Imbauan Pendekar 9
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung Bagian 9
Sekuatnya dia mengucapkan kata-kata itu dan kedua kaki sendiripun terasa lemas.
Selang sekian lama pula, Pwe-giok berkata lagi dengan perlahan, "Betul, ketiga peti tadi."
Thi-hoa-nio menjerit kaget dan jatuh tersungkur, ia tidak sanggup berdiri lagi.
Kalau tidak salah mereka sudah berjalan hampir seharian, siapa tahu berjalan kesana kemari,
ternyata kembali lagi ke tempat semula.
Lui-ji juga merasakan kedua kakinya jauh lebih berat daripada diganduli sepotong besi,
dengan lemas iapun roboh bersandarkan dinding batu, nyata harapannya yang terakhir juga
lenyap, di dunia ini tidak ada lagi tenaga yang dapat mendorongnya berjalan pula.
Entah sudah lewat berapa lama, mendadak terdengar Pwe-giok berkata, "Bukan mustahil pada
tubuh Kwe Pian-sian dan Ki Leng-hong membawa geretan api."
334 Seketika Lui-ji melonjak bangun, serunya, "He, betul, kenapa kita tidak ingat tadi..."
Sembari bicara ia terus meraba ke sana dan menemukan sebuah peti.
Baru saja Thi-hoa-nio hendak menyusul ke sana, mendadak terdengar lagi jeritan kaget, suara
Lui-ji dan Pwe-giok yang menjerit bergema.
Bahwa Ji Pwe-giok sampai menjerit kaget, maka keadaannya pasti luar biasa.
Seketika Thi-hoa-nio merasa telapak tangannya berkeringat dingin, ia coba berseru, "He,
ada... ada apakah?" "Peti... peti sudah kosong...!" kata Lui-ji.
Thi-hoa-nio baru saja berdiri, segera dia jatuh terduduk lagi, ucapnya dengan tergegap,
"Kosong"... masakah mereka sudah siuman dan... dan sudah pergi ?"
"Bukan," jawab Lui-ji. "Gembok pada peti ini dipuntir patah orang."
"Mungkinkah salah seorang di antara mereka siuman lebih dulu, lalu memutuskan gembok
pada kedua peti yang lain ?" tanya Thi-hoa-nio.
"Tidak, gembok ketiga peti ini sama-sama dipatahkan orang dari luar," tutur Lui-ji. "Apalagi,
kalau cuma kekuatan Kwe Pian-sian bertiga tidak nanti mampu memuntir patah gembok ini."
Meski sedapatnya dia menahan perasaannya, tidak urung suaranya kedengaran rada gemetar.
Walaupun sejak tadi semua orang sudah menduga di lorong bawah tanah ini ada orang lain,
tapi semula mereka berharap dugaan mereka tidaklah benar, tapi sekarang harapan inipun
meleset. Jadi tidak perlu disangsikan lagi bahwa di dalam lorong ini memang ada orang, bahkan
selama ini selalu mengintai setiap gerak gerik mereka, hanya saja orang itu tidak pernah unjuk
muka. "Sungguh aku tidak paham apa maksud mereka" Mengapa main sembunyi dan tidak berani
menemui orang?" ujar Lui-ji dengan menyesal.
"Masa kau tidak paham ?" tanya Hay Tong-jin.
"Tidak," jawab Lui-ji.
"Sebab orang itu ingin mengurung mati kita di sini, hakekatnya dia tidak perlu
memperlihatkan dirinya," tutur Hay Tong-jing.
"Siapakah dia" Ada permusuhan apa pula dengan kita?" tanya Thi-hoa-nio dengan parau.
"Dia tidak perlu bermusuhan dengan kita, yang jelas kita sudah melanggar tempat rahasianya,
tidak boleh tidak kita harus dibunuhnya."
335 Keterangan ini membikin semua orang tidak dapat bersuara lagi.
Pada saat itulah, mendadak dalam kegelapan bergema serentetan suara yang aneh, seperti
orang menghela nafas menyesal, seperti suara orang menangis dan seperti juga orang
mengejek. Dalam keadaan dan di tempat demikian, suara ini sungguh membikin orang mengkirik.
Thi-hoa-nio berkata sambil tertawa getir, "Kami sudah cukup tersiksa, untuk apa pula kau
menakut-nakuti kami lagi?"
"Ada sementara orang sedikitpun tidak dapat diam," kata Hay Tong-jing.
"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Lui-ji.
Hay Tong-jing tertawa, jawabnya, "Aku cuma heran, entah bagaimana caramu mengeluarkan
suara semacam ini?" "Huh, ada sementara orang suka kentut, tapi selalu menyangkal, bahkan suka menuduh orang
lain yang kentut," jengek Lui-ji.
"Makanya kau tuduh diriku?" tanya Hay Tong-jing.
"Suara ini jelas suara orang lelaki, kalau bukan kau lantas siapa?" kata Lui-ji dengan gusar.
Mendadak Hay Tong-jing diam saja, selang sejenak barulah berucap pula, "suara itu masa
bukan suaramu?" "Sudah tentu bukan," teriak Lui-ji. "Siapa yang bohong, anggaplah dia bukan manusia."
"Tapi juga bukan suaraku," kata Hay Tong-jing.
Tiba-tiba Thi-hoa-nio menyela dengan suara parau, "Jika kalian sama-sama tidak bersuara,
habis si... siapa?" "Jangan-jangan kau?" tanya Lui-ji mendadak.
"Dengan sendirinya bukan diriku," cepat Thi-hoa-nio membantah. "Sejak tadi aku ketakutan
setengah mati, memikirkan diri sendiri saja tidak sempat, masa menakut-nakuti orang lain?"
Mereka sama sekali tidak tanya Ji Pwe-giok, sebab siapapun tahu anak muda itu pasti tidak
mau berbuat hal-hal begini. Seketika semua orang sama melenggong.
Dari suara tadi, jelas dalam kegelapan ada lima orang.
Tapi siapapun tidak dapat melihat kelima orang itu, juga tidak diketahui mereka sembunyi di
mana. Mendadak Lui-ji berteriak, "Aku sudah melihat kau, kau hendak sembunyi kemana lagi?"
336 Thi-hoa-nio terkejut, tapi segera ia tahu ucapan Lui-ji itu cuma gertak sambal saja, segera
iapun berteriak, "Ya, jika kau sudah datang kemari, apakah ingin lari lagi ?"
Meski mereka berkaok-kaok sampai sekian lamanya, namun dalam kegelapan tetap tidak ada
suara jawaban dan reaksi apapun. Mereka sama merasa keringat dingin membasahi tangan
sendiri, orang itu tidak dapat digertak, sebaliknya diri sendiri yang tambah ketakutan.
Tiba-tiba Pwe-giok berucap, "Kalian salah dengar semua, hakekatnya tidak ada suara apapun
tadi" "Tapi... tapi jelas kudengar," kata Lui-ji.
"Mengapa aku tidak mendengarnya ?" ujar Pwe-giok.
Lui-ji bermaksud bicara lagi, tapi mendadak dirasakan Pwe-giok memegang tangannya sambil
berbisik, "Marilah kita bergandengan tangan dan menerjang ke depan, coba saja dia akan lari
ke mana ?" Segera tangan kanan Lui-ji memegang tangan kiri Thi-hoa-nio, tangan Thi-hoa-nio lantas
menarik tangan Hay Tong-jing, ke empat orang sama menempel dinding dan maju ke depan
dengan perlahan dengan maksud mengepung orang itu.
Tak terduga, meski sudah belasan langkah jauhnya, tiada sesuatu apapun yang mereka sentuh.
Tiba-tiba Lui-ji berseru terkejut, "He, kenapa tempat ini mendadak menjadi longgar."
Lorong di sini luasnya tidak ada tujuh kaki, tapi sekarang mereka sudah melangkah belasan
kaki dan tidak membentur dinding batu bagian depan. Hal ini membuat mereka terkejut.
Selang sejenak, terdengar Thi-hoa-nio berkata, "Jangan... janganlah kau meremas tanganku."
"Persetan, menyentuh tanganmu saja tidak," jawab Lui-ji.
"Aku juga tidak, aku berada di sebelah sini," Hay Tong-jing menambahkan.
"Betul kau di sisi kananku," ucap Thi-hoa-nio dengan suara rada gemetar. "Tapi tangan
kiriku..." Belum habis ucapannya, dapatlah dirasakan tangan yang menariknya itu bukan Cu Lui-ji.
sedangkan Lui-ji juga merasakan tangan yang dipegangnya itu kaku lagi dingin, jelas bukan
tangan Thi-hoa-nio. Sungguh tidak kepalang rasa kaget kedua orang itu, serentak mereka melepaskan tangannya
dan menyurut mundur, serunya dengan suara parau, "Siapa kau?"
Dalam kegelapan tiba-tiba ada suara orang mengekeh tawa.
Suara tertawa itu timbul di tengah-tengah mereka, tapi hanya sekejap saja sudah menjauh,
agaknya terus masuk ke balik dinding batu antara kedua sisi lorong.
337 Membayangkan tangan yang dipegangnya itu entah tangan siapa, seketika setengah badan
Lui-ji terasa lemas. Bahwa orang itu dapat memegang tangan mereka tanpa disadarinya, maka kalau orang hendak
membunuh mereka bukankah segampang mengambil barang di saku sendiri"
Betapapun besar tabahnya hati Lui-ji, mau tak mau kedua kakinya terasa lemas juga dan
hampir tidak sanggup berdiri.
Thi-hoa-nio juga tidak berani bergerak sama sekali.
Terdengar Pwe-giok berkata, "Tempat ini bukan lorong yang pernah kita lalui tadi."
"Tapi ketiga peti ini..." Lui-ji merasa bingung.
"Justeru lantaran ketiga peti ini telah dipindahkan orang ke sini, makanya kita mengira tempat
ini adalah tempat semula."
"Lantas, sesungguhnya kita sudah berada di tempat apa ?" tanya Lui-ji.
Dalam kegelapan tempat manapun akan berubah sama, sebab tempat ini baik besar atau kecil,
luas atau sempit, semuanya tak dapat dirasakan.
Selagi Pwe-giok termenung, tiba-tiba seorang mengikik tawa dan berkata, "Inilah rumahku,
tidak jelek tempatnya, di atas meja ada arak, di kotak sana ada buah. Kalian sudah datang ke
sini, silahkan minumlah barang secawan."
Suara orang ini kecil lagi melengking, kedengarannya seperti suara anak kecil yang sedang
bertembang. Bila hari-hari biasa tentu Lui-ji akan merasa suka, tapi sekarang dalam keadaan begini, suara
orang dirasakannya seperti jeritan setan.
Pada saat itulah sekonyong-konyong setitik sinar lilin telah dinyalakan.
Baru sekarang mereka mengetahui sudah berada di dalam sebuah ruangan yang sangat luas,
cahaya lilin itu terasa sangat kecil, tapi karena sudah terlalu lama berada dalam kegelapan,
cahaya yang suram ini jadi cocok bagi mereka, sebab kalau cahaya lampu terlalu terang, bisa
jadi mereka akan silau dan sukar membuka mata.
Terlihat di ruangan besar ini berduduk belasan orang, ada yang tinggi, ada yang pendek, ada
yang kurus, ada yang gemuk, ada yang sedang main catur, ada yang lagi membaca, ada pula
yang sedang memandang lukisan, juga ada yang lagi memetik kecapi.
Sikap orang-orang ini kelihatan sangat santai, apa yang dikerjakan merekapun sangat bernilai
seni adanya. Tapi pakaian mereka justeru terdiri dari kain kasar, malahan baju lengan cekak,
bahkan sepertinya telanjang kaki, paling-paling hanya pakai sandal, sekilas pandang mereka
lebih mirip kuli yang baru pulang dari tempat kerja, sama sekali tidak sesuai dengan apa yang
sedang dikerjakan mereka.
338 Ditengah-tengah ruangan besar ini terdapat sebuah meja perjamuan, beberapa lelaki kekar dan
berwajah kasar sedang minum arak. Dilihat dari dandanan mereka sepantasnya mereka makan
minum dengan lahapnya, tapi tampaknya semuanya justru duduk dengan sangat sopan. Satu
cawan arak terpegang ditangan, tapi sampai sekian lama belum lagi diminum, agaknya melulu
bau harum arak saja yang dinikmatinya, meski jelas tahu kedatangan rombongan Pwe-giok,
tapi tiada seorangpun yang berpaling.
Betapapun Lui-ji tidak menyangka akan mendadak melihat orang sebanyak ini, tentu saja ia
terkejut. Meski orang-orang ini tidak mirip tokoh Bu-lim, tapi muncul ditempat misterius
begini tentu membuat orang sukar meraba orang macam apakah mereka ini. Lui-ji juga tidak
berani meremehkan mereka.
Terdengar suara mengikik tawa tadi bergema pula, kata seorang. "Kalau tuan rumah tidak
pelit, kenapa tetamunya rikuh" Silahkan, silahkan minum barang secawan." - Jelas suara
tertawa ini berkumandang dari meja makan sana.
Perawakan orang yang bicara itu tidak tinggi meski duduk di dalam rumah yang seram ini,
namun kepalanya justru memakai caping bambu yang biasa digunakan kaum petani, sehingga
wajahnya hampir tertutup dan tidak kelihatan.
Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian, "Jika demikian, terpaksa kami harus
mengganggu kawan." Pelahan mereka lantas menuju ke tengah ruangan, orang-orang itu masih asyik main catur dan
membaca, tiada seorangpun menghiraukan mereka, seperti tidak menghargai sang tetamu
sama sekali. Sungguh lagak orang ini teramat sombong.
Meski mendongkol, tapi berada ditempat demikian, Lui-ji tidak berani sembarangan
bertindak. Pada meja bundar itu hanya diduduki enam-tujuh orang, kebetulan masih ada lima-enam
tempat duduk luang. Maklumlah, meja perjamuan umumnya disediakan untuk 12 orang.
Pwe-giok mendahului maju dan berduduk tanyanya dengan tersenyum, "Siapakah she Tuan
rumah yang mulia?" Orang yang memakai caping itu tertawa dan menjawab, "Kalian adalah tetamu yang tidak
diundang, untuk apa bertanya nama tuan rumah segala?"
Lilin yang menyala itu kebetulan terletak di sebelahnya, ditambah lagi dia memakai caping
bertepi lebar, meski Pwe-giok duduk di depannya, tetap tidak dapat melihat jelas wajahnya.
Ia coba memandang orang-orang yang duduk di sebelahnya, semuanya memakai topi yang
ditarik rendah ke depan, tampaknya orang-orang ini sudah berniat tidak mau menegur, bahkan
memandang mereka sekejap saja tidak mau.
Air muka orang-orang ini sama dingin dan seram, yang dipakai adalah baju dari kain kasar
dan sudah rombeng, namun topi yang dipakai mereka tampak masih baru, juga dari kwalitas
tinggi. Malahan ada sebagian diberi hiasan batu permata sehingga tidak serasi dengan baju
mereka, seperti habis membeli topi, lalu tidak punya uang lagi untuk membeli baju.
339 Berputar biji mata Cu Lui-ji, ia mengejek. "Tampaknya kalian merasa berat untuk membeli
baju dan sepatu, tapi berani membeli topi dengan royal, sungguh aneh bin heran."
Dia sengaja membikin marah orang-orang itu, siapa tahu mereka tetap diam saja seperti tidak
mendengar ocehannya, bahkan bergerak sedikit saja tidak.
Hanya orang yang bercaping besar itu lantas berkata dengan tertawa. "Manusia adalah
makhluk yang paling cerdik di jagat raya ini, soalnya karena manusia mempunyai otak yang
jauh lebih besar daripada makhluk lain. Maka layaklah kalau otak harus lebih diperhatikan
dan dijaga, harus dilindungi lebih dari yang lain."
Kepala orang ini memakai sebuah caping batu, tapi tubuhnya memakai baju dari bahan yang
sangat bagus, jadi sangat berbeda dengan orang lain.
Biji mata Lui-ji berputar pula, jengeknya, "Jika demikian, mengapa kau keberatan membeli
sebuah topi" Memangnya buah kepalamu tidak lebih berharga daripada kepala orang lain?"
Orang itu bergelak tertawa, ucapnya, "Tajam benar mulut nona, cuma mulut harus digunakan
untuk makan nasi dan bukan untuk bicara."
"Ah, belum tentu, lihat keadaan," ujar Lui-ji.
"Tidak makan nasi bisa mati, tidak bicara apakah juga bisa mati?" tanya orang itu dengan
tertawa. "Suruh aku tidak bicara rasanya terlebih tidak enak daripada mati," kata Lui-ji.
Apa yang dikatakannya ini memang sejujurnya, hampir saja Hay Tong-jin dan Thi-hoa-nio
tertawa geli, cuma dalam keadaan demikian tak dapatlah mereka tertawa.
Orang bercaping batu itu tertawa, katanya pula, "tepat juga ucapan nona cilik, bolehlah kau
tidak bicara dan tidak makan nasi, tapi santapan yang ku sediakan ini tidak beracun, silahkan
kalian makan saja dan jangan kuatir."
"Jika beracun, kau kira aku tidak berani makan?" jengek Lui-ji.
Hidangan yang tersedia di atas meja itu ada satu porsi Ang-sio-hi, ikan gurami masak saus
manis, maka sumpit Lui-ji langsung menuju kepada Ang-sio-hi ini. Siapa tahu beberapa kali
ia menyumpit, ikan itu tetap tidak bergerak. Ketika ia menjepit sekuatnya, ikan itu lantas
hancur. Kiranya santapan yang tersedia di atas meja ini semuanya adalah model yang terbuat dari
lilin, hanya dapat dilihat, tapi tak dapat dimakan.
Dongkol dan geli pula Lui-ji, baru saja dia hendak memaki, tiba-tiba dilihatnya air muka Pwegiok
berubah hebat, tanyanya sambil memandang seorang yang bertopi yang berduduk di
sebelahnya, "Siapa nama Anda?"
340 Kedua tangan orang ini tampak kasar dan besar, otot hijau timbul di punggung tangannya,
sebuah cawan arak terpegang di tangannya dan menempel bibir sejak tadi, tapi arak tidak lagi
diminum, tampaknya cukup baginya melulu mengendus bau sedap arak saja dan merasa
sayang untuk diminum. Pertanyaan Pwe-giok juga sama sekali tidak digubrisnya.
Watak Lui-ji memang pemarah, maka ia lantas mendamprat, "He, apakah kau ini tuli?" -
Sembari bicara, sumpit yang dipegangnya itu terus menutuk ke Hiat-to siku orang itu,
tujuannya hendak membikin orang melepaskan cawan araknya sehingga berantakan dan
membuatnya malu. Siapa tahu sumpitnya langsung ambles ke dalam daging tangan orang itu, yang aneh orang itu
seolah-olah tidak merasakan sesuatu.
Karuan Lui-ji terkejut, baru sekarang diketahuinya orang inipun terbuat dari lilin. Semua
orang yang duduk bersanding meja ini ternyata terbuat dari lilin seluruhnya.
Lui-ji benar-benar melenggong, sampai sekian lamanya barulah ia mendengus. "Hm, paling
sedikit di sini kan ada seorang hidup."
Tapi baru habis ucapannya, diketahuinya satu-satunya orang hidup tadi kinipun sudah
menghilang entah kemana, hanya caping bambunya yang besar dan bobrok itu masih
tertinggal di atas meja. Lui-ji menarik napas dingin, dengusnya, "Pantas orang-orang ini sama mengenakan baju
rombengan, tapi memakai topi baru."
Sekarang ia sudah paham semua ini adalah permainan orang tadi, patung-patung lilin ini
sengaja diberi pakaian dan topi agar tulen atau palsunya sukar untuk diketahui dengan cepat.
Saking gemasnya, Lui-ji terus mencopoti semua topi yang dipakai orang-orangan ini,
tertampak semua patung lilin itu berwajah cerah, jenggot dan alisnya juga asli, sungguh mirip
sekali dengan manusia tulen.
Lui-ji menghela napas, katanya dengan tersenyum getir, "Apapun juga, karya seni orang ini
memang harus dipuji."
"Ya, sampai si ahli pembuat patung lilin dari kota raja si patung Thio mungkin juga tidak
lebih pandai daripada dia," tukas Hay Tong jing.
Jilid 12________ "Dan ginkangnya juga tidak rendah, buktinya kita sama tidak tahu kapan dan kemanakah
perginya?" sambung Pwe-giok.
"Masa.....masa orang-orang ini seluruhnya patung lilin?" tanya Thi-hoa-nio.
Berpuluh orang itu masih tetap berduduk di tempatnya tanpa bergerak, tampaknya seperti
manusia hidup benar-benar.
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
341 "Untuk apakah orang itu memasang patung-patung sebanyak ini di sini?" tanya Thi-hoa-nio
pula. "Mungkin dia kesepian tinggal sendirian di sini, maka membuat orang-orangan ini untuk
mengawaninya", ujar Lui-ji, mendadak ia tertawa dan menambahkan: "Apapun juga patung
lilin kan jauh lebih baik daripada manusia tulen."
"Masa" Apa alasanmu?" tanya Thi-hoa-nio.
"Paling sedikit patung lilin kan tidak dapat menyerang kita?" jawab Lui-ji
Meski merasa tempat ini sangat menyeramkan, tapi lega juga hati Thi-hoa-nio, sebab ia
merasa ucapan Lui-ji memang tidak salah. Berada bersama orang-orangan lilin tentunya tidak
akan berbahaya. Hanya Pwe-giok saja yang kelihatan prihatin, tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu, ucapnya
kemudian dengan suara tertahan, "Kita tidak boleh tinggal di sini, lekas kita pergi."
"Kenapa" Orang hidup sudah lari, masakah kita takut kepada kawanan patung lilin ini?" ujar
Lui-ji. Dia terus mendekat ke sana dan menambahkan, "Coba kau lihat, ku pukul mereka juga
tidak ada yang berani membalas."
Sembari bicara ia terus menampar muka salah satu patung lilin itu.
Patung lilin itu tadinya duduk bersandar kursi dan sedang "membaca". Karena ditampar Lui-ji
robohlah patung itu, "brak", patung itu pecah berantakan.
"Maaf, maaf, apakah kau sakit" Biar kubangunkan kau!" kata Lui-ji dengan tertawa.
Betapapun dia masih seorang anak dara, sejak lahir belum pernah bermain boneka, sekarang
mendadak melihat "boneka raksasa" sebanyak ini, dengan sendirinya ia sangat tertarik.
Begitulah seperti anak kecil yang sedang momong boneka, Lui-ji membangunkan patung
yang jatuh dan perlahan memijati bagian punggungnya sambil berucap, "O, sayang, tentunya
kau kesakitan, biar kupijat..."
Selagi Thi-hoa-nio merasa geli melihat kelakuan Lui-ji itu, mendadak anak dara itu menjerit
kaget sambil melompat mundur. Kontan patung lilin itu terguling dari kursinya dan hancur.
Cepat Pwe-giok melompat maju dan bertanya, "Ada apa?"
Lui-ji menjatuhkan diri pada pelukan anak muda itu, katanya sambil menuding patung lilin
yang sudah hancur itu. "Di tubuh lilin itu ada... ada tulangnya."
"Tulang?" Thi-hoa-nio menukas dengan kaget. "Patung lilin masa bertulang?"
Belum habis ucapannya, dilihatnya dalam patung lilin yang hancur itu memang betul ada
seonggok tulang putih, bahkan dapat dipastikan bukan tulang buatan.
Nyata, tulang di dalam patung lilin itu adalah tulang orang mati asli.
342 Pwe-giok coba menjemput beberapa cuil lilin remukan patung itu dan diperiksanya dengan
teliti, seketika air mukanya berubah hebat, tampaknya seperti mual dan hendak tumpah.
"He, ken... kenapakah kau?" tanya Lui-ji.
Pwe-giok menghela nafas panjang, ucapnya, "Ini bukanlah orang-orangan buatan dari lilin,
tapi mayat manusia tulen, lorong di bawah tanah ini adalah hasil kerja mereka."
"Apa katamu?" seru Lui-ji.
"Tentunya begini kisahnya," tutur Pwe-giok. "Lantaran kuatir orang-orang ini akan
membocorkan rahasia lorong di bawah tanah ini, maka orang yang menyuruh pembuatan
lorong ini telah membunuh seluruh pekerja ini tatkala lorong ini sudah selesai dibuat, lalu
tubuh mereka disiram dengan vaselin sehingga jadilah mereka patung lilin."
Merinding Lui-ji oleh cerita ngeri ini, katanya, "Pantas, makanya mereka kelihatan seperti
orang hidup." Dengan gegetun Hay Tong-jing ikut berkata, "Begitu masuk kemari memang sudah kurasakan
keadaan di sini rada-rada janggal, orang-orang kasar ini kenapa bisa berubah seperti seniman.
Waktu itu jika kuperiksa dengan teliti mungkin sudah dapat ku bongkar rahasia mereka."
"Tapi waktu itu mana dapat kita bayangkan di dunia ini ternyata ada orang gila sekejam ini?"
ucap Lui-ji dengan gregetan.
Mendadak seorang tertawa terkekeh-kekeh dan menanggapi, "Hehe, kau salah, nona cilik, aku
sama sekali tidak kejam, juga tidak gila, sebaliknya aku ini manusia yang paling welas asih,
seorang yang paling tahu aturan, orang yang paling punya hati nurani."
Meski semua orang dapat mendengar suaranya, tapi bagaimana bentuk orang ini tidaklah
kelihatan. Lui-ji lantas menjawab, "Seumpama kau punya hati nurani juga sudah lama hatimu itu
dimakan anjing." "Justeru lantaran mengingat mereka terlalu lelah menggali lorong di bawah tanah ini,
makanya kuundang mereka istirahat di sini, supaya mereka selanjutnya tidak perlu
berkeringat dan kerja keras lagi," kata orang itu dengan tertawa. "Coba kalau tidak ada aku,
mana bisa mereka menikmati kebahagiaan begini. Dan kalau begini baik kuperlakukan
mereka, kenapa kau maki diriku sebagai orang gila dan orang busuk?"
"Hm, kau bukan saja orang busuk, bahkan bukan orang. Tapi setan, iblis, iblis yang gila!"
maki Lui-ji pula. Dia ingin memancing keluar orang itu. Siapa tahu meski dia mencaci maki sekian lama, orang
itu tetap tidak memberi reaksi apa-apa. Bahkan satu kata saja tidak bicara pula, keadaan
menjadi sunyi senyap. 343 Dengan gemas Lui-ji mengusulkan, "Tempat ini toh tidak terlalu luas, marilah kita ketemukan
dia." Thi-hoa-nio menghela nafas, katanya, "Kalau dia tidak mencari kita kan sudah untung,
masakah kau malah ingin cari dia?"
Mendadak Pwe-giok berkata kepada Hay Tong-jing dengan tertawa, "Dalam keadaan
demikian, masakah kau belum mau membongkar teka-teki ini?"
"Teka-teki" Teka-teki apa?" Hay Tong-jing jadi melengak malah.
"Sungguh aku tidak mengerti untuk apa kalian berdua sengaja memancing kami kesini?"
tanya Pwe-giok. "Ap... apa katamu?" Hay Tong-jing menegas dengan bingung. "Mengapa kami memancing
kalian ke sini" Hakekatnya aku tidak pernah kenal tempat ini, lebih-lebih tidak kenal si gila
ini." "Bisa jadi Hay-heng memang belum pernah datang ke tempat ini, tapi Lo-siansing ini justeru
sudah dikenal Hay-heng," kata Pwe-giok.
"Mana bisa kukenal dia?" sahut Hay Tong-jing dengan gugup. "Untuk.. untuk apa ku tipu
kau?" Pwe-giok menghela nafas, ucapnya, "Akupun tidak tahu untuk apa Hay-heng menipuku" Tapi
berita yang dituturkan Hay-heng di lorong tadi... cerita tentang Tangkwik-siansing itu, tadinya
kupercaya penuh setiap kata ceritamu, tapi sekarang mau tak mau harus kusangsikan."
"Sebab apa?" tanya Hay Tong-jing.
"Demi membuat lorong bawah tanah ini, dia tidak sayang membunuh semua pekerja ini untuk
menutup mulut mereka selamanya. Dengan sendirinya lorong di bawah tanah ini menyangkut
sesuatu rahasia maha besar, betul tidak?"
"Ya, betul," jawab Hay Tong-jing.
"Jika demikian, mengapa dia perlu membangun rumah gubuk pada ujung jalan keluar tadi"
Jika di atas gunung yang paling sepi ini ada sebuah rumah kosong, bukankah hal ini akan
sangat menarik perhatian orang?"
Kembali Hay Tong-jing melengak, katanya, "Bisa jadi... bisa jadi rumah itu bukan rumah
kosong." "Betul, rumah itu pasti tidak kosong, tapi dimana orangnya?"
"Mungkin telah dibunuh oleh Yang Cu-kang?"
Pwe-giok tertawa, katanya, "Apakah mungkin demi merampas sebuah rumah Yang-heng
perlu membunuh orang tak berdosa sebanyak itu?"
344 "Ini ... ini ... " Hay Tong-jing tak dapat menjawab.
"Apalagi, jika dia menyuruh orang-orang itu berjaga di dalam rumah, tentu mereka ada
kontak satu sama lain, setelah mereka dibunuh Yang-heng, mustahil dia tidak tahu" Dan kalau
dia tahu, masakah Yang-heng dibiarkan tinggal di sana?"
"Jadi maksud Ji-heng ...."
"Maksudku hanya ingin menyatakan antara Yang-heng dan Lo-siansing ini pasti sudah ada
hubungan, dia menyuruh kita masuk ke lorong ini juga sebelumnya telah direncanakan."
Berubah air muka Hay tong-jing, katanya, "Untuk apa dia berbuat begini" Kenapa aku tidak
diberitahu?" "Hay-heng benar-benar tidak tahu?" Pwe-giok menegas dengan melotot.
"Ya, sedikitpun tidak tahu," jawab Hay Tong-jing tegas.
"Jika demikian, mengapa Hay-heng mengantar nona Ki Leng-hong ke sini?"
"He, apa pula artinya ucapanmu ini?"
"Aku memang lagi heran, sebab apakah Hay-heng menangkap Ki Leng-hong" Padahal ku
tahu kalian hendak menyerahkan Kwe Pian-san dan Ciong Cing kepada Pek-hoa-bun untuk
mengambil hati Hay-hong-hujin, tapi sejauh itu aku tidak mengerti Ki Leng-hong hendak
kalian serahkan kepada siapa" Dan baru sekarang ku tahu jelas duduknya perkara."
"Tahu jelas duduknya perkara" Perkara apa?" tanya Hay Tong-jing dengan bingung.
"Tujuan Hay-heng menangkap Ki Leng-hong adalah untuk diserahkan kepada Lo-siansing
ini." "Untuk apa diserahkan kepadanya" Untuk apa pula dia menghendaki Ki Leng-hong?" tanya
Hay Tong-jing. Pwe-giok tertawa, katanya, "Bisa jadi untuk dijadikan patung lilin, mungkin juga ada
keperluan lain. Kukira Hay-heng tentu jauh lebih jelas dari padaku."
Hay tong-jing menghela napas panjang, katanya, "Meski aku tidak tahu apa yang harus
kukatakan, tapi kuyakin jalan pikiranmu pasti keliru, hakekatnya aku tidak ada sangkutpautnya
dengan urusan ini, jika Ji-heng tidak percaya, terpaksa aku ....."
Mendadak terdengar suara jeritan, suara jeritan Lui-ji dan Thi-hoa-nio.
Pwe-giok terkejut dan berpaling, terlihatlah kedua orang itu telah berada dalam pelukan dua
patung lilin. Muka Lui-ji tampak pucat, serunya dengan suara parau, "Patung lilin ini bukan mayat, tapi
orang hidup." 345 Thi-hoa-nio tampak gemetar dan hampir saja jatuh kelengar.
Terdengar orang lilin itu berkata, "Jika kalian menghendaki mereka tetap hidup, maka
berdirilah di situ dan jangan bergerak."
Sembari bicara, lapisan lilin yang tipis pada mukanya lantas terkelupas sepotong demi
sepotong. Terpaksa Pwe-giok berdiri di tempatnya dan tidak bicara apapun.
Hay Tong-jing tidak tahan, ucapnya, "apa kehendak kalian?"
Padahal pertanyaannya ini terlalu berlebihan dan menggelikan. Tapi setiap orang bila sudah
kepepet memang sering mengucapkan kata-kata yang lucu.
Pada saat itulah tertampak dua patung lilin yang sedang main catur di kejauhan sana
mendadak juga bergerak, tubuh mereka hanya berkelebat dan tahu-tahu sudah menubruk tiba.
Tapi patung lilin yang memeluk Cu Lui-ji itu lantas berseru, "Berhenti, barang siapa di antara
kalian bergerak sedikit saja, jiwa kedua perempuan ini segera melayang."
"Jangan urus diriku, mereka tidak berani membunuhku!" teriak Lui-ji.
Pwe-giok menghela napas, tahu-tahu ia merasakan dua tangan yang kuat telah merangkul
tubuhnya, menyusul beberapa tempat Hiat-to penting juga tertutuk.
Kembali Lui-ji menjerit kuatir, teriaknya parau, "He, apa ... apa kehendak kalian" ..." belum
habis ucapannya, berderailah air matanya.
Terdengar seorang tertawa terkekeh-kekeh, ucapnya, "Nona cilik, tentunya sekarang kau tahu
orang-orang lilin tidaklah lebih baik daripada manusia tulen. Padahal terkadang merekapun
jauh lebih berbahaya daripada orang asli."
Ditengah suara tertawa yang melengking itu, si kakek berjubah hitam tadi telah muncul pula,
cuma sekarang topinya bukan lagi caping bambu melainkan sebuah topi tinggi dan berbentuk
aneh. Potongan badan kakek ini sangat pendek, sekarang memakai topi setinggi ini, sekilas
pandang, topinya seakan-akan lebih tinggi daripada orangnya, bentuknya kelihatan lucu dan
mentertawakan. Tapi dalam keadaan demikian siapa pula yang dapat tertawa"
Segera Lui-ji memaki, "Kau tua bangka, siluman ..." segala kata makian yang paling keji telah
dihamburkan seluruhnya, tapi si kakek mendengarkan saja seperti sangat tertarik.
Setelah Lui-ji kehabisan kata-kata makian barulah kakek itu berkata dengan tersenyum,
"Nona cilik, kau sangat pintar menangis, juga pandai memaki orang, aku justeru sangat suka
kepada nona cilik semacam kau ini. Sebentar tentu akan kujadikan kau patung lilin yang
cantik, secantik boneka."
346 "Kau ... kau ..." Lui-ji sampai kehabisan suara. Ia ingin memaki lagi, tapi ngeri, bibirpun
kering. Topi tinggi di atas kepala si kakek tampak bergoyang-goyang, ia mendekati Pwe-giok dan
berkata, "He, anak muda, namamu Ji Pwe-giok bukan?"
"Betul." jawab Pwe-giok.
Si kakek mengekeh tawa, ucapnya, "Meski belum pernah kulihat kau, tapi sekali pandang saja
lantas kukenali kau."
Mendadak Pwe-giok juga tertawa, katanya, "Meski aku tidak pernah melihat kau, tapi akupun
kenal kau." "Oo"!" si kakek melengak, lalu bergelak tertawa, katanya, "Wah, jika benar kau kenal diriku,
sungguh tidak kecil kepandaianmu."
"Kau bukan manusia," kata Pwe-giok.
Si kakek menyeringai, "Kau pun serupa nona cilik itu, pintar memaki orang. Aku bukan
manusia, memangnya siluman?"
"Kaupun bukan siluman, cuma sesosok mayat," ujar Pwe-giok. "Sebab sudah lama kau mati."
"Kau bilang aku ini mayat?" seru si kakek dengan terbahak.
"Betul, meski belum pernah kau lihat diriku, tapi aku sudah pernah melihat kau."
"Pernah kau lihat diriku" Dimana?" tanya si kakek.
"Di dalam sebuah kuburan." jawab Pwe-giok.
Seketika Lui-ji melenggong, ia merasa bingung oleh ucapan Pwe-giok itu, bahkan anak muda
ini hampir disangkanya rada kurang waras.
Sebab seorang yang sehat, seorang yang normal, tentu takkan menuduh seorang hidup sebagai
sesosok mayat, lebih-lebih takkan menyatakan dirinya pernah pesiar ke dalam sebuah
kuburan. Semua ini hakekatnya bukan ucapan Ji Pwe-giok yang sebenarnya.
Siapa tahu, setelah mendengar kata-kata demikian, air muka si kakek mendadak berubah, dia
melototi Pwe-giok hingga sekian lamanya, lalu menegas, "Kau pernah datang di kuburan itu?"
"Betul, malahan cukup lama ku tinggal di sana."
"Dan cara bagaimana kau keluar lagi?"
Pwe-giok tertawa, jawabnya, "Keluar melalui pantatmu."
347 Sampai di sini, bukan cuma Lui-ji saja yang menganggap anak muda itu kurang waras,
bahkan Thi-hoa-nio dan Hay Tong-jing juga mengira Pwe-giok mendadak sinting, sebab apa
yang diucapkannya sama sekali bukan kata-kata manusia normal.
Tapi air muka si kakek lantas berubah menjadi lebih menakutkan, mendadak ia berseru,
"Cucu perempuanku sayang, marilah keluar!"
Ketika cucu perempuannya sudah keluar, kecuali Pwe-giok, yang lain-lain sama terperanjat
pula. Sebab siapapun tidak menyangka cucu perempuannya adalah Ki Leng-hong.
Tapi sejak tadi Pwe-giok sudah tahu kakek ini adalah Ki go-ceng yang menghilang dengan
berlagak mati itu. Kepandaiannya membikin patung lilin memang bagus (bacalah jilid ke-4
Renjana Pendekar). Terdengar si kakek alias Ki Go-ceng lagi bertanya kepada cucu perempuannya, "Apakah betul
perkataan bocah ini?"
"Entah, aku tidak tahu," jawab Ki Leng-hong. Nona ini kelihatan sangat kurus dan lesu,
sangat lemah, tapi jawabannya cukup tegas.
"Dia pernah datang ke Sat-jin-ceng bukan?" tanya pula Ki Go-ceng.
"Jika dia belum pernah ke Sat-jin-ceng, cara bagaimana dapat kukenal dia" Tapi banyak juga
orang yang pernah mengunjungi sat-jin-ceng, tidak cuma dia saja."
Ki Go-ceng tertawa, ia tepuk-tepuk pelahan muka Ki Leng-hong yang bulat telur itu, ucapnya
dengan tertawa, "Ai, cucu perempuanku sayang, bicara terhadap kakek mana boleh sekasar
ini." Ki Leng-hong moncongkan mulutnya dan berucap manja, "Orang pening kepala, ingin tidur."
Begitu habis ucapannya, segera ia melangkah pergi, sama sekali tidak memandang lagi
terhadap Ji Pwe-giok. Ki Go-ceng geleng-geleng kepala, gumamnya
***** "Ai, bocah ini jadi rusak karena terlalu dimanjakan ibunya" Mendadak ia melototi Pwe-giok
pula dan bertanya: "Eh, kabarnya putra Ji Hong-ho itupun bernama Ji Pwe-giok, apa betul?"
"Begitulah kalau tidak salah", jawab Pwe-giok.
"Konon dia sudah mati di Sat jin-ceng"
"Agaknya juga betul"
Mendadak mencorong sinar mata Ki Go-ceng, ucapnya dengan pelahan: "Bisa jadi tidak mati,
mungkin dia telah pesiar sejenak ke kuburan, lalu hidup kembali, bahkan bertemu dengan
seseorang yang telah mengubah bentuk wajahnya"
348 Mendadak ia jambret leher baju Pwe-giok dan berteriak: "Dan mungkin kau inilah dia, kau
inilah putra Ji Hong-ho itu"
Sebenarnya Pwe-giok tidak mengerti apa sebabnya Ki Leng-hong berdusta, dan sekarang ia
tahu duduknya perkara. Meski lahirnya dia tetap tenang saja, tapi telapak tangan sudah
merembeskan keringat dingin.
Bukan mustahil Ki Go-ceng adalah sekelompotan dengan "Ji Hong-ho" itu, Pwe-giok sengaja
dipancing ke sini untuk diselidiki apakah dia dan Pwe-giok yang tersiar sudah mati itu sama
atau tidak. Maklumlah, tentang perubahan wajah Pwe-giok hanya diketahui oleh Ki Leng-hong saja, tapi
nona itu ternyata tidak menyingkap rahasianya, meski tidak tahu mengapa orang menutupi
rahasianya, namun Pwe-giok sangat berterima kasih padanya.
Ki Go-ceng masih terus melototi Pwe-giok, tanyanya pula: "Sesungguhnya kau anak Ji Hongho
atau bukan?" Pwe-giok tertawa, jawabnya: "Aku ini anak siapa, ada persoalan apa dengan kau?"
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekalipun kau mengaku sebagai anak Ji Hong-ho kan juga tidak menjadi soal?" ujar Ki Goceng.
"Kenapa kau sendiri tidak mau mengaku sebagai anaknya?" jawab Pwe-giok.
Ki Go-ceng menarik muka, mendadak ia tertawa pula: "Bagus, anak muda, anggaplah
mulutmu memang keras, jika kau tidak suka bicara terus terang, biarlah sekalian kubikin kau
tak dapat bicara untuk selamanya"
Gua batu ini jauh lebih terang daripada ruangan gua sebelah luar sana, juga jauh lebih hangat,
sebab api pada sebuah tungku besar telah dinyalakan, di atas tungku ada sebuah wajan besar.
Lilin di dalam wajan sudah mulai cair.
Dengan sebuah gayung besar, pelahan Ki Go-ceng mengaduk cairan lilin itu, ketika api
tungku sudah mulai menghijau, menguaplah hawa panas dari wajan besar. Di bawah
gemerdep cahaya api dan uap lilin, wajah Ki Ko-ceng kelihatan seperti sebuah topeng setan.
Sinar matanya juga gemerdep memancarkan cahaya kebuasan dan kegilaan, terdengar dia
berucap " Bukanlah pekerjaan mudah membuat patung lilin dengan manusia berdarah daging,
pertama harus memperhatikan waktu masak lilin, selain lilin harus cair seluruhnya dan tidak
boleh terlalu mendidih, pada saat lilin baru mulai bergelembung segera cairan lili dituang
pada tubuh manusia."
Dia tertawa, lalu menyambung, "Jadi seperti koki memasak Ang-sio-hi, setelah gorengan
irisan ikan diangkat dari wajan, pada saat yang tepat disiram dengan saus asam manis. Cuma
disini gerakan tangan harus cepat, siraman lilin harus rata, apabila lapisan lilin pertama sudah
beku seluruhnya barulah mulai siram lapiran kedua, sedikit salah siram, semua usaha akan
gagal total." 349 Dia bicara dengan adem ayem, seperti halnya seorang ahli masak yang sedang memberi
ceramah di depan sekawanan penggemar makanan enak. Cuma sayang, yang mendengarkan
ceramahnya sekarang bukanlah penggemar makanan melainkan "ikan" yang sedang menanti
giliran untuk dijadikan Ang-sio-hi.
Hati Lui-ji saat ini diliputi rasa gusar dan juga takut, sungguh kalau bila ia ingin menggigit
mampus orang gila ini. Sebaliknya Thi-hoa-nio seperti tidak dapat mengekang diri lagi saking takutnya, ia berteriak
dengan histeris, "Lekas kau bunuh kami saja, lekas, kenapa tidak lekas turun tangan ?"
Ki Go-ceng tertawa, katanya, "Aku ingin membuat patung lilin yang indah, untuk ini masih
harus diperhatikan sesuatu, yaitu tidak boleh membunuh mati model yang akan ku gunakan,.
Dengan demikian , hasil patung yang kubuat barulah akan kelihatan hidup dan bergairah.
Apabila modelnya dibunuh mati mati dulu baru kemudian disiram lilin, maka patung yang
dihasilkan juga akan kelihatan mati dan kaku."
"Kau ... kau ... " Thi-hoa-nio tidak sanggup bersuara lagi. Bibirnya gemetar, mulut seperti
tersumbat. Mendadak Ki Go-ceng tertawa padanya dan berkata, "Tapi Yang-hujin juga tidak perlu
khawatir, aku pasti takkan membikin susah padamu, sebab kuyakin Yang Cu-kang pasti tidak
suka tidur bersama patung lilin."
Air muka Hay Tong-jing berubah, tanyanya, "Apakah benar Yang Cu-kang ada
persengkongkolan dengan kau ?"
Ki Go-ceng tertawa, jawabnya, "Betul, dia terlebih cerdik daripadamu, juga lenih pintar
memilih kawan. Jika dia memilih si koki sebagai kawannya, sebaliknya kau pilih kawan pada
ikannya." Sampai sekian lama Hay Tong-jing termangu-mangu, katanya dengan suara gemetar, "Yang
Cu-kang, wahai Yang Cu-kang, tidak jelek suhu terhadapmu, kenapa kau melakukan
perbuatan khianat begini, memangnya sudah kaulupakan semua ajaran dan peraturan
perguruan ?" Sembari bicara, matanya mendelik dengan menahan rasa murka.
Dengan lemas Lui-ji juga berkata, "Pantas dia tidak takut di bunuh Lengkui, kiranya dia tahu
setelah kita pergi, maka dapatlah dia bicara dengan Leng-kui bahwa antara mereka
sesungguhnya adalah kawan. Hah, bangsat ini telah berbuat khianat, tapi justru bicara seperti
seorang baik hati." Belum habis ucapannya, menangislah Thi-hoa-nio tergerung-gerung.
Lui-ji menjengek, "Yang-hujin, apakah yang kau tangisi " Bisa kaudapatkan suami sebaik itu,
masakah kamu tidak senang ?"
"Aku ... Aku ... "
350 "Eh, siapa di antara kalian yang mau tolong singkirkan nyonya Yang ini dari sebelahku,
sungguh aku tidak tahan lagi bau busuk pada tubuhnya," ejek Lui-ji pula.
Dengan tertawa Ki Go-ceng berucap, "wah. hampir saja kulupa jika tidak kau singgung sejak
tadi-tadi seharusnya ku undang nyonya Yang berduduk di tempat yang terhormat."
Tapi Thi-hoa-nio lantas berteriak-berteriak pula dengan histeris, "Jangan kalian menyentuh
diriku, aku bukan istri Yang Cu-kang, aku lebih suka mati bersama mereka."
Dengan tak acuh Ki Go-ceng berkata, "Siapapun kalau sudah berada disini, mati atau
hidupnya tidak bebas lagi baginya."
Hay Tong-jing memandang Pwe-giok, ucapnya dengan rawan, "Ji-heng, aku telah salah
menilai Yang Cu-kang, maaf, aku ... aku menyesal."
"Ini bukan salahnya dan bukan salahmu, untuk bisa (jangan) Hay-heng merasa sedih." ujar
Pwe-giok. Hay Tong-jing menghela napas, ucapnya, "Betapapun dia adalah saudaraku, aku ... "
Mendadak Ki Go-ceng berseru, "Cepat lekas buka pintu tungku dan kerek wajan agak tinggi
sedikit, saat itulah cairan lilin sudah dapat digunakan!"
Lalu ia mulau menceduk cairan lilin dengan gayungnya, mengepul uap lili panas itu.
Dengan tertawa Ki Go-ceng berkata, "Pertama kali disiram lilin memang akan terasa sakit,
maka hendaknya Ji-kongcu dapat bertahan sedikit, nanti kalau sudah tersiram tiga empat
gayung, perlahan tidak lagi merasa sakit."
Lebih dulu ia menyiram lilin pada gayungnya pada sepotong papan, melihat cairan lilin yang
membeku di atas papan, Ki Go-ceng bergumam, "Ya, memang saat yang paling tepat untuk
disiram ... Nah, lekas kau buka baju, Ji-kongcu!"
Mendadak Lui-ji berteriak, "Kenapa tidak kau mulai dari diriku!... "
"Sabar, sabar! Sebentar lagi akan datang giliranmu, kenapa terburu-buru ?" ujar Ki Go-ceng
dengan tertawa. "Kumohon dengan sangat, mulailah atas diriku, matipun aku berterima kasih padamu." teriak
Lui-ji dengan parau. "Apakah kau tidak tega menyaksikan Ji Pwe-giok tersiksa dan ingin tutup mata lebih dulu ?"
tanya Ki Go-ceng. Lui-ji hanya menggigit bibir, ia mengangguk sambil menangis.
"Tapi apakah kau suka telanjang di hadapan mereka ?" tanya Ki Go-ceng dengan tertawa.
Lui-ji jadi melengak, segera ia menangis lagi tergerung-gerung.
351 Dengan suara parau Thi-hoa-nio berteriak, "Silakan kau turun tangan dulu padaku, aku tidak
... tidak takut ... "
Ki Go-ceng mengawasi dia sekejap, lalu berucap, "Potongan tubuhmu tidak jelek, kukira
merekapun jika kuturun tangan padamu dulu, sebelum mati dapat menyaksikan perempuan
cantik telanjang bulat seperti dirimu ini, tentu kematian merekapun cukup berharga," Dia
menghela napas, lalu menyambung, "Cuma sayang, kau ini bini Yang Cu-kang, sayang,
sungguh sayang... " "Kau tua bangka, kau binatang, hewan, sungguh kau bukan manusia ... " mendadak Hay
Tong-jing mencaci maki. "Apakah sengaja kau bikin marah diriku agar turun tangan dulu padamu ?" kata Ki Goceng
tertawa. Hay Tong-jing berteriak gusar, "Memangnya kau berani turun tangan padaku?"
"Haha, bagus, bagus!" Ki Go-ceng terbahak. "Kalian memang sangat setia kawan, sungguh
ksatria sejati, semuanya berebut mati lebih dulu. Jika demikian, biarlah kupenuhi kehendak
kalian sekaligus." Ia menyeringai, lalu menyambung, "Akan kubelejti kalian bertiga hingga telanjang bulat, akan
kuikat kalian menjadi satu dalam keadaan saling rangkul, akan kubikin kalian menjadi sebuah
patung yang istimewa, agar sekali pandang saja siapapun tahu kalian adalah sahabat karib
yang tak dapat dipisahkan."
Hay Tong-jing dan Cu Lui-ji berteriak-teriak, meski sudah banyak siksa derita yang
dialaminya tapi baru sekarang Lui-ji benar-benar kenal apa artinya takut.
Meski Pwe-giok hanya diam saja sejak tadi, tapi di dalam hati jauh lebih murka dan berduka.
Ia tidak tahu mengapa Thian memberi nasib seburuk ini kepadanya. Tahu begini, lebih baik
dulu mati saja di tangan Siang Cap-long. Walaupun Siang Cap-long juga sangat kejam, tapi
jauh lebih baik daripada Ki Go-ceng, betapapun dia tidak sampai melakukan hal-hal yang gila
dan kotor begini. Pada saat gawat itulah, sekonyong-konyong seorang terbang masuk dari luar dengan kaki dan
tangan menari-nari di udara, serupa boneka yang dikerek dan terapung di udara, melayang
tibanya orang ini sungguh cepat luar biasa.
"Siapa"!" bentak Ki Go-ceng.
Baru lenyap suaranya, dengan tepat orang itu jatuh di dalam wajan yang penuh cairan lilin
panas itu, maka terdengarlah suara jeritan ngeri yang menyayat hati.
Cairan lilin di dalam wajan muncrat kemana-mana, ada setitik cairan yang menciprat ke tubuh
Lui-ji, meski cuma setitik, namun rasa sakitnya sudah tak terkatakan.
Pada saat lain, dari luar melayang masuk lagi orang, juga menari-nari di udara dan "plung",
dengan tepat kembali nyemplung di dalam wajan disertai jeritan yang sama ngerinya.
352 Seketika wajan itu terguling, cairan lilin tumpah memenuhi lantai.
Serentak Ki Go-ceng mengapung ke atas, dengan gusar ia membentak, "Siapa itu?"
Di tengah suara bentakannya, orang ketiga melayang tiba pula, sekali ini menerjang ke arah
Ki Go-ceng. Cepat tubuhnya menggeliat di udara sehingga terhindar. Tapi segera orang ke empat dan
kelima melayang pula dan menumbuk Ki Go-ceng. Betapapun tinggi ginkangnya juga sukar
untuk mengelak lagi. "Blang", dalam keadaan mengapung di udara Ki Go-ceng menghantam, kontan kedua orang
yang menerjang ke arahnya itu digenjot hingga tergetar balik, tapi ia sendiripun tergetar jatuh
ke bawah dan hampir saja menumbuk dinding.
Kejut dan girang Lui-ji, baru sekarang dapat dilihatnya dengan jelas bahwa kelima orang yang
melayang dari luar itu semuanya adalah "patung lilin palsu" anak buah Ki Go-ceng.
Tadi dia telah dikerjai "patung lilin" ini, meski disergap, tapi jelas ilmu silat orang-orang ini
juga tidak lemah, bahkan sangat cepat dan cekatan cara turun tangannya. Tapi sekarang hanya
dalam sekejap saja mereka telah dilempar masuk seperti lempar bola, jelas sedikitpun tidak
mampu melawan. Maka betapa tinggi kungfu pendatang ini tentu dapat dibayangkan.
Air muka Ki Go-ceng tampak pucat hijau, ia melototi Pwe-giok dan berkata, "Tak tersangka
masih ada juga bala bantuanmu, tampaknya tidaklah sedikit kawanmu."
Tapi seorang lantas menanggapi, "Aku tidak kenal anak muda itu, sebaliknya aku dan kau
adalah sahabat lama."
Suara ini sangat halus dan lembut, empuk dan enak didengar.
Lui-ji dan Thi-hoa-nio sama-sama anak perempuan cantik pembawaan, yang satu adalah
puteri Siau-hun-kiongcu yang terkenal pembetot sukma setiap lelaki, yang lain adalah
"Khing-hoa-samniocu" yang genit dan pemikat lawan jenisnya, keduanya tahu suara yang
enak didengar adalah senjata yang paling ampuh kaum wanita untuk menghadapi kaum lelaki.
Suara mereka sendiri sangat merdu dan enak didengar, tapi kalau dibandingkan suara
perempuan pendatang ini, mau tak mau mereka harus tutup mulut dan tidak berani bersaing.
Selain enak didengar suaranya, bahkan apa yang dikatakannya seperti air dingin yang
menyiram kepala Cu Lui-ji, sebab pendatang ini ternyata mengaku sebagai sahabat lama Ki
Go-ceng. Hanya Hay Tong-jing saja yang segera memperlihatkan rasa kegirangan, desisnya perlahan,
"Inilah guruku, tertolonglah kita."
Lui-ji melengong, tanyanya kemudian, "Gurumu seorang perempuan?"
Hay Tong-jing tidak menjawabnya dan memang juga tidak perlu menjawab, sebab waktu itu
seorang perempuan berbaju hitam sudah muncul.
353 Mukanya juga memakai cadar sutera hitam, meski Lui-ji tidak dapat melihat jelas wajahnya,
tapi entah mengapa, ia merasa perempuan ini pasti cantik tiada bandingannya. Lui-ji tidak
pernah melihat wanita bergaya secantik dan seluwes ini.
Jalan perempuan berbaju hitam itu seperti sangat lambat, tapi tahu-tahu sudah berada di
dalam, siapapun tidak tahu persis cara bagaimana dia menggeser kakinya dan cara bagaimana
masuk ke situ. Dia memakai jubah panjang warna hitam, panjangnya sampai menyentuh tanah, hanya ujung
sepatu saja yang masih kelihatan, pada tangannya juga mengenakan sarung tangan warna
hitam. Meski melihat orang, tapi rasanya sama seperti tidak tahu, yang dilihat Lui-ji hanya
pakaiannya saja, namun dalam hati sudah timbul perasaan enak, perasaan aman.
Ki Go-ceng juga seperti kesima memandang perempuan berbaju hitam itu, sampai sekian
lama barulah ia menghela nafas dan berkata, "Kiranya kau!"
"Tak kau duga bukan?" ujar perempuan berbaju hitam.
Kembali Ki Go-ceng menghela nafas, lalu berucap pula sambil tersenyum getir, "Kukira
sudah lama kau mati."
Perempuan berbaju hitam itu seperti tersenyum, lalu mendekati Ki Go-ceng dengan perlahan.
Di dalam gua ini suasana dingin dan seram, di atas tanah juga penuh cairan lilin dan mayat.
Namun gaya berjalan perempuan itu seperti sedang berada di tengah istana.
Yang dihadapinya juga seorang gila dan kejam, tapi gaya perempuan itu seperti seorang
permaisuri yang hendak menghadap Sri Baginda.
Siapapun tidak mengira perempuan lemah gemulai ini adalah tokoh persilatan yang lihay,
lebih-lebih tidak ada yang percaya bahwa dalam sekejap tadi dia sudah membunuh lima
orang. Dahi Ki Go-ceng tampak berkeringat, ia menyengir dan berucap, "Belasan tahun tidak
bertemu, masakah baru bertemu lantas hendak berkelahi denganku?"
"Aku tidak bermaksud demikian," jawab si perempuan baju hitam.
Ki Go-ceng seperti merasa lega, ucapnya, "Jika begitu, hendaklah kau berdiri agak jauh. Bila
kau mendekat, hatiku lantas berdetak."
"Kau memang tidak punya hati, mana bisa hatimu berdetak ?" ujar perempuan itu. Dia
berjalan dengan lambat, tapi tidak berhenti.
Bibir Ki Go-ceng seperti mengering, ucapnya dengan suara serak, "Sesungguhnya apa
kehendakmu?" 354 Perempuan itu tidak menjawabnya, tapi bertanya malah, "Tahun ini usiamu sudah ada 72
bukan?" "Ingat juga kau..."
Perempuan itu berucap pula, "Siapapun kalau sudah hidup 72 tahun, tentunya sudah cukup
bukan?" "Apa maksudmu ini?" tanya Ki Go-ceng sambil mengusap keringatnya.
"Apa maksudku masakah belum jelas bagimu?"
"Selama berpuluh tahun ini, siapa pula yang pernah tahu jelas maksudmu?"
Perempuan itu menghela nafas perlahan, lalu berkata, "Ai, kuharap janganlah kau paksa ku
turun tangan padamu."
Air muka Ki Go-ceng berubah hebat, mendadak ia menengadah dan terbahak-bahak,
"Hahaha... memangnya baru bertemu kau menghendaki aku segera bunuh diri?"
Meski tertawa, tapi suara tertawanya jauh lebih tidak enak didengar daripada suara menangis.
Pada saat itu juga, mendadak tubuh Ki Go-ceng mengapung ke atas, perawakannya yang
kurus itu seperti bukan tubuh manusia melainkan seekor elang yang buas dan lapar.
Namun si perempuan baju hitam tetap berdiri tenang di tempatnya, jika Ki Go-ceng ibaratnya
seekor elang, maka dia sama seperti seekor domba. Tapi ketika Ki Go-ceng menubruk tiba,
lengan bajunya lantas mengebut perlahan.
Siapapun tidak menyangka kebutan lengan bajunya yang perlahan ini dapat menahan
serangan Ki Go-ceng. Maka terdengarlah suara jeritan, bukan perempuan itu yang menjerit
melainkan Ki Go-ceng, tubuhnya mendadak mencelat beberapa tombak jauhnya dan
menumbuk dinding, "blang", lalu tubuhnya memberosot ke kaki dinding dan jatuh terduduk,
matanya melotot ke arah perempuan baju hitam, ucapnya dengan serak, "Inilah Cing... Cinggi..."
Belum habis ucapannya, darah segar lantas menyembur dari mulutnya.
Dengan tak acuh, perempuan baju hitam berkata, "Betul, inilah Sian-thian-cing-gi, tajam juga
pandanganmu!" Mendadak Ki Go-ceng bergelak seperti orang gila, teriaknya, "Bagus, haha, bagus! Sianthian-
cing-gi, tiada tandingannya di dunia, matipun aku tidak penasaran."
Sambil tertawa kaki dan tangannya juga bergerak-gerak, keadaannya benar-benar mirip orang
gila. Percikan darah tampak berhamburan mengikuti suara tertawanya, waktu habis ucapannya
darahpun kering, suara tertawa juga berhenti, tinggal kerongkongannya mengeluarkan suara
"krok-krok" seperti kodok ngorok.
355 Meski benci terhadap orang ini, tanpa terasa Lui-ji memejamkan mata juga dan tidak tega
memandangnya. Pwe-giok sendiri pernah mendengar nama "Sian-thian-cing-gi" atau tenaga sakti asli, selama
ini ia menyangka ilmu itu hanya dongeng Kangouw seperti halnya orang bilang "pedang
dapat dikendalikan dengan hawa" serta "mengirimkan gelombang suara" segala. Ilmu sakti ini
mungkin terjadi di jaman dahulu, tapi sekarang tentunya sudah lenyap dan tiada orang yang
mampu melatihnya lagi. Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa sekarang dirinya justeru dapat menyaksikan ilmu sakti
tersebut. Dilihatnya Ki Go-ceng telah terkulai di tengah genangan darah, semula masih terus ngorok
seperti suara kodok, selang sejenak mendadak tubuhnya melonjak ke atas, lalu jatuh dan tidak
bergerak lagi. Baru sekarang si perempuan baju hitam berpaling dan memandang Pwe-giok. Sinar matanya
masih tetap tenang dan lembut, tapi seakan-akan dapat menembus cadar sutera dan menembus
darah daging, terus menembus ke lubuk hati Pwe-giok. Tanpa terasa anak muda itu
menunduk. "Kau inikah Ji Pwe-giok, Ji-kongcu ?" tanya si perempuan baju hitam.
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahwa dia ternyata kenal nama Pwe-giok, bahkan bersikap seramah ini padanya, kalau orang
lain tentu akan merasa senang seperti mendapat rejeki di luar dugaan.
Tapi Pwe-giok justeru merasa rada takut. Ia tidak mengerti dirinya ternyata sedemikian
terkenal. Ia tahu terkenal bukan sesuatu yang menyenangkan.
"Terkenal" dapat diibaratkan sepotong baju yang mewah, meskipun dapat membuat orang
kelihatan cemerlang, tapi harganya terkadang juga sangat menakutkan.
Melihat anak muda itu termenung, Hay Tong-jing lantas menyela, "Ji-heng, guruku sedang
bicara denganmu." "O, ya, cayhe memang betul Ji Pwe-giok," cepat Pwe-giok menenangkan diri.
"Baik, coba kau ikut padaku," kata perempuan itu sambil mengebaskan lengan bajunya
perlahan. Ji Pwe-giok, Hay Tong-jing dan Cu Lui-ji bertiga segera seperti diembus angin sejuk, seketika
hiat-to mereka yang tertutuk tadi telah terbebas semua.
Cepat Hay Tong-jing menyembah, "Tecu..."
"Urusanmu dengan Yang Cu-kang sudah kuketahui dan tidak perlu bicara lagi," kata si
perempuan baju hitam, sedikit bergeser, tahu-tahu sudah sampai di luar pintu.
356 Mendadak Lui-ji menarik tangan Pwe-giok erat, tanyanya dengan suara tertahan, "Hendak
kau ikut pergi bersama dia?"
Pwe-giok merasa tangan anak dara itu rada gemetar, tanpa terasa timbul perasaan kasihannya,
jawabnya dengan lembut, "Sudah tentu kaupun ikut bersamaku."
Terbeliak mata Lui-ji, makin kencang ia pegang tangan anak muda itu, katanya, "Kemanapun
pasti akan kau bawa serta diriku?"
Pwe-giok terharu, jawabnya, "Ya, kemanapun aku akan tetap berada bersamamu."
Tapi mendadak si perempuan baju hitam menyeletuk, "Tapi sekali ini dia tidak dapat
membawa kau." Tubuh Lui-ji tergetar dan melepaskan tangan Pwe-giok, tanyanya dengan parau, "Sebab apa?"
"Sebab aku yang omong," sahut perempuan itu.
Lui-ji melonjak dan berteriak, "Berdasarkan apa hendak kau pisahkan kami" Meski kau telah
menyelamatkan kami, tapi kalau bukan muridmu yang membikin susah kami, tidak nanti
kami datang ke sini..."
Suaranya seperti tersumbat, air matanya bercucuran pula, lalu ia menghentakkan kaki dan
berteriak lagi, "Jadi adalah pantas jika kau selamatkan kami, berdasar apa lantas bersikap
garang dan main kuasa?"
Air muka Hay Tong-jing berubah, ia menyembah di tanah dan memohon, "Dia masih anak
kecil, mohon Suhu jangan marah padanya."
Lui-ji mendongak, ia tahan air matanya dan berseru, "Tidak perlu kau mohonkan ampun
bagiku. Aku tidak takut, biarpun dia membunuhku juga aku tidak takut. Matipun aku ingin
berada bersama Ji Pwe-giok."
Ia pegang lagi tangan Pwe-giok dan berkata: "Kau sendiri yang bilang, kemanapun akan kau
bawa serta diriku, masa... masa akan kau tarik kembali janjimu?"
Pwe-giok terdiam, dengan lembut ia mengusapkan air mata di pipi anak dara itu, mendadak ia
berpaling menghadapi si perempuan berbaju hitam dan berkata, "Sudah ku janji padanya, juga
sudah berjanji pada Saceknya, betapapun tidak boleh kutinggalkan dia."
"Masa hubungan mesra ini saja tidak dapat kau tinggalkan, lalu pekerjaan besar apa yang
dapat kau hasilkan?" jengek si perempuan baju hitam.
Dengan sekata demi sekata Pwe-giok menjawab, "Jika aku tidak dapat menepati janji, lalu
dapatkah aku dikatakan manusia?"
Perempuan baju hitam memandangnya lekat-lekat, perlahan sinar matanya menampilkan
secercah senyuman, ucapnya, "Bagus, bagus, kau memang anak yang baik..." ia melayang ke
depan Lui-ji dan perlahan mengangkat tangannya.
357 Nafas Pwe-giok dan Hay Tong-jing serasa berhenti, sebab mereka tahu, asalkan tangan itu
jatuh ke bawah, seketika kepala Lui-ji bisa hancur luluh.
Terdengar perempuan itu bertanya kepada Lui-ji, "Jadi kau merasa berat untuk berpisah
dengan dia?" Dengan menggertak gigi Lui-ji memandangnya dan menjawab, "Siapapun jika ingin
memisahkan aku dan dia, lebih dulu dia harus melangkahi mayatku."
Memandangi tangan si perempuan berbaju hitam, jantung Pwe-giok serasa mau berhenti
berdetak. Tapi tangan perempuan itu perlahan diturunkan lagi, dengan perlahan dia membelai rambut
Lui-ji, katanya dengan suara halus. "Kaupun anak yang baik, tapi kalau benar-benar kau suka
padanya, selayaknya tidak boleh menjadi bebannya, harus membiarkan dia pergi sendiri untuk
melakukan tugas berat."
Lui-ji melengak, mendadak ia mendekap mukanya dan menangis.
"Bukan maksudku hendak menyuruh dia meninggalkan kau," kata pula si perempuan baju
hitam, "aku hanya menghendaki kalian berpisah untuk sementara, toh kalian masih sangat
muda, kesempatan bertemu di kemudian hari kan masih panjang."
Lui-ji mendelik, ucapnya dengan suara parau, "Baik, tidak perlu kau katakan lagi. Aku akan
pergi, pergi seorang diri..." dia mendekap mukanya dan berlari pergi.
Tapi Pwe-giok sempat menariknya dan bertanya, "Hen... hendak kemana kau?"
Sambil menggigit bibir Lui-ji menjawab, "Kaupun tidak perlu urus diriku, dengan sendirinya
ada tempat yang ku tuju."
Meski dia menahan perasaan sedapatnya, tidak urung air mata masih terus berderai.
Meski dunia ini tidak cuma seluas daun kelor, tapi kemanakah dia harus pergi"
Tiba-tiba perempuan berbaju hitam menghela nafas perlahan, ucapnya, "Tong-jing, boleh kau
bawa dia pulang ke gunung, tentu akan kusuruh Ji-kongcu kesana untuk mencarinya, tahu
tidak?" Dengan girang dan kejut Hay Tong-jing mengiakan, tanyanya, "Apakah Suhu hendak
mengambilnya sebagai murid perempuan?"
Tersenyum juga perempuan baju hitam, jawabnya dengan perlahan, "Dia memang anak
perempuan yang baik."
***** Cuaca cerah dan hawa sejuk, sang surya memancarkan sinarnya dengan gemilang, meski
sudah di buntut musim rontok, namun hawa udara seperti musim semi.
358 Untuk pertama kalinya Pwe-giok merasakan betapa menyenangkan sinar matahari setelah
sekian lama dirundung malang.
Sekarang segalanya sudah mulai ada titik balik, Lui-ji juga mempunyai harapan hari depan
yang baik. Berdiri di bawah sinar sang surya yang hangat ini, saking tak tahan hampir saja dia
bersenandung sekerasnya. Satu-satunya urusan yang disesalkannya adalah ia tidak menemukan Kwe Pian-sian dan
Ciong Cing, juga tidak menemukan Ki Leng-hong, bisa jadi Ki Leng-hong telah membawa
pergi Kwe Pian-sian dan Ciong Cing secara diam-diam.
Tapi kalau dibandingkan dengan hal-hal yang menyenangkan itu, apa artinya sedikit
penyesalan. Didengarnya si perempuan berbaju hitam lagi berkata, "Meski Yang Cu-kang adalah murid
khianat, tapi ada sementara urusan dia tidak berdusta, tatkala mana Hay Tong-jing berada di
sampingnya, tentunya dia tidak berani berdusta."
"Apakah Ki Go-ceng adalah Tangkwik-sianseng?" tanya Pwe-giok.
"Bukan," jawab perempuan baju hitam. "Ki Go-ceng tidak lebih juga cuma salah seorang
boneka Tangkwik-sianseng, baik ilmu silat maupun tipu akal dan keganasannya bukan apaapa
kalau dibandingkan dengan Tangkwik-sianseng."
"Dan Cianpwe sendiri..."
"Terus terang," tukas perempuan baju hitam sambil menghela nafas, "aku sendiripun bukan
tandingan iblis jahat itu."
"Tapi Sian-thian-cing-gi Cianpwe kan tiada tandingannya di dunia?" ujar Pwe-giok.
"Meski Sian-thian-cing-gi maha sakti, tapi sang pencipta alam ini sangat adil, setiap makhluk
setiap barang, selalu diciptakan secara saling anti menganti. Meski kelabang adalah serangga
berbisa, tapi ayam jago adalah musuhnya. Biarpun Sian-thian-cing-gi sangat hebat, tetap
belum terhitung tiada tandingannya di dunia."
Setelah menghela nafas, lalu ia melanjutkan. "Demi menghadapi diriku, selama belasan tahun
ini Tangkwik-siansing telah berhasil meyakinkan semacam kungfu yang khusus ditujukan
untuk melawan Sian-thian-cing-gi. Kalau tidak, mana dia berani muncul lagi di dunia
Kangouw?" "Wah, kungfu apakah itu?" tanya Pwe-giok.
"Bu-siang-sin-kang (ilmu sakti tak berwujud)!"
"Bu-siang-sin-kang?" Pwe-giok menegas. "Wah, setelah berhasil meyakinkan Bu-siang-sinkang,
lantas orang ini boleh malang melintang di dunia Kangouw tanpa takut kepada siapa
pun?" 359 "Di dunia ini sekarang memang tiada seorang pun dapat menandingi dia, orang yang dapat
menumpasnya di dunia ini mungkin hanya ada seorang saja," tutur si perempuan baju hitam.
"Oo, siapa?" tanya Pwe-giok.
"Kau!" jawab perempuan itu tegas.
"Ak... aku"!" Pwe-giok jadi melenggong. "Tapi... aku..."
"Bicara tentang ilmu silat, dengan sendirinya kau bukan tandingannya, tapi kau seorang yang
dapat berpikir panjang, berhati tabah, tenang, banyak segi baikmu yang tidak terdapat pada
orang lain." "Akan tetapi..."
"Apakah kau tahu kisah Heng Ko membunuh raja Cin di jaman Ciankok dahulu?" sela si
perempuan baju hitam. "O, maksudmu aku... akupun harus membunuh Tangkwik-siansing secara gelap?"
"Membunuh secara licik sebenarnya bukan tindakan seorang ksatria sejati," ujar si perempuan
baju hitam. "Tapi keadaan mendesak, urusan sudah terlanjur begini, terhadap iblis jahat
seperti dia itu tidak perlu lagi bicara tentang tindakan terang atau gelap."
"Tapi orang kosen semacam Tangkwik-siansing, cara... cara bagaimana dapat kudekati dia?"
"Banyak sekali kesempatanmu untuk mendekati dia."
"Caranya?" tanya Pwe-giok.
"Sudah tentu jalan yang paling mudah adalah berusaha mendapat kepercayaan dan kaupun
dapat mendekati dia dengan leluasa."
"Tapi berdasarkan apa Tecu akan mendapatkan kepercayaannya?"
"Tentu saja kau memiliki barang yang bisa mendapatkan kepercayaan Tangkwik-siansing,
hanya saja kau sendiripun tidak mengetahuinya."
"Oo" Sudikah Cianpwe memberi penjelasan?"
"Coba katakan dulu, benda mestika simpanan Siau-hun-kiongcu sudah kau dapatkan bukan?"
Pwe-giok tidak berani berdusta, tanpa pikir dia membenarkan.
Mencorong sinar mata si perempuan baju hitam, katanya, "Dan di antara barang-barang
tinggalan Siau-hun-kiongcu itu terdapat sepotong Tik-pai (plat bambu) bukan?"
Orang kosen ini ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa dan pengetahuan yang luas,
rasanya sukar sekali bagi orang yang ingin berdusta padanya.
360 Maka Pwe-giok mengiakan pula.
"Dan Tik-pai itu apakah masih berada padamu?" tanya perempuan baju hitam.
"Syukurlah sampai sekarang masih kusimpan," jawab Pwe-giok.
"Sebenarnya barang itu cuma sepotong belahan bambu yang sangat umum, tapi dalam
pandangan orang lain justeru merupakan benda yang tak ternilai harganya, dan apakah kau
tahu dimana letak nilainya yang tinggi itu?"
"Justeru hal inilah yang tidak kuketahui," jawab Pwe-giok.
"Sebab Tik-pai itu adalah benda kepercayaan Tangkwik-siansing."
"Benda tanda kepercayaan?"
"Ya, barang siapa memegang pelat bambu itu, seketika jadilah dia tuan penolong Tangkwiksiansing,
apapun yang harus dilakukan Tangkwik-siansing atas permintaan orang yang
memegang benda itu pasti takkan ditolaknya."
"O, sebab apa?" tanya Pwe-giok.
"Orang ini meski sangat kejam, tapi berwatak angkuh, tinggi hati, sama sekali dia tidak mau
hutang budi, betapapun dia tidak suka ditolong orang. Tak tersangka, 30 tahun yang lalu ia
justeru telah utang budi kepada seseorang, dan orang ini justeru tidak mengharapkan balas
jasa apapun dari dia. Karena itu, terpaksa dia mengukir sepotong bambu dan diberikan kepada
penolongnya itu sebagai tanda kepercayaannya. Pada potongan bambu itu terukir huruf yang
mengatakan "melihat Tik-pai sama dengan ketemu orangnya", jadi Tik-pai itu mewakili
Tangkwik-siansing..."
"Ya, ku paham maksudnya," kata Pwe-giok. "Dan siapakah orang yang memegang Tik-pai
itu?" "Siapapun orang ini tidaklah penting bagi kita, sebab dia sudah mati, yang utama sekarang
adalah Tik-pai tersebut sekarang berada padamu," kata si perempuan baju hitam. "Jika
Tangkwik-siansing sudah menyatakan Tik-pai itu sama dengan dia pribadi, maka sekarang
kau juga sama sebagai tuan penolongnya. Apapun yang kau minta, pasti dilakukannya tanpa
ditolak. Kan sudah kukatakan, watak orang ini sangat tinggi hati, apa yang sudah
diucapkannya tidak nanti dijilat kembali."
"Jadi maksud Cianpwe agar kubawa Tik-pai untuk menemui Tangkwik-siansing dan
menyuruh dia memenggal kepalanya sendiri?" tanya Pwe-giok setelah berpikir.
Perempuan baju hitam tertawa, katanya, "Biarpun dia tidak bakalan menjilat kembali apa
yang diucapkannya, kala kau minta dia memenggal kepalanya sendiri, betapapun tidak nanti
dilakukannya. Jika 30 tahun yang lalu permintaanmu mungkin akan terpenuhi, tapi sekarang,
usia seorang kalau sudah tambah lanjut, semakin dekat akhir hayatnya, biasanya orang akan
semakin merasakan betapa berharganya jiwa sendiri."
"Jika demikian, jadi maksud Cianpwe..."
361 "Boleh kau temui dia dengan membawa Tik-pai dan minta dia mengajarkan Bu-siang-sinkang
padamu." "Kemudian?" "Untuk belajar Bu-siang-sin-kang, tentu saja tidak dapat diselesaikan dalam waktu tiga atau
lima hari. Selama kau belajar kungfu padanya, tentu banyak kesempatanmu untuk berdekatan
dengan dia." "Ya, betul," kata Pwe-giok.
"Tidak dapat membalas budi, inilah yang dianggapnya penyesalan selama hidup. Sekarang
kau datang padanya dengan membawa Tik-pai serta memohon sesuatu padanya, hal ini boleh
dikatakan telah melunasi cita-citanya selama ini. Dia pasti akan sangat girang dan takkan
tanya asal usulmu, juga pasti tidak berprasangka buruk padamu, pepatah bilang "harimau pun
ada kalanya berkedip". Nah, karena kau dapat mendekati dia setiap saat, tentu banyak
kesempatan bagimu untuk turun tangan."
"Akan tetapi..."
Perempuan baju hitam tidak membiarkan anak muda itu bicara, dengan suara tegas ia
menyela, "Setelah kau tahu kejahatan dan rencana kejinya, apa pula yang kau ragukan lagi"
Masakah kau tidak ingin menumpas kejahatan bagi dunia Kangouw umumnya, masakah kau
tidak ingin membalas dengan bagi dirimu sendiri?"
"Jadi asal usul diriku sudah diketahui Cianpwe?" tergerak hati Pwe-giok.
Perempuan itu tersenyum, katanya, "Tahukah kau siapa yang mengubah bentuk wajahmu
ini?" "Sungguh menyesal, Tecu menerima budi pertolongan beliau, tapi siapa nama beliau yang
mulia sejauh ini belum kuketahui," jawab Pwe-giok dengan sedih.
"Pribadinya juga menanggung penderitaan yang sangat mendalam, sebab itulah sudah lama
dia mengasingkan diri dan melupakan nama, tapi dapat kuberitahukan kepadamu, dia adalah
sahabatku yang paling karib."
Mau tak mau Pwe-giok merasa kagum.
"Sudah lama sekali Tangkwik-siansing tidak berani bergerak," demikian perempuan baju
hitam menyambung lagi, "sebabnya adalah karena dia jeri terhadap kami berdua, sebab meski
Bu-siang-sin-kang telah berhasil dilatihnya dengan baik, tapi kalau menghadapi gabungan
kami berdua, tetap kami sanggup mematikan dia... cuma... cuma sayang..." suaranya semakin
lemah dan berubah menjadi helaan nafas.
"Cuma sayang apa?" tanya Pwe-giok. "Masakah beliau sudah..."
Sampai cukup lama si perempuan baju hitam terdiam, habis itu kelihatan terangsang pula,
dadanya naik-turun, ia menghela nafas panjang sekali lalu berucap dengan sedih, "Mungkin...
362 mungkin ia sudah terkena tangan keji Tangkwik-siansing..." tapi dengan cepat ia
menyambung pula, "Namun urusan ini belum dapat kubuktikan, jika Tangkwik tidak
mengetahui jelas dia sudah meninggal, mana dia berani muncul lagi di dunia Kangouw"
Justeru lantaran dia sudah mati, maka Tangkwik menjadi berani."
Pwe-giok mengertak gigi dan berkata, "Apa pesan Cianpwe pasti akan kukerjakan, cuma,
kalau gerak-gerik Tangkwik-siansing ini sedemikian misterius, kemana harus kucari dia?"
"Dengan sendirinya sukar bagimu untuk mencarinya, tapi dapat diusahakan agar dia yang
mencari kau," kata perempuan baju hitam.
"O, maksud Cianpwe agar Tecu menyiarkan berita bahwa Tik-pai itu berada pada tanganku?"
"Betul, jika mendengar berita Po-in-pai (pening balas budi) sudah jatuh di tanganmu, tentu dia
akan mencari kau betapapun jauhnya."
"Melihat Tik-pai itu sama melihat orangnya, artinya hanya kenal pada Tik-pai itu dan tidak
pula kenal orangnya, tapi sebelum kuserahkan Tik-pai itu padanya, kan setiap orang juga
dapat merampas Tik-pai itu dari tanganku?"
"Tapi siapakah yang mampu merebut Tik-pai itu dari tanganmu?" ujar si perempuan baju
hitam. Pwe-giok tersenyum getir, ucapnya, "Bukannya Tecu tidak dapat menilai dirinya sendiri, tapi
sesungguhnya orang kosen di dunia Kangouw ini masih sangat banyak."
"Betul juga ucapanmu," kata perempuan itu, "dengan ilmu silatmu sekarang, di dunia ini
sedikitnya masih ada 13 tokoh yang mampu mengalahkanmu, bisa jadi lebih. Tapi orangorang
ini kebanyakan sudah mengasingkan diri, jika mendengar berita hangat ini, mungkin
sekali merekapun akan tertarik, andaikan tidak sampai main rebut secara terang-terangan,
bukan mustahil akan mengincarnya secara diam-diam."
Tanpa memberi kesempatan bicara kepada Pwe-giok, dengan tertawa ia menambahkan pula,
"Tapi kau juga sudah memegang Giam-ong ceh (piutang raja akhiran), kenapa mesti takut lagi
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada orang-orang ini?"
"Giam-ong-ceh?" Pwe-giok menegas dengan heran.
"Ya, jika kau pegang Po-sin-pai, masa tidak pegang Giam-ong-ceh?" ujar si perempuan baju
hitam. "Yang Cianpwe maksudkan apakah buku catatan itu?" tanya Pwe-giok.
"Betul," jawab perempuan itu, lalu dengan perlahan ia berucap, "Manusia bukan nabi, siapa
yang tidak pernah berbuat salah" Orang hidup selama berapa puluh tahun, sedikit banyak
pasti pernah berbuat salah dan merugikan orang lain, lebih-lebih orang yang sudah terkenal
itu, orang hanya melihat sebelah yang gemilang, tapi lupa pada sisi yang lain. Siapapun tidak
tahu dengan batu loncatan apa mereka berhasil merangkak ke atas?"
363 Pwe-giok menghela nafas panjang, iapun tahu jalan menuju sukses memang tidak mudah,
untuk bisa mencapai titik final entah perlu melangkahi berapa banyak mayat orang.
"Misalnya," demikian perempuan baju hitam menyambung lagi, "sebabnya Ang Seng-ki dapat
menjadi ketua Hong-bwe-pang, justeru lebih dulu dia membunuh Suhengnya, lalu meracun
mati gurunya. Rahasia ini akhirnya toh terbongkar. Tapi sebelum tersingkap, setiap orang
Kangouw sama mengakui Ang Seng-ki adalah seorang ksatria sejati, seorang pahlawan
besar." Pwe-giok menghela nafas dan diam saja.
Perempuan itu melanjutkan, "Setelah rahasianya terbongkar, maka orang hanya menganggap
nasib Ang Seng-ki lagi malang, sebab entah berapa banyak peristiwa serupa yang terjadi di
dunia Kangouw, hanya saja tidak diketahui orang luar."
"Jika ingin orang lain tidak tahu, hanya diri sendiri jangan berbuat," ucap Pwe-giok menyitir
pepatah. "Seorang kalau berbuat dosa, lambat atau cepat pasti akan ketahuan."
"Betul, rahasia apapun juga akhirnya pasti akan terbongkar, dan diseluruh dunia ini, orang
yang paling banyak mengetahui rahasia ini ialah Siau-hun-kiongcu."
"Oo "!" Pwe-giok bersuara heran.
"Kau tahu Siau-hun-kiongcu cantik molek dan tidak sedikit lelaki yang terpikat, dan saat yang
paling sukar untuk menyimpan rahasia kaum lelaki adalah pada waktu berbaring di tempat
tidur, di samping si molek."
Ucapan perempuan baju hitam ini hanya samar-samar, tapi apa maksudnya cukup gamblang
bagi pendengarnya. Artinya, bilamana seorang perempuan cantik tidur bersama kau di suatu tempat tidur, sebuah
mulut mungil berbisik-bisik di tepi telingamu, sepasang mata jeli memandangi kau di samping
bantal. Dalam keadaan demikian, jika kau dapat tutup rahasia, maka tergolong kuat imanmu
dan harus diberi tanda pujian. Sebab kalau seorang dapat menjaga rahasia bagi orang lain,
maka hakikatnya kau adalah seorang nabi.
Dan betapapun nabi di dunia ini tidaklah banyak.
"Dari sekian orang yang dikenalnya, Siau-hun-kiongcu telah memperoleh macam-macam
rahasia yang tidak diketahui umum," demikian perempuan baju hitam itu melanjutkan.
"Semua rahasia yang didengarnya itu lantas ditulisnya dalam buku catatan itu. Dia memang
seorang pintar, dia cukup tahu betapa nilainya sesuatu urusan, ia dapat menunggu naiknya
harga pasar. Ditunggunya bilamana harga urusan itu sudah mencapai titik tertinggi barulah
dijualnya. Sebab itulah buku catatan itu selalu disimpannya dengan baik dan tidak pernah
dibawanya dalam baju, sebab dia yakin pada suatu hari kelak buku catatan itu pasti banyak
gunanya." "Tapi sejauh itu toh tidak pernah digunakannya," kata Pwe-giok dengan menyesal.
"Hal ini disebabkan mendadak ia berubah menjadi bodoh," kata perempuan baju hitam.
364 "Bodoh?" Pwe-giok menegas.
"Ya, bodoh," perlahan perempuan baju hitam bertutur. "Di dunia ini ada dua macam orang
yang paling bodoh. Yang pertama adalah kakek yang mencintai anak gadis. Kakek semacam
ini mungkin saja cerdas, juga kenyang asam garam kehidupan, tapi sering-sering kelabakan
dan pusing kepala karena dipermainkan oleh seorang anak dara yang masih berbau pupuk
jeringau. Orang semacam ini meski kasihan, tapi tidak ada orang yang bersimpatik padanya,
sebab perbuatannya itu adalah akibat tingkah polah sendiri."
Pwe-giok hanya tersenyum getir saja, ia tahu orang yang tergila-gila kepada anak gadis
memang bukan kejadian yang menggembirakan, tapi sering2 malah dramatis, bahkan
terkadang juga komedi. "Dan orang bodoh macam kedua adalah anak gadis yang edan kasmaran," tutur si perempuan
baju hitam lebih lanjut. "Betapapun biasanya anak gadis sangat pintar dan cerdik, sekali dia
gila cinta, seketika akan berubah menjadi bodoh dan buta. Sudah jelas orang yang dicintainya
itu adalah seorang penjahat, seorang pengeretan, tapi dalam pandangannya lelaki itu adalah
orang yang paling jujur di dunia ini, lelaki yang paling menarik. Biarpun lelaki itu bilang
padanya bahwa salju itu hitam dan bak (tinta Cina) itu putih, maka iapun akan percaya
penuh." Pwe-giok jadi teringat kepada Ciong Cing yang tergila-gila kepada Kwe Pian-sian yang sudah
berumur itu, tanpa terasa ia menghela nafas menyesal pula.
"Tapi Siau-hun-kiongcu kemudian justeru berubah menjadi orang yang jauh lebih bodoh
daripada kedua macam orang tadi, dia bukan saja jatuh cinta secara membuta, bahkan orang
yang dicintainya itu adalah binatang kecil yang umurnya lebih muda beberapa puluh tahun
daripada dia." Kembali Pwe-giok menghela nafas, katanya, "Lantaran orang iniliah, Cu-kiongcu tidak
sayang mengorbankan segalanya, dengan sendirinya pula dia tidak mau menggunakan rahasia
pribadi untuk mengancam orang tua kekasihnya. Kemudian ketika diketahuinya bahwa
mereka semua itu adalah manusia berhati binatang, namun segalanya sudah kasip, sudah
terlambat." "Betul, memang begitu," kata perempuan itu. "Tapi dengan kecerdasanmu, apabila buku
catatan ini dapat kaupergunakan dengan baik, tentu banyak hal-hal yang mengejutkan dapat
kau lakukan, lebih lebih tidak perlu takut orang lain akan mengusik dirimu."
"Akan tetapi..."
"Tidak perlu kau katakan, kutahu maksudmu," potong perempuan itu sebelum lanjut ucapan
Pwe-giok. "Tapi air memang dapat melajukan kapal dan juga dapat menenggelamkan kapal.
Pada dasarnya sesuatu benda itu tidak jahat, bergantung pada hati orang yang
menggunakannya, hal ini perlu kau ketahui."
Pwe-giok mengiakan. 365 Maka tertawalah perempuan itu, katanya, "Bagus sekali, sudah habis ucapanku, pergilah kau!
Pada hari suksesmu, hari itu pula kita akan bertemu. Tatkala mana, segala angan-anganmu
akan dapat kubantu kau menunaikannya."
***** Ketika bayangan tubuh Pwe-giok menghilang di kejauhan, perempuan baju hitam itu masih
tetap berdiri di situ. Sang surya belum terbenam, remang senja sudah mulai meliputi bumi.
Dalam keremangan senja itu perempuan baju hitam itu mendadak berubah menjadi sangat
misterius, sangat menyeramkan.
Dia seperti mempunyai dua macam peran, pada siang hari dia adalah manusia. Tapi bila
malam tiba, dia lantas berubah menjadi badan halus dalam kegelapan.
Kini dalam kegelapan telah muncul pula sesosok badan halus yang lain.
Badan halus ini adalah Ki Go-ceng.
Bajunya masih berlepotan darah, tapi mukanya sudah tercuci bersih, kedua matanya yang
mencorong itu menampilkan senyuman yang misterius, katanya dengan terkekeh, "Wah, hari
ini tidaklah sedikit pembicaraanmu."
"Untuk mengurangi sedikit kesulitan di kemudian hari, apa alangannya bicara lebih banyak?"
ujar si perempuan berbaju hitam.
"Bunuh saja dia agar tidak mendatangkan kesulitan?" kata Ki Go-ceng.
Perempuan baju hitam menggeleng, "Kau tidak paham..."
"Aku memang tidak paham mengapa kau suruh aku pura-pura mati dan mengapa melepaskan
dia?" "Sebab hanya dengan jalan ini dapatlah memancing dia menceritakan berbagai urusan ini."
"Sudah diceritakannya?" tanya Ki Go-ceng.
"Ya, dia sudah mengaku memang dialah anaknya Ji Hong-ho, bahkan dugaanku juga tidak
keliru, memang betul si anjing tua itu yang mengubah bentuk wajahnya, dua hal inilah yang
selama ini tidak dapat kupastikan..."
"Setelah sekarang sudah diketahui dengan pasti, mengapa kaulepaskan dia?"
Kembali perempuan itu menggeleng, "Kau tidak paham, tapi selekasnya kau akan tahu..."
"Kuharap semoga kau tidak berbuat salah."
366 "Bilakah aku pernah melakukan sesuatu kesalahan?" jengek perempuan baju hitam.
Mendadak ia menyurut mundur dua langkah dan berkata, "Tubuhmu itu berdarah, kenapa
tidak ganti pakaian dulu?"
"Haha, kaupun mengira ini darah sungguhan, tampaknya makin lama makin hebat
kepandaianku," kata Ki Go-ceng dengan tertawa.
Perempuan itu tertawa, ucapnya, "Kepandaianmu memang tidak kecil."
"Eh, dimanakah muridmu itu?"
"Maksudmu Hay Tong-jing?"
Ki Go-ceng mengiakan. "Dia sudah pulang dengan membawa Cu Lui-ji dan Thi-hoa-nio."
"Apakah dia tahu urusan kita ini?"
Dengan sekata demi sekata si perempuan baju hitam menjawab, "Untuk suksesnya urusan
besar, makin sedikit orang yang mengetahui seluk beluknya akan makin baik."
"Dan bagaimana dengan Yang Cu-kang?" tanya pula Ki Go-ceng.
"Demi suksesnya usaha kita, kanperlu mencari beberapa orang untuk dijadikan kambing
hitam?" jawab perempuan berbaju hitam dengan perlahan.
***** Tanpa terasa musim rontok sudah lalu, makin dinginlah angin yang bertiup.
Selama beberapa hari terakhir ini boleh dikatakan selalu dilalui oleh Pwe-giok dalam keadaan
tegang. Setiap hari selalu terjadi hal-hal yang tidak terduga, satu persatu susul menyusul, yang
satu lebih berbahaya daripada yang lain sehingga menimbulkan pikirannya bahwa hari ini
mungkin adalah hari kehidupannya yang terakhir. Dan baru sekarang dia benar-benar dapat
menghela nafas lega. Sekarang baru diketahuinya keadaan sendiri yang nelangsa, baju yang dipakainya sangat tipis
dan kotor, harus ganti dan perlu mandi sebersihnya.
Jika tidak mati, maka dia harus hidup sebaik-baiknya.
Dia ingin mencari suatu tempat yang santai, lebih dulu mandi dan bersihkan muka, lalu ganti
pakaian bersih. Terbayang betapa nikmatnya berendam dalam air panas, sekujur badan
seketika terasa gatal. Cuma sayang, dalam saku Pwe-giok sekarang tertinggal beberapa mata uang saja. Seorang
kalau keselamatan jiwa selalu terancam, dalam keadaan demikian barulah dia melupakan
uang. 367 Petang itu dia sampai di suatu kota kecil, dengan dua duit dia membeli sekotak geretan dan
membeli mi pangsit dengan empat duit. Waktu dia meninggalkan kota kecil itu, sakunya
sudah kosong melompong. Namun hati terasa sangat senang, terutama rahasia orang-orang ternama adalah hal yang
paling menarik bagi siapapun.
Sifat suka menyelidiki rahasia orang lain memang merupakan sifat buruk manusia.
Begitulah di luar kota Pwe-giok mendapatkan sebuah tempat yang teraling dari tiupan angin,
di situ ia membuat api unggun, setelah dipanggang dengan api, timbullah huruf-huruf yang
tertulis pada buku catatan tinggalan Siau-hun-kiongcu.
Nama-nama yang tercatat di dalam buku harian itu memang seluruhnya terdiri dari tokohtokoh
terkenal, kebanyakan sudah pernah didengar Pwe-giok, diantaranya termasuk kesepuluh
tokoh top seperti Tonghong Tay-beng, Li Thian-ong, Oh-lolo cinjin, dan sebagainya, juga
nama ketua ke-13 orang besar yang ikut dalam pertemuan Wi-ti semuanya tercatat di situ.
Yang paling menyolok dan mendebarkan bagi Pwe-giok adalah nama ketiga orang ini, Ki Goceng,
Hong Sam, dan Ji Hong-ho.
Ia hampir tidak percaya kepada matanya sendiri. Selama hidupnya ayahnya terkenal jujur dan
lurus, tidak kemaruk harta, tidak cari nama. Lalu ada perbuatan apa yang juga dianggap
berdosa" Meski dia tidak percaya, tapi juga tidak berani tidak percaya.
Ketika membaca nama Hong Sam, halaman itulah dilewatkan.
Hong Sam adalah saudaranya, sahabatnya, biarpun pernah berbuat sesuatu kesalahan juga
dapat dimaklumi, maka iapun tidak ingin tahu.
Tapi dia tidak melampaui catatan mengenai Ki Go-ceng. Dilihatnya di bawah nama Ki Goceng
tercatat keterangan: Berzinah antar kakak dan adik.
Jantung Pwe-giok seakan-akan berhenti berdenyut. Sungguh sukar dipercaya di dunia ini
ternyata ada manusia yang tidak tahu malu dan kotor begini. Tapi mau tidak mau ia harus
percaya, sebab lantas teringat olehnya putera Ki Go-ceng, yaitu Ki Cong-hoa, kalau bukan
hasil perzinahan antara kakak dan adik, manabisa melahirkan orang yang gila itu"
Tapi anehnya Ki Leng-hong dan Ki Leng-yan tidak mendapatkan bibit jahat keturunan
mereka. Padahal umumnya putera-puteri orang kerdil juga jarang yang normal. Apakah
mereka memang bukan puteri sedarah Ki Cong-hoa"
Pwe-giok jadi teringat pada lorong di bawah tanah di Sat-jin-ceng atau perkampungan
pembunuh orang itu. Di lorong rahasia itu ditemukannya sepotong batu giok, lalu teringat
pula kekasih Ki-hujin yang misterius itu. Tidak perlu disangsikan lagi orang itu jelas adalah
anggota keluarga Ji (mengenai Sat-jin-ceng dan keluarga Ki, hendaknya baca Renjana
Pendekar). 368 Apakah semua itulah rahasia pribadi "Ji Hong-ho" gadungan itu"
Pwe-giok tidak berani memikirkannya lagi, tapi ia tahu bila urusan ini tidak dibikin terang,
kelak setiap saat toh masih tetap akan teringat olehnya.
Tanpa terasa ia membalik halaman yang tercatat nama "Ji Hong-ho". Tangannya terasa
gemetaran dan jantung berdetak keras.
Dilihatnya di bawah nama "Ji Hong-ho" itu tertulis keterangan: kakak beradik tidak akur, adik
diusir sehingga menjadi bandit. Wajahnya kelihatan alim, tapi perbuatannya rendah.
Di samping terdapat pula sebaris huruf kecil yang menjelaskan "Bandit di padang pasir utara
It-koh-yan (satu gulung asap) ialah adik Ji Hong-ho, diusir sang kakak sejak kecil, akhirnya
menjadi penjahat. Sang kakak terkenal sebagai orang suci, adiknya tersohor sebagai bandit.
Sungguh lucu." Seketika tangan Pwe-giok berkeringat dingin.
Teringat olehnya waktu kecil pernah didengarnya mempunyai seorang Jicek atau paman
kedua, tatkala mana ibunya belum meninggal dunia, apabila dirinya bertanya mengenai
paman itu, sang ibu lantas marah dan menjawab, "Jicek sudah mati, sudah lama mati."
Bahkan disuruhnya selanjutnya jangan bertanya pula.
Dan baru sekarang diketahuinya sang paman tidak mati, jika demikian apakah kekasih gelap
Ki-hujin itu memang betul pamannya" Jangan-jangan Ki Leng-hong dan Ki Leng-yan adalah
puteri pamannya, hasil hubungan gelap antara sang paman dengan Ki-hujin"
Selama ini Ki Leng-hong terus berusaha melindungi dirinya, apakah lantaran di antara mereka
memang ada semacam hubungan darah dan kontak perasaan yang aneh"
Selagi Pwe-giok termenung-menung sendiri, tiba-tiba didengarnya bunyi gemertak roda
kereta. Seorang yang memakai mantel ijuk dan bertopi caping dengan mendorong sebuah
gerobak roda satu tampak muncul dari arah timur.
Dalam kegelapan tidak kelihatan barang apa yang termuat di atas gerobak itu, tapi dari jauh
sudah tercium bau obat-obatan, jadi muatan gerobak itu kebanyakan adalah bahan obatobatan.
Jalanan di daerah Sujwan memang tidak datar, tapi banyak liku jalan pegunungan yang sukar
dilalui kereta dan kuda. Hanya gerobak roda satu beginilah yang paling leluasa didorong kian
kemari. Di daerah pegunungan Sujwan juga banyak menghasilkan bahan obat-obatan, maka
pedagang obat di berbagai daerah kebanyakan adalah orang Sujwan.
Orang dengan gerobak roda satu ini tidak ada sesuatu yang istimewa, jika orang lain tentu
takkan menaruh perhatian. Tapi Pwe-giok justeru merasa orang ini dan gerobaknya perlu
dicurigai. Dari suara roda kereta dapat diketahuinya barang muatan gerobak itu cukup berat, padahal
umumnya bobot bahan obat-obatan sangat ringan.
369 Curah hujan di daerah Sujwan sangat sedikit, tapi orang ini justeru memakai mantel ijuk yang
biasanya cuma dipakai kalau hari hujan, meski mendorong kereta seberat ini, namun
langkahnya sangat cepat dan enteng, tidak kelihatan makan tenaga.
Saudagar obat-obatan biasanya juga suka berkelompok, tapi orang ini menempuh perjalanan
seorang diri, bahkan kini sudah jauh malam dan dia masih meneruskan perjalanannya.
Semua ini cukup menimbulkan curiga. Hanya saja saat ini Pwe-giok tidak sempat memikirkan
orang lain. Sedangkan tukang gerobak itupun sedang mendorong dengan kepala tertunduk dan
tidak memperhatikan anak muda itu.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari kejauhan bergema pula derap kaki kuda lari yang
riuh, hanya sekejap saja, suara itu sudah mendekat, nyata kuda ini berlari dengan sangat cepat.
Pwe-giok terkejut oleh suara derap kaki kuda yang cepat itu, dalam kegelapan malam yang
sunyi, suara kaki kuda ini kedengarannya sangat menusuk telinga. Namun si tukang gerobak
tadi ternyata tidak angkat kepala dan juga tidak berpaling, seperti orang yang tidak mendengar
apa-apa. Tampak seekor kuda membedal dengan cepat, kira-kira masih tiga tombak jauhnya serentak si
penunggang kuda melayang dari pelana kuda dan sekali berjumpalitan di udara, seperti
burung seriti menerobos hutan, dengan tepat ia hinggap di depan si tukang gerobak.
Kuda yang ditinggalkannya itu meringkik nyaring dan berhenti seketika.
Diam-diam Pwe-giok memuji, "Orangnya cekatan, kudanya tangkas!"
Tapi si tukang gerobak seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi, ia masih terus mendorong
gerobaknya ke depan dengan tunduk kepala.
Padahal si penunggang kuda tepat menghadang di tengah jalan, tampaknya gerobak itu segera
akan menumbuknya, namun dia tetap tidak bergerak sedikitpun, sungguh tenang dan tabah
luar biasa. Sekarang dapat dilihat Pwe-giok potongan badan penunggang kuda itu pendek lagi gemuk,
sehingga mirip sebuah bola. Pada punggungnya justru menyandang sebatang pedang yang
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
amat panjang, bentuknya menjadi rada lucu.
Namun sikapnya ternyata luar biasa, dia hanya berdiri di situ, seketika timbul semacam
wibawa yang membikin orang jeri dan tidak berani menghinanya.
Meski tidak dapat melihat jelas mukanya, tapi diam-diam Pwe-giok sudah dapat menduga
siapakah orang buntak ini.
Ketika gerobak yang didorongnya itu persis hampir menyentuh tubuh orang, barulah
mendadak dihentikan, begitu cepat berhentinya seperti halnya rem pakem pada kendaraan
bermesin jaman kini. Padahal muatan gerobak itu sangat berat, tapi baginya ternyata tidak ada
artinya, sekali mau berhenti segera berhenti.
370 Baru sekarang si penunggang kuda menengadah dan bergelak tertawa, serunya. "Hahaha,
mengapa Auyang-pangcu telah berganti usaha menjadi saudagar obat-obatan " Wah, inilah
baru berita !" Kiranya si tukang gerobak adalah Auyang Liong, pemimpin besar ke 72 kelompok bajak di
perairan Tiangkang. Orang ini sudah pernah dilihat Pwe-giok sewaktu rapat di Hong-ti, cuma
sekarang pentolan bajak ini memakai topi dan jas hujan, sehingga wajah aslinya tertutup, tadi
Pwe-giok juga merasa orang seperti sudah pernah dikenalnya, cuma tidak ingat siapa dia.
Begitulah terdengar Auyang Liong sedang menjawab dengan tertawa, "Tajam benar
pandangan Hi-tocu, kagum, kagum !"
Dia mendorong capingnya ke atas, lalu menyambung pula. "Hi-tocu sendiri tidak memancing
ikan saja di lautan selatan, tapi jauh-jauh lari ke sini, memangnya ada pekerjaan apa"
Memangnya jabatan pemimpin besar lautan selatan juga sudah ditinggalkan Hi-tocu dan
sekarang telah berganti jenis usaha?"
Benar juga, Pwe-giok tidak salah lihat, si buntak ini memang betul gembong bajak laut di
daerah selatan, terkenal sebagai Hui-hi-kiam-khek atau si pendekar pedang ikan terbang,
namanya Hi Soan. Kedua orang ini sama-sama bajak, yang satu bajak laut, yang lain perompak sungai, tapi
sekarang keduanya bertemu di daratan sini. Jelas ini tidak terjadi secara kebetulan, diam-diam
Pwe-giok merasa heran. Barang apakah muatan gerobak Auyang Liong itu" Sesungguhnya ada usaha apakah di antara
mereka" Pwe-giok memang bersembunyi di balik batu yang teraling dari tiupan angin, sebab itulah
meski dia menyalakan api unggun juga tidak diketahui oleh kedua orang itu, apalagi sekarang
api unggun itu sudah mulai padam.
Terdengar Hi Soan berkata lagi, "Kedatanganku dari jauh ini, masakah Pangcu tidak tahu apa
sebabnya?" "Memang tidak tahu, mohon penjelasan, "jawab Auyang Liong.
"Pangcu sendiri datang untuk apa, untuk urusan yang samalah ku datang, kenapa Pangcu
berlagak pilon?" kata Hi Soan dengan tertawa.
Auyang Liong berdiam sejenak, mendadak ia mengeluarkan semacam barang dan berkata,
"Apakah Hi-tocu juga menerima barang ini " "
Yang terpegang di tangan Auyang Liong hanya sehelai kartu undangan saja, dengan
kedudukan mereka, biarpun setiap hari menerima kartu undangan juga tidak mengherankan,
tapi anehnya tangan Auyang Liong yang memegang kartu undangan itu justru rada gemetar
seperti orang ketakutan. Setelah melihat kartu undangan itu, tertawa Hi Soan seketika pun lenyap, jawabnya sambil
menghela napas, "Betul, tahun ini akupun tertimpa sial."
371 "Hahaha!" Auyang Liong tertawa. "Tahun ini Hu-patya berusia 70 tahun, jauh-jauh beliau
mengirim undangan ke laut selatan, hal ini kan suatu kehormatan besar bagi Hi-heng, kenapa
malah kau katakan sial?"
Hal ini juga yang membuat Pwe-giok heran. Bahwa orang mengirim kartu undangan padanya,
hal ini menunjukkan orang yang diundang itu cukup luas bergaul, biarpun perjalanan terlalu
jauh dan tidak dapat hadir sendiri, kan dapat mengutus orang dengan membawa kado sekedar
tanda hormat. Padahal gembong kang-ouw seperti mereka ini masakah perlu hemat sedikit
kado" Tapi dari suara tertawa Auyang Liong yang penuh rasa bersyukur itu, rasanya seperti orang
yang dekat ajalnya mendadak menemukan seorang pengiring yang akan masuk kubur
bersama. Hal ini benar-benar membikin Pwe-giok tidak habis mengerti.
Terdengar Hi Soan tertawa ngekek, katanya, "Betul juga ucapan Pangcu, undangan Hu-patya
memang harus kuterima sebagai suatu kehormatan, hanya saja, sudah dua bulan ini kucari
kian kemari dan belum menemukan suatu kado yang sekiranya cocok. Coba, bagaimana
baiknya kalau menurut pendapat Pangcu?"
Pwe-giok bertambah heran. Mengirim kado adalah tanda persahabatan, asalkan kirim,
bagaimanapun bentuk kado itu, tentunya takkan ditolak oleh si penerima. Apalagi emas perak,
batu permata, benda antik, bahan baju dan makanan, semuanya juga dapat dijadikan sebagai
kado. Masakah Hui-hi-kiam-khek yang terkenal kaya raya sampai mengalami kesukaran
mencari kado, hal ini sukar untuk dipercaya bagi siapapun yang mendengarnya.
Auyang Liong lantas mendengus, "Hi-tocu dikenal setiap orang kangouw sebagai hartawan
dan tokoh berpengaruh, kalau mengaku sukar mendapatkan kado, alasan ini apakah tidak
lucu?" Hi Soan termenung sejenak, mendadak ia tanya, "Pernahkah Pangcu mendengar orang yang
bernama The Hian?" "Maksudmu apakah The-tocu dari Ci-sah-to sahabat karib Hi-tocu sendiri?" tanya Auyang
Liong. "Meski pengetahuan Cayhe kurang luas, tapi kalau nama The-tocu saja pernah
kudengar." "Dan tahukah kau cara bagaimana kematiannya?" tanya Hi Soan pula.
Auyang Liong melengak, sahutnya, "Apakah The-tocu meninggal sakit?"
Jilid 13________ "Dia cukup sehat, sepanjang tahun tidak pernah sakit, masuk angin saja tidak pernah, mana
bisa sakit?" "Kalau bukan meninggal sakit, habis..... apakah....apakah terbunuh orang?" tanya Auyang
liong dengan ragu. 372 "Betul, dia mati terbunuh," jawab Hi Soan. "Padahal senjata The-tocu, sepasang Ji-goat lun
(gada bulan dan matahari) konon adalah ajaran langsung mendiang Tonghong-sengcu, selama
berpuluh tahun tidak pernah ketemu tandingan, siapa ada yang mampu membunuhnya?"
"Siapa lagi kalau bukan Hu-patya!" sahut Hi Soan.
Seketika air muka Auyang Liong berubah pucat dan tidak bersuara lagi.
Hi soan berucap pula, "Tahun yang lalu waktu Hu patya merayakan ulang tahun, kartu
undangannya tersebar ke Ci-sah-to, karena itu The Hian lantas bekerja giat, dia menyelam ke
dasar laut selama tiga hari dan barulah didapatkan setangkai bunga karang setinggi tiga kaki,
Diam-diam ia bergirang ia anggap kadonya ini umpama tidak dapat melebihi orang lain,
sedikitnya akan dapat memuaskan Hu-patya."
"Oo!" Auyang Liong terkesiap.
"Seterima kado itu, Hu-patya tidak memberi komentar apapun, ia hanya membawa The Hian
ke sebuah kamar, didalam kamar itu tidak ada barang lain, isinya melulu bunga karang, setiap
bunga karang sedikitnya lima kaki tingginya," Hi Soan menghela nafas, lalu menyambung,
"Melihat itu, hati The Hian terasa dingin, benarlah, setetes arak saja Hu-patya tidak
memberinya minum, tapi langsung mengantar dia angkat kaki, malahan beliau sendiri yang
mengantar The Hian hingga jauh ke luar kota.
"O, dan kemudian bagaimana?" tanya Auyang Liong.
"Kemudian The hian langsung pulang ke rumah. tapi begitu sampai dirumah dia lantas
tumpah darah dan roboh, sampai dia sendiripun tidak tahu mengapa bisa terluka. Ia hanya
ingat waktu Hu-patya hendak berpisah setelah memberi soja (hormat dengan kedua kepalan di
depan dada) dan saat itu juga dia merasa dadanya rada panas."
"Berapa hari dia hari sampai....sampai dirumah?" tanya Auyang Liong.
"Tujuh hari, daerah yang ditumpahkannya hampir sebaskom penuh dan malam itu juga dia
meninggal." Auyang Liong berdiam sejenak dengan wajah kelam, gumamnya kemudian, "Lihay benar
Pek-poh-sin-kun (pukulan sakti seratus langkah), bukan saja dapat mencelakai orang tanpa
kelihatan dan baru kambuh lukanya setelah lewat tujuh hari. Tampaknya nama kebesaran Hupatya
memang bukan omong kosong belaka."
"Setiap orang Kangouw sama tahu ilmu pukulan sakti Hu-patya tiada tandingannya," kata Hi
Soan dengan gegetun. "siapapun tahu bila ada yang mengirim kado tidak cocok dengan
seleranya, maka sukarlah terhindar dari suatu pukulannya, apa yang tersiar ini tidak omong
kosong." Seketika Auyang Liong memandang, menatap di atas gerobaknya dan tidak dapat bersuara
lagi. "Karena sudah ada contoh yang terjadi di atas diri The Hian, maka kado yang harus ku
sediakan tahun ini tidak dapat sembarangan kukirimkan kata Hi Soan pula. "Begitu menerima
373 kartu undangannya, segera ku mulai mencari dan sampai saat ini belum lagi mendapatkan
kado yang sekiranya dapat memuaskan hati Hu-patya. Padahal hari ulang tahun Hu-patya
sudah dekat, coba bagaimana baiknya kalau menurut pendapat Pangcu?"
Baru sekarang Pwe-giok paham duduknya perkara, diam-diam iapun merasa serba runyam, di
dunia ini memang tidak sedikit orang mencari keuntungan pada saat-saat tertentu, seperti
ulang tahun, perkawinan dan hajat lain, tapi cara Hu-patya yang bertindak sewenang-wenang
ini sungguh jarang terdengar, caranya ini jelas jauh lebih ganas dan kejam daripada kaum
perampok dan pembegal di tengah jalan.
Iapun tahu Pek-poh-sin-kun adalah ilmu pukulan Siau-lim-pay yang tidak diajarkan kepada
orang lain, jadi Hu-patya ini mungkinkah murid Siau-lim-si dari keluarga orang preman"
Hi Soan dan Auyang Liong adalah tokoh kelas satu di dunia Kangouw, kalau merekapun
sedemikian ketakutan, dengan sendirinya Hu-patya yang dimaksudkan itu bukanlah tokoh
sembarangan, Tapi seketika Pwe-giok tidak ingat siapakah gerangan Hu-patya ini"
Dilihatnya Auyang Liong terdiam sekian lamanya, katanya kemudian dengan perlahan.
"Betapa tertekan perasaan Tosu saat ini dapat juga kurasakan, cuma saja, menjaga diri sendiri
saja sukar, terpaksa aku tidak dapat memberi bantuan apa-apa kepada Tocu."
Gemerdep sinar mata Hi Soan, iapun sedang mengawasi barang muatan di atas pedati,
jengeknya, "Jika demikian jadi Pangcu juga belum berhasil mendapatkan kado yang sesuai?"
Auyang Liong menyengir, ucapnya, "Kado sih sudah ku sediakan, cuma tidak diketahui
apakah memenuhi selera Hu-patya atau tidak."
"Ah, janganlah Pangcu berkelakar," ujar Hi Soan dengan tertawa. Mendadak ia berhenti
tertawa, lalu melototi Auyang Liong, katanya pula, "Di depan kaum ahli tidak perlu omong
kosong. Kalau saja kado Pangcu tidak dapat memenuhi selera Hu-patya, lalu kado siapakah
yang dapat memuaskan beliau?"
Seketika air muka Auyang Liong berubah, katanya, "Memangnya kau sudah tahu kado apa
yang hendak kupersembahkan kepada Hu-patya?"
"Ya, tahu sekedarnya," ucap Hi Soan dengan tenang.
"Jadi sepanjang jalan kau selalu mengintai di belakangku?" bentak Auyang Liong.
"Sepanjang jalan telah dilalui Pangcu dengan aman dan tenteram, sampai di sini satu maling
kecil saja tidak ku pergoki, barangkali inilah kemahiran Pangcu menyembunyikan dan
mengelabuhi mata orang," kata Hi Soan. Dia menengadah dan tergelak, lalu sambungnya.
"Padahal, biarpun seorang maling kecil yang masih hijau juga dapat melihat barang muatan
pedatimu pasti bukan bahan obat-obatan segala....Haha, di dunia ini mana ada bahan obatobatan
seberat ini?" Mendadak Auyang Liong mendengus, "Hmmm.. seumpama ada sementara maling kecil yang
lamur dan bermaksud mengincar barang muatan pedati ini, rasanya juga aku tidak perlu takut
padanya. 374 "Eh, tahulah Pangcu bahwa sepanjang jalan orang she Hi telah banyak membantu mengawasi
Pangcu ke sini, entah berapa banyak penjahat yang sedikitnya juga sudah berkeringat...." dia
tertawa lalu melanjutkan, "makanya kedatanganku ini adalah ingin minta sekedar persen pada
Pangcu, tentunya takkan Pangcu tolak bukan?"
Sekalipun Auyang Liong ini seorang tolol juga sekarang dapat menangkap apa maksud
ucapan Hi Soan itu. Sekarang dia lantas bersabar malah, jawabnya kemudian, "O, jangan-jangan yang dikehendaki
Tocu adalah gerobak ini?"
Hi Soan menghela nafas, katanya, "Kalau kukatakan memang rikuh, soalnya memang
terpaksa." "Baik, akan kuberikan kepadamu," kata Auyang Liong, mendadak ia mendorong gerobaknya
ke depan, langsung menumbuk Hi Soan.
Namun sebelumnya Hi Soan sudah berjaga akan kemungkinan ini, sebelum tertumbuk dia
sudah melompat ke atas lebih dulu, "creng", pedang segera dilolosnya. Di tengah
gemerdepnya sinar pedang, segera ia menusuk Auyang Liong.
Hui hi kiam khek, si pedang ikan terbang, sudah lama terkenal sebagai jago pedang paling
cepat di lautan selatan, serangan ini sungguh cepat luar biasa, reaksinya cepat, caranya
meloloskan pedang juga cepat, serangan yang dilancarkan terlebih-lebih cepat.
Tapi Auyang Liong sempat mendak ke bawah, sekali tangan menarik, mantel ijuk yang
dipakainya terus menyambar ke depan untuk menangkis tusukan pedang Hi Soan.
Kiranya mantel ijuk yang dipakaiannya ini bukanlah ijuk sungguh-sungguh melainkan terbuat
dari benang emas hitam dan tidak mempan ditembus senjata, inilah senjata andalannya yang
sudah terkenal, untuk menyerang senjatanya ini mungkin agak lamban, tapi untuk berjaga
boleh dikatakan sangat efektif.
Maka terdengarlah suara "creng-cring" beberapa kali, lelatu api meletik ketika ujung pedang
bersentuhan dengan mantelnya.
Waktu Auyang Liong memutar mantelnya, dengan dahsyat ia sabet ke arah Hi Soan, serentak
di bawah mantel itupun memancar berpuluh bintik cahaya, langsung menyerang dada lawan,
dibalik mantelnya tersembunyi pula senjata rahasia sungguh serangan yang keji dan sangat
lihay, sejak Auyang Liong terkenal, belum pernah ada lawan yang sanggup menghindarkan
serangan ini. Siapa tahu, mendadak bayangan orang berkelebat, kembali Hi Soan mengapung lagi ke atas
sinar pedang melingkar di udara, tahu-tahu ia sudah berada di belakang Auyang Liong. Inilah
gerakan "ikan terbang" andalan Hi Soan.
Dalam keadaan demikian, sudah terlambat bagi Auyang Liong untuk membalik tubuh, sinar
pedang sudah terbenam dipunggungnya, tokoh perairan ini memang tidak seharusnya
meninggalkan air, kalau ikan meninggalkan air jelas akan mati di daratan.
375 Sungguh Pwe-giok tidak nyana, tidak sampai tiga jurus Auyang Liong sudah tewas di bawah
pedang Hi Soan, padahal ia sendiri belum lagi mengambil keputusan apakah mesti ikut
campur urusan ini atau tidak dan tahu-tahu Auyang Liong sudah mati.
Dilihatnya Hi Soan lagi mencabut pedangnya sambil menghela nafas panjang, gumamnya,
"Auyang pangcu, sebenarnya dia tidak ingin kubunuh kau, tapi kalau tidak kubunuh kau
berarti aku sendiri yang harus mati. Jadi janganlah kau sesalkan diriku, yang harus disesalkan
ialah Hu-patya...." Sembari bergumam ia terus siap mendorong gerobak roda satu tadi.
Pada saat itulah mendadak seorang berseru, "Kawan satu haluan asal melihat mendapat
bagian, Mayat bagianmu, gerobak serahkan padaku!"
Suaranya lantang, kedengarannya masih jauh, tapi begitu kata terakhir terucapkan, tahu-tahu
orangnya sudah berada di depan Hi Soan, sampai Hi Soan sendiri tidak tahu cara bagaimana
orang muncul di situ. Hanya terdengar suara "tring-tring" dua kali, suara nyaring seperti bunyi
keleningan dan orang itupun sudah berada di depannya seakan tumbuh dari bawah tanah.
Pwe-giok tidak dapat melihat air muka Hi Soan hanya diketahuinya bahwa melihat orang ini,
seketika tubuh Hi Soan seolah-olah lantas mengkeret sebagian, menegakkan leher saja tidak
berani, apalagi membusungkan dada.
Gerak tubuh orang ini sangat cepat, tapi perawakannya tinggi besar, cuma bagian punggung
membonggol, ternyata dia seorang bungkuk.
Melihat sikap Hi Soan yang ketakutan itu serta melihat bentuk tubuh orang bungkuk ini,
mendadak Pwe-giok ingat pada semboyan yang pernah didengarnya: "Apabila keleningan
unta berbunyi, jiwa akan melayang seketika". Jangan-jangan orang ini adalah "Hui-toh" (unta
terbang) It Kun, seorang tokoh yang sederajat dengan Lo-cinjin, Oh-lolo dan lain-lain.
Dilihatnya Hi Soan tetap menyapa dengan mengiring senyum, "Sudah belasan tahun It-cinjin
tidak pernah muncul di daerah Tionggoan, beruntung hari ini dapat berjumpa, sungguh
beruntung....." Tapi It Kun sama sekali tidak menggubrisnya sorot matanya yang tajam terus mengincar
muatan di atas gerobak roda satu itu.
Hi Soan berusaha mengalingi gerobak itu, kalau bisa gerobak itu akan disulapnya menjadi
kecil dan disembunyikannya.
Mendadak It Kun melayang ke dekat gerobak, sekali tangannya bekerja, barang muatan di
atas gerobak diobrak-abriknya sehingga kelihatanlah sebuah kotak besi.
Mata Hi Soan seakan-akan menyemburkan api, tapi dia tidak berani merintangi perbuatan
orang. Terlihat It Kun telah mengangkat kotak besi itu dan dibuka, dipandangnya sekejap isi kotak,
lalu menengadah dan terbahak-bahak, katanya. "Hahahaha! Bagus, bagus...."
376 "Hehe, tidak bagus, tidak bagus!..." Hi Soan menukas, "Isinya cuma beberapa potong patung
batu saja, dimana kebagusannya belum lagi kau ketemukan, masa It-cinjin tertarik oleh
beberapa potong batu ini?"
"Jika kau bilang tidak bagus, boleh kau berikan padaku saja," ujar It Kun dengan tertawa.
Hi Soan jadi melengak, ia tidak dapat mengelak lagi, tapi berkata dengan gelagapan, "Barangbarang
ini tidak berharga, apabila...apabila It Cinjin suka, biarlah lain hari ku pesankan
beberapa pasang patung perempuan cantik ukiran ahli pahat terkenal di kota raja, kujamin
pasti jauh lebih indah dan bernilai daripada beberapa potong orang-orangan batu ini."
"Tidak, aku tidak suka barang lain, hanya menyukai beberapa patung ini," kata It Kun dengan
Jaka Lola 8 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Rahasia Istana Terlarang 3
Sekuatnya dia mengucapkan kata-kata itu dan kedua kaki sendiripun terasa lemas.
Selang sekian lama pula, Pwe-giok berkata lagi dengan perlahan, "Betul, ketiga peti tadi."
Thi-hoa-nio menjerit kaget dan jatuh tersungkur, ia tidak sanggup berdiri lagi.
Kalau tidak salah mereka sudah berjalan hampir seharian, siapa tahu berjalan kesana kemari,
ternyata kembali lagi ke tempat semula.
Lui-ji juga merasakan kedua kakinya jauh lebih berat daripada diganduli sepotong besi,
dengan lemas iapun roboh bersandarkan dinding batu, nyata harapannya yang terakhir juga
lenyap, di dunia ini tidak ada lagi tenaga yang dapat mendorongnya berjalan pula.
Entah sudah lewat berapa lama, mendadak terdengar Pwe-giok berkata, "Bukan mustahil pada
tubuh Kwe Pian-sian dan Ki Leng-hong membawa geretan api."
334 Seketika Lui-ji melonjak bangun, serunya, "He, betul, kenapa kita tidak ingat tadi..."
Sembari bicara ia terus meraba ke sana dan menemukan sebuah peti.
Baru saja Thi-hoa-nio hendak menyusul ke sana, mendadak terdengar lagi jeritan kaget, suara
Lui-ji dan Pwe-giok yang menjerit bergema.
Bahwa Ji Pwe-giok sampai menjerit kaget, maka keadaannya pasti luar biasa.
Seketika Thi-hoa-nio merasa telapak tangannya berkeringat dingin, ia coba berseru, "He,
ada... ada apakah?" "Peti... peti sudah kosong...!" kata Lui-ji.
Thi-hoa-nio baru saja berdiri, segera dia jatuh terduduk lagi, ucapnya dengan tergegap,
"Kosong"... masakah mereka sudah siuman dan... dan sudah pergi ?"
"Bukan," jawab Lui-ji. "Gembok pada peti ini dipuntir patah orang."
"Mungkinkah salah seorang di antara mereka siuman lebih dulu, lalu memutuskan gembok
pada kedua peti yang lain ?" tanya Thi-hoa-nio.
"Tidak, gembok ketiga peti ini sama-sama dipatahkan orang dari luar," tutur Lui-ji. "Apalagi,
kalau cuma kekuatan Kwe Pian-sian bertiga tidak nanti mampu memuntir patah gembok ini."
Meski sedapatnya dia menahan perasaannya, tidak urung suaranya kedengaran rada gemetar.
Walaupun sejak tadi semua orang sudah menduga di lorong bawah tanah ini ada orang lain,
tapi semula mereka berharap dugaan mereka tidaklah benar, tapi sekarang harapan inipun
meleset. Jadi tidak perlu disangsikan lagi bahwa di dalam lorong ini memang ada orang, bahkan
selama ini selalu mengintai setiap gerak gerik mereka, hanya saja orang itu tidak pernah unjuk
muka. "Sungguh aku tidak paham apa maksud mereka" Mengapa main sembunyi dan tidak berani
menemui orang?" ujar Lui-ji dengan menyesal.
"Masa kau tidak paham ?" tanya Hay Tong-jin.
"Tidak," jawab Lui-ji.
"Sebab orang itu ingin mengurung mati kita di sini, hakekatnya dia tidak perlu
memperlihatkan dirinya," tutur Hay Tong-jing.
"Siapakah dia" Ada permusuhan apa pula dengan kita?" tanya Thi-hoa-nio dengan parau.
"Dia tidak perlu bermusuhan dengan kita, yang jelas kita sudah melanggar tempat rahasianya,
tidak boleh tidak kita harus dibunuhnya."
335 Keterangan ini membikin semua orang tidak dapat bersuara lagi.
Pada saat itulah, mendadak dalam kegelapan bergema serentetan suara yang aneh, seperti
orang menghela nafas menyesal, seperti suara orang menangis dan seperti juga orang
mengejek. Dalam keadaan dan di tempat demikian, suara ini sungguh membikin orang mengkirik.
Thi-hoa-nio berkata sambil tertawa getir, "Kami sudah cukup tersiksa, untuk apa pula kau
menakut-nakuti kami lagi?"
"Ada sementara orang sedikitpun tidak dapat diam," kata Hay Tong-jing.
"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Lui-ji.
Hay Tong-jing tertawa, jawabnya, "Aku cuma heran, entah bagaimana caramu mengeluarkan
suara semacam ini?" "Huh, ada sementara orang suka kentut, tapi selalu menyangkal, bahkan suka menuduh orang
lain yang kentut," jengek Lui-ji.
"Makanya kau tuduh diriku?" tanya Hay Tong-jing.
"Suara ini jelas suara orang lelaki, kalau bukan kau lantas siapa?" kata Lui-ji dengan gusar.
Mendadak Hay Tong-jing diam saja, selang sejenak barulah berucap pula, "suara itu masa
bukan suaramu?" "Sudah tentu bukan," teriak Lui-ji. "Siapa yang bohong, anggaplah dia bukan manusia."
"Tapi juga bukan suaraku," kata Hay Tong-jing.
Tiba-tiba Thi-hoa-nio menyela dengan suara parau, "Jika kalian sama-sama tidak bersuara,
habis si... siapa?" "Jangan-jangan kau?" tanya Lui-ji mendadak.
"Dengan sendirinya bukan diriku," cepat Thi-hoa-nio membantah. "Sejak tadi aku ketakutan
setengah mati, memikirkan diri sendiri saja tidak sempat, masa menakut-nakuti orang lain?"
Mereka sama sekali tidak tanya Ji Pwe-giok, sebab siapapun tahu anak muda itu pasti tidak
mau berbuat hal-hal begini. Seketika semua orang sama melenggong.
Dari suara tadi, jelas dalam kegelapan ada lima orang.
Tapi siapapun tidak dapat melihat kelima orang itu, juga tidak diketahui mereka sembunyi di
mana. Mendadak Lui-ji berteriak, "Aku sudah melihat kau, kau hendak sembunyi kemana lagi?"
336 Thi-hoa-nio terkejut, tapi segera ia tahu ucapan Lui-ji itu cuma gertak sambal saja, segera
iapun berteriak, "Ya, jika kau sudah datang kemari, apakah ingin lari lagi ?"
Meski mereka berkaok-kaok sampai sekian lamanya, namun dalam kegelapan tetap tidak ada
suara jawaban dan reaksi apapun. Mereka sama merasa keringat dingin membasahi tangan
sendiri, orang itu tidak dapat digertak, sebaliknya diri sendiri yang tambah ketakutan.
Tiba-tiba Pwe-giok berucap, "Kalian salah dengar semua, hakekatnya tidak ada suara apapun
tadi" "Tapi... tapi jelas kudengar," kata Lui-ji.
"Mengapa aku tidak mendengarnya ?" ujar Pwe-giok.
Lui-ji bermaksud bicara lagi, tapi mendadak dirasakan Pwe-giok memegang tangannya sambil
berbisik, "Marilah kita bergandengan tangan dan menerjang ke depan, coba saja dia akan lari
ke mana ?" Segera tangan kanan Lui-ji memegang tangan kiri Thi-hoa-nio, tangan Thi-hoa-nio lantas
menarik tangan Hay Tong-jing, ke empat orang sama menempel dinding dan maju ke depan
dengan perlahan dengan maksud mengepung orang itu.
Tak terduga, meski sudah belasan langkah jauhnya, tiada sesuatu apapun yang mereka sentuh.
Tiba-tiba Lui-ji berseru terkejut, "He, kenapa tempat ini mendadak menjadi longgar."
Lorong di sini luasnya tidak ada tujuh kaki, tapi sekarang mereka sudah melangkah belasan
kaki dan tidak membentur dinding batu bagian depan. Hal ini membuat mereka terkejut.
Selang sejenak, terdengar Thi-hoa-nio berkata, "Jangan... janganlah kau meremas tanganku."
"Persetan, menyentuh tanganmu saja tidak," jawab Lui-ji.
"Aku juga tidak, aku berada di sebelah sini," Hay Tong-jing menambahkan.
"Betul kau di sisi kananku," ucap Thi-hoa-nio dengan suara rada gemetar. "Tapi tangan
kiriku..." Belum habis ucapannya, dapatlah dirasakan tangan yang menariknya itu bukan Cu Lui-ji.
sedangkan Lui-ji juga merasakan tangan yang dipegangnya itu kaku lagi dingin, jelas bukan
tangan Thi-hoa-nio. Sungguh tidak kepalang rasa kaget kedua orang itu, serentak mereka melepaskan tangannya
dan menyurut mundur, serunya dengan suara parau, "Siapa kau?"
Dalam kegelapan tiba-tiba ada suara orang mengekeh tawa.
Suara tertawa itu timbul di tengah-tengah mereka, tapi hanya sekejap saja sudah menjauh,
agaknya terus masuk ke balik dinding batu antara kedua sisi lorong.
337 Membayangkan tangan yang dipegangnya itu entah tangan siapa, seketika setengah badan
Lui-ji terasa lemas. Bahwa orang itu dapat memegang tangan mereka tanpa disadarinya, maka kalau orang hendak
membunuh mereka bukankah segampang mengambil barang di saku sendiri"
Betapapun besar tabahnya hati Lui-ji, mau tak mau kedua kakinya terasa lemas juga dan
hampir tidak sanggup berdiri.
Thi-hoa-nio juga tidak berani bergerak sama sekali.
Terdengar Pwe-giok berkata, "Tempat ini bukan lorong yang pernah kita lalui tadi."
"Tapi ketiga peti ini..." Lui-ji merasa bingung.
"Justeru lantaran ketiga peti ini telah dipindahkan orang ke sini, makanya kita mengira tempat
ini adalah tempat semula."
"Lantas, sesungguhnya kita sudah berada di tempat apa ?" tanya Lui-ji.
Dalam kegelapan tempat manapun akan berubah sama, sebab tempat ini baik besar atau kecil,
luas atau sempit, semuanya tak dapat dirasakan.
Selagi Pwe-giok termenung, tiba-tiba seorang mengikik tawa dan berkata, "Inilah rumahku,
tidak jelek tempatnya, di atas meja ada arak, di kotak sana ada buah. Kalian sudah datang ke
sini, silahkan minumlah barang secawan."
Suara orang ini kecil lagi melengking, kedengarannya seperti suara anak kecil yang sedang
bertembang. Bila hari-hari biasa tentu Lui-ji akan merasa suka, tapi sekarang dalam keadaan begini, suara
orang dirasakannya seperti jeritan setan.
Pada saat itulah sekonyong-konyong setitik sinar lilin telah dinyalakan.
Baru sekarang mereka mengetahui sudah berada di dalam sebuah ruangan yang sangat luas,
cahaya lilin itu terasa sangat kecil, tapi karena sudah terlalu lama berada dalam kegelapan,
cahaya yang suram ini jadi cocok bagi mereka, sebab kalau cahaya lampu terlalu terang, bisa
jadi mereka akan silau dan sukar membuka mata.
Terlihat di ruangan besar ini berduduk belasan orang, ada yang tinggi, ada yang pendek, ada
yang kurus, ada yang gemuk, ada yang sedang main catur, ada yang lagi membaca, ada pula
yang sedang memandang lukisan, juga ada yang lagi memetik kecapi.
Sikap orang-orang ini kelihatan sangat santai, apa yang dikerjakan merekapun sangat bernilai
seni adanya. Tapi pakaian mereka justeru terdiri dari kain kasar, malahan baju lengan cekak,
bahkan sepertinya telanjang kaki, paling-paling hanya pakai sandal, sekilas pandang mereka
lebih mirip kuli yang baru pulang dari tempat kerja, sama sekali tidak sesuai dengan apa yang
sedang dikerjakan mereka.
338 Ditengah-tengah ruangan besar ini terdapat sebuah meja perjamuan, beberapa lelaki kekar dan
berwajah kasar sedang minum arak. Dilihat dari dandanan mereka sepantasnya mereka makan
minum dengan lahapnya, tapi tampaknya semuanya justru duduk dengan sangat sopan. Satu
cawan arak terpegang ditangan, tapi sampai sekian lama belum lagi diminum, agaknya melulu
bau harum arak saja yang dinikmatinya, meski jelas tahu kedatangan rombongan Pwe-giok,
tapi tiada seorangpun yang berpaling.
Betapapun Lui-ji tidak menyangka akan mendadak melihat orang sebanyak ini, tentu saja ia
terkejut. Meski orang-orang ini tidak mirip tokoh Bu-lim, tapi muncul ditempat misterius
begini tentu membuat orang sukar meraba orang macam apakah mereka ini. Lui-ji juga tidak
berani meremehkan mereka.
Terdengar suara mengikik tawa tadi bergema pula, kata seorang. "Kalau tuan rumah tidak
pelit, kenapa tetamunya rikuh" Silahkan, silahkan minum barang secawan." - Jelas suara
tertawa ini berkumandang dari meja makan sana.
Perawakan orang yang bicara itu tidak tinggi meski duduk di dalam rumah yang seram ini,
namun kepalanya justru memakai caping bambu yang biasa digunakan kaum petani, sehingga
wajahnya hampir tertutup dan tidak kelihatan.
Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian, "Jika demikian, terpaksa kami harus
mengganggu kawan." Pelahan mereka lantas menuju ke tengah ruangan, orang-orang itu masih asyik main catur dan
membaca, tiada seorangpun menghiraukan mereka, seperti tidak menghargai sang tetamu
sama sekali. Sungguh lagak orang ini teramat sombong.
Meski mendongkol, tapi berada ditempat demikian, Lui-ji tidak berani sembarangan
bertindak. Pada meja bundar itu hanya diduduki enam-tujuh orang, kebetulan masih ada lima-enam
tempat duduk luang. Maklumlah, meja perjamuan umumnya disediakan untuk 12 orang.
Pwe-giok mendahului maju dan berduduk tanyanya dengan tersenyum, "Siapakah she Tuan
rumah yang mulia?" Orang yang memakai caping itu tertawa dan menjawab, "Kalian adalah tetamu yang tidak
diundang, untuk apa bertanya nama tuan rumah segala?"
Lilin yang menyala itu kebetulan terletak di sebelahnya, ditambah lagi dia memakai caping
bertepi lebar, meski Pwe-giok duduk di depannya, tetap tidak dapat melihat jelas wajahnya.
Ia coba memandang orang-orang yang duduk di sebelahnya, semuanya memakai topi yang
ditarik rendah ke depan, tampaknya orang-orang ini sudah berniat tidak mau menegur, bahkan
memandang mereka sekejap saja tidak mau.
Air muka orang-orang ini sama dingin dan seram, yang dipakai adalah baju dari kain kasar
dan sudah rombeng, namun topi yang dipakai mereka tampak masih baru, juga dari kwalitas
tinggi. Malahan ada sebagian diberi hiasan batu permata sehingga tidak serasi dengan baju
mereka, seperti habis membeli topi, lalu tidak punya uang lagi untuk membeli baju.
339 Berputar biji mata Cu Lui-ji, ia mengejek. "Tampaknya kalian merasa berat untuk membeli
baju dan sepatu, tapi berani membeli topi dengan royal, sungguh aneh bin heran."
Dia sengaja membikin marah orang-orang itu, siapa tahu mereka tetap diam saja seperti tidak
mendengar ocehannya, bahkan bergerak sedikit saja tidak.
Hanya orang yang bercaping besar itu lantas berkata dengan tertawa. "Manusia adalah
makhluk yang paling cerdik di jagat raya ini, soalnya karena manusia mempunyai otak yang
jauh lebih besar daripada makhluk lain. Maka layaklah kalau otak harus lebih diperhatikan
dan dijaga, harus dilindungi lebih dari yang lain."
Kepala orang ini memakai sebuah caping batu, tapi tubuhnya memakai baju dari bahan yang
sangat bagus, jadi sangat berbeda dengan orang lain.
Biji mata Lui-ji berputar pula, jengeknya, "Jika demikian, mengapa kau keberatan membeli
sebuah topi" Memangnya buah kepalamu tidak lebih berharga daripada kepala orang lain?"
Orang itu bergelak tertawa, ucapnya, "Tajam benar mulut nona, cuma mulut harus digunakan
untuk makan nasi dan bukan untuk bicara."
"Ah, belum tentu, lihat keadaan," ujar Lui-ji.
"Tidak makan nasi bisa mati, tidak bicara apakah juga bisa mati?" tanya orang itu dengan
tertawa. "Suruh aku tidak bicara rasanya terlebih tidak enak daripada mati," kata Lui-ji.
Apa yang dikatakannya ini memang sejujurnya, hampir saja Hay Tong-jin dan Thi-hoa-nio
tertawa geli, cuma dalam keadaan demikian tak dapatlah mereka tertawa.
Orang bercaping batu itu tertawa, katanya pula, "tepat juga ucapan nona cilik, bolehlah kau
tidak bicara dan tidak makan nasi, tapi santapan yang ku sediakan ini tidak beracun, silahkan
kalian makan saja dan jangan kuatir."
"Jika beracun, kau kira aku tidak berani makan?" jengek Lui-ji.
Hidangan yang tersedia di atas meja itu ada satu porsi Ang-sio-hi, ikan gurami masak saus
manis, maka sumpit Lui-ji langsung menuju kepada Ang-sio-hi ini. Siapa tahu beberapa kali
ia menyumpit, ikan itu tetap tidak bergerak. Ketika ia menjepit sekuatnya, ikan itu lantas
hancur. Kiranya santapan yang tersedia di atas meja ini semuanya adalah model yang terbuat dari
lilin, hanya dapat dilihat, tapi tak dapat dimakan.
Dongkol dan geli pula Lui-ji, baru saja dia hendak memaki, tiba-tiba dilihatnya air muka Pwegiok
berubah hebat, tanyanya sambil memandang seorang yang bertopi yang berduduk di
sebelahnya, "Siapa nama Anda?"
340 Kedua tangan orang ini tampak kasar dan besar, otot hijau timbul di punggung tangannya,
sebuah cawan arak terpegang di tangannya dan menempel bibir sejak tadi, tapi arak tidak lagi
diminum, tampaknya cukup baginya melulu mengendus bau sedap arak saja dan merasa
sayang untuk diminum. Pertanyaan Pwe-giok juga sama sekali tidak digubrisnya.
Watak Lui-ji memang pemarah, maka ia lantas mendamprat, "He, apakah kau ini tuli?" -
Sembari bicara, sumpit yang dipegangnya itu terus menutuk ke Hiat-to siku orang itu,
tujuannya hendak membikin orang melepaskan cawan araknya sehingga berantakan dan
membuatnya malu. Siapa tahu sumpitnya langsung ambles ke dalam daging tangan orang itu, yang aneh orang itu
seolah-olah tidak merasakan sesuatu.
Karuan Lui-ji terkejut, baru sekarang diketahuinya orang inipun terbuat dari lilin. Semua
orang yang duduk bersanding meja ini ternyata terbuat dari lilin seluruhnya.
Lui-ji benar-benar melenggong, sampai sekian lamanya barulah ia mendengus. "Hm, paling
sedikit di sini kan ada seorang hidup."
Tapi baru habis ucapannya, diketahuinya satu-satunya orang hidup tadi kinipun sudah
menghilang entah kemana, hanya caping bambunya yang besar dan bobrok itu masih
tertinggal di atas meja. Lui-ji menarik napas dingin, dengusnya, "Pantas orang-orang ini sama mengenakan baju
rombengan, tapi memakai topi baru."
Sekarang ia sudah paham semua ini adalah permainan orang tadi, patung-patung lilin ini
sengaja diberi pakaian dan topi agar tulen atau palsunya sukar untuk diketahui dengan cepat.
Saking gemasnya, Lui-ji terus mencopoti semua topi yang dipakai orang-orangan ini,
tertampak semua patung lilin itu berwajah cerah, jenggot dan alisnya juga asli, sungguh mirip
sekali dengan manusia tulen.
Lui-ji menghela napas, katanya dengan tersenyum getir, "Apapun juga, karya seni orang ini
memang harus dipuji."
"Ya, sampai si ahli pembuat patung lilin dari kota raja si patung Thio mungkin juga tidak
lebih pandai daripada dia," tukas Hay Tong jing.
Jilid 12________ "Dan ginkangnya juga tidak rendah, buktinya kita sama tidak tahu kapan dan kemanakah
perginya?" sambung Pwe-giok.
"Masa.....masa orang-orang ini seluruhnya patung lilin?" tanya Thi-hoa-nio.
Berpuluh orang itu masih tetap berduduk di tempatnya tanpa bergerak, tampaknya seperti
manusia hidup benar-benar.
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
341 "Untuk apakah orang itu memasang patung-patung sebanyak ini di sini?" tanya Thi-hoa-nio
pula. "Mungkin dia kesepian tinggal sendirian di sini, maka membuat orang-orangan ini untuk
mengawaninya", ujar Lui-ji, mendadak ia tertawa dan menambahkan: "Apapun juga patung
lilin kan jauh lebih baik daripada manusia tulen."
"Masa" Apa alasanmu?" tanya Thi-hoa-nio.
"Paling sedikit patung lilin kan tidak dapat menyerang kita?" jawab Lui-ji
Meski merasa tempat ini sangat menyeramkan, tapi lega juga hati Thi-hoa-nio, sebab ia
merasa ucapan Lui-ji memang tidak salah. Berada bersama orang-orangan lilin tentunya tidak
akan berbahaya. Hanya Pwe-giok saja yang kelihatan prihatin, tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu, ucapnya
kemudian dengan suara tertahan, "Kita tidak boleh tinggal di sini, lekas kita pergi."
"Kenapa" Orang hidup sudah lari, masakah kita takut kepada kawanan patung lilin ini?" ujar
Lui-ji. Dia terus mendekat ke sana dan menambahkan, "Coba kau lihat, ku pukul mereka juga
tidak ada yang berani membalas."
Sembari bicara ia terus menampar muka salah satu patung lilin itu.
Patung lilin itu tadinya duduk bersandar kursi dan sedang "membaca". Karena ditampar Lui-ji
robohlah patung itu, "brak", patung itu pecah berantakan.
"Maaf, maaf, apakah kau sakit" Biar kubangunkan kau!" kata Lui-ji dengan tertawa.
Betapapun dia masih seorang anak dara, sejak lahir belum pernah bermain boneka, sekarang
mendadak melihat "boneka raksasa" sebanyak ini, dengan sendirinya ia sangat tertarik.
Begitulah seperti anak kecil yang sedang momong boneka, Lui-ji membangunkan patung
yang jatuh dan perlahan memijati bagian punggungnya sambil berucap, "O, sayang, tentunya
kau kesakitan, biar kupijat..."
Selagi Thi-hoa-nio merasa geli melihat kelakuan Lui-ji itu, mendadak anak dara itu menjerit
kaget sambil melompat mundur. Kontan patung lilin itu terguling dari kursinya dan hancur.
Cepat Pwe-giok melompat maju dan bertanya, "Ada apa?"
Lui-ji menjatuhkan diri pada pelukan anak muda itu, katanya sambil menuding patung lilin
yang sudah hancur itu. "Di tubuh lilin itu ada... ada tulangnya."
"Tulang?" Thi-hoa-nio menukas dengan kaget. "Patung lilin masa bertulang?"
Belum habis ucapannya, dilihatnya dalam patung lilin yang hancur itu memang betul ada
seonggok tulang putih, bahkan dapat dipastikan bukan tulang buatan.
Nyata, tulang di dalam patung lilin itu adalah tulang orang mati asli.
342 Pwe-giok coba menjemput beberapa cuil lilin remukan patung itu dan diperiksanya dengan
teliti, seketika air mukanya berubah hebat, tampaknya seperti mual dan hendak tumpah.
"He, ken... kenapakah kau?" tanya Lui-ji.
Pwe-giok menghela nafas panjang, ucapnya, "Ini bukanlah orang-orangan buatan dari lilin,
tapi mayat manusia tulen, lorong di bawah tanah ini adalah hasil kerja mereka."
"Apa katamu?" seru Lui-ji.
"Tentunya begini kisahnya," tutur Pwe-giok. "Lantaran kuatir orang-orang ini akan
membocorkan rahasia lorong di bawah tanah ini, maka orang yang menyuruh pembuatan
lorong ini telah membunuh seluruh pekerja ini tatkala lorong ini sudah selesai dibuat, lalu
tubuh mereka disiram dengan vaselin sehingga jadilah mereka patung lilin."
Merinding Lui-ji oleh cerita ngeri ini, katanya, "Pantas, makanya mereka kelihatan seperti
orang hidup." Dengan gegetun Hay Tong-jing ikut berkata, "Begitu masuk kemari memang sudah kurasakan
keadaan di sini rada-rada janggal, orang-orang kasar ini kenapa bisa berubah seperti seniman.
Waktu itu jika kuperiksa dengan teliti mungkin sudah dapat ku bongkar rahasia mereka."
"Tapi waktu itu mana dapat kita bayangkan di dunia ini ternyata ada orang gila sekejam ini?"
ucap Lui-ji dengan gregetan.
Mendadak seorang tertawa terkekeh-kekeh dan menanggapi, "Hehe, kau salah, nona cilik, aku
sama sekali tidak kejam, juga tidak gila, sebaliknya aku ini manusia yang paling welas asih,
seorang yang paling tahu aturan, orang yang paling punya hati nurani."
Meski semua orang dapat mendengar suaranya, tapi bagaimana bentuk orang ini tidaklah
kelihatan. Lui-ji lantas menjawab, "Seumpama kau punya hati nurani juga sudah lama hatimu itu
dimakan anjing." "Justeru lantaran mengingat mereka terlalu lelah menggali lorong di bawah tanah ini,
makanya kuundang mereka istirahat di sini, supaya mereka selanjutnya tidak perlu
berkeringat dan kerja keras lagi," kata orang itu dengan tertawa. "Coba kalau tidak ada aku,
mana bisa mereka menikmati kebahagiaan begini. Dan kalau begini baik kuperlakukan
mereka, kenapa kau maki diriku sebagai orang gila dan orang busuk?"
"Hm, kau bukan saja orang busuk, bahkan bukan orang. Tapi setan, iblis, iblis yang gila!"
maki Lui-ji pula. Dia ingin memancing keluar orang itu. Siapa tahu meski dia mencaci maki sekian lama, orang
itu tetap tidak memberi reaksi apa-apa. Bahkan satu kata saja tidak bicara pula, keadaan
menjadi sunyi senyap. 343 Dengan gemas Lui-ji mengusulkan, "Tempat ini toh tidak terlalu luas, marilah kita ketemukan
dia." Thi-hoa-nio menghela nafas, katanya, "Kalau dia tidak mencari kita kan sudah untung,
masakah kau malah ingin cari dia?"
Mendadak Pwe-giok berkata kepada Hay Tong-jing dengan tertawa, "Dalam keadaan
demikian, masakah kau belum mau membongkar teka-teki ini?"
"Teka-teki" Teka-teki apa?" Hay Tong-jing jadi melengak malah.
"Sungguh aku tidak mengerti untuk apa kalian berdua sengaja memancing kami kesini?"
tanya Pwe-giok. "Ap... apa katamu?" Hay Tong-jing menegas dengan bingung. "Mengapa kami memancing
kalian ke sini" Hakekatnya aku tidak pernah kenal tempat ini, lebih-lebih tidak kenal si gila
ini." "Bisa jadi Hay-heng memang belum pernah datang ke tempat ini, tapi Lo-siansing ini justeru
sudah dikenal Hay-heng," kata Pwe-giok.
"Mana bisa kukenal dia?" sahut Hay Tong-jing dengan gugup. "Untuk.. untuk apa ku tipu
kau?" Pwe-giok menghela nafas, ucapnya, "Akupun tidak tahu untuk apa Hay-heng menipuku" Tapi
berita yang dituturkan Hay-heng di lorong tadi... cerita tentang Tangkwik-siansing itu, tadinya
kupercaya penuh setiap kata ceritamu, tapi sekarang mau tak mau harus kusangsikan."
"Sebab apa?" tanya Hay Tong-jing.
"Demi membuat lorong bawah tanah ini, dia tidak sayang membunuh semua pekerja ini untuk
menutup mulut mereka selamanya. Dengan sendirinya lorong di bawah tanah ini menyangkut
sesuatu rahasia maha besar, betul tidak?"
"Ya, betul," jawab Hay Tong-jing.
"Jika demikian, mengapa dia perlu membangun rumah gubuk pada ujung jalan keluar tadi"
Jika di atas gunung yang paling sepi ini ada sebuah rumah kosong, bukankah hal ini akan
sangat menarik perhatian orang?"
Kembali Hay Tong-jing melengak, katanya, "Bisa jadi... bisa jadi rumah itu bukan rumah
kosong." "Betul, rumah itu pasti tidak kosong, tapi dimana orangnya?"
"Mungkin telah dibunuh oleh Yang Cu-kang?"
Pwe-giok tertawa, katanya, "Apakah mungkin demi merampas sebuah rumah Yang-heng
perlu membunuh orang tak berdosa sebanyak itu?"
344 "Ini ... ini ... " Hay Tong-jing tak dapat menjawab.
"Apalagi, jika dia menyuruh orang-orang itu berjaga di dalam rumah, tentu mereka ada
kontak satu sama lain, setelah mereka dibunuh Yang-heng, mustahil dia tidak tahu" Dan kalau
dia tahu, masakah Yang-heng dibiarkan tinggal di sana?"
"Jadi maksud Ji-heng ...."
"Maksudku hanya ingin menyatakan antara Yang-heng dan Lo-siansing ini pasti sudah ada
hubungan, dia menyuruh kita masuk ke lorong ini juga sebelumnya telah direncanakan."
Berubah air muka Hay tong-jing, katanya, "Untuk apa dia berbuat begini" Kenapa aku tidak
diberitahu?" "Hay-heng benar-benar tidak tahu?" Pwe-giok menegas dengan melotot.
"Ya, sedikitpun tidak tahu," jawab Hay Tong-jing tegas.
"Jika demikian, mengapa Hay-heng mengantar nona Ki Leng-hong ke sini?"
"He, apa pula artinya ucapanmu ini?"
"Aku memang lagi heran, sebab apakah Hay-heng menangkap Ki Leng-hong" Padahal ku
tahu kalian hendak menyerahkan Kwe Pian-san dan Ciong Cing kepada Pek-hoa-bun untuk
mengambil hati Hay-hong-hujin, tapi sejauh itu aku tidak mengerti Ki Leng-hong hendak
kalian serahkan kepada siapa" Dan baru sekarang ku tahu jelas duduknya perkara."
"Tahu jelas duduknya perkara" Perkara apa?" tanya Hay Tong-jing dengan bingung.
"Tujuan Hay-heng menangkap Ki Leng-hong adalah untuk diserahkan kepada Lo-siansing
ini." "Untuk apa diserahkan kepadanya" Untuk apa pula dia menghendaki Ki Leng-hong?" tanya
Hay Tong-jing. Pwe-giok tertawa, katanya, "Bisa jadi untuk dijadikan patung lilin, mungkin juga ada
keperluan lain. Kukira Hay-heng tentu jauh lebih jelas dari padaku."
Hay tong-jing menghela napas panjang, katanya, "Meski aku tidak tahu apa yang harus
kukatakan, tapi kuyakin jalan pikiranmu pasti keliru, hakekatnya aku tidak ada sangkutpautnya
dengan urusan ini, jika Ji-heng tidak percaya, terpaksa aku ....."
Mendadak terdengar suara jeritan, suara jeritan Lui-ji dan Thi-hoa-nio.
Pwe-giok terkejut dan berpaling, terlihatlah kedua orang itu telah berada dalam pelukan dua
patung lilin. Muka Lui-ji tampak pucat, serunya dengan suara parau, "Patung lilin ini bukan mayat, tapi
orang hidup." 345 Thi-hoa-nio tampak gemetar dan hampir saja jatuh kelengar.
Terdengar orang lilin itu berkata, "Jika kalian menghendaki mereka tetap hidup, maka
berdirilah di situ dan jangan bergerak."
Sembari bicara, lapisan lilin yang tipis pada mukanya lantas terkelupas sepotong demi
sepotong. Terpaksa Pwe-giok berdiri di tempatnya dan tidak bicara apapun.
Hay Tong-jing tidak tahan, ucapnya, "apa kehendak kalian?"
Padahal pertanyaannya ini terlalu berlebihan dan menggelikan. Tapi setiap orang bila sudah
kepepet memang sering mengucapkan kata-kata yang lucu.
Pada saat itulah tertampak dua patung lilin yang sedang main catur di kejauhan sana
mendadak juga bergerak, tubuh mereka hanya berkelebat dan tahu-tahu sudah menubruk tiba.
Tapi patung lilin yang memeluk Cu Lui-ji itu lantas berseru, "Berhenti, barang siapa di antara
kalian bergerak sedikit saja, jiwa kedua perempuan ini segera melayang."
"Jangan urus diriku, mereka tidak berani membunuhku!" teriak Lui-ji.
Pwe-giok menghela napas, tahu-tahu ia merasakan dua tangan yang kuat telah merangkul
tubuhnya, menyusul beberapa tempat Hiat-to penting juga tertutuk.
Kembali Lui-ji menjerit kuatir, teriaknya parau, "He, apa ... apa kehendak kalian" ..." belum
habis ucapannya, berderailah air matanya.
Terdengar seorang tertawa terkekeh-kekeh, ucapnya, "Nona cilik, tentunya sekarang kau tahu
orang-orang lilin tidaklah lebih baik daripada manusia tulen. Padahal terkadang merekapun
jauh lebih berbahaya daripada orang asli."
Ditengah suara tertawa yang melengking itu, si kakek berjubah hitam tadi telah muncul pula,
cuma sekarang topinya bukan lagi caping bambu melainkan sebuah topi tinggi dan berbentuk
aneh. Potongan badan kakek ini sangat pendek, sekarang memakai topi setinggi ini, sekilas
pandang, topinya seakan-akan lebih tinggi daripada orangnya, bentuknya kelihatan lucu dan
mentertawakan. Tapi dalam keadaan demikian siapa pula yang dapat tertawa"
Segera Lui-ji memaki, "Kau tua bangka, siluman ..." segala kata makian yang paling keji telah
dihamburkan seluruhnya, tapi si kakek mendengarkan saja seperti sangat tertarik.
Setelah Lui-ji kehabisan kata-kata makian barulah kakek itu berkata dengan tersenyum,
"Nona cilik, kau sangat pintar menangis, juga pandai memaki orang, aku justeru sangat suka
kepada nona cilik semacam kau ini. Sebentar tentu akan kujadikan kau patung lilin yang
cantik, secantik boneka."
346 "Kau ... kau ..." Lui-ji sampai kehabisan suara. Ia ingin memaki lagi, tapi ngeri, bibirpun
kering. Topi tinggi di atas kepala si kakek tampak bergoyang-goyang, ia mendekati Pwe-giok dan
berkata, "He, anak muda, namamu Ji Pwe-giok bukan?"
"Betul." jawab Pwe-giok.
Si kakek mengekeh tawa, ucapnya, "Meski belum pernah kulihat kau, tapi sekali pandang saja
lantas kukenali kau."
Mendadak Pwe-giok juga tertawa, katanya, "Meski aku tidak pernah melihat kau, tapi akupun
kenal kau." "Oo"!" si kakek melengak, lalu bergelak tertawa, katanya, "Wah, jika benar kau kenal diriku,
sungguh tidak kecil kepandaianmu."
"Kau bukan manusia," kata Pwe-giok.
Si kakek menyeringai, "Kau pun serupa nona cilik itu, pintar memaki orang. Aku bukan
manusia, memangnya siluman?"
"Kaupun bukan siluman, cuma sesosok mayat," ujar Pwe-giok. "Sebab sudah lama kau mati."
"Kau bilang aku ini mayat?" seru si kakek dengan terbahak.
"Betul, meski belum pernah kau lihat diriku, tapi aku sudah pernah melihat kau."
"Pernah kau lihat diriku" Dimana?" tanya si kakek.
"Di dalam sebuah kuburan." jawab Pwe-giok.
Seketika Lui-ji melenggong, ia merasa bingung oleh ucapan Pwe-giok itu, bahkan anak muda
ini hampir disangkanya rada kurang waras.
Sebab seorang yang sehat, seorang yang normal, tentu takkan menuduh seorang hidup sebagai
sesosok mayat, lebih-lebih takkan menyatakan dirinya pernah pesiar ke dalam sebuah
kuburan. Semua ini hakekatnya bukan ucapan Ji Pwe-giok yang sebenarnya.
Siapa tahu, setelah mendengar kata-kata demikian, air muka si kakek mendadak berubah, dia
melototi Pwe-giok hingga sekian lamanya, lalu menegas, "Kau pernah datang di kuburan itu?"
"Betul, malahan cukup lama ku tinggal di sana."
"Dan cara bagaimana kau keluar lagi?"
Pwe-giok tertawa, jawabnya, "Keluar melalui pantatmu."
347 Sampai di sini, bukan cuma Lui-ji saja yang menganggap anak muda itu kurang waras,
bahkan Thi-hoa-nio dan Hay Tong-jing juga mengira Pwe-giok mendadak sinting, sebab apa
yang diucapkannya sama sekali bukan kata-kata manusia normal.
Tapi air muka si kakek lantas berubah menjadi lebih menakutkan, mendadak ia berseru,
"Cucu perempuanku sayang, marilah keluar!"
Ketika cucu perempuannya sudah keluar, kecuali Pwe-giok, yang lain-lain sama terperanjat
pula. Sebab siapapun tidak menyangka cucu perempuannya adalah Ki Leng-hong.
Tapi sejak tadi Pwe-giok sudah tahu kakek ini adalah Ki go-ceng yang menghilang dengan
berlagak mati itu. Kepandaiannya membikin patung lilin memang bagus (bacalah jilid ke-4
Renjana Pendekar). Terdengar si kakek alias Ki Go-ceng lagi bertanya kepada cucu perempuannya, "Apakah betul
perkataan bocah ini?"
"Entah, aku tidak tahu," jawab Ki Leng-hong. Nona ini kelihatan sangat kurus dan lesu,
sangat lemah, tapi jawabannya cukup tegas.
"Dia pernah datang ke Sat-jin-ceng bukan?" tanya pula Ki Go-ceng.
"Jika dia belum pernah ke Sat-jin-ceng, cara bagaimana dapat kukenal dia" Tapi banyak juga
orang yang pernah mengunjungi sat-jin-ceng, tidak cuma dia saja."
Ki Go-ceng tertawa, ia tepuk-tepuk pelahan muka Ki Leng-hong yang bulat telur itu, ucapnya
dengan tertawa, "Ai, cucu perempuanku sayang, bicara terhadap kakek mana boleh sekasar
ini." Ki Leng-hong moncongkan mulutnya dan berucap manja, "Orang pening kepala, ingin tidur."
Begitu habis ucapannya, segera ia melangkah pergi, sama sekali tidak memandang lagi
terhadap Ji Pwe-giok. Ki Go-ceng geleng-geleng kepala, gumamnya
***** "Ai, bocah ini jadi rusak karena terlalu dimanjakan ibunya" Mendadak ia melototi Pwe-giok
pula dan bertanya: "Eh, kabarnya putra Ji Hong-ho itupun bernama Ji Pwe-giok, apa betul?"
"Begitulah kalau tidak salah", jawab Pwe-giok.
"Konon dia sudah mati di Sat jin-ceng"
"Agaknya juga betul"
Mendadak mencorong sinar mata Ki Go-ceng, ucapnya dengan pelahan: "Bisa jadi tidak mati,
mungkin dia telah pesiar sejenak ke kuburan, lalu hidup kembali, bahkan bertemu dengan
seseorang yang telah mengubah bentuk wajahnya"
348 Mendadak ia jambret leher baju Pwe-giok dan berteriak: "Dan mungkin kau inilah dia, kau
inilah putra Ji Hong-ho itu"
Sebenarnya Pwe-giok tidak mengerti apa sebabnya Ki Leng-hong berdusta, dan sekarang ia
tahu duduknya perkara. Meski lahirnya dia tetap tenang saja, tapi telapak tangan sudah
merembeskan keringat dingin.
Bukan mustahil Ki Go-ceng adalah sekelompotan dengan "Ji Hong-ho" itu, Pwe-giok sengaja
dipancing ke sini untuk diselidiki apakah dia dan Pwe-giok yang tersiar sudah mati itu sama
atau tidak. Maklumlah, tentang perubahan wajah Pwe-giok hanya diketahui oleh Ki Leng-hong saja, tapi
nona itu ternyata tidak menyingkap rahasianya, meski tidak tahu mengapa orang menutupi
rahasianya, namun Pwe-giok sangat berterima kasih padanya.
Ki Go-ceng masih terus melototi Pwe-giok, tanyanya pula: "Sesungguhnya kau anak Ji Hongho
atau bukan?" Pwe-giok tertawa, jawabnya: "Aku ini anak siapa, ada persoalan apa dengan kau?"
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekalipun kau mengaku sebagai anak Ji Hong-ho kan juga tidak menjadi soal?" ujar Ki Goceng.
"Kenapa kau sendiri tidak mau mengaku sebagai anaknya?" jawab Pwe-giok.
Ki Go-ceng menarik muka, mendadak ia tertawa pula: "Bagus, anak muda, anggaplah
mulutmu memang keras, jika kau tidak suka bicara terus terang, biarlah sekalian kubikin kau
tak dapat bicara untuk selamanya"
Gua batu ini jauh lebih terang daripada ruangan gua sebelah luar sana, juga jauh lebih hangat,
sebab api pada sebuah tungku besar telah dinyalakan, di atas tungku ada sebuah wajan besar.
Lilin di dalam wajan sudah mulai cair.
Dengan sebuah gayung besar, pelahan Ki Go-ceng mengaduk cairan lilin itu, ketika api
tungku sudah mulai menghijau, menguaplah hawa panas dari wajan besar. Di bawah
gemerdep cahaya api dan uap lilin, wajah Ki Ko-ceng kelihatan seperti sebuah topeng setan.
Sinar matanya juga gemerdep memancarkan cahaya kebuasan dan kegilaan, terdengar dia
berucap " Bukanlah pekerjaan mudah membuat patung lilin dengan manusia berdarah daging,
pertama harus memperhatikan waktu masak lilin, selain lilin harus cair seluruhnya dan tidak
boleh terlalu mendidih, pada saat lilin baru mulai bergelembung segera cairan lili dituang
pada tubuh manusia."
Dia tertawa, lalu menyambung, "Jadi seperti koki memasak Ang-sio-hi, setelah gorengan
irisan ikan diangkat dari wajan, pada saat yang tepat disiram dengan saus asam manis. Cuma
disini gerakan tangan harus cepat, siraman lilin harus rata, apabila lapisan lilin pertama sudah
beku seluruhnya barulah mulai siram lapiran kedua, sedikit salah siram, semua usaha akan
gagal total." 349 Dia bicara dengan adem ayem, seperti halnya seorang ahli masak yang sedang memberi
ceramah di depan sekawanan penggemar makanan enak. Cuma sayang, yang mendengarkan
ceramahnya sekarang bukanlah penggemar makanan melainkan "ikan" yang sedang menanti
giliran untuk dijadikan Ang-sio-hi.
Hati Lui-ji saat ini diliputi rasa gusar dan juga takut, sungguh kalau bila ia ingin menggigit
mampus orang gila ini. Sebaliknya Thi-hoa-nio seperti tidak dapat mengekang diri lagi saking takutnya, ia berteriak
dengan histeris, "Lekas kau bunuh kami saja, lekas, kenapa tidak lekas turun tangan ?"
Ki Go-ceng tertawa, katanya, "Aku ingin membuat patung lilin yang indah, untuk ini masih
harus diperhatikan sesuatu, yaitu tidak boleh membunuh mati model yang akan ku gunakan,.
Dengan demikian , hasil patung yang kubuat barulah akan kelihatan hidup dan bergairah.
Apabila modelnya dibunuh mati mati dulu baru kemudian disiram lilin, maka patung yang
dihasilkan juga akan kelihatan mati dan kaku."
"Kau ... kau ... " Thi-hoa-nio tidak sanggup bersuara lagi. Bibirnya gemetar, mulut seperti
tersumbat. Mendadak Ki Go-ceng tertawa padanya dan berkata, "Tapi Yang-hujin juga tidak perlu
khawatir, aku pasti takkan membikin susah padamu, sebab kuyakin Yang Cu-kang pasti tidak
suka tidur bersama patung lilin."
Air muka Hay Tong-jing berubah, tanyanya, "Apakah benar Yang Cu-kang ada
persengkongkolan dengan kau ?"
Ki Go-ceng tertawa, jawabnya, "Betul, dia terlebih cerdik daripadamu, juga lenih pintar
memilih kawan. Jika dia memilih si koki sebagai kawannya, sebaliknya kau pilih kawan pada
ikannya." Sampai sekian lama Hay Tong-jing termangu-mangu, katanya dengan suara gemetar, "Yang
Cu-kang, wahai Yang Cu-kang, tidak jelek suhu terhadapmu, kenapa kau melakukan
perbuatan khianat begini, memangnya sudah kaulupakan semua ajaran dan peraturan
perguruan ?" Sembari bicara, matanya mendelik dengan menahan rasa murka.
Dengan lemas Lui-ji juga berkata, "Pantas dia tidak takut di bunuh Lengkui, kiranya dia tahu
setelah kita pergi, maka dapatlah dia bicara dengan Leng-kui bahwa antara mereka
sesungguhnya adalah kawan. Hah, bangsat ini telah berbuat khianat, tapi justru bicara seperti
seorang baik hati." Belum habis ucapannya, menangislah Thi-hoa-nio tergerung-gerung.
Lui-ji menjengek, "Yang-hujin, apakah yang kau tangisi " Bisa kaudapatkan suami sebaik itu,
masakah kamu tidak senang ?"
"Aku ... Aku ... "
350 "Eh, siapa di antara kalian yang mau tolong singkirkan nyonya Yang ini dari sebelahku,
sungguh aku tidak tahan lagi bau busuk pada tubuhnya," ejek Lui-ji pula.
Dengan tertawa Ki Go-ceng berucap, "wah. hampir saja kulupa jika tidak kau singgung sejak
tadi-tadi seharusnya ku undang nyonya Yang berduduk di tempat yang terhormat."
Tapi Thi-hoa-nio lantas berteriak-berteriak pula dengan histeris, "Jangan kalian menyentuh
diriku, aku bukan istri Yang Cu-kang, aku lebih suka mati bersama mereka."
Dengan tak acuh Ki Go-ceng berkata, "Siapapun kalau sudah berada disini, mati atau
hidupnya tidak bebas lagi baginya."
Hay Tong-jing memandang Pwe-giok, ucapnya dengan rawan, "Ji-heng, aku telah salah
menilai Yang Cu-kang, maaf, aku ... aku menyesal."
"Ini bukan salahnya dan bukan salahmu, untuk bisa (jangan) Hay-heng merasa sedih." ujar
Pwe-giok. Hay Tong-jing menghela napas, ucapnya, "Betapapun dia adalah saudaraku, aku ... "
Mendadak Ki Go-ceng berseru, "Cepat lekas buka pintu tungku dan kerek wajan agak tinggi
sedikit, saat itulah cairan lilin sudah dapat digunakan!"
Lalu ia mulau menceduk cairan lilin dengan gayungnya, mengepul uap lili panas itu.
Dengan tertawa Ki Go-ceng berkata, "Pertama kali disiram lilin memang akan terasa sakit,
maka hendaknya Ji-kongcu dapat bertahan sedikit, nanti kalau sudah tersiram tiga empat
gayung, perlahan tidak lagi merasa sakit."
Lebih dulu ia menyiram lilin pada gayungnya pada sepotong papan, melihat cairan lilin yang
membeku di atas papan, Ki Go-ceng bergumam, "Ya, memang saat yang paling tepat untuk
disiram ... Nah, lekas kau buka baju, Ji-kongcu!"
Mendadak Lui-ji berteriak, "Kenapa tidak kau mulai dari diriku!... "
"Sabar, sabar! Sebentar lagi akan datang giliranmu, kenapa terburu-buru ?" ujar Ki Go-ceng
dengan tertawa. "Kumohon dengan sangat, mulailah atas diriku, matipun aku berterima kasih padamu." teriak
Lui-ji dengan parau. "Apakah kau tidak tega menyaksikan Ji Pwe-giok tersiksa dan ingin tutup mata lebih dulu ?"
tanya Ki Go-ceng. Lui-ji hanya menggigit bibir, ia mengangguk sambil menangis.
"Tapi apakah kau suka telanjang di hadapan mereka ?" tanya Ki Go-ceng dengan tertawa.
Lui-ji jadi melengak, segera ia menangis lagi tergerung-gerung.
351 Dengan suara parau Thi-hoa-nio berteriak, "Silakan kau turun tangan dulu padaku, aku tidak
... tidak takut ... "
Ki Go-ceng mengawasi dia sekejap, lalu berucap, "Potongan tubuhmu tidak jelek, kukira
merekapun jika kuturun tangan padamu dulu, sebelum mati dapat menyaksikan perempuan
cantik telanjang bulat seperti dirimu ini, tentu kematian merekapun cukup berharga," Dia
menghela napas, lalu menyambung, "Cuma sayang, kau ini bini Yang Cu-kang, sayang,
sungguh sayang... " "Kau tua bangka, kau binatang, hewan, sungguh kau bukan manusia ... " mendadak Hay
Tong-jing mencaci maki. "Apakah sengaja kau bikin marah diriku agar turun tangan dulu padamu ?" kata Ki Goceng
tertawa. Hay Tong-jing berteriak gusar, "Memangnya kau berani turun tangan padaku?"
"Haha, bagus, bagus!" Ki Go-ceng terbahak. "Kalian memang sangat setia kawan, sungguh
ksatria sejati, semuanya berebut mati lebih dulu. Jika demikian, biarlah kupenuhi kehendak
kalian sekaligus." Ia menyeringai, lalu menyambung, "Akan kubelejti kalian bertiga hingga telanjang bulat, akan
kuikat kalian menjadi satu dalam keadaan saling rangkul, akan kubikin kalian menjadi sebuah
patung yang istimewa, agar sekali pandang saja siapapun tahu kalian adalah sahabat karib
yang tak dapat dipisahkan."
Hay Tong-jing dan Cu Lui-ji berteriak-teriak, meski sudah banyak siksa derita yang
dialaminya tapi baru sekarang Lui-ji benar-benar kenal apa artinya takut.
Meski Pwe-giok hanya diam saja sejak tadi, tapi di dalam hati jauh lebih murka dan berduka.
Ia tidak tahu mengapa Thian memberi nasib seburuk ini kepadanya. Tahu begini, lebih baik
dulu mati saja di tangan Siang Cap-long. Walaupun Siang Cap-long juga sangat kejam, tapi
jauh lebih baik daripada Ki Go-ceng, betapapun dia tidak sampai melakukan hal-hal yang gila
dan kotor begini. Pada saat gawat itulah, sekonyong-konyong seorang terbang masuk dari luar dengan kaki dan
tangan menari-nari di udara, serupa boneka yang dikerek dan terapung di udara, melayang
tibanya orang ini sungguh cepat luar biasa.
"Siapa"!" bentak Ki Go-ceng.
Baru lenyap suaranya, dengan tepat orang itu jatuh di dalam wajan yang penuh cairan lilin
panas itu, maka terdengarlah suara jeritan ngeri yang menyayat hati.
Cairan lilin di dalam wajan muncrat kemana-mana, ada setitik cairan yang menciprat ke tubuh
Lui-ji, meski cuma setitik, namun rasa sakitnya sudah tak terkatakan.
Pada saat lain, dari luar melayang masuk lagi orang, juga menari-nari di udara dan "plung",
dengan tepat kembali nyemplung di dalam wajan disertai jeritan yang sama ngerinya.
352 Seketika wajan itu terguling, cairan lilin tumpah memenuhi lantai.
Serentak Ki Go-ceng mengapung ke atas, dengan gusar ia membentak, "Siapa itu?"
Di tengah suara bentakannya, orang ketiga melayang tiba pula, sekali ini menerjang ke arah
Ki Go-ceng. Cepat tubuhnya menggeliat di udara sehingga terhindar. Tapi segera orang ke empat dan
kelima melayang pula dan menumbuk Ki Go-ceng. Betapapun tinggi ginkangnya juga sukar
untuk mengelak lagi. "Blang", dalam keadaan mengapung di udara Ki Go-ceng menghantam, kontan kedua orang
yang menerjang ke arahnya itu digenjot hingga tergetar balik, tapi ia sendiripun tergetar jatuh
ke bawah dan hampir saja menumbuk dinding.
Kejut dan girang Lui-ji, baru sekarang dapat dilihatnya dengan jelas bahwa kelima orang yang
melayang dari luar itu semuanya adalah "patung lilin palsu" anak buah Ki Go-ceng.
Tadi dia telah dikerjai "patung lilin" ini, meski disergap, tapi jelas ilmu silat orang-orang ini
juga tidak lemah, bahkan sangat cepat dan cekatan cara turun tangannya. Tapi sekarang hanya
dalam sekejap saja mereka telah dilempar masuk seperti lempar bola, jelas sedikitpun tidak
mampu melawan. Maka betapa tinggi kungfu pendatang ini tentu dapat dibayangkan.
Air muka Ki Go-ceng tampak pucat hijau, ia melototi Pwe-giok dan berkata, "Tak tersangka
masih ada juga bala bantuanmu, tampaknya tidaklah sedikit kawanmu."
Tapi seorang lantas menanggapi, "Aku tidak kenal anak muda itu, sebaliknya aku dan kau
adalah sahabat lama."
Suara ini sangat halus dan lembut, empuk dan enak didengar.
Lui-ji dan Thi-hoa-nio sama-sama anak perempuan cantik pembawaan, yang satu adalah
puteri Siau-hun-kiongcu yang terkenal pembetot sukma setiap lelaki, yang lain adalah
"Khing-hoa-samniocu" yang genit dan pemikat lawan jenisnya, keduanya tahu suara yang
enak didengar adalah senjata yang paling ampuh kaum wanita untuk menghadapi kaum lelaki.
Suara mereka sendiri sangat merdu dan enak didengar, tapi kalau dibandingkan suara
perempuan pendatang ini, mau tak mau mereka harus tutup mulut dan tidak berani bersaing.
Selain enak didengar suaranya, bahkan apa yang dikatakannya seperti air dingin yang
menyiram kepala Cu Lui-ji, sebab pendatang ini ternyata mengaku sebagai sahabat lama Ki
Go-ceng. Hanya Hay Tong-jing saja yang segera memperlihatkan rasa kegirangan, desisnya perlahan,
"Inilah guruku, tertolonglah kita."
Lui-ji melengong, tanyanya kemudian, "Gurumu seorang perempuan?"
Hay Tong-jing tidak menjawabnya dan memang juga tidak perlu menjawab, sebab waktu itu
seorang perempuan berbaju hitam sudah muncul.
353 Mukanya juga memakai cadar sutera hitam, meski Lui-ji tidak dapat melihat jelas wajahnya,
tapi entah mengapa, ia merasa perempuan ini pasti cantik tiada bandingannya. Lui-ji tidak
pernah melihat wanita bergaya secantik dan seluwes ini.
Jalan perempuan berbaju hitam itu seperti sangat lambat, tapi tahu-tahu sudah berada di
dalam, siapapun tidak tahu persis cara bagaimana dia menggeser kakinya dan cara bagaimana
masuk ke situ. Dia memakai jubah panjang warna hitam, panjangnya sampai menyentuh tanah, hanya ujung
sepatu saja yang masih kelihatan, pada tangannya juga mengenakan sarung tangan warna
hitam. Meski melihat orang, tapi rasanya sama seperti tidak tahu, yang dilihat Lui-ji hanya
pakaiannya saja, namun dalam hati sudah timbul perasaan enak, perasaan aman.
Ki Go-ceng juga seperti kesima memandang perempuan berbaju hitam itu, sampai sekian
lama barulah ia menghela nafas dan berkata, "Kiranya kau!"
"Tak kau duga bukan?" ujar perempuan berbaju hitam.
Kembali Ki Go-ceng menghela nafas, lalu berucap pula sambil tersenyum getir, "Kukira
sudah lama kau mati."
Perempuan berbaju hitam itu seperti tersenyum, lalu mendekati Ki Go-ceng dengan perlahan.
Di dalam gua ini suasana dingin dan seram, di atas tanah juga penuh cairan lilin dan mayat.
Namun gaya berjalan perempuan itu seperti sedang berada di tengah istana.
Yang dihadapinya juga seorang gila dan kejam, tapi gaya perempuan itu seperti seorang
permaisuri yang hendak menghadap Sri Baginda.
Siapapun tidak mengira perempuan lemah gemulai ini adalah tokoh persilatan yang lihay,
lebih-lebih tidak ada yang percaya bahwa dalam sekejap tadi dia sudah membunuh lima
orang. Dahi Ki Go-ceng tampak berkeringat, ia menyengir dan berucap, "Belasan tahun tidak
bertemu, masakah baru bertemu lantas hendak berkelahi denganku?"
"Aku tidak bermaksud demikian," jawab si perempuan baju hitam.
Ki Go-ceng seperti merasa lega, ucapnya, "Jika begitu, hendaklah kau berdiri agak jauh. Bila
kau mendekat, hatiku lantas berdetak."
"Kau memang tidak punya hati, mana bisa hatimu berdetak ?" ujar perempuan itu. Dia
berjalan dengan lambat, tapi tidak berhenti.
Bibir Ki Go-ceng seperti mengering, ucapnya dengan suara serak, "Sesungguhnya apa
kehendakmu?" 354 Perempuan itu tidak menjawabnya, tapi bertanya malah, "Tahun ini usiamu sudah ada 72
bukan?" "Ingat juga kau..."
Perempuan itu berucap pula, "Siapapun kalau sudah hidup 72 tahun, tentunya sudah cukup
bukan?" "Apa maksudmu ini?" tanya Ki Go-ceng sambil mengusap keringatnya.
"Apa maksudku masakah belum jelas bagimu?"
"Selama berpuluh tahun ini, siapa pula yang pernah tahu jelas maksudmu?"
Perempuan itu menghela nafas perlahan, lalu berkata, "Ai, kuharap janganlah kau paksa ku
turun tangan padamu."
Air muka Ki Go-ceng berubah hebat, mendadak ia menengadah dan terbahak-bahak,
"Hahaha... memangnya baru bertemu kau menghendaki aku segera bunuh diri?"
Meski tertawa, tapi suara tertawanya jauh lebih tidak enak didengar daripada suara menangis.
Pada saat itu juga, mendadak tubuh Ki Go-ceng mengapung ke atas, perawakannya yang
kurus itu seperti bukan tubuh manusia melainkan seekor elang yang buas dan lapar.
Namun si perempuan baju hitam tetap berdiri tenang di tempatnya, jika Ki Go-ceng ibaratnya
seekor elang, maka dia sama seperti seekor domba. Tapi ketika Ki Go-ceng menubruk tiba,
lengan bajunya lantas mengebut perlahan.
Siapapun tidak menyangka kebutan lengan bajunya yang perlahan ini dapat menahan
serangan Ki Go-ceng. Maka terdengarlah suara jeritan, bukan perempuan itu yang menjerit
melainkan Ki Go-ceng, tubuhnya mendadak mencelat beberapa tombak jauhnya dan
menumbuk dinding, "blang", lalu tubuhnya memberosot ke kaki dinding dan jatuh terduduk,
matanya melotot ke arah perempuan baju hitam, ucapnya dengan serak, "Inilah Cing... Cinggi..."
Belum habis ucapannya, darah segar lantas menyembur dari mulutnya.
Dengan tak acuh, perempuan baju hitam berkata, "Betul, inilah Sian-thian-cing-gi, tajam juga
pandanganmu!" Mendadak Ki Go-ceng bergelak seperti orang gila, teriaknya, "Bagus, haha, bagus! Sianthian-
cing-gi, tiada tandingannya di dunia, matipun aku tidak penasaran."
Sambil tertawa kaki dan tangannya juga bergerak-gerak, keadaannya benar-benar mirip orang
gila. Percikan darah tampak berhamburan mengikuti suara tertawanya, waktu habis ucapannya
darahpun kering, suara tertawa juga berhenti, tinggal kerongkongannya mengeluarkan suara
"krok-krok" seperti kodok ngorok.
355 Meski benci terhadap orang ini, tanpa terasa Lui-ji memejamkan mata juga dan tidak tega
memandangnya. Pwe-giok sendiri pernah mendengar nama "Sian-thian-cing-gi" atau tenaga sakti asli, selama
ini ia menyangka ilmu itu hanya dongeng Kangouw seperti halnya orang bilang "pedang
dapat dikendalikan dengan hawa" serta "mengirimkan gelombang suara" segala. Ilmu sakti ini
mungkin terjadi di jaman dahulu, tapi sekarang tentunya sudah lenyap dan tiada orang yang
mampu melatihnya lagi. Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa sekarang dirinya justeru dapat menyaksikan ilmu sakti
tersebut. Dilihatnya Ki Go-ceng telah terkulai di tengah genangan darah, semula masih terus ngorok
seperti suara kodok, selang sejenak mendadak tubuhnya melonjak ke atas, lalu jatuh dan tidak
bergerak lagi. Baru sekarang si perempuan baju hitam berpaling dan memandang Pwe-giok. Sinar matanya
masih tetap tenang dan lembut, tapi seakan-akan dapat menembus cadar sutera dan menembus
darah daging, terus menembus ke lubuk hati Pwe-giok. Tanpa terasa anak muda itu
menunduk. "Kau inikah Ji Pwe-giok, Ji-kongcu ?" tanya si perempuan baju hitam.
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahwa dia ternyata kenal nama Pwe-giok, bahkan bersikap seramah ini padanya, kalau orang
lain tentu akan merasa senang seperti mendapat rejeki di luar dugaan.
Tapi Pwe-giok justeru merasa rada takut. Ia tidak mengerti dirinya ternyata sedemikian
terkenal. Ia tahu terkenal bukan sesuatu yang menyenangkan.
"Terkenal" dapat diibaratkan sepotong baju yang mewah, meskipun dapat membuat orang
kelihatan cemerlang, tapi harganya terkadang juga sangat menakutkan.
Melihat anak muda itu termenung, Hay Tong-jing lantas menyela, "Ji-heng, guruku sedang
bicara denganmu." "O, ya, cayhe memang betul Ji Pwe-giok," cepat Pwe-giok menenangkan diri.
"Baik, coba kau ikut padaku," kata perempuan itu sambil mengebaskan lengan bajunya
perlahan. Ji Pwe-giok, Hay Tong-jing dan Cu Lui-ji bertiga segera seperti diembus angin sejuk, seketika
hiat-to mereka yang tertutuk tadi telah terbebas semua.
Cepat Hay Tong-jing menyembah, "Tecu..."
"Urusanmu dengan Yang Cu-kang sudah kuketahui dan tidak perlu bicara lagi," kata si
perempuan baju hitam, sedikit bergeser, tahu-tahu sudah sampai di luar pintu.
356 Mendadak Lui-ji menarik tangan Pwe-giok erat, tanyanya dengan suara tertahan, "Hendak
kau ikut pergi bersama dia?"
Pwe-giok merasa tangan anak dara itu rada gemetar, tanpa terasa timbul perasaan kasihannya,
jawabnya dengan lembut, "Sudah tentu kaupun ikut bersamaku."
Terbeliak mata Lui-ji, makin kencang ia pegang tangan anak muda itu, katanya, "Kemanapun
pasti akan kau bawa serta diriku?"
Pwe-giok terharu, jawabnya, "Ya, kemanapun aku akan tetap berada bersamamu."
Tapi mendadak si perempuan baju hitam menyeletuk, "Tapi sekali ini dia tidak dapat
membawa kau." Tubuh Lui-ji tergetar dan melepaskan tangan Pwe-giok, tanyanya dengan parau, "Sebab apa?"
"Sebab aku yang omong," sahut perempuan itu.
Lui-ji melonjak dan berteriak, "Berdasarkan apa hendak kau pisahkan kami" Meski kau telah
menyelamatkan kami, tapi kalau bukan muridmu yang membikin susah kami, tidak nanti
kami datang ke sini..."
Suaranya seperti tersumbat, air matanya bercucuran pula, lalu ia menghentakkan kaki dan
berteriak lagi, "Jadi adalah pantas jika kau selamatkan kami, berdasar apa lantas bersikap
garang dan main kuasa?"
Air muka Hay Tong-jing berubah, ia menyembah di tanah dan memohon, "Dia masih anak
kecil, mohon Suhu jangan marah padanya."
Lui-ji mendongak, ia tahan air matanya dan berseru, "Tidak perlu kau mohonkan ampun
bagiku. Aku tidak takut, biarpun dia membunuhku juga aku tidak takut. Matipun aku ingin
berada bersama Ji Pwe-giok."
Ia pegang lagi tangan Pwe-giok dan berkata: "Kau sendiri yang bilang, kemanapun akan kau
bawa serta diriku, masa... masa akan kau tarik kembali janjimu?"
Pwe-giok terdiam, dengan lembut ia mengusapkan air mata di pipi anak dara itu, mendadak ia
berpaling menghadapi si perempuan berbaju hitam dan berkata, "Sudah ku janji padanya, juga
sudah berjanji pada Saceknya, betapapun tidak boleh kutinggalkan dia."
"Masa hubungan mesra ini saja tidak dapat kau tinggalkan, lalu pekerjaan besar apa yang
dapat kau hasilkan?" jengek si perempuan baju hitam.
Dengan sekata demi sekata Pwe-giok menjawab, "Jika aku tidak dapat menepati janji, lalu
dapatkah aku dikatakan manusia?"
Perempuan baju hitam memandangnya lekat-lekat, perlahan sinar matanya menampilkan
secercah senyuman, ucapnya, "Bagus, bagus, kau memang anak yang baik..." ia melayang ke
depan Lui-ji dan perlahan mengangkat tangannya.
357 Nafas Pwe-giok dan Hay Tong-jing serasa berhenti, sebab mereka tahu, asalkan tangan itu
jatuh ke bawah, seketika kepala Lui-ji bisa hancur luluh.
Terdengar perempuan itu bertanya kepada Lui-ji, "Jadi kau merasa berat untuk berpisah
dengan dia?" Dengan menggertak gigi Lui-ji memandangnya dan menjawab, "Siapapun jika ingin
memisahkan aku dan dia, lebih dulu dia harus melangkahi mayatku."
Memandangi tangan si perempuan berbaju hitam, jantung Pwe-giok serasa mau berhenti
berdetak. Tapi tangan perempuan itu perlahan diturunkan lagi, dengan perlahan dia membelai rambut
Lui-ji, katanya dengan suara halus. "Kaupun anak yang baik, tapi kalau benar-benar kau suka
padanya, selayaknya tidak boleh menjadi bebannya, harus membiarkan dia pergi sendiri untuk
melakukan tugas berat."
Lui-ji melengak, mendadak ia mendekap mukanya dan menangis.
"Bukan maksudku hendak menyuruh dia meninggalkan kau," kata pula si perempuan baju
hitam, "aku hanya menghendaki kalian berpisah untuk sementara, toh kalian masih sangat
muda, kesempatan bertemu di kemudian hari kan masih panjang."
Lui-ji mendelik, ucapnya dengan suara parau, "Baik, tidak perlu kau katakan lagi. Aku akan
pergi, pergi seorang diri..." dia mendekap mukanya dan berlari pergi.
Tapi Pwe-giok sempat menariknya dan bertanya, "Hen... hendak kemana kau?"
Sambil menggigit bibir Lui-ji menjawab, "Kaupun tidak perlu urus diriku, dengan sendirinya
ada tempat yang ku tuju."
Meski dia menahan perasaan sedapatnya, tidak urung air mata masih terus berderai.
Meski dunia ini tidak cuma seluas daun kelor, tapi kemanakah dia harus pergi"
Tiba-tiba perempuan berbaju hitam menghela nafas perlahan, ucapnya, "Tong-jing, boleh kau
bawa dia pulang ke gunung, tentu akan kusuruh Ji-kongcu kesana untuk mencarinya, tahu
tidak?" Dengan girang dan kejut Hay Tong-jing mengiakan, tanyanya, "Apakah Suhu hendak
mengambilnya sebagai murid perempuan?"
Tersenyum juga perempuan baju hitam, jawabnya dengan perlahan, "Dia memang anak
perempuan yang baik."
***** Cuaca cerah dan hawa sejuk, sang surya memancarkan sinarnya dengan gemilang, meski
sudah di buntut musim rontok, namun hawa udara seperti musim semi.
358 Untuk pertama kalinya Pwe-giok merasakan betapa menyenangkan sinar matahari setelah
sekian lama dirundung malang.
Sekarang segalanya sudah mulai ada titik balik, Lui-ji juga mempunyai harapan hari depan
yang baik. Berdiri di bawah sinar sang surya yang hangat ini, saking tak tahan hampir saja dia
bersenandung sekerasnya. Satu-satunya urusan yang disesalkannya adalah ia tidak menemukan Kwe Pian-sian dan
Ciong Cing, juga tidak menemukan Ki Leng-hong, bisa jadi Ki Leng-hong telah membawa
pergi Kwe Pian-sian dan Ciong Cing secara diam-diam.
Tapi kalau dibandingkan dengan hal-hal yang menyenangkan itu, apa artinya sedikit
penyesalan. Didengarnya si perempuan berbaju hitam lagi berkata, "Meski Yang Cu-kang adalah murid
khianat, tapi ada sementara urusan dia tidak berdusta, tatkala mana Hay Tong-jing berada di
sampingnya, tentunya dia tidak berani berdusta."
"Apakah Ki Go-ceng adalah Tangkwik-sianseng?" tanya Pwe-giok.
"Bukan," jawab perempuan baju hitam. "Ki Go-ceng tidak lebih juga cuma salah seorang
boneka Tangkwik-sianseng, baik ilmu silat maupun tipu akal dan keganasannya bukan apaapa
kalau dibandingkan dengan Tangkwik-sianseng."
"Dan Cianpwe sendiri..."
"Terus terang," tukas perempuan baju hitam sambil menghela nafas, "aku sendiripun bukan
tandingan iblis jahat itu."
"Tapi Sian-thian-cing-gi Cianpwe kan tiada tandingannya di dunia?" ujar Pwe-giok.
"Meski Sian-thian-cing-gi maha sakti, tapi sang pencipta alam ini sangat adil, setiap makhluk
setiap barang, selalu diciptakan secara saling anti menganti. Meski kelabang adalah serangga
berbisa, tapi ayam jago adalah musuhnya. Biarpun Sian-thian-cing-gi sangat hebat, tetap
belum terhitung tiada tandingannya di dunia."
Setelah menghela nafas, lalu ia melanjutkan. "Demi menghadapi diriku, selama belasan tahun
ini Tangkwik-siansing telah berhasil meyakinkan semacam kungfu yang khusus ditujukan
untuk melawan Sian-thian-cing-gi. Kalau tidak, mana dia berani muncul lagi di dunia
Kangouw?" "Wah, kungfu apakah itu?" tanya Pwe-giok.
"Bu-siang-sin-kang (ilmu sakti tak berwujud)!"
"Bu-siang-sin-kang?" Pwe-giok menegas. "Wah, setelah berhasil meyakinkan Bu-siang-sinkang,
lantas orang ini boleh malang melintang di dunia Kangouw tanpa takut kepada siapa
pun?" 359 "Di dunia ini sekarang memang tiada seorang pun dapat menandingi dia, orang yang dapat
menumpasnya di dunia ini mungkin hanya ada seorang saja," tutur si perempuan baju hitam.
"Oo, siapa?" tanya Pwe-giok.
"Kau!" jawab perempuan itu tegas.
"Ak... aku"!" Pwe-giok jadi melenggong. "Tapi... aku..."
"Bicara tentang ilmu silat, dengan sendirinya kau bukan tandingannya, tapi kau seorang yang
dapat berpikir panjang, berhati tabah, tenang, banyak segi baikmu yang tidak terdapat pada
orang lain." "Akan tetapi..."
"Apakah kau tahu kisah Heng Ko membunuh raja Cin di jaman Ciankok dahulu?" sela si
perempuan baju hitam. "O, maksudmu aku... akupun harus membunuh Tangkwik-siansing secara gelap?"
"Membunuh secara licik sebenarnya bukan tindakan seorang ksatria sejati," ujar si perempuan
baju hitam. "Tapi keadaan mendesak, urusan sudah terlanjur begini, terhadap iblis jahat
seperti dia itu tidak perlu lagi bicara tentang tindakan terang atau gelap."
"Tapi orang kosen semacam Tangkwik-siansing, cara... cara bagaimana dapat kudekati dia?"
"Banyak sekali kesempatanmu untuk mendekati dia."
"Caranya?" tanya Pwe-giok.
"Sudah tentu jalan yang paling mudah adalah berusaha mendapat kepercayaan dan kaupun
dapat mendekati dia dengan leluasa."
"Tapi berdasarkan apa Tecu akan mendapatkan kepercayaannya?"
"Tentu saja kau memiliki barang yang bisa mendapatkan kepercayaan Tangkwik-siansing,
hanya saja kau sendiripun tidak mengetahuinya."
"Oo" Sudikah Cianpwe memberi penjelasan?"
"Coba katakan dulu, benda mestika simpanan Siau-hun-kiongcu sudah kau dapatkan bukan?"
Pwe-giok tidak berani berdusta, tanpa pikir dia membenarkan.
Mencorong sinar mata si perempuan baju hitam, katanya, "Dan di antara barang-barang
tinggalan Siau-hun-kiongcu itu terdapat sepotong Tik-pai (plat bambu) bukan?"
Orang kosen ini ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa dan pengetahuan yang luas,
rasanya sukar sekali bagi orang yang ingin berdusta padanya.
360 Maka Pwe-giok mengiakan pula.
"Dan Tik-pai itu apakah masih berada padamu?" tanya perempuan baju hitam.
"Syukurlah sampai sekarang masih kusimpan," jawab Pwe-giok.
"Sebenarnya barang itu cuma sepotong belahan bambu yang sangat umum, tapi dalam
pandangan orang lain justeru merupakan benda yang tak ternilai harganya, dan apakah kau
tahu dimana letak nilainya yang tinggi itu?"
"Justeru hal inilah yang tidak kuketahui," jawab Pwe-giok.
"Sebab Tik-pai itu adalah benda kepercayaan Tangkwik-siansing."
"Benda tanda kepercayaan?"
"Ya, barang siapa memegang pelat bambu itu, seketika jadilah dia tuan penolong Tangkwiksiansing,
apapun yang harus dilakukan Tangkwik-siansing atas permintaan orang yang
memegang benda itu pasti takkan ditolaknya."
"O, sebab apa?" tanya Pwe-giok.
"Orang ini meski sangat kejam, tapi berwatak angkuh, tinggi hati, sama sekali dia tidak mau
hutang budi, betapapun dia tidak suka ditolong orang. Tak tersangka, 30 tahun yang lalu ia
justeru telah utang budi kepada seseorang, dan orang ini justeru tidak mengharapkan balas
jasa apapun dari dia. Karena itu, terpaksa dia mengukir sepotong bambu dan diberikan kepada
penolongnya itu sebagai tanda kepercayaannya. Pada potongan bambu itu terukir huruf yang
mengatakan "melihat Tik-pai sama dengan ketemu orangnya", jadi Tik-pai itu mewakili
Tangkwik-siansing..."
"Ya, ku paham maksudnya," kata Pwe-giok. "Dan siapakah orang yang memegang Tik-pai
itu?" "Siapapun orang ini tidaklah penting bagi kita, sebab dia sudah mati, yang utama sekarang
adalah Tik-pai tersebut sekarang berada padamu," kata si perempuan baju hitam. "Jika
Tangkwik-siansing sudah menyatakan Tik-pai itu sama dengan dia pribadi, maka sekarang
kau juga sama sebagai tuan penolongnya. Apapun yang kau minta, pasti dilakukannya tanpa
ditolak. Kan sudah kukatakan, watak orang ini sangat tinggi hati, apa yang sudah
diucapkannya tidak nanti dijilat kembali."
"Jadi maksud Cianpwe agar kubawa Tik-pai untuk menemui Tangkwik-siansing dan
menyuruh dia memenggal kepalanya sendiri?" tanya Pwe-giok setelah berpikir.
Perempuan baju hitam tertawa, katanya, "Biarpun dia tidak bakalan menjilat kembali apa
yang diucapkannya, kala kau minta dia memenggal kepalanya sendiri, betapapun tidak nanti
dilakukannya. Jika 30 tahun yang lalu permintaanmu mungkin akan terpenuhi, tapi sekarang,
usia seorang kalau sudah tambah lanjut, semakin dekat akhir hayatnya, biasanya orang akan
semakin merasakan betapa berharganya jiwa sendiri."
"Jika demikian, jadi maksud Cianpwe..."
361 "Boleh kau temui dia dengan membawa Tik-pai dan minta dia mengajarkan Bu-siang-sinkang
padamu." "Kemudian?" "Untuk belajar Bu-siang-sin-kang, tentu saja tidak dapat diselesaikan dalam waktu tiga atau
lima hari. Selama kau belajar kungfu padanya, tentu banyak kesempatanmu untuk berdekatan
dengan dia." "Ya, betul," kata Pwe-giok.
"Tidak dapat membalas budi, inilah yang dianggapnya penyesalan selama hidup. Sekarang
kau datang padanya dengan membawa Tik-pai serta memohon sesuatu padanya, hal ini boleh
dikatakan telah melunasi cita-citanya selama ini. Dia pasti akan sangat girang dan takkan
tanya asal usulmu, juga pasti tidak berprasangka buruk padamu, pepatah bilang "harimau pun
ada kalanya berkedip". Nah, karena kau dapat mendekati dia setiap saat, tentu banyak
kesempatan bagimu untuk turun tangan."
"Akan tetapi..."
Perempuan baju hitam tidak membiarkan anak muda itu bicara, dengan suara tegas ia
menyela, "Setelah kau tahu kejahatan dan rencana kejinya, apa pula yang kau ragukan lagi"
Masakah kau tidak ingin menumpas kejahatan bagi dunia Kangouw umumnya, masakah kau
tidak ingin membalas dengan bagi dirimu sendiri?"
"Jadi asal usul diriku sudah diketahui Cianpwe?" tergerak hati Pwe-giok.
Perempuan itu tersenyum, katanya, "Tahukah kau siapa yang mengubah bentuk wajahmu
ini?" "Sungguh menyesal, Tecu menerima budi pertolongan beliau, tapi siapa nama beliau yang
mulia sejauh ini belum kuketahui," jawab Pwe-giok dengan sedih.
"Pribadinya juga menanggung penderitaan yang sangat mendalam, sebab itulah sudah lama
dia mengasingkan diri dan melupakan nama, tapi dapat kuberitahukan kepadamu, dia adalah
sahabatku yang paling karib."
Mau tak mau Pwe-giok merasa kagum.
"Sudah lama sekali Tangkwik-siansing tidak berani bergerak," demikian perempuan baju
hitam menyambung lagi, "sebabnya adalah karena dia jeri terhadap kami berdua, sebab meski
Bu-siang-sin-kang telah berhasil dilatihnya dengan baik, tapi kalau menghadapi gabungan
kami berdua, tetap kami sanggup mematikan dia... cuma... cuma sayang..." suaranya semakin
lemah dan berubah menjadi helaan nafas.
"Cuma sayang apa?" tanya Pwe-giok. "Masakah beliau sudah..."
Sampai cukup lama si perempuan baju hitam terdiam, habis itu kelihatan terangsang pula,
dadanya naik-turun, ia menghela nafas panjang sekali lalu berucap dengan sedih, "Mungkin...
362 mungkin ia sudah terkena tangan keji Tangkwik-siansing..." tapi dengan cepat ia
menyambung pula, "Namun urusan ini belum dapat kubuktikan, jika Tangkwik tidak
mengetahui jelas dia sudah meninggal, mana dia berani muncul lagi di dunia Kangouw"
Justeru lantaran dia sudah mati, maka Tangkwik menjadi berani."
Pwe-giok mengertak gigi dan berkata, "Apa pesan Cianpwe pasti akan kukerjakan, cuma,
kalau gerak-gerik Tangkwik-siansing ini sedemikian misterius, kemana harus kucari dia?"
"Dengan sendirinya sukar bagimu untuk mencarinya, tapi dapat diusahakan agar dia yang
mencari kau," kata perempuan baju hitam.
"O, maksud Cianpwe agar Tecu menyiarkan berita bahwa Tik-pai itu berada pada tanganku?"
"Betul, jika mendengar berita Po-in-pai (pening balas budi) sudah jatuh di tanganmu, tentu dia
akan mencari kau betapapun jauhnya."
"Melihat Tik-pai itu sama melihat orangnya, artinya hanya kenal pada Tik-pai itu dan tidak
pula kenal orangnya, tapi sebelum kuserahkan Tik-pai itu padanya, kan setiap orang juga
dapat merampas Tik-pai itu dari tanganku?"
"Tapi siapakah yang mampu merebut Tik-pai itu dari tanganmu?" ujar si perempuan baju
hitam. Pwe-giok tersenyum getir, ucapnya, "Bukannya Tecu tidak dapat menilai dirinya sendiri, tapi
sesungguhnya orang kosen di dunia Kangouw ini masih sangat banyak."
"Betul juga ucapanmu," kata perempuan itu, "dengan ilmu silatmu sekarang, di dunia ini
sedikitnya masih ada 13 tokoh yang mampu mengalahkanmu, bisa jadi lebih. Tapi orangorang
ini kebanyakan sudah mengasingkan diri, jika mendengar berita hangat ini, mungkin
sekali merekapun akan tertarik, andaikan tidak sampai main rebut secara terang-terangan,
bukan mustahil akan mengincarnya secara diam-diam."
Tanpa memberi kesempatan bicara kepada Pwe-giok, dengan tertawa ia menambahkan pula,
"Tapi kau juga sudah memegang Giam-ong ceh (piutang raja akhiran), kenapa mesti takut lagi
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada orang-orang ini?"
"Giam-ong-ceh?" Pwe-giok menegas dengan heran.
"Ya, jika kau pegang Po-sin-pai, masa tidak pegang Giam-ong-ceh?" ujar si perempuan baju
hitam. "Yang Cianpwe maksudkan apakah buku catatan itu?" tanya Pwe-giok.
"Betul," jawab perempuan itu, lalu dengan perlahan ia berucap, "Manusia bukan nabi, siapa
yang tidak pernah berbuat salah" Orang hidup selama berapa puluh tahun, sedikit banyak
pasti pernah berbuat salah dan merugikan orang lain, lebih-lebih orang yang sudah terkenal
itu, orang hanya melihat sebelah yang gemilang, tapi lupa pada sisi yang lain. Siapapun tidak
tahu dengan batu loncatan apa mereka berhasil merangkak ke atas?"
363 Pwe-giok menghela nafas panjang, iapun tahu jalan menuju sukses memang tidak mudah,
untuk bisa mencapai titik final entah perlu melangkahi berapa banyak mayat orang.
"Misalnya," demikian perempuan baju hitam menyambung lagi, "sebabnya Ang Seng-ki dapat
menjadi ketua Hong-bwe-pang, justeru lebih dulu dia membunuh Suhengnya, lalu meracun
mati gurunya. Rahasia ini akhirnya toh terbongkar. Tapi sebelum tersingkap, setiap orang
Kangouw sama mengakui Ang Seng-ki adalah seorang ksatria sejati, seorang pahlawan
besar." Pwe-giok menghela nafas dan diam saja.
Perempuan itu melanjutkan, "Setelah rahasianya terbongkar, maka orang hanya menganggap
nasib Ang Seng-ki lagi malang, sebab entah berapa banyak peristiwa serupa yang terjadi di
dunia Kangouw, hanya saja tidak diketahui orang luar."
"Jika ingin orang lain tidak tahu, hanya diri sendiri jangan berbuat," ucap Pwe-giok menyitir
pepatah. "Seorang kalau berbuat dosa, lambat atau cepat pasti akan ketahuan."
"Betul, rahasia apapun juga akhirnya pasti akan terbongkar, dan diseluruh dunia ini, orang
yang paling banyak mengetahui rahasia ini ialah Siau-hun-kiongcu."
"Oo "!" Pwe-giok bersuara heran.
"Kau tahu Siau-hun-kiongcu cantik molek dan tidak sedikit lelaki yang terpikat, dan saat yang
paling sukar untuk menyimpan rahasia kaum lelaki adalah pada waktu berbaring di tempat
tidur, di samping si molek."
Ucapan perempuan baju hitam ini hanya samar-samar, tapi apa maksudnya cukup gamblang
bagi pendengarnya. Artinya, bilamana seorang perempuan cantik tidur bersama kau di suatu tempat tidur, sebuah
mulut mungil berbisik-bisik di tepi telingamu, sepasang mata jeli memandangi kau di samping
bantal. Dalam keadaan demikian, jika kau dapat tutup rahasia, maka tergolong kuat imanmu
dan harus diberi tanda pujian. Sebab kalau seorang dapat menjaga rahasia bagi orang lain,
maka hakikatnya kau adalah seorang nabi.
Dan betapapun nabi di dunia ini tidaklah banyak.
"Dari sekian orang yang dikenalnya, Siau-hun-kiongcu telah memperoleh macam-macam
rahasia yang tidak diketahui umum," demikian perempuan baju hitam itu melanjutkan.
"Semua rahasia yang didengarnya itu lantas ditulisnya dalam buku catatan itu. Dia memang
seorang pintar, dia cukup tahu betapa nilainya sesuatu urusan, ia dapat menunggu naiknya
harga pasar. Ditunggunya bilamana harga urusan itu sudah mencapai titik tertinggi barulah
dijualnya. Sebab itulah buku catatan itu selalu disimpannya dengan baik dan tidak pernah
dibawanya dalam baju, sebab dia yakin pada suatu hari kelak buku catatan itu pasti banyak
gunanya." "Tapi sejauh itu toh tidak pernah digunakannya," kata Pwe-giok dengan menyesal.
"Hal ini disebabkan mendadak ia berubah menjadi bodoh," kata perempuan baju hitam.
364 "Bodoh?" Pwe-giok menegas.
"Ya, bodoh," perlahan perempuan baju hitam bertutur. "Di dunia ini ada dua macam orang
yang paling bodoh. Yang pertama adalah kakek yang mencintai anak gadis. Kakek semacam
ini mungkin saja cerdas, juga kenyang asam garam kehidupan, tapi sering-sering kelabakan
dan pusing kepala karena dipermainkan oleh seorang anak dara yang masih berbau pupuk
jeringau. Orang semacam ini meski kasihan, tapi tidak ada orang yang bersimpatik padanya,
sebab perbuatannya itu adalah akibat tingkah polah sendiri."
Pwe-giok hanya tersenyum getir saja, ia tahu orang yang tergila-gila kepada anak gadis
memang bukan kejadian yang menggembirakan, tapi sering2 malah dramatis, bahkan
terkadang juga komedi. "Dan orang bodoh macam kedua adalah anak gadis yang edan kasmaran," tutur si perempuan
baju hitam lebih lanjut. "Betapapun biasanya anak gadis sangat pintar dan cerdik, sekali dia
gila cinta, seketika akan berubah menjadi bodoh dan buta. Sudah jelas orang yang dicintainya
itu adalah seorang penjahat, seorang pengeretan, tapi dalam pandangannya lelaki itu adalah
orang yang paling jujur di dunia ini, lelaki yang paling menarik. Biarpun lelaki itu bilang
padanya bahwa salju itu hitam dan bak (tinta Cina) itu putih, maka iapun akan percaya
penuh." Pwe-giok jadi teringat kepada Ciong Cing yang tergila-gila kepada Kwe Pian-sian yang sudah
berumur itu, tanpa terasa ia menghela nafas menyesal pula.
"Tapi Siau-hun-kiongcu kemudian justeru berubah menjadi orang yang jauh lebih bodoh
daripada kedua macam orang tadi, dia bukan saja jatuh cinta secara membuta, bahkan orang
yang dicintainya itu adalah binatang kecil yang umurnya lebih muda beberapa puluh tahun
daripada dia." Kembali Pwe-giok menghela nafas, katanya, "Lantaran orang iniliah, Cu-kiongcu tidak
sayang mengorbankan segalanya, dengan sendirinya pula dia tidak mau menggunakan rahasia
pribadi untuk mengancam orang tua kekasihnya. Kemudian ketika diketahuinya bahwa
mereka semua itu adalah manusia berhati binatang, namun segalanya sudah kasip, sudah
terlambat." "Betul, memang begitu," kata perempuan itu. "Tapi dengan kecerdasanmu, apabila buku
catatan ini dapat kaupergunakan dengan baik, tentu banyak hal-hal yang mengejutkan dapat
kau lakukan, lebih lebih tidak perlu takut orang lain akan mengusik dirimu."
"Akan tetapi..."
"Tidak perlu kau katakan, kutahu maksudmu," potong perempuan itu sebelum lanjut ucapan
Pwe-giok. "Tapi air memang dapat melajukan kapal dan juga dapat menenggelamkan kapal.
Pada dasarnya sesuatu benda itu tidak jahat, bergantung pada hati orang yang
menggunakannya, hal ini perlu kau ketahui."
Pwe-giok mengiakan. 365 Maka tertawalah perempuan itu, katanya, "Bagus sekali, sudah habis ucapanku, pergilah kau!
Pada hari suksesmu, hari itu pula kita akan bertemu. Tatkala mana, segala angan-anganmu
akan dapat kubantu kau menunaikannya."
***** Ketika bayangan tubuh Pwe-giok menghilang di kejauhan, perempuan baju hitam itu masih
tetap berdiri di situ. Sang surya belum terbenam, remang senja sudah mulai meliputi bumi.
Dalam keremangan senja itu perempuan baju hitam itu mendadak berubah menjadi sangat
misterius, sangat menyeramkan.
Dia seperti mempunyai dua macam peran, pada siang hari dia adalah manusia. Tapi bila
malam tiba, dia lantas berubah menjadi badan halus dalam kegelapan.
Kini dalam kegelapan telah muncul pula sesosok badan halus yang lain.
Badan halus ini adalah Ki Go-ceng.
Bajunya masih berlepotan darah, tapi mukanya sudah tercuci bersih, kedua matanya yang
mencorong itu menampilkan senyuman yang misterius, katanya dengan terkekeh, "Wah, hari
ini tidaklah sedikit pembicaraanmu."
"Untuk mengurangi sedikit kesulitan di kemudian hari, apa alangannya bicara lebih banyak?"
ujar si perempuan berbaju hitam.
"Bunuh saja dia agar tidak mendatangkan kesulitan?" kata Ki Go-ceng.
Perempuan baju hitam menggeleng, "Kau tidak paham..."
"Aku memang tidak paham mengapa kau suruh aku pura-pura mati dan mengapa melepaskan
dia?" "Sebab hanya dengan jalan ini dapatlah memancing dia menceritakan berbagai urusan ini."
"Sudah diceritakannya?" tanya Ki Go-ceng.
"Ya, dia sudah mengaku memang dialah anaknya Ji Hong-ho, bahkan dugaanku juga tidak
keliru, memang betul si anjing tua itu yang mengubah bentuk wajahnya, dua hal inilah yang
selama ini tidak dapat kupastikan..."
"Setelah sekarang sudah diketahui dengan pasti, mengapa kaulepaskan dia?"
Kembali perempuan itu menggeleng, "Kau tidak paham, tapi selekasnya kau akan tahu..."
"Kuharap semoga kau tidak berbuat salah."
366 "Bilakah aku pernah melakukan sesuatu kesalahan?" jengek perempuan baju hitam.
Mendadak ia menyurut mundur dua langkah dan berkata, "Tubuhmu itu berdarah, kenapa
tidak ganti pakaian dulu?"
"Haha, kaupun mengira ini darah sungguhan, tampaknya makin lama makin hebat
kepandaianku," kata Ki Go-ceng dengan tertawa.
Perempuan itu tertawa, ucapnya, "Kepandaianmu memang tidak kecil."
"Eh, dimanakah muridmu itu?"
"Maksudmu Hay Tong-jing?"
Ki Go-ceng mengiakan. "Dia sudah pulang dengan membawa Cu Lui-ji dan Thi-hoa-nio."
"Apakah dia tahu urusan kita ini?"
Dengan sekata demi sekata si perempuan baju hitam menjawab, "Untuk suksesnya urusan
besar, makin sedikit orang yang mengetahui seluk beluknya akan makin baik."
"Dan bagaimana dengan Yang Cu-kang?" tanya pula Ki Go-ceng.
"Demi suksesnya usaha kita, kanperlu mencari beberapa orang untuk dijadikan kambing
hitam?" jawab perempuan berbaju hitam dengan perlahan.
***** Tanpa terasa musim rontok sudah lalu, makin dinginlah angin yang bertiup.
Selama beberapa hari terakhir ini boleh dikatakan selalu dilalui oleh Pwe-giok dalam keadaan
tegang. Setiap hari selalu terjadi hal-hal yang tidak terduga, satu persatu susul menyusul, yang
satu lebih berbahaya daripada yang lain sehingga menimbulkan pikirannya bahwa hari ini
mungkin adalah hari kehidupannya yang terakhir. Dan baru sekarang dia benar-benar dapat
menghela nafas lega. Sekarang baru diketahuinya keadaan sendiri yang nelangsa, baju yang dipakainya sangat tipis
dan kotor, harus ganti dan perlu mandi sebersihnya.
Jika tidak mati, maka dia harus hidup sebaik-baiknya.
Dia ingin mencari suatu tempat yang santai, lebih dulu mandi dan bersihkan muka, lalu ganti
pakaian bersih. Terbayang betapa nikmatnya berendam dalam air panas, sekujur badan
seketika terasa gatal. Cuma sayang, dalam saku Pwe-giok sekarang tertinggal beberapa mata uang saja. Seorang
kalau keselamatan jiwa selalu terancam, dalam keadaan demikian barulah dia melupakan
uang. 367 Petang itu dia sampai di suatu kota kecil, dengan dua duit dia membeli sekotak geretan dan
membeli mi pangsit dengan empat duit. Waktu dia meninggalkan kota kecil itu, sakunya
sudah kosong melompong. Namun hati terasa sangat senang, terutama rahasia orang-orang ternama adalah hal yang
paling menarik bagi siapapun.
Sifat suka menyelidiki rahasia orang lain memang merupakan sifat buruk manusia.
Begitulah di luar kota Pwe-giok mendapatkan sebuah tempat yang teraling dari tiupan angin,
di situ ia membuat api unggun, setelah dipanggang dengan api, timbullah huruf-huruf yang
tertulis pada buku catatan tinggalan Siau-hun-kiongcu.
Nama-nama yang tercatat di dalam buku harian itu memang seluruhnya terdiri dari tokohtokoh
terkenal, kebanyakan sudah pernah didengar Pwe-giok, diantaranya termasuk kesepuluh
tokoh top seperti Tonghong Tay-beng, Li Thian-ong, Oh-lolo cinjin, dan sebagainya, juga
nama ketua ke-13 orang besar yang ikut dalam pertemuan Wi-ti semuanya tercatat di situ.
Yang paling menyolok dan mendebarkan bagi Pwe-giok adalah nama ketiga orang ini, Ki Goceng,
Hong Sam, dan Ji Hong-ho.
Ia hampir tidak percaya kepada matanya sendiri. Selama hidupnya ayahnya terkenal jujur dan
lurus, tidak kemaruk harta, tidak cari nama. Lalu ada perbuatan apa yang juga dianggap
berdosa" Meski dia tidak percaya, tapi juga tidak berani tidak percaya.
Ketika membaca nama Hong Sam, halaman itulah dilewatkan.
Hong Sam adalah saudaranya, sahabatnya, biarpun pernah berbuat sesuatu kesalahan juga
dapat dimaklumi, maka iapun tidak ingin tahu.
Tapi dia tidak melampaui catatan mengenai Ki Go-ceng. Dilihatnya di bawah nama Ki Goceng
tercatat keterangan: Berzinah antar kakak dan adik.
Jantung Pwe-giok seakan-akan berhenti berdenyut. Sungguh sukar dipercaya di dunia ini
ternyata ada manusia yang tidak tahu malu dan kotor begini. Tapi mau tidak mau ia harus
percaya, sebab lantas teringat olehnya putera Ki Go-ceng, yaitu Ki Cong-hoa, kalau bukan
hasil perzinahan antara kakak dan adik, manabisa melahirkan orang yang gila itu"
Tapi anehnya Ki Leng-hong dan Ki Leng-yan tidak mendapatkan bibit jahat keturunan
mereka. Padahal umumnya putera-puteri orang kerdil juga jarang yang normal. Apakah
mereka memang bukan puteri sedarah Ki Cong-hoa"
Pwe-giok jadi teringat pada lorong di bawah tanah di Sat-jin-ceng atau perkampungan
pembunuh orang itu. Di lorong rahasia itu ditemukannya sepotong batu giok, lalu teringat
pula kekasih Ki-hujin yang misterius itu. Tidak perlu disangsikan lagi orang itu jelas adalah
anggota keluarga Ji (mengenai Sat-jin-ceng dan keluarga Ki, hendaknya baca Renjana
Pendekar). 368 Apakah semua itulah rahasia pribadi "Ji Hong-ho" gadungan itu"
Pwe-giok tidak berani memikirkannya lagi, tapi ia tahu bila urusan ini tidak dibikin terang,
kelak setiap saat toh masih tetap akan teringat olehnya.
Tanpa terasa ia membalik halaman yang tercatat nama "Ji Hong-ho". Tangannya terasa
gemetaran dan jantung berdetak keras.
Dilihatnya di bawah nama "Ji Hong-ho" itu tertulis keterangan: kakak beradik tidak akur, adik
diusir sehingga menjadi bandit. Wajahnya kelihatan alim, tapi perbuatannya rendah.
Di samping terdapat pula sebaris huruf kecil yang menjelaskan "Bandit di padang pasir utara
It-koh-yan (satu gulung asap) ialah adik Ji Hong-ho, diusir sang kakak sejak kecil, akhirnya
menjadi penjahat. Sang kakak terkenal sebagai orang suci, adiknya tersohor sebagai bandit.
Sungguh lucu." Seketika tangan Pwe-giok berkeringat dingin.
Teringat olehnya waktu kecil pernah didengarnya mempunyai seorang Jicek atau paman
kedua, tatkala mana ibunya belum meninggal dunia, apabila dirinya bertanya mengenai
paman itu, sang ibu lantas marah dan menjawab, "Jicek sudah mati, sudah lama mati."
Bahkan disuruhnya selanjutnya jangan bertanya pula.
Dan baru sekarang diketahuinya sang paman tidak mati, jika demikian apakah kekasih gelap
Ki-hujin itu memang betul pamannya" Jangan-jangan Ki Leng-hong dan Ki Leng-yan adalah
puteri pamannya, hasil hubungan gelap antara sang paman dengan Ki-hujin"
Selama ini Ki Leng-hong terus berusaha melindungi dirinya, apakah lantaran di antara mereka
memang ada semacam hubungan darah dan kontak perasaan yang aneh"
Selagi Pwe-giok termenung-menung sendiri, tiba-tiba didengarnya bunyi gemertak roda
kereta. Seorang yang memakai mantel ijuk dan bertopi caping dengan mendorong sebuah
gerobak roda satu tampak muncul dari arah timur.
Dalam kegelapan tidak kelihatan barang apa yang termuat di atas gerobak itu, tapi dari jauh
sudah tercium bau obat-obatan, jadi muatan gerobak itu kebanyakan adalah bahan obatobatan.
Jalanan di daerah Sujwan memang tidak datar, tapi banyak liku jalan pegunungan yang sukar
dilalui kereta dan kuda. Hanya gerobak roda satu beginilah yang paling leluasa didorong kian
kemari. Di daerah pegunungan Sujwan juga banyak menghasilkan bahan obat-obatan, maka
pedagang obat di berbagai daerah kebanyakan adalah orang Sujwan.
Orang dengan gerobak roda satu ini tidak ada sesuatu yang istimewa, jika orang lain tentu
takkan menaruh perhatian. Tapi Pwe-giok justeru merasa orang ini dan gerobaknya perlu
dicurigai. Dari suara roda kereta dapat diketahuinya barang muatan gerobak itu cukup berat, padahal
umumnya bobot bahan obat-obatan sangat ringan.
369 Curah hujan di daerah Sujwan sangat sedikit, tapi orang ini justeru memakai mantel ijuk yang
biasanya cuma dipakai kalau hari hujan, meski mendorong kereta seberat ini, namun
langkahnya sangat cepat dan enteng, tidak kelihatan makan tenaga.
Saudagar obat-obatan biasanya juga suka berkelompok, tapi orang ini menempuh perjalanan
seorang diri, bahkan kini sudah jauh malam dan dia masih meneruskan perjalanannya.
Semua ini cukup menimbulkan curiga. Hanya saja saat ini Pwe-giok tidak sempat memikirkan
orang lain. Sedangkan tukang gerobak itupun sedang mendorong dengan kepala tertunduk dan
tidak memperhatikan anak muda itu.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari kejauhan bergema pula derap kaki kuda lari yang
riuh, hanya sekejap saja, suara itu sudah mendekat, nyata kuda ini berlari dengan sangat cepat.
Pwe-giok terkejut oleh suara derap kaki kuda yang cepat itu, dalam kegelapan malam yang
sunyi, suara kaki kuda ini kedengarannya sangat menusuk telinga. Namun si tukang gerobak
tadi ternyata tidak angkat kepala dan juga tidak berpaling, seperti orang yang tidak mendengar
apa-apa. Tampak seekor kuda membedal dengan cepat, kira-kira masih tiga tombak jauhnya serentak si
penunggang kuda melayang dari pelana kuda dan sekali berjumpalitan di udara, seperti
burung seriti menerobos hutan, dengan tepat ia hinggap di depan si tukang gerobak.
Kuda yang ditinggalkannya itu meringkik nyaring dan berhenti seketika.
Diam-diam Pwe-giok memuji, "Orangnya cekatan, kudanya tangkas!"
Tapi si tukang gerobak seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi, ia masih terus mendorong
gerobaknya ke depan dengan tunduk kepala.
Padahal si penunggang kuda tepat menghadang di tengah jalan, tampaknya gerobak itu segera
akan menumbuknya, namun dia tetap tidak bergerak sedikitpun, sungguh tenang dan tabah
luar biasa. Sekarang dapat dilihat Pwe-giok potongan badan penunggang kuda itu pendek lagi gemuk,
sehingga mirip sebuah bola. Pada punggungnya justru menyandang sebatang pedang yang
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
amat panjang, bentuknya menjadi rada lucu.
Namun sikapnya ternyata luar biasa, dia hanya berdiri di situ, seketika timbul semacam
wibawa yang membikin orang jeri dan tidak berani menghinanya.
Meski tidak dapat melihat jelas mukanya, tapi diam-diam Pwe-giok sudah dapat menduga
siapakah orang buntak ini.
Ketika gerobak yang didorongnya itu persis hampir menyentuh tubuh orang, barulah
mendadak dihentikan, begitu cepat berhentinya seperti halnya rem pakem pada kendaraan
bermesin jaman kini. Padahal muatan gerobak itu sangat berat, tapi baginya ternyata tidak ada
artinya, sekali mau berhenti segera berhenti.
370 Baru sekarang si penunggang kuda menengadah dan bergelak tertawa, serunya. "Hahaha,
mengapa Auyang-pangcu telah berganti usaha menjadi saudagar obat-obatan " Wah, inilah
baru berita !" Kiranya si tukang gerobak adalah Auyang Liong, pemimpin besar ke 72 kelompok bajak di
perairan Tiangkang. Orang ini sudah pernah dilihat Pwe-giok sewaktu rapat di Hong-ti, cuma
sekarang pentolan bajak ini memakai topi dan jas hujan, sehingga wajah aslinya tertutup, tadi
Pwe-giok juga merasa orang seperti sudah pernah dikenalnya, cuma tidak ingat siapa dia.
Begitulah terdengar Auyang Liong sedang menjawab dengan tertawa, "Tajam benar
pandangan Hi-tocu, kagum, kagum !"
Dia mendorong capingnya ke atas, lalu menyambung pula. "Hi-tocu sendiri tidak memancing
ikan saja di lautan selatan, tapi jauh-jauh lari ke sini, memangnya ada pekerjaan apa"
Memangnya jabatan pemimpin besar lautan selatan juga sudah ditinggalkan Hi-tocu dan
sekarang telah berganti jenis usaha?"
Benar juga, Pwe-giok tidak salah lihat, si buntak ini memang betul gembong bajak laut di
daerah selatan, terkenal sebagai Hui-hi-kiam-khek atau si pendekar pedang ikan terbang,
namanya Hi Soan. Kedua orang ini sama-sama bajak, yang satu bajak laut, yang lain perompak sungai, tapi
sekarang keduanya bertemu di daratan sini. Jelas ini tidak terjadi secara kebetulan, diam-diam
Pwe-giok merasa heran. Barang apakah muatan gerobak Auyang Liong itu" Sesungguhnya ada usaha apakah di antara
mereka" Pwe-giok memang bersembunyi di balik batu yang teraling dari tiupan angin, sebab itulah
meski dia menyalakan api unggun juga tidak diketahui oleh kedua orang itu, apalagi sekarang
api unggun itu sudah mulai padam.
Terdengar Hi Soan berkata lagi, "Kedatanganku dari jauh ini, masakah Pangcu tidak tahu apa
sebabnya?" "Memang tidak tahu, mohon penjelasan, "jawab Auyang Liong.
"Pangcu sendiri datang untuk apa, untuk urusan yang samalah ku datang, kenapa Pangcu
berlagak pilon?" kata Hi Soan dengan tertawa.
Auyang Liong berdiam sejenak, mendadak ia mengeluarkan semacam barang dan berkata,
"Apakah Hi-tocu juga menerima barang ini " "
Yang terpegang di tangan Auyang Liong hanya sehelai kartu undangan saja, dengan
kedudukan mereka, biarpun setiap hari menerima kartu undangan juga tidak mengherankan,
tapi anehnya tangan Auyang Liong yang memegang kartu undangan itu justru rada gemetar
seperti orang ketakutan. Setelah melihat kartu undangan itu, tertawa Hi Soan seketika pun lenyap, jawabnya sambil
menghela napas, "Betul, tahun ini akupun tertimpa sial."
371 "Hahaha!" Auyang Liong tertawa. "Tahun ini Hu-patya berusia 70 tahun, jauh-jauh beliau
mengirim undangan ke laut selatan, hal ini kan suatu kehormatan besar bagi Hi-heng, kenapa
malah kau katakan sial?"
Hal ini juga yang membuat Pwe-giok heran. Bahwa orang mengirim kartu undangan padanya,
hal ini menunjukkan orang yang diundang itu cukup luas bergaul, biarpun perjalanan terlalu
jauh dan tidak dapat hadir sendiri, kan dapat mengutus orang dengan membawa kado sekedar
tanda hormat. Padahal gembong kang-ouw seperti mereka ini masakah perlu hemat sedikit
kado" Tapi dari suara tertawa Auyang Liong yang penuh rasa bersyukur itu, rasanya seperti orang
yang dekat ajalnya mendadak menemukan seorang pengiring yang akan masuk kubur
bersama. Hal ini benar-benar membikin Pwe-giok tidak habis mengerti.
Terdengar Hi Soan tertawa ngekek, katanya, "Betul juga ucapan Pangcu, undangan Hu-patya
memang harus kuterima sebagai suatu kehormatan, hanya saja, sudah dua bulan ini kucari
kian kemari dan belum menemukan suatu kado yang sekiranya cocok. Coba, bagaimana
baiknya kalau menurut pendapat Pangcu?"
Pwe-giok bertambah heran. Mengirim kado adalah tanda persahabatan, asalkan kirim,
bagaimanapun bentuk kado itu, tentunya takkan ditolak oleh si penerima. Apalagi emas perak,
batu permata, benda antik, bahan baju dan makanan, semuanya juga dapat dijadikan sebagai
kado. Masakah Hui-hi-kiam-khek yang terkenal kaya raya sampai mengalami kesukaran
mencari kado, hal ini sukar untuk dipercaya bagi siapapun yang mendengarnya.
Auyang Liong lantas mendengus, "Hi-tocu dikenal setiap orang kangouw sebagai hartawan
dan tokoh berpengaruh, kalau mengaku sukar mendapatkan kado, alasan ini apakah tidak
lucu?" Hi Soan termenung sejenak, mendadak ia tanya, "Pernahkah Pangcu mendengar orang yang
bernama The Hian?" "Maksudmu apakah The-tocu dari Ci-sah-to sahabat karib Hi-tocu sendiri?" tanya Auyang
Liong. "Meski pengetahuan Cayhe kurang luas, tapi kalau nama The-tocu saja pernah
kudengar." "Dan tahukah kau cara bagaimana kematiannya?" tanya Hi Soan pula.
Auyang Liong melengak, sahutnya, "Apakah The-tocu meninggal sakit?"
Jilid 13________ "Dia cukup sehat, sepanjang tahun tidak pernah sakit, masuk angin saja tidak pernah, mana
bisa sakit?" "Kalau bukan meninggal sakit, habis..... apakah....apakah terbunuh orang?" tanya Auyang
liong dengan ragu. 372 "Betul, dia mati terbunuh," jawab Hi Soan. "Padahal senjata The-tocu, sepasang Ji-goat lun
(gada bulan dan matahari) konon adalah ajaran langsung mendiang Tonghong-sengcu, selama
berpuluh tahun tidak pernah ketemu tandingan, siapa ada yang mampu membunuhnya?"
"Siapa lagi kalau bukan Hu-patya!" sahut Hi Soan.
Seketika air muka Auyang Liong berubah pucat dan tidak bersuara lagi.
Hi soan berucap pula, "Tahun yang lalu waktu Hu patya merayakan ulang tahun, kartu
undangannya tersebar ke Ci-sah-to, karena itu The Hian lantas bekerja giat, dia menyelam ke
dasar laut selama tiga hari dan barulah didapatkan setangkai bunga karang setinggi tiga kaki,
Diam-diam ia bergirang ia anggap kadonya ini umpama tidak dapat melebihi orang lain,
sedikitnya akan dapat memuaskan Hu-patya."
"Oo!" Auyang Liong terkesiap.
"Seterima kado itu, Hu-patya tidak memberi komentar apapun, ia hanya membawa The Hian
ke sebuah kamar, didalam kamar itu tidak ada barang lain, isinya melulu bunga karang, setiap
bunga karang sedikitnya lima kaki tingginya," Hi Soan menghela nafas, lalu menyambung,
"Melihat itu, hati The Hian terasa dingin, benarlah, setetes arak saja Hu-patya tidak
memberinya minum, tapi langsung mengantar dia angkat kaki, malahan beliau sendiri yang
mengantar The Hian hingga jauh ke luar kota.
"O, dan kemudian bagaimana?" tanya Auyang Liong.
"Kemudian The hian langsung pulang ke rumah. tapi begitu sampai dirumah dia lantas
tumpah darah dan roboh, sampai dia sendiripun tidak tahu mengapa bisa terluka. Ia hanya
ingat waktu Hu-patya hendak berpisah setelah memberi soja (hormat dengan kedua kepalan di
depan dada) dan saat itu juga dia merasa dadanya rada panas."
"Berapa hari dia hari sampai....sampai dirumah?" tanya Auyang Liong.
"Tujuh hari, daerah yang ditumpahkannya hampir sebaskom penuh dan malam itu juga dia
meninggal." Auyang Liong berdiam sejenak dengan wajah kelam, gumamnya kemudian, "Lihay benar
Pek-poh-sin-kun (pukulan sakti seratus langkah), bukan saja dapat mencelakai orang tanpa
kelihatan dan baru kambuh lukanya setelah lewat tujuh hari. Tampaknya nama kebesaran Hupatya
memang bukan omong kosong belaka."
"Setiap orang Kangouw sama tahu ilmu pukulan sakti Hu-patya tiada tandingannya," kata Hi
Soan dengan gegetun. "siapapun tahu bila ada yang mengirim kado tidak cocok dengan
seleranya, maka sukarlah terhindar dari suatu pukulannya, apa yang tersiar ini tidak omong
kosong." Seketika Auyang Liong memandang, menatap di atas gerobaknya dan tidak dapat bersuara
lagi. "Karena sudah ada contoh yang terjadi di atas diri The Hian, maka kado yang harus ku
sediakan tahun ini tidak dapat sembarangan kukirimkan kata Hi Soan pula. "Begitu menerima
373 kartu undangannya, segera ku mulai mencari dan sampai saat ini belum lagi mendapatkan
kado yang sekiranya dapat memuaskan hati Hu-patya. Padahal hari ulang tahun Hu-patya
sudah dekat, coba bagaimana baiknya kalau menurut pendapat Pangcu?"
Baru sekarang Pwe-giok paham duduknya perkara, diam-diam iapun merasa serba runyam, di
dunia ini memang tidak sedikit orang mencari keuntungan pada saat-saat tertentu, seperti
ulang tahun, perkawinan dan hajat lain, tapi cara Hu-patya yang bertindak sewenang-wenang
ini sungguh jarang terdengar, caranya ini jelas jauh lebih ganas dan kejam daripada kaum
perampok dan pembegal di tengah jalan.
Iapun tahu Pek-poh-sin-kun adalah ilmu pukulan Siau-lim-pay yang tidak diajarkan kepada
orang lain, jadi Hu-patya ini mungkinkah murid Siau-lim-si dari keluarga orang preman"
Hi Soan dan Auyang Liong adalah tokoh kelas satu di dunia Kangouw, kalau merekapun
sedemikian ketakutan, dengan sendirinya Hu-patya yang dimaksudkan itu bukanlah tokoh
sembarangan, Tapi seketika Pwe-giok tidak ingat siapakah gerangan Hu-patya ini"
Dilihatnya Auyang Liong terdiam sekian lamanya, katanya kemudian dengan perlahan.
"Betapa tertekan perasaan Tosu saat ini dapat juga kurasakan, cuma saja, menjaga diri sendiri
saja sukar, terpaksa aku tidak dapat memberi bantuan apa-apa kepada Tocu."
Gemerdep sinar mata Hi Soan, iapun sedang mengawasi barang muatan di atas pedati,
jengeknya, "Jika demikian jadi Pangcu juga belum berhasil mendapatkan kado yang sesuai?"
Auyang Liong menyengir, ucapnya, "Kado sih sudah ku sediakan, cuma tidak diketahui
apakah memenuhi selera Hu-patya atau tidak."
"Ah, janganlah Pangcu berkelakar," ujar Hi Soan dengan tertawa. Mendadak ia berhenti
tertawa, lalu melototi Auyang Liong, katanya pula, "Di depan kaum ahli tidak perlu omong
kosong. Kalau saja kado Pangcu tidak dapat memenuhi selera Hu-patya, lalu kado siapakah
yang dapat memuaskan beliau?"
Seketika air muka Auyang Liong berubah, katanya, "Memangnya kau sudah tahu kado apa
yang hendak kupersembahkan kepada Hu-patya?"
"Ya, tahu sekedarnya," ucap Hi Soan dengan tenang.
"Jadi sepanjang jalan kau selalu mengintai di belakangku?" bentak Auyang Liong.
"Sepanjang jalan telah dilalui Pangcu dengan aman dan tenteram, sampai di sini satu maling
kecil saja tidak ku pergoki, barangkali inilah kemahiran Pangcu menyembunyikan dan
mengelabuhi mata orang," kata Hi Soan. Dia menengadah dan tergelak, lalu sambungnya.
"Padahal, biarpun seorang maling kecil yang masih hijau juga dapat melihat barang muatan
pedatimu pasti bukan bahan obat-obatan segala....Haha, di dunia ini mana ada bahan obatobatan
seberat ini?" Mendadak Auyang Liong mendengus, "Hmmm.. seumpama ada sementara maling kecil yang
lamur dan bermaksud mengincar barang muatan pedati ini, rasanya juga aku tidak perlu takut
padanya. 374 "Eh, tahulah Pangcu bahwa sepanjang jalan orang she Hi telah banyak membantu mengawasi
Pangcu ke sini, entah berapa banyak penjahat yang sedikitnya juga sudah berkeringat...." dia
tertawa lalu melanjutkan, "makanya kedatanganku ini adalah ingin minta sekedar persen pada
Pangcu, tentunya takkan Pangcu tolak bukan?"
Sekalipun Auyang Liong ini seorang tolol juga sekarang dapat menangkap apa maksud
ucapan Hi Soan itu. Sekarang dia lantas bersabar malah, jawabnya kemudian, "O, jangan-jangan yang dikehendaki
Tocu adalah gerobak ini?"
Hi Soan menghela nafas, katanya, "Kalau kukatakan memang rikuh, soalnya memang
terpaksa." "Baik, akan kuberikan kepadamu," kata Auyang Liong, mendadak ia mendorong gerobaknya
ke depan, langsung menumbuk Hi Soan.
Namun sebelumnya Hi Soan sudah berjaga akan kemungkinan ini, sebelum tertumbuk dia
sudah melompat ke atas lebih dulu, "creng", pedang segera dilolosnya. Di tengah
gemerdepnya sinar pedang, segera ia menusuk Auyang Liong.
Hui hi kiam khek, si pedang ikan terbang, sudah lama terkenal sebagai jago pedang paling
cepat di lautan selatan, serangan ini sungguh cepat luar biasa, reaksinya cepat, caranya
meloloskan pedang juga cepat, serangan yang dilancarkan terlebih-lebih cepat.
Tapi Auyang Liong sempat mendak ke bawah, sekali tangan menarik, mantel ijuk yang
dipakainya terus menyambar ke depan untuk menangkis tusukan pedang Hi Soan.
Kiranya mantel ijuk yang dipakaiannya ini bukanlah ijuk sungguh-sungguh melainkan terbuat
dari benang emas hitam dan tidak mempan ditembus senjata, inilah senjata andalannya yang
sudah terkenal, untuk menyerang senjatanya ini mungkin agak lamban, tapi untuk berjaga
boleh dikatakan sangat efektif.
Maka terdengarlah suara "creng-cring" beberapa kali, lelatu api meletik ketika ujung pedang
bersentuhan dengan mantelnya.
Waktu Auyang Liong memutar mantelnya, dengan dahsyat ia sabet ke arah Hi Soan, serentak
di bawah mantel itupun memancar berpuluh bintik cahaya, langsung menyerang dada lawan,
dibalik mantelnya tersembunyi pula senjata rahasia sungguh serangan yang keji dan sangat
lihay, sejak Auyang Liong terkenal, belum pernah ada lawan yang sanggup menghindarkan
serangan ini. Siapa tahu, mendadak bayangan orang berkelebat, kembali Hi Soan mengapung lagi ke atas
sinar pedang melingkar di udara, tahu-tahu ia sudah berada di belakang Auyang Liong. Inilah
gerakan "ikan terbang" andalan Hi Soan.
Dalam keadaan demikian, sudah terlambat bagi Auyang Liong untuk membalik tubuh, sinar
pedang sudah terbenam dipunggungnya, tokoh perairan ini memang tidak seharusnya
meninggalkan air, kalau ikan meninggalkan air jelas akan mati di daratan.
375 Sungguh Pwe-giok tidak nyana, tidak sampai tiga jurus Auyang Liong sudah tewas di bawah
pedang Hi Soan, padahal ia sendiri belum lagi mengambil keputusan apakah mesti ikut
campur urusan ini atau tidak dan tahu-tahu Auyang Liong sudah mati.
Dilihatnya Hi Soan lagi mencabut pedangnya sambil menghela nafas panjang, gumamnya,
"Auyang pangcu, sebenarnya dia tidak ingin kubunuh kau, tapi kalau tidak kubunuh kau
berarti aku sendiri yang harus mati. Jadi janganlah kau sesalkan diriku, yang harus disesalkan
ialah Hu-patya...." Sembari bergumam ia terus siap mendorong gerobak roda satu tadi.
Pada saat itulah mendadak seorang berseru, "Kawan satu haluan asal melihat mendapat
bagian, Mayat bagianmu, gerobak serahkan padaku!"
Suaranya lantang, kedengarannya masih jauh, tapi begitu kata terakhir terucapkan, tahu-tahu
orangnya sudah berada di depan Hi Soan, sampai Hi Soan sendiri tidak tahu cara bagaimana
orang muncul di situ. Hanya terdengar suara "tring-tring" dua kali, suara nyaring seperti bunyi
keleningan dan orang itupun sudah berada di depannya seakan tumbuh dari bawah tanah.
Pwe-giok tidak dapat melihat air muka Hi Soan hanya diketahuinya bahwa melihat orang ini,
seketika tubuh Hi Soan seolah-olah lantas mengkeret sebagian, menegakkan leher saja tidak
berani, apalagi membusungkan dada.
Gerak tubuh orang ini sangat cepat, tapi perawakannya tinggi besar, cuma bagian punggung
membonggol, ternyata dia seorang bungkuk.
Melihat sikap Hi Soan yang ketakutan itu serta melihat bentuk tubuh orang bungkuk ini,
mendadak Pwe-giok ingat pada semboyan yang pernah didengarnya: "Apabila keleningan
unta berbunyi, jiwa akan melayang seketika". Jangan-jangan orang ini adalah "Hui-toh" (unta
terbang) It Kun, seorang tokoh yang sederajat dengan Lo-cinjin, Oh-lolo dan lain-lain.
Dilihatnya Hi Soan tetap menyapa dengan mengiring senyum, "Sudah belasan tahun It-cinjin
tidak pernah muncul di daerah Tionggoan, beruntung hari ini dapat berjumpa, sungguh
beruntung....." Tapi It Kun sama sekali tidak menggubrisnya sorot matanya yang tajam terus mengincar
muatan di atas gerobak roda satu itu.
Hi Soan berusaha mengalingi gerobak itu, kalau bisa gerobak itu akan disulapnya menjadi
kecil dan disembunyikannya.
Mendadak It Kun melayang ke dekat gerobak, sekali tangannya bekerja, barang muatan di
atas gerobak diobrak-abriknya sehingga kelihatanlah sebuah kotak besi.
Mata Hi Soan seakan-akan menyemburkan api, tapi dia tidak berani merintangi perbuatan
orang. Terlihat It Kun telah mengangkat kotak besi itu dan dibuka, dipandangnya sekejap isi kotak,
lalu menengadah dan terbahak-bahak, katanya. "Hahahaha! Bagus, bagus...."
376 "Hehe, tidak bagus, tidak bagus!..." Hi Soan menukas, "Isinya cuma beberapa potong patung
batu saja, dimana kebagusannya belum lagi kau ketemukan, masa It-cinjin tertarik oleh
beberapa potong batu ini?"
"Jika kau bilang tidak bagus, boleh kau berikan padaku saja," ujar It Kun dengan tertawa.
Hi Soan jadi melengak, ia tidak dapat mengelak lagi, tapi berkata dengan gelagapan, "Barangbarang
ini tidak berharga, apabila...apabila It Cinjin suka, biarlah lain hari ku pesankan
beberapa pasang patung perempuan cantik ukiran ahli pahat terkenal di kota raja, kujamin
pasti jauh lebih indah dan bernilai daripada beberapa potong orang-orangan batu ini."
"Tidak, aku tidak suka barang lain, hanya menyukai beberapa patung ini," kata It Kun dengan
Jaka Lola 8 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Rahasia Istana Terlarang 3