Pencarian

Keajaiban Negeri Es 1

Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung Bagian 1


"1 ___________________________________________________________________________
Bab 1 ... Rahasu, negeri yang hendak dituju oleh Liok Siau-hong terletak di selatan Siang-hoa-kang,
sungai bunga cemara. Sungai yang terletak di ujung utara, berbatasan dengan daerah yang kini
dikenal sebagai Siberia. Arti Rahasu adalah Lau-ok atau rumah tua, suatu tempat dingin dan
terpencil, setiap tahun bila sudah menginjak bulan kesembilan, sungai itu lantas beku, sampai
Jing-beng pada bulan keempat tahun berikutnya barulah air sungai akan cair lagi. Sungai
terbeku selama tujuh bulan, jadi selama setahun sungai itu lebih lama dalam keadaan beku
daripada cair. Akan tetapi selama tujuh bulan itu tidaklah menyusahkan. Sesungguhnya, penduduk Lau-ok
malahan selalu menantikan masa bekunya sungai selama tujuh bulan itu, sebab dalam jangka
waktu selama itu kehidupan mereka justru akan lebih menarik, lebih banyak gaya ragamnya.
"Sesungguhnya dimana letak Rahasu?" "Di atas Siong-hoa-kang." "Masa di atas sungai ada
kota?" "Bicara sesungguhnya, letaknya tidak di atas sungai, tapi di atas es."
"Di atas es?" Siau-hong tertawa oleh keterangan Jo-jo itu. Meski sudah sangat banyak
pengalamannya yang aneh-aneh, tapi kota di atas es belum pernah dilihatnya.
Orang yang tidak pernah berkunjung ke Rahasu memang sulit untuk mempercayai hal ini.
Tapi Rahasu memang betul-betul terletak di atas es.
Permukaan sungai itu tidak terlalu luas, cuma dua-tiga puluh tombak saju, tapi pada waktu air
sungai membeku, tebal esnya belasan kaki.
Orang yang sudah lama berdiam di 'rumah tua' itu kebanyakan mempunyai firasat sebelumnya
bilamana sungai akan membeku, Seakan Ikan dari hembusan angin sudah dapat tercium berita
akan terbekunya air sungai, dari alunan air sungai pun dapat diketahui waktunya air sungai
akan membeku. . Maka beberapa hari sebelum sungai membeku, penduduk lantas melemparkan kerangka kayu
yang sudah disiapkan ke dalam sungai dan diikat erat-erat dengan tali sehingga serupa
2 imigran zaman purba membuat batas wilayah masing-masing di ladang belukar. Setelah air
sungai membeku, permukaan sungai lantas berubah menjadi sebuah jalan raya kristal yang
panjang lengang dan bercahaya kemilau.
Saat itu kerangka kayu yang semula terapung di permukaan sungai juga terbeku dan seakanakan
tonggak beton yang kuat. lalu di atas kerangka kayu ditambah dengan belandar, usuk
dan diberi alap dan bergeming, dapat juga dibuat dinding dengan pasir diaduk air, cukup
semalam saja bangunan baru inipun akan mengeras serupa batu.
Dan begitulah beraneka macam rumah lantas berderet-deret dibangun di atas sungai, hanya
dalam waktu beberapa hari saja tempat ini pun berubah menjadi sebuah kota yang sangat
ramai, bahkan kereta besar ditarik delapan kuda juga dapat berlarian di jalan raya
Berbagai toko dengan aneka macam usaha juga mulai buka. Meski di luar rumah suhu sangat
dingin, air menetes segera beku menjadi es. namun di dalam rumah terasa hangat seperti pada
musim semi. Tentu saja Siau-hong tidak mengerti dan merasa seperti dongeng saja, sementara di dalam
rumah es itu masa hawa bisa sehangat musim padahal di luar tetesan air saja segera membeku,
hidung pun bisa terlepas bila ditarik.
"Sebab dalam rumah dapat dihuni api," demikian Jo-jo bertutur.
"Membuat api di atas es?"
"Betul" "Dan esnya bagaimana?"
"Esnya tetap es, sedikit pun tidak cair."
Maklumlah, kalau dimana-mana es melulu, meski setitik bagian es itu cair, dengan segera
akan beku lagi. Dan sungai yang membeku itu baru akan cair pada musim Jing-beng tahun berikutnya,
sebelum itu orang sudah pindah 'rumah" ke daratan. Yang tersisa cuma kerangka kayu dan
barang tak berguna yang ikut terhanyut oleh gumpalan es.
Maka kota yang ramai di atas es itu pun lenyap dalam waktu singkat sehingga serupa dalam
dongeng atau impian saja.
Dan sekarang adalah waktunya sungai membeku, sesungguhnya saat ini juga merupakan
waktu yang paling dingin dalam setahun. Dan pada saat inilah Liok Siau-hong tiba di Rahasu.
Dengan sendirinya dia tidak datang sendirian, sebab kedudukannya sekarang sudah berlainan,
bahkan wajahnya juga sudah berubah.
Kecuali kumisnya yang serupa alis itu, di bawah janggutnya bertambah lagi secomot jenggot.
Perubahan ini tidak terlalu besar bila terjadi pada orang lain, Tapi bagi Liok Siau-hong tentu
saja tidak sama, sebab semula dia adalah orang yang "beralis empat". sekarang cirinya yang
khas itu telah ditutup oleh kelebihan secomot jenggot itu.
Dengan demikian kelihatannya dia telah berubah jadi orang lain, berubah menjadi Kah Loksan,
itu hartawan yang paling kaya-raya di daerah Kanglam.
Biasanya lagak Siau-hong memang bukan orang kecil, apalagi sekarang ia membawa
serombongan pengiring, membawa mantel kulit yang bernilai tinggi dan berada di dalam
kereta besar yang mewah, kelihatannya memang benar seorang maha hartawan.
Dan Jo-jo yang cantik, dengan memakai mantel berbulu perak, seperti seekor merpati yang
jinak berdekapan di sampingnya.
Anak perempuan ini kadang suka gila-gilaan, angin-anginan, terkadang justru sangat jinak,
sangat penurut. Bahkan terkadang seperti setiap saal siap akan naik ranjang bersamamu. Tapi
bilamana engkau benar-benar hendak menyentuhnya, seketika dia akan ber ubah menjadi
mawar berduri yang menyakiti jarimu. Liok Siau-hong juga tidak terkecuali menghadapi nona
ini, sebab itulah selama beberapa hari ia selalu masgul. Maklum, Liok Siau-hong adalah
seorang lelaki normal dan sehat, jika siang dan malam selalu dirangsnag o]eh anak perempuan
3 secantik ini, tapi pada waktu dia membutuhkan, terpaksa dia hanya melongo memandang
langit, tentu saja hatinya kesal tak keruan.
Dalam pada itu, Swe-han-sam-yu masih menguntit dari kejauhan dan tidak pernah
mengganggu kebebasannya. Satu-satunya tujuan mereka hanya berharap Liok Siau-hong
dapat menemukan Lo-sat-pay bagi mereka, untuk itu apakah Liok Siau-hong akan berubah
menjadi Kah Lok-san atau berubah menjadi Kau-ce-thian juga masa bodoh, sama sekali
mereka tidak peduli. Dipandang dari kejauhan, jalan raya kristal yang kemilau itu sudah terlihat jelas.
Jo-jo menghela napas perlahan, katanya, "Perjalanan ini akhirnya dapatlah kita selesaikan."
Siau-hong juga menghela napas, ia tahu betapa sulit dan panjangnya perjalanan, pada suatu
saat akhirnya pasti akan tercapai. Kini melihat tempat tujuan sudah di depan mata, hatinya
terasa gembira sekali. Pengendara kereta juga lantas bersemangat dan mempercepat lari kudanya, hidung kuda
menyemburkan kabut dan buih putih mengucur dari mulut.
Dari jauh kelihatan deretan rumah di sepanjang jalan raya kota es itu.
Tidak lama kemudian, malam pun tiba.
Di negeri yang jauh dan dingin ini. malam seolah-olah datang terlebih cepat dan sangat
mendadak. Jelas tadi senja belum lagi tiba, tahu-tahu cuaca sudah gelap dan malam
menyelimuti bumi. Jalan raya kristal yang kemilau itu pun berubah kelam, maka lampu lantas menyala di kanan
kiri jalan, kota yang kelihatan tenggelam dlaam kegelapan mendadak berubah menjdai gilang
gemilang lagi. Cahaya lampu menimpa permukaan es dan menimbulkan sinar pantul yang menyilaukan
sehingga tampaknya kota itu penuh istana kristal yang berderet-deret di atas dunia kaca.
Barang siapa pertama kali melihat pemandangan seperti ini tentu akan silau dan terpesona.
Siau-hong tidak terkecuali.
Sepanjang jalan dia sudah banyak merasakan pahit getir, bahkan beberapa kali nyawanya
hampir melayang. Tapi dalam sekejap ini, tiba-tiba ia merasa segala macam penderitaan itu
cukup berharga baginya. Kalau sang waktu dapat diputar balik dan mengembalikan dia ke
kasino 'pancing perak, sana dan dia disuruh memilih, maka tanpa sangsi dia bersedia
mengulanginya satu kali lagi.
Pengalaman yang pahit dan sulit bukankah dapat menambah bekal kehidupan manusia dan
membuatnya lebih masak"
Agar dapat menemukan kegembiraan dan kebahagiaan yang sesungguhnya, bukankah harus
membayar imbalannya dengan jerih payah"
Liok Siau-hong menghela napas perlahan, katanya kemudian. "Sungguh kota yang ajaib dan
indah." Jo-jo hanya mengiakan dengan tersenyum.
Pasar malam kota es ini sama ramainya dengan kota-kota di tempat lain. Di bawah cahaya
lampu yang gilang-gemilang, biar pun bagian yang paling ramai di kotaraja juga tidak dapat
melebihinya. Jalan raya tidak sempit dengan macam-macam toko di kedua tepi jalan, orang berlalu lalang
dengan kereta kuda yang hilir-mudik. suara hiruk-pikuk berkumandang dan rumah minum
dan restoran. Setiba di jalan ini, yang menarik perhatian Siau-hong pertama-tama adalah sebuah rumah
minum (arak) dengan papan merek yang tertulis 'Thay-pek-ih-hong' atau warisan Thay-pek
(Li Thay-pek penyair besar yang gemar minum arak), di depan pintu rumah minum itu berdiri
seorang nona berbaju kulit dan sedang memandangnya dengan tersenyum-senyum.
4 Nona ini tidak terlalu cantik, tapi sangat manis senyumannya dan menggiurkan. Mukanya
yang bulat dengan dekiknya waktu tersenyum sungguh sangat menarik, nona ini terus
menatap Liok Siau-hong dengan lirikan matanya yang memikat.
Tiba-tiba Jo-jo menjengek, "Tampaknya dia tertarik padamu."
"Hakikatnya aku tidak kenal dia," ujar Siau-hong.
"Dengan sendirinya tidak kau kenal dia, tapi kukenal dia," kata Jo-jo.
"Oo"!" Siau-hong ingin tahu.
"Dia she Tong, lengkapnya Tong Ko-king, setiap orang merasa dia sangat menarik dan dapat
didekati, tampaknya kau pun tidak terkecuali.
Siau-hong tertawa. "Agaknya tak sedikit pengetahuanmu atas dirinya."
"Tentu saja." sahut Jo-jo.
"Tapi dia seperti tidak kenal dirimu?"
Jo-jo berkedip-kedip, katanya, "Coba kau terka, cara bagaimana kukenal dia?" "Aku tidak
dapat menerka, juga malas untuk menerka," kata Siau-hong
"Cara bekerja Kah Lok-san biasanya sangat cermat," tutur Jo-jo. "Sebelum kemari, lebih dulu
mereka berempat sudah diselidikinya dengan jelas, bahkan minta orang melukiskan wajah
mereka." Siau-hong berkerut kening, "Memangnya nona ini juga salah seorang dari keempat
perempuan yang dibuang oleh si jenggot biru?"
Jo-jo mengangguk, "Ya, dia terhitung bini muda kedua si jenggot biru."
Tanpa terasa Siau-hong berpaling memandangnya lagi, tetapi ada seorang perempuan lain,
yang terlihat olehnya. Perempuan ini baru saja keluar dari toko obat di seberang sana dan masuk ke rumah minum
Tong Ko-king, berbaju hitam dan berperawakan kurus kecil, mukanya selalu dingin dan
bersungut, serupa setiap orang di dunia ini sama berhutang padanya dan tidak membayar.
Cara bagaimana pun memandangnya jelas perempuan ini bukanlah perempuan yang
menimbulkan simpatik. Tapi dia justru sangat menarik perhatian, dia dan Tong Ko-king jelas
dua jenis model perempuan yang berbeda, tapi keduanya justru bersahabat, bahkan tampaknya
sangat karib. "Apakah kau pun menaksir perempuan ini?" tanya Jo-jo. "Aku kan tidak kenal dia?" Siauhong
menyengir. "Tapi aku kan kenal dia," kata Jo-jo. "Memangnya dia juga...."
"Ya, dia juga bini muda si jenggot biru, bini muda ketiga, she Leng dan bernama Hong-ji."
Siau-hong menghela napas. "Si jenggot biru sungguh seorang aneh, setelah dia mengambil
bini muda semanis Tong Ko-king, mengapa menambah lagi bini muda yang bermuka dingin
begini?" "Orang bermuka dingin tentu juga ada baiknya." ucap Jo-jo dengan hambar. "Jika tidak
percaya, kalau ada kesempatan boleh kau coba-coba dia."
Tanpa terasa Siau-hong menoleh lagi ke sana, tapi yang terlihat olehnya adalah dua orang
lelaki menggotong seorang yang patah kakinya ke depan toko obat sana dan sedang berteriak,
"Adakah tabib Leng di rumah" Mohon memberi pertolongan, lekas!"
Kiranya Leng Hong-ji itu adalah seorang tabib ahli penyakit luar, juga juragan toko obat itu
sendiri. Siau-hong tertawa, katanya, ?"Sungguh tak kusangka, dia ternyata masih mempunyai
kepandaian demikian."
"'Tidak cuma demikian saja, dia masih mempunyai beberapa kepandaian lain," jengek Jo-jo.
Siau-hong tak dapat bicara lagi. Ia merasa di dunia ini mungkin ada perempuan yang tidak
makan nasi, tapi pasti tidak ada perempuan yang tidak minum cuka (cemburu).
Tapi Jo-jo lantas tertawa, ucapnya sambil berkedip. "Padahal, di antara keempat bini muda si
jenggot biru, yang paling cantik tetap bini pertama, Tan Cing-cing."
"Tan Cing-cing"
5 Liok Siau-hong pernah mendengar nama ini.
"... Kebanyakan penduduk Rahasu berpikiran sempit, selalu mencurigai setiap pendatang
baru. kecuali dua orang, apa yang dikatakan siapa pun jangan kau percaya ... yang seorang
bernama si Kambing tuat bekas pegawai mendiang ayahku, dan seorang lagi bernama Tan
Cing-cing ..." Begitulah ia lantas teringat kepada pesan Ting-hiang-ih tempo hari. Sungguh tak tersangka
olehnya bahwa Tan Cing-cing juga bini si Jengot Biru.
Jo-jo meliriknya sekejap, ucapnya pula, "Jika kau ingin melihat dia, dapat juga kubawa kau ke
sana." "Kau tahu tempat tinggalnynya" tanya Siau-hong tak tahan.
"Dia adalah komplotan Li He, tentu tinggalnya di dalam kasino dan membantu Li He."
Kasino" Kasino apa?" tanya Siau-hong. "Kasino Pancing Perak."Di sini juga ada sebuah
kasino bernama Pancing Perak"
Jo-Jo mengangguk, "Li He telah berjanji dengan kami untuk bertemu di rumah judi Pancing
Perak ini.?" Siau-hong tidak bertanya lagi, sebab sudah dilihatnya sebuah kail perak yang mengkilat
sedang bergoyang-goyang tertiup angin.
Pintu rumah judi ini tidak lebar, kail perak yang tergantung di bawah papan merek itu
bergoyang memantulkan cahaya gilap.
Siau-hong mendorong pintu dan masuk ke dalam rumah yang terasa hangat seperti di musim
semi. Ia menanggalkan mantel kulitnya dan dilemparkan di atas kursi di belakang pintu, lalu
menarik napas dalam-dalam.
Hawa di dalam rumah terasa menyesakkan napas, ada bau tembakau, bau arakt bau bedak dan
bau minyak wangi ... Hawa semacam ini tidak cocok bagi orang yang hendak menarik napas dalam-dalam, bau
semacam ini sudah sangat dikenal oleh Liok Siau-hong.
Ucapan Sukong Ti-seng memang tidak salah, Liok Siau-hong memang betul lebih sesuai
berada di tempat-tempat demikian.
Dia suka foya-foya. suka rangsangan, suka kenikmatan, meski semua ini adalah
kelemahannya, tapi ia sendiri tidak pernah menyangkalnya.
Setiap manusia kan punya titik kelemahan" Kemegahan kasino ini memang tidak dapat
menandingi kasino Pancing Perak yang dikelola sendiri oleh si jenggot biru itu, penjudinya
juga tidak berjubal seperti di sana, namun meski kecil burung pipit, isi perutnya cukup
lengkap. Segala macam ragam alat judi, semuanya tersedia di sini.
Siau-hong tidak menunggu Jo-jo merangkul lengannya, segera ia mendahului masuk ke situ
dengan membusungkan dada.
Ia tahu setiap orang sedang memperhatikan dia, melihat pakaiannya, melihat gayanya, melihat
gerak-geriknya, siapa pun dapat melihat pendatang ini pasti seorang tamu besar yang
berkantung tebal, seorang 'cukong'.
Dan biasanya mata 'cukong' suka memandang ke atas daripada melihat ke bawah, sebab itulah
kepala Liok Siau-hong juga menegak dan tidak sudi memandang ke arah lain. Tapi dia justru
dapat melihat seorang sedang mendekatinya dengan tersenyum.
Siau-hong tidak khusus memperhatikan seseorang, akan tetapi bentuk orang ini terasa sangat
aneh baginya. Dandanannya terlebih aneh, sampai Siau-hong yang sudah berpengalaman juga
merasa heran terhadap makhluk aneh ini.
Orang ini memakai jubah satin merah yang sangat longgar, di atas jubah penuh tersulam
macam-macam bunga, ada yang berwarna kuning, biru dan ada juga hijau.
Yang paling ajaib adalah topi hijau yang dipakainya itu, topi hijau yang lancip dan tinggi,
pada topi itu tersulam pula enam huruf besar berwarna merah dan berbunyi 'Thian-he-te-itsin-
tong'. 6 'Thian-he-te-it-sin-tong atau anak ajaib nomor satu di dunia.
Siau-hong tertawa, dengan sendirinya ia tahu siapa "orang ini, jelas orang inilah adik
kesayangan Li He yang bernama Li Sin-tong, si anak ajaib.
Melihat Siau-hong tertawa, Li Sin-tong juga tertawa, tertawa linglung dan seperti orang
kurang waras, dengan langkah berlenggang kangkung ia mendekati Siau-hong, dengan gaya
seperti orang perempuan dia memberi salam kepada tamunya dan menyapa. "Selamat
datang!" Siau-hong mengangguk dengan menahan rasa geli.
"Siapa she Anda yang mulia?" tanya Li Sin-tong.
"Kah," jawab Siau-hong,
Li Sin-tong memicingkan mata dan mengamati Siau-hong dari atas ke bawah dan dari bawah
ke atas, lalu bertanya pula, "Kah-heng datang dari daerah lain?"
"Ehhmm," Siau-hong mengangguk.
"Entah Kah-heng suka bertaruh jenis apa" Apa Lah Pai-kiu" Dadu" Atau main ganjil dan
genap?" tanya Li Sin-tong pula.
Bentuknya kelihatan sinting, tapi cara bicaranya ternyata cukup jelas.
Siau-hong tidak sempat buka mulut, sebab dari belakang sudah ada orang mewakilinya
menjawab. "Kedatangan juragan Kah kita ini bukan untuk berjudi melainkan hendak mencari
orang."

Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suaranya lembut dan merdu, jelas suara orang perempuan, tapi bukan suara Jo-jo. melainkan
seorang perempuan yang kelihatan lemah lembut dan berwajah cantik. Jo-jo berdiri di
belakang perempuan ini dan sedang mengedipi Liok Siau-hong.
Siau-hong pikir jangan-jangan perempuan inilah Tan Cing-cing"
Tanpa memperlihatkan sesuatu tanda ia berkata, "Jika kau tahu kudatang untuk mencari
orang, tentunya kau pun tahu siapa yang hendak kucari?"
Perempuan itu memang betul Tan Cing-cing. Ia mengangguk
dan berkata, "Mari ikut padaku!"
ooo000ooo Di belakang rumah judi itu terdapat pula sebuah rumah kecil yang terpajang sangat indah, tapi
tiada kelihatan seorang pun di situ.
Siau-hong duduk di atas kursi bambu besar yang berlapiskan kulit rase. "Dimana Li He?"
segera ia bertanya. "Dia tidak berada di sini," jawab Tan Cing-cing.
Seketika Siau-hong menarik muka, omelnya, "Jauh-jauh kudatang mencari dia, mengapa dia
tidak ada?" Tan Cing-cing tertawa, lembut sekali tertawanya, ucapnya dengan halus, "Justru lantaran dia
tahu akan kedatangan Kah-loaya, makanya dia tidak berada di sini."
"Memangnya apa artinya ini?" tanya Siau-hong dengan marah.
"Sebab untuk sementara ini dia belum dapat bertemu dengan Kah-toaya."
"Apa alasannya?"
"Dia minta kusampaikan pada Kah-toaya, asalkan Kah-toaya dapat melakukan sesuatu, maka
bukan saja segera dia akan muncul untuk minta maaf kepada Kah-toaya, bahkan datang
dengan membawa Lo-sat-pay."
"Urusan apa yang dimaksudkannya?"
"Dia berharap Kah-toaya menyerahkan dulu uangnya kepadaku setelah kuantarkan uang ini
kepadanya dan segera dia akan datang kemari."
Siau-hong sengaja menggebrak meja dan berteriak, "Hah, apa-apaan, belum lihat barangnya
sudah minta bayaran!?"
7 Tan Cing-cing tetap tertawa lembut, katanya, "Dia juga memberi pesan agar disampaikan
kepada Kah-toaya, bahwasanya bilamana Kah-toaya tidak dapat menerima syaratnya, maka
bisnis ini dianggap batal."
Mendadak Siau-hong berbangkit, tapi lantas berduduk pula perlahan.
"Menurut pendapatku, akan lebih baik Kah-toaya menerima syaratnya ini," ujar Tan Cingcing
dengan tersenyum. "Sebab Lo-sat-pay sudah disembunyikan di suatu tempat yang sangat
rahasia dan aman. kecuali dia sendiri tidak ada orang kedua yang tahu. Jika dia tidak mau
mengeluarkannya, orang lain pasti tidak mampu menemukannya."
Gemerdap sinar mata Liok Siau-hong, "Apakah dia kuatir kupaksa dia menyerahkan Lo-satpay,
maka begitu kutiba di sini dia lantas bersembunyi?"
Tan Cing-cing hanya tersenyum saja dan tidak menyangkal.
"Memangnya dia tidak takut kutemukan dia?" jengek Siau-hong,
"Engkau tak dapat menemukan dia," ujar Tan Cing-cing dengan tertawa. "Jika dia tidak suka
bertemu dengan orang, siapa pun tidak dapat menemukan dia."
Meski tertawanya sangat lembut, tapi sorot matanya penuh ra sa yakin atas ucapannya itu,
tampaknya dia juga seorang perempuan yans berpendirian teguh, bahkan yakin orang lain
pasti tidak mampu menemukan tempat sembunyi Li He.
Siau-hong memandangnya lekat-lekat, jengeknya, "Seumpama tidak dapat kutemukan dia,
tentu ada caraku untuk menyuruhmu
mencari dia bagiku."
Tan Cing-cing tersenyum dan menggeleng, katanya. "Dengan sendirinya kutahu cara Kahtoaya
pasti sangat hebat. Cuma sayang, aku tidak tahu di mana Lo-sat-pay itu disimpan, juga
tidak tahu ke mana Li-toaci pergi. Kalau tidak, masakah dia meninggalkan diriku di sini?"
Sikapnya tetap sangat tenang, suaranya juga halus, siapa pun percaya ucapannya itu pasti
tidak berdusta. Siau-hong menghela napas, "Wah, jika demikian, tampaknya kalau ingin kudapatkan Lo-satpay,
mau tak mau harus kuterima syaratnya ini?"
Cing-cing juga menghela napas, "Ai Li-toaci memang seorang perempuan yang sangat cerdik
dan cermat, kami juga....."
Dia tidak melanjutkan, juga tidak perlu menyambung, sebab dari helaan napasnya sudah dapat
diketahui tentu mereka pun banyak merasakan pahit getir atas perlakuan Li He.
Siau-hong berpikir sejenak, katanya kemudian, "Tetapi kalau sudah kubayar dan dia ternyata
tidak menyerahkan barangnya?"
"Untuk ini pun tak dapat kuberi jaminan apa-apa," sahut Cing-cing. "Sebab itulah boleh Kahtoaya
mempertimbangkannya lebih masak. Kami sudah menyediakan tempat tinggal bagi
Kah-toaya." 'Tidak perlu," mendadak Siau-hong terbangkit. "Aku dapat mencari tempat tinggal sendiri."
"Tapi Kah-toaya baru pertama kali datang ke sini, belum ada seorang kenalan pun, cara
bagaimana akan dapat mencari tempat tinggal?" 1
Siau-hong melangkah pergi, ucapnya sambil mendongak dengan lagak angkuh, "Meski aku
tidak punya kenalan, tapi aku punya uang!"
Jo-jo selalu berada di samping Siau-hong, begitu keduanya keluar dari kasino "Pancing
Perak", segera Jo-jo bertepuk tangan memuji, "Bagus, sungguh hebat sekali !"
"Urusan apa kau bilang bagus?" tanya Siau-hong. "Sikapmu yang pongah itu sungguh sangat
bagus," ujar Jo-jo. "Sungguh mirip benar seorang cukong besar berkantung tebal."
"Padahal kutahu pribadi Kah Lok-san sangat pendiam dan culas, tidak nanti berlagak OKB
(orang kaya baru) seperti diriku tadi." kata Siau-hong sambil menyengir. "Cuma aku memang
tidak dapat berlagak lain."
"Lagakmu itu sudah cukup bagus," ujar Jo-jo dengan tertawa. "Jika aku tidak kenal Kah Loksan,
tentu aku pun gentar kau gertak."
8 "Akan tetapi Tan Cing-cing tampaknya tidak sederhana, apalagi Li He, pasti terlebih lihai,
apakah dapat kugertak dia?"
"Padahal bukan soal apakah dapat menggertak dia atau tidak," kata Jo-jo. "Toh yang
dikenalnya cuma uang dan bukan manusianya."
Siau-hong tertawa dan tak bicara lagi, ia sedang berpikir, "Tan Cing-cing sudah kulihat,
dalam keadaan begini dengan sendirinya tidak dapat kuberitahukan diriku yang sebenarnya
kepadanya, lebih-lebih tak dapat kukatakan dia adalah sahabat karib Ting-hiang-ih." Lantas
bagaimana dengan seorang lagi, yaitu si Kambing Tua"
Pada saat dia mulai memikirkan si Kambing Tua, mendadak seorang didepak keluar dari
sebuah rumah minum, "bruk". orang itu terbanting di atas tanah es dan meluncur dua-tiga
tombak jauhnya dan tepat berhenti di depan Liok Siau-hong.
Orang ini memakai jaket kulit kambing dengan terbalik, kepala bertopi kulit kambing, di atas
topi bahkan dihiasi dua tanduk kambing, mukanya kurus kering, pucat lagi keriput ditambah
lagi jenggotnya ala bandot, maka wujudnya benar-benar serupa seekor kambing tua.
Siau-hong memandangnya tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan, bahkan berkedip saja
tidak. Kambing Tua itu terengah-engah dan meronta-ronta, sampai sekian lama baru merangkak
bangun sambil mengomel. "Bedebah, biar pun tuan Besar tidak gablek duit untuk minum
arak, kan tidak pantas kawanan tikus semacam kalian ini mendepak orang sesukanya.
Sambil mencaci maki, dengan berincang-incut ia terus melangkah pergi. Dengan suara
tertahan Siau-hong lantas berpesan kepada Jo-jo, "Suruh Sin-loji menguntit dia!"
Sin loji yang dimaksud adalah orang yang mahir menggunakan senjata rahasia itu, dia adalah
anak murid mendiang Sin-cap-niocu yang dahulu terkenal sebagai ahli senjata rahasia itu.
Sedangkan si baju hitam yang berpedang antik itu she Pek, menurut urutannya dia nomor tiga,
Losam. mereka berdua dan si kakek dari Hoa-san-pay itu adalah saudara angkat. Lantaran
dahulu pernah berbuat sesuatu kesalahan, ciri mereka ini terpegang oleh Kah Lok-san,
terpaksa mereka rela menjadi anak buah Kah Lok-san, sudah tujuh-delapan tahun mereka
merendahkan diri dan belum sempat melepaskan diri.
Cerita ini adalah penuturan mereka sendiri, Liok Siau-hong hanya mendengarkan saja, apakah
dia percaya, entahlah! Liok Siau-hong menyatakan akan mencari tempat tinggal sendiri, baginya persoalan ini
memang bukan urusan sulit.
'Thian-tiang-ciu-lau', sebuah restoran di jalan raya ini, tidak perlu disangsikan lagi adalah
restoran terbesar di kota ini, bangunannya diatur dengan sangat baik.
Sekarang rumah ini sudah menjadi milik Liok Siau-hong, hanya dengan beberapa patah kata
saja jual beli sudah terjadi.
"Berapa keuntunganmu sehari?" demikian tanya Siau-hong. "Pada waktu ramai, belasan tahil
perak sehari pasti masuk," sahut si pemilik restoran.
"Nah, kubayar seribu tahil perak, berikan tempatmu ini kepadaku, bila kupergi, rumah ini
tetap menjadi milikmu. Jadi?" Tentu saja jadi, bahkan cepat sekali jadinya. Dan segera papan
merek di depan rumah ditanggalkan, restoran pun tutup. Setengah jam kemudian, bahkan
tempat tidur juga sudah tersedia.
Orang yang berduit memang serba gampang jika ingin berbuat sesuatu. Fasilitas yang paling
menyenangkan adalah di sini memang sudah ada santapan dan arak, bahkan ada seorang koki
yang tergolong lumayan. Sambil berduduk di tepi perapian, beberapa cawan arak ditenggaknya, maka hampirlah Liok
Siau-hong melupakan hawa dingin di luar yang dapat membikin hidung orang terlepas.
Setelah satu poci arak dihabiskan, dilihatnya Sin-loji telah kembali meski dia menggigil
kedinginan, tapi hanya dapat berdiri jauh di ambang pintu dan tidak berani mendekati
perapian. Ia tahu bila mendadak dirinya mendekati perapian itu, bisa jadi seluruh tubuh bisa
9 cair serupa es lilin kena panas. Bila ia masukkan kedua tangannya ke dalam air panas, waktu
ditarik keluar mungkin tangannya akan tertinggal tulang belulang belaka.
Siau-hong menunggu setelah orang berganti napas barulah bertanya, "Bagaimana?"
Dengan gemas Sin-loji bertutur, "Tua bangka itu seharusnya tidak bernama Kambing Tua.
tapi lebih tepat si rase tua." "Oo, apakah kau dikibuli dia?" tanya Siau-hong. "Hm, sejak mula
dia sudah mengetahui aku sedang menguntitnya, maka dia sengaja membawaku berputarkayun
kian kemari, akhirnya dia menoleh dan bertanya padaku apakah engkau yang
menyuruhku menguntitnya?"
"Dan bagaimana jawabanmu?" tanya Siau-hong. "Jika dia sudah tahu segalanya, apakah aku
dapat menyangkal?" "Sekarang dia berada di mana?"
"Lagi menunggumu di luar," jawab Sin-loji. "Dia bilang, peduli siapa dirimu, peduli apa
kehendakmu mencari dia, jika engkau yang ingin mencari dia, maka harus kau sendiri yang
menemui dia." Siau-hong menghela napas, ucapnya sambil menyengir. "Peduli dia Kambing tua atau bukan,
peduli dia rase tua segala, tampaknya tulangnya cukup keras."
Dan hasil penemuan mereka adalah Liok Siau-hong ikut pergi bersama si Kambing tua.
Bandot itu berjalan di depan dengan mem busungkan dada dan Siau-hong mengintil di
belakang. Tampaknya bukan cuma tulangnya saja yang keras, kulitnya
juga tebal, seperti tidak takut dingin sedikit pun.
Setelah meninggalkan jalan raya yang panjang ini, di depan sana adalah langit es dan bumi
salju, lautan es yang keperak-perakan membentang luas ke depan, kedua tepi remang kelabu,
apa pun tidak kelihatan. Dari tempat yang terang benderang mendadak berada di tempat gelap gutita ini, tentu saja
rasanya tidak enak. Sebenarnya Siau-hong ingin tahu permainan apa yang hendak dilakukan si Kambing tua, tapi
sekarang ia tidak sabar lagi, segera ia menegur, "Hei, hendak kemana kau bawa diriku?"
Tanpa menoleh si Kambing tua menjawab. "Hendak kubawa pulang ke rumah."
"Untuk apa ke rumahmu?" tanya Siau-hong. "Sebab engkau yang mencari diriku dan bukan
diriku yang mencari engkau!"
Terpaksa Siau-hong mengaku kalah, tanyanya lagi dengan tersenyum getir, "Dimana letak
rumahmu?" "Di dalam gentong," jawab si Kambing tua. "Gentong itu tempat macam apa?" "Gentong ya
gentong, gentong air, masa tidak tahu?" Liok Siau-hong melenggong.
Gentong yang dimaksud memang betul sebuah gentong tulen sebuah gentong air raksasa.
Hidup Liok Siau-hong sudah dua-tiga puluh tabun, tapi tidak pernah melihat gentong air
sebesar ini. Padahal, jika dia tidak datang ke sini, biarpun dia hidup lagi dua-tiga ratus tahun juga takkan
pernah melihat gentong air raksasa begini.
Gentong ini lebih dua tombak tingginya, tampaknya menjadi seruPa sebuah rumah bulat, juga
serupa tenda yang bundar, tapi itu justru betul-betul sebuah gentong air, sebab tidak berpintu
tidak berjendela, hanya bagian atas ada mulutnya yang lebar. Seutas tambang kelihatan
terjulur dari atas. Segera si Kambing tua merambat ke atas dengan tali itu, lalu ia menggapai dari atas, "Kau
naik kemari tidak?" "Untuk apa kunaik ke situ?" omel Siau-hong. "Aku tidak haus, sekalipun ingin minum air
juga tidak perlu kupanjat gentong ini."
Walaupun di mulut dia menggerundel dia toh merambat juga ke atas.
10 Di dalam gentong ternyata tidak ada air, setetes pun tidak ada. Yang ada cuma arak. Sebuah
kantung kulit kambing yang besar penuh terisi arak, dari baunya dapat diperkirakan arak ini
sangat keras. Si Kambing tua minum seceguk arak itu, matanya lantas bertambah terang malah.
Di dalam gentong penuh tertumpuk macam-macam kulit binatang yang tidak teratur, sambil
memeluk sebuah kantung arak, si Kambing tua berduduk dengan santai, setelah
menghembuskan napas, lalu ia berkata, "Pernah kau lihat gentong sebesar ini?"
"Tidak," jawab Siau-hong.
"Pernah kau lihat diriku sebelum ini?"
"Tidak." "Tapi rasanya pernah kulihat dirimu." "Oo?" heran juga Siau-hong. "Kau ini Kah Lok-san,
Kah-toaya?" "Ehmm," Siau-hong mengangguk.
Mendadak si Kambing tua tertawa sambil menggeleng kepala, lalu berkata pula sambil
memicingkan mata, "Kau bukan Kah Lok-san?"
"Aku bukan Kah Lok-san?" Siau-hong menegas. "Ya, bukan, pasti bukan." "Habis siapa
diriku?" "Peduli kau mengaku sebagai si Amat atau si Badu, yang jelas dan pasti engkau bukan Kah
Lok-san, sebab dahulu pernah kulihat si tua bangka itu."
Maka tertawalah Siau-hong.
Mestinya ia tidak ingin tertawa, tapi ia tidak tahan, sebab mendadak kakek ini dirasakannya
sangat menarik. "Aku ingin minta......"
Mendadak si kambing tua memotong ucapannya, "Li He memang seorang aneh, Ting-lotoa
terlebih aneh dan nyentrik, hanya
lantaran dia suka minum Bu-kin-cui (air non mineral), dia tidak sayang menjual tanah dan
menjual rumah serta membuang waktu dua tahun barulah berhasil membuat dua gentong
raksasa begini, tujuannya hanya untuk menadahi air hujan untuk persediaan minum
Pada musim panas." "Ting-lotoa'yang kau sebut apakah laki Li He yang dahulu?"
tanya Siau-hong. . Si Kambing tua mengangguk, katanya. "Meski sekarang Li He menghilang, tapi pasti tidak
meninggalkan tempat ini, dapat kujamin dia pasti bersembunyi di tengah kota. cuma kalau
kau tanya padaku dimana dia bersembunyi, jawabku adalah tidak tahu."
"Darimana kau tahu kedatanganku ini hendak mencari keterangan hal-hal ini?"
"Memangnya bukan begitu?" "Jadi kau tahu siapa diriku?"
"Aku tidak perlu tahu, juga tidak ingin tahu. Peduli siapa dirimu kan tidak ada sangkut-paut
sedikitpun denganku."
Lalu si Kambing tua memicingkan mata, sorot matanya membawa semacam senyuman yang
misterius, sambungnya kemudian. "Kulihat engkau ini bukan orang yang menjemukan, sebab
itulah kubawa kau ke sini dan memberikan keterangan ini kepadamu Jika ada urusan lain lagi
yang hendak kau tanya, lebih baik kau cari orang lain saja."
"Tadi kau bilang gentong raksasa ini ada dua?" tiba-tiba Siau-hong bertanya pula.
"Ehmm," si Kambing tua mengangguk. "Dan dimanakah yang satu lagi?" "Entah."
"Urusan lain tidak ada yang kau ketahui?"
Kambing tua menghela napas, "Aku sudah tua, sudah pikun sampai nama sendiri saja lupa.
Banyak anak muda di kota ini, baik cowok maupun cewek, jika kau ingin mencari sesuatu
berita, boleh kau tanya kepada mereka."
Lalu ia memejamkan mata dan minum arak seceguk lagi lalu berbaring dengan santai, seolaholah
sudah mengambil keputusan takkan memandang sekejap lagi kepada Liok Siau-hong.
dan juga takkan bicara pula padanya.
11 Kembali Siau-hong tertawa, katanya. "Kau tahu aku bukan Kah Lok-san, kau tahu kukenal
putri Ting-lotoa, makanya waktu kusebut namanya sedikit pun tidak mengherankan dirimu,
bahkan kau pun tahu Li He tidak pergi dari sini, tapi berulang-ulang kau bilang tidak tahu
apa-apa lagi," Dia menggeleng, lalu menyambung dengan tertawa. Tampaknya Sin-loji memang tidak salah,
seharusnya engkau tidak bernama Kambing tua, tapi lebih tepat si rase tua."
Si Kambing tua juga tertawa, mendadak matanya setengah terbuka dan mengedipinya dan
berkata, "Mendingan kau temukan rase tua semacam diriku, kuharap jangan lagi kau temukan
seekor siluman rase."
Bab 2 ... Rumah minum yang diusahakan Tong Ko-king itu pakai merek 'Put-cui-bu-kui' atau sebelum
mabuk tidak pulang. Meski hari sudah gelap sejak tadi, malam belum larut, waktu Siau-hong kembali ke
pondoknya, lampu di jalan masih cerlang-cemerlang, dan rumah minum 'sebelum mabuk
tidak pulang' itu pun belum tutup.
Tampaknya rumah minum ini memang tidak busuk, nyonya pemiliknya juga ayu, tapi entah
mengapa, sangat jarang tamunya, suasana rumah minum ini sunyi sepi.
Sebab itulah yang pertama dilihat oleh Liok Siau-hong tetap si nona manis yang tidak terlalu


Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cantik itu, dia masih berdiri di bawah papan merek dan sedang menunggu kedatangannya. I
Senyumnya itu tidak cuma semacam pikatan, tapi juga serupa semacam undangan. Dan
biasanya Liok Siau-hong tidak dapat menolak, undangan demikian, apalagi biasanya ia
memandang seorang anak perempuan yang suka tertawa tentu juga pintar bicara, anak
perempuan yang pintar bicara pasti juga lebih mudah membocorkan rahasia orang lain.
Karena itulah ia pun membalas dengan senyuman menantang dan perlahan mendekat ke sana.
Selagi dia tidak tahu cara bagaimana akan menyapanya, Tong Ko-king ternyata sudah
mendahului buka mulut, "Eh, kabarnya Thian-tiang-ciu-lau telah kau beli?" Siau-hong
tertawa. "Wah, berita di tempat mi sungguh cepat siarannya."
"Tempat sekecil ini, kan jarang terlihat tokoh besar semacam dirimu," kata Tong Ko-king.
Tertawanya sungguh teramat manis, benar-benar serupa siluman rase.
Perlahan Siau-hong berdehem dua kali, ucapnya, "Sebelum mabuk tidak pulang, orang yang
minum ke sini apakah harus mabuk?"
"Betul" jawab Tong Ko-king dengan tertawa. "Orang yang minum arak ke sini, kalau tidak
mabuk tentulah Oh-kui (kura-kura. kiasan bagi germo)."
"Dan kalau mabuk?" tanya Siau-hong pula. "Kalau mabuk ialah Ong-pat (makian bagi lelaki
bejat)." "Wah, jadi orang yang minum arak ke sini, kalau bukan Oh-kui akan menjadi Ongpat,
pantas tidak ada orang yang berani berkunjung kemari," ujar Siau-hong sambil tergelak.
Tong Ko-king meliriknya sambil tertawa, "Dan sekarang engkau toh berkunjung ke sini."
"Aku ..," "Jelas kau sendiri sudah membeli sebuah restoran, tapi masih juga berkunjung dan minum
arak ke sini. Nyata engkau tidak takut menjadi Oh-kui. juga tidak gentar dianggap sebagai
Ong-pat, memangnya apa sebabnya?"
Tertawanya bertambah manis, tambah memikat, benar-benar serupa siluman rase.
Tiba-tiba Siau-hong merasa dirinya terangsang dan bergairah. Ia coba pegang tangan si dia
dan berkata, "Coba kau terka apa sebabnya?"
"Apakah karena diriku?" tanya Tong Ko-king sambil mengerling.
Siau-hong tidak menyangkal, dia tidak dapat menyangkal, sebab tangan si dia sudah
digenggamnya dengan sangat erat.
Tangannya indah dan lunak, tapi dingin,
12 "Asalkan kau mau menemani aku minum arak. boleh kau bikin aku mabuk atau tidak, terserah
kepada kehendakmu," kata Siau-hong pula.
Tong Ko-king tersenyum genit, "Makanya dapat kubikin kau jadi Oh-kui atau Ong-pat,
semuanya akan kau terima?"
Mata Siau-hong terpicing, "Bergantung padamu, mau atau tidak?"
Muka Tong Ko-king menjadi merah. "Mau atau tidak mau kan harus kau lepaskan dulu
tanganku, biar kuambilkan arak bagimu." Jantung Siau-hong sudah mulai berdetak. Dia
adalah lelaki yang sehat, apalagi sudah sekian lama dia 'berpuasa', maka sekali ini ada alasan
baginya untuk memaafkan perbuatannya sendiri. Apalagi, demi mencari info, apa salahnya
kalau memakai tipu rayuan"
Siau-hong melepaskan tangan si dia, pikirannya mulai membayangkan adegan yang mesra
bilamana dua orang berada bersama di tengah malam sunyi dan terpengaruh oleh alkohol.
Siapa tahu pada saat itu juga mendadak Tong Ko-king mengangkat tangannya dan menampar
mukanya. Tamparan ini dengan sendirinya tidak tepat mengenai muka Liok Siau-hong, tapi cukup
membuatnya terkejut. "Hei, apa yang kau lakukan?" teriak Siau-hong.
"Apa yang kulakukan?" jengek Tong Ko-king dengan muka masam. "Justru ingin kutanya
padamu, apa yang kau lakukan" Memangnya kau anggap aku ini orang macam apa" Kau kira
dengan beberapa duitmu yang berbau busuk lantas boleh sembarangan mempermainkan kaum
wanita" Huh, supaya kau tahu, di tempatku ini hanya menjual arak dan tidak menjual lain."
Makin bicara makin gusar dia, sampai akhirnya dia terus berjingkrak dan membentak,
"Enyah, lekas enyah dari sini. Bila lain kali berani datang lagi, Pasti kuserampang patah kaki
anjingmu!" Siau-hong melenggong oleh caci-makinya. Tapi dalam hati ia pun paham apa sebabnya rumah
minum ini sunyi sepi, setan pun tidak berani berkunjung kemari.
Kiranya perempuan ini meski tampaknya semanis madu, tapi sebenarnya sepotong cabai yang
pedas, bahkan mengidap semacam penyakit aneh! penyakit yang suka memperlakukan lelaki
dengan sadis kalau lelaki kesakitan baru dia merasa senang.
Sebab itulah dia selalu berdiri di depan pjntu dan pasang aksi untuk memancing lelaki yang
berlalu di situ, bilamana lelaki sudah terpikat, lalu lelaki itu akan dipitesnya sampai setengah
mati seperti seekor burung pipit yang terpegang tangannya.
Lelaki yang disiksa dan dianiaya olehnya di sini pasti sudah tidak sedikit. Liok Siau-hong
terhitung mujur, dia masih dapat keluar dengan baik tanpa babak belur.
Untung di luar, tidak ada orang. Maklum, di tempat yang setetes air saja bisa beku menjadi es,
tentu jarang ada orang yang mau berjalan-jalan pada waktu larut malam.
Jika pada waktu masuk ke sana tadi lagak Siau-hong serupa seorang cukong besar yang penuh
gairah, sekarang dia keluar dengan setengah ngacir seperti anjing kena gebuk.
"O, perempuan......" demikian dia mengeluh, "mengapa di dunia ini terdapat perempuan sialan
sebanyak ini?" Belum lagi sempat ia berpikir bagaimana jadinya dunia ini bilamana tidak ada perempuan,
mendadak terdengar suara jeritan.
Suara jeritan itu berkumandang dari toko obat di seberang sana, suara orang lelaki.
Waktu Siau-hong memburu ke situ, dilihatnya Leng Hong-ji yang kurus kecil dan masam
dingin itu sedang menelikung seorang lelaki di atas kursi, sebelah tangannya mencengkeram
urat pundaknya, tangan yang lain menelikung lengannya, dan lagi bertanya dengan dingin,
"Sesungguhnya bagian mana yang keseleo' Tempat mana yang salah urat" Bagian mana yang
terkilir" Ayo lekas katakan!"
Tapi lelaki itu cuma meringis kesakitan saja, jawabnya dengan gelagapan, "Aku ... aku
tidak....." 13 "Habis untuk apa kau datang kemari?" bentak Leng Hong-ji. "Apakah hendak memijat diriku,
ingin mengurut badanku?"
Lelaki itu hanya manggut-manggut saja, tidak berani membenarkan, juga tidak dapat
menyangkal. Mendadak Leng Hong-ji mendengus sambil mengangkatnya, lelaki besar itu berubah seperti
bola keranjang saja terus dilemparkannya keluar. "Bruk", orang itu jatuh terguling di atas
tanah es yang keras dan licin.
Sekali ini dia benar-benar salah urat dan terkilir, terpaksa ia pulang untuk melampiaskannya
atas diri sang bini. Diam-diam Siau-hong menyengir, sekali ini sungguh dia tidak dapat membedakannya dengan
jelas apakah lelaki itu yang mengidap penyakit atau perempuan ini yang ada penyakit"
"Bagaimana, apakah kau pun sakit dan minta kuobati?" didengarnya Leng Hong-ji sedang
menegurnya sambil memandang dengan dingin.
Siau-hong tak dapat menjawab, ia cuma menyengir saja dan segera melangkah pergi.
"Di antara ke-36 tipu, angkat kaki adalah tipu utama." demikian kata pameo yang paling
terkenal, artinya jalan paling selamat adalah kabur saja. Tiba-tiba Siau-hong merasa
perempuan di tempat ini sukar direcoki, kalau mau aman harus cepat menjauhinya.
Siapa tahu, dia tidak mau merecoki orang, sebaliknya orang malah merecoki dia.
Mendadak Leng Hong-ji mengadang di depannya dan menegur, "Sesungguhnya mau apa kau
datang kemari" Mengapa tidak bicara?"
"Mengapa aku harus bicara?" sahut Siau-hong sambil tersenyum getir.
Leng Hong-ji menggigit bibir dan melotot padanya, "Padahal tidak kau katakan juga kutahu,
tentu dalam hatimu kau anggap aku ini perempuan yang dingin, galak dan sadis."
"Aku tidak berpikir demikian" kata Siau-hong.
Sekali ini jelas dia bohong, sebab di dalam hati dia memang berpikir begitu.
Masih juga Hong-ji menggigit bibir dan mendelik, sorot matanya yang dingin itu tiba-tiba
mengucur keluar dua titik air mata.
Perempuan macam begini juga bisa menangis, Siau-hong jadi terkejut pula, "He., ken ...
kenapa kau?" Hong-ji menunduk, ucapnya dengan menangis, "Tidak apa-apa, aku ... aku cuma merasa
susah." "Susah?" Siau-hong menegas.
"Busyet! Orang lain kau hajar hingga terguling-guling di tanah dan kau bilang susah" Lantas
bagaimana dengan orang yang kau hajar itu?"
Dengan sendirinya Leng Hong-ji tidak dapat mendengar perkataan di dalam batin Liok Siauhong
itu. Ia bertanya pula, "Kau datang dari daerah lain, tidak kau ketahui orang macam
apakah lelaki di sini. Mereka melihat kutinggal sendirian di sini, maka dengan segala daya
upaya mereka bermaksud menghina dan mengganggu diriku."
Waktu menangis, perempuan ini kelihatan seperti berubah terlebih kecil mungil, terlebih
lemah, sikapnya yang garang dan galak tadi lenyap sama sekali sehingga benar-benar serupa
seorang anak perempuan yang penuh derita.
Lalu ia menyambung lagi, "Jika aku diganggu sekali oleh mereka, selanjutnya tentu aku tidak
mampu hidup dengan baik lagi, sebab orang lain takkan menyalahkan mereka, sebaliknya aku
yang dituduh sebagai perempuan pemikat dan pengganggu. Maka terpaksa aku bersikap ketus
dan dingin. Akan tetapi bilamana berada sendirinya di tengah malam sunyi, aku ... aku
menjadi ..." Ia tidak melanjutkan, dan juga tidak perlu melanjutkan. Tengah malam sunyi, tinggal
sendirian dalam kamar, rasa sunyi dan hampa, rasa kesepian itu, tidak perlu dijelaskan lagi
juga cukup dimaklumi Siau-hong.
14 Mendadak ia merasa anak perempuan kecil mungil yang berdiri di depannya ini bukan saja
tidak menakutkan, sebaliknya harus dikasihani.
Perlahan Hong-ji mengusap air matanya, ia seperti memaksakan diri untuk tertawa, lalu
berkata pula, "Sebenarnya, sebelum ini kita tidak pernah bertemu, mestinya tidak pantas
kubicara hal-hal ini di depan orang asing."
"Tidak apa," cepat Siau-hong menanggapi. "Aku juga banyak menanggung persoalan,
terkadang aku pun ingin bertemu dengan seorang asing untuk kubeberkan isi hatiku."
Hong-ji menengadah dan memandangnya seperti anak kecil aleman, tanyanya kemudian
dengan lembut, "Dapatkah kau beberkan padaku?"
Air matanya belum kering, dia bertanya sambil menengadah, sehingga kelihatannya terlebih
kecil mungil dan lemah. Dalam keadaan demikian Siau-hong jadi tidak sampai hati untuk tinggal pergi. Ajakan yang
disertai cucuran air mata bukankah terlebih sukar untuk ditolak daripada undangan dengan
tersenyum" Maka tidak lama kemudian di atas meja sudah tersedia beberapa macam santapan yang
mengepulkan asap, juga arak Tiok-yap-jing yang dihangatkan.
"Arak ini kubawa dari pedalaman dulu dan sejauh ini kusayang meminumnya " kata Hong-ji,
air matanya sekarang sudah kering, dia sedang mengatur meja makan dan sibuk menuang
arak. "Setiap malam, sendirian kuminum sedikit arak, kekuatanku minum arak memang kurang,
tapi aku baru dapat tidur apabila sudah mabuk."
Lalu ia pun mengaku terus terang kepada Siau-hong. "Terkadang biar pun mabuk juga sukar
pulas. Dalam keadaan begitu aku lantas berlari keluar dan berduduk di sungai es untuk
menantikan datangnya fajar."
Siau-hong memandangnya dan ikut menyesal, seorang anak perempuan semuda ini harus
duduk kesepian di sungai es untuk menantikan fajar, sungguh kejadian yang mengenaskan.
Pada saat dia merasa gegetun baginya, kebetulan tangan si dia berada di depannya. Maka ia
terus pegang tangannya. Tangan yang kecil, lunak dan halus, malahan terasa agak panas.
Hawa di dalam rumah cukup hangat, jantung si dia berdetak keras. Sebelum Siau-hong tahu
bagaimana jadinya, tahu-tahu si dia sudah jatuh dalam pelukannya. Tubuh yang kecil mungil
dan lemah itu serupa segumpal bara. tapi bibirnya terasa dingin. licin dan harum.
Selagi permainan mulai meningkat, sekonyong-konyong terdengar suara orang bertepuk
tangan. Keruan mereka berjingkat kaget sehingga santapan di atas meja tertubruk dan
berantakan. Waktu mereka memandang ke sana, ternyata Li Sin-tong alias Li si anak ajaib sedang berdiri
di depan pintu dan memandangi mereka dengan cengar-cengir, malahan ia terus berseru,
"Wah, jangan kalian berhenti main, sandiwara menarik begini, sudah lama sekali tidak pernah
kulihat. Asalkan kalian mau main lagi sebentar, besok pagi akan kujamu makan kalian."
Ucapannya tidak ada kata kotor, akan tetapi bagi pendengarannya Liok Siau-hong hampir saja
membuatnya tumpah. Hampir saja ia menerjang ke sana untuk memberi hajaran kepada si gila itu bilamana Leng
Hong-ji tidak mendahului menubruk ke sana.
Perempuan kecil mungil itu mendadak berubah serupa serigala betina, ganas lagi buas, keji
amal cara turun tangannya.
Siau-hong tahu perempuan itu mahir ilmu silat, cuma tidak menyangka kungfunya ternyata
boleh juga. serangannya cepat dan ganas, gerakannya membawa jurus mencengkeram dan
memuntir yang dapat membikin tulang lawan terkilir. Asalkan bagian tubuh Li Sin-tong
terpegang, dapat dipastikan dua macam suara akan timbul, suari retaknya tulang dan suara
jeritan ngeri seperti babi hendak disembelih.
Akan tetapi Li Sin-tong tidak menjerit, malahan ujung bajunya saja tidak tersentuh olehnya.
15 Lukisan 'anak ajaib' ini mungkin sangat indoh mutunya pakaiannya juga jenaka, tapi ilmu
silatnya sama sekali tidak Jenaka.
Bahkan Siau-hong harus mengakui kungfunya sudah tergolong kelas satu.
Anehnya seorang macam begini mengapa, rela bersembunyi di bawah gaun kakak
perempuannya dan bertingkah seperti orang sin ting" Mengapa tidak mau berdikari dan
mencari dunianya sendiri" Apakah karena ilmu silat kakak perempuannya jauh lebih lihai
daripadanya" Waktu Siau-hong memandang lagi ke sana, kebetulan dilihatnya tangan Li Sin-tong baru
menggeser dari dada Leng Hong-ji. Lalu Leng Hong-ji berlari keluar, setiba di balik pintu
lantas terdengar suara tangisannya.
Siau-hong menjadi murka, kedua tinjunya terkepal erat, segera ia bermaksud memberi hajaran
setimpal kepada orang sinting ini.
Dilihatnya Li Sin-tong sedang tertawa malah, ucapnya sambil menggoyang tangan, "Eh,
jangan kau maju, kutahu bukan tandinganmu, sebab kutahu siapa dirimu."
"Kau tahu?" tanya Siau-hong dengan menarik muka.
"Orang lain dapat kau kelabui, jangan harap akan kau bohongi diriku," ujar Li Sin-tong
dengan tertawa. "Biarpun jenggotmu ditambah lebih tebal juga percuma, tetap dapat kulihat
engkau ini bukan lain daripada Liok Siau-hong yang berempat alis itu."
Seketika Siau-hong mclenggong dan tidak jadi menubruk maju.
Kedatangannya ke tempat ini baru dua-tiga jam, yang dijumpainya baru lima orang, dan
kelima orang ini ternyata semuanya sudah membuatnya terkejut. Tampaknya orang di sini
seluruhnya tidak sederhana, agaknya bukan pekerjaan mudah bila dia ingin membawa pulang
Lo-sat-pay. Tertawa Li Sin-tong bertambah riang, katanya pula, "Namun jangan kau kuatir, pasti takkan
kubongkar rahasiamu ini, sebab kita memang berasal dari satu garis, sudah lama kutunggu
kedatanganmu." "Ha, kau tunggu diriku" Kau tahu aku akan datang?" Siau-hong bertambah heran.
"Ya, sebab si jenggot biru menyatakan dia pasti akan mengirim dirimu ke sini, selama ini
kupercaya penuh pada ucapannya."
Akhirnya Siau-hong paham juga, teringat olehnya ucapan si jenggot biru, "..... seumpama tak
dapat kau temui, tentu juga ada orang akan membawamu kepadanya. Begitu kau tiba di sana,
segera ada orang akan menghubungimu."
"Tentunya tak kau duga aku dapat mengkhianati kakakku sendiri dan menjadi mata-mata bagi
si jenggot biru," kata Li Sin-tong pula dengan tertawa.
"Tapi aku pun tidak terlalu heran." jawab Siau-hong. "Orang semacam dirimu, pekerjaan apa
yang tidak dapat kau lakukan?"
"Tapi setelah kau lihat kakakku sayang nanti, baru kau tahu mengapa aku bertindak
demikian," tiba-tiba Li Sin-tong bisa menghela napas juga.
"Cara bagaimana supaya dapat kulihat dia?" tanya Siau-hong. "Hanya ada satu jalan," jawab
Li Sin-tong. "Jalan bagaimana?"
"Lekas antarkan beberapa peti yang kau bawa itu." "Kau pun tidak tahu dia bersembunyi
dimana?" "Ya. aku pun tidak tahu." sahut Li Sin-tong. Lalu ia menghela napas dan berkata
pula, "Kecuali uang perak yang gemilapan dan emas yang bercahaya, boleh dikatakan
kakakku tidak mau kenal lagi kepada siapa pun. sekali pun orang tua dan saudara sendiri."
Siau-hong menatapnya lekat-lekat hingga sekian lama, tiba-tiba ia tanya, "Kau minta dihajar
tidak?" Tentu saja Li Sin-tong tidak mau. Ia menggeleng. "Jika tidak mau. lekas kau lalap santapan
yang terserak di lantai ini, bila ada yang tersisa, akan kubikin kau menyesal selama hidup,"
ancam Siau-hong. 16 Setelah santapan di atas meja tertumbuk berantakan, macam-macam makanan yang
berserakan di lantai es itu lantas membeku.
Waktu Li Sin-tong mulai berjongkok dengan menyengir, perlahan Liok Siau-hong lantas
melangkah keluar. Baru sampai di ambang pintu segera didengarnya suara Li Sin-tong lagi
tumpah .... ooo000ooo Sudah jauh malam, cahaya lampu yang tadinya gilang gemilang sudah mulai jarang-jarang,
kota yang semarak kini diliputi kegelapan dan kedinginan.
Angin meniup kencang, di kejauhan seperti ada lolong serigala yang mengerikan.
Kemana perginya Leng Hong-ji, apakah dia lagi duduk di sungai es dan menantikan
datangnya fajar" Siau-hong merasa susah, bukan cuma susah bagi Leng Hong-ji, juga bagi dirinya sendiri.
Mengapa manusia selalu harus tersiksa oleh gairahnya sendiri.
Lampu di Thian-tiang-ciu-lau masih menyala, cahaya lampu menerobos keluar melalui celah
pintu, tercium pula bau sedap hangat santapan.
Siau-hong mengernyitkan kening, ia tahu yang sedang menunggunya di dalam kembali adalah
seorang anak perempuan yang aneh serta santapan yang lezat.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong dilihatnya sesosok bayangan melayang keluar dan


Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang rumah, hanya sekejap saja lantas menghilang dalam kegelapan.
Gerakannya ringan dan hebat, Ginkang setinggi itu sudah tidak di bawah Liok Siau-hong lagi.
Di tempat ini siapakah yang memiliki Ginkang sehebat itu"
Kembali Siau-hong berkerut kening. Sementara pintu sudah terbuka, sepasang mata yang
mengandung senyum sedang memandangnya dan menegur, "Mendingan kau ingat untuk
pulang, semula kukira engkau sudah mati di atas perut perempuan itu."
Di atas meja memang betul tersedia santapan yang mengepul hangat, juga tersedia arak Tiokyap-
jing. "Arak ini kubawa dari pedalaman ..." demikian ucap Jo-jo dengan tersenyum manis.
Siau-hong hampir tak tahan dan ingin lari saja. Santapan dan perempuan yang serupa sudah
hampir membuatnya tidak tahan, apalagi cara bicara mereka juga sama.
Maka apa yang diucapkan selanjutnya sama sekali tak diperhatikan oleh Liok Siau-hong.
Mendadak ia berjingkrak dan berteriak, "Lekas suruh orang mengantar kepadanya, lekas!"
Jo-jo tampak melengak, "Mengantar barang apa" Mengantar ke mana?"
"Lekas mengantar peti-peti itu ke kasino Pancing Perak!" seru Siau-hong.
Bab 3 ... Rumah bekas restoran ini sudah dipotong-potong menjadi beberapa buah kamar, dipisahkan
dengan papan. Kamar yang paling besar terdapat sebuah ranjang besar dengan selimut yang
tebal. Dan Liok Siau-hong sekarang berbaring di tempat tidur ini sambil selimutan, namun
masih terasa kedinginan. Setiap orang tentu pernah mengalami penurunan mental, Siau-hong juga manusia, dalam
keadaan demikian, ia merasa segala urusan telah dilakukannya dengan kacau-balau tak
keruan, ia menjadi gemas dan ingin menghajar dirinya sendiri hingga setengah mati.
Di luar kamar ramai orang menggotong peti, sebagian pekerja menguap kantuk, ada yang
bersin kedinginan. Maklum, tengah malam buta, orang sedang enak-enak tidur berselimut dibangunkan dan
disuruh menggotong peti, jelas orang yang menyuruhnya ini rada-rada sadis.
17 Siau-hong membalik tubuh, ia ingin lekas pulas, tapi sayang, tidur serupa perempuan,
semakin kau harapkan dia lekas datang, dia justru datang lambat-lambat. Hidup manusia ini
memang banyak terjadi hal demikian.
Pada saat itulah mendadak terdengar serentetan jeritan kaget. Siau-hong melompat bangun
dan mengenakan baju luar. sampai sepatu saja tidak sempat dipakai, dengan kaki telanjang ia
terus menerobos keluar. Dilihatnya beberapa lelaki penggotong peti berdiri termangu di situ
sambil memandangi sebuah peti.
Peti jatuh di lantai dan terbuka, isi peti sama berantakan keluar, tapi bukan emas, juga bukan
perak, melainkan batu bata. Siau-hong juga melenggong.
Untuk sekian kalinya dia melenggong malam ini. Sekali ini bukan saja dia terkejut, bahkan
juga gusar. Sebab ia merasa tertipu, perasaan ini sangat tidak enak.
Sebaliknya Jo-jo tidak memperlihatkan sesuatu tanda terkejut, dengan hambar ia berkata,
"Untuk apa kalian berdiri kesima di situ" Batu bata itu kan tidak berkurang, lekas dan diantar
ke sana. "Diantar ke sana?" jengek Siau-hong. "Memang antar ke mana?"
"Dengan sendirinya ke kasino Pancing Perak sesuai pesanmu," sahut Jo-jo.
"Huh, hendak kau gunakan batu untuk menukar Lo-sat-pay orang" Memangnya kau kira
orang lain semuanya orang tolol?" jengek Siau-hong.
"Justru lantaran nona Tan itu sedikit pun tidak tolol, makanya akan kuantarkan begini saja
peti-peti ini. Jika dia seorang yang tahu kwalitas barang, sekali pandang tentu takkan bicara
lagi." "Apakah isi peti yang lain juga batu?"
"Ya, semuanya batu, cuma ....."
"Cuma apa?" tanya Siau-hong.
Jo-jo tertawa, lalu menyambung. "Cuma meski isi peti ini semuanya batu, tapi petinya sendiri
adalah buatan dari emas murni. Maklumlah, kita menempuh perjalanan sejauh ini dengan
membawa separtai emas, mau tak mau kita harus bertindak lebih hati-hati."
Seketika Siau-hong tak dapat bicara lagi, tiba-tiba dirasakannya satu-satunya orang tolol di
sini tak lain tak bukan ialah dia sendiri.
Dan sisa beberapa peti itu dengan cepat pun sudah diangkut pergi, tertinggal Liok Siau-hong
yang masih berdiri termangu di situ dengan kaki telanjang.
Jo-jo memandangnya, katanya pula dengan tersenyum, "Kutahu engkau lagi marah padaku,
kutahu." Ia tahu di balik baju luar Siau-hong itu tidak memakai apa-apa, maka ia mendekatinya dan
membuka jubahnya, ditempelkannya mukanya ke dada yang telanjang itu serta merangkul
pinggangnya dengan erat, lalu bisiknya, "Namun malam ini pasti takkan kubikin kau marah
lagi, pasti tidak." Siau-hong menunduk dan memandangi kundai di atas kepalanya, sampai sekian lamanya
barulah ia bicara, "Urusan apa yang mengubah pendirianmu."
Dengan suara lembut Jo-jo menjawab, "Selamanya aku hanya berbuat menurut kehendakku,
sebelum ini aku tidak suka menemanimu, tapi sekarang....."
"Sekarang kau suka?" tanya Siau-hong. "Ehmm," Jo-jo mengangguk.
Siau-hong tertawa, mendadak ia angkat si dia dan dibawa ke kamarnya, dengan kuat ia
lemparkan Jo-jo ke atas tempat tidurnya, lalu ditinggal pergi tanpa bicara.
Segera Jo-jo melompat bangun dari tempat tidur sambil berteriak, "Hei, apa artinya ini?"
Siau-hong tidak menoleh, sahutnya dengan tak acuh, "Tidak berarti apa-apa, cuma ingin
kuberitahukan padamu, urusan begini harus dilakukan pada saat keduanya sama-sama sukaf
meski sekarang kau suka, tapi aku tidak suka."
ooo000ooo 18 Malam ini meski Siau-hong tidur sendirian, tapi sangat lelap tidurnya. Betapa pun terlampias
rasa dongkolnya. Esok paginya waktu mendusin, ia merasa nafsu makannya bertambah besar, hampir lipat tiga
kali. Meski sudah dekat lohor, Jo-jo masih juga bersembunyi di kamarnya, entah masih tidur atau
karena marah. Anehnya dari pihak kasino Pancing Perak sana juga tidak ada sesuatu berita.
Dengan lahap Siau-hong menyikat santapannya, makan pagi sekaligus makan siang, habis
makan semangatnya kelihatan bertambah menyala, malahan dia sengaja mendatangi dapur
dan memberi pujian kepada si koki.
Pada waktu hatinya riang gembira, selalu dia menghendaki orang lain juga ikut gembira.
Habis itu barulah dia keluar.
Pancing Perak itu masih bergoyang-goyang tertiup angin, Siau-hong melangkah masuk ke
kasino itu, merasa hari ini nasibnya pasti sangat mujur, hampir saja ia berhenti di depan meja
dadu untuk bermain. Tapi ia tidak jadi berhenti, ia tidak ingin menghamburkan ke mujurannya di atas meja judi.
Dari jauh Li Sin-tong sudah melihat kedatangannya, maka cepat dia mengeluyur pergi. Orang
ini kelihatan terlebih kurus pucat daripada biasanya, juga sangat lesu, mirip orang yang
semalam habis sakit muntah berak.
Dengan tersenyum Siau-hong mendekat ke sana, ia mendekati pintu kamar yang bertuliskan
"dilarang masuk". Betul juga, segera dua lelaki kekar datang mengadangnya.
Seorang lantas menunjuk papan pengumuman itu dan menegur, "Apa kau buta huruf?"
Siau-hong tersenyum, jawabnya, "Buta huruf sih tidak, cuma aku bukan patung, aku suka
bergerak." Belum lagi orang itu paham maksud Liok Siau-hong, tahu-tahu pinggangnya terasa
kesemutan, orangnya lantas terkulai dan tidak sanggup bangun lagi.
Tan Cing-cing ternyata di dalam kamar rahasia itu, Li Sin-tong juga di situ, melihat
kedatangan Siau-hong, keduanya menyambut dengan senyum yang dibuat-buat.
Siau-hong juga tersenyum dan mengucapkan selamat pagi.
"Sekarang tidak pagi lagi, mengapa tidak kau beri kabar padaku?"tanya Siau-hong.
Cing-cing berdehem perlahan dua kali, lalu menjawab, "Kami justru hendak mengundang
Kah-toaya agar malam ini sudi makan di sini."
"Aku tidak suka makan di sembarang tempat, kalau makan harus satu meja perjamuan
penuh." "Dengan sendirinya satu meja perjamuan lengkap, tiba waktunya nanti Li-toaci juga akan
hadir," ujar Tan Cing-cing.
"Tapi sekarang aku sudah hadir maka sekarang juga aku mau makan," kata Siau-hong.
"Wah, lantas bagaimana?" ucap Cing-cing.
"Sederhana sekali," ujar Siau-hong. "Cukup kau beritakan kepada Li-toacimu, katakan aku
sudah datang, jia dia masih belum mau keluar menemuiku, segera akan kupotong kedua daun
telinga dan batang hidung adiknya."
Air muka Li Sin-tong tampak berubah. Tan Cing-cing menjadi agak kikuk, katanya, "Tapi
sayang kami juga tidak tahu beliau berada di mana, cara bagaimana dapat kuberitahukan
padanya?" "Kalian tidak tahu dia berada dimana. aku justru tahu sedikit," kata Siau-hong.
"Oo, kau tahu?" Cing-cing tercengang.
"Di sini sebenarnya ada dua buah gentong air raksasa, sekarang di luar cuma tersisa sebuah,
masih ada sebuah lari kemana?"
Air muka Tan Cing-cing menjadi rada berubah juga dan tidak menjawab.
19 "Dimana gentong itu berada, di situ pula Li He berada," sambung Siau-hong.
"Apa artinya ucapanmu, aku tidak paham," kata Cing-cing.
"Kau harus paham," ujar Siau-hong, "kecuali orang gila, siapa pun takkan menjual rumah dan
tanah untuk membuat dua buah gentong raksasa hanya karena ingin menadahi air hujan untuk
diminum," Cing-cing sependapat, ia mengangguk.
"Dan Ting-lotoa bukanlah orang gila, dia berbuat demikian tentu ada maksud tujuan lain."
"Menurut pendapatmu apa maksud tujuannya?" tanya Cing-cing.
"Dia dan Li He minggat ke sini, tentunya kuatir orang akan menyusul kemari, maka dia lantas
membuat dua gentong raksasa ini agar bilamana perlu dapat digunakan sebagai tempat
sembunyi." "Orangnya bersembunyi di dalam gentong?" Cing-cing menegas.
"Pada waktu biasa tentu saja tak dapat dibuat sembunyi," tutur Siau-hong, "tapi bila kau
rendam di dalam sungai est jadilah suatu tempat sembunyi yang sangat bagus. Siapa pun
takkan menyangka di dasar sungai es bersembunyi orang."
Cing-cing ingin tertawa, tapi tidak jadi.
Sedangkan Li Sin-tong lantas bertanya, "Kau tahu gentong itu berada dimana?"
Siau-hong mengangguk, mendadak kakinya menggentak lantai papan dan berkata. "Di sini, di
bawah sini!" Cing-cing memandang Li Sin-tong, dan Li Sin-tong memandang Cing-cing. keduanya tidak
bicara tapi di bawah lantai sudah terdengar orang berbicara.
Suara seorang perempuan yang terdengar agak serak dan dingin berseru, "Jika kau tahu aku
berada di bawah sini, mengapa tidak lekas kau turun kemari!?"
ooo000ooo Gentong yang tingginya lebih dua tombak itu terbagi lagi menjadi dua susun, bagian bawah
penuh berlapiskan kulit berbulu halus sehingga berwujud sebuah tempat tidur yang sangat
enak. Melalui sebuah tangga kecil akan mencapai tingkat atas, tempat yang digunakan makan
minum dan keperluan lain. Kecuali ada meja kursi, sekelilingnya tergantung pula permadani
yang tebal, dan ada sebuah anglo atau perapian yang sangat indah terbuat dari tembaga.
Siau-hong menghela napas, umbul khayalan dalam benaknya bilamana dirinya dapat tinggal
selama beberapa hari dengan anak perempuan yang menyenangkan, maka kehidupan
beberapa hari itu tentu seperti berada di surga.
Dilihatnya seorang perempuan setengah baya dengan wajah lumayan sedang berduduk di
depan sana dan lagi menatapnya.
Rambut perempuan ini tersisir dengan licin dan rajin, mukanya lebar, tulang pelipis agak
tinggi, bibirnya tebal, pori-pori kulit badannya sangat kasar, sikapnya kereng, sama sekali
tidak ada bagian yang menarik.
Orang lain akan merasa mukanya tidak terlalu jelek, bisa jadi lantaran matanya, yaitu pada
waktu dia menatap orang, matanya kelihatan sayu dan menimbulkan perasaan rawan orang.
"Aku Li He," kata perempuan itu sambil menatap Siau-hong. "Dan kau sendiri tentulah Kah
Lok-san." Siau-hong mengangguk. "Apakah kau tahu orang lain sama bilang engkau adalah seekor rase tua?"
"Aku memang rase tua."
"Tapi tampaknya engkau belum lagi tua."
Siau-hong tertawa, katanya. "Sebab kutahu cara membuat orang lelaki awet muda."
"Bagaimana caranya?" tanya Li He. "Perempuan." jawab Siau-hong.
20 Sinar mata Li He seakan-akan mengandung senyuman, ucapnya, "Eh. caramu ini
kedengarannya boleh juga."
Siau-hong juga menatapnya dan berkata dengan tersenyum, "Tampaknya kau pun belum tua."
"Oo?" Li He melengak.
"Dengan cara bagaimana engkau bertahan awet muda?" Mendadak Li He menarik muka,
jengeknya, "Memangnya kau kira kugunakan orang lelaki?"
Dengan tak acuh Siau-hong menjawab, "Asal tidak kau gunakan diriku, apa yang kau pakai
sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan diriku."
Kembali Li He menatapnya, sorot matanya menampilkan semacam perasaan aneh, mendadak
ia berseru, "Ayo, sediakan arak!" "Kedatanganku bukan untuk minum arak," kata Siau-hong.
"Tapi mau tak mau kau harus minum."
"Sebab apa?" "Sebab ku suruh kau minum, kebetulan barang yang kau perlukan juga berada padaku."
Diam-diam Siau-hong gegetun di dalam hati, hidungnya sudah mencium semacam bau sedap
yang sudah sangat dikenalnya.
Santapan yang keluar memang benar serupa yang disajikan Leng Hong-ji dan Jo-jo semalam.
Saking dongkolnya hampir saja Siau-hong jatuh kelengar.
Makanan itu mengepulkan asap, arak Tiok-yap-jing juga masih hangat.
Sebelum Li He buka suara, lebih dulu Siau-hong sudah bicara. Dengan sendirinya arak ini kau
bawa dari pedalaman sana, selama ini tentunya sayang kau minum."
Ia mengira Li He pasti akan merasa heran mengapa dia dapat mengucapkan apa yang hendak
dikatakannya. Siapa tahu Li He justru menggeleng dan berkata, "Salah. arak ini justru diantar kemari oleh
perempuanmu itu. Aku belum minum, sebab kutakut di dalam arak ditaruh racun."
Siau-hong menyengir, setiap orang tentu pernah berbuat salah. Katanya kemudian. "Makanya
kau minta kucoba dulu arak ini?"
Li He tidak bicara, dan Siau-hong lantas angkat cawan, sekali menenggak dihabiskannya
isinya. Pembawaan Siau-hong menguasai semacam kepandaian istimewa, yaitu daya rasanya jauh
lebih peka daripada kebanyakan orang. Bilamana di dalam arak ada racun, begitu arak
menempel bibir segera akan dirasakannya. Kalau tidak mungkin selama ini dia sudah mati
keracunan beratus kali. Li He meliriknya sekejap, tiba-tiba ia bertanya pula, "Kabarnya perempuanmu itu sangat
cantik. Siapa namanya?" "Jo-jo," jawab Siau-hong.
"Hm, jika kau punya perempuan secantik itu, mengapa kau main gila lagi di luaran, sambar
sini dan gaet sana, sampai bini orang juga kau sikat?"
Siau-hong tertawa, katanya, "Hong-ji dan Tong cilik itu agaknya bukan lagi bini orang, dan
aku suka kepada perempuan."
Mendadak Li He tertawa, katanya. "Sekarang aku pun bukan isteri orang lagi, aku pun
perempuan." "Tapi sayang dalam pandanganku, engkau tidak lebih cuma seorang yang hendak
mengadakan bisnis denganku."
"Bisnis kita sekarang kan juga sudah selesai?" ujar Li He.
"Kurasa belum, meski uang sudah kubayar, tapi barang belum kau serahkan."
"Jangan kualir, barang yang kau minta besok akan kuberikan padamu."
"Mengapa harus menunggu sampai besok?" tanya Siau-hong. Li He juga menuang satu cawan
arak dan diminum perlahan, matanya menampilkan pula perasaan yang aneh. Katanya
kemudian "Kita sudah sama-sama dewasa, tidak perlu bermain seperti anak kecil."
"Aku pun tidak ingin main-main seperti anak kecil," kata Siau-hong.
21 "Lelaki di tempat ini kebanyakan serupa keledai yang dungu, kotor dan bau," ucap Li He
sambil menatapnya. "Hampir sepanjang tahun mereka tidak pernah mandi, asalkan berdekatan
dengan mereka, aku lantas muak akan tetapi engkau ... engkau ..."
"Aku kenapa?" tanya Siau-hong.
"Engkau ternyata lebih muda daripada dugaanku, badanmu kelihatan kekar, keras dan
pandangan Li He bertambah sayu, napasnya tiba-tiba menjadi agak memburu. "Apa yang
kuinginkan, masa belum lagi kau pahami?"
''Sedikitpun aku tidak paham," sahut Siau-hong. Li He menggigit bibir, "'Aku pun perempuan,
dan perempuan kebanyakan tidak dapat kekurangan lelaki. Namun aku ... aku sudah beberapa
bulan tidak punya lelaki, aku......"
Napasnya bertambah terengah, mendadak ia condong ke sebelah sini dan memegang tangan
Siau-hong. Terlalu kuat pegangannya sehingga kukunya hampir menancap daging tangan
Liok Siau-hong. Mukanya sudah ada butiran keringat, hidungnya berkembang-kempis dan tersengal-sengal,
mukanya bersemu merah dan ....
Tapi Siau-hong tetap tidak bergerak. Tingkah orang perempuan begini sudah sering
dilihatnya, yaitu pada saat penuh gairah dan sangat terangsang burulah wajahnya
menunjukkan perasaan demikian. Tapi sekarang Li He hanya memegang tangannya saja.
Dalam sekejap ini tiba-tiba ia paham sebab apa perempuan ini minggat bersama Ting-lotoa
dan mengapa mau menjadi isteri si jenggot biru.
Tak perlu disangsikan lagi, dia pasti seorang perempuan yang bernafsu besar, apalagi usianya
juga pada masa penuh birahi.
Meski mukanya tidak cantik, tapi perempuan macam ini biasanya memiliki semacam daya
tarik yang aneh dan jahat, lebih-lebih bibirnya yang tebal itu, selalu mengingatkan lelaki pada


Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hal-hal yang tidak senonoh.
Siau-hong masih juga tidak bergerak. Tapi mau tak mau dia harus mengakui bahwa hatinya
mulai goyang. Biji lehernya mulai naik turun, mulutnya mendadak terasa kering, ia ingin pergi saja. tapi Li
He sudah lantas jatuh dalam pelukannya, menindihnya erat-erat,
Belum pernah Siau-hong melihat perempuan yang begini besar hasratnya, hampir saja ia tidak
dapat bernapas. Li He sudah mulai ....
Pada saat itulah mendadak terdengar suara "blang" yang keras, papan di atas telah dibuka
orang, seorang berteriak dengan histeris, "Biarkan kumasuk, aku harus masuk ke situ! Barang
siapa merin-tangiku, segera kubunuh dia."
Siau-hong terkejut, Li He juga lantas bangun berduduk dengan napas masih terengah-engah.
Mendadak seorang perempuan melompat turun dari atas, mukanya yang bulat tampak
berkerut-kerut karena marahnya, matanya mendelik. Seketika Siau-hong hampir tidak kenal
lagi bahwa perempuan ini adalah Tong Ko-king yang selalu pasang ak.si di bawah papan
merek rumah minumnya. "Kau.......... " Li He melompat bangun dan menegur dengan gusar, "Untuk apa kau datang ke
sini, lekas enyah!" Tapi Tong Ko-king mendeliki Li He dan menjawab dengan tidak kurang garangnya, "Aku
justru tidak mau enyah! Mengapa aku tidak boleh datang ke sini" Kau larang aku menyentuh
orang lelaki, kau sendiri mengapa main gila dengan lelaki?"
Li He tambah gusar, bentaknya dengan bengis. "Kau tidak berhak mengurus, apa pun yang
kulakukan bukan hakmu untuk ikut campur!"
"Siapa bilang aku tidak berhak ikut campur" Kau milikku, aku pun melarang lelaki
menyentuh dirimu!" teriak Ko-king.
22 Mendadak Li He memburu maju dan menampar mukanya dengan keras, kontan muka Tong
Ko-king bertambah beberapa jalur merah. Sekonyong-konyong ia pun menubruk maju dan
menggeluti Li He, serupa cara Li He menggeluti Siau-hong tadi.
"Aku perlu kau, mati pun aku menghendaki kau," teriak Tong Ko-king. Meski kepalan Li He
menghujani tubuhnya, tetap digelutinya tak terlepas. Malahan ia berteriak pula, "Aku pun
sama baiknya serupa lelaki, tentunya kau tahu. mengapa kau ...."
Siau-hong tidak mau mendengarkan lagi, juga tidak ingin menonton pergumulan dua
perempuan lesbian ini, ia cuma merasa mereka harus dikasihani, menggelikan dan juga
memuakkan. Diam-diam ia mengeluyur pergi, akhirnya ia paham juga mengapa Tong Ko-king benci kaum
lelaki dan ingin menyiksa orang lelaki. Ia jadi ingin tumpah bilamana teringat dirinya pernah
memegang tangannya. Malam mendadak tiba. Sampai Siau-hong sendiri tidak tahu bilakah hari mulai gelap. Ia pun
tidak kembali ke Thian-tiang-ciu-lau, dia masuk rumah minum terdekat, membeli satu guci
arak dan duduk minum sendiri di tempat ini.
Inilah sebuah rumah papan kayu yang tak berpenghuni, terletak di tepi sungai, mungkin
penghuni rumah ini telah pindah ke kota yang dibangun di atas sungai beku itu. Pintu rumah
ini hampir tersumbat oleh timbunan salju beku.
Angin menembus masuk melalui celah-celah jendela dan pintu, dingin seperti menyayat. Tapi
Siau-hong tidak merasakannya.
Dia berharap Li He akan menepati janji dan esoknya akan menyerahkan Lo-sat-pay, lalu dia
akan berangkat. Pada waktu datang ia pernah merasakan tempat ini indah dan gemilang, dimana-mana penuh
sesuatu yang serba baru dan merangsang.
Tapi sekarang dia berharap bisa lekas angkat kaki, lekas pulang, makin cepat makin baik.
Di atas meja butut ada sebuah lentera minyak, masih ada sisa minyak sedikit. Tapi dia tidak
ingin menyalakan lampu, ia sendiri tidak lahu mengapa selama dua hari ini dia berubah
sedemikian pendiam, muram dan kesal, sungguh ia ingin mencari Koh-siong Sian-sing untuk
beradu minum arak saja. Anehnya, begitu sampai di sini, Swe-han-sam-yu seakan-akan menghilang dari muka bumi
ini. Dipandang dari jauh, kota di atas es itu masih gilang gemilang, malam di sini datangnya
terlebih cepat, saat ini mungkin belum terlalu malam, masih cukup panjang menantikan
datangnya esok. Dan cara bagaimana dia harus mengisI malam yang panjang ini"
Siau-hong mengangkat guci araknya, tapi lantas ditaruh lagi. sebab tiba-tiba didengarnya dari
permukaan salju di luar berkumandang suara langkah orang yang sangat perlahan.
Dalam keadaan dan di tempat seperti ini, siapakah yang datang kemari"
Mendadak daun jendela didobrak dan seorang melompat masuk.
Karena pintu sudah tersumbat, Siau-hong juga masuk ke situ melalui jendela.
Di bawah pantulan cahaya salju .samar-samar dapat diketahui orang ini memakai sebuah
mantel yang panjang dan longgar, tangan membawa sebungkus barang dan "brak", bungkusan
yang dibawanya itu ditaruh di atas meja, dengan tangan yang menggigil kedinginan ia
mengeluarkan geretan dan menyalakan lampu di atas meja.
Habis itu barulah dia berpaling menghadapi Liok Siau-hong, katanya dengan tersenyum,
"Dugaanku ternyata tidak meleset, engkau memang berada di sini."
Muka tampak pucat sebab kedinginan, hidungnya kemerah-merahan, senyumnya tetap lembut
dan cantik, dia adalah Tan Cing-cing.
Siau-hong tidak terkejut, tapi ia ingin tahu, maka tanyanya. "Cara bagaimana dapat kau duga
aku berada di sini?"
23 "Sebab kulihat engkau menuju ke sini dengan membawa seguci arak, di sekitar sini hanya ada
tempat peneduh ini," tutur Cingcing dengan tersenyum, "Meski aku tidak pintar, tapi juga
tidak bodoh." "Jadi sengaja kau datang kemari mencariku." "Ehmm," Cing-cing mengangguk. "Untuk apa?"
tanya Siau-hong. Tan Cing-cing menuding bungkusan yang dibawanya, kata nya, "Mengantar santapan
pengiring arak bagimu."
Sambil tersenyum ia lantas membuka bungkusan itu dan berkata pula, "Betapapun engkau
adalah tamu kami, tidak boleh sampai engkau kelaparan."
Siau-hong memandangnya dengan dingin, mendadak ia menjengek. Mestinya kau tidak
datang kemari." "Kenapa tidak boleh kemari?" tanya Cing-cing. "Sebab aku ini setan perempuan, masakah kau
tidak takut...." Cing-cing tidak memberi kesempatan bicara lebih lanjut padanya, dengan
tersenyum ia memotong, "Jika aku takut, tentu aku tidak datang,"
Bilamana kata-kata ini diucapkan Ting-hiang-ih, tentu akan penuh gaya merayu. Jika
diucapkan Jo-jo, tentu penuh gaya menantang.
Tapi sikap Cing-cing ternyata tenang-tenang saja, sebab dia cuma bicara tentang kenyataan
saja. Ucapan itu sama artinya: Kutahu engkau seorang Kuncuv maka kudatang. Aku pun tahu
engkau pasti akan memperlakukan diriku sebagai seorang Kuncu.
Dalam keadaan biasa, bila seorang perempuan bersikap demikian kepada seorang lelaki,
memang dapat dikatakan akal yang pintar. Cuma sayang, keadaan Liok Siau-hong sekarang
tidaklah biasa. Dia justru sedang lesu, muram, bahkan keki setengah mati. Dia keki kepada Jo-jo, kepada Li
He, kepada Tong Ko-king, juga keki terhadap dirinya sendiri. Ia merasa apa yang
diperbuatnya selama dua-tiga hari ini pantas dihukum rangket seratus kali.
Didengarnya Tan Cing-cing berkata lagi, "Sengaja kubawakan ayam bakar dan daging
pindang, perlu kau makan sedikit."
Siau-hong menatapnya tajam, katanya perlahan, "Aku cuma ingin makan sesuatu."
"Kau ingin makan apa?" tanya Cing-cing. "Makan dirimu!" jawab Siau-hong.
Tidak terjadi perlawanan, tidak ada pengelakkan, bahkan juga tidak ada penolakan. Apa pun
yang akan berlangsung agaknya memang siap diterimanya.
Meski reaksi Cing-cing tidak terlalu mesra, tapi cukup wajar. Sekarang keduanya sudah
kembali dalam keadaan tenang. Perlahan Cing-cing berjangkit dan berdandan sekadarnya.
Tiba-tiba ia menoleh dan bertanya dengan tertawa, "Sekarang kau ingin makan apa?"
Siau-hong juga tertawa, "Sekarang apa pun ingin kumakan, umpama seekor lembu kau bawa
kemari juga dapat kutelan bulat-bulat."
Kalau hasrat sudah terpenuhi, nafsu makan pun bertambah besar.
Keduanya tersenyum dan saling pandang, sesuatu perbuatan yang mestinya harus disesali
tiba-tiba berubah menjadi riang gembira.
Mencorong sinar mata Tan Cing-cing, katanya, "'Sekarang dapatlah kupahami sesuatu
urusan." "Urusan apa?" tanya Siau-hong.
"Betapapun bagusnya sesuatu makanan, bila di dalamnya tidak diberi garam, makanan itu
pasti akan berubah cemplang dan tidak enak."
"Ya, pasti hambar," tukas Siau-hong dengan tertawa. "Dan lelaki juga begitu," sambung Cingcing.
"Mengapa bisa kau persamakan lelaki?" Siau-hong merasa tidak paham.
Dengan tersenyum Cing-cing menjawab, "Betapa baiknya lelaki kalau tidak ada perempuan,
tentu dia akan berubah menjadi rusak, rusak sama sekali."
24 Wajahnya yang bersemu merah itu sungguh sangat menggiurkan. Hati Siau-hong jadi
berdetak lagi dan ingin menarik pula tangannya.
Tapi sekali ini dengan gesit Cing-cing menghindarinya, lalu bicara dengan sungguh-sungguh,
"Sebenarnya kedatanganku ini hendak memberitahukan satu hal padamu."
"Mengapa tidak kau katakan sejak tadi?"
"Sebab kulihat engkau lagi lesu dan kesal, tidak berani kukatakan," "Dan sekarang tentunya
dapat kau katakan." Cing-cing mengangguk perlahan, dengan sendirinya ia tahu kelesuan
Siau-hong sekarang sudah sembuh, katanya, "Kuharap setelah kau dengar urusan ini
Janganlah kau cemas dan gelisah."
"Aku takkan gelisah, lekas katakan." pinta Siau-hong. Meski di mulut dia bilang takkan
gelisah, buktinya dia sudah tidak sabar lagi.
Akhirnya Cing-cing menghela napas dan berkata, 'Tong Ko-king sudah mati, dibunuh oleh Li
He." "Li He membunuhnya?" Siau-hong menegas dengan kening berkernyit. "Sebab apa?"
"Entah?" sahut Cing-cing.
"Tidak kau tanya dia?"
'Tidak, sebab Li He kembali menghilang. Sekali ini dia benar-benar hilang, sudah lama sekali
kami mencarinya, bayangannya saja tidak kelihaian."
Belum habis ceritanya, serentak Siau-hong sudah meloncat bangun.
"Kutahu bila kau dengar kabar ini. tentu kau akan melonjak kaget. Sebab selain dia, siapa pun
tidak tahu Lo-sat-pay disimpannya dimana."
Kembali Siau-hong melonjak terlebih tinggi. "Ke-12 buah peti juga dia sendiri yang
memerintahkan orang membawanya pergi, orang lain juga tak tahu peti dikirim kemana."
"Mengapa urusan ini baru sekarang kau beritahukan padaku?" teriak Siau-hong.
"Sekarang saja sudah setinggi ini engkau melonjak, jika kukatakan tadi, bukan mustahil
hidungku bisa meleyot kau jotos."
Siau-hong duduk kembali dan tidak melonjak lagi, juga tidak berteriak.
"Lantaran diriku, makanya kau mau menyerahkan peti lebih dulu kepadanya?"
"Ehmm," Siau-hong mengangguk.
"Dan sekarang petimu sudah tidak ada, dia juga menghilang. Menurut pendapatmu, apa yang
harus kulakukan?" "Kan sudah kau dapatkan akal yang sangat baik dan telah menutup mulutku,'" jcngek Siau
hong. Cing-cing menunduk, ucapnya lirih, "Jika kau sangka sengaja kubcrbuat demikian hanya
untuk membungkam mulutmu, maka salahlah kau. Aku kan dapat lari bilamana kutakut
dilabrak olehmu." Matanya kelihatan basah, hampir menitikkan air matanya.
Hati Siau-hong menjadi lunak, mendadak ia berdiri dan berkata, "Jangan kuatir, dia takkan
mampu kabur," "Kau yakin dapat menemukan dia?" tanya Cing-cing.
"Kalau pertama kali dapat kutemukan dia, sekali ini juga dapat.
Meski di mulut dia bicara demikian, padahal dalam hati ia pun tahu sulitnya utusan.
Tujuannya hanya sekedar menghibur Cing-cing saja.
Maklum, bilamana engkau sudah ada hubungan istimewa dengan seorang perempuan,
seumpama dia berbuat salah sesuatu, terpaksa harus kau maafkan dia, malah harus mencari
jalan untuk menghiburnya.
"Ai, mengapa kaum lelaki selalu diliputi persoalan ruwet begini?" demikian Siau-hong
membatin. Dalam keadaan begini, sungguh ia ingin cukur rambut dan menjadi Hwesio saja
seperti Lau-sit Hwesio. 25 "Setelah membunuh Tong Ko-king. tentu timbul rasa takutnya, makanya dia kabur," demikian
kata Siau-hong. "Ehmm," Cing-cing setuju.
"Waktu itu tentunya kau pun berada di kasino sana, masa tidak kau lihat dia kabur ke arah
mana?" 'Tidak," jawab Cing-cing. "Ketika kudengar jeritan Ko-king dan memburu ke bawah, ternyata
dia sudah menghilang."
"Orang lain juga tak ada yang melihatnya?" tanya Siau-hong.
Cing-cing menggeleng, "Tempat ini, asalkan hari sudah gelap, setiap orang lantas
bersembunyi di dalam rumah masing-masing, apalagi semalam terlebih dingin daripada
biasanya Waktu itu juga saatnya orang makan malam "
Siau-hong termenung, katanya, "Tapi kutahu ada satu orang yang tidak takut dingin, betapa
dinginnya cuaca dia tetap berkeluyuran di luaran."
"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Cing-cing.
"Si Kambing tua."
"Apakah makhluk tua aneh yang tinggal di dalam gentong raksasa itu?"
Siau-hong mengangguk, "Ya, kau pun tahu gentong raksasa itu?"
"Tadi waktu kudatang kemari, kulihat ada cahaya api di sana, seperti rumah terbakar."
"Tapi di sana tidak ada rumah, gentong itu juga tidak dapat terbakar," ujar Siau-hong sambil
berkerut kening. "Makanya aku pun tidak mengerti apa yang terjadi." "Jika begitu lekas kita pergi ke sana,"
ajak Siau-hong. Hawa sungguh teramat dingin, angin yang meniup kencang serasa menembus
baju kulit dan merasuk tulang.
Sebelum mereka melihat gentong raksasa itu, lebih dulu dari hembusan angin sudah tercium
bau sedap arak yang keras.
Hidung Siau-hong hampir beku, tapi dapat tercium juga bau arak itu, seketika ia berkerut
kening dan berseru, "Wah, celaka!" "Celaka urusan apa?" tanya Cing-cing, "'Arak apapun
kalau terminum ke dalam perut takkan menyiarkan bau harum demikian."
"Tapi kalau atak terbakar, bukankah baunya akan tersebar luas?" tukas Cing-cing.
Siau-hong mengangguk, "Tapi si Kambing tua takkan membakar arak, biasanya dia masukkan
arak ke perutnya." Cing-cing juga mengernyitkan kening, "Apakah kau pikir ada orang menyalakan arak untuk
membakar gentongnya?"
"Ya, seumpama gentong itu tak terbakar, orangnya bisa mati terbakar."
"Tapi siapa yang membakarnya" Mengapa Kambing Tua harus dibakar?"
"Sebab rahasia yang diketahuinya terlalu banyak," ujar Siau-hong.
Seorang kalau perutnya terisi rahasia terlalu banyak, jadinya serupa gudang kayu yang
disiram minyak, mudah terbakar.
Sekarang api kelihaian sudah padam. Waktu mereka tiba, gentong raksasa itu tampak sudah
berubah berwarna hitam, di sekelilingnya bertimbun kayu bakar yang tinggi, semua kayu
sudah hangus terbakar. Di tengah hembusan angin masih tersisa bau harum arak, tumpukan kayu setinggi ini, disiram
arak lagi, temu apinya sangat besar. Jangankan di dalam gentong cuma ada seekor 'Kambing
tua' sekali pun terdapat sepuluh ekor lembu juga akan terpanggang sampai hangus.
"Bau arak belum buyar, api juga belum lama padam." ucap Cing-cing.
"Coba kumasuk ke sana. kau tunggu saja di sini," kata Siau-hong.
Segera ia meloncat ke atas, tetapi mendadak melompat turun pula.
"MEngapa tidak jadi masuk ke situ?" tanya Cing-cing. "Aku tidak dapat masuk! "Sebab apa?"
"Sebab di dalam gentong penuh terisi es beku."
26 Di tempat ini, biar pun air panas yang dituangkan juga akan segera terbeku menjadi esr siapa
pun tidak mampu menuang air satu gentong penuh, apalagi gentong sebesar ini, dan mengapa
di dalam gentong bisa penuh es beku"
Siau-hong angkat pundak dan berkala, "Setan yang tahu....."
Belum lenyap suaranya, mendadak terdengar suara "prak". gentong raksasa itu merekah,
menyusul terdengar lagi suara "krek" kembali merekah lagi satu celah besar. Gentong raksasa
buatan khusus ini dalam sekejap telah pecah dan tercerai-berai, dinding gentong pecah sebesar
meja, lalu rontok dan hancur.
Meski gentong itu pecah, tapi es di dalamnya tidak remuk, di bawah cahaya bintang yang
remang-remang tampaknya serupa sebuah bukit es yang berdiri tegak, bukit es yang bening
dan tembus pandang, di dalamnya seperti ada lukisannya.
"Apakah kau membawa geretan api?" tanya Siau-hong.
Cing-cing lantas menyerahkan geretan yang diminta. Siau-hong menjumput sebatang kayu
dan disulut. Setelah obor menyala, hati kedua orang seketika tenggelam, hampir saja Cingcing
tidak kuat berdiri lagi. Sampai Siau-hong sendiri juga merasa ngeri. Selama hidupnya tidak pernah dilihatnya adegan
sedemikian menakutkan. Di bawah gemerdep cahaya obor, bukit es yang tembus pandang itu serupa sepotong batu
kristal raksasa dengan cahayanya yang kemilauan. Di tengah gemerdepnya cahaya kemilau itu
terdapat dua manusia yang berdiri terapung tanpa bergerak. Dua sosok tubuh yang terbeku di
dalam bukit es. Keduanya telanjang bulat, seorang kepalanya di atas sedang seorang lagi kaki di atas. Yang
satu kurus kering, jelas dia si Kambing tua. Seorang lagi berpayudara besar dan berpaha
padat, ternyata Li He adanya.
Mata kedua orang sama melotot besar, yang satu di atas dan yang lain di bawah, seakan-akan


Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang mendeliki Cing-cing dan Siau-hong.
Akhirnya Cing-cing menjerit, lalu jatuh pingsan. Waktu ia siuman kembali, ia sudah berada di
kasino Pancing Perak, sudah berada di dalam kamar tidur sendiri.
Kamar tidur Cing-cing ini terpajang sangat indah, setiap benda terasa ditaruh pada tempat
yang sangat serasi, hanya kulit beruang yang besar dan tebal, yang dilapiskan di atas kursi itu
yang kelihatan agak menyolok.
Dan sekarang Liok Siau-hong duduk di atas kursi berlapiskan kulit beruang itu. Belum pernah
dia berduduk di kursi seenak ini, empuk dan hangat.
Sudah sekian lama Cing-cing siuman, sedangkan Siau-hong seperti ingin tidur, sejak tadi
tidak pernah terpaling. Api tungku menyala keras, cahaya lampu juga sangat terang, apa yang terjadi dirasakan
seperti impian masa kanak-kanak yang sudah lama berlalu.
Perlahan Cing-cing menghela napas, ucapnya dengan tersenyum, "Untung tadi aku jatuh
pingsan, bilamana kulihat mereka sekejap lagi, bisa jadi aku akan mati kaget."
Siau-hong tidak buka suara, juga tidak menanggapi.
Cing-cing memandangnya dengan terbelalak, katanya pula, "Apa yang sedang kau pikirkan?"
Akhirnya Siau-hong menjawab dengan perlahan, "Jika di dalam gentong tak berisi air, tentu
takkan beku menjadi es. Jika siapa pun tak sanggup menuang air ke dalam gentong, lalu
darimana datangnya air segentong penuh itu?"
"Apakah dapat kau pecahkan hal itu sekarang?" tanya Cing-cing.
Siau-hong tidak langsung menjawabnya, katanya pula. "Waktu aku pergi ke sana kemarin, di
tepi sungai sana masih banyak timbunan salju, tapi tadi timbunan salju itu sudah lenyap,
kemana perginya?" Biji mata Cing-cing berputar, "Apakah lari ke dalam gentong itu?"
27 Siau-hong mengangguk, "Ya. jika kau nyalakan api di luar gentong, bukankah salju yang
tertimbun di dalam gentong akan cair menjadi air?"
Mencorong sinar mata Cing-cing, "Dan kalau api padam, air di dalam gentong dengan cepat
akan beku menjadi es pula."
''Dan sebelum air membeku, Li He dan si Kambing tua sudah dilemparkan orang ke dalam
gentong," tukas siau-hong,
Cing-cing menggigit bibir, "Rupanya setelah membunuh Ko-king, Li He lantas mencari si
Kambing tua, sebab mereka memang kenalan lama. bahkan......"
Bahkan keduanya sudah ada main, maklum, meski usia si Kambing tua agak lanjut, tapi
tubuhnya masih kuat. Li He sendiri juga sedang memerlukan lelaki.
Hal itu tidak diucapkan oleh Cing-cing, juga tidak sampai hati mengucapkannya. Tapi ia tahu
Siau-hong pasti juga paham.
Benarlah, Siau-hong lantas menghela napas panjang, katanya. "Bisa jadi pada saat mereka
sedang bergumul itulah mereka dibunuh orang".
"Siapa yang membunuh mereka" Dan sebab apa?" tanya Cing-Cing.
"Aku tidak tahu siapa orang ini, tapi kuyakin pasti juga lantaran Lo-sat-pay."
"Tapi setelah Li He terbunuh. Lo-sat-pay kan belum pasti akan diperolehnya?"
Siau-hong menyengir, katanya, "Sekali pun ia sendiri tidak memperolehnya, yang jelas dia
juga tidak suka kuperoleh Lo-sat-pay itu."
"Aku tetap tidak mengerti, setelah dia membunuh Li He, mengapa mesti bersusah payah
mencairkan salju menjadi air, lalu membekukan Li He di dalam es."
"Mungkin semula dia hanya mengancam Li He agar menyerahkan Lo-sat-pay sebelum air
membeku menjadi es."
"Akan tetapi Li He juga bukan orang bodoh, dengan sendirinya ia tahu biarpun Lo-sat-pay
diserahkan toh nasibnya tetap akan mati, maka ...."
"Maka Lo-sat-pay saat ini pasti masih tersimpan di tempat semula." tukas Siau-hong,
Cing-cing menghela napas, katanya, "Cuma sayang Li He sudah mati, rahasia ini tidak
diketahui oleh orang lain."
Siau-hong berbangkit dan termenung sampai lama menghadapi api tungku, lalu berkala
perlahan, "Ada seorang kawanku, dia pernah memberitahukan padaku bahwa di tempat ini
hanya ada dua orang yang dapat dipercaya, yang satu ialah si Kambing tua, dan yang lain
ialah dirimu." Cing-cing tampak sangat terkejut, tanyanya, "Siapa sahabatmu isu" Dia kenal padaku?"
"Dia adalah kawanmu sejak masa kanak-kanak." "Hah, dia Ting-hiang-ih"!" seru Cing-cing
dengan terbelalak "Cara bagaimana kau kenal dia?"
"Kuharap asalkan kau tahu dia adalah sahabatku, urusan lain sebaiknya jangan kau tahu
terlalu banyak." Cing-cing memandangnya lekat-lekat, akhirnya mengangguk dan berkata. "Baik. kupaham
maksudmu, aku pun berharap kau tahu bahwa setiap sahabatnya adalah juga sahabatku."
"Sebab itulah engkau pasti takkan berdusta padaku." "Ya, pasti tidak."
"Jika kau tahu dimana Lo-sat-pay disembunyikan, pasti akan kau katakan padaku?"
"Tapi aku benar-benar tidak tahu."
Kembali Siau-hong menghela napas panjang, "Makanya seharusnya Li He tidak boleh mati,
lebih-lebih tidak boleh mati sedemikian mengerikan. Padahal di sini tidak ada orang gila,
yang ada cuma orang setengah gila."
"Siapa?" tanya Cing-cing.
"Li Sin-tong," jawab Siau-hong.
Cing-cing tambah terkejut, "Hah, kau anggap dia tega turun tangan keji terhadap kakaknya
sendiri?" 28 Siau-hong tidak menjawab, sebab mendadak dari luar menerobos masuk satu orang sambil
berteriak dan berkeplok tertawa, "Ha ... ha ... akhirnya dia mau kawin denganku, akhirnya aku
mempunyai isteri. Lekas kalian hadir pada pesta nikahku."
Orang ini ternyata Li Sin-tong adanya.
Dia masih memakai jubah merah besar dan longgar itu, tetap memakai topi hijau tinggi,
mukanya bahkan berbedak sehingga kelihatannya tambah gila daripada dulu, entah dia benar
gila atau cuma pura-pura gila"
Cing-cing tidak tahan, segera ia bertanya, "Siapa yang mau menjadi isterimu?"
"Dengan sendirinya pengantin baruku." sahut Li Sin-tong.
"Dimana pengantin barumu?" tanya Cmg-cmg pula.
"Dengan sendirinya di kamar pengantin," sahut Li Sin-tong. lalu ia berkeplok sambil
bernyanyi seperti orang gila benar terus berlari pergi lagi.
"Apakah kau ingin melihat pengantin barunya?" tanya Cing-cing kepada Siau-hong.
"Ingin," sahut Siau-hong.
Dengan sendirinya Li Sin-tong juga mempunyai kamar tidur sendiri, di dalam kamar benarlah
sudah dinyatakan sepasang lilin merah besar di atas meja, di tempat tidur juga berduduk
seorang pengantin perempuan yang bergaun merah dan memakai cadar merah.
Pengantin perempuan ini duduk miring bersandar di ujung tempat tidur, dan Li Sin-tong
berdiri di sampingnya, tiada hentinya tertawa dan dada hentinya bernyanyi. Nyanyinya lebih
buruk dari pada suara gagak.
Cing-cing berkerut kening, ucapnya, "Kedatangan kami bukan untuk mendengarkan
nyanyianmu, dapatkah kau tutup mulut?"
Li Sin-tong cengar-cengir, katanya, "Tapi biniku sungguh cantik, kau ingin melihatnya
tidak?" "Ingin," sahut Cing-cing.
Segera Li Sin-tong hendak menyingkap cadar merah itu, tapi mendadak ia menarik tangannya
dan bergumam, "Ah, harus kutanya lebih dulu apakah dia mau menemui kalian."
Dia benar-benar setengah berjongkok dan bisik-bisik dengan si pengantin perempuan.
Jelas pengantin perempuan sama sekali tidak buka mulut, bahkan tidak memberi reaksi sedikit
pun, namun Li Sin-tong lantas berjingkrak gembira dan berteriak, "Aha, dia mau, malahan dia
Dewi Ular 5 Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo Persekutuan Pedang Sakti 7
^