Pencarian

Wanita Iblis 11

Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 11


"Jika apa yang dikatakan Pui sicu ini benar, maka ketiga puluh enam murid hou-hwat itu
sudah binasa semua. Cobalah kita renungkan. Di antara murid-murid tingkatan ketiga dari
gereja Siau-lim-si sekarang ini, siapakah yang mampu menyamai kepandaian mereka"."
"Pendapat suheng memang benar," kata Tay Hui.
Paderi tua jubah putih itu menghela napas, "Tay Hong sute telah memimpin muridmurid
hou-hwat dan mengetuai rapat besar kaum gagah. Sebelum pergi, rupanya sute
sudah mempunyai firasat bahwa kepergiannya kali ini lebih banyak akan menghadapi
bahaya daripada selamat. Maka diam-diam sute telah berunding dengan aku. Apa yang
dibicarakan pada tengah malam itulah yang membuat aku kagum akan kecerdasan dan
pandangan Tay Hong sute"."
Paderi tua itu mengerling pandangannya ke sekeliling ruang. Sekalian paderi tampak
serius dan tenang. "Dalam pembicaraan tengah malam itu, pernah kuminta agar dia jangan pergi tetapi
aku atau Tay Hui sute saja yang mewakili Siauw-lim-si. Tetapi Tay Hong sute menolak.
Kuperingatkan kepadanya bahwa dia adalah pimpinan Siau-lim-si yang amat dibutuhkan
tenaga dan pikirannya oleh gereja ini. Sudah tentu tak boleh sembarangan meninggalkan
gereja ini. Karena jika sampai terjadi sesuatu, bukan saja Siau-lim-si akan kehilangan
pemimpin tetapi akan merugikan nama gereja ini. Tetapi lagi-lagi Tay Hong sute tetap
pada pendiriannya. Akhirnya ia mengusulkan untuk menguji kepandaian dengan aku.
Siapa yang unggul dialah yang akan memimpin rombongan Siau-lim-si menghadiri
undangan Beng-gak. Terus terang saja, sute sekalian, walaupun dalam pelajaran kitab aku
sangat mengagumi Tay Hong sute yang lebih pandai dari semua suhengnya, tetapi dalam
ilmu kesaktian kurasa Tay Hong sute belum tentu menang dari aku. Kuterima usulnya itu.
Tetapi apa yang terjadi" Hanya dalam sepuluh jurus, ya sepuluh jurus kemudian Tay Hong
sute telah gunakan ilmu pukulan sakti Lui-im-ciang, menundukkan tiga macam ilmu
kesaktian yang aku yakinkan selama empat puluh tahun yakni tutukan jari Kim-kong-ci,
tendangan Koan-im-ciok dan ilmu sakti Lo-han-cit-si"."
Demi mendengar penuturan yang terus terang dari paderi tua jubah putih itu, seketika
terkejutlah sekalian paderi yang hadir di situ.
Ilmu jari sakti Kim-kong-ci, tendangan Koan-im-ciok dan pukulan Lo-han-cit-si,
merupakan tiga macam ilmu istimewa dari tujuh puluh dua buah pusaka Siau-lim-si itu
benar-benar merupakan ilmu kesaktian yang tiada taranya di dunia persilatan. Adalah
karena saktinya, maka tak mudahlah orang mempelajari. Apabila orang dapat memahami
dua buah saja, maka dia sudah dapat dianggap seorang tokoh yang jarang tandingannya.
Bahwa Tay Hong siansu dalam sepuluh jurus dapat mengalahkan ilmu jari Kim-kong-ci,
tendangan Koan-im-ciok dan pukulan Lo-han-chit-si, benar-benar menggemparkan seluruh
sidang! Yang hadir dalam rapat luar biasa gereja Siau-lim-si saat itu, adalah para paderi
murid Siau-lim-si yang berkedudukan tinggi. Dalam arti kata tinggi ilmu pelajaran
agamanya dan tinggi pula ilmu kesaktian silatnya. Mereka mengerti apa yang dimaksud
dengan Kim-kong-ci, Koan-im-ciok dan Lo-han-chit-si itu. Hampir mereka tak percaya akan
apa yang didengarnya saat itu. Namun karena yang mengatakan itu paderi jubah putih
yang menjadi suheng dari ketua Siau-lim-si sekarang, mau tak mau mereka mesti percaya.
Tay Ih siansu, si paderi tua jubah putih itu, menghela napas, ujarnya pula, "Setelah Tay
Hong sute menang, maka keputusanpun tetap Loni tak dapat ingkari janji lagi. Kini sute
tak mau memperbincangkan urusan ke Beng-gak lagi dan mulai membicarakan tentang
kedua susiok kita yang sudah mensucikan diri itu. Pada waktu kedua susiok hendak mulai
mensucikan diri, beliau telah meninggalkan pesan. Walaupun hal itu terjadi pada duapuluh
tahun berselang, tetapi Tay Hong sute dapat mengingat tiap patah dengan jelas. Sute
menuturkan pesan kedua susiok itu kepada loni"."
Diam-diam Siu-lam terkejut. Apa yang disebut Pit-koan-co-sian (bersemedhi mencapai
kesempurnaan) di kalangan kaum paderi, atau Jip-ting (masuk ke dalam kesunyian) dari
kaum imam (paderi yang memelihara rambut), adalah sama dengan ilmu bersemedi dari
kaum persilatan. Dapat bersemedi beberapa jam saja , semangat segar. Bersemedi
beberapa hari, akan memperoleh kekuatan dan pikiran yang terang sekali. Apalagi kedua
paman guru Tay Hong yang sudah bersemedhi selama dua puluh tahun. Dapat
dibayangkan betapa kesempurnaan ilmu yang akan dicapainya".
"Apakah sebelum pergi, Tay Hong suheng sudah meninggalkan pesan?" tanya Tay Hui
siansu. Tay Ih siansu si paderi jubah putih mengangguk, "Dia pernah memberitahu kepada si
suheng. Di antara suheng dan sute seperguruannya mungkin sukar untuk mencari orang
yang mampu menandingi kepandaiannya. Diapun mengatakan pula bahwa kepergiannya
ke Beng-gak itu sukar diramalkan bagaimana akhirnya. Apabila terjadi sesuatu, Tay Hong
sute pesan kepadaku agar menasihatkan kepada para sute sekalian, agar jangan bertindak
sembarangan. Janganlah sute segera mengerahkan seluruh anak murid menggempur
Beng-gak. Tay Hong menandaskan bahwa hidup matinya Siau-lim-si, bukanlah sematamata
hanya mengenai gereja ini. Karena sejak berates-ratus tahun Siau-lim-si merupakan
pedoman dari dunia persilatan. Jika Siau-lim-si musnah, dunia persilatan pasti kacau. Tay
Hong sute meminta padaku supaya sute sekalian dapat menahan diri!"
Paderi jubah kuning telur yang usianya paling muda sendiri, berseru, "Menurut
pendapat suheng, kita tak perlu mencari jejak Tay Hong suheng yang tak ketahuan itu,
bukan?" "Menurut pesan Tay Hong sute, kita harus tunggu sampai tahun depan bulan tiga, ialah
pada saat persemedhian kedua susiok kita sudah selesai, barulah kita mengundang pada
kedua beliau itu," sahut Tay Ih siansu.
Siu-lam menyeletuk, "Tetapi nafsu orang Beng-gak untuk menguasai dunia persilatan,
takkan menunggu sampai tahun muka. Mungkin mereka segera akan menyerang kemari!"
Tay Hui siansu serempak berbangkit dan berkata kepada paderi jubah kuning telur,
"Tay To sute, harap menemani Pui sicu ini beristirahat ke ruang Tat-mo-wan!"
Siu-lam tahu bahwa para paderi Siau-lim-si itu hendak merundingkan soal yang
penting. Maka iapun segera melangkah keluar. Tay To si paderi jubah kuning telur
mengikutinya. Begitu keluar dari ruang, Tay To percepat langkahnya menyusul ke muka Siu-lam,
ujarnya, "Pui sicu, gereja ini penuh dengan alat-alat yang berbahaya, harap jangan
sembarangan pergi kemana-mana. Marilah kita ke ruang Tat-mo-wan beristirahat.
Sebelum terang tanah, Tay Hui suheng tentu sudah membawa keputusan!"
"Mudah-mudahan lekas ada keputusan agar aku lekas-lekas pergi ke lain tempat," kata
Siu-lam. Paderi itu menanyakan kemanakah Siu-lam hendak pergi selanjutnya nanti.
Jawab Siu-lam, "Dalam pertempuran di Beng-gak, sebagian besar orang gagah yang
hadir telah hancur binasa. Beruntung aku dapat lolos. Maka menjadi kewajibanku untuk
menyampaikan berita buruk itu kepada masing-masing partai, agar mereka dapat bersiapsiap"."
Dia menghela napas, serunya pula, "Inilah merupakan tujuanku pokok pada dewasa
ini!" "Menurut pendapat Pui sicu, bagaimana kalau kami kerahkan seluruh anak murid Siaulim-
si untuk menggempur Beng-gak?"
"Anak buah Beng-gak merupakan manusia-manusia yang serba misterius dan ganas.
Sedangkan Siau-lim-si adalah partai pemimpin dari dunia persilatan. Ketujuh puluh dua
ilmu kesaktian Siau-lim-si telah diketahui orang dan beratus-ratus tahun telah
menggetarkan dunia persilatan. Jika mengadu kekuatan dengan Beng-gak, memang sukar
diramalkan kesudahannya," jawab Siu-lam.
Wajah paderi itu agak menggelap, "Dalam hal tipu muslihat dan senjata rahasia, orang
Beng-gak yang lebih ganas itu tentu dapat mengalahkan Siau-lim-si. Tetapi jika mereka
berani mengadu kesaktian dalam ilmu kepandaian silat dan tetap dapat mengalahkan
Siau-lim-si, loni benar-benar tak percaya!"
Di antara para tianglo dan ketua-ketua ruang, paderi Tay To itulah yang paling keras
wataknya. Ucapannya sering-sering menusuk hati.
Siu-lam kerutkan dahi. Pikirnya, "Paderi ini sombong sekali. Tak memandang mata pada
lain orang. Biarlah kucari kesempatan untuk memberinya sedikit hajaran agar dia sadar!"
Baru ia hendak membuka mulut cari alas an, terdengar paderi Tay To itu berseru, "Pui
sicu, pinceng bersyukur bahwa sicu dapat lolos dari Beng-gak"."
"Bukankah itu suatu hal yang mustahil dapat dipercaya?" cepat Siu-lam menangkap isi
hati orang. "Ah, tidak. Pinceng benar-benar girang atas kemujuran sicu."
Merekapun tiba di ruang muka Tat Mo-wan. Dua buah lentera merah tergantung pada
kedua pintu gerbang, menerangi tiga huruf Tat Mo-wan yang besar.
Saat itu tergeraklah pikiran Siu-lam. Ia menyatakan bahwa Siau-lim-si memiliki tujuh
puluh dua buah ilmu kepandaian yang termasyhur. Berapa banyak paderi Tay To itu telah
berhasil mempelajarinya. Tay To siansu berpaling menatap Siu-lam dengan tertawa bangga, "Apakah maksud
sicu bertanya begitu?"
Siu-lam tertawa, "Aku ingin memohon taysu suka mempertunjukkan barang sejurus,
agar menambah pengalamanku yang sempit."
"Silahkan sicu mengajukan caranya," cepat Tay To menyahut.
Siu-lam terkesiap. Benar-benar paderi itu congkak sekali. Serentak ia berkata, "Konon
kabarnya Siau-lim-si memiliki sebuah ilmu pukulan sakti yang disebut Peh-poh-sin-kun
(ilmu silat sakti seratus langkah). Di dalam ilmu silat itu terdapat jurus Kek-san-ba-gu
(pukulan kerbau di balik gunung). Benarkah itu?"
Tay To siansu tertawa, "Walaupun dalam ketujuh puluh dua ilmu kesaktian Siau-lim-si
tiada jurus Kek-san-bak-gu dari Peh-po sin-kun, tetapi ada sebuah ilmu yang disebut Siphun-
ciang. Sama saktinya dengan ilmu pukulan Kek-san-bak-gu."
"Kiranya taysu tentu sudah menguasai ilmu itu. Ingin benar aku yang rendah
menikmatinya." Tay To memandang ke arah kedua lentera yang tergantung pada pintu. Tingginya tak
kurang dari setombak. Ujarnya, "Kaum pertapa dan agama, sebenarnya mengutamakan
kesabaran dan ketenangan. Tak bernafsu untuk mengejar keduniawian dan nama. Tetapi
dewasa ini dunia telah dilanda kekacauan dan pembunuhan. Setan-setan dan iblis
berkeliaran mencari korban. Demi welas asih yang kami junjung, benar-benar kami tak
dapat melihat kesemuanya itu berlangsung terus"."
Berhenti sejenak ia lanjutkan pula, "Sicu telah lolos dari Beng-gak dan jauh-jauh
memerlukan datang kemari untuk menyampaikan berita buruk tentang ciang-bun suheng
kami, membalas budi sicu, pinceng akan mengunjuk permainan yang jelek"." Habis
berkata tiba-tiba ia mengangkat tangan kanannya. Lentera merah sebelah kanan yang
tergantung tinggi, bergoyang-goyang dan tiba-tiba padam!
Diam-diam Siu-lam membatin, "Ah, makanya paderi ini congkak sekali. Dia memang
sungguh-sungguh memiliki kepandaian."
Serentak berserulah ia memuji, "Ah, benar-benar ilmu tamparan Sip-hun-ciang yang
hebat. Kemasyhuran Siau-lim-si sebagai sumber ilmu kesaktian, memang bukan kabar
bohong!" Dengan berseri gembira dan bangga, Tay To mengucapkan beberapa kata merendah.
Diam-diam Siu-lam telah memutuskan untuk memberi kesulitan pada paderi itu supaya
jangan terlalu congkak. Tetapi akibatnya, ilmu pukulan Sip-hun-ciang tadi malah makin
membuat si paderi bangga sekali.
Tiba-tiba Tay To berkata, "Para kochiu yang datang ke Beng-gak sama binasa semua
kecuali sicu seorang. Pui sicu benar-benar seorang yang besar sekali rejekinya!"
"Ah, hal itu hanya secara kebetulan saja."
Tay To tertawa dingin, katanya pula, "Ah, tak mungkin suatu peristiwa yang kebetulan.
Kalau Pui sicu tak mempunyai ilmu kepandaian sakti, tak mungkin dapat lolos dari Benggak."
Diam-diam Siu-lam membatin, rupanya paderi-paderi Siau-lim-si curiga karena ia lolos
dari Beng-gak. Tetapi mereka tak mau terang-terangan mengatakan".
Seketika timbullah kemarahan Siu-lam. Ia balas tertawa dingin, "Memang benar, jika
aku tak mempunyai sedikit kepandaian, sekalipun dibantu orang dalam secara diam-diam,
tetapi juga sukar dapat lolos!"
"Nah, Pui sicu seorang yang cepat berpikir, tangkas bicara. Seorang yang jujur dan
suka berterus terang. Tetapi entah, apakah sicu tak keberatan untuk mempertunjukkan
barang satu dua macam kepandaian yang sicu miliki itu agar dapat menambah
pengalaman pinceng?"
Wajah Siu-lam serentak berubah gelap. Ia tegak berdiri tak mengucap apa-apa.
Rupanya ia tengah menimang. Jelas bahwa ilmu pukulan lwekang Sip-hun-ciang dari
paderi itu hebat sekali. Jika apa yang dipertunjukkan lebih rendah dari itu, tentu akan
ditertawakan. Ia agak bingung dalam memilih ilmu apa yang pantas dikeluarkan untuk
mengimbangi pukulan Sip-hun-ciang.
Melihat pemuda itu diam saja, paderi Tay To tertawa, "Apakah Pui sicu belum dapat
menjatuhkan pilihan?"
Merahlah wajah Siu-lam. Ia mengangkat kepala. Tampak paderi Tay To
memandangnya dengan dingin. Amarah Siu-lam makin merangsang. Tanpa banyak piker,
serentak ia berseru, "Bagaimana kalau kuingin mencoba pukulan toa-suhu?"
Tay To terkesiap, tetapi pada lain saat ia tertawa dingin, "Tangan dan kaki tidak
bermata. Jika pinceng sampai kesalahan melukai sicu, bukankah akan menimbulkan
peristiwa dendam-mendendam?"
"Walaupun aku ini seorang bodoh, tetapi dari nada ucapan toa-suhu tadi, agaknya toasuhu
tak percaya atas lolosku dari Beng-gak"."
"Benar," Tay To tertawa, "memang pinceng agak heran atas peristiwa itu. Dunia
persilatan penuh dengan tipu muslihat. Gereja ini pernah menderita"."
Jawab Siu-lam, "Ah, toa-suhu terlalu berprasangka. Meskipun dengan cara apa kuberi
penjelasan, tentulah sukar dapat diterima. Maka sebaiknya kita saling menguji kepandaian
dulu, baru nanti kita bicara lagi."
"Baiklah kalau sicu menghendaki demikian," kata paderi Tay To lalu mempersilahkan
pemuda itu memulai lebih dahulu.
"Harap toa-suhu hati-hati!" sambil berseru Siu-lam maju memukul.
Bahu paderi itu bergetar dan orangnya menyingkir ke samping. Kemudian ia berdiri
tegak sambil rangkapkan kedua tangannya.
"Mengapa toa-suhu tak mau membalas?" seru Siu-lam.
"Pui sicu seorang tetamu jauh, pinceng hendak menghormat sampai tiga jurus," sahut
Tay To. Wajah Siu-lam berubah, serunya, "Harap toa-suhu jangan terlalu memandang rendah
padaku. Janganlah toa-suhu mengalah sampai tiga jurus. Sekali lagi aku hendak
menyerang, apabila toa-suhu mampu menghindar, aku bersedia mengaku kalah," sahut
paderi itu tak mau kalah garang.
Siu-lam tertawa tawar, serunya, "Satu dengan sepuluh, terpaut banyak sekali.
Hendaknya toa-suhupun jangan kelewat bangga!"
Dalam pada berkata itu, Siu-lam diam-diam sudah kerahkan tenaga dalam. Dan habis
berkata, segera ia menggembor keras seraya menghantam. Hantamannya menggunakan
jurus Hud-hwat-bu-pian ajaran kakek dari Hian-song yang sakti. Begitu pukulan
dilancarkan, segera Tay To rasakan sesuatu yang membuatnya kesima kaget. Buru-buru ia
apungkan diri loncat beberapa langkah ke belakang.
Tetapi Siu-lam tertawa dingin dan cepat-cepat membayanginya. Gerak pukulannyapun
bertubi-tubi dilancarkan dengan gaya yang berubah-rubah.
Tay To rasakan pukulan anak muda itu mencurah hebat, sebentar dari sebelah kanan
sebentar dari kiri sehingga membuat orang berkunang-kunang. Hanya dalam beberapa
kejap saja, pukulan anak muda itu sudah menghambur ke arah jalan darah Hian-ki yang
berbahaya. Tay To tercengang. Buru-buru ia pejamkan mata dan berseru, "Ah, pinceng mempunyai
mata tetapi tak mengetahui sicu memiliki kepandaian yang sakti, sehingga"."
Tangan Siu-lam yang sudah menjamah pada dada paderi itu, cepat ditariknya dan
mundur dua langkah, "Ah, rupanya toa-suhu memang sengaja mengalah. Aku berterima
kasih sekali." "Pinceng benar-benar mengaku tunduk. Ucapan sicu, lebih membuat pinceng malu
sekali!" "Ah, benar-benar kepandaianku masih kalah jauh dengan toa-suhu," Siu-lam merendah.
Tay To menghela napas pelahan, "Ah, jika dengan ilmu sakti yang sicu miliki itu tak
dapat mengalahkan orang Beng-gak, terang kalau orang-orang Beng-gak itu memang
sakti sekali!" Siu-lam menerangkan bahwa ilmu kesaktian orang Beng-gak memang mempunyai
aliran tersendiri. Ditambah pula dengan cara mereka menghias diri dan berpakaian yang
seram-seram, Beng-gak benar-benar merupakan sebuah daerah iblis.
Kini paderi Tay To berubah sikapnya. Tak berani lagi ia bersikap congkak. Ia segera
mempersilahkan tetamunya masuk.
Ruang Tat-mo-wan merupakan ruang berlatih silat. Perlengkapan ruang itu sangat
seram. Begitu melangkah masuk, empat orang paderi segera menyambut dan memberi
hormat kepada paderi Tay To.
Tay To memberi pesan, "Pui sicu ini datang dari jauh sekali karena kepentingan gereja
Siau-lim-si. Layanilah sebaik-baiknya!"
Keempat paderi itu segera mengantarkan Siu-lam ke sebuah kamar. Lima buah lilin dan
hidangan telah disiapkan. Setelah keempat paderi itu minta diri, Siu-lam segera makan
kemudian baru tidur. Lilin dipadamkan dan ia duduk bersemedhi.
Berkat lwekangnya makin maju, dalam beberapa waktu saja, Siu-lam sudah pulih
kesegarannya. Ia tak perlu tidur dan melainkan melanjutkan semedhi. Tetapi karena
teringat akan peristiwa-peristiwa yang dialaminya, menjelang pagi baru ia dapat
bersemedhi dengan pikiran kosong.
Turun dari pembaringan ternyata hari sudah tinggi. Dan ternyata paderi Tay To sudah
menunggu sejak tadi. "Tay Hui suheng hendak mengundang sicu ke Kwat-si-wan untuk menemui seorang
sahabat," kata Tay To.
"Apakah orang itu agak limbung pikirannya?" tanya Siu-lam.
"Entah, pinceng tak jelas keadaan orang itu. Tetapi ruang Kwat-si-wan merupakan
ruang pengadilan dari gereja ini. Bahwa Tay Hui suheng hendak menunggu sicu di Kwatsi-
wan, tentulah menyangkut urusan yang penting!"
Demikian keduanya segera menuju ke ruang Kwat-si-wan. Di sinilah persidangan,
pengadilan dan hukuman diputuskan. Tak seorangpun diperbolehkan masuk ke dalam


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruang itu, sekalipun anak murid Siau-lim sendiri.
Setiap paseban atau gedung ruangan, didirikan di sebuah halaman yang luas.
Merupakan sebuah gedung bangunan tersendiri. Setiap paseban, diurus di bawah
pimpinan seorang paderi. Di antara sekian paseban-paseban, di antaranya paseban Tat
Mo-wan dan Kwat-si-wan inilah yang paling keras peraturannya. Sekalipun anak murid
Siau-lim-si sendiri, tak boleh memasuki ruang atau paseban tersebut kalau tak mendapat
panggilan. Keliling Tat Mo-wan dan Kwat-si-wan ditutup dengan pagar tembok dan dijaga
ketat. Halamannya ditanami pohon siong yang berusia satu abad.
Sebuah bangunan batu yang merupakan bagian kamar penjara dari Kwat-si-wan,
tampak di antara gerumbul pohon di dekat ruang paseban.
Tay To membawa Siu-lam masuk dan menuju ke sebuah ruangan yang temboknya
berwarna kuning tua. Jika waktu berada dalam ruangan Gi-su-thia (tempat rapat) tadi Tay
To garang sekali sikapnya, tetapi saat itu dia berubah sopan-santun sekali.
"Pui sicu telah datang," serunya dengan hormat.
Dari dalam kamar terdengar suara Tay Hui menyahut perlahan, "Silahkan sute
kembali." Dengan serta merta Tay To minta diri mempersilahkan Siu-lam masuk.
Siu-lam dan Tay Hui siansu ditemani Tay Ih siansu. Kedua paderi tua itu tampak serius.
Mereka duduk di atas dua buah permadani. Siu-lam pun dipersilahkan duduk.
Dinding ruang itu ditutup dengan kain layar warna kuning tua juga. Tay Hui bertepuk
tangan dan layar kuning tersingkap. Dua orang paderi bertubuh kekar masuk membawa
seorang pria tua yang berpakaian compang-camping dan mukanya kotor, rambut kusut
dan jenggot panjang. "Kenalkah Pui sicu kepada orang itu?" tanya Tay Hui.
Siu-lam gelengkan kepala dan mengatakan tak kenal.
"Harap sicu mengamati secara teliti lagi. Orang itu lama sekali mengasingkan diri,
mungkin perangainya berubah."
Tapi Siu-lam tetap menyatakan tak kenal.
"Apakah orang itu bukan Gan Leng-po ang sicu sebut itu?" tiba-tiba Tay Ih siansu
berseru. "Aku telah beberapa kali bertemu muka dengan Gan Leng-po. Dalam keadaan
bagaimanapun, tak mungkin aku lupa. Jelas dia bukan Gan Leng-po," sahut Siu-lam
dengan tegas. Tay Hui siansu serentak bangkit dan memberi isyarat kepada kedua paderi itu supaya
membawa orang tersebut keluar.
Tay Hui segera mengajak Tay Ih keluar. Tay Ih siansu mempersilahkan Siu-lam supaya
ikut. Walaupun tak tahu apa maksud kedua paderi pimpinan tertinggi dari Siau-lim-si itu,
namun Siu-lam mengikuti juga.
Ternyata mereka menuju ke pondok yang diperuntukkan tempat tahanan. Tay Ih siansu
mengeluarkan kunci dan membuka pondok itu. Di luar dugaan, ternyata keadaan dalam
pondok itu bersih sekali. Seorang lelaki tua yang jenggotnya putih menjulai sampai ke
dada, duduk bersila di sudut ruangan.
"Gan Leng-po?" serentak Siu-lam berseru perlahan dan buru-buru lari menghampiri
kemudian memberi hormat. Ia merasa bersalah terhadap tabib tua itu. Terutama ia ikut
bertanggung jawab atas keadaan si tabib yang menjadi orang sinting itu.
Dalam hari-hari terakhir ini, Gan Leng-po tampaknya makin tua. Tetapi penyakit gilanya
agak baik. Dia duduk diam. Ketika melihat ketiga orang itu masuk, ia tersenyum tetapi
tetap diam saja. Diapun tak memperdulikan pemberian hormat dari Siu-lam tadi.
Tay Ih siansu berbisik, "Harap Pui sicu maafkan loni. Adalah karena terpaksa oleh
keadaan maka loni telah menggunakan sedikit muslihat untuk menguji sicu."
Siu-lam yang berotak terang, segera mengerti apa yang dimaksudkan orang itu.
Dibawanya lelaki tua untuk dikenal oleh Siu-lam tadi hanyalah suatu percobaan buat
mengetahui keadaan pemuda itu yang sebenarnya.
Namun Siu-lam seolah-olah tak mengerti apa yang diucapkan Tay Ih siansu, tanyanya,
"Apakah penyakit linglung dari Gan lo-cianpwe ini sudah agak sembuh?"
Tay Hui menghela napas. Ia mengatakan telah berusaha sekuat tenaga. Kesehatan
badan tabib itu sudah bertambah maju, tetapi penyakit pikirannya masih belum sembuh.
Kata Siu-lam, "Satu-satunya orang yang mengetahui jelas latar belakang Beng-gak,
rasanya hanya orang ini saja. Jika penyakit linglungnya sudah sembuh, tentu akan
membantu banyak sekali dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi sekarang ini!"
Tay Hui siansu berkata, "Berita yang sicu sampaikan itu, merupakan suatu noda dan
hinaan bagi Siau-lim-si sejak gereja ini berdiri ratusan tahun. Semalam loni telah
berunding dengan sekalian suheng dan sute. Kami menganggap masalah ini sangat gawat
sekali. Suatu kekalahan yang kita derita, berarti kemusnahan bagi dunia persilatan"."
Pejabat ketua Siau-lim-si itu menghela napas, ujar selanjutnya, "Terus terang
kukatakan kepada sicu bahwa di antara paderi golongan loni yang memakai gelar Tay, Tay
Hong suhenglah yang paling tinggi kepandaiannya. Begitu pula ketiga puluh enam paderi
hou-hwat yang menyertai kepergiannya itu, adalah pilihan dari anak murid Siau-lim-si
tingkat ketiga dewasa ini. Yang masih berada dalam ribuan paderi, tetapi jikalau
berhadapan dengan pihak Beng-gak, tentu hanya ibarat anai-anai membentur api saja.
Loni dan para suheng sute sekalian telah memutuskan untuk menggunakan Ki-kin-coan-im
(menyusupkan suara melalui getaran urat nadi) menyampaikan berita buruk ini kepada
paman guru"." "Bukankah kedua lo-cianpwe itu masih belum menyelesaikan persemedhiannya?" tanya
Siu-lam. "Apa boleh buat, keadaan memaksa kami untuk mengganggu ketenangan kedua susiok
itu," Tay Hui menghela napas.
"Karena tugasku menyampaikan berita sudah selesai, maka aku hendak mohon diri,"
kata Siu-lam. "Ilmu Ki-kin-coan-im dapat tidaknya sampai pada kedua lo-cianpwe, masih belum kami
ketahui. Sebaiknya sicu suka tinggal beberapa hari lagi baru nanti kita putuskan lagi,"
sahut Tay Ih siansu. Diam-diam Siu-lam membatin, "Ah, Siau-lim-si benar-benar merupakan sumber ilmu
kesaktian yang sukar sekali diketahui ukurannya. Ilmu meluncurkan hawa dalam lewat
jalan darah, benar-benar sejenis ilmu yang baru pertama kali ini kudengar. Entah apa yang
disebut dengan ilmu Ki-kin-coan-im itu. Tetapi yang jelas bersemedhi sampai berpuluh
tahun, benar-benar suatu keanehan yang sukar dipercaya. Ah, kiranya aku tentu akan
mendapat banyak sekali pengalaman apabila tinggal beberapa hari lagi di gereja ini."
Akhirnya ia menyatakan tidak keberatan untuk tinggal di gereja itu beberapa hari lagi.
Tay Ih segera mengajak keluar dari pondok itu. Setelah melalui beberapa buah ruang
dan halaman, mereka berjalan melalui sebuah jalan kecil yang penuh ditumbuhi rumput
dan bunga-bunga hutan. Walaupun sebuah bangunan yang luas sekali, tetapi keadaan
dalam gereja Siau-lim-si itu terawat bersih. Hanya di tempat yang mereka tengah lalui itu
rupanya memang tak mendapat pengurusan.
Saat itu mereka tiba di sebuah hutan kecil yang terdiri dari pohon bambu semua. Hutan
bambu itu agak menarik perhatian. Setiap pohon bambu tampaknya ditanam dalam jarak
tertentu dan bersilang selisih seperti sebuah barisan.
Tay Hui tundukkan kepala. Mulutnya berkemak-kemik mengucap doa. Setelah itu baru
melangkah ke dalam hutan itu.
"Harap Pui sicu mengikuti di belakang loni, agar jangan tersesat jalan," kata Tay Ih.
Diam-diam Siu-lam membatin bahwa hutan pohon bambu itu tentu bukan hutan biasa.
Kemungkinan merupakan sebuah barisan. Atau mungkin dalam hutan itu penuh dipasangi
alat-alat rahasia. Akhirnya tibalah mereka di sebuah dinding tembok yang buntu dan rusak. Pintunya
yang sudah kumul warnanya, tampak tertutup rapat. Dua kali Tay Hui siansu mengetuk.
Setelah menanti beberapa saat, tiba-tiba ia berpaling dan berbisik kepada Tay Ih siansu,
"Sudah berapa tahun kita tak datang ke sini?"
"Mungkin sudah tiga tahun. Kita datang sekali bersama Tay Hong sute," sahut Tay Ih.
"Ah, dalam waktu tiga tahun, banyak sekali perubahan tempat ini. Entah apakah kera
putih yang biasa mengantar buah-buahan itu masih hidup?" tanya Tay Hui pula.
"Baiklah sute ketuk sekali! Apabila tak ada tanggapan suatu apa baru kita masuk!"
Tay Hui segera melakukan permintaan suhengnya. Dia mengetuk dua kali. Ternyata
pintu tetap tak ada reaksi suatu apa.
Jilid 21 SIU LAM menimang dalam hati: "Selama dalam perjalanan ke sini tadi, sikap paderi itu
tampak hormat sekali. Tentulah tempat ini merupakan pertapaan paman guru mereka.
Kalau mereka berdua begitu menghormat, itulah karena mereka anak murid Siau-lim-si.
Tetapi aku bukan murid Siau-lim-si, biarlah aku pura-pura tak tahu peraturan di sini."
Secepat mendapat pikiran, ia terus loncat ke atas dinding tembok. Ternyata di dalam
dinding tembok itu terdapat tiga buah pondok yang berjajar-jajar. Setiap pondok
besarnya hampir sama dengan tiga buah kamar. Pondok itu tak terawatt sama sekali.
Sekelilingnya penuh ditumbuhi rumput dan alang-alang yang liar. Ruang pondok ditabur
dengan batu kerikil sebesar telur.
Tiba-tiba Siu-lam agak terkejut. Ia melihat seekor kera putih tengah duduk bersila di
atas dahan sebatang pohon siong.
Tay Hui dan Tay Ih tak mencegah tindakan Siu-lam. Mereka berdiri di depan pintu
sambil pejamkan mata. Siu-lam batuk-batuk loncat ke bawah lalu membukakan pintu. Tay Hui membuka mata
dan memandang pemuda itu marah. Rupanya ia tak senang atas tindakan Siu-lam tetapi
tak mengucap apa-apa. "Omitohud!" Tay Hui berseru seraya melangkah pelahan-lahan ke dalam. Tay Ih siansu
mengikutinya dari belakang. Ketika melihat kera putih yang duduk bersemedi di atas
pohon, kedua paderi itu agak terkesiap dan menghampiri.
Ketika dekat, Tay Hui kerutkan dahi tetapi tak mengucap apa-apa. Kini Siu-lam baru
mengetahui bahwa kera putih yang duduk bersemedi di atas pohon itu ternyata sudah
mati. Ketika melihat kedua pemimpin gereja Siau-lim-si bersikap amat menghormat sekali
kepada kera putih itu, Siu-lam pun buru-buru ikut memberi hormat.
Tay Hui menghela napas pelahan lalu menuju ke pondok yang terletak di tengah.
Sebenarnya sebuah pondok yang indah buatannya, tetapi karena tak terurus maka
merupakan sebuah pondok yang menyeramkan.
Beberapa langkah di muka pondok tengah itu Tay Hui siansu tiba-tiba berhenti dan
berlutut, lalu berseru pelahan-lahan: "Tecu Tay Hui, dengan sangat terpaksa sekali
menghadap susiok berdua. Karena bencana yang menimpa gereja Siau-lim-si dewasa ini
benar-benar di luar kemampuan tecu sekalian. Tay Hong suheng telah lenyap di markas
Beng-gak. Bagaimana nasib belum diketahui. Dunia persilatan bakal terancam
kemusnahan yang ngeri. Tecu atas perintah Tay Hong suheng telah menerima tugas
sebagai pejabat ketua Siau-lim-si. Tetapi sayang, karena tecu seorang bodoh, maka tak
dapat mengatasi kesulitan ini. Demi untuk menjaga kelangsungan hidup gereja Siau-lim-si
dan demi keselamatan dunia persilatan pada umumnya, terpaksa tecu memberanikan diri
menghadap pada susiok berdua."
Habis berkata Tay Hui segera memberi hormat tiga kali, lalu bangkit dan mendorong
daun pintu pondok. Securah debu telah berhamburan ke tubuh Tay Hui.
Dengan berbisik-bisik Tay Hui menerangkan pada Siu-lam bahwa pondok itu adalah
tempat pertapaan kedua paman gurunya. Ia minta agar Siu-lam suka membatasi diri.
Pemuda itu tersipu-sipu mengiyakan.
Perabot dalam pondok itu sederhana sekali. Kecuali sebuah balai-balai dari kayu, tak
ada lain perkakas lagi. Sudut ruang penuh dengan sarang galagasi. Diam-diam pemuda
itu heran karena tak melihat kedua paderi yang dikatakan sebagai paman guru dari Tay
Hui dan Tay Ih itu. Tay Hui dan Tay Ih tegak dengan meneliku tangan. Matanya memandang ke sekeliling
ruang buat mencari sesuatu.
Beberapa saat kemudian, delapan orang paderi melangkah masuk. Siu-lam masih
ingat, bahwa kedelapan orang paderi itu adalah paderi-paderi tingkat tinggi yang ikut hadir
dalam rapat gereja di ruang Gi-su-thia tadi malam. Di antaranya terdapat Tay To siansu,
paderi itu masing-masing mencekal sebatang tongkat bambu.
Sejenak setelah memandang ke arah rombongan paderi yang datang itu, Tay Hui
segera melangkah ke sudut ruang. Setelah membersihkan debu-debu yang menumpuk
tebal, ia mendorong. Tiba-tiba dinding tembok mereka dan tampaklah sebuah liang
bundar yang kecil. Rombongan paderi yang datang itu segera menyambung bambu yang mereka bawa
lalu dimasukkan ke dalam lubang yang dibuat oleh Tay Hui tadi. Setelah selesai, Tay Hui
minta rombongan paderi itu kembali.
Tay Hui mengeluarkan sebuah giok-cu (zamrud), dimasukkan ke dalam lubang bambu.
Kemudian ia duduk bersemedi di lantai. Setiap sepenanak nasi lamanya, paderi itu
memasukkan sebuah giok-ci lagi. Habis memasukkan giok-cu, dia duduk bersemedi lagi.
Tak kurang dari lima biji giok-cu telah dimasukkan dalam bambu dan memakan waktu
sampai dua jam lamanya. Tetapi tetap tiada reaksi suatu apa.
Karena kesal melihat itu, Siu-lam segera ikut bersemedi. Ketika sadar, matahari pun
sudah mulai condong ke barat. Dilihatnya kedua paderi itu masih tetap bersemedi. Diamdiam
Siu-lam memuji konsentrasi yang hebat dari kedua pimpinan Siau-lim-si itu!
Pada saat Siu-lam menarik napas, kejutnya bukan kepalang. Terasa darah
menghambur ke dadanya. Buru-buru ia berusaha untuk menahannya. Kemudian berjalan
mondar-mandir dalam ruang itu.
Ruang pondok itu sudah bertahun-tahun tak disapu. Debu menumpuk tebal sekali.
Baru dua kali berjalan mondar-mandir, debu berhamburan memenuhi ruangan sehingga
jubah kedua paderi itupun berlumuran debu.
Tiba-tiba Siu-lam mendapat pikiran. Sesaat ia lupa akan tempat di situ. Kakinya tak
henti-hentinya bergerak sehingga debu makin lama makin tebal.
Akhirnya Tay Ih tak dapat bersabar lagi, serunya berbisik; "Hampir. Pui sicu jangan
keras-keras berjalan!"
Tetapi rupanya Siu-lam tak menghiraukan dan terus bergerak-gerak saja.
"Ah, rupanya dia tak sabar menunggu maka sengaja menyepak-nyepak debu supaya
kita keluar. Ah, lebih baik tak usah menghiraukannya!" bisik Tay Hui.
Tay Ih siansu gelengkan kepala: "Masakan dia sendiri tak terganggu matanya?" Paderi
itu segera memandang dengan seksama. Dilihatnya pemuda itu tengah meram tetapi jari
tangannya menggurat-gurat, entah sedang bermain apa.
Kiranya suatu hal yang tak terduga-duga telah dialami Siu-lam. Biasanya jika
bersemedhi, ia tak dapat mengosongkan pikiran benar-benar. Karena terlalu tercekam
oleh pikiran-pikiran yang tak lepas. Kuatir akan kedatangan musuh atau teringat akan
peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Tetapi saat itu lain sekali halnya. Karena dekat
dengan kedua paderi Siau-lim-si, ia tak mempunyai kekuatiran apa-apa dan lepaslah
segala isi hatinya. Dia dapat bersemedhi dengan sempurna, mengosongkan pikirannya
menunggalkan pribadi dalam alam kehampaan.
Ternyata hal itu membawa khasiat yang luar biasa. Bersemedhi dengan benar-benar
kosong pikiran menyamai hasilnya dengan berlatih lwekang selama berbulan-bulan.
Ketika ia bangun, sebenarnya hawa murni yang masih menebar di tubuhnya itu belum
reda. Karena belum pernah merasakan hal ini maka Siu-lam agak kaget. Tetapi beberapa
saat kemudian, ia rasakan tubuhnya nyaman sekali, pikiran terang benderang. Seketika
iapun teringat akan jurus Jiau-toh-co-hoa ajaran dari orang tua dalam goa. Ingatannya
segera merayap dan menyusuri inti gerak-gerak jurus itu. Makin lama makin jelaslah ia
akan keindahan dan kesaktian yang terpendam dalam ilmu itu. Ibarat orang menggali,
makin dalam ia makin menemukan benda kuno yang tiada ternilai harganya.
Terbenamnya Siu-lam ke dalam alam yang baru itu, tanpa disadari, ia telah melakukan
gerakan tangan menirukan jurus Jiau-toh-co-hoa".
Melihat pemuda itu tetap bolak-balik dan melakukan gerakan tangan, kembali Tay Ih
berbisik pada Tay Hui: "Rupanya pemuda itu sudah linglung. Mengapa dia bolak-balik di
tempat yang punya debu"."
"Tetapi agaknya dia sedang melakukan gerakan ilmu silat," sahut Tay Hui.
Tay Ih pun mengawasi dengan cermat. Memang pemuda itu bergerak-gerak secara
aneh sekali. Walaupun kedua paderi itu termasuk jago-jago silat kelas satu, tapi mereka
tak mengerti apa yang tengah dilakukan pemuda itu. Dan memang gerakan Siu-lam itu
tak menyerupai pukulan ilmu silat yang manapun juga.
Baik Tay Hui maupun Tay Ih tercengang. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara halus
yang memancar dari dalam buluh bambu: "Tay Hong sutit" Apa dalam gereja terjadi
sesuatu?" Tay Ih siansu terkejut. Setelah menggamit Tay Hui, ia segera loncat menyerbu Siu-lam
untuk menghentikan tindakan pemuda itu.
Tay Hui cepat-cepat menyahut melalui buluh bambu: "Tecu Tay Hui, mohon maaf
sebesar-besarnya karena berani mengganggu susiok berdua."
Dalam pada itu Tay Ih yang menyerbu Siu-lam tadi, telah mengalami peristiwa yang
mengejutkan. Ketika ia hampir dekat dengan pemuda itu, tiba-tiba tubuh pemuda itu
memancarkan angin tenaga yang menampar padanya. Begitu tenaga itu membentur
badannya, bukan lenyap tapi malah makin dahsyat. Terpaksa Tay Ih menangkisnya.
Siu-lam tersadar dari kelelapannya. Melihat debu memenuhi ruang, buru-buru ia
hentikan gerakannya dan minta maaf. Tetapi cepat-cepat Tay Ih memberi isyarat agar
pemuda itu jangan buka suara karena dapat mengganggu Tay Hui. Siu-lampun menurut.
Ketika memandang ke arah Tay Hui, dilihatnya pejabat ketua itu tengah bicara.
"Tay Hong suheng dengan tiga puluh enam murid, telah menuju ke Beng-gak. Ketiga
puluh enam murid tingkat hou-hwat itu binasa semua dan Tay Hong suheng tak ketahuan
nasibnya. Dalam keadaan terpaksa, tecu bermusyawarahan dengan tianglo"."
Kata-kata Tay Hui itu tak dilanjutkan karena dari buluh bambu terdengar penyahutan.
Tay Ih dan Siu-lam pasang pendengaran dengan seksama.
Terdengar suara yang lembut macam nyamuk mengiang: "Ya, ketahuilah. Tengah
malam nanti bersama susiokmu, aku hendak menghentikan persemedian. Tetapi
waktunya tak boleh lebih dari dua jam. Apa yang hendak kau ajukan, tulislah semua agar
jangan ada yang kelewatan!"
"Tecu akan melaksanakan perintah," dengan khidmad Tay Hui siansu memberi hormat
lalu bangkit. Siu-lam termangu berapa saat, baru ia menanyakan apakah yang bicara tadi kedua


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paman guru kedua paderi itu.
"Benar, yang bicara tadi memang salah seorang supeh loni," jawab Tay Hui.
"Bersemedi selama tiga puluh tahun, benar-benar aneh sekali. Jika tak menyaksikan
sendiri, tentu tak mungkin percaya," kata Siu-lam.
Tay Hui mengajak mereka keluar. Setelah berada di luar, pejabat ketua Siau-lim-si itu
menghela napas: "Sebelum mendapat jawaban tadi loni memang tak yakin. Sebelum
pergi ke Beng-gak, setiap tiga tahun sekali Tay Hong suheng tentu datang kemari. Kecuali
mengajak Tay Ih suheng, ada kalanya, lonipun diajak kemari"."
"Apakah setiap kali juga menggunakan buluh bambu untuk bicara?" tanya Siu-lam.
Tay Hui gelengkan kepala: "Tidak, karena pada waktu itu ada kera putih yang menjadi
penghubung. Dengan otaknya yang luar biasa cerdasnya, Tay Hong siansu telah dapat
menyelami gerak-gerik dan bahasa kera putih itu. Dengan perantara kera putih itulah
maka Tay Hong suheng dapat mengetahui keadaan kedua paman guru kami. Pun tadi
kami hendak berbuat begitu, sayang kera putih itu sudah tewas."
Demikian mereka bertiga segera kembali ke dalam induk gereja. Sebelumnya Tay Hui
telah memerintahkan supaya di sekeliling pondok pertapaan kedua paman gurunya itu
dijaga keras. Hal itu untuk menghadapi kemungkinan musuh menyerbu agar jangan
sampai mengganggu kedua paman gurunya.
Tay Ih mempersilahkan Siu-lam beristirahat dan nanti tengah malam supaya datang ke
ruang Kwat-si-wan lagi. Karena pakaian Siu-lam kotor, ia minta pinjam jubah paderi. Tetapi Tay Hui keberatan.
Ia suruh seorang paderi kecil membawa Siu-lam ke sebuah desa yang terletak di belakang
gereja. Di situ terdapat beberapa perumahan rakyat dan anak sungai.
Tiba di sebuah rumah, tiba-tiba seorang gadis muncul dan menegurnya: "Siapa kau"!"
Gadis itu berusia lebih kurang delapan belas tahun. Mengenakan baju pendek warna
biru, rambutnya dikuncir panjang dan sedang mencekal jarum dan benang. Rupanya ia
sedang menjahit. Walaupun seorang gadis gunung tetapi ia tidak pemalu. Begitu memikat Siu-lam,
segera ia menegurnya: "Tuan tentu datang dari jauh, apakah tidak lapar?"
Siu-lam geleng kepala dan menanyakan ayah gadis itu. Rupanya gadis itu pernah
menerima pelajaran sastra. Ia mengerti akan pertanyaan Siu-lam yang menggunakan
bahasa halus. "Ayah sedang mencari kayu, adikku sedang menggembala. Jika tuan membutuhkan
apa-apa, silahkan bilang kepadaku," sahutnya.
"Terima kasih aku tak berani merepotkan nona. Lebih baik aku hendak bertanya pada
rumah di seberang itu," jawab Siu-lam seraya ngeloyor pergi.
Melihat gerak-gerik pemuda itu, si gadis tersenyum dan menggerutu: "Ah, seorang kutu
buku!" Siu-lam tak menghiraukan dan terus menghampiri ke gubuk yang satu. Kemudian ia
berseru nyaring minta buka pintu.
Dari dalam gubuk muncul seorang wanita muda yang cantik. Siu-lam tercengang dan
diam-diam mengeluh. Tetapi karena terlanjur sudah mengetuk pintu, terpaksa ia bertanya
juga: "Tolong tanya, apakah ayah nona berada di rumah?"
Gadis itu gelengkan kepala, tertawa: "Rumahku di gunung itu. Di sini rumah bibiku!"
Kembali Siu-lam mengulang pertanyaan, apakah ada lain orang lagi di rumah situ.
Gadis itu tertawa: "Di dusun daerah gunung yang sepi, penghidupan amat sederhana
sekali. Siang hari orang lelaki keluar bekerja. Ah, tuan datang terlalu pagi."
Siu-lam tak mau terlibat dalam pembicaraan lebih panjang lagi. Segera ia minta diri.
Tetapi gadis itu mendesaknya: "Eh, tuan mempunyai keperluan apa?"
Terpaksa Siu-lam menerangkan maksudnya hendak pinjam pakaian. Kalau disetujui, ia
bersedia mengganti kerugian dengan uang.
"Ah, di tempat terpencil ini, uang tidak berguna lagi. Sekalipun tuan punya banyak
uang aku tak berani menerima!" sahut gadis itu.
Siu-lam terkesiap. Diam-diam ia membatin, ucapan gadis itu makin lama makin tajam.
Tentulah bukan sembarang wanita. Ia minta maaf dan buru-buru pergi.
"Tunggu tuan!" tiba-tiba wanita itu berseru, "Akan kuambilkan barang itu!"
Tanpa menunggu penyahutan Siu-lam, gadis itu terus masuk ke dalam dan berapa
lama muncul membawa sebuah bungkusan putih lalu dilemparkan ke arah Siu-lam: "Harap
tuan terima!" Siu-lam hendak menghaturkan terima kasih tetapi wanita itu sudah berputar diri dan
masuk ke dalam lagi, lalu menutup pintu. Siu-lam pun segera tinggalkan pondok itu.
Ketika tiba di tepi sungai barulah ia teringat akan membuka bungkusan itu. Kejutnya
bukan kepalang. Selain berisi pakaian dalam yang mahal, pun terdapat seperangkat
pakaian seorang bu-su (perwira tentara) warna hitam. Bagian dadanya disulam dengan
lukisan naga terbang. Bermula ia hendak mengembalikan saja pakaian itu kepada wanita tadi tetapi
mengingat pakaiannya sudah tak keruan, terpaksa ia memakainya juga.
Selain pakaian bu-su, pun terdapat lagi sebuah mantel warna merah dan sepasang
sepatu. Begitu memakainya, tampaklah ia lebih gagah.
"Ah, dalam pakaian itu Pui sicu tampak lebih gagah sekali?" tiba-tiba paderi kecil yang
mengantarnya tadi berseru.
Siu-lam ayun tubuhnya melompati sungai itu seraya berseru: "Ah, janganlah siau-suhu
keliwat menyanjung diriku!"
Mereka pulang ke gereja lagi. Ketika tiba di muka pintu, tiba-tiba Siu-lam berhenti dan
bertanya: "Siau-suhu, siapakah yang menempati kedua gubuk itu?"
"Mereka sudah lama tinggal di situ. Aku jarang sekali keluar gereja. Yang kuketahui
gubuk itu dihuni banyak orang. Laki-laki, wanita tua dan muda. Tetapi aku tak tahu asalusul
mereka." "Apa siau-suhu tak pernah mendengar apa yang mereka bicarakan?"
"Peraturan gereja keras sekali. Dilarang mencari dengar pembicaraan orang!"
Karena menganggap percuma mencari keterangan kepada paderi kecil itu, Siu-lam
melanjutkan langkahnya masuk gereja. Karena diperlakukan sebagai seorang tetamu
terhormat, kawanan paderi Siau-lim-si menaruh hormat kepadanya.
Paderi kecil itu membawa Siu-lam ke sebuah ruang. Penunggu dan mempersilahkannya
beristirahat. "Jika perlu apa-apa, harap Pui sicu memanggil pinceng," kata paderi kecil itu seraya
melangkah keluar. Saat itu pikiran Siu-lam sedang dicurahkan pada peristiwa nanti malam. Ialah akan
keluarnya kedua tokoh angkatan tua Siau-lim-si dari persemedhiannya yang sudah
berlangsung tiga puluh tahun. Tetapi ia bukan anak murid Siau-lim-si. Tentu tak
diperbolehkan menemui. Apa boleh buat, dalam saat ketenggangan itu, ia gunakan untuk bersemedhi. Dalam
kelelapan mengosongkan pikiran itu, ia mulai merenungkan gerakan-gerakan ilmu pedang
Jiau-toh-co-hua ajaran kakek dari Hian-song yang sakti itu.
Hari makin kelam. Entah berapa lama ia terbenam dalam persemedhiannya itu, tibatiba
ia dikejutkan oleh suara orang berdoa. Ia terkejut dan serentak bangun.
Didapatinya Tay Hui siansu tegak di sampingnya, dengan wajah ramah, paderi itu
tertawa: "Apa saja yang meresahkan pikiran Pui sicu sehingga tak sempat makan malam?"
Dalam hati Siu-lam menggerutu, dalam semedinya tadi ia tak berhasil mengingat jurusjurus
ilmu pedang Jiau-toh-co-hua. Mengatakan hal itu kepada Tay Hui, pun percuma
saja. Maka ia menyahut sembarang mengatakan bahwa ia memikirkan tentang orangorang
yang tinggal di pondok di belakang gereja itu.
"Apakah pakaian yang sicu kenakan itu pemberian mereka?"
Siu-lam mengiyakan: "Benar, jika orang dusun, tentu tak mungkin memiliki pakaian
begini!" Jawab Tay Hui: "Memang mereka bukan orang dusun biasa, tentu mereka sudah
berpuluh tahun tinggal di situ dan hidup dengan tenang."
"Apakah mereka orang-orang persilatan?"
"Dahulu mereka memang bersahabat dengan para angkatan tua gereja ini. Berpuluhpuluh
tahun tak terjadi suatu apa. Sebagai orang agama, kami tak mau mencampuri lain
orang, menyelidiki asal-usul mereka!"
Siu-lam mengatakan bahwa ia hanya sekedar saja. Kemudian pejabat ketua Siau-lim-si
itu menerangkan bahwa setelah berunding dengan beberapa suheng dan sutenya, Siu-lam
hendak diundang menghadiri pertemuan dengan tokoh tua nanti malam.
Siu-lam girang sekali. "Sebenarnya loni tak berani mengganggu sicu. Tetapi untuk menjaga kemungkinan
keterangan loni ada yang kurang lengkap, maka dapatlah sicu menambahinya"."
Maka berangkatlah Tay Hui dengan Siu-lam menuju ke paseban di padang rumput.
Penjagaan dilakukan ketat sekali. Setiap lima langkah terdapat penjagaan dan tiap
sepuluh langkah sebuah pos penjagaan. Semua paderi bersenjata lengkap seolah-olah
sedang menunggu kedatangan musuh.
Tay Hui memelopori berjalan masuk ke dalam paseban yang dikelilingi pagar bambu.
Di sekeliling ruang paseban itu penuh dengan paderi Siau-lim-si, dari tingkat ketua-ketua
paseban, para tianglo, yang menjabat pemilik gereja dan paderi-paderi yang
berkedudukan tinggi dalam gereja.
Yang duduk di sebelah muka ialah Tay Ih siansu. Tay To siansu berada di
belakangnya. Begitu melihat kedatangan Tay Hui bersama Siu-lam, sekalian paderi itu
hanya memberi salam anggukan kepala. Tetapi mereka tetap duduk bersila di tanah.
Setelah menunjuk tempat bagi Siu-lam, Tay Hui siansupun segera duduk di sebelah Tay
Ih. Suasana di sekeliling pondok yang lebih tepat disebut sanggar pemujaan (tempat
bertapa) itu, hening lelap. Jendela dari sanggar itu tetap terkancing rapat. Dalam
kepekatan malam, kera putih yang duduk bersila di atas dahan pohon itu, makin jelas.
Menengadah ke langit, Siu-lam melihat bintang-bintang sudah berkisar, pertanda sudah
lewat tengah malam. Berpaling ke arah kawanan paderi, dilihatnya wajah mereka tampak
serius. Bibir bergetar-getar seperti sedang berdoa.
Tak berapa lama kemudian tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis perlahan.
Sekalian paderipun mulai membuka mata. Beratus-ratus mata mencurahkan ke arah
sanggar itu. Pada lain saat, terdengar suara orang menyebut O-mi-to-hud yang halus. Menyusul
terdengar lengking suara macam bunyi nyamuk mengaung di telinga: "Tay Hui sutit!"
Tay Hui siansu serentak berbangkit dan memberi hormat, serunya: "Tecu Tay Hui,
bersama sekalian kepala paseban dan para tianglo, berkunjung menghadap supeh dan
susiok!" Dengan tundukkan kepala, Tay Hui siansu melangkah menghampiri sanggar. Semua
paderipun mengikuti tindakan pemimpin mereka. Siu-lam berada paling belakang sendiri,
mengikuti Tay To siansu. Tiba di muka pintu, Tay Hui siansu berhenti dan berseru perlahan: "Ijinkanlah tecu
masuk." "Masuklah!" terdengar penyahutan perlahan dari dalam sanggar.
Dengan hati-hati, Tay Hui melangkah ke dalam sanggar. Sekalian paderipun
mengikutinya dengan langkah yang perlahan sekali sehingga tak menimbulkan suara.
Ruang sanggar itu gelap gulita.
Siu-lam memandang dengan seksama. Tampak dua orang lelaki tua duduk bersila
menyender pada dinding tembok ruangan. Yang seorang berambut putih seperti salju,
menjulai panjang. Yang seorang berkepala gundul tetapi memelihara jenggot panjang
yang masih hitam. Sayang karena ruangan gelap sekali, maka tak dapat melihat wajah
mereka dengan jelas. Adalah orang tua berambut putih yang buka mulut lebih dahulu: "Silahkan kalian
duduk!" Tersipu-sipu sekalian paderi itu membungkuk memberi hormat lalu duduk di lantai.
Lalu orang tua berkepala gundul mulai berkata: "Bagaimana dengan Tay Hong sutit?"
"Sampai saat ini belum ada beritanya," sahut Tay Hui.
Orang tua berambu putih itu menghela napas pelahan: "Sebelum mulai bertapa, loni
pernah bersama Tay Hong sutit membicarakan soal ilmu pelajaran Buddha. Antaranya dia
menanyakan tentang keadaan dunia persilatan selama berpuluh-puluh tahun ini. Pada
saat itu dunia persilatan sedang digemparkan oleh desas-desus tentang munculnya tokoh
sakti Lo Hian. Loni gelisah mendengar cerita itu. Lo Hian cinjin seorang tokoh aneh yang
termasyhur sakti sekali, tetapi segala desas desus tentang dirinya itu, belum pernah ada
orang yang dapat membuktikan."
Orang tua berambut putih berhenti sejenak, lalu berkata pula: "Bermaksud hendak
meremehkan tokoh-tokoh angkatan tua, tetapi karena kuatir dia hendak menggunakan
kesaktiannya untuk menundukkan dunia, maka loni telah gunakan waktu delapan tahun
mengembara kemana-mana mencarinya. Loni ingin sekali bertemu muka. Tapi sayang,
tiada berhasil"."
Tampak paderi tua itu merasa menyesal atas kegagalannya. Ia menghela napa
pelahan, ujarnya: "Jika dia tak mengetahui tindakannya itu masih tak mengapa. Tapi jelas
dia tahu bagaimana aku bolak-balik menjelajah gunung dan hutan belantara hanya perlu
untuk menemuinya. Tetapi rupanya dia memang sengaja tak mau menemui aku"."
Sebagai seorang paderi angkatan tua yang tinggi kedudukannya, paderi berambut putih
itu sangat dihormati sekali oleh sekalian murid Siau-lim-si. Sekalipun ucapan tadi belum
selesai, namun tiada seorangpun yang berani bertanya.
Tiba-tiba Siu-lam yang tak kuat menahan keinginan tahu, serentak bertanya:
"Bagaimana lo-cianpwe mengetahui bahwa Lo Hian cinjin sengaja tak mau menjumpai locianpwe?"
Agaknya paderi tua berambut putih itu tengah merenungkan peristiwa yang lampau.
Dia tak mengacuhkan pertanyaan Siu-lam.
Beberapa saat kemudian baru ia kedengaran berkata: "Kalau tak salah, telah
kutemukan sebuah tulisan di atas batu karang di gunung Kiu-hoa-san. Tulisan itu
berbunyi menganjurkan aku supaya pulang ke gereja saja. Percuma aku membuang
waktu dan tenaga berjerih payah mengembara kemana-mana. Sekalipun berpuluh-puluh
gunung kudatangi, tak nanti dapat menemuinya." Begitulah isi tulisan di karang itu. Dan
jelas bahwa tulisan itu belum lama dibuat. Timbul seketika dugaanku, jika tak berada di
sekeliling situ, mustahil dia dapat mengetahui aku bakal datang ke situ?"
Tiba-tiba Siu-lam nyeletuk: "Wanpwe pernah dengar tentang munculnya Lo Hian pada
lima-enam puluh tahun yang lalu. Jika lo-cianpwe mencari jejaknya pada tiga puluhan
tahun yang lalu, apakah Lo Hian masih hidup?"
Paderi tua itu menghela napas pelahan: "Jika perkiraan loni tak salah, Lo Hian sampai
sekarangpun masih hidup!"
Ucapan itu membuat sekalian hadirin terperanjat.
Paderi tua itu melanjutkan kata-katanya lebih jauh: "Sama sekali aku tak bermaksud
membuat orang terkejut. Tetapi tentang masih hidupnya Lo Hian itu, pun baru saja timbul
dalam pikiranku!" Peristiwa tiga puluh tahun yang lalu, baru saja dia dapat menarik kesimpulan. Sudah
tentu kejut sekalian hadirin makin membesar. Untung karena hadirin di situ seluruhnya
paderi murid-murid Siau-lim-si (kecuali Siu-lam), maka merekapun tak menganggap paderi
berambut putih itu sedang mengoceh. Walaupun heran tetapi para paderi itu tak berani
bertanya. Siu-lam memandang ke sekeliling. Ia tahun bahwa hadirin yang berada dalam sanggar
itu adalah paderi-paderi murid Siau-lim-si semua. Paderi berambut putih itu, dewasa ini
merupakan tokoh angkatan tua yang paling tinggi kedudukannya. Ketua Siau-lim-si yang
sekarang adalah murid keponakannya.
Siu-lam mempunyai kesan bahwa sekalipun janggal ucapannya tetapi para paderi itu
tak berani bertanya. Diam-diam ia membatin dan mengambil keputusan untuk bertindak.
Hanya saja dialah yang dapat bertindak bebas dari segala rasa takut yang mengindahkan.
Setelah berbatuk-batuk sejenak, berserulah ia dengan nyaring: "Lo-cianpwe, maafkan
atas kelancangan wanpwe. Apakah peristiwa yang berlangsung pada tiga puluh tahun
berselang, baru sekarang lo-cianpwe dapat menarik kesimpulan?"
"Benar, memang peristiwa tiga puluh tahun yang lalu itu baru sekarang aku terang.
Selama tiga puluh tahun itu, aku selalu menimpahkan kesalahan pada Lo Hian saja!"
"Maaf, sudilah kiranya lo-cianpwe suka memberi penjelasan yang jelas!"
Tiba-tiba paderi tua itu kedipkan mata dan menatap ke arah Siu-lam, serunya: "Pinceng
hanya punya waktu singkat turun dari sanggar pemujaan. Pinceng tiada punya waktu
untuk bicarakan hal-hal yang tak penting. Mengapa sicu terus-menerus mendesak saja"
Tindakan sicu itu mengganggu pemusatan pikiran pinceng dalam merenungkan peristiwa
tiga puluh tahun itu."
Paderi tua itu menghela napas dan menukas kata-kata Siu-lam: "Pada saat melihat
tulisan itu, loni marah sekali. Dalam kemarahan loni terus pulang ke gereja, tak mau
menghiraukannya lagi. Bersama sute, loni lalu bertapa selama tiga puluh tahun. Bermula
loni kuatir tak dapat melaksanakan rencana itu. Karena sejak dahulu, para paderi
angkatan tua, paling lama hanya kuat bertapa sampai sepuluh tahun saja."
"Ikrar loni untuk bertapa sampai tiga puluh tahun itu, sebagian besar disebabkan
karena kemarahan loni terhadap Lo Hian. Loni hendk gunakan waktu bertapa tiga puluh
tahun itu untuk meyakinkan ketujuh puluh dua ilmu kesaktian Siau-lim-si. Selesai bertapa,
loni hendak menantang Lo Hian untuk mengadu kesaktian."
"Tetapi, ah, setelah bertapa selama tiga puluh tahun, dendam perasaan loni ternyata
lenyap. Cita-cita untuk berebut nama, menjadi reda. Tetapi hasil dari pada pertapaan itu,
loni makin menyerapi lebih dalam akan ilmu kesaktian pusaka gereja Siau-lim-si"."
Kini tahulah Siu-lam apa sebab paderi tua itu bertekad untuk bertapa selama tiga puluh
tahun. Paderi tua itu berkata pula: "Sejak masuk dalam pertapaan, loni tak tahu lagi tentang
segala perubahan yang terjadi di dunia persilatan. Tetapi yang jelas hanya tokoh yang
memiliki kesaktian semacam Lo Hian saja yang mampu mengalahkan Tay Hong sutit.
Andaikata bukan Lo Hian sendiripun tentulah murid yang menjadi pewarisnya"."
"Lo-siansu menebak jitu sekali. Ketua Beng-gak adalah murid pewarisnya Lo Hian!"
seru Siu-lam. Tay Hui melihat bintang-bintang di langit sudah mulai condong, pertanda hari sudah
menjelang terang tanah. Buru-buru ia berseru: "Tay Hong suheng terjebak di Beng-gak,
memang sesungguhnya. Tecu amat gelisah sekali karena peristiwa itu, mohon supeh suka
memberi petunjuk bagaimana untuk menyelesaikan peristiwa."
Paderi tua yang gundul tampak merenung. Beberapa saat kemudian, baru ia berkata:


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika ketua Beng-gak itu benar-benar murid Lo Hian maka Lo Hian telah mengabaikan
sifat-sifat manusia. Dia hanya suka pada bakat tetapi lupa bahwa sifat pembawaan
manusia itu sukar dirubah. Loni benar-benar ingin bertemu muka dengan orang sakti itu
untuk tukar pikiran"."
Paderi gundul merasa kelepasan omong. Ia berhenti dan berganti nada: "Tay Hong
sutit merupakan bunga kebanggaan Siau-lim-si. Selain berbakat bagus, cerdas dan
bijaksana pun seorang yang memegang teguh keadilan dan kebenaran. Dapat menarik
garis tajam antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Di samping itu,
dia merupakan bintang cemerlang dari Siau-lim-si. Tiada seorang pun yang mampu
menandingi kepandaian dan kesaktiannya!"
Paderi gundul yang jarang bicara, tiba-tiba menyeletuk: "Yang sedang kita hadapi
sekarang, rupanya bukan lagi soal hilangnya jejak Tay Hong sutit, tapi ancaman dari pihak
Beng-gak akan menggempur gereja Siau-lim-si?"
"Benar," sahut Tay Hui siansu, "tecu benar-benar kehilangan paham untuk mengawasi
hal itu. Sedang Tay Hong suheng yang begitu sakti, hilang lenyap di Beng-gak, apalagi
tecu yang lebih rendah kepandaiannya. Benar-benar tecu tak sanggup memikul beban
yang seberat ini!" Paderi gundul itu berpaling dan berbisik-bisik kepada paderi tua berambut putih: "Soal
Tay Hong sutit, kiranya dapat kita pertangguhkan sampai di lain waktu. Tetapi yang
penting adalah menjaga keselamatan gereja Siau-lim-si?" suara paderi itu makin perlahan
sekali sehingga sukar didengar lagi.
Paderi berambut putih itu menyahut: "Memang hal itu berbahaya sekali. Apabila dia
masih memanjakan sifat-sifatnya yang ganas, tentu hebat sekali akibatnya!"
Kata si paderi gundul: "Empat puluh tahun merupakan jangka waktu yang panjang.
Betapa ganas perangai seseorang, tetapi setelah melalui waktu sekian lama, tentulah akan
berubah lebih baik."
Tetapi rupanya paderi tua berambut putih itu menggeleng: "Siauheng menganggap
perangai seseorang itu adalah sifat pembawaannya. Sukar berubah. Cobalah kita
renungkan diri Lo Hian itu sendiri. Dia seorang yang sangat sakti tetapi karena sedikit
salah langkah dia harus menemui keakhiran hidup yang menggenaskan!"
"Kecuali itu, apakah suheng mempunyai rencana untuk mempertahankan kelangsungan
hidup dari gereja kita ini?" tanya si paderi gundul.
Sepasang mata paderi berambut putih itu berkilat-kilat beberapa saat. Akhirnya
berkatalah ia: "Sute, harap sute melanjutkan pertapaan sute sampai tercapai apa yang kita
cita-citakan itu. Biarlah suheng yang akan menanggulangi ancaman musuh itu"."
"Ah, mana bisa!" bantah paderi kepala gundul, "Suheng hampir selesai dalam
pertapaan. Dari suhenglah nantinya warisan ilmu gereja Siau-lim-si itu akan
memancarkan sinar kejayaannya kembali. Jika suheng lepaskan pertapaan, selain
menghadapi bahaya Co-hwe-jih-mo (darah dalam tubuh binal sehingga orang akan
menjadi cacad), pun akan menelantarkan ilmu kesaktian yang suheng telah capai selama
ini. Apabila suheng sampai kena apa-apa, berarti suatu kerugian besar bagi Siau-lim-si.
Akibatnya dunia persilatanpun akan menderita malapetaka. Jika suheng setuju, biarlah
sute saja yang tinggal di luar untuk menghadapi kedatangan musuh"."
Paderi rambut putih merenung sejenak, ujarnya kemudian: "Dahulu ketika toa-suheng
masih hidup, dengan seluruh kekuatan dan derita barulah toa-suheng berhasil memikat
Lam-pak-ji-koay dan mengurungnya di belakang gunung. Karena peristiwa itu maka toasuheng
sampai menderita luka berat dan akhirnya menutup mata. Jika sekarang kita
lepaskan kedua tokoh itu, bukankah kita menyalahi pesan toa-suheng. Apalagi kedua
orang yang dikurung di belakang gunung itu, belum lenyap kesaktiannya. Begitu keluar
dari kurungan, dikuatirkan sifat liar mereka akan kambuh lagi. Jika sampai terjadi begitu
di dunia persilatan siapakah yang mampu menundukkan mereka" Kesaktian mereka,
belum tentu kalah dengan orang Beng-gak!"
Seenaknya saja kedua tokoh tua Siau-lim-si itu memperbincangkan peristiwa-peristiwa
yang lampau sehingga Tay Ih dan Tay Hui tak dapat ikut dalam pembicaraan.
Paderi gundul menghela napas, ujarnya: "Ji-koay jika masih liar seperti dahulu, tak
mungkin mereka mau tahan menderita dalam tahanan selama berpuluh-puluh tahun.
Besok malam, siaute hendak menjenguk ke tempat mereka. Hendak siaute tinjau, jika
mereka sudah dapat merubah perangainya, akan siaute lepaskan. Tetapi jika mereka
masih seperti dahulu, biarlah mereka hidup dalam tahanan selama-lamanya!"
Tampaknya paderi berambut putih itu tak mau berbantah dengan sutenya lagi.
Berkatalah ia dengan berbisik: "Baiklah, tetapi sebenarnya keyakinanmu saat ini sedang
menjelang titik yang genting. Janganlah bertindak sembarangan. Dan sebaiknya engkau
pergi bersama Tay Ih sutit ke sana!"
Serta merta Tay Ih siansu memberi hormat: "Tecu akan melakukan titah supeh. Tetapi
di manakah tempat tahanan kedua Ji-koay itu?"
Paderi berambut putih tiba-tiba merogoh ke dalam bajunya dan mengeluarkan
sebungkus sutera putih: "Sutera putih ini merupakan peta tempat tahanan mereka!"
Dengan hormat Tay Ih segera menyambuti dan menyimpannya.
"Lam-pek-ji-koay, sakti sekali. Mudah-mudahan setelah ditahan selama berpuluh tahun
itu. Tetapi bukan mustahil juga, mereka bahkan akan bertambah lebih ganas lagi dari
dahulu. Mari kita harus berhati-hati menghadapinya!"
Paderi berambut putih berkata pula: "Kunci emas dalam sutera putih itu, adalah kunci
untuk membuka rantai borgolan mereka. Jika perangai mereka sudah berubah baik,
bawalah mereka ke ruang Cong-keng-lo (perpustakaan gereja). Apabila musuh datang,
biarlah mereka akan berhadapan. Empat puluh tahun yang lalu, kedua Ji-koay pada
sepuluh tahun berselang, merupakan jago nomor satu dan nomor dua di dunia persilatan.
Kalau sekarang mereka bersatu bahu-membahu, tentu takkan terkalahkan oleh siapapun
juga. Paling celakanya mereka tentu dapat bertahan diri, dapat melindungi gereja ini.
Selain itu, penjagaan kita perkuat lagi dengan barisan Lo-han-tin. Kemudian kita kerahkan
seluruh tenaga paderi Siau-lim-si lagi. Murid-murid tingkatan kelas tiga, kita pecah
menjadi sepuluh regu. Tiap regu dipimpin oleh murid golongan kelas dua. Apabila
mereka sampai terdesak, mereka harus segera mundur dan masuk ke dalam barisan Lohan-
tin. Di samping itu harus segera menyuruh salah seorang murid supaya datang
kemari dan gunakan ilmu Ki-kin-coan-im untuk memberitahukan kepadaku"."
Paderi berambut putih berhenti sejenak lalu berkata pula: "Tay Hui sutit memimpin
barisan Lo-han-tin. Barisan yang penuh dengan perubahan itu asal jangan sampai merasa
gentar dan kalut, tentu mampu menahan serangan musuh yang manapun juga. Dengan
begitu walaupun kita tak memperoleh kemenangan, tetapi pun tak sampai mengalami
kehancuran. Tentang diri Tay Hong sutit, setelah pertapaan kami berdua selesai, tentu
akan kami usahakan untuk mencarinya sampai ketemu!"
Tiba-tiba paderi tua itu kebutkan lengan jubahnya: "Nah, waktunya sudah habis. Aku
tak dapat tinggal di sini lebih lama lagi. Silahkan kalian pulang!"
Tay Hui tersipu-sipu memberi hormat. Sekalian paderi yang ikut hadirpun berlutut
memberi hormat sambil menyaksikan doa.
Saking kepingin tahu, Siu-lam melirik, lalu dilihatnya kedua paderi tua itu pelahan-lahan
bangkit dan masuk ke dalam. Tindakannya ringan jatuh ke tanah. Begitu tiba di pintu
yang berbentuk bundar, mereka tiba-tiba lenyap.
Berselang beberapa saat kemudian, barulah rombongan paderi itu berhenti berdoa.
Tay Hui bangkit, serunya: "Suheng dan sute sekalian, kedua sutiang telah masuk ke dalam
sanggar pertapaan lagi. Kitapun harus tinggalkan tempat agar jangan menggangu
ketenangan mereka." Demikian rombongan paderi Siau-lim-si itu segera tinggalkan sanggar pertapaan dan
kembali ke dalam gereja. Siu-lam yang berjalan di sebelah belakang, ketika hendak keluar
puri pintu sanggar, tiba-tiba teringat harus menutup pintu sanggar. Tetapi ketika ia
berpaling ke belakang remang-remang ia melihat sesosok bayangan melesat dari dalam
sanggar yang terletak di sebelah kanan. Saking kagetnya, hampir saja Siu-lam berteriak.
Tay To siansu yang melihat anak muda itu berhenti di ambang pintu sanggar merasa
curiga. Buru-buru ia menghampirinya: "Mengapa Pui sicu berhenti?"
Untung saat itu Siu-lam sudah pulih dari kekagetannya. Ia menyahut dengan tertawa:
"Apakah dalam sanggar pertapaan ini terdapat orang yang melayani keperluan kedua locianpwe?"
Tay To gelengkan kepala: "Menurut pengetahuan loni, di dalam sanggar itu tiada
terdapat barang seorang pelayan. Bagaimana" Apakah sicu melihat sesuatu yang
mencurigakan?" Siu-lam merenung sejenak lalu mengatakan: "Tidak, marilah, kita pergi!"
Tay Hui dan Tay To telah menyadari bahwa pemuda itu memiliki kesaktian. Tak berani
lagi mereka memandang rendah. Sekalipun agak mencurigai, tetapi mereka tak berani
mendesak lebih lanjut. Ternyata Siu-lam sendiripun kuatir kalau salah lihat sehingga menimbulkan kehebohan.
Jika sampai tak dapat menemukan bukti apa-apa, tentu akan ditertawakan. Tetapi diamdiam
ia tetap memikirkan peristiwa tadi. Setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia
berpaling dan bertanya pula: "Ah, kemungkinan sanggar pertapaan yang sedemikian
penting itu tak memerlukan penjagaan karena dapat menyinggung perasaan kedua locianpwe
tadi!" Mau tak mau Tay To timbul juga kecurigaannya terhadap anak muda yang selalu
menanyakan tentang sanggar pertapaan itu. Namun ia tak berani terang-terangan
menegurnya melainkan dengan tersenyum berkata: "Sekalipun tempat pemujaan ini
penting sekali tetapi selama berpuluh tahun tak terjadi peristiwa suatu apa hingga tak
perlu diberi penjagaan."
"Tetapi saat ini lain keadaannya, lebih baik"."
Tay To siansu tertawa: "Harap sicu jangan kuatir. Seluas seratus li dalam lingkungan
gereja ini, telah disiapkan penjagaan. Burungpun sukar untuk lolos dari sini."
Siu-lam tak mau membantah. Diam-diam ia sangsi apakah tadi tak salah lihat. Saat itu
hari sudah menjelang fajar. Bintang-bintang pagipun makin kelam. Tay Hui siansu sangat
menghormat anak muda itu. Ia sendiri bersama seorang paderi kecil mengantar Siu-lam
ke kamar istirahat dan mempersilahkan anak muda itu mengaso. Sedang ia sendiri lagi
pergi. Setelah menyulut lilin untuk penerangan, paderi kecil itupun segera pergi. Karena lelah
Siu-lam segera rebahkan diri di atas tempat tidur tanpa membuka lagi pakaiannya. Tetapi
sampai beberapa saat, matanya sukar dibawa tidur. Dia tetap mengenangkan bayangan
di sanggar pertapaan tadi.
"Jika mataku yang kabur, taka pa. Tapi jika benar ada orang yang hendak
menyelundup ke sanggar pertapaan itu, apalagi kalau orang jahat, bukankah hebat
akibatnya" Sekalipun aku ditertawakan, tapi aku tetap tak dapat berpeluk tangan
membiarkan hal itu terjadi!"
Ia terus keluar menuju ke kamar Tay Hui siansu. Maksudnya hendak menceritakan
peristiwa itu. Malam sudah larut sekali. Para paderipun sudah tidur. Gereja Siau-lim-si seolah-olah
tenggelam dalam laut kesunyian.
Tiba di kamar pejabat ketua Siau-lim-si, nyata Tay Hui siansu sudah tidur. Siu-lam
bersangsi sejenak akhirnya diketuknya juga pintu ketua Siau-lim-si.
Tetapi tiada penyahutan suatu apa. Siu-lam batuk-batuk sejenak, lalu berseru: "Losiansu,
apakah lo-siansu sudah tidur?"
Tetapi kamar tetap sunyi. Terang kalau ketua Siau-lim-si itu tak ada dalam ruang itu.
Tak mungkin seorang tokoh seperti Tay Hui sampai terlelap dalam tidur nyenyak.
Diam-diam Siu-lam menyesal tak menceritakan terus terang saja tentang bayangan
dalam sanggar pemujaan. Andaikata ia salah lihat, paling-paling hanya ditertawakan saja.
Karena selain Tay Hui siansu, ia tak tahu letak kamar paderi yang lainnya. Dan pada saat
tengah malam seperti itu, tak dapat ia berkeliaran kemana-mana.
Siu-lam makin gelisah. Jika tak lekas bertindak, ia kuatir akan terjadi peristiwa yang
hebat. Buru-buru ia pergi ke sanggar yang dikelilingi pagar bambu tadi.
Seorang paderi telah menghadang jalan. Karena tiada waktu untuk memberi
penjelasan lagi, Siu-lam enjot tubuhnya melompati pagar itu.
Krak" ternyata pagar bambu itu sudah banyak yang sudah lapuk. Terinjak kaki,
bambu remuk dan Siu-lam ikut meluncur ke bawah. Untung ia cepat-cepat empos
tenaganya dan bergeliatan berdiri tegak di tanah.
Memandang ke muka, tampak ketiga sanggar pertapaan itu terkancing rapat dan tak
kelihatan tanda-tanda yang mencurigakan. Diam-diam Siu-lam mengeluh, barangkali tadi
ia sudah salah lihat. Tetapi serentak dengan itu, terlintas dalam ingatannya bagaimana Tay To tadi
mengatakan bahwa daerah seluas seratus tombak di sekeliling gereja Siau-lim-si
merupakan daerah terlarang. Daerah seluas itu telah dijaga keras. Mengapa sekarang ia
tak melihat barang seorang penjaga sama sekali"
Tetapi ah" ia mempunyai pikiran lain. Kemungkinan penjagaan paderi Siau-lim-si itu
diatur secara bersembunyi sehingga dia dibiarkan saja masuk ke dalam lingkungan
sanggar pertapaan. Memikir sampai di situ, Siu-lam memutuskan lebih baik ia lekas-lekas angkat kaki. Tapi
baru melangkah beberapa tindak, ia kembali mempunyai lain pikiran. "Ah, karena sudah
terlanjur datang kemari, mengapa aku cepat-cepat" Lebih baik kuselidiki di sekeliling
sanggar pertapaan ini agar kecurigaanku tentang bayangan orang tadi dapat dibuktikan
benar atau tidak!" Ia batal pergi lalu lari menuju ke sanggar di sebelah kanan.
Sanggar itu sebuah bangunan terdiri dari tiga buah ruang. Sebuah dengan sanggar di
tengah. Hanya bedanya, pintu di sanggar itu dikunci rapat.
"Kalau memasuki sanggar ini, terpaksa harus kurusak kuncinya," pikir Siu-lam. Tapi
ketika hendak menjamah pintu, ia tarik kembali tangannya. Ia menuju ke jendela
samping. Sekali dorong daun jendela terbuka. Debu berhamburan keluar. Melongok ke
dalam, keadaan ruang gelap sekali.
"Entah apa yang tersembunyi dalam kamar ini. Kalau kumasuki entah bagaimana
akibatnya," pikirnya. Sekalipun menyadari bahwa memasuki ruang itu kurang benar,
tetapi dia gelisah memikirkan bayangan orang tadi.
Akhirnya ia memutuskan loncat masuk. Karena sudah berpengalaman waktu masuk ke
sanggar di tengah, maka waktu melompat ia menutup pernapasannya. Wut" belum
kakinya menginjak lantai, serangkum angin keras melandanya. Buru-buru ia
menyongsong dengan tinju. Dar" ia tersurut mundur beberapa langkah".
Rupanya setelah mendapat angin, penyerang di dalam kamar itu melanjutkan lagi.
Beberapa pukulan telah dilancarkan bertubi-tubi"..
Sambil menangkis, Siu-lam berteriak menegur: "Hai, siapa itu" Mengapa masuk ke
daerah gereja Siau-lim-si yang terlarang?"
Teriakan itu menyebabkan orang hentikan serangannya. Karena gelap, Siu-lam tak
dapat melihat jelas siapa penyerangnya itu. Tiba-tiba sesosok bayangan melesat keluar.
Tampak muka orang itu ditutup dengan kain kerudung hitam.
Siu-lam pun cepat loncat dan menunggu di luar. Begitu tiba di ambang pintu, orang
itupun menyingkap kain kerudungnya dan ah" ternyata Tay Ih siansu.
"Oh, maaf, kiranya lo-siansu. Maka tak heran kalau aku tak kuat menahan pukulan
tadi," kata Siu-lam.
Paderi itu memandang Siu-lam dengan tajam, tegurnya: "Mengapa tengah malam buta
sicu datang kemari?"
Siu-lam memberi hormat: "Ah, lo-siansu salah paham."
"Jika loni salah paham, tak nanti loni hentikan serangan tadi!"
"Mungkin lo-siansu telah mendengar ucapan Tay To siansu bahwa malam ini mungkin
akan datang kemari untuk menyelidiki?"
"Betapapun halnya, jika sicu tak dapat menerangkan maksud kedatangan sicu, mungkin
sukar untuk menghilangkan kecurigaanku?" paderi itu berhenti sejenak, lalu berkata pula:
"Terus terang saja, dalam ketiga sanggar ini memang sudah dijaga. Tay Hui sute berada
di sanggar yang di tengah"."
"Ah, kalau tahu para siansu sudah mengadakan penjagaan seketat ini, tentu takkan
datang ke sini." Tay Ih siansu berkata dingin: "Untung sicu masuk ke sanggar sebelah kanan, jika
masuk sanggar di tengah, dikuatirkan sicu tentu sudah hancur."
Melihat nada dan sikap paderi itu, Siu-lam tahu kalau orang sudah salah paham. Ia
segera tertawa: "Ah, lo-siansu salah paham. Maksud wanpwe hanya mengatakan bahwa
kalau tahu penjagaan di sini sudah ketat, tak perlu wanpwe gelisah lagi"."
Kemudian ia menceritakan apa yang dilihatnya. Paderi itu kerutkan alis dan merenung
sejenak, katanya: "Jika sicu tadi mengatakan kepada Tay Hui sute, tentu takkan terjadi
kesalahan paham begini."
Siu-lam mendapat kesan bahwa Tay Ih siansu tetap belum percaya penuh atas
keterangannya. Ia menghela napas pelahan: "Karena melihat bayangan itu di waktu
malam sehingga aku belum yakin, maka aku kuatir kalau membikin kacau para siansu
saja. Apalagi selama bicara dengan Tay To siansu, siansu tak pernah memberitahukan
bahwa di sekitar sanggar ini sudah diadakan penjagaan keras"."
"Sekalipun begitu, mengapa Pui sicu datang seorang diri kemari?"
Jawab Siu-lam: "Makin lama wanpwe makin cemas memikirkan bayangan itu. Biarlah
wanpwe ditertawai, pokok wanpwe harus membuktikan kebenaran hal itu demi untuk
keselamatan kedua lo-cianpwe di sini!"
"Sekalipun keterangan sicu cukup lancer tetap masih sukar dapat diterima penuh."
Karena segala keterangan dan penjelasan tetap belum diakui, akhirnya marah juga Siulam.
Sambil memberi hormat ia minta diri. Tetapi baru berjalan beberapa langkah,
kemudian ia berhenti dan berpaling: "Apakah lo-siansu sudah menyelidiki keadaan ketiga
sanggar ini?" Tay Ih siansu menyahut dingin: "Tak usah sicu banyak pikiran, kami sudah
mengadakan penyelidikan yang teliti. Tetapi tak dapat menemukan sesuatu hal yang
mencurigakan." Siu-lam menengadah ke udara dan berkata seorang diri: "Ah, kemungkinan aku
memang salah lihat tadi"."
"Atau kami yang banyak curiga," Tay Ih siansu menyanggapi.
Mendadak Siu-lam mengerut serius: "Tetapi ternyata semuanya sudah jelas. Ya,
wanpwe tidak mungkin salah lihat lagi!"
Tay Ih siansu mempersilahkan supaya pemuda itu lekas kembali beristirahat di
kamarnya. Siu-lam menurut. Ketika melalui pohon tempat kera putih (yang sudah mati) duduk di


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas dahannya, tiba-tiba Siu-lam menangkap suara ketawa halus yang melengking
menyusup ke dalam telinganya. Nadanya seperti suara tertawa yang tertahan.
Siu-lam berhenti dan memandang ke atas. Tampak kera yang sudah menjadi mayat itu
terduduk di dahan. Karena di sekelilingnya penuh dengan daun lebat, maka ia tak dapat
melihat apa-apa lagi. Melihat pemuda itu berhenti pada pohon tempat pertapaan kera putih, Tay Ih siansu
marah. "Di atas pohon siong itu terdapat kera piaraan gereja kami yang sudah mukswa. Pui
sicu?" sambil berkata, ia bergegas menghampiri.
Beberapa kali Siu-lam telah menerima kata-kata yang getas dari paderi itu. Diam-diam
ia mengkal. Kini ia mendapat kesempatan untuk menghamburkan isi hatinya: "Sayang
sekali beberapa pasang mata tetapi tak dapat melihat barang. Jelas musuh bersembunyi
di atas pohon siong. Mengapa para ko-chiu di Siau-lim-si tidak mampu mengetahuinya"."
"Apa?" Tay Ih siansu serentak tertegun kaget, "Di atas pohon itu terdapat musuh?"
Karena sudah terlanjur berkata, terpaksa Siu-lam mempertahankan: "Ya, benar".
Memang di dalam daun pohon yang lebat itu terdapat musuh tangguh."
"Loni tak percaya!" serentak Tay Ih siansu enjot tubuhnya melayang ke atas dahan
pohon itu. Sambil memandang gerakan paderi Siau-lim-si itu, diam-diam Siu-lam resah pikirannya.
Ya, jika lengking suara tadi bukan suara tertawa orang, kalau di dalam gerumbul daun
pohon itu tiada barang seorang musuh, bukankah salah paham terhadap dirinya akan lebih
mendalam". Tepat pada saat itu, terdengar suara orang napas tertahan. Rupanya Tay Ih siansu
telah menderita tekanan tenaga dahsyat dan menyusul paderi itu meluncur turun. Dari
gerak turunnya yang laju sekali, jelas kalau paderi itu telah kehilangan keseimbangan
tubuhnya". Melihat itu Siu-lam cepat-cepat loncat menyanggapi tubuh paderi itu. Kemudian
bertanya dengan perlahan: "Apakah lo-siansu menderita serangan musuh?"
Tay Ih siansu menghela napas dan berdiri. Wajahnya menampil kerut penyesalan,
ujarnya: "Loni telah keliru menyangka kepada sicu. Memang benar di atas dahan pohon
itu terdapat musuh yang tangguh. Karena tak berjaga-jaga tadi Loni telah terhantam oleh
pukulannya sehingga tak dapat bernapas dan terluncur jatuh"."
Tampak wajah paderi itu mengerut. Rupanya ia telah menderita luka dalam.
Siu-lam berbisik: "Harap lo-siansu beristirahat dulu. Biarlah aku yang
menghadapinya"."
"Harap sicu jangan bertempur di atas pohon itu agar jangan sampai merusakkan tubuh
kera putih itu," cegah Tay Ih.
Siu-lam mengangguk. Sambil melindungi tubuh dengan saluran tenaga dalam, ia
melambung ke atas pohon. Tetapi baru kaki akan menyentuh dahan, tiba-tiba ia merasa
dilanda oleh gelombang tenaga yang amat dahsyat sekali. Asalnya dari gerumbul daun
yang lebat. Karena sudah bersiap maka Siu-lam segera menangkis. Tetapi karena masih melayang
di atas dahan, ia tak mampu mengerahkan seluruh tenaganya. Begitu terjadi benturan
tenaga, Siu-lam rasa jantungnya tergetar keras dan tubuhnya terpental beberapa langkah,
kemudian meluncur jatuh ke bawah lagi".
Melihat itu, walaupun dirinya belum sembuh, Tay Ih bergegas-gegas menghampiri:
"Apakah Pui sicu terluka?"
"Masih untung sebelumnya aku sudah berjaga-jaga dulu. Tetapi agaknya musuh lebih
sakti dari aku. Dia dapat menggetarkan jantungku!"
Mereka berdua memandang lekat-lekat pada pohon siong itu. Takut kalau-kalau musuh
itu menyelinap pergi. Tay Ih mempunyai kesan baik terhadap pemuda itu karena sikapnya yang terus terang.
Berani mengakui kalau musuh lebih tinggi kepandaiannya.
"Dengan bersembunyi di atas pohon, dia mempunyai kedudukan yang lebih baik dari
kita," kata Tay Ih, "Tetapi bahwasanya dia mampu menyelundup ke dalam penjagaan
Siau-lim-si yang sangat ketat, menunjukkan bahwa orang itu selain sakti, pun juga cerdik
sekali. Tetapi bagaimanapun juga dia tak boleh lolos dari sini"."
"Maksud lo-siansu?" belum Siu-lam menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Tay Ih
siansu bertepuk tangan tiga kali.
Dari semak-semak rumput di sekeliling pagar bambu, muncul tujuh-delapan belas
paderi berpakaian hitam. Ada yang mencekal tongkat sian-ciang, ada yang gelap,
memang mereka sukar dilihatnya.
Saat itu baru Siu-lam tahu bahwa di sekeliling sanggar pertapaan tersebut, ternyata
setiap pohon, setiap gundukan tanah penuh dengan anak murid Siau-lim-si.
Tay Ih berkata pelahan-lahan kepada rombongan paderi itu: "Di atas pohon siong itu,
terdapat musuh yang lihay. Kepunglah pohon itu dengan ketat. Tak perlu menyerang,
cukup asal menjaga jangan sampai dia mampu lolos."
Walaupun heran, tetapi kawanan paderi itu melakukan perintah juga. Mereka segera
mengepung pohon siong itu dengan rapat.
Rupanya Tay Ih hendak mengepung musuh itu sampai nanti terang tanah. Di samping
itu Tay Ih hendak mengumpulkan seluruh ko-chiu Siau-li-si untuk menangkap musuh itu.
Apabila pagi tiba, tentu sukarlah musuh hendak melarikan diri.
Pada saat itu berdatanganlah paderi-paderi angkatan Tay (saudara seperguruan dan
setingkat dengan Tay Ih, Tay Hui dan lain-lain). Di antaranya terdapat Tay To siansu, Tay
Goan dan Tay Teng yang menjabat sebagai pemilik gereja.
Tay Goan siansu melangkah maju ke dekat Tay Ih, bisiknya pelahan: "Orang kita sudah
cukup jumlahnya. Betapapun saktinya musuh, namun tak mudah lolos dari sergapan kita.
Lebih baik kita segera bertindak saja."
Tiba-tiba Tay Ih siansu gerakkan tangan kanan. Dua butir Bok-liam-cu atau biji-biji
tasbih, meluncur ke arah pohon siong. Cres, cres" terdengar bunyi macam kerikil
menyusup ke dalam lautan pasir".
Jilid 22 MELIHAT ITU, Tay Ih tertawa dingin: "Jikalau tidak dengan cara menyamar lalu
menyelundup masuk ke sini, orang itu tentu sudah menyelidiki sampai paham betul
keadaan gereja ini!"
Berhenti sejenak, kembali paderi sakti itu berkata pula: "Kalau dugaanku tak salah,
rupanya mereka telah memilih pohon siong itu untuk tempat bersembunyi. Mereka
mengenakan pakaian yang sewarna dengan daun sehingga pada malam hari, tak mudah
dilihat orang"."
Lantang sekali Tay Ih mengucapkan kata-katanya itu seperti sengaja agar musuh
mendengarnya. Tiba-tiba Tay Ih berisik: "Harap sute bertiga siap-siap. Begitu muncul, musuh tentu
akan menempur kita. Jangan sampai dia lolos!"
Tay To siansu yang mengetahui bahwa suhengnya (Tay Ih) hendak gunakan ilmu
menimpuk dengan bok-liam-cu untuk menghalau keluar musuh, buru-buru mencegah:
"Suheng"."
"Aku tahu?" tukas Tay Ih seraya menimpuk dengan tangan kanan lagi. Segera
terdengar beberapa bunyi mengaum di udara malam. Beberapa saat kemudian, kembali
Tay Ih menimpuk lagi. Saat itu malam telah mulai menyurut, cuaca makin terang. Tetapi orang yang berada
dalam gerumbul daun itu, rupanya tak menghiraukan. Adalah Siu-lam yang gelisah dan
mulai curiga". Tiba-tiba dari sanggar pertapaan yang di tengah, terdengar sebuah suara bentakan
keras. Menyusul sesosok bayangan menyelinap keluar. Melihat itu, pucatlah wajah Tay
Ih, Tay Goan dan Tay Teng. Sanggar pertapaan di tengah itu, adalah tempat pertapaan
dari kedua paderi tua, paman dari ketua Siau-lim-si sekarang.
Pada saat ketiga paderi itu terpukau, tiba-tiba dari gerumbul daun pohon siong,
melayang keluar sesosok bayangan. Dengan melampaui di atas kepala ketiga paderi itu,
orang aneh itu turun kira-kira setombak jaraknya dengan ketiga paderi angkatan Tay.
Siu-lam berteriak keras. Dengan gunakan ilmu peringan tubuh Pat-poh-teng-gong yang
sakti, ia lari mengejar bayangan orang itu.
Sejak menerima pelajaran ilmu tersebut dari orang tua sakti kakek Hian-song, baru
pertama kali itu Siu-lam menggunakannya. Dalam gugupnya ia tak menyadari bahwa
bagaimanapun pesat kepandaian yang telah dicapainya sampai saat itu, namun belum
cukup untuk menggunakan ilmu Pat-poh-teng-gong (Delapan langkah menerjang udara).
Hal itu baru dirasakan setelah pada loncatan pertama, ia tak dapat mencapai apa yang
diinginkan! Cepat-cepat ia kerahkan semangat dan pancarkan seluruh tenaganya.
Dengan dua tiga kali loncatan, ia dapat melampaui rombongan paderi dan tepat tiba di
depan bayangan orang itu. Tanpa bertanya lagi, Siu-lam terus menghantam.
Orang itu dari kepala sampai ke kaki, diselubungi jubah hijau. Hanya bagian mata yang
diberi lubang. Perawakannya kecil langsing.
Melihat pukulan Siu-lam sangat dahsyat orang itu cepat menghindar ke kiri dengan
suatu gerakan yang indah dan gesit sekali.
Siu-lam agak terkesiap. Rasanya ia tak pernah melihat orang dengan gerakan seperti
itu. Tapi ia tak dapat merenung lebih lama karena orang itu mengangkat tangan kiri dan
jarinya menghamburkan angin tajam.
Siu-lam cepat menyongsong dengan tamparkan tangannya. Begitu kedua tenaga saling
berbentur, terdengarlah letupan menggeletar di udara.
Siu-lam terkejut. Ia rasakan tenaga gerakan jari orang itu masih kuasa menembus
tamparannya. Dalam pada itu, Tay Ih, Tay Goan, Tay Teng, Tay To dan lain-lain, telah tiba. Mereka
segera mengepung orang berpakaian kerudung hijau itu. Kecuali Tay Ih siansu, yang
lainnya sama menghunus senjata.
Melihat itu, orang berpakaian hitam yang menerobos keluar dari sanggar di tengah tadi,
berhenti dan menghampiri ke tempat kawannya yang terkepung itu.
Wut, wut, Tay Ih siansu lepaskan dua buah pukulan, serunya: "Kalau sudah berani
datang ke sini, mengapa sicu tak berani menunjukkan wajah?"
Belum orang berjubah hijau itu menyahut, tiba-tiba terdengar Tay Teng siansu
mendengus dingin dan menyingkir ke samping.
Ternyata waktu menghampiri datang, orang berjubah hitam itu telah gerakkan jarinya
kea rah punggung Tay Teng. Tay Teng berpaling dan menghantam. Tapi orang berjubah
hitam itu sudah bersiap-siap. Tangan kiri cepat menyusul, menuding. Tay Teng tak
sempat menjaga dan lengan kanannya terkena angin pancaran jari. Paderi itu mundur
dua langkah. Bobol pos yang ditempati Tay Teng, telah digunakan sebaik-baiknya oleh orang baju
hijau yang secepat kilat sudah menyelinap keluar dari kepungan. Begitu bersatu dengan si
baju hitam, mereka berdua segera kabur. Sekali loncat, mereka sudah mencapai dua
tombak jauhnya. Tay Ih kaget sekali. Saking gugupnya ia loncat ke udara dan menghantam Tay Goan
siansu. "Hai, mengapa lo-siansu?" teriak Siu-lam yang kaget karena Tay Ih memukul sutenya
sendiri. Tapi ia tak jadi melanjutkan teriakannya karena ternyata habis memukul rubuh
Tay Ih meluncur lebih laju dan tiba-tiba sudah berada di belakang kedua orang
berkerudung tadi. Kini jelaslah Siu-lam apa arti pukulan tadi. Ternyata paderi itu gunakan pukulan untuk
meminjam tenaga, agar laju tubuhnya dapat lebih pesat.
Rupanya Tay Ih sudah kehilangan kesabaran dan ketenangannya. Begitu turun ke
tanah, dengan menggembor keras, ia terus lepaskan hantaman. Pukulan itu dilambari
dengan tenaga lwekang penuh sehingga menimbulkan deru angin yang dahsyat.
Tetapi kedua orang berjubah hitam dan hijau itu rupanya tak mengacuhkan. Tanpa
berpaling muka mereka berpencaran ke samping.
Memang Tay Ih pun sudah memperhitungkan bahwa tak mungkin sekali pukul ia dapat
merubuhkan musuh. Maka ketika memukul dengan tangan kanan, tangan kiri sudah
siapkan beberapa liamcu. Begitu kedua musuh berpencaran ke kanan dan ke kiri, tangan
kiri segera menyambit empat buah liam-cu, dua ke sebelah kanan, dua ke sebelah kiri.
Paderi tua itu rupanya benar-benar marah sekali. Timpukan lima-cu itu juga disertai
dengan tenaga penuh sehingga benda-benda itu menerbitkan suara tajam.
Jubah hitam berpaling dan gerakkan tangan. Tring, tring, dua buah liam-cu
berhamburan jatuh terhantam badiknya.
Sementara jubah hijau lain lagi cara menghadapinya. Dia melenting ke udara sehingga
kedua liam-cu itu lewat di bawah kakinya.
Tetapi karena gangguan itu, Siu-lam, Tay Teng, Tay Goan dan lain-lainnya sempat
menyusulnya. Siu-lam cepat menyambar siku lengan si jubah hitam.
Sebenarnya si jubah hitam tahu, tetapi ia pura-pura diam saja. Begitu tangan Siu-lam
hampir menyentuh, dengan kecepatan yang luar biasa, ia menyambar tangan si pemuda.
Dengan begitu posisi berubah seketika. Dari kedudukan diserang menjadi penyerang.
Cengkeram mencengkeram itu tampaknya sederhana sekali tetapi sebenarnya mereka
menggunakan ilmu gerak yang luar biasa indahnya.
Karena agak ayal, punggung tangan Siu-lam kena tertampar jari musuh. Sakitnya
sampai menyerang ke bahu. Ia terpaksa mundur dua langkah.
Tay Teng siansu yang menyaksikan dari samping, cepat berseru: "Pui sicu silahkan
mundur. Biarlah loni yang?" tanpa menanyakan nama orang, paderi itu segera
menyerang dengan jurus Heng-soh-cian-kun (menyapu ribuan lascar). Senjata hong-pianjan
dibabatkan ke pinggang. Tay Teng memiliki tenaga besar. Serangan yang dilancarkan sekuatnya itu
menerbitkan deru angin yang hebat.
Jubah hitam hanya mendengus dingin. Tiba-tiba ia menubruk dada Tay Teng dengan
badik. Tay Teng terkejut. Jika tak menarik hong-pian-jannya, ia memang dapat menghantam
pinggang lawan. Tetapi dadanyapun tentu ambling tertikam badik. Akhirnya ia terpaksa
menarik pulang senjatanya sambil mundur ke belakang.
Tetapi jubah hitam itu tak mau memberi kesempatan lagi. Loncat melambung sampai
dua tombak tinggi, ia berjumpalitan di udara kemudian meluncur miring. Gerak itu
menempatkan dia sejauh tiga tombak.
Si jubah hijaupun dapat lolos dari kepungan Tay To siansu dan rombongan paderi. Kini
keduanya bersatu, siap bertempur bahu membahu.
Menyaksikan gerak loncatan kedua musuh itu menggunakan ilmu meringankan tubuh
yang sakti, Tay Ih siansu menginsyafi bahwa paderi-paderi Siau-lim-si tak mungkin mampu
mengejarnya. Bahkan jumlah rombongan paderi yang begitu banyak, malah merupakan
rintangan. Serentak berserulah ia: "Tay Goan sute, harap pimpin penjagaan di sini. Tay
Teng dan Tay To sute, ikutlah aku mengejar musuh!"
Tay Teng mencekal senjata hong-pian-jan dan Tay To mencekal sepasang golok kwatto.
Mereka cepat mengikuti Tay Ih siansu.
Siu-lam agak bersangsi. Berkatalah ia kepada seorang paderi yang berada di
sampingnya: "Toa-suhu, tolong pinjam senjata toa-suhu."
Paderi itu bersangsi. Tiba-tiba ia rasakan tangannya kesemutan dan tahu-tahu golok
sudah pindah di tangan si anak muda. Ia terkejut. Ketika berpaling ternyata Siu-lam
sudah melayang di udara untuk menyusul Tay Ih dan sutenya.
Rupanya jubah hitam dan jubah hijau tak mau terlibat dalam pertempuran dengan
kawanan paderi. Dan pula agaknya mereka paham benar dengan keadaan gereja itu.
Mereka lari menuju ke arah barat laut.
Walaupun ketiga paderi tingkat tinggi dari Siau-lim-si itu mengejar dengan tenaga
penuh, tetapi tetap tak mampu mendekati kedua orang berjubah itu. Mereka tetap
terpisah pada jarak dua tombak. Sedangkan Siu-lam kira-kira terpisah satu tombak di
belakang ketiga paderi. Tay Ih agak kesima. Kedua orang berjubah itu ternyata dapat memilih arah di mana
penjagaan tidak begitu kuat. Dan sekeluar dari lingkungan gereja, mereka akan menuju
pada sebuah jalan buntu. Demikian enam sosok bayangan, berlari-lari kejar-mengejar seperti deru angin. Tibatiba
Tay Teng siansu melantangkan seruan O-mi-to-hud. Dalam malam yang sunyi,
nadanya bergema jauh. Belum seruan itu reda, empat orang paderi setengah tua,
bermunculanlah menghadang di tengah jalan.
Kiranya seruan O-mi-to-hud itu merupakan sandi untuk memanggil barisan pendamping
paderi Siau-lim-si yang bertugas di sekeliling tempat itu.
Begitu keempat paderi itu muncul, kedua orang berjubah itu sudah tiba di samping
mereka. Begitu keduanya gerakkan tangan, tiga di antara keempat paderi yang
menghadang jalan itu segera terjungkal rubuh. Paderi yang masih berdiri, segera gunakan
jurus Lat-soh-ng-gak (menyapu lima gunung), menghantam dengan tongkatnya.
Tetapi kedua orang berjubah itu luar biasa cepatnya. Baru paderi itu gerakkan
tongkatnya, mereka sudah melejit ke samping sehingga sabatannya menemui angin.
Tetapi sekurang-kurangnya, rintangan itu memberi kesempatan bagi rombongan Tay Ih
siansu untuk menyusul datang. Tay Teng tekankan tongkatnya ke tanah dengan
meminjam tenaga tekanan itu tubuhnya mencelat ke udara dan meluncur jauh di sebelah
muka. Baik Tay Teng maupun Tay To hanya tahu bahwa suhengnya itu memang lebih sakti
dari lain-lainnya. Tetapi baru pertama kali itulah mereka menyaksikan Tay Ih siansu
gunakan ilmu meringankan tubuh jauh luar biasa. Keduanya makin menaruh rasa kagum.
Paderi yang masih bertahan tadi ketika melihat ketiga kawannya terkapar sebelum
sempat menghadang orang, diam-diam hatinya menyesal.
"Murid?" ia berseru lantang dengan nada penuh sesal. Tetapi belum sempat
menyelesaikan kata-katanya, Tay Teng dan Tay To sudah melesat ke sampingnya.
Ketika Siu-lam yang berada di belakang tiba di samping paderi itu, ia berseru pelahan
suruh paderi itu lekas menggotong kedua kawannya yang terluka ke dalam gereja.
Tay Ih siansu telah gunakan ilmu meringankan tubuh yang istimewa, yakni Leng-honghui-
toh. Ilmu itu merupakan ilmu sakti dari perguruan Siau-lim-si. Dengan tekankan
tongkat ke tanah, paderi itu melambung sampai tiga tombak tingginya. Kemudian tanpa
menginjak tanah, ia hantamkan tongkatnya lagi, dengan meminjam tenaga hantaman itu,
ia melayang sampai delapan-sembilan tombak jauhnya. Begitu melayang turun ke tanah,
ia hanya terpisah setombak dari kedua musuhnya.
Tay Teng dan Tay To yang kalah sakti dari suhengnya, walaupun sudah menumpahkan


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seluruh tenaganya, tetapi tak dapat menyusul suhengnya.
Saat itu musuh sudah tinggalkan di lingkungan gereja Siau-lim-si. Setelah melintasi
dua buah puncak gunung, tiba-tiba mereka berhadapan dengan sebuah puncak tinggi
yang buntu. "Hai, kalian berhadapan dengan jalanan buntu. Jika tak mau berhenti, terpaksa loni
akan lepaskan senjata rahasia!" Tay Ih siansu berseru nyaring. Ia tetap memegang
gengsi sebagai seorang paderi yang berkedudukan tinggi. Sekalipun marah tetapi tetap
tak mau menyerang secara gelap.
Tetapi mana orang berjubah hitam dan hijau itu mau menggubrisnya. Mereka
membelok dan lari menyusuri lamping gunung.
Tay Ih diam-diam menghela napas longgar. Ia kendorkan larinya. Dan ketika Tay
Teng dan Tay To menyusul, ia berkata dengan bisik-bisik: "Jika membelok ke sebelah
kanan, walaupun jalan sukar, tetapi masih terdapat jalanannya. Tetapi jika menikung ke
sebelah kiri, setelah lima lie jauhnya akan terhadang oleh jurang yang dalamnya ratusan
tombak dan lebarnya empat belas-lima belas tombak. Betapapun mereka sakti dalam ilmu
ginkang, tak mungkin mampu melampauinya. Baiklah kita kendorkan langkah untuk
beristirahat agar dalam menghadapi kemungkinan bertempur lagi, semangat kita sudah
segar. Siu-heng hendak mengejar mereka untuk menghalangi jangan sampai mereka
dapat membuat jembatan!"
Habis berkata paderi itu cepatkan larinya lagi. Saat itu Siu-lam pun tiba. Pesan Tay Ih
tadi didengarnya jelas. Buru-buru ia berseru memberi peringatan: "Harap toa-suhu
berhati-hati. Rupanya kedua orang itu seperti anak buah Beng-gak!"
"Harap sicu jangan kuatir. Loni tentu dapat menjaga diri?" kedengaran jauh sekali
suara penyahutan Tay Ih siansu.
Tay To berpaling menatap Siu-lam dan menghaturkan maaf karena menyangka keliru.
Siu-lam mengucapkan kata-kata merendah dan mengetahui bahwa diapun bersalah karena
tak mau menceritakan hal itu sebelumnya, sehingga menimbulkan kesalahpahaman.
"Ah, memang penjagaan kami yang kurang rapat sehingga musuh dapat menyelundup.
Bukan salah sicu," kata Tay Teng.
Dalam pada bercakap-cakap itu mereka bertiga membelok ke sebuah tikungan dan
menghadapi sebuah jalan sempit yang menuju ke sebuah lembah.
Saat itu malam sudah lenyap, fajar mulai menyingsing. Siu-lam memandang ke muka.
Dilihatnya pada ujung lembah, beberapa sosok tubuh sedang bertebaran kian kemari.
"Rupanya Tay Ih siansu sudah bertempur dengan musuh. Mari kita lekas susul,"
katanya seraya lari. Tay Teng dan Tay To segera mengikuti.
Lembah itu hanya sepanjang tiga, empat lie. Dalam beberapa kejap saja mereka sudah
tiba di ujung lembah. Ternyata di ujung itu merupakan sebuah ujung buntu yang
berbahaya. Di situ merupakan pertemuan dua lamping gunung. Di sebelah mukanya
terbentang sebuah jurang yang dalam sekali. Batu-batu gmerlap dan runcing,
bertebarang memenuhi jalan buntu itu.
Mentari pagi mulai memancarkan cahayanya. Gumpalan kabut pagi, berhamburan
keluar dari dasar lembah dan bertebaran memenuhi permukaan.
Memang saat itu Tay Ih siansu sedang bertempur seru dengan si orang jubah hitam.
Tay Ih mainkan tongkatnya menjadi hamburan beribu-ribu sinar, disertai dengan desus
angin yang menderu-deru. Sedang si jubah hitam yang menggunakan pedang, melancarkan serangan-serangan
yang aneh dan cepat. Di dalam tekanan tongkat Tay Ih siansu yang mengaum-aum bagai
badai di musim dingin, pedang orang berjubah hitam itu melincah-lincah seperti kupukupu
main di atas bunga. Betapapun Tay Ih hendak menghancurkan, tetap lawannya
dapat menghindar. Sementara itu si orang jubah hijau hanya tegak menggendong tangan. Rupanya dia
sedang menyelidiki satu jalan keluar dari karang buntu situ. Sama sekali ia tak
menghiraukan pertempuran dahsyat yang berlangsung di belakangnya.
Sepintas pandang, tampak tongkat Tay Ih siansu lebih perkasa sehingga seolah-olah
dia menang angin. Tetapi jika diamati dengan seksama, ternyata tidak demikian
keadaannya. Sekali dalam lingkaran sinar tongkat yang mencurah hebat, namun orang jubah hitam
itu sama sekali tak sibuk dan tetap mainkan pedang dengan leluasa sekali. Jelas bahwa
dia belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Melihat itu, Tay Teng membisiki Tay To: "Harap sute menjaga di sini, aku hendak
membantu suheng!" Habis berkata, Tay Teng menggembor keras dan menerjang dengan senjata hong-pianjan.
Tadi ketika di ruang Tok-li-wan, ia telah didesak mundur oleh orang berjubah hitam
itu. Ia amat penasaran sekali dan hendak mencari kesempatan menempurnya lagi.
Mendengar teriakan Tay Teng, si orang baju hijau berpaling. Tetapi ia tetap tak mau
membantu kawannya. Rupanya ia menganggap sepi saja kepada paderi itu.
Begitu melihat bala bantuan musuh datang, orang berjubah hitam itu segera mencabut
badik. Setelah dapat menipu tongkat Tay Ih dengan sebuah serangan Seng-liong-in-hong,
cepat ia balikkan pedangnya menyerang Tay Teng. Menyusul badik di tangan kirinya
menikam pundak kiri paderi itu.
Untuk tusukan pedang, Tay Teng mundur dua langkah lalu putar hong-pian-jannya
balas menyerang. Hong-pian-jan merupakan senjata yang panjang. Jika bertempur merapat, tentu tak
leluasa digerakkan. Rupanya tindakan Tay Teng itu tepat. Ia dapat memaksa lawan mundur tiga langkah.
Saat itu Tay Ih siansupun dapat kembangkan tongkatnya lagi. Ia serang lawan dengan
jurus Kun-lin-toa-te. Si orang jubah hitam tak berani menangkis. Ia loncat mundur. Tay Ih tak mau
memberi hati. Ia mendesak maju.
Siu-lam yang memperhatikan permainan orang jubah hitam itu, mendapat kesan bahwa
rasanya ia pernah berjumpa. Tapi lupa entah di mana.
Tay Ih dan Tay Teng merangsek maju. Karena tiga empat tombak lagi karang itu
berakhir dengan sebuah jurang yang curam, tak mungkin ia akan mundur lagi. Ia mundur
ke samping si jubah hijau. Keduanya segera bersiap bahu membahu.
Tay Teng dan Tay To cepat-cepat menyusul dan berdiri di kanan-kiri Tay Ih. Kini kedua
belah pihak hanya terpisah dua tiga meter. Wajah ketiga paderi itu tampak serius. Begitu
pula dari kain kerudung tipis yang menutup bagian muka, tampak mata kedua orang
berjubah itu tak berkesia melawan lawan. Jelas merekapun mencurahkan seluruh
perhatiannya pada musuh. "Jiwi memiliki kepandaian yang sakti. Tentu bukan tokoh yang tak bernama. Mengapa
tak berani unjuk muka secara terang-terangan?" seru Tay Ih.
Namun kedua orang berjubah itu diam saja.
"Apakah kalian tuli?" bentak Tay To.
Tapi rupanya kedua orang berjubah itu kebal akan segala ejekan dan makian. Mereka
tak mau menyahut melainkan menatap ketiga paderi itu tajam-tajam.
Tiba-tiba si orang jubah hitam gerakkan pedang menabur ke arah ketiga paderi.
Gerakan pedang yang aneh dan deras itu, memaksa ketiga paderi itu menangkis dengan
senjatanya. Sinar pedang gemerlapan hong-pian-jang bersatu dengan lingkaran cahaya sepasang
golok, kwat-to yang dimainkan Tay To. Jalan sempit ujung lembah itu seolah-olah
tertutup oleh lingkungan sinar senjata ketiga paderi Siau-lim-si. Memang gereja Siau-limsi
tak kecewa disebut sebagai sumber ilmu silat. Walaupun berlainan bentuk, tapi ketiga
senjata itu berkembang dalam satu perpaduan yang serasi. Selain menangkis serangan
pedang lawan, pun mengurungnya dalam sebuah kepungan pagar senjata.
Gerakan ketiga senjata paderi Siau-lim-si itu, menimbulkan deru angin tajam yang
mengiang di telinga. Dalam pertempuran saat itu, ketiga paderi Siau-lim-si telah mencurahkan delapan
bagian dari tenaga mereka.
Sambil mainkan pedangnya, tiba-tiba orang berjubah hitam itu loncat mundur ke
samping kawannya. Gerakannya indah, wajar, dan tepat.
Melihat itu diam-diam hati Tay Ih tercekat. Pikirnya: "Musuh benar-benar punya ilmu
kepandaian yang aneh luar biasa. Entah bagaimana dengan keadaan kedua susiok yang
bertapa dalam sanggar itu. Tay Hui sute yang bertugas menjaga sanggar pertapaan,
sejak kedua musuh itu menerobos keluar dari dalam sanggar, sampai sekarang belum
tampak muncul. Menilik gelagatnya, Tay Hui sute tentu menderita sesuatu"."
Memikir sampai di situ, hawa amarah Tay Ih meluap. Demi menjaga kehormatan dan
nama Siau-lim-si, ia harus mengambil keputusan. Ia harus bertempur mati-matian dengan
musuh. Cepat ia mengeluarkan peta sutera dan kunci emas pemberian paman gurunya
yang berambut putih (salah seorang paderi tua yang bertapa). Sambil menyerahkan
kepada Tay To, berkatalah ia: "Harap sute berikan kepada Tay Hui sute!"
Diterima pemberian itu dengan heran, lalu Tay To menanyakan apakah ia harus pergi
saat itu. "Ya, sekarang juga. Jika tak bertemu Tay Hui sute, berikan peta dan anak kunci itu
pada kepala bagian penilik Tay An sute!" sahut Tay Ih.
Kini mengertilah Tay To akan maksud suhengnya. Serentak hatinya menjadi sayu,
katanya: "Ah, mengapa suheng bertindak sedemikian."
Tay Ih kerutkan alis dan berseru dengan bengis: "Harap jangan banyak bicara, cepat
pergi." Siau-lim-si mempunyai aturan keras. Melihat suhengnya marah, Tay To tak berani
berayal lagi. Segera ia minta diri dan terus pergi.
Tay Ih mengantar kepergian sutenya dengan tersenyum. Wajahnya yang tegang tadi,
lenyap seketika. Seolah-olah ia seperti telah terlaksana harapannya. Baginya seperti
sudah bebas dari suatu beban kewajiban di dunia. Ringan pikirannya, ringan pula hatinya.
Mati hidup bukan soal. Sambil kibaskan tongkatnya, ia berbisik kepada Tay Teng: "Harap sute menyingkir. Aku
hendak mencoba ilmu kepandaian Siau-lim-si. Apakah memang benar dianggap sebagai
bintang Pak-tou di angkasa persilatan"."
Paderi itu tertawa sejenak, lalu berkata pula: "Di antara persaudaraan tingkat Tay, Tay
Ti suhenglah yang paling tinggi kepandaiannya. Tetapi dia telah binasa ketika bertempur
dengan wanita berkerudung. Tay Hong suheng yang hanya setingkat di bawah Tay Ti
suheng, hilang di Beng-gak. Sedang loni sendiri yang hanya terpaut tak berapa tinggi
dengan para sute menyadari kekurangan itu dan tak henti-hentinya selama berpuluh
tahun meyakinkan ilmu perguruan gereja kami. Maka kini loni hendak menguji sampai di
mana pelajaran yang telah loni capai. Harap sute menjaga di luar gelanggang, jangan ikut
turun tangan." Sederhana sekali rangkaian kata-kata Tay Ih itu. Tetapi nadanya kokoh laksana paku
menancap. Dia telah mencapai ilmu pelajaran agama yang tinggi sehingga memiliki
toleransi yang kuat. Sekalipun telah bertekad hendak mengadu jiwa, namun ia tak mau
menghambur ucapan yang melukai hati orang.
"Baiklah," Tay Teng mengiyakan.
"Obat manjur juga diperuntukkan penyakit yang belum takdirnya mati. Agama tak
dapat mempengaruhi orang yang memang tak berjodoh!" Tay Ih berseru nyaring lalu
melangkah maju. Paderi sudah bertekad untuk mengadu jiwa. Dia tak menghiraukan lagi soal kematian.
Setapak demi setapak ia maju melangkah.
Rupanya orang berjubah hitam itu terpesona menyaksikan ketenangan Tay Ih. Pedang
segera diacungkan lurus ke muka, sedang badik di tangan kiri, ditumpangkan di atas
pedang. Dengan pelahan iapun maju menyongsong".
Ketika terpisah dua-tiga meter, keduanya berhenti. Masing-masing saling tegak
berhadapan dengan siapkan senjatanya.
Siu-lam terkesiap menyaksikan duel maut yang akan berlangsung itu. Diam-diam ia
membatin: "Tay Ih siansu seorang paderi tingkat tinggi dari Siau-lim-si. Aku harus
berusaha mencegah petempuran maut ini"."
Ia berpaling. Tampak wajah Tay Teng siansu berduka memandang Tay Ih, tetapi
paderi itu tak berani mencegah suhengnya.
Melihat itu Siu-lam tak mau betrayal lagi. Dengan menggembor keras, ia enjot
tubuhnya menerjang orang berjubah hitam itu dengan jurus Hong-lui-kiau-ki atau angin
dan kilat saling berbentur".
Pedang yang diacungkan lurus ke muka dada itu tiba-tiba digerakkan oleh si orang
jubah hitam. Seketika itu juga berhamburanlah beribu-ribu letikan bunga api, disusul
dengan dering gemerincing suara senjata beradu.
Hebat sekali taburan pedang-pedang orang berjubah hitam itu. Bukan saja senjatanya,
bahkan Siu-lam sendiripun terkurung dalam selubung sinar pedang.
Dahsyat dan serunya adu senjata itu berlangsung dalam sekejap mata, sehingga Tay Ih
siansu tak sempat membantunya lagi.
Pada saat Siu-lam tampak terancam bahaya kehancuran, sekonyong-konyong terdengar
orang berjubah hitam itu mendengus dingin dan mundur beberapa langkah!
Sambil lintangkan golok kwat-to, Siu-lam tegak berdiri dan berseru dingin: "Jangankan
hanya memakai pakaian lelaki, biar menjadi tumpukan debu, jangan harap engkau mampu
mengelabuhi mataku!"
Perubahan itu mengejutkan sekali. Bahkan Tay Ih siansu sampai tak mengerti, ilmu
pedang apa yang digunakan si anak muda untuk mengundurkan lawan.
Kiranya pada saat menghadapi tekanan lawan yang hebat di mana Siu-lam merasa tak
mampu lagi melawan, sekonyong-konyong ia teringat akan ilmu Hud-hwad-bu-pian
(pelajaran Buddha itu tiada batasnya), ilmu ajaran dari kakeknya Hian-song. Cepat ia
gerakkan tangan kiri dalam jurus itu dan bingunglah si orang jubah hitam. Plak, dadanya
termakan tinju, seketika jantungnya serasa bergoncang keras dan mundurlah ia ke
belakang". Karena dalam keadaan terdesak, Siu-lam hanya gunakan seperempat bagian
tenaganya. Maka setelah beristirahat memulangkan napas, orang jubah hitam itu
dapatkan dirinya tak kurang suatu apa.
Tiba-tiba ia mencabut kerudung hitam yang menutup mukanya, lalu tertawa: "Ih,
ingatanmu kuat sekali!" Tangannya bergerak dan jubah hitam yang dikenakannya itu
segera lepas. Kini orang berjubah hitam itu berubah menjadi seorang nona yang cantik
jelita. Pada saat si jubah hitam menanggalkan jubahnya, si jubah hijaupun melepaskan
jubahnya juga. Dalam sekejap saja, kedua orang berjubah itu telah berubah menjadi dua
orang nona cantik. "Hm, besar sekali nyali kalian," Siu-lam tertawa dingin. Kemudian berpaling kepada
Tay Ih, serunya: "Kedua nona ini adalah murid perempuan dari ketua Beng-gak"."
Sepasang mata paderi Siau-lim-si itu berkilat-kilat tajam mengamati kedua nona itu,
ujarnya: "Oh, kiranya dua orang li-sicu."
Paderi itu memberi hormat.
Nona jubah hijau yang kini berpakaian warna merah, tertawa melengking: "Tak usah
pura-pura menghormat, paderi tua. Lebih baik bicara terus terang saja. Kau mau apa,
lekas bilang!" "Kami kaum pertapaan, tak suka dengan berbohong. Bagaimanakah keadaan kedua
tianglo yang sedang melakukan pertapaan itu?" tanya Tay Ih.
Si nona jubah hitam yang kini mengenakan pakaian warna biru, tersenyum: "Apakah
orang tua gundul dan berambut putih itu?"
Tay Ih tergetar hatinya ketika mendengar nona itu dapat mengatakan tepat keadaan
susioknya. Tetapi ia cepat menekan kecemasannya dan mengiyakan.
Si nona baju biru tertawa mengikik: "Kedua orang tua itu, masing-masing telah kuberi
tiga buah tusukan. Mati atau hidup, aku tak tahu!"
Ucapan yang diucapkan seenaknya itu benar-benar sangat menusuk sekali hati Tay Ih.
Katanya dengan nada berat: "Kalau begitu, susiok kami itu sudah binasa di tangan li-sicu!"
Tay Teng dan Tay To sudah sejak tadi tak dapat menekan kesedihannya. Mendengar
ucapan yang terakhir itu, mata mereka berlinang-linang.
Si nona baju merah tiba-tiba melambai ke arah Siu-lam, serunya tertawa: "Hai, kekasih
tak berbudi, rupanya engkau banyak gembira, ya?"
Saat itu Siu-lampun sedang dicengkam oleh kedukaan karena kematian kedua paderi
tua itu. Kini mendengar seruan nona baju merah itu, makin terkejut. Apakah Hong-swat
sudah ditangkap mereka"
"Apa kesalahanku?" tanyanya.
Si merah tertawa mengikik: "Adikku si Hong-swat itu memang dibutakan oleh cinta.
Diam-diam ia melepaskan musuh. Kini dia dipaksa oleh suhu agar mencebur ke mulut
gunung berapi. Saat ini tubuhnya tentu sudah menjadi abu"."
Mendengar itu kepala Siu-lam seperti dihantam palu besi: "Benarkah itu?" ia menegas.
Si merah kicapkan matanya dan menatap Siu-lam, lalu tertawa: "Setiap patah
keteranganku tadi, adalah suatu kenyataan seperti matahari yang kita lihat!"
Hampir saja perasaan Siu-lam jatuh lebih dalam gelombang kedukaan yang
melandanya bertubi-tubi. Tiba-tiba ia kiblatkan kwat-to dan membentak: "Jika berita itu
benar, jangan harap kalian pergi dari lembah ini dengan selamat!"
Kisah Si Pedang Kilat 4 Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Pedang Asmara 15
^