang ini adalah Sutitku," Hong-sing memperkenalkan. "Padri ini bergelar Kat-gwe, yang ini adalah Ui Kok-pek Sutit dan yang itu adalah Sin Kok-liong dan Ih Kok-cu Sutit. Kedua Sutitku yang tersebut belakangan ini sudah kau kenal bukan?"
"Ya, keempat Cianpwe terimalah hormatku," sahut Lenghou Tiong. "Wanpwe dalam keadaan terluka sehingga tak bisa menjalankan peradatan yang sempurna, diharap para Cianpwe sudi memberi maaf."
"Hm, kau terluka?" jengek Ih Kok-cu.
"Apa kau benar-benar terluka?" Hong-sing menegas. "Kok-cu, apakah kau yang melukai dia?"
"Ah, hanya sedikit salah paham saja tidak menjadi soal," ujar Lenghou Tiong. "Dengan angin kebasan lengan baju Ih-cianpwe telah membanting jatuh Wanpwe ditambah lagi pukulan satu kali. Untungnya tidak sampai mati maka Taysu tak perlu mengomeli Ih-cianpwe."
Dasar Lenghou Tiong memang pintar putar lidah, datang-datang ia lantas menyatakan dirinya terluka parah dan menimpakan segala tanggung jawab kepada Ih Kok-cu, ia menduga Hong-sing pasti tidak dapat membiarkan keempat sutitnya membikin susah lagi padanya. Maka segera ia menambahkan pula, "Apa yang terjadi telah disaksikan juga oleh Sin-cianpwe. Namun dengan kesudian Taysu berkunjung kemari, betapa pun Wanpwe sudah merasa mendapat kehormatan besar dan pasti takkan memberi lapor kepada guruku. Taysu boleh tak usah khawatir, biarpun lukaku cukup parah juga pasti takkan menimbulkan persengketaan antara Ngo-gak-kiam-pay dengan Siau-lim-pay."
Dengan kata-katanya ini menjadi seperti lukanya yang parah dan sukar sembuh itu adalah karena kesalahan Ih Kok-cu.
Keruan Ih Kok-cu sangat gemas, "Kau ... kau ngaco-belo belaka. Memangnya kau sudah terluka parah sebelumnya."
"Eh, hal ini jangan sekali-kali Ih-cianpwe menyinggungnya," ujar Lenghou Tiong pura-pura gegetun. "Jika ucapanmu ini sampai tersiar bukankah akan sangat merugikan nama baik Siau-lim-si?"
Diam-diam Sin Kok-liong, Ui Kok-pek dan Kat-gwe bertiga mengangguk. Mereka tahu padri Siau-lim-si dari angkatan "Hong" adalah tingkatan yang tertinggi, walaupun berbeda dari golongan-golongan yang tergabung dalam Ngo-gak-kiam-pay, tapi kalau diurutkan menurut tingkatan masing-masing, maka angkatan "Hong" dari Siau-lim-si masih lebih tua satu angkatan daripada para ketua Ngo-gak-kiam-pay. Sebab itulah Sin Kok-liong, Ih Kok-cu dan lain-lain juga jauh lebih tinggi kedudukannya daripada angkatannya Lenghou Tiong.
Pertarungan antara Ih Kok-cu dan Lenghou Tiong sudah merendahkan diri Ih Kok-cu, karena dia lebih tua dan lebih tinggi angkatannya, apalagi waktu itu dari pihak Siau-lim-pay mereka hadir dua orang, sebaliknya Lenghou Tiong cuma seorang diri, lebih-lebih sebelum bergebrak Lenghou Tiong sudah terluka.
Kalau menurut peraturan tata tertib Siau-lim-pay yang keras, jika Ih Kok-cu benar-benar memukul mati seorang anak muda dari Hoa-san-pay, sekalipun tidak sampai mengganti nyawa, paling sedikit juga akan dijatuhi hukuman memunahkan ilmu silatnya dan dipecat dari perguruan. Karena itulah wajah Ih Kok-cu seketika menjadi pucat.
"Coba kau kemari, Siauhiap, biar kuperiksa keadaan lukamu," kata Hong-sing pula.
Lenghou Tiong mendekatinya. Segera Hong-sing menggunakan tangan kanan untuk memegang pergelangan tangan Lenghou Tiong, jarinya menekan di tempat "Tay-yan-hiat" dan "Keng-ki-hiat". Tapi mendadak terasa dari tubuh Lenghou Tiong timbul semacam tenaga dalam yang aneh, sekali getar jarinya lantas terpental buka.
Berdetak juga perasaan Hong-sing. Dia adalah tokoh terkemuka yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari dari angkatan tua Siau-lim-pay pada zaman ini, tapi jarinya sekarang ternyata bisa terpental balik oleh tenaga dalam seorang pemuda, hal ini benar-benar tak pernah terpikirkan olehnya. Ia tidak tahu bahwa di dalam tubuh Lenghou Tiong sudah tercakup tenaga murni tujuh jago lihai, yaitu dari Tho-kok-lak-sian dan Put-kay Hwesio. Betapa pun tinggi ilmu silat Hong-sing, dalam keadaan tak tersangka-sangka juga tidak dapat tahan getaran tenaga gabungan dari ketujuh jago kelas tinggi itu.
Begitulah Hong-sing telah bersuara heran. Dengan terbelalak ia menatap tajam kepada Lenghou Tiong, katanya kemudian, dengan perlahan, "Siauhiap, kau bukan orang Hoa-san-pay."
"Wanpwe benar-benar murid Hoa-san-pay dan adalah murid pertama guruku," sahut Lenghou Tiong.
"Tapi kenapa kau masuk ke perguruan Sia-pay pula dan belajar ilmu dari golongan sesat dan liar itu?" kata Hong-sing.
Tiba-tiba Ih Kok-cu menimbrung, "Susiok, apa yang digunakan bocah ini memang benar adalah ilmu silat dari Sia-pay, buktinya memang demikian, betapa pun dia tidak bisa menyangkal lagi. Malahan tadi kita juga melihat di belakangnya ada mengikut seorang perempuan, mengapa sekarang menghilang dan main sembunyi-sembunyi, terang bukan manusia baik-baik."
Mendengar kata-katanya menghina si nenek, Lenghou Tiong menjadi gusar, bentaknya, "Kau adalah murid golongan Cing-pay, kenapa ucapanmu tidak kenal sopan santun" Tentang Popo itu, memang beliau tidak sudi melihat kau agar beliau tidak gusar."
"Boleh kau suruh dia keluar, apakah dia Cing atau Sia dengan sekali pandang saja, Susiok kami dapat mengetahuinya," kata Ih Kok-cu.
"Timbulnya pertengkaran kau dan aku justru disebabkan kekurangajaranmu terhadap Popoku, sekarang kau berani ngaco-belo tak keruan lagi?" semprot Lenghou Tiong.
Sejak tadi Kat-gwe Hwesio hanya diam saja, sekarang ia telah menyela, "Lenghou-siauhiap, dari atas bukit tadi kulihat perempuan yang ikut di belakangmu itu langkahnya sangat enteng dan gesit, tidak mirip seorang nenek seperti ucapanmu."
"Popoku adalah orang persilatan, sudah tentu langkahnya enteng dan gesit, kenapa mesti heran?" sahut Lenghou Tiong.
"Kat-gwe," kata Hong-sing sambil menggeleng, "kita adalah cut-keh-lang (orang yang sudah meninggalkan keluarga), mana boleh berkeras hendak melihat famili perempuan orang lain. Baiklah Lenghou-siauhiap, memang banyak hal-hal yang mencurigakan di dalam urusan ini, Lolap seketika juga tidak paham. Tampak badanmu yang kau katakan itu juga bukan disebabkan serangan Ih-sutitku. Pertemuan kita ini boleh dikata ada jodoh juga, semoga kesehatanmu lekas pulih, sampai berjumpa pula."
Diam-diam Lenghou Tiong kagum terhadap padri agung Siau-lim-si yang memang berbeda jauh dengan para sutitnya itu. Segera ia memberi hormat dan mengucapkan kata-kata merendah hati. Tapi belum habis ucapannya, sekonyong-konyong Ih Kok-cu telah melolos pedang dan membentak, "Itu dia di sini!"
Berbareng itu dia lantas menubruk ke tengah semak-semak tempat sembunyi si nenek tadi.
Lekas-lekas Hong-sing berseru, "Jangan, Ih-sutit!"
Tapi apa yang terjadi benar-benar di luar dugaan. "Bluk" tahu-tahu Ih Kok-cu mencelat kembali dari tengah semak-semak rumput itu terus terbanting kaku telentang di atas tanah. Tertampak kaki dan tangannya berkelojotan beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi.
Keruan Hong-sing dan lain-lain sangat terkejut. Terlihat muka Ih Kok-cu sudah hancur, besar kemungkinan kena diketok oleh benda-benda berat sebangsa palu dan sebagainya. Tangan Ih Kok-cu bahkan masih kencang memegangi pedangnya, namun jiwanya sudah melayang.
Bab 57. Si Nenek Ternyata adalah Gadis yang Cantik
Dengan membentak gusar Sin Kok-liong, Ui Kok-pek dan Kat-gwe bertiga berbareng menubruk ke tengah semak-semak bersama senjata mereka. Akan tetapi Hong-sing keburu mengebaskan lengan bajunya sehingga ketiga orang itu kena dicegah oleh suatu kekuatan angin yang lunak. Habis itu Hong-sing lantas berseru lantang ke tengah semak-semak, "Toyu (kawan agama) dari Hek-bok-keh manakah yang berada di sini?"
Tapi keadaan semak-semak sana ternyata sunyi senyap tiada bergerak sedikit pun.
Segera Hong-sing berseru pula, "Siau-lim-pay kami selamanya tiada permusuhan apa-apa dengan para Toyu dari Hek-bok-keh, mengapa Toheng menggunakan cara sedemikian kejam atas diri Ih-sutit kami?"
Namun di tengah semak-semak itu tetap tiada suara apa-apa juga tiada seorang pun yang menjawab.
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Berulang-ulang Hong-sing Taysu menyebut nama "Hek-bok-keh", golongan orang macam apakah itu" Nama ini belum pernah kudengar selama ini."
Terdengar Hong-sing Taysu sedang berkata pula, "Dahulu Lolap pernah bertemu sekali dengan Tonghong-kaucu. Karena Toyu sudah turun tangan membunuh orang, maka pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah sekarang juga harus ditentukan. Kenapa Toyu tidak tampil ke sini untuk bertemu saja?"
Hati Lenghou Tiong tergetar mendengar "Tonghong-kaucu" disebut. Bukankah yang dimaksudkan adalah Tonghong Hing, itu Kaucu dari Mo-kau yang termasyhur" Orang itu dianggap sebagai tokoh nomor satu pada zaman ini, jangan-jangan si nenek ini adalah orang dari Mo-kau?"
Akan tetapi si nenek yang sembunyi di tengah semak-semak itu tetap diam-diam saja tanpa menggubris ucapan Hong-sing Taysu.
"Jika Toyu tetap tidak sudi tampil ke muka, maafkan saja jika Lolap terpaksa berlaku kasar!" seru Hong-sing pula.
Habis berkata, kedua tangannya sedikit menjulur ke belakang, kedua lengan bajunya seketika melembung, menyusul terus disodok ke depan. Maka terdengarlah suara berderak yang keras, puluhan batang pohon sama patah dan roboh.
Pada saat itulah sekonyong-konyong sesosok bayangan orang meloncat keluar dari tengah semak-semak. Lekas-lekas Lenghou Tiong putar tubuh ke arah lain. Didengarnya Sin Kok-liong dan Kat-gwe telah membentak berbareng disertai suara nyaring benturan senjata yang ramai dan cepat, jelas si nenek sudah mulai bertempur dengan Hong-sing dan kawan-kawannya.
Waktu itu sudah lewat tengah hari, cahaya matahari menyorot miring dari samping. Untuk pegang teguh janjinya sendiri, biarpun di dalam hati sesungguhnya sangat gelisah, tapi Lenghou Tiong tidak berani menoleh untuk menyaksikan keadaan pertempuran keempat orang itu. Mendadak terlihat bayangan-bayangan orang berseliweran di atas tanah, teranglah Hong-sing berempat telah mengepung rapat si nenek.
Hong-sing Taysu tidak memakai senjata, sedangkan senjata Kat-gwe adalah Hong-pian-san, tongkat padri. Ui Kok-pek menggunakan golok dan Sin Kok-liong memakai pedang. Sebaliknya senjata si nenek adalah sepasang senjata pendek, bentuknya mirip belati dan menyerupai cundrik pula, pendek sekali senjata-senjata itu dan tipis seakan-akan bening tembus, hanya dari berkelebatnya bayangan sukar untuk diketahui macam senjata apa sesungguhnya.
Si nenek dan Hong-sing sama-sama tidak bersuara, sedangkan Sin Kok-liong bertiga yang terus membentak-bentak, perbawa mereka sangat menakutkan orang.
"Segala urusan dapat dibicarakan secara baik-baik, kalian empat orang laki-laki mengerubut seorang nenek reyot, kesatria macam apakah kalian ini?" demikian teriak Lenghou Tiong.
"Nenek reyot" Hehe, rupanya bocah ini mimpi di siang bolong," jengek Ui Kok-pek.
Belum habis suaranya, mendadak Hong-sing berseru, "Awas, Ui ...."
Namun sudah terlambat terdengar Ui Kok-pek menjerit, "Aaaah!" agaknya sudah terluka parah.
Sungguh tidak kepalang kejut Lenghou Tiong, "Betapa lihai ilmu silat si nenek. Dari kebutan lengan baju Hong-sing Taysu tadi, jelas tenaga dalamnya jarang ada bandingannya di dunia persilatan pada zaman ini. Tapi dengan satu lawan empat toh si nenek masih berada di atas angin dan dapat menjatuhkan salah seorang pengeroyoknya."
Bahkan menyusul lantas terdengar jeritan Kat-gwe pula, "blang", tongkat yang bobotnya puluhan kati itu terlepas dari cekalan dan melayang lewat di atas kepala Lenghou Tiong terus jatuh ke tempat belasan meter jauhnya sebelah sana, "trang", tongkat itu menghantam sepotong batu besar sehingga memercikkan lelatu api, batu pecah berhamburan, gagang tongkat itu pun bengkok.
Bayangan orang yang berseliweran itu kini sudah berkurang dua sosok, Ui Kok-pek dan Kat-gwe Hwesio sudah menggeletak di atas tanah, tinggal Hong-sing dan Sin Kok-liong saja yang masih bertempur dengan sengit.
"Siancay, Siancay! Begini keji kau, beruntun-runtun tiga orang Sutitku telah kau bunuh, terpaksa Lolap harus melayani kau sepenuh tenaga," terdengar Hong-sing berkata. Menyusul terdengarlah "trang-trang-trang" beberapa kali, agaknya Hong-sing Taysu juga sudah menggunakan senjata.
Lenghou Tiong merasa sambaran angin yang kuat di belakangnya makin lama makin keras sehingga selangkah demi selangkah ia terdesak ke depan.
Sesudah menggunakan senjata, nyata padri sakti dari Siau-lim-pay memang bukan main hebatnya, seketika keadaan kalangan pertempuran berubah. Lenghou Tiong mulai mendengar suara napas si nenek yang memburu, agaknya tenaganya mulai payah.
"Buang senjatamu dan aku pun takkan membikin susah padamu," demikian seru Hong-sing. "Kau boleh ikut aku ke Siau-lim-si untuk memberi lapor kepada Suheng ketua dan terserah kepada kebijaksanaannya."
Namun si nenek tidak menjawab, ia menyerang beberapa kali dengan gencar kepada Sin Kok-liong sehingga murid Siau-lim-pay ini rada kelabakan dan terpaksa melompat mundur agar Hong-sing yang menyambut serangan musuh.
Sesudah tenang kembali, Sin Kok-liong mencaci maki, "Perempuan keparat, hari ini kalau kau tidak dicincang hingga hancur lebur takkan terlampias rasa dendamku!"
Segera ia putar pedang dan menerjang maju pula.
Tidak lama berselang, suara benturan senjata mulai mereda, tapi deru angin pukulan semakin keras. Berkatalah Hong-sing Taysu, "Tenaga dalammu bukan tandinganku, lebih baik kau membuang senjatamu dan ikut aku ke Siau-lim-si saja, kalau tidak, sebentar lagi kau pasti akan terluka dalam dengan parah."
Terdengar si nenek hanya mendengus sekali saja, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri, Lenghou Tiong merasa lehernya terciprat beberapa titik air, waktu ia meraba dengan tangan, terlihat telapak tangannya berwarna merah. Kiranya titik-titik air yang menciprat ke lehernya itu adalah air darah.
"Siancay, Siancay! Kau sudah terluka sekarang, kau lebih-lebih tidak mampu melawan aku lagi!" kata Hong-sing pula.
"Perempuan keparat ini adalah iblis dari agama sesat, lekas Susiok membinasakan dia untuk membalaskan sakit hati kematian tiga orang sute, terhadap kaum iblis mana boleh pakai welas asih segala?" seru Sin Kok-liong.
Dalam pada itu suara napas si nenek terdengar semakin terengah-engah, langkahnya juga mulai sempoyongan seakan-akan setiap saat bisa roboh. Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Nenek suruh aku mengawalnya, tujuannya aku diminta melindungi dia. Kini beliau menghadapi bahaya, mana boleh aku tinggal diam saja" Meski Hong-sing Taysu adalah seorang padri agung yang saleh, orang she Sin itu pun laki-laki yang jujur, namun aku tidak dapat membiarkan nenek dibunuh oleh mereka."
Karena pikiran itu, "sret", segera ia melolos pedang dan berseru, "Hong-sing Taysu dan Sin-cianpwe, mohon kalian suka bermurah hati dan pulang ke Siau-lim-si saja. Kalau tidak, terpaksa Wanpwe akan berlaku kurang adat kepada kalian."
Sin Kok-liong menjadi gusar, bentaknya, "Kawanan iblis, bunuh saja sekalian!" kontan pedangnya terus menusuk ke punggung Lenghou Tiong yang berdiri mungkur itu.
Lenghou Tiong tetap pegang janjinya dan tidak berani berpaling agar tidak sampai memandang muka si nenek, maka ia hanya berusaha menghindar ke samping.
Mendadak terdengar si nenek berseru, "Awas!"
Namun Sin Kok-liong adalah jago pilihan di antara angkatan kedua di dalam Siau-lim-si, mana bisa membiarkan Lenghou Tiong menghindar dengan begitu saja. Maka ketika Lenghou Tiong menghindar ke samping, tahu-tahu pedang Sin Kok-liong juga sudah menyusul tiba.
"Siancay!" seru Hong-sing. Disangkanya tusukan murid keponakannya itu pasti akan menembus punggung Lenghou Tiong hingga ke dada.
Tak terduga, tiba-tiba terdengar Sin Kok-liong sendiri yang menjerit, tubuhnya terus mencelat ke atas dan melayang lewat di samping kiri Lenghou Tiong serta terbanting di atas tanah, sesudah berkelejatan beberapa kali, lalu binasa. Entah cara bagaimana dia juga telah kena dibunuh secara kejam oleh si nenek.
Pada saat yang hampir bersamaan itu juga lantas terdengar suara "bluk" yang keras, tubuh si nenek ternyata sudah kena pukulan Hong-sing Taysu dan roboh terjungkal.
Kejut sekali Lenghou Tiong, cepat ia miringkan tubuh dan pedangnya segera menusuk ke arah Hong-sing. Karena serangan Lenghou Tiong yang tepat pada waktunya serta jitu arahnya, Hong-sing terpaksa harus melompat mundur.
Menyusul Lenghou Tiong menusuk pula. Cepat Hong-sing menangkis dengan senjatanya. Kini Lenghou Tiong sudah berhadapan muka dengan Hong-sing Taysu, dapat dilihatnya bahwa senjata yang dipakai padri sakti Siau-lim-si itu kiranya adalah sepotong pentungan kayu yang panjangnya cuma setengahan meter saja.
Keruan Lenghou Tiong terkesiap. Pikirnya, "Sungguh tidak nyana bahwa senjatanya adalah sepotong kayu sependek ini. Tenaga dalam hwesio Siau-lim-si ini terlalu kuat, jika aku tidak dapat mengalahkan dia dengan ilmu pedangku, tentu si nenek sukar diselamatkan."
Tanpa ayal lagi pedangnya lantas menusuk ke atas dan menusuk ke bawah, menyusul menusuk lagi dua kali ke atas, ilmu pedang yang dilontarkan adalah ciptaan mendiang Tokko Kiu-pay yang diajarkan Hong Jing-yang itu.
Setelah Lenghou Tiong memainkan ilmu pedangnya ini, seketika air muka Hong-sing Taysu berubah hebat. Serunya, "Kau ... kau ... kau ...."
Namun sedikit pun Lenghou Tiong tidak merandek. Ia sadar tenaga dalamnya sendiri sudah punah, asal pihak lawan diberi kelonggaran sedikit tentu akan segera melancarkan serangan balasan dan tenaga dalam yang kuat, jika demikian jadinya, maka dirinya pasti akan binasa seketika dan si nenek juga pasti akan celaka. Lantaran pikiran demikian, maka beratus-ratus macam gerakan pedang "Tokko-kiu-kiam" yang ajaib itu secara berantai terus dimainkan sekaligus tanpa berhenti.
Dahulu Tokko Kiu-pay pernah malang melintang di dunia Kangouw tiada ketemukan tandingan, senantiasa ia mengharapkan ada orang yang mampu mengalahkan dia dan selama itu harapannya itu belum pernah terkabul, maka betapa tinggi ilmu pedangnya itu dapatlah dibayangkan. Coba kalau tidak secara kebetulan Lenghou Tiong sudah kehilangan tenaga dalam, pula banyak di antara inti-inti keajaiban ilmu pedang itu memang belum dipahami dengan masak, kalau tidak, biarpun kepandaian Hong-sing Taysu berlipat ganda, lebih tinggi juga tidak mampu bertahan sampai lebih dari sepuluh jurus.
Begitulah Hong-sing terus terdesak mundur, sebaliknya Lenghou Tiong merasa darah terus bergolak di rongga dadanya, lengan terasa lemas linu, jurus pedang yang dilancarkan makin lama semakin lemah.
"Lepas pedang!" mendadak Hong-sing membentak, telapak tangan kiri terus menyodok ke dada Lenghou Tiong, sedang pentungan pendek di tangan kanan berbareng menghantam lengan pemuda itu.
Memangnya lengan Lenghou Tiong sudah lemas, waktu pedangnya menusuk ke depan pula, belum mencapai sasarannya, baru di tengah jalan lengannya sudah mendelung ke bawah. Bagi orang lain, serangannya ini pasti memberi lubang bagi musuh dan berarti menyerahkan nyawa kepada lawan. Tapi ilmu pedang yang dimainkannya memangnya tiada gerakan tertentu, tiada perbedaan antara benar dan keliru, yang dia lancarkan adalah serangan menurut keinginan setiap saat. Maka biarpun pedangnya sudah mendelung ke bawah toh tusukannya masih tetap diteruskan, namun demikian jalannya serangan ini menjadi rada merandek.
Sudah tentu Hong-sing tidak sia-siakan kesempatan bagus itu, telapak tangan kiri bergerak dan sekejap saja sudah menjamah di atas dada Lenghou Tiong. Namun dasarnya memang welas asih, tenaga serangannya itu tidak terus dikerahkan, sebaliknya ia bertanya lebih dulu, "Kau murid siapa ...." pada saat itu juga ujung pedang Lenghou Tiong juga sudah menusuk masuk ke dalam dadanya.
Terhadap padri sakti dari Siau-lim-si ini Lenghou Tiong benar-benar sangat kagum, ketika merasa ujung pedangnya menyentuh kulit daging pihak lawan, lekas-lekas ia berusaha menariknya kembali sekuatnya. Saking nafsunya menarik senjatanya itu, tubuhnya sendiri menjadi terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk, darah segar lantas mengalir keluar dari mulutnya.
Sambil mendekap luka di dadanya, Hong-sing berkata dengan tersenyum, "Ilmu pedang yang bagus! Kalau pedang Siauhiap tidak mengenal kasihan, tentu jiwa Lolap sudah melayang."
Ia hanya memuji lawan, sebaliknya terhadap pukulannya sendiri yang tidak diteruskan tadi sama sekali tak disinggung. Habis berkata ia lantas terbatuk-batuk.
Kiranya pedang Lenghou Tiong yang ditarik kembali sekuatnya tadi tidak urung sudah menusuk masuk ke dada Hong-sing hingga beberapa senti dalamnya, jadi lukanya sesungguhnya tidaklah ringan.
Dengan penuh menyesal Lenghou Tiong berkata, "Ma ... maafkan Wanpwe telah berlaku kasar terhadap ... terhadap Cianpwe."
"Sungguh tidak nyana bahwa ilmu pedang sakti Hong Jing-yang Locianpwe dari Hoa-san ternyata ada ahli warisnya sekarang," kata Hong-sing dengan tersenyum. "Lolap dahulu pernah menerima budi dari Hong-locianpwe, urusan hari ini Lolap menjadi tidak berani mengambil keputusan sendiri."
Perlahan-lahan ia mengeluarkan suatu bungkusan kertas, di dalamnya berisi dua butir obat pil sebesar biji buah lengkeng. Lalu katanya pula, "Ini adalah obat luka mujarab dari Siau-lim-si. Boleh kau minum satu butir ini."
Dan setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ditambahkannya, "Dan yang satu butir lagi boleh diminumkan kepada wanita itu."
"Lukaku sudah terang sukar disembuhkan, buat apa minum obat lagi?" ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. "Obat yang satu biji itu silakan Taysu meminumnya sendiri saja."
Hong-sing menggeleng-geleng, katanya, "Tidak usah!"
Lalu ia meletakkan kedua biji obat itu di depan Lenghou Tiong. Dipandangnya mayat-mayat Kat-gwe, Sin Kok-liong dan lain-lain dengan wajah sedih. Segera ia mengangkat tangannya di depan dada dan mulai membaca doa. Lambat laun air mukanya berubah tenang kembali, sampai akhirnya wajahnya seakan-akan terselubung oleh selapis sinar suci.
Selesai berdoa, kemudian Hong-sing berkata pula kepada Lenghou Tiong, "Siauhiap, ahli waris dari ilmu pedang Hong-locianpwe sekali-kali bukanlah aliran dari kaum iblis. Kau berjiwa kesatria dan berbudi luhur, layaknya kau tidak seharusnya mati begini saja. Cuma luka yang kau derita memang aneh luar biasa dan sukar disembuhkan dengan obat biasa, kau harus belajar lwekang yang paling tinggi baru dapat menyelamatkan jiwamu. Menurut pendapatku, sebaiknya kau ikut aku ke Siau-lim-si, Lolap akan lapor kepada Ciangbun Hongtiang dan mohon beliau mengajar inti lwekang paling tinggi dari Siau-lim-si kepadamu, dengan demikian luka dalam yang kau derita itu akan dapat disembuhkan."
Sesudah terbatuk-batuk beberapa kali, kemudian Hong-sing melanjutkan, "Untuk bisa belajar intisari lwekang Siau-lim-si ini perlu juga diutamakan "jodoh". Seperti Lolap sendiri adalah tidak punya jodoh untuk belajar lwekang itu. Ciangbun Hongtiang biasanya sangat bijaksana, boleh jadi beliau ada jodoh dengan Siauhiap dan suka mengajarkan inti lwekang itu kepadamu."
"Banyak terima kasih atas maksud baik Taysu," sahut Lenghou Tiong, "biarlah nanti sesudah Wanpwe mengantar nenek ke suatu tempat yang aman, bilamana Wanpwe beruntung belum mati, tentu Wanpwe akan datang ke Siau-lim-si untuk menyampaikan sembah kepada Ciangbun Hongtiang dan Taysu."
"Kau ... kau memanggilnya "nenek?"" Hong-sing menegas. "Siauhiap, kau adalah anak dari golongan Beng-bun-cing-pay, jangan kau bergaul dengan kaum Sia-pay. Lolap memberi nasihat dengan tujuan baik, harap Siauhiap suka camkan dengan baik-baik."
"Seorang laki-laki sejati sekali sudah berjanji mana boleh kehilangan kepercayaan orang?" ujar Lenghou Tiong.
Hong-sing menghela napas, katanya pula, "Baiklah! Lolap akan menunggu kedatangan Siauhiap di Siau-lim-si."
Lalu ia pandang keempat jenazah Kat-gwe dan lain-lain serta mengucapkan beberapa kalimat sabda Buddha, habis itu baru melangkah pergi.
Sesudah Hong-sing melangkah pergi beberapa tindak, si nenek lantas berkata, "Lenghou Tiong, boleh kau ikut pergi bersama hwesio tua itu. Dia bilang lukamu akan dapat disembuhkan, inti lwekang dari Siau-lim-si tiada bandingannya di dunia ini kenapa kau tidak ikut pergi saja?"
"Aku sudah berjanji akan mengawal nenek, sudah seharusnya akan mengawal sampai tempat tujuan," sahut Lenghou Tiong.
"Kau sendiri menderita penyakit, masih bicara tentang mengawal segala?" ujar si nenek.
"Tapi engkau sendiri juga terluka, biarlah kita tinggal bersama saja," sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Aku adalah kaum Sia-pay dan kau adalah murid Beng-bun-cing-pay, lebih baik kau jangan bergaul dengan aku agar tidak merusak nama baik golongan Cing-paymu," kata si nenek.
"Memangnya aku tidak punya nama baik apa-apa, peduli apa dengan orang lain?" jawab Lenghou Tiong. "Kau sangat baik kepadaku, nenek, Lenghou Tiong sekali-kali bukan manusia yang tidak kenal kebaikan. Saat ini engkau dalam keadaan terluka parah, jika aku tinggal pergi begini saja apakah aku masih dapat dianggap sebagai manusia?"
"Dan kalau saat ini aku tidak terluka parah tentu kau akan tinggal pergi bukan?" tanya si nenek.
Lenghou Tiong melengak. Katanya dengan tertawa, "Jika nenek tidak pikirkan kebodohanku dan ingin ditemani oleh diriku, maka boleh saja aku selalu berada di sampingmu untuk mengobrol. Cuma watakku memang kasar dan suka berbuat menurut keinginanku, jangan-jangan hanya beberapa hari saja nenek sudah merasa bosan dan tidak suka bicara lagi dengan aku."
Si nenek hanya mendengus saja sekali. Segera Lenghou Tiong mengangsurkan tangannya ke belakang, ia menyodorkan obat pemberian Hong-sing Taysu tadi, katanya, "Padri agung Siau-lim-si itu memang sangat hebat, nenek sudah membunuh empat orang muridnya, tapi dia malah memberikan obat mujarab ini kepadamu dan dia sendiri sebaliknya tidak minum obat."
"Huh, orang-orang ini selalu mengagulkan diri sebagai Beng-bun-cing-pay segala dan pura-pura menjadi orang baik hati, aku justru tidak pandang sebelah mata kepada mereka," jengek si nenek.
"Nenek, silakan kau minum saja obat ini," pinta Lenghou Tiong. "Sesudah kuminum satu biji obat ini, badanku memang terasa jauh lebih segar."
Si nenek hanya menjengek sekali saja dan masih tidak mau terima obat itu.
"Nenek ...." Belum lanjut ucapan Lenghou Tiong, mendadak si nenek menyela, "Sekarang hanya terdapat kita berdua, mengapa masih terus memanggil "nenek-nenek" tidak habis-habis, maukah kau mengurangi panggilanmu itu?"
"Baiklah, tentu saja dapat kukurangi," sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. "Silakan kau minum obat ini."
"Jika kau bilang obat mujarab Siau-lim-pay ini sangat bagus dan anggap obat yang kuberikan kepadamu itu kurang baik, kenapa kau tidak makan sekalian obat pemberian hwesio tua itu?" ujar si nenek.
"Ai, bilakah aku anggap obatmu kurang baik" Janganlah kau mencemoohkan diriku!" sahut Lenghou Tiong. "Lagi pula obat Siau-lim-si yang baik ini justru hendak diminumkan padamu agar tenagamu lekas pulih supaya dapat melanjutkan perjalanan."
"O, jadi kau merasa sebal menemani aku di sini, ya?" tanya si nenek. "Jika, demikian bolehlah lekas kau pergi saja, aku toh tidak paksa kau tinggal di sini."
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Mengapa si nenek mendadak muring-muring padaku" Ah, barangkali karena lukanya tidak ringan, badanku sakit, dengan sendirinya sifatnya menjadi ketus dan suka naik pitam."
Maka dengan tertawa ia menjawab, "Saat ini setindak pun aku tidak sanggup berjalan, sekalipun mau pergi juga tidak dapat. Apalagi ... apalagi .... Hahaha ...."
"Ada apa lagi" Kenapa hahaha segala" Apa yang kau tertawakan?" damprat si nenek dengan gusar-gusar kaget.
"Hahaha ialah tertawa, apalagi ... seumpama aku dapat berjalan juga aku tidak ingin pergi, kecuali kalau kau pergi bersama aku," sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.
Sebenarnya tutur katanya terhadap si nenek sangat sopan dan hormat, tapi lantaran si nenek muring-muring sesukanya, maka Lenghou Tiong menjadi ikut ugal-ugalan juga bicaranya. Tak terduga si nenek malah tidak marah, mendadak menjublek diam saja entah apa yang sedang direnungkan.
Maka berkatalah Lenghou Tiong, "Nenek ...."
"Nenek lagi?" potong si nenek. "Apa barangkali selama hidupmu ini tidak pernah memanggil "nenek" kepada orang, makanya tidak bosan-bosannya kau memanggil saja?"
"Ya, sudah, selanjutnya aku takkan memanggil nenek pula padamu," ujar Lenghou Tiong tertawa. "Tapi lantas memanggil apa kepadamu?"
Si nenek diam saja. Selang sejenak baru berkata, "Di sini hanya terdapat kita berdua saja, kenapa mesti pakai panggilan segala" Asal kau membuka mulut tentunya aku yang kau ajak bicara, masakan ada orang ketiga lagi yang berada di sini?"
"Tetapi terkadang aku suka menggumam bicara sendiri dan janganlah kau salah paham lho," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Huh, bicara saja angin-anginan, pantas saja Siausumoaymu tidak suka padamu lagi," jengek si nenek.
Ucapan ini benar-benar mengenai lubuk hati Lenghou Tiong yang terluka itu. Perasaannya menjadi pilu. Pikirnya, "Siausumoay tidak suka padaku, tapi lebih suka kepada Lim-sute, jangan-jangan memang betul disebabkan bicara dan tingkah lakuku yang suka angin-anginan. Ya, Lim-sute memang lebih sopan dan tahu aturan, dia benar-benar memper seorang laki-laki baik dan lemah lembut serupa dengan Suhu, jangankan Siausumoay, jika aku menjadi wanita juga aku akan suka padanya dan tidak sudi kepada pemuda bambungan semacam Lenghou Tiong ini. Wahai Lenghou Tiong, selamanya kau suka mabuk-mabukan dan gila-gilaan, tidak patuh kepada ajaran perguruan, benar-benar pemuda yang sukar ditolong lagi. Aku pernah bergaul dengan maling cabul Dian Pek-kong, pernah tidur pula di rumah pelacuran di kota Lokyang, semuanya ini tentu membikin Siausumoay merasa tidak senang."
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 6 Juragan Tamak Negeri Malaya Karya Widi Widayat Dendam Iblis Seribu Wajah 2
^