Pencarian

Hina Kelana 36

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 36


Bab 114. Pertandingan yang Luar Biasa
Sementara itu keselamatan Giok-ki-cu laksana terletak di ujung tanduk, kalau Co Leng-tan harus mendesak mundur Tho-hoa-sian dan Tho-sit-sian, untuk itu sedikitnya harus lebih dari lima-enam jurus dan selama itu tentu tubuh Giok-ki-cu sudah dirobek-robek keempat orang.
Karena itu Co Leng-tan tidak panjang pikir lagi, pedangnya berputar secepat kilat. Terdengar Giok-ki-cu menjerit keras-keras dan terbanting ke tanah dengan kepala di bawah. Tho-kin-sian dan Tho-ki-sian masing-masing memegangi sebuah tangan kutung, sedangkan Tho-kan-sian memegangi sebuah kaki putus, hanya Tho-yap-sian saja yang memegangi sebelah kaki yang masih bergandengan dengan tubuh Giok-ki-cu.
Rupanya Co Leng-tan merasa tidak mampu memaksa Tho-kok-lak-sian melepas tangan dalam waktu sesingkat itu, terpaksa ia harus ambil tindakan tegas dengan mengutungi kedua tangan dan sebelah kaki Giok-ki-cu sehingga Tho-kok-lak-sian tak dapat merobeknya menjadi empat potong. Meski terpaksa harus korbankan anggota badan, namun sedikitnya jiwa Giok-ki-cu bisa diselamatkan, sebab Tho-kok-lak-sian pasti takkan mengganggu seorang yang sudah cacat.
Selesai melaksanakan tindakan kilat itu, sambil mendengus lalu Co Leng-tan undurkan diri ke pinggir.
"He, Co Leng-tan," seru Tho-ki-sian, "kau telah memberi sogok emas dan perempuan kepada Giok-ki-cu dan mengharuskan dia menyokong kau menjadi ketua Ngo-gak-pay, kenapa sekarang kau berbalik mengutungi kaki dan tangannya, apakah kau bermaksud memusnahkan saksi hidup ya?"
"Haha, ia khawatir kita merobek Giok-ki-cu menjadi empat potong, makanya dia hendak menolongnya, nyata dia telah salah duga," ujar Tho-yap-sian.
"Berlagak pintar sendiri, haha, sungguh lucu dan menggelikan," kata Tho-sit-sian. "Kami pegang Giok-ki-cu dengan maksud berkelakar dengan dia, padahal hari bahagia berdirinya Ngo-gak-pay seperti sekarang ini masakah ada yang berani main membunuh orang segala?"
"Walaupun Giok-ki-cu berniat membunuh aku, tapi mengingat sesama anggota Ngo-gak-pay masakah kami tega membunuh ia?" sambung Tho-hoa-sian. "Kami hanya menakut-nakuti dia saja dengan melemparkan dia ke udara, lalu kami tangkap dia kembali. Sebaliknya Co Leng-tan ternyata bertindak secara begitu kejam dan sembrono, sungguh terlalu bebal."
Dengan menyeret Giok-ki-cu yang sudah buntung itu Tho-yap-sian mendekati Co Leng-tan, Giok-ki-cu dilemparkannya ke depan Co Leng-tan, lalu Tho-yap-sian geleng-geleng kepala dan berkata, "Co Leng-tan, kau benar-benar terlalu kejam, orang baik-baik seperti Giok-ki-cu ini mengapa kau tega membuntungi kaki dan tangannya" Sekarang dia hanya punya satu kaki saja, lalu cara bagaimana dia akan hidup?"
Tentu saja Co Leng-tan sangat gemas, padahal kalau dia tadi tidak ambil tindakan tegas, tentu tubuh Giok-ki-cu sudah tersobek menjadi empat potong dan jiwanya sudah melayang, sekarang malahan dirinya yang dianggap kejam. Tapi untuk membela diri juga tiada dasarnya, terpaksa Co Leng-tan hanya mendengus dan tidak menjawab.
Melihat Co Leng-tan diam saja, segera Tho-kin-sian menyambung, "Kalau Co Leng-tan mau bunuh Giok-ki-cu mestinya sekali tebas kutungi saja kepalanya, tapi dia justru ingin menyiksanya dengan membuntungi tangan dan kakinya sehingga Giok-ki-cu tidak mati dan setengah hidup, caranya sungguh keji dan tak berbudi."
"Memang, kita sama-sama anggota Ngo-gak-pay, ada persoalan apa pun dapat dirunding secara baik-baik, mengapa mesti pakai cara sekejam ini" Sedikit pun tidak punya rasa setia kawan," ujar Tho-kan-sian.
"Kalian berenam terkenal suka menyobek badan orang, tindakan Co-ciangbun tadi justru bermaksud menyelamatkan jiwa Giok-ki Totiang, mengapa kalian memutarbalikkan persoalan?" seru seorang tua Ko-san-pay.
"Jelas sekali kami cuma berkelakar saja dengan Giok-ki-cu, kenapa Co Leng-tan salah sangka" Kenapa dia tidak dapat membedakan orang sedang berkelakar atau sungguh-sungguh hendak merobeknya" Sungguh bodoh Co Leng-tan!" seru Tho-ki-sian.
"Ya, seorang laki-laki sejati berani berbuat harus berani bertanggung jawab," sambung Tho-yap-sian. "Co Leng-tan sudah membuntungi Giok-ki-cu harus berani mengakui perbuatannya, tapi dia sengaja pakai macam-macam alasan untuk menutupi maksud kejinya, sedikit pun tidak punya keberanian untuk bertanggung jawab, sungguh pengecut. Padahal setiap orang yang hadir di sini telah menyaksikan apa yang kau lakukan, masakah kau dapat menyangkal?"
"Manusia yang tak berbudi, tidak setia kawan, goblok lagi pengecut, apakah mungkin jabatan ketua Ngo-gak-pay kita boleh diduduki orang macam begini" Huh, Co Leng-tan, kau jangan mimpi muluk-muluk," seru Tho-hoa-sian.
Padahal banyak di antara kesatria yang hadir cukup maklum akan maksud baik Co Leng-tan, kalau tadi dia tidak bertindak tentu jiwa Giok-ki-cu sudah melayang. Tapi karena apa yang dikatakan Tho-kok-lak-sian cukup berdasar, sukar juga bagi orang lain untuk mendebatnya.
Yang paling kenal watak Tho-kok-lak-sian adalah Lenghou Tiong, ia menjadi heran dari mana mendadak Tho-kok-lak-sian bisa bertambah pintar sehingga setiap katanya selalu tepat mengenai titik kelemahan Co Leng-tan" Padahal biasanya mereka berenam suka edan-edanan dan dungu, besar kemungkinan di belakang mereka berenam itu ada orang pintar yang memberi petunjuk-petunjuk.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong lantas mendekati Tho-kok-lak-sian untuk memeriksa apakah di sekitar mereka ada orang pintar tersembunyi itu. Tapi dilihatnya Tho-kok-lak-sian berkumpul menjadi satu dan di sekeliling mereka tiada orang lain, malahan orang-orang dungu itu sedang sibuk membalut luka Tho-hoa-sian tadi.
Ketika berpaling lagi, tiba-tiba Lenghou Tiong mendengar bisikan suara yang sangat lirih, "Engkoh Tiong, apakah kau sedang mencari diriku?"
Mendengar suara itu, sungguh kejut dan girang Lenghou Tiong tak terperikan. Meski suara itu sangat lirih, tapi cukup jelas, siapa lagi kalau bukan suaranya Ing-ing.
Ia coba memandang ke arah datangnya suara, tertampak seorang laki-laki berewok dengan badan rada gemuk berdiri bersandar pada sepotong batu besar sambil garuk-garuk kepala secara kemalas-malasan.
Laki-laki berewok semacam itu sedikitnya ada beratus-ratus di antara hadirin yang ribuan banyaknya itu sehingga tidaklah menarik perhatian. Tapi mendadak dari sorot mata laki-laki ini Lenghou Tiong melihat kilasan senyuman yang licin dan juga menggiurkan. Saking girangnya ia lantas mendekati orang itu.
Terdengar suara Ing-ing berkumandang lagi, "Jangan kemari, nanti rahasia tersingkap!"
Begitu lembut suara itu, tapi cukup jelas terdengar oleh telinganya.
Maka tahulah Lenghou Tiong, "Kiranya kata-kata Tho-kok-lak-sian tadi adalah ajaranmu, pantas keenam orang dungu itu mampu bicara tentang budi dan setia segala."
Diam-diam ia pun bersyukur atas kedatangan Ing-ing secara menyamar itu, jelas si nona sengaja datang buat bantu usahanya berebut menjadi ketua Ngo-gak-pay.
Dalam pada itu terdengar Tho-kin-sian berkata pula, "Tokoh besar seperti Hong-ting Taysu tak bisa kalian terima sebagai ketua, Giok-ki-cu sekarang sudah buntung kaki dan kutung tangan, sedangkan Co Leng-tan jelas tidak berbudi dan pengecut, dengan sendirinya juga tak bisa menduduki tempat terhormat itu. Maka biarlah kita memilih seorang kesatria muda yang hebat untuk menjadi ketua kita. Kalau ada yang tidak setuju boleh silakan maju untuk belajar kenal dengan ilmu pedangnya."
Bicara sampai di sini setelah tangannya terus menunjuk ke arah Lenghou Tiong.
"Inilah Lenghou-siauhiap," sambung Tho-hoa-sian, "beliau mengetuai Hing-san-pay dan ada hubungan yang rapat dengan Gak-siansing dari Hoa-san-pay, dengan Bok-taysiansing dari Heng-san-pay juga bersahabat kental. Di antara Ngo-gak-kiam-pay jelas ada tiga aliran yang pasti akan mendukung beliau."
"Para Tosu dari Thay-san-pay juga tidak bodoh semua, dengan sendirinya sebagian besar di antara mereka juga akan mendukung Lenghou-siauhiap," ujar Tho-ki-sian.
"Nah, Co Leng-tan, jika kau tidak terima, silakan maju untuk coba-coba mengukur ilmu pedang Lenghou-siauhiap, yang menang, dialah yang menjadi ketua Ngo-gak-pay. Ini namanya bertanding untuk rebut juara!" seru Tho-yap-sian.
Di antara para pengunjung sebenarnya lebih banyak orang-orang yang ingin menonton keributan, untuk itu mereka tentunya tidak suka pada perdebatan yang bertele-tele seperti Tho-kok-lak-sian tadi, soalnya ucapan-ucapan Tho-kok-lak-sian tadi memang jenaka dan menggelikan, makanya mereka masih dapat mengikutinya dengan tertawa. Tapi sekarang demi mendengar Tho-yap-sian mengemukakan "bertanding untuk kedudukan ketua" serentak bergemuruhlah suara sorak-sorai setuju, karena mereka tahu akan sampailah saatnya pertandingan sengit di antara tokoh-tokoh tertinggi yang dijagoi oleh masing-masing pihak.
Namun Lenghou Tiong berpikir, "Aku telah berjanji kepada Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang untuk merintangi keinginan Co Leng-tan menjadi ketua Ngo-gak-pay. Maka bila Suhu saja yang menjadi ketua, beliau yang terkenal baik budi dan bijaksana tentu akan dapat disetujui oleh semua pihak. Padahal selain beliau rasanya juga tiada tokoh lain di antara Ngo-gak-kiam-pay yang sesuai untuk menjabat kedudukan penting ini."
Karena pikiran demikian, segera Lenghou Tiong berseru, "Di hadapan kita sudah tersedia seorang tokoh yang paling cocok untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay, mengapa kalian lupa semua" Siapa lagi calon di antara kita yang bisa menandingi Kun-cu-kiam Gak-siansing dari Hoa-san-pay" Ilmu silat Gak-siansing tinggi, pengetahuannya luas, orangnya berbudi dan bijaksana, kesemuanya ini telah cukup kita ketahui. Maka segenap anggota Hing-san-pay kami dengan tulus ikhlas menyarankan pengangkatan Gak-siansing sebagai ketua Ngo-gak-pay."
Serentak anak murid Hoa-san-pay bersorak gembira dan menyatakan akur.
Seorang tokoh Ko-san-pay lantas bicara, "Ilmu silat Gak-siansing memang tinggi, tapi kalau dibandingkan Co-ciangbun masih selisih setingkat. Maka menurut pendapatku adalah Co-ciangbun yang lebih tepat untuk menjadi ketua, di samping itu boleh diadakan empat kursi wakil ketua dan masing-masing dijabat oleh Gak-siansing, Bok-taysiansing, Lenghou-siauhiap dan ... dan Giok-seng-cu atau Giok-im-cu Totiang, terserah kepada pilihan orang Thay-san-pay sendiri."
"Giok-ki-cu kan belum lagi mampus dia baru buntung tangannya dan kutung sebelah kakinya, mengapa kalian lantas menyingkirkan dia?" seru Tho-ki-sian.
"Ya, bertanding saja untuk berebut menjadi juara, siapa yang menang, dia yang menjadi ketua!" teriak Tho-yap-sian.
Maka beribu-ribu orang Kangouw lantas ikut-ikut berteriak, "Benar, benar! Bertanding saja untuk menentukan juara!"
Lenghou Tiong pikir kalau Co Leng-tan tidak dijatuhkan lebih dulu sehingga pihak Ko-san-pay putus harapan sukarlah bagi orang lain untuk mencalonkan diri sebagai ketua Ngo-gak-pay. Maka dengan pedang terhunus ia lantas maju ke tengah, serunya, "Co-siansing, sesuai kehendak orang banyak, marilah kita berdua mulai coba-coba dahulu."
Menurut perhitungan Lenghou Tiong, ilmu pedang sendirinya masih sanggup mengatasi lawan, tapi kalau bertanding pukulan, maka dirinya sukar melawan Im-han-ciang-lik (pukulan dengan hawa dingin) Co Leng-tan yang lihai, hal ini terbukti Yim Ngo-heng saja kecundang di Siau-lim-si tempo hari. Seumpama ilmu pedang sendiri juga tak bisa mengalahkan lawan, paling sedikit tenaga lawan akan banyak diperas, habis itu Gak Put-kun baru turun kalangan dan tentu besar harapan untuk merobohkan Co Leng-tan.
Begitulah segera Lenghou Tiong ayun pedangnya dan berseru pula, "Co-siansing, setiap anggota Ngo-gak-kiam-pay kita mahir memainkan pedang, biarlah kita menentukan kalah menang pada senjata ini!"
Dengan ucapan ini ia sudah mendahului menutup jalan mundur Co Leng-tan agar ketua Ko-san-pay itu tidak mengajaknya bertanding ilmu pukulan dan lain-lain.
Maka ramailah orang bersorak menyatakan setuju dan berteriak-teriak minta pertandingan lekas dimulai.
Karena suara sendiri disokong orang banyak, dengan senang Lenghou Tiong berseru pula, "Co-siansing, hayolah maju! Jika kau enggan bertanding pedang dengan Cayhe, ya boleh juga, silakan mengumumkan di depan umum bahwa kau mengundurkan diri dari pencalonan ketua Ngo-gak-pay ini!"
"Hayo maju! Hayo bertanding!!" demikian orang banyak berteriak-teriak pula. "Yang tidak berani bertanding bukanlah kesatria! Tapi, babi! Anjing!" demikian sambung yang lain.
Di tengah suara ribut-ribut itu tiba-tiba suara seorang yang nyaring lantang berkumandang, "Jika para hadirin sudah menghendaki pemilihan ketua Ngo-gak-pay ditentukan secara bertanding, maka kita pun tidak dapat mengabaikan harapan orang banyak."
Pembicara ini kiranya Gak Put-kun adanya.
"Ucapan Gak-siansing, memang tidak salah!" sambut orang banyak. "Hayo bertanding! Lekas dimulai!"
"Bertanding untuk berebut juara memang juga suatu cara yang lazim," kata Gak Put-kun, "cuma asas penggabungan Ngo-gak-kiam-pay kita sebenarnya untuk mengurangi pertengkaran serta mencari kedamaian di antara sesama kawan Bu-lim. Sebab itu kalau pertandingan dilangsungkan, sebaiknya dibatasi hanya pada persentuhan saja sudah cukup, begitu sudah terang antara yang menang dan kalah harus segera berhenti, sekali-kali tidak boleh melukai apalagi mencelakai jiwa lawan. Seperti meninggalnya Thian-bun Totiang dan terlukanya Giok-ki Totiang tadi sungguh sangat kusesalkan."
Karena apa yang dikatakan Gak Put-kun cukup beralasan, seketika suasana menjadi sunyi. Sejenak kemudian seorang hadirin barulah berteriak, "Pertandingan dibatasi memang baik, namun senjata tidak bermata, bila terjadi melukai atau membinasakan, ya anggap saja dirinya sendiri yang sial dan jangan salahkan pihak lain!"
"Benar!" sambung seorang lagi. "Kalau takut mati dan khawatir luka, lebih baik tinggal di rumah dan mengeloni bininya saja, buat apa susah-susah ikut hadir ke sini?"
Maka bergemuruhlah suara tertawa orang banyak.
"Namun demikian, kukira pertandingan tetap berlangsung secara persahabatan saja," kata Gak Put-kun. "Cayhe mempunyai beberapa pendapat dan akan kuminta pertimbangan para hadirin."
"Ah, lekas mulai berhantam saja, omong apa lagi?" teriak seorang.
"Jangan ngaco! Dengarkan dulu apa yang hendak diuraikan Gak-siansing!" seru seorang lain.
"Siapa yang ngaco" Pulang saja tanya pada emakmu!" jawab orang pertama tadi.
Kontan pihak lain balas memaki, maka terjadilah perang mulut dengan kata-kata dan istilah-istilah yang kotor.
"Bahwasanya siapa-siapa yang memenuhi syarat untuk ikut bertanding perlu diadakan suatu ketentuan ...." demikian Gak Put-kun membuka suara pula sehingga perang mulut di sebelah sana terhenti seketika. Lalu Gak Put-kun melanjutnya, "Bertanding untuk menentukan juara, jelas juara ini bukanlah gelar "jago nomor satu" di dunia ini, tapi juara untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay nanti. Oleh sebab itu yang ada hak ikut bertanding hanya terbatas anggota-anggota Ngo-gak-kiam-pay saja, orang luar biarpun punya kepandaian setinggi langit juga dilarang ikut."
"Betul, betul! Kalau bukan anggota Ngo-gak-pay dilarang ikut bertanding!" seru orang banyak.
"Adapun mengenai cara bagaimana pertandingan harus dilakukan dalam suasana persahabatan, untuk ini silakan Co-siansing memberi komentar," kata Gak Put-kun pula.
"Kukira Gak-siansing tentu sudah punya cara-cara yang baik, silakan bicara saja," sahut Co Leng-tan dengan nada kaku.
"Cayhe berpendapat ada lebih baik kita minta tokoh-tokoh terhormat seperti Hong-ting Taysu, Tiong-hi Totiang, Pangcu dari Kay-pang, Ih-koancu dari Jing-sia-pay dan lain-lain agar sudi menjadi wasit. Siapa yang menang dan siapa yang kalah kita percayakan kepada para juri. Kita hanya menentukan kalah menang saja dan tidak menentukan hidup dan mati."
"Siancay! Siancay!" Hong-ting Taysu bersabda. "Hanya menentukan kalah menang dan tidak menentukan mati dan hidup. Kalimat ini saja sudah menghapuskan banyak kemungkinan-kemungkinan banjir darah yang akan menimpa. Entah bagaimana dengan pendapat Co-siansing?"
"Kukira dari setiap aliran Ngo-gak-kiam-pay masing-masing hanya boleh menampilkan seorang jago saja," kata Co Leng-tan. "Kalau tidak, nanti beratus-ratus orang ingin bertanding semua, lalu akan bertanding sampai kapan baru dapat selesai?"
Di antara hadirin-hadirin itu tentu saja banyak yang ingin melihat keributan, kalau pertandingan hanya dilakukan di antara lima jago saja dari kelima aliran itu tentu kurang seru. Tapi anak murid Ko-san-pay sudah lantas bersorak menyokong pendirian ketuanya, terpaksa para hadirin juga berteriak akur.
Tapi tiba-tiba Tho-ki-sian berseru, "Nanti dulu! Ketua Thay-san-pay adalah Giok-ki-cu, apakah kita membiarkan seorang yang sudah buntung demikian ikut dalam pertandingan?"
"Biarpun buntung dan tinggal satu kaki, dia kan masih bisa meloncat untuk menyepak dengan kaki tunggalnya?" kata Tho-yap-sian.
Maka kembali bergemuruhlah suara tertawa orang banyak.
Giok-im-cu dari Thay-san-pay menjadi gusar, teriaknya, "Kalian berenam setan alas inilah yang membikin cacat Suhengku, sekarang kalian mengolok-olok beliau pula. Kukira kalian sepantasnya juga dibikin buntung semua. Hayolah, kalau berani coba maju untuk bertanding dengan tuanmu!"
Habis berkata ia terus tampil ke muka dengan pedang terhunus.
"Apakah kau mewakili Thay-san-pay dalam perebutan juara ini?" tanya Tho-ki-sian.
"Kau dipilih oleh kawan-kawanmu atau kau sendiri yang tampil ke muka?" Tho-yap-sian menambahkan.
"Peduli apa dengan kau?" sahut Giok-im-cu dengan gusar.
"Tentu saja peduli," jawab Tho-yap-sian. "Tidak saja peduli, bahkan sangat peduli. Sebab kalau kau yang mewakilkan Thay-san-pay dalam pertandingan ini, bila nanti kau kalah, maka Thay-san-pay tidak boleh mengajukan jago lain?" tanya Giok-im-cu.
Tiba-tiba seorang tokoh Thay-san-pay yang lain berseru, "Kami belum lagi menerima syarat bertanding dengan jago tunggal. Kalau Giok-im Sute kalah, dengan sendirinya Thay-san-pay masih boleh mengajukan jago pilihan lain."
Pembicara ini ialah Giok-seng-cu, suheng Giok-im-cu.
"Haha, jago Thay-san-pay yang lain mungkin adalah saudara sendiri?" kata Tho-hoa-sian setengah mengejek.
"Benar, memangnya adalah kakekmu ini," jawab Giok-seng-cu ketus.
"Nah-nah, coba lihatlah, para hadirin! Kembali orang-orang Thay-san-pay ribut urusan dalam lagi!" seru Tho-sit-sian. "Baru saja Thian-bun Tojin tewas, kemudian Giok-ki-cu terluka parah, sekarang Giok-seng-cu dan Giok-im-cu ini sudah saling bertengkar dan berebut menjadi pemimpin Thay-san-pay."
Ucapan Tho-sit-sian sebenarnya tepat mengenai isi hati Giok-seng-cu dan Giok-im-cu. Tapi Giok-im-cu pura-pura mengomel, "Hm, ngaco-belo!"
Sebaliknya Giok-seng-cu hanya tertawa dingin saja tanpa bicara.
"Sebenarnya pihak Thay-san-pay akan diwakili oleh siapa dalam pertandingan ini?" tanya Tho-hoa-sian pula.
"Aku!" seru Giok-im-cu dan Giok-seng-cu berbareng.
"Aneh, kenapa kalian tidak mau saling mengalah?" ujar Tho-kin-sian. "Baiklah, boleh kalian saling gebrak lebih dulu, coba siapa yang lebih tangguh. Percuma bertengkar dengan mulut, tentukan saja dengan berkelahi!"
Dengan aseran Giok-seng-cu melangkah maju dan berseru kepada Giok-im-cu, "Sute, kau mundur saja, jangan menimbulkan tertawaan orang lain!"
"Kenapa akan ditertawakan orang?" jawab Giok-im-cu.
"Giok-ki Suheng terluka parah, adalah pantas jikalau aku ingin menuntut balas baginya."
"Tujuanmu hendak menuntut balas atau ingin berebut menjadi juara?" Giok-seng-cu menegas.
"Hah, hanya dengan sedikit kepandaian kita saja masakah sesuai untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay?" jengek Giok-im-cu. "Kukira kau jangan mimpi di siang bolong. Segenap anggota Thay-san-pay kita sudah jelas mendukung Co-ciangbun dari Ko-san-pay sebagai calon ketua, buat apa kita berdua ikut-ikut membikin malu di depan umum?"
"Jika demikian silakan kau mundur saja. Sebagai tertua, pimpinan Thay-san-pay sekarang kupegang," kata Giok-seng-cu.
"Meski kau terhitung tertua di antara orang Thay-san-pay sekarang, tapi segala perbuatanmu dan tingkah lakumu selama ini sukarlah diterima orang. Apakah kau kira anggota-anggota Thay-san-pay kita mau tunduk kepada pimpinanmu?" tanya Giok-im-cu.
"Apa artinya dengan ucapanmu ini?" bentak Giok-seng-cu dengan bengis. "Kau berani kepada orang yang lebih tua, apakah kau lupa pada pasal pertama dari undang-undang perguruan kita?"
"Haha, janganlah kau lupa bahwa saat ini kita adalah sama-sama anggota Ngo-gak-pay," jawab Giok-im-cu. "Kita masuk Ngo-gak-pay pada hari, bulan, tahun dan saat yang sama, berdasar apa kau anggap kau lebih tua dariku" Undang-undang perguruan Ngo-gak-pay belum lagi disusun, berdasar apa kau tunjuk pasal satu dan pasal berapa segala" Sedikit-sedikit kau suka tonjolkan undang-undang perguruan Thay-san-pay untuk menindas kawan sendiri, cuma sayang sekarang Thay-san-pay sudah hapus, yang ada hanya Ngo-gak-pay."
Giok-seng-cu tak bisa mendebat lagi, saking gusarnya dia hanya berjingkrak sambil tuding Giok-im-cu dan berkata, "Kau ... kau ... kau ...."
"Hayolah maju, labrak saja! Kenapa omong doang" Habis berhantam baru jelas siapa yang tertua!" teriak para penonton yang ingin lihat perkelahian.
"Hayo, bae Giok-im, seratus perak!" seru seorang penonton.
"Apit, pegang bawah!" seorang lagi menanggapi dengan lagak seorang botoh jago.
"Lima belasan, pegang atas!" yang duluan menanggapi lagi.
Menurut istilah adu jago (ayam jantan), bae artinya memihak, memegang pihak yang dipilih. Apit artinya jumlah taruhan dua lawan satu, seratus perak lawan dua ratus perak. Lima belasan artinya 15 lawan 10.
Begitulah jiwa manusia pada umumnya kalau melihat ada pertengkaran bukannya memisah, melerai, tapi malah menyirami minyak dan membakar.
Tapi meski badan sampai gemetar saling gusar Giok-seng-cu tetap tidak berani maju. Kiranya Giok-seng-cu ini biarpun terhitung sang suheng, tapi biasanya dia suka tenggelam di tengah minuman keras dan main perempuan, sebab itulah ilmu pedangnya banyak mundur dan kalah kuat daripada Giok-im-cu.
Dengan dileburnya Ngo-gak-kiam-pay menjadi Ngo-gak-pay memangnya Giok-seng-cu dan Giok-im-cu juga tidak berani mengimpikan buat ikut berebut menjadi ketua, sebab mereka sadar kepandaian mereka masih jauh dibandingkan Co Leng-tan. Mereka sudah puas bila sekembalinya ke Thay-san nanti dapat diangkat menjadi pemimpin Thay-san-pay untuk menggantikan Thian-bun dan Giok-ki yang sudah tewas dan cacat itu Tapi sekarang di bawah hasutan orang banyak mereka berdua sampai-sampai bertengkar sendiri, Giok-seng-cu tidak berani sembarangan bergebrak, cuma ia pun tidak rela menyerah kepada sang sute di depan umum. Karena itu seketika keadaan menjadi lucu tampaknya.
Sekonyong-konyong suara seorang melengking tajam berkata, "Huh, kulihat inti ilmu silat Thay-san-pay sedikit pun belum kalian kuasai, tapi kulit muka kalian toh begitu tebal buat bertengkar di sini sehingga waktu penting terbuang percuma."
Waktu semua orang berpaling ke arah pembicara, kiranya seorang pemuda yang jangkung dan tampan, hanya saja air mukanya rada pucat, ialah Lim Peng-ci dari Hoa-san-pay.
Segera orang yang kenal dia lantas berseru, "Itulah menantu baru Gak-siansing dari Hoa-san-pay!"
Lenghou Tiong juga terkesiap, ia tahu sifat Lim Peng-ci biasanya sangat pendiam, tidak suka banyak bicara, tak terduga sifatnya itu sekarang sudah berubah sehingga berani mengolok-olok orang di depan umum. Namun Lenghou Tiong juga tidak suka kepada Giok-im-cu dan Giok-seng-cu yang bersama Giok-ki-cu tadi telah mengakibatkan kematian Thian-bun Tojin, maka ia pun merasa senang atas sindiran Lim Peng-ci terhadap kedua jago Thay-san-pay itu.
Terdengar Giok-im-cu menjawab, "Aku belum menguasai sama sekali inti ilmu silat Thay-san-pay kami, memangnya saudara sendiri yang menguasai" Kalau begitu silakan saudara coba-coba mainkan beberapa jurus ilmu silat Thay-san-pay agar dimaklumi oleh para kesatria yang hadir di sini."
Berulang-ulang ia sengaja mengucapkan kata-kata "Thay-san-pay" dengan suara keras, maksudnya hendak mengolok-olok Lim Peng-ci yang dikenal sebagai murid Hoa-san-pay masakah berani ikut bicara tentang ilmu silat dari perguruan lain.
Tak terduga Peng-ci lantas menjengek, jawabnya, "Ilmu silat Thay-san-pay sangat luas dan dalam, mana bisa dipahami oleh murid murtad macam kau yang mencelakai saudara seperguruan sendiri dengan bersekongkol dengan orang luar ...."
"Peng-ci!" bentak Gak Put-kun tiba-tiba. "Giok-im Totiang adalah kaum cianpwe, jangan kau kurang ajar!"
Terpaksa Peng-ci mengiakan dan berhenti bicara.
Dengan gusar Giok-im-cu lantas berkata terhadap Gak Put-kun, "Gak-siansing, bagus sekali murid didikanmu dan mantu kesayanganmu ini! Sampai-sampai ilmu silat Thay-san-pay berani dia sembarangan mengoceh dan menilainya."
"Dari mana kau tahu dia sembarangan mengoceh?" tiba suara seorang perempuan menyela. Maka muncul ke depan seorang nyonya muda dengan gaun yang panjang, pada sanggulnya tersunting setangkai bunga merah dan kecil. Siapa lagi dia kalau bukan Gak Leng-sian.
"Ini, dengan ilmu pedang Thay-san-pay juga akan kucoba bagaimana kepandaianmu," kata Leng-sian pula sambil memegang gagang pedangnya yang melintang ke belakang punggungnya.
Giok-im-cu mengenalnya sebagai anak perempuan Gak Put-kun, diketahui pula bahwa Gak Put-kun telah menyetujui peleburan Ngo-gak-kiam-pay dan cukup dihargai oleh Co Leng-tan, maka terhadap Leng-sian ia tidak berani sembarangan bertindak kasar. Dengan tersenyum ia menjawab, "Ah, pada hari bahagia nona Gak, sungguh menyesal aku tidak sempat hadir untuk menyampaikan selamat, apakah karena itu nona telah marah padaku" Tentang ilmu pedang Hoa-san-pay kalian memang sangat kukagumi. Tapi bahwasanya murid Hoa-san-pay juga mahir ilmu pedang Thay-san-pay, wah, sungguh baru kudengar sekarang ini."
Dengan menarik alisnya yang lentik, dengan air muka menghina Leng-sian berkata, "Ayahku ingin menjadi ketua Ngo-gak-pay, dengan sendirinya setiap ilmu pedang dari kelima aliran harus dipelajarinya, kalau tidak cara bagaimana beliau sanggup memimpin Ngo-gak-pay nanti?"
Ucapan Leng-sian ini seketika membikin para kesatria menjadi gempar. Segera ada yang berteriak, "Apakah mungkin Gak-siansing juga mahir ilmu pedang dari keempat aliran lain?"
Gak Put-kun lantas berseru, "Ah, anak perempuanku suka membual saja, omongan anak kecil janganlah kalian anggap sungguh-sungguh."
Tapi Leng-sian segera berkata pula, "Co-supek, jika kau mampu mengalahkan kami dengan ilmu pedang keempat aliran kami, dengan sendirinya kami akan tunduk dan angkat kau sebagai ketua Ngo-gak-pay. Sebaliknya kalau kau hanya mengandalkan ilmu pedang Ko-san-pay melulu, sekalipun kau dapat mengalahkan seluruh seterumu, paling-paling hanya ilmu pedang Ko-san-pay saja yang terkenal."
Para hadirin pikir apa yang dikatakan Leng-sian memang tidak salah. Kalau orang mahir ilmu pedang dari kelima aliran, sudah tentu orang ini pula paling cocok untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay. Akan tetapi ilmu pedang setiap aliran itu adalah hasil ciptaan tokoh-tokoh aliran masing-masing dari angkatan tua turun-temurun selama beratus-ratus tahun, jangankan mahir kesemua ilmu pedang aliran-aliran itu, melulu ilmu pedang suatu aliran saja sukar dipelajari hingga masak dan mendalam betul.
Namun Co Leng-tan mempunyai cara berpikir sendiri. Ia curiga mengapa anak perempuan Gak Put-kun berani omong besar demikian" Di balik ini tentu ada tujuan tertentu. Ia pun sangsi jangan-jangan Gak Put-kun yang juga kemaruk kedudukan itu berniat berebut jabatan ketua Ngo-gak-pay dengan dia.
Didengarnya Giok-im-cu sedang berkata, "Wah, kiranya Gak-siansing telah mahir menyelami inti ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay, ini benar-benar suatu peristiwa besar yang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia. Maka biarlah aku saja yang mulai minta nona Gak memberi petunjuk-petunjuk tentang ilmu pedang Thay-san-pay."
"Baik sekali!" jawab Leng-sian. "Sret", segera ia lolos pedangnya.
Keruan Giok-im-cu sangat mendongkol. Pikirnya, "Dengan ayahmu saja aku lebih tua satu angkatan, masakah anak perempuan macam kau juga berani lolos senjata terhadapku?"
Semula ia menyangka Gak Put-kun tentu akan mencegah perbuatan anak perempuannya, sebab di antara tokoh-tokoh Hoa-san-pay hanya Gak Put-kun dan istrinya saja yang pantas menjadi lawannya.
Tak terduga Gak Put-kun hanya geleng-geleng kepala saja, katanya dengan menyesal, "Sungguh anak perempuan yang tidak tahu tebalnya bumi dan tingginya langit, Giok-im dan Giok-seng berdua Locianpwe adalah tokoh-tokoh kelas utama Thay-san-pay, kau sendiri yang mencari penyakit jika bermaksud melawannya dengan ilmu pedang Thay-san-pay mereka."
Ketika Giok-im-cu melirik, dilihatnya pedang di tangan kanan Gak Leng-sian menuding miring ke bawah, jari-jari tangan kiri sedang bertekuk-tekuk seperti orang lagi menghitung-hitung.
Giok-im-cu terkejut dan heran dari mana anak perempuan ini paham jurus "Thay-cong-ji-ho", suatu jurus ilmu pedang Thay-san-pay yang paling tinggi. Intisari jurus ini tidak terletak kepada serangan pedang, tapi dalam hal perhitungan letak tempat musuh, perawakan musuh dan panjang atau pendek senjata yang digunakan musuh dan macam-macam faktor lain. Perhitungannya sangat ruwet, tapi bila perhitungan sudah tepat, sekali serang tentu kena.
Pernah Giok-im-cu mendapat ajaran jurus ini dari gurunya, tapi ia sadar bahwa dirinya tidak sanggup menyelami jurus yang pakai perhitungan tinggi itu, maka waktu itu ia tidak pernah mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, sebaliknya sang guru juga tidak paksa dia berlatih lebih lanjut, rupanya gurunya sendiri juga tidak mahir terhadap jurus itu.
Karena dirinya tidak diharuskan berlatih jurus yang sukar itu, tentu saja Giok-im-cu merasa kebetulan. Sejak itu ia pun tidak pernah melihat orang Thay-san-pay sendiri memainkan jurus itu. Tak terduga peristiwa yang sudah berselang puluhan tahun itu, kini mendadak jurus itu dilihatnya dimainkan oleh seorang nyonya muda sebagai Gak Leng-sian, bahkan orang yang bukan anggota Thay-san-pay. Keruan ia menjadi gelisah dan keluar keringat.
Biasanya orang yang kepepet tentu akan timbul akal, ia membatin, "Bila aku cepat berganti tempat, lalu lompat ke sini dan loncat ke sana, dengan sendirinya perhitungannya akan selalu meleset."
Begitulah segera ia menggeser ke sana, lalu putar balik dan menyerang dengan jurus "Long-gwat-bu-in" (terang bulan tanpa mega), tapi tusukannya belum mencapai sasaran segera ia menggeser dan menyerang pula dengan cepat. Sambil bergerak, yang diperhatikan Giok-im-cu hanya jari-jari Leng-sian yang bergerak-gerak menghitung itu. Ia masih ingat ucapan gurunya dahulu bahwa jurus "Thay-cong-ji-ho (cara menghitung dengan pasti) merupakan inti ilmu pedang Thay-san-pay, sekali serang pasti kena, membunuh orang tanpa terasa. Kalau sudah mencapai taraf demikian, maka boleh dikata sudah mencapai tingkat yang sempurna.
Bab 115. Gak Leng-sian Menjagoi Gelanggang Pertandingan
Karena itu Giok-im-cu tidak berani sembarangan melakukan serangan maut, sebab takut kalau pihak lawan juga melakukan serangan mematikan. Lama-lama ia tambah khawatir dan berkeringat dingin.
Sementara itu ia sudah hampir selesai memainkan ilmu pedangnya, mendadak Leng-sian putar pedangnya dengan cepat, beruntun-runtun ia melancarkan lima kali serangan.
"Ngo-tay-hu-kiam!" seru Giok-seng-cu yang masih berdiri di samping.
Mendengar orang dapat menyebut nama jurus serangannya, sekonyong-konyong Leng-sian miringkan tubuhnya ke samping, pedang terus menusuk Giok-seng-cu sambil berseru, "Apakah ini pun ilmu pedang Thay-san-pay kalian?"
Cepat Giok-seng-cu menangkis dengan pedangnya sambil menjawab, "Mengapa bukan" Ini adalah jurus Lay-hong-jing-coan!"
"Bagus jika kau pun mengetahuinya!" seru Leng-sian.
"Sret", pedangnya membalik dan menebas Giok-im-cu.
"Ini Sik-koan-hwe-ma!!" Giok-seng-cu menyebut pula nama jurus serangan Leng-sian.
"Hafal juga kau akan nama-nama ilmu pedang ini," ujar Leng-sian. Berbareng pedangnya berkelebat, "sret-sret-sret", tiga kali, kontan terdengar Giok-im-cu menjerit, dadanya telah tertusuk.
Giok-seng-cu juga tampak sempoyongan, akhirnya sebelah kaki tertekuk dan berlutut ke bawah, lekas-lekas ia menahan tubuhnya dengan batang pedang. Tapi terlalu keras ia menggunakan tenaga, ujung pedang menahan di atas sepotong batu pula, maka terdengar suara "pletak", pedang patah menjadi dua. Terdengar mulut Giok-seng-cu sempat menggumam, "Gway-hoat-sam!"
Leng-sian tertawa dingin dan tidak menyerang lebih lanjut, ia simpan kembali pedangnya. Sementara itu para penonton sudah bersorak gemuruh. Sungguh luar biasa, seorang nyonya muda mengalahkan dua tokoh Thay-san-pay hanya dalam beberapa jurus, bahkan menggunakan ilmu pedang Thay-san-pay sendiri.
Co Leng-tan saling pandang dengan beberapa kawannya, mereka pun sama bersangsi dan heran. Yang dimainkan anak perempuan ini memang benar ilmu pedang Thay-san-pay yang hebat dan jarang terlihat. Walaupun permainannya tampak kurang murni, namun jurus-jurus serangan yang ganas dan terlatih itu pasti bukan hasil pemikiran anak perempuan ini, besar kemungkinan adalah hasil peyakinan Gak Put-kun. Padahal untuk meyakinkan ilmu pedang setinggi ini entah memerlukan waktu berapa lama. Dari sini dapat dibayangkan betapa jauh rencana dan maksud tujuan Gak Put-kun menghadapi persoalan ini.
Lenghou Tiong juga terkesiap dan bingung melihat cara Gak Leng-sian merobohkan lawan-lawannya itu. Tiba-tiba ada orang membisikinya dari belakang, "Lenghou-kongcu, apakah kau yang mengajarkan jurus-jurus itu kepada Nona Gak?"
Ketika berpaling, Lenghou Tiong melihat yang bicara itu adalah Dian Pek-kong. Maka ia menjawabnya dengan menggeleng.
"Dahulu ketika kau bergebrak dengan aku di puncak Hoa-san, aku masih ingat kau pun pernah menggunakan jurus Lay-ho... apa tadi, cuma waktu itu kau belum menguasai dengan baik," kata Dian Pek-kong dengan tersenyum.
Lenghou Tiong tidak menjawabnya, ia sedang termenung-menung bingung. Begitu Gak Leng-sian mulai menyerang tadi segera ia dapat melihatnya bahwa apa yang dimainkan Leng-sian itu adalah ilmu pedang Thay-san-pay yang pernah dilihatnya di dalam gua di puncak Hoa-san dahulu. Padahal apa yang pernah dilihatnya itu tidak pernah diberitahukannya kepada orang lain, ketika meninggalkan gua itu ia pun ingat betul-betul telah menutup lubang gua dengan batu, lalu cara bagaimana Gak Leng-sian dapat menemukannya" Tapi lantas terpikir pula olehnya, kalau dirinya dapat menemukan gua itu, mengapa Leng-sian tidak dapat" Apalagi lubang gua itu tentu akan lebih memudahkan diketemukan oleh siausumoaynya.
Dalam pada itu tertampak seorang tua kurus maju ke tengah dan berkata, "Kiranya Gak-siansing telah mahir setiap ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay, sungguh suatu peristiwa besar yang belum pernah terjadi di dunia persilatan. Selama aku meyakinkan ilmu pedang aliran sendiri, ada beberapa tempat sulit yang belum kupecahkan, maka kebetulan hari ini dapat kuminta petunjuk-petunjuk kepada Gak-siansing."
Habis berkata, dari rebab yang dipegang di tangan kiri itu diloloskan sebatang pedang pandak yang mengilap. Orang tua ini adalah Bok-taysiansing dari Heng-san-pay.
Dengan memberi hormat Gak Leng-sian lantas menanggapi, "Harap Bok-supek maklum, Titli (anak keponakan) hanya belajar beberapa jurus ilmu pedang Heng-san-pay yang tak berarti, mohon Bok-supek sudi memberi petunjuk-petunjuk seperlunya."
Padahal Bok-taysiansing tadi mengatakan "hari ini kebetulan dapat minta petunjuk-petunjuk kepada Gak-siansing", jadi yang ditantang adalah Gak Put-kun, siapa duga Gak Leng-sian yang lantas terima tantangannya itu, bahkan menyatakan akan menggunakan ilmu pedang Heng-san-pay malah.
Bok-taysiansing melengak, tapi lantas menjawab dengan tersenyum, "Wah, bagus, bagus! Hebat, hebat!"
Habis itu pedangnya yang pendek itu perlahan-lahan menjulur ke depan, sekonyong-konyong ia menyendal sedikit pedangnya dan seketika menerbitkan suara mendengung. Menyusul mana pedangnya lantas bergerak dan berbunyi "ngung-ngung" dua kali.
Cepat Leng-sian menangkis. Namun pedang Bok-taysiansing itu berkelebat secepat kilat, tahu-tahu ia pun sudah mengitar ke belakang Leng-sian. Lekas-lekas Leng-sian memutar tubuh, terdengar suara mendengung lagi dua kali, maka tertampaklah secomot rambut melayang jatuh ke tanah. Ternyata rambut sendiri telah kena dikupas sepotong oleh Bok-taysiansing.
Keruan Leng-sian terkejut. Tapi cepat ia dapat berpikir bahwa Bok-taysiansing tidak bermaksud mencelakainya, kalau mau tentu serangan tadi sudah membinasakannya. Kalau lawan tak mau mencelakainya, tentu saja kebetulan baginya. Segera Leng-sian melancarkan serangan dua kali ke atas dan ke bawah tanpa menghiraukan lagi serangan lawan.
Bok-taysiansing terkesiap juga oleh serangan Leng-sian itu. Dua jurus serangan itu memang betul gaya ilmu pedang Heng-san-pay yang lihai. Ia heran dari mana anak perempuan ini dapat mempelajarinya"
Namun sedikit pun ia tidak ayal, pedangnya bergerak dengan cepat untuk bertahan, tapi lama-lama ia pun kewalahan. Maklum, Leng-sian sudah ambil keputusan hanya menyerang tanpa menghiraukan diserang. Ia mengetahui Bok-taysiansing takkan mencelakainya, maka yang diutamakan hanya melancarkan serangan dengan jurus-jurus yang lihai. Sebaliknya Bok-taysiansing mau tak mau harus meladeni serangan Leng-sian, dan karena harus meladeni, sukarlah baginya untuk melepaskan diri.
Pedang kedua orang berkelebat sama cepatnya, terdengar suara "crang-creng" berulang-ulang, para penonton sampai tidak tahu siapa yang menyerang dan siapa yang bertahan, tak tahu pula berapa jurus pertarungan kedua orang itu sudah berlangsung.
Sampai pada puncaknya, dengan susah payah Bok-taysiansing dapat menangkis suatu jurus serangan Leng-sian, tapi terpaksa harus melompat mundur oleh serangan lain yang disebut "Thian-cu-in-gi" (Awan Mengelilingi Pilar), Bok-taysiansing menyadari tidak mampu menangkis serangan lihai ini, terpaksa ia melompat ke samping sambil putar pedangnya secepat kilat, padahal pedangnya sama sekali tidak sanggup buat balas menyerang, tujuannya hanya untuk mengaburkan pandangan penonton dan untuk menutupi keadaan sendiri yang konyol itu.
Dalam keadaan demikian terdengar Leng-sian tertawa dan berkata, "Ah, terima kasih atas kesudian Bok-supek mengalah kepada Titli!"
Maka jelaslah hasil pertarungan yang telah berlangsung itu, betapa pun Bok-taysiansing harus mengakui keunggulan lawan.
Tapi dasarnya Leng-sian memang kurang pengalaman, ia menjadi ragu-ragu dan merandek, tidak bicara juga tidak melancarkan serangan susulan. Sebagai seorang yang kenyang asam garam dunia Kang-ouw, tentu saja Bok-taysiansing tidak sia-siakan kesempatan baik itu, segera pedangnya bergerak pula dan menerbitkan suara mendengung, kembali menubruk maju.
Beberapa serangan kilat ini menggunakan segenap kekuatan Bok-taysiansing yang diyakinkan selama ini, dalam sekejap saja Leng-sian sudah terbungkus di dalam sinar pedangnya.
Leng-sian berseru khawatir sambil mundur beberapa langkah. Tapi Bok-taysiansing tidak mau mengulangi kesalahannya tadi, ia tidak mau memberi kesempatan lagi kepada lawannya untuk balas menyerang. Makin lama makin cepat pedangnya menyambar, sekalipun jago kelas wahid juga sukar melihat jelas arah serangannya. Karena itu para penonton menjadi berkhawatir bagi Leng-sian, ada pula yang gegetun akan kehebatan ilmu pedang Bok-taysiansing.
Dalam pada itu Lenghou Tiong masih termenung-menung terhadap jurus-jurus serangan Leng-sian tadi. Ia tidak habis paham, mengapa siausumoaynya itu mahir menggunakan ilmu silat yang terukir di dinding gua itu, apakah memang benar gua itu telah ditemukan olehnya"
Sedang melamun, seorang laki-laki berewok mendekatinya serta menegurnya perlahan, "Apa yang lagi kau pikirkan?"
"O, aku... aku...." Lenghou Tiong tersentak kaget dari lamunannya.
Pada saat itulah terdengar jeritan Leng-sian, pedangnya mencelat ke udara, sebelah kakinya terpeleset dan jatuh terduduk.
Ujung pedang Bok-taysiansing tampak mengarah ke bahu kanan Leng-sian sambil berkata, "Jangan khawatir Titli yang baik, silakan bangun!"
Tapi mendadak terdengar suara "pletak" satu kali, pedang Bok-taysiansing itu patah bagian tengah. Kiranya Leng-sian telah jemput dua potong batu, pedang Bok-taysiansing ditimpuk dengan batu yang satu sehingga patah, menyusul batu yang lain terus disambitkan ke samping.
Dalam keadaan senjata patah, Bok-taysiansing melengak kaget dan bingung pula melihat Leng-sian menyambitkan batunya ke arah lain. Tak terduga mendadak iganya lantas kesakitan, rupanya batu yang disambitkan ke samping itu mendadak memutar balik dan tepat mengenai tulang iga sehingga patah tulang. Kontan darah tersembur dari mulutnya.
Beberapa kali serang-menyerang ini sungguh berubah dengan sangat cepat, Leng-sian terjatuh, batu melayang, pedang patah, menyusul Bok-taysiansing muntah darah, para penonton sampai melongo karena kejadian-kejadian itu teramat cepat untuk diikuti. Menyusul tertampak sinar pedang berkelebat, pedang Leng-sian yang mencelat ke atas tadi telah jatuh dan menancap di samping Bok-taysiansing dan hampir-hampir menancap tubuhnya
Para penonton telah menyaksikan dengan jelas bahwa setelah Bok-taysiansing menjatuhkan Leng-sian, ia tidak melancarkan serangan habis-habisan melainkan menyuruh Leng-sian jangan takut dan disilakan bangun. Hal ini menang lazim sebagai orang tua yang telah mengalahkan lawan yang lebih muda. Akan tetapi serangan Leng-sian dengan dua potong batu dan kontan membuat lawan tak berkutik dan terluka parah itulah yang benar-benar sukar diduga dan susah dielak.
Hanya Lenghou Tiong saja yang tahu bahwa kedua jurus serangan Leng-sian yang terakhir itu pun diperoleh dari ilmu silat yang terukir di dinding gua Hoa-san itu. Menurut ukiran itu, ketika tokoh Mo-kau mematahkan ilmu pedang Heng-san-pay dahulu, yang digunakan adalah sepasang bandul tembaga dan bukan batu. Cuma sekarang Leng-sian telah menggunakan batu sebagai pengganti bandul.
Tiba-tiba Gak Put-kun mendekati Leng-sian dan menampar mukanya sekali sambil membentak, "Kurang ajar! Jelas Bok-supek sengaja mengalah padamu, mengapa kau berani berbuat kasar kepada beliau?"
Lalu ia memapah Bok-taysiansing ke pinggir dan berkata, "Bok-heng, harap maafkan anak perempuan yang tidak kenal adat itu, sungguh aku sangat menyesal."
"Benar-benar harimau tidak melahirkan anak anjing, sungguh luar biasa," ujar Bok-taysiansing dengan meringis. Habis berkata kembali darah tersembur dari mulutnya. Cepat dua anak murid Heng-san-pay berlari mendekatinya dan memayangnya ke tengah rombongannya.
Dengan mata melotot Gak Put-kun mendelik anak perempuannya, lalu mengundurkan diri.
Melihat pipi Leng-sian yang merah terkena tamparan sang ayah, air mata pun meleleh, tapi sikapnya rada bandel, Lenghou Tiong menjadi teringat kepada masa dahulu, bila terkadang Leng-sian nakal dan diomeli ayah-ibunya, sering kali Leng-sian memperlihatkan sikap yang sama seperti sekarang ini. Lalu untuk menyenangkan hati sang sumoay, sering kali Lenghou Tiong ajak bertanding pedang sang sumoay. Hal yang paling menyenangkan hati siausumoaynya itu tak lebih daripada menang bertanding. Maka Lenghou Tiong sengaja pura-pura kalah.
Berpikir sampai di sini, kembali teringat olehnya cara bagaimana Leng-sian bisa mendatangi gua rahasia itu" Besar kemungkinan sesudah menikah, karena kangen kepada hubungan baiknya dengan aku di waktu yang lampau, lalu dia sengaja naik ke puncak itu untuk mengenangkan pengalaman-pengalaman di waktu lalu, dan karena itu dia dapat menemukan gua itu.
Ia menoleh dan memandang sekejap ke arah Lim Peng-ci, lalu pikirnya pula, "Lim-sute baru menikah dengan Siausumoay, sepantasnya dia gembira ria. Tapi mengapa tampaknya dia muram durja" Sebagai suami ia pun tidak menunjukkan perhatiannya terhadap sang istri ketika Leng-sian dihajar oleh ayahnya tadi. Sungguh keterlaluan sikap dinginnya itu."
Berpikir bahwa mungkin terkenang padanya sehingga Leng-sian naik ke puncak Su-ko-keh untuk mengenangkan masa lampau, walaupun hal ini hanya dugaan sendiri, tapi dalam benak Lenghou Tiong sudah timbul bayangan Leng-sian yang sedang menangis sedih dengan penuh penyesalan telah salah menikahi Lim Peng-ci.
Ketika berpaling lagi, dilihatnya Leng-sian sedang menjemput kembali pedangnya dengan air mata bercucuran.
Mendadak darah bergolak di rongga dada Lenghou Tiong, pikirnya, "Aku akan meledek dia sehingga dari menangis menjadi tertawa."
Dalam pandangan Lenghou Tiong sekarang panggung Hong-sian-tay di puncak Ko-san ini telah berubah menjadi Giok-li-hong di Hoa-san, beribu-ribu hadirin itu dianggapnya seperti pepohonan belaka, yang dia pikirkan melulu sang jantung hati yang sedang menangis sedih lantaran dihajar ayahnya. Selama hidupnya entah sudah berapa kali ia membujuk dan melucu sehingga sang jantung hati terhibur, lalu tertawa. Mana boleh sekarang dia tinggal diam"
Karena itu tanpa pikir ia terus melangkah maju dan berseru, "Siau... Siau...." tiba-tiba teringat olehnya bahwa agar bisa menyenangkan hati sang jantung hati harus bertanding sungguh-sungguh untuk kemudian barulah mengalah, maka dengan nada menantang ia berganti suara, "Kau telah mengalahkan ketua-ketua dari Thay-san-pay dan Heng-san-pay, sudah tentu ilmu pedangmu tidaklah sembarangan. Tapi Hing-san-pay kami tidak dapat terima, apakah kau pun sanggup menandingi aku dengan ilmu pedang Hing-san-pay?"
Perlahan-lahan Leng-sian angkat kepalanya dengan pedang terhunus, sahutnya, "Kau sendiri pun bukan asli Hing-san-pay, sekarang kau telah menjadi ketua Hing-san-pay, apakah kau pun sudah mahir ilmu pedang aliranmu?"
Sejak Lenghou Tiong diusir dari Hoa-san, sudah beberapa kali ia bertemu dengan Gak Leng-sian, tapi hanya sekali ini saja Leng-sian tidak menggunakan kata-kata pedas dan galak. Sekonyong-konyong timbul rasa gembira Lenghou Tiong, katanya dalam hati, "Aku harus berkelahi dengan teliti, supaya dia tidak tahu bahwa aku sengaja mengalah padanya."
Maka jawabnya kemudian, "Bilang mahir, betapa pun aku tidak berani. Tapi sudah sekian lamanya aku berada di Hing-san, dengan sendirinya aku pun sudah cukup masak meyakinkan pedang Hing-san-pay. Sekarang kita harus sama-sama menggunakan ilmu pedang Hing-san-pay, kalau bukan ilmu pedang Hing-san-pay dianggap kalah. Bagaimana" Jadi?"
Bahwasanya ilmu pedang yang dikuasai Lenghou Tiong jauh lebih tinggi daripada Leng-sian cukup diketahui orang lain. Namun di dalam hati ia sudah ambil keputusan, bilamana nanti pertandingan sudah berjalan, pada akhirnya dia akan menggunakan Tokko-kiu-kiam untuk mengalahkan Leng-sian, dengan demikian kemenangannya akan dianggap batal dan berbalik dianggap kalah malah. Cara demikian tentu takkan menimbulkan sangsi orang lain bahwa cara kalahnya itu sengaja dibuat.
Ternyata Leng-sian lantas menjawab, "Baik, boleh kita mulai!"
Pedangnya berputar setengah lingkaran dan segera menusuk miring ke arah Lenghou Tiong.
Serentak terdengarlah jerit heran anak murid Hing-san-pay. Nyata mereka sangat kagum terhadap serangan Leng-sian itu. Ini pun membuktikan bahwa apa yang digunakan Leng-sian memang betul adalah ilmu pedang Hing-san-pay.
Kiranya memang tidak salah bahwa jurus serangan Leng-sian itu adalah jurus ilmu pedang yang pernah dipelajari Lenghou Tiong dari dinding gua Hoa-san itu, jurus serangan ini pun sudah diajarkan Lenghou Tiong kepada anak murid Hing-san-pay. Dari itu mereka lantas mengenali jurus serangan Gak Leng-sian itu.
Lantaran sudah cukup lama tinggal bersama anak murid Hing-san-pay, ilmu pedang yang pernah dimainkan tokoh-tokoh tertinggi Hing-san-pay seperti Ting-sian, Ting-cing, dan Ting-yat Suthay juga sudah sering dilihatnya dahulu, maka sekarang permainan ilmu pedang Lenghou Tiong dapat berjalan dengan lancar dan tidak malu sebagai ketua Hing-san-pay.
Padahal Lenghou Tiong telah mempelajari Tokko-kiu-kiam yang meliputi inti ilmu silat dari berbagai aliran. Ilmu pedang yang dia mainkan hanya gayanya saja memperlihatkan kemiripan dengan Hing-san-kiam-hoat, tapi sebenarnya setiap jurusnya rada berbeda daripada apa yang dimiliki Ting-sian Suthay dan lain-lain. Hal ini sukar diketahui orang luar, hanya Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain dapat melihat perbedaan itu.
Jadi ilmu pedang Hing-san-pay yang dimainkan Lenghou Tiong dan Gak Leng-sian sekarang sama-sama diperoleh dari ukiran di dalam gua rahasia di puncak Hoa-san itu. Cuma dasar ilmu pedang Lenghou Tiong jauh lebih kuat daripada Leng-sian, pula dia sudah sekian lamanya berdiam di Hing-san sehingga pengetahuannya tentang ilmu silat Hing-san-pay menjadi lebih luas pula. Maka begitu kedua orang mulai bergebrak, jika Lenghou Tiong tidak sengaja mengalah tentu dalam beberapa jurus saja Leng-sian sudah dikalahkan.
Begitulah kedua orang bergebrak dengan sangat cepat dan kencang, setelah lebih 30 jurus, Leng-sian harus mengulangi kembali jurus serangan yang dipelajarinya dari ukiran di dinding gua itu. Lenghou Tiong juga melayani dengan sama cepatnya, karena ilmu pedang kedua orang serupa, maka pertandingan berlangsung dengan sangat menarik.
Seorang penonton berkata dengan kagum, "Bahwasanya Lenghou Tiong dapat memainkan ilmu pedangnya sedemikian bagus adalah jamak karena dia memang ketua Hing-san-pay, tapi Nona Gak adalah orang Hoa-san-pay, mengapa ia pun mahir Hing-san-kiam-hoat?"
"Kau jangan lupa bahwa tadinya Lenghou Tiong adalah murid tertua Gak-siansing, maka jelas Gak-siansing sendiri yang telah mengajarkan ilmu pedang ini, kalau tidak masakan kedua muda-mudi ini dapat bertanding sedemikian seru?"
"Ya, kalau Gak-siansing sudah mahir ilmu pedang Hoa-san-pay, Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hing-san-pay, maka ilmu pedang Ko-san-pay tentu juga mahir. Kuyakin jabatan ketua Ngo-gak-pay tak ada pilihan lain kecuali beliau yang menjabatnya," kata seorang penonton lain pula.
"Ah, juga belum pasti," sahut lagi seorang. "Ilmu pedang Co-ciangbun dari Ko-san pasti jauh lebih tinggi daripada Gak-siansing. Ilmu silat mengutamakan kualitas dan tidak mementingkan kuantitas. Sekalipun kau mampu memainkan segala macam ilmu silat di dunia ini, tapi kalau pengetahuanmu hanya beberapa jurus cakar kucing saja apa gunanya" Maka aku yakin Co-ciangbun melulu menggunakan Ko-san-kiam-hoat saja pasti sanggup mengalahkan ilmu pedang empat aliran yang dikuasai Gak-siansing."
"Huh, dari mana kau mendapat tahu begitu jelas sehingga kau berani omong besar tanpa malu?" omel orang tadi dengan mendongkol.
"Omong besar tanpa malu apa" Jika kau berani, hayolah kita bertaruh 100 perak, aku bae Co-ciangbun dan kau pegang Gak-siansing," jawab yang lain dengan aseran.
"Kenapa tidak berani?" teriak orang pertama. "Ini, seratus perak, kontan!"
"Jadi!" yang lain tak mau kalah. "Tidak perlu kontan, bayar belakang juga boleh."
"Huh, nanti buka cek kosong!" ejek yang pertama.
"Cuh!" kawannya meludah sambil mencibir.
Dalam pada itu pertarungan kedua orang masih berlangsung dengan cepat. Melihat gerak tubuh Leng-sian yang indah, Lenghou Tiong menjadi teringat kepada keadaan masa dahulu di waktu mereka berdua latihan bersama. Tanpa terasa pikirannya melayang-layang, ketika Leng-sian menusuknya, segera ia balas menyerang. Tak tahunya jurus ini ternyata bukan Hing-san-kiam-hoat.
Leng-sian melengak, katanya dengan suara perlahan, "Jing-bwe-ji-tau!"
Menyusul ia pun balas suatu jurus, menebas ke dahi Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong juga melengak dan menggumam, "Liu-yap-su-bi!"
Jing-bwe-ji-tau (Mundu Hijau Laksana Kacang) dan Liu-yap-su-bi (Daun Liu Lentik Seperti Alis) adalah jurus-jurus dalam Tiong-leng-kiam-hoat, yakni ilmu pedang ciptaan Lenghou Tiong dan Gak Leng-sian. Nama ilmu pedang itu diambil dari singkatan nama masing-masing, yaitu tiong dan leng. Ilmu pedang ini sebenarnya tiada sesuatu yang istimewa, cuma dahulu telah mereka latih dengan sangat masak. Maka sekarang tanpa terasa telah dikeluarkannya bersama di hadapan orang banyak.
Hanya sekejap saja belasan jurus sudah berlangsung, bukan saja Lenghou Tiong merasa berada kembali di waktu latihan bersama di masa dahulu, bahkan Leng-sian juga melayang pikirannya dan lupa daratan bahwa dirinya sekarang sudah menjadi istri orang, yang terbayang olehnya hanya sang suheng yang cakap itu sedang berlatih bersama dengan dia.
Tiong-leng-kiam-hoat itu diciptakan mereka ketika kedua muda-mudi itu sedang tenggelam di tengah lautan asmara dahulu. Maka serang-menyerang dilakukan dengan asyik, satu dan lain sama isi-mengisi.
Tujuan Lenghou Tiong bertanding dengan Leng-sian adalah sengaja hendak mengalah untuk menghibur hati duka Leng-sian karena dihajar oleh ayahnya tadi. Sekarang melihat air muka Leng-sian semakin cerah, sorot matanya memperlihatkan perasaan gembira melayani serangan-serangannya, sungguh tidak terkatakan rasa senang Lenghou Tiong bahwa maksudnya telah tercapai. Dalam keadaan demikian sungguh ia berharap Tiong-leng-kiam-hoat mereka itu mencakup beribu-ribu jurus serangan yang tak habis-habis dimainkan sehingga dia akan dapat menghadapi sang sumoay yang sebenarnya sangat dicintainya itu untuk selama-lamanya.
Kembali dua-tiga puluh jurus telah lalu. Suatu ketika pedang Leng-sian menebas ke kaki kiri Lenghou Tiong. Cepat Lenghou Tiong angkat kakinya terus mendepak batang pedang lawan. Tapi Leng-sian segera tekan pedangnya ke bawah berbareng menebas telapak kaki.
Namun pedang Lenghou Tiong telah menusuk juga ke pinggang Leng-sian sehingga terpaksa ia putar pedangnya ke atas untuk menangkis. "Trang", kedua pedang beradu sehingga sama-sama tergetar ke atas, berbareng kedua orang sama-sama menyorong pedang masing-masing ke depan untuk menusuk tenggorokan lawan dengan cepat luar biasa.
Menurut arah pedang masing-masing itu, jelas siapa pun sukar menghindarkan diri dan pasti akan gugur bersama. Tanpa terasa para penonton ikut menjerit khawatir. Tapi mendadak terdengar suara "cring" yang perlahan, ujung pedang masing-masing ternyata saling ketemu dan terbentur sehingga lelatu api meletik, batang pedang masing-masing sampai melengkung, menyusul kedua orang sama-sama tergetar dan melompat mundur dengan mengulum senyum mesra.
Sungguh di luar dugaan siapa pun juga bahwa akhirnya serangan maut masing-masing itu bisa saling bentur di tengah jalan. Hal ini biarpun beribu-ribu kali juga jarang terjadi satu kali. Tapi di saat menentukan antara hidup dan mati mereka berdua itu ternyata ujung pedang mereka bisa kebentur secara sedemikian tepat.
Orang lain tidak tahu bahwa benturan ujung pedang di tengah jalan itu mungkin teramat sulit terjadi, namun bagi mereka justru telah sengaja berlatih benturan demikian itu secara tak kenal capek dan entah sudah berlangsung berapa ribu kali latihan mereka dan akhirnya telah berhasil.
Tadinya Lenghou Tiong mengusulkan jurus itu, diberi nama "Ni-su-ngo-hoat" (Kau Mati Aku Hidup), tapi Leng-sian keberatan, mengapa kau mati dan aku hidup, katanya. Kan lebih baik "Tong-seng-kiong-si" (Sehidup dan Semati).
Begitulah selagi Leng-sian terbayang kepada peristiwa-peristiwa di masa dahulu, tiba-tiba di tengah penonton ada suara orang menjengek. Keruan ia terkejut sebab dapat dikenalnya suara jengekan itu dikeluarkan oleh Lim Peng-ci, suaminya. Seketika ia merasa cara bertempurnya dengan Lenghou Tiong itu memang tidak wajar. Segera ia angkat pedangnya dan menyerang pula dengan gaya yang indah. Ternyata yang digunakan sekarang adalah salah satu jurus "Giok-li-kiam" dari Hoa-san-pay.
Suara jengekan Peng-ci itu didengar juga oleh Lenghou Tiong. Akibat dari suara jengekan itu segera Leng-sian melancarkan jurus serangan tanpa kenal ampun, tidak lagi memperlihatkan sikap mesra sebagaimana menggunakan Tiong-leng-kiam-hoat tadi. Seketika hati Lenghou Tiong menjadi pilu, segala macam kejadian masa lampau terbayang semua di dalam benaknya.
Dalam keadaan pikiran kusut itu, tiba-tiba Leng-sian menyerang pula, tanpa pikir Lenghou Tiong cepat menyelentik, "creng", dengan tepat batang pedang Leng-sian terjentik dan terlepas dari cekalan.
Setelah menyelentik barulah Lenghou Tiong sadar apa yang terjadi, diam-diam ia mengeluh atas tindakannya yang telanjur itu. Dilihatnya sikap Leng-sian yang cemas-cemas murung. Ia menjadi teringat pada waktu dirinya dihukum menyepi di puncak Su-ko-keh dahulu, ketika Leng-sian mengantar daharan padanya, si nona telah mengajak latihan ilmu pedang Giok-li-kiam-hoat yang baru saja dipelajarinya, ketika itu pun dia telah menyelentik pedang Leng-sian sehingga terpental dan jatuh ke jurang, lantaran kejadian itu Leng-sian menjadi marah dan tinggal pergi. Sejak itu timbullah ketegangan di antara mereka berdua. Tak terduga kejadian yang sama itu kini terulang kembali.
Kalau dahulu saja dia sudah dapat menyelentik sehingga pedang Leng-sian terpental, apalagi sekarang lwekangnya sudah jauh lebih tinggi, maka pedang Leng-sian yang mencelat ke udara tadi sampai sekian lamanya baru jatuh ke bawah.
Padahal tujuan Lenghou Tiong hanya ingin membikin senang hati siausumoaynya, sebaliknya sekarang dia malah menyelentik pedangnya hingga mencelat dan membuatnya malu di depan umum, sungguh perbuatan tidak patut.
Sekilas tertampak pedang Leng-sian itu sedang melayang ke bawah, tanpa pikir Lenghou Tiong terus mendoyongkan tubuhnya sambil berseru, "Hing-san-kiam-hoat yang bagus!"
Dengan gaya seperti berusaha mengelak, tapi sebenarnya tubuhnya sengaja disodorkan ke ujung pedang yang menyambar turun itu. Maka terdengarlah suara "cret" satu kali, pedang itu langsung menancap di belakang bahu kanannya. Kontan tubuh Lenghou Tiong tersungkur ke depan sehingga badannya seakan-akan terpaku di tanah oleh pedang Leng-sian.
Kejadian ini benar-benar terlalu mendadak sehingga para penonton menjerit kaget dan melongo.
Leng-sian juga terkejut dan berseru, "Toa... Toasuko, ken...." segera dilihatnya seorang laki-laki berewok berlari mendekati dan membangunkan Lenghou Tiong, pedang yang menancap di tubuhnya itu dicabut, lalu Lenghou Tiong dipondong ke sana.
Darah segar tampak mengucur deras dari luka di bahu Lenghou Tiong, belasan anak murid Hing-san-pay lantas memapak maju pula untuk memberi pertolongan dengan obat luka.
Karena tidak tahu bagaimana luka Lenghou Tiong itu, Leng-sian bermaksud mendekatinya untuk melihat. Tapi mendadak sinar pedang berkelebat, dua orang nikoh telah merintanginya sambil membentak, "Perempuan yang berhati keji!"
Leng-sian melengak dan mundur beberapa langkah, seketika ia pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Terdengarlah Gak Put-kun tertawa nyaring dan berseru, "Anak Sian, sungguh tidak sia-sia kau telah mengalahkan ketua dari tiga aliran dengan menggunakan ilmu pedang dari aliran masing-masing."
Bahwasanya jurus terakhir yang digunakan Leng-sian itu apakah benar jurus ilmu pedang Hing-san-pay atau bukan, sebenarnya para penonton juga tidak tahu jelas. Yang pasti dan terbukti adalah Lenghou Tiong terluka oleh Leng-sian, hal ini tak bisa disangkal oleh siapa pun juga. Sebab itulah tiada seorang pun yang berani menanggapi ucapan Gak Put-kun itu.
Dengan perasaan bingung Leng-sian menjemput kembali pedangnya yang terbuang di tanah itu, melihat batang pedang penuh berlepotan darah, ia menjadi khawatirkan keselamatan jiwa Lenghou Tiong.
Dalam pada itu terdengar suara seorang yang keras lantang berseru, "Gak-siansing tidak cuma menguasai ilmu pedang Hoa-san-pay sendiri, bahkan ilmu pedang Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hing-san-pay juga dikuasainya dengan sempurna, sungguh sangat mengagumkan dan harus dipuji. Maka jabatan ketua Ngo-gak-pay rasanya tiada pilihan lain daripada Gak-siansing sendiri yang harus mendudukinya."
Pembicara ini adalah seorang tua berjenggot, ialah pangcu dari Kay-pang.
Sebagai suatu organisasi terbesar di dunia Kang-ouw, apa yang diucapkan Pangcu Kay-pang sudah tentu mempunyai nilai tertentu, maka tidak sembarangan orang berani menanggapinya.
Tiba-tiba seorang menjawab dengan suara dingin, "Nona Gak ternyata mahir ilmu pedang dari berbagai aliran, sungguh pantas dipuji. Kalau dapat mengalahkan pula diriku dengan Ko-san-kiam-hoat, maka tanpa syarat aku pun akan mendukung Gak-siansing sebagai ketua Ngo-gak-pay."
Pembicara ini adalah Co Leng-tan. Sambil bicara ia terus maju ke tengah kalangan. Sekali tangan kiri menepuk sarung pedang, kontan pedangnya meloncat keluar dari sarungnya. Tertampak sinar pedang berkelebat, dengan tangan kanan Co Leng-tan telah pegang gagang pedangnya.
Sekali tepuk sarung pedang saja dapat membuat pedang meloncat keluar sendiri dari sarungnya, sungguh suatu gaya yang indah dan luar biasa pula tenaga dalamnya. Seketika anak murid Ko-san-pay sama bersorak, tidak kecuali pula sebagian hadirin juga berteriak memuji.


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka terdengarlah Gak Leng-sian menjawab tantangan Co Leng-tan tadi, "Aku hanya main tiga belas jurus saja, dalam 13 jurus kalau tak bisa mengalahkan Co-supek...."
"Bagus, kalau dalam 13 jurus tak bisa memenggal kepalaku, lalu bagaimana?" Co Leng-tan menegas dengan gusar karena merasa terhina.
"Mana bisa aku menandingi Co-supek," ujar Leng-sian. "Hanya 13 jurus ilmu pedang Ko-san-pay yang kupelajari dari ayah, maka aku ingin mencoba-cobanya dengan Co-supek."
Co Leng-tan mendengus tanpa menjawab.
Lalu Leng-sian berkata pula, "Kata Ayah, meski ke-13 jurus Ko-san-kiam-hoat ini adalah jurus-jurus serangan paling hebat dari Ko-san-pay, tapi dalam permainanku mungkin cuma satu jurus saja pedangku sudah tergetar mencelat dari cekalan, apalagi mau mainkan pula jurus kedua."
Kembali Co Leng-tan mendengus tanpa menanggapi.
"Sudah tentu aku tidak percaya," demikian Leng-sian melanjutkan. "Kukatakan kepada Ayah, sekalipun Co-supek terhitung jago nomor satu Ko-san-pay, tapi dia belum terhitung jago nomor satu dari Ngo-gak-kiam-pay kita, betapa pun dia tidak mahir ilmu pedang dari kelima aliran kita seperti Ayah. Namun Ayah dengan rendah hati menyatakan kepandaian beliau juga belum dapat dikatakan mahir, kalau tidak percaya boleh coba kau menandingi ilmu pedang Co-supek-mu yang lihai itu, bila kau sanggup bergebrak tiga jurus saja dengan dia, maka kau terhitung anak perempuanku yang tersayang."
Bab 116. Co Leng-tan Melawan Gak Put-kun
"Hm, jika dalam tiga jurus bahkan kau dapat mengalahkan orang she Co, tentu kau lebih-lebih disayang ayahmu bukan?" jengek pula Co Leng-tan.
"Ilmu pedang Co-supek mahasakti, masakah aku berani mimpi mengalahkan Co-supek apa segala," kata Leng-sian. "Hanya saja aku ingin coba-coba bertahan sampai 13 jurus, entah bisa terkabul tidak harapanku ini."
Mendongkol sekali hati Co Leng-tan, pikirnya, "Jangankan 13 jurus, asal kau mampu menahan tiga jurus saja sudah terhitung hebat."
Tanpa berkata lagi segera ia gunakan tiga jari tangan kiri untuk memegang ujung pedangnya, tangan kanan lantas lepas sehingga pedang menegak, gagang pedang di depan, lalu katanya, "Mulailah!
Cara Co Leng-tan memegang senjatanya ini benar-benar menggemparkan para penonton, Bahwa menggunakan pedang dengan tangan kiri saja luar biasa, apalagi dia hanya memegangi ujung pedang dengan tiga jari, gagang pedang yang digunakan menghadapi musuh.
Leng-sian juga terkesiap, ia tidak tahu kepandaian apa yang akan dikeluarkan Co Leng-tan, betapa pun wibawa Co Leng-tan memang angker, mau tak mau timbul juga rasa jeri pada hati Leng-sian, tapi urusan sudah sejauh ini, buat apa takut lagi"
Sekilas Leng-sian melirik ke arah murid-murid Hing-san-pay, kelihatan mereka masih sibuk dan merubung di sana, namun tiada suara tangisan, dapat diduga luka Lenghou Tiong meski parah agaknya tidak membahayakan jiwanya. Maka rada legalah hatinya. Segera ia angkat pedang dan membungkuk tubuh dengan gaya "Ban-gak-tiau-cong" (Berlaksa Gunung Menghadap Pusat), yakni suatu jurus Ko-san-kiam-hoat yang murni.
Jurus pembukaan ini mengandung arti menghormat, maka gemparlah anak murid Ko-san-pay, tapi merasa puas juga atas sikap Leng-sian itu.
Co Leng-tan manggut perlahan, katanya di dalam hati, "Ternyata kau pun bisa memainkan jurus ini, mengingat sikap hormatmu ini biarlah aku takkan membikin malu kau di depan orang banyak."
Setelah jurus pembukaan tadi, segera Leng-sian melancarkan serangan, pedangnya berkelebat terus menusuk.
Co Leng-tan terkejut oleh kecepatan dan cara menyerang Leng-sian itu. Ia heran dari mana putri Gak Put-kun ini mempelajari ilmu pedang Ko-san-pay yang indah ini. Sebagai seorang guru besar Ko-san-pay, dengan sendirinya ingin tahu lebih mendalam setiap jurus ilmu silat aliran sendiri yang hebat. Ia lihat tusukan Leng-sian itu tidak membawa tenaga dalam yang terlalu kuat, asal sudah dekat dan menyelentiknya dengan jari tentu pedang lawan itu akan terpental. Maka ia sengaja membiarkan tusukan Leng-sian itu lebih mendekat untuk melihat bagaimana perubahan berikutnya.
Ternyata sebelum mencapai sasarannya, mendadak Leng-sian menarik kembali pedangnya, orangnya menggeser ke samping, pedangnya membalik terus menebas ke bahu kiri Co Leng-tan. Kembali suatu gerak serangan yang indah yang membuat Co Leng-tan terkejut heran dan kegirangan pula karena dapat menyaksikan ilmu pedang aliran sendiri yang belum pernah dilihatnya.
Sejak umur belasan Co Leng-tan sudah mempelajari ilmu pedang Ko-san-pay dengan tekun sekali, setelah mewarisi jabatan ketua Ko-san, banyak pula dia mengembangkan ilmu pedang Ko-san-pay yang belum pernah dikerjakan oleh leluhur Ko-san-pay, maka dia boleh dikatakan tokoh Ko-san-pay yang paling berjasa dalam mengembangkan ilmu silat golongannya. Akan tetapi kini ilmu pedang Ko-san-pay yang dimainkan Leng-sian itu adalah hasil tiruannya dari ukiran di dinding gua Hoa-san, betapa pun tinggi ilmu pedang yang diyakinkan Co Leng-tan toh masih kalah hebat daripada apa yang dimainkan Leng-sian sekarang. Karena itu Co Leng-tan menjadi kegirangan dan sangat tertarik untuk mengikutinya lebih lanjut.
Bila lawan Co Leng-tan adalah Hong-ting Taysu atau Tiong-hi Tojin yang lihai, tentu dia tidak punya kesempatan untuk menilai dan mengikuti gerak serangan lawan. Tapi sekarang tenaga dalam Leng-sian masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan Co Leng-tan, pada detik berbahaya bila perlu dia masih sanggup menggetar jatuh pedang lawan itu, maka ia tidak mengkhawatirkan akibatnya dan dapat memusatkan perhatian untuk mengikuti setiap gerak serangan pedang Gak Leng-sian.
Para penonton menjadi heran juga menyaksikan cara bertanding mereka itu. Setiap kali Leng-sian selalu menarik kembali serangannya sebelum mencapai sasarannya, seperti sengaja mengalah dan seperti juga merasa jeri. Sebaliknya Co Leng-tan tidak ambil pusing terhadap serangan yang tiba, air mukanya sebentar heran sebentar girang seperti orang linglung. Pertandingan demikian benar-benar jarang terjadi.
Tapi lantaran ilmu pedang Gak Leng-sian ini hanya tiruan dari gambar yang dilihatnya di dinding gua itu, biarpun mengandung intisari yang mendalam, namun Leng-sian tidak mampu mengembangkannya dengan baik sehingga gayanya tetap begitu-begitu saja. Ko-san-kiam-hoat yang terukir di dinding gua itu hanya meliputi tiga belas jurus, setelah 13 jurus selesai dimainkan, bila perlu terpaksa ia harus mengulangi dari semula.
Sampai di sini pikiran Co Leng-tan tergerak, apakah mesti melihat lebih jauh ilmu pedang lawannya atau bikin pedang lawan tergetar lepas dari cekalan" Kedua hal ini terlalu gampang baginya. Kalau mau melihat lebih lanjut, betapa pun tinggi kepandaian Gak Leng-sian toh tidak mampu mencelakainya. Sebaliknya kalau mau menggetar lepas pedang lawan juga tidak sukar baginya. Namun untuk memilih satu di antara dua inilah yang sulit.
Dalam sekejap macam-macam pikiran sudah terlintas dalam benaknya, "Ko-san-kiam-hoat yang dia mainkan ini sangat aneh dan bagus, sesudah ini mungkin tiada kesempatan buat melihatnya lagi. Untuk membunuh anak perempuan ini adalah terlalu gampang, tapi mencari ilmu pedangnya inilah yang sukar. Rasanya juga tidak mungkin aku minta-minta kepada Gak Put-kun untuk memperlihatkan Ko-san-kiam-hoat ini padaku. Sebaliknya kalau kubiarkan dia ulangi kembali permainannya akan menunjukkan pula ketidakmampuanku melawan seorang anak perempuan, lalu ke mana mukaku ini harus kutaruh" Ah, mungkin sudah lebih 13 jurus yang dijanjikan."
Teringat pada 13 jurus, seketika hasratnya menjadi pemimpin Ngo-gak-pay mengalahkan pikiran-pikiran lain, segera ia putar pedangnya ke atas, terdengarlah benturan nyaring, pedang Leng-sian tergetar patah menjadi beberapa bagian dan jatuh ke tanah.
Leng-sian cepat melompat mundur, serunya nyaring, "Co-supek, sudah berapa jurus Ko-san-kiam-hoat yang kumainkan tadi?"
Co Leng-tan coba mengingat-ingat kembali jurus-jurus serangan Leng-sian tadi, lalu menjawab, "Ya, sudah kau mainkan 13 jurus. Sungguh hebat."
Leng-sian memberi hormat, lalu berkata pula, "Terima kasih atas kemurahan Co-supek sehingga Titli mampu memainkan 13 jurus Ko-san-kiam-hoat dengan lancar."
Bahwa Co Leng-tan dapat membikin pedang lawannya tergetar patah menjadi beberapa bagian memang luar biasa. Namun Leng-sian sudah bicara di muka bahwa dia akan memainkan 13 jurus Ko-san-kiam-hoat, bagi pandangan kebanyakan orang kalau dia sanggup bergebrak tiga jurus saja dengan Co Leng-tan, sudah terhitung hebat, jangankan 13 jurus. Tak terduga Co Leng-tan menjadi linglung sehingga tanpa terasa Leng-sian benar-benar dapat menyelesaikan 13 jurus serangannya.
Segera seorang tua dari Ko-san-pay tampil ke muka dan berseru, "Ilmu sakti Co-ciangbun telah kita saksikan bersama, bahkan beliau cukup bijaksana dan murah hati. Sebaliknya putri keluarga Gak ini baru memahami sedikit Ko-san-kiam-hoat kami lantas berani omong besar dan pamer di hadapan Co-ciangbun, namun apa jadinya" Akhirnya dia keok juga. Ini pun membuktikan bahwa ilmu silat mengutamakan kemahiran khusus, asalkan terlatih sempurna, ilmu silat dari aliran mana pun dapat menjagoi dunia persilatan...."
Sudah tentu para penonton sama cocok dengan ucapan orang tua ini, soalnya memang jarang yang mahir macam-macam ilmu silat kecuali ilmu silat dari perguruannya sendiri.
Maka terdengar orang tua tadi melanjutkan, "Rupanya Gak-toasiocia ini entah berhasil mengintip di mana dan memperoleh sedikit ilmu pedang dari golongan lain, lalu dia berani sesumbar di sini, katanya telah menguasai ilmu pedang dari Ngo-gak-kiam-pay. Padahal ilmu pedang dari aliran masing-masing mempunyai intisarinya sendiri-sendiri, kalau cuma paham sedikit kulitnya atau bulunya saja mana dapat dikatakan sudah mahir?"
Kembali para penonton mengangguk setuju dan sama berpikir Gak Put-kun harus bertanggung jawab karena telah melanggar pantangan besar orang persilatan, yaitu mengintip dan mencuri belajar ilmu silat golongan lain.
Melihat sebagian besar hadirin mendukung ucapannya, segera orang tua itu bicara lagi, "Maka dari itu, tentang jabatan ketua Ngo-gak-pay ini kukira tiada pilihan lain kecuali Co-ciangbun yang pantas mendudukinya. Dari sini juga terbukti bahwa meyakinkan ilmu silat dari suatu aliran yang khusus dengan sempurna jelas lebih baik dan lebih tinggi juga daripada manusia yang suka menganglap dan menyerobot macam-macam ilmu silat orang lain secara tidak sah."
Kata-kata terakhir itu jelas ditujukan kepada Gak Put-kun, maka serentak beratus murid Ko-san-pay sama bersorak membenarkan.
"Nah, coba siapa lagi di antara anggota-anggota Ngo-gak-pay yang merasa kepandaiannya dapat melebihi Co-ciangbun boleh silakan maju untuk mengukur kekuatan masing-masing," kata si orang tua pula. Tapi meski dia ulangi lagi tantangannya, tetap tiada jawaban.
Mestinya Tho-kok-lak-sian dapat mengoceh lagi, tapi saat itu Ing-ing lagi sibuk menolong Lenghou Tiong yang terluka parah, dia tidak sempat lagi memberi petunjuk-petunjuk kepada Tho-kok-lak-sian untuk mengadu mulut dengan pihak Ko-san-pay.
Lantaran tidak tahu apa yang harus dikatakan, Tho-kok-lak-sian juga saling pandang dengan bingung.
Maka orang tua itu lantas buka suara pula, "Kalau tiada seorang pun yang berani menantang Co-ciangbun, maka dengan sendirinya Co-ciangbun disilakan menjabat ketua Ngo-gak-pay kita sesuai dengan keinginan kita."
Tapi Co Leng-tan pura-pura menolak, katanya, "Ah, masih banyak tokoh-tokoh Ngo-gak-pay yang lebih baik, Cayhe sendiri tidak sanggup menerima jabatan seberat ini."
"Tugas sebagai ketua Ngo-gak-pay memang berat," kata orang tua tadi, "tapi apa pun juga Co-ciangbun adalah pantas memimpin kita menuju hari depan yang bahagia. Maka sekarang juga silakan Co-ciangbun naik ke atas panggung untuk peresmian upacara."
Maka bergemuruhlah suara genderang dan tambur disertai petasan yang riuh, rupanya semua ini telah disiapkan sebelumnya oleh anak murid Ko-san-pay. Menyusul orang-orang Ko-san-pay lantas bersorak-sorai, "Silakan Co-ciangbun naik panggung."
Tanpa bicara lagi Co Leng-tan lantas melompat ke atas, dengan enteng ia tancapkan kakinya di atas Hong-sian-tay. Lalu ia memberi hormat kepada para hadirin di bawah panggung, katanya, "Atas penghargaan para kawan, akan kelihatan terlalu mementingkan diri sendiri jika Cayhe menolak lagi untuk memikul tanggung jawab yang berat ini."
Beratus-ratus orang Ko-san-pay serentak bertepuk tangan pula memberi pujian.
Tapi mendadak suara seorang wanita berseru, "Co-supek, kau menggetar patah pedangku, apakah dengan demikian kau sudah terhitung ketua Ngo-gak-pay?"
Yang bicara ini bukan lain adalah Gak Leng-sian.
Co Leng-tan menjawab, "Bukankah semua orang tadi mendengar juga bahwa kita bertanding untuk berebut juara. Bila Gak-siocia yang menggetar patah pedangku, dengan sendirinya kita pun akan mengangkat Gak-siocia sebagai ketua Ngo-gak-pay."
"Untuk mengalahkan Co-supek sudah tentu aku tidak mampu," ujar Leng-sian. "Tapi di antara jago-jago Ngo-gak-pay kukira tidak mustahil masih cukup banyak orang yang dapat mengalahkan Co-supek."
Padahal di antara tokoh-tokoh Ngo-gak-pay, yang paling ditakuti Co Leng-tan hanya Lenghou Tiong saja, sekarang Lenghou Tiong sudah terluka parah, hati Co Leng-tan sudah merasa lega. Maka segera ia menjawab, "Kalau menurut penilaian Gak-siocia, jago-jago yang mampu mengalahkan aku barangkali adalah suamimu, ibumu, atau ayahmu?"
Seketika orang-orang Ko-san-pay tertawa gemuruh pula, tertawa yang mengejek.
Gak Leng-sian menjawab dengan tenang, "Suamiku adalah angkatan muda, kepandaiannya mungkin masih selisih setingkat dengan Co-supek. Tapi ilmu pedang ibuku tentu dapat menandingi Co-supek dengan sama kuat. Mengenai ayahku, dengan sendirinya beliau lebih tinggi daripada Co-supek."
Kembali suara riuh ramai timbul dari rombongan orang-orang Ko-san-pay, ada yang bersuit mengejek, ada yang berteriak marah.
Co Leng-tan lantas berpaling kepada Gak Put-kun dan berkata, "Gak-siansing, terhadap ilmu silatmu, agaknya putrimu sendiri amat sangat menghargaimu."
"Ah, anak perempuan memang banyak omong," sahut Gak Put-kun. "Harap Co-heng jangan anggap sungguh-sungguh. Tentang ilmu silat Cayhe memang ketinggalan jauh kalau dibandingkan Hong-ting Taysu dari Siau-lim-pay, Tiong-hi Totiang dari Bu-tong-pay, serta tokoh-tokoh terkemuka yang lain."
Air muka Co Leng-tan berubah seketika. Gak Put-kun hanya menyebut Hong-ting Taysu, Tiong-hi Totiang, dan lain-lain, tapi sama sekali tidak menyebut namanya Co Leng-tan, hal ini berarti ia menganggap kepandaian sendiri memang lebih tinggi daripada orang she Co.
Tapi orang tua Ko-san-pay tadi toh masih menegas, "Dan kalau dibandingkan Co-ciangbun kami kira-kira bagaimana?"
"Cayhe sudah cukup lama bersahabat dengan Co-heng dan saling menghargai," jawab Gak Put-kun. "Selama ratusan tahun ilmu pedang Ko-san-pay dan Hoa-san-pay juga mempunyai ciri khas masing-masing dan belum pernah menentukan pihak mana yang lebih unggul. Maka pertanyaan Han-heng ini sungguh membikin Cayhe sukar menjawabnya."
Kiranya orang tua itu she Han, dari nada bicaranya rupanya kedudukannya tidaklah rendah di dalam Ko-san-pay, hanya saja orang Kang-ouw tidak banyak yang mengenalnya.
Segera orang she Han itu berkata pula, "Dari nada ucapan Gak-siansing agaknya kau merasa kepandaianmu memang lebih kuat daripada Co-ciangbun kami?"
"Sebenarnya soal bertanding untuk menentukan siapa lebih unggul sejak dahulu kala sukar dihindarkan," kata Gak Put-kun. "Sudah lama Cayhe memang punya maksud minta petunjuk kepada Co-heng. Cuma sekarang kita baru saja membangun Ngo-gak-pay, siapa ketuanya juga belum ditentukan, kalau Cayhe lantas bertanding dengan Co-heng tampaknya menjadi rada-rada tidak enak, sebab orang tentu akan mengatakan Cayhe sengaja hendak berebut menjadi ketua dengan Co-heng."
"Tapi kalau Gak-heng memang benar dapat mengalahkan pedang di tanganku ini, maka jabatan ketua Ngo-gak-pay dengan sendirinya akan kuserahkan kepada Gak-heng," kata Co Leng-tan.
"Ah, jangan bicara demikian, sebab orang yang berilmu silat tinggi belum tentu martabatnya juga tinggi," ujar Gak Put-kun. "Biarpun Cayhe dapat mengalahkan Co-heng juga belum tentu sanggup mengalahkan tokoh-tokoh Ngo-gak-pay yang lain."
Biar ucapannya sangat rendah hati, tapi setiap katanya ternyata tidak mau kalah, tetap anggap dirinya sendiri lebih tinggi setingkat daripada Co Leng-tan.
Keruan gusar Leng-tan tak terperikan, jawabnya dengan dingin, "Gak-heng punya gelar "Kun-cu-kiam" (Pedang Kesatria) sudah termasyhur di seluruh jagat. Sampai di mana "kesatria" Gak-heng kukira tidak perlu dijelaskan, tapi betapa pun pula nilai "pedang" gelaranmu itu kukira tiada jeleknya diuji sekarang juga agar para hadirin dapat ikut menyaksikan."
"Benar, benar! Tarung saja ke atas panggung!"
"Hayolah berhantam saja, buat apa melulu omong doang!"
"Bergebrak dulu dan urusan belakang!" demikian seru orang banyak.
Tapi Gak Put-kun tenang-tenang saja tanpa menjawab.
Di waktu merencanakan penggabungan Ngo-gak-kiam-pay sudah dalam perhitungan Co Leng-tan sampai di mana kepandaian tokoh-tokoh lawannya, ia yakin kepandaian dirinya cukup kuat untuk mengatasi ketua keempat aliran yang lain. Sebab itulah dengan giat dia mengusahakan terlaksananya penggabungan itu.
Tentang ilmu Gak Put-kun yang diandalkan, yaitu "Ci-he-sin-kang" memang juga diketahui oleh Co Leng-tan ketika terjadi pertarungan di Siau-lim-si dahulu, maka ia pun dapat mengukurnya bahwa dirinya masih sanggup mengatasi Gak Put-kun. Apalagi waktu di Siau-lim-si dahulu, ketika Gak Put-kun menendang Lenghou Tiong, tapi kaki sendiri berbalik tergetar patah, dari sini pun dapat diketahui lwekang ketua Hoa-san-pay itu pun cuma sekian saja. Sebab kalau orang yang memiliki lwekang dengan sempurna, sekalipun tidak dapat mencelakai lawan, tentu tidak pula mencelakai dirinya sendiri.
Karena perasaan yang mantap itu, pula melihat gelagatnya Gak Put-kun seperti tidak bermaksud naik panggung untuk bertanding dengan dia, keruan Co Leng-tan menjadi lebih takabur, pikirnya, "Gak Put-kun sangat licik, kalau sekarang aku tidak menaklukkan dia, kelak orang seperti dia tentu akan membahayakan Ngo-gak-pay yang kupimpin."
Maka dengan nada menghina Co Leng-tan lantas berkata pula, "Gak-heng, para hadirin sama ingin melihat kepandaianmu, mengapa kau tidak memberi muka kepada orang banyak?"
"Jika demikian kata Co-heng, ya, apa boleh buat, terpaksa Cayhe menurut saja," jawab Gak Put-kun. Maka selangkah demi selangkah ia naik ke atas Hong-sian-tay melalui undak-undakan batu. Padahal kalau mau sekali lompat saja dengan gampang ia dapat naik ke sana seperti apa yang dilakukan Co Leng-tan tadi.
Melihat bakal ada pertunjukan ramai, para hadirin sama bersorak gembira.
Setiba di atas panggung batu itu, Gak Put-kun memberi hormat, katanya, "Co-heng, kita sekarang sudah terhitung sesama perguruan, cuma para hadirin minta Siaute lemaskan otot, terpaksa kulakukan sebisanya. Kita hanya saling belajar, tidak perlu saling melukai, cukup asal sudah kena, lalu berhenti. Bagaimana pendapatmu?"
"Sudah tentu aku akan hati-hati dan berusaha sebisanya agar tidak melukai Gak-heng," kata Co Leng-tan.
Serentak orang-orang Ko-san-pay sama berteriak mengejek, "Huh, belum dihajar sudah minta ampun, ada lebih baik mengaku kalah saja dan tak perlu bertanding."
"Ya, kalau takut mampus, silakan lekas turun kembali saja."
"Memangnya senjata tak bermata, begitu mulai bergebrak siapa berani tanggung takkan terluka atau binasa?"
Namun Gak Put-kun tersenyum-senyum saja, katanya lantang, "Senjata memang tidak bermata, memang sukar terjamin takkan terluka atau mati."
Sampai di sini ia lantas berpaling kepada orang-orang Hoa-san-pay dan berseru, "Dengarkan para murid Hoa-san, aku hanya saling belajar saja dengan Co-suheng dan sekali-kali tiada punya permusuhan apa-apa, bila nanti secara kebetulan aku terbunuh oleh Co-suheng atau terluka parah, hal ini adalah salahku sendiri dan kalian tidak boleh dendam dan menuntut balas kepada Co-supek. Yang penting rasa persatuan Ngo-gak-pay kita harus tetap dipegang teguh."
Gak Leng-sian dan lain-lain serentak mengiakan.
Hal ini rada di luar dugaan Co Leng-tan malah, katanya kemudian, "Gak-heng ternyata sangat bijaksana dan mengutamakan kepentingan Ngo-gak-pay kita, sungguh sangat baik."
"Peleburan kelima aliran kita adalah urusan penting yang mahasulit," kata Put-kun dengan tersenyum. "Kalau sekarang disebabkan persoalan kita berdua sehingga terjadi pertengkaran sendiri di antara sesama anggota Ngo-gak-pay, maka jelas telah mengingkari asas tujuan penggabungan kelima aliran kita."
"Ya, memang tidak salah," kata Co Leng-tan. Di dalam hati ia terpikir bahwa Gak Put-kun sudah jeri padanya, maka sebentar harus ditaklukkannya untuk menegakkan wibawa.
Dengan penuh keyakinan, segera Co Leng-tan melolos pedangnya, "creeng", suaranya nyaring melengking panjang. Kiranya dia sengaja menggunakan tenaga dalam untuk mencabut keluar pedangnya, batang pedang bergesek dengan sarungnya dan mengeluarkan suara nyaring. Penonton yang tidak tahu sebab musababnya sama melongo kaget. Sebaliknya orang-orang Ko-san-pay kembali bersorak memberi pujian.
Dalam pada itu Gak Put-kun juga lantas mengeluarkan pedangnya, namun caranya berbeda. Dengan perlahan-lahan ia menanggalkan pedang dan sarungnya yang menggantung di pinggangnya, lalu ditaruh pada pojok panggung, dari situ baru perlahan-lahan ia lolos keluar pedangnya.
Melulu dari cara mencabut pedang masing-masing sudah kentara pihak mana lebih kuat dan pertandingan ini sebenarnya sudah jelas pihak mana yang lebih unggul.
Sementara itu Lenghou Tiong yang terluka parah karena bahu kanan tertembus oleh pedang Gak Leng-sian tadi sedang dirubung-rubung anak murid Hing-san-pay untuk diberi pertolongan. Ing-ing tidak menghiraukan kedudukan sendiri lagi tadi, yang maju mencabut pedang Lenghou Tiong itu adalah dia serta memondongnya ke pinggir. Bersama-sama Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain mereka sibuk memberi obat luka yang paling mujarab dari Hing-san-pay.
Walaupun terluka parah, tapi pikiran Lenghou Tiong tetap jernih, ketika melihat kesibukan Ing-ing dan murid Hing-san-pay yang prihatin menghadapi keadaannya yang parah itu, diam-diam ia merasa menyesal, hanya karena ingin menyenangkan hati siausumoay, sebaliknya Ing-ing dan para murid Hing-san-pay harus dibikin cemas sedemikian. Sekuatnya ia coba tersenyum dan berkata, "Ah, sedikit kurang hati-hati, entah bagaimana telah di... dilukai oleh pedang ini. Kukira tidak... tidak apa-apa, tidak apa-apa, tak perlu...."
"Sssst, jangan bersuara," kata Ing-ing.
Meski dia sengaja membuat suaranya sekasar-kasarnya supaya cocok dengan penyamarannya sebagai seorang laki-laki berewok, tapi sukar duga menutupi suara perempuan yang lembut. Keruan para murid Hing-san-pay sama terheran-heran mendengar suara seorang laki-laki berewok itu sedemikian aneh.
"Coba kulihat... kulihat...." kata Lenghou Tiong sambil memandang ke arah panggung.
Gi-jing mengiakan dan segera menarik minggir dua orang sumoaynya yang menghalangi penglihatan Lenghou Tiong. Saat itu Gak Leng-sian lagi bertanding melawan Co Leng-tan, apa yang terjadi kemudian dapat diikutinya dengan samar-samar karena keadaannya yang payah.
Ketika Gak Put-kun melolos pedang menghadapi Co Leng-tan, saat itu para penonton sama menahan napas menantikan terjadinya pertarungan dahsyat. Maka suasana di puncak Ko-san seketika menjadi sunyi senyap.
Sayup-sayup Lenghou Tiong mendengar suara orang membaca kitab Buddha dengan suara yang sangat lirih. Dari suaranya yang lembut dan doa yang penuh kesungguhan dan kekhidmatan Lenghou Tiong yakin yang sedang berdoa baginya itu pastilah Gi-lim.
Dahulu Gi-lim juga pernah membaca kitab dan berdoa baginya ketika di luar Kota Heng-san, waktu itu ia tidak berpaling untuk memandangnya, namun sorot mata Gi-lim yang mesra serta wajahnya yang cantik itu dengan jelas terbayang di depan matanya. Kini Lenghou Tiong duduk bersandar di atas badan Ing-ing yang lunak, telinganya mendengar suara berdoa Gi-lim, seketika timbul perasaan cintanya yang sukar dilukiskan. Pikirnya, "Tidak hanya Ing-ing, bahkan Gi-lim Sumoay juga sangat memerhatikan diriku. Bahkan mereka lebih mementingkan keselamatanku daripada jiwa mereka sendiri. Sekalipun badanku hancur lebur sukar juga rasanya untuk membalas budi kebaikan mereka."
Dalam pada itu pertandingan di atas panggung sudah mulai bersiap-siap. Gak Put-kun melintangkan pedang di depan dada, tangan kirinya bergaya seperti pegang pensil hendak menulis. Co Leng-tan tahu ini adalah jurus Hoa-san-kiam-hoat yang disebut "Si-kiam-hwe-yu" (Menemui Sahabat dengan Syair dan Pedang), jurus ini adalah jurus pembukaan bilamana pihak Hoa-san-pay bertarung dengan teman sesama persilatan, jurus ini mengandung arti pertandingan ini hanya dilakukan secara persahabatan saja dan tidak perlu mengadu jiwa.
Co Leng-tan menampilkan senyuman puas, katanya, "Ah, tidak perlu sungkan-sungkan."
Tapi dalam hati ia pun waswas, biarpun Gak Put-kun bergelar "Pedang Kesatria", namun lebih banyak munafik daripada kesatria tulen, belum tentu dia benar-benar hendak bertanding secara bersahabat dengan aku, bisa jadi dia sudah jeri, tapi dia sengaja bersikap demikian agar aku tidak menaruh curiga apa-apa, kemudian dia lantas menggunakan serangan maut untuk merobohkan diriku. Demikian pikir Co Leng-tan.
Segera tangan kirinya terpentang ke samping, pedang di tangan kanan lantas menjurus ke depan, yang dia gunakan adalah jurus "Khay-bun-kian-san" (Buka Pintu Tampak Gunung) dari Ko-san-kiam-hoat. Jurus ini mengandung arti, kalau mau berkelahi silakan mulai saja dan tidak perlu pura-pura segala. Dengan jurus ini pun dia hendak menyindir secara halus kemunafikan pihak lawan.
Sudah tentu Gak Put-kun paham arti yang terkandung dalam jurus pembukaan Co Leng-tan itu. Segera pedangnya menjulur ke tengah, ujung pedang bergetar, tapi sampai di tengah jalan mendadak ujung pedang menyungkit ke atas, inilah jurus "Jing-san-in-in" (Gunung Menghijau Samar-samar), suatu jurus yang penuh perubahan-perubahan lihai.
Segera pedang Co Leng-tan membacok dari atas ke bawah dengan tenaga yang dahsyat. Banyak di antara para penonton sama bersuara kaget. Kiranya gerakan Co Leng-tan ini tidak terdapat dalam Ko-san-kiam-hoat, yang dia gunakan sesungguhnya adalah gaya ilmu pukulan yang digunakan atas pedang. Jurus ini disebut "Tok-pik-hoa-san" (Satu Kali Membelah Hoa-san), jurus pukulan ini sangat umum bagi setiap orang yang belajar ilmu silat pukulan. Selama ini pun semua orang tahu tiada terdapat jurus demikian dalam Ko-san-kiam-hoat, seumpama ada, mengingat nama Hoa-san-pay selayaknya mesti dihindarkan pemakaiannya. Tapi sekarang Co Leng-tan sengaja menggunakan pedang dan memainkan jurus serangan itu, terang dia bermaksud memancing kemarahan Gak Put-kun. Kalau marah tentu pula akan kurang cermat dalam pertarungan nanti.
Di luar dugaan Gak Put-kun tetap tenang-tenang saja, ia mengegos ke samping atas bacokan Co Leng-tan tadi, menyusul dari samping ia lantas batas menusuk dengan jurus "Ko-pek-sim-sim" (Cemara Tua Rindang Rimbun).
Melihat sikap Gak Put-kun yang tenang dan teratur itu, jelas orang telah merancangkan pertarungan jangka lama dengan dia, maka Co Leng-tan tidak berani gegabah lagi. Segera ia melancarkan serangan pula dengan lebih hati-hati.
Begitulah kedua tokoh itu telah bertarung dengan segenap kemahiran masing-masing dengan ilmu pedang dari aliran sendiri-sendiri. Begitu seru sehingga dalam sekejap saja kedua orang seakan-akan terbungkus rapat oleh sinar pedang. Meski Gak Put-kun belum ada tanda-tanda akan kalah, tapi di bawah serangan Co Leng-tan yang gencar, tampaknya Ko-san-kiam-hoat lebih banyak digunakan menyerang daripada untuk bertahan.
Sejak timbul cita-cita Co Leng-tan hendak melebur Ngo-gak-kiam-pay, lebih dulu ia telah merangkul tenaga-tenaga Hoa-san-pay dari sekte pedang seperti Seng Put-yu dan kawan-kawannya, mereka dihasut untuk memusuhi Gak Put-kun untuk mengurangi kekuatan Hoa-san-pay, di samping itu diam-diam ia menugaskan murid kepercayaannya untuk meneliti dengan cermat setiap jurus ilmu pedang Hoa-san-pay yang dimainkan Gak Put-kun dan kemudian dilaporkan kepadanya. Hasilnya Co Leng-tan memang banyak mengetahui titik kekuatan dan titik kelemahan Hoa-san-kiam-hoat. Maka pertandingan sekarang cukup membuatnya mantap, yakin pasti akan menang.
Kira-kira sudah dekat ratusan jurus kedua pihak masih sama kuatnya. Suatu ketika Co Leng-tan mendadak angkat pedangnya ke atas, menyusul tangan kiri terus menghantam ke depan, pukulan telapak tangan ini mengancam 36 tempat hiat-to di tubuh musuh bagian atas, kalau Gak Put-kun menghindar tentu juga akan terluka oleh pedang Co Leng-tan.
Di sini mulailah Gak Put-kun memperlihatkan kemampuannya. Air mukanya mendadak berubah gelap, merah keungu-unguan, ia pun menggunakan telapak tangan kiri untuk menyambut hantaman lawan. "Blang", kedua tangan beradu. Gak Put-kun melompat pergi, sebaliknya Co Leng-tan berdiri tegak.
Melihat adu pukulan itu, Lenghou Tiong menjadi khawatir dan prihatin atas keselamatan Gak Put-kun. Ia tahu betapa lihai ilmu pukulan Co Leng-tan yang mahadingin itu, tempo hari Yim Ngo-heng saja termakan dan pernah membikin empat orang berubah menjadi manusia salju ketika penyakit dinginnya kumat akibat pukulan Co Leng-tan itu.
Namun Gak Put-kun ternyata sanggup bertahan, dengan tenang ia berseru, "Apakah ilmu pukulanmu ini ilmu silat murni dari Ko-san-pay?"
"Ini adalah ilmu pukulan ciptaanku sendiri, kelak akan kuajarkan kepada murid pilihan dalam Ngo-gak-pay kita," jawab Co Leng-tan.
"Kiranya demikian, biarlah kuminta petunjuk beberapa jurus lebih banyak," kata Gak Put-kun.
"Bagus," sahut Co Leng-tan. Diam-diam ia mengakui juga kelihaian "Ci-he-sin-kang" yang dikuasai Gak Put-kun, buktinya sedikitnya ketua Hoa-san-pay itu tidak menggigil dingin, bahkan sanggup buka suara. Tapi ia yakin kalau Gak Put-kun berani menyambut beberapa jurus ilmu pukulannya yang mahadingin "Han-peng-sin-ciang" (Pukulan Sakti Sedingin Es) akhirnya pasti tak tahan dan akan menggigil.
Segera Co Leng-tan putar pedangnya terus menusuk, cepat Gak Put-kun menangkisnya. Beberapa jurus lagi, "blang", kembali pukulan kedua orang beradu. Sekali ini Gak Put-kun tidak menghindar pergi, sebaliknya pedang terus menebas ke pinggang lawan malah.
Giliran Co Leng-tan yang menangkis dengan pedangnya, berbareng telapak tangan kiri terus menggaplok sekeras-kerasnya ke batok kepala lawan. Gaplokan dari atas ke bawah ini sungguh luar biasa dahsyatnya.
Tapi Gak Put-kun kembali angkat tangan kiri untuk memapaknya. "Plok", untuk ketiga kalinya mereka beradu tangan. Sambil mendakkan tubuh Gak Put-kun terus melompat ke samping. Sedangkan Co Leng-tan lantas mencaci maki, "Bangsat! Tidak tahu malu!"
Nadanya sangat gusar dan penuh penasaran.
Sudah jelas para penonton menyaksikan Gak Put-kun kecundang, waktu melompat pergi tampaknya juga sempoyongan. Tapi mengapa Co Leng-tan mencaci makinya dengan gemas, hal ini sungguh membuat mereka bingung.
Kiranya pada adu tangan yang ketiga, mendadak tengah telapak tangan Co Leng-tan terasa sakit, sesudah Gak Put-kun melompat pergi, sekilas Co Leng-tan melihat telapak tangannya ada suatu lubang kecil dan mengeluarkan darah kehitam-hitaman.
Keruan Co Leng-tan terkejut dan murka, ia pikir tentu Gak Put-kun memasang jarum berbisa di tengah tangannya sehingga secara licik melukainya. Dari darah kehitam-hitaman yang keluar itu terang jarumnya berbisa. Sungguh tidak nyana tokoh yang bergelar "Pedang Kesatria" ternyata begitu rendah perbuatannya. Cepat ia menghirup hawa segar panjang-panjang, lalu menutuk tiga kali pada bahu kiri sendiri untuk menahan menjalarnya racun.
Sekarang ia tidak mau memberi angin lagi kepada Gak Put-kun, ia putar pedangnya yang melancarkan gerangan dengan lebih gencar.
Bab 117. Gak Put-kun Keluar Sebagai Pemenang
Gak Put-kun juga tidak ayal, ia pun menangkis dan balas menyerang dengan sama ganasnya. Cuaca sekarang sudah remang-remang mendekati magrib, pertandingan kedua tokoh di atas Hong-sian-tay itu kini bukan pertandingan persahabatan lagi, tapi pertarungan mati-matian, hal ini dapat dilihat dengan jelas oleh para penonton.
Setelah beberapa jurus lagi, melihat lawannya bertahan dengan sangat rapat, Co Leng-tan mulai tidak sabar, makin kuat tenaga yang dikerahkan untuk memainkan pedangnya.
Tampaknya Gak Put-kun mulai kewalahan, tapi mendadak ilmu pedangnya berubah, pedangnya sebentar menjulur sebentar mengerut, gerak serangannya sangat aneh.
Keruan para penonton terheran-heran. "Ilmu pedang apakah ini?" demikian ada orang bertanya dengan suara perlahan. Tapi yang tanya boleh tanya, yang jawab ternyata tidak ada, paling-paling hanya menggeleng kepala saja.
Co Leng-tan mendengus, katanya di dalam hati, "Memangnya aku sudah menduga pada saat terakhir kau tentu akan keluarkan simpananmu ini, kau tidak tahu bahwa sebelumnya aku sudah bersiap. Kau punya "Pi-sia-kiam-hoat" mungkin lihai kalau digunakan terhadap orang lain, tapi bisa berbuat apa terhadapku?"
Lenghou Tiong mengikuti pertarungan Gak Put-kun melawan Co Leng-tan sambil bersandar pada badan Ing-ing. Ketika mendadak melihat ilmu pedang sang guru berubah aneh dan cepat luar biasa, sama sekali berbeda daripada Hoa-san-kiam-hoat, ia menjadi terheran-heran. Dalam sekejap saja dilihatnya ilmu pedang yang dimainkan Co Leng-tan juga sudah berubah, gerak pedangnya yang dimainkan sekarang ternyata hampir mirip dengan Gak Put-kun.
Beberapa jurus lagi Lenghou Tiong lantas ingat ketika di Siau-lim-si dahulu, waktu Co Leng-tan bertanding dengan Yim Ngo-heng dengan jurus-jurus serangannya yang aneh, tatkala mana Hiang Bun-thian pernah berseru, "Pi-sia-kiam-hoat!"
Kini yang digunakan sang suhu dan Co Leng-tan adalah ilmu silat yang pernah dimainkan Co Leng-tan dahulu, apakah yang mereka gunakan sekarang ini memang betul Pi-sia-kiam-hoat adanya"
Seketika pikiran Lenghou Tiong menjadi bergolak, terpikir olehnya, sebab dirinya diusir dari Hoa-san-pay kecuali alasan pergaulannya dengan Ing-ing dan orang-orang Mo-kau, tapi ada pula alasan lain, yaitu karena sang suhu mencurigai dirinya menggelapkan Pi-sia-kiam-boh milik Lim Peng-ci itu.
Bahwasanya sang guru juga mahir Pi-sia-kiam-hoat dapatlah dimengerti, sebab bukan mustahil Gak Put-kun telah mempelajarinya bersama Lim-sute. Tapi mengapa Co Leng-tan juga mahir memainkan ilmu pedang keluarga Lim ini. Apa barangkali Pi-sia-kiam-boh dahulu pernah direbut Co Leng-tan dan kemudian direbut kembali oleh Suhu" Jika demikian halnya rasanya takkan menguntungkan Suhu, sebab Co Leng-tan lebih lama berlatih, tentu hasil yang dicapainya lebih hebat daripada Suhu. Demikian Lenghou Tiong membatin.
Benar juga, keadaan pertarungan di atas Hong-sian-tay ternyata mendekati dugaannya, tertampak Co Leng-tan terus melancarkan serangan dan Gak Put-kun terdesak mundur. Melihat banyak kelemahan-kelemahan ilmu pedang yang dimainkan sang guru yang semakin banyak, keadaannya tambah berbahaya, Lenghou Tiong merasa gelisah juga.
Di lain pihak demi melihat Co Leng-tan sudah di pihak menang, serentak anak murid Ko-san-pay sama memberi sorak pujian.
Co Leng-tan semakin bersemangat menyerang dengan gencar, ia merasa girang karena melihat pihak lawan sudah mulai kacau, segera ia menyerang terlebih kuat. Tidak lama kemudian, ketika kedua pedang beradu, sekali puntir dan menyungkit, Co Leng-tan berhasil membikin pedang Gak Put-kun mencelat ke udara. Serentak anak murid Ko-san-pay bersorak-sorai gembira.
Tak terduga Gak Put-kun lantas menubruk maju pula dengan bertangan kosong, dengan cara menutuk, mencengkeram, dan gaya-gaya lain, ternyata serangannya tidak kalah lihainya daripada Co Leng-tan. Terutama gerak tubuhnya yang lincah dan enteng, sebentar di sini, tahu-tahu sudah berada di sana, betapa cepat dan aneh gerakannya sungguh sukar dibayangkan.
Keruan Co Leng-tan terperanjat, teriaknya takut, "Kau... kau ini...." namun untuk bicara saja tidak sempat, terpaksa ia harus bertahan sebisanya.
Begitu tegang perubahan pertarungan di atas panggung itu sehingga pedang Gak Put-kun yang mencelat ke udara dan jatuh kembali menancap di atas panggung tak diperhatikan orang lagi.
"Tonghong Put-pay! Tonghong Put-pay!" seru Ing-ing tertahan.
Kini Lenghou Tiong juga sudah dapat melihat jelas bahwa ilmu silat yang digunakan suhunya sekarang tiada ubahnya seperti ilmu silat Tonghong Put-pay ketika gembong Mo-kau itu menempur mereka berempat di Hek-bok-keh dahulu.
Saking kejut dan heran, Lenghou Tiong sampai lupa sakit dan berdiri. Syukur dari samping sebuah tangan yang mungil lantas menjulur tiba dan memapahnya, namun dia masih tidak merasakannya. Malahan sepasang mata jelita yang sedang memandangnya dengan kesima juga tidak dirasakannya.
Pada saat itu, beribu-ribu pasang mata di puncak Ko-san itu hanya ada sepasang mata yang sejak mula tidak pernah memerhatikan apa yang terjadi di situ, sedetik pun sorot mata Gi-lim belum pernah meninggalkan diri Lenghou Tiong, sekalipun dunia akan kiamat saat itu mungkin juga tak dihiraukan olehnya.
Sekonyong-konyong terdengar Co Leng-tan menjerit, sedangkan Gak Put-kun terus melompat mundur dan berdiri di ujung panggung sana, tepat di pinggir panggung, badannya rada tergeliat-geliat seperti mau tergelincir ke bawah.
Di sebelah lain Co Leng-tan masih terus putar pedangnya dengan kencang, yang dimainkan adalah Ko-san-kiam-hoat yang hebat, begitu rapat pedangnya berputar sehingga seluruh badannya seakan terbungkus oleh sinar pedangnya. Anehnya ilmu pedangnya yang hebat itu seakan-akan cuma dimainkan sebagai demonstrasi saja tanpa menyerang kepada Gak Put-kun, keadaannya tampak rada-rada tidak beres.
Sejenak kemudian, mendadak pedang Co Leng-tan menusuk ke depan, lalu berhenti di tengah jalan, kepalanya rada miring seperti sedang mendengarkan apa-apa.
Pada saat itulah orang-orang yang bermata tajam dapat melihat dengan jelas ada dua tetes darah mengucur keluar dari kedua mata Co Leng-tan. Serentak di antara para penonton ada yang berkata, "He, matanya buta!"
Ucapan orang itu tidak terlalu keras, namun cukup jelas didengar Co Leng-tan. Ia menjadi gusar dan berteriak, "Aku tidak buta! Aku tidak buta! Bangsat mana yang bilang aku buta" Hayo Gak Put-kun, pengecut kau, bangsat! Kalau berani majulah dan bergebrak 300 jurus lagi dengan tuanmu!"
Makin berteriak makin keras dengan nada penuh kemurkaan, kesakitan, dan putus asa laksana seekor binatang liar yang terluka parah dan sedang meronta sebelum ajal.
Sebaliknya Gak Put-kun tetap berdiri di ujung panggung dengan tersenyum-senyum. Kini semua orang dapat melihat dengan jelas, kedua mata Co Leng-tan memang benar telah tertusuk buta oleh Gak Put-kun. Semuanya melongo heran, hanya Lenghou Tiong dan Ing-ing saja tidak merasa aneh atas kejadian ini. Sebab ilmu silat yang dimainkan Gak Put-kun itu sudah mereka kenal waktu mereka berempat mengerubut Tonghong Put-pay di Hek-bok-keh tempo hari, untung perhatian Tonghong Put-pay dipencarkan oleh akal Ing-ing yang pura-pura menyerang Nyo Lian-ting sehingga akhirnya Tonghong Put-pay dapat mereka bunuh, walaupun begitu sebelah mata Yim Ngo-heng toh tertusuk buta oleh jarum Tonghong Put-pay.
Gerak tubuh Gak Put-kun memang tidak segesit Tonghong Put-pay, tapi satu lawan satu tentu saja Co Leng-tan bukan tandingan Gak Put-kun, dan memang benar, dalam sekejap saja kedua matanya sudah tertusuk buta.
Melihat sang suhu menang, hati Lenghou Tiong ternyata tidak merasa senang, sebaliknya mendadak timbul semacam perasaan takut yang sukar dikatakan, bahkan juga perasaan muak. Ia tertegun sejenak, tiba-tiba lukanya terasa sakit, segera ia duduk kembali dengan lesu.
"Kenapa?" cepat Ing-ing dan Gi-lim memegangi bahunya dan bertanya dengan khawatir.
"Tidak... tidak apa-apa," jawab Lenghou Tiong dengan senyuman yang dipaksakan.
Dalam pada itu terdengar Co Leng-tan lagi berteriak-teriak, "Gak Put-kun, bangsat kau! Kalau berani hayolah maju lagi, kenapa main sembunyi-sembunyi, pengecut kau... hayo maju!"
Melihat jago pihaknya sudah tak berdaya, si kakek she Han dari Ko-san-pay tadi berkata kepada anak-anak buahnya, "Kalian pergi memapah turun Suhu!"
Hikmah Pedang Hijau 9 Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin Pendekar Sakti 19
^