Pencarian

Hina Kelana 2

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 2


"Ya, betul juga, supaya sama-sama tidak repot," ujar Cin-lam. Segera ia suruh orang mengambil pula 100 tahil perak. Dengan demikian barulah kedua orang she Pi dan Ang itu merasa puas, setelah mengucapkan terima kasih mereka lantas mohon diri.
Waktu Cin-lam mengantar keluar, dilihatnya kedua tiang benderanya sudah diangkat seluruhnya dari tempat altar, hatinya menjadi tambah kesal. Sampai saat ini musuh sudah membinasakan lebih dari 20 orang Piaukiok, tapi masih tetap tidak unjuk muka, juga belum menantang secara terang-terangan dan memperkenalkan diri.
Ia menoleh dan memandang papan merek Hok-wi-piaukiok yang terpasang di atas pintu itu. Pikirnya, "Hok-wi-piaukiok sudah beberapa puluh tahun malang melintang di dunia Kangouw, siapa duga hari ini akan hancur di tanganku?"
Mendadak terdengar suara derapan kuda dari jalan raya sana, beberapa ekor kuda dengan perlahan-lahan sedang mendatangi. Waktu Cin-lam membalik tubuh, dilihatnya seluruhnya ada empat ekor kuda, semuanya tanpa penunggang, tapi di punggung kuda-kuda itu ada orang tengkurap secara melintang. Diam-diam Cin-lam sudah dapat menerka beberapa bagian, cepat ia memapak maju. Benar juga, empat tubuh yang melintang di atas kuda itu adalah mayat semua dan dikenali adalah Tio, Ciu, Pang dan Ciang-piauthau yang kemarin ditugaskan pergi mengejar Su-piauthau itu, terang mereka terbunuh di tengah jalan, lalu mayat mereka ditaruh melintang di atas kuda, karena kuda-kuda itu kenal jalanan dan sekarang telah pulang sendiri.
Waktu Cin-lam periksa jenazah-jenazah itu, semuanya juga tiada tanda terluka apa-apa, senjata dan uang yang dibawa para Piauthau itu pun tiada yang kurang.
Dan baru saja Cin-lam menyuruh usung keempat jenazah itu ke dalam rumah, tiba-tiba datang lagi seorang pengemis berbaju compang-camping dan menggendong satu orang. Dari pakaiannya Cin-lam mengenali orang yang digendong itu adalah Ci-piausu. Diam-diam ia membatin, "Sekarang seluruh jenazah sudah lengkap kembali semua."
Segera ia memberi tanda kepada seorang tukang kawal yang berdiri di sebelahnya agar menyelesaikan urusan-urusan di situ, lalu ia putar tubuh masuk ke dalam.
Sekonyong-konyong terdengar Ci-piauthau berseru dengan suara lemah, "Cong ... Congpiauthau, dia ... dia suruh aku ...."
Cin-lam terkejut dan girang pula, cepat ia berpaling dan mendekati sambil berkata, "Ci-hiante, kiranya engkau tidak mati."
Waktu Ci-piauthau diangkat bangun, tertampak kedua matanya tertutup rapat dan mulut masih mendesiskan kata-kata, "Dia suruh aku me ... menyampaikan padamu bahwa ... bahwa Siaupiauthau ...."
"Ya, ya, Siaupiauthau kenapa?" Cin-lam menegas.
"Bahwa Siaupiauthau akan ... akan ... akan ...." berulang-ulang Ci-piauthau hendak menyambung ucapannya, akan tetapi napasnya sudah kempas-kempis dan tidak kuat lagi, setelah badan berkejang dan berkelojotan sejenak, lalu putus napasnya.
Cin-lam menghela napas panjang, air mata pun bercucuran dan menetes di atas tubuh Ci-piauthau yang sudah tak bernyawa itu.
Sambil memondong jenazah itu ke dalam, Cin-lam berkata, "Ci-hiante, aku bersumpah takkan menjadi manusia jika tidak membalaskan sakit hatimu. Cuma sayang ... sayang kau mangkat terlalu cepat dan tidak sempat mengatakan nama pihak musuh."
Sebenarnya Ci-piauthau itu tiada sesuatu yang menonjol di dalam Piaukiok, juga tiada sesuatu hubungan istimewa dengan Cin-lam, soalnya hati Cin-lam saking terharu sehingga meneteskan air mata, padahal rasa gusar lebih banyak daripada rasa dukanya.
Ia lihat Ong-hujin sedang berdiri di depan ruangan sambil memegang golok emas, tangan kanan menuding ke arah pelataran dan sedang memaki, "Kawanan bangsat yang rendah, hanya pandai main sembunyi-sembunyi dan mencelakai orang secara menggelap. Jika memang orang gagah dan kesatria sejati seharusnya datang ke Hok-wi-piaukiok secara terang-terangan, marilah kita bertempur secara blak-blakan, tapi pintarnya cuma main sergap dan kasak-kusuk seperti kawanan tikus, kaum pengecut demikian apakah bisa dianggap sebagai orang persilatan?"
"Niocu (istriku), apakah kau melihat sesuatu yang mencurigakan?" tanya Cin-lam dengan suara tertahan sambil meletakkan jenazah Ci-piauthau ke atas tanah.
"Justru karena tidak melihat apa-apa," kata Ong-hujin dengan suara keras. "Kawanan bangsat anjing itu tentu takut pada 17 jurus Pi-sia-kiam-hoat dan 108 gerakan Hoan-thian-ciang kita serta ...." ia putar golok emasnya dan menebas sekali ke udara, lalu menyambung, "takut juga kepada golok emas nyonya besar ini!"
Pada saat itulah mendadak terdengar di ujung atap rumah sana ada suara orang mendengus, berbareng sebentuk senjata gelap terus menyambar tiba dengan membawa suara mendenging. "Trang", golok emas Ong-hujin tepat kena tertimpuk. Seketika nyonya itu merasa tangan kesemutan, golok terlepas dari cekalan, bahkan terus terpental ke pelataran.
Tanpa bicara lagi Cin-lam terus mengayun tangannya, kontan dua titik perak menyambar ke pojok atap sana, menyusul sinar hijau berkelebat, pedang dilolos pula, sekali lompat ia sudah berada di wuwungan rumah, dengan gerakan "Sau-thong-kun-mo" (menyapu bersih kaum iblis), di mana sinar pedang memancar, dengan cepat ia menusuk ke tempat datangnya senjata gelap musuh tadi.
Sudah beberapa hari Cin-lam menahan dongkolnya dan selama itu belum pernah melihat bayangan musuh, sekarang ada kesempatan berhadapan dengan musuh yang dinanti-nantikan, maka jurus serangannya itu dilontarkan dengan sepenuh tenaga, sedikit pun tidak memberi ampun.
Siapa duga tusukannya itu ternyata mengenai tempat kosong, pojok wuwungan situ ternyata kosong melompong, tiada bayangan seorang pun. Sekali loncat segera Cin-lam melayang ke wuwungan rumah sebelah timur yang lebih tinggi, tapi bayangan musuh tetap tidak kelihatan. Dalam pada itu Ong-hujin dan Peng-ci juga sudah memburu tiba untuk memberi bantuan.
Karena senjatanya dipukul jatuh oleh senjata rahasia musuh, keruan Ong-hujin berjingkrak-jingkrak gusar, teriaknya murka, "Hayo, kawanan bangsat anjing, kalau berani keluarlah untuk bertempur mati-matian, hanya main sembunyi terhitung anak anjing macam apa itu?"
Karena tidak mendapat jawaban, kemudian ia tanya sang suami apakah musuh sudah lari dan bagaimana rupanya.
Namun Cin-lam hanya menggeleng kepala saja, sahutnya dengan suara perlahan, "Jangan bersuara keras supaya tidak mengejutkan orang lain!"
Setelah mereka bertiga mengelilingi dan mencari seputar wuwungan rumah dan tetap tidak menemukan jejak musuh, akhirnya mereka melompat kembali ke pelataran rumah sendiri.
"Sungguh gila, sampai-sampai dua batang panahku juga kena ditangkap musuh, tapi bayangannya saja tiada kelihatan, benar-benar luar biasa," kata Cin-lam dengan suara rendah.
"Bisa demikian?" baru sekarang Ong-hujin terkejut.
"Dengan senjata gelap apakah golokmu tertimpuk?" tanya Cin-lam.
"Entah, bangsat benar!" maki Ong-hujin.
Segera kedua orang memeriksa sekitar pelataran dan tidak tampak sesuatu senjata rahasia musuh yang jatuh tadi. Hanya di bawah pohon sana banyak tersebar pasir-pasir batu bata yang lembut. Nyatalah bahwa musuh telah menggunakan sepotong kecil bata untuk menyambit golok Ong-hujin. Hanya sepotong kecil batu bata saja membawa tenaga sekuat itu, sungguh mengagumkan dan menyeramkan pula.
Kalau semula Ong-hujin masih mencaci maki, sesudah menyaksikan remukan batu bata di bawah pohon itu, rasa gusarnya tadi tanpa terasa berubah menjadi jeri. Ia termangu-mangu sejenak, tanpa bicara lagi kemudian ia masuk ke kamar.
Sesudah sang suami dan putranya juga sudah ikut masuk, cepat-cepat ia lantas menutup pintu kamar, katanya dengan suara bisik-bisik, "Kepandaian musuh terlalu lihai, kita bukan tandingannya, lantas ... lantas bagaimana ...."
"Urusan sudah kadung begini, terpaksa kita harus minta bantuan kepada sahabat," kata Cin-lam. "Saling membantu di waktu menghadapi kesukaran adalah soal jamak di dalam dunia persilatan."
"Ya, sahabat baik kita memang tidak sedikit, tapi orang yang berkepandaian lebih tinggi daripada kita hanya terbatas beberapa orang saja," ujar Ong-hujin. "Jika orang yang berkepandaian lebih rendah dari kita, andaikan diundang membantu juga tiada gunanya."
"Betul juga pendapatmu," kata Cin-lam. "Tapi orang banyak tentu akan punya pikiran banyak pula, tiada jeleknya jika kita berunding dengan para kawan."
"Habis siapa saja yang akan kau undang?" tanya sang istri.
"Kita mengundang yang berdekatan dahulu, seperti para jago yang terdapat di kantor cabang Hangciu, Lamjiang dan Kwiciu, habis itu baru para kawan dunia persilatan di daerah Hokkian, Ciatkang, Kwitang dan Kangsay dapat kita undang pula, misalnya Tan-lokunsu di Unciu, Kio It-liong di Coanciu dan Ho Tiong, Ho-jiko dari Ciangciu, semuanya dapat kita kirim undangan."
"Cara minta bala bantuan begini, kalau sampai tersiar di luaran benar-benar akan sangat merosotkan pamor Hok-wi-piaukiok," ujar Ong-hujin dengan mengerut kening.
"Niocu, tahun ini kau berusia 39 tahun bukan?" tiba-tiba Cin-lam bertanya.
"Cis, dalam keadaan demikian kau masih tanya umurku segala?" semprot sang istri. "Aku shio Hou (macan), masakah kau lupa umurku berapa?"
"Ya, aku akan mengirimkan kartu undangan dengan alasan akan merayakan ulang tahunmu yang ke 40 ...."
"Hus, tanpa sebab apa-apa kenapa usiaku ditambah satu tahun" Memangnya kau kira aku belum cukup lekas tua?"
"Bilakah kau sudah tua?" ujar Cin-lam. "Rambutmu seujung pun belum ubanan. Ulang tahunmu hanya sebagai alasan saja supaya tidak dicurigai orang. Sesudah para teman berkumpul, diam-diam kita lantas memberitahukan maksud tujuan kita, dengan demikian nama baik Piaukiok kita tidak sampai tercemar."
"Baiklah, terserah padamu. Dan hadiah apa yang akan kau berikan pada ulang tahunku?"
"Hadiah paling berharga, yaitu tahun depan kita akan mempunyai seorang putra yang gemuk!" bisik Cin-lam di telinga sang istri.
"Cis, sudah tua masih omong tak genah," omel Ong-hujin dengan muka merah.
Cin-lam tertawa sambil tinggal pergi ke kantor untuk menyuruh juru tulis menyiapkan kartu undangan. Padahal perasaannya juga sangat tertekan, dia sengaja bergurau pada istrinya untuk sekadar mengurangi rasa gelisah sang istri.
Diam-diam ia pun menimbang dalam hati, "Air di tempat jauh susah memadamkan kebakaran di tempat dekat. Malam ini juga di dalam Piaukiok tentu akan terjadi apa-apa lagi, bila mesti menunggu datangnya kawan-kawan yang diundang entah setiba mereka nanti Hok-wi-piaukiok ini masih berdiri di dunia atau tidak?"
Setiba di depan kamar kantor, tiba-tiba tertampak dua orang pesuruh menyambutnya dengan air muka pucat ketakutan, kata mereka, "Wah, ce ... celaka, Cong ... Congpiauthau!"
"Ada apakah?" tanya Cin-lam dengan hati berdebar.
"Tadi tuan kasir menyuruh Lim Hok pergi membeli peti mati, tapi ba ... baru saja sampai di pengkolan gang sana, Lim Hok lantas roboh dan mati," kata salah seorang pesuruh.
"Bisa terjadi demikian" Dan di manakah dia?" Cin-lam menegas.
"Masih ... masih di pengkolan gang sana," kata pesuruh itu.
"Coba pergi mengusung pulang jenazahnya," perintah Cin-lam. Diam-diam ia merasa sangat penasaran dan penuh dendam, ternyata di siang hari bolong musuh pun berani mengganas di tempat ramai.
Kedua pesuruh itu mengiakan, akan tetapi tidak menggeser selangkah pun.
"Kenapa sih?" desak Cin-lam.
Terpaksa seorang pesuruh berkata dengan suara gemetar, "Si ... silakan Congpiauthau pergi ... pergi melihatnya sendiri."
Cin-lam tahu tentu telah terjadi sesuatu yang ganjil lagi. Sambil menjengek sekali ia lantas melangkah ke pintu gerbang. Tenyata di ambang pintu sudah berdiri tiga orang Piausu dan lima orang tukang kawal, dengan muka pucat ketakutan mereka sedang memandang ke luar pintu sana.
"Ada apakah?" tanya Cin-lam cepat. Tapi sebelum ada jawaban ia sudah tahu apa yang terjadi.
Kiranya di atas balok batu di depan pintu sana telah ditulis orang dengan darah sebanyak enam huruf besar yang berbunyi: "Keluar pintu lebih sepuluh langkah mati!"
Selain itu, kira-kira sepuluh langkah dari pintu tergaris pula satu jalur merah darah selebar dua-tiga senti dan panjang melintang.
"Sejak kapan orang menulis di situ" Apakah tiada seorang pun yang melihatnya?" tanya Cin-lam.
"Karena tadi Lim Hok diketahui mati di ujung gang sana, maka beramai-ramai kami telah mengerumun ke sana sehingga di depan pintu sini tiada seorang pun. Entah siapakah yang bergurau dan sengaja menulis demikian ini?"
Dengan penasaran Cin-lam lantas berteriak keras-keras, "Ini dia orang she Lim sudah bosan hidup, maka dia ingin tahu 'keluar pintu lebih sepuluh langkah mati' cara bagaimana jadinya!"
Habis itu dengan langkah lebar ia terus bertindak ke depan sana.
"He, Congpiauthau!" seru beberapa orang Piausu itu berbareng.
Namun Cin-lam tidak peduli lagi, langsung ia melangkahi garis merah darah itu. Dilihatnya huruf darah itu masih basah, segera ia gunakan kakinya untuk menghapus keenam huruf itu sehingga tak bisa dibaca lagi, kemudian barulah ia kembali. Katanya kepada para Piausu, "Ini hanya permainan gertak sambal saja, kita sudah biasa berkecimpung di Kangouw, kenapa mesti takut" Silakan kalian pergi membeli peti mati, sekalian mampir di Thian-ling-si untuk memanggil Hwesio-hwesio di sana supaya datang kemari mengadakan sembahyangan selama beberapa hari."
Ketiga Piausu itu menyaksikan sang pemimpin melalui garis darah itu dan tetap selamat tak kurang apa pun, segera mereka pun tidak takut lagi, sambil mengiakan mereka lantas betulkan pakaian dan siapkan senjata, lalu keluar bersama. Cin-lam menyaksikan mereka sudah melampaui garis darah itu dan sudah membelok ke jalan sana, habis itu barulah ia masuk ke dalam.
Sampai di kantor, ia berkata kepada juru tulis Wi-siansing agar menulis beberapa kartu undangan kepada para sobat handai agar datang ikut merayakan ulang tahun sang istri. Dan baru saja juru tulis itu menanyakan hari ulang tahunnya serta alamat para tamu yang akan diundang, sekonyong-konyong terdengar suara orang berlari mendatangi, cepat Cin-lam menoleh, tahu-tahu seorang telah roboh tidak jauh dari tempatnya.
Dengan terkejut Cin-lam memburu maju untuk memeriksanya, kiranya orang itu adalah Tik-piauthau, salah seorang Piausu yang disuruh pergi membeli peti mati tadi. Badan Tik-piauthau terasa masih berkelojotan, cepat Cin-lam membangunkannya dan bertanya, "Tik-hiante, ada apakah?"
"Me ... mereka sudah mati semua, ha ... hanya aku saja yang dapat berlari pulang," sahut Tik-piauthau dengan suara lemah.
"Bagaimana macamnya musuh?" tanya Cin-lam lagi.
"En ... entah, tidak ... tidak ...." hanya sekian jawaban Tik-piauthau, lalu badannya berkejangan sejenak terus putus napasnya.
Kejadian itu hanya sebentar saja sudah diketahui oleh semua orang di dalam Piaukiok. Ong-hujin dan Peng-ci juga lantas keluar. Terdengar setiap orang secara bisik-bisik sedang saling membicarakan tentang tulisan "keluar pintu lebih sepuluh langkah mati" di luar pintu itu.
"Biar kupergi membawa pulang jenazah kedua Piausu itu," kata Cin-lam kemudian.
"Jangan ... jangan pergi sendiri, Congpiauthau," seru Wi-siansing si juru tulis, "asal ada hadiah tentu ada pemberani. Nah, sia ... siapakah yang siap pergi membawa pulang jenazah-jenazah itu akan mendapat hadiah 30 tahil perak."
Akan tetapi meski dia sudah mengulangi dua kali lagi seruannya itu, ternyata tiada seorang pun yang berani tampil ke muka. Sebaliknya mendadak terdengar Ong-hujin berteriak, "He, ke mana perginya anak Peng" Anak Peng! An ... anak Peng!"
Melihat Peng-ci lenyap, semua orang ikut khawatir dan beramai-ramai lantas memanggil ke sana dan kemari. Syukurlah lantas terdengar suara Peng-ci bergema di luar pintu sana, "Aku berada di sini."
Girang semua orang tak terkatakan, cepat mereka memburu keluar. Terlihatlah perawakan Peng-ci yang tinggi itu sedang membelok datang dari jalan sana dengan kedua bahunya masing-masing memanggul satu jenazah, yaitu kedua orang Piausu yang dilaporkan mati di jalan raya sana.
Cepat Cin-lam dan sang istri berlari memapak maju ke sebelah garis merah dengan senjata terhunus untuk melindungi pulangnya Peng-ci.
Serentak semua orang bersorak memuji, "Siaupiauthau benar-benar seorang kesatria muda yang gagah berani!"
Diam-diam Cin-lam dan Ong-hujin juga merasa sangat senang. "Anak muda memang sembrono, betapa pun kedua paman Piauthau ini toh sudah meninggal, kenapa kau mesti menghadapi bahaya sebesar ini?" omel Ong-hujin.
Peng-ci hanya tersenyum saja. Tapi di dalam hati ia merasa tidak enak, pikirnya, "Gara-gara perbuatanku yang telah menewaskan seorang, akibatnya jiwa sedemikian banyak telah berkorban bagiku, kalau sekarang aku sendiri berbalik takut mati, apakah aku ada muka untuk menjadi manusia lagi?"
Pada saat itulah sekonyong-konyong di ruangan belakang juga ada orang berteriak, "He, tanpa sebab apa-apa kakek Hoa mendadak juga mati?"
Seorang petugas bernama Lim Thong dengan muka pucat dan ketakutan tampak berlari keluar dan melapor, "Congpiauthau, kakek Hoa tadi melalui pintu belakang hendak pergi belanja ke pasar, tahu-tahu dia mati di tempat kira-kira belasan langkah dari pintu. Di ... di pintu belakang sana juga terdapat ... terdapat enam huruf darah seperti di pintu depan tadi."
Kakek Hoa yang dikatakan itu adalah koki atau ahli masak Hok-wi-piaukiok, kepandaiannya masak dalam beberapa jenis daharan benar-benar sangat memesonakan dan merupakan salah satu modal Lim Cin-lam untuk memelet hati kaum pembesar dan bangsawan. Sekarang mendengar koki pandai itu pun terbunuh keruan hatinya tergetar pula. Pikirnya, "Dia hanya seorang koki biasa saja, toh bukan jago kawal atau petugas Piaukiok yang aktif, mengapa musuh sedemikian keji" Padahal menurut tata krama dunia Kangouw, di waktu hendak merampas barang kawalan, para jago kawal dapat dibunuh, tapi tukang kereta, kuli angkut dan sebagainya biasanya tidak boleh dibunuh. Memangnya apakah sekarang segenap penghuni Hok-wi-piaukiok ini akan dihabiskan?"
Ketika melihat semua orang dalam keadaan panik, cepat ia berseru, "Semua orang harus tenang, jangan gelisah. Hm, kawanan bangsat itu hanya pandai main sergap secara sembunyi-sembunyi. Padahal kalian juga menyaksikan sendiri, bukankah kawanan bangsat itu pun tidak berani mengapa-apakan diriku suami istri dan anak Peng ketika kami melangkah keluar lebih dari sepuluh tindak?"
Semua orang mengiakan. Namun demikian toh tiada seorang pun yang berani melangkah keluar pintu lagi. Cin-lam dan istrinya juga saling pandang dengan sedih, mereka benar-benar mati kutu dan tak berdaya.
Malamnya Cin-lam mengatur dinas jaga para Piausu itu. Siapa duga ketika dia keluar mengontrol, 20-an orang Piausu itu ternyata duduk berkerumun di ruang tengah, nyata tiada seorang pun yang berani berjaga di luar, bahkan pergi ke kamar kecil sendirian juga perlu minta ditemani.
Waktu tampak keluarnya Cin-lam, para Piausu itu sama berdiri dengan kikuk, tapi tetap tiada seorang pun yang berani melangkah ke luar. Diam-diam Cin-lam juga maklum bahwa sesungguhnya pihak musuh memang terlalu lihai, di pihak sendiri sudah jatuh korban sebanyak ini dan dirinya ternyata tak berdaya sama sekali, pantas juga jika semua orang menjadi jeri. Sebab itulah ia malah menghiburkan para Piausu itu, bahkan suruh menyediakan arak dan daharan serta mengiringi mereka makan minum di situ.
Tapi lantaran hati merasa kesal dan tertekan, maka siapa pun jarang bicara, mereka hanya minum arak saja tanpa mengobrol, tidak lama kemudian beberapa orang lantas terpulas mabuk.
Besok paginya dua orang dusun datang mengantarkan sayur-sayuran. Karena penghuni Piaukiok cukup banyak, maka setiap hari diperlukan dua pikul sayur-sayuran dan biasanya sudah diborong oleh tukang sayur tertentu.
Begitulah kedua tukang sayur itu terima uang lalu mohon diri. Diam-diam semua orang lantas berkumpul di pintu belakang untuk mengikuti apa yang akan terjadi. Ternyata kedua tukang sayur itu dengan memikul keranjang kosong sudah pergi beberapa puluh langkah jauhnya dan tiada timbul sesuatu yang aneh. Mereka pikir tulisan tentang "keluar pintu lebih sepuluh langkah mati" itu tentu hanya berlaku bagi orang-orang Piaukiok dan tiada sangkut pautnya dengan orang luar.
Tampaklah kedua tukang sayur itu sudah menghilang di antara orang banyak yang berlalu-lalang di jalan raya. Sekonyong-konyong terdengarlah suara teriakan ramai di tengah jalan sana dan orang-orang pun lantas menyingkir. Waktu orang-orang Piaukiok memandang dari jauh, ternyata kedua tukang sayur itu sudah menggeletak di tengah jalan raya, dua pikulannya yang kosong itu terlempar di samping.
Dengan demikian maka di seluruh pelosok kota Hokciu lantas tersiar kabar bahwa Hok-wi-piaukiok adalah rumah maut sehingga tiada seorang pun yang berani berkunjung lagi ke perusahaan pengawalan itu.
Siang harinya lewat tengah hari tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang ramai, ada beberapa penunggang kuda telah berlari keluar dari dalam Piaukiok. Waktu Cin-lam suruh periksa, kiranya lima orang Piausu yang merasa cemas menghadapi keadaan demikian itu diam-diam mereka telah pergi tanpa pamit.
"Ya, orang she Lim tidak mampu melindungi saudara-saudara di kala datangnya bencana, jika kalian merasa lebih aman untuk pergi, maka bolehlah silakan saja," ujar Cin-lam dengan menghela napas.
Namun para Piausu yang lain lantas ramai membicarakan kawan-kawan mereka yang kabur secara pengecut dan tidak setia kawan itu.
Tak terduga pada petangnya lima ekor kuda pulang lagi dengan memuat lima sosok tubuh yang sudah tak bernyawa. Kelima Piausu itu maksudnya hendak meninggalkan tempat maut tapi malah mengantarkan nyawa lebih dahulu.
Melihat kelima mayat itu, sungguh rasa dendam Peng-ci tak tertahankan lagi, dengan pedang terhunus ia terus terjang keluar dan berdiri beberapa langkah di luar garis merah darah itu, teriaknya dengan suara lantang, "Seorang laki-laki berani berbuat berani bertanggung jawab. Orang Sucwan she Ih itu memang aku Lim Peng-ci yang membunuhnya dan tiada sangkut pautnya dengan orang lain. Jika ingin menuntut balas boleh silakan maju padaku saja, biarpun mati aku takkan menyesal. Tapi cara kalian membunuh orang-orang yang tak berdosa begini terhitung kesatria macam apa" Ini dia Lim Peng-ci berada di sini, kalian boleh datang membunuh aku saja! Jika kalian tidak berani unjuk muka berarti kalian adalah kawanan anjing pengecut!"
Begitulah, makin berteriak makin keras, malahan Peng-ci terus membuka baju dan tepuk-tepuk dada. Ia menantang dan sumbar-sumbar sambil mencaci maki. Orang-orang yang lalu hanya memandang heran ke arahnya dan tiada seorang pun yang berani mendekati Piaukiok maut itu.
Ketika mendengar suara putranya, Cin-lam suami istri juga lantas berlari keluar. Memangnya mereka berdua selama dua hari ini pun hanya menahan rasa dendam belaka, sekarang mendengar putranya memaki dan menantang musuh, segera mereka pun ikut membentak dan memaki.
Para Piauthau saling pandang dengan rasa kagum kepada keberanian ketiga orang itu. Terutama sang majikan muda yang biasanya lemah lembut seperti perempuan, sekarang ternyata juga gagah berani dan menantang musuh, benar-benar luar biasa.
Namun demikian, meski mereka bertiga sudah mencak-mencak dan menantang sekian lamanya, suasana di sekeliling situ tetap sunyi senyap saja tanpa sesuatu reaksi apa-apa.
"Huh, keluar pintu lebih sepuluh langkah mati apa segala" Ini, aku justru melangkah dua puluh langkah ke sini, ingin kulihat apa yang kau mampu perbuat atas diriku!" demikian teriak Peng-ci sambil berjalan mondar-mandir jauh di luar garis darah itu dengan pedang terhunus dan lagak angkuh.
"Bagus!" angguk Ong-hujin. "Memangnya kawanan anjing itu hanya berani pada yang lemah dan takut kepada yang keras, coba apakah mereka berani pada anakku?"
Habis itu Peng-ci lantas diajaknya masuk kembali ke rumah. Saking penasaran sampai badan Peng-ci gemetar, setiba di dalam kamar ia tidak tahan lagi, ia menjatuhkan diri di atas dipan terus menangis keras-keras.
Cin-lam cukup paham perasaan putranya itu. Sebabnya Peng-ci sesumbar dan menantang musuh di depan pintu adalah karena timbul dari rasa gusar dan dendamnya. Hanya saja usianya masih muda, pikirannya masih kekanak-kanakan. Segera ia mengelus kepala Peng-ci dan berkata, "Kau sungguh berani, nak, kau tidak malu sebagai putra keluarga Lim kita. Namun musuh tetap tak mau unjuk muka, apa daya kita" Boleh mengaso saja sebentar."
Malamnya sesudah makan, Peng-ci mendengar ayah dan ibunya sedang bisik-bisik membicarakan beberapa orang Piausu yang mempunyai pikiran aneh, yaitu ingin menggangsir, membuat jalan di bawah tanah yang dapat menembus jauh di luar garis darah itu untuk melarikan diri, kalau tidak mereka merasa tidak aman, lambat atau cepat pasti juga akan binasa.
Terdengar ibunya hanya mendengus saja dan anggap pikiran para Piausu itu terlalu muluk-muluk, jika mereka melarikan diri tentu nasib mereka takkan berbeda dengan Piausu yang telah kabur dan kemudian pulang kembali sudah menjadi mayat.
Kemudian ternyata para Piausu itu hanya omong di mulut saja, tapi sebenarnya tiada seorang pun berani mempraktikkan teori mereka itu untuk melarikan diri.
Karena terlalu lelah, siang-siang mereka bertiga lantas tidur. Sedangkan para Piausu benar-benar sudah putus asa, mereka hanya pasrah nasib saja dan tiada seorang pun pergi meronda segala.
Sampai tengah malam, tiba-tiba Peng-ci merasa pundaknya ditepuk-tepuk orang dengan perlahan, cepat ia melompat bangun dan segera hendak melolos pedang yang terselip di bawah bantal. Tapi lantas terdengar suara mendesis ibunya, "Ssst, anak Peng, akulah, jangan bersuara!"
Hati Peng-ci yang tergetar tadi menjadi tenang kembali. Ia menyapa perlahan. Namun ibunya lantas berbisik padanya, "Ayahmu telah keluar sejak tadi dan belum pulang, marilah kita pergi mencarinya."
"Ke mana ayah?" tanya Peng-ci dengan khawatir.
"Entah," sahut sang ibu.
Dengan membawa senjata perlahan mereka lantas keluar kamar. Lebih dahulu mereka melongok ke ruang depan, suasana di sana terang benderang, belasan orang Piausu sedang main dadu dan berjudi kartu. Dari putus asa rupanya para Piausu itu menjadi masa bodoh dan pasrah nasib.
Segera Ong-hujin mengajak pergi Peng-ci mencari lagi ke tempat lain, tapi bayangan Cin-lam tetap tidak kelihatan. Mau tak mau ibu dan anak itu mulai khawatir dan gelisah. Namun demikian mereka tidak berani mengejutkan para Piausu, sebab kalau mengetahui Congpiauthau mereka menghilang, tentu keadaan akan panik dan tambah runyam.
"Paling akhir di manakah kau bertemu dengan ayahmu?" tanya Ong-hujin.
Bab 5. Ilmu Pukulan "Cui-sim-ciang" dari Jing-sia-pay
Baru saja Peng-ci hendak menjawab, sekonyong-konyong di kamar senjata sebelah sana ada suara keletik yang perlahan. Dari celah-celah jendela juga tampak ada sinar lampu. Cepat ia melompat ke sana, ia colok kertas jendela dan mengintip ke dalam, segera ia berseru girang, "Ayah, kiranya engkau berada di sini?"
Waktu itu Cin-lam mestinya lagi asyik entah apa yang dikerjakan dan menghadap ke sebelah sana, demi mendengar seruan Peng-ci segera ia berpaling. Hati Peng-ci tergetar demi lihat air muka sang ayah yang menampilkan rasa kejut dan ngeri, wajahnya yang berseri-seri karena telah menemukan sang ayah seketika lenyap, mulutnya sampai ternganga tak sanggup bicara.
Ong-hujin lantas membuka pintu kamar itu dan masuk ke dalam. Dilihatnya darah memenuhi lantai, tiga buah bangku panjang berjajar dan di atasnya telentang sesosok tubuh manusia yang telanjang bulat, bagian perutnya telah dibedah. Waktu diperhatikan kiranya jenazah itu adalah Ho-piauthau yang siangnya telah kabur bersama kawan-kawannya, lalu pulang kembali dalam keadaan tak bernyawa di atas kudanya itu.
Dalam pada itu Peng-ci juga sudah ikut masuk ke dalam serta menutup pula pintu kamar.
Dari rongga dada jenazah yang telah dibedah itu Cin-lam mencomot keluar sebuah hati manusia dan berkata, "Hati ini sudah tergetar pecah menjadi beberapa bagian, ternyata ... ternyata memang ...."
"Memang "Cui-sim-ciang" (pukulan penghancur hati) dari Jing-sia-pay!" sambung Ong-hujin.
Cin-lam mengangguk dan terdiam.
Baru sekarang Peng-ci tahu bahwa sebabnya sang ayah menyembunyikan diri kiranya adalah untuk membedah jenazah untuk mencari tahu sebab musabab kematiannya.
"Segala obrolan tentang setan dan arwah gentayangan segala memangnya aku tidak percaya, sekarang menyaksikan hati yang remuk ini barulah aku yakin apa yang sudah terjadi dan tidak perlu disangsikan lagi," kata Cin-lam kemudian.
Lalu ia membungkus jenazah itu dengan kain minyak yang sudah tersedia dan ditaruhnya di pojok kamar. Setelah membersihkan noda darah tangannya, bersama istri dan anaknya kemudian mereka pulang ke kamar.
"Sekarang sudah jelas pihak lawan memang benar adalah jago Jing-sia-pay," kata Cin-lam. "Lantas bagaimana pendapatmu, Niocu?"
Dengan gusar Peng-ci lantas berseru, "Urusan ini adalah gara-garaku, biarlah besok juga anak akan menantang untuk bertempur mati-matian padanya, jika tidak mampu menandingi, biarlah anak dibunuh olehnya saja."
Namun Cin-lam menggeleng kepala, katanya, "Sekali pukul saja orang ini dapat menghancurkan hati manusia tanpa meninggalkan sesuatu bekas luka di luar badan, nyata ilmu silat orang ini adalah tokoh kesatu atau kedua dalam Jing-sia-pay. Jika dia mau membunuh kau tentu sudah siang-siang dilakukan olehnya. Kukira musuh justru bermaksud keji dan sengaja mempermainkan kita."
"Apa tujuannya yang sesungguhnya?" tanya Peng-ci.
"Bangsat itu hendak menggoda kita seperti kucing mempermainkan tikus agar si tikus ketakutan setengah mati dan akhirnya binasa sendiri, dengan demikian barulah ia merasa puas," kata Cin-lam.
"Jadi dalam pandangannya Hok-wi-piaukiok kita ini dianggapnya barang sepele saja?" seru Peng-ci dengan gusar.
"Ya, memang kita dianggap sepele olehnya," sahut Cin-lam dengan menghela napas.
"Boleh jadi dia gentar kepada 108 jurus Hoan-thian-ciang ayah, kalau tidak mengapa tidak berani menampakkan diri dan cuma main sergap saja?"
"Anak Peng, kepandaian ayah memang lebih dari cukup untuk menghadapi kawanan penjahat dari kalangan Hek-to, tapi kalau dibandingkan dengan Cui-sim-ciang orang ini terang ayah ketinggalan jauh. Ya, selamanya aku pun tidak mau menyerah kepada siapa pun juga, tapi demi melihat hati Ho-piauthau tadi, aku ... aku .... Ai!"
Melihat semangat sang ayah sedemikian lesu, Peng-ci tidak berani banyak bicara lagi.
Maka Ong-hujin lantas berkata, "Jika musuh benar-benar begini lihai, seorang laki-laki harus berani maju maupun mundur, biarlah sementara ini kita menghindari saja."
"Ya, aku pun berpikir demikian," ujar Cin-lam.
"Malam ini juga kita lantas berangkat ke Lokyang, toh kita sudah tahu asal usul musuh, untuk membalas dendam belumlah terlambat biarpun sepuluh tahun lagi," kata Ong-hujin.
"Benar," sahut Cin-lam. "Ayah mertua sangat luas pergaulannya, tentu beliau akan dapat memberi saran-saran baik kepada kita. Marilah kita lantas berbenah yang perlu saja dan segera berangkat."
"Lalu orang-orang yang kita tinggalkan di sini tanpa pimpinan lantas bagaimana mereka nanti?" tanya Peng-ci.
"Musuh toh tiada permusuhan apa-apa dengan mereka, asal kita sudah kabur, tentu orang-orang yang tinggal di sini akan menjadi selamat malah," kata Cin-lam.
Peng-ci pikir ucapan sang ayah cukup beralasan, sebabnya jatuh korban sebanyak ini sebenarnya juga lantaran perbuatan dirinya saja, jika dirinya sudah kabur, tentu musuh takkan memusuhi para Piausu dan tukang kawal yang tak berdosa itu.
Begitulah segera ia kembali ke kamar sendiri untuk berbenah seperlunya. Selamanya dia belum pernah meninggalkan rumah ke tempat jauh, ia pikir keberangkatan ke Lokyang sekali ini bukan mustahil akan memberi kesempatan kepada musuh untuk membakar ludes Hok-wi-piaukiok ini, maka ia merasa sayang untuk meninggalkan miliknya. Sedapat mungkin ia hendak membawa serta barang-barang yang bisa dibawa sehingga akhirnya ia mengumpulkan dua buntalan besar, walaupun demikian masih dirasakan banyak barang-barang kesayangannya yang belum ikut terbawa, maka sekalian ia lantas ambil pula sebuah kuda kemala yang berada di atas meja dan sehelai kulit macan tutul hasil buruannya dahulu. Dengan memanggul dua buntalan besar itulah ia menuju ke kamar ayah-bundanya.
Melihat begitu, Ong-hujin merasa geli. Katanya, "Kita ini hendak mengungsi dan bukannya pindah rumah. Buat apa membawa barang-barang begitu banyak?"
Diam-diam Cin-lam menghela napas dan goyang kepala. Ia maklum putranya sejak kecil sudah hidup senang dan serbakecukupan, sekarang mendadak mengalami kesukaran, pantas juga jika anak muda itu menjadi bingung. Tanpa terasa timbullah rasa kasih sayangnya, katanya, "Di rumah Gwakong (kakek luar) tidak kekurangan barang apa pun, tidak perlu kau membawa barang sebanyak ini. Asal membawa sedikit bekal saja dan sedikit benda-benda berharga yang ringkas, sepanjang jalan juga banyak terdapat kantor-kantor cabang kita, masakah kita khawatir akan kekurangan ongkos" Buntalanmu harus makin kecil makin baik agar bila perlu bertempur beban kita juga akan lebih enteng."
Walaupun merasa ogah-ogahan, terpaksa Peng-ci meletakkan juga buntalannya itu.
"Kita menunggang kuda dan secara terang-terangan keluar dari pintu depan atau kabur melalui pintu belakang secara diam-diam?" tanya Ong-hujin.
Cin-lam tidak menjawab. Ia duduk bersandar di kursi malas sambil mengisap pipa cangklongnya, sampai sekian lamanya barulah ia membuka mata dan berkata, "Anak Peng, coba pergi memberitahukan segenap penghuni Piaukiok kita ini agar semuanya juga berbenah seperlunya, besok pagi-pagi kita akan pergi semua dari sini. Suruh kasir memberi pesangon pula kepada semua orang, katakan kepada mereka bila kelak penyakit menular ini sudah lenyap barulah kita akan pulang kembali."
Peng-ci mengiakan. Diam-diam ia merasa heran mengapa mendadak sang ayah ganti haluan lagi.
Ong-hujin lantas bertanya, "Kau maksudkan kita akan bubar semua dari sini" Habis siapa yang akan menjaga Piaukiok ini?"
"Tidak perlu dijaga," kata Cin-lam. "Rumah ini telah dianggap sebagai gedung maut, siapa lagi yang berani mengantarkan nyawa ke sini" Pula seperginya kita bertiga, masakah orang-orang yang tertinggal di sini tidak ingin pergi juga?"
Begitulah Peng-ci lantas keluar untuk menyampaikan maklumat ayahnya itu. Keruan semua orang menjadi panik seketika.
Setelah Peng-ci keluar barulah Cin-lam berkata, "Niocu, kami ayah dan anak akan menyamar sebagai tukang kawal, maka kau pun menyaru sebagai kaum pelayan saja. Besok pagi-pagi beberapa puluh orang kita lantas bubar dan kabur serentak, betapa pun musuh akan bingung juga yang manakah yang harus diubernya!"
"Bagus sekali akal ini," puji Ong-hujin. Segera ia pergi mengambil dua setel pakaian tukang kawal, setelah Peng-ci sudah kembali, segera ayah dan anak itu disuruh ganti baju. Ia sendiri pun salin pakaian hijau dengan ikat kepala dari kain kembang sehingga mirip kaum pelayan pekerja kasar.
Peng-ci yang merasa runyam, baju yang dipakainya baunya tidak kepalang, tapi apa boleh buat, terpaksa ia bertahan sekuat mungkin.
Esok paginya baru saja fajar menyingsing, segera Cin-lam suruh membuka pintu lebar, katanya kepada para pegawainya, "Tahun ini perusahaan kita lagi apes, terpaksa kita harus menghindari untuk sementara. Jika saudara-saudara masih ingin bekerja, bolehlah datang ke Hangciu, Lamjiang atau kota lain yang terdapat kantor cabang kita, di sana kalian tentu akan diterima dengan baik. Nah, sekarang boleh kita berangkat saja."
Begitulah hampir seratus orang serentak lantas mencemplak ke atas kuda, lalu berbondong-bondong menerjang keluar.
Sesudah menggembok pintu, sekali bentak Cin-lam dan orang banyak terus terjang keluar garis darah maut itu. Orang banyak maju serentak rasanya menjadi tidak takut lagi, semuanya pikir asalkan bisa lebih cepat meninggalkan gedung maut itu tentu akan lebih aman.
Maka terdengarlah suara derapan kuda yang berdetak-detak riuh ramai sama menuju ke pintu gerbang kota utara. Orang-orang itu sama sekali tidak punya pendirian, ketika melihat temannya menuju ke utara, segera yang lain juga melarikan kuda mereka ke utara.
Cin-lam sendiri lantas memberi tanda kepada istri dan putranya supaya berhenti pada persimpangan jalan dalam kota sana. Katanya dengan suara tertahan, "Biarlah mereka menuju ke utara, kita berbalik putar haluan ke selatan saja."
"Bukankah kita akan ke Lokyang" Mengapa menuju ke selatan?" tanya sang istri.
Namun Cin-lam menjawab, "Musuh tentu menduga kita akan pergi ke Lokyang dan pasti akan mencegat kita di pintu utara, tapi sekarang kita justru menuju ke selatan, kita putar satu lingkaran sejauh mungkin baru kemudian balik ke utara, biarkan bangsat itu menubruk tempat kosong."
"Ayah," mendadak Peng-ci memanggil.
"Ada apa?" sahut Cin-lam.
Tapi pemuda itu malah terdiam. Selang sejenak, kembali ia memanggil, "Ayah!"
"Apa yang hendak kau katakan boleh katakan saja," ujar Ong-hujin.
"Ayah, kupikir kita lebih baik tetap melalui pintu utara saja," kata Peng-ci. "Bangsat anjing itu telah sekian banyak membinasakan kawan-kawan kita, kalau kita tidak melabrak dia, rasa dendam ini benar-benar tak terlampiaskan."
"Sakit hati ini sudah tentu akan kita balas," kata Ong-hujin. "Tapi melulu sedikit kepandaianmu ini apakah kau mampu melawan Cui-sim-ciang orang yang lihai itu?"
"Paling-paling juga seperti Ho-piauthau, biarkan pukulannya menghancurkan jantungku saja," ujar Peng-ci dengan penasaran dan penuh dendam.
Dengan muka merah padam Cin-lam mendengus, "Hm, keluarga Lim kita tiga-empat turunan jika semuanya meniru kau suka gagah-gagahan, maka tak perlu direcoki orang juga Hok-wi-piaukiok akan bangkrut dengan sendirinya."
Melihat sang ayah menjadi gusar, Peng-ci tidak berani bicara lagi. Terpaksa ikut ayah-ibunya memutar ke arah selatan. Sekeluarnya kota, mereka lantas membelok ke sebelah barat laut untuk kemudian menyeberangi Bankang (sungai Ban) terus ke Lamtay, melintasi bukit Katnia dan akhirnya sampai di kota Engthay.
Perjalanan sehari penuh itu boleh dikata tanpa berhenti. Waktu mereka mendapatkan hotel dan mengaso, sungguh mereka sudah terlalu lelah. Untungnya sepanjang jalan ternyata tidak mengalami rintangan apa-apa. Sesudah makan malam barulah Cin-lam merasa lega, katanya perlahan, "Akhirnya dapatlah melepaskan diri dari godaan bangsat itu."
"Nak, orang tak bisa sabar bukanlah orang gagah, kalau sakit hati tidak dibalas, lebih-lebih bukan kaum kesatria," kata Ong-hujin kepada putranya.
"Benar," sahut Peng-ci. "Kukira lawan masih juga gentar kepada ayah, kalau tidak buat apa sejak mula sampai akhir dia tidak berani terang-terangan menantang kita."
"Ah, anak kecil tidak tahu tebalnya bumi dan tingginya langit," ujar Cin-lam sambil menggeleng. "Sudahlah, tidur saja!"
Besok pagi-pagi mereka sudah bangun. Cin-lam lantas berseru memanggil, "Pelayan! Pelayan!"
Namun hotel itu ternyata sunyi senyap tanpa jawaban apa-apa.
Ia coba keluar kamar dan berseru memanggil pula. Tapi mendadak tampak di pelataran dalam sana menggeletak satu orang yang dikenali sebagai pelayan yang melayani mereka kemarin. Cin-lam terkejut, cepat ia memburu maju untuk memeriksanya. Ternyata pelayan itu sudah mati, badannya sudah dingin, suatu tanda sudah mati untuk sekian lamanya. Melihat keadaannya, mirip benar dengan kematian orang-orang Piaukiok yang terkena Cui-sim-ciang.
Dengan hati berdebur-debur keras Cin-lam menuju ke ruangan depan, seorang pun tidak kelihatan. Waktu membuka kamar tidur sana, tertampak kuasa hotel suami istri bersama anaknya yang berumur empat-lima tahun itu semuanya sudah mati di atas tempat tidur. Mendadak terdengar Ong-hujin sedang berteriak, "Wah, tamu-tamu ini sudah mati semua!"
Waktu Cin-lam berpaling, tertampak muka sang istri dan putranya pucat sebagai mayat. Beberapa kamar tamu tampak terpentang pintunya, penghuninya sudah mati semua, ada yang menggeletak di atas ranjang, ada yang tersungkur di lantai. Hotel sebesar itu kecuali rombongannya bertiga, selebihnya tak peduli kuasa hotel atau tamu, seluruhnya sudah binasa.
Sementara itu di luar hotel terdengar suara orang lalu-lalang semakin berisik, pasar pagi sudah mulai ramai.
"Marilah kita lekas pergi dari sini," cepat Cin-lam mengajak dan segera mendahului berlari ke belakang. Tapi setiba di kandang kuda ternyata seluruh binatang-binatang tunggangan itu juga sudah mati, begitu pula tiga ekor kuda miliknya.
Perlahan-lahan Cin-lam membuka pintu belakang dan membiarkan istri dan putranya keluar dahulu, lalu ia pun menyelinap keluar sambil merapatkan kembali daun pintu. Dengan langkah lebar mereka bertiga lantas berjalan ke jurusan barat laut.
Kira-kira lebih dari 20 li, mereka membelok ke suatu jalan kecil yang berliku-liku. Setelah belasan li lagi barulah mereka mengaso dan sarapan di suatu warung nasi kecil di tepi jalan.
Bila teringat kepada keadaan hotel yang penuh mayat tadi, Peng-ci menjadi tidak ada nafsu makan lagi. Semangkuk nasi hanya disumpit dua kali saja lantas ditaruhnya kembali ke atas meja. Katanya, "Aku tiada nafsu makan, ibu."
Ong-hujin memandang sekejap kepada pemuda itu dan tidak menanggapinya. Sejenak kemudian ia menggumam sendiri, "Kita bertiga seperti orang mati semua! Masakah orang membunuh semalam suntuk di sekitar kita, malah sama sekali kita bertiga tidak mendengar apa-apa."
Cin-lam menghela napas. Ia habiskan setengah mangkuk nasi barulah berkata, "Cui-sim-ciang dari Jing-sia-pay itu memang adalah ilmu pukulan tanpa suara, konon waktu memukul sedikit pun tidak mengeluarkan suara apa-apa, yang terkena pukulannya juga tidak sempat bersuara sedikit pun dan segera binasa. Sungguh suatu ilmu pukulan yang sangat keji dan ganas."
"Untuk bisa mencapai tingkatan kepandaian setinggi itu harus berlatih berapa lamanya?" tanya Peng-ci.
"Kukira sedikitnya juga perlu 30-40 tahun lamanya," sahut Cin-lam.
"Tentu si kakek Sat itulah orangnya," seru Peng-ci sambil berbangkit. "Aku ... aku telah menolong cucu perempuannya dengan maksud baik, siapa tahu ...." sampai di sini air matanya lantas berlinang-linang hampir menetes dengan rasa penasaran.
"Ya, aku pun sudah menduga pada orang tua itu," kata Cin-lam. "Hm, kalau orang-orang Piaukiok kita terbunuh boleh dikatakan sebagai menuntut balas, tapi para tamu hotel yang tak berdosa juga telah dibunuh olehnya, lalu apa alasannya?"
"Padahal Jing-sia-pay juga terhitung golongan terhormat di dunia persilatan, tapi malah melakukan perbuatan tidak pantas demikian ini, bukan saja mereka adalah musuh Hok-wi-piaukiok kita, bahkan ... bahkan boleh dikatakan adalah musuh bersama setiap orang persilatan," ujar Ong-hujin.
"Biarkan saja, perbuatan mereka yang sewenang-wenang dan keterlaluan ini akhirnya pasti akan menerima ganjarannya yang setimpal!" kata Cin-lam. "Nak, habiskan mangkuk nasimu itu."
"Aku tidak nafsu menghabiskannya," sahut Peng-ci sambil menggeleng.
"Pelayan, bayar!" segera Cin-lam berseru. Tapi meski sudah diulangi lagi tetap tiada jawaban.
Ong-hujin juga ikut memanggil, namun pemilik warung nasi tetap tidak kelihatan. Dengan cepat ia membuka buntalan dan mengeluarkan goloknya, segera ia berlari ke ruangan belakang. Ternyata laki-laki penjual nasi itu sudah menggeletak di sana, di samping pintu juga merebah seorang wanita, yaitu istri penjual nasi. Beberapa saat sebelumnya suami istri masih sibuk melayani tamunya, tapi dalam waktu singkat saja mereka sudah terbinasa.
Ketika memeriksa pernapasan laki-laki itu ternyata napasnya sudah putus, hanya terasa bibirnya masih agak hangat ketika jari Ong-hujin menyentuh mulutnya.
Sementara itu Cin-lam dan Peng-ci juga sudah lolos pedang dan mengitari warung nasi itu. Warung yang dibangun terpencil membelakangi bukit itu ternyata sunyi senyap tiada sesuatu tanda yang mencurigakan.
"He, lihat itu!" mendadak Ong-hujin berteriak sambil menunjuk ke depan.
Ternyata di atas tanah di depan warung nasi itu tahu-tahu sudah ada satu garis merah darah, di sampingnya tertulis enam huruf "keluar pintu lebih sepuluh tindak mati". Hanya huruf "mati" terakhir itu tampak baru selesai setengah, boleh jadi Cin-lam berdua sekonyong-konyong keluar dan karena khawatir kepergok, maka orang yang menulis itu lekas-lekas menyingkir pergi sebelum selesai menulis. Walaupun demikian dalam waktu sekejap saja orang itu mampu menggaris dan menulis tanpa diketahui, maka dapatlah dibayangkan betapa cepatnya gerakan orang itu.
Dengan menghunus pedang Cin-lam lantas berseru, "Sobat dari Jing-sia-pay, orang she Lim menanti kematian di sini, silakan keluar untuk bertemu!"
Ia berteriak-teriak beberapa kali, tapi yang terdengar hanya suara kumandang yang membalik dari lembah bukit sana, selain itu tiada suara jawaban lain.
Peng-ci lantas berlari keluar garis darah itu sambil berteriak, "Ini aku, Lim Peng-ci untuk kedua kalinya melintasi garis darah kalian, hayo, boleh kalian keluar untuk membunuh aku! Dasar bangsat pengecut, beraninya cuma main sembunyi-sembunyi seperti kawanan bajingan tengik yang tidak laku sepeser pun."
Sekonyong-konyong dari hutan bambu di sebelah warung berkumandang suara tertawa orang yang nyaring, pandangan Peng-ci terasa kabur, tahu-tahu di depannya sudah berdiri satu orang. Tanpa pikir lagi, Peng-ci terus angkat pedang dan menusuk ke dada orang itu. Namun sedikit mengegos, orang itu sudah menghindarkan serangan itu.
Waktu Peng-ci menebas pula dari samping, orang itu mendengus dan memutar ke sebelah kiri. Cepat tangan kiri Peng-ci menyampuk, berbareng pedang ditarik kembali terus menusuk pula.
Sementara itu Cin-lam dan istrinya juga sudah memburu maju. Tapi melihat Peng-ci dapat menghadapi musuh dengan serangan yang teratur tanpa kelihatan gugup sedikit pun, maka mereka tidak lantas maju membantu.
Memangnya Peng-ci sudah menahan dendam sekian lamanya, sekarang ia lantas mainkan Pi-sia-kiam-hoat sedemikian gencarnya, ia menyerang dengan nekat.
Orang itu ternyata bertangan kosong dan cuma berkelit saja tanpa balas menyerang. Setelah Peng-ci menyerang lebih 20 jurus, tiba-tiba ia tertawa dingin, "Huh, kiranya Pi-sia-kiam-hoat hanya begini saja!"
"Cring", mendadak ia menyelentik sekali, seketika Peng-ci merasa tangannya kesemutan, pedang lantas terlepas dari cekalan.
Menyusul kaki orang itu lantas melayang, kontan Peng-ci didepak hingga terjungkal beberapa kali.
Cepat Cin-lam dan istrinya lantas melompat maju untuk mengaling-alingi Peng-ci, waktu mereka memerhatikan, kiranya orang itu berbaju hijau, wajahnya putih, sikapnya gagah, usianya kira-kira baru 23-24 tahun. Dengan melirik hina dia menghadapi Cin-lam berdua.
"Siapakah nama saudara yang terhormat" Apakah dari Jing-sia-pay?" tanya Cin-lam.
"Hanya sedikit permainan Hok-wi-piaukiok kalian ini masih belum ada harganya untuk tanya namaku," ejek orang itu. "Cuma sekarang aku bermaksud menuntut balas dan kau harus diberi tahu. Memang, aku ini orang dari Jing-sia-pay."
Dengan menahan ujung pedangnya ke tanah, Cin-lam berkata pula, "Selamanya Cayhe sangat menghormati Ih-koancu dari Siong-hong-koan, setiap tahun selalu mengirim orang menyampaikan salam kepada beliau, sedikit pun Cayhe tidak pernah kurang adat. Malahan tahun ini Ih-koancu juga telah mengirim empat orang muridnya untuk berkunjung ke Hokciu. Tapi entah di mana kami telah berbuat salah pada saudara?"
Pemuda baju hijau itu mendongak ke atas dan tertawa dingin beberapa kali, selang sejenak barulah ia membuka suara pula, "Ya, benar. Suhuku memang hendak mengirim empat orang muridnya ke Hokciu, satu di antaranya adalah aku ini."
"Bagus sekali jika begitu," seru Cin-lam. "Dan siapakah nama saudara yang mulia?"
Pemuda itu menunjukkan sikap seperti enggan untuk menjawab, setelah mendengus lagi sekali barulah berkata, "Aku she Uh, namaku Uh Jin-ho."
"Oo," Cin-lam manggut-manggut. "Eng Hiong Ho Kiat, kiranya saudara adalah salah satu di antara empat murid utama Siong-hong-koan. Pantas Cui-sim-ciang sudah sedemikian hebatnya, sampai-sampai membunuh orang tanpa keluar darah. Sungguh kagum, kagum sekali."
"Membunuh orang tanpa keluar darah" ini memang gambaran dari ilmu pukulan Cui-sim-ciang dari Jing-sia-pay yang tiada bandingannya. Diam-diam Uh Jin-ho merasa senang karena namanya sendiri ternyata dikenal orang. Sebaliknya ia pun anggap Lim Cin-lam juga bukan sembarangan orang karena sekaligus dapat mengetahui di mana letak intisari kebagusan ilmu pukulan perguruannya itu.
Lalu Cin-lam berkata pula, "Kedatangan Uh-enghiong dari sejauh ini aku tidak mengadakan penyambutan sepantasnya, harap dimaafkan kekurangan adat ini."
"Kau tidak menyambut, tapi putramu yang bagus dan tinggi ilmu silatnya ini sudah melakukan penyambutan, ya, sampai-sampai putra kesayangan guruku juga dibunuh olehnya, penyambutan ini rasanya tidak terlalu kurang adat," jengek Jin-ho.
Mendengar itu seketika Cin-lam berkeringat dingin. Memangnya dia sudah menduga orang yang dibunuh Peng-ci besar kemungkinan adalah orang Jing-sia-pay, siapa nyana adalah putra kesayangan Ih-koancu malah. Sekarang urusan sudah telanjur, jalan lain tidak ada lagi kecuali mengadu jiwa. Maka dengan cepat ia tenangkan diri, mendadak ia terbahak-bahak dan berkata, "Sungguh menggelikan! Uh-siauhiap ini ternyata suka berkelakar. Hahaha!"
"Aku berkelakar apa?" ejek Uh Jin-ho dengan melotot.
"Siapa orang Kangouw yang tidak kagum pada ilmu silat Ih-koancu yang sakti dan tata tertib rumah tangganya yang keras?" sahut Cin-lam. "Padahal orang yang dibunuh anakku yang tak becus itu adalah seorang bajingan tengik yang suka menggoda kaum wanita di warung arak, jika anakku yang tak becus itu dapat membunuhnya, maka ilmu silat bergajul itu pun dapat dibayangkan betapa rendahnya. Orang demikian siapa yang mau percaya adalah putra kesayangan Ih-koancu, bukankah Uh-siauhiap sengaja berkelakar?"
Dengan muka masam seketika Uh Jin-ho tak bisa menjawab.
Kiranya orang yang dibunuh Peng-ci di warung arak itu memang betul adalah putra bungsu Ih Jong-hay, ketua Jing-sia-pay, namanya Ih Jin-gan. Ibunya adalah gundik kesayangan Ih Jong-hay yang nomor empat.
Sejak kecil Ih Jin-gan itu sangat dimanjakan ibunya sehingga pelajaran ilmu silatnya hanya setengah-setengah saja. Sebaliknya di luar tahu ayahnya dia selalu berjudi dan main perempuan dan perbuatan-perbuatan kotor yang lain.
Sekali ini dia dengar ayahnya hendak mengutus orang ke Hokkian, karena sudah merasa bosan hidup di pegunungan, dia lantas merecoki sang ibu agar minta kepada ayahnya supaya dia juga dikirim ke Hokkian untuk menambah pengalaman. Padahal maksud yang sesungguhnya adalah untuk foya-foya di dunia yang fana.
Ih Jong-hay juga tahu putra bungsunya itu adalah paling nakal dan tidak becus di antara beberapa anaknya itu, kalau ada pertandingan silat atau di medan pertempuran tingkat tinggi betapa pun tidak akan mengutus putra yang memalukan melulu itu. Tapi sekarang ke Hokkian adalah sekadar kunjungan balasan kepada Hok-wi-piaukiok saja, tentunya tidak akan terjadi apa-apa di tengah jalan. Sebab itulah dia meluluskan permintaan Jin-gan.
Sepanjang jalan memang tiada terjadi rintangan apa-apa meski Ih Jin-gan telah berfoya-foya sepuas-puasnya, makan minum berjudi dan main perempuan, semuanya tiada yang ketinggalan. Setiba di luar kota Hokciu, siapa duga akhirnya dia mati ditubles belati oleh Lim Peng-ci.
Terhadap pribadi Suheng itu, biasanya Uh Jin-ho juga memandang hina padanya. Cuma mengingat ibunya adalah gundik kesayangan gurunya, maka dia tidak berani menyalahi Jin-gan. Sekarang ia menjadi sukar menjawab atas ucapan-ucapan Lim Cin-lam yang tajam menusuk itu.
Tapi mendadak dari hutan bambu sana ada orang berseru, "Kata peribahasa 'empat kepalan sukar melawan delapan tangan'. Ketika di warung arak itu Lim-siaupiauthau telah mengeroyok Ih-sute kami bersama belasan orang Piauthau ...." begitulah sambil bicara orang itu lantas muncul. Tertampak perawakan orang ini kecil, kepalanya juga kecil, tangan membawa kipas, dia menyambung terus, "Andaikan pertempuran itu dilakukan secara terang-terangan sih mendingan, biarpun jumlah orang Hok-wi-piaukiok lebih banyak juga tiada gunanya. Akan tetapi Lim-siaupiauthau justru menaruh racun di dalam arak yang diminum Ih-sute kami, sekaligus menghujani Ih-sute kami dengan belasan senjata rahasia berbisa pula. Hehe, anak kura-kura ini benar-benar sangat keji. Maksud baik kita hendak mengadakan kunjungan balasan di luar dugaan malah disambut dengan sergapan secara licik."
Peng-ci yang ditendang terguling oleh Uh Jin-ho tadi dengan menahan gusar telah berdiri di samping, ia sedang menunggu sesudah ayahnya bicara secara sopan dengan lawan, habis itu segera dia akan menerjang maju untuk bertempur lagi. Siapa duga lantas muncul seorang yang berkepala kecil dan bermuka ciut, dengan ocehan yang memutarbalikkan kejadian yang sebenarnya, bahkan memfitnah dirinya menaruh racun di dalam arak apa segala. Keruan ia menjadi murka dan membentak, "Kentut anjingmu! Selamanya aku tidak kenal manusia rendah she Ih itu, hakikatnya aku tidak tahu dia dari Jing-sia-pay, buat apa aku mesti mencelakai dia?"
"Kentut! Ya, kentut! Ehm, alangkah baunya!" demikian seru orang berkepala kecil itu sambil mengebas kipasnya dengan cepat. "Jika kau bilang tidak kenal dan tidak bermusuhan dengan Ih-sute kami, sebab apa kau menyembunyikan pula berpuluh kawanmu di luar warung arak untuk mengeroyoknya" Ih-sute kami menyaksikan kau menggoda wanita baik-baik, dia telah menasihatkan kau, tapi kau tidak mau menurut sehingga kau dihajar olehnya, akhirnya jiwamu juga diampuni. Tapi kau tidak merasa berterima kasih berbalik lantas mengerubut Ih-sute kami bersama para Piauthau anjing itu!"
Sungguh gusar Peng-ci tak terlukiskan, hampir-hampir dadanya meledak saking penasaran. Teriaknya kalap, "Ha, kiranya orang-orang Jing-sia-pay adalah kawanan bajingan tengik yang suka memutarbalikkan duduknya perkara!"
"Anak kura-kura, kau berani memaki orang?" semprot orang itu dengan cengar-cengir.
"Ya, aku memaki kau, habis kau mau apa?" teriak Peng-ci dengan gusar.
"Baiklah, boleh kau memaki terus, tidak menjadi halangan, tidak menjadi soal!" ujar orang itu mengangguk.
Peng-ci melengak malah, jawaban orang itu benar-benar di luar dugaannya. Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara angin menyambar, sesosok tubuh telah menubruk ke arahnya. Segera Peng-ci bermaksud mengayun sebelah tangannya untuk menghantam, tapi sudah terlambat sedetik. "Plok", pipinya telah kena ditempeleng orang dengan keras, matanya sampai berkunang-kunang dan hampir-hampir jatuh kelengar.
Gerakan orang itu benar-benar luar biasa cepatnya, begitu berhasil serangannya segera ia mundur ke tempatnya semula sambil meraba-raba pipinya sendiri dan berkata dengan gusar, "Anak kura-kura, mengapa kau memukul orang" Wah, alangkah sakitnya, sakit sekali! Hahaha!"
Melihat putranya dihina, "sret", kontan Ong-hujin mengayun goloknya membacok orang itu dengan jurus "Ya-hwe-siau-thian" (api liar membakar langit), serangan yang kuat lagi jitu. Orang itu sedikit mengegos, tahu-tahu golok Ong-hujin mengenai tempat kosong. Namun demikian sebelah bahu orang itu juga hampir-hampir tertebas kutung, selisihnya cuma dua-tiga senti saja, kalau telat sedetik saja, tentu celakalah dia.
Mau tak mau orang itu pun terkejut dan mengomel. Ia tidak berani memandang enteng pada musuh lagi. Segera ia mengeluarkan senjatanya, yaitu ruyung lemas yang melilit di pinggangnya sebagai sabuk. Waktu serangan kedua Ong-hujin tiba pula, sambil berkelit kontan ia pun balas menyabat dengan ruyungnya.
Melihat gelagatnya Cin-lam tahu urusan sukar dibereskan secara damai, segera ia pun acungkan pedang dan berkata, "Jing-sia-pay hendak menjatuhkan Hok-wi-piaukiok memangnya adalah pekerjaan yang teramat mudah. Tapi segala soal di Bu-lim juga tidak terlepas dari keadilan dan kebenaran. Nah, silakan maju, Uh-siauhiap!"


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekali pegang gagang senjatanya, "sret", Uh Jin-ho lantas lolos senjata juga dan berkata, "Silakan, Lim-congpiauthau!"
Bab 6. Si Budak Bermuka Jelek dari Hoa-san-pay
Diam-diam Cin-lam membatin, "Kabarnya Siong-hong-kiam-hoat (ilmu pedang angin meniup pohon Siong) Jing-sia-pay mereka mengutamakan gesit dan enteng sebagai angin serta ulet sebagai pohon Siong. Untuk bisa menang harapanku hanya mencari kesempatan untuk mendahului saja."
Karena itu tanpa sungkan-sungkan lagi pedangnya lantas bergerak, kontan ia menebas dari samping dalam jurus "Kun-sia-pi-ih" (kawanan iblis terkocar-kacir) dari Pi-sia-kiam-hoat (ilmu pedang penghalau iblis).
Melihat sergapan Cin-lam yang cukup dahsyat itu, Jin-ho juga tidak berani menangkisnya secara keras lawan keras, cepat ia mengegos untuk menghindarkan diri.
Namun sebelum serangan pertama itu mencapai titik sasarannya, dengan cepat Cin-lam sudah lantas tarik kembali pedangnya dan segera melancarkan jurus kedua "Ciong-Siu-kiap-bok" (Ciong Siu mencolok mata), ujung pedangnya terus menusuk kedua mata lawan.
Tatkala itu sinar sang surya lagi menembus melalui celah-celah hutan bambu, walaupun tidak terlalu terang, namun menyilaukan juga ketika memantul di atas pedang yang gemerlapan itu.
"Celaka," diam-diam Jin-ho mengeluh, cepat ia melompat mundur. Syukurlah ia dapat lolos dari serangan keji itu namun tidak urung hatinya memukul keras.
Dalam pada itu, serangan Cin-lam yang lain sudah menyusul tiba pula. Terpaksa Jin-ho menangkis. "Trang", tangan kedua orang sama-sama tergetar. Diam-diam Cin-lam bergirang malah, pikirnya, "Kukira ilmu silat Jing-sia-pay betapa hebatnya, tak tahunya juga cuma begini saja."
Selama beberapa hari Hok-wi-piaukiok dirongrong oleh pihak lawan secara misterius sehingga timbul rasa jerinya, tapi sekarang setelah diketahui orang yang dibunuh oleh Peng-ci itu adalah putranya Ih Jong-hay, selain menghadapi musuh dengan mati-matian tiada jalan lain lagi, maka Cin-lam menjadi nekat, cara bertempurnya menjadi tidak sungkan-sungkan lagi, serangan-serangannya menjadi lebih hebat.
Sebaliknya Uh Jin-ho berpikir, "Tenaga tua bangka ini ternyata boleh juga."
Padahal setelah Peng-ci didepak terjungkal dengan mudah olehnya, ia sangka Lim Cin-lam paling-paling juga cuma jago silat gadungan saja, siapa tahu di antara ayah dan anak ternyata mempunyai perbedaan sedemikian jauh. Bahkan dalam hal pengalaman di medan pertempuran Cin-lam malah lebih luas daripada Jin-ho sendiri.
Maka Jin-ho tidak berani ayal lagi, ia putar pedangnya dengan kencang. Mendadak ia menusuk ke depan, seketika bintang-bintang bertaburan, sekaligus ujung pedangnya telah menusuk tujuh tempat.
Karena tidak tahu ke mana pedang lawan hendak menusuk, Cin-lam tidak berani sembarangan menangkis, terpaksa ia mundur satu tindak. Ketika Jin-ho hendak susulkan tusukan lain pula, di luar dugaan perubahan Lim Cin-lam juga amat cepat, hanya sedetik luang saja sudah digunakan dengan baik olehnya untuk balas menyerang.
Begitulah yang satu lebih tua dan lebih ulet, yang lain lebih gesit dan lebih bagus gerak pedangnya. Kedua orang maju dan mundur dengan cepat, meski sudah berlangsung lebih 30 jurus tetap susah menentukan kalah atau menang.
Di sebelah lain, Ong-hujin yang harus menempur si orang berkepala kecil yang bernama Pui Jin-ti itu, berulang-ulang telah menghadapi serangan musuh yang berbahaya. Golok emas yang diputarnya itu beberapa kali terlilit oleh ruyung musuh dan hampir-hampir terbetot lepas dari cekalan.
Melihat ibunya terdesak, cepat Peng-ci berlari masuk ke dalam warung nasi, ia angkat sebuah bangku panjang terus menerjang ke arah Pui Jin-ti, bangku panjang itu lantas disodokkan ke depan.
"E-eh, Lim-siaupiauthau kenapa berkelahi secara ngawur begini?" demikian Jin-ti tertawa mengejek. Sekali ia sendal ruyungnya, sekonyong-konyong senjata itu memutar balik, "plak", segera pinggang Peng-ci tersabat satu kali.
Keruan Peng-ci meringis kesakitan, hampir-hampir saja ia tak sanggup berdiri tegak. Tapi ia tahu bila dirinya roboh, pastilah mereka ibu dan anak akan mati konyol. Maka dengan mengertak gigi menahan rasa sakit, sekuatnya ia angkat bangku itu terus mengepruk ke atas kepala Pui Jin-ti.
Ketika Jin-ti mengegos ke samping, seperti banteng ketaton segera Peng-ci menerjang maju lagi. Tapi sekonyong-konyong kakinya tersangkut entah tersandung apa, kontan ia jatuh tersungkur, berbareng itu terdengar suara seorang lagi berkata, "Rebahlah!" menyusul sebuah kaki telah menginjak di atas tubuhnya, berbareng ujung sebuah benda tajam juga terasa mengancam di punggungnya.
Sudah tentu Peng-ci tak dapat melihat bagian belakang, yang tertampak hanya debu pasir di depan matanya, hanya terdengar jeritan sang ibu, "Jangan, jangan membunuh anakku!"
Tapi lantas terdengar Pui Jin-ti membentak, "Kau juga merebah saja!"
Kiranya pada saat Peng-ci hendak menerjang maju tadi, mendadak dari belakang ia dijegal oleh kaki seseorang sehingga Peng-ci jatuh tersungkur, menyusul orang itu lantas mencabut belati dan mengancam di punggung pemuda itu.
Ong-hujin sendiri memangnya tak sanggup melawan Pui Jin-ti, melihat keselamatan putranya terancam, keruan ia tambah gugup dan bingung. Pada saat itulah Pui Jin-ti lantas mengayun ruyungnya sehingga sebelah kaki Ong-hujin terlilit, sekali tarik, kontan nyonya itu pun terseret roboh. Menyusul Jin-ti lantas memburu maju untuk menutuk Hiat-to ibu dan anak itu.
Orang yang menjegal Peng-ci dari belakang itu kiranya adalah orang she Keh yang pernah bertempur melawan The dan Su-piauthau di warung arak di luar kota Hokciu tempo hari. Nama lengkapnya adalah Keh Jin-tat.
Bicara tentang ilmu silat, Keh Jin-tat ini memang terhitung nomor satu di antara murid-murid Jing-sia-pay, namun bukan nomor satu dari depan, tapi nomor satu dihitung dari belakang. Cuma sehari-hari Jin-tat selalu mendekati dan menjilat Ih Jin-gan, itu putra bungsu kesayangan Ih-koancu, mereka sama-sama makan-minum, sama-sama berjudi dan cari cewek. Berkat bantuan Ih Jin-gan itulah maka Keh Jin-tat juga ikut-ikut datang ke Hokciu.
Dia bersama Pui Jin-ti telah dapat merobohkan Peng-ci dan ibunya, Perlahan-lahan mereka lantas menggeser ke belakang Lim Cin-lam.
Cin-lam menjadi gugup melihat istri dan putranya tertawan musuh, "sret-sret-sret", cepat ia menyerang beberapa kali.
"Awas, Uh-sute, kura-kura ini hendak kabur!" seru Pui Jin-ti.
Sekarang Uh Jin-ho sudah mulai dapat meraba jalan ilmu pedang lawan, maka ia telah mainkan Siong-hong-kiam-hoat dengan kencang, sinar pedang gemerlapan membungkus rapat di sekeliling Lim Cin-lam.
Di kala menghadapi ilmu pedang lawan yang hebat itu, sekarang bertambah lagi dua orang lawan yang lain, untuk mundur terang tiada jalan lagi, terpaksa Cin-lam mengerahkan seluruh semangatnya untuk bertahan.
Sekonyong-konyong pandangannya menjadi kabur, serentak seperti berpuluh pedang menyerang berbareng dari berbagai jurusan. Cin-lam terkejut dan cepat ia putar pedangnya untuk melindungi tubuhnya.
"Kena!" mendadak terdengar Jin-ho membentak. Kontan lutut kanan Cin-lam terkena pedang, kakinya lemas dan sampai bertekuk lutut. Cepat ia melompat bangun pula, walaupun begitu, ujung pedang Uh Jin-ho tahu-tahu sudah mengancam di depan dadanya.
"Uh-sute, sungguh suatu jurus 'Liu-sing-kan-goat' yang hebat!" memuji Keh Jin-tat. Biarpun jago kelas kambing dari Jing-sia-pay, namun terhadap jurus ilmu pedang golongannya sendiri ia masih dapat membedakannya.
Cin-lam menghela napas, ia melemparkan pedang ke tanah, katanya, "Ya, apa mau dikata lagi. Harap bereskan kami secara cepat dan gampang saja!"
Mendadak punggungnya terasa kesemutan, kiranya telah ditutuk oleh gagang kipasnya Pui Jin-ti.
"Huh, secara gampangan bereskan kalian, masakah di dunia ini ada urusan begini enak" Kau harus ikut ke Jing-sia-san untuk menemui Suhuku!" jengek orang she Pui itu.
Cin-lam pikir yang terbunuh adalah putra guru mereka, sudah tentu mereka ingin meringkus dirinya sekeluarga untuk dibawa ke Sucwan sebagai pertanggungjawaban kepada guru mereka. Perjalanan sejauh ini juga ada baiknya, di tengah jalan boleh jadi ada kesempatan untuk meloloskan diri.
Dalam pada itu Keh Jin-tat tidak membuang kesempatan untuk melampiaskan dendamnya, mendadak ia cengkeram punggung Peng-ci terus diangkat ke atas, "plak-plok", dua kali ia tempeleng pemuda itu sambil memaki, "Anak kelinci keparat, sejak hari ini aku akan hajar kau setiap hari sehingga sampai di Jing-sia-san, akan kubikin mukamu yang resik ini menjadi belang bonteng!"
Peng-ci tahu sesudah jatuh dalam cengkeraman musuh, untuk selanjutnya pasti akan kenyang dihina dan disiksa. Sekarang dirinya tak bisa berkutik, dengan gusar ia terus meludahi musuh yang bermartabat rendah itu.
Karena jarak dua orang sangat dekat, maka Keh Jin-tat tidak sempat mengelak, "plok", dengan tepat riak kental yang disemprotkan Peng-ci itu kena di batang hidungnya. Keruan Jin-tat menjadi murka, ia banting pemuda itu ke tanah dan segera sebelah kakinya hendak menendang.
"Sudahlah, sudah cukup! Jika dia mati kau tendang, cara bagaimana kita harus bertanggung jawab kepada Suhu?" ujar Jin-ti dengan tertawa. "Bocah ini mirip seorang nona, mana dapat menahan pukulan dan tendanganmu?"
Sesungguhnya dendam Keh Jin-tat tak terkatakan. Maklumlah dia tidak punya kepandaian yang berarti, biasanya juga tidak disukai sang guru dan saudara-saudara seperguruan, di atas Jing-sia-san hanya Ih Jin-gan seorang yang menjadi sandaran satu-satunya. Sekarang sandaran satu-satunya itu telah "kuik" ditubles belati oleh Peng-ci, keruan bencinya kepada pemuda itu tidak alang kepalang. Tapi demi dicegah oleh Jin-ti, terpaksa ia urungkan maksudnya menghajar Peng-ci lebih jauh, hanya berulang-ulang ia meludahi pemuda itu untuk melampiaskan dendamnya.
"Marilah kita makan dahulu barulah berangkat," ujar Pui Jin-ti. "Nah, Keh-sute harap kau capaikan diri untuk menanak nasi dan menyediakan daharan."
Cepat Jin-tat mengiakan. Biasanya ia juga tunduk kepada Pui-suhengnya itu, apalagi sekarang Ih Jin-gan telah dibunuh orang dan hanya dia yang menyaksikan, kalau pulang mustahil gurunya takkan menghukumnya karena tidak melindungi sang Sute, bahkan menyelamatkan diri sendiri secara pengecut. Untuk ini beberapa kali dia telah mohon bantuan Uh Jin-ho dan Pui Jin-ti agar sepulangnya nanti sudi menutupi sedikit dosanya itu di hadapan sang guru. Sekarang Jin-ti hanya menyuruhnya menanak nasi dan menyediakan daharan, sekalipun dia disuruh mengerjakan sesuatu yang berpuluh kali lebih sulit juga pasti akan dilakukannya. Begitulah, maka dengan cepat ia lantas pergi ke belakang untuk melaksanakan tugasnya.
Jin-ho dan Jin-ti lantas menyeret Cin-lam bertiga ke dalam warung dan dilemparkan di pojok sana. Kata Uh Jin-ho, "Pui-suko, perjalanan pulang ke Jing-sia ini akan makan tempo cukup lama, kita harus waspada akan kemungkinan lolosnya mereka ini. Ilmu silat yang tua ini pun boleh juga, kau harus mencari suatu akal yang baik."
"Apa susahnya?" ujar Jin-ti dengan tertawa. "Sehabis makan nanti kita putuskan saja urat tangan mereka, lalu gunakan ruyungku yang lemas untuk menembus tulang pundak mereka dan diikat menjadi satu seperti ikatan kepiting, tanggung mereka tidak mampu lolos lagi."
Otak Cin-lam serasa menjadi kopyor mendengar itu, kalau urat tangan diputus dan tulang pundak ditembus, untuk seterusnya tentu akan menjadi cacat selamanya. Dalam keadaan demikian sekalipun berhasil meloloskan diri juga tiada gunanya lagi. Pikiran orang she Pui ini benar-benar teramat keji.
Peng-ci lantas mencaci maki, "Bangsat keparat yang tidak tahu malu! Kalau berani lekas bunuh saja tuan besarmu ini, cara kalian itu tidak lebih adalah perbuatan bajingan yang rendah dan kotor."
"Uh-sute," tiba-tiba Jin-ti berkata dengan tertawa, "kalau anak jadah ini memaki satu kali lagi segera aku akan mengambil sedikit kotoran kerbau dan anjing untuk menjejal mulutnya."
Ancaman ini ternyata sangat manjur. Seketika Peng-ci bungkam, tidak berani memaki lagi walaupun gusarnya tidak kepalang.
Kemudian Pui Jin-ti masih terus membual dengan kata-kata yang lucu-lucu tapi menusuk. Jin-ho hanya mendengarkan saja dengan mengerut kening, terkadang ia pun mengiringi tersenyum. Namun yang terbayang dalam benaknya adalah jurus-jurus pertarungannya dengan Lim Cin-lam tadi.
Tidak lama kemudian Keh Jin-tat keluar dengan membawa daharan. Katanya, "Tempat ini benar-benar terlalu miskin, seekor ayam saja tidak ada. Apakah kalian suka makan kalau kupotong sedikit daging paha anak jadah ini untuk digoreng."
Jin-ti tahu Sutenya itu cuma bergurau saja, segera ia menanggapi, "Ya, bagus! Anak jadah ini putih lagi halus, dagingnya tentu lebih lezat daripada ayam goreng. Cuma sayang tidak ada arak ...."
"Segala apa ada di sini! Tuan ingin apa, segera kubawakan!" demikian tiba-tiba dari belakang suara seorang wanita muda yang nyaring merdu menukas ucapan Pui Jin-ti itu.
Keruan mereka terperanjat. Berbareng mereka memandang ke belakang, maka tampaklah keluar seorang nona baju hijau dengan membawa sebuah nampan kayu, di tengah nampan ada sebuah poci arak dengan tiga buah cawan.
Meski nona ini menundukkan kepalanya, tapi masih tampak jelas kelihatan mukanya yang benjol-benjol bekas penyakit cacar.
Jin-ti dan Jin-ho menjadi heran dari mana datangnya nona bermuka burik ini. Sebaliknya Keh Jin-tat sangat terkejut, sebab ia kenal nona burik ini tak lain tak bukan adalah si gadis penjual arak di warung arak di luar kota Hokciu itu. Kematian Ih Jin-gan justru disebabkan dia menggoda nona ini, mengapa sekarang nona ini mendadak muncul lagi di warung yang terpencil ini"
Saking kagetnya Jin-tat sampai melonjak bangun, serunya sambil menuding nona itu, "Meng ... mengapa kau pun ber ... berada di sini?"
Nona itu tidak menjawab, kepalanya tetap menunduk, katanya dengan suara perlahan, "Inilah araknya, cuma tiada sayur apa-apa."
Berbareng ia terus menaruh nampannya di atas meja.
"Kau dengar tidak" Kutanya kau mengapa kau pun berada di sini?" demikian Jin-tat berteriak pula dan segera lengan si nona hendak dipegangnya.
Tapi sedikit mengegos saja nona itu sudah mengelakkan cengkeraman Keh Jin-tat. Lalu katanya, "Ya, hidup kami ini adalah menjual arak. Di mana pun tuan-tuan ingin minum arak, di situlah kami akan berada untuk melayani."
Walaupun Keh Jin-tat termasuk kaum keroco, namun jelek-jelek adalah murid Jing-sia-pay. Si nona dapat mengelakkan cengkeramannya itu, teranglah juga mahir ilmu silat.
Jin-ti memandang sekejap kepada Jin-ho, kemudian bertanya, "Bagus sekali! Lantas arak apakah yang nona jual ini?"
"Arak Hong-ting-ang (merah jengger bangau) campur warangan, arak 'Chit-kang-liu-hiat-ciu' (tujuh lubang keluar darah)," sahut si nona itu sambil menuangkan arak ke dalam cawan dan disodorkan ke depan Jin-ho bertiga. Warna arak itu memang merah seperti darah dan lain daripada yang lain. (Yang dimaksudkan tujuh lubang adalah mata, hidung, telinga dan mulut).
Keh Jin-tat menjadi gusar, bentaknya, "Kurang ajar! Kiranya kau adalah begundal dan gendak anak kura-kura ini!"
Berbareng sebelah tangannya terus menampar dari samping.
Namun nona itu hanya mundur setindak saja sudah menghindarkan diri dari serangan lawan, Jin-tat merasa malu kepada kedua Suheng dan Sutenya itu, masakah terhadap seorang anak dara saja tidak mampu menang" Sambil menggerung kalap ia menubruk maju, sepuluh jarinya terus mencengkeram ke dada si nona.
Serangan Keh Jin-tat ini benar-benar kotor dan tak bermoral. Sebagai anak murid golongan terhormat mestinya tidak pantas menyerang ala bajingan demikian. Tapi dasarnya dia memang bangor, si nona penjual arak itu tak dipandang sebelah mata pula olehnya, maka cara menyerangnya menjadi tidak sungkan-sungkan dan pakai aturan segala.
Tentu saja nona itu menjadi gusar. Sedikit mengegos ke samping, dengan cepat sekali tangan kirinya terus menolak ke punggung Jin-tat, ia pinjam daya tubrukan Jin-tat itu sekalian didorong ke depan sekuat-kuatnya. Tanpa ampun lagi tubuh Jin-tat lantas melayang ke depan sebagai terbang sambil berkaok-kaok, "bluk", kepalanya tertumbuk pada tiga batang bambu yang tumbuh di situ.
Pada umumnya batang bambu memang sangat keras daya melentingnya, maka begitu melengkung tertumbuk oleh Jin-tat, kontan tubuh Jin-tat lantas terlempar kembali ke udara. Khawatir kalau terbanting dengan lebih keras dan kehilangan muka disaksikan orang banyak, lekas-lekas Jin-tat menggunakan gerakan "Le-hi-pak-ting" (ikan lele meletik) untuk membalik tubuh di atas dengan maksud menurunkan kakinya dahulu ke bawah.
Tak terduga daya pegas batang bambu itu memang aneh dan susah diraba arahnya, masih mendingan kalau dia diam saja, tapi lantaran membalik tubuh di atas sebagai ikan meletik, maka tubuh Jin-tat berbalik terjungkir, kepala di bawah dan kaki di atas, terus menubruk ke atas tanah. "Prok", tanpa ampun lagi beberapa gigi Jin-tat rompal. Lekas-lekas ia merangkak bangun, namun muka dan mulutnya sudah penuh berlumuran darah tercampur debu.
Sambil mencaci maki secara kotor, dengan nekat Jin-tat lantas mencabut belati dan menubruk maju pula. Tapi kembali si nona mengegos, sebelah tangannya menolak dan mendorong pula, ia tetap menggunakan pinjam tenaga lawan untuk memukul lawan, sekali ini yang diincar adalah sebuah kolam di samping hutan bambu sana. "Plung", tanpa ampun lagi Jin-tat tercebur ke dalam kolam sehingga air muncrat ke mana-mana. Belati yang dipegangnya juga ikut mencelat dari cekalannya sehingga mengeluarkan sinar kuning kemilau di atas udara.
Segera si nona meloncat ke sana, sekali sambar belati yang melayang-layang di udara itu kena dirampas olehnya.
Belum kapok juga, Jin-tat masih terus mencaci maki. Tapi sekali mulutnya mengap, seketika air kolam masuk ke tenggorokannya seperti dicekoki, keruan ia gelagapan.
Padahal air kolam itu biasanya oleh si pemilik warung itu digunakan untuk menyiram sayur dan tanaman-tanaman lain, air kolam itu sebagian besar adalah air kotoran dan kencing manusia. Keruan sekali ini Keh Jin-tat benar-benar "tahu rasanya".
Melihat Sute mereka dihajar orang, Pui Jin-ti dan Jin-ho hanya duduk tenang-tenang saja dan tidak menolongnya. Tunggu setelah si nona jalan kembali dengan belati rampasannya itu, barulah Jin-ti berkata dengan nada dingin, "Selamanya Hoa-san-pay dan Jing-sia-pay kami tiada permusuhan apa-apa, orang tua dari kedua belah pihak selamanya juga bersahabat baik. Apakah nona tidak keterlaluan dengan menyuguhkan kami arak 'Chit-kang-liu-hiat-ciu' campuran dari Hong-ting-ang dan warangan ini?"
Nona itu tampak melengak, tapi lantas mengikik tawa. Lalu jawabnya, "Tajam benar penglihatanmu, dari mana kau tahu aku berasal dari Hoa-san-pay?"
"Kedua gerakan 'Sun-cui-tui-ciu' (mendorong perahu menurut arus) yang digunakan nona barusan ini terang adalah ajaran asli Gak-tayciangbun dari Hoa-san-pay," kata Jin-ti. "Nama Hoa-san-pay cukup menggetarkan Kangouw, biarpun picik juga Cayhe masih sanggup membedakannya."
"Kau tidak perlu menyanjung diriku," ujar si nona. "Aku pun tahu engkau adalah Pui-toaya, tokoh terkemuka Siong-hong-koan dari Jing-sia-pay dan ini adalah Uh-toaya, satu di antara empat murid utama yang terkenal sebagai "Eng Hiong Ho Kiat". Nah, silakan kalian mulai saja."
"Ah, menghadapi nama Hoa-san-pay yang termasyhur betapa pun juga kami harus mengalah sejauh mungkin," sahut Jin-ti. "Tapi sedikitnya nama nona yang budiman juga perlu kami ketahui, kalau tidak, cara bagaimana kami harus menjawab jika kami ditanya oleh Suhu?"
"Asalkan kau katakan 'si budak jelek dari Hoa-san-pay' saja sudah cukup, rasanya di dunia ini tiada orang kedua yang bermuka lebih buruk daripada diriku ini," sahut si nona dengan tertawa.
Dalam pada itu Keh Jin-tat sudah merangkak bangun dari dalam kolam yang berair kotor dan bau itu, ia masih terus mencaci maki sambil tiada hentinya muntah-muntah dan batuk-batuk. Tapi lantaran giginya sudah banyak yang rompal, dalam keadaan ompong suaranya menjadi sangat lucu.
Nona penjual arak itu lantas masuk ke dalam warung dengan langkah yang menggiurkan, katanya dengan tertawa, "Aku pun tahu hubungan Hoa-san-pay dan Jing-sia-pay biasanya cukup baik. Kabarnya ada seorang Suheng kalian yang she Ih telah menggoda wanita baik, kebetulan dilihat orang yang membela keadilan sehingga Suheng kalian itu terbunuh, sungguh kalian harus diberi ucapan selamat atas kejadian yang menggirangkan itu. Hal ini sangat besar manfaatnya bagi penertiban dan penegakan wibawa perguruan kalian, aku percaya Ih-koancu kalian juga pasti akan sangat gembira bila mendapat laporan dan besar kemungkinan kalian bertiga akan mendapatkan ganjaran yang berharga. Sebab itulah aku sengaja menyediakan tiga cawan arak Chit-kang-liu-hiat-ciu ini sekadar sebagai penghargaan dan ucapan selamat kepada kalian."
Meski wajahnya jelek, tapi suaranya sangat nyaring dan merdu, enak didengar. Hanya saja setiap katanya itu penuh sindiran sehingga bagi pendengaran Pui Jin-ti rasanya sangat menusuk.
"Pui ... Pui-suko, kematian ... kematian Ih-sute justru lantaran dia!" tiba-tiba Keh Jin-tat berseru.
"Apa katamu?" Jin-ti menegas dengan heran. Ia tahu kelakuan Ih Jin-gan memang bergajul, tapi kalau kematiannya adalah lantaran seorang wanita, maka dapat diduga wanita itu pasti sangat cantik, paling tidak juga cukup cantik, tidaklah mungkin pemuda bajul buntung itu dapat penujui seorang nona burik yang memuakkan bagi orang yang memandangnya ini.
Namun Jin-tat lantas menjawab, "Ya, justru dia inilah, budak burik inilah yang menyebabkan kematian Ih-sute. Lantaran Ih-sute menertawakan dia sebagai muka siluman sehingga bertengkar dengan anak jadah she Lim ini."
"Oh, kiranya demikian," kata Jin-ti mengangguk. Ia coba mengamat-amati pula si nona, perawakannya kelihatan langsing dengan garis-garis tubuh yang indah, cuma sayang mukanya saja burik, bahkan benjol-benjol tak keruan, benar-benar muka buruk yang jarang terdapat. Lalu ia manggut-manggut dan berkata pula, "O, kiranya demikian. Jadi orang telah membela nona, makanya nona sekarang juga hendak membela orang?"
Dengan baju basah kuyup saat itu Keh Jin-tat berdiri di luar warung, baunya bacin, berulang-ulang ia menggoyang badannya seperti anjing habis kecemplung ke dalam air, lalu mengguncangkan tubuhnya untuk menghilangkan air yang membasahi tubuhnya. Tiba-tiba ia berseru, "Binatang kecil she Lim itu cantik sebagai wanita, besar kemungkinan budak siluman ini yang telah penujui dia, lalu menguntit sepanjang jalan. Hayolah Pui-suko dan Uh-sute, lekas kalian bereskan saja dia, mau tunggu kapan lagi?"
Dalam pada itu si nona lagi mengamat-amati belati emas yang dirampasnya dari Keh Jin-tat tadi. Tertampak di batang belati itu terdapat ukiran beberapa huruf yang berbunyi "anak Peng genap 10 tahun". Di samping itu ada beberapa huruf lebih besar yang berarti "banyak rezeki dan panjang umur". Ia memandang sekejap ke arah Peng-ci yang menggeletak di atas tanah itu dengan tersenyum. Katanya dalam hati, "Kiranya belati ini adalah hadiah ulang tahunmu yang ke-10, tapi kau telah menggunakannya untuk membunuh orang bagiku."
Sejenak kemudian ia lantas berkata kepada Jin-ti dan Jin-ho, "Sesungguhnya Jing-sia-pay juga terhitung golongan ternama dan terhormat di dunia persilatan, tak tersangka juga terdapat tidak sedikit murid bajingan tengik seperti dia ini." Sembari berkata ia terus angkat belati dan pura-pura akan menyambit ke arah Keh Jin-tat.
Rupanya Jin-tat sudah kapok benar terhadap nona burik itu, disangkanya belati itu akan ditimpukkan betul-betul, maka cepat ia melompat ke samping dengan cara yang menggelikan.
Tapi nona itu hanya pura-pura mengayunkan belatinya saja, lalu berkata pula, "Manusia rendah begini memangnya sudah dulu-dulu harus dibinasakan, kalau dibiarkan hidup hanya akan membikin malu perguruan saja. Masakah manusia kotor demikian juga ada harganya untuk mengaku sebagai Suheng dan Sute dengan kalian berdua kesatria gagah ini?"
Diam-diam Jin-ti dan Jin-ho mendongkol. Ucapan si nona sesungguhnya memang kena benar pada hati kecil mereka. Biasanya mereka memang suka anggap diri sendiri sebagai kesatria sejati dan merasa malu untuk menjadi saudara seperguruan dengan manusia sebagai Keh Jin-tat itu. Akan tetapi biar bagaimanapun juga Keh Jin-tat memang betul-betul adalah saudara seperguruan dengan mereka, terpaksa mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Maka terdengar si nona telah menyambung pula dengan tertawa, "Aku yakin kalian berdua tentu berharap tidak mempunyai Sute semacam ini bukan" Baiklah, akan kubantu kalian, biarlah bajingan tengik ini kubunuh saja!"
Habis berkata segera ia melangkah ke arah Keh Jin-tat dengan belati terhunus.
Keruan Jin-tat ketakutan dan menjerit, "Haya, kau ... apa-apaan kau!"
Dan ketika melihat kedua saudara Suheng dan Sutenya tiada tanda-tanda sudi menolongnya, sebaliknya malah bersikap acuh tak acuh seakan-akan mengharap nona burik itu benar-benar membunuhnya saja, terpaksa lekas-lekas ia putar tubuh terus lari sipat kuping, hanya sekejap saja ia sudah menghilang di tengah hutan bambu.
Si nona mengikik geli, lalu putar balik ke dalam warung. Katanya dengan tertawa, "Nah, aku telah membantu kalian melakukan sesuatu yang menggembirakan, apakah hal ini tidak berharga untuk dirayakan dengan minum secawan arak?"
Berbareng ia pun menunjuk ketiga cawan arak merah di atas meja itu dengan sikap menyilakan minum secara hormat.
Jin-ti saling pandang sekejap dengan Jin-ho, mereka merasa serbasusah dan entah cara bagaimana harus melayani nona aneh yang berada di depan mereka ini. Bahwasanya nona ini tidak bermaksud baik terhadap mereka memang hal ini tidak perlu disangsikan lagi.
Soalnya Hoa-san-pay terkenal sebagai aliran utama dari Ngo-gak-kiam-pay (lima aliran ilmu pedang dari lima gunung), jumlah orang mereka sangat banyak, kekuatan mereka pun sangat hebat, pergaulannya luas dan mempunyai hubungan baik dengan berbagai golongan dan aliran yang lain, betapa pun tidak boleh sembarangan diganggu.
Diam-diam Jin-ti membatin, "Entah apa maksud tujuan wanita ini" Tapi kematian Ih-sute adalah lantaran dia, mungkin dia pun akan ikut campur untuk menolong bocah she Lim ini. Kalau Ih-sute tidak mati sih tidak menjadi soal kami mengalah padanya. Seorang laki-laki tidak berkelahi dengan orang perempuan, andaikan tersiar juga tidak memalukan Jing-sia-pay. Namun sekarang cara bagaimana kami harus bertanggung jawab kepada Suhu atas kematian Ih-sute" Kalau pembunuhnya tidak dapat kami tawan pulang, pastilah aku tiada muka buat tinggal di Siong-hong-koan lagi!"
Begitulah sambil tertawa dingin ia memandangi ketiga cawan arak merah di atas meja itu, tampaknya acuh tak acuh, tapi sesungguhnya dalam hati merasa serbasusah.
"Ketiga cawan arak ini akan kalian minum atau tidak?" demikian si nona menegas pula dengan tersenyum.
"Cret", mendadak Jin-ho ayun telapak tangannya dan memotong ke ujung meja, kontan ujung meja itu tertebas putus secara rajin bagai ditebas golok tajam. Sambil memandang keluar ia berkata, "Jing-sia-pay kami selamanya sangat menghormati Gak-ciangbun dari Hoa-san-pay kalian, maka kami tidak ingin bertengkar dengan nona. Tapi berulang nona telah mencemooh dan menghina, jika kami dianggap sebagai kaum celurut yang tak becus, maka mungkin nona telah salah mata."
"Ai, ai, masakah aku begitu sembrono menganggap demikian" Kaum celurut yang tidak becus memangnya sudah kenyang minum air pecomberan dan kini telah kabur," kata si nona. "Baiklah, biar kutawarkan saja kepada Lim-kongcu ini apakah mau minum arak atau tidak?"
Habis berkata, mendadak sinar kuning berkelebat, belati yang dipegangnya itu tahu-tahu disambitkan ke dada Lim Peng-ci.
Hal ini benar-benar di luar dugaan Uh Jin-ho dan Pui Jin-ti, sama sekali mereka tidak pikir bahwa nona itu bisa mendadak menyambitkan belati untuk membunuh orang. Cin-lam dan istrinya lebih-lebih terkejut, tapi mereka tertutuk dan tak bisa berkutik.
Melihat belati emas itu menyambar tiba, Peng-ci sendiri pun tak berdaya dan terima ajal saja. Siapa duga ketika belati itu melayang sampai di tengah jalan, sekonyong-konyong batang belati lantas membalik sehingga gagang belati di depan dan ujung belati di belakang, dengan demikian maka terdengarlah suara "plok" yang perlahan, gagang belati telah menumbuk di atas dada Peng-ci, tempat yang ditumbuk tepat adalah "Tan-tiong-hiat", suatu Hiat-to penting di tubuh manusia.
Seketika Peng-ci merasa bagian Hiat-to itu kesakitan, beberapa arus hawa hangat lantas meluas ke bagian tangan dan kaki, segera ia dapat bergerak lagi. Cepat ia lantas melompat bangun. Cuma lututnya terasa masih lemas, untuk berdiri tegak masih belum kuat, ia sempoyongan dan berlutut ke arah si nona, cepat ia menggunakan tangan untuk menahan di tanah, dengan demikian barulah dapat berdiri kembali dengan muka merah jengah.
Pui Jin-ti sudah lama masuk Jing-sia-pay, dalam hal ilmu silat boleh dikata cukup berpengalaman dan pengetahuannya, tapi gerakan "lempar belati membuka Hiat-to" yang dilakukan si nona burik itu benar-benar mengherankannya. Belati itu sudah disambitkan, kemudian membalik di tengah jalan, cara lemparan demikian benar-benar sukar dibayangkan.
Sebenarnya kalau si nona terang-terangan hendak membuka Hiat-to Lim Peng-ci yang tertutuk, tentulah Jin-ti dan Jin-ho akan merintanginya. Tapi dengan cara melempar belati untuk membuka Hiat-to pemuda itu, mereka benar-benar mati kutu dan tidak sempat untuk mencegahnya.
Dan waktu Peng-ci berdiri kembali, belati emas itu telah jatuh ke lantai dan tepat menggelinding ke samping kaki si nona. Dengan enteng sekali si nona mencukit dengan ujung kakinya, belati itu mendadak meloncat ke atas dan segera dipegang kembali oleh nona itu. Katanya kepada Peng-ci, "Nah, Lim-kongcu, biarlah kuperkenalkan, yang ini adalah Pui-tayhiap dan yang itu adalah Uh-tayhiap, mereka adalah tokoh-tokoh Jing-sia-pay yang terkenal, silakan kalian berkenalan."
Peng-ci menjadi serbarunyam, katanya di dalam hati, "Sudah sejak tadi kami telah berkenalan!"
Tapi ia tahu maksud si nona tentu menguntungkan dirinya, maka terpaksa menjawab secara samar-samar saja.
Lalu si nona berkata pula, "Dengan maksud baik aku telah menyuguhi mereka dengan tiga cawan arak Chit-kang-liu-hiat-ciu. Tapi Pui dan Uh-tayhiap ternyata tidak sudi minum, sebaliknya bicara hal-hal yang mendongkolkan orang. Aku percaya Lim-kongcu pasti lebih bijaksana daripada mereka, jika kau berani boleh silakan minum saja arak itu."
Tadi walaupun Peng-ci menggeletak tak bisa berkutik di atas tanah, tetapi ia dapat mengikuti pembicaraan mereka tentang nama arak itu. Ia pikir Ho-ting-ang dan warangan adalah racun paling jahat, lebih-lebih Ho-ting-ang, boleh dikata asal menempel mulut saja tentu akan merenggut nyawa. Arak itu kelihatan merah sebagai darah, tentu campuran dari racun yang luar biasa jahatnya, arak demikian mana boleh diminum"
Sekilas dilihatnya air muka kedua murid Jing-sia-pay itu sedang memandang padanya dengan sikap menghina. Tadi dia telah kenyang dianiaya, memangnya rasa dendamnya lagi belum terlampiaskan. Sekarang melihat lagi air muka kedua orang yang mencemoohkannya itu, keruan ia tambah kalap. Seketika timbul suatu pikiran nekat dalam benaknya, "Jika nona ini tidak menolong aku, entah betapa aku akan menderita bila aku ditawan ke Jing-sia-pay, akhirnya aku pun tak terhindar dari kematian. Hm, mereka menganggap dirinya sendiri sebagai kesatria dan memandang hina padaku seperti kaum pengecut. Huh, biar mati kenapa aku mesti takut" Kalau aku tidak minum arak berbisa ini, tentu juga nona ini akan mengatakan aku tidak punya nyali."
Begitulah serentak semangat bergolak, rasa nekatnya lantas berkobar-kobar, tanpa pikir akibatnya lagi, segera ia angkat secawan arak itu terus ditenggak habis. Begitu habiskan secawan, rasa hatinya terasa pilu, menyusul cawan kedua dan ketiga juga lantas dihabiskannya. Lalu berkata, "Lebih baik aku mati minum arak racun pemberian nona ini daripada binasa di tangan manusia-manusia rendah sebagai kalian ini."
Habis berkata, tiba-tiba ia merasa sisa arak di dalam mulutnya itu penuh rasa harum pupur, ia menjadi heran, bau Ho-ting-ang dan warangan itu kenapa sama dengan bau pupur yang wangi.
Dalam pada itu, Lim Cin-lam dan Ong-hujin merasa sangat berduka ketika melihat putranya tidak tahan dihina dan sekaligus minum habis tiga cawan arak berbisa.
Sedangkan air muka Pui Jin-ti tampak likat-likat. Sebaliknya, diam-diam Uh Jin-ho merasa kagum kepada Peng-ci, pikirnya, "Ilmu silat orang ini hanya biasa saja, tapi ternyata seorang laki-laki yang gagah berani."
Si nona burik juga lantas acungkan jempolnya dan memuji, "Bagus, Lim-kongcu memang tidak memalukan sebagai putra pemilik Hok-wi-piaukiok yang termasyhur."
Lalu katanya kepada Jin-ti berdua, "Nah, Pui-tayhiap dan Uh-tayhiap, tentang Lim-kongcu salah membunuh Ih-tayhiap, hehe, Ih-tayhiap ...." berulang ia menyebut "Ih-tayhiap" dengan nada menghina, lalu sambungnya, "maka sekarang dapatlah kalian pulang ke Jing-sia dan melapor kepada guru kalian bahwa sakit hati itu sudah terbalas dan dapat dipertanggungjawabkan. Nah, silakan berangkat!"
Jin-ho lantas berbangkit. Katanya, "Baik, mengingat diri nona, biarlah urusan ini kita akhiri sampai di sini."
Bab 7. Lebih Baik Mengemis daripada Mencuri
Tapi diam-diam Pui Jin-ti berpikir, "Urusan ini benar-benar rada ganjil, rasanya perempuan ini tidak bakal menyuruh bocah she Lim ini minum racun kecuali kalau dia benar-benar gentar kepada Siong-hong-koan kami?"
Mendadak pikirannya tergerak dan paham duduknya perkara, ia bergelak tertawa dan berkata, "Hahaha, ucapan nona ini seakan-akan menganggap kami berdua ini sebagai anak kecil umur tiga saja! Ketiga cawan itu hakikatnya berisi darah babi, darah anjing, masakan kau katakan arak Ho-ting-ang campur warangan apa segala" Kami cuma merasa muak untuk minum darah babi dan anjing yang kotor demikian itu, kalau benar-benar arak berbisa, jangankan cuma tiga cawan, biarpun 30 cawan juga akan kami minum dan kami tentu mempunyai obat penawar racunnya. Coba lihat, sesudah minum, anak jadah she Lim itu masih tetap segar bugar, apakah benar arakmu itu beracun" Huh, apakah nona kira kami begini gampang untuk dibohongi?"
Waktu Jin-ho memandang Peng-ci, muka pemuda itu tampak sebentar merah sebentar pucat dan tiada sesuatu yang luar biasa. Seketika ia pun sadar, pikirnya, "Kiranya arak itu tidak berbisa, hampir-hampir saja aku tertipu. Untung Pui-suko cukup cerdik, tidaklah percuma namanya pakai 'Ti' (cerdik)."
Dalam pada itu si nona telah menjawab dengan tersenyum. "Jadi kalau arak ini benar-benar arak beracun, maka 30 cawan sekalipun akan kau minum juga?"
"Anak murid Jing-sia-pay kami biasanya sih tidak begitu gentar terhadap obat beracun atau benda berbisa," sahut Jin-ti. Tadi mereka telah memperlihatkan rasa takut mati ketika tidak berani minum arak suguhan si nona yang dikatakan berbisa, maka sekarang mulut Jin-ti sedapat mungkin tidak mau kalah.
Si nona tidak bicara lagi, segera ia angkat sebuah poci teh yang berada di atas meja, ia tuang tiga cawan teh ke dalam cawan-cawan arak yang sudah kosong itu, lalu mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dari bajunya, dari botol kecil itu dituangkan sedikit bubuk warna hijau ke dalam cawan-cawan teh. Begitu sumbat botol dibuka, bubuk warna hijau itu lantas mengeluarkan semacam bau yang sangat menusuk hidung, kontan Peng-ci bersin beberapa kali.
Setelah mencair ke dalam air teh, seketika air teh yang tadinya warna kuning kecokelat-cokelatan itu lantas berubah menjadi hijau gelap, sampai-sampai air muka si nona yang kuning benjol-benjol itu pun kehijau-hijauan tersorot oleh bayangan air teh itu.
Walaupun ketiga cawan itu hanya berisi sedikit air hijau, tapi di tengah warna hijau kental itu lapat-lapat kelihatan berminyak yang mengeluarkan pancawarna mirip upas ular berbisa dan liur kelabang, kelihatannya menjadi sangat seram, berbareng bau amis yang memuakkan lantas timbul juga dari cawan. Tanpa merasa Pui Jin-ti dan Uh Jin-ho sampai melangkah mundur dua tindak.
Dengan tersenyum si nona berkata pula, "Ketiga cawan arak berbisa ini memang lebih lihai daripada tadi, kalian jadi minum atau tidak?"
Dari bau dan warnanya Jin-ti tahu ketiga cawan air hijau itu hakikatnya bukan lagi arak, tapi adalah campuran obat racun dengan air teh, jangankan diminum, melulu baunya saja sudah dapat membikin orang kelengar. Maka jawabnya, "Meski kami mempunyai obat mujarab penawar racun, tapi biasanya baru kami gunakan bila tergigit ular atau kelabang dan makhluk-makhluk berbisa lain, atau bila kena diracuni oleh kaum bangsat keroco kalangan Hek-to. Tapi nona adalah murid Hoa-san-pay yang terhormat, masakah kami berani sembarangan mencari perkara?"
Ucapannya itu seakan-akan hendak mengatakan bila kau berkeras memaksa kami minum arak berbisa itu, maka kau sendirilah yang akan merosotkan harga diri sebagai kaum bangsat keroco kalangan Hek-to.
Si nona juga lantas berkata, "Lim-siaupiauthau ini telah membunuh Ih-tayhiap dari Jing-sia-pay kalian lantaran membela diriku, sekarang kalian hendak merecoki dia, masakah aku boleh berpeluk tangan tanpa ikut campur" Namun Jing-sia-pay dan Hoa-san-pay kami biasanya mempunyai hubungan baik, agar persoalan ini tidak meretakkan persahabatan kedua belah pihak, rasanya kita harus cari suatu jalan tengah yang sempurna. Sekarang aku ingin memintakan kelonggaran pada kalian, apakah boleh?"
Jin-ho dan Jin-ti menjadi serbasusah. Akhirnya Jin-ti menjawab, "Jika kami diharuskan mengampuni jiwa bocah she Lim ini, lalu cara bagaimana kami harus mempertanggungjawabkan urusan ini kepada Suhu?"
"Baik, begini saja," kata si nona, "kita boleh silakan Lim-siaupiauthau menghabiskan isi tiga cawan arak ini agar dia mangkat dengan tubuh utuh. Dengan demikian sakit hati kalian akan terbalas, sebaliknya aku pun mendapat muka, ini namanya sama-sama baiknya."
Semula Peng-ci mengira si nona hendak membelanya dan suruh kedua orang itu jangan mengganggu dirinya, siapa tahu akhirnya tetap dirinya harus mati dengan minum racun. Ia lihat mereka bertiga bicara tentang hubungan baik antargolongan mereka, sudah tentu mereka tidak mau bertengkar hanya untuk membela seorang luar yang tidak penting bagi mereka. Apalagi seorang laki-laki sejati buat apa mesti minta seorang wanita memohonkan ampun kepada orang lain"
Karena pikiran demikian, dengan bersitegang Peng-ci lantas berseru, "Orang she Lim mengaku sudah kalah, buat apa mesti diperdebatkan lagi. Kedua golongan kalian adalah sahabat baik, mana boleh bertengkar lantaran diriku?" Habis berkata ia terus angkat arak berbisa di atas meja dan sekali tenggak ia bersihkan isinya.
Jin-ho sampai bersuara heran. Pikirnya, "Orang ini benar-benar seorang laki-laki yang tidak takut mati, sungguh hebat."
Dalam pada itu, susul-menyusul Peng-ci telah minum habis cawan kedua dan ketiga. Seketika ia merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang, bumi dan langit serasa terjungkir balik. Ia tak kuasa lagi dan jatuh terjungkal.
Karena tidak berani menyalahi pihak Hoa-san-pay, pula jeri kepada ilmu silat si nona burik yang lihai itu, apalagi Peng-ci sudah minum racun, jiwanya hanya tergantung sesaat dua saat saja, Pui Jin-ti pikir kesempatan ini paling baik untuk mundur teratur. Maka ia lantas berkata kepada si nona sambil memberi hormat, "Demi kehormatan nona, betapa pun kami harus mengalah. Jika biang keladinya sudah binasa, maka biarkan dia mati dengan jenazah sempurna saja. Namun Lim Cin-lam dan istrinya tetap kami bawa pergi agar dapat dipertanggungjawabkan kepada Suhu."
Si nona menghela napas, katanya, "Apa mau dikata lagi, aku hanya seorang wanita lemah, masakan aku mampu merintangi Pui-tayhiap dan Uh-tayhiap yang termasyhur dari Jing-sia-pay?"
Segera Uh Jin-ho berjongkok untuk membuka Hiat-to di tubuh Cin-lam dan istrinya. Segera Cin-lam hendak mencaci maki, tapi belum lanjut ucapannya, secepat kilat Jin-ho menutuk pula "Koh-ceng-hiat" dan "Tay-cu-hiat" di tubuh mereka. Dengan demikian mereka suami istri hanya bisa berjalan saja, tapi tubuh bagian atas tetap tak bisa berkutik.
Menyusul Jin-ho lantas lolos pedang sambil membentak, "Untuk selanjutnya jika kau tidak menurut perintah dalam perjalanan, segera sebelah lengan binimu akan kutebas kutung. Sebaliknya jika binimu yang membangkang, segera aku pun mengutungi sebelah lenganmu. Kalau kalian ingin tahu rasanya nanti, tentu kalian takkan kecewa. Nah, jalanlah lekas!"
Perasaan Cin-lam dan istrinya seperti disayat-sayat demi tampak putra mereka menggeletak tak bergerak di atas tanah, terang pemuda itu sudah mati keracunan. Sekarang mendengar pula ancaman Uh Jin-ho yang keji itu, sungguh tidak kepalang rasa murkanya. Namun bila dirinya membangkang, tentu ancaman musuh itu akan dilaksanakan, kalau lengan sendiri yang ditebas sih tidak menjadi soal, celakanya justru lengan sang istri yang akan ditebas olehnya. Terpaksa dengan menahan rasa duka dan murka, mereka melangkah keluar warung nasi itu dengan agak sempoyongan.
Sebelum melangkah keluar Ong-hujin masih menoleh memandang sekejap kepada si nona dengan sorot mata yang penuh kebencian. Tapi nona itu lantas berpaling ke arah lain dan pura-pura tidak tahu.
Pui Jin-ti jalan paling belakang, ia coba memeriksa dahulu pernapasan Peng-ci dan terasa sangat lemah, hampir-hampir putus setiap saat. Khawatir kalau sebentar lagi bila dirinya sudah pergi lalu si nona akan menolong pemuda itu dengan obat penawar, maka sambil memaki, segera ia tendang sekali di bagian Pek-hwe-hiat di ubun-ubun kepala Peng-ci.
Keruan si nona terperanjat, cepat ia melompat maju untuk mencegahnya, akan tetapi sudah terlambat ....
Setelah habiskan tiga cawan air berbisa, keadaan Peng-ci sudah dalam keadaan sadar tak sadar, remang-remang dilihatnya ayah-bundanya telah digiring pergi, ia ingin berteriak, tapi tak bisa mengeluarkan suara. Pada saat itulah mendadak ubun-ubunnya kena ditendang dengan keras oleh Pui Jin-ti, seketika ia merasa batok kepalanya seperti pecah terbelah, lalu tidak ingat apa-apa lagi.
***** Entah sudah lewat berapa lama, perlahan-lahan ia siuman kembali seperti habis bermimpi buruk, ia merasa sekujur tubuhnya tertindih dan sukar bernapas, ia bermaksud meronta sekuatnya, tapi tak bisa berkutik pula. Ia coba membuka mata lebar-lebar, tapi keadaan gelap gulita, seluruh badannya sakit tak terkatakan. Ia menjadi takut. Pikirnya, "Celaka, tentu aku sudah mati, sekarang aku sudah menjadi setan dan bukan manusia lagi. Aku tentu berada di neraka dan bukan di dunia ramai."
Selang agak lama, ia coba meronta-ronta lagi dan membuka mulut hendak berteriak, tiba-tiba mulutnya kemasukan tanah pasir yang menyesakkan napas. Ia terkejut, "Wah, aku benar-benar sudah dikubur."
Sekuatnya ia coba menahan dengan kedua tangan, di luar dugaan kepalanya lantas menongol keluar dari dalam tanah.
Sesudah merangkak keluar dan duduk di atas tanah, ia coba periksa sekitarnya. Kiranya dia masih tetap berada di samping warung nasi itu, sekelilingnya gelap gulita, nyata sudah jauh malam, yang terdengar hanya suara serangga yang sahut-menyahut di kejauhan.
Pada saat itulah rembulan muda lapat-lapat baru saja menongol dari balik awan. Pohon bambu bergoyang-goyang tertiup angin laksana setan iblis hendak menerkam. Hati Peng-ci berdebar-debar, ubun-ubun kepala terasa sangat sakit pula seperti ditusuk-tusuk. Ia coba merangkak mendekati sebatang pohon, dengan berpegangan batang pohon itu, perlahan-lahan ia berdiri. Baru sekarang ia melihat di sebelahnya memang terdapat sebuah liang, nyata tadi dirinya memang sudah terkubur di situ.
"Sudah terang aku telah minum air racun nona itu, ubun-ubun kena ditendang pula, mengapa aku tidak jadi mati?" demikian pikirnya. "Siapakah yang mengubur aku di sini" Ya, tentulah si nona burik dari Hoa-san-pay itu."
Dengan langkah sempoyongan ia masuk ke dalam warung nasi pula. Pikirnya, "Ayah dan ibu telah ditawan pergi oleh kedua penjahat dari Jing-sia-pay itu, tentu lebih banyak celaka daripada selamatnya, aku harus lekas-lekas menyusul untuk menolongnya. Meski aku bukan tandingan kedua musuh itu, tapi diam-diam aku dapat menyergap mereka dan mungkin berhasil. Bilamana gagal, toh ayah-ibu akan mati, buat apalagi aku hidup sendirian."
Terpikir betapa pentingnya menolong ayah-bundanya, ia menjadi gelisah dan bersemangat pula. Ia pikir agar bisa mengelabui mata musuh, paling baik kalau dirinya menyamar saja.
Karena tekadnya hendak menolong kedua orang tua, seketika rasa sakit ubun-ubun kepalanya menjadi terlupa. Soalnya sekarang adalah cara bagaimana dia harus menyamar"
Ia coba menuju ke dapur. Dalam kegelapan ia meraba-raba, akhirnya dapat digerayanginya pisau ketikan api dan batunya. Segera ia mengetik api dan menyalakan pelita minyak. Dengan penerangan itu, ia masuk ke kamar tidur si pemilik warung dengan maksud mencari seperangkat pakaian.
Siapa tahu, dasar miskin, orang gunung lagi, kemiskinannya benar-benar luar biasa, sampai seperangkat pakaian pengganti saja tidak ada. Di dalam kamar memang ada beberapa potong baju dan celana yang penuh tambalan, tapi semuanya adalah pakaian wanita, rupanya milik istri tukang warung itu.
Renjana Pendekar 3 Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo Seruling Perak Sepasang Walet 3
^