Wanita Iblis 14
Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 14
benar-benar besar peruntunganmu!"
Nona baju merah itu agak tertegun: "Aku dapat berubah seratus macam rupa,
bagaimana engkau mampu mengenali aku?"
"Itulah! Yang dikejar oleh kedua lo-cianpwe itu tentulah lain orang yang menyamar
jadi dirimu," diam-diam Siu-lam tersadar. Kemudian ia mendengus: "Hm, orang Beng-gak
memang banyak akal muslihatnya"."
Nona baju merah itu tertawa mengejek:
"Gereja Siau-lim-si sudah masuk ke perangkap kami. Tunggu apabila nanti malam
suhuku datang tentu segera akan diadakan penyembelihan besar-besaran"."
"Ah, mungkin tidak seperti yang kalian harapkan?" sahut Siu-lam. Tetapi ia tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena saat itu dadanya seperti terlanda oleh pukulan yang
tidak kelihatan. Siu-lam tadi sudah menderita serangan gelap semacam itu. Sudah tentu ia sudah
berjaga-jaga. Sekalipun pukulan itu tidak mengeluarkan suara, tetapi dalam suasana dan
tempat seperti di situ, asal orang memperhatikan dengan cermat, tentu akan merasa
adanya semacam gelombang arus hawa dingin. Buru-buru ia ayunkan tangan kanan
menampar. Ia sudah menginsyafi bahwa tenaga dalamnya tidak dapat mengimbangi serangan
pukulan tak bersuara itu. Sehabis memukul, ia cepat-cepat loncat ke samping dan
memaki. "Hai, Pek Co-gi, kalau memang ksatria, jangan main melempar batu sembunyi tangan
begitu! Jika berani hayo keluarlah! Aku mau coba sampai di mana ilmu kepandaian orang
Beng-gak. Selain pukulan Bu-ing-sin-kun, hayo keluarkanlah semua kebisaanmu!"
Siu-lam memperhitungkan. Kalau seorang tokoh sakti semacam Tay Hong siansu saja
dapat ditundukkan Beng-gak, apalagi Bu-ing-sin-kun Pek Co-gi jago dari Tibet itu. Dan
dugaan itu didasarkan bahwa kecuali Pek Co-gi, rasanya tiada lain tokoh yang memiliki
ilmu pukulan tanpa suara.
Serempak dengan tantangan itu, dari balik sebuah pohon siong besar, muncullah
seorang lelaki bertubuh gemuk pendek. Di belakangnya diiringi empat-lima orang.
Setelah mengetahui jelas orang-orang yang muncul itu, Siu-lam tercengang-cengang.
Si gemuk pendek memang Bu-ing-sin-kun Pek Co-gi. Sedang pengiringnya itu ialah Sin-to
Lo Kun, Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong, Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat dan Tui-hong-tiau
Ngo Cong-gi. Tokoh ternama itupun ternyata telah jatuh ke tangan Beng-gak. Dan dikuatirkan pula
bahwa Su Boh-tun dan Siau Yau-cu pun telah ditunjuk dan menjadi alat orang Beng-gak.
Tokoh-tokoh itu berilmu sakti, apabila Beng-gak sampai dapat menggunakan tenaga
mereka, tentu mengerikan sekali. Beng-gak tentu benar-benar akan dapat berhasil
melaksanakan cita-citanya untuk menguasai dunia persilatan".
Siu-lam teringat akan pengalamannya ketika menyerbu Beng-gak. Kawanan anak buah
Beng-gak yang mukanya dicontrengi warna-warni dan berpakaian aneh itu, kemungkinan
tentulah tokoh-tokoh berilmu yang telah jatuh dalam kekuasaan Beng-gak.
Terdengar nona baju merah itu tertawa melengking: "Kenalkah engkau pada mereka?"
Siu-lam cepat tenangkan perasaannya dan menyahut: "Benar, aku kenal mereka!"
Tertawalah nona baju merah itu dengan perasaan tawar: "Dan masih ada lagi Su Botun
dan tokoh Bu-tong-pay Siau Yau-cu itu, kenalkah engkau juga?"
"Hm, kalau kenal lalu bagaimana?"
"Mereka dahulu tentulah sahabat-sahabatmu, tetapi sekarang menjadi musuhmu?"
nona itu berhenti lalu memandang Pek Co-gi, serunya: "Apakah engkau yakin
kepandaianmu dapat mengalahkan kelima tokoh yang menyerangmu dengan serempak?"
Siu-lam terkejut. Diam-diam ia memang mengakui kebenaran ucapan nona itu.
Jangankan maju berbareng, sedang satu lawan satu saja, ia merasa belum tentu dapat
menang. Belum sempat ia menjawab, nona baju merah itu mengangkat tangan memberi isyarat.
Kiu-sing-tui-hun Kau Cing-hong, Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat dan Sin-to Lo Kun
serentak mencabut senjatanya dan maju ke muka.
Siu-lam pun cepat mencabut Ceng-liong-kiam dan Pak-kau-kiam sepasang pedang
pusaka pemberian Tay Ih siansu. Sepasang pedang itu memancar berkilat-kilat dingin.
"Pedang yang bagus sekali! Jangan harap kami dapat melepaskan engkau sebelum
sepasang pedang pusaka itu jatuh ke tanganku!" seru si nona baju merah seraya loncat ke
muka seraya kebutkan hud-tim dan memberi perintah kepada ketiga tokoh itu supaya
segera maju menyerang. Dengan golok kim-pwo-to, Lo Kun segera mempelopori menyerang lebih dahulu dengan
sebuah jurus Lat-biat-hoa-san. Ia hendak membelah kepala Siu-lam.
Melihat golok Lo Kun itu begitu dahsyat, karena kuatir akan merusakkan sepasang
pedangnya, Siu-lam terpaksa loncat menghindar ke samping.
Tetapi serentak ia disambut oleh Kau Cin-hong yang menutukkan ujung ruyungnya
Kau-kin-koa-thau (Ruyung urat naga kepala ular).
Siu-lam memutar pedang Ceng-liong-kiam yang dicekal di tangan kiri, untuk menjaga
ruyung. Melihat pedang itu mengeluarkan sinar yang berkilat-kilat dingin, Kau Cin-hong tidak
berani mengadu dengan ruyungnya. Cepat ia menarik kembali senjatanya.
Melihat sepasang pedang itu memancarkan sinar kehijau-hijauan, tak beranilah Kuising-
tui-hun Kau Cin-hong untuk menangkis dengan ruyungnya. Buru-buru ia menarik
pulang ruyungnya. Tetapi pada saat itu thiat-pit dari Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat sudah menutuk dada
Siu-lam. Terpaksa Siu-lam menangkis dengan pedang di tangan kanan.
Tio Hong-kwat cepat menarik pit dan secepat kilat kibaskan tiga batang pedang yang
terikat pada tangan kanannya. Tiga batang pedang yang lebih banyak menyerupai bentuk
belati itu diikat dengan rantai halus pada siku lengannya. Dapat digunakan sebagai
senjata biasa pun sebagai senjata rahasia yang ditaburkan ke musuh.
Siu-lam menggembor keras. Ceng-liong-kiam dia terus dibabatkan dengan jurus Thiatsoh-
lan-cou. Dalam beberapa bulan setelah mendapat pelajaran dari kakek Hian-song dan kedua
tokoh Siau-lim-si, Kak Bong dan Kak Hui, Siu-lam memperoleh kemajuan pesat sekali.
Ditambah pula dengan kecerdasan otaknya, dapatlah ia menggunakan apa yang telah
dipelajarinya itu dengan tepat dan cepat.
Cara mengendapkan pedang dan membalikkannya untuk menyerang, memang banyak
menghemat waktu tak sedikit. Dan gerakan yang singkat itu mengandung arti besar sekali
dalam menentukan kalah menang.
Tring" tepat sekali pedang Ceng-liong-kiam berhasil memapas belati yang dikibaskan
Tio Hong-kwat. Dan kutunglah belati itu menjadi dua dengan menimbulkan dering
gemerincing lengking suara.
Sama sekali Siu-lam tak mengira bahwa pedang pusaka pemberian ketua Siau-lim-si
ternyata sedemikian tajamnya. Ia sendiri tertegun.
Justru ia tengah tertegun, tiba-tiba Lo Kun membacok pinggangnya dan ruyung Kau
Cin-hong pun menutuk dada Siu-lam.
Sekalipun sebatang belatinya sudah terpapas tetapi Tio Hong-kwat masih mempunyai
dua batang belati. Dan tangan kanannya masih mencekal sebatang thiat-pit. Setelah
terkesiap sejenak, Tio Hong-kwat segera menyerang lagi.
Siu-lam memutar sepasang pedangnya melawan ketiga tokoh penyerangnya. Cengliong-
kiam dan Pek-kau-kiam diputar sederas hujan mencurah.
Beberapa bulan yang lalu, salah seorang dari ketiga tokoh itu tentu dapat mengalahkan
Siu-lam. Tetapi saat itu, keadaan jauh sekali bedanya.
Siu-lam telah mengembangkan ilmu pedang Tan lo-cianpwe (kakek dari Hian-song)
sedemikian hebat. Dalam setiap lima enam jurus tentu terdapat jurus yang sukar diduga
perubahannya sehingga musuh mau tak mau dipaksa mundur menghindar.
Tambahan pula Siu-lam mencekal sepasang pedang pusaka. Ibarat harimau tumbuh
sayap, ia dapat melayani ketiga tokoh itu dengan baik dan lancar.
Melihat itu, si nona baju merah kerutkan dahi. Jelas diketahui ketika masih di gunung
Kiu-kiong-san dahulu, pemuda itu masih lemah sekali kepandaiannya. Tapi mengapa
dalam waktu yang tak lama saja, dia sudah berubah menjadi seorang tokoh yang begitu
sakti. Betapapun cerdas otaknya, namun tak mungkin pemuda itu dapat mencapai
kemajuan yang sedemikian pesatnya. Jika dibiarkan, kelak pemuda itu tentu akan
merupakan bahaya besar. Seketika timbullah keganasan nona itu. Ia membisiki Pek Co-gi: "Dia mempunyai
sepasang pedang pusaka. Bantulah kawan-kawan kita dan segera bunuh pemuda itu.
Berikan pedang itu kepadaku!"
Pek Co-gi, jago Pukulan Tanpa Bayangan yang termasyhur di wilayah Tibet, ternyata
patuh sekali pada nona itu. Dengan menggembor keras ia loncat ke muka seraya
gerakkan kedua tangannya. Seketika menderalah angin badai dari pukulannya yang
dahsyat itu. Di dalam menghadapi pengeroyoknya, bermula Siu-lam berlaku hati-hati, hanya
bertahan diri tak mau membalas. Tapi sesudah lewat belasan jurus, nyali timbul.
Serangan ketiga tokoh itu ternyata hanya begitu saja. Pada saat ia memutuskan hendak
balas menyerang, tiba-tiba didengarnya Pek Co-gi menggembor keras dan menyerbu.
Seketika Siu-lam rasakan tubuhnya diserang oleh angin yang bertenaga kuat sekali
sehingga ia tersurut mundur tiga langkah dan sepasang pedangnyapun hampir lepas
jatuh. Memang Pek Co-gi telah membuka serangannya dengan ilmu Bu-ing-sin-kun, lalu ia
susul sekaligus dengan empat buah serangan.
Untung sebelumnya Siu-lam sudah kenal akan kelihayan ilmu pukulan Bu-ing-sin-kun.
Ia sudah berjaga-jaga. Maka begitu merasa angin pukulan itu menyambar, buru-buru ia
mundur. Tapi sekalipun begitu tak urung darahnya bergolak keras dan ia menderita luka dalam.
Buru-buru ia salurka lwekangnya untuk menyembuhkan luka itu. Ia tak mau mengunjuk
terluka dalam. Ia bersikap tenang seperti tak terjadi sesuatu. Ia sadar, kalau musuh
mengetahui ia terluka, mereka tentu akan menyerang sehebat-hebatnya.
Tapi lain bencana datang menyusul. Ialah dari si nona baju merah yang sudah melesat
ke hadapannya. Dan secepat ia pula kebutkan hud-tim ke tangan Siu-lam. Ia hendak
merebut sepasang pedang pusaka pemuda itu.
Tapi Siu-lam tak mau mudah begitu saja.
Pedang di tangan kiri digerakkan dengan jurus Pek-hun-jut-yu, menangkis kebutan si
nona. Nona baju merah itu ketawa melengking: "Ih, kau sudah terluka dalam. Jika tak lekas
menyalurkan tenaga, luka itu pasti mengembang dan jiwamu pasti takkan tertolong!
Sekalipun kau pura-pura memaksa diri menghadapi aku, tapi keadaanmu sudah payah.
Dalam tiga puluh jurus saja kau pasti sudah dapat kurubuhkan!"
Si nona menutup bicara dengan menghujani serangan-serangan. Siu-lam terkejut
karena nona itu sudah melihat keadaannya. Diam-diam ia memutuskan untuk
menurunkan tangan ganas. Ia sadar apabila sampai jatuh ke tangan musuh, nona itu
pasti takkan mengampuni jiwanya.
Sehabis menghindar dari tiga buah serangan pedang si nona, Siu-lam berkata: "Karena
aku pernah bertemu dengan orang tuamu, maka aku tak sampai hati melukaimu. Tetapi
mengapa engkau terus-menerus mengejar aku saja" Apa engkau kira aku benar-benar
takut kepadamu?" Yang dimaksud dengan orang tua si nona baju merah itu ialah orang tua she Hui yang
pernah menolong jiwanya ketika ia terhambur keluar dari perut gunung tempo hari.
Nona baju merah itu tertawa melengking: "Jangan ngaco belo tak keruan! Ayah
bundaku sudah meninggal dan aku dirawat oleh suhu. Jika engkau mau ketemu ayah
bundaku, pergilah ke akhirat!" ia menutup kata-katanya dengan tiga buah serangan
pedang. Dengan pedang Pek-kau-kiam, Siu-lam gunakan jurus Yap-hwe-soh-thian atau api
membakar langit untuk menahan ketiga serangan itu sedang Ceng-liong-kiam di tangan
kiri balas menyerang dengan jurus Se-lay-co-im. Ilmu pedang Se-lay-co-im ini ajaran dari
Kak Bong taysu. Ganas tapi mengandung welas asih.
Nona baju merah itu terkejut. Walaupun dalam taburan sinar pedang yang
berhamburan dari delapan penjuru itu masih terdapat beberapa lubang kelemahan, tetapi
ia tak tahu cara memecahkannya. Terpaksa ia mundur".
Tiba-tiba Sin-to Lo Kun menggembor keras dan menabas dengan golok kim-pwe-tonya.
Ilmu pedang Tat-mo-kiam dari Siau-lim-si, sekalipun merupakan ilmu pedang istimewa,
tetapi apabila akan menggunakan harus disertai dengan pengerahan tenaga dalam.
Dalam hal ini yang merupakan halangan bagi Siu-lam. Karena dadanya habis terkena
pukulan tanpa bayangan dari Pek Co-gi tadi, ia masih belum dapat menekan darahnya
yang bergolak-golak. Maka sewaktu menggunakan ilmu pedang Tat-mo-kiam, napasnya
terengah-engah. Terhadap tabasan golok Lo Kun, ia tidak berani menangkis tetapi loncat
menghindar. "Sekalipun aku memakai sepasang pedang pusaka dan mengerti ilmu pedang Tat-mokiam,
tetapi karena dadaku terluka pukulan Bu-ing-sin-kun, perlulah aku harus beristirahat
dulu. Apalagi kalau Pek Co-gi ikut menyerang lagi, tentu repot melayani," akhirnya ia
mengambil keputusan. Maka begitu melesat ke samping, tanpa memberi kesempatan musuh menyerangnya
lagi, ia terus lari ke dalam gereja.
"Kejar, dia sudah terluka dalam"!" teriak si nona baju merah.
Kawanan orang gagah itu rupanya taat sekali kepada si nona baju merah. Segera
mereka mengejar. Dengan paksakan diri, Siu-lam lari ke arah gereja. Untung dalam beberapa kejap ia
dapat mencapai pintu gereja. Empat orang paderi berjubah putih segera keluar
menyambut. "Hadanglah orang-orang yang mengejarku," kata Siu-lam seraya terus menerobos ke
dalam. Karena sudah kenal akan anak muda itu, keempat paderi itupun memberi jalan.
Kemudian mereka bersiap menyambut kawanan pengejar itu.
Baru beberapa langkah jauhnya, tiba-tiba Siu-lam teringat bahwa Pek Co-gi dengan Buing-
sin-kunnya itu merupakan bahaya besar. Dikuatirkan keempat paderi itu tak kuat
menghadapinya. Segera ia berhenti dan berpaling: "Harap siansu berempat berhati-hati
menjaga pukulan Bu-ing-sin-kun?" tiba-tiba ia teringat bahwa Pek Co-gi itu berasal dari
daerah Tibet, kemungkinan keempat paderi itu tersebut belum kenal ilmu pukulan
istimewa dari jago Tibet itu. Maka segera ia memberi penjelasan lagi: "Bu-ing-sin-kun
adalah ilmu pukulan istimewa. Pukulan itu tiada mengeluarkan suara. Baru ketahuan
setelah mengenai sang korban. Dia seorang gemuk pendek, harap hati-hati dan awasi
gerakan tangannya"."
Belum selesai ia memberi penjelasan tiba-tiba seorang paderi yang berada di sebelah
kiri terdengar mendesah tertahan dan terhuyung tiga langkah ke belakang".
Ternyata sewaktu Siu-lam memberi penjelasan, paderi itu sudah terkena pukulan Buing-
sin-kun dari Pek Co-gi. Siu-lam tergetar hatinya: "Jika aku memikirkan kepentingan diriku sendiri, keempat
paderi ini tentu hancur di tangan mereka. Sudah tentu aku malu terhadap Tay Ih siansu!"
Dengan pertimbangan itu, ia tak jadi masuk ke dalam tetapi melangkah keluar lagi. Ia
diam-diam kerahkan tenaga dalam menanti kedatangan musuh.
Saat itu pertempuran sudah pecah. Kecuali paderi yang belum-belum sudah terkena
pukulan Bu-ing-sin-kun tadi, yang tiga orang segera mengadakan perlawanan.
Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat, Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong dan Sin-to Lo Kun,
walaupun menyerang hebat tetapi ketiga paderi dengan senjata hong-pian-jan dan thiatsiang-
ciang itu telah memberi perlawanan yang gigih.
Melihat itu si nona baju merah memperhitungkan bahwa sekalipun bertempur sampai
seratus jurus, tetap takkan ada kesudahannya. Ia mulai gelisah menyaksikan
pertempuran seru. Begitu seru sehingga sukar dibedakan mana lawan mana kawan.
Dalam keadaan begitu Pek Co-gi pun tak sempat melancarkan pukulan sakti Bu-ing-sinkun
lagi. Tak dapat lagi si nona baju merah itu menahan diri. Segera ia melesat menyerbu ke
tengah pertempuran. Dengan pedang ia menusuk dada seorang paderi dan hud-tim di
tangan kiri mengebut lengan seorang paderi di sebelah kiri.
Desakan nona itu memaksa kedua paderi Siau-lim-si tadi mundur selangkah.
Memang ilmu silat dari Beng-gak mempunyai aliran tersendiri. Selain jurus-jurusnya
yang aneh, pun sangat ganas. Jauh bedanya dengan ilmu silat yang kebanyakan. Begitu
nona baju merah itu terjun dalam pertempuran, situasinya segera berubah. Ketiga paderi
itu bingung tak keruan menghadapi serangan si nona yang menggunakan jurus-jurus
serba aneh dan ganas. Saat itu Siu-lam sudah sempat menyalurkan lwekangnya. Melihat ketiga paderi
terdesak, ia segera loncat membantu.
Memang sejak makan kuwih Cwan-hiong-kau dari paderi Kak Bong dan disaluri tenaga
sakti dari paderi itu, ia merasa terdapat perubahan dalam tubuhnya. Maka dalam waktu
yang singkat saja, ia sudah pulih tenaganya.
Tiba-tiba terdengar suara doa yang nyaring. Tay Hi siansu dengan diiringi dua belas
ko-chiu Siau-lim-si berlari-lari mendatangi.
Diam-diam Siu-lam menimang. Dalam keadaan berbahaya seperti saat itu, tak perlulah
kiranya harus memegang tata susila kaum persilatan lagi. Apalagi menghadapi
gerombolan Beng-gak yang ganas. Biarlah rombongan paderi Siau-lim-si itu segera maju
serempak menghantam musuh.
Dalam pada menimang itu, Siu-lampun sudah lancarkan tusukan dengan pedang Cengliong-
kiam ke arah si nona. Setiap kali beradu senjata dengan Siu-lam, nona itu merasa bahwa pemuda itu
sekarang bertambah pesat sekali lwekangnya. Diam-diam nona itu tak berani memandang
ringan. Sedapat mungkin ia menghindari benturan senjata. Tetapi Siu-lam agaknya
sengaja mencari kesempatan untuk adu kekerasan dengan nona itu.
Tring, tring, tring, dengan sebuah gerak yang secepat kilat menyambar, Siu-lam
sekaligus menangkis tiga buah tusukan si nona yag dilancarkan kepada ketiga paderi.
Tiba-tiba Pek Co-gi menggembor keras dan serentak menerjang Siu-lam. Dengan jurus
Tio-to-ni-liong atau Menjolok naga kuning, tinjunya menghujam ke dada Siu-lam.
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jago gendut dari Tibet itu memiliki tenaga yang kuat sekali. Setiap pukulannya tentu
menimbulkan deru angin yang menyeramkan.
Yang paling dikuatirkan Siu-lam hanyalah pukulan Bu-ing-sin-kun. Karena pukulan
yang tak bersuara itu sukar untuk dijaga. Maka ia harus cepat-cepat menundukkan jago
Tibet itu lebih dulu. Begitu menghindar, sambil berputar ia menyerang sekuat-kuatnya.
Setelah terlepas dari serangan Siu-lam, kegagahan nona baju merah itu mulai tampak
lagi. Sekaligus ia lancarkan tiga buah serangan pedang kepada ketiga paderi sehingga
paderi-paderi itu kelabakan dibuatnya.
Untunglah pada saat itu Tay Hi siansu dan rombongannya sudah tiba. Mereka segera
menyerbut nona baju merah itu.
Tay Hi siansu merupakan salah seorang paderi Siau-lim-si yang tinggi kedudukannya.
Ilmu kesaktiannya pun amat disegani. Ia memutar tongkat sian-cian laksana hujan
mencurah. Beberapa jurus kemudian, nona baju merah itu merasa tertekan. Buru-buru ia
curahkan perhatiannya untuk melayani Tay Hi.
Karena terlepas dari tekanan si nona, kini barisan paderi Siau-lim-si mulai tersusun lagi.
Pertempuran antara Siu-lam dan Pek Co-gi berlangsung seru sekali. Dengan sepasang
pedang pusaka dan ilmu permainan pedang yang beraneka coraknya, Siu-lam dapat
memaksa jago Tibet kelabakan setengah mati.
Dalam beberapa kejap saja, kedua jago itu sudah melangsungkan pertempuran sampai
lebih dari duapuluh jurus. Tiba-tiba Siu-lam merasa bahwa tenaga dalamnya sekarang
jauh lebih maju dari dulu. Setelah sempat mengawasi bahwa situasi pertempuran tidak
lagi membahayakan kedudukan Siau-lim-si, mulailah ia lancarkan ilmu pedang ajaran
kakek dari Hian-song, ialah ilmu sakti Jiuw-toh-co-hua. Pedang Ceng-liong-kiam
berhamburan laksana hujan mencurah dari langit.
Pek Co-gi tergetar dan loncat mundur. Ilmu pedang yang belum lengkap itu, tetap
tiada tandingannya. Siu-lam memburu terus. Dia tak memberi kesempatan pada Pek Co-gi lagi. Begitu
loncat terus menyerangnya gencar.
Dalam keadaan terdesak, Pek Co-gi menghantam sekuat-kuatnya dan tangan kiri
gunakan ilmu Kim-na-chiu untuk mencengkeram lengan Siu-lam.
Ceng-lion-kiam dimainkan Siu-lam dalam jurus It-chiu-gin-hoa. Dan untuk menghindari
cengkeraman musuh, ia miringkan tubuh ke samping. Kemudian Pek-kau-kiam ditaburkan
dalam jurus Sin-liong-sam-sian.
Gerakan yang hebat dari anak muda itu kembali memaksa jago Tibet itu mundur dua
langkah. Siu-lam tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Pedang ditaburkan dalam jurus Jiu-tohco-
hua dan mundurlah Pek Co-gi beberapa langkah.
Hanya dalam beberapa kejap saja, Siu-lam telah memaksa Pek Co-gi mundur sampai
tiga tombak jauhnya. Dalam kesempatan yang luang, ia berkata dengan perlahan kepada
jago Tibet itu: "Harap lo-cianpwe mundur ke balik gunung itu, wanpwe hendak bicara sedikit!"
Sambil lancarkan dua buah pukulan, Pek Co-gi berseru: "Mau bilang apa, lekas
katakanlah sekarang saja!"
Kuatir jago Tibet itu akan mendapat kesempatan untuk melancarkan pukulan Bu-ingsin-
kun, Siu-lam mendesaknya lagi dengan hamburan pedang dan bicara lagi: "Maaf, Buing-
sin-kun memang sukar dijaga, maka wanpwe terpaksa mendesak begini" Tapi di sini
bukan tempat yang cocok untuk berbicara," katanya setelah berhenti sejenak: "Jika locianpwe
percaya, harap lo-cianpwe suka mundur beberapa tombak lagi."
Dalam pada berbicara Siu-lam tak hentinya mempergencar serangan pedangnya untuk
mendesak jago Tibet itu supaya mundur.
Rupanya Pek Co-gi mau mendengar permintaan Siu-lam mundur beberapa langkah.
Tiba-tiba Siu-lam kendorkan serangan pedangnya dan sambil tersenyum ia berkata:
"Lo-cianpwe, jika lo-cianpwe merasa sulit meluluskan permintaan wanpwe, baiklah kita
bicara saja sambil bertempur, setuju?"
"Bicaralah!" sahut Pek Co-gi.
Siu-lam menghela napas dan berkata dengan rawan: "Lo-cianpwe seorang yang berilmu
sakti dan harum namanya. Tapi mengapa lo-cianpwe rela menjadi kaki tangan
gerombolan Beng-gak" Wanpwe benar-benar tak mengerti!"
Jago Tibet menatap Siu-lam. Tiba-tiba ia menyerang dengan kedua tangannya.
Sekaligus ia lancarkan lima jurus serangan: "Itu urusanku pribadi, orang lain tak berhak
mencampuri!" Siu-lam taburkan tiga jurus taburan pedang, sahutnya: "Sudah tentu orang lain tak
berhak mencampuri urusan lo-cianpwe. Tapi jelas bahwa gerombolan Beng-gak itu
memusuhi dunia persilatan. Dengan membantu Beng-gak berarti memusuhi segenap
kaum persilatan di Tiong-goan!"
Agaknya Pek Co-gi tertarik oleh ucapan itu. Kedua tangannya mulai kendor.
Anak muda itu kembali menghela napas. Katanya pula: "Dari daerah Tibet yang jauh,
lo-cianpwe memerlukan menghadiri pertemuan orang gagah di gunung Thay-san. Dengan
pukulan Bu-ing-sin-kun, lo-cianpwe telah menggemparkan para orang gagah. Pendirian
dan sikap lo-cianpwe yang bersedia mencampuri pergolakan dunia persilatan di Tionggoan
itu, benar-benar suatu tindakan yang luhur perwira. Betapa keji dan ganas
gerombolan Beng-gak mengalahkan rombongan orang gagah dengan siasat licik, kiranya
lo-cianpwe tentu sudah mengetahui sendiri."
Dalam pada berbicara, Siu-lam pun mengimbangi gerakan Pek Co-gi dengan
mengendorkan serangan pedangnya.
"Walaupun dari daerah Tibet, tapi lo-cianpwe sudah kenal semua kaum persilatan di
Tiong-goan. Tujuan kaum persilatan di manapun pasti sama, yakni membela keadilan dan
kebenaran serta membasmi kejahatan dan kelaliman. Membantu gerombolan jahat,
walaupun dapat menguasai dunia persilatan, tapi hal itu bertentangan dengan hati nurani
kita"." "Dengan kepandaian yang lo-cianpwe miliki, lo-cianpwe tentu mendapat sambutan dan
perindahan tinggi dari kaum persilatan Tiong-goan. Lo-cianpwe dapat membentuk sebuah
partai di sini untuk bersama-sama lain partai, menentramkan dunia persilatan. Dan dalam
kesempatan, lo-cianpwe tentu dapat memperebutkan kedudukan pemimpin partai
persilatan Tiong-goan. Bukankah itu suatu cita-cita luhur" Perlu apa lo-cianpwe
berhamba kepada orang lain" Bukankah lo-cianpwe sendiri sudah cukup untuk menjadi
pendiri dari sebuah partai persilatan" Ucapan wanpwe ini keluar dari hati nurani wanpwe,
mohon lo-cianpwe suka mempertimbangkan"."
Tiba-tiba Pek Co-gi hentikan serangannya.
"Benar," sahutnya, "siapa tak tahu diriku ini, masakan mau menjadi kaki tangan
orang"." "Benar, benar," seru Siu-lam, "apabila lo-cianpwe menyadari kesalahan langkah itu,
wanpwe bersedia membawa"."
Belum Siu-lam selesai berkata, tiba-tiba Pek Co-gi teringat sesuatu yang mengerikan.
Tubuhnya agak gemetar. Serentak menggembor keras, ia ayunkan pukulan lagi.
Siu-lam heran mengapa pada saat jago Tibet hampir menyadari kesalahannya, tiba-tiba
dia merubah haluan dan memukulnya lagi. Terpaksa Siu-lam lompat mundur dan berseru:
"Lo-cianpwe"."
Tetapi Pek Co-gi seperti orang limbung. Dia malah gunakan sepasang tangannya untuk
memukul. Karena Siu-lam tak menduga dan tak bersiap dulu, walau mempunyai sepasang
pedang mustika, tapi ia benar-benar terdesak dan tak mampu menggunakannya.
Hanya beberapa kejap saja, Siu-lam sudah terdesak mundur sampai di tempat semula
mereka bertempur tadi. Tetapi si nona baju merah rupanya curiga. Berpaling ke arah Pek Co-gi, ia berseru:
"Hm" kalian bicara asyik sekali."
Pek Co-gi terkesiap. Dan pukulannyapun agak kendor. Kesempatan itu digunakan
sebaik-baiknya oleh Siu-lam untuk menyerang dengan pedangnya.
Kali ini Siu-lam tidak mau mengalah lagi. Sepasang pedangnya dikembangkan benarbenar.
Oleh karena dia memiliki berbagai ilmu pedang yang berbeda sumbernya, maka
serangannyapun penuh dengan variasi yang aneh-aneh sehingga Pek Co-gi dipaksa
mundur lagi. Sambil menangkis, diam-diam Pek Co-gi heran atas permainan ilmu pedang lawan.
Tanpa suatu urut-urutan jurus ilmu pedang tertentu dan sepasang pedangnya
menerbitkan hawa dingin yang menegakkan bulu roma. Jika terus menerus bertempur
melawannya, ia kuatir tentu akan menderita kerugian.
"Ah, jika tidak aku dahului menurunkan pukulan maut, aku sendirilah yang akan
celaka," diam-diam jago Tibet itu telah mengambil keputusan.
Untuk melaksanakan keputusan itu, ia kerahkan tenaga dalam sambil loncat ke
samping. Tetapi Siu-lam sudah mempunyai rencana juga. Ia tak mau memberi
kesempatan jago Tibet itu dapat melepaskan pukulan Bu-ing-sin-kunnya. Ia loncat
membayangi Pek Co-gi. Tiba-tiba Pek Co-gi berbalik tubuh dan ayunkan tangan kanannya. Karena sudah
berulang kali menderita pukulan Bu-ing-sin-kun, Siu-lam sangat berhati-hati sekali. Begitu
melihat orang mengangkat tangannya, diapun cepat-cepat menyelinap ke samping.
Tapi ternyata jago Tibet itu menggunakan siasat. Tamparannya itu hanyalah gerakan
hampa. Begitu Siu-lam berdiri di samping, barulah ia lepaskan pukulan yang
sesungguhnya. Bu-ing-sin-kun merupakan pukulan istimewa yang sama sekali tak mengeluarkan suara.
Pukulan itu mengandung gelombang halus dari tenaga lwekang lunak.
Betapapun Siu-lam sudah berlaku hati-hati sekali, tetapi dia tak menyangka sama sekali
kalau Pek Co-gi akan menyiasatinya. Begitu melihat Pek Co-gi menghampiri, segera ia
julurkan Ceng-liong-kiam untuk menahan lawan. Tetapi sekonyong-konyong ia rasakan
dirinya terlanda oleh arus tenaga yang lembut. Bukan main terkejutnya dia. Buru-buru ia
loncat ke belakang. Pukulan Bu-ing-sin-kun yang dilancarkan Pek Co-gi itu menggunakan delapan bagian
tenaga lwekangnya. Hebatnya bukan kepalang. Sekalipun Siu-lam sudah mempunyai
pengalaman untuk menghindari pukulan itu, tetapi tak urung darah dalam tubuh bergolak
keras, mata berkunang-kunang.
Secepat kilat Pek Co-gi kibaskan tangan kanannya dan tahu-tahu sudah mencengkeram
siku lengan anak muda itu. Tring"! Siu-lam rasakan tangan kirinya kesemutan dan
terlepaslah pedang Ceng-liong-kiam dari cekalannya.
Pedang Ceng-liong-kiam berpindah tangan ke tangan Pek Co-gi.
Siu-lam telah menderita luka dalam yang parah. Tetapi kesadaran pikirannya masih
terang. Pedang Pek-kau-kiam yang dicekal di tangan kanannya itu segera ditaburkan di
dalam jurus Se-lay-co-im, yakni salah satu jurus istimewa dari ilmu pedang Tat-mo-kiam.
Seketika Pek Co-gi terkurung dalam lingkaran sinar pedang. Karena ia maju merebut
pedang Ceng-liong-kiam tadi, maka jaraknya dekat sekali dengan Siu-lam. Dengan begitu
ia tak mampu keluar lagi dari kurungan sinar pedang si anak muda.
Dalam keadaan itu Pek Co-gi menjadi kalap. Dia hendak mati-matian membobolkan
sinar pedang yang mengepungna. Dengan sekuat tenaga ia ayunkan pedang
rampasannya untuk menghantamkan sinar pedang yang mengurung di atas kepalanya.
Tat-mo-kiam sekalipun luar biasa dahsyatnya, tetapi permainan pedang itu masih
mengandung gerak yang memberi kelonggaran kepada musuh. Memang ketika Tat Mocou,
cikal bakal pendiri Siua-lim-si menciptakan ilmu pedang tersebut, dia telah
memperhitungkan tentang kemungkinan yang akan dialami musuh dalam menghadapi
taburan Tat-mo-kiam itu. Sengaja ia menyelipkan suatu gerak yang kendor dalam setiap
jurus perubahan ilmu pedang itu. Maksudnya tak lain supaya orang sempat
mengundurkan diri. Tetapi ternyata Pek Co-gi memilih adu kekerasan. Ia tahu anak muda itu tentu sudah
terluka dalam sehingga tenaganya tentu berkurang. Tetapi apa yang terjadi benar-benar
tak diduganya. Ketika sepasang pedang itu saling beradu keras, Pek Co-gi terhuyung-huyung mundur
dengan tubuh berlumuran darah. Itulah akibatnya dia berani mengadu kekerasan. Tatmo-
kiam memberi kelonggaran tetapi dia malah membentur. Hasilnya, tubuhnya telah
berhias tiga buah tusukan pedang.
Tetapi keadaan Siu-lam sendiripun tak kurang menyedihkan. Sesungguhnya akibat
pukulan Bu-ing-sin-kun tadi ia sudah terluka dalam dan tenaganya berkurang sekali.
Adalah karena dirangsang kemarahan pedangnya direbut itu, maka ia menyerang Pek Cogi
dengan sisa tenaganya yang masih. Setelah berhasil melukai orang darahnya meluap
keluar dari mulutnya. Si nona baju merah yang tengah bertempur melawan Tay Hi siansu, terkejut ketika
mendengar gemboran Siu-lam. Cepat ia berpaling. Ketika menampak Pek Co-gi sudah
berhasil merebut pedang Ceng-liong-kiam, girangnya bukan kepalang.
"Lekas, berikan pedang itu kepadaku!" serunya.
Karena perhatiannya tertuju pada pedang yang direbut Pek Co-gi, ia agak lambat. Dan
keayalan itu cukup memberi kesempatan Tay Hi siansu untuk melancarkan serangan
tongkat yang dahsyat. Nona itu kelabakan sekali.
Sedang Pek Co-gi pun sudah mencekal pedang Ceng-liong-kiam tapi karena tiga
tusukan dari pedang Siu-lam itu cukup parah, darah banyak keluar, ia harus lekas-lekas
menyalurkan lwekang untuk menghentikannya. Dengan begitu ia tak dapat melancarkan
pukulan Bu-ing-sin-kun lagi. Jika saja saat itu ia masih punya kemampuan untuk
menyusulkan sebuah pukulan Bu-ing-sin-kun lagi, dapat dipastikan Siu-lam sudah habis
riwayatnya. Pertempuran kedua jago itu benar-benar merupakan pertempuran yang berakibat
keduanya menderita luka parah.
Melihat Siu-lam luka parah, empat paderi Siau-lim-si segera lari menghampiri dan
menggotongnya ke dalam gereja. Siu-lam dipanggul oleh salah seorang paderi, yang
seorang lagi melindunginya. Sedang yang dua, segera menyerbu Pek Co-gi untuk merebut
pedang Ceng-liong-kiam. Si nona baju merah sekalipun terdesak dalam taburan tongkat Tay Hi siansu, tapi setitik
pun ia tak mau melepaskan keinginannya untuk menguasai pedang Ceng-liong-kiam.
Ketika melihat dua orang paderi lari menghampiri ke tempat Pek Co-gi yang tak
berkutik, nona itu menjadi gugup. Tiba-tiba ia lancarkan jurus Cu-pit Tiam-hun. Ujung
pedangnya berubah menjadi tiga bintik sinar perak yang memagut sikut lengan Tay Hi
siansu. Jurus itu sangat ganas sekali dan Tay Hi pun terpaksa mundur.
Begitu Tay Hi mundur, secepat kilat nona itu loncat ke samping dan kebutkan hudtimnya
ke arah paderi yang menerjang dari samping kiri Pek Co-gi. Sedang dengan
pedang ia menusuk paderi yang menyerang dari samping kanan. Pedang dan hud-tim
bergerak luar biasa cepatnya, tepat pada saat kedua paderi itu hantamkan tongkatnya ke
arah Pek Co-gi. Jika kedua paderi itu tak menarik tongkatnya, Pek Co-gi tentu terluka. Tetapi kedua
paderi itupun pasti terluka juga oleh si nona baju merah. Kedua paderi itu terpaksa
mundur. Si nona membuat suatu gerakan yang luar biasa. Ia timpukkan pedangnya ke arah
paderi di sebelah kanan, sedang hud-tim dikebutkan untuk menangkis serangan paderi di
sebelah kiri. Dan tangan kanan yang sudah tak mencekal pedang itu cepat menyambar
pedang Ceng-liong-kiam di tangan Pek Co-gi.
Meskipun jago Tibet itu sedang menyalurkan tenaga untuk menghentikan
pendarahannya, tetapi ilmu kepandaiannya masih belum punah. Begitu tangan si nona
menyentuh tangannya, serentak jago Tibet itu kibaskan pedangnya menusuk!
Si nona terkejut sekali. Buru-buru ia loncat ke samping dan menjerit: "Pek Co-gi,
engkau gila. Akulah!"
Betapapun cepatnya ia menghindar tetapi tak urung betisnya termakan pedang
sehingga mengucurkan darah".
Teriakan itu telah menyadarkan Pek Co-gi. Ia terkesiap karena kekeliruannya itu.
Tring, terdengar senjata beradu keras. Timpukan pedang si nona baju merah tadi,
ditangkis oleh tongkat si paderi. Kemudian paderi itu menyerbunya.
"Lekas berikan pedang itu!" teriak si nona.
Pek Co-gi agak berubah wajahnya tetapi iapun segera menyerahkan pedang pusaka itu.
Sesaat nona itu menerima pedang Ceng-liong-kiam, diapun sudah diserang oleh Tay Hi
siansu dan kedua paderi. Tay Hi telah menyerangnya dengan jurus Ngo-ting-biat-san,
membelah kepala si nona. Paderi tua yang sabar itu, agaknya telah dirangsang kemarahan karena melihat
keadaan gereja Siau-lim-si yang kacau balau. Pukulannya itu dilancarkan dengan sepenuh
tenaga. Melihat itu Pek Co-gi menggembor keras. Dua kali ia lancarkan pukulan Bu-ing-sin-kun.
Kedua paderi yang menyerang dari samping itu segera rasakan dadanya tergetar, macam
orang yang dihantam palu besi. Darah bergolak keras dan orangnyapun segera terhuyung
mundur tiga langkah. Tongkat mereka pun terlepas jatuh.
Nona baju merah itu memang memiliki kepandaian silat yang amat tinggi. Sekonyongkonyong
ia berputar tubuh mengisar dua langkah ke samping, lalu menabas tongkat Tay
Hi. Sesungguhnya ia sayang sekali akan pedang pusaka itu. Tetapi dalam detik-detik
berbahaya ia tak menghiraukan suatu apa lagi.
Tring, terdengar dering melengking nyaring. Tongkat Tay Hi terkisar ke samping, ia
loncat mundur dan nona itupun mengisar ke samping.
Ketika memeriksa, ternyata tongkat Tay Hi kutung separuh. Demikian nona itu. Ia
juga memeriksa pedangnya. Tetapi ternyata pedang itu tak kurang suatu apa. Girangnya
bukan kepalang sehingga luka pada betisnya tadi tak dirasakan sama sekali. Dengan
memekik nyaring, ia menyerang Tay Hi lagi.
Sehabis melepaskan dua buah pukulan Bu-ing-sin-kun, memang Pek Co-gi telah dapat
melukai kedua paderi Siau-lim-si. Tetapi dia sendiri pun makin payah keadaannya.
Pendarahannya yang sudah hampir berhenti kembali merekah dan mengucur darah lagi".
Sementara itu karena melihat kedua kawannya terluka, beberapa paderi yang menjaga
pintu gereja segera menyerbu. Empat orang paderi dengan senjata masing-masing segera
menyerbu. Tetapi setelah memiliki pedang pusaka, nona baju merah itu ibarat harimau tumbuh
sayap. Serangannya tambah sadis. Sedang Tay Hi harus berhati-hati jangan sampai
tongkatnya terpapas lagi.
Sesungguhnya kepandaian kedua orang itu berimbang. Hanya karena si nona lebih
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
unggul dalam senjata, Tay Hi agak terpancang gerakannya. Serangan si nona membuat
kelabakan. Apalagi jurus-jurus permainan pedang si nona itu memang aneh maka dengan
cepat ia dapat menang angin. Dalam lima jurus saja, paderi Siau-lim-si itu sudah
kelabakan setengah mati. Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong, Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat, Sin-to Lo Kun dan Tuihong-
tiau Ngo Cong-gi tengah bertempur seru dengan rombongan paderi Siau-lim-si.
Walaupun tahu keadaan Pek Co-gi yang payah itu, tapi mereka tak dapat menolong.
Sekonyong-konyong terdengar lengking yang nyaring. Sesosok tubuh melayang tiba.
Empat paderi yang menyerang Pek Co-gi telah mencelat senjatanya.
Kawanan paderi itu terpaksa mundur. Ketika mengamati ternyata yang muncul itu
seorang dara baju biru. Tangan kirinya mencekal sebatang pedang, tangan kanan sebuah
senjata aneh semacam tanduk rusa. Nona itu tegak berdiri di samping Pek Co-gi.
"Berhenti!" teriaknya. Dan si nona baju merahlah yang pertama-tama menarik
senjatanya terus loncat mundur.
Kau Cin-hong, Tio Hong-kwat, Ngo Cong-gi dan Lo Kun, setelah melancarkan dua kali
serangan dahsyat, pun lalu loncat mundur.
Nona baju biru itu sejenak sapukan matanya memandang ke sekeliling. Serunya
dengan nada dingin: "Siapakah yang menjadi pimpinan rombongan paderi itu?"
Suaranya garang, sikapnya angkuh sekali.
Tay Hi mendengus dingin: "Anak wanita masih begitu muda. Jika ada urusan apa-apa,
silahkan bicara pada loni!"
Tay Hi, paderi yang penuh toleransi dan kesabaran, karena menyaksikan keadaan
gereja diobrak-abrik orang Beng-gak, membenci sekali kepada setiap anak buah Beng-gak.
Nona baju biru itu tersenyum, serunya: "Di antara sekian banyak paderi yang berada di
sini, memang engkaulah yang paling tua. Sebenarnya hal itu sudah kuketahui dan tak
perlu kutanyakan lagi!"
Tay Hi menukas: "Sebaiknya li-sicu jangan bicara yang tiada berguna"."
Jilid 26 NONA itu kerutkan alis. Wajahnya menampilkan hawa pembunuhan, serunya: "Kasih
tahulah kepada pemimpin gerejamu ini, nanti lewat tengah malam, guruku bersama
rombongan jago-jago Beng-gak, akan berkunjung kemari. Masihlah ada kesempatan
apabila kalian hendak menginginkan perdamaian. Asal kalian suka menggabungkan diri ke
dalam rombongan Beng-gak, tentu terhindar dari malapetaka. Tengah malam belum ada
pernyataan, begitu sudah terlanjur masuk ke dalam gereja ini, tentu sukar ditolong lagi"."
"Gereja Siau-lim-si cukup dikenal dalam dunia persilatan. Dengan kata-katamu yang
sombong itu, seharusnya loni segera memberi hajaran kepadamu"."
Tiba-tiba nona baju merah tertawa mengikik, ujarnya: "Hanya dengan mengandalkan
kepandaianmu yang tak berarti" Hm, apakah engkau tak takut lidahmu disambar angin?"
Nona baju biru memberi isyarat dengan tangan: "Tak perlu banyak bicara dengan dia.
Ayo, kita pergi!" katanya seraya mendahului pergi.
Si nona baju merah dan ketiga tokoh yang sudah menjadi kaki tangan Beng-gak itu,
segera mengikutinya. Dalam pertempuran tadi, Tay Hi mengetahui bahwa kepandaian nona baju merah itu
tak di bawahnya. Sejenak ia tertegun tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tiba-tiba terdengar suara Siu-lam berseru dengan suara yang lemah: "Jangan mengejar
mereka! Lebih baik kita masuk ke dalam dan berunding menyiapkan rencana!"
Karena berterima kasih atas bantuan pemuda itu dalam menyelamatkan gereja Siaulim-
si, Tay Hi mengindahkan sekali pada Siu-lam.
"Harap Pui sicu beristirahat dengan tenang. Biarlah loni yang memberitahukan hal ini
kepada Tay Ih suheng," katanya.
Siu-lam menghela napas: "Saat ini aku sedang melakukan pernapasan. Maaf, tak dapat
ikut ke dalam. Apabila Tay Ih siansu dapat datang kemari, ah sungguh beruntung sekali!"
Sebenarnya dengan dilindungi oleh beberapa paderi, Siu-lam tengah menyalurkan
lwekang untuk menyembuhkan luka yang dideritanya dari pukulan Bu-ing-sin-kun Pek Cogi.
Tetapi karena mendengar pembicaraan antara si nona baju biru dengan Tay Hi siansu
tadi, ia tak kuasa menahan diri untuk tidak sambung bicara.
Diam-diam Tay Hi suheng membatin: "Saat ini Tay Ih suheng sedang dalam kedudukan
sebagai ketua gereja. Dan kedudukannya berat sekali. Bagaimana dapat mengundangnya
keluar menemui anak muda ini"."
Tiba-tiba terdengar suitan panjang yang seolah-olah menembus angkasa. Dan dengan
cepat sekali dua sosok bayangan melesat tiba. Ah, kiranya Pak-koay Ui Lian dan Lam-koay
Shin Ki yang muncul. Dengan mata berkilat-kilat Pak-koay menatap Siu-lam seraya berkata: "Hai, mengapa"
Apakah engkau terluka?"
"Benar, memang terluka," sahut Siu-lam.
Pak-koay segera menghampiri, mengulurkan tangannya: "Bagaimana kalau kubantu
engkau memberi saluran tenaga supaya cepat sembuh!"
Bermula Siu-lam curiga jangan-jangan orang itu hendak mencelakakan dirinya. Tetapi
pada lain kilas ia hilangkan kecurigaan itu. Kalau memang bermaksud jahat, tentu dengan
terang-terangan mereka dapat melakukannya.
"Silahkan lo-cianpwe melakukan," katanya serentak.
Sesungguhnya Pak-koay Ui Lian memang mempunyai rencana jahat untuk diam-diam
mencelakai pemuda itu. Tetapi demi mendengar jawaban Siu-lam yang tegas dan berani,
dia malah tak enak hati sendiri. Segera ia letakkan tangannya ke dada anak muda itu.
Serentak Siu-lam segera rasakan suatu hawa panas yang keras, menyalur ke dalam
tubuhnya. Buru-buru ia kerahkan lwekang untuk menyambut pancaran hawa itu.
Agaknya Lam-koay Shin Ki tak puas karena Pak-koay memberi saluran lwekang itu. Dia
pun melangkah maju dan tanpa berkata suatu apa terus lekatkan tangannya ke punggung
Siu-lam. Pak-koay mendengus dingin. Tiba-tiba ia perkeras tenaga salurannya. Siu-lam
didorongnya ke belakang dan serentak dengan itu ia menyalurkan lwekangnya lebih keras
lagi. Lam-koay balas tertawa dingin. Dia pun tak mau mengalah, salurannya lwekang ke
tubuh si anak muda diperhebat untuk menghalau saluran lwekang Pak-koay.
Celaka" tubuh Siu-lam telah dijadikan medan adu lwekang dari kedua tokoh aneh itu.
Mereka saling penasaran dan makin menambah hebat salurannya. Dengan demikian, Siulam
makin menderita. Ia rasakan darah dan perkakas dalam tubuhnya seperti copot,
darah bergolak-golak seperti kuda binal, sakitnya bukan alang-kepalang".
Tetapi kedua tokoh aneh itu tak menghiraukan penderitaan anak muda itu. Mereka
hanya mencari kepuasan untuk melampiaskan nafsu hatinya. Sekalipun diketahuinya
bagaimana anak muda itu menderita setengah mati, namun mereka tetap tak mau
menghentikan pancaran tenaga saktinya, sebelum ada yang kalah dan menang.
Sesungguhnya Siu-lam sudah tak kuat lagi.
Ketika ia hendak berseru meminta kedua tokoh itu hentikan saluran mereka, tiba-tiba ia
rasakan serangkum hawa hangat yang aneh, menyusup ke dalam perut. Hawa itu panas
sekali dan Siu-lam merasa seperti dibakar tubuhnya, ia tak jadi membuka mulut karena
harus mengerahkan tenaga dalam untuk menolaknya.
Ternyata karena marah maka Lam-koay Shin Ki telah memancarkan lwekang Cek-yanciang.
Pak-koay Ui Lian tertawa dingin. Diapun tak mau kalah dan memancarkan lwekang
Hian-ping-ciang yang dingin seperti es.
Dua macam lwekang sakti panas dan dingin telah menyerang tubuh Siu-lam. Dapat
dibayangkan betapa penderitaan anak muda itu". Dia sebentar merasa seperti dibakar,
sebentar lagi merasa seperti dibenam dalam laut es!
Melihat penderitaan anak muda itu, Tay Hi tak dapat tinggal diam. Segera ia
menghampiri. "Harap sicu berdua suka hentikan penyaluran. Jika diteruskan, kiranya Pui sicu tentu
tak dapat bertahan lagi!" serunya.
Pak-koay Ui Lian deliki mata kepada paderi itu dan membentaknya: "Lekas, enyah!"
Tay Hi siansu tertegun, serunya: "Apa?"
Pak-koay Ui Lian berteriak marah: "Apa engkau tuli" Pergilah!" dengan tangan kanan
masih melekat pada dada Siu-lam, tangan kirinya tiba-tiba ditamparkan ke arah Tay Hi
siansu. Serangkum tenaga keras segera melanda paderi itu. Tay Hi terkejut dan buru-buru
menangkis tetapi tak urung ia terdampar mundur dua langkah. Diam-diam ia terperanjat:
"Hm, hebat benar lwekang orang ini. Hanya tangan kirinya saja sudah sedemikian
dahsyat. Kepandaiannya tentu luar biasa"."
Huak" sekonyong-konyong Siu-lam muntahkan segumpal darah segar. Ia benar-benar
tak tahan lagi. Dan pingsanlah anak muda itu.
Sekalipun anak muda itu sudah pingsan, kedua manusia aneh itu tak mau hentikan adu
lwekangnya. Yang satu melekatkan telapak tangannya ke dada Siu-lam, yang satu di
punggung anak muda itu. Tay Hi gelisah sekali. Siu-lam sudah pingsan. Jika kedua tokoh itu tetap tak mau
hentikan penyaluran lwekangnya, Siu-lam tentu akan hancur binasa".
Tetapi Tay Hi menginsyafi. Kepandaiannya tak mampu menandingi mereka. Apalagi
mengingat saat itu Siau-lim-si sedang terancam gerombolan Beng-gak yang ganas. Jika
mencari permusuhan lagi kepada kedua tokoh sakti itu, tentu lebih menambah kesulitan.
Namun ia pun tak dapat melihat anak muda itu menderita kebinasaan di tangan kedua
manusia yang tak kenal kasihan itu. Pemuda itu harus diselamatkan".
Tengah ia bingung tak tahu apa yang harus dilakukan, tiba-tiba terdengar derap kaki
orang berlari mendatangi. Kiranya Tay Ih siansu dengan diiringi Tay Lip, Tay To dan
delapan ko-chiu Siau-lim-si tengah berlari mendatangi. Dalam beberapa kejap saja
mereka sudah tiba. Menyaksikan keadaan Siu-lam, Tay Ih kerutkan alis dan menegur Tay Hi: "Pui sicu
adalah bintang penolong gereja kita. Mengapa engkau diam saja melihat dia berada
dalam kesukaran?" Tay Hi rangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada suhengnya yang kini
menjadi pejabat pimpinan gereja itu: "Siaute telah meminta mereka, tetapi kedua sicu itu
tak mau meluluskan permintaan siaute. Siaute memang sedang bingung untuk mengambil
langkah!" Tay Ih berpaling ke arah Tay Lip dan Tay To, memberi isyarat kepada mereka supaya
siap menghadapi musuh yang tangguh. Kemudian ia sendiri maju menghampiri dan
memberi hormat. "Omitohud!" serunya dengan tenang, "Maukah sicu berdua berhenti sebentar untuk
mendengar ucapan loni?"
Saat itu Pak-koay Ui Lian dan Lam-koay Shin Ki tengah memperhebat pancaran
lwekangnya. Lwekang sakti Cek-yan-ciang dan Hian-ping-ciang sedang memancar dengan
dahsyatnya. Jangankah berhenti, sedang berpaling muka saja kedua tokoh itu tak mau.
Melihat keliaran mereka, Tay Ih yang sabar terpaksa meledak kemarahannya.
Berserulah ia dengan nyaring: "Loni minta dengan hormat supaya sicu berdua suka
berhenti sebentar. Apakah sicu berdua tak mau mengindahkan sama sekali?"
Pak-koay Ui Lian tenang-tenang berpaling dan tertawa dingin: "Hm, engkau bicara
dengan siapa?" "Loni bicara kepada sicu berdua. Sicu berdua bukan orang yang tuli dan bukan pula
orang limbung, mengapa tak mengerti pembicaraan loni?"
"Engkau berani berkata melukai hati orang. Mungkin engkau sudah bosan hidup,
bukan?" seru Lam-koay Shin Ki.
Jawab Tay Ih siansu: "Loni ingin memperingatkan bahwa tindakan sicu berdua
terhadap seorang anak muda begitu itu, apakah sicu berdua tak takut ditertawai kaum
persilatan?" Pak-koay cepat menukas: "Hm, siapakah yang berani menertawai Lam-koay dan Pakkoay"."
"Berarti dia tentu sudah bosan hidup!" cepat-cepat Lam-koay Shin Ki melanjutkan katakata
rekannya. Aneh, benar-benar aneh. Kedua manusia aneh itu sedang mengadu kesaktian lwekang.
Tetapi nada kata-kata mereka seolah-olah seperti seorang kawan.
Melihat keadaan Siu-lam sudah makin payah, Tay Ih memutuskan mencari daya untuk
menghentikan tindakan kedua orang itu, baru nanti bicara lagi.
"Apapun maksud kata-kata sicu berdua itu, tetapi loni minta sicu berdua hentikan dulu
menganiaya anak itu!" teriak pejabat ketua Siau-lim-si itu dengan tenang.
Pak-koay Ui Lian menyambut permintaan paderi itu dengan sebuah tamparan tangan
kiri. Tetapi ketua Siau-lim-si itu sudah bersiap-siap. Buru-buru ia gerakkan tangan kanan
menangkisnya. Sekalipun begitu tak urung ia tetap merasa dadanya sesak dan tubuhnya
tersurut mundur dua langkah".
Untunglah Tay Ih lebih sakti daripada Tay Hi dan lagi ia sudah mengadakan penjagaan
lebih dulu. Cepat-cepat paderi itu berkisar ke kiri untuk menghindarkan diri.
Tetapi celaka, Lam-koay Shin Ki pun tak mau kalah hati. Segera ia menampar paderi
itu juga seraya berseru: "Nih, coba rasakan juga pukulanku!"
Tay Ih siansu dorongkan kedua tangannya untuk menyongsong. Karena tadi ia sudah
menderita, kali ini ia tak mau hal itu terulang lagi. Ia mendorong dengan kedua
tangannya dan dengan tenaga penuh.
Terdengar letupan keras dan Tay Ih tetap tersurut mundur selangkah.
Tay Lip dan Tay To segera melangkah maju. Dipandangnya kedua manusia aneh itu
dengan sikap menempurnya.
Saat itu tiba-tiba Siu-lam tersadar. Begitu membuka mata segera ia berkata kepada
Tay Ih siansu: "Harap taysu jangan kuatir. Kedua lo-cianpwe ini bersahabat baik sekali
dengan wanpwe. Tak nanti mereka akan mencelakai wanpwe."
"Siapa bersahabat dengan engkau?" tiba-tiba Pak-koay membentaknya.
Siu-lam hanya ganda tertawa tak mau menyahut melainkan mengatupkan matanya lagi.
Ternyata pancaran lwekang panas dan dingin yang melanda dalam tubuh pemuda itu,
saat itu sudah mulai menyurut. Dan terjadilah suatu keajaiban. Luka akibat dari pukulan
Bu-ing-sin-kun tadi karena diamuk oleh lwekang panas dan lwekang dingin, luka itu
membuka dan meluncur keluar dari mulut Siu-lam. Tetapi setelah darah kental itu keluar,
luka itupun sembuh sama sekali.
Memang pada saat terjadi proses penyembuhan itu, Siu-lam tak tahan dan pingsan.
Tetapi setelah berlangsung beberapa jenak iapun dapat tersadar kembali.
Dan saat itu walaupun lwekang panas dan lwekang dingin itu masih berkecamuk dalam
tubuhnya, tetapi Siu-lam sudah tak begitu menderita seperti ketika luka akibat Bu-ing-sinkun
tadi masih belum sembuh. Dan saat itu, iapun segera kerahkan lwekangnya untuk menghadapi serangan lwekang
panas dan lwekang dingin itu. Dan terjadilah semacam "perang tanding" yang aneh. Jika
ia merasa kepanasan, ia segera menggabungkan lwekangnya dengan lwekang dingin
untuk menghalau hawa panas itu. Dan kalau lwekang dingin lebih kuat, buru-buru ia
gabungkan lwekangnya dengan lwekang panas untuk mengusir hawa dingin itu.
Dengan cara begitu, kini dapatlah ia menguasai kedua macam lwekang sakti yang
tengah melanda tubuhnya. Sesungguhnya lwekang kedua manusia aneh itu memang istimewa hebatnya. Tetapi
tingkat kesaktian mereka berimbang. Dalam keadaan itulah maka Siu-lam berhasil dapat
mengendalikan mereka dengan jalan saling mengadu lwekang mereka.
Saat itu jika Siu-lam mau gabungkan lwekangnya dengan lwekang Lam-koay Shin Ki
Pak-koay Ui Lian pasti terdesak. Tetapi jika ia menggabung dengan Pak-koay Ui Lian,
Lam-koay Shin Ki tentu yang terdesak.
Pada saat Siu-lam menyadari keadaan itu, Pak-koay dan Lam-koay pun mengetahui
juga. Tetapi karena watak mereka yang angkuh dan tak mau kalah, mereka tetap tak
mau berhenti. Ada sebuah pepatah yang mengatakan: "Jika sang bangau berkelahi dengan kerang, si
pengail ikan yang mendapat keuntungan karena dapat menangkap mereka!"
Demikian pun dengan keadaan Siu-lam. Karena kedua manusia aneh itu saling ngotot
untuk mengadu kesaktian lwekang, maka diapun segera berusaha untuk menarik
keuntungan. Dalam menerima banjir lwekang panas dan dingin itu, Siu-lam merasa bahwa kedua
lwekang itu mengalir ke arah jalan darah Seng-si-hian-kwan dalam tubuhnya. Padahal
Seng-si-hian-kwan merupakan jalan darah utama yang paling sukar diterobos. Dan jalan
darah itu merupakan bagian yang penting sekali atau merupakan "kwan" rintangan terakhir
yang harus ditembus. Begitu Seng-si-hian-kwan itu tertembus, maka sempurnalah
lwekang seseorang. Penderitaan yang dialami Siu-lam selama beberapa bulan ini, selalu berakhir dengan
suatu rejeki besar di mana dia selalu memperoleh keuntungan yang tak disangka-sangka
berupa ilmu kesaktian dari beberapa tokoh sakti. Dengan begitu, sekalipun dalam batin ia
mengalami derita, tetapi dalam ilmu kepandaian ia memperoleh kemajuan yang luar biasa.
Dalam pada itu karena adu lwekang itu berlangsung lama, akhirnya Pak-koay Ui Lian
marah. Dengan mendengus dingin, ia mencengkeram sekerasnya dada Siu-lam. Ia
salurkan seluruh lwekang Hian-ping-ciang.
Seketika hawa panas yang mengembang di punggung Siu-lam terdesak mundur. Dan
menggigillah tubuh anak muda itu.
Lwekang yang dikerahkannya, buyar terlanda hawa dingin itu. Untung pada saat lain,
Lam-koay Shin Ki segera melancarkan serangan balasan. Gelombang hawa panas segera
melanda dalam tubuhnya. Hawa dingin itupun segera menyurut reda.
Perubahan panas dan dingin itu berlangsung dengan cepat dan dahsyat sekali. Dan
karena Siu-lam tak kuasa lagi mempertahankan diri, gelombang kedua lwekang itu meluap
ke atas dan menerjang bagian Seng-si-hian-kwan.
Saat itu Pak-koay tengah mengerahkan lwekangnya untuk balas menyerang. Tubuh
Siu-lam yang panas tiba-tiba seperti disiram air es. Dan untuk yang kesekian kalinya, ia
menggigil lagi. Wajahnya berubah membesi, darah serasa membeku.
Tay Ih siansu berdiri diam di samping. Matanya tak lepas memandang tubuh Siu-lam.
Ia kaget sekali ketika menyaksikan tubuh pemuda itu menderita kecelakaan. Tay Ih
siansu tak dapat tinggal diam lagi. Segera ia lari menghampiri.
Tiba-tiba Lam-koay Shin Ki menggembor keras. Tangan yang melekat di punggung
Siu-lam, tiba-tiba didorongkan sekuatnya. Serangkum lwekang panas segera
berhamburan ke dalam tubuh pemuda itu.
Tubuh Siu-lam yang kaku kedinginan, pun segera gemetar lagi. Peluh bercucuran
membasahi mukanya.
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kumpulan lwekang panas dingin yang berpusat di pusar lwekang sendiri, akibat
dorongan dari kedua tokoh yang gila-gilaan itu, telah meluap, meletus berhamburan
melanda ke bagian jalan Seng-si-hian-kwan".
Auh" Siu-lam rasakan tubuhnya seperti ringan sekali. Tapi serempak dengan itu ia
merasakan hawa panas membakar dirinya itu makin hebat. Buru-buru ia kerahkan
lwekangnya untuk bertahan.
Tapi suatu keajaiban telah terjadi. Karena tubuhnya serasa ringan seperti bulu, begitu
ia kerahkan tenaga, tiba-tiba tubuh melanting ke udara dan turun setombak jauhnya".
Peristiwa aneh itu benar-benar mengejutkan Lam-koay dan Pak-koay. Mereka
termangu-mangu. Pancaran lwekangnyapun reda.
Tay Ih siansu yang berlari hendak memberi pertolongan, pun juga kesima menyaksikan
anak muda yang duduk itu tiba-tiba dapat melenting ke udara dan terlepas dari himpitan
kedua manusia aneh. Pejabat ketua Siau-lim-si itu tertegun.
Kedua tokoh aneh itu memang gila-gilaan. Begitu tempat penyaluran lwekang mereka
menghilang, keduanya segera adu lwekang. Pak-koay Ui Lian dorongkan tangannya ke
muka, demikianpun Lam-koay Shin Ki. Keduanya kini bertempur mengadu kesaktian
lwekang". Selekas berdiri di tanah, Siu-lam diam-diam menyalurkan darahnya. Bukan saja tiada
sakit, pun malah terasa nyaman dan longgar sekali. Ia heran tapi girang sekali.
"Apakah sicu tak terluka?" sesaat kemudian terdengar suara Tay Ih siansu bertanya.
"Tidak terasa apa-apa," sahut Siu-lam. Dia sendiri tak mengerti apa yang telah terjadi
pada dirinya. Maka ia menyahut menurut keadaan yang dirasakan saja.
Ketika memandang ke arah sana, Siu-lam terperanjat.
"Celaka, kedua tokoh itu sama-sama saktinya. Jika mereka tak mau berhenti
bertempur, siapapun yang terluka pasti akan menimbulkan kerugian kita. Saat ini Siaulim-
si memerlukan tenaga mereka. Asal dapat menguasai mereka, mereka tentu
merupakan tenaga-tenaga yang sangat berguna," diam-diam ia mengeluh ketika melihat
kedua tokoh aneh itu tengah adu lwekang.
Segera ia menghampiri. "Mau kemanakah Pui sicu ini?" tiba-tiba Tay Ih siansu menghadangnya.
"Hendak kucegah agar mereka jangan terus bertempur."
Tay Ih terkejut, cegahnya: "Kedua orang itu sakti sekali. Pukulannya seberat seribu
kati. Luka sicu masih belum sembuh benar. Jika mereka sampai"."
"Mereka berwatak jelek. Gemar membunuh tanpa suatu alasan. Tapi rasanya mereka
masih mau mendengarkan kata-kataku. Kecuali aku, rasanya tiada seorang pun yang
mampu mencegah mereka."
Tay Ih tertegun. Diam-diam ia mengakui kebenaran kata-kata anak muda itu.
Maka berserulah Siu-lam dengan nyaring: "Harap lo-cianpwe berhenti dahulu. Wanpwe
hendak bicara sedikit."
Lam-koay dan Pak-koay berpaling memandang kepadanya, tetapi tetap tak
menghiraukan. Siu-lam terkejut. Dari kerut wajahnya jelas kedua tokoh aneh itu telah berkokoh tekad,
sebelum ada yang menang atau kalah, mereka tak mau berhenti.
Siu-lam menjadi sibuk dibuatnya. Tiada seorangpun yang mampu melerai kedua tokoh
itu. Tengah ia sibuk mencari akal, tiba-tiba tangannya menyentuh pedang Pek-kau-kiam
yang tersanggul di punggungnya. Serentak ia mendapat pikiran. Pedang pusaka itu
dihunusnya lalu ia menghampiri mereka.
"Lo-cianpwe berdua adalah tokoh-tokoh ternama. Tentulah setiap patah ucapan locianpwe
berdua telah menyatakan sanggup untuk membantu wanpwe. Pernyataan itu
harus dipenuhi. Saat ini bukan saat lo-cianpwe saling bertempur mati-matian. Jika locianpwe
hendak memutuskan siapa yang lebih sakti, pun harus tunggu nanti apabila
sudah selesai memenuhi janji terhadap wanpwe."
Ia yakin, kata-katanya itu tentu dapat menimbulkan kemarahan kedua tokoh aneh itu.
Tetapi Siu-lam sudah siap suatu rencana untuk menghentikan mereka dengan kekerasan.
Segera ia bolang-balingkan pedang Pek-kau-kiam seraya berseru: "Jika lo-cianpwe tetap
tak mau menghiraukan permintaan ini harap jangan sesalkan wanpwe akan berlaku
kurang ajar!" Ia menutup ucapannya dengan menusuk ke arah kedua tangan Lam-koay dan Pak-koay
yang tengah saling melekat itu.
Pek-kau-kiam merupakan pedang pusaka yang dapat menabas logam seperti orang
mengiris tanah liat. Betapapun hebatnya kedua tokoh aneh itu, tetapi tangan mereka
tetap terdiri dari darah dan daging. Tidak mungkin mereka mampu bertahan terhadap
tusukan pedang pusaka itu.
Serentak Lam-koay dan Pak-koay menarik pulang lwekangnya dan menarik kembali
tangannya. Dan tepat pada saat itu juga, Siu-lam pun menarik mundur pedangnya".
Pak-koay Ui Lian berpaling deliki mata ke arah Siu-lam: "Hm, engkau memang budak
yang gemar mencampuri urusan orang. Awas pada suatu hari, engkau pasti mampus di
bawah pukulanku, Hian-peng-ciang!"
"Hm, belum tentu," dengus Lam-koay Shin Ki.
Siu-lam memberi hormat kepada kedua manusia aneh itu: "Lo-cianpwe sudah berjanji
hendak membantu wanpwe. Seharusnya janji itu harus ditepati. Lain-lain urusan,
wanpwe minta nanti saja diselesaikan lagi setelah peristiwa yang saat ini tengah
mengancam Siau-lim-si sudah selesai!"
Diam-diam Siu-lam mencatat dalam hati bahwa dalam setiap ucapan, Lam-koay Shin Ki
itu selalu berdiri di pihaknya. Tetapi ia juga mengerti bahwa hal itu bukan disebabkan
karena Lam-koay sayang kepadanya, tetapi semata-mata diperuntukkan untuk menentang
Pak-koay saja. Kedua manusia aneh itu tak dapat menyangkal ucapan Siu-lam. Mereka tak menyahut
melainkan mendengus saja.
Dalam kesempatan yang luang itu, Tay Hi siansu segera menuturkan apa yang telah
terjadi tadi. Terutama ultimatum dari si nona baju biru yang memberi batas waktu sampai
tengah malam nanti. Apabila Siau-lim-si tak mau menyerah, ketua Beng-gak dan
rombongan jago-jagonya akan membikin rata gereja Siau-lim-si.
Tay Ih siansu menengadah memandang langit. Ujarnya: "Saat ini masih sore.
Saudara-saudara tentu letih, harap masuk ke dalam gereja dan beristirahat secukupnya.
Nanti malam kita rundingkan lagi cara-cara untuk menghadapi musuh!"
Lam-koay Shin Ki kerutkan alis: "Jika tak ada arak, aku tak sudi makan. Sungguh
menjengkelkan sekali gereja ini. Banyak sekali aturannya"."
Tiba-tiba Pak-koay Ui Lian nyeletuk tertawa dingin: "Toh, nyatanya sudah lebih dari tiga
puluh tahun tak minum arak, engkau tetap tak mati!"
"Bagaimana engkau tahu aku tidak minum arak?" teriak Lam-koay dengan murka.
Kuatir kedua manusia aneh itu akan bertengkar lagi, buru-buru Tay Ih siansu berkata:
"Memang pada kebiasaannya, dalam setiap menjamu tamu gereja, kami tentu tak
menyediakan minuman arak. Tetapi gereja kami menyimpan arak wangi yang sudah
puluhan tahun lamanya. Jika jiwi berdua memang menginginkan, dengan segala senang
hati loni pasti akanmenghidangkannya!"
Pejabat ketua Siau-lim-si itu dengan sikap hormat segera persilahkan kedua manusia
aneh itu masuk ke dalam gereja.
Siu-lam cepat melangkah ke samping Tay Ih siansu dan berbisik: "Wanpwe telah
kehilangan sebatang pedang pusaka. Jika yang sebatang ini sampai hilang lagi, wanpwe
benar-benar malu pada siansu"."
Tay Ih siansu tersenyum: "Ceng-liong dan Pek-kau, sudah bukan hak milik gereja Siaulim-
si lagi. Bagaimana Pui sicu hendak mengurusnya, loni tak berhak bertanya!"
Siu-lam menghela napas pelahan, ujarnya:
"Ah, pertemuan malam nanti, bukan melainkan menyangkut hidup matinya gereja Siaulim-
si, tetapi menyangkut nasib seluruh dunia persilatan"."
Sahut Tay Ih dengan tegas: "Murid Siau-lim-si dari tiga angkatan, telah bersedia mati
untuk gereja dan dunia persilatan. Jika Pui sicu mempunya rencana harap segera
memberi tahu!" "Wanpwe merasa ada suatu hal yang mengejutkan. Hal ini membuat hati wanpwe
selalu gelisah. Pertempuran nanti malam, walaupun yang utama karena mengandalkan
kesatuan dan persatuan dari seluruh murid-murid Siau-lim-si, tetapi kedua tokoh Lam-koay
dan Pak-koay itu sesungguhnya merupakan tenaga-tenaga yang penting sekali. Melainkan
tenaganya yang sakti mereka berdua pun memiliki ilmu pukulan yang istimewa. Menurut
hemat wanpwe, kedua tokoh itu tepat sekali untuk menghadapi jago-jago dari Beng-gak.
Tetapi yang wanpwe cemaskan adalah apabila mereka berdua sampai dapat dikuasai
musuh dan dipergunakan mereka!"
"Sicu menguatirkan watak mereka yang buruk itu akan timbul kembali dan sukar
diperingatkan?" tanya Tay Ih.
Siu-lam gelengkan kepala, sahutnya: "Tadi yang bertempur dengan wanpwe, kecuali
nona baju merah yang memang menjadi murid ketua Beng-gak, masih ada tiga orang
yang merupakan tokoh-tokoh termasyhur di daerah Kang-lam Kan-pak. Dalam pertemuan
di gunung Thay-san tempo hari, mereka merupakan tokoh-tokoh yang paling membenci
Beng-gak. Tetapi ternyata mereka sekarang menjadi kaki tangan Beng-gak. Inilah yang
membuat wanpwe tak habis mengerti"."
Ia berhenti sejenak, menghela napas: "Menilik kepandaian kedua tokoh Lam-koay dan
Pak-koay itu, tentu tak sukar untuk menangkap kedua gadis murid Beng-gak. Tetapi
anehnya, ternyata kedua anak perempuan itu dapat lolos. Dan kemudian, wanpwe
dapatkan kedua nona itu ternyata bukan murid Beng-gak yang sesungguhnya. Ini lebih
mengherankan lagi. Seharusnya Lam-koay dan Pak-koay jauh lebih mudah untuk
menangkapnya. Jelas kedua nona itu kepandaiannya tentu lebih rendah dari murid Benggak.
Dan ketika bertemu dengan wanpwe, kedua tokoh Lam-koay dan Pak-koay itu tak
pernah menyebut-nyebut tentang peristiwa hasil pengejaran mereka. Wanpwe duga,
kedua nona itu pasti berhasil meloloskan diri tanpa menderita suatu luka apapun. Inilah
yang benar-benar menjadi pemikiran wanpwe"."
"Menilik keadaan Tay Hong sute, loni duga orang Beng-gak itu tentu menggunakan
semacam obat untuk menghilangkan kesadaran pikiran orang," kata Tay Ih siansu.
"Penilaian lo-cianpwe itu tepat," kata Siu-lam, "Wanpwe juga menduga mereka pasti
menggunakan obat bius untuk menghilangkan pikiran orang, agar orang itu mau menjadi
kaki tangan mereka dan menurut segala perintah mereka"."
Dalam pada bicara itu, mereka sudah tiba di ruang tempat hongsio atau ketua gereja.
Lam-koay, Pak-koay dan Siu-lam diperlakukan sebagai tetamu agung dari gereja Siaulim-
si. Di dalam ruang itu sudah siap dengan hidangan yang lezat.
Tay Ih beserta ketiga sutenya, Tay Hi, Tay Lip dan Tay To menemani ketiga tetamunya.
Perjamuan itu benar-benar merupakan perjamuan yang istimewa. Keempat paderi dari
angkatan gelar Tay, demi menghormati tetamunya telah sama membuka pantangan
minum arak. Lam-koay dan Pak-koay tetap mengunjukkan wajah dingin. Mereka tak mau bicara
dengan para paderi Siau-lim-si, pun tak sudi omong-omong dengan Siu-lam. Kedua
manusia aneh itu minum seenaknya sendiri. Paderi kecil yang melayani menuang arak,
tak henti-hentinya menuangkan arak lagi ke dalam cawan kedua tokoh itu.
Hanya dalam beberapa kejap saja, kedua tokoh itu masing-masing telah menghabiskan
limapuluhan cawan arak! Siu-lam terkejut. Diam-diam ia mengeluh: "Ah, tampaknya kedua orang itu beradu lagi
dalam kekuatan minum. Celaka, kalau sampai mereka minum di luar batas, tentu akan
mabuk. Pertempuran nanti malam, benar-benar menyangkut nasib dunia persilatan. Jika
kedua tokoh itu sampai lupa daratan, mereka tentu tiada berguna tenaganya"."
Secepat mendapat pikiran, Siu-lam segera mengangkat cawan arak di meja dan berseru
mengajak kedua tokoh itu minum: "Wanpwe hendak mohon petunjuk!"
Setelah meneguk habis cawannya, kedua tokoh itu serempak berseru: "Urusan apa?"
"Nanti tengah malam, ketua Beng-gak akan memimpin anak buahnya menyerang
gereja ini. Kiranya lo-cianpwe tentu sudah mengetahui, bukan?"
"Kalau tahu lalu mau apa?" dengus Lam-koay.
"Soal itu menyangkut kepentingan seluruh dunia persilatan di kemudian hari. Dan
bukan semata-mata hanya menyangkut kepentingan gereja Siau-lim-si saja!" kata Siu-lam.
"Aku toh bukan murid Siau-lim-si, apa peduliku?" dengus Lam-koay Shin Ki.
"Benar, biarlah paderi-paderi Siau-lim-si dibunuh habis, aku tak peduli!" seru Pak-koay.
Seketika wajah Tay Ih dan ketiga sutenya berubah. Ucapan kedua tokoh itu benarbenar
menyakiti hati. Tay Ih segera hendak bergerak".
Siu-lam cepat mencegah ketua Siau-lim-si itu, agar jangan bertindak sesuatu yang
menimbulkan permusuhan dengan Lam-koay dan Pak-koay.
Anak muda itu menyadari betapa penting kedudukan kedua tokoh sakti itu dalam
pertempuran nanti malam. Apabila kedua tokoh itu sempat memihak Beng-gak, Siau-limsi
pasti akan menderita malapetaka.
Dalam menghadapi tingkah laku Lam-koay dan Pak-koay yang serba menjengkelkan itu,
hati boleh panas tetapi kepala harus tetap dingin.
"Sekalipun lo-cianpwe tiada sangkut paut dengan Siau-lim-si tetapi lo-cianpwe sudah
berjanji hendak membantu wanpwe!" kata Siu-lam.
Lam-koay saling berpandangan dengan Pak-koay. Serempak mereka berseru: "Urusan
membantu hanya terhadap engkau. Jangan mencampur-adukkan dengan lain urusan!"
Diam-diam Siu-lam girang karena kedua tokoh itu ternyata masih pegang janji. Ia
membisiki Tay Ih: "Mereka habis bertempur dahsyat, tentu lelah. Biarkan mereka tidur,
kita cari lain tempat untuk berunding."
Tay Ih siansu segera berbangkit dan berjalan keluar. Ia menghela napas.
"Delapan ratus anak murid Siau-lim-si telah membulatkan tekad untuk
mempertahankan gereja ini sampai titik darah yang penghabisan"."
"Bagus," seru Siu-lam, "Biarlah wanpwe yang mengajak kedua tokoh aneh itu untuk
menempur jago-jago Beng-gak. Sedang siansu harap siapkan dua belas murid Siau-lim-si
yang berilmu tinggi untuk memimpin barisan!"
Tay Ih siansu mengangguk.
"Hanya loni masih tetap kuatir Lam-koay dan Pak-koay itu akan berkhianat"."
Siu-lam tersenyum: "Dalam hal ini harap lo-cianpwe jangan kuatir. Sekalipun watak
kedua orang itu aneh dan angkuh sekali, tetapi mereka adalah tokoh-tokoh persilatan
yang ternama. Sekali sudah berjanji membantuku, tentu mereka akan melaksanakan
sampai selesai!" Ia tersenyum pula dan melanjutkan kata-katanya: "Memang menghadapi mereka, kita
tak dapat menggunakan cara-cara biasa. Wanpwe sudah mempunyai pengalaman"."
Tay Ih bersyukur karena pemuda itu benar-benar mau membantu kesukaran Siau-limsi.
Tiba-tiba Tay Hi menyeletuk: "Ada suatu hal yang masih kurang jelas dan akan minta
Pui sicu suka memberi penjelasan."
"Silahkan." "Dengan tenaga lwekangnya yang sakti, kedua tokoh Lam-koay dan Pak-koay tadi telah
menjepit sicu di tengah. Sekilas pandang tampaklah Pui sicu sangat menderita sekali.
Tetapi mengapa pada saat ini sicu tak menderita suatu apa?"
Siu-lam mengangguk tertawa: "Memang saat itu wanpwe menderita kesakitan luar
biasa. Kemungkinan karena lwekang kedua tokoh itu berimbang kekuatannya, maka
wanpwe sampai mengalami penderitaan sehebat itu. Tetapi penderitaan itu malah
berakibat suatu keuntungan yang tak disangka-sangka."
"Tuhan tentu selalu memberkahi orang yang baik. Loni mengucapkan selamat atas
peruntungan sicu," kata Tay Ih siansu.
Kemudian ketua Siau-lim-si itu memandang ke langit, katanya: "Loni sudah
mempersiapkan penjagaan di ruang ini. Silahkan sicu beristirahat. Apabila terjadi
sesuatu, loni pasti segera suruh memberitahukan sicu!"
Ketua Siau-lim-si itupun segera tinggalkan tempat itu. Ketika mengantar ke luar ruang,
Siu-lam berkata dengan bisik-bisik: "Lam-koay dan Pak-koay memang mempunyai kesan
buruk terhadap Siau-lim-si. Tetapi saat ini kita memerlukan tenaga, harap lo-cianpwe
suka bersabar." Tay Ih mengiyakan dan mempersilahkan anak muda itu masuk.
Ketika ketua Siau-lim-si itu sudah pergi, Siu-lam kembali ke dalam ruang. Tampak di
atas ruang itu tergantung tiga buah huruf bertuliskan tinta emas "Hong-tiang-si" (ruang
kepala gereja). Diam-diam Siu-lam terkejut. Beberapa bulan yang lalu, Siau-lim-si adalah gereja yang
termasyhur dan sangat dihormati. Tiada seorangpun yang berani sembarangan masuk ke
dalam gereja itu. Tetapi saat ini, bahkan ruang untuk kediaman ketua Siau-lim-si pun
diperuntukkan bagi tetamu. Ah, perubahan keadaan dunia memang tak terduga-duga.
Saat itu hari mulai gelap. Pemandangan di dalam gereja pada senja hari cukup
menyedapkan mata. Siu-lam menghela napas panjang dan duduk di dalam ruang. Tengah dia menikmati
pemandangan alam senja hari, tiba-tiba terdengar suara kilat meledak di udara.
Gumpalan awan yang semula bersih sekonyong-konyong berhamburan tertutup awan.
Siu-lam tertegun. Adalah begini jalannya roda penghidupan itu. Senang, susah,
untung, celaka, setiap waktu dapat tiba dengan tak terduga-duga.
Tiba-tiba benak Siu-lam terlintas suatu bayangan. Bayangan dari sesosok tubuh kecil
yang ramping. Ah" terkenanglah ia akan Ciu Hui-ing, sumoaynya yang masih tertinggal di
perut gunung tempo hari. Dan belum bayangan gadis itu hilang, tiba-tiba terlintas lagi bayangan si dara Hiansong.
Dan menyusul terbayang juga wajah dingin dari si gadis cantik Bwe Hong-swat.
Siu-lam seperti terbenam dalam alam impian kenangan masa yang lampau.
Sekonyong-konyong ia disadarkan oleh hujan yang turun seperti dicurahkan dari langit.
Siu-lam menghela napas. Kematian dari ketiga gadis itu mempunyai sangkut paut
dengan dirinya. Dan mereka tak dapat hidup kembali.
"Oh, Tuhan! Aku benar-benar tak bermaksud mencelakai mereka tapi ketiga gadis itu
mati karena aku. Ah, siapa yang bertanggung jawab?"
Cuaca makin gelap, malam mulai tiba. Siu-lam segera masuk ke dalam ruang. Ia
mencoba tenaga lwekangnya. Sekali enjot, tubuhnya melayang sampai empat tombak
tingginya. Dan ketika melayang turun ia sudah tiba di depan ruang. Karena menerjang
hujan, ia tak mengetahui kemajuan ilmu gin-kangnya saat itu setelah dijepit oleh kedua
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tokoh aneh. Tapi Lam-koay dan Pak-koay yang menyaksikan gerak loncatan anak muda itu,
terkesiap heran dan saling berpandangan. Walaupun tak bicara apa-apa, tapi kedua tokoh
itu saling sependapat dalam penilaian. Kalau dalam usia semuda itu saja Siu-lam sudah
memiliki kepandaian demikian hebat, entah bagaimana kelak apabila sudah lewat berapa
puluh tahun lagi. Karena dirantai dan dijebloskan dalam penjara bawah tanah, kedua tokoh itu masih
tetap mendendam kepada paderi Siau-lim-si. Setelah kenyang makan dan minum,
keduanya pura-pura jatuh tidur dan tak mau bicara dengan rombongan paderi Siau-lim-si.
Begitu paderi-paderi Siau-lim-si sudah pergi, mereka duduk lagi. Pak-koay Ui Lian
memandang Lam-koay dingin-dingin, serunya sesudah menyesali: "Sayang kau tak
mengindahkan kata-kataku. Jika kau menurut perkataanku, nasib dunia persilatan sejak
kini dan selanjutnya"."
"Seumur hidup jangan mimpi kita akan dapat bekerja sama. Dan kalau mau kerja
sama, kaulah yang menurut perintahku," tukas Lam-koay.
Pak-koay tertawa keras, serunya: "Apa dasarnya aku harus menurut perintahmu?"
"Dan apa pula alasanmu mengapa aku yang harus mendengar perintahmu?" balas Lamkoay.
"Sepasang jago tentu tak dapat hidup bersama. Rupanya kita Lam-koay dan Pak-koay,
pada suatu saat tentu akan bertempur sampai ada yang mampus!" teriak Pak-koay dengan
murkanya. "Benar, memang hanya begitulah penyelesaiannya!"
Keduanya mulai bersitegang leher. Yang satu sumbar-sumbar yang satu menantangnantang.
Suasana makin panas, pertempuran hanya tinggal tunggu waktu saja.
Dalam saat-saat yang genting itu, tiba-tiba muncullah Siu-lam.
Cepat Pak-koay Ui Lian merubah nada bicaranya: "Hari masih panjang. Penjelasan itu
tak perlu tergesa-gesa. Saat ini ada sebuah hal yang perlu diputuskan lebih dulu!"
Lam-koay Shin Ki merenung sejenak, bertanya: "Soal apa, katakanlah!"
"Kita mempunyai dendam kepada kawanan paderi Siau-lim-si. Apakah kita layak
membantu mereka?" kata Pak-koay.
"Tetapi karena kita sudah berjanji akan membantu budak she Pui itu, tak boleh kita
berhenti di tengah jalan," sahut Lam-koay.
"Akupun mempunyai pikiran begitu juga. Sehabis membantu kawanan paderi Siau-limsi
menghadapi bahaya kali ini, kita nanti membuat perhitungan lagi dengan mereka," kata
Pak-koay. Siu-lam tak mau campur bicara melainkan menikmati pemandangan petang hari.
Kedua tokoh itu merasa heran atas tingkah laku anak muda itu tetapi merekapun tak mau
mengacuhkan. Dalam anggapan mereka, betapapun sakti kepandaian anak muda itu
tetapi tentu masih terbatas. Tak perlu ditakutkan.
Tiba-tiba Siu-lam loncat keluar terus lari.
Pak-koay Ui Lian terkejut. Entah bagaimana, ia pun serentak bangkit dan loncat lari
menyusul anak muda itu. Lam-koay Shin Ki tak mau kalah. Dia segera mengejar di belakang Pak-koay.
Siu-lam mendadak merasa sebal duduk dalam ruangan itu. Segera ia lari menerjang
hujan. Ia hendak menumpahkan perasaan hatinya dengan lari tanpa tujuan. Di luar
dugaan, tindakannya itu disusul kedua tokoh Lam-koay dan Pak-koay.
Hujan yang lebat telah menimbulkan kabut yang tebal sehingga di sekeliling tempat
seperti terbungkus kabut.
Tiba-tiba Siu-lam teringat tempat kedua Siau-lim-ji-lo (paderi tua) yakni Kak Bong dan
Kak Hui siansu. Segera ia tujukan larinya ke sana.
Karena larinya cepat sekali dan kabut tebal apalagi nanti tengah malam musuh akan
datang maka saat itu sebagian paderi Siau-lim-si menggunakan kesempatan itu untuk
bersemedi memulangkan tenaga. Hanya terdapat beberapa paderi yang berusaha
menjaga di pos-pos yang penting. Maka Siu-lam tak menemui rintangan suatu apa.
Tiba-tiba Siu-lam hentikan langkah. Di sekelilingnya gelap dan hujanpun mulai reda.
Kiranya dia berada dalam sebuah hutan. Sambil mengibas-kibaskan air pada bajunya, ia
tertawa sendiri: "Huh, benar-benar aku seperti gila" Masakan lari pontang-panting
menerjang hujan tanpa suatu tujuan!"
Tak tahu ia sampai di mana saat itu. Tiba-tiba kilat melintas dan tampak jauh dari situ
sebuah tembok merah. Serentak ia teringat akan pengalamannya dahulu sewaktu
pertama kali ia datang ke gereja Siau-lim-si, ia disambut paderi Ti-khek-ceng (penyambut
tetamu) dan dimasukkan dalam kamar akan ditangkap. Ah, tak salah lagi. Tempat itulah
dahulu ia mengalami peristiwa penangkapan itu.
Saat itu pikiran Siu-lam sudah sadar. Ia teringat akan peristiwa yang dideritanya akibat
perbuatan gila-gilaan dari kedua Lam-koay dan Pak-koay yang adu lwekang dengan
meminjam tempat di tubuhnya. Untunglah akibat penderitaan itu, ia malah mendapat
keuntungan yang belum pernah ia impikan. Memang ia merasa, tubuhnya sekarang jauh
lebih lincah dan ringan dari sebelum peristiwa itu.
Ia memperhitungkan saat itu masih ada kesempatan beberapa jam lagi dari tengah
malam. Mumpung tiada orang, ia ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaiannya
sekarang. Segera ia menghampiri ke arah tembok merah itu. Langkahnya kini lebih tenang.
Ternyata di tengah hutan situ terdapat sebuah rumah pondok yang menyendiri. Pintu
pondok itu tertutup rapat.
Siu-lam sudah basah kuyup. Ketika ia hendak mengetuk pintu pondok itu, tiba-tiba ia
mendengar suara orang dari dalam pondok. Suaranya perlahan sekali. Pada saat hujan
seperti detik itu, memang suara itu hampir tidak kedengaran. Tetapi berkat telinga Siulam
makin tajam, ia dapat menangkapnya. Buru-buru ia tarik pulang tangannya dan
mendengari dengan seksama.
Terdengar suara yang amat perlahan itu berkata: "Saat ini lebih baik jangan
menemuinya. Nanti apabila keributan ini sudah selesai, kiranya belum terlambat untuk
menjumpainya!" "Tetapi rasanya aku tak dapat menunggu lagi," kata sebuah suara anak perempuan,
"Hendak kutanya secara baik-baik, mengapa dia bertindak melupakan budi. Ketika ayahku
masih hidup, ayah sayang sekali padanya, demikian pun perlakuanku padanya?" sampai
di sini suara anak perempuan itu seperti tercengkeram oleh isak tangis.
Siu-lam terkejut. Walaupun perlahan, tetapi ia taka sing lagi dengan suara itu.
Seketika gemetarlah tubuhnya dan kepalanyapun terantuk pada pintu pondok.
Suara isak tangis anak perempuan itu berhenti sejenak.
Baru Siu-lam hendak berdiri tegak, tiba-tiba pintu terbuka lebar dan sebatang pedang
yang berkilauan segera menusuk".
Serangan itu datangnya cepat sekali. Siu-lam tak sempat bicara apa-apa kecuali harus
menghindar ke samping. Dan berteriak suara anak perempuan tadi dengan nada terkejut: "Dialah"."
Atas teriakan itu, serangan pedang ditarik kembali. Menyusul terdengar sebuah nada
yang dingin: "Apakah dia suhengmu yang tak kenal budi itu?"
Dari dalam ruangan terdengar pula suara yang lambat: "Cici, jangan kasih dia
masuk"." Sejak mengalami berbagai peristiwa, perangai Siu-lam bertambah tenang. Dengan
menekan getaran hatinya, ia melangkah ke ambang pintu dan memberi hormat: "Apakah
sumoay masih hidup?"
Terdengar penyahutan yang murka: "Jadi engkau mengharapkan agar aku mati" Hm,
anggaplah aku sudah mati saja!"
Siu-lam terlongong-longong. Ia menyadari kata-katanya tadi memang tak layak. Buruburu
ia meminta maaf: "Sumoay, harap jangan salah mengerti. Sama sekali aku tak
bermaksud begitu!" Sambil berkata, ia melangkah masuk.
"Cici, lekas usir dia keluar! Jangan kasih dia masuk kemari. Aku tak sudi melihatnya!"
teriak gadis itu. Buru-buru Siu-lam memberi penjelasan: "Betapapun kesalahanku kepada sumoay,
tetapi kuharap sumoay suka memberi kesempatan padaku untuk memberi penjelasan.
Apalagi suhu telah melepas budi"."
Siu-lam tak dapat melanjutkan kata-katanya karena sebatang pedang langsung
menabasnya. Terpaksa ia mundur keluar pintu lagi.
Ia berdiri termangu di pintu, serunya: "Ikatan batin saudara seperguruan adalah
laksana laut dalamnya. Budi sumoay sebesar gunung. Ketika aku kembali dari Kiu-kiongsan
membawa obat, yang kudapati dalam goa itu kecuali jenazah Ih lo-cianpwe, terdapat
juga sesosok mayat orang. Baik pakaian maupun perawakan orang itu mirip sekali dengan
sumoay. Karena wajahnya telah dirusak oleh pembunuhnya, maka aku telah keliru
menyangka bahwa mayat itu adalah mayat sumoay"."
Dari dalam ruang pondok terdengar suara helaan napas panjang. Jelas, bahwa gadis di
dalam ruang itu tergerak hatinya mendengar kata Siu-lam.
Siu-lam sejenak menghela napas, lalu melanjutkan keterangannya lagi: "Ketika itu tak
terlukiskan kedukaanku. Kutanam mayat itu dengan baik di dalam sebuah lembah. Dan
kuberi juga tanda pada kuburannya. Maksudku kelak akan kukunjungi kuburan itu guna
membawa tulang kerangkanya dan akan kutanam di samping kuburan suhu dan subo"."
"Kalau begitu engkau masih teringat kepadaku?" seru gadis itu.
"Tiada sedikitpun kulupakan engkau!"
Terdengarlah lengking tertawa lembut. Tetapi nadanya penuh kerawanan.
"Asal engkau sungguh-sungguh masih ingat kepadaku, hatiku sudah gembira"."
Melihat orang sudah lunak, Siu-lam segera melangkah masuk. Tetapi gadis dalam
ruangan itu, melengking nyaring: "Jangan masuk!"
Siu-lam tertegun berhenti.
"Keluarlah!" dari belakang pintu terdengar bentakan bernada dingin dan menyusul sinar
pedang menyambar. Siu-lam diam-diam memuji gerakan pedang itu. Terpaksa ia keluar lagi.
"Suheng, apakah engkau sungguh-sungguh hendak bertemu dengan aku?" kembali
terdengar suara gadis dalam pondok itu berseru.
"Sudah tentu ingin sekali. Masakan sumoay tak percaya kepadaku?" teriak Siu-lam.
Dari dalam pondok terdengar suara helaan napas panjang: "Ah, daripada berjumpa
lebih baik tidak berjumpa. Ciu Hui-ing sekarang bukanlah seperti Ciu Hui-ing yang dulu"."
"Mengapa?" Siu-lam berseru kaget.
Kembali terdengar Ciu Hui-ing menghela napas panjang: "Aku" aku sudah"."
Sampai beberapa saat, tak dapat Hui-ing melanjutkan kata-katanya.
Dari nadanya, Siu-lam dapat menduga tentulah terjadi suatu perubahan yang
mengejutkan pada diri sumoaynya itu.
Miringkan tubuh, ia menyelinap masuk ke dalam ruang dan berseru nyaring: "Kita
berdua sejak kecil sudah menjadi kawan bermain-main sehingga sampai dewasa. Jikalau
sumoay mendapat kesulitan harap jangan mengelabuhi suheng. Masakan suheng tak
boleh mengetahuinya?"
Tetapi sinar pedang segera berhamburan menutup pintu. Siu-lam sudah mengambil
keputusan tak mau mundur lagi. Tetapi sinar pedang yang menghamburkan hawa dingin,
menyebabkan Siu-lam hentikan langkah.
Dia tahu bahwa orang yang menghalangi dengan pedang itu, bukanlah Ciu Hui-ing. Dia
tak kenal dengan orang itu. Jika sampai kesalahan tangan, tentu akan menimbulkan halhal
yang tak enak. Walaupun Siu-lam sudah tak bergerak tetapi sinar pedang itu masih berhamburan di
muka Siu-lam. Dengan demikian Siu-lam tak dapat melangkah maju lagi. Terpaksa ia
menyurut mundur selangkah.
"Siau-heng benar-benar tak mengerti mengapa sumoay menolek begitu getas kepada
siau-heng!" Ciu Hui-ing tertawa mengikik, serunya: "Pui suheng, rasanya kita tak perlu bertemu
muka. Kita dapat bicara dari luar dan dalam saja."
Siu-lam makin mendapat kesan bahwa ada sesuatu yang luar biasa. Kemunculan Ciu
Hui-ing di lingkungan gereja Siau-lim-si itu, sudah merupakan merupakan hal yang
mengherankan. Dan caranya dia menolak secara getas untuk menemui dirinya, lebih tak
masuk akal lagi"."
Sekonyong-konyong Siu-lam teringat akan Sin-to Lo Kun, Pek Co-gi dan lain-lain tokoh.
Bahkan ketua gereja Siau-lim-si yang dianggap sebagai pimpinan rombongan orang gagah
itupun juga tunduk pada gerombolan Beng-gak. Mereka lupa pada kawan seperjuangan,
bahkan sampai hati juga untuk mencelakakan kawan-kawan segereja misal tindakan Tay
Hong itu. Jika tokoh-tokoh yang begitu termasyhur saja jatuh ke dalam kekuatan Beng-gak,
apakah tidak mungkin Ciu Hiu-ing juga begitu"
"Eh, mengapa engkau diam saja?" tiba-tiba Ciu Hui-ing berseru nyaring.
"Sudah lama kita tidak bertemu. Sekalipun dapat kudengar suaramu, tetapi bagaimana
aku puas tanpa bertemu dengan orangnya?"
Kata-kata itu diucapkan dengan penuh gelora perasaan. Dan Ciu Hui-ing pun termangu
diam sampai beberapa saat.
Karena sampai sepeminum teh lamanya belum juga gadis itu bicara lagi, akhirnya Siulam
berseru: "Dari jauh sekali sumoay berkunjung ke gereja Siau-lim-si sini, apakah bukan
karena hendak menjumpai siau-heng?"
Sahut Hui-ing dengan nada rawan: "Sejak berpisah beberapa bulan, aku sudah banyak
menderita kesengsaraan. Duduk bersandar pada dinding goa memandang langit. Siang
malam kuharap-harap kedatanganmu. Tetapi engkau bagaikan burung bangau berwarna
kuning yang tak pernah tampak. Sekali pergi tak kunjung kembali"."
"Tetapi ketika aku kembali ke Poh-to-kang, belum melampaui waktu perjanjian."
"Mungkin engkau benar," tukas Hui-ing, "tetapi keadaan sudah menjadi begitu. Apa
guna kita mengungkatnya lagi" Aku menyesal tak seharusnya datang ke Siau-lim-si
mencarimu." Gadis itu berhenti untuk menghela napas, kemudian melanjutkan pula dengan nada
yang rawan: "Aku kuatir engkau mencemaskan diriku. Aku sudah cukup menderita dalam
siksaan batin. Benar-benar kurasakan sehari seperti tiga tahun lamanya. Aku seperti
duduk di atas permadani jarum. Ah, kelembaban dan kerawanan goa itu takkan
kulupakan seumur hidup"."
"Bagaimana wanita Ih Ing-hoa itu memperlakukan kau?" teriak Siu-lam dengan tegang.
"Dia memperlakukan aku dengan baik. Jika dia tak memberi pelajaran ilmu secara
lisan, aku tentu sudah mati karena kehampaan!"
Ciu Hui-ing menghela napas lagi, kemudian melanjutkan: "Jika tahu bahwa engkau
telah meninggal, tentu takkan kudatang kemari untuk melihatnya!"
Ucapan yang sederhana itu penuh dengan pancaran hati yang halus sekali. Hati Siulam
terasa tersayat dan butir-butir air mata bercucuran keluar.
"Suhu berdua telah melimpahkan budi yang amat besar kepadaku. Dan engkau,
sumoay, adalah satu-satunya orang yang kuindahkan"."
Terdengar suara ketawa rawan: "Impian di musim semi telah berlalu tanpa bekas.
Bahkan ternyata kau masih ingat kepadaku, hatiku girang bukan kepalang. Silahkan
suheng pergi dan kamipun juga hendak pergi!"
Siu-lam terkejut, serunya; "Apa" Apakah sumoay benar-benar tak mau bertemu
denganku?" Dengan gugup Siu-lam terus hendak menerobos masuk ke dalam ruang tapi lagi-lagi
sinar pedang telah melintang di ambang pintu.
"Sebelum mendapat ijin sumoay, janganlah kau gegabah masuk. Awas, pedang tiada
bermata!" Gadis itu bersembunyi di balik pintu. Dia berdiri terhalang oleh pintu. Maka hanya
terdengar suaranya yang bernada dingin tetapi tak kelihatan bagaimana wajahnya.
Betapapun Siu-lam berusaha untuk menerobos dalam pandangan matanya tetap hanya
sebuah lengan putih yang kelihatan.
Berulang kali Siu-lam hendak mencabut pedangnya tapi pada akhirnya ia masih dapat
menekan kesabaran hatinya. Mengingat gerak pedang gadis itu cukup hebat, jika sampai
bertempur tentu menggunakan puluhan jurus untuk mengalahkannya. Dan yang penting,
ia kuatir akan menyinggung perasaan Ciu Hui-ing. Maka terpaksa ia buru-buru bersabar.
Kembali Ciu Hui-ing terdengar berseru dengan rawan: "Kau masih dapat mengenal
suaraku tapi entah apakah kau masih dapat mengenal wajahku juga?"
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Siu-lam sehingga ia tertegun beberapa saat.
"Wajah sumoay selalu terukir dalam hatiku. Masakan aku dapat melupakan?" serunya.
"Benarkah itu?"
"Seratus persen benar, ucapan ini keluar dari hati nuraniku!" sahut Siu-lam.
"Ah, apakah kau masih ingat bagaimana wajahku itu?" tanya Hui-ing pula.
Benar-benar Siu-lam tak menduga akan mendapat pertanyaan semacam itu. Serempak
ia menyahut: "Wajahmu laksana bunga mekar di musim semi, cantik memikat mata!"
Ciu Hui-ing tertawa riang: "Ingatlah selalu bayangan itu dalam hatimu, suheng!"
Nada tertawa gadis itu benar-benar riang bebas. Tiada getaran yang rawan. Jelas
bahwa nona itu benar-benar terhibur hatinya dengan ucapan Siu-lam.
Saat itu hujan sudah berhenti. Awanpun menipis. Beberapa bintang mulai
bermunculan. Malam mulai merayap.
Menengadah ke langit, berkatalah Siu-lam dengan helaan napas: "Kata-kata sumoay
seperti mengandung kedukaan. Maafkan kebodohanku. Tetapi benar-benar siau-heng tak
dapat mengetahui apa sebab sumoay tak mau bertemu muka dengan siau-heng?"
Hui-ing termenung beberapa saat, katanya: "Jika engkau memang berkeras hendak
bertemu muka, engkau harus lebih dahulu meluluskan sebuah permintaanku!"
"Apa?" "Engkau harus berdiri tiga meter jauhnya dari tempatku, tak boleh terlalu dekat dengan
aku," seru Hui-ing. Benar-benar Siu-lam heran atas pernyataan itu. Tetapi demi keinginannya untuk
berjumpa dengan sumoaynya itu, iapun meluluskan juga.
"Selain itu, engkau tak boleh lama-lama tinggal di pondok ini. Setelah melihat diriku,
harus segera pergi," seru Hui-ing pula.
"Baik," sahut Siu-lam, "Apakah masih ada lain lagi?"
"Masih sedikit lagi, yakni pembicaraan kita itu hanya mengenai kenangan peristiwa
yang lampau, tak boleh mengenai soal di kemudian hari. Jika engkau setuju, kita dapat
bertemu muka. Jika tidak, sekalipun untuk yang terakhir kalinya, aku tetap tak mau
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertemu muka!" Setelah berdiam beberapa jenak, akhirnya Siu-lam menyetujui juga: "Kali ini aku dapat
menyetujui semuanya. Tetapi pada pertemuan lain kali, engkau harus meniadakan syaratsyarat
itu semua!" Berkata Hui-ing dengan rawan: "Dalam kehidupan sekarang ini, kita hanya dapat
bertemu sekali saja. Sejak kini, kita akan terpisah oleh dua langit. Sampai matipun
takkan berhubungan lagi!"
Mendengar ucapan gadis itu bernada tegas dan pasti, tergetarlah hati Siu-lam.
"Sekalipun sumoay berada di ujung langit tetap akan kucarimu!" katanya.
"Ah, jangan setolol itu! Dunia amat besar dan langit tiada terbatas luasnya.
Kemanakah engkau hendak mencariku?"
"Tetapi engkau toh tentu mempunyai tempat tinggal yang tertentu?" seru Siu-lam.
Hui-ing tertawa, ujarnya: "Aku pergi datang tiada tertentu waktunya. Aku berjalang
tiada membekas jejak. Hendak kemanakah engkau akan mencari" Ah, sudahlah, jangan
buang-buang waktumu dengan sia-sia!"
Akhirnya Siu-lam tak mau banyak bicara lagi. Yang penting ia harus mengetahui
bagaimana keadaan sumoaynya itu. Ia segera melangkah masuk. Sekalipun sudah
mendapat ijin Hui-ing, namun ia masih kuatir akan serangan pedang dari si nona di balik
pintu. "Cici, biarkan dia masuk!" terdengar Hui-ing berseru perlahan.
Nona di balik pintu itu mendengus: "Engkau harus memenuhi janji, tak boleh ingkar!"
Siu-lam segera melangkah masuk. Ruangan itu redup-redup gelap. Begitu mata Siulam
berkeliaran memandang, cepat-cepat nona di balik pintu berbalik tubuh
membelakanginya. Ketika memandang ke muka, Siu-lam melihat sesosok tubuh langsing dalam pakaian
serba hitam tengah berdiri menghadap ke arah sana, memandang tembok. Nona itu
menghunus sebatang pedang.
Tiba-tiba dari sudut ruang yang redup itu, terdengar suara teguran Hui-ing: "Pui
suheng"." Siu-lam tersirap. Cepat ia memandang ke arah suara itu. Di sudut ruang tampak
berdiri sesosok bayangan yang langsing tinggi. Dia pun mengenakan pakaian serba hitam
seperti nona yang berada di balik pintu itu.
Hui-ing berdiri sambil miringkan tubuh sehingga hanya separuh mukanya yang
Nampak. Sekalipun dengan matanya yang tajam, Siu-lam dapat melihat jelas keadaan
dalam ruang redup itu, namun ia tak mampu melihat bagaimana keadaan Hui-ing yang
sesungguhnya. Suasana dalam ruang itu benar-benar penuh dengan kemisteriusan. Malam yang gelap
makin menambah keseraman ruang itu.
Hanya terpisah beberapa bulan saja, keadaan sudah berubah begitu rupa. Siu-lam pun
bersiaga. Ia melangkah perlahan-lahan.
Tiba-tiba Hui-ing mengangkat tangan kanannya. Lengan jubah yang bergerombyongan
segera menutupi separuh mukanya sehingga tak kelihatan sama sekali.
"Pui suheng, jangan maju lagi," serunya.
Siu-lam tertegun dan hentikan langkahnya. Dari nada suaranya, ia dapat mengenal
bahwa gadis baju hitam yang berdiri di muka itu adalah Ciu Hui-ing.
Saat itu keduanya terpisah kira-kira tiga meter. Mata Siu-lam makin jelas mengetahui
keadaan ruangan. Tetapi karena Hui-ing tetap menutupi wajahnya dengan lengan baju,
iapun tak dapat melihatnya jelas.
"Apa yang suheng hendak katakana, harap lekas bilang. Aku segera akan tinggalkan
tempat ini!" kata Hui-ing dengan rawan.
"Ah, apa maksud sumoay jauh-jauh datang ke gereja ini?" tanya Siu-lam.
"Perlu memberitahukan kepadamu, bahwa aku belum mati!"
"Hanya itu saja?" Siu-lam menegas.
"Benar, memang itu maksudku ke sini. Dan karena kini maksudku sudah terlaksana,
akupun segera akan pergi."
"Apakah sumoay dapat menceritakan tentang peristiwa-peristiwa sejak kita berpisah
dahulu?" Kata Hui-ing: "Memang semula aku hendak mencarimu dengan membekal suatu hasrat
yang menyala-nyala. Kecuali hendak bertemu, pun akan kutumpahkan kandungan hatiku
kepadamu. Aku ingin rebah dalam pelukanmu dan menangis sepuas-puasnya"!"
"Sumoay tentu mengalami kedukaan yang besar. Siau-heng bersedia mendengarkan
kesemuanya itu. Bilanglah, akan kudengarkan dengan penuh perhatian!"
Jilid 27 TETAPI setelah bertemu denganmu, tiba-tiba kurasakan semua peristiwa itu sudah
lampau. Seratus kali bahkan seribu kali kuceritakan, pun tiada gunanya. Karena itu tak
ingin lagi kukatakan. Ya, aku takkan mengatakannya lagi!"
"Mengapa?" tanya Siu-lam.
"Sesungguhnya kedatanganku ke Siau-lim-si sini mencarimu, juga suatu hal yang tiada
artinya. Mati hidup itu hanya semacam awan di langit. Betapa besar nama seseorang dan
betapa tinggi kedudukan seseorang, akhirnya pasti akan mati laksana sebutir pasir jatuh di
dalam lautan. Ah, jika saja semula sudah kusadari hal itu, tentu aku takkan mencarimu
lagi!" "Siau-heng benar-benar tak mengerti maksud sumoay."
Hui-ing kisarkan tubuh, serunya: "Aku hendak pergi, harap suheng suka menyisih."
Tetapi Siu-lam malah lintangkan tangannya menghadang, serunya: "Sudah beberapa
bulan kita tak bertemu. Banyak sekali yang hendak kukatakan. Mengapa engkau begitu
tergesa-gesa hendak pergi?"
Hui-ing menyurut mundur lagi, serunya: "Cukuplah! Yang lalu telah berlalu. Dan yang
akan datang, belum dapat kita ketahui. Apa yang harus dibicarakan lagi?"
"Siau-heng hendak berkata banyak sekali."
"Jika aku tak suka mendengarkan?" kata Hui-ing dengan nada berat.
Siu-lam tertegun: "Apakah benar-benar sumoay membenci siau-heng" Dan
memutuskan hubungan kita" Aku Pui Siu...."
"Jangan mengatakan hal itu! Engkau memegang janjimu tadi atau tidak?" tukas Huiing.
Sama sekali Siu-lam tak menyangka bahwa sumoaynya yang dahulu begitu lemah
lembut, tiba-tiba berubah menjadi sedemikian dingin. Hanya beberapa bulan tanpa
berjumpa tampaknya sumoay itu sudah berubah sama sekali. Agaknya sumoay itu
tercengkam dalam dunia kebatinan dimana ia dapat menyadari arti diri pada hidup ini.
Hidup yang tak lebih merupakan suatu bayangan kosong.
Karena terbenam dalam menilai diri sang sumoay, Siu-lam sampai lupa untuk
menjawab. Hui-ing tertawa dingin, serunya pula: "Tadi engkau sudah berjanji hanya bertemu
sebentar lalu pergi. Tetapi mengapa sekarang engkau hendak menyeret aku dalam
pembicaraan yang berlarut-larut" Hm, menyingkirlah, aku hendak pergi!"
Tanpa membuka lengan baju yang menutupi mukanya, gadis itu mulai ayunkan
kakinya, menyapu kaki Siu-lam.
Siu-lam terkejut. Buru-buru ia menyingkir ke samping dua langkah. Dan cepat sekali
Hui-ing sudah melesat keluar. Kemudian ia membisiki gadis yang menghunus pedang tadi:
"Cici, halanglah ia !"
Gadis baju hitam itu mengiyakan dan cepat menghadang di depan pintu. sekali gerak,
ia sudah lancarkan dua buah serangan. Cepat dahsyat bukan kepalang. Jika hal itu terjadi
beberapa bulan yang lalu, Siu-lam pasti sudah terluka.
Sehabis menyerang, gadis itu segera loncat keluar dan menyusul Hui-ing.
Dengan kerahkan semangatnya, Siu-lam segera mengejarnya seraya berseru nyaring:
"Hai, penjagaan gereja sangat ketat sekali. Jika sumoay hendak pergi, biarlah kuantarkan
keluar!" "Tak usah, dapat datang kemari sudah tentu kamipun dapat pergi keluar sendiri!" sahut
si gadis hitam bersenjata pedang itu dengan dingin.
Mereka bergerak dengan cepat sekali. Dalam pada bicara itu, mereka sudah keluar dari
hutan. Saat itu hujan sudah berhenti sama sekali. Langit penuh dengan bintang. Tiba-tiba
empat sosok tubuh yang mengenakan jubah paderi dan mencekal tongkat, muncul
berjajar-jajar menghadang di tengah jalan.
"Berhenti!" terdengar salah seorang paderi membentak seraya menyapu dengan
tongkatnya. Tapi dengan suatu gerakan yang lemah gemulai, gadis itu menghindar ke samping
terus lari maju. Sama sekali ia tak memandang mata atas serangan paderi itu.
Dan gadis bersenjata pedang yang berada di belakangnya, segera ayunkan tubuh
melenting ke udara, terus melayang turun ke muka.
Paderi yang menyerang itu marah sekali karena diperlakukan sedemikian hina. Ia
menyerang lagi dengan sekuat tenaga.
Dalam menghadapi serangan maut itu, Hui-ing tetap menutupi mukanya sambil
berputar-putar menghindar ke samping. Gerakannya lincah dan indah sekali. Selain
menghindar serangan tongkat, pun ia maju menerjang keempat paderi yang lain.
Gerakan yang luar biasa anehnya itu menyebabkan keempat paderi penghadang itu,
tergetar hatinya. Pada saat ke empat paderi itu terkesiap, tiba-tiba si gadis baju hitam sudah tiba. Sekali
kiblatkan pedangnya kekanan-kiri, ia menyerang dua orang paderi. Kedua paderi itu cepat
mengangkat tongkatnya untuk menangkis.
Hui-ing menggeliatkan tubuh dan tahu-tahu tubuhnya meluncur ke muka. Dua orang
paderi yang lainnya cepat-cepat menghadangnya dengan tongkat, tetapi mereka hanya
menghadang angin belaka. Hui-ing laksana sesosok bayangan yang sukar dijamah....
Kebalikannya gadis baju hitam pengawal Hui-ing itu tak berhasil menerobos dari
hadangan paderi Siau-lim-si. Gadis itu segera putar pedangnya. Hebat sekali gerakan
pedang nona itu sehingga kedua paderi penghadangnya jadi kelabakan menjaga diri.
Pada lain saat Siu-lam tiba di situ. Sambil memberi hormat ia berseru nyaring kepada
keempat paderi itu: "Harap taysu berempat suka memberi jalan kepada nona itu!"
Memang kepada Siu-lam paderi Siau-lim-si amat mengindahkan. Setelah menangkis,
merekapun menyisih ke samping memberi jalan.
Gadis baju hitam mendengus dingin. Tanpa berpaling muka ia mendamprat Siu-lam:
"Huh, jangan usilan. Siapa minta engkau membantu!"
Sekali enjot kaki, tubuhnya melambung ke udara. Setelah melayang turun, terus lari
menyusul Hui-ing. Siu-lam memberi keterangan kepada keempat padri bahwa kedua nona itu bukanlah
anak buah Beng-gak. Ia kuatir keempat paderi itu salah paham. Habis memberi penjelasan
iapun segera lari menyusul.
Ketika Siu-lam dapat menyusul ternyata Hui-ing dan gadis baju hitam itu sedang
bertempur dengan belasan paderi Siau-lim-si.
Hui-ing tetap menutupi mukanya dengan lengan baju. Ia hanya menggunakan tangan
kiri untuk melawan pengeroyoknya. Tetapi gerakan tubuhnya luar biasa anehnya. Gadis itu
berlincahan laksana kupu-kupu ditingkah taburan senjata.
Tetapi si gadis baju hitam tetap mengandalkan permainan pedangnya yang ganas
sekali. Menyerang dan menangkis. Setiap jurus permainan pedangnya selalu mengandung
bencana maut sehingga musuh terpaksa waspada.
Pada saat Siu-lam hendak berseru menghentikan pertempuran itu, tiba-tiba terlintas
dalam pikirannya: "Sumoay dapat bergerak bebas lepas dalam kepungan musuh, tentulah
berkat ilmu gerakan kaki Cit-sing-tun-heng ajaran Siu-chiu-kiau-in Su Bo-tun. Dalam waktu
beberapa bulan saja ia sudah memahami ilmu pelajaran yang sesakti itu, sungguh
mengagumkan sekali. Tetapi entah siapakah gadis baju hitam yang bersamanya itu.
Mengapa ilmu pedangnya begitu ganas"
Akhirnya ia memutuskan untuk melihat dulu. Siapa tahu mungkin ia dapat memperoleh
sesuatu jejak untuk menetapkan aliran dari gadis baju hitam itu.
Ia batalkan niatnya untuk mencegah. Dan dengan penuh perhatian diamatinyalah
permainan pedang gadis itu.
Tiba-tiba gadis baju hitam itu merubah permainan pedangnya. Ia kembangkan jurus
serangan yang luar biasa cepat dan dahsyatnya. Sinar pedangnya bagaikan bunga api
berhamburan di udara! "Uh!" terdengar erangan tertahan dari seorang paderi. Tiba-tiba paderi itu lemparkan
tongkatnya dan mundur beberapa langkah. Tangan kirinya mendekap lengan kanan dan
orangnya berlutut ke tanah. Darah menyembur keluar!
"Hm, ilmu pedang nona itu memang luar biasa ganasnya. Jika dilanjutkan, beberapa
paderi akan menjadi korban lagi!" diam-diam Siu-lam menimang.
Dan tepat pada saat ia menimang itu, terdengarlah pula dua buah erangan tertahan.
Dua orang paderi rubuh menjadi korban pedang nona itu.
Setiap turunkan pedangnya, tentu mengarah jalan darah yang berbahaya. Maka setiap
korbannya tentu menderita luka parah sekali.
"Celaka, jika aku tak lekas-lekas bertindak, paderi-paderi Siau-lim-si tentu akan terluka
semua," demikian ia memutuskan.
Tepat pada saat itu, kembali seorang paderi rubuh. Tanpa berayal lagi Siu-Iam terus
mencabut pedang Pek-kau-kiam lalu loncat ke muka. Sambil memutar pedangnya dengan
jurus Tan-hong-liau-hun, ia berseru bengis: "Mengapa engkau melukai paderi Siau-lim-si
yang tak mempunyai dendam dengan engkau!"
Sekalipun hatinya panas, tetapi ia tetap menjaga perasaan Ciu Hui-ing, agar jangan
salah paham. Maka serangan pedangnya itupun agak lambat..
"Hm, engkau tidak puas" silahkan mencoba sendiri!" dengus nona baju hitam itu seraya
menarik pedangnya untuk digeliatkan membalik ke arah Siu-lam.
Gerak membalikkan pedang itu sudah mengandung dua jurus serangan yang dahsyat
sekali sehingga Siu-lam terpaksa mundur dua langkah.
Dalam pada itu rombongan paderi yang telah kehilangan empat kawannya, menjadi
murka. Tiga orang paderi serentak menyerang. Yang dua dengan tongkat sian-ciang, yang
seorang dengan golok kwat-to.
Siu-lam agak sibuk. la tak ingin melihat para paderi Siau-lim-si menjadi korban lagi
tetapi iapun menjaga jangan sampai menyinggung perasaan sumoaynya.
"Nona, menghindarlah ke samping!" akhirnya ia berseru kepada nona baju hitam itu.
Tetapi ternyata nona itu bukan menurut anjuran Siu-lam, kebalikannya malah kerahkan
semangat, menangkis dengan pedangnya. Tring, terdengar dering senjata beradu dahsyat.
Begitu tongkat seorang paderi yang menyerang dari sebelah kiri terpental, dengan
meminjam tenaga, benturan pedang itu, si gadis baju hitam terus loncat ke samping
beberapa meter jauhnya. "Bagus!" diam-diam Siu-lam memuji dalam hati melihat kelincahan nona itu.
Tapi rasa kagumnya itu cepat buyar ketika si nona baju hitam membentak dengan
dingin: "Jangan cari muka! Hm, jika tak memandang muka moay-moayku, dua buah
serangan tadi, kau tentu sudah rubuh berlumuran darah."
Melihat beberapa paderi yang rubuh di tanah itu hati Siu-lam berduka. Berserulah ia
dengan nyaring: "Gereja Siau-lim-si mempunyai nama yang harum di dunia persilatan.
Mengapa sumoay hendak mengikat permusuhan dengan mereka" Sudah empat paderi
yang kalian lukai. Biarlah siau-heng yang mempertanggung-jawabkan peristiwa ini. Harap
sumoay berhenti bertempur!"
Gadis baju hitam itu ketawa dingin: "Moay-moay, congkak benar suhengmu itu. Biarlah
cici memberinya pelajaran, ya?"
Nadanya seperti orang minta ijin tapi nyatanya tanpa menunggu penyahutan Hui-ing
lagi gadis baju hitam itu kiblatkan pedangnya kian kemari sehingga dua orang paderi yang
mendekatinya, terpaksa mundur.
Hui-ing tiba-tiba menghela napas, serunya: "Cici, marilah kita pergi!" Habis berkata
berputar-putar dua kali dan menyelinap keluar dari kepungan.
Siu-lam pun meminta para paderi supaya hentikan penyerangannya dan memberi jalan
kepada kedua nona itu. Karena para paderi itu mengindahkan Siu-lam, merekapun segera berhenti dan
mengerumuni keempat kawannya yang terluka tadi.
Keempat paderi yang terluka itu, sepatahpun tidak mengerang kesakitan. Dan paderipaderi
yang mengerumuninya itu pun tak mengucurkan airmata. Mereka tegak berdiri
dengan merangkapkan kedua tangan. Hanya wajah mereka menampilkan kedukaan yang
dalam. Siu-lam menghela napas: "Harap taysu sekalian menunggu di sini dulu, aku hendak
menghantar kedua nona itu. Taysu yang terluka parah, jangan bergerak dulu agar lukanya
tidak begitu parah."
Habis berkata ia terus lari mcnyusul Hui-ing dan gadis baju hitam tadi.
Saat itu hujan sudah reda dan sekalian paderipun sudah siap di masing-masing pos.
Mereka mulai bersiap mengadakan penjagaan.
Baru sepuluh tombak jauhnya Siu-lam menyusul, tampak kedua gadis itu bertempur
lagi dengan rombongan paderi yang berjaga di situ.
Karena takut nona baju hitam itu akan melancarkan serangan-serangan pedang yang
ganas, Siu-lam segera loncat menahan pedang si nona baju hitam. Kemudian berseru
perlahan kepada para paderi: "Harap suhu sekalian suka kembali ke pos masing-masing.
Biarlah aku yang mengantarkan kedua nona ini keluar."
Paderi-paderi itu hentikan serangannya lalu berpencaran menyembunyikan diri dalam
tempat. Si gadis baju hitam menarik pedangnya seraya menegur Siu-lam: "Apa maksudmu
mengikuti kami?" "Aku hendak mengantar kalian...."
"Hah, tak perlu, lebih baik engkau kembali saja!" tukas gadis baju hitam dengan jemu.
Siu-lam menerangkan bahwa keadaan gereja Siau-lim-si saat itu genting sekali. Setiap
lima meter terdapat sebuah pos penjagaan. Jika tak diantar keluar, kedua nona itu tentu
akan mengalami beberapa rintangan.
"Hmm, kawanan paderi itu mampu menghalangi perjalanan kami?" gadis baju hitam itu
mengejek. Dengan agak menyindir, Siu-lam berkata: "Memang ilmu pedang nona luar biasa sekali.
Tetapi apabila sampai bertemu dengan paderi Siau-lim-si golongan ko-chiu, belum tentu
nona dapat mengatasi. Yang menghadang tadi, hanya murid-murid Siau-lim-si tingkat
angkatan kedua dan ketiga saja..."
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siu-lam berhenti sejenak untuk batuk-batuk kecil, kemudian katanya pula: "Adalah
karena memandang muka sumoayku, maka tadi aku selalu bersikap sungkan padamu"."
Nona baju hitam itu tertawa ngikik. Nadanya penuh ejakan dan kemarahan.
Siu-lam kurang puas melihat sikap nona itu, serunya: "Jangankan paderi angkatan kochiu,
bahkan denganku yang rendah ini, belum tentu nona dapat menang. Bahwa
mengapa aku tidak bertindak tadi, bukanlah karena jeri terhadap kepandaian nona"."
"Cici, mari kita pergi!" tiba-tiba Hui-ing berseru.
Sambil bolang-balingkan pedangnya, nona baju hitam itu berseru: "Jika tidak kuatir
menyinggung perasaan Hui-ing moay-moay, malam ini tentu sudah kuberimu hajaran!"
"Dan kalau menghindari agar sumoay jangan salah paham jangan harap malam ini
engkau mampu keluar dari gereja ini. Hm... tindakanmu melukai empat paderi tadi, tentu
tak akan diiarkan begitu saja!"
Rupanya marahlah nona baju hitam itu mendengar kata-kata Siu-lam, serunya:
"Cabutlah pedangmu! Jika tidak kuberimu sedikit hajaran, engkau memang takkan tahu
tingginya langit dan lebarnya dunia!"
Sesungguhnya Siu-lam tidak enak hati kepada para paderi Siau-lim-si. Sudah jelas nona
baju hitam itu telah melukai empat paderi, tetapi Siu-lam tetap sungkan dan bahkan masih
begitu baik hati hendak mengantar mereka ke luar.
Tetapi karena nona baju hitam itu baik sikap dan ucapannya mengunjukkan
kesombongan, akhirnya Siu-lam tak dapat menguasai kemarahannya lagi. Tring. ia
mencabut pedang Pek-kau-kiam.
Dengan memandang muka sumoayku, marilah kita bermain-main hanya tiga jurus
saja!" serunya. "Tiga jurus hanya berlangsung dalam sekiblat gerakan saja. Bagaimana dapat
menghasilkan kalah dan menangnya?" sahut gadis itu.
Pendekar Riang 4 Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Pedang Tanpa Perasaan 4
benar-benar besar peruntunganmu!"
Nona baju merah itu agak tertegun: "Aku dapat berubah seratus macam rupa,
bagaimana engkau mampu mengenali aku?"
"Itulah! Yang dikejar oleh kedua lo-cianpwe itu tentulah lain orang yang menyamar
jadi dirimu," diam-diam Siu-lam tersadar. Kemudian ia mendengus: "Hm, orang Beng-gak
memang banyak akal muslihatnya"."
Nona baju merah itu tertawa mengejek:
"Gereja Siau-lim-si sudah masuk ke perangkap kami. Tunggu apabila nanti malam
suhuku datang tentu segera akan diadakan penyembelihan besar-besaran"."
"Ah, mungkin tidak seperti yang kalian harapkan?" sahut Siu-lam. Tetapi ia tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena saat itu dadanya seperti terlanda oleh pukulan yang
tidak kelihatan. Siu-lam tadi sudah menderita serangan gelap semacam itu. Sudah tentu ia sudah
berjaga-jaga. Sekalipun pukulan itu tidak mengeluarkan suara, tetapi dalam suasana dan
tempat seperti di situ, asal orang memperhatikan dengan cermat, tentu akan merasa
adanya semacam gelombang arus hawa dingin. Buru-buru ia ayunkan tangan kanan
menampar. Ia sudah menginsyafi bahwa tenaga dalamnya tidak dapat mengimbangi serangan
pukulan tak bersuara itu. Sehabis memukul, ia cepat-cepat loncat ke samping dan
memaki. "Hai, Pek Co-gi, kalau memang ksatria, jangan main melempar batu sembunyi tangan
begitu! Jika berani hayo keluarlah! Aku mau coba sampai di mana ilmu kepandaian orang
Beng-gak. Selain pukulan Bu-ing-sin-kun, hayo keluarkanlah semua kebisaanmu!"
Siu-lam memperhitungkan. Kalau seorang tokoh sakti semacam Tay Hong siansu saja
dapat ditundukkan Beng-gak, apalagi Bu-ing-sin-kun Pek Co-gi jago dari Tibet itu. Dan
dugaan itu didasarkan bahwa kecuali Pek Co-gi, rasanya tiada lain tokoh yang memiliki
ilmu pukulan tanpa suara.
Serempak dengan tantangan itu, dari balik sebuah pohon siong besar, muncullah
seorang lelaki bertubuh gemuk pendek. Di belakangnya diiringi empat-lima orang.
Setelah mengetahui jelas orang-orang yang muncul itu, Siu-lam tercengang-cengang.
Si gemuk pendek memang Bu-ing-sin-kun Pek Co-gi. Sedang pengiringnya itu ialah Sin-to
Lo Kun, Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong, Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat dan Tui-hong-tiau
Ngo Cong-gi. Tokoh ternama itupun ternyata telah jatuh ke tangan Beng-gak. Dan dikuatirkan pula
bahwa Su Boh-tun dan Siau Yau-cu pun telah ditunjuk dan menjadi alat orang Beng-gak.
Tokoh-tokoh itu berilmu sakti, apabila Beng-gak sampai dapat menggunakan tenaga
mereka, tentu mengerikan sekali. Beng-gak tentu benar-benar akan dapat berhasil
melaksanakan cita-citanya untuk menguasai dunia persilatan".
Siu-lam teringat akan pengalamannya ketika menyerbu Beng-gak. Kawanan anak buah
Beng-gak yang mukanya dicontrengi warna-warni dan berpakaian aneh itu, kemungkinan
tentulah tokoh-tokoh berilmu yang telah jatuh dalam kekuasaan Beng-gak.
Terdengar nona baju merah itu tertawa melengking: "Kenalkah engkau pada mereka?"
Siu-lam cepat tenangkan perasaannya dan menyahut: "Benar, aku kenal mereka!"
Tertawalah nona baju merah itu dengan perasaan tawar: "Dan masih ada lagi Su Botun
dan tokoh Bu-tong-pay Siau Yau-cu itu, kenalkah engkau juga?"
"Hm, kalau kenal lalu bagaimana?"
"Mereka dahulu tentulah sahabat-sahabatmu, tetapi sekarang menjadi musuhmu?"
nona itu berhenti lalu memandang Pek Co-gi, serunya: "Apakah engkau yakin
kepandaianmu dapat mengalahkan kelima tokoh yang menyerangmu dengan serempak?"
Siu-lam terkejut. Diam-diam ia memang mengakui kebenaran ucapan nona itu.
Jangankan maju berbareng, sedang satu lawan satu saja, ia merasa belum tentu dapat
menang. Belum sempat ia menjawab, nona baju merah itu mengangkat tangan memberi isyarat.
Kiu-sing-tui-hun Kau Cing-hong, Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat dan Sin-to Lo Kun
serentak mencabut senjatanya dan maju ke muka.
Siu-lam pun cepat mencabut Ceng-liong-kiam dan Pak-kau-kiam sepasang pedang
pusaka pemberian Tay Ih siansu. Sepasang pedang itu memancar berkilat-kilat dingin.
"Pedang yang bagus sekali! Jangan harap kami dapat melepaskan engkau sebelum
sepasang pedang pusaka itu jatuh ke tanganku!" seru si nona baju merah seraya loncat ke
muka seraya kebutkan hud-tim dan memberi perintah kepada ketiga tokoh itu supaya
segera maju menyerang. Dengan golok kim-pwo-to, Lo Kun segera mempelopori menyerang lebih dahulu dengan
sebuah jurus Lat-biat-hoa-san. Ia hendak membelah kepala Siu-lam.
Melihat golok Lo Kun itu begitu dahsyat, karena kuatir akan merusakkan sepasang
pedangnya, Siu-lam terpaksa loncat menghindar ke samping.
Tetapi serentak ia disambut oleh Kau Cin-hong yang menutukkan ujung ruyungnya
Kau-kin-koa-thau (Ruyung urat naga kepala ular).
Siu-lam memutar pedang Ceng-liong-kiam yang dicekal di tangan kiri, untuk menjaga
ruyung. Melihat pedang itu mengeluarkan sinar yang berkilat-kilat dingin, Kau Cin-hong tidak
berani mengadu dengan ruyungnya. Cepat ia menarik kembali senjatanya.
Melihat sepasang pedang itu memancarkan sinar kehijau-hijauan, tak beranilah Kuising-
tui-hun Kau Cin-hong untuk menangkis dengan ruyungnya. Buru-buru ia menarik
pulang ruyungnya. Tetapi pada saat itu thiat-pit dari Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat sudah menutuk dada
Siu-lam. Terpaksa Siu-lam menangkis dengan pedang di tangan kanan.
Tio Hong-kwat cepat menarik pit dan secepat kilat kibaskan tiga batang pedang yang
terikat pada tangan kanannya. Tiga batang pedang yang lebih banyak menyerupai bentuk
belati itu diikat dengan rantai halus pada siku lengannya. Dapat digunakan sebagai
senjata biasa pun sebagai senjata rahasia yang ditaburkan ke musuh.
Siu-lam menggembor keras. Ceng-liong-kiam dia terus dibabatkan dengan jurus Thiatsoh-
lan-cou. Dalam beberapa bulan setelah mendapat pelajaran dari kakek Hian-song dan kedua
tokoh Siau-lim-si, Kak Bong dan Kak Hui, Siu-lam memperoleh kemajuan pesat sekali.
Ditambah pula dengan kecerdasan otaknya, dapatlah ia menggunakan apa yang telah
dipelajarinya itu dengan tepat dan cepat.
Cara mengendapkan pedang dan membalikkannya untuk menyerang, memang banyak
menghemat waktu tak sedikit. Dan gerakan yang singkat itu mengandung arti besar sekali
dalam menentukan kalah menang.
Tring" tepat sekali pedang Ceng-liong-kiam berhasil memapas belati yang dikibaskan
Tio Hong-kwat. Dan kutunglah belati itu menjadi dua dengan menimbulkan dering
gemerincing lengking suara.
Sama sekali Siu-lam tak mengira bahwa pedang pusaka pemberian ketua Siau-lim-si
ternyata sedemikian tajamnya. Ia sendiri tertegun.
Justru ia tengah tertegun, tiba-tiba Lo Kun membacok pinggangnya dan ruyung Kau
Cin-hong pun menutuk dada Siu-lam.
Sekalipun sebatang belatinya sudah terpapas tetapi Tio Hong-kwat masih mempunyai
dua batang belati. Dan tangan kanannya masih mencekal sebatang thiat-pit. Setelah
terkesiap sejenak, Tio Hong-kwat segera menyerang lagi.
Siu-lam memutar sepasang pedangnya melawan ketiga tokoh penyerangnya. Cengliong-
kiam dan Pek-kau-kiam diputar sederas hujan mencurah.
Beberapa bulan yang lalu, salah seorang dari ketiga tokoh itu tentu dapat mengalahkan
Siu-lam. Tetapi saat itu, keadaan jauh sekali bedanya.
Siu-lam telah mengembangkan ilmu pedang Tan lo-cianpwe (kakek dari Hian-song)
sedemikian hebat. Dalam setiap lima enam jurus tentu terdapat jurus yang sukar diduga
perubahannya sehingga musuh mau tak mau dipaksa mundur menghindar.
Tambahan pula Siu-lam mencekal sepasang pedang pusaka. Ibarat harimau tumbuh
sayap, ia dapat melayani ketiga tokoh itu dengan baik dan lancar.
Melihat itu, si nona baju merah kerutkan dahi. Jelas diketahui ketika masih di gunung
Kiu-kiong-san dahulu, pemuda itu masih lemah sekali kepandaiannya. Tapi mengapa
dalam waktu yang tak lama saja, dia sudah berubah menjadi seorang tokoh yang begitu
sakti. Betapapun cerdas otaknya, namun tak mungkin pemuda itu dapat mencapai
kemajuan yang sedemikian pesatnya. Jika dibiarkan, kelak pemuda itu tentu akan
merupakan bahaya besar. Seketika timbullah keganasan nona itu. Ia membisiki Pek Co-gi: "Dia mempunyai
sepasang pedang pusaka. Bantulah kawan-kawan kita dan segera bunuh pemuda itu.
Berikan pedang itu kepadaku!"
Pek Co-gi, jago Pukulan Tanpa Bayangan yang termasyhur di wilayah Tibet, ternyata
patuh sekali pada nona itu. Dengan menggembor keras ia loncat ke muka seraya
gerakkan kedua tangannya. Seketika menderalah angin badai dari pukulannya yang
dahsyat itu. Di dalam menghadapi pengeroyoknya, bermula Siu-lam berlaku hati-hati, hanya
bertahan diri tak mau membalas. Tapi sesudah lewat belasan jurus, nyali timbul.
Serangan ketiga tokoh itu ternyata hanya begitu saja. Pada saat ia memutuskan hendak
balas menyerang, tiba-tiba didengarnya Pek Co-gi menggembor keras dan menyerbu.
Seketika Siu-lam rasakan tubuhnya diserang oleh angin yang bertenaga kuat sekali
sehingga ia tersurut mundur tiga langkah dan sepasang pedangnyapun hampir lepas
jatuh. Memang Pek Co-gi telah membuka serangannya dengan ilmu Bu-ing-sin-kun, lalu ia
susul sekaligus dengan empat buah serangan.
Untung sebelumnya Siu-lam sudah kenal akan kelihayan ilmu pukulan Bu-ing-sin-kun.
Ia sudah berjaga-jaga. Maka begitu merasa angin pukulan itu menyambar, buru-buru ia
mundur. Tapi sekalipun begitu tak urung darahnya bergolak keras dan ia menderita luka dalam.
Buru-buru ia salurka lwekangnya untuk menyembuhkan luka itu. Ia tak mau mengunjuk
terluka dalam. Ia bersikap tenang seperti tak terjadi sesuatu. Ia sadar, kalau musuh
mengetahui ia terluka, mereka tentu akan menyerang sehebat-hebatnya.
Tapi lain bencana datang menyusul. Ialah dari si nona baju merah yang sudah melesat
ke hadapannya. Dan secepat ia pula kebutkan hud-tim ke tangan Siu-lam. Ia hendak
merebut sepasang pedang pusaka pemuda itu.
Tapi Siu-lam tak mau mudah begitu saja.
Pedang di tangan kiri digerakkan dengan jurus Pek-hun-jut-yu, menangkis kebutan si
nona. Nona baju merah itu ketawa melengking: "Ih, kau sudah terluka dalam. Jika tak lekas
menyalurkan tenaga, luka itu pasti mengembang dan jiwamu pasti takkan tertolong!
Sekalipun kau pura-pura memaksa diri menghadapi aku, tapi keadaanmu sudah payah.
Dalam tiga puluh jurus saja kau pasti sudah dapat kurubuhkan!"
Si nona menutup bicara dengan menghujani serangan-serangan. Siu-lam terkejut
karena nona itu sudah melihat keadaannya. Diam-diam ia memutuskan untuk
menurunkan tangan ganas. Ia sadar apabila sampai jatuh ke tangan musuh, nona itu
pasti takkan mengampuni jiwanya.
Sehabis menghindar dari tiga buah serangan pedang si nona, Siu-lam berkata: "Karena
aku pernah bertemu dengan orang tuamu, maka aku tak sampai hati melukaimu. Tetapi
mengapa engkau terus-menerus mengejar aku saja" Apa engkau kira aku benar-benar
takut kepadamu?" Yang dimaksud dengan orang tua si nona baju merah itu ialah orang tua she Hui yang
pernah menolong jiwanya ketika ia terhambur keluar dari perut gunung tempo hari.
Nona baju merah itu tertawa melengking: "Jangan ngaco belo tak keruan! Ayah
bundaku sudah meninggal dan aku dirawat oleh suhu. Jika engkau mau ketemu ayah
bundaku, pergilah ke akhirat!" ia menutup kata-katanya dengan tiga buah serangan
pedang. Dengan pedang Pek-kau-kiam, Siu-lam gunakan jurus Yap-hwe-soh-thian atau api
membakar langit untuk menahan ketiga serangan itu sedang Ceng-liong-kiam di tangan
kiri balas menyerang dengan jurus Se-lay-co-im. Ilmu pedang Se-lay-co-im ini ajaran dari
Kak Bong taysu. Ganas tapi mengandung welas asih.
Nona baju merah itu terkejut. Walaupun dalam taburan sinar pedang yang
berhamburan dari delapan penjuru itu masih terdapat beberapa lubang kelemahan, tetapi
ia tak tahu cara memecahkannya. Terpaksa ia mundur".
Tiba-tiba Sin-to Lo Kun menggembor keras dan menabas dengan golok kim-pwe-tonya.
Ilmu pedang Tat-mo-kiam dari Siau-lim-si, sekalipun merupakan ilmu pedang istimewa,
tetapi apabila akan menggunakan harus disertai dengan pengerahan tenaga dalam.
Dalam hal ini yang merupakan halangan bagi Siu-lam. Karena dadanya habis terkena
pukulan tanpa bayangan dari Pek Co-gi tadi, ia masih belum dapat menekan darahnya
yang bergolak-golak. Maka sewaktu menggunakan ilmu pedang Tat-mo-kiam, napasnya
terengah-engah. Terhadap tabasan golok Lo Kun, ia tidak berani menangkis tetapi loncat
menghindar. "Sekalipun aku memakai sepasang pedang pusaka dan mengerti ilmu pedang Tat-mokiam,
tetapi karena dadaku terluka pukulan Bu-ing-sin-kun, perlulah aku harus beristirahat
dulu. Apalagi kalau Pek Co-gi ikut menyerang lagi, tentu repot melayani," akhirnya ia
mengambil keputusan. Maka begitu melesat ke samping, tanpa memberi kesempatan musuh menyerangnya
lagi, ia terus lari ke dalam gereja.
"Kejar, dia sudah terluka dalam"!" teriak si nona baju merah.
Kawanan orang gagah itu rupanya taat sekali kepada si nona baju merah. Segera
mereka mengejar. Dengan paksakan diri, Siu-lam lari ke arah gereja. Untung dalam beberapa kejap ia
dapat mencapai pintu gereja. Empat orang paderi berjubah putih segera keluar
menyambut. "Hadanglah orang-orang yang mengejarku," kata Siu-lam seraya terus menerobos ke
dalam. Karena sudah kenal akan anak muda itu, keempat paderi itupun memberi jalan.
Kemudian mereka bersiap menyambut kawanan pengejar itu.
Baru beberapa langkah jauhnya, tiba-tiba Siu-lam teringat bahwa Pek Co-gi dengan Buing-
sin-kunnya itu merupakan bahaya besar. Dikuatirkan keempat paderi itu tak kuat
menghadapinya. Segera ia berhenti dan berpaling: "Harap siansu berempat berhati-hati
menjaga pukulan Bu-ing-sin-kun?" tiba-tiba ia teringat bahwa Pek Co-gi itu berasal dari
daerah Tibet, kemungkinan keempat paderi itu tersebut belum kenal ilmu pukulan
istimewa dari jago Tibet itu. Maka segera ia memberi penjelasan lagi: "Bu-ing-sin-kun
adalah ilmu pukulan istimewa. Pukulan itu tiada mengeluarkan suara. Baru ketahuan
setelah mengenai sang korban. Dia seorang gemuk pendek, harap hati-hati dan awasi
gerakan tangannya"."
Belum selesai ia memberi penjelasan tiba-tiba seorang paderi yang berada di sebelah
kiri terdengar mendesah tertahan dan terhuyung tiga langkah ke belakang".
Ternyata sewaktu Siu-lam memberi penjelasan, paderi itu sudah terkena pukulan Buing-
sin-kun dari Pek Co-gi. Siu-lam tergetar hatinya: "Jika aku memikirkan kepentingan diriku sendiri, keempat
paderi ini tentu hancur di tangan mereka. Sudah tentu aku malu terhadap Tay Ih siansu!"
Dengan pertimbangan itu, ia tak jadi masuk ke dalam tetapi melangkah keluar lagi. Ia
diam-diam kerahkan tenaga dalam menanti kedatangan musuh.
Saat itu pertempuran sudah pecah. Kecuali paderi yang belum-belum sudah terkena
pukulan Bu-ing-sin-kun tadi, yang tiga orang segera mengadakan perlawanan.
Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat, Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong dan Sin-to Lo Kun,
walaupun menyerang hebat tetapi ketiga paderi dengan senjata hong-pian-jan dan thiatsiang-
ciang itu telah memberi perlawanan yang gigih.
Melihat itu si nona baju merah memperhitungkan bahwa sekalipun bertempur sampai
seratus jurus, tetap takkan ada kesudahannya. Ia mulai gelisah menyaksikan
pertempuran seru. Begitu seru sehingga sukar dibedakan mana lawan mana kawan.
Dalam keadaan begitu Pek Co-gi pun tak sempat melancarkan pukulan sakti Bu-ing-sinkun
lagi. Tak dapat lagi si nona baju merah itu menahan diri. Segera ia melesat menyerbu ke
tengah pertempuran. Dengan pedang ia menusuk dada seorang paderi dan hud-tim di
tangan kiri mengebut lengan seorang paderi di sebelah kiri.
Desakan nona itu memaksa kedua paderi Siau-lim-si tadi mundur selangkah.
Memang ilmu silat dari Beng-gak mempunyai aliran tersendiri. Selain jurus-jurusnya
yang aneh, pun sangat ganas. Jauh bedanya dengan ilmu silat yang kebanyakan. Begitu
nona baju merah itu terjun dalam pertempuran, situasinya segera berubah. Ketiga paderi
itu bingung tak keruan menghadapi serangan si nona yang menggunakan jurus-jurus
serba aneh dan ganas. Saat itu Siu-lam sudah sempat menyalurkan lwekangnya. Melihat ketiga paderi
terdesak, ia segera loncat membantu.
Memang sejak makan kuwih Cwan-hiong-kau dari paderi Kak Bong dan disaluri tenaga
sakti dari paderi itu, ia merasa terdapat perubahan dalam tubuhnya. Maka dalam waktu
yang singkat saja, ia sudah pulih tenaganya.
Tiba-tiba terdengar suara doa yang nyaring. Tay Hi siansu dengan diiringi dua belas
ko-chiu Siau-lim-si berlari-lari mendatangi.
Diam-diam Siu-lam menimang. Dalam keadaan berbahaya seperti saat itu, tak perlulah
kiranya harus memegang tata susila kaum persilatan lagi. Apalagi menghadapi
gerombolan Beng-gak yang ganas. Biarlah rombongan paderi Siau-lim-si itu segera maju
serempak menghantam musuh.
Dalam pada menimang itu, Siu-lampun sudah lancarkan tusukan dengan pedang Cengliong-
kiam ke arah si nona. Setiap kali beradu senjata dengan Siu-lam, nona itu merasa bahwa pemuda itu
sekarang bertambah pesat sekali lwekangnya. Diam-diam nona itu tak berani memandang
ringan. Sedapat mungkin ia menghindari benturan senjata. Tetapi Siu-lam agaknya
sengaja mencari kesempatan untuk adu kekerasan dengan nona itu.
Tring, tring, tring, dengan sebuah gerak yang secepat kilat menyambar, Siu-lam
sekaligus menangkis tiga buah tusukan si nona yag dilancarkan kepada ketiga paderi.
Tiba-tiba Pek Co-gi menggembor keras dan serentak menerjang Siu-lam. Dengan jurus
Tio-to-ni-liong atau Menjolok naga kuning, tinjunya menghujam ke dada Siu-lam.
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jago gendut dari Tibet itu memiliki tenaga yang kuat sekali. Setiap pukulannya tentu
menimbulkan deru angin yang menyeramkan.
Yang paling dikuatirkan Siu-lam hanyalah pukulan Bu-ing-sin-kun. Karena pukulan
yang tak bersuara itu sukar untuk dijaga. Maka ia harus cepat-cepat menundukkan jago
Tibet itu lebih dulu. Begitu menghindar, sambil berputar ia menyerang sekuat-kuatnya.
Setelah terlepas dari serangan Siu-lam, kegagahan nona baju merah itu mulai tampak
lagi. Sekaligus ia lancarkan tiga buah serangan pedang kepada ketiga paderi sehingga
paderi-paderi itu kelabakan dibuatnya.
Untunglah pada saat itu Tay Hi siansu dan rombongannya sudah tiba. Mereka segera
menyerbut nona baju merah itu.
Tay Hi siansu merupakan salah seorang paderi Siau-lim-si yang tinggi kedudukannya.
Ilmu kesaktiannya pun amat disegani. Ia memutar tongkat sian-cian laksana hujan
mencurah. Beberapa jurus kemudian, nona baju merah itu merasa tertekan. Buru-buru ia
curahkan perhatiannya untuk melayani Tay Hi.
Karena terlepas dari tekanan si nona, kini barisan paderi Siau-lim-si mulai tersusun lagi.
Pertempuran antara Siu-lam dan Pek Co-gi berlangsung seru sekali. Dengan sepasang
pedang pusaka dan ilmu permainan pedang yang beraneka coraknya, Siu-lam dapat
memaksa jago Tibet kelabakan setengah mati.
Dalam beberapa kejap saja, kedua jago itu sudah melangsungkan pertempuran sampai
lebih dari duapuluh jurus. Tiba-tiba Siu-lam merasa bahwa tenaga dalamnya sekarang
jauh lebih maju dari dulu. Setelah sempat mengawasi bahwa situasi pertempuran tidak
lagi membahayakan kedudukan Siau-lim-si, mulailah ia lancarkan ilmu pedang ajaran
kakek dari Hian-song, ialah ilmu sakti Jiuw-toh-co-hua. Pedang Ceng-liong-kiam
berhamburan laksana hujan mencurah dari langit.
Pek Co-gi tergetar dan loncat mundur. Ilmu pedang yang belum lengkap itu, tetap
tiada tandingannya. Siu-lam memburu terus. Dia tak memberi kesempatan pada Pek Co-gi lagi. Begitu
loncat terus menyerangnya gencar.
Dalam keadaan terdesak, Pek Co-gi menghantam sekuat-kuatnya dan tangan kiri
gunakan ilmu Kim-na-chiu untuk mencengkeram lengan Siu-lam.
Ceng-lion-kiam dimainkan Siu-lam dalam jurus It-chiu-gin-hoa. Dan untuk menghindari
cengkeraman musuh, ia miringkan tubuh ke samping. Kemudian Pek-kau-kiam ditaburkan
dalam jurus Sin-liong-sam-sian.
Gerakan yang hebat dari anak muda itu kembali memaksa jago Tibet itu mundur dua
langkah. Siu-lam tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Pedang ditaburkan dalam jurus Jiu-tohco-
hua dan mundurlah Pek Co-gi beberapa langkah.
Hanya dalam beberapa kejap saja, Siu-lam telah memaksa Pek Co-gi mundur sampai
tiga tombak jauhnya. Dalam kesempatan yang luang, ia berkata dengan perlahan kepada
jago Tibet itu: "Harap lo-cianpwe mundur ke balik gunung itu, wanpwe hendak bicara sedikit!"
Sambil lancarkan dua buah pukulan, Pek Co-gi berseru: "Mau bilang apa, lekas
katakanlah sekarang saja!"
Kuatir jago Tibet itu akan mendapat kesempatan untuk melancarkan pukulan Bu-ingsin-
kun, Siu-lam mendesaknya lagi dengan hamburan pedang dan bicara lagi: "Maaf, Buing-
sin-kun memang sukar dijaga, maka wanpwe terpaksa mendesak begini" Tapi di sini
bukan tempat yang cocok untuk berbicara," katanya setelah berhenti sejenak: "Jika locianpwe
percaya, harap lo-cianpwe suka mundur beberapa tombak lagi."
Dalam pada berbicara Siu-lam tak hentinya mempergencar serangan pedangnya untuk
mendesak jago Tibet itu supaya mundur.
Rupanya Pek Co-gi mau mendengar permintaan Siu-lam mundur beberapa langkah.
Tiba-tiba Siu-lam kendorkan serangan pedangnya dan sambil tersenyum ia berkata:
"Lo-cianpwe, jika lo-cianpwe merasa sulit meluluskan permintaan wanpwe, baiklah kita
bicara saja sambil bertempur, setuju?"
"Bicaralah!" sahut Pek Co-gi.
Siu-lam menghela napas dan berkata dengan rawan: "Lo-cianpwe seorang yang berilmu
sakti dan harum namanya. Tapi mengapa lo-cianpwe rela menjadi kaki tangan
gerombolan Beng-gak" Wanpwe benar-benar tak mengerti!"
Jago Tibet menatap Siu-lam. Tiba-tiba ia menyerang dengan kedua tangannya.
Sekaligus ia lancarkan lima jurus serangan: "Itu urusanku pribadi, orang lain tak berhak
mencampuri!" Siu-lam taburkan tiga jurus taburan pedang, sahutnya: "Sudah tentu orang lain tak
berhak mencampuri urusan lo-cianpwe. Tapi jelas bahwa gerombolan Beng-gak itu
memusuhi dunia persilatan. Dengan membantu Beng-gak berarti memusuhi segenap
kaum persilatan di Tiong-goan!"
Agaknya Pek Co-gi tertarik oleh ucapan itu. Kedua tangannya mulai kendor.
Anak muda itu kembali menghela napas. Katanya pula: "Dari daerah Tibet yang jauh,
lo-cianpwe memerlukan menghadiri pertemuan orang gagah di gunung Thay-san. Dengan
pukulan Bu-ing-sin-kun, lo-cianpwe telah menggemparkan para orang gagah. Pendirian
dan sikap lo-cianpwe yang bersedia mencampuri pergolakan dunia persilatan di Tionggoan
itu, benar-benar suatu tindakan yang luhur perwira. Betapa keji dan ganas
gerombolan Beng-gak mengalahkan rombongan orang gagah dengan siasat licik, kiranya
lo-cianpwe tentu sudah mengetahui sendiri."
Dalam pada berbicara, Siu-lam pun mengimbangi gerakan Pek Co-gi dengan
mengendorkan serangan pedangnya.
"Walaupun dari daerah Tibet, tapi lo-cianpwe sudah kenal semua kaum persilatan di
Tiong-goan. Tujuan kaum persilatan di manapun pasti sama, yakni membela keadilan dan
kebenaran serta membasmi kejahatan dan kelaliman. Membantu gerombolan jahat,
walaupun dapat menguasai dunia persilatan, tapi hal itu bertentangan dengan hati nurani
kita"." "Dengan kepandaian yang lo-cianpwe miliki, lo-cianpwe tentu mendapat sambutan dan
perindahan tinggi dari kaum persilatan Tiong-goan. Lo-cianpwe dapat membentuk sebuah
partai di sini untuk bersama-sama lain partai, menentramkan dunia persilatan. Dan dalam
kesempatan, lo-cianpwe tentu dapat memperebutkan kedudukan pemimpin partai
persilatan Tiong-goan. Bukankah itu suatu cita-cita luhur" Perlu apa lo-cianpwe
berhamba kepada orang lain" Bukankah lo-cianpwe sendiri sudah cukup untuk menjadi
pendiri dari sebuah partai persilatan" Ucapan wanpwe ini keluar dari hati nurani wanpwe,
mohon lo-cianpwe suka mempertimbangkan"."
Tiba-tiba Pek Co-gi hentikan serangannya.
"Benar," sahutnya, "siapa tak tahu diriku ini, masakan mau menjadi kaki tangan
orang"." "Benar, benar," seru Siu-lam, "apabila lo-cianpwe menyadari kesalahan langkah itu,
wanpwe bersedia membawa"."
Belum Siu-lam selesai berkata, tiba-tiba Pek Co-gi teringat sesuatu yang mengerikan.
Tubuhnya agak gemetar. Serentak menggembor keras, ia ayunkan pukulan lagi.
Siu-lam heran mengapa pada saat jago Tibet hampir menyadari kesalahannya, tiba-tiba
dia merubah haluan dan memukulnya lagi. Terpaksa Siu-lam lompat mundur dan berseru:
"Lo-cianpwe"."
Tetapi Pek Co-gi seperti orang limbung. Dia malah gunakan sepasang tangannya untuk
memukul. Karena Siu-lam tak menduga dan tak bersiap dulu, walau mempunyai sepasang
pedang mustika, tapi ia benar-benar terdesak dan tak mampu menggunakannya.
Hanya beberapa kejap saja, Siu-lam sudah terdesak mundur sampai di tempat semula
mereka bertempur tadi. Tetapi si nona baju merah rupanya curiga. Berpaling ke arah Pek Co-gi, ia berseru:
"Hm" kalian bicara asyik sekali."
Pek Co-gi terkesiap. Dan pukulannyapun agak kendor. Kesempatan itu digunakan
sebaik-baiknya oleh Siu-lam untuk menyerang dengan pedangnya.
Kali ini Siu-lam tidak mau mengalah lagi. Sepasang pedangnya dikembangkan benarbenar.
Oleh karena dia memiliki berbagai ilmu pedang yang berbeda sumbernya, maka
serangannyapun penuh dengan variasi yang aneh-aneh sehingga Pek Co-gi dipaksa
mundur lagi. Sambil menangkis, diam-diam Pek Co-gi heran atas permainan ilmu pedang lawan.
Tanpa suatu urut-urutan jurus ilmu pedang tertentu dan sepasang pedangnya
menerbitkan hawa dingin yang menegakkan bulu roma. Jika terus menerus bertempur
melawannya, ia kuatir tentu akan menderita kerugian.
"Ah, jika tidak aku dahului menurunkan pukulan maut, aku sendirilah yang akan
celaka," diam-diam jago Tibet itu telah mengambil keputusan.
Untuk melaksanakan keputusan itu, ia kerahkan tenaga dalam sambil loncat ke
samping. Tetapi Siu-lam sudah mempunyai rencana juga. Ia tak mau memberi
kesempatan jago Tibet itu dapat melepaskan pukulan Bu-ing-sin-kunnya. Ia loncat
membayangi Pek Co-gi. Tiba-tiba Pek Co-gi berbalik tubuh dan ayunkan tangan kanannya. Karena sudah
berulang kali menderita pukulan Bu-ing-sin-kun, Siu-lam sangat berhati-hati sekali. Begitu
melihat orang mengangkat tangannya, diapun cepat-cepat menyelinap ke samping.
Tapi ternyata jago Tibet itu menggunakan siasat. Tamparannya itu hanyalah gerakan
hampa. Begitu Siu-lam berdiri di samping, barulah ia lepaskan pukulan yang
sesungguhnya. Bu-ing-sin-kun merupakan pukulan istimewa yang sama sekali tak mengeluarkan suara.
Pukulan itu mengandung gelombang halus dari tenaga lwekang lunak.
Betapapun Siu-lam sudah berlaku hati-hati sekali, tetapi dia tak menyangka sama sekali
kalau Pek Co-gi akan menyiasatinya. Begitu melihat Pek Co-gi menghampiri, segera ia
julurkan Ceng-liong-kiam untuk menahan lawan. Tetapi sekonyong-konyong ia rasakan
dirinya terlanda oleh arus tenaga yang lembut. Bukan main terkejutnya dia. Buru-buru ia
loncat ke belakang. Pukulan Bu-ing-sin-kun yang dilancarkan Pek Co-gi itu menggunakan delapan bagian
tenaga lwekangnya. Hebatnya bukan kepalang. Sekalipun Siu-lam sudah mempunyai
pengalaman untuk menghindari pukulan itu, tetapi tak urung darah dalam tubuh bergolak
keras, mata berkunang-kunang.
Secepat kilat Pek Co-gi kibaskan tangan kanannya dan tahu-tahu sudah mencengkeram
siku lengan anak muda itu. Tring"! Siu-lam rasakan tangan kirinya kesemutan dan
terlepaslah pedang Ceng-liong-kiam dari cekalannya.
Pedang Ceng-liong-kiam berpindah tangan ke tangan Pek Co-gi.
Siu-lam telah menderita luka dalam yang parah. Tetapi kesadaran pikirannya masih
terang. Pedang Pek-kau-kiam yang dicekal di tangan kanannya itu segera ditaburkan di
dalam jurus Se-lay-co-im, yakni salah satu jurus istimewa dari ilmu pedang Tat-mo-kiam.
Seketika Pek Co-gi terkurung dalam lingkaran sinar pedang. Karena ia maju merebut
pedang Ceng-liong-kiam tadi, maka jaraknya dekat sekali dengan Siu-lam. Dengan begitu
ia tak mampu keluar lagi dari kurungan sinar pedang si anak muda.
Dalam keadaan itu Pek Co-gi menjadi kalap. Dia hendak mati-matian membobolkan
sinar pedang yang mengepungna. Dengan sekuat tenaga ia ayunkan pedang
rampasannya untuk menghantamkan sinar pedang yang mengurung di atas kepalanya.
Tat-mo-kiam sekalipun luar biasa dahsyatnya, tetapi permainan pedang itu masih
mengandung gerak yang memberi kelonggaran kepada musuh. Memang ketika Tat Mocou,
cikal bakal pendiri Siua-lim-si menciptakan ilmu pedang tersebut, dia telah
memperhitungkan tentang kemungkinan yang akan dialami musuh dalam menghadapi
taburan Tat-mo-kiam itu. Sengaja ia menyelipkan suatu gerak yang kendor dalam setiap
jurus perubahan ilmu pedang itu. Maksudnya tak lain supaya orang sempat
mengundurkan diri. Tetapi ternyata Pek Co-gi memilih adu kekerasan. Ia tahu anak muda itu tentu sudah
terluka dalam sehingga tenaganya tentu berkurang. Tetapi apa yang terjadi benar-benar
tak diduganya. Ketika sepasang pedang itu saling beradu keras, Pek Co-gi terhuyung-huyung mundur
dengan tubuh berlumuran darah. Itulah akibatnya dia berani mengadu kekerasan. Tatmo-
kiam memberi kelonggaran tetapi dia malah membentur. Hasilnya, tubuhnya telah
berhias tiga buah tusukan pedang.
Tetapi keadaan Siu-lam sendiripun tak kurang menyedihkan. Sesungguhnya akibat
pukulan Bu-ing-sin-kun tadi ia sudah terluka dalam dan tenaganya berkurang sekali.
Adalah karena dirangsang kemarahan pedangnya direbut itu, maka ia menyerang Pek Cogi
dengan sisa tenaganya yang masih. Setelah berhasil melukai orang darahnya meluap
keluar dari mulutnya. Si nona baju merah yang tengah bertempur melawan Tay Hi siansu, terkejut ketika
mendengar gemboran Siu-lam. Cepat ia berpaling. Ketika menampak Pek Co-gi sudah
berhasil merebut pedang Ceng-liong-kiam, girangnya bukan kepalang.
"Lekas, berikan pedang itu kepadaku!" serunya.
Karena perhatiannya tertuju pada pedang yang direbut Pek Co-gi, ia agak lambat. Dan
keayalan itu cukup memberi kesempatan Tay Hi siansu untuk melancarkan serangan
tongkat yang dahsyat. Nona itu kelabakan sekali.
Sedang Pek Co-gi pun sudah mencekal pedang Ceng-liong-kiam tapi karena tiga
tusukan dari pedang Siu-lam itu cukup parah, darah banyak keluar, ia harus lekas-lekas
menyalurkan lwekang untuk menghentikannya. Dengan begitu ia tak dapat melancarkan
pukulan Bu-ing-sin-kun lagi. Jika saja saat itu ia masih punya kemampuan untuk
menyusulkan sebuah pukulan Bu-ing-sin-kun lagi, dapat dipastikan Siu-lam sudah habis
riwayatnya. Pertempuran kedua jago itu benar-benar merupakan pertempuran yang berakibat
keduanya menderita luka parah.
Melihat Siu-lam luka parah, empat paderi Siau-lim-si segera lari menghampiri dan
menggotongnya ke dalam gereja. Siu-lam dipanggul oleh salah seorang paderi, yang
seorang lagi melindunginya. Sedang yang dua, segera menyerbu Pek Co-gi untuk merebut
pedang Ceng-liong-kiam. Si nona baju merah sekalipun terdesak dalam taburan tongkat Tay Hi siansu, tapi setitik
pun ia tak mau melepaskan keinginannya untuk menguasai pedang Ceng-liong-kiam.
Ketika melihat dua orang paderi lari menghampiri ke tempat Pek Co-gi yang tak
berkutik, nona itu menjadi gugup. Tiba-tiba ia lancarkan jurus Cu-pit Tiam-hun. Ujung
pedangnya berubah menjadi tiga bintik sinar perak yang memagut sikut lengan Tay Hi
siansu. Jurus itu sangat ganas sekali dan Tay Hi pun terpaksa mundur.
Begitu Tay Hi mundur, secepat kilat nona itu loncat ke samping dan kebutkan hudtimnya
ke arah paderi yang menerjang dari samping kiri Pek Co-gi. Sedang dengan
pedang ia menusuk paderi yang menyerang dari samping kanan. Pedang dan hud-tim
bergerak luar biasa cepatnya, tepat pada saat kedua paderi itu hantamkan tongkatnya ke
arah Pek Co-gi. Jika kedua paderi itu tak menarik tongkatnya, Pek Co-gi tentu terluka. Tetapi kedua
paderi itupun pasti terluka juga oleh si nona baju merah. Kedua paderi itu terpaksa
mundur. Si nona membuat suatu gerakan yang luar biasa. Ia timpukkan pedangnya ke arah
paderi di sebelah kanan, sedang hud-tim dikebutkan untuk menangkis serangan paderi di
sebelah kiri. Dan tangan kanan yang sudah tak mencekal pedang itu cepat menyambar
pedang Ceng-liong-kiam di tangan Pek Co-gi.
Meskipun jago Tibet itu sedang menyalurkan tenaga untuk menghentikan
pendarahannya, tetapi ilmu kepandaiannya masih belum punah. Begitu tangan si nona
menyentuh tangannya, serentak jago Tibet itu kibaskan pedangnya menusuk!
Si nona terkejut sekali. Buru-buru ia loncat ke samping dan menjerit: "Pek Co-gi,
engkau gila. Akulah!"
Betapapun cepatnya ia menghindar tetapi tak urung betisnya termakan pedang
sehingga mengucurkan darah".
Teriakan itu telah menyadarkan Pek Co-gi. Ia terkesiap karena kekeliruannya itu.
Tring, terdengar senjata beradu keras. Timpukan pedang si nona baju merah tadi,
ditangkis oleh tongkat si paderi. Kemudian paderi itu menyerbunya.
"Lekas berikan pedang itu!" teriak si nona.
Pek Co-gi agak berubah wajahnya tetapi iapun segera menyerahkan pedang pusaka itu.
Sesaat nona itu menerima pedang Ceng-liong-kiam, diapun sudah diserang oleh Tay Hi
siansu dan kedua paderi. Tay Hi telah menyerangnya dengan jurus Ngo-ting-biat-san,
membelah kepala si nona. Paderi tua yang sabar itu, agaknya telah dirangsang kemarahan karena melihat
keadaan gereja Siau-lim-si yang kacau balau. Pukulannya itu dilancarkan dengan sepenuh
tenaga. Melihat itu Pek Co-gi menggembor keras. Dua kali ia lancarkan pukulan Bu-ing-sin-kun.
Kedua paderi yang menyerang dari samping itu segera rasakan dadanya tergetar, macam
orang yang dihantam palu besi. Darah bergolak keras dan orangnyapun segera terhuyung
mundur tiga langkah. Tongkat mereka pun terlepas jatuh.
Nona baju merah itu memang memiliki kepandaian silat yang amat tinggi. Sekonyongkonyong
ia berputar tubuh mengisar dua langkah ke samping, lalu menabas tongkat Tay
Hi. Sesungguhnya ia sayang sekali akan pedang pusaka itu. Tetapi dalam detik-detik
berbahaya ia tak menghiraukan suatu apa lagi.
Tring, terdengar dering melengking nyaring. Tongkat Tay Hi terkisar ke samping, ia
loncat mundur dan nona itupun mengisar ke samping.
Ketika memeriksa, ternyata tongkat Tay Hi kutung separuh. Demikian nona itu. Ia
juga memeriksa pedangnya. Tetapi ternyata pedang itu tak kurang suatu apa. Girangnya
bukan kepalang sehingga luka pada betisnya tadi tak dirasakan sama sekali. Dengan
memekik nyaring, ia menyerang Tay Hi lagi.
Sehabis melepaskan dua buah pukulan Bu-ing-sin-kun, memang Pek Co-gi telah dapat
melukai kedua paderi Siau-lim-si. Tetapi dia sendiri pun makin payah keadaannya.
Pendarahannya yang sudah hampir berhenti kembali merekah dan mengucur darah lagi".
Sementara itu karena melihat kedua kawannya terluka, beberapa paderi yang menjaga
pintu gereja segera menyerbu. Empat orang paderi dengan senjata masing-masing segera
menyerbu. Tetapi setelah memiliki pedang pusaka, nona baju merah itu ibarat harimau tumbuh
sayap. Serangannya tambah sadis. Sedang Tay Hi harus berhati-hati jangan sampai
tongkatnya terpapas lagi.
Sesungguhnya kepandaian kedua orang itu berimbang. Hanya karena si nona lebih
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
unggul dalam senjata, Tay Hi agak terpancang gerakannya. Serangan si nona membuat
kelabakan. Apalagi jurus-jurus permainan pedang si nona itu memang aneh maka dengan
cepat ia dapat menang angin. Dalam lima jurus saja, paderi Siau-lim-si itu sudah
kelabakan setengah mati. Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong, Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat, Sin-to Lo Kun dan Tuihong-
tiau Ngo Cong-gi tengah bertempur seru dengan rombongan paderi Siau-lim-si.
Walaupun tahu keadaan Pek Co-gi yang payah itu, tapi mereka tak dapat menolong.
Sekonyong-konyong terdengar lengking yang nyaring. Sesosok tubuh melayang tiba.
Empat paderi yang menyerang Pek Co-gi telah mencelat senjatanya.
Kawanan paderi itu terpaksa mundur. Ketika mengamati ternyata yang muncul itu
seorang dara baju biru. Tangan kirinya mencekal sebatang pedang, tangan kanan sebuah
senjata aneh semacam tanduk rusa. Nona itu tegak berdiri di samping Pek Co-gi.
"Berhenti!" teriaknya. Dan si nona baju merahlah yang pertama-tama menarik
senjatanya terus loncat mundur.
Kau Cin-hong, Tio Hong-kwat, Ngo Cong-gi dan Lo Kun, setelah melancarkan dua kali
serangan dahsyat, pun lalu loncat mundur.
Nona baju biru itu sejenak sapukan matanya memandang ke sekeliling. Serunya
dengan nada dingin: "Siapakah yang menjadi pimpinan rombongan paderi itu?"
Suaranya garang, sikapnya angkuh sekali.
Tay Hi mendengus dingin: "Anak wanita masih begitu muda. Jika ada urusan apa-apa,
silahkan bicara pada loni!"
Tay Hi, paderi yang penuh toleransi dan kesabaran, karena menyaksikan keadaan
gereja diobrak-abrik orang Beng-gak, membenci sekali kepada setiap anak buah Beng-gak.
Nona baju biru itu tersenyum, serunya: "Di antara sekian banyak paderi yang berada di
sini, memang engkaulah yang paling tua. Sebenarnya hal itu sudah kuketahui dan tak
perlu kutanyakan lagi!"
Tay Hi menukas: "Sebaiknya li-sicu jangan bicara yang tiada berguna"."
Jilid 26 NONA itu kerutkan alis. Wajahnya menampilkan hawa pembunuhan, serunya: "Kasih
tahulah kepada pemimpin gerejamu ini, nanti lewat tengah malam, guruku bersama
rombongan jago-jago Beng-gak, akan berkunjung kemari. Masihlah ada kesempatan
apabila kalian hendak menginginkan perdamaian. Asal kalian suka menggabungkan diri ke
dalam rombongan Beng-gak, tentu terhindar dari malapetaka. Tengah malam belum ada
pernyataan, begitu sudah terlanjur masuk ke dalam gereja ini, tentu sukar ditolong lagi"."
"Gereja Siau-lim-si cukup dikenal dalam dunia persilatan. Dengan kata-katamu yang
sombong itu, seharusnya loni segera memberi hajaran kepadamu"."
Tiba-tiba nona baju merah tertawa mengikik, ujarnya: "Hanya dengan mengandalkan
kepandaianmu yang tak berarti" Hm, apakah engkau tak takut lidahmu disambar angin?"
Nona baju biru memberi isyarat dengan tangan: "Tak perlu banyak bicara dengan dia.
Ayo, kita pergi!" katanya seraya mendahului pergi.
Si nona baju merah dan ketiga tokoh yang sudah menjadi kaki tangan Beng-gak itu,
segera mengikutinya. Dalam pertempuran tadi, Tay Hi mengetahui bahwa kepandaian nona baju merah itu
tak di bawahnya. Sejenak ia tertegun tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tiba-tiba terdengar suara Siu-lam berseru dengan suara yang lemah: "Jangan mengejar
mereka! Lebih baik kita masuk ke dalam dan berunding menyiapkan rencana!"
Karena berterima kasih atas bantuan pemuda itu dalam menyelamatkan gereja Siaulim-
si, Tay Hi mengindahkan sekali pada Siu-lam.
"Harap Pui sicu beristirahat dengan tenang. Biarlah loni yang memberitahukan hal ini
kepada Tay Ih suheng," katanya.
Siu-lam menghela napas: "Saat ini aku sedang melakukan pernapasan. Maaf, tak dapat
ikut ke dalam. Apabila Tay Ih siansu dapat datang kemari, ah sungguh beruntung sekali!"
Sebenarnya dengan dilindungi oleh beberapa paderi, Siu-lam tengah menyalurkan
lwekang untuk menyembuhkan luka yang dideritanya dari pukulan Bu-ing-sin-kun Pek Cogi.
Tetapi karena mendengar pembicaraan antara si nona baju biru dengan Tay Hi siansu
tadi, ia tak kuasa menahan diri untuk tidak sambung bicara.
Diam-diam Tay Hi suheng membatin: "Saat ini Tay Ih suheng sedang dalam kedudukan
sebagai ketua gereja. Dan kedudukannya berat sekali. Bagaimana dapat mengundangnya
keluar menemui anak muda ini"."
Tiba-tiba terdengar suitan panjang yang seolah-olah menembus angkasa. Dan dengan
cepat sekali dua sosok bayangan melesat tiba. Ah, kiranya Pak-koay Ui Lian dan Lam-koay
Shin Ki yang muncul. Dengan mata berkilat-kilat Pak-koay menatap Siu-lam seraya berkata: "Hai, mengapa"
Apakah engkau terluka?"
"Benar, memang terluka," sahut Siu-lam.
Pak-koay segera menghampiri, mengulurkan tangannya: "Bagaimana kalau kubantu
engkau memberi saluran tenaga supaya cepat sembuh!"
Bermula Siu-lam curiga jangan-jangan orang itu hendak mencelakakan dirinya. Tetapi
pada lain kilas ia hilangkan kecurigaan itu. Kalau memang bermaksud jahat, tentu dengan
terang-terangan mereka dapat melakukannya.
"Silahkan lo-cianpwe melakukan," katanya serentak.
Sesungguhnya Pak-koay Ui Lian memang mempunyai rencana jahat untuk diam-diam
mencelakai pemuda itu. Tetapi demi mendengar jawaban Siu-lam yang tegas dan berani,
dia malah tak enak hati sendiri. Segera ia letakkan tangannya ke dada anak muda itu.
Serentak Siu-lam segera rasakan suatu hawa panas yang keras, menyalur ke dalam
tubuhnya. Buru-buru ia kerahkan lwekang untuk menyambut pancaran hawa itu.
Agaknya Lam-koay Shin Ki tak puas karena Pak-koay memberi saluran lwekang itu. Dia
pun melangkah maju dan tanpa berkata suatu apa terus lekatkan tangannya ke punggung
Siu-lam. Pak-koay mendengus dingin. Tiba-tiba ia perkeras tenaga salurannya. Siu-lam
didorongnya ke belakang dan serentak dengan itu ia menyalurkan lwekangnya lebih keras
lagi. Lam-koay balas tertawa dingin. Dia pun tak mau mengalah, salurannya lwekang ke
tubuh si anak muda diperhebat untuk menghalau saluran lwekang Pak-koay.
Celaka" tubuh Siu-lam telah dijadikan medan adu lwekang dari kedua tokoh aneh itu.
Mereka saling penasaran dan makin menambah hebat salurannya. Dengan demikian, Siulam
makin menderita. Ia rasakan darah dan perkakas dalam tubuhnya seperti copot,
darah bergolak-golak seperti kuda binal, sakitnya bukan alang-kepalang".
Tetapi kedua tokoh aneh itu tak menghiraukan penderitaan anak muda itu. Mereka
hanya mencari kepuasan untuk melampiaskan nafsu hatinya. Sekalipun diketahuinya
bagaimana anak muda itu menderita setengah mati, namun mereka tetap tak mau
menghentikan pancaran tenaga saktinya, sebelum ada yang kalah dan menang.
Sesungguhnya Siu-lam sudah tak kuat lagi.
Ketika ia hendak berseru meminta kedua tokoh itu hentikan saluran mereka, tiba-tiba ia
rasakan serangkum hawa hangat yang aneh, menyusup ke dalam perut. Hawa itu panas
sekali dan Siu-lam merasa seperti dibakar tubuhnya, ia tak jadi membuka mulut karena
harus mengerahkan tenaga dalam untuk menolaknya.
Ternyata karena marah maka Lam-koay Shin Ki telah memancarkan lwekang Cek-yanciang.
Pak-koay Ui Lian tertawa dingin. Diapun tak mau kalah dan memancarkan lwekang
Hian-ping-ciang yang dingin seperti es.
Dua macam lwekang sakti panas dan dingin telah menyerang tubuh Siu-lam. Dapat
dibayangkan betapa penderitaan anak muda itu". Dia sebentar merasa seperti dibakar,
sebentar lagi merasa seperti dibenam dalam laut es!
Melihat penderitaan anak muda itu, Tay Hi tak dapat tinggal diam. Segera ia
menghampiri. "Harap sicu berdua suka hentikan penyaluran. Jika diteruskan, kiranya Pui sicu tentu
tak dapat bertahan lagi!" serunya.
Pak-koay Ui Lian deliki mata kepada paderi itu dan membentaknya: "Lekas, enyah!"
Tay Hi siansu tertegun, serunya: "Apa?"
Pak-koay Ui Lian berteriak marah: "Apa engkau tuli" Pergilah!" dengan tangan kanan
masih melekat pada dada Siu-lam, tangan kirinya tiba-tiba ditamparkan ke arah Tay Hi
siansu. Serangkum tenaga keras segera melanda paderi itu. Tay Hi terkejut dan buru-buru
menangkis tetapi tak urung ia terdampar mundur dua langkah. Diam-diam ia terperanjat:
"Hm, hebat benar lwekang orang ini. Hanya tangan kirinya saja sudah sedemikian
dahsyat. Kepandaiannya tentu luar biasa"."
Huak" sekonyong-konyong Siu-lam muntahkan segumpal darah segar. Ia benar-benar
tak tahan lagi. Dan pingsanlah anak muda itu.
Sekalipun anak muda itu sudah pingsan, kedua manusia aneh itu tak mau hentikan adu
lwekangnya. Yang satu melekatkan telapak tangannya ke dada Siu-lam, yang satu di
punggung anak muda itu. Tay Hi gelisah sekali. Siu-lam sudah pingsan. Jika kedua tokoh itu tetap tak mau
hentikan penyaluran lwekangnya, Siu-lam tentu akan hancur binasa".
Tetapi Tay Hi menginsyafi. Kepandaiannya tak mampu menandingi mereka. Apalagi
mengingat saat itu Siau-lim-si sedang terancam gerombolan Beng-gak yang ganas. Jika
mencari permusuhan lagi kepada kedua tokoh sakti itu, tentu lebih menambah kesulitan.
Namun ia pun tak dapat melihat anak muda itu menderita kebinasaan di tangan kedua
manusia yang tak kenal kasihan itu. Pemuda itu harus diselamatkan".
Tengah ia bingung tak tahu apa yang harus dilakukan, tiba-tiba terdengar derap kaki
orang berlari mendatangi. Kiranya Tay Ih siansu dengan diiringi Tay Lip, Tay To dan
delapan ko-chiu Siau-lim-si tengah berlari mendatangi. Dalam beberapa kejap saja
mereka sudah tiba. Menyaksikan keadaan Siu-lam, Tay Ih kerutkan alis dan menegur Tay Hi: "Pui sicu
adalah bintang penolong gereja kita. Mengapa engkau diam saja melihat dia berada
dalam kesukaran?" Tay Hi rangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada suhengnya yang kini
menjadi pejabat pimpinan gereja itu: "Siaute telah meminta mereka, tetapi kedua sicu itu
tak mau meluluskan permintaan siaute. Siaute memang sedang bingung untuk mengambil
langkah!" Tay Ih berpaling ke arah Tay Lip dan Tay To, memberi isyarat kepada mereka supaya
siap menghadapi musuh yang tangguh. Kemudian ia sendiri maju menghampiri dan
memberi hormat. "Omitohud!" serunya dengan tenang, "Maukah sicu berdua berhenti sebentar untuk
mendengar ucapan loni?"
Saat itu Pak-koay Ui Lian dan Lam-koay Shin Ki tengah memperhebat pancaran
lwekangnya. Lwekang sakti Cek-yan-ciang dan Hian-ping-ciang sedang memancar dengan
dahsyatnya. Jangankah berhenti, sedang berpaling muka saja kedua tokoh itu tak mau.
Melihat keliaran mereka, Tay Ih yang sabar terpaksa meledak kemarahannya.
Berserulah ia dengan nyaring: "Loni minta dengan hormat supaya sicu berdua suka
berhenti sebentar. Apakah sicu berdua tak mau mengindahkan sama sekali?"
Pak-koay Ui Lian tenang-tenang berpaling dan tertawa dingin: "Hm, engkau bicara
dengan siapa?" "Loni bicara kepada sicu berdua. Sicu berdua bukan orang yang tuli dan bukan pula
orang limbung, mengapa tak mengerti pembicaraan loni?"
"Engkau berani berkata melukai hati orang. Mungkin engkau sudah bosan hidup,
bukan?" seru Lam-koay Shin Ki.
Jawab Tay Ih siansu: "Loni ingin memperingatkan bahwa tindakan sicu berdua
terhadap seorang anak muda begitu itu, apakah sicu berdua tak takut ditertawai kaum
persilatan?" Pak-koay cepat menukas: "Hm, siapakah yang berani menertawai Lam-koay dan Pakkoay"."
"Berarti dia tentu sudah bosan hidup!" cepat-cepat Lam-koay Shin Ki melanjutkan katakata
rekannya. Aneh, benar-benar aneh. Kedua manusia aneh itu sedang mengadu kesaktian lwekang.
Tetapi nada kata-kata mereka seolah-olah seperti seorang kawan.
Melihat keadaan Siu-lam sudah makin payah, Tay Ih memutuskan mencari daya untuk
menghentikan tindakan kedua orang itu, baru nanti bicara lagi.
"Apapun maksud kata-kata sicu berdua itu, tetapi loni minta sicu berdua hentikan dulu
menganiaya anak itu!" teriak pejabat ketua Siau-lim-si itu dengan tenang.
Pak-koay Ui Lian menyambut permintaan paderi itu dengan sebuah tamparan tangan
kiri. Tetapi ketua Siau-lim-si itu sudah bersiap-siap. Buru-buru ia gerakkan tangan kanan
menangkisnya. Sekalipun begitu tak urung ia tetap merasa dadanya sesak dan tubuhnya
tersurut mundur dua langkah".
Untunglah Tay Ih lebih sakti daripada Tay Hi dan lagi ia sudah mengadakan penjagaan
lebih dulu. Cepat-cepat paderi itu berkisar ke kiri untuk menghindarkan diri.
Tetapi celaka, Lam-koay Shin Ki pun tak mau kalah hati. Segera ia menampar paderi
itu juga seraya berseru: "Nih, coba rasakan juga pukulanku!"
Tay Ih siansu dorongkan kedua tangannya untuk menyongsong. Karena tadi ia sudah
menderita, kali ini ia tak mau hal itu terulang lagi. Ia mendorong dengan kedua
tangannya dan dengan tenaga penuh.
Terdengar letupan keras dan Tay Ih tetap tersurut mundur selangkah.
Tay Lip dan Tay To segera melangkah maju. Dipandangnya kedua manusia aneh itu
dengan sikap menempurnya.
Saat itu tiba-tiba Siu-lam tersadar. Begitu membuka mata segera ia berkata kepada
Tay Ih siansu: "Harap taysu jangan kuatir. Kedua lo-cianpwe ini bersahabat baik sekali
dengan wanpwe. Tak nanti mereka akan mencelakai wanpwe."
"Siapa bersahabat dengan engkau?" tiba-tiba Pak-koay membentaknya.
Siu-lam hanya ganda tertawa tak mau menyahut melainkan mengatupkan matanya lagi.
Ternyata pancaran lwekang panas dan dingin yang melanda dalam tubuh pemuda itu,
saat itu sudah mulai menyurut. Dan terjadilah suatu keajaiban. Luka akibat dari pukulan
Bu-ing-sin-kun tadi karena diamuk oleh lwekang panas dan lwekang dingin, luka itu
membuka dan meluncur keluar dari mulut Siu-lam. Tetapi setelah darah kental itu keluar,
luka itupun sembuh sama sekali.
Memang pada saat terjadi proses penyembuhan itu, Siu-lam tak tahan dan pingsan.
Tetapi setelah berlangsung beberapa jenak iapun dapat tersadar kembali.
Dan saat itu walaupun lwekang panas dan lwekang dingin itu masih berkecamuk dalam
tubuhnya, tetapi Siu-lam sudah tak begitu menderita seperti ketika luka akibat Bu-ing-sinkun
tadi masih belum sembuh. Dan saat itu, iapun segera kerahkan lwekangnya untuk menghadapi serangan lwekang
panas dan lwekang dingin itu. Dan terjadilah semacam "perang tanding" yang aneh. Jika
ia merasa kepanasan, ia segera menggabungkan lwekangnya dengan lwekang dingin
untuk menghalau hawa panas itu. Dan kalau lwekang dingin lebih kuat, buru-buru ia
gabungkan lwekangnya dengan lwekang panas untuk mengusir hawa dingin itu.
Dengan cara begitu, kini dapatlah ia menguasai kedua macam lwekang sakti yang
tengah melanda tubuhnya. Sesungguhnya lwekang kedua manusia aneh itu memang istimewa hebatnya. Tetapi
tingkat kesaktian mereka berimbang. Dalam keadaan itulah maka Siu-lam berhasil dapat
mengendalikan mereka dengan jalan saling mengadu lwekang mereka.
Saat itu jika Siu-lam mau gabungkan lwekangnya dengan lwekang Lam-koay Shin Ki
Pak-koay Ui Lian pasti terdesak. Tetapi jika ia menggabung dengan Pak-koay Ui Lian,
Lam-koay Shin Ki tentu yang terdesak.
Pada saat Siu-lam menyadari keadaan itu, Pak-koay dan Lam-koay pun mengetahui
juga. Tetapi karena watak mereka yang angkuh dan tak mau kalah, mereka tetap tak
mau berhenti. Ada sebuah pepatah yang mengatakan: "Jika sang bangau berkelahi dengan kerang, si
pengail ikan yang mendapat keuntungan karena dapat menangkap mereka!"
Demikian pun dengan keadaan Siu-lam. Karena kedua manusia aneh itu saling ngotot
untuk mengadu kesaktian lwekang, maka diapun segera berusaha untuk menarik
keuntungan. Dalam menerima banjir lwekang panas dan dingin itu, Siu-lam merasa bahwa kedua
lwekang itu mengalir ke arah jalan darah Seng-si-hian-kwan dalam tubuhnya. Padahal
Seng-si-hian-kwan merupakan jalan darah utama yang paling sukar diterobos. Dan jalan
darah itu merupakan bagian yang penting sekali atau merupakan "kwan" rintangan terakhir
yang harus ditembus. Begitu Seng-si-hian-kwan itu tertembus, maka sempurnalah
lwekang seseorang. Penderitaan yang dialami Siu-lam selama beberapa bulan ini, selalu berakhir dengan
suatu rejeki besar di mana dia selalu memperoleh keuntungan yang tak disangka-sangka
berupa ilmu kesaktian dari beberapa tokoh sakti. Dengan begitu, sekalipun dalam batin ia
mengalami derita, tetapi dalam ilmu kepandaian ia memperoleh kemajuan yang luar biasa.
Dalam pada itu karena adu lwekang itu berlangsung lama, akhirnya Pak-koay Ui Lian
marah. Dengan mendengus dingin, ia mencengkeram sekerasnya dada Siu-lam. Ia
salurkan seluruh lwekang Hian-ping-ciang.
Seketika hawa panas yang mengembang di punggung Siu-lam terdesak mundur. Dan
menggigillah tubuh anak muda itu.
Lwekang yang dikerahkannya, buyar terlanda hawa dingin itu. Untung pada saat lain,
Lam-koay Shin Ki segera melancarkan serangan balasan. Gelombang hawa panas segera
melanda dalam tubuhnya. Hawa dingin itupun segera menyurut reda.
Perubahan panas dan dingin itu berlangsung dengan cepat dan dahsyat sekali. Dan
karena Siu-lam tak kuasa lagi mempertahankan diri, gelombang kedua lwekang itu meluap
ke atas dan menerjang bagian Seng-si-hian-kwan.
Saat itu Pak-koay tengah mengerahkan lwekangnya untuk balas menyerang. Tubuh
Siu-lam yang panas tiba-tiba seperti disiram air es. Dan untuk yang kesekian kalinya, ia
menggigil lagi. Wajahnya berubah membesi, darah serasa membeku.
Tay Ih siansu berdiri diam di samping. Matanya tak lepas memandang tubuh Siu-lam.
Ia kaget sekali ketika menyaksikan tubuh pemuda itu menderita kecelakaan. Tay Ih
siansu tak dapat tinggal diam lagi. Segera ia lari menghampiri.
Tiba-tiba Lam-koay Shin Ki menggembor keras. Tangan yang melekat di punggung
Siu-lam, tiba-tiba didorongkan sekuatnya. Serangkum lwekang panas segera
berhamburan ke dalam tubuh pemuda itu.
Tubuh Siu-lam yang kaku kedinginan, pun segera gemetar lagi. Peluh bercucuran
membasahi mukanya.
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kumpulan lwekang panas dingin yang berpusat di pusar lwekang sendiri, akibat
dorongan dari kedua tokoh yang gila-gilaan itu, telah meluap, meletus berhamburan
melanda ke bagian jalan Seng-si-hian-kwan".
Auh" Siu-lam rasakan tubuhnya seperti ringan sekali. Tapi serempak dengan itu ia
merasakan hawa panas membakar dirinya itu makin hebat. Buru-buru ia kerahkan
lwekangnya untuk bertahan.
Tapi suatu keajaiban telah terjadi. Karena tubuhnya serasa ringan seperti bulu, begitu
ia kerahkan tenaga, tiba-tiba tubuh melanting ke udara dan turun setombak jauhnya".
Peristiwa aneh itu benar-benar mengejutkan Lam-koay dan Pak-koay. Mereka
termangu-mangu. Pancaran lwekangnyapun reda.
Tay Ih siansu yang berlari hendak memberi pertolongan, pun juga kesima menyaksikan
anak muda yang duduk itu tiba-tiba dapat melenting ke udara dan terlepas dari himpitan
kedua manusia aneh. Pejabat ketua Siau-lim-si itu tertegun.
Kedua tokoh aneh itu memang gila-gilaan. Begitu tempat penyaluran lwekang mereka
menghilang, keduanya segera adu lwekang. Pak-koay Ui Lian dorongkan tangannya ke
muka, demikianpun Lam-koay Shin Ki. Keduanya kini bertempur mengadu kesaktian
lwekang". Selekas berdiri di tanah, Siu-lam diam-diam menyalurkan darahnya. Bukan saja tiada
sakit, pun malah terasa nyaman dan longgar sekali. Ia heran tapi girang sekali.
"Apakah sicu tak terluka?" sesaat kemudian terdengar suara Tay Ih siansu bertanya.
"Tidak terasa apa-apa," sahut Siu-lam. Dia sendiri tak mengerti apa yang telah terjadi
pada dirinya. Maka ia menyahut menurut keadaan yang dirasakan saja.
Ketika memandang ke arah sana, Siu-lam terperanjat.
"Celaka, kedua tokoh itu sama-sama saktinya. Jika mereka tak mau berhenti
bertempur, siapapun yang terluka pasti akan menimbulkan kerugian kita. Saat ini Siaulim-
si memerlukan tenaga mereka. Asal dapat menguasai mereka, mereka tentu
merupakan tenaga-tenaga yang sangat berguna," diam-diam ia mengeluh ketika melihat
kedua tokoh aneh itu tengah adu lwekang.
Segera ia menghampiri. "Mau kemanakah Pui sicu ini?" tiba-tiba Tay Ih siansu menghadangnya.
"Hendak kucegah agar mereka jangan terus bertempur."
Tay Ih terkejut, cegahnya: "Kedua orang itu sakti sekali. Pukulannya seberat seribu
kati. Luka sicu masih belum sembuh benar. Jika mereka sampai"."
"Mereka berwatak jelek. Gemar membunuh tanpa suatu alasan. Tapi rasanya mereka
masih mau mendengarkan kata-kataku. Kecuali aku, rasanya tiada seorang pun yang
mampu mencegah mereka."
Tay Ih tertegun. Diam-diam ia mengakui kebenaran kata-kata anak muda itu.
Maka berserulah Siu-lam dengan nyaring: "Harap lo-cianpwe berhenti dahulu. Wanpwe
hendak bicara sedikit."
Lam-koay dan Pak-koay berpaling memandang kepadanya, tetapi tetap tak
menghiraukan. Siu-lam terkejut. Dari kerut wajahnya jelas kedua tokoh aneh itu telah berkokoh tekad,
sebelum ada yang menang atau kalah, mereka tak mau berhenti.
Siu-lam menjadi sibuk dibuatnya. Tiada seorangpun yang mampu melerai kedua tokoh
itu. Tengah ia sibuk mencari akal, tiba-tiba tangannya menyentuh pedang Pek-kau-kiam
yang tersanggul di punggungnya. Serentak ia mendapat pikiran. Pedang pusaka itu
dihunusnya lalu ia menghampiri mereka.
"Lo-cianpwe berdua adalah tokoh-tokoh ternama. Tentulah setiap patah ucapan locianpwe
berdua telah menyatakan sanggup untuk membantu wanpwe. Pernyataan itu
harus dipenuhi. Saat ini bukan saat lo-cianpwe saling bertempur mati-matian. Jika locianpwe
hendak memutuskan siapa yang lebih sakti, pun harus tunggu nanti apabila
sudah selesai memenuhi janji terhadap wanpwe."
Ia yakin, kata-katanya itu tentu dapat menimbulkan kemarahan kedua tokoh aneh itu.
Tetapi Siu-lam sudah siap suatu rencana untuk menghentikan mereka dengan kekerasan.
Segera ia bolang-balingkan pedang Pek-kau-kiam seraya berseru: "Jika lo-cianpwe tetap
tak mau menghiraukan permintaan ini harap jangan sesalkan wanpwe akan berlaku
kurang ajar!" Ia menutup ucapannya dengan menusuk ke arah kedua tangan Lam-koay dan Pak-koay
yang tengah saling melekat itu.
Pek-kau-kiam merupakan pedang pusaka yang dapat menabas logam seperti orang
mengiris tanah liat. Betapapun hebatnya kedua tokoh aneh itu, tetapi tangan mereka
tetap terdiri dari darah dan daging. Tidak mungkin mereka mampu bertahan terhadap
tusukan pedang pusaka itu.
Serentak Lam-koay dan Pak-koay menarik pulang lwekangnya dan menarik kembali
tangannya. Dan tepat pada saat itu juga, Siu-lam pun menarik mundur pedangnya".
Pak-koay Ui Lian berpaling deliki mata ke arah Siu-lam: "Hm, engkau memang budak
yang gemar mencampuri urusan orang. Awas pada suatu hari, engkau pasti mampus di
bawah pukulanku, Hian-peng-ciang!"
"Hm, belum tentu," dengus Lam-koay Shin Ki.
Siu-lam memberi hormat kepada kedua manusia aneh itu: "Lo-cianpwe sudah berjanji
hendak membantu wanpwe. Seharusnya janji itu harus ditepati. Lain-lain urusan,
wanpwe minta nanti saja diselesaikan lagi setelah peristiwa yang saat ini tengah
mengancam Siau-lim-si sudah selesai!"
Diam-diam Siu-lam mencatat dalam hati bahwa dalam setiap ucapan, Lam-koay Shin Ki
itu selalu berdiri di pihaknya. Tetapi ia juga mengerti bahwa hal itu bukan disebabkan
karena Lam-koay sayang kepadanya, tetapi semata-mata diperuntukkan untuk menentang
Pak-koay saja. Kedua manusia aneh itu tak dapat menyangkal ucapan Siu-lam. Mereka tak menyahut
melainkan mendengus saja.
Dalam kesempatan yang luang itu, Tay Hi siansu segera menuturkan apa yang telah
terjadi tadi. Terutama ultimatum dari si nona baju biru yang memberi batas waktu sampai
tengah malam nanti. Apabila Siau-lim-si tak mau menyerah, ketua Beng-gak dan
rombongan jago-jagonya akan membikin rata gereja Siau-lim-si.
Tay Ih siansu menengadah memandang langit. Ujarnya: "Saat ini masih sore.
Saudara-saudara tentu letih, harap masuk ke dalam gereja dan beristirahat secukupnya.
Nanti malam kita rundingkan lagi cara-cara untuk menghadapi musuh!"
Lam-koay Shin Ki kerutkan alis: "Jika tak ada arak, aku tak sudi makan. Sungguh
menjengkelkan sekali gereja ini. Banyak sekali aturannya"."
Tiba-tiba Pak-koay Ui Lian nyeletuk tertawa dingin: "Toh, nyatanya sudah lebih dari tiga
puluh tahun tak minum arak, engkau tetap tak mati!"
"Bagaimana engkau tahu aku tidak minum arak?" teriak Lam-koay dengan murka.
Kuatir kedua manusia aneh itu akan bertengkar lagi, buru-buru Tay Ih siansu berkata:
"Memang pada kebiasaannya, dalam setiap menjamu tamu gereja, kami tentu tak
menyediakan minuman arak. Tetapi gereja kami menyimpan arak wangi yang sudah
puluhan tahun lamanya. Jika jiwi berdua memang menginginkan, dengan segala senang
hati loni pasti akanmenghidangkannya!"
Pejabat ketua Siau-lim-si itu dengan sikap hormat segera persilahkan kedua manusia
aneh itu masuk ke dalam gereja.
Siu-lam cepat melangkah ke samping Tay Ih siansu dan berbisik: "Wanpwe telah
kehilangan sebatang pedang pusaka. Jika yang sebatang ini sampai hilang lagi, wanpwe
benar-benar malu pada siansu"."
Tay Ih siansu tersenyum: "Ceng-liong dan Pek-kau, sudah bukan hak milik gereja Siaulim-
si lagi. Bagaimana Pui sicu hendak mengurusnya, loni tak berhak bertanya!"
Siu-lam menghela napas pelahan, ujarnya:
"Ah, pertemuan malam nanti, bukan melainkan menyangkut hidup matinya gereja Siaulim-
si, tetapi menyangkut nasib seluruh dunia persilatan"."
Sahut Tay Ih dengan tegas: "Murid Siau-lim-si dari tiga angkatan, telah bersedia mati
untuk gereja dan dunia persilatan. Jika Pui sicu mempunya rencana harap segera
memberi tahu!" "Wanpwe merasa ada suatu hal yang mengejutkan. Hal ini membuat hati wanpwe
selalu gelisah. Pertempuran nanti malam, walaupun yang utama karena mengandalkan
kesatuan dan persatuan dari seluruh murid-murid Siau-lim-si, tetapi kedua tokoh Lam-koay
dan Pak-koay itu sesungguhnya merupakan tenaga-tenaga yang penting sekali. Melainkan
tenaganya yang sakti mereka berdua pun memiliki ilmu pukulan yang istimewa. Menurut
hemat wanpwe, kedua tokoh itu tepat sekali untuk menghadapi jago-jago dari Beng-gak.
Tetapi yang wanpwe cemaskan adalah apabila mereka berdua sampai dapat dikuasai
musuh dan dipergunakan mereka!"
"Sicu menguatirkan watak mereka yang buruk itu akan timbul kembali dan sukar
diperingatkan?" tanya Tay Ih.
Siu-lam gelengkan kepala, sahutnya: "Tadi yang bertempur dengan wanpwe, kecuali
nona baju merah yang memang menjadi murid ketua Beng-gak, masih ada tiga orang
yang merupakan tokoh-tokoh termasyhur di daerah Kang-lam Kan-pak. Dalam pertemuan
di gunung Thay-san tempo hari, mereka merupakan tokoh-tokoh yang paling membenci
Beng-gak. Tetapi ternyata mereka sekarang menjadi kaki tangan Beng-gak. Inilah yang
membuat wanpwe tak habis mengerti"."
Ia berhenti sejenak, menghela napas: "Menilik kepandaian kedua tokoh Lam-koay dan
Pak-koay itu, tentu tak sukar untuk menangkap kedua gadis murid Beng-gak. Tetapi
anehnya, ternyata kedua anak perempuan itu dapat lolos. Dan kemudian, wanpwe
dapatkan kedua nona itu ternyata bukan murid Beng-gak yang sesungguhnya. Ini lebih
mengherankan lagi. Seharusnya Lam-koay dan Pak-koay jauh lebih mudah untuk
menangkapnya. Jelas kedua nona itu kepandaiannya tentu lebih rendah dari murid Benggak.
Dan ketika bertemu dengan wanpwe, kedua tokoh Lam-koay dan Pak-koay itu tak
pernah menyebut-nyebut tentang peristiwa hasil pengejaran mereka. Wanpwe duga,
kedua nona itu pasti berhasil meloloskan diri tanpa menderita suatu luka apapun. Inilah
yang benar-benar menjadi pemikiran wanpwe"."
"Menilik keadaan Tay Hong sute, loni duga orang Beng-gak itu tentu menggunakan
semacam obat untuk menghilangkan kesadaran pikiran orang," kata Tay Ih siansu.
"Penilaian lo-cianpwe itu tepat," kata Siu-lam, "Wanpwe juga menduga mereka pasti
menggunakan obat bius untuk menghilangkan pikiran orang, agar orang itu mau menjadi
kaki tangan mereka dan menurut segala perintah mereka"."
Dalam pada bicara itu, mereka sudah tiba di ruang tempat hongsio atau ketua gereja.
Lam-koay, Pak-koay dan Siu-lam diperlakukan sebagai tetamu agung dari gereja Siaulim-
si. Di dalam ruang itu sudah siap dengan hidangan yang lezat.
Tay Ih beserta ketiga sutenya, Tay Hi, Tay Lip dan Tay To menemani ketiga tetamunya.
Perjamuan itu benar-benar merupakan perjamuan yang istimewa. Keempat paderi dari
angkatan gelar Tay, demi menghormati tetamunya telah sama membuka pantangan
minum arak. Lam-koay dan Pak-koay tetap mengunjukkan wajah dingin. Mereka tak mau bicara
dengan para paderi Siau-lim-si, pun tak sudi omong-omong dengan Siu-lam. Kedua
manusia aneh itu minum seenaknya sendiri. Paderi kecil yang melayani menuang arak,
tak henti-hentinya menuangkan arak lagi ke dalam cawan kedua tokoh itu.
Hanya dalam beberapa kejap saja, kedua tokoh itu masing-masing telah menghabiskan
limapuluhan cawan arak! Siu-lam terkejut. Diam-diam ia mengeluh: "Ah, tampaknya kedua orang itu beradu lagi
dalam kekuatan minum. Celaka, kalau sampai mereka minum di luar batas, tentu akan
mabuk. Pertempuran nanti malam, benar-benar menyangkut nasib dunia persilatan. Jika
kedua tokoh itu sampai lupa daratan, mereka tentu tiada berguna tenaganya"."
Secepat mendapat pikiran, Siu-lam segera mengangkat cawan arak di meja dan berseru
mengajak kedua tokoh itu minum: "Wanpwe hendak mohon petunjuk!"
Setelah meneguk habis cawannya, kedua tokoh itu serempak berseru: "Urusan apa?"
"Nanti tengah malam, ketua Beng-gak akan memimpin anak buahnya menyerang
gereja ini. Kiranya lo-cianpwe tentu sudah mengetahui, bukan?"
"Kalau tahu lalu mau apa?" dengus Lam-koay.
"Soal itu menyangkut kepentingan seluruh dunia persilatan di kemudian hari. Dan
bukan semata-mata hanya menyangkut kepentingan gereja Siau-lim-si saja!" kata Siu-lam.
"Aku toh bukan murid Siau-lim-si, apa peduliku?" dengus Lam-koay Shin Ki.
"Benar, biarlah paderi-paderi Siau-lim-si dibunuh habis, aku tak peduli!" seru Pak-koay.
Seketika wajah Tay Ih dan ketiga sutenya berubah. Ucapan kedua tokoh itu benarbenar
menyakiti hati. Tay Ih segera hendak bergerak".
Siu-lam cepat mencegah ketua Siau-lim-si itu, agar jangan bertindak sesuatu yang
menimbulkan permusuhan dengan Lam-koay dan Pak-koay.
Anak muda itu menyadari betapa penting kedudukan kedua tokoh sakti itu dalam
pertempuran nanti malam. Apabila kedua tokoh itu sempat memihak Beng-gak, Siau-limsi
pasti akan menderita malapetaka.
Dalam menghadapi tingkah laku Lam-koay dan Pak-koay yang serba menjengkelkan itu,
hati boleh panas tetapi kepala harus tetap dingin.
"Sekalipun lo-cianpwe tiada sangkut paut dengan Siau-lim-si tetapi lo-cianpwe sudah
berjanji hendak membantu wanpwe!" kata Siu-lam.
Lam-koay saling berpandangan dengan Pak-koay. Serempak mereka berseru: "Urusan
membantu hanya terhadap engkau. Jangan mencampur-adukkan dengan lain urusan!"
Diam-diam Siu-lam girang karena kedua tokoh itu ternyata masih pegang janji. Ia
membisiki Tay Ih: "Mereka habis bertempur dahsyat, tentu lelah. Biarkan mereka tidur,
kita cari lain tempat untuk berunding."
Tay Ih siansu segera berbangkit dan berjalan keluar. Ia menghela napas.
"Delapan ratus anak murid Siau-lim-si telah membulatkan tekad untuk
mempertahankan gereja ini sampai titik darah yang penghabisan"."
"Bagus," seru Siu-lam, "Biarlah wanpwe yang mengajak kedua tokoh aneh itu untuk
menempur jago-jago Beng-gak. Sedang siansu harap siapkan dua belas murid Siau-lim-si
yang berilmu tinggi untuk memimpin barisan!"
Tay Ih siansu mengangguk.
"Hanya loni masih tetap kuatir Lam-koay dan Pak-koay itu akan berkhianat"."
Siu-lam tersenyum: "Dalam hal ini harap lo-cianpwe jangan kuatir. Sekalipun watak
kedua orang itu aneh dan angkuh sekali, tetapi mereka adalah tokoh-tokoh persilatan
yang ternama. Sekali sudah berjanji membantuku, tentu mereka akan melaksanakan
sampai selesai!" Ia tersenyum pula dan melanjutkan kata-katanya: "Memang menghadapi mereka, kita
tak dapat menggunakan cara-cara biasa. Wanpwe sudah mempunyai pengalaman"."
Tay Ih bersyukur karena pemuda itu benar-benar mau membantu kesukaran Siau-limsi.
Tiba-tiba Tay Hi menyeletuk: "Ada suatu hal yang masih kurang jelas dan akan minta
Pui sicu suka memberi penjelasan."
"Silahkan." "Dengan tenaga lwekangnya yang sakti, kedua tokoh Lam-koay dan Pak-koay tadi telah
menjepit sicu di tengah. Sekilas pandang tampaklah Pui sicu sangat menderita sekali.
Tetapi mengapa pada saat ini sicu tak menderita suatu apa?"
Siu-lam mengangguk tertawa: "Memang saat itu wanpwe menderita kesakitan luar
biasa. Kemungkinan karena lwekang kedua tokoh itu berimbang kekuatannya, maka
wanpwe sampai mengalami penderitaan sehebat itu. Tetapi penderitaan itu malah
berakibat suatu keuntungan yang tak disangka-sangka."
"Tuhan tentu selalu memberkahi orang yang baik. Loni mengucapkan selamat atas
peruntungan sicu," kata Tay Ih siansu.
Kemudian ketua Siau-lim-si itu memandang ke langit, katanya: "Loni sudah
mempersiapkan penjagaan di ruang ini. Silahkan sicu beristirahat. Apabila terjadi
sesuatu, loni pasti segera suruh memberitahukan sicu!"
Ketua Siau-lim-si itupun segera tinggalkan tempat itu. Ketika mengantar ke luar ruang,
Siu-lam berkata dengan bisik-bisik: "Lam-koay dan Pak-koay memang mempunyai kesan
buruk terhadap Siau-lim-si. Tetapi saat ini kita memerlukan tenaga, harap lo-cianpwe
suka bersabar." Tay Ih mengiyakan dan mempersilahkan anak muda itu masuk.
Ketika ketua Siau-lim-si itu sudah pergi, Siu-lam kembali ke dalam ruang. Tampak di
atas ruang itu tergantung tiga buah huruf bertuliskan tinta emas "Hong-tiang-si" (ruang
kepala gereja). Diam-diam Siu-lam terkejut. Beberapa bulan yang lalu, Siau-lim-si adalah gereja yang
termasyhur dan sangat dihormati. Tiada seorangpun yang berani sembarangan masuk ke
dalam gereja itu. Tetapi saat ini, bahkan ruang untuk kediaman ketua Siau-lim-si pun
diperuntukkan bagi tetamu. Ah, perubahan keadaan dunia memang tak terduga-duga.
Saat itu hari mulai gelap. Pemandangan di dalam gereja pada senja hari cukup
menyedapkan mata. Siu-lam menghela napas panjang dan duduk di dalam ruang. Tengah dia menikmati
pemandangan alam senja hari, tiba-tiba terdengar suara kilat meledak di udara.
Gumpalan awan yang semula bersih sekonyong-konyong berhamburan tertutup awan.
Siu-lam tertegun. Adalah begini jalannya roda penghidupan itu. Senang, susah,
untung, celaka, setiap waktu dapat tiba dengan tak terduga-duga.
Tiba-tiba benak Siu-lam terlintas suatu bayangan. Bayangan dari sesosok tubuh kecil
yang ramping. Ah" terkenanglah ia akan Ciu Hui-ing, sumoaynya yang masih tertinggal di
perut gunung tempo hari. Dan belum bayangan gadis itu hilang, tiba-tiba terlintas lagi bayangan si dara Hiansong.
Dan menyusul terbayang juga wajah dingin dari si gadis cantik Bwe Hong-swat.
Siu-lam seperti terbenam dalam alam impian kenangan masa yang lampau.
Sekonyong-konyong ia disadarkan oleh hujan yang turun seperti dicurahkan dari langit.
Siu-lam menghela napas. Kematian dari ketiga gadis itu mempunyai sangkut paut
dengan dirinya. Dan mereka tak dapat hidup kembali.
"Oh, Tuhan! Aku benar-benar tak bermaksud mencelakai mereka tapi ketiga gadis itu
mati karena aku. Ah, siapa yang bertanggung jawab?"
Cuaca makin gelap, malam mulai tiba. Siu-lam segera masuk ke dalam ruang. Ia
mencoba tenaga lwekangnya. Sekali enjot, tubuhnya melayang sampai empat tombak
tingginya. Dan ketika melayang turun ia sudah tiba di depan ruang. Karena menerjang
hujan, ia tak mengetahui kemajuan ilmu gin-kangnya saat itu setelah dijepit oleh kedua
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tokoh aneh. Tapi Lam-koay dan Pak-koay yang menyaksikan gerak loncatan anak muda itu,
terkesiap heran dan saling berpandangan. Walaupun tak bicara apa-apa, tapi kedua tokoh
itu saling sependapat dalam penilaian. Kalau dalam usia semuda itu saja Siu-lam sudah
memiliki kepandaian demikian hebat, entah bagaimana kelak apabila sudah lewat berapa
puluh tahun lagi. Karena dirantai dan dijebloskan dalam penjara bawah tanah, kedua tokoh itu masih
tetap mendendam kepada paderi Siau-lim-si. Setelah kenyang makan dan minum,
keduanya pura-pura jatuh tidur dan tak mau bicara dengan rombongan paderi Siau-lim-si.
Begitu paderi-paderi Siau-lim-si sudah pergi, mereka duduk lagi. Pak-koay Ui Lian
memandang Lam-koay dingin-dingin, serunya sesudah menyesali: "Sayang kau tak
mengindahkan kata-kataku. Jika kau menurut perkataanku, nasib dunia persilatan sejak
kini dan selanjutnya"."
"Seumur hidup jangan mimpi kita akan dapat bekerja sama. Dan kalau mau kerja
sama, kaulah yang menurut perintahku," tukas Lam-koay.
Pak-koay tertawa keras, serunya: "Apa dasarnya aku harus menurut perintahmu?"
"Dan apa pula alasanmu mengapa aku yang harus mendengar perintahmu?" balas Lamkoay.
"Sepasang jago tentu tak dapat hidup bersama. Rupanya kita Lam-koay dan Pak-koay,
pada suatu saat tentu akan bertempur sampai ada yang mampus!" teriak Pak-koay dengan
murkanya. "Benar, memang hanya begitulah penyelesaiannya!"
Keduanya mulai bersitegang leher. Yang satu sumbar-sumbar yang satu menantangnantang.
Suasana makin panas, pertempuran hanya tinggal tunggu waktu saja.
Dalam saat-saat yang genting itu, tiba-tiba muncullah Siu-lam.
Cepat Pak-koay Ui Lian merubah nada bicaranya: "Hari masih panjang. Penjelasan itu
tak perlu tergesa-gesa. Saat ini ada sebuah hal yang perlu diputuskan lebih dulu!"
Lam-koay Shin Ki merenung sejenak, bertanya: "Soal apa, katakanlah!"
"Kita mempunyai dendam kepada kawanan paderi Siau-lim-si. Apakah kita layak
membantu mereka?" kata Pak-koay.
"Tetapi karena kita sudah berjanji akan membantu budak she Pui itu, tak boleh kita
berhenti di tengah jalan," sahut Lam-koay.
"Akupun mempunyai pikiran begitu juga. Sehabis membantu kawanan paderi Siau-limsi
menghadapi bahaya kali ini, kita nanti membuat perhitungan lagi dengan mereka," kata
Pak-koay. Siu-lam tak mau campur bicara melainkan menikmati pemandangan petang hari.
Kedua tokoh itu merasa heran atas tingkah laku anak muda itu tetapi merekapun tak mau
mengacuhkan. Dalam anggapan mereka, betapapun sakti kepandaian anak muda itu
tetapi tentu masih terbatas. Tak perlu ditakutkan.
Tiba-tiba Siu-lam loncat keluar terus lari.
Pak-koay Ui Lian terkejut. Entah bagaimana, ia pun serentak bangkit dan loncat lari
menyusul anak muda itu. Lam-koay Shin Ki tak mau kalah. Dia segera mengejar di belakang Pak-koay.
Siu-lam mendadak merasa sebal duduk dalam ruangan itu. Segera ia lari menerjang
hujan. Ia hendak menumpahkan perasaan hatinya dengan lari tanpa tujuan. Di luar
dugaan, tindakannya itu disusul kedua tokoh Lam-koay dan Pak-koay.
Hujan yang lebat telah menimbulkan kabut yang tebal sehingga di sekeliling tempat
seperti terbungkus kabut.
Tiba-tiba Siu-lam teringat tempat kedua Siau-lim-ji-lo (paderi tua) yakni Kak Bong dan
Kak Hui siansu. Segera ia tujukan larinya ke sana.
Karena larinya cepat sekali dan kabut tebal apalagi nanti tengah malam musuh akan
datang maka saat itu sebagian paderi Siau-lim-si menggunakan kesempatan itu untuk
bersemedi memulangkan tenaga. Hanya terdapat beberapa paderi yang berusaha
menjaga di pos-pos yang penting. Maka Siu-lam tak menemui rintangan suatu apa.
Tiba-tiba Siu-lam hentikan langkah. Di sekelilingnya gelap dan hujanpun mulai reda.
Kiranya dia berada dalam sebuah hutan. Sambil mengibas-kibaskan air pada bajunya, ia
tertawa sendiri: "Huh, benar-benar aku seperti gila" Masakan lari pontang-panting
menerjang hujan tanpa suatu tujuan!"
Tak tahu ia sampai di mana saat itu. Tiba-tiba kilat melintas dan tampak jauh dari situ
sebuah tembok merah. Serentak ia teringat akan pengalamannya dahulu sewaktu
pertama kali ia datang ke gereja Siau-lim-si, ia disambut paderi Ti-khek-ceng (penyambut
tetamu) dan dimasukkan dalam kamar akan ditangkap. Ah, tak salah lagi. Tempat itulah
dahulu ia mengalami peristiwa penangkapan itu.
Saat itu pikiran Siu-lam sudah sadar. Ia teringat akan peristiwa yang dideritanya akibat
perbuatan gila-gilaan dari kedua Lam-koay dan Pak-koay yang adu lwekang dengan
meminjam tempat di tubuhnya. Untunglah akibat penderitaan itu, ia malah mendapat
keuntungan yang belum pernah ia impikan. Memang ia merasa, tubuhnya sekarang jauh
lebih lincah dan ringan dari sebelum peristiwa itu.
Ia memperhitungkan saat itu masih ada kesempatan beberapa jam lagi dari tengah
malam. Mumpung tiada orang, ia ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaiannya
sekarang. Segera ia menghampiri ke arah tembok merah itu. Langkahnya kini lebih tenang.
Ternyata di tengah hutan situ terdapat sebuah rumah pondok yang menyendiri. Pintu
pondok itu tertutup rapat.
Siu-lam sudah basah kuyup. Ketika ia hendak mengetuk pintu pondok itu, tiba-tiba ia
mendengar suara orang dari dalam pondok. Suaranya perlahan sekali. Pada saat hujan
seperti detik itu, memang suara itu hampir tidak kedengaran. Tetapi berkat telinga Siulam
makin tajam, ia dapat menangkapnya. Buru-buru ia tarik pulang tangannya dan
mendengari dengan seksama.
Terdengar suara yang amat perlahan itu berkata: "Saat ini lebih baik jangan
menemuinya. Nanti apabila keributan ini sudah selesai, kiranya belum terlambat untuk
menjumpainya!" "Tetapi rasanya aku tak dapat menunggu lagi," kata sebuah suara anak perempuan,
"Hendak kutanya secara baik-baik, mengapa dia bertindak melupakan budi. Ketika ayahku
masih hidup, ayah sayang sekali padanya, demikian pun perlakuanku padanya?" sampai
di sini suara anak perempuan itu seperti tercengkeram oleh isak tangis.
Siu-lam terkejut. Walaupun perlahan, tetapi ia taka sing lagi dengan suara itu.
Seketika gemetarlah tubuhnya dan kepalanyapun terantuk pada pintu pondok.
Suara isak tangis anak perempuan itu berhenti sejenak.
Baru Siu-lam hendak berdiri tegak, tiba-tiba pintu terbuka lebar dan sebatang pedang
yang berkilauan segera menusuk".
Serangan itu datangnya cepat sekali. Siu-lam tak sempat bicara apa-apa kecuali harus
menghindar ke samping. Dan berteriak suara anak perempuan tadi dengan nada terkejut: "Dialah"."
Atas teriakan itu, serangan pedang ditarik kembali. Menyusul terdengar sebuah nada
yang dingin: "Apakah dia suhengmu yang tak kenal budi itu?"
Dari dalam ruangan terdengar pula suara yang lambat: "Cici, jangan kasih dia
masuk"." Sejak mengalami berbagai peristiwa, perangai Siu-lam bertambah tenang. Dengan
menekan getaran hatinya, ia melangkah ke ambang pintu dan memberi hormat: "Apakah
sumoay masih hidup?"
Terdengar penyahutan yang murka: "Jadi engkau mengharapkan agar aku mati" Hm,
anggaplah aku sudah mati saja!"
Siu-lam terlongong-longong. Ia menyadari kata-katanya tadi memang tak layak. Buruburu
ia meminta maaf: "Sumoay, harap jangan salah mengerti. Sama sekali aku tak
bermaksud begitu!" Sambil berkata, ia melangkah masuk.
"Cici, lekas usir dia keluar! Jangan kasih dia masuk kemari. Aku tak sudi melihatnya!"
teriak gadis itu. Buru-buru Siu-lam memberi penjelasan: "Betapapun kesalahanku kepada sumoay,
tetapi kuharap sumoay suka memberi kesempatan padaku untuk memberi penjelasan.
Apalagi suhu telah melepas budi"."
Siu-lam tak dapat melanjutkan kata-katanya karena sebatang pedang langsung
menabasnya. Terpaksa ia mundur keluar pintu lagi.
Ia berdiri termangu di pintu, serunya: "Ikatan batin saudara seperguruan adalah
laksana laut dalamnya. Budi sumoay sebesar gunung. Ketika aku kembali dari Kiu-kiongsan
membawa obat, yang kudapati dalam goa itu kecuali jenazah Ih lo-cianpwe, terdapat
juga sesosok mayat orang. Baik pakaian maupun perawakan orang itu mirip sekali dengan
sumoay. Karena wajahnya telah dirusak oleh pembunuhnya, maka aku telah keliru
menyangka bahwa mayat itu adalah mayat sumoay"."
Dari dalam ruang pondok terdengar suara helaan napas panjang. Jelas, bahwa gadis di
dalam ruang itu tergerak hatinya mendengar kata Siu-lam.
Siu-lam sejenak menghela napas, lalu melanjutkan keterangannya lagi: "Ketika itu tak
terlukiskan kedukaanku. Kutanam mayat itu dengan baik di dalam sebuah lembah. Dan
kuberi juga tanda pada kuburannya. Maksudku kelak akan kukunjungi kuburan itu guna
membawa tulang kerangkanya dan akan kutanam di samping kuburan suhu dan subo"."
"Kalau begitu engkau masih teringat kepadaku?" seru gadis itu.
"Tiada sedikitpun kulupakan engkau!"
Terdengarlah lengking tertawa lembut. Tetapi nadanya penuh kerawanan.
"Asal engkau sungguh-sungguh masih ingat kepadaku, hatiku sudah gembira"."
Melihat orang sudah lunak, Siu-lam segera melangkah masuk. Tetapi gadis dalam
ruangan itu, melengking nyaring: "Jangan masuk!"
Siu-lam tertegun berhenti.
"Keluarlah!" dari belakang pintu terdengar bentakan bernada dingin dan menyusul sinar
pedang menyambar. Siu-lam diam-diam memuji gerakan pedang itu. Terpaksa ia keluar lagi.
"Suheng, apakah engkau sungguh-sungguh hendak bertemu dengan aku?" kembali
terdengar suara gadis dalam pondok itu berseru.
"Sudah tentu ingin sekali. Masakan sumoay tak percaya kepadaku?" teriak Siu-lam.
Dari dalam pondok terdengar suara helaan napas panjang: "Ah, daripada berjumpa
lebih baik tidak berjumpa. Ciu Hui-ing sekarang bukanlah seperti Ciu Hui-ing yang dulu"."
"Mengapa?" Siu-lam berseru kaget.
Kembali terdengar Ciu Hui-ing menghela napas panjang: "Aku" aku sudah"."
Sampai beberapa saat, tak dapat Hui-ing melanjutkan kata-katanya.
Dari nadanya, Siu-lam dapat menduga tentulah terjadi suatu perubahan yang
mengejutkan pada diri sumoaynya itu.
Miringkan tubuh, ia menyelinap masuk ke dalam ruang dan berseru nyaring: "Kita
berdua sejak kecil sudah menjadi kawan bermain-main sehingga sampai dewasa. Jikalau
sumoay mendapat kesulitan harap jangan mengelabuhi suheng. Masakan suheng tak
boleh mengetahuinya?"
Tetapi sinar pedang segera berhamburan menutup pintu. Siu-lam sudah mengambil
keputusan tak mau mundur lagi. Tetapi sinar pedang yang menghamburkan hawa dingin,
menyebabkan Siu-lam hentikan langkah.
Dia tahu bahwa orang yang menghalangi dengan pedang itu, bukanlah Ciu Hui-ing. Dia
tak kenal dengan orang itu. Jika sampai kesalahan tangan, tentu akan menimbulkan halhal
yang tak enak. Walaupun Siu-lam sudah tak bergerak tetapi sinar pedang itu masih berhamburan di
muka Siu-lam. Dengan demikian Siu-lam tak dapat melangkah maju lagi. Terpaksa ia
menyurut mundur selangkah.
"Siau-heng benar-benar tak mengerti mengapa sumoay menolek begitu getas kepada
siau-heng!" Ciu Hui-ing tertawa mengikik, serunya: "Pui suheng, rasanya kita tak perlu bertemu
muka. Kita dapat bicara dari luar dan dalam saja."
Siu-lam makin mendapat kesan bahwa ada sesuatu yang luar biasa. Kemunculan Ciu
Hui-ing di lingkungan gereja Siau-lim-si itu, sudah merupakan merupakan hal yang
mengherankan. Dan caranya dia menolak secara getas untuk menemui dirinya, lebih tak
masuk akal lagi"."
Sekonyong-konyong Siu-lam teringat akan Sin-to Lo Kun, Pek Co-gi dan lain-lain tokoh.
Bahkan ketua gereja Siau-lim-si yang dianggap sebagai pimpinan rombongan orang gagah
itupun juga tunduk pada gerombolan Beng-gak. Mereka lupa pada kawan seperjuangan,
bahkan sampai hati juga untuk mencelakakan kawan-kawan segereja misal tindakan Tay
Hong itu. Jika tokoh-tokoh yang begitu termasyhur saja jatuh ke dalam kekuatan Beng-gak,
apakah tidak mungkin Ciu Hiu-ing juga begitu"
"Eh, mengapa engkau diam saja?" tiba-tiba Ciu Hui-ing berseru nyaring.
"Sudah lama kita tidak bertemu. Sekalipun dapat kudengar suaramu, tetapi bagaimana
aku puas tanpa bertemu dengan orangnya?"
Kata-kata itu diucapkan dengan penuh gelora perasaan. Dan Ciu Hui-ing pun termangu
diam sampai beberapa saat.
Karena sampai sepeminum teh lamanya belum juga gadis itu bicara lagi, akhirnya Siulam
berseru: "Dari jauh sekali sumoay berkunjung ke gereja Siau-lim-si sini, apakah bukan
karena hendak menjumpai siau-heng?"
Sahut Hui-ing dengan nada rawan: "Sejak berpisah beberapa bulan, aku sudah banyak
menderita kesengsaraan. Duduk bersandar pada dinding goa memandang langit. Siang
malam kuharap-harap kedatanganmu. Tetapi engkau bagaikan burung bangau berwarna
kuning yang tak pernah tampak. Sekali pergi tak kunjung kembali"."
"Tetapi ketika aku kembali ke Poh-to-kang, belum melampaui waktu perjanjian."
"Mungkin engkau benar," tukas Hui-ing, "tetapi keadaan sudah menjadi begitu. Apa
guna kita mengungkatnya lagi" Aku menyesal tak seharusnya datang ke Siau-lim-si
mencarimu." Gadis itu berhenti untuk menghela napas, kemudian melanjutkan pula dengan nada
yang rawan: "Aku kuatir engkau mencemaskan diriku. Aku sudah cukup menderita dalam
siksaan batin. Benar-benar kurasakan sehari seperti tiga tahun lamanya. Aku seperti
duduk di atas permadani jarum. Ah, kelembaban dan kerawanan goa itu takkan
kulupakan seumur hidup"."
"Bagaimana wanita Ih Ing-hoa itu memperlakukan kau?" teriak Siu-lam dengan tegang.
"Dia memperlakukan aku dengan baik. Jika dia tak memberi pelajaran ilmu secara
lisan, aku tentu sudah mati karena kehampaan!"
Ciu Hui-ing menghela napas lagi, kemudian melanjutkan: "Jika tahu bahwa engkau
telah meninggal, tentu takkan kudatang kemari untuk melihatnya!"
Ucapan yang sederhana itu penuh dengan pancaran hati yang halus sekali. Hati Siulam
terasa tersayat dan butir-butir air mata bercucuran keluar.
"Suhu berdua telah melimpahkan budi yang amat besar kepadaku. Dan engkau,
sumoay, adalah satu-satunya orang yang kuindahkan"."
Terdengar suara ketawa rawan: "Impian di musim semi telah berlalu tanpa bekas.
Bahkan ternyata kau masih ingat kepadaku, hatiku girang bukan kepalang. Silahkan
suheng pergi dan kamipun juga hendak pergi!"
Siu-lam terkejut, serunya; "Apa" Apakah sumoay benar-benar tak mau bertemu
denganku?" Dengan gugup Siu-lam terus hendak menerobos masuk ke dalam ruang tapi lagi-lagi
sinar pedang telah melintang di ambang pintu.
"Sebelum mendapat ijin sumoay, janganlah kau gegabah masuk. Awas, pedang tiada
bermata!" Gadis itu bersembunyi di balik pintu. Dia berdiri terhalang oleh pintu. Maka hanya
terdengar suaranya yang bernada dingin tetapi tak kelihatan bagaimana wajahnya.
Betapapun Siu-lam berusaha untuk menerobos dalam pandangan matanya tetap hanya
sebuah lengan putih yang kelihatan.
Berulang kali Siu-lam hendak mencabut pedangnya tapi pada akhirnya ia masih dapat
menekan kesabaran hatinya. Mengingat gerak pedang gadis itu cukup hebat, jika sampai
bertempur tentu menggunakan puluhan jurus untuk mengalahkannya. Dan yang penting,
ia kuatir akan menyinggung perasaan Ciu Hui-ing. Maka terpaksa ia buru-buru bersabar.
Kembali Ciu Hui-ing terdengar berseru dengan rawan: "Kau masih dapat mengenal
suaraku tapi entah apakah kau masih dapat mengenal wajahku juga?"
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Siu-lam sehingga ia tertegun beberapa saat.
"Wajah sumoay selalu terukir dalam hatiku. Masakan aku dapat melupakan?" serunya.
"Benarkah itu?"
"Seratus persen benar, ucapan ini keluar dari hati nuraniku!" sahut Siu-lam.
"Ah, apakah kau masih ingat bagaimana wajahku itu?" tanya Hui-ing pula.
Benar-benar Siu-lam tak menduga akan mendapat pertanyaan semacam itu. Serempak
ia menyahut: "Wajahmu laksana bunga mekar di musim semi, cantik memikat mata!"
Ciu Hui-ing tertawa riang: "Ingatlah selalu bayangan itu dalam hatimu, suheng!"
Nada tertawa gadis itu benar-benar riang bebas. Tiada getaran yang rawan. Jelas
bahwa nona itu benar-benar terhibur hatinya dengan ucapan Siu-lam.
Saat itu hujan sudah berhenti. Awanpun menipis. Beberapa bintang mulai
bermunculan. Malam mulai merayap.
Menengadah ke langit, berkatalah Siu-lam dengan helaan napas: "Kata-kata sumoay
seperti mengandung kedukaan. Maafkan kebodohanku. Tetapi benar-benar siau-heng tak
dapat mengetahui apa sebab sumoay tak mau bertemu muka dengan siau-heng?"
Hui-ing termenung beberapa saat, katanya: "Jika engkau memang berkeras hendak
bertemu muka, engkau harus lebih dahulu meluluskan sebuah permintaanku!"
"Apa?" "Engkau harus berdiri tiga meter jauhnya dari tempatku, tak boleh terlalu dekat dengan
aku," seru Hui-ing. Benar-benar Siu-lam heran atas pernyataan itu. Tetapi demi keinginannya untuk
berjumpa dengan sumoaynya itu, iapun meluluskan juga.
"Selain itu, engkau tak boleh lama-lama tinggal di pondok ini. Setelah melihat diriku,
harus segera pergi," seru Hui-ing pula.
"Baik," sahut Siu-lam, "Apakah masih ada lain lagi?"
"Masih sedikit lagi, yakni pembicaraan kita itu hanya mengenai kenangan peristiwa
yang lampau, tak boleh mengenai soal di kemudian hari. Jika engkau setuju, kita dapat
bertemu muka. Jika tidak, sekalipun untuk yang terakhir kalinya, aku tetap tak mau
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertemu muka!" Setelah berdiam beberapa jenak, akhirnya Siu-lam menyetujui juga: "Kali ini aku dapat
menyetujui semuanya. Tetapi pada pertemuan lain kali, engkau harus meniadakan syaratsyarat
itu semua!" Berkata Hui-ing dengan rawan: "Dalam kehidupan sekarang ini, kita hanya dapat
bertemu sekali saja. Sejak kini, kita akan terpisah oleh dua langit. Sampai matipun
takkan berhubungan lagi!"
Mendengar ucapan gadis itu bernada tegas dan pasti, tergetarlah hati Siu-lam.
"Sekalipun sumoay berada di ujung langit tetap akan kucarimu!" katanya.
"Ah, jangan setolol itu! Dunia amat besar dan langit tiada terbatas luasnya.
Kemanakah engkau hendak mencariku?"
"Tetapi engkau toh tentu mempunyai tempat tinggal yang tertentu?" seru Siu-lam.
Hui-ing tertawa, ujarnya: "Aku pergi datang tiada tertentu waktunya. Aku berjalang
tiada membekas jejak. Hendak kemanakah engkau akan mencari" Ah, sudahlah, jangan
buang-buang waktumu dengan sia-sia!"
Akhirnya Siu-lam tak mau banyak bicara lagi. Yang penting ia harus mengetahui
bagaimana keadaan sumoaynya itu. Ia segera melangkah masuk. Sekalipun sudah
mendapat ijin Hui-ing, namun ia masih kuatir akan serangan pedang dari si nona di balik
pintu. "Cici, biarkan dia masuk!" terdengar Hui-ing berseru perlahan.
Nona di balik pintu itu mendengus: "Engkau harus memenuhi janji, tak boleh ingkar!"
Siu-lam segera melangkah masuk. Ruangan itu redup-redup gelap. Begitu mata Siulam
berkeliaran memandang, cepat-cepat nona di balik pintu berbalik tubuh
membelakanginya. Ketika memandang ke muka, Siu-lam melihat sesosok tubuh langsing dalam pakaian
serba hitam tengah berdiri menghadap ke arah sana, memandang tembok. Nona itu
menghunus sebatang pedang.
Tiba-tiba dari sudut ruang yang redup itu, terdengar suara teguran Hui-ing: "Pui
suheng"." Siu-lam tersirap. Cepat ia memandang ke arah suara itu. Di sudut ruang tampak
berdiri sesosok bayangan yang langsing tinggi. Dia pun mengenakan pakaian serba hitam
seperti nona yang berada di balik pintu itu.
Hui-ing berdiri sambil miringkan tubuh sehingga hanya separuh mukanya yang
Nampak. Sekalipun dengan matanya yang tajam, Siu-lam dapat melihat jelas keadaan
dalam ruang redup itu, namun ia tak mampu melihat bagaimana keadaan Hui-ing yang
sesungguhnya. Suasana dalam ruang itu benar-benar penuh dengan kemisteriusan. Malam yang gelap
makin menambah keseraman ruang itu.
Hanya terpisah beberapa bulan saja, keadaan sudah berubah begitu rupa. Siu-lam pun
bersiaga. Ia melangkah perlahan-lahan.
Tiba-tiba Hui-ing mengangkat tangan kanannya. Lengan jubah yang bergerombyongan
segera menutupi separuh mukanya sehingga tak kelihatan sama sekali.
"Pui suheng, jangan maju lagi," serunya.
Siu-lam tertegun dan hentikan langkahnya. Dari nada suaranya, ia dapat mengenal
bahwa gadis baju hitam yang berdiri di muka itu adalah Ciu Hui-ing.
Saat itu keduanya terpisah kira-kira tiga meter. Mata Siu-lam makin jelas mengetahui
keadaan ruangan. Tetapi karena Hui-ing tetap menutupi wajahnya dengan lengan baju,
iapun tak dapat melihatnya jelas.
"Apa yang suheng hendak katakana, harap lekas bilang. Aku segera akan tinggalkan
tempat ini!" kata Hui-ing dengan rawan.
"Ah, apa maksud sumoay jauh-jauh datang ke gereja ini?" tanya Siu-lam.
"Perlu memberitahukan kepadamu, bahwa aku belum mati!"
"Hanya itu saja?" Siu-lam menegas.
"Benar, memang itu maksudku ke sini. Dan karena kini maksudku sudah terlaksana,
akupun segera akan pergi."
"Apakah sumoay dapat menceritakan tentang peristiwa-peristiwa sejak kita berpisah
dahulu?" Kata Hui-ing: "Memang semula aku hendak mencarimu dengan membekal suatu hasrat
yang menyala-nyala. Kecuali hendak bertemu, pun akan kutumpahkan kandungan hatiku
kepadamu. Aku ingin rebah dalam pelukanmu dan menangis sepuas-puasnya"!"
"Sumoay tentu mengalami kedukaan yang besar. Siau-heng bersedia mendengarkan
kesemuanya itu. Bilanglah, akan kudengarkan dengan penuh perhatian!"
Jilid 27 TETAPI setelah bertemu denganmu, tiba-tiba kurasakan semua peristiwa itu sudah
lampau. Seratus kali bahkan seribu kali kuceritakan, pun tiada gunanya. Karena itu tak
ingin lagi kukatakan. Ya, aku takkan mengatakannya lagi!"
"Mengapa?" tanya Siu-lam.
"Sesungguhnya kedatanganku ke Siau-lim-si sini mencarimu, juga suatu hal yang tiada
artinya. Mati hidup itu hanya semacam awan di langit. Betapa besar nama seseorang dan
betapa tinggi kedudukan seseorang, akhirnya pasti akan mati laksana sebutir pasir jatuh di
dalam lautan. Ah, jika saja semula sudah kusadari hal itu, tentu aku takkan mencarimu
lagi!" "Siau-heng benar-benar tak mengerti maksud sumoay."
Hui-ing kisarkan tubuh, serunya: "Aku hendak pergi, harap suheng suka menyisih."
Tetapi Siu-lam malah lintangkan tangannya menghadang, serunya: "Sudah beberapa
bulan kita tak bertemu. Banyak sekali yang hendak kukatakan. Mengapa engkau begitu
tergesa-gesa hendak pergi?"
Hui-ing menyurut mundur lagi, serunya: "Cukuplah! Yang lalu telah berlalu. Dan yang
akan datang, belum dapat kita ketahui. Apa yang harus dibicarakan lagi?"
"Siau-heng hendak berkata banyak sekali."
"Jika aku tak suka mendengarkan?" kata Hui-ing dengan nada berat.
Siu-lam tertegun: "Apakah benar-benar sumoay membenci siau-heng" Dan
memutuskan hubungan kita" Aku Pui Siu...."
"Jangan mengatakan hal itu! Engkau memegang janjimu tadi atau tidak?" tukas Huiing.
Sama sekali Siu-lam tak menyangka bahwa sumoaynya yang dahulu begitu lemah
lembut, tiba-tiba berubah menjadi sedemikian dingin. Hanya beberapa bulan tanpa
berjumpa tampaknya sumoay itu sudah berubah sama sekali. Agaknya sumoay itu
tercengkam dalam dunia kebatinan dimana ia dapat menyadari arti diri pada hidup ini.
Hidup yang tak lebih merupakan suatu bayangan kosong.
Karena terbenam dalam menilai diri sang sumoay, Siu-lam sampai lupa untuk
menjawab. Hui-ing tertawa dingin, serunya pula: "Tadi engkau sudah berjanji hanya bertemu
sebentar lalu pergi. Tetapi mengapa sekarang engkau hendak menyeret aku dalam
pembicaraan yang berlarut-larut" Hm, menyingkirlah, aku hendak pergi!"
Tanpa membuka lengan baju yang menutupi mukanya, gadis itu mulai ayunkan
kakinya, menyapu kaki Siu-lam.
Siu-lam terkejut. Buru-buru ia menyingkir ke samping dua langkah. Dan cepat sekali
Hui-ing sudah melesat keluar. Kemudian ia membisiki gadis yang menghunus pedang tadi:
"Cici, halanglah ia !"
Gadis baju hitam itu mengiyakan dan cepat menghadang di depan pintu. sekali gerak,
ia sudah lancarkan dua buah serangan. Cepat dahsyat bukan kepalang. Jika hal itu terjadi
beberapa bulan yang lalu, Siu-lam pasti sudah terluka.
Sehabis menyerang, gadis itu segera loncat keluar dan menyusul Hui-ing.
Dengan kerahkan semangatnya, Siu-lam segera mengejarnya seraya berseru nyaring:
"Hai, penjagaan gereja sangat ketat sekali. Jika sumoay hendak pergi, biarlah kuantarkan
keluar!" "Tak usah, dapat datang kemari sudah tentu kamipun dapat pergi keluar sendiri!" sahut
si gadis hitam bersenjata pedang itu dengan dingin.
Mereka bergerak dengan cepat sekali. Dalam pada bicara itu, mereka sudah keluar dari
hutan. Saat itu hujan sudah berhenti sama sekali. Langit penuh dengan bintang. Tiba-tiba
empat sosok tubuh yang mengenakan jubah paderi dan mencekal tongkat, muncul
berjajar-jajar menghadang di tengah jalan.
"Berhenti!" terdengar salah seorang paderi membentak seraya menyapu dengan
tongkatnya. Tapi dengan suatu gerakan yang lemah gemulai, gadis itu menghindar ke samping
terus lari maju. Sama sekali ia tak memandang mata atas serangan paderi itu.
Dan gadis bersenjata pedang yang berada di belakangnya, segera ayunkan tubuh
melenting ke udara, terus melayang turun ke muka.
Paderi yang menyerang itu marah sekali karena diperlakukan sedemikian hina. Ia
menyerang lagi dengan sekuat tenaga.
Dalam menghadapi serangan maut itu, Hui-ing tetap menutupi mukanya sambil
berputar-putar menghindar ke samping. Gerakannya lincah dan indah sekali. Selain
menghindar serangan tongkat, pun ia maju menerjang keempat paderi yang lain.
Gerakan yang luar biasa anehnya itu menyebabkan keempat paderi penghadang itu,
tergetar hatinya. Pada saat ke empat paderi itu terkesiap, tiba-tiba si gadis baju hitam sudah tiba. Sekali
kiblatkan pedangnya kekanan-kiri, ia menyerang dua orang paderi. Kedua paderi itu cepat
mengangkat tongkatnya untuk menangkis.
Hui-ing menggeliatkan tubuh dan tahu-tahu tubuhnya meluncur ke muka. Dua orang
paderi yang lainnya cepat-cepat menghadangnya dengan tongkat, tetapi mereka hanya
menghadang angin belaka. Hui-ing laksana sesosok bayangan yang sukar dijamah....
Kebalikannya gadis baju hitam pengawal Hui-ing itu tak berhasil menerobos dari
hadangan paderi Siau-lim-si. Gadis itu segera putar pedangnya. Hebat sekali gerakan
pedang nona itu sehingga kedua paderi penghadangnya jadi kelabakan menjaga diri.
Pada lain saat Siu-lam tiba di situ. Sambil memberi hormat ia berseru nyaring kepada
keempat paderi itu: "Harap taysu berempat suka memberi jalan kepada nona itu!"
Memang kepada Siu-lam paderi Siau-lim-si amat mengindahkan. Setelah menangkis,
merekapun menyisih ke samping memberi jalan.
Gadis baju hitam mendengus dingin. Tanpa berpaling muka ia mendamprat Siu-lam:
"Huh, jangan usilan. Siapa minta engkau membantu!"
Sekali enjot kaki, tubuhnya melambung ke udara. Setelah melayang turun, terus lari
menyusul Hui-ing. Siu-lam memberi keterangan kepada keempat padri bahwa kedua nona itu bukanlah
anak buah Beng-gak. Ia kuatir keempat paderi itu salah paham. Habis memberi penjelasan
iapun segera lari menyusul.
Ketika Siu-lam dapat menyusul ternyata Hui-ing dan gadis baju hitam itu sedang
bertempur dengan belasan paderi Siau-lim-si.
Hui-ing tetap menutupi mukanya dengan lengan baju. Ia hanya menggunakan tangan
kiri untuk melawan pengeroyoknya. Tetapi gerakan tubuhnya luar biasa anehnya. Gadis itu
berlincahan laksana kupu-kupu ditingkah taburan senjata.
Tetapi si gadis baju hitam tetap mengandalkan permainan pedangnya yang ganas
sekali. Menyerang dan menangkis. Setiap jurus permainan pedangnya selalu mengandung
bencana maut sehingga musuh terpaksa waspada.
Pada saat Siu-lam hendak berseru menghentikan pertempuran itu, tiba-tiba terlintas
dalam pikirannya: "Sumoay dapat bergerak bebas lepas dalam kepungan musuh, tentulah
berkat ilmu gerakan kaki Cit-sing-tun-heng ajaran Siu-chiu-kiau-in Su Bo-tun. Dalam waktu
beberapa bulan saja ia sudah memahami ilmu pelajaran yang sesakti itu, sungguh
mengagumkan sekali. Tetapi entah siapakah gadis baju hitam yang bersamanya itu.
Mengapa ilmu pedangnya begitu ganas"
Akhirnya ia memutuskan untuk melihat dulu. Siapa tahu mungkin ia dapat memperoleh
sesuatu jejak untuk menetapkan aliran dari gadis baju hitam itu.
Ia batalkan niatnya untuk mencegah. Dan dengan penuh perhatian diamatinyalah
permainan pedang gadis itu.
Tiba-tiba gadis baju hitam itu merubah permainan pedangnya. Ia kembangkan jurus
serangan yang luar biasa cepat dan dahsyatnya. Sinar pedangnya bagaikan bunga api
berhamburan di udara! "Uh!" terdengar erangan tertahan dari seorang paderi. Tiba-tiba paderi itu lemparkan
tongkatnya dan mundur beberapa langkah. Tangan kirinya mendekap lengan kanan dan
orangnya berlutut ke tanah. Darah menyembur keluar!
"Hm, ilmu pedang nona itu memang luar biasa ganasnya. Jika dilanjutkan, beberapa
paderi akan menjadi korban lagi!" diam-diam Siu-lam menimang.
Dan tepat pada saat ia menimang itu, terdengarlah pula dua buah erangan tertahan.
Dua orang paderi rubuh menjadi korban pedang nona itu.
Setiap turunkan pedangnya, tentu mengarah jalan darah yang berbahaya. Maka setiap
korbannya tentu menderita luka parah sekali.
"Celaka, jika aku tak lekas-lekas bertindak, paderi-paderi Siau-lim-si tentu akan terluka
semua," demikian ia memutuskan.
Tepat pada saat itu, kembali seorang paderi rubuh. Tanpa berayal lagi Siu-Iam terus
mencabut pedang Pek-kau-kiam lalu loncat ke muka. Sambil memutar pedangnya dengan
jurus Tan-hong-liau-hun, ia berseru bengis: "Mengapa engkau melukai paderi Siau-lim-si
yang tak mempunyai dendam dengan engkau!"
Sekalipun hatinya panas, tetapi ia tetap menjaga perasaan Ciu Hui-ing, agar jangan
salah paham. Maka serangan pedangnya itupun agak lambat..
"Hm, engkau tidak puas" silahkan mencoba sendiri!" dengus nona baju hitam itu seraya
menarik pedangnya untuk digeliatkan membalik ke arah Siu-lam.
Gerak membalikkan pedang itu sudah mengandung dua jurus serangan yang dahsyat
sekali sehingga Siu-lam terpaksa mundur dua langkah.
Dalam pada itu rombongan paderi yang telah kehilangan empat kawannya, menjadi
murka. Tiga orang paderi serentak menyerang. Yang dua dengan tongkat sian-ciang, yang
seorang dengan golok kwat-to.
Siu-lam agak sibuk. la tak ingin melihat para paderi Siau-lim-si menjadi korban lagi
tetapi iapun menjaga jangan sampai menyinggung perasaan sumoaynya.
"Nona, menghindarlah ke samping!" akhirnya ia berseru kepada nona baju hitam itu.
Tetapi ternyata nona itu bukan menurut anjuran Siu-lam, kebalikannya malah kerahkan
semangat, menangkis dengan pedangnya. Tring, terdengar dering senjata beradu dahsyat.
Begitu tongkat seorang paderi yang menyerang dari sebelah kiri terpental, dengan
meminjam tenaga, benturan pedang itu, si gadis baju hitam terus loncat ke samping
beberapa meter jauhnya. "Bagus!" diam-diam Siu-lam memuji dalam hati melihat kelincahan nona itu.
Tapi rasa kagumnya itu cepat buyar ketika si nona baju hitam membentak dengan
dingin: "Jangan cari muka! Hm, jika tak memandang muka moay-moayku, dua buah
serangan tadi, kau tentu sudah rubuh berlumuran darah."
Melihat beberapa paderi yang rubuh di tanah itu hati Siu-lam berduka. Berserulah ia
dengan nyaring: "Gereja Siau-lim-si mempunyai nama yang harum di dunia persilatan.
Mengapa sumoay hendak mengikat permusuhan dengan mereka" Sudah empat paderi
yang kalian lukai. Biarlah siau-heng yang mempertanggung-jawabkan peristiwa ini. Harap
sumoay berhenti bertempur!"
Gadis baju hitam itu ketawa dingin: "Moay-moay, congkak benar suhengmu itu. Biarlah
cici memberinya pelajaran, ya?"
Nadanya seperti orang minta ijin tapi nyatanya tanpa menunggu penyahutan Hui-ing
lagi gadis baju hitam itu kiblatkan pedangnya kian kemari sehingga dua orang paderi yang
mendekatinya, terpaksa mundur.
Hui-ing tiba-tiba menghela napas, serunya: "Cici, marilah kita pergi!" Habis berkata
berputar-putar dua kali dan menyelinap keluar dari kepungan.
Siu-lam pun meminta para paderi supaya hentikan penyerangannya dan memberi jalan
kepada kedua nona itu. Karena para paderi itu mengindahkan Siu-lam, merekapun segera berhenti dan
mengerumuni keempat kawannya yang terluka tadi.
Keempat paderi yang terluka itu, sepatahpun tidak mengerang kesakitan. Dan paderipaderi
yang mengerumuninya itu pun tak mengucurkan airmata. Mereka tegak berdiri
dengan merangkapkan kedua tangan. Hanya wajah mereka menampilkan kedukaan yang
dalam. Siu-lam menghela napas: "Harap taysu sekalian menunggu di sini dulu, aku hendak
menghantar kedua nona itu. Taysu yang terluka parah, jangan bergerak dulu agar lukanya
tidak begitu parah."
Habis berkata ia terus lari mcnyusul Hui-ing dan gadis baju hitam tadi.
Saat itu hujan sudah reda dan sekalian paderipun sudah siap di masing-masing pos.
Mereka mulai bersiap mengadakan penjagaan.
Baru sepuluh tombak jauhnya Siu-lam menyusul, tampak kedua gadis itu bertempur
lagi dengan rombongan paderi yang berjaga di situ.
Karena takut nona baju hitam itu akan melancarkan serangan-serangan pedang yang
ganas, Siu-lam segera loncat menahan pedang si nona baju hitam. Kemudian berseru
perlahan kepada para paderi: "Harap suhu sekalian suka kembali ke pos masing-masing.
Biarlah aku yang mengantarkan kedua nona ini keluar."
Paderi-paderi itu hentikan serangannya lalu berpencaran menyembunyikan diri dalam
tempat. Si gadis baju hitam menarik pedangnya seraya menegur Siu-lam: "Apa maksudmu
mengikuti kami?" "Aku hendak mengantar kalian...."
"Hah, tak perlu, lebih baik engkau kembali saja!" tukas gadis baju hitam dengan jemu.
Siu-lam menerangkan bahwa keadaan gereja Siau-lim-si saat itu genting sekali. Setiap
lima meter terdapat sebuah pos penjagaan. Jika tak diantar keluar, kedua nona itu tentu
akan mengalami beberapa rintangan.
"Hmm, kawanan paderi itu mampu menghalangi perjalanan kami?" gadis baju hitam itu
mengejek. Dengan agak menyindir, Siu-lam berkata: "Memang ilmu pedang nona luar biasa sekali.
Tetapi apabila sampai bertemu dengan paderi Siau-lim-si golongan ko-chiu, belum tentu
nona dapat mengatasi. Yang menghadang tadi, hanya murid-murid Siau-lim-si tingkat
angkatan kedua dan ketiga saja..."
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siu-lam berhenti sejenak untuk batuk-batuk kecil, kemudian katanya pula: "Adalah
karena memandang muka sumoayku, maka tadi aku selalu bersikap sungkan padamu"."
Nona baju hitam itu tertawa ngikik. Nadanya penuh ejakan dan kemarahan.
Siu-lam kurang puas melihat sikap nona itu, serunya: "Jangankan paderi angkatan kochiu,
bahkan denganku yang rendah ini, belum tentu nona dapat menang. Bahwa
mengapa aku tidak bertindak tadi, bukanlah karena jeri terhadap kepandaian nona"."
"Cici, mari kita pergi!" tiba-tiba Hui-ing berseru.
Sambil bolang-balingkan pedangnya, nona baju hitam itu berseru: "Jika tidak kuatir
menyinggung perasaan Hui-ing moay-moay, malam ini tentu sudah kuberimu hajaran!"
"Dan kalau menghindari agar sumoay jangan salah paham jangan harap malam ini
engkau mampu keluar dari gereja ini. Hm... tindakanmu melukai empat paderi tadi, tentu
tak akan diiarkan begitu saja!"
Rupanya marahlah nona baju hitam itu mendengar kata-kata Siu-lam, serunya:
"Cabutlah pedangmu! Jika tidak kuberimu sedikit hajaran, engkau memang takkan tahu
tingginya langit dan lebarnya dunia!"
Sesungguhnya Siu-lam tidak enak hati kepada para paderi Siau-lim-si. Sudah jelas nona
baju hitam itu telah melukai empat paderi, tetapi Siu-lam tetap sungkan dan bahkan masih
begitu baik hati hendak mengantar mereka ke luar.
Tetapi karena nona baju hitam itu baik sikap dan ucapannya mengunjukkan
kesombongan, akhirnya Siu-lam tak dapat menguasai kemarahannya lagi. Tring. ia
mencabut pedang Pek-kau-kiam.
Dengan memandang muka sumoayku, marilah kita bermain-main hanya tiga jurus
saja!" serunya. "Tiga jurus hanya berlangsung dalam sekiblat gerakan saja. Bagaimana dapat
menghasilkan kalah dan menangnya?" sahut gadis itu.
Pendekar Riang 4 Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Pedang Tanpa Perasaan 4