Hina Kelana 27
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 27
"Ya, seumpama betul adalah pesan peninggalan ayah-ibumu, lantas bagaimana?" tanya Leng-sian.
"Pesan tinggalan ayahku yang disampaikan Toasuko itu menyebut pula jangan memeriksa atau membaca kitab atau benda apa segala, setelah kupikir sekian lamanya, kuyakin pasti ada sangkut pautnya dengan soal kiam-boh. Siausuci, kupikir jika pesan ayah menyebut jalan dan rumah lama ini, seumpama kiam-boh tidak berada di sini lagi, mungkin di sini akan diperoleh sedikit tanda-tanda tertentu."
"Benar juga uraianmu. Selama beberapa hari ini kulihat semangatmu rada lesu, malam hari juga tidak mau tinggal di piaukiok dan mesti pulang ke sini. Aku menjadi khawatir, maka sengaja datang menjenguk kau. Di waktu siang hari kau berlatih pedang, harus mengawani aku pula, dan kalau malam masih harus membongkar rumah lagi di sini."
Peng-ci tersenyum ewa, lalu menghela napas dan berkata, "Kupikir kematian ayah-ibuku sangatlah menyedihkan, jika aku dapat menemukan kiam-boh dan dapat membunuh musuh dengan tangan sendiri dengan ilmu pedang warisan leluhur, dengan demikian barulah ayah-ibu akan terhibur di alam baka."
"Entah saat ini Toasuko berada di mana?" ujar Leng-sian. "Jika aku dapat bertemu dia tentu akan memintakan kiam-boh itu bagimu. Ilmu pedangnya sekarang sudah sangat tinggi, sudah seharusnya kiam-boh itu dikembalikan kepada yang empunya. Menurut aku, Siau-lim-cu, sebaiknya akhiri khayalanmu, tidak perlu lagi membongkar seisi rumah ini. Seandainya tidak ada kiam-boh keluargamu, asalkan berhasil meyakinkan Ci-he-sin-kang ayah juga mampu membalas sakit hatimu."
"Sudah tentu," kata Peng-ci. "Cuma kematian ayah-ibuku sedemikian mengenaskan, sebelum ajal banyak disiksa dan dihina pula, bila aku dapat menuntut balas dengan ilmu pedang keluarga sendiri akan dapat melampiaskan dendam ayah-ibu. Pula, Ci-he-sin-kang perguruan kita selamanya hanya diajarkan kepada seorang murid yang terpilih sebagai ahli waris. Aku sendiri adalah murid buncit, meski suhu dan sunio sangat sayang padaku, tapi para suheng dan suci tentu takkan terima dan menyangka hal-hal yang tidak baik."
"Ah, peduli bagaimana anggapan mereka, asalkan kau berbuat tulus dan sejujurnya sudah cukup," ujar Leng-sian.
"Cara bagaimana kau mengetahui aku akan tulus dan jujur?" tanya Peng-ci tertawa.
Mendadak terdengar suara gaplokan Leng-sian di atas badan Peng-ci, omelnya, "Ya, aku tahu kau cuma pura-pura saja, kau adalah manusia berhati serigala."
"Sudahlah, sudah sekian lamanya kita di sini, marilah kita pulang," terdengar Peng-ci berkata dengan tertawa. "Tapi kalau kuantar kau pulang piaukiok, bila diketahui suhu dan sunio tentu bisa celaka."
"Maksudmu mengusir aku, bukan" Baiklah, kau mengusir aku, segera juga aku akan pergi, tidak perlu kau mengantar," kata Leng-sian. Nadanya kedengaran tidak senang.
Sejak kecil Lenghou Tiong dibesarkan bersama si nona, ia tahu saat ini Leng-sian tentu menjengkit mulut, anak dara di waktu marah-marah kecil memang mempunyai daya pikat tersendiri. Ia pikir Lim-sute ini sungguh aneh, kalau siausumoay datang menjenguk aku, biarpun langit ambruk juga aku mengharapkan dia tetap tinggal bersama aku. Tapi sekarang ia justru ingin perginya siausumoay, seakan-akan siausumoay sedemikian melengket padanya, sebaliknya dia anggap sepi saja.
Sementara itu Peng-ci sedang bicara lagi, "Menurut kata suhu, ketua Mo-kau yang dulu Yim Ngo-heng telah muncul di Kangouw lagi, kabarnya sudah berada di wilayah Hokkian. Ilmu silat bekas ketua Mo-kau ini sangat tinggi dan sukar dijajaki, tindak tanduknya keji dan ganas pula. Jika tengah malam kau pulang sendiri dan kebetulan kepergok olehnya, lantas ... lantas bagaimana?"
"Hm, andaikan kau mengantar aku pulang, kalau kebetulan kepergok dia, apakah kau lantas mampu membekuk dia atau membunuh dia?" sahut Leng-sian.
"Ya, sudah tahu ilmu silatku tidak becus, kau sengaja mengejek aku ya?" sahut Peng-ci. "Sudah tentu aku bukan tandingannya, tapi asal berada bersama kau, biarpun mati juga boleh mati bersama."
Seketika hati Leng-sian menjadi lemas, katanya dengan suara halus, "Siau-lim-cu, bukan maksudku mengatakan ilmu silatmu tidak becus. Asalkan kau berlatih segiat ini, kelak tentu lebih hebat daripadaku. Padahal selain ilmu pedang yang belum kau kuasai, jika berkelahi sungguh-sungguh mana aku sanggup melayani kau."
Peng-ci tertawa, katanya, "Ah, dengan sebelah tangan saja kau sudah dapat merobohkan aku."
Rupanya Gak Leng-sian belum mau pergi dan ingin membikin senang Lim Peng-ci, ia berkata pula, "Siau-lim-cu, marilah kubantu kau mencari lagi. Benda-benda di rumahmu sendiri sudah teramat hafal bagimu sehingga tidak menarik perhatian, mungkin sekali aku dapat menemukan sesuatu benda yang mencolok."
"Baiklah, boleh coba kau mencari sesuatu yang dirasakan aneh," ujar Peng-ci.
Menyusul lantas terdengar suara gedubrakan, suara ditariknya laci dan bergesernya meja-kursi. Selang sejenak, terdengar Leng-sian berkata, "Semuanya biasa saja, tiada apa-apa yang menarik. Apakah rumahmu ini ada tempat-tempat yang luar biasa?"
Peng-ci terdiam sejenak, jawabnya kemudian, "Tempat yang luar biasa" Tidak ada. Menurut pesan ayahku, di antaranya ada kata-kata jangan memeriksa segala, apa ada tempat luar biasa yang harus diperiksa?"
"Ya, umpamanya kita bisa memeriksanya ke kamar baca," ujar Leng-sian.
"Keluarga kami turun-temurun menjadi jago pengawal, hanya ada ruangan kantor, tidak ada kamar baca. Kantor juga cuma ada di piaukiok sana."
"Jika begitu menjadi sulit untuk mencarinya. Apakah isi rumah ini ada sesuatu yang dapat dibuka dan diperiksa?"
"Dari pesan ayah yang disampaikan Toasuko itu, katanya aku dilarang membongkar dan memeriksa barang-barang tinggalan leluhur. Padahal besar kemungkinan aku justru disuruh membongkar dan memeriksa benda-benda tinggalan leluhurku. Tapi di sini toh tidak ada benda-benda kuno apa" Setelah kupikir-pikir lagi, yang ada cuma sedikit kitab-kitab agama Buddha tinggalan leluhur saja."
Mendadak Leng-sian melonjak girang, serunya, "Bagus! Kitab Buddha katamu" Sungguh tepat. Tat-mo Cosu adalah cikal bakal ilmu silat, adalah bukan sesuatu yang aneh jika di dalam kitab Buddha tersembunyi kiam-boh segala."
Mendengar kata-kata Leng-sian itu, semangat Lenghou Tiong seketika ikut terbangkit. Katanya di dalam hati, "Jika Lim-sute dapat menemukan kiam-boh di dalam kitab Buddha yang dikatakan itu, tentu segala urusan akan menjadi beres dan aku takkan dicurigai menggelapkan kiam-bohnya."
Tapi lantas terdengar Peng-ci menjawab, "Kitab-kitab itu sudah kuperiksa semua, bahkan sudah kuperiksa beberapa kali. Malahan sudah kucocokkan dengan kitab-kitab yang serupa yang kupinjam dari perpustakaan, isi kitab-kitab di sini ternyata tiada sesuatu yang mencurigakan. Jadi kitab-kitab Buddha di sini hanya kitab-kitab biasa."
"Jika demikian apa daya kita?" ujar Leng-sian. Setelah termenung sebentar, mendadak ia bertanya, "Tapi lapisan dalam halaman kitab-kitab itu apa sudah kau periksa juga?"
"Lapisan dalam" Hal ini tak terlintas dalam pikiranku," sahut Peng-ci. "Marilah sekarang juga kita memeriksanya lagi."
Begitulah masing-masing lantas membawa sebuah tatakan lilin, dengan tangan bergandengan tangan mereka keluar dari kamar itu dan menuju ke ruangan belakang.
Lenghou Tiong mengikuti jurusan mereka dari atas rumah. Tertampak sinar lampu itu menembus keluar dari balik jendela sebuah kamar, lalu kamar yang lain pula. Akhirnya sampai di kamar di sudut barat laut sana. Dengan enteng Lenghou Tiong melompat turun dan mengintip ke dalam melalui celah-celah jendela. Kiranya kamar itu adalah sebuah ruangan pemujaan Buddha.
Di tengah ruangan itu tergantung sebuah lukisan cat air Tat-mo Cosu (Buddhatama) itu cikal bakal Siau-lim-pay yang terkenal. Anehnya lukisan Tat-mo Cosu itu dilukis dalam posisi mungkur. Agaknya melukiskan sewaktu Tat-mo Cosu sedang semadi selama sembilan tahun menurut kisahnya. Di sebelah kiri ruangan ada sebuah kasuran yang tampaknya sudah sangat tua, di atas meja sembahyang ada bok-hi (kentungan berbentuk ikan laut), genta kecil, dan setumpuk kitab.
Melihat keadaan ruangan itu, Lenghou Tiong menduga leluhur Hok-wi-piaukiok yang pernah menjagoi dunia Kangouw itu tentu dahulunya banyak membinasakan kawanan bandit yang menjadi seterunya, tapi pada akhir hayatnya dia telah bersujud menjadi seorang yang alim.
Tertampak Gak Leng-sian mengambil sebuah kitab dan berkata, "Kita bongkar kitab ini, coba periksa lapisan dalam tiap-tiap halamannya apa ada terselip sesuatu benda. Jika tidak ada, kitab ini dapat kita jilid kembali."
"Baiklah," sahut Peng-ci, ia pun ambil satu jilid kitab itu dan memutuskan jahitan benang jilidan, lalu halaman-halaman kitab itu dibentang, begitu pula Leng-sian juga lantas membuka satu jilid yang lain serta diangkat di depan lilin untuk menyorotnya kalau-kalau di tengah halaman kitab itu ada tulisan lain.
Lenghou Tiong dapat menyaksikan potongan badan si nona dari belakang, tangan Leng-sian kelihatan putih bersih, pergelangan tangan kiri masih memakai gelang pualam hijau seperti dulu. Terkadang mukanya miring sedikit dan saling pandang dengan Peng-ci, keduanya lantas tersenyum penuh arti, lalu keduanya memeriksa lagi halaman-halaman kitab itu. Entah karena sorotan api lilin atau pipi si nona memang bersemu merah, tapi tampaknya wajah si nona memang alangkah moleknya. Lenghou Tiong sampai kesima di luar jendela.
Satu per satu kitab-kitab di atas meja telah dibongkar oleh Leng-sian dan Peng-ci, ketika kitab-kitab itu hampir habis diperiksa, sekonyong-konyong Lenghou Tiong mendengar di belakangnya ada suara mendesirnya angin yang sangat lirih. Waktu menoleh, dilihatnya ada dua sosok bayangan melayang ke arahnya dari tembok rumah sebelah kanan, keduanya saling memberi isyarat dengan tangan, lalu melompat ke dalam pekarangan dengan sangat enteng, jelas sekali ginkang mereka sangat tinggi.
Tatkala itu Lenghou Tiong sudah menyelinap ke pojok lain, dilihatnya kedua orang itu mendekati ruangan di mana Peng-ci berdua berada, mereka juga mengintip ke dalam.
Selang tak lama, terdengar Leng-sian berkata di dalam, "Sudah habis, tiada menemukan sesuatu."
Nadanya kedengaran sangat kecewa. Tapi mendadak ia menyambung lagi, "Eh, Siau-lim-cu, aku ingat sesuatu, coba kita ambil satu baskom air."
"Untuk apa?" terdengar Peng-ci bertanya.
"Sering kali kudengar cerita ayah bahwa orang kuno suka menggunakan semacam obat untuk menulis, sesudah kering huruf yang tertulis akan hilang, tapi kalau kertas tulis dibasahi dengan air, maka hurufnya akan timbul lagi."
Lenghou Tiong juga ingat memang dulu pernah mendengar sang guru bercerita tentang hal ini, tatkala itu Leng-sian baru berumur sepuluhan, sebaliknya dirinya sudah jejaka tanggung. Terkenang kepada masa silam yang menyenangkan, kembali matanya berkaca-kaca mengembeng air mata.
Terdengar Peng-ci lagi menyahut, "Benar, kita harus mencobanya."
Begitulah kedua muda-mudi lantas keluar untuk mengambil air. Dua orang yang mengintip di luar jendela itu tampak menahan napas dan tidak berani bergerak. Tidak lama kemudian Peng-ci dan Leng-sian masing-masing membawa satu baskom air dan masuk lagi ke ruangan Buddha itu, beberapa halaman kitab yang sudah terbuka itu mereka rendam di dalam air.
Hanya sebentar saja rupanya Peng-ci sudah tidak sabar lagi, segera ia mengambil satu halaman kitab rendaman itu dan disorot di bawah cahaya lilin, namun tidak kelihatan bekas tulisan apa-apa. Belasan halaman kitab rendaman itu telah mereka periksa dan tetap tidak tampak sesuatu yang aneh.
Maka terdengar Peng-ci menghela napas dan berkata, "Sudahlah, tidak perlu dicoba lagi, tidak ada tulisan apa-apa yang aneh."
Baru selesai Peng-ci berkata demikian, kedua orang yang mengintip di luar jendela itu sudah lantas memutar ke muka pintu dengan gesit sekali, lalu mendorong pintu dan menerobos ke dalam.
"Siapa?" bentak Peng-ci kaget
Tapi cepat luar biasa gerakan kedua orang itu, begitu menerobos masuk segera mereka menerjang maju. Baru saja Peng-ci hendak melawan, tahu-tahu iganya sudah kena tertutuk.
Begitu pula Gak Leng-sian, baru saja pedangnya terlolos setengah, tahu-tahu jari musuh menuju ke arah matanya, terpaksa Leng-sian mengurungkan menarik pedang dan angkat tangannya untuk menangkis.
Berturut-turut lawan itu mencakar tiga kali, semuanya mengarah ke tenggorokan Leng-sian secara keji. Keruan Leng-sian terperanjat dan mundur dua tindak sehingga punggungnya sudah mepet meja sembahyang dan tidak dapat mundur lagi.
Mendadak sebelah tangan orang itu menggaplok ke batok kepalanya, terpaksa Leng-sian menangkis sekuatnya dengan kedua tangan. Tak terduga serangan musuh ini hanya pancingan belaka, jari tangan yang lain mendadak menutuk sehingga pinggang Leng-sian tertutuk dengan jitu dan tak bisa berkutik lagi.
Semua itu telah disaksikan oleh Lenghou Tiong, tapi dilihatnya jiwa Peng-ci dan Leng-sian untuk sementara tak terancam, maka ia pikir tidak perlu buru-buru menolong mereka. Ia ingin tahu apa kehendak dan asal usul kedua orang penyergap itu.
Dilihatnya kedua orang itu celingukan dan melongak-longok di ruangan pemujaan itu, mendadak seorang di antaranya memegang kasuran di lantai terus dirobek menjadi dua, seorang lagi menghantam bok-hi di atas meja sehingga pecah.
Peng-ci dan Leng-sian tak bisa bicara dan juga tak bisa bergerak, tapi melihat tenaga kedua orang itu sedemikian lihai, merusak kasuran dan menghancurkan bok-hi, terang tujuan mereka juga hendak mencari Pi-sia-kiam-boh. Namun mereka merasa lega juga karena di dalam kasuran serta bok-hi itu tiada tersimpan sesuatu benda.
Usia kedua orang itu sama-sama sudah tua, sedikitnya sudah mendekati 60-an, seorang kepalanya botak, seorang lagi rambutnya ubanan semua. Gerak-gerik kedua orang sama-sama cepat luar biasa, hanya sebentar saja mereka telah menghancurkan segala benda yang berada di dalam ruangan pemujaan itu, tapi tidak menemukan apa-apa.
Tiba-tiba pandangan kedua orang itu sama-sama terpusat ke arah lukisan Tat-mo Cosu yang tergantung di dinding itu. Mendadak si botak hendak menjambret lukisan itu, tapi kawannya telah mencegahnya dan berseru, "Nanti dulu, coba kau lihat jarinya?"
Berbareng pandangan Peng-ci, Leng-sian, dan Lenghou Tiong juga ikut tercurah kepada lukisan itu. Tertampak Tat-mo Cosu dalam lukisan itu digambarkan dalam keadaan tangan kiri menelikung ke belakang, sebaliknya jari telunjuk tangan kanan teracung ke atas atap rumah.
"Apakah kau maksudkan jarinya yang tidak beres?" tanya si botak.
"Aku belum tahu pasti, tapi harus kita coba dulu," sahut si rambut putih. Mendadak ia meloncat ke atas, kedua tapak tangan memukul sekaligus menuju tempat yang dituding jari Tat-mo Cosu dalam lukisan itu. Tempat itu adalah atap rumah.
Maka berhamburlah debu pasir. Kata si botak, "Mana ada barang ...." belum habis ucapannya, sekonyong-konyong segulung benda merah jatuh dari lubang atap rumah yang terpukul tadi. Kiranya adalah sebuah kasa (jubah) yang biasa dipakai kaum hwesio.
Bab 83. Orang Ko-san-pay Ternyata Anggota Mo-kau
Dengan cepat si rambut putih menangkap kasa itu dan diperiksa di bawah sinar lilin, serunya kemudian dengan kegirangan, "Ini dia ... ini dia!" Rupanya saking girangnya sampai suaranya ikut gemetar.
"Apa ... apa itu?" tanya si botak.
"Sembilan bagian tentu inilah kiam-bohnya," ujar si rambut putih. "Haha, hari ini kita berdua benar-benar berjasa besar. Lekas simpan baik-baik kasa itu, Saudaraku."
Si botak juga kegirangan setengah mati, dengan hati-hati ia lipat jubah itu dan disimpan dalam bajunya. Lalu ia tuding Peng-ci dan Leng-sian, katanya, "Mampuskan mereka tidak?"
Lenghou Tiong sudah siapkan senjatanya, asalkan si rambut putih memperlihatkan niat membunuh Leng-sian berdua, segera ia bermaksud menerjang ke dalam untuk membinasakan kedua kakek itu.
Tak terduga si rambut putih hanya menjawab, "Kiam-boh sudah kita temukan, tidak perlu kita mengikat permusuhan dengan Hoa-san-pay, biarkan mereka begini saja."
Kedua orang lantas melangkah keluar dan meninggalkan rumah itu.
Dengan enteng Lenghou Tiong juga melompat ke luar pagar tembok dan menguntit di belakang kedua orang itu. Langkah kedua kakek itu sangat cepat. Khawatir kehilangan jejak mereka dalam kegelapan malam, segera Lenghou Tiong perkencang langkahnya juga sehingga jaraknya hanya beberapa meter saja.
Setiap kali kedua kakek itu mempercepat langkahnya, maka Lenghou Tiong lantas ikut dengan langkah yang tidak kalah cepatnya. Tapi mendadak kedua kakek di depan itu berhenti terus membalik tubuh. Tahu-tahu sinar tajam berkelebat, kontan Lenghou Tiong merasa pangkal lengan kanan menjadi kesakitan, ternyata telah kena ditebas oleh senjata lawan.
Gerakan berhenti mendadak, membalik tubuh mendadak, dan menyerang mendadak benar-benar terjadi secepat kilat. Lenghou Tiong sendiri hanya kuat dalam hal tenaga dalam dan ilmu pedangnya lihai, tapi pengalaman menghadapi serangan kilat dan perubahan yang aneh itu sesungguhnya masih sangat cetek, masih selisih jauh kalau dibandingkan jago silat kelas wahid. Maka ia benar-benar tidak berdaya menghadapi serangan kilat lawan, sedikit pun ia tidak sempat menyentuh senjatanya dan tahu-tahu sudah terluka.
Ilmu golok kedua kakek itu sungguh luar biasa, sekali serangan berhasil, segera serangan kedua dilancarkan lagi.
Sungguh kejut Lenghou Tiong tak terkatakan, lekas-lekas ia melompat ke belakang, syukur tenaga dalamnya teramat kuat, lompatan ke belakang itu sudah beberapa meter jauhnya, menyusul sekali lompat lagi kembali beberapa meter jauhnya.
Kedua kakek terkejut juga menyaksikan ketangkasan Lenghou Tiong yang sudah terluka, tapi masih sanggup melompat sedemikian gesit dan cepat. Tanpa bicara mereka lantas menubruk maju lagi.
Lenghou Tiong putar tubuh terus melarikan diri. Pundaknya yang terluka itu semula tidak terasa sakit, sekarang sesudah kena angin rasa sakitnya menjadi-jadi, hampir-hampir saja kelengar saking sakitnya. Pikirnya, "Kasa yang dirampas kedua orang ini besar kemungkinan bertuliskan Pi-sia-kiam-boh di atasnya. Aku sendiri difitnah karena kiam-boh tersebut, betapa pun harus kurebut kembali untuk diserahkan kepada Lim-sute."
Begitulah ia menahan rasa sakitnya sebisanya dan berusaha mencabut goloknya.
Tapi sudah ditarik-tarik, golok hanya setengahnya saja terlolos dari sarungnya, selanjutnya sukar lagi ditarik. Kiranya sesudah pangkal lengan kanan terluka, tenaganya sedikit pun sukar dikerahkan. Tiba-tiba didengarnya angin menyambar dari belakang, golok musuh kembali membacok lagi ke atas kepalanya, cepat ia melompat ke depan sebisanya, berbareng tangan kiri menarik sekuatnya sehingga ikat pinggang terbetot putus, dengan demikian barulah golok dapat dipegang. Sekuatnya ia menyendal sehingga sarung golok terlempar ke tanah. Tapi baru saja hendak balik tubuh, mendadak angin tajam menyambar ke mukanya, kedua golok musuh telah menyerang sekaligus.
Lagi-lagi Lenghou Tiong melompat mundur, sementara itu subuh sudah hampir tiba. Tapi cuaca menjelang subuh biasanya paling gelap. Selain berkelebatnya sinar golok boleh dikata sukar melihat sesuatu benda lain di depannya. Padahal Tokko-kiu-kiam yang diyakinkan Lenghou Tiong gunanya untuk mematahkan setiap jurus serangan musuh, di mana ada lubang segera dimasuki. Kini gerak serangan musuh sama sekali tak kelihatan, dengan sendirinya ilmu pedangnya tak dapat dimainkan. Tiba-tiba lengan kiri kesakitan lagi, kembali tergores luka oleh golok musuh.
Ia tahu malam ini sukar mengalahkan lawan, kalau tidak lekas lari mungkin jiwanya bisa melayang malah. Terpaksa ia angkat langkah seribu menuju ke jalan besar sana dengan sebelah tangan memegang golok sembari mendekap luka di pundak agar darah tidak mengucur terlalu banyak dan roboh lemas.
Setelah mengudak sekian lamanya, melihat langkah Lenghou Tiong sedemikian cepatnya, terang sukar menyusulnya, kedua kakek itu pikir kiam-boh yang dicari toh sudah diperoleh, buat apa mencari perkara lain. Maka mereka lantas berhenti tidak mengejar lagi, mereka putar balik ke arah tadi.
Tapi Lenghou Tiong lantas berteriak-teriak, "Hei, kawanan bangsat, habis mencuri lantas mau lari ya?"
Habis itu ia lantas mengejar balik malah.
Keruan kedua kakek menjadi gusar, mereka putar balik terus membacok dengan golok. Lenghou Tiong tidak mau bertempur lagi, ia putar tubuh untuk lari pula sembari berharap-harap ada orang lalu di situ dengan membawa lentera, dengan sedikit cahaya saja ia sudah sanggup melayani ilmu golok lawan-lawannya.
Tiba-tiba hatinya tergerak, cepat ia melompat ke atas rumah, sekilas terlihat di sebelah kiri sana ada sinar lampu, segera ia berlari menuju ke rumah yang berlampu itu. Tapi kedua kakek itu tidak mau mengejarnya lagi ke atas rumah.
Lenghou Tiong tidak kurang akal, segera ia menghujani kedua lawan dengan genting sambil berteriak, "He, kalian berdua maling yang telah mencuri Pi-sia-kiam-boh keluarga Lim, yang satu botak, yang lain ubanan, biarpun lari ke ujung langit juga akan dibekuk."
Mendengar nama Pi-sia-kiam-boh disebut dengan tepat, kedua kakek sependapat kalau orang ini tidak dibunuh tentu akan mendatangkan kesukaran di kemudian hari. Jika orang ini sudah terbunuh, kedua muda-mudi yang masih ketinggalan di ruangan pemujaan itu pun perlu dibinasakan agar tidak membocorkan perbuatan mereka. Karena pikiran demikian, segera mereka melompat ke atas rumah dan mengejar pula ke arah Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong merasa kakinya sudah lemas, tenaganya makin lama makin lemah. Sekuat sisa tenaganya ia berlari terus ke arah sinar lentera tadi. Sekonyong-konyong ia terhuyung dan terjungkal dari atas rumah. Lekas-lekas ia menggunakan gerakan "Le-hi-tah-ting" (Ikan Lele Melejit), sekali jumpalitan dapatlah ia berbangkit, lalu berdiri bersandarkan tembok.
Kedua kakek itu pun melompat turun, lalu mendesak maju dari kanan dan kiri.
"Hehe, telah kuberi jalan hidup padamu, tapi kau justru tidak mau," ejek si botak dengan menyeringai.
Melihat mulut si botak yang menyeringai itu tinggal tiga biji giginya, tampaknya sangat jelek dan seram. Terkesiap hati Lenghou Tiong, kiranya fajar sudah menyingsing, dapatlah ia melihat benda-benda di hadapannya dengan cukup jelas.
"Sebenarnya kalian berdua berasal dari aliran mana, kenapa kalian ingin membunuh aku?" tanya Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Tidak perlu banyak omong dengan dia," bisik si rambut putih kepada si botak. Goloknya diangkat terus menebas ke leher Lenghou Tiong.
Agaknya si botak merasa tidak sepadan untuk main keroyok, maka ia tidak ikut menyerang.
Di luar dugaan, ketika mendadak Lenghou Tiong melolos golok terus ditusukkan ke depan sebagai pedang, hanya tusukan sekenanya saja, tahu-tahu tenggorokan si rambut putih telah tertusuk dengan tepat.
Keruan si botak terkejut, cepat ia putar goloknya menubruk maju. Kembali golok Lenghou Tiong menebas dan dengan tepat mengenai pergelangan tangan lawan, kontan tangan berikut golok yang masih tergenggam tertebas kutung. Menyusul ujung golok Lenghou Tiong mengancam di tenggorokan si botak dan membentak, "Dari mana asal usul kalian berdua ini" Lekas mengaku terus terang dan jiwamu dapat kuampuni!"
"Hehe," si botak mengekek, lalu menjawab dengan putus asa, "selama kami bersaudara malang melintang di Kangouw jarang sekali ketemu tandingan, tapi hari ini ternyata harus mati di bawah golokmu, sungguh aku sangat kagum. Cuma belum tahu siapakah namamu, sampai mati pun aku ... aku masih penasaran."
Meski sebelah tangan sudah buntung, tapi lagaknya tetap gagah tak mau menyerah, mau tak mau Lenghou Tiong merasa kagum juga terhadap tekad lawan itu. Katanya kemudian, "Aku terpaksa harus membela diri, sesungguhnya aku tidak pernah kenal kalian berdua, maafkan jika aku mencelakai kalian tanpa sengaja. Asalkan jubah itu kau serahkan padaku, maka bolehlah kita berpisah dengan baik."
Tapi dengan tegas si botak menjawab, "Biarpun Tut-eng tidak becus juga tidak sudi menyerah kepada musuh."
Mendadak tangan kirinya bergerak, sebilah belati telah menancap di ulu hatinya sendiri.
"Sampai mati pun tidak mau takluk, orang ini benar-benar suatu tokoh pilihan," demikian pikir Lenghou Tiong. Segera ia bermaksud mengambil jubah di dalam baju orang itu. Mendadak kepalanya terasa pening, ia tahu darahnya sendiri keluar terlalu banyak. Lekas-lekas ia merobek kain lengan baju untuk membalut luka di bagian pundak itu, habis itu barulah jubah di baju si botak diambilnya.
"Kletak", mendadak sepotong kayu jatuh di atas tanah. Waktu ia jemput dan diperiksa, ternyata panjang kayu itu hanya belasan sentimeter saja, sebagian terbakar hangus, di atasnya banyak terukir huruf-huruf dan garis-garis yang aneh.
Ia kenal potongan kayu ini adalah leng-pay (lencana kebesaran) ketua Mo-kau yang disebut "Hek-bok-leng-pay" (Lencana Kayu Hitam). Tempo hari waktu di tempat kediaman Ui Ciong-kong, begitu Pau Tay-coh mengeluarkan leng-pay ini, seketika Ui Ciong-kong dan lain-lain tunduk perintah tanpa membangkang sedikit pun. Maka dapat diketahui leng-pay ini mewakili kekuasaan kaucu sepenuhnya.
Baru sekarang ia tahu kedua kakek ini kiranya juga orang Mo-kau, jika mereka dibunuh juga setimpal dengan kejahatan yang telah mereka lakukan. Segera ia menyimpan jubah dan leng-pay itu dalam bajunya, ia pikir orang-orang Mo-kau sedang mengacau wilayah Hokkian dan sekitarnya, leng-pay demikian mungkin ada gunanya kelak.
Dalam pada itu kepala terasa pening lagi, ia menarik napas panjang-panjang, membedakan arah, lalu melangkah ke rumah Lim Peng-ci di Jalan Hiang-yang-kang itu.
Tapi baru belasan meter jauhnya ia sudah merasa payah, pikirnya, "Jika aku roboh di sini, bukan saja jiwaku akan melayang, bahkan setelah mati masih akan didakwa orang sebagai pencuri Pi-sia-kiam-boh, barang bukti berada padaku, betapa pun aku tak bisa menghindarkan tuduhan demikian."
Ia coba bertahan sekuatnya, akhirnya selangkah demi selangkah ia mendekati Hiang-yang-kang. Tapi pintu rumah tampak tertutup rapat, Peng-ci dan Leng-sian jelas tak bisa berkutik di dalam karena kena ditutuk kedua kakek tadi, tiada orang lain lagi yang bisa membukakan pintu. Suruh dia melompat ke dalam dengan melintasi pagar tembok jelas tidak mampu dalam keadaan kehabisan tenaga. Terpaksa ia menggedor pintu beberapa kali, menyusul sebelah kakinya mendepak sekuatnya.
Tapi bukannya daun pintu terbuka, sebaliknya guncangan keras itu membuatnya roboh sendiri dan tak sadar lagi ....
Ketika siuman kembali, terasa dirinya berbaring di suatu tempat tidur. Begitu membuka mata lantas melihat Gak Put-kun dan istri berdiri di depan ranjang. Keruan Lenghou Tiong sangat girang serunya, "Suhu, Sunio, aku ... aku ...." saking terharunya air matanya lantas bercucuran, ia meronta-ronta bangun berduduk.
Gak Put-kun tidak menjawabnya, sebaliknya lantas tanya, "Sebenarnya apa yang terjadi ini?"
"Bagaimana dengan siausumoay" Dia ... dia selamat tak apa-apa bukan?" tanya Lenghou Tiong.
"Tidak apa-apa, kenapa kau berada di ... di Hokciu sini?" sahut Gak-hujin. Betapa pun perasaan wanita memang lebih halus dan lemah, dia yang telah membesarkan Lenghou Tiong sejak kecil dan menganggapnya seperti anak kandung sendiri, sekarang berjumpa kembali setelah berpisah sekian lamanya, selain terharu girang juga hatinya.
"Lim-sute punya Pi-sia-kiam-boh telah direbut oleh orang Mo-kau," tutur Lenghou Tiong. "Aku telah membunuh kedua orang itu dan dapat merebut kembali kiam-bohnya."
Tapi ketika meraba bajunya sendiri dan tidak terdapat lagi jubah yang penuh tulisan kecil-kecil itu, cepat ia bertanya, "Ke ... ke mana kasa itu?"
"Itu adalah milik Peng-ci, sudah seharusnya diserahkan kembali padanya," kata Gak-hujin.
"Benar," sahut Lenghou Tiong tanpa ragu-ragu. Lalu tanyanya lagi kepada Gak-hujin, "Sunio, baik-baikkah engkau bersama suhu" Para sute dan sumoay tentunya juga baik-baik."
"Ya, semuanya baik-baik," sahut Gak-hujin dengan mengusap air mata saking terharu.
"Bagaimana aku bisa sampai di sini" Apakah Suhu dan Sunio yang telah menolongku ke sini?" tanya Lenghou Tiong.
"Pagi tadi ketika aku pergi ke rumah Peng-ci di Hiang-yang-kang, di luar pintu aku melihat kau menggeletak tak sadarkan diri," kata Gak-hujin.
"O, untung Sunio yang datang, kalau dilihat lebih dulu oleh iblis dari Mo-kau tentu jiwa anak sudah melayang," ujar Lenghou Tiong. Ia tahu pasti pagi-pagi ibu-gurunya sengaja mencari Leng-sian yang tidak pulang semalaman itu, tempat yang dituju adalah rumah di Hiang-yang-kang. Hanya saja hal ini tidak enak untuk diceritakan. Maka ia pun tidak tanya lebih jelas
Tiba-tiba Gak Put-kun membuka suara, "Kau bilang sudah membunuh dua orang Mo-kau, cara bagaimana kau mengetahui mereka adalah anggota Mo-kau?"
"Tecu menemukan sebuah Hek-bok-leng-pay tanda kebesaran Kaucu Mo-kau di dalam baju mereka," tutur Lenghou Tiong. Diam-diam ia merasa girang karena telah berhasil merebut kembali Pi-sia-kiam-boh, tentu Lim-sute, siausumoay, dan gurunya takkan menaruh curiga lagi padanya. Malahan dengan membunuh dua iblis dari Mo-kau ini tentu suhu takkan menuduhnya bersekongkol lagi dengan orang-orang Mo-kau.
Tak terduga wajah Gak Put-kun malahan membesi, katanya sambil mendengus, "Hm, sampai saat ini kau masih berani mengoceh tak keruan, memangnya kau anggap aku ini mudah dibohongi."
Lenghou Tiong terkesiap, serunya cepat, "Tecu sekali-kali tidak berani membohongi Suhu."
"Siapa mengaku suhumu" Orang she Gak sudah lama tiada hubungan sebagai guru dan murid lagi dengan kau."
Lenghou Tiong menjatuhkan diri ke lantai terus berlutut dan menyembah, katanya, "Tecu telah banyak berbuat salah dan rela menerima hukuman apa pun dari Suhu. Hanya ... hanya hukuman pemecatan dari perguruan mohon dengan sangat sudilah Suhu menariknya kembali."
Gak Put-kun mengelak ke samping, ia tidak mau menerima penghormatan Lenghou Tiong itu, katanya dengan ketus, "Alangkah besar perhatiannya putri Yim-kaucu dari Mo-kau itu kepadamu, sudah lama kau berkomplot dengan mereka, untuk apa lagi menginginkan guru semacam aku?"
"Putri Yim-kaucu dari Mo-kau?" Lenghou Tiong menegas. "Entah bagaimana maksud ucapan Suhu ini" Walaupun Tecu pernah dengar bahwa Yim ... Yim Ngo-heng itu punya anak perempuan, tapi ... tapi Tecu belum pernah melihatnya."
"Anak Tiong, sampai saat ini kenapa kau masih berdusta lagi?" sela Gak-hujin. "Yim-siocia itu telah mengumpulkan orang-orang Kangouw tak tertentu di atas Ngo-pah-kang di Soatang untuk mengobati penyakitmu, setiap orang bu-lim mengetahui ...."
"Hah, nona di Ngo-pah-kang itu, dia ... dia ... Ing-ing, dia ... dia adalah putrinya Yim-kaucu?" seru Lenghou Tiong dengan heran dan tidak habis paham.
"Kau bangun saja," kata Gak-hujin.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong berdiri, ia menggumam dengan bingung, "Ing-ing, dia ... dia adalah putrinya Yim-kaucu" Ini ... ini mana bisa jadi?"
"Terhadap Suhu dan Sunio kenapa kau masih berdusta?" kata Gak-hujin dengan kurang senang.
"Siapa sudi menjadi suhunya?" bentak Gak Put-kun dengan gusar. "Brak", mendadak telapak tangannya menggebrak meja sehingga ujung meja sempal sebagian.
"Tapi ... tapi Tecu sekali-kali tidak berani berdusta kepada Suhu ...."
"Sekali lagi kau panggil suhu, seketika aku binasakan kau!" hardik Gak Put-kun dengan bengis.
Terpaksa Lenghou Tiong mengiakan. Dengan pucat ia pegang tepian ranjang, badannya terasa lemas dan sempoyongan. Katanya lemah, "Mereka ... mereka memang berusaha mengobati penyakitku, tetapi ... tetapi tiada seorang pun yang mengatakan padaku bahwa ... bahwa dia adalah putri Yim-kaucu."
"Biasanya kau sangat pintar dan cerdik, kenapa tidak menduga akan hal demikian" Seorang nona muda belia seperti dia, hanya satu ucapan saja sudah dapat mengerahkan orang-orang Kangouw sebanyak itu, semuanya berebut menyembuhkan penyakitmu. Coba, selain Yim-siocia dari Mo-kau, siapakah yang memiliki kekuasaan sebesar itu?" kata Gak-hujin.
"Tatkala itu Te ... aku mengira dia seorang nenek-nenek reyot," ujar Lenghou Tiong.
"Apakah dia telah menyamar dan ganti rupa?" tanya Gak-hujin.
"Tidak, cuma ... cuma selama itu aku tidak ... tidak pernah melihat mukanya," sahut Lenghou Tiong.
"Hah!" mendadak Gak Put-kun mengakak, tapi tiada sedikit pun rasa tertawa pada air mukanya.
Pikiran Lenghou Tiong menjadi kusut tak keruan, pikirnya, "Apakah benar Ing-ing adalah putrinya Yim Ngo-heng" Bukankah waktu itu Yim Ngo-heng berada dalam penjara Ui Ciong-kong, cara bagaimana putrinya masih memegang kekuasaan sebesar itu?"
Gak-hujin menghela napas, kemudian berkata, "Anak Tiong, umurmu sudah semakin menanjak, watakmu juga sudah berubah. Apa yang sering kukatakan sudah tidak kau perhatikan lagi."
"Su ... Su ... apa yang pernah engkau katakan sungguh tidak ...." mestinya ia hendak menyatakan "tidak berani membangkang terhadap apa yang pernah dikatakan sang sunio", tapi kenyataannya adalah larangan sang suhu dan sunio agar jangan bergaul dengan orang Mo-kau tidak pernah ditaatinya.
Maka Gak-hujin berkata lagi, "Seumpama Yim-siocia itu sangat baik padamu, demi menyelamatkan jiwamu terpaksa kau membiarkan dia mengumpulkan orang mengobati kau, hal ini mungkin dapat dimengerti ...."
"Dapat dimengerti apa?" sela Put-kun dengan gusar. "Untuk mencari hidup apakah lantas boleh berbuat sesukanya?"
Biasanya Gak Put-kun sangat ramah terhadap sang sumoay merangkap istri ini, tapi sekarang ia bicara dengan kasar dan bengis, terang gusarnya sudah memuncak.
Gak-hujin dapat memahami perasaan sang suami, maka ia pun tidak marah dan tetap menyambung bicaranya, "Tapi mengapa kau berkomplot lagi dengan gembong Mo-kau Hiang Bun-thian dan telah banyak membunuh orang-orang cing-pay" Kedua tanganmu telah berlumuran darah kesatria-kesatria cing-pay, maka le ... lekas kau pergi saja!"
Lenghou Tiong merinding sendiri teringat kepada kejadian di gardu sunyi, di mana dia bersama Hiang Bun-thian telah bertempur melawan kerubutan beratus-ratus orang. Walaupun tangan sendiri tidak pernah membunuh, tapi memang tidak sedikit orang cing-pay yang menjadi korbannya ketika tiba di jurang yang berbahaya itu. Sekalipun waktu itu dalam keadaan kepepet, hanya ada pilihan antara membunuh atau terbunuh, tapi peristiwa berdarah itu betapa pun dirinya ikut bertanggung jawab.
Gak-hujin menyambung lagi, "Di atas Ngo-pah-kang juga tidak sedikit orang cing-pay yang telah kau salahi. Anak Tiong, dahulu aku sayang padamu seperti anak kandungku sendiri, tapi urusan sudah begini, i ... ibu-gurumu tidak bisa berbuat apa-apa lagi, tidak sanggup membela kau lagi."
Bicara sampai di sini air matanya lantas berlinang-linang.
"Anak telah berbuat salah, seorang laki-laki berani berbuat berani bertanggung jawab, Anak pasti tidak membiarkan nama baik Hoa-san-pay ikut ternoda," kata Lenghou Tiong. "Maka silakan kedua orang tua mengadakan sidang dan mengundang berbagai kesatria dari aliran-aliran lain untuk menjatuhkan hukuman atas diri Anak, dengan demikian hukum Hoa-san-pay dapatlah ditegakkan."
Gak Put-kun menghela napas panjang, katanya, "Lenghou-tayhiap, jika hari ini kau masih murid Hoa-san-pay, tentu saranmu dapat dilaksanakan dan biarpun jiwamu tamat juga nama baik Hoa-san-pay takkan tercemar, pula hubungan guru dan murid antara kita masih terpupuk. Namun kini sudah telanjur kusiarkan pemecatanku padamu, setiap tindak tandukmu sudah lama tiada sangkut pautnya dengan Hoa-san-pay, maka berdasarkan apa aku berhak menghukum kau" Ya, kecuali ... hehe, memang antara cing-pay dan sia-pay tidak pernah ada persesuaian, maka lain kali kalau kau berbuat kejahatan dan kepergok olehku, tentunya aku pun tidak segan-segan untuk membinasakan kau."
Bicara sampai di sini, tiba-tiba di luar ada orang berseru, "Suhu, Sunio!"
Itulah suaranya Lo Tek-nau, murid Hoa-san-pay yang kedua.
"Ada apa?" sahut Gak Put-kun.
"Di luar ada orang mencari Suhu dan Sunio, katanya Ciong Tin dari Ko-san-pay, ada pula dua orang sutenya," lapor Tek-nau.
"Kiu-kiok-kiam Ciong Tin juga datang ke Hokkian sini?" kata Put-kun rada heran. "Baiklah, segera aku keluar."
Lalu ia meninggalkan kamar. Gak-hujin memandang sekejap kepada Lenghou Tiong dengan penuh rasa kasihan seakan-akan suruh dia menunggu sementara, nanti masih akan bicara lagi. Habis itu ia pun keluar.
Terhadap ibu gurunya yang membesarkannya sejak kecil, selama ini Lenghou Tiong menganggapnya seperti ibu kandung sendiri. Melihat betapa kasih sayang ibu gurunya itu, timbul rasa menyesalnya atas perbuatannya sendiri selama ini. Sudah jelas Hiang-toako bukanlah orang baik-baik dari kalangan sia-pay, tapi tanpa pikir aku lantas membantu dia" Kematianku tidak menjadi soal, tapi nama baik suhu dan sunio lantas ikut ternoda.
Lalu terpikir pula olehnya, "Kiranya Ing-ing adalah putrinya Yim Ngo-heng, pantas Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan lain-lain sedemikian hormat padanya. Hanya satu ucapannya saja sudah cukup untuk menjatuhkan hukuman berat kepada jago-jago Kangouw yang tidak sedikit jumlahnya. Ai, seharusnya dapat kupikirkan bahwa selain gembong utama Mo-kau, siapa lagi di dunia persilatan yang mempunyai kekuasaan sebesar ini" Tapi sewaktu aku berada bersama Ing-ing, selain perangainya memang rada aneh, sifat-sifat kewanitaannya toh tiada ubahnya dengan anak gadis umumnya."
Tengah terbenam oleh macam-macam pikiran itu, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang yang cepat, seorang telah menyelinap ke dalam kamar. Siapa lagi kalau bukan siausumoay yang dirindukannya siang dan malam selama ini.
Terus saja Lenghou Tiong berseru, "Siausumoay, kau ...."
Ternyata ucapan selanjutnya tak sanggup dicetuskan lagi.
"Toasuko," kata Leng-sian, "lekas ... lekas kau meninggalkan tempat ini, orang Ko-san-pay telah datang mencari setori padamu."
Dari suara si nona dapatlah diketahui rasa khawatirnya. Bagi Lenghou Tiong sendiri, sekali melihat siausumoaynya, maka biarpun langit akan ambruk juga tak dipusingkan olehnya, apalagi soal Ko-san-pay segala, hakikatnya tak terpikir olehnya. Ia memandang Leng-sian dengan termangu-mangu, segala macam perasaan, manis, kecut, getir, semuanya timbul.
Muka Leng-sian menjadi merah melihat Lenghou Tiong memandangnya dengan mata tak berkedip, katanya pula, "Ada seorang she Ciong dengan dua orang sutenya, katanya kau telah membunuh orang Ko-san-pay mereka, dengan mengikuti darah yang tercecer sepanjang jalan mereka telah menyusul jejakmu ke sini."
Lenghou Tiong melengak, "Aku telah membunuh orang Ko-san-pay" Mana bisa jadi?"
"Blang", sekonyong-konyong pintu kamar didobrak, Gak Put-kun telah melangkah masuk dengan air muka penuh rasa gusar. Katanya dengan bengis, "Lenghou Tiong, bagus benar perbuatanmu! Tokoh bu-lim angkatan tua dari Ko-san-pay yang telah kau bunuh, tapi kau membohongi aku sebagai kawanan iblis Mo-kau."
"Aku ... aku membunuh orang Ko-san-pay" Bagaimana ... bagaimana hal ini bisa terjadi?" sahut Lenghou Tiong dengan bingung. Dilihatnya Gak-hujin sudah ikut masuk di belakang Gak Put-kun, ia lantas tanya, "Su ... Su ... aku tidak pernah membunuh anak murid Ko-san-pay."
Dengan gusar Gak Put-kun berkata, "Pek-thau-sian-ong Bok Sim dan Tut-eng Soa Thian-kang, kedua orang ini kau yang membunuh atau bukan?"
"Pek-thau-sian-ong", Si Dewa Berambut Putih dan "Tut-eng", Si Elang Gundul, dua julukan ini mengingatkan Lenghou Tiong kepada apa yang diucapkan oleh si kakek botak ketika akan membunuh diri semalam, bahwa biarpun Tut-eng tidak becus juga tidak sudi menyerah kepada musuh. Jadi kakek botak itulah Tut-eng yang dimaksudkan sang guru, dengan sendirinya seorang lagi yang ubanan tentulah "Pek-thau-sian-ong" adanya.
"Ya, seorang kakek berambut putih dan seorang kakek kepala botak memang betul aku yang membunuh," kata Lenghou Tiong kemudian. "Tapi ... tapi aku tidak tahu mereka adalah orang Ko-san-pay, mereka menggunakan golok, jelas bukan ilmu sifat Ko-san-pay."
"Jadi kedua orang itu benar-benar kau yang membunuh?" Gak Put-kun menegas dengan lebih bengis.
"Benar," diawali Lenghou Tiong.
Tiba-tiba Leng-sian menimbrung, "Ayah, kedua kakek ubanan dan botak itu ...."
"Keluar kau! Siapa suruh kau masuk ke sini" Aku sedang bicara perlu apa kau ikut menyela?" bentak Gak Put-kun.
Dengan tunduk kepala Leng-sian lantas keluar kamar. Hati Lenghou Tiong menjadi pilu dan senang pula, meski sumoay sangat baik kepada Lim-sute toh masih tetap punya perasaan baik padaku. Ia berani menghadapi omelan sang ayah untuk datang memberi peringatan padaku agar lekas-lekas menyingkiri bahaya.
Dalam pada itu Gak Put-kun telah berkata pula, "Ilmu silat dari Ko-san-pay apa dapat kau kenal semuanya" Bok Sim dan Soa Thian-kang berasal dari cabang luar Ko-san-pay, entah dengan cara rendah apa kau telah membunuh mereka, tapi bekas darahnya kau cecerkan sehingga sampai di Hok-wi-piaukiok ini. Sekarang Ciong-suheng dari Ko-san-pay berada di luar dan minta kepada tanggung jawabku, apa yang dapat kau katakan lagi?"
"Suko," sela Gak-hujin, "mereka toh tidak menyaksikan sendiri Anak Tiong yang membunuh kawan-kawannya, hanya bekas-bekas darah itu saja masakah dapat dipakai sebagai bukti" Kita tolak saja tuduhan mereka dan habis perkara."
"Sumoay, sampai sekarang kau masih mau membela bergajul yang jahat ini. Sebagai ketua Hoa-san-pay masakah aku harus berdusta bagi binatang kecil seperti dia" Jika begini tindakan kita, maka akibatnya pasti akan hancur Hoa-san-pay kita."
Selama ini Lenghou Tiong sangat mengagumi kebahagiaan guru dan ibu-gurunya yang berasal dari kakak beradik seperguruan. Ia pikir kalau dirinya dengan siausumoay juga bisa menjadi suami-istri, maka puaslah hidupnya ini. Sekarang melihat sang guru bicara secara bengis kepada ibu-guru, tiba-tiba timbul pikirannya, jika siausumoay menjadi istriku, maka segala apa yang hendak diperbuatnya tentu akan kuturuti keinginannya. Biarpun aku disuruh melakukan apa pun juga takkan kutolak.
Kedua mata Gak Put-kun menatap tajam ke muka Lenghou Tiong, ketika tiba-tiba wajah pemuda itu menampilkan senyuman mesra sambil memandang ke arah anak perempuannya yang masih berdiri di ambang pintu sana, sungguh gusarnya tak terkatakan, bentaknya, "Binatang, pada saat demikian masih berani timbul pikiranmu yang jahat?"
Bentakan Gak Put-kun membuat Lenghou Tiong sadar dari lamunannya. Waktu ia berpaling, dilihatnya sang guru sangat murka, sebelah tangannya sudah terangkat dan akan menghantam ke batok kepalanya. Seketika itu tiba-tiba timbal rasa girangnya, ia merasa teramat getir menjadi manusia di dunia ini, kalau bisa mati di bawah tangan sang guru akan berarti terbebas dari derita sengsara, lebih-lebih siausumoay ikut menyaksikan kematiannya, justru inilah yang sangat diharapkannya.
Karena itu ia malah tersenyum lagi, sorot matanya kembali beralih kepada Gak Leng-sian, ditunggunya pukulan sang guru itu dijatuhkan atas kepalanya.
Terasa angin pukulan menyambar tiba, mendadak Gak-hujin menjerit, "Jangan!"
Ia terus memburu maju, jarinya lantas menutuk "giok-cim-hiat" di belakang kepala sang suami.
Sebagai kakak beradik seperguruan yang berlatih sejak kecil bersama-sama, ia cukup kenal di mana letak ciri sang suheng. Hiat-to yang ditutuknya itu memaksa Gak Put-kun harus menyelamatkan diri dulu. Maka ketika Gak Put-kun membalik tangannya untuk menangkis, dengan cepat Gak-hujin lantas menyelip dan mengadang pedang di depan Lenghou Tiong.
Dengan muka merah padam Gak Put-kun membentak, "Kau ... kau mau apa?"
Tapi Gak-hujin lantas berseru kepada Lenghou Tiong, "Tiong-ji, lekas ... lekas lari!"
"Tidak, aku takkan lari," sahut Lenghou Tiong menggeleng. "Suhu mau membunuh aku, biarkan saja aku dibunuh. Memang dosaku setimpal dihukum mati."
"Ada aku di sini, dia takkan membunuh kau," seru Gak-hujin pula. "Lekas, lekas pergi! Pergilah sejauh-jauhnya dan selamanya jangan pulang lagi."
"Hm, dia boleh pergi dengan enak-enak, tapi tiga orang Ko-san-pay di depan itu cara bagaimana harus kita layani?" kata Put-kun.
Kiranya suhu merasa khawatir menghadapi Ciong Tin bertiga, biarlah aku membereskan mereka dulu, demikian pikir Lenghou Tiong. Segera ia berseru lantang, "Baik, aku akan menemui mereka!"
Habis berkata segera ia menuju ke ruang depan dengan langkah lebar.
"Jangan, mereka akan membunuh kau!" seru Gak-hujin khawatir. Namun langkah Lenghou Tiong teramat cepat, sekejap saja ia sudah memasuki ruangan tamu.
Benar juga tampak tiga tokoh Ko-san-pay, yaitu Kiu-kiok-kiam Ciong Tin, Sin-pian Ting Pat-kong, dan Kim-mo-say Ko Kik-sin sedang duduk di sebelah kiri.
Di lain keadaan sudah ganti samaran, yaitu memakai baju pelayan hotel, pula noda darahnya sudah dibersihkan oleh Gak-hujin sehingga polesan mukanya yang kuning-kuning bengkak itu sudah lenyap pula, jadi wajahnya sekarang sudah berubah sama sekali daripada waktu bertemu malam-malam di hotel Ji-pek-poh tempo hari, sebab itulah Ciong Tin bertiga tidak mengenalnya lagi.
Dengan lagak tuan besar Lenghou Tiong terus duduk di kursi besar bagian tengah, lalu berkata dengan nada dingin, "Untuk urusan apa kalian bertiga datang ke sini?"
Melihat seorang pemuda bermuka pucat dan berpakaian kotor sedemikian kasar terhadap mereka, keruan Ciong Tin bertiga menjadi gusar.
Kim-mo-say Ko Kik-sin, Singa Berbulu Emas, wataknya paling berangasan, segera ia membentak, "Kurang ajar, kau ini kutu macam apa?"
"Dan kalian bertiga ini macam kutu apa?" balas Lenghou Tiong dengan tertawa.
Ko Kik-sin melengak karena pertanyaannya dikembalikan dengan terbalik. Dengan gusar ia lantas berteriak, "Suruh Gak-siansing keluar! Keroco macam kau masakah sesuai untuk bicara dengan kami."
Saat itu Gak Put-kun, Gak-hujin, Leng-sian, dan anak murid Hoa-san-pay yang lain sudah berada di belakang pintu angin dan ikut mendengarkan pembicaraan itu. Leng-sian merasa geli ketika mendengar Lenghou Tiong menjawab dengan nada yang kocak. Ia tahu ketiga jago Ko-san-pay itu sangat lihai. Toasuhengnya sudah membunuh kawan mereka, sekarang bersikap sedemikian kasar, sebentar lagi tentu akan terjadi pertarungan dan besar kemungkinan ayah-ibunya terpaksa tidak dapat ikut campur. Ia menjadi khawatir sehingga tidak sanggup tertawa walaupun geli.
Bab 84. Membela Kehormatan Perguruan
Dalam pada itu Lenghou Tiong telah menjawab lagi, "Siapakah Gak-siansing yang kau maksudkan" O, barangkali kau maksudkan ketua Hoa-san-pay bukan" Kebetulan kedatanganku ini hendak mencari perkara padanya. Dua murid keparat dari Ko-san-pay yang bernama Iblis Kepala Putih Bok Sim dan yang satu lagi bernama Kokokbeluk Gundul Soa Thian-kang sudah kubunuh, kabarnya ada tiga orang Ko-san-pay sekarang juga sembunyi di sini, maka aku minta Gak-siansing lekas menyerahkan mereka padaku dan dia justru menolak. Sungguh aku menjadi keki sekali!"
Lalu ia sengaja berteriak-teriak, "Hai, Gak-siansing, tiga orang Ko-san-pay yang bernama Pedang Rongsokan Ciong Tin, Si Ruyung Setan Ting Pat-kong, dan satu lagi Si Kucing Buduk Ko Kik-sin, lekas kau seret mereka keluar, aku mau bikin perhitungan dengan mereka."
Gak Put-kun saling pandang dengan istrinya. Mereka tahu teriakan Lenghou Tiong itu dimaksudkan agar Ciong Tin bertiga mendengar sendiri bahwa Hoa-san-pay sama sekali tiada sangkut pautnya dengan terbunuhnya kawan-kawan Ko-san-pay mereka. Cuma Ciong Tin bertiga adalah tokoh Ko-san-pay yang terkenal, dalam keadaan terluka parah, mungkin berdiri lebih lama lagi Lenghou Tiong akan roboh sendiri, mengapa dia begitu berani mati mengolok-olok dan menantang"
Tapi kalau menurut teriakannya tadi, terang dia sudah kenal asal usul Ciong Tin bertiga. Gak Put-kun masih ingat pada pertempuran tengah malam di kelenteng bobrok itu, di mana sekaligus Lenghou Tiong telah membutakan mata lima belas lawan, ilmu pedangnya memang luar biasa. Tapi kemahiran Ciong Tin bertiga terang lebih hebat daripada ke-15 orang itu, apalagi Lenghou Tiong sekarang terluka, cara bagaimana ia sanggup bertempur melawan mereka bertiga"
Dengan gusar saat itu Ko Kik-sin telah melompat bangun, pedang dilolos terus hendak menusuk ke arah Lenghou Tiong. Tapi Ciong Tin lebih licik dan dapat berpikir panjang, cepat ia mencegah temannya itu, lalu tanya kepada Lenghou Tiong, "Siapakah Saudara?"
"Haha, aku kenal kau, sebaliknya kau tidak kenal aku," sahut Lenghou Tiong tertawa. "Kalian Ko-san-pay bermaksud melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu, Ko-san-pay kalian berniat makan empat aliran yang lain. Kedatangan kalian bertiga ke Hokkian ini pertama bertujuan merebut Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Lim, di samping itu kalian hendak menyergap pula tokoh-tokoh penting Hoa-san-pay, Hing-san-pay, dan lain-lain, macam-macam tipu muslihat kalian itu telah kuketahui semua. Hehe, sungguh menggelikan, sungguh menggelikan!"
Kembali Gak Put-kun saling pandang dengan istrinya, mereka pikir ucapan Lenghou Tiong itu bukannya tidak beralasan.
"Dari aliran manakah Saudara?" tanya Ciong Tin pula.
"Kau tanya diriku" Haha, aku sih orang gelandangan biasa, orang yang suka kelayapan secara bebas, sekali-kali aku takkan berebut rezeki dengan Ko-san-pay kalian. Tentu kalian boleh merasa lega bukan sekarang" Hahahaha," gelak tertawa Lenghou Tiong itu penuh perasaan pilu.
"Jika Saudara bukan orang Hoa-san-pay, maka kita tidak boleh mengganggu Gak-siansing, silakan bicara keluar saja," kata Ciong Tin dengan nada sewajarnya. Tapi sorot matanya memantulkan nafsu membunuh, terang karena Lenghou Tiong mengungkap rahasia muslihatnya, maka tekadnya Lenghou Tiong harus dibunuh.
Kiranya Ciong Tin juga rada segan terhadap Gak Put-kun, maka dia ingin memancing Lenghou Tiong keluar untuk kemudian baru dilabraknya.
Tentu saja hal ini kebetulan bagi Lenghou Tiong, segera ia berseru, "Gak-siansing, selanjutnya kau harus waspada. Kaucu Mo-kau yang dulu Yim Ngo-heng telah muncul kembali, orang ini memiliki Gip-sing-tay-hoat yang khusus digunakan mengisap tenaga dalam lawan, dia sudah menyatakan akan mencari setori kepada Hoa-san-pay. Selain itu Ko-san-pay ada niat mencaplok Hoa-san-pay-mu. Engkau adalah seorang kesatria berbudi, maka harus hati-hati terhadap pihak lain yang berhati jahat."
Memang kedatangannya ke Hokkian ini bermaksud menyampaikan peringatan demikian kepada sang guru. Maka habis bicara begitu ia lantas melangkah keluar. Segera Ciong Tin bertiga menyusul keluar.
Setiba di luar Hok-wi-piaukiok, tiba-tiba Lenghou Tiong melihat serombongan nikoh dan wanita biasa bergerombol di luar situ, itulah anak murid Hing-san-pay. The Oh dan Gi-ho berdua tampak jalan di depan dengan membawa kotak penghormatan, agaknya mereka datang ke Hok-wi-piaukiok untuk menjumpai Gak Put-kun.
Lenghou Tiong terkesiap dan lekas-lekas melengos ke arah lain agar tidak dilihat anak murid Hing-san-pay itu. Walaupun begitu toh sudah kepergok oleh The Oh dan lain-lainnya, untung Gi-lim ikut di bagian belakang sehingga tidak melihatnya.
Ketika Ciong Tin bertiga keluar, The Oh lantas mengenali mereka, nona itu terperanjat dan lantas berhenti.
Lenghou Tiong pikir anak murid itu tentu akan dilindungi oleh sang guru dan ibu-gurunya, daripada nanti kepergok Gi-lim, segera ia menyingkir ke samping dan bermaksud mengeluyur pergi.
Tapi Ciong Tin bertiga sudah lantas melolos senjata dan mencegah jalan perginya sambil membentak, "Apa kau ingin lari?"
Dalam pada itu Gak Put-kun, Gak-hujin, dan anak murid Hoa-san-pay juga sudah ikut keluar hendak mengetahui cara bagaimana Lenghou Tiong melayani tiga lawannya.
"Aku tidak punya senjata, cara bagaimana kita harus berkelahi?" ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Sret", Leng-sian lantas lolos pedangnya dan berseru, "Toa ...." segera ia bermaksud melemparkan pedangnya kepada Lenghou Tiong.
Tapi Gak Put-kun sempat mencegah, dua jarinya menahan di atas batang pedang anak perempuannya itu sambil menggeleng.
"Ayah!" seru Leng-sian cemas.
Tapi kembali Gak Put-kun menggeleng kepala.
Semuanya itu dapat dilihat oleh Lenghou Tiong, sungguh hatinya sangat terhibur. Pikirnya, "Betapa pun ternyata siausumoay masih mempunyai perasaan baik padaku."
Pada saat itulah sekonyong-konyong beberapa orang bersama menjerit khawatir.
Lenghou Tiong tahu tentu ada orang menyerangnya dari belakang, tanpa menoleh, segera ia melompat ke depan malah. Karena tenaga dalamnya sangat kuat, lompatannya menjadi tinggi lagi jauh, namun begitu terasa juga angin tajam menyambar di belakang kepalanya, pedang lawan telah menebas rupanya. Coba kalau lompatannya ke depan itu lambat sedetik saja atau lompatannya kurang kuat, kurang jauh, maka badannya tentu sudah terbelah menjadi dua.
Pada saat yang sama itulah, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan nyaring beramai-ramai disertai berkelebatnya sinar pedang, anak murid Hing-san-pay telah bertindak serentak. Tujuh orang menjadi satu regu, masing-masing terbagi dalam tiga regu, tujuh batang pedang berbareng telah menuding kepada satu sasaran sehingga Ciong Tin bertiga masing-masing dikepung oleh satu regu.
Gerakan melolos senjata dan mengepung musuh dari anak murid Hing-san-pay itu benar-benar sangat lincah dan cepat, ditambah gaya mereka sangat indah, terang barisan pedang mereka ini telah terlatih dengan sangat baik. Setiap ujung pedang mereka pun mengancam salah satu tempat yang mematikan di tubuh sasarannya. Dan begitu musuh dalam keadaan terkepung dan terancam, lalu barisan pedang murid-murid Hing-san-pay itu tidak bergerak lebih lanjut.
Yang melakukan serangan gelap kepada Lenghou Tiong tadi adalah Ciong Tin. Dia punya ilmu pedang sangat keji, gerak serangannya juga aneh-aneh sukar diduga, sebab itulah mendapat julukan "Kiu-kiok-kiam" atau Pedang Tekuk Sembilan, bukan karena pedangnya yang bertekuk sembilan, tapi mengiaskan gerak serangannya yang beraneka ragam perubahannya.
Dalam Ko-san-pay boleh dikata Ciong Tin terhitung jago kelas terkemuka, pula punya otak yang encer, cerdik, dan cekatan, maka sangat mendapat kepercayaan ketua Ko-san-pay, yaitu Co Leng-tan. Tadi karena boroknya tentang muslihat akan mencaplok empat aliran yang lain telah dibongkar oleh Lenghou Tiong, maka timbul niatnya untuk membinasakan pemuda itu dan mendadak ia menyerangnya secara keji.
Tak terduga Lenghou Tiong berhasil menghindarkan serangannya dengan baik, bahkan anak murid Hing-san-pay terus balas mengancamnya dengan barisan pedang sehingga dia tak bisa berkutik, sedikit saja ia bergerak, maka salah satu pedang tentu akan menembus tubuhnya.
Gak Put-kun dan lain-lain sudah tentu tidak mengetahui peristiwa di Ji-pek-poh antara Hing-san-pay dengan Ciong Tin dan kawan-kawannya. Mereka menjadi heran ketika mendadak melihat kedua pihak yang merupakan kawan sendiri itu saling labrak, lebih-lebih barisan pedang Hing-san-pay yang amat indah itu sungguh membuatnya sangat kagum.
"Bagus, barisan pedang yang indah!" Lenghou Tiong juga berteriak.
Tokko-kiu-kiam yang dia yakinkan itu intinya justru mengincar titik kelemahan ilmu silat musuh, sebaliknya gerak ilmu pedangnya sendiri tidak ada ketentuan, maka ia menjadi kagum melihat barisan pedang Hing-san-pay yang mempunyai intisari serupa itu. Cuma saja barisan pedang ini harus digunakan bertujuh orang sekaligus untuk mengatasi musuh, kalau ketemu lawan kelas wahid, sekali barisan menjadi kacau tentu akan mengalami kekalahan.
Melihat keadaan pihaknya sudah tak bisa berkutik dan terang sudah kalah, mendadak Ciong Tin bergelak tertawa, katanya, "Kita adalah kawan sendiri, buat apa main-main begini" Biarlah aku mengaku kalah saja."
Habis itu ia terus membuang pedangnya ke tanah.
Gi-ho adalah kepala daripada tujuh orang yang mengepung Ciong Tin. Melihat lawan sudah melempar senjata dan mengaku kalah, segera ia pun menarik kembali pedangnya.
Tak tersangka ujung kaki kiri Ciong Tin mendadak digunakan menjungkit pedangnya yang jatuh itu, begitu pedang mencelat ke atas, secepat kilat disambarnya terus menusuk pula ke depan.
Gi-ho menjerit kaget, lengan kanan tertusuk, pedangnya terlepas dari cekalan. Di tengah gelak tertawa Ciong Tin pedangnya bekerja dengan gencar. Para murid Hing-san-pay yang lain berturut-turut terluka juga.
Karena kekacauan ini, serentak Ting Pat-kong dan Ko Kik-sin juga bertindak sehingga pertarungan sengit tampaknya akan terjadi pula.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segera Lenghou Tiong menjemput pedang Gi-ho yang jatuh itu, sekali pedang menyambar, terdengarlah suara "trang" dan jerit kaget beberapa kali. Tahu-tahu pergelangan tangan Ko Kik-sin terluka, senjatanya jatuh ke tanah. Ruyung Ting Pat-kong yang lemas itu pun berputar balik dan melibat lehernya sendiri, tangan Ciong Tin juga terketok oleh pedang Lenghou Tiong sehingga tergetar mundur beberapa tindak, hanya pedang tidak sampai terlepas dari pegangan. Namun begitu seluruh lengannya terasa lemas tak bertenaga lagi.
Pada saat itulah dua nona telah berteriak berbareng, yang satu berseru, "Go-ciangkun!" dan yang lain berseru, "Lenghou-toako!"
Yang memanggil "Go-ciangkun" adalah The Oh, sebab ia mengenali cara Lenghou Tiong menyerang tiga lawannya itu serupa dengan apa yang dilakukannya di Ji-pek-poh tempo hari, begitu juga cara Ciong Tin mengalami kekalahan adalah serupa.
Adapun yang memanggil "Lenghou-toako" adalah Gi-lim. Mestinya bersama Gi-cin dan lain-lain mereka telah mengepung Ting Pat-kong dan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi musuh. Ketika Ciong Tin mendadak menyerang secara licik, kesempatan mana digunakan oleh Ting Pat-kong untuk melepaskan diri dari kepungan. Dan setelah bobolnya barisan pedang mereka barulah Gi-lim sempat melihat Lenghou Tiong. Seketika seluruh badan Gi-lim tergetar hebat demi melihat pemuda itu setelah berpisah sekian lamanya, hampir-hampir saja ia jatuh kelengar.
Karena keadaan dirinya sudah diketahui dan sukar dirahasiakan lagi, Lenghou Tiong tertawa dan mengomel, "Nenekmu, kalian bertiga kutu busuk ini benar-benar terlalu kurang ajar, para suthay dari Hing-san-pay ini telah mengampuni jiwa kalian, tapi kalian membalas susu dengan air tuba. Terpaksa aku ... aku ...." sampai di sini mendadak kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang terus roboh.
Cepat Gi-lim memburu maju untuk memayangnya sambil berseru khawatir, "Lenghou-toako! Lenghou-toako!"
Dilihatnya pundak dan lengan Lenghou Tiong mengucurkan darah, lekas-lekas ia menyingsing lengan baju, ia mengeluarkan obat mujarab perguruannya dan dijejalkan ke dalam mulut pemuda itu.
The Oh dan Gi-cin juga mengeluarkan obat salep "Thian-hiang-toan-siok-ko" untuk memolesi luka-luka itu. Karena sudah kenal siapa Lenghou Tiong, para murid Hing-san-pay sama merasa utang budi padanya, kalau tempo hari tak ditolong olehnya tentu mereka akan mengalami macam-macam hinaan pihak musuh, bahkan besar kemungkinan mereka sudah mati semua. Sebab itulah mereka menaruh perhatian sangat kepada keselamatan Lenghou Tiong, di tengah jalan kota itulah mereka sibuk memberi obat dan membalut lukanya.
Pada umumnya kaum wanita di dunia ini memang ceriwis, terutama di kala terjadi sesuatu peristiwa, demikian pula tidak terkecuali anak murid Hing-san-pay itu. Mereka saling bisik-bisik, ada yang gegetun, ada yang gelisah kenapa tuan penolong mereka sampai terluka, siapakah musuh yang keji itu, bahkan di tengah berisik mereka itu terseling pula ucapan "Omitohud".
Melihat keadaan demikian, orang-orang Hoa-san-pay menjadi terheran-heran. Pikir Gak Put-kun, "Selamanya tata tertib Hing-san-pay sangat keras, tapi entah mengapa anak murid perempuan ini sampai tergoda sedemikian rupa oleh bergajul macam Lenghou Tiong ini, sampai-sampai di depan umum mereka tidak segan-segan memanggil toako padanya dengan mesra. Anehnya ada pula yang memanggilnya ciangkun, sejak kapan bangsat cilik ini menjadi perwira" Sungguh tidak genah, mengapa pimpinan Hing-san-pay tidak melakukan pengawasan?"
Dalam pada itu Ciong Tin bertiga juga tidak tinggal diam, ia memberi isyarat kepada kedua sutenya, serentak mereka menerjang maju dengan senjata masing-masing. Mereka tahu bila Lenghou Tiong tidak dibikin tamat tentu kelak akan banyak mendatangkan bahaya. Sekarang mumpung pemuda itu dalam keadaan tidak sadarkan diri, inilah kesempatan bagus untuk membinasakannya.
Tapi dengan tanda aba-aba Gi-ho, serentak ada empat belas kawannya bergerak maju menjadi satu barisan sehingga Ciong Tin bertiga terkepung. Ilmu silat tiap-tiap murid Hing-san-pay itu secara perorangan memang tidak tinggi, tapi sekali membentuk barisan pedang, baik menyerang maupun bertahan, kekuatan 14 orang cukup untuk menghadapi empat-lima orang tokoh kelas satu.
Semula Gak Put-kun ada maksud melerai persengketaan kedua pihak itu, cuma macam-macam soal itu sama sekali di luar dugaannya, entah cara bagaimana kedua pihak sampai bermusuhan, apalagi timbul juga rasa kurang senangnya terhadap kelakuan orang-orang Ko-san dan Hing-san itu, ia pikir sementara melihat perkembangan selanjutnya saja.
Ternyata barisan pedang Hing-san-pay bertahan dengan amat rapat, meski Ciong Tin bertiga ganti serangan bermacam-macam tetap tak bisa mendekat. Malahan sedikit meleng saja Ko Kik-sin tertusuk pahanya oleh pedang Gi-jing. Meski tidak parah lukanya, namun darah sudah bercucuran, keadaan rada runyam.
Dalam keadaan sadar-tak-sadar Lenghou Tiong dapat mendengar suara mendering beradunya senjata. Ketika matanya sedikit dipentang, tertampak wajah Gi-lim penuh rasa cemas dan kedengaran sedang membaca doa. Seketika teringat olehnya kejadian di luar Kota Heng-san dahulu waktu dirinya terluka, juga begitu Gi-lim telah merawat dan berdoa baginya. Cuma saja waktu itu hanya mereka berdua saja berada di hutan sunyi, sekarang di sekitarnya tidak sedikit pula anak murid Hing-san-pay yang lain, mengapa Gi-lim Siausumoay menjadi begini berani.
Waktu ia memandang pula muka Gi-lim, mendadak ia merasa paham, "Ya, lantaran dia melulu memikirkan keselamatanku sehingga dia lupa dirinya sendiri, dia sudah lupa akan orang-orang di sekitarnya sehingga sama sekali tak terpikir olehnya tentang pantangan berdekatan antara kaum laki-laki dan perempuan segala."
Dengan rasa terima kasih, ketika mendadak ia mengangkat kepalanya, dilihatnya Gak Leng-sian dan Lim Peng-ci berdiri berjajar di sebelah sana, entah mengapa secara jelas sekali ia dapat melihat tangan kedua muda-mudi itu saling berpegangan dengan erat. Tiba-tiba Lenghou Tiong tertawa panjang terus berbangkit, katanya perlahan kepada Gi-lim, "Siausumoay, terima kasih atas pertolonganmu. Berikan pedangmu padaku!"
"Kau ... kau jangan ...." Gi-lim bermaksud mencegah.
Lenghou Tiong tersenyum, senyuman yang halus dan hangat, ia ambil pedang dari tangan Gi-lim, dengan sebelah tangan menyangga di bahu Gi-lim, dengan langkah sempoyongan ia lantas berjalan ke depan.
Sebenarnya Gi-lim mengkhawatirkan keadaan luka Lenghou Tiong, tapi demi merasa pundak sendiri sedang menahan beban tubuh pemuda itu, seketika timbul keberaniannya, ia kerahkan tenaga sekuatnya untuk menyangga Lenghou Tiong.
Dengan perlahan Lenghou Tiong menerobos ke depan murid-murid Hing-san-pay sehingga berhadapan dengan Ciong Tin bertiga. Sekali pedangnya menyambar, kontan pedang Ko Kik-sin jatuh ke tanah. Ketika pedang bergerak untuk kedua kalinya, tanpa ampun ruyung lemas Ting Pat-kong melilit lagi di lehernya sendiri. Dan gerakan pedang ketiga kalinya dengan tepat senjata Ciong Tin terketok.
Ciong Tin sadar dirinya bukan tandingan ilmu pedang Lenghou Tiong yang aneh itu, cuma ia melihat langkah Lenghou Tiong terhuyung-huyung, ia pikir harus mengadu senjata dan bikin pedang lawan tergetar jatuh. Sebab itulah ketika kedua pedang beradu ia telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya.
Tapi celaka baginya, begitu kedua pedang kebentur, terasa tenaga dalam sendiri sekonyong-konyong merembes ke luar dengan cepat melalui batang pedangnya dan sukar dikekang lagi. Sebaliknya semangat Lenghou Tiong lantas terbangkit malah.
Kiranya tanpa terasa Gip-sing-tay-hoat yang pernah diyakinkannya itu makin hari makin sempurna, tidak perlu tubuh menyentuh tubuh, asalkan pihak lawan mengerahkan tenaga, maka tenaga dalam itu akan terus mengalir melalui senjatanya.
Ciong Tin terperanjat, cepat ia menarik pedangnya dan menusuk lagi untuk kedua kalinya. Melihat di bawah ketiak lawan dalam keadaan kosong tak terjaga, asalkan membalas dengan satu tusukan saja tentu akan dapat membereskannya. Namun tangan sendiri terasa lemas, pikiran ada, tenaga kurang, terpaksa ia hanya menangkis saja serangan Ciong Tin itu.
Pedang masing-masing kebentur lagi dan kembali Ciong Tin merasakan tenaga dalamnya mencurah keluar, jantungnya berdebar dengan hebat.
Di sebelah lain Gi-ho lantas mengolok-olok, "Huh, tidak tahu malu apa-apaan begitu?"
Ciong Tin menjadi gusar dan nekat. Kembali ia kerahkan segenap tenaganya untuk menusuk, sampai di tengah jalan tiba-tiba berganti arah, yang ditusuk adalah dada Gi-lim yang berada di samping Lenghou Tiong.
Serangan Ciong Tin ini sangat keji, seperti pura-pura, tapi sungguh-sungguh pula, kalau Lenghou Tiong melintangkan pedang untuk menolong Gi-lim, maka Ciong Tin segera memutar balik pedangnya untuk menusuk perut Lenghou Tiong, jika Lenghou Tiong tidak menolong Gi-lim, maka tusukannya akan benar-benar mengenai Gi-lim, hal ini pasti akan membikin kacau pikiran Lenghou Tiong dan kesempatan lain dapat digunakan untuk menyerang secara lebih ganas.
Di tengah jerit khawatir orang banyak, tampaknya ujung pedang Ciong Tin sudah mengenai baju di dada Gi-lim. Sekonyong-konyong pedang Lenghou Tiong menyambar tiba dan tepat menindih di atas batang pedang Ciong Tin. Kontan pedang Ciong Tin terlengket berhenti di tengah jalan dan tak bisa bergerak lagi laksana dijepit oleh beberapa tanggam yang amat kuat.
Sekuatnya Ciong Tin mendorong, tapi sedikit pun ujung pedangnya tidak mampu menggeser lagi ke depan. Karena itu pedang yang ditolak dan ditahan dari atas itu mulai melengkung berbareng itu Ciong Tin merasakan tenaga dalamnya membanjir ke luar dengan cepat luar biasa.
Untung dia tahu gelagat jelek dan cepat membuang pedangnya terus melompat mundur. Walaupun begitu karena tenaga yang dikerahkan mendadak lenyap sirna, untuk mengerahkan tenaga cadangan tidak keburu lagi, maka ketika badannya masih terapung di atas rasanya sudah lemas lunglai "bluk", ia jatuh terbanting dengan keras dengan punggung menyentuh tanah lebih dulu seperti orang yang sama sekali tidak mahir ilmu silat.
Dengan meringis Ciong Tin bermaksud merangkak bangun dengan kedua tangan menyangga tanah, tapi baru saja badannya terangkat mendadak ia terbanting jatuh lagi. Melihat keadaannya itu orang pasti akan menduga dia terluka parah kalau bukan kehilangan tenaga dalamnya sama sekali
Ting Pat-kong dan Ko Kik-sin cepat memburu maju untuk membangunkan dia, tanya mereka, "Suko, ada apa?"
"Kiranya dia ... dia adalah Yim ... Yim Ngo-heng!" seru Ciong Tin terputus-putus, suaranya serak penuh rasa takut
Ia menatap Lenghou Tiong dengan perasaan waswas, tapi lantas teringat olehnya umur Lenghou Tiong tidak cocok dengan umur Yim Ngo-heng, itu Kaucu Mo-kau yang malang melintang di dunia persilatan pada masa beberapa puluh tahun yang lalu mustahil berwujud seorang pemuda berusia likuran.
Maka dengan suara tak lancar ia tanya pula, "Apakah kau mu ... muridnya Yim Ngo-heng" Kau mahir Gip ... Gip-sing-tay-hoat!"
"Suko, jadi kau punya tenaga dalam telah disedot olehnya?" tanya Ko Kik-sin kaget.
"Ya," sahut Ciong Tin lesu. Tapi ketika ia menggerakkan tubuh, tiba-tiba terasa tenaganya sudah mulai pulih.
Rupanya Gip-sing-tay-hoat yang diyakinkan Lenghou Tiong itu belum terlatih sempurna benar, ia hanya memunahkan tenaga dalam yang dikerahkan oleh Ciong Tin melalui batang pedang dan belum sungguh-sungguh mengisap seluruh tenaga murninya. Hanya Ciong Tin sendiri yang menjadi kaget dan takut ketika merasa tenaganya mendadak mencurah ke luar tanpa bisa dibendung lagi sehingga ia terbanting jatuh dalam keadaan runyam.
"Marilah kita pergi saja, Suko," bisik Ting Pat-kong.
Segera Ciong Tin memberi tanda kepada kedua temannya, lalu berseru, "Iblis Mo-kau, hari ini orang she Ciong mengaku bukan tandingan ilmu silumanmu yang keji ini. Tapi beribu-ribu kesatria gagah kaum cing-pay kami pasti takkan tekuk lutut di bawah ancaman ilmu silumanmu ini. Ting-sute dan Ko-sute, gembong iblis Mo-kau telah muncul kembali, marilah kita pulang melaporkan kepada ciangbunjin."
Habis itu ia memutar ke arah Gak Put-kun, katanya sambil memberi hormat, "Gak-siansing, adakah iblis Mo-kau ini mempunyai hubungan dengan engkau?"
Gak Put-kun hanya mendengus saja dan tidak menjawab. Sesungguhnya Ciong Tin juga tidak berani mencari perkara kepada Gak Put-kun, ia berkata pula, "Bagaimana urusan yang sebenarnya kelak pasti akan dibikin terang. Sampai berjumpa pula!"
Segera ia melangkah pergi bersama kedua sutenya.
Kemudian Gak Put-kun mendekati Lenghou Tiong, katanya dengan suara kereng, "Bagus kau, Lenghou Tiong, kiranya kau telah berhasil meyakinkan Gip-sing-tay-hoat dari Yim Ngo-heng."
Memangnya Lenghou Tiong telah meyakinkan ilmu kemahiran Yim Ngo-heng itu walaupun secara tidak sengaja, tapi buktinya memang demikian sehingga tak bisa membantah.
Dengan suara bengis Gak Put-kun lantas membentak pula, "Betul tidak, jawab pertanyaanku?"
"Benar," jawab Lenghou Tiong.
"Sejak kini kau adalah musuh besar kaum cing-pay," kata Put-kun. "Sekarang kau terluka parah, aku tidak sudi membunuh orang yang sedang menderita. Tapi kelak jika ketemu lagi, kalau bukan aku membunuh kau biarlah kau yang membunuh aku."
Kemudian ia berpaling kepada anak muridnya dan berkata, "Mulai sekarang orang ini adalah musuh bebuyutan kalian, siapa-siapa lagi yang menaruh perasaan saudara seperguruan dengan dia berarti mengkhianati kaum cing-pay. Dengar tidak kalian?"
Para muridnya sama mengiakan.
Ketika melihat bibir anak perempuannya bergerak seakan-akan omong sesuatu, segera Gak Put-kun menambahkan, "Anak Sian, biarpun kau adalah putriku juga tidak terkecuali akan laranganku tadi. Dengar tidak?"
Leng-sian menunduk dan menyahut lirih, "Dengar!"
Lenghou Tiong mestinya sudah lemas sekali, demi mendengar perkataan-perkataan itu ia tambah lemas, "trang", pedang jatuh ke tanah, badan juga terkulai lunglai.
Gi-ho yang berdiri di sampingnya cepat menyangga bahu kanannya, ia berseru, "Gak-siansing, di dalam urusan ini tentu ada salah paham, tanpa tanya lebih jelas dan menyelidiki lebih dulu engkau lantas ambil keputusan seketus ini, rasanya terlalu sembrono."
"Salah paham apa?" tanya Gak Put-kun.
"Yang jelas ketika orang-orang Hing-san-pay kami mengalami serangan dari iblis-iblis Mo-kau, maka berkat bantuan Lenghou ... Go-ciangkun inilah sehingga kami diselamatkan. Jika dia adalah sekomplotan dengan Mo-kau mana mungkin mau membantu kami dan berbalik menggempur orang Mo-kau?"
Lantaran mendengar Gi-lim memanggil "Lenghou-toako", Gak Put-kun juga memanggil "Lenghou Tiong", tapi dirinya sendiri hanya mengenalnya sebagai "Go-ciangkun", agar tidak kepalang tanggung, maka ia telah menyebut dua nama sekaligus.
"Orang Mo-kau memang banyak tipu muslihatnya, hendaklah kalian jangan sampai terjebak olehnya," ujar Gak Put-kun. "Kunjungan kalian ke selatan ini dipimpin oleh suthay yang manakah?"
Menurut dugaan Put-kun, nikoh-nikoh dan nona-nona muda ini tentu telah terpikat oleh Lenghou Tiong yang pintar putar lidah dengan kata-kata manis itu, hanya suthay dari angkatan tua Hing-san-pay yang berpengalaman luas yang dapat menyelami tipu keji musuh.
Gi-ho lantas menjawab, "Supek Ting-cing Suthay yang memimpin rombongan kami. Sungguh malang, beliau telah dicelakai oleh iblis Mo-kau."
"Haaah!" Gak Put-kun dan istrinya berseru kaget.
Pada saat itulah dari ujung jalan raya sana sedang berlari mendatang seorang nikoh setengah umur sembari berseru, "Ada surat merpati dari Pek-in-am!"
Nikoh setengah umur itu mendekati Ih-soh, lalu mengeluarkan sebuah bumbung bambu kecil dan diangsurkan padanya. Ketika Ih-soh membuka sumbat ujung bumbung itu dan diambil ke luar sepulung kecil kertas, waktu dibentang dan dibaca, tiba-tiba ia berseru khawatir, "Wah, celaka!"
Ketika mendengar ada kiriman surat dari Pek-in-am tadi, para murid Hing-san-pay sudah lantas merubung maju, demi tampak wajah Ih-soh yang cemas khawatir itu, beramai-ramai mereka lantas tanya, "Ada apa?"
"Bagaimana bunyi surat suhu itu?"
"Cobalah baca sendiri, Sumoay!" sahut Ih-soh sembari mengangsurkan surat itu kepada Gi-jing.
Gi-jing menerimanya dan membaca, "Aku dan Ting-yat Sumoay terkurung di Liong-coan To-kiam-kok."
Lalu ia berkata sendiri, "Ini adalah surat darah dari ... dari ciangbun-suhu. Beliau mengapa sampai berada di Liong-coan?"
"Hayo, lekas kita pergi ke sana!" seru Gi-cin.
"Entah siapakah pihak musuh?" kata Gi-jing.
"Peduli apakah dia setan belang, yang penting lekaslah kita berangkat ke sana," ujar Gi-ho. "Sekalipun harus mati, biarlah mati bersama suhu saja."
Gi-jing mempunyai pikiran panjang dan dapat menimbang sesuatu urusan, ia pikir betapa hebat ilmu silat suhu dan susiok dan mereka toh kena dikurung musuh, andaikan rombongan kita ini memburu ke sana mungkin juga tiada gunanya.
Maka dengan membawa surat berdarah itu ia coba mendekati Gak Put-kun, ia memberi hormat, lalu berkata, "Gak-supek, menurut surat dari suhu kami, katanya beliau terkurung oleh musuh di Liong-coan To-kiam-kok. Mohon Gak-supek mengingat hubungan kekal sesama Ngo-gak-kiam-pay dan sudilah berdaya untuk menolongnya."
Gak Put-kun coba membaca sekilas surat itu, katanya kemudian setelah merenung sejenak, "Bagaimana suhumu dan Ting-yat Suthay bisa datang ke Ciatkang Selatan situ" Ilmu silat mereka berdua sangat hebat, mengapa sampai terkurung oleh musuh, inilah sangat aneh. Apakah surat ini adalah tulisan tangan gurumu?"
"Memang betul tulisan tangan suhu kami," sahut Gi-jing. "Cuma mungkin sekali beliau sudah terluka, dalam keadaan tergesa-gesa surat ini ditulis dengan darah."
"Entah siapakah musuhnya?" tanya Put-kun.
"Besar kemungkinan orang-orang Mo-kau, sebab golongan kami tiada banyak mempunyai musuh lain," ujar Gi-jing.
Gak Put-kun melirik sekejap ke arah Lenghou Tiong, lalu berkata dengan perlahan, "Bisa jadi pihak Mo-kau sengaja membuat surat palsu untuk memancing kalian masuk perangkap mereka. Biasanya kaum iblis itu banyak tipu muslihatnya, untuk ini kalian harus waspada."
Watak Gi-ho paling tidak sabaran, segera ia berteriak, "Suhu dalam bahaya, urusan teramat gawat, marilah kita lekas berangkat untuk membantu beliau. Gi-jing Sumoay, marilah kita lekas pergi ke sana. Gak-supek tidak ada tempo, tiada gunanya kita memohon-mohon padanya."
"Benar, jika kita terlambat mungkin akan menyesal selamanya," seru Gi-cin.
Bab 85. Rahasia-rahasia di Dalam Hoa-san-pay
Karena Gak Put-kun enggan memberi bantuan dan tidak setia kawan sebagai sesama orang Kangouw, apalagi sesama orang Ngo-gak-kiam-pay, maka anak murid Hing-san-pay sama mendongkol.
Kata Gi-lim kemudian, "Lenghou-toako, harap kau merawat lukamu di hotel kemarin itu. Setelah kami menyelamatkan suhu dan supek tentu kami akan datang lagi menjenguk kau."
Mendadak Lenghou Tiong berteriak, "Kembali ada kawanan penjahat mengacau lagi, mana boleh ciangkunmu berpeluk tangan" Hayo kita berangkat bersama untuk menolong orang!"
"Tapi ... tapi kau terluka, cara bagaimana kau sanggup menempuh perjalanan jauh?" ujar Gi-lim.
"Seorang ciangkun sudah biasa berkecimpung di medan perang, apa artinya cuma luka kecil begini," seru Lenghou Tiong. "Hayolah berangkat, lekas!"
Sebenarnya anak murid Hing-san-pay tidak yakin akan mampu menyelamatkan guru mereka, sekarang Lenghou Tiong mau pergi bersama, tentu saja menambah keberanian mereka.
"Jika demikian, Wanpwe sekalian mohon diri," kata Gi-jing terhadap Gak Put-kun dan istrinya.
Dengan marah-marah Gi-ho mengomel, "Hm, orang begini buat apa sungkan-sungkan dengan dia" Hanya buang-buang waktu saja. Sama sekali tidak punya rasa setia kawan, hanya bernama kosong belaka!"
"Sumoay, jangan banyak omong!" bentak Ih-soh.
Gak Put-kun hanya tersenyum saja dan anggap tidak dengar. Sebaliknya Lo Tek-nau lantas melompat maju karena gurunya dihina, bentaknya, "Mulutmu yang kotor itu bilang apa" Ngo-gak-kiam-pay kita mestinya senapas sehaluan, tapi kalian telah berkomplot dengan iblis Mo-kau seperti Lenghou Tiong ini, perbuatan kalian mencurigakan, sudah tentu setiap tindakan harus dipertimbangkan guruku. Jika kalian mau membunuh dulu iblis Lenghou Tiong itu sebagai tanda kebersihan kalian, kalau tidak Hoa-san-pay kami tidak sudi ikut berkomplot dengan kalian."
Gi-ho menjadi gusar, ia melangkah maju dengan meraba pedang dan berseru, "Apa maksudmu dengan kata-kata "ikut berkomplot" segala?"
"Kalian bersekongkol dengan Mo-kau, itu berarti berkomplot," sahut Lo Tek-nau.
"Lenghou-tayhiap ini ada seorang kesatria berbudi, seorang pahlawan sejati, mana dia seperti kalian yang menganggap diri sendiri sebagai kesatria, tapi sesungguhnya adalah manusia-manusia palsu yang berjiwa rendah!" jawab Gi-ho dengan gusar.
Seperti diketahui Gak Put-kun berjuluk "Kun-cu-kiam" (Pedang Laki-laki Sejati), maka anak murid Hoa-san-pay paling sirik jika ada orang mengatakan "laki-laki palsu" atau manusia palsu. Keruan Lo Tek-nau lantas melolos pedang terus menusuk ke leher Gi-ho.
Gi-ho tidak menduga akan diserang secara mendadak, ia tidak sempat melolos pedang buat menangkis, tahu-tahu ujung pedang lawan sudah dekat lehernya. Ia menjerit kaget. Tapi berbareng sinar pedang berkelebat, tujuh pedang sekaligus telah menyerang juga ke arah Lo Tek-nau.
Cepat Lo Tek-nau hendak menangkis, namun hanya pedang yang menusuk ke dadanya itu saja yang kena ditangkis, pada saat yang sama terdengar suara robeknya kain, enam pedang murid Hing-san-pay sudah membuat bajunya robek enam tempat, setiap robekan itu ada belasan senti panjangnya. Untung murid-murid Hing-san-pay itu tidak bermaksud mencabut nyawanya sehingga serangan mereka lantas ditarik kembali ketika menyentuh bajunya. Hanya kepandaian The Oh yang lebih cetek dan kurang jitu gerakannya sehingga sesudah merobek lengan baju kanan Lo Tek-nau, ujung pedangnya masih melukai lengannya.
Sungguh kaget Lo Tek-nau tak terkatakan, lekas-lekas ia melompat mundur. Mendadak dari dalam bajunya terjatuh sejilid buku. Di bawah cahaya matahari yang terang semua orang dapat membaca jelas di sampul buku itu tertulis empat huruf "Ci-he-pit-kip".
Seketika air muka Lo Tek-nau tampak berubah hebat, buru-buru ia hendak menjemput kembali bukunya yang jatuh itu. Tapi Lenghou Tiong sempat berseru, "Cegah dia!"
Saat itu Gi-ho sudah melolos pedangnya, "sret-sret-sret", kontan ia menusuk tiga kali sehingga Lo Tek-nau terpaksa menangkis dan tidak mampu maju lagi.
"Ayah, mengapa kitab pusaka kita itu bisa berada pada jisuko?" tanya Gak Leng-sian kepada Gak Put-kun.
Lenghou Tiong lantas berteriak, "Lo Tek-nau, kau yang mencelakai jiwa laksute bukan?"
Seperti diketahui di puncak Hoa-san dahulu, murid keenam. Hoa-san-pay yaitu Liok Tay-yu terbunuh secara misterius, serta hilangnya "Ci-he-pit-kip", kedua hal itu sampai kini masih menjadi teka-teki yang belum terpecahkan. Tak terduga sesudah baju Lo Tek-nau dirobek-robek oleh tusukan pedang anak murid Hing-san-pay, mendadak kitab pusaka Hoa-san-pay yang hilang itu bisa jatuh ke luar dari baju Lo Tek-nau.
Terdengar Lo Tek-nau menjawab, "Ngaco-belo!"
Habis itu mendadak ia berlari ke kiri terus menyusup masuk sebuah jalan kecil dan menghilang.
Dengan murka Lenghou Tiong lantas mengudak, tapi baru beberapa langkah saja sudah tidak tahan, badannya sempoyongan terus roboh.
Cepat Gi-lim dan The Oh memburu maju untuk memayang bangun.
Gak Leng-sian lantas jemput kitab yang jatuh itu dan diserahkan kepada ayahnya. Katanya, "Ayah, kiranya jisuko yang mencurinya."
Muka Gak Put-kun tampak membesi, kitab itu dipegangnya dan diperiksa, memang benar adalah kitab pusaka perguruan sendiri, untung halamannya masih baik tanpa kerusakan apa pun. Katanya dengan gemas, "Gara-garamu, kau mengambilnya buat orang lain!"
Gi-ho yang bermulut tajam segera menggunakan kesempatan itu untuk mengolok-olok, "Nah, itu namanya berkomplot dan bersekongkol!"
Dalam pada itu Ih-soh telah mendekati Lenghou Tiong dan bertanya, "Lenghou-tayhiap, bagaimana keada ....?"
"Su ... suteku telah dicelakai olehnya, sayang aku tak bisa mengejar dia," sahut Lenghou Tiong sambil menahan rasa sakit.
Tertampak Gak Put-kun dan anak muridnya telah kembali semua ke dalam rumah, pintu depan gedung piaukiok itu lantas ditutup. Kata Lenghou Tiong, "Gurumu dalam bahaya, urusan tidak boleh tertunda marilah kita lekas pergi menolongnya. Jahanam Lo Tek-nau itu pada suatu ketika pasti akan jatuh di tanganku."
"Tapi ... tapi keadaanmu ...." saking terima kasih dan terharunya sehingga Ih-soh tidak tahu apa yang harus dikatakan.
"Kita lekas pergi ke pasar hewan untuk membeli kuda, tidak perlu tawar-tawar, aku punya cukup uang," kata Lenghou Tiong sambil mengeluarkan uang emas perak yang dirampasnya dari Go Thian-tik tempo hari.
Begitulah mereka beramai-ramai lantas menuju ke pasar, asal ada kuda lantas mereka beli tanpa tawar. Tapi jumlahnya tetap kurang lima ekor. Terpaksa belasan orang murid yang lebih muda menunggang kuda berduaan dan segera mereka berangkat menuju ke utara.
Kira-kira belasan li di luar Kota Hokciu, tertampak di suatu tanah lapang ada ratusan ekor kuda yang sedang diumbar dengan dijaga oleh beberapa prajurit, agaknya kuda-kuda itu adalah milik tentara.
"Kita rebut saja kuda-kuda itu," kata Lenghou Tiong.
"Tapi kuda-kuda itu milik tentara, rasanya tidak pantas," ujar Ih-soh.
"Paling penting menolong orang, biarpun kuda milik raja juga kita rampas, peduli pantas atau tidak," kata Lenghou Tiong.
Gi-ho yang berwatak lugu itu lantas membenarkan dan segera mendahului maju. Ketika Lenghou Tiong memberi perintah lagi, para murid Hing-san-pay yang sudah kehilangan pimpinan Ting-cing Suthay secara otomatis lantas menuruti aba-aba Lenghou Tiong. Beramai-ramai mereka menutuk roboh prajurit-prajurit penjaga itu dan berhasil merampas beberapa ekor kuda.
Dengan tertawa gembira para murid Hing-san-pay yang sebagian besar masih muda belia itu lantas sama tukar kuda militer yang lebih bagus dengan serep pula beberapa ekor.
Menjelang tengah hari sampailah mereka di suatu kota kecil. Penduduk setempat terheran-heran melihat suatu rombongan nikoh membawa segerombol kuda, di antaranya terdapat pula seorang laki-laki.
Selesai mereka mengisi perut, waktu Gi-jing hendak membayar ternyata uang yang masih ada tidak cukup. Dengan suara perlahan Gi-jing bicara dengan Lenghou Tiong, "Lenghou-suheng, uang kita sudah habis."
"Tidak apa-apa," kata Lenghou Tiong. "The-sumoay, harap kau bersama Ih-soh masing-masing membawa seekor kuda untuk dijual."
The Oh mengiakan, bersama Ih-soh pergilah mereka. Sudah tentu rada menggelikan bahwa seorang nona jelita menjual kuda di pasar. Tapi dasar The Oh memang gadis yang cekatan, tidak lama ia berada di Hokkian sudah dapat mempelajari beberapa puluh suku kata daerah Hokkian sehingga tidak sukar baginya untuk menjual kudanya. Tidak lama kemudian ia sudah kembali dengan membawa uang untuk membayar rekening makan-minum mereka.
Petangnya sampailah mereka di suatu kota pegunungan yang cukup besar. Selesai makan dan membereskan rekeningnya, sisa uang penjualan kuda siang tadi ternyata tinggal sedikit sekali.
Dengan tertawa The Oh berkata, "Besok pagi kita menjual kuda lagi."
Tapi Lenghou Tiong lantas membisikinya, "Tidak perlu. Coba kau jalan-jalan keluar, carilah keterangan siapa hartawan paling kaya dan siapa yang paling jahat di kota ini."
The Oh manggut-manggut tanda mengerti, segera ia ajak Cin Koan pergi bersama. Selang tidak lama ia telah kembali dan memberi laporan, "Di kota ini hanya ada seorang hartawan kaya raya she Pek, orang memberi julukan "Pek-pak-bwe" padanya, dia membuka gadai dan punya toko beras dan lain-lain. Dari julukannya Pek-pak-bwe (tukang menguliti) dapat dibayangkan pasti bukan manusia baik-baik."
"Ya, malam ini juga kita akan minta derma padanya," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Orang demikian pasti sangat pelit, mana bisa dimintai derma?" ujar The Oh.
Tapi Lenghou Tiong hanya tersenyum saja, katanya, "Marilah kita berangkat."
Sebenarnya hari sudah mulai gelap, tapi mengingat keselamatan guru mereka anak murid Hing-san-pay itu tidak berani ayal, segera mereka melanjutkan perjalanan.
Beberapa li kemudian, tiba-tiba Lenghou Tiong berkata, "Cukup di sini saja kita mengaso."
Beramai-ramai mereka lantas berduduk-duduk di tepi sebuah sungai kecil pegunungan.
Selama itu Gi-lim selalu berada di samping Lenghou Tiong, terkadang ia suka tersenyum-senyum sendiri, entah apa yang sudah dipikirkan, tapi selama itu ia tidak pernah bicara dengan Lenghou Tiong. Baru sekarang tiba-tiba ia membuka mulut, "Ba ... bagaimana keadaan lukamu?"
"Tidak apa-apa," sahut Lenghou Tiong. Lalu ia pejamkan mata untuk mengumpulkan semangat. Agak lama kemudian barulah ia membuka mata dan berkata kepada Ih-soh dan Gi-ho, "Kalian masing-masing membawa enam orang sumoay pergi minta derma kepada Pek-pak-bwe. The-sumoay akan menjadi petunjuk jalan bagi kalian."
Ih-soh, Gi-ho, dan lain-lain merasa heran, tapi mereka lantas mengiakan.
"Paling sedikit kalian harus minta sumbangan 500 tahil perak, paling baik kalau bisa 2.000 tahil perak," kata Lenghou Tiong. "Nanti kita pakai sendiri seribu tahil, selebihnya dapat kita bagi-bagikan kepada orang miskin di kota ini."
"Maksudmu kita harus merampas milik yang kaya untuk disedekahkan kepada orang miskin?" tanya Gi-ho.
"Begitulah," sahut Lenghou Tiong. "Kita sendiri kehabisan sangu dan termasuk kaum rudin, kalau yang kaya tidak memberi sekadar sedekah kepada kaum miskin kita ini, cara bagaimana kita dapat mencapai Liong-coan To-kiam-kok?"
Mendengar tempat tujuan mereka, seketika para murid Hing-san-pay itu tidak ragu-ragu lagi, serentak mereka menyatakan setuju.
"Cuma cara minta derma kalian ini lain daripada yang lain," kata Lenghou Tiong pula. "Setiba di rumah Pek-pak-bwe, kalian harus memakai kedok, di waktu minta derma juga tidak perlu buka suara. Asal melihat emas perak lantas daulat saja."
"Kalau dia tidak mau memberi?" tanya The Oh dengan tertawa.
"Jika demikian berarti Pek-pak-bwe itu terlalu tidak tahu diri," ujar Lenghou Tiong. "Padahal kesatria-kesatria Hing-san-pay bukanlah orang sembarangan di dunia persilatan. Biasanya biarpun orang memapak kalian dengan joli digotong delapan orang untuk memberi sedekah kepada kalian toh belum tentu kalian mau datang. Sekarang Pek-pak-bwe telah didatangi sekaligus oleh 15 tokoh Hing-san-pay, bukankah ini merupakan suatu kehormatan besar baginya. Tapi, andaikan dia memang kepala batu dan memandang enteng kepada kalian, maka boleh juga kalian jajal-jajal dia, lihat saja apakah Pek-pak-bwe itu tahan sekali tonjok oleh kepalan halus The-sumoay?"
Semua orang sama tertawa oleh banyolan Lenghou Tiong ini. Walaupun ada di antaranya yang merasa cara minta sedekah seperti dirancangkan ini boleh dikata melanggar peraturan perguruan Hing-san-pay, tapi dalam keadaan kepepet terpaksa mereka tidak dapat berpikir lain lagi. Gi-ho, The Oh, dan lain-lain segera berangkat pergi.
Waktu menoleh, Lenghou Tiong melihat Gi-lim sedang menatap ke arahnya. Ia tersenyum dan menegur, "Siausumoay, apakah kau tidak setuju caraku ini?"
Gi-lim menghindari sorot mata Lenghou Tiong, sahutnya dengan perlahan, "Entahlah. Kukira apa yang kau lakukan tentulah tidak salah lagi."
"Dahulu ketika aku kepingin makan semangka, bukankah kau pun pernah pergi minta sedekah sebuah?" kata Lenghou Tiong.
Wajah Gi-lim menjadi merah, teringat olehnya waktu mereka berduaan di tengah ladang semangka dahulu itu. Pada saat itu pula di ujung langit sana sebuah bintang meteor berkelebat lewat untuk segera lenyap pula.
"Masih ingatkah kau akan kaul yang pernah kau katakan?" tanya Lenghou Tiong.
"Tentu saja masih ingat," sahut Gi-lim sambil berpaling kembali. "Lenghou-toako, kaul demikian sungguh manjur."
"Apakah kaulmu sudah terkabul?" tanya Lenghou Tiong.
Gi-lim menunduk tanpa menjawab. Ia membatin, "Sudah beratus kali aku berkaul semoga dapat bertemu lagi dengan kau, dan akhirnya terkabul juga sekarang."
Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh berkumandang suara derapan lari kuda yang cepat, seorang penunggang kuda tampak datang dari selatan, yaitu arah keberangkatan rombongan Ih-soh dan Gi-ho tadi. Tapi mereka tidak menunggang kuda perginya, apa mungkin terjadi apa-apa dengan mereka"
Serentak semua orang berdiri sambil memandang ke arah datangnya suara derapan kuda itu. Terdengar suara seorang perempuan sedang berseru, "Lenghou Tiong! Lenghou Tiong!"
Terguncang hebat hati Lenghou Tiong mendengar suara yang jelas sudah dikenalnya itu, ialah suaranya Gak Leng-sian. Cepat ia menyahut, "Siausumoay, aku berada di sini!"
Gi-lim tergetar juga, wajahnya pucat dan segera mundur satu-dua langkah ke belakang. Dalam kegelapan seekor kuda putih tampak dipacu tiba. Kira-kira beberapa meter di tempat orang banyak itu mendadak kuda itu meringkik sembari berjingkrak berdiri dengan kedua kaki belakang, habis itu baru berhenti. Hal itu jelas disebabkan Gak Leng-sian menarik tali kekang kudanya.
Melihat datangnya Gak Leng-sian secara tergesa-gesa itu diam-diam Lenghou Tiong merasakan alamat jelek. Serunya, "Siausumoay, apakah suhu dan sunio baik-baik saja?"
Di atas kudanya wajah Leng-sian hanya tampak sebelah saja secara samar-samar, tapi jelas mukanya membesi dingin, ia menjawab dengan suara keras, "Siapa sudi menjadi suhu dan suniomu" Apa hubungannya lagi ayah-ibuku dengan kau?"
Dada Lenghou Tiong serasa digodam orang. Memang Gak Put-kun sangat kereng kepadanya, tapi biasanya Gak-hujin dan Leng-sian sendiri masih selalu ingat hubungan baik di masa lalu dan cukup ramah padanya. Sekarang si nona juga bicara secara demikian kasar, hal ini membuat Lenghou Tiong merasa pedih. Katanya kemudian, "Ya, aku sudah dipecat dan bukan orang Hoa-san-pay lagi, aku tidak berhak memanggil suhu dan sunio pula."
"Sudah tahu begitu, mengapa mulutmu masih terus mengoceh?" omel Leng-sian.
Lenghou Tiong menunduk dengan lesu, perasaannya seperti disayat-sayat.
"Mana?" mendadak Leng-sian mendengus sambil menyodorkan sebelah tangannya.
Keruan Lenghou Tiong bingung. "Apa?" tanyanya lemah.
"Sampai sekarang kau masih berlagak pilon" Apa kau sangka dapat mengelabui aku?" kata Leng-sian. Mendadak ia perkeras suaranya dan menambahkan, "Serahkan!"
"Aku tidak paham, apa yang kau kehendaki?" tanya Lenghou Tiong sambil menggeleng.
"Apa yang kuhendaki" Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Lim!" seru Leng-sian.
"Pi-sia-kiam-boh" Mengapa kau memintanya padaku?" sahut Lenghou Tiong heran.
"Tidak minta padamu, habis minta kepada siapa?" jengek Leng-sian. "Ingin kutanya kau, siapakah yang merampas kasa dari tempat kediaman lama keluarga Lim itu?"
"Itu perbuatan dua orang Ko-san-pay yang disebut Pek-thau-sian-ong Bok Sim dan seorang lagi bernama Tut-eng Soa Thian-kang."
"Benar. Dan kedua keparat Ko-san-pay itu dibunuh oleh siapa?"
"Aku, aku yang membunuh mereka," sahut Lenghou Tiong tegas.
"Dan kasa itu kemudian diambil oleh siapa?"
"Aku!" "Bagus! Sekarang serahkan kasa itu!"
"Tapi se ... sesudah aku terluka dan jatuh pingsan, syukur aku telah ditolong oleh su ... oleh ibumu. Selanjutnya kasa itu tidak berada padaku lagi."
"Haha!" tiba-tiba Leng-sian mengakak sambil menengadah, tapi tanpa sedikit pun nada tertawa. "Ucapanmu ini seakan-akan hendak mengatakan ibu telah makan barangmu itu bukan" Huh, bisa saja kau mengucapkan kata-kata yang demikian kotor dan tidak tahu malu."
"Aku sekali-kali tidak mengatakan ibumu telah menggelapkan kasa itu. Tuhan menjadi saksi, dalam hatiku sedikit pun tiada punya perasaan kurang hormat kepada ibumu. Yang kumaksudkan adalah ... adalah ...."
"Apa?" Leng-sian menegas.
"Yang kumaksudkan adalah sesudah ibumu melihat kasa itu dan mengetahuinya sebagai milik keluarga Lim, dengan sendirinya barang itu akan dikembalikan kepada Lim-sute."
"Mana mungkin ibu akan menggeledah barang bawaanmu" Seumpama akan dikembalikan kepada Lim-sute juga ibu akan menunggu setelah kau siuman supaya kau mengembalikannya sendiri kepada Lim-sute mengingat barang itu adalah hasil perebutanmu secara mati-matian. Mana bisa ibu tidak memikirkan akan hal demikian?"
"Benar juga ucapannya. Apa barangkali kasa itu telah dicuri orang pula?" demikian pikir Lenghou Tiong. Karena khawatirnya, seketika keringat dingin merembes keluar. Katanya kemudian, "Jika begitu, tentu di dalam hal itu ada kejadian lain lagi."
Lalu ia sengaja mengebas bajunya sendiri dan menambahkan, "Seluruh barangku adalah di sini semua, jika kau tidak percaya boleh kau menggeledah badanku."
Kembali Leng-sian tertawa dingin, katanya, "Kau ini licin dan licik, barang yang sudah kau ambil masakan akan kau simpan di badanmu sendiri" Lagi pula di sekitarmu ada sedemikian banyak hwesio dan nikoh serta perempuan yang tidak keruan ini, tentu semuanya akan bantu menyembunyikannya bagimu."
Caranya Gak Leng-sian menanyai Lenghou Tiong seperti hakim tanya terdakwa, memangnya anak murid Hing-san-pay sejak tadi sudah merasa jengkel, sekarang si nona menyinggung mereka dengan kata-kata kasar, keruan mereka serentak membentak-bentak, "Ngaco-belo!"
"Apa maksudmu dengan perempuan tidak keruan?"
"Di sini mana ada hwesio?"
"Kau sendirilah perempuan tidak genah!"
Leng-sian juga tidak gentar, sambil meraba pedangnya ia menjawab, "Kalian adalah orang beragama, tapi siang malam selalu mengelilingi seorang laki-laki, apakah kelakuan demikian bukankah tidak keruan" Cis, tidak tahu malu!"
Murid-murid Hing-san-pay itu menjadi gusar, berbareng tujuh-delapan orang di antaranya lantas melolos pedang.
"Sret", Leng-sian juga lantas lolos pedangnya, serunya, "Bagaimana" Kalian ingin main kerubut bukan" Hayolah maju! Jika Nona Gak gentar bukanlah murid Hoa-san-pay!"
Cepat Lenghou Tiong memberi tanda untuk mencegah tindakan murid-murid Hing-san-pay lebih lanjut. Ia menghela napas, katanya kepada Leng-sian, "Jika kau telah mencurigai aku, ya, apa yang dapat kukatakan. Tapi bagaimana dengan Lo Tek-nau, mengapa tidak kau tanyakan padanya" Jika dia berani mencuri Ci-he-pit-kip, bisa jadi kasa itu pun dicuri olehnya?"
"O, jadi kau suruh aku pergi tanya kepada Lo Tek-nau?" Leng-sian menegas dengan suara keras.
"Benar!" jawab Lenghou Tiong.
"Baik. Nah silakan kau menghabisi nyawaku. Kau sudah mahir Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim, memangnya aku bukan tandinganmu lagi!"
"Mana ... mana bisa aku membunuh kau?" sahut Lenghou Tiong melenggong.
"Habis kau suruh aku pergi menanyai Lo Tek-nau, jika kau tidak membunuh aku, cara bagaimana aku dapat menyusul Lo Tek-nau ke akhirat?"
Kejut dan girang pula Lenghou Tiong. Tanyanya, "Jadi Lo Tek-nau telah ... telah dibinasakan oleh su ... oleh ayahmu bukan?"
Ia tahu Lo Tek-nau berguru kepada Gak Put-kun sesudah memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi, dalam Hoa-san-pay selain dirinya sendiri adalah kepandaian Lo Tek-nau yang paling lihai, maka untuk membunuhnya kecuali Gak Put-kun rasanya tidak mampu dilakukan oleh orang lain lagi. Lo Tek-nau telah membunuh Liok Tay-yu, jika dia sudah terbunuh pula, hal ini berarti sakit hati Liok-laksute-nya itu sudah terbalas.
Tiba-tiba Gak Leng-sian mendengus lagi, "Hm, seorang laki-laki sejati harus berani berbuat berani bertanggung jawab. Kau telah membunuh Lo Tek-nau, kenapa kau tidak berani mengaku?"
"Kau bilang aku yang membunuh Lo Tek-nau?" Lenghou Tiong menegas dengan heran. "Jika aku yang membunuhnya memangnya aku tidak perlu menyangkal. Dosa Lo Tek-nau lebih daripada dihukum mati, aku memang menyesal tak dapat membunuhnya dengan tanganku sendiri."
"Dan kenapa kau membunuh pula patsuko (kakak perguruan kedelapan)" Apa salahnya kepadamu" Sungguh ... sungguh kejam kau!" teriak Leng-sian.
Lenghou Tiong terperanjat. Ia menegas dengan suara rada gemetar, "Jadi patsute juga terbunuh" Patsute sangat licin dan pintar, selamanya sangat baik dengan aku, mana bisa aku mem ... membunuhnya?"
"Hm, sejak kau bergaul dengan iblis Mo-kau, kelakuanmu sudah lain daripada biasanya, siapa tahu apa sebabnya mendadak kau membunuh patsuko. Kau ... kau ...." sampai di sini air mata Leng-sian telah menetes.
Lenghou Tiong melangkah maju satu tindak, katanya tegas, "Siausumoay, janganlah kau berpikir tanpa dasar. Usia patsute muda belia, selamanya tiada bermusuhan dengan siapa pun juga. Jangankan aku, orang lain pun tidak mungkin tega membunuhnya."
Mendadak alis Leng-sian menegak, tanyanya pula dengan suara bengis, "Dan mengapa pula kau tega mencelakai Lim-sute?"
"Hah" Lim-sute ... dia ... dia juga sudah mati?" Lenghou Tiong menegas dengan terperanjat.
"Saat ini masih belum mati, sekali bacok pedangmu belum membinasakan dia, tetapi siapa ... yang tahu dia akan dapat sembuh atau tidak?" sampai di sini suaranya kembali parau dan mulai terguguk-guguk.
Lenghou Tiong menghela napas longgar, katanya, "Apa dia terluka sangat parah" Kuyakin dia pasti mengetahui siapa yang menyerangnya. Bagaimana menurut pengakuannya?"
"Di dunia ini tiada seorang pun yang licin seperti kau. Kau telah membacoknya dari belakang, memangnya punggung Lim-sute punya mata?"
Macam-macam perasaan mencekam hati Lenghou Tiong, saking tak tahan, ia lolos pedangnya, ia kerahkan tenaga terus dilemparkan ke samping sana. Pedang itu meluncur melintang ke depan dan membentur sebatang pohon cemara yang cukup besar, pedang itu menyambar lewat di tengah batang pohon, kontan pohon itu terpotong putus dan rebah sehingga menimbulkan debu pasir yang berhamburan.
"Bagaimana" Sesudah kau mahir ilmu iblis Mo-kau, sekarang kau sengaja pamer keganasanmu di depanku bukan?" jengek Leng-sian.
Lenghou Tiong menggeleng, sahutnya, "Bilamana aku ingin membunuh Lim-sute tidak perlu aku menyerangnya dari belakang, juga tidak mungkin sekali bacok tidak membuatnya binasa."
"Hm, siapa yang tahu akan maksud tujuanmu yang licik?" jengek pula Leng-sian. "Tentunya patsute telah melihat perbuatanmu yang rendah itu, makanya kau membunuhnya sekalian untuk menghilangkan saksi, bahkan kau telah merusak mukanya, sama halnya seperti apa yang kau lakukan terhadap ... terhadap Lo Tek-nau."
Sedapat mungkin Lenghou Tiong menahan gejolak perasaannya. Ia tahu di balik urusan ini pasti ada suatu intrik, suatu persekongkolan besar, suatu tipu muslihat keji yang saat ini belum dapat dipecahkan olehnya.
"Jadi muka Lo Tek-nau juga telah dirusak orang?" tanyanya kemudian.
"Kau sendiri yang berbuat, mengapa malah tanya padaku?"
"Siapa lagi anak murid Hoa-san-pay yang menjadi korban?"
"Kau sudah membunuh dua orang dan melukaparahkan satu orang, memangnya masih belum cukup?" sahut Leng-sian.
Dari jawaban ini Lenghou Tiong mengetahui tiada orang lain lagi yang menjadi korban, hatinya rada lega. Pikirnya, "Perbuatan keji siapakah ini?"
Sekonyong-konyong timbul rasa ngerinya, teringat olehnya apa yang dikatakan oleh Yim Ngo-heng di Hangciu dahulu, gembong Mo-kau itu mengancam apabila dirinya tidak mau masuk menjadi anggota Mo-kau, maka orang-orang Hoa-san-pay akan dibunuhnya semua. Jangan-jangan Yim Ngo-heng sudah berada di Hokciu dan mulai menyikat Hoa-san-pay"
Cepat ia berkata kepada Leng-sian, "Lekas-lekas kau pulang ke Hokciu dan laporkan kepada ayah-ibumu bahwa mungkin sekali gembong Mo-kau yang telah melakukan pembunuhan secara keji."
"Ya, memang benar gembong iblis Mo-kau yang telah turun tangan keji terhadap Hoa-san-pay kami," sahut Leng-sian dengan nada mengejek. "Cuma gembong iblis itu dahulu adalah orang Hoa-san-pay. Memang piara macan akan merupakan penyakit, air susu dibalas dengan air tuba."
Lenghou Tiong hanya tersenyum getir saja, ia pikir dirinya sudah menyanggupi akan pergi menolong Ting-sian dan Ting-yat Suthay, tapi sekarang suhu dan sunio menghadapi bahaya pula, ini benar-benar serbasusah. Jika yang mengganas itu adalah Yim Ngo-heng, maka sukar juga untuk melawannya, namun bagaimanapun juga kesulitan guru dan ibu-guru yang berbudi padanya itu harus diutamakan lebih dulu, urusan Hing-san-pay terpaksa harus ditunda. Bila nanti Yim Ngo-heng sudah dapat dicegat perbuatannya yang lebih lanjut baru menuju ke Liong-coan untuk membantu Hing-san-pay.
Bab 86. Hing-san-pay Hampir Musnah
Setelah ambil keputusan demikian segera ia berkata, "Sejak berangkat dari Hokciu, senantiasa aku berada bersama para suci dan sumoay Hing-san-pay ini, cara bagaimana aku dapat pergi membunuh patsute dan Lo Tek-nau" Jika perlu boleh kau tanya keterangan mereka."
"Hm, kau suruh aku tanya mereka?" dengan Leng-sian. "Mereka telah bersekongkol dengan kau, masakah mereka takkan berdusta bagimu?"
Mendengar itu, kembali sebagian murid Hing-san-pay berteriak-teriak marah lagi, beberapa murid preman di antaranya lantas batas memaki dengan tajam.
Leng-sian menarik mundur kudanya, katanya, "Lenghou Tiong, Siau-lim-cu terluka sangat parah, dalam keadaan setengah tak sadar masih terus menyebut kiam-boh, jika kau masih punya hati nurani sebagai manusia seharusnya kau mengembalikan kiam-boh padanya. Kalau tidak ...."
"Apa kau yakin aku benar-benar manusia serendah ini?"
"Jika kau bukan manusia rendah, maka di dunia ini tiada manusia rendah lagi," seru Leng-sian dengan murka.
Sejak tadi perasaan Gi-lim sangat terguncang mengikuti percakapan mereka, sekarang ia tidak tahan lagi, selanya, "Nona Gak, Lenghou-toako teramat baik kepadamu, dengan tulus hati dia benar-benar sangat baik terhadap kau, mengapa kau memakinya secara demikian galak?"
Alap Alap Laut Kidul 13 Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Pendekar Elang Salju 3
"Ya, seumpama betul adalah pesan peninggalan ayah-ibumu, lantas bagaimana?" tanya Leng-sian.
"Pesan tinggalan ayahku yang disampaikan Toasuko itu menyebut pula jangan memeriksa atau membaca kitab atau benda apa segala, setelah kupikir sekian lamanya, kuyakin pasti ada sangkut pautnya dengan soal kiam-boh. Siausuci, kupikir jika pesan ayah menyebut jalan dan rumah lama ini, seumpama kiam-boh tidak berada di sini lagi, mungkin di sini akan diperoleh sedikit tanda-tanda tertentu."
"Benar juga uraianmu. Selama beberapa hari ini kulihat semangatmu rada lesu, malam hari juga tidak mau tinggal di piaukiok dan mesti pulang ke sini. Aku menjadi khawatir, maka sengaja datang menjenguk kau. Di waktu siang hari kau berlatih pedang, harus mengawani aku pula, dan kalau malam masih harus membongkar rumah lagi di sini."
Peng-ci tersenyum ewa, lalu menghela napas dan berkata, "Kupikir kematian ayah-ibuku sangatlah menyedihkan, jika aku dapat menemukan kiam-boh dan dapat membunuh musuh dengan tangan sendiri dengan ilmu pedang warisan leluhur, dengan demikian barulah ayah-ibu akan terhibur di alam baka."
"Entah saat ini Toasuko berada di mana?" ujar Leng-sian. "Jika aku dapat bertemu dia tentu akan memintakan kiam-boh itu bagimu. Ilmu pedangnya sekarang sudah sangat tinggi, sudah seharusnya kiam-boh itu dikembalikan kepada yang empunya. Menurut aku, Siau-lim-cu, sebaiknya akhiri khayalanmu, tidak perlu lagi membongkar seisi rumah ini. Seandainya tidak ada kiam-boh keluargamu, asalkan berhasil meyakinkan Ci-he-sin-kang ayah juga mampu membalas sakit hatimu."
"Sudah tentu," kata Peng-ci. "Cuma kematian ayah-ibuku sedemikian mengenaskan, sebelum ajal banyak disiksa dan dihina pula, bila aku dapat menuntut balas dengan ilmu pedang keluarga sendiri akan dapat melampiaskan dendam ayah-ibu. Pula, Ci-he-sin-kang perguruan kita selamanya hanya diajarkan kepada seorang murid yang terpilih sebagai ahli waris. Aku sendiri adalah murid buncit, meski suhu dan sunio sangat sayang padaku, tapi para suheng dan suci tentu takkan terima dan menyangka hal-hal yang tidak baik."
"Ah, peduli bagaimana anggapan mereka, asalkan kau berbuat tulus dan sejujurnya sudah cukup," ujar Leng-sian.
"Cara bagaimana kau mengetahui aku akan tulus dan jujur?" tanya Peng-ci tertawa.
Mendadak terdengar suara gaplokan Leng-sian di atas badan Peng-ci, omelnya, "Ya, aku tahu kau cuma pura-pura saja, kau adalah manusia berhati serigala."
"Sudahlah, sudah sekian lamanya kita di sini, marilah kita pulang," terdengar Peng-ci berkata dengan tertawa. "Tapi kalau kuantar kau pulang piaukiok, bila diketahui suhu dan sunio tentu bisa celaka."
"Maksudmu mengusir aku, bukan" Baiklah, kau mengusir aku, segera juga aku akan pergi, tidak perlu kau mengantar," kata Leng-sian. Nadanya kedengaran tidak senang.
Sejak kecil Lenghou Tiong dibesarkan bersama si nona, ia tahu saat ini Leng-sian tentu menjengkit mulut, anak dara di waktu marah-marah kecil memang mempunyai daya pikat tersendiri. Ia pikir Lim-sute ini sungguh aneh, kalau siausumoay datang menjenguk aku, biarpun langit ambruk juga aku mengharapkan dia tetap tinggal bersama aku. Tapi sekarang ia justru ingin perginya siausumoay, seakan-akan siausumoay sedemikian melengket padanya, sebaliknya dia anggap sepi saja.
Sementara itu Peng-ci sedang bicara lagi, "Menurut kata suhu, ketua Mo-kau yang dulu Yim Ngo-heng telah muncul di Kangouw lagi, kabarnya sudah berada di wilayah Hokkian. Ilmu silat bekas ketua Mo-kau ini sangat tinggi dan sukar dijajaki, tindak tanduknya keji dan ganas pula. Jika tengah malam kau pulang sendiri dan kebetulan kepergok olehnya, lantas ... lantas bagaimana?"
"Hm, andaikan kau mengantar aku pulang, kalau kebetulan kepergok dia, apakah kau lantas mampu membekuk dia atau membunuh dia?" sahut Leng-sian.
"Ya, sudah tahu ilmu silatku tidak becus, kau sengaja mengejek aku ya?" sahut Peng-ci. "Sudah tentu aku bukan tandingannya, tapi asal berada bersama kau, biarpun mati juga boleh mati bersama."
Seketika hati Leng-sian menjadi lemas, katanya dengan suara halus, "Siau-lim-cu, bukan maksudku mengatakan ilmu silatmu tidak becus. Asalkan kau berlatih segiat ini, kelak tentu lebih hebat daripadaku. Padahal selain ilmu pedang yang belum kau kuasai, jika berkelahi sungguh-sungguh mana aku sanggup melayani kau."
Peng-ci tertawa, katanya, "Ah, dengan sebelah tangan saja kau sudah dapat merobohkan aku."
Rupanya Gak Leng-sian belum mau pergi dan ingin membikin senang Lim Peng-ci, ia berkata pula, "Siau-lim-cu, marilah kubantu kau mencari lagi. Benda-benda di rumahmu sendiri sudah teramat hafal bagimu sehingga tidak menarik perhatian, mungkin sekali aku dapat menemukan sesuatu benda yang mencolok."
"Baiklah, boleh coba kau mencari sesuatu yang dirasakan aneh," ujar Peng-ci.
Menyusul lantas terdengar suara gedubrakan, suara ditariknya laci dan bergesernya meja-kursi. Selang sejenak, terdengar Leng-sian berkata, "Semuanya biasa saja, tiada apa-apa yang menarik. Apakah rumahmu ini ada tempat-tempat yang luar biasa?"
Peng-ci terdiam sejenak, jawabnya kemudian, "Tempat yang luar biasa" Tidak ada. Menurut pesan ayahku, di antaranya ada kata-kata jangan memeriksa segala, apa ada tempat luar biasa yang harus diperiksa?"
"Ya, umpamanya kita bisa memeriksanya ke kamar baca," ujar Leng-sian.
"Keluarga kami turun-temurun menjadi jago pengawal, hanya ada ruangan kantor, tidak ada kamar baca. Kantor juga cuma ada di piaukiok sana."
"Jika begitu menjadi sulit untuk mencarinya. Apakah isi rumah ini ada sesuatu yang dapat dibuka dan diperiksa?"
"Dari pesan ayah yang disampaikan Toasuko itu, katanya aku dilarang membongkar dan memeriksa barang-barang tinggalan leluhur. Padahal besar kemungkinan aku justru disuruh membongkar dan memeriksa benda-benda tinggalan leluhurku. Tapi di sini toh tidak ada benda-benda kuno apa" Setelah kupikir-pikir lagi, yang ada cuma sedikit kitab-kitab agama Buddha tinggalan leluhur saja."
Mendadak Leng-sian melonjak girang, serunya, "Bagus! Kitab Buddha katamu" Sungguh tepat. Tat-mo Cosu adalah cikal bakal ilmu silat, adalah bukan sesuatu yang aneh jika di dalam kitab Buddha tersembunyi kiam-boh segala."
Mendengar kata-kata Leng-sian itu, semangat Lenghou Tiong seketika ikut terbangkit. Katanya di dalam hati, "Jika Lim-sute dapat menemukan kiam-boh di dalam kitab Buddha yang dikatakan itu, tentu segala urusan akan menjadi beres dan aku takkan dicurigai menggelapkan kiam-bohnya."
Tapi lantas terdengar Peng-ci menjawab, "Kitab-kitab itu sudah kuperiksa semua, bahkan sudah kuperiksa beberapa kali. Malahan sudah kucocokkan dengan kitab-kitab yang serupa yang kupinjam dari perpustakaan, isi kitab-kitab di sini ternyata tiada sesuatu yang mencurigakan. Jadi kitab-kitab Buddha di sini hanya kitab-kitab biasa."
"Jika demikian apa daya kita?" ujar Leng-sian. Setelah termenung sebentar, mendadak ia bertanya, "Tapi lapisan dalam halaman kitab-kitab itu apa sudah kau periksa juga?"
"Lapisan dalam" Hal ini tak terlintas dalam pikiranku," sahut Peng-ci. "Marilah sekarang juga kita memeriksanya lagi."
Begitulah masing-masing lantas membawa sebuah tatakan lilin, dengan tangan bergandengan tangan mereka keluar dari kamar itu dan menuju ke ruangan belakang.
Lenghou Tiong mengikuti jurusan mereka dari atas rumah. Tertampak sinar lampu itu menembus keluar dari balik jendela sebuah kamar, lalu kamar yang lain pula. Akhirnya sampai di kamar di sudut barat laut sana. Dengan enteng Lenghou Tiong melompat turun dan mengintip ke dalam melalui celah-celah jendela. Kiranya kamar itu adalah sebuah ruangan pemujaan Buddha.
Di tengah ruangan itu tergantung sebuah lukisan cat air Tat-mo Cosu (Buddhatama) itu cikal bakal Siau-lim-pay yang terkenal. Anehnya lukisan Tat-mo Cosu itu dilukis dalam posisi mungkur. Agaknya melukiskan sewaktu Tat-mo Cosu sedang semadi selama sembilan tahun menurut kisahnya. Di sebelah kiri ruangan ada sebuah kasuran yang tampaknya sudah sangat tua, di atas meja sembahyang ada bok-hi (kentungan berbentuk ikan laut), genta kecil, dan setumpuk kitab.
Melihat keadaan ruangan itu, Lenghou Tiong menduga leluhur Hok-wi-piaukiok yang pernah menjagoi dunia Kangouw itu tentu dahulunya banyak membinasakan kawanan bandit yang menjadi seterunya, tapi pada akhir hayatnya dia telah bersujud menjadi seorang yang alim.
Tertampak Gak Leng-sian mengambil sebuah kitab dan berkata, "Kita bongkar kitab ini, coba periksa lapisan dalam tiap-tiap halamannya apa ada terselip sesuatu benda. Jika tidak ada, kitab ini dapat kita jilid kembali."
"Baiklah," sahut Peng-ci, ia pun ambil satu jilid kitab itu dan memutuskan jahitan benang jilidan, lalu halaman-halaman kitab itu dibentang, begitu pula Leng-sian juga lantas membuka satu jilid yang lain serta diangkat di depan lilin untuk menyorotnya kalau-kalau di tengah halaman kitab itu ada tulisan lain.
Lenghou Tiong dapat menyaksikan potongan badan si nona dari belakang, tangan Leng-sian kelihatan putih bersih, pergelangan tangan kiri masih memakai gelang pualam hijau seperti dulu. Terkadang mukanya miring sedikit dan saling pandang dengan Peng-ci, keduanya lantas tersenyum penuh arti, lalu keduanya memeriksa lagi halaman-halaman kitab itu. Entah karena sorotan api lilin atau pipi si nona memang bersemu merah, tapi tampaknya wajah si nona memang alangkah moleknya. Lenghou Tiong sampai kesima di luar jendela.
Satu per satu kitab-kitab di atas meja telah dibongkar oleh Leng-sian dan Peng-ci, ketika kitab-kitab itu hampir habis diperiksa, sekonyong-konyong Lenghou Tiong mendengar di belakangnya ada suara mendesirnya angin yang sangat lirih. Waktu menoleh, dilihatnya ada dua sosok bayangan melayang ke arahnya dari tembok rumah sebelah kanan, keduanya saling memberi isyarat dengan tangan, lalu melompat ke dalam pekarangan dengan sangat enteng, jelas sekali ginkang mereka sangat tinggi.
Tatkala itu Lenghou Tiong sudah menyelinap ke pojok lain, dilihatnya kedua orang itu mendekati ruangan di mana Peng-ci berdua berada, mereka juga mengintip ke dalam.
Selang tak lama, terdengar Leng-sian berkata di dalam, "Sudah habis, tiada menemukan sesuatu."
Nadanya kedengaran sangat kecewa. Tapi mendadak ia menyambung lagi, "Eh, Siau-lim-cu, aku ingat sesuatu, coba kita ambil satu baskom air."
"Untuk apa?" terdengar Peng-ci bertanya.
"Sering kali kudengar cerita ayah bahwa orang kuno suka menggunakan semacam obat untuk menulis, sesudah kering huruf yang tertulis akan hilang, tapi kalau kertas tulis dibasahi dengan air, maka hurufnya akan timbul lagi."
Lenghou Tiong juga ingat memang dulu pernah mendengar sang guru bercerita tentang hal ini, tatkala itu Leng-sian baru berumur sepuluhan, sebaliknya dirinya sudah jejaka tanggung. Terkenang kepada masa silam yang menyenangkan, kembali matanya berkaca-kaca mengembeng air mata.
Terdengar Peng-ci lagi menyahut, "Benar, kita harus mencobanya."
Begitulah kedua muda-mudi lantas keluar untuk mengambil air. Dua orang yang mengintip di luar jendela itu tampak menahan napas dan tidak berani bergerak. Tidak lama kemudian Peng-ci dan Leng-sian masing-masing membawa satu baskom air dan masuk lagi ke ruangan Buddha itu, beberapa halaman kitab yang sudah terbuka itu mereka rendam di dalam air.
Hanya sebentar saja rupanya Peng-ci sudah tidak sabar lagi, segera ia mengambil satu halaman kitab rendaman itu dan disorot di bawah cahaya lilin, namun tidak kelihatan bekas tulisan apa-apa. Belasan halaman kitab rendaman itu telah mereka periksa dan tetap tidak tampak sesuatu yang aneh.
Maka terdengar Peng-ci menghela napas dan berkata, "Sudahlah, tidak perlu dicoba lagi, tidak ada tulisan apa-apa yang aneh."
Baru selesai Peng-ci berkata demikian, kedua orang yang mengintip di luar jendela itu sudah lantas memutar ke muka pintu dengan gesit sekali, lalu mendorong pintu dan menerobos ke dalam.
"Siapa?" bentak Peng-ci kaget
Tapi cepat luar biasa gerakan kedua orang itu, begitu menerobos masuk segera mereka menerjang maju. Baru saja Peng-ci hendak melawan, tahu-tahu iganya sudah kena tertutuk.
Begitu pula Gak Leng-sian, baru saja pedangnya terlolos setengah, tahu-tahu jari musuh menuju ke arah matanya, terpaksa Leng-sian mengurungkan menarik pedang dan angkat tangannya untuk menangkis.
Berturut-turut lawan itu mencakar tiga kali, semuanya mengarah ke tenggorokan Leng-sian secara keji. Keruan Leng-sian terperanjat dan mundur dua tindak sehingga punggungnya sudah mepet meja sembahyang dan tidak dapat mundur lagi.
Mendadak sebelah tangan orang itu menggaplok ke batok kepalanya, terpaksa Leng-sian menangkis sekuatnya dengan kedua tangan. Tak terduga serangan musuh ini hanya pancingan belaka, jari tangan yang lain mendadak menutuk sehingga pinggang Leng-sian tertutuk dengan jitu dan tak bisa berkutik lagi.
Semua itu telah disaksikan oleh Lenghou Tiong, tapi dilihatnya jiwa Peng-ci dan Leng-sian untuk sementara tak terancam, maka ia pikir tidak perlu buru-buru menolong mereka. Ia ingin tahu apa kehendak dan asal usul kedua orang penyergap itu.
Dilihatnya kedua orang itu celingukan dan melongak-longok di ruangan pemujaan itu, mendadak seorang di antaranya memegang kasuran di lantai terus dirobek menjadi dua, seorang lagi menghantam bok-hi di atas meja sehingga pecah.
Peng-ci dan Leng-sian tak bisa bicara dan juga tak bisa bergerak, tapi melihat tenaga kedua orang itu sedemikian lihai, merusak kasuran dan menghancurkan bok-hi, terang tujuan mereka juga hendak mencari Pi-sia-kiam-boh. Namun mereka merasa lega juga karena di dalam kasuran serta bok-hi itu tiada tersimpan sesuatu benda.
Usia kedua orang itu sama-sama sudah tua, sedikitnya sudah mendekati 60-an, seorang kepalanya botak, seorang lagi rambutnya ubanan semua. Gerak-gerik kedua orang sama-sama cepat luar biasa, hanya sebentar saja mereka telah menghancurkan segala benda yang berada di dalam ruangan pemujaan itu, tapi tidak menemukan apa-apa.
Tiba-tiba pandangan kedua orang itu sama-sama terpusat ke arah lukisan Tat-mo Cosu yang tergantung di dinding itu. Mendadak si botak hendak menjambret lukisan itu, tapi kawannya telah mencegahnya dan berseru, "Nanti dulu, coba kau lihat jarinya?"
Berbareng pandangan Peng-ci, Leng-sian, dan Lenghou Tiong juga ikut tercurah kepada lukisan itu. Tertampak Tat-mo Cosu dalam lukisan itu digambarkan dalam keadaan tangan kiri menelikung ke belakang, sebaliknya jari telunjuk tangan kanan teracung ke atas atap rumah.
"Apakah kau maksudkan jarinya yang tidak beres?" tanya si botak.
"Aku belum tahu pasti, tapi harus kita coba dulu," sahut si rambut putih. Mendadak ia meloncat ke atas, kedua tapak tangan memukul sekaligus menuju tempat yang dituding jari Tat-mo Cosu dalam lukisan itu. Tempat itu adalah atap rumah.
Maka berhamburlah debu pasir. Kata si botak, "Mana ada barang ...." belum habis ucapannya, sekonyong-konyong segulung benda merah jatuh dari lubang atap rumah yang terpukul tadi. Kiranya adalah sebuah kasa (jubah) yang biasa dipakai kaum hwesio.
Bab 83. Orang Ko-san-pay Ternyata Anggota Mo-kau
Dengan cepat si rambut putih menangkap kasa itu dan diperiksa di bawah sinar lilin, serunya kemudian dengan kegirangan, "Ini dia ... ini dia!" Rupanya saking girangnya sampai suaranya ikut gemetar.
"Apa ... apa itu?" tanya si botak.
"Sembilan bagian tentu inilah kiam-bohnya," ujar si rambut putih. "Haha, hari ini kita berdua benar-benar berjasa besar. Lekas simpan baik-baik kasa itu, Saudaraku."
Si botak juga kegirangan setengah mati, dengan hati-hati ia lipat jubah itu dan disimpan dalam bajunya. Lalu ia tuding Peng-ci dan Leng-sian, katanya, "Mampuskan mereka tidak?"
Lenghou Tiong sudah siapkan senjatanya, asalkan si rambut putih memperlihatkan niat membunuh Leng-sian berdua, segera ia bermaksud menerjang ke dalam untuk membinasakan kedua kakek itu.
Tak terduga si rambut putih hanya menjawab, "Kiam-boh sudah kita temukan, tidak perlu kita mengikat permusuhan dengan Hoa-san-pay, biarkan mereka begini saja."
Kedua orang lantas melangkah keluar dan meninggalkan rumah itu.
Dengan enteng Lenghou Tiong juga melompat ke luar pagar tembok dan menguntit di belakang kedua orang itu. Langkah kedua kakek itu sangat cepat. Khawatir kehilangan jejak mereka dalam kegelapan malam, segera Lenghou Tiong perkencang langkahnya juga sehingga jaraknya hanya beberapa meter saja.
Setiap kali kedua kakek itu mempercepat langkahnya, maka Lenghou Tiong lantas ikut dengan langkah yang tidak kalah cepatnya. Tapi mendadak kedua kakek di depan itu berhenti terus membalik tubuh. Tahu-tahu sinar tajam berkelebat, kontan Lenghou Tiong merasa pangkal lengan kanan menjadi kesakitan, ternyata telah kena ditebas oleh senjata lawan.
Gerakan berhenti mendadak, membalik tubuh mendadak, dan menyerang mendadak benar-benar terjadi secepat kilat. Lenghou Tiong sendiri hanya kuat dalam hal tenaga dalam dan ilmu pedangnya lihai, tapi pengalaman menghadapi serangan kilat dan perubahan yang aneh itu sesungguhnya masih sangat cetek, masih selisih jauh kalau dibandingkan jago silat kelas wahid. Maka ia benar-benar tidak berdaya menghadapi serangan kilat lawan, sedikit pun ia tidak sempat menyentuh senjatanya dan tahu-tahu sudah terluka.
Ilmu golok kedua kakek itu sungguh luar biasa, sekali serangan berhasil, segera serangan kedua dilancarkan lagi.
Sungguh kejut Lenghou Tiong tak terkatakan, lekas-lekas ia melompat ke belakang, syukur tenaga dalamnya teramat kuat, lompatan ke belakang itu sudah beberapa meter jauhnya, menyusul sekali lompat lagi kembali beberapa meter jauhnya.
Kedua kakek terkejut juga menyaksikan ketangkasan Lenghou Tiong yang sudah terluka, tapi masih sanggup melompat sedemikian gesit dan cepat. Tanpa bicara mereka lantas menubruk maju lagi.
Lenghou Tiong putar tubuh terus melarikan diri. Pundaknya yang terluka itu semula tidak terasa sakit, sekarang sesudah kena angin rasa sakitnya menjadi-jadi, hampir-hampir saja kelengar saking sakitnya. Pikirnya, "Kasa yang dirampas kedua orang ini besar kemungkinan bertuliskan Pi-sia-kiam-boh di atasnya. Aku sendiri difitnah karena kiam-boh tersebut, betapa pun harus kurebut kembali untuk diserahkan kepada Lim-sute."
Begitulah ia menahan rasa sakitnya sebisanya dan berusaha mencabut goloknya.
Tapi sudah ditarik-tarik, golok hanya setengahnya saja terlolos dari sarungnya, selanjutnya sukar lagi ditarik. Kiranya sesudah pangkal lengan kanan terluka, tenaganya sedikit pun sukar dikerahkan. Tiba-tiba didengarnya angin menyambar dari belakang, golok musuh kembali membacok lagi ke atas kepalanya, cepat ia melompat ke depan sebisanya, berbareng tangan kiri menarik sekuatnya sehingga ikat pinggang terbetot putus, dengan demikian barulah golok dapat dipegang. Sekuatnya ia menyendal sehingga sarung golok terlempar ke tanah. Tapi baru saja hendak balik tubuh, mendadak angin tajam menyambar ke mukanya, kedua golok musuh telah menyerang sekaligus.
Lagi-lagi Lenghou Tiong melompat mundur, sementara itu subuh sudah hampir tiba. Tapi cuaca menjelang subuh biasanya paling gelap. Selain berkelebatnya sinar golok boleh dikata sukar melihat sesuatu benda lain di depannya. Padahal Tokko-kiu-kiam yang diyakinkan Lenghou Tiong gunanya untuk mematahkan setiap jurus serangan musuh, di mana ada lubang segera dimasuki. Kini gerak serangan musuh sama sekali tak kelihatan, dengan sendirinya ilmu pedangnya tak dapat dimainkan. Tiba-tiba lengan kiri kesakitan lagi, kembali tergores luka oleh golok musuh.
Ia tahu malam ini sukar mengalahkan lawan, kalau tidak lekas lari mungkin jiwanya bisa melayang malah. Terpaksa ia angkat langkah seribu menuju ke jalan besar sana dengan sebelah tangan memegang golok sembari mendekap luka di pundak agar darah tidak mengucur terlalu banyak dan roboh lemas.
Setelah mengudak sekian lamanya, melihat langkah Lenghou Tiong sedemikian cepatnya, terang sukar menyusulnya, kedua kakek itu pikir kiam-boh yang dicari toh sudah diperoleh, buat apa mencari perkara lain. Maka mereka lantas berhenti tidak mengejar lagi, mereka putar balik ke arah tadi.
Tapi Lenghou Tiong lantas berteriak-teriak, "Hei, kawanan bangsat, habis mencuri lantas mau lari ya?"
Habis itu ia lantas mengejar balik malah.
Keruan kedua kakek menjadi gusar, mereka putar balik terus membacok dengan golok. Lenghou Tiong tidak mau bertempur lagi, ia putar tubuh untuk lari pula sembari berharap-harap ada orang lalu di situ dengan membawa lentera, dengan sedikit cahaya saja ia sudah sanggup melayani ilmu golok lawan-lawannya.
Tiba-tiba hatinya tergerak, cepat ia melompat ke atas rumah, sekilas terlihat di sebelah kiri sana ada sinar lampu, segera ia berlari menuju ke rumah yang berlampu itu. Tapi kedua kakek itu tidak mau mengejarnya lagi ke atas rumah.
Lenghou Tiong tidak kurang akal, segera ia menghujani kedua lawan dengan genting sambil berteriak, "He, kalian berdua maling yang telah mencuri Pi-sia-kiam-boh keluarga Lim, yang satu botak, yang lain ubanan, biarpun lari ke ujung langit juga akan dibekuk."
Mendengar nama Pi-sia-kiam-boh disebut dengan tepat, kedua kakek sependapat kalau orang ini tidak dibunuh tentu akan mendatangkan kesukaran di kemudian hari. Jika orang ini sudah terbunuh, kedua muda-mudi yang masih ketinggalan di ruangan pemujaan itu pun perlu dibinasakan agar tidak membocorkan perbuatan mereka. Karena pikiran demikian, segera mereka melompat ke atas rumah dan mengejar pula ke arah Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong merasa kakinya sudah lemas, tenaganya makin lama makin lemah. Sekuat sisa tenaganya ia berlari terus ke arah sinar lentera tadi. Sekonyong-konyong ia terhuyung dan terjungkal dari atas rumah. Lekas-lekas ia menggunakan gerakan "Le-hi-tah-ting" (Ikan Lele Melejit), sekali jumpalitan dapatlah ia berbangkit, lalu berdiri bersandarkan tembok.
Kedua kakek itu pun melompat turun, lalu mendesak maju dari kanan dan kiri.
"Hehe, telah kuberi jalan hidup padamu, tapi kau justru tidak mau," ejek si botak dengan menyeringai.
Melihat mulut si botak yang menyeringai itu tinggal tiga biji giginya, tampaknya sangat jelek dan seram. Terkesiap hati Lenghou Tiong, kiranya fajar sudah menyingsing, dapatlah ia melihat benda-benda di hadapannya dengan cukup jelas.
"Sebenarnya kalian berdua berasal dari aliran mana, kenapa kalian ingin membunuh aku?" tanya Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Tidak perlu banyak omong dengan dia," bisik si rambut putih kepada si botak. Goloknya diangkat terus menebas ke leher Lenghou Tiong.
Agaknya si botak merasa tidak sepadan untuk main keroyok, maka ia tidak ikut menyerang.
Di luar dugaan, ketika mendadak Lenghou Tiong melolos golok terus ditusukkan ke depan sebagai pedang, hanya tusukan sekenanya saja, tahu-tahu tenggorokan si rambut putih telah tertusuk dengan tepat.
Keruan si botak terkejut, cepat ia putar goloknya menubruk maju. Kembali golok Lenghou Tiong menebas dan dengan tepat mengenai pergelangan tangan lawan, kontan tangan berikut golok yang masih tergenggam tertebas kutung. Menyusul ujung golok Lenghou Tiong mengancam di tenggorokan si botak dan membentak, "Dari mana asal usul kalian berdua ini" Lekas mengaku terus terang dan jiwamu dapat kuampuni!"
"Hehe," si botak mengekek, lalu menjawab dengan putus asa, "selama kami bersaudara malang melintang di Kangouw jarang sekali ketemu tandingan, tapi hari ini ternyata harus mati di bawah golokmu, sungguh aku sangat kagum. Cuma belum tahu siapakah namamu, sampai mati pun aku ... aku masih penasaran."
Meski sebelah tangan sudah buntung, tapi lagaknya tetap gagah tak mau menyerah, mau tak mau Lenghou Tiong merasa kagum juga terhadap tekad lawan itu. Katanya kemudian, "Aku terpaksa harus membela diri, sesungguhnya aku tidak pernah kenal kalian berdua, maafkan jika aku mencelakai kalian tanpa sengaja. Asalkan jubah itu kau serahkan padaku, maka bolehlah kita berpisah dengan baik."
Tapi dengan tegas si botak menjawab, "Biarpun Tut-eng tidak becus juga tidak sudi menyerah kepada musuh."
Mendadak tangan kirinya bergerak, sebilah belati telah menancap di ulu hatinya sendiri.
"Sampai mati pun tidak mau takluk, orang ini benar-benar suatu tokoh pilihan," demikian pikir Lenghou Tiong. Segera ia bermaksud mengambil jubah di dalam baju orang itu. Mendadak kepalanya terasa pening, ia tahu darahnya sendiri keluar terlalu banyak. Lekas-lekas ia merobek kain lengan baju untuk membalut luka di bagian pundak itu, habis itu barulah jubah di baju si botak diambilnya.
"Kletak", mendadak sepotong kayu jatuh di atas tanah. Waktu ia jemput dan diperiksa, ternyata panjang kayu itu hanya belasan sentimeter saja, sebagian terbakar hangus, di atasnya banyak terukir huruf-huruf dan garis-garis yang aneh.
Ia kenal potongan kayu ini adalah leng-pay (lencana kebesaran) ketua Mo-kau yang disebut "Hek-bok-leng-pay" (Lencana Kayu Hitam). Tempo hari waktu di tempat kediaman Ui Ciong-kong, begitu Pau Tay-coh mengeluarkan leng-pay ini, seketika Ui Ciong-kong dan lain-lain tunduk perintah tanpa membangkang sedikit pun. Maka dapat diketahui leng-pay ini mewakili kekuasaan kaucu sepenuhnya.
Baru sekarang ia tahu kedua kakek ini kiranya juga orang Mo-kau, jika mereka dibunuh juga setimpal dengan kejahatan yang telah mereka lakukan. Segera ia menyimpan jubah dan leng-pay itu dalam bajunya, ia pikir orang-orang Mo-kau sedang mengacau wilayah Hokkian dan sekitarnya, leng-pay demikian mungkin ada gunanya kelak.
Dalam pada itu kepala terasa pening lagi, ia menarik napas panjang-panjang, membedakan arah, lalu melangkah ke rumah Lim Peng-ci di Jalan Hiang-yang-kang itu.
Tapi baru belasan meter jauhnya ia sudah merasa payah, pikirnya, "Jika aku roboh di sini, bukan saja jiwaku akan melayang, bahkan setelah mati masih akan didakwa orang sebagai pencuri Pi-sia-kiam-boh, barang bukti berada padaku, betapa pun aku tak bisa menghindarkan tuduhan demikian."
Ia coba bertahan sekuatnya, akhirnya selangkah demi selangkah ia mendekati Hiang-yang-kang. Tapi pintu rumah tampak tertutup rapat, Peng-ci dan Leng-sian jelas tak bisa berkutik di dalam karena kena ditutuk kedua kakek tadi, tiada orang lain lagi yang bisa membukakan pintu. Suruh dia melompat ke dalam dengan melintasi pagar tembok jelas tidak mampu dalam keadaan kehabisan tenaga. Terpaksa ia menggedor pintu beberapa kali, menyusul sebelah kakinya mendepak sekuatnya.
Tapi bukannya daun pintu terbuka, sebaliknya guncangan keras itu membuatnya roboh sendiri dan tak sadar lagi ....
Ketika siuman kembali, terasa dirinya berbaring di suatu tempat tidur. Begitu membuka mata lantas melihat Gak Put-kun dan istri berdiri di depan ranjang. Keruan Lenghou Tiong sangat girang serunya, "Suhu, Sunio, aku ... aku ...." saking terharunya air matanya lantas bercucuran, ia meronta-ronta bangun berduduk.
Gak Put-kun tidak menjawabnya, sebaliknya lantas tanya, "Sebenarnya apa yang terjadi ini?"
"Bagaimana dengan siausumoay" Dia ... dia selamat tak apa-apa bukan?" tanya Lenghou Tiong.
"Tidak apa-apa, kenapa kau berada di ... di Hokciu sini?" sahut Gak-hujin. Betapa pun perasaan wanita memang lebih halus dan lemah, dia yang telah membesarkan Lenghou Tiong sejak kecil dan menganggapnya seperti anak kandung sendiri, sekarang berjumpa kembali setelah berpisah sekian lamanya, selain terharu girang juga hatinya.
"Lim-sute punya Pi-sia-kiam-boh telah direbut oleh orang Mo-kau," tutur Lenghou Tiong. "Aku telah membunuh kedua orang itu dan dapat merebut kembali kiam-bohnya."
Tapi ketika meraba bajunya sendiri dan tidak terdapat lagi jubah yang penuh tulisan kecil-kecil itu, cepat ia bertanya, "Ke ... ke mana kasa itu?"
"Itu adalah milik Peng-ci, sudah seharusnya diserahkan kembali padanya," kata Gak-hujin.
"Benar," sahut Lenghou Tiong tanpa ragu-ragu. Lalu tanyanya lagi kepada Gak-hujin, "Sunio, baik-baikkah engkau bersama suhu" Para sute dan sumoay tentunya juga baik-baik."
"Ya, semuanya baik-baik," sahut Gak-hujin dengan mengusap air mata saking terharu.
"Bagaimana aku bisa sampai di sini" Apakah Suhu dan Sunio yang telah menolongku ke sini?" tanya Lenghou Tiong.
"Pagi tadi ketika aku pergi ke rumah Peng-ci di Hiang-yang-kang, di luar pintu aku melihat kau menggeletak tak sadarkan diri," kata Gak-hujin.
"O, untung Sunio yang datang, kalau dilihat lebih dulu oleh iblis dari Mo-kau tentu jiwa anak sudah melayang," ujar Lenghou Tiong. Ia tahu pasti pagi-pagi ibu-gurunya sengaja mencari Leng-sian yang tidak pulang semalaman itu, tempat yang dituju adalah rumah di Hiang-yang-kang. Hanya saja hal ini tidak enak untuk diceritakan. Maka ia pun tidak tanya lebih jelas
Tiba-tiba Gak Put-kun membuka suara, "Kau bilang sudah membunuh dua orang Mo-kau, cara bagaimana kau mengetahui mereka adalah anggota Mo-kau?"
"Tecu menemukan sebuah Hek-bok-leng-pay tanda kebesaran Kaucu Mo-kau di dalam baju mereka," tutur Lenghou Tiong. Diam-diam ia merasa girang karena telah berhasil merebut kembali Pi-sia-kiam-boh, tentu Lim-sute, siausumoay, dan gurunya takkan menaruh curiga lagi padanya. Malahan dengan membunuh dua iblis dari Mo-kau ini tentu suhu takkan menuduhnya bersekongkol lagi dengan orang-orang Mo-kau.
Tak terduga wajah Gak Put-kun malahan membesi, katanya sambil mendengus, "Hm, sampai saat ini kau masih berani mengoceh tak keruan, memangnya kau anggap aku ini mudah dibohongi."
Lenghou Tiong terkesiap, serunya cepat, "Tecu sekali-kali tidak berani membohongi Suhu."
"Siapa mengaku suhumu" Orang she Gak sudah lama tiada hubungan sebagai guru dan murid lagi dengan kau."
Lenghou Tiong menjatuhkan diri ke lantai terus berlutut dan menyembah, katanya, "Tecu telah banyak berbuat salah dan rela menerima hukuman apa pun dari Suhu. Hanya ... hanya hukuman pemecatan dari perguruan mohon dengan sangat sudilah Suhu menariknya kembali."
Gak Put-kun mengelak ke samping, ia tidak mau menerima penghormatan Lenghou Tiong itu, katanya dengan ketus, "Alangkah besar perhatiannya putri Yim-kaucu dari Mo-kau itu kepadamu, sudah lama kau berkomplot dengan mereka, untuk apa lagi menginginkan guru semacam aku?"
"Putri Yim-kaucu dari Mo-kau?" Lenghou Tiong menegas. "Entah bagaimana maksud ucapan Suhu ini" Walaupun Tecu pernah dengar bahwa Yim ... Yim Ngo-heng itu punya anak perempuan, tapi ... tapi Tecu belum pernah melihatnya."
"Anak Tiong, sampai saat ini kenapa kau masih berdusta lagi?" sela Gak-hujin. "Yim-siocia itu telah mengumpulkan orang-orang Kangouw tak tertentu di atas Ngo-pah-kang di Soatang untuk mengobati penyakitmu, setiap orang bu-lim mengetahui ...."
"Hah, nona di Ngo-pah-kang itu, dia ... dia ... Ing-ing, dia ... dia adalah putrinya Yim-kaucu?" seru Lenghou Tiong dengan heran dan tidak habis paham.
"Kau bangun saja," kata Gak-hujin.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong berdiri, ia menggumam dengan bingung, "Ing-ing, dia ... dia adalah putrinya Yim-kaucu" Ini ... ini mana bisa jadi?"
"Terhadap Suhu dan Sunio kenapa kau masih berdusta?" kata Gak-hujin dengan kurang senang.
"Siapa sudi menjadi suhunya?" bentak Gak Put-kun dengan gusar. "Brak", mendadak telapak tangannya menggebrak meja sehingga ujung meja sempal sebagian.
"Tapi ... tapi Tecu sekali-kali tidak berani berdusta kepada Suhu ...."
"Sekali lagi kau panggil suhu, seketika aku binasakan kau!" hardik Gak Put-kun dengan bengis.
Terpaksa Lenghou Tiong mengiakan. Dengan pucat ia pegang tepian ranjang, badannya terasa lemas dan sempoyongan. Katanya lemah, "Mereka ... mereka memang berusaha mengobati penyakitku, tetapi ... tetapi tiada seorang pun yang mengatakan padaku bahwa ... bahwa dia adalah putri Yim-kaucu."
"Biasanya kau sangat pintar dan cerdik, kenapa tidak menduga akan hal demikian" Seorang nona muda belia seperti dia, hanya satu ucapan saja sudah dapat mengerahkan orang-orang Kangouw sebanyak itu, semuanya berebut menyembuhkan penyakitmu. Coba, selain Yim-siocia dari Mo-kau, siapakah yang memiliki kekuasaan sebesar itu?" kata Gak-hujin.
"Tatkala itu Te ... aku mengira dia seorang nenek-nenek reyot," ujar Lenghou Tiong.
"Apakah dia telah menyamar dan ganti rupa?" tanya Gak-hujin.
"Tidak, cuma ... cuma selama itu aku tidak ... tidak pernah melihat mukanya," sahut Lenghou Tiong.
"Hah!" mendadak Gak Put-kun mengakak, tapi tiada sedikit pun rasa tertawa pada air mukanya.
Pikiran Lenghou Tiong menjadi kusut tak keruan, pikirnya, "Apakah benar Ing-ing adalah putrinya Yim Ngo-heng" Bukankah waktu itu Yim Ngo-heng berada dalam penjara Ui Ciong-kong, cara bagaimana putrinya masih memegang kekuasaan sebesar itu?"
Gak-hujin menghela napas, kemudian berkata, "Anak Tiong, umurmu sudah semakin menanjak, watakmu juga sudah berubah. Apa yang sering kukatakan sudah tidak kau perhatikan lagi."
"Su ... Su ... apa yang pernah engkau katakan sungguh tidak ...." mestinya ia hendak menyatakan "tidak berani membangkang terhadap apa yang pernah dikatakan sang sunio", tapi kenyataannya adalah larangan sang suhu dan sunio agar jangan bergaul dengan orang Mo-kau tidak pernah ditaatinya.
Maka Gak-hujin berkata lagi, "Seumpama Yim-siocia itu sangat baik padamu, demi menyelamatkan jiwamu terpaksa kau membiarkan dia mengumpulkan orang mengobati kau, hal ini mungkin dapat dimengerti ...."
"Dapat dimengerti apa?" sela Put-kun dengan gusar. "Untuk mencari hidup apakah lantas boleh berbuat sesukanya?"
Biasanya Gak Put-kun sangat ramah terhadap sang sumoay merangkap istri ini, tapi sekarang ia bicara dengan kasar dan bengis, terang gusarnya sudah memuncak.
Gak-hujin dapat memahami perasaan sang suami, maka ia pun tidak marah dan tetap menyambung bicaranya, "Tapi mengapa kau berkomplot lagi dengan gembong Mo-kau Hiang Bun-thian dan telah banyak membunuh orang-orang cing-pay" Kedua tanganmu telah berlumuran darah kesatria-kesatria cing-pay, maka le ... lekas kau pergi saja!"
Lenghou Tiong merinding sendiri teringat kepada kejadian di gardu sunyi, di mana dia bersama Hiang Bun-thian telah bertempur melawan kerubutan beratus-ratus orang. Walaupun tangan sendiri tidak pernah membunuh, tapi memang tidak sedikit orang cing-pay yang menjadi korbannya ketika tiba di jurang yang berbahaya itu. Sekalipun waktu itu dalam keadaan kepepet, hanya ada pilihan antara membunuh atau terbunuh, tapi peristiwa berdarah itu betapa pun dirinya ikut bertanggung jawab.
Gak-hujin menyambung lagi, "Di atas Ngo-pah-kang juga tidak sedikit orang cing-pay yang telah kau salahi. Anak Tiong, dahulu aku sayang padamu seperti anak kandungku sendiri, tapi urusan sudah begini, i ... ibu-gurumu tidak bisa berbuat apa-apa lagi, tidak sanggup membela kau lagi."
Bicara sampai di sini air matanya lantas berlinang-linang.
"Anak telah berbuat salah, seorang laki-laki berani berbuat berani bertanggung jawab, Anak pasti tidak membiarkan nama baik Hoa-san-pay ikut ternoda," kata Lenghou Tiong. "Maka silakan kedua orang tua mengadakan sidang dan mengundang berbagai kesatria dari aliran-aliran lain untuk menjatuhkan hukuman atas diri Anak, dengan demikian hukum Hoa-san-pay dapatlah ditegakkan."
Gak Put-kun menghela napas panjang, katanya, "Lenghou-tayhiap, jika hari ini kau masih murid Hoa-san-pay, tentu saranmu dapat dilaksanakan dan biarpun jiwamu tamat juga nama baik Hoa-san-pay takkan tercemar, pula hubungan guru dan murid antara kita masih terpupuk. Namun kini sudah telanjur kusiarkan pemecatanku padamu, setiap tindak tandukmu sudah lama tiada sangkut pautnya dengan Hoa-san-pay, maka berdasarkan apa aku berhak menghukum kau" Ya, kecuali ... hehe, memang antara cing-pay dan sia-pay tidak pernah ada persesuaian, maka lain kali kalau kau berbuat kejahatan dan kepergok olehku, tentunya aku pun tidak segan-segan untuk membinasakan kau."
Bicara sampai di sini, tiba-tiba di luar ada orang berseru, "Suhu, Sunio!"
Itulah suaranya Lo Tek-nau, murid Hoa-san-pay yang kedua.
"Ada apa?" sahut Gak Put-kun.
"Di luar ada orang mencari Suhu dan Sunio, katanya Ciong Tin dari Ko-san-pay, ada pula dua orang sutenya," lapor Tek-nau.
"Kiu-kiok-kiam Ciong Tin juga datang ke Hokkian sini?" kata Put-kun rada heran. "Baiklah, segera aku keluar."
Lalu ia meninggalkan kamar. Gak-hujin memandang sekejap kepada Lenghou Tiong dengan penuh rasa kasihan seakan-akan suruh dia menunggu sementara, nanti masih akan bicara lagi. Habis itu ia pun keluar.
Terhadap ibu gurunya yang membesarkannya sejak kecil, selama ini Lenghou Tiong menganggapnya seperti ibu kandung sendiri. Melihat betapa kasih sayang ibu gurunya itu, timbul rasa menyesalnya atas perbuatannya sendiri selama ini. Sudah jelas Hiang-toako bukanlah orang baik-baik dari kalangan sia-pay, tapi tanpa pikir aku lantas membantu dia" Kematianku tidak menjadi soal, tapi nama baik suhu dan sunio lantas ikut ternoda.
Lalu terpikir pula olehnya, "Kiranya Ing-ing adalah putrinya Yim Ngo-heng, pantas Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan lain-lain sedemikian hormat padanya. Hanya satu ucapannya saja sudah cukup untuk menjatuhkan hukuman berat kepada jago-jago Kangouw yang tidak sedikit jumlahnya. Ai, seharusnya dapat kupikirkan bahwa selain gembong utama Mo-kau, siapa lagi di dunia persilatan yang mempunyai kekuasaan sebesar ini" Tapi sewaktu aku berada bersama Ing-ing, selain perangainya memang rada aneh, sifat-sifat kewanitaannya toh tiada ubahnya dengan anak gadis umumnya."
Tengah terbenam oleh macam-macam pikiran itu, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang yang cepat, seorang telah menyelinap ke dalam kamar. Siapa lagi kalau bukan siausumoay yang dirindukannya siang dan malam selama ini.
Terus saja Lenghou Tiong berseru, "Siausumoay, kau ...."
Ternyata ucapan selanjutnya tak sanggup dicetuskan lagi.
"Toasuko," kata Leng-sian, "lekas ... lekas kau meninggalkan tempat ini, orang Ko-san-pay telah datang mencari setori padamu."
Dari suara si nona dapatlah diketahui rasa khawatirnya. Bagi Lenghou Tiong sendiri, sekali melihat siausumoaynya, maka biarpun langit akan ambruk juga tak dipusingkan olehnya, apalagi soal Ko-san-pay segala, hakikatnya tak terpikir olehnya. Ia memandang Leng-sian dengan termangu-mangu, segala macam perasaan, manis, kecut, getir, semuanya timbul.
Muka Leng-sian menjadi merah melihat Lenghou Tiong memandangnya dengan mata tak berkedip, katanya pula, "Ada seorang she Ciong dengan dua orang sutenya, katanya kau telah membunuh orang Ko-san-pay mereka, dengan mengikuti darah yang tercecer sepanjang jalan mereka telah menyusul jejakmu ke sini."
Lenghou Tiong melengak, "Aku telah membunuh orang Ko-san-pay" Mana bisa jadi?"
"Blang", sekonyong-konyong pintu kamar didobrak, Gak Put-kun telah melangkah masuk dengan air muka penuh rasa gusar. Katanya dengan bengis, "Lenghou Tiong, bagus benar perbuatanmu! Tokoh bu-lim angkatan tua dari Ko-san-pay yang telah kau bunuh, tapi kau membohongi aku sebagai kawanan iblis Mo-kau."
"Aku ... aku membunuh orang Ko-san-pay" Bagaimana ... bagaimana hal ini bisa terjadi?" sahut Lenghou Tiong dengan bingung. Dilihatnya Gak-hujin sudah ikut masuk di belakang Gak Put-kun, ia lantas tanya, "Su ... Su ... aku tidak pernah membunuh anak murid Ko-san-pay."
Dengan gusar Gak Put-kun berkata, "Pek-thau-sian-ong Bok Sim dan Tut-eng Soa Thian-kang, kedua orang ini kau yang membunuh atau bukan?"
"Pek-thau-sian-ong", Si Dewa Berambut Putih dan "Tut-eng", Si Elang Gundul, dua julukan ini mengingatkan Lenghou Tiong kepada apa yang diucapkan oleh si kakek botak ketika akan membunuh diri semalam, bahwa biarpun Tut-eng tidak becus juga tidak sudi menyerah kepada musuh. Jadi kakek botak itulah Tut-eng yang dimaksudkan sang guru, dengan sendirinya seorang lagi yang ubanan tentulah "Pek-thau-sian-ong" adanya.
"Ya, seorang kakek berambut putih dan seorang kakek kepala botak memang betul aku yang membunuh," kata Lenghou Tiong kemudian. "Tapi ... tapi aku tidak tahu mereka adalah orang Ko-san-pay, mereka menggunakan golok, jelas bukan ilmu sifat Ko-san-pay."
"Jadi kedua orang itu benar-benar kau yang membunuh?" Gak Put-kun menegas dengan lebih bengis.
"Benar," diawali Lenghou Tiong.
Tiba-tiba Leng-sian menimbrung, "Ayah, kedua kakek ubanan dan botak itu ...."
"Keluar kau! Siapa suruh kau masuk ke sini" Aku sedang bicara perlu apa kau ikut menyela?" bentak Gak Put-kun.
Dengan tunduk kepala Leng-sian lantas keluar kamar. Hati Lenghou Tiong menjadi pilu dan senang pula, meski sumoay sangat baik kepada Lim-sute toh masih tetap punya perasaan baik padaku. Ia berani menghadapi omelan sang ayah untuk datang memberi peringatan padaku agar lekas-lekas menyingkiri bahaya.
Dalam pada itu Gak Put-kun telah berkata pula, "Ilmu silat dari Ko-san-pay apa dapat kau kenal semuanya" Bok Sim dan Soa Thian-kang berasal dari cabang luar Ko-san-pay, entah dengan cara rendah apa kau telah membunuh mereka, tapi bekas darahnya kau cecerkan sehingga sampai di Hok-wi-piaukiok ini. Sekarang Ciong-suheng dari Ko-san-pay berada di luar dan minta kepada tanggung jawabku, apa yang dapat kau katakan lagi?"
"Suko," sela Gak-hujin, "mereka toh tidak menyaksikan sendiri Anak Tiong yang membunuh kawan-kawannya, hanya bekas-bekas darah itu saja masakah dapat dipakai sebagai bukti" Kita tolak saja tuduhan mereka dan habis perkara."
"Sumoay, sampai sekarang kau masih mau membela bergajul yang jahat ini. Sebagai ketua Hoa-san-pay masakah aku harus berdusta bagi binatang kecil seperti dia" Jika begini tindakan kita, maka akibatnya pasti akan hancur Hoa-san-pay kita."
Selama ini Lenghou Tiong sangat mengagumi kebahagiaan guru dan ibu-gurunya yang berasal dari kakak beradik seperguruan. Ia pikir kalau dirinya dengan siausumoay juga bisa menjadi suami-istri, maka puaslah hidupnya ini. Sekarang melihat sang guru bicara secara bengis kepada ibu-guru, tiba-tiba timbul pikirannya, jika siausumoay menjadi istriku, maka segala apa yang hendak diperbuatnya tentu akan kuturuti keinginannya. Biarpun aku disuruh melakukan apa pun juga takkan kutolak.
Kedua mata Gak Put-kun menatap tajam ke muka Lenghou Tiong, ketika tiba-tiba wajah pemuda itu menampilkan senyuman mesra sambil memandang ke arah anak perempuannya yang masih berdiri di ambang pintu sana, sungguh gusarnya tak terkatakan, bentaknya, "Binatang, pada saat demikian masih berani timbul pikiranmu yang jahat?"
Bentakan Gak Put-kun membuat Lenghou Tiong sadar dari lamunannya. Waktu ia berpaling, dilihatnya sang guru sangat murka, sebelah tangannya sudah terangkat dan akan menghantam ke batok kepalanya. Seketika itu tiba-tiba timbal rasa girangnya, ia merasa teramat getir menjadi manusia di dunia ini, kalau bisa mati di bawah tangan sang guru akan berarti terbebas dari derita sengsara, lebih-lebih siausumoay ikut menyaksikan kematiannya, justru inilah yang sangat diharapkannya.
Karena itu ia malah tersenyum lagi, sorot matanya kembali beralih kepada Gak Leng-sian, ditunggunya pukulan sang guru itu dijatuhkan atas kepalanya.
Terasa angin pukulan menyambar tiba, mendadak Gak-hujin menjerit, "Jangan!"
Ia terus memburu maju, jarinya lantas menutuk "giok-cim-hiat" di belakang kepala sang suami.
Sebagai kakak beradik seperguruan yang berlatih sejak kecil bersama-sama, ia cukup kenal di mana letak ciri sang suheng. Hiat-to yang ditutuknya itu memaksa Gak Put-kun harus menyelamatkan diri dulu. Maka ketika Gak Put-kun membalik tangannya untuk menangkis, dengan cepat Gak-hujin lantas menyelip dan mengadang pedang di depan Lenghou Tiong.
Dengan muka merah padam Gak Put-kun membentak, "Kau ... kau mau apa?"
Tapi Gak-hujin lantas berseru kepada Lenghou Tiong, "Tiong-ji, lekas ... lekas lari!"
"Tidak, aku takkan lari," sahut Lenghou Tiong menggeleng. "Suhu mau membunuh aku, biarkan saja aku dibunuh. Memang dosaku setimpal dihukum mati."
"Ada aku di sini, dia takkan membunuh kau," seru Gak-hujin pula. "Lekas, lekas pergi! Pergilah sejauh-jauhnya dan selamanya jangan pulang lagi."
"Hm, dia boleh pergi dengan enak-enak, tapi tiga orang Ko-san-pay di depan itu cara bagaimana harus kita layani?" kata Put-kun.
Kiranya suhu merasa khawatir menghadapi Ciong Tin bertiga, biarlah aku membereskan mereka dulu, demikian pikir Lenghou Tiong. Segera ia berseru lantang, "Baik, aku akan menemui mereka!"
Habis berkata segera ia menuju ke ruang depan dengan langkah lebar.
"Jangan, mereka akan membunuh kau!" seru Gak-hujin khawatir. Namun langkah Lenghou Tiong teramat cepat, sekejap saja ia sudah memasuki ruangan tamu.
Benar juga tampak tiga tokoh Ko-san-pay, yaitu Kiu-kiok-kiam Ciong Tin, Sin-pian Ting Pat-kong, dan Kim-mo-say Ko Kik-sin sedang duduk di sebelah kiri.
Di lain keadaan sudah ganti samaran, yaitu memakai baju pelayan hotel, pula noda darahnya sudah dibersihkan oleh Gak-hujin sehingga polesan mukanya yang kuning-kuning bengkak itu sudah lenyap pula, jadi wajahnya sekarang sudah berubah sama sekali daripada waktu bertemu malam-malam di hotel Ji-pek-poh tempo hari, sebab itulah Ciong Tin bertiga tidak mengenalnya lagi.
Dengan lagak tuan besar Lenghou Tiong terus duduk di kursi besar bagian tengah, lalu berkata dengan nada dingin, "Untuk urusan apa kalian bertiga datang ke sini?"
Melihat seorang pemuda bermuka pucat dan berpakaian kotor sedemikian kasar terhadap mereka, keruan Ciong Tin bertiga menjadi gusar.
Kim-mo-say Ko Kik-sin, Singa Berbulu Emas, wataknya paling berangasan, segera ia membentak, "Kurang ajar, kau ini kutu macam apa?"
"Dan kalian bertiga ini macam kutu apa?" balas Lenghou Tiong dengan tertawa.
Ko Kik-sin melengak karena pertanyaannya dikembalikan dengan terbalik. Dengan gusar ia lantas berteriak, "Suruh Gak-siansing keluar! Keroco macam kau masakah sesuai untuk bicara dengan kami."
Saat itu Gak Put-kun, Gak-hujin, Leng-sian, dan anak murid Hoa-san-pay yang lain sudah berada di belakang pintu angin dan ikut mendengarkan pembicaraan itu. Leng-sian merasa geli ketika mendengar Lenghou Tiong menjawab dengan nada yang kocak. Ia tahu ketiga jago Ko-san-pay itu sangat lihai. Toasuhengnya sudah membunuh kawan mereka, sekarang bersikap sedemikian kasar, sebentar lagi tentu akan terjadi pertarungan dan besar kemungkinan ayah-ibunya terpaksa tidak dapat ikut campur. Ia menjadi khawatir sehingga tidak sanggup tertawa walaupun geli.
Bab 84. Membela Kehormatan Perguruan
Dalam pada itu Lenghou Tiong telah menjawab lagi, "Siapakah Gak-siansing yang kau maksudkan" O, barangkali kau maksudkan ketua Hoa-san-pay bukan" Kebetulan kedatanganku ini hendak mencari perkara padanya. Dua murid keparat dari Ko-san-pay yang bernama Iblis Kepala Putih Bok Sim dan yang satu lagi bernama Kokokbeluk Gundul Soa Thian-kang sudah kubunuh, kabarnya ada tiga orang Ko-san-pay sekarang juga sembunyi di sini, maka aku minta Gak-siansing lekas menyerahkan mereka padaku dan dia justru menolak. Sungguh aku menjadi keki sekali!"
Lalu ia sengaja berteriak-teriak, "Hai, Gak-siansing, tiga orang Ko-san-pay yang bernama Pedang Rongsokan Ciong Tin, Si Ruyung Setan Ting Pat-kong, dan satu lagi Si Kucing Buduk Ko Kik-sin, lekas kau seret mereka keluar, aku mau bikin perhitungan dengan mereka."
Gak Put-kun saling pandang dengan istrinya. Mereka tahu teriakan Lenghou Tiong itu dimaksudkan agar Ciong Tin bertiga mendengar sendiri bahwa Hoa-san-pay sama sekali tiada sangkut pautnya dengan terbunuhnya kawan-kawan Ko-san-pay mereka. Cuma Ciong Tin bertiga adalah tokoh Ko-san-pay yang terkenal, dalam keadaan terluka parah, mungkin berdiri lebih lama lagi Lenghou Tiong akan roboh sendiri, mengapa dia begitu berani mati mengolok-olok dan menantang"
Tapi kalau menurut teriakannya tadi, terang dia sudah kenal asal usul Ciong Tin bertiga. Gak Put-kun masih ingat pada pertempuran tengah malam di kelenteng bobrok itu, di mana sekaligus Lenghou Tiong telah membutakan mata lima belas lawan, ilmu pedangnya memang luar biasa. Tapi kemahiran Ciong Tin bertiga terang lebih hebat daripada ke-15 orang itu, apalagi Lenghou Tiong sekarang terluka, cara bagaimana ia sanggup bertempur melawan mereka bertiga"
Dengan gusar saat itu Ko Kik-sin telah melompat bangun, pedang dilolos terus hendak menusuk ke arah Lenghou Tiong. Tapi Ciong Tin lebih licik dan dapat berpikir panjang, cepat ia mencegah temannya itu, lalu tanya kepada Lenghou Tiong, "Siapakah Saudara?"
"Haha, aku kenal kau, sebaliknya kau tidak kenal aku," sahut Lenghou Tiong tertawa. "Kalian Ko-san-pay bermaksud melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu, Ko-san-pay kalian berniat makan empat aliran yang lain. Kedatangan kalian bertiga ke Hokkian ini pertama bertujuan merebut Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Lim, di samping itu kalian hendak menyergap pula tokoh-tokoh penting Hoa-san-pay, Hing-san-pay, dan lain-lain, macam-macam tipu muslihat kalian itu telah kuketahui semua. Hehe, sungguh menggelikan, sungguh menggelikan!"
Kembali Gak Put-kun saling pandang dengan istrinya, mereka pikir ucapan Lenghou Tiong itu bukannya tidak beralasan.
"Dari aliran manakah Saudara?" tanya Ciong Tin pula.
"Kau tanya diriku" Haha, aku sih orang gelandangan biasa, orang yang suka kelayapan secara bebas, sekali-kali aku takkan berebut rezeki dengan Ko-san-pay kalian. Tentu kalian boleh merasa lega bukan sekarang" Hahahaha," gelak tertawa Lenghou Tiong itu penuh perasaan pilu.
"Jika Saudara bukan orang Hoa-san-pay, maka kita tidak boleh mengganggu Gak-siansing, silakan bicara keluar saja," kata Ciong Tin dengan nada sewajarnya. Tapi sorot matanya memantulkan nafsu membunuh, terang karena Lenghou Tiong mengungkap rahasia muslihatnya, maka tekadnya Lenghou Tiong harus dibunuh.
Kiranya Ciong Tin juga rada segan terhadap Gak Put-kun, maka dia ingin memancing Lenghou Tiong keluar untuk kemudian baru dilabraknya.
Tentu saja hal ini kebetulan bagi Lenghou Tiong, segera ia berseru, "Gak-siansing, selanjutnya kau harus waspada. Kaucu Mo-kau yang dulu Yim Ngo-heng telah muncul kembali, orang ini memiliki Gip-sing-tay-hoat yang khusus digunakan mengisap tenaga dalam lawan, dia sudah menyatakan akan mencari setori kepada Hoa-san-pay. Selain itu Ko-san-pay ada niat mencaplok Hoa-san-pay-mu. Engkau adalah seorang kesatria berbudi, maka harus hati-hati terhadap pihak lain yang berhati jahat."
Memang kedatangannya ke Hokkian ini bermaksud menyampaikan peringatan demikian kepada sang guru. Maka habis bicara begitu ia lantas melangkah keluar. Segera Ciong Tin bertiga menyusul keluar.
Setiba di luar Hok-wi-piaukiok, tiba-tiba Lenghou Tiong melihat serombongan nikoh dan wanita biasa bergerombol di luar situ, itulah anak murid Hing-san-pay. The Oh dan Gi-ho berdua tampak jalan di depan dengan membawa kotak penghormatan, agaknya mereka datang ke Hok-wi-piaukiok untuk menjumpai Gak Put-kun.
Lenghou Tiong terkesiap dan lekas-lekas melengos ke arah lain agar tidak dilihat anak murid Hing-san-pay itu. Walaupun begitu toh sudah kepergok oleh The Oh dan lain-lainnya, untung Gi-lim ikut di bagian belakang sehingga tidak melihatnya.
Ketika Ciong Tin bertiga keluar, The Oh lantas mengenali mereka, nona itu terperanjat dan lantas berhenti.
Lenghou Tiong pikir anak murid itu tentu akan dilindungi oleh sang guru dan ibu-gurunya, daripada nanti kepergok Gi-lim, segera ia menyingkir ke samping dan bermaksud mengeluyur pergi.
Tapi Ciong Tin bertiga sudah lantas melolos senjata dan mencegah jalan perginya sambil membentak, "Apa kau ingin lari?"
Dalam pada itu Gak Put-kun, Gak-hujin, dan anak murid Hoa-san-pay juga sudah ikut keluar hendak mengetahui cara bagaimana Lenghou Tiong melayani tiga lawannya.
"Aku tidak punya senjata, cara bagaimana kita harus berkelahi?" ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Sret", Leng-sian lantas lolos pedangnya dan berseru, "Toa ...." segera ia bermaksud melemparkan pedangnya kepada Lenghou Tiong.
Tapi Gak Put-kun sempat mencegah, dua jarinya menahan di atas batang pedang anak perempuannya itu sambil menggeleng.
"Ayah!" seru Leng-sian cemas.
Tapi kembali Gak Put-kun menggeleng kepala.
Semuanya itu dapat dilihat oleh Lenghou Tiong, sungguh hatinya sangat terhibur. Pikirnya, "Betapa pun ternyata siausumoay masih mempunyai perasaan baik padaku."
Pada saat itulah sekonyong-konyong beberapa orang bersama menjerit khawatir.
Lenghou Tiong tahu tentu ada orang menyerangnya dari belakang, tanpa menoleh, segera ia melompat ke depan malah. Karena tenaga dalamnya sangat kuat, lompatannya menjadi tinggi lagi jauh, namun begitu terasa juga angin tajam menyambar di belakang kepalanya, pedang lawan telah menebas rupanya. Coba kalau lompatannya ke depan itu lambat sedetik saja atau lompatannya kurang kuat, kurang jauh, maka badannya tentu sudah terbelah menjadi dua.
Pada saat yang sama itulah, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan nyaring beramai-ramai disertai berkelebatnya sinar pedang, anak murid Hing-san-pay telah bertindak serentak. Tujuh orang menjadi satu regu, masing-masing terbagi dalam tiga regu, tujuh batang pedang berbareng telah menuding kepada satu sasaran sehingga Ciong Tin bertiga masing-masing dikepung oleh satu regu.
Gerakan melolos senjata dan mengepung musuh dari anak murid Hing-san-pay itu benar-benar sangat lincah dan cepat, ditambah gaya mereka sangat indah, terang barisan pedang mereka ini telah terlatih dengan sangat baik. Setiap ujung pedang mereka pun mengancam salah satu tempat yang mematikan di tubuh sasarannya. Dan begitu musuh dalam keadaan terkepung dan terancam, lalu barisan pedang murid-murid Hing-san-pay itu tidak bergerak lebih lanjut.
Yang melakukan serangan gelap kepada Lenghou Tiong tadi adalah Ciong Tin. Dia punya ilmu pedang sangat keji, gerak serangannya juga aneh-aneh sukar diduga, sebab itulah mendapat julukan "Kiu-kiok-kiam" atau Pedang Tekuk Sembilan, bukan karena pedangnya yang bertekuk sembilan, tapi mengiaskan gerak serangannya yang beraneka ragam perubahannya.
Dalam Ko-san-pay boleh dikata Ciong Tin terhitung jago kelas terkemuka, pula punya otak yang encer, cerdik, dan cekatan, maka sangat mendapat kepercayaan ketua Ko-san-pay, yaitu Co Leng-tan. Tadi karena boroknya tentang muslihat akan mencaplok empat aliran yang lain telah dibongkar oleh Lenghou Tiong, maka timbul niatnya untuk membinasakan pemuda itu dan mendadak ia menyerangnya secara keji.
Tak terduga Lenghou Tiong berhasil menghindarkan serangannya dengan baik, bahkan anak murid Hing-san-pay terus balas mengancamnya dengan barisan pedang sehingga dia tak bisa berkutik, sedikit saja ia bergerak, maka salah satu pedang tentu akan menembus tubuhnya.
Gak Put-kun dan lain-lain sudah tentu tidak mengetahui peristiwa di Ji-pek-poh antara Hing-san-pay dengan Ciong Tin dan kawan-kawannya. Mereka menjadi heran ketika mendadak melihat kedua pihak yang merupakan kawan sendiri itu saling labrak, lebih-lebih barisan pedang Hing-san-pay yang amat indah itu sungguh membuatnya sangat kagum.
"Bagus, barisan pedang yang indah!" Lenghou Tiong juga berteriak.
Tokko-kiu-kiam yang dia yakinkan itu intinya justru mengincar titik kelemahan ilmu silat musuh, sebaliknya gerak ilmu pedangnya sendiri tidak ada ketentuan, maka ia menjadi kagum melihat barisan pedang Hing-san-pay yang mempunyai intisari serupa itu. Cuma saja barisan pedang ini harus digunakan bertujuh orang sekaligus untuk mengatasi musuh, kalau ketemu lawan kelas wahid, sekali barisan menjadi kacau tentu akan mengalami kekalahan.
Melihat keadaan pihaknya sudah tak bisa berkutik dan terang sudah kalah, mendadak Ciong Tin bergelak tertawa, katanya, "Kita adalah kawan sendiri, buat apa main-main begini" Biarlah aku mengaku kalah saja."
Habis itu ia terus membuang pedangnya ke tanah.
Gi-ho adalah kepala daripada tujuh orang yang mengepung Ciong Tin. Melihat lawan sudah melempar senjata dan mengaku kalah, segera ia pun menarik kembali pedangnya.
Tak tersangka ujung kaki kiri Ciong Tin mendadak digunakan menjungkit pedangnya yang jatuh itu, begitu pedang mencelat ke atas, secepat kilat disambarnya terus menusuk pula ke depan.
Gi-ho menjerit kaget, lengan kanan tertusuk, pedangnya terlepas dari cekalan. Di tengah gelak tertawa Ciong Tin pedangnya bekerja dengan gencar. Para murid Hing-san-pay yang lain berturut-turut terluka juga.
Karena kekacauan ini, serentak Ting Pat-kong dan Ko Kik-sin juga bertindak sehingga pertarungan sengit tampaknya akan terjadi pula.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segera Lenghou Tiong menjemput pedang Gi-ho yang jatuh itu, sekali pedang menyambar, terdengarlah suara "trang" dan jerit kaget beberapa kali. Tahu-tahu pergelangan tangan Ko Kik-sin terluka, senjatanya jatuh ke tanah. Ruyung Ting Pat-kong yang lemas itu pun berputar balik dan melibat lehernya sendiri, tangan Ciong Tin juga terketok oleh pedang Lenghou Tiong sehingga tergetar mundur beberapa tindak, hanya pedang tidak sampai terlepas dari pegangan. Namun begitu seluruh lengannya terasa lemas tak bertenaga lagi.
Pada saat itulah dua nona telah berteriak berbareng, yang satu berseru, "Go-ciangkun!" dan yang lain berseru, "Lenghou-toako!"
Yang memanggil "Go-ciangkun" adalah The Oh, sebab ia mengenali cara Lenghou Tiong menyerang tiga lawannya itu serupa dengan apa yang dilakukannya di Ji-pek-poh tempo hari, begitu juga cara Ciong Tin mengalami kekalahan adalah serupa.
Adapun yang memanggil "Lenghou-toako" adalah Gi-lim. Mestinya bersama Gi-cin dan lain-lain mereka telah mengepung Ting Pat-kong dan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi musuh. Ketika Ciong Tin mendadak menyerang secara licik, kesempatan mana digunakan oleh Ting Pat-kong untuk melepaskan diri dari kepungan. Dan setelah bobolnya barisan pedang mereka barulah Gi-lim sempat melihat Lenghou Tiong. Seketika seluruh badan Gi-lim tergetar hebat demi melihat pemuda itu setelah berpisah sekian lamanya, hampir-hampir saja ia jatuh kelengar.
Karena keadaan dirinya sudah diketahui dan sukar dirahasiakan lagi, Lenghou Tiong tertawa dan mengomel, "Nenekmu, kalian bertiga kutu busuk ini benar-benar terlalu kurang ajar, para suthay dari Hing-san-pay ini telah mengampuni jiwa kalian, tapi kalian membalas susu dengan air tuba. Terpaksa aku ... aku ...." sampai di sini mendadak kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang terus roboh.
Cepat Gi-lim memburu maju untuk memayangnya sambil berseru khawatir, "Lenghou-toako! Lenghou-toako!"
Dilihatnya pundak dan lengan Lenghou Tiong mengucurkan darah, lekas-lekas ia menyingsing lengan baju, ia mengeluarkan obat mujarab perguruannya dan dijejalkan ke dalam mulut pemuda itu.
The Oh dan Gi-cin juga mengeluarkan obat salep "Thian-hiang-toan-siok-ko" untuk memolesi luka-luka itu. Karena sudah kenal siapa Lenghou Tiong, para murid Hing-san-pay sama merasa utang budi padanya, kalau tempo hari tak ditolong olehnya tentu mereka akan mengalami macam-macam hinaan pihak musuh, bahkan besar kemungkinan mereka sudah mati semua. Sebab itulah mereka menaruh perhatian sangat kepada keselamatan Lenghou Tiong, di tengah jalan kota itulah mereka sibuk memberi obat dan membalut lukanya.
Pada umumnya kaum wanita di dunia ini memang ceriwis, terutama di kala terjadi sesuatu peristiwa, demikian pula tidak terkecuali anak murid Hing-san-pay itu. Mereka saling bisik-bisik, ada yang gegetun, ada yang gelisah kenapa tuan penolong mereka sampai terluka, siapakah musuh yang keji itu, bahkan di tengah berisik mereka itu terseling pula ucapan "Omitohud".
Melihat keadaan demikian, orang-orang Hoa-san-pay menjadi terheran-heran. Pikir Gak Put-kun, "Selamanya tata tertib Hing-san-pay sangat keras, tapi entah mengapa anak murid perempuan ini sampai tergoda sedemikian rupa oleh bergajul macam Lenghou Tiong ini, sampai-sampai di depan umum mereka tidak segan-segan memanggil toako padanya dengan mesra. Anehnya ada pula yang memanggilnya ciangkun, sejak kapan bangsat cilik ini menjadi perwira" Sungguh tidak genah, mengapa pimpinan Hing-san-pay tidak melakukan pengawasan?"
Dalam pada itu Ciong Tin bertiga juga tidak tinggal diam, ia memberi isyarat kepada kedua sutenya, serentak mereka menerjang maju dengan senjata masing-masing. Mereka tahu bila Lenghou Tiong tidak dibikin tamat tentu kelak akan banyak mendatangkan bahaya. Sekarang mumpung pemuda itu dalam keadaan tidak sadarkan diri, inilah kesempatan bagus untuk membinasakannya.
Tapi dengan tanda aba-aba Gi-ho, serentak ada empat belas kawannya bergerak maju menjadi satu barisan sehingga Ciong Tin bertiga terkepung. Ilmu silat tiap-tiap murid Hing-san-pay itu secara perorangan memang tidak tinggi, tapi sekali membentuk barisan pedang, baik menyerang maupun bertahan, kekuatan 14 orang cukup untuk menghadapi empat-lima orang tokoh kelas satu.
Semula Gak Put-kun ada maksud melerai persengketaan kedua pihak itu, cuma macam-macam soal itu sama sekali di luar dugaannya, entah cara bagaimana kedua pihak sampai bermusuhan, apalagi timbul juga rasa kurang senangnya terhadap kelakuan orang-orang Ko-san dan Hing-san itu, ia pikir sementara melihat perkembangan selanjutnya saja.
Ternyata barisan pedang Hing-san-pay bertahan dengan amat rapat, meski Ciong Tin bertiga ganti serangan bermacam-macam tetap tak bisa mendekat. Malahan sedikit meleng saja Ko Kik-sin tertusuk pahanya oleh pedang Gi-jing. Meski tidak parah lukanya, namun darah sudah bercucuran, keadaan rada runyam.
Dalam keadaan sadar-tak-sadar Lenghou Tiong dapat mendengar suara mendering beradunya senjata. Ketika matanya sedikit dipentang, tertampak wajah Gi-lim penuh rasa cemas dan kedengaran sedang membaca doa. Seketika teringat olehnya kejadian di luar Kota Heng-san dahulu waktu dirinya terluka, juga begitu Gi-lim telah merawat dan berdoa baginya. Cuma saja waktu itu hanya mereka berdua saja berada di hutan sunyi, sekarang di sekitarnya tidak sedikit pula anak murid Hing-san-pay yang lain, mengapa Gi-lim Siausumoay menjadi begini berani.
Waktu ia memandang pula muka Gi-lim, mendadak ia merasa paham, "Ya, lantaran dia melulu memikirkan keselamatanku sehingga dia lupa dirinya sendiri, dia sudah lupa akan orang-orang di sekitarnya sehingga sama sekali tak terpikir olehnya tentang pantangan berdekatan antara kaum laki-laki dan perempuan segala."
Dengan rasa terima kasih, ketika mendadak ia mengangkat kepalanya, dilihatnya Gak Leng-sian dan Lim Peng-ci berdiri berjajar di sebelah sana, entah mengapa secara jelas sekali ia dapat melihat tangan kedua muda-mudi itu saling berpegangan dengan erat. Tiba-tiba Lenghou Tiong tertawa panjang terus berbangkit, katanya perlahan kepada Gi-lim, "Siausumoay, terima kasih atas pertolonganmu. Berikan pedangmu padaku!"
"Kau ... kau jangan ...." Gi-lim bermaksud mencegah.
Lenghou Tiong tersenyum, senyuman yang halus dan hangat, ia ambil pedang dari tangan Gi-lim, dengan sebelah tangan menyangga di bahu Gi-lim, dengan langkah sempoyongan ia lantas berjalan ke depan.
Sebenarnya Gi-lim mengkhawatirkan keadaan luka Lenghou Tiong, tapi demi merasa pundak sendiri sedang menahan beban tubuh pemuda itu, seketika timbul keberaniannya, ia kerahkan tenaga sekuatnya untuk menyangga Lenghou Tiong.
Dengan perlahan Lenghou Tiong menerobos ke depan murid-murid Hing-san-pay sehingga berhadapan dengan Ciong Tin bertiga. Sekali pedangnya menyambar, kontan pedang Ko Kik-sin jatuh ke tanah. Ketika pedang bergerak untuk kedua kalinya, tanpa ampun ruyung lemas Ting Pat-kong melilit lagi di lehernya sendiri. Dan gerakan pedang ketiga kalinya dengan tepat senjata Ciong Tin terketok.
Ciong Tin sadar dirinya bukan tandingan ilmu pedang Lenghou Tiong yang aneh itu, cuma ia melihat langkah Lenghou Tiong terhuyung-huyung, ia pikir harus mengadu senjata dan bikin pedang lawan tergetar jatuh. Sebab itulah ketika kedua pedang beradu ia telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya.
Tapi celaka baginya, begitu kedua pedang kebentur, terasa tenaga dalam sendiri sekonyong-konyong merembes ke luar dengan cepat melalui batang pedangnya dan sukar dikekang lagi. Sebaliknya semangat Lenghou Tiong lantas terbangkit malah.
Kiranya tanpa terasa Gip-sing-tay-hoat yang pernah diyakinkannya itu makin hari makin sempurna, tidak perlu tubuh menyentuh tubuh, asalkan pihak lawan mengerahkan tenaga, maka tenaga dalam itu akan terus mengalir melalui senjatanya.
Ciong Tin terperanjat, cepat ia menarik pedangnya dan menusuk lagi untuk kedua kalinya. Melihat di bawah ketiak lawan dalam keadaan kosong tak terjaga, asalkan membalas dengan satu tusukan saja tentu akan dapat membereskannya. Namun tangan sendiri terasa lemas, pikiran ada, tenaga kurang, terpaksa ia hanya menangkis saja serangan Ciong Tin itu.
Pedang masing-masing kebentur lagi dan kembali Ciong Tin merasakan tenaga dalamnya mencurah keluar, jantungnya berdebar dengan hebat.
Di sebelah lain Gi-ho lantas mengolok-olok, "Huh, tidak tahu malu apa-apaan begitu?"
Ciong Tin menjadi gusar dan nekat. Kembali ia kerahkan segenap tenaganya untuk menusuk, sampai di tengah jalan tiba-tiba berganti arah, yang ditusuk adalah dada Gi-lim yang berada di samping Lenghou Tiong.
Serangan Ciong Tin ini sangat keji, seperti pura-pura, tapi sungguh-sungguh pula, kalau Lenghou Tiong melintangkan pedang untuk menolong Gi-lim, maka Ciong Tin segera memutar balik pedangnya untuk menusuk perut Lenghou Tiong, jika Lenghou Tiong tidak menolong Gi-lim, maka tusukannya akan benar-benar mengenai Gi-lim, hal ini pasti akan membikin kacau pikiran Lenghou Tiong dan kesempatan lain dapat digunakan untuk menyerang secara lebih ganas.
Di tengah jerit khawatir orang banyak, tampaknya ujung pedang Ciong Tin sudah mengenai baju di dada Gi-lim. Sekonyong-konyong pedang Lenghou Tiong menyambar tiba dan tepat menindih di atas batang pedang Ciong Tin. Kontan pedang Ciong Tin terlengket berhenti di tengah jalan dan tak bisa bergerak lagi laksana dijepit oleh beberapa tanggam yang amat kuat.
Sekuatnya Ciong Tin mendorong, tapi sedikit pun ujung pedangnya tidak mampu menggeser lagi ke depan. Karena itu pedang yang ditolak dan ditahan dari atas itu mulai melengkung berbareng itu Ciong Tin merasakan tenaga dalamnya membanjir ke luar dengan cepat luar biasa.
Untung dia tahu gelagat jelek dan cepat membuang pedangnya terus melompat mundur. Walaupun begitu karena tenaga yang dikerahkan mendadak lenyap sirna, untuk mengerahkan tenaga cadangan tidak keburu lagi, maka ketika badannya masih terapung di atas rasanya sudah lemas lunglai "bluk", ia jatuh terbanting dengan keras dengan punggung menyentuh tanah lebih dulu seperti orang yang sama sekali tidak mahir ilmu silat.
Dengan meringis Ciong Tin bermaksud merangkak bangun dengan kedua tangan menyangga tanah, tapi baru saja badannya terangkat mendadak ia terbanting jatuh lagi. Melihat keadaannya itu orang pasti akan menduga dia terluka parah kalau bukan kehilangan tenaga dalamnya sama sekali
Ting Pat-kong dan Ko Kik-sin cepat memburu maju untuk membangunkan dia, tanya mereka, "Suko, ada apa?"
"Kiranya dia ... dia adalah Yim ... Yim Ngo-heng!" seru Ciong Tin terputus-putus, suaranya serak penuh rasa takut
Ia menatap Lenghou Tiong dengan perasaan waswas, tapi lantas teringat olehnya umur Lenghou Tiong tidak cocok dengan umur Yim Ngo-heng, itu Kaucu Mo-kau yang malang melintang di dunia persilatan pada masa beberapa puluh tahun yang lalu mustahil berwujud seorang pemuda berusia likuran.
Maka dengan suara tak lancar ia tanya pula, "Apakah kau mu ... muridnya Yim Ngo-heng" Kau mahir Gip ... Gip-sing-tay-hoat!"
"Suko, jadi kau punya tenaga dalam telah disedot olehnya?" tanya Ko Kik-sin kaget.
"Ya," sahut Ciong Tin lesu. Tapi ketika ia menggerakkan tubuh, tiba-tiba terasa tenaganya sudah mulai pulih.
Rupanya Gip-sing-tay-hoat yang diyakinkan Lenghou Tiong itu belum terlatih sempurna benar, ia hanya memunahkan tenaga dalam yang dikerahkan oleh Ciong Tin melalui batang pedang dan belum sungguh-sungguh mengisap seluruh tenaga murninya. Hanya Ciong Tin sendiri yang menjadi kaget dan takut ketika merasa tenaganya mendadak mencurah ke luar tanpa bisa dibendung lagi sehingga ia terbanting jatuh dalam keadaan runyam.
"Marilah kita pergi saja, Suko," bisik Ting Pat-kong.
Segera Ciong Tin memberi tanda kepada kedua temannya, lalu berseru, "Iblis Mo-kau, hari ini orang she Ciong mengaku bukan tandingan ilmu silumanmu yang keji ini. Tapi beribu-ribu kesatria gagah kaum cing-pay kami pasti takkan tekuk lutut di bawah ancaman ilmu silumanmu ini. Ting-sute dan Ko-sute, gembong iblis Mo-kau telah muncul kembali, marilah kita pulang melaporkan kepada ciangbunjin."
Habis itu ia memutar ke arah Gak Put-kun, katanya sambil memberi hormat, "Gak-siansing, adakah iblis Mo-kau ini mempunyai hubungan dengan engkau?"
Gak Put-kun hanya mendengus saja dan tidak menjawab. Sesungguhnya Ciong Tin juga tidak berani mencari perkara kepada Gak Put-kun, ia berkata pula, "Bagaimana urusan yang sebenarnya kelak pasti akan dibikin terang. Sampai berjumpa pula!"
Segera ia melangkah pergi bersama kedua sutenya.
Kemudian Gak Put-kun mendekati Lenghou Tiong, katanya dengan suara kereng, "Bagus kau, Lenghou Tiong, kiranya kau telah berhasil meyakinkan Gip-sing-tay-hoat dari Yim Ngo-heng."
Memangnya Lenghou Tiong telah meyakinkan ilmu kemahiran Yim Ngo-heng itu walaupun secara tidak sengaja, tapi buktinya memang demikian sehingga tak bisa membantah.
Dengan suara bengis Gak Put-kun lantas membentak pula, "Betul tidak, jawab pertanyaanku?"
"Benar," jawab Lenghou Tiong.
"Sejak kini kau adalah musuh besar kaum cing-pay," kata Put-kun. "Sekarang kau terluka parah, aku tidak sudi membunuh orang yang sedang menderita. Tapi kelak jika ketemu lagi, kalau bukan aku membunuh kau biarlah kau yang membunuh aku."
Kemudian ia berpaling kepada anak muridnya dan berkata, "Mulai sekarang orang ini adalah musuh bebuyutan kalian, siapa-siapa lagi yang menaruh perasaan saudara seperguruan dengan dia berarti mengkhianati kaum cing-pay. Dengar tidak kalian?"
Para muridnya sama mengiakan.
Ketika melihat bibir anak perempuannya bergerak seakan-akan omong sesuatu, segera Gak Put-kun menambahkan, "Anak Sian, biarpun kau adalah putriku juga tidak terkecuali akan laranganku tadi. Dengar tidak?"
Leng-sian menunduk dan menyahut lirih, "Dengar!"
Lenghou Tiong mestinya sudah lemas sekali, demi mendengar perkataan-perkataan itu ia tambah lemas, "trang", pedang jatuh ke tanah, badan juga terkulai lunglai.
Gi-ho yang berdiri di sampingnya cepat menyangga bahu kanannya, ia berseru, "Gak-siansing, di dalam urusan ini tentu ada salah paham, tanpa tanya lebih jelas dan menyelidiki lebih dulu engkau lantas ambil keputusan seketus ini, rasanya terlalu sembrono."
"Salah paham apa?" tanya Gak Put-kun.
"Yang jelas ketika orang-orang Hing-san-pay kami mengalami serangan dari iblis-iblis Mo-kau, maka berkat bantuan Lenghou ... Go-ciangkun inilah sehingga kami diselamatkan. Jika dia adalah sekomplotan dengan Mo-kau mana mungkin mau membantu kami dan berbalik menggempur orang Mo-kau?"
Lantaran mendengar Gi-lim memanggil "Lenghou-toako", Gak Put-kun juga memanggil "Lenghou Tiong", tapi dirinya sendiri hanya mengenalnya sebagai "Go-ciangkun", agar tidak kepalang tanggung, maka ia telah menyebut dua nama sekaligus.
"Orang Mo-kau memang banyak tipu muslihatnya, hendaklah kalian jangan sampai terjebak olehnya," ujar Gak Put-kun. "Kunjungan kalian ke selatan ini dipimpin oleh suthay yang manakah?"
Menurut dugaan Put-kun, nikoh-nikoh dan nona-nona muda ini tentu telah terpikat oleh Lenghou Tiong yang pintar putar lidah dengan kata-kata manis itu, hanya suthay dari angkatan tua Hing-san-pay yang berpengalaman luas yang dapat menyelami tipu keji musuh.
Gi-ho lantas menjawab, "Supek Ting-cing Suthay yang memimpin rombongan kami. Sungguh malang, beliau telah dicelakai oleh iblis Mo-kau."
"Haaah!" Gak Put-kun dan istrinya berseru kaget.
Pada saat itulah dari ujung jalan raya sana sedang berlari mendatang seorang nikoh setengah umur sembari berseru, "Ada surat merpati dari Pek-in-am!"
Nikoh setengah umur itu mendekati Ih-soh, lalu mengeluarkan sebuah bumbung bambu kecil dan diangsurkan padanya. Ketika Ih-soh membuka sumbat ujung bumbung itu dan diambil ke luar sepulung kecil kertas, waktu dibentang dan dibaca, tiba-tiba ia berseru khawatir, "Wah, celaka!"
Ketika mendengar ada kiriman surat dari Pek-in-am tadi, para murid Hing-san-pay sudah lantas merubung maju, demi tampak wajah Ih-soh yang cemas khawatir itu, beramai-ramai mereka lantas tanya, "Ada apa?"
"Bagaimana bunyi surat suhu itu?"
"Cobalah baca sendiri, Sumoay!" sahut Ih-soh sembari mengangsurkan surat itu kepada Gi-jing.
Gi-jing menerimanya dan membaca, "Aku dan Ting-yat Sumoay terkurung di Liong-coan To-kiam-kok."
Lalu ia berkata sendiri, "Ini adalah surat darah dari ... dari ciangbun-suhu. Beliau mengapa sampai berada di Liong-coan?"
"Hayo, lekas kita pergi ke sana!" seru Gi-cin.
"Entah siapakah pihak musuh?" kata Gi-jing.
"Peduli apakah dia setan belang, yang penting lekaslah kita berangkat ke sana," ujar Gi-ho. "Sekalipun harus mati, biarlah mati bersama suhu saja."
Gi-jing mempunyai pikiran panjang dan dapat menimbang sesuatu urusan, ia pikir betapa hebat ilmu silat suhu dan susiok dan mereka toh kena dikurung musuh, andaikan rombongan kita ini memburu ke sana mungkin juga tiada gunanya.
Maka dengan membawa surat berdarah itu ia coba mendekati Gak Put-kun, ia memberi hormat, lalu berkata, "Gak-supek, menurut surat dari suhu kami, katanya beliau terkurung oleh musuh di Liong-coan To-kiam-kok. Mohon Gak-supek mengingat hubungan kekal sesama Ngo-gak-kiam-pay dan sudilah berdaya untuk menolongnya."
Gak Put-kun coba membaca sekilas surat itu, katanya kemudian setelah merenung sejenak, "Bagaimana suhumu dan Ting-yat Suthay bisa datang ke Ciatkang Selatan situ" Ilmu silat mereka berdua sangat hebat, mengapa sampai terkurung oleh musuh, inilah sangat aneh. Apakah surat ini adalah tulisan tangan gurumu?"
"Memang betul tulisan tangan suhu kami," sahut Gi-jing. "Cuma mungkin sekali beliau sudah terluka, dalam keadaan tergesa-gesa surat ini ditulis dengan darah."
"Entah siapakah musuhnya?" tanya Put-kun.
"Besar kemungkinan orang-orang Mo-kau, sebab golongan kami tiada banyak mempunyai musuh lain," ujar Gi-jing.
Gak Put-kun melirik sekejap ke arah Lenghou Tiong, lalu berkata dengan perlahan, "Bisa jadi pihak Mo-kau sengaja membuat surat palsu untuk memancing kalian masuk perangkap mereka. Biasanya kaum iblis itu banyak tipu muslihatnya, untuk ini kalian harus waspada."
Watak Gi-ho paling tidak sabaran, segera ia berteriak, "Suhu dalam bahaya, urusan teramat gawat, marilah kita lekas berangkat untuk membantu beliau. Gi-jing Sumoay, marilah kita lekas pergi ke sana. Gak-supek tidak ada tempo, tiada gunanya kita memohon-mohon padanya."
"Benar, jika kita terlambat mungkin akan menyesal selamanya," seru Gi-cin.
Bab 85. Rahasia-rahasia di Dalam Hoa-san-pay
Karena Gak Put-kun enggan memberi bantuan dan tidak setia kawan sebagai sesama orang Kangouw, apalagi sesama orang Ngo-gak-kiam-pay, maka anak murid Hing-san-pay sama mendongkol.
Kata Gi-lim kemudian, "Lenghou-toako, harap kau merawat lukamu di hotel kemarin itu. Setelah kami menyelamatkan suhu dan supek tentu kami akan datang lagi menjenguk kau."
Mendadak Lenghou Tiong berteriak, "Kembali ada kawanan penjahat mengacau lagi, mana boleh ciangkunmu berpeluk tangan" Hayo kita berangkat bersama untuk menolong orang!"
"Tapi ... tapi kau terluka, cara bagaimana kau sanggup menempuh perjalanan jauh?" ujar Gi-lim.
"Seorang ciangkun sudah biasa berkecimpung di medan perang, apa artinya cuma luka kecil begini," seru Lenghou Tiong. "Hayolah berangkat, lekas!"
Sebenarnya anak murid Hing-san-pay tidak yakin akan mampu menyelamatkan guru mereka, sekarang Lenghou Tiong mau pergi bersama, tentu saja menambah keberanian mereka.
"Jika demikian, Wanpwe sekalian mohon diri," kata Gi-jing terhadap Gak Put-kun dan istrinya.
Dengan marah-marah Gi-ho mengomel, "Hm, orang begini buat apa sungkan-sungkan dengan dia" Hanya buang-buang waktu saja. Sama sekali tidak punya rasa setia kawan, hanya bernama kosong belaka!"
"Sumoay, jangan banyak omong!" bentak Ih-soh.
Gak Put-kun hanya tersenyum saja dan anggap tidak dengar. Sebaliknya Lo Tek-nau lantas melompat maju karena gurunya dihina, bentaknya, "Mulutmu yang kotor itu bilang apa" Ngo-gak-kiam-pay kita mestinya senapas sehaluan, tapi kalian telah berkomplot dengan iblis Mo-kau seperti Lenghou Tiong ini, perbuatan kalian mencurigakan, sudah tentu setiap tindakan harus dipertimbangkan guruku. Jika kalian mau membunuh dulu iblis Lenghou Tiong itu sebagai tanda kebersihan kalian, kalau tidak Hoa-san-pay kami tidak sudi ikut berkomplot dengan kalian."
Gi-ho menjadi gusar, ia melangkah maju dengan meraba pedang dan berseru, "Apa maksudmu dengan kata-kata "ikut berkomplot" segala?"
"Kalian bersekongkol dengan Mo-kau, itu berarti berkomplot," sahut Lo Tek-nau.
"Lenghou-tayhiap ini ada seorang kesatria berbudi, seorang pahlawan sejati, mana dia seperti kalian yang menganggap diri sendiri sebagai kesatria, tapi sesungguhnya adalah manusia-manusia palsu yang berjiwa rendah!" jawab Gi-ho dengan gusar.
Seperti diketahui Gak Put-kun berjuluk "Kun-cu-kiam" (Pedang Laki-laki Sejati), maka anak murid Hoa-san-pay paling sirik jika ada orang mengatakan "laki-laki palsu" atau manusia palsu. Keruan Lo Tek-nau lantas melolos pedang terus menusuk ke leher Gi-ho.
Gi-ho tidak menduga akan diserang secara mendadak, ia tidak sempat melolos pedang buat menangkis, tahu-tahu ujung pedang lawan sudah dekat lehernya. Ia menjerit kaget. Tapi berbareng sinar pedang berkelebat, tujuh pedang sekaligus telah menyerang juga ke arah Lo Tek-nau.
Cepat Lo Tek-nau hendak menangkis, namun hanya pedang yang menusuk ke dadanya itu saja yang kena ditangkis, pada saat yang sama terdengar suara robeknya kain, enam pedang murid Hing-san-pay sudah membuat bajunya robek enam tempat, setiap robekan itu ada belasan senti panjangnya. Untung murid-murid Hing-san-pay itu tidak bermaksud mencabut nyawanya sehingga serangan mereka lantas ditarik kembali ketika menyentuh bajunya. Hanya kepandaian The Oh yang lebih cetek dan kurang jitu gerakannya sehingga sesudah merobek lengan baju kanan Lo Tek-nau, ujung pedangnya masih melukai lengannya.
Sungguh kaget Lo Tek-nau tak terkatakan, lekas-lekas ia melompat mundur. Mendadak dari dalam bajunya terjatuh sejilid buku. Di bawah cahaya matahari yang terang semua orang dapat membaca jelas di sampul buku itu tertulis empat huruf "Ci-he-pit-kip".
Seketika air muka Lo Tek-nau tampak berubah hebat, buru-buru ia hendak menjemput kembali bukunya yang jatuh itu. Tapi Lenghou Tiong sempat berseru, "Cegah dia!"
Saat itu Gi-ho sudah melolos pedangnya, "sret-sret-sret", kontan ia menusuk tiga kali sehingga Lo Tek-nau terpaksa menangkis dan tidak mampu maju lagi.
"Ayah, mengapa kitab pusaka kita itu bisa berada pada jisuko?" tanya Gak Leng-sian kepada Gak Put-kun.
Lenghou Tiong lantas berteriak, "Lo Tek-nau, kau yang mencelakai jiwa laksute bukan?"
Seperti diketahui di puncak Hoa-san dahulu, murid keenam. Hoa-san-pay yaitu Liok Tay-yu terbunuh secara misterius, serta hilangnya "Ci-he-pit-kip", kedua hal itu sampai kini masih menjadi teka-teki yang belum terpecahkan. Tak terduga sesudah baju Lo Tek-nau dirobek-robek oleh tusukan pedang anak murid Hing-san-pay, mendadak kitab pusaka Hoa-san-pay yang hilang itu bisa jatuh ke luar dari baju Lo Tek-nau.
Terdengar Lo Tek-nau menjawab, "Ngaco-belo!"
Habis itu mendadak ia berlari ke kiri terus menyusup masuk sebuah jalan kecil dan menghilang.
Dengan murka Lenghou Tiong lantas mengudak, tapi baru beberapa langkah saja sudah tidak tahan, badannya sempoyongan terus roboh.
Cepat Gi-lim dan The Oh memburu maju untuk memayang bangun.
Gak Leng-sian lantas jemput kitab yang jatuh itu dan diserahkan kepada ayahnya. Katanya, "Ayah, kiranya jisuko yang mencurinya."
Muka Gak Put-kun tampak membesi, kitab itu dipegangnya dan diperiksa, memang benar adalah kitab pusaka perguruan sendiri, untung halamannya masih baik tanpa kerusakan apa pun. Katanya dengan gemas, "Gara-garamu, kau mengambilnya buat orang lain!"
Gi-ho yang bermulut tajam segera menggunakan kesempatan itu untuk mengolok-olok, "Nah, itu namanya berkomplot dan bersekongkol!"
Dalam pada itu Ih-soh telah mendekati Lenghou Tiong dan bertanya, "Lenghou-tayhiap, bagaimana keada ....?"
"Su ... suteku telah dicelakai olehnya, sayang aku tak bisa mengejar dia," sahut Lenghou Tiong sambil menahan rasa sakit.
Tertampak Gak Put-kun dan anak muridnya telah kembali semua ke dalam rumah, pintu depan gedung piaukiok itu lantas ditutup. Kata Lenghou Tiong, "Gurumu dalam bahaya, urusan tidak boleh tertunda marilah kita lekas pergi menolongnya. Jahanam Lo Tek-nau itu pada suatu ketika pasti akan jatuh di tanganku."
"Tapi ... tapi keadaanmu ...." saking terima kasih dan terharunya sehingga Ih-soh tidak tahu apa yang harus dikatakan.
"Kita lekas pergi ke pasar hewan untuk membeli kuda, tidak perlu tawar-tawar, aku punya cukup uang," kata Lenghou Tiong sambil mengeluarkan uang emas perak yang dirampasnya dari Go Thian-tik tempo hari.
Begitulah mereka beramai-ramai lantas menuju ke pasar, asal ada kuda lantas mereka beli tanpa tawar. Tapi jumlahnya tetap kurang lima ekor. Terpaksa belasan orang murid yang lebih muda menunggang kuda berduaan dan segera mereka berangkat menuju ke utara.
Kira-kira belasan li di luar Kota Hokciu, tertampak di suatu tanah lapang ada ratusan ekor kuda yang sedang diumbar dengan dijaga oleh beberapa prajurit, agaknya kuda-kuda itu adalah milik tentara.
"Kita rebut saja kuda-kuda itu," kata Lenghou Tiong.
"Tapi kuda-kuda itu milik tentara, rasanya tidak pantas," ujar Ih-soh.
"Paling penting menolong orang, biarpun kuda milik raja juga kita rampas, peduli pantas atau tidak," kata Lenghou Tiong.
Gi-ho yang berwatak lugu itu lantas membenarkan dan segera mendahului maju. Ketika Lenghou Tiong memberi perintah lagi, para murid Hing-san-pay yang sudah kehilangan pimpinan Ting-cing Suthay secara otomatis lantas menuruti aba-aba Lenghou Tiong. Beramai-ramai mereka menutuk roboh prajurit-prajurit penjaga itu dan berhasil merampas beberapa ekor kuda.
Dengan tertawa gembira para murid Hing-san-pay yang sebagian besar masih muda belia itu lantas sama tukar kuda militer yang lebih bagus dengan serep pula beberapa ekor.
Menjelang tengah hari sampailah mereka di suatu kota kecil. Penduduk setempat terheran-heran melihat suatu rombongan nikoh membawa segerombol kuda, di antaranya terdapat pula seorang laki-laki.
Selesai mereka mengisi perut, waktu Gi-jing hendak membayar ternyata uang yang masih ada tidak cukup. Dengan suara perlahan Gi-jing bicara dengan Lenghou Tiong, "Lenghou-suheng, uang kita sudah habis."
"Tidak apa-apa," kata Lenghou Tiong. "The-sumoay, harap kau bersama Ih-soh masing-masing membawa seekor kuda untuk dijual."
The Oh mengiakan, bersama Ih-soh pergilah mereka. Sudah tentu rada menggelikan bahwa seorang nona jelita menjual kuda di pasar. Tapi dasar The Oh memang gadis yang cekatan, tidak lama ia berada di Hokkian sudah dapat mempelajari beberapa puluh suku kata daerah Hokkian sehingga tidak sukar baginya untuk menjual kudanya. Tidak lama kemudian ia sudah kembali dengan membawa uang untuk membayar rekening makan-minum mereka.
Petangnya sampailah mereka di suatu kota pegunungan yang cukup besar. Selesai makan dan membereskan rekeningnya, sisa uang penjualan kuda siang tadi ternyata tinggal sedikit sekali.
Dengan tertawa The Oh berkata, "Besok pagi kita menjual kuda lagi."
Tapi Lenghou Tiong lantas membisikinya, "Tidak perlu. Coba kau jalan-jalan keluar, carilah keterangan siapa hartawan paling kaya dan siapa yang paling jahat di kota ini."
The Oh manggut-manggut tanda mengerti, segera ia ajak Cin Koan pergi bersama. Selang tidak lama ia telah kembali dan memberi laporan, "Di kota ini hanya ada seorang hartawan kaya raya she Pek, orang memberi julukan "Pek-pak-bwe" padanya, dia membuka gadai dan punya toko beras dan lain-lain. Dari julukannya Pek-pak-bwe (tukang menguliti) dapat dibayangkan pasti bukan manusia baik-baik."
"Ya, malam ini juga kita akan minta derma padanya," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Orang demikian pasti sangat pelit, mana bisa dimintai derma?" ujar The Oh.
Tapi Lenghou Tiong hanya tersenyum saja, katanya, "Marilah kita berangkat."
Sebenarnya hari sudah mulai gelap, tapi mengingat keselamatan guru mereka anak murid Hing-san-pay itu tidak berani ayal, segera mereka melanjutkan perjalanan.
Beberapa li kemudian, tiba-tiba Lenghou Tiong berkata, "Cukup di sini saja kita mengaso."
Beramai-ramai mereka lantas berduduk-duduk di tepi sebuah sungai kecil pegunungan.
Selama itu Gi-lim selalu berada di samping Lenghou Tiong, terkadang ia suka tersenyum-senyum sendiri, entah apa yang sudah dipikirkan, tapi selama itu ia tidak pernah bicara dengan Lenghou Tiong. Baru sekarang tiba-tiba ia membuka mulut, "Ba ... bagaimana keadaan lukamu?"
"Tidak apa-apa," sahut Lenghou Tiong. Lalu ia pejamkan mata untuk mengumpulkan semangat. Agak lama kemudian barulah ia membuka mata dan berkata kepada Ih-soh dan Gi-ho, "Kalian masing-masing membawa enam orang sumoay pergi minta derma kepada Pek-pak-bwe. The-sumoay akan menjadi petunjuk jalan bagi kalian."
Ih-soh, Gi-ho, dan lain-lain merasa heran, tapi mereka lantas mengiakan.
"Paling sedikit kalian harus minta sumbangan 500 tahil perak, paling baik kalau bisa 2.000 tahil perak," kata Lenghou Tiong. "Nanti kita pakai sendiri seribu tahil, selebihnya dapat kita bagi-bagikan kepada orang miskin di kota ini."
"Maksudmu kita harus merampas milik yang kaya untuk disedekahkan kepada orang miskin?" tanya Gi-ho.
"Begitulah," sahut Lenghou Tiong. "Kita sendiri kehabisan sangu dan termasuk kaum rudin, kalau yang kaya tidak memberi sekadar sedekah kepada kaum miskin kita ini, cara bagaimana kita dapat mencapai Liong-coan To-kiam-kok?"
Mendengar tempat tujuan mereka, seketika para murid Hing-san-pay itu tidak ragu-ragu lagi, serentak mereka menyatakan setuju.
"Cuma cara minta derma kalian ini lain daripada yang lain," kata Lenghou Tiong pula. "Setiba di rumah Pek-pak-bwe, kalian harus memakai kedok, di waktu minta derma juga tidak perlu buka suara. Asal melihat emas perak lantas daulat saja."
"Kalau dia tidak mau memberi?" tanya The Oh dengan tertawa.
"Jika demikian berarti Pek-pak-bwe itu terlalu tidak tahu diri," ujar Lenghou Tiong. "Padahal kesatria-kesatria Hing-san-pay bukanlah orang sembarangan di dunia persilatan. Biasanya biarpun orang memapak kalian dengan joli digotong delapan orang untuk memberi sedekah kepada kalian toh belum tentu kalian mau datang. Sekarang Pek-pak-bwe telah didatangi sekaligus oleh 15 tokoh Hing-san-pay, bukankah ini merupakan suatu kehormatan besar baginya. Tapi, andaikan dia memang kepala batu dan memandang enteng kepada kalian, maka boleh juga kalian jajal-jajal dia, lihat saja apakah Pek-pak-bwe itu tahan sekali tonjok oleh kepalan halus The-sumoay?"
Semua orang sama tertawa oleh banyolan Lenghou Tiong ini. Walaupun ada di antaranya yang merasa cara minta sedekah seperti dirancangkan ini boleh dikata melanggar peraturan perguruan Hing-san-pay, tapi dalam keadaan kepepet terpaksa mereka tidak dapat berpikir lain lagi. Gi-ho, The Oh, dan lain-lain segera berangkat pergi.
Waktu menoleh, Lenghou Tiong melihat Gi-lim sedang menatap ke arahnya. Ia tersenyum dan menegur, "Siausumoay, apakah kau tidak setuju caraku ini?"
Gi-lim menghindari sorot mata Lenghou Tiong, sahutnya dengan perlahan, "Entahlah. Kukira apa yang kau lakukan tentulah tidak salah lagi."
"Dahulu ketika aku kepingin makan semangka, bukankah kau pun pernah pergi minta sedekah sebuah?" kata Lenghou Tiong.
Wajah Gi-lim menjadi merah, teringat olehnya waktu mereka berduaan di tengah ladang semangka dahulu itu. Pada saat itu pula di ujung langit sana sebuah bintang meteor berkelebat lewat untuk segera lenyap pula.
"Masih ingatkah kau akan kaul yang pernah kau katakan?" tanya Lenghou Tiong.
"Tentu saja masih ingat," sahut Gi-lim sambil berpaling kembali. "Lenghou-toako, kaul demikian sungguh manjur."
"Apakah kaulmu sudah terkabul?" tanya Lenghou Tiong.
Gi-lim menunduk tanpa menjawab. Ia membatin, "Sudah beratus kali aku berkaul semoga dapat bertemu lagi dengan kau, dan akhirnya terkabul juga sekarang."
Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh berkumandang suara derapan lari kuda yang cepat, seorang penunggang kuda tampak datang dari selatan, yaitu arah keberangkatan rombongan Ih-soh dan Gi-ho tadi. Tapi mereka tidak menunggang kuda perginya, apa mungkin terjadi apa-apa dengan mereka"
Serentak semua orang berdiri sambil memandang ke arah datangnya suara derapan kuda itu. Terdengar suara seorang perempuan sedang berseru, "Lenghou Tiong! Lenghou Tiong!"
Terguncang hebat hati Lenghou Tiong mendengar suara yang jelas sudah dikenalnya itu, ialah suaranya Gak Leng-sian. Cepat ia menyahut, "Siausumoay, aku berada di sini!"
Gi-lim tergetar juga, wajahnya pucat dan segera mundur satu-dua langkah ke belakang. Dalam kegelapan seekor kuda putih tampak dipacu tiba. Kira-kira beberapa meter di tempat orang banyak itu mendadak kuda itu meringkik sembari berjingkrak berdiri dengan kedua kaki belakang, habis itu baru berhenti. Hal itu jelas disebabkan Gak Leng-sian menarik tali kekang kudanya.
Melihat datangnya Gak Leng-sian secara tergesa-gesa itu diam-diam Lenghou Tiong merasakan alamat jelek. Serunya, "Siausumoay, apakah suhu dan sunio baik-baik saja?"
Di atas kudanya wajah Leng-sian hanya tampak sebelah saja secara samar-samar, tapi jelas mukanya membesi dingin, ia menjawab dengan suara keras, "Siapa sudi menjadi suhu dan suniomu" Apa hubungannya lagi ayah-ibuku dengan kau?"
Dada Lenghou Tiong serasa digodam orang. Memang Gak Put-kun sangat kereng kepadanya, tapi biasanya Gak-hujin dan Leng-sian sendiri masih selalu ingat hubungan baik di masa lalu dan cukup ramah padanya. Sekarang si nona juga bicara secara demikian kasar, hal ini membuat Lenghou Tiong merasa pedih. Katanya kemudian, "Ya, aku sudah dipecat dan bukan orang Hoa-san-pay lagi, aku tidak berhak memanggil suhu dan sunio pula."
"Sudah tahu begitu, mengapa mulutmu masih terus mengoceh?" omel Leng-sian.
Lenghou Tiong menunduk dengan lesu, perasaannya seperti disayat-sayat.
"Mana?" mendadak Leng-sian mendengus sambil menyodorkan sebelah tangannya.
Keruan Lenghou Tiong bingung. "Apa?" tanyanya lemah.
"Sampai sekarang kau masih berlagak pilon" Apa kau sangka dapat mengelabui aku?" kata Leng-sian. Mendadak ia perkeras suaranya dan menambahkan, "Serahkan!"
"Aku tidak paham, apa yang kau kehendaki?" tanya Lenghou Tiong sambil menggeleng.
"Apa yang kuhendaki" Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Lim!" seru Leng-sian.
"Pi-sia-kiam-boh" Mengapa kau memintanya padaku?" sahut Lenghou Tiong heran.
"Tidak minta padamu, habis minta kepada siapa?" jengek Leng-sian. "Ingin kutanya kau, siapakah yang merampas kasa dari tempat kediaman lama keluarga Lim itu?"
"Itu perbuatan dua orang Ko-san-pay yang disebut Pek-thau-sian-ong Bok Sim dan seorang lagi bernama Tut-eng Soa Thian-kang."
"Benar. Dan kedua keparat Ko-san-pay itu dibunuh oleh siapa?"
"Aku, aku yang membunuh mereka," sahut Lenghou Tiong tegas.
"Dan kasa itu kemudian diambil oleh siapa?"
"Aku!" "Bagus! Sekarang serahkan kasa itu!"
"Tapi se ... sesudah aku terluka dan jatuh pingsan, syukur aku telah ditolong oleh su ... oleh ibumu. Selanjutnya kasa itu tidak berada padaku lagi."
"Haha!" tiba-tiba Leng-sian mengakak sambil menengadah, tapi tanpa sedikit pun nada tertawa. "Ucapanmu ini seakan-akan hendak mengatakan ibu telah makan barangmu itu bukan" Huh, bisa saja kau mengucapkan kata-kata yang demikian kotor dan tidak tahu malu."
"Aku sekali-kali tidak mengatakan ibumu telah menggelapkan kasa itu. Tuhan menjadi saksi, dalam hatiku sedikit pun tiada punya perasaan kurang hormat kepada ibumu. Yang kumaksudkan adalah ... adalah ...."
"Apa?" Leng-sian menegas.
"Yang kumaksudkan adalah sesudah ibumu melihat kasa itu dan mengetahuinya sebagai milik keluarga Lim, dengan sendirinya barang itu akan dikembalikan kepada Lim-sute."
"Mana mungkin ibu akan menggeledah barang bawaanmu" Seumpama akan dikembalikan kepada Lim-sute juga ibu akan menunggu setelah kau siuman supaya kau mengembalikannya sendiri kepada Lim-sute mengingat barang itu adalah hasil perebutanmu secara mati-matian. Mana bisa ibu tidak memikirkan akan hal demikian?"
"Benar juga ucapannya. Apa barangkali kasa itu telah dicuri orang pula?" demikian pikir Lenghou Tiong. Karena khawatirnya, seketika keringat dingin merembes keluar. Katanya kemudian, "Jika begitu, tentu di dalam hal itu ada kejadian lain lagi."
Lalu ia sengaja mengebas bajunya sendiri dan menambahkan, "Seluruh barangku adalah di sini semua, jika kau tidak percaya boleh kau menggeledah badanku."
Kembali Leng-sian tertawa dingin, katanya, "Kau ini licin dan licik, barang yang sudah kau ambil masakan akan kau simpan di badanmu sendiri" Lagi pula di sekitarmu ada sedemikian banyak hwesio dan nikoh serta perempuan yang tidak keruan ini, tentu semuanya akan bantu menyembunyikannya bagimu."
Caranya Gak Leng-sian menanyai Lenghou Tiong seperti hakim tanya terdakwa, memangnya anak murid Hing-san-pay sejak tadi sudah merasa jengkel, sekarang si nona menyinggung mereka dengan kata-kata kasar, keruan mereka serentak membentak-bentak, "Ngaco-belo!"
"Apa maksudmu dengan perempuan tidak keruan?"
"Di sini mana ada hwesio?"
"Kau sendirilah perempuan tidak genah!"
Leng-sian juga tidak gentar, sambil meraba pedangnya ia menjawab, "Kalian adalah orang beragama, tapi siang malam selalu mengelilingi seorang laki-laki, apakah kelakuan demikian bukankah tidak keruan" Cis, tidak tahu malu!"
Murid-murid Hing-san-pay itu menjadi gusar, berbareng tujuh-delapan orang di antaranya lantas melolos pedang.
"Sret", Leng-sian juga lantas lolos pedangnya, serunya, "Bagaimana" Kalian ingin main kerubut bukan" Hayolah maju! Jika Nona Gak gentar bukanlah murid Hoa-san-pay!"
Cepat Lenghou Tiong memberi tanda untuk mencegah tindakan murid-murid Hing-san-pay lebih lanjut. Ia menghela napas, katanya kepada Leng-sian, "Jika kau telah mencurigai aku, ya, apa yang dapat kukatakan. Tapi bagaimana dengan Lo Tek-nau, mengapa tidak kau tanyakan padanya" Jika dia berani mencuri Ci-he-pit-kip, bisa jadi kasa itu pun dicuri olehnya?"
"O, jadi kau suruh aku pergi tanya kepada Lo Tek-nau?" Leng-sian menegas dengan suara keras.
"Benar!" jawab Lenghou Tiong.
"Baik. Nah silakan kau menghabisi nyawaku. Kau sudah mahir Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim, memangnya aku bukan tandinganmu lagi!"
"Mana ... mana bisa aku membunuh kau?" sahut Lenghou Tiong melenggong.
"Habis kau suruh aku pergi menanyai Lo Tek-nau, jika kau tidak membunuh aku, cara bagaimana aku dapat menyusul Lo Tek-nau ke akhirat?"
Kejut dan girang pula Lenghou Tiong. Tanyanya, "Jadi Lo Tek-nau telah ... telah dibinasakan oleh su ... oleh ayahmu bukan?"
Ia tahu Lo Tek-nau berguru kepada Gak Put-kun sesudah memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi, dalam Hoa-san-pay selain dirinya sendiri adalah kepandaian Lo Tek-nau yang paling lihai, maka untuk membunuhnya kecuali Gak Put-kun rasanya tidak mampu dilakukan oleh orang lain lagi. Lo Tek-nau telah membunuh Liok Tay-yu, jika dia sudah terbunuh pula, hal ini berarti sakit hati Liok-laksute-nya itu sudah terbalas.
Tiba-tiba Gak Leng-sian mendengus lagi, "Hm, seorang laki-laki sejati harus berani berbuat berani bertanggung jawab. Kau telah membunuh Lo Tek-nau, kenapa kau tidak berani mengaku?"
"Kau bilang aku yang membunuh Lo Tek-nau?" Lenghou Tiong menegas dengan heran. "Jika aku yang membunuhnya memangnya aku tidak perlu menyangkal. Dosa Lo Tek-nau lebih daripada dihukum mati, aku memang menyesal tak dapat membunuhnya dengan tanganku sendiri."
"Dan kenapa kau membunuh pula patsuko (kakak perguruan kedelapan)" Apa salahnya kepadamu" Sungguh ... sungguh kejam kau!" teriak Leng-sian.
Lenghou Tiong terperanjat. Ia menegas dengan suara rada gemetar, "Jadi patsute juga terbunuh" Patsute sangat licin dan pintar, selamanya sangat baik dengan aku, mana bisa aku mem ... membunuhnya?"
"Hm, sejak kau bergaul dengan iblis Mo-kau, kelakuanmu sudah lain daripada biasanya, siapa tahu apa sebabnya mendadak kau membunuh patsuko. Kau ... kau ...." sampai di sini air mata Leng-sian telah menetes.
Lenghou Tiong melangkah maju satu tindak, katanya tegas, "Siausumoay, janganlah kau berpikir tanpa dasar. Usia patsute muda belia, selamanya tiada bermusuhan dengan siapa pun juga. Jangankan aku, orang lain pun tidak mungkin tega membunuhnya."
Mendadak alis Leng-sian menegak, tanyanya pula dengan suara bengis, "Dan mengapa pula kau tega mencelakai Lim-sute?"
"Hah" Lim-sute ... dia ... dia juga sudah mati?" Lenghou Tiong menegas dengan terperanjat.
"Saat ini masih belum mati, sekali bacok pedangmu belum membinasakan dia, tetapi siapa ... yang tahu dia akan dapat sembuh atau tidak?" sampai di sini suaranya kembali parau dan mulai terguguk-guguk.
Lenghou Tiong menghela napas longgar, katanya, "Apa dia terluka sangat parah" Kuyakin dia pasti mengetahui siapa yang menyerangnya. Bagaimana menurut pengakuannya?"
"Di dunia ini tiada seorang pun yang licin seperti kau. Kau telah membacoknya dari belakang, memangnya punggung Lim-sute punya mata?"
Macam-macam perasaan mencekam hati Lenghou Tiong, saking tak tahan, ia lolos pedangnya, ia kerahkan tenaga terus dilemparkan ke samping sana. Pedang itu meluncur melintang ke depan dan membentur sebatang pohon cemara yang cukup besar, pedang itu menyambar lewat di tengah batang pohon, kontan pohon itu terpotong putus dan rebah sehingga menimbulkan debu pasir yang berhamburan.
"Bagaimana" Sesudah kau mahir ilmu iblis Mo-kau, sekarang kau sengaja pamer keganasanmu di depanku bukan?" jengek Leng-sian.
Lenghou Tiong menggeleng, sahutnya, "Bilamana aku ingin membunuh Lim-sute tidak perlu aku menyerangnya dari belakang, juga tidak mungkin sekali bacok tidak membuatnya binasa."
"Hm, siapa yang tahu akan maksud tujuanmu yang licik?" jengek pula Leng-sian. "Tentunya patsute telah melihat perbuatanmu yang rendah itu, makanya kau membunuhnya sekalian untuk menghilangkan saksi, bahkan kau telah merusak mukanya, sama halnya seperti apa yang kau lakukan terhadap ... terhadap Lo Tek-nau."
Sedapat mungkin Lenghou Tiong menahan gejolak perasaannya. Ia tahu di balik urusan ini pasti ada suatu intrik, suatu persekongkolan besar, suatu tipu muslihat keji yang saat ini belum dapat dipecahkan olehnya.
"Jadi muka Lo Tek-nau juga telah dirusak orang?" tanyanya kemudian.
"Kau sendiri yang berbuat, mengapa malah tanya padaku?"
"Siapa lagi anak murid Hoa-san-pay yang menjadi korban?"
"Kau sudah membunuh dua orang dan melukaparahkan satu orang, memangnya masih belum cukup?" sahut Leng-sian.
Dari jawaban ini Lenghou Tiong mengetahui tiada orang lain lagi yang menjadi korban, hatinya rada lega. Pikirnya, "Perbuatan keji siapakah ini?"
Sekonyong-konyong timbul rasa ngerinya, teringat olehnya apa yang dikatakan oleh Yim Ngo-heng di Hangciu dahulu, gembong Mo-kau itu mengancam apabila dirinya tidak mau masuk menjadi anggota Mo-kau, maka orang-orang Hoa-san-pay akan dibunuhnya semua. Jangan-jangan Yim Ngo-heng sudah berada di Hokciu dan mulai menyikat Hoa-san-pay"
Cepat ia berkata kepada Leng-sian, "Lekas-lekas kau pulang ke Hokciu dan laporkan kepada ayah-ibumu bahwa mungkin sekali gembong Mo-kau yang telah melakukan pembunuhan secara keji."
"Ya, memang benar gembong iblis Mo-kau yang telah turun tangan keji terhadap Hoa-san-pay kami," sahut Leng-sian dengan nada mengejek. "Cuma gembong iblis itu dahulu adalah orang Hoa-san-pay. Memang piara macan akan merupakan penyakit, air susu dibalas dengan air tuba."
Lenghou Tiong hanya tersenyum getir saja, ia pikir dirinya sudah menyanggupi akan pergi menolong Ting-sian dan Ting-yat Suthay, tapi sekarang suhu dan sunio menghadapi bahaya pula, ini benar-benar serbasusah. Jika yang mengganas itu adalah Yim Ngo-heng, maka sukar juga untuk melawannya, namun bagaimanapun juga kesulitan guru dan ibu-guru yang berbudi padanya itu harus diutamakan lebih dulu, urusan Hing-san-pay terpaksa harus ditunda. Bila nanti Yim Ngo-heng sudah dapat dicegat perbuatannya yang lebih lanjut baru menuju ke Liong-coan untuk membantu Hing-san-pay.
Bab 86. Hing-san-pay Hampir Musnah
Setelah ambil keputusan demikian segera ia berkata, "Sejak berangkat dari Hokciu, senantiasa aku berada bersama para suci dan sumoay Hing-san-pay ini, cara bagaimana aku dapat pergi membunuh patsute dan Lo Tek-nau" Jika perlu boleh kau tanya keterangan mereka."
"Hm, kau suruh aku tanya mereka?" dengan Leng-sian. "Mereka telah bersekongkol dengan kau, masakah mereka takkan berdusta bagimu?"
Mendengar itu, kembali sebagian murid Hing-san-pay berteriak-teriak marah lagi, beberapa murid preman di antaranya lantas batas memaki dengan tajam.
Leng-sian menarik mundur kudanya, katanya, "Lenghou Tiong, Siau-lim-cu terluka sangat parah, dalam keadaan setengah tak sadar masih terus menyebut kiam-boh, jika kau masih punya hati nurani sebagai manusia seharusnya kau mengembalikan kiam-boh padanya. Kalau tidak ...."
"Apa kau yakin aku benar-benar manusia serendah ini?"
"Jika kau bukan manusia rendah, maka di dunia ini tiada manusia rendah lagi," seru Leng-sian dengan murka.
Sejak tadi perasaan Gi-lim sangat terguncang mengikuti percakapan mereka, sekarang ia tidak tahan lagi, selanya, "Nona Gak, Lenghou-toako teramat baik kepadamu, dengan tulus hati dia benar-benar sangat baik terhadap kau, mengapa kau memakinya secara demikian galak?"
Alap Alap Laut Kidul 13 Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Pendekar Elang Salju 3