Pencarian

Wanita Iblis 1

Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 1


" Wanita Iblis Diceritakan oleh SD Liong
Jilid 01 KRIITT?" Pemuda baju biru itu terkejut ketika pintu rumah gurunya, sekali dorong terbuka
sendiri. Dan kejutnya itu segera diselimuti rasa heran ketika didapatinya ruangan sunyi
senyap. Ia meragu beberapa saat lalu melangkah masuk. Setelah melalui ruang depan, ia
menuju ke ruang besar. Ada suatu firasat aneh melekat di benaknya. Tentunya terjadi
sesuatu dalam rumah gurunya itu.
Saat itu malam hari. Ruangan besar gelap gulita. Tiada sepelik penerangan sama
sekali. Sedemikian gelap sehingga ia tak dapat melihat jari tangannya sendiri. Desir angin
malam, menambah keseraman suasana saat itu. Walaupun pemuda itu berilmu silat
tinggi, namun mau tak mau ia merasa ngeri juga. Tanpa disadari, tangannya meraba
batang pedang yang terselip di pinggirnya.
Berkat ilmu silatnya, matanya tajam sekali, dapat melihat dalam kegelapan. Ketika
menajamkan pandangan menembus kegelapan, segera ia dapat melihat jelas segala
benda di dalam ruangan. Di ujung dinding terdapat sebuah meja segi delapan dan empat buah kursi yang teratur
rapi. Perabot-perabot ruangan terletak di tempat yang sesuai.
Pemuda itu tiba-tiba lari menuju ke ruang belakang. Tiba di sebuah bilik yang pintunya
tertutup. Ia tertegun. Tetapi pada lain saat cepat ia mendorong pintu. Pada saat tangan
hendak menyentuh daun pintu, tiba-tiba ia menariknya kembali.
Bilik itu adalah ruang semedi gurunya. Ia tahu tak boleh sembarang orang
memasukinya. Ia takut dimarahi gurunya. Sebagai gantinya ia berbatuk-batuk dan
dengan nada menghormat, segera ia berseru: "Murid Pui Siu-lam, mohon berkunjung"."
Nyaring sekali ucapannya. Ruang seolah-olah terdengar oleh kumandang suaranya.
Tetapi melas! Tiada penyahutan sama sekali".
Saat itu dalam musim salju. Ketika angin malam meniup, gumpalan salju yang
menumbuk di atas payon, bilik semedi, berhamburan menabur ke muka si pemuda.
Siu-lam atau pemuda baju biru segera bersiap-siap hendak mendobrak pintu tetapi
pada lain kilas terbayanglah ia akan wajah gurunya yang angker. Kembali ia batalkan
niatnya dan terus ayunkan tubuh loncat ke pagar tembok.
Di atas pagar tembok, sejenak ia lepaskan pandangannya ke sekeliling penjuru. Dua
pohon bwe masih tumbuh di halaman kebun. Berselimutkan salju putih pohon itu makin
menghamburkan bunga-bunga harum semerbak.
Sekilas terbayanglah Siu-lam akan kenangan pada belasan tahun yang lalu".
Pada masa itu bersama Hui-ing, putri gurunya, masih kanak-kanak yang berumur
delapan atau sembilan tahun. Bermain bersama belajar silat bersama, sama-sama
membagi suka dan duka. Keduanya tak ubah seperti kakak dan adik. Tetapi sang waktu
berjalan laksana anak panah. Tak terasa kini berselang belasan tahun. Ketika
meninggalkan rumah gurunya, Siu-lam dan sumoay itu Hui-ing sudah dewasa. Dan kini ia
sudah bertahun-tahun ia berpisah. Dari tempat jauh sengaja datang ke telaga Ping-ou.
Tujuannya tak lain tak bukan hanya menjenguk keselamatan gurunya dan sekalian untuk
bertemu dengan Hui-ing".
Setelah puas merenung, barulah Siu-lam loncat turun. Perlahan-lahan ia melangkah ke
bilik gurunya berlatih ilmu lwekang.
Dalam pembayangannya, apabila rumah tangga gurunya itu menderita ancaman
bahaya tentulah guru dan ibu gurunya membawa putrinya (Hui-ing) pindah ke lain tempat
yang aman. Tiba di muka pintu, segera ia mendorong pintunya. Kritt" pintu terentang lebar-lebar
dan hai"! Seketika mendeliklah mata pemuda itu. Rambunya berdiri tegak dan mulut
menganga tak dapat berkata apa-apa. Apa yang disaksikan dalam bilik ruangan itu,
benar-benar membuatnya terlongong-longong seperti patung.
Ruang bilik kosong melompong. Yang ada hanya" sepasang peti mati berjajar
berdampingan"! "Suhu".!" serentak menjeritlah Siu-lam seraya lari menubruk kedua peti mati itu.
Pecahlah tangisnya tersedu sedang air matanya membanjir".
Setelah beberapa waktu menumpahkan air mata, agak tenanglah hatinya. Dan
mulailah ia mengadakan analisa: "Suhu seorang tokoh yang memiliki kepandaian sakti.
Namanya menggetarkan dunia persilatan. Subo (ibu guru) juga seorang pendekar wanita
yang termasyhur. Senjata rahasia Kim-lian-hoa, disegani di seluruh wilayah Kanglam.
Andaikata diserang oleh beberapa tokoh silat kelas satu, beliau tentu masih dapat
menyelamatkan diri atau lolos. Ah, mungkin dalam kedua peti mati itu bukan terisi
jenazah suhu dan subo."
Memikir sampai di sini, tergeraklah pikirannya. Diam-diam segera ia salurkan tenaga
dalam hendak membuka tutup peti mati.
"Jangan!" sekonyong-konyong terdengar gemerincing suara melengking macam butir
mutiara tertumpah di dalam tampi. Merdu tetapi bernada dingin.
Cepat Siu-lam berpaling. Entah kapan, tahu-tahu di belakangnya tegak seorang dara
cantik. Rambutnya terurai lepas sampai ke bahu. Pakaiannya serba putih.
Sekalipun kecantikan dara itu menyolok sekali tetapi dalam tempat dan suasana seperti
saat itu, dan kemunculannya secara misterius tanpa sedikitpun mengeluarkan suara, mau
tak mau membuat hati Siu-lam berdebar keras.
"Siapa kau" Mengapa tengah malam buta kau datang kemari dan menangis seperti
anak kecil?" tegur dara itu dengan dingin. Sama sekali tak mau ia memandang Siu-lam.
Kepalanya menunduk. "Aku murid Ciu Pwe lo-enghiong. Namaku Pui Siu"."
"Sudahlah, aku tak menanyakan namamu!" tukas dara baju putih itu.
Siu-lam kerutkan dahi, ujarnya: "Bolehkah aku melihat apa isi kedua peti mati itu?"
"Tak perlu!" sahut si dara tetap bernada dingin, "Yang satu berisi jenazah Ciu Pwe loenghiong.
Dan yang satu jenazah isterinya."
Seketika menggeloralah darah Siu-lam, bentaknya: "Benarkah itu?"
Dengan wajah tetap sedingin salju, dara itu menyahut tawar. "Kalau tak percaya,
bukalah sendiri." Sekali kerahkan tenaga, Siu-lam mengungkap tutup peti mati sebelah kiri. Ia menyulut
korek. Seketika ruangan itu menjadi terang. Dilihatnya di depan tengah kedua peti mati
itu terdapat sebuah meja knaap. Di atas meja masih terdapat sisa batang lilin. Segera
disulutnya lilin itu sehingga ruang semakin terang benderang.
Berpaling ke belakang, dilihatnya wajah dara itu masih menampil kehambaran. Ia
tegak di sisinya diam mematung.
Siu-lam berpaling lagi melihat ke dalam peti mati. Tampak setampang wajah seorang
tua berjenggot putih, tersembul di atas sosok tubuh yang terbungkus kain putih. Bagi Siulam
suami isteri Ciu Pwe itu bukan melainkan sebagai guru, pula merupakan orang tuanya
yang kedua. Sudah tentu cepat ia dapat mengenali wajah guru yang dicintainya.
Seketika bergolaklah darah di dada Siu-lam. Tak kuasa lagi Siu-lam menahan
perasaannya. Huak" segumpal darah segar menyembur dari mulut. Jatuhkan diri di
hadapan peti mati, menangislah sekeras-kerasnya".
Dari jauh ia membawa kenangan indah untuk mengunjuk bukti kepada sang guru,
tetapi apa yang didapatinya hanyalah kedukaan yang tak terhingga. Benar-benar remuk
redam hati Siu-lam. Entah berapa lama ia tumpahkan air mata sehingga air matanya
kering dan berganti dengan cucuran darah. Karena hanya dengan menangislah ia dapat
menumpahkan rasa kedukaan yang mencekam sanubarinya.
Setelah puas menangis, dilihatnya lilin hanya tinggal sisa sedikit. Dan si dara berwajah
dinginpun masih tegak mematung di sebelahnya.
Siu-lam berbangkit pelahan-lahan. Ditatapnya dara berbaju putih itu, tegurnya:
"Siapakah nona ini" Apakah jenazah suhuku kau berdua yang memasukkan ke peti?"
Tanpa memandang yang bertanya, dara itu menyahut dingin: "Ayah bundaku pernah
menerima pertolongan Ciu lo-enghiong. Kurawat jenazah mereka selaku balas budi, kau
sudah menangis setengah malam, seharusnya tentu tinggalkan tempat ini!"
Dara itu berputar tubuh dan melangkah pelahan-lahan ke belakang.
"Harap berhenti dulu, nona. Aku hendak bertanya beberapa hal," cepat Siu-lam
berseru. Si dara tertegun di depan kain gordin putih, sahutnya: "Lekas katakan!"
Tak puas Siu-lam melihat tingkah laku si dara yang kelewat tak memandang mata
kepadanya itu. "Hm, dara itu benar-benar tak bersahabat!" pikirnya.
Dalam dia menimang itu, rupanya si dara tak sabar menunggu lagi. Selagi bergerak,
iapun sudah menyusul ke dalam kain gordin putih.
Karena Siu-lam biasa menerima pelajaran dalam bilik semedhi itu, tahulah ia bahwa di
balik kain gordin itu tiada terdapat tembusan ke lain kamar lagi. Maka iapun berseru:
"Tahukah nona kemana gerangan putri suhuku itu?"
"Tak tahu!" benar seperti yang diduga Siu-lam, terdengarlah dara itu menyahut dari
balik kain gordin. "Bilamana nona datang kemari" Tahukah nona siapakah yang mencelakai kedua
suhuku itu?" kembali Siu-lam bertanya.
Terdengar dara itu menyahut ringkas: "Ketika aku tiba di sini mereka sudah binasa
beberapa waktu." Keterangan itu menimbulkan kecurigaan Siu-lam, serunya pula: "Mengapa nona tahu
bahwa suhu binasa lalu sengaja datang kemari untuk mengurus jenazah mereka?"
"Bagaimana" Kau mencurigai aku yang membunuh kedua suhumu?" tiba-tiba kali ini si
dara tertawa gemerincing. Nadanya penuh mengandung keseraman yang menggigilkan
bulu roma pendengarannya.
Tiba-tiba mata Siu-lam tertuju pada sebuah lengan halus yang tersembul dari gulungan
kain putih. Tangan itu tengah menyekal sebatang lilin merah. Belum sempat Siu-lam
mengatakan apa-apa, dara itupun berseru pula: "Jika kau hendak menjaga peti mati
suhumu, baiklah. Sulutlah lilin ini dan tutuplah lagi peti mati yang kau buka itu!"
Siu-lam mempunyai perasaan bahwa tingkah laku dan ucapan dara itu serba misterius.
Dalam keadaan dan saat seperti itu, walaupun memiliki ilmu silat tinggi, namun mau tak
mau bergidik juga hati Siu-lam. Namun diberanikan juga untuk menerima lilin dari tangan
si dara. "Lilin itu cukup sampai nanti terang tanah. Jika kau tak takut, silahkan kau bergadang
di sini malam ini!" Siu-lam tak menyahut. Disulut lilin itu, menutup peti mati suhunya lalu duduk bersila di
sisi peti mati gurunya. Memandang cahaya lilin, pikirannya penuh sesak dengan berbagai
persoalan aneh". Selama berguru, ia mengetahui sendiri bahwa Ciu-pwe itu seorang jago silat yang
berwatak lurus dan tegas. Penuh wibawa. Sedangkan ibu gurunya, seorang wanita cantik
yang ramah-tamah, halus budi pekerti. Sumoay-nya pun seorang dara yang tangkas jelita,
mengesankan. Kesemuanya itu merupakan kenangan indah yang membekas dalam lubuk
hatinya. Siapa tahu, ya siapa sangka bahwa apa yang didapatinya saat itu hanyalah suatu
keruntuhan puing-puing kenangan. Kedua gurunya telah menjadi jenazah dalam peti dan
sumoay-pun entah lenyap kemana perginya. Masih hidup atau sudah mati.
Malam makin larut. Dihempas oleh kedukaan hebat dikoyakkan oleh kehancuran
impian, dibenam oleh kegelapan malam yang rawan dan seram, tak terasa Siu-lampun
jatuh tertidur bersandar pada peti mati.
Tak tahu entah berapa lama ia berada dalam keadaan tertidur itu, tahu-tahu ia rasakan
tubuhnya didorong tangan. Ketika membuka mata, seorang lelaki tua berwajah sedih,
tengah berdiri di dekat peti mati.
Serentak loncatlah Siu-lam dan terus mendekap kaki orang itu seraya menangis
tersedu-sedan. Lelaki tua itu menghela napas pelahan, ujarnya: "Bangunlah, mari kita bicara yang
tenang." Siu-lam membesut air matanya dan berbangkit bangun. Kemudian ia menerangkan:
"Ketika tadi malam wanpwee (aku) tiba, suhu dan subo sudah menjadi jenazah dalam peti
mati?" Lelaki tua itu terbeliak kaget: "Hay, apakah jenazah kedua gurumu bukan kau yang
memasukkan ke dalam peti?"
"Bukan!" sahut Siu-lam. Tiba-tiba ia teringat akan si dara baju putih tadi. Sigap sekali
ia segera menyingkap kain gordin putih di belakangnya. Astaga! Dara itu tak nampak
lagi. Sebagai gantinya di balik kain gordin itu terdapat sederet kepala manusia!
Wajah lelaki tua itu serentak berubah. Ia melangkah ke balik kain gordin. Siu-lam
tercengang lalu cepat-cepat menyusul si lelaki tua.
Pada sudut bilik di balik kain gordin putih itu terdapat setumpuk mayat tanpa kepala.
Jumlahnya entah berapa! Ketika diam-diam Siu-lam menghitung, jumlahnya tepat lima
belas mayat. Lelaki tua itu bukan lain adalah suheng (kakak seperguruannya) dari Ciu Pwe. Bernama
Tio It-ping. "Benar-benar ganas sekali. Sebuah penumpasan total seorangpun tak ada yang
ditinggalkan hidup," Tio It-ping mendengus geram.
Siu-lam tahu bahwa supehnya (paman guru) itu jauh lebih sakti dari gurunya (Ciu
Pwee). Dalam saat seperti ini ia dapat berjumpa dengan sang supeh, girangnya bukan
kepalang. Harapan untuk menuntut balas atas kematian suhunya, timbul segera.
Dengan meratap Siu-lam segera memohon pertolongan supeh itu: "Supeh mempunyai
pengalaman luas. Wanpwe mohon dengan sangat agar supaya sudi membalaskan sakit
hati suhu." Tio It-ping menghela napas, ujarnya: "Nak, tak perlu kau utarakan kata-kata itu.
Dengan sendirinya sudah menjadi tanggung jawabku untuk membalas sakit hati suteku.
Mungkin kedukaan hatiku tak lebih kecil dari kau. Asal supehmu Tio It-ping masih
bernyawa, tentu akan menuntut balas?"
Jago tua itu tak dapat melampiaskan kata-katanya karena dua tetes air mata meluncur
keluar. Serta merta Siu-lam jatuhkan diri memberi hormat di hadapan supehnya: "Atas nama
mendiang suhu, dengan ini Wanpwe menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Budi supeh takkan Wanpwe lupakan seumur hidup!"
Tio It-ping terharu mendengar pernyataan pemuda itu. Beberapa saat kemudian ia
suruh Siu-lam bangun. Diam-diam Sui-lam memperhatikan seksama pada tumpukan kelima belas mayat itu.
Ternyata di antara mereka tak terdapat sumoaynya. Segera ia menuturkan
pengalamannya semalam. Mendengar tentang gerak-gerik si dara baju putih yang serba misterius itu, diam-diam
timbullah keheranan Tio It-ping. Anak perempuan tentu bernyali kecil. Sekalipun memiliki
kepandaian silatpun sukar diterima bahwa seorang dara akan datang ke rumah kematian
pada saat seperti itu. "Keterangan wanpwe ini memang sungguh," karena takut tak dipercaya, buru-buru Siulam
memberi penegasan, "Gerak-gerik dara itu memang menyerupai dengan bangsa
kuntilanak?" Tio It-ping tertawa hambar: "Di dunia memang terdapat hal-hal yang tak mungkin.
Sekiranya kau tak pepat pikiranmu karena berduka tentulah diri gadis itu merupakan
bahan penyelidikan yang penting. Siapa tahu di sinilah terletaknya kunci rahasia
pembunuhan gurunya sekeluarga!"
Siu-lam mengakui kebenaran kata-kata supehnya itu lalu mengulangi keterangannya
kembali: "Memang jika tak melihat dengan mata kepala sendiri, tentulah wanpwe takkan
percaya tentang diri gadis yang misterius itu."
Baru Siu-lam berkata begitu, tiba-tiba secercah kilat putih menyambar ke arahnya.
Dengan sigap Siu-lam ulurkan tangan menyumpit benda itu. Ai, dingin sekali. Ternyata
segenggam es. Perongkol es sebesar gundu itu, dilontarkan oleh tangan lihay. Menembus kain gordin
langsung menyambar Siu-lam.
Tio It-peng mendengus. Sekali beringsut, ia melesat ke luar. Siu-lam pun gunakan
gerak Yan-cu-coan-bun (burung wallet menerobos awan) meletik ke luar halaman.
Dilihatnya Tio It-ping sudah berdiri di atas wuwungan rumah seraya memandang ke
seluruh penjuru. Tiba-tiba jago tua itu meluncur ke bawah menghampiri Siu-lam: "Ah, sudahlah. Hari ini
aku Tio It-ping benar-benar kena dipermainkan orang. Nah, cobalah kau remas perongkol
es yang kau sanggupi itu!"
Sekali pijat, Siu-lam meremas hancur perongkol salju. Ternyata di dalamnya terisi
sehelai kain putih yang bertuliskan: "Tempat ini bukan tempat yang sesuai, tinggalkan
secepat mungkin, agar terhindar dari kematian." Tanpa tanda tangan, tanpa tanda suatu
apa. Tio It-ping terkesiap. Memang ia sudah menduga dalam gumpalan es itu tentu
terdapat apa-apa. Tetapi sedikitpun tak menyangka bahwa isinya ternyata sebuah
peringatan maut. "Tio supeh, kita tunggu kedatangan mereka," kata Siu-lam dengan geram.
Tio It-ping kerukan alis dan menghela napas dalam-dalam: "Ah, kau seorang pemuda
yang berani. Tak kecewa gurumu memberikan pelajaran padamu. Tetapi jika kau
menunggu di sini takkan membawa faedah apa-apa."
Karena hatinya kesal. Sui-lam sampai mengucurkan air mata. Kemudian ia berseru
tegas: "Aku bersumpah untuk menuntut balas atas kematian suhu. Jika aku Pui Sui-lam
dalam hidup sekarang ini tak mampu menumpas musuh, lebih baik aku menjadi seperti
pohon ini".!" Ia menutup kata-katanya dengan menyabetkan pedangnya ke pohon bwe.
Bum". Pohon bwe yang pernah menjadi tempat bermain-main semasa kanak-kanak itu,
kutung menjadi dua dan rubuh ke tanah".
Tio It-ping beringas. Ia terharu sekali melihat kesetiaan anak muda itu terhadap
gurunya. Tetapi pada lain kilas jago tua itu tenang sekali.
"Jika tak tahan menghadapi persoalan kecil, tentu sukar untuk melaksanakan pekerjaan
besar. Menilik kepandaian orang yang melemparkan es berisi peringatan maut itu, jelas
dia tentu seorang sakti. Jangankan kau, bahkan aku sendiri pun belum tentu dapat
menandinginya. Aku sudah tua, soal mati hidup tak kuhiraukan lagi. Tekadku sudah


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bulat. Aku pasti akan berusaha sekuatnya untuk membalaskan sakit hati Ciu sute. Jika
aku bisa lolos dari lingkaran maut ini, aku tentu akan berusaha untuk mengundang
sahabat-sahabat persilatan untuk mencari musuh itu?"
Tiba-tiba jago tua itu berhenti bicara. Serentak dicekalnya siku lengan Siu-lam diajak
lari keluar dari lingkungan rumah Ciu Pwe.
Kira-kira lima li jauhnya, barulah Tio It-ping melepaskan cekalannya. Ia menghela
napas seraya bertanya: "Kau kira kematian suhu dan subomu itu secara mendadak?"
Sebenarnya tak puas hati Siu-lam karena seolah-olah diseret oleh paman gurunya itu.
Padahal ia benar-benar sudah bertekad hendak menjaga jenazah gurunya. Ia hendak
meronta dari cekalan paman gurunya atau tiba-tiba Tio It-ping sudah lepaskan diri. Dan
lebih kesima Siu-lam, ketika mendapat pertanyaan semacam itu.
"Apakah maksud supeh" Apakah supeh hendak mengatakan bahwa suhu dan subo
sebelumnya sudah tahu bakal menderita bencana itu?" tanyanya.
Tio It-ping tengadahkan kepala dan menghela napas pula, sahutnya: "Benar, bukan
saja sudah tahu pun suhu dan subomu itu juga tahu bahwa mereka berdua tidak nanti
dapat lolos dari ancaman musuh. Oleh karena itu dia tak sempat lagi untuk mengundang
bantuan orang luar atau melarikan diri!"
"Benar-benar wanpwe tak mengerti maksud keterangan supeh ini. Dunia begini luas
apalagi suhu dan subo berkepandaian tinggi. Kalau tahu bakal tak dapat melawan,
masakan mereka tak dapat meloloskan diri?" Siu-lam makin tak mengerti.
Tio It-ping merenung sejenak, ujarnya: "Justru itulah yang hendak kujelaskan padamu.
Gurumu itu berwatak keras dan disiplin. Dia tak mempunyai banyak musuh. Sejak jemu
dengan pergaulan ramai, mereka menyembunyikan diri di Telaga Ping-ou dan sejak itu
seolah-olah putuskan hubungan dengan dunia persilatan. Kecuali hanya dengan seorang
dua orang sahabat karibnya, jarang sekali mereka berdua bergaul dengan tokoh-tokoh
persilatan. Dua puluh tahun hidup dalam kesenangan, mereka menikmati kehidupan yang
bahagia. Tiga tahun yang lalu ketika aku berkunjung, kudapatkan ilmunya lwekang makin
bertambah sempurna. Juga subomu memperoleh kemajuan yang mengejutkan. Di
seluruh wilayah Kanglam, rasanya tiada seorang jago silat yang mampu menandingi
suhumu berdua. Tetapi dari penyelidikan yang kudapatkan dalam rumah kediamannya
tadi, jelas bahwa suhumu berdua sudah mengetahui akan datangnya bencana maut itu.
Dari siang-siang keduanya sudah membuat persiapan?"
"Sukalah supeh segera menjelaskan, agar wanpwe jangan selalu terselubung
kegelapan," pinta Siu-lam yang masih bingung.
Setelah memandang kian kemari, barulah Tio It-ping berkata: "Apa yang kukatakan itu
hanyalah berdasarkan pengalaman saja. Apakah di antara mayat-mayat itu terdapat
mayat sumoay-mu?" "Gadis secantik sumoay, jarang terdapat di dunia. Mungkin dia telah dibawa lari
pembunuh-pembunuh itu. Wanpwe tak dapat membayangkan"."
Tio It-ping tertawa tawar: "Tentang tak terdapatnya sumoaymu di antara mayat-mayat
itu, ada dua kemungkinan. Dugaan dia dilarikan si pembunuh memang banyak
kemungkinannya. Tetapi dugaan bahwa sebelumnya dia memang sudah diperintahkan
suhumu untuk menyingkir lebih dulu ke lain tempat, juga dapat terjadi. Yang nyata
sumoaymu tak terdapat di antara tumpukan mayat, ini mencurigakan!"
"Ah, wanpwe benar-benar gelap pikiran, tak dapat memikirkan hal itu."
Tio It-ping menghela napaas: "Jika kau mau memperhatikan bahwa tumpukan mayatmayat
itu semua berpakaian ringkas (pakaian siap tempur), jelas menandakan bahwa
suhumu memang sudah mengetahui. Dia tak mau mati konyol dan bersiap-siap
mengadakan perlawanan."
Seluruh bujang dan anggota keluarga dikerahkan untuk menghadapi musuh. Tetapi
rupanya musuh terlampau kuat. Suhumu dan seluruh penghuni rumah tangganya telah
dihabiskan. Satu hal yang tak habis kumengerti. Kalau sudah tahu bakal menerima
bencana hebat, mengapa tak mau menyingkir saja" Walaupun musuh tentu tetap
mengejar jejaknya, tetapi untuk sementara waktu suhumu tentu mempunyai kesempatan
untuk membuat rencana persiapan yang lebih sempurna. Ah, Thian (Allah), mengapa aku
tak datang tiga hari yang lalu" Ah, hanya karena terlambat dua hari saja, keadaan
menjadi begini rupa."
Diam-diam Siu-lam mengakui apa yang dikatakan supehnya itu memang tepat. Diapun
menyatakan keheranannya. "Ya, mengapa suhu tak mau mengundang bantuan
sahabatnya?" "Memang hal itu mengherankan," kata Tio It-ping. "Tetapi untuk mengundang tenaga
yang lebih sakti atau sekurang-kurangnya menyamai kepandaian suhumu, bukanlah hal
yang gampang. Dan untuk keluar mencari bantuan, tidaklah semudah seperti yang kita
bayangkan. Kalau tak salah penilikanku, kemungkinan tempat kediaman suhumu itu
sudah dikepung rapat dan diawasi ketat oleh musuh. Yang melontar gumpalan salju,
kemungkinan tentu si nona baju putih yang kukatakan itu. Dalam hal ilmu ginkang
(meringankan tubuh) rasanya kepandaianku tak jelek. Tetapi aneh, ketika aku melesat
keluar, sama sekali tak tampak bayangan orang. Jelas pembunuhnya itu dilakukan oleh
tokoh hebat. Baik kepandaian maupun keganasannya, tiada tandingannya. Gerak-gerik
nona baju putih menjaga jenazah suhumu tentu mempunyai maksud tertentu.
Kemungkinan walaupun suhumu mempunyai rencana hendak mencari bantuan, pun sukar
melaksanakan".."
Tio It-ping berhenti beberapa saat, lalu melanjutkan pula: "Pada hematku ada dua hal
yang perlu kita kerjakan. Pertama mencari jejak sumoaymu yang lenyap. Dan kedua,
menyelidiki siapa pembunuh ganas itu. Paling tidak kita harus dapat mengetahui jejak si
pembunuh, baru merencanakan tindakan selanjutnya. Tetapi kedua tugas itu tak
semudah seperti yang kita katakan. Kita berhadapan dengan musuh yang luar biasa!"
Siu-lam jatuhkan diri di hadapan jago tua itu. "Wanpwee masih hijau, terserah
bagaimana supeh hendak mengatur. Walaupun harus masuk ke dalam lautan api
menerjang hutan golok, wanpwe tentu akan melakukan perintah supeh!"
Tio It-ping suruh pemuda itu bangun. "Musuh terlampau sakti. Tak perlu kita harus
menempurnya, tetapi cukup menyelidiki jejaknya saja. Kalau kita pergi bersama, bukan
saja mudah diketahui musuhpun juga membagi tenagaku untuk melindungimu. Mencari
sumoaymu, lebih penting dari menyelidiki jejak musuh. Karena apabila sumoaymu telah
diketemukan, tentulah kau akan dapat meminta keterangan yang dapat menyingkap tabir
pembunuhan itu!" Diam-diam Siu-lam membenarkan pandangan supehnya. Akhirnya ia memberi
pertanyaan: "Baiklah, wanpwe hanya menurut saja. Tetapi dunia yang begini luas,
kemanakah wanpwe harus mencari jejak sumoay?"
Tio It-ping mengeluarkan sebuah uang mas berbentuk segi empat: "Bawalah uang
emas ini ke Co-yang-ping di Lu-an, temuilah Siu-chin-kiau-in Su Bo-tun. Jika dia tak mau
menemuimu, tunjukkanlah uang emas ini. Dia tentu akan menanyakan apa yang kau
kehendaki. Jangan buru-buru mengatakan bahwa kau hendak minta bantuannya untuk
mencari sumoaymu. Cukup bilang saja, pemegang uang emas belum datang. Kau hanya
disuruh menyampaikan dulu. Percayalah, betapa dingin sambutannya kepadamu, tetapi
dia tenu akan menahan kesabarannya. Hanya saja jangan sekali-kali kau bersikap kasar
sehingga menimbulkan kemarahannya. Tunggu setelah dia mengembalikan uang emas itu
kepadamu, barulah kau boleh mengatakan tentng maksud mencari sumoaymu," Tio Itping
berhenti sejenak, "Masalah ini penting sekali, jangan sampai kau melantarkan. Kau
harus bersabar dan menekan segala perasaanmu terhadap segala ucapannya yang sinis.
Ingat, dapat diketemukan sumoaymu dan pembunuh dari suhumu hanya tergantung pada
sikap dan tindakanmu saat itu."
Siu-lam menyatakan kesanggupannya.
Tio It-ping menghela napas: "Orang she Su itu aneh sekali perangainya. Seumur hidup
dia tak memperdulikan orang. Dia dingin sekali sikapnya. Nah, waktu berharga sekali.
Tak dapat kuceritakan lebih panjang. Segeralah kau berangkat. Dan dalam satu dua hari
lagi akupun tentu menyusul ke sana?"
Tio It-peng merenung sejenak, lalu berkata lagi: "Jika dalam tiga hari aku belum tiba,
gunakan kekuasaan uang emas minta pada Su Ba-tun supaya dalam waktu tiga bulan
harus dapat memberi keterangan siapa pembunuh suhumu!"
Tio It-peng menghela napas.
Setelah menerima petunjuk-petunjuk dari supehnya, Siu-lam segera minta diri.
Menjelang petang, tibalah ia di sebuah kota kecil. Karena sehari semalam ia tak makan,
perut Siu-lam terasa merintih. Kebetulan di dekat jalan ia meliha sebuah warung makan.
Sebuah warung makan yang sederhana. Hanya mempunyai tiga buah meja dengan
kursi-kursi yang kasar. Karena lapar sekali, Siu-lam segera berseru memanggil pelayan.
Tetapi tak ada yang menyahut.
"Hai, apakah di warung ini tiada orang?" serunya dengan keras.
Seorang dara berumur lima belas enam belas muncul dari kain penutup pintu.
Pakaiannya dari kain kasar, rambutnya dikepang dua dan suaranya melengking runcing:
"Ayah sedang ke pasar. Makanan sudah habis dipesan kedua tamu itu!"
Memang sebelum Siu-lam masuk, di warung itu sudah terdapat dua orang tamu.
"Setan alas, kalau makanan habis mengapa tak tutup"." Siu-lam marah tetapi pada lain
saat ia teringat. Apa perlunya ia harus marah-marah terhadap seorang perawan desa.
Segera ia tertawa ramah: "Karena sudah sejak tadi malam tak makan dan saya masih
perlu melanjutkan perjalanan jauh, maka tolonglah nona buatkan makanan sederhana.
Terserah apa saja. Nanti akan kubayar secukupnya."
Semakin Siu-lam marah, si dara tenang saja. Sedikitpun tak takut. Setelah Siu-lam
habis bicara, barulah nona itu tersenyum: "Menilik pakaian dan gaya, tuan tentu putera
orang raja atau pangkat. Warung desa kecil ini, persediaan makanan memang terbatas.
Kalau habis ya habis benar-benar. Sekalipun tuan hendak membayar berapa, aku tak
dapat." Nada dan rangkaian kata-katanya luwes serta lancar. Jelas kalau perawan itu tentu
berpendidikan. Tetapi mengapa tinggal di desa sunyi"
Di luar kesadarannya, Siu-lam mengangkat kepala dan memandang gadis itu. Ah,
seorang gadis jelita. Dalam pakaian serba sederhana, gadis itu tetap menonjol
kecantikannya. Hanya kulitnya agak kehitam-hitaman. Serta merta Siu-lam meminta
maaf atas kata-katanya yang kasar tadi. Setelah itu Siu-lam ngeloyor pergi.
"Tunggu dulu, tuan!" tiba-tiba gadis itu melengking.
Ketika Siu-lam berpaling, tampak gadis itu telah berdiri di ambang pintu warung,
serunya sambil tersenyum: "Menempuh perjalanan dalam hawa yang begini dingin,
tentulah tuan mempunyai urusan yang penting sekali. Hari sudah hampir gelap, tentu
makin dingin. Meskipun tuan seorang persilatan, tetapi jangan harap dapat berburu
binatang untuk isi perut. Binatang-binatang sama menyembunyikan diri karena hawa
dingin." Siu-lam terkesiap. Ia heran mengapa dara itu tahu kalau ia bisa ilmu silat.
"Jika tak menolak, silahkan tuan masuk ke dalam lagi, nanti akan kusiapkan masakan
seadanya," dara itu tersenyum.
Siu-lam benar-benar tercengang. Gerak-gerik dan ucapan gadis itu memang serba
mengherankan. Pikirnya ia hendak menolak, tapi perutnya sudah tak tahan lagi.
Terpaksa ia menurut tawaran gadis itu.
Eh" Siu-lam terbeliak. Kedua orang lelaki yang duduk di meja tadi, masih terpaku di
tempatnya. Seperti patung yang tak bergerak. Timbul kecurigaan Siu-lam.
Dipandanginya kedua tamu itu. Astaga".! Kedua tamu itu ternyata tak dapat berkutik
karena tertotok jalan darahnya. Tadi karena memikirkan perutnya yang lapar, ia tak
sempat memperhatikan keadaan kedua orang itu.
Si dara tertawa tawar. Rupanya ia tahu keterkejutan Siu-lam. Serunya: "Jika tuan tak
merasa jijik, silahkan mendahar masakan kedua orang itu dulu. Mereka belum
menjamahnya." "Terima kasih," sahut Siu-lam, "tetapi hidangan yang sudah dipesan orang, masakan
hendak kurebut!" Si dara tertawa: "Baiklah, kalau tuan tak mau, tunggulah sebentar kumasakkan." Ia
terus masuk ke dalam dapur.
Siu-lam sempat memandang keadaan warung itu. Sebuah warung yang hanya
mempunyai tiga ruangan kecil. Ruang muka untuk tetamu, tengah untuk meracik
hidangan dan dapur untuk masak. Kecuali tiga meja dan beberapa kursi bambu, warung
itu tidak ada perkakas lain-lainnya lagi.
Seketika timbullah kecurigaan Siu-lam. "Tempat sesepi ini tentu jarang dikunjungi
tetamu. Hih, jangan-jangan warung ini warung hitam untuk menjegal orang" Gadis itu,
gadis itu memang mencurigakan!"
Tiba-tiba si dara muncul dengan membawa setalam berisi sepuluh butir telur rebus:
"Maaf, hanya ini yang dapat kuhidangkan. Mudah-mudahan dapat menenangkan perut
tuan!" Siu-lam mengeluarkan uang perak: "Harap nona suka terima sedikit pengganti
pembelian telur ini!"
"Ah, hanya sepuluh butir telur masakkan tuan begitu sungkan?" seru si dara dengan
sama sekali tak memandang uang perak yang diletakkan di atas meja.
Tetapi Siu-lam mendesaknya. Setelah mengucap terima kasih segera ia menyambar
telur dan keluar". Kira-kira sepuluh lie jauhnya, barulah ia berhenti. Saat itu cuaca sudah gelap. Dan
benar yang dikatakan gadis pemilik warung tadi, di hadapannya kini terbentang hutan
pegunungan. Siu-lam menghela napas. Apa boleh buat. Ia segera memakan telur lalu
duduk di tanah menyalurkan napas. Setelah rasa letih hilang, barulah ia bangun dan
meneruskan perjalanan. Setengah jam kemudian, jalan makin berbahaya. Lamping gunung penuh jurang dan
tebing terjal. Batu-batu karang menggunduk tinggi, menutup jalan. Apa lagi jalan-jalan
tertutup hilang oleh salju. Siu-lam benar-benar harus peras keringat. Berjalan malam hari
di pegunungan yang tertutup salju, sungguh berbahaya sekali!
Menjelang fajar, barulah ia tiba di tempat tujuan ini di karang Po-to-kang. Puncak
gunung menyusup ke dalam awan, lerengnya melandai berkilat-kilat licin sekali.
Karena sehari semalam menempuh perjalanan, Siu-lam letih sekali. Ia merasa tak kuat
untuk mendaki ke puncak. Terpaksa ia beristirahat di bawah karang. Tak terasa ia
tertidur. Ketika bangun, matahari sudah sepenggalah tingginya.
Menurut keterangan Tio It-ping, dataran Co-yang-ping itu terletak di lamping gunung
yang penuh batu karang. Kecuali memang alamnya, pun keadaan di situ diperbaiki lagi
oleh Su Bo-tun sehingga merupakan sebuah tempat-tempat yang tak mudah dicapai
orang. Ketika tiba di daratan Long-yang-ping, dilihatnya sebuah karang yang mengunjuk besar
sekali, menyerupai sebuah bukit kecil. Jalanan ke karang it, hanya dicapai dengan
gunduk-gunduk tiang batu yang hanya cukup dilalui seseorang. Setiap gunduk tiang
karang, terpisah dua-tiga meter. Sekali orang tak berhati-hati, pasti akan tergelincir jatuh
ke dalam jurang di bawah. Sebuah jurang yang tak kelihatan dasarnya"..
Siu-lam memperhitungkan kepandaiannya. Ia merasa dapat melintasi jalanan
berbahaya itu. Segera ia berseru nyaring: "Wanpwe Pui Siu-lam mohon bertemu pada
locianpwe?" ia menutup kata-katanya dengan sebuah gerak Walet Menerobos Awan.
Tubuhnya mencelat ke udara dan melayang turun ke tiang karang yang pertama. Ketika
memandang ke bawah, matanya berkunang-kunang, bulu roma bergidik. Jauh di sebelah
bawah, terhampar sebuah jurang yang tak diketahui dasarnya, buru-buru ia pejamkan
mata dan pusatkan pikiran. Kemudian ia apungkan tubuh ke udara dan melayang ke
batas karang yang kedua. Kini ia mempunyai pengalaman. Tak mau ia memandang ke bawah agar nyalinya tak
pecah. Dan mulailah ia melayang ke batu karang yang ketiga. Setelah berturut-turut
melayang delapan kali, habislah tiang-tiang karang yang menjadi penghubung dengan
karan bunting. Kini jaraknya hanya tinggal tiga tombak. Suatu jarak yang tak mungkin
dapat ia loncati. Tengah ia gelisah menghadapi rintangan terakhir tiba-tiba terdengarlah lengking suara
tajam menyusup ke telinganya: "Guruku sudah selama dua puluh tahun putuskan
hubungan dengan dunia luar. Lebih baik kau kembali saja!"
Siu-lam terkejut. Ketika memandang seksama tampak seorang pemuda berusia dua
puluh lima tahun. Sepasang mata pemuda baju biru itu berkilat-kilat memandang Siu-lam
dengan pandangan dingin. Karena sudah dipesan Tio It-ping, Siu-lam pun mengekang kesabarannya. Ia memberi
hormat: "Aku Pui Siu-lam hendak mohon menghadap Su-locianpwe. Ada urusan penting
yang hendak kusampaikan pada beliau. Harap saudara suka melaporkan pada beliau.
Harap saudara suka melaporkan pada beliau!"
Pemuda yang berkulit hitam itu tertawa mengakak: "Ho, belum pernah aku bertemu
dengan orang berkulit setebal kau. Sudah kukatakan suhu tak menerima tetamu, kalau
tak percaya, bolehkan kau tungguh sampai seminggu atau sebulan!" Habis berkata ia
terus berputar diri dan melangkah pergi.
"Tunggu!" teriak Siu-lam.
Pemuda berkulit hitam berhenti dan berputar tubuh, serunya geram: "Seorang lelaki
mengapa banyak mulut" Apakah tak merasa malu?"
Siu-lam mengeluarkan uang emas dan diangsurkan ke atas: "Kenalkah saudara akan
benda ini?" Sejenak memandang uang emas itu, kerut wajah pemuda berkulit hitam itu rupanya
agak tenang. Ia tertawa: "Mengapa dari tadi kau tak mau mengatakan membawa Soh-inkim-
chi dari suhuku sehingga aku bersikap kasar?"
Pemuda itu segera mengeluarkan segulung tali terus dilemparkan ke arah Siu-lam.
Lemparannya tepat sekali. Ujung tali melayang ke dada Siu-lam dan disambutinya.
"Jika saudara percaya padaku, peganglah tali erat-erat dan kutarik kemari. Tetapi jika
saudara tak percaya kepadaku, silahkan mengikat ujung tali pada tiang karang dan
gunakan ilmu meringankan tubuh meluncur di sepanjang tali!"
"Tentu, aku tentu percaya pada saudara," seru Siu-lam. Setelah mencekal tali dengan
kedua tangan, segera diayunkan tubuh melayang ke bawah. Cepat sekali ia sudah
melayang ke batu karang. Begitu membentur karang, tiba-tiba tubuhnya terangkat naik
dan tahu-tahu sudah berada di atas karang buntung.
Pemuda muka hitam menggulung tali dan tertawa: "Dengan Soh-in-kim-chi dari
suhuku, saudara tentu sudah mengerti cara menemui suhu."
Soh-in-kim-chi artinya uang emas pengikat budi, Siu-lam gugup. Jika mengatakan
terus terang, ia kuatir pemuda muka hitam itu akan memperoloknya. Maka ia menjawab:


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masa kau tak tahu!"
"Mana berikan padaku!" pemuda muka hitam tertawa dan angsurkan tangannya.
Tetapi Siu-lam cukup cerdas. Cepat-cepat ia mengelak: "Soh-in kim-chi dari Su
locianpwe ini merupakan barang tak ternilai. Hendak kuhaturkan sendiri pada Su locianpwe."
"Tetapi saat ini suhu sedang semedhi, tunggu saja dua jam lagi!" kata si muka hitam.
"Tetapi urusan ini penting sekali, jika saudara suka membantu, aku tentu berterima
kasih sekali," desak Siu-lam. Bahkan ia segera menjura.
Akhirnya pemuda muka hitam itu terpaksa menggerutu: "Baik, baik, coba-coba saja aku
laporkan. Tetapi berhasil tidaknya tergantung dari peruntunganmu.
Segera ia berlari menuju ke sebuah gubuk. Tak berapa lama ia muncul lagi dan
tertawa-tawa: "Peruntunganmu besar sekali, suhu suka menerima!"
Siu-lam menghaturkan terima kasih dan menanyakan nama si hitam itu.
"Aku she Seng nama Kim-po."
"Saudara Seng tentu mewarisi kepandaian Su lo-cianpwe yang sakti. Kelak apabila
muncul di dunia persilatan tentu menjadi bintang yang cemerlang!"
Kim-po tertawa: "Suhu tak suka campur urusan dunia, tak suka menerima tamu. Dan
aku sendiripun tak suka cari nama."
Merekapun tiba di muka pondok. Kim-po membawa tamunya masuk. Di ruang dalam
mereka berhadapan dengan seorang tua bertubuh kurus. Mengenakan baju pendek
warna biru, berikat pinggang tali rumput. Orang tua itu duduk di sebuah kursi kayu.
Wajahnya dingin. Kedatangan kedua pemuda itu tak dihiraukan sama sekali.
Siu-lam memberi hormat, serunya: "Wanpwe Pui Sui-lam mohon menghadap Su locianpwe."
Su Bo-tun mendengus dingin. "Aku tak suka bicara dengan orang yang tak
berkepentingan. Berikan Soh-in-kim-chi dulu baru kita bicara lagi."
Diam-diam Siu-lam mendongkol. Tapi ia terpaksa mengeluarkan Soh-in-kim-chi. Ketika
menyambuti dan selesai memeriksa, Su Bo-tun menghela napas.
"Inilah uang emas hutang budi yang terakhir kukeluarkan. Sehabis ini, aku sudah tak
berhutang budi pada orang lagi. Bilang, kau perlu apa padaku?" kata Su Bo-tun.
"Pemegang Soh-in-kim-chi, karena masih ada urusan dan lalu agak lambat datang. Aku
hanya disuruh menyampaikan dulu pada lo-cianpwe."
Seketika wajah Su Bo-tun berubah gelap, dengusnya: "Siapa yang suruh kau kemari,
katakan! Karena beberapa biji Soh-in-kim-chi, aku telah menderita kedinginan di Co-yangping
sini selama duapuluh musim dingin. Jika tak memberitahukan siapa yang menyuruh
kau, anak muda seperti kau, jangan harap kau bisa pergi dari sini!"
Betapa geram hati Siu-lam namun ia masih bisa bersikap tenang dan menghias sebuah
tawa: "Kemasyhuran nama lo-cianpwe, siapakah yang menaruh perindahan"."
"Jangan ngaco belo!" bentak Su Bo-tun. "Di dunia persilatan hanya sedikit sekali yang
tahu diriku. Hm, anak muda seperti kau, sudah pandai menjilat pantat!"
Karena ingat pesan Tio It-ping, Siu-lam tetap mengekang diri. Walaupun dimaki, ia
tertawa: "Tokoh sakti seperti lo-cianpwe, karena enggan keluar sudah tentu banyak
angkatan muda seperti wanpwe yang tak mengenal"."
Mata Su Bo-tun berkilat, dibentaknya Siu-lam dengan marah: "Aku benci dengan
manusia palsu. Kalau kau mau minta tolong, lekas bilang. Jika bicara yang tak ada
gunanya, jangan kaget kalau penyakit gemar membunuhku kumat lagi!"
Hampir Siu-lam kehilangan sabar. Pada saat ia hendak balas mendamprat, tiba-tiba
terlintas bayangan ngeri dari kematian suhunya.
"Siu-lam. Siu-lam. Jika kau tak dapat menahan kesabaran, mungkin kau akan bentrok
dengan Su Bo-tun. Kau mati tak mengapa, tapi bagaimana dengan cita-citamu hendak
membalaskan sakit hati gurumu?" diam-diam ia memaki dirinya sendiri.
Serentak ia tenang lagi dan tertawa tawar, sahutnya: "Wanpwe hanya disuruh. Sudah
tentu tak berani mengambil keputusan sendiri. Harap lo-cianpwe memaafkan."
Jawaban yang tenang hambar itu membuat Su Bo-tun tak berdaya. Ia kerutkan dahi:
"Kalau tak bisa ambil putusan, perlu apa kau datang kemari" Apakah maksudmu suruh
aku mengembalikan lagi uang ini kepadamu."
"Banyak terima kasih karena lo-cianpwe sudi menyerahkan kembali uang emas itu
kepada wanpwe," kata Siu-lam sambil membungkuk memberi hormat.
Su Bo-tun mendengus: "Hm, hidup tujuhpuluhan tahun baru sekali ini aku bertemu
dengan manusia yang begini berbelit!"
Walaupun mengomel tetapi ia serahkan kembali uang emas Soh-in-kim-chi kepada Siulam.
Setelah menyimpan uang emas Siu-lampun tertawa, ujarnya: "Wanpwe hendak mohon
bantuan lo-cianpwe tentang diri seseorang. Apakah lo-cianpwe mengetahui?"
Su Bo-tun mendengus: "Asal kau mau menyerahkan Soh-in-kim-chi kepadaku, cukup
kau sebut nama orang itu, tentu akan kucari dan kubawanya kemari."
"Ah, tak perlu," kata Siu-lam, "wanpwe hanya sekedar bertanya saja. Kalau lo-cianpwe
tak tahu, tak apalah. Tetapi wanpwe tahu orang itu memang sudah berada di Co-yangping
sini!" "Kurang ajar, siapakah yang berani menyusup ke Co-yang-ping tanpa ijinku, bilang!" Su
Bo-tun melengking marah. Siu-lam tertawa: "Dia orang she Ciu, namanya Hui-ing. Tahun ini berumur delapan
belas tahun. Entah benar tidak dugaan wanpwe itu?"
Serentak berbangkitlah Su Bo-tun dan melambai pada Kim-po: "Bawa budak ini kepada
budak perempuan itu! Lekas, aku muak melihat tampangnya!"
Kim-po segera mengajak Siu-lam keluar.
"Siasat membakar hati yang saudara lakukan tadi, hebat benar. Sejak aku menjadi
murid suhu, belum pernah kulihat beliau mengajak orang bicara begitu lama," Kim-po
memuji. Siu-lam jawab: "Dunia persilatan menyohorkan Su lo-cianpwe berwatak aneh. Tetapi
apa yang kusaksikan tadi, ternyata tak sesuai. Bukan saja beliau seorang tokoh yang
pegang janji pun hanya lahirnya saja seorang yang dingin tapi hatinya mudah terbakar."
Berubahlah seketika wajah Kim-po, katanya dengan tajam: "Sebaiknya jangan menilai
diri suhuku agar jangan ditimpa bencana maut!"
Siu-lam mengiakan. Tapi diam-diam ia menggerutu dalam hati: "Guru kencing berdiri,
murid kencing berlari. Gurunya kukway, muridnyapun aneh. Eh, mengapa mereka bisa
saling bertemu?" Dalam bercakap-cakap itu mereka tiba di ujung karang. Menunjuk pada sebuah
lekukan batu karang, berkatalah Kim-po: "Aku paling takut bicara dengan perempuan.
Perempuan itu berada dalam goa. Apabila berjalan ke ujung situ, tentulah saudara akan
melihat pintu masuknya."
Dan habis berkata Kim-po berputar tubuh terus melesat tinggalkan tamunya. Siu-lam
tak menghiraukan pemuda limbung itu, benar juga ketika tiba di ujung karang, ia melihat
pintu sebuah goa. Setelah masuk dan melalui tiga buah tikungan, tibalah ia di hadapan sebuah kamar
batu seluas satu tombak. Seorang dara berbaju biru sedang duduk bersila memandang ke
langit kamar. Seolah-olah sedang merenungkan sesuatu.
Hati Siu-lam bergetar keras sekali ketika melihat dara itu adalah sumoaynya Ciu Hui-ing
yang telah berpisah selama dua tahun. Melihat sumoaynya tak kurang suatu apa, sampai
beberapa saat Siu-lam tak dapat bicara.
"Adik Ing"." akhirnya berserulah Siu-lam dengan nada agak gemetar.
Dara itu terkejut dan berpaling. "Hai, Pui su-heng!" serentak ia loncat berbangkit.
Entah bagaimana perasaan Siu-lam menghadapi pertemuan itu. Tapi yang nyata ia
mencucurkan air mata karena teringat akan nasib malang yang menimpa kedua suhunya.
"Pui suheng, kau mengapa?" seru Hui-ing terheran-heran melihat Siu-lam menangis.
"Apakah suheng menjenguk ke rumahku" Bagaimana keadaan ayah bundaku?"
Gemetar tubuh Siu-lam menerima pertanyaan semacam itu. Namun diulasnya sang
wajah dengan tertawa: "Suhu dan subo sehat walafiat."
"Lalu mengapa kau mengucurkan air mata?" Hui-ing kerutkan dahi.
Setiap patah kata-kata dara itu dirasakan Siu-lam seperti pisau yang menyayat hatinya.
Hampir ia tak dapat menahan banjirnya sang air mata. Tetapi dikeraskan juga hatinya
dan agar jangan diketahui sang sumoay, iapun tertawa ringan: "Aku terharu girang karena
pertemuan ini. Bukankah sudah dua tahun berpisah?"
Jawaban itu membuat si dara tersipu malu, gerutunya: "Ah, penyakit suheng masih
belum baik. Selalu suheng suka berolok-olok!"
Hui-ing mengeluarkan sapu tangan dan diberikan kepada Siu-lam: "Pesutlah air
matamu agar jangan ditertawakan orang. Masakan sudah besar masih seperti bocah kecil
saja. Sedikit-sedikit menangis."
Siu-lam menurut. Kemudian ia bertanya: "Mengapa kau lari ke tempat itu sehingga aku
bersusah payah mencarimu?"
Hui-ing tertawa: "Setengah bulan yang lalu, entah bagaimana tiba-tiba ayah suruh aku
membawa sebuah uang emas kepada Sin-chiu-kian-in Su Bo-tun. Maksudnya minta Su
Bo-tun supaya suka memberi pelajaran ilmu silat kepadaku. Huh, tua Bangka Su itu
ternyata manusia berhati dingin dan berwatak aneh. Dia tak mau banyak bicara. Begitu
menerima uang emas yang kuserahkan, terus diamat-amati seperti orang yang belum
pernah melihat uang. Dia tertawa gelak-gelak seperti orang gila. Tetapi begitu kukatakan
supaya dia memberi pelajaran silat kepadaku, serentak berubah gelaplah wajahnya. Dia
suruh muridnya membawa aku ke sini. Hari kedua, dia baru datang ke sini memberi
pelajaran ilmu silat. Aku tak boleh keluar dari kamar ini. Tiap hari muridnya yang
bermuka hitam itu yang mengantar makanan. Aku sebal sekali. Kuanggap orang she Su
itu tak memberi pelajaran ilmu silat melainkan suruh aku duduk sepanjang hari di sini.
Kuhitung, sampai hari ini sudah berjalan setengah bulan lebih. Tetapi Su tua itu tak
pernah datang lagi. Jika tahu begini lebih baik kutolak perintah ayah sekalipun aku tentu
didampratnya!" Siu-lam tahu sumoaynya itu manja sekali. Tentulah tak betak ditahan dalam kamar
yang sesunyi itu. "Suhu suruh kau mempelajari ilmu silat apa?" tanyanya. Diam-diam ia
membenarkan dugaan supehnya Tio It-ping bahwa suhunya memang sebelumnya sudah
tahu akan bencana maut itu. Tetapi yang menjadi keheranan Siu-lam, kalau sempat
mengungsikan puterinya, mengapa suhunya itu tak mau menyingkir sendiri"
Kembali Siu-lam menghela napas panjang.
"Suheng, kau ini kenapa" Mengapa beda dengan biasanya?" Hui-ing benar-benar
heran. Siu-lam gelagapan, ujarnya sekena saja: "Su lo-cianpwe meskipun berwatak aneh tetapi
mempunyai kepandaian yang sakti. Jika adik Ing bisa mendapatkan pelajarannya, tentu
bermanfaat sekali"."
"Oh, kau ini suheng!" Hui-ing tertawa, "Kemanakah terbangnya pikiranmu" Mengapa
ucapanmu simpang-siur tak karuan. Hm, entah apa yang sedang kau pikirkan."
Melihat tingkah laku Hui-ing masih sama seperti semula, mulailah timbul semangat Siulam.
Jelaslah bahwa sumoaynya tak tahu sama sekali tentang peristiwa yang menimpa
keluarga Ciu. "Eh, adik Ing, kau tadi belum menerangkan pertanyaanku," kata Siu-lam, "yaitu tentang
ilmu kepandaian yang kau minta pada Su lo-cianpwe!"
"Sebuah ilmu silat yang gayanya mirip untuk menghindari serangan musuh. Tetapi aku
sendiripun tak mengerti di mana letak keistimewaan ilmu itu." Hui-ing mengutarakan
keluhannya, "Ketika pertama kali datang memberi pelajaran, Su Bo-tun mengatakan
bahwa ilmu sakti yang diajarkan itu sebuah ilmu yang sakti. Tak sembarang orang
mampu meyakinkan berhasil. Si tua itu hanya mengajarkan, dia tak ambil mumet apakah
aku dapat menerimanya atau tidak. Dia tak mau menyembunyikan ilmunya. Seluruh jurus
diajarkan padaku. Tetapi dia hanya mengajar satu kali saja tak mau untuk yang kedua
kali. Sebagai batas waktu aku diberi tempo tiga bulan. Dalam tiga bulan, sampai dimana
aku dapat mempelajari, disitulah dianggap selesai. Aku harus meninggalkan Co-yangping.
Coba kau pikir, suheng. Masakan di dunia ada seorang guru yang sedemikian
sintingnya. Tidak mau memberi pelajaran yang kedua kalinya, bisa atau tidak, itu urusan
muridnya"." Siu-lam merenung sejenak, ujarnya: "Tahukah adik Ing, apa nama ilmu pelajaran itu?"
"Ayah mengatakan padaku supaya aku minta pada si tua Su mengajarkan ilmu
kepandaian Chit-sing-tun-hiang (tujung bintang meluncur). Memang ilmu itu berdasarkan
tujuh gerak langkah. Lingkarannya hanya setombak. Aku tak percaya suheng, bahwa
dalam gerak lingkaran sesempit itu kita dapat menghindari serangan musuh."
Siu-lam memandang ke sekeliling kamar. Memang di tengah ruang, terdapat bekasbekas
telapak kaki. "Suhu memiliki ilmu silat dan ilmu pedang yang hebat. Mengapa dia masih suruh
puterinya minta pelajaran dari pada Su Bo-tun" Rahasia apakah yang tersembunyi dalam
ilmu silat Chit-sing-tun-heng itu?" diam-diam ia menimang dalam hati.
Memperhatikan bekas telapak kaki, Siu-lam mendapat kesan bahwa ilmu silat Chit-singtun-
heng memang mirip dengan ilmu Thian-kong-chit-sing!
"Suhu seorang tokoh yang luas pengalaman. Kalau beliau menyuruhmu belajar di sini,
tentulah karena mengetahui kesaktian Su lo-cianpwe," kata Siu-lam.
"Eh, karena kaulah yang selalu bertanya ini itu, sampai aku tak sempat bertanya
padamu. Apakah ayah mengatakan padamu aku berada di sini" Tetapi tentulah beliau tak
menyuruhmu datang ke sini!" seru Hui-ing.
"Mengapa?" Siu-lam heran.
Hui-ing tertawa mengikik. "Mudah saja. Ketika menyerahkan uang emas Soh-in-kimchi,
ayah menandaskan bahwa dia hanya memiliki sebuah saja. Maka aku dipesan wantiwanti
jangan sampai menghilangkan dan harus menyerahkan sendiri pada Su Bo-tun. Coyang-
ping merupakan gunduk karang yang terpisah dari deretan karang-karang lain. Jika
tiada orang yang menyambut, tak mungkin orang mampu datang kemari. Tak membawa
uang emas Soh-in-kim-chi, tak mungkin diterima Su Bo-tun. Su Bo-tun hanya memandang
uang emasnya tidak memandang orang. Tak mungkin ayah memberi Soh-in-kim-chi.
Karena tak punya uang emas itu tak mungkin ayah tega menyuruhmu datang ke Cio-yangping!"
"Hanya berpisah dua tahun saja, kau sudah pintar, adik Ing," Siu-lam tersenyum.
Kemudian ia mengeluarkan Soh-in-im-kim-chi.
"Hai, dari mana kau mendapatkan benda itu" Masakan ayah?""
"Jangan ngawur, adik Ing," sahut Siu-lam, "Benda ini pemberian dari Tio supeh?" tibatiba
Siu-lam teringat lagi akan peristiwa ngeri yang terjadi di dalam rumah tangga
suhunya. Darahnya bergolak keras hampir ia tak dapat menahan air matanya. Buru-buru
ia berbatuk-batuk untuk menutupi perasaannya.
"Pui suheng, sikapmu hari ini benar-benar aneh. Apakah yang sebenarnya telah terjadi
selama ini?" akhirnya Hui-ing mendesak.
"Apanya yang aneh" Ah, janganlah adik Ing banyak curiga. Hanya karena"."
Walaupun Siu-lam seorang pemuda cerdas, tetapi di hadapan sumoaynya yang sejak kecil
menjadi kawan sepermainannya mulutnya terasa berat untuk berbohong.
"Karena apa" Hm, jelas kau tentu menyembunyikan apa-apa terhadapku. Jika tak mau
mengatakan sebenarnya, sudahlah, tak usah kita bertemu lagi!"
Siu-lam makin gelisah. Sampai beberapa saat ia termangu-mangu tak dapat bicara.
Tak tahu ia harus berbuat bagaimana. Tiba-tiba dari belakang terdengar sebuah suara
yang bernada dingin: "Sekarang akan kuberi pelajaran tentang gerak perubahan dari
pelajaran tempo hari."
Kedua suheng dan sumoay itu terkejut. Ketika berpaling ternyata Su Bo-tun sudah
masuk menggendong tangan di punggung. Kedatangannya sama sekali tak terdengar.
Dia orang she Su itu menengadah memandang ke langit kamar. Sama sekali tak
memperdulikan kedua pemuda.
Siu-lam berkata: "Yang penting belajarlah ilmu silat itu sampai paham. Nanti kita bicara
lagi." Ia terus melangkah keluar.
Ketika Siu-lam memberi hormat, Su Bo-tun tak menghiraukan, seolah-olah tak
melihatnya. Angkuh dan congkak benar orang she Su itu.
"Ilmu Chit-sing-tun-hing yang lo-cianpwe berikan padaku itu, dapatkah dipersingkat
waktunya" Jika disekap dalam tempat begini, belum tiga bulan aku tentu sudah mati!"
Hui-ing melengking. Sambil memandang ke langit kamar, Su Bo-tun menyahut tawar: "Tiga bulan tetap tiga
bulan, seharipun tak boleh kurang!"
"Kalau aku tak mau?"
"Aku tak perduli kau mau tak soal," sahut Su Bo-tun, "tetapi aku tetap mengajarkan
sampai selesai. Seumur hidup aku tak suka berhutang budi orang."
Hui-ing makin mendongkol terhadap sikap dan kata-kata Su Bo-tun yang mau menang
sendiri. Tiba-tiba ia lari menerobos keluar seraya berteriak: "Aku tak sudi menerima
pelajaranmu, mau apa?"
Su Bo-tun marah, ia tampar tangan kiri. Pintu kamar tertutup dan serempak Hui-ing
rasakan dilibat oleh suatu tenaga tarik yang menyedot tubuhnya. Ia terkejut.
Su Bo-tun tertawa dingin. "Perhatikan baik-baik, sekarang kuajarkan tujuh perubahan
dari ilmu Chit-sing-tun-hing!"
Habis berkata tanpa memperdulikan apakah Hui-ing menurut atau tidak, Su Bo-tun pun
segera berlincahan di antara bekas-bekas telapak kaki dalam lantai ruangan situ.
Karena geramnya, Hui-ing pejamkan mata tak sudi melihat. Tetapi Su Bo-tun pun tak
menghiraukan. Dia tetap bersilat terus".
Sekalipun meram tetapi diam-diam Hui-ing teringat akan pesan ayahnya supaya
menggunakan hak Soh-in-kim-chi untuk belajar Chit-sing-tun-hing. Jika ia menuruti
kemarahan dan tak mampu mempelajari ilmu itu, bukankah ayahbundanya akan berduka"
Tiba-tiba ia membuka mata. Yang nampak di hadapannya hanyalah sesosok bayangan
menyambar kian kemari seperti kilat.
"Huh, berputar-putar seperti orang gila begitu, apanya yang harus kupelajari" Asal
orang memiliki ginkang tinggi tentulah mampu melakukan gerak semacam itu!" dengus
Hui-ing. Tiba-tiba tubuh Su Bo-tun berputar seperti roda dan beberapa kejap kemudian berhenti
seketika. Jilid 02 "SETIAP jurus dari ilmu Chit-sing-tun-hing ini mempunyai tujuh perubahan. Sama
sekali mempunyai empat puluh sembilan jurus perubahan. Tadi yang kuajarkan sudah
empat jurus, berarti dua puluh delapan jurus perubahan. Ketika kau meramkan mata,
maka kau kehilangan empat jurus itu. Mengingat sekarang kaupun sudah menginsyafi
kekeliruan, maka kuperingatkan. Yang kelewat memang tak dapat ditolong lagi, tetapi
masih ada sisa tiga jurus ini, harus kau perhatikan benar-benar. Asal kau dapat
mengingat separoh saja, berarti kedatanganmu kemari takkan sia-sia."


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Caramu memberi pelajaran yang sedemikian cepatnya, siapakah yang dapat
mengikuti, terang kau memang sengaja hendak menyimpan kepandaianmu!" lengking Luiing.
Su Bo-tun tertawa dingin: "Hm, jika tak memandang pada Soh-in-kim-chi tentu sudah
kuremuk kepalamu. Kau yang tak mengerti sendiri, masih menyalahkan orang!"
Hui-ing marah, serunya tak gentar: "Kalau sekali lihat sudah bisa, perlu apa aku
gentayangan datang ke sini?"
Kali ini kata-kata Hui-ing tajam sekali dan beralasan, sehingga Su Bo-tun tercengang.
Ia garuk-garuk kepala berkata seorang diri: "Apakah benar-benar memang caraku
mengajar yang kurang baik?"
"Hm, memang caramu yang kurang baik, mengapa aku yang dipersalahkan tak becus
belajar?" gerutu Hui-ing.
Su Bo-tun mendengus: "Hm, tak peduli caraku mengajar salah atau tidak. Tetapi
salahmu sendiri kalau kau tak dapat mengikuti pelajaranku. Pokoknya aku tidak
menyembunyikan ilmu itu. Nah, tiga jurus kali tujuh gerak perubahan itu akan kulakukan
dengan perlahan. Kalau kau masih tak mampu menirukan, jangan banyak cerewet!"
Tiba-tiba Su Bo-tun berteriak: "Hai, apa yang kau lihat!"
"Lihat tubuhmu yang berputar-putar seperti roda. Mataku kabur, tak mungkin dapat
kuikuti gerakanmu!" sahut Hui-ing.
"Ho, makanya kau tak mengerti. Dalam bertempur, kalau lawan sampai dapat
mengetahui gerakan tubuh kita, itu berarti bukan ilmu kepandaian!"
Hui-ing terkesiap. Diam-diam ia mengakui kebenaran kata-kata Su Bo-tun. "Lalu apa
yang harus aku perhatikan?" serunya.
Seumur hidup belum pernah aku melihat seorang budak perempuan setolol kau. Lebih
dulu telah kuatur letak dari ketujuh jurus itu dan setiap jurus telah kubekasi dengan
telapak kaki. Sudah tentu kau harus perhatikan gerak perpindahan kakiku!" seru So Botun.
Tanpa menunggu jawaban Hui-ing, Su Bo-tun terus saja mulai bergerak lagi.
Kali ini benar-benar Hui-ing tak mau mengabaikan. Seluruh perhatian ditumpahkan
untuk mengikuti gerak langkah Su Bo-tun. Dan gerak langkah tokoh aneh itupun jauh
lebih perlahan dari yang semula. Setiap gerakan, dapat dilihat dengan tegas. Setiap
langkah dan gerakan tubuh selalu berlainan. Setelah dua puluh satu kali melakukan gerak
perubahan, tiba-tiba Su Bo-tun berhenti.
"Empat puluh sembilan perubahan dari ketujuh jurus Chit-sing-tun-hing telah kuajarkan
selesai. Kau dapat mempelajari sampai berapa bagian, itu terserah padamu. Kuberi
waktu tiga hari untuk berlatih. Tiga hari kemudian aku akan mulai mengajari lagi ilmu
untuk melawan ketujuh jurus itu!" kata Su Bo-tun seraya terus melangkah keluar. Sama
sekali ia tak mau memandang Hui-ing.
Dari kedua orang tuanya, Hui-ing sudah mendapat latihan dasar yang kokoh.
Walaupun sifat-sifatnya sering menghambat sehingga ia belum dapat menghirup seluruh
kepandaian ayah-bundanya, tetapi kepandaian yang telah dimiliki, telah mencapai
tingkatan yang dapat digolongkan sejajar dengan jago silat kelas satu.
Selama memperhatikan gerak langkah Su Bo-tun tadi, diam-diam Hui-ing memberi
penilaian tinggi. Ilmu silat Su Bo-tun itu memang bukan sembarangan. Diam-diam ia
menyesal mengapa tadi ia tidak menaruh perhatian semestinya sehingga menghilangkan
beberapa jurus yang penting.
Tetapi Hui-ing seorang dara yang berhati tinggi. Walaupun begitu tetapi tak mau minta
pad Su Bo-tun agar mengulang pelajarannya lagi. Pikirnya itu percuma, toh tentu ditolak!
Setelah beberapa lama termenung tiba-tiba ia terbelalak: "Mengapa aku termenung
seperti patung?" Segera ia mulai melakukan gerak langkah seperti yang diajarkan Su Botun
tadi. Tetapi apa yang dilihat dan diingatnya ternyata tak semudah seperti waktu
dipraktekkan ia dapatkan setiap gerakan sukar sekali. Kalau bukan salah langkah tentu
posisi tubuhnya yang tak mirip dengan yang diajarkan Su Bo-tun.
Dara itu penasaran. Dua tiga puluh kali ia mengulang gerakannya. Tetapi ia merasa
tetap tak menyerupai gerakan Su Bo-tun. Kini baru ia menyadari sampai di mana
kehebatan ilmu Chit-sing-tun-heng itu. Benar-benar sebuah ilmu silat yang luar biasa
indah dan saktinya. Selama diasuh oleh ayahbundanya, Hui-ing selalu menonjol kecerdasannya. Tak peduli
ilmu pukulan apa saja sekali belajar tentu berhasil. Dia maju pesat sekli dalam pelajaran
ilmu silat. Tetapi apa yang ia hadapi saat itu benar-benar membuatnya penasaran sekali.
Tak pernah selama ini ia merasa setolol seperti saat itu. Srtiap langkah dan gerak yang
dilakukan, selalu tak sesuai dengan ajaran Su Bo-tun. Dan karena makin penasaran,
gerakannyapun makin kacau, makin salah.
Akhirnya karena kesal hati, ia duduk beristirahat. Sekalipun begitu tak pernah
pikirannya berhenti untuk merenungi ajaran Su Bo-tun tadi. Tetapi hasilnya setali tiga
uang. Bagaimana dipikir dan merenungkan, tetapi ia menemui jalan buntu. Akhirnya
karena marah dan penasaran, menangislah ia tergugu-gugu.
Setelah beberapa saat menangis, hawa penasaran dalam hatinya agak turun, pikirannya
pun mulai tenang. Segera ia pejamkan mata duduk bersemedhi.
Setelah ketenangannya kembali, barulah ia berbangkit lagi dan mulai melakukan
latihan. Hasilnya, ia berhasil melakukan dua buah gerakan yang benar. Tetapi langkahlangkah
selanjutnya, lagi-lagi menjadi kacau balau. Buru-buru ia berhenti dan duduk
menyalurkan napas lagi. Setelah hatinya tenang, ia baru mulai berlatih lagi.
Hui-ing benar-benar telah mengerahkan segenap perhatian dan semangatnya untuk
menembus kemacetan. Sedemikian asyik masyuk dara itu mempelajari ilmu Chit-sing-tunheng
sehingga sudah dua kali Siu-lam masuk ke dalam goa, ia tak tahu sama sekali.
Karena tak mau mengganggu sumoaynya, terpaksa Siu-lam keluar lagi. Setelah
memberi pelajaran, Su Bo-tun segera masuk ke dalam pondoknya. Kim-po pun sibuk
seorang diri, entah apa dikerjakannya. Walaupun sudah kenal dengan Siu-lam tetapi
pemuda bermuka hitam itu tak mau menegur tetamunya. Terpaksa Siu-lam mondarmandir
seorang diri. Baru setelah hampir malam, Kim-po keluar dari pondok dan
menghampirinya: "Telah kusediakan tempat beristirahat untukmu, silahkan ikut!" katanya.
Kim-po membawa tetamu masuk ke dalam pondok. Ia diberi sebuah bilik: "Itulah bilik
untuk saudara. Sedikit hidangan telah kusediakan juga di situ," katanya seraya terus
tinggalkan tetamunya. Karena lapar, Siu-lam menyantap juga bubur dan dua macam masakan sayur.
Kemudian ia berbaring di atas tumpukan rumput. Ia bergulak-gulik tak dapat meramkan
mata. Pikirannya melayang-layang. Membayangkan nasibnya yang diderita keluarga
gurunya dan betapa reaksi Hui-ing apabila nanti mengetahui tentang berita duka itu. Ia
menutup renungan seram itu dengan helaan sebuah napas".
Tiba-tiba terdengar sebuah suitan panjang yang mengaum di angkasa. Siu-lam
menyambar pedang dan lari keluar menuju ke deretan tiang karang yang menjadi jalan ke
karang Co-yang-ping. Sesosok bayangan hitam tengah berloncatan dari tiang karang yang satu ke tiang
karang yang lain. Dalam sekejap saja, orang itu pun sudah tiba di tiang karang yang
terakhir. Siu-lam dan orang itu hanya terpisah tiga tombak jauhnya. Betapa kejut Siu-lam ketika
melihat siapa orang itu. "Tio supek, wanpwe sengaja menyambut kedatangan supek!"
"Hiantit, lekas bantu aku melintasi jurang ini!" sahut Tio It-ping dengan nada yang
lemah. Siu-lam terkejut. Cepat ia membuka baju luar lalu dirobek-robek dan disambungsambung
lalu dilontarkan kea rah Tio It-ping. Ah! Sambungan mantel itu tak cukup
panjangnya. Kurang dua tombak.
"Tunggu dulu, supeh! Akan kucari tali!" seru Siu-lam.
"Jangan, tak perlu!" tiba-tiba Tio It-ping berseru: "Aku tak sanggup menahan lukaku.
Jangan buang waktu, lekas lemparkan sambungan kain itu sekali lagi!"
Siu-lam makin kaget. Jelas kalau supehnya itu menderita luka parah. Ia bingung.
Untuk mencari tali, mungkin terlambat. Tetapi jika melontarkan sambungan kain, juga
besar bahayanya. Apabila supehnya tak kuat, tentu akan melayang jatuh ke dalam
jurang. Tetapi apa boleh buat. Dicobanya sekali lagi untuk melontarkan sambungan kain
mantel itu. Pada saat ujung sambungan mantel melayang, Tio It-pingpun enjot tubuhnya melayang
dan menyambar ujung sambungan mantel. Siu-lam kerahkan seluruh tenaganya untuk
menariknya ke atas lalu dipeluknya. Dengan hati-hati diletakkannya tubuh Tio It-ping di
atas karang. "Apakah supeh menderita luka berat?" tanyanya cemas.
Tio It-ping menghela napas dan menganggukkan kepala: "Lukaku.. parah" huak?"
tiba-tiba ia muntah darah. Lalu meramkan mata.
Siu-lam bingung sekali. Hendak dipondongnya sang supeh ke dalam pondok dan minta
Su Bo-tun menolongnya. Tetapi ketika berpaling tahu-tahu Su Bo-tun sudah berdiri tak
jauh di belakangnya. "Su locianpwe, inilah"."
"Tak usah bilang, dia bernama Tio It-ping. Tigapuluh tahun yang lalu sudah kenal aku.
Tak perlu kau perkenalkan lagi," sahut Su Bo-tun dingin.
Siu-lam mendongkol sekali. Terhadap seorang kenalan, Su Bo-tun tetap bersikap
dingin. "Supehku menderita luka parah. Demi memendam persahabatan lama, sukalah locianpwe
menolongnya," terpaksa Siu-lam meminta.
"Jika kau gunakan Soh-in-kim-chi meminta, tentu akan kuberinya pertolongan. Tetapi
jika tak mau menukar dengan uang emas itu, akupun tak punya kewajiban menolongnya,"
sahut Su Bo-tun. "Menolong orang jauh lebih mulia dari mengadakan sesaji sembahyangan. Apalagi
locianpwe kenal dengan supehku. Menolong jiwa orang bukan seperti orang berolokolok!"
seru Siu-lam. "Siapa berolok-olok denganmu!" bentak Su Bo-tun, "Apa yang kukatakan semua nyata."
Siu-lam tertawa dingin: "Locianpwe benar-benar seorang berhati dingin. Baru malam
ini mataku terbuka dan dapat melihat seorang manusia luar biasa!"
"Barang siapa pernah menolong aku tentu kuberinya sebuah uang emas. Pertanda aku
berhutang budi padanya. Tetapi yang tak pernah menolong aku, aku tak peduli karena
tak merasa berhutang apa-apa. Tio It-ping pernah aku beri sebuah uang emas itu. Jika
dia mau menyerahkan lagi, tentu akan kubantunya!"
Serentak Siu-lam merogoh uang Soh-in-kim-chi dari bajunya. Tetapi ketika hendak
diserahkan pada Su Bo-tun, sekonyong-konyong Tio It-ping membuka mata dan
memandangnya beringas. Siu-lam buru-buru masukkan lagi uang itu ke bajunya.
"Apakah keponakanku Hui-ing berada di Coh-yang-ping sini?" tanya Tio It-ping.
Siu-lam mengiakan. Dia menerangkan bahwa gadis itu membawa uang emas Soh-inkim-
chi untuk ditukarkan dengan ilmu silat Chit-sing-tun-hing kepada Su Bo-tun.
Su Bo-tun diam saja. Hanya matanya memandang tawar kepada Siu-lam. Sebaliknya
Tio It-ping tertawa tergelak. "Bagus, bagus, kalau begitu uang emas yang kau bawa itu
boleh kau tukarkan dengan ilmu silat Hok-hou-pat-ciang?" tiba-tiba ia berhenti berkata.
Luka dalam yang diderita membengkah. Dada serasa pecah. Buru-buru Siu-lam
mencegahnya supaya jangan memikirkan ia (Siu-lam). Untung emas itu lebih baik
ditukarkan dengan obat. "Bagus, memang sudah selayaknya tukar-menukar itu. Bukan aku bermulut besar.
Tetapi lukanya yang sepele itu, sekali kuobati tentu sembuh!"
"Jangan! Jangan!" serentak Tio It-ping berseru. "Ilmu silat Chit-sing-tun-sing dan Hokhou-
pat-ciang itu adalah ilmu simpanannya yang paling istimewa. Jika kalian berdua
masing-masing dapat memperolehnya, cukuplah berharga untuk ditukar dengan jiwaku!"
"Hm, memang ilmu silat Chit-sing-tun-sing dan Hok-hou-pat-ciang itu tiada taranya di
dunia persilatan, tetapi jangan harap orang dapat mempelajarinya dengan sempurna
dalam waktu empat-lima bulan. Sekalipun kuberikan tetapi belum tentu kalian mampu
menerimanya seluruhnya. Apakah kau tak lebih sayang pada jiwamu sendiri?"
"Sekalipun mati, aku tetap tak sudi minta pertolonganmu dengan uang Soh-in-kim-chi
ini. Apalagi aku belum pasti mati!" Tio It-ping mendengus.
"Supeh, sakit hati kedua guruku hanya mengandal tenaga supeh. Jika supeh sampai
kena apa-apa, sakit hati itu tentu sukar terhimpas. Apalagi ilmu silat Hok-hou-pat-ciang
belum tentu yang paling sakti di dunia persilatan. Lebih baik aku tak mempelajarinya
sajalah!" seru Siu-lam.
Tio It-ping anggap ucapan anak muda itu memang beralasan. Jika ia sampai mati,
sukarlah bagi kedua anak muda itu untuk menuntut balas.
Melihat supehnya berdiam, tahulah Siu-lam bahwa sang supeh menyetujui. Segera ia
merogoh uang emas Soh-in-kim-chi untuk diserahkan pada Su Bo-tun. Sekonyongkonyong
terdengar kesiur angin menderu tajam di udara dan segulung sinar bianglala
menyambar ke arah Tio It-ping.
Su Bo-tun pun loncat mundur beberapa langkah. Siu-lam cepat-cepat memeluk
supehnya dan menggelundung ke samping. Tangan kanannya menangkis pedang.
Tring" pedang terpental ke udara dan tangan Siu-lampun kesemutan. Siu-lam mencabut
pedangnya lagi dan timpukkan kepada penyerangan gelap itu. Dan dengan sebuah gerak
loncatan, ia melenting ke samping Su Bo-tun serta menyerahkan uang kepadanya: "Inilah
uangmu Soh-in-kim-chi!"
Begitu menyambuti uang emas, Su Bo-tun pun segera melesat ke hadapan Siu-lam dan
membentak: "Hm, siapakah yang tengah malam berani mengacau di tempatku ini!"
Cepat sekali muncul tiga orang berloncatan dari satu ke lain tiang jembatan. Dan tahutahu
muncullah seorang lelaki kurus berumur empatpuluh tahun tangan mencekal
sebatang golok Kui-than-to. Di belakangnya mengiring dua orang lagi yang bertubuh
kekar. Masing-masing membawa golok.
"Hm, masih ada beberapa kawan lagi?" tegur Su Bo-tun sedingin es.
Ketiga orang itu bertubuh pendek-pendek. Salah seorang segera menyahut: "Hanya
kami bertiga saudara. Apakah terlalu banyak!"
Su Bo-tun menyeringai: "Tidak! Apa maksud kalian ke sini?"
Orang pendek ketiga melengking: "Lo-toa, kata-kata orang banci ini menusuk telinga.
Bunuh saja sekali!" "Lo-sam, jangan ngaco!" bentak si pendek yang dipanggil Lo-toa atau kakak pertama.
Kemudian ia memberi hormat kepada Su Bo-tun: "Karena hendak memburu seorang
musuh, kami telah kesalahan masuk di tempat saudara. Jika saudara tak ikut campur,
begitu orang itu telah kubunuh kamipun segera meninggalkan tempat ini!"
"Selama orang tak menyalahi aku, akupun tak mau menyalahi orang," jawab Su Bo-tun.
"Siapakah yang kalian hendak bunuh itu?"
"Dia!" seru si pendek seraya menuding kepada Tio It-ping.
Su Bo-tun menimang-nimang uang emas Soh-in-kim-chi di tangannya, serunya:
"Terserah, aku takkan ikut campur. Tetapi harap tunggu setelah kuobati lukanya sampai
sembuh. Dan karena kalian berani datang ke sini tanpa izin, sebagai hukuman kalian
harus memotong sebuah jari kalian sendiri. Tiga hari kemudian, tunggulah di tiang batu
jembatan. Terserah kalian dapat membunuhnya atau tidak!"
Enak saja ia mengucapkan kata-katanya. Seolah-olah yakin orang tunduk pada
perintahnya. Si pendek yang paling tua, tiba-tiba menengadah tertawa gelak-gelak: "Kami Beng-gaksam-
liau, belum pernah bertemu dengan orang yang berani bicara begitu sinis?"
"Apa itu Beng-gak-sam-liau atau Beng-gak-liok-liau!" tukas Su Bo-tun, "Aku tak suka
banyak omong, kalian dengar atau tidak?"
Seorang pendek pertama yang menyebut dirinya sebagai Beng-gak-sam-liau (Tiga
Setan Gunung Beng-gak), berpaling kepada kedua kawannya dan tertawa: "Tua Bangka ini
besar sekali mulutnya. Lo-sam, berilah ajaran padanya!"
Si pendek yang dipanggil Lo-sam (adik ketiga), melesat ke hadapan Su Bo-tun dan
tanpa berkata apa-apa terus memukul dadanya. Tetapi Su Bo-tun menyurut mundur.
Enak saja tampaknya ia menghindari ke belakang itu tetapi bagi ketiga Beng-gak-sam-liau,
gerak penghindaran itu benar-benar mengejutkan.
Tiba-tiba Su Bo-tun berputar-putar seperti sebuah roda dan tahu-tahu sudah berada di
belakang si pendek. Dengan sebuah gerakan yang sukar diikuti mata, orang she Su itu
sudah mencabut pedang yang terselip di punggung si pendek. Wut" tring! Begitu Su Botun
menabas, secepat itu juga si pendek sudah menyambutnya dengan kelingking tangan
kiri. Pedangpun terpental.
Siu-lam leletkan lidah. Kecepatan dan kelihayan kedua orang itu bergerak, benar-benar
baru pertama kali ini ia saksikan. Diam-diam ia merasa kecil. Kepandaian yang dimilikinya
sekarang ini masih jauh sekali dengan mereka".
Pertempuran makin berlangsung seru. Si orang pendek loncat ke udara, sambil
memutar goloknya dalam jurus Awan-menutup-rembulan, ia menyerang kepala Su Bo-tun.
Su Bo-tun tertawa dingin. Berputar-putar menyelinap dari curahan golok, ia menyerang
seorang pendek lainnya. Si pendek nomor tiga yang melayang ke udara tadi, karena serangannya luput,
meluncur menyerang ke arah Tio It-ping.
Siu-lam terkejut. Dia tak punya senjata lagi. Untuk melarikan supehnya, ia merasa
kalah tinggi ilmu ginkangnya dengan musuh. Untung dalam saat-saat berbahaya itu,
dengan sebuah gerakan yang luar biasa cepatnya, Su Bo-tun sudah melesat di dekat Siulam.
Tring". terdengar benturan suara tajam. Si pendek Lo-sam jungkir balik di udara
dan meluncur ke belakang. Tetapi Su Bo-tun sendiripun tersurut mundur selangkah".
Sejak muncul di dunia persilatan, baru pertama kali ketiga Setan Pendek dari Gunung
Beng-gak ketemu batunya. Mereka tercengang-cengang memandang Su Bo-tun.
"Apa yang kukatakan tentu kulaksanakan!" seru Su Bo-tun. "Lekas potong jarimu dan
segera enyah dari Coh-yang-ping sini. Tiga hari kemudian tunggulah orang buronanmu itu
di tiang jembatan. Jika masih banyak bicara, jangan harap kalian bisa keluar dari Cohyang-
ping sini!" Si pendek Lo-toa memandang ke arah Lo-sam yang ternyata telah kehilangan sebuah
jarinya, tegurnya: "Bagaimana lukamu?"
"Jangan kuatir, toako," sahut Lo-sam dengan menggigit bibir, "Sekalipun lenganku
putus, aku tak takut."
"Hm," Lo-toa mendengus, kemudian berpaling menghadap ke arah Su Bo-tun: "Sejak
keluar ke dunia persilatan baru pertama kali ini kami Beng-gak-sam-liau menderita
kerugian. Dengan dapat mengutungi sebuah jari saudaraku, kepandaianmu tentu lebih
tinggi dari kami bertiga. Tetapi"."
"Jika tak terima, silahkan kalian maju bertiga. Aku bersedia mengalah sampai sepuluh
jurus"." tukas Su Bo-tun.


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau dalam sepuluh jurus kami tak mampu melukaimu, kami bersedia memotong jari
dan tinggalkan tempat ini!" tukar Lo-toa.
"Hm, kalau tidak terpaksa hendak menyelesaikan hutang budi, masakan aku sudi
memberi kemurahan padamu. Ayo, majulah!" seru Su Bo-tun. Ia lemparkan golok kepada
si Lo-sam, serunya: "Akan kuberimu kemurahan lebih banyak lagi. Sepuluh pukulan boleh
kalian ganti dengan serangan golok!"
Kata-kata garang dari orang she Su itu benar-benar mengejutkan sekalian orang.
Bukan saja ketiga jago kate itu murka pun Siu-lam dan Tio It-ping kaget.
Lo-sam memungut golok yang dilempar Su Bo-tun lalu loncat menerjang lawan. Lo-toa
dan Lo-ji pun segera ikut menyerang. Ketiga tokoh-tokoh kate dari gunung Beng-gak itu
menyerang hebat. Su Bo-tun dilanda hujan golok yang deras.
Tapi sesuai dengan ucapannya yang garang Su Bo-tun dapat menghindari dengan
gerakan yang luar biasa indahnya. Dalam beberapa detik saja, sepuluh jurus telah selesai.
"Berhenti!" tiba-tiba Lo-toa berseru. Serentak hujan golokpun berhenti. Lo-toa
memandang kepada kedua saudaranya. Tiba-tiba ia memotong jari kelingkingnya sendiri
lalu lemparkan goloknya ke dalam jurang. Dipungutnya jari kelingking yang jatuh di tanah
itu lalu ditelannya. Lo-ji dan Lo-sam terkesiap. Tapi mereka pun mengikuti perbuatan kakaknya. Setelah
masing-masing memotong jari kelingkingnya, ketiga jago pendek itu segera lari tinggalkan
Coh-yang-ping. Setelah ketiga orang kate itu lenyap, Su Bo-tun segera perintah Siu-lam membawa Tio
It-ping ke dalam gubuk. Dengan membawa sebatang lilin dan sebuah peti obat, Su Bo-tun menghampiri ke
pembaringan. Sejenak memandang Tio It-ping ia memberi perintah: "Duduk dan salurkan
napasmu. Pertama hendak kutusuki tubuhmu dengan jarum, lalu kusaluri tenaga dalamku
dan akhirnya minumlah pil buatanku. Dalam tiga hari, kemungkinan tentu kau sembuh!"
"Jangan kuatir, sembuh atau belum dalam tiga hari aku tentu pergi dari sini," sahut Tio
It-ping. "Tidak!" bentak Su Bo-tun. "Aku tidak sudi hutang budi orang. Selama lukamu belum
sembuh tak kuijinkan kau keluar dari Coh-yang-ping ini."
Tio It-ping tertawa hambar. Tak mau ia banyak bicara dengan manusia aneh itu lagi.
Segera ia duduk pejamkan mata dan salurkan napas. Su Bo-tun pun cepat bekerja. Ia
mengeluarkan dua bilah jarum emas. Pertama kali ia tusuk dada Tio It-ping dengan
sebilah jarum, lalu yang sebilah lagi ditusukkan ke samping dada.
Sepenanak nasi lamanya, barulah Su Bo-tun mencabut jarumnya, kemudian ia duduk di
belakang Tio It-ping dan menempelkan telapak tangannya ke punggungnya Tio It-ping.
Seketika Tio It-ping rasakan tubuhnya dibanjiri hawa hangat. Ketika ia menyalurkan
napas, ternyata jauh lebih enak dan longgar dari tadi. Diam-diam ia memuji kepandaian
orang she Su itu. Selesai menyaluri tenaga dalam, Su Bo-tun lalu memberikan sebuah pil hitam kepada
Tio It-ping. "Sekalipun bukan pil dewa, tetapi pil Kiu-coan-hwat-hiat-tan ini telah
menggunakan waktuku sepuluh tahun untuk membuatnya. Tiap satu sejam, makanlah
sebutir. Jika besok lukamu tak mengalami perubahan apa-apa, dalam tiga hari kau tentu
sembuh!" Su Bo-tun meletakkan lima butir pil lalu ngeloyor pergi.
Siu-lam menunggu dengan sabar di dekat supehnya. Entah berapa lama kemudian,
tiba-tiba Tio It-ping membuka mata dan berseru: "Orang she Su itu benar-benar manusia
aneh. Dia hanya memperbolehkan kita tinggal di sini selama tiga hari. Dalam dua hari ini
kau harus berusaha tinggalkan tempat ini."
Siu-lam terkejut. "Tetapi luka supeh masih belum sembuh, aku"."
"Jangan kuatir, aku tentu sembuh dalam tiga hari," kata Tio It-ping, "Yang penting ialah
cara bagaimana kau dapat melintasi jembatan batu itu. Walaupun Beng-gak-sam-liu telah
dihalau Su Bo-tun, tetapi mereka tentu masih sembunyi di jembatan batu. Jelas kau
bukan tandingan mereka. Sukar bagimu dapat melintasi jembatan itu."
Siu-lam menghibur supehnya supaya jangan banyak pikiran. Yang penting supaya
supehnya itu lekas sembuh.
Tio It-ping kerutkan dahi: "Kecuali kita mempunyai sebiji uang emas Soh-in-kim-chi lagi
untuk minta Su Bo-tun melindungi kau keluar dari Coh-yang-ping, rasanya tiada jalan
lagi." Walaupun belum lama keluar ke dunia persilatan, namun nama Beng-gak-sam-liu itu
belum pernah kudengar. Apakah mereka tergolong tokoh-tokoh ternama?" seru Siu-lam.
Tio It-ping menghela napas: "Walaupun tidak semua tokoh-tokoh Kanglam kukenal,
tetapi sebagai hasil dari persilatan selama berpuluh tahun ini, banyaklah tokoh-tokoh
persilatan yang kuketahui. Tetapi siapa ketiga jago kate itu dan di mana letak gunung
Beng-gak, aku benar-benar tak tahu. Belum lagi aku berhasil menyelidiki musuh-musuh
gurumu, aku malah menderita luka berat."
Siu-lam menyatakan bahwa supehnya itu telah berusaha sekuat tenaga untuk mencari
musuh gurunya. "Hm, meskipun belum mengetahui siapa pembunuhnya tetapi sedikit banyak aku sudah
dapat menduga sebab-sebab pembunuhan itu. Asal kutemukan letak Beng-gak, tentu
mudahlah mencari musuh itu. Peristiwa pembunuhan kedua gurumu itu memang bukan
pembunuhan biasa?" Tio It-ping berhenti sejenak, "Mungkin, mungkin pada sumoaymu
kau dapat memperoleh jejak si pembunuh."
"Biarlah kutanyakan padanya"!" buru-buru Siu-lam berseru. Tetapi Tio It-ping
gelengkan kepala. "Gurumu itu seorang yang berhati-hati. Segala apa tentu telah direncanakan dengan
cermat. Tetapi sumoaymu itu seorang dara yang kekanak-kanakan. Jika dugaanku tak
keliru, sumoaymu itu tentu membawa benda yang luar biasa pentingnya. Sekali benda itu
diketahui orang, jiwanya tentu terancam maut." Tio It-ping berhenti sejenak, lalu katanya
pula: "Yang penting sekarang ini ialah: kesatu, kau harus menanyakan benda yang dibawa
sumoaymu itu. Kedua, mencari akal supaya lolos dari pencegatan Beng-gak-sam-liau.
Aku merasa salah lari kesini. Syukur mereka belum mengetahui bahwa benda yang
mereka kejar-kejar itu ternyata berada di Coh-yang-ping sini. Aku kuatir?"
"Harap supeh beristirahat dulu, aku hendak mencari sumoay," kata Siu-lam seraya
tinggalkan pondok. Ternyata di dalam ruang guha batu, Ciu Hui-ing sedang asyik berlatih diri. Sedemikian
asyiknya sehingga ia tak tahu kalau Siu-lam datang. Siu-lam pun tak mau mengganggu
sumoaynya. Ia berdiri di ambang pintu.
Sepeminum teh lamanya, Hui-ing berhenti dan duduk di tanah, mendekap muka dan
menangis. Siu-lam haru melihat tingkah laku sumoaynya yang aneh itu.
Puas menangis dara itupun duduk bersila menyalurkan napas. Siu-lam tak mau
mengganggunya. Diam-diam ia menghela napas. Sumoaynya itu seorang gadis remaja.
Kini tentu tersinggung di bawah perintah seorang guru bengis seperti Su Bo-tun.
Beberapa lama kemudian Hui-ing membuka mata. Ketika melihat suhengnya berdiri
menunggu di pintu, ia bangkit dan tertawa. "Eh, mengapa suheng tak mau
membangunkan aku?" Siu-lam mengatakan bahwa ia tak mau mengganggu sang sumoay yang tengah
meyakinkan ilmu tenaga dalam.
"Eh, apakah sudah terang tanah?" Hui-ing berseru agak kaget. Ternyata ia telah
mempelajari ilmu Chit-sing-tun-heng semalam suntuk.
"Sumoay, kau benar-benar giat belajar!"
Hui-ing mengomel panjang pendek tentang sukarnya pelajaran dari Su Bo-tun. Siu-lam
menghiburnya dan menganjurkan supaya dara itu terus berlatih dengan giat. Makin sukar
ilmu silat itu, tentu makin luar biasa saktinya.
"Suheng, mana uang emas Soh-in-kim-chi itu?" tiba-tiba Hui-ing bertanya.
"Sudah kuberikan kepada Su Bo-tun," jawab Siu-lam. Kemudian ia menanyakan apakah
pesan ayah bunda Hui-ing tatkala menyuruh dara itu ke Coh-yang-ping.
"Setelah selesai belajar pada Su Bo-tun, ayah suruh aku segera ke gunung Ki-he-nia di
tepi telaga Se-ou untuk mencari si Tukang Pancing Lim Cing-siu. Ayah dan ibu menunggu
di sana!" Hampir Siu-lam mengucurkan air mata. Buru-buru ia alihkan pembicaraan: "Mengingat
sumoay belum pernah mengembara keluar, tentulah waktu berangkat suhu memberi bekal
apa-apa kepadamu, bukan?"
Hui-ing tertawa mengikik: "Benar, memang memberi bekal. Tetapi entah benda apa
itu, sebuah bungkusan kecil dari kain kuning kusam!"
"Bolehkah aku melihatnya?"
Hui-ing gelengkan kepala: "Tidak! Ayah pesan wanti-wanti tak boleh membukanya dan
harus diserahkan pada Tukang Pancing Lim Ching-siu itu. Aku sendiripun tak boleh
membukanya, apalagi kau!"
Siu-lam kerutkan dahi. "Tak boleh membuka tak apa, tetapi masakan melihat
bungkusannya saja tak boleh?"
Melihat suhengnya kecewa, Hui-ing terpaksa mengeluarkan sebuah bungkusan kecil
dan diserahkan pada Siu-lam. "Nih, apanya yang menarik dengan bungkusan kain kusam
ini!" Setelah memeriksa sejenak, berkatalah Siu-lam: "Eh, entah bagaimana aku benar-benar
tertarik sekali untuk melihat isi bungkusan ini. Apakah sumoay mengijinkan?"
"Tidak!" Hui-ing menggeleng. "Jika ayah tahu dia tentu marah sekali kepadaku"."
Diam-diam Siu-lam kagum atas sikap Hui-ing. Biasanya dara itu bersifat kekanakkanakan
tetapi ternyata dalam melaksanakan pesan, ia bersikap serius.
"Bagus, kali ini kau benar-benar bersikap seperti orang dewasa, sumoay," katanya
tertawa. Hui-ing memasukkan lipatan kain kuning itu ke dalam bajunya lagi. "Jangan coba-coba
memancing aku, jangan harap aku mau membuka bungkusan ini!"
Siu-lam segera pamit dan suruh Hui-ing beristirahat, agar dapat berlatih terus.
"Ingat, kalau ketemu si tua Bangka Su itu jangan lupa tanyakan padanya apakah kau
boleh tinggal di sini selama tiga bulan sampai pelajaranku selesai!" Hui-ing memberi
pesan. Siu-lam tertawa dan terus melangkah keluar ke tempat supehnya lagi. Keadaan Tio Itping
jauh lebih baik. "Apakah yang kau peroleh dari sumoaymu?" tegurnya dengan tersenyum.
"Benar seperti yang diduga supeh. Tetapi entah apa isinya," kata Siu-lam menuturkan.
"Mengapa tidak kau buka?"
"Sumoay berkeras tak mau karena bukan barangnya. Jika kupaksa, dikuatirkan ia
marah." "Kenalkah supeh akan orang yang bernama Lin Ching-siu bergelar Si Tukang Pancing
dari Telaga Se-ou?" "Hai, itulah susiok (paman guru) dari suhumu. Kau memanggil kakek guru?" seru Tio
It-ping. Kemudian katanya pula: "Mungkin benda dalam bungkusan kuning itulah yang
menimbulkan peristiwa pembunuhan kedua gurumu. Ah, betapa cermat suhumu
mengatur rencana toh akhirnya kuketahui juga!"
Siu-lam heran, dan meminta penjelasan:
"Turut dugaanku dan setelah melalui analisa lebih dalam, kemudian terbukti sumoaymu
membawa benda itu, jelas bahwa dugaanku seratus persen benar."
"Ya, ya, memang supeh menduga tepat, tetapi apakah sebenarnya yang berada di
dalam bungkusan kain kuning itu?"
Tio It-ping menghela napas: "Telah aku katakan padamu, berkat bertahun-tahun aku
mengembara, aku kenal dan tahu markas maupun sarang partai-partai persilatan dan
gerombolan-gerombolan penjahat. Tetapi belum pernah selama ini kudengar tentang
tempat yang disebut Beng-gak itu serta ketiga tokoh Beng-gak-sam-liau. Tetapi yang jelas
Beng-gak itu tentulah sebuah tempat misterius"."
Tio It-ping berhenti sejenak, lalu katanya pula: "Dengan munculnya tokoh-tokoh dari
Beng-gak ke dunia persilatan, jelas tentu mempunyai tujuan besar. Yang nyata suhumu
mempunyai simpanan benda-benda pusaka yang mungkin tiada terdapat di dunia lagi.
Oleh karena itu mereka menyerang suhumu?" ia berhenti sejenak. "Yang penting
sekarang ialah cara bagaimana kau dapat lolos dari karang Coh-yang-ping ini!"
"Maksud supeh hendak suruh aku dan sumoay lolos?" tanya Siu-lam.
Tio It-ping mengangguk. "Kakek gurumu Tukang Pancing Lim Ching-siu tidak kalah
kepandaiannya dengan Su Bo-tun. Disuruhnya sumoaymu menyingkir ke Coh-yang-ping
sini adalah hanya siasat. Dari sini ke Ki-he-nia, jaraknya jauh sekali. Sumoaymu belum
pernah mengembara. Jika seorang diri mengadakan perjalanan tentu akan menarik
perhatian dan besar bahayanya"." tiba-tiba Tio It-ping berhenti karena terkerat oleh
teriakan si tolol Seng Kim-po (murid Su Bo-tun): "Hai, siapakah yang berani mati datang
ke Coh-yang-ping itu?"
"Hm, lancang benar mulutmu, akan kupersen dua buah tamparan!" Terdengar sebuah
lengking suara gadis disusul dengan dua buah tamparan ke pipi orang.
Siu-lam cepat melesat keluar dan apa yang disaksikannya, membuat jantungnya
berdebar keras. Di bawah sinar bintang suram tampaklah tubuh si dara baju putih, dara
yang telah merawat jenazah suhu dan subonya tempo hari. Dan di belakangnya tampak
ketiga orang kate Beng-gak-sam-liau tadi.
Si tolol Kim-po rupanya terlongong-longong karena mendapat tamparan. Pada lain
kejap ia gelagapan dan balas menjotos. Tetapi si dara baju putih hanya ganda tertawa
hina. Tanpa menghindar ia angkat tangan kirinya dan menampar. Hek" Kim-po
mendeham dan tersurut mundur tiga langkah. Tangan terkulai ke bawah seperti terkena
tusukan". Habis menampar si tolol Kim-po, si dara baju putih tak mau menyerangnya lagi. Ia
hanya memandang Su Bo-tun yang ternyata juga sudah muncul.
"Mengapa kau tak mau turun tangan" Tunggu apa lagi?" tegur si dara baju putih.
"Ilmumu mengebut jalan darah sudah hampir sempurna. Makanya sekali gerak kau
dapat merubuhkan muridku yang tidak berguna itu," Su Bo-tun.
Siu-lam terkejut melihat kedinginan hati Su Bo-tun. Masakah muridnya dipukul orang
dia tinggal diam saja. Kalau dara baju putih itu menyerang lagi bukankah Kim-po akan
celaka" Si dara baju putih berpaling ke belakang dan bertanya kepada Beng-gak-sam-liau:
"Apakah benar si tua Bangka ini?"
Rupanya Beng-gak-sam-liau jeri dan menghormat sekali kepada dara baju putih itu,
sahut mereka: "Benar!"
Si dara baju putih memandang Su Bo-tun dari kaki sampai ke ujung kepala, serunya
dingin: "Ciu Pwe, putrid dari Ciu lo-enghiong apakah bersembunyi di sarangmu sini?"
Sahut Su Bo-tun: "Selamanya aku tak suka menjawab pertanyaan orang!"
Tiba-tiba si dara mengalihkan pandangannya ke arah Siu-lam yang tegak di muka pintu,
kemudian memandang Su Bo-tun lagi, serunya: "Kunasehati, lebih baik jangan turut
campur urusan ini dan lekas sembunyi!"
"Benar, memang aku tak suka campur urusan orang lain. Tetapi aku tak pernah
melarikan diri!" sahut Su Bo-tun.
Si dara mendengus pelahan lalu menghampiri ke tempat Siu-lam. Siu-lam terkejut. Tio
It-ping baru saja sembuh, jika si dara itu menyerangnya, tentu sang supeh celaka. Segera
dia menghadang di depan pintu: "Mengapa tengah malam begini kau seorang nona
hendak masuk ke kamar orang?"
Sepasang mata si dara berkilat-kilat dan serentak wajahnyapun bengis. Tetapi pada
lain kejap reda pula. Ia berhenti memandang Siu-lam.
Ketika berpandangan mata, Siu-lam pun menggigil. Sinar mata dara itu dingin sekali.
Tiba-tiba si dara ayunkan langkah hendak masuk. Dalam gugupnya Siu-lam lintangkan
tangan kiri ke pintu dan tangan kanan mendorong ke muka dengan jurus Long-jong-kiauyan
atau Ombak Mendampar Karang".
Dalam kegugupan itu Siu-lam telah menyerang dengan sepenuh tenaga. Walaupun tak
dapat mengundurkan si dara namun paling tidak tentu dapat menahannya.
Tetapi hasilnya benar-benar membuat ia terkejut bukan kepalang. Tepat pada saat
tangan Siu-lam bergerak, dara itupun sudah menyelinap ke dalam pondok. Karena
pukulannya luput, tubuh Siu-lam menjorok ke muka. Ia terkejut ketika sesosok tubuh lain
menyelinap ke dalam pondok lagi. Tetapi rasa kejut itu cepat berubah menjadi rasa lega
ketika mengetahui yang masuk itu Su Bo-tun. Rupanya Su Bo-tun menyusul si dara.
Si dara baju putih menghampiri ke tempat Tio It-ping yang tengah bersemedhi.
Sedang Su Bo-tun mengikuti di belakangnya. Jarak Su Bo-tun dengan dara itu dekat
sekali Sekali tutuk, tentu dapat mengenai punggung si dara. Tetapi anehnya dara itu
tenang-tenang saja. Bahkan tak mau ia berpaling ke belakang. Su Bo-tun tak mau
bergerak. Rupanya ia tengah menimang-nimang langkah yang hendak diambil terhadap
dara itu". Sekalipun begitu, tetapi Siu-lam tetap gelisah. Cepat-cepat ia lari ke dalam pondok dan
menghadang di muka supehnya. Lilin besar dalam ruang pondok itu sudah padam hingga
ruang menjadi gelap. Tampak si dara baju putih bergerak melangkah maju perlahanlahan".
"Nak, nyalakanlah lilin," tiba-tiba Tio It-ping memberi perintah kepada Siu-lam.
Siu-lam mengerti maksud supehnya. Dalam pondok itu hanya dia paling lemah
kepandaiannya. Jika si dara sampai turun tangan, tentu dialah yang paling menderita. Ia
segera melakukan perintah supehnya menyalakan lilin. Seketika ruangan terang.
Tio It-ping memandang berganti-ganti pada si dara dan Su Bo-tun kemudian
memejamkan mata lagi. Seolah-olah ia tak mengacuhkan kehadiran si dara dan Su Botun.
Si dara maju ke depan Siu-lam dan ulurkan tangan menyiaknya: "Minggirlah!"
Siu-lam hendak menangkis. Tetapi pada saat ia mengangkat tangan, terasa jalan darah
di lengannya tersambar angin. Celaka, ia tentu terkena totokan atau terpaksa menyingkir.
Ia pilih menyingkir dua langkah ke samping. Berpaling kepala dilihatnya ketiga Beng-gaksam-
liau menjaga di ambang pintu dengan wajah beringas.
Tiba-tiba dara itu berpaling kepada Su Bo-tun, serunya: "Kaukah yang membiarkan dia
tinggal di sini merawat lukanya?"
"Ya!" Dara baju putih itu tertawa dingin. Kemudian ia bertanya kepada Tio It-ping: "Di mana
puteri dari Ciu Pwe?"
Tio It-ping membuka mata perlahan-lahan dan tertawa tawar. "Siapa kau" Mengapa
kau hendak mencari puteri dari Ciu lo-enghiong?"
"Kau mau mengatakan tidak"!" dara baju putih setengah membentak.
Tiba-tiba Tio It-ping pejamkan mata dan tertawa: "Di daerah Kanglam yang begitu luas,
di mana saja orang bebas menyembunyikan diri!"


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si dara angkat tangan kanannya dan berhamburan ketiga Beng-gak-sam-liau loncat ke
dalam ruang seraya tegak berjajar-jajar. Su Bo-tun kerutkan dahi tetapi ia tetap tak
bertindak apa-apa. "Ringkus dulu orang itu!" perintah si dara kepada Beng-gak-sam-liau.
Ketiga orang pendek itu segera hendak bertindak tetapi tiba-tiba Su Bo-tun
membentak: "Berhenti! Tak kubiarkan kalian bertindak semau sendiri di sini!"
"Aku hendak menangkapnya, kau mau apa?" lengking si dara.
"Kau tak percaya ucapanku, coba saja!" Su Bo-tun mulai marah.
"Baik!" si dara menyambut tantangan orang dengan memberi isyarat tangan. Lo-tao,
Beng-gak-sam-liau yang tertua, segera ulurkan tangan mencengkeram dada Tio It-ping.
Tetapi serempak dengan itu, serangkum tenaga dalam yang kuat berhamburan melanda
Lo-toa sehingga jago ke satu dari Beng-gak-sam-liau itu terpental mundur dua langkah.
Si dara mendengus: "Hm, kalian bertiga tak sanggup meringkus seorang yang sudah
terluka!" Ketiga jago pendek itu takut kepada si dara. Setelah saling berpandangan, mereka
menyahut dengan hormat: "Si tua Bangka ini hebat sekali. Jika dia melindungi"."
"Kalau begitu bunuh dulu tua Bangka itu baru tangkap si orang yang terluka!"
Beng-gak-sam-liau terkesiap. Seru mereka: "Jika kami sanggup melawannya tentu tak
berani merepotkan Sam Kounio!"
Dengan tawar si dara berseru: "Tak apalah! Jika kalian sampai mati dibunuhnya, nanti
aku yang membalaskan!"
Seketika berubahlah wajah ketiga jago pendek itu. Namun mereka takut membantah
perintahnya. Lo-toa memandang kepada kedua adiknya: "Karena Sam kounio sudah
memberi perintah, kita matipun tak jadi apa!" ia menutup kata-katanya dengan loncat
menyerang Su Bo-tun. Su Bo-tun seorang manusia yang berhati dingin berwatak eksentrik. Mendengar katakata
si dara, bukan main marahnya: "Ho, kau kira aku tak berani membunuh orangmu?"
Menghindar dari serangan Lo-toa, ia balas memukul.
Ilmu gerak penghindaran memang menjadi keistimewaan dari Su Bo-tun yang
dituangkan dalam ilmu Cit-sing-tun-heng. Dan gerakan balas memukul merupakan
ilmunya yang paling istimewa seperti yang diciptakan dalam ilmu Hok-hou-pat-ciang atau
Delapan Tamparan Macam Mendekam.
Hek" punggung Lo-toa remuk dan didahului oleh semburan darah dari mulut, jago
kesatu dari Beng-gak-sam-liau itupun roboh tak bernyawa.
Menyaksikan pembunuhan yang mengerikan itu, tampaknya si dara acuh tak acuh saja.
Serunya dengan hambar: "Kalian tiga saudara selalu runtang-runtung. Hidup bersama,
matipun seharusnya bersama. Tidakkah bahagia kalau kalian mati bersama di tangan
seseorang?" Kedua jago pendek itu tertawa meringis: "Terima kasih atas nasehat Sam kounio. Kami
akan mati dengan meram!"
"Matilah dengan ikhlas. Jangan kuatir, tentu akan kubalaskan!" sahut si dara.
Tiba-tiba kedua Beng-gak-sam-liau itu tertawa dingin: "Hm, siasat Sam kuonio untuk
melenyapkan orang-orang yang tak kau sukai, memang halus sekali. Tetapi percayalah,
Toa kuonio tentu mendengar juga peristiwa kematian kami di sini."
Kedua Beng-gak-sam-liau itu menutup kata-katanya dengan menyerang Su Bo-tun dari
kanan dan kiri, mengarah jalan darah yang vital.
Su Bo-tun tak berani meremehkan serangan kalap dari kedua orang pendek itu. Cepat
ia berkisar menghindar ke samping lalu berputar-putar dengan gerak ilmu Chit-sing-tunheng.
Serangan luput, kedua Beng-gak-sam-liau itu berputar tubuh lalu menyerang pula
dengan dahsyat. Tetapi ilmu Chit-sing-tun-heng benar-benar luar biasa anehnya. Su Botun
seperti berubah menjadi gulungan sinar yang berputar-putar sukar ditentukan
arahnya. Tanpa disadari kedua Beng-gak-sam-liau itupun ikut dibawa berputar-putar dan
serangan merekapun menjadi kacau balau tak teratur lagi.
Walaupun dalam ilmu kepandaian Lo-toa yang paling tinggi, tetapi Lo-ji terkenal paling
keras dan berangasan wataknya. Tiga empat puluh pukulan telah dilancarkan. Dahsyat
dan gencar. Namun sedikitpun mereka tak mampu menyentuh ujung baju lawan. Mereka
semakin marah, serangannya makin kalap.
Rupanya beberapa saat kemudian Su Bo-tun anggap sudah keliwatan lama temponya.
Ia rubah gerakan-gerakannya menjadi perlahan. Agar musuh dapat mengetahui
gerakannya dan terpancing menyerang. Kedua Beng-gak-sam-liau benar-benar
menyerang dahsyat. Setelah dua jurus, Su Bo-tun menyelak di tengah mereka.
Kedua jago pendek itu sudah menyadari, hari itu mereka pasti mati. Andaikata luput
dari kematian di tangan Su Bo-tun, pun mereka tentu tak dapat lolos dari tangan si dara
yang ganas. Satu-satunya kemungkinan yang masih diharapkan ialah berusaha sekuat
tenaga untuk merobohkan Su Bo-tun. Apabila hal itu berhasil tentulah si dara baju putih
tak punya alasan kuat untuk membunuh mereka.
Kesempatan itu mereka anggap sudah tiba ketika Su Bo-tun mulai lambat gerakannya.
Mereka segera lancarkan serangan sedahsyat-dahsyatnya. Tiba-tiba Su Bo-tun
menggelincir ke samping karena terlalu menggunakan seluruh tenaganya, kedua Benggak-
sam-liau itu menjorok ke muka dan saling berbenturan sendiri. Su Bo-tun ayunkan
kedua tangannya. Punggung kedua jago pendek itu masing-masing menerima sebuah
pukulan. Hanya sekali mereka menjerit lalu terkapar putus jiwanya.
Dingin-dingin saja si dara baju putih memandang ketiga mayat Beng-gak-sam-liau,
serunya kepada Su Bo-tun: "Sekaligus tiga jiwa sudah kau bunuh. Apakah kau merasa
berhak untuk masih hidup?"
"Karena sudah terlanjur membuka pantangan membunuh, membunuh seorang lagi pun
tak apa!" sahut Su Bo-tun.
Si dara menghampiri Tio It-ping dan menegurnya: "Bagaimana lukamu, masih berat
atau tidak?" Tio It-ping merenung. Melihat cara si dara meminjam tangan Su Bo-tun untuk
membunuh ketiga Beng-gak-sam-liau, tampaknya dara itu mempunyai maksud
membantunya. Tetapi ia tak mengerti bagaimana sikap dara itu yang sebenarnya.
"Eh, mengapa kau diam saja!" tegur dara itu pula.
"Kalau sudah baik, kau mau apa" Dan kalau belum, kau hendak bagaimana?" akhirnya
Tio It-ping menjawab. "Jika sudah baik, segeralah kau memilih cara bunuh diri yang kau senangi. Lebih cepat
mati, lebih enak. Jika lukamu belum baik, biarlah kutolong, membebaskan kau dengan
sebuah pukulan, agar kau mati dengan cepat!" seru si dara.
Sebagai seorang persilatan yang berpengalaman, dapatlah samar-samar Tio It-ping
menangkap dara itu. Ujarnya sambil tertawa hambar: "Aku sudah tua, tak ada yang harus
disesalkan kalau mati." Ia berbangkit lalu melangkah.
Tiba-tiba Su Bo-tun melesat ke hadapannya: "Lukamu belum sembuh, jangan bergerak
semaumu"." "Kalau begitu, kau harus mewakilinya mati!" seru si dara.
Su Bo-tun berpaling: "Mungkin tak semudah itu!"
Walaupun si dara dengan Su Bo-tun telah bertengkar kata-kata tajam, tetapi sampai
saat itu mereka belum mau bergerak menyerang lebih dulu.
Tiba-tiba dara itu melengking: "Jiwa kami bertiga ditukar dengan jiwamu, toh aku
masih untung." Belum Su Bo-tun menyahut, tiba-tiba dari luar pintu pondok yang gelap, terdengar
sebuah suara parau berseru: "Sam kounio, siapakah yang berani mati membunuh orang
Beng-gak kita itu?" Siu-lam berpaling. Seorang manusia aneh muncul di ambang pintu. Seorang bertubuh
tinggi kurus, matanya berkilat-kilat memancarkan api, memandang lekat-lekat pada Su Botun.
Dalam pakaian hitam orang itu makin seram tampaknya. Lehernya panjang, mulut
lebar, dan wajahnya pucat lesi. Kedua matanya luar biasa besarnya.
"Kalau tak terima, silahkan coba!" Su Bo-tun tertawa hina.
Manusia aneh itu melangkah ke dalam. Ia terus ulurkan tangan mencengkeram dada
Su Bo-tun. Su Bo-tun balas menampar dada orang itu.
Orang yang kurus tinggi itu ternyata memiliki gerakan yang luar biasa tangkasnya.
Pada saat Su Bo-tun mengangkat tangan, iapun sudah menarik tangannya dan melesat
keluar pondok: "Ayo kita bertempur di luar sini!" tantangnya.
"Seumur hidup aku tak pernah menerima perintah orang. Kalau mau berkelahi,
silahkan masuk!" jawab Su Bo-tun. Dia takut kalau keluar meladeni si manusia aneh, dara
baju putih akan menyerang Tio It-ping.
Karena bertubuh jangkung, orang aneh itu tak leluasa berkelahi di dalam pondok.
Mendengar Su Bo-tun tak mau keluar, marahlah ia: "Hei, akan kubakar pondokmu. Coba
saja, mau keluar tidak?"
Karena suaranya parau, teriakan orang itu benar-benar menyerupai tambur pecah yang
menyakitkan anak telinga.
"Cobalah kalau mau membakar!" dengus Su Bo-tun.
"Mengapa aku takut?" seru orang tinggi itu seraya mengeluarkan korek api. Setelah
menyulut, lalu ia lemparkan ke atas atap pondok.
Tetapi Su Bo-tun sudah siap-siap. Begitu orang itu timpukkan korek api, Su Bo-tun pun
sudah menamparnya. Cepat orang tinggi itu meluruskan tangan kiri untuk menyongsong
tamparan lawan. Terdengar letupan keras dan tubuh Su Bo-tun pun tergoncang dua.
Sedang manusia aneh itu tersurut mundur tiga langkah. Korek apinyapun berhamburan
padam. Kedua manusia aneh itu tertegun. Pada lain saat tiba-tiba orang jangkung itu berputar
tubuh dan sekali melesat sudah berada di bawah serambi. Sekali dua tangannya menarik,
dua buah tiang penglari rumah itu jebol, debu dan atap rumbia berhamburan".
Siu-lam pejamkan mata. Tahu-tahu ia rasakan leher bajunya dicengkeram orang. Ia
hendak berteriak tetapi ia merasa tubuhnya terangkat ke udara. Dan ketika membuka
mata, ia sudah berada di luar pagar tembok dan tubuhnya sedang meluncur turun. Buruburu
ia empos semangat, berjumpalitan di udara lalu meluncur turun.
Cepat sekali otaknya yang cerdas dapat menduga bahwa yang menolongnya itu si dara
baju putih. Dalam hati: "Kalau benar ia maui jiwanya, tak mungkin aku lolos!"
Lebih lanjut Siu-lam menduga, si dara itu tentu bermaksud menolong dan menyuruhnya
melarikan diri, tapi bagaimana dengan supeh yang masih belum sembuh"
Tengah Siu-lam merancang keputusan, tiba-tiba terdengar suara si dara baju putih
melengking: "Kau sudah menderita luka parah. Jika mau membunuhmu sudah mudah.
Tetapi aku tak mau membunuh orang yang tak dapat melawan. Jika kau tak mau lari,
jangan salahkan aku kejam!"
Sahut Tio It-ping: "Jangan bermulut besar dulu. Dalam pertempuran malam ini belum
dapat dipastikan siapa yang kalah!"
Siu-lam terkejut. Ia menanggapi kata-kata Tio It-ping itu sebagai suatu isyarat agar ia
segera lari. Sedang Tio It-ping karena mempunyai Su Bo-tun sebagai pelindung, tentu
tidak berbahaya. Siu-lam anggap anjuran supehnya itu benar. Segera ia lari menuju ke ruang batu
dalam gua. Hui-ing tampak tidur di sudut ruangan. Rupanya dara itu letih berlatih ilmu
Chit-sing-tun-heng hingga tak mendengar ribut-ribut di luar.
Setelah tertegun sejenak, akhirnya Siu-lam menghampiri dan membangunkan
sumoaynya. Hui-ing pun tersenyum: "Apakah sudah terang tanah?" tetapi ia berhenti
karena matanya memandang keluar goa masih gelap.
"Tengah malam begini kau datang kemari apa perlunya?" ia menegur Siu-lam.
"Coh-yang-ping telah kedatangan musuh kuat dan saat ini sedang bertempur dengan
Su lo-cianpwee," kata Siu-lam, "Selain berjumlah banyak pun mereka sakti-sakti."
"Kau hendak suruh aku melihat ramai-ramai itu" Bagus!" teriak Hui-ing girang.
Siu-lam gugup. Buru-buru ia menghadang si dara yang hendak melangkah keluar:
"Jika tak ada urusan penting, masa malam-malam begini datang padamu. Aku hendak
minta kau melarikan diri dari pertempuran itu."
Hui-ing tertawa mengolok: "Kulihat nyalimu kecil sekali, suheng. Kau takut tetapi aku
tidak. Aku harus melihat pertempuran itu."
Kata Siu-lam serius: "Kepandaian Su lo-cianpwee luar biasa saktinya, tetapi toh
kewalahan menghadapi mereka. Lebih baik kita melarikan diri saja!"
Melihat kesungguhan sang suheng, Hui-ingpun hentikan tertawanya: "Benarkah itu?"
"Kapankah aku pernah membohongimu!" kata Siu-lam terus menarik tangan sang
sumoay diajak lari. Siu-lam seorang cermat. Ketika masuk ke karang Coh-yang-ping diam-diam ia
memperhatikan situasi tempat itu. Selain gunduk-gunduk batu yang menjadi penghubung
Coh-yang-ping, rasanya tiada lain jalan lagi. Dia merasa kepandaiannya tidak mampu
loncat sampai tiga tombak jauhnya. Dan andaikata dapat, iapun harus menghadapi orang
Beng-gak yang tentu sembunyi di sekitar tempat itu.
"Sumoay, tahukah kau jalan keluar dari sini kecuali dari jembatan batu itu?" tanyanya.
"Pertama kali datang ke Coh-yang-ping, pemuda bermuka hitam itu memberi
peringatan kepadaku agar jangan blusukan ke sebelah dalam goa. Jika ada apa-apa,
jangan salahkan dia!" kata Hui-ing.
Karena jalan lain tidak ada lagi, Siu-lam memutuskan untuk bersembunyi saja. Setelah
musuh-musuh itu pergi barulah ia tinggalkan Coh-yang-ping. Segera ia balik masuk ke
dalam goa lagi. Ia menyusup sampai dua puluhan tombak jauhnya. Lorong goa
membelok ke kiri, makin sempit. Hanya cukup untuk seorang. Rupanya merupakan ujung
terakhir dari goa. Saat itu tengah malam. Lorong goa makin gelap sekali. Siu-lam suruh Hui-ing
menanti, ia hendak menyusup keluar melihat keadaan. Lorong makin sempit dan naik
turun berbelok-belok sukar dilintasi. Setelah melalui tujuh-delapan tikungan, tiba-tiba
lorong putus terhalang sebuah goa sebesar tahang air, yang menurun ke bawah.
Siu-lam ngeri melihatnya. Kebanyakan goa semacam itu tentu dihuni ular atau
binatang berbisa. Tengah ia meragu, tiba-tiba terdengar Hui-ing tertawa nyaring:
"Mengapa tidak maju terus. Perlu apa terlongong di situ?"
"Ah, jalanan buntu!" Siu-lam menghela napas.
"Kau tidak bisa terus, lebih baik kembali saja," seru Hui-ing.
"Tetapi musuh terlalu kuat, tak mungkin kita dapat lolos!"
"Mundur maju serba sukar, habis bagaimana" Hm, kau bernyali kecil. Tinggallah di
sini, aku yang akan keluar menghadapi orang-orang itu!" Hui-ing terus berputar diri dan
melangkah pergi. "Hai, kembali dulu, Ing-moay!" Siu-lam berteriak gugup, "Di sini sebenarnya ada jalan,
tetapi"." "Tetapi bagaimana!?" seru Hui-ing.
"Di sini terdapat goa sebesar tahang air, kukuatir terdapat ular dan binatang beracun!"
"Oh, biarlah aku yang mempelopori masuk!" seru si dara. Tetapi ketika melihat
keadaan goa yang melandai ke bawah, tertawalah dara itu: "Celaka, mana aku bisa
merayap dengan kepala di bawah kaki di atas?"
"Tak ada pilihan lain!" sahut Siu-lam.
"Baik!" Hui-ing menyambuti dan terus merayap ke dalam goa, Siu-lam mengikuti di
belakangnya. Goa itu curam sekali menurunnya. Penuh dengan pakis (lumut) yang licin. Dengan
menggunakan seluruh tenaga dan perhatian barulah kedua anak muda itu berhasil
merayap sejauh sepuluhan tombak. Akhirnya Hui-ing tak tahan lagi: "Sudahlah, goa
begini licin dan berbahaya. Apalagi belum tentu bisa tembus jalan keluar!"
"Bagaiamana" Kau takut?" Siu-lam tertawa.
"Huh, siapa bilang aku takut?" tiba-tiba Hui-ing marah dan terus percepat langkahnya
merayap ke bawah. Siu-lam kuatir sumoaynya terbentur batu. Ia meneriaki dara itu jangan cepat-cepat
merayap. Baru ia berseru begitu, tiba-tiba Hui-ing menjerit. Dara itu tergelincir ke
bawah". Siu-lam terkejut sekali. Tanpa menghiraukan bahaya apa-apa, iapun meluncur
menyusul sumoaynya: "Sumoay, hati-hatilah"." Baru ia berteriak, tiba-tiba tubuhnya
melayang ke bawah. Bum" terdengar tubuh kedua pemuda itu terbentur dasar goa. "Bagaimana, sakitkah?"
Hui-ing tertawa. Ketika memandang ke muka, tampak sumoaynya duduk menyikap kedua lutut.
Mulutnya tertawa-tawa. "Dan kau sendiri bagaimana, sumoay?" serunya.
"Kalau sakit masakan aku bisa tertawa?" sahut Hui-ing.
Memandang ke sekeliling, berkatalah Siu-lam: "Tempat ini cukup baik, sayang kelewat
lembab!" "Eh, apakah tiada lubang keluar lainnya" Kalau harus merayap ke atas, mungkin kita
akan tergelincir. Kalau tak dapat keluar, kita tentu mati kelaparan di sini," Hui-ing
bersungut-sungut. Siu-lam memandang ke atas. Tapi mulut liang di atas kira-kira dua tombak tingginya.
Suatu jarak yang tak mungkin dicapai. Apalagi dinding liang licin sekali.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin: "Sekali terjerumus dalam liang ini, jangan
harap seumur hidup kalian dapat keluar!"
Hui-ing menjerit kaget dan merapat pada suhengnya: "Apakah itu bukan suara
manusia?" Siu-lam sendiri juga terkejut sekali. Namun diberanikan juga untuk menegur:
"Siapakah itu?"
Segera ia hendak menyulut korek api, tetapi seketika itu juga serangkum angin kuat
melandanya. Tubuhnya terseret!
Hui-ing cepat mencabut pedangnya: "Hm, tak peduli kau setan atau manusia, aku tak
takut. Lepaskan suhengku, kalau tidak"." Ia taburkan pedang dan berhamburanlah sinar
pedang memenuhi ruangan liang.
Kembali dari sudut liang terdengar tertawa dingin dan serempak sebuah benda
mengaum ke arah si dara. Wut, Hui-ing menyabetnya tetapi benda itu seolah-olah
mempunyai mata. Dapat menghindari lalu hinggap di pergelangan tangan Hui-ing.
"Celaka!" dara itu mengeluh karena pergelangan tangannya ternyata terjirat seutas tali.
Tali mengencang keras dan mau tak mau terlepaslah pedangnya.
Sekali tarik, Hui-ing yang terjerat tangan kanannya itupun terseret ke muka. Kejut dan
marah dara itu bukan kepalang. Baru pertama kali ia bertempur, sudah dikalahkan dan


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Amarah Pedang Bunga Iblis 2 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Pendekar Bodoh 20
^