Pencarian

Keajaiban Negeri Es 2

Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung Bagian 2


minta kalian menyuguh secawan arak kepadanya."
Lalu ia menjulurkan tangannya lagi dan sekali ini dia benar-benar menyingkap cadar si
pengantin perempuan. Seketika hati Siau-hong dan Cing-cing tenggelam pula, sekujur badan terasa dingin dan kaku,
bahkan jauh lebih terkejut dan lebih mual daripada melihat kedua mayat yang terbingkai di
dalam gumpalan es tadi. Muka si pengantin perempuan juga teroles pupur yang tebal, Tapi matanya melotot besar
seperti mata ikan emas. Pengantin perempuan ini ternyata sudah mati.
"Tong cilik." seru Cing-cing, "Tong Ko-king!" Tapi Li Sin-tong terus tertawa dengan
riangnya, ia malah membawakan empat cawan arak dan mendekati mereka, secawan
diberikan kepada Tan Cing-cing. Katanya, "Nah, secawan untukmu, secawan untukku,
secawan untuk dia, satu cawan lagi untuk pengantin perempuan."
Terpaksa Siau-hong dan Cing-cing menerima cawan arak itu hati keduanya sama-sama tidak
enak. Tampaknya orang ini benar-benar sudah tidak waras lagi Li Sin-tong lantas berduduk di ujung
tempat tidur, secawan arak diberikan kepada pengantin perempuan, kalanya dengan tertawa,
"Marilah kita minum satu cawan sebagai tanda bahagia kita, habis minum segera kuusir
mereka." Dengan sendirinya pengantin perempuan tidak dapat menerima cawan araknya, maka
mendeliklah dia, ucapnya, "Kenapa engkau tidak sudi minum" Apakah pikiranmu berubah
lagi dan tidak mau menikah denganku?"
29 Cing-cing tidak sampai hati menyaksikan adegan demikian, ia kuatir dirinya bisa menangis,
juga takut dirinya akan tumpah, segera ia berteriak, "Masa tidak kau lihat dia sudah mati,
mengapa......" Mendadak Li Sin-tong berjingkrak dan berseru, "Siapa bilang dia mati" Siapa bilang?"
"Aku yang bilang," sahut Cing-cing.
Li Sin-tong menatapnya dengan beringas dan berteriak, "Mengapa kau bicara semacam ini"1J
"Sebab dia memang betul sudah mati." kata Cing-cing. "jika benar kau suka padanya,
seharusnya kau biarkan dia istirahat dengan tenang."
Mendadak Li Sin-tong menerjang maju sambil berteriak, "Dia tidak mati, tidak mati! Dia
pengantin baruku, dia tidak mati!"
Ia jambret leher baju Tan Cing-cing dan diguncang-guncangkan dengan keras. Muka Cingcing
kelihatan pucat, tapi juga gusar, mendadak ia menggamparnya dengan keras.
"Plak", setelah suara tamparan terdengar, seketika suara tangisan dan teriakannya berhenti,
suasana dalam rumah berubah sunyi senyap seperti di kuburan. Li Sin-tong berdiri termangumangu
kedua matanya yang kaku buram itu tiba-tiba menitikkan air mata, perlahan air mata
merembes ke bawah melalui mukanya yang berbedak tebal itu.
Sorot matanya yang kaku itu masih mendelik. Tan Cing-cing, kelihatan sangat berduka, tapi
juga persis orang gila. Tanpa terasa Cing-cing menyurut mundur dan mengkirik.
Tiba-tiba Li Sin-tong berkata. "Ya, dia memang sudah mati, kuingat bcnar siapa yang
membunuhnya." ?"Sia ... siapa?" tanya Cing-cing.
"Kau. tentu saja kau!" seru Li Sin-Tong. "Kusaksikan sendiri, dengan sebuah kaos kaki kau
cekik mati dia." Mendadak ia membalik dan berlari ke sana, dibukanya leher baju Tong Ko-king sehingga
kelihatan bekas jiratan pada lehernya, lalu berkata pula, "Coba lihat, inilah hasil karyamu,
masa dapat kau sangkal?"
Tan Cing-cing merasa gemas dan gelisah sehingga sekujur badan bergemetar, ucapnya. "Gila,
kau benar-benar gila, untung siapa pun tidak mau percaya ocehan seorang gila."
Li Sin-tong tidak menghiraukannya lagi, mendadak ia menubruk di atas badan Tong Ko-king
dan menangis tergerung-gerung, teriaknya, "O, sayang! Kau tahu sebab apa selama ini aku
mau ikut Ciciku" Soalnya diam-diam aku cinta padamu. Sejauh ini kunantikan jawabanmu
agar mau menikah denganku. Meski aku tidak berduit, tapi si jenggot biru sudah berjanji akan
memberikan 30 laksa tahil perak padaku. Demi ke 30 laksa tahil perak inilah kakak pun
kukorbankan, akan tetapi ... akan tetapi mengapa engkau malah mati?"
Diam-diam Siau-hong mengeluyur keluar, ia merasa bila tinggal lebih lama lagi di situ,
mungkin ia sendiri akan berubah menjadi gila juga.
Seorang memang tidak boleh terlampau mencintai seorang, bila cintanya terlalu mendalam,
akibatnya sering-sering adalah tragis.
Di luar gelap dan dingin, setiba di luar, Siau-hong menarik napas dalam-dalam.
Malam sudah larut, Siau-hong berjalan sendirian kian kemari menyusuri jalan raya. Cahaya
lampu sudah banyak yang dipadamkan, suasana tambah hening.
Entah sudah berapa jauhnya ia berjalan, dan juga entah kapan ia berhenti. Waktu ia
menengadah baru diketahuinya dirinya telah berada di depan toko obat Leng Hong-ji.
Dari balik pintu masih ada cahaya lampu yang menerobos keluar, sampai seban lamanya
Siau-hong termangu. Diam diam ia bertanya kepada dirinya sendiri, "Apakah memang ingin
kucari dia" Kalau tidak, mengapa tepat kuberhenti di depan rumahnya?"
Pertanyaan ini biar pun dia sendiri juga tidak sanggup menjawabnya. Dalam lubuk hati setiap
orang, seringkali tersimpan sesuatu rahasia yang tiduk diketahuinya sendiri, atau mungkin
bukannya tidak tahu. hanya tidak berani menyingkapnya.
30 "Peduli apa pun juga, aku kan sudah datang kemari?" demikian akhirnya Siau-hong
mengambil keputusan. Ia mulai mengetuk pintu.
Pintu hanya dirapatkan saja tanpa dipalang. maka sekali dorong perlahan pintu lantas terbuka.
Di dalam lampu masih menyala, cuma tidak kelihatan orangnya.
Kemana perginya Leng Hong-ji"
Tiba-tiba timbul semacam firasat tidak enak dalam hati Liok Siau-hong, segera ia melangkah
ke dalam. Di ruangan depan tidak ada orang, kamar tidur juga kosong, di dapur pun tidak ada
orang. Sebuah pintu kecil di belakang dapur juga cuma dirapatkan begitu saja sehingga
menimbulkan suara gemeratak bilamana tertiup angin.
Apakah Leng Hong-ji kembali tidak dapat pulas, maka dia keluar melalui pintu belakang ini
dan berduduk di sungai es sana untuk mengintip beruang hitam sebagaimana pernah
diceritakannya itu. Siau-hong meninggalkan tempat Hong-ji itu.
Malam yang gelap seakan dimana-mana penuh sesuatu yang misterius dan menakutkan. Apa
yang akan ditemuinya malam ini"
Meski Siau-hong tidak dapat meramalkannya, tapi ia sudah bertekad akan menemukan Leng
Hong-ji, ia tak ingin Hong-ji juga lenyap dalam kegelapan malam yang misterius ini.
Lalu kemana Hong-ji" Apakah benar lagi mengintai beruang hitam yang katanya sering
muncul, lalu menghilang lagi secara ajaib"
Dilihatnya di kejauhan sana ada kerlipan beberapa titik bintang. Segera ia menuju ke arah
sinar bintang itu. Mendadak didengarnya suara jeritan ngeri dari depan sana, suaranya tajam dan seram, jelas
suara orang perempuan. Dengan kecepatan penuh ia memburu ke sana, di bawah kerlipan bintang yang menyinari
sungai es, kelihatan di situ ada secomot darah segar, beberapa puluh langkah mengikuti
ceceran darah itu dapatlah dilihatnya tubuh Leng Hong-ji yang meringkuk di sana tanpa
bergerak. Tubuhnya sudah kaku, mukanya rusak seperti bekas dicakar oleh lima cakar maut. Apakah
Hong-ji kepergok oleh beruang hitam dan menemui ajalnya di bawah cakar beruang yang kuat
itu. Anehnya binatang buas yang kelaparan itu mengapa tidak menyentuh mayatnya, sama sekali
tidak mengoyaknya. Tubuh Hong-ji tidak ada bekas gigitan, jelas tidak diseret ke sini oleh
seekor beruang, tapi merangkak sendiri ke sini.
Mengapa dia meronta mati matian dan menggunakan sisa tenaganya untuk merangkak sejauh
ini" Meski tubuhnya meringkuk, tapi kedua tangannya terjulur ke depan, kukunya menancap di
dalam es yang keras, seperti orang yang hendak menggali isi sungai. Memangnya ada rahasia
di bawah sungai es ini" Apa pula yang hendak digalinya"
Beberapa bintik bintang di langit akhirnya lenyap juga, bumi raya dengan sungai esnya
diliputi kegelapan belaka.
Saat inilah saat yang paling gelap dalam sehari. Tapi waktu Siau-hong menengadah, matanya
tampak bersinar, seperti cahaya terang sudah berada di depan mata.
Saat yang paling gelap dalam sehari, juga saat yang dekat dengan cahaya terang.
Kehidupan manusia juga begitu. Asalkan dapat kau tahan penderitaan selama masa gelap itu,
akan tercapailah hidupmu yang terang dan penuh harapan.
Ketika sang surya mulai akan memancarkan cahayanya, Liok Siau-hong sudah bersama Jo-jo
dan Tan Cing-cing. Dengan sorot mata yang lembut, mereka lagi memandang Siau-hong,
cuma pan dangan mereka merasa sedih dan bingung Mereka tidak mengerti untuk apa pagiKeajaiban
Negeri Es > Gan K.L. > buyankaba.com 31
pagi buta begini Siau-hong mengajak mereka ke sini. Tapi kemudian baru mereka tahu apa
yang terjadi. Mayat Leng Hong-ji telah digotong pergi, noda darah juga sudah hilang, tapi semua itu sudah
mereka lihat dan sukar untuk dilupakan.
Sejak tadi Cing-cing berdiri diam di samping Siau hong, mukanya pucat, baru sekarang ia
menghela napas dan bergumam, "Sudah lama kudengar di sini ada beruang, tak tersangka
binatang ini sedemikian buas."
"Kau kira dia mati di bawah cakar beruang?" tanya Siau-hong. Hanya cakar binatang buas
saja yang memiliki tenaga sebesar ini, dan hanya beruang saja yang dapat berdiri serupa
manusia serta menubruk mangsanya dengan telapak kaki depan." "Ehmm, betul juga?" ucap
Siau-hong. "Coba kalau tidak kebetulan kau tiba di sini, saat ini mungkin mayatnya saja sukar
ditemukan," ujar Cing-cing dengan sedih. "Di antara kami berempat, hanya aku dan dia saja
yang akrab. Sungguh aku......."
Mendadak suaranya tersendat dan matanya merah, ia terus mendekap di bahu Liok Siau-hong
dan menangis tersedu-sedan.
Tanpa terasa Siau-hong merangkul pinggangnya. Jika di antara seorang lelaki dan seorang
perempuan sudah mempunyai sesuatu hubungan yang istimewa, maka serupa debu yang
tersorot sinar matahari, sukar mengelabui mata orang.
Jo-jo melototi mereka, mendadak ia mendengus, "Hm, kedatanganku ini bukan untuk melihat
kalian main sandiwara. Selamat tinggal!"
Sekali bicara pergi, seketika juga dia angkat kaki.
Sesudah Jo-jo melangkah agak jauh, tiba-tiba Siau-hong berucap, "Kau tidak mau menonton
sandiwara, memangnya juga tidak mau melihat Lo-sat-pay?"
Kata-kata ini serupa tali laso yang menjerat kaki Jo-jo, seketika ia memutar balik dan berseru.
"Kau bilang Lo-sat-pay" Benda itu sudah kau temukan" Dimana?"
"Di sini," sahut Siau-hong.
Sini yang dimaksudkan adalah tempat dimana mayat Leng Hong-ji menggeletak tadi, yaitu
tempat yang sedang digaruk tangan Hong-ji sehingga kukunya masih tertanam di dalam es.
Padahal es beku itu tebalnya belasan kaki, kerasnya serupa baja, jangankan tangan manusia,
sekalipun dicangkul atau dipalu juga sukar menembusnya.
"Kau bilang Lo-sat-pay berada di bawah sungai es ini?" Jo-jo
bertanya pula. "Ya, pasti berada di sini, paling-paling dalam lingkaran satu tombak di bawah sini," tutur
Siau-hong. "Memangnya matamu mampu tembus pandang tanah es setebal ini sehingga kau tahu apa
yang terpendam di dasar sungai?" ejek Jo-jo.
Tempat ini sangat dekat dengan tepi sungai, warna es di sini seperti lebih gelap daripada
tempat lain. Hanya mata telanjang manusia tentu saja sukar memandang tembus ke bawah,
tapi terlihat juga sepotong pohon kering yang menongol di permukaan sungai. Mungkin pada
waktu sungai mulai beku, pohon itu kebetulan tumbang dari tepi sungai. Ranting pohon entah
dipapas oleh siapa, hanya sebagian batang pohon yang menongol di permukaan sungai
sehingga serupa bangku panjang, bila duduk di atas 'bangku' ini, tepat berhadapan dengan
bukit bersalju di kejauhan serta sebuah kuil di seberang sana.
"Meski tidak dapat kutembus pandang, tapi dapat kurasakan," demikian jawab Siau-hong atas
ejekan Jo-jo tadi. "Toh hal ini belum ada buktinya, seumpama betul Lo-sat-pay terpendam di bawah, betapa pun
sukar bagimu untuk menggalinya," jengek Jo-jo.
Siau-hong tertawa, ucapnya, "Sejak kecil sudah kudengar dua pameo yang sangat berguna
bagi orang hidup." 32 "Tapi sayang, pameo yang betapa bergunanya tetap tak dapat membuat sungai es ini cair,"
jengek Jo-jo pula. Siau-hong tidak menghiraukannya lagi, "Pameo pertama mengatakan: "Di dunia ini tidak ada
pekerjaan sulit, yang diperlukan adalah tekad orang". Lalu pameo lain bilang, "Bila ingin
menyelesaikan sesuatu pekerjaan denganlancar, yang utama adalah ketajaman peralatannya".
Nah, tentunya kau paham arti kedua pameo ini."
"Aku justru tidak paham," sahut Jo-jo. "Artinya, asalkan punya tekad yang teguh dan punya
genggaman yang efektif, maka di dunia ini tidak ada pekerjaan yang tak dapat
diselesaikan." "Cuma sayang, tekadmu tak kulihat, genggamanmu juga tidak kulihat."
Kembali Siau-hong tertawa, "Nanti pasti akan kau lihat."
Maka Jo-jo lantas berdiri di samping dan melihatnya.
Siapa pun tidak menyangka gaman atau alat yang digunakan Liok Siau-hong tidak lain cuma
belasan batang bambu dan sebuah botol kecil saja.
"Inikah alat kerjamu?" tanya Jo-jo dengan tertawa geli.
Siau-hong tidak menghiraukan ocehannya, dia kelihatan sangat prihatin dan bekerja dengan
sangat khidmat, dengan hati-hati ia membuka tutup botol lalu menuang satu tetes isi botol itu,
cairan warna kuning muda yang menetes di atas sungai es itu seketika menerbitkan suara
"cress" disertai mengepulnya asap hijau. Es batu sekeras baja itu lantas berlubang oleh tetesan
kuning itu. Belum lagi asap itu buyar, Siau-hong lantas mengangkat sebatang bambu dan ditancapkan ke
dalam lubang es, dengan sebelah tangan memegang botol dan tangan lain memegang galah,
hanya sekejap saja belasan galah bambu itu telah ditancapkan semua di dalam sungai es
dalam lingkaran seluas satu tombak.
Di antara galah bambu itu terdapat pula dua-tiga utas sumbu yang panjangnya dua-tiga kaki,
Siau-hong lantas menyulut sebatang dupa kecil, serentak ia berlari mengitari pagar bambu itu,
kembali dalam sekejap saja belasan sumbu itu telah disulutnya.
Mendadak ia berteriak, "Mundur, lekas mundur sejauhnya!" Cepat ketiga orang berlari
mundur, baru lima-enam tombak jauhnya, terdengar suara ledakan. Beribu kerikil es muncrat
ke atas bercampur dengan potongan bambu dan berhamburan seperti hujan, terdengar suara
gemerincing ramai mirip gotri yang dilemparkan ke talam.
Pada saat itulah sepolong barang hitam juga mencelat ke udara dan "trang" benda itu jatuh ke
tanah es. Ternyata sebuah bumbung yang terbuat dari baja.
Ketika tutup bumbung itu dibuka, segera sepotong Gok-pay atau batu kemala yang berbentuk
pipih dan berwarna putih gilap meluncur keluar. Ternyata benda inilah Lo-sat-pay yang
sedang dicari. Jo-jo berdiri melenggong, Cing-cing juga terkesima, meski badan mereka kejatuhan kerikil es
juga lupa merasakan sakit.
Siau-hong menghela napas lega, ucapnya dengan tersenyum, "Inilah alat kerjaku, bagaimana
menurut pendapatmu"!"
Mau tak mau Jo-jo tertawa, katanya, "Cara yang aneh-aneh begini mungkin cuma kau saja
yang dapat menemukannya."
"Jika tidak ada obat peledak buatan Pi-pek-tong dari Kanglam, betapa baik sesuatu akal juga
sukar terlaksana," tutur Siau-hong.
"Darimana kau dapatkan obat peledak Pi-pek-tong?" tanya Jo-jo heran.
"Dapat kucuri," jawab Siau-hong.
"Curi! Darimana kau curi?" tanya Jo-jo pula.
"Dan dalam gentong raksasa itu."
"Gentong raksasa mana?"
"Tempat Li He," tutur Siau-hong.
33 Rupanya waktu menemukan mayat Leng Hong-ji segera timbul kecurigaannya bahwa Lo-satpay
mungkin disembunyikan di bawah sungai es ini, cuma saja belum seratus persen yakin.
"Setelah kutemukan barang-barang ini di dalam gentong Li He itu, baru tahulah aku bahwa
dugaanku tidak meleset.'" demikian tutur Siau-hong pula. "Sebab setiap pekerjaannya selalu
dilakukan dengan cermat. Tindakan apapun pasti dipikirkan olehnya jalan mundurnya. Maka
kalau dia berani menyembunyikan Lo-sat-pay di bawah sungai e.s yang beku ini, tentu dia
mempunyai jalan untuk mengeluarkannya."
Maklum, cairan yang sangat keras itu ditambah obat peledak, jika gunung saja dapat
diruntuhkan, tentu sungai beku juga mudah dihancurkan.
"Kupikir bila dia sudah menyiapkan alat pembobol sungai sebagus ini, dengan sendirinya Losat-
pay pasti juga sudah disembunyikannya di dasar sungai, teori ini kan sangat sederhana
seperti halnya teori satu tambah satu sama dengan dua."
Padahal teori ini tidaklah sederhana, kesimpulannya ini baru diperoleh setelah dia
mengumpulkan bahan pembuktian dari sana sini.
Tiba-tiba Jo-jo menghela napas, katanya, "Mestinya hendak kumaki kau lagi, cuma dalam
hatiku mau tak mau harus merasa kagum padamu."
"Jangankan kau, aku pun sangat kagum pada diriku sendiri," kata Siau-hong dengan tertawa.
Biji mata Jo-jo berputar, katanya tiba-tiba, "Cuma kepandaianmu masih belum terlalu hebat,
apabila kau mampu menemukan pembunuh Li He itulah baru dapat kukatakan engkau
memang sangat hebat."
Siau-hong tertawa, ucapnya, "Aku tidak ingin orang mengatakan diriku hebat, juga bukan
datang kemari untuk mencarikan pembunuh bagi orang lain, yang hendak kucari adalah Losat-
pay." Cing-cing memandangnya dengan termangu, mendadak ia berkata. "Dan sekarang barangnya


Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah kau temukan, apakah segera engkau akan berangkat?"
Pertanyaan ini diucapkannya dengan perlahan, terasa mengandung semacam perasaan duka
dan hampa. Siau-hong lantas menghela napas pula. ucapnya, "Mungkin memang sudah waktunya aku
harus pergi." Cing-cing tersenyum, "Apa pun juga, aku kan nyonya rumah di sini. Lohor nanti akan
kuadakan jamuan makan selamat jalan kepada kalian, hendaknya kalian sudi hadir."
"Dia pasti hadir, tapi aku tidak," Jo-jo mendahului menjawab.
"Sebab apa?" tanya Cing-cing.
"Sebab di dalam hidanganmu nanti pasti banyak terdapat cuka, bilamana terlalu banyak
makan cuka, lambungku bisa sakit."
lalu Jo-jo menghela napas dan melirik Siau-hong sekejap. "Bukan saja lambung akan sakit,
hati pun juga sakit. Maka lebih baik aku tidak hadir saja."
Sepulangnya di Thian-tiang-ciu-lau, segera ia berbaring dan tertidur. Cuma sebelumnya ia
sudah mengingatkan dirinya sendiri hanya boleh tidur dua jam. Dan benar, belum sampai dua
jam dia sudah mendusin. Dan begitu membuka mata, segera dilihatnya Jo-jo berdiri di
ambang pintu dan sedang memandangnya.
"Sudah lama kutunggu," kata Jo-jo.
"Ada apa menungguku?" tanya Siau-hong sambil kucek-kucek matanya yang masih sepat,
"Untuk pamit padamu," jawab Jo-jo. "Pamit" Sekarang juga kau hendak pergi"'' "Setelah kau
dapatkan Lo-sat-pay, semua hutangku padamu sudah lunas. Sebentar lagi kau mau minum
arak, sedangkan aku tidak ingin minum cuka, mau apa kalau tidak pergi saja?"
Tanpa memberi kesempatan buka suara kepada Siau-hong, segera Jo-jo bertanya pula, "Cuma
aku rada heran, mengapa engkau dan dia bisa mendadak berubah menjadi begitu akrab"
Bahkan tampaknya seperti sudah ada ... ada deh!"
34 "Alasannya cukup sederhana," sahut Siau-hong dengan tertawa. "Sebab aku adalah lelaki
yang normal, dan dia juga seorang perempuan yang normal.''
"Dan aku?" tukas Jo-jo. "Apakah aku bukan perempuan, apakah aku tidak normal?"
"Kau pun sangat normal, cuma sayang, agak terlalu normal sedikit!" kata Siau-hong,
Jo-jo mendelik, mendadak ia menerjang maju. membuka selimut Siau-hong tcrus menindih di
atas tubuhnya. "He, kau mau apa?" tanya Siau-hong.
"Ingin kukatakan padamu, asalkan aku mau, apa yang dapat dilakukannya tentu juga dapat
kulakukan, bahkan akan kukerjakan dengan lebih baik daripada dia." desis Jo-jo.
Tubuhnya yang panas terus meliuk-liuk dun menggesek di atas tubuh Siau-hong, sambil
menggigit daun telinganya ia mendesis pula dengan napas terengah. "Sebenarnya aku sudah
mau mengapa kau malah tidak menghendaki diriku Dan sekarang apakah engkau mulai
menyesal?" Siau-hong menghela napas, mau tak mau ia harus mengaku sesungguhnya anak perempuan ini
adalah siluman cilik yang sangat menggiurkan.
Mendadak Jo-jo melompat bangun, lalu menerjang keluar tanpa berpaling lagi, terdengar
suaranya berkumandang dari luar. "Skarang bolehlah kau tidur sendirian dan menyesal
selamanya." Tapi Siau-hong tidak berbaring lama, sebab baru saja Jo-jo pergi, segera Cing-cing muncul,
bahkan membawa dua cawan dan satu poci arak.
"Nona yang suka minum cuka dan juga takut sakit lambung itu mengapa tergesa-gesa
berangkat lebih dulu?" tanya Cing-cing dengan tertawa.
"Sebab kalau dia tidak pergi, tentu kepalaku akan terlebih sakit daripada lambungnya," jawab
Siau-hong sambil menyengir.
"Baik juga dia sudah pergi," ujar Cing-cing dengan tersenyum, "Sudah kututup kasino di sana,
aku memang hendak kemari."
"Cuma sayang, arak yang kau bawa ini hanya cukup untuk berkumur saja bagiku," ujar Siauhong
dengan tertawa. "Minum arak tidak perlu banyak, yang penting adalah hati yang tulus," ucap Cing-cing
dengan lembut. "Baik. tuangkan, akan kuminum," kata Siau-hong.
Perlahan Cing-cing menuang dua cawan, lalu berkata dengan sedih, "Kuhormati engkau satu
cawan sebagai ucapan selamat jalan padamu, semoga engkau sampai di tempat tujuan dengan
baik. Boleh juga kau suguh aku satu cawan sebagai tanda selamat jalan, selanjutnya kita
berpisah ke arah sendiri-sendiri" "Kau pun akan pergi?" tanya Siau-hong. Cing-cing menghela
napas, "Kami datang berlima, sekarang tersisa aku seorang saja. Untuk apa pula kutinggal di
sini?" "Kau ... kau hendak kemana" Jika kita toh akan pergi semua, kenapa kita tidak pergi
bersama?" Cing-cing tertawa, "Sebab aku tahu engkau tidak bersungguh-sungguh ingin membawaku
pergi, kutahu juga banyak sekali anak perempuan yang kau kenal. Tidak ada perempuan yang
tidak cemburu, aku juga perempuan, maka....."
Dia tidak melanjutkan, tapi lantas menenggak araknya, perlahan ia taruh cawan arak, lalu
membalik tubuh dengan perlahan dan melangkah pergi.
Sama sekali ia tidak menoleh, seakan-akan kualir sekali menoleh lantas sukar lagi melangkah
pergi. Siau-hong juga tidak mencegahnya, ia memandangi kepergi-annya dengan diam saja, air
mukanya mirip orang yang habis menenggak secawan arak getir.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong didengarnya seorang berucap di luar, "Selamat, selamat
atas keberhasilan segala usahamu!"
35 Suaranya serak tua, jelas yang datang ialah Swe-han-sam-yu.
Belum lagi Siau-hong memandang orangnya, sudah terlihat tangan mereka lebih dulu.
"Serahkan!" belum lagi masuk Kohsiong Lojin sudah menjulurkan tangannya lebih dulu.
"Berikan barangnya lantas boleh kau pergi, segala persoalan kita selanjutnya pun lunas."
Siau-hong tidak menjawab, juga tidak bergerak, hanya tertawa lebar seperti orang linglung.
Koh-siong Lojm menarik muka, katanya pula, "Masa kau tidak mengerti apa yang
kukatakan"!" "Mengerti," sahut Siau-hong.
"Nah, mana Lo-sat-pay?" tanya pula si kakek.
"Hilang!" Seketika berubah air muka Koh-siong Lojin. "Apa katamu?" bentaknya dengan bengis.
"Aku mengerti perkataanmu, masa kau tidak mengerti ucapanku?" Siau-hong tetap tertawa.
"Masa Lo-sat-pay tidak berada padamu sekarang?" tanya pula si kakek.
"Tadi ada," jawab Siau-hong. "Dan sekarang?"
"Sekarang sudah dicuri orang," "Dicuri siapa?"
"Orang yang tadi menindih dan bergelimang di atas tubuhku itu."
"Maksudmu perempuan yang kau bawa kemari itu?"
"Ya, tentu saja perempuan. Bila lelaki yang menindih dan bergelimang di atas tubuhku, bisa
jadi aku sudah pingsan," ujar Siau-hong dengan tertawa.
Koh-siong Lojin menjadi gusar, "Jika jelas kau tahu dia mencuri Lo-sat-pay itu, kenapa kau
lepaskan dia pergi?"
"Harus kulepaskan dia pergi," kata Siau-hong.
"Apa alasanmu?"
"Sebab Lo sat-pay yang dicurinya itu palsu." Koh-siong Lojin jadi melongo.
Bab 4 " Angin meniup dingin, udara kelam kelabu, jalan penuh tertimbun salju, seorang perempuan
menunggang seekor keledai kurus menempuh perjalanan sendirian. Dan kejauhan sayupsayup
terdengar suara seruling yang memilukan, namun bumi raya ini tetap suram dan sunyi.
Si nona berada jauh di rantau, hatinya terlebih jauh di luar langit. Dia menjalankan keledainya
dengan sangat lambat, ia sendiri tidak tahu harus kemana, tapi entah mengapa dia terburuburu
melanjutkan perjalanan. Mendadak dari persimpangan jalan sana muncul sebuah kereta kuda yang besar, pengendara
kereta memakai topi kulit, memegang cambuk panjang, waktu berlalu di samping si nona,
sekilas dia tersenyum padanya.
Perempuan itu juga tersenyum. Sama-sama pengelana dan kebetulan berjumpa, apa
halangannya saling tersenyum walaupun tidak saling kenal"
Pengendara kereta itu mendadak bertanya, "Nona kedinginan tidak?"
"Dingin!" sahut perempuan itu. Dia adalah Tan Cing-cing. "Kalau duduk di dalam kereta
tentu takkan kedinginan," ujar si pengendara kereta.
"Tentu saja, kutahu," kata Cing-cing.
"Jika begitu. mengapa nona tidak naik ke atas kereta saja?" ujar si lelaki pengendara kereta.
Tan Cing-cing berpikir sejenak, perlahan ia turun dari keledainya, kereta pun sudah-berhenti.
Jika gentong es saja pernah dimasuki, apa artinya naik kereta.
Sesudah Cing-cing naik ke dalam kereta, mendadak si pengendara mengangkat cambuknya
dan menyabet sekerasnya pantat keledai yang ditinggalkan itu.
Karena kesakitan, keledai itu berlari pergi seperti kesurupan setan.
Si pengendara kereta tersenyum senang, lalu berdendang lagu cinta "si nona manis siapa yang
punya" segala. Tidak lama kemudian, kereta ini pun menjauh.
36 Tidak terlalu lama, sampailah kereta besar ini di Hiula, sebuah tempat yang sangat terpencil
meski bukan sebuah kota, tapi sudah tergolong tidak kecil di daerah kutub seperti ini.
Pengendara kereta mendadak menoleh dan berkata dengan tertawa, "Sudah sampai di
rumahku, nona mau mampir tidak?"
Selang sejenak barulah terdengar suara Tan Cing-cing menjawab hambar di dalam kereta,
"Kalau sudah berada di sini, mampir sebentar juga tidak menjadi soal.'"
Baru saja ia turun dari kereta, pintu rumah papan yang sudah reyot berkeriat-keriut dan
terbuka, seorang anak yang kotor dan ketolol-tololan melongok keluar dan memandang Cingcing
dengan cengar-cengir. Wajah Cing-cing tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, ia kebut-kebut bajunya, lalu masuk
ke rumah dengan langkah gemulai.
Di dalam adalah sebuah ruang tamu yang sangat sederhana, di tengah ruangan terpuja patung
Toapekong kekayaan dengan tangan memegang Kim-goan-po (bongkah emas), sebuah pintu
di belakang ditutupi tabir biru yang sudah luntur, di atas pintu tertempel kertas merah yang
tertuliskan "Hi" dan "Cay" (Selamat dan Rejeki). Jelas kelihatan penghuni rumah yang rudin
ini setiap hari senantiasa bermimpi agar cepat kaya mendadak.
Seorang rudin dengan seorang anak dekil, dua-tiga buah rumah bobrok, empat-lima buah
bangku yang reyot, huruf tempelan yang miring, lukisan patung yang lucu, semuanya serba
tidak serasi. Tempat seperti ini seharusnya sukar didiami lama-lama oleh Tan Cing-cing. Maklum, dia
suka kebersihan, suka ketenangan suka barang-barang yang indah dan bernilai. Tapi sekarang
dia ternyata sangat kerasan di sini, sangat betah, seperti di rumah sendiri sama sekali tidak ada
niat hendak pergi lagi. Memangnya sudah tidak ada tempat lain lagi yang dapat ditujunya"
Anak dekil tadi masih memandangnya dengan cengar-cengir, tapi wajah Cing-cing tetap tidak
memperlihatkan sesuatu perasaan! Ia melongok kian kemari, habis itu terus menyingkap tabir
biru yang sudah luntur itu dan masuk ke kamar tidur orang.
Di dalam kamar tidur dengan sendirinya ada ranjang, ternyata sebuah ranjang yang besar,
bahkan masih baru gres. Kasur selimut dan bantal semuanya juga serba baru dengan sulaman
bunga dan sepasang merpati yang indah.
Di belakang tempat tidur tertumpuk empat-lima buah peti kayu yang juga masih baru, ada
pula sebuah meja rias, dinding sekeliling kamar terkapur putih bersih sehingga kelihatannya
seperti kamar pengantin baru.
Cing-cing berkerut kening, sorot matanya menampilkan rasa jemu, tapi ketika ia memandang
ke arah peti, seketika sinar matanya mencorong terang.
Lalu dilakukannya sesuatu yang tak terbayangkan, dia justru melompat ke atas tempat tidur
orang, lalu dari bajunya dikeluarkannya serenceng kunci, dibukanya gembok pada salah
sebuah peti itu. Sekonyong-konyong sinar mengkilat emas terpancar, di dalam peti kayu ini ternyata berisi
Kim-goan-po atau emas lantakan, yang jelas emas berkadar murni.
Cahaya emas membuat muka Cing-cing mencorong terang.
untuk pertama kalinya dia tersenyum, dengan ujung jarinya ia merabai tumpukan lantakan
emas yang rapi itu, serupa seorang ibu yang sedang membelai anak bayinya dengan penuh
kasih sayang. Untuk mendapatkan emas ini memang bukan pekerjaan yang gampang, bahkan jauh lebih
susah daripada seorang ibu melahirkan anak.
Akan tetapi sekarang semua kesulitan sudah berlalu, dengan puas ia menghela napas, lalu
menengadah, dilihatnya si lelaki pengendara kereta lagi melangkah ke dalam kamar sambil
menegurnya dengan tersenyum, "Bagaimana permainanku ini, cukup menarik tidak?"
37 Cing-cing tersenyum manis dan berkata, "Bagus, memang hebat sekali, sungguh engkau tidak
malu bergelar sebagai anak ajaib nomor satu di dunia."
Lelaki pengendara kereta itu tertawa, ia menanggalkan topi yang hampir menutupi setengah
mukanya sehingga terlihatlah wajahnya yang kekanak-kanakan, dia ternyata Li Sin-tong
adanya. Setelah menanggalkan jubah hijau yang besar, dengan lagaknya yang sinting, kini orang ini
kelihatan tidak sinting sedikit pun, bahkan wajahnya juga tidak jelek.
Cing-cing memandangnya dengan senyuman lembut, katanya kemudian, "Selama dua hari
sungguh telah membikin susah padamu."
"Ah. susah sedikit sih tidak apa-apa, hanya rada tegang," ujar Li Sin-tong dengan tertawa,
"Keparat yang beralis empat itu sungguh tidak boleh diremehkan."
Sejenak kemudian, tiba-tiba ia bertanya, "Waktu kau berangkat, apakah dia bertanya
mengenai diriku?" Cing-cing menggeleng, "Dia mengira kini seorang gila benar, hakikatnya tidak menaruh
perhatian padamu." "Ha .., ha ... makanya biarpun dia cerdik seperti setan, akhirnya juga kena kau kibuli," kata Li
Sin-tong dengan tertawa. "Semua itu kan juga berkat permainanmu," ujar Cing-cing. "Pada waktu engkau berlagak gila
sampai aku pun hampir percaya."
"Apa sulitnya untuk berbuat begitu" Asalkan kuanggap Hong-ji sebagai dirimu, tentunya kau
pun tahu ucapanku itu kutujukan kepadamu.
Dia memandang Cing-cing dengan terkesima, serupa seorang anak yang minta disusui sang
ibu. Selang agak lama, tiba-tiba ia berkata pula dengan tertawa, "Eh, coba lihat, bagaimana
pajangan rumah ini?"
"Ehmm, bagus sekali, benar-benar serupa kamar pengantin baru," jawab Cing-cing dengan
senyuman manis. Sembari tersenyum ia terus berbaring berbantal sulam merpati itu, dengan sorot mata yang
sayu ia pandang Li Sin-tong, katanya dengan lembut. "Kau lihat diriku mirip pengantin baru
tidak?" Biji leher Li Sin-tong bergerak naik turun, napasnya mulai sesak, mendadak ia menubruk ke
atas tubuh Cing-cing, serunya dengan megap-megap, "Aku perlu kau, sudah lama kutahan,
sungguh aku bisa gila. Kejadian tempo hari sudah tiga bulan yang lalu ...."
Sembari bicara, sebelah tangannya terus menarik baju Cing-cing.
Cing-cing tidak menolak, malahan napasnya juga rada memburu, napasnya yang panas
menyembur telinga Li Sin-tong sehingga membuat tulangnya terasa lemas juga. Malahan
Cing-cing terus merangkul lehernya.
"Wah, aku tidak tahan ..." seru Li Sin-tong dengan parau.
Tapi mendadak terdengar suara "krek". suara tulang patah. Seketika Li Sin-tong melonjak dari
atas tubuh Tan Cing-cing, tapi kepalanya sudah terkulai ke samping, sekujur badan lemas
seperti karet, "bluk" ia jatuh terkapar dengan mata melotot. Nyata jiwanya sudah melayang.
Sama sekali Cing-cing tidak memandangnya, melirik pun tidak. Dengan tenang ia tetap
berbaring di tempat tidur dan memejamkan mata.
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara mengikik tawa di luar, suara seorang
perempuan berseru sambil berkeplok, "Ha ... ha ,.. bagus sekali! Pantas Ting-ting bilang
engkau ini perempuan yang berhati keji, buktinya memang betul."
Air muka Cing-cing berubah seketika, tapi waktu ia berbangkit air mukanya lantas
menampilkan senyuman yang lembut dan menggiurkan, ucapnya, "Meski hatiku keji, tapi
belum terlalu hitam seperti hatimu!"
38 Maka muncullah seorang anak perempuan berbaju kulit kembang dengan topi kulit berbulu
halus, senyumnya cerah seperti bunga mekar pada musim semi, dia ternyata si Jo-jo yang
genit itu. Di belakangnya mengikut pula tiga orang, yang satu berbaju hitam dan berpedang, yang
kedua gesit serupa kera, yang ketiga kakek berambut putih dan selalu berada di belakang Jojo.
Cing-cing lantas menyongsongnya dan menegur, "Sungguh tak kusangka engkau bisa datang
ke sini, kalau tahu tentu akan kusediakan makanan kegemaranmu dan minum bersamamu arak
kesukaanmu." Tertawa Jo-jo sangat manis, kalanya, "Tak tersangka engkau masih ingat kepada santapan
kesukaanku." "Kita dibesarkan bersama, biar pun kau lupa pada diriku, tidak nanti kulupakan dirimu," kata
Cing-cing. "Apa betul?" Jo-jo menegas.
"Tentu saja betul," jawab Cing-cing. "Sudah beberapa hari ingin kucari kesempatan untuk
bercengkerama denganmu, cuma aku pun kuatir akan dicurigai orang lain."
"Betul, aku pun begitu. Setan yang beralis empat itu sungguh bukan manusia baik-baik."
Begitulah kedua orang bersendau-gurau penuh keakraban. "Tampaknya engkau tidak berubah
sedikit pun," kata Cing-cing pula dengan lembut.
"Kau pun tidak," jawab Jo-jo.
"Sungguh aku sangat rindu padamu selama beberapa tahun ini.
"Aku pun tidak kurang rindunya padamu."
Berbareng kedua orang sama mengulurkan tangan dan melangkah ke depan, seperti saling
rangkul untuk memperlihatkan perasaan sayangnya.
Akan tetapi belum mendekat, senyuman Cing-cing lantas lenyaP, kerlingan matanya yang
lembut itu mendadak berubah beringas, gerak tangannya juga berubah, sekonyong-konyong ia


Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencengkeram pergelangan tangan Jo-jo, tangan yang lain juga mencengkeram iga kirinya.
Serangan ini cepat lagi ganas, yang digunakan adalah cara yang serupa waktu membunuh
Leng Hong-ji. Apabila Jo-jo terpegang jangan harap dapat lolos dengan hidup.
Akan tetapi meski serangannya sangat cepat, gerak Jo-jo ternyata lebih cepat, baru saja ia
mulai menyerang, tiba-tiba terdengar suara "tring" yang perlahan, dua titik sinar lembut
menyambar keluar dari lengan baju Jo-jo.
Seketika Cing-cing merasa dengkulnya kesemutan seperti digigit nyamuk, tenaga sekujur
badan lantas lenyap, kaki pun lemas dan "bluk" ia jatuh berlutut di depan Jo-jo.
Jo-jo lantas tertawa nyaring dan berseru, "Eeh, kita kan saudara sendiri, baru bertemu
mengapa engkau banyak adat begini?"
Di tengah suara tertawanya, kembali setitik sinar perak menyambar ke arah depan, tepat
mengenai Siau-yau-hiat di pinggang Cing-cing, bagian Hiat-to yang menimbulkan tertawa
terus menerus. Benarlah, segera Cing-cing tertawa dan tertawa terus meski sinar matanya tidak mengandung
rasa tertawa sedikit pun. Mukanya yang cantik juga berkerut-kerut karena tersiksa, butiran
keringat sebesar kedelai juga mengucur.
Jo-jo berkedip-kedip, lalu berkata, "Ah, pahamlah aku, tentu kau tahu telah berbual sesuatu
yang tidak baik padaku, makanya hendak kau minta maaf padaku. Akan tetapi kau juga tidak
perlu bertekuk lutut padaku. Asalkan kau serahkan barangnya, tentu aku takkan marah
padamu." Cing-cing masih terus tertawa dan mengucurkan keringat dingin, ucapnya sekuatnya, "Barang
apa?" "Masa perlu kau tanya?" ujar Jo-jo.
Cing-cing menggeleng sambil meliuk-liuk. agaknya sekujur badan sudah lemas seluruhnya
karena tertawa terus menerus itu sehingga tenaga untuk menggeleng kepala saja terasa berat.
39 Jo-jo menarik muka dan menjengek. "Meski saudara sendiri, hutang piutang harus dihitung
yang jelas. Kita juga begitu, bahwa Kah Lok-san mau membeli Lo-sat-pay kepada Li He
dengan 40 laksa tahil emas, tapi kau hanya minta pembayaran sepuluh ribu tahiI saja padaku
dan Lo-sat-pay akan kau serahkan. Begitu bukan?"
"Tapi tapi Lo-sat-pay kan sudah ... sudah diambil oleh lelaki yang kau bawa kemari itu?"
sahut Cing-cing dengan menahan siksaan. Segera Jo jo mengeluarkan sepotong Giok-pay dan
berkata, "Inikah yang kau maksudkan?" Cing-cing mengangguk.
Mendadak Jo-jo mendekatinya terus memberi tamparan keras satu kali sambil menjengek,
"Hm, memangnya kau kira tak dapat kulihat barang ini palsu?"
Mendadak ia membanting Giok-pay itu ke atas kepala Li Sin-tong yang sudah tak bernyawa
itu, lalu berkata pula, "Kau anggap keparat ini maha pintar, kau kira barang imitasi
bikinannya dapat digunakan mengelabui orang, tapi sayang, gambar yang diukirnya pada
Giok-pay ini lebih mirip cakar ayam."
Sekuatnya Cing-cing menggigit bibir dan berusaha berhenti tertawa, namun sampai bibirnya
pecah tergigit, tertawanya tetap sukar berhenti.
"Sebenarnya sudah lama kucurigai dirimu," ucap Jo-jo pula, "Jelas kau tahu Lo-sat-pay adalah
benda mestika yang tak ternilai, mengapa kau mau menjualnya kepada orang lain. Padahal
hatimu biasanya jauh lebih hitam daripada siapa pun, ibaratnya makan manusia juga kau telan
bulat-bulat berikut tulangnya, maka sejak mula sudah kusuruh Sin-loji mengawasi dirimu,
sekali pun kau masuk ke bumi juga dapat kuseret keluar dirimu."
"Apakah kau kira Lo-sat-pay yang asli telah ... telah kubawa pergi?" kata Cing-cing.
"Sebelum Li He menyembunyikan Lo-sat-pay di bawah sungai es, tentu barangnya sudah kau
tukar, walaupun tadinya ......"
Rupanya menurut perundingan yang telah disepakati mereka, cukup Jo-jo membayar
seperempat dari harga yang ditetapkan antara Kah Lok-san dan Li He, di antara ke-12 peti
asalkan tiga di antaranya berisi emas, maka selebihnya boleh diisi dengan batu. Sebab yang
akan menerima peti itu ialah Tan Cing-cing, bilamana ke-12 peti itu sudah diterima, segera ia
memberitahukan kepada Li He agar Lo-sat-pay boleh diserahkan.
Dia memang orang kepercayaan Li He, dengan sendirinya Li He tidak menyangka akan
dipermainkan, mestinya dia hendak meledakkan sungai beku itu pada esok harinya untuk
mengambil Lo-sat-pay, yang dikehendakinya cuma emas dan lelaki saja, dia tidak berminat
terhadap kedudukan ketua Ma-kau segala.
"Kau tahu, kalau diketahuinya Lo-sat-pay telah ditukar oleh orang, tentu dia akan menyangka
dirimu yang melakukannya," kata Jo-jo pula. "Sebab selain dia sendiri dan dirimu pasti tak
ada orang ketiga yang mengetahui rahasia ini, makanya pada malam itu juga telah kau bunuh
dia, malahan kau sengaja membekukan dia bersama si Kambing tua di dalam es untuk
mengalihkan perhatian orang lain, sebab siapa pun takkan menyangka orang semacam dirimu
ini dapat melakukan tindakan yang gila itu."
Ia berhenti sejenak, lalu berkata pula, "Coba, bukankah semua rahasiamu tak dapat
mengelabui diriku, untuk apa engkau mesti berlagak pilon lagi?"
Sekujur badan Tan Cing-cing kelihatan mengejang, bukan saja air mata dan keringat
mengucur, bahkan celananya juga sudah basah, kedua dengkulnya sakit seperti ditusuk jarum,
tapi dia justru terus tertawa ngakak seperti orang yang mendapat rezeki nomplok.
"Eh, masih juga tidak kau keluarkan" Tidakkah kau tahu bagaimana akibatnya jika kau
tertawa lagi terus menerus cara begini?" tanya pula Jo-jo.
Sekuatnya Cing-cing ingin mengatupkan mulut namun sukar terlaksana.
"Walaupun kau tertawa dan yang mengucur hanya air mata dan keringat saja, sekarang kau
pasti sudah terkencing-kencing dan terberak-berak. Tidak lama lagi seluruh ruas tulangmu
bisa terlepas semua karena tertawamu ini badanmu akan lemas lunglai seperti tidak bertulang,
40 dalam keadaan begitu, cukup tersentuh oleh jari saja. tentu kau akan menjerit kesakitan seperti
babi hendak disembelih. "Kau ." kau ..." sedapatnya Cing-cing ingin bicara, tapi sukar "Jika kau sangka aku tidak tega
turun tangan lebih keji, maka salah besar, kau serupa Kah Lok-san mengira aku pasti tidak
dapat membunuh dia."
"Telah kau bunuh dia?" tanya Cing-cing mendadak.
"Dia berduit, juga punya pengaruh, meski usia sudah lanjut, tapi kondisi badannya masih
sangat baik, permainan di atas ranjang tidak kalah daripada anak muda, malahan tekniknya
terlebih tinggi, terhadapku juga lembut dan penurut, siapa pun takkan menyangka
dapat kubunuh dia." Lalu dia menyambung dengan tak acuh, "Tapi, toh aku telah membunuhnya. Dan kalau dapat
kubunuh dia, urusan apa pula yang tidak dapat kulakukan?"
Mendadak Tan Cing-cing berteriak sekuatnya, "Lo-sat-pay berada di dalam kain kotoranku,
hendaknya kau ampuni diriku!"
Sudah berhenti suara tertawa Tan Cing-cing tapi dia jatuh terkulai di lantai seperti ikan
mampus. Dengan sendirinya Lo-sat-pay sudah berada di tangan Jo-jo, dengan hati-hati dia pegang
Giok-pay itu seperti seorang raja memegang cap kebesarannya, gembira dan bangga, saking
senangnya ia bergelak tertawa.
Pada saat sedang tertawa gembira itulah, mendadak dari luar jendela menyambar masuk
seutas cambuk panjang tanpa suara, sekali ujung cambuk membelit, Giok-pay yang dipegang
Jo-jo lantas terbang keluar jendela.
Seketika Jo-jo tidak dapat tertawa lagi, ia meringis kaget serupa orang yang mendadak
tergorok lehernya. Didengarnya seorang berkala di luar jendela dengan tertawa. "Kalian tidak perlu mengejar
keluar, sebab aku segera akan masuk ke situ, berkat bantuan kalian sehingga Lo-sat-pay ini
dapat ditemukan kembali, sedikitnya harus kusampaikan rasa terima kasihku padamu secara
langsung." Liok Siau-hong! Yang bicara itu ternyata Liok Siau-hong.
Dengan menggreget gemas Jo-jo berkata, "Ya. kutahu pasti dirimu dan mengapa tidak lekas
kau masuk kemari?" Baru habis ucapannya, tahu-tahu Liok Siau-hong sudah berdiri di depannya dan tersenyum
simpul, sebelah tangan memegang cambuk, tangan yang lain memegang Lo-sat-pay.
Melihat Liok Siau-hong, Jo-jo lantas tertawa juga, katanya, "Hah, tak tersangka engkau juga
mahir memainkan cambuk sebagus ini!"
"Cambuk ini adalah hasil curianku!" tutur Siau-hong dengan tersenyum.
"Hasil curian" Cara bagaimana dapat kau curi?" tanya Jo-jo, "Kucuri dari kereta di luar sana,
permainan cambuk ini juga hasil curianku dari 'Bu-eng-sin-pian' (si cambuk sakti tanpa
bayangan)," kata Siau-hong pula. "Kalau bicara tentang kepandaian curi mencuri, meski aku
tak dapat dibandingkan dengan si rajanya raja pencuri Coh Liu-hiang, sedikitnya jauh lebih
pandai daripadamu." Jo-jo menghela napas, katanya, "Sebenarnya sejak mula sudah harus kuduga kepintaranmu
dalam mencuri, hatiku saja hampir kau curi, apalagi barangku."
"Hatimu bukankah sudah lama membusuk?" ujar Siau-hong dengan tertawa.
"Cepat juga kedatanganmu ini?" kata Jo-jo pula mengalihkan pembicaraan.
'Tak kau sangka bukan?"
"Mengapa bisa kau pikirkan akan tempat ini?"
Siau-hong tertawa, jawabnya, "Sebab terlalu banyak yang kupikirkan waktu aku berbaring di
tempat tidur, makanya juga banyak urusan yang dapat kupikirkan."
41 "Untuk apa banyak berpikir, kenapa tidak kau perkosa diriku saja?" omel Jo-jo mendadak,
bahwa orang tidak memperkosanya ternyata membuatnya marah malah "Dirimu kan bukan
seorang Kuncu, jika kau dapat memperkosa orang lain. kenapa tidak kau perkosa diriku?"
"Soalnya waktu itu aku tidak kebelet," sahut Siau-hong dengan tertawa."Karena kau sengaja
membikin kecewa hasratku, aku pun balas merusak hasratmu."
Jo-jo berkedip-kedip, mendadak ia tanya, "Sejak kapan kau ganti keputusan?"
"Pada waktu batu tertumpah dari dalam peti," dengan tersenyum Siau-hong menyambung
pula. "Meski aku bukan perampok yang biasa melakukan pekerjaan bongkar dan rampas, tapi
sebuah peti yang terbuat dan besi atau emas, rasanya masih dapat kubedakan dengan baik."
"Wah, kiranya bukan cuma mahir mencuri, engkau juga masih memiliki kepandaian simpanan
begini," ujar Jo-jo dengan gegetun. ''Orang seperti dirimu ini ternyata tidak menjadi
perampok, sungguh sayang."
Dengan gegetun Siau-hong menjawab, "Ya, sesungguhnya terkadang aku pun menyesal,
beberapa kali hampir saja aku berganti pekerjaan."
"Jjka kau ganti pekerjaan, tentu aku mau menjadi isteri gembong perampok," ucap Jo-jo
dengan tersenyum. "Tentu saja akan kuterima dengan senang hati, akan kuangkat dirimu sebagai permaisuri
seperti halnya sahabatmu Ting-hiang-ih."
Jo-jo terbelalak, "Jadi sudah lama kau tahu kukenal dia?" "Ya. sebab begitu berada di Rahasu,
kulihat dirimu serupa pulang ke rumah saja, hampir setiap tempat sudah kau kenal, tatkala
mana aku sudah mulai curiga, sangat mungkin engkau dibesarkan di tempat itu, juga mungkin
sudah lama kau kenal Tan Cing-cing dan Ting-hiang-ih."
"Jika kau kenal si Ting-ting, kuyakin kau pun pernah bergumul dengan dia," ucap Jo-jo
dengan menatapnya lekat-lekat. "Aku mengerti pribadinya, bilamana bertemu dengan lelaki
semacam dirimu, tidak mau dilepaskannya begitu saja." Siau-hong tidak menyangkal dan juga
tidak membenarkan. Segera Jo-jo mengomel lagi, "Di antara kami bertiga sudah ada dua pernah tidur denganmu,
mengapa hanya diriku saja yang kau lewatkan?"
Begitulah mereka berdua terus bersenda_gurau dan bercumbu rayu, keruan ketiga orang yang
berdiri di samping sama mendongkol setengah mati, mendadak ketiga orang itu melompat
maju dan mengepung Liok Siau-hong di tengah dengan mau mendelik.
Siau-hong berlagak seperti baru melihat mereka sekarang, ucapnya dengan tersenyum,
"Tempo hari kalian mengundurkan diri tanpa bertempur, sekali ini apakah ingin mencobacoba
lagi?" "Tempo hari seharusnya kami membunuh dirimu!" jengek si kakek beruban.
"Kami tidak membunuhmu tempo hari sebab dia masih ingin menggunakan dirimu satu kali
lagi sebagai boneka," sambung Sin-loji.
Siau-hong tergelak, katanya, "Jika aku bonekanya, lalu kalian bertiga ini apanya" Padahal
asalkan aku mengangguk saja segera dia akan naik ranjang bersamaku, dan kalian?"
Air muka ketiga orang itu berubah beringas, waktu mereka berpaling ternyata Jo-jo sudah
menyingkir seakan-akan urusan ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dia.
"Padahal anak murid Hoa-san It-ci-thong-thian Hoa Giok-kun, tokoh daerah utara To-pi-sianwan
Oh Sin dan jago pedang Oh-ih-sin-kiam Toh Pek, semuanya sudah lama terkenal, tapi
sejauh ini tidak berani kusebut mereka, sebab aku tidak percaya ketiga tokoh terkenal ini bisa
menjadi budak seorang perempuan," demikian Siau-hong berolok-olok.
Keruan muka ketiga orang itu sebentar merah sebentar pucat, mereka telah menyamar dan
menggunakan nama sebagai she, tak terduga tetap dikenali oleh Liok Siau-hong.
Si kakek berambut putih yang semula bertubuh bungkuk perlahan lantas menegak, ia menjura
dan berkata, "Ya. betul, akulah Hoa Giok-kun. Silakan!"
42 "Hendak kau lawan diriku sendirian?" tanya Siau-hong. "Jika asal-usulku tidak kau ketahui,
tentu aku akan mengerubut dirimu bersama mereka, tapi sekarang ..." sikap Hoa Giok-kun
mendadak berubah menjadi kereng. Ucapnya pula dengan bengis, "Mati-hidupku tidak
menjadi soal, nama Hoa-san-pay harus ditegakkan dan tidak boleh runtuh di tanganku."
Meski Hoa-san-pay bukan perguruan kelas utama di dunia persilatan, tapi aliran ini terkenal
bersih, jarang sekali anak muridnya tersesat, juga tidak ada pengecut yang suka main kerubut.
Segera Liok Siau-hong berubah menjadi serius juga. Maklum, orang yang dapat menghormati
dirinya sendiri tentu juga akan dihormati orang.
"Sudah lama kudengar ilmu tenaga jari Liok-tayhiap nomor satu di dunia, kebetulan yang
kuyakinkan juga kungfu ilmu jari, maka mohon Liok-tayhiap sudi memberi petunjuk," kata
Hoa Giok-kun. "Baik!" seru Siau-hong.
Dia menarik napas panjang-panjang, Lo-sat-pay disimpan di dalam baju. Cambuk dilepaskan,
segera terdengar suara "crit" sekali, angin tajam berjangkit, jari Hoa Giok-kun setajam pedang
telah menutuk Kok-cing-hiat pada bahu kanan-kirinya,
Sekali menyerang lantas dua gerakan dengan tenaga yang kuat, memang tidak malu sebagai
anak murid perguruan ternama.
Akan tetapi dari serangannya segera Liok Siau-hong dapat melihat meski tenaga serangannya
cukup kuat, tapi gerakannya kaku dan banyak memiliki ciri-ciri anak perguruan ternama
umumnya, yaitu sombong. Cukup Siau-hong memandang sekejap saja lantas yakin dalam dua-tiga gebrakan saja pasti
dapat mengatasi lawan. Namun lantas timbul juga pertanyaan pada dirinya sendiri apakah sekaligus harus kukalahkan
dia" Apakah tidak perlu memberi muka sedikit padanya"
Jika seorang jatuh cinta, tak peduli siapa yang dicintainya, sepantasnya tidak dapat cuma
menyalahkan dia, apalagi dia sudah tua, sekali jatuh tentu sukar bangun kembali.
Pikiran itu hanya timbul sekilas saja dalam benaknya dan jarak tutukan Hoa Giok-kun dengan
Hiat-to yang diarahnya sudah tinggal beberapa senti saja, angin tutukan sudah menembus
bajunya tidak ada peluang baginya untuk memilih cara lain lagi. Terpaksa ia harus turun
tangan. Secepat kilat ia gunakan ujung jari sendiri untuk memapak ujung jari si kakek.
Segera Hoa Giok-kun merasakan hawa panas tersalur dan ujung jari lawan, tenaga sendiri
mendadak hilang sirna. 'Tan-ci-sin-thong' atau ilmu tenaga jari sakti dari Hoa-san-pay mestinya termasuk satu di
antara tujuh ilmu sakti, biasanva bilamana bertempur, dari jarak lima kaki saja dia mampu
menutuk Hiat-to lawan dengan angin tutukannya. Tapi sekarang tenaga tutukannya seperti
salju yang mencair di bawah terik sinar matahari, berubah menjadi keringat dingin yang
membasahi tubuhnya. Siapa tahu mendadak Liok Siau-hong juga mundur dua langkah dan berucap, "Ilmu jari sakti
Hoa-san ternyata tidak bernama kosong!"
"Tapi ... tapi aku sudah kalah!" ucap Hoa Giok-kun.
"Engkau tidak kalah," ujar Siau-hong, "Meski sudah kusambut seranganmu ini, caraku
bergerak mungkin lebih cepat daripadamu. tapi tenagamu jauh lebih kuat daripadaku kenapa
engkau....." Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara mendering, berpuluh titik perak
berhamburan seperti hujan menyerang punggungnya.
Punggung Siau-hong tidak bermata, juga tidak bertangan, dengan sendirinya ia menjadi repot.
Berubah air muka Hoa Giok-kun, sorot mata Jo-jo juga mencorong.
Tapi pada detik itu juga mendadak tubuh Siau-hong berputar, berpuluh titik perak itu secara
ajaib menerobos lewat di bawah ketiaknya, semuanya menancap di dada Hoa Giok-kun yang
tadinya berdiri berhadapan dengan Siau-hong.
43 Kedua mata Hoa Giok-kun tampak melotot, mendeliki Oh Sin sambil mendesak maju
selangkah demi selangkah.
Air muka Oh Sin juga berubah dan menyurut mundur setindak
demi setindak. Tapi Hoa Giok-kun hanya sempat mendesak maju tiga langkah saja, lalu ujung mata, lubang
hidung dan mulut mengucurkan darah berbareng.
Oh Sin seperti menghela napas lega dan berkata. "Aku........."
Ia pun cuma sempat mengucapkan satu kata ini saja, mendadak dadanya juga mengucurkan
darah segar berikut menongolnya sepotong ujung 'pedang. Dengan terkejut ia memandangi
ujung pedang ini, seakan-akan tidak percaya hal ini bisa terjadi, namun mulutnya juga lantas
mengeluarkan darah, mendadak ia meraung keras dan roboh ke depan, lalu tidak bergerak
lagi. Sesudah dia roboh baru terlihat Toh Pek berdiri di belakangnya dengan memegang pedang,
pada ujung pedangnya masih meneteskan darah segar.
Hoa Giok-kun memandang Toh Pek dengan tertawa sebisanya sambil berkata, "Terima
kasih!" Toh Pek juga menyengir, tapi tidak bersuara. Lalu Hoa Giok-kun menoleh dan memandang
Liok Siau-hong, ucapnya sekata demi sekata, "Juga terlebih terima kasih padamu!"
Toh Pek telah membalaskan sakit hatinya dengan membunuh Oh Sin, sedangkan Liok Siauhong
telah menjaga nama baiknya, kedua hal inilah yang paling diutamakan oleh orang
persilatan. Hoa Giok-kun memejamkan mata sambil berucap dengan perlahan, "Kalian ... kalian semua
sangat baik padaku ... sangat baik....."


Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perlahan ia lantas jatuh terkulai, pada ujung mulutnya masih menampilkan senyuman puas,
senyuman terakhir. Angin dingin meniup dari luar jendela dan menggigilkan semua orang.
Sampai lama sekali barulah Liok Siau-hong menghela napas panjang, gumamnya, "Mengapa"
... Semuanya ini disebabkan apa?"
Air muka Toh Pek tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, ucapnya perlahan, "Seharusnya
kau tahu semua ini sebab apa" Aku sendiri sudah tahu!"
Angkara murka! Angkara murka terhadap duit, angkara murka terhadap kekuasaan, angkara murka akan
kehormatan dan angkara murka terhadap Seks.
Segala macam penderitaan dan bencana manusia di dunia ini bukankah juga timbul lantaran
berbagai angkara murka tersebut"
Kembali Siau-hong menghela napas panjang, lalu ia berpaling dan berkata terhadap Toh Pek,
"Kau....." "Aku bukan tandinganmu," ucap Toh Pek dengan dingin.
Siau-hong tertawa-tawa, katanya sambil memberi tanda, "Jika begitu, pergilah kau!"
Darah sudah habis menetes pada ujung pedang, perlahan Toh Pek menyimpan kembali
pedang ke dalam sarungnya, lalu dia mendekati Jo-jo dan berkata, "Marilah kita pergi!"
"Pergi?" Jo-jo menegas. "Kau minta kupergi bersamamu?"
"Ya, kuminta kau ikut pergi bersamaku," kata Toh Pek.
Tiba-tiba Jo-jo tertawa geli, tertawa terpingkal-pingkal hingga menungging, sampai air mata
pun hampir mengucur. Ketika melihat cara tertawa Tan Cing-cing tadi baru diketahui Siau-hong bahwa tertawa
kadang-kadang terlebih menyiksa daripada menangis.
Kini melihat cara tertawa Jo-jo, Siau-hong baru tahu tertawa terkadang juga jauh lebih sakit
melukai orang. 44 Wajah Toh Pek tampak putih pucat, kedua tangan juga gemetar tapi dia belum lagi kehilangan
harapan, kembali ia bertanya, "Kau tidak mau pergi?"
Mendadak berhenti suara tertawa Jo-jo, ia pandang Toh Pek dengan dingin serupa orang yang
sama sekali tidak mengenalnya. Sampai lama sekali barulah dari mulutnya tercetus satu kata
yang teramat dingin, "Enyah!"
Kata ini serupa cambuk yang tidak kenal ampun, yang sekaligus telah membuat kulit badan
Toh Pek tersabet dan pecah sehingga hatinya ikut melompat keluar dan menggelinding ke
bawah kaki sendiri serta terinjak-injak.
Ia tidak bicara apa-apa lagi, ia membalik tubuh terus melangkah pergi.
Sekonyong-konyong Jo-jo melompat ke atas. Dilolosnya pedang yang tersandang di
punggung Toh Pek itu, sekali jumpalitan di udara, pedang itu terus disambitkan ke
punggungnya. Toh Pek tidak berkelit dan membiarkan pedang itu menembus badannya. Tapi dia tidak
roboh, sebaliknya ia malah memutar tubuh dan berdiri berhadapan dengan Jo-jo dan
memandangnya dengan dingin.
Air muka Jo-jo berubah, ucapnya dengan menyengir, "Kutahu engkau tidak dapat kehilangan
diriku, maka akan lebih baik kumatikan kau saja dan habis perkara!"
Mulut Toh Pek juga merembeskan darah, perlahan ia mengangguk, katanya, "Baik, baik
sekali....." Belum lenyap suaranya, mendadak ia menubruk ke depan, Jo-jo dirangkulnya erat-erat, mati
pun tak dilepaskannya. Ujung pedang yang menembus di depan dadanya juga menikam masuk ke dalam dada Jo-jo,
darah yang mengucur dari dadanya juga mengalir ke dada Jo-jo.
Kepala Jo-jo mendekap di bahu Toh-pek, matanya mulai mendelik, napasnya semakin
terengah, dirasakannya tubuh orang yang merangkulnya itu mulai dingin, lalu kaku, tapi
kedua tangannya masih merangkulnya erat-erat.
Kemudian ia merasakan tubuh sendiri juga mulai dingin, sampai merasuk tulang sungsum,
tapi matanya berbalik terbeliak, tiba-tiba ia pandang Liok Siau-hong dengan tertawa,
"Mengapa tidak kau perkosa diriku" Mengapa....?"
Dan itulah tertawanya yang terakhir, juga ucapannya yang terakhir.
Bab 5 " Cing-cing tidak mati, ia malahan sangat sadar sejak tadi.
Dalam keadaan demikian, kesadaran sendiri merupakan semacam siksaan yang sukar ditahan,
di alam halus seakan-akan benar ada badan halus yang menegakkan keadilan dan sengaja
memberi hukum siksa kepadanya.
Seorang Siau-hong telah membawanya ke suatu kamar lain dan membaringkan dia dengan
tenang, namun penderitaannya belum lagi berakhir, mungkin cuma kematian saja yang dapat
menghindarkan dia dari penderitaan.
Jika penderitaan sudah mencapai titik yang sukar ditahan, kematian akan berubah menjadi hal
yang tidak menakutkan sedikit pun.
Sekarang Cing-cing benar-benar ingin mati saja. dia berharap Liok Siau-hong akan
memberikan pembebasan pada dirinya secara cepat, tapi dia pasti tidak mau memperlihatkan
keinginannya itu, sebab sejak kecil dia sudah mendapatkan suatu pelajaran, yaitu bilamana
kau ingin mati. orang lain justru sengaja membiarkan kau hidup. Bila engkau tidak ingin mati,
orang lain justru hendak membunuhmu.
Sampai sekarang dia masih ingat kepada pelajaran ini, sebab dia sudah menyaksikan banyak
orang yang tidak ingin mati, tapi justru mati di depannya. Juga banyak melihat orang yang
ingin mati. tapi justru masih hidup sampai sekarang. Dia memang tumbuh di dalam kesulitan,
45 Meski Liok Siau-hong masih berdiri di depan tempat tidur dengan tenang, tapi dapat
dilihatnya di dalam hati Siau-hong juga tidak tenang.
Betapapun bila melibat kejadian yang mengerikan tadi, tentu hati seseorang akan terganggu.
Mendadak Cing-cing tertawa, katanya. "Tak kusangka engkau akan datang kemari, tapi pasti
sudah lama kau tahu akan perbuatanku."
Siau-hong tidak menyangkal.
Maka Cing-cing berkata pula, "Mestinya kuanggap tindakanku cukup rapi, apabila Jo-jo juga
bertindak lebih hati-hati dan tidak menumpahkan isi peti, bisa jadi engkau takkan mencurigai
diriku." Siau-hong termenung agak lama, katanya kemudian, "Bahwa peti itu berisi batu dan ternyata
dapat kau terima dengan baik, bahwa Jo-jo adalah kenalanmu sejak kecil, tapi sengaja
berlagak tidak kenal. Meski kedua hal ini cukup membuatku sangat curiga, tetap bukan
petunjuk yang penting bagiku."
"Petunjuk apa yang penting?" tanya Cing-cing.
"Beruang hitam!" jawab Siau-hong.
"Beruang hitam?" Cing-cing menegas.
"Ya," tutur Siau-hong, "Leng Hong-ji selalu bilang dia melihat beruang hitam di sungai es
sana, padahal yang dilihatnya cuma manusia berkulit beruang hitam. Sebab tindak-tanduk
orang ini sangat misterius, bentuknya justru sangat mudah dikenali orang, maka dia sengaja
menutupi dirinya dengan kulit beruang. Siapa pun kalau melihat beruang hitam tentu akan lari
terbirit birit dan takkan memperhatikannya lebih lanjut."
"Kau anggap orang itu ialah diriku?" tanya Cing-cing.
"Ehmm," Siau-hong mengangguk,
"Sebab kau lihat di dalam kamarku ada sehelai kulit beruang?"
"Tentunya tak kau sangka akan kudatangi kamarmu, hal itu memang kejadian yang sangat
kebetulan." Cing-cing menghela napas, "Kamarku memang tidak pernah dimasuki orang lain, dalam hal
ini kau tidak salah."
"Memangnya ada hal lain yang salah?" tanya Siau-hong. "Dapatnya kau datang ke kamarku
bukanlah lantaran kebetulan aku pingsan, sebab hari itu pada hakikatnya aku tidak pingsan."
Meski suara Cing-cing tak bertenaga, tapi setiap katanya terdengar dengan jelas, sebab sejauh
itu dia dapat mengatasi penderitaannya, di dunia ini mungkin sangat sedikit orang yang
sanggup bertahan seperti dia.
Ia menyambung pula, "Kubiarkan engkau datang ke kamarku, sebab pada waktu kau pondong
diriku, tiba-tiba timbul semacam hasrat yang selama ini belum pernah ada pada diriku,
sebenarnya ... sebenarnya aku pun tidak menyangka Li Sin-tong bisa mendadak menerobos ke
kamarku." Siau-hong tertawa, "Jika aku menjadi dia, aku pun bisa mendadak menerobos masuk ke sana."
"Kulit beruang yang serupa ada dua helai, yang satu lagi milik Li He," tutur Cing-cing.
"Dan waktu kalian menanam Lo-sat-pay dulu, kalian mengenakan kulit beruang?"
"Ya, waktu itu sudah larut malam, kami tidak menyangka Hong-ji masih duduk termenung di
tepi sungai. Waktu kulihat dia, dengan sendirinya dia juga melihat diriku."
"Tapi dia tidak melihat jelas, sejauh itu dia menyangka melihat seekor beruang hitam." tutur
Siau-hong. "Apa pun juga aku tetap kuatir," ujar Cing-cing dengan tersenyum getir. "Umumnya rasa
curiga orang perempuan kan jauh lebih besar daripada orang biasa."
"Maka ketika aku tahu kemarin malam dia datang lagi ke sana, lantas kau bunuh dia untuk
menghilangkan saksi."
Cing-cing tidak menyangkal, katanya, "Selama ini Ting-hiang-ih menganggap hatiku terlebih
keji daripada siapa pun."
46 "Mestinya dia tidak tahu rahasiamu," kata Siau-hong. "Tapi pada waktu kau turun tangan
membunuhnya, akhirnya ia dapat mengenali dirimu."
"Ya, waktu dia mengenali wajahku, sorot matanya itu takkan kulupakan untuk selamanya."
ujar Cing-cing dengan gegetun.
"Tatkala itu hatimu tentu rada takut juga, maka begitu berhasil membunuh dia, segera kau
tinggal pergi." "Betul, sebab kuyakin dia pasti tidak dapat hidup lagi."
"Tapi tidak kau pikirkan, seorang yang dekat ajalnya, terkadang juga merupakan saat yang
paling terang pikirannya selama hidupnya."
Cing-cing tidak menanggapi, tapi hatinya terasa kecut sebab sekarang juga dia merasa
pikirannya jauh lebih terang daripada biasanya.
"Maka sebelum menghembuskan napas terakhir, teringat olehnya beruang hitam yang pernah
dilihatnya itu pastilah dirimu, juga terpikir olehnya tujuanmu pasti untuk menanam Lo-satpay,
maka sekuatnya dia merangkak ke tempat yang pernah kau datangi waktu itu."
"Makanya kau pun tahu di situlah kami menyembunyikan Lo-sat-pay?"
"Ya, begitulah!" sahut Siau-hong.
"Hm, jika begitu, kenmatiannya kan sangat menguntungkan dirimu, kenapa kau risaukan?"
Siau-hong ingin bicara, tapi urung.
"Urusan yang tak perlu dirisaukan justru kau pikirkan, yang seharusnya kau risaukan malah
kau rasakan dengan sangat gembira," kata Cing-cing pula.
Siau-hong tetap bungkam dan menantikan ucapannya lebih lanjut.
"Hari itu, waktu kucari dirimu, bukan sengaja kuantar arak dan makanan padamu, juga bukan
lantaran memperhatikan dirimu dan suka padamu, kucari dirimu karena ingin mengganggu
dirimu agar Li Sin-tong sempat membekukan mayat Li He di dalam es, sebab itulah terpaksa
kuterima dihina olehmu, padahal bila tersentuh olehmu sungguh rasanya aku ingin tumpah."
Tiba-tiba Siau-hong tertawa, katanya, "Ah, pahamlah aku."
"Kau paham apa?" tanya Cing-cing.
"Kau ingin mati," kata Siau-hong.
"Berdasarkan apa kau anggap aku ingin mati?"
"Sebab sengaja kau pancing kemarahanku, supaya kubunuh dirimu."
"Hm, kutahu kau tidak berani," jengek Cing-cing. "Selama ini kau cuma melihat orang lain
membunuh orang, kau sendiri hakikatnya tidak berani membunuh orang."
Kembali Siau-hong tertawa, tiba-tiba ia membalik tubuh dan melangkah keluar.
"Untuk apa kau pergi?" seru Cing-cing.
"Memasang kereta," sahut Siau-hong.
"Mengapa sekarang kau perlu mengatur kereta?"
"Sebab kau tidak dapat menunggang kuda, juga tidak dapat berjalan,"
"Maksudmu hendak ... hendak kau bawa diriku pergi?" tanya Cing-cing.
"Meski senjata rahasia dalam Hiat-tomu tak dapat kukeluarkan, tapi kutahu ada seorang dapat
menolongmu." "Mengapa tidak ... tidak kau biarkan kumati saja?"
"Sebab orang yang mati hari ini sudah terlalu banyak!" jawab Siau-hong dengan hambar,
tanpa berpaling lagi ia terus keluar.
Melihat kepergian Siau-hong, air mata Cing-cing mengalir perlahan, akhirnya ia menangis
tergerung-gerung, tapi entah tangis nya itu karena duka" Atau karena menyesal" Atau karena
terharu" Tapi apa pun juga, seorang kalau ingin menangis, akan lebih baik bilamana dibiarkan
menangis sepuas-puasnya dan sebebas-bebasnya.
47 Dengan sendirinya Siau-hong mendengar suara tangisnya, dia memang berharap Cing-cing
bisa menangis, supaya semua rasa sedih, duka dan menyesal dapat terlampias seluruhnya.
Habis menangis, mungkin hilanglah niatnya ingin mati.
Sinar sang surya sudah lenyap, angin semakin dingin. Si anak dekil yang ketolol-tololan itu
masih berdiri di sana dengan ingusnya yang meler, apa yang terjadi tadi seakan-akan tidak
mempengaruhi dia. Mungkin orang lain menertawakan dia tolol, tapi mungkin hidupnya jauh
lebih gembira daripada orang lain,
Siau-hong tepuk-tepuk pundak anak itu sambil berkata, "Coba kau jagakan bibi di dalam
kamar itu, dia punya uang banyak, nanti akan dibelikan gula-gula bagimu."
Anak itu ternyata dapat menangkap maksudnya, sambil berjingkrak girang dia berlari masuk
ke kamar. Siau-hong menghela napas, baru saja ia keluar pintu, segera dilihatnya sebuah tangan terulur
padanya. Hal ini tidak di luar dugaannya, memang sudah diperhitungkannya Swe-han-sam-yu pasti
menunggunya di luar. "Serahkan!" ucap Koh-siong Siansing. Siau-hong berkedip-kedip,
jawabnya kemudian, "Kau minta apa" Uang atau nasi?"
Air muka Koh-siong Siansing berubah menjadi hijau, jengek-nya, "Mungkin sekali ini
kuminta jiwamu!" "Minta nasi atau uang tidak dapat kuberi, kalau jiwa memang ada satu," ujar Siau-hong
dengan tersenyum. "Memangnya perlu kupatahkan kakimu dahulu baru akan kau serahkan Lo-sat-pay?" tanya
Koh-siong dengan gusar. "Sekalipun kakiku kau patahkan juga takkan kuserahkan Lo-sat-pay padamu."
"Apa artinya ucapanmu?" tanya Koh-siong dengan gemas. "Justru ingin kutanya padamu apa
maksudmu" Bilakah pernah kuberjanji akan menyerahkan Lo-sat-pay kepadamu?"
"Memangnya hendak kau serahkan kepada siapa?"
"Si jenggot biru," jawab Siau-hong.
"Harus kau serahkan padanya?"
"Ya, harus!" sahut Siau-hong tegas.
"Sebab apa?" tanya pula Koh-siong.
"Sebab harus kutukar dengan sesuatu?"
"Tukar sesuatu apa?" "Kehormatanku!"
Koh-siong Siansing memandangnya tajam-tajam, katanya pula. "Memangnya kau sendiri
tidak pernah timbul pikiran hendak mengangkangi Lo-sat-pay?"
"Pernah," jawab Siau-hong.
"Dan sekarang masih punya pikiran begitu?"
"Ya," sahut Siau-hong singkat.
Kembali air muka Koh-siong Siansing berubah.
"Urusan yang kupikirkan sangat banyak," sambung pula Siau-hong dengan tak acuh,
"Terkadang kupikirkan menjadi raja, tapi kuatir kesepian. Sering juga ingin menjadi perdana
menteri, tapi kuatir repot. Lebih sering ingin kaya, tapi takut dicuri orang. Pernah juga kupikir
akan beristri, tapi kuatir ketemu perempuan bawel. Dan sekarang malahan kupikirkan ingin
menempeleng dirimu, cuma kuatir akan timbul keonaran."
Belum habis ucapannya, tertawalah Koh-siong Siansing, tapi sekejap kemudian dia lantas
menarik muka pula, katanya, "Urusan yang kau pikirkan terlalu banyak, tapi tidak satu pun
kau kerjakan." Siau-hong menghela napas, "Setiap orang hidup tentu banyak sekali yang dipikirkan, tapi
pada umumnya orang cuma banyak pikir sedikit bekerja. Kan tidak cuma diriku saja."
Mendadak Koh-siong memandang jauh ke sana seakan-akan juga sedang bertanya kepada
dirinya sendiri. Apa yang pernah kupikirkan dan apa yang pernah kukerjakan"
48 Orang hidup pasti akan mengalami macam-macam ikatan, bila setiap orang boleh berbuat
sesukanya setiap apa yang dipikirnya, lalu bagaimana jadinya dunia ini"
Selang agak lama barulah Koh-siong menghela napas panjang dan memberi tanda, "Pergilah
kau!" Siau-hong merasa lega, "Semula kukira sekali ini takkan kau biarkan kupergi. tak tersangka
kau masih sangat percaya padaku."
Dengan muka dingin Koh-siong Siansing berkata, "Ini merupakan penghabisan kalinya!"
Siau-hong tersenyum, katanya, "Asalkan kau ingin minum sampai mabuk, setiap saat boleh
kau cari diriku, aku senantiasa berada di dekatmu."
Selagi ia hendak melangkah pergi, mendadak Han-bwe Lojin berucap, "Tunggu dulu!"
"Ada keperluan apa lagi?" terpaksa Siau-hong berhenti.
"Ingin kulihat dirimu!" kata Han-bwe Lojin.
"Silakan lihat saja, kabarnya banyak orang menarik kesimpulan aku ini cukup cakap!" kata
Siau-hong dengan tertawa.
Wajah si kakek Han-bwe tidak memperlihatkan senyuman, juga tidak ada perasaan lain,
katanya dengan dingin. "Yang kulihat bukan fisikmu ini."
"O, lantas apa yang hendak kau lihat?" tanya Siau-hong dengan tertawa.
"Ingin kulihat kungfumu!" kata Han-bwe. Seketika tertawa Siau-hong berubah menjadi
menyengir, ucapnya, "Ah, kukira akan lebih baik kau lihat ketampananku saja, berani kujamin
kungfuku pasti tidak lebih menarik daripada kebagusan orangnya!"
Tapi Han-bwe tidak memandangnya lagi, mendadak ia memutar tubuh, katanya sambil
melangkah pergi, "Ikut padaku!"
Siau-hong merasa ragu, dipandangnya Koh-siong, lalu dipandang pula Koh-tiok, air muka


Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka ternyata juga kaku dan dingin tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan.
Setelah menghela napas, terpaksa Siau-hong ikut pergi bersama Han-bwe sambil
menggerundel. "Sesungguhnya hendak kau bawa aku kemana" Jika ingin minum arak atau
berjudi setiap saat dapat kutemani, bila mengajak berkelahi, terpaksa aku akan angkat kaki
saja." Tapi Han-bwe tidak menghiraukan dia, setelah berputar dan membelok, sampailah mereka di
jalan raya, di situ terdapat sebuah restoran besar, di depan restoran terparkir belasan kereta
barang, sehelai panji perusahaan pengawalan terpancang di depan pintu restoran dan berkibar
tertiup angin. Panji itu bersulam seekor naga emas dan sebuah huruf "Tio".
Siau-hong kenal panji pengenal ini, 'Kim-liong-piaukiok' atau perusahaan pengawalan Naga
Emas, namanya cukup terkenal, langganannya banyak tersebar luas, terutama pencari Jinsom
yang biasa menjelajahi pegunungan di daerah utara.
Nama Piaukiok ini juga cukup disegani di dunia persilatan, sebab pemimpin umum Piaukiok
ini, Hek-hian-tan Tio Kun-bu, si malaikat muka hitam, semula juga tokoh silat terkemuka
yang baru saja diangkat menjadi pimpinan Kim-liong-piaukiok.
Dan sekarang Tio Kun-bu justru sedang minum arak di restoran ini, seorang yang ternama dan
berkedudukan seperti dia, dengan sendirinya lagaknya tidak sembarangan.
Begitu naik ke atas loteng restoran, langsung Han-bwe mendekati dia dan menegur, "Apakah
kau ini Hek-hian-tan Tio Kun-bu?"
Tentu saja Tio Kun-bu melengak, diamat-amatinya kakek aneh yang bukan Hwesio juga
bukan Tosu ini. Biasanya pandangannya cukup tajam, tapi ia merasa tidak kenal kakek ini,
terpaksa ia mengangguk dan mengiakan.
"Dan kau tahu siapa diriku?" tanya pula Han-bwe. Tio Kun-bu menggeleng dan menjawab,
"Tidak tahu, mohon diberi petunjuk."
"Akulah Han-bwe Siansing, satu di antara Swe-han-sam-yu yang tinggal di puncak Kun-lunsan,
juga Hou-hoat-tianglo (tetua pembela agama) Ma-kau dari barat."
49 Han-bwe sengaja bicara dengan lambat dan tandas, ketika mendengar sebutan Swe-han-samyu,
air muka Tio Kun-bu menjadi agak pucat, apalagi mendengar pula nama Ma-kau dari
barat, keringat dingin lantas merembes di dahi Tio Kun-bu.
"Nah. sekarang kau tahu tidak siapa diriku?" kembali Han-bwe menegas.
Seketika Tio Kun-bu berbangkit dan memberi hormat, ucap ucap nya. Maaf bila Wanpwe
bermata tapi tidak mengetahui kedatangan Locianpwe...."
Dia ingin mengeluarkan segenap kata-kata merendah diri dan puji sanjung terhadap si kakek,
tapi Han-bwe lantas mengitar ke depan Liok Siau-hong, lalu bertanya padanya. "Dan apakah
kau tahu siapa dia ini?"
"Pernah kudengar namanya," sahut Siau-hong.
"Namanya tidak kecil, kungfunya juga tidak lemah, tapi di depanku dia toh sangat
menghormati diriku, mengapa sikapmu kepada kami justru acuh tak acuh?" kata Han-bwe
pula. "Waktu kecilnya tentu terdidik dengan baik, seorang yang mendapatkan pendidikan baik di
rumah jelas akan lebih sopan san tun," ujar Siau-hong dengan tertawa.
"Dan kau?" tanya Han-bwe.
"Aku anak yatim piatu," sahut Siau-hong.
"Makanya kau tidak mendapat pendidikan yang baik?"
"Ya." "Jika begitu, kau perlu diberi pelajaran sedikit," mendadak Han-bwe berpaling kepada Tio
Kun-bu dan bertanya sambil menuding Liok Siau-hong, "Apakah kau tahu siapa orang ini?"
Tio Kun-bu menggeleng. "Kau memang tidak perlu tahu, aku cuma menyuruh kau memberi hajaran sedikit padanya,"
kata Han-bwe Siansing. Wajah Tio Kun-bu kelihatan serba salah, ucapnya dengan menyengir. "Tapi ... tapi tidak
pernah ada persengketaan apapun antara kami, mana ... mana boleh ...."
"Takkan kupaksa dirimu," potong Han-bwe dengan dingin, "Boleh kau pilih, memberi hajaran
padanya, atau aku yang menghajar dirimu?"
Sembari bicara, sebuah poci arak buatan timbel di atas meja terus dipegangnya, diremas
sekenanya, seketika poci arak itu meleyot, waktu ditariknya perlahan, poci timbel lantas
berubah lagi menjadi satu batangan. Keruan air muka Tio Kun-bu berubah pucat, mendadak ia melompat maju, sebelah tangannya
lantas menabas ke kuduk Liok Siau-hong. Serangan ini sangat cepat dan ganas tanpa kenal
ampun sedikit pun. Tapi Liok Siau-hong tidak mengelak juga tidak bergerak, dia tetap berdiri di tempatnya dan
menerima pukulan itu. Di belakang kiri leher setiap orang ada sebuah pembuluh darah besar, tempat ini merupakan
salah satu bagian fatal di tubuh manusia. Meski Lwekang Tio Kun-bu tidak terlatih baik, tapi
kedua tangannya sekeras baja, tenaga pukulannya sungguh tidak ringan, mestinya kalau Liok
Siau-hong tidak terpukul mati, sedikitnya juga akan jatuh kelengar.
Siapa tahu Siau-hong justru masih berdiri dengan tegak, bahkan air mukanya tidak berubah
sama sekali. Muka Tio Kun-bu berkeringat lagi, mendadak ia melangkah maju, sekuatnya ia menghantam
pula perut Liok Siau-hong.
Namun Siau-hong tetap mandah dipukul, tetap tidak bergerak dan tidak balas menyerang.
Tio Kun-bu sendiri menjadi kelabakan, air keringat bercucuran seperti hujan, dua kali
hantamannya jelas mengenai sasaran, tapi justru seperti mengenai tempat kosong, dirasakan
pihak lawan seakan tidak berisi, ketika terkena kepalannya, rasanya seperti mengenai tempat
kosong. 50 Mestinya dia siap untuk menghantam lagi untuk ketiga kalinya, kepalan sudah tergenggam
erat, tapi tidak sanggup menyerang pula.
Padahal Liok Siau-hong seolah-olah sedang menunggu untuk dipukul lagi, setelah menunggu
sekian lama tiba-tiba ia pandang Tio Kun-bu, katanya dengan tertawa, "Apakah hajaran Anda
sudah cukup?" Tio Kun-bu juga ingin tertawa sebisanya, tapi jadinya serba salah sehingga dia cuma
menyengir belaka. Lalu Siau-hong berpaling kepada Han-bwe dan berkata, "Nah. apakah sekarang aku boleh
pergi?" Air muka Han-bwe tampak masam, belum lagi dia bicara, Koh-tiok sudah mendahului
berucap, "Silakan kau pergi saja!"
"Terima kasih," ucap Siau-hong dengan tersenyum. Ia tepuk-tepuk bajunya, lalu angkat poci
arak lain yang tidak teremas peyot itur arak lantas dituangkan ke dalam mulut, lalu ia
melangkah pergi di depan Han-bwe Siansing.
Tapi sebelum dia keluar dan restoran itu, tiba-tiba pelayan berlari datang dengan membawa
sepucuk surat sambil berteriak, "Adakah Liok Siau-hong, Liok-tayhiap berada di sini?"
Siau-hong menuding hidungnya sendiri dan menjawab dengan tertawa, "Akulah Liok Siauhong,
tapi bukan Tayhiap, sebab Tay-hiap biasanya cuma memukul orang dan takkan dipukul
orang." Dia masih tersenyum simpul dan tidak marah, sebab ia tahu di dunia ini terlalu banyak
manusia yang suka menjilat ke atas dan mendepak ke bawah, orang yang berpuluh kali lebih
konyol dari pada Tio Kun-bu masih sangat banyak, dan hal ini memang merupakan salah satu
kelemahan manusia. Liok Siau-hong cinta kepada kemanusiaan, cinta kepada kehidupan, maka terhadap hal-hal
demikian biasanya dengan cepat dan mudah dapat dimaafkannya.
Akan tetapi setelah dia membaca surat yang diserahkan si pelayan, dia jadi marah benarbenar.
Bukan cuma marah saja bahkan juga cemas dan gelisah. Surat itu tertulis:
Liok Siau-hong, Liok-tayhiap yth,
Banyak terima kasih atas bantuan Anda selama ini, maka
segala sesuatu telah kuselesaikan dengan Tan Cing-cing.
Mengingat kemungkinan akan mengganggu perjalanan Anda, maka beberapa peti barang
keras juga sudah kuangkut pergi lebih dulu.
Sekian, supaya Anda maklum.
Penanda tangan di bawah surat jelas tertulis nama "Hui-thian-giok-hou".
Pada waktu Siau-hong membaca surat, Swe-han-sam-yu justru sedang membaca wajah Siauhong
Mereka sangat terkejut juga, sebab tidak pernah mereka duga bahwa air muka Liok
Siau-hong juga bisa berubah beringas begini.
Maka pada waktu Siau-hong menerjang keluar serentak mereka pun ikut berlari pergi,
tertinggal Tio Kun-bu saja yang masih berdiri melenggong di situ seperti seorang yang sangat
menyesal dan kalau bisa ingin membunuh diri.
Mimpi pun tak terpikir olehnya bahwa orang yang dihajarnya tadi tak lain tak bukan ialah
Liok Siau-hong, si Pendekar Empat Alis yang termashur.
Meski Liok Siau-hong dapat memaafkan dia, tapi selamanya dia tak dapat memaafkan dirinya
sendiri. Meski Siau-hong tidak bertindak apa-apa, tapi sama halnya telah memberi hajaran
berat kepadanya. Namun Liok Siau-hong sendiri juga telah melakukan suatu kesalahan besar, seharusnya dia
tidak meninggalkan Tan Cing-cing, lebih-lebih tidak boleh meninggalkan rumah itu, sebab
pada waktu dia memburu kembali ke sana, tempat itu sudah menjadi lautan api.
51 Untung udara dingin dan tanah beku, di mana-mana timbunan salju belaka, maka menjalarnya
api sangat terbatas, tidak banyak rumah di sekitarnya yang ikut menjadi korban, namun begitu
tetap ada pihak yang tak berdosa ikut tertimpa musibah tersebut.
Tubuh Tan Cing-cing yang indah itu tidak perlu disangsikan lagi pasti sudah terbakar menjadi
abu. Kedatangan Siau-hong sudah terlambat.
Di bawah cahaya api yang berkobar, muka Siau-hong tampak merah, matanya juga merah
membara, tapi tangan dan kakinya terasa dingin, hati juga dingin.
Suasana tampak kacau-balau, kaum lelaki berlari kian kemari sambil berteriak-teriak dan
berusaha memadamkan api, kaum perempuan menjerit dan menangis, anak kecil juga
menangis dan ketakutan. Kehidupan mereka mestinya aman tentram, tidak pernah merugikan orang lain, tapi sekarang
tanpa sebab mereka ikut menjadi korban.
Mendadak Liok Siau-hong berpaling dan melototi Han-bwe, katanya dengan beringas, "Sudah
kau lihat belum?" "Melihat apa?" tanya Han-bwe dengan agak bingung.
"Inilah bencana gara-gara perbuatanmu, masa kau sendiri tidak melihatnya" kata Siau-hong.
Han-bwe bungkam saja tanpa menjawab, jelas hatinya juga merasa tidak enak.
"Sekarang apakah kau masih ingin melihat kungfuku?" tanya Siau-hong. J
"Tadi kan sudah kulihat," jawab Han-bwe. "Itu kan baru kungfu menahan pukul, sekarang
apakah kau ingin melihat kungfuku memukul orang?" tanya Siau-hong. Jelas inilah tantangan!
Dia tidak pernah menantang cara demikian terhadap siapa pun, meski sikapnya sangat dingin
dan tenang, tapi ketenangan yang melampaui batas tentu juga akan meledak menjadi
kemurkaan. Wajah Han-bwe juga dingin, di bawah cahaya api kelihatan pucat, sampai bibirnya juga putih.
Maklumlah, selama ini tidak pernah ada orang berani menantangnya secara langsung begini
padanya. Dia tidak gentar terhadap pemuda ini, selamanya dia tidak pernah jeri terhadap siapa pun.
Akan tetapi dalam sekejap ini, tiba-tiba ia merasakan semacam ketegangan yang belum
pernah dirasakannya, ketegangan yang membuatnya seakan-akan berhenti bernapas.
Sebab biasanya dia selalu berdiri di atas angin, dia sudah terbiasa menggunakan nama dan
kedudukan sendiri untuk menindas dan memerintah orang lain, tapi sekarang untuk pertama
kalinya dirasakannya daya tekan orang lain terhadapnya.
Malahan tekanan Liok Siau-hong semakin kuat katanya, "Bagaimana, kau ingin lihat tidak?"
Belum lagi Han-bwe bicara, Koh-tiok telah mendahului menjawab, "Dia tidak ingin melihat?"
Dan Koh-siong lantas menyambung, "Satu-satunya barang yang ingin dilihatnya adalah Losat-
pay, aku pun sama." Dia menggeser ke depan Siau-hong dan membiarkan Koh-tiok menarik pergi Han-bwe, lalu
dia berucap pula perlahan, "Maka kuharap janganlah kau bikin kecewa kami."
Dia tidak membalik tubuh, tetap berdiri menghadapi Liok Siau-hong, cuma menyurut mundur
selangkah demi selangkah, mendadak lengan jubahnya mengebas terus melayang ke
belakang, dalam sekejap saja ia lantas menghilang.
Siau-hong tidak bergerak, juga tidak merintangi orang, sampai lama sekali barulah ia
menghela napas. Tiba-tiba ia merasakan dirinya sudah terlalu lama mengalah kepada ketiga orang itu, sekarang
sudah waktunya menyuruh mereka mengalah juga.
Untuk pertama kalinya dia bergerak, meski tidak menyerang, tapi sudah memperoleh
kemenangan. Namun ia pun tahu, ketiga kakek itu takkan mundur terlalu jauh, bilamana mereka mendesak
maju lagi entah bagaimana akibatnya" Untuk ini dia tak mau memikirkannya.
52 Api belum lagi padam, tidak boleh dia berdiri dan menonton melulu, meski masih banyak
persoalan yang harus dipikirnya, juga harus ditunda dahulu, sekarang dia harus berusaha
memadamkan api. Segera ia menyingsing lengan baju dan ikut menerjang ke tengah api, dari tangan orang lain
direbutnya seember air, dia melompat ke dinding rumah sebelah, air terus disiramkan pada api
yang berkobar itu. Dengan sendirinya gerak-geriknya jauh lebih cepat dan tangkas daripada orang lain, tenaga
seorang sama dengan tenaga sepuluh orang, namun di sebelahnya masih ada lagi seorang
yang gerak-geriknya juga tidak kurang cepatnya daripada dia. bahkan terlebih giat
daripadanya satu kali, orang itu melompat ke dinding yang sudah terjilat api dan hampir saja
terjerumus ke dalam lautan api.
Dengan mencairnya salju dan air yang disiramkan, ditambah lagi gotong royong para
penolong, dengan cepat menjalarnya api dapat dicegah, dan tidak lama kemudian api pun
dapat dipadamkan. Siau-hong merasa lega, ia mengusap keringatnya dengan lengan baju, hati terasa enak, sudah
lama ia tak pernah mengalami perasaan demikian.
Di sampingnya ada seorang sedang mengaso dengan napas terengah, ucapnya dengan tertawa,
"Seluruhnya kau siram 73 ember air, aku cuma 65 ember, engkau delapan ember lebih
banyak." Waktu Siau-hong berpaling, baru diketahuinya orang yang bahu membahu memadamkan api
bersamanya tadi ialah Hek-hian-tan Tio Kun-bu.
Tertawa Tio Kun-bu sangat cerah, katanya pula. "Sepergimu tadi sungguh aku ingin
membunuh diri, tapi sekarang kuingin bisa hidup beberapa tahun lebih lama, makin panjang
umur makin baik." Siau-hong tersenyum, dia tidak tanya apa sebabnya" Karena dia sudah
tahu jawabannya. Jika seorang merasakan dirinya adalah orang yang berguna, tentu dia takkan mencari mati,
sebab hidupnya dirasakan cukup berharga dan menyenangkan.
Apabila engkau pernah membantu seorang dengan setulus hati dan sepenuh tenaga, tentu
engkau akan paham hal ini, sebab seorang yang mau membantu orang lain berarti dia adalah
seorang berguna, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat.
Sambil tersenyum Siau-hong menepuk bahu Tio Kun-bu. Katanya, "Kutahu tadi engkau jauh
lebih giat daripada siapa pun, waktu kau hajar diriku dengan tenaga sehebat ini, pasti aku
tidak tahan." Dengan muka merah Tio Kun-bu menjawab. "Waktu kupukul orang tidak nanti kugunakan
tenaga sebesar itu, sebab memukul orang bukan hal yang menyenangkan, aku pun takut
tanganku akan kesakitan sendiri."
Kedua orang lantas bergelak tertawa, kemudian baru diketahui mereka bahwa di sekitarnya
sudah berkerumun orang banyak dan sedang mengiringi tertawa mereka, sorot mata semua
orang sama penuh rasa gembira, hormat dan terima kasih.
Tiba-tiba seorang anak perempuan kecil dengan rambut dikuncir dua berlari maju dan
memegang tangan mereka serta memberikan dua-tiga biji gula-gula kepada mereka, ucapnya
dengan muka merah, "Inilah gula-gula kesukaanku, tapi biarlah kuberikan kepada kalian,
sebab kalian adalah orang baik hati, jika aku sudah besar kelak, tentu aku pun akan membantu
orang lain, terutama membantu memadamkan api bilamana terjadi kebakaran."
Perlahan Siau-hong membelai rambut anak itu, ingin bicara, tapi rasanya kerongkongan
seakan-akan tersumbat. Tio Kun-bu juga memandang anak perempuan itu dengan terharu, air mata hampir saja
menitik, ia merasa sekalipun dirinya tadi terbakar mati oleh api juga cukup berharga,
53 Pada saat itu juga, tiba-tiba sebuah kepala kecil menongol keluar dari dalam got yang sempit
dan kotor di tepi jalan, serunya sambil menuding Siau-hong, "Dia bukan orang baik, dia
menipuku, bibi itu tidak memberi gula-gula kepadaku."
Lalu seorang anak hitam kecil merangkak keluar dari dalam got, kiranya si anak dekil yang
ketolol-tololan itu. Anak ini ternyata tidak ikut mati terbakar, mungkin nasibnya mujur, lantaran dia anak bodoh,
selain dia, siapa pun tak mungkin memasukkan dirinya sendiri ke dalam got yang kotor dan
sempit itu. Akan tetapi anak ini juga bermata, bahkan tadi berada di dalam rumah Tan Cing-cing,
sekarang cuma anak inilah satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan apa yang
terjadi tadi. Mata Siau-hong terbeliak, segera ia mendekati anak itu. Apakah anak ini dapat menunjukkan
bentuk si pengganas itu atau tidak" Memang belum meyakinkan Liok Siau-hong, tapi kan ada
setitik harapan pada anak itu.
Tak terduga, di tengah kerumunan orang banyak mendadak adu orang berteriak. "Itu dia yang
membakar rumah! Meski dia ikut membantu memadamkan api, tapi yang membakar juga dia,
jangan kita tertipu olehnya!"
Serentak beberapa orang berteriak-teriak sambil menubruk maju, suasana seketika menjadi
kacau. Meski ada sementara orang tidak percaya, tapi ada sebagian lagi menjadi curiga, terutama
beberapa orang yang rumahnya ikut terbakar, mereka menjadi kalap, tanpa pikir mereka terus
menubruk ke arah Liok Siau-hong.
Pada umumnya mereka adalah rakyat jelata yang berpikiran sederhana, karena rumahnya
musnah dan harta benda ludes, dengan sendirinya mereka mata gelap dan ingin melabrak


Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang. Siau-hong tidak menyalahkan mereka, juga tidak ingin menghajarnya, syukur Tio Kun-bu
telah mewakilkan dia untuk mengadang para pengamuk itu. Meski Siau-hong terkena
beberapa pukulan yang tak berarti, tapi dapatlah dia menerjang keluar kepungan. Namun si
anak dekil tadi sudah menghilang.
Di tepi got masih terlihat bekas tapak kaki yang kotor, di tengah tumpukan puing masih
mengepulkan asap. Mendadak Siau-hong mengertak gigi, dengan nekat ia menerjang ke
tengah puing yang masih membara itu,
Para anak buah Tio Kun-bu juga sudah memburu tiba untuk ikut mengatasi kekacauan, Tio
Kun-bu juga memberi jaminan dengan kehormatan pribadinya bahwa Liok Siau-hong pasti
bukan orang yang membakar rumah mereka, sebab sejak tadi Liok Siau-hong berada bersama
dia di restoran dan minum arak. Karena itulah baru kepanikan dapat diredakan, namun waktu
mengusut siapa orang yang berteriak tadi, ternyata tidak ada yang tahu.
Dalam pada itu Liok Siau-hong masih berada di tengah puing yang membara itu, tidak ada
yang tahu apa yang hendak dicarinya"
"Apa yang kau cari di sana?" tanya Tio Kun-bu sesudah mereka meninggalkan tempat
kebakaran itu. Namun Siau-hong tidak menjawab, matanya memancarkan semacam sinar yang aneh, entah
sedang merenungkan sesuatu soal sulit atau ada soal sulit yang sudah dipecahkannya.
Tio Kun-bu tidak bertanya lagi, ia pun mulai merenung, tiba-tiba ia berkata, "Tadi orang yang
memfitnah dirimu itu pasti orang yang membakar, dia sengaja mengkambing hitamkan
dirimu." Siau-hong berpikir lagi agak lama. katanya kemudian, "Mereka tidak cuma menjadikan diriku
sebagai kambing hitam, tapi ingin menghilangkan saksi."
"Menghilangkan saksi siapa?" tanya Tio Kun-bu. "Apakah anak yang merangkak keluar dari
got itu?" Siau-hong mengangguk.
54 "Anak tolol begitu apa yang diketahuinya?" ujar Tio Kun-bu sambil berkerut kening.
"Mestinya mereka memang tidak perlu bertindak demikian," kata Siau-hong dengan
menyesal. Tio Kun-bu juga menghela napas menyesal. Apa pun juga urusan toh sudah berlalu, marilah
kita pergi minum arak."
"Jika kau minta minum arak bersamaku, mungkin kau perlu menunggu agak lama," jawab
Siau-hong. "Sebab apa?" Lanya Tio Kun-bu.
Siau-hong mengepal tinjunya erat-erat, jawabnya perlahan, "Sebelum menemukan Hui-thiangiok-
hou, seterusnya aku takkan minum arak setetes pun."
"Apakah dapat kubantu engkau?" tanya Kun-bu.
"Dapat," jawab Siau-hong.
"Caranya?" "Engkau lebih paham sekitar daerah sini, hendaknya engkau ...." tiba-tiba Siau-hong menahan
suaranya seakan-akan kuatir didengar orang.
Maklum, kini telah diketahuinya bahwa wilayah pengaruh Hui-thian-giok-hou ternyata jauh
lebih luas dan besar daripada dugaannya semula.
Selesai ia bicara, segera Tio Kun-bu berkata, "Tugas ini pasti akan kukerjakan dengan baik,
bila ada kabar, cara bagaimana dapat kuberitahukan padamu?"
"Pernah kau datang ke kasino Pancing Perak?" tanya Siau-hong.
"Bukan saja pernah, bahkan sudah beberapa kali berjudi langsung dengan si jenggot biru,
malahan aku yang menang beberapa ratus tahil perak," tutur Tio Kun-bu dengan tertawa.
"Baik, setengah bulan lagi kita akan bertemu di sana," kata Siau-hong. "Yang dalang lebih
dulu harus menunggu, sebelum bertemu tidak boleh pergi."
Tio Kun-bu mengiakan, ia memandang Siau-hong sekian lama, tiba-tiba katanya pula,
"Terima kasih padamu!"
Siau-hong tertawa, "Kuminta kau bekerja bagiku, bukannya aku yang berterima kasih, kenapa
malah engkau yang berterima kasih padaku?"
"Justru lantaran engkau tidak berterima kasih padaku, makanya aku perlu berterima kasih
padamu," ujar Kun-bu. "Aneh, mengapa begitu?" tanya Siau-hong.
Mencorong sinar mata Tio Kun-bu, jawabnya, "Sebab kutahu engkau pasti menganggap
diriku sebagai kawan!" Kawan!
Betapa bahagia dan betapa indahnya istilah ini' Jika kau pun ingin serupa Liok Siau-hong,
disukai dan dihormati orang, maka lebih dulu engkau perlu memahami sesuatu yaitu bahwa
kekuatan yang dapat membuat orang takluk benar-benar pasti bukan kekerasan atau ilmu silat,
melainkan kasih sayang sesamanya dan kebesaran jiwa seseorang.
Dan itu bukanlah hal yang mudah, selain diperlukan kelapangan dada, juga harus punya
keberanian yang besar. Bab 6 " Setengah bulan kemudian, di dalam rumah yang teratur rapi dan resik, cuaca cerah, cahaya
mentari gilang gemilang, di depan jendela ada hiasan pot bunga yang indah.
Ting-hiang-ih ternyata sudah dapat berduduk, wajahnya yang pucat sudah mulai bersemu
merah, serupa setangkai bunga yang semula sudah layu mendadak segar kembali.
Dengan sendirinya semua ini sangat menyenangkan orang, perasaan Liok Siau-hong juga jauh
lebih riang daripada beberapa hari yang lalu.
"Kan sudah kujanjikan, aku pasti akan datang lagi menjengukmu," kata Siau-hong.
"Ya, kutahu," sahut Ting-hiang-ih, tersembul juga senyuman lembut pada wajahnya, "Kutahu
engkau pasti akan datang lagi."
55 Dia duduk bersandar tempat tidur, seprei tempat tidur baru saja diganti, dia memakai baju
tidur yang longgar hingga menutupi kaki dan tangannya yang buntung.
Sinar sang surya menembus masuk melalui jendela, dia kelihatan masih sangat cantik.
"Kedatanganku juga membawa sesuatu barang, tutur Siau-hong dengan tersenyum.
Mencorong sinar mata Ting-hiang-ih. Serunya, "Lo-sat-pay"!"
Siau-hong mengangguk, "Apa yang sudah kujanjikan padamu pasti dapat kulakukan, aku
tidak berdusta padamu."
Mata Ting-hiang-ih berkedip-kedip, katanya. "Memangnya aku yang berdusta padamu?"
Siau-hong menarik sebuah kursi dan berduduk, katanya, "Kau bilang padaku bahwa Cingcing
adalah sahabatmu dan boleh kupercaya padanya."
Ting-hiang-ih membenarkan.
"Apakah dia benar-benar sahabatmu" Kau benar-benar mempercayai dia?" Siau-hong
menegas. Ting-hiang-ih melengos ke arah lain, menghindari pandangan Siau-hong yang tajam,
napasnya mendadak berubah memburu seakan sedang mengekang perasaan sendiri, selang
agak lama. akhirnya ia tidak tahan dan tercetus ucapan setulusnya, "Dia perempuan jalang!"
"Dan kau suruh aku mempercayai seorang perempuan jalang!" kata Siau-hong dengan
tertawa. Akhirnya Ting-hiang-ih berpaling kembali, ucapnya dengan tertawa, "Sebab aku seorang
perempuan, bukankah perempuan selalu suka menyuruh orang lelaki mengerjakan sesuatu
yang tidak suka dikerjakannya sendiri?"
Alasan ini sebenarnya tidak begitu tepat, namun Siau-hong seperti merasa puas, sebab ia tahu
Pendekar Kidal 6 Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Petualangan Manusia Harimau 2
^