Pencarian

Imbauan Pendekar 8

Imbauan Pendekar Karya Khu Lung Bagian 8


Lui-ji memandang sekejap, tanpa omong apa-apa ia makan daging bebek itu.
Melihat Pwe-giok dan Lui-ji juga makan dengan nikmatnya, Thi-hoa-nio berucap dengan
tertawa, "Bebek ini memang tidak selezat bebek panggang Peking, tapi cukup untuk
meledakkan perut orang yang makan terlalu bernafsu."
Saat itu Tio Kiang dan Song Kang memang sudah penuh mengisi perut mereka, mendengar
ucapan Thi-hoa-nio itu, mereka menjadi melengak dan curiga.
Benarlah, ketika mereka mengerahkan tenaga dalam, terasa perut seperti ditusuk jarum, sakit
dan perih. Mereka tahu gelagat jelek, segera Tio Kiang meraung, "Keparat orang she Yang,
sampai hati kau kerjai kawan sendiri dan mengkhianati perintah Bengcu"!"
Co Cu-eng lebih cerdik, sejak tadi dia belum sempat makan, demi melihat keadaan kedua
rekannya itu, serentak ia mendahului angkat langkah seribu.
Akan tetapi baru saja tubuhnya melayang keluar gubuk, mendadak Yang Cu-kang
membentak, "Lari kemana!" Berbareng kedua tangannya bekerja dengan cepat, belum lagi
292 Tio Kiang dan Song Kang sempat melakukan perlawanan, tahu-tahu mereka tercengkeram
seperti anak ayam dicengkeram elang, sekali lempar kedua orang itu disambitkan ke arah lari
Co Cu-eng. Sungguh dahsyat luar biasa daya lempar kedua sosok tubuh itu, baru saja Co Cu-eng sempat
melompat keluar halaman, dua sosok tubuh kawan sendiri sudah menumbuk punggungnya,
dia menjerit ngeri dan roboh terkapar. Song Kang dan Tio Kiang juga terbanting dan tak bisa
bergerak lagi. Rupanya pada waktu mencengkeram mereka, sekaligus Yang Cu-kang telah meremas Hiat-to
maut mereka sehingga binasa seketika.
Selesai membereskan ketiga orang itu, Yang Cu-kang tepuk-tepuk tangannya, lalu berduduk
kembali, katanya, "Aku ini memang orang busuk, jangan Ji Hong-ho harap akan dapat
memperalat diriku." Lui-ji tertawa, katanya, "Kau ini sungguh orang aneh. Kalau orang lain sedapatnya ingin
orang lain memujinya sebagai orang baik, hanya kau saja yang justeru lebih suka dimaki
orang sebagai telur busuk, makin sering dimaki orang makin senang kau."
"Aku ini memang telur busuk, biarpun setiap orang bilang aku ini baik, memangnya aku dapat
berubah menjadi telur baik?" ujar Yang Cu-kang.
Dengan tertawa Thi-hoa-nio ikut berkata, "Sejak kecil dia sudah biasa dimaki orang, kalau
tiga hari tidak dimaki, tentu tulangnya akan terasa gatal dan pegal, lantaran inilah aku mau
menjadi isterinya, sebab aku paling suka memaki orang dan sekarang setiap hari aku dapat
memaki dia secara gratis."
Lui-ji tertawa, "Wah, tampaknya kau mendapatkan suami yang tepat, dapat memaki lakimu
setiap hari dan lakimu pasti tidak balas memaki, sungguh besar rejekimu dapat memperoleh
laki semacam ini." "Eh, kalau nona merasa iri, kenapa tidak menikah sekalian denganku," ujar Yang Cu-kang
dengan tertawa. "Tapi sayang kau sudah berbini, kalau tidak tentu aku..."
"Tambah bini tambah rejeki, semakin banyak bini semakin baik," seru Yang Cu-kang sambil
terbahak. "Akan tetapi sayang, aku ini tidak suka memaki orang," kata Lui-ji.
"O, kiranya nona juga serupa diriku, lebih suka dimaki orang," tanya Yang Cu-kang.
"Wah, baru saja kukatakan kau ini seorang Kuncu, sekarang penyakitmu sudah kumat lagi?"
omel Lui-ji. "Aku memang bukan seorang Kuncu, siapa bilang aku ini seorang Kuncu?" jawab Cu-kang
dengan serius. "Apabila aku ini seorang Kuncu, sekarang kuterima upah dari Ji Hong-ho,
293 seharusnya aku setia kepada perintahnya dan bekerja baginya. Tapi aku justeru terima upah
dari dia tapi bekerja bagi orang lain, apakah ini perbuatan seorang Kuncu?"
"Jika demikian, bilamana kami kau bunuh barulah kau terhitung seorang Kuncu?" tanya Luiji.
"Juga belum tentu," ujar Yang Cu-kang. "Cuma sedikitnya perlu ku tutuk Hiat-to kalian, ku
masukkan kalian ke dalam peti, lalu ku antarkan ke tempat Ji Hong-ho."
Bicara tentang peti, tanpa terasa pandangan Lui-ji jadi tertarik kepada kedua peti yang dibawa
datang oleh Tio Kiang dan Song Kang tadi. Kedua peti itu berukuran cukup besar dan
memang dapat memuat satu orang.
"Eh, apakah isi kedua peti itu?" tanya Lui-ji.
"Kedua peti adalah kado Ji Hong-ho yang minta ku antarkan kepada Pek-hoa-pangcu Kunhujin,"
tutur Cu-kang. "Kado" Kado apa?" tanya Lui-ji pula.
"Apa salahnya jika nona menerkanya?"
"Aku bukan Khong Beng, mana dapat kuterka isi kedua peti ini?"
"Isi peti itu sudah lama dilihat oleh nona..."
Tiba-tiba Pwe-giok menimbrung dengan tertawa, "Eh, bagaimana kalau Cayhe ikut menebak
teka-teki ini?" "Boleh saja," sahut Yang Cu-kang.
"Isi peti itu adalah manusia."
"Oo"!" Yang Cu-kang bersuara singkat.
"Bahkan terdiri dari seorang lelaki dan seorang perempuan."
"Oo"!" Yang Cu-kang bersuara pula.
"Mereka adalah Kwe Pian-sian dan Ciong Cing," demikian Pwe-giok menambahkan.
Gemerdep sinar mata Yang Cu-kang, ia tatap Pwe-giok lekat-lekat, selang sejenak barulah ia
menghela nafas panjang, ucapnya, "Pantaslah Ji Hong-ho bertekad harus melenyapkan
dirimu, bilamana aku mempunyai musuh cerdik pandai semacam kau, mungkin akupun tidak
enak makan dan tidak nyenyak tidur."
"O, jadi isi peti memang betul orang she Kwe itu?" tanya Lui-ji.
294 "Ya, sedikitpun tidak salah," sahut Cu-kang. "Tempo hari, ketika timbul kebakaran di Li-tohtin,
akhirnya mereka jatuh pingsan di tengah lautan api, untung mereka diselamatkan lalu diisi
ke dalam peti seperti babi panggang."
Sembari mendengarkan cerita Yang Cu-kang itu, segera Lui-ji mendekati peti dan bermaksud
membukanya. Tapi sekali berkelebat, tahu-tahu Yang Cu-kang sudah berduduk di atas peti,
ucapnya dengan perlahan, "Peti ini tidak boleh disentuh olehmu, kecuali Kun Hay-hong
sendiri, siapapun tidak boleh membukanya."
"Siapa bilang tidak boleh?" teriak Lui-ji dengan mendelik.
"Janganlah nona mendelik padaku, larangan ini bukan kehendakku," kata Yang Cu-kang
dengan tertawa. "Bukan kau, habis siapa?" tanya Lui-ji.
"Siapa lagi, tentulah Bu-lim Bengcu sekarang, Ji Hong-ho, Ji-losiansing," jawab Cu-kang.
"Hah... kenapa sekarang kau tunduk lagi kepada perintahnya?"
"Ehmm!" Yang Cu-kang hanya mengangguk.
Seketika Lui-ji melonjak bangun, teriaknya, "Yang Cu-kang, coba jawab, sesungguhnya kau
ini kawan kami atau antek Ji Hong-ho?"
"Adakah faedahnya menjadi kawan kalian?" tanya Yang Cu-kang acuh tak acuh.
"Sudah tentu banyak faedahnya, misalnya..." tapi Lui-ji jadi sukar untuk menerangkan.
"Haha, jika nona tak dapat menerangkan, biarlah ku wakili dirimu sebagai juru bicara," seru
Yang Cu-kang dengan tertawa sambil menekuk jarinya. "Pertama, kalian sanggup membantu
aku makan minum. Faedah kedua, jika aku lagi iseng, boleh ku pergi kemanapun untuk
menolong kalian. Faedah ketiga, haha... pokoknya banyak sekali faedahnya dan sukar untuk
diceritakan satu per satu. Akan tetapi aku lebih suka tiada satupun mendapatkan faedah itu."
"Jadi akhirnya kau toh mengaku dirimu adalah antek Ji Hong-ho," ujar Lui-ji.
"Seorang baik-baik seperti diriku menjadi bos besar saja cukup memenuhi syarat, untuk apa
aku menjadi antek orang lain?" jawab Cu-kang dengan tertawa.
"Habis, sesungguhnya apa maksud tujuanmu?"
"Aku tetap aku, bukan kawan siapapun, juga tidak menjadi antek siapapun. Apa yang
kulakukan tanggung jawabku sendiri, ingin berbuat apapun boleh kulakukan sesukaku."
"Jadi urusan apapun yang berfaedah bagimu lantas kau lakukan, begitu?"
"Tepat! Sedikitpun tidak salah, ucapan nona sungguh kena di dalam hatiku," seru Yang Cukang
sambil bergelak. Lui-ji tidak sanggup berucap pula saking dongkolnya.
295 Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara roda kereta yang berkumandang dari kejauhan.
"Aha, meski aku tidak punya kawan, tapi tidak sedikit tetamuku," kata Cu-kang dengan
tertawa. Sembari bicara ia terus melayang keluar, sekali mengitar hanya sekejap saja ketiga
sosok mayat di luar sana telah di depak ke tempat gelap, baru lenyap suaranya dia sudah
duduk kembali di tempat semula seperti tidak pernah bergerak sedikitpun.
"Yang datang ini apakah juga mengantarkan kado?" jengek Lui-ji, lalu sambungnya, "Tapi
sayang, seperti mak inang yang mengasuh anak, akhirnya anak itu tetap punya orang."
Dia bicara sambil berdiri di ambang pintu, kini dapat dilihatnya seorang muncul dengan
mendorong sebuah gerobak beroda satu dari liku jalan pegunungan sana. Di atas gerobak
memang betul termuat dua buah peti, pendorong gerobak itu hanya berlengan satu, sebelah
lengannya sudah buntung. Akan tetapi gerobak itu dapat dikuasainya dengan stabil, bahkan
cukup cepat lajunya. Mendadak Thi-hoa-nio mengikik tawa.
"Kenapa kau tertawa gembira?" tanya Lui-ji dengan mendelik.
"Dia mendapatkan suami semacam diriku, kalau dia tidak gembira lantas siapa yang akan
gembira?" ujar Yang Cu-kang.
"Hm, kukira terlalu dini dia bergembira," jengek Lui-ji.
"Aku bukan gembira, melainkan merasa rasa geli," kata Thi-hoa-nio.
"Apa yang menggelikan?" tanya Lui-ji.
"Coba lihat," jawab Thi-hoa-nio sambil mencibir keluar. "Kanglam-tayhiap Ong Uh-lau yang
gagah perkasa dan terhormat kini ternyata telah menjadi tukang gerobak, apakah tidak lucu
dan menggelikan?" "Perbuatannya ini hanya sekedar menebus dosa saja," ujar Yang Cu-kang.
"Menebus dosa?" Thi-hoa-nio menegas.
"Ya, sebab dia suka membual, tapi seorang anak ingusan seperti Tong Giok saja tak dapat
dijaganya, untuk kesalahannya itu mestinya akan kutabas pula sebelah tangannya," kata Cukang.
Dalam pada itu gerobak dorong satu roda itu sudah masuk halaman, Ong Uh-lau juga sudah
melihat jelas Cu Lui-ji dan Ji Pwe-giok yang berada di dalam rumah, seketika air mukanya
berubah pucat, tapi cepat pula ia tertawa, katanya, "Aha, tidak tersangka Ji-kongcu juga
berada di sini, selamat bertemu!"
Dengan tertawa genit Thi-hoa-nio menegur, "Masakah yang kau kenal cuma Ji-kongcu saja
dan tidak kenal lagi padaku?"
296 Saat itu sebelah kaki Ong Uh-lau baru melangkah masuk ke dalam rumah, ia memandang
sekejap kepada Thi-hoa-nio, seketika sebelah kakinya itu ditarik kembali keluar, mukanya
juga berubah pucat, serunya dengan parau, "Hah, Khing hoa-samniocu!"
"Hihi, boleh juga daya ingatmu!" kata Thi-hoa-nio dengan tertawa.
Tanpa terasa Ong Uh-lau memandang lengan baju sendiri yang kosong melompong itu, lalu
berucap sambil menyeringai, "Kebaikan nona terhadapku, selama hidup tentunya tak dapat
kulupakan, bukan?" "Aku bukan nona lagi, tapi nyonya," sahut Thi-hoa-nio.
"Oo, Ji-hujin?" ucap Ong Uh-lau sambil mengerling ke arah Ji Pwe-giok.
Thi-hoa-nio menggeleng, dan Yang Cu-kang lantas berkata dengan tertawa, "Bukan Ji-hujin
melainkan Yang-hujin."
Terbelalak mata Ong Uh-lau, sampai sekian lama ia melenggong, mendadak ia membungkuk
tubuh sebagai tanda hormat dan berkata, "Kionghi, kionghi, selamat, selamat! Yang-Kongcu
menikah, kenapa tidak mengirim kartu undangan padaku" Wah, aku harus disuguh arak
bahagia kalian!" "Arak bahagia baru saja habis terminum, yang masih tersisa adalah satu porsi Ang-sio-paykut
(tulang iga saus manis), jika sudi, silahkan minum saja satu-dua cawan," kata Yang Cukang,
ia sendiri lantas mengambilkan sepasang sumpit dan ditaruh di depan Ong Uh-lau.
Kalau Thi-hoa-nio yang mengambilkan sumpit, mungkin matipun Ong Uh-lau tidak berani
menggunakannya, tapi Yang Cu-kang sendiri yang mengambilkan sumpitnya, Ong Uh-lau
tidak curiga sedikitpun, bahkan rada bangga karena dilayani tuan rumah sendiri. Berulang kali
ia mengucapkan terima kasih, katanya sambil tertawa, "Ehm, Ang-sio-pay-kut adalah
kegemaranku, satu macam makanan ini sudah cukup bagiku, terima kasih. Aku tidak sungkan
lagi." Tadinya Lui-ji kuatir orang tidak dapat dijebak, siapa tahu tanpa ragu ia terus pegang sumpit
dan mulai makan, diam-diam Lui-ji merasa girang dan juga heran.
Padahal Ong Uh-lau terkenal licik dan licin, menghadapi keadaan yang lain daripada biasanya
ini seharusnya dia waspada dan berjaga-jaga, tapi sekarang dia sedemikian percaya kepada
Yang Cu-kang, hal ini menandakan hubungan antara Yang Cu-kang dan Ji Hong-ho pasti lain
daripada yang lain, tentunya sebelumnya Ji Hong-ho telah memberi pesan padanya agar
segala urusan harus tunduk kepada perintah Yang Cu-kang.
Ji Hong-ho sendiri juga sangat licin dan sangat cermat memperhitungkan segala sesuatunya,
kalau dia sedemikian mempercayai Yang Cu-kang, tentu juga ada alasannya. Akan tetapi
tindak tanduk Yang Cu-kang justeru luar biasa, sebentar baik lain saat jahat sehingga sukar
diraba, sekarang bahkan Ong Uh-lau juga akan dibinasakan olehnya, sesungguhnya apa
maksud tujuannya dengan bertindak demikian"
Sesungguhnya ada hubungan apa antara dia dengan Ji Hong-ho" Dan mengapa Ji Hong-ho
sedemikian percaya padanya"
297 Sungguh makin dipikir makin bingung Cu Lui-ji.
Didengarnya Yang Cu-kang lagi tanya kepada Ong Uh-lau, "Peti yang kau bawa kemari
tentunya tidak keliru bukan?"
"Kongcu jangan kuatir, Cayhe sudah salah satu kali, masakah berani salah untuk kedua
kalinya?" jawab Ong Uh-lau. Ia menenggak araknya lalu menyambung pula, "Cayhe telah
melaksanakan pesan Kongcu dan menemui Hay-kongcu di tempat yang ditentukan, lalu Haykongcu
menyerahkan kedua peti ini kepadaku. Tanpa melihatnya terus saja Cayhe
mengangkutnya kemari."
"Apakah Hay-kongcu tidak titip surat untukku?" tanya Yang Cu-kang.
"Kata Hay kongcu, mendadak ia melihat jejak seorang yang mencurigakan, maka harus
diselidiki hingga jelas, sebab itulah dalam beberapa hari ini mungkin Kongcu tak dapat
bertemu dengan beliau."
Yang Cu-kang berkerut kening dan berpikir sejenak, tiba-tiba ia tertawa dan berkata,
"Pekerjaanmu ternyata dapat kau laksanakan dengan cukup memuaskan, dan sekarang
bilamana kau ingin memberi pesan terakhir apa-apa boleh kau katakan saja padaku."
Ucapan ini membuat Ong Uh-lau melengak, wajahnya yang berseri-seri tadi seketika lenyap,
ia menegas dengan suara parau, "Pesan terakhir?"
"Ya, setelah kau makan racun dari Siau-hun-kiong, masa kau kira dapat hidup lebih lama
lagi?" sahut Yang Cu-kang dengan tak acuh.
Tubuh Ong Uh-lau bergetar hebat, cawan arak yang dipegangnya hampir saja jatuh ke lantai,
ucapnya dengan terputus-putus, "Ah, jangan... janganlah Kongcu bergurau."
"Siapa bergurau dengan kau?" jengek Yang Cu-kang sambil menarik muka.
Tubuh Ong Uh-lau menggigil dan muka pucat seperti mayat, mendadak ia mendepak meja
sehingga mangkuk piring berantakan, teriaknya dengan suara parau, "Bengcu menaruh
kepercayaan penuh padamu, tapi kau... kau..." mendadak tenggorokannya seperti tersumbat,
sekonyong-konyong tangannya menghantam ke belakang, mengincar batok kepala Cu Lui-ji.
Rupanya dia menyadari dirinya bukan tandingan Yang Cu-kang, maka Lui-ji yang diincarnya.
Serangan ini cukup nekat, tujuannya hanya untuk mencari tumbal saja daripada mati konyol.
Sejak tadi dia melotot dan menghadapi Yang Cu-kang, orang lain sama sekali tidak
menyangka dia akan menyerang Cu Lui-ji, apalagi serangan cepat dan keji, dapat
dibayangkan betapa bahayanya.
Pengalaman tempur Lui-ji juga masih cetek, keruan ia terkejut akan serangan itu, tampaknya
dia tidak sempat berkelit. Syukurlah pada detik terakhir Pwe-giok telah melompat maju,
sebelah tangannya juga menghantam sekuatnya ke arah Ong Uh-lau.
298 Terdengarlah suara "blang" yang keras, kedua tangan beradu, tubuh Ong Uh-lau tergetar
mencelat, waktu ia jatuh ke bawah, sementara itu racun dalam tubuhnya sudah bekerja,
mukanya kelihatan putih seperti perak laksana orang yang mendadak berbedak.
Yang Cu-kang memandang Pwe-giok sekejap, ucapnya dengan tersenyum, "Anda adalah
seperti anak panah yang hampir jatuh, tak tersangka masih menyimpan tenaga dalam sekuat
ini, tampaknya selama ini kami terlalu menilai rendah dirimu."
"Ya, jangan kau pandang Ji-kongcu ini lemah lembut, padahal tenaga saktinya jarang ada
bandingannya di dunia Kangouw," sambung Thi-hoa-nio dengan tertawa.
Sementara itu Cu Lui-ji sudah dapat menenangkan diri, cepat ia berkata, "Sesungguhnya apa
isi peti yang diantarnya kemari itu?"
Pertanyaan ini sudah lama ditahannya di dalam hati, begitu ada kesempatan segera
dilontarkannya. Yang Cu-kang tertawa, katanya, "Peti ini kalau tidak kubuka dan diperlihatkan padamu,
mungkin selamanya kau akan dendam padaku."
Sembari bicara peti pun sudah dibuka olehnya.
Ketika melihat isi peti itu, serentak Lui-ji menjerit kaget dan tidak dapat bicara lagi.
Yang terisi dalam peti ternyata Ki Leng-hong adanya.
Betapapun sabar dan tenangnya, tidak urung Pwe-giok juga terkejut.
Tertampak mata Ki Leng-hong terpejam rapat, mukanya pucat, seperti kepiting saja dia
diringkus dan dimasukkan ke dalam peti, sampai saat ini dia masih dalam keadaan pingsan.
Padahal biasanya nona Ki ini berkuasa dan suka memerintah, setiap orang di dunia ini seolaholah
dapat dipermainkan olehnya. Sungguh tak tersangka oleh Pwe-giok bahwa Ki Leng-hong
juga bisa jatuh habis-habisan seperti sekarang ini.
Dengan sinar mata gemerdep Yang Cu-kang bertanya, "Apakah Ji-kongcu kenal dia?"
Pwe-giok tersenyum getir dan mengangguk, katanya, "Ya, kenal."
Lui-ji menghela nafas gegetun dan berkata, "Mestinya dia berjanji dengan kami akan bertemu
lagi di Tong-keh-ceng, aku memang lagi heran mengapa dia tidak muncul, siapa tahu dia telah
berubah menjadi begini."
"Dengan ilmu silatnya yang tinggi dan kecerdasannya, betapapun Ong Uh-lau pasti bukan


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tandingannya, entah mengapa dia..."
Yang Cu-kang memotong sebelum habis ucapan Pwe-giok itu, "Tidakkah Ji-heng dengar tadi
bahwa peti ini diterima oleh Ong Uh-lau dari seorang Hay-kongcu?"
Biji mata Cu Lui-ji berputar, serunya, "He, Hay-kongcu" Maksudmu Hay Tong-jing?"
299 Yang Cu-kang seperti terkejut dan heran, tanyanya, "Kaupun kenal Hay Tong-jing?"
"Dengan sendirinya kukenal dia," jawab Lui-ji. "Dan kau sendiri, cara bagaimana bisa kenal
dia?" "Sejak berumur satu sudah kukenal dia," tutur Yang Cu-kang dengan tertawa.
Lui-ji melengak, "Sejak umur satu" Apakah kalian...?"
"Dia adalah Suhengku," tukas Yang Cu-kang.
Untuk sejenak Lui-ji melengong, katanya kemudian dengan tertawa, "Hah, pantas sifat kalian
rada-rasa sama, mata kalian seolah-olah tumbuh di atas kepala, siapapun diremehkan oleh
kalian, kiranya kalian memang berasal dari satu sarang..."
Dia mengikik tawa dan urung mengucapkan "sarang anjing".
Pwe-giok menghela nafas, "Ilmu silat Hay-heng pernah kulihat, pantaslah nona Ki bukan
tandingannya. Tapi ada permusuhan apa pula antara kalian dengan nona Ki ini?"
"Tidak ada permusuhan apapun," jawab Yang Cu-kang. "Hanya saja Ji Hong-ho ingin
mengantar pulang dia ke Sat-jin-cengcu."
"Hm, orang semacam Hay Tong-jing itu juga sudi menjadi antek Ji Hong-ho?" jengek Lui-ji.
"Jika kami berasal dari satu sarang, dengan sendirinya kamipun bernafas dari satu lubang,"
ujar Yang Cu-kang dengan tertawa.
"Bila kalian toh harus tunduk kepada perintah Ji Hong-ho, mengapa pula kau bunuh Ong Uhlau
dan lain-lain ini?" tanya Lui-ji.
"Sebab aku senang," sahut Cu-kang dengan tertawa. Baru habis ucapannya, mendadak air
mukanya berubah dan membentak perlahan, "Siapa itu?"
Setelah ucapan Yang Cu-kang itu selesai barulah Lui-ji mendengar ada suara kesiur angin dari
jauh telah mendekat, hanya sekali melayang saja sudah tiba.
Selagi Lui-ji terkejut oleh ginkang orang yang maha tinggi ini, "blang" tahu-tahu seorang
menerjang masuk dengan membobol jendela. Siapa lagi dia kalau bukan Hay Tong-jing.
Kejut dan girang Lui-ji, serunya dengan tertawa, "Hah, baru saja dibicarakan, seketika
orangnya datang, apakah kau..." mendadak ucapannya terhenti, sebab baru sekarang
dilihatnya baju Hay Tong-jing yang hitam itu penuh berlepotan darah, sebaliknya mukanya
pucat pasi. Yang Cu-kang tidak bicara apa-apa, ia terus merobek baju orang, terlihat tubuh Hay Tongjing
juga berlumuran darah, sedikitnya ada belasan tempat luka.
300 Padahal betapa tinggi ilmu silat Hay Tong-jing sudah sama diketahui oleh Pwe-giok dan Luiji,
sekarang dia juga dilukai orang, sungguh Lui-ji hampir tidak percaya kepada matanya
sendiri. Mau-tak-mau berubah juga air muka Yang Cu-kang, dengan suara tertahan ia tanya, "Siapasiapa
saja yang melukaimu?"
Dia tidak bertanya "siapa", melainkan "siapa-siapa", sebab ia yakin kalau musuh cuma satu
orang saja tidak mungkin mampu melukai Hay Tong-jing.
Kedua tinju Hay Tong-jing terkepal erat-erat, sambil mengertak gigi ia berkata, "Ialah..."
Meski bibirnya bergerak, tapi suaranya tak terdengar.
"Siapa" Siapa dia?" desak Yang Cu-kang.
Bibir Hay Tong-jing tampak bergerak lagi dua tiga kali, lalu "bluk", ia jatuh terkulai.
Maklumlah lukanya sangat parah, sebenarnya sejak tadi tidak tahan lagi, hanya setitik
tekadnya ingin hidup itulah, dengan sisa tenaga terakhir dapatlah ia lari ke sini. Kini setelah
bertemu dengan sanak keluarga sendiri, lega perasaannya dan badan juga tidak tahan lagi.
Cepat Thi-hoa-nio memapahnya ke atas kursi dan memeriksa lukanya.
Sedangkan Yang Cu-kang hanya berdiri terpaku di tempatnya, sampai sekian lamanya
mendadak ia melotot dan berteriak, "Tidak peduli siapa saja yang melukai dia, biarpun dia lari
ke ujung langit juga akan kususul ke sana."
"Aku sudah datang, untuk apa disusul ke sana"!" mendadak seorang menanggapi.
Suaranya sangat dingin, tapi juga tajam melengking sehingga membuat telinga orang yang
mendengarnya merasa tidak enak.
Umumnya suara orang tentu bernada entah tinggi entah rendah, entah cepat entah lambat, tapi
suara orang ini kedengaran datar dan hambar saja, monoton begitulah, membuat
pendengarnya merasa kesal dan bosan.
Muka orang ini tidak terlalu jelek, juga tidak terlalu buas, lebih-lebih tiada sesuatu cacat
badaniah. Tapi entah mengapa, siapapun yang melihatnya akan merasa ngeri dan menggigil.
Alisnya sangat tebal, matanya sangat besar, bahkan boleh dikatakan cukup ganteng dan cakap,
malahan ujung mulutnya selalu mengulum senyum, sekilas pandang bahkan cukup menarik.
Tapi bila dipandang secara cermat, sekujur badannya terasa kaku dan dingin, tiada rasa
senyuman sedikitpun. Jadi senyuman itu seolah-olah cuma dibuat-buat belaka, seperti orang
lain yang mengukir pada wajahnya. Sebab itulah senyuman aneh itu tetap menghiasi
mukanya, pada waktu marah tersenyum, pada waktu duka juga tersenyum, waktu membunuh
orang tersenyum, waktu makan juga tersenyum, di dalam kakus jelas juga tersenyum, bahkan
waktu tidur juga tetap tersenyum.
301 Jadi senyuman yang abadi, tak berubah selamanya.
Dia memakai baju hitam yang ketat, sangat pas dengan potongan tubuhnya, memakai ikat
pinggang warna merah darah, pada ikat pinggangnya terselip sebilah golok melengkung,
golok sabit. Bagian gagang golok juga terhias kain sutera merah, tapi batang goloknya
berwarna hitam pekat. Meski terkejut, segera Yang Cu-kang dapat menenangkan hatinya, katanya sambil melototi
pendatang itu, "Jadi kau yang melukainya?"
"Betul, Suhengmu dibunuh oleh Lengkui (setan gaib)," jawab orang itu dengan tersenyum.
"Lengkui" Jadi kau inilah Lengkui?" Tanya Yang Cu-kang menegas.
"Ya," orang itu tersenyum.
"Bagus, suruh pembantumu keluar semua," kata Cu-kang.
"Lengkui membunuh orang tidak perlu pembantu," ucap orang itu dengan tersenyum.
"Melulu kau sendiri dapat melukainya?" terkesiap juga Yang Cu-kang.
"Ya, cukup Lengkui seorang saja."
Keterangan ini membikin semua orang terkejut pula, bahwa orang ini dapat melukai Hay
Tong-jing yang lihay, betapa tinggi ilmu silatnya jelas sukar diukur.
Dalam keadaan demikian barulah Lui-ji membuktikan ketenangan Yang Cu-kang juga luar
biasa dan sukar dibandingi siapapun.
"Siapa yang menyuruh kau ke sini?" tanya Cu-kang pula.
"Lengkui sendiri," jawab orang itu.
"Ada permusuhan apa antara kau dengan kami?"
"Lengkui tidak ada permusuhan apapun dengan kalian."
Orang itu selalu menyebut dirinya sebagai "Lengkui" dan tidak pernah menggunakan istilah
"aku". "Sesungguhnya siapa kau?" bentak Cu-kang.
Mendadak Lengkui menyebut dua bait syair kuno yang sama sekali bukan merupakan
jawaban atas pertanyaan tadi, tapi setelah mendengar syair itu, air muka Yang Cu-kang
berubah hebat. "Lengkui melepaskan dia lari ke sini, tujuannya justeru hendak membunuh kau," kata pula
orang yang mengaku sebagai Lengkui itu.
302 Habis berkata, mendadak bayangan tubuhnya berkelebat, entah kapan golok yang terselip
pada ikat pinggangnya sudah terhunus, dan entah cara bagaimana ujung golok juga sudah
mengancam tenggorokan Yang Cu-kang.
Gerakan ini sungguh cepat luar biasa dan sukar untuk dibayangkan. Tanpa terasa Thi-hoa-nio
menjerit kaget. "Creng," terdengar suara nyaring berdenging memekak telinga. Entah sejak kapan Yang Cukang
sudah memegang dua batang pedang pendek dan tahu-tahu kedua pedang pendek itu
bersilang untuk menangkis tabasan golok sabit Lengkui.
Gerak tangkisan pedangnya juga cepat luar biasa dan sukar dibayangkan.
Dalam sekejap sinar golok yang hitam itu laksana gumpalan awan terus memburu ke arah
Yang Cu-kang, di tengah gumpalan awan hitam terkadang juga berkelebat cahaya kilat yang
menyerang Lengkui, meski golok seperti awan hitam dan pedang laksana kilat, namun
langkah kedua orang tidak bergeser, bahkan tidak terdengar lagi suara benturan senjata.
Bagi pandangan orang biasa, pertarungan kedua orang itu lebih mirip orang yang lagi menari,
hakikatnya bukan lagi bertempur. Tapi Pwe-giok tahu telah terjadi pertarungan sengit, kecuali
kedua orang yang bersangkutan mungkin sukar dibayangkan orang lain betapa hebat gerakan
mereka. Kini jarak kedua orang itu tidak ada lima kaki jauhnya, dengan senjata mereka cukup untuk
mencapai sasarannya dan lawan dapat tertusuk tembus, tapi anehnya serang menyerang
mereka justeru tidak mengenai sasarannya.
Yang paling aneh adalah kaki kedua orang sama-sama tidak menggeser sedikitpun, dari sini
terbukti bahwa setiap serangan kedua pihak sama-sama jitu dan cermatnya, asalkan
ketinggalan sedetik saja segera akan banjir darah dan terkapar.
"Mengapa kedua orang ini hanya berdiri tanpa bergerak, sungguh sebal," kata Lui-ji tak sabar.
Tapi Pwe-giok sangat prihatin, ucapnya, "Sebab serangan kedua orang sama-sama secepat
kilat, begitu Lengkui menebas dengan goloknya, kontak Yang Cu-kang balas menusuk
dengan pedangnya, terpaksa Lengkui ganti serangan untuk menyelamatkan diri, menyusul ia
terus menyerang lagi dan terpaksa Yang Cu-kang juga harus bertahan. Sebab itulah meski
keduanya kelihatan serang menyerang, tapi sebenarnya tak dapat melukai lawan."
Lui-ji terkesiap, "Jika demikian, asal lengah sedikit saja gerak serangan Yang Cu-kang, tentu
dia akan termakan oleh satu kali tabasan golok."
Pwe-giok memandang luka yang memenuhi tubuh Hay Tong-jing, katanya, "Mungkin tidak
cuma satu kali." Melihat luka Hay Tong-jing itu, dapatlah Lui-ji membayangkan serang menyerang mereka
pasti akan berbahaya, tanpa terasa tangannya berkeringat dingin, ia tercengang sejenak, lalu
berucap pula dengan menarik nafas, "Darimanakah datangnya makhluk aneh ini, mengapa
kungfunya setinggi ini?"
303 "Ya, baru sekarang juga ku tahu betapa luasnya dunia kangouw dan orang kosen macam
apapun ada," ujar Pwe-giok dengan gegetun.
Tiba-tiba Lui-ji mendesis, "Meski sekarang ku tahu Yang Cu-kang bukan orang baik, tapi
jelek2 dia pernah menolong kita. Bagaimana kalau kita juga membantunya sekarang?"
"Kaupun ingin turun tangan?" tanya Pwe-giok.
"Makhluk aneh ini meski berdiri di situ tanpa bergeser, dia hanya memperhatikan golok lawan
di depan, kalau kita mengitar ke belakangnya dan menyerangnya, tentu dia takkan tahu dan
tak berjaga," bisik Lui-ji.
Pwe-giok tidak bersuara, ia memutar ke belakang Lengkui, dijumputnya sebatang sumpit,
dengan cara menyambitkan anak panah ia timpuk punggung Lengkui. Terdengar suara "cring"
pula, suara nyaring mendenging.
Entah sejak kapan Lengkui dan Yang Cu-kang sudah bertukar tempat, waktu sumpit yang
disambitkan Pwe-giok itu dicari, ternyata sudah terputus-putus menjadi tujuh potong dan
menancap di tanah seperti paku.
Sama sekali Lui-ji tidak tahu cara bagaimana sumpit itu bisa tertabas putus.
"Nah, bagaimana?" tanya Pwe-giok sambil memandang Lui-ji.
Karuan Lui-ji hanya melongo saja dan tak dapat menjawab.
Di tengah sinar pedang dan cahaya golok, kelihatan air muka Yang Cu-kang semakin kelam,
sebaliknya wajah si Lengkui tetap mengulum senyum serupa waktu datang tadi, sedikitpun
tidak berubah. Kini Pwe-giok dapat menilai bila pertarungan ini berlangsung terus, jelas Yang Cu-kang lebih
banyak celaka daripada selamatnya.
Kalau bicara ilmu silat, kedua orang kelihatan setali tiga uang alias sama kuatnya. Tapi bila
pertarungan berlangsung lama, betapapun hati Yang Cu-kang kurang mantap.
Betapapun tenangnya Yang Cu-kang bukan orang tanpa perasaan, bila teringat olehnya
Suheng sendiri terluka parah, ilmu silat isterinya rendah, kalau dirinya kalah, akibatnya
sukarlah dibayangkan. Dan kalau teringat hal-hal demikian, tentu saja pikirannya rada terganggu, dan karena
ketenangannya terganggu, cara bertempurnya tentu saja terpengaruh, sedikit lambat saja gerak
serangannya akibatnya tentulah fatal.
Sebaliknya Lengkui tampaknya cuma sebuah raga yang kosong, seperti cuma sesosok mayat
hidup belaka, kalau dia juga punya perasaan dan bisa gelisah, rasanya tidak ada yang mau
percaya. Mungkin lantaran demikian inilah, maka Hay Tong-jing dapat dilukai oleh Lengkui.
304 Mendadak terdengar Yang Cu-kang menarik nafas panjang, tahu-tahu ia melayang ke atas.
Jelas iapun menyadari bilamana pertarungan ini diteruskan pasti takkan menguntungkan,
maka sekarang ia hendak berganti siasat.
Siapa tahu, baru saja tubuhnya mengapung ke atas, menyusul Lengkui juga melayang ke atas
sehingga kedua orang kembali saling serang beberapa kali di udara. Setelah turun ke bawah,
kedua orang tetap berhadapan dalam jarak dekat.
Yang Cu-kang ternyata tidak dapat berbuat apa-apa, maklum golok lawan terlalu cepat,
terpaksa ia menangkis setiap serangan dan pada detik yang masih luang ia balas menyerang,
dengan demikian barulah ia dapat mematahkan serangan musuh, jadi sama sekali tidak ada
peluang lain baginya untuk bergerak.
Kini bukan hanya Yang Cu-kang sendiri, sampai Lui-ji juga berkeringat saking tegangnya.
Thi-hoa-nio juga pucat dengan badan gemetar.
Pada saat itulah mendadak Ji Pwe-giok melompat keluar rumah malah.
Meski Lui-ji yakin anak muda itu bukan seorang pengecut yang mencari selamat sendiri pada
saat gawat, tapi dia lari keluar dalam keadaan demikian, sungguh Lui-ji tidak tahu apa
maksudnya. Meski pertarungan yang berlangsung di depan mata ini sangat hebat, namun hatinya sudah
melayang ikut kepergian Ji Pwe-giok, biarpun pedang dan golok kedua orang yang bertempur
itu dapat terbang sendiri juga tidak dihiraukannya lagi.
Syukurlah hanya sekejap kemudian Pwe-giok sudah lari masuk kembali, kini tangannya sudah
bertambah dengan sebatang pohon kecil yang dicabutnya bersama akar dan berikut daunnya.
Setengah tahun yang lalu, waktu menghadapi berpuluh tokoh Kun-lun-pay dan Tiam-jong-pay
yang mengubernya masuk ke Sat jin-ceng dulu, dia menggunakan tiang gardu untuk
menghalau para pengeroyok itu. Kini dilihatnya ilmu golok Lengkui yang aneh dan ajaib itu,
tiba-tiba timbul pikirannya akan menggunakan akal "dengan berat mengalahkan kelincahan".
Maka ia lantas berlari keluar dan mencabut sebatang pohon yang bulatan batangnya sebesar
mangkuk. Walaupun Lui-ji sudah tahu tenaga Pwe-giok sangat besar, tapi tak terduga dalam keadaan
letih begitu ia masih sanggup mencabut sebatang pohon, seketika ia menjadi melengong.
Sembari berjalan Pwe-giok terus membersihkan ranting dan daun pohon itu, mendadak ia
membentak keras-keras, batang pohon terus menyerang ke punggung Lengkui.
Meski rumah ini cukup luas, tapi batang pohon yang diputar itu sedikitnya mencakup tempat
seluas beberapa tombak, maka terdengarlah suara gemuruh, segala isi ruangan telah tersapu
berantakan. Dari suara angin Lengkui merasakan datangnya serangan, mendadak golok sabit berkelebat
dan menebas ke belakang, gerakan serangan ini sungguh sangat cepat, tempat yang diarah
juga jitu. Cuma sayang, yang sedang menghantam punggungnya itu bukan lagi sebatang
sumpit melainkan sebatang pohon.
305 Biarpun tenaga dalam Lengkui sangat hebat, tapi untuk menabas putus batang pohon dengan
golok sabitnya yang kecil itu terasa rada sulit juga. Maka terdengarlah suara "crat" satu kali,
batang pohon tertabas golok, tapi golok itu terus terjepit oleh batang pohon.
Hampir pada saat yang sama pedang pendek Yang Cu-kang juga sudah menusuk, terdengar
suara "crat-cret" susul menyusul, dalam sekejap saja sekujur badan Lengkui telah tertusuk
belasan kali oleh pedang Yang Cu-kang sehingga darah berhamburan.
Namun wajah Lengkui masih tetap mengulum senyum, katanya, "Tusukan hebat, serangan
bagus! Cuma sayang, selamanya Lengkui tak dapat mati, siapapun tak dapat membunuh
Lengkui..." Sembari bicara golok bulan sabit yang terjepit batang pohon telah dicabutnya, mendadak
goloknya membalik, ia tikam hulu hati sendiri, golok sepanjang tiga kaki lebih itu hampir
amblas seluruhnya hingga sebatas gagang golok, ujung golok tampak menembus ke
punggung. Air muka Lengkui sedikitpun tidak memperlihatkan rasa sakit dan menderita, ia tetap
tersenyum dan berkata, "Jika kalian tidak lekas angkat kaki, sebentar Lengkui akan kembali
lagi dan menuntut balas padamu."
Omong kosong ini jelas tak dipercaya oleh siapapun, tapi melihat Lengkui mendadak
membunuh diri, kematiannya juga sedemikian aneh, mau tak mau hati semua orang merasa
ngeri. Lui-ji menghela nafas lega, ucapnya, "Orang ini tidak cuma aneh ilmu goloknya, orangnya
juga sangat aneh." "Ilmu golok aneh ini, mungkin di dunia Kangouw sekarang tidak ada sepuluh orang yang
mampu menangkis sepuluh jurus serangannya," kata Yang Cu-kang.
"Tapi dia telah kau bunuh, tokoh Kangouw yang mampu menangkis sepuluh kali seranganmu
pasti juga takkan lebih dari sepuluh orang," ujar Lui-ji.
Yang Cu-kang tersenyum, katanya, "Ah, masa!"
Tapi Lui-ji lantas menjengek, "Hm, betapapun tinggi ilmu pedangnya, coba kalau Pwe-giok
tidak ikut turun tangan, mungkin saat ini jiwamu sudah melayang, memangnya apa yang kau
banggakan?" Yang Cu-kang tidak menjadi marah, sebaliknya ia bergelak tertawa, "Haha, memang betul,
sedikitpun tidak salah."
Lalu ia berpaling dan berkata kepada Ji Pwe-giok, "Wahai Ji-heng, waktu pertama kali kulihat
kau, kukira tidak lebih kau ini cuma seorang pemuda bangor saja. Ketika bertemu lagi untuk
kedua kalinya, kesannya memang bertambah baik sedikit, tapi masih kupandang sepele akan
dirimu. Pernah juga kulihat kau bertempur tiga kali, setiap kali penilaianku kepada kungfumu


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu bertambah. Tapi sesungguhnya betapa tinggi dan betapa dalam kungfumu, sekarang
akupun merasa bingung."
306 "Ah, Yang-heng terlalu memuji," jawab Pwe-giok. "Padahal bila Cayhe bergebrak dengan
Lengkui ini, mungkin akupun tidak sanggup menahan sepuluh kali serangannya."
"Apa yang kau katakan mungkin betul, "kata Cu-kang. "Ilmu silatmu sekarang mungkin
belum luar biasa, tapi tiga tahun lagi, tanggung kepandaianmu pasti tidak di bawahku."
Lui-ji tertawa, katanya, "Eh, kenapa kau jadi rendah hati sekarang?"
Dengan sungguh-sungguh Yang Cu-kang menjawab, "Yang kukatakan ini sama sekali bukan
basa-basi, akupun tidak perlu menjilat pantatnya. Betapa besar kungfu akan dicapai oleh
seseorang sudah ditakdirkan, sudah pembawaan, biarpun berlatih giat juga tidak besar
manfaatnya. Seperti halnya orang main catur atau melukis, perlu juga melihat bakat orangnya.
Kalau tidak berbakat, biarpun berlatih mati-matian, hasilnya tetap terbatas dan tidak dapat
mencapai titik tertinggi, hanya bentuknya saja berhasil, tapi tak dapat menjiwainya."
Tiba-tiba ia tertawa, lalu menambahkan, "Tapi walaupun bakatmu sangat bagus, tanpa giat
berlatih juga tidak akan menghasilkan apa-apa."
"Eh, kenapa bicaramu menjadi banyak, apakah kau tidak kuatir Lengkui akan datang lagi dan
menuntut balas padamu?" kata Lui-ji dengan tertawa.
"Orangnya saja aku tidak takut, apalagi cuma Kui (setan)?" ujar Cu-kang.
Meski bersenda gurau, tidak urung sinar mata semua orang sama memandang ke arah
Lengkui yang sudah menggeletak tak bernyawa itu, se-akan2 kuatir orang mati ini mendadak
bisa melompat bangun untuk menuntut balas.
Tapi sekali pandang, wajah semua orang yang sedang tertawa dan senda gurau itu seketika
berubah kejut dan melongo.
Mayat Lengkui ternyata mulai membusuk, tulang belulangnya sudah mulai berubah menjadi
cairan darah. Pwe-giok jadi teringat kepada kejadian dulu atas diri Cia Thian-pi, itu tokoh Tiam-jong-pay
yang dipalsukan, mayatnya waktu itu juga membusuk di bawah hujan lebat, keadaannya
serupa benar dengan mayat Lengkui sekarang, keruan ia terkejut dan curiga.
Kalau Cia Thian-pi gadungan itu adalah antek Ji Hong-ho, maka Lengkui ini tentu juga
begundalnya, kalau tidak masakah mayat kedua orang bisa membusuk dengan cara yang
sama" Jelas racun yang membikin mayat membusuk itu tersembunyi di sela-sela gigi dan
sudah disiapkan akan digunakan apabila keadaan kepepet, supaya rahasia penyamaran mereka
tidak ketahuan. Dan kalau Lengkui adalah begundal Ji Hong-ho, kan juga segolongan dengan Yang Cu-kang,
mengapa sekarang dia datang hendak membunuh Yang Cu-kang, apakah Ji Hong-ho sudah
mengetahui pengkhianatan orang she Yang ini.
Yang jelas, baik Lengkui maupun Yang Cu-kang, ilmu silat mereka jauh di atas Ji Hong-ho,
mengapa mereka tidak berdiri sendiri, sebaliknya rela menjual nyawa baginya"
307 Begitulah dalam hati Pwe-giok penuh tanda tanya, tapi dia memang seorang sabar dan
pendiam, dapat berpikir panjang, teringat olehnya tindak-tanduk Yang Cu-kang yang sukar
diraba, maka iapun tidak ingin bertanya lagi, hanya terlintas sesuatu ingatan dalam benaknya,
ia coba tanya Yang Cu-kang, "Tadi mendadak orang ini menyebut dua bait syair kuno, apakah
Yang-heng paham maksudnya?"
Yang Cu-kang termenung sejenak, jawabnya kemudian, "Persoalan ini sangat besar dan luas
sangkut-pautnya, bahkan..."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong seorang menanggapi, "Selamanya Lengkui tak
bisa mati, siapapun tak dapat membunuh Lengkui, sekarang juga Lengkui sudah datang lagi
untuk menuntut balas."
Suaranya datar dan hambar, tidak cepat dan tidak lambat, terasa bersahaya nadanya dan
mencekam. Berbareng dengan datangnya suara itu, tahu-tahu seorang sudah muncul di depan
pintu. Wajah orang ini kelihatan putih, alis tebal dan mata besar, ujung mulutnya selalu mengulum
senyum laksana wajah ukiran, kaku dan dingin. Baju yang dipakainya berwarna hitam dan
sangat pas dengan tubuhnya, pinggangna juga ada ikat pinggang warna merah darah dan
golok sabit terselip miring pada ikat pinggangnya.
Jelas orang inilah Lengkui!
Waktu mereka pandang mayat Lengkui di tanah tadi, ternyata sudah habis cair, sudah lenyap.
Apakah Lengkui benar-benar tak dapat dibinasakan"
Apakah betul sekarang dia telah hidup, kembali dan datang menuntut balas" Biarpun Pwegiok
dan Yang Cu-kang sangat tabah, berdiri juga bulu romanya demi munculnya orang ini
secara mendadak. Apalagi Thi-hoa-nio dan Cu Lui-ji, mereka sama menjerit kaget.
Yang Cu-kang tidak berucap apapun, cepat ia melompat maju, pedang berputar, langsung ia
menusuk tenggorokan Lengkui. Baru saja menusuk serentak ia menggeser dua tiga kali dan
mengitar ke samping lawan.
Ia kuatir kejadian tadi berulang lagi, maka harus mendahului turun tangan, sekali menyerang
segera menggunakan gerak perubahan yang cepat dan sukar diraba.
Siapa tahu, belum lagi dia berputar lebih jauh, golok sabit musuh telah berubah menjadi
selapis tabir cahaya, "sret-sret-sret", sekaligus tiga kali tabasan, si Lengkui seperti sudah
memperhitungkan gerak perubahan serangan Yang Cu-kang, serentak ia tutup jalan
mundurnya. Namun Yang Cu-kang tetap berdiri saja tanpa bergerak, maka tiga kali tabasan golok itupun
takkan menyentuh bajunya, tapi sedikit ia bergerak, maka samalah seperti tubuhnya sengaja
ditumbukkan kepada golok sabit Lengkui.
Terpaksa Yang Cu-kang memutar pedangnya dan menyampuk golok lawan.
308 Tak terduga, Lengkui seakan-akan sudah tahu bahwa dia pasti akan bertindak demikian,
goloknya ditarik miring ke bawah sehingga meluncur lewat mata pedang musuh, berbareng ia
menusuk bahu Yang Cu-kang.
Lekas Yang Cu-kang memutar lagi pedangnya, berturut empat kali ia ganti serangan,
walaupun tiba cukup untuk menghindarkan tebasan golok lawan, namun kakinya tidak
mampu bergeser sedikitpun. Dia benar-benar tidak dapat berkutik dengan bebas.
Setelah sepuluh jurus, tanpa terasa tangan Yang Cu-kang berkeringat dingin. Dia mulai
merasakan betapapun dia memutar pedangnya, cukup lawan menyerang satu kali saja dan
buntulah jalannya, setiap gerak-geriknya sudah berada dalam dugaan musuh.
Dalam pertarungan tadi, sedapat-dapatnya ia mendahului menyerang, tapi sekarang Lengkui
seperti sudah tahu jelas setiap gerak perubahannya. Sekalipun dia mengeluarkan segenap
kemampuannya juga cuma sanggup bertahan saja sekedarnya, serangannya sama sekali tidak
dapat dikembangkan, jangankan hendak mengatasi musuh.
Jadi seperti dua orang bermain catur, kalau langkah kita selanjutnya sudah diketahui pihak
lawan, maka setiap langkahnya seolah-olah akan masuk jaring belaka dan terjebak oleh siasat
yang sudah diatur lawan. Maka belum lagi permainan catur ini selesai, kekalahan sudah
ditentukan, andaikan permainan diteruskan juga tidak menarik.
Sebaliknya Lengkui dapat memainkan golok sabitnya dengan bebas dan leluasa, namun
senyumannya masih tetap kaku dan dingin, dengan sorot mata yang dingin tajam menembus
cahaya pedang ia tatap Yang Cu-kang, ucapnya dengan tersenyum, "Kau sendiri tentunya tahu
bahwa setiap jurus serangan Lengkui dapat mencabut nyawamu, untuk apalagi kau bertahan"
Lekas serahkan nyawamu saja kan lebih enak?"
Tapi Yang Cu-kang anggap tidak mendengar ucapannya, padahal setiap kata lawan itu
setajam sembilu yang menikam ulu hatinya, bahkan lebih tajam daripada sembilu.
Rontakan orang dalam keadaan putus asa memang jauh lebih menderita daripada kematian.
Lengkui tersenyum dan berkata pula, "Tentunya kau heran, mengapa Lengkui sedemikian
paham jurus ilmu silatmu bukan" Padahal hal ini cukup sederhana, sebab Lengkui sudah
pernah bertempur satu kali denganmu."
Tiba-tiba Yang Cu-kang merasakan hawa dingin dari lubuk hatinya dan merembes hingga
ujung kaki. Masakan Lengkui yang ini benar adalah orang yang telah dibunuhnya tadi" Makanya orang
sedemikian paham akan ilmu silatnya. Kalau demikian, andaikan Lengkui yang ini
dibunuhnya pula, bukankah Lengkui masih akan hidup kembali, dan dalam pertarungan
berikutnya akan lebih paham pula pada setiap jurus serangannya" Jadi seumpama Lengkui
dapat dibunuhnya seratus kali, lambat atau cepat dirinya akan mati juga di tangan Lengkui,
sebaliknya Lengkui akan tetap hidup dan tak bisa mati.
309 Pada waktu hal ini tidak terpikir oleh Yang Cu-kang, sekuatnya dia masih kuat bertahan, tapi
demi teringat, makin dipikir makin takut sehingga pedang hampir tidak kuat lagi
dipegangnya. Waktu ia melirik kesana, dilihatnya Hay Tong-jing sudah pingsan, wajah Thi-hoa-nio pucat
pasi, tampaknya setiap saat juga bisa jatuh semaput.
"Nah, matilah, lekas matilah!" seru Lengkui dengan tersenyum. "Lengkui sudah pernah mati
berpuluh kali, Lengkui berani menjamin bahwa kematian bukan kejadian yang menyakitkan,
mati tidak menimbulkan derita, bahkan jauh lebih enak daripada tidur."
Ucapannya masih tetap datar dan dingin, namun nadanya seolah-olah membawa semacam
kekuatan gaib yang membuat orang secara tidak sadar melepaskan daya perlawanannya dan
tertidur lelap. Jika Yang Cu-kang berasal dari perguruan Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay, maka tidaklah
perlu diherankan jika setiap jurus serangannya dapat diselami orang lebih dulu. Sebab
beberapa perguruan ternama ini sudah turun temurun sekian ratus tahun, setiap jurus ilmu
silatnya ada aturannya, tapi setelah berjalan sekian ratus tahun, sedikit banyak jago persilatan
sudah dapat memahami setiap jurus ilmu silatnya, lantaran itulah kebanyakan tokoh
terkemuka dari perguruan ternama itu tidak suka mengalahkan musuh dengan jurus
serangannya, tapi mengatasi lawan dengan tenaga dalamnya yang jauh lebih ulet.
Tapi sekarang ilmu silat Yang Cu-kang dipelajari dari perguruannya yang tidak dikenal
umum, setiap jurus serangannya boleh dikatakan masih asing bagi jago silat lain. Namun
sekarang Lengkui ternyata dapat mengetahui sebelum Yang Cu-kang melontarkan
serangannya, kalau tidak pernah bergebrak dengan dia, darimana pula lawan mengetahui
rahasia serangannya. Seumpama Yang Cu-kang tidak percaya Lengkui yang sudah mati dapat hidup lagi, tapi
menghadapi kejadian demikian, mau tak mau ia menjadi percaya, ia pikir kalau musuh yang
dihadapinya adalah seorang yang tak bisa mati, lalu apalagi yang dapat diperbuatnya"
Cu Lui-ji dan Thi-hoa-nio tidak tahu dimana letak kehebatan jurus serangan musuh, tapi kini
pun sudah dapat melihat keadaan Yang Cu-kang yang terdesak dan berbahaya itu.
Mereka menjadi heran mengapa sekali ini Ji Pwe-giok tidak turun tangan membantunya.
Pada saat itulah mendadak terdengar Pwe-giok berseru, "Yang diketahuinya bukanlah tipu
seranganmu, melainkan kepunyaan Hay Tong-jing."
Lui-ji melengak, ia tidak paham apa maksud Pwe-giok. Tapi semangat Yang Cu-kang
seketika terbangkit, matanya juga mencorong, teriaknya dengan bergelak tertawa, "Aha, betul,
pahamlah aku, pahamlah aku sekarang..." di tengah tertawanya itu mendadak pedangnya
menusuk. Jilid 11________ 310 Tusukan ini langsung menuju ke dada dan tidak ada gerak perubahan lain, juga tiada gerak
tersembunyi, tapi Lengkui justru terdesak oleh tusukan demikian dan tidak mampu balas
menyerang. Sinar pedang Yang Cu-kang terus memanjang, "sret-sret-sret", berturut ia menusuk pula tiga
kali, semuanya lurus ke depan tanpa gerak perubahan, tapi Lengkui lantas terdesak mundur
satu langkah. Lui-ji juga dapat melihat ke empat jurus Yang Cu-kang itu sama sekali berbeda daripada gaya
semula, setelah berpikir, ia tertawa cerah dan berseru: "Aha, akupun jadi pahamlah...." tapi
segera ia berkerut kening dan menggeleng pula, sambungnya: "Tapi akupun tetap tidak
paham" Thi-hoa-nio menjadi heran, tanyanya: "Kau paham apa" Dan apa pula yang membuat kau
tidak paham?" Belum lagi Lui-ji menjawab, dilihatnya Pwe-giok entah sejak kapan sudah menjemput sebilah
golok, ia melangkah maju terus menabas ke pundak Lengkui.
Tebasan ini sangat lambat, seumpama dapat mengenai sasarannya juga belum pasti dapat
melukainya, kelihatannya malah lebih mirip hendak menaruh golok di atas pundak Lengkui.
Dengan sendirinya Lengkui tidak pernah menghindari, tapi ketika mata golok sudah dekat
dengan pundaknya, terlambatlah baginya biarpun dia ingin cepat berkelit.
Sebab gerakan yang sangat lambat ini memang sangat mudah dihindari oleh siapapun, tapi
ketika Lengkui bermaksud mengelak, gerakan mata golok Pwe-giok itu mendadak juga
berputar. Terdengar suara "sret" satu kali, golok itu berputar satu lingkaran.
Gerakan ini sangat cepat, tapi tiada ubahnya seperti lagi main lingkaran, sama sekali tidak ada
maksud hendak mencelakai orang. Jadi Lengkui juga tidak perlu lagi mengelak.
Akan tetapi cahaya golok justeru berkelebat di depan mata, mana boleh Lengkui tinggal diam.
Semula Lui-ji merasa cara menyerang Pwe-giok itu agak membingungkan, tapi sekarang ia
sudah tahu dimana letak keajaiban serangan itu.
Gerakan golok Pwe-giok itu lambat luar biasa, hakekatnya tidak bergaya jurus, sebab itulah
sukar untuk diraba kemana tujuannya. Maka Lengkui menjadi tidak tahu cara mengelak atau
mematahkannya. Tapi meski gerakan itu tanpa jurus, ada goloknya, kalau ada golok, Lengkui harus mengelak,
sebab yang akan melukainya bukanlah jurusnya melainkan goloknya.
"Hah, permainan golok yang hebat!" seru Lengkui dengan tertawa.
Belum habis ucapannya, tahu-tahu golok Pwe-giok sudah kena bacok di atas tubuhnya.
Sebab dia tidak tahu cara bagaimana harus mengelak atau mematahkan bacokan golok Pwegiok
itu, terpaksa ia harus mematahkan dulu tiga kali tusukan pedang Yang Cu-kang dari
311 depan, setelah dia berhasil mematahkan serangan Yang Cu-kang, tidak dapat lagi baginya
untuk menghindari serangan Pwe-giok.
Dan kalau serangan Pwe-giok tak dapat dihindarkan, pedang Yang Cu-kang juga akan
menusuk tubuhnya. Seketika tertampaknya sinar pedang berkelebat, darah segar pun berhamburan.
"Bagus, bagus sekali!" seru Lengkui tetap dengan tertawa. "Cuma sayang Lengkui tak dapat
dibunuh oleh siapapun, selamanya Lengkui tak dapat dibunuh..."
Robohlah dia bermandikan darah, namun wajahnya masih tetap membawa senyuman yang
kaku itu. Sekali ini Yang Cu-Kang tidak memandangnya sama sekali, tapi melototi Ji Pwe-giok, sampai
sekian lamanya barulah ia menghela napas panjang dan berkata, "Konon dahulu pendekar
golok kilat si Li kecil terkenal sebagai golok nomor satu di dunia, menurut cerita, tidak pernah
ada seorangpun mampu menahan sekali serangannya, sebab sekali goloknya bergerak,
sukarlah bagi lawan untuk mengetahui cara bagaimana dia hendak menyerang sehingga orang
tidak mampu untuk menghindar apalagi mematahkannya."
"Ya, cerita pendekar si golok Li kecil pernah juga kudengar," ujar Pwe-giok.
"Sama halnya kelak namamu pasti juga akan banyak dikenal orang," kata Yang Cu-kang
dengan tertawa. "Aku?" Pwe-giok menegas.
"Betul, kau!" kata Yang Cu-kang dengan agak penasaran terhadap dirinya sendiri sambil
menuding golok di tangan Pwe-giok, "tapi bukan lantaran pribadimu ini, bukan lantaran
wajahnya yang cakap, tapi karena ilmu permainan golok yang tidak pernah ada dan juga tidak
bakal ada di kemudian hari."
Pwe-giok tertawa, bukan tertawa puas karena dipuji, tapi karena tiba-tiba teringat olehnya
seorang cerdik pandai pernah berkata padanya, "Seorang yang sombong, dalam keadaan
terpaksa harus memuji orang lain, biasanya dia akan marah terhadap dirinya sendiri".
"Kau bilang ilmu permainan golok" Hakekatnya aku tidak paham ilmu golok apapun," sahut
Pwe-giok kemudian dengan tertawa.
"Justeru lantaran kau tidak paham ilmu golok, makanya menakutkan," ujar Yang Cu-kang
sambil tersenyum kecut. "Ada golok tanpa jurus, kan jauh lebih menakutkan daripada ada
jurus tanpa golok?" Mendadak Lui-ji menyela dengan tertawa, "Umumnya seorang lelaki suka bilang perempuan
bawel, tapi menurut pendapatku, yang benar-benar bawel adalah kaum lelaki, perempuan
hanya bawel pada waktu menganggur, tapi lelaki bisa lebih bawel di mana dan kapanpun
juga, biarpun dalam keadaan tegang juga suka bicara hal-hal yang sukar untuk dimengerti.
312 Tertawalah Yang Cu-kang, katanya, "Ucapanmu ini memang betul, saat ini memang bukan
waktunya untuk mengobrol."
Mendadak Lui-ji menarik muka dan berucap, "Lengkui takkan mati, segera Lengkui akan
muncul lagi untuk menuntut balas."
Cara bicaranya menirukan nada Lengkui dan kedengaran lucu, tapi bila teringat kepada
makhluk yang tak dapat dihalau, tak dapat dibunuh mati siapa yang dapat tertawa geli"
Yang Cu-kang mengusap keringat pada tangannya, lalu berkata, "Ji-heng, ku tahu dalam
hatimu pasti banyak menaruh curiga terhadapku, tapi dapat kukatakan padamu, aku bukanlah
lawan melainkan kawanmu."
Pwe-giok menjawab dengan cekak aos, "Kupercaya!"
Yang Cu-kang menghela napas panjang, katanya pula, "Bagus, sekarang aku hanya ingin
memohon sesuatu padamu."
"Urusan apa?" tanya Pwe-giok.
"Di dalam rumah ini ada jalan rahasia di bawah tanah, lekas kau pergi dulu membawa yang
terluka dan perempuan, juga ketiga peti ini perlu kau bawa sekalian."
"Dan kau?" tanya Pwe-giok.
"Paling tidak aku masih sanggup menjaga diriku sendiri, tidak perlu kau kuatirkan aku dan
juga tidak perlu tinggal di sini untuk membantu diriku, "ujar Yang Cu-kang dengan tak acuh.
"Akan tetapi kau...."
Mendadak Yang Cu-kang tidak sabar, ia mendesak, "Sudahlah, seumpama aku tak dapat
menandingi orang, sedikitnya dapat ku kabur. Tapi bila kalian tetap tinggal di sini bisa jadi
aku ingin laripun sukar."
Dia memapah Hay Tong-jing, lalu berkata pula, "Apabila dalam hati kalian ingin tahu apaapa,
tanya saja kepada Suhengku bila dia sudah siuman."
"Tapi kau ... "Lui-ji juga kuatir.
Yang Cu-kang berkerut kening, katanya, "Biniku saja sudah kupasrahkan kepada kalian,
masakah kalian masih kuatir aku minggat dan tidak kembali lagi?"


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

***** Lorong di bawah tanah itu serupa lorong rahasia umumnya, gelap dan lembab, bahkan karena
berada di bawah dapur, maka tercium bau yang memualkan.
Jalan masuk lorong rahasia itu dibukakan oleh Thi-hoa-nio, tapi dia sendiri tidak tahu lorong
itu menembus ke mana, lebih-lebih tidak tahu mengapa di dapur terdapat jalan rahasia ini.
313 Lui-ji terus menerus menggerundel, "Persetan! Kenapa kita jadi menuruti kehendaknya dan
menyusup ke liang tikus ini" Jika di depan sana ada binatang buas atau makhluk berbisa atau
perangkap maut, nah, baru celakalah kita!"
Thi-hoa-nio menggigit bibir, katanya, "Apakah selamanya kau tidak percaya kepada siapapun
juga?" Jawab Lui-ji dengan ketus, "Seumpama kupercaya kepada orang lain juga takkan kukawin
dengan dia dengan begitu saja tanpa pertimbangan."
Dia melototi Thi-hoa-nio, Thi-hoa-nio juga mendelik kepadanya, kedua orang saling melotot
seperti dia dua ekor ayam jago aduan yang sedang saling melotot, sampai sekian lamanya,
perlahan Thi-hoa-nio menunduk, matanya tampak basah.
"Aku tidak seperti kau," demikian katanya dengan hampa, "ada yang sayang, ada yang
mencintai kau pula, tapi aku sebatangkara, asalkan ada orang suka padaku sudah cukup
membuatku kegirangan."
Lui-ji menjengkitkan mulut, lalu melangkah ke depan, tapi beberapa langkah mendadak ia lari
balik terus merangkul Thi-hoa-nio, ucapnya, "Aku tidak sengaja bicara demikian, kuharap
jangan kau marah padaku. Aku .. akupun sebatangkara, bahkan sejak kecil tidak pernah
mendapatkan pendidikan yang layak, makanya selalu menjemukan."
Thi-hoa-nio tertawa sebisanya, ucapnya dengan lembut, "Siapa bilang kau menjemukan" Jika
kau menjemukan, di dunia ini mungkin tidak ada anak perempuan yang menyenangkan."
Lui-ji menunduk, lalu melirik Pwe-giok sekejap, katanya kemudian dengan menyesal,
"Sebenarnya akupun tahu maksudmu, demi melindungi kami, demi mencari tahu seluk-beluk
Yang Cu-kang, makanya kau kawin dengan dia."
"Mungkin semula memang begitu maksudku." ujar Thi-hoa-nio dengan gegetun, "tapi
kemudian kulihat cara bicara orang ini meskipun sangat menjengkelkan, tapi sebenarnya
bukan orang jahat." Pwe-giok tertawa, katanya, "Menurut pendapatku, bahkan sikapnya yang menjengkelkan
itupun sengaja dibuat-buat"
"Untuk apakah dia sengaja berbuat demikian?" tanya Lui-ji.
"Ada sementara orang yang bercita-cita tinggi dan bertugas berat, dia terpaksa harus mandah
menerima hinaan dan ...."
Pada saat itulah mendadak terdengar suara "blang" yang keras di lorong rahasia itu.
Lui-ji terkesiap, katanya, "Lengkui yang tidak dapat dibunuh itu mungkin sudah muncul lagi."
Wajah Thi-hoa-nio berubah pucat, agaknya juga rada gemetar.
Tiba-tiba Pwe-giok tertawa, katanya, "Eh, apakah kalian pernah dengar cerita tentang Siausin-
tong (si bocah ajaib) membikin Hiat-eng-jin (manusia bayangan darah) mati kecapaian."
314 "Ti .... tidak tahu," jawab Thi-hoa-nio.
Dalam keadaan dan pada waktu demikian, Pwe-giok justeru ingin bercerita, sungguh aneh.
tapi meski heran, karena bisa mendengar cerita menarik, betapapun Lui-ji merasa senang,
katanya dengan tertawa, "Hiat-eng-jin, nama ini sungguh aneh, kukira orang ini bukan barang
baik." "Betul," kata Pwe-giok, "orang ini berhati keji dan bertangan ganas, membunuh orang seperti
membunuh ayam, meski setiap orang Kangouw sama membencinya, tapi juga tidak dapat
berbuat apa-apa." "Ilmu silatnya sangat tinggi?" kata Lui-ji.
"Bukan saja sangat tinggi, bahkan Ginkangnya tidak ada bandingannya," tutur Pwe-giok,
"beberapa kali sudah jelas dia terkepung oleh belasan tokoh kelas tinggi, tampaknya
riwayatnya pasti akan tamat, tapi akhirnya dia berhasil lolos juga berkat Ginkangnya yang
hebat." "Lantas, orang macam apa pula Siau-sin-tong itu" Cara bagaimana dia membikin Hiat-eng-jin
mati kecapaian?" tanya Lui-ji.
"Sesuai julukannya, Siau-sin-tong dengan sendirinya adalah seorang anak kecil, bahkan baru
saja muncul di dunia Kangouw, tidak ada yang tahu bagaimana asal-usulnya sehingga orang
pun tidak menaruh perhatian padanya. Suatu hari, ketika Siau-sin-tong mendadak berbuat
sesuatu yang menggemparkan dunia persilatan sehingga setiap orang sama tertarik padanya."
"Perbuatan apa?" tanya Lui-ji.
"Dia memberi upah dan menyuruh orang menempel plakat di setiap kota besar, katanya dia
hendak bertanding Ginkang dengan Hiat-eng-jin, bahkan menyatakan apabila Hiat-eng-jin
tidak berani menerima tantangannya, maka Hiat-eng-jin bukan manusia melainkan hewan."
"Wah, meski kecil orang nya, tampaknya nyali Siau-sin-tong itu sangat besar," ujar Lui-ji
dengan tertawa. Kini Thi-hoa-nio juga mulai tertarik oleh cerita itu, ia tidak tahan dan bertanya, "Lalu, Hiateng-
jin terima tantangannya atau tidak?"
"Sudah biasa Hiat-eng-jin malang melintang di dunia Kangouw, siapapun tidak terpandang
olehnya, mana dia tahan akan tantangan itu. Tidak sampai tiga hari dia sudah mendatangi
Siau-sin-tong. Kedua orang bersepakat mengadakan pertandingan Ginkang, diputuskan
pertandingan lari cepat itu dimulai dari kotaraja hingga Bu-han, jaraknya kurang lebih lima
ribu li. Siapa yang tiba lebih dulu di tempat tujuan dianggap menang, dan yang kalah harus
membunuh diri dengan menggorok leher sendiri tanpa syarat."
"kalau Hiat-eng-jin adalah orang ganas dan keji begitu, mengapa dia tidak membunuh saja
Siau-sin-tong?" tanya Thi-hoa-nio.
315 "Sebab dia memang sombong dan anggap dirinya nomor satu di dunia, kalau Siau-sin-tong
menantang lomba Ginkang dengan dia, bila ia membunuh bocah itu dengan cara lain, kan
kelihatan gagah," Pwe-giok tertawa, lalu menyambung pula, "Apalagi Ginkangnya memang
sangat tinggi dan sukar ditandingi siapapun, sampai tokoh Kun-lun-pay, Hui-liong Cinjin
yang termasyhur dengan Ginkangnya juga mengaku bukan tandingannya, apalagi cuma Siausin-
tong seorang bocah berumur 13-14 tahun. Biarpun bocah ini berlatih Ginkang sejak masih
berada di dalam rahim ibunya, paling-paling juga cuma berlatih selama 15 tahun saja."
"O, demikian, bukankah berarti Siau-sin-tong itu mencari susah sendiri?" ujar Lui-ji.
"Waktu itu setiap orang Kangouw memang menganggap Siau-sin-tong mencari mati sendiri,
semua orang sama berkuatir baginya. Siapa tahu apa yang terjadi kemudian ternyata sama
sekali di luar dugaan mereka."
"Hah, Siau-sin-tong menang, bukan?" tanya Lui-ji dengan gembira.
"Waktu fajar mereka mulai lari dari pintu gerbang timur ibukota, ketika matahari terbenam,
sampailah Hiat-eng-jin di kota Titlik."
"Wah, kecepatan lari Hiat-eng-jin sungguh melebihi kuda lari," ujar Thi-hoa-nio.
"Tatkala mana iapun mengira sudah jauh meninggalkan Siau-sin-tong di belakang, selagi dia
bermaksud berhenti untuk mengaso, cuci muka dan mengisi perut, siapa tahu, baru saja ia
melangkah masuk rumah makan, belum lagi pegang sumpit, mendadak dilihatnya Siau-sintong
berkelebat lewat di depan pintu secepat terbang, kecepatannya serupa pada waktu mulai
start, sedikitpun tidak ada tanda-tanda lelah."
"Haha, Siau-sin-tong memang hebat," seru Lui-ji dengan tertawa cerah.
"Dengan sendirinya Hiat-eng-jin kuatir ketinggalan, tanpa sempat makan minum lagi segera
ia taruh sumpit terus mengejar," tutur Pwe-giok pula. "Setelah lari lagi sehari semalam,
biarpun Hiat-eng-jin tergembleng dari baja juga mulai lelah."
"Jika aku mungkin sudah lama kurebahkan diri." ujar Lui-ji.
"Waktu dilihatnya di tepi jalan ada penjual wedang kacang hijau yang baru buka pasaran,
kelihatan masih mengepul dan berbau sedap, ia tidak tahan, ia mendekati penjual wedang
kacang dan ingin minum barang satu-dua mangkuk sekedar mengisi perut."
"Siapa tahu, baru saja dia pegang mangkuk kacang hijau itu, segera dilihatnya Siau-sin-tong
berkelebat lewat secepat terbang, begitu bukan?" sambung Lui-ji dengan tertawa.
"Betul, sedikitpun tidak salah," jawab Pwe-giok dengan tertawa. "Bocah itu masih tetap
mempertahankan kecepatan larinya seperti semula, seolah-olah manusia yang tidak kenal
capai. Keruan Hiat-eng-jin takut kalah, belum sempat minum wedang kacang hijau itu,
seketika ia angkat kaki dan mengejar lagi."
"Apakah dia tidak salah lihat?" tanya Thi-hoa-nio.
316 "Waktu itu Hiat-eng-jin juga tergolong jago am-gi terkemuka, ketajaman matanya juga luar
biasa, konon seekor lalat saja dapat dilihatnya dengan jelas dari jarak beratus tombak."
"Wah, awas benar matanya," seru Lui-ji.
"Itu saja belum," kata Pwe-giok dengan tertawa, "konon lalat itu dapat pula dibedakan lalat
jantan atau betina. Sebab itulah ketika Siau-sin-tong berkelebat lewat di depan pintu segera
dapat dilihatnya dengan jelas."
Sampai di sini Thi-hoa-nio jadi melongo terkesima.
"Wah, orang ini benar-benar bermata maling." kata Lui-ji dengan tertawa.
"Ya, orang ini memang dapat dikatakan tokoh ajaib dunia persilatan yang sukar dicari
bandingannya," ujar Pwe-giok dengan gegetun. "Tapi apapun juga dia kan manusia, dan
manusia tentu terbatas kekuatannya, ada kalanya dia tidak sanggup bertahan lagi. Maka setiba
di Bu-han, akhirnya dia roboh".
"Masa sepanjang jalan itu dia tidak pernah beristirahat?" tanya Lui-ji.
"Bukan saja tidak beristirahat, bahkan satu butir nasi saja tidak pernah masuk perut," tukas
Pwe-giok dengan tertawa. Lalu sambungnya, "Sebab setiap kali dia hendak mengaso atau
makan, baru saja dia pegang sumpit, segera dilihatnya Siau-sin-tong melayang lewat.
Terpaksa ia terus mengejar ke depan, dan lupa berhenti akhirnya ia sampai di tempat tujuan.
Ketika tiba di depan Wi-hau-lau, restoran yang menjadi tempat tujuan terakhir, ia mengira
pertandingan ini pasti dimenangkan oleh dirinya. Siapa tahu, sekali mendongak, tahu-tahu
Siau-sin-tong kelihatan sedang menggapai padanya di atas loteng restoran itu."
"Ha ha, bagus, bagus, cerita ini sungguh sangat menarik," seru Lui-ji sambil berkeplok.
"Dan kemudian, apakah Hiat-eng-jin benar-benar membunuh diri dengan menggorok leher
sendiri?" tanya Thi-hoa-nio.
"Biar jahat, tapi orang ini sok anggap dirinya lain daripada orang biasa, tindakan ingkar janji
dan main belit tidak pernah dilakukannya, apalagi setiba di Bu-han keadaannya sudah payah,
hampir berdiri saja tidak kuat, sekalipun ingin kabur juga sulit, padahal orang lainpun pasti
takkan mengampuni dia."
"Dan seorang tokoh jahat itu lantas mati ditangan seorang anak kecil"!" tanya Thi-hoa-nio.
"Betul" jawab Pwe-giok.
Mencorong sinar mata Lui-ji, katanya, "Seorang anak berusia belasan tahun sudah memiliki
Ginkang setinggi itu, sungguh sangat mengagumkan."
Pwe-giok tersenyum dan menggeleng, "Meski Ginkangnya cukup hebat, tapi kalau
dibandingkan Hiat-eng-jin, sungguh selisihnya sangat jauh".
Liu-ji jadi melengak, tanyanya, "Jika Ginkangnya tidak melebihi Hiat-eng-jin, kenapa dia bisa
menang?" 317 "Bisa lantaran usianya lebih muda dan tenaganya lebih kuat." sambung Thi-hoa-nio.
Pwe giok menggeleng pula, katanya dengan tersenyum, "Tidak, bukan begitu sebabnya."
"Habis meng... mengapa bisa begitu?" tanya Lui-ji.
"Masa tak dapat kau terka?" tanya Pwe-giok.
Lui-ji merunduk dan berpikir agak lama, mendadak ia berkeplok, katanya sambil tertawa,
"Aha, tahulah aku, Siau-sin-tong pasti dua saudara kembar yang serupa, salah seorang
menunggu lebih dulu dibagian depan, apabila Hiat-eng-jin sampai di situ, dia sengaja
memperlihatkan diri sejenak, sedangkan yang lain segera menunggang kuda cepat mendahului
ke depan lagi, bila Hiat-eng-jin dapat melampaui yang satu, sementara itu Siau-sin-tong yang
lain sudah menunggu lagi di depan."
"Bukan, juga bukan begitu," kata Pwe-giok dengan tertawa.
"Masih tidak betul?" Lui-ji melengak.
"Coba kau pikir, selama hidup Hiat-eng-jin malang melintang, masa dia mudah ditipu"
Apalagi dengan gerak tubuhnya yang cepat, sekalipun ada kuda pilihan juga sukar
mendahului dia jauh di depan sana."
"Bisa jadi... bisa jadi mereka mengambil jalan potong yang lebih dekat." kata Pwe-giok.
"Wah, jika demikian, aku menjadi... menjadi bingung," ujar Liu-ji sambil tersenyum.
"Ha, tahulah aku!" seru Thi-hoa-nio mendadak.
"Oo" Kau tahu?" heran juga Pwe-giok.
"Tentu Siau-sin-tong telah mengumpulkan beberapa anak yang serupa dengan dia, lalu
didandani hingga sama, mereka sembunyi di sepanjang jalan, apabila Hiat-eng-jin hendak
berhenti mengaso, segera salah seorang diantara sengaja berlari lewat di depan Hiat-eng-jin."
"Tidak, tetap tidak betul," ujar Pwe-giok sambil menggeleng.
"Masa tetap tidak betul?" Thio-hoa-nio menegas dengan melengak.
"Kan sudah kukatakan tadi, Hiat-eng-jin bukan orang yang mudah ditipu, bahkan
pandangannya sangat tajam, mana bisa Siau-sin-tong menipunya dengan cara begitu?"
"Betul, kalau cuma menyamar dan dirias saja tetap ada bagian yang kelihatan, apalagi, untuk
mencari anak lain yang serupa dan berperawakan sama dengan Siau-sin-tong juga bukan
pekerjaan yang gampang."
"Lebih-lebih Siau-sin-tong memiliki Ginkang dengan gaya tersendiri, gerak tubuhnya sangat
aneh, orang lain sukar menirukannya. Justru lantaran inilah, maka sejak mula sampai akhir
Hiat-eng-jin tidak curiga sedikitpun."
318 "Wah, jika demikian, lantas bagaimana kejadian yang sesungguhnya, aku benar-benar tidak
mengerti, kata Thi-hoa-nio."
"Kalau sudah tersingkap, hal ini sedikitpun tidak mengherankan," ujar Pwe-giok dengan
tertawa. "Sebabnya, meski Siau-sin-tong bukan kembar dua, tapi justeru kembar lima. Mereka
lima bersaudara serupa barang cetakan."
***** Oleh karena Yang Cu-kang memberi pesan agar orang di dalam peti jangan di lepaskan dulu,
agar gerak-gerik mereka bisa leluasa, terpaksa mereka menggendong peti itu dan mengikatnya
dengan tali di punggung. Sudah tentu bukan pekerjaan enak menggendong peti seberat itu, tanpa terasa Thi-hoa-nio dan
Lui-ji lupa pada beban di punggung mereka.
"Hah, tadinya kukira kau tidak suka bicara, siapa tahu, sekali kau mau bercerita, orang mati
pun dapat kau lukiskan seolah-olah hidup kembali," kata Lui-ji dengan tertawa. "Bahkan
kaupun dapat tahan harga, jual mahal, bikin ceritamu tambah menarik."
"Wah, kalau kelima bersaudara kembar itu berbentuk serupa, kukira benar-benar sangat lucu
dan menarik," tukas Thi-hoa-nio.
"Tapi kuberani bertaruh kelima bersaudara ini pasti sukar mencari bini," kata Lui-ji.
"Aneh, sebab apa?" tanya Thi-hoa-nio.
"Setelah tahu kejadian itu, anak perempuan mana lagi yang berani kawin dengan mereka?"
kata Lui-ji. "Mengapa tidak berani?" tanya Thi-hoa-nio pula.
"Coba pikir, apabila mereka iseng, lalu mereka pun menggunakan cara menghadapi Hiat-engjin
itu terhadap isterinya sendiri, coba, anak perempuan mana yang tahan?"
Bicara demikian, tanpa terasa muka sendiri menjadi merah.
Thi-hoa-nio mengikik tawa, ucapnya, "Ya, betul juga kalau terjadi kekeliruan, kan repot!"
Habis berkata, mukanya menjadi merah juga.
Pwe-giok tertawa, katanya, "Maksudku, apakah kalian tahu untuk apakah ku tuturkan cerita
ini?" Terbeliak Lui-ji, katanya, "Maksudmu apakah Lengkui itupun terdiri dari lima saudara
kembar?" "Ya, kira-kira begitulah," kata Pwe-giok. "Cuma, mereka tentu saja bukan lima saudara
kembar sungguhan, tapi kembar buatan."
319 "Tapi sama sekali tidak kulihat sesuatu ciri bekas riasan pada diri mereka," kata Lui-ji.
Pwe-giok menghela napas, katanya, "Ilmu rias umumnya hanya dapat mengelabui orang
untuk sementara, tapi dengan sangat mudah segera akan ketahuan. Apabila dilakukan
pembedahan secara cermat, pada waktu masih kecil wajah mereka sudah dibedah dan dirias
hingga serupa benar, lalu diberi obat bius untuk mempengaruhi pikiran mereka, akibatnya
jadilah mereka sekawanan boneka yang berwajah serupa, suara dan gerak-gerik juga tidak
banyak berbeda." Setelah menghela napas panjang, lalu ia menyambung pula, "Kejadian ini kedengarannya
sukar untuk dimengerti, tapi tidak mustahil terjadi. Aku berani menjamin, bahwa di dunia ini
memang ada orang pandai yang pintar permak wajah seseorang."
Lui-ji tercengang, katanya, "Jika demikian, manusia segar bugar juga dapat dipermaknya
menjadi seperti patung, mukanya dapat diukir menurut kehendaknya dalam bentuk apapun?"
"Ya, begitulah," kata Pwe-giok.
"Jika demikian, Lengkui kedua itulah yang melukai Hay tong-jing, sebab dia yang pernah
bergebrak dengan Hay Tong-jin, makanya dia sangat apal terhadap ilmu silat Yang Cu-kang."
"Betul, Yang Cu-kang dan Hay tong-jing adalah saudara seperguruan, ilmu silat mereka tentu
saja sama," kata Pwe-giok.
"Pantas setelah Yang Cu-kang mendengar ucapanmu tadi, seketika semangatnya terbangkit,"
kata Lui-ji. "Tadinya dia mengira Lengkui itu benar-benar hidup kembali, makanya begitu
apal terhadap ilmu silatnya."
"Sebab itulah, biarpun datang lagi Lengkui ketiga juga tidak perlu dikuatirkan lagi," kata
Pwe-giok. "Sebab Lengkui ketiga ini pasti tidak tahu gaya ilmu silatnya, sebaiknya dia sudah
pernah bergebrak dengan dua Lengkui, tentu dia dapat mengenali gaya serangan lawan.
Kalian pasti dapat melihatnya juga, meski cepat dan aneh daya serangan Lengkui, tapi tidak
banyak perubahannya."
"Ya, kalau tidak, masa kau tinggalkan Yang Cu-kang di sana sendirian, bukan?"
Pwe-giok hanya tertawa dan tidak menjawab, tapi Thi-hoa-nio lantas berkata. "Barang siapa
yang dapat berkawan dengan orang semacam Ji-kongcu, sungguh beruntunglah dia."
"Tapi aku tetap tidak jelas sesungguhnya Yang Cu-kang kawan Ji Pwe-giok atau bukan,"
tukas Kui-ji. "Kupikir tindak tanduknya rada-rada bolak-balik dan sukar untuk diraba apa
maksud dan tujuannya."
Mendadak seseorang menanggapi dengan menghela nafas, "Sesungguhnya ada kesukarannya
yang tidak dapat dikatakan, sebelum tiba saat terakhir tidak nanti diberitahukannya rahasia
dirinya kepada orang lain..."


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

320 Ternyata entah sejak kapan Hay Tong-jing telah mendusin, sejak tadi Pwe-giok
memayangnya berjalan dengan setengah merangkul, baru sekarang dia dapat berdiri sendiri
dengan tegak. "Syukur kepada Thian dan Te, akhirnya kau sadar juga," kata Lui-ji. "Tapi sampai kapan
barulah hendak kau katakan rahasia kalian" Bilakah baru akan tiba saat terakhir kalian?"
"Meski sekarang belum sampai detik terakhir, tapi rasanya sudah boleh kukatakan rahasia
ini." ucap Hay Tong-jing setelah berpikir sejenak.
"Oo " Sebab apa ?" tanya Lui-ji.
"Sebab rahasia ini sudah bukan rahasia lagi." kata Hay Tong-jing dengan gegetun.
"Bukan rahasia lagi " Padahal jelas-jelas masih tetap rahasia," tukas Lui-ji.
"Di dunia ini tidak ada sesuatu yang mutlak rahasia, bergantung persoalannya terhadap siapa "
Umpama terhadap kau .... "
"Baik, baik," sela Lui-ji, "tak ku perduli apakah keteranganmu ini benar rahasia atau bukan,
aku cuma ingin tanya padamu, sesungguhnya siapa kalian" Apa artinya kedua bait syair yang
diucapkan Yang Cu-kang itu ?"
Hay Tong-jing termenung sejenak, katanya kemudian dengan pelahan, "Aku dan Yang Cukang
sebenarnya sama-sama anak piatu, guru kami sama seperti juga ayah kami ... "
"Ku tahu kalian adalah anak yatim piatu, aku hanya ingin tahu siapa guru kalian?" tanya Luiji.
Mendadak Hay Tong-jing menarik muka, jengeknya, "Peristiwa ini terlalu panjang untuk
diceritakan, jika kau ingin tahu, hendaklah kau sabar."
Lui-ji mendongkol, ia mencibir dan menjawab, "Baik, tidak perlu kau ceritakan, memangnya
apa yang menarik ?" "Sekarang biarpun kau tidak mau mendengarkan tetap akan kuceritakan," kata Hay Tong-jing.
Tertawalah Lui-ji, katanya, "Hihi, ini nama sifat keledai Soasay, kalau di halau tidak mau
jalan, di tarik dia malah mundur. Dasarnya memang hina."
Hay Tong-jing tidak menghiraukannya, tapi berkata kepada Pwe-giok, "Sesungguhnya rahasia
ini sejak dahulu harus kuceritakan, sebab urusan ini mungkin besar sangkut pautnya dengan
Ji-heng." Air muka Pwe-giok berubah, belum lagi ia bersuara, Hay Tong-jing sudah menyambung,
"Sudah lama guruku mengasingkan diri, umpama ku sebut nama beliau juga belum tentu
dikenal kalian, meski aku tidak ingin menjunjung tinggi beliau, tapi sesungguhnya beliau
memang seorang kosen dunia persilatan, pada 50 tahun yang lalu beliau sudah tidak ada
tandingannya di dunia."
321 "Bisa jadi lantaran dia tidak pernah bertemu dengan tokoh semacam Hong-samsiansing dan
sebagainya," ujar Lui-ji.
Tapi Hay Tong-jing tetap tidak menghiraukan, katanya pula, "Selama hidup beliau hanya ada
seorang musuh, konon orang inipun tokoh yang sukar dicari bandingannya di dunia persilatan,
bukan saja ilmu silatnya maha tinggi, bahkan mahir segala macam ilmu pengetahuan, cuma
hatinya keji dan tangan ganas, dahulu tokoh ini terpaksa kabur sejauh-jauhnya karena terdesak
oleh guruku dan seorang jago tua lain, bahkan orang itu dipaksa bersumpah, selama guruku
dan jago tua itu masih hidup, selama itu pula dia tidak pulang ke daerah Tionggoan."
"Siapakah orang ini ?" tanya Pwe-giok terkesiap.
"Guruku tidak pernah menyebut namanya hanya di katakan dia berjuluk Tangkwik-siansing...
" "Tangkwik-siansing" ... " Pwe-giok mengulang nama itu sambil berkerut kening.
"Dengan sendirinya Ji-heng tidak kenal namanya, sebab sudah hampir 30 tahun orang ini
mengasingkan diri di daerah terpencil, bahkan tetap taat kepada sumpahnya, selama ini tidak
pernah selangkah pun menginjak daerah Tionggoan."
Pwe-giok menghela napas gegetun, katanya, "Betapapun jahatnya, tokoh kalangan hitam di
masa lampau masih menjaga harga diri dan sayang pada namanya sendiri, tapi sekarang,
agaknya satu angkatan semakin surut daripada angkatan yang tua."
"Meski orang ini hidup jauh terpencil, tapi tidak benar-benar tirakat dan mawas diri," tutur
Hay Tong-jing pula. "Hanya untuk sementara saja dia tidak berani melakukan kejahatan
secara terang-terangan"
Dia menghela napas, lalu menyambung: "Setahu guruku, selama 30 tahun ini terus menerus ia
merancang tipu muslihat secara diam-diam dan bermaksud timbul kembali, bahkan sekaligus
akan menyapu jagat. Kini guruku sudah lama mengundurkan diri, jago tua seangkatannya
juga sudah lama wafat, maka Tangkwik-siansing merasa sudah tiba saatnya, dia
lantas...lantas...."
Sampai di sini agaknya dia sudah lemah, berdiri saja tidak kuat lagi.
Cepat Thi-hoa-nio menurunkan peti dan memapahnya berduduk.
Hay Tong-jing adalah kakak seperguruan Yang Cu-kang, dengan sendirinya ia wajib menjaga
dan memperhatikan keselamatannya.
Tapi Lui-ji buru-buru ingin tahu, ia tanya pula: "Maksudmu iblis Tangkwik-siansing itu tidak
rela hidup terpencil, akhirnya merancang sesuatu intrik untuk bergerak secara besar-besaran?"
Hay Tong-jing menghela napas, katanya: "Meski guruku sudah mengundurkan diri, tapi
beliau cukup kenal betapa jahatnya orang ini, sebab itulah diam-diam guruku tetap mengawasi
dia. Cuma gerak-gerik orang ini memang sangat misterius, tindak-tanduknya juga rapi, selama
ini guruku tetap tidak berhasil mendapatkan sesuatu bukti. Sampai akhir-akhir ini guruku
322 keluar rumah selama lebih tiga bulan, sepulangnya kami lantas ditugaskan melakukan
sesuatu." "O, sesuatu tugas apa?" tanya Lui-ji.
"Kami ditugaskan mengawasi tindak-tanduk Ji Hong-ho, Bu-lim-bengcu sekarang."
Air muka Pwe-giok berubah kelam, ucapnya: "Jika demikian, jadi.... orang she Ji ini adalah
boneka Tangkwik-siansing yang dipergunakan untuk memegang kekuasaan tertinggi di dunia
persilatan. Memang sudah lama kuperkirakan dia pasti mempunyai sandaran kuat di
belakangnya" "Tindakan guruku biasanya tidak suka banyak penjelasan, tapi menurut perkiraan kami,
keadaannya pasti demikian adanya" ujar Hay Tong-jing.
"Kalau Tangkwik-siansing tidak tampil ke muka, terpaksa ia menggunakan boneka yang
mempunyai nama dan kedudukan di dunia persilatan, dan Ji Hong-ho biasanya memang suka
meninggikan nama untuk mencari keuntungan pribadi, dialah pilihan yang paling tepat"
Air muka Pwe-giok berubah pula, ingin bicara tapi ditahan lagi.
Gemerdep sinar mata Lui-ji, katanya kemudian: "Pantas tempo hari dia hanya memberi suatu
tanda, lalu si gendut Thian-sip-sing itu tidak berani mengganggunya. Tentunya Thian-sip-sing
itupun kenal kelihaian Tangkwik-siansing"
"Pada jaman ini, kecuali guruku, mungkin tiada seorangpun yang sanggup menahan sekali
pukulan Tangkwik-siansing itu, biarpun Hong Sam...hehe!" Hay Tong-jing hanya tertawa
dingin saja dan tidak melanjutkan, namun sudah cukup jelas apa maksudnya.
Tapi sekali ini, Lui-ji tidak lagi balas mengejek, sebab ia pikir kungfu Thian-sip-sing itu
memang betul tidak di bawah paman Hong, kalau Thian-sip-sing saja takut kepada Tangkwik-
Siansing, maka betapa tinggi kungfu Tangkwik-siansing itu dapatlah dibayangkan.
Begitu terpaksa Lui-ji menahan rasa dongkolnya, lalu tanya pula: "Dan apa artinya kedua bait
syair yang disebut-sebut kalian itu?"
"Soalnya Tangkwik-siansing sendiri tidak dapat masuk ke daerah Tionggoan untuk
mengadakan kontak langsung dengan Ji Hong-ho, maka dia mengutus dua orang untuk
menyampaikan perintahnya. Tapi kedua orang ini telah dicegat guruku di tengah jalan, dan
sandi yang hendak mereka gunakan untuk mengadakan hubungan dengan Ji Hong-ho adalah
dengan kedua bait syair itu"
"Mengapa kedua orang itu mau memberitahukan rahasia ini kepada gurumu?" tanya Lui-ji.
"Di depan guruku, mungkin tidak ada orang di dunia yang berani berdusta"
"Makanya gurumu lantas menyuruh kau dan Yang Cu-kang menyamar sebagai kedua orang
yang dibekuk gurumu itu untuk bekerja sama dengan Ji Hong-ho?"
"Ya" jawab Hay Tong-jing.
323 Lui-ji menghela napas gegetun, ucapnya: "Pantaslah Ji Hong-ho sedemikian mempercayai
kalian" "Tapi kalau Tangkwik Siansing mau menyerahkan pekerjaan besar itu kepada Ji Hong-ho,
suatu tanda orang ini pasti tidak boleh diremehkan. Setelah kami bertemu dengan dia,
kamipun dapat merasakan orang ini memang licik dan licin, cerdik dan pandai. Sebab itulah
tidak boleh tidak kami harus bekerja sedikit baginya agar tidak menimbulkan curiganya"
"O, makanya kalian gunakan orang lain sebagai oleh-oleh" kata Lui-ji
"Demi kebaikan urusan keseluruhannya, terpaksa kami bertindak demikian. Apalagi, orang
yang kami korbankan juga pantas mampus, kalau tidak, mengapa kami tidak turun tangan
terhadap Ji-heng?" Lui-ji tertawa, katanya, "Ya, hitung-hitung kalian dapat membedakan antara baik dan buruk,
kalau tidak, mungkin kaupun takkan hidup sampai sekarang."
Meski sekarang dia sudah tahu asal-usul Yang Cu-kang dan Hay Tong-jing, tapi cara
bicaranya masih tetap tajam dan tidak mau kalah sedikitpun.
Hay Tong-jing berlagak tidak tahu, katanya pula, "Gerakan kami boleh dikatakan sangat rapi,
tapi tidak kami duga bahwa Tangkwik-siansing telah mengirim pula beberapa orang untuk
berhubungan dengan Ji Hong-ho, setelah mereka saling bertemu, dengan sendirinya identitas
kami lantas terbongkar. Maka Ji Hong-ho lantas mengirim mereka untuk membunuh kami."
"Kawanan Lengkui itulah yang kau maksudkan?" tanya Lui-ji.
"Betul, guruku juga pernah dengar Tangkwik-siansing mempunyai anak buah Ngo-kui (lima
setan), bahkan setiap kui mempunyai beberapa duplikat lagi. Sebabnya karena Tangkwik
siansing tidak cuma mahir ilmu rias, ilmu pertabibannya juga sangat tinggi, maka dapat
dibayangkan duplikat kelima Kui itu pastilah hasil karya pisau operasinya yang mahir itu."
Wajah Pwe-giok bertambah pucat, tapi sinar matanya tambah mencorong, sebab bermacam
persoalan yang aneh dan misterius itu kini sudah dapat diketahui hal ikhwalnya.
Tapi Lui-ji lantas tanya lagi, "Kalau gurumu sudah tahu Ngo Kui masih mempunyai banyak
duplikat, mengapa tadi Yang Cu-kang masih ketakutan menghadapi mereka?"
"Rahasia ini baru diketahui guruku akhir-akhir ini," tutur Hay Tong-jing. "Belum lama pernah
ku pulang untuk menemui guruku, tapi Yang Cu-kang tetap berada di tempat Ji Hong-ho, baru
malam tadi kami berjumpa lagi."
"O, makanya demi mendengar Lengkui menyebutkan syair itu, air mukanya lantas berubah
hebat, sebab ia menyadari rahasia dirinya sudah diketahui," kata Lui-ji.
Tiba-tiba Thi-hoa-nio berkata, "Jika duplikat Lengkui itu ada lima-enam orang, wah, dapatkah
dia me... melayani mereka?"
324 "Jika seorang Lengkui ada enam duplikat, satu Kui berarti ada tujuh Kui, cuma sebelumnya
sudah kutumpas dua," kata Hay Tong-jing.
"Jika begitu masih ada tiga, apa... apakah..." Thi-hoa-nio tetap kuatir.
"Jangan cemas," kata Lui-ji dengan suara lembut, "orang macam Yang Cu-kang, jangankan
cuma tiga Kui, biarpun tiga ratus setan juga tak berdaya terhadapnya."
Thi-hoa-nio tersenyum sebisanya, namun tetap tidak mengurangi rasa kuatirnya.
Hay Tong-jing berkata pula, "Apabila ketiga Kui itu turun tangan berbareng, bisa jadi Yang
Cu-kang akan repot melayani mereka. Cuma, meski ilmu silat mereka sangat aneh, namun
pikiran sehat mereka sudah terpengaruh oleh obat sehingga gerak-gerik mereka jauh lebih
lambat daripada orang biasa. Sebab itulah meski aku terluka, tetap dapat lolos dari
cengkeraman mereka. Kupikir, umpama Cu-kang tak dapat menandingi mereka, sedikitnya
dia dapat kabur dengan selamat."
"Tapi bagaimana dengan kita?" tanya Lui-ji. "Menembus kemanakah lorong hantu ini"
Siapakah yang membuat jalan di bawah tanah ini" Sebab apakah dia membuat lorong ini?"
"Urusan ini tidak perlu kita tanya, cukup asal kita tahu setiap jalan di bawah tanah di dunia ini
pasti ada lubang keluarnya," ujar Hay Tong-jing dengan tak acuh.
"Tapi sesungguhnya kau tahu tidak jalan keluar lorong ini" Kalau jalan buntu, lantas
bagaimana?" Hay Tong-jing berkerut kening, katanya, "Apapun juga, jalan ini pasti tidak menuju ke
gerbang akhirat." "Ah, juga belum tentu," ujar Lui-ji. "Bisa jadi lorong ini adalah jalan masuk menuju neraka..."
Entah mengapa, belum habis ucapannya, tiba-tiba ia merasa hawa dingin dan seram berkesiur
di samping kakinya sehingga tanpa terasa ia merinding.
Didengarnya Pwe-giok lagi berkata, "Hay-heng, aku ingin... ingin mohon sesuatu padamu."
Gemerdep sinar mata Hay Tong-jing, katanya, "Kau minta kubawa kau menemui guruku,
begitu bukan?" "Betul," sahut Pwe-giok.
Hay Tong-jing menggeleng, ucapnya, "Urusan ini mungkin tidak mudah..."
"Tapi aku harus menemui beliau," kata Pwe-giok.
"Untuk apa?" tanya Hay Tong-jing.
"Ada suatu rahasia besar harus kuberitahukan kepada beliau."
325 Air mukanya memperlihatkan penderitaan yang sukar dikatakan, dengan rawan ia menjawab
kemudian, "Mungkin di dunia ini hanya gurumu saja yang dapat menyelesaikan persoalanku
ini, kuyakin beliau pasti mau menerima diriku."
Hay Tong-jing berpikir sejenak, katanya, "Apakah rahasia ini juga ada sangkut pautnya
dengan Tangkwik-siansing itu?"
"Bukan saja ada sangkut pautnya, bahkan sangat besar sangkut pautnya," jawab Pwe-giok.
"Dapatkah kau katakan dulu kepadaku?"
Pwe-giok menghela nafas panjang, ucapnya, "Bukanlah aku tidak mempercayai Hay-heng,
soalnya urusan ini... urusan ini..." mendadak bibirnya gemetar dan tidak sanggup melanjutkan.
Melihat penderitaan batin anak muda itu, tanpa terasa Hay Tong-jing juga menghela nafas,
katanya, "Bukannya aku tidak mau membantu permintaanmu, soalnya sudah lebih 20 tahun
guruku tidak pernah memperlihatkan wajah aslinya kepada orang lain, bahkan kami dilarang
keras membocorkan jejak beliau. Perintah guru tak boleh dilanggar, kuharap engkau dapat
memaklumi kesukaranku."
Pwe-giok tersenyum getir dan mengangguk, "Ya, ku paham," ucapnya dengan lesu.
"Tapi bisa jadi setiap saat beliau akan menemui kau, bahkan bukan mustahil kalian sudah
pernah berjumpa," tutur Hay Tong-jing pula. "Tindak tanduk beliau selamanya memang sukar
diraba, siapapun tidak dapat menduganya."
Pwe-giok mengangguk, tiba-tiba ia seperti teringat kepada sesuatu kejadian, dibayangkan lagi
peristiwa dahulu itu sehingga melamun.
Hay Tong-jing lantas berdiri, katanya, "Lorong ini entah berapa panjangnya, marilah kita
mencari dulu jalan keluarnya."
"Dan bagaimana dengan ketiga peti ini?" tanya Lui-ji. "Untuk apa kita menggendongnya"
Kan lebih baik kita lepaskan orang yang tersekap di dalamnya?"
"Untuk sementara orang di dalam peti tidak dapat siuman, kau lepaskan mereka juga
percuma, lebih baik kau gendong lagi sebentar," kata Hay Tong-jing.
"Sialan!" omel Lui-ji sambil menghentakkan kaki.
***** Jalan di bawah tanah itu memang rahasia dan berliku-liku, bahkan sangat dalam dan panjang,
untung setiap belokan selalu diterangi sebuah pelita yang terselip di sela dinding. Cahaya
pelita guram sehingga mirip api setan.
Mendadak Lui-ji bertanya, "Eh, tahukah kau sudah berapa buah pelita yang kita lalui?"
Pwe-giok tahu anak dara ini tidak dapat diam. Lewat sekian lama tentu akan timbul sesuatu
pertanyaan baru, bahkan setiap pertanyaannya selalu aneh-aneh.
326 Siapapun tidak tahu untuk apa dia bertanya begitu, maka tidak ada yang menjawab.
"Sampai saat ini, sudah 39 buah pelita yang kita lalui, coba, aneh tidak?" kata Lui-ji pula.
"Apanya yang aneh?" Hay Tong-jing tidak tahan dan menanggapi.
"Tidak kau rasakan aneh, karena kau tidak suka banyak melihat dan tidak mau banyak
berpikir," omel Lui-ji.
"Soalnya urusan yang harus kupikirkan jauh lebih penting daripada urusan lampu," jengek
Hay Tong-jing. Sekali ini Lui-ji ternyata tidak menanggapi, ia hanya memandangi pelita perunggu itu dengan
termangu-mangu. Tanpa terasa Hay Tong-jing ikut berhenti, tapi setelah dipandang sekian lama tetap tidak
terlihat sesuatu keanehan pada lampu itu, akhirnya ia tidak tahan pula dan berucap, "Tiada
sesuatu keanehan pada lampu ini."
"Oo" Begitukah?" kata Lui-ji.
"Memangnya ada kau lihat sesuatu?" tanya Hay Tong-jing.
"Betul, makin kulihat makin mengherankan, makin kupikir juga makin aneh, sungguh aneh
sekali." "Dimana letak keanehannya?"
Lui-ji mencibir, jawabnya, "Jika kau anggap urusan ini tidak penting, untuk apa bertanya?"
Mendongkol juga Hay Tong-jing, tapi terpaksa tak dapat bicara lagi.
Meski Thi-hoa-nio sendiri lagi memikirkan keselamatan Yang Cu-kang, kini iapun merasa
geli. Ia merasa kepandaian Lui-ji yang terbesar adalah memancing kemarahan orang, jauh
lebih pandai daripada caranya menaruh racun. Berhadapan dengan anak perempuan semacam
ini, kaum lelaki sebaiknya sedikit bicara, bahkan lebih baik jangan bicara.
Tapi Lui-ji juga ketemu batunya, yaitu terhadap Pwe-giok, di depan pemuda itu mau tak mau
dia harus pendiam, sebab waktu tidak perlu bicara pasti juga Pwe-giok takkan bicara.
Dengan berseri seri Lui-ji lantas berkata pula, "Di lorong ini ada 39 buah lampu, tapi belum
juga sampai di lubang keluarnya, dari sini dapat diketahui lorong ini pasti sangat panjang.
Dan lorong sepanjang ini kan tidak banyak?"
"Ya, memang jarang ada," ujar Pwe-giok.
"Di dalam lorong bawah tanah ini ada 39 buah lampu, sedikitnya ada empat lima hal yang
pantas diherankan, apabila kau mau menirukan diriku, mau banyak memeras otak, bisa jadi
akan dapat kaupikirkan."
327 "Anak perempuan umumnya memang jauh lebih cermat daripada lelaki, meski sejak tadi
kuperas otak, tetap tak dapat memikirkan apapun," kata Pwe-giok dengan tersenyum.
Lui-ji tambah gembira, katanya pula, "Orang ini membuat lorong bawah tanah sepanjang ini,
dapat diperkirakan pasti ada maksud tujuan yang khusus, sebab kalau tujuannya hanya untuk
jalan lari saja, kan dimanapun dapat dibuatnya sebuah lubang keluar. Untuk apa mesti banyak
membuang tenaga dan membangun jalan sepanjang ini."
Sikap Pwe-giok mulai prihatin, katanya, "Ya, betul juga."


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk membuat lorong sepanjang ini sedikitnya diperlukan waktu tiga atau lima tahun,
padahal Yang Cu-kang belum lama muncul di Kangouw, jelas lorong ini bukan hasil
kerjanya." "Mungkinkah gurunya"..." kata Thi-hoa-nio.
Lui-ji memandang Hay Tong-jing sekejap, jawabnya, "Pasti tidak, buktinya orang inipun
tidak tahu." Thi-hoa-nio mengangguk-angguk.
Lalu Lui-ji berkata pula, "Jika dia sengaja membuang tenaga dan pikiran sebanyak ini untuk
membangun jalan di bawah tanah ini, tentu dia mempunyai tujuan tertentu, kalau ada tujuan,
pasti gerak-geriknya sangat rahasia, lalu bagaimana Yang Cu-kang dapat mengetahui
rahasianya?" "Bisa jadi lorong ini sudah lama sekali dibangun dan baru akhir-akhir ini ditemukan Cu-kang
secara tidak sengaja, mungkin orang yang membangun lorong ini sudah lama mati," kata Thihoa-
nio. "Tidak betul," ucap Lui-ji tegas.
"Sebab apa?" tanya Thi-hoa-nio.
"Rumah gubuk di luar sana pasti dibangun bersama dengan lorong di bawah tanah ini,
tentunya dapat kau lihat gubuk itu tidak terlalu tua, umurnya pasti tidak lebih daripada
sepuluh tahun." "Tapi rumah gubuk begitu kan setiap waktu dapat diperbaiki..."
"Gubuk itu hanya untuk menutupi jalan di bawah tanah ini dan bukan untuk tempat tinggal,
makanya tidak perlu diperbaiki segala, apalagi semua inipun bukan masalah pokok yang
penting." "Habis apa masalah utamanya?" tanya Thi-hoa-nio.
"Lampu-lampu ini," jawab Lui-ji.
"Lampu?" Thi-hoa-nio melongo.
328 "Ya, lampu," kata Lui-ji. "Coba jawab, lampu semacam ini semacam ini, kalau tidak ditambah
minyak, umumnya dapat menyala berapa lama?"
"Lampu umumnya kalau tidak tambah minyak, satu malam saja akan kehabisan minyak dan
padam sendiri," jawab Thi-hoa-nio. "Meski lampu ini lebih besar sedikit daripada lampu
biasa, paling-paling juga tahan menyala sehari semalam saja."
Mendadak Lui-ji berkeplok dan berkata, "Tepat. Sedangkan lampu-lampu ini terus menyala
tanpa membedakan siang atau malam dan tidak pernah padam, ini membuktikan bahwa setiap
hari pasti ada orang datang ke sini untuk menambahkan minyak lampu."
Dengan sinar mata yang gemerdep ia menyambung pula, "Tapi akhir-akhir ini Yang Cu-kang
jelas tidak berada di sini, suatu tanda orang yang menambahi minyak lampu bukanlah dia."
"Jika begitu, lantas siapa?" tanya Thi-hoa-nio.
"Bisa jadi orang yang membangun lorong bawah tanah ini, mungkin juga budaknya," ujar
Lui-ji. "Tapi apapun juga di lorong ini pasti ada orangnya, meski kita tidak melihat dia, bukan
mustahil secara diam-diam dia sedang mengintai kita."
Di tengah kelip cahaya pelita minyak itu, suasana di lorong itu seolah-olah mendadak berubah
dingin. Thi-hoa-nio memandang sekelilingnya, ia menjadi was-was, jangan-jangan di tempat
kegelapan yang tak sampai oleh cahaya lampu itu benar tersembunyi orang yang sedang
mengintai mereka sambil menyeringai"
Tanpa terasa ia bergidik, ucapnya sambil menyengir, "Aneh, nyaliku terasa makin kecil
sekarang." "Anak perempuan yang kawin biasanya akan bertambah kecil nyalinya," kata Lui-ji.
"Seumpama di sini benar ada orangnya, kukira juga tak bermaksud jahat terhadap kita,
buktinya Yang Cu-kang menyuruh kita masuk ke sini tanpa kuatir," kata Hay Tong-jing.
"Ah, juga belum tentu," jengek Lui-ji. Tanpa memberi kesempatan bicara kepada orang, ia
menyambung pula, "bisa jadi ia sendiripun tidak tahu apakah di lorong bawah tanah ini ada
orang atau tidak, bisa jadi dia menemukan rumah gubuk itu secara tidak sengaja dan di dalam
rumah juga kebetulan tidak ada penghuninya..."
"Betul," tukas Thi-hoa-nio, "waktu aku dibawanya ke sini, semula rumah itu penuh debu,
tungkunya juga kotor dan dingin, jelas sudah lama tidak ditinggali orang."
"Tapi dia pasti sudah lama menemukan tempat ini, kalau tidak masakah dia berjanji dengan
Ong Uh-lau dan lain-lain untuk bertemu di sini?" Setelah memandang Hay Tong-jing sekejap,
lalu Lui-ji bertanya, "Tentunya kaupun sudah lama mengetahui akan tempat ini, kalau tidak
tentu kaupun takkan lari ke sini, betul tidak?"
329 "Tempat ini justeru ku dapat tahu dari Ong Uh-lau, sebelum ini aku tidak pernah ke sini,"
jawab Hay Tong-jing. Setelah merandek sejenak, segera ia melanjutkan pula, "Tapi apapun
juga di lorong sini pasti ada orang lain, kalau kita sudah sampai di sini, mau tak mau harus
kita temukan orangnya, apa gunanya kita hanya sembarangan menerka tanpa bukti?"
Tiba-tiba Pwe-giok menyela dengan tertawa, "Sebenarnya tanpa kita mencari dia, pasti juga
dia akan mencari kita."
Segera Thi-hoa-nio memandang lagi sekeliling, katanya, "Perduli dia orang macam apa,
kuharap selekasnya dia mau muncul, makin cepat makin baik."
"Siapapun orangnya tidak kutakuti, jika yang muncul bukan orang, itulah yang repot," kata
Lui-ji. Kembali Thi-hoa-nio merinding, tanpa terasa ia mendekatkan tubuhnya ke samping Pwe-giok.
Lui-ji mengikik tawa, ucapnya, "Hihi, kukira kau tidak takut sungguh-sungguh, tapi mencari
kesempatan..." Belum habis ucapan Lui-ji, mendadak pelita minyak sama padam, kegelapan seakan-akan
mendatangkan hawa dingin yang membuat bungkam mulut anak dara itu.
Akan tetapi cahaya lampu segera terlihat di balik belokan sana, tanpa disuruh semua orang
lantas memburu ke sana. Siapa tahu, setiba di bawah lampu itu, sekonyong-konyong lampu
inipun padam. Seketika suasana tenggelam dalam kegelapan yang membuat orang putus asa, meski tempat
dimana mereka berada sangat sempit, namun kegelapan justeru tak terhingga luasnya. Setiap
orang seakan-akan beku oleh kegelapan, siapapun tidak dapat bicara lagi.
Sampai agak lama barulah Lui-ji menghela nafas dan berkata, "Apabila sekarang dapat ku beli
minyak lampu, kuberani bayar satu tahil minyak dengan satu kati perak."
"Jangan kuatir, aku membawa geretan api," kata Hay Tong-jing.
"Geretan api dapat menyala berapa lama?" tanya Pwe-giok.
"Sudah terpakai dua kali, sisanya mungkin masih tahan setanakan nasi," tutur Hay Tong-jing.
"Lekas keluarkan, setanakan nasi lamanya mungkin dapat kita temukan jalan keluarnya," seru
Lui-ji. "Dan kalau tidak menemukannya?" tanya Pwe-giok.
"Betapapun harus kita coba, kan?"
"Tidak dapat dicoba! Sebab geretan api ini adalah kesempatan kita yang terakhir, jika geretan
api ini terpakai habis, tanpa orang turun tangan terhadap kita, jelas kita akan mati terkurung di
sini." 330 "Tapi kita kan dapat mundur kembali ke sana?" ujar Lui-ji.
"Tidak bisa mundur lagi," kata Pwe-giok.
"Sebab apa?" tanya Lui-ji.
"Lorong ini tampaknya seperti cuma satu, yang melingkar dan berliku-liku, jika kita merayap
di dalam kegelapan, bisa jadi kita akan terus putar kayun di tempat semula."
"Jika demikian, jangan-jangan lampu ini sengaja dipadamkan orang?" seru Thi-hoa-nio
dengan suara serak. "Adakah kau lihat seseorang?" tanya Lui-ji.
"Tidak, akan tetapi..."
"Memangnya hendak kau katakan orang itu bisa ilmu menghilang?" ujar Lui-ji dengan
tertawa. Meski sambil tertawa, tanpa terasa ia memegang lengan Pwe-giok erat-erat.
"Apapun juga kita tak dapat berdiri di sini," kata Hay Tong-jing.
"Betul, jika di luar tentunya kita dapat menunggu hingga terang tanah," tukas Lui-ji. "Tapi
berada di tempat setan ini, selamanya takkan pernah terang tanah."
"Maka sekarang juga kita harus merambat ke depan, kalau perlu barulah kita menyalakan
geretan api," kata Pwe-giok.
"Tapi bilakah baru akan dianggap perlu?" tanya Lui-ji.
"Untuk ini..." Pwe-giok menjadi ragu.
"Sekali ini kukira ucapan nona Cu tidak... tidak betul," sela Hay Tong-jing. "Kalau sekarang
juga kita menyalakan api terus menerjang ke depan, mungkin sebelum geretan api menyala
habis sudah dapat kita temukan jalan keluar."
"Betul, meski ini merupakan pertaruhan terakhir, betapapun boleh kita coba daripada tinggal
diam," tukas Thi-hoa-nio.
"Agar gerakan kita bisa lebih leluasa, biarlah kita tinggalkan dulu di sini ketiga peti ini, nanti
kalau kita sudah keluar baru berusaha lagi menolong mereka," kata Hay Tong-jing.
"Jika kita tidak dapat menemukan..." Pwe-giok tetap ragu.
"Jika tidak menemukan jalan keluar, toh kita tetap akan mati terkurung di sini," ujar Hay
Tong-jing. Pwe-giok termenung sejenak, kemudian menghela nafas panjang, katanya, "Akupun tidak
tahu tindakan kalian ini tepat atau tidak, cuma kupikir... pendapat tiga orang tentunya lebih
baik daripada pendapat seorang..."
331 ***** Meski cahaya geretan api yang dinyalakan itu tak dapat mencapai jauh, tapi dalam kegelapan
asalkan ada setitik sinar tentu akan membangkitkan semangat orang. Maklumlah, siapapun
juga bila berada dalam kegelapan tentu akan merasa putus asa dan kehilangan keberanian.
Pwe-giok memegang obor kecil itu dan mendahului jalan di depan, sangat cepat jalan mereka.
Meski Hay Tong-jing terluka, tapi dia dipegang oleh Pwe-giok sehingga tidak sampai
ketinggalan. Akan tetapi jalan di bawah tanah ini memang panjang luar biasa, seolah-olah tidak berujung.
Sejak awal Hay Tong-jing terus memperhatikan obor yang dipegang Pwe-giok, tiba-tiba ia
menghela nafas dan berkata, "Mungkin api sudah hampir padam."
Benarlah, api obor itu sudah mulai guram.
Dengan gemas Lui-ji berkata, sungguh aku benci mengapa manusia tidak membuat baju dari
bahan kertas, kalau tidak, tentu dapat kita nyalakan."
Mendadak Pwe-giok ingat dalam bajunya masih tersimpan satu jilid "buku catatan". Meski
buku ini adalah benda yang diharap-harapkan oleh Ji Hong-ho dan begundalnya dan dicari
dengan segala daya upaya, tapi bagi Pwe-giok buku ini justeru tidak ada sesuatu yang
istimewa dan menarik. Ia tahu ada sementara buku yang sengaja ditulis secara rahasia dan sukar terbaca, tapi kalau
kertas buku dibasahi dengan air, tulisan itu akan timbul dan terbaca dengan jelas.
Akan tetapi ia sudah pernah mencobanya dengan merendam buku itu di dalam air dan tetap
tiada kelihatan satu huruf pun.
Cuma Pwe-giok tetap merasa buku kosong ini pasti besar artinya bagi Ji Hong-ho, kalau tidak
masakah ia mengerahkan begundalnya dan membumi-hanguskan sebuah kota.
Dan sekarang ia merasa buku ini ada gunanya.
Pwe-giok lantas mengeluarkan buku itu, meski buku yang cuma belasan halaman inipun
takkan tahan lama dibuat obor, tapi kan lebih baik ada daripada tidak ada, sebab soal sedetik
saja terkadang justeru menentukan antara mati dan hidup.
Sama sekali tak terpikir oleh Pwe-giok bahwa buku ini ternyata tidak dapat dibakar.
Di bawah gemerdepnya cahaya obor yang guram, tiba-tiba dilihatnya buku kosong yang tidak
dapat menyala ini timbul beberapa huruf, yang ditulis seperti nama beberapa orang.
Pada saat lain, api obor itupun padam.
Hampir saja Lui-ji berteriak, omelnya, "He... masakah menyalakan kertas saja tidak bisa ?"
332 Sedapatnya Pwe-giok menahan gejolak hatinya yang bergembira, jawabnya tenang, "Sebab
kertas buku ini basah."
"Basah?" Thi-hoa-nio pun tidak tahan dan berseru, "kenapa bisa basah?"
"Kena keringat badanku," jawab Pwe-giok.
Lui-ji melengong sejenak, katanya kemudian, "Ya, betul, jika ada orang yang tidak
berkeringat dalam keadaan demikian, tentu dia itu orang-orangan terbuat dari kayu."
"Dan sekarang lelatu api saja tidak ada, lantas bagaimana baiknya?" tanya Thi-hoa-nio.
"Bagaimana baiknya" Kau malah tanya" Kan kalian tadi yang menganjurkan menyalakan
api?" kata Lui-ji. "Tapi... tapi semula itu kan usulmu?" ujar Thi-hoa-nio.
"Siapa suruh kalian menurut kepadaku?" seru Lui-ji. "Mengapa kalian tidak turut kepada
anjuran Pwe-giok" Kalian memang pantas mampus terkurung di sini."
Thi-hoa-nio jadi melenggong, selang sejenak didengarnya dalam kegelapan ada orang
menangis perlahan, kiranya Lui-ji tidak tahan dan telah menangis.
"Sayang, air mata tak dapat dijadikan minyak lampu, kalau tidak, tentu akan banyak
manfaatnya jika kita menangis semua," ejek Hay Tong-jin.
Lui-ji melonjak bangun dan berteriak, "Siapa menangis " Kau sendiri yang menangis, untuk
apa aku menangis " Meski kedua mataku tidak dapat melihat apa-apa, tapi kedua kakiku tidak
buntung, tetap dapat keluar."
"Betul, akan kupapah Hay-heng, dan kalian memegangi tangannya, kita jangan sampai
terpencar," kata Pwe-giok.
"Aku lebih suka memegang kaki anjing daripada pegang tangannya," ucap Lui-ji.
"Biar kupegang dia dan kau pegang tanganku, boleh?" kata Thi-hoa-nio.
Lui-ji hanya mendengus saja. Dia lantas menjulurkan tangannya ke arah Thi-hoa-nio dan
memegang satu tangan, dalam kegelapan ia merasa tangan ini tidak terlalu besar, juga tidak
kasar, ia pikir tangan ini pasti tangan Thi-hoa-nio.
Siapa tahu mendadak terdengar Hay Tong-jing berucap dengan tertawa, "Inilah kaki anjing."
Keruan Lui-ji terkejut, baru saja ia hendak lepas tangan, tapi urung, bahkan ia tertawa dan
berkata, "Karena kau mengaku ini kaki anjing, ya sudahlah."
Orang yang baru saja menangis dengan sedih, kini telah tertawa. Coba, siapa yang dapat
marah terhadap anak perempuan demikian"
333 Begitulah Pwe-giok terus merambat ke depan, dirasakan meski dinding terasa licin, padahal
yang benar sangat kasar, agaknya lorong ini dibuat dengan tergesa-gesa asal jadi.
Sangat lama mereka berjalan, semula mereka berusaha bicara ini dan itu, sebab mereka tahu
dalam kegelapan bila tidak terdengar suara, suasana akan tambah mencekam.
Akan tetapi lama-lama mereka merasa sudah kehabisan bahan bicara, sampai Lui-ji juga tidak
menyangka dirinya akan kehabisan bahan cerita.
Namun sekarang biarpun perasaan semua orang terasa tertekan, semuanya tetap mempunyai
harapan, yaitu lubang keluar lorong itu setiap saat muncul di depan mereka. Tanpa harapan
ini, mungkin satu langkah saja tidak ada yang sanggup berjalan.
Entah sudah berjalan berapa lama lagi, mendadak Lui-ji dengar di depan sana ada suara 'trang'
yang keras, seperti suara tambur ditabuh. Seketika Hay Tong-jing yang berjalan di depannya
menerjang beberapa langkah ke depan dengan sempoyongan.
Baru saja Lui-ji terkejut, tahu-tahu kaki sendiripun kesandung sesuatu dan menimbulkan
bunyi 'trang' yang keras.
"He, barang apa ini?" seru Thi-hoa-nio.
Sudah sekian lama dia berucap, tapi tiada seorangpun menjawab.
Seketika hati Thi-hoa-nio merasa ngeri, katanya dengan suara gemetar, "He, ke... kenapa
kalian tidak bicara?"
Padahal saat itu setiap orang juga sedang berpikir barang apakah yang kesandung kaki
mereka, hanya tiada seorangpun berani bersuara.
Sampai lama sekali barulah terdengar Pwe-giok berucap dengan menyesal, "Inilah peti."
"Peti?" Thi-hoa-nio menegas. "Masa... masakah peti yang... yang kita tinggalkan tadi?"
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 13 Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Pendekar Lembah Naga 29
^