Pencarian

Hina Kelana 32

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 32


"Peng-ci dan Anak Sian berdua sangat cocok satu sama lain, masakah kau tega memisahkan mereka dan membikin Anak Sian menyesal selama hidup?" tanya Gak-hujin.
"Apa yang kulakukan ini adalah demi kebaikan Anak Sian pula," sahut Put-kun.
Bab 100. Isi Hati Ketua Hoa-san-pay
"Demi kebaikan Anak Sian" Padahal Peng-ci adalah yang baik dan sopan, apanya yang kurang baik?"
"Meski Peng-ci sangat giat belajar, tapi kalau dibandingkan Lenghou Tiong adalah seperti langit dan bumi, biarpun dia naik kuda selama hidup ini juga sukar menyusulnya."
"Apakah ilmu silatnya tinggi mesti suami yang baik" Aku sih mengharapkan Tiong-ji bisa kembali ke jalan yang baik dan masuk kembali ke perguruan kita. Tapi dia suka yang baru dan bosan yang lama, dia gemar minum (arak) dan tingkah lakunya kurang baik, betapa pun kebahagiaan Anak Sian tidak boleh dikorbankan."
Mendengar ucapan sang ibu-guru itu, seketika Lenghou Tiong berkeringat dingin. Pikirnya, "Penilaian Sunio atas diriku memang tepat. Tapi... tapi bila aku dapat memperistrikan siausumoay, masakah aku bisa mengecewakan dia" Tidak, sekali-kali tidak."
Terdengar Gak Put-kun menghela napas dan berkata pula, "Tapi usahaku toh percuma saja, bangsat cilik itu sudah kejeblos terlalu mendalam dan sukar menginsafkan dia, apa yang kita bicarakan ini hanya sia-sia belaka. Sumoay, apakah kau masih marah padaku?"
Gak-hujin tidak menjawab. Selang sebentar kemudian baru berkata, "Apakah kakimu kesakitan?"
"Hanya luka luar saja, sebulan dua bulan saja tentu akan sembuh," sahut Gak Put-kun. "Aku dikalahkan bangsat cilik itu, aku tidak punya muka buat bertemu dengan orang lagi. Marilah kita berangkat pulang ke Hoa-san saja."
Terdengar Gak-hujin menghela napas, lalu suara derapan kaki kuda yang makin lama makin menjauh.
Seketika itu pikiran Lenghou Tiong menjadi kacau, ia merenungkan kembali percakapan kedua orang tua tadi sehingga lupa mengerahkan tenaga. Sekonyong-konyong arus hawa dingin menerjang tiba dari telapak tangan sehingga membuatnya menggigil, seluruh badan terasa kedinginan sampai merasuk tulang, lekas-lekas ia mengerahkan tenaga untuk menahan serangan hawa dingin itu. Saking tergesa-gesanya, tiba-tiba saluran tenaga di bagian bahu kiri terasa macet, terhalang dan tak bisa lancar. Ia menjadi gelisah dan mengerahkan tenaga terlebih kuat.
Ia tidak tahu bahwa jalannya tenaga dalam itu harus mengutamakan kewajaran, dia meyakinkan Gip-sing-tay-hoat berdasarkan apa yang terukir di papan besi itu, jadi belajar tanpa guru, tapi titik-titik penting yang terperinci sama sekali tidak mendapat petunjuk dari seorang guru yang mahir, maka caranya menjadi ngawur, semakin dia mengerahkan tenaga, semakin kaku dan macet. Mula-mula lengan kiri ikut kaku perlahan-lahan, menyusul rasa kaku menurun ke iga kiri, pinggang kiri, terus menurun lagi hingga paha kiri juga terasa kaku.
Keruan dia sangat cemas, segera ia bermaksud berteriak, "Tolong!"
Tapi begitu bermaksud pentang mulut, terasalah bibirnya juga sudah kaku dan sukar bergerak.
Pada saat itulah terdengar pula suara derapan kaki kuda, kembali ada dua penunggang kuda mendatangi. Terdengar suara seorang berkata, "Di sini banyak terdapat bekas-bekas tapak kuda, tentu ayah dan ibu tadi berhenti di sini."
Itulah suaranya Gak Leng-sian. Keruan kejut dan girang pula hati Lenghou Tiong. Katanya di dalam hati, "Kenapa siausumoay datang juga ke sini?"
Lalu terdengar seorang lagi berkata, "Kaki Suhu terluka, jangan sampai beliau mengalami apa-apa lagi, lekas kita menyusul ke sana mengikuti jejak kuda."
Jelas ini suaranya Lim Peng-ci.
Tiba-tiba Gak Leng-sian berseru, "He, Siau-lim-cu, coba lihat, bagus sekali keempat orang-orangan salju ini, satu sama lain bergandengan tangan."
"Sekitar sini seperti tiada penduduk, kenapa ada orang main tumpuk orang-orangan salju di sini?" ujar Lim Peng-ci.
"Eh, maukah kita pun membangun dua orang-orangan salju?" ajak Leng-sian dengan tertawa.
"Bagus, kita membikin satu laki dan satu perempuan, keduanya juga tangan bergandeng tangan," sahut Peng-ci.
Segera Leng-sian melompat turun dari kudanya, lalu mulai mengeruk salju dan ditimbun.
Tapi Peng-ci berkata pula, "Lebih baik kita menyusul Suhu dan Sunio saja. Nanti kalau sudah bertemu beliau-beliau barulah kita main orang-orangan salju."
"Kau selalu melenyapkan kesenangan orang," sahut Leng-sian. "Meski kaki ayah terluka, tapi dia menunggang kuda, apalagi didampingi ibu, masakah khawatir diganggu orang" Tatkala beliau berdua malang melintang di dunia Kangouw dahulu kau sendiri belum lahir."
"Tapi sebelum kita ketemu Suhu dan Sunio, rasanya tidak tenteram untuk main-main di sini," kata Peng-ci.
"Baiklah, aku menurut kau. Tapi sesudah bertemu ayah dan ibu nanti kau harus menemani aku membikin dua orang-orangan salju yang bagus."
"Sudah tentu," sahut Peng-ci.
Diam-diam Lenghou Tiong mengakui ketulusan dan kepolosan hati Lim Peng-ci dengan jawaban yang bersahaja itu. Coba kalau dirinya tentu akan menjawab, "Baiklah, akan kita bikin orang-orangan salju secantik kau."
Terpikir pula olehnya jika dirinya yang diminta menemani sang sumoay untuk membikin orang-orangan salju, tentu tanpa menghiraukan urusan lain akan disetujuinya. Tapi siausumoay justru menuruti kemauan Lim-sute, sedikit pun tidak main manja, sama sekali berbeda seperti sikapnya padaku. Agaknya kesehatan Lim-sute sekarang sudah baik, entah siapakah yang telah melukainya tempo hari, tapi siausumoay telah menuduh diriku. Demikian pikirnya.
Lantaran memusatkan pikiran mendengarkan percakapan Leng-sian dan Peng-ci sehingga melupakan badan sendiri yang kaku tadi. Siapa tahu dengan demikian justru cocok dengan ajaran Gip-sing-tay-hoat yang mengharuskan pikiran tenang dan tidak gelisah. Dengan demikian rasa kaku kaki dan pinggangnya lambat laun menjadi berkurang.
Tiba-tiba terdengar Gak Leng-sian berseru, "Baiklah, tidak jadi membikin orang-orangan salju, tapi aku mau menulis beberapa huruf di atas orang salju ini."
"Sret", ia terus lolos pedangnya.
Kembali Lenghou Tiong terkejut dan khawatir, apa jadinya jika pedangnya menusuk dan menebas serabutan di atas badan kami berempat" Tapi sebelum dia sempat berpikir lagi, mendadak terdengar suara "srat-sret" berulang-ulang, Leng-sian telah mengukir beberapa tulisan di atas tubuh Hiang Bun-thian yang berlapis salju tebal itu. Ujung pedangnya masih terus menggeser dan akhirnya sampai di atas badan Lenghou Tiong. Untung ukirannya tidak terlalu dalam sehingga tidak sampai tembus dan melukai mereka.
"Entah tulisan apa yang dia ukir di atas badan kami?" demikian Lenghou Tiong membatin.
"Cobalah kau pun menulis beberapa huruf," kata Leng-sian dengan suara lembut.
"Baik," jawab Peng-ci. Ia sambut pedang si nona, lalu ikut mengukir beberapa huruf di atas keempat orang-orang salju. Ia pun mengukir dari kanan ke kiri, mulai dari badan Hiang Bun-thian dan berakhir pada badan Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong tambah heran, "Entah tulisan apa lagi yang diukir Lim-sute?"
Dalam pada itu terdengar Leng-sian sedang berkata, "Betul, kita berdua harus demikian adanya."
Lalu mereka terdiam sampai agak lama.
Tentu saja Lenghou Tiong semakin heran, "Harus demikian apa" Biarlah nanti bila mereka sudah pergi dan racun dingin di tubuh Yim-kaucu sudah bersih dipunahkan baru aku dapat meronta keluar dari timbunan salju untuk melihat tulisan apa yang mereka ukir tadi. Tapi, ah tak bisa jadi. Begitu aku bergerak tentu timbunan salju akan rontok dan tak terlihatlah tulisan apa yang mereka ukir. Lebih-lebih kalau kami berempat bergerak sekaligus, tentu satu huruf pun tak bisa tahu lagi."
Selang sejenak pula, terdengar dari jauh ada suara derapan kaki kuda yang ramai, meski jaraknya masih jauh, tapi jelas menuju ke sebelah sini. Rupanya Peng-ci dan Leng-sian masih belum dengar. Lenghou Tiong dapat menaksir dari derapan kaki kuda itu sedikitnya adalah belasan orang. Ia pikir besar kemungkinan adalah anak murid Hoa-san-pay yang menyusul tiba.
Makin mendekatlah suara lari kuda-kuda itu. Tapi Peng-ci dan Leng-sian agaknya masih tidak menaruh perhatian.
Lenghou Tiong mendengar belasan penunggang kuda itu datang dari arah timur laut, dari jarak satu-dua li mereka lantas memencarkan diri, ada sebagian menuju ke jurusan barat, kemudian membelok dan sama-sama menuju ke sini, jelas mereka telah mengurung jalan lari Peng-ci dan Leng-sian.
Mendadak terdengar Leng-sian berseru kaget, "He, ada orang datang!"
Menyusul terdengar suara mendesingnya dua anak panah, lalu suara kuda meringkik ngeri dan roboh.
Dalam hati Lenghou Tiong menduga ilmu silat pendatang-pendatang itu tidak lemah, tujuan mereka juga keji. Dari jauh lebih dulu mereka memanah mati kuda-kuda siausumoay dan Lim-sute agar mereka tak bisa lari jauh. Sejenak kemudian belasan orang itu sudah mendekat sambil bergelak tertawa.
Terdengar Leng-sian berseru khawatir sambil mundur selangkah. Lalu terdengar seorang di antara pendatang-pendatang itu bertanya, "Hehe, seorang adik cilik dan seorang genduk, kalian ini murid siapa dan dari aliran mana?"
"Cayhe murid Hoa-san-pay bernama Lim Peng-ci, suciku ini she Gak," sahut Peng-ci dengan suara lantang. "Selamanya kita tidak saling kenal, mengapa tanpa sebab kuda kami dipanah mati?"
"Murid Hoa-san-pay?" orang itu menegas dengan tertawa. "Jadi guru kalian adalah Gak-siansing dengan julukan "Kun-cu-kiam" segala dan telah kalah bertanding dengan bekas muridnya itu?"
Peng-ci lantas menjawab, "Kelakuan Lenghou Tiong tidak baik, berulang-ulang dia melanggar peraturan, maka setahun yang lalu dia sudah dipecat."
Dia ingin mengatakan bahwa kekalahan bertanding sang guru kepada Lenghou Tiong itu dapat dianggap kalah kepada orang luar dan bukan muridnya lagi.
"Genduk cilik ini she Gak, pernah apanya Gak-tayciangbun?" tanya orang itu pula.
"Peduli apa dengan aku?" damprat Leng-sian dengan gusar. "Kau telah memanah mati kudaku, lekas ganti."
"Wah, melihat kegalakannya ini, besar kemungkinan dia adalah gundik Gak Put-kun," kata orang itu sambil cengar-cengir. Serentak belasan orang kawannya ikut tertawa gemuruh.
Mendengar kata-kata orang yang kasar itu, Lenghou Tiong membatin orang-orang itu pasti bukan dari kaum cing-pay dan mungkin sekali akan membahayakan siausumoay.
Dalam pada itu Peng-ci telah berkata, "Tuan adalah locianpwe dari Kangouw, kenapa bicara sekotor itu" Hendaklah tahu bahwa suciku adalah putri kesayangan guruku."
"O, kiranya adalah putri Gak Put-kun, haha, sama sekali tidak cocok dengan kenyataannya," ujar orang tadi dengan tertawa.
Seorang temannya lantas tanya, "Loh-toako, kenapa tidak cocok dengan kenyataan?"
"Pernah kudengar orang bercerita, katanya putri Gak Put-kun sangat cantik, terhitung nona paling ayu di antara angkatan muda, tapi nyatanya sekarang cuma begini saja," sahut Loh-toako tadi.
"Wajah genduk ini memang biasa saja, tapi kulitnya putih, dagingnya halus. Kalau ditelanjangi mungkin boleh juga. Hahahahaha!" begitu belasan orang serentak tertawa riuh pula penuh maksud kotor.
Baik Gak Leng-sian dan Lim Peng-ci maupun Lenghou Tiong menjadi gusar mendengar ucapan-ucapan tidak sopan itu. Peng-ci lantas cabut pedangnya dan berkata, "Jika kalian mengeluarkan kata-kata tidak senonoh lagi, biarpun mati juga akan kulayani kalian."
"He, coba kalian lihat, dua sejoli cabul yang main patgulipat ini telah menulis apa di atas orang salju ini?" tiba-tiba seorang berseru.
Dikatakan "cabul", Peng-ci tidak tahan lagi "sret", pedangnya lantas menusuk. Maka terdengarlah suara ramai, ada dua orang telah melompat turun dari kudanya untuk melawan Peng-ci. Menyusul Leng-sian juga ikut menerjang maju. Berbareng beberapa laki-laki itu lantas berseru, "Biar aku yang melayani genduk ini!"
"Jangan ribut, jangan berebut, semuanya akan mendapat gilirannya," ujar seorang dengan tertawa.
Lalu terdengar suara beradunya senjata, Leng-sian juga telah bertempur dengan musuh. Mendadak seorang laki-laki menggerung gusar karena rasa sakit, agaknya terluka oleh pedang Leng-sian.
Seorang laki-laki lain lantas berkata, "Ganas juga genduk ayu ini. Su-losam, akan kubalaskan sakit hatimu."
Di tengah suara nyaring beradunya senjata terdengar Gak Leng-sian berseru, "Awas!"
Lalu terdengar suara "trang" yang keras disusul oleh suara Peng-ci yang tertahan. "Siau-lim-cu!" Leng-sian berseru pula, mungkin Peng-ci terluka.
Kemudian pemimpin rombongan pendatang itu berseru, "Jangan membunuh dia, tangkap saja hidup-hidup. Kalau putri dan menantu Gak Put-kun sudah kita bekuk masakah jantan palsu she Gak itu takkan tunduk kepada kita?"
Lenghou Tiong coba mendengarkan lagi dengan lebih cermat, terdengar suara menderu sambaran senjata, agaknya Gak Leng-sian memutar pedangnya dengan kencang. Mendadak terdengar suara "trang", lalu suara "plak" lagi sekali. Seorang laki-laki lantas mencaci maki, "Kurang ajar, lonte cilik!"
Mendadak Lenghou Tiong merasa badannya disandari orang, lalu terdengar napas Gak Leng-sian yang tersengal-sengal, nyata nona itulah yang bersandar pada "orang salju"-nya itu. Setelah suara senjata beradu lagi beberapa kali, seorang laki-laki di antaranya lantas berseru girang, "Masakah kau tak bisa kubekuk!"
Terdengar Leng-sian berseru khawatir, lalu tidak terdengar lagi suara beradunya senjata, sebaliknya orang-orang itu sama bergelak tertawa.
Lenghou Tiong merasa Leng-sian yang bersandar pada tubuhnya itu diseret pergi dan terdengar nona itu berteriak, "Lepaskan aku, lepaskan!"
Seorang di antaranya berkata dengan tertawa, "Bun-lotoa, tadi kau bilang dia berkulit putih dan berdaging halus, aku justru tidak percaya. Marilah kita belejeti pakaiannya, coba lihat betul tidak dugaanmu."
Semua orang lantas bersorak gembira setuju. Peng-ci memaki dengan gusar, "Kawanan bangsat...." mendadak "plak", ia telah ditendang sekali, lalu terdengar suara "bret" suara kain robek.
Dengan jelas Lenghou Tiong mendengar siausumoaynya hendak ditelanjangi orang, mana dia bisa tahan lagi. Tanpa hiraukan keadaan Yim Ngo-heng, segera ia melepaskan tangan Ing-ing yang dipegangnya itu terus melompat keluar dari timbunan salju. Tangan kanan dipakai mencabut pedang, tangan kiri lantas digunakan mengupas salju yang masih menutupi matanya.
Tak terduga tangan kiri itu ternyata tidak mau menurut perintah, sukar bergerak. Di tengah suara teriak kaget rombongan orang tadi, Lenghou Tiong sempat menggunakan pangkal lengan kanan untuk mengusap mukanya, pandangannya menjadi terang, pedang lantas menusuk ke depan, sekaligus tiga laki-laki itu kena dirobohkan.
Cepat Lenghou Tiong memutar tubuh, "sret-sret" dua kali, kembali dua orang dibinasakan lagi. Dilihatnya seorang laki-laki sedang menelikung kedua tangan Gak Leng-sian, seorang lagi dengan golok terhunus siap melawannya. Ia menerjang maju, pedang menusuk iga laki-laki bergolok itu hingga tembus, sekali depak ia singkirkan mayat lawan sambil mencabut pedang dari mayat itu. Dalam pada itu ada suara orang menyergapnya dari belakang. Tanpa menoleh pedangnya menyabet ke belakang, kontan dua orang jatuh terkapar. Tanpa berhenti ia terus menubruk maju, pedang berkelebat, kontan tenggorokan orang yang menelikung tangan Gak Leng-sian itu tertembus.
Pegangan orang itu atas Leng-sian menjadi kendur dan terkapar di atas pundak nona itu, darah segar membanjir keluar dari lehernya. Keruan seluruh badan Leng-sian basah kuyup oleh darah.
Sekaligus Lenghou Tiong membunuh sembilan orang dalam waktu sekejap, sisanya masih delapan orang menjadi kesima ketakutan. Mendadak pemimpin rombongan itu menjerit terus mendahului menerjang maju sambil memutar senjatanya berbentuk perisai dan mengepruk ke atas kepala Lenghou Tiong.
Tapi cepat luar biasanya Lenghou Tiong mendahului menusuk sehingga tepat mengenai muka orang itu. Kontan orang itu menjerit dan roboh terguling. Tidak berhenti sampai di situ saja, kembali Lenghou Tiong menebas dan menusuk berulang-ulang, tiga orang kena dibunuh lagi.
Sisa empat orang yang lain menjadi ketakutan setengah mati, mereka menjerit dan lari terpencar.
"Kalian berani kurang ajar terhadap siausumoayku, satu pun tidak boleh diampuni," seru Lenghou Tiong sambil memburu maju. "Sret-sret" dua kali, kembali dua orang tertebas putus kepalanya.
Tinggal dua orang lagi lari ke dua jurusan, Lenghou Tiong mengincar satu di antaranya, sekuatnya ia menimpukkan pedangnya, satu jalur sinar perak meluncur secepat kilat dan tepat menembus punggung orang sedang lari itu sehingga terpantek di atas tanah. Habis itu Lenghou Tiong lantas mengejar ke jurusan lain, kira-kira puluhan meter jauhnya orang terakhir itu pun sudah tersusul.
Rupanya orang itu menjadi nekat, mendadak ia memutar tubuh terus membacok dengan goloknya. Baru sekarang Lenghou Tiong ingat dia sudah tidak bersenjata lagi. Cepat melompat mundur. Orang itu menubruk maju dan membabat dengan goloknya, kembali Lenghou Tiong mengelak dan melompat mundur lagi dan begitu seterusnya orang itu menyerang terlebih kalap dan berulang-ulang Lenghou Tiong terdesak mundur.
Tiba-tiba Gak Leng-sian berseru di belakangnya, "Pakailah pedangku ini, Toasuko!"
Waktu Lenghou Tiong menoleh, Leng-sian sudah melemparkan pedang ke arahnya, cepat Lenghou Tiong menangkap senjata itu terus memutar balik sambil bergelak tertawa. Saat itu lawannya sedang angkat goloknya hendak membacok, tapi ia menjadi kesima ketika sinar pedang Lenghou Tiong berkelebat, seketika ia terpaku ketakutan malah.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong melangkah maju, laki-laki menjadi gemetar, memegang senjata saja tidak kuat lagi, goloknya jatuh ke tanah. Tanpa terasa ia pun berlutut.
"Kau harus mampus untuk menebus dosamu," kata Lenghou Tiong sambil menyodorkan ujung pedang ke leher orang. Tiba-tiba pikirannya tergerak, tanyanya perlahan, "Tulisan apa yang terdapat di atas orang-orang salju tadi?"
"Tulisannya berbunyi, "Laut kering gunung runtuh, cinta kita tetap teguh"," tutur orang itu dengan suara gemetar.
"O, begitu bunyinya?" Lenghou Tiong menggumam kesima. Akhirnya ia dorong juga ujung pedangnya menembus tenggorokan orang itu.
Waktu ia berpaling kembali, dilihatnya Gak Leng-sian sedang membangunkan Lim Peng-ci. Badan kedua muda-mudi itu sama-sama mandi darah.
Setelah berdiri Peng-ci lantas memberi soja kepada Lenghou Tiong, katanya, "Banyak terima kasih atas pertolongan Lenghou-heng."
"Tidak jadi soal," sahut Lenghou Tiong. "Apa lukamu parah?"
"Tidak apa-apa," sahut Peng-ci.
"Suhu dan Sunio menuju ke sana," kata Lenghou Tiong sambil menunjuk bekas tapak kuda.
Sementara itu Leng-sian telah mendapatkan dua ekor kuda milik orang-orang tadi, ia mendahului mencemplak ke atas kuda dan berkata, "Marilah kita menyusul ayah dan ibu."
Dengan susah payah Peng-ci menaiki kudanya. Ketika Leng-sian melarikan kudanya lewat samping Lenghou Tiong, tiba-tiba ia menahan kudanya dan memandang ke mukanya.
Perlahan Lenghou Tiong mengangkat kepalanya, melihat si nona menatap, ia pun balas memandang.
"Aku... aku ber...." Leng-sian tidak dapat melanjutkan kata-katanya, segera ia berpaling kembali dan melarikan kudanya ke jurusan Gak Put-kun tadi.
Termangu-mangu Lenghou Tiong mengikuti kepergian Peng-ci dan Leng-sian, sampai bayangan mereka sudah menghilang di balik rimba sana barulah ia menoleh ke arah Yim Ngo-heng bertiga, dilihatnya mereka sudah membersihkan salju yang menempel di atas badan dan sedang memandang tajam arahnya.
"He, Yim-kaucu, aku... aku tidak bikin susah padamu?" seru Lenghou Tiong girang.
"Kau tidak bikin susah padaku, tapi kau sendiri yang konyol. Bagaimana lengan kirimu?" sahut Yim Ngo-heng.
"Untuk sementara terasa kaku, agaknya jalan darah kurang lancar sehingga tangan tidak mau menurut perintah," kata Lenghou Tiong.
"Urusan ini rada sulit, biarlah kita mencari akal nanti," ujar Yim Ngo-heng. "Barusan kau telah menyelamatkan putri Gak Put-kun, maka anggaplah kau telah membalas budi kebaikan perguruanmu, selanjutnya siapa pun tidak utang budi lagi. Eh, Hiang-hiante, mengapa Loh-losam makin lama makin tidak senonoh, sampai-sampai perbuatan kotor begini juga dilakukannya?"
"Dari nadanya dapat kuduga mereka seperti ingin membekuk kedua muda-mudi itu," kata Hiang Bun-thian.
"Apa mungkin mereka melaksanakan perintah Tonghong Put-pay" Ada urusan apa lagi dia dan Gak Put-kun?" ujar Ngo-heng.
"Apakah orang-orang ini adalah anak buah Tonghong Put-pay?" tanya Lenghou Tiong sambil menunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar situ.
"Anak buahku," sahut Yim Ngo-heng.
Lenghou Tiong manggut-manggut dan membatin, "Ya, kedudukan Tonghong Put-pay sebagai ketua Tiau-yang-sin-kau adalah direbutnya dari Yim-kaucu, sudah tentu orang-orang ini tak bisa dianggap anak buahnya."
Dalam pada itu Ing-ing telah bertanya, "Bagaimana dengan lengannya, Ayah?"
"Jangan khawatir anak manis," sahut Yim Ngo-heng. "Anak mantu telah bantu mertua memunahkan racun dinginnya, sudah tentu bapak mertua akan berdaya menyembuhkan lengannya."
Habis berkata ia tertawa terbahak-bahak.
"Lenghou-hiante," kata Hiang Bun-thian, "keadaan tadi sungguh sangat berbahaya, kalau kau tidak datang menolong tepat waktunya tentu akibatnya akan runyam."
Yim Ngo-heng telah menatap tajam Lenghou Tiong sehingga pemuda itu merasa kikuk.
"Jangan kau bicara begitu, Ayah," tiba-tiba Ing-ing berkata. "Engkoh Tiong dibesarkan bersama Gak-siocia dari Hoa-san-pay itu, masakah engkau tidak melihat bagaimana sikap Engkoh Tiong terhadap Gak-siocia tadi?"
"Hm, manusia apa Gak Put-kun itu" Masakah anak perempuannya dapat dibandingkan dengan putriku?" ujar Yim Ngo-heng dengan tertawa. "Lagi pula nona Gak itu pun sudah punya tunangan, perempuan yang gampang berubah hatinya seperti dia masakah bisa dipercaya, selanjutnya Tiong-ji tentu akan melupakan dia."
"Demi diriku Engkoh Tiong telah mengacaukan Siau-lim yang termasyhur di seluruh jagat, demi diriku pula dia tidak mau kembali lagi ke dalam Hoa-san-pay, melulu kedua hal ini saja sudah membikin hatiku senang dan puas. Tentang urusan lain tidak perlu lagi diungkat."
Yim Ngo-heng kenal watak putrinya yang angkuh dan suka menang. Jika Lenghou Tiong tidak mengajukan lamaran, maka putrinya itu pun tidak mau memaksa. Ia pikir urusan perjodohan ini hanya soal waktu saja, kelak Hiang Bun-thian dapat disuruh menjadi comblang, lalu secara resmi dirundingkan.
Maka dengan bergelak tertawa ia berkata, "Bagus, bagus. Memang urusan mahapenting yang menyangkut kebahagiaan selama hidupmu boleh dibicarakan nanti. Eh, Anak Tiong, biarlah aku mengajarkan kau dulu tentang melancarkan urat nadi di bagian lengan kiri itu."
Lalu ia tarik Lenghou Tiong ke pinggir sana dan menguraikan cara bagaimana mengerahkan tenaga dan melancarkan jalan darah. Setelah Lenghou Tiong hafal ajarannya, lalu katanya pula, "Kau telah bantu aku memunahkan racun dingin, sekarang aku mengajarkan kau cara melancarkan jalan darahmu, kita masing-masing tidak saling utang. Untuk menyembuhkan seluruhnya lenganmu yang kaku itu diperlukan waktu tujuh hari, harus bersabar, tidak boleh terburu nafsu."
Lenghou Tiong mengiakan. Lalu Yim Ngo-heng memanggil Hiang Bun-thian dan Ing-ing, setelah empat orang berkumpul Ngo-heng berkata pula, "Tiong-ji, ketika di Bwe-cheng tempo hari aku pernah mengajak kau masuk Tiau-yang-sin-kau kami, waktu itu dengan tegas kau menolak. Sekarang keadaan sudah berubah, aku mengulangi lagi persoalan lama, sekali ini tentunya kau takkan menolak bukan?"
Selagi Lenghou Tiong ragu-ragu dan belum menjawab, Yim Ngo-heng telah menyambung pula, "Kau telah meyakinkan Gip-sing-tay-hoat, kelak akan banyak mendatangkan kesukaran, bila macam-macam hawa murni yang berlainan di dalam tubuhmu itu bekerja, maka tak terkatakan derita yang akan kau rasakan. Apa yang telah kukatakan pasti takkan kutarik kembali, kalau kau tidak masuk agama kita, biarpun Ing-ing menjadi istrimu juga aku tak mau mengajarkan cara memunahkan tenaga-tenaga liar di dalam tubuhmu itu. Andaikan putriku akan menyesali aku juga akan kujawab demikian. Nah, urusan penting sekarang ini ialah menuntut balas kepada Tonghong Put-pay, apakah kau akan ikut pergi bersama kami?"
"Maaf Yim-kaucu, selama hidup ini Wanpwe sudah pasti takkan masuk Tiau-yang-sin-kau," sahut Lenghou Tiong tegas tanpa bisa ditawar-tawar lagi.
Keruan Yim Ngo-heng bertiga seketika berubah air mukanya, Hiang Bun-thian bertanya, "Apa sebabnya" Jadi kau memandang hina kepada Tiau-yang-sin-kau?"
"Di dalam Tiau-yang-sin-kau penuh orang-orang macam begini, sejelek-jeleknya Wanpwe juga malu berkumpul dengan mereka," sahut Lenghou Tiong sambil tuding belasan mayat yang menggeletak, di sekitar situ. "Lagi pula Wanpwe sudah berjanji kepada Ting-sian Suthay untuk menjabat ketua Hing-san-pay mereka."
Tiba-tiba air muka Yim Ngo-heng bertiga berubah penuh keheranan. Bahwa Lenghou Tiong menolak masuk agama mereka tidaklah mengherankan, tapi ucapan yang terakhir itulah benar-benar luar biasa sampai-sampai mereka tidak percaya kepada telinganya sendiri-sendiri.
Sambil menuding muka Lenghou Tiong, Yim Ngo-heng mendadak terbahak-bahak geli. Sejenak kemudian baru berkata, "Jadi kau... kau ingin jadi nikoh" Akan menjadi ciangbunjin kawanan nikoh itu?"
"Bukan menjadi nikoh, hanya akan menjadi Ciangbunjin Hing-san-pay saja," sahut Lenghou Tiong. "Sebelum mengembuskan napas penghabisan Ting-sian Suthay telah mohon dengan sangat kepadaku, jika Wanpwe tidak menyanggupi, maka mati pun losuthay itu takkan tenteram. Apalagi kematian Ting-sian Suthay adalah karena diriku, Wanpwe juga tahu peristiwa ini pasti akan menggemparkan, tapi tak bisa menolak permintaan losuthay itu."
Tapi Yim Ngo-heng masih terus tertawa geli.
"Ting-sian Suthay mati bagi keselamatan anak," kata Ing-ing.
Lenghou Tiong melihat sorot mata si nona penuh mengandung rasa terima kasih yang tak terhingga.
Perlahan-lahan Yim Ngo-heng berhenti tertawa, lalu berkata, "Jadi kau telah menerima pesan orang dan harus dikerjakan secara setia?"
"Benar," sahut Lenghou Tiong. "Kematian Ting-sian Suthay juga lantaran mau memenuhi janjinya padaku."
"Bagus juga," kata Ngo-heng sambil manggut. "Aku adalah Lo-koay (si tua aneh) dan kau adalah Siau-koay (si kecil aneh). Kalau tidak membikin sesuatu yang menggemparkan masakan bisa menjadi tokoh yang menggegerkan jagat ini. Baiklah, bolehlah kau pergi menjadi ciangbunjin kaum nikoh itu. Sekarang juga kau akan berangkat ke Hing-san?"
"Tidak, Wanpwe akan pergi lagi ke Siau-lim-si," sahut Lenghou Tiong.
Yim Ngo-heng rada heran, tapi lantas paham, katanya, "Ya, tentunya kau ingin mengusung kedua jenazah nikoh tua itu kembali ke Hing-san."
Lalu ia menoleh kepada Ing-ing dan tanya, "Apakah kau akan ikut Tiong-ji pergi ke Siau-lim-si?"
"Tidak, aku ikut Ayah," sahut Ing-ing.
"Betul, masakah kau juga akan ikut dia ke Hing-san-pay dan menjadi nikoh di sana?" ujar Ngo-heng sambil bergelak tertawa, cuma suara tawanya penuh rasa getir.
Lenghou Tiong lantas memberi hormat dan berkata, "Yim-kaucu, Hiang-toako, Ing-ing, sampai bertemu pula."
Lalu ia putar tubuh dan melangkah pergi. Baru belasan tindak mendadak ia berpaling kembali dan tanya, "Yim-kaucu, bilakah kalian akan pergi ke Hek-bok-keh?"
"Ini adalah urusan dalam agama kami, tidak perlu orang luar ikut campur," sahut Yim Ngo-heng. Ia tahu Lenghou Tiong bermaksud membantu menghadapi Tonghong Put-pay bila tiba waktunya, maka dengan tegas ditolaknya.
Lenghou Tiong manggut-manggut saja, ia jemput sebuah pedang yang berserakan di atas salju, digantungkannya di pinggang, lalu melangkah pergi lagi.
Bab 101. Lenghou Tiong Mengetuai Kaum Nikoh
Setelah membedakan arah, Lenghou Tiong terus menuju ke Siau-lim-si lagi. Menjelang magrib tibalah di tempat tujuan. Ia menyatakan maksud kedatangannya kepada hwesio penyambut tamu dan mohon dibolehkan mengusung jenazah Ting-sian dan Ting-yat Suthay pulang ke Hing-san.
Setelah dilaporkan, kemudian hwesio penyambut tamu memberitahukan, "Menurut Hongtiang, jenazah kedua suthay sudah diperabukan dan sekarang sedang dilakukan sembahyangan oleh segenap penghuni biara ini. Tentang abu jenazah kedua suthay selekasnya akan kami antar ke Hing-san."
Lenghou Tiong anggap keterangan itu memang beralasan, ia minta diperbolehkan memberi hormat kepada abu kedua suthay, habis itu baru mohon diri karena Hong-ting Taysu toh tidak mau menemuinya.
Sampai di bawah gunung salju masih belum juga reda, malamnya ia mengendon pada rumah seorang petani. Besoknya ia terus menuju ke utara. Di suatu kota kecil ia membeli seekor kuda, sementara itu cuaca sudah terang.
Karena lengan kiri masih terasa kaku, maka perjalanannya rada terganggu, setiap hari hanya ditempuh beberapa puluh li saja lantas mencari tempat penginapan. Ia menurutkan ajaran Yim Ngo-heng untuk melancarkan jalan darah lengannya. Sepuluh hari kemudian urat nadi lengannya telah lancar kembali.
Beberapa hari lagi, siangnya ia mampir di suatu restoran untuk minum arak. Tatkala mana sudah dekat tahun baru, suasana tampak ramai, orang berlalu-lalang berbelanja untuk persiapan perayaan tahun baru. Sambil minum arak sendirian di atas loteng restoran itu, Lenghou Tiong terkenang kepada masa lampau, bila dekat tahun baru, biasanya ia dan saudara-saudara seperguruan suka membantu ibu-gurunya untuk membersihkan pekarangan, memajang ruangan, dan sebagainya, semuanya dalam suasana riang gembira. Tapi sekarang seorang diri ia minum arak kesepian di rantau orang.
Selagi kesal, tiba-tiba terdengar suara tangga berbunyi, ada orang banyak sedang naik ke atas. Malahan seorang sedang berkata, "Haus benar, marilah kita minum dulu di sini."
"Seumpama tidak haus kan juga boleh minum?" ujar yang lain.
"Haus dan minum kan bersangkutpautan satu sama lain, kenapa dipotong-potong," sahut seorang lagi.
Mendengar percakapan yang bertele-tele itu segera Lenghou Tiong tahu siapa yang datang, cepat ia berseru, "Keenam Tho-heng, lekas kemari minum bersama aku!"
Serentak terdengarlah suara gedubrakan, Tho-kok-lak-sian telah melompat ke atas bersama dan mengelilingi Lenghou Tiong, ada yang pegang tangannya, ada yang pegang bahunya, ada pula yang pegang bajunya. Beramai-ramai mereka berteriak, "Aku yang ketemukan dia!"
"Aku yang pegang dia paling dulu!"
"Suaraku yang pertama didengar Lenghou-kongcu, maka aku yang ketemukan dia lebih dulu!"
"He, apa-apaan kalian ini?" tanya Lenghou Tiong dengan tertawa heran.
Tiba-tiba Tho-hoa-sian berlari ke pinggir jendela dan berseru, "Hei, Nikoh cilik, Nikoh tua, dan dara jelita! Aku telah ketemukan Lenghou-kongcu, lekas serahkan seribu tahil perak!"
Tho-ki-sian ikut lari ke tepi jendela dan berteriak, "Bukan dia, tapi aku yang pertama memegang Lenghou-kongcu! Lekas serahkan seribu tahil yang kalian janjikan!"
Dalam pada itu Tho-kan-sian dan Tho-sit-sian juga tidak mau kalah, sambil masih memegangi Lenghou Tiong mereka berteriak-teriak, "Tidak, aku yang lihat dia paling dulu!"
"Aku yang ketemukan dia!"
Maka terdengarlah suara seorang wanita berseru di luar restoran, "Benarkah kalian telah menemukan Lenghou-tayhiap?"
"Benar! Aku yang menemukan dia! Lekas serahkan uang! Ada uang ada barang!" demikian Tho-kok-lak-sian berkaok-kaok.
Di tengah ramai-ramai itu terdengarlah suara orang menaiki tangga loteng, orang pertama yang muncul adalah murid Hing-san-pay, Gi-ho, di belakangnya ikut pula empat nikoh dan dua nona muda, mereka adalah The Oh dan Cin Koan. Melihat Lenghou Tiong benar-benar berada di situ, ketujuh orang itu sangat girang, ada yang memanggil "Lenghou-tayhiap", ada yang memanggil "Lenghou-toako", ada pula yang memanggil "Lenghou-kongcu".
Tho-kan-sian tiba-tiba mengadang di tengah-tengah mereka dan berkata, "Mana uangnya" Ada uang ada barang! Tanpa seribu tahil perak takkan kuserahkan orangnya."
"Keenam Tho-heng," kata Lenghou Tiong dengan tertawa, "sebenarnya bagaimana ada soal seribu tahil perak apa segala?"
"Di tengah jalan tadi mereka bertemu dengan kami," tutur Tho-ki-sian. "Mereka tanya kepada kami apa melihat kau. Kukatakan sementara tidak. Tidak lama lagi tentu akan ketemu."
"Paman ini bohong!" tiba-tiba Cin Koan menyela. "Tadi dia menjawab, "Lenghou Tiong punya kaki sendiri, saat ini mungkin dia berada di ujung langit, ke mana kami bisa menemukan dia?""
"Tidak, tidak! Kami bisa meramalkan apa pun yang bakal terjadi, sebelumnya kami sudah tahu akan menemukan Lenghou-kongcu di sini!" bantah Tho-hoa-sian.
"Sudahlah, aku dapat menerka, tentunya para sumoay ini memang sedang mencari aku dan mereka minta kalian bantu mencarikan, lalu kalian membuka harga dengan upah seribu tahil perak, betul tidak?" sela Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Salah mereka sendiri tidak pandai tawar-menawar," ujar Tho-kan-sian. "Mereka begitu royal, dimintai upah seribu tahil perak, tanpa menawar mereka terus terima baik asalkan Lenghou-tayhiap dapat diketemukan. Janji ini kan telah kalian terima?"
"Benar, memang kami telah berjanji akan menghadiahkan seribu tahil perak asalkan kalian dapat menemukan Lenghou-toako," kata Gi-ho.
"Nah, sekarang bayar," kata Tho-kok-lak-sian bersama sambil menjulurkan sebelah tangan masing-masing.
"Orang beragama seperti kami mana bisa membawa sekian banyak," kata Gi-ho. "Silakan kalian berenam ikut ke Hing-san untuk menerimanya nanti."
Sebenarnya Gi-ho menyangka keenam orang dogol itu mungkin sungkan ikut ke Hing-san yang jauh itu, tak terduga Tho-kok-lak-sian lantas menjawab, "Baik, kami akan ikut ke Hing-san untuk menerima pembayaran, jangan kalian utang lho!"
"Wah, selamatlah kalian telah tertimpa rezeki nomplok," kata Lenghou Tiong.
"Ah, lumayanlah, terima kasih!" sahut Tho-kok-lak-sian.
Mendadak Gi-ho bertujuh sama menyembah kepada Lenghou Tiong dengan wajah sedih.
"He, kenapa kalian berbuat demikian?" tanya Lenghou Tiong terkejut dan membalas hormat.
"Tecu Gi-ho dan para sumoay menyampaikan sembah bakti kepada Ciangbunjin," kata Gi-ho.
"O, jadi kalian sudah tahu" Silakan bangun untuk bicara," kata Lenghou Tiong.
"Benar, bicara sambil berlutut begitu tentu tidak leluasa," Tho-kin-sian menimbrung.
"Keenam Tho-heng," kata Lenghou Tiong, "sekarang aku sudah termasuk orang Hing-san-pay, kami ada urusan yang mesti dirundingkan, maka kalian silakan minum arak di sebelah sana, kalian tidak boleh mengganggu jika kalian tidak mau kehilangan seribu tahil perak."
Sebenarnya Tho-kok-lak-sian bermaksud mengoceh lagi, tapi demi mendengar kata-kata terakhir itu, mereka lantas bungkam dan terpaksa menyingkir ke meja di pojok sana buat makan-minum sendiri.
Setelah Gi-ho bertujuh bangun, demi teringat kepada kematian Ting-sian dan Ting-yat Suthay, kembali mereka menangis sedih.
"Eh, aneh, bicara baik-baik begitu kenapa mendadak menangis?" tiba-tiba Tho-hoa-sian mengoceh.
Tapi ketika Lenghou Tiong mendelik padanya, Tho-hoa-sian menjadi ketakutan dan lekas-lekas mendekap mulutnya sendiri.
"Tempo hari waktu Lenghou-toako... O, Ciangbunjin, mendarat dan tidak kembali ke kapal lagi, kemudian datang Bok-susiok dari Heng-san-pay memberi tahu kepada kami bahwa Ciangbunjin telah pergi ke Siau-lim-si untuk mencari Ting-sian dan Ting-yat Susiok. Setelah berunding, kami bermaksud ikut menyusul ke sana. Tak terduga di tengah jalan kami sudah ketemu belasan tokoh Kangouw yang membicarakan cara engkau menyerbu Siau-lim-si bersama para kesatria dan menduduki biara agung itu.
"Seorang tua pendek gemuk di antaranya mengaku she Lo, katanya Ting-sian Susiok berdua telah tewas di Siau-lim-si, sebelum wafat katanya Ciangbun-susiok telah minta engkau mewarisi kedudukan ciangbun kaum kita dan engkau sudah menerimanya dengan baik. Pesan demikian itu katanya telah didengar oleh orang banyak...." sampai di sini suara Gi-ho menjadi terputus-putus oleh karena tangisnya yang memilukan. Keenam sumoaynya juga ikut menangis sedih.
"Ya, waktu itu Ting-sian Suthay memang telah minta aku memikul tugas berat ini," kata Lenghou Tiong. "Tapi mengingat aku adalah seorang lelaki, namaku juga tidak baik, semua orang tahu aku adalah pemuda berandalan, mana pantas untuk menjadi ketua Hing-san-pay" Cuma keadaan pada waktu itu memang sangat mendesak, jika aku tidak menerima, tentu mati pun Ting-sian Suthay tidak tenteram hatinya. Ai, aku menjadi serbasusah."
"Tapi... tapi kami semuanya sangat mengharapkan engkau mengetuai Hing-san-pay kita," kata Gi-ho.
"Ciangbun-suheng," sela The Oh, "engkau pernah memimpin kami dalam pertempuran, tidak cuma satu kali saja engkau telah menyelamatkan kami. Setiap murid Hing-san-pay cukup kenal engkau sebagai seorang kesatria dan laki-laki sejati. Meski engkau adalah orang lelaki, tapi di dalam peraturan perguruan kita toh tidak pernah melarang diketuai oleh kaum lelaki."
Gi-bun, seorang nikoh setengah tua juga ikut bicara, "Kami menjadi sangat sedih ketika mendengar wafatnya kedua susiok, tapi demi mengetahui engkau yang bakal menjabat ciangbunjin kita sehingga Hing-san-pay tidak sampai musnah begitu saja, hati kami menjadi lega dan sangat terhibur."
"Suhuku telah dicelakai orang, kedua susiok juga telah tewas di tangan musuh," demikian Gi-ho menyambung, "dalam waktu beberapa bulan saja tiga tokoh utama Hing-san-pay dari angkatan "Ting" telah wafat susul-menyusul, tapi siapa pembunuhnya sama sekali tidak diketahui. Ciangbun-suheng, sungguh sangat tepat jika engkau menjabat ciangbunjin kita, selain engkau rasanya sukarlah untuk menuntut balas bagi ketiga orang tua kita."
"Benar," sahut Lenghou Tiong sambil mengangguk. "Tugas berat menuntut balas bagi ketiga losuthay adalah di atas bahuku."
Lalu The Oh bicara lagi, "Setelah mendengar berita duka wafatnya kedua susiok, segera kami menuju Siau-lim-si. Tapi di tengah jalan ketemu Bok-taysusiok lagi, katanya engkau sudah meninggalkan Siau-sit-san, kami dianjurkan lekas mencari jejakmu."
"Bok-taysusiok mengatakan makin cepat menemukan engkau akan makin baik," sambung Cin Koan. "Kata beliau, terlambat sedikit menemukan engkau mungkin sekali engkau sudah dibujuk orang masuk Mo-kau. Padahal antara cing-pay dan sia-pay jelas tidak bisa hidup berdampingan, Hing-san-pay akan kehilangan seorang ciangbunjin pula."
"Cin-sumoay memang suka bicara tanpa pikir, masakah Ciangbun-suheng sudi masuk Mo-kau secara begitu mudah?" ujar The Oh.
"Ya, tapi memang begitulah kata Bok-taysusiok," sahut Cin Koan.
Dalam hati Lenghou Tiong mengakui akan kebenaran perhitungan Bok-susiok itu, apa yang sudah terjadi memang benar hampir saja ia masuk Tiau-yang-sin-kau. Waktu itu kalau Yim-kaucu tidak memancingnya dengan alasan akan mengajarkan kunci lwekang padanya, tapi membujuknya dengan hati tulus, karena merasa utang budi dan juga mengingat kebaikan Ing-ing, bukan mustahil dirinya akan terima dengan baik ajakannya dan akan masuk ke Mo-kau bila urusan Hing-san-pay sudah diselesaikan.
"O, dengan demikian maka kalian lantas menyediakan seribu tahil perak sebagai upah kepada siapa saja yang bisa membekuk Lenghou Tiong?" katanya kemudian.
"Membekuk Lenghou Tiong" Masakah kami berani berbuat demikian?" kata Cin Koan dengan tertawa meski air matanya masih meleleh di pipinya.
"Setelah mendengar pesan Bok-taysusiok waktu itu kami lantas membagi setiap tujuh orang menjadi satu kelompok untuk mencari Ciangbun-suheng," sambung The Oh. "Untunglah tadi kami telah bertemu dengan Tho-kok-lak-sian, mereka membuka harga seribu tahil perak bagi dirimu. Padahal jangankan cuma seribu tahil, sekalipun sepuluh ribu tahil perak juga akan kami beri asalkan Ciangbun-suheng dapat diketemukan."
"Sebagai ketua kalian, rasanya aku tidak bisa memberi manfaat apa-apa bagi kalian, hanya tentang minta sedekah kepada golongan hartawan kikir dan pembesar korup rasanya banyak yang bisa kuajarkan kepada kalian," ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum.
Ketujuh murid Hing-san-pay menjadi tersenyum geli karena teringat kepada kejadian di Hokkian tempo hari, di sana mereka telah diajari cara bagaimana minta sedekah kepada Pek-pak-bwe, itu hartawan kikir yang terkenal.
Lalu Lenghou Tiong berkata pula, "Baiklah, kalian jangan khawatir lagi. Sekali Lenghou Tiong sudah berjanji kepada Ting-sian Suthay pasti takkan mungkir janji. Ketua Hing-san-pay sudah pasti akan kujabat. Setelah kita makan kenyang segera kita berangkat ke Hing-san."
Di waktu makan Lenghou Tiong bersatu meja bersama Tho-kok-lak-sian. Ia pun tanya keenam orang itu guna apa seribu tahil perak yang mereka minta itu.
"Soalnya Ya-niau-cu (Si Kucing Malam) Keh Bu-si terlalu miskin dan akan bangkrut, dia telah bertaruh seribu tahil perak dengan kami...."
Belum habis Tho-kan-sian bicara, Tho-hoa-sian lantas memotong, "Mana bisa Si Kucing Malam itu menang taruhan dengan kami."
Dalam hati Lenghou Tiong pikir yang kalah tentunya kalian maka ia pun bertanya, "Taruhan tentang apa?"
"Yang dipertaruhkan ada sangkut pautnya dengan dirimu," tutur Tho-kin-sian. "Kami menduga kau pasti tidak mau menjadi ketua Hing-san-pay, tapi...."
"Si Kucing Malam yang menduga kau tidak sudi menjadi ketua Hing-san-pay," sela Tho-sit-sian, "sebaliknya kami bilang seorang laki-laki harus bisa pegang janji. Kau telah berjanji kepada nikoh tua itu untuk menjadi ketua Hing-san-pay, hal ini telah didengar setiap kesatria di jagat ini, mana bisa lagi orang mungkir janji."
"Menurut Si Kucing Malam, katanya engkau sudah biasa bertualang, tidak lama lagi tentu akan kawin dengan Seng-koh dari Mo-kau, mana mau kasak-kusuk dengan kaum nikoh lagi," sambung Tho-ki-sian.
Lenghou Tiong tahu Keh Bu-si sangat hormat kepada Ing-ing, tidak mungkin dia berani menyebut "Mo-kau" segala, tentu Tho-kok-lak-sian telah memutar balik persoalannya. Maka ia tanya pula, "Dan kalian lantas bertaruh seribu tahil perak?"
"Benar," sahut Tho-kin-sian. "Dan pada pagi tadi kami lantas ketemu nikoh-nikoh yang sedang mencari engkau itu, katanya engkau akan dipapak untuk menjabat ketua Hing-san-pay mereka maka jelaslah kami akan menangkan taruhan seribu tahil perak."
"Dan kalian kasihan kepada Si Kucing Malam yang miskin itu, maka kalian berusaha mendapatkan seribu tahil perak untuk dia agar dia bisa bayar kekalahannya kepadamu?" kata Lenghou Tiong.
"Tepat, dugaanmu benar-benar sangat tepat," seru Tho-hoa-sian.
"Sama pandainya seperti aku menduga sesuatu," sambung Tho-sit-sian.
Lenghou Tiong tidak menggubrisnya lagi. Habis makan rombongan mereka lantas berangkat ke Hing-san.
Suatu hari sampailah mereka di kaki Hing-san. Rupanya anak murid Hing-san-pay sudah menerima berita lebih dulu dan beramai-ramai sudah memapak kedatangan mereka. Begitu melihat Lenghou Tiong, segera berlutut memberi hormat dan cepat dibalas oleh Lenghou Tiong. Semuanya merasa berduka ketika bicara tentang wafatnya Ting-sian dan Ting-yat Suthay.
Lenghou Tiong melihat Gi-lim berada di antara para murid itu dengan wajah pucat dan agak kurus daripada dulu. Segera ia bertanya, "Gi-lim Sumoay, apakah akhir-akhir ini kau kurang sehat?"
"Ya, baik-baik saja," sahut Gi-lim dengan mata basah.
Begitulah beramai-ramai mereka lantas menuju ke atas Hing-san.
Kediaman kaum Hing-san-pay itu ternyata sangat sederhana. Induk biaranya cuma sebuah biara kecil saja dan disebut Bu-sik-am, di sekeliling biara itu ada 20-30 buah rumah genting yang merupakan tempat tinggal para murid. Seperti si cebol ketemu raksasa bila Bu-sik-am ini dibandingkan dengan Siau-lim-si yang megah itu.
Masuk ke dalam biara itu, Lenghou Tiong melihat yang dipuja adalah Dewi Koan-im berjubah putih, ruangan terawat sangat bersih dengan serbasederhana. Lebih dulu Lenghou Tiong sembahyang di depan patung Dewi Koan-im, lalu Ih-soh bertindak sebagai penunjuk membawanya ke kamar yang biasa dipakai Ting-sian Suthay untuk semadi, keadaan kamar itu pun bersih tanpa sesuatu pajangan, hanya sebuah kasuran bundar kecil terletak di lantai, di sisinya sebuah bok-hi (kentungan kecil berbentuk ikan) yang sudah tua, selain itu tiada benda lain lagi.
Watak Lenghou Tiong suka bergerak dan biasa hidup di tempat ramai, dia gemar minum arak pula, mana bisa disuruh hidup di tempat sesunyi ini" Katanya kemudian kepada Ih-soh, "Meski aku menjabat ketua di sini, tapi aku tidak menjadi nikoh, juga para suci dan sumoay di sini adalah kaum wanita semua, hanya aku saja seorang lelaki, tentu aku menjadi rikuh. Maka sebaiknya kau sediakan sebuah rumah yang agak berjauhan dari sini, biarlah aku tinggal di sana bersama Tho-kok-lak-sian."
Ih-soh mengiakan, katanya, "Di sebelah barat sana ada empat buah rumah yang biasa digunakan sebagai tempat tamu. Kalau Ciangbunjin setuju bolehlah sementara tinggal di sana saja. Lain hari kita dapat membangun rumah kediaman baru bagi Ciangbunjin."
"Bagus sekali tempat itu, buat apa bangun rumah baru segala?" ujar Lenghou Tiong. Ia pikir memangnya aku mau menjadi ciangbunjin di sini selama hidup" Asalkan nanti sudah ada calon ketua yang tepat kan dapat kuserahkan kedudukan ini kepadanya dan aku akan kembali hidup berkelana secara bebas gembira di dunia Kangouw.
Rumah tamu yang dimaksud itu ternyata tiada ubahnya seperti rumah kaum petani kaya dengan perlengkapan meja kursi, tempat tidur dengan kasur, walaupun kasar juga, tapi sudah lebih mendingan daripada kamar kediaman Ting-sian Suthay yang kosong itu.
"Eh, ke mana perginya Tho-kok-lak-sian?" tanya Lenghou Tiong.
"Sedang minum arak di rumah belakang," sahut Ih-soh.
"He, di sini tersedia arak?" tanya Lenghou Tiong dengan girang.
"Tidak cuma arak saja, bahkan arak pilihan," ujar Ih-soh. "Ketika Gi-lim Sumoay mengetahui Ciangbunjin akan tiba, dia bilang padaku kalau tiada disediakan arak enak, mungkin jabatan ketuamu ini takkan lama dipangku, maka malam-malam kami kirim orang turun gunung untuk membeli belasan guci arak enak sebagai persediaan."
Lenghou Tiong merasa tidak enak, katanya, "Ai, hidup kaum kita biasanya sangat sederhana, tapi untuk diriku seorang mesti membuang biaya sebanyak ini, sebenarnya tidak perlu."
"Ciangbunjin jangan khawatir," sela Gi-jing. "Uang sedekah yang diperoleh dari Pek-pak-bwe dahulu masih sisa cukup banyak, untuk uang minum Ciangbunjin rasanya masih cukup untuk sepuluh tahun lamanya."
Begitulah malamnya Lenghou Tiong lantas minum sepuas-puasnya bersama Tho-kok-lak-sian. Besok paginya dia berunding dengan Gi-jing, Ih-soh, dan lain-lain tentang cara bagaimana memulangkan abu tulang Ting-sian dan Ting-yat Suthay serta cara menuntut balas bagi kematian ketiga suthay tua itu.
Gi-jing berkata, "Ciangbun-suheng menjadi ketua baru, hal ini harus diumumkan kepada sesama teman dunia persilatan, juga mesti kirim utusan untuk memberitahukan Co-supek selaku Bengcu Ngo-gak-kiam-pay."
"Huh, justru keparat-keparat Ko-san-pay itulah yang mencelakai suhu dan susiok kita, buat apa kita memberitahukan mereka apa segala?" dengus Gi-ho dengan gusar.
"Kita tak boleh mengabaikan adat istiadat," ujar Gi-jing. "Bila kelak kita sudah selidiki dengan jelas, kalau memang betul ketiga guru kita dicelakai oleh pihak Ko-san-pay, tatkala mana beramai-ramai kita di bawah Ciangbun-suheng pasti akan membikin perhitungan dengan mereka."
"Ucapan Gi-jing Suci memang benar," kata Lenghou Tiong. "Cuma jabatan ketua ini, terang sudah jadi kujabat, buat apa pakai tata adat segala?"
Ia masih ingat ketika dahulu gurunya menjabat ketua Hoa-san-pay, upacara yang diselenggarakan sungguh sangat ramai, kawan-kawan bu-lim yang datang memberi selamat juga tak terhitung banyaknya. Ia pun teringat kepada peristiwa Lau Cing-hong dari Heng-san-pay ketika mengadakan upacara mengundurkan diri, waktu itu Kota Heng-san juga berjubel dengan orang-orang bu-lim. Sekarang dirinya diangkat menjadi ketua Hing-san-pay, kalau yang datang memberi selamat hanya sedikit akan berarti kehilangan muka, sebaliknya kalau pengunjung teramat banyak, tentunya akan menertawakan pula melihat seorang laki-laki diangkat menjadi ketua kaum nikoh.
Rupanya Gi-jing paham perasaan Lenghou Tiong, katanya kemudian, "Kalau Ciangbun-suheng sungkan mengundang teman-teman dunia persilatan, maka tidak perlu kita mengundang para peninjau upacara. Namun kita harus juga menetapkan suatu hari resmi pengangkatanmu sebagai ciangbunjin dan dipermaklumkan kepada semua pihak."
Lenghou Tiong pikir Hing-san-pay adalah satu di antara Ngo-gak-kiam-pay, kalau upacara pengangkatan ketua baru dilaksanakan dengan terlalu sederhana rasanya akan merugikan pamor Hing-san-pay sendiri maka ia terima baik saran Gi-jing itu. Hanya dia minta agar Gi-jing memilih suatu hari baik dalam waktu tidak lama lagi.
Gi-jing mengambil buku primbon untuk memilih hari baik, setelah diteliti, akhirnya ia mengajukan hari tanggal 16 bulan dua. Lenghou Tiong pikir makin singkat waktunya tentu makin sedikit pengunjung-pengunjung yang sempat datang. Maka ia terima baik penetapan hari itu. Segera beberapa murid ditugaskan pergi ke Siau-lim-si untuk menjemput abu tulang kedua suthay, berbareng menyampaikan surat edaran.
Kepada murid-murid yang diutus itu dia beri pesan agar tidak menyiarkan urusannya secara berlebihan, kepada para ciangbunjin dari berbagai golongan dan aliran yang diberi tahu itu agar dikatakan bahwa sakit hati tewasnya kedua suthay belum terbalas, dalam keadaan berkabung, maka pengangkatan ketua baru tidak dilakukan upacara apa-apa, maka para ciangbunjin itu tidak perlu mengirim peninjau dan sebagainya.


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah mengirimkan para murid itu, Lenghou Tiong berpikir pula, "Sebagai ketua Hing-san-pay, seharusnya aku memahami ilmu pedang Hing-san-pay dengan lebih baik."
Maka anak murid Hing-san-pay lantas dikumpulkan dan suruh setiap orang memainkan ilmu pedang yang telah dipelajari mereka. Dari ilmu pedang anak murid itu Lenghou Tiong dapat menarik kesimpulan bahwa ilmu pedang Hing-san-pay memang bagus, tapi lebih mengutamakan bertahan hanya pada saat-saat tak terduga mendadak melancarkan serangan maut.
Sejak mempelajari Tokko-kiu-kiam, Lenghou Tiong dapat mengetahui titik kelemahan pada jurus serangan musuh mana pun juga. Maka menurut pandangannya Hing-san-kiam-hoat boleh dikata ilmu pedang yang mempunyai kelemahan yang sangat sedikit. Kalau bicara kekuatan bertahan hanya di bawah Thay-kek-kiam-hoat Bu-tong-pay saja, pada serangan maut pada waktu tertentu secara mendadak sebaliknya lebih bagus daripada Thay-kek-kiam-hoat.
Teringat olehnya pada dinding gua di puncak Hoa-san dahulu itu ada sejurus Hing-san-kiam-hoat yang sangat bagus dan jauh lebih lihai daripada ilmu pedang yang diperlihatkan Gi-jing dan kawan-kawannya sekarang. Walaupun begitu toh Hing-san-kiam-hoat bagus itu telah dibobolkan juga oleh lawan menurut ukiran di dinding gua itu. Maka untuk perkembangan Hing-san-pay di masa mendatang rasanya perlu perbaikan dasar-dasar ilmu pedangnya yang lebih kuat.
Ia jadi teringat lagi kepada ilmu pedang yang pernah dilihatnya dari Ting-sian, Ting-cing, dan Ting-yat Suthay yang jauh lebih bagus dari Gi-jing dan lain-lain, tampaknya kepandaian ketiga suthay tua itu masih ada sebagian besar belum diajarkan kepada anak muridnya. Sekarang ketiga suthay itu telah tewas berturut-turut dalam waktu beberapa bulan saja, terang macam-macam ilmu silatnya yang bagus itu akan lenyap juga.
Melihat Lenghou Tiong termenung-menung tak bicara, berkatalah Gi-ho, "Ciangbun-suheng, kepandaian kami tentu saja masih sangat hijau, maka diharapkan petunjuk-petunjukmu yang berharga."
"Ada suatu jurus Hing-san-kiam-hoat, entah ketiga suthay tua pernah mengajarkan kepada kalian atau belum?" kata Lenghou Tiong. Lalu ia pinjam pedang Gi-ho serta memainkan ilmu pedang Hing-san-pay yang pernah dilihatnya pada dinding gua dahulu itu.
Ia mainkan pedangnya dengan sangat lambat agar dapat diikuti dengan jelas oleh para murid. Hanya beberapa gerakan saja para murid itu sudah sama bersorak memuji. Ternyata setiap gerakannya selalu meliputi inti kekuatan ilmu pedang yang hebat dengan perubahan-perubahan yang aneh, entah betapa lebih hebat daripada ilmu pedang yang telah mereka pelajari. Sungguh ilmu pedang yang baru dan hebat ini membikin semangat mereka terbangkit dan merasa bangga. Selesai Lenghou Tiong memainkan ilmu pedangnya, serentak para murid menyembah ke hadapannya dengan penuh kekaguman.
Gi-ho berkata, "Ciangbun-suheng, jelas ilmu pedang ini adalah Hing-san-kiam-hoat kita, mengapa selamanya kami belum pernah melihatnya, entah dari mana engkau mempelajarinya?"
"Aku melihatnya pada ukiran yang berada di suatu gua," sahut Lenghou Tiong. "Jika kalian ingin belajar bolehlah kuajarkan kepada kalian."
Para murid sangat girang, beramai mereka mengucapkan terima kasih.
Seharian itu Lenghou Tiong lantas mengajarkan tiga jurus kepada mereka dengan memberikan penjelasan di mana letak kehebatan ketiga jurus itu, lalu para murid disuruh berlatih sendiri.
Meski cuma 3 jurus permulaan ilmu pedang itu, namun cukup luas dan dalam untuk dipahami, sekalipun murid-murid terpandai seperti Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain juga memakan waktu lima-enam hari untuk memahaminya, apalagi murid-murid muda seperti The Oh, Cin Koan, dan lain-lain, mereka perlu beberapa hari lebih lama.
Sampai hari kesepuluh, kembali Lenghou Tiong mengajarkan dua jurus pula. Begitulah meski ilmu pedang itu hanya terdiri dari beberapa jurus saja, tapi diperlukan waktu hampir sebulan barulah anak murid Hing-san-pay itu dapat mempelajarinya dengan baik.
Selama sebulan itu utusan-utusan yang dikirim pergi itu berturut-turut sudah pulang, semuanya memperlihatkan muka yang suram, waktu lapor kepada Lenghou Tiong juga tergagap-gagap bicaranya. Namun Lenghou Tiong juga tidak tanya secara mendalam. Ia tahu anak murid itu tentu telah banyak mendapat cemooh dan ejekan, misalnya mengolok-olok kaum nikoh muda sekarang mengangkat seorang laki-laki muda sebagai ketua dan macam-macam lagi. Tapi Lenghou Tiong telah menghibur mereka dengan kata-kata halus dan suruh mereka belajar ilmu pedang baru kepada teman-teman yang lain, kalau kurang jelas boleh tanya langsung padanya.
Utusan yang dikirim ke Hoa-san adalah Ih-soh dan Gi-bun yang cukup berpengalaman. Jarak Hoa-san dan Hing-san tidak terlalu jauh, seharusnya mereka dapat pulang lebih dulu daripada utusan yang lain, tapi sekarang utusan-utusan lain sudah pulang, sebaliknya Ih-soh dan Gi-bun malah belum kembali. Sementara itu tanggal 16 bulan dua sudah makin mendekat dan Ih-soh serta Gi-bun tetap tidak tampak pulang, Lenghou Tiong lantas kirim lagi dua murid yang lain, Gi-kong dan Gi-beng, untuk menyusul ke Hoa-san.
Bab 102. Lenghou Tiong Dilarang Menjabat Ciangbunjin Hing-san-pay oleh Co Leng-tan
Karena menduga takkan kedatangan tamu, maka para murid juga tidak menyiapkan tempat pondokan dan makanan bagi tetamu. Mereka cuma sibuk menggosok lantai, mengapur dinding, dan bikin pembersihan di mana perlu. Masing-masing anak murid itu pun membuat baju dan sepatu baru. The Oh dan lain-lain juga membuatkan suatu setel jubah hijau bagi Lenghou Tiong untuk dipakai pada hari upacara nanti.
Pagi-pagi hari tanggal 16 bulan dua, waktu Lenghou Tiong bangun, dilihatnya suasana puncak Kian-seng-hong di Hing-san itu benar-benar meriah. Anak murid Hing-san-pay itu ternyata sangat rajin mengatur perayaan yang akan dilangsungkan itu. Lenghou Tiong merasa terharu, "Lantaran diriku sehingga kedua suthay tua mengalami nasib malang, tapi anak muridnya tidak menyalahkan aku, sebaliknya malah menghargai diriku sedemikian rupa. Maka kalau tidak dapat membalaskan sakit hati kematian ketiga suthay tua, percumalah aku menjadi manusia."
Selagi melamun sambil memandangi salju yang menyelimuti puncak gunung di kejauhan, tiba-tiba di jalanan yang menuju ke atas itu terdengar hiruk-pikuk serombongan orang. Padahal Kian-seng-hong biasanya tenang dan sunyi, selamanya tak pernah terdengar suara ribut demikian. Biarpun Tho-kok-lak-sian yang suka geger itu pun tidak sampai gembar-gembor seramai itu, apalagi kedengarannya jumlahnya jauh lebih banyak daripada enam orang.
Tengah heran, terdengarlah suara langkah orang banyak, beberapa ratus orang telah membanjir ke atas puncak situ. Seorang paling depan terus berseru, "Terimalah ucapan selamat kami, Lenghou-kongcu! Bahagialah engkau hari ini!"
Orang itu pendek lagi gemuk, siapa lagi kalau bukan Lo Thau-cu. Di belakangnya tampak ikut Keh Bu-si, Coh Jian-jiu, Ui Pek-liu, dan lain-lain.
Kejut dan girang pula Lenghou Tiong, cepat ia memapak maju sambil berkata, "Aku menerima pesan terakhir Ting-sian Suthay dan terpaksa mengetuai Hing-san-pay, sesungguhnya aku tidak berani bikin repot para kawan. Mengapa kalian malah datang semua ke sini?"
Lo Thau-cu dan rombongannya ini pernah ikut Lenghou Tiong menggempur Siau-lim-si, setelah mengalami pertarungan mati-matian itu di antara mereka sudah terjalin persahabatan yang kekal. Maka beramai-ramai mereka lantas merubung maju sambil mengelu-elukan Lenghou Tiong dengan mesranya.
"Setelah mendengar kabar bahwa Lenghou-kongcu telah berhasil menyelamatkan Seng-koh, semua orang menjadi sangat girang," demikian Lo Thau-cu berkata. "Tentang Kongcu akan menjabat ketua Hing-san-pay, hal ini sudah tersiar dengan menggemparkan Kangouw, maka siapa pun sudah mengetahuinya. Dari sebab itulah kami datang mengucapkan selamat padamu."
"Kami adalah tamu-tamu yang tidak diundang, maka Hing-san-pay tentu tidak menyediakan ransum bagi orang-orang kasar seperti kami ini, maka soal makanan dan arak kami telah bawa sendiri dan sebentar juga akan tiba," sambung Ui Pek-liu.
"Wah, bagus sekali!" kata Lenghou Tiong dengan girang. Ia pikir suasana demikian menjadi mirip sekali dengan pertemuan besar di Ngo-pah-kang dahulu.
Tengah bicara kembali ada beberapa ratus orang membanjir ke atas lagi.
"Lenghou-kongcu," kata Keh Bu-si dengan tertawa, "kita adalah orang sendiri, maka anak murid perempuanmu yang lemah lembut itu tidak perlu meladeni orang-orang kasar seperti kami ini. Biarlah kita pakai acara bebas, kami akan melayani kami sendiri."
Sementara itu suasana di atas Kian-seng-hong sudah ramai sekali, murid Hing-san-pay sama sekali tak menduga akan kedatangan tamu sedemikian banyak, banyak di antara mereka ikut gembira. Tapi beberapa di antaranya yang lebih tua dan berpengalaman merasa tamu-tamu itu dikenalnya sebagai tokoh-tokoh kalangan sia-pay yang biasanya tidak kenal-mengenal dengan pihak Hing-san-pay, tak terduga hari ini berbondong-bondong telah sama datang, apalagi ciangbunjin baru itu kelihatan sangat akrab menyambut kedatangan mereka, mau tak mau anak murid Hing-san-pay yang lebih tua itu merasa serbabingung.
Siangnya muncul pula beberapa laki-laki yang membawa ayam, itik, kambing, dan kerbau, sayur-mayur dan beras tepung, rupanya itulah perbekalan rombongan Lo Thau-cu yang dikatakan tadi.
Lenghou Tiong pikir Hing-san-pay memuja Dewi Koan-im, sekarang dirinya baru saja menjabat ketua sudah lantas sembelih kambing dan potong kerbau, rasanya terlalu mencolok dan tidak enak terhadap leluhur Hing-san-pay. Segera ia perintahkan rombongan tukang masak itu memindahkan "dapur umum" ke pinggang gunung yang agak jauh. Walaupun begitu asap dan bau masakan daging itu toh teruar juga ke atas puncak. Keruan para nikoh sama mengerut kening.
Setelah makan siang, para tamu sama duduk memenuhi pelataran di depan biara induk. Lenghou Tiong sendiri duduk di ujung barat, para murid Hing-san-pay sama berdiri di belakangnya menurut urut-urutan usia dan tingkatan masing-masing.
Selagi upacara akan dimulai, tiba-tiba terdengar suara seruling, serombongan orang muncul pula ke atas puncak mengiringi dua orang tua berbaju hitam. Seorang tua yang berada paling depan itu berseru, "Tonghong-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau mengutus kedua Kong-beng-sucia untuk memberi selamat kepada Lenghou-tayhiap yang diangkat menjadi ketua Hing-san-pay. Semoga Hing-san-pay berkembang lebih jaya dan wibawa Lenghou-tayhiap lebih gemilang di dunia persilatan."
Mendengar ucapan itu, semua orang sama berseru gempar. Sedikit-banyak orang-orang Kangouw seperti Lo Thau-cu dan lain-lain itu ada hubungannya dengan Mo-kau, malahan banyak di antaranya telah minum "Sam-si-nau-sin-tan" yang diberi Tonghong Put-pay, yaitu obat racun yang bekerja secara berkala. Maka begitu mendengar "Tonghong-kaucu" disebut, mereka menjadi sangat ketakutan.
Kebanyakan di antara mereka pun kenal kedua kakek utusan Tonghong Put-pay itu, yang di sebelah kiri, yaitu yang bicara tadi, bernama Kah Po, bergelar "Wi-bin-cun-cia", Si Duta Agung Muka Kuning. Sedangkan kakek sebelah kanan bernama Siangkoan In, berjuluk "Tiau-hiap", Si Pendekar Rajawali.
Kah Po dan Siangkoan In adalah pembantu utama dan merupakan tangan kanan-kiri Tonghong Put-pay, tinggi ilmu silat mereka jauh di atas tokoh-tokoh sebangsa pangcu atau congthocu umumnya. Si Muka Kuning Kah Po asalnya adalah Pangcu Wi-soa-pang di Lembah Hongho, selama berpuluh tahun malang melintang di wilayah kekuasaannya entah sudah jatuhkan betapa banyak kaum kesatria dan jago persilatan. Kemudian dia ditaklukkan oleh Tonghong Put-pay, lalu masuk Mo-kau dan menjadilah pembantu utama ketua Mo-kau itu.
Sekarang Tonghong Put-pay mengutus kedua pembantu utamanya datang ke Hing-san, hal ini boleh dikata suatu penghargaan tertinggi bagi Lenghou Tiong. Maka semua orang lantas berdiri demi tampak datangnya Kah Po dan Siangkoan In.
Lenghou Tiong juga lantas memapak ke depan, katanya, "Selamanya Cayhe belum kenal Tonghong-kaucu, banyak terima kasih atas kunjungan Tuan-tuan berdua."
Ia melihat muka Kah Po kuning seperti malam, kedua pelipisnya menonjol. Sedangkan sinar mata Siangkoan In tampak berkilat tajam, nyata sekali lwekang kedua orang sangatlah tinggi.
Begitulah Kah Po lantas bicara pula, "Hari bahagia Lenghou-tayhiap ini mestinya Tonghong-kaucu bermaksud datang sendiri buat memberi selamat, cuma beliau sedang sibuk menghadapi macam-macam pekerjaan sehingga sukar membagi waktu, untuk ini mohon Lenghou-tayhiap sudi memberi maaf."
"Ah, mana aku berani," sahut Lenghou Tiong. Dalam hati ia pikir kalau melihat lagak utusan Tonghong Put-pay ini, agaknya Yim-kaucu belum berhasil merebut kembali kedudukan kaucunya. Dan entah bagaimana keadaan Yim-kaucu itu bersama Hiang-toako serta Ing-ing.
Dalam pada itu Kah Po tampak miringkan tubuhnya dan mengacungkan sebelah tangan ke belakang sambil berkata, "Sedikit oleh-oleh ini adalah tanda mata dari Tonghong-kaucu, mohon Lenghou-ciangbun sudi menerimanya."
Dan di tengah suara tetabuhan dan tiupan seruling terlihatlah ratusan orang menggotong empat puluh buah peti besar ke depan. Setiap peti itu digotong oleh empat laki-laki kekar, melihat tindakan penggotong-penggotong yang berat itu dapat dibayangkan isi peti tentu juga tidak ringan.
Cepat Lenghou Tiong berkata, "Ah, kunjungan Tuan-tuan berdua saja bagi Lenghou Tiong sudah merupakan suatu kehormatan besar, masakah Cayhe berani pula menerima hadiah sebesar ini. Harap disampaikan kepada Tonghong-kaucu bahwa Cayhe mengucapkan banyak terima kasih. Pada umumnya anak murid Hing-san-pay hidup secara sederhana sehingga tidak memerlukan barang-barang semewah dan sebanyak ini."
"Jika Lenghou-ciangbun tidak sudi menerima, maka Cayhe dan Siangkoan-heng yang menjadi serbasusah," ujar Kah Po. Lalu ia berpaling kepada Siangkoan In dan bertanya, "Betul tidak, Saudaraku?"
"Betul!" kata Siangkoan In. Sungguh di luar dugaan, begitu keras dan lantang suaranya sehingga anak telinga orang-orang lain serasa tergetar. Mungkin dia sendiri pun tahu suaranya teramat keras, maka biasanya dia tidak banyak bicara, sejak datangnya tadi juga baru sekarang ia mengucapkan sebuah kata "betul" itu.
Lenghou Tiong menjadi serbaberat menghadapi persoalan ini. Hing-san-pay adalah golongan cing-pay yang tidak bisa hidup bersama Mo-kau. Apalagi Yim-kaucu dan Ing-ing selekasnya juga akan meluruk dan bikin perhitungan kepada Tonghong Put-pay, mana boleh aku menerima sumbanganmu pula" Demikian ia menimbang-nimbang.
Kemudian ia berkata pula, "Harap Kah-heng berdua suka sampaikan kepada Tonghong-siansing bahwa sumbangannya ini sekali-kali tak berani kuterima. Bila kalian tidak mau membawa pulang barang-barang sumbangan ini, terpaksa Cayhe menyuruh orang mengantar ke sana."
Kah Po tersenyum, jawabnya, "Apakah Lenghou-ciangbun mengetahui apa isi ke-40 peti ini?"
"Sudah tentu tidak tahu," sahut Lenghou Tiong.
"Bila Lenghou-ciangbun sudah melihat isinya tentu takkan menolak lagi," ujar Kah Po dengan tertawa. "Sesungguhnya isi ke-40 peti itu juga tidak seluruhnya adalah sumbangan Tonghong-kaucu, tapi sebagian harus diserahkan kepada Lenghou-ciangbun sendiri, antaran kami ini boleh dikata mengembalikan barangnya kepada pemiliknya saja."
Lenghou Tiong menjadi heran. "Apa, kau bilang barangku" Barang apakah itu?" tanyanya bingung.
Kah Po maju selangkah dan bicara dengan suara tertahan, "Sebagian besar di antaranya adalah pakaian, perhiasan, dan barang-barang keperluan sehari-hari yang ditinggalkan Yim-siocia di Hek-bok-keh, sekarang Tonghong-kaucu menyuruh kami antar ke sini agar bisa dipakai oleh Yim-siocia. Sebagian pula di antaranya adalah sumbangan Kaucu kepada Lenghou-ciangbun dan Yim-siocia, oleh karena itu harap Lenghou-ciangbun jangan sungkan-sungkan lagi dan sudi menerimanya. Haha!"
Watak Lenghou Tiong memang suka blakblakan dan tidak suka pelungkar-pelungker, melihat maksud sumbangan Tonghong Put-pay itu memang sungguh-sungguh, apalagi sebagian barang-barang itu adalah milik Ing-ing, maka ia pun tidak menolak lagi, sambil bergelak tertawa ia berkata, "Haha, baiklah kuterima. Banyak terima kasih."
Pada saat itulah seorang murid perempuan tampak mendekati dan melapor, "Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay datang sendiri untuk memberi selamat."
Lenghou Tiong terkejut, cepat ia memburu ke sana untuk menyambut. Dilihatnya Tiong-hi Tojin bersama delapan muridnya sedang naik ke atas. Lenghou Tiong membungkukkan tubuh memberi hormat dan menyapa, "Atas kunjungan Totiang ini, sungguh Lenghou Tiong merasa sangat berterima kasih."
"Lenghou-laute dengan bahagia diangkat sebagai ketua Hing-san-pay, berita ini sungguh sangat menggirangkan Pinto," sahut Tiong-hi Tojin. "Kabarnya Hong-ting dan Hong-sing Taysu dari Siau-lim juga akan datang memberi selamat. Entah mereka berdua sudah tiba belum?"
Keruan Lenghou Tiong tambah tercengang, sahutnya, "Wah, ini... ini...."
Pada saat itulah jalan pegunungan itu tampak muncul pula serombongan hwesio, dua orang paling depan jelas adalah Hong-ting dan Hong-sing Taysu.
"Tiong-hi Toheng, cepat amat langkahmu sehingga mendahului kami," seru Hong-ting Taysu dari jauh.
Cepat Lenghou Tiong memapak ke depan dan berseru, "Kunjungan kedua Taysu sungguh suatu kehormatan besar bagi Lenghou Tiong."
Dengan tertawa Hong-sing Taysu menjawab, "Lenghou-siauhiap, kau sendiri sudah tiga kali berkunjung ke Siau-lim-si, sekarang kami balas berkunjung satu kali ke Hing-san sini kan cuma sekadar kunjungan timbal balik saja."
Begitulah Lenghou Tiong menyongsong rombongan-rombongan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay itu ke atas. Melihat ketua-ketua dari Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay sendiri yang datang, hal ini sungguh membikin para jagoan Kangouw sama terperanjat. Kah Po dan Siangkoan In saling pandang sekejap, mereka anggap tidak tahu saja kedatangan Tiong-hi Tojin, Hong-ting Taysu, dan rombongannya.
Lalu Lenghou Tiong menyilakan Hong-ting dan lain-lain ke tempat duduk yang paling terhormat. Dalam hati ia tidak habis pikir kunjungan tetamunya yang luar biasa itu. Ia ingat dahulu waktu suhunya menjabat ketua Hoa-san-pay, pihak Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay hanya kirim utusan untuk mengucapkan selamat. Sekarang ketua-ketua kedua aliran teragung di dunia persilatan ini ternyata sudi berkunjung sendiri padanya, apakah mereka benar-benar datang memberi selamat atau masih ada maksud tujuan lain"
Sementara itu tamu-tamu yang berdatangan masih tidak terputus-putus, kebanyakan adalah jago-jago yang pernah ikut menggempur Siau-lim-si tempo hari. Menyusul utusan-utusan Kun-lun-pay, Tiam-jong-pay, Go-bi-pay, Kong-tong-pay, Kay-pang, dan lain-lain juga tiba dengan membawa sumbangan-sumbangan dan kartu ucapan selamat dari ketua masing-masing.
Begitu banyak tamu-tamu yang datang itu ternyata tiada terdapat utusan-utusan dari Ko-san-pay, Hoa-san-pay, dan Thay-san-pay.
Dalam pada itu terdengarlah suara petasan yang ramai, rupanya sudah tiba waktunya upacara dilangsungkan. Lenghou Tiong berbangkit dan memberikan hormat kepada para hadirin sambil mengucapkan sepatah dua kata pengantar. Di tengah suara tetabuhan kecer dan keleningan, anak murid Hing-san-pay mulai berbaris ke tengah pelataran dengan dipimpin oleh keempat murid tertua, yaitu Gi-ho, Gi-jing, Gi-cin, dan Gi-cit. Keempat murid tertua itu menghadap ke depan Lenghou Tiong dan memberi hormat. Gi-ho berkata, "Keempat alat keagamaan ini adalah pusaka warisan dari cikal bakal Hing-san-pay Hiau-hong Suthay, biasanya berada di bawah penguasaan ciangbunjin, maka ciangbunjin baru sekarang, Lenghou-suheng, diharap sudi menerimanya."
Lenghou Tiong mengiakan. Lalu keempat murid tertua itu menyerahkan alat-alat keagamaan yang mereka bawa itu kepada Lenghou Tiong. Yaitu sejilid kitab, sebuah bok-hi (kentung kecil berbentuk ikan dari kayu), serenceng tasbih, dan sebatang pedang pendek.
Rada kikuk juga Lenghou Tiong diharuskan menerima bok-hi dan tasbih segala, soalnya dia toh tidak pernah sembahyang dan baca kitab. Tapi terpaksa diterimanya sambil menunduk.
Lalu Gi-jing membuka sebuah kitab dan berseru, "Empat pantangan besar Hing-san-pay. Pertama, pantang membunuh yang tak berdosa. Kedua, pantang membikin onar dan melakukan kejahatan. Ketiga, dilarang membangkang atasan dan berkhianat. Keempat, dilarang bergaul dengan golongan sesat dan penjahat. Untuk mana hendaklah Ciangbun-suheng memberi teladan dan memimpin para Tecu dengan bijaksana."
Kembali Lenghou Tiong mengiakan. Tapi dalam hati ia pikir larangan keempat tentang tidak boleh bergaul dengan golongan sesat dan orang jahat segala rasanya sukar dijalankan. Yang jelas tetamu yang hadir sekarang ada sebagian besar terdiri dari golongan sia-pay.
Kemudian Gi-cin berkata, "Sekarang silakan Ciangbun-suheng masuk biara untuk sembahyang kepada arwah para leluhur Hing-san-pay kita."
Lenghou Tiong mengiakan lagi. Tapi sebelum dia melangkah, tiba-tiba dari jalan sana ada orang berteriak, "Perintah dari Co-bengcu Ngo-gak-kiam-pay bahwa Lenghou Tiong tidak boleh menyerobot kedudukan ketua Hing-san-pay."
Lenyap suara itu, muncul secepat terbang lima orang, di belakangnya menyusul pula beberapa puluh orang. Kelima orang di depan itu masing-masing membawa sebuah panji sulam. Itulah panji persekutuan Ngo-gak-kiam-pay.
Kira-kira beberapa meter di depan Lenghou Tiong, kelima orang itu lantas berdiri berjajar. Yang berdiri di tengah adalah seorang pendek gemuk, berwajah kekuning-kuningan dan berusia 50-an.
Segera Lenghou Tiong mengenal orang itu sebagai Lim Ho yang berjuluk "Tay-im-yang-jiu", yaitu salah seorang tokoh terkemuka Ko-san-pay. Waktu bertarung di daerah Holam tempo hari kedua tangan Lim Ho pernah ditembus oleh tusukan pedang Lenghou Tiong. Jadi di antara mereka sudah terikat permusuhan.
"O, kiranya Lim-heng adanya," demikian Lenghou Tiong menyapa.
Lim Ho mengebaskan panji yang dipegangnya itu, katanya, "Hing-san-pay adalah anggota Ngo-gak-kiam-pay, maka harus tunduk kepada perintah Co-bengcu."
"Tapi setelah aku menjabat ketua Hing-san-pay, apakah selanjutnya masih menjadi anggota Ngo-gak-kiam-pay atau tidak masih harus kupikirkan dulu," sahut Lenghou Tiong dengan tersenyum.
Sementara itu, beberapa puluh orang di belakang tadi juga sudah merubung tiba. Kiranya terdiri dari anak murid Ko-san-pay, Heng-san-pay, Hoa-san-pay, dan Thay-san-pay. Delapan orang Hoa-san-pay adalah para sute Lenghou Tiong, orang-orang Ko-san-pay dan lain-lain juga sebagian besar sudah dikenalnya. Beberapa puluh orang itu berbaris menjadi empat kelompok, semuanya siap siaga dan tidak buka suara.
Lim Ho lantas bicara pula, "Selamanya Hing-san-pay diketuai oleh kaum nikoh. Sebagai orang lelaki mana boleh Lenghou Tiong melanggar peraturan Hing-san-pay yang sudah turun-temurun ratusan tahun ini?"
"Peraturan dibuat oleh manusia dan tentu pula dapat diubah oleh manusia, hal ini adalah urusan dalam Hing-san-pay kami, orang luar tidak perlu ikut campur," sahut Lenghou Tiong.
Serentak pula terdengar caci maki Lo Thau-cu dan kawan-kawannya kepada Lim Ho, "Huh, urusan Hing-san-pay sendiri, peduli apa dengan Ko-san-pay kalian?"
"Hm, bengcu apa segala" Bengcu kentut anjing!"
"Hayolah lekas enyah dari sini saja!"
"Orang-orang yang bermulut kotor ini kerja apakah di sini?" tanya Lim Ho kepada Lenghou Tiong.
"Mereka adalah kawan-kawanku yang hadir mengikuti upacara," sahut Lenghou Tiong.
"Itu dia," kata Lim Ho. "Coba katakan padaku, apa larangan keempat dari peraturan Hing-san-pay kalian?"
"Larangan keempat itu menyatakan dilarang bergaul dengan orang jahat," sahut Lenghou Tiong sengaja. "Memang, manusia semacam Lim-heng sudah tentu takkan digauli oleh Lenghou Tiong."
Maka gemuruhlah suara tawa orang ramai, banyak di antaranya berteriak-teriak, "Nah, lekas enyah dari sini manusia jahat!"
Lim Ho terpaksa berpaling dan bicara kepada Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin, "Kedua Tayciangbun adalah tokoh yang diagungkan pada dunia persilatan zaman ini, sekarang mohon memberi penilaian yang adil. Dengan mendatangkan setan iblis sebanyak ini, bukankah Lenghou Tiong sudah melanggar peraturan Hing-san-pay yang melarang bergaul dengan kaum penjahat. Tampaknya Hing-san-pay yang punya nama baik selama beratus-ratus tahun ini akan runtuh begitu saja, masakah Locianpwe berdua dapat tinggal diam?"
"Tentang ini... ini...." kata Hong-ting Taysu sambil berdehem, ia pikir ucapan orang she Lim ini memang beralasan, sebagian besar yang hadir ini memang tergolong orang sia-pay, masakah Lenghou Tiong harus disuruh mengusir orang-orang sebanyak itu"
Pada saat itulah tiba-tiba dari jalanan sana berkumandang suara seorang perempuan, "Yim-siocia dari Tiau-yang-sin-kau tiba!"
Terkejut dan girang Lenghou Tiong tak terkira, tanpa terasa tercetus dari mulutnya, "He, Ing-ing juga datang!"
Cepat ia menyongsong ke ujung jalan sana, dilihatnya dua lelaki kekar menggotong sebuah tandu sedang mendaki ke atas secepat terbang. Di belakang tandu mengikuti empat dayang berbaju hijau.
"Lihatlah, sampai tokoh terkemuka Mo-kau juga datang, bukankah sudah jelas bergaul dengan kaum jahat?" ejek Lim Ho dengan suara keras.
Sementara itu demi mendengar kedatangan Ing-ing, sebagian besar jago-jago yang hadir itu pun sama menyongsong ke jalanan sana sambil bersorak gemuruh.
Diam-diam orang-orang Ko-san-pay dan lain-lain sama kebat-kebit melihat kekuatan lawan yang jauh lebih besar itu, kalau sampai terjadi pertempuran tentu sukar dibayangkan bagaimana jadinya.
Dalam pada itu tandu kecil telah sampai di tengah pelataran dan diturunkan ke tanah, di mana tirai terbuka, keluarlah seorang gadis jelita berbaju hijau muda. Siapa lagi dia kalau bukan Ing-ing.
"Seng-koh! Hidup Seng-koh!" serentak para jago bersorak sembari membungkukkan tubuh. Jelas mereka sangat hormat dan segan kepada Ing-ing, tapi rasa girang mereka pun timbul dari lubuk hati yang setulusnya.
"Kau pun datang, Ing-ing?" Lenghou Tiong menyapa sambil mendekati dengan tersenyum.
"Hari ini adalah hari bahagiamu, mana boleh aku tidak datang?" sahut Ing-ing dengan senyuman manis. Pandangannya menyoroti sekelilingnya melintasi muka setiap hadirin, lalu ia sedikit membungkuk tubuh kepada Hong-ting dan Tiong-hi berdua dan berseru, "Hongtiang Taysu, Ciangbun Totiang, terimalah salamku!"
Hong-ting dan Tiong-hi sama membalas hormat sambil berpikir, "Betapa pun akrabnya dengan Lenghou Tiong mestinya jangan datang kemari, sekarang Lenghou Tiong benar-benar dibuatnya serbasusah."
Tiba-tiba Lim Ho berseru pula, "Nona ini adalah tokoh penting dari Hek-bok-keh, betul tidak, Lenghou Tiong?"
"Benar, mau apa?" sahut Lenghou Tiong.
"Larangan keempat Hing-san-pay menetapkan "dilarang bergaul dengan kaum jahat". Bila kau tidak putuskan hubungan dengan manusia-manusia sesat dan jahat ini tidak boleh kau menjadi ketua Hing-san-pay," kata Lim Ho.
"Tidak boleh ya tidak boleh, memangnya kenapa?" jawab Lenghou Tiong.
Alangkah mesranya perasaan Ing-ing mendengar ucapan itu. Tanyanya kemudian, "Dari manakah kawan ini" Berdasarkan apa dia mencampuri urusan Hing-san-pay kalian?"
"Dia mengaku diutus oleh Co-ciangbun dari Ko-san-pay, panji yang dia pegang itu adalah panji kebesaran Co-bengcu," kata Lenghou Tiong. "Hm, janganlah cuma sebuah panji kecil begitu, sekalipun Co-ciangbun datang sendiri juga tidak berhak mencampuri urusan Hing-san-pay kami."
"Tepat," kata Ing-ing sambil mengangguk. Ia menjadi gemas juga bila teringat kelicikan Co Leng-tan ketika pertandingan di Siau-lim-si tempo hari sehingga membikin ayahnya terluka dan hampir-hampir celaka. Ia berkata pula, "Siapa bilang itu panji kebesaran Ngo-gak-kiam-pay" Dia penipu...." belum habis ucapannya, sekonyong-konyong tubuhnya melesat ke sana, tahu-tahu sebelah tangannya sudah bertambah sebilah pedang pendek, secepat kilat terus menikam ke dada Lim Ho.
Sama sekali Lim Ho tidak menduga bahwa gadis jelita itu sedemikian gapah, tanpa sesuatu petunjuk apa-apa tahu-tahu lantas menerjangnya. Untuk menangkis terang tidak sempat lagi, terpaksa Lim Ho mengegos ke samping. Ia tidak menduga serangan Ing-ing itu cuma serangan pancingan belaka, baru saja tubuhnya menggeser, tahu-tahu pegangannya terasa kendur, panji yang terpegang di tangan kanannya dirampas oleh si nona.
Gerak tubuh Ing-ing tidak lantas berhenti, berturut-turut pedangnya menikam lima kali dan sekaligus lima buah panji sulam sudah dirampasnya. Gerakan yang dia gunakan sama, lima kali serangan selalu sama, namun cepat luar biasa sehingga sebelum lawan sempat berpikir apa yang terjadi, tahu-tahu panji mereka sudah berpindah tangan. Lalu Ing-ing memutar ke belakang Lenghou Tiong, katanya, "Engkoh Tiong, panji-panji ini semuanya palsu. Mana bisa dikatakan panji Ngo-gak-kiam-pay, ini kan Ngo-tok-ki (Panji Pancabisa) milik Ngo-sian-kau."
Waktu dia membentang kelima panji sulam yang dipegangnya itu, tertampak dengan jelas panji-panji itu masing-masing tersulam gambar ular, kelabang, laba-laba, kalajengking, dan katak yang berbisa. Jadi sama sekali bukan panji Ngo-gak-kiam-pay.
Lim Ho dan kawan-kawannya melongo, terkejut dan tak bisa bicara. Sebaliknya Lo Thau-cu dan kawan-kawannya lantas bersorak memuji. Mereka tahu begitu merampas panji-panji lawan segera Ing-ing menukarnya dengan Ngo-tok-ki. Cuma bekerja Ing-ing itu teramat cepat sehingga tiada seorang pun melihat cara bagaimana dia bisa menukar panji-panji yang berlainan itu.
"Na-kaucu!" seru Ing-ing.
Segera seorang wanita cantik berdandan suku bangsa Miau tampil ke depan dan menjawab, "Adakah Seng-koh memberi perintah?"
Dia bukan lain adalah Na Hong-hong, ketua Ngo-tok-kau yang terkenal.
"Ngo-tok-ki agamamu ini mengapa bisa jatuh di tangan orang Ko-san-pay?" tanya Ing-ing.
"Anak murid Ko-san-pay ini adalah teman-teman akrab anak buah perempuanku, mungkin mereka telah pakai kata-kata manis dan membujuknya sehingga Ngo-tok-ki agama kami ini tertipu olehnya," jawab Na Hong-hong dengan tertawa.
"O, begitu. Ini kukembalikan panji-panjimu," kata Ing-ing sambil melemparkan kelima buah panji itu.
"Terima kasih Seng-koh," sahut Na Hong-hong sembari menyambuti panji-panji itu.
"Perempuan siluman, di depanku juga berani pakai permainan gila begitu, lekas kembalikan panji-panji kami," Lim Ho mendamprat.
"Kau ingin Ngo-tok-ki, kenapa tidak minta kepada Na-kaucu saja?" ujar Ing-ing.
Dengan mendongkol terpaksa Lim Ho berpaling kepada Hong-ting dan Tiong-hi, katanya, "Hongtiang Taysu dan Tiong-hi Totiang, hendaklah kalian berdua tokoh agung sudi memberi keadilan."
"Tentang peraturan Hing-san-pay memang... memang ada satu pasal yang melarang bergaul dengan orang jahat," kata Hong-ting. "Cuma... cuma hari ini banyak kawan Kangouw yang hadir mengikuti upacara sehingga terpaksa Lenghou-ciangbun tak bisa menutup pintu dan membikin malu tamunya...."
"Apakah orang seperti... seperti dia itu juga kawan Lenghou Tiong?" seru Lim Ho sambil menuding seorang di tengah orang banyak.
Ternyata orang yang ditunjuk itu adalah "Ban-li-tok-heng" Dian Pek-kong yang terkenal sebagai maling cabul yang jahat.
"Dian Pek-kong, kau mau apa datang ke Hing-san sini?" tanya Lim Ho dengan bengis.
"Cayhe datang ke sini untuk berguru," jawab Dian Pek-kong.
"Berguru?" Lim Ho menegas.
"Betul," sahut Pek-kong. Tiba-tiba ia mendekati Gi-lim, lalu berlutut dan menyembah, "Suhu, terimalah hormat muridmu, Dian Pek-kong."
Keruan wajah Gi-lim merah malu. "Kau... kau...." dengan tergagap ia mengegos ke samping untuk menghindari hormat orang.
Semua orang menjadi terheran-heran melihat seorang laki-laki tinggi besar sebagai Dian Pek-kong itu kok memanggil suhu kepada Gi-lim yang muda jelita itu. Seluk-beluk ini hanya diketahui oleh Lenghou Tiong saja karena pertaruhan kata-kata yang pernah diucapkan di masa dahulu, sungguh tidak nyana Dian Pek-kong benar-benar telah menyembah dan mengangkat Gi-lim sebagai suhu.
"Ya, kalau Dian-siansing benar-benar mau insaf dan kembali ke jalan yang benar, apa salahnya" Betul tidak, Hong-ting Taysu?" ujar Ing-ing. "Bukankah sang Buddha mengatakan, siapa pun yang mau menyadari kesalahannya akan diberi jalan pembaruan. Betul tidak?"
"Benar," sahut Hong-ting. "Secara sadar Dian-siansing mengabdikan diri ke dalam Hing-san-pay, ini benar-benar suatu keuntungan bagi dunia persilatan."
"Nah, dengarkan, kawan-kawan. Kedatangan kita hari ini adalah untuk mengabdi ke dalam Hing-san-pay, asalkan Lenghou-ciangbun sudi menerima, maka kita lantas terhitung anak buah Hing-san-pay. Dan kalau sudah menjadi anak buah Hing-san-pay apakah dapat dianggap sebagai kaum jahat?" seru Ing-ing.
Baru sekarang Lenghou Tiong paham, rupanya kedatangan Ing-ing dan orang banyak itu memang berencana untuk membelanya. Ia merasa sangat kebetulan dengan bertambahnya anak buah kaum laki-laki itu, sebab dia memang lagi serbaragu-ragu karena mesti mengetuai kaum nikoh itu. Dengan suara lantang ia lantas tanya, "Gi-ho Suci, apakah dalam peraturan pay kita adalah larangan menerima anggota lelaki?"
"Larangan menerima anggota lelaki sih memang tidak ada, cuma... cuma...." rada bingung juga Gi-ho, ia merasa tidak enak juga karena Hing-san-pay mendadak harus bertambah anggota lelaki sebanyak itu.
Bab 103. Seksi Istimewa Hing-san-pay
Lenghou Tiong lantas menyambung, "Jika kalian mau menjadi anggota Hing-san-pay, ya boleh juga. Cuma kalian tidak perlu mengangkat guru segala, cukup dianggap sudah menjadi anggota. Untuk selanjutnya Hing-san-pay boleh mengadakan suatu... eeh suatu... suatu "seksi istimewa". Kukira Thong-goan-kok di sebelah sana adalah suatu tempat tinggal yang baik bagi kalian."
Thong-goan-kok adalah suatu lembah tidak jauh di sebelah Kian-seng-hong, puncak Hing-san tertinggi di mana biara induk Hing-san-pay berada. Meski jarak lembah itu tidak jauh, tapi untuk menuju ke puncak Kian-seng-hong harus melalui jalanan yang terjal dan berbahaya. Dengan menempatkan orang-orang kasar itu di lembah terpencil itu maksud Lenghou Tiong ialah untuk memisahkan mereka dari para nikoh.
Mendengar keputusan Lenghou Tiong itu, Hong-ting Taysu manggut-manggut dan berkata, "Baik sekali cara mengatur ini. Dengan masuknya para sobat ini ke dalam Hing-san-pay dan terikat pula oleh tata tertib Hing-san-pay, hal ini benar-benar suatu peristiwa menyenangkan bagi dunia persilatan."
Karena tokoh seperti Hong-ting Taysu juga berkata demikian, mau tak mau Lim Ho tidak berani merintangi lagi, terpaksa ia mengemukakan perintah kedua dari Co Leng-tan, katanya, "Bengcu Ngo-gak-kiam-pay ada perintah pula agar pada pagi hari tanggal 15 bulan tiga nanti setiap anggota Ngo-gak-kiam-pay hendaknya berkumpul di Ko-san untuk memilih ciangbunjin dari Ngo-gak-pay. Hendaknya perintah ini dipatuhi dan datang tepat pada waktunya."
"Ngo-gak-pay" Jadi gabungan Ngo-gak-kiam-pay sudah ditetapkan" Siapakah yang mengambil prakarsa peleburan ini?" tanya Lenghou Tiong.
"Yang jelas Ko-san, Heng-san, Thay-san, dan Hoa-san-pay sudah setuju," sahut Lim Ho. "Jika Hing-san-pay kalian punya pendirian berbeda, maka itu berarti kalian bermusuhan dengan keempat pay yang lain dan berarti pula kau mencari penyakit sendiri."
Lalu ia menoleh dan tanya kepada orang Thay-san-pay yang ikut datang bersamanya itu, "Betul tidak?"
"Betul!" serentak berpuluh orang yang berdiri di belakangnya menjawab.
Lim Ho mendengus dan tidak bicara pula, ia putar tubuh terus melangkah pergi.
"Eh, Lim-losu, kau kehilangan panji, cara bagaimana kau akan menjawab bila ditanya oleh Co-bengcu?" tiba-tiba Na Hong-hong berseru sambil tertawa. "Ini, kukembalikan saja panjimu!"
Berbareng itu sebuah panji bersulam terus dilemparkan ke arah Lim Ho.
Memangnya Lim Ho lagi kesal karena kehilangan leng-ki (panji mandat) tadi, ketika tiba-tiba Na Hong-hong melemparkan sehelai panji kecil ke arahnya, ia pikir ini tentu kau punya Ngo-tok-ki, buat apa aku mengambilnya" Namun saat itu panji kecil itu sudah menyambar ke mukanya, tanpa pikir ia terus menangkapnya. Tapi mendadak ia menjerit sendiri sambil melemparkan pula panji kecil itu. Terasa telapak tangannya panas seperti terbakar. Waktu diperiksa, ternyata telapak tangan telah berubah hitam biru, jelas panji itu berbisa. Jadi dia telah kena dikibuli Ngo-tok-kau. Keruan ia terkejut dan murka, terus saja ia memaki, "Bedebah! Perempuan hina...."
Dengan tertawa Na Hong-hong menyela, "Lekas kau panggil "Lenghou-ciangbun" dan minta belas kasihannya, habis itu segera kuberi obat penawarnya bila kau tidak ingin kehilangan sebelah tanganmu yang akan membusuk dalam waktu singkat."
Lim Ho cukup kenal betapa lihainya cara Ngo-tok-kau menggunakan racun, hanya ragu-ragu sejenak saja telapak tangan sudah terasa kaku dan mulai kehilangan daya rasa. Ia pikir segenap kepandaianku adalah terletak pada kedua tangan, bila kehilangan tangan itu berarti cacat untuk selamanya. Karena cemasnya itu, terpaksa ia berseru, "Lenghou-ciangbun, kau... kau...."
"Apakah begitu caranya mohon ampun?" ejek Na Hong-hong dengan tertawa.
"Lenghou-ciangbun, Cayhe telah berlaku kasar padamu, harap dimaafkan dan mohon... mohon engkau sudi memberikan obat... obat penawarnya," pinta Lim Ho dengan terputus-putus.
Lenghou Tiong tersenyum, katanya kemudian, "Nona Na, kasihan padanya, boleh berikan obat penawarnya!"
Dengan tertawa Na Hong-hong lantas memberi isyarat kepada seorang pengiring perempuan, segera pengiring itu mengeluarkan sebungkus kecil dan dilemparkan kepada Lim Ho. Dengan tersipu-sipu Lim Ho menangkap bungkusan kecil itu, lalu berlari pergi di bawah gelak tertawa mengejek orang banyak.
"Para kawan, kalau kalian sudah mau tinggal di Thong-goan-kok, maka kalian harus taat kepada tata tertib pay kita," seru Lenghou Tiong dengan lantang. "Sekarang kalian adalah orang Hing-san-pay, sudah tentu kalian bukan lagi orang-orang sia-pay, tapi selanjutnya kalian harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang luar."
Serentak rombongan Lo Thau-cu dan lain-lain mengiakan dengan bergemuruh.
Lalu Lenghou Tiong menyambung, "Bila kalian ingin minum arak dan makan daging sih boleh-oleh saja, cuma orang-orang yang tidak pantang makan untuk selanjutnya dilarang naik ke Kian-seng-hong sini, termasuk aku sendiri, semua peraturan harus dipatuhi."
"Siancay! Memang tempat Buddha yang suci ini janganlah dikotori," ujar Hong-ting Taysu sambil menyebut Buddha.
"Baiklah, sekarang telah selesai aku diangkat menjadi ciangbunjin," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. "Tentunya semua orang sudah lapar, lekas siapkan daharan, hari ini kita semua ciacay (makanan sayur-sayuran), besok barulah kita makan minum lagi di Thong-goan-kok."
Selesai dahar, Hong-ting Taysu berkata, "Lenghou-ciangbun, Lolap dan Tiong-hi Toheng ingin berunding sedikit dengan engkau."
Lenghou Tiong mengiakan. Ia pikir apa yang akan dibicarakan kedua tokoh terkemuka itu tentulah urusan penting. Padahal di puncak Kian-seng-hong ini terlalu banyak orang dan bukan suatu tempat bicara yang baik. Segera ia perintahkan Gi-ho dan lain-lain melayani tetamu, lalu ia berkata kepada Hong-ting dan Tiong-hi, "Di sebelah puncak ini ada sebuah gunung bernama Cui-peng-san, tebing pegunungan itu sangat terjal dan licin, di atas gunung ada kuil bernama Sian-kong-si, tempat ini termasuk salah satu pemandangan alam yang indah di Hing-san. Bilamana kedua Cianpwe ada minat, bagaimana kalau kita pesiar ke sana."
Dengan rendah hati Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Tojin menerima baik undangan itu dan menyatakan sudah lama mengagumi tempat termasyhur dengan pemandangan alamnya yang indah itu.
Begitulah Lenghou Tiong lantas membawa kedua tamunya menuruni Kian-seng-hong, sampai di bawah Cui-peng-san, ketika mendongak ke atas, tertampak di puncak gunung dua buah rumah mencuat di angkasa seakan-akan terapung di udara, sesuai benar dengan namanya "Sian-kong-si", Kuil Mengapung di Udara.
Dengan ginkang yang tinggi ketiga orang lantas mendaki ke atas dan tibalah di kuil itu. Sian-kong-si itu terdiri dari dua buah bangunan, masing-masing bertingkat tiga, jarak kedua bangunan itu ada belasan meter dan di antara kedua bangunan itu dihubungkan dengan jembatan gantung.
Kuil itu ditunggui seorang perempuan tua. Melihat kedatangan Lenghou Tiong bertiga, perempuan tua itu hanya melongo saja, tidak menyapa juga tidak memberi hormat.
Belasan hari yang lalu Lenghou Tiong sudah pernah berkunjung ke tempat ini bersama Gi-ho dan lain-lain dan diketahui penjaga perempuan ini tuli dan bisu. Maka ia pun tidak menggubrisnya, tapi bersama Hong-ting dan Tiong-hi mengelilingi bangunan indah itu, kemudian menuju ke jembatan gantung.
Jembatan itu cuma selebar satu meteran, kalau orang-orang biasa berdiri di tengah jembatan itu tentu akan merasa seakan-akan berdiri di tengah udara, mungkin seketika kaki lantas lemas dan tak berani bergerak. Tapi mereka bertiga adalah jago silat kelas wahid, berada di atas jembatan yang luar biasa itu mereka malah merasa bebas lepas, pikiran lapang menggembirakan.
Setelah menikmati pemandangan alam yang menakjubkan itu, kemudian berkatalah Hong-ting Taysu, "Lenghou-ciangbun, apa maksud tujuan kedatangan Lim-losu dari Ko-san-pay tadi?"
"Menyampaikan perintah Co-bengcu, Wanpwe dilarang menjabat ketua Hing-san-pay," jawab Lenghou Tiong.
"Apa sebabnya Co-bengcu melarang kau menjadi ketua Hing-san-pay?" tanya Hong-ting.
"Mungkin karena Wanpwe pernah bersikap kasar padanya ketika di kuil agung Siau-lim-si tempo hari, maka Co-bengcu menjadi benci dan dendam kepadaku," kata Lenghou Tiong. "Apalagi Wanpwe pernah merintangi rencananya dalam usaha melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi suatu pay yang besar."
"Mengapa kau merintangi rencananya itu?" tanya Hong-ting pula.
Lenghou Tiong melengak, seketika merasa sukar untuk memberi jawaban. Akhirnya ia hanya bisa mengulangi, "Mengapa aku merintangi rencananya?"
Maka Hong-ting bertanya lagi, "Apakah kau merasa usahanya melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu adalah rencana yang tidak baik."
"Tatkala itu Wanpwe tidak pernah memikirkan apakah usahanya itu baik atau tidak baik, hanya saja untuk maksud tujuannya itu Ko-san-pay telah mengancam Hing-san-pay agar menerimanya, bahkan menyaru sebagai anggota Mo-kau untuk menculik anak murid Hing-san-pay, Ting-cing Suthay dikerubut pula secara keji, secara kebetulan Wanpwe memergoki perbuatan mereka itu, Wanpwe merasa penasaran dan memberi bantuan kepada Hing-san-pay. Kupikir kalau peleburan Ngo-gak-kiam-pay adalah suatu usaha yang baik, mengapa Ko-san-pay tidak berunding secara terang-terangan dengan para pemimpin Ngo-gak-kiam-pay yang lain, tapi pakai cara-cara licik dan keji?"
"Pandanganmu memang betul," ujar Tiong-hi Tojin sambil manggut-manggut. "Co Leng-tan memang punya ambisi besar dan ingin menjadi tokoh bu-lim nomor satu. Tapi ia sadar pribadinya sukar mengatasi orang banyak, maka terpaksa ia gunakan tipu muslihat licik."
Hong-ting menghela napas, lalu menyambung, "Co-bengcu sebenarnya seorang serbapintar dan merupakan tokoh bu-lim yang sukar dicari bandingannya. Cuma ambisinya terlalu besar dan bernafsu hendak menjatuhkan nama Siau-lim dan Bu-tong-pay, untuk maksud tujuan ini terpaksa ia menggunakan macam-macam jalan."
"Bahwasanya Siau-lim-pay adalah pemimpin dunia persilatan, hal ini telah diakui secara umum selama beratus-ratus tahun," kata Tiong-hi. "Di bawah Siau-lim-pay bolehlah dihitung Bu-tong-pay, selanjutnya adalah Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Kong-tong-pay, dan lain-lain. Lenghou-hiante, berdiri dan berkembangnya suatu aliran dan golongan adalah hasil usaha jerih payah tokoh kesatria masing-masing aliran itu, ilmu silat yang diciptakan adalah kumpulan dan gemblengan selama bertahun-tahun dari sedikit demi sedikit. Tentang bangkitnya Ngo-gak-kiam-pay adalah kejadian 60-70 tahun terakhir ini, walaupun cepat perkembangannya, namun dasarnya tetap di bawah Kun-lun-pay, Go-bi-pay, dan lain-lain, lebih-lebih tak dapat dibandingkan dengan ilmu silat Siau-lim-pay yang termasyhur."
Lenghou Tiong mengangguk dan membenarkan.
Lalu Tiong-hi meneruskan, "Di antara berbagai aliran dan golongan itu terkadang memang muncul juga satu-dua cerdik pandai dan menjagoi pada zamannya. Tapi melulu tenaga seorang dua saja toh tetap sukar mengatasi kesatria-kesatria dari berbagai golongan dan aliran itu. Ketika Co Leng-tan mula-mula menjabat ketua Ngo-gak-kiam-pay, waktu itu juga Hong-ting Taysu sudah meramalkan dunia persilatan selanjutnya tentu akan banyak urusan. Dan dari tingkah laku Co Leng-tan beberapa tahun terakhir ini, nyata benar ramalan Hong-ting Taysu memang tidak meleset."
"Omitohud!" Hong-ting menyebut Buddha sambil merangkap kedua tangannya.
Lalu Tiong-hi menyambung pula, "Menjadi bengcu dari Ngo-gak-kiam-pay adalah langkah pertama usaha Co Leng-tan. Langkah kedua adalah melebur kelima aliran menjadi satu dan tetap diketuai olehnya. Sesudah Ngo-gak-kiam-pay terlebur menjadi satu, dengan sendirinya kekuatan tambah besar dan secara tidak resmi sudah dapat berjajar dengan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay. Kemudian dia tentu akan maju selangkah lagi dengan mencaplok Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Kong-tong-pay, Jing-sia-pay, dan lain-lain sehingga ikut terlebur semua. Lebih jauh dia tentu akan mencari perkara kepada Tiau-yang-sin-kau, bersama Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay sekaligus Tiau-yang-sin-kau akan ditumpasnya."
Dalam lubuk hati Lenghou Tiong yang dalam timbul semacam rasa khawatir, katanya kemudian, "Sungguh sukar dilakukan usaha-usaha sebesar itu, buat apa dia mesti bersusah payah untuk mencapai maksudnya itu?"
"Hati manusia sukar diukur, segala apa di dunia ini, betapa sukarnya tentu juga ada orang yang ingin mencobanya," ujar Tiong-hi. "Soalnya kalau Co Leng-tan dapat menumpas Tiau-yang-sin-kau, maka saat itu boleh dikata dia akan dipuja oleh orang-orang persilatan sebagai pemimpin besar. Untuk selanjutnya tentunya tidak sukar baginya buat mencaplok pula Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay."
"O, kiranya Co Leng-tan ingin dipuja dan memimpin seluruh dunia persilatan," kata Lenghou Tiong.
"Itulah dia!" sahut Tiong-hi dengan tertawa. "Tatkala mana mungkin dia ingin menjadi raja pula dan sesudah menjadi raja mungkin ingin hidup abadi tak pernah tua. Inilah sifat manusia yang serakah, sifat yang tidak kenal puas, sedari dahulu kala memang demikianlah manusia yang berkuasa dan banyak pula yang hancur karenanya."
Lenghou Tiong terdiam sejenak, katanya kemudian, "Orang hidup paling-paling beberapa puluh tahun saja, buat apa mesti bersusah payah begitu" Co Leng-tan ingin menumpas Tiau-yang-sin-kau dan ingin mencaplok Siau-lim serta Bu-tong-pay, untuk mana entah betapa banyak korban akan timbul?"
"Benar, sebab itulah tugas kita bertiga cukup berat, kita harus mencegah agar maksud Co Leng-tan itu tidak terlaksana untuk menghindarkan banjir darah di dunia Kangouw," seru Tiong-hi.
"Wah, mana Wanpwe dapat disejajarkan dengan kedua Cianpwe, pengetahuan Wanpwe teramat cetek dan terima di bawah pimpinan kedua Cianpwe saja," kata Lenghou Tiong.
"Tempo hari kau memimpin para kesatria ke Siau-lim-si untuk memapak Yim-siocia, nyatanya tiada satu benda pun yang kalian ganggu di Siau-lim-si, untuk itu Hongtiang Taysu merasa utang budi kebaikanmu," kata Tiong-hi pula.
Muka Lenghou Tiong menjadi merah, jawabnya, "Wanpwe tempo hari memang sembrono, mohon dimaafkan."
"Sesudah rombongan kalian pergi, Co Leng-tan dan lain-lain juga mohon diri, tapi aku masih tinggal beberapa hari di Siau-lim-si dan mengadakan pembicaraan panjang dengan Hongtiang Taysu dan sama-sama mengkhawatirkan ambisi Co Leng-tan yang tak kenal batas itu," kata Tiong-hi. "Kemudian kami masing-masing menerima berita tentang dirimu diangkat menjadi ketua Hing-san-pay, maka kami berkeputusan akan datang kemari, pertama untuk memberi selamat kepadamu, kedua juga untuk berunding soal-soal ini."
"Kedua Cianpwe teramat menghargai Wanpwe, sungguh Wanpwe sangat berterima kasih," ujar Lenghou Tiong.
"Lim Ho itu menyampaikan perintah Co Leng-tan, katanya pagi hari tanggal 15 bulan tiga segenap anggota Ngo-gak-kiam-pay harus berkumpul di puncak Ko-san untuk memilih ketua Ngo-gak-pay, sebenarnya hal ini sudah dalam dugaan Hongtiang Taysu," kata Tiong-hi lebih lanjut. "Cuma saja kita tidak menduga sedemikian cepat hal itu akan dilakukan oleh Co Leng-tan. Dia menyatakan hendak memilih ketua Ngo-gak-pay, seakan-akan peleburan Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu sudah terjadi dengan pasti. Sebenarnya menurut perkiraan kami, dengan watak Bok-taysiansing yang aneh itu, tokoh Heng-san-pay itu pasti tak mau mengekor kepada Co Leng-tan. Watak Thian-bun Tojin dari Thay-san-pay juga sangat keras, tentu dia pun tidak sudi di bawah perintah Co Leng-tan. Gurumu Gak-siansing selamanya juga sangat mementingkan sejarah perkembangan Hoa-san-pay, betapa pun terhapusnya Hoa-san-pay tentu bukan keinginannya. Hanya Hing-san-pay saja, sayang ketiga tokoh utamanya, ketiga suthay tua berturut-turut telah wafat, anak muridnya tentu tidak mampu melawan Co Leng-tan, bisa jadi Hing-san-pay akan dapat ditundukkan begitu saja. Tak terduga sebelum wafat Ting-sian Suthay sudah mempunyai pendirian tegas, dia telah menyerahkan jabatan ketua kepada Lenghou-laute. Sekarang asalkan Hoa-san, Heng-san, Thay-san, dan Hing-san-pay bersatu padu dan tidak mau dilebur menjadi Ngo-gak-pay segala, maka muslihat Co Leng-tan tentu akan gagal total."
"Tapi kalau melihat sikap Lim Ho menyampaikan perintah Co Leng-tan tadi, agaknya Thay-san, Heng-san, dan Hoa-san-pay sudah berada di bawah pengaruh Ko-san-pay Co Leng-tan," ujar Lenghou Tiong.
"Benar," kata Tiong-hi sambil mengangguk. "Memang tindakan gurumu Gak-siansing juga membuat kami merasa bingung. Kabarnya keluarga Lim dari Hokciu ada seorang muda yang menjadi murid gurumu, entah betul tidak?"
"Ya, Lim-sute itu bernama Lim Peng-ci," tutur Lenghou Tiong.
"Konon leluhurnya menurunkan sebuah kitab Pi-sia-kiam-boh yang telah lama tersiar di dunia Kangouw, katanya ilmu pedang yang tercantum dalam kitab pusaka itu sangat hebat, tentunya Lenghou-laute juga pernah mendengar hal ini?" tanya Tiong-hi.
Lenghou Tiong mengiakan, lalu ia menceritakan pengalamannya tempo hari, cara bagaimana ia menemukan sebuah jubah di kediaman lama keluarga Lim di Hokciu, lalu dikerubut oleh orang-orang Ko-san-pay sehingga dirinya terluka dan jatuh pingsan, dan seterusnya.
Tiong-hi Tojin termenung sejenak, kemudian berkata pula, "Menurut aturan, setelah gurumu menemukan jubah itu tentunya akan dikembalikan kepada Lim-sute-mu."
"Akan tetapi kemudian sumoayku toh minta lagi Pi-sia-kiam-boh padaku," kata Lenghou Tiong. "Tempo hari waktu di Siau-lim-si, ketika Co Leng-tan bertanding melawan Yim-kaucu, Co Leng-tan telah menggunakan jarinya sebagai pedang, menurut Hiang-toako, Hiang Bun-thian, katanya yang dimainkan itu adalah Pi-sia-kiam-hoat. Pengetahuan Wanpwe teramat cetek, entah apa yang dimainkan Co Leng-tan itu betul Pi-sia-kiam-hoat atau bukan, untuk mana mohon kedua Cianpwe sudi memberi petunjuk."
Tiong-hi memandang sekejap ke arah Hong-ting Taysu, katanya, "Seluk-beluk persoalan ini silakan Taysu menjelaskannya untuk Lenghou-laute."
Hong-ting mengangguk, katanya, "Lenghou-ciangbun, pernahkah kau mendengar nama "Kui-hoa-po-tian?""
"Pernah kudengar cerita guruku, katanya "Kui-hoa-po-tian" adalah kitab pusaka yang paling berharga dalam ilmu silat," jawab Lenghou Tiong. "Cuma sayang katanya kitab itu sudah lama lenyap di dunia persilatan dan entah berada di mana. Kemudian Wanpwe pernah mendengar pula dari Yim-kaucu, katanya beliau pernah menyerahkan "Kui-hoa-po-tian" kepada Tonghong Put-pay. Jika demikian, maka kitab pusaka itu sekarang tentunya berada pada Tiau-yang-sin-kau."
"Ya, tapi itu cuma setengah bagian saja dan tidak lengkap," kata Hong-ting.
Lenghou Tiong mengiakan, ia pikir sebentar lagi tentu suatu peristiwa besar dunia persilatan di masa lampau pasti akan terurai dari mulut Hong-ting Taysu.
Terlihat Hong-ting memandang jauh ke depan, lalu berkata pula, "Hoa-san-pay pernah terbagi dengan Khi-cong dan Kiam-cong, apakah kau sendiri mengetahui apa sebabnya perguruanmu itu sampai terpecah menjadi dua sekte?"
Lenghou Tiong menggeleng, jawabnya, "Wanpwe tidak tahu, mohon penjelasan Cianpwe."
Peristiwa Merah Salju 2 Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola 11
^