Pencarian

Hina Kelana 43

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 43


Turun dari Giok-li-hong atau Puncak Gadis Ayu itu, setelah memutar sebuah belokan lagi, jalan menanjak ke atas adalah sebuah jalan kecil yang menuju Tiau-yang-hong. Tertampak di lereng atas sana penuh berdiri pos-pos penjagaan, seragam anggota Tiau-yang-sin-kau terdiri dari tujuh warna dan mengikuti panji komando dalam warna masing-masing, disiplinnya tertampak sangat keras, jauh lebih tertib dan angker dibandingkan keadaan di Hek-bok-keh dahulu.
Diam-diam Lenghou Tiong harus mengakui kepemimpinan Yim-kaucu yang hebat itu, beribu-ribu anak-buahnya itu ternyata dapat melakukan tugasnya dengan sangat tertib, beda jauh sekali daripada dahulu waktu dirinya memimpin beberapa ribu orang menyerbu Siau-lim-si yang kacau-balau itu.
Melihat kedatangan Ing-ing, anggota-anggota Tiau-yang-sin-kau sama membungkuk tubuh sebagai tanda hormat, terhadap Lenghou Tiong mereka pun memberi hormat yang sama. Panji komando setingkat demi setingkat dikibarkan dari bawah puncak hingga atas puncak untuk memberi lapor kepada Yim Ngo-heng.
Melihat setiap tempat yang strategis di sekitar Tiau-yang-hong itu terjaga oleh anggota Tiau-yang-sin-kau yang beribu-ribu jumlahnya, jelas Yim Ngo-heng telah mengerahkan segenap kekuatannya, seumpama para ketua Ngo-gak-kiam-pay tidak mati, jago-jago kelima aliran itu pun kumpul di Hoa-san sini, tapi kini harus menghadapi lawan yang begini kuat, mungkin juga sukar membendung serbuan musuh, apalagi sekarang keadaan sudah morat-marit, betapa pun tidak ada harapan akan mampu melawannya. Melihat gelagatnya jelas Ngo-gak-kiam-pay sudah mendekati ambang kebangkrutan, terpaksa segalanya terserah kepada takdir dan terima nasib, bila Yim Ngo-heng hendak membunuh habis orang-orang Ngo-gak-kiam-pay, dirinya tidak nanti menyelamatkan diri sendiri, terpaksa angkat senjata melakukan perlawanan mati-matian, biarlah gugur bersama anak murid Hing-san-pay di puncak Hoa-san ini. Demikian pikir Lenghou Tiong.
Meski Lenghou Tiong cukup pintar dan cerdik, tapi dia tidak biasa main tipu daya, tidak berbakat memimpin pekerjaan besar dan menghadapi kejadian hebat, kini menghadapi kehancuran Hing-san-pay secara total, ia merasa tidak punya akal untuk menyelamatkannya, biarlah segala sesuatu terserah keadaan, menyerah kepada nasib.
Terpikir olehnya Ing-ing mempunyai hubungan darah dengan Yim-kaucu, paling-paling si nona tidak membela pihak mana pun, tentunya tak dapat membantu dirinya dan memusuhi ayahnya sendiri. Maka ia lantas tenangkan pikiran, terhadap anggota-anggota Tiau-yang-sin-kau yang siaga di sepanjang jalan itu dianggap sepi saja, ia tetap berkelakar dengan Ing-ing atau membicarakan keindahan alam pegunungan Hoa-san yang mereka lalui itu.
Berbeda dengan Lenghou Tiong, pikiran Ing-ing menjadi kusut dan sedih, ia tidak dapat bersikap tak acuh seperti Lenghou Tiong, sepanjang jalan ia justru memeras otak mencari akal untuk membantu bakal suami itu. Ia menduga kedatangan ayahnya pasti tidak menguntungkan Hing-san-pay, terpaksa harus tunggu dan lihat serta berbuat menurut keadaan nanti, mungkin saja ada jalan baik bagi kedua pihak.
Begitulah mereka terus mendaki puncak itu, setiba di atas, mendadak trompet berbunyi disertai suara petasan, menyusul bergema pula suara genderang dan tetabuhan lain sebagaimana layaknya bunyi musik di kala menyambut tamu agung.
"Hehe, bapak mertua menyambut kedatangan sang menantu sayang!" kata Lenghou Tiong dengan suara perlahan sambil tertawa.
Ing-ing melotot padanya, dalam hati ia merasa sedih di samping mendongkol terhadap sikap Lenghou Tiong yang tak acuh itu, pada saat demikian masih sempat berkelakar segala.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa seorang, lalu serunya dengan lantang, "Toasiocia, Lenghou-hiante, kalian sudah ditunggu sekian lamanya oleh Kaucu."
Berbareng itu seorang tua jangkung berjubah ungu lantas memapak maju dengan wajah berseri-seri, siapa lagi dia kalau bukan Hiang Bun-thian.
"He, Hiang-toako, baik-baikkah engkau" Sungguh aku sangat rindu padamu," kata Lenghou Tiong dengan gembira.
"Di Hek-bok-keh sering aku mendengar berita baik tentang dirimu yang malang melintang di dunia persilatan, aku pun ikut gembira bagimu dengan mengeringkan isi cawanku sebagai pujianku padamu, selama ini entah sudah berapa guci arak yang kuhabiskan bagi kebahagiaanmu," kata Hiang Bun-thian dengan tertawa. "Hayolah, kita lekas menghadap Kaucu!"
Bab 139. Jiwa Kesatria Hing-san-pay yang Tak Tertaklukkan
Habis berkata, segera ia gandeng tangan Lenghou Tiong dan diajak menuju ke suatu panggung batu yang menjulang tinggi di atas puncak itu. Di sebelah timur panggung batu itu terdapat lima tiang batu yang berjajar dalam bentuk seperti telapak tangan, tinggi seluruhnya beberapa puluh meter tingginya, pada jari tengah yang paling tinggi itu, di pucuk jari batu itu tertaruh sebuah kursi besar, seorang duduk di atas kursi itu, dia Yim Ngo-heng adanya.
Ing-ing mendekati telapak tangan batu raksasa itu, sambil menengadah ia pun menyapa, "Ayah!"
Dengan memberi hormat, Lenghou Tiong juga lantas berkata, "Wanpwe Lenghou Tiong menyampaikan sembah hormat kepada Kaucu!"
Yim Ngo-heng bergelak tertawa, katanya, "Bagus sekali kedatanganmu ini, kita adalah orang sekeluarga, tidak perlu banyak adat. Hari ini aku hendak menemui para kesatria seluruh jagat, bicara dulu urusan dinas, kemudian baru bicara urusan keluarga. Hian... Hiante silakan duduk di situ."
Mula-mula Lenghou Tiong menyangka Yim Ngo-heng hendak memanggil "hiansay" (menantu sayang) padanya, tapi rupanya belum resmi, maka mendadak memanggilnya "hiante" (saudara) saja, melihat gelagatnya, terang Yim Ngo-heng sangat setuju mengenai perjodohan dirinya dengan Ing-ing, apalagi ucapannya tadi memakai "kita adalah orang sekeluarga" dan "bicara urusan dinas dulu baru bicara urusan keluarga" segala, jelas dirinya telah dipandang sebagai anggota keluarga sendiri oleh kaucu itu.
Tentu saja hati Lenghou Tiong sangat girang, ia berdiri tegak kembali. Tapi mendadak dalam perut timbul suatu arus hawa dingin terus menerjang ke atas, seluruh badan menjadi menggigil seperti kejeblos ke dalam sungai es.
Ing-ing terkejut, cepat ia memburu maju dan bertanya, "Kenapa kau?"
"Aku... aku...." ternyata sukar bagi Lenghou Tiong untuk membuka suara.
Meski duduk begitu tinggi, jaraknya berpuluh meter, tapi pandangan Yim Ngo-heng sungguh amat tajam, segera ia bertanya, "Apakah kau telah bergebrak dengan Co Leng-tan?"
Lenghou Tiong mengangguk.
"Tidak menjadi soal," ujar Yim Ngo-heng. "Kau telah menyedot hawa dingin beracun dari dia, sebentar kalau hawa dingin itu buyar tentu kau akan sehat kembali. Mengapa Co Leng-tan belum tiba?"
"Co Leng-tan memasang perangkap keji hendak membikin susah Lenghou-toako dan aku, akhirnya dia telah dibinasakan oleh Lenghou-toako," tutur Ing-ing.
"Ooo!" Yim Ngo-heng rada melongo, meski air mukanya tak tertampak jelas karena tempat duduknya yang tinggi, tapi dari suaranya itu jelas penuh rasa kecewa yang tak terhingga.
Ing-ing tahu akan perasaan sang ayah. Hari ini secara besar-besaran sang ayah mengerahkan kekuatannya ke sini dengan tujuan hendak menaklukkan Ngo-gak-kiam-pay secara total. Co Leng-tan merupakan musuh bebuyutan ayahnya selama ini, kini tak dapat menyaksikan musuh besar itu bertekuk lutut mengaku kalah padanya, dengan sendirinya merasa menyesal.
Segera Ing-ing menggenggam tangan kanan Lenghou Tiong, disalurkan tenaga dalam sendiri untuk membantu pemuda itu menolak hawa dingin berbisa. Tangan Lenghou Tiong yang lain dipegang oleh Hiang Bun-thian. Kedua orang mengerahkan tenaga sekaligus, segera Lenghou Tiong merasa hawa dingin dalam tubuhnya membuyar lambat laun.
Ketika bertempur di Siau-lim-si dahulu, hawa dingin berbisa Co Leng-tan itu juga tersedot tidak sedikit oleh Yim Ngo-heng, akibatnya di tanah bersalju Yim Ngo-heng, Lenghou Tiong, Hiang Bun-thian, dan Ing-ing ikut terbeku menjadi manusia salju.
Bedanya sekarang Lenghou Tiong hanya menyedot sedikit hawa dingin berbisa Co Leng-tan itu melalui persentuhan pedang, waktunya sangat singkat, hawa dingin yang tersedot itu juga terbatas, maka cuma sebentar saja ia tidak menggigil lagi.
"Sudah baik, terima kasih," katanya kemudian kepada Hiang Bun-thian dan Ing-ing.
"Adik cilik, begitu mendengar panggilanku, segera kau naik ke sini, sungguh bagus sekali kau!" kata Yim Ngo-heng. Lalu ia berpaling kepada Hiang Bun-thian dan berkata pula, "Mengapa orang-orang keempat pay yang lain hingga kini masih belum datang?"
"Coba hamba mendesaknya lagi!" jawab Hiang Bun-thian. Lalu ia memberi tanda dengan angkat sebelah tangannya, segera ada delapan orang tua berseragam kuning berbaris ke depan puncak gunung itu dan berteriak bersama, "Yim-kaucu mahabijaksana dari Tiau-yang-sin-kau memberi perintah agar semua orang Thay-san-pay, Ko-san-pay, Heng-san-pay, dan Hoa-san-pay segera menghadap ke puncak ini. Para Hiangcu diharuskan mendesak mereka selekasnya, jangan lengah!"
Kedelapan orang tua itu sama memiliki tenaga dalam yang kuat, suara mereka serentak berkumandang hingga jauh dan terdengar di setiap puncak gunung sekitarnya. Maka terdengarlah dari berbagai penjuru suara berpuluh orang menjawab berbareng, "Turut perintah! Semoga Kaucu panjang umur, memerintah Kang-ouw selamanya!"
Suara sahutan itu terang berasal dari para hiangcu yang dimaksudkan.
Lalu Yim Ngo-heng berkata pula dengan tersenyum, "Lenghou-ciangbun, silakan duduk di sebelah sana."
Lenghou Tiong melihat sebelah barat telapak tangan batu yang menegak itu berbaris lima buah kursi, setiap kursi dilandasi dengan kain sutra yang terdiri dari pancawarna dan setiap kain sutra itu bersulaman sebuah puncak gunung.
Di antara Ngo-gak-kiam-pay sebenarnya Ko-san-pay adalah kepalanya, Hing-san-pay terhitung paling buncit menurut urut-urutannya, tapi kini tempat duduk Hing-san-pay justru diputar balik menjadi tempat duduk utama, habis itu baru Hoa-san-pay, sedangkan Ko-san-pay malah diberi tempat duduk paling akhir. Terang Yim Ngo-heng sengaja mengangkat tinggi diriku dan sengaja pula hendak menghina Co Leng-tan. Demikian pikir Lenghou Tiong.
Memangnya Co Leng-tan, Gak Put-kun, dan Bok-taysiansing bertiga sudah mati semua, maka Lenghou Tiong juga tidak perlu sungkan-sungkan lagi, ia membungkuk tubuh dan mengiakan, lalu berduduk di atas kursi berlandaskan kain sutra hitam dengan sulaman puncak gunung Kian-seng-hong di Hing-san.
Suasana di atas Tiau-yang-hong menjadi sunyi senyap, semua orang menunggu dengan tenang.
Selang agak lama Hiang Bun-thian memberi perintah agar kedelapan orang tua tadi berteriak sekali lagi, tapi tetap tiada orang naik ke atas situ.
"Orang-orang itu benar-benar tidak tahu diri, sekian lamanya mereka masih belum datang memberi sembah kepada Kaucu, suruhlah orang kita sendiri naik dulu ke sini!" seru Hiang Bun-thian kemudian.
Kedelapan orang tua berseragam kuning tadi lantas berseru serentak, "Saudara-saudara dari pulau-pulau, gua-gua, gunung-gunung, dan berbagai organisasi sungai dan laut disilakan naik ke atas Tiau-yang-hong sini untuk menghadap Kaucu!"
Baru saja kata "kaucu" habis diucapkan, serentak di sekitar puncak gunung situ bergema suara jawaban, "Taat!"
Begitu hebat suara ramai itu hingga gemuruh laksana bunyi geluduk yang menggetar lembah gunung.
Lenghou Tiong terperanjat mendengar suara yang riuh ramai itu, dari suara gemuruh itu dapat ditaksir sedikitnya diteriakkan oleh dua-tiga puluh ribu orang. Padahal tadinya lembah gunung sekitar situ sunyi senyap, tahu-tahu bergema suara orang sebanyak itu, terang sebelumnya telah sengaja disembunyikan oleh Yim Ngo-heng dengan tujuan hendak membikin keder pihak Ngo-gak-kiam-pay supaya tidak berani melakukan perlawanan.
Begitulah dalam sekejap saja orang-orang membanjir menuju Tiau-yang-hong dari berbagai penjuru. Meski jumlah orang itu sangat banyak, tapi sama sekali tidak mengeluarkan suara berisik. Setiap orang berdiri di tempat masing-masing secara rajin, tampaknya mereka sudah terlatih dengan baik sebelumnya.
Yang naik ke atas puncak itu hanya dua-tiga ribu orang saja, semuanya tergolong punya kedudukan sebangsa pangcu, cecu, tongcu, tocu, dan sebagainya, sedang anak buahnya dengan sendirinya menunggu di lereng gunung sana.
Sekilas pandang Lenghou Tiong melihat sebagian besar di antara orang-orang itu adalah jago-jago Kang-ouw yang dahulu pernah di bawah komandonya ikut menyerbu ke Siau-lim-si, dilihatnya Na Hong-hong, Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, Keh Bu-si, dan lain-lain juga berada di antara orang banyak itu. Tapi orang-orang itu hanya adu pandang saja dengan Lenghou Tiong, semuanya cuma bersenyum saja sebagai tanda memberi salam, tapi tiada seorang pun yang berani bersuara menyapa.
Ketika Hiang Bun-thian angkat sebelah tangannya, lalu memberi tanda suatu lingkaran ke depan, beribu-ribu orang itu serentak berlutut dan berteriak, "Hamba sekalian menyampaikan sembah bakti kepada Kaucu penyelamat dan mahabijaksana. Semoga Kaucu panjang umur dan memerintah Kang-ouw selamanya!"
Teriakan beribu orang yang memiliki kepandaian tinggi itu disusul dengan semua orang yang berada di lereng gunung sana, keruan suara mereka benar-benar menggetar langit dan mengguncangkan bumi.
Yim Ngo-heng duduk diam-diam saja di tempatnya, sehabis orang-orang itu berteriak memujanya barulah ia mengangkat tangannya sebagai tanda menerima sanjung puji anak buahnya itu, katanya, "Saudara-saudara tentu lelah, silakan bangun!"
"Terima kasih, Maha-kaucu!" seru beribu-ribu orang itu berbareng sambil berbangkit.
Melihat sanjung puji anggota Tiau-yang-sin-kau yang lebih memuakkan daripada dahulu mereka menyanjung Tonghong Put-pay, bahkan sekarang mereka menambahkan sebutan "maha-kaucu" kepada Yim Ngo-heng, Lenghou Tiong merasa merinding oleh sanjung puji yang berlebih-lebihan itu.
Sekonyong-konyong ia merasa perutnya kesakitan, pandangan menjadi gelap dan hampir-hampir jatuh pingsan, lekas-lekas ia pegang tepian kursi dengan kencang sambil menggigit bibir hingga berdarah karena menahan rasa sakit luar biasa itu. Ia tahu sejak mempelajari Gip-sing-tay-hoat, meski dia sudah bersumpah takkan menggunakan ilmu itu, tapi di dalam gua yang gelap itu dan ketika mendadak terjaring oleh jala Gak Put-kun, dalam keadaan gawat pilihan antara hidup dan mati itu, terpaksa ia menggunakan ilmu jahat itu, akibatnya badan sendiri ikut menderita.
Sekuatnya ia menahan rasa sakit agar mulut tidak sampai bersuara merintih, karena itu keningnya lantas penuh butir-butir keringat, sekujur badan gemetar, otot daging wajahnya berkerut-kerut, suatu tanda betapa penderitaan yang dia rasakan, hal ini segera dapat diketahui bagi setiap orang yang melihatnya. Begitu pula Coh Jian-jiu dan lain-lain juga sedang memandang padanya penuh perhatian dan khawatir.
Ing-ing mendekatinya dan berkata padanya dengan suara tertahan, "Engkoh Tiong, aku berada di sisimu!"
Andaikan di tempat yang sepi tentu dia sudah pegang tangan pemuda itu untuk menghiburnya, tapi di bawah beribu-ribu pasang mata itu, terpaksa ia hanya dapat mengucapkan kata-kata itu saja.
Lenghou Tiong lantas menoleh dan memandang Ing-ing sekejap, perasaannya terasa terhibur sedikit. Teringat olehnya apa yang pernah dikatakan Yim Ngo-heng di Hangciu dahulu, katanya setelah Lenghou Tiong mempelajari "Gip-sing-tay-hoat" dan berhasil mengumpulkan macam-macam tenaga murni dari orang lain ke dalam tubuh sendiri, pada suatu hari kelak himpunan tenaga-tenaga murni yang bermacam-macam itu pasti akan bergolak dan setiap kali bergolak akan semakin lihai daripada sebelumnya dan hal ini berarti badan sendiri akan tersiksa.
Dahulu sebabnya Yim Ngo-heng menyerahkan kedudukan kaucu kepada Tonghong Put-pay juga lantaran waktu itu ia tersiksa oleh macam-macam tenaga murni yang berkumpul dalam tubuhnya itu, ia harus berusaha mencari jalan keluar untuk memunahkannya, karena itu terpaksa ia harus mengesampingkan segala urusan, akhirnya dia malah kena dipecat dan dikurung oleh Tonghong Put-pay di bawah danau di Hangciu.
Selama terkurung di bawah danau barat di Hangciu itulah, akhirnya Yim Ngo-heng berhasil meyakinkan cara memunahkan hawa murni yang mengamuk di dalam tubuhnya itu. Maka dengan syarat Lenghou Tiong harus masuk ke dalam Tiau-yang-sin-kau barulah ia mau mengajarkan ilmu sakti padanya. Tapi ketika itu Lenghou Tiong tegas-tegas menolak kehendak Yim Ngo-heng itu, soalnya sejak kecil ia telah dididik membenci Mo-kau dan tidak mungkin bergaul dengan agama sesat itu.
Tapi akhir-akhir ini setelah menyaksikan perbuatan-perbuatan Co Leng-tan dan guru sendiri yang pernah menamakan diri mereka sebagai guru besar dari aliran-aliran suci, namun apa yang dilakukan mereka ternyata jauh lebih culas dan keji daripada orang-orang Mo-kau. Apalagi setelah mengikat janji dengan Ing-ing, perbedaan tentang cing-pay dan sia-pay baginya sudah menjadi hambar. Terkadang juga timbul pikirannya, umpama Yim-kaucu mengharuskannya lagi masuk agama, baru mengizinkan Ing-ing menikah padanya, maka tanpa banyak cincong ia pun menerima syarat itu.
Dasar wataknya memang suka apa adanya, segala unsur tak pernah dianggapnya sungguh-sungguh, apakah harus masuk agama atau tidak sebenarnya juga tidak menjadi soal. Tapi tempo hari ketika menyaksikan cara anggota Mo-kau menjilat-jilat dan memuja Tonghong Put-pay serta Yim Ngo-heng secara memuakkan, hal inilah yang menimbulkan antipatinya, ia merasa tidak sudi diperbudak dan menjadi penjilat serendah itu.
Kini melihat pula cara Yim Ngo-heng menggunakan dirinya, lagaknya jauh lebih hebat daripada maharaja mana pun, padahal betapa konyolnya Yim Ngo-heng waktu terkurung di dasar danau dahulu, kini kaum kesatria Kang-ouw ternyata diperlakukan sedemikian hina, sungguh terlalu.
Begitulah segala pikiran Lenghou Tiong bergejolak sendiri, tiba-tiba terdengar seruan seorang, "Lapor Maha-kaucu, anak murid Hing-san-pay telah tiba!"
Maka tertampaklah Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, dan murid-murid Hing-san-pay yang lain bahu-membahu naik ke atas puncak situ. Put-kay Hwesio dan istrinya serta Dian Pek-kong juga ikut di belakang.
Segera seorang tertua Tiau-yang-sin-kau berseru, "Para kawan silakan memberi sembah kepada Maha-kaucu!"
Melihat Lenghou Tiong juga berduduk di samping situ, Gi-jing tahu Yim Ngo-heng adalah bakal mertua sang ketua, ia pikir antara cing-pay dan sia-pay mestinya tak mungkin hidup bersama, tapi mengingat Lenghou Tiong, biarlah aku memberi hormat sebagai kaum yang lebih muda.
Lalu ia mendekati telapak tangan batu raksasa itu, ia memberi hormat dengan membungkuk tubuh dan berkata, "Wanpwe dari Hing-san-pay memberi salam hormat kepada Yim-kaucu!"
"Berlutut dan menyembah!" bentak tianglo tadi.
"Cut-keh-lang seperti kami ini hanya menyembah kepada Buddha, menyembah kepada Suhu, tapi tidak menyembah kepada orang biasa," sahut Gi-jing dengan lantang.
"Maha-kaucu bukan orang biasa, beliau adalah nabi, adalah dewa, adalah Buddha!" seru pula tianglo itu.
Gi-jing lantas berpaling ke arah Lenghou Tiong, tertampak pemuda itu menggeleng kepala, segera Gi-jing berkata pula, "Mau bunuh boleh bunuh, yang pasti anak murid Hing-san-pay tidak menyembah kepada orang biasa!"
Mendadak Put-kay Hwesio terbahak-bahak, serunya, "Ucapan tepat, ucapan bagus!"
"Kau berasal dari perguruan dan aliran mana" Mau apa datang ke sini!" tanya Hiang Bun-thian dengan gusar.
Dilihatnya anak murid Hing-san-pay tidak mau menyembah kepada Yim Ngo-heng sehingga keadaan menjadi tegang, kalau orang-orang Hing-san-pay itu diperlakukan kasar, rasanya tidak enak terhadap Lenghou Tiong, sebab itulah dia sengaja bicara keras kepada Put-kay Hwesio untuk mengalihkan perhatian Yim Ngo-heng tentang pembangkangan anak murid Hing-san-pay.
Maka terdengar Put-kay menjawab dengan tertawa, "Hwesio gede sudah biasa berkeliaran ke mana-mana, tidak masuk perguruan dan juga tidak beraliran, aku datang ke sini karena ingin melihat ramai-ramai."
"Pertemuan sekarang ini hanya dihadiri oleh orang-orang Ngo-gak-kiam-pay dengan Tiau-yang-sin-kau, orang luar tidak boleh ikut mengacau di sini, kau lekas pergi saja dari sini," kata Hiang Bun-thian. Ucapannya ini boleh dikata sangat halus mengingat kedatangan Put-kay bersama orang-orang Hing-san-pay, sedikit-banyak tentu ada hubungan baik di antara mereka, maka Hiang Bun-thian tidak ingin membikin malu padanya.
Tak terduga Put-kay lantas menjawab, "Hoa-san ini bukan milik Mo-kau kalian, aku ingin datang ke sini, peduli apa dengan kalian, kecuali orang-orang Hing-san-pay, tiada seorang yang berhak mengusir aku."
Istilah "Mo-kau" merupakan kata pantangan bagi Tiau-yang-sin-kau, orang dunia persilatan umumnya hanya di belakang saja berani mengucapkan kata "Mo-kau", kalau berhadapan tiada seorang pun yang berani mengucapkan istilah itu kecuali pihak yang tegas-tegas sudah bermusuhan.
Dasar watak Put-kay Hwesio memang tidak kenal apa artinya pantangan, apa yang dia pikir, itulah yang dia ucapkan. Apalagi ia menjadi mendongkol ketika Hiang Bun-thian mengusirnya, tanpa pikir ia terus membantah tanpa menghiraukan siapa lawan, sedikit pun ia tidak gentar.
Dengan menahan gusar Hiang Bun-thian berpaling kepada Lenghou Tiong dan bertanya, "Lenghou-hiante, siapakah hwesio gila ini, ada hubungan apa dengan pay kalian?"
Lenghou Tiong sendiri sedang merasakan kesakitan perutnya yang seperti disayat-sayat, dengan suara terputus-putus ia menjawab, "Put-kay... Put-kay Taysu ini...."
Dalam pada itu Yim Ngo-heng juga sangat gusar ketika mendengar Put-kay berani menyebut "Mo-kau", ia khawatir Lenghou Tiong akan mengatakan hwesio gede itu ada hubungan baik dengan Hing-san-pay, jika demikian halnya tentu sukar untuk membunuhnya, maka sebelum Lenghou Tiong selesai menjawab, segera ia membentak, "Binasakan saja hwesio gila itu!"
Serentak delapan orang tua berseragam kuning mengiakan, sekaligus mereka menubruk maju dan mengerubuti Put-kay.
"He, kalian hendak main keroyok ya?" Put-kay berkaok-kaok sambil menghadapi kedelapan lawannya.
"Tidak malu!" maki si nenek, istri Put-kay alias ibu Gi-lim. Segera ia pun melompat maju menggabungkan diri dengan Put-kay, dengan punggung menempel punggung mereka layani seorang musuh.
Kedelapan tianglo itu adalah jago kelas satu di dalam Tiau-yang-sin-kau, ilmu silat mereka tidak di bawah Put-kay dan si nenek, dengan delapan lawan dua, hanya beberapa kali gebrak saja mereka sudah berada di atas angin.
Melihat itu, Dian Pek-kong tak bisa tinggal diam, segera ia lolos goloknya dan ikut menerjang ke dalam kalangan pertempuran. Begitu pula Gi-lim, segera ia pun membantu ayah-ibunya. Tapi ilmu silat mereka berdua masih jauh di bawah musuh-musuhnya, dua di antara kedelapan tianglo itu memisahkan diri untuk melayani mereka. Dengan ilmu goloknya yang cepat masih mendingan bagi Dian Pek-kong, tapi Gi-lim menjadi kewalahan menghadapi serangan lawan yang gencar.
"Nan... nanti dulu!" seru Lenghou Tiong sambil memegang perutnya yang kesakitan, sebelah tangan lantas melolos pedang pula.
Begitu pedangnya bergerak, sekaligus delapan gerakan dilontarkan, kontan kedelapan tianglo itu dipaksa mundur. Gerak ilmu pedang Tokko-kiu-kiam yang lihai itu selalu mengarah tempat mematikan di tubuh lawan, betapa pun kedelapan tianglo itu tidak sanggup menangkisnya sehingga terpaksa melompat mundur.
Sambil setengah berjongkok, dengan suara terputus-putus Lenghou Tiong berkata kepada Yim Ngo-heng, "Yim... Yim-kaucu, sudilah memandang diriku dan membiarkan mereka...." saking menahan sakit perutnya, kata "pergi" tidak sanggup diucapkannya lagi.
Melihat keadaannya, Yim Ngo-heng tahu macam-macam hawa murni dalam tubuh pemuda itu telah bergolak lagi. Ia tahu pemuda itu adalah pemuda idam-idaman putrinya, tidak mendapatkan Lenghou Tiong pasti putrinya tidak mau menikah, dirinya sebenarnya juga sayang dan suka kepada pemuda cakap dan berbakat ini, apalagi dirinya tidak punya anak laki-laki, kelak malah diharapkan Lenghou Tiong akan mewariskan kedudukan kaucu darinya.
Karena itu, ia lantas mengangguk dan berkata, "Baiklah, karena Lenghou-ciangbun yang mintakan ampun bagi kalian, biarlah aku memberi kelonggaran."
Segera Hiang Bun-thian melompat maju, kedua tangan bekerja cepat, berturut-turut ia tutuk hiat-to Put-kay Hwesio dan istrinya serta Dian Pek-kong dan Gi-lim berempat. Betapa cepat cara dia bergerak boleh dikata luar biasa dan sukar dibayangkan, meski gerak tubuh si nenek biasanya mahacepat toh juga tidak dapat meloloskan diri dari tutukan Hiang Bun-thian itu.
Semula Lenghou Tiong terkejut dan berseru, "Hiang... Hiang...."
"Jangan khawatir," cepat Hiang Bun-thian menjawabnya dengan tertawa, "Kaucu sudah menyatakan memberi ampun kepada mereka."
Lalu ia berpaling kepada anak buahnya dan berseru, "Maju sini delapan orang!"
Serentak delapan orang lelaki berseragam hijau mengiakan dan maju ke depan menunggu perintah lebih lanjut.
"Empat lelaki dan empat perempuan!" kata Hiang Bun-thian.
Empat orang di antaranya segera mengundurkan diri dan empat orang anggota perempuan menggantikan maju ke depan.
"Keempat orang ini bicara tidak pantas, dosa mereka seharusnya dihukum mati," kata Hiang Bun-thian. "Tapi Maha-kaucu cukup bijaksana dan bermurah hati, mengingat permintaan Lenghou-ciangbun, mereka tidak diberi hukuman. Maka gendong saja mereka ke bawah gunung, lepaskan hiat-to mereka dan bebaskan di sana."
Kedelapan orang itu mengiakan sambil memberi hormat.
Hiang Bun-thian lantas menambahkan dengan suara tertahan, "Mereka adalah sobat baik Lenghou-ciangbun, jangan berbuat kasar kepada mereka."
Kembali kedelapan orang itu mengiakan. Dua orang menggotong seorang segera mereka membawa pergi Put-kay berempat.
Melihat Put-kay berempat terhindari dari kematian, Lenghou Tiong dan Ing-ing merasa lega. Segera Lenghou Tiong mengucapkan terima kasih, saking sakit perutnya ia terjongkok di tempatnya dan tidak sanggup berdiri.
Maklumlah, dalam sekejap saja ia telah melontarkan Tokko-kiu-kiam yang hebat itu, tenaganya menjadi banyak terbuang sehingga rasa sakit perutnya bertambah hebat.
Diam-diam Hiang Bun-thian merasa khawatir, tapi lahirnya dia tidak menunjukkan sesuatu tanda apa-apa, katanya dengan tertawa, "Apakah Lenghou-hiante merasa kurang enak badan?"
Sejak Lenghou Tiong membantunya menempur berbagai kesatria dari Kang-ouw dahulu itu, dia telah mengikat persaudaraan dengan pemuda itu, meski kedua orang jarang berkumpul, namun hubungan mereka tetap abadi, segera ia pegang tangan Lenghou Tiong dan memayangnya duduk di atas kursi tadi. Diam-diam ia mengerahkan tenaga murni sendiri untuk membantu Lenghou Tiong menolak pergolakan hawa murni di dalam tubuh.
Padahal Lenghou Tiong memiliki ilmu Gip-sing-tay-hoat, dengan perbuatan Hiang Bun-thian itu sama artinya membiarkan tenaga murninya disedot, maka cepat Lenghou Tiong mengebaskan tangan Hiang Bun-thian dari berkata, "Jangan Hiang-toako! Aku... aku sudah sembuh!"
Dalam pada itu Yim Ngo-heng sedang tanya anak buahnya, "Di antara Ngo-gak-kiam-pay hanya Hing-san-pay saja yang hadir dalam pertemuan ini, anggota-anggota keempat pay yang lain ternyata berani membangkang dan tidak hadir, maka kita tak bisa sungkan-sungkan lagi kepada mereka!"
Pada saat itulah, tiba-tiba seorang tua berseragam kuning berlari ke atas puncak situ, setiba di depan telapak tangan batu raksasa itu ia lantas menyembah dan melapor, "Lapor Maha-kaucu, di dalam gua Su-ko-keh diketemukan beberapa ratus mayat. Di antaranya terdapat ketua Ko-san-pay, Co Leng-tan, ketua Heng-san-pay, Bok-taysiansing, selain itu banyak pula jago-jago Ko-san-pay, Heng-san-pay, dan Thay-san-pay, tampaknya mereka mati karena saling membunuh."
"O, Bok-taysiansing dari Heng-san-pay juga mati di sana, tidak salah lihat?" kata Yim Ngo-heng.
"Hamba memeriksa sendiri, pasti tidak salah lihat," jawab tianglo itu. "Malahan Giok-seng-cu, Giok-ciong-cu dan jago-jago Thay-san-pay yang lain juga terdapat di antara mayat-mayat itu."
Yim Ngo-heng merasa kurang senang, katanya, "Bagaimana bisa terjadi begitu?"
"Bahkan di luar gua itu ditemukan pula sesosok mayat," tianglo itu menambahkan.
"Mayat siapa?" tanya Yim Ngo-heng dengan cepat.
"Setelah hamba periksa dengan teliti, akhirnya dapat diketahui dengan pasti mayat itu adalah ketua Hoa-san-pay, yaitu Gak Put-kun, Gak-siansing, yang baru-baru ini memenangkan kedudukan ketua Ngo-gak-kiam-pay itu."
Agaknya tianglo itu mengetahui kelak Lenghou Tiong akan menduduki tempat penting di dalam agama sendiri, sedangkan Gak Put-kun adalah gurunya, maka di waktu menyebut Gak Put-kun dia tidak berani pakai kata-kata kasar.
Sama halnya dengan kedelapan tianglo tadi, selain ilmu pedang Lenghou Tiong memang hebat, tapi sebenarnya juga disebabkan para tianglo itu merasa sungkan melawannya, kalau tidak, dengan kepandaian kedelapan tianglo yang lihai itu tidak mungkin terdesak mundur hanya oleh sekali gebrak saja dari Lenghou Tiong.
Begitulah Yim Ngo-heng menjadi lesu dan seakan-akan kehilangan sesuatu demi mendengar Gak Put-kun sudah mati, ia coba tanya lagi, "Kiranya dia... siapakah yang membunuh dia?"
Tianglo tadi menjawab, "Ketika hamba memeriksa keadaan gua Su-ko-keh tadi, kemudian mendengar di gua belakang itu adalah suara orang bertempur, segera hamba melihatnya ke sana, ternyata ada serombongan anak murid Hoa-san-pay sedang bertempur mati-matian dengan sekawanan tojin dari Thay-san-pay, dari caci maki kedua pihak itu terdengar masing-masing pihak menuduh pihak lain membunuh guru pihak sendiri. Kedua pihak bertempur dengan sengit dan sama-sama jatuh korban tidak sedikit. Akhirnya mereka hampir mati semua, sisanya tinggal beberapa orang saja, lalu hamba tawan, kini mereka menunggu di bawah puncak untuk menantikan keputusan Kaucu."
"Jadi Gak Put-kun dibunuh oleh pihak Thay-san-pay?" kata Yim Ngo-heng. "Di dalam Thay-san-pay mana ada jago selihai itu yang mampu membunuh Gak Put-kun?"
Tiba-tiba di antara anak murid Hing-san-pay seorang berseru, "Tidak! Gak Put-kun dibunuh oleh seorang sumoay dari Hing-san-pay kami!"
Pembicara ini ternyata Gi-jing adanya.
"Siapa sumoaymu itu?" tanya Yim Ngo-heng.
"Dia tidak berada di sini lagi," sahut Gi-jing. "Gak Put-kun telah membikin celaka ciangbunjin, guru, dan susiok kami, setiap anak murid Hing-san-pay kami membencinya sampai tulang sumsum. Syukurlah, berkat lindungan Buddha, melalui tangan seorang sumoay kami hari ini biang keladi daripada segala kejahatan itu telah dapat dibinasakan sehingga terbalaslah sakit hati kami."
"O, kiranya begitu!" kata Yim Ngo-heng. "Ya, boleh dikata dosa tak berampun, utang harus bayar."
Nada ucapannya ternyata sangat hambar dan kecewa.
Hiang Bun-thian dan para tianglo sejawatnya juga saling pandang dengan perasaan kurang gembira.
Maklum, kedatangan pihak Tiau-yang-sin-kau ke Hoa-san kali ini, sebelumnya memang telah direncanakan dengan sangat rapi, semua jago-jago terkemuka dalam agama beserta anak buahnya serta organisasi dari berbagai tempat yang dibawahinya dikerahkan seluruhnya, tujuannya sekaligus Ngo-gak-kiam-pay harus ditaklukkan, seumpama Ngo-gak-kiam-pay tidak mau menyerah dan berani melawan, maka mereka harus ditumpas dan dimusnahkan oleh pihak Tiau-yang-sin-kau. Dengan begitu Yim Ngo-heng dan agama yang dipimpinnya akan termasyhur dan menggetarkan dunia. Habis itu akan ditumpas pula Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay, maka tiada satu golongan atau aliran mana pun dari pihak cing-pay yang dapat melawannya lagi, sejak itu Tiau-yang-sin-kau akan memerintah Kang-ouw untuk selamanya, dasar yang kuat itu dengan demikian akan terpupuk di puncak Tiau-yang-hong di atas Hoa-san ini.
Siapa duga tiga tokoh-tokoh terkemuka Ngo-gak-pay seperti Co Leng-tan, Gak Put-kun, Bok-taysiansing, serta tokoh-tokoh inti dari Thay-san-pay kini ternyata sudah mati semua dengan saling membunuh, malahan anak murid keempat pay itu kini hanya bersisa sedikit pula. Hal ini berarti rencana rapi yang telah diatur oleh Yim Ngo-heng akhirnya menemukan kegagalan.
Karena itulah, makin dipikir makin gusarlah Yim Ngo-heng, mendadak ia berteriak, "Coba giring ke sini semua itu kawanan anjing Ngo-gak-kiam-pay yang belum mampus itu!"
Tianglo yang melapor tadi cepat mengiakan, lalu berlari-lari ke bawah puncak untuk menyampaikan perintah sang kaucu.
Sementara itu pergolakan perut Lenghou Tiong yang menyiksa tadi sudah mulai mereda. Ketika mendengar Yim Ngo-heng berteriak agar "kawanan anjing Ngo-gak-pay yang belum mampus" itu supaya digiring ke sini, meski maksud Yim Ngo-heng bukan hendak memakinya, tapi apa pun juga Hing-san-pay termaksud di dalam Ngo-gak-pay, dengan sendirinya ia merasa tidak enak oleh kata-kata itu.
Bab 140. Lenghou Tiong Tetap Menolak Masuk Mo-kau
Tidak lama kemudian, terdengarlah suara bentakan dan makian, dua-tiga tianglo tampak memimpin anak buahnya menggiring beberapa puluh anak murid Ko-san, Hoa-san, Heng-san, dan Thay-san-pay naik ke atas situ.
Anak murid Hoa-san-pay memangnya tidak banyak, sedangkan sebagian besar jago-jago Ko-san-pay, Heng-san-pay, dan Thay-san-pay sudah mati terbunuh tadi, maka jumlah sisa mereka ternyata tinggal tujuh likur saja alias 27 orang, bahkan semuanya tergolong "bu-beng-siau-cut", jago-jago yang kurang terkenal, malahan hampir semuanya terluka.
Keruan Yim Ngo-heng merasa sebal, sebelum rombongan mereka mendekat, dengan gusar ia lantas membentak, "Buat apa kawanan anjing tak berguna itu" Bawa turun sana, lekas!"
Cepat tianglo-tianglo itu mengiakan pula dan lekas-lekas menggiring tawanannya turun ke bawah puncak.
Yim Ngo-heng mencaci maki lagi beberapa kata, mendadak ia bergelak tertawa, katanya, "Ngo-gak-kiam-pay ini boleh dikata kualat dan harus mampus, tanpa susah-susah, tidak perlu keluar tenaga, sedikit pun kita tak usah turun tangan, tahu-tahu mereka sudah bunuh-membunuh dan mampus semua, sejak kini di dunia Kang-ouw takkan terdapat nama mereka lagi."
Serentak para tertua Tiau-yang-sin-kau membungkuk tubuh dan berseru, "Ya, berkat perbawa Maha-kaucu yang agung, kawanan tikus celurut itu ternyata musnah dengan sendirinya."
Lalu Hiang Bun-thian berkata pula, "Di antara Ngo-gak-kiam-pay hanya Hing-san-pay saja yang paling menonjol yang lain daripada yang lain, semua itu berkat pimpinan Lenghou-ciangbun yang bijaksana. Selanjutnya Hing-san-pay dan Sin-kau kita adalah orang sendiri, setubuh dan senapas, merasakan kebahagiaan bersama. Selamat kepada Kaucu karena mendapatkan seorang kesatria muda yang berbakat tiada bandingannya sebagai pembantu utama."
Yim Ngo-heng bergelak tertawa, katanya, "Ya, benar, ucapan Hiang-cosu memang tidak salah. Nah, saudara cilik Lenghou, mulai hari ini Hing-san-pay kalian boleh dibubarkan saja. Para suthay dari golonganmu itu boleh dipilih secara bebas, mau ikut Hek-bok-keh tentu akan kami sambut dengan tangan terbuka atau kalau ingin tetap tinggal di Hing-san sini juga tidak menjadi soal. Orang yang pernah tinggal di paviliun Hing-san ini boleh dianggap sebagai pasukan pribadi Hu-kaucu bagimu, bagus bukan" Hahahahaha!"
Begitulah ia lantas terbahak-bahak dengan suara keras hingga menggetar lembah gunung dan menimbulkan kumandang suara yang tak berhenti-henti.
Mendengar istilah "hu-kaucu" (wakil kaucu), semua orang sama melengak, tapi sejenak kemudian lantas terdengar suara sorak-sorai yang gemuruh, dari segenap penjuru, berkumandanglah seruan, "Lenghou-tayhiap menjadi Hu-kaucu Sin-kau kita, sungguh bagus sekali!"
"Selamatlah Maha-kaucu mendapatkan seorang pembantu yang tepat!"
"Selamat Maha-kaucu! Selamat Hu-kaucu!"
"Hidup Maha-kaucu, hidup Hu-kaucu!"
Para anggota Tiau-yang-sin-kau itu mengetahui Lenghou Tiong adalah bakal menantu sang kaucu, kini secara terang-terangan telah disebut pula sebagai calon hu-kaucu, maka kelak orang yang pasti akan menggantikan Yim Ngo-heng tiada lain lagi kecuali Lenghou Tiong pula, apalagi mereka pun tahu watak Lenghou Tiong yang ramah dan mudah diajak bicara, kelak bila dia naik takhta menjadi kaucu tentu semua anak buahnya akan lebih aman daripada sekarang yang setiap saat selalu khawatir ada kemungkinan difitnah orang atau takut bikin marah sang kaucu dan dihukum mati.
Selain golongan pertama itu, sebagian di antara mereka adalah jago-jago Kang-ouw yang dahulu pernah ikut Lenghou Tiong menyerbu Siau-lim-si, mereka sudah pernah berjuang bersama pemuda itu, banyak di antaranya merasa utang budi pula padanya, sebab itulah boleh dikata tiada seorang pun yang tidak gembira demi mendengar keputusan Yim Ngo-heng tadi.
Begitulah Hiang Bun-thian juga lantas mengucapkan selamat kepada Lenghou Tiong, katanya, "Selamatlah Hu-kaucu, marilah kita minum satu cawan dahulu sebagai ucapan selamat atas kehadiranmu ke dalam Sin-kau kita, habis itu kita akan minum lagi arak bahagia perkawinanmu dengan Yim-toasiocia, ini namanya urusan baik jadi berlipat, rezeki datang berganda."
Akan tetapi perasaan Lenghou Tiong sendiri ternyata sedang bingung, dalam hati kecilnya ia cukup sadar bahwa urusan ini sekali-kali tidak boleh jadi, tapi tidak tahu cara bagaimana harus menolaknya, terpikir olehnya bilamana dirinya menolak kehendak Yim Ngo-heng, hal itu berarti perjodohannya dengan Ing-ing akan gagal dan putus pula. Dalam gusarnya bukan mustahil Yim Ngo-heng akan membunuhnya malah.
Bahwasanya kematian dirinya tidak menjadi soal, tapi anak murid Hing-san-pay yang lain mungkin juga akan binasa semua di sini. Hal inilah yang membuatnya ragu-ragu. Harus tegas-tegas menolaknya sekarang atau menerimanya untuk sementara ini sampai anak murid Hing-san-pay sudah terhindar dari bahaya"
Ia coba berpaling ke arah anak murid Hing-san-pay, dilihatnya macam-macam sikap mereka, ada yang berwajah gusar, ada yang lesu tak bersemangat, ada yang bingung kehilangan akal.
Tiba-tiba terdengar salah seorang tianglo seragam kuning berseru, "Di bawah pimpinan Maha-kaucu kita dengan Hu-kaucu baru yang bijaksana, kita pasti dapat menumpas Siau-lim-pay, memusnahkan Bu-tong-pay, tanpa diserang Kun-lun-pay dan Go-bi-pay juga pasti akan runtuh dengan sendirinya, sedang Jing-sia-pay, Kong-tong-pay, dan sebangsanya lebih-lebih tiada artinya lagi, tak perlu disentuh juga akan jatuh sendiri. Hidup Maha-kaucu, panjang umur seribu tahun, memerintah Kang-ouw selamanya! Hidup Hu-kaucu, bahagialah untuk selamanya!"
Sebenarnya pikiran Lenghou Tiong menjadi kusut dan sukar menemukan pilihannya. Tapi demi mendengar sanjung puji tianglo itu, ia merasa bila dirinya terima kehendak Yim Ngo-heng itu, maka setiap hari dirinya juga akan mendengar istilah sanjung puji yang lucu itu. Karena itu, tanpa terasa tertawa sendiri.
Suara tertawanya itu jelas mengandung nada sinis, nada mengolok-olok, nada menghina, hal ini dapat ditangkap oleh setiap orang yang punya pikiran jernih. Keruan seketika suasana di puncak Tiau-yang-hong itu menjadi sunyi.
"Lenghou-ciangbun," Hiang Bun-thian membuka suara, "Kaucu telah mengangkat kau sebagai hu-kaucu, itu berarti kedudukanmu di dunia persilatan hanya di bawah seorang saja dan di atas beratus ribu orang, atas kemurahan hati Kaucu itu lekas kau mengucapkan terima kasih kepada beliau."
Sekonyong-konyong hati Lenghou Tiong jadi terbuka, pikirannya menjadi terang, tanpa ragu-ragu lagi ia terus berbangkit, serunya lantang menghadap ke atas, "Yim-kaucu, Wanpwe ada dua persoalan ingin diutarakan kepada Kaucu."
"Silakan bicara saja," sahut Yim Ngo-heng dengan tersenyum.
"Pertama Wanpwe pernah menerima tugas berat dari ketua Hing-san-pay yang dahulu, yaitu Ting-sian Suthay, Wanpwe diharuskan menjabat ketua Hing-san-pay, selama ini Wanpwe merasa tidak dapat membawa kemajuan apa-apa bagi Hing-san-pay, tapi juga pasti takkan membawa Hing-san-pay ke dalam Tiau-yang-sin-kau, kalau sampai Wanpwe berbuat demikian, kelak apakah Wanpwe ada muka buat bertemu dengan Ting-sian Suthay di alam baka" Inilah soal pertama. Soal kedua adalah urusan pribadi, aku mohon Kaucu sudi menjodohkan putri kesayanganmu sebagai istriku."
Waktu mendengarkan Lenghou Tiong menguraikan persoalan pertama tadi, semua orang merasa khawatir Yim Ngo-heng akan marah mendadak dan urusan bisa menjadi runyam. Tapi demi mendengar persoalan kedua yang dikemukakan itu, seketika semua orang saling pandang dengan tertawa.
Yim Ngo-heng terbahak-bahak, katanya, "Soal pertama mudah saja diselesaikan, kau boleh menyerahkan kedudukan ketua Hing-san-pay kepada salah seorang suthay. Kau sendiri masuk Sin-kau, soal Hing-san-pay akan ikut masuk atau tidak, boleh dirundingkan lagi. Tentang urusan kedua, bahwasanya kau dan Ing-ing sudah cocok satu sama lain, siapakah yang tidak tahu akan hubungan kalian yang akrab ini" Ya, sudah tentu aku mengizinkan dia menjadi istrimu, kenapa kau masih sangsi lagi. Hahahahaha!"
Serentak orang-orang Tiau-yang-sin-kau sama mengikuti suara sang kaucu dan sama bergelak tertawa gembira.
Lenghou Tiong berpaling ke arah Ing-ing, dilihatnya kedua pipi si nona bersemu merah, rasa girangnya tertampak jelas sekali. Sesudah semua orang tertawa gembira, kemudian Lenghou Tiong berkata dengan suara lantang, "Banyak terima kasih atas maksud baik Kaucu yang telah mengajak Wanpwe masuk ke dalam agama kalian, bahkan memberi kedudukan sedemikian tinggi dan terhormat, tapi Wanpwe sudah biasa hidup bebas, seorang yang tidak dapat taat kepada peraturan, kalau masuk agama kalian tentu pula akan membikin runyam urusan penting Kaucu. Maka setelah kupikirkan masak-masak kukira lebih baik Kaucu menarik kembali keputusan Kaucu tadi."
Tidak kepalang gusarnya Yim Ngo-heng, dengan ketus ia berkata, "O, jadi kau sudah pasti tak mau masuk Sin-kau?"
"Ya, begitulah!" sahut Lenghou Tiong dengan tegas tanpa ragu-ragu sedikit pun.
Keruan semua orang ikut tercengang mendengar jawaban itu.
Segera Yim Ngo-heng berkata pula, "Dalam tubuhmu pernah terhimpun macam-macam hawa murni orang lain, baru saja penyakitmu sudah kumat, maka untuk selanjutnya setiap tiga bulan atau setengah tahun satu kali tentu akan kumat pula, bahkan sekali makin hebat daripada kali yang lain dan untuk dapat memunahkan hawa murni yang menjadi penyakit dalam tubuhmu itu di seluruh dunia ini hanya aku seorang saja yang tahu caranya."
"Tentang hal ini memang dahulu Kaucu sudah menyinggungnya ketika berada di Bwe-cheng di Hangciu dahulu," sahut Lenghou Tiong. "Wanpwe tadi sudah merasakan bagaimana akibat bergolaknya macam-macam hawa murni dalam tubuh itu, rasanya memang benar-benar sangat tersiksa dan lebih baik mati saja daripada menderita. Tapi seorang laki-laki pengelana Kang-ouw, soal mati-hidup, senang dan susah adalah soal biasa, seharusnya tidak perlu banyak dipersoalkan lagi."
"Hm, keras juga mulutmu," jengek Yim Ngo-heng. "Hari ini segenap Hing-san-pay kalian sudah berada dalam genggamanku, umpama seorang pun takkan kulepaskan atau satu pun tidak boleh turun dari gunung ini dengan hidup, kukira hal ini semudah aku membalik telapak tanganku sendiri."
"Dengan kepandaian Kaucu yang mahasakti, Wanpwe percaya apa yang Kaucu katakan memang mudah terlaksana," sahut Lenghou Tiong dengan tegas. "Tapi biarpun Hing-san-pay terdiri dari kaum wanita semua, menghadapi segala sesuatu selamanya juga tidak pernah gentar. Jikalau Kaucu hendak membunuh kami, biarlah kita berhadapan dahulu, sampai mati pun Hing-san-pay pantang mundur."
Segera Gi-jing angkat tangannya memberi tanda, serentak anak murid Hing-san-pay sama berdiri di belakang Lenghou Tiong.
"Kita semua hanya tahu menaati perintah Ciangbunjin, mati pun tidak gentar," seru Gi-jing.
"Benar, mati pun pantang mundur!" sahut para murid Hing-san-pay berbareng.
The Oh berseru juga, "Betapa pun jumlah musuh terlalu banyak dan jumlah kita hanya sedikit, pula kita sudah masuk perangkap, bilamana orang-orang Kang-ouw mengetahui cara bagaimana Hing-san-pay menghadapi musuh tanpa gentar, biarpun nanti kita harus mati juga akan meninggalkan nama yang harum."
Yim Ngo-heng menjadi gusar, ia berbalik terbahak-bahak sambil menengadah, lalu serunya, "Jika sekarang aku membunuh kalian, tentu aku akan dituduh telah menjebak kalian dan membikin susah kalian secara licik. Nah, Lenghou Tiong, boleh kau pimpin anak buahmu pulang ke Hing-san, dalam waktu sebulan aku sendiri pasti akan mendatangi kalian. Tatkala mana bila di atas Hing-san masih bisa tersisa seekor anjing atau seekor ayam yang hitam, anggaplah aku orang she Yim ini yang tidak becus!"
"Hidup Maha-kaucu! Panjang umur seribu tahun memerintah Kang-ouw selamanya! Bunuh habis orang Hing-san-pay, anjing ayam pun tak terkecuali!" demikian orang-orang Tiau-yang-sin-kau serentak bersorak gemuruh.
Dengan kekuatan dan pengaruh Tiau-yang-sin-kau sekarang, apakah pihak Hing-san-pay akan dimusnahkan di Hing-san sendiri atau sekarang juga dibunuh habis, selisihnya hanya soal waktu saja dalam perjalanan ke Hing-san. Tak peduli pihak Hing-san-pay akan pulang ke Hing-san untuk mengatur penjagaan pertahanan toh pihak Tiau-yang-sin-kau pasti mampu membunuhnya hingga habis bersih.
Dahulu Ngo-gak-kiam-pay bermusuhan dengan Tiau-yang-sin-kau yang disebut Mo-kau oleh mereka, kelima aliran bahu-membahu dan bantu-membantu, aliran mana ada kesulitan, empat aliran yang lain segera memberi bantuan, meski begitu, selama berpuluh tahun paling-paling juga cuma dapat bertahan saja. Walaupun di antara kelima pay itu berturut-turut timbul juga tunas-tunas baru dan pimpinan baik, ada juga rencana akan memusnahkan Tiau-yang-sin-kau sekaligus, tapi selama ini belum pernah berhasil, bahkan mengalahkannya pun tidak. Apalagi sekarang Ngo-gak-kiam-pay hanya tinggal Hing-san-pay, dengan sendirinya tidak mampu melawan kebesaran Tiau-yang-sin-kau. Tentang ini orang-orang Hing-san-pay cukup tahu diri, begitu pula orang-orang Tiau-yang-sin-kau juga tahu. Ucapan Yim Ngo-heng akan membabat orang-orang Hing-san-pay secara habis-habisan, bahkan seekor anjing dan seekor ayam juga takkan dibiarkan hidup, ancaman ini sesungguhnya bukan omong besar belaka.
Padahal di dalam hati Yim Ngo-heng kini sudah ada perhitungan tertentu, ia pikir meski ilmu pedang Lenghou Tiong sangat lihai, tapi seorang diri betapa pun kekuatannya terbatas, Hing-san-pay boleh dikata tiada artinya lagi baginya. Yang justru menjadi pertimbangan Yim Ngo-heng sebenarnya adalah Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay.
Menurut perhitungan Yim Ngo-heng, setelah Lenghou Tiong pulang ke Hing-san, tentu dia akan minta bantuan kepada Siau-lim dan Bu-tong, dan kedua pay besar ini tentu juga akan mengirim jago-jago pilihan untuk membantunya. Dalam keadaan demikian ia justru tidak menyerang ke Hing-san, sebaliknya secara mendadak ia akan menyerbu Bu-tong-san, ia akan memasang tiga perangkap pula di antara jalanan Siau-sit-san (pegunungan tempat Siau-lim-si berdiri) ke Bu-tong-san.
Jarak Bu-tong-san dan Siau-lim-si hanya beberapa ratus li saja, kalau Bu-tong-pay ada kesukaran, tentu Siau-lim-pay yang berdekatan itu yang akan dimintai bantuan. Sedangkan pada saat itu sebagian jago pilihan Siau-lim-si telah dikirim ke Hing-san, sisanya pasti akan keluar semua untuk membantu Bu-tong-pay. Dalam keadaan demikian pihak Tiau-yang-sin-kau sekaligus akan membobol dulu pangkalan kuat Siau-lim-pay, Siau-lim-si akan dibakar, habis itu perangkap yang telah dipasang serentak berbangkit memotong barisan musuh, digempur dari muka dan belakang, tentu para padri Siau-lim-si yang hendak menolong Bu-tong-pay itu akan terbasmi seluruhnya. Habis itu barulah Bu-tong-san akan dikepung, tapi tidak lantas melancarkan serangan. Dia sengaja menunggu bila jago-jago Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay yang pergi membantu Hing-san-pay itu menerima berita buruk dan bergegas-gegas kembali ke Bu-tong-san, dalam keadaan pihak mereka lelah dan pihak sendiri penuh tenaga itulah akan dilakukan sergapan di tengah jalan dan hasilnya pasti sangat memuaskan. Habis itu soal menyerang Bu-tong-san dan menumpas Hing-san boleh dikata akan terlaksana dengan sangat mudah.
Betapa tajam otak Yim Ngo-heng dan lihai tipu dayanya sungguh jarang terdapat di dunia persilatan selama beratus-ratus tahun ini, dalam sekejap saja dia sudah menentukan tipu apa yang bakal digunakan untuk menumpas Bu-tong dan Siau-lim-pay, dua aliran persilatan yang terbesar dan musuh yang terbesar. Menurut perhitungannya, siasatnya ini sembilan dari sepuluh bagian pasti akan berhasil. Jadi penolakan Lenghou Tiong akan masuk agamanya meski membikin malu padanya di hadapan anak buah sendiri, tapi lantaran itu juga tujuan Tiau-yang-sin-kau akan mencaplok aliran-aliran persilatan lain dan memerintah Kang-ouw untuk selamanya akan menjadi terkabul, maka betapa rasa girang Yim Ngo-heng sungguh sukar dilukiskan.
Air mata Ing-ing sudah sejak tadi berlinang-linang di kelopak matanya, kini tak tertahan lagi lantas bercucuran.
"Jika aku ikut kau ke Hing-san berarti aku tidak berbakti kepada orang tua," kata Ing-ing dengan terisak-isak. "Kalau aku mengingkari kau, berarti pula aku tidak setia. Bakti dan setia sukar tercapai bersama. Engkoh Tiong, O, Engkoh Tiong, sejak kini janganlah kau memikirkan diriku, sebab...."
"Kenapa?" tanya Lenghou Tiong.
"Sebab jiwamu toh takkan lama lagi dan aku pun pasti takkan hidup lebih lama sehari pun daripadamu," kata Ing-ing.
"Ayahmu sudah berjanji sendiri akan menjodohkan kau kepadaku, beliau adalah Kaucu mahabijaksana, mana boleh tidak pegang teguh akan janjinya sendiri" Biarlah sekarang juga aku menikahi kau di sini, saat ini juga kita akan terikat menjadi suami-istri."
Ing-ing menjadi melengak. Meski dia sudah kenal Lenghou Tiong sebagai pemuda petualang yang berani berkata berani berbuat, tapi tidak pernah menduga akan bicara blakblakan demikian di hadapan orang banyak. Keruan ia menjadi kikuk, air mukanya menjadi merah, sahutnya, "Mana... mana boleh jadi begini?"
Lenghou Tiong terbahak-bahak, katanya, "Jika begitu biarlah kita berpisah saja sekarang."
Ia pun cukup kenal pikiran Ing-ing, pada waktu Yim Ngo-heng menggempur Hing-san nanti dan dirinya terbunuh maka si nona juga pasti akan membunuh diri untuk mengikutnya di alam baka, hal ini sudah pasti akan terjadi dengan sendirinya, betapa pun sukar dicegah. Tapi kalau sekarang si nona mau meninggalkan pandangan kolot umumnya dan bersedia menikah padanya di atas Tiau-yang-hong ini juga, dengan demikian kedua orang akan sama-sama masuk Hing-san-pay, cukup beberapa hari saja mereka menikmati kebahagiaan sebagai pengantin baru, habis itu kedua orang akan mati bersama dan mereka pun tidak perlu menyesal lagi akan hidup mereka.
Namun hal ini sesungguhnya memang terlalu luar biasa dan menyimpang daripada adat istiadat umum, tidaklah menjadi soal bagi petualang seperti diriku ini, tapi pasti takkan diperbuat oleh Yim-toasiocia yang masih taat kepada adat ini, apalagi jika jadi demikian tentu si nona akan menanggung nama jelek sebagai putri yang membangkang dan tidak berbakti kepada orang tua.
Karena pikiran itulah Lenghou Tiong lantas bergelak tertawa pula, ia lantas memberi hormat kepada Yim Ngo-heng, lalu memberi salam pula kepada Hiang Bun-thian dan para tianglo sekeliling situ, serunya, "Lenghou Tiong akan menantikan kunjungan kalian di Kian-seng-hong!"
Habis berkata ia terus putar tubuh dan melangkah pergi.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Hiang Bun-thian berseru. "Ambilkan arak! Lenghou-hiante, hari ini kita harus minum sepuas-puasnya, mungkin kelak tiada kesempatan lagi."
"Bagus, bagus! Hiang-toako memang benar-benar kawan sepaham akan kegemaranku!" sahut Lenghou Tiong dengan tertawa.
Kedatangan Tiau-yang-sin-kau ke Hoa-san ini segalanya telah diatur dengan rapi, termasuk pula segala macam perbekalan yang perlu. Maka begitu Hiang Bun-thian minta arak, segera anak buahnya membawa beberapa guci arak ke hadapannya, tutup guci dibuka dan arak lantas dituang ke dalam mangkuk. Tanpa banyak omong Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong lantas adu mangkuk dan sama-sama menghabiskan isi satu mangkuk.
Tiba-tiba di antara orang banyak tampil seorang tua pendek gemuk, ternyata Lo Thau-cu adanya, serunya, "Lenghou-kongcu, budi pertolonganmu dahulu tak pernah kulupakan untuk selamanya, biarlah sekarang aku pun menyuguhkan satu mangkuk padamu."
Habis berkata ia pun adu mangkuk dan minum bersama Lenghou Tiong.
Padahal Lo Thau-cu hanya seorang Kang-ouw yang hidup bebas, kedudukannya sudah tentu tak bisa disejajarkan dengan Hiang Bun-thian, kini Lenghou Tiong tegas-tegas menolak masuk Tiau-yang-sin-kau, secara terang-terangan ia telah memusuhi Yim Ngo-heng pula, tapi orang Kang-ouw yang tiada ternama sebagai Lo Thau-cu juga berani menyuguh arak kepada Lenghou Tiong, hal ini berarti pula dia berani melawan kehendak Yim Ngo-heng, bukan mustahil sebentar lagi jiwanya akan melayang. Tapi dia ternyata lebih berat kepada rasa setia kawan daripada jiwa sendiri, terang ia tidak memikirkan mati atau hidupnya sendiri lagi.
Begitulah para kesatria menjadi kagum juga melihat keberanian Lo Thau-cu itu. Maka menyusul Coh Jian-jiu, Keh Bu-si, Na Hong-hong, dan kawan-kawannya satu per satu juga tampil ke depan untuk mengadu mangkuk arak dengan Lenghou Tiong.
Sama sekali Lenghou Tiong tidak menolak suguhan mereka, setiap mangkuk ia minum habis sehingga berpuluh mangkuk arak telah ditenggaknya dan nyatanya kawan-kawan yang ingin minum bersama dia masih terus antre tak terputus-putus. Alangkah besar hati Lenghou Tiong melihat betapa cara teman-teman itu menghargai dirinya, ia merasa hidup ini tidaklah sia-sia, segera ia angkat tinggi-tinggi mangkuknya dan berseru lantang, "Terima kasih atas maksud baik kawan-kawan sekalian, sayang kekuatanku minum terbatas, hari ini aku tidak sanggup minum lagi lebih banyak. Biarlah lain hari bila kawan-kawan ikut menyerbu ke Hing-san, aku akan menunggu kalian di kaki Hing-san dengan arak-arak enak, di situlah kita boleh minum sepuas-puasnya, habis itu baru kita bertempur!"
Sembari berkata, isi mangkuknya lantas ditenggaknya pula.
"Lenghou-ciangbun sungguh seorang yang suka bicara blakblakan!" seru para kesatria berbareng.
"Ya, kalau sudah kenyang minum dan mabuk barulah kita bertempur serabutan, menarik juga tentunya!" demikian ada yang menambahkan.
Lalu Lenghou Tiong membuang mangkuknya, dengan berjalan sempoyongan ia lantas turun ke bawah gunung diikuti oleh Gi-ho, Gi-jing, dan anak murid Hing-san-pay yang lain.
Di waktu para kesatria sedang minum arak bersama Lenghou Tiong, Yim Ngo-heng ternyata tersenyum-senyum saja, tapi di dalam hati ia sedang membikin rekaan secara terperinci akan siasatnya menggempur Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay nanti. Terutama cara bagaimana harus pura-pura menyerang Hing-san untuk memancing bantuan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay, ia pikir rencananya itu harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan curiga pihak lawan yang terkenal tidak kalah cerdiknya itu. Dan ketika Lenghou Tiong turun ke bawah dalam keadaan mabuk, maka rencana dalam batinnya juga sudah selesai dibentuk, hanya tinggal pelaksanaannya saja.
Selain itu juga terpikir olehnya, "Kawanan bangsat ini berani menyuguhkan arak kepada Lenghou Tiong di hadapanku, perbuatan mereka harus diberi hukuman secara setimpal, biarlah utang mereka ini kucatat dahulu, kini aku masih memerlukan tenaga mereka, nanti kalau Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, dan Hing-san-pay sudah kutumpas seluruhnya, maka orang-orang yang menyuguh arak kepada Lenghou Tiong ini pasti akan menerima ganjarannya."
Tiba-tiba terdengar Hiang Bun-thian berseru, "Dengarkan, kawan-kawan! Bahwasanya Maha-kaucu sudah tahu kebandelan Lenghou Tiong dan tidak tahu maksud baik orang, tapi Kaucu masih coba membujuknya dengan ramah tamah, semua ini jelas disebabkan kebesaran jiwa Kaucu, suka kepada orang berbakat. Tapi sebenarnya masih ada suatu maksud yang mendalam yang tak bisa dipahami oleh orang kasar sebagai Lenghou Tiong itu. Kini tanpa susah-susah kita telah dapat menumpas Ko-san, Thay-san, Hoa-san, dan Heng-san-pay, seterusnya Tiau-yang-sin-kau pasti akan lebih termasyhur, lebih terhormat, lebih disegani!"
"Benar! Hidup Maha-kaucu! Semoga panjang umur dan memerintah Kang-ouw selamanya!" teriak orang banyak dengan bergemuruh.
Setelah suara teriakan orang-orang itu mereda, kemudian Hiang Bun-thian melanjutkan, "Di dunia persilatan sekarang tinggal Siau-lim dan Bu-tong-pay, kedua pay yang masih tetap merupakan ancaman bagi kau kita. Untuk ini Kaucu sengaja atur siasat bagus, pilihannya jatuh pada diri Lenghou Tiong, melalui bocah itu kita akan dapat sapu bersih Siau-lim-pay dan menumpas Bu-tong-pay. Perhitungan Kaucu mahajitu, rencananya sangat rapi. Beliau sudah menduga pasti Lenghou Tiong tak mau masuk kau kita dan kini ternyata benar, bocah itu menolak bujukan Kaucu. Bahwasanya kita menyuguhkan arak kepada Lenghou Tiong, hal ini pun merupakan salah satu siasat Kaucu."
"O, kiranya begitu!" seru orang banyak. Lalu beramai-ramai mereka berteriak lagi. "Hidup Maha-kaucu kita, panjanglah umur beliau seribu tahun, memerintah Kang-ouw selamanya!"
Hiang Bun-thian yang sudah bergaul berpuluh tahun dengan Yim Ngo-heng, maka ia cukup kenal pribadi sang kaucu, bahwasanya tadi terdorong oleh rasa persaudaraan, tanpa pikir dirinya menyuguhkan arak perpisahan kepada Lenghou Tiong, hal ini tentu tidak disukai oleh Yim Ngo-heng. Bagi dirinya masih tidak menjadi soal, mengingat hubungan baik sang kaucu padanya, tapi orang-orang lain seperti Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan sebagainya juga ikut-ikutan menyuguhkan arak kepada Lenghou Tiong, perbuatan itu bukan mustahil akan mendatangkan bencana bagi jiwa mereka. Apalagi dilihatnya air muka Yim Ngo-heng sebentar terang sebentar guram tak tentu, maka ia lantas sengaja mengarang suatu rentetan kata-kata sanjung puji untuk menutupi kejadian tadi, harapannya dengan ucapannya itu dapatlah menolong Lo Thau-cu dan lain-lain dari kematian. Sebab dengan ucapan-ucapan Hiang Bun-thian tadi, bukan saja sama sekali tidak mengurangi wibawa Yim Ngo-heng, bahkan menjunjung tinggi kepemimpinannya yang hebat.
Dan ternyata Yim Ngo-heng menjadi senang sekali mendengar kata-kata Hiang Bun-thian itu, diam-diam ia mengakui betapa pun Hiang Bun-thian tidak sia-sia sebagai tangan kirinya, pembantu utama yang tepercaya dan nyatanya dia pula yang paling dapat memahami isi hatinya. Tapi meski dia tahu aku ingin menyapu bersih Siau-lim-pay dan menumpas Bu-tong-pay, bagaimana caranya dan siasat yang telah kuatur terang ia tak dapat menerkanya. Siasatku ini akan kujalankan selangkah demi selangkah, sebelum dilaksanakan, Hiang-cosu sekalipun takkan kuberi tahu secara terperinci. Demikianlah pikir Yim Ngo-heng.
Dalam pada itu seorang tianglo berseru pula, "Dengan kepemimpinan Maha-kaucu, segala urusan besar di dunia sudah lama berada dalam perhitungan beliau, apa yang beliau katakan tentu tidak salah, apa yang beliau perintahkan segera kita kerjakan juga, pasti takkan keliru."
"Ya, asalkan sebuah jari Maha-kaucu bergerak segera kita lakukan apa pun perintahnya, ke lautan api atau ke dalam minyak mendidih juga kita takkan menolak," sambung seorang lagi.
"Kaucu mahabijaksana, baik kepintarannya maupun ketangkasannya tiada bandingannya baik oleh kaum cerdik pandai dan nabi sekalipun dari zaman dahulu kala sampai sekarang," teriak seorang tianglo yang lain.
Dan begitulah keadaan menjadi riuh ramai oleh teriakan semboyan dan sanjung puji yang tak terputus-putus diselang-seling dengan sorakan, "Hidup Kaucu! Panjang umur seribu tahun, memerintah Kang-ouw selamanya! Hancurkan Siau-lim-si, sapu bersih Bu-tong-pay!"
Menghadapi sorak-sorai anak buahnya itu, walaupun Yim Ngo-heng tahu juga bahwa sanjung puji itu terkadang berlebih-lebihan dan tidak masuk di akal, akan tetapi di dalam hati kecilnya ia merasa puas, merasa syur.
Dengan wajah berseri-seri ia lantas berbangkit dari tempat duduknya. Melihat sang kaucu berdiri, semua orang serentak mendekam ke bawah memberi sembah. Dalam sekejap saja suasana di atas Tiau-yang-hong berubah menjadi sunyi senyap.
Yim Ngo-heng terbahak-bahak, katanya, "Semoga keadaan abadi seperti ha...." sampai di sini tiba-tiba suaranya berubah serak. Ia coba mengerahkan tenaga dan mengatur napas, ia hendak mengucapkan "hari ini" yang belum sempat tercetus dari mulutnya itu, tapi dada terasa kejang, betapa pun kata-kata itu sukar diucapkan. Dengan tangan kanan menahan dada, ia berusaha menekan darah panas yang telah naik ke tengah kerongkongannya, terasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang silau oleh cahaya matahari.
Bab 141. Yim Ngo-heng Mati, Pertikaian pun Berhenti
Ketika para anggota Tiau-yang-sin-kau mendengar ucapan sang kaucu mendadak berhenti setengah-setengah, suaranya juga kedengaran serak, semua orang menjadi kaget dan sama mendongak, maka terlihatlah kulit muka sang kaucu berkerut-kerut, tampaknya sangat kesakitan, menyusul tubuh sang kaucu menggeliat terus roboh terjungkal.
"Kaucu!" Hiang Bun-thian berseru kaget.
"Ayah!" Ing-ing pun berseru khawatir. Keduanya sama-sama memburu maju dan sempat menahan tubuh Yim Ngo-heng yang roboh itu.
Tapi tubuh Yim Ngo-heng hanya berkelojotan beberapa kali saja, lalu berhenti bernapas.
Itulah nasib manusia pada umumnya, apakah dia seorang pahlawan atau nabi sekalipun, baik seorang penjahat besar maupun orang alim, akhirnya toh meninggal dunia juga.
Sementara itu Lenghou Tiong yang turun ke bawah gunung dalam keadaan mabuk, sampai lewat tengah malam barulah dia sadar kembali. Sesudah sadar, baru diketahui dirinya sudah berada di tengah ladang luas, para murid Hing-san-pay sama berduduk di kejauhan untuk menjaganya. Teringat seterusnya mungkin tiada harapan buat berjumpa kembali dengan Ing-ing, berdukalah hati Lenghou Tiong.
Begitulah rombongan mereka akhirnya sampai Kian-seng-hong di Hing-san dengan selamat, segenap anak murid Hing-san-pay lantas mengadakan sembahyangan terhadap abu Ting-sian, Ting-cing, dan Ting-yat Suthay berhubung terbalasnya sakit hati mereka.
Mengingat dalam waktu singkat Hing-san pasti akan diserbu oleh Tiau-yang-sin-kau, habis pertempuran itu Hing-san-pay tentu akan musnah. Karena kekalahan sudah diketahui sebelumnya, maka setiap orang menjadi tidak perlu khawatir malah.
Sementara, itu Put-kay Hwesio dan istrinya serta Gi-lim dan Dian Pek-kong juga sudah menggabungkan diri dengan rombongan besar di kaki gunung Hoa-san. Lenghou Tiong menduga Put-kay dan istrinya tentu takkan meninggalkan anak perempuannya untuk menyelamatkan diri sendiri, maka ia pun membiarkan mereka tetap tinggal di Hing-san.
Karena menganggap tiada gunanya berlatih lagi, sebab toh tiada gunanya dan takkan terhindar kematian, maka anak murid Hing-san-pay itu menjadi malas untuk berlatih ilmu pedang seperti biasanya, hanya sebagian yang tetap taat kepada agama dan setiap hari tetap menjalankan ibadat dengan baik, sedang lain-lainnya yang iseng lantas pesiar ke seluruh pegunungan indah itu.
Selang beberapa hari, Kian-seng-hong tiba-tiba kedatangan sepuluh orang hwesio, yang mengepalai adalah ketua Siau-lim-si, Hong-ting Taysu. Saat itu Lenghou Tiong sedang menenggak arak sendirian di biara induk, ketika mendapat laporan kedatangan Hong-ting Taysu itu, ia terkejut dan bergirang pula, lekas-lekas ia keluar menyambut.
Dilihatnya Hong-sing Taysu juga ikut datang, sedang kedelapan hwesio yang lain semuanya sudah berusia lanjut, setelah diperkenalkan, ternyata semuanya adalah hwesio angkatan "Hong", hwesio angkatan tua setingkatan dengan Hong-ting Taysu.
Lenghou Tiong menyambut para hwesio itu ke dalam biara induk dan berduduk di atas kasuran semadi. Biara induk itu sebenarnya adalah tempat tirakat Ting-sian Suthay, biasanya terawat dengan baik dan bersih, tapi sejak Lenghou Tiong tinggal di situ, dalam rumah penuh guci arak, cawan arak banyak yang berserakan.
Dengan wajah merah jengah Lenghou Tiong meminta maaf atas keadaan tempatnya yang kotor itu. Tapi dengan tersenyum Hong-ting berkata, "Kedatangan kami hari ini adalah untuk urusan penting, maka Lenghou-ciangbun tak perlu sungkan-sungkan. Kabarnya Lenghou-ciangbun demi membela Hing-san-pay telah menolak kedudukan wakil kaucu Tiau-yang-sin-kau, bahkan tidak memikirkan keselamatan sendiri dan rela memisahkan diri dengan Yim-toasiocia yang diketahui adalah kekasih sehidup-semati Lenghou-ciangbun, dalam hal ini para kawan bu-lim sungguh sangat kagum terhadap sikap Lenghou-ciangbun."
Seketika Lenghou Tiong tercengang. Padahal persoalan penolakan kedudukan wakil kaucu segala itu telah dipesan kepada para murid Hing-san-pay agar tidak disiarkan keluar, tapi Hong-ting Taysu ternyata mengetahui juga kejadian itu. Segera ia menjawab, "Ah, Taysu suka memuji, aku menjadi malu. Tentang hubungan diri Wanpwe dengan pribadi Yim-kaucu memang banyak suka-dukanya dan sukar dijelaskan, Wanpwe juga terpaksa mesti mengingkari kebaikan Yim-toasiocia, Taysu tidak mencela akan tindakan Wanpwe ini, sebaliknya memuji malah, sungguh Wanpwe tak berani menerimanya."
"Menurut kabar, Yim-kaucu telah menyiarkan berita di luar bahwa dalam waktu singkat dia akan pimpin anak buahnya menyerbu ke Hing-san sini. Kini Ngo-gak-pay hanya tinggal Hing-san-pay saja, bala bantuan dari luar tidak ada lagi, tapi Lenghou-ciangbun ternyata tidak mau mengirim berita kepada kami, jangan-jangan menganggap Siau-lim-pay kami adalah orang-orang yang takut mati dan tidak punya rasa setia kawan terhadap sesama kawan bu-lim?"
"Sama sekali Wanpwe tidak mempunyai anggapan demikian," cepat Lenghou Tiong minta maaf. "Soalnya Wanpwe merasa segala urusan yang timbul sekarang ini adalah gara-gara perbuatanku sendiri yang telah bergaul dengan gembong-gembong Mo-kau, Wanpwe pikir seorang yang berbuat biarlah seorang saja yang bertanggung jawab, bikin susah segenap anggota Hing-san-pay saja sudah tidak enak bagiku, mana Wanpwe berani membikin susah pula kepada Taysu dan Tiong-hi Totiang."
"Ucapan Lenghou-ciangbun ini kurang tepat," ujar Hong-ting dengan tersenyum. "Sudah sejak ratusan tahun yang lalu pihak Mo-kau mempunyai tujuan hendak menumpas Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay serta Ngo-gak-kiam-pay, tatkala itu Lolap sendiri belum lahir, lalu apa sangkut pautnya urusan ini dengan Lenghou-ciangbun sekarang?"
"Ya, mendiang guruku juga sering mengatakan bahwa selamanya cing dan sia tak mungkin hidup bersama. Mo-kau dan cing-pay kita sudah bermusuhan sekian lamanya, selama ini selalu terjadi pertempuran sengit. Menurut pengetahuan Wanpwe yang cetek, kukira kalau salah satu pihak mau mengalah selangkah tentu permusuhan dapat dihapus, tak tahunya biarpun hubungan Yim-kaucu dengan Wanpwe sedemikian baiknya, akhirnya tetap harus bertemu di medan perang."
"Ucapanmu tentang saling mengalah selangkah dan permusuhan akan dapat dihapus, hal ini sebenarnya betul juga," kata Hong-ting. "Pertarungan antara golongan cing-pay kita dengan Tiau-yang-sin-kau sebenarnya juga tiada dasar yang kuat, soalnya cuma pemimpin kedua pihak sama-sama ingin merajai bu-lim, masing-masing ingin menumpas pihak lawan. Tempo hari Lolap dan Tiong-hi Totiang serta Lenghou-ciangbun bertiga telah bicara di Sian-kong-si, waktu itu Lolap sudah menyatakan khawatir akan maksud Co-ciangbun dari Ko-san yang hendak melalap Ngo-gak-kiam-pay menjadi Ngo-gak-pay saja, yang kukhawatirkan justru adalah ambisinya yang ingin merajai dunia persilatan itu."
Sampai di sini ia berhenti sejenak dan menghela napas panjang, lalu menyambung pula, "Konon Tiau-yang-sin-kau ada semboyan yang menyatakan, "Hidup seribu tahun, memerintah Kang-ouw selamanya", kalau Yim-kaucu sudah punya niat begitu, maka dunia persilatan takkan pernah tenteram lagi. Kalau Yim-kaucu sudah menyatakan di dalam sebulan akan menyapu bersih seluruh penghuni Hing-san, sekali dia berani berkata, tentu juga akan dia laksanakan. Maka sekarang jago-jago dari Siau-lim, Bu-tong, Kun-lun, Go-bi, Kong-tong, dan lain-lain sudah berkumpul semua di kaki gunung ini."
"Hah, begitukah?" seru Lenghou Tiong sambil melonjak terkejut. "Para cianpwe dari berbagai aliran telah datang membantu, Wanpwe sedikit pun tidak tahu, sungguh harus dicela. Tapi entah dari mana pula Taysu mendapat kabar tentang akan diserbunya Hing-san oleh pihak Tiau-yang-sin-kau?"
"Lolap mendapat tahu dari berita surat seorang cianpwe," jawab Hong-ting.


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cianpwe?" Lenghou Tiong menegas. Padahal ia tahu kedudukan Hong-ting Taysu di dunia persilatan sudah sangat tinggi, mana ada orang yang tingkatannya lebih tua daripada dia"
Dengan tersenyum Hong-ting lantas berkata pula, "Cianpwe itu adalah tokoh terkenal dari Hoa-san-pay, orang yang pernah mengajarkan ilmu pedang kepada Lenghou-ciangbun."
"Ah, kiranya Hong-thaysusiok!" seru Lenghou Tiong dengan girang.
"Benar, memang Hong-cianpwe adanya," kata Hong-ting. "Hong-cianpwe itu telah mengirim enam orang sobat ke Siau-lim-si untuk memberitahukan tentang apa yang dilakukan oleh Lenghou-ciangbun di Tiau-yang-hong tempo hari. Cara bicara keenam sobat itu rada bertele-tele dan tidak keruan, tapi setelah mendengarkan dengan sabar, akhirnya Lolap dapat memahaminya dengan jelas."
"O, Tho-kok-lak-sian, bukan?" tanya Lenghou Tiong.
"Benar, memang Tho-kok-lak-sian," sahut Hong-ting.
"Ketika di Hoa-san, sebenarnya aku ingin menghadap Hong-thaysusiok, tapi karena macam-macam urusan, sampai meninggalkan gunung itu tetap tidak sempat berkunjung kepada beliau. Tak terduga bahwa segala apa telah diketahui seluruhnya oleh beliau."
"Hong-cianpwe itu memang tidak suka menonjolkan diri, tapi segala perbuatan pihak Tiau-yang-sin-kau di Hoa-san cukup diketahui oleh beliau, sudah tentu beliau tak bisa tinggal diam. Seperti Tho-kok-lak-sian yang suka gila-gilaan itu, mereka telah ditawan oleh Hong-cianpwe dan dikerangkeng selama beberapa hari, kemudian merekalah yang disuruh mengirimkan berita ke Siau-lim-si."
"Entah Hong-thaysusiok menghendaki apa yang harus kita lakukan?" tanya Lenghou Tiong.
"Dalam surat Hong-locianpwe itu, beliau menulis dengan sangat rendah hati, katanya beliau mendengar akan maksud Tiau-yang-sin-kau itu, maka sengaja mengirim kabar kepada Lolap, katanya Lenghou-ciangbun adalah murid kesayangannya, tindakan Lenghou-ciangbun yang tegas-tegas menolak ajakan pihak Mo-kau itu sangat menyenangkan Hong-locianpwe, maka beliau menyuruh Lolap suka menjaga dirimu. Padahal ilmu silat Lenghou-ciangbun sepuluh kali lebih hebat daripada Lolap, mana Lolap berani menerima permintaan "menjaga" dirimu segala."
"Tapi Taysu menjaga diri Wanpwe sudah bukan cuma sekali dua kali saja," ujar Lenghou Tiong dengan sangat berterima kasih.
"Ah, mana," sahut Hong-ting. "Setelah mengetahui urusan ini, jangankan ada perintah dari Hong-locianpwe, melulu hubungan baik kedua pay kita saja dan persahabatan Lolap dengan Lenghou-ciangbun, tak mungkin Lolap tinggal diam. Apalagi persoalan ini menyangkut mati atau hidup berbagai golongan cing-pay, bila Hing-san-pay benar-benar dimusnahkan oleh Tiau-yang-sin-kau, masakah Siau-lim dan Bu-tong-pay takkan mengalami nasib yang serupa" Sebab itulah kami lantas menyebarkan pemberitahuan pada berbagai golongan dan aliran agar berkumpul di Hing-san untuk bertempur mati-matian menghadapi Tiau-yang-sin-kau."
Sebenarnya Lenghou Tiong sudah putus asa sejak kembali dari Hoa-san, sebab melihat kehebatan Tiau-yang-sin-kau itu, betapa pun Hing-san-pay tidak mampu melawannya, ia hanya dapat menunggu kedatangan Yim Ngo-heng saja untuk kemudian bersama segenap anak buah Hing-san-pay melawan mati-matian hingga titik darah penghabisan. Pernah juga ada anak murid Hing-san yang mengusulkan agar minta bantuan kepada Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay, akan tapi Lenghou Tiong anggap tiada gunanya, sebab kekuatan Siau-lim dan Bu-tong-pay juga terbatas, biarpun datang membantu juga sukar menahan serbuan Mo-kau secara besar-besaran itu. Kalau sudah jelas demikian halnya, lalu apa gunanya ikut mengorbankan orang-orang Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay" Begitulah jalan pikiran Lenghou Tiong.
Dalam hati kecilnya sebenarnya dia tidak ingin bertempur dengan Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian, tapi setelah harapan perjodohan dengan Ing-ing sudah putus, tanpa terasa timbul pikirannya yang apatis, dirasakan hidup ini tiada artinya lagi, bahkan lebih baik mati saja selekasnya. Tapi melihat kedatangan Hong-ting adalah atas permintaan Hong Jing-yang, seketika semangatnya terbangkit. Tapi untuk benar-benar bertempur mati-matian dengan pihak Tiau-yang-sin-kau baginya tetap tiada hasrat.
"Lenghou-ciangbun," demikian Hong-ting berkata pula, "sesungguhnya Lolap juga bukan orang yang suka main kekerasan, kalau urusan ini dapat didamaikan tentu saja sangat baik, tetapi kalau kita sudah mengalah satu langkah, sebaliknya Yim-kaucu lantas maju satu langkah maka persoalan sekarang bukan lagi kita tak mau mengalah, tapi Yim-kaucu yang bertekad akan membasmi kita secara habis-habisan, kecuali kalau kita mau menyembah padanya dan meneriakkan semboyan "hidup Maha-kaucu dan memerintah Kang-ouw selamanya" segala!"
Lenghou Tiong merasa geli juga mendengar cara Hong-ting menirukan cara orang-orang Mo-kau menyerukan semboyan yang berlebih-lebihan itu, jawabnya kemudian dengan tertawa, "Ya, memang betul ucapan Hongtiang Taysu. Wanpwe sendiri bila mendengar seruan semboyan itu seketika lantas berdiri bulu romaku."
"Tempo hari agaknya Hong-locianpwe telah melihat keadaan Lenghou-ciangbun waktu menahan rasa sakit perut, maka beliau sengaja suruh Tho-kok-lak-sian menyampaikan sejenis kunci ajaran lwekang yang tinggi dan suruh Lolap mewakilkan beliau mengajarkannya kepada Lenghou-ciangbun. Untuk ini harap Lenghou-ciangbun bersama Lolap masuk ke dalam agar Lolap dapat menyampaikan kalimah kunci rahasia lwekang tersebut."
Dengan sangat hormat Lenghou Tiong lantas membawa Hong-ting Taysu ke sebuah kamar yang sunyi. Karena Hong-ting mengajarkan kalimah kunci ilmu lwekang itu atas nama Hong Jing-yang, maka sama saya seperti menghadapi moyang guru, segera Lenghou Tiong berlutut dan menyembah kepada Hong-ting.
Hong-ting juga tidak sungkan-sungkan menerima penghormatan itu, lalu berkata, "Hong-locianpwe menaruh harapan besar terhadap Lenghou-ciangbun, maka hendaklah kau dapat meyakinkan lwekang ini dengan baik sesuai kalimah rahasia yang kusampaikan ini."
Lenghou Tiong mengiakan dan berjanji akan patuh terhadap pesan itu.
Lalu Hong-ting mulai menguraikan kalimah-kalimah kunci lwekang yang tidak terlalu panjang itu, seluruhnya cuma terdiri dari ratusan huruf saja hingga dengan gampang dapat dihafalkan Lenghou Tiong di luar kepala sesudah Hong-ting mengulangi beberapa kali uraiannya.
Meski kalimah-kalimah ajaran lwekang itu cuma terdiri dari ratusan huruf saja, tapi isinya teramat luas dan dalam, lain daripada yang lain.
"Ilmu pedang Lenghou-ciangbun memang sangat tinggi, tapi dalam hal lwekang agaknya kurang sempurna," kata Hong-ting pula. "Meski inti lwekang ajaran Hong-cianpwe ini agak berbeda daripada ilmu lwekang Siau-lim-pay, namun ilmu silat di dunia ini boleh dikata "Bhineka Tunggal Eka" berbeda-beda tapi berasal dari satu, dasarnya tidak banyak berlainan. Maka dari itu, bila Lenghou-ciangbun tidak menolak, bolehlah Lolap menambahkan penjelasan-penjelasan seperlunya atas inti ajaran Hong-locianpwe ini."
Lenghou Tiong tahu Hong-ting adalah tokoh kosen terkemuka di dunia persilatan, kalau mendapat petunjuknya sama saja seperti mendapatkan ajaran langsung dari Hong Jing-yang, kalau Hong-thaysusiok minta Hong-ting mewakilkan dia, dengan sendirinya karena hwesio agung Siau-lim-si ini memang memiliki lwekang yang mahatinggi. Sebab itulah tanpa ragu-ragu Lenghou Tiong lantas mengiakan dan menerima dengan baik tawaran Hong-ting.
Begitulah Hong-ting lantas memberi penjelasan kalimat demi kalimat daripada inti lwekang yang diuraikannya tadi, lalu memberi petunjuk pula caranya mengatur pernapasan dan mengerahkan tenaga serta cara-cara semadi dan sebagainya.
Semula Lenghou Tiong hanya menghafalkan kalimah rahasia lwekang tadi di luar kepala secara mati tanpa memahami maknanya. Tapi setelah mendapat penjelasan dan pemecahan dari Hong-ting barulah ia mengetahui bahwa setiap kalimah kunci lwekang itu mengandung macam-macam filsafat yang mahaluas.
Sebenarnya bakat Lenghou Tiong sangat tinggi, tapi inti lwekang itu ternyata cukup membuatnya memeras otak setengah hari. Untunglah Hong-ting Taysu dengan sabar suka memberi penjelasan secara terperinci sehingga membuat Lenghou Tiong dapat menemukan suatu tingkatan ilmu silat yang belum pernah dicapainya.
Sambil menghela napas gegetun, berkatalah Lenghou Tiong, "Hongtiang Taysu, perbuatan Wanpwe di Kang-ouw selama ini sesungguhnya terlalu gegabah, sama sekali Wanpwe tidak sadar akan kepicikan sendiri, kalau dipikir sungguh Wanpwe merasa malu. Hari ini Wanpwe benar-benar seperti si buta yang baru melek, biarpun hidup Wanpwe ini takkan tahan lama karena dalam waktu singkat pasti akan musnah di tangan Yim-kaucu, tapi Wanpwe tetap merasa senang menerima ajaran lwekang dari Hong-thaysusiok ini."
"Berbagai golongan cing-pay kita kini sudah berkumpul di dekat Hing-san sini, bila Tiau-yang-sin-kau benar-benar menyerbu kemari, beramai-ramai kita menghadapinya, rasanya belum pasti akan kalah," demikian ujar Hong-ting. "Maka dari itu janganlah Lenghou-ciangbun patah semangat. Lwekang tinggi ini takkan terlatih dengan sempurna dalam waktu beberapa tahun, namun sehari akan bertambah baik sehari bilamana berlatih secara teratur. Dalam waktu singkat ini kita toh tiada urusan apa-apa, maka silakan Lenghou-ciangbun mulai berlatih saja. Mumpung Lolap mengganggu di tempatmu ini, marilah kita tukar pikiran bersama."
"Kebaikan Taysu sungguh Wanpwe sangat berterima kasih," kata Lenghou Tiong.
"Saat ini mungkin Tiong-hi Toheng juga sudah datang, marilah kita coba keluar melihatnya!" ajak Hong-ting.
"O, kiranya Tiong-hi Totiang juga akan tiba, memang kita harus menyambutnya," kata Lenghou Tiong. Begitulah mereka lantas keluar kembali ke ruangan luar, ternyata ruangan sembahyang itu sudah dipasang api lilin. Kiranya tidak kurang dari empat jam mereka berdua berada di dalam kamar semadi itu untuk pengajaran lwekang tadi, kini hari sudah gelap.
Tertampak pula di ruangan situ berduduk tiga orang tosu tua dan sedang bicara dengan Hong-sing Taysu. Seorang di antaranya bukan lain Tiong-hi Tojin adanya.
Melihat Hong-ting dan Lenghou Tiong keluar, cepat Tiong-hi Tojin berbangkit dan memberi hormat.
Segera Lenghou Tiong menjura dan berkata, "Jauh-jauh Totiang datang membantu kesulitan yang dihadapi Hing-san-pay, sungguh Wanpwe dan segenap bawahan sangat berterima kasih dan entah cara bagaimana harus membalas budi kebaikan Totiang ini."
Lekas-lekas Tiong-hi membangunkan Lenghou Tiong, katanya dengan tertawa, "Sudah ada sekian lamanya aku berada di sini, ketika mengetahui Hongtiang Taysu sedang mempelajari lwekang mukjizat di ruangan dalam bersama Saudara cilik, maka kami tidak berani mengganggu padamu. Lwekang hebat yang Saudara cilik pelajari itu boleh dibeli secara kontan dan dijual kontan pula, bila Yim Ngo-heng datang, coba saja lwekang itu atas dirinya, biar dia kaget setengah mati."
"Lwekang ini terlalu luas dan dalam, dalam waktu singkat Wanpwe mana sanggup memahaminya dengan baik?" jawab Lenghou Tiong. "Kabarnya para locianpwe dari Go-bi-pay, Kun-lun-pay, Khong-tong-pay, dan lain-lain juga sudah datang, mereka harus diundang pula ke atas sini untuk berunding cara bagaimana harus menghadapi musuh, entah bagaimana pendapat para cianpwe atas usulku ini?"
"Mereka memang sudah datang, tapi mereka sengaja sembunyi di tempat yang dirahasiakan agar tidak diketahui oleh mata-mata yang dipasang oleh iblis tua she Yim itu," kata Tiong-hi. "Kalau mereka beramai-ramai diundang ke sini, mungkin jejak mereka akan diketahui musuh. Waktu kami datang ke sini juga dalam penyamaran semua, sebelumnya bukankah kalian pun tidak tahu akan kedatangan kami?"
Lenghou Tiong menjadi teringat kepada pertemuannya yang pertama kali dengan Tiong-hi Tojin, waktu itu ia pun menyaru sebagai seorang kakek penunggang keledai, di sampingnya mengikut dua orang laki-laki yang sebenarnya juga tokoh-tokoh pilihan Bu-tong-pay, akan tetapi waktu itu dia sama sekali tidak kenal mereka. Kini setelah dipandang secara teliti, maka dapatlah dikenali kedua tosu tua yang lain adalah juga kedua laki-laki yang mendampingi Tiong-hi Tojin dahulu itu.
Maka cepat Lenghou Tiong memberi hormat dan menyapa, "Kepandaian menyamar kedua Totiang sungguh sangat mahir, kalau Tiong-hi Totiang tidak menyinggung tentang penyamaran, tentu Wanpwe tetap pangling terhadap kedua Totiang."
Kedua tosu tua itu dahulu yang seorang menyamar sebagai petani dan yang lain menyaru sebagai tukang kayu, tapi samar-samar wajah mereka masih dapat dikenali oleh Lenghou Tiong.
Segera Tiong-hi menunjuk si tosu yang dahulu menyamar sebagai tukang kayu dan memperkenalkan, "Ini adalah Jing-hi Sute dan yang itu adalah murid keponakanku dengan nama agama Seng-ko."
Maka tertawalah keempat orang teringat kepada kejadian dahulu itu. "Sungguh amat lihai ilmu pedang Lenghou-ciangbun!" demikian Jing-hi dan Seng-ko memuji.
Tiong-hi lantas berkata pula, "Sute dan sutitku ini dahulu pernah merantau selama belasan tahun di benua barat, di sana mereka masing-masing berhasil mempelajari semacam kepandaian istimewa, yang satu mahir memasang pesawat rahasia dan yang lain ahli pembuatan obat peledak."
"Wah, itulah kepandaian yang jarang terdapat di dunia ini," ujar Lenghou Tiong.
"Lenghou-ciangbun," kata, Tiong-hi pula, "kubawa mereka ke sini sesungguhnya ada sesuatu maksud tujuan lain, yaitu mengharap mereka berdua dapat mengerjakan sesuatu urusan penting bagi kita."
Lenghou Tiong merasa tidak paham ia menegas, "Mengerjakan suatu urusan penting bagi kita?"
"Ya, secara gegabah aku membawa sesuatu barang ke sini, harap Saudara cilik memeriksanya," kata Tiong-hi.
Dengan penuh tanda tanya Lenghou Tiong ingin tahu barang apakah yang akan dikeluarkan dari saku baju tosu tua itu.
Tapi ternyata tiada sesuatu yang dikeluarkan oleh Tiong-hi, sebaliknya tosu tua itu berkata pula dengan tertawa, "Barang yang kumaksudkan sungguh bukan benda kecil sehingga tak muat di dalam saku bajuku. Nah, Jing-hi Sute, boleh kau suruh mereka membawa masuk ke sini."
Jing-hi Tojin mengiakan terus berjalan keluar. Tidak lama dia masuk kembali dengan membawa empat orang yang berdandan sebagai petani desa, semuanya berkaki telanjang dan membawa satu pikulan sayur.
Tiong-hi Tojin suruh keempat orang itu memberi hormat kepada Lenghou Tiong dan Hong-ting Taysu, Lenghou Tiong tahu keempat orang itu pasti jago-jago pilihan dari Bu-tong-pay, maka dengan rendah hati ia pun balas menghormat.
"Keluarkan dan pasanglah!" demikian Jing-hi memberi perintah.
Segera keempat orang itu membongkar sayuran dalam pikulan mereka itu, di bawah tumpukan sayuran ternyata ada beberapa bungkusan, setelah bungkusan itu dibuka, isinya ada benda-benda kecil sebangsa mur-baut, pegas, dan potongan kayu yang kecil-kecil.
Cara bekerja keempat orang itu sangat cekatan, benda-benda kecil itu lantas dipasang satu sama lain, dalam waktu singkat saja jadilah sebuah kursi malas yang besar.
Lenghou Tiong menjadi terheran-heran, ia tidak tahu apa gunanya kursi malas yang terpasang macam-macam pesawat pegas itu, memangnya untuk berduduk di waktu berlatih lwekang" Demikian tanyanya di dalam hati.
Selesai kursi malas itu dipasang, dari dua bungkusan lain keempat orang itu mengeluarkan pula bantal dan sarung kursi, lalu dipasang pada sandaran kursi itu. Seketika kamar itu menjadi gemilang oleh cahaya yang menyilaukan mata, ternyata sarung kursi itu terbuat dari sutra kuning yang indah dan disulam dengan sembilan ekor naga emas, di tengah sembilan ekor naga yang berlingkar-lingkar itu sedang menyongsong terbitnya bola matahari yang merah membara di ujung samudra sana. Di kedua tepi sarung kursi itu tersulam pula tulisan-tulisan yang sama artinya seperti semboyan-semboyan yang sering diteriakkan oleh anggota Tiau-yang-sin-kau untuk memuji kebesaran kaucu mereka.
Kesembilan ekor naga emas itu tersulam dengan bagus sekali laksana hidup, tulisan-tulisan di tepinya juga sangat indah, di sekitar huruf-huruf itu dihiasi pula macam-macam mutiara dan batu permata yang berwarna-warni. Ruangan biara itu biasanya sunyi senyap dan sangat sederhana, tapi sekarang mendadak cerlang-cemerlang oleh cahaya benda-benda berharga itu.
Lenghou Tiong bersorak memuji, teringat olehnya penuturan Tiong-hi tadi bahwa Jing-hi pernah belajar ilmu pesawat di benua barat, maka ia pun tahu apa artinya kursi malas yang berhias itu, Katanya segera, "Bila melihat kursi kebesaran ini, Yim-kaucu pasti ingin mendudukinya dan sekali pegas di dalam kursi bekerja, seketika jiwanya akan melayang."
Dengan suara perlahan Tiong-hi lantas menjawab, "Tapi Yim Ngo-heng sangat pintar dan cerdik, tindakannya sangat cepat, meski di dalam kursi terpasang pesawat rahasia, asal dia merasakan tempat duduknya kurang enak dan segera melompat bangun, maka sukar juga untuk membinasakan dia. Yang penting di kaki kursi ini terpasang pula sumbu obat yang menghubungkan seonggok obat peledak di suatu tempat."
Bab 142. Menantikan Musuh dengan Perangkap
Mendengar keterangan itu, serentak air muka Lenghou Tiong dan para padri Siau-lim-si berubah. Hong-ting Taysu lantas menyebut, "Omitohud!"
Lalu Tiong-hi berkata pula, "Kebaikan pesawat rahasia di dalam kursi itu adalah tidak seketika bekerja, bila diduduki begitu saja takkan terjadi apa-apa, tapi mesti diduduki kira-kira seminuman teh baru sumbu obat peledak itu akan bekerja. Yim Ngo-heng itu seorang cerdik dan suka curiga, bila mendadak tampak ada sebuah kursi bagus di sini tentu dia takkan berduduk begitu saja, dia pasti akan suruh bawahannya mencoba-coba berduduk di situ lebih dulu, habis itu barulah dia berani berduduk. Di atas kursi ini tersulam naga menyongsong matahari, tertulis pula semboyan-semboyan yang memuja sang kaucu, tentu anak buah Mo-kau tak berani duduk lama-lama, sedangkan sekali Yim Ngo-heng sudah berduduk di situ tentu enggan meninggalkan kursi kebesaran ini."
"Cara pemikiran Totiang sungguh sangat rapi," puji Lenghou Tiong.
"Selain itu Jing-hi Sute juga telah mengatur perangkap lain," kata Tiong-hi. "Kalau Yim Ngo-heng ternyata tidak mau berduduk di atas kursi ini dan suruh orang membongkarnya untuk diperiksa, asalkan sesuatu onderdil kursi itu dicopot, seketika juga akan menimbulkan bekerjanya pesawat sumbu obat peledak. Sekali ini Seng-ko Sutit membawa 20 ribu kati obat peledak ke sini, bila betul-betul diledakkan, rasanya pegunungan indah kalian ini tak terhindar dari kehancuran."
Lenghou Tiong menjadi ngeri membayangkan akibatnya. Pikirnya, "Obat peledak sebanyak 20 ribu kati, sekali meledak tentu segalanya akan hancur lebur, Yim-kaucu jelas pasti akan hancur, Ing-ing dan Hiang-toako juga sukar terhindar dari maut."
Melihat air muka Lenghou Tiong rada berubah, Tiong-hi lantas berkata, "Mo-kau telah menyatakan dengan tegas akan membasmi Hing-san-pay kalian secara habis-habisan, habis itu mereka tentu akan menyerang Siau-lim dan Bu-tong kami, korban besar pasti akan jatuh, bencana tentu sukar terhindar. Kalau sekarang kita menggunakan akal ini untuk menghadapi Yim Ngo-heng, meski caranya rada keji, tapi tujuan kita adalah untuk membinasakan gembong Mo-kau itu demi jiwa berpuluh ribu orang bu-lim umumnya."
"Omitohud!" Hong-ting Taysu bersabda. "Memang begitulah jalan yang welas asih, korbankan seorang untuk menolong beratus ribu orang."
Lenghou Tiong merasa ucapan itu memang masuk di akal, sedangkan Tiau-yang-sin-kau sudah menyatakan akan membunuh habis segenap penghuni Hing-san, jika sekarang pihak cing-pay menggunakan perangkap dan meledakkan musuh, hal ini adalah pantas, tiada seorang pun yang dapat menyangkalnya. Hanya saja kalau Yim Ngo-heng harus dibunuh, dalam hati Lenghou Tiong merasa enggan, apalagi membunuh Hiang Bun-thian, baginya lebih baik dirinya sendiri mati lebih dulu. Mengenai mati-hidup Ing-ing malah tidak menjadikan pikirannya, sebab sudah jelas, kedua muda-mudi mereka toh akan sehidup dan semati, makanya tidak perlu dirisaukan.
Begitulah ketika melihat sorot mata semua orang diarahkan kepadanya, setelah memikir sejenak, kemudian Lenghou Tiong berkata, "Urusan sudah begini, Tiau-yang-sin-kau telah mendesak kita hingga menghadapi jalan buntu, kukira tipu yang diatur Tiong-hi Totiang ini adalah cara yang paling sedikit jatuhnya korban."
"Ucapan Adik Lenghou memang tidak salah," kata Tiong-hi. "Paling sedikit jatuh korban justru adalah hal yang kita harapan."
"Usia Wanpwe terlalu muda dan pengalaman cetek, maka urusan hari ini biarlah kuserahkan kepada Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang untuk memimpinnya," kata Lenghou Tiong kemudian. "Yang pasti Wanpwe akan memimpin anak murid Hing-san-pay untuk bersama-sama menghadapi musuh."
"Ah, mana boleh begitu," ujar Tiong-hi tertawa. "Kau adalah tuan rumah, aku dan Hongtiang Taysu adalah tamu, mana boleh tamu menggeserkan tempat tuan rumah."
"Dalam hal ini bukan Wanpwe sengaja rendah hati, tapi benar-benar mohon kedua Cianpwe sudi memimpinnya," kata Lenghou Tiong dengan sungguh-sungguh.
"Jika tekad Lenghou-ciangbun sudah tegas begitu, maka Toheng juga tidak perlu sungkan dan menolaknya," ujar Hong-ting Taysu. "Biarlah urusan besar sekarang diputuskan oleh kita bertiga bersama, tapi Toheng yang akan memberikan perintah pelaksanaannya."
Setelah mengucapkan kata-kata rendah hati, akhirnya Tiong-hi menerima juga usul itu, katanya kemudian, "Jalan yang menuju ke Hing-san sini sudah kita beri penjagaan, maka setiap waktu pihak Mo-kau menyerbu datang, sebelumnya kita pasti akan mendapat kabar. Dahulu waktu Adik Lenghou memimpin orang banyak menyerbu Siau-lim-si, kami tunduk di bawah pimpinan Co Leng-tan dan memasang perangkap "Khong-sia-keh" (Tipu Kota Kosong)...."
"Dahulu Wanpwe benar-benar sembrono, mohon maaf," sela Lenghou Tiong.
"Sungguh tidak nyana, yang dulu menjadi musuh sekarang malah menjadi kawan," kata Tiong-hi pula dengan tertawa. "Kalau sekarang kita memasang perangkap Khong-sia-keh lagi tentu tak bisa berhasil, sebab pasti akan menimbulkan curiga Yim Ngo-heng. Maka menurut pendapatku, biarlah segenap anggota Hing-san-pay bertahan di atas gunung sini, Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay kami masing-masing memilih beberapa orang untuk ikut membantu. Sebab kalau pihak Siau-lim dan Bu-tong tidak memberi bantuan, hal ini pasti akan menimbulkan curiga Yim Ngo-heng."
Hong-ting dan Lenghou Tiong sama menyatakan setuju atas jalan pikiran tosu itu.
Lalu Tiong-hi melanjutkan, "Sedang kawan-kawan dari Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Khong-tong-pay, dan lain-lain boleh sembunyi saja di dalam gua, tidak perlu memperlihatkan diri. Kalau Mo-kau sudah menyerbu tiba, orang-orang Hing-san, Siau-lim, dan Bu-tong akan melawannya dengan sepenuh tenaga, cara bertempur kita harus sungguh-sungguh, jago-jago yang kita tonjolkan adalah tokoh-tokoh kelas satu, semakin banyak membunuh lawan semakin baik, sedang pihak sendiri sedapat mungkin menghindarkan jatuhnya korban."
Tiba-tiba Hong-ting menghela napas, katanya, "Jago-jago di pihak Tiau-yang-sin-kau tidak terhitung banyaknya, kedatangan mereka sekali ini telah direncanakan, maka pertempuran ini sukar menghindarkan korban banyak di kedua pihak."
"Begini," tutur Tiong-hi pula, "kita boleh mencari suatu tebing jurang yang terjal, kita pasang tali panjang di situ, bila melihat gelagat pertempuran tidak menguntungkan kita, satu per satu kita lantas melorot ke bawah jurang dengan tali panjang sehingga musuh tak dapat mengejar. Setelah mendapat kemenangan besar, Yim Ngo-heng tentu akan kegirangan dan lupa daratan, bila melihat kursi kebesaran ini, tentu akan terus didudukinya dan sekali sumbu obat peledak bekerja, maka hancurlah tubuh iblis she Yim itu biarpun dia memiliki kepandaian setinggi langit. Menyusul itu delapan jalan yang menuju ke atas Hing-san sini juga akan meledak sehingga orang-orang Mo-kau betapa pun tak dapat turun lagi ke bawah."
"Jalan-jalan yang menuju ke atas sini akan diledakkan?" Lenghou Tiong menegas.
"Ya," jawab Tiong-hi. "Mulai besok pagi Seng-ko Sutit akan menanam dinamit di jalan-jalan itu. Sekali dinamit itu meledak, seketika jalan-jalan itu akan terputus. Betapa pun banyak anggota Mo-kau yang menyerbu ke atas sini tentu akan mati kelaparan semua di sini. Yang kita tiru adalah tipu Co Leng-tan dahulu, cuma sekali ini musuh pasti tiada kesempatan meloloskan diri melalui jalan di bawah tanah."
"Ya, sungguh sangat kebetulan saja dahulu kami dapat lolos dari Siau-lim-si," kata Lenghou Tiong. "Tapi...." tiba-tiba ia ingat sesuatu.
"Apakah Adik Lenghou merasa tipu yang kita atur ini ada sesuatu yang kurang sempurna?" tanya Tiong-hi.
"Wanpwe pikir nanti Yim-kaucu tentu akan merasa senang bila melihat kursi mestika ini, tapi dia tentu juga akan heran mengapa Hing-san sengaja membuatkan kursi demikian ini. Bila hal ini tidak dibikin terang, rasanya Yim-kaucu tak mau tertipu."
"Soal ini memang juga sudah kupikirkan," kata Tiong-hi. "Sebenarnya iblis tua itu mau duduk di atas kursi ini atau tidak bukan soal bagi kita, sebab kita sudah memasang sumbu obat lain yang juga dapat diledakkan."
"Susiok," tiba-tiba Seng-ko menyela, "Tecu punya suatu usul, entah dapat dijalankan atau tidak?"
"Coba katakan, biar minta pertimbangan Hongtiang Taysu dan Lenghou-ciangbun," sahut Tiong-hi dengan tertawa.
"Kabarnya Lenghou-ciangbun ada ikatan perjodohan dengan putri Yim-kaucu," kata Seng-ko. "Berhubung perbedaan aliran cing dan sia, maka timbul halangan. Kalau sekarang Lenghou-ciangbun mengutus dua murid Hing-san-pay untuk menemui Yim-kaucu dan menyatakan bahwa mengingat diri Yim-siocia, maka Lenghou-ciangbun telah sengaja mengundang ahli membuatkan sebuah kursi mestika untuk dipersembahkan kepada Yim-kaucu dengan harapan kedua pihak akan terhindar dari pertempuran menuju perdamaian. Dengan demikian, apakah Yim-kaucu mau menerima usul Lenghou-ciangbun atau tidak bukan soal bagi kita, yang pasti kalau dia sudah naik ke sini dan melihat kursi tentu dia takkan curiga lagi."
"Sungguh akal yang bagus," seru Tiong-hi. "Dengan demikian...."
"Jangan!" mendadak Lenghou Tiong menggeleng kepala.
Tiong-hi tercengang, tanyanya kemudian, "Adakah pendapat Lenghou-ciangbun yang lebih baik?"
"Bahwasanya Yim-kaucu ingin membunuh segenap anggota Hing-san-pay kami, maka aku akan melawannya sepenuh tenaga, boleh melawannya dengan akal atau melawannya dengan kekerasan. Misalnya dia benar-benar datang hendak membunuh kita, maka kita lantas meledakkan dia. Akan tetapi aku sekali-kali tak mau membohongi dia."
Ucapan Lenghou Tiong tegas dan pasti tanpa ragu-ragu sedikit pun.
Mau tak mau Tiong-hi harus memujinya, "Bagus! Adik Lenghou benar-benar seorang laki-laki sejati yang jujur, sungguh mengagumkan. Biarlah kita tetap melaksanakan rencana semula, apakah nanti iblis Mo-kau itu akan curiga atau tidak terserah padanya, yang pasti bila dia datang ke sini hendak mencelakai kita, tentu dia akan tahu rasa sendiri.
Begitulah mereka lantas berunding lagi tentang cara-cara menghadapi musuh, cara bagaimana harus melakukan perlawanan dan cara bagaimana melindungi anak-buah supaya tidak banyak jatuh korban serta cara bagaimana mengundurkan diri ke belakang gunung, lalu cara bagaimana harus memasang sumbu dinamit agar meledak.
Tiong-hi benar-benar seorang tua yang cermat, dia khawatir di waktu menghadapi musuh mungkin orang yang ditugaskan memasang sumbu obat peledak mengalami nasib malang, maka dia sengaja menambahkan dua orang pembantu buat tugas penting itu.
Malam itu Hong-ting, Tiong-hi dan rombongannya lantas bermalam di Kian-seng-hong situ. Besok paginya Lenghou Tiong mengajak mereka berkeliling memeriksa keadaan pegunungan itu. Jing-hi dan Seng-ko berdua dapat memilih tempat-tempat strategis untuk menanam dinamit serta memasang sumbu obat peledak, begitu pula tempat-tempat penjagaan yang penting. Selain itu dipilih pula empat tempat yang curam sebagai jalan mengundurkan diri jika musuh sudah menyerbu secara besar-besaran. Keempat tempat itu akan dijaga oleh Hong-ting, Tiong-hi, Hong-sing dan Lenghou Tiong sendiri, musuh harus ditahan supaya tidak dapat mendekat, bila semua orang sudah turun ke bawah jurang melalui tali panjang yang dipasang di tempat-tempat curam itu, kemudian barulah keempat tokoh utama mereka akan turun ke bawah. Habis itu tali panjang akan diputuskan supaya musuh tidak mampu mengejar ke bawah.
Petang harinya kembali ada berpuluh orang Bu-tong-pay naik ke atas gunung dengan menyamar sebagai petani, tukang kayu dan sebagainya, di bawah pimpinan Jing-hi dan Seng-ko beramai-ramai mereka mulai mengatur penanaman dinamit. Pada tempat-tempat yang menuju ke atas gunung telah dijaga ketat oleh anak murid Hing-san-pay, orang yang tidak berkepentingan tidak boleh lewat, satu sama lain tidak boleh sembarangan bicara untuk menjaga agar pihak Tiau-yang-sin-kau tidak dapat mengirimkan mata-mata untuk mencari tahu rahasia pertahanan mereka.
Setelah sibuk tiga hari berturut-turut, segala sesuatu telah diatur dengan beres, mereka tinggal menunggu datangnya pihak Tiau-yang-sin-kau. Sementara itu waktunya sudah dekat sebulan sejak pertemuan dengan Yim Ngo-heng, biasanya apa yang dikatakan gembong Mo-kau pasti ditepati, maka pada waktunya tentu dia akan datang.
Dalam beberapa hari Tiong-hi dan kawan-kawannya itu sangat sibuk, sebaliknya Lenghou Tiong malah menganggur. Setiap hari ia selalu menghafalkan kalimah-kalimah lwekang yang diajarkan Hong-ting Taysu itu dan meyakinkannya menurut cara yang diberikan, bila ada bagian-bagian yang tidak paham ia lantas minta petunjuk kepada Hong-ting.
Sore hari itu, Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, The Oh, Cin Koan, dan lain-lain sedang berlatih ilmu pedang di ruangan latihan, Lenghou Tiong mengawasi dan memberi petunjuk-petunjuk kepada anak murid Hing-san-pay itu.
Di antara anak murid itu usia Cin Koan paling muda, tapi daya terimanya paling cepat terhadap inti ilmu pedang yang diajarkan.
"Cin-sumoay sungguh pintar," demikian Lenghou Tiong memuji. "Latihanmu kini sudah banyak maju, selanjutnya...."
Sampai di sini, sekonyong-konyong perutnya terasa sangat kesakitan, seketika langit seperti ambruk dan bumi berputar, kontan ia roboh tak sadarkan diri.
Keruan Gi-ho dan lain-lain terkejut, beramai-ramai mereka memburu maju untuk membangunkannya dan sama bertanya apa yang terjadi.
Lenghou Tiong tahu macam-macam hawa murni di dalam tubuhnya kembali bergolak lagi, celakanya mulut sukar dibuka, susah menerangkan.
Selagi anak murid Hing-san-pay itu gelisah, tiba-tiba terdengar suara angin berkesiur, tertampak dua ekor burung merpati putih terbang masuk ruangan itu.
"Wah!" seru Gi-ho dan kawan-kawannya.
Kiranya, Hing-san-pay banyak memiara merpati pos, dahulu waktu Ting-sian Suthay terkepung musuh di Hokkian, pernah juga dia menggunakan merpati pos untuk minta bala bantuan.
Sekarang kedua ekor merpati yang terbang datang ini adalah lepasan anak murid Hing-san-pay yang berjaga di bawah gunung, di punggung merpati-merpati itu diberi berwarna merah. Maka begitu lihat lantas tahu pihak musuh telah datang.
Sejak orang-orang Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay tiba, para murid Hing-san-pay sama merasa lega karena datangnya bala bantuan yang kuat itu. Siapa tahu pada saat genting sekarang ini mendadak penyakit Lenghou Tiong kumat dan jatuh pingsan, hal ini sungguh di luar dugaan.
"Gi-bun Sumoay, lekas laporkan kepada Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang," seru Gi-jing. Cepat Gi-bun mengiakan dan segera berangkat.
Lalu Gi-jing berkata pula, "Gi-ho Suci, harap engkau membunyikan genta."
Gi-ho mengangguk terus berlari keluar menuju ke menara genta. Tak lama kemudian, terdengarlah suara genta bertalu-talu menggema angkasa, menyusul itu genta-genta besar di berbagai tempat yang terpisah-pisah itu pun dibunyikan.
Sebelumnya oleh Tiong-hi Tojin memang telah ditetapkan bunyi genta sebagai tanda bahaya datangnya musuh, segala sesuatu telah diatur dengan rapi. Maka sekarang mereka pun tidak menjadi kacau, segera tokoh-tokoh Hing-san, Siau-lim dan Bu-tong-pay yang telah mendapat pembagian tugas lantas melakukan tugasnya dan menuju ke tempat masing-masing siap menghadapi musuh.
Menurut rencana, untuk mengurangi jatuhnya korban, maka jalan-jalan penting sejak pinggang gunung hingga puncak Kian-seng-hong, sama sekali tidak diberi penjagaan, bahkan sengaja memberi keleluasaan agar pihak musuh dapat menyerbu ke atas dengan lancar, sesudah di atas puncak gunung barulah musuh akan dilabrak.
Maka setelah bunyi genta berhenti, pegunungan Hing-san serentak juga berubah menjadi sunyi senyap hingga menambahkan tegangnya suasana.
Para jago-jago pilihan dari Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Khong-tong-pay dan lain-lain juga sudah siap sembunyi di tempat-tempat yang dirahasiakan, dengan berdebar-debar mereka menunggu orang-orang Tiau-yang-sin-kau menyerbu ke atas, dan begitu ada tanda perintah, serentak mereka akan menyerbu keluar untuk memotong jalan mundur pihak musuh.
Kisah Sepasang Rajawali 7 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Playboy Dari Nanking 6
^