Wanita Iblis 10
Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 10
Tetap? sehabis melempar, ?a sendiripun rubuh. Sebaliknya si wanita berkerudung itu
acuh tak acuh ayunkan tangannya menampar. Senjata Kiu-mo-ci-hoan itupun terlempar
jatuh. Sehabis menampar, wanita berkerudung itu tiba-tiba melengking nyaring dan
melambung ke udara. la melayang melampau barisan Lo-han-tin dan rubuh di depan Kau
Cin Hong. Begitu menginjak lantai, ia segera menampar. Huak" Kau Cin-hong menyembur
darah segar dan rubuh terkapar!
Sekalian orang gagah yang tengah menyalurkan darah untuk menekan racun, begitu
dengar jeritan Kau Cin-hong, mereka segera loncat menyerbu wanita berkerudung itu.
Tiba-tiba wanita berkerudung menyingkap kain kerudungnya, "Kalian sudah terkena
racun. Jangan harap dapat hidup lama. Lekas buang senjatamu dan menyerah. Nanti akan
kuberi kalian masing-masing sebutir pil pemunah racun. Percuma saja kalian hendak
berusaha untuk menekan bekerjanya racun itu"."
Ia menutup kata-katanya dengan membuka pakaian hitamnya.
Pada saat wanita itu menyingkap kain kerudung, seketika tercenganglah sekalian orang
gagah ketika melihat sebuah wajah yang cantik gemilang. Dan pada waktu mendengar
lengking suara wanita itu, mereka pun seperti mendengar bunyi seruling nafiri. Lebih-Iebih
ketika wanita itu melolos pakaiannya, seketika terbanglah semangat mereka".
Insan manusia atau seorang bidadarikah yang berada di hadapan mereka itu" Begitu
indah jelita wajahnya, sedemikian sempurna setiap lekuk potongan tubuh wanita itu.
Darah mereka terasa mendidih, senjata-seniata yang mereka pegangpun serasa lunglai.
Hamburan darah yang menggelora keras dalam tubuh mereka membuat racun lebih cepat
bekerja. Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri dan seorang paderi Siau-lim-si terbelah kepalanya oleh
si nona baju biru. Menyusul empat orang paderi Siau-lim-si mati di bawah pedang si nona
baju merah dan biru. Jeriran-jeritan ngeri mengandung lengking tertawa dari kedua nona itu. Sedang si nona
baju putih tetap berwajah dingin. Sepatahpun dia tak mengucap, juga tak tertawa.
Sepasang giok-ci dari nona baju putih itu bertebaran kian kemari untuk menggasak
rombongan murid Siau-lim-si. Tetapi anehnya, setiap kali hampir mengenai tubuh lawan,
cepat-cepat ia tarik kembali sehingga tiada seorangpun yang dilukainya!
Barisan Lo-han-tin yang menjadi kebanggaan gereja Siau-lim-si dan diagungkan
sebagai barisan yang tak mungkin dihancurkan, ternyata saat itu menjadi porak-poranda!
Banyak paderi Siau-lim-si yang terluka. Bahkan yang mati sudah mencapai jumlah dua
belas orang. Si nona baju biru dan merah itu ganas sekali. Setiap menyerang tentu mengarah bagian
tubuh orang yang berbahaya. Banyak murid Siau-lim-si yang menjadi korban
keganasannya. Memang pada saat pertempuran itu berlangsung, racun dalam tubuh paderi-paderi
Siau-lim-si itu sudah mulai bekerja. Kepala mereka pening, mata berkunang dan kaki
tangannya lemas. Sudahlah tentu mereka menjadi makanan yang empuk bagi kedua nona
yang ganas itu". Kedua nona itu bergerak dengan cepat. Dalam beberapa kejap saja, ketigapuluh enam
anggota barisan Lo-han-tin itu sudah diganyang habis semua!
Walaupun pakaiannya yang putih berlumuran darah, tetapi Bwe Hong-swat tak melukai
seorang lawanpun juga. Pemandangan saat itu benar-benar merupakan suatu penjagalan yang ngeri. Tubuh
manusia malang-melintang menggeletak di lantai tanpa kepala, tanpa kaki atau tangan
dan lain-lain atau anggota tubuhnya. Sin Ciong tojin yang pura-pura menggeletak mati,
hampir saja tidak kuat menahan kemarahannya. Hampir saja ia hendak loncat menerjang
kedua nona ganas itu. Tetapi syukurlah ia masih dapat menahan hatinya".
Selesai membasmi barisan Lo-han-tin, ketiga nona itu segera menyerbu rombongan
orang gagah lainnya. Pedang berkelebat, darah disertai gumpal potongan daging manusia berhamburan.
Jeritan ngeri susul-menyusul. Dalam beberapa kejap, tujuh, delapan orang telah
terganyang! Tiba-tiba terdengar wanita berpakaian hitam tadi tertawa melengking. Kemudian ia
hentikan pertunjukannya yang cabul, lalu menyerang rombongan orang gagah. Secepat
dengan gerak tusukan jari dan pukulan tangannya, maka terdengarlah jeritan ngeri dan
jatuhnya tubuh susul-menyusul.
Memang saat itu racun di dalam tubuh rombongan orang gagah itu sudah bekerja.
Mereka tak berdaya menangkis. Gerakan mereka hanya sekedar bergerak saja. Sama
sekali tidak menunjukkan tata silat.
Kalau Sin Ciong tojin masih dapat menahan kemarahannya, tidak demikian dengan
kedua jago Ceng-sia-pay. Seketika Siong Hong dan Siong Gwat tojin hendak melenting
bangun. Untung cepat-cepat Sin Ciong tojin mencegahnya. Walaupun meramkan mata,
tetapi ketua Bu-tong-pay itu tetap mencurahkan perhatian pada keadaan di sekelilingnya.
Begitu melihat kedua imam dari Ceng-sia-pay itu hendak bergerak, iapun segera
mendahului menggamit tubuh mereka.
Siong Hong tersadar. Diam diam ia mengeluh dan menyesal atas tindakannya yang
kurang sabar itu. Dengan gunakan ilmu suara Coan-bi-jip-im Sin Ciong tojin menyusupkan suara kepada
kedua jago Ceng-sia-pay itu, "Tunggu begitu pintu ruangan ini terbuka, pinto dan Pekheng
akan menerjang. Dan to-yu berdua harap menggotong kedua anak muda itu
mengikuti keluar. Barisan Ngo-heng-tin dari Bu-tong-pay akan bertugas buat menahan
musuh!" Dia gunakan Cian-li-jip-bi (ilmu menyusupkan suara). Kecuali Pek Co-gi, Siong Hong,
Siong Gwat dan murid-murid Bu-tong-pay, lain-lain orang tak dapat mendengarnya.
Suasana dalam ruang Hwe-lun-tian saat itu sunyi seperti sebuah kuburan. Rombongan
orang gagah hancur berantakan di bawah pedang kedua nona baju merah dan biru atau si
wanita berkerudung. Beberapa orang yang belum sempat ditanyai, pun karena bekerjanya
racun, sudah jatuh sendiri!
Sin Ciong tojin mencuri sebuah kesempatan untuk melirik ke sekeliling. Dilihatnya
mayat rombongannya bergelimpang mandi darah. Tubuh mereka banyak yang tak utuh.
Diam-diam ketua Bu-tong-pay itu menghela napas duka.
Sejenak memandang sekeliling ruang, tiba-tiba wanita berkerudung itu berseru keras
suruh ketiga muridnya berhenti. Kemudian ia tertawa mengekeh.
"Buka pintu dan suruh mereka bersihkan ruangan ini. Yang belum mati, jebloskan ke
penjara dan tunggu keputusan!" serunya. Tetapi si nona baju biru membantah,
"Kemungkinan di antara mereka ada yang bersiasat pura-pura mati. Maksud murid, leb?h
baik habisi saja mereka semua!"
Wanita berkerudung itu merenung sejenak, lalu katanya, "Benar, memang tentu ada
yang pura-pura mati. Begitu pintu terbuka tentu akan gunakan kesempatan untuk lolos"."
Sejenak ia sapukan pandangan ke segenap penjuru. kemudian tertawa dingin, "Tetapi
sekalipun dapat melarikan diri, jangan harap mereka dapat melintasi rintangan. Mereka
kebanyakan jago silat ternama. Satu saja diberi hidup tentu akan menimbulkan kesulitan
di belakang hari." "Jika begitu, silahkan suhu beristirahat. Biarlah murid berdua yang menyelesaikan di
sini," kata si nona baju biru".
Si wanita berkerudung mengangguk lalu melangkah pergi dari ruangan.
Pada saat Bwe Hong-swat mengantar kepergian suhunya itu, ia menggunakan
kesempatan untuk menendang tubuh Siu-lam dan Hian-song. Sebelumnya ia telah
memperhatikan arah jalan dalan kedua pemuda itu. Maka tanpa melihat lagi, dengan tepat
ia telah dapat menendang jitu jalan darah untuk menyadarkan kedua pemuda itu.
Karena jalan darah Seng-si-hian-kwan sudah terbuka, maka Hian-songlah yang lebih
dulu cepat sadar. Baru Bwe Hong-swat berjalan beberapa langkah saja, Hian-song sudah
sadar dan membuka mata. Tetapi dara itu baru pertama kali menyaksikan sekian banyak mayat malang-melintang
secara mengerikan. Maka tidak urung ia merasa ngeri dan buru-buru pejamkan mata lagi.
Rasa ngeri itu menyebabkan jalan darahnya mengalir deras sehingga semangatnya malah
bertambah segar. Sejenak kemudian ia membuka mata dan memandang kepada Siu-lam. Dilihatnya
pemuda itu mulai berkedip-kedip seperti mau membuka mata. Buru-buru Hian-song
mencekal tangan kiri pemuda itu dan terus menyalurkan lwekangnya.
Begitu mendapat saluran tenaga sakti, cepat sekali Siu-lam sudah membuka mata.
Pada saat ia hendak loncat bangun, tiba-tiba si dara membisikinya, "Engkoh Lam, jangan
terburu-buru dulu. Lekas salurkan tenaga dalammu. Kemungkinan kita akan bertempur!"
Siu-lam menjabat tangan si dara yang mencekal pergelangan tangannya sebagai tanda
terima kasihnya. "Engkoh Lam, apakah sesungguhnya kau suka padaku?" tanya si dara dengan kemalumaluan.
Sudah tentu Siu-lam tergetar hatinya. Sesaat ia tak dapat menjawab apa-apa. Tiba-tiba
pada saat itu terdengar pintu berderit-derit terbuka. Segumpal sinar matahari, meningkah
ke dalam. Tiba-tiba terdengar Sin Ciong tojin berteriak keras dan loncat bangun terus menerjang
ke pintu. Tindakan itu disusul oleh Bu-ing-sin-kun Pek Co-gi yang begitu loncat bangun
terus lepaskan dua buah pukulan. Tenaga pukulan yang tak kelihatan itu meluncur ke arah
si nona baju biru dan baju merah. Tahu-tahu kedua nona itu merasakan dadanya empek
dan terpaksa mundur dua langkah.
Dan habis melancarkan pukulan, Pek Co-gi pun segera loncat ke udara dan melayang
ke pintu besi. Secepat kaki hendak menginjak tanah, ia sudah lepaskan pukulan Bu-ingsin-
kun lagi ke arah delapan gadis baju putih yang bersenjata golok bian-to".
Siong Hong dan Siong Gwatpun loncat bangun. Yang satu menggendong Kat Wi, yang
satu memanggul Kat Hong. Setelah menyusupkan buntalan kain yang berisi ilmu pelajaran
silat dari rombongan orang gagah yang berada dalam ruang itu, mereka segera berlari
menuju ke pintu. Begitu melihat Sin Ciong tojin bergerak, semangat Hian-song pun menyala. Cepat-cepat
ia loncat bangun. Tetapi ia lupa kalau masih mencekal pergelangan tangan Siu-lam. Tanpa
disadari karena loncat bangun itu, Hian-song menggunakan tenaga besar sehingga Siulam
peringisan setengah mati. Napas pemuda itu terengah-engah menahan sakit.
Sesaat kemudian barulah dara itu menyadari. Buru-buru ia lepaskan cekalannya.
Saat itu si wanita berkerudung baru tiba di ujung ruang dan belum sempat melangkah
masuk ke dalam pintu rahasia. Ia agak terkejut melihat perubahan mendadak itu. Cepat
berpaling, tertawa dingin lalu lambaikan tangan kiri memberi isyarat Bwe Hong-swat
membantu kedua sucinya. Dia sendiri menekan ke atas tembok dan seketika terbukalah
sebuah pintu. Cepat-cepat ia masuk ke dalam. Jelas bahwa ia tak memandang mata sama
sekali akan mengamuknya ketua Bu-tong-pay dan beberapa kawannya itu.
Saat itu si nona baju biru dan baju merah sudah bertempur dengan barisan Ngo-hengtin
dari anak murid Bu-tong-pay.
Ngo-heng-tin dari Bu-tong-pay dan Lo-han-tin dari Siau-lim-si merupakan dua buah
barisan sakti yang termasyhur. Betapapun sakti kedua nona itu, namun dalam waktu yang
singkat mereka sukar juga membobolkan barisan Ngo-heng-tin itu. Apalagi anak murid Butong-
pay tak bersungguh-sungguh bertempur. Sambil bertempur mereka mundur.
Tujuannya hanya mencegah kedua nona itu menghalang ketua Bu-tong-pay meloloskan
diri. Sedangkan Sin Ciong tojin saat itupun sudah bertempur melawan kedelapan nona baju
putih. Bu-ing-sin-kun Pek Co-gie, Siong Hong dan Siong Gwat tak ikut turun, melainkan
pejamkan mata memulangkan semangat.
Begitu melihat anak murid Bu-tong-pay bergerak dengan teratur mendekati pintu, Sin
Ciong tojin bersuit nyaring. Pedang diputar laksana kilat menyambar-nyambar. Ketua Butong-
pay yang sakti itu, akhirnya dapat membuat kedelapan gadis menjadi kelabakan.
Saat itu Pek Co-gi pun membuka mata dan dari jauh ia lepaskan dua buah pukulan Buing-
sin-kun. Segera terdengar lengking tertahan dan dua orang gadis baja putih serentak
muntah darah terus terkapar di tanah.
Melihat pukulannya berhasil, Pek Co-gi menggerung dan melepaskan dua buah pukulan
tanpa bayangan lagi. Setelah kehilangan dua orang kawannya, keenam kawanan gadis baju putih itu pecah
nyalinya. Begitu melihat Pek Co-gi gerakkan tangannya mereka buru-buru loncat
menghindar. Menggunakan kesempatan keenam gadis itu berloncatan menghindar, Sin Ciong tojin
gunakan jurus Sing gwat-to-kwa (bintang dan bulan berjungkir balik), membuka sebuah
jalan. Melihat itu Siong Hong dan Siong Gwat segera loncat mengikuti di belakang ketua
Bu-tong-pay. Pek Co-gi lepaskan enam pukulan kepada keenam gadis baju putih lagi. Keenam gadis
baju putih itu walaupun sakti tetapi kurang pengalaman. Karena sedang melayani amukan
pedang ketua Bu-tong-pay, mereka lengah menjaga pukulan tanpa bayangan dari Pek Cogi.
Baru setelah merasa dadanya ampek, mereka terkejut dan buru-buru hendak
menghindar tapi sudah kasip.
Jantung mereka serasa bergoncang keras dan serempak terhuyung-huyunglah mereka
ke belakang. Tetapi dua orang yang terkena agak parah, terus jatuh ke tanah.
Diam-diam Bwe Hong-swat girang karena melihat Sin Ciong tojin berhasil lolos dari
pintu Sen-si-bun. Si nona baju merah dan biru masih terpancang oleh rintangan barisan
Ngo-heng-tin yang kokoh. Tetapi kuatir akan menimbulkan kecurigaan kedua sucinya, Bwe
Hong-swat pun loncat menyerang dengan senjata giok-ci. Begitu ia turun gelanggang,
barisan Ngo-heng-tin itu pun segera menderita tekanan keras. Tampaknya makin lama
mereka makin tidak kuat lagi bertahan.
Melihat itu Siu-lam segera membisiki Hian-song, "Sumoay. lekas kau bantu Sin Ciong
tojin membuka jalan. Aku hendak membantu anak murid Bu-tong-pay yang merintangi
musuh di belakang itu!"
Hian-song cepat loncat ke udara. Ia melampaui kepala Siong Hong dan Siong Gwat lalu
melayang turun di belakang Sin Ciong tojin, "Harap totiang beristirahat, biar aku yang
menghajar mereka!" Memang setelah banyak mengeluarkan tenaga Sin Ciong rasakan racun dalam
tubuhnya tentu akan bekerja. Jika tidak lekas-lekas beristirahat menekan racun itu, ia
tentu roboh. Maka ia lancarkan dua buah serangan untuk mengundurkan lawan lalu cepatcepat
loncat mundur. Sebenarnya Sin Ciong tojin sudah mencapai pintu Seng-si-bun. Tetapi di situ ia harus
berhadapan dengan barisan Beng-gak yang terdiri dari dua belas orang aneh. Tiga kali
sudah ketua Bu-tong-pay itu mencoba untuk menerjang tetapi tiga kali itu juga ia terpaksa
menderita kegagalan! Sejenak Hian-song menendang ke arah kedua belas orang aneh itu. Mereka berpakaian
serba aneh dan mukanya dicoreng tak keruan. Walaupun tahu bahwa mereka hanya
manusia, tetapi karena wajahnya begitu menyeramkan, tak urung si dara ngeri juga. Ia
berpaling kepala tak berani melihatnya. Pedang diputar lalu sambil melengos, ia
menyerang dua orang aneh.
Sekalipun tanpa melihat tetapi tusukannya tepat sekali. Yang menjadi sasaran adalah
bagian jalan darah berbahaya. Kedua orang aneh yang ternyata pemimpin barisan,
dipaksa harus mundur selangkah.
Tusukannya berhasil, nyali, Hian-song mulai mengembang cepat ia putar pedangnya
makin cepat dan dalam waktu sekejap mata saja sudah lancarkan delapan buah serangan.
Ia sendiri tak menyadari bahwa kedelapan serangannya itu merupakan jurus-jurus yang
luar biasa ganasnya. Kedua belas orang aneh, menjadi kelabakan setengah mati. Mata
rantai hubungan barisan, menjadi kacau balau.
Sambil menyalurkan penyaluran darah, diam-diam Sin Ciong tojin memperhatikan ilmu
pedang si dara. Ia terkejut heran karena selama itu tak pernah ia melihat semacam ilmu
pedang sedemikian anehnya!
Jika saja ia belum terkena racun, tentulah ia dapat mempelajari ilmu pedang dara itu.
sudah berpuluh-puluh tahun ia membenam diri dalam ilmu pedang maka setiap melihat
ilmu pedang yang belum pernah dilihatnya tentu diperhatikan dengan seksama. Sayang
selama ini ia belum pernah menemui lawan yang lebih unggul ilmu pedangnya. Oleh
karena itu, ia belum mendapat tambahan ilmu pedang yang baru.
Sejak matanya terluka oleh si wanita bersenjata Chit- jiau-soh, dewa pedang Siau Yaucu
tak pulang ke Bu-tong-san lagi. Sin Ciong tojin tak henti-hentinya mencari berita
tentang angkatan tua dari Bu-tong-pay dari itu untuk memintanya pulang. Dengan
pulangnya jago tua itu, dapatlah Sin Ciong memperdalam ilmu pedangnya lebih jauh.
Dengan begitu ilmu pedang Bu-tong-pay tentu akan lebih tinggi mutunya.
Tetapi ketika Siau Yau-cu pulang, tepat pada saat itu Beng-gak telah menyebarkan
jarum Chit-jiau-soh untuk mengundang sekalian orang ke Beng-gak. Dengan begitu Sin
Ciong tak sempat untuk meminta pelajaran pada jago tua itu.
Ilmu pedang yang dimainkan Hian-song benar-benar memikat perhatian ketua Bu-tongpay.
Hanya sayang saat itu dia sudah terkena racun. Dengan menghela napas ia mementil
batang pedangnya" Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang tertahan dan berkiblatnya sinar merah. Ketika
memandang dengan seksama ternyata saat itu Hian-song berlepotan darah pakaiannya.
Ternyata dia mengamuk dengan hebat. Empat orang aneh telah diganyangnya!
Saking kagum dan terpesona menyaksikan ilmu pedang Hian-song, Pek Co-gi, Kat Hui,
Kat Hong, Siong Hong dan Siong Gwat sesaat lupa bahwa mereka masih berada dalam
sarang macan. Kembali Hian-song taburkan pedangnya dan kembali dua orang aneh telah rubuh mandi
darah. Barisan orang aneh itu benar-benar tak berdaya menghadapi permainan pedang si
dara yang luar biasa. Kalau di sini Hian-song mengamuk, di sanapun Siu-lam juga unjuk kegagahan. Dia
dapat menahan ketiga nona murid Beng-gak yang sakti.
Dengan terjunnya Bwe Hong-swat dalam gelanggang, barisan Ngo-heng-tin dari Butong-
pay menjadi kalang kabut. Untung pada saat itu Siu-lam cepat datang membantu.
Dalam tiga kali serangan saja, barisan Ngo-heng-tin sudah kembali tenang lagi.
Si nona baju merah tertawa mengikik, "Bagus, kiranya kaupun juga pandai berpurapura
mati!" Sambil berkata ia lancarkan dua buah serangan. Tetapi dengan gunakan jurus
Tou-coan-cee-ih atau bintang pindah tempat, Siu-lam berhasil mematahkan serangan itu.
Kemudian dengan jurus Pi-peh biat-poh (menyanggul harpa), ia balas menusuk tiga buah
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jalan darah di tubuh nona baju biru.
Tring, tring, tring, nona baju biru itupun segera mainkan senjatanya tanduk rusa dalam
jurus Thiat-chiu-gin-hoa (pohon besi bunga perak). Dua buah senjata saling beradu".
Melihat Siu-lam mencapai kemajuan yang begitu pesat, diam-diam Bwe Hong-swat
gembira sekali. Namun wajahnya terap dingin-dingin saja. Terpaksa iapun menyerang dari
samping dengan jurus Ho-liong-tiam-ceng atau melukis naga menitik mata.
Diam-diam Siu-lam menimang. Jika ia tak melayani serangan nona itu, tentu akan
menimbulkan kecurigaan si nona baju merah dan biru. Maka terpaksa ia gunakan jurus
Tiau-hoat-lam-hay untuk menangkis dan balas menyerang. Bwe Hong-swatpun cepatcepat
menangkis dan balas menyerang.
Tiba tiba terdengar si nona baju merah tertawa menyindir, "Huh, benar-benar seorang
lelaki yang berhati buta. Masakan terhadap sam-moay, kaupun menyerang begitu
ganas"." Tiga buah kiblatan pedang yang dimainkan Siu-lam telah berhasil memaksa si nona
baju merah itu mundur selangkah. Sementara serangan si nona baju biru dan Bwe Hongswat
dapat dibendung oleh barisan Ngo-heng-tin. Barisan yang penuh dengan perubahan
aneh itu, dapat melindungi Siu-lam dari serangan kedua nona.
Tiba-tiba terdengar erang tertahan. Seorang anggota barisan Ngo-heng-tin dipentalkan
pedangnya oleh Bwe Hong-swat. Seperti kilat si nona baju biru nyelonong dari samping.
Sekali menabas, murid Bu-tong pay itu terbelah badannya. Dengan hilangnya seorang
anggota, barisan Ngo-heng-tin mulai kacau.
Si nona baju biru terus merangsek maju. Senjatanya yang berbentuk seperti tanduk
rusa, berkelebat kian kemari memasuki barisan. Dengan begitu barisan Ngo-heng-tin
makin kacau. Siu-lam masih sempat memperhatikan bahwa imam-imam anak murid Bu-tong-pay itu
sudah mandi keringat. Gerak permainannyapun mulai kaku. Jelas racun dalam tubuh
mereka sudah mulai bekerja. Sekalipun tak diterjang ketiga nona, merekapun tentu akan
rubuh sendiri. Diam-diam Siu-lam menghela napas. Ia menyadari bahwa adanya Hian-song dan ia tak
merasa menderita keracunan, tentulah karena pertolongan dua butir pil pemberian Bwe
Hong-swat. Tak tahu ia bagaimana kelak ia dapat membalas budi nona baju putih itu".
"Engkoh Lam, lekas mundur!" tiba-tiba ia dikejutkan oleh teriakan Hian-song.
Tetapi saat itu si nona baju merah malah mendesak dengan seru seraya tertawa
melengking. "Sam-sumoay, perlu apa menyayangi seorang kekasih yang tak berbudi" Sam-sumoay,
ayo bunuhlah dia agar penasaranmu hilang!"
Dengan menggembor keras, Siu-lam tiba-tiba rubah permainan pedangnya. Dia
gunakan jurus Jiau-toh-co-hoa untuk sekaligus menyerang ketiga nona pengeroyoknya.
Jurus itu merupakan ilmu pedang yang luar biasa hebatnya dan perubahan-perubahan
yang aneh. Sekalipun hanya sebuah jurus dan diserangkan ke arah tiga musuh, tetapi
cukuplah hal itu memaksa ketiga nona itu mundur.
"To-heng berempat lekas mundur!" Siu-lam segera menarik pulang pedang, loncat ke
pintu Seng-Si-bun. Tetapi ketika ia berpaling ternyata keempat murid Bu-tong-pay tadi
sudah rubuh terkapar. Dan sekali kedua nona baju merah dan biru ayunkan senjatanya,
keempat murid Bu-tong-pay itupun terbelah menjadi dua.
Racun dalam tubuh mereka sudah bekerja. Ketika Siu-lam menyertakan supaya mereka
mundur sebenarnya keempat murid Bu-tong-pay itu sudah tak kuat. Maka begitu ketiga
nona itu menyerang, merekapun segera jatuh.
Saat itu Hian-song sudah dapat menguasai musuh. Barisan orang aneh sudah separoh
lebih yang dibasminya. Sesungguhnya Sin Ciong amat berduka sekali atas kematian anak murid Bu-tong-pay.
Tetapi sebelumnya ia memang telah membayangkan peristiwa itu. Maka dengan keraskan
hati ia segera menyerbu. Kedua jago Ceng-sia-pay yakni Siong Hong dan Siong Gwat serta
jago Tibet Pek Co-gi karena menginsyafi bahwa racun dalam tubuh mereka tentu segera
bekerja, maka merekapun bergegas-gegas mengikuti Sin Ciong tojin untuk menerjang
keluar dari pintu Seng-si-bun.
Dalam menghadapi ketiga orang murid Beng-gak yang sakti itu, Siu-lam bertempur
dengan gigih sekali. Setiap kali ia terancam, buru-buru ia mengeluarkan jurus aneh dari
ilmu Jiau-toh-co-hoa. Setiap kali jurus peninggalan kakek Hian-song itu digunakan, ketiga
nona itu tentu terdesak mundur.
Sementara dari jarak jauh, Bu-ing-sin-kun Pek Co-gi lepaskan pukulan untuk membantu
Siu-lam. Dengan begitu ketiga nona murid Beng-gak itu tak berdaya untuk mengejar Siong
Hong dan Siong Gwat yang menggendong kedua anak muda Kat Wi dan Kat Hong.
Hian-song makin bersemangat untuk membuka jalan darah. Dia tak menyadari bahwa
ilmu pedangnya sebenarnya sudah tergolong tingkat tinggi. Bermula karena kurang
pengalaman, ia masih agak kikuk. Tetapi makin lama nyalinya makin besar dan
permainannyapun makin tangkas sekali. Jurus yang dimainkan pun makin ganas. Barisan
orang aneh yang tangguh itu tak kuasa untuk menahan amukan si dara. Setiap kali
pedangnya berkelebat, tentu salah seorang aneh itu terbelah.
Akhirnya berhasillah ia membobolkan penjagaan pintu Seng-si-bun itu. Sin Ciong tetap
mengikuti di belakang si dara. Diam-diam ia kerahkan tenaga untuk setiap waktu turun
tangan membantunya. Jilid 19 DALAM BEBERAPA SAAT kemudian, tibalah mereka di mulut lembah. Hian-song yang
sedikitpun tak tampak letih, segera menyerbu. Empat orang aneh menghadangnya. Sret,
sret, sebelum mereka sempat bergerak, pedang si dara sudah merubuh yang dua orang.
Sret, sret, sekali lagi Hian-song kiblatkan pedangnya, kedua orang aneh itu yang satu
terpapas lengannya yang satu terbelah kutung badannya.
Hian-song benar-benar hebat sekali.
Dengan tenaga saktinya, dapatlah Sin Ciong menekan berkembangnya racun dalam
tubuhnya. Sekalipun ia menyadari bahwa cara itu hanya dapat bertahan untuk sementara
waktu saja, tapi tiada lain jalan baginya. Di mana ada kemungkinan, walaupun hanya
beberapa saat, ia tetap berusaha untuk bertahan hidup. Ketua Bu-tong-pay itu mengikuti
di belakang si dara. Saat itu papan besi yang menghalang di lembah telah tak tampak. Lembah sunyi
senyap. Kecuali keempat orang aneh itu, tak tampak seorang pun menghadang lagi.
Siong Hong dan Siong Gwat dengan memanggul kedua putra Kat Thian-beng, tetap
mengikuti Sin Ciong tojin. Di belakang mereka Siu-lam masih tetap menghadang ketiga
nona murid Beng-gak di luar lembah.
Dalam bertempur dengan Siu-lam, si nona baju merah mendapatkan bahwa dalam
waktu singkat Siu-lam telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Tetapi sebagai
orang yang berhati tinggi, si nona baju merah tetap tak memandang mata kepada Siu-lam.
Alangkah kejutnya ketika ia tertumpuk akan kenyataan! Berapa bulan yang lalu, salah satu
dari ketiga nona itu, dapat mengalahkan Siu-lam. Tapi saat itu ternyata mampu melawan
mereka bertiga. Yang membuat nona baju merah itu terkejut heran adalah ilmu pedang
Siu-lam itu dalam banyak hal terdapat banyak persamaannya dengan mereka bertiga. Tapi
dalam hal gerakan perubahannya, Siu-lam bahkan lebih unggul sedikit!
Melihat rombongan Sin Ciong tojin dapat melintasi lembah, si nona baju biru marah
sekali. Dengan berteriak nyaring ia mainkan pedangnya makin gencar untuk mengimbangi
kedahsyatan senjata tanduk rusa dari si nona baju merah".
Sebaliknya Bwe Hong-swat diam-diam gembira sekali menyaksikan kemajuan Siu-lam.
Tapi ia tetap masih kuatir akan kesempatan pemuda itu. Kedua sucinya mengamuk hebat
sekali. Setiap gerakan senjatanya dilambari dengan tenaga dalam yang penuh. Sekali
mengena sasarannya, tak dapat disangsikan lagi tubuh Siu-lam pasti hancur lebur!
Dalam hati ia mencemaskan keselamatan Siu-lam, tetapi agar jangan diketahui oleh
kedua sucinya, terpaksa ia harus melancarkan serangan yang seru. Demikianlah kedua
senjata giok-cinya diputar dan dimainkan laksana sepasang naga yang menyambarnyambar".
Hian-song terus melangkah keluar dari lembah. Di luar lembah ternyata tiada
penghadang lagi. Tetapi ketika berpaling dan melihat Siu-lam masih bertempur seru
dengan ketiga nona Beng-gak, ia segera minta kepada Sin Ciong tojin dan rombongan
supaya menunggu sebentar. Sekali melesat dara itu masuk ke dalam lembah lagi dan
berseru nyaring, "Engkoh Lam, jangan takut, aku datang membantumu!"
Dengan jurus Long-coang-liu-sat atau Ombak bergulung mendampar pasir, ia segera
maju menyerang. Tetapi yang menjadi sasaran pertama adalah Bwe Hong-swat!
Bwe Hong-swat menangkis dengan giok-ci kiri lalu giok-ci di tangan kanan balas
menyerang dua kali. Sekalipun ilmu pedang Siu-lam sakti, tetapi tenaganya tetap terbatas. Sekian lama
bertempur melawan ketiga nona, dia merasa letih sekali. Jika tak memiliki ilmu pedang
Jiau-toh-co-hoa yang luar biasa itu, kemungkinan dia tentu sudah kalah.
Tetapi setelah Hian-song ikut membantu, keadaanpun berubah. Iwekang yang dimiliki
Hian-song sejak jalan darah Seng-si-hian-kwatnya terbuka, laksana sumber air yang tak
pernah kering. Bahkan makin lama dara itu malah makin gagah dan serangannya makin
mengganas. Ketiga murid Beng-gak benar-benar tak berdaya untuk maju setengah
langkah saja. Tiba-tiba Siu-lam menggerung. Ia keluarkan jurus Jiau-toh-co-hoa lagi. Melihat itu si
nona baju biru dan Bwe Hong-swat terpaksa mundur. Tetapi si nona baju merah
penasaran sekali. Setiap kali pemuda itu mengeluarkan jurus itu, tentu dapat mendesak.
Hal itu benar membuatnya mendongkol. Maka untuk serangan Siu-lam kali ini, dia benarbenar
tak mau mundur. Kebut hud-tim di tangan kiri dan pedang pusaka di tangan kanan,
serentak ditaburkan untuk menyongsong serangan Siu-lam.
Gumpalan sinar kebut dan pedang yang memancar tiba-tiba terbenam dalam kepungan
sinar pedang Siu-lam. Saat itu barulah si nona baju merah terkejut dan bergegas-gegas
hendak menarik pedangnya dan mundur.
Ia bergerak dengan cepat tapi tetap terlambat. Wut, wut, segumpal rambut kepalanya
berhamburan jatuh kena terpapas".
Sebenarnya dalam jurus Jiau-toh-co-hoa itu masih mempunyai perubahan yang aneh
dan tak habis-habisnya. Sayang Siu-lam hanya dapat mengingat separuh jurus saja.
Andaikata ia dapat menguasai seluruh jurus penuh, ketiga nona itu tentu tadi sudah
rubuh. Setelah memperoleh hasil, Siu-lam segera berseru kepada Hian-song, "Adik Song, lekas
mundur," cepat ia ulurkan tangan menarik ujung lengan baju si dara terus diajak lari.
Rambutnya terpapas, menyebabkan semangat nona baju merah terbang. Ia tegak
termangu di mulut lembah. Ketika Siu-lam dan Hian-song lari, iapun hanya mengawasinya
saja. Dan karena ia berdiri di tengah mulut lembah, maka si nona baju birupun terhalang
jalannya. Sedangkan Bwe Hong-swat yang sengaja mengulur waktu, pun tak mau
mengejar. Si nona baju biru mengawasi wajah si nona baju merah. Melihat nona baju merah itu
tegak mematung, buru-buru ia mendampratnya, "Huh, budak gila! Mengapa tak lekas
mengejar dan tegak terlongong-longong saja!"
Si nona baju merah gelagapan. Dengan mendengus, ia segera lari mengejar.
Sin Ciong heran melihat mengapa Siu-lam dan Hian-song tak kurang suatu apa. Cepat
ia menyongsong dengan pertanyaan, "Apakah kalian tak merasakan apa-apa dalam tubuh
kalian?" Siu-lam gelengkan kepala.
Sin Ciong tojin merenung sejenak lalu berkata, "Biarlah aku yang menghadang orang
Beng-gak. Harap kalian berdua melindungi kedua to-heng dari Ceng-sia-pay keluar dari
neraka sini!" Dan tanpa menunggu jawaban Siu-lam ketua Bu-tong-pay itu terus putar pedangnya
menyambut ketiga nona murid Beng-gak.
Pek Co-gi merasa telah mengeluarkan banyak tenaga sehingga racun dalam tubuhnya
merangsang keras. Dia menyadari kalau tak dapat bertahan lama. Maka berkatalah ia
kepada kedua imam dari Ceng-sia-pay, "Jiwi berdua mempunyai beban tugas yang
penting. Harap melaksanakan dengan sekuat tenaga. Usahakan sekuat-kuatnya agar
kedua pemuda Kat itu dapat lolos dari tempat ini. Aku hendak membantu Sin Ciong
toheng"." Jago tua dari Tibet itu menutup kata-katanya dengan loncat kembali ke dalam lembah.
Sebelum orang-orangnya tiba, ia sudah lepaskan dua buah pukulan Bu-ing-sin-kun ke arah
ketiga nona Beng-gak. Karena selama memanggul kedua pemuda, kedua jago Ceng-sia-pay itu belum
bertempur dengan musuh, maka bekerjanya racun dalam tubuh merekapun agak lambat.
Mereka menyadari pada setiap detik amat berharga sekali. Maka segera mereka mengajak
Siu-lam dan Hian-song lanjutkan perjalanan.
Bermula Siu-lam agak heran menyaksikan gerak-gerik Sin Ciong tojin dan Pek Co-gi
dengan kedua tokoh Ceng-sia-pay. Tetapi karena kedua tokoh Ceng-sia-pay itu sudah
mendahului lari dengan pesat, terpaksa Siu-lam dan Hian-songpun lari mengikuti mereka.
Siong Hong dan Siong Gwat terus kencangkan larinya sambil memandang ke sekeliling
untuk mencari jalan keluar. Tak berapa jenak mereka sudah lari sejauh beberapa li. Saat
itu mereka tiba di padang bunga.
Tiba-tiba sesosok bayangan melesat dari tengah-tengah padang bunga. Dua orang
gadis baju hijau muncul menghadang dengan pedang terhunus.
Siong Gwat segera mencabut pedangnya terus menyerang gadis baju hijau yang di
sebelah kiri. Tetapi gadis itu tak mau menangkis melainkan menghindar mundur.
Sebaliknya gadis baju hijau yang di sebelah kanan segera maju menangkis.
Melihat itu Siu-lam berseru, "Harap totiang berdua jaga baik-baik kedua saudara itu,
biarlah aku yang menghadapi kedua nona ini."
Kalau dia hanya bicara saja tetapi Hian-song sudah mendahului menyerang kedua nona
penghadangnya itu. Gadis baju hijau yang sebelah kanan segera gunakan jurus Hwe-hong-wu-liu,
menangkis serangan Hian-song. Tetapi Hian-song cepat berputar tubuh sambil menarik
pedang dan tiba-tiba balikkan tangannya ke belakang menabas dengan jurus Thian-gwalay-
hun atau dari luar langit timbul awan.
Tepat pada saat itu terdengar jeritan ngeri. Hian-song cepat berpaling dan dilihatnya
gadis baju hijau di sebelah kiri tadi tiba-tiba telah menusuk punggung gadis baju hijau
yang menangkis serangan Hian-song. Ujung pedang tembus sampai ke luar dada.
Sudah tentu Siu-lam dan Hian-song kesima. Dipandanganya gadis baju hijau itu dengan
tak berkesiap. Gadis baju hijau itu mencabut pedangnya yang menembus dada kawannya lalu
membersihkan darah pada batang pedang. Setelah itu ia bertanya, "Siapakah yang
mempunyai nama she Pui?"
Siu-lam tertegun, sahutnya, "Akulah!"
Gadis baju hijau sejenak mengamat-amati Siu-lam lalu berkata pula, "Apakah kau yang
bernama Pui Siu-lam?"
Siu-lam mengiyakan. "Jalanan di muka penuh dengan alat rahasia dan juga jago-jago sakti. Di lembah ini
terdapat sebuah jalan keluar. Jika tuan-tuan hendak meloloskan diri, hanya jalan itu yang
merupakan satu-satunya jalan keluar," kata si nona.
"Siapa kau?" tegur Siu-lam.
Nona baju hijau menyahut perlahan, "Aku disuruh kemari oleh nona Bwe. Tempo
tinggal sedikit, marilah tuan-tuan ikut aku!" ia tendang mayat kawannya tadi ke dalam
padang bunga lalu lari ke muka.
Siu-lam mengajak Siong Hong dan Siong Gwat mengikuti nona itu.
Rupanya gadis baju hijau itu paham keadaan tempat di gunung Beng-gak. Ia melintasi
padang bunga. Saat itu racun dalam tubuh kedua tokoh Ceng-sia-pay sudah bekerja. Kaki dan tangan
mereka terasa lemas tak bertenaga. Menggendong orang, dirasakan berat sekali. Keringat
bercucuran membasahi tubuh mereka. Wajah merekapun mulai biru. Tetapi dengan
keraskan hati mereka tetap lari.
Rupanya gadis baju hijau itu juga tegang sekali. Tahu bagaimana keadaan kedua imam
Ceng-sia-pay namun ia tetap tidak kendorkan larinya.
Siu-lam tetap mengikuti di belakang nona itu. Ia telah bersiap-siap. Begitu nona itu
hendak menyeleweng, segera akan ditindaknya.
Sepenanak nasi lamanya, barulah mereka keluar dari padang bunga. Nona itu berpaling
kepada Siong Hong dan Siong Gwat, "Harap totiang berdua tahankan diri sebentar lagi.
Kita sudah hampir terhindar dari bahaya!"
Ia terus lari menuju ke sebuah lembah yang lebih senyap. Siu-lam mulai curiga. Si nona
guna pedang untuk menyiak semak belukar yang menyubur di lembah itu. Kira-kira dua li
jauhnya ia menghela napas dan berhenti. Katanya kepada Siu-lam, "Jika gerak-gerik kita
tidak diketahui penjaga-penjaga yang bersembunyi di dalam padang bunga tadi, itulah
sudah beruntung!" "Apakah kecuali nona, tiada lain anak buah Beng-gak yang tahu jalan ini?" tanya Siulam.
Nona itu menerangkan bahwa lembahitu sebuah lembah mati.
Jika lembah mati, mengapa nona membawa kami ke sini?" Tanya Siu-lam curiga.
"Ah, mengapa engkau begitu terburu-buru menukas keteranganku?" sahut si nona.
"Dalam lembah mati terdapat sebuah terowongan yang merupakan mulut gunung berapi.
Tetapi sudah berpuluh tahun gunung itu tidak mengeluarkan api lagi!"
Siu-lam terkejut dan diam-diam mendamprat nona itu karena hendak menggunakan
gunung api untuk mencelakai mereka.
Karena tak mempunyai pengalaman, nona itu tetap melanjutkan keterangannya dengan
tenang, "Nona Bwe suruh aku mengantar kalian ke mulut gunung berapi itu. Menurut kata
nona Bwe hanya mulut gunung berapi itu merupakan satu-satunya jalan keluar!"
"Tetapi bukankah bagian dalamnya masih panas sekali" Jika masuk, dikuatirkan tak
dapat keluar lagi"."
Nona itu gelengkan kepala, "Tentang hal itu aku tak tahu. Tetapi nona Bwe hanya
memerintahkan supaya aku membawa tuan-tuan masuk ke dalam terowongan itu," dan
tanpa menunggu jawaban Siu-lam nona itu terus lanjutkan jalan ke muka lagi.
Siu-lam berpaling. Dilihatnya Siong Hong dan Siong Gwat sudah mandi keringat.
Matanya dipejamkan seperti orang yang sudah tak bersemangat lagi.
"Dalam keadaan begini, harapan hidup tipis sekali. Lebih baik aku mencoba masuk ke
dalam terowongan gunung berapi itu," akhirnya Siu-lam mengambil putusan dan
mengikuti si nona baju hijau.
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hian-song juga mempunyai pikiran seperti pemuda itu. Iapun mengikuti Siu-lam.
Saat itu racun dalam tubuh kedua imam Ceng-sia-pay sudah bekerja dan kedua tokoh
itu sudah kehilangan kesadaran pikirannya. Merekapun hanya mengikuti kemana Siu-lam
bergerak. Setelah berjalan satu li jauhnya, tibalah mereka di sebuah dinding karang yang tinggi.
Di bawah kaki karang itu terdapat sebuah terowongan kecil.
"Inilah!" seru si nona seraya menunjuk mulut terowongan.
Siu-lam memandang ke dalam. Liang terowongan gelap sekali sehingga tak dapat
diketahui berapa dalamnya.
"Silahkan periksa sendiri, aku hendak kembali!" kata gadis itu.
Siu-lam menimang. Jika gadis itu hendak mencelakai dirinya, tentu dia takkan
membunuh kawannya sendiri. Tentulah ia benar suruhan Bwe Hong-swat yang berusaha
untuk menolongnya. Berpaling ke belakang tampak kedua imam dari Ceng-sia-pay sudah lentuk tak
bertenaga. Sedang Hian-song seorang dara yang tak berpengalaman. Maka ia harus
memutuskan sendiri apakah akan memasuki terowongan itu atau tidak.
Ia menyadari betapa penting tugas yang terletak di bahunya saat itu. Ia harus
menyelamatkan jiwa beberapa orang itu, setelah merenung beberapa saat akhirnya ia
memutuskan untuk masuk. "Adik Song, aku yang mempelopori di muka, dank au yang menjaga di belakang. Kedua
imam itu rupanya sudah tak tahan!" kata Siu-lam. Ia terus menghunus pedang dan
melangkah masuk. Memang pikiran kedua imam Ceng-sia-pay itu tak terang lagi. Ia hanya menurutkan
kemana Siu-lam langkahkan kaki. Begitu melihat pemuda itu masuk ke dalam terowongan,
mereka pun segera mengikuti.
Lorong terowongan gelap sekali, sehingga tak dapat melihat jari-jari tangannya sendiri.
Lorong terowongan menurun ke bawah kira-kira tiga puluh tombak jauhnya, lorong yang
sempit tiba-tiba lebih besar. Tetapi berbareng itu terdengar suara gemuruh!
Siu-lam berhenti untuk mencari arah suara gemuruh itu. Tetapi sampai sekian jenak, ia
tak berhasil mengetahui arahnya. Suara itu sebentar seperti dari sebelah barat, sebentar
pindah ke sebelah timur. Tengah ia menumpahkan perhatian, tiba-tiba terdengar Siong Hong dan Siong Gwat
mengerang dan jatuh terkapar di tanah. Kedua pemuda yang digendongnya itupun ikut
numprah. Ketika Siu-lam memeriksa, ternyata Siong Hong sudah putus jiwanya.
Siu-lam terpaksa menolong Kat Hong. Imam Siong Gwat menghela napas, "Kedua
pemuda itu sudah ditutuk jalan darahnya. Asal sudah dapat disembuhkan, tentu dapat
berjalan sendiri." Katanya terputus oleh darah yang muntah dari mulutnya. Siu-lam buru-buru memberi
pertolongan dengan menyalurkan tenaga dalamnya. "Totiang hendak memberi pesan
apa?" Imam dari Ceng-sia-pay itu membuka mata dan dapat berkata, "Mereka berdua telah
diberi minum pil kim-tan dari Bu-tong-pay. Asal dibuka jalan darahnya yang tertutuk,
mereka tentu sembuh, dalam bungkusan itu tersimpan segala ilmu pelajaran dari tokohtokoh
yang ikut masuk ke dalam Seng-si-bun. Ilmu itu diberikan kepada kedua pemuda itu
agar mereka menyakinkan dengan sungguh-sungguh?" Siong Gwat tojin mengambil
sebuah lencana dari bajunya, "Inilah lencana dari Ceng-sia-pay" yang memiliki lencana ini
akan diberi kekuasaan untuk memegang pimpinan Ceng-sia-pay"."
Jago dari Ceng-sia-pay itu tak dapat meneruskan kata-katanya karena muntah darah
lagi dan seketika putuslah jiwanya.
Siu-lam menghela napas, "Adik Song, lepaskanlah, dia sudah meninggal."
Dara itu menanyakan apa sebab tokoh itu meninggal. Siu-lam mengatakan bahwa
mereka mati karena terkena racun.
"Eh, mengapa kita tak terkena racun?"
"Karena kita menelan pil pemunah racun. Kalau tidak kita tentu sudah mati juga!"
"O, jadi ketika di dalam ruang Hwe-lun-tian, kau menyusupkan pil itu ke dalam
mulutku?" Siu-lam mengiakan. "Dari mana kau memperoleh pil itu?"
Diam-diam Siu-lam membatin. Itulah suatu kesempatan agar Hian-song tak membenci
lagi kepada Bwe Hong-swat. Maka dengan terus terang ia memberitahukan hal itu.
"Jika tiada pil itu kita tentu sudah mati," Siu-lam menambahkan keterangannya.
Bermula Hian-song diam saja tetapi begitu mendengar keterangan Siu-lam yang
terakhir, seketika marahlah dara itu, "Jika tahu pil itu pemberiannya, aku tak sudi minum
dan lebih suka mati!"
Siu-lam terkejut dan buru-buru mengalihkan pembicaraan, "Sebaiknya kita lekas
memindahkan jenazah kedua imam ini kemudian menolong kedua pemuda. Ah, entah
apakah pil dari Bu-tong-pay itu dapat menolong jiwanya"."
"Huh, kalau obat dari lain orang tidak mujarab kecuali dari adikmu si gadis baju putih
itu, ya!" kembali Hian-song merajuk.
Siu-lam hanya tertawa hambar. Tak mau ia meladeni dara yang sedang marah-marah
itu. Kemudian ia cepat-cepat memberi pertolongan pada kedua pemuda yang masih
pingsan. Beberapa saat kemudian kedengaran Kat Wi dapat menghela napas dan tersadar. Hiansong
pun membantu menyadarkan Kat Wi. Pemuda itu pun tersadar.
"Tuh, lihat, engkoh Lam, siapa bilang pil dari Bu-tong-pay tidak mujarab?" lengking si
dara. Siu-lam menghela napas, ujarnya, "Sin Ciong tojin rela memberikan dua butir pil Butong-
pay kepada kedua pemuda ini dan ia sendiri rela untuk mati. Sungguh seorang tokoh
yang luhur!" Kat Hong dan Kat Wi yang baru tersadar terkejut ketika dapatkan dirinya berada dalam
sebuah terowongan yang gelap. Tetapi Siu-lam cepat menyabarkan mereka, "Saudara
berdua baru saja terlepas dari tutukan, kemungkinan dalam tubuh saudara masih ada
racunnya. Sebaiknya jangan bergerak dulu dan menyalurkan darah untuk mengusir racun
itu!" "Mana ayahku?" tanya Kat Hong.
Memang pada saat Kat Thian-beng mengalami nasib yang menggenaskan, buru-buru
Sin Ciong tojin menutuk jalan darah kedua pemuda itu agar jangan sampai goncang
hatinya, maka kedua anak muda itupun tak tahu kemana sang ayah.
"Sebaiknya saudara memulangkan napas dulu dan berusaha untuk mengenyahkan
racun dalam tubuh saudara. Nanti tentu akan kuberitahukan semua peristiwa?" Siu-lam
memberi penjelasan, "tempat ini masih dalam daerah berbahaya, begitu saudara sudah
sembuh, kita harus lekas tinggalkan tempat ini!"
Kedua saudara Kat itu menurut. Mereka segera duduk bersemedhi menyalurkan darah.
Pil kim-tan yang dibawa Sin Ciong tojin merupakan pil pusaka buatan dari Tio Samhong,
pendiri partai Bu-tong-pay. Hanya dibuat sebanyak lima butir pil, turun-menurun
diserahkan pada Ciang-bun-jin (ketua) Bu-tong-pay. Pil itu tak boleh digunakan
sembarangan kecuali menghadapi suatu peristiwa yang luar biasa. Pada saat diterima oleh
Sin Ciong tojin, pil itu hanya tinggal dua butir.
Pil itu memang mujijat sekali. Begitu kedua pemuda Kat itu menyalurkan napas, mereka
segera rasakan dadanya longgar, semangatnya segar. Tiba-tiba mereka muntah-muntah.
Tetapi setelah itu tampaknya mereka mulai sehat.
"Kau lapar?" tanya Hian-song yang masih kekanak-kanakan.
"Jangan adik Song," cegah Siu-lam, "memang setelah muntah tentu merasa lapar. Tapi
bekal yang kita bawa itu tentu sudah mengandung racun. Sebaiknya dibuang saja!"
Dara itu menurut. "Ai, kali ini kau benar-benar mendengar kata!" Siu-lam tertawa bergurau.
Hian-song berbangkit dan menghampiri dekat pemuda itu. Serunya dengan lemah
lembut, "Engkoh Lam?" Belum selesai ia mengucap tiba-tiba terdengar letusan yang
dahsyat dan segumpal asap tebal menyambar dari belakang.
Terkejut mereka bukan kepalang. Mereka seolah-olah digodok dalam api. Keringat
mengalir seperti anak sungai. Hawa panas merangas cepat sekali sehingga tak
menyempatkan mereka untuk bertahan diri.
Siu-lam cepat kerahkan tenaga dalam untuk menahan panas lalu memanggul kedua
saudara Kat terus dibawa.
"Adakah saudara terluka?" tanyanya.
Kedua saudara Kat itu gelengkan kepala. Saat itu racun dalam tubuh mereka sudah
sebagian besar hilang. Keadaan berangsur-angsur baik.
"Engkoh Lam, aku teringat?" tiba-tiba Hian-song tersenyum.
"Teringat apa?" Tanya Siu-lam heran.
"Nona baju putih itu tak cinta padamu maka ia sengaja suruh orang menjerumuskan
kau ke dalam terowongan gunung berapi supaya kita terkubur hidup-hidup!"
Siu-lam tertegun. Diam-diam ia mengakui memang kata-kata si dara itu benar juga.
Tetapi pada lain kilas ia teringat. Bahwa jika nona itu benar-benar bermaksud jahat, tak
nanti ia memberi pil penawar racun di ruang Hwe-lun-tian".
"Ah, tetapi kalau dia berbuat begitu, aku malah lega." Hian-song tertawa lalu
menggelendot di dada Siu-lam.
Sebagai seorang dara yang menjelang alam kedewasaan, sebagai seorang yang sudah
sebatang kara, ia anggap Siu-lam itu adalah satu-satunya manusia di dunia yang menjadi
tiang andalannya. Maka ia tak senang apaibila si nona baju putih bersikap baik pada Siulam.
Siu-lam tergerak hatinya melihat sikap mesra dari dara itu. Dipeluknya dara itu seraya
berbisik, "Cukuplah kalau kau sudah tahu, jangan suka mengada-adakan pikiran apa-apa
lagi!" Tiba-tiba terdengar Kat Hong menghela napas dan berkata pada saudaranya, "Adik,
samar-samar aku masih ingat bahwa ayah telah dilukai si nona baju merah dalam ruang
Hwe-lun-tian!" "Ya, ya, akupun seperti melihat ayah terluka oleh ketiga siluman perempuan itu. Tetapi
tiba-tiba jalan darahku ditutuk orang?" sahut Kat Wi dengan menghela napas. Kemudian
berpaling ke arah Siu-lam ia berkata, "Apapun yang terjadi harap Pui-heng
memberitahukan terus terang. Toh sudah dalam keadaan begini, tak nanti kami berdua
menyesal." Siu-lam merenung sejenak lalu berkata, "Sin Ciong totiang telah memberikan dua butir
kim-tan kepada saudara berdua. Kim-tan itu merupakan pil pusaka turun-temurun dari
partai Bu-tong-pay. Selain itu, sekalian orang gagah yang ikut masuk ke dalam Hui-lunTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tian telah meninggalkan ilmu kepandaiannya masing-masing kepada saudara berdua. Budi
para cianpwe itu sungguh tak ternilai. Mereka telah meletakkan seluruh harapan kepada
saudara berdua. Apabila saudara sampai mengecewakan harapan mereka, rasanya Sin
Ciong totiang tentu tidak dapat mengaso tenang di alam baka"."
Kedua saudara itu serempak menyahut, "Harap Pui-heng jangan kuatir. Kami berdua
pasti takkan mengecewakan harpan Sin Ciong totiang!"
"Kesanggupan saudara itu pasti akan menentramkan hati Sin Ciong totiang yang telah
memberikan ilmu pelajarannya agar ilmu itu tak ikut hilang?" Siu-lam berhenti sejenak
lalu berkata pula, "Saudara memang benar, ayah saudara memang sudah meninggal"."
Mendengar itu air mata kedua pemuda itu membanjir turun. Namun mereka kuatkan
hati untuk menahan kedukaan.
Siu-lam menghela napas, "Bukan melainkan hanya Kat lo-cianpwe, pun kecuali kita
berempat ini, yang lainnya kemungkinan besar tentu juga sudah tak ada"."
Dengan singkat Siu-lam segera menuturkan apa yang telah terjadi di ruang Hwe-luntian.
Pada akhirnya ia menandaskan lagi akan kemuliaan hati ketua Bu-tong-pay yang
relah memberikan pil mujizat itu kepada kedua saudara Kat.
Kat Hong bangkit dan mengajak adiknya untuk memberi hormat kepada jenazah Siong
Gwat dan Siong Hong, kedua imam Ceng-sia-pay yang telah menggendong mereka.
Dengan haru dan khidmat, kedua saudara itu memberi hormat yang sedalam-dalamnya
kepada jenasah kedua tokoh Ceng-sia-pay.
Menunjuk pada buntalan kain di samping, berkatalah Siu-lam, "Buntalan ini terisi ilmu
pelajaran sakti dari para lo-cianpwe. Harap saudara berdua menyimpannya baik-baik. Jika
sampai hilang berarti akan hilang ilmu kesaktian dari dunia persilatan!"
Kat Hong membuka buntalan itu. Tangkai pedang, lengan baju, keping kayu dan
benda-benda yang bertuliskan ilmu pelajaran sakti, dibagi dua diberikan kepada adiknya.
Setelah menyimpannya baik-baik, berkatalah ia, "Jika berdua sampai tertimpa sesuatu
bahaya, harap Pui-heng mengambil buntalan yang kami bawa ini. Sekali-kali jangan
sampai jatuh di tangan musuh."
Pemuda itu berbangkit lalu melangkah ke luar. Siu-lam tercengang dan buru-buru
mencegahnya, "Saudara Kat, tunggu dulu. Kau hendak kemana?"
"Mumpung kami masih mempunyai kekuatan untuk menghadapi musuh, kami akan
berusaha untuk lolos dari Beng-gak. Jika tidak tentu kami di sini akan lemas kelaparan!"
sahut Kat Hong. Siu-lam menghela napas, "Apakah saudara menganggap kepandaian saudara itu lebih
unggul dari lo-cianpwe itu?"
Sahut pemuda itu, "Dalam keadaan seperti saat ini, walaupun kepandaian tidak
memenuhi syarat, tetapi lebih baik kita berpantang maut sebelum ajal. Mari kita keluar
berpencaran dari empat penjuru. Satu saja bisa lolos, sudah beruntung daripada mati
semua!" "Berani kupastikan bahwa kita ini tiada yang dapat lolos," kata Siu-lam.
"Jadi maksud Pui-heng, lebih baik kita tunggu kematian di sini saja?"
"Keluar dari terowongan ini jangan harap bisa selamat. Satu jalan hanyalah terus
masuk berusaha mencari lubang yang bisa keluar dari lingkungan Beng-gak!"
Kat Hong melangkah balik, katanya, "Hawa panas dari semburan asap tadi, tidak
mungkin dapat kita tahan" ah, mungkin Pui-heng memiliki lwekang yang mampu
menahan panas. Tetapi bagi kami berdua saudara, tentu akan mati kepanasan. Daripada
menerjang maut lebih baik kita adu peruntungan untuk menggempur Beng-gak"."
Siu-lam tak leluasa untuk memberitahukan tentang perintah Bwe Hong-swat kepada
bujangnya agar membawa rombongan keempat pemuda itu mengambil jalan dari
terowongan di situ. Ia kuatir Hian-song akan merajuk. Tetapi Siu-lam yakin, bahwa Bwe
Hong-swat mempunyai hati yang kasih saying. Lain dari Hian-song yang berwatak keras
dan berterus terang. Kepercayaan Siu-lam terhadap Bwe Hong-swat telah menimbulkan
harapan pemuda itu bahwa adanya Bwe Hong-swat menyuruh ambil jalan melalui
terowongan gunung, tentulah dalam terowongan itu terdapat sebuah jalan lolos.
Setelah merenungkan kesemuanya itu, berkatalah Siu-lam, "Saat ini hanya ada dua
jalan. Keduanya penuh penderitaan. Keluar dari terowongan dan bertempur dengan orang
Beng-gak. Kita kesampingkan dulu soal ilmu kepandaian.
Tetapi cukup dengan cara mereka menaburkan racun saja, kita sudah tak mampu
menandingi." "Maksud Pui-heng"."
"Maksudku, daripada harus menghadapi orang Beng-gak dengan kemungkinan tipis,
lebih baik kita lanjutkan menyusur terowongan ini. Kemungkinan terdapat jalan keluar!"
kata Siu-lam. Tetapi Kat Hong tetap menyangsikan kalau terowongan itu dapat menyelamatkan
mereka. "Gunung berapi ini sudah berpuluh tahun mati. Tentu terdapat celah-celah lubang pada
gumpalan-gumpalan karang bekas lahar. Memang hanya semburan asap panas tadi yang
kita alami, tetapi sampai saat ini kita tak menderita gangguan apa-apa lagi. Coba saudara
pikir. Jika memang gunung berapi ini masih bekerja, kita mati tetapi dapatkah orang Benggak
terhindar dari terjangan lahar maut?"
Akhirnya Kat Hong mengakui dan satu keputusan Siu-lam. Siu-lam pun segera
mengajak mereka berangkat.
Kat Wi menyeletuk bahwa dengan perut kosong, tak mungkin mereka dapat mencapai
ujung terowongan yang tak diketahui berapa panjangnya itu.
"Ih,kalau kalian begitu takut mati, lebih baik jangan pergi saja!" Hian-song menyeletuk
dengan mengkal. Kat Wi marah, "Kalau nona berani, mengapa aku seorang anak lelaki takut" Ayo
berangkat!" ia terus melangkah mendahului Siu-lam.
Siu-lam mencekal lengan anak muda itu, "Harap saudara janga menurutkan kemarahan
hati. Biarlah aku yang mempelopori di muka!"
Tahu pemuda itu lebih sakti, Kat Wi pun tak mau berkeras kepala. Ia berjalan mengikuti
di belakang Siu-lam. Saat itu setelah cukup duduk menyalurkan napas mereka merasa segar dan tajam
penglihatannya. Dilihatnya di sebelah muka hanya gunduk-gunduk karang. Belasan
tombak jauhnya, kembali mereka harus melintasi sebuah jalan yang sempit. Suara
gemuruh itupun terdengar lagi.
Siu-lam berhenti dan pasang pendengaran lalu berjalan perlahan-lahan. Ia tahu bahwa
suara menggelegar yang gemuruh itu menandakan bahwa perut gunung terdapat gerakan
lava (gejolak lahar). Tetapi tak mau ia mengatakan hal itu supaya jangan mengecilkan hati
kedua saudara Kat. Maka berjalanlah keempat pemuda itu dengan langkah berat dan hati tegang. Tiba-tiba
dengan Hian-song menghela napas, "Engkoh Lam, apabila kita berhasil lolos dari perut
gunung ini, kemungkinan kita masih terancam kesulitan-kesulitan lagi!"
"Kesulitan yang bagaimana?"
"Kali ini banyak tokoh persilatan yang binasa di gunung Beng-gak. Hanya kita berempat
yang berhasil lolos, dengan begitu murid-murid mereka tentu akan mencari kita untuk
menanyakan tentang kematian guru-gurunya!" kata Hian-song.
"Ah, janganlah memikirkan begitu jauh. Yang penting kita sedang menghadapi bahaya,
dan tipis kemungkinan kita dapat selamat," diam-diam Siu-lam mendamprat dara itu.
Namun ia tertawa dan mengiakan kata-kata Hian-song, "Ya, ya, kita tentu repot tiap hari
menerima tetamu"."
Kat Wi menyeletuk, "Ah, saudara berdua masih sempat memikirkan apa yang belum
terjadi. Lebih baik kita kesampingkan dulu hal itu."
"Apa" Kau takut mati" Hian-song tertawa.
"Apa kau tak takut?" balas Kat Wi.
"Apa guna kita takut" Dalam keadaan seperti saat ini, kita tak tahu bagaimana nasib
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita nanti. Mati atau hidup terserah saja."
"Adik, nona Hian-song benar," Kat Hong ikut bicara, "apabila gunung berapi ini meletus
tak mungkin kita bisa hidup!"
Untuk menghindari perdebatan yang tiada berguna, Siu-lam minta supaya mereka
berjalan dengan hati-hati dan cermat. Tiba-tiba terdengar letusan menggelegar yang
makin lama makin dekat. Dan pada lain saat serangkum hawa belerang menyembur ke
dalam terowongan. Siu-lam terkejut dan lekas-lekas suruh kawan-kawannya menyalurkan lwekang dan
rebah di tanah. Tepat pada saat mereka menelungkup ke tanah, suara letusan itu
melayang di atas kepala mereka. Hampir seperminum teh lamannya, suara letusan itu
baru hilang. Untunglah mereka sudah siap lebih dulu. Ketika bangun Kat Wi batuk-batuk karena
mulut menyedot bau belerang yang masih memenuhi liang terowongan. Ternyata dia
hendak mengusulkan lebih baik kembali dan keluar dari terowongan saja lalu bertempur
dengan orang Beng-gak. Tetapi baru membuka mulut sudah batuk-batuk.
Rupanya Siu-lam tahu apa yang hendak dikatakan pemuda itu. Ia menghela napas dan
setengahnya memberi dampratan halus, "Beban yang diletakkan para cianpw di atas bahu
saudara, amat berat. Jika sampai terjadi apa-apa bukan saja saudara mengecewakan
harapan mereka, pun ilmu kepandaian sakti dari berbagai aliran persilatan akan turut
ludas"." Kat Hong pun menganjurkan agar adiknya menuruti nasihat Siu-lam. Tiba-tiba Kat Wi
berbangkit dan rentak mengajak melanjutkan lagi.
Selama menyusuri terowongan, angin dan letusan-letusan dahsyat sudah tiada
terdengar lagi. Setelah beberapa lama kemudian, tiba-tiba mereka tiba di sebuah simpang
tiga. "Pui-heng, kita ambil jalan yang mana?" tanya Kat Wi.
Memang ketiga simpang jalan itu hampir serupa. Sesaat Siu-lam tak dapat menentukan.
"Ah, yang manapun boleh saja. Toh kemanapun kita tetap mati?" Kat Hong menghela
napas. "Tetapi ketiga jalan ini tak sama. Angin panas tadi tentu berasal dari salah satu jalan
ini. Dan letusan menggelegar tadi, mengapa tidak terdengar lagi. Ini dapat membantu
kita?" kata Siu-lam yang berhenti tiba-tiba karena dikejutkan oleh setiup angin dingin
yang menghambur dari salah sebuah ketiga jalan.
"Pui-heng, mari kita ambil dari jalan yang menghembus angin dingin ini," kata Kat
Hong. Tetapi Siu-lam malah duduk bersemedhi menyalurkan napas, ujarnya, "Angin dingin ini
kelewat dingin. Setelah beberapa lama dalam hawa panas, kemungkinan kita tak tahan.
Lebih baik kita duduk memulangkan napas dulu."
Hian-song membenarkan. Kedua saudara Kat itupun terpaksa mengikuti.
Tengah mereka duduk bersila, tiba-tiba dari samping meniup angin panas lagi. Bahkan
lebih panas dari yang tadi, sehingga mereka bermandi keringat. Angin panas yang segera
disusul dengan semburan asap itu berasal dari jalan di sebelah kiri. Di balik hamburan
asap itu tampak memburat sinar api.
"Api! Lekas menyingkir, gunung ini akan meletus?" serentak kedua saudara Kat itu
menjerit dan loncat bangun terus lari ke salah satu jalanan.
Memang saat itu segulung api melanda dari jalanan sebelah kiri yang tepat berada di
belakang kedua saudara itu.
Siu-lam menghantam api itu. Dan dia berhasil mengurangkan semburan api yang
melanda dengan cepat. Tetapi itu hanya suatu penundaan karena pada lain saat, api
menyerang lebih hebat dan cepat sehingga Siu-lam tak sempat lepaskan tamparan lagi.
Siu lam hendak loncat ke jalan ditengah tetapi serangan api telah memaksa ia mundur
dan masuk ke jalan yang sebelah kanan. Terowongan jalan di situ sempit dan berliku-liku.
Karena serangan api yang panas, terpaksa Hian-song dan Siu-lam lari menyusul
terowongan itu. Berulang kali mereka harus meringis karena tubuh dan kepala mereka
terbentur karang yang menonjol tajam.
Entah sudah berapa lama mereka mati-matian melarikan diri dari serangan api itu. Baru
setelah merasa ancaman api itu berkurang, mereka hentikan larinya.
"Adik Song, apakah kau terluka?" tanya Siu-lam.
"Eh, masih bertanya. Lihatlah kepalamu sendiri itu!" Hian-song mengambil sapu tangan
dan menyeka kepala pemuda itu dengan mesra.
"Adik Song, apakah kau sungguh-sungguh tak terluka?"
Hian-song tertawa, "Sekali kepalaku terantuk karang, aku lantas berhati-hati!"
Siu-lam tertawa gembira. Tetapi diam-diam ia terkejut. Jelas bahwa kepandaian dara
itu ternyata lebih unggul dari dirinya. Ia babak bonyok, tetapi dara itu tak kurang suatu
apa. Ia mengajaknya duduk bersemedhi lagi.
"Apa kau letih?" tanya Hian-song"
Siu-lam mengatakan bahwa tulang-tulangnya nyeri sekali akibat benturan-benturan
pada batu karang. Kemudian ia mneyatakan penyesalannya karena telah mengajak dara
itu ke Beng-gak yang penuh derita.
"Tetapi selama dengan kau, segala penderitaan kuterima dengan gembira," sahut si
dara. "Eh, tulangmu di bagian mana yang sakit, mari kuurutnya!" Tanpa tunggu jawaban
orang, dara itu terus mengurut urat kaki Siu-lam.
Dipijati oleh tangan yang halis, rassa sakit Siu-lam menjadi mengurang dan tak lama
kemudian ia tertidur pulas.
Ketika bangun ia melihat Hian-song duduk bersemedhi pejamkan mata. Diam-diam
timbul kesan yang mendalam pada hati Siu-lam. Bahwa dara yang sudah sebatang kara itu
jelas menganggap dirinya sebagai orang satu-satunya yang menjadi tiang sandaran. Ia
menyesal bahwa ia telah membawa-bawa dara itu ke tempat neraka semacam Beng-gak.
"Engkoh Lam, kau sudah bangun?" tiba-tiba dara itu membuka mata.
Siu-lam mengiakan, "Berapa lama aku tertidur tadi?"
"Kira-kira satu jam?" sahut Hian-song. "Eh, engkoh Lam, mengapa kau menghela
napas?" "Aku memikirkan kedua saudara Kat tadi. Entah bagaimana dengan mereka," kata Siulam.
"Mereka masuk ke dalam terowongan yang berhawa dingin. Kemungkinan mereka
tentu tak tahan!" "Benar, memang hawa itu luar biasa dinginnya!"
"Terowongan yang kita masuki ini, cukup memuaskan. Tidak dingin tidak panas."
Siu-lam berbangkit dan segera ajak melanjutkan perjalanan lagi.
Sambil mengikuti di belakang Siu-lam, si dara berseru, "Engkoh Lam, bahaya apapun
yang akan menghadang di sebelah muka, janganlah kita sampai bercerai. Sungguh
engkoh, aku takut setengah mati kalau berjalan seorang diri dalam terowongan segelap
ini!" "Tak apa. Terowongan ini tak mungkin ada ular dan binatang berbisa!"
Demikian sambil berjalan, keduanya bercakap sambil bergurau. Setelah melintasi dua
buah tikungan tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara bergemuruh macam ombak lautan.
"Engkoh Lam, apakah kau dapat berenang?"
"Bukan, suara itu bukan seperti debur ombak," kata Siu-lam.
"Kalau bukan air, habis apa?"
"Seperti angin puyuh!"
"Ah, mana mungkin?"
"Memang benar angin. Inilah yang membingungkan!"
"Mengapa bingung" Ini berarti kita bakal lekas dapat keluar!" sebaliknya Hian-song
malah gembira. "Tetapi dapat mendengar deru suaranya, mengapa kita tak merasa hembusan angin itu
sedikitpun juga?" Hian-song mengatakan tak usah banyak pikir lebih baik berjalan maju lagi.
Beberapa belas tombak jauhnya, deru angin itu makin dahsyat. Namun mereka tetap
tak merasa sesuatu hembusan apa-apa. Tetapi beberapa langkah kemudian, mereka
terkejut, ketika deru angin makin dekat dan melengking menusuk telinga.
Setelah membelok sebuah tikungan lagi, mereka berhadapan dengan sebuah karang
buntu yang gelap. Kini Siu-lam baru mengetahui bahwa karang buntu itulah yang
menahan masuknya angin ke dalam terowongan.
"Engkoh Lam, ayo kita kembali saja! Karang itu buntu!" tiba-tiba Hian-song berseru.
"Tidak, adik Song. Justru kita sudah hampir dapat lolos dari bahaya!" jawab Siu-lam.
Kemudian ia ajak si dara duduk bersemedhi lagi untuk mengumpulkan tenaga.
Atas permintaan si dara, Siu-lam memberi penjelasan, "Terowongan ini terletak di perut
gunung dan tembus ke darat gunung. Tak mungkin terdapat angin. Angin dahsyat itu
tentu berasal dari luar gunung. Dan karang buntu ini pasti tidak berapa tebal!"
Hian-song girang mendengar penjelasan itu. Ia membayangkan bahwa tak lama, tentu
sudah dapat lolos dari neraka.
"Engkoh Lam, kemanakah kita akan menuju setelah keluar dari neraka ini?" tanyanya.
"Soal itu belum dapat kupastikan. Yang jelas dunia persilatan tentu akan mendengar
berita tentang kematian beberapa tokoh di Beng-gak. Mereka tentu takkan tinggal diam.
Dunia persilatan pasti akan timbul pergolakan hebat?" Siu-lam berhenti sejenak karena
didapatinya dara itu sandarkan kepalanya pada bahunya, "eh, adik Song, kau memikir
apa?" "Kubayangkan setelah kita lolos dari sini, apakah kita masih dapat berkumpul terus.
Kalau di sini memang terdapat bahan makanan, alangkah baiknya kita terus berada di sini
saja." Siu-lam terbeliak, ujarnya, "Tetapi adik Song, kita harus berdaya upaya untuk
tinggalkan tempat ini. Kita harus lekas-lekas menyampaikan berita kematian para tokohtokoh
itu kepada dunia persilatan."
"Kalau karang ini tidak seperti yang kau bayangkan, lalu bagaimana rencanamu?" tanya
si dara pula. Siu-lam mengangkat bahu, "Kalau memang begitu kita tak dapat berbuat apa-apa.
Tetapi sebelumnya kita harus berusaha!"
Tiba-tiba Hian-song loncat bangun, serunya, "Jalan pikiranmu berlawanan dengan aku.
Namun aku tetap akan menurut rencana!" Habis berkata ia menghantam karang buntu ini.
Bum" pukulan Hian-song mental dan memantulkan suara kumandang. Siu-lam terkejut
dan menusuk karang itu dengan pedangnya. Suara kumandang itu melantang pula.
"Engkoh, itu bukan karang betul!" kata Hian-song.
"Benar, seperti karang logam. Aneh, mengapa di dalam perut gunung terdapat dinding
karang logam!" "Ya, memang aneh. Padahal tempat ini jelas belum pernah didatangi orang!" kata si
dara. Karena tak dapat memecahkan persoalan itu, Siu-lam mengajak duduk bersemedhi lagi.
"Ah, kalau benar dinding karang ini dari logam besi, jangan harap kita dapat keluar!"
Hian-song tertawa tawar. "Salah, kalau memang dinding karang logam, kita malah mempunyai harapan keluar!"
"Hai, mengapa?" Hian-song heran.
"Kalau dinding logam, terang dahulu tentu sudah ada orang yang pernah datang ke
sini!" kata Siu-lam. Tiba-tiba ia rasakan tubuhnya kesemutan. Saking kagetnya ia loncat
beranjak. Hian-songpun mempunyai perasaan demikian dan ikut melonjak juga. Tetapi setelah
turun ke tanah perasaan kesemutan itu hilang. Mereka saling menyatakan apa yang
dirasakan tadi. "Celaka, kita bersua setan?" Hian-song menjerit ketakutan, lalu jatuhkan diri ke dada
Siu-lam. Siu-lam menghiburnya. Bahwa di dunia ini sebenarnya tak ada setan. Tetapi belum
habis kata-katanya ia rasakan tubuhnya kesemutan lagi sehingga ia berteriak dan
melonjak kaget. "Celaka, aku bisa mati ketakutan. Hayo, kita pergi!" teriak Hian-song.
Sudah tentu Siu-lam tak mau. Karena sudah sampai di situ, percuma kalau ia harus
kembali lagi. "Tidak, adik Song. Tenaga yang membuat kita kesemutan itu jelas bukan dari setan?"
"Kalau bukan setan, habis apa?"
"Andaikata setan, pun tetap kalah berbahaya dari orang-orang Beng-gak!"
Demikian kedua anak muda itu termenung beberapa saat. Mereka benar-benar tak
mengerti apa-apayang menyebabkan tubuh kesemutan itu.
Saking jengkelnya, Siu-lam menghampiri dinding dan menghantam sekuat-kuatnya.
Bum" dinding tetap tak bergeming tetapi beberapa pasir tampak berhamburan. Buru-buru
Siu-lam memeriksa pasir itu. "Ah, ternyata memang bukan pasir biasa melainkan pasir
besi." "Engkoh Lam, apa yang kau lakukan itu?"
"Kita mempunyai harapan keluar."
"Bagaimana?" "Dinding itu jelas bukan karang besi melainkan gumpalan pasir besi yang membeku.
Walaupun keras tapi karena pasir, tetap dapat dihancurkan. Apa lagi kalau kita perlahanlahan
mengoreknya dengan pedang, tentu akan berlubang!"
"Tetapi berapakah tebalnya?"
"Rasanya tak seberapa tebal. Karena kalau tebal sekali tak mungkin kita dapat
mendengar suara deru angin gemuruh itu. Adik Song, mungkin sebelum berhasil
mengorek sebuah lobang, kita tentu sudah lemas karena lapar. Tapi apa boleh buat, kita
tak ada lain daya lagi!"
Hian-song tertawa dan mengatakan dalam keadaan bagaimanapun juga, ia tetap
menurut saja pada pemuda itu. Kemudian ia mengeluarkan pedangnya dan mulai
menusuk-nusuk dinding karang. Ah, benar juga. Pasir berhamburan.
Siu-lam pun ikut menusuk dengan pedangnya. Karena keduanya memiliki tenaga sakti
maka dalam beberapa kejap saja, mereka sudah berhasil membuat lobang sebesar
setengah meter. Pedang pusaka milik Hian-song, bergurat-gurat ujungnya.
Entah berapa lama mereka bekerja, setelah berhasil membuat lobang semeter
besarnya, pedang keduanyapun sudah tak karuan wujudnya. Dugaan Siu-lam bahwa
dinding karang itu tak berapa tebal, ternyata meleset.
Mereka berhenti untuk bersemedi memulangkan semangat. Kemudian mereka bekerja
lagi. Sampai membelai-belai rambut si dara, berkatalah Siu-lam dengan rawan, "Adik
Song, kalau sekali ini gagal, tak perlu kita bekerja lagi. Ah, aku benar-benar menyesal
sekali telah menyebabkan kau menderita. Aku harus minta maaf sebesar-besarnya kepada
arwah Tan lo-cianpwe di alam baka"."
Hian-song tertawa menghiburnya, "Kami merasa beruntung karena kakek telah
menyerahkan diriku kepadamu. Dan saat ini aku benar-benar bahagia karena dapat
sehidup semati dengan kau!"
Dengan sekuat tenaga dara itu menusukkan pedangnya, uh" ia menjorok ke muka
karena batang pedangnya telah menyusup masuk.
"Engkoh Lam, kita berhasil menembus karang ini!" serunya kaget.
"Benarkah?" Siu-lam berseru girang. Ia pun menusuk. Ah, ternyata pedangnya dapat
menyusup tembus pada dindiug karang.
Setelah mencabut pedangnya, Hian-song mengintai pada bekas lubang tusukannya. Ia
terkejut karena di luar dinding karang itu ternyata gelap sekali. Entah tempat apa.
Siu-lampun mengintai juga. Dia hampir putus asa karena keadaan tempat itu. Tetapi
pada lain kilas ia menduga tentulah saat itu pada malam hari.
Ia kembali hantamkan pedangnya sehingga lubang itu makin membesar dan cukup
untuk dimasuki orang. Segera ia memanjat dan menyusup ke dalam lubang itu. Ketika kakinya hendak
melangkah keluar, tiba-tiba ia rasakan menginjak tempat kosong. Karena tak menduga,
hilang keseimbangan tubuhnya dan meluncurlah ia ke bawah.
Kejutnya bukan kepalang. Ia kuatir Hian-song akan mengalami nasib serupa. Maka
dalam waktu tubuhnya melayang itu, ia masih sempat berteriak-teriak memperingatkan si
dara supaya berhati hati.
Bluk" jatuhlah ia ke sebuah tempat karang yang keras. Untung sebelumnya ia sudah
siap mengempos semangatnya sehingga tak sampai terluka berat.
"Engkoh Lam, kau di mana?" sidara melengking nyaring dan terus menyusul.
"Aku disini?" baru Siu-lam menyahut tiba-tiba si dara sudah melayang turun di
sampingnya. "Engkoh, apa kau tak terluka?"
"Tak apalah," sahut Siu-lam, "tetapi kita berada di mana sekarang ini" Mengapa deru
angin puyuh tadi tak kedengaran lagi?"
Mata Hian-song yang tajam dapat melihat pada samping kanan kirinya, merupakan
karang dengan di tengahnya sebuah terowongan sempit. Menyerupai sebuah lembah yang
dalam. Sekonyong-konyong terdengar angin menderu-deru dahsyat seperti badai.
Kumandangnya bagai ribuan laskar berkuda menyerbu di medan perang!
Siu lam terkejut dan melangkah mundur. Maksudnya hendak bersandar pada dinding
karang. Tetapi badai angin itu meniup dahsyat sekali. Kekuatannya mampu
menumbangkan sebuah bukit!
Begitu tersambar, Siu-lam tak kuasa bertahan diri lagi. Dalam deru badai dahsyat ia
tiba-tiba ia masih mendengar lengking jeritan Hian-song. Tetapi jeritan itu cepat ditelan
badai. "Adik Song"! Siu-lam berteriak. Duk" tiba-tiba tubuhnya terbentur pada dinding
karang. Kepalanya seperti dipalu besi. Seketika matanya berkunang-kunang dan tak
tahulah ia apa yang terjadi.
Tubuh pemuda itu rubuh kemudian didampar badai raksasa dan melayang-layang bagai
layang-layang putus tali di udara".
Entah berapa lamanya Siu-lam dalam keadaan tak sadar itu. Ketika ia membuka mata,
telinganya segera mendengar suara helaan napas berat, "Ah, kasihan kau nak" kau sudah
sadar?" Siu lam merentang mata. Dipandangnya orang itu dengan seksama. Ah, seorang nenek
tua yang duduk di sebuah kursi bambu, di sampingnya. Ia sendiri ternyata berbaring di
sebuah balai-balai. Ia berada dalam sebuah ruang gubuk yang bersih. Sinar matahari menerobos masuk
dari daun jendela.
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nenek, tempat apakah ini" Apakah aku masih hidup?" tanyanya heran.
Nenek itu tertawa, "Kau terluka parah sekali, nak. Sudah sehari semalam kau tidur
terus. Aii, kau memang seorang muda yang kuat. Jika seperti aku si nenek tua ini, tentu
sudah tidak tertolong lagi!"
Siu-lam hendak bergeliat bangun tetapi dicegah si nenek, "Kau baru tersadar, jangan
bergerak dulu. Nanti kuambilkan bubur untukmu!"
Nenek itu bangkit menyambar tongkat bambu yang tersandar di dinding, lalu berjalan
ke luar. Siu-lam meraba kepalanya. Di dapatinya sang kepala sudah dibalut kain, pinggang dan
punggungnya terasa sakit.
Serentak teringat ia akan peristiwa yang dialaminya ketika berada dalam perut gunung
berapi. Jika dituturkan mungkin orang takkan percaya.
Ia menghela napas. Telinga serasa masih terngiang oleh lengkingan jerit Hian-song. Ah,
kemanakah gerangan dara itu" seketika darah mendebur keras. Tetapi dengan menahan
sakit, ia perlahan-lahan melangkah keluar dari ruangan.
Di luar gubuk, merupakan sebuah halaman yang penuh ditumbuhi bunga-bungaan.
Pemandangan sekeliling penjuru dan angin pegunungan yang berhembus, menimbulkan
rasa nyaman yang indah".
Beberapa langkah jauhnya, ia. bingung kemana harus mencari Hian-song. Ah, buruburu
ia berputar tubuh hendak bertanya pada nenek yang empunya gubuk.
Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki seseorang. Cepat ia berbalik tubuh lagi, ah,
ternyata seorang tukang tebang kayu kira-kira berumur lima puluhan tahun, memanggul
seonggok kayu bakar. Siu-lam hendak menegur tetapi tiba-tiba tukang tebang kayu itu terkejut. Meletakkan
kayunya, ia buru-buru lari menghampiri.
"Hai, tuan luka parah sekali, belum sembuh. Mengapa keluar kemana-mana. Ah,
temanku ini memang kurang hati-hati menjaga!" serunya.
Siu-lam mengatakan bahwa ia sendirilah yang diam-diam telah keluar dari gubuk.
"Ah, kau benar-benar seorang pemuda kuat. Kemarin kau sangat payah sekali, tetapi
kini sudah jauh lebih baik!" seru si tukang tebang kayu.
"Paman, maukah paman menunjukkan tempat ketika paman menolong diriku kemarin?"
Tukang tebang kayu itu mengatakan bahwa Siu-lam masih terluka. Di kuatirkan tak
dapat mencapai tempat itu. Tetapi Siu-lam mengatakan tiada halangan.
Tukang tebang kayu itu mengatakan hendak memberitahukan kawannya dulu. Setelah
beberapa jenak masuk ke dalam gubuk, ia keluar dengan membawa sebatang tongkat
untuk diberikan pada Siu-lam.
Siu lam menghaturkan terima kasih. Dengan bantuan tongkat, ia berjalan mengikut
pemilik gubuk. Berkat Iwekangnya yang tinggi, lukanya sudah banyak berkurang sehingga
gerakannyapun makin lincah lagi.
Setelah melintasi puncak gunung, tibalah mereka di sebuah tempat yang seram.
"Jalanan lembah itulah yang di sebut Im-hong-koh yang termasyhur. Lembah itu sering
timbul angin badai yang dahsyat. Batu dan pohon beterbangan dilandanya. Cobalah lihat
keadaan lembah itu, tuan tentu tahu!"
Melongok ke bawah, tampak lembah itu ratusan tombak dalamnya. Dasarnya gelap
gulita. Dinding lembah merupakan karang yang licin dan melandai curam.
Orang tua itu menghela napas, ujarnya pula, "Im-hong-koh memang merupakan
tempat yang aneh sekali. Sepanjang dua, tigapuluh li, kedua lamping dinding lembah
tajam sekali. Ah, alam memang ajaib sekali di dalam menciptakan segala benda di dunia.
Jalanan lembah bagian sini hanya selebar sepuluhan tombak. Jika keadaan jalan ini serupa
dengan yang lain, kemungkinan seluruh lembah yang luasnya seratus li itu tak terdapat
barang suatu tumbuh-tumbuhan apa-apa"."
Lebih jauh orang tua itu menerangkan bahwa angin badai itu luar biasa dinginnya.
Maka lembah itu disebut orang Im-hong-koh (lembah angin Im atau jahat).
Siu-lam menanyakan tempat ia ditemukan dalam keadaan tak sadar.
Menuding ke arah sebuah puncak gunung yang terpisah satu li jauhnya, berkatalah
penebang kayu itu, "Tuan menggeletak pingsan di bawah batu besar itu!"
"Terima kasih atas pertolongan paman. Tetapi orang yang lainnya?"
"Apa" Kau mempunyai kawan?"
"Benar, aku bersama seorang adikku perempuan ". "
Orang itu gelengkan kepala dan berkata dengan mantap, "Tak perlu aku mencarimu.
Bahwa kau dapat selamat itu sudah seharusnya berterima kasih pada Tuhan. Adikmu itu
kemungkinan sudah lenyap ditelan angin Im-hong!"
Memandang jauh ke dalam lembah, beberapa butir air mata Siu-lam mengucur.
Kemudian ia berdoa, "Semoga Tuhan melindunginya agar dia terhindar dari bahaya
maut"." Betapa pedih hati Siu-lam, sukar dilukiskan. Tetapi ketika teringat bahwa kepandaian
Hian-song lebih tinggi, ia terhibur. Kalau ia dapat berusaha menyelamatkan diri, tentulah
dara itu juga lebih mampu.
Tukang tebang kayu itu menanyakan bagaimana hal ikhwalnya Siu-lam dapat terlanda
badai Im-hong. Dengan singkat Siu-lam menjawab, bahwa salah satu masuk ke dalam lembah ini !"
Tiba-tiba tukang tebang kayu itu berseru, "Ah, hampir aku lupa menerangkan. Lembah
Im-hong-koh ini selain mengeluarkan badai dingin, pun juga menghembuskan angin yang
panas, Jika angin panas itu berhembus, segala makhluk tentu terbakar hangus!"
Diam-diam Siu-lam memutuskan untuk kembali ke pondok orang tua itu dulu. Jelas
bahwa usaha pencaharian Hian-song, sukar sekali. Maka ia segera mengajak pak tua itu
pulang. Orang tua itu mengangguk. Ia menghela napas, "Lembah Im-hong-koh itu merupakan
tenpat aneh nomor satu di dunia. Sekalipun luasnya hanya tiga empat puluh li tetapi
penuh dengan keajaiban keajaiban"."
Siu-lam minta supaya orang tua itu suka menceritakan lebih jauh.
Setelah sejenak mengumpulkan ingatan, orang tua itu bercerita lebih lanjut, "Lembah
ini sebenarnya merupakan lembah mati. Tetapi aneh sering mengeluarkan angin badai.
Padahal ujung lembah merupakan karang buntu. Entah dari mana angin itu asalnya"."
"Karena adanya angin dingin dan angin panas, iklim dalam lembah itu setiap saatpun
berobah-robah"."
Karena sejak tadi hanya mengatakan tentang badai, maka Siu-lam mendesaknya,
"Selain itu, apakah masih terdapat lain keanehan lagi?"
Orang tua menggaruk kepala, katanya, "Ada, ada. Setiap pertengahan tanggal, lembah
ini sering muncul gumpalan api warna kebiru-biruan yang bertebaran memenuhi lembah
dan mengeluarkan bunyi mendesis macam suara genderang. Dan di samping tiga buah
keanehan ini, masih ada keanehan yang keempat yang paling menyeramkan?"
"Apa?" tanya Siu-lam.
"Seekor binatang aneh yang mirip ular mirip naga. Tubuhnya bersisik merah seperti
api." "Hai" Ular atau naga?" Siu-lam berteriak kaget.
"Ketika kami datang, makhluk aneh itu tengah merayap masuk ke dalam sebuah goha
dan hanya ekornya yang masih berada di luar. Kala itu terang bulan sehingga tampak jelas
sekali kulit binatang itu. Yang anehnya, yang mengherankan, tampaknya binatang itu
mempunyai dua buah ekor. Jika benar seekor ular atau naga masakan berekor dua!" kata
si tukang tebang kayu. Diam-diam Siu-lam membatin, kemungkinan tukang tebang kayu dan istrinya itu agak
silap sehingga mengira binatang itu berekor dua.
"Kemungkinan binatang itu memang ada dua ekor," kata Siu-lam tertawa.
Tukang tebang itu berpaling menghadapi Siu-lam, serunya dengan tegas, "Aku sudah
berpuluh tahun. Tak mungkin keliru melihatnya. Jika toh semacam kelabang, tentulah
kelabang yang berumur ribuan tahun!"
Siu-lam tak mau berbantah. Setelah melihat-lihat beberapa saat, mereka pulang.
Wanita tua pemilik gubuk menyambut mereka di ambang pintu. "Kau masih berlumuran
darah mengapa kau jalan-jalan. Ayo, lekas masuk, bubur sudah menunggu!"
Siu-lam meoghaturkan terima kasih atas kebaikan nyonya rumah. Wanita itu tertawa
rawan, "Ah, sayang anak perempuanku ketika baru berumur tiga tahun telah digondol
setan gunung sehingga sampai sekarang lenyap. Entah hidup entah mati!"
"Ho, orang perempuan memang cupet pikiran. Masakan siang hari ada setan. Yang
jelas anak itu tentu dimakan binatang buas!" seru pak tua.
"Kenapa lain anak tidak dimakan" Kenapa hanya makan anakku saja"!" seru wanita itu
dengan marah. Pak tua mengatakan pada Siu-lam bahwa sejak kehilangan anaknya, wanita itu
memang agak linglung, "Dia masih tetap yakin bahwa pada suatu hari, anaknya pasti akan
ketemu lagi!" Siu-lam menghibur, "Keajaiban memang sering terjadi. Anak bibi, mungkin masih
hidup!" Wanita itu gembira sekali. Tiba-tiba ia menghela napas, "Ah, jika anak itu ketemu, dia
tentu sudah seorang gadis yang cantik.
Pak tua tertawa, "Ha, ha, jangan melamun. Andaikata masih hidup, kemungkinan
diapun tak kenal lagi padamu!"
Jilid 20 KEMUDIAN mereka makan pagi. Selesai makan wanita itu memberikan ciri-ciri anaknya
kepada Siu-lam. Ialah siku lengan kanan gadis itu terdapat bekas luka terkena pisau
pemotong kayu. Ia minta apabila Siu-lam berjumpa dengan anak itu, supaya disuruh
pulang menemui ibunya. Ketika beristirahat dalam biliknya, Siu-lam merenungkan peristiwa yang baru dialaminya
itu. Kemanakah lenyapnya Hian-song".
Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikirannya. Bahwa dalam pertemuan di Beng-gak itu
boleh dikata seluruh rombongan orang gagah telah binasa. Dikuatirkan pihak Beng-gak
akan menggunakan kesempatan untuk menghancurkan pusat partai-partai persilatan.
Karena dipastikan bahwa partai-partai persilatan tentu belum mengetahui berita kematian
ketua dan tokoh mereka yang binasa di Beng-gak".
"Ah, aku harus memberitahukan berita itu kepada partai-partai persilatan agar mereka
dapat berjaga-jaga!" tiba-tiba ia membulatkan tekad. Ia mencoba mengerahkan napas,
ternyata luka yang dideritanya itu hanya luka luar.
Segera ia keluar menemui kedua suami isteri pemilik gubuk dan menyatakan kalau saat
itu juga ia hendak minta diri melanjutkan perjalanan.
Sudah tentu kedua suami isteri itu mencegah. Tetapi Siu-lam tetap pada keputusannya.
Ia mengatakan bahwa ia masih mempunyai urusan yang penting sekali maka terpaksa ia
harus pergi hari itu juga.
"Nanti dulu tuan," tiba-tiba wanita tua mencegahnya, "anakku itu bernama Bong-lian.
Jika bertemu harap tuan memberitahu kepadanya bahwa ayah bundanya sangat
mengharap-harap sekali kedatangannya!"
Siu-lam mengiakan lalu melangkah pergi. Tetapi tiba-tiba ia berhenti lagi dan
menanyakan nama kedua orang tua itu.
Ternyata pak tua itu bernama Hun Kim-seng. Setelah mendapat keterangan, Siu-lam
pun segera pergi. Setelah turun dari puncak gunung yang sukar dilalui, hampir petang ia
sudah tiba di jalan besar.
Kini ia harus berpikir lagi. Ia menduga saat itu pihak Beng-gak tentu sudah
mengirimkan anak buahnya untuk mengobrak-abrik markas partai-partai persilatan. Harus
kemanakah ia lebih dulu. Setelah memikir beberapa saat, akhirnya ia memutuskan untuk
menuju ke markas partai Siau-lim di gunung Ko-san lebih dulu. Ia anggap Siau-lim-si
sebagai partai pemimpin. Dan kedua kalinya ia hendak menyelidiki tentang diri si tabib
Gan Leng-po yang dibawa Tay Hong siansu ke Siau-lim-si untuk diobati.
Setelah peristiwa Beng-gak, kini ia merasa betapa pentingnya peta Telaga Darah itu.
Sayang peta itu sudah lenyap bersama Hian-song.
Ia melaksanakan rencana dengan segera. Menjelang tengah hari, tibalah ia di kaki
gunung Ko-san. Ia mencari sebuah tempat yang sepi untuk makan bekal ransumnya.
Setelah itu baru ia mendaki ke atas.
Siau-lim-si merupakan sebuah gereja besar yang termasyhur. Bangunan gereja meliputi
daerah sepuluh buah puncak gunung. Murid-muridnya berjumlah besar kecil. Peraturan
keras dan tertib. Ketika tiba di pintu gerbang gereja, Siu-lam melihat sebuah papan yang bertuliskan tiga
buah huruf besar "SIAU LIM SI".
Seorang paderi pertengahan umur segera menyambutnya, "Apakah sicu hendak
bersembahyang?" Siu-lam gelengkan kepala, "Tidak, aku mempunyai urusan penting sekali mohon
bertemu dengan Hong-tiang (ketua). Sukalah taysu menyampaikan kepada beliau."
Paderi jubah abu-abu itu sejenak memandang Siu-lam lalu kerutkan dahi, "Urusan
apakah yang sicu hendak beritakan itu" Apakah tak dapat diterima kecuali Hong-tiang?"
"Aku yang rendah adalah Pui Siu-lam, baru saja lolos dari Beng-gak"."
Mendengar itu seketika berubahlah wajah paderi itu, ujarnya, "Silahkan sicu duduk,
pinceng segera hendak menyampaikan pada Hong-tiang!" dia terus masuk dan Siu-lam
melangkah ke dalam ruangan.
Rupanya di dalam gereja sudah diadakan persiapan. Delapan paderi jubah kelabu,
berpencaran menjaga di belakang dan kanan kiri pintu. Masing-masing mencekal tongkat
sian-ciang. Siu-lam agak meragu tetapi akhirnya ia terus masuk juga. Melihat itu buru-buru paderi
penyambut tetamu tadi memburu, serunya, "Marilah pinceng tunjukkan jalan!"
Tiba-tiba ia berputar tubuh dan melangkah ke sebuah gang yang terletak di samping
gang itu menuju ke sebuah hutan kecil yang penuh ditumbuhi rumput-rumput runcing dan
pohon-pohon bunga. Cepat sekali paderi itu sudah melintasi lapangan rumput, taman bunga lalu masuk ke
hutan kecil. Di tengah hutan itu terdapat sebuah pondok batu merah.
Paderi itu lambatkan langkahnya dan berbisik kepada Siu-lam, "Pondok itu tempat
hong-tiang menerima tetamu. Sicu seorang tetamu dari jauh, silahkan duduk dulu. Akn
pinceng laporkan pada hong-tiang!"
Tiba-tiba mundur dua langkah lalu memberi hormat kepada Siu-lam, "Silahkan sicu
masuk!" Siu-lam terkesiap melihat perubahan paderi itu. Sejenak meragu, ia terus masuk ke
dalam pondok. Paderi itu tak ikut masuk. Ia menunggu di luar seraya berkata, "Di dalam
pondok tersedia hidangan. Jika lapar, silahkan sicu dahar." Habis berkata paderi itu terus
pergi. Diam-diam Siu-lam membatin, "Siau-lim-si dikabarkan sebagai partai terkemuka dalam
dunia persilatan. Partai-partai Siau-lim-si sesama memiliki kepandaian sakti. Peraturannya
keras dan tertib, apa yang dilakukan oleh paderi tadi memang menimbulkan kesan yang
aneh!" Siu-lam melihat pondok itu berpintu hitam. Kedua daun pintu bertuliskan huruf-huruf
emas yang berbunyi Ing-ping dan Siau-han. Begitu mendorong pintu, segera Siu-lam
membau hawa yang harum. Ia terkesiap.
Didapatinya dekat dinding ruang pondok terdapat sebuah meja pat-sian (delapan segi),
di tengahnya teletak sebuah tong-thing (tempat perasapan dari tembaga). Bau harum tadi
berasal dari asap tong-thing itu. Di samping thong-ting, terdapat poci porselen, cawan
kumala yang diatur rapi sekali. Selain dua buah kursi bambu, terdapat juga sebuah tempat
tidur bambu. Tetapi pondok itu kosong tidak ada orangnya.
Tiba-tiba Siu-lam merasa letih sekali. Begitu duduk di tempat tidur, dia terus pulas.
Ketika membuka mata, dilihatnya seorang paderi tinggi besar duduk di hadapannya.
Dan pondok itupun diterangi oleh lilin. Kiranya saat itu sudah malam hari.
Siu-lam mengucap dan berkata seorang diri, "Eh, bagaimana ini?"
"Omitohud," seru paderi itu. "Loni bernama Tay Hui, kepala dari bagian ruang Tat-mowan
sini"." Siu-lam melonjak bangun, "Ruang penyambut tetamu itu penuh dengan asap bius."
Paderi itu gelengkan kepala tertawa, "Harap sicu jangan kuatir. Siau-lim-si tak nanti
menyimpan segala macam obat bius yang tak halal."
"Mengapa setelah membau asap itu aku segera tak ingat diri?"
Paderi itu menghela napas, "Ah, sicu tentu letih setelah mengadakan perjalanan jauh.
Asap dalam ruang ini memang mengandung asap harum yang membuat orang tidur tetapi
sama sekali tak mengandung bahaya!"
Siu-lam coba melakukan pernapasan. Ternyata ia tak merasa sesuatu apa.
Kecurigaannya lenyap. Tetapi ia membantah, "Sebuah partai besar, mengapa Siau-lim-si
melakukan penyambutan secara begini?"
Wajah Tay Hui agak berubah, "Jika sicu bukan datang dari Beng-gak, tentu kami takkan
menyambut begini. Adalah karena?" ia tak melanjutkan bicaranya dan menghela napas.
"Apa" Apakah sudah ada orang Beng-gak yang lebih dulu datang ke sini?" Siu-lam
kaget. Tay Hui mengangguk, "Inilah sejak beratus-ratus tahun pertama kali Siau-lim-si
mengalami kekalahan. Dengan hormat kami menyambut tapi mereka diam-diam telah
gunakan obat bius sehingga delapan belas orang Siau-lim-si tingkat hou-hwat telah
diculiknya?" Tay Hui batuk-batuk sejenak, katanya pula, "kemudian mereka dilepas lagi!"
Siu-lam terkejut. Diam-diam ia merangkai dugaan. Bahwa menilik gerak-gerik Tay Hui,
tentulah ada sebuah pusaka gereja itu yang telah dibawa kabur orang.
"Ah, kalau begitu kedatanganku ini terlambat?" kata Siu-lam.
Wajah paderi itu berubah serius, "Loni hendak mengajukan sedikit pertanyaan, entah
bagaimana pendapat sicu."
Setelah Siu-lam memperlihatkan, Tay Hui berkata, "Sicu mempunyai hubungan apa
dengan Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa, entah apakah sicu suka memberitahukan?"
"Sama sekali tidak mempunyai hubungan apa-apa!"
Tay Hui merogoh keluar sebuah kim-pay (lencana emas) dari jubahnya, "Jika sicu tak
mempunyai hubungan apa-apa dengan wanita siluman itu, dari manakah sicu memperoleh
kim-pay ini?" Kim-pay itu ternyata adalah milik dari sumoaynya. Setelah Siu-lam menghela napas,
ujarnya, "Kim-pay itu adalah milik sumoayku. Sudah lama kusimpan benda itu dan tak
pernah kuberitahukan. Bahkan kepada Tay Hong siansu, pun belum kulaporkan?" dua titik
air mata menetes dari matanya.
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana dengan ciang-bun suheng kami itu?" bisik Tay Hui.
Siu-lam tertegun, serunya, "Apa" Apakah orang-orang Beng-gak itu tak
memberitahukan kepada lo-siansu?"
"Belum, orang itu bergegas sekali sehingga loni belum sempat membicarakan tentang
peristiwa di Beng-gak!"
"Bagaimana potongan wajah orang itu?" Siu-lam mulai curiga.
"Mengenakan baju panjang, menyanggal pedang dan memelihara jenggot putih.
Umurnya antara lima puluhan tahun!"
"Apakah raut wajahnya tidak mempunyai ciri-ciri aneh?" Tanya Siu-lam pula.
"Sayang loni tak begitu memperhatikan. Tetapi loni sudah mengirim tiga orang paderi
dari Tat-mo-wan sini, masing-masing membawa sepuluh murid, untuk mengejarnya. Asal
dia belum keluar dari daerah Tiong-goan saja, dalam lima hari tentu sudah datang
laporannya!" Siu-lam menghela napas perlahan, kemudian dengan nada sarat ia berkata, "Terlebih
dulu aku hendak menyampaikan berita buruk kepada lo-siansu"."
Tubuh ketua ruang Tat-mo-wan bergetar. Cepat ia menukas, "Apakah ciang-bung
suheng kami mendapat halangan?""
Siu-lam menghela napas, "Ciang-bun dari Siau-lim-si telah terperangkap ke dalam
ruang Hui-lun-tian. Nasibnya belum ketahuan. Dan rombongan tiga puluh enam murid
Siau-lim-si yang menyertai perjalanannya telah binasa semuanya"."
"Apa?" Ketiga puluh enam murid gereja kami itu mati semua?" Tay Hui terkejut.
"Jago-jago persilatan yang hadir dalam pertemuan Beng-gak itu, boleh dikata hampir
semua binasa. Yang berhasil lolos dari neraka Beng-gak itu hanya empat orang saja.
Tetapi yang nyata masih hidup saat ini hanya seorang. Yang tiga, belum ketahuan
nasibnya!" Tay Hui siansu rangkapkan kedua tangan dan pejamkan mata. Mulutnya berkematkemit
memanjatkan doa. Beberapa saat kemudian barulah ia membuka mata lagi, ujarnya, "Jika hal itu benar,
inilah yang pertama kali sejak berdirinya Siau-lim-si, gereja ini menderita malapetaka yang
paling mengerikan!" "Kusaksikan dengan mata kepala sendiri tentang kebinasaan ketiga puluh enam muridmurid
Siau-lim-si itu. Tetapi tentang nasib Tay Hong siansu, aku tak mengetahui maka tak
berani mengatakan apa-apa," kata Siu-lam.
Tay Hui siansu perlahan-lahan berbangkit, ujarnya, "Sekalipun saat ini buat sementara
loni menjadi pejabat kepala Siau-lim-si, tetapi tak berani mengambil putusan tentang
masalah ini. Jika sicu yakin akan kebenaran laporan sicu ini, segera loni hendak
memanggil rapat para tiang-lo, merundingkan urusan ini!"
Dengan tegas Siu-lam menyatakan bahwa apa yang ia beritakan tadi, memang benarbenar
suatu kenyataan. Di hadapan siapa ia berani memberi keterangan itu.
Tay Hui segera menjemput sebuah palu kayu terus hendak ditabuhkan pada lonceng di
atas meja. Tetapi tiba-tiba ia batalkan, katanya, "Sudah selama tiga puluh tahun ini
lonceng itu tak pernah ditabuh. Begitu dibunyikan, semua kepala ruangan dan para
tianglo, segera akan berkumpul dalam ruang Gi-it-thia. Jarang sekali hal itu terjadi apabila
tiada peristiwa yang amat penting. Sekali lagi harap Pui sicu suka mempertimbangkan. Ini
bukan urusan main-main. Apabila sampai keliru membunyikan lonceng itu, loni tak berani
menanggung jawab akibatnya!"
"Harap lo-siansu jangan kuatir.?"
Wajah Tay Hui mengerut gelap, katanya, "Loni benar-benar tak mengert dari perguruan
manakah Pui sicu ini. Kalau sekian banyak tokoh-tokoh sakti binasa di lembah Beng-gak,
mengapa sicu sendiri dapat lolos" Dengan demikian, sicu tentu memiliki kesaktian yang
luar biasa!" Siu-lam menghela napas perlahan, "Ah, memang tak dapat kusesalkan kecurigaan losiansu!"
Pemuda itu segera menuturkan apa yang dialami selama masuk ke dalam lembah
Beng-gak. Walau kurang jelas tentang diri pemuda itu, namun karena pemuda itu dapat
membawakan penuturannya dengan jelas dan teratur, sungkan juga Tay Hui untuk
menanyakan riwayat dari Siu-lam. Tanpa ragu-ragu lagi ia menabuh lonceng itu!
Begitu melengking, segera dua orang paderi kecil berlari-lari masuk dan memberi
hormat, "Apakah yang suhu hendak titahkan?"
"Siarkan bahwa lonceng Ken-sin-ciong telah berbunyi!" sahut Tay Hui siansu.
Kedua paderi kecil itu segera melakukan perintah. Sementara itu Tay Hui mondarmandir
dalam ruang pondok. Rupanya banyak sekali hal yang dipikirkan penjabat kepala
Siau-lim-si itu. Tiba-tiba ia berhenti dan berpaling pada Siu-lam, "Menurut sicu, nasib ciang-bun
suheng loni kemungkinan besar sangat buruk?"
Sekali lagi Siu-lam mengatakan bahwa setelah menerobos keluar dari ruang Hui-luntian
ia tak tahu lagi bagaimana keadaan Tay Hong siansu.
Tay Hui menghela napas panjang. Menatap sebuah patung Tat Mo (pendiri Siau-lim-si)
yang berada di dinding, diam-diam ia berkata, "Sejak gereja Siau-lim-si didirikan Tat Mo
sucou, sudah berganti pimpinan sampai dua puluh delapan angkatan. Meskipun selama ia
mengalami badai taufan, tetapi tidaklah seperti saat ini di mana ciang-bun-jin (ketua) telah
menderita nasib yang tak berketentuan. Dikuatirkan rapat para tiang-lo nantipun takkan
menghasilkan sesuatu rencana yang dapat mengatasi keadaan ini."
Siu-lam teringat akan si tabib Gan Leng-po, segera ia menanyakan, "Dalam pertemuan
para orang gagah di gunung Beng-gak, Tay Hong siansu telah mengirim tabib gila Gan
Leng-po ke gereja Siau-lim-si. Entah di manakah orang itu sekarang?"
"Bukankah orang itu agak sinting?" tanya Tay Hui. Siu-lam mengiyakan.
"Karena penyakitnya belum sembuh, dia ditempatkan di ruang Kwat-ci-wan. Terpaksa
ia tak boleh bergerak kemana-mana dulu!"
Siu-lam menyatakan apakah sekiranya diijinkan untuk menjenguk orang itu. Tetapi
pejabat ketua gereja itu mengatakan bahwa saat itu sudah larut malam. Apalagi seluruh
murid Siau-lim-si akan rapat membicarakan urusan penting itu.
Saat itu terdengar lonceng bertalu-talu. Tay Hui mengajak Siu-lam segera menuju ke
ruang Gi-su-tian. Siu-lam terkejut. Ia seorang tamu, bagaimana dapat menghadiri rapat gereja.
"Jika tiada urusan yang luar biasa penting lonceng Ken-sin-cong takkan dibunyikan.
Dalam rapat nanti, harap Pui sicu menuturkan lagi peristiwa di Beng-gak kepada rapat,"
kata Tay Hui seraya melangkah keluar.
Keadaan dalam gereja itu, penuh dengan ruang-ruang besar dan lorong-lorong yang
berliku-liku. Karena Tay Hui berjalan cepat, maka Siu-lam tak sempat memperhatikan
keadaan sepanjang yang dilaluinya. Akhirnya tibalah mereka di sebuah ruang besar.
Ternyata di dalam ruang besar itu tampak terang benderang dan penuh dengan paderipaderi.
Begitu melihat kedatangan Tay Hui mereka sama memberi hormat.
Selama memasuki ruang besar itu, Siu-lam memperhatikan wajah dan sikap paderipaderi
itu tampak tegang. Tay Hui duduk di sebuah kursi yang terletak di tengah,
menghadapi sebuah meja dari kayu pohon siong. Di kanan kiri meja itu berderet-deret dua
belas kursi yang masih kosong.
Melihat suasana begitu tegang, Siu-lam tak berani duduk. Akhirnya Tay Hui
mempersilahkannya duduk di sebelahnya. Beberapa saat kemudian kursi-kursi kosong
tadipun sudah penuh orang. Mereka terdiri dari paderi-paderi tua yang paling muda
berumur lima puluhan tahun. Selebihnya rata-rata sudah lanjut usianya. Dari sinar
matanya yang tajam, jelas mereka itu memiliki ilmu lwekang yang tinggi.
Diam-diam Siu-lam menimang, "Kedua belas kursi itu tentu sebelumnya sudah
dipersiapkan menurut tingkat kedudukan masing-masing. Karena ada sebuah kursi yang
kududuki, tentulah ada seorang paderi yang tidak dapat tempat!"
Diam-diam iapun memperhatikan juga keadaan dalam ruang itu. Jelas bahwa semua
kursi telah diatur menurut bentuk tertentu. Merupakan sebuah lingkaran yang rapi dan
rapat. Tidak seorangpun dapat memasuki ke tengah siding, pun tidak seorangpun yang
dapat keluar dari ruang itu. Sayang Siu-lam tak mengerti makna daripada tempat duduk
yang diatur dalam rapat itu.
Sesaat kemudian berkatalah Tay Hui siansu, "Pui sicu ini telah datang dengan
membawa berita yang buruk. Ciang-bun-jin kita angkatan yang ke dua puluh delapan, tak
ketentuan nasibnya di Beng-gak. Ketiga puluh enam murid yang mengantarnya, pun
semua telah binasa"."
Seketika gemuruhlah ruang Gi-su-thia. Seluruh paderi yang hadir sama merangkapkan
kedua tangannya dan pejamkan mata seperti orang berdoa.
Beberapa saat kemudian, seorang paderi tua berjubah putih yang duduk paling depan
di deretan kiri, tiba-tiba berbangkit.
"Ciang-bun-jin berilmu tinggi, memiliki ilmu lwekang yang sempurna. Tak mungkin dia
mendapat kesulitan. Sute sebagai pejabat ciang-bun-jin, tentu sudah mempunyai bukti
yang kuat tentang berita itu. Apakah sute sudi memberitahukan kepada kami semua?"
Tay Hui menghormat paderi tua itu. Setelah memberi hormat, berkatalah ia, "Pui sicu
ini, datang dari jauh. Ia menempuh perjalanan siang malam. Tentulah dia takkan gegabah
berani sembarangan bicara!"
Siu-lam berbangkit. Setelah memberi hormat kepada hadirin, berserulah ia, "Wanpwe
mohon Tanya, kursi suhu siapakah yang wanpwe duduki ini?"
Sekalian mata memandangnya tetapi tiada seorangpun yang menyahut. Ternyata kursi
itu adalah tempat bagi Tay Hui siansu. Tetapi karena dia telah diserahi oleh suhengnya
(Tay Hong siansu) sebagai pejabat pimpinan gereja, maka ia duduk di kursi ketua.
Diam-diam Siu-lam menyadari kekeliruannya dan minta maaf, tetapi tiada seorangpun
yang menjawab. Dia tertegun. Beberapa saat kemudian berkata, "Aku datang dari Benggak"."
Tiba-tiba sebuah suara parau menyeletuk dari deretan kursi sebelah kiri, "Loni sudah
menjelajah seluruh gunung ternama di segenap tanah air, namun belum pernah loni
mendengar gunung yang bernama Beng-gak!"
"Beng-gak berada dalam lingkungan pegunungan Thay-san. Terpisah seratusan li dari
puncak Beng-gwat-ciang. Karena jalannya sukar dilalui, penuh hutan belukar yang lebat,
maka sukar diketemukan!" sahut Siu-lam.
Tay Hui siansu meminta agar pemuda itu suka menuturkan pengalamannya sekali lagi.
Siu-lam mengiyakan. Lalu ia menuturkan sekali lagi pengalamannya selama ikut dalam
rombongan orang-orang gagah yang dipimpin Tay Hong siansu mendatangi pesta maut di
Beng-gak. Semua ia ceritakan sejelas-jelasnya. Tetapi mengenai Bwe Hong-swat
memberinya pil penolak racun dari peta yang disimpan Hian-song, ia tak mau
mengatakan. Segenap paderi Siau-lim-si telah mendengarkan cerita itu dengan teliti dan kritis sekali.
Belum Siu-lam habis bercerita seorang paderi menyeletuk pertanyaan, "Sin Ciong tojin
adalah ketua Bu-tong-pay yang sakti dan termasyhur di penjuru tanah air. Adalah karena
diberi minum pil wasiat dari Bu-tong-pay maka kedua saudara Kat dapat tertolong jiwanya.
Tetapi entah mengapa Pui sicu dan nona Tan itu tidak terkena racun orang Beng-gak.
Apakah sicu berdua lebih sakti dari Sin Ciong totiang?"
Terhadap pertanyaan semacam itu, memang Siu-lam sudah siap. Tetapi karena
dikuatirkan menimbulkan kecurigaan hadirin, Siu-lam terpaksa merenung sejenak untuk
mengatur jawaban. "Berkata bantuan dari seorang ko-chiu Beng-gak yang secara diam-diam telah memberi
obat penawar, barulah aku dapat selamat!" sahutnya kemudian.
"Dia tidak puas melihat keganasan ketua Beng-gak, dan diam-diam mengandung
maksud hendak kembali lurus. Itulah sebabnya ia mau memberi bantuan kepadaku!"
Paderi tua yang bertanya itu, duduk di sebelah selatan. Wajahnya merah mengenakan
jubah warna kuning telur. Umurnya lebih dari lima puluh tahun. Menilik tempat duduknya,
dia tentu mempunyai tingkatan yang tinggi dalam gereja Siau-lim-si.
"Kalau orang itu benar mempunyai maksud untuk kembali ke jalan lurus, mengapa dia
tak mau menolong semua orang gagah dan hanya kepada sicu berdua saja?" kembali
orang itu berseru. Maksudnya, jika orang itu bersungguh-sungguh hendak kembali ke jalan
lurus mengapa tak mau minta pertolongan Sin Ciong tojin saja daripada hendak menolong
dua orang anak muda yang tak terkenal.
Pertanyaan itu telah menimbulkan reaksi. Sekalian paderi Siau-lim-si timbul
kecurigaannya kepada Siu-lam. Beratus-ratus mata mencurahkan kepada pemuda itu.
Dalam gugupnya Siu-lam menyahut, "Orang itu seorang gadis!"
Paderi jubah kuning telur itu kerutkan dahi. Dia hendak membuka mulut tetapi tidak
jadi. Sebagai seorang paderi Siau-lim-si yang tinggi kedudukannya, ia tak leluasa untuk
mengungkapkan hubungan antara pria dan wanita. Tapi penyahutan Siu-lam itu memang
membuat orang curiga. "Siapakah gadis itu?" sesaat kemudian paderi jubah kuning itu bertanya pula.
Walaupun Siu-lam sudah menduga akan menerima pertanyaan itu, namun di depan
siding paderi Siau-lim-si yang begitu serius mau tak mau ia terkesiap juga. Setelah
beberapa saat kemudian baru ia dapat menyahut agak lampias, "Dia murid dari ketua
Beng-gak!" Seketika berisiklah ruang sidang. Jawaban pemuda itu sangat tak terduga-duga. Tetapi
pada beberapa saat kemudian, suasana kembali tenang.
Paderi yang duduk di muka pada deretan sebelah kanan, serentak bangkit. Dia
mengenakan jubah biru. Ujarnya, "Bagaimana sicu dapat mengenal murid Beng-gak itu?"
Siu-lam menyadari bahwa pertanyaan itu mengandung kecurigaan kepada dirinya.
Serempak iapun bangkit dengan marah, "Kedatanganku kemari ini hanya perlu untuk
menyampaikan berita. Sama sekali tak mengharap atas bantuan toa-suhu sekalian.
Percaya atau tidak, terserah saja. Maaf, aku hendak mohon diri karena masih ada urusan
lain!" Habis berkata pemuda itu memberi hormat terus melangkah keluar.
Dari deretan tempat duduk yang ditempati oleh rombongan paderi, masing-masing
mempunyai kedudukan. Jika buka kepala ruang tentulah termasuk golongan tiang-lo
(sesepuh). Mereka atas tindakan Siu-lam, tapi mereka diam saja. Adalah barisan paderi
yang duduk di barisan tengah, tak mampu membiarkan. Mereka bergerak dan berjajar
menjadi sebuah dinding penutup jalan.
Siu-lam berhenti. Diamatinya barisan penghadang itu. Hanya ada dua macam jalan.
Menerjang atau loncat melampaui kepala mereka.
"Omitohud," seru Tay Hui siansu. "Pui sicu harap tunggu sebentar lagi, loni hendak
bicara." Walaupun marah terhadap rombongan paderi yang menghalanginya tapi Siu-lam tak
berniat hendak bertempur. Iapun berhenti ketika diminta Tay Hui siansu.
"Taysu hendak memberi petunjuk apa?" tanyanya.
Tay Hui minta pemuda itu kembali ke tempat duduknya dulu. Setelah itu barulah
penjabat ketua Siau-lim-si berdiri, "Hingga sekarang, belum pernah terjadi seorang
ketuanya sampai tiada ketahuan nasibnya. Berita yang sicu bawa itu, benar-benar
merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah kehidupan Siau-lim-si. Adalah karena
luapan perasaan maka terdapat beberapa yang agak keras. Dalam hal ini harap sicu suka
berlapang dada!" Kata-kata yang dibawakan penuh keramahan itu, membuat Siu-lam sungkan juga. Ia
tak menyalahkan sikap para paderi Siau-lim-si yang mencurigai dirinya.
Tay Hui gelengkan kepala, "Tay Hong suheng, merupakan tunas yang paling cemerlang
dalam Siau-lim-si. Kecerdasan dan kesaktiannya yang melebihi orang. Bahwa dia sampai
tertimpa masih yang tiada ketentuan itu, selain merupakan suatu hinaan bagi gereja Siaulim-
si, pun benar-benar merupakan suatu peristiwa yang mengejutkan"."
Paderi tua yang duduk pada paderi pertama di sebelah kanan tiba-tiba bangkit, "Atas
kesungguhan hati dari Pui sicu yang tak segan menempuh perjalanan jauh untuk
menyampaikan berita itu, murid Siau-lim-si angkatang ketiga, sangat berterima kasih."
Buru-buru Siu-lam memberi hormat dan mengucapkan kata-kata merendah.
Paderi tua itu menghela napas pelahan, ujarnya pula, "Malapetaka yang menimpa ketua
Siau-lim-si dari Beng-gak itu, selain merupakan suatu noda bagi Siau-lim-si, pun
merupakan suatu peristiwa yang sangat menggemparkan dunia persilatan!"
Sahut Siu-lam, "Siau-lim-si telah dianggap sebagai bintang Pak-tau (pemimpin) dunia
persilatan. Telah berabad-abad menegakkan keadilan dan membela kebenaran,
mempelopori perjuangan untuk perikemanusiaan!"
Tay Hui pun menanggapi, "Siau-lim tak berani menepuk dada sebagai pembela keadilan
dan kebenaran, tetapi kiranya kaum persilatan tentu sudah mengetahui sendiri peraturan
dan pantangan-pantangan murid Siau-lim-si. Keadaan sekarang ini, bukan hanya
menyangkut kepentingan Siau-lim-si saja, melainkan mengenai hidup matinya dunia
persilatan dan kesejahteraan rakyat. Harap Pui sicu suka memberi keterangan seadanya
agar kami dapat mempunyai gambaran jelas untuk menentukan langkah selanjutnya."
Kata Siu-lam, "Apa yang wanpwe tuturkan tadi, adalah apa yang wanpwe saksikan dan
alami sendiri. Satupun tak wanpwe rahasiakan. Kalau toh ada satu dua bagian yang
wanpwe sengaja lewatkan, karena mengenai sedikit hubungan pribadi wanpwe. Tapi hal
itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang penting"."
Dia menengadah dan menghela napas panjang. Katanya lebih jauh, "Keadaan Beng-gak
itu memang serba aneh. Baik orang, pakaian, maupun tempatnya. Mereka sama
mengenakan kedok muka. Rupanya ketua Beng-gak memang sengaja hendak menjadikan
markas Beng-gak itu seolah-olah seperti istana iblis. Dan orang-orang yang berwajah aneh
itu semua memiliki kepandaian sakti. Wanpwe pernah bertempur dengan mereka.
Walaupun menderita luka yang bagaimana parahnya, mereka pantang mengeluh sakit!"
Tay Hui berpaling ke arah seorang paderi tua berjubah putih yang di deret muka
sebelah kanan. Bisiknya, "Suheng memiliki pandangan yang luas. Setiap kali Ciang-bun
suheng tentu minta pendapat suheng. Bagaimana kiranya pendapat suheng dalam
peristiwa ini?" Paderi tua itu pejamkan mata. Sesaat kemudian berkatalah ia, "Keadaan dewasa ini
benar-benar di luar kemampuan kita. Rasanya lebih baik kita mengundang kedua susiok
supaya turun gunung."
Siu-lam tertegun. Dipandangnya paderi itu dengan cermat. Seorang paderi tua yang
beralis tebal dan putih, wajahnya penuh lekuk-lekuk, usianya tentu lebih dari tujuh puluh
tahun. Diam-diam Siu-lam heran. Kalau paderi itu sudah sedemikian tuanya, tentulah
susioknya (paman guru) sudah berumur lebih dari seabad.
Tay Hui siansu menghela napas pelahan, "Kedua susiok itu sudah tiga puluh tahun
menutup diri dari soal keduniawian. Entah apakah kedua beliau itu suka turun gunung
lagi."
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paderi jubah kuning telur yang duduk tak jauh dari Siu-lam, tiba-tiba ia berdiri, "Untuk
mengganggu kedua susiok, menurut pandangan siaute, adalah tidak tepat. Kedua susiok
kita sudah mendekati kesempurnaan, apabila sampai terganggu tentu akan besar
akibatnya. Salah-salah bisa tertimpa bencana co-hwe-jip-mo (rusak jasmaninya)!"
"Jika tidak mengganggu kedua susiok, lalu bagaimana pendapat sute?" tanya Tay Hui.
Paderi jubah kuning telur itu merenung sejenak lalu berkata, "Menurut hematku, lebih
baik kita kerahkan ko-chiu Siau-lim-si untuk menyusul ke Beng-gak. Lebih dulu kita selidiki
keadaan Tay Hong suheng, kemudian kita pancing orang Beng-gak dalam barisan Lo-hantin
agar dapat menangkapnya hidup-hidup"."
Paderi jubah putih tadi gelengkan kepala, "Menurut sute, bagaimana kepandaian sute
dibanding dengan Tay Hong suheng?"
Dengan merendah, paderi jubah kuning telur itu mengakui kalah sakti.
"Itulah," kata paderi jubah putih "di antara murid-murid Siau-lim-si dewasa ini, Tay
Hong sutelah yang paling cemerlang. Baik dalam ilmu kesaktian maupun dalam pelajaran
keagamaan. Keenam murid-murid berpangkat hou-hwat yang menyertai itu, merupakan
murid-murid pilihan dari ruang Tat-mo-wan"."
Mata paderi berjubah putih itu berkilat-kilat memandang Siu-lam, katanya lebih lanjut,
Kisah Pedang Bersatu Padu 13 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Naga Dari Selatan 11
Tetap? sehabis melempar, ?a sendiripun rubuh. Sebaliknya si wanita berkerudung itu
acuh tak acuh ayunkan tangannya menampar. Senjata Kiu-mo-ci-hoan itupun terlempar
jatuh. Sehabis menampar, wanita berkerudung itu tiba-tiba melengking nyaring dan
melambung ke udara. la melayang melampau barisan Lo-han-tin dan rubuh di depan Kau
Cin Hong. Begitu menginjak lantai, ia segera menampar. Huak" Kau Cin-hong menyembur
darah segar dan rubuh terkapar!
Sekalian orang gagah yang tengah menyalurkan darah untuk menekan racun, begitu
dengar jeritan Kau Cin-hong, mereka segera loncat menyerbu wanita berkerudung itu.
Tiba-tiba wanita berkerudung menyingkap kain kerudungnya, "Kalian sudah terkena
racun. Jangan harap dapat hidup lama. Lekas buang senjatamu dan menyerah. Nanti akan
kuberi kalian masing-masing sebutir pil pemunah racun. Percuma saja kalian hendak
berusaha untuk menekan bekerjanya racun itu"."
Ia menutup kata-katanya dengan membuka pakaian hitamnya.
Pada saat wanita itu menyingkap kain kerudung, seketika tercenganglah sekalian orang
gagah ketika melihat sebuah wajah yang cantik gemilang. Dan pada waktu mendengar
lengking suara wanita itu, mereka pun seperti mendengar bunyi seruling nafiri. Lebih-Iebih
ketika wanita itu melolos pakaiannya, seketika terbanglah semangat mereka".
Insan manusia atau seorang bidadarikah yang berada di hadapan mereka itu" Begitu
indah jelita wajahnya, sedemikian sempurna setiap lekuk potongan tubuh wanita itu.
Darah mereka terasa mendidih, senjata-seniata yang mereka pegangpun serasa lunglai.
Hamburan darah yang menggelora keras dalam tubuh mereka membuat racun lebih cepat
bekerja. Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri dan seorang paderi Siau-lim-si terbelah kepalanya oleh
si nona baju biru. Menyusul empat orang paderi Siau-lim-si mati di bawah pedang si nona
baju merah dan biru. Jeriran-jeritan ngeri mengandung lengking tertawa dari kedua nona itu. Sedang si nona
baju putih tetap berwajah dingin. Sepatahpun dia tak mengucap, juga tak tertawa.
Sepasang giok-ci dari nona baju putih itu bertebaran kian kemari untuk menggasak
rombongan murid Siau-lim-si. Tetapi anehnya, setiap kali hampir mengenai tubuh lawan,
cepat-cepat ia tarik kembali sehingga tiada seorangpun yang dilukainya!
Barisan Lo-han-tin yang menjadi kebanggaan gereja Siau-lim-si dan diagungkan
sebagai barisan yang tak mungkin dihancurkan, ternyata saat itu menjadi porak-poranda!
Banyak paderi Siau-lim-si yang terluka. Bahkan yang mati sudah mencapai jumlah dua
belas orang. Si nona baju biru dan merah itu ganas sekali. Setiap menyerang tentu mengarah bagian
tubuh orang yang berbahaya. Banyak murid Siau-lim-si yang menjadi korban
keganasannya. Memang pada saat pertempuran itu berlangsung, racun dalam tubuh paderi-paderi
Siau-lim-si itu sudah mulai bekerja. Kepala mereka pening, mata berkunang dan kaki
tangannya lemas. Sudahlah tentu mereka menjadi makanan yang empuk bagi kedua nona
yang ganas itu". Kedua nona itu bergerak dengan cepat. Dalam beberapa kejap saja, ketigapuluh enam
anggota barisan Lo-han-tin itu sudah diganyang habis semua!
Walaupun pakaiannya yang putih berlumuran darah, tetapi Bwe Hong-swat tak melukai
seorang lawanpun juga. Pemandangan saat itu benar-benar merupakan suatu penjagalan yang ngeri. Tubuh
manusia malang-melintang menggeletak di lantai tanpa kepala, tanpa kaki atau tangan
dan lain-lain atau anggota tubuhnya. Sin Ciong tojin yang pura-pura menggeletak mati,
hampir saja tidak kuat menahan kemarahannya. Hampir saja ia hendak loncat menerjang
kedua nona ganas itu. Tetapi syukurlah ia masih dapat menahan hatinya".
Selesai membasmi barisan Lo-han-tin, ketiga nona itu segera menyerbu rombongan
orang gagah lainnya. Pedang berkelebat, darah disertai gumpal potongan daging manusia berhamburan.
Jeritan ngeri susul-menyusul. Dalam beberapa kejap, tujuh, delapan orang telah
terganyang! Tiba-tiba terdengar wanita berpakaian hitam tadi tertawa melengking. Kemudian ia
hentikan pertunjukannya yang cabul, lalu menyerang rombongan orang gagah. Secepat
dengan gerak tusukan jari dan pukulan tangannya, maka terdengarlah jeritan ngeri dan
jatuhnya tubuh susul-menyusul.
Memang saat itu racun di dalam tubuh rombongan orang gagah itu sudah bekerja.
Mereka tak berdaya menangkis. Gerakan mereka hanya sekedar bergerak saja. Sama
sekali tidak menunjukkan tata silat.
Kalau Sin Ciong tojin masih dapat menahan kemarahannya, tidak demikian dengan
kedua jago Ceng-sia-pay. Seketika Siong Hong dan Siong Gwat tojin hendak melenting
bangun. Untung cepat-cepat Sin Ciong tojin mencegahnya. Walaupun meramkan mata,
tetapi ketua Bu-tong-pay itu tetap mencurahkan perhatian pada keadaan di sekelilingnya.
Begitu melihat kedua imam dari Ceng-sia-pay itu hendak bergerak, iapun segera
mendahului menggamit tubuh mereka.
Siong Hong tersadar. Diam diam ia mengeluh dan menyesal atas tindakannya yang
kurang sabar itu. Dengan gunakan ilmu suara Coan-bi-jip-im Sin Ciong tojin menyusupkan suara kepada
kedua jago Ceng-sia-pay itu, "Tunggu begitu pintu ruangan ini terbuka, pinto dan Pekheng
akan menerjang. Dan to-yu berdua harap menggotong kedua anak muda itu
mengikuti keluar. Barisan Ngo-heng-tin dari Bu-tong-pay akan bertugas buat menahan
musuh!" Dia gunakan Cian-li-jip-bi (ilmu menyusupkan suara). Kecuali Pek Co-gi, Siong Hong,
Siong Gwat dan murid-murid Bu-tong-pay, lain-lain orang tak dapat mendengarnya.
Suasana dalam ruang Hwe-lun-tian saat itu sunyi seperti sebuah kuburan. Rombongan
orang gagah hancur berantakan di bawah pedang kedua nona baju merah dan biru atau si
wanita berkerudung. Beberapa orang yang belum sempat ditanyai, pun karena bekerjanya
racun, sudah jatuh sendiri!
Sin Ciong tojin mencuri sebuah kesempatan untuk melirik ke sekeliling. Dilihatnya
mayat rombongannya bergelimpang mandi darah. Tubuh mereka banyak yang tak utuh.
Diam-diam ketua Bu-tong-pay itu menghela napas duka.
Sejenak memandang sekeliling ruang, tiba-tiba wanita berkerudung itu berseru keras
suruh ketiga muridnya berhenti. Kemudian ia tertawa mengekeh.
"Buka pintu dan suruh mereka bersihkan ruangan ini. Yang belum mati, jebloskan ke
penjara dan tunggu keputusan!" serunya. Tetapi si nona baju biru membantah,
"Kemungkinan di antara mereka ada yang bersiasat pura-pura mati. Maksud murid, leb?h
baik habisi saja mereka semua!"
Wanita berkerudung itu merenung sejenak, lalu katanya, "Benar, memang tentu ada
yang pura-pura mati. Begitu pintu terbuka tentu akan gunakan kesempatan untuk lolos"."
Sejenak ia sapukan pandangan ke segenap penjuru. kemudian tertawa dingin, "Tetapi
sekalipun dapat melarikan diri, jangan harap mereka dapat melintasi rintangan. Mereka
kebanyakan jago silat ternama. Satu saja diberi hidup tentu akan menimbulkan kesulitan
di belakang hari." "Jika begitu, silahkan suhu beristirahat. Biarlah murid berdua yang menyelesaikan di
sini," kata si nona baju biru".
Si wanita berkerudung mengangguk lalu melangkah pergi dari ruangan.
Pada saat Bwe Hong-swat mengantar kepergian suhunya itu, ia menggunakan
kesempatan untuk menendang tubuh Siu-lam dan Hian-song. Sebelumnya ia telah
memperhatikan arah jalan dalan kedua pemuda itu. Maka tanpa melihat lagi, dengan tepat
ia telah dapat menendang jitu jalan darah untuk menyadarkan kedua pemuda itu.
Karena jalan darah Seng-si-hian-kwan sudah terbuka, maka Hian-songlah yang lebih
dulu cepat sadar. Baru Bwe Hong-swat berjalan beberapa langkah saja, Hian-song sudah
sadar dan membuka mata. Tetapi dara itu baru pertama kali menyaksikan sekian banyak mayat malang-melintang
secara mengerikan. Maka tidak urung ia merasa ngeri dan buru-buru pejamkan mata lagi.
Rasa ngeri itu menyebabkan jalan darahnya mengalir deras sehingga semangatnya malah
bertambah segar. Sejenak kemudian ia membuka mata dan memandang kepada Siu-lam. Dilihatnya
pemuda itu mulai berkedip-kedip seperti mau membuka mata. Buru-buru Hian-song
mencekal tangan kiri pemuda itu dan terus menyalurkan lwekangnya.
Begitu mendapat saluran tenaga sakti, cepat sekali Siu-lam sudah membuka mata.
Pada saat ia hendak loncat bangun, tiba-tiba si dara membisikinya, "Engkoh Lam, jangan
terburu-buru dulu. Lekas salurkan tenaga dalammu. Kemungkinan kita akan bertempur!"
Siu-lam menjabat tangan si dara yang mencekal pergelangan tangannya sebagai tanda
terima kasihnya. "Engkoh Lam, apakah sesungguhnya kau suka padaku?" tanya si dara dengan kemalumaluan.
Sudah tentu Siu-lam tergetar hatinya. Sesaat ia tak dapat menjawab apa-apa. Tiba-tiba
pada saat itu terdengar pintu berderit-derit terbuka. Segumpal sinar matahari, meningkah
ke dalam. Tiba-tiba terdengar Sin Ciong tojin berteriak keras dan loncat bangun terus menerjang
ke pintu. Tindakan itu disusul oleh Bu-ing-sin-kun Pek Co-gi yang begitu loncat bangun
terus lepaskan dua buah pukulan. Tenaga pukulan yang tak kelihatan itu meluncur ke arah
si nona baju biru dan baju merah. Tahu-tahu kedua nona itu merasakan dadanya empek
dan terpaksa mundur dua langkah.
Dan habis melancarkan pukulan, Pek Co-gi pun segera loncat ke udara dan melayang
ke pintu besi. Secepat kaki hendak menginjak tanah, ia sudah lepaskan pukulan Bu-ingsin-
kun lagi ke arah delapan gadis baju putih yang bersenjata golok bian-to".
Siong Hong dan Siong Gwatpun loncat bangun. Yang satu menggendong Kat Wi, yang
satu memanggul Kat Hong. Setelah menyusupkan buntalan kain yang berisi ilmu pelajaran
silat dari rombongan orang gagah yang berada dalam ruang itu, mereka segera berlari
menuju ke pintu. Begitu melihat Sin Ciong tojin bergerak, semangat Hian-song pun menyala. Cepat-cepat
ia loncat bangun. Tetapi ia lupa kalau masih mencekal pergelangan tangan Siu-lam. Tanpa
disadari karena loncat bangun itu, Hian-song menggunakan tenaga besar sehingga Siulam
peringisan setengah mati. Napas pemuda itu terengah-engah menahan sakit.
Sesaat kemudian barulah dara itu menyadari. Buru-buru ia lepaskan cekalannya.
Saat itu si wanita berkerudung baru tiba di ujung ruang dan belum sempat melangkah
masuk ke dalam pintu rahasia. Ia agak terkejut melihat perubahan mendadak itu. Cepat
berpaling, tertawa dingin lalu lambaikan tangan kiri memberi isyarat Bwe Hong-swat
membantu kedua sucinya. Dia sendiri menekan ke atas tembok dan seketika terbukalah
sebuah pintu. Cepat-cepat ia masuk ke dalam. Jelas bahwa ia tak memandang mata sama
sekali akan mengamuknya ketua Bu-tong-pay dan beberapa kawannya itu.
Saat itu si nona baju biru dan baju merah sudah bertempur dengan barisan Ngo-hengtin
dari anak murid Bu-tong-pay.
Ngo-heng-tin dari Bu-tong-pay dan Lo-han-tin dari Siau-lim-si merupakan dua buah
barisan sakti yang termasyhur. Betapapun sakti kedua nona itu, namun dalam waktu yang
singkat mereka sukar juga membobolkan barisan Ngo-heng-tin itu. Apalagi anak murid Butong-
pay tak bersungguh-sungguh bertempur. Sambil bertempur mereka mundur.
Tujuannya hanya mencegah kedua nona itu menghalang ketua Bu-tong-pay meloloskan
diri. Sedangkan Sin Ciong tojin saat itupun sudah bertempur melawan kedelapan nona baju
putih. Bu-ing-sin-kun Pek Co-gie, Siong Hong dan Siong Gwat tak ikut turun, melainkan
pejamkan mata memulangkan semangat.
Begitu melihat anak murid Bu-tong-pay bergerak dengan teratur mendekati pintu, Sin
Ciong tojin bersuit nyaring. Pedang diputar laksana kilat menyambar-nyambar. Ketua Butong-
pay yang sakti itu, akhirnya dapat membuat kedelapan gadis menjadi kelabakan.
Saat itu Pek Co-gi pun membuka mata dan dari jauh ia lepaskan dua buah pukulan Buing-
sin-kun. Segera terdengar lengking tertahan dan dua orang gadis baja putih serentak
muntah darah terus terkapar di tanah.
Melihat pukulannya berhasil, Pek Co-gi menggerung dan melepaskan dua buah pukulan
tanpa bayangan lagi. Setelah kehilangan dua orang kawannya, keenam kawanan gadis baju putih itu pecah
nyalinya. Begitu melihat Pek Co-gi gerakkan tangannya mereka buru-buru loncat
menghindar. Menggunakan kesempatan keenam gadis itu berloncatan menghindar, Sin Ciong tojin
gunakan jurus Sing gwat-to-kwa (bintang dan bulan berjungkir balik), membuka sebuah
jalan. Melihat itu Siong Hong dan Siong Gwat segera loncat mengikuti di belakang ketua
Bu-tong-pay. Pek Co-gi lepaskan enam pukulan kepada keenam gadis baju putih lagi. Keenam gadis
baju putih itu walaupun sakti tetapi kurang pengalaman. Karena sedang melayani amukan
pedang ketua Bu-tong-pay, mereka lengah menjaga pukulan tanpa bayangan dari Pek Cogi.
Baru setelah merasa dadanya ampek, mereka terkejut dan buru-buru hendak
menghindar tapi sudah kasip.
Jantung mereka serasa bergoncang keras dan serempak terhuyung-huyunglah mereka
ke belakang. Tetapi dua orang yang terkena agak parah, terus jatuh ke tanah.
Diam-diam Bwe Hong-swat girang karena melihat Sin Ciong tojin berhasil lolos dari
pintu Sen-si-bun. Si nona baju merah dan biru masih terpancang oleh rintangan barisan
Ngo-heng-tin yang kokoh. Tetapi kuatir akan menimbulkan kecurigaan kedua sucinya, Bwe
Hong-swat pun loncat menyerang dengan senjata giok-ci. Begitu ia turun gelanggang,
barisan Ngo-heng-tin itu pun segera menderita tekanan keras. Tampaknya makin lama
mereka makin tidak kuat lagi bertahan.
Melihat itu Siu-lam segera membisiki Hian-song, "Sumoay. lekas kau bantu Sin Ciong
tojin membuka jalan. Aku hendak membantu anak murid Bu-tong-pay yang merintangi
musuh di belakang itu!"
Hian-song cepat loncat ke udara. Ia melampaui kepala Siong Hong dan Siong Gwat lalu
melayang turun di belakang Sin Ciong tojin, "Harap totiang beristirahat, biar aku yang
menghajar mereka!" Memang setelah banyak mengeluarkan tenaga Sin Ciong rasakan racun dalam
tubuhnya tentu akan bekerja. Jika tidak lekas-lekas beristirahat menekan racun itu, ia
tentu roboh. Maka ia lancarkan dua buah serangan untuk mengundurkan lawan lalu cepatcepat
loncat mundur. Sebenarnya Sin Ciong tojin sudah mencapai pintu Seng-si-bun. Tetapi di situ ia harus
berhadapan dengan barisan Beng-gak yang terdiri dari dua belas orang aneh. Tiga kali
sudah ketua Bu-tong-pay itu mencoba untuk menerjang tetapi tiga kali itu juga ia terpaksa
menderita kegagalan! Sejenak Hian-song menendang ke arah kedua belas orang aneh itu. Mereka berpakaian
serba aneh dan mukanya dicoreng tak keruan. Walaupun tahu bahwa mereka hanya
manusia, tetapi karena wajahnya begitu menyeramkan, tak urung si dara ngeri juga. Ia
berpaling kepala tak berani melihatnya. Pedang diputar lalu sambil melengos, ia
menyerang dua orang aneh.
Sekalipun tanpa melihat tetapi tusukannya tepat sekali. Yang menjadi sasaran adalah
bagian jalan darah berbahaya. Kedua orang aneh yang ternyata pemimpin barisan,
dipaksa harus mundur selangkah.
Tusukannya berhasil, nyali, Hian-song mulai mengembang cepat ia putar pedangnya
makin cepat dan dalam waktu sekejap mata saja sudah lancarkan delapan buah serangan.
Ia sendiri tak menyadari bahwa kedelapan serangannya itu merupakan jurus-jurus yang
luar biasa ganasnya. Kedua belas orang aneh, menjadi kelabakan setengah mati. Mata
rantai hubungan barisan, menjadi kacau balau.
Sambil menyalurkan penyaluran darah, diam-diam Sin Ciong tojin memperhatikan ilmu
pedang si dara. Ia terkejut heran karena selama itu tak pernah ia melihat semacam ilmu
pedang sedemikian anehnya!
Jika saja ia belum terkena racun, tentulah ia dapat mempelajari ilmu pedang dara itu.
sudah berpuluh-puluh tahun ia membenam diri dalam ilmu pedang maka setiap melihat
ilmu pedang yang belum pernah dilihatnya tentu diperhatikan dengan seksama. Sayang
selama ini ia belum pernah menemui lawan yang lebih unggul ilmu pedangnya. Oleh
karena itu, ia belum mendapat tambahan ilmu pedang yang baru.
Sejak matanya terluka oleh si wanita bersenjata Chit- jiau-soh, dewa pedang Siau Yaucu
tak pulang ke Bu-tong-san lagi. Sin Ciong tojin tak henti-hentinya mencari berita
tentang angkatan tua dari Bu-tong-pay dari itu untuk memintanya pulang. Dengan
pulangnya jago tua itu, dapatlah Sin Ciong memperdalam ilmu pedangnya lebih jauh.
Dengan begitu ilmu pedang Bu-tong-pay tentu akan lebih tinggi mutunya.
Tetapi ketika Siau Yau-cu pulang, tepat pada saat itu Beng-gak telah menyebarkan
jarum Chit-jiau-soh untuk mengundang sekalian orang ke Beng-gak. Dengan begitu Sin
Ciong tak sempat untuk meminta pelajaran pada jago tua itu.
Ilmu pedang yang dimainkan Hian-song benar-benar memikat perhatian ketua Bu-tongpay.
Hanya sayang saat itu dia sudah terkena racun. Dengan menghela napas ia mementil
batang pedangnya" Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang tertahan dan berkiblatnya sinar merah. Ketika
memandang dengan seksama ternyata saat itu Hian-song berlepotan darah pakaiannya.
Ternyata dia mengamuk dengan hebat. Empat orang aneh telah diganyangnya!
Saking kagum dan terpesona menyaksikan ilmu pedang Hian-song, Pek Co-gi, Kat Hui,
Kat Hong, Siong Hong dan Siong Gwat sesaat lupa bahwa mereka masih berada dalam
sarang macan. Kembali Hian-song taburkan pedangnya dan kembali dua orang aneh telah rubuh mandi
darah. Barisan orang aneh itu benar-benar tak berdaya menghadapi permainan pedang si
dara yang luar biasa. Kalau di sini Hian-song mengamuk, di sanapun Siu-lam juga unjuk kegagahan. Dia
dapat menahan ketiga nona murid Beng-gak yang sakti.
Dengan terjunnya Bwe Hong-swat dalam gelanggang, barisan Ngo-heng-tin dari Butong-
pay menjadi kalang kabut. Untung pada saat itu Siu-lam cepat datang membantu.
Dalam tiga kali serangan saja, barisan Ngo-heng-tin sudah kembali tenang lagi.
Si nona baju merah tertawa mengikik, "Bagus, kiranya kaupun juga pandai berpurapura
mati!" Sambil berkata ia lancarkan dua buah serangan. Tetapi dengan gunakan jurus
Tou-coan-cee-ih atau bintang pindah tempat, Siu-lam berhasil mematahkan serangan itu.
Kemudian dengan jurus Pi-peh biat-poh (menyanggul harpa), ia balas menusuk tiga buah
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jalan darah di tubuh nona baju biru.
Tring, tring, tring, nona baju biru itupun segera mainkan senjatanya tanduk rusa dalam
jurus Thiat-chiu-gin-hoa (pohon besi bunga perak). Dua buah senjata saling beradu".
Melihat Siu-lam mencapai kemajuan yang begitu pesat, diam-diam Bwe Hong-swat
gembira sekali. Namun wajahnya terap dingin-dingin saja. Terpaksa iapun menyerang dari
samping dengan jurus Ho-liong-tiam-ceng atau melukis naga menitik mata.
Diam-diam Siu-lam menimang. Jika ia tak melayani serangan nona itu, tentu akan
menimbulkan kecurigaan si nona baju merah dan biru. Maka terpaksa ia gunakan jurus
Tiau-hoat-lam-hay untuk menangkis dan balas menyerang. Bwe Hong-swatpun cepatcepat
menangkis dan balas menyerang.
Tiba tiba terdengar si nona baju merah tertawa menyindir, "Huh, benar-benar seorang
lelaki yang berhati buta. Masakan terhadap sam-moay, kaupun menyerang begitu
ganas"." Tiga buah kiblatan pedang yang dimainkan Siu-lam telah berhasil memaksa si nona
baju merah itu mundur selangkah. Sementara serangan si nona baju biru dan Bwe Hongswat
dapat dibendung oleh barisan Ngo-heng-tin. Barisan yang penuh dengan perubahan
aneh itu, dapat melindungi Siu-lam dari serangan kedua nona.
Tiba-tiba terdengar erang tertahan. Seorang anggota barisan Ngo-heng-tin dipentalkan
pedangnya oleh Bwe Hong-swat. Seperti kilat si nona baju biru nyelonong dari samping.
Sekali menabas, murid Bu-tong pay itu terbelah badannya. Dengan hilangnya seorang
anggota, barisan Ngo-heng-tin mulai kacau.
Si nona baju biru terus merangsek maju. Senjatanya yang berbentuk seperti tanduk
rusa, berkelebat kian kemari memasuki barisan. Dengan begitu barisan Ngo-heng-tin
makin kacau. Siu-lam masih sempat memperhatikan bahwa imam-imam anak murid Bu-tong-pay itu
sudah mandi keringat. Gerak permainannyapun mulai kaku. Jelas racun dalam tubuh
mereka sudah mulai bekerja. Sekalipun tak diterjang ketiga nona, merekapun tentu akan
rubuh sendiri. Diam-diam Siu-lam menghela napas. Ia menyadari bahwa adanya Hian-song dan ia tak
merasa menderita keracunan, tentulah karena pertolongan dua butir pil pemberian Bwe
Hong-swat. Tak tahu ia bagaimana kelak ia dapat membalas budi nona baju putih itu".
"Engkoh Lam, lekas mundur!" tiba-tiba ia dikejutkan oleh teriakan Hian-song.
Tetapi saat itu si nona baju merah malah mendesak dengan seru seraya tertawa
melengking. "Sam-sumoay, perlu apa menyayangi seorang kekasih yang tak berbudi" Sam-sumoay,
ayo bunuhlah dia agar penasaranmu hilang!"
Dengan menggembor keras, Siu-lam tiba-tiba rubah permainan pedangnya. Dia
gunakan jurus Jiau-toh-co-hoa untuk sekaligus menyerang ketiga nona pengeroyoknya.
Jurus itu merupakan ilmu pedang yang luar biasa hebatnya dan perubahan-perubahan
yang aneh. Sekalipun hanya sebuah jurus dan diserangkan ke arah tiga musuh, tetapi
cukuplah hal itu memaksa ketiga nona itu mundur.
"To-heng berempat lekas mundur!" Siu-lam segera menarik pulang pedang, loncat ke
pintu Seng-Si-bun. Tetapi ketika ia berpaling ternyata keempat murid Bu-tong-pay tadi
sudah rubuh terkapar. Dan sekali kedua nona baju merah dan biru ayunkan senjatanya,
keempat murid Bu-tong-pay itupun terbelah menjadi dua.
Racun dalam tubuh mereka sudah bekerja. Ketika Siu-lam menyertakan supaya mereka
mundur sebenarnya keempat murid Bu-tong-pay itu sudah tak kuat. Maka begitu ketiga
nona itu menyerang, merekapun segera jatuh.
Saat itu Hian-song sudah dapat menguasai musuh. Barisan orang aneh sudah separoh
lebih yang dibasminya. Sesungguhnya Sin Ciong amat berduka sekali atas kematian anak murid Bu-tong-pay.
Tetapi sebelumnya ia memang telah membayangkan peristiwa itu. Maka dengan keraskan
hati ia segera menyerbu. Kedua jago Ceng-sia-pay yakni Siong Hong dan Siong Gwat serta
jago Tibet Pek Co-gi karena menginsyafi bahwa racun dalam tubuh mereka tentu segera
bekerja, maka merekapun bergegas-gegas mengikuti Sin Ciong tojin untuk menerjang
keluar dari pintu Seng-si-bun.
Dalam menghadapi ketiga orang murid Beng-gak yang sakti itu, Siu-lam bertempur
dengan gigih sekali. Setiap kali ia terancam, buru-buru ia mengeluarkan jurus aneh dari
ilmu Jiau-toh-co-hoa. Setiap kali jurus peninggalan kakek Hian-song itu digunakan, ketiga
nona itu tentu terdesak mundur.
Sementara dari jarak jauh, Bu-ing-sin-kun Pek Co-gi lepaskan pukulan untuk membantu
Siu-lam. Dengan begitu ketiga nona murid Beng-gak itu tak berdaya untuk mengejar Siong
Hong dan Siong Gwat yang menggendong kedua anak muda Kat Wi dan Kat Hong.
Hian-song makin bersemangat untuk membuka jalan darah. Dia tak menyadari bahwa
ilmu pedangnya sebenarnya sudah tergolong tingkat tinggi. Bermula karena kurang
pengalaman, ia masih agak kikuk. Tetapi makin lama nyalinya makin besar dan
permainannyapun makin tangkas sekali. Jurus yang dimainkan pun makin ganas. Barisan
orang aneh yang tangguh itu tak kuasa untuk menahan amukan si dara. Setiap kali
pedangnya berkelebat, tentu salah seorang aneh itu terbelah.
Akhirnya berhasillah ia membobolkan penjagaan pintu Seng-si-bun itu. Sin Ciong tetap
mengikuti di belakang si dara. Diam-diam ia kerahkan tenaga untuk setiap waktu turun
tangan membantunya. Jilid 19 DALAM BEBERAPA SAAT kemudian, tibalah mereka di mulut lembah. Hian-song yang
sedikitpun tak tampak letih, segera menyerbu. Empat orang aneh menghadangnya. Sret,
sret, sebelum mereka sempat bergerak, pedang si dara sudah merubuh yang dua orang.
Sret, sret, sekali lagi Hian-song kiblatkan pedangnya, kedua orang aneh itu yang satu
terpapas lengannya yang satu terbelah kutung badannya.
Hian-song benar-benar hebat sekali.
Dengan tenaga saktinya, dapatlah Sin Ciong menekan berkembangnya racun dalam
tubuhnya. Sekalipun ia menyadari bahwa cara itu hanya dapat bertahan untuk sementara
waktu saja, tapi tiada lain jalan baginya. Di mana ada kemungkinan, walaupun hanya
beberapa saat, ia tetap berusaha untuk bertahan hidup. Ketua Bu-tong-pay itu mengikuti
di belakang si dara. Saat itu papan besi yang menghalang di lembah telah tak tampak. Lembah sunyi
senyap. Kecuali keempat orang aneh itu, tak tampak seorang pun menghadang lagi.
Siong Hong dan Siong Gwat dengan memanggul kedua putra Kat Thian-beng, tetap
mengikuti Sin Ciong tojin. Di belakang mereka Siu-lam masih tetap menghadang ketiga
nona murid Beng-gak di luar lembah.
Dalam bertempur dengan Siu-lam, si nona baju merah mendapatkan bahwa dalam
waktu singkat Siu-lam telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Tetapi sebagai
orang yang berhati tinggi, si nona baju merah tetap tak memandang mata kepada Siu-lam.
Alangkah kejutnya ketika ia tertumpuk akan kenyataan! Berapa bulan yang lalu, salah satu
dari ketiga nona itu, dapat mengalahkan Siu-lam. Tapi saat itu ternyata mampu melawan
mereka bertiga. Yang membuat nona baju merah itu terkejut heran adalah ilmu pedang
Siu-lam itu dalam banyak hal terdapat banyak persamaannya dengan mereka bertiga. Tapi
dalam hal gerakan perubahannya, Siu-lam bahkan lebih unggul sedikit!
Melihat rombongan Sin Ciong tojin dapat melintasi lembah, si nona baju biru marah
sekali. Dengan berteriak nyaring ia mainkan pedangnya makin gencar untuk mengimbangi
kedahsyatan senjata tanduk rusa dari si nona baju merah".
Sebaliknya Bwe Hong-swat diam-diam gembira sekali menyaksikan kemajuan Siu-lam.
Tapi ia tetap masih kuatir akan kesempatan pemuda itu. Kedua sucinya mengamuk hebat
sekali. Setiap gerakan senjatanya dilambari dengan tenaga dalam yang penuh. Sekali
mengena sasarannya, tak dapat disangsikan lagi tubuh Siu-lam pasti hancur lebur!
Dalam hati ia mencemaskan keselamatan Siu-lam, tetapi agar jangan diketahui oleh
kedua sucinya, terpaksa ia harus melancarkan serangan yang seru. Demikianlah kedua
senjata giok-cinya diputar dan dimainkan laksana sepasang naga yang menyambarnyambar".
Hian-song terus melangkah keluar dari lembah. Di luar lembah ternyata tiada
penghadang lagi. Tetapi ketika berpaling dan melihat Siu-lam masih bertempur seru
dengan ketiga nona Beng-gak, ia segera minta kepada Sin Ciong tojin dan rombongan
supaya menunggu sebentar. Sekali melesat dara itu masuk ke dalam lembah lagi dan
berseru nyaring, "Engkoh Lam, jangan takut, aku datang membantumu!"
Dengan jurus Long-coang-liu-sat atau Ombak bergulung mendampar pasir, ia segera
maju menyerang. Tetapi yang menjadi sasaran pertama adalah Bwe Hong-swat!
Bwe Hong-swat menangkis dengan giok-ci kiri lalu giok-ci di tangan kanan balas
menyerang dua kali. Sekalipun ilmu pedang Siu-lam sakti, tetapi tenaganya tetap terbatas. Sekian lama
bertempur melawan ketiga nona, dia merasa letih sekali. Jika tak memiliki ilmu pedang
Jiau-toh-co-hoa yang luar biasa itu, kemungkinan dia tentu sudah kalah.
Tetapi setelah Hian-song ikut membantu, keadaanpun berubah. Iwekang yang dimiliki
Hian-song sejak jalan darah Seng-si-hian-kwatnya terbuka, laksana sumber air yang tak
pernah kering. Bahkan makin lama dara itu malah makin gagah dan serangannya makin
mengganas. Ketiga murid Beng-gak benar-benar tak berdaya untuk maju setengah
langkah saja. Tiba-tiba Siu-lam menggerung. Ia keluarkan jurus Jiau-toh-co-hoa lagi. Melihat itu si
nona baju biru dan Bwe Hong-swat terpaksa mundur. Tetapi si nona baju merah
penasaran sekali. Setiap kali pemuda itu mengeluarkan jurus itu, tentu dapat mendesak.
Hal itu benar membuatnya mendongkol. Maka untuk serangan Siu-lam kali ini, dia benarbenar
tak mau mundur. Kebut hud-tim di tangan kiri dan pedang pusaka di tangan kanan,
serentak ditaburkan untuk menyongsong serangan Siu-lam.
Gumpalan sinar kebut dan pedang yang memancar tiba-tiba terbenam dalam kepungan
sinar pedang Siu-lam. Saat itu barulah si nona baju merah terkejut dan bergegas-gegas
hendak menarik pedangnya dan mundur.
Ia bergerak dengan cepat tapi tetap terlambat. Wut, wut, segumpal rambut kepalanya
berhamburan jatuh kena terpapas".
Sebenarnya dalam jurus Jiau-toh-co-hoa itu masih mempunyai perubahan yang aneh
dan tak habis-habisnya. Sayang Siu-lam hanya dapat mengingat separuh jurus saja.
Andaikata ia dapat menguasai seluruh jurus penuh, ketiga nona itu tentu tadi sudah
rubuh. Setelah memperoleh hasil, Siu-lam segera berseru kepada Hian-song, "Adik Song, lekas
mundur," cepat ia ulurkan tangan menarik ujung lengan baju si dara terus diajak lari.
Rambutnya terpapas, menyebabkan semangat nona baju merah terbang. Ia tegak
termangu di mulut lembah. Ketika Siu-lam dan Hian-song lari, iapun hanya mengawasinya
saja. Dan karena ia berdiri di tengah mulut lembah, maka si nona baju birupun terhalang
jalannya. Sedangkan Bwe Hong-swat yang sengaja mengulur waktu, pun tak mau
mengejar. Si nona baju biru mengawasi wajah si nona baju merah. Melihat nona baju merah itu
tegak mematung, buru-buru ia mendampratnya, "Huh, budak gila! Mengapa tak lekas
mengejar dan tegak terlongong-longong saja!"
Si nona baju merah gelagapan. Dengan mendengus, ia segera lari mengejar.
Sin Ciong heran melihat mengapa Siu-lam dan Hian-song tak kurang suatu apa. Cepat
ia menyongsong dengan pertanyaan, "Apakah kalian tak merasakan apa-apa dalam tubuh
kalian?" Siu-lam gelengkan kepala.
Sin Ciong tojin merenung sejenak lalu berkata, "Biarlah aku yang menghadang orang
Beng-gak. Harap kalian berdua melindungi kedua to-heng dari Ceng-sia-pay keluar dari
neraka sini!" Dan tanpa menunggu jawaban Siu-lam ketua Bu-tong-pay itu terus putar pedangnya
menyambut ketiga nona murid Beng-gak.
Pek Co-gi merasa telah mengeluarkan banyak tenaga sehingga racun dalam tubuhnya
merangsang keras. Dia menyadari kalau tak dapat bertahan lama. Maka berkatalah ia
kepada kedua imam dari Ceng-sia-pay, "Jiwi berdua mempunyai beban tugas yang
penting. Harap melaksanakan dengan sekuat tenaga. Usahakan sekuat-kuatnya agar
kedua pemuda Kat itu dapat lolos dari tempat ini. Aku hendak membantu Sin Ciong
toheng"." Jago tua dari Tibet itu menutup kata-katanya dengan loncat kembali ke dalam lembah.
Sebelum orang-orangnya tiba, ia sudah lepaskan dua buah pukulan Bu-ing-sin-kun ke arah
ketiga nona Beng-gak. Karena selama memanggul kedua pemuda, kedua jago Ceng-sia-pay itu belum
bertempur dengan musuh, maka bekerjanya racun dalam tubuh merekapun agak lambat.
Mereka menyadari pada setiap detik amat berharga sekali. Maka segera mereka mengajak
Siu-lam dan Hian-song lanjutkan perjalanan.
Bermula Siu-lam agak heran menyaksikan gerak-gerik Sin Ciong tojin dan Pek Co-gi
dengan kedua tokoh Ceng-sia-pay. Tetapi karena kedua tokoh Ceng-sia-pay itu sudah
mendahului lari dengan pesat, terpaksa Siu-lam dan Hian-songpun lari mengikuti mereka.
Siong Hong dan Siong Gwat terus kencangkan larinya sambil memandang ke sekeliling
untuk mencari jalan keluar. Tak berapa jenak mereka sudah lari sejauh beberapa li. Saat
itu mereka tiba di padang bunga.
Tiba-tiba sesosok bayangan melesat dari tengah-tengah padang bunga. Dua orang
gadis baju hijau muncul menghadang dengan pedang terhunus.
Siong Gwat segera mencabut pedangnya terus menyerang gadis baju hijau yang di
sebelah kiri. Tetapi gadis itu tak mau menangkis melainkan menghindar mundur.
Sebaliknya gadis baju hijau yang di sebelah kanan segera maju menangkis.
Melihat itu Siu-lam berseru, "Harap totiang berdua jaga baik-baik kedua saudara itu,
biarlah aku yang menghadapi kedua nona ini."
Kalau dia hanya bicara saja tetapi Hian-song sudah mendahului menyerang kedua nona
penghadangnya itu. Gadis baju hijau yang sebelah kanan segera gunakan jurus Hwe-hong-wu-liu,
menangkis serangan Hian-song. Tetapi Hian-song cepat berputar tubuh sambil menarik
pedang dan tiba-tiba balikkan tangannya ke belakang menabas dengan jurus Thian-gwalay-
hun atau dari luar langit timbul awan.
Tepat pada saat itu terdengar jeritan ngeri. Hian-song cepat berpaling dan dilihatnya
gadis baju hijau di sebelah kiri tadi tiba-tiba telah menusuk punggung gadis baju hijau
yang menangkis serangan Hian-song. Ujung pedang tembus sampai ke luar dada.
Sudah tentu Siu-lam dan Hian-song kesima. Dipandanganya gadis baju hijau itu dengan
tak berkesiap. Gadis baju hijau itu mencabut pedangnya yang menembus dada kawannya lalu
membersihkan darah pada batang pedang. Setelah itu ia bertanya, "Siapakah yang
mempunyai nama she Pui?"
Siu-lam tertegun, sahutnya, "Akulah!"
Gadis baju hijau sejenak mengamat-amati Siu-lam lalu berkata pula, "Apakah kau yang
bernama Pui Siu-lam?"
Siu-lam mengiyakan. "Jalanan di muka penuh dengan alat rahasia dan juga jago-jago sakti. Di lembah ini
terdapat sebuah jalan keluar. Jika tuan-tuan hendak meloloskan diri, hanya jalan itu yang
merupakan satu-satunya jalan keluar," kata si nona.
"Siapa kau?" tegur Siu-lam.
Nona baju hijau menyahut perlahan, "Aku disuruh kemari oleh nona Bwe. Tempo
tinggal sedikit, marilah tuan-tuan ikut aku!" ia tendang mayat kawannya tadi ke dalam
padang bunga lalu lari ke muka.
Siu-lam mengajak Siong Hong dan Siong Gwat mengikuti nona itu.
Rupanya gadis baju hijau itu paham keadaan tempat di gunung Beng-gak. Ia melintasi
padang bunga. Saat itu racun dalam tubuh kedua tokoh Ceng-sia-pay sudah bekerja. Kaki dan tangan
mereka terasa lemas tak bertenaga. Menggendong orang, dirasakan berat sekali. Keringat
bercucuran membasahi tubuh mereka. Wajah merekapun mulai biru. Tetapi dengan
keraskan hati mereka tetap lari.
Rupanya gadis baju hijau itu juga tegang sekali. Tahu bagaimana keadaan kedua imam
Ceng-sia-pay namun ia tetap tidak kendorkan larinya.
Siu-lam tetap mengikuti di belakang nona itu. Ia telah bersiap-siap. Begitu nona itu
hendak menyeleweng, segera akan ditindaknya.
Sepenanak nasi lamanya, barulah mereka keluar dari padang bunga. Nona itu berpaling
kepada Siong Hong dan Siong Gwat, "Harap totiang berdua tahankan diri sebentar lagi.
Kita sudah hampir terhindar dari bahaya!"
Ia terus lari menuju ke sebuah lembah yang lebih senyap. Siu-lam mulai curiga. Si nona
guna pedang untuk menyiak semak belukar yang menyubur di lembah itu. Kira-kira dua li
jauhnya ia menghela napas dan berhenti. Katanya kepada Siu-lam, "Jika gerak-gerik kita
tidak diketahui penjaga-penjaga yang bersembunyi di dalam padang bunga tadi, itulah
sudah beruntung!" "Apakah kecuali nona, tiada lain anak buah Beng-gak yang tahu jalan ini?" tanya Siulam.
Nona itu menerangkan bahwa lembahitu sebuah lembah mati.
Jika lembah mati, mengapa nona membawa kami ke sini?" Tanya Siu-lam curiga.
"Ah, mengapa engkau begitu terburu-buru menukas keteranganku?" sahut si nona.
"Dalam lembah mati terdapat sebuah terowongan yang merupakan mulut gunung berapi.
Tetapi sudah berpuluh tahun gunung itu tidak mengeluarkan api lagi!"
Siu-lam terkejut dan diam-diam mendamprat nona itu karena hendak menggunakan
gunung api untuk mencelakai mereka.
Karena tak mempunyai pengalaman, nona itu tetap melanjutkan keterangannya dengan
tenang, "Nona Bwe suruh aku mengantar kalian ke mulut gunung berapi itu. Menurut kata
nona Bwe hanya mulut gunung berapi itu merupakan satu-satunya jalan keluar!"
"Tetapi bukankah bagian dalamnya masih panas sekali" Jika masuk, dikuatirkan tak
dapat keluar lagi"."
Nona itu gelengkan kepala, "Tentang hal itu aku tak tahu. Tetapi nona Bwe hanya
memerintahkan supaya aku membawa tuan-tuan masuk ke dalam terowongan itu," dan
tanpa menunggu jawaban Siu-lam nona itu terus lanjutkan jalan ke muka lagi.
Siu-lam berpaling. Dilihatnya Siong Hong dan Siong Gwat sudah mandi keringat.
Matanya dipejamkan seperti orang yang sudah tak bersemangat lagi.
"Dalam keadaan begini, harapan hidup tipis sekali. Lebih baik aku mencoba masuk ke
dalam terowongan gunung berapi itu," akhirnya Siu-lam mengambil putusan dan
mengikuti si nona baju hijau.
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hian-song juga mempunyai pikiran seperti pemuda itu. Iapun mengikuti Siu-lam.
Saat itu racun dalam tubuh kedua imam Ceng-sia-pay sudah bekerja dan kedua tokoh
itu sudah kehilangan kesadaran pikirannya. Merekapun hanya mengikuti kemana Siu-lam
bergerak. Setelah berjalan satu li jauhnya, tibalah mereka di sebuah dinding karang yang tinggi.
Di bawah kaki karang itu terdapat sebuah terowongan kecil.
"Inilah!" seru si nona seraya menunjuk mulut terowongan.
Siu-lam memandang ke dalam. Liang terowongan gelap sekali sehingga tak dapat
diketahui berapa dalamnya.
"Silahkan periksa sendiri, aku hendak kembali!" kata gadis itu.
Siu-lam menimang. Jika gadis itu hendak mencelakai dirinya, tentu dia takkan
membunuh kawannya sendiri. Tentulah ia benar suruhan Bwe Hong-swat yang berusaha
untuk menolongnya. Berpaling ke belakang tampak kedua imam dari Ceng-sia-pay sudah lentuk tak
bertenaga. Sedang Hian-song seorang dara yang tak berpengalaman. Maka ia harus
memutuskan sendiri apakah akan memasuki terowongan itu atau tidak.
Ia menyadari betapa penting tugas yang terletak di bahunya saat itu. Ia harus
menyelamatkan jiwa beberapa orang itu, setelah merenung beberapa saat akhirnya ia
memutuskan untuk masuk. "Adik Song, aku yang mempelopori di muka, dank au yang menjaga di belakang. Kedua
imam itu rupanya sudah tak tahan!" kata Siu-lam. Ia terus menghunus pedang dan
melangkah masuk. Memang pikiran kedua imam Ceng-sia-pay itu tak terang lagi. Ia hanya menurutkan
kemana Siu-lam langkahkan kaki. Begitu melihat pemuda itu masuk ke dalam terowongan,
mereka pun segera mengikuti.
Lorong terowongan gelap sekali, sehingga tak dapat melihat jari-jari tangannya sendiri.
Lorong terowongan menurun ke bawah kira-kira tiga puluh tombak jauhnya, lorong yang
sempit tiba-tiba lebih besar. Tetapi berbareng itu terdengar suara gemuruh!
Siu-lam berhenti untuk mencari arah suara gemuruh itu. Tetapi sampai sekian jenak, ia
tak berhasil mengetahui arahnya. Suara itu sebentar seperti dari sebelah barat, sebentar
pindah ke sebelah timur. Tengah ia menumpahkan perhatian, tiba-tiba terdengar Siong Hong dan Siong Gwat
mengerang dan jatuh terkapar di tanah. Kedua pemuda yang digendongnya itupun ikut
numprah. Ketika Siu-lam memeriksa, ternyata Siong Hong sudah putus jiwanya.
Siu-lam terpaksa menolong Kat Hong. Imam Siong Gwat menghela napas, "Kedua
pemuda itu sudah ditutuk jalan darahnya. Asal sudah dapat disembuhkan, tentu dapat
berjalan sendiri." Katanya terputus oleh darah yang muntah dari mulutnya. Siu-lam buru-buru memberi
pertolongan dengan menyalurkan tenaga dalamnya. "Totiang hendak memberi pesan
apa?" Imam dari Ceng-sia-pay itu membuka mata dan dapat berkata, "Mereka berdua telah
diberi minum pil kim-tan dari Bu-tong-pay. Asal dibuka jalan darahnya yang tertutuk,
mereka tentu sembuh, dalam bungkusan itu tersimpan segala ilmu pelajaran dari tokohtokoh
yang ikut masuk ke dalam Seng-si-bun. Ilmu itu diberikan kepada kedua pemuda itu
agar mereka menyakinkan dengan sungguh-sungguh?" Siong Gwat tojin mengambil
sebuah lencana dari bajunya, "Inilah lencana dari Ceng-sia-pay" yang memiliki lencana ini
akan diberi kekuasaan untuk memegang pimpinan Ceng-sia-pay"."
Jago dari Ceng-sia-pay itu tak dapat meneruskan kata-katanya karena muntah darah
lagi dan seketika putuslah jiwanya.
Siu-lam menghela napas, "Adik Song, lepaskanlah, dia sudah meninggal."
Dara itu menanyakan apa sebab tokoh itu meninggal. Siu-lam mengatakan bahwa
mereka mati karena terkena racun.
"Eh, mengapa kita tak terkena racun?"
"Karena kita menelan pil pemunah racun. Kalau tidak kita tentu sudah mati juga!"
"O, jadi ketika di dalam ruang Hwe-lun-tian, kau menyusupkan pil itu ke dalam
mulutku?" Siu-lam mengiakan. "Dari mana kau memperoleh pil itu?"
Diam-diam Siu-lam membatin. Itulah suatu kesempatan agar Hian-song tak membenci
lagi kepada Bwe Hong-swat. Maka dengan terus terang ia memberitahukan hal itu.
"Jika tiada pil itu kita tentu sudah mati," Siu-lam menambahkan keterangannya.
Bermula Hian-song diam saja tetapi begitu mendengar keterangan Siu-lam yang
terakhir, seketika marahlah dara itu, "Jika tahu pil itu pemberiannya, aku tak sudi minum
dan lebih suka mati!"
Siu-lam terkejut dan buru-buru mengalihkan pembicaraan, "Sebaiknya kita lekas
memindahkan jenazah kedua imam ini kemudian menolong kedua pemuda. Ah, entah
apakah pil dari Bu-tong-pay itu dapat menolong jiwanya"."
"Huh, kalau obat dari lain orang tidak mujarab kecuali dari adikmu si gadis baju putih
itu, ya!" kembali Hian-song merajuk.
Siu-lam hanya tertawa hambar. Tak mau ia meladeni dara yang sedang marah-marah
itu. Kemudian ia cepat-cepat memberi pertolongan pada kedua pemuda yang masih
pingsan. Beberapa saat kemudian kedengaran Kat Wi dapat menghela napas dan tersadar. Hiansong
pun membantu menyadarkan Kat Wi. Pemuda itu pun tersadar.
"Tuh, lihat, engkoh Lam, siapa bilang pil dari Bu-tong-pay tidak mujarab?" lengking si
dara. Siu-lam menghela napas, ujarnya, "Sin Ciong tojin rela memberikan dua butir pil Butong-
pay kepada kedua pemuda ini dan ia sendiri rela untuk mati. Sungguh seorang tokoh
yang luhur!" Kat Hong dan Kat Wi yang baru tersadar terkejut ketika dapatkan dirinya berada dalam
sebuah terowongan yang gelap. Tetapi Siu-lam cepat menyabarkan mereka, "Saudara
berdua baru saja terlepas dari tutukan, kemungkinan dalam tubuh saudara masih ada
racunnya. Sebaiknya jangan bergerak dulu dan menyalurkan darah untuk mengusir racun
itu!" "Mana ayahku?" tanya Kat Hong.
Memang pada saat Kat Thian-beng mengalami nasib yang menggenaskan, buru-buru
Sin Ciong tojin menutuk jalan darah kedua pemuda itu agar jangan sampai goncang
hatinya, maka kedua anak muda itupun tak tahu kemana sang ayah.
"Sebaiknya saudara memulangkan napas dulu dan berusaha untuk mengenyahkan
racun dalam tubuh saudara. Nanti tentu akan kuberitahukan semua peristiwa?" Siu-lam
memberi penjelasan, "tempat ini masih dalam daerah berbahaya, begitu saudara sudah
sembuh, kita harus lekas tinggalkan tempat ini!"
Kedua saudara Kat itu menurut. Mereka segera duduk bersemedhi menyalurkan darah.
Pil kim-tan yang dibawa Sin Ciong tojin merupakan pil pusaka buatan dari Tio Samhong,
pendiri partai Bu-tong-pay. Hanya dibuat sebanyak lima butir pil, turun-menurun
diserahkan pada Ciang-bun-jin (ketua) Bu-tong-pay. Pil itu tak boleh digunakan
sembarangan kecuali menghadapi suatu peristiwa yang luar biasa. Pada saat diterima oleh
Sin Ciong tojin, pil itu hanya tinggal dua butir.
Pil itu memang mujijat sekali. Begitu kedua pemuda Kat itu menyalurkan napas, mereka
segera rasakan dadanya longgar, semangatnya segar. Tiba-tiba mereka muntah-muntah.
Tetapi setelah itu tampaknya mereka mulai sehat.
"Kau lapar?" tanya Hian-song yang masih kekanak-kanakan.
"Jangan adik Song," cegah Siu-lam, "memang setelah muntah tentu merasa lapar. Tapi
bekal yang kita bawa itu tentu sudah mengandung racun. Sebaiknya dibuang saja!"
Dara itu menurut. "Ai, kali ini kau benar-benar mendengar kata!" Siu-lam tertawa bergurau.
Hian-song berbangkit dan menghampiri dekat pemuda itu. Serunya dengan lemah
lembut, "Engkoh Lam?" Belum selesai ia mengucap tiba-tiba terdengar letusan yang
dahsyat dan segumpal asap tebal menyambar dari belakang.
Terkejut mereka bukan kepalang. Mereka seolah-olah digodok dalam api. Keringat
mengalir seperti anak sungai. Hawa panas merangas cepat sekali sehingga tak
menyempatkan mereka untuk bertahan diri.
Siu-lam cepat kerahkan tenaga dalam untuk menahan panas lalu memanggul kedua
saudara Kat terus dibawa.
"Adakah saudara terluka?" tanyanya.
Kedua saudara Kat itu gelengkan kepala. Saat itu racun dalam tubuh mereka sudah
sebagian besar hilang. Keadaan berangsur-angsur baik.
"Engkoh Lam, aku teringat?" tiba-tiba Hian-song tersenyum.
"Teringat apa?" Tanya Siu-lam heran.
"Nona baju putih itu tak cinta padamu maka ia sengaja suruh orang menjerumuskan
kau ke dalam terowongan gunung berapi supaya kita terkubur hidup-hidup!"
Siu-lam tertegun. Diam-diam ia mengakui memang kata-kata si dara itu benar juga.
Tetapi pada lain kilas ia teringat. Bahwa jika nona itu benar-benar bermaksud jahat, tak
nanti ia memberi pil penawar racun di ruang Hwe-lun-tian".
"Ah, tetapi kalau dia berbuat begitu, aku malah lega." Hian-song tertawa lalu
menggelendot di dada Siu-lam.
Sebagai seorang dara yang menjelang alam kedewasaan, sebagai seorang yang sudah
sebatang kara, ia anggap Siu-lam itu adalah satu-satunya manusia di dunia yang menjadi
tiang andalannya. Maka ia tak senang apaibila si nona baju putih bersikap baik pada Siulam.
Siu-lam tergerak hatinya melihat sikap mesra dari dara itu. Dipeluknya dara itu seraya
berbisik, "Cukuplah kalau kau sudah tahu, jangan suka mengada-adakan pikiran apa-apa
lagi!" Tiba-tiba terdengar Kat Hong menghela napas dan berkata pada saudaranya, "Adik,
samar-samar aku masih ingat bahwa ayah telah dilukai si nona baju merah dalam ruang
Hwe-lun-tian!" "Ya, ya, akupun seperti melihat ayah terluka oleh ketiga siluman perempuan itu. Tetapi
tiba-tiba jalan darahku ditutuk orang?" sahut Kat Wi dengan menghela napas. Kemudian
berpaling ke arah Siu-lam ia berkata, "Apapun yang terjadi harap Pui-heng
memberitahukan terus terang. Toh sudah dalam keadaan begini, tak nanti kami berdua
menyesal." Siu-lam merenung sejenak lalu berkata, "Sin Ciong totiang telah memberikan dua butir
kim-tan kepada saudara berdua. Kim-tan itu merupakan pil pusaka turun-temurun dari
partai Bu-tong-pay. Selain itu, sekalian orang gagah yang ikut masuk ke dalam Hui-lunTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tian telah meninggalkan ilmu kepandaiannya masing-masing kepada saudara berdua. Budi
para cianpwe itu sungguh tak ternilai. Mereka telah meletakkan seluruh harapan kepada
saudara berdua. Apabila saudara sampai mengecewakan harapan mereka, rasanya Sin
Ciong totiang tentu tidak dapat mengaso tenang di alam baka"."
Kedua saudara itu serempak menyahut, "Harap Pui-heng jangan kuatir. Kami berdua
pasti takkan mengecewakan harpan Sin Ciong totiang!"
"Kesanggupan saudara itu pasti akan menentramkan hati Sin Ciong totiang yang telah
memberikan ilmu pelajarannya agar ilmu itu tak ikut hilang?" Siu-lam berhenti sejenak
lalu berkata pula, "Saudara memang benar, ayah saudara memang sudah meninggal"."
Mendengar itu air mata kedua pemuda itu membanjir turun. Namun mereka kuatkan
hati untuk menahan kedukaan.
Siu-lam menghela napas, "Bukan melainkan hanya Kat lo-cianpwe, pun kecuali kita
berempat ini, yang lainnya kemungkinan besar tentu juga sudah tak ada"."
Dengan singkat Siu-lam segera menuturkan apa yang telah terjadi di ruang Hwe-luntian.
Pada akhirnya ia menandaskan lagi akan kemuliaan hati ketua Bu-tong-pay yang
relah memberikan pil mujizat itu kepada kedua saudara Kat.
Kat Hong bangkit dan mengajak adiknya untuk memberi hormat kepada jenazah Siong
Gwat dan Siong Hong, kedua imam Ceng-sia-pay yang telah menggendong mereka.
Dengan haru dan khidmat, kedua saudara itu memberi hormat yang sedalam-dalamnya
kepada jenasah kedua tokoh Ceng-sia-pay.
Menunjuk pada buntalan kain di samping, berkatalah Siu-lam, "Buntalan ini terisi ilmu
pelajaran sakti dari para lo-cianpwe. Harap saudara berdua menyimpannya baik-baik. Jika
sampai hilang berarti akan hilang ilmu kesaktian dari dunia persilatan!"
Kat Hong membuka buntalan itu. Tangkai pedang, lengan baju, keping kayu dan
benda-benda yang bertuliskan ilmu pelajaran sakti, dibagi dua diberikan kepada adiknya.
Setelah menyimpannya baik-baik, berkatalah ia, "Jika berdua sampai tertimpa sesuatu
bahaya, harap Pui-heng mengambil buntalan yang kami bawa ini. Sekali-kali jangan
sampai jatuh di tangan musuh."
Pemuda itu berbangkit lalu melangkah ke luar. Siu-lam tercengang dan buru-buru
mencegahnya, "Saudara Kat, tunggu dulu. Kau hendak kemana?"
"Mumpung kami masih mempunyai kekuatan untuk menghadapi musuh, kami akan
berusaha untuk lolos dari Beng-gak. Jika tidak tentu kami di sini akan lemas kelaparan!"
sahut Kat Hong. Siu-lam menghela napas, "Apakah saudara menganggap kepandaian saudara itu lebih
unggul dari lo-cianpwe itu?"
Sahut pemuda itu, "Dalam keadaan seperti saat ini, walaupun kepandaian tidak
memenuhi syarat, tetapi lebih baik kita berpantang maut sebelum ajal. Mari kita keluar
berpencaran dari empat penjuru. Satu saja bisa lolos, sudah beruntung daripada mati
semua!" "Berani kupastikan bahwa kita ini tiada yang dapat lolos," kata Siu-lam.
"Jadi maksud Pui-heng, lebih baik kita tunggu kematian di sini saja?"
"Keluar dari terowongan ini jangan harap bisa selamat. Satu jalan hanyalah terus
masuk berusaha mencari lubang yang bisa keluar dari lingkungan Beng-gak!"
Kat Hong melangkah balik, katanya, "Hawa panas dari semburan asap tadi, tidak
mungkin dapat kita tahan" ah, mungkin Pui-heng memiliki lwekang yang mampu
menahan panas. Tetapi bagi kami berdua saudara, tentu akan mati kepanasan. Daripada
menerjang maut lebih baik kita adu peruntungan untuk menggempur Beng-gak"."
Siu-lam tak leluasa untuk memberitahukan tentang perintah Bwe Hong-swat kepada
bujangnya agar membawa rombongan keempat pemuda itu mengambil jalan dari
terowongan di situ. Ia kuatir Hian-song akan merajuk. Tetapi Siu-lam yakin, bahwa Bwe
Hong-swat mempunyai hati yang kasih saying. Lain dari Hian-song yang berwatak keras
dan berterus terang. Kepercayaan Siu-lam terhadap Bwe Hong-swat telah menimbulkan
harapan pemuda itu bahwa adanya Bwe Hong-swat menyuruh ambil jalan melalui
terowongan gunung, tentulah dalam terowongan itu terdapat sebuah jalan lolos.
Setelah merenungkan kesemuanya itu, berkatalah Siu-lam, "Saat ini hanya ada dua
jalan. Keduanya penuh penderitaan. Keluar dari terowongan dan bertempur dengan orang
Beng-gak. Kita kesampingkan dulu soal ilmu kepandaian.
Tetapi cukup dengan cara mereka menaburkan racun saja, kita sudah tak mampu
menandingi." "Maksud Pui-heng"."
"Maksudku, daripada harus menghadapi orang Beng-gak dengan kemungkinan tipis,
lebih baik kita lanjutkan menyusur terowongan ini. Kemungkinan terdapat jalan keluar!"
kata Siu-lam. Tetapi Kat Hong tetap menyangsikan kalau terowongan itu dapat menyelamatkan
mereka. "Gunung berapi ini sudah berpuluh tahun mati. Tentu terdapat celah-celah lubang pada
gumpalan-gumpalan karang bekas lahar. Memang hanya semburan asap panas tadi yang
kita alami, tetapi sampai saat ini kita tak menderita gangguan apa-apa lagi. Coba saudara
pikir. Jika memang gunung berapi ini masih bekerja, kita mati tetapi dapatkah orang Benggak
terhindar dari terjangan lahar maut?"
Akhirnya Kat Hong mengakui dan satu keputusan Siu-lam. Siu-lam pun segera
mengajak mereka berangkat.
Kat Wi menyeletuk bahwa dengan perut kosong, tak mungkin mereka dapat mencapai
ujung terowongan yang tak diketahui berapa panjangnya itu.
"Ih,kalau kalian begitu takut mati, lebih baik jangan pergi saja!" Hian-song menyeletuk
dengan mengkal. Kat Wi marah, "Kalau nona berani, mengapa aku seorang anak lelaki takut" Ayo
berangkat!" ia terus melangkah mendahului Siu-lam.
Siu-lam mencekal lengan anak muda itu, "Harap saudara janga menurutkan kemarahan
hati. Biarlah aku yang mempelopori di muka!"
Tahu pemuda itu lebih sakti, Kat Wi pun tak mau berkeras kepala. Ia berjalan mengikuti
di belakang Siu-lam. Saat itu setelah cukup duduk menyalurkan napas mereka merasa segar dan tajam
penglihatannya. Dilihatnya di sebelah muka hanya gunduk-gunduk karang. Belasan
tombak jauhnya, kembali mereka harus melintasi sebuah jalan yang sempit. Suara
gemuruh itupun terdengar lagi.
Siu-lam berhenti dan pasang pendengaran lalu berjalan perlahan-lahan. Ia tahu bahwa
suara menggelegar yang gemuruh itu menandakan bahwa perut gunung terdapat gerakan
lava (gejolak lahar). Tetapi tak mau ia mengatakan hal itu supaya jangan mengecilkan hati
kedua saudara Kat. Maka berjalanlah keempat pemuda itu dengan langkah berat dan hati tegang. Tiba-tiba
dengan Hian-song menghela napas, "Engkoh Lam, apabila kita berhasil lolos dari perut
gunung ini, kemungkinan kita masih terancam kesulitan-kesulitan lagi!"
"Kesulitan yang bagaimana?"
"Kali ini banyak tokoh persilatan yang binasa di gunung Beng-gak. Hanya kita berempat
yang berhasil lolos, dengan begitu murid-murid mereka tentu akan mencari kita untuk
menanyakan tentang kematian guru-gurunya!" kata Hian-song.
"Ah, janganlah memikirkan begitu jauh. Yang penting kita sedang menghadapi bahaya,
dan tipis kemungkinan kita dapat selamat," diam-diam Siu-lam mendamprat dara itu.
Namun ia tertawa dan mengiakan kata-kata Hian-song, "Ya, ya, kita tentu repot tiap hari
menerima tetamu"."
Kat Wi menyeletuk, "Ah, saudara berdua masih sempat memikirkan apa yang belum
terjadi. Lebih baik kita kesampingkan dulu hal itu."
"Apa" Kau takut mati" Hian-song tertawa.
"Apa kau tak takut?" balas Kat Wi.
"Apa guna kita takut" Dalam keadaan seperti saat ini, kita tak tahu bagaimana nasib
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita nanti. Mati atau hidup terserah saja."
"Adik, nona Hian-song benar," Kat Hong ikut bicara, "apabila gunung berapi ini meletus
tak mungkin kita bisa hidup!"
Untuk menghindari perdebatan yang tiada berguna, Siu-lam minta supaya mereka
berjalan dengan hati-hati dan cermat. Tiba-tiba terdengar letusan menggelegar yang
makin lama makin dekat. Dan pada lain saat serangkum hawa belerang menyembur ke
dalam terowongan. Siu-lam terkejut dan lekas-lekas suruh kawan-kawannya menyalurkan lwekang dan
rebah di tanah. Tepat pada saat mereka menelungkup ke tanah, suara letusan itu
melayang di atas kepala mereka. Hampir seperminum teh lamannya, suara letusan itu
baru hilang. Untunglah mereka sudah siap lebih dulu. Ketika bangun Kat Wi batuk-batuk karena
mulut menyedot bau belerang yang masih memenuhi liang terowongan. Ternyata dia
hendak mengusulkan lebih baik kembali dan keluar dari terowongan saja lalu bertempur
dengan orang Beng-gak. Tetapi baru membuka mulut sudah batuk-batuk.
Rupanya Siu-lam tahu apa yang hendak dikatakan pemuda itu. Ia menghela napas dan
setengahnya memberi dampratan halus, "Beban yang diletakkan para cianpw di atas bahu
saudara, amat berat. Jika sampai terjadi apa-apa bukan saja saudara mengecewakan
harapan mereka, pun ilmu kepandaian sakti dari berbagai aliran persilatan akan turut
ludas"." Kat Hong pun menganjurkan agar adiknya menuruti nasihat Siu-lam. Tiba-tiba Kat Wi
berbangkit dan rentak mengajak melanjutkan lagi.
Selama menyusuri terowongan, angin dan letusan-letusan dahsyat sudah tiada
terdengar lagi. Setelah beberapa lama kemudian, tiba-tiba mereka tiba di sebuah simpang
tiga. "Pui-heng, kita ambil jalan yang mana?" tanya Kat Wi.
Memang ketiga simpang jalan itu hampir serupa. Sesaat Siu-lam tak dapat menentukan.
"Ah, yang manapun boleh saja. Toh kemanapun kita tetap mati?" Kat Hong menghela
napas. "Tetapi ketiga jalan ini tak sama. Angin panas tadi tentu berasal dari salah satu jalan
ini. Dan letusan menggelegar tadi, mengapa tidak terdengar lagi. Ini dapat membantu
kita?" kata Siu-lam yang berhenti tiba-tiba karena dikejutkan oleh setiup angin dingin
yang menghambur dari salah sebuah ketiga jalan.
"Pui-heng, mari kita ambil dari jalan yang menghembus angin dingin ini," kata Kat
Hong. Tetapi Siu-lam malah duduk bersemedhi menyalurkan napas, ujarnya, "Angin dingin ini
kelewat dingin. Setelah beberapa lama dalam hawa panas, kemungkinan kita tak tahan.
Lebih baik kita duduk memulangkan napas dulu."
Hian-song membenarkan. Kedua saudara Kat itupun terpaksa mengikuti.
Tengah mereka duduk bersila, tiba-tiba dari samping meniup angin panas lagi. Bahkan
lebih panas dari yang tadi, sehingga mereka bermandi keringat. Angin panas yang segera
disusul dengan semburan asap itu berasal dari jalan di sebelah kiri. Di balik hamburan
asap itu tampak memburat sinar api.
"Api! Lekas menyingkir, gunung ini akan meletus?" serentak kedua saudara Kat itu
menjerit dan loncat bangun terus lari ke salah satu jalanan.
Memang saat itu segulung api melanda dari jalanan sebelah kiri yang tepat berada di
belakang kedua saudara itu.
Siu-lam menghantam api itu. Dan dia berhasil mengurangkan semburan api yang
melanda dengan cepat. Tetapi itu hanya suatu penundaan karena pada lain saat, api
menyerang lebih hebat dan cepat sehingga Siu-lam tak sempat lepaskan tamparan lagi.
Siu lam hendak loncat ke jalan ditengah tetapi serangan api telah memaksa ia mundur
dan masuk ke jalan yang sebelah kanan. Terowongan jalan di situ sempit dan berliku-liku.
Karena serangan api yang panas, terpaksa Hian-song dan Siu-lam lari menyusul
terowongan itu. Berulang kali mereka harus meringis karena tubuh dan kepala mereka
terbentur karang yang menonjol tajam.
Entah sudah berapa lama mereka mati-matian melarikan diri dari serangan api itu. Baru
setelah merasa ancaman api itu berkurang, mereka hentikan larinya.
"Adik Song, apakah kau terluka?" tanya Siu-lam.
"Eh, masih bertanya. Lihatlah kepalamu sendiri itu!" Hian-song mengambil sapu tangan
dan menyeka kepala pemuda itu dengan mesra.
"Adik Song, apakah kau sungguh-sungguh tak terluka?"
Hian-song tertawa, "Sekali kepalaku terantuk karang, aku lantas berhati-hati!"
Siu-lam tertawa gembira. Tetapi diam-diam ia terkejut. Jelas bahwa kepandaian dara
itu ternyata lebih unggul dari dirinya. Ia babak bonyok, tetapi dara itu tak kurang suatu
apa. Ia mengajaknya duduk bersemedhi lagi.
"Apa kau letih?" tanya Hian-song"
Siu-lam mengatakan bahwa tulang-tulangnya nyeri sekali akibat benturan-benturan
pada batu karang. Kemudian ia mneyatakan penyesalannya karena telah mengajak dara
itu ke Beng-gak yang penuh derita.
"Tetapi selama dengan kau, segala penderitaan kuterima dengan gembira," sahut si
dara. "Eh, tulangmu di bagian mana yang sakit, mari kuurutnya!" Tanpa tunggu jawaban
orang, dara itu terus mengurut urat kaki Siu-lam.
Dipijati oleh tangan yang halis, rassa sakit Siu-lam menjadi mengurang dan tak lama
kemudian ia tertidur pulas.
Ketika bangun ia melihat Hian-song duduk bersemedhi pejamkan mata. Diam-diam
timbul kesan yang mendalam pada hati Siu-lam. Bahwa dara yang sudah sebatang kara itu
jelas menganggap dirinya sebagai orang satu-satunya yang menjadi tiang sandaran. Ia
menyesal bahwa ia telah membawa-bawa dara itu ke tempat neraka semacam Beng-gak.
"Engkoh Lam, kau sudah bangun?" tiba-tiba dara itu membuka mata.
Siu-lam mengiakan, "Berapa lama aku tertidur tadi?"
"Kira-kira satu jam?" sahut Hian-song. "Eh, engkoh Lam, mengapa kau menghela
napas?" "Aku memikirkan kedua saudara Kat tadi. Entah bagaimana dengan mereka," kata Siulam.
"Mereka masuk ke dalam terowongan yang berhawa dingin. Kemungkinan mereka
tentu tak tahan!" "Benar, memang hawa itu luar biasa dinginnya!"
"Terowongan yang kita masuki ini, cukup memuaskan. Tidak dingin tidak panas."
Siu-lam berbangkit dan segera ajak melanjutkan perjalanan lagi.
Sambil mengikuti di belakang Siu-lam, si dara berseru, "Engkoh Lam, bahaya apapun
yang akan menghadang di sebelah muka, janganlah kita sampai bercerai. Sungguh
engkoh, aku takut setengah mati kalau berjalan seorang diri dalam terowongan segelap
ini!" "Tak apa. Terowongan ini tak mungkin ada ular dan binatang berbisa!"
Demikian sambil berjalan, keduanya bercakap sambil bergurau. Setelah melintasi dua
buah tikungan tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara bergemuruh macam ombak lautan.
"Engkoh Lam, apakah kau dapat berenang?"
"Bukan, suara itu bukan seperti debur ombak," kata Siu-lam.
"Kalau bukan air, habis apa?"
"Seperti angin puyuh!"
"Ah, mana mungkin?"
"Memang benar angin. Inilah yang membingungkan!"
"Mengapa bingung" Ini berarti kita bakal lekas dapat keluar!" sebaliknya Hian-song
malah gembira. "Tetapi dapat mendengar deru suaranya, mengapa kita tak merasa hembusan angin itu
sedikitpun juga?" Hian-song mengatakan tak usah banyak pikir lebih baik berjalan maju lagi.
Beberapa belas tombak jauhnya, deru angin itu makin dahsyat. Namun mereka tetap
tak merasa sesuatu hembusan apa-apa. Tetapi beberapa langkah kemudian, mereka
terkejut, ketika deru angin makin dekat dan melengking menusuk telinga.
Setelah membelok sebuah tikungan lagi, mereka berhadapan dengan sebuah karang
buntu yang gelap. Kini Siu-lam baru mengetahui bahwa karang buntu itulah yang
menahan masuknya angin ke dalam terowongan.
"Engkoh Lam, ayo kita kembali saja! Karang itu buntu!" tiba-tiba Hian-song berseru.
"Tidak, adik Song. Justru kita sudah hampir dapat lolos dari bahaya!" jawab Siu-lam.
Kemudian ia ajak si dara duduk bersemedhi lagi untuk mengumpulkan tenaga.
Atas permintaan si dara, Siu-lam memberi penjelasan, "Terowongan ini terletak di perut
gunung dan tembus ke darat gunung. Tak mungkin terdapat angin. Angin dahsyat itu
tentu berasal dari luar gunung. Dan karang buntu ini pasti tidak berapa tebal!"
Hian-song girang mendengar penjelasan itu. Ia membayangkan bahwa tak lama, tentu
sudah dapat lolos dari neraka.
"Engkoh Lam, kemanakah kita akan menuju setelah keluar dari neraka ini?" tanyanya.
"Soal itu belum dapat kupastikan. Yang jelas dunia persilatan tentu akan mendengar
berita tentang kematian beberapa tokoh di Beng-gak. Mereka tentu takkan tinggal diam.
Dunia persilatan pasti akan timbul pergolakan hebat?" Siu-lam berhenti sejenak karena
didapatinya dara itu sandarkan kepalanya pada bahunya, "eh, adik Song, kau memikir
apa?" "Kubayangkan setelah kita lolos dari sini, apakah kita masih dapat berkumpul terus.
Kalau di sini memang terdapat bahan makanan, alangkah baiknya kita terus berada di sini
saja." Siu-lam terbeliak, ujarnya, "Tetapi adik Song, kita harus berdaya upaya untuk
tinggalkan tempat ini. Kita harus lekas-lekas menyampaikan berita kematian para tokohtokoh
itu kepada dunia persilatan."
"Kalau karang ini tidak seperti yang kau bayangkan, lalu bagaimana rencanamu?" tanya
si dara pula. Siu-lam mengangkat bahu, "Kalau memang begitu kita tak dapat berbuat apa-apa.
Tetapi sebelumnya kita harus berusaha!"
Tiba-tiba Hian-song loncat bangun, serunya, "Jalan pikiranmu berlawanan dengan aku.
Namun aku tetap akan menurut rencana!" Habis berkata ia menghantam karang buntu ini.
Bum" pukulan Hian-song mental dan memantulkan suara kumandang. Siu-lam terkejut
dan menusuk karang itu dengan pedangnya. Suara kumandang itu melantang pula.
"Engkoh, itu bukan karang betul!" kata Hian-song.
"Benar, seperti karang logam. Aneh, mengapa di dalam perut gunung terdapat dinding
karang logam!" "Ya, memang aneh. Padahal tempat ini jelas belum pernah didatangi orang!" kata si
dara. Karena tak dapat memecahkan persoalan itu, Siu-lam mengajak duduk bersemedhi lagi.
"Ah, kalau benar dinding karang ini dari logam besi, jangan harap kita dapat keluar!"
Hian-song tertawa tawar. "Salah, kalau memang dinding karang logam, kita malah mempunyai harapan keluar!"
"Hai, mengapa?" Hian-song heran.
"Kalau dinding logam, terang dahulu tentu sudah ada orang yang pernah datang ke
sini!" kata Siu-lam. Tiba-tiba ia rasakan tubuhnya kesemutan. Saking kagetnya ia loncat
beranjak. Hian-songpun mempunyai perasaan demikian dan ikut melonjak juga. Tetapi setelah
turun ke tanah perasaan kesemutan itu hilang. Mereka saling menyatakan apa yang
dirasakan tadi. "Celaka, kita bersua setan?" Hian-song menjerit ketakutan, lalu jatuhkan diri ke dada
Siu-lam. Siu-lam menghiburnya. Bahwa di dunia ini sebenarnya tak ada setan. Tetapi belum
habis kata-katanya ia rasakan tubuhnya kesemutan lagi sehingga ia berteriak dan
melonjak kaget. "Celaka, aku bisa mati ketakutan. Hayo, kita pergi!" teriak Hian-song.
Sudah tentu Siu-lam tak mau. Karena sudah sampai di situ, percuma kalau ia harus
kembali lagi. "Tidak, adik Song. Tenaga yang membuat kita kesemutan itu jelas bukan dari setan?"
"Kalau bukan setan, habis apa?"
"Andaikata setan, pun tetap kalah berbahaya dari orang-orang Beng-gak!"
Demikian kedua anak muda itu termenung beberapa saat. Mereka benar-benar tak
mengerti apa-apayang menyebabkan tubuh kesemutan itu.
Saking jengkelnya, Siu-lam menghampiri dinding dan menghantam sekuat-kuatnya.
Bum" dinding tetap tak bergeming tetapi beberapa pasir tampak berhamburan. Buru-buru
Siu-lam memeriksa pasir itu. "Ah, ternyata memang bukan pasir biasa melainkan pasir
besi." "Engkoh Lam, apa yang kau lakukan itu?"
"Kita mempunyai harapan keluar."
"Bagaimana?" "Dinding itu jelas bukan karang besi melainkan gumpalan pasir besi yang membeku.
Walaupun keras tapi karena pasir, tetap dapat dihancurkan. Apa lagi kalau kita perlahanlahan
mengoreknya dengan pedang, tentu akan berlubang!"
"Tetapi berapakah tebalnya?"
"Rasanya tak seberapa tebal. Karena kalau tebal sekali tak mungkin kita dapat
mendengar suara deru angin gemuruh itu. Adik Song, mungkin sebelum berhasil
mengorek sebuah lobang, kita tentu sudah lemas karena lapar. Tapi apa boleh buat, kita
tak ada lain daya lagi!"
Hian-song tertawa dan mengatakan dalam keadaan bagaimanapun juga, ia tetap
menurut saja pada pemuda itu. Kemudian ia mengeluarkan pedangnya dan mulai
menusuk-nusuk dinding karang. Ah, benar juga. Pasir berhamburan.
Siu-lam pun ikut menusuk dengan pedangnya. Karena keduanya memiliki tenaga sakti
maka dalam beberapa kejap saja, mereka sudah berhasil membuat lobang sebesar
setengah meter. Pedang pusaka milik Hian-song, bergurat-gurat ujungnya.
Entah berapa lama mereka bekerja, setelah berhasil membuat lobang semeter
besarnya, pedang keduanyapun sudah tak karuan wujudnya. Dugaan Siu-lam bahwa
dinding karang itu tak berapa tebal, ternyata meleset.
Mereka berhenti untuk bersemedi memulangkan semangat. Kemudian mereka bekerja
lagi. Sampai membelai-belai rambut si dara, berkatalah Siu-lam dengan rawan, "Adik
Song, kalau sekali ini gagal, tak perlu kita bekerja lagi. Ah, aku benar-benar menyesal
sekali telah menyebabkan kau menderita. Aku harus minta maaf sebesar-besarnya kepada
arwah Tan lo-cianpwe di alam baka"."
Hian-song tertawa menghiburnya, "Kami merasa beruntung karena kakek telah
menyerahkan diriku kepadamu. Dan saat ini aku benar-benar bahagia karena dapat
sehidup semati dengan kau!"
Dengan sekuat tenaga dara itu menusukkan pedangnya, uh" ia menjorok ke muka
karena batang pedangnya telah menyusup masuk.
"Engkoh Lam, kita berhasil menembus karang ini!" serunya kaget.
"Benarkah?" Siu-lam berseru girang. Ia pun menusuk. Ah, ternyata pedangnya dapat
menyusup tembus pada dindiug karang.
Setelah mencabut pedangnya, Hian-song mengintai pada bekas lubang tusukannya. Ia
terkejut karena di luar dinding karang itu ternyata gelap sekali. Entah tempat apa.
Siu-lampun mengintai juga. Dia hampir putus asa karena keadaan tempat itu. Tetapi
pada lain kilas ia menduga tentulah saat itu pada malam hari.
Ia kembali hantamkan pedangnya sehingga lubang itu makin membesar dan cukup
untuk dimasuki orang. Segera ia memanjat dan menyusup ke dalam lubang itu. Ketika kakinya hendak
melangkah keluar, tiba-tiba ia rasakan menginjak tempat kosong. Karena tak menduga,
hilang keseimbangan tubuhnya dan meluncurlah ia ke bawah.
Kejutnya bukan kepalang. Ia kuatir Hian-song akan mengalami nasib serupa. Maka
dalam waktu tubuhnya melayang itu, ia masih sempat berteriak-teriak memperingatkan si
dara supaya berhati hati.
Bluk" jatuhlah ia ke sebuah tempat karang yang keras. Untung sebelumnya ia sudah
siap mengempos semangatnya sehingga tak sampai terluka berat.
"Engkoh Lam, kau di mana?" sidara melengking nyaring dan terus menyusul.
"Aku disini?" baru Siu-lam menyahut tiba-tiba si dara sudah melayang turun di
sampingnya. "Engkoh, apa kau tak terluka?"
"Tak apalah," sahut Siu-lam, "tetapi kita berada di mana sekarang ini" Mengapa deru
angin puyuh tadi tak kedengaran lagi?"
Mata Hian-song yang tajam dapat melihat pada samping kanan kirinya, merupakan
karang dengan di tengahnya sebuah terowongan sempit. Menyerupai sebuah lembah yang
dalam. Sekonyong-konyong terdengar angin menderu-deru dahsyat seperti badai.
Kumandangnya bagai ribuan laskar berkuda menyerbu di medan perang!
Siu lam terkejut dan melangkah mundur. Maksudnya hendak bersandar pada dinding
karang. Tetapi badai angin itu meniup dahsyat sekali. Kekuatannya mampu
menumbangkan sebuah bukit!
Begitu tersambar, Siu-lam tak kuasa bertahan diri lagi. Dalam deru badai dahsyat ia
tiba-tiba ia masih mendengar lengking jeritan Hian-song. Tetapi jeritan itu cepat ditelan
badai. "Adik Song"! Siu-lam berteriak. Duk" tiba-tiba tubuhnya terbentur pada dinding
karang. Kepalanya seperti dipalu besi. Seketika matanya berkunang-kunang dan tak
tahulah ia apa yang terjadi.
Tubuh pemuda itu rubuh kemudian didampar badai raksasa dan melayang-layang bagai
layang-layang putus tali di udara".
Entah berapa lamanya Siu-lam dalam keadaan tak sadar itu. Ketika ia membuka mata,
telinganya segera mendengar suara helaan napas berat, "Ah, kasihan kau nak" kau sudah
sadar?" Siu lam merentang mata. Dipandangnya orang itu dengan seksama. Ah, seorang nenek
tua yang duduk di sebuah kursi bambu, di sampingnya. Ia sendiri ternyata berbaring di
sebuah balai-balai. Ia berada dalam sebuah ruang gubuk yang bersih. Sinar matahari menerobos masuk
dari daun jendela.
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nenek, tempat apakah ini" Apakah aku masih hidup?" tanyanya heran.
Nenek itu tertawa, "Kau terluka parah sekali, nak. Sudah sehari semalam kau tidur
terus. Aii, kau memang seorang muda yang kuat. Jika seperti aku si nenek tua ini, tentu
sudah tidak tertolong lagi!"
Siu-lam hendak bergeliat bangun tetapi dicegah si nenek, "Kau baru tersadar, jangan
bergerak dulu. Nanti kuambilkan bubur untukmu!"
Nenek itu bangkit menyambar tongkat bambu yang tersandar di dinding, lalu berjalan
ke luar. Siu-lam meraba kepalanya. Di dapatinya sang kepala sudah dibalut kain, pinggang dan
punggungnya terasa sakit.
Serentak teringat ia akan peristiwa yang dialaminya ketika berada dalam perut gunung
berapi. Jika dituturkan mungkin orang takkan percaya.
Ia menghela napas. Telinga serasa masih terngiang oleh lengkingan jerit Hian-song. Ah,
kemanakah gerangan dara itu" seketika darah mendebur keras. Tetapi dengan menahan
sakit, ia perlahan-lahan melangkah keluar dari ruangan.
Di luar gubuk, merupakan sebuah halaman yang penuh ditumbuhi bunga-bungaan.
Pemandangan sekeliling penjuru dan angin pegunungan yang berhembus, menimbulkan
rasa nyaman yang indah".
Beberapa langkah jauhnya, ia. bingung kemana harus mencari Hian-song. Ah, buruburu
ia berputar tubuh hendak bertanya pada nenek yang empunya gubuk.
Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki seseorang. Cepat ia berbalik tubuh lagi, ah,
ternyata seorang tukang tebang kayu kira-kira berumur lima puluhan tahun, memanggul
seonggok kayu bakar. Siu-lam hendak menegur tetapi tiba-tiba tukang tebang kayu itu terkejut. Meletakkan
kayunya, ia buru-buru lari menghampiri.
"Hai, tuan luka parah sekali, belum sembuh. Mengapa keluar kemana-mana. Ah,
temanku ini memang kurang hati-hati menjaga!" serunya.
Siu-lam mengatakan bahwa ia sendirilah yang diam-diam telah keluar dari gubuk.
"Ah, kau benar-benar seorang pemuda kuat. Kemarin kau sangat payah sekali, tetapi
kini sudah jauh lebih baik!" seru si tukang tebang kayu.
"Paman, maukah paman menunjukkan tempat ketika paman menolong diriku kemarin?"
Tukang tebang kayu itu mengatakan bahwa Siu-lam masih terluka. Di kuatirkan tak
dapat mencapai tempat itu. Tetapi Siu-lam mengatakan tiada halangan.
Tukang tebang kayu itu mengatakan hendak memberitahukan kawannya dulu. Setelah
beberapa jenak masuk ke dalam gubuk, ia keluar dengan membawa sebatang tongkat
untuk diberikan pada Siu-lam.
Siu lam menghaturkan terima kasih. Dengan bantuan tongkat, ia berjalan mengikut
pemilik gubuk. Berkat Iwekangnya yang tinggi, lukanya sudah banyak berkurang sehingga
gerakannyapun makin lincah lagi.
Setelah melintasi puncak gunung, tibalah mereka di sebuah tempat yang seram.
"Jalanan lembah itulah yang di sebut Im-hong-koh yang termasyhur. Lembah itu sering
timbul angin badai yang dahsyat. Batu dan pohon beterbangan dilandanya. Cobalah lihat
keadaan lembah itu, tuan tentu tahu!"
Melongok ke bawah, tampak lembah itu ratusan tombak dalamnya. Dasarnya gelap
gulita. Dinding lembah merupakan karang yang licin dan melandai curam.
Orang tua itu menghela napas, ujarnya pula, "Im-hong-koh memang merupakan
tempat yang aneh sekali. Sepanjang dua, tigapuluh li, kedua lamping dinding lembah
tajam sekali. Ah, alam memang ajaib sekali di dalam menciptakan segala benda di dunia.
Jalanan lembah bagian sini hanya selebar sepuluhan tombak. Jika keadaan jalan ini serupa
dengan yang lain, kemungkinan seluruh lembah yang luasnya seratus li itu tak terdapat
barang suatu tumbuh-tumbuhan apa-apa"."
Lebih jauh orang tua itu menerangkan bahwa angin badai itu luar biasa dinginnya.
Maka lembah itu disebut orang Im-hong-koh (lembah angin Im atau jahat).
Siu-lam menanyakan tempat ia ditemukan dalam keadaan tak sadar.
Menuding ke arah sebuah puncak gunung yang terpisah satu li jauhnya, berkatalah
penebang kayu itu, "Tuan menggeletak pingsan di bawah batu besar itu!"
"Terima kasih atas pertolongan paman. Tetapi orang yang lainnya?"
"Apa" Kau mempunyai kawan?"
"Benar, aku bersama seorang adikku perempuan ". "
Orang itu gelengkan kepala dan berkata dengan mantap, "Tak perlu aku mencarimu.
Bahwa kau dapat selamat itu sudah seharusnya berterima kasih pada Tuhan. Adikmu itu
kemungkinan sudah lenyap ditelan angin Im-hong!"
Memandang jauh ke dalam lembah, beberapa butir air mata Siu-lam mengucur.
Kemudian ia berdoa, "Semoga Tuhan melindunginya agar dia terhindar dari bahaya
maut"." Betapa pedih hati Siu-lam, sukar dilukiskan. Tetapi ketika teringat bahwa kepandaian
Hian-song lebih tinggi, ia terhibur. Kalau ia dapat berusaha menyelamatkan diri, tentulah
dara itu juga lebih mampu.
Tukang tebang kayu itu menanyakan bagaimana hal ikhwalnya Siu-lam dapat terlanda
badai Im-hong. Dengan singkat Siu-lam menjawab, bahwa salah satu masuk ke dalam lembah ini !"
Tiba-tiba tukang tebang kayu itu berseru, "Ah, hampir aku lupa menerangkan. Lembah
Im-hong-koh ini selain mengeluarkan badai dingin, pun juga menghembuskan angin yang
panas, Jika angin panas itu berhembus, segala makhluk tentu terbakar hangus!"
Diam-diam Siu-lam memutuskan untuk kembali ke pondok orang tua itu dulu. Jelas
bahwa usaha pencaharian Hian-song, sukar sekali. Maka ia segera mengajak pak tua itu
pulang. Orang tua itu mengangguk. Ia menghela napas, "Lembah Im-hong-koh itu merupakan
tenpat aneh nomor satu di dunia. Sekalipun luasnya hanya tiga empat puluh li tetapi
penuh dengan keajaiban keajaiban"."
Siu-lam minta supaya orang tua itu suka menceritakan lebih jauh.
Setelah sejenak mengumpulkan ingatan, orang tua itu bercerita lebih lanjut, "Lembah
ini sebenarnya merupakan lembah mati. Tetapi aneh sering mengeluarkan angin badai.
Padahal ujung lembah merupakan karang buntu. Entah dari mana angin itu asalnya"."
"Karena adanya angin dingin dan angin panas, iklim dalam lembah itu setiap saatpun
berobah-robah"."
Karena sejak tadi hanya mengatakan tentang badai, maka Siu-lam mendesaknya,
"Selain itu, apakah masih terdapat lain keanehan lagi?"
Orang tua menggaruk kepala, katanya, "Ada, ada. Setiap pertengahan tanggal, lembah
ini sering muncul gumpalan api warna kebiru-biruan yang bertebaran memenuhi lembah
dan mengeluarkan bunyi mendesis macam suara genderang. Dan di samping tiga buah
keanehan ini, masih ada keanehan yang keempat yang paling menyeramkan?"
"Apa?" tanya Siu-lam.
"Seekor binatang aneh yang mirip ular mirip naga. Tubuhnya bersisik merah seperti
api." "Hai" Ular atau naga?" Siu-lam berteriak kaget.
"Ketika kami datang, makhluk aneh itu tengah merayap masuk ke dalam sebuah goha
dan hanya ekornya yang masih berada di luar. Kala itu terang bulan sehingga tampak jelas
sekali kulit binatang itu. Yang anehnya, yang mengherankan, tampaknya binatang itu
mempunyai dua buah ekor. Jika benar seekor ular atau naga masakan berekor dua!" kata
si tukang tebang kayu. Diam-diam Siu-lam membatin, kemungkinan tukang tebang kayu dan istrinya itu agak
silap sehingga mengira binatang itu berekor dua.
"Kemungkinan binatang itu memang ada dua ekor," kata Siu-lam tertawa.
Tukang tebang itu berpaling menghadapi Siu-lam, serunya dengan tegas, "Aku sudah
berpuluh tahun. Tak mungkin keliru melihatnya. Jika toh semacam kelabang, tentulah
kelabang yang berumur ribuan tahun!"
Siu-lam tak mau berbantah. Setelah melihat-lihat beberapa saat, mereka pulang.
Wanita tua pemilik gubuk menyambut mereka di ambang pintu. "Kau masih berlumuran
darah mengapa kau jalan-jalan. Ayo, lekas masuk, bubur sudah menunggu!"
Siu-lam meoghaturkan terima kasih atas kebaikan nyonya rumah. Wanita itu tertawa
rawan, "Ah, sayang anak perempuanku ketika baru berumur tiga tahun telah digondol
setan gunung sehingga sampai sekarang lenyap. Entah hidup entah mati!"
"Ho, orang perempuan memang cupet pikiran. Masakan siang hari ada setan. Yang
jelas anak itu tentu dimakan binatang buas!" seru pak tua.
"Kenapa lain anak tidak dimakan" Kenapa hanya makan anakku saja"!" seru wanita itu
dengan marah. Pak tua mengatakan pada Siu-lam bahwa sejak kehilangan anaknya, wanita itu
memang agak linglung, "Dia masih tetap yakin bahwa pada suatu hari, anaknya pasti akan
ketemu lagi!" Siu-lam menghibur, "Keajaiban memang sering terjadi. Anak bibi, mungkin masih
hidup!" Wanita itu gembira sekali. Tiba-tiba ia menghela napas, "Ah, jika anak itu ketemu, dia
tentu sudah seorang gadis yang cantik.
Pak tua tertawa, "Ha, ha, jangan melamun. Andaikata masih hidup, kemungkinan
diapun tak kenal lagi padamu!"
Jilid 20 KEMUDIAN mereka makan pagi. Selesai makan wanita itu memberikan ciri-ciri anaknya
kepada Siu-lam. Ialah siku lengan kanan gadis itu terdapat bekas luka terkena pisau
pemotong kayu. Ia minta apabila Siu-lam berjumpa dengan anak itu, supaya disuruh
pulang menemui ibunya. Ketika beristirahat dalam biliknya, Siu-lam merenungkan peristiwa yang baru dialaminya
itu. Kemanakah lenyapnya Hian-song".
Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikirannya. Bahwa dalam pertemuan di Beng-gak itu
boleh dikata seluruh rombongan orang gagah telah binasa. Dikuatirkan pihak Beng-gak
akan menggunakan kesempatan untuk menghancurkan pusat partai-partai persilatan.
Karena dipastikan bahwa partai-partai persilatan tentu belum mengetahui berita kematian
ketua dan tokoh mereka yang binasa di Beng-gak".
"Ah, aku harus memberitahukan berita itu kepada partai-partai persilatan agar mereka
dapat berjaga-jaga!" tiba-tiba ia membulatkan tekad. Ia mencoba mengerahkan napas,
ternyata luka yang dideritanya itu hanya luka luar.
Segera ia keluar menemui kedua suami isteri pemilik gubuk dan menyatakan kalau saat
itu juga ia hendak minta diri melanjutkan perjalanan.
Sudah tentu kedua suami isteri itu mencegah. Tetapi Siu-lam tetap pada keputusannya.
Ia mengatakan bahwa ia masih mempunyai urusan yang penting sekali maka terpaksa ia
harus pergi hari itu juga.
"Nanti dulu tuan," tiba-tiba wanita tua mencegahnya, "anakku itu bernama Bong-lian.
Jika bertemu harap tuan memberitahu kepadanya bahwa ayah bundanya sangat
mengharap-harap sekali kedatangannya!"
Siu-lam mengiakan lalu melangkah pergi. Tetapi tiba-tiba ia berhenti lagi dan
menanyakan nama kedua orang tua itu.
Ternyata pak tua itu bernama Hun Kim-seng. Setelah mendapat keterangan, Siu-lam
pun segera pergi. Setelah turun dari puncak gunung yang sukar dilalui, hampir petang ia
sudah tiba di jalan besar.
Kini ia harus berpikir lagi. Ia menduga saat itu pihak Beng-gak tentu sudah
mengirimkan anak buahnya untuk mengobrak-abrik markas partai-partai persilatan. Harus
kemanakah ia lebih dulu. Setelah memikir beberapa saat, akhirnya ia memutuskan untuk
menuju ke markas partai Siau-lim di gunung Ko-san lebih dulu. Ia anggap Siau-lim-si
sebagai partai pemimpin. Dan kedua kalinya ia hendak menyelidiki tentang diri si tabib
Gan Leng-po yang dibawa Tay Hong siansu ke Siau-lim-si untuk diobati.
Setelah peristiwa Beng-gak, kini ia merasa betapa pentingnya peta Telaga Darah itu.
Sayang peta itu sudah lenyap bersama Hian-song.
Ia melaksanakan rencana dengan segera. Menjelang tengah hari, tibalah ia di kaki
gunung Ko-san. Ia mencari sebuah tempat yang sepi untuk makan bekal ransumnya.
Setelah itu baru ia mendaki ke atas.
Siau-lim-si merupakan sebuah gereja besar yang termasyhur. Bangunan gereja meliputi
daerah sepuluh buah puncak gunung. Murid-muridnya berjumlah besar kecil. Peraturan
keras dan tertib. Ketika tiba di pintu gerbang gereja, Siu-lam melihat sebuah papan yang bertuliskan tiga
buah huruf besar "SIAU LIM SI".
Seorang paderi pertengahan umur segera menyambutnya, "Apakah sicu hendak
bersembahyang?" Siu-lam gelengkan kepala, "Tidak, aku mempunyai urusan penting sekali mohon
bertemu dengan Hong-tiang (ketua). Sukalah taysu menyampaikan kepada beliau."
Paderi jubah abu-abu itu sejenak memandang Siu-lam lalu kerutkan dahi, "Urusan
apakah yang sicu hendak beritakan itu" Apakah tak dapat diterima kecuali Hong-tiang?"
"Aku yang rendah adalah Pui Siu-lam, baru saja lolos dari Beng-gak"."
Mendengar itu seketika berubahlah wajah paderi itu, ujarnya, "Silahkan sicu duduk,
pinceng segera hendak menyampaikan pada Hong-tiang!" dia terus masuk dan Siu-lam
melangkah ke dalam ruangan.
Rupanya di dalam gereja sudah diadakan persiapan. Delapan paderi jubah kelabu,
berpencaran menjaga di belakang dan kanan kiri pintu. Masing-masing mencekal tongkat
sian-ciang. Siu-lam agak meragu tetapi akhirnya ia terus masuk juga. Melihat itu buru-buru paderi
penyambut tetamu tadi memburu, serunya, "Marilah pinceng tunjukkan jalan!"
Tiba-tiba ia berputar tubuh dan melangkah ke sebuah gang yang terletak di samping
gang itu menuju ke sebuah hutan kecil yang penuh ditumbuhi rumput-rumput runcing dan
pohon-pohon bunga. Cepat sekali paderi itu sudah melintasi lapangan rumput, taman bunga lalu masuk ke
hutan kecil. Di tengah hutan itu terdapat sebuah pondok batu merah.
Paderi itu lambatkan langkahnya dan berbisik kepada Siu-lam, "Pondok itu tempat
hong-tiang menerima tetamu. Sicu seorang tetamu dari jauh, silahkan duduk dulu. Akn
pinceng laporkan pada hong-tiang!"
Tiba-tiba mundur dua langkah lalu memberi hormat kepada Siu-lam, "Silahkan sicu
masuk!" Siu-lam terkesiap melihat perubahan paderi itu. Sejenak meragu, ia terus masuk ke
dalam pondok. Paderi itu tak ikut masuk. Ia menunggu di luar seraya berkata, "Di dalam
pondok tersedia hidangan. Jika lapar, silahkan sicu dahar." Habis berkata paderi itu terus
pergi. Diam-diam Siu-lam membatin, "Siau-lim-si dikabarkan sebagai partai terkemuka dalam
dunia persilatan. Partai-partai Siau-lim-si sesama memiliki kepandaian sakti. Peraturannya
keras dan tertib, apa yang dilakukan oleh paderi tadi memang menimbulkan kesan yang
aneh!" Siu-lam melihat pondok itu berpintu hitam. Kedua daun pintu bertuliskan huruf-huruf
emas yang berbunyi Ing-ping dan Siau-han. Begitu mendorong pintu, segera Siu-lam
membau hawa yang harum. Ia terkesiap.
Didapatinya dekat dinding ruang pondok terdapat sebuah meja pat-sian (delapan segi),
di tengahnya teletak sebuah tong-thing (tempat perasapan dari tembaga). Bau harum tadi
berasal dari asap tong-thing itu. Di samping thong-ting, terdapat poci porselen, cawan
kumala yang diatur rapi sekali. Selain dua buah kursi bambu, terdapat juga sebuah tempat
tidur bambu. Tetapi pondok itu kosong tidak ada orangnya.
Tiba-tiba Siu-lam merasa letih sekali. Begitu duduk di tempat tidur, dia terus pulas.
Ketika membuka mata, dilihatnya seorang paderi tinggi besar duduk di hadapannya.
Dan pondok itupun diterangi oleh lilin. Kiranya saat itu sudah malam hari.
Siu-lam mengucap dan berkata seorang diri, "Eh, bagaimana ini?"
"Omitohud," seru paderi itu. "Loni bernama Tay Hui, kepala dari bagian ruang Tat-mowan
sini"." Siu-lam melonjak bangun, "Ruang penyambut tetamu itu penuh dengan asap bius."
Paderi itu gelengkan kepala tertawa, "Harap sicu jangan kuatir. Siau-lim-si tak nanti
menyimpan segala macam obat bius yang tak halal."
"Mengapa setelah membau asap itu aku segera tak ingat diri?"
Paderi itu menghela napas, "Ah, sicu tentu letih setelah mengadakan perjalanan jauh.
Asap dalam ruang ini memang mengandung asap harum yang membuat orang tidur tetapi
sama sekali tak mengandung bahaya!"
Siu-lam coba melakukan pernapasan. Ternyata ia tak merasa sesuatu apa.
Kecurigaannya lenyap. Tetapi ia membantah, "Sebuah partai besar, mengapa Siau-lim-si
melakukan penyambutan secara begini?"
Wajah Tay Hui agak berubah, "Jika sicu bukan datang dari Beng-gak, tentu kami takkan
menyambut begini. Adalah karena?" ia tak melanjutkan bicaranya dan menghela napas.
"Apa" Apakah sudah ada orang Beng-gak yang lebih dulu datang ke sini?" Siu-lam
kaget. Tay Hui mengangguk, "Inilah sejak beratus-ratus tahun pertama kali Siau-lim-si
mengalami kekalahan. Dengan hormat kami menyambut tapi mereka diam-diam telah
gunakan obat bius sehingga delapan belas orang Siau-lim-si tingkat hou-hwat telah
diculiknya?" Tay Hui batuk-batuk sejenak, katanya pula, "kemudian mereka dilepas lagi!"
Siu-lam terkejut. Diam-diam ia merangkai dugaan. Bahwa menilik gerak-gerik Tay Hui,
tentulah ada sebuah pusaka gereja itu yang telah dibawa kabur orang.
"Ah, kalau begitu kedatanganku ini terlambat?" kata Siu-lam.
Wajah paderi itu berubah serius, "Loni hendak mengajukan sedikit pertanyaan, entah
bagaimana pendapat sicu."
Setelah Siu-lam memperlihatkan, Tay Hui berkata, "Sicu mempunyai hubungan apa
dengan Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa, entah apakah sicu suka memberitahukan?"
"Sama sekali tidak mempunyai hubungan apa-apa!"
Tay Hui merogoh keluar sebuah kim-pay (lencana emas) dari jubahnya, "Jika sicu tak
mempunyai hubungan apa-apa dengan wanita siluman itu, dari manakah sicu memperoleh
kim-pay ini?" Kim-pay itu ternyata adalah milik dari sumoaynya. Setelah Siu-lam menghela napas,
ujarnya, "Kim-pay itu adalah milik sumoayku. Sudah lama kusimpan benda itu dan tak
pernah kuberitahukan. Bahkan kepada Tay Hong siansu, pun belum kulaporkan?" dua titik
air mata menetes dari matanya.
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana dengan ciang-bun suheng kami itu?" bisik Tay Hui.
Siu-lam tertegun, serunya, "Apa" Apakah orang-orang Beng-gak itu tak
memberitahukan kepada lo-siansu?"
"Belum, orang itu bergegas sekali sehingga loni belum sempat membicarakan tentang
peristiwa di Beng-gak!"
"Bagaimana potongan wajah orang itu?" Siu-lam mulai curiga.
"Mengenakan baju panjang, menyanggal pedang dan memelihara jenggot putih.
Umurnya antara lima puluhan tahun!"
"Apakah raut wajahnya tidak mempunyai ciri-ciri aneh?" Tanya Siu-lam pula.
"Sayang loni tak begitu memperhatikan. Tetapi loni sudah mengirim tiga orang paderi
dari Tat-mo-wan sini, masing-masing membawa sepuluh murid, untuk mengejarnya. Asal
dia belum keluar dari daerah Tiong-goan saja, dalam lima hari tentu sudah datang
laporannya!" Siu-lam menghela napas perlahan, kemudian dengan nada sarat ia berkata, "Terlebih
dulu aku hendak menyampaikan berita buruk kepada lo-siansu"."
Tubuh ketua ruang Tat-mo-wan bergetar. Cepat ia menukas, "Apakah ciang-bung
suheng kami mendapat halangan?""
Siu-lam menghela napas, "Ciang-bun dari Siau-lim-si telah terperangkap ke dalam
ruang Hui-lun-tian. Nasibnya belum ketahuan. Dan rombongan tiga puluh enam murid
Siau-lim-si yang menyertai perjalanannya telah binasa semuanya"."
"Apa?" Ketiga puluh enam murid gereja kami itu mati semua?" Tay Hui terkejut.
"Jago-jago persilatan yang hadir dalam pertemuan Beng-gak itu, boleh dikata hampir
semua binasa. Yang berhasil lolos dari neraka Beng-gak itu hanya empat orang saja.
Tetapi yang nyata masih hidup saat ini hanya seorang. Yang tiga, belum ketahuan
nasibnya!" Tay Hui siansu rangkapkan kedua tangan dan pejamkan mata. Mulutnya berkematkemit
memanjatkan doa. Beberapa saat kemudian barulah ia membuka mata lagi, ujarnya, "Jika hal itu benar,
inilah yang pertama kali sejak berdirinya Siau-lim-si, gereja ini menderita malapetaka yang
paling mengerikan!" "Kusaksikan dengan mata kepala sendiri tentang kebinasaan ketiga puluh enam muridmurid
Siau-lim-si itu. Tetapi tentang nasib Tay Hong siansu, aku tak mengetahui maka tak
berani mengatakan apa-apa," kata Siu-lam.
Tay Hui siansu perlahan-lahan berbangkit, ujarnya, "Sekalipun saat ini buat sementara
loni menjadi pejabat kepala Siau-lim-si, tetapi tak berani mengambil putusan tentang
masalah ini. Jika sicu yakin akan kebenaran laporan sicu ini, segera loni hendak
memanggil rapat para tiang-lo, merundingkan urusan ini!"
Dengan tegas Siu-lam menyatakan bahwa apa yang ia beritakan tadi, memang benarbenar
suatu kenyataan. Di hadapan siapa ia berani memberi keterangan itu.
Tay Hui segera menjemput sebuah palu kayu terus hendak ditabuhkan pada lonceng di
atas meja. Tetapi tiba-tiba ia batalkan, katanya, "Sudah selama tiga puluh tahun ini
lonceng itu tak pernah ditabuh. Begitu dibunyikan, semua kepala ruangan dan para
tianglo, segera akan berkumpul dalam ruang Gi-it-thia. Jarang sekali hal itu terjadi apabila
tiada peristiwa yang amat penting. Sekali lagi harap Pui sicu suka mempertimbangkan. Ini
bukan urusan main-main. Apabila sampai keliru membunyikan lonceng itu, loni tak berani
menanggung jawab akibatnya!"
"Harap lo-siansu jangan kuatir.?"
Wajah Tay Hui mengerut gelap, katanya, "Loni benar-benar tak mengert dari perguruan
manakah Pui sicu ini. Kalau sekian banyak tokoh-tokoh sakti binasa di lembah Beng-gak,
mengapa sicu sendiri dapat lolos" Dengan demikian, sicu tentu memiliki kesaktian yang
luar biasa!" Siu-lam menghela napas perlahan, "Ah, memang tak dapat kusesalkan kecurigaan losiansu!"
Pemuda itu segera menuturkan apa yang dialami selama masuk ke dalam lembah
Beng-gak. Walau kurang jelas tentang diri pemuda itu, namun karena pemuda itu dapat
membawakan penuturannya dengan jelas dan teratur, sungkan juga Tay Hui untuk
menanyakan riwayat dari Siu-lam. Tanpa ragu-ragu lagi ia menabuh lonceng itu!
Begitu melengking, segera dua orang paderi kecil berlari-lari masuk dan memberi
hormat, "Apakah yang suhu hendak titahkan?"
"Siarkan bahwa lonceng Ken-sin-ciong telah berbunyi!" sahut Tay Hui siansu.
Kedua paderi kecil itu segera melakukan perintah. Sementara itu Tay Hui mondarmandir
dalam ruang pondok. Rupanya banyak sekali hal yang dipikirkan penjabat kepala
Siau-lim-si itu. Tiba-tiba ia berhenti dan berpaling pada Siu-lam, "Menurut sicu, nasib ciang-bun
suheng loni kemungkinan besar sangat buruk?"
Sekali lagi Siu-lam mengatakan bahwa setelah menerobos keluar dari ruang Hui-luntian
ia tak tahu lagi bagaimana keadaan Tay Hong siansu.
Tay Hui menghela napas panjang. Menatap sebuah patung Tat Mo (pendiri Siau-lim-si)
yang berada di dinding, diam-diam ia berkata, "Sejak gereja Siau-lim-si didirikan Tat Mo
sucou, sudah berganti pimpinan sampai dua puluh delapan angkatan. Meskipun selama ia
mengalami badai taufan, tetapi tidaklah seperti saat ini di mana ciang-bun-jin (ketua) telah
menderita nasib yang tak berketentuan. Dikuatirkan rapat para tiang-lo nantipun takkan
menghasilkan sesuatu rencana yang dapat mengatasi keadaan ini."
Siu-lam teringat akan si tabib Gan Leng-po, segera ia menanyakan, "Dalam pertemuan
para orang gagah di gunung Beng-gak, Tay Hong siansu telah mengirim tabib gila Gan
Leng-po ke gereja Siau-lim-si. Entah di manakah orang itu sekarang?"
"Bukankah orang itu agak sinting?" tanya Tay Hui. Siu-lam mengiyakan.
"Karena penyakitnya belum sembuh, dia ditempatkan di ruang Kwat-ci-wan. Terpaksa
ia tak boleh bergerak kemana-mana dulu!"
Siu-lam menyatakan apakah sekiranya diijinkan untuk menjenguk orang itu. Tetapi
pejabat ketua gereja itu mengatakan bahwa saat itu sudah larut malam. Apalagi seluruh
murid Siau-lim-si akan rapat membicarakan urusan penting itu.
Saat itu terdengar lonceng bertalu-talu. Tay Hui mengajak Siu-lam segera menuju ke
ruang Gi-su-tian. Siu-lam terkejut. Ia seorang tamu, bagaimana dapat menghadiri rapat gereja.
"Jika tiada urusan yang luar biasa penting lonceng Ken-sin-cong takkan dibunyikan.
Dalam rapat nanti, harap Pui sicu menuturkan lagi peristiwa di Beng-gak kepada rapat,"
kata Tay Hui seraya melangkah keluar.
Keadaan dalam gereja itu, penuh dengan ruang-ruang besar dan lorong-lorong yang
berliku-liku. Karena Tay Hui berjalan cepat, maka Siu-lam tak sempat memperhatikan
keadaan sepanjang yang dilaluinya. Akhirnya tibalah mereka di sebuah ruang besar.
Ternyata di dalam ruang besar itu tampak terang benderang dan penuh dengan paderipaderi.
Begitu melihat kedatangan Tay Hui mereka sama memberi hormat.
Selama memasuki ruang besar itu, Siu-lam memperhatikan wajah dan sikap paderipaderi
itu tampak tegang. Tay Hui duduk di sebuah kursi yang terletak di tengah,
menghadapi sebuah meja dari kayu pohon siong. Di kanan kiri meja itu berderet-deret dua
belas kursi yang masih kosong.
Melihat suasana begitu tegang, Siu-lam tak berani duduk. Akhirnya Tay Hui
mempersilahkannya duduk di sebelahnya. Beberapa saat kemudian kursi-kursi kosong
tadipun sudah penuh orang. Mereka terdiri dari paderi-paderi tua yang paling muda
berumur lima puluhan tahun. Selebihnya rata-rata sudah lanjut usianya. Dari sinar
matanya yang tajam, jelas mereka itu memiliki ilmu lwekang yang tinggi.
Diam-diam Siu-lam menimang, "Kedua belas kursi itu tentu sebelumnya sudah
dipersiapkan menurut tingkat kedudukan masing-masing. Karena ada sebuah kursi yang
kududuki, tentulah ada seorang paderi yang tidak dapat tempat!"
Diam-diam iapun memperhatikan juga keadaan dalam ruang itu. Jelas bahwa semua
kursi telah diatur menurut bentuk tertentu. Merupakan sebuah lingkaran yang rapi dan
rapat. Tidak seorangpun dapat memasuki ke tengah siding, pun tidak seorangpun yang
dapat keluar dari ruang itu. Sayang Siu-lam tak mengerti makna daripada tempat duduk
yang diatur dalam rapat itu.
Sesaat kemudian berkatalah Tay Hui siansu, "Pui sicu ini telah datang dengan
membawa berita yang buruk. Ciang-bun-jin kita angkatan yang ke dua puluh delapan, tak
ketentuan nasibnya di Beng-gak. Ketiga puluh enam murid yang mengantarnya, pun
semua telah binasa"."
Seketika gemuruhlah ruang Gi-su-thia. Seluruh paderi yang hadir sama merangkapkan
kedua tangannya dan pejamkan mata seperti orang berdoa.
Beberapa saat kemudian, seorang paderi tua berjubah putih yang duduk paling depan
di deretan kiri, tiba-tiba berbangkit.
"Ciang-bun-jin berilmu tinggi, memiliki ilmu lwekang yang sempurna. Tak mungkin dia
mendapat kesulitan. Sute sebagai pejabat ciang-bun-jin, tentu sudah mempunyai bukti
yang kuat tentang berita itu. Apakah sute sudi memberitahukan kepada kami semua?"
Tay Hui menghormat paderi tua itu. Setelah memberi hormat, berkatalah ia, "Pui sicu
ini, datang dari jauh. Ia menempuh perjalanan siang malam. Tentulah dia takkan gegabah
berani sembarangan bicara!"
Siu-lam berbangkit. Setelah memberi hormat kepada hadirin, berserulah ia, "Wanpwe
mohon Tanya, kursi suhu siapakah yang wanpwe duduki ini?"
Sekalian mata memandangnya tetapi tiada seorangpun yang menyahut. Ternyata kursi
itu adalah tempat bagi Tay Hui siansu. Tetapi karena dia telah diserahi oleh suhengnya
(Tay Hong siansu) sebagai pejabat pimpinan gereja, maka ia duduk di kursi ketua.
Diam-diam Siu-lam menyadari kekeliruannya dan minta maaf, tetapi tiada seorangpun
yang menjawab. Dia tertegun. Beberapa saat kemudian berkata, "Aku datang dari Benggak"."
Tiba-tiba sebuah suara parau menyeletuk dari deretan kursi sebelah kiri, "Loni sudah
menjelajah seluruh gunung ternama di segenap tanah air, namun belum pernah loni
mendengar gunung yang bernama Beng-gak!"
"Beng-gak berada dalam lingkungan pegunungan Thay-san. Terpisah seratusan li dari
puncak Beng-gwat-ciang. Karena jalannya sukar dilalui, penuh hutan belukar yang lebat,
maka sukar diketemukan!" sahut Siu-lam.
Tay Hui siansu meminta agar pemuda itu suka menuturkan pengalamannya sekali lagi.
Siu-lam mengiyakan. Lalu ia menuturkan sekali lagi pengalamannya selama ikut dalam
rombongan orang-orang gagah yang dipimpin Tay Hong siansu mendatangi pesta maut di
Beng-gak. Semua ia ceritakan sejelas-jelasnya. Tetapi mengenai Bwe Hong-swat
memberinya pil penolak racun dari peta yang disimpan Hian-song, ia tak mau
mengatakan. Segenap paderi Siau-lim-si telah mendengarkan cerita itu dengan teliti dan kritis sekali.
Belum Siu-lam habis bercerita seorang paderi menyeletuk pertanyaan, "Sin Ciong tojin
adalah ketua Bu-tong-pay yang sakti dan termasyhur di penjuru tanah air. Adalah karena
diberi minum pil wasiat dari Bu-tong-pay maka kedua saudara Kat dapat tertolong jiwanya.
Tetapi entah mengapa Pui sicu dan nona Tan itu tidak terkena racun orang Beng-gak.
Apakah sicu berdua lebih sakti dari Sin Ciong totiang?"
Terhadap pertanyaan semacam itu, memang Siu-lam sudah siap. Tetapi karena
dikuatirkan menimbulkan kecurigaan hadirin, Siu-lam terpaksa merenung sejenak untuk
mengatur jawaban. "Berkata bantuan dari seorang ko-chiu Beng-gak yang secara diam-diam telah memberi
obat penawar, barulah aku dapat selamat!" sahutnya kemudian.
"Dia tidak puas melihat keganasan ketua Beng-gak, dan diam-diam mengandung
maksud hendak kembali lurus. Itulah sebabnya ia mau memberi bantuan kepadaku!"
Paderi tua yang bertanya itu, duduk di sebelah selatan. Wajahnya merah mengenakan
jubah warna kuning telur. Umurnya lebih dari lima puluh tahun. Menilik tempat duduknya,
dia tentu mempunyai tingkatan yang tinggi dalam gereja Siau-lim-si.
"Kalau orang itu benar mempunyai maksud untuk kembali ke jalan lurus, mengapa dia
tak mau menolong semua orang gagah dan hanya kepada sicu berdua saja?" kembali
orang itu berseru. Maksudnya, jika orang itu bersungguh-sungguh hendak kembali ke jalan
lurus mengapa tak mau minta pertolongan Sin Ciong tojin saja daripada hendak menolong
dua orang anak muda yang tak terkenal.
Pertanyaan itu telah menimbulkan reaksi. Sekalian paderi Siau-lim-si timbul
kecurigaannya kepada Siu-lam. Beratus-ratus mata mencurahkan kepada pemuda itu.
Dalam gugupnya Siu-lam menyahut, "Orang itu seorang gadis!"
Paderi jubah kuning telur itu kerutkan dahi. Dia hendak membuka mulut tetapi tidak
jadi. Sebagai seorang paderi Siau-lim-si yang tinggi kedudukannya, ia tak leluasa untuk
mengungkapkan hubungan antara pria dan wanita. Tapi penyahutan Siu-lam itu memang
membuat orang curiga. "Siapakah gadis itu?" sesaat kemudian paderi jubah kuning itu bertanya pula.
Walaupun Siu-lam sudah menduga akan menerima pertanyaan itu, namun di depan
siding paderi Siau-lim-si yang begitu serius mau tak mau ia terkesiap juga. Setelah
beberapa saat kemudian baru ia dapat menyahut agak lampias, "Dia murid dari ketua
Beng-gak!" Seketika berisiklah ruang sidang. Jawaban pemuda itu sangat tak terduga-duga. Tetapi
pada beberapa saat kemudian, suasana kembali tenang.
Paderi yang duduk di muka pada deretan sebelah kanan, serentak bangkit. Dia
mengenakan jubah biru. Ujarnya, "Bagaimana sicu dapat mengenal murid Beng-gak itu?"
Siu-lam menyadari bahwa pertanyaan itu mengandung kecurigaan kepada dirinya.
Serempak iapun bangkit dengan marah, "Kedatanganku kemari ini hanya perlu untuk
menyampaikan berita. Sama sekali tak mengharap atas bantuan toa-suhu sekalian.
Percaya atau tidak, terserah saja. Maaf, aku hendak mohon diri karena masih ada urusan
lain!" Habis berkata pemuda itu memberi hormat terus melangkah keluar.
Dari deretan tempat duduk yang ditempati oleh rombongan paderi, masing-masing
mempunyai kedudukan. Jika buka kepala ruang tentulah termasuk golongan tiang-lo
(sesepuh). Mereka atas tindakan Siu-lam, tapi mereka diam saja. Adalah barisan paderi
yang duduk di barisan tengah, tak mampu membiarkan. Mereka bergerak dan berjajar
menjadi sebuah dinding penutup jalan.
Siu-lam berhenti. Diamatinya barisan penghadang itu. Hanya ada dua macam jalan.
Menerjang atau loncat melampaui kepala mereka.
"Omitohud," seru Tay Hui siansu. "Pui sicu harap tunggu sebentar lagi, loni hendak
bicara." Walaupun marah terhadap rombongan paderi yang menghalanginya tapi Siu-lam tak
berniat hendak bertempur. Iapun berhenti ketika diminta Tay Hui siansu.
"Taysu hendak memberi petunjuk apa?" tanyanya.
Tay Hui minta pemuda itu kembali ke tempat duduknya dulu. Setelah itu barulah
penjabat ketua Siau-lim-si berdiri, "Hingga sekarang, belum pernah terjadi seorang
ketuanya sampai tiada ketahuan nasibnya. Berita yang sicu bawa itu, benar-benar
merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah kehidupan Siau-lim-si. Adalah karena
luapan perasaan maka terdapat beberapa yang agak keras. Dalam hal ini harap sicu suka
berlapang dada!" Kata-kata yang dibawakan penuh keramahan itu, membuat Siu-lam sungkan juga. Ia
tak menyalahkan sikap para paderi Siau-lim-si yang mencurigai dirinya.
Tay Hui gelengkan kepala, "Tay Hong suheng, merupakan tunas yang paling cemerlang
dalam Siau-lim-si. Kecerdasan dan kesaktiannya yang melebihi orang. Bahwa dia sampai
tertimpa masih yang tiada ketentuan itu, selain merupakan suatu hinaan bagi gereja Siaulim-
si, pun benar-benar merupakan suatu peristiwa yang mengejutkan"."
Paderi tua yang duduk pada paderi pertama di sebelah kanan tiba-tiba bangkit, "Atas
kesungguhan hati dari Pui sicu yang tak segan menempuh perjalanan jauh untuk
menyampaikan berita itu, murid Siau-lim-si angkatang ketiga, sangat berterima kasih."
Buru-buru Siu-lam memberi hormat dan mengucapkan kata-kata merendah.
Paderi tua itu menghela napas pelahan, ujarnya pula, "Malapetaka yang menimpa ketua
Siau-lim-si dari Beng-gak itu, selain merupakan suatu noda bagi Siau-lim-si, pun
merupakan suatu peristiwa yang sangat menggemparkan dunia persilatan!"
Sahut Siu-lam, "Siau-lim-si telah dianggap sebagai bintang Pak-tau (pemimpin) dunia
persilatan. Telah berabad-abad menegakkan keadilan dan membela kebenaran,
mempelopori perjuangan untuk perikemanusiaan!"
Tay Hui pun menanggapi, "Siau-lim tak berani menepuk dada sebagai pembela keadilan
dan kebenaran, tetapi kiranya kaum persilatan tentu sudah mengetahui sendiri peraturan
dan pantangan-pantangan murid Siau-lim-si. Keadaan sekarang ini, bukan hanya
menyangkut kepentingan Siau-lim-si saja, melainkan mengenai hidup matinya dunia
persilatan dan kesejahteraan rakyat. Harap Pui sicu suka memberi keterangan seadanya
agar kami dapat mempunyai gambaran jelas untuk menentukan langkah selanjutnya."
Kata Siu-lam, "Apa yang wanpwe tuturkan tadi, adalah apa yang wanpwe saksikan dan
alami sendiri. Satupun tak wanpwe rahasiakan. Kalau toh ada satu dua bagian yang
wanpwe sengaja lewatkan, karena mengenai sedikit hubungan pribadi wanpwe. Tapi hal
itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang penting"."
Dia menengadah dan menghela napas panjang. Katanya lebih jauh, "Keadaan Beng-gak
itu memang serba aneh. Baik orang, pakaian, maupun tempatnya. Mereka sama
mengenakan kedok muka. Rupanya ketua Beng-gak memang sengaja hendak menjadikan
markas Beng-gak itu seolah-olah seperti istana iblis. Dan orang-orang yang berwajah aneh
itu semua memiliki kepandaian sakti. Wanpwe pernah bertempur dengan mereka.
Walaupun menderita luka yang bagaimana parahnya, mereka pantang mengeluh sakit!"
Tay Hui berpaling ke arah seorang paderi tua berjubah putih yang di deret muka
sebelah kanan. Bisiknya, "Suheng memiliki pandangan yang luas. Setiap kali Ciang-bun
suheng tentu minta pendapat suheng. Bagaimana kiranya pendapat suheng dalam
peristiwa ini?" Paderi tua itu pejamkan mata. Sesaat kemudian berkatalah ia, "Keadaan dewasa ini
benar-benar di luar kemampuan kita. Rasanya lebih baik kita mengundang kedua susiok
supaya turun gunung."
Siu-lam tertegun. Dipandangnya paderi itu dengan cermat. Seorang paderi tua yang
beralis tebal dan putih, wajahnya penuh lekuk-lekuk, usianya tentu lebih dari tujuh puluh
tahun. Diam-diam Siu-lam heran. Kalau paderi itu sudah sedemikian tuanya, tentulah
susioknya (paman guru) sudah berumur lebih dari seabad.
Tay Hui siansu menghela napas pelahan, "Kedua susiok itu sudah tiga puluh tahun
menutup diri dari soal keduniawian. Entah apakah kedua beliau itu suka turun gunung
lagi."
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paderi jubah kuning telur yang duduk tak jauh dari Siu-lam, tiba-tiba ia berdiri, "Untuk
mengganggu kedua susiok, menurut pandangan siaute, adalah tidak tepat. Kedua susiok
kita sudah mendekati kesempurnaan, apabila sampai terganggu tentu akan besar
akibatnya. Salah-salah bisa tertimpa bencana co-hwe-jip-mo (rusak jasmaninya)!"
"Jika tidak mengganggu kedua susiok, lalu bagaimana pendapat sute?" tanya Tay Hui.
Paderi jubah kuning telur itu merenung sejenak lalu berkata, "Menurut hematku, lebih
baik kita kerahkan ko-chiu Siau-lim-si untuk menyusul ke Beng-gak. Lebih dulu kita selidiki
keadaan Tay Hong suheng, kemudian kita pancing orang Beng-gak dalam barisan Lo-hantin
agar dapat menangkapnya hidup-hidup"."
Paderi jubah putih tadi gelengkan kepala, "Menurut sute, bagaimana kepandaian sute
dibanding dengan Tay Hong suheng?"
Dengan merendah, paderi jubah kuning telur itu mengakui kalah sakti.
"Itulah," kata paderi jubah putih "di antara murid-murid Siau-lim-si dewasa ini, Tay
Hong sutelah yang paling cemerlang. Baik dalam ilmu kesaktian maupun dalam pelajaran
keagamaan. Keenam murid-murid berpangkat hou-hwat yang menyertai itu, merupakan
murid-murid pilihan dari ruang Tat-mo-wan"."
Mata paderi berjubah putih itu berkilat-kilat memandang Siu-lam, katanya lebih lanjut,
Kisah Pedang Bersatu Padu 13 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Naga Dari Selatan 11