Pencarian

Hina Kelana 42

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 42


Begitulah, karena bentakan orang tua itu, serentak beberapa orang Ko-san-pay yang lain mengepung si jangkung di tengah dengan senjata terhunus.
"Sama sekali aku tidak paham akan ilmu pedang kalian, andaikan aku memandang ukiran cara mengalahkan ilmu pedang kalian juga tiada gunanya," demikian si jangkung berusaha membela diri.
"Pendek kata, dengan memandangi ukiran dinding ini tentu pula kau tidak punya niat baik," kata kakek dengan bengis.
"Tapi ketua Ngo-gak-pay, Gak-siansing, telah sudi mengundang kita ke sini untuk memandang berbagai ilmu pedang yang terukir di dinding ini, beliau tidak pernah menetapkan bagian mana yang boleh dilihat dan bagian mana dilarang melihat," sahut si jangkung dengan siap siaga.
"Jelas kau tidak punya maksud baik terhadap Ko-san-pay kami dan hal ini tak dapat kami biarkan," kata si kakek.
"Ngo-gak-kiam-pay telah dilebur menjadi satu, yang ada kini hanya Ngo-gak-pay, mana ada Ko-san-pay pula?" sahut si jangkung dengan angkuh. "Bila Ngo-gak-kiam-pay tidak terlebur menjadi satu masakah Gak-siansing mengizinkan kita semua ini terobosan di dalam gua Hoa-san sini, apalagi untuk mendalami ilmu pedang yang terukir ini."
Jawaban ini membikin si kakek menjadi bungkam. Mendadak seorang murid Ko-san-pay mendorong keras pundak belakang si jangkung sambil membentak, "Mulutmu memang pintar bicara ya?"
Sekonyong-konyong tangan si jangkung membalik sehingga pergelangan murid Ko-san-pay itu kena digaet terus disengkelit, kontan murid Ko-san-pay itu terbanting jatuh.
Pada saat itulah terdengar di tengah orang-orang Thay-san-pay juga ada orang membentak, "Siapa kau" Berani kau memakai serangan Thay-san-pay kami dan mencampurkan diri di sini untuk mencuri lihat Thay-san-kiam-hoat yang terukir di dinding ini?"
Menyusul itu tertampak seorang muda berbaju seragam Thay-san-pay berlari cepat keluar, namun segera ia diadang oleh seorang sambil membentak, "Berhenti! Siapa kau, berani kau mengacau di sini?"
Anak muda itu tidak menjawab, tapi pedangnya terus menusuk sambil menerjang ke depan. Tapi si pengadang mengegos sambil mencolok kedua mata lawan. Terpaksa si anak muda melompat mundur. Namun si pengadang lantas memburu maju, kembali tangannya menjulur ke depan untuk menyerang kedua mata lawan.
Lantaran diserang dari dekat, pedang si anak muda sukar digunakan menangkis, terpaksa ia melompat mundur lagi. Segera si pengadang menyapu dengan sebelah kakinya, untung si anak muda keburu meloncat ke atas. Tapi tidak urung dadanya terkena pukulan, "bluk", kontan ia terguling dan muntah darah. Dari belakang dua murid Thay-san-pay telah memburu maju dan membekuknya.
Sementara itu di sebelah sana si jangkung sudah terkepung oleh empat-lima orang murid Ko-san-pay dan sedang diserang dengan gencar. Ilmu pedang si jangkung tampaknya sangat lihai, tapi jelas bukan orang dari Ngo-gak-kiam-pay.
Serentak beberapa orang Ko-san-pay yang menonton di pinggir berteriak, "Keparat ini bukan orang Ngo-gak-kiam-pay kita, tapi mata-mata musuh yang ikut menyusup ke sini."
Karena terjadi pertempuran dua kelompok, seketika suasana di dalam gua yang tadinya sunyi senyap, berubah menjadi kacau-balau.
Dalam keadaan ribut itu Lenghou Tiong pikir adalah kesempatan baik baginya untuk mencari Bok-taysiansing. Segera ia menyelinap maju lagi ke lorong sana, tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang keras laksana gugur gunung dahsyatnya. Banyak orang sama menjerit kaget dan takut.
Lenghou Tiong terkejut, cepat ia putar balik, dilihatnya debu pasir bertebaran di dalam gua itu, ia tidak pikirkan buat mencari Bok-taysiansing lagi, tapi yang perlu segera didampingi adalah Ing-ing. Akan tetapi suasananya telah berubah menjadi kacau, orang-orang berlari serabutan, senjata menyambar tak kenal arah, yang kelihatan hanya debu pasir belaka, di mana Ing-ing waktu itu tak kelihatan lagi.
Sekuatnya Lenghou Tiong berdesak-desakan di tengah orang banyak, beberapa kali ia harus berkelit dan menghindari serangan senjata yang entah datang dari mana. Ketika ia dapat mencapai mulut gua, maka mengeluhlah dia, mulut gua itu sudah merapat tertutup oleh sepotong batu yang beratnya entah berapa puluh ribu kati, jadi pintu gua itu telah tersumbat menjadi buntu, sekilas itu ia tidak melihat sesuatu lubang keluar-masuk pada mulut gua tadi.
"Ing-ing! Ing-ing! Di mana kau?" seru Lenghou Tiong.
Sayup-sayup ia seperti mendengar Ing-ing menyahutnya satu kali di kejauhan, suaranya seperti datang dari ujung masuk lorong tadi, hanya saja sukar dibedakan dengan jelas karena terganggu oleh suara ribut beratus-ratus orang itu.
Ia merasa heran mengapa Ing-ing bisa berada di ujung lorong sana" Tapi setelah dipikir lagi segera ia pun paham duduknya perkara, tentunya waktu batu raksasa penyumbat gua itu dijatuhkan ke bawah, Ing-ing yang mestinya dapat melarikan diri tidak mau meninggalkan diriku. Ketika aku menerjang balik untuk mencarinya, dia juga menerjang ke sana untuk mencari aku.
Karena itu, segera Lenghou Tiong putar balik lagi ke mulut lorong belakang gua tadi.
Dalam keadaan kacau-balau karena jalan keluar tersumbat oleh batu raksasa, beberapa puluh obor yang berada di dalam gua tadi ada sebagian besar dibuang oleh yang memegang dan sebagian pula menjadi padam, ditambah lagi debu pasir memenuhi gua itu, pemandangan menjadi remang-remang seperti berkabut tebal.
"Gua tersumbat! Gua tersumbat!" demikian orang-orang itu berteriak khawatir beramai-ramai.
"Tentu tipu muslihat si keparat Gak Put-kun itu!" teriak pula seorang dengan murka.
"Benar!" seorang lagi menanggapi dengan mengertak gigi. "Bangsat itu memancing kita ke sini untuk melihat ilmu pedang neneknya...."
Begitulah beberapa puluh orang beramai-ramai hendak mendorong batu raksasa itu, tapi batu itu laksana sebuah bukit, sedikit pun tidak bergerak meski beberapa puluh orang itu mendorong sepenuh tenaga dan terkentut-kentut.
"Lekas! Lekas keluar melalui lorong belakang sana!" terdengar orang berteriak pula.
Sebelumnya memang sudah ada orang lain berpikir demikian, likuran orang sudah berbondong-bondong lari ke sana dan berjubel-jubel memenuhi ujung lorong bawah tanah itu. Padahal lorong yang digali oleh kapak salah seorang gembong Mo-kau yang terkurung di gua itu hanya tiba cukup dilalui satu orang saja, kini likuran orang berjubelan di situ dan berebut dulu, tentu saja sukar dimasuki lubang sekecil itu. Dan karena keributan itu, kembali belasan obor menjadi padam lagi.
Di tengah orang banyak itu ada dua laki-laki kekar telah mendesak maju sekuatnya dengan menyisihkan orang-orang lain, mereka terus menyusup maju ke mulut lorong. Tapi mulut lorong itu sangat sempit, lantaran kedua orang juga berebut duluan, "blang", keduanya sama-sama benjut terbentur dinding, tiada seorang pun yang mampu masuk lubang lorong itu.
Tiba-tiba laki-laki sebelah kanan ayun tangannya, kontan laki-laki sebelah kiri menjerit ngeri, dadanya tertancap oleh sebilah belati, menyusul laki-laki sebelah kanan mendorongnya minggir, dengan cepat ia sendiri lantas menerobos ke dalam lubang itu disusul oleh yang lain-lain secara dorong-mendorong dan tarik-menarik, masing-masing sama berebut menyelamatkan diri lebih dulu.
Maklumlah, jalan keluar gua itu sudah tersumbat buntu, kini tinggal sebuah lubang penyelamat saja dan tiada jalan keluar lain, dengan sendirinya setiap orang ingin berusaha keluar lebih dulu dari gua maut itu. Biarpun di dinding gua itu terukir berbagai ilmu pedang yang bagus, tapi kalau mati konyol di dalam gua, betapa pun bagusnya ilmu silat itu juga tiada gunanya.
Tiba-tiba ada orang menjerit kaget, "Tulang orang mati! Tulang orang mati!"
Menyusul tangan seorang mengacungkan sekerat tulang paha orang mati, dalam keadaan remang-remang tampaknya menjadi seram dan mendirikan bulu roma.
Karena kehilangan Ing-ing, Lenghou Tiong sedang cemas dan khawatir, ketika mendengar teriakan orang itu, ia tahu tulang itu adalah kerangka tulang gembong-gembong Mo-kau yang mati di dalam gua itu. Terkilas suatu pikiran dalam benaknya, "Kesepuluh tokoh Mo-kau itu sia-sia saja memiliki ilmu silat setinggi langit, nyatanya mereka juga terjebak dan terkubur di dalam gua ini, jangan-jangan nasib buruk demikian juga akan menimpa diriku dan Ing-ing sekarang" Bila kejadian ini memang sengaja diatur oleh suhuku, maka jadinya benar-benar sangat berbahaya."
Dilihatnya orang banyak sedang berdesakan di mulut lorong, saking gelisahnya mendadak timbul pikiran membunuh dalam benak Lenghou Tiong, pikirnya, "Orang-orang ini hanya menghalang-halangi saja, mereka harus dibinasakan semua barulah aku dan Ing-ing dapat lolos dengan selamat."
Segera ia pegang pedang dan bermaksud membunuh orang yang paling dekat di sebelahnya, tiba-tiba dilihatnya seorang pemuda menjambak-jambak rambut sendiri dengan badan gemetar dan muka pucat, tampaknya ketakutan setengah mati, seketika timbul pula rasa kasihan dalam benak Lenghou Tiong, pikirnya, "Aku dan dia adalah kawan senasib yang terjebak oleh perangkap musuh, seharusnya aku bahu-membahu bersama dia untuk mencari jalan keluar, mana boleh aku membunuh dia untuk mencari selamat sendiri?"
Karena itu pedang yang sudah dilolos setengah itu segera dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Dalam pada itu terdengar orang-orang itu sedang berteriak-teriak, "Hayo, lekas masuk ke sana, lekas!"
"He, kenapa diam saja, lekas merangkak ke depan!"
Lalu beberapa orang yang tidak sabar lantas mencaci maki, "Keparat, kenapa diam saja, apa kau sudah mampus di situ?"
"Tarik saja, tarik kembali saja!"
Ternyata laki-laki kekar tadi belum lagi menerobos masuk lubang lorong sejak tadi, kedua kakinya masih ketinggalan di sebelah kiri, agaknya dia juga menghadapi jalan buntu di sebelah sana, hanya saja tidak mau mundur kembali.
Dua orang yang berteriak-teriak tadi benar-benar tidak sabar lagi, mereka masing-masing membetot sebelah kaki laki-laki itu terus ditarik sekuatnya. Mendadak berpuluh orang menjerit berbareng, yang terbetot kembali ternyata sesosok tubuh yang sudah tak berkepala lagi, pada leher tubuh tak berkepala itu masih menyemburkan darah segar, kepala laki-laki kekar itu ternyata sudah dipenggal orang di dalam lorong sana.
Pada saat itulah Lenghou Tiong melihat di sudut gua sana berduduk satu orang, di bawah cahaya obor yang remang-remang samar-samar seperti Ing-ing adanya. Saking girangnya ia terus berlari ke sana, tapi baru beberapa langkah ia lantas tertumbuk pada gerombolan orang banyak. Sekuatnya Lenghou Tiong mendesak dan menghalau, namun keadaan orang-orang itu sudah panik dan kacau, mereka sudah kehilangan pikiran sehat, seperti orang kalap saja mereka menerjang kian-kemari tak menentu, ada yang putar senjatanya menyerang serabutan, ada yang berteriak-teriak seperti orang gila, ada yang bergumul tak mau lepas, ada yang merangkak-rangkak di atas tanah sambil mengerang-erang.
Baru saja Lenghou Tiong melangkah dua-tiga tindak lagi segera kedua kakinya kena dirangkul orang. Ia tabok satu kali di atas kepala orang itu, kontan orang itu menjerit kesakitan, tapi bukannya lepaskan rangkulannya, bahkan memeluk terlebih kencang.
"Lepaskan, kalau tidak segera kubunuh kau!" bentak Lenghou Tiong.
Tapi mendadak betisnya terasa sakit, rupanya digigit orang itu. Terkejut dan gusar pula Lenghou Tiong, dilihatnya keadaan orang-orang itu sudah seperti gila semua, obor di dalam gua semakin sedikit, kini tinggal dua batang obor saja yang masih menyala, malahan tidak dipegang orang, tapi jatuh di tanah.
"Ambil obor itu, ambil obor itu, lekas!" seru Lenghou Tiong.
Namun seorang tojin gemuk terbahak-bahak sambil angkat sebelah kakinya, kontan sebatang obor itu diinjaknya hingga padam. Tanpa pikir lagi Lenghou Tiong lolos pedangnya, sekali tebas ia bikin tubuh orang yang merangkul kedua kakinya itu kutung menjadi dua. Sekonyong-konyong pandangannya menjadi gelap, segala apa tidak tertampak lagi. Rupanya api obor yang terakhir kini pun sudah padam.
Begitu obor padam seluruhnya, suasana dalam gua seketika menjadi sunyi pula, semuanya kebingungan oleh perubahan yang mendadak ini, sekejap kemudian, kembali keributan terjadi, orang-orang itu berteriak-teriak dan menjerit-jerit laksana orang gila semua.
"Keadaan demikian jelas tiada harapan bisa keluar dengan hidup, syukurlah aku dapat mati bersama Ing-ing," terpikir demikian, daripada takut, sebaliknya Lenghou Tiong menjadi senang malah, ia coba menggeremet maju menuju ke tempat Ing-ing tadi.
Tapi baru beberapa langkah, mendadak dari samping ada orang berlari dan menumbuknya dengan keras. Rupanya tenaga dalam orang itu sangat kuat, tumbukannya keras pula sehingga Lenghou Tiong keseruduk mundur dan hampir jatuh terduduk. Syukur ia masih keburu menahan tubuhnya dan memutar kembali, segera ia merembet lagi ke tempat Ing-ing berduduk tadi. Apa yang terdengar olehnya hanya suara jerit tangis dan bentakan melulu disertai suara nyaring benturan berpuluh senjata.
Dalam keadaan gelap gulita, semua orang menjadi bingung dan gelisah, hampir semuanya sudah setengah gila ingin mencari selamat sendiri-sendiri. Ada yang bisa berpikir panjang dan berhati sabar, tapi menghadapi sambaran senjata orang lain yang setiap saat bisa mampir di atas tubuhnya, maka terpaksa ia pun putar senjata untuk menjaga diri, jalan lain tidak ada kalau ingin selamat.
Dari itu yang terdengar hanya suara benturan senjata yang riuh dan jerit teriak ngeri tak terputus-putus, menyusul ada orang merintih kesakitan dan mencaci maki, terang banyak di antaranya telah terluka oleh serangan ngawur dari kawan sendiri.
Menghadapi keadaan begitu, biarpun ilmu pedang Lenghou Tiong lebih tinggi lagi juga tak berdaya, setiap saat ia pun dapat terluka oleh serangan yang sukar diketahui dari mana datangnya.
Tiba-tiba tergerak pikirannya, segera ia pun lolos pedang dan diputarnya dengan kencang untuk melindungi badan bagian atas, selangkah demi selangkah ia menggeser ke dinding gua, asalkan dinding gua bisa teraba, dengan jalan mepet dinding tentu akan banyak terhindar bahaya-bahaya yang mengancam. Orang yang dilihatnya seperti Ing-ing tadi berduduk di sudut sana, bila merembet dinding ke sana akhirnya tentu dapat bergabung lagi dengan si nona.
Dari tempat berdiri Lenghou Tiong itu ke dinding gua sebenarnya cuma belasan meter saja jaraknya, akan tetapi terhalang oleh lautan senjata itu terpaksa ia harus hati-hati kalau tidak mau lekas masuk kubur.
"Jika mati di bawah pedang seorang tokoh persilatan akan terasa rela dan berharga bagiku, tapi keadaan sekarang dapat mati secara mendadak tanpa diketahui siapa dan bagaimana caranya menyerang, bisa jadi yang membinasakan aku hanyalah seorang keroco kelas kambing dunia persilatan, sungguh, menghadapi keadaan demikian, sekalipun Tokko-tayhiap hidup kembali pasti juga akan mati kutu dan tak berdaya," demikian pikir Lenghou Tiong.
Teringat kepada Tokko Kiu-pay, itu tokoh yang menciptakan Tokko-kiu-kiam, sembilan gerak tipu ilmu pedang yang mukjizat, seketika pikirannya menjadi terang, "Ya, keadaan sekarang hanya ada dua pilihan, aku terbunuh secara tak jelas siapa pembunuhnya atau aku juga membunuh orang lain secara ngawur. Lebih banyak seorang yang kubunuh berarti mengurangi bahaya yang mengancam jiwaku sendiri."
Segera ia putar pedangnya, ia mainkan gerak tipu "Boh-ci-sik" (cara mematahkan serangan senjata rahasia) dari Tokko-kiu-kiam, berturut-turut ia menyabet ke kanan-kiri dan muka-belakang.
Gerak pedang "Boh-ci-sik" ini sedemikian tepat dan rapatnya, sekalipun terjadi hujan senjata rahasia juga sukar untuk mengenai tubuhnya.
Begitulah, sekali pedangnya bergerak, kontan beberapa orang di dekatnya menjerit, menyusul pedangnya terasa menusuk tubuh seorang pula, dari suara jeritannya yang tertahan kedengaran adalah suara orang perempuan.
Keruan Lenghou Tiong terkejut, tangannya menjadi lemas dan pedang hampir-hampir terlepas dari cekalan. "Jangan-jangan dia Ing-ing, apa barangkali aku telah membunuh Ing-ing!" demikian hatinya menjadi tidak tenteram. Segera ia berteriak, "Ing-ing, Ing-ing! Apakah kau ini?"
Akan tetapi perempuan itu sudah tak bersuara lagi. Sebenarnya Lenghou Tiong sangat hafal suaranya Ing-ing, apakah jeritan tertahan tadi suara Ing-ing atau bukan mestinya sangat gampang dibedakan. Tapi lantaran suasana di dalam gua sedemikian kacaunya, keadaan hiruk-pikuk dan riuh gemuruh, jeritan perempuan tadi juga sangat perlahan, saking cemasnya ia menjadi rada linglung dan merasa suara itu seperti suaranya Ing-ing.
Ia coba memanggil lagi beberapa kali dan tetap tidak mendapatkan jawaban, ia coba berjongkok untuk meraba lantai. Tak terduga, entah dari mana datangnya, sekonyong-konyong pantatnya kena ditendang orang. Kontan Lenghou Tiong mencelat ke sana, selagi tubuhnya terapung di udara, paha kiri terasa kesakitan pula, kembali kena disabet oleh ruyung seorang.
Dengan sebelah tangan mendekap kepalanya, "bluk", tahu-tahu kepala membentur dinding batu, untung sebelumnya kepalanya telah dilindungi tangan, kalau tidak kepalanya bisa pecah. Walaupun begitu, baik kepala maupun tangan, paha dan pantat, semuanya kesakitan, tulang serasa retak.
Setelah tenangkan diri, kembali ia berseru memanggil, "Ing-ing! Ing-ing!"
Namun tiada sesuatu jawaban, sebaliknya suara sendiri kedengaran sudah serak seakan-akan suara orang merintih dan menangis tak berair mata.
Tak terkatakan rasa cemas dan sedihnya, mendadak ia berteriak, "Aku telah membunuh Ing-ing! Akulah yang membunuh Ing-ing!"
Dengan kalap ia putar pedangnya dan menerjang maju, kontan beberapa orang terguling menjadi korban.
Di tengah suara yang ribut itu, tiba-tiba terdengar suara "creng-creng" dua kali, suara kecapi yang nyaring. Meski suara kecapi itu sangat lirih, tapi dalam pendengaran Lenghou Tiong benar-benar menggetar sukma laksana halilintar menggelegar.
"Ing-ing! Ing-ing!" ia berteriak saking girangnya, karena dorongan hati itu, seketika ia bermaksud menerjang ke arah suara kecapi itu. Tapi segera ia menginsafi bahwa tempat suara kecapi itu jaraknya cukup jauh, untuk mendekati tempat yang berjarak belasan meter itu rasanya jauh lebih berbahaya daripada berkelana beribu-ribu li di dunia Kang-ouw.
Suara kecapi itu terang dipetik oleh Ing-ing. Kalau dia masih selamat, aku sendiri mana boleh menempuh bahaya dan mati konyol, bila kami berdua tak dapat mati bersama secara tangan bergandeng tangan, maka akan menyesal tak terhingga biarpun di akhirat nanti.
Segera Lenghou Tiong mundur dua tindak agar punggung mepet dinding, ia anggap tempat demikian jauh lebih aman daripada berdiri di tempat terbuka. Tiba-tiba terasa angin menyambar, ada orang putar senjata menerjang tiba. Tanpa pikir Lenghou Tiong menusuk dengan pedangnya, tapi baru pedangnya bergerak, ia merasa tindakannya itu keliru.
Maklumlah, letak intisari kelihaian Tokko-kiu-kiam dalam hal mengincar titik kelemahan silat musuh, di situ ada lubang segera dimasuki dan sekaligus mengalahkan lawan. Tapi kini dalam keadaan gelap gulita, tampang musuh saja tidak kelihatan, apalagi gerak serangannya, lebih-lebih mengenai titik kelemahannya, maka Tokko-kiu-kiam menjadi tiada gunanya dalam keadaan demikian.
Untung Lenghou Tiong dapat menyadari keadaan itu dengan cepat, begitu pedang bergerak segera ia mengegos pula ke samping. Benar juga, segera terdengar suara "krak" yang keras, menyusul terdengar suara benturan dan jeritan. Dapat diduga senjata penyerang itu lebih dulu menusuk dinding, senjata patah dan menancap di tubuh sendiri, lalu jatuh tersungkur.
Untuk sejenak Lenghou Tiong tertegun, ia menduga orang itu tentu sudah mati karena tiada mengeluarkan suara lagi. Pikirnya, "Dalam keadaan gelap gulita, betapa pun tinggi ilmu silatku juga tiada bedanya seperti jago silat kelas kambing. Terpaksa aku harus bersabar untuk menunggu kesempatan bergabung dengan Ing-ing."
Sementara itu, suara sambaran senjata dan teriakan-teriakan sudah mulai banyak berkurang, tentunya dalam waktu singkat itu telah jatuh korban yang tidak sedikit. Ia coba putar pedang di depan untuk menjaga diri kalau-kalau mendadak diserang orang. Dalam pada itu suara kecapi tadi kedengaran timbul lagi lalu lenyap pula tanpa irama, kembali Lenghou Tiong merasa khawatir, jangan-jangan Ing-ing terluka atau pemetik kecapi itu bukan si nona"
Selang agak lama kemudian suara teriakan dan bentakan mulai mereda, hanya di atas lantai tidak sedikit orang yang merintih-rintih dan mencaci maki, terkadang juga masih ada suara benturan senjata dan suara bentakan, semuanya timbul dari tempat yang mepet dinding. Agaknya banyak pula yang berdiri mepet dinding sehingga dapat menyelamatkan diri, tentu orang-orang itu termasuk yang berilmu silat tinggi dan berotak cerdik.
"Ing-ing, di mana kau?" seru Lenghou Tiong.
Terdengar kecapi berbunyi di depan sana seperti memberi jawaban. Tanpa pikir Lenghou Tiong lantas melompat ke sana, ketika kaki kiri menyentuh tanah terasa menginjak sesuatu yang lunak, nyata tubuh seorang telah diinjaknya. Kontan angin tajam menyambar, senjata seorang telah menyerangnya.
Syukur tenaga dalam Lenghou Tiong sangat tinggi, meski tak tampak gaya serangan lawan, tapi dapat diketahui tepat pada waktunya sehingga dia keburu melompat kembali ke tempat semula. Pikirnya, "Di atas lantai penuh berbaring orang, ada yang sudah mati dan ada yang terluka parah, sukar untuk dilintasi begitu saja."
Terdengar suara angin menyambar kian-kemari, rupanya orang-orang yang berdiri mepet dinding juga sedang memutar senjatanya untuk menjaga diri, dalam sekejap itu kembali ada beberapa orang menggeletak pula mati atau terluka.
Tiba-tiba terdengar suara seorang tua berseru, "Wahai kawan-kawan, dengarkan dulu kata-kataku! Kita terjebak oleh tipu muslihat Gak Put-kun, menghadapi bahaya ini kita harus bersatu untuk mencari selamat, tidak boleh memutar senjata dan saling bunuh sendiri!"
Serentak beberapa orang menanggapi, "Benar! Benar!"
Dari suara-suara itu Lenghou Tiong dapat mendengar orang-orang itu berdiri mepet dinding semua. Rupanya mereka bisa berpikir dengan tenang sehingga tidak menyerang secara ngawur lagi.
"Aku adalah Giok-ciong-cu dari Thay-san-pay," demikian suara orang tua tadi berseru pula. "Sekarang diharap kawan-kawan simpan kembali senjata masing-masing, sekalipun tertubruk orang dalam kegelapan juga jangan main menyerang. Apakah kawan-kawan dapat memenuhi permintaanku ini?"
Serentak orang banyak menjawab, "Ya, dapat! Memang begitulah seharusnya!"
Lalu tak terdengar lagi suara bergeraknya senjata, menyusul terdengar suara senjata masing-masing dimasukkan ke sarungnya. Sejenak kemudian keadaan menjadi sunyi.
"Sekarang hendaklah kawan-kawan bersumpah bahwa kita takkan saling mencelakai di dalam gua ini, siapa yang melanggar sumpah tentu akan terkubur di sini," seru Giok-ciong-cu pula. "Sebagai pelopor, aku Giok-ciong-cu dari Thay-san-pay mendahului bersumpah demikian."
Segera orang-orang lain ikut bersumpah seperti Giok-ciong-cu. Pikir mereka, "Giok-ciong-cu ini sungguh pintar. Kalau kita bersatu padu mungkin masih ada harapan buat lolos dari sini, kalau tidak, tentu semuanya akan mati konyol di sini."
Begitulah kemudian Giok-ciong-cu berseru pula, "Bagus dan terima kasih, kawan! Sekarang silakan memberitahukan nama masing-masing."
"Aku si anu dari Heng-san-pay!" demikian seorang mendahului berteriak.
"Cayhe si itu dari Thay-san-pay!"
"Dan aku si ini dari Ko-san-pay!" begitulah masing-masing sama menyebut namanya sendiri-sendiri, ternyata semuanya adalah tokoh-tokoh terkemuka dari ketiga aliran besar itu.
Sesudah semua orang memperkenalkan diri, paling akhir Lenghou Tiong juga berseru, "Cayhe Lenghou Tiong dari Hing-san-pay!"
"Hah, kiranya ketua Hing-san-pay Lenghou-tayhiap juga berada di sini, sungguh baik sekali!" seru para kesatria itu dengan nada gembira dan terhibur.
Dalam kegelapan Lenghou Tiong hanya menyengir saja, pikirnya, "Aku sendiri ikut konyol, apanya yang baik sekali?"
Tapi ia pun paham bahwa para kesatria itu sangat kagum kepada ilmu silatnya yang tinggi, dengan ikut sertanya dia terkurung di situ akan berarti harapan untuk lolos menjadi lebih banyak.
Tiba-tiba Giok-ciong-cu bertanya, "Mohon tanya Lenghou-ciangbun, mengapa Hing-san-pay kalian hanya engkau sendiri yang datang ke sini?"
Rupanya ia menyangsikan Lenghou Tiong akan berbuat apa-apa yang merugikan mereka mengingat Lenghou Tiong berasal dari Hoa-san-pay dan bekas murid kesayangan Gak Put-kun. Apalagi ratusan orang yang terkurung di situ tiada anak murid Hoa-san-pay dan Hing-san-pay kecuali Lenghou Tiong seorang, hal ini mau tak mau menimbulkan curiga.
"Cayhe ada seorang teman..." sampai di sini ia berseru pula, "Ing...." tapi baru satu kata saja segera teringat olehnya bahwa Ing-ing adalah putri kesayangan Yim-kaucu dari Mo-kau yang selama ini dimusuhi oleh golongan lain yang menamakan dirinya cing-pay, maka sebaiknya sekarang jangan menimbulkan gara-gara lagi dalam persoalan ini.
"Adakah di antara kawan-kawan membawa geretan api" Harap nyalakan dulu obor!" seru Giok-ciong-cu.
"Betul, betul!" sorak orang banyak dengan gembira. "Ya, ya, mengapa kita menjadi pikun dan tidak pikirkan hal ini sejak tadi" Hayo lekas nyalakan obor!"
Padahal dalam kekacauan tadi yang terpikir oleh mereka hanya menyelamatkan diri sendiri, siapa yang punya kesempatan untuk menyalakan obor" Sebab begitu meleng tentu akan terbunuh oleh orang lain.
Segera terdengar suara "tek-tik-tek-tik" beberapa kali, ada orang sedang membuat api dengan batu, begitu api menyala, semua orang lantas bersorak gembira.
Sekilas pandang Lenghou Tiong melihat dinding gua itu penuh berdiri orang, semuanya berlepotan darah, ada sebagian masih menghunus senjata, rupanya orang-orang ini lebih suka berhati-hati daripada ambil risiko dibunuh orang, biarpun semua orang sudah bersumpah, tapi lebih baik menjaga segala kemungkinan.
Lenghou Tiong melangkah ke dinding sebelah depan sana dengan maksud hendak mencari Ing-ing. Pada saat itulah di tengah orang banyak itu mendadak ada orang membentak, "Mulai!"
Berbareng itu beberapa orang berpedang lantas menyerbu dari lorong gua sana.
"Hai, siapa itu?" teriak para kesatria sambil melolos senjata untuk melawan. Hanya beberapa gebrak saja keadaan kembali gelap gulita, api yang menyala tadi telah padam lagi.
Dengan suatu lompatan kilat Lenghou Tiong melayang ke dinding di depan sana, terasa dari sebelah kanan ada senjata menyerang tiba. Dalam kegelapan sukar untuk menangkis, terpaksa ia mendekam ke bawah. "Trang", golok membacok di dinding.
Ia pikir penyerang itu belum tentu akan menyerangnya dengan sungguh-sungguh, tapi mungkin hanya untuk menjaga diri saja karena dia sendiri mendadak melompat tiba. Maka untuk sejenak ia mendekam di bawah tanpa bergerak. Setelah membacok beberapa kali tidak kena sasarannya, lalu orang itu pun berhenti.
Tiba-tiba terdengar pula seorang berseru memberi aba-aba, "Mampuskan semua kawanan anjing itu, satu pun jangan diberi hidup!"
Menyusul belasan suara mengiakan.
Bab 136. Matinya Co Leng-tan dan Lim Peng-ci
Menyusul pula beberapa orang berteriak, "He, itu suara Co Leng-tan! Ya, dia Co Leng-tan!"
"Suhu! Suhu! Tecu berada di sini!" demikian ada orang berseru, rupanya dia dari Ko-san-pay, anak-murid Co Leng-tan sendiri.
Dari suara orang yang memberi perintah tadi memang Lenghou Tiong juga dapat mengenalnya sebagai suaranya Co Leng-tan. Ia menjadi heran mengapa ketua Ko-san-pay yang sudah buta itu juga berada di dalam gua ini" Jika demikian, agaknya dialah yang memasang perangkap ini dan bukan guruku.
Demikianlah, meski beberapa kali Gak Put-kun bermaksud membunuhnya, tapi selama 20-an tahun ini hubungan guru dan murid yang menyerupai ayah dan anak kandung sendiri sudah mendarah daging dan terukir dalam-dalam di lubuk hatinya sehingga benar-benar sukar dihapuskan. Maka begitu terpikir bahwa tipu muslihat ini bukan dibuat oleh Gak Put-kun, tanpa terasa Lenghou Tiong menjadi senang dan terhibur, ia merasa kalau mesti mati di tangan Co Leng-tan akan beratus kali lebih menyenangkan daripada mati di tangan guru sendiri.
Dalam pada itu terdengar Co Leng-tan sedang menjawab dengan suara dingin, "Hm, kalian masih ada muka buat panggil suhu padaku" Tanpa permisi padaku kalian lantas datang ke Hoa-san sini, perbuatan kalian yang durhaka dan khianat ini mana dapat kuampuni, dalam perguruanku mana boleh ada murid murtad macam kalian?"
Seorang yang bersuara lantang lantas menjawab, "Suhu, ketika di tengah jalan Tecu mendengar kabar bahwa di gua Hoa-san ini ada ukiran jurus ilmu silat mukjizat dari golongan kita, Tecu khawatir bila pulang ke Ko-san dan lapor dahulu kepada Suhu tentu akan makan waktu terlalu banyak dan mungkin ukiran di dinding akan telanjur dihapus orang, sebab itulah Tecu cepat-cepat memburu ke sini. Maksud Tecu bila sudah melihat ilmu pedang yang terukir ini, dengan sendirinya akan segera pulang untuk melaporkan semuanya kepada Suhu."
"Hm, kau anggap aku sudah buta, bila sudah berhasil mempelajari ilmu pedang bagus apakah kau masih mau mengaku diriku sebagai gurumu?" jengek Co Leng-tan. "Kalian harus bersumpah setia kepada Gak Put-kun, habis itu baru kalian diizinkan melihat ukiran ilmu silat di sini, betul tidak?"
"Be... betul, Tecu memang pantas mati, hanya saja kami terpaksa harus tunduk kepada perintahnya sebagai ketua Ngo-gak-pay, Tecu tidak menyangka jahanam itu akan menjebak kami secara keji," sahut murid Ko-san-pay itu.
"Suhu," sambung seorang lain, "mohon engkau membebaskan kami, pimpinlah kami untuk mencari keparat Gak Put-kun dan bikin perhitungan kepadanya."
"Hm, enak saja cara berpikirmu," jengek Co Leng-tan. Setelah merandek sejenak, tiba-tiba ia berkata pula, "Lenghou Tiong, jadi kau pun berada di sini" Sesungguhnya untuk apa kau datang ke sini?"
"Tempat ini adalah bekas tempat tinggalku, datang ke sini atau tidak adalah hakku sendiri, peduli apa dengan kau?" jawab Lenghou Tiong.
"Huh, kematianmu sudah di depan mata, kau masih kepala batu dan begini kasar terhadap orang tua," jengek Co Leng-tan.
"Kau memakai tipu muslihat keji dan mencelakai para kesatria jujur, perbuatanmu ini pantas dibinasakan oleh siapa saja, mana kau ada harganya mengaku orang tua segala?" balas Lenghou Tiong.
"Peng-ci, pergilah kau membinasakan dia!" kata Co Leng-tan.
Dalam kegelapan terdengar seorang mengiakan, jelas suaranya Lim Peng-ci.
Lenghou Tiong terkejut, pikirnya, "Kiranya Lim Peng-ci juga berada di sini. Dia dan Co Leng-tan sudah buta semua, selama ini mereka tentu sudah biasa berlatih memainkan pedang secara buta, menggunakan telinga sebagai pengganti mata, kepandaian mereka dalam hal ketajaman telinga pasti sangat hebat. Dalam kegelapan seperti sekarang ini keadaan menjadi terbalik, aku menjadi seperti orang buta, sebaliknya mereka malah seperti orang melek, cara bagaimana aku dapat menandingi mereka?"
Seketika ia berkeringat dingin dan terpaksa tidak berani bersuara, yang diharap semoga mereka tidak tahu tempat di mana dia berdiri.
Terdengar Lim Peng-ci berseru, "Lenghou Tiong, selama ini kau merajalela di dunia Kang-ouw, tidak kepalang wibawamu, tapi hari ini kau toh mati di tanganku, haha, haha!"
Seram dan mendirikan bulu roma suara tawanya itu sambil selangkah demi selangkah mendekati tempat Lenghou Tiong.
Rupanya dalam tanya-jawab Lenghou Tiong dengan Co Leng-tan tadi, tempat berdirinya telah dapat didengar dengan jelas oleh Lim Peng-ci. Seketika suasana di dalam gua itu sunyi senyap, yang terdengar hanya suara tindakan kaki Lim Peng-ci, setiap dia melangkah satu tindak, setiap kali pula Lenghou Tiong menyadari jiwanya satu tindak lebih dekat dengan pintu akhirat.
"Nanti dulu!" sekonyong-konyong ada orang berteriak. "Keparat Lenghou Tiong itu yang membutakan kedua mataku sehingga aku cacat untuk selamanya, biarlah aku... aku yang membinasakan bangsat ini."
Menyusul belasan orang lain menyatakan persetujuan seruan orang pertama itu, lalu mereka juga melangkah maju beramai-ramai.
Tergetar hati Lenghou Tiong, ia tahu orang-orang ini adalah korban tusukan pedangnya ketika terjadi pertarungan di kelenteng kuno tengah malam buta itu.
Tempo hari di tengah jalan lereng gunung Ko-san belasan orang ini juga sudah pernah dipergokinya, tapi telah dibikin kocar-kacir oleh Put-kay Hwesio. Orang-orang ini sudah lama buta, ketajaman telinga mereka tentu luar biasa. Seorang Lim Peng-ci saja sukar dilawan apalagi bertambah pula belasan orang buta ini, tentu lebih-lebih susah dilawan.
Terdengar suara tindakan mereka semakin mendekat, dengan menahan napas diam-diam Lenghou Tiong menggeser beberapa langkah ke samping. Segera terdengar suara "trang-trang" beberapa kali, beberapa pedang orang-orang itu telah kena menusuk dinding tempat berdirinya tadi. Untung belasan orang itu menyerang bersama, suara tindakan mereka bercampur aduk sehingga suara geseran Lenghou Tiong tak terdengar, tiada satu pun yang tahu ke mana dia berpindah tempat.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong berjongkok, dirabanya sebatang pedang di atas lantai, segera ia lemparkan ke depan. Maka terdengarlah suara jeritan, seorang telah roboh terkena lemparan pedang itu. Serentak belasan orang itu menerjang maju, di tengah benturan senjata yang ramai, terjadilah pertempuran sengit antara mereka dengan orang banyak. Berulang-ulang terdengar bentakan dan jeritan, dalam sekejap saja ada beberapa orang roboh binasa. Sebenarnya kepandaian orang-orang di situ tidaklah lemah, tapi dalam kegelapan mereka menjadi bukan tandingan kawanan orang buta itu.
Di tengah suasana ribut itu Lenghou Tiong lantas menggeser lagi beberapa langkah ke kiri, ia meraba dinding di sekitar situ tiada orang lalu berjongkok. Pikirnya, "Co Leng-tan membawa Peng-ci dan kawanan orang buta itu ke sini, terang dia sengaja memasang perangkap ini untuk membinasakan semua orang yang ada di sini dalam keadaan gelap gulita ini. Hanya saja dari mana dia dapat mengetahui letak gua ini?"
Tapi ia lantas paham duduknya perkara. Tempo hari siausumoaynya telah mengalahkan tokoh-tokoh Thay-san-pay dan Heng-san-pay dengan ilmu pedang mukjizat yang terukir di dinding gua ini. Kalau siausumoaynya sudah datang ke gua ini, dengan sendirinya Lim Peng-ci tahu pula akan gua ini.
"Lenghou Tiong, kenapa kau tidak berani perlihatkan dirimu" Huh, main sembunyi-sembunyi, macam orang gagah apakah kau ini?" demikian Peng-ci berteriak mengolok-olok.
Keruan Lenghou Tiong naik pitam, segera ia bermaksud melabrak musuh, tapi cepat ia dapat menahan diri, pikirnya, "Sebelum aku ketemukan Ing-ing buat apa aku mengadu jiwa dengan dia" Apalagi aku sudah berjanji kepada Siausumoay akan menjaga baik-baik orang she Lim ini, bila aku bertempur dengan dia dan terbunuh tentu penasaran, sebaliknya kalau kubunuh dia juga salah bagiku."
"Bunuh semua pengkhianat di dalam gua ini, habis itu Lenghou Tiong tentu pula tak dapat mengelakkan diri," seru Co Leng-tan.
Dalam sekejap segera ramai pula suara benturan senjata dan bentakan di sana-sini. Lenghou Tiong tetap berjongkok sehingga tiada orang yang dapat menyerangnya. Ia coba pasang kuping untuk mendengarkan kalau-kalau ada suaranya Ing-ing. Ia pikir si nona biasanya sangat cerdik, dalam keadaan terancam bahaya begini tentu takkan membunyikan suara kecapi, semoga perempuan yang kutusuk tadi bukanlah dia.
Begitulah ia terus mendengarkan dengan cermat, ternyata pertarungan para kesatria dengan kawanan orang buta itu telah terjadi dengan amat sengit, sambil bertempur riuh ramai pula suara bentakan dari makian, berulang-ulang ia dengar suara orang memaki dengan istilah "persetan nenekmu".
Makian "persetan nenekmu" itu kedengarannya lain daripada yang lain. Pada umumnya orang memaki suka bilang "persetan emakmu" atau "persetan maknya", jarang orang menggunakan istilah "persetan nenekmu". Ia heran apakah orang yang memaki itu berasal dari suatu daerah yang biasa menggunakan istilah makian demikian"
Tapi setelah didengarkan lagi, akhirnya Lenghou Tiong menemukan sesuatu yang janggal, makian "persetan nenekmu" itu selalu dilontarkan oleh dua orang berbareng, bahkan setelah mengucapkan makian itu, adu senjata kedua orang itu lantas berhenti. Sebaliknya kalau yang memaki cuma satu orang, maka pertarungan itu pun terus berlangsung.
Setelah dipikir lagi, pahamlah Lenghou Tiong akhirnya. "Rupanya makian ini adalah kode rahasia di antara orang-orang buta itu untuk membedakan kawan atau lawan."
Didengarnya suara makian "persetan nenekmu" itu makin lama makin ramai, sebaliknya suara benturan senjata dan suara bentakan tambah mereda, terang orang-orang Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Ko-san-pay telah habis terbunuh semua. Tapi selama itu ia tetap tidak mendengar sesuatu suara Ing-ing, ia menjadi khawatir kalau-kalau Ing-ing benar-benar telah terbunuh olehnya sendiri, tapi juga bersyukur si nona tidak menjadi korban keganasan kawanan orang buta itu.
Selang tak lama, suara pertempuran mulai berhenti. Terdengar Co Leng-tan berseru, "Beramai-ramai membunuh lagi satu keliling gua ini!"
Orang-orang buta itu mengiakan. Lalu terdengar suara sambaran pedang yang menderu-deru di sana-sini. Ada dua kali pedang orang-orang buta itu mampir ke tubuh Lenghou Tiong, tapi keburu ditangkisnya sambil tekan suara dan ikut memaki, "Persetan nenekmu!"
Ternyata suara tiruannya itu tak diketahui musuh dan amanlah dia, suara sambaran pedang dan makian orang-orang buta itu berlangsung terus sampai sekian lamanya, suara lain sama sekali tidak terdengar.
Lenghou Tiong benar-benar sangat cemas dan hampir-hampir menangis akan keselamatan Ing-ing, sungguh ingin sekali ia berteriak memanggil si nona.
"Berhenti!" Co Leng-tan memberi aba-aba pula. Orang-orang buta itu serentak berhenti di tempat masing-masing. Dengan terbahak-bahak Co Leng-tan lalu berkata pula, "Para murid khianat ini kini sudah tertumpas semua. Orang-orang ini sungguh tidak tahu malu, lantaran ingin belajar ilmu pedang mereka rela bersumpah setia kepada keparat Gak Put-kun itu. Kini bangsat cilik Lenghou Tiong tentu juga sudah mampus di bawah pedang kalian. Hahahaha! Wahai Lenghou Tiong, di mana kau" Kau sudah mampus, bukan?"
Lenghou Tiong diam-diam saja dengan menahan napas.
Co Leng-tan berkata pula, "Peng-ci, orang yang paling kau benci sekarang sudah mampus, tentu kau merasa puas bukan?"
"Ya, semuanya berkat perhitungan masak Co-heng, dengan cara pengaturan perangkap yang sempurna," sahut Peng-ci.
Baru sekarang Lenghou Tiong mengetahui Lim Peng-ci telah bersaudara dengan Co Leng-tan. Rupanya demi mendapatkan Pi-sia-kiam-boh, maka Co Leng-tan bersikap sebaik ini kepada pemuda itu.
"Tapi kalau jalan rahasia masuk gua ini tidak kau beri tahukan padaku, tentu sukar pula membalas dendam bagi kita," kata Co Leng-tan.
"Sungguh sayang dalam kekacauan ini aku tak dapat membinasakan bangsat Lenghou Tiong dengan tanganku sendiri," kata Peng-ci.
"Tak peduli siapa yang membunuh dia toh sama saja," ujar Co Leng-tan dengan suara tertahan. "Marilah kita lekas keluar, mungkin saat ini keparat Gak Put-kun itu sedang berada di luar gua, mumpung hari belum terang kita beramai-ramai mengerubutnya, dalam kegelapan tentu sangat menguntungkan kita."
Terdengar Peng-ci mengiakan, lalu ramailah suara tindakan orang, rombongan mereka masuk ke lorong belakang sana dan makin lama makin menjauh, sebentar saja tiada suara apa-apa lagi.
"Ing-ing, di manakah kau?" seru Lenghou Tiong dengan suara tertahan.
"Sssst, jangan keras-keras aku berada di sini," tiba-tiba di atas kepalanya ada orang mendesis.
Saking girangnya seketika kedua kaki Lenghou Tiong terasa lemas dan jatuh terduduk di lantai.
Ketika kawanan orang buta tadi mengamuk dengan serangan mereka yang ganas, tempat yang paling aman memang tiada lain daripada sembunyi di tempat ketinggian sehingga pedang musuh sukar mencapainya, hal ini sebenarnya gampang saja diketahui setiap orang, cuma pada saat gawat, pikiran semua orang menjadi bingung sehingga sama sekali tidak memikirkan hal demikian.
Begitulah Ing-ing lantas melompat turun, segera Lenghou Tiong memburu maju dan memeluknya erat-erat. Saking girangnya kedua orang sama mencucurkan air mata. Perlahan-lahan Lenghou Tiong mencium pipi si nona dan mendesis, "Tadi aku benar-benar sangat khawatir bagimu."
Dalam kegelapan Ing-ing tidak mengelakkan ciuman Lenghou Tiong itu, jawabnya dengan perlahan, "Ketika kau memaki orang "persetan nenekmu", aku lantas kenal suaramu."
Lenghou Tiong tertawa geli, tanyanya kemudian, "Kau tidak terluka apa-apa, bukan?"
"Tidak," jawab Ing-ing.
"Semula aku tidak merasa khawatir ketika mendengar suara kecapi. Tapi setelah suara kecapi berhenti, aku menusuk roboh pula seorang perempuan, aku jadi kelabakan dan khawatir sekali bagimu."
"Sama sekali kau tak dapat membedakan suaraku dengan suara orang lain, begitu kau suka bilang senantiasa memikirkan diriku."
"Ya, ya, memang aku pantas dipukul," kata Lenghou Tiong dengan tertawa sambil pegang tangan si nona untuk menampar pipinya.
"Sebenarnya sejak tadi-tadi aku sudah melompat ke tempat tinggi itu, tapi khawatir diketahui orang, tak dapat pula bersuara memanggil kau, terpaksa aku menyambitkan sebuah mata uang tembaga untuk menimpuk kecapiku yang ketinggalan di lantai dengan harapan kau akan mengetahui keadaanku."
"O, kiranya demikian. Ai, engkau mendapatkan calon suami yang polos, sungguh Yim-toasiocia yang sial," kelakar Lenghou Tiong dengan tertawa. "Makanya tadi aku merasa heran kecapi yang kau bunyikan itu mengapa tanpa irama, kenapa tidak membawakan lagu "Hina Kelana?" Dan kemudian mengapa kau tidak membunyikan kecapi lagi?"
"Aku terlalu miskin, hanya beberapa duit saja yang berada di saku dan beberapa sambitan habislah duitku," tutur Ing-ing dengan tertawa.
Sampai di sini, sekonyong-konyong di mulut lorong sana ada suara orang mendengus. Keruan Lenghou Tiong dan Ing-ing sama berteriak kaget, dengan sebelah tangan merangkul si nona dan tangan yang lain memegang pedang segera Lenghou Tiong membentak, "Siapa itu?"
"Aku, Lenghou-tayhiap!" sahut orang itu dengan suara dingin, siapa lagi kalau bukan Lim Peng-ci adanya. Menyusul lantas terdengar suara tindakan orang banyak di jalan lorong itu, terang kawanan orang buta tadi kini telah kembali lagi.
Diam-diam Lenghou Tiong memaki dirinya sendiri yang terlalu ceroboh, seharusnya terpikir olehnya kelicikan Co Leng-tan, mana dia mau pergi begitu saja, tentu dia pura-pura berangkat bersama begundalnya, tapi diam-diam sembunyi di ujung sana untuk mendengarkan gerak-gerik di dalam gua. Lantaran dapat berkumpul kembali dengan Ing-ing setelah menghadapi detik-detik berbahaya tadi, saking girangnya mereka menjadi lupa daratan dan tidak ingat bahwa musuh tangguh setiap saat mungkin akan muncul kembali.
"Naik ke atas!" tiba-tiba Ing-ing membisiki Lenghou Tiong sambil tarik lengannya. Berbareng kedua orang lantas meloncat ke atas.
Tadi Ing-ing sembunyi di atas batu karang yang mencuat di dinding gua itu, maka ia tahu di mana letak batu karang itu dalam kegelapan, ia masih dapat hinggap dengan tepat di atas batu itu. Tapi Lenghou Tiong, telah menginjak tempat kosong, tubuhnya jatuh kembali ke bawah. Syukur Ing-ing keburu menarik sebelah tangannya dan diseret ke atas.
Batu karang yang menonjol di dinding gua itu luasnya kurang dari satu meter, kedua orang berjubel di situ boleh dikata kurang leluasa. Diam-diam Lenghou Tiong merasa syukur si nona dapat bertindak dengan cepat, dengan berdiri di atas tentu tidak gampang dikepung dan dikerubut oleh kawanan orang buta itu.
"Kedua setan cilik itu meloncat ke atas," terdengar Co Leng-tan berkata.
"Ya, di depan sana!" sahut Peng-ci.
"Lenghou Tiong, apakah kau akan sembunyi di atas situ untuk selamanya?" seru Co Leng-tan.
Tapi Lenghou Tiong diam-diam saja tanpa menjawab, ia insaf bila bersuara tentu tempat berpijaknya akan diketahui musuh. Dengan tangan kanan menghunus pedang, tangan kiri merangkul pinggang Ing-ing yang ramping. Ing-ing sendiri tangan kiri memegang pedang pendek, tangan kanan juga digunakan merangkul pinggang Lenghou Tiong. Kedua orang merasa sangat puas dan terhibur, mereka dapat berkumpul bersama, sekalipun nanti mesti mati juga takkan menyesal.
Sekonyong-konyong terdengar Co Leng-tan membentak dengan suara keras, "Biji mata kalian dibutakan oleh siapa, masakah kalian sudah lupa?"
Serentak belasan orang buta itu menjadi murka, mereka menggerung terus melompat ke atas sambil ayun pedang mereka menusuk dan menebas secara ngawur.
Lenghou Tiong dan Ing-ing diam saja, serangan orang-orang buta itu menjadi sia-sia tak menemukan sasaran. Ketika orang-orang buta itu melompat lagi untuk kedua kalinya, salah seorang sudah menubruk maju, hanya satu meteran di depan batu karang yang menonjol itu. Dari suara angin loncatan orang buta itu, segera Lenghou Tiong menusuk dengan pedangnya dan tepat mengenai dada musuh. Kontan orang buta itu menjerit dan terbanting ke bawah.
Dengan demikian tempat sembunyi Lenghou Tiong berdua lantas ketahuan, serentak beberapa orang melompat ke atas dan menyerang berbareng.
Dalam kegelapan meski Lenghou Tiong dan Ing-ing tak dapat melihat gerakan musuh, tapi batu karang yang menonjol itu tingginya tiga-empat meter dari permukaan tanah, orang yang melompat ke atas tentu membawa desingan angin yang mudah dibedakan, maka Lenghou Tiong berdua memapak serangan musuh-musuh itu dan kontan membinasakan dua orang lagi.
Untuk sementara orang-orang buta itu menjadi jeri dan kapok, mereka sama menengadah ke atas sambil mencaci maki, tapi tak berani menyerang lagi.
Setelah saling tarik urat sejenak, mendadak angin santer menyambar tiba, dua orang melompat tiba dari kanan-kiri, cepat Lenghou Tiong dan Ing-ing menusuk dengan pedang masing-masing, "trang-trang", empat pedang beradu dengan keras. Lengan Lenghou Tiong terasa pegal, pedang hampir-hampir terlepas dari cekalan. Maka tahulah dia penyerang itu ternyata Co Leng-tan adanya.
Di sebelah lain Ing-ing juga menjerit, pundaknya terkena pedang musuh sehingga si nona hampir-hampir terperosot jatuh ke bawah, untung Lenghou Tiong keburu merangkulnya lebih kencang. Dalam pada itu kedua orang itu telah melompat lagi ke atas dan kembali melancarkan serangan. Cepat pedang Lenghou Tiong menusuk orang yang menyerang Ing-ing itu, ketika kedua pedang kebentur, mendadak orang itu mengubah gerakan pedangnya dengan cepat, yaitu pedangnya terus memotong ke bawah menggesek batang Lenghou Tiong.
Tahulah Lenghou Tiong bahwa lawannya itu tentu Lim Peng-ci adanya, cepat ia menarik tubuh untuk mengelak, terasa angin tajam menyambar lewat pedang Peng-ci itu terus menebas ke arah Ing-ing.
Dalam keadaan tubuh terapung, sekali lompat ternyata Peng-ci sanggup melancarkan tiga kali serangan secara berturut-turut, sungguh tidak kepalang lihainya Pi-sia-kiam-hoat yang termasyhur itu.
Khawatir Ing-ing terluka, tanpa pikir Lenghou Tiong melompat turun bersama Ing-ing, dengan punggung mepet dinding ia putar pedangnya dengan kencang agar musuh tidak berani mendekat.
Tiba-tiba terdengar Co Leng-tan tertawa panjang sambil menusuk dengan pedangnya, "trang", kembali kedua pedang beradu. Kontan tubuh Lenghou Tiong tergetar, terasa suatu arus tenaga dalam menyalur tiba melalui batang pedangnya, tanpa terasa ia menggigil dingin. Seketika teringat olehnya pertarungan sengit antara Yim Ngo-heng dengan Co Leng-tan di Siau-lim-si dahulu, waktu itu Yim Ngo-heng telah menyedot tenaga dalam Co Leng-tan dengan "Gip-sing-tay-hoat" yang ampuh, tak terduga tenaga dalam Co Leng-tan yang mahadingin itu lihai luar biasa, hampir-hampir saja Yim Ngo-heng mati beku oleh tenaga dalam mahadingin yang disedotnya dari tubuh Co Leng-tan itu.
Sekarang kembali Co Leng-tan melakukan hal yang sama, sudah tentu Lenghou Tiong tidak mau masuk perangkap, cepat ia mengerahkan tenaga menolak keluar, saking keras membanjir keluarnya tenaga dalam, tanpa kuasa jari tangannya menjadi kendur, pedang terlepas dari cekalannya.
Padahal segenap kepandaian Lenghou Tiong terletak pada pedangnya itu, tanpa senjata di tangan boleh dikata kepandaiannya tiada artinya lagi. Maka cepat ia berjongkok dan meraba-raba di lantai, ia pikir di dalam gua itu menggeletak ratusan mayat, di atas lantai tentu juga banyak terserak senjata, asalkan dapat menjemput sesuatu senjata, baik golok maupun pedang tentu akan dapat dipakai menahan serangan musuh untuk sementara.
Tak terduga apa yang teraba oleh tangannya adalah muka seorang mati yang sudah kaku dan dingin, tangannya menjadi berlepotan darah pula. Cepat ia merangkul Ing-ing dan menggeser ke pinggir dua tindak, "cring-cring", pedang Ing-ing yang pendek itu dapat menangkis serangan dua musuh. Tapi segera terdengar pula suara "trang" yang lebih keras, pedang pendek itu juga terbentur dengan senjata musuh yang lain dan mencelat lepas.
Keruan Lenghou Tiong menjadi khawatir, buru-buru ia meraba-raba lantai lagi, kini ada sesuatu yang teraba tangannya, rasanya seperti sepotong toya pendek. Dalam keadaan bahaya itu ia pun tidak sempat memeriksa benda itu, ketika terasa angin keras menyambar tiba, pedang musuh menebas datang lagi, segera ia menangkisnya dengan toya pendek itu. "Krek", toya pendek itu tertebas putus satu bagian.
Pada waktu ia menaikkan kepala untuk mengegos, mendadak di depan mata meletik beberapa titik sinar. Beberapa titik cahaya itu meski sangat lemah namun di dalam gua yang gelap gulita itu percikan cahaya itu laksana sebuah bintang kejora terang di atas langit. Samar-samar bentuk tubuh dan sinar pedang musuh dapat dibedakan.
Tanpa terasa Lenghou Tiong dan Ing-ing bersorak gembira, dalam pada itu tertampak pedang Co Leng-tan menusuk tiba pula, segera Lenghou Tiong angkat toya pendek itu menonjok leher lawan. Tempat yang diarah memang merupakan titik kelemahan serangan musuh.
Tak tersangka, biarpun mata Co Leng-tan sudah buta namun dia masih sanggup menghadapi serangan lihai itu secara gesit, cepat ia melompat mundur sambil mencaci maki dengan rasa penasaran.
Kesempatan itu segera digunakan oleh Ing-ing untuk menjemput sebatang pedang, lalu ia serahkan pedang itu kepada Lenghou Tiong dan ganti mengambil toya pendek itu, segera ia putar toya pendek itu dengan kencang sehingga titik-titik cahaya putih hijau gemerdep tak terputus-putus.
Serentak semangat Lenghou Tiong terbangkit, menghadapi pilihan antara mati dan hidup itu, ia tidak mau kenal ampun lagi, pedangnya bekerja cepat, mulutnya juga memaki, "Persetan nenekmu!" dan kontan seorang buta kena ditusuknya mampus.
Ternyata kerja pedangnya jauh lebih cepat daripada makiannya, baru enam kali dia memaki "persetan nenekmu", ternyata tiga belas orang buta yang tersisa itu sudah dibinasakan seluruhnya. Beberapa orang buta itu rupanya otaknya agak bebal, ketika mendengar Lenghou Tiong memaki "persetan nenekmu", ia mengira kawan sendiri, buat apa bertempur lagi. Tapi sebelum dia bisa berpikir lebih banyak lagi tahu-tahu lehernya sudah tertusuk pedang Lenghou Tiong, seketika dia "persetan ke akhirat untuk menemui neneknya".
Rupanya Co Leng-tan dan Lim Peng-ci menjadi bingung, mereka saling tanya berbareng, "Ada apa" Apakah ada api?"
"Benar!" bentak Lenghou Tiong, berbareng ia serang Co Leng-tan tiga kali.
Cara mendengarkan angin membedakan serangan musuh Co Leng-tan benar-benar hebat sekali, berturut-turut ia tangkis ketiga kali serangan Lenghou Tiong itu. Sebaliknya Lenghou Tiong merasa lengannya sakit pegal, kembali suatu arus hawa dingin menyalur tiba melalui batang pedang. Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, cepat ia berdiri tegak dan tahan senjata, sedikit pun ia tidak bergerak lagi, diam saja.
Karena tidak mendengar sesuatu gerak-gerik lawan, Co Leng-tan menjadi kelabakan, dengan gelisah ia putar pedangnya dengan kencang untuk melindungi segenap hiat-to tubuhnya.
Sementara itu Ing-ing masih terus putar toya pendek tadi dengan santer, dari percikan lelatu yang timbul dari toya itu Lenghou Tiong dapat membedakan musuh dengan cukup jelas, perlahan-lahan ia putar pedangnya ke arah lengan kanan Lim Peng-ci, sedikit demi sedikit ia julurkan senjatanya ke depan.
Lim Peng-ci coba pasang kuping untuk mendengarkan arah datangnya serangan lawan, akan tetapi pedang Lenghou Tiong itu dijulurkan dengan sangat perlahan dan sedikit demi sedikit, mana ada suara yang dapat terdengar"
Tampaknya ujung pedang sudah tinggal belasan senti saja dari sasarannya, mendadak Lenghou Tiong mendorong secepatnya ke depan, "cret", kontan otot tulang tangan kanan Peng-ci putus semua.
Peng-ci menjerit keras-keras, pedang terlepas dari cekalan, dengan kalap ia terus menubruk maju. Tapi pedang Lenghou Tiong lantas bekerja, lagi, "sret-sret" dua kali, kaki kanan-kiri Lim Peng-ci tertusuk pula. Dibarengi dengan caci maki yang penuh dendam tanpa ampun lagi Peng-ci roboh terguling.
Waktu Lenghou Tiong berpaling ke arah Co Leng-tan, di bawah cahaya percikan lelatu yang remang-remang tertampak gembong Ko-san-pay yang sudah buta itu sedang mengertak gigi, mukanya beringas menakutkan.
"Orang ini adalah biang keladi dari huru-hara dunia persilatan yang terjadi selama ini, dosanya tidak dapat diampuni!" demikian pikir Lenghou Tiong. Sekonyong-konyong ia bersuit nyaring, pedangnya bekerja cepat. Betapa pun lihainya Co Leng-tan, di bawah serangan Tokko-kiu-kiam yang lihai boleh dikata mati kutunya. Sekaligus bagian dahi, leher, dan dada terkena tiga tusukan pedang Lenghou Tiong.
Habis itu Lenghou Tiong lantas melompat mundur sambil gandeng tangan Ing-ing, dilihatnya Co Leng-tan berdiri mematung sejenak, lalu roboh ke depan, pedangnya ternyata sudah terputar balik dan menembus perut sendiri.
Setelah tenangkan diri, Lenghou Tiong coba memandang toya pendek di tangan Ing-ing yang memercikkan titik cahaya itu, namun cahaya lelatu yang terpantul terlalu lemah sehingga tak jelas benda apakah sebenarnya "toya" itu.
Bab 137. Binasanya Gak Put-kun
Khawatir kalau Lim Peng-ci melakukan serangan kalap lagi, segera Lenghou Tiong menendang sekali di pinggangnya dan menutuk hiat-to bagian itu, kemudian barulah ia menggeledahi badan orang mati untuk mencari batu api. Berturut-turut tiga orang telah digerayanginya, tapi semuanya bersaku kosong. Tiba-tiba teringat olehnya, kontan ia memaki, "Keparat, orang buta sudah tentu takkan membawa batu ketikan api segala."
Pada mayat berikutnya barulah, ia menemukan batu api dan akhirnya dapat membikin api. Tapi sesudah terang, kedua orang lantas menjerit berbareng. Ternyata benda yang dipegang oleh Ing-ing itu adalah sekerat tulang yang sebagian sudah terlepas. Segera Ing-ing melemparkan tulang itu.
Maka pahamlah Lenghou Tiong akan sebab musababnya, katanya, "Ing-ing jiwa kita telah diselamatkan oleh Locianpwe dari Sin-kau ini."
"Locianpwe dari Sin-kau apa maksudmu?" tanya Ing-ing.
"Dahulu sepuluh orang tianglo dari Sin-kau kalian pernah menyerbu ke Hoa-san sini, tapi mereka terjebak dan terkurung di dalam gua ini untuk selamanya sehingga tertinggal kesepuluh jerangkong di sini. Tulang yang kau pegang tadi adalah tulang paha, entah tulang tianglo yang mana. Tanpa sengaja telah kujemput tadi, untung juga, sebagian kena dipapas oleh pedang Co Leng-tan, dari tulang orang mati itulah tepercik api fosfor yang biasanya dianggap sebagai api setan, jadi api setan itulah yang telah menolong kita."
Ing-ing menghela napas lega, ia lantas memberi hormat ke arah tulang tadi dan berkata, "Kiranya Locianpwe dari agama sendiri, maaf!"
Lalu Lenghou Tiong mencari dua obor dan disulut, kemudian ia mengajak Ing-ing lekas keluar dari situ. Dengan menyeret Lim Peng-ci, segera ia mendahului berjalan melalui lorong gua itu.
Ing-ing masih ingat Lenghou Tiong pernah berjanji kepada Gak Leng-sian akan menjaga keselamatan Lim Peng-ci, seorang pendekar sejati harus bisa pegang janji, maka ia pun dapat mengerti bilamana Lenghou Tiong harus memenuhi permintaan Gak Leng-sian pada waktu ajalnya tempo hari. Begitulah ia pun tidak bicara apa-apa, sambil membawa kecapi yang sudah rusak ia pun ikut di belakang Lenghou Tiong.
Baru saja mereka berjalan beberapa langkah, tiba-tiba tertampak sesosok tubuh tak bernyawa menggeletak di situ, kiranya ialah Bok-taysiansing dari Heng-san-pay dengan sebelah tangan memegang rebab dan tangan lain memegang pedang pula. Pada kening, muka, dada, dan perut Bok-taysiansing penuh dengan luka, mungkin di jalan lorong yang sempit itulah Bok-taysiansing telah mati dikerubut oleh kawanan orang buta.
Teringat akan budi kebaikan Bok-taysiansing kepada dirinya, kini orang tua itu mati secara mengerikan di situ, hati Lenghou Tiong menjadi pilu, segera ia menyisihkan mayat Bok-taysiansing ke pinggir, lalu memberi hormat dan berkata, "Bok-supek, setelah Wanpwe keluar dari gua ini dengan selamat, kelak pasti akan kembali ke sini untuk menguburkan jenazah engkau."
Mereka terus menyusuri lorong yang sempit itu, dengan penuh kewaspadaan Lenghou Tiong siapkan pedang, ia pikir Co Leng-tan yang licin itu tentu menyuruh orang berjaga di jalanan itu. Di luar dugaan, sampai ujung lorong itu tetap tiada seorang yang terlihat.
Lorong gua itu dahulu sering didatangi oleh Lenghou Tiong, keadaan di situ sudah sangat hafal baginya. Perlahan-lahan ia mendorong balok batu yang menutup lubang keluar lorong gua itu. Seketika matanya menjadi silau oleh sinar matahari. Kiranya mereka bertempur sekian lamanya di dalam gua, tanpa terasa hari sudah terang sejak tadi.
Ternyata di luar lorong itu tiada seorang pun, segera Lenghou Tiong menarik Peng-ci dan melompat keluar, segera disusul pula oleh Ing-ing. Alangkah segar rasa mereka setelah menghirup udara segar, mereka merasa kini benar-benar sudah berada di tempat yang aman.
"Dahulu kau dihukum kurung oleh gurumu, apakah di gua inilah kau tinggal?" tanya Ing-ing.
"Benar," sahut Lenghou Tiong. "Di situ pula aku mendapatkan ajaran ilmu pedang dari Hong-thaysusiokco. Entah beliau masih tinggal di sekitar sini atau tidak" Entah keadaan beliau juga sehat walafiat atau tidak" Marilah kita coba mencarinya, ada beberapa segi ilmu pedang yang kuingin minta petunjuk dari beliau."
"Menurut ayahku, katanya di dunia ini hanya ilmu pedang Hong-thaysusiokcomu saja yang dapat lebih tinggi dari beliau, maka terhadap moyang-gurumu itu Ayah menyatakan sangat kagum. Marilah kita lekas pergi mencarinya," sahut Ing-ing.
Segera Lenghou Tiong simpan kembali pedangnya, ia lepaskan Lim Peng-ci, lalu bersama Ing-ing mereka keluar dari gua itu.
Akan tetapi baru saja melangkah keluar mulut gua, sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat di atas kepala mereka, rasanya seperti ada benda apa-apa yang menimpa turun. Cepat mereka melompat untuk menghindar. Namun sudah terlambat, ternyata sebuah jala ikan yang besar telah menelungkup rapat seluruh badan mereka.
Keruan mereka terkejut, cepat mereka melolos pedang untuk memotong jala ikan itu, tapi aneh, jala itu entah terbuat dari apa, ternyata tidak mempan dipotong oleh pedang.
Pada saat lain kembali sebuah jala menyambar lagi dari atas sehingga tubuh mereka terbungkus lebih rapat. Menyusul dari atas gua melompat turun seorang sambil menarik sekuatnya tali jala ikan itu, maka dalam sekejap saja jala itu sudah mengencang.
"He, Suhu!" seru Lenghou Tiong kaget.
Kiranya orang itu tak lain tak bukan adalah Gak Put-kun.
Setelah Gak Put-kun menarik kencang tali jala, maka Lenghou Tiong dan Ing-ing menjadi mirip dua ekor ikan besar yang masuk jaring. Semula mereka masih meronta-ronta, tapi akhirnya menjadi tak bisa berkutik.
Kaget dan bingung pula Ing-ing sehingga tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Tiba-tiba dilihatnya wajah Lenghou Tiong tersenyum simpul, sikapnya sangat senang. Diam-diam Ing-ing heran. "Jangan-jangan dia ada akal buat meloloskan diri?" pikirnya.


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu terdengar Gak Put-kun berkata dengan menyeringai, "Bangsat cilik, dengan riang gembira kau keluar dari gua situ, tentunya kau tidak mengira akan tertimpa bencana bukan?"
"Itu pun bukan sesuatu bencana segala," sahut Lenghou Tiong tak acuh. "Manusia akhirnya harus mati. Kini aku dapat mati bersama dengan istriku tercinta, maka hatiku merasa sangat senang."
Baru sekarang Ing-ing tahu, kiranya tersenyum simpul di wajah Lenghou Tiong adalah karena merasa bahagia dapat mati bersama dia.
"Bangsat cilik," Gak Put-kun memaki pula, "kematianmu sudah di depan mata, mulutmu masih bisa saja mengoceh."
Habis berkata, dengan tali jala ia ikat tubuh kedua orang dengan lebih kencang.
"Kau benar-benar sangat baik hati padaku," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. "Sudah tahu kami berdua takkan berpisah untuk selamanya, maka kau sengaja mengikat kami suami-istri sedemikian kencangnya. Memang orang yang paling tahu akan isi hatiku di dunia ini hanyalah engkau Gak-siansing seorang, maklumlah, memang engkaulah yang membesarkan aku sedari kecil."
Dia sengaja omong macam-macam dengan maksud mengulur waktu, siapa tahu akan mendapat akal untuk membebaskan diri. Selain itu ia pun berharap Hong Jing-yang dapat muncul mendadak untuk menolongnya.
Tentu saja Gak Put-kun sangat gemas, dampratnya pula, "Bangsat cilik, sejak kecil kau memang suka membual tak keruan, watak maling ini ternyata tidak berubah hingga kini. Biarlah kupotong dulu lidahmu agar nanti kalau kau sudah mati tidak perlu masuk neraka."
Mendadak sebelah kakinya melayang ke pinggang Lenghou Tiong, seketika hiat-to bisu tertutuk sehingga Lenghou Tiong tak bisa bersuara pula. Lalu Gak Put-kun berkata kepada Ing-ing, "Yim-toasiocia, kau ingin aku membunuh dia lebih dulu atau bunuh kau lebih dulu."
"Kau suka bunuh siapa lebih dulu boleh silakan, apa bedanya bagiku?" sahut Ing-ing. "Yang pasti obat pemunah pil sakti yang pernah kuberikan padamu itu hanya ada tiga biji padaku."
Mendengar "pil sakti" itu, seketika air muka Gak Put-kun berubah pucat. Menurut rencananya mestinya ia hendak membunuh dulu Lenghou Tiong dan Ing-ing, habis itu baru menggeledah tubuh Ing-ing untuk mencari obat penawar pil racun yang pernah ditelannya dahulu itu.
Maklumlah Gak Put-kun sangat jeri terhadap kedua muda-mudi ini. Lenghou Tiong mahir Gip-sing-tay-hoat, hal ini lebih-lebih membuatnya ketakutan. Mesti dia telah menggunakan kesempatan bagus pada waktu kedua orang itu keluar gua dan mendadak menjebaknya dengan jala ikan yang terbuat dari benang emas, tapi selama kedua orang itu belum mati, setiap saat ada kemungkinan mereka akan terlepas dan melakukan serangan balasan padanya. Kini mendengar Ing-ing menyatakan padanya hanya terdapat tiga biji obat penawar, itu berarti kalau dia membunuh kedua muda-mudi itu, ia sendiri pun hanya dapat hidup lagi selama tiga tahun, sesudah tiga tahun, bilamana racun obat mulai bekerja, racun itu akan menyerang otak, dia akan menjadi gila, kematiannya akan tersiksa lebih dulu, hal inilah yang membuatnya kepala pusing memikirkannya selama ini.
Begitulah, betapa pun dia dapat menahan perasaannya, tidak urung tubuhnya rada gemetar juga oleh ucapan Ing-ing tadi, katanya kemudian, "Baiklah, marilah kita mengadakan suatu jual-beli. Aku akan mengampuni kematian kalian asalkan kau mengatakan padaku caranya membuat obat penawar."
"Haha, biarpun usiaku masih muda dan pengalamanku cetek, tapi aku cukup kenal pribadi Gak-siansing dari Hoa-san-pay yang termasyhur," jawab Ing-ing dengan tak acuh. "Bilamana ucapanmu dapat dipercaya, tentunya kau takkan berjuluk sebagai Kun-cu-kiam."
"Hm, selama kau bergaul dengar Lenghou Tiong, rupanya hasilnya adalah cara menirukan mengoceh tak keruan," jengek Gak Put-kun. "Jadi tegasnya kau tak mau mengatakan caranya meracik obat penawar itu?"
"Sudah tentu takkan kukatakan," jawab Ing-ing tegas. "Biarlah tiga tahun lagi kami akan menyambut kedatanganmu di pintu gerbang akhirat sana. Cuma waktu itu wajahmu tentu sudah berlainan dengan sekarang, entah anggota badanmu akan tetap utuh seperti kini atau tidak, jangan-jangan aku akan pangling padamu."
Merinding juga Gak Put-kun oleh kata-kata itu, ia tahu apa yang dimaksudkan si nona adalah kelak bilamana racun di dalam tubuhnya mulai bekerja, maka sekujur badannya akan membusuk atau dalam keadaan gila ia akan merobek muka sendiri hingga hancur luluh.
Dari ngeri dan takut ia menjadi kalap, serunya dengan gusar, "Seumpama badanku kelak akan hancur, paling tidak kau sudah tiga tahun celaka lebih dulu daripadaku. Kini aku pun takkan membunuh kau, aku cuma potong saja kuping dan hidungmu, akan kusayat-sayat wajahmu yang cantik molek itu, akan kulihat apakah kekasihmu yang tercinta ini masih tetap menyukai siluman seperti kau atau tidak."
Habis berkata, "sret", ia terus melolos pedangnya.
Ing-ing sampai menjerit kaget. Mati tidaklah menakutkan baginya, tapi kalau benar mukanya disayat-sayat sehingga rusak, lalu terlihat oleh Lenghou Tiong, hal ini sungguh akan menjadi penyesalan bagi hidupnya.
Walaupun hiat-to bisu Lenghou Tiong tertutuk sehingga tak bisa bicara, tapi tangan dan kakinya, masih dapat bergerak. Ia pun paham isi hati Ing-ing, dengan sikunya ia senggol si nona, lalu dua jarinya ia bergerak mencolok kedua mata sendiri.
Kembali Ing-ing menjerit, serunya khawatir, "Jangan, Engkoh Tiong!"
Sebenarnya Gak Put-kun tidak sungguh-sungguh hendak merusak wajah Ing-ing yang cantik itu, hal ini cuma digunakan sebagai alat pemeras saja agar si nona mau mengaku resep pembuatan obat penawar. Kalau Lenghou Tiong sampai membutakan kedua mata sendiri, maka langkahnya yang jitu itu menjadi tak berguna lagi.
Maka dengan cepat luar biasa sebelah tangannya lantas menjulur, dari luar jala ikan itu ia pegang pergelangan tangan Lenghou Tiong sambil membentak, "Berhenti!"
Begitu anggota badan kedua orang tersentuh segera Gak Put-kun merasa tenaga dalam sendiri bocor keluar dari tubuhnya. Ia menjerit kaget dan cepat meronta dengan tujuan melepaskan tangannya. Akan tetapi sudah terlambat, tangan sendiri seperti melengket di pergelangan tangan Lenghou Tiong.
Tanpa ayal lagi Lenghou Tiong lantas membalik tangannya, kini berbalik ia berhasil mencengkeram tangan Gak Put-kun, menyusul ia lantas kerahkan Gip-sing-tay-hoat, berangsur-angsur ia sedot tenaga dalam Gak Put-kun ke tubuhnya sendiri.
Saking gugupnya Gak Put-kun terus ayun pedang di tangan lain untuk menebas tubuh Lenghou Tiong. Akan tetapi Lenghou Tiong keburu membetot sehingga tubuh Gak Put-kun terseret maju, tebasan pedangnya kena di atas tanah.
Tenaga dalam Gak Put-kun masih terus membanjir keluar, ketika ia bermaksud membacok lagi dengan pedangnya, namun rasanya sudah lemas lunglai, lengan saja hampir-hampir tak kuat diangkat. Sebisanya ia coba angkat pedangnya, dengan ujung pedang ia arahkan kening Lenghou Tiong, lengan dan pedang gemetar hebat, perlahan-lahan ditusukkan ke depan.
Ing-ing menjadi khawatir, ia bermaksud menggunakan jari untuk menyelentik batang pedang Gak Put-kun, namun kedua lengannya tertindih oleh badan Lenghou Tiong, jala ikan itu terikat dengan kencang pula, meski dia sudah berusaha meronta sekuatnya tetap sukar menarik keluar tangannya yang tertindih itu.
Tangan kiri Lenghou Tiong sendiri juga terjepit oleh Ing-ing dan tak dapat bergeser. Dalam keadaan kepepet tiba-tiba ia mendapat akal, segera ia mengerahkan Gip-sing-tay-hoat pada bagian kening, ia berharap bilamana ujung pedang lawan menyentuh kening sendiri, melalui pedang lawan itulah ia akan menyedot tenaga dalam Gak Put-kun, dengan demikian tusukan pedang lawan akan gagal pula. Tapi tujuannya akan berhasil atau tidak sukar dipastikan, soalnya dalam keadaan terpaksa, berusaha sedapat mungkin daripada mati konyol tak berdaya.
Tertampak ujung pedang lawan sudah makin mendekat keningnya, tiba-tiba teringat olehnya, "Aku telah membunuh Co Leng-tan dengan gerakan pedang yang lambat, begitu pula caraku melukai Lim Peng-ci, kini Suhu juga membunuh aku dengan cara yang sama, sungguh cepat amat datangnya pembalasan."
Gak Put-kun sendiri merasakan tenaga dalamnya dengan cepat terkuras keluar, ujung pedangnya juga tinggal beberapa senti saja di muka kening Lenghou Tiong, ia menjadi cemas dan bergirang pula. Ia berharap tusukan pedangnya dapat membinasakan Lenghou Tiong, sekalipun tenaga dalamnya yang hilang sukar ditarik kembali lagi, sedikitnya ada sebagian yang masih rapat dipertahankan dan tentu masih dapat berlatih lagi dari awal.
Pada saat genting itulah, sekonyong-konyong dari belakang seorang gadis menjerit dengan suara tajam, "He, apa yang kau lakukan" Lekas lepaskan pedangmu!"
Berbareng itu terdengar suara orang berlari-lari datang.
Melihat ujung pedangnya tinggal dua-tiga senti saja sudah dapat membinasakan Lenghou Tiong, mati-hidup sendiri kini juga tergantung kepada hasil tusukannya itu, sudah tentu ia tidak mau mengurungkan serangannya. Sekuat sisa tenaga ia coba dorong pedangnya ke depan, rasanya ujung pedang sudah menyentuh kening sasarannya. Tapi pada saat itu juga punggungnya terasa dingin, sebilah pedang telah menusuk punggungnya hingga menembus ke dada.
"Lenghou-toako, engkau tak apa, bukan?" terdengar suara gadis itu berseru pula. Kiranya Gi-lim adanya.
Lenghou Tiong tak dapat membuka suara, maka Ing-ing yang menjawabnya, "Siausumoay, Lenghou-toako tidak apa-apa."
"Syukurlah kalau begitu," seru Gi-lim bergirang. Tiba-tiba ia tercengang dan berkata pula dengan melongo, "He, dia Gak-siansing! Aku... aku telah membunuh dia!"
"Benar," kata Ing-ing. "Selamatlah, kau telah berhasil menuntut balas atas orang yang membunuh gurumu. Harap kau melepaskan tali pengikat jala ini untuk membebaskan kami."
"O, ya, ya!" sahut Gi-lim. "Jadi aku... aku telah mem... membunuh dia?"
Biarpun orang persilatan, tapi dasar hatinya kecil, melihat Gak Put-kun menggeletak di sini dengan berlumuran darah, ia menjadi takut hingga lemas badannya, ia pegang tali jala dan bermaksud membukanya, namun kedua tangan terasa gemetar dan tak bertenaga, beberapa kali ia coba membuka ikatan tali jala, tapi sukar membukanya.
Pada saat itulah dari sebelah sana tiba-tiba ada orang membentak, "Nikoh cilik, kau berani membunuh orang tua, kau harus terima hukuman yang setimpal!"
Berbareng seorang tua berbaju kuning lantas berlari tiba dengan pedang terhunus, kiranya adalah Lo Tek-nau.
"Celaka! Siausumoay bukan tandingan jahanam ini!" keluh Lenghou Tiong di dalam hati.
Cepat Ing-ing berseru, "Siausumoay, lekas lolos pedang dan melawannya!"
Mula-mula Gi-lim tertegun, tapi segera ia cabut pedang di tubuh Gak Put-kun, sementara itu Lo Tek-nau sudah lantas melancarkan serangan tiga kali berturut-turut. Gi-lim dapat menangkis serangan itu, tapi serangan ketiga telah menyerempet bahu kirinya sehingga terluka.
Tertampak serangan-serangan Lo Tek-nau semakin cepat, beberapa jurus serangannya lapat-lapat mirip dengan Pi-sia-kiam-hoat, hanya saja latihannya belum sempurna, cuma gayanya saja sama, tapi kecepatannya berbeda jauh sekali bilamana dibandingkan Lim Peng-ci.
Namun kepandaian Lo Tek-nau memang cukup tinggi, pengalaman banyak, ilmu pedangnya mencakup Ko-san-kiam-hoat dan Hoa-san-kiam-hoat, ditambah lagi akhir-akhir ini berhasil mempelajari sedikit Pi-sia-kiam-hoat, tentu saja Gi-lim bukan tandingannya. Untunglah akhir-akhir ini Gi-lim juga giat meyakinkan Hing-san-kiam-hoat, kemajuannya juga cukup pesat, maka untuk sementara dia masih dapat menandingi lawannya.
Mula-mula ia rada gugup oleh serangan lawan yang cepat itu sehingga bahunya terluka, tapi demi teringat bila dirinya kalah, maka nasib Lenghou Tiong dan Ing-ing tentu celaka. Ia pikir musuh hendak membunuh Lenghou-toako, biarlah dia harus melangkahi dulu mayatku.
Dengan tekad akan membela Lenghou Tiong sekalipun dirinya harus mati, maka caranya bertempur menjadi nekat juga tanpa pikirkan risiko lagi.
Menghadapi pertarungan sengit secara mati-matian ini, seketika Lo Tek-nau menjadi sukar mengalahkan Gi-lim, terpaksa ia mencaci maki kalang kabut, "Nikoh cilik, keparat kau! Maknya, berani mati ya kau!"
Melihat cara bertempur Gi-lim yang nekat itu, meski untuk sementara dapat bertahan, tapi sesudah lama tentu akan kalah juga. Segera Ing-ing berusaha membebaskan diri, ia coba menggeser tubuhnya sehingga tangan kiri dapat digunakan membuka hiat-to Lenghou Tiong yang tertutuk itu, lalu ia merogoh pedang pendeknya yang terselip di pinggang.
"He, Lo Tek-nau, barang apakah di belakangmu itu?" seru Lenghou Tiong.
Namun Lo Tek-nau cukup berpengalaman, di kala bertempur mati-matian begitu tentu saja dia tidak mau menoleh begitu saja oleh karena seruan Lenghou Tiong itu. Ia tidak ambil pusing terhadap kata-kata Lenghou Tiong, sebaliknya pergencar serangan-serangannya.
Dengan memegang pedangnya Ing-ing bermaksud menyambitkan senjata itu dari dalam jala, namun Gi-lim berdiri membelakanginya dan menempur Lo Tek-nau dari jarak dekat, kalau sambitannya sedikit menceng tentu akan mengenai Gi-lim malah.
Tiba-tiba terdengar Gi-lim menjerit lagi, rupanya bahunya terkena pula senjata musuh. Kalau luka pertama tadi hanya ringan saja, maka luka kedua ini rada parah sehingga darah bercucuran.
"Eh, ada monyet!" Lenghou Tiong berseru pula. "Ah, monyet itu kukenal, itulah monyet piaraan Laksute dahulu. He, monyet yang baik, lekas menubruk keparat itu, gigit mampus dia! Itulah bangsat pembunuh majikanmu!"
Seperti diketahui, demi untuk mencuri kitab pusaka Ci-he-sin-kang milik Gak Put-kun, memang Lo Tek-nau telah membunuh Liok Tay-yu, murid keenam Hoa-san-pay. Liok Tay-yu itu biasanya memang suka piara kera, ke mana pun pergi selalu membawa seekor kera kecil yang hinggap di atas pundaknya. Sesudah Liok Tay-yu mati, kera kecil itu pun entah menghilang ke mana.
Kini mendengar Lenghou Tiong berseru tentang monyet, seketika Lo Tek-nau mengirik bulu kuduknya. Pikirnya, "Bila binatang itu benar-benar menubruk ke tubuhku dan menggigit diriku, repot juga bagiku untuk mengusirnya."
Maka tanpa pikir lagi pedangnya terus membacok ke belakang. Tiba-tiba tertampak di samping tebing sana ada beberapa ekor kera sedang meloncat kian-kemari, jaraknya cukup jauh dari tempatnya, entah di antara kera-kera itu apakah betul terdapat kera piaraan Liok Tay-yu dahulu itu"
Pada saat itulah segera Ing-ing menyambitkan pedang pandaknya, "serrr," pedang itu menyambar ke tengkuk Lo Tek-nau secepat kilat.
Cepat juga cara Lo Tek-nau mengelak, sedikit mendak ke bawah, pedang Ing-ing menyambar lewat di atas kepalanya. Tapi mendadak pergelangan kaki kirinya terasa kencang terlibat oleh seutas tali, bahkan tali itu lantas terbetot sehingga tubuhnya sukar dikuasai, ia jatuh terjerembap.
Kiranya dalam keadaan gawat itu, Lenghou Tiong tidak sia-siakan waktu Lo Tek-nau mendekam ke bawah buat menghindarkan pedang tadi, ia tidak sempat membuka jala ikan lagi, tapi tali jala yang cukup panjang itu terus diayunkan untuk melibat kaki lawan dan menariknya hingga jatuh.
Habis itu, berbareng Lenghou Tiong dan Ing-ing berseru, "Lekas bunuh dia, lekas!"
Gi-lim lantas angkat pedangnya hendak memenggal kepala Lo Tek-nau. Tapi dasar wataknya memang welas asih, hatinya kecil pula, waktu membunuh Gak Put-kun tadi hanya terdorong oleh hasratnya ingin menolong Lenghou Tiong, tanpa pikir ia terus menusuk. Tapi sekarang ketika pedangnya hampir mengenai Lo Tek-nau, tiba-tiba perasaannya tak tega, bacokannya menjadi menceng, "crat", pundak kanan Lo Tek-nau yang terbacok.
Tulang pundak Lo Tek-nau seketika terbacok putus, pedang terlepas dari cekalan. Khawatir Gi-lim menyerang lagi, dengan menahan sakit Lo Tek-nau lantas melompat bangun, setelah meronta dan terlepas dari libatan tali jala tadi, secepat terbang ia terus kabur ke bawah karang.
Sekonyong-konyong dari sebelah karang sana muncul dua orang, seorang perempuan yang jalan di depan lantas membentak, "He, kau yang memaki anak perempuanku tadi, ya?"
Ternyata perempuan itu adalah ibu Gi-lim, si nenek yang berlagak bisu-tuli di Sian-kong-si itu.
Tanpa menjawab Lo Tek-nau lantas angkat kaki hendak menendang, namun gerak tubuh nenek itu sukar dilukiskan cepatnya, hanya sedikit berkelit, "plok", tahu-tahu Lo Tek-nau malah kena ditempeleng satu kali.
"Kurang ajar!" damprat si nenek. "Tadi kau memaki "maknya" padanya, aku inilah emaknya, jadi makianmu itu sama dengan memaki aku!"
"Cegat dia, tahan dia! Jangan lepaskan dia!" seru Lenghou Tiong.
Sebenarnya si nenek sudah angkat tangannya hendak menabok kepala Lo Tek-nau, bila pukulannya dijatuhkan, pasti jiwa Lo Tek-nau akan melayang. Tapi demi mendengar seruan Lenghou Tiong itu, si nenek berbalik naik pitam dan menjerit, "Setan alas kecil, aku justru sengaja lepaskan dia!"
Berbareng ia terus memberi jalan kepada Lo Tek-nau sambil mendepak pantatnya satu kali.
Seperti lolos dari neraka saja, Lo Tek-nau terus lari sipat kuping turun dari puncak gunung itu.
Orang yang ikut di belakang si nenek bukan lain daripada Put-kay Hwesio, dengan tertawa ia mendekati Lenghou Tiong, katanya, "He, masih banyak tempat bermain yang baik, mengapa kalian suka main sembunyi-sembunyi di dalam jala?"
"Lekas membuka jala ikan itu, Ayah, lepaskan Toako dan Cici," seru Gi-lim.
Tapi si nenek menyela dengan muka bersungut, "Aku masih harus bikin perhitungan dengan setan cilik itu, jangan lepaskan dia!"
"Hahahahaha!" Lenghou Tiong bergelak tertawa. "Suami-istri naik tempat tidur, sang comblang ikut syur! Kalian suami-istri telah berkumpul kembali mengapa tidak mengucapkan terima kasih kepadaku yang menjadi comblangnya ini?"
Namun nenek itu malah menendang sekali di tubuh Lenghou Tiong, rupanya ia merasa gemas karena telah dipermainkan oleh Lenghou Tiong, ia memaki, "Aku berterima kasih dengan sekali tendangan padamu!"
"Hai, Tho-kok-lak-sian, lekas kemari menolong aku!" tiba-tiba Lenghou Tiong berteriak dengan tertawa.
Nenek itu paling sirik terhadap Tho-kok-lak-sian, mendengar seruan Lenghou Tiong itu, ia terkejut dan menoleh. Sementara itu Lenghou Tiong lantas mengeluarkan tangannya dari dalam jala untuk membuka talipati yang mengikat jala dan membiarkan Ing-ing merangkak keluar. Ketika ia sendiri juga mau keluar mendadak si nenek membentaknya, "Tidak boleh keluar!"
Bab 138. Kepandaian Dian Pek-kong yang Khas Endus Bau Wanita
"Tidak boleh juga, tidak apa-apa, di dalam jala ikan ada duniaku sendiri. Biarlah aku tidur nyenyak di sini. Seorang laki-laki sejati sanggup mengkeret dan dapat menonjol, kalau mengkeret masuk jala, bila menonjol akan keluar jala. Apa artinya bagiku soal-soal begini, aku Lenghou...." baru Lenghou Tiong mau mengoceh lagi sekilas dilihatnya mayat Gak Put-kun menggeletak di situ. Meski bekas gurunya itu berkali-kali hendak mencelakainya, tapi mengingat selama likuran tahun dirinya dibesarkan olehnya, betapa pun budi kebaikan itu sukar dinilai. Coba kalau tidak disebabkan kitab Pi-sia-kiam-hoat, mungkin di antara guru dan murid tak sampai terjadi permusuhan begini. Teringat sampai di sini, wajahnya yang tertawa tadi seketika berubah, hatinya tertekan, sekonyong-konyong air mata berlinang-linang dan mengucur tak tertahan lagi.
Agaknya si nenek belum dapat memahami perasaan Lenghou Tiong, ia masih marah-marah dan memaki, "Bangsat cilik, kalau tidak kuhajar kau, rasanya tak terlampias benciku padamu!"
Habis berkata segera ia angkat tangan hendak menampar muka Lenghou Tiong, syukurlah Gi-lim lantas berseru mencegah, "Mak, jangan...."
Sementara itu tangan Lenghou Tiong sudah bertambah sebilah pedang, kiranya Ing-ing yang menyodorkan kepadanya ketika dia termangu-mangu memandangi mayat Gak Put-kun tadi.
Begitu pedangnya menuding, segera ia menusuk ke hiat-to penting di pundak kanan si nenek, terpaksa orang tua itu mundur selangkah.
Melihat Lenghou Tiong berani melawannya bahkan balas menyerang, nenek itu tambah marah, gerak tubuhnya secepat angin, tangan menghantam dan kaki menendang, berulang-ulang ia melancarkan tujuh atau delapan kali serangan.
Namun Lenghou Tiong dapat melawannya dengan tidak kalah cepatnya, meski masih di dalam jala, tapi pedangnya selalu mengancam tempat-tempat bahaya di tubuh si nenek, hanya saja setiap kali ujung pedang hampir mengenai sasarannya segera tarik kembali.
Begitu Tokko-kiu-kiam dimainkan boleh dikata tiada tandingannya di dunia ini, kalau saja Lenghou Tiong tidak memberi kelonggaran, tentu si nenek sudah mati beberapa kali sejak tadi.
Setelah bergerak beberapa jurus lagi, akhirnya nenek itu menghela napas panjang, ia menyadari ilmu silat sendiri masih selisih jauh dengan Lenghou Tiong, ia berhenti menyerang dengan air muka bersungut.
Cepat Put-kay Hwesio melerainya, "Niocu (istriku), kita semua adalah teman sendiri, buat apa cekcok."
"Peduli apa dengan kau?" bentak si nenek dengan gusar. Segera ia bermaksud melampiaskan dongkolnya kepada Put-kay.
Dalam pada itu Lenghou Tiong sudah membuang pedangnya dan menerobos keluar dari jala ikan, katanya dengan tertawa, "Jika kau ingin memukul aku untuk melampiaskan marahmu, boleh silakan pukul saja."
Tanpa permisi nenek itu benar-benar menempeleng sekali di muka Lenghou Tiong, tapi pemuda itu hanya tertawa saja tanpa menghindar.
"Kenapa kau tidak menghindar?" omel si nenek dengan gusar.
"Aku tidak mampu menghindarinya, apa mau dikata?" sahut Lenghou Tiong tertawa.
Nenek itu mendengus, segera sebelah tangan diangkat lagi, tapi tidak jadi dipukulkan.
Sementara itu Ing-ing sedang menarik tangan Gi-lim dan berkata padanya, "Siausumoay, syukur engkau datang tepat pada waktunya untuk menolong kami. Cara bagaimana kau dapat sampai di sini?"
"Aku dan para suci telah kena ditawan oleh orang-orangnya," sahut Gi-lim sambil menuding mayat Gak Put-kun. "Aku dan ketiga suci dikurung di suatu gua, tadi Ayah dan Ibu telah menolong keluar kami. Kemudian kami, Ayah, Ibu, aku, dan Si Tidak Boleh Tidak Pantang (maksudnya Dian Pek-kong) serta ketiga suci, beramai-ramai menolong keluar pula para suci dari berbagai tempat kurungan mereka. Ketika aku sampai di bawah tebing sini kudengar ada orang bicara di atas dan kedengaran seperti suaranya Lenghou-toako, maka aku lantas naik ke sini untuk melihatnya."
"Kami telah mencari ke berbagai tempat dan tiada menemukan seorang pun, tak tahunya kalian dikurung di dalam gua," kata Ing-ing.
"Si bangsat tua baju kuning tadi adalah orang yang paling jahat, sungguh tidak rela hatiku bilamana dia sampai lolos," kata Lenghou Tiong sambil menjemput kembali pedangnya, lalu menambahkan, "marilah kita lekas mengejarnya."
Mereka berlima lantas turun dari puncak karang itu, tidak lama kemudian terlihatlah Dian Pek-kong dan tujuh murid Hing-san-pay sedang memanjat ke atas dari lembah sana, di antaranya terdapat juga Gi-jing. Setiap orang merasa gembira setelah dapat berkumpul kembali dengan selamat.
Dalam hati Lenghou Tiong tidak habis heran mengapa Dian Pek-kong malah mengetahui bahwa di lembah gunung itu ada sebuah gua, padahal sekeliling Hoa-san boleh dikata dikenal dengan hafal sekali olehnya, tapi belum pernah diketahuinya tentang adanya gua di bawah sana. Karena itu Lenghou Tiong sengaja menjawil Dian Pek-kong agar jalan perlahan dan ketinggalan di belakang oleh rombongan orang banyak. Lalu Lenghou Tiong bertanya, "Dian-heng, aku sendiri tidak mengetahui bahwa di lembah pegunungan Hoa-san ini ada gua rahasia lain, tapi kau malah mengetahuinya, sungguh aku merasa tidak habis mengerti dan kagum sekali padamu."
"Sebenarnya juga tidak perlu dibuat heran," ujar Dian Pek-kong dengan tersenyum.
"O, tentu kau menangkap salah seorang murid Hoa-san-pay, lalu paksa dia mengaku gua rahasia itu?" kata Lenghou Tiong.
"Bukan begitu halnya," sahut Dian Pek-kong.
"Habis dari mana kau mendapat tahu gua itu, coba memberi petunjuk padaku," pinta Lenghou Tiong.
Tiba-tiba sikap Dian Pek-kong kelihatan kikuk dan rikuh, sahutnya kemudian dengan tersenyum, "Kurang pantas bila kuterangkan hal ini, maka lebih baik tak kukatakan saja."
"Kita berdua sama-sama petualang Kang-ouw yang suka bangor, apanya yang sopan?" ujar Lenghou Tiong. "Sudahlah, lekas kau terangkan saja."
"Jika kukatakan, hendaklah Lenghou-ciangbun jangan marah," kata Dian Pek-kong.
"Aku harus berterima kasih padamu karena kau telah menyelamatkan orang-orang Hing-san-pay kami, mana bisa aku marah padamu malah?" sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.
Maka dengan suara tertahan Dian Pek-kong berkata, "Terus terang, sebagaimana Lenghou-ciangbun sudah tahu bahwa aku mempunyai sifat yang buruk. Tapi sejak kepalaku digunduli oleh Thaysuhu dan aku diberi nama agama "Put-ko-put-kay" (Tidak Boleh Tidak Pantang), maka dengan sendirinya pantangan main perempuan tak dapat kulanggar lagi...."
Teringat kepada nama aneh pemberian Put-kay Hwesio kepada Dian Pek-kong itu, tanpa terasa Lenghou Tiong tersenyum geli.
Dian Pek-kong tahu apa yang sedang dipikir oleh Lenghou Tiong, mukanya menjadi merah, katanya pula, "Tapi kepandaian yang telah kuyakinkan sedari dulu tidak menjadi terlupa. Betapa pun jauhnya, asal di situ ada perempuan berkumpul, tentu Cayhe dapat... dapat merasakannya."
Lenghou Tiong terheran-heran. "Bagaimana kau bisa" Bagaimana caranya?" tanyanya.
"Aku pun tidak tahu bagaimana caranya, rasanya seperti dapat mengendus bau yang timbul dari badan perempuan, bau yang berbeda daripada kaum lelaki," kata Pek-kong.
"Hahahaha! Dian-heng benar-benar seorang genius!" puji Lenghou Tiong dengan bergelak tertawa.
"Ah, mana, mana!" sahut Dian Pek-kong.
"Kepandaian Dian-heng itu adalah karena banyak berbuat hal-hal yang buruk, dikumpulkan dari pengalaman dan gemblengan, tidak nyana kini dapat digunakan untuk menolong anak murid Hing-san-pay kami," kata Lenghou Tiong pula dengan tertawa.
Waktu itulah Ing-ing menoleh ke belakang, mestinya ia hendak bertanya apa yang dibicarakan dan membuat Lenghou Tiong tertawa, tapi demi tampak sikap Dian Pek-kong yang kikuk dan aneh itu, ia menduga tentu bukan membicarakan hal-hal yang baik, maka urunglah ia bertanya.
Sekonyong-konyong Dian Pek-kong berhenti di situ dan berkata, "He, di sekitar sini rasanya seperti ada anggota Hing-san-pay kalian."
Habis itu, ia mengendus-endus dengan kuat beberapa kali, lalu melangkah ke arah semak-semak di bawah lereng sana sambil munduk-munduk mencari sesuatu, perbuatannya itu mengingatkan orang pada anjing pemburu yang mencari jejak buruannya.
Selang tak lama, mendadak ia bersorak gembira dan berseru, "Ini dia, di sini!"
Tempat yang dia tuding adalah tumpukan belasan potong batu besar, setiap potong batu itu beratnya dua-tiga ratus kati sedikitnya, segera ia bekerja keras, sepotong batu besar itu lantas disingkirkan dari tempatnya.
Cepat Put-kay Hwesio dan Lenghou Tiong ikut membantu, sebentar saja belasan potong batu besar itu telah disingkirkan, di bawahnya ternyata ada sepotong balok batu. Ketika mereka mengangkat balok batu itu, tertampaklah sebuah lubang gua, di dalam gua terbaring beberapa nikoh, jelas mereka adalah murid Hing-san-pay seluruhnya.
Lekas Gi-jing dan dua orang sumoaynya melompat turun ke dalam gua dan mengangkat keluar saudara-saudara seperguruannya itu. Sudah lima-enam orang digotong keluar, di dalam gua ternyata masih ada yang lain, semuanya dalam keadaan payah. Cepat mereka menyeret keluar semua murid Hing-san-pay yang terkurung itu, di antaranya terdapat Gi-ho, The Oh, Cin Koan, dan lain-lain, gua sesempit itu ternyata terkurung 30-an orang, coba lewat semalam lagi, bukan mustahil semuanya sudah menjadi bangkai di situ.
Teringat kepada betapa kejamnya sang suhu, mau tak mau Lenghou Tiong merasa ngeri juga. Segera ia memuji Dian Pek-kong, "Dian-heng, kepandaianmu sungguh lain daripada yang lain, para suci dan sumoay ini tersembunyi di bawah tanah sedalam ini, tapi kau dapat mengendusnya, sungguh aku sangat kagum padamu."
"Sebenarnya juga tidak perlu heran," kata Dian Pek-kong. "Untunglah di antara mereka ada susiok dan supek dari kalangan preman...."
"Susiok dan supek siapa?" tanya Lenghou Tiong. Tapi segera ia pun tahu apa artinya itu, katanya pula, "O ya, kau adalah murid Gi-lim Sumoay, hampir aku lupa."
"Bila yang terkurung di dalam gua melulu terdiri dari para susiok dan supek nikoh, maka sukarlah bagiku untuk menemukannya," tutur Dian Pek-kong.
"O, rupanya ada perbedaan besar antara orang preman dan orang agama," kata Lenghou Tiong.
"Sudah tentu banyak bedanya," ujar Dian Pek-kong. "Perempuan dari keluarga preman tubuhnya ada bau gincu dan pupur yang wangi."
Baru sekarang Lenghou Tiong paham duduknya perkara. Kiranya yang diendus-endus dengan keras oleh hidung Dian Pek-kong adalah bau gincu dan pupur wangi kaum wanita itu.
Begitulah beramai-ramai Gi-jing, Gi-lim, dan lain-lain lantas sibuk menyadarkan para saudara seperguruannya yang payah itu, setelah diberi minum air jernih, akhirnya semuanya sadar kembali.
"Yang kita selamatkan ini belum ada sepertiga dari saudara-saudara kita," kata Lenghou Tiong. "Maka dari itu, Dian-heng, harap engkau pertunjukkan kesaktianmu, marilah kita mencari lagi saudara-saudara yang lain."
Dalam pada itu si nenek sedang melirik kepada Dian Pek-kong dengan penuh rasa curiga, tiba-tiba ia bertanya, "Cara bagaimana kau mengetahui orang-orang ini terkurung di sini" Besar kemungkinan kau berada di sekitar sini ketika mereka disekap di sini, bukan?"
"Tidak, tidak," cepat Dian Pek-kong membantah. "Aku senantiasa ikut Thaysuhu ke mana pun beliau pergi, tak pernah meninggalkan selangkah pun dari sisi beliau."
"Kau senantiasa ikut di sisinya?" si nenek menegas dengan muka cemberut.
Diam-diam Dian Pek-kong mengeluh karena ucapannya yang keseleo itu. Pikirnya, mereka suami-istri tua baru saja berkumpul kembali, sepanjang jalan banyak menimbulkan hal-hal yang lucu, ya menangis ya tertawa, ya bertengkar, ya mesra, semuanya itu telah dilihat dan didengar olehnya sendiri. Kini kalau si nenek guru ini sampai marah lantaran malunya, tentu diriku bisa celaka. Maka cepat ia menjawab, "O, bukan begitu maksudku. Selama setengahan tahun ini Tecu selalu mendampingi Thaysuhu, tapi kira-kira puluhan hari yang lalu Tecu telah berpisah dengan beliau dan baru hari ini kita bersua kembali di sini."
Sudah tentu si nenek setengah percaya setengah sangsi, tanyanya pula, "Lalu cara bagaimana pula kau mengetahui para nikoh ini terkurung di dalam gua sini?"
"Tentang ini... ini...." seketika Dian Pek-kong menjadi sukar memberi jawaban.
Pada saat itulah tiba-tiba di lereng gunung sana bergema suara trompet yang ramai, menyusul suara genderang bergemuruh laksana beribu-ribu prajurit berderap di medan perang. Seketika semua orang menjadi tercengang.
"Ayahku datang!" demikian Ing-ing membisiki Lenghou Tiong.
"O...." mestinya ia hendak mengatakan "kiranya bapak mertuaku yang datang!" tapi tiba-tiba ia merasa tidak enak berkata demikian dan urung diucapkan.
Setelah genderang berderu, sejenak kemudian trompet berbunyi pula dengan nyaring. Habis itu mendadak suara genderang dan trompet itu berhenti serentak, suara belasan orang sama berteriak, "Paduka Yang Mulia Yim-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau tiba!"
Tenaga dalam belasan orang itu sangat kuat, suara teriakan mereka seketika menggema angkasa lembah pegunungan hingga menimbulkan suara kumandang yang gemuruh.
Belum lenyap kumandang suara pertama itu, menyusul terdengar pula suara orang banyak berteriak-serentak, "Hidup Yim-kaucu!"
Dari suara gemuruh yang menggetar bumi itu, jumlah orang yang berteriak serentak itu sedikitnya ada beberapa ribu orang.
Selang sebentar, kumandang suara itu mulai mereda, lalu ada seorang berseru dengan lantang, "Tiau-yang-sin-kau Yim-kaucu mahabijaksana dan juru penyelamat ada perintah: Hendaklah para ciangbunjin dari Ngo-gak-kiam-pay beserta para anak muridnya menaati perintah supaya berangkat dan berkumpul di Tiau-yang-hong!"
Setelah orang itu mengulangi tiga kali titah sang kaucu itu, selang sejenak, lalu ia menyambung lagi, "Para Hiangcu dan wakilnya hendaklah memimpin anak buah masing-masing mengadakan pemeriksaan di segenap puncak gunung, jaga keras jalan keluar-masuk, orang tak berkepentingan dilarang jalan mondar-mandir. Yang melanggar perintah boleh bunuh saja tanpa perkara."
Segera ada dua-tiga puluh orang mengiakan perintah itu, tentu mereka adalah ke-12 hiangcu dari Tiau-yang-sin-kau beserta wakil-wakilnya.
Lenghou Tiong saling pandang sekejap dengan Ing-ing, ia paham apa artinya perintah Yim-kaucu itu, hal mana berarti setiap anggota Ngo-gak-kiam-pay diharuskan pergi ke Tiau-yang-hong untuk menghadap kepada sang kaucu. Ia pikir Yim-kaucu adalah ayah Ing-ing, bila nanti aku menikah dengan Ing-ing toh mesti pergi menemuinya.
Karena itu ia lantas berkata kepada Gi-ho dan lain-lain, "Masih ada sebagian saudara kita yang terkurung, hendaklah Dian-heng ini menjadi penunjuk jalan, marilah kita lekas menolong keluar mereka. Yim-kaucu adalah ayah Yim-siocia, rasanya beliau takkan bikin susah kita. Aku dan Yim-siocia akan pergi dulu ke puncak timur sana, setelah saudara-saudara kita sudah berkumpul semua, hendaklah beramai-ramai bergabung di puncak timur sana."
Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, dan lain-lain sama mengiakan, mereka ikut Dian Pek-kong pergi mencari teman-teman lain yang masih terkurung di berbagai tempat.
Tiba-tiba si nenek mengomel, "Aku justru tak sudi pergi menghadap dia, ingin kulihat cara bagaimana orang she Yim itu membunuh diriku tanpa perkara!"
Lenghou Tiong tahu wataknya si nenek yang sukar diajak bicara, seumpama dia mau pergi menemui Yim Ngo-heng, bukan mustahil nanti akan menimbulkan gara-gara malah, maka ia pun tidak merintanginya, segera ia memberi hormat kepada Put-kay Hwesio dan si nenek, bersama Ing-ing lantas menuju ke puncak timur.
Ada tiga puncak paling tinggi di pegunungan Hoa-san, masing-masing terdiri dari puncak timur, puncak selatan, dan puncak barat. Puncak timur mempunyai nama resmi sebagai Tiau-yang-hong (Puncak Menyongsong Surya). Sebabnya Yim Ngo-heng memilih Tiau-yang-hong sebagai tempat pertemuan dengan para kesatria dari Ngo-gak-kiam-pay sudah tentu mempunyai arti yang mendalam.
Sambil jalan berendeng dengan Ing-ing, berkatalah Lenghou Tiong, "Ayahmu menyuruh orang-orang Ngo-gak-kiam-pay berkumpul di Tiau-yang-hong, apakah mungkin orang-orang dari berbagai aliran itu sekarang berada di Hoa-san sini?"
"Di antara pemimpin-pemimpin Ngo-gak-kiam-pay itu, dalam sehari saja tadi telah mati tiga orang, yaitu Gak-siansing, Co Leng-tan, dan Bok-taysupek," kata Ing-ing. "Thay-san-pay belum diketahui ada pengangkatan ketua baru, maka di antara Ngo-gak-kiam-pay hanya tinggal kau seorang saja yang menjabat ketua."
"Ya, di antara tulang punggung Ngo-gak-kiam-pay, kecuali Hing-san-pay, selebihnya sudah hampir tewas semua di gua belakang Su-ko-keh itu, sedangkan anak murid Hing-san-pay sendiri juga baru terkurung dalam keadaan payah, maka aku menjadi khawatir...."
"Kau khawatir ayahku menumpas habis Ngo-gak-kiam-pay kalian pada kesempatan baik sekarang ini?" Ing-ing menegas.
Lenghou Tiong mengangguk sambil menghela napas, katanya, "Sebenarnya beliau tidak perlu turun tangan juga orang-orang Ngo-gak-kiam-pay sudah tiada artinya lagi baginya."
"Perhitungan ayahku sekali ini benar-benar sangat jitu," kata Ing-ing. "Gak-siansing telah memancing berbagai tokoh inti dari Ngo-gak-kiam-pay untuk masuk ke gua di Hoa-san sini untuk melihat ilmu pedang yang terukir di dinding, tujuannya hendak menumpas tokoh-tokoh terkuat dari aliran-aliran lain agar dia dapat menjabat ketua Ngo-gak-pay dengan aman, dengan demikian tiada tokoh dari aliran lain yang mampu mendampingi dia. Tak terduga kesempatan itu telah digunakan juga oleh Co Leng-tan dengan mengajak segerombolan orang buta dan bermaksud membinasakan Gak Put-kun di gua yang gelap itu."
"Kau bilang Co Leng-tan bermaksud membunuh guruku dan bukan diriku yang diincar?" Lenghou Tiong menegas.
"Dia tidak menduga akan kedatanganmu ke sini," sahut Ing-ing. "Sebab ilmu pedangmu sudah mahahebat, sudah lama kau melebur jurus-jurus ilmu pedang yang terukir di dinding gua itu, dugaan sendirinya kau takkan tertarik oleh umpan yang dia pasang itu. Bahwasanya kita masuk juga ke gua itu hanya karena kebetulan saja."
"Memang benar. Padahal Co Leng-tan juga tiada bermusuhan apa-apa dengan aku, sebaliknya Suhu telah membutakan kedua matanya, telah merebut pula kedudukan ketua Ngo-gak-pay, hal-hal inilah menjadi dendam kesumat baginya."
"Rasanya terlebih dahulu Co Leng-tan pasti sudah mengatur tipu daya apa-apa untuk memancing Gak-siansing masuk ke gua itu, habis itu baru membunuhnya dalam keadaan gelap gulita. Tapi entah apa sebabnya agaknya tipu muslihatnya ketahuan oleh Gak-siansing sehingga berbalik menanti di mulut gua, lalu menangkap tawanannya dengan jala ikan. Kini Co Leng-tan dan gurumu sudah meninggal semua, seluk-beluk urusan ini secara terperinci mungkin tiada seorang pun yang tahu."
Lenghou Tiong manggut-manggut dengan rasa pilu.
Lalu Ing-ing berkata pula, "Agaknya, sudah lama sekali Gak-siansing merencanakan tipu muslihatnya untuk memancing kedatangan tokoh-tokoh inti Ngo-gak-kiam-pay ke dalam gua itu. Tempo hari, waktu pertandingan di puncak Ko-san, kau punya siausumoay, Gak-siocia itu sekaligus telah mengalahkan jago-jago Thay-san-pay, Heng-san-pay, Ko-san-pay, dan Hing-san-pay dengan menggunakan ilmu pedang dari golongan-golongan itu sendiri, sudah tentu kepandaiannya yang tak terduga itu sangat menarik perhatian orang. Hanya anak murid Hing-san-pay saja yang tidak tertarik oleh kepandaian Gak-siocia itu, sebab kau sudah mengajarkan ilmu pedang Hing-san-pay yang kau peroleh dari ukiran di dinding gua itu kepada mereka, sedangkan orang-orang Heng-san-pay, Ko-san-pay, dan Thay-san-pay dengan sendirinya berusaha mencari tahu dari mana Gak-siocia dapat mempelajari ilmu pedang mereka yang lihai itu. Di situlah Gak-siansing sengaja membocorkan sedikit rahasianya, lalu menentukan hari serta membuka pintu lebar-lebar gua belakang di puncak Hoa-san itu. Tentu saja jago dari ketiga aliran itu lantas membanjir ke sana dan berebut mendahului masuk ke gua itu."
"Ya, orang persilatan seperti kita ini memang paling tertarik kepada ilmu silat, begitu mendengar di mana ada ilmu silat yang istimewa, biarpun menghadapi bahaya besar juga ingin lihat sampai di mana kehebatan ilmu silat tersebut, apalagi menyangkut ilmu silat tertinggi dari perguruan sendiri, tentu saja harus dicari sampai ketemu. Sebab itulah tokoh-tokoh semacam Bok-taysupek yang biasanya acuh tak acuh akhirnya juga menjadi korban tipu muslihat suhuku."
"Agaknya Gak-siansing sudah menduga Hing-san-pay kalian takkan datang ke sini, sebab itu dia mengatur tipu daya lain, dengan obat tidur kalian dibius, lalu ditawan ke Hoa-san sini."
"Ya, aku menjadi tidak paham, mengapa Suhu mengeluarkan tenaga sebanyak itu untuk menawan orang-orang kami ke sini, padahal perjalanan cukup jauh, di tengah jalan juga mudah terjadi sesuatu, kalau dia membunuh anak buah Hing-san-pay kami di tempat itu juga kan semuanya akan menjadi beres?" setelah merandek sejenak, lalu Lenghou Tiong menyambung, "Ah, pahamlah aku, kalau anak murid Hing-san-pay dibunuh habis, hal ini berarti Ngo-gak-pay akan menjadi pincang tanpa Hing-san-pay. Sedangkan Suhu ingin menjadi ketua Ngo-gak-pay, tanpa Hing-san-pay berarti jabatannya itu tidak sempurna, tidak sesuai dengan namanya."
"Sudah tentu, apa yang kau katakan itu adalah satu faktor, tapi kukira masih ada satu faktor lain yang lebih besar," ujar Ing-ing.
"Apa itu?" tanya Lenghou Tiong.
"Paling baik kalau kau dapat ditangkap, dengan begitu akan dapat dipakai menukar sesuatu padaku," tutur Ing-ing. "Kalau tidak begitu, dengan menawan seluruh anak buah Hing-san-pay kalian ke sini sebagai alat pemeras padamu, tentu saja aku takkan tinggal diam dan terpaksa akan memberikan barang yang dia minta."
"O ya, tahulah aku!" seru Lenghou Tiong sambil menepuk paha. "Yang diinginkan guruku adalah obat penawar pil pembusuk tubuh yang kau cekokkan padanya itu."
"Setelah Gak-siansing telan obat itu, dengan sendirinya dia tidak tenteram siang dan malam, betapa pun berusaha hendak memunahkan racun yang mengeram di dalam tubuhnya itu. Dia tahu, hanya melalui dirimu barulah obat penawar dapat diperoleh."
"Ya, sebab aku adalah jantung hatimu, hanya diriku saja yang dapat ditukarkan dengan obat penawar darimu."
Ing-ing menyemprotnya, "Cis, tak malu, puji-puji diri sendiri!"
Begitulah kedua orang terus melanjutkan perjalanan sambil bicara, mereka telah berada di suatu jalanan sempit yang menanjak ke atas, karena sempitnya dan curamnya jalan, kedua orang tak dapat jalan berendeng.
"Kau jalan di muka," kata Ing-ing.
"Lebih baik kau saja jalan di depan, bila kau jatuh terperosot akan kupeluk kau," ujar Lenghou Tiong.
"Tidak, kau saja jalan dahulu, pula tak boleh menoleh ke belakang, apa yang Nenek katakan, kau harus menurut!" kata Ing-ing dengan tertawa.
"Baiklah, aku akan jalan lebih dulu. Tapi kalau aku jatuh terperosot kau mesti peluk diriku."
"Tidak, tidak!" cepat Ing-ing berseru, rupanya ia khawatir Lenghou Tiong pura-pura jatuh dan sengaja main gila padanya, segera ia mendahului jalan ke atas.
Setelah membelok beberapa tikungan, akhirnya mereka sampai di atas Giok-li-hong, Lenghou Tiong lantas menunjuk tempat-tempat yang indah di "Puncak Gadis Ayu" itu. Ing-ing tahu tempat-tempat indah itu dahulu tentu sering menjadi tempat bermain antara Lenghou Tiong dengan Gak Leng-sian, maka sekali pandang saja ia lantas meninggalkan tempat yang disebutkan itu tanpa tanya-tanya lagi.
Pendekar Kelana 5 Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Pendekar Kelana 11
^