Pencarian

Kidung Senja Di Mataram 2

Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Pada suatu senja, tibalah Joko Lawu di dusun Muncang yang berada di lereng Gunung Lawu sebelah timur. Dusun ini cukup ramai dan pada malam hari itu lebih meriah dari pada biasanya karena kepala dusun itu mengadakan pesta merayakan pernikahan puterinya. Yang membuat perayaan itu amat meriah adalah karena kepala dusun Muncang mendatangkan serombongan penari dan penyanyi berikut seperangkat gamelan dengan para penabuhnya. Rombongan ini datang dari Pacitan dan amat terkenal karena memiliki ledek (penari dan penyanyi) yang manis-manis, bersuara merdu dan pandai berjoget. Terutama sekali karena dalam rombongan itu ikut pula seorang ledek muda yang baru beberapa bulan terjun ke dalam dunia kesenian ini, namun namanya sudah terkenal kerena ledek muda ini memang cantik manis, suaranya merdu dan bentuk tubuhnya yang ramping padat membuat tariannya nampak menggairahkan. Usianya baru tujuh belas tahun dan nama ledek baru ini Saminten. Namun kepala rombongan gamelan itu memberi julukan Maduraras kepada Saminten.
Joko Lawu mendapat tempat pondokan di rumah seorang kakek duda, petani yang hidup seorang diri di ujung dusun itu. Kakek itu peramah sekali dan dia yang mengajak Joko Lawu untuk nonton keramaian, kerena malam itu kepala dusun merayakan perkawinan puterinya dengan pesta tayuban!
"Madularas ikut dalam rombongan itu, Raden," kata kakek itu yang menyebut raden kepada Joko Lawu karena biarpun mengenakan pakaian sederhana, namun penampilan pemuda tampan ini memang menyakinkan, dan kulitnya yang putih bersih itu tentu saja membuat si kakek petani menganggap dia seorang priyayi. Karena kakek itu berkeras menyebutnya raden, maka Joko Lawu membiarkannya saja. Bagaimanapun juga, dia hanya Koleksi Kang Zusi
akan melewatkan malam saja di dusun itu dan besok pagi sebelum matahari muncul, dia sudah akan melanjutkan perjalanannya. "Pesta itu ramai sekali dan tak seorangpun melewatkan kesempatan baik untuk nonton atau bahkan ikut dalam tayuban ini."
Joko Lawu tentu saja mengenal apa yang dinamakan pesta tayuban itu.
Sejak kecil dia sudah seringkali menonton pesta tayuban, sebuah pesta tradisionil di mana para tamu yang ketiban sampur diharuskan menari dengan ledeknya. Karena dalam pesta itu dihidang- kan minuman keras, arak atau tuwak, dan yang ikut menari banyak yang dalam keadaan mabuk, maka tentu saja pesta seperti itu amat meriah, kadang juga diselingi kegaduhan, kemesuman, bahkan perkelahian karena memperebutkan giliran berjoget dengan ledeknya di dalam kesempatan mana para pria itu dapat menyentuh, meraba, menowel bahkan mencium ledeknya!
Sebetulnya Joko Lawu ingin beristirahat dan tidak kepingin ikut menonton pesta tayuban yang dianggapnya gila-gilaan itu, akan tetapi dia merasa tidak enak kepada tuan rumah. Kakek duda itu hidup seorang diri saja di rumah itu, kalau dia menolak dan tinggal di rumah, berarti selain tidak menghormati tuan rumah, juga dia merasa tidak enak berada seorang diri saja di rumah orang selagi penghuninya pergi! Terpaksa dia pun ikut pula dan tuan rumah itu menjadi girang sekali.
"Raden, kalau ledek-ledek itu melihat andika, tentu mereka akan berebutan melempar sampur (selendang) kepadamu!" Joko Lawu hanya tersenyum saja. Biarpun dia sendiri seorang yang tidak asing dengan seni tari dan nyanyi, akan tetapi tidak pernah terbayangkan dia akan ikut tayuban seperti para pria mata keranjang dan pemabokan itu!
Kakek petani itu hanya seorang petani miskin, tentu saja tidak termasuk seorang undangan. Maka, bersama Joko Lawu dia hanya berdiri di tepi panggung sebagai penonton dan karena dia mengenal petugas keamanan yang berjaga di situ maka dia dan Joko Lawu mendapatkan tempat paling Koleksi Kang Zusi
depan dekat panggung. Para penabuh gamelan sudah memainkan beberapa lagu dan suara waranggana sudah menggema di seluruh dusun. Ada empat orang ledek yang duduk bersimpuh di antara para penabuh gamelan dan diam-diam Joko Lawu kagum kepada seorang di antara mereka yang kesemuanya masih muda dan cukup cantik. Namun yang seorang itu, yang berselendang hijau, memang cantik jelita dan manis sekali. Tanpa diberitahupun dia dapat menduga bahwa tentu ledek itulah yang dimaksudkan kakek petani sebagai Madularas yang terkenal.
Ketika hidangan dikeluarkan, mereka yang menjadi penonton hanya dapat menelan ludah melihat para tamu yang duduk di panggung menikmati hidangan. Bau minuman keras segera tercium, membuat Joko Lawu merasa muak dan dengan punggung tangan kadangkali dia menutup lubang hidungnya agar bau arak itu tidak terlalu menyengat. Tiba-tiba pandang mata Joko Lawu tertarik kepada seorang pria muda yang duduk di atas kursi, di antara para tamu. Wajah itu! Dia masih mengenalnya dengan baik.
Bukankah pemuda yang kini mengenakan pakaian rapi itu adalah pemuda ahli tembang dan peniup suling, yang pernah diperkenalkan oleh Bayu kepadanya" Aji, benar sekali, pemuda itu tentulah Aji dan hampir saja Joko Lawu lupa diri dan berseru memanggil. Untung dia teringat bahwa dia sedang menyamar, dan tiba-tiba saja mukanya menjadi kemerahan karena dia teringat betapa anehnya keadaan hatinya. Kenapa dia mendadak menjadi begini gembira ketika melihat pemuda itu" Pandang matanya seperti melekat kepada Aji dan diamatinya setiap gerak-gerik pemuda itu yang agaknya duduk dekat rombongan keluarga tuan rumah.
Petani tua itu menyentuh siku lengannya dan dia menoleh. "Ada apa, paman?"
"Andika ini aneh, Raden. Semua orang memandang kepada para ledek dan mengagumi kecantikan mereka, sebaliknya andika malah sejak tadi melihat ke arah para tamu."
Joko Lawu tersenyum dan mendapat kesempatan untuk bertanya tentang Aji kepada petani itu. "Paman, aku merasa seperti pernah melihat pemuda Koleksi Kang Zusi
yang duduk di sana itu." Dagunya membuat gerakan ke arah tempat Aji duduk.
"Yang mana?" tanya si petani sambil memandang ke arah itu.
"Pemuda yang memakai baju coklat itu paman."
"Yang tampan dan hitam manis itu?"
Joko Lawu mengangguk. Memang Aji hitam manis dan tampan sekali.
"Saya sendiri tidak tahu siapa namanya raden. Akan tetapi pernah saya mendengar bahwa dia adalah keponakan dari isteri kepala dusun. Dia masih keluarga yang punya kerja."
Joko Lawu mengangguk-angguk. Agaknya Aji mempunyai keluarga yang terdiri dari orang-orang berkedudukan. Kepala dusun Pancot masih pamannya, sekarang isteri kepala dusun Muncang juga masih bibinya!
Terpaksa dia mengalihkan pandangannya ketika tarian dimulai. Tiga orang ledek sudah bangkit dan mulai menari. Akan tetapi si selendang hijau masih duduk dan mengiringi tarian tiga orang kawannya dengan bertembang merdu. Tiga orang ledek itupun masih muda dan menis-manis, dan ketika mereka berjoget, maka gerak tubuh mereka lemah gemulai dan gerakan lekuk lengkung tubuh mereka menggairahkan. Mulai ramailah para pria yang duduk di bagian tamu, tertawa-tawa dan riuh rendah suara mereka berbicara, tentu saja membicarakan para penari itu, memberi pendapat masing-masing. Kemudian, mulai para tamu yang sudah lebih dahulu ditunjuk oleh tuan rumah, dihampiri oleh tiga orang penari dan Koleksi Kang Zusi
menyerahkan sampur kepada para tamu kehormatan yang ditunjuk tuan rumah. Mulailah para tamu yang kejatuhan sampur atau selendang itu menari-nari, dilayani tiga orang ledek, mengikuti irama gamelan. Suasana menjadi gembira sekali kalau ada tamu yang berani dan nakal, menggerakkan kepala dan muka terlalu dekat dengan muka ledek sehingga hidung mereka hampir bersentuhan.
Setelah para tamu kehormatan mendapat giliran, dimintalah dengan hormat oleh kepala dusun, tamu yang paling dihormati dan yang tadi tidak mau kalau diminta menari lebih dahulu. Dia adalah seorang demang yang kedudukannya lebih tinggi dari pada kepala dusun, dan ketika akhirnya demang itu bangkit berdiri, dia minta agar Madularas sendiri yang melayani dia berjoget. Kepala dusun segera memberi isyarat kepada kepala rombongan penari itu yang membisikkan Madularas. Semua yang menari sudah terhenti dan tiga orang ledek itu beristirahat, duduk bersimpuh kembali di tempat masing-masing dan Madularas bangkit, diiringi tepuk tangan dan sorak para tamu dan penonton. Ketika dara ini bangkit berdiri, semua orang melihat betapa selain cantik dan manis, ledek muda ini pun memiliki bentuk tubuh yang paling menarik di antara mereka berempat.
Dada dan pinggulnya membusung, dua hal yang membuat seorang penari nampak amat menggairahkan.
Dengan langkah yang gontai dan lemah gemulai, diiringi senyum yang manis dan sopan, kerling matanya tidak genit seperti tiga orang rekannya, ia menghempiri tempat duduk demang dan sambil berjongkok iapun menyerahkan sampur atau selendang. Pak demang menerimanya diiringi tepuk sorak dan sambil menyeringai, demang yang bertubuh tinggi kurus dengan kumis tebal melintang itu bangkit berdiri. Gamelan ditabuh dan mulailah pejabat itu menari dilayani Madularas. Dan ketika ledek muda itu menari, nampak jauh bedanya dengan gerakan tari tiga orang rekannya.
Jelas bahwa Madularas telah mendapatkan bimbingan dalam ilmu tari dari guru yang pandai. Tariannya halus, gerakannya sopan, dan biarpun tidak terlalu kuat dia menggoyang pinggul dan pundak, namun sedikit goyangan saja membuat seluruh tamu, terutama kaum pria yang muda, menjadi gempar dan banyak yang menelan ludah.
Koleksi Kang Zusi Pak demang agaknya juga dapat nenahan perasaannya. Dia tidak melakukan hal-hal yang melanggar batas kesusilaan. Hal ini bukan karena dia seorang yang alim, melainkan karena dia menjaga namanya sebagai seorang yang berkedudukan, agar namanya tidak dijadikan bahan celoteh dan tertawaan.
Kalau menurutkan hatinya, tentu saja selagi ada kesempatan, dia ingin sekali merangkul dan mencium ledek muda yang menggemaskan itu. Setelah selesai satu babak, dia memberi hadiah uang cukup banyak, dan cara memberikan hadiah inipun dengan sopan, tidak dia selipkan ke balik kain penutup dada, melainkan diserahkan di ujung selendang Madularas yang menerimanya dengan sembah dan ucapan terima kasih, bukan saja untuk hadiah itu, terutama sekali untuk sikap yang bersih dan sopan dari sang demang.
Setelah melayani demang, Madularas kembali duduk dan tiga orang penari pertama kembali menari. Setelah mereka yang dihormati tuan rumah menerima sampur, kini tiba giliran mereka yang memberi hadiah lebih dahulu mendapat giliran menari. Siapa yang memberi paling banyak, dialah yang lebih dahulu berhak menari dan memilih seorang di antara tiga penari itu. Tidak ada yang boleh memilih Madularas yang malam itu bertugas sebagai penyanyi yang mengiringi tarian tiga orang rekannya. Hanya kalau ada tamu istimewa seperti demang tadi saja, terpaksa kepala rombongan tidak berani menolak, dan juga nanti akan tiba giliran Madularas untuk menjatuhkan sampur kepada pria mana saja yang dipilihnya. Dalam hal ini, setiap orang penari akan mendapatkan kebebasan memilih dan biasanya babak ini dilakukan paling akhir.
Mulailah para tamu, juga mereka yang menjadi penonton, menguras saku dan berlomba untuk mendapat giliran menari dengan memberi hadiah sebanyak yang mungkin mereka berikan. Suasana menjadi semakin gaduh dan meriah karena mereka yang mendapat giliran menari karena memberi hadiah ini merasa bahwa dia telah membeli sang ledek, karenanya mereka hendak mendapatkan imbalan yang sebanyak dan sepuas mungkin. Para tamu golongan inilah, yang mengandalkan kantung tebal untuk mendapat giliran menari, yang berani melakukan hal-hal yang melanggar kesusilaan.
Apa lagi kalau mereka sudah mulai mabok, mereka menjadi semakin berani sehingga muncullah gerakan dan perbuatan yang berbau mesum.
Koleksi Kang Zusi Beberapa kali Joko Lawu memandang ke arah Aji dan melihat betapa Aji juga nampak bergembira, makan hidangan bahkan beberapa kali pemuda itu minum tuak. Akan tetapi tidak kelihatan mabok dan dia melihat pula betapa tuan rumah sendiri membujuknya untuk ikut menari tadi ketika golongan tamu yang diundang mendapat kesempatan, akan tetapi pemuda itu menolak dengan hormat. Karena ia merasa jemu dan lelah, beberapa kali Joko Lawu mengajak tuan rumah pulang, akan tetapi petani itu menolak.
"Nanti dulu, sebentar lagi, Raden. Pertunjukan yang paling hebat belum kita lihat."
"Apanya sih yang hebat, paman" Paling paling orang berlagak dengan tari-tarian dan ulah mereka yang menjemukan!"
"Wah, andika belum tahu raden. Di mana ada Madularas, di situ akan terjadi perkelahian dan bahkan pembunuhan!"
"Apa" Bagaimana bisa begitu?" Joko Lawu terkejut.
Kakek itu tersenyum lebar dan nampak giginya yang ompong. "Sejak Madularas menjadi kembang tayuban, sudah beberapa orang menjadi korban dalam perkelahian karena rebutan. Nanti kalau ia sudah keluar dan mulai dengan pilihan yang dilakukan oleh Madularas, pada pemuda jagoan akan bermunculan dan berebutan, dan mungkin saja terjadi perkelahian dan pertumpahan darah."
"Hemm, apakah kepala dusun yang punya kerja akan diam saja melihat perkelahian itu" Bukankah di sini terdapat banyak penjaga keamanan?"
"Perkelahian di atas panggung memperebutkan ledek merupakan perkelahian liar. Dan siapa yang terluka atau tewas dalam perkelahian, Koleksi Kang Zusi
sudhlah wajar dan kepala dusun menganggap kematian itu kematian seorang ksatria."
Tentu saja Joko Lawu merasa tertarik sekali. Di dusunnya, perkelahian mem- perebutkan wanita juga wajar saja, akan tetapi tidak diadakan perkelahian terbuka di atas panggung. Kalau dipertimbangkan, kebiasaan ini lebih adil dan gagah, berbanding disaksikan banyak orang sehingga benar-benar diuji ketangkasan orang, tidak dapat mempergunakan keroyokan atau kecurangan lain. Sebagai seorang yang memiliki kedigdayaan, tentu saja dia tertarik dan ingin sekali nonton orang bertanding mengadu tebalnya kulit, kuatnya otot dan kerasnya tulang.
Akhirnya saat yang dinanti-nanti semua orang tiba. Tiga orang penari yang sudah kelelahan itu mengundurkan diri dan tampillah Madularas yang masih segar karena baru menari sebabak untuk menghormati demang tadi, dan dengan gerakan yang amat indah Madularas mulai menari gambyong seorang diri. Memang menggairahkan semua gerak tubuhnya itu, seolah-olah setiap bagian tubuhnya, pinggulnya, lehernya, pundaknya, pinggangnya, jari-jari tangan, pergelangan, kakinya bahkan senyuman dan lirikan matanya, semua anggota tubuh itu hidup sendiri-sendiri dan memiliki daya tarik sendiri-sendiri! Mulailah para pria menawarkan hadiah-hadiah kepada kepala rombongan. Hadiah-hadiah itu ditaruh secara terpisah di atas tampan agar Madularas sendiri yang nanti memilihnya. Sementara itu Madularas mulai mengerling ke kanan kiri karena dara ini ingin mencari pemuda yang berkenan di hatinya agar nanti dapat ia jadikan pilihannya dalam berjoget, sesudah ia melayani penawar yang paling tinggi!
Setelah menari sebabak, Madularas menghampiri tampan dan tentu saja, seperti biasa dipilihnya hadiah yang terbesar seperti diisyaratkan oleh kepala rombongan. Terdengarlah desah kecewa mereka yang hadiahnya tidak diterima, dan mereka mengambil kembali hadiah mereka, sedangkan yang memiliki hadiah terbesar yang diterima Madularas tadi muncul dengan wajah gembira. Akan tetapi, ledek muda yang manis itu yang mengerutkan alisnya yang hitam kecil melengkung indah ketika ia melihat siapa orangnya yang maju. Pria tinggi besar muka hitam ini bernama Ganjur Koleksi Kang Zusi
dan sudah dikenalnya kerena pernah Ganjur ini membuat keributan ketika ia menjadi ledek tayuban di dekat Pacitan. Bahkan saingan Ganjur dihajarnya sampai babak belur dan bahkan hampir tewas oleh jagoan ini.
Ganjur berusia tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan nampak kokoh kuat, dan dia terkenal sebagai warok muda yang digdaya. Bukan karena wajah dan kekasarannya saja Madularas tidak suka kepada Ganjur, akan tetapi terutama sekali karena ulahnya di waktu menari. Ganjur ini selain kasar juga amat cabul, bahkan berani pula mencium ledek dalam tayuban di depan orang banyak. Makin disoraki orang, dia semakin liar dan menuruti nafsu berahi saja. Nyaris diperkosanya seorang ledek di depan umum kalau saja tidak diperingatkan dan dicegah tuan rumah. Akan tetapi, ia sudah terlanjur menerima hadiah tadi, dan memang menurut aturan, hadiah terbesar yang harus diterima dan dilayaninya. Kalau saja ia tahu bahwa Ganjur hadir di situ dan akan menawarkan hadiah besar, tentu ia tidak mau muncul lagi, dengan alasan tidak enak badan atau apa saja. Kini, terpaksa ia melayani Ganjur.
Gamelan dipukul dengan gencar dan mulailah Madularas menari, tidak memper- dulikan orang yang terpaksa diserahi sampur. Ganjur tersenyum lebar, lalu diapun mulai menari. Tariannya kasar, namun digagah-gagahkan dan baru beberapa gerakan saja, tangannya yang besar dan kasar itu sudah menyentuh pinggul Madularas, yang terpaksa, seperti seorang ledek tayuban yang baik, pura-pura tidak tahu atau tidak merasakan perbuatan ini. Penonton yang melihatnya, bersorak dan Ganjur mulai mendapat hati.
Tangannya kini dengan sengaja meraba pundak, punggung, mengusap pinggul, bahkan berani mengusap dada dan menowel pipi. Wajah Madularas mulai menjadi kemerahan, matanya memancarkan sinar kemarahan, akan tetapi ia tidak mampu melakukan sesuatu kecuali mandah saja. Ia hanya seorang ledek, dan orang ini sudah membayarnya! Akan tetapi ketika Ganjur mencoba untuk menciumnya, ia memalingkan muka dan penonton mulai bersorak.
Tiba-tiba seorang pemuda menghampiri pasangan yang sedang menari itu dan dengan suara lantang dia berkata, "Atas perintah paman kepala dusun Muncang, kami minta agar tamu yang menari tidak melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan. Kerabat wanita kami ikut menonton. Kalau nekat, terpaksa tarian dihentikan!"
Koleksi Kang Zusi Semua orang menadang dan juga Joko Lawu yang tadi sudah merasa marah sekali memandang. Kiranya yang bicara itu adalah Aji! Dan tersenyum bangga dan senang. Kiranya si seniman itu mempunyai pula keberanian, walaupun mengatasnamakan kepala dusun!
Ganjur sendiri memutar tubuhnya dan dua tangannya sudah dikepal.
Beberapa orang kawannya, kesemuanya orang-orang kasar, ada yang berteriak-teriak dan terdengar suara, "Kakang Ganjur, sikat saja!" akan tetapi, agaknya Ganjur masih memperhitungkan bahwa pemuda tampan yang nampak lemah itu hanya menjadi juru bicara kepala dusun! Kalau dia nekat, tentu bukan pemuda ini yang dihadapinya, akan tetapi kepala dusun dengan semua penjaga keamanan, bahkan seluruh penduduk Muncang!
"Heh-heh, bocah bagus! Kalau banyak yang iri, baiklah aku akan menari dengan sopan santun, ha-ha!" Dan tarian itupun dilanjutkan. Sikap Ganjur masih kasar dan kurang ajar, akan tetapi dia tidak berani lagi menggunakan tangan seperti tadi, hanya kadang kala mendekatkan hidungnya yang besar ke muka Madularas sehingga ledek muda itu terpaksa memalingkan muka walaupun ia tidak dapat menghindarkan bau apek yang panas dari mulut laki-laki itu.
Setelah sebabak berhenti dan teman-teman Ganjur menyambutnya dengan sorak dan tepuk tangan, Ganjur sudah merogoh sakunya dan hendak memberi hadiah lagi untuk tarian berikutnya. Akan tetapi saat itu, Madularas sudah menghindar dan wanita ini dengan gerakan kecil-kecil dan cepat seperti berlari, menuju ke pemuda yang tadi menolongnya dan dengan berjongkok ia menyerahkan sampur kepada Aji! Ternyata perbuatan Aji tadi amat menangkan hati Madularas, menyenangkan dan juga membuat dara itu bersyukur karena keberanian Aji membuat ia terbebas dari gangguan Ganjur yang kurang ajar. Karena merasa berterima kasih, apa lagi melihat bahwa pemuda yang menolongnya itu masih kerabat kepala dusun dan juga masih amat muda dan tampan, ledek itu tentu saja merasa suka dan tertarik, dan segera menjatuhkan pilihannya malam itu kepada Aji untuk menjadi pasangan pilihan dalam Koleksi Kang Zusi
berjoget! Ketika melihat Madularas menyerahkan sampur kepadanya, Aji nampak terkejut dan malu-malu, kedua tangan dengan lembut hendak menolaknya.
Akan tetapi, semua keluarga yang punya kerja, juga pengantin puteri yang saudara misan Aji, bertepuk tangan dan menganjurkan pemuda itu menerima sampur. Sementara itu, Madularas masih berjongkok dan menundukkan mukanya, hatinya gelisah sekali kalau-kalau pemuda yang dikaguminya itu menolak sehingga ia terpaksa kembali akan diharuskan melayani Ganjur sebagai pembayar termahal.
"Banuaji, engkau telah menjadi pilihan Madularas malam ini," kata kepala dusun Muncang dengan senyum lebar. "Dan pilihan itu tepat sekali. Majulah dan menarilah, hitung-hitung engkau menyumbangkan sesuatu untuk kakakmu yang menjadi pengantin agar manambah semarak pesta ini. Kami semua tahu bahwa engkau adalah seorang ahli tari yang pandai."
Didorong dari sana-sini, akhirnya terpaksa Aji menerima sampur di bawah iringan tepuk sorak para anggota keluarga. Para tamu tidak ada yang bertepuk tangan karena selain mereka tidak mengenal Aji, juga sebagian besar di antara mereka bakkan memandang cemberut karena merasa iri hati. Siapa orangnya tidak akan iri kepada seorang pemuda yang menjadi pilihan Madularas" Para penontonpun banyak yang memandang iri, terutama sekali Ganjur yang terpaksa harus turun dari panggung dengan muka semakin gelap. Dia mengepal tinju dan berbisk-bisik dengan kawan-kawannya yang tadi menyambutnya. Ganjur merasa marah sekali kepada Aji. Tadi dia dapat menahan kemarahannya, mengingat bahwa pemuda itu hanya menjadi juru bicara kela dusun Muncang. Akan tetapi melihat betapa pemuda yang telah mengganggu kesenangan itu kini menjadi pilihan Madularas, kemarahannya berkobar kepada pemuda itu.
Dengan berpegang pada ujung sampur yang ditarik oleh Madularas yang kembali ke panggung, Aji juga ikut ke panggung dan gamelan mulai dibunyikan. Kini wajah ledek yang manis itu penuh senyum manis sekali, wajahnya cerah berseri dan kedua pipinya kemerahan. Ia mulai menggerak-Koleksi Kang Zusi
gerakkan kedua lengan dan tubuhnya, sesuai dengan irama gamelan dan begitu Aji menari, ia memandang dengan mata terbelalak penuh kagum.
Ternyata pemuda yang dikaguminya itu seorang ahli tari yang hebat.
Gerakannya demikian mantap dan indah, tekukan jari, pergelangan, siku dan gerakan kaki, semua serba lentur dan tepat, membuat dia nampak gagah sekali. Dan semua orang menonton kagum karena dua orang muda itu memang serasi benar. Setelah yakin bahwa pemuda itu seorang ahli tari yang pandai, Madularas juga mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menari sebaik mungkin. Mereka bagaikan sepasang kupu-kupu yang beterbangan kian kemari dan saling bercumbu, atau sepasang kumbang yang sedang memadu kasih di antara kembang-kembang. Kepala dusun dan keluarganya menjadi gembira sekali dan semua orang memuji-muji Aji yang pandai menari. Semua orang kecuali tentu saja Ganjur dan kawan-kawannya, mereka yang iri hati dan juga Joko Lawu!
Joko Lawu mendapatkan dirinya cemberut dan tak senang! Dia merasa heran sendiri. Kenapa hatinya terasa begini panas" Melihat Aji dan Madularas berjoget sedemikian serasi dan indahnya, mereka berdua itu sambil menari saling senyum dan saling kerling, entah mengapa ia merasa panas hati! Cemburu! Sudah dicobanya untuk membantah perasaan ini dan mencoba diri sendiri, namun sia-sia, makin lama hatinya semakin panas!
Ketika satu babak hampir berakhir, diam-diam Madularas memberi isyarat kepada kepala rombongan. Karena yang minta adalah primadona, ledek kesayangannya yang merupakan sumbangan penghasilannya, maka kepala rombongan tentu saja memnuhi isarat permintaan itu dan begitu satu babak selesai, gamelan tidak berhenti melainkan disambung dengan lain lagu yang lebih panas! Karena dilanjutkan, maka tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk menghentikan tarian mereka. Kini Madularas menari dengan gerakan yang berbeda dengan tadi, sesuai dengan gerakan lagunya, dan ternyata Aji juga mengenal lagu itu dan mampu menari yang sesuai dengan lagunya. Tariannya kini tidak lemah-gemulai seperti tarian Arjuna, melainkan gagah perkasa seperti tarian Gatutkaca! Dan kembali Madularas tersenyum gembira, bahkan sempat membisikkan kata-kata pujian.
Koleksi Kang Zusi "Andika hebat sekali, Raden. Belum pernah saya menemui pasangan sehebat ini tariannya."
Aji tidak menjawab, juga tidak membantah, hanya tersenyum.
Bagaimanapun juga cantik dan menariknya, Madularas hanyalah seorang ledek, seorang penghibur umum, apa lagi ledek tayuban yang suka diperebutkan laki-laki. Maka, pujian itu dianggapnya sebagai rayuan kosong belaka dan diapun hanya mencurahkan perhatiannya kepada tariannya.
Kalaupun dia tersenyum dan mengerling kepada Madularas, hal itu dilakukan sebagai pelengkap dari tariannya. Tarian berpasangan merupakan tarian asmara, maka sangatlah cocok kalau disertai senyum dan kerling mata seolah dua orang yang sedang menari itu merupakan pasangan yang sedang memadu kasih!
Joko Lawu tahu bahwa tarian itu disambung dengan babak kedua dan dia menjadi semakin panas. Diam-diam dia mengambil sebuah gelang emas yang mahal, miliknya sendiri yang dibawa sebagai bekal kalau-kalau dia membutuhkan biaya dalam perjalanan, bersama perhiasan lain. Sebelum babak kedua itu selesai, dia telah menyelinap, mendekati kepala rombongan penari dan dia menyerahkan gelang itu untuk dihadiahkan kepada Madularas kalau mau menerimanya sebagai pasangan menari berikutnya!
Kepala rombongan itu terbelalak! Belum pernah selama dia memimpin rombongan itu, ada orang yang memberi hadiah sebanyak itu! Dia tahu bahwa gelang itu amat mahal, puluhan, bahkan seratus kali lebih banyak dari pada hadiah yang biasa diterima dari seratus tamu. Maka, begitu babak kedua berhenti, dia tidak lagi memenuhi isarat Madularas yang minta terus. Dan kesempatan itu dipargunakan oleh Aji untuk mengundurkan diri karena diapun merasa sudah cukup dengan tarian dua babak tadi.
Madularas sendiri menoleh ke arah kepala rombongan dengan sinar mata marah, lalu menghampirinya. Akan tetapi iapun terbelalak ketika melihat hadiah yang diberikan seorang calon pasangan baru. Sebuah gelang emas yang demikian tebalnya! Belum pernah selamanya ia mendapat kesempatan memakai gelang seperti itu. Terlalu mahal baginya, tidak akan terbeli. Dan sekarang ada yang demikian gila untuk memberikan sebuah gelang yang Koleksi Kang Zusi
demikian mahalnya kepadanya hanya untuk ditemani berjoget! Akan tetapi, ketika ia teringat kepada Ganjur, ia menjadi gelisah.
"Ganjur......?" Tanyanya dengan bisikan kepada kepala rombongan. Ketika kepala rombongan menggeleng kepala, barulah hati Madularas menjadi lega, dan ketika kepala rombongan memberi isarat kepadanya dan menunjuk kepada pemberi gelang, Madularas menoleh dan...... ia terpesona.
Pemberi gelang itu seorang pemuda yang amat tampan, seperti Raden Harjuna sendiri, bahkan lebih tampan dibandingkan pemuda ahli menari tadi. Seperti dalam mimpi, setelah mengenakan gelang emas itu di lengan kirinya, Madularas lalu mengangguk kepada kepala rombongan dan berbisik,
"Asmaradana" sebagai tanda bahwa ia minta dimainkan lagu itu. Berbareng dengan bunyi gembang yang membuka lagu Asmaradana itu, Madularas melangkah cepat, dengan langkah pendek-pendek seperti bergerak maju tanpa melangkah karena kedua kakinya tertutup kain, menghampiri Joko Lawu dan menyerahkan sampur. Joko Lawu tersenyum mengejek dan memadang ke arah Aji, lalu menerima sampur itu dan bangkit berdiri.
Tubuhnya tinggi semampai, lebih tinggi setengah kepala dibandingkan Madularas dan semua orang terkagum-kagum melihat pemuda yang amat tampan itu. Petani tua yang tadi mengajak Joko Lawu, tersenyum lebar penuh kebanggaan. Tepat seperti telah diduganya, tamunya itu menimbulkan kekaguman karena memang amat tampan. Dia tamuku, dia tinggal di rumahku, demikian hatinya berteriak dan mulutnya sedapat mungkin memberitahukan kepada orang-orang di dekatnya siapa adanya pemuda yang mampu mengajak Madularas menjadi pasangan menari itu.
"Dia tamuku, dia tinggal di rumahku," demikian berkali-kali dia pamer.
Setelah Joko Lawu mulai menari, semua orang menjadi semakin gempar.
Pemuda asing itu memiliki gerakan tari yang bukan main! Ketika dia menggerakkan lehernya, demikian lentur dan lemas seolah leher itu tidak bertulang lagi, disertai kerling mata yang tajam menggunting dan senyum yang aduhai. Gerak pundak dan pinggulnya juga berirama tanpa mendatangkan kesan tidak sopan dan gerak tariannya memiliki kembangan-kembangan baru yang indah. Bahkan tarian pemuda ini tidak kalah indahnya dibanding tarian Madularas sendiri. Orang-orang mulai bertepuk tangan memuji dan Joko Lawu beberapa kali mengerling ke arah Aji dengan hati puas. Dia sendiri tidak mengerti mengapa demikian. Kenapa ia ingin Koleksi Kang Zusi
menyaingi Aji dan ingin menyakiti hatinya dengan menempel ledek muda yang manis ini!
Selagi menari-nari itu, ada suatu hal yang membuat Joko Lawu mengubah penilaian- nya terhadap Madularas. Ledek muda ini berbeda dengan ledek-ledek lainnya. Setahunya, semua ledek, termasuk yang tiga tadi, adalah wanita penghibur pria umum yang menggunakan kecantikannya, kepandaiannya menari dan menembang, untuk menggoda pria dan menguras uang dari kantung mereka, tentu saja disertai sikap genit memikat. Akan tetapi ledek muda ini sama sekali tidak menunjukkan kegenitan! Padahal dia telah memberi hadiah yang amat berharga, dan sewajarnyalah andaikata ledek itu mengambil hatinya, bersikap manis dan genit. Akan tetapi sama sekali tidak. Biarpun Madularas tersenyum manis, namun matanya yang bening itu sama sekali tidak mengandung kegenitan, juga sedikitpun tidak pernah menyentuhnya untuk menggoda. Ledek muda itu tetap bersikap sopan, dan diapun teringat bahwa ketika ledek muda ini tadi menari sampai dua babak berpasangan dengan Aji, iapun tidak bersikap genit dan mereka tadi menari dengan sopan sungguhpun saling melempar senyum dan kerling mata, yang memang merupakan bagian dari tarian itu. Dan mulailah ia merasa betapa tololnya sikapnya ini, merasa iri dan cemburu!
Seperti juga semua orang yang berada di situ, Aji juga merasa heran melihat seorang pemuda yang amat tampan berhasil mengajak Madularas berjoget dengan memberi hadiah gelang emas yang amat berharga. Dan diapun kagum. Pemuda itu bukan saja amat tampan, akan tetapi pandai juga berjoget. Dia sendiri seorang ahli joget, maka ia dapat menilai bahwa biarpun tarian pemuda itu tidak hebat benar, bahkan di sana-sini masih terdapat gerakan yang keliru, namun harus dia akui bahwa pemuda itu memiliki gerakan yang amat indah, dengan tubuh yang lentur, lemas dan juga bertenaga. Diam-diam dia merasa heran ingin sekali mengetahui siapa pemuda yang tampan dan asing itu, karena dia dapat menduga bahwa tentu pemuda itu bukan pemuda dusun biasa.
Seperti ketika ia tadi menjadi pasangan Aji, kini Madularas juga memberi isarat kepada kepala rombongan untuk melanjutkan babak pertama dengan babak ke dua, minta diganti tembangnya. Sekali ini kepala rombongan Koleksi Kang Zusi
memenuhi isarat itu dengan senang hati. Pemuda tampan itu telah memberi hadiah besar dan itu berarti diapun mendapat keuntungan karena sesuai perjanjian hasil yang didapatkan para ledek itu harus dibagi dua dengan kepala rombongan yang akan membagikan pula kepada para penabuh gamelan.
Karena hendak menyaingi Aji, maka Joko Lawu juga dengan senang hati berjoget sampai dua babak. Baru setelah habis tarian yang kedua, dia berkata kepada Madularas sebelum tarian itu habis.
"Cukup, Madularas, sehabis tarian ini aku ingin beristirahat. Terima kasih atas pelayananmu."
Madularas tersenyum dan sengaja menari lebih dekat, lalu berbisik,
"Sayalah yang berterima kasih, atas pemberian hadiah yang amat berharga ini. Untuk mengutarakan terima kasih saya, saya akan menutup rahasia den roro....."
Tentu saja Joko Lawu terkejut, akan tetapi hanya sebentar. Tentu saja Madularas, sebagai seorang wanita, akan mudah mengetahui bahwa diapun adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria. Mereka menari berdekatan sampai dua babak, cukup dekat dan cukup lama bagi Madularas untuk menyadari hal itu. Tidak aneh, dan diapun tidak khawatir. Dia menyamar hanya untuk memudahkan perjalanan agar tidak menghadapi banyak ganguan, bukan untuk bersembunyi karena memang tidak ada yang ditakutinya. Maka, mendengar bisikan itu, dia hanya tersenyum acuh saja dan tidak menjawab. Setelah selesai berjoget, disambut oleh tepuk tangan para penonton, Joko Lawu turun dari panggung dan kembali ke tempat dia berdiri semula, di dekat kakek petani yang menyambutnya dengan wajah berseri dan pandang mata penuh kebanggaan.
Joko Lawu sudah hendak meninggalkan tempat itu ketika tiba-tiba dia tertarik melihat laki-laki raksasa hitam tadi berjoget dengan kasar dan Koleksi Kang Zusi
tidak sopan, kini sudah naik lagi ke panggung. Dia meleparkan sekantung uang kepada Madularas yang sudah duduk bersimpuh dan kantung uang itu jatuh di atas pangkuan ledek itu. Pria itu menghampiri dan menjulurkan tangan kanan, mengajak Madularas untuk berjoget lagi.
Akan tetapi Madularas menggeleng kepala dan mengembalikan kantung uang itu kepada pemberinya. "Saya sudah lelah sekali, harap ajak saja rekan yang lain." katanya sambil memandang kepada tiga orang rekannya.
Marahlah Ganjur. Dia merenggut kantung uang itu dari tangan Madularas dan melempar kantung ke arah pemimpin rombongan. "Aku sudah menawar Madularas dengan hadiah tertinggi dan aku berhak emngajaknya berjoget.
Kalau kalian tidak memenuhi permintaanku, berarti kalian melanggar adat kebiasaan tayuban!"
"Maafkan Madularas, denmas Ganjur. Ia sudah lelah sekali dan minta istirahat. Pilihlah di antara tiga orang ledek yang lain." kata kepala rombongan.
Ganjur membelalakkan matanya. "Apa" Madularas tadi baru saja sebabak berjoget dengan aku dan ia sudah melayani dua orang masing-masing dua babak. Sekarang aku minta agar dilayani satu babak lagi, ini namanya baru adil! Kalau tidak, aku akan mengobrak-abrik kalian!" ancamnya. Kemudian, sekali sambar, tangannya yang besar telah menangkap pergelangan tangan Madularas dan ledek muda ini ditariknya berdiri. Para penabuh gamelan sudah mengenal siapa Ganjur, maka mereka menjadi ketakutan dan mulailah mereka memukul gamelan. Madularas sendiri dengan wajah pucat memandang ke kanan kiri, seperti seekor kelinci yang ketakutan melihat harimau dan hendak mencari perlindungan. Ganjur sudah melepaskan pergelangan tangannya dan dengan menyeringai bengis Ganjur mulai bejoget, memberi isarat dengan gerakan kepala agar ledek itu berjoget pula. Akan tetapi Madularas hanya berdiri lunglai, kedua kakinya gemetar.
Koleksi Kang Zusi Pada saat itu, Aji sudah menghampiri tengah panggung itu dan menghadapi Ganjur. "Madularas, mundur dan beristirahatlah!" katanya kepada ledek itu yang memandang kepadanya dengan penuh rasa syukur, kemudian ledek muda itu lari ke rombongannya dan duduk bersimpuh.
Ganjur melotot kepada Aji dan berkata dengan suara bengis, "Bocah bagus, andika berani mencampuri urusan pribadiku denga Madularas?"
Aji menjawab dengan sikap tenang. "Kisanak, ingatlah bahwa andika hanya seorang tamu. Andika tidak boleh membuat keributan di tempat ini, apa lagi andika hanya penonton, bukan tamu yang diundang. Selain itu, tidak sepatutnya seorang laki-laki menggunakan paksaan terhadap seorang wanita, walaupun wanita itu seorang ledek. Madularas sudah lelah dan ingin beristirahat, dan tidak seorangpun boleh memaksakan kehendaknya di sini."
Joko Lawu yang ikut melihat dan mendengarkan, memandang kagum, akan tetapi kembali ada perasaan tidak enak di hatinya. Agaknya Aji mencintai Madularas, maka kini hendak membelanya mati-matian. Biarpun demikian, dia senang mendengar pembelaan Aji terhadap wanita, juga kagum akan keberaniannya. Aji hanya seorang seniman yang lemah dan untuk membela wanita dia berani menentang seorang benggolan macam raksasa hitam itu.
Mengagumkan! Dan Joko Lawu sudah siap melindungi Aji kalau-kalau si raksasa hitam itu akan mencelakainya.
Ganjur mengepal tinjunya dan wajahnya yang hitam menjadi semakin bengis. Akan tetapi dia teringat bahwa dia berada di tempat pesta kepala dusun Muncang, maka setelah beberapa kali menengok ke arah keluarga kepala dusun, dia lalu menghardik.
"Hemm, orang muda sombong. Agaknya engkau mengandalkan lurah di Koleksi Kang Zusi
Muncang ini untuk menentangku, ya" Coba tidak ada keluarga lurah di belakangmu, beranikah engkau sebagai laki-laki memperebutkan Madularas dengan aku, sebagai dua orang jantan memperebutkan betinanya?"
Aji tetap tenang. Joko Lawu malah yang menjadi gelisah. Aji menatap wajah raksasa tinggi besar itu dan berkata, "Kisanakm akupun hanya seorang tamu walau masih terhitung sanak tuan rumah. Akan tetapi, aku membela Madularas karena aku tidak rela melihat wanita lemah diperlakukan sewenang-wenang, bukan untuk memperebutkan agar menjadi pasangan menari. Aku tidak mengandalkan kedudukan paman kepala dusun."
"Bagus! Kalau begitu, aku Raden Mas Ganjur menantangmu untuk mengadu kerasnya tulang tebalnya kulit di panggung ini secara ksatria!"
Wajah Aji menjadi kemerahan. "Dan aku Banuaji tidak suka berkelahi tanpa sebab, hanya untuk mengumbar nafsu angkara murka saja. Aku tidak mau berkelahi denganmu atau dengan siapapun juga, Ganjur. Bukan berarti aku tidak berani. Kalau ada yang memukulku tentu akan kubalas!"
Ini sudah cukup bagi Ganjur yang hendak melampiaskan kekecewaan, penasaran dan kemarahannya kepada pemuda yang dianggapnya telah mengganggu kesenangannya itu. "Bagus! Kalau begitu, aku akan memukulmu, hendak kulihat bagaimana engkau akan membalas aku, ha-ha-ha!"
Akan tetapi pada saat itu, ki lurah Muncangan bangkit berdiri. "Tahan!
Kami tidak mengijinkan perkelahian di luar aturan pertandingan. Banuaji, engkau adalah sanak keluarga kami, tidak boleh melayani tantangan perkelahian. Mundurlah!"
Aji mengangguk dan tanpa banyak cakap lagi diapun mundur dan kembali ke tempat duduknya semula. Ganjur menyeringai dan terdengar suara tawa Koleksi Kang Zusi
dari teman-temannya. "Ha-ha, untung sekali, ada alasan untuk mundur!"
"Heh-heh, tidak kaulihat tadi betapa mukanya sudah pucat dan kakinya menggigil ketakutan?"
"Ha-ha-, untung dia tidak sampai terkencing-kencing!"
Tentu saja ejekan-ejekan itu ditujukan kepada Aji yang pura-pura tidak mendengar, melainkan minum sisa tuak di atas meja di depannya.
Sementara itu Ganjur yang masih kecewa karena Madularas tidak bersedia melayaninya berjoget, berdiri sambil membusungkan dada dan memandang ke sekeliling.
"Aku, Raden Mas Ganjur, jagoan nomor satu dari daerah Beledug, warok muda tanpa tanding, dalam kesempatan ini untuk memeriahkan pesta, menantang siapa saja yang merasa memiliki sedikit kepandaian untuk mengadu ilmu kedigdayaan. Siapa yang menang, taruhanya satu babak berjoget dengan Madularas!"
Sekali ini, Ganjur menggunakan peraturan Tayuban di daerah itu, memancing pertandingan adu kekuatan dan ketangkasan. Kalau saja dia tidak ditolak Madularas dan tidak merasa diganggu oleh Aji, apa lagi tadi melihat Madularas dengan sikap manis melayani lagi seorang pemuda tampan lain yang memberi gelang emas, sampai masing-masing dua babak, tentu dia tidak semarah ini dan tidak akan mencari perkara. Dia tidak berani mengamuk begitu saja karena tentu dia dan kawan-kawannya akan dikeroyok orang sedusun yang akan membela lurah mereka. Maka, untuk Koleksi Kang Zusi
melampiaskan kemarahannya, dia meng- ajukan tantangan agar dia dapat menghajar orang di atas panggung secara terbuka dan sah!
Suasana menjadi sunyi setelah Ganjur meneriakkan tantangannya itu.
Tidak ada seorangpun yang berani menyambut tantangan itu, bahkan para jagoan di dusun Muncang dan sekitarnya yang berada di situ hanya menundukan muka. Mereka mengenal siapa Ganjur, yang bukan saja seorang raksasa yang bertenaga gajah, dan terkenal kebal, juga mempunyai banyak teman warok muda yang digdaya.
Melihat tidak ada orang yang menyambut tantangannya, Ganjur menjadi semakin penasaran. Dia sengaja menghadap ke arah Aji dan berkata lantang, "Ha-ha-ha, takkusangka bahwa di sini tidak ada orang gagah rupanya! Gagahnya hanya kalau berjoget dengan ledek saja, akan tetapi melihat runcingnya keris menjadi miris dan melihat besarnya kepalan menjadi ketakutan. Kalau tidak ada yang berani menadingiku, berarti aku menang dan Madularas sudah semestinya melayani aku berjoget selama satu babak!"
Karena maklum bahwa tantangan itu ditujukan kepadanya, Aji nampak gelisah duduknya. Dia lalu bangkit dan agaknya hendak nekat, akan tetapi melihat ini, Joko Lawu yang merasa khawatir kalau sampai Aji menjadi bulan-bulan raksasa hitam itu, sudah mendahuluinya dan dia pun naik ke panggung menghadapi Ganjur. Semua orang terbelalak keheranan, juga penuh kecemasan. Apa lagi kakek petani yang dipondokinya. Kalau tadi kakek ini merasa bangga, maka kebanggaannya hanya karena tamunya menjadi pasangan yang serasi dengan Madularas. Kalau tamunya itu hendak melawan Ganjur, tentu saja dia merasa cemas bukan main. Tamunya itu demikian tampan dan halus, bagaimana mungkin mampu menandingi Ganjur"
Sekali gebrakan saja akan patah-patah tulangnya dan remuk kepala dan dadanya! Kepala dusun Muncang sekeluarga juga memandang heran dan tegang, bahkan Aji yang tidak jadi bangkit berdiri, memandang dengan penuh perhatian dan alisnya berkerut.
Koleksi Kang Zusi Namun Joko Lawu nampak bersikap tenang sekali ketika dia menghampiri Ganjur. Dia membesarkan suaranya. "Hei, Ganjur, apakah tantanganmu itu ditujukan kepada semua orang" Kalau aku menyambut tantanganmu, bolehkah?"
Ganjur mengamati Joko Lawu dari kepala sampai ke kaki, lalu dia menengadah dan tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, engkau....." Ha-ha-ha, engkau ini remaja tampan. Memang pantas sekali kalau engkau berjoget, engkau tampan dan lembut. Lebih baik engkau ikut saja dengan aku ke Ponorogo di sana para warok akan memperebutkanmu! Engkau akan disanjung, disayang, dan hidup penuh kesenangan!"
Wajah Joko Lawu menjadi merah. Dia pernah mendengar akan kebiasaan aneh para warok dan benggolan di Ponorogo yang suka sekali memelihara pemuda remaja yang tempan untuk dijadikan kekasih!
"Ganjur, jangan melantur! Aku Joko Lawu menerima tantanganmu tadi, dengan taruhan bahwa kalau andika kalah, maka andika harus cepat minggat dari sini dan jangan lagi berani mengganggu wanita."
"Heh-heh-heh, kalau aku menang" Kau akan kubawa ke Ponorogo, kuhadiahkan kepada bapa guruku!"
"Kalau aku kalah, terserah. Mati pun akan kuhadapi!" kata Joko Lawu, lalu dia menghadap kepada rombongan penabuh gamelan, minta agar pertandingan itu diiringi gamelan! Para penabuh gamelan yang tadinya takut kepada Ganjur, kini menjadi bersemangat karena ada orang yang berani menentang benggolan itu, dan seketika mereka semua berpihak kepada Joko Lawu. Maka terdengarlah bunyi gamelan dengan gagahnya.
Koleksi Kang Zusi Ganjur kembali tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau ini anak kecil berani berlagak. Pantasnya engkau hanya berjoget dan bertembang, dan menjadi kekasih orang-orang jantan!"
"Ganjur, tak perlu banyak cakap. Mulailah, atau aku yang akan mulai menyerangmu!"
Ganjur bertolak pinggang, kedua kakinya terpantang lebar dan dia masih menyeringai lebar. "Engkau" Mau menyerangku" Ha-ha-ha, bocah bagus.
Boleh kau serang aku. Mau pukul" Mau menempiling" Mau menendang"
Silakan, bagian mana yang kau pilih. Dari depan" Dari belakang" Silakan, ha-ha-ha!" Dia mengandalkan kekebalannya dan dia memandang rendah kepada perjaka remaja yang tentu tidak memiliki tenaga besar itu.
"Benarkah itu" Nah, seluruh orang yang hadir di sini menjadi saksi. Bukan aku yang berbuat curang, akan tetapi engkau yang menantang untuk dipukul."
"Heh-heh, bocah bagus. Kalau orang setampan engkau yang memijat, biar sampai semalam suntuk pun aku mau. Pukulanmu merupakan pijitan yang nikmat, heh-heh-heh!"
"Nah, kau terimalah pijitan ini!" kata Joko Lawu dan tangan kirinya menampar ke arah dada yang tebal dan lebar, penuh dengan otot menggembung itu. Semua orang kecewa dan cemas melihat betapa pemuda tampan itu memukul dengan lemah sekali, dan memang pantas dikatakan seperti pijitan yang nyaman saja. Pukulan yang keras sekalipun belum tentu mampu menembus benteng kekebalan Ganjur, apa lagi hanya tamparan yang lemah itu.
Koleksi Kang Zusi "Bukk!" Tamparan telapak tangan kiri Joko Lawu menyambar ke arah dada yang bidang dan kokoh itu, dan nampaknya lemah dan tidak bertenaga, seperti sehelai daun yang jatuh menimpa batu karang saja. Tangan itu pun membalik dan tubuh tinggi besar hitam itu sama sekali tidak tergoyang.
"Ha-ha-ha, tidak terasa sama sekali!" kata seorang kawan Ganjur di bawah panggung.
"Wuuttt.......!" Dengan gerakan yang amat ringan Joko Lawu sudah mengelak ke samping sehingga terkaman Ganjur luput dan selagi tubuh Ganjur tersungkur oleh dorongan tenaga terkamannya sendiri, kaki Joko Lawu menyambar, tidak begitu keras nampaknya ujung kaki itu dua kali mencium belakang lutut kedua kaki Ganjur dan tak dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar itu tersungkur dan mencium papan panggung, menimbulkan suara berdebuk.
Ketika Ganjur merangkak bangun, Joko Lawu kembali mengejeknya, melihat betapa bibir yang hitam tebal itu berdarah, agaknya terlalu keras menghantam papan sehingga terluka robek. Agaknya memang bibir itu belum dilatih kekebalan! "Kepalaku belum hancur, Ganjur, sebaliknya mulutmu yang sombong itu yang nyaris hancur."
Kini wajah para penonton yang berpihak kepada Joko Lawu berubah menjadi cerah beseri. Mereka telah salah sangka. Mereka tlah cemas dengan percuma saja. Pemuda yang nampak halus lembut seperti Arjuna itu, ternyata juga memiliki kedigdayaan seperi Arjuna pula! Melihat perkelahian tadi, mereka semua teringat akan pertunjukan wayang di mana Arjuna bertanding melawan seorang raksasa!
"Jahanam, pecah dadamu!" Bentaknya dan kakinya yang besar dan panjang itu tiba-tiba mencuat dan menendang ke arah dada Joko Lawu. Memang tendangan itu hebat dan sekiranya mengenai dada orang, bukan mustahil Koleksi Kang Zusi
beberapa batang tulang iga akan patah-patah! Namun, dengan menggerakkan kaki kanan ke belakang satu langkah, tendangan itu menyambar lewat, hanya beberapa sentimeter di depan dada Joko Lawu dan sebelum kaki itu turun kembali, Joko Lawu sudah melangkah maju lagi dan sekali tangannya bergerak, dia telah mendorong tumit kaki yang menendang itu ke atas! Tenaga tendangan Ganjur sudah kuat sekali, kakinya meluncur ke atas ketika tendangannya luput, kini tumitnya didorong dari bawah, tentu saja kakinya melayang makin kuat, membawa tubuhnya terjengkang dengan kerasnya dan kalau tadi dia tebanting menelungkup di atas panggung, kini dia terbanting menelentang dan kepalanya bagian belakang beradu dengan papan.
"Brakk! Dua batang papan panggung itu patah, dan Ganjur menyeringai kesakitan, matanya mendadak menjadi juling karena dia merasa bumi berpusing. Dia segera bangkit duduk, akan tetapi sejenak tidak mampu bangkit berdiri, hanya duduk dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan, seolah takut kalau kepala itu akan terbang meninggalkan badannya!
Kini, pecahlah sorak sorai menyambut robohnya Ganjur untuk ke dua kalinya dan semua orang tidak ragu-ragu lagi. Jatuhnya Ganjur yang pertama tadi bukanlah suatu kebetulan belaka. Pemuda tampan yang bernama Joko Lawu itu memang hebat! Tentu saja para penonton itu tidak tahu, juga orang-orang kasar seperti Ganjur dan kawan-kawannya tidak tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang muda yang telah menerima gemblengan aji kesaktian, yang telah menguasai ilmu dan tenaga halus, bukan seperti Ganjur yang hanya mengandalkan ilmu dari tenaga kasar saja.
Setelah peningnya menghilang, Ganjur bangkit berdiri. Kini dia tidak dapat banyak bicara lagi. Rasa malu membuat dia mata gelap, dibakar dihina dan dipermalukan di depan banyak orang dan melihat wajah orang-orang itu masih menyeringai tertawa, menertawakan dia, ingin rasanya dia mengamuk dan membunuh sebanyak mungkin orang! Dia lalu lolos senjatanya yang dianggap jimat ampuh, yaitu sehelai tali lawe yang tadinya dipakai sebagai kolor aau pengikat pinggang. Sebetulnya, celananya sudah ada pengikatnya sendiri dan tali kolor sebesar lengan itu hanya diikatkan di pinggang saja, sebagai hiasan dan juga sebagai penambah hati karena dia menganggap kolor itu ajimat yang membuatnya digdaya. Kini, dengan kolor di tangan Koleksi Kang Zusi
sebagai senjata, berarti bahwa dia hendak berkelahi mati-matian!
Melihat ini, ki lurah Muncang segera bangkit berdiri dan berseru dengan suara nyaring berwibawa, "Tahan! Kisanak, andika sudah kalah, sudah dua kali roboh, sepatutnya andika mengakui kekalahan andika dalam pertandingan adu kepandaian ini. Penggunaan senjata ajimat itu sudah melanggar ketentuan pertandingan, karena pertandingan ini bukan suatu permusuhan!"
Kalau saja tidak ingat bahwa dia berada di daerah orang lain, tentu Ganjur akan mengamuk dan bahkan mungkin menyerang keluarga kepala dusun Muncang itu. Kini dia menghadapi kepala dusun dan suaranya menggelegar.
"Bapak kepala dusun Muncang! Terus terang, aku mengakui kekalahan dalam pertandingan tangan kosong tadi karena aku kurang berhati-hati.
Akan tetapi sekarang aku manantang Joko Lawu untuk bertanding menggunakan senjata! Kalau Joko Lawu merasa takut, biar dia menyembah satu kali kepadaku dan akupun tidak akan memaksanya. Kalau dia berani, maka pertandingan ini tidak menyalahi ketentuan. Pertandingan tantangan antara dua orang jantan menunjukkan sikap ksatria."
Sebelum kepala dusun itu melarang, Joko Lawu yang ingin menghajar orang muda raksasa hitam itu segera berkata halus, "Paman kepala dusun Muncang, saya menerima tantangan Ganjur yang congkak ini. Kalau orang macam ini tidak dihajar, tentu dia tidak kapok dan selalu memaksakan kehendaknya sendiri. Nah, Ganjur, dengarlah baik-baik. Bukan saja tantanganmu bertanding dengan senjata kuterima, juga kawan-kawanmu yang berada di bawah itu boleh naik semua untuk mengeroyok aku."
Biarpun tantangan itu terdengar sombong, namun kini semua orang percaya penuh akan kesanggupan Joko Lawu dan tidak ada yang memprotes. Kini Ganjur sudah kehilangan taringnya. Dia pun tahu bahwa lawannya tangguh, maka tanpa malu-malu lagi dia memberi isarat kepada Koleksi Kang Zusi
kawan-kawannya yang berada di bawah panggung. Di antara mereka terdapat dua orang warok muda yang merasa diri jagoan, dan mereka berdua itulah yang naik ke panggung sambil melolos kolor mereka. Ganjur dan dua orang kawannya mengepung Joko Lawu dan mereka bergerak mengintari pemuda itu sambil memutar-mutar kolor dengan wajah bengis dan sikap mengancam.
Joko Lawu berdiri tegak dengan sikap tenang. Dia tidak mengeluarkan senjata, dan tubuhnya tidak bergerak, hanya sepasang matanya yang bening tajam itu saja bergerak-gerak mengamati tiga orang lawannya.
Kalau Ganjur bertubuh tinggi besar berkulit hitam, seorang di antara kawanya itu gendut pendek dengan muka kasar seperti kulit salak karena penyakit gatal, dan orang ke dua bertubuh tinggi kurus dengan bekas luka melintang di pipi kanannya, membuat si codet ini nampak menyeramkan.
Ganjur masih teringat bahwa dia bukan berada di kandang sendiri, maka bentaknya, "Bocah sombong, keluarkan senjatamu!"
Sebetulnya dengan tangan kosongpun Joko Lawu tidak gentar menghadapi pengeroyokan mereka dan yakin akan dapat mengalahkan para pengeroyok itu. Akan tetapi melihat kolor yang kotor dan kumal itu, ia merasa jijik dan diapun melolos sabuk sutera merah yang panjangnya satu setengah meter.
Tentu saja semua orang memandang heran dan khawatir. Bagaimana sehelai sabuk sutera seperti itu dapat dipergunakan sebagai senjata"
Senjata tiga orang warok muda itu adalah kolor, apa lagi tubuh manusia, kepala seekor kerbaupun akan remuk kalau sekali kena dihantam sabetan kolor seperti itu! Akan tetapi sehelai sabuk sutera"
Si codet membesarkan hati sendiri dengan suara mengejek, "Hei Joko Lawu, kami ingin membunuhmu, bukan mengajakmu berjoget tayuban!
Kenapa engkau mengeluarkan selendang merah?" Dua orang kawannya tertawa menyambut ejekan ini, akan tetapi tak seorangpun di antara penonton yang ikut tertawa. Tiba-tiba terdengar suara Banuaji lantang.
Koleksi Kang Zusi "Joko Lawu, aku akan beterima kasih sekali kalau andika suka menambah codet pada pipi kirinya agar tidak berat sebelah!"
Mendengar ini, Joko Lawu memandang kepada Aji dengan tersenyum.
Seniman muda itu seorang pemberani, biarpun hanya seorang seniman yang lemah. Dia mengangguk lalu berkata kepada si codet yang masih menyeringai untuk mengejeknya.
"Heh, codet! Kau sudah dengar sendiri tadi" Hayo cepat kaulukai sendiri pipi kirimu!"
Mendengar ini, tentu saja si codet terbelalak memandang Joko Lawu.
"Apa kau gila....?"
Tiba-tiba nampak sinar merah berkelebat menyambar ke arah muka si codet dan terdengar bunyi ledakan kecil. "Tarrr........!"
"Aduhh..........!" Si codet terhuyung ke belakang, tangan kiri meraba pipi kiri dan dia semakin tebelalak melihat tangan itu terkena darah. Dia tadi hanya melihat sinar merah menyambar pipinya, lalu terdengar ledakan dan pipi kirinya terasa nyeri dan pedih. Kiranya ujung selendang sutera itu telah melecut dan melukai pipinya. Di pipi kiri itu terdapat luka memanjang dan melintang, mirip dengan codet di pipi kanan.
Meledak kini tepuk tangan para penonton. Kagum bukan main mereka melihat betapa selendang sutera merah itu ternyata amatlah ampuhnya.
Ketika Joko Lawu mengerling ke arah Aji, dia melihat pemuda itu membungkuk kepadanya seolah meng- haturkan terima kasih.
Koleksi Kang Zusi Akan tetapi pada saat itu, para penonton terbelalak dan menjadi cemas kembali karena tiga orang pengepung itu sudah menggerakan kolor masing-masing dan mereka menyerang dari tiga jurusan seperti kerbau-kerbau gila. Tiga buah kolor itu menyambar-nyambar dahsyat, mengeluarkan suara berdesir dan bersutan. Para penabuh gamelan mempercepat pemukulan gamelan sehingga terdengar gegap gempita. Mereka menabuh gemelan dengan hati penuh ketegangan melihat betapa ganasnya tiga orang warok itu mengeroyok Joko Lawu. Namun, semua ketegangan dan kecemasan itu sirna ketika mereka melihat betapa mudahnya Joko Lawu menghindarkan diri dari sambaran tiga buah kolor itu. Dengan cekatan sekali, seperti orang menari-nari, tubuhnya berkelebatan dan menyusup di antara gulungan sinar putih keruh yang dibuat oleh tiga buah kolor itu. Melihat ini, pemukul gendang menjadi gembira dan pukulannya penuh semangat, sedapat mungkin bunyi kendangnya disesuaikan dengan gerakan tiga orang itu, seperti kalau dia mengiringi pertarungan di panggung antara seorang ksatria yang dikeroyok oleh tiga orang raksasa yang kasar. Demikian penuh semangat para pemukul gamelan itu sehingga para penonton seperti lupa bahwa yang mereka tonton adalah pertandingan yang sungguh-sungguh, bahwa tiga orang warok itu berusaha mati-matian untuk membunuh Joko Lawu. Mereka merasa seperti nonton pertandingan wayang atau sandiwara saja!
Tiba-tiba pengeroyok yang bertubuh gendut pendek mengeluarkan bentakan nyaring dan dia menyerang dari belakang, kolornya menyambar ganas ke arah kepala Joko Lawu. Melihat ini, tukang gendang mencoba untuk mengikuti gerak serangan itu dengan bunyi kendangnya.
"Ketopak-pak-pak-pak, tung-tung-tung-plak, dungg.........!"
Joko Lawu menarik tubuh atas ke belakang, membiarkan kolor itu lewat di depan mukanya dan secepat kilat selendang merah sutera di tangannya menyambar, menjadi sinar merah mencuat ke arah muka si gendut pendek.
Koleksi Kang Zusi Tepat ketika bunyi gendang terakhir "dungg..........!" itulah ujung selendang sutera merah mematuk dan mengenai hidung yang bengol dari si pendek gendut.
"Crottt.........!" Dan si gendut itu terjengkang, kedua tangan sibuk mengusap mukanya, akan tetapi bukit hidung sudah ambrol sebagaian, remuk dipatuk ujung selendang merah dan bercucuran darah. Pada saat itu, kolor di tangan si codet yang pipi kirinya masih berdarah itu menyambar pula, menghantam ke arah iga kiri Joko Lawu. Pemuda ini menggerakkan selendang dan dua ujung selendangnya bergerak, yang satu menangkis kolor, yang kedua mencuat ke atas menyambar pelipis kanan si codet.
"Prettt.........!" Dan si codet terpelanting, matanya menjadi juling dan kepalanya mendadak pening, pandang matanya menjadi kabur dan banyak bintang berjatuhan dari atas!
"Wirrr........!!" Kolor si tinggi besar Ganjur juga menyambar dahsyat. Joko Lawu ter- paksa melempar tubuh ke bawah, telentang, akan tetapi begitu kolor itu menyambar luput, kakinya mencuat ke atas.
"Ngekkk!" Perut Ganjur tercium ujung kaki Joko Lawu dan raksasa hitam inipun terjengkang, menekan perut yang tertendang karena mendadak perut itu terasa mulas dan melilit-lilit! Agaknya usus buntunya yang kena tendangan Joko Lawu tadi. Kini Joko Lawu tidak mau memberi kesempatan lagi kepada tiga orang pengeroyoknya yang masih belum sempat bangkit.
Selendang sutera merah di tangannya menyambar-nyambar, meledak-ledak dan melecut-lecut secara bertubi-tubi, seperti cambuk yang gerakannya amat cepat, menari-nari di atas tubuh tiga orang pengeroyoknya. Ujung selendang sutera merah itu mematuk-matuk, mencabik kain dan kulit, potongan kain berhamburan, darah muncrat dan tiga orang itu mengerang kesakitan, bergulingan dihujani sengatan ujung selendang sutera merah, tanpa dapat membalas, bahkan tidak sempat bangkit. Suara gamelan Koleksi Kang Zusi
bertalu-talu, ngungkung seperti gamelan pada pertempuran terakhir dalam lakon wayang, dan kaki Joko Lawu menendang tiga orang itu satu demi satu, terlempar turun dari atas panggung, menimpa kawan-kawan mereka sendiri.
Tepuk sorak menyambut kemenangan ini, diiringi cemohan kepada Ganjur dan dua orang kawannya yang dipapah oleh kawan-kawan lain, melarikan diri meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi, pemuda yang kini menjadi pusat kekaguman itu meloncat turun dari atas panggung pula, menghilang di antara para penonton.
Terdengar orang-orang memanggil nama Joko Lawu, bahkan suara kepala dusun juga terdengar, dan orang mencari-cari, namun pemuda itu telah lenyap ditelan kegelapan malam. Bahkan ketika kakek petani cepat lari pulang, dia mendapatkan pondoknya kosong, pemuda yang menjadi tamunya dan yang membuatnya bangga itu telah pergi, dan buntelan pakaiannyapun tidak ada.
*** Joko Lawu maklum bahwa setelah terjadi peritiwa di tempat pesta pernikahan itu, dia tidak mungkin dapat lebih lama tinggal di dusun Muncang. Tanpa disengaja, dia telah melibatkan diri dalam keributan itu sehingga dia menjadi perhatian orang. Padahal, dia sedang bertugas penting, yaitu mencari ayahnya dan dia dalam penyamaran. Semua itu terjadi karena Aji, pikirnya. Kalau saja Aji tidak berjoget dengan Madularas, tentu diapun tidak akan memperlihatkan diri. Akan tetapi, pendapat ini dibantahnya sendiri. Siapa yang akan dapat bertahan sabar menyaksikan kesombongan Ganjur dan kawan-kawannya. Tidak, dia turun tangan karena tidak tahan melihat Ganjur menghina Madularas. Akan tetapi akibatnya, dia tidak dapat beristirahat dan malam itu terpaksa dia harus melewatkan malam di sebuah gubuk, di tengah sawah yang sunyi, berkawan bintang-bintang di langit dan jangkrik-jangkrik di sawah.
Joko Lawu duduk di atas gubuk itu, memeluk kedua lututnya dan Koleksi Kang Zusi
menyandarkan dagu di atas kedua lutut, termenung. Wajah Aji terbayang.
Betapa tampan pemuda itu ketika berjoget tadi! Dia menarik napas panjang. Hemm, mengapa dia mengenang pemuda itu" Dia dan ayahnya sudah mengambil keputusan untuk mencari jodoh seorang yang mampu mengalahkannya, putera atau murid tokoh yang mampu menandingi ayahnya. Dan Aji" Ahhh, hanya seorang pemuda seniman yang pandai meniup suling, menari da bernyanyi, akan tetapi lemah! Dia mengusir bayangan Aji dan merebahkan diri tidur di dalam gubuk bambu yang reyot itu. Karena lelah dan mengantuk, tak lama kemudian diapun tidur pulas.
Akan tetapi, Aji muncul kembali dalam tidurnya. Dia bermimpi dan melihat Aji berjoget tayuban lagi, gagah dan indah jogetnya, akan tetapi yang menjadi pasangannya berjoget bukan Madularas. Ledeknya adalah dia sendiri! Dan betapa bahagianya ketika berjoget sebagai ledek melayani Aji itu!
Pada keesokkan harinya, Joko Lawu terbangun oleh kokok pertama ayam jantan dari dusun Muncang. Gubuk sawah itu berada di luar dusun Muncang. Dia bergegas meninggalkan gubuk sebelum ada petani yang meninggalkan dusun pergi ke sawah. Dia memper- gunakan kepandaiannya berlari cepat menuju ke timur, menyongsong ufuk timur yang mulai terbakar merah oleh sinar matahari pagi.
Pagi yang cerah. Sinar matahari mendahului sang surya, membakar langit di timur. Fajar mulai menyingsing dan cahaya terang mulai mengusir kegelapan malam. Burung-burung sudah sibuk di pohon-pohon, menyambut pagi dengan kicau mereka yang penuh kegembiraan, siap untuk memulai pekerjaan sehari itu mencari makan. Ayam jantan berkokok bersahut-sahutan, dan agaknya seluruh permukaan bumi, segala benda hidup, yang bergerak maupun yang tidak, menanti datangnya rahmat yang menghidupkan dengan penuh kebahagiaan. Sinar matahari! Sumber kehidupan!
Suasana yang cerah itu mempengaruhi hati Joko Lawu. Biarpun perutnya sudah mulai bersaing dengan ayam jago namun hatinya ringan dan pikirannya jernih. Tidak ada lagi bayangan Aji, agaknya sudah terpuaskan semalam dalam mimpi. Diapun tidak ingat lagi akan peristiwa semalam. Dia cepat pergi ke daerah Ponorogo untuk mencari ayahnya.
Koleksi Kang Zusi Sinar matahari mulai panas ketika Joko Lawu meninggalkan kaki Gunung Lawu dan tiba di daerah Magetan. Ketika dia berjalan di bukit kecil yang penuh dengan hutan, dia mendengar teriakan-teriakan orang berkelahi.
Tentu saja dia tertarik sekali dan cepat dia memasuki hutan dari mana terdengar suara pertempuran itu, dia melihat seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun, berpakaian seperti seorang petani, sedang dikeroyok oleh dua orang warok yang setengah tua pula. Dua orang warok itu memiliki gerakan yang amat kuat dan cepat juga mereka mempergunakan kolor mereka. Namun, orang yang dikeroyok itupun tangkas, dengan sebatang keris di tangan dia melakukan perlawanan mati-matian.
Joko Lawu mengintai, tidak tahu apa yang harus yang dia lakukan. Dia tidak mengenal mereka yang sedang berkelahi, tidak tahu apa masalahnya yang membuat mereka itu berkelahi. Tidak enak berpihak pada salah satu pihak tanpa mengenal mereka dan tidak mengetahui pula siapa yang benar siapa yang salah. Akan tetapi dia melihat betapa laki-laki petani yang dikeroyok itu sudah menderita luka-luka, walaupun tidak mengeluarkan darah, namun pukulan-pukulan kolor mendatangkan luka di sebelah dalam badan. Luka-luka seperti itu lebih parah dibandingkan luka pada kulit yang berdarah. Gerakannya sudah mulai mengendur dan beberapa hantaman kolor membuat dia roboh terpelanting.
"Keparat busuk, mata-mata Mataram yang jahat!" teriak seorang di antara dua warok yang mengeroyok itu.
"Sekarang kuantar engkau ke neraka jahanam!" bentak warok ke dua sambil memutar kolornya, siap untuk menghantam dan membunuh.
"Tahan.........!" teriak Joko Lawu dan ketika dua orang warok itu menengok, Koleksi Kang Zusi
pemuda ini sudah meloncat di depan mereka. Tadinya Joko Lawu bingung karena tidak tahu harus membantu pihak mana, akan tetapi begitu mendengar makian tadi, mendengar orang yang dikeroyok itu dituduh mata-mata Mataram, tentu saja mudah baginya untuk menentukan sikap.
Mata-mata Mataram itulah yang harus dibantu. Ayahnya sendiripun panglima pasukan penyelidik! Siapa tahu orang itu adalah anak buah ayahnya.
Teriakan Joko Lawu tadi mengejutkan kedua orang warok sehingga mereka menunda pemukulan dan melihat bahwa yang menahan mereka hanya seorang pemuda remaja yang amat tampan, kedua orang warok itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, adi Surosekti! Ternyata hadiah kemenangan itu datang sendiri! Bocah begus, wajahmu tampan kulitmu putih mulus gerak-gerikmu lembut..... hemmm....., sungguh beruntung sekali kami dapat bertemu denganmu. Tunggu sebentar, bocah bagus. Biar kami bunuh dulu mata-mata keparat ini!" Warok tinggi besar yang mukanya berkulit kasar totol-totol seperti bersisik itu tertawa, kemudian dengan cepatnya, dia memutar tubuh dan menghantamkan kolornya ke arah kepala laki-laki yang sudah rebah tak berdaya di atas tanah.
"Wuuuttt........... plakk!"
"Ehhhh?"" Warok yang kulit mukanya seperti kulit biyawak itu meloncat ke belakang dengan kaget dan matanya melotot.
Warok itu terkejut dan juga heran melihat bahwa yang tadi menangkis kolornya menggunakan sehelai kain kemben (ikat pinggang) merah hanyalah seorang pemuda remaja yang tampan dan kelihatan lemah. Betapa dia tidak akan kaget dan heran" Kolornya merupakan senjata ampuhnya, apa lagi tadi dia menghantamkannya dengan pengerahan tenaga. Batu pun akan remuk tertimpa kolornya itu. Dan kini seorang pemuda remaja menggunakan Koleksi Kang Zusi
kemben merah mempu membuat kolornya terpental! Juga kawannya yang dipanggil Surosekti tadi terbelalak. Akan tetapi, tangkisan yang dilakukan Joko Lawu itu membuat mereka marah sekali.
"Keparat, siapa engkau berani mencampuri urusan kami!" bentak Surosekti.
"Aku seorang kelana, namaku Joko Lawu dan aku tidak suka melihat kalian hendak membunuh orang yang sudah tidak dapat melawan begitu saja.
Kalian sudah mengalahkan dia, cukuplah dan pergi kalian dari sini."
Dua orang warok itu saling pandang. "Apakah andika seorang kawula Mataram" Kawan dari orang ini?" tanya warok pertama.
"Sudah kukatakan, aku seorang kelana dan bukan kawan orang ini."
"Adi Surosekti, tidak perlu banyak cakap lagi. Bocah bagus ini tidak ingin hidup senang dengan kita, bunuh saja sekalian!" kata warok itu dan dua orang itu segera menerjang, menyerang Joko Lawu dengan kolor mereka.
Akan tetapi Joko Lawu memang sudah siap siaga. Diputarnya kemben merah di tangannya dan nampaklah gulungan sinar merah yang merupakan perisai dan membendung datangnya hujan serangan kedua kolor lawe itu.
Dara yang menyamar pria ini sudah menguasai tiga perempat ilmu-ilmu kependaian ayahnya, maka tentu saja tangguh dan gerakannya sudah matang, di samping ia mengusai pula tenaga sakti yang dibangkitkan dalam dirinya. Gulungan sinar kemben merah itu bukan saja mampu menangkis semua serangan dua buah kolor, bahkan dari gulungan sinar itu mencuat ujung kemben dibarengi suara ledakan kecil seperti petir, menyambar ke arah ke dua orang pengeroyoknya secara mengejutkan sekali. Lengan kanan Surosekti telah terkena sambaran sehingga terluka, dan kawannya juga tersentuh lehernya oleh ujung kemben sehingga tergores dan terasa panas Koleksi Kang Zusi
pedih. Kedua orang warok itu semakin kaget. Mereka memeliki kulit tubuh yang sudah kebal, namun ujung kemben itu mampu menembus kekebalan mereka. Tahulah mereka bahwa pemuda remaja ini tangguh sekali dan mereka juga takut kalau-kalau pemuda ini mempunyai kawan-kawan lagi.
Maka, setelah terbuka kesempatan, mereka berloncatan dan melarikan diri. Joko Lawu tidak mengejar mereka, melainkan cepat berlutut di dekat tubuh orang yang telah menderita luka-luka berat itu. Wajahnya pucat, napasnya tinggal satu-satu.
"Paman, benarkah paman mata-mata dari Mataram?" Joko Lawu bertanya, khawatir sekali tidak keburu mendapatkan keterangan tentang ayahnya dari orang yang sudah sekarat itu.
Orang itu membuka matanya. "Andika.......andika..... siapa?" tanyanya dan pandang matanya penuh curiga.
"Paman, kenalkah paman kepada Ki Sinduwening" Dia ayahku, paman. Di manakah dia sekarang?"
Orang itu membelalakkan matanya dan biarpun napasnya terengah, jelas dia kelihatan marah. "Pergilah! Ki Sinduwening tidak...... mempunyai.......anak laki-laki. Anak tunggalnya seorang wanita......."
Girang sekali hati Joko Lawu mendengar ini. Ucapan itu saja membuktikan bahwa penyamarannya sebagai laki-laki telah berhasil baik. "Paman, lihat baik-baik, aku adalah Mawarsih, puteri dan anak tunggal dari ayahku. Dia melaksanakan tugas dari Sang Prabu untuk memimpin pasukan penyelidikan ke daerah Ponorogo dan JawaTimur, dan aku sedang mencarinya. Di manakah dia, paman?"
Perlahan-lahan mata itu kehilangan kemarahannya dan bibir itu Koleksi Kang Zusi
tersenyum, akan tetapi keadaannya semakin lemah. "Pergilah ke Ponorogo......Ki Sinduwening....... ditawan...... carilah kawan-kawan..... di warung Pak Jiyo...... di sudut kota sebelah timur......." Dia terbatuk dua kali dan terkulai lemas. Mati.
Pada saat itu, terdengar suara banyak orang berlari ke tempat itu. Joko Lawu melihat betapa dua orang warok tadi datang bersama belasan orang.
Dia tahu bahwa melawan mereka merupakan bahaya. Pula, orang ini telah tewas dan tidak perlu dibela lagi, juga dia sudah mendapatkan keterangan tentang ayahnya yang amat mengejutkan hatinya. Maka, tanpa membuang waktu lagi, diapun cepat meloncat pergi dari situ dan mengerahkan tenaganya, menggunakan aji kesaktian Tunggang Maruta yang membuat dia dapat lari secepat kijang. Sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan para pengejarnya dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Ponorogo.
Ayahnya telah ditawan di Ponorogo! Dia merasa heran sekali. Bagaimana ayahnya demikian mudah ditawan" Bukankah ayahnya membawa pasukan, dan ayahnya juga bukan orang lemah yang dapat ditangkap sedemikain mudahnya. Ingin sekali dia tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan tentu saja dia harus menolong ayahnya, kalau benar ayahnya menjadi tawanana di Ponorogo. Dan untuk mendapat keterangan yang jelas, dia harus menghubungi anak buah ayahnya, di warung Pak Jiyo! Karena hatinya gelisah memikirkan ayahnya, Joko Lawu mempercepat perjalanannya.
*** Apakah benar keterangan orang yang ditolong Joko Lawu itu bahwa Ki Sinduwening telah ditawan oleh Adipati Ponorogo" Seperti kita ketahui, KI Sinduwening diterima pengabdiannya oleh Sang Prabu Hanyokrowati, bahkan diangkat menjadi seorang senopati yang bertugas memimpin pasukan penyelidik, melakukan penyelidikan ke Jawa Timur. Senopati Ki Sinduwening membawa pasukannya ke daerah Ponorogo yang merupakan kadipaten pertama di timur yang memperlihatkan sikap memberontak setelah Raja Mataram, pertama, yaitu Panembahan Senopati wafat (1601) dan kedudukannya diteruskan puteranya, Pangeran Mas Jolang atau Sang Prabu Hanyokrowati yang sekarang. Ki Sinduwening menyebar pasukannya, dan memilih warung Pak Jiyo sebagai tempat pertemuan rahasia. Pak Jiyo Koleksi Kang Zusi
adalah seorang kawula Mataram yang sejak lama memang diberi tugas untuk menjadi mata-mata.


Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat keadaan di Ponorogo yang tenteram dan damai, Ki Sinduwening mulai mengumpulkan keterangan. Dia mendapatkan keterangan bahwa Adipati Ponorogo adalah seorang yang kuat dan pandai memerintah sehingga daerah Ponorogo dapat dibilang makmur dan tenteram. Mulailah hati Ki Sinduwening menjadi bimbang. Dia membayangkan bahwa kalau terjadi perang antara Ponorogo dan Mataram, berarti perang saudara yang akan menimbulkan banyak kekacauan, kehidupan rakyat menjadi terancam oleh penjahat-penjahat yang tentu akan bermunculan dan mengail di air keruh. Perang, apa lagi perang saudara, merupakan malapetaka! Dan bagaimanapun juga, orang-orang Ponorogo adalah bangsa sendiri, sama-sama orang Jawa dwipa! Dia teringat akan pendirian Sang Prabu Panembahan Senopati yang hanya ingin mepersatukan seluruh kadipaten di Jawa dwipa, bukan untuk menjajah kadipaten-kadipaten itu. Buktinya, setiap kadipaten diberi wewenang sendiri, pemerintahan sendiri. Apa lagi sekarang ini, amatlah merugikan bangsa kalau sampai terjadi perang saudara. Dia sudah mendengar betapa orang-orang berkulit putih mulai menguasai pantai Jawa dwipa, terutama sekali daerah Banten. Kalau sekarang terjadi perang saudara, berarti kedudukan Mataram dan para kadipaten akan menjadi lemah, dan hal itu memudah- kan orang-orang kulit putih bangsa asing itu untuk memperkuat diri. Dia mendengar betapa di daerah Banten mulai terjadi pergolakan menentang orang-orang Belanda dan bangsa asing kulit putih lainnya.
Dia mengumpulkan para pembantunya dan menyatakan keinginan hatinya untuk menemui Adipati Ponorogo. "Aku sudah mengenal sang adipati. Akan kucoba untuk membujuk dia agar dia tidak memberontak, tidak memusuhi Mataram yang hakekatnya hanya ingin mempersatukan seluruh nusantara."
Para pembantunya banyak yang menentang keinginan ini. "Harap kakang senopati ingat bahwa kita berada di daerah musuh. Kami khawatir kalau-kalau kakang senopati akan dianggap musuh dan mendapat perlakuan yang tidak baik di kadipaten."
Koleksi Kang Zusi Ki Sinduwening tersenyum. "Kalau sampai terjadi sesuatu, andaikata sampai aku tewas sekalipun, aku tidak akan merasa penasaran. Ingat, aku tetap melaksanakan tugas yang diberikan kepadaku oleh Sang Prabu. Kalian semua tetap melakukan penyelidikan, akan kekuatan Ponorogo, dan kelemahan-kelemahannya. Aku sendiri akan pergi menghadap dan membujuk sang adipati. Kalau aku berhasil berarti tidak akan terjadi perang saudara dan malapetaka besar tidak akan menimpa rakyat. Untuk itu, aku bersedia mempertaruhkan nyawaku. Kalau aku berhasil tentu Sang Prabu akan merasa berbahagia sekali karena aku yakin bahwa Sang Prabu, seperti mendiang ramandanya, tidak suka pula untuk berperang melawan para adipati itu dan mengorbankan nyawa banyak perajurit dan rakyat."
Karena tidak dapat dibujuk, akhirnya para pembantu itu hanya menyetujui saja. Ki Sinduwening lalu berdandan sepatutnya, dan pada pagi hari itu diapun mengunjungi kadipaten dan mohon menghadap Sang Adipati Ponorogo.
Kebetulan sekali pada saat itu, Sang Adipati sedang mengadakan pertemuan dengan para pongawanya, memperbincangkan niat Sang Adipati untuk mempertahankan Ponorogo sebagai daerah bebas yang tidak tunduk lagi kepada Mataram, dan membicarakan pula siasat pertahanan kalau-kalau Mataram akan melakukan penyerangan untuk menundukkan kembali Ponorogo seperti dahulu. Walaupun selam ini Ponorogo dibebaskan sebagai kadipaten yang memiliki pemerintahan sendiri, namun tetap saja sang adipati dianggap sebagai bawahan Sang Prabu di Mataram, dapat dipanggil sewaktu-waktu dan pada waktu tertentu diharuskan pula untuk menghadap Sang Prabu. Pendeknya, Ponorogo diharuskan mengakui kekuasaan Mataram dan hal ini menyinggung perasaan sang adipati sehingga ketika mendapatkan kesempatan, yaitu Prabu Panembahan Senopati meninggal dunia, dia tidak lagi mau menghadap ke kerajaan Mataram untuk menyerahkan bulu-bekti sebagai tanda seorang bawahan yang mengakui kekuasaan atasan!
Ketika perajurit pengawal melaporkan bahwa ada Ki Sinduwening dari Mataram mohon menghadap, Sang Adipati Ponorogo merasa heran, akan tetapi segera dia mengutus Senopati Gilingwesi untuk keluar menyambut Ki Koleksi Kang Zusi
Sinduwening yang sudah dia kenal sebagai seorang bekas senopati Prabu Panembahan Senopati itu. Dia sudah mendengar bahwa Ki Sinduwening telah mengundurkan diri, tidak lagi mengabdi kepada Mataram, maka dia telah mencoba untuk mengutus Ki Danusengoro, adik seperguruan Ki Sinduwening, untuk membujuk tokoh itu agar suka membantu Ponorogo.
Namun, seperti telah diceritakan di bagian depan, Ki Sinduwening menolak ajakan atau bujukan adik seperguruannya itu sehingga menimbulkan perkelahian. Dan sekarang, Ki Sinduwening mohon menghadap! Tentu saja Adipati Ponorogo merasa gembira sekali, mengira bahwa Ki Sinduwening berbalik pikir dan kini mau mengabdi dan membantu Ponorogo menegakkan kekuasaannya sendiri.
Sang Adipati Ponorogo menyambut dengan wajah cerah ketika Ki Sinduwening muncul diiringkan Senopati Gilingwesi, dan dengan ramah dia mempersilakan Ki Sindu wening duduk, bukan di bawah malainkan di atas sebuah kursi, seperti para pembantu utamanya. Akan tetapi banyak di antara para ponggawa memandang dengan alis berkerut, terutama sekali Ki Danusengoro dan muridnya, Brantoko, yang juga hadir sebagai pembantu-pembantu utama dari sang adipati. Setelah berbasa-basi saling memberi salam, Sang Adipati Ponorogo berkata dengan wajah cerah.
"Kakang Sinduwening, sungguh gembira sekali hati kami menyambut kunjungan andika ini. Kalau kunjungan andika ini berarti andika berniat untuk membantu kami, sungguh kegembiraan kami akan lengkap dan menjadi suatu kebahagiaan."
Ki Sinduwening membungkuk dengan sikap hormat. "Terima kasih atas sambutan adimas adipati yang amat baik. Akan tetapi, sungguh bukan itu maksud kunjungan saya pada saat ini. Kunjungan saya ini terdorong oleh perasaan khawatir membayangkan terjadinya perang saudara yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata. Untuk itulah maka saya datang menghadap paduka, untuk mohon kepada paduka agar mengusahakan supaya tidak sampai terjadi perang."
Koleksi Kang Zusi Adipati Ponorogo mengerutkan alisnya. "Kakang Sinduwening, apa maksud andika sebenarnya" Katakanlah terus terang!" Suaranya sudah terdengar agak ketus.
Ki Sinduwening menarik napas panjang. Dia harus berani menghadapi resikonya. Memang dia maklum bahwa dia menempuh bahaya, akan tetapi demi cintanya kepada bangsa, dia harus mengingatkan adipati ini agar jangan melanjutkan sikapnya yang memusuhi Mataram, agar tidak sampai terjadi perang saudara.
"Adimas adipati, sebelumnya harap dimaklumikan kalau pendapat saya dianggap menyimpang. Yang saya khawatirkan hanyalah keselamatan rakyat, baik rakyat di sini, mau pun di Mataram atau di mana saja yang termasuk daerah nusawantara! Saya yakin bahwa paduka sudah mendengar akan gerakan orang-orang kulit putih di sepanjang pantai utara Jawa dwipa, terutama sekali di daerah Banten."
Adipati Ponorogo mengangguk-angguk acuh. "Habis, mengapa" Apa hubuangannya peristiwa itu dengan kunjunganmu hari ini?"
"Adimas adipati, kunjungan saya ini untuk mohon agar paduka tidak melanjutkan sikap bermusuhan dengan Mataram. Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kita semua menghadapi ancaman orang-orang kulit putih yang mulai memperlihatkan kekuasaan di sepanjang pantai, kita semua seyogyanya bersatu padu agar kedudukan kita menjadi kuat. Kalau Ponorogo dan Mataram saling bermusuhan dan terjadi perang saudara, banyak sekali kerugian yang akan diderita oleh bangsa kita. Pertama, akan banyak jatuh korban di antara para perajurit dan rakyat, kedua akan terjadi banyak kekacauan karena tata-tertib terganggu dan penjaga keamanan tidak ada sehingga orang-orang jahat akan bermunculan, dan ketiga, kita semua akan menjadi lemah dan ini menguntungkan pihak asing yang ingin menguasai negara kita."
Koleksi Kang Zusi "Kakang Sinduwening!" Adipati Ponorogo berseru dan mengelus jenggotnya. "Kaumaksudkan agar kami menakluk kepada Mataram"
Begitukah?" Suaranya meninggi dan mukanya sudah menjadi kemerahan, matanya mamancarkan sinar marah.
"Bukan manakluk, adimas adipati, melainkan tidak memberontak. Bukankah sejak mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati, Ponorogo dan Mataram mempunyai hubungan yang amat dekat dan sama sekali tidak pernah bermusuhan" Saya yakin bahwa kalau paduka suka datang menghadap Sang Prabu Hanyokrowati di Mataram, beliau akan menyambut dengan senang hati dan akan melupakan semua sikap yang lalu. Kita perlu sekali bersatu untuk menghadapi ancaman dari luar sang adipati!"
Adipati Ponorogo mengelus jenggotnya, termenung sejenak. Dia pun dapat mem- bayangkan betapa beratnya melawan pasukan Mataram yang amat kuat itu, dan semua itu kiranya dapat dicegah kalau saja dia mau menghadap Raja Mataram untuk mohon maaf dan berbaik kembali. Tentu saja hal itu akan menurunkan harga dirinya, akan tetapi..... dia mulai bembang ragu.
"Maaf, Gusti Adipati!" tiba-tiba terdengar suara Ki Danusengoro lantang, mengejutkan semua orang. Senopati ini sudah memandang kepada Sinduwening dengan mata liar melotot penuh kemarahan. "Hamba seluruh ponggawa mohon agar puduka jangan mendengarkan ocehan Ki Sinduwening ini! Seperti pernah hamba laporkan kepada paduka, di depan hamba sendiri dia menolak kerja sama dan menyatakan setia kepada Mataram! Semua kata-katanya tadi berbisa, racun yang dicelup madu, terdengar manis namun mencelakakan. Hamba yakin bahwa dia sengaja memancing agar kita semua menjadi lemah dan lengah sehingga pasukan Mataram akan dengan mudah menyerang dan menghancurkan pasukan kita. Tidak, Kanjeng gusti, orang ini palsu dan hamba yakin dia adalah mata-mata Mataram yang ditugaskan untuk melemahkan kedudukan kita!"
Koleksi Kang Zusi Semua ponggawa serentak menyatakan setuju dengan pendapat ini. Ki Sinduwening menjadi marah dan dia memandang kepada Ki Danusengoro, senyumnya mengejek.
"Danusengoro, aku mengenal isi hatimu yang busuk! Kalau aku mempunyai niat buruk terhadap Ponorogo, parlu apa aku datang menghadap sang adipati" Memang aku kawula Mataram dan setia kepada Mataram, akan tetapi aku tidak ingin memusuhi Ponorogo, bahkan menyayangkan kalau terjadi perang yang menyengsarakan rakyat! Orang macam engkau ini mana peduli akan nasib rakyat jelata!" Yang penting bagimu hanyalah mencari kedudukan dan kesenangan diri pribadi.........."
"Cukup!" bentak Ki Danusengoro sambil bangkit berdiri, lalu menghadap sang adipati. "Gusti Adipati, orang Mataram ini dengan lancang sekali telah menghina hamba di depan paduka, berarti menghina paduka pula. Dia harus ditangkap agar tidak membuat laporan ke Mataram tentang keadaan kita di Ponorogo!"
Sang adipati mengangguk. "Sinduwening, karena sikap dan kata-katamu, terpaksa kami akan menahanmu. Menyerahlah andika!"
Ki Sinduwening maklum bahwa usahanya telah gagal. "Adimas Adipati, sungguh saya merasa menyesal sekali. Paduka lebih suka mendengar kata-kata yang hanya akan menjerumuskan paduka dan menyengsarakan seluruh rakyat di Ponorogo........"
"Tutup mulutmu yang lancang, Sinduwening!" Danusengoro membentak.
"Melawanlah agar kami dapat mencincang tubuhmu!"
Koleksi Kang Zusi Sinduwening tersenyum. "Danusengoro, kalau saja kamu ini seorang jantan dan berani menantangku untuk bertanding secara ksatria, setiap saat tentu akan kulayani. Akan tetapi kamu hanyalah seorang pengecut besar yang curang. Aku tidak akan melawan dan sudah kuketahui sebelumnya akan bahayanya usahaku menyadarkan sang adipati. Adimas Adipati, saya sudah siap menjadi tawanan yang tidak mempunyai kesalahan apapun."
Tanpa melawan KI Sinduwening ditangkap dan dimasukkan ke dalam ruangan tempat tahanan yang kokoh, dijaga oleh pasukan keamanan.
Demikianlah keadaan di Sinduwening dan berita penangkapannya itu tentu saja didengar oleh para anak buahnya, yaitu pasukan penyelidik dfan mata-mata dari Mataram yang disebarnya. Para anggota pasukan penyelidik itu mengadakan partemuan rahasia di warung Pak Jiyo dan mereka melanjutkan tugas mereka melakukan penyelidikan di Ponorogo, dan ada pula yang diam-diam meninggalkan Ponorogo untuk kembali ke Mataram dan melaporkan tentang penangkapan atas diri pemimpin mereka, yaitu Ki Sinduwening.
Ketika Sang Prabu Hanyokrowati mendengar akan penangkapan atas diri Ki Sindu- wening, dia lalu mengutus Nurseta untuk menggantikan kedudukan senopati itu, memimpin pasukan penyelidik, dan dipesannya juga agar berusaha membebaskan Ki Sinduwening dari tahanan.Berangkatlah Nurseta dan diam-diam dia merasa girang karena mendapat kesempatan untuk mencari Mawarsih pula. Dia mendengar dari anak buah yang disuruhnya melakukan penyelidikan bahwa Mawarsih tidak berada di dusun Sintren dan kemungkinan mencari ayahnya yang bertugas melakukan penyelidikan ke Ponorogo dan semua kadipaten di Jawa Timur.
Ki Sinduwening yang meringkuk dalam tahanan, diperlakukan dengan baik.
Dia meperoleh hidangan makanan dan minuman yang cukup, dan baru sehari semalam dalam tahanan, pada keesokan harinya pagi-pagi muncul Brantoko di depan jeruji besi depan kamar tahanannya.
Koleksi Kang Zusi "Paman Sinduwening......." kata pemuda itu sambil tersenyum-senyum ramah.
Ki Sinduwening mengerutkan alisnya dan mengamati wajah pemuda itu penuh selidik. "Mau apa engkau datang ke sini?" tanyanya tegas dan singkat karena tidfak suka kepada pemuda ini.
"Aku merasa menyesal sekali melihat paman ditawan di sini. Kenapa paman harus mengambil sikap bermusuhan dengan Sang Adipati" Kalau paman suka bekerja sama, tentu tidak akan ditawan, malah menjadi tamu agung."
"Cukup, pergilah. Aku tidak mau bicara denganmu tentang hal itu." kata Ki Sindu wening.
"Paman Sinduwening, aku bersungguh-sungguh, aku tidak suka melihat paman menjadi tawanan. Aku akan dapat menolongmu, membebaskanmu, paman......."
"Hemm, apa maksudmu?" Ki Sinduwening memandang tajam penuh selidik, tidak mau percaya begitu saja ucapan pemuda itu.
"Paman, andaikata kau tidak melihat paman sebagai kakak seperguruan guruku, tentu akupun ingat bahwa paman adalah ayah diajeng Mawarsih yang kucinta sepenuh jiwa ragaku. Paman Sinduwening, berjanjilah paman bahwa paman menyetujui aku menjadi suami diajeng Mawarsih, dan aku akan membebaskan paman dari tempat ini."
Kerut merut di kening orang gagah itu makin mendalam. Dia amat menyayang puterinya, lebih besar kesayangannya terhadap puterinya dari Koleksi Kang Zusi
pada nyawanya sendiri. Dan kini pemuda bejat ahlak ini membujuk dia untuk menukar keselamatannya dengan diri puterinya"
"Tidak! Bedebah engkau, Brantoko. Pergilah, sampai matipun aku tidak sudi mem- biarkan puteriku menjadi isteri seorang jahanam seperti engkau!"
Wajah Brantoko yang tampan itu menjadi marah sekali, lalu pucat dan merah kembali. Kedua tangannya yang besar dan kokoh itu dikepal, seolah-olah dia hendak menerjang dan menyerang Ki Sinduwening yang berada di balik jeruji besi. Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani. Dia mengamangkan tinju kanannya yang besar ka arah muka Ki Sinduwening.
"Baik, kalau begitu akan kuusahakan agar engkau disiksa dan dibunuh di sini! Dan aku akan tetap mendapatkan Mawarsih, baik secara atau secara kasar!"
"Keparat busuk, enyahlah!" bentak Ki Sinduwening dan matanya mencorong seperti mata harimau, membuat pemuda itu surut dan segera meninggalkan tempat itu. Setelah dia ke luar, barulah para penjaga berdatangan lagi mendekati tempat tahanan itu. Dia harus dapat menyelamatkan diri, walau hanya untuk mencegah pemuda jahat itu membuktikan ancamannya terhadap Mawarsih tadi.
*** Nurseta menunggang kudanya yang berbulu dawuk dan tinggi besar.
Pemuda ini memang gagah sekali. Selain tampan dan lincah, juga wajahnya yang berkulit kuning itu selalu bersih, rambutnya selalu terpelihara rapi, pakaiannya juga rapi dan bersih. Dia memang suka bersolek. Di belakangnya terdapat selosin perajurit yang mengikutinya. Sekali ini, dia dan perajuritnya tidak menggunakan pakaian seragam, melainkan pakaian biasa sehingga mereka seperti orang-orang muda yang sedang berpesir Koleksi Kang Zusi
atau sedang hendak berburu binatang. Seperti Nurseta, dua belas orang perajurit itupun menunggang kuda.
Rombongan itu sudah melewati puncak Gunung Lawu setelah kemarin Nurseta singgah di dusun Praban di mana ayahnya, Ki Demang Padansuta, menjadi demang di dusun itu. Nurseta menceritakan kepada ayahnya bahwa ia bertugas mencari Ki Sinduwening di daerah Ponorogo dan dalam percakapan itu, Nurseta juga bercerita kepada ayah ibunya bahwa ia terpikat oleh Mawarsih, dan menyatakan keinginan hatinya untuk kelak memperisteri gadis itu.
Ketika rombongan itu tiba di tepi sebuah hutan, tiba-tiba Nurseta mendengar jerit tangis wanita. Mendengar ini, cepat dia membelokkan kudanya memasuki hutan itu, diikuti oleh anak buahnya. Kuda yang ditunggangi Nurseta lebih cepat larinya dan sebentar saja dia sudah tiba di tempat di mana terdengar tangis wanita itu. Dan dia melihat dua orang laki-laki tinggi besar sedang memegangi seorang wanita cantik yang meronta-ronta dan menjerit-jerit. Mudah saja diduga apa yang akan dilakukan dua orang laki-laki yang tertawa-tawa itu, maka sekali melomat Nurseta sudah turun dari kudanya dan lari menghampiri mereka.
"Bedebah, lepaskan wanita itu!!" bentak Nurseta dengan geram.
Dua orang laki-laki tinggi besar itu menoleh dan ketika mereka melihat bahwa yang menegur mereka hanyalah seorang pemuda tampan, mereka mengeluarkan suara menggereng seperti harimau dan keduanya sudah menyerang maju dengan ganas. Akan tetapi Nurseta sudah siap siaga sejak meloncat turun dari kudanya. Dia mengelak dengan loncatan sigap, kemudian membalas dengan tamparan tangannya. Dua orang laki-laki itu menagkis dan menyerang lagi, lebih dahsyat karena kini mereka sudah mencabut golok mereka yang tajam berkilauan.
Menghadapi serangan golok yang menyambar-nyambar mengeluarkan suara Koleksi Kang Zusi
berdesing itu, Nurseta tidak menjadi gentar. Dia masih mempergunakan kelincahan gerak tubuhnya, mengelak ke sana sini akan tetapi dia maklum bahwa dua orang lawannya itu bukan lawan yang lemah. Maka, diapun mencabut pecut kuda yang sejak tadi terselip di pinggangnya.
Terdengarlah suara meledak-ledak ketika dia menggerakkan pecut kuda itu dan ujung pecut itu menyambar-nyambar dari atas!
Selain tingkat aji kesaktian Nurseta lebih tinggi dari pada kedua orang lawannya, juga senjata pecut itu jauh lebih panjang dibendingkan golok maka ujung pecut itu yang lebih cepat menghujankan serangan, menukik dan mematuk-matuk. Pecut yang amat ringan itu tentu saja dapat digerakkan jauh lebih cepat pula dan orang itu segera menjadi sibuk melindungi muka mereka dari hujan lecutan. Dan ujung pecut itu pun bagaikan ujung keris saja, setiap kali mematuk dan mengenai tubuh, tentu kulitnya pecah tercabik. Tak lama kemudian, dua orang yang hanya mampu memutar golok melindungi muka tanpa mampu membalas itu sudah luka-luka berdarah bagian muka dan leher mereka dan merekapun melarikan diri ketakutan.
Nurseta tidak mengejar, melainkan menoleh ke arah wanita tadi sambil menyelipkan kembali pecutnya. Dia melihat seorang wanita yang cantik sekali, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, dan diapun mengerti mengapa dua orang kasar tadi hendak menggangunya. Wanita itu telampau cantik dan menarik untuk berjalan seorang diri di dalam hutan, dan memang tidak mudah bagi pria untuk membiarkannya tanpa menggangu.
Wanita itu adalah seorang wanita muda yang sudah matang, usianya sekitar dua puluh tujuh tahun. Kulit tubuhnya putih kuning dan mulus, rambutnya yang hitam panjang itu berombak dan di dahinya terhias sinom rambut yang lembut dan awut-awutan. Wajahnya bersih dan manis, dengan sepasang mata yang jeli dan kerlingnya memikat, hidungnya mancung dan bibirnya yang merah basah itu kadang nampak setengah terbuka dan menantang. Kedua pipinya kemerahan tanpa alat dan selalu berseri.
Nurseta terpesona, akan tetapi juga merasa heran karena wajah yang manis ini tidak asing baginya. Dia pasti sudah mengenalnya, akan tetapi entah di mana dan kapan.
Koleksi Kang Zusi Setelah saling pandang sejenak, wanita itu lalu berlari menghampiri Nurseta, langkahnya lembut dan lenggangnya memikat seperti langkah seorang penari yang pandai. Setelah tiba di depan pemuda itu, iapun menjatuhkan diri bersimpuh dan dari atas begini Nurseta dapat melihat tonjolan bukit kembar di dada wanita itu yang bentuknya begus dan menggairahkan.
"Saya menghaturkan terima kasih, Raden. Kalau tidak ada paduka, entah bagaimana nasib saya. Saya berhutang budi, kehormatan dan nyawa kepada paduka, dan entah bagaimana saya akan mampu membalasnya." Suaranya juga merdu merayu, seperti orang bertembang saja, dan tiba-tiba Nurseta teringat! Suara itulah yang mengingatkannya, suara wanita yang dulu amat dikaguminya kalau sedang bertembang pada malam hari.
"Kanjeng ibu Mayaresmi.........! Bukankah andika ini kanjeng ibu Mayaresmi......?"
Wanita itu nampak terkejut, bangkit berdiri, memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak, lalu mundur tiga langkah dengan tangan kiri menyentuh dada, tangan kanan di depan mulut.
"Ehh......" Siapa...... siapakah paduka.......?"
Nurseta tersenyum dan memberi hormat dengan membungkuk. "Kanjeng ibu lupa kepada saya" Saya Nurseta, murid bapa guru Ki Ageng Jayagiri di lereng Merbabu!"
"Ahhh....., aku sekarang teringat. Andika adalah murid baru itu...., sungguh beruntung sekali aku dapat bertemu denganmu, Raden Nurseta......."
Koleksi Kang Zusi "Kanjeng Ibu, harap jangan menyebut raden kepadaku. Sebut saja Nurseta dan......"
"Dang engkaupun menyebut kanjeng ibu kepadaku! Sudah begitu tuakah aku maka andika menyebutku kanjeng ibu" Kukira usia kita tidak jauh berbeda, mungkin hanya berselisih satu dua tahun saja."
"Akan tetapi, andika adalah isteri bapa guruku, tentu saja kusebut kanjeng ibu."
"Siapa isteri bapa gurumu" Dahulu memang, akan tetapi sekarang bukan lagi. Sudah bertahun-tahun aku tidak lagi menjadi isteri Ki Ageng Jayagiri!"
Nurseta tersenyum. Tentu saja dia tahu bahwa wanita ini meninggalkan gurunya beberapa tahun yang lalu. Dia baru setahun menjadi murid Ki Ageng Jayagiri ketika Mayaresmi ini lari meninggalkan padepokan gurunya.
Ki Ageng Jayagiri menghadapi peristiwa itu dengan tenang saja, bahkan melarang para murid dan cantriknya yang hendak melakukan pengejaran dan pencarian. Dan dari para cantrik dia pernah mendengar bahwa isteri gurunya yang amat cantik dan jauh lebih muda dari gurunya itu dahulunya adalah seorang ledek yang kemudian diperisteri Ki Ageng Jayagiri yang sudah lama menduda. Dan wanita muda itu baru berusia dua puluh tahun ketika menjadi isteri Ki Ageng Jayagiri, kemudian melarikan diri setelah dua tahun menjadi isteri panembahan itu.
"Kalau demikian halnya, memang tidak semestinya aku menyebut kanjeng ibu kapada andika. Lalu sebutan apa yang harus kupakai?" Nurseta mulai bertingkah genit karena kerling mata dan senyum wanita itupun memikat Koleksi Kang Zusi
dan penuh daya tarik. Sebagai seorang pemuda yang banyak pengalamannya dengan wanita, diapun tahu bahwa wanita yang satu ini mau dan mudah digoda!
Mayaresmi mengerling. "Andika sudah tahu namaku, Raden. Sebut saja namaku."
"Mayaresmi......" Namamu memang indah sekali, seindah orangnya."
Nurseta mulai merayu dan memancing, hendak melihat sikap wanita itu.
Bibir itu merekah manis dan manja. "Ihh, Raden! Perempuan gunung macam aku ini, tidak ada harganya untuk dipuji seorang bangsawan muda seperti andika."
Pada saat itu, dua belas orang pengawal Nurseta tiba di situ, mengejutkan Mayaresmi. "Mereka adalah pasukan pengawalku, jangan andika terkejut dan takut, Maya resmi." Nurseta menghibur wanita yang lari mendekatinya dan memegang tangannya dengan sikap ketakutan tadi. Dua belas orang perajurit pengawal itu hanya tersenyum melihat betapa pemimpin mereka berada di tempat itu bersama seorang wanita cantik. Mereka semua telah mengenal baik watak Raden Nurseta yang tidak pernah mau melewatkan kesempatan dan melepaskan seorang wanita cantik yang dijumpainya bergitu saja.
"Apakah yang terjadi di sini, Raden?" Seorang di antara mereka bertanya.
Nurseta menggerakkan tangannya, menyuruh mereka menyingkir. "Tidak ada apa-apa, semua aman. Dua orang penjahat mencoba untuk mengganggu wanita ini dan mereka telah kuusir pergi. Kalian tunggu saja di luar hutan."
Dua belas orang itu tersenyum, mengangguk dan merekapun melarikan kuda mereka ke luar hutan itu.
Koleksi Kang Zusi "Wah, andika mempunyai pasukan pengawal! Agaknya andika telah menjadi seorang perwira, Raden?"
Nurseta sedang menyamar karna dia memimpin pasukan penyelidik, akan tetapi terhadap wanita yang pernah menjadi isteri gurunya ini, tentu saja dia merasa tidak perlu merahasiakan keadaan dirinya. Apalagi wanita ini telah menggerakkan hatinya dan diapun ingin memamerkan keadaannya untuk menaikkan harga dirinya.
"Semua ini berkat didikan bapa guru, Mayaresmi. Aku telah menjadi seorang senopati di Mataram. Sekarang ceritakanlah tentang dirimu.
Mengapa engkau dahulu lari meninggalkan bapa guru, dan sekarang tinggal di mana dan bersama siapa?" Dia berhenti sebentar, meragu, lalu melanjutkan, "Apakah engkau sudah menikah lagi?"
Mayaresmi menggeleng kepala. "Aku hidup menyendiri, Raden. Rumahku tidak jauh dari sini dan tidak enaklah bicara di sini. Mari singgah di pondokku, Raden, agar lebih leluasa kita bicara.
Undangan ini disertai kerling mata memikat sehingga Nurseta yang sudah kegirangan mendengar bahwa wanita itu hidup menyendiri, tersenyum dan mengangguk, lalu dia menghampiri kudanya dan menuntun kudanya.
"Engkau naiklah ke punggung kudaku ini, Mayaresmi, biar aku menuntunnya."
Koleksi Kang Zusi "Ah, mana boleh begitu, Raden. Andika naiklah, biar aku berjalan kaki saja. Aku..... aku takut kalau menunggang kuda sendiri."
Senyum di wajah Nurseta melebar. "Takut" Kalau begitu, biar kujaga dan kuboncengkan, Mayaresmi. Nah, naiklah, aku akan duduk di belakangmu!"
Dengan bantuan Nurseta yang melingkari pinggang yang ramping itu dengan lengannya yang kuat, Mayaresmi diangkat naik ke atas pungung kuda.
Sentuhan tangan di pinggang itu mesra sekali, dan mendatangkan getaran yang menggairahkan kedua pihak, terutama sekali Nurseta. Pada saat itu, hatinya sudah jatuh bangun, bertekuk lutut kepada wanita yang pernah menjadi isteri gurunya itu. Ketika dia meloncat ke atas pungung kuda di belakang Mayaresmi sehingga tubuh mereka berhimpitan,dan dia menjalankan kudanya, rambut panjang berombak itu tertiup angin menyapu hidungnya, Nurseta mencium keharuman melati yang sedap dan semangatnyapun melayang-layang.
Ketika kuda itu keluar dari hutan dan Nurseta melihat anak buahnya, dia berseru kepada mereka agar mengikutinya dari jarak jauh. Rombongan anak buahnya hanya tersenyum dan merekapun mengikuti pemimpin mereka dari jarak yang cukup jauh sehingga Nurseta dengan leluasa membuat kudanya lari congklang dan lengan kirinya tak pernah melepaskan pelukannya dari pinggang yang ramping dan lunak hangat itu dengan dalih untuk menjaga agar Mayaresmi tidak sampai terjatuh! Tentu saja Mayaresmi diam-diam merasa geli karena sebetulnya dalam hal menunggang kuda, ia tidak kalah mahirnya dibandingkan Nurseta!
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 6 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 12
^