Pencarian

Hina Kelana 26

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 26


"Supek, coba Tecu dan enam sumoay lain pergi melihat ke sana," mohon Gi-ho.
Ting-cing mengangguk. Segera Gi-ho memimpin kelompoknya berlari ke timur laut sana. Sinar pedang gemilapan di tengah malam sunyi, tidak lama kemudian lantas menghilang dalam kegelapan.
Selang sebentar lagi tiba-tiba suara jerit tajam wanita tadi berkumandang pula, "Tolong, ada orang terbunuh, toloong!"
Anak murid Hing-san-pay saling pandang dengan bingung karena tidak tahu apa yang terjadi di sana. Anehnya kelompok-kelompok Gi-jing dan Gi-ho itu sampai sekian lamanya masih belum tampak kembali. Jika ketemu musuh mengapa tiada terdengar suara pertempuran"
Mendengar suara wanita yang minta tolong itu para murid Hing-san-pay yang berhati luhur itu sama memandangi Ting-cing Suthay untuk menunggu perintah pergi memberi pertolongan.
"Ih-soh," kata Ting-cing kemudian, "kau lebih tua dan lebih pengalaman, boleh kau bawa enam sumoay, tak peduli apa yang terjadi hendaklah segera kirim orang kembali melapor padaku."
Ih-soh yang disebut adalah seorang wanita setengah umur, asalnya adalah babu yang melayani Ting-sian Suthay di Pek-in-am, Hing-san. Kemudian karena dia memperlihatkan kerajinan kerja dan keluhuran jiwa, akhirnya Ting-sian Suthay telah menerimanya sebagai murid.
Begitulah Ih-soh lantas mengiakan dan membawa enam temannya berlari ke arah timur laut sana. Akan tetapi aneh bin ajaib, kepergian ketujuh orang ini pun seperti batu dilemparkan ke laut, ditunggu sekian lamanya tetap tidak kembali.
Keruan Ting-cing tambah gelisah, ia pikir mungkin musuh telah pasang perangkap sehingga ke-21 muridnya itu terpancing ke sana dan kena ditangkap satu per satu. Ia coba tunggu lagi sejenak, ternyata suara jerit permintaan tolong tadi tidak berjangkit lagi, suasana juga tetap sunyi.
Kata Ting-cing kemudian, "Gi-cit dan Gi-cin, kalian 14 orang tinggal saja di sini, rawatlah teman-teman yang terluka itu. Tak peduli apa yang terjadi jangan sekali-kali meninggalkan hotel agar tidak terjebak akal pancingan musuh."
Gi-cit dan Gi-cin berdua mengiakan dengan memberi hormat.
Di arah timur laut situ adalah sederetan rumah, keadaan gelap gulita, tiada penerangan juga tiada sesuatu suara. Dengan suara bengis Ting-cing membentak, "Kaum iblis Mo-kau, kalau berani hayolah keluar untuk bertempur, macam orang gagah apa main sembunyi-sembunyi seperti tikus?"
Sampai sekian lamanya tiada jawaban apa-apa dari dalam rumah. Tanpa pikir lagi Ting-cing mendepak pintu rumah di depannya, "krak", palang pintu patah dan daun pintu terpentang lebar. Tapi di dalam rumah gelap gulita entah ada penghuninya atau tidak.
Ting-cing tidak berani menerobos masuk begitu saja, ia berseru, "Gi-ho, Gi-jing, Ih-soh, apakah kalian mendengar suaraku?"
Namun di tengah malam sunyi itu hanya kumandang suaranya yang terdengar, habis itu keadaan kembali hening lagi.
"Kalian bertiga ikut rapat di belakangku, jangan sembarangan berpisah," kata Ting-cing sambil menoleh kepada Gi-lim bertiga.
Segera ia mengitari rumah-rumah itu satu keliling, tapi tiada tampak sesuatu yang mencurigakan. Ia coba melompat ke atas rumah, dari situ dipandang sekelilingnya. Keadaan juga tenang tenteram. Percuma saja Ting-cing memiliki ilmu silat tinggi, kalau musuh tetap tidak muncul benar-benar dia mati kutu. Ia menjadi gelisah dan menyesal pula telah mengirim kelompok-kelompok muridnya keluar sehingga masuk perangkap musuh.
Mendadak hatinya tergetar, cepat ia melompat turun terus berlari kembali ke hotel tadi dengan ginkang yang tinggi, sebelum masuk hotel ia sudah berseru, "Gi-cit, Gi-cin, adakah kalian melihat sesuatu?"
Akan tetapi tiada jawaban seorang pun dari dalam hotel. Cepat ia menerjang ke dalam, namun hotel itu sudah kosong, beberapa muridnya yang terluka dan terbaring di situ juga sudah menghilang entah ke mana.
Dalam keadaan demikian, betapa pun tenang dan sabarnya Ting-cing juga tak bisa menguasai perasaannya lagi. Tangan yang memegang pedang sampai gemetar.
Jika sekaligus Ting-cing dikepung berpuluh jago musuh dan dirinya pasti akan binasa, rasanya satu jari pun Ting-cing takkan gemetar. Tapi sekarang berpuluh anak murid Hing-san-pay mendadak telah lenyap begitu saja tanpa menimbulkan sesuatu suara apa pun, mau tak mau Ting-cing merasa cemas, tenggorokan serasa kering, otot tulang sekujur badan serasa lemas semua.
Namun rasa lemas begitu hanya terjadi sekejap saja, segera ia menarik napas dalam-dalam, seketika semangatnya terbangkit lagi. Ia coba periksa seluruh pelosok hotel itu, ketika sampai di pekarangan depan di bawah pohon mendadak ditemukannya sebuah sepatu. Cepat ia menjemputnya, itulah sebuah sepatu kain wanita, jelas adalah sepatu orang Hing-san-pay sendiri. Bahkan sepatu itu rasanya masih hangat-hangat, terang sepatu itu baru saja terlepas dari anak muridnya yang tertawan musuh. Anehnya jarak tempat itu tidak terlalu jauh, mengapa tiada terdengar apa-apa.
Ting-cing tenangkan diri sebisanya, lalu berseru, "Oh-ji, Koan-ji, Gi-lim, lekas kalian ke sini, lihatlah ini sepatu siapa?"
Namun di tengah malam buta itu hanya terdengar kumandang suaranya sendiri, sedikit pun tiada jawaban The Oh bertiga.
Diam-diam Ting-cing mengeluh di dalam hati, cepat ia menerjang keluar lagi dan-berteriak, "Oh-ji, Koan-ji, Gi-lim, di mana kalian berada?"
Nyata benar, bayangan ketiga murid kecil itu pun sudah lenyap. Menghadapi peristiwa luar biasa ini, dari cemas Ting-cing menjadi murka malah, ia terus melompat ke atas rumah dan berteriak sekerasnya, "Kawanan iblis Mo-kau, kalau berani keluarlah bertempur mati-matian, main sembunyi dan pura-pura seperti setan terhitung orang gagah macam apa?"
Ia mengulangi teriakannya beberapa kali, tapi sekelilingnya tetap sunyi senyap. Ia coba mencaci maki, namun di tengah kota yang berpenduduk ratusan rumah itu seperti cuma tinggal dia sendiri saja. Sebagai seorang nikoh suci, meski mencaci maki juga pakai kata-kata yang sopan, kata-kata yang kasar tidaklah diucapkannya.
Selagi kehabisan akal, tiba-tiba tergerak pikirannya, segera ia berseru lantang, "Wahai kaum iblis Mo-kau! Jika kalian tetap tidak unjuk diri, itu berarti membuktikan Tonghong Put-pay adalah kaum pengecut yang tidak tahu malu dan tidak berani menghadapi kaum cing-pay kami secara terang-terangan. Huh, Tonghong Put-pay apa" Yang benar adalah Tonghong Pit-pay. Hayo, Tonghong Pit-pay, kalau berani keluarlah menghadapi nikoh tua. Hah, dasar Pit-pay, sudah kuduga kau pasti tidak berani."
Ia tahu segenap anggota Mo-kau paling hormat kepada kaucu mereka, sang kaucu dipuja sebagai malaikat dewata yang diagungkan. Jika nama sang kaucu dihina, maka para anggota Mo-kau pasti akan membela mati-matian nama baik kaucu mereka jika tidak mau dianggap sebagai pengkhianat.
Akal Ting-cing itu ternyata membawa hasil, lenyap suaranya tadi, mendadak dari rumah-rumah itu telah membanjir keluar tujuh orang, tanpa mengeluarkan suara serentak mereka melompat ke atas rumah sehingga Ting-cing terkepung di tengah.
Munculnya musuh-musuh itu membikin senang hati Ting-cing. Pikirnya, "Akhirnya kaum iblis kalian ini kena kumaki keluar juga. Biarpun aku harus mati juga lebih senang daripada aku kehilangan sasaran seperti dipermainkan setan."
Ketujuh orang itu ternyata tidak membawa senjata, mulut mereka pun bungkam, mereka hanya berdiri mengelilingi Ting-cing.
"Di manakah anak murid kami" Mereka telah diculik ke mana?" bentak Ting-cing dengan gusar.
Namun ketujuh orang itu tetap bungkam.
Kedua orang yang berdiri di sebelah kirinya berusia 50-an, air muka mereka tampak kaku seperti mayat. "Baik, lihat serangan!" bentak Ting-cing sambil terus menusuk ke dada salah seorang itu.
Di tengah kepungan musuh, sudah tentu Ting-cing mengetahui serangannya sukar mencapai sasarannya. Maka tusukannya itu hanya percobaan belaka, sampai di tengah jalan segera ia menarik kembali pedangnya.
Tapi orang yang berada di depannya sungguh lihai, rupanya ia pun menduga serangan Ting-cing itu cuma percobaan saja, maka terhadap tusukan Ting-cing itu sama sekali ia tidak menggubris, tidak ambil pusing dan tidak mengelak.
Namun setiap jago silat kelas wahid, setiap gerak serangannya selalu bisa berubah, dari sungguh-sungguh bisa menjadi pura-pura, dari pura-pura mendadak bisa menjadi sungguh-sungguh pula. Maka waktu melihat sasarannya diam saja, tusukan yang mestinya akan ditarik kembali itu mendadak tidak jadi, sebaliknya ia terus mengerahkan tenaga dan ditusukkan ke depan dengan lebih cepat.
Pada saat itulah sekonyong-konyong dua sosok bayangan orang menyelinap maju, kedua tangan masing-masing sama mencengkeram ke pundak kanan-kiri Ting-cing. Cepat Ting-cing menggeser ke samping, seperti kitiran pedangnya memutar balik untuk menebas tubuh lawan yang berperawakan tinggi besar.
Dengan gesit orang itu pun melangkah mundur, dengan mengeluarkan suara nyaring ia pun sudah bersenjata sekarang, itulah sebuah perisai yang berat. Perisai itu terus dihantamkan ke batang pedang Ting-cing.
Namun pedang Ting-cing sudah keburu berputar ke arah lain, seorang kakek di sebelah kiri lantas ditusuk pula. Ternyata kakek itu tidak gentar terhadap senjata tajam, dengan sebelah tangan segera ia hendak mencengkeram pedang Ting-cing. Di bawah sinar bulan yang remang-remang terlihat tangannya, seperti memakai sarung tangan hitam, dapat diduga tentu sarung tangan yang tidak mempan senjata, makanya berani merebut pedang dengan bertangan kosong.
Dalam sekejap saja Ting-cing sudah bergebrak beberapa jurus dengan lima di antara tujuh musuh. Dirasakan semuanya adalah lawan-lawan tangguh, jika satu lawan satu atau satu lawan dua tentu Ting-cing tidak gentar, bahkan yakin bisa menang. Tapi sekarang tujuh musuh maju sekaligus dan bekerja sama dengan rapat, terpaksa Ting-cing hanya bisa bertahan saja dan sukar balas menyerang lagi.
Makin lama makin gelisah juga Ting-cing akan cara bertempur ketujuh musuh, jelas mereka menggunakan semacam barisan yang sangat rapi dan teratur. Pikirnya, "Tokoh-tokoh Mo-kau yang ternama hampir semuanya kukenal namanya, senjata dan ilmu silat yang dimainkan iblis-iblis itu cukup diketahui Ngo-gak-kiam-pay kami. Tapi ketujuh orang ini ternyata belum dikenal dan tak pernah terdengar pula nama mereka. Nyata akhir-akhir ini pengaruh Mo-kau sudah maju sepesat ini sehingga banyak jago-jago kelas tinggi yang sudi diperalat dengan merahasiakan asal usul mereka."
Beberapa puluh jurus lagi, keadaan Ting-cing tambah payah, napasnya sudah mulai terengah-engah. Ia menduga jiwanya hari ini tentu akan melayang di kota mati Ji-pek-poh ini. Sekilas dilihatnya di atas genting rumah telah bertambah beberapa sosok bayangan orang yang mendekam di situ, jumlahnya ada belasan orang. Jelas orang-orang itu sejak tadi sudah sembunyi di situ, semula Ting-cing tidak mengetahui, tapi sesudah bertempur sekian lamanya, setelah sang dewi malam rada mendoyong ke barat, bayangan orang-orang itu makin memanjang dan akhirnya dapatlah dilihat sekarang.
Diam-diam Ting-cing mengeluh, "Celaka, tujuh orang saja aku kewalahan, apalagi di samping masih sembunyi musuh sebanyak itu. Daripada nanti tertawan musuh dan menderita siksaan, lebih baik aku membunuh diri saja. Meski agama Buddha melarang bunuh diri, tapi ini adalah bunuh diri di medan perang dan bukan aku ingin membunuh diri. Kematianku tidak perlu disayangkan, hanya saja berpuluh murid yang kubawa seluruhnya juga menjadi korban, di alam baka nanti cara bagaimana aku harus menghadapi para leluhur Hing-san-pay?"
Sesudah ambil kebulatan tekad, mendadak ia menyerang tiga kali untuk mendesak mundur musuh, habis itu cepat ia membalikkan pedang terus menikam ke ulu hati sendiri.
Ketika ujung pedang sudah hampir menancap di dada, tiba-tiba terdengar "trang" yang keras, tangan Ting-cing tergetar, pedang juga terbentur ke samping. Tertampaklah seorang laki-laki dengan pedang terhunus sudah berdiri di sebelahnya sambil berseru, "Jangan membunuh diri Ting-cing Suthay, kawan Ko-san-pay berada di sini!"
Maka terdengarlah suara beradunya senjata dengan ramai, belasan orang yang sembunyi di situ telah melompat keluar serentak dan melabrak ketujuh jago Mo-kau tadi.
Lolos dari elmaut, semangat Ting-cing lantas terbangkit, segera ia putar pedang melabrak musuh pula. Tentu saja ketujuh jago Mo-kau tidak mampu melawan kerubutan belasan jago Ko-san-pay, apalagi ditambah Ting-cing Suthay, sekali bersuit, beramai-ramai mereka lantas mengundurkan diri ke sebelah selatan.
Ting-cing bermaksud mengejar, tapi dari tempat gelap di bawah emper sana seketika senjata rahasia berhamburan ke arahnya. Teringat oleh senjata rahasia berbisa Mo-kau yang lihai dan telah melukai beberapa anak muridnya di Sian-he-nia kemarin, Ting-cing tidak berani sembrono, cepat ia putar kencang pedangnya untuk menyampuk senjata-senjata rahasia itu. Karena rintangan itu, ketujuh musuh pun sudah menghilang dalam kegelapan.
"Ban-hoa-kiam-hoat (Ilmu Pedang Berlaksa Bunga) Hing-san-pay benar-benar sangat hebat, baru hari ini kami dapat menyaksikannya!" terdengar pujian seorang di belakang Ting-cing.
Sambil memasukkan pedang ke sarungnya, perlahan-lahan Ting-cing membalik tubuh, dalam sekejap saja dari seorang tokoh bu-lim yang tangkas dan cekatan telah berubah menjadi seorang nikoh tua yang alim dan ramah. Lalu ia merangkap tangan memberi hormat sambil menyapa, "Banyak terima kasih atas bantuan Ciong-suheng."
Ia kenal orang yang berdiri di depannya itu adalah adik seperguruan ketua Ko-san-pay, she Ciong bernama Tin dan berjuluk "Kiu-kiok-kiam" atau Pedang Bertekuk Sembilan. Julukan ini bukan menggambarkan senjata yang dia pakai adalah pedang lengkung sembilan, tapi adalah karena ilmu pedangnya banyak ragam perubahannya.
Ting-cing Suthay mengenal Ciong Tin ketika dahulu di antara Ngo-gak-kiam-pay diadakan pertemuan besar di puncak Thay-san. Selain Ciong Tin, di antara belasan orang itu ada lima orang lagi yang dikenalnya.
Begitulah Ciong Tin lantas membalas hormat, jawabnya dengan tersenyum, "Dengan sendirian Ting-cing Suthay melawan "Chit-sing-sucia" dari Mo-kau dengan ilmu pedang yang mahatinggi, sungguh kami merasa amat kagum."
Baru sekarang Ting-cing mengetahui bahwa ketujuh lawannya tadi disebut "Chit-sing-sucia" (Rasul Tujuh Bintang) segala. Agar tidak memperlihatkan pengalamannya sendiri yang cetek, maka Ting-cing tidak menegas lebih jauh, ia pikir setelah mengetahui siapa nama musuh-musuh itu, tentu kelak akan gampang mencari keterangan lagi.
Dalam pada itu orang-orang Ko-san-pay telah maju memberi hormat berturut-turut, dua orang di antaranya adalah sute Ciong Tin, selebihnya adalah angkatan muda, yaitu anak murid.
Selesai membalas hormat, lalu Ting-cing berkata, "Sungguh memalukan, perjalanan kami ke Hokkian ini bersama beberapa puluh anak murid, tapi di kota inilah mendadak puluhan anak murid itu lenyap semua. Ciong-suheng, kapan kalian sampai di sini, apakah melihat sesuatu tanda-tanda yang dapat kugunakan sebagai bahan penyelidikan?"
Ting-cing Suthay adalah suci ketua Hing-san-pay, kedudukannya tinggi, wataknya juga angkuh. Ia pikir orang-orang Ko-san-pay ini sejak tadi sudah sembunyi di situ, tapi sengaja menunggu dirinya sudah payah, sudah mau bunuh diri barulah mereka muncul membantunya. Cara demikian jelas sengaja hendak membikin malu padanya untuk kemudian memperlihatkan kebesaran Ko-san-pay mereka. Tentu saja Ting-cing kurang senang. Cuma saja berpuluh anak muridnya lenyap mendadak, persoalannya teramat gawat, terpaksa ia mencari tahu kepada mereka. Coba kalau urusannya mengenai dia sendiri, biarpun mati juga dia tidak sudi mengeluarkan kata-kata memohon kepada mereka.
Maka Ciong Tin telah menjawab dengan tersenyum, "Kawanan iblis Mo-kau memang banyak tipu muslihatnya, kedatangan mereka ini terang direncanakan lebih dulu. Mereka tahu kelihaian Suthay, maka mereka sengaja pasang perangkap untuk menjebak anak murid kalian. Tapi Suthay tidak perlu khawatir, betapa pun kurang ajarnya Mo-kau rasanya tidak berani mencelakakan jiwa para sumoay itu. Marilah kita turun ke bawah dulu untuk berunding cara-cara yang baik untuk menolongnya."
Memangnya Ting-cing tidak mengetahui anak muridnya telah diculik ke mana, apalagi dengan tenaganya sendiri melulu juga sukar untuk menolong mereka. Terpaksa ia harus bersabar dan menerima olok-olok orang she Ciong ini. Maka ia lantas mendahului melompat ke bawah.
Menyusul Ciong Tin dan rombongannya juga melompat turun, ia mendahului jalan ke sebelah barat, katanya, "Marilah ikut padaku, Suthay."
Kiranya yang dituju adalah Hotel Sian-an-khek-tiam, setiba di situ, Ciong Tin lantas mendorong pintu dan masuk ke dalam, katanya, "Suthay, marilah kita berunding saja di sini."
Kedua sutenya Ciong Tin masing-masing bernama "Sin-pian" Ting Pat-kong, Si Ruyung Sakti, dan yang lain bernama "Kim-mo-say" Ko Kik-sin, Si Singa Berbulu Emas.
Mereka bertiga membawa Ting-cing ke suatu kamar yang luas dan terpajang indah. Sesudah mengambil tempat duduk masing-masing, anak muridnya menyuguhkan teh, lalu mengundurkan diri. Habis itu Ko Kik-sin lantas menutup rapat pintu kamar.
Maka Ciong Tin lantas mulai berkata, "Ting-sute dan Ko-sute sudah lama mengagumi ilmu pedang Suthay sebagai jago nomor satu dari Hing-san-pay, maka ...."
"Tidak," sela Ting-cing sambil menggeleng. "Ilmu pedangku tidak bisa menandingi Ciangbun-sumoay, juga lebih rendah daripada Ting-yat Sumoay."
"Ah, Suthay terlalu rendah hati saja," ujar Ciong Tin tersenyum. "Soalnya kedua sute ingin melihat kehebatan ilmu pedang Suthay sehingga tadi terlambat memberi bantuan, padahal kami tidak punya maksud jelek, untuk mana kami minta Suthay sudi memberi maaf."
"Ah, tak apa-apa," sahut Ting-cing dengan membalas hormat ketika melihat mereka bertiga memberi hormat padanya, rasa dongkolnya tadi menjadi rada buyar.
Lalu Ciong Tin menyambung lagi, "Sejak Ngo-gak-kiam-pay kita berserikat, selamanya kita anggap seperti pancatunggal dan tidak membeda-bedakan situ dan sini. Cuma akhir-akhir ini kita jarang bertemu, banyak urusan penting tidak dikerjakan bersama pula sehingga membikin Mo-kau semakin ganas dan meluaskan pengaruh."
Ting-cing mendengus, katanya di dalam hati, "Hm, ucapanmu ini bukankah ingin menyindir Hing-san-pay kami?"
Kiranya keberangkatan orang-orang Hing-san-pay ke Hokkian ini adalah di luar tahu ketua Ko-san-pay sebagai ketua perserikatan Ngo-gak-kiam-pay. Tapi hal ini pun bukan diperbuat oleh Hing-san-pay sendiri, juga Hoa-san-pay, Thay-san-pay juga melakukan hal yang serupa. Sebenarnya di kala menghadapi urusan mahapenting barulah Ngo-gak-kiam-pay perlu bergabung dan bertindak bersama, jika cuma mengenai urusan-urusan dalam golongan sendiri-sendiri memangnya tiada peraturan yang mengharuskan lapor dulu kepada Co-bengcu.
Tapi Ciong Tin lantas menambahkan pula, "Co-ciangbun sering mengatakan, bersatu teguh, berpisah lemah. Jika Ngo-gak-kiam-pay kita senantiasa bersatu padu, jangankan cuma Mo-kau, sekalipun Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay yang termasyhur sebagai aliran besar bu-lim tentu pula takkan mampu menandingi kita. Maka beliau mempunyai suatu cita-cita ingin mempersatukan Ngo-gak-kiam-pay yang mirip sepiring pasir yang tercerai-berai ini untuk digabung menjadi suatu "Ngo-gak-pay" yang mahakuat. Entah bagaimana pendapat Suthay mengenai cita-cita Co-ciangbun kami ini?"
Ting-cing mengerut alis, jawabnya kemudian, "Nikoh tua seperti aku adalah orang bebas di dalam Hing-san-pay, selamanya aku tidak ikut campur urusan ke luar maupun ke dalam. Maka urusan penting yang Ciong-suheng kemukakan ini sebaiknya dibicarakan saja dengan Ciangbun-sumoay-ku. Yang paling penting sekarang adalah berdaya menyelamatkan anak murid kami yang hilang itu. Urusan yang lain-lain bolehlah dirundingkan lain hari."
"Suthay jangan khawatir," ujar Ciong Tin. "Sekali kejadian ini sudah kepergok Ko-san-pay, urusan Hing-san-pay adalah urusan Ko-san-pay kami pula, betapa pun kami pasti tidak membiarkan para sumoay menderita."
"Terima kasihlah kalau begitu," kata Ting-cing. "Tapi entah apa rencana Ciong-suheng sehingga yakin untuk berkata demikian."
"Suthay sendiri sudah berada di sini, masakan tokoh nomor dua Hing-san-pay mesti takut kepada beberapa iblis Mo-kau" Lagi pula kami tentu juga akan membantu dengan sepenuh tenaga, jika toh masih tak bisa melayani beberapa iblis Mo-kau dari kelas rendahan, hehe, benar-benar keterlaluan, bukan?"
Karena ucapan orang pergi-datang tetap tiada sesuatu yang baru, Ting-cing sangat mendongkol dan gelisah pula. Segera ia berbangkit dan berseru, "Jika demikian ucapan Ciong-suheng, itulah bagus, marilah sekarang juga kita lantas berangkat!"
"Suthay hendak berangkat ke mana?" tanya Ciong Tin.
"Pergi menolong mereka!" sahut Ting-cing.
"Menolong mereka" Ke mana tempatnya?" tanya Ciong Tin pula.
Pertanyaan ini membikin Ting-cing tertegun bungkam. Sesudah merandek sejenak barulah ia berkata, "Anak murid kami itu belum lama hilangnya, tentu mereka masih berada di sekitar sini, semakin lama tertunda tentu akan semakin sulit diketemukan."
"Setahuku, tidak jauh dari kota ini Mo-kau mempunyai suatu sarang persembunyian, besar kemungkinan para sumoay juga dikurung di sana, maka menurut pendapatku ...."
"Di mana letak sarang mereka itu" Marilah sekarang juga berangkat ke sana," tukas Ting-cing cepat.
"Pihak Mo-kau terang bertindak dengan rencana yang sudah teratur, jika kita pergi begitu saja, sedikit lengah bukan mustahil kita sudah terjebak lagi sebelum kita berhasil menolong keluar orang-orang kita. Maka menurut pendapatku hendaklah kita berunding secara masak-masak barulah kita mulai bertindak."
Terpaksa Ting-cing duduk kembali dan berkata, "Baiklah, bagaimana pendapat Ciong-suheng yang sempurna itu?"
"Kedatanganku ke Hokkian atas perintah Ciangbun-suheng sebenarnya memang ada suatu urusan penting yang harus dirundingkan dengan Suthay," kata Ciong Tin dengan perlahan-lahan. "Urusan ini menyangkut masa depan dunia persilatan Tionggoan dan menyangkut jaya atau runtuhnya Ngo-gak-kiam-pay kita, maka bukanlah soal sepele. Jika urusan penting ini sudah ditetapkan, maka soal menolong orang segala boleh dikata sangat mudah diselesaikan."
"Urusan penting apa yang kau maksudkan?" Ting-cing menegas.
"Yaitu seperti apa yang kukatakan, tentang penggabungan Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu aliran itu," jawab Ciong Tin.
Serentak Ting-cing berbangkit dari tempat duduknya dengan muka merah padam, katanya, "Bukankah kau ... kau ...."
"Harap Suthay jangan salah paham dan anggap Cayhe mendesak orang di saat kepepet serta memaksa Suthay menyanggupi urusan ini," kata Ciong Tin dengan tersenyum.
"Bagus, jadi kau sudah bicara sendiri dan tidak perlu kukatakan lagi," sahut Ting-cing dengan gusar. "Apa namanya perbuatanmu ini jika bukan mendesak orang di kala aku sedang kepepet?"
"Hing-san-pay bukan Ko-san-pay, begitu pula sebaliknya, urusan Hing-san-pay kalian sudah tentu mendapat perhatian kami, tapi soalnya mengenai adu senjata dan adu nyawa, sekalipun Cayhe bersedia bantu Suthay, tapi belum diketahui bagaimana pikiran para sute dan sutit, apakah mereka pun sudi berkorban bagimu" Namun bila kedua aliran sudah tergabung menjadi satu, maka urusanmu adalah urusanku pula, betapa pun harus dikerjakan sepenuh tenaga."
"Jadi tegasnya kalau Hing-san-pay kami tidak mau bergabung dengan Ko-san-pay kalian, maka terhadap hilangnya anak murid kami yang diculik Mo-kau itu kalian tidak mau ikut campur?" Ting-cing menegas.
"Juga tak bisa dikatakan begitu," sahut Ciong Tin. "Cayhe hanya diperintahkan Ciangbun-suheng untuk berunding urusan penting tadi dengan Suthay, mengenai urusan lain, sebelum mendapat perintah Ciangbun-suheng terpaksa Cayhe tidak berani sembarangan bertindak, untuk ini harap Suthay jangan marah."
Saking gusarnya muka Ting-cing sampai pucat, katanya dengan mendengus, "Hm, urusan penggabungan kedua aliran, nikoh tua tidak bisa memberi keputusan. Sekalipun aku menyanggupi, percuma juga kalau nanti Ciangbun-sumoay kami menolak."
Ciong Tin menggeser kursinya lebih dekat, lalu bicara setengah berbisik, "Asalkan Suthay sudah menyanggupi, sampai waktunya nanti mau tak mau Ting-sian Suthay pasti akan terima juga. Biasanya, setiap ciangbun (ketua) dari satu aliran atau golongan selalu dijabat oleh murid tertua. Bicara tentang luhur budi, tentang ilmu silat, tentang tingkatan, seharusnya Suthay sendirilah yang mesti mengetuai Hing-san-pay ...."
"Brak", mendadak Ting-cing menggebrak meja sehingga ujung meja sempal seketika. Selanya dengan suara bengis, "Apakah kau sengaja hendak memecah belah" Diangkatnya sumoayku menjadi ketua justru adalah atas usulku kepada mendiang guruku. Jika aku mau menjadi ketua tentu sudah jadi waktu dahulu dan tidak perlu orang luar ikut-ikut mengusik seperti kau sekarang?"
"Ai, apa yang dikatakan Ciangbun-suheng memang tidak salah," tiba-tiba Ciong Tin berkata sambil menghela napas.
"Apa yang dia katakan?" hardik Ting-cing.
"Sebelum aku berangkat ke selatan sini Ciangbun-suheng memang sudah berkata kepadaku bahwa perangai Ting-cing Suthay dari Hing-san-pay memang baik, ilmu silatnya juga sangat tinggi, hanya saja kurang bijaksana. Aku telah tanya beliau mengapa Suthay dikatakan kurang bijaksana. Beliau mengatakan cukup mengenal pribadi Suthay yang suka kepada ketenteraman, tidak suka nama kosong, juga tidak suka ikut campur urusan sehari-hari. Jika soal penggabungan kedua aliran dibicarakan kepada Suthay tentu akan sia-sia belaka. Namun karena soalnya sangat penting, biarpun tahu akan gagal toh tetap kubicarakan dengan Suthay. Jika Suthay tetap tidak menghiraukan keselamatan beribu-ribu anggota cing-pay kita, maka apa mau dikata lagi, terpaksa kita anggap saja hal itu sudah takdir Ilahi yang tak terelakkan lagi."
Mendadak Ting-cing berbangkit dan berkata, "Percuma saja biarpun kau putar lidah dengan macam-macam obrolanmu. Perbuatan Ko-san-pay kalian ini bukan saja mendesak orang di kala orang sedang kepepet, bahkan boleh dikatakan orang kejeblos ke dalam sumur malah kau timpa batu pula."
"Salahlah ucapan Suthay," bantah Ciong Tin. "Bila Suthay mau terima ajakan kami, kemudian membujuk lagi pihak Thay-san-pay, Hoa-san-pay, dan ...."
"Sudahlah, tidak perlu kau teruskan, hanya bikin kotor telingaku saja," seru Ting-cing sambil goyang-goyang kedua tangan. Mendadak ia memukul, "blang", daun pintu terpentang seketika, secepat terbang ia melayang ke luar, dengan langkah cepat ia lantas meninggalkan hotel itu.
Setiba di luar, Ting-cing merasa mukanya yang panas tadi menjadi segar terembus angin malam yang silir. Pikirnya, "Orang she Ciong itu mengatakan Mo-kau mempunyai sarang tidak jauh dari Ji-pek-poh ini. Entah ucapannya itu betul atau bohong?"
Di tengah malam sunyi itulah ia berjalan sendirian sambil termenung-menung. Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, pikirnya pula, "Ya, hanya tenagaku sendiri betapa pun tidak mampu menolong berpuluh anak murid itu. Apa jeleknya jika untuk sementara aku menyanggupi permintaan orang she Ciong itu. Nanti kalau para murid sudah diselamatkan segera aku akan membunuh diri untuk menebus kesalahanku, dengan demikian Ko-san-pay akan tertipu dan tidak punya saksi hidup lagi. Seumpama dia menuduh aku ingkar janji, maka biarlah semua kejelekan akulah yang pikul sendiri."
Begitulah ia menghela napas panjang, lalu putar balik menuju ke Sian-an-khek-tiam lagi.
Pada saat itulah mendadak di ujung jalan besar sana ada suara seorang laki-laki sedang membentak, "Hei, pelayan, lekas buka pintu, jenderalmu sudah kecapekan dalam perjalanan, sekarang ingin bermalam dan minum arak."
Dari suaranya Ting-cing lantas tahu orang itu adalah Go Thian-tik, itu komandan militer Kota Coanciu yang diketemukan di Sian-he-nia kemarin. Seketika Ting-cing seperti seorang yang hampir mati tenggelam mendadak mendapatkan suatu benda pegangan. Sungguh girangnya tak terkatakan.
Pendatang itu memang betul Lenghou Tiong adanya. Di Bukit Sian-he-nia kemarin dia telah membantu Gi-lim, hatinya sangat senang, bahkan Gi-lim tidak mengenali dia, ia menjadi tambah ria. Walaupun gojekan semalaman, ia tidak merasakan letih, segera ia melanjutkan perjalanan dan sampailah di Ji-pek-poh paginya.
Kebetulan toko-toko sudah sama membuka pintu, segera ia memasuki sebuah restoran dan berteriak, "Sediakan arak!"
Melihat tamunya adalah seorang jenderal, sudah tentu si pelayan tidak berani ayal, cepat membawakan arak dan menyiapkan daharan dan meladeni dengan sangat hormat.
Memangnya Lenghou Tiong sudah ketagihan arak, ia lantas minum sepuas-puasnya sehingga rada-rada mabuk. Ia pikir sesudah mengalami kegagalan serangannya kali ini, tentu pihak Mo-kau akan mencari perkara lagi kepada Hing-san-pay. Ting-cing Suthay itu kelihatannya cuma tangkas saja tanpa akal, tentu bukan lawan Mo-kau, maka aku harus melindungi mereka secara diam-diam.
Begitulah habis makan dan membereskan rekening, lalu ia mencari kamar ke Hotel Sian-an-khek-tiam untuk tidur. Sampai petangnya, baru saja bangun dan selesai cuci muka, tiba-tiba terdengar ramai-ramai di luar.
Dalam sekejap saja terdengar suara bentakan berjangkit di sana-sini, ada orang berteriak-teriak pula, "Kawanan bandit dari Loan-ciok-kang malam ini akan datang merampok Ji-pek-poh ini, setiap orang yang diketemukan akan dibunuh, harta benda yang dilihat akan dirampas, lekaslah lari menyelamatkan diri!"
Sekejap kemudian datanglah si pelayan menggedor pintu kamarnya sambil berteriak-teriak, "Tuan komandan! Kawanan bandit Loan-ciok-kang malam ini akan menggerayangi kota, setiap orang sekarang lagi kabur menyelamatkan diri."
Lenghou Tiong membuka pintu kamar dan memaki, "Nenekmu, ada apa ribut-ribut?"
Maka pelayan lantas mengulangi lagi seruannya tadi.
"Nenekmu, siang hari bolong di mana ada bandit" Ada jenderalmu di sini, mereka berani main gila?" Lenghou Tiong memaki pula.
"Tapi ... tapi gerombolan itu teramat jahat, mereka juga ... juga tidak tahu beradanya engkau di sini," sahut pelayan dengan sedih.
"Boleh kau beri tahukan kepada mereka," ujar Lenghou Tiong.
"Wah, mana hamba be ... rani, bisa-bisa buah kepalaku akan dipotong oleh mereka," sahut si pelayan dengan takut.
"Di mana letak Loan-ciok-kang itu?" tanya Lenghou Tiong.
"Kira-kira dua ratusan li dari sini," tutur si pelayan. "Dua tahun yang lalu kota ini pernah dirampok bersih, berpuluh orang menjadi korban, puluhan rumah dibakar, sungguh menyedihkan. Meski kepandaian Jenderal cukup tinggi, tetapi sendirian sukar melawan jumlah banyak, selain pemimpin-pemimpin kaum bandit yang jahat itu, anak buahnya paling sedikit juga ada tiga ratus orang lebih."
Bab 80. Muslihat Keji Orang Ko-san-pay
"Nenekmu, biarpun lebih tiga ratus orang lantas mau apa" Jenderalmu sudah biasa terjang kian-kemari di tengah pasukan musuh yang berpuluh ribu jumlahnya. Cuma beberapa orang saja apa artinya bagiku?"
Si pelayan cuma mengiakan saja beberapa kali, lalu tinggal pergi dengan cepat.
Terdengar suara kacau-balau di seluruh kota. Waktu Lenghou Tiong berjalan keluar, dilihatnya berpuluh-puluh orang beramai-ramai menuju ke selatan dengan harta benda masing-masing yang bisa dibawa.
"Tempat ini adalah perbatasan antara Ciatkang dan Hokkian, agaknya pembesar-pembesar di Hangciu dan Hokciu tidak mampu mengamankan gangguan kaum bandit ini sehingga rakyat kecil menjadi korban. Sebagai komandan militer Kota Coanciu, mana boleh aku Go Thian-tik tinggal diam saja, aku harus tumpas kawanan bandit itu sebagai jasaku kepada raja. Ya, nenekmu, mana boleh aku tinggal diam. Hahaha!" begitulah ia berpikir, sampai akhirnya ia tertawa geli sendiri. Lalu berteriak-teriak pula, "Hei, pelayan, bawakan arak, selesai makan minum kenyang jenderalmu akan menumpas bandit."
Tapi waktu itu segenap penghuni hotel itu, dari tauke restoran, istri dan gundik-gundiknya, koki dan pelayan-pelayannya, semuanya sudah kabur pergi. Maka biarpun Lenghou Tiong berteriak-teriak sampai kerongkongannya kering juga tidak ada orang menggubrisnya.
Terpaksa Lenghou Tiong pergi dapur sendiri untuk mengambil arak, lalu duduk di ruangan depan untuk minum sendirian. Suara hiruk-pikuk di tengah kota itu lambat laun mulai mereda dan akhirnya menjadi sepi.
Lenghou Tiong merasa heran mengapa berita akan datangnya kaum bandit Loan-ciok-kang itu sampai bocor lebih dulu sehingga tujuan mereka terang nanti akan gagal total. Sebuah kota berpenduduk ratusan keluarga itu kini tertinggal dia seorang diri, hal ini benar-benar peristiwa luar biasa yang baru dialaminya sekarang.
Di tengah heningnya suasana itu, tiba-tiba dari jauh ada kumandang suara derapan kaki kuda, ada empat ekor kuda sedang dipacu ke Ji-pek-poh ini dari arah barat daya. "Hah, tentu itulah pemimpin kawanan bandit, tapi mengapa jumlahnya cuma sekian, mana anak buahnya?" demikian pikir Lenghou Tiong.
Setiba penunggang-penunggang kuda itu sampai di tengah kota, seorang di antaranya lantas berteriak, "Wahai dengarkanlah kambing-kambing Ji-pek-poh ini, atas perintah Tay-ong (kepala), semuanya supaya berdiri di luar rumah masing-masing, yang berdiri di luar takkan dibunuh, kalau tidak keluar semuanya akan dipenggal kepala."
Sembari berteriak kudanya terus dilarikan kian-kemari di jalan-jalan kota.
Waktu Lenghou Tiong mengintip ke luar, terlihat empat orang itu semuanya berbaju singsat warna kuning. Kuda mereka telah dilarikan secepat terbang sehingga yang kelihatan hanya bayangan belakang mereka.
Tergerak pikiran Lenghou Tiong, "Aneh, dari sikap menunggang kuda mereka itu tampaknya mereka berilmu silat sangat tinggi, kalau cuma anak buah kaum bandit mana bisa ada tokoh sehebat ini?"
Perlahan-lahan ia membuka pintu, lalu merunduk ke pinggir sana melalui emper rumah. Belasan meter kemudian, dilihatnya di sebelah kelenteng toapekong ada pohon beringin yang rindang. Jika panjat ke pucuk pohon, maka segala kejadian di dalam kota hampir-hampir dapat terlihat semua. Segera ia melompat ke atas, dari satu dahan ia melompat ke dahan yang lain sehingga mencapai cabang dahan yang tertinggi. Suasana sekeliling dalam keadaan sunyi senyap. Semakin lama menunggu semakin dirasakan oleh Lenghou Tiong akan ketidakberesan keadaan itu. Ia heran mengapa gerombolan bandit itu masih belum muncul, mana mungkin kaum bandit sengaja mengirim beberapa anak buah untuk memberi peringatan kepada kaum penduduk agar mereka sempat melarikan diri lebih dulu"
Sesudah ditunggu lagi rada lama, akhirnya sayup-sayup baru terdengar suara manusia, tapi bukan suara manusia biasa, melainkan suara kaum wanita yang sedang bicara bisik-bisik.
Sedikit memasang telinga saja Lenghou Tiong lantas mengenali suara-suara itu adalah anak murid Hing-san-pay. Pikirnya, "Mengapa mereka baru sekarang sampai di sini" Ya, tentunya siang tadi mereka telah mengaso di tengah jalan."
Dari percakapan rombongan Hing-san-pay itu dapat didengar mereka tidak jadi masuk Sian-an-khek-tiam, lalu menuju ke hotel yang lain, yaitu Lam-an-khek-tiam yang jaraknya rada jauh dari kelenteng toapekong. Apa yang dilakukan dan dibicarakan orang-orang Hing-san-pay itu sesudah masuk hotel dengan sendirinya tidak diketahui lagi oleh Lenghou Tiong. Lapat-lapat hati kecilnya merasa orang-orang Mo-kau yang telah sengaja memasang perangkap itu untuk menjebak rombongan Hing-san-pay. Maka ia tetap menyembunyikan diri di atas pohon untuk melihat perkembangan selanjutnya.
Agak lama kemudian, tertampak Gi-jing bertujuh keluar dari hotel untuk menyalakan lampu, banyak rumah penduduk dan toko memancarkan sinar lampu dalam waktu singkat.
Selang sebentar lagi, sekonyong-konyong di sebelah timur laut sana ada suara jeritan wanita yang minta tolong. Lenghou Tiong terkejut dan mengira anak murid Hing-san-pay ada yang dicelakai orang Mo-kau. Segera ia melompat turun dari pucuk pohon dan hinggap di atas wuwungan kelenteng, dengan ginkang ia berlari ke arah timur laut dengan melompati wuwungan rumah satu ke rumah yang lain.
Betapa hebat tenaga dalam Lenghou Tiong sekarang, maka larinya di atas wuwungan rumah itu bukan saja sangat cepat, bahkan sangat ringan dan tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Hanya sekejap saja ia sudah berada di luar rumah tempat suara jeritan wanita tadi.
Perlahan-lahan ia turun ke bawah dengan merembet dinding tembok, lalu mengintip ke dalam rumah melalui celah-celah jendela. Keadaan di dalam ternyata gelap gulita dan tiada sinar lampu. Tapi selang sejenak lantas dapat dilihat ada tujuh atau delapan laki-laki berdiri tegak mepet dinding, seorang wanita berdiri di tengah rumah lantas berteriak-teriak, "Tolong, ada orang terbunuh, toloong!"
Lenghou Tiong hanya melihat wanita itu dari samping, tetapi air mukanya tampaknya sangat seram, melihat gelagatnya jelas ada orang yang sengaja hendak dipancing datang.
Benar juga, belum lama ia menjerit, di luar lantas ada seorang wanita membentaknya, "Siapa yang mengganas di sini?"
Rupanya pintu rumah itu memang tidak dipalang, maka sekali tolak saja daun pintu lantas terpentang, serentak ada tujuh wanita bersenjata pedang menerjang ke dalam. Orang pertama bukan lain adalah Gi-jing.
Sekonyong-konyong wanita yang menjerit minta tolong tadi mengayun sebelah tangannya, sepotong kain hijau selebar kira-kira satu meter persegi lantas terbentang ke depan, kontan Gi-jing bertujuh lantas kelihatan gemetar, seperti pusing kepala dan berkunang-kunang matanya. Sesudah terhuyung-huyung, lalu roboh terguling semua.
Keruan Lenghou Tiong terkejut, sekilas terpikir olehnya, "Kain yang dibentangkan wanita itu pasti mengandung racun pembius yang amat lihai. Jika aku menyerbu ke dalam untuk menolong Gi-jing bertujuh tentu aku pun akan mengalami nasib yang sama, terpaksa aku harus bersabar."
Begitulah beberapa laki-laki yang berdiri mepet dinding tadi beramai-ramai lantas lari maju, mereka mengeluarkan tali untuk meringkus kencang kaki dan tangan Gi-jing bertujuh.
Tidak lama kemudian, di luar ada suara lagi, seorang wanita telah membentak, "Siapa yang berada di dalam?"
Karena pernah berbicara ketika bertemu di Sian-he-nia kemarin, maka segera Lenghou Tiong mengenali pembicara itu adalah Gi-ho yang berwatak berangasan. Ia pikir nikoh cilik yang kasar ini tentu juga akan diringkus musuh.
Terdengar Gi-ho berseru lagi di luar, "Gi-jing Sumoay, apakah kalian berada di dalam?"
Menyusul pintu lantas didepak orang dan terpentang lebar. Gi-ho dan kawan-kawannya berturut-turut lantas menerobos ke dalam dengan berdua-duaan.
Begitu melangkah ke dalam rumah segera mereka memutar pedang masing-masing untuk melindungi diri dari sergapan musuh. Dapat diduga tentu itulah sejenis barisan pedang Hing-san-pay yang khusus diajarkan untuk menjaga diri, betapa rapat pertahanan mereka sehingga tidak memungkinkan musuh menyerang.
Musuh-musuh di dalam rumah itu ternyata diam saja, mereka menunggu sesudah Gi-ho bertujuh masuk ke dalam rumah barulah wanita itu membentang lagi kainnya, tanpa ampun lagi Gi-ho bertujuh kena dirobohkan pula dan tertawan.
Habis itu adalah giliran Ih-soh dengan enam kawannya, mereka pun mengalami nasib yang sama. Jadi berturut-turut ada 21 murid Hing-san-pay dirobohkan dalam keadaan tak sadar, semuanya diringkus kaki dan tangannya dan ditaruh di pojokan rumah.
Sejenak lagi, kembali wanita tadi menjerit minta tolong. Tapi orang Hing-san-pay tidak tampak datang pula. Segera seorang tua yang berdiri di sudut rumah sana memberi tanda, beramai-ramai orang-orang itu lantas keluar melalui pintu belakang.
Cepat Lenghou Tiong melompat ke atas rumah, dengan merunduk ia mengikuti jejak orang-orang itu. Sekonyong-konyong di sebelah sana ada suara berkesiurnya angin, ia mendekam di tepi emper rumah, dilihatnya belasan laki-laki sedang saling memberi tanda, lalu terpencar dan sembunyi di bawah serambi rumah besar di sebelah itu, jaraknya hanya beberapa meter saja dari tempat Lenghou Tiong.
Dengan enteng Lenghou Tiong merosot ke bawah, pada saat itulah dilihatnya Ting-cing Suthay dan tiga orang muridnya sedang memburu ke arahnya.
Segera Lenghou Tiong menduga Ting-cing pasti sudah terkena tipu pancingan musuh, anak muridnya yang tertinggal di Hotel Lam-an-khek-tiam itu pasti akan celaka. Dan dari jauh memang dilihatnya beberapa sosok bayangan orang sedang berlari cepat ke hotel itu.
Baru saja Lenghou Tiong bermaksud memburu ke arah hotel sana, tiba-tiba di atas rumah ada orang berkata dengan suara tertahan, "Sebentar bila nikoh tua itu sudah datang, kalian bertujuh hendaklah melibatkan dia di sini."
Suara orang itu tepat berada di atasnya, asal sedikit bergerak saja tentu jejak Lenghou Tiong akan ketahuan, terpaksa ia diam saja dengan berdiri mepet tembok.
Dalam pada itu terdengar Ting-cing Suthay telah mendepak pintu rumah hingga terpentang sambil berseru, "Gi-ho, Gi-jing, Ih-soh, apakah kalian dengar suaraku?"
Menyusul kelihatan Ting-cing mengelilingi rumah itu, lalu melompat ke atas rumah, tapi tidak memeriksa ke dalam rumah. Lenghou Tiong heran mengapa Ting-cing tidak mau masuk ke dalam rumah, padahal begitu masuk tentu akan mengetahui ke-21 anak muridnya meringkuk di situ. Tapi segera ia pun merasa bersyukur Ting-cing tidak masuk ke dalam rumah, sebab pihak Mo-kau sudah siap menantikan kedatangannya, jika Ting-cing masuk ke dalam rumah, sekali kena kain berbisa orang Mo-kau itu tentu nikoh tua itu pun akan tertawan seperti nasib anak muridnya yang lain.
Dilihatnya Ting-cing Suthay berlari kian-kemari seperti orang bingung, mendadak nikoh tua itu lari kembali ke Lam-an-khek-tiam dengan cepat sekali sehingga tak tersusulkan oleh Gi-lim bertiga. Maka ketika mendadak dari ujung pengkolan jalan sana muncul beberapa orang, sekali membentangkan sepotong kain, seketika Gi-lim bertiga roboh terkapar dan diseret orang-orang itu ke dalam rumah.
Dalam keadaan samar-samar Lenghou Tiong melihat di antara ketiga orang itu seperti terdapat pula Gi-lim, seketika timbul maksudnya hendak segera pergi menolong nikoh jelita itu. Tapi segera terpikir lagi olehnya, "Jika saat ini aku perlihatkan diri tentu akan terjadi pertempuran sengit. Padahal anak murid Hing-san-pay sudah tertawan musuh dan mungkin akan dibunuh bila musuh kepepet. Maka tidak boleh bertempur terang-terangan, lebih baik bertindak menurut gelagat secara gelap saja."
Tidak lama kemudian dilihatnya Ting-cing keluar lagi dari hotelnya, lalu berteriak dan mencaci maki di tengah jalanan, kemudian melompat ke atas rumah dan memaki-maki Tonghong Put-pay. Benar juga, pihak Mo-kau menjadi tidak tahan oleh caci makian itu, segera ada tujuh orang menampakkan diri dan menempurnya.
Sesudah mengikuti beberapa jurus pertempuran itu, Lenghou Tiong yakin dengan ilmu pedang Ting-cing yang hebat untuk sementara tentu takkan kalah melawan ketujuh musuhnya. Maka biarlah lebih dulu aku pergi menolong Gi-lim Sumoay saja. Demikianlah ia ambil keputusan.
Segera ia menyelinap ke dalam rumah tadi, dilihatnya di tengah ruangan ada seorang penjaga dengan golok terhunus, Gi-lim bertiga tampak menggeletak di samping kakinya dalam keadaan teringkus.
Tanpa bicara lagi Lenghou Tiong lantas melompat maju, sekali bergerak pedangnya langsung menusuk tenggorokan orang itu. Belum lagi orang itu menyadari apa yang terjadi, kontan jiwanya sudah melayang.
Lenghou Tiong menjadi melongo malah, sama sekali tak tersangka olehnya gerak pedangnya bisa begitu cepat, bahkan sekali menusuk saja tahu-tahu sudah kena sasarannya.
Ia tidak menyadari bahwa sejak dia berhasil meyakinkan "Gip-sing-tay-hoat" ajaran Yim Ngo-heng ditambah dengan hawa murni Tho-kok-lak-sian, Put-kay Hwesio, dan Hek-pek-cu yang terhimpun di dalam tubuhnya, maka betapa tinggi tenaga dalamnya sekarang bahkan dia sendiri pun tidak pernah membayangkannya. Maka sekali ia memainkan "Tokko-kiam-hoat" dengan tenaga dalam selihai itu, sudah tentu tak terperikan daya tempurnya.
Semula Lenghou Tiong mengira musuh tentu akan menangkis, maka dia sudah merencanakan serangan susulan yang lain untuk merobohkan musuh, habis itu barulah menolong Gi-lim bertiga. Tak terduga musuh sama sekali tidak sempat menangkis dan tahu-tahu sudah binasa kena tusukannya.
Lenghou Tiong menjadi rada menyesal, ia singkirkan mayat itu, waktu diperiksa, memang benar Gi-lim berada di antara ketiga wanita itu. Pernapasannya terasa baik, selain dalam keadaan tak sadar agaknya tidak terluka apa-apa. Segera ia pergi ke dapur di belakang untuk mengambil satu ciduk air dingin dan dicipratkan sedikit di atas muka Gi-lim.
Selang sejenak mulailah Gi-lim bersuara dan menggeliat seperti orang baru bangun tidur. Semula ia tidak tahu dirinya berada di mana, waktu matanya perlahan-lahan dibuka barulah mendadak ia ingat apa yang sudah terjadi. Cepat ia melompat bangun dan bermaksud melolos pedang, tapi segera mengetahui kaki dan tangannya dalam keadaan teringkus, hampir saja ia terbanting jatuh lagi.
"Jangan takut, Siausuthay, orang jahat itu sudah kubunuh," kata Lenghou Tiong sembari memutuskan tali pengikat tangan dan kaki Gi-lim itu dengan pedang.
Mendengar suaranya dalam keadaan gelap gulita, samar-samar seperti suara "Lenghou-toako" yang senantiasa dirindukannya itu, Gi-lim menjadi kejut dan girang pula, segera ia berseru, "He, engkau Lenghou ...." tapi belum terucapkan panggilan "toako" lantas terasa tidak tepat olehnya, mukanya menjadi merah jengah dan cepat ganti suara, "Engkau ini siapa?"
Lenghou Tiong tahu Gi-lim hampir mengenalinya dan mendadak ganti ucapan, dengan suara perlahan ia menjawab, "Jenderal ada di sini, kawanan bandit itu pasti tidak berani mengganggu kalian lagi."
"Ah, kiranya Go-ciangkun adanya," seru Gi-lim. "Di ... di manakah Supek?"
"Dia sedang bertempur dengan musuh di luar sana, marilah kita pergi melihatnya," ajak Lenghou Tiong.
Gi-lim lantas berseru pula, "The-suci, Cin-sumoay ..." ia lantas mengeluarkan ketikan api, maka tertampaklah kedua temannya masih menggeletak di lantai, segera ia berkata, "O, mereka pun berada di sini semua."
Lalu ia bermaksud memotong tali pengikat mereka.
Namun Lenghou Tiong telah mencegahnya, "Nanti dulu, paling penting marilah pergi membantu supekmu dahulu."
"Betul juga," ucap Gi-lim sambil mengikut di belakang Lenghou Tiong yang sudah mendahului melangkah keluar.
Belum berapa jauh keluar, terlihat tujuh sosok bayangan orang secepat terbang melayang ke sana, menyusul lantas terdengar suara nyaring tersampuk jatuhnya senjata rahasia, lalu ada suara orang memuji ilmu pedang Ting-cing yang tinggi, sebaliknya Ting-cing juga lantas mengenali pihak lain adalah tokoh Ko-san-pay. Tidak lama kemudian terlihat Ting-cing Suthay ikut belasan orang laki-laki itu menuju ke Sian-an-khek-tiam. Lenghou Tiong lantas menggandeng tangan Gi-lim dan diajak menyusup ke dalam hotel itu untuk mengintip dari balik jendela.
Sebelah tangan Gi-lim dipegang Lenghou Tiong, ia bermaksud melepaskan tangannya, tapi mengingat orang telah menolongnya dari tawanan musuh, agaknya tidak bermaksud jahat hanya memegangi tangannya saja. Kemudian didengarnya Ting-cing sedang bicara dengan Ciong Tin di dalam kamar, orang she Ciong itu mendesak agar Ting-cing Suthay berjanji untuk melebur Hing-san-pay ke dalam Ko-san-pay, habis itu barulah dia mau membantu menolong anak muridnya yang tertawan musuh.
Meski masih hijau juga Gi-lim dapat merasakan ucapan Ciong Tin yang tidak kesatria itu, orang lagi kepepet juga dipaksa lagi untuk menuruti maksud jahatnya. Didengarnya Ting-cing menjadi marah dan akhirnya meninggalkan hotel.
Sesudah Ting-cing pergi rada jauh barulah Lenghou Tiong ikut keluar dan pura-pura berteriak-teriak memanggil pengurus hotel itu seperti apa yang diceritakan di depan. Dalam keadaan kehilangan akal, keruan Ting-cing kegirangan setengah mati dan segera putar balik.
Gi-lim lantas menyongsongnya sambil berseru, "Supek!"
Ting-cing menjadi girang pula dan cepat bertanya, "Di manakah kau tadi?"
"Tecu telah ditawan kawanan iblis Mo-kau," sahut Gi-lim. "Ciangkun inilah yang telah menolong aku ...."
Dalam pada itu Lenghou Tiong sudah mendorong pintu hotel dan masuk ke dalam. Dilihatnya di ruangan tengah tersulut dua batang lilin besar dengan sinarnya yang cukup terang. Dengan suara garang Ciong Tin lantas membentak, "Siapa kau main gembar-gembor di sini, lekas enyah!"
Lenghou Tiong balas memaki, "Nenekmu, kau berani kurang ajar terhadap seorang jenderal" Apa kau minta digantung" Hai, juragan hotel, mana pelayan, lekas keluar semua!"
Orang-orang Ko-san-pay menjadi geli-geli dongkol. Hanya mencaci maki sepatah dua saja, lalu memanggil-manggil juragan hotel dan pelayan, terang lahirnya saja ciangkun itu galak, tapi hatinya sebenarnya takut.
Tapi Ciong Tin pikir sedang melaksanakan tugas penting, buat apa melayani seorang perwira dogol begitu" Maka dengan suara perlahan ia memerintahkan, "Tutuk roboh dia, tapi jangan mencelakai jiwanya."
Kim-mo-say Ko Kik-sin manggut, dengan tertawa ia lantas mendekati Lenghou Tiong sambil menyapa, "Eh, kiranya adalah Tuan besar yang datang, maaf jika kami kurang hormat."
"Asal tahu saja," sahut Lenghou Tiong. "Memang kalian rakyat jembel ini sok tidak tahu aturan ...."
Dengan tertawa Ko Kik-sin mengiakan, mendadak ia menubruk maju, dengan jari telunjuk ia terus menutuk pinggang Lenghou Tiong. Ilmu tiam-hiat Ko-san-pay terhitung suatu kepandaian tersendiri di dalam dunia persilatan, caranya aneh dan jitu, sekali "siau-yau-hiat" di pinggang tertutuk seketika sasarannya akan bergelak tertawa untuk kemudian jatuh pingsan dan baru dapat siuman kembali 12 jam kemudian.
Tak terduga tutukan Ko Kik-sin itu ternyata hanya membikin Lenghou Tiong mengikik tawa geli saja, bahkan ia masih berkata, "He, kau ini benar-benar tidak tahu aturan, mengapa main kitik-kitik segala, memangnya kau ingin bercanda dengan jenderalmu?"
Sementara itu Ting-cing dan Gi-lim sudah kembali di depan pintu hotel dan menyaksikan tutukan Ko Kik-sin yang lihai itu ternyata tidak mempan terhadap Lenghou Tiong, keruan Ting-cing terkejut dan girang pula. Ia pikir ilmu silat perwira gadungan ini sedemikian tinggi, sekali ini orang-orang Ko-san-pay yang pengecut itu pasti akan kecundang.
Ko Kik-sin juga heran karena tutukannya tidak membawa hasil sebagaimana dugaannya. Segera tutukan kedua kalinya dilontarkan. Sekarang dia menggunakan segenap tenaganya.
Namun Lenghou Tiong lantas mengakak sambil melonjak seperti orang kegelian lantaran dikilik-kilik. Ia memaki pula sambil tertawa, "Nenekmu, mengapa main raba-raba segala di pinggang tuanmu" Memangnya kau ingin mencuri dompetku ya" Potonganmu sih gagah, kenapa jadi copet?"
Ko Kik-sin pikir orang ini mengapa begini aneh" Tanpa pikir tangan kirinya lantas menyambar sehingga pergelangan kanan Lenghou Tiong terpegang, sekali telikung, ia bermaksud merobohkan Lenghou Tiong.
Tak tersangka, baru saja tangan menempel pergelangan tangan lawan, seketika tenaga dalam sendiri terasa mencurah keluar melalui telapak tangan dan sukar dikendalikan lagi. Saking kaget dan takutnya sampai mulutnya ternganga, hendak berteriak pun sukar mengeluarkan suara lagi.
Sejak Lenghou Tiong berhasil meyakinkan "Gip-sing-tay-hoat", meski dia tidak sengaja menggunakan ilmu sakti itu, tapi dengan sendirinya mempunyai keampuhan daya sedot tenaga dalam lawan. Jika lawan tidak mengerahkan tenaga dalam, seperti tadi dia menggandeng tangan Gi-lim secara biasa, maka takkan timbul daya sedotnya yang lihai. Tapi kalau lawan mengerahkan tenaga dalam, semakin besar tenaga yang dikerahkan, semakin cepat pula tenaga dalamnya akan terkuras dan disedot olehnya. Jalan satu-satunya adalah segera menghentikan curahan tenaga dalam itu, kecuali Lenghou Tiong memang sengaja hendak menyedot tenaganya.
Begitulah Lenghou Tiong juga kaget ketika merasakan tenaga dalam lawan sedang mengalir ke dalam tubuhnya seperti apa yang terjadi atas diri Hek-pek-cu tempo hari. Padahal ia sendiri sudah berjanji takkan menggunakan Gip-sing-tay-hoat. Maka cepat ia mengebaskan tangan sekuatnya sehingga pegangan Ko Kik-sin terlepas.
Ko Kik-sin terlongong-longong sejenak, rasanya seperti pesakitan yang sudah dijatuhi hukum gantung mendadak diampuni, cepat ia melompat mundur, tapi seluruh badan rasanya lemas lunglai seakan-akan habis sakit berat. Ia berteriak-teriak dengan suara serak dan rasa seram, "Gip-sing ... Gip-sing-tay-hoat!"
Ciong Tin, Ting Pat-kong, dan anak murid Ko-san-pay yang lain serentak melonjak kaget dan tanya berbareng, "Apa katamu?"
"Orang ... orang ini mahir menggunakan Gip-sing-tay-hoat," sahut Ko Kik-sin.
Serentak sinar pedang berkelebat dengan suara nyaring mendering, semua orang Ko-san-pay telah melolos pedang, hanya Ting Pat-kong yang memakai senjata ruyung panjang lemas. Ilmu pedang Ciong Tin paling lihai dan cepat, sekali sinar pedang berkelebat, secepat kilat ia menusuk ke leher Lenghou Tiong.
Waktu Ko Kik-sin berteriak-teriak lagi Lenghou Tiong sudah menduga orang-orang Ko-san-pay pasti akan mengerubut maju, maka begitu melihat mereka melolos senjata, segera ia pun siapkan goloknya yang masih terselubung sarung golok itu, sebelum tusukan Ciong Tin mencapai sasarannya, dengan cepat luar biasa ujung golok bersarung itu sudah menutuk ke punggung tangan lawan masing-masing.
Maka terdengarlah suara gemerantang nyaring memekak telinga, pedang lawan jatuh berserakan. Hanya kepandaian Ciong Tin yang paling tinggi itu tidak mengalami nasib sama, meski punggung tangannya juga terketok, tapi pedangnya tidak sampai terlepas dari cekalan. Saking kagetnya segera ia melompat mundur.
Yang paling runyam adalah Ting Pat-kong, gagang ruyungnya terlepas dari cekalan, tapi ruyungnya yang lemas itu sempat melibat balik ke lehernya sendiri sehingga tercekik dan hampir-hampir tak bisa bernapas.
Muka Ciong Tin menjadi pucat, katanya, "Di dunia Kangouw tersiar berita Yim-kaucu, ketua Mo-kau yang dulu, telah muncul kembali, apakah engkau ... engkau, inilah Yim ... Yim-kaucu Yim Ngo-heng adanya?"
"Keparat, peduli apakah Yim Ngo-heng atau Yim Kuping neneknya, yang pasti jenderalmu ini she Go bernama Thian-tik, tahu?" maki Lenghou Tiong dengan tertawa. "Nah, kalian ini kawanan bandit dari mana, di hadapan jenderalmu kenapa tidak lekas lari pulang ke tempat nenekmu?"
Ciong Tin merangkap kedua tangannya sebagai hormat, katanya, "Munculnya kembali engkau di bu-lim, Ciong Tin merasa bukan tandinganmu, selamat tinggal, sampai bertemu kelak."
Habis berkata, mendadak ia meloncat ke luar dengan membobol jendela. Menyusul Ko Kik-sin dan lain-lain juga ikut melompat pergi, pedang yang berserakan memenuhi lantai itu tiada seorang pun yang berani menjemputnya kembali.
Sembari memegangi goloknya yang masih lengket dengan sarungnya, Lenghou Tiong pura-pura hendak melolosnya, tapi tetap tidak terlorot keluar. Katanya dengan menggumam sendiri, "Golok ini benar-benar sudah berkarat, besok perlu cari tukang asah gunting membersihkan karatnya."
"Go-ciangkun," Ting-cing Suthay menegurnya, "sudilah kiranya pergi menolong beberapa anak murid wanita kami itu?"
Lenghou Tiong menduga dengan kepergian rombongan Ciong Tin itu sudah tidak ada orang yang mampu lagi melawan kepandaian Ting-cing Suthay. Katanya, "Aku masih ingin minum arak lagi di sini, apakah Losuthay mau mengiringi aku?"
Melihat "perwira" ini berulang-ulang bicara tentang minum arak, diam-diam Gi-lim merasa mirip benar dengan kegemaran Lenghou-toako. Tanpa merasa ia melirik ke arahnya, tak terduga sang jenderal itu pun sedang membuang pandang ke arahnya, seketika muka Gi-lim menjadi merah dan cepat menunduk.
"Aku tidak bisa minum arak, maafkan aku tidak dapat mengiringi Ciangkun," sahut Ting-cing sembari memberi hormat dan mengundurkan diri.
Gi-lim cepat ikut keluar, sampai di luar pintu, ia masih menoleh memandang sekejap lagi kepada Lenghou Tiong, terlihat dia sedang berbangkit mencari arak sambil mengomel, "Neneknya, apakah orang di hotel ini sudah mampus semua, mengapa sampai sekarang tiada seorang pun yang keluar."
Pikir Gi-lim, "Dalam kegelapan tadi samar-samar suaranya kusangka sebagai suaranya Lenghou-toako, memang mirip benar suara mereka. Cuma ciangkun ini bermulut kotor, selalu memaki kalang kabut, berbeda sekali dengan Lenghou-toako yang sopan santun. Ai, mengapa aku menjadi berpikir yang tidak-tidak, ah, dasar ...."
Dalam pada itu Lenghou Tiong telah mendapatkan arak, tanpa pakai cawan segala, terus saja ia menghirupnya langsung dari poci arak dan sekaligus menghabiskan setengah poci.
Sembari minum benaknya juga bekerja, pikirnya, "Para nikoh dan perempuan tua muda itu sebentar akan kembali lagi ke sini, dalam keadaan ceriwis tak habis-habis bisa jadi aku kurang hati-hati sehingga dikenali mereka kan bisa runyam, maka lebih baik aku tinggal pergi saja. Tapi untuk menolong kawan-kawan mereka yang banyak itu tentu juga makan tempo, sementara ini perutku yang lapar perlu diisi dulu."
Begitulah selesai menghabiskan isi poci arak segera ia menuju ke dapur. Dilihatnya dalam wajan sedang mengepul nasi liwet yang berbau rada sangit, agaknya rombongan Ciong Tin tadi yang menanak nasi itu dan belum sempat diangkat sehingga hangus. Segera ia mengisi satu mangkuk penuh, sembari dimakan ia coba mencari lauk-pauk.
Tapi baru beberapa suap nasi disumpit ke dalam mulut, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara Gi-lim, "Supek, Supek! Di mana kau?"
Dari suaranya yang tajam melengking itu agaknya nikoh muda itu sangat cemas dan khawatir.
Sambil memegangi mangkuk nasi itu Lenghou Tiong lantas memburu ke luar ke arah suara itu. Maka tertampaklah Gi-lim dan kedua nona muda tadi berada di jalanan sana dan sedang berteriak-teriak, "Supek! Suhu!"
"Ada apa?" tanya Lenghou Tiong sesudah dekat.
"Aku yang telah menolong The-suci dan Cin-sumoay sehingga mereka siuman kembali," tutur Gi-lim. "Tapi Supek mengkhawatirkan para suci yang lain, beliau buru-buru pergi sendiri untuk mencari mereka. Ketika kami bertiga keluar ternyata sudah ... sudah kehilangan jejak beliau."
Melihat usia The Oh paling-paling baru 20-an, bahkan umur Cin Koan cuma belasan tahun saja, Lenghou Tiong merasa tidak mengerti untuk apa Hing-san-pay mengirim nona-nona muda belia begitu ke dunia ramai" Segera ia berkata dengan tertawa, "Jangan khawatir, aku tahu tempat mereka, coba kalian ikut padaku."
Segera ia mendahului melangkah ke gedung yang besar di sebelah timur laut itu. Sampai di depan pintu, sekali depak ia bikin daun pintu terpentang. Khawatir kalau wanita Mo-kau masih sembunyi di dalam dan mungkin akan membiusnya dengan racun lagi, maka lebih dulu ia pesan Gi-lim bertiga, "Tutup rapat mulut dan hidung kalian dengan saputangan, awas di dalam ada seorang perempuan keparat suka menebarkan racun."
Habis itu ia lantas pencet hidung dan menahan napas terus menerjang ke dalam rumah. Tapi ia menjadi melengak begitu berada di dalam ruangan. Di dalam ruangan yang tadinya penuh bergelimpangan anak murid Hing-san-pay yang diringkus dan tak sadarkan diri itu sekarang sudah kosong melompong, hilang tanpa bekas.
Ia bersuara heran. Dilihatnya di atas meja ada sebuah tatakan lilin dengan api yang masih menyala, tapi ruangan itu benar-benar sudah kosong. Dengan cepat sekali ia memeriksa sekeliling rumah itu, namun tiada menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan. Sungguh herannya tak terkatakan.
Gi-lim bertiga juga menatap Lenghou Tiong dengan penuh rasa sangsi dan tanda tanya.
"Neneknya, para suci kalian sudah jelas dibius roboh oleh seorang perempuan keparat dan teringkus semua di sini, mengapa hanya sebentar saja mereka sudah lenyap semua?" demikian omel Lenghou Tiong.
"Go-ciangkun, benar kau melihat para suci kami dibius roboh di sini?" The Oh menegas.
"Ya, semalam aku telah mimpi dan menyaksikan sendiri banyak sekali kawanan nikoh dan orang perempuan bergelimpangan di ruangan ini, mana bisa salah lagi," sahut Lenghou Tiong.
"Masa kau ...." mestinya The Oh hendak membantah mustahil impian dapat dibuat patokan. Tapi lantas teringat olehnya perwira ini memang suka mengoceh tak keruan, katanya mimpi, tapi sebenarnya menyaksikan kejadian yang sungguh, maka cepat ia ganti suara, "Go-ciangkun, menurut dugaanmu ke manakah mereka semua?"
"O, bisa jadi mereka sudah lapar dan pergi mencari daging dan arak, atau mungkin di mana ada tontonan dan mereka telah pergi ke sana," kata Lenghou Tiong. Lalu ia menggapai mereka dan menyambung pula, "Marilah sini, kalian bertiga anak dara ini sebaiknya ikut kencang di belakangku, jangan ketinggalan. Mau makan daging dan minum arak juga dapat kusediakan nanti."
Walau umur Cin Koan masih kecil, tapi ia pun menyadari keadaan sangat membahayakan mereka dan tahu para suci sudah jatuh dalam perangkap musuh. Ocehan ciangkun sinting ini tidak perlu dianggap sungguh-sungguh. Namun berpuluh kawan mereka kini tinggal mereka bertiga saja, selain menurutkan segala perintah sang ciangkun boleh dikata tiada jalan lain yang lebih baik. Terpaksa mereka bertiga ikut keluar di belakang Lenghou Tiong.
Bab 81. Gugurnya Ting-cing Suthay
Lenghou Tiong menggumam sendiri, "Aneh, apa impianku semalam tidak betul, apa yang kulihat hanya khayalan belaka" Ah, malam nanti aku harus mimpi yang betul-betul terjadi."
Dalam hati ia merasa heran ke mana menghilangnya anak murid Hing-san-pay yang tadinya ditawan musuh itu" Mengapa mendadak Ting-cing Suthay juga menghilang" Apa barangkali nikoh tua itu pun masuk perangkap musuh" Jika demikian harus lekas-lekas dicari. Tapi Gi-lim bertiga anak dara ini akan kurang aman jika ditinggalkan di kota kecil ini, terpaksa mereka harus dibawa serta pergi mencari Ting-cing dan lain-lain.
Katanya kemudian, "Daripada menganggur, marilah kita pergi mencari supek kalian dan teman-temanmu, mungkin mereka sedang main-main di suatu tempat."


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik sekali," seru The Oh cepat. "Ilmu silat Ciangkun amat tinggi, pengalaman luas pula, jika engkau mau membawa kami pergi mencari supek tentu akan dapat ditemukan kembali."
"Ilmu silat tinggi dan pengalaman luas, ucapanmu ini memang tidak salah," ujar Lenghou Tiong tertawa. "Kelak kalau jenderalmu ini naik pangkat dan berkuasa lebih besar, tentu aku akan mengirim seratus tahil perak kepada kalian untuk beli baju baru dan jajan sepuas-puasnya."
Begitulah sambil membual, ketika sampai di ujung kota, ia melompat ke atas wuwungan rumah untuk memandang sekeliling situ. Sementara itu fajar baru menyingsing, pepohonan masih diliputi kabut tebal, suasana sunyi senyap tiada suatu bayangan pun yang tertampak.
Sekonyong-konyong Lenghou Tiong melihat di tepi jalan sebelah selatan sana ada sesuatu benda hijau. Cuma jaraknya rada jauh sehingga tidak jelas benda apakah itu. Namun di tengah jalan raya yang kosong itu sebuah benda demikian tampaknya sangat mencolok.
Cepat ia melompat turun dan berlari ke sana. Waktu benda dijemput, kiranya adalah sebuah sepatu kain wanita. Tampaknya sangat mirip dengan sepatu yang dipakai Gi-lim.
Ia menunggu sebentar di tempatnya, kemudian Gi-lim bertiga juga sudah menyusul tiba. Ia serahkan sepatu wanita itu kepada Gi-lim dan bertanya, "Apakah ini sepatumu" Mengapa jatuh di sini?"
Walaupun sadar dirinya masih lengkap bersepatu, tapi Gi-lim masih memandang sekejap pula ke kakinya sendiri dan tertampak sepasang sepatunya sendiri masih terpakai dengan baik.
"Ah, ini adalah ... adalah sepatu suci atau sumoay kami, mengapa bisa jatuh di sini?" ujar The Oh.
"Tentu salah seorang suci yang diculik musuh itu telah meronta-ronta di sini sehingga sepatunya tertanggal," kata Cin Koan.
"Ya, mungkin juga sepatu ini sengaja dilepaskan di sini agar kita dapat menemukan jejaknya," ujar The Oh.
"Benar, pengetahuanmu memang luas, ilmu silatmu juga tinggi," kata Lenghou Tiong. "Sekarang kita harus menguber ke selatan atau ke utara?"
"Sudah tentu ke selatan saja," sahut The Oh.
Segera Lenghou Tiong berlari cepat ke arah selatan, hanya sebentar saja sudah beberapa puluh meter jauhnya, semula jarak Gi-lim bertiga tidak terlalu jauh ketinggalan, tapi lama-lama bayangan Lenghou Tiong lantas berubah menjadi suatu titik hitam saja.
Sembari berlari Lenghou Tiong memeriksa keadaan jalan yang dilaluinya itu, sering pula ia menoleh mengawasi Gi-lim bertiga, ia khawatir mereka tertinggal terlalu jauh dan mungkin tidak keburu ditolong lagi jika mendadak mereka dicegat musuh. Maka sesudah beberapa li jauhnya berlari ia lantas berhenti untuk menunggu.
Sesudah Gi-lim bertiga menyusul tiba, lalu Lenghou Tiong lari ke depan lagi dan begitu seterusnya sampai beberapa kali, maka belasan li jauhnya sudah dilalui. Jalanan di depan kelihatan mulai berliku-liku tidak rata, pepohonan sangat banyak di tepi jalan. Jika musuh bersembunyi di suatu pengkolan dan menyergap mendadak tentu tidak keburu lagi untuk menolong Gi-lim bertiga. Apalagi Cin Koan sudah kelihatan letih, keringatnya memenuhi dahinya dan mukanya merah. Lenghou Tiong tahu dara cilik itu terlalu muda dan tidak tahan lari jauh, segera ia perlambat langkahnya sambil sengaja berteriak, "Neneknya, cepat benar lari jenderalmu ini, jangan-jangan sepatu kulitku ini nanti akan tergosok tipis, kukira sepatuku ini perlu dihemat. Biarlah kita jalan perlahan-lahan saja."
Setelah berjalan beberapa li lagi, tiba-tiba Cin Koan berseru heran, "He!"
Ia berlari ke pinggir semak-semak sana dan menjemput sebuah kopiah kain hijau, itulah kopiah yang biasa dipakai nikoh-nikoh Hing-san-pay.
"Ciangkun, para suci dan sumoay kami benar-benar telah diculik oleh musuh dan melalui jalanan ini," seru The Oh.
Karena jurusan yang mereka tempuh tepat menuju sasarannya, segera mereka mencepatkan langkah sehingga Lenghou Tiong berbalik ditinggal di belakang malah.
Menjelang tengah hari mereka berempat berhenti di suatu warung nasi untuk mengisi perut. Melihat seorang perwira membawa serta seorang nikoh jelita dan dua nona muda dalam perjalanan, si pemilik warung nasi terheran-heran sehingga berulang-ulang ia mengamat-amati mereka.
"Neneknya!" Lenghou Tiong memaki sambil menggebrak meja. "Apa yang kau lihat" Memangnya tidak pernah melihat nikoh atau hwesio?"
"Ya, ya, hamba tidak berani!" sahut pemilik warung dengan ketakutan.
Tergerak hati The Oh, ia tunjuk Gi-lim dan bertanya kepada si pemilik warung, "Paman, apakah kau melihat beberapa orang-orang beragama seperti siausuthay ini lalu di sini?"
"Beberapa orang sih tidak, kalau cuma seorang saja memang ada," sahut laki-laki itu. "Tadi ada seorang losuthay, usianya jauh lebih tua daripada Siausuthay ini ...."
"Ngaco-belo belaka," damprat Lenghou Tiong. "Sudah tentu seorang losuthay umurnya jauh lebih tua daripada siausuthay, memangnya kau anggap kami ini orang tolol semua?"
"Ya, ya," sahut laki-laki itu dengan ketakutan.
"Lalu bagaimana dengan losuthay itu?" The Oh menegas dengan tertawa.
"Dengan tergesa-gesa losuthay itu tanya kepadaku apakah melihat beberapa orang beragama seperti beliau lalu di jalanan sini. Kujawab tidak ada, lantas beliau berlari ke sana. Wah, sudah begitu tua, tapi larinya sungguh amat cepat, malahan tangannya memegang pedang yang mengilap."
"Beliau tentulah suhu adanya, marilah kita lekas menyusul ke sana," seru Cin Koan.
"Jangan terburu-buru, makan dulu, urusan belakang," ujar Lenghou Tiong.
Cepat mereka berempat mengisi perut, pada akhirnya Cin Koan membeli pula empat buah kue mangkuk, katanya untuk makan gurunya.
Mendadak hati Lenghou Tiong terasa pedih, pikirnya, "Sedemikian dia berbakti kepada gurunya, aku sendiri meski ingin berbakti kepada suhu juga tidak dapat lagi."
Saat itu mereka sudah berada di wilayah Provinsi Hokkian, jaraknya sudah berdekatan dengan tempat beradanya sang guru dan ibu-guru, ia pikir dengan penyamarannya itu tentu sang guru dan ibu-gurunya takkan mengenalinya, jika kutemui beliau-beliau itu tentulah mereka akan pangling dan takkan marah-marah lagi padaku.
Akan tetap, sampai hari sudah gelap lagi mereka tetap belum menemukan jejaknya Ting-cing Suthay. Sepanjang jalan hanya hutan belaka, jalanan makin lama makin sempit. Tidak lama kemudian, sekitar jalan rumput alang-alang tumbuh setinggi manusia, untuk melalui jalanan menjadi tambah sukar.
Lenghou Tiong berharap akan menemukan rumah penduduk di situ, dengan demikian akan ada tempat meneduh daripada berkeliaran di hutan belukar itu.
Ketika dilihatnya di depan ada pohon besar, segera ia berlari ke sana dan meloncat ke atas, dari pucuk pohon ia coba mengintai sekitarnya, ternyata tiada sebuah rumah pun yang kelihatan. Sekonyong-konyong dari arah barat laut sana sayup-sayup ada suara nyaring beradunya senjata.
Cepat ia melompat turun dan berkata, "Lekas ikut padaku, di sana ada orang sedang berkelahi, kita akan menonton keramaian."
"Ai, jangan-jangan adalah guruku?" ujar Cin Koan.
Lenghou Tiong lantas berlari ke arah datangnya suara dengan menyusur rumput alang-alang yang lebat. Kiranya beberapa puluh meter jauhnya mendadak matanya terbeliak, suasana terang benderang oleh sinar api berpuluh obor, suara benturan senjata juga tambah nyaring.
Ia percepat langkahnya, sesudah dekat, terlihat beberapa puluh orang memegangi obor melingkari suatu kalangan pertempuran, di tengah kalangan seorang berpedang sedang menempur tujuh orang lain dengan sengit. Siapa lagi dia kalau bukan Ting-cing Suthay adanya.
Di luar lingkaran orang-orang itu tampak menggeletak beberapa puluh orang pula, dari pakaian mereka segera diketahui mereka adalah anak murid Hing-san-pay.
Orang-orang itu semuanya memakai kedok. Dengan perlahan-lahan Lenghou Tiong mendekati mereka. Karena semua orang sedang mencurahkan perhatian kepada pertarungan sengit di tengah kalangan, maka tiada seorang pun yang mengetahui kedatangan Lenghou Tiong.
Mendadak Lenghou Tiong bergelak tertawa dan berkata, "Hahahaha! Tujuh orang mengerubut satu orang, sungguh hebat!"
Munculnya Lenghou Tiong secara mendadak membikin orang-orang berkedok itu terkejut dan serentak berpaling. Hanya ketujuh orang yang sedang menempur Ting-cing Suthay itu seperti tidak peduli terhadap apa yang terjadi, mereka tetap melingkari Ting-cing dan menyerang dengan gencar dengan berbagai senjata mereka.
Lenghou Tiong melihat jubah Ting-cing sudah berlepotan darah, mukanya juga kecipratan air darah, malahan yang memegang pedang adalah tangan kiri, terang tangan kanan sudah terluka. Jika dirinya datang terlambat sedikit saja mungkin nikoh tua itu sudah binasa dicincang musuh-musuhnya.
Dalam pada itu di antara gerombolan orang-orang itu sudah ada yang membentak, "Siapa kau?"
Berbareng dua orang bergolok lantas melompat ke depan Lenghou Tiong.
"Kawanan bangsat, lekas menyerahkan diri jika kalian tidak ingin kujewer satu per satu," bentak Lenghou Tiong.
"Haha, kiranya seorang dogol!" kata seorang di antaranya dengan tertawa geli. Berbareng goloknya lantas membacok kepada Lenghou Tiong.
"Ai, kau sungguh-sungguh memakai senjata?" teriak Lenghou Tiong sambil menggeliat ke samping, serentak ia pun menyerbu ke tengah kalangan, goloknya yang bersarung itu bergerak cepat, "plak-plok" berulang tujuh kali, dengan tepat pergelangan tangan ketujuh orang kena diketok, tujuh bentuk senjata terjatuh semua ke tanah. Menyusul terdengar suara "cret" satu kali, pedang Ting-cing Suthay telah menancap di dada seorang lawan.
Rupanya orang itu menjadi terperanjat ketika mendadak senjatanya diketok jatuh oleh Lenghou Tiong, maka tidak sempat mengelak serangan kilat Ting-cing Suthay yang lihai itu. Saking kerasnya tusukan Ting-cing itu sehingga badan lawan seakan-akan terpantek di atas tanah. Habis itu Ting-cing sendiri tidak tahan lagi, ia terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terduduk.
"Suhu! Suhu!" seru Cin Koan khawatir sembari memburu maju dan memeluk badan sang guru.
Salah seorang berkedok itu mengacungkan goloknya mengancam di tengkuk seorang murid Hing-san-pay sambil berteriak, "Mundur semua! Kalau tidak segera kubinasakan perempuan ini!"
"Baik, baik! Mundur ya mundur, kenapa begini galak!" ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. Tapi mendadak goloknya disodokkan ke depan, ujung golok bersarung itu tepat mengenai dada orang itu. Kontan orang itu menjerit dan mencelat hingga beberapa meter jauhnya.
Sebenarnya jarak Lenghou Tiong dengan orang itu ada dua-tiga meter jauhnya, tapi aneh juga, begitu tangannya menjulurkan goloknya seketika dada orang itu tersodok. Di mana tenaga dalamnya tiba, seketika orang itu terpental.
Lenghou Tiong menduga sodokannya pasti dapat merobohkan lawan agar ancamannya kepada murid Hing-san-pay itu digagalkan, tapi tidak menyangka bahwa tenaga dalam sendiri bisa sedemikian hebatnya, hanya sedikit menyodok saja orang itu lantas mencelat begitu jauh. Ia sendiri menjadi melongo malah, menyusul goloknya lantas diputar lagi, "plak-plok" berulang, kembali tiga laki-laki berkedok dirobohkan lagi.
"Nah, kalian mau enyah atau tidak" Jika tidak, sebentar kubekuk batang leher kalian satu per satu dan kukirim ke penjara, paling tidak pantat kalian akan dirangket 30 kali setiap orang!" bentak Lenghou Tiong.
Melihat kepandaian Lenghou Tiong begitu tinggi dan sukar diukur, pemimpin orang-orang berkedok itu menyadari bukan tandingannya lagi, segera ia memberi hormat dan berkata, "Menghadapi Yim-kaucu, biarlah kami mengalah saja."
Lalu ia memberi tanda kepada kawan-kawannya dan membentak, "Yim-kaucu dari Mo-kau berada di sini, kalian harus tahu diri sedikit dan lekas pergi bersamaku!"
Beramai-ramai mereka lantas mengusung sesosok mayat dan tiga teman mereka yang tertutuk roboh itu, melemparkan obor, lalu menuju ke jurusan barat laut. Dalam sekejap saja sudah menghilang di balik semak-semak rumput yang lebat.
Cepat Gi-lim dan The Oh membuka ringkusan para suci mereka, dalam pada itu Cin Koan sudah memberi minum obat luka perguruannya kepada Ting-cing Suthay. Empat murid perempuan yang sudah bebas dari ringkusan itu lantas menjemput obor dan mengelilingi Ting-cing. Melihat luka Ting-cing cukup parah, semuanya termangu diam.
Dada Ting-cing tampak berombak, napasnya memburu, perlahan-lahan ia membuka mata dan bertanya kepada Lenghou Tiong, "Jadi kau ... kau ini Mo-kau-kaucu Yim ... Yim Ngo-heng di masa dahulu itu?"
"Bukan," sahut Lenghou Tiong sambil menggeleng.
Ting-cing memejamkan mata pula, napasnya tambah lemah, tampaknya keadaannya semakin payah. Ia mengembuskan napas beberapa kali, habis itu mendadak berkata dengan nada bengis, "Jika kau adalah Yim Ngo-heng, maka biarpun Hing-san-pay kami kalah ha ... habis-habisan dan ter ... terbinasa semua juga ... juga tidak sudi ... tidak sudi ...." sampai di sini napasnya sudah sukar menyambung lagi.
Melihat ajal nikoh tua itu sudah di depan mata, Lenghou Tiong tidak berani sembarangan omong lagi, katanya, "Dengan usiaku yang masih sedikit ini masakah mungkin Yim Ngo-heng adanya?"
Sekuatnya Ting-cing membuka mata lagi dan memandang sekejap, dilihatnya meski kumis jenggot Lenghou Tiong awut-awutan tak terawat, tapi umurnya ditaksir paling-paling baru 30-an saja. Dengan suara lemah ia berkata, pula, "Jika demikian mengapa kau ... kau mahir menggunakan Gip ... Gip-sing-tay-hoat" Apakah kau mu ... muridnya Yim Ngo-heng?"
Lenghou Tiong menjadi teringat kepada macam-macam kejahatan yang sering diceritakan oleh guru dan ibu-gurunya dahulu. Beberapa hari terakhir ini disaksikannya pula cara-cara licik kawanan Mo-kau menyergap orang-orang Hing-san-pay, maka dengan tegas ia lantas menjawab, "Mo-kau berbuat kejahatan dan tak terampunkan, mana Cayhe sudi berkomplot dengan mereka" Yim Ngo-heng itu pasti bukan guruku, harap Suthay jangan khawatir, guru Cayhe adalah seorang kesatria sejati, seorang tokoh bu-lim dari kalangan suci yang dihormat dan disegani akan budi pekertinya."
Wajah Ting-cing terkilas senyuman puas dan lega, dengan suara terputus-putus ia berkata pula, "Keadaanku sudah ... sudah payah dan tak tertolong lagi, harap ban ... harap bantuanmu agar suka mem ... membawa anak murid Hing-san-pay ini ke ..." sampai di sini ia lantas berhenti karena napasnya memburu hebat. Selang sejenak baru ia menyambung pula, "Membawa mereka ke Bu-siang-am di ... di Hokciu. Aku punya Ciangbun-sumoay dalam be ... berapa hari ini tentu akan menyusul tiba."
"Harap Suthay jangan khawatir, silakan istirahat beberapa hari, tentu kau akan lekas sembuh kembali," ujar Lenghou Tiong.
"Apakah kau sudah menyanggupi per ... permintaanku?" tanya Ting-cing pula.
Melihat nikoh tua itu menatapnya dengan rasa penuh harapan dan khawatir kalau-kalau dirinya menolak permintaannya, Lenghou Tiong lantas menjawab, "Jika demikian kehendak Suthay sudah tentu akan kulaksanakan dengan baik."
Ting-cing tersenyum puas, katanya, "Omitohud! Memangnya tugas berat ini sebenarnya tidak cocok bagiku. Siauhiap, se ... sesungguhnya siapakah engkau?"
Melihat sinar mata nikoh tua itu sudah guram, suaranya lemah dan napasnya sangat pendek, jiwanya terang sukar dipertahankan lagi. Lenghou Tiong tidak tega untuk merahasiakan dirinya sendiri lagi, perlahan ia membisiki telinga nikoh tua itu, "Ting-cing Supek, Wanpwe adalah murid Hoa-san-pay yang telah dipecat, Lenghou Tiong adanya."
"Aaah, kau ... kau ...." Ting-cing hanya sempat berseru demikian lalu putus napasnya.
Serentak ramailah jerit tangis anak murid Hing-san-pay, hutan belukar yang sunyi itu diliputi suasana sedih, obor-obor yang terpegang tadi sama terbuang di atas tanah, berturut-turut api obor itu padam, keadaan menjadi gelap gulita dan menambah seramnya suasana.
"Jelek-jelek Ting-cing Suthay terhitung seorang tokoh terkemuka, tapi dia telah ditewaskan lawan secara licik dan pengecut di tempat sunyi ini. Sebenarnya dia adalah seorang nikoh tua yang tidak punya ambisi apa-apa, kenapa Mo-kau merecoki dia dan tidak memberi ampun padanya?" demikian pikir Lenghou Tiong. Mendadak tergerak hatinya, "Sebelum pergi tadi pemimpin orang-orang berkedok itu telah menyebut tentang Mo-kau-kaucu Yim Ngo-heng. Padahal orang Mo-kau menyebut agamanya sendiri sebagai Tiau-yang-sin-kau, istilah Mo-kau dianggap sebagai suatu penghinaan, mengapa orang itu malah mengucapkan istilah Mo-kau" Jika dia berani mengucapkan kata-kata Mo-kau, maka jelas dia pasti bukan anggota Mo-kau. Lalu, dari manakah asal usul rombongan orang-orang berkedok itu?"
Dilihatnya anak murid Hing-san-pay masih terus menangis dengan sedihnya, ia pun tidak mau mengganggu mereka, ia sendiri lantas duduk bersandar pada batang pohon, sebentar saja sudah tertidur.
Besok paginya waktu mendusin, dilihatnya beberapa murid Hing-san-pay berjaga di sekitar jenazah Ting-cing Suthay. Beberapa murid kecil yang lain tampak tidur melingkar di samping Ting-cing yang sudah tak bernyawa itu.
Diam-diam Lenghou Tiong menimbang sendiri, "Jika seorang perwira seperti aku diharuskan membawa sepasukan perempuan seperti ini ke Hokciu, maka tampaknya benar-benar sangat lucu dan aneh. Baiknya aku memang hendak menuju ke Hokciu, maka tak perlu aku memimpin rombongan mereka, cukup asalkan aku melindungi mereka sepanjang jalan saja."
Dengan mendahului berdehem, Lenghou Tiong lantas mendekati anak murid Hing-san-pay itu, Ih-soh, Gi-ho, Gi-cin, Gi-jing, dan beberapa murid yang memimpin regu masing-masing sama merangkap tangan memberi hormat padanya dan menyapa, "Kami telah mendapat pertolongan Tayhiap, budi kebaikan ini sukar kami batas. Sungguh malang supek kami mengalami bencana, sebelum wafat beliau telah memintakan bantuan kepada Tayhiap, maka untuk selanjutnya segala perintah Tayhiap tentu akan kami taati."
Mereka tidak memanggil "ciangkun" lagi padanya, tentunya karena sudah tahu dia cuma seorang perwira gadungan.
"Ah, pakai tayhiap apa segala, aku menjadi risi rasanya, jika kalian mengindahkan aku, maka boleh tetap panggil ciangkun padaku," ujar Lenghou Tiong.
Ih-soh saling pandang dengan Gi-jing, Gi-cin, dan lain-lain, akhirnya mereka manggut semua tanda setuju.
"Kemarin malam jelas aku mimpi kalian telah dirobohkan dengan obat tidur oleh seorang perempuan keparat dan dikumpulkan di suatu rumah besar, mengapa kalian bisa berada di sini sekarang?" tanya Lenghou Tiong.
"Kami pun tidak tahu apa yang terjadi sesudah dibius oleh musuh," tutur Gi-ho. "Kemudian kawanan bangsat itu telah menyadarkan kami dengan air dingin dan mengendurkan tali pengikat kami. Kami digiring ke dalam sebuah lorong di bawah tanah, waktu keluar tahu-tahu sudah jauh berada di luar kota. Kami diseret supaya berjalan secepat mungkin. Jika ayal sedikit langkah kami lantas dipersen dengan cambukan. Sampai hari sudah gelap kami masih terus digiring seperti hewan. Syukur akhirnya supek memburu tiba, mereka lantas mengepung supek dan memaksa beliau menyerah ...." bicara sampai di sini tenggorokannya seakan-akan tersumbat, lalu menangis lagi.
"Kawanan bangsat itu tampaknya bukan orang-orang Mo-kau, apakah di tengah jalan kalian ada mendengar sesuatu yang mencurigakan?" tanya Lenghou Tiong.
"Tentu mereka adalah kawanan iblis Mo-kau, kalau tidak mana bisa begitu kejam dan pengecut?" ujar Gi-ho. Ia anggap di dunia ini selain orang-orang Mo-kau tiada orang jahat lagi.
Tapi Gi-jing lantas menambahkan, "Ciangkun, aku telah mendengar suatu kalimat ucapan mereka yang mencurigakan."
"Ucapan apa?" cepat Lenghou Tiong menegas.
"Kudengar salah seorang berkedok itu berkata, "Menurut pesan Gu-suheng, kita harus percepat perjalanan, di tengah jalan tidak boleh minum arak agar tidak membikin runyam tugas kita. Nanti setiba di Hokciu baru boleh kita minum sepuas-puasnya.?"
"Ya, ucapan mereka ini memang aneh, kenapa di tengah jalan tidak boleh minum arak dan mesti tunggu setibanya di Hokciu?" ujar Lenghou Tiong.
Gi-jing tidak peduli timbrungannya dan meneruskan, "Kupikir orang-orang Mo-kau pada umumnya tidak saling sebut suheng atau sute segala, juga biasanya mereka pantang minum arak dan tidak makan daging, kata-kata minum sepuas-puasnya yang mereka ucapkan itu menjadi rada-rada janggal."
Diam-diam Lenghou Tiong mengakui ketelitian nikoh cilik itu dan dapat menggunakan otak, tapi di mulut ia sengaja berkata, "Pantang minum arak dan makan daging paling bodoh. Jika setiap orang tidak minum arak, lalu untuk apa orang membikin arak" Lalu untuk apa lagi hewan-hewan sebangsa babi, sapi, ayam, dan itik itu hidup di dunia ini?"
Gi-jing tidak peduli lagi akan persoalan pantang minum arak dan makanan daging segala, ia bicara lagi, "Ciangkun, bagaimana urusan selanjutnya, mohon engkau sudi memberi petunjuk seperlunya."
Lenghou Tiong menggeleng, katanya, "Urusan hwesio dan nikoh segala sedikit pun ciangkunmu ini tidak paham, jadi aku hanya bisa garuk-garuk kepala jika aku dimintai petunjuk apa. Paling penting bagi ciangkunmu ini adalah lekas naik pangkat dan cepat kaya, lain tidak. Maka biarlah sekarang juga aku akan pergi saja."
Habis berkata, dengan langkah lebar ia lantas tinggal pergi menuju ke selatan.
"Ciangkun! Ciangkun!" para murid Hing-san-pay itu berteriak-teriak.
Lenghou Tiong tidak menggubris mereka. Tapi sesudah membelok pada pengkolan bukit sana ia lantas sembunyi di atas pohon. Kira-kira menunggu setengah jam lamanya, terlihatlah anak murid Hing-san-pay mengusung jenazah Ting-cing Suthay sedang mendatang dengan bertangisan. Sesudah rombongan Hing-san-pay itu lewat, lalu dari jauh Lenghou Tiong menguntit untuk melindungi mereka bila perlu.
Untung tiada terjadi apa-apa sepanjang jalan. Anak murid Hing-san-pay itu telah membeli peti mati untuk jenazah Ting-cing Suthay, lalu menyewa kuli memikul peti mati itu ke Hokciu. Dengan demikian, perjalanan mereka menjadi tambah lambat.
Lenghou Tiong terus mengawasi mereka memasuki Kota Hokciu dan sampai di suatu kuil nikoh dan kuil itu jelas tertulis sebagai "Bu-siang-am", dengan begitu barulah ia merasa lega karena kewajiban yang dipasrahkan Ting-cing kepadanya itu sudah dilaksanakan dengan baik. Pikirnya, "Seorang ciangkun memimpin pasukan nikoh, kejadian benar-benar belum pernah ada di dunia ini. Untung bebanku sudah selesai sekarang, kesanggupanku kepada Ting-cing Suthay sudah kupenuhi."
Ia putar haluan menuju ke jalan raya kota yang lain, maksudnya hendak mencari tahu di mana letaknya "Hok-wi-piaukiok". Mendadak di antara orang berlalu-lalang ramai itu dilihatnya seorang laki-laki berbaju hijau dengan air muka yang aneh buru-buru memalingkan mukanya ke arah lain, lalu menyingkir pergi dengan langkah cepat.
Tergerak hati Lenghou Tiong, ia heran mengapa orang itu buru-buru menyingkir pergi begitu melihatnya" Sebagai seorang cerdik segera ia paham duduknya perkara, "Ya, dengan dandananku ini sudah dua kali aku melabrak musuh di luar dan di dalam kota Ji-pek-poh, mungkin sekali kabar tentang diriku sudah tersiar luas, tentang Kaucu Mo-kau yang dulu Yim Ngo-heng sudah muncul kembali di Kangouw dengan dandanan begini-begini. Tampaknya laki-laki ini adalah orang bu-lim, bisa jadi termasuk salah satu orang berkedok pada malam itu sehingga aku dikenal olehnya. Maka aku harus mencari ganti pakaian lain, kalau tidak tentu gerak-gerikku takkan bebas."
Begitulah ia lantas mencari suatu hotel, lalu keluar lagi hendak beli pakaian. Ia melintasi beberapa jalan kota, tapi tiada menemukan sesuatu toko pakaian bekas. Sekonyong-konyong suara seorang yang sudah sangat dikenalnya berkumandang ke dalam telinganya, "Siau-lim-cu, katakan terus terang, kau mau mengawani aku pergi minum arak atau tidak?"
Begitu mendengar suara itu, seketika dada Lenghou Tiong terasa panas, benaknya menjadi kacau pusing. Jauh-jauh ia datang ke Hokkian tujuannya justru ingin mendengar suara ini, ingin melihat wajah pemilik suara ini. Sekarang benar-benar dia telah mendengar suara itu, namun dia justru tidak berani menoleh untuk memandangnya.
Padahal dalam keadaan menyamar tentunya siausumoaynya takkan mengenalnya lagi, entah mengapa, seketika ia termangu seperti patung, tanpa terasa air mata memenuhi kelopak matanya hingga pandangannya menjadi samar. Maklum, hanya dengan satu kalimat saja, dengan panggilan tadi saja segera diketahuinya bahwa sang siausumoay sudah sedemikian mesranya dengan Lim-sute, maka dapat dibayangkan pula entah betapa senangnya dan bahagianya selama dalam perjalanan jauh ini.
Dalam pada itu terdengar Lim Peng-ci sedang menjawab, "Aku tidak ada tempo. Pelajaran yang diberikan suhu sampai sekarang belum lagi kulatih dengan baik."
"Tiga jurus ilmu pedang itu kan teramat gampang," ujar Leng-sian. "Sesudah kau mengiringi aku minum arak segera kuajarkan padamu di mana letak rahasia ketiga jurus ilmu pedang itu. Mau tidak?"
"Tapi suhu dan sunio sudah pesan agar dalam beberapa hari ini kita jangan sembarangan berkeliaran di kota agar tidak menimbulkan gara-gara. Maka menurut pendapatku lebih baik kita pulang saja."
Bab 82. Terbongkarnya Rahasia Kiam-boh
"Masakah jalan-jalan saja tidak boleh" Apalagi sudah sekian lama tiada seseorang tokoh bu-lim yang kulihat. Seumpama ada jago-jago Kangouw yang berdatangan di kota ini, asalkan kita tidak saling mengganggu, peduli apa?"
Begitulah sembari bicara kedua orang lambat laun sudah pergi jauh.
Mendadak Lenghou Tiong membalik tubuh, dilihatnya bayangan Gak Leng-sian yang langsing itu berada di sisi kiri dan bayangan Lim Peng-ci yang kekar berada di sisi kanan, kedua muda-mudi itu berjalan berendeng. Si nona memakai baju hijau tua dengan kain warna hijau pupus. Peng-ci sendiri memakai jubah panjang warna kuning. Dipandang dari belakang mereka benar-benar merupakan suatu pasangan yang setimpal.
Seketika dada Lenghou Tiong serasa tersumbat oleh sesuatu sehingga bernapas pun rasanya sukar. Dia sudah berpisah beberapa bulan dengan Gak Leng-sian, walaupun selama ini senantiasa terkenang, tapi baru sekarang ia merasakan dirinya sedemikian mencintai sang sumoay. Tanpa terasa ia memegang gagang golok, rasanya ingin sekali gorok leher sendiri untuk menghabiskan hidupnya yang merana ini.
Sekonyong-konyong matanya menjadi gelap, langit seperti berputar dan bumi terbalik, seketika ia jatuh terduduk.
Di tengah jalan kota itu ramai sekali orang berlalu-lalang, ketika mendadak melihat seorang perwira jatuh terduduk di tengah jalan, serentak khalayak ramai itu merubungnya dan menanyakan apa sebabnya. Sebisanya Lenghou Tiong menenangkan diri, lalu berbangkit perlahan-lahan, kepalanya masih terasa pusing, tapi dalam hati ia sudah ambil keputusan, "Selamanya aku tak dapat bertemu dengan mereka lagi. Hanya mencari susah sendiri saja, apa gunanya bagiku" Malam nanti aku akan meninggalkan sepucuk surat untuk memberitahukan suhu dan sunio, setelah melihat wajah beliau-beliau itu secara diam-diam, lalu aku akan jauh menuju ke negeri asing dan takkan menginjak kembali tanah air."
Cepat ia lantas keluar dari rubungan orang banyak itu, ia tidak jadi membeli baju lagi, tapi terus kembali ke hotel dan pesan arak untuk minum sepuas-puasnya. Kekuatan minumnya memang hebat, tapi kalau pikiran lagi sedih, arak yang masuk perutnya mengakibatkan dia lekas mabuk. Maka cuma tiga kati arak saja sudah membuatnya terpulas di tempat tidurnya.
Sampai tengah malam, ketika mendadak ia mendusin, segera ia memanggil pelayan, ia tanya di mana letaknya Hok-wi-piaukiok, lalu minta disediakan alat tulis. Ia tulis sepucuk surat untuk Gak Put-kun dan istri. Pada sampul surat hanya ditulisnya: "Diaturkan kepada ketua Hoa-san-pay Gak-tayhiap dan nyonya". Isi surat memberitahukan tentang munculnya kembali Yim Ngo-heng di dunia Kangouw dan sengaja hendak memusuhi Hoa-san-pay, diberi tahu bahwa ilmu silat Yim Ngo-heng teramat tinggi, maka diharapkan waspada. Surat itu tidak dibubuhi tanda tangan, hanya ditulis "tanpa nama".
Ia sengaja menulis dengan goresan yang menceng dan miring seperti cakar ayam agar tidak dikenali Gak Put-kun, cuma nada surat yang menghormat itu jelas ditulis oleh seorang angkatan muda.
Selesai tulis surat, ia panggil lagi si pelayan hotel. Begitu pelayan itu masuk kamar, segera ia menutuknya roboh, lalu membelejeti pakaiannya.
Keruan pelayan itu terbelalak tak bisa berkutik, hanya rasa cemas dan takut yang tertampil pada air mukanya.
Sesudah membelejeti pakaian si pelayan dan dikenakan pada badan sendiri, lalu Lenghou Tiong membungkus pakaian kebesaran perwira menjadi suatu buntelan dan dikempit di bawah ketiaknya, ia lemparkan tiga tahil perak di samping si pelayan dan membentaknya, "Ciangkun datang kemari hendak menangkap penjahat, maka perlu pinjam pakaianmu ini. Jika kau membocorkan rahasia tugasku ini sehingga bandit yang akan kubekuk itu lolos, maka aku akan datang kembali ke sini untuk bikin perhitungan dengan kau. Sebagai ganti kerugianmu kutinggalkan tiga tahil perak ini, tentu jauh daripada cukup."
Si pelayan tak bisa membuka mulut, hanya kepalanya saja manggut-manggut.
Dengan melompati pagar tembok Lenghou Tiong meninggalkan hotel itu terus menuju ke Hok-wi-piaukiok.
Gedung perusahaan pengawalan itu sangat megah dan luas bangunannya, maka sangat mudah dikenali, pula tidak jauh dari hotelnya. Hanya sebentar saja dua tiang bendera piaukiok yang dicari itu sudah kelihatan menjulang tinggi di depan gedung. Tiang bendera itu tidak terpancang panji apa-apa, mungkin sejak ayah-bundanya meninggal dunia, perhatian Lim Peng-ci lantas dicurahkan dalam hal belajar silat dan tidak mengurus usaha orang tua lagi.
Lenghou Tiong memutar ke belakang gedung piaukiok, pikirnya, "Entah suhu dan sunio tinggal di mana" Mungkin saat ini beliau-beliau itu sudah tidur, biarlah malam ini kusampaikan dulu suratku ini, malam besok akan kudatang lagi melihat wajah mereka untuk penghabisan kalinya."
Gedung piaukiok yang megah itu tiada penerangan sama sekali, suasana juga sunyi senyap. Pada saat itulah tiba-tiba di pojok kiri sana ada berkelebatnya bayangan orang. Sesosok bayangan hitam melayang ke luar dengan melompati pagar tembok gedung piaukiok. Dari bangun tubuh bayangan orang itu dapat diketahui adalah seorang perempuan.
Dengan beberapa kali lompatan cepat Lenghou Tiong sudah mengitar lagi ke depan piaukiok, tertampak perempuan itu berlari ke arah tenggara, ginkang yang digunakan jelas adalah dari golongan Hoa-san-pay. Segera ia mengejar lebih kencang, melihat bayangan belakang orang perempuan itu agaknya bukan lain Gak Leng-sian adanya. Ia menjadi heran, di tengah malam buta hendak ke manakah siausumoaynya itu"
Dilihatnya Gak Leng-sian berlari dengan menyelisir dinding rumah. Heran dan ingin tahu pula Lenghou Tiong, segera ia mengintil di belakang sang sumoay.
Kini tenaga dalam Lenghou Tiong entah sudah berapa kali lebih tinggi daripada siausumoay itu, meski Leng-sian tampak berlari secepat terbang, tapi Lenghou Tiong tidak perlu banyak membuang tenaga sudah dapat mempertahankan jaraknya dalam belasan meter di belakang Leng-sian, langkahnya enteng dan gesit, sedikit pun tidak diketahui oleh si nona.
Sesudah berlari-lari sebentar, Leng-sian lantas menoleh untuk melihat di belakangnya ada orang menguntit tidak. Tapi di kala dia mau berpaling selalu bahunya bergerak lebih dulu, maka sebelumnya Lenghou Tiong sempat sembunyi dulu di lekukan dinding sehingga tidak dilihat si nona.
Jalanan Kota Hokciu simpang-siur cukup banyak dengan rumah penduduk yang tak terhitung banyaknya, Gak Leng-sian terus berlari ke depan, sebentar membelok ke kanan, lain saat menikung ke kiri, seakan-akan jalanan-jalanan itu sudah sangat hafal baginya.
Kira-kira ada dua li jauhnya nona itu berlari-lari, akhirnya ia membelok ke suatu gang yang kecil di samping sebuah jembatan batu.
Lenghou Tiong tidak menguntit dari belakang lagi, ia melompat ke atas rumah dan memburu ke depan. Dilihatnya setiba di ujung gang itu Leng-sian lantas melompat masuk ke dalam pekarangan sebuah gedung.
Gedung itu berpintu hitam dengan dinding dikapur putih, di atas pagar tembok melingkar tumbuh-tumbuhan sebangsa akar-akaran yang sudah tua sekali. Dari balik jendela-jendela beberapa sudut rumah itu kelihatan memancarkan sinar lampu.
Dengan hati-hati dan berjengket-jengket Leng-sian tampak menyusur ke bawah jendela di kamar sebelah timur, lalu mengintip ke dalam melalui celah-celah jendela. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara lengking seram seperti bunyi setan.
Tadinya Lenghou Tiong menduga cara si nona mendatangi tempat ini dengan penuh rahasia, tentu rumah ini adalah tempat kediaman musuh. Tapi sekarang demi mendengar si nona mendadak mengeluarkan suara aneh, ia menjadi melongo heran. Tapi begitu terdengar suara seorang berbicara di dalam kamar, maka ia pun paham duduknya perkara.
Terdengar orang di bagian dalam sedang berkata, "Suci, apa kau ingin membikin aku mati kaget" Jika aku mati kaget dan menjadi setan, paling-paling akan serupa dengan kau sekarang."
"Siau-lim-cu busuk, Siau-lim-cu mampus, kau berani memaki aku sebagai setan, awas sebentar kukorek jantung hatimu," omel Leng-sian dengan tertawa.
"Tidak perlu kau korek, akan kukorek sendiri untuk dilihatkan padamu," sahut Peng-ci.
"Bagus, kau berani bicara melantur padaku secara gila-gilaan, sebentar akan kulaporkan kepada ibu," omel Leng-sian lagi.
"Tapi kalau sunio tanya kau bilakah aku bicara demikian dan di mana aku mengatakannya, lalu bagaimana kau akan menjawab?" ujar Peng-ci tertawa.
"Akan kukatakan kau bicara demikian pada waktu berlatih pedang di tempat latihan, kau tidak mau latihan sungguh-sungguh, tapi selalu bicara hal-hal yang tidak genah."
"Ya, dan bila sunio marah, tentu aku akan dikerangkeng, selama tiga bulan tidak dapat bertemu dengan kau."
"Cis! Memangnya siapa yang kepingin" Tidak bertemu biarlah tidak bertemu!" kata Leng-sian. "He, Siau-lim-cu busuk, kenapa kau tidak lekas membuka jendela, apa-apaan kau di dalam?"
Di tengah gelak tawa Lim Peng-ci disertai suara berkeriutnya daun jendela dibuka, Peng-ci telah melongok keluar. Tapi cepat Leng-sian mendekam sembunyi di sebelah sehingga Peng-ci tidak melihatnya.
Terdengar Peng-ci menggumam sendiri, "He, kenapa tidak ada orang" Kukira Suci yang datang?"
Lalu daun jendela perlahan-lahan dirapatkan kembali. Namun sebelum daun jendela tertutup, cepat Leng-sian melompat ke dalam.
Lenghou Tiong sampai linglung mendengarkan senda gurau mereka yang mesra itu. Dari atas rumah melalui jendela yang setengah tertutup itu bayangan Gak Leng-sian dan Lim Peng-ci dapat terlihat dengan jelas, bayangan kepala kedua muda-mudi itu tampak merapat satu sama lain, suara tawa tadi pun perlahan-lahan lenyap.
Dengan rasa pedih mestinya Lenghou Tiong hendak tinggal pergi, tapi mendadak terdengar Leng-sian berkata, "Sudah jauh malam begini mengapa kau belum tidur?"
Terdengar Peng-ci menjawab dengan tertawa, "Aku kan sedang menunggu kau."
"Cis, dasar pembohong! Dari mana kau tahu akan kedatanganku ini?"
"Menurut firasatku, menurut perasaanku, jelas suciku yang baik malam ini akan berkunjung kemari."
"Ah, tahulah aku. Melihat keadaan kamarmu yang morat-marit ini, terang kau lagi mencari kiam-boh itu, betul tidak?"
Lenghou Tiong sudah melangkah pergi beberapa tindak, ketika mendadak mendengar lagi kata "kiam-boh", seketika hatinya tergerak lagi dan putar balik.
Didengarnya Peng-ci lagi berkata, "Selama beberapa bulan ini entah sudah berapa kali aku telah memeriksa dan menggeledah seluruh rumah ini, sampai genting rumah juga satu per satu kuteliti, hanya saja ubinnya yang belum kubongkar ... Ah, Suci, toh rumah ini sudah tidak terpakai, apa salahnya jika kita benar-benar membongkar ubinnya untuk diperiksa. Bagaimana pendapatmu?"
"Rumah ini adalah milik keluarga Lim kalian, dibongkar atau tidak adalah urusanmu, buat apa kau tanya padaku?" sahut Leng-sian.
"Tidak tanya kau, lalu tanya siapa" Memangnya kelak ... kelak kau bukan anggota keluarga Lim kami ini, heeh?"
Maka terdengarlah omelan Leng-sian dengan tertawa, berbareng terdengar pula suara plak-plok beberapa kali, mungkin tangan si nona sedang menggaploki Lim Peng-ci.
Begitulah kedua muda-mudi itu bersenda-gurau di dalam rumah, sebaliknya perasaan Lenghou Tiong seperti disayat-sayat. Pikirnya hendak tinggal pergi saja, tapi teringat kepada persoalan Pi-sia-kiam-boh itu, waktu ayah-ibu Peng-ci meninggal dunia hanya dirinya yang menjaga di samping mereka, sialnya karena beberapa kata pesan kedua orang tua itu yang minta disampaikan kepada Peng-ci malahan mendatangkan fitnah. Lebih-lebih sesudah mendapat ajaran Hong-susiokco, setelah mahir Tokko-kiu-kiam yang hebat, maka setiap orang Hoa-san-pay sendiri juga mengira dirinya telah menggelapkan Pi-sia-kiam-boh, sampai-sampai siausumoay yang biasa paling kenal wataknya itu juga menaruh curiga.
Kalau dipikir secara jujur, soal ini memangnya tak bisa menyalahkan orang lain, sebab pada hari dirinya dihukum menyepi di atas puncak Hoa-san pernah sang ibu-guru menjajal ilmu pedangnya dan sedikit pun tidak mampu menandingi jurus ilmu pedang ibu-gurunya yang tiada bandingannya itu, namun sesudah tinggal beberapa bulan di atas puncak gunung mendadak ilmu pedangnya maju pesat, bahkan ilmu pedang ini berbeda dengan ilmu pedang perguruannya sendiri, padahal di atas puncak gunung itu tidak pernah didatangi orang luar, kalau bukan dirinya mendapat kitab rahasia ilmu pedang dari aliran lain, dari mana ilmu pedang lihai itu diperolehnya. Dan kitab rahasia ilmu pedang itu kalau bukan Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Lim, lalu kitab apa lagi"
Dalam keadaan memang pantas dicurigai, celakanya dirinya telah berjanji kepada Hong-susiokco untuk tidak membocorkan tempat sembunyinya itu, karenanya sukar baginya untuk memberi penjelasan dan membela diri. Ia merasa sebabnya sang guru begitu tegas memecatnya jelas lebih condong pada alasan karena dirinya telah menggelapkan Pi-sia-kiam-boh daripada alasan pergaulannya dengan orang Mo-kau. Sekarang demi mendengar Peng-ci dan Leng-sian menyinggung tentang kiam-boh, biarpun hatinya pedih karena suara senda gurau mereka itu sangat menusuk perasaannya, terpaksa ia menahan perasaannya dan ingin mendengarkan terus.
Begitulah terdengar Leng-sian sedang bicara pula, "Kau sudah mencari selama beberapa bulan dan tetap tidak ketemu, maka jelas kiam-boh itu tidak berada di sini, buat apa kita mesti susah-susah membongkar ubin segala. Hanya satu kata Toa ... Toasuko saja kenapa kau menganggapnya sungguh-sungguh?"
Kembali perasaan Lenghou Tiong merasa pedih, pikirnya, "Ternyata dia masih mau menyebut aku "toasuko"."
Terdengar Peng-ci menjawab, "Toasuko telah menyampaikan pesan ayahku, katanya barang tinggalan leluhur di rumah kediaman lama di Hiang-yang-kang (Gang Matahari) sini tidak boleh sembarangan diperiksa. Kupikir seumpama kiam-boh itu telah dipinjam oleh Toasuko dan untuk sementara tidak dikembalikan ...."
Lenghou Tiong mendengus di dalam hati, "Hm, baik hati benar ucapanmu, kalau tidak mengatakan aku menggelapkan barangmu, tapi mengatakan aku pinjam sementara. Hm, buat apa kau bicara sehalus ini?"
Dalam pada itu terdengar Peng-ci lagi menyambung, "Tapi mengingat kata-kata kediaman lama di Hiang-yang-kang sekali-kali tidak dapat dikarang oleh Toasuko sendiri, maka aku yakin apa yang disampaikan padaku benar-benar adalah pesan ayah-bundaku. Selamanya Toasuko juga tidak kenal keluarga kami, selamanya juga tak pernah datang ke Hokciu sini, sekali-kali dia takkan tahu di kota ini adalah sebuah jalan bernama Hiang-yang-kang, lebih-lebih takkan tahu kediaman lama leluhur kami berada di jalan ini. Malahan orang-orang Hokciu asli juga jarang yang tahu akan hal ini."
Elang Terbang Di Dataran Luas 3 Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo Lung Shen Istana Tanpa Bayangan 4
^