Pencarian

Wanita Iblis 15

Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 15


"Dalam tiga jurus itu, aku akan mengalah untuk yang dua jurus, dan hanya akan balas
menyerang untuk yang sejurus. Sekalipun tidak dapat ditentukan kalah menangnya,
tetapi dalam hati kita dapat menilai siapa yang lebih unggul"."
"Sombong benar engkau!" damprat nona baju hitam itu dengan marah. Dan
kemarahannya segera ditumpahkan dengan sebuah tusukan yang berjurus Thiat-ki-tho-jut
atau barisan kuda keluar tiba-tiba.
Siu-lam terkejut menyaksikan kecepatan pedang si nona. Dengan mengerahkan
semangat ia cepat menghindar ke samping.
Tetapi hai... ia sendiri terkejut ketika gerakan yang dimaksud hanya untuk loncat ke
samping itu ternyata di luar dugaan hasilnya. Tubuhnya begitu ringan sekali hingga
gerakan ke samping itu melengtingkan dirinya jauh sampai beberapa meter. Ia benarbenar
tak mengerti dan heran sekali....
Nona baju hitam itu juga terkejut menyaksikan ilmu ginkang atau meringankan tubuh
dari pemuda itu sedemikian luar biasanya. Baru pertama kali itu ia menyaksikan ilmu
ginkang yang begitu hebat.
Diam-diam ia tak berani memandang rendah lagi dan berlaku hati-hati. Dengan jurus
Liong-heng-it-hang, ia menerjang.
Jurus ita merupakan sebuah jurus ilmu pedang yang harus dilambari dengan ilmu
ginkang yang tinggi. Karena orang dan pedangnya seolah-olah menjadi satu, melayang ke
arah musuh. Lagi-lagi Siu-lam terkejut atas kedahsyatan dan kecepatan nona itu menyerang. Dia
pun tak berani memandang ringan. Cepat ia melenting setombak tingginya.
Karena dua kali serangannya tak mendapat hasil, gadis baju hitam itu makin marah.
Tetapi tatkala ia hendak melancarkan serangannya lagi tiba-tiba Siu-lam berseru memberi
peringatan: "Harap nona hati-hati!"
Sambil loncat menerjang, Siu-lam taburkan Pek-kau-kiam dalam jurus Se-lay-co-im.
Dari udara berhamburanlah ribuan bintang mencurah ke arah kepala nona itu.
Melihat dirinya seperti ditimpali oleh gunung pedang yang roboh, kejut nona itu bukan
alang-kepalang. Dengan kerahkan seluruh tenaganya, ia putar pedangnya menyongsong.
Siu-lam benci kepada perbuatan si nona yang telah melukai empat paderi tadi. Tiba-tiba
taburan sinar pedangnya berubah menjadi sebuah gumpalan pelangi dan membelah langit.
Tring" terdengar dering dahsyat. Pedang si nona baju hitam itu kutung menjadi dua!
Siu-lam menarik pulang pedangnya dan loncat mundur seraya berseru merendah:
"Maaf!" Menarik pulang pedangnya yang sudah kutung itu, si nona baju hitam berseru dengan
dingin: "Tiga tahun lagi, aku tentu akan menuntut balas atas peristiwa kutungnya
pedangku malam ini!"
"Engkau sudah melukai empat paderi Siau-lim-si, apakah mereka akan membiarkan
engkau begitu saja?"
"Jika Siau-lim-si hendak menuntut balas, silahkan mencari aku. Nah, aku hendak pergi!"
berputar tubuh, nona baju hitam itu segera lari.
Hui-ing yang menyaksikan pertempuran itu dari samping, segera lari menyusul
kawannya. Karena kuatir mereka akan dicegat oleh paderi-paderi yang menjaga gereja, Siu-lam
segera menyusul juga. Setiap bertemu dengan rombongan paderi yang hendak
menghadang, Siu-lam segera berseru meminta mereka agar memberi jalan kepada kedua
nona itu. Setiba di luar gereja, Hui-ing hentikan larinya. Tetapi ia tetap berdiri membelakangi Siulam.
Tak mau ia berhadapan muka.
"Beberapa bulan tak berjumpa, suheng sungguh garang sekali. Kawanan paderi di sini
mengindahkan kepadamu. Kiranya suheng tentu sudah menjadi murid Siau-lim-si yang
berkedudukan tinggi!" serunya.
"Jangan salah paham, sumoay. Siau-heng sama sekali bukan murid Siau-lim-si!"
"Jika engkau benar-benar mau mencukur rambut menjadi paderi, alangkah bagusnya!"
"Mengapa?" Siu-lam terkesiap heran.
Hui-ing merasa agak kelepasan omong. Buru-buru ia berganti nada: "Ah, tak apa-apa.
Kuanggap seorang yang berkelana di dunia persilatan tentu tiada bertempat tinggal yang
menentu. Kiranya lebih baik mencukur rambut masuk gereja, menuntut kehidupan yang
suci dan tenang!" Siu lam tertawa tawar. "Melewati hari-hari sedih di dalam goa, menyebabkan hati sumoay kosong dan
menyelami soal kebatinan. Tapi siau-heng tetap tak dapat melupakan soal budi dan
dendam. Kematian suhu dan subo yang mengenaskan, tiada sesaatpun kulupakan.
Sebelum hutang darah itu terbalas, hatiku takkan tenteram."
Agaknya Hui-ing terpengaruh oleh ucapan Siu-lam. Ia menghela napas panjang: "Ah,
aku berterima kasih sekali bahwa suheng tetap teringat akan sakit hati orang tuaku...."
Siu-lam tertawa panjang, serunya: "Guru dan murid adalah serupa dengan ayah dan
anak. Terhadap musuh orang tua, kita tak dapat hidup di bawah kolong langit, itu sudah
menjadi tugas kewajibanku, harap sumoay jangan...."
Tiba-tiba Hui-ing berputar diri. Merogoh ke dalam baju, ia mengeluarkan selembar
sutera putih lalu dilemparkan kepada Siu-lam.
"Di atas sutera putih itu, telah kucatat tentang ilmu Chit-sing-tun-heng dengan jelas.
Dan kuberi juga gambarnya. Dengan kecerdasan suheng, kiranya dalam tiga empat hari
saja tentu sudah dapat memahami. Asal suheng mau meyakinkan dengan sungguhsungguh,
tentu dapat menggunakannya dengan hebat."
Siu-lam memungut sutera itu dan menghaturkan terima kasih.
"Tak usah terima kasih," kata Hui-ing, "malam ini kami telah melukai empat orang
paderi, harap suheng suka menyelesaikan peristiwa itu!"
Siu-lam berjanji akan membereskannya.
Ttba-tiba Hui-ing bantingkan kakinya: "Harap suheng menjaga diri baik-baik, lain kali
kita berjumpa lagi!"
"Nanti dulu!" buru-buru Siu-lam berseru ketika Hui-ing berputar diri hendak pergi.
"Apa yang suheng perlu katakan lagi?" tanya Hui-ing yang selalu tetap menutup muka
nya dengan lengan baju. "Kedatangan sumoay selain hendak mengetahui keadaan siau-heng, pun juga akan
memberikan ajaran ilmu Chit-sing-tun-heng-tin, siau-heng"."
"Ah, jika engkau tak ingatkan, aku tentu lupa bahwa ilmu Chit-sing-tun-heng-tin itu
adalah ilmu ciptaan Su Bo-tun yang paling dibanggakan. Maka setelah suheng dapat
memahaminya, sebaiknya sutera putih itu dihancurkan saja agar jangan sampai jatuh ke
lain orang!" kata Hui-ing.
Kata Siu-lam: "Siu-ciu-kiau-in Su Bo-tun sudah tunduk pada Beng-gak. Dia bakal
menjadi salah seorang musuh kita yang tangguh."
Rupanya Hui-ing terkesiap mendengar tentang tokoh itu, serunya agak tergetar: "Entah
benar atau tidak Su Bo-tun menggabung pada Beng-gak, tetapi ilmu ajaran itu tak boleh
jatuh pada orang lain!"
Siu-lam mengiyakan. "Baik, akupun segera mohon diri!" serentak berputar tubuh Hui-ingpun sudah melesat
setombak jauhnya. Tunggu!" teriak Siu-lam seraya loncat menyusulnya, "dari ribuan li jauhnya sumoay
datang kemari, apakah hanya begini saja terus hendak pergi?"
"Habis, apakah aku disuruh tinggal di gereja para paderi itu?"
Mendengar jawaban yang agak getas itu, Siu-lam tertegun. Kemudian ia menghela
napas: "Jika sumoay tetap hendak pergi, akupun tak berani menghalangi. Tetapi maukah
sumoay lepaskan lengan baju yang menutupi muka sumoay itu agar siau-heng dapat
melihat wajah sumoay?"
Tiba-tiba Hui-ing tertawa tinggi. Nadanya penuh kedukaan dan kerawanan.
"Mengapa engkau.... tertawa?" Siu lam terkejut.
"Bukankah engkau masih ingat jelas bagaimana wajahku itu?" seru Hui-ing.
"Senyum tawa dan wajahmu, selalu terukir dalam benakku!" sahut Siu-lam.
Hui-ing menghela napas: "Kalau sudah ingat jelas, perlu apa kau hendak melihatnya
lagi?" Siu-lam terkesiap. Tiba-tiba sesuatu melintas dalam benaknya: "Sumoay, apakah
wajahmu menderita" sesuatu"."
"Jangan bicara tak karuan!" bentak Hui-ing terus lari.
Melihat caranya Hui-ing kemudian dengan kalap Siu-lam tak berani mengejar. Ia
khawatir sumoaynya akan salah paham. Maka ia hanya berseru saja: "Sumoay, bolehkah
aku mendapat tahu alamatmu" Nanti setelah aku selesai membalaskan sakit hati suhu
dan subo, aku akan menjenguk..."
Dari jauh Hui-ing menyahut: "Tak perlu! Dalam kehidupan sekarang, aku tidakkan
berjumpa lagi dengan engkau!"
Siu-lam menengadah memandang cakrawala. Hatinya terasa hampa, penuh dengan
kedukaan. Untuk melonggarkan perasaan itu, ia menghela napas panjang.
Saat itu sudah menjelang tengah malam. Tiba-tiba dari belakang terdengar derap
langkah orang mendatangi. Ia tersentak dari lamunannya dan segera berputar diri.
Ternyata yang datang itu Tay Ih siansu beserta Tay To siansu. Dari derap langkahnya
yang berat, jelas kedua paderi Siau-lim-si itu sedang dirundung keresahan batin.
"Apakah kedua li-sicu tadi sudah pergi?" tanya Tay Ih siansu.
Siu-lam memberi hormat dan minta kepada paderi pimpinan Siau-lim-si itu agar jangan
mengimbangi tindakan kedua gadis tadi.
"Entah masih ada hubungan apakah kedua li-sicu itu dengan Pui sicu?" tanya Tay To.
"Ceriteranya panjang sekali. Tetapi salah seorang dari mereka adalah sumoayku. Hanya
gadis baju hitam yang melukai keempat murid Siau-lim-sie itu, wanpwe tak kenal. Dan
yang jelas sumoay wanpwe itupun mempunyai dendam besar kepada Beng-gak.
Keterangan yang lebih jelas, biarlah kelak wanpwe haturkan lagi."
Tay Ih siansu tertawa: "Meski keempat paderi itu terluka, tetapi untung tiada yang
melayang jiwanya. Sekalian paderi Siau-lim-si amat berterima kasih sekali atas bantuan Pui
sicu. Sekalipun terjadi beberapa murid mendapat luka tetapi janganlah Pui sicu gelisah.
Mereka tak akan penasaran kepada sicu."
Siu-lam menghaturkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepadanya.
"Sekarang sudah mendekati tengah malam. Pertempuran yang menentukan hidup atau
matinya gereja Siau-lim-si segera akan dimulai. Malam ini merupakan malam yang paling
menderita bagi Siau-Iim-si. Kami, seluruh paderi anak murid Siau-lim-si tak akan
melupakan budi bantuan Pui sicu kepada Siau-lim-si. Maka lupakan segala peristiwa kecil
yang tak berarti itu dan marilah kita hadapi musuh dengan persatuan tekad!"
Selain dipandang sebagai paderi angkatan tua yang berkedudukan tinggi di gereja Siaulim-
si, pun Tay Ih siansu itu juga sangat diindahkan dalam dunia persilatan.
"Hidup matinya gereja Siau-lim-si, berarti juga hidup matinya dunia persilatan. Tetapi
nyatanya saat ini hanya anak murid Siau-lim-si yang memikul beban menghadapi bencana
itu?" kata Siu-lam. Sejenak ia memandang ke cakrawala dan menghela napas panjang. Kemudian katanya:
"Menurut hemat wanpwe, jika Siau-lim-si gagal memberantas bencana ini, dunia persilatan
pasti akan mengalami perubahan besar. Sembilan partay persilatan pasti takkan terhindar
dari kehancuran. Pertempuran malam ini sebenarnya merupakan penentuan nasib dari
dunia persilatan. Kesembilan partai persilatan itu seharusnya mengirim para jagonya untuk
bersama-sama menghadapi musuh. Tetapi nyatanya, mereka hanya berpeluk tangan saja,
membiarkan Siau-lim-si berjuang seorang diri!"
Tay Ih siansu tertawa: "Tetapi Pui sicu tak boleh menyesali mereka karena kedatangan
Beng-gak itu secara tiba-tiba sehingga loni tak sempat mengundang mereka."
Tetapi Siu-lam tetap tak puas dengan sikap partay-partay persilatan yang begitu dingin:
"Setiap partay persilatan tentu mempunyai anak murid yang berkelana di dunia persilatan.
Kalau peristiwa sebesar ini mereka sampai tidak mendengar dan tak mengetahui, suagguh
menggelikan sekali!"
Melihat anak muda itu makin penasaran, akhirnya Tay Ih memintanya supaya
beristirahat dulu memulangkan tenaga.
Siu-lam menghaturkan terima kasih, lalu maju melangkah pergi. Pada setiap ujung dan
sudut di seluruh gereja itu, Siu-lam tentu melihat kelompok-kelompok paderi yang
menjaga dengan ketat sekali. Siu-lam menyatakan pujiannya kepada Tay Ih yang telah
mengatur persiapan begitu rapat.
Tay To siansu menerangkan: "Tiga ratus batang obor telah dipersiapkan. Setiap obor
dapat memberi penerangan seluas lima tombak. Jika tiga ratus batang obor itu serempak
disulut, gereja Siau-lim-si tentu akan terang benderang seperti siang hari. Kecuali Benggak
membasmi seluruh paderi Siau-lim-si, tentu tidak mungkin mereka dapat menerobos
masuk ke dalam gereja ini!"
Tay Ih siansu pun memberi penjelasan juga: "Loni telah minta Tay Lip dan Tay To sute,
untuk memimpin barisan Lo-han-tin. Dan loni minta kepada kedua sute itu supaya memilih
empat puluh delapan anak murid dari angkatan kedua dan ketiga. Dipecah dalam dua regu
dan masing-masing merupakan kelompok yang setiap saat harus memberi bantuan kepada
bagian yang genting."
Siu-lam memuji cara paderi itu mengatur persiapan.
"Kemudian loni dan Tay To sute, masing-masing memimpin dua belas anak murid untuk
menyambut kedatangan rombongan Beng-gak. Sebagai tuan rumah kita harus menyambut
mereka dengan baik kemudian baru bertempur!"
"Sungguh tak kecewa menjadi pemimpin partai persilatan golongan Ceng-pay!" Siu-lam
memuji. Kemudian Tay Ih minta agar Siu-lam yang membawa kedua tokoh Lam-koay dan Pakkoay
menghadapi musuh. Dalam pada berbicara itu merekapun tiba di ruang Hong-tiang-si. Tay Ih siansu
mempersilahkan Siu-lam beristirahat. Bila ada sesuatu perubahan, tentu akan segera
diberitahukan. Ketika masuk ke dalam ruang, ternyata Lam-koay dan Pak-koay masih duduk
menyalurkan napas. Begitu pemuda itu masuk, kedua tokoh itupun membuka mata dan
menabur ke arah wajah Siu-lam.
"Hebat juga ilmu pedang gadis baju hitam tadi!" seru Pak-koay Ui Lian.
Siu-lam tertegun, serunya: "Apakah locianpwe menyaksikan?"
Lam-koay Shin Ki mendengus: "Hm, apa-apaan locianpwe-locianpwe saja! Masih muda
begitu mengapa kau sangat pelupa sekali!"
"Apakah yang wanpwe lupakan?"
"Tatkala engkau membuka tali pengikatku, telah kuberi penjelasan kepadamu. Kita
akan menjadi saudara dan saling berbasa engkoh adik," seru Lam-koay.
Diam-diam Siu-lam membatin. Saat itu memerlukan tenaga mereka. Apa yang tak
memberatkan, baiklah menurutkan permintaan mereka saja.
"Shin loko, terimalah hormatku!" katanya seraya memberi hormat.
Orang aneh Shin Khi tertawa gelak: "Bagus, adik yang baik!"
Kiranya setelah menyusul Siu-lam dan melihat kedua nona itu dapat menerobos
kepungan paderi Siau-lim-si, buru-buru kembali ke dalam kamarnya. Itulah sebabnya
maka mereka dapat menyaksikan jelas gerak-gerik Siu-lam.
Pak-koay Ui Lian tertawa dingin: "Hm, si tua si muda, apa guna"."
"Peduli apa engkau!" Shin Khi marah.
"Justeru aku hendak memperdulikan, mau apa engkau?" tantang Ui Lian terus melesat
dan menghantam. Kuatir kedua manusia aneh itu akan berkelahi, buru-buru Siu-lam mencegah: "Harap
cianpwe berdua bicara secara baik-baik, jangan lah sedikit-sedikit terus berkelahi!"
Dalam berkata itu, ia gunakan sebelah tangan untuk menangkis tamparan Pak-koay Ui
Lian. Krak... Siu-lam tergempur. Karena jaraknya dekat dengan Lam-koay, maka ketika
tersurut mundur ia berada di samping Shin Ki.
Tiba-tiba Lam-koay Shin Ki ulurkan tangan kanan meraba punggung Siu-lam. Seketika
Siu-lam rasakan serangkum hawa membaur ke dalam tubuhnya. Dan diluar kehendaknya,
lwekangnya telah memancar keluar dan... tahu-tahu tangan Siu-lam mendorong membalas
tamparan Pak-koay. Pak-koay tertawa dingin Ia segera dorongkan tangan kanannya dengan tenaga yang
keras. Seketika terjadi adu tenaga. Dan ternyata Siu-lam dapat menahan Pak-koay.
Walaupun Lam-koay Shin Ki memancarkan lwekang, tetapi sebenarnya lwekang Siu-lam
sendiri sudah dapat menyambut serangan Pak-koay. Maka Lam-koay Shin Ki tak merasa
sama sekali. Pak-koay Ui Lian marah sekali. Dengan tertawa dingin ia menyerang dengan saluran
lwekang yang lebih hebat.
Walaupun tokoh berhati dingin dan congkak itu ganas sekali, tetapi setelah dijebloskan
dalam penjara di bawah tanah selama berpuluh tahun, keganasannya banyak menurun.
Apalagi diam-diam ingat akan budi pertolongan Siu-lam. Maka dalam melakukan serangan
itu ia lancarkan dengan perlahan saja.
Sekalipun begitu cukuplah sudah membuat Siu-lam menderita. Seketika ia rasakan
tubuhnya seperti dilanda gelombang lwekang yang hebat sehingga hampir saja ia tak kuat
bertahan lagi. Darah bergolak, jantung berdebar dan napas sesak sekali.
Kiranya dia lelah lupa bahwa Lam-koay Shin Ki memberi bantuan penyaluran lwekang.
Maka ia menghadapi serangan Ui Lian seorang diri saja.
Tadi karena Siu-lam berjuang seorang diri Lam-koay Shin Ki tak merasa suatu apa. Ia
senggang. Tetapi kesenggangan itu segera menimbulkan lamuna. la teringat akan ilmu
pedang gadis baju hitam tadi. Rasa-rasanya ia pernah melihat ilmu pedang itu. Tetapi
karena sudah berpuluh tahun hidup dalam penjara di bawah tanah, hampir ia tak ingat lagi
semua peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Demikianlah Lam-koay Shin Ki layangkan pikirannya melamun. Dan karena melamun itu
ia lupa bahwa pada saat itu ia tengah membantu Siu-lam mengadu lwekang dengan Pakkoay.
Ia menjadi gelagapan Setelah Siu-lam terdorong mundur.
"Jangan takut, adik!" serunya seraya serentak pancarkan lwekangnya.
Seketika Siu-lam rasakan perutnya panas. Hawa panas itu meluap ke atas, terus ke
lengan. Tubuhnya yang sudah miring tadi, pun lurus kembali.
Pak-koay Ui Lian sudah menggunakan enam bagian lwekangnya. Karena lawan bukan
saja dapat bertahan pun malah balas menyerang iapun buru-buru menambah lwekangnya.


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba Siu-lam mendapat pikiran: "Tak lama lagi tengah malam segera tiba. Aku lelah
sekali. Baiklah kupinjam saat-saat mereka adu Iwekang untuk beristirahat. Setelah
tenagaku pulih baru nanti mencari daya untuk melerai mereka !"
Siu-lam segera melaksanakan rencananya. Saat itu kedua tokoh sedang ngotot adu
lwekang. Masing-masing telah menambahi lwekangnya namun tetap belum ada yang
menang dan kalah. Pada lain saat, kedua tokoh itu merasa tak enak hati. Di tengah mereka terdapat si
anak muda. Jika mereka menambahkan saluran lwekangnya, tentu anak muda itu yang
akan hancur. Oleh karena itu mereka tak mau menambahkan lwekangnya lagi.
Dalam keadaan begitu, di luar dugaan Siu-lam telah mendapat keuntungan. Dan
menggunakan pancaran lwekang kedua tokoh itu untuk menembus beberapa jalan darah
dalam tubuhnya yang selama ini belum dapat disaluri lwekang.
Berselang beberapa saat, tenaga Siu-lam pulih kembali. Tetapi ketika ia membuka mata
terkejutlah ia. Ternyata wajah Pak-koay yang biasanya dingin angkuh, saat itu mengerut
kedukaan. Tetapi ketika ia hendak menegur, tiba-tiba di luar ruangan terdengar derap kaki
seorang paderi kecil lari mendatangi. Paderi kecil itu memberi hormat dan berkata: "Musuh
sudah muncul. Beberapa supeh, susiok sudah menyambut keluar. Aku diperintahkan
kemari mengundang sicu bertiga"."
Serentak teringatlah Siu-lam akan pesan Kak Bong taysu si paderi tua. Buru-buru ia
berseru kepada kedua tokoh yang tengah mengadu lwekang itu: "Harap jiwi berdua
berhenti!" Lam-koay dan Pak-koay mendengus, tetapi tiada menghentikan pancaran Iwekangnya.
Kiranya kedua tokoh itu sudah menggunakan sembilan bagian Iwekangnya. Siapapun
sukar untuk berhenti Karena jika salah seorang menghentikan pancarannya, dia pasti akan
menderita luka dalam. Siu-lam mengingsut ke samping. Ia hendak menyelinap keluar dari lingkaran lwekang
kedua tokoh itu. Tetapi begitu tubuhnya bergerak, segera ia merasa ulu hatinya seperti mau pecah.
Buru-buru ia berhenti lagi.
Karena lwekang kedua tokoh itu berimbang maka dapatlah Siu-lam menyalurkan secara
berimbang. Tetapi begitu ia berkisar ke samping, seketika terasa kesakitan.
"'Tay Ih supeh telah pesan aku supaya mengantarkan jiwi bertiga. Pertempuran itu
genting sekali maka supeh sangat mengharap jiwi bertiga membantu. Saat ini supeh telah
membawa beberapa suheng yang berilmu tinggi menunggu kedatangan musuh di luar
pintu gereja!" kata paderi kecil itu pula.
Siu-lam gelisah. Tetapi kedua tokoh itu tetap tak mau hentikan pancaran lwekang.
Dalam gugupnya Siu-lam segera meminta Lam-koay Shin Ki supaya berhenti lebih dahulu.
Lam-koay Shin Ki juga tak kurang ganas dan anehnya dari Pak-koay. Dalam sejarah
perjalanan hidupnya, penuhlah dengan peristiwa-peristiwa berdarah dari beberapa tokoh
yang menjadi korbannya. Selama ini belum pernah ia tertarik pada orang dan belum
pernah pula berbahasa engkoh adik dengan orang.
Dia telah memperoleh ilmu kesaktian yang hebat dan telah pula mendapat nama yang
termahsyur. Akan tetapi diapun mengalami kehidupan yang sunyi. Dia tak pernah
mencintai seseorang. Hidupnya selalu diliputi oleh kesepian dan derita.
Seruan Siu-lam yang memanggilnya engkoh tadi, benar-benar telah menyentuh
sanubarinya. Dia merasa bahwa di dalam dunia ternyata masih ada seorang yang mau mengakuinya
sebagai saudara. Ia menghela napas panjang".
"Adik, hati-hatilah, aku hendak menarik Iwekangku!" serunya seraya mulai
menghentikan pancaran lwekangnya dengan pclahan.
Pak-koay Ui Lian memperhatikan dengan seksama. Ia mendapat kesan bahwa Lamkoay
Shin Ki tadi belum seluruhnya mengeluarkan lwekangnya. Sepuluh tahun yang lalu,
keduanya sama-sama diagungkan dunia persilatan sebagai momok yang sakti. Keduanya
sama-sama memiliki ilmu pukulan Cek-yan-ciang dan Hian-ping-ciang yang termashyur.
Dan berpuluh-puluh tahun kemudian kesaktian keduanya masih tetap berimbang. Diamdiam
jago dari utara itu menghela napas. la merasa bahwa dalam sekarang, tak mungkin
ia dapat memenangkan Lam-koay.
Akhirnya iapun menarik lagi lwekangnya. Siu-lam berbangkit dan memberi hormat pada
kedua tokoh itu: "Shin toako dan Ui locianpwe. Harap menyalurkan napas dulu lalu kita
akan keluar menyambut kedatangan orang Beng-gak!"
Lam-koay Shin Ki loncat bangun seketika. "Uh, perlu apa harus menyalurkan napas,
sekarang juga berangkat!"
Pak-koay Ui Lian pun tak mau unjuk kelemahan. Ia juga loncat bangun.
"Tapi anak buah Beng-gak masing-masing memiliki kepandaian sakti. Terutama
pemimpinnya, ilmu kepandaiannya telah mencapai kesempurnaan. Baiklah jiwi berdua
kembali bernapas untuk memulihkan kesegaran semangat baru nanti kita menyambut
mereka," Siu-lam agak gelisah.
Lam-koay Shin Ki tertawa tergelak: "Tak perlu saudara mencemaskan diriku.
Percayalah, berjalan seratus langkah saja, tenagaku tentu sudah pulih kembali!"
Pak-koay Ui Lianpun menyambutnya: "Itu bukan hal yang mengherankan. Tak perlu
dipamerkan pada seorang yang masih hijau!"
Kuatir keduanya akan cekcok lagi, buru-buru Siu-lam meminta agar Lam-koay Shin Ki
jangan meladeni ucapan Pak-koay Ui Lian. Dan Lam-koay pun menurut.
Namun Pak-koay Ui Lian masih mengomel: ''Huh, apa itu lo-cianpwe atau tidak locianpwe.
Apakah mulutmu tidak kaku mengatakan itu?"
Siu-lam tertegun, Tersipu-sipu ia memberi hormat: "Jika wanpwe salah, harap locianpwe
suka memberi maaf!" Tetapi Pak-koay segera berpaling muka dan pura-pura tak mau melihatnya. Siu-lam
hanya ketawa lalu ayunkan langkah. Setelah saling bertukar pandang, kedua tokoh itu
segera mengikuti Siu-lam.
Malam itu langit tiada bulan melainkan bertabur bintang. Angin pegunungan
menghembus, pohon hutan berderaian.
Tay Ih siansu bersama Tay To telah siap di ambang pintu gereja bersama dua puluh
orang anak muridnya yang dipilih dari angkatan kedua dan ketiga.
Melihat kedatangan Siu-lam, pejabat ketua Siau-lim-si itu segera menyambut: "Ah,
membikin repot sicu bertiga saja!"
Siu-lam balas memberi hormat tetapi tak mengucap apa-apa. Sebaliknya Lam-koay dan
Pak-koay menengadah memandang langit, tak mau mengacuhkan sama sekali.
Tetapi karena Tay Ih siansu tahu akan perangai kedua tokoh itu, iapun tak mau
menarik panjang urusan tata kesopanan itu. Bertanyalah ia dengan bisik-bisik kepada Siulam:
"Saat ini sudah tengah malam, mengapa orang Beng-gak belum tampak muncul?"
"Menurut pendapat wanpwe, tak mungkin orang Beng-gak itu akan ingkar janji...."
belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba terdengar suara harpa berbunyi.
Harpa itu melengking tinggi macam iblis menangis. Apalagi di saat tengah malam seperti
itu. Makin menyeramkan sekali.
"Itulah mereka!" kata Siu-lam, "tempo hari wanpwee pun pernah mendengar suara
musik semacam itu ketika di Beng-gak!"
Memandang ke sekeliling, tampak anak murid Siau-lim-si yang berada di situ, sama
mengenakan pakaian warna warni. Kecuali Tay Ih siansu dan Tay To siansu yang tetap
mengenakan jubah paderi, kedua puluh empat anak murid Siau-lim-si itu sama
mengenakan pakaian ringkas warna kelabu tua. Mereka sama membekal senjata dan
senjata rahasia lainnya. Ada yang menyelip golok kwat-to, pedang pendek, tongkat sianciang.
Dan yang paling aneh adalah senjata yang disiapkan oleh dua orang paderi muda.
Yang seorang membawa senjata berbentuk seperti bunga teratai dan yang seorang
membawa senjata semacam sekop tujuh batang jumlahnya.
Sebenarnya para paderi Siau-lim-si tidak pernah menggunakan senjata rahasia. Hal itu
mengunjukkan bahwa Siau-lim-si telah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk
menyambut musuh. Mereka akan berjuang mati-matian.
Suara musik macam ringkikan iblis itu makin lama makin dekat. Dan pada lain saat dari
dalam hutan siong di sebelah muka muncul tiga buah lentera berwarna hijau.
Tay Ih siansu beri isyarat tangan dan kedua puluh empat paderi murid Siau-lim-si itu
segera berpencaran. Siu-lam berkata bisik-bisik: "Anak buah yang meniup seruling dan memetik harpa itu,
wajahnya seram seperti bangsa setan."
Tay Ih siansu berpaling menatap anak muda itu, ujarnya: "Apabila mereka muncul,
harap Pui sicu yang bicara. Apabila perlu, baru loniakan ikut bicara."
Sambil merabah ke arah pedang Pek-kau-kiam yang tersangkut di bahunya, Siu-lam
menghela napas sesal: "Sayang sekali, pedang pemberian locianpwe yang sebatang telah
hilang...." "Ceng-liong-kiam dan Pek-kau-kiam sudah menjadi milik Pui sicu. Loni tak berhak
mengurus lagi." Dalam pada itu suara musik tadi pun berhenti. Tetapi keempat lentera hijau tadi cepatcepat
menghampiri datang. Kiranya keempat lentera hijau itu mengiringkan sebuah tandu yang beratap kuning.
Empat lelaki gagah perkasa memanggul tandu itu. Wajah mereka bercontrengan tak
keruan bentuknya. Dalam beberapa kejap saja, tandu itu sudah tiba.
Keempat tukang tandu wajahnya dilumuri bedak merah dan putih. Dan mereka masingmasing
mencekal sebatang tongkat gok-song-pang. Dalam malam sesunyi itu, mereka
tampak makin menyeramkan sekali.
Di belakang tandu kuning itu, terdapat berpuluh-puluh pengiring yang terbagi menjadi
dua deret. Masing-masing mengawal tandu dari sebelah kanan dan kiri.
Dan pada kedua samping tandu itu, terdapat dua orang gadis yang cantik sekali. Yang
di sebelah kanan seorang gadis berpakaian warna merah, mencekal kebut hud-tim dan
punggung menyanggul pedang pusaka Ceng-liong-kiarn milik Siu-lam.
Di dalam rombongan Beng-gak itu Siu-lam tak mendapatkan Bwe Hong-swat si nona
baju putih. Kalau demikian, cerita si nona baju merah bahwa Hong-swat telah mati dalam
kawah gunung berapi, memang benar. Diam-diam pemuda itu menghela napas. Sebertik
kedukaan telah mengembang dalam sanubarinya.
Tiba-tiba dari dalam tandu terdengar suara wanita berseru: "Suruh mereka mengutus
orang wakil yang berhak penuh, kemari menghadap aku!"
Hebat benar kata-kata wanita dalam tandu itu. Seolah-olah sekian banyak paderi Siaulim-
si dan Siu-lam, tak dipandang mata sama sekali.
Tay Ih siansu mempersilahkan Siu-lam yang tampil ke muka.
Tetapi Siu-lam menolak. Sebagai pejabat ketua Siau-lim-si, selayaknya Tay Ih siansu
yang maju. Ketua Siau-lim-si itu tersenyum: "Kalau begitu marilah kita berdua bersama-sama
menemuinya!" Siu lam mengiyakan. Tetapi baru berapa langkah, tiba-tiba ia berhenti. Pikirnva: "Ah,
tak boleh kita dikuasai mereka"."
"Lo-siansu, sebaiknya suruh dia saja yang datang kepada kita," katanya kepada Tay Ih.
Tay Ih siansu tertawa. Pada waktu ia hendak membuka mulut, tiba-tiba si nona baju
biru yang berdiri di sebelah kiri tandu, berseru nyaring: "Hai, apakah di antara kalian
sudah tak ada manusia yang masih hidup". ?"
Tay Ih siansupun menyahut dengan nyaring: "Harap li-sicu jangan menyinggung
perasaan orang." Nona baju merah tertawa dingin: "Sebelum terang tanah nanti, jangan harap gereja
Siau-lim-si terdapat manusia hidup. Toh kalian bakal mati semua maka, tak apalah kalau
dimaki sedikit dulu!"
Terhadap nona yang bermulut tajam itu, Tay Ih siansu benar-benar tak dapat
menjawab. Rupanya Siu-lam tahu akan perasaan Tay lh. Sebagai seorang paderi berkedudukan
tinggi sudah tentu Tay Ih tidak mau menurunkan gengsi untuk melayani seorang nona
yang tak kenal aturan semacam itu.
Akhirnya ia terpaksa menampilkan diri, serunya: "Siapa yang akan mati, belumlah dapat
diketahui. Sebelum berbukti, diharap nona jangan kelewat bicara meliar!"
Si nona baju biru melengking: "Kematian sudah berada di depan mata, masih tiada
tahu aturan! Tidak usah banyak mulut, lekas suruh paderi itu keluar berbicara!"
Siu-lam menengadah ke langit dan tertawa nyaring: "Budak bermulut tajam, karena
engkau tak berhak bicara, maka suruhlah suhumu keluar bicara!"
"Siapa yang bernyali besar itu?" tiba-tiba dalam tandu terdengar suara lemah dingin
dari seorang wanita. "Pemuda liar yang memikat sam-sumoay tempo hari," si nona baju biru menyahut
dengan hormat sekali. Kain penutup tandu tersingkap dan keluar seorang wanita baju kuning. Wanita itu
cantik sekali. "Hong-swat mempunyai mata tajam sekali. Tak pernah ia tertarik pada orang lelaki.
Bahwa seorang gadis semacam Hong-swat sampai tertarik perhatiannya dan berani
mengkhianati aku, aku wajib melihat bagaimana tampang muka pemuda itu!"
Dari nada ucapannya itu, jelas bahwa si putih Hong-swat memang pernah disayang
suhunya. Kemunculan wanita cantik dari tandu itu telah menggemparkan sekalian paderi Siaulim-
si. Dalam bayangan mereka, wanita pemimpin Beng-gak yang ganas itu tentulah
seorang wanita yang berwajah seram sekali. Tetapi siapa tahu, orang yang ganas dan
kejam sekali itu ternyata hanya seorang wanita yang cantik sekali. Kecantikan wanita itu
jauh melebihi kedua muridnya, si nona baju merah dan baju biru.
Kira kira tiga empat meter di depan Siu-lam, wanita cantik itu berhenti. Ia melambaikan
tangannya kepada Siu-lam: "Kemarilah, aku hendak meneliti dirimu dengan seksama!"
Lemah gemulai lambaian tangan wanita itu, tetapi ternyata hebatnya bukan kepalang.
Paderi yang berjajar di belakang Tay Ih siansu, tersirap darah mereka. Bahkan Tay To
sendiri pun berubah semangatnya. Hanya Tay Ih siansu yang hebat lwekangnya, tetap
dapat menguasai dirinya. Siu-lam maju tiga langkah.
Melihat pemuda itu berhenti, Wanita cantik kerutkan alis dan berkata dengan dingin:
"Di dalam dunia tiada manusia yang berani menentang perintahku! Karena kusuruh kau
maju ke hadapanku, tentu aku tak mau mencelakai dirimu. Terhadap seorang budak
semacam kau, perlu apa aku harus menggunakan tipu muslihat!"
Kalau ditilik wajahnya, wanita cantik itu baru berusia dua puluhan tahun umurnya. Tapi
nada ucapannya garang sekali.
Sambil kerahkan semangat, Siu-lam menyahut: "Menilik nada ucapanmu, kau tentulah
pemimpin Beng-gak!" Si cantik itu tertawa melengking: "Benar!"
"Waktu berkunjung ke Beng-gak dahulu, aku tak sempat bertemu dengan pemimpin
Beng-gak. Tak kira malam ini aku dapat menjumpainya!"
Wanita cantik itu kerutkan alis tetapi tak berkata apa-apa. Agaknya ia tak mau
menurunkan gengsinya untuk adu mulut dengan seorang pemuda.
Tiba-tiba Siu-lam tertawa nyaring: "Sejak lolos dan neraka Beng gak, aku sudah tak
memikir soal mati hidup lagi. Jika Gak-cu mengira begitu, terang salah hitung!"
Sambil memandang ke arah Lam-koay dan Pak-koay, wanita cantik itu berseru: "Hm,
nyalimu besar sekali berani menentang aku!"
"Ah, Gak-cu salah paham."
Ketua Beng-gak yang cantik itu maju selangkah ke hadapan Siu-lam.
"Siapa namamu?" wanita cantik itu tiba-tiba melangkah maju.
"Pui Siu-lam!" Wanita itu maju selangkah lagi dan bertanya dingin: "Kau kenal Bwe Hong-swat?"
"Tidak hanya kenal, tetapi pun mempunyai sumpah menjadi kawan hidup sampai aki
nini," tiba-tiba Siu-lam merasa telah kelepasan omong. Namun sudah terlanjur.
Sebenarnya ia hendak membikin panas hati orang, maka sembarangan saja ia
menyahut. Diluar kesadaran ia telah menyesal karena kelepasan omong. Tetapi tak
apalah. Karena nona itu toh sudah meninggal dunia.
Wanita cantik itu tertawa dingin: "Tahukah engkau bahwa dia sudah mati terkubur di
dalam perut gunung berapi?"
"Tentu engkau yang menyebabkannya!" sahut Siu-lam.
Wanita itu tersenyum: "Sudah banyak tahun tiada orang yang berani bersikap sekasar
engkau kepadaku. Nyalimu sungguh besar. Hendak kutawanmu hidup-hidup dan
kucemplungkan ke dalam bawah gunung berapi itu, agar benar-benar merupakan sejoli
yang sehidup semati!"
Kata-kata yang tak sengaja dilepaskan oleh wanita cantik itu, ternyata mempunyai
akibat baik bagi Siu-lam. Karena dengan begitu anak buah Beng-gak tak berani
melukainya. Pada saat Siu-lam berbicara dengan si wanita cantik berbaju kuning itu, Tay Ih siansu
berpaling kepada para paderi. Melihat mereka sampai menumpahkan perhatian kepada
wanita cantik itu, Tay Ih menghela napas.
Segera ia membisiki Tay To: "Harap sute masuk ke dalam gereja dan suruh mereka
menyanyikan doa-doa kitab suci. Nyanyikan berulang-ulang sampai nanti musuh mundur
atau seluruh paderi Siau-lim-si hancur binasa semua!"
Mendengar perintah sang suheng yang bernada keras itu, tergetarlah hati Tay To
siansu. Ia segera melakukan perintah. Kiranya Tay To sendiripun terpikat semangatnya
oleh wajah cantik baju kuning yang gilang gemilang itu. Ucapan Tay Ih siansu bagaikan
lonceng bergema menyadarkan semangatnya yang terhanyut itu. Buru-buru ia melangkah
masuk ke dalam gereja bersama rombongan paderi.
Dalam pada itu si wanita baju kuning melangkah maju setindak lagi sehingga Siu lam
terpaksa mundur dua langkah dan mencabut pedang Pek-kau-kiam.
Dalam malam yang pekat, pedang pusaka itu memancarkan sinar berkilauan.
Senyum tawa yang menghias wajah wanita itu lenyap berganti dengan kerut wajah
yang menampilkan kerut pembunuhan. Dipandangnya pedang Siu-lam dengan berapi-api
kemudian tertawa hambar: "Ah, tak kiranya pedang Pek kau-kiam jatuh ke dalam
tanganmu!" Siu-lam terkejut dalam hati. Mengapa begitu luas pengetahuan dan pengalaman wanita
tua itu. Sekali lihat saja ia sudah tahu nama pedang yang dicekalnya. Padahal pedang Pekkau-


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kiam itu sudah puluhan tahun tak pernah muncul di dunia persilatan.
Mencapai pada pemikiran itu, Siu-lam mempunyai perasaan heran tercampur ragu. Jika
benar wanita cantik itu ketua dari Beng-gak, tentu dia sudah berumur enam puluhan
tahun. Sekalipun wanita itu memiliki lwekang yang sempurna, tak mungkin dia dapat
menjaga awet muda dan memelihara kecantikannya yang masih sedemikian menyilaukan"
Jilid 28 KERAGUAN itu menyebabkan ia memandang lebih lama lagi kepada si wanita baju
kuning lalu berkata dengan nada dingin: "Pengetahuan beng-cu luas sekali. Memang
pedangku ini pedang Pek-kau kiam!"
Wanita baju kuning menyahut: "Pedang itu termasuk pedang pusaka yang luar biasa
tajamnya. Pinjamkanlah kepadaku semalam saja untuk membasmi kawanan paderi Siaulim-
si...." Menengadah ke langit memandang bintang-bintang yang bertaburan, ia berkata
seorang diri: "Ah, masih ada waktu beberapa saat lagi. Sebelum lewat pukul satu, kami
takkan turun tangan!"
"Harap beng-cu berhenti. Jika masih terus melangkah maju, jangan salahkan aku...."
Wanita itu menatap wajah Siu-lam dengan lekat-lekat: '"Engkau mau apa-apa?"
Siu-lam rasakan pandangan mata wanita itu setajam pisau sehingga menimbulkan rasa
gemetar dalam hati. Mau tak mau ia mundur selangkah lagi: "Maaf, aku terpaksa
bertindak!" Wanita cantik baju kuning itu tertawa tawar. Perlahan-lahan ia beralih memandang ke
arah Lam-koay dan Pak-koay. Ancaman Siu-lam tak diacuhkan.
Tiba-tiba mata Siu-lam tertumbuk akan suatu pemandangan yang aneh. Dari jauh
muncul titik-titik sinar hijau yang berkelip- kelip macam phosporus atau api setan.
Cepat sekali puluhan api biru itu tiba di muka gereja Siau-lim-si. Siu-lam terkejut dan
cepat dapat menduga. "Bukankah percikan api biru yang mendatangi itu anak buah bengcu?" tanyanya kepada
wanita itu. Tetapi mata si wanita baju kuning tetap melekat kepada Lam-koay dan Pak-koay. Ia
hanya menyahut seenaknya saja: "Benar!"
Tiba-tiba dari dalam gereja terdengar suara tambur dipalu keras sehingga suaranya
berkumandang jauh sampai ke lembah.
Wanita baju kuning itupun kerutkan alisnya. Kini ia beralih memandang Tay Ih siansu,
tegurnya: "Menilik sikapmu, kiranya engkaulah yang memegang pimpinan gereja ini?"
Dengan wajah bersungguh, Tay Ih menyahut: "Tak perlu engkau tanyakan siapa Ioni.
Tetapi segala urusan Siau-lim-si, loni dapat memutuskan!"
Wanita baju kuning tertawa dingin: "Hanya tinggal sedikit saja waktunya, apakah
engkau belum mengambil keputusan?"
"Loni tak mengerti apa arti ucapan li-sicu!"
"Dengan begitu rupanya engkau hendak mempertaruhkan jiwa dari seluruh paderi Siaulim
si dan memutuskan untuk bertempur?" seru wanita baju kuning itu.
"Siau-lim-si sudah beratus tahun berdiri. Entah berapakah Siau-lim-si mengalami badai
percobaan, tetapi nyatanya sampai sekarang masih tetap berdiri. Loni percaya, li-sicu
tentu sudah berusaha sepenuh tenaga untuk mengerahkan seluruh anak buah Beng-gak,
namun Siau-lim-si pun akan berusaha supaya jangan sampai lebur di tangan li- sicu!"
Kembali wanita baju kuning itu tertawa dingin. Melirik ke arah Lam-koay dan Pak-koay,
ia berseru: "Ah, rupanya engkau mengandalkan kedua orang itu untuk mempertahankan
Siau-lim-si?" Lam-koay dan Pak-koay sejak tadi hanya berdiam diri saja. Saat itu rupanya Pak-koay
Ui Lian tak dapat bersabar lagi. la tertawa dingin, serunya: "Sesuka hatimu kalau engkau
hendak jual lagak di depan orang lain, tetapi di hadapanku jangan banyak tingkah!"
"Jika ingatanku tak salah, bukankah kalian ini yang disebut Lam-koay dan Pak-koay?"
seru si wanita baju kuning.
"Kalau benar lalu bagaimana?" sahut Lam-koay.
"Lam-koay dan Pak-koay sejak dahulu ibarat air dan dan minyak yang tak dapat
berkumpul. Aneh, mengapa hari ini kalian begitu mesra"''
"Orang muda mengapa begitu tak kenal adat kalau bicara!" dengus Pak-koay.
Tiba-tiba wanita baju kuning itu tertawa mengejek: "Kupanggil lo-cianpwe pada kalian
hanya sekedar memenuhi tata kesopanan saja. Tetapi jangan kira kalau aku takut
denganmu berdua!" Diam-diam Siu-lam membatin: "Rahasia diri ketua Beng-gak ini, hanya terdengar dalam
cerita-cerita orang saja. Bagaimana keadaan yang sebenarnya, mungkin sedikit sekali
orang persilatan yang tahu. Agaknya Lam-koay dan Pak-koay ini tahu tentang diri wanita
itu. Ah, ini suatu kesempatan untuk menyelidiki!"
Setelah memperoleh pemikiran itu segera ia bertanya kapada Lam-koay: "Shin toako,
apakah engkau tahu tentang riwayat wanita itu?"
Ia tak mau bertanya kepada Pak-koay Ui Lian karena tokoh itu bersikap tak baik
kepadanya. Ia kuatir akan mendapat jawaban yang getas.
Lam-koay Shin Ki tertawa nyaring: "Adik yang baik, pertanyaanmu tepat sekali. Selain
engkoh, kiranya dewasa ini tiada orang yang tahu akan riwayatnya...."
Pak-koay mendengus dingin: "Ha, jangan suka menepuk dada. Masih ada orang lain
yang tahu juga!" "Lalu apa maksudmu?" Lam-koay murka.
Sambil mengusap janggutnya, Pak-koay tertawa mengejek: "Selama aku hadir, jangan
harap kau dapat menepuk dada!"
Melihat mereka hendak bertengkar buru-buru Siu-lam menyeletuk: "Shin toako, siaute
benar-benar ingin selekasnya mengetahui hal itu."
Lam-koay tertawa dingin: "Jangan kuatir tentang pertengkaran mulut ini. Kami berdua
sudah berpuluh tahun adu mulut, adu kepandaian. Ha ha" asal toako masih hidup,
jangan harap si tua Ui Lian itu mampu menjadi raja di dunia persilatan"."
"Jika Ui tua ini belum mati, kau pun jangan mimpi dapat bersimaharajalela di dunia
persilatan!" teriak Pak-koay Ui Lian.
"Tak apa, toh kita harus ada salah satu yang mati!" sahut Lam-koay Shin Ki.
"Entah siapakah nanti!" sambut Pak-koay.
Wanita cantik baju kuning yang sejak tadi berdiam diri, tiba-tiba mendengus dingin:
"Hm, jika kalian hendak membantu Siau-lim-si, jelaslah kalau Lam-koay dan Pak-koay
kedua-duanya akan binasa semua!"
Sekali pun Lo Hian hidup lagi, dia tak nanti berani berlaku kurang adat di hadapanku.
Apalagi kau seorang perempuan muda berani memandang rendah kepadaku!" teriak Pakkoay
dengan marah. Wanita baju kuning itu tertawa mengikik: "Dahulu bukankah kalian berdua sewaktu
mengeroyok si imam hidung kerbau, hanya mampu bertahan sampai seratus jurus saja"
Tetapi sekarang seratus jurus aku hendak menjadikan kalian berdua bangkai yang tak
bernyawa lagi!" Lam-koay dan Pak-koay benar-benar murka sekali mendengar hinaan itu. Dengan dan
rambut kedua tokoh itu sampai meregang kaku. Rupanya kedua tokoh itu hendak turun
tangan". Saat itu kegentingan makin memuncak. Siu-lam menyadari bahwa sekali kedua tokoh
Lam-koay dan Pak-koay turun tangan, tentu akan berjuang mati-matian.
Tetapi pertempuran itu bukanlah merupakan soal pertempuran memperebutkan nama
antara Lam-koay Pak-koay lawan ketua Beng-gak, tapi menyangkut nasib seluruh kaum
persilatan. Maka Siu-lam mempunyai rencana untuk memikat rombongan Beng-gak ke
dalam gereja. Di sana, delapan ratus paderi Siau-lim-si sudah siap dengan barisan Lo-hanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tin. Daripada bertempur satu persatu, lebih baik rombongan Beng-gak itu dihancurkan
dalam barisan itu. "Edaran bengcu dengan jarum untuk mengundang segenap kaum persilatan hadir ke
Beng-gak ternyata suatu perangkap untuk menghancurkan mereka agar bengcu dapat
menguasai dunia persilatan. Rencana itu benar-benar ganas sekali."
Baru Siu-lam belum melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba wanita baju kuning itu
lambaikan tangannya dan menukas: "Majulah selangkah kemari!"
Di luar kehendaknya, tiba-tiba Siu-lam rasakan tubuhnya seperti tersedot oleh suatu
gelombang tenaga kuat sehingga ia melangkah maju selangkah.
Saat itu dia hanya terpisah tiga-empat langkah dari wanita cantik itu. Hawa harum
yang semerbak dari pakaian wanita baju kuning itu mendampar ke hidungnya sehingga ia
seperti orang mabuk. Tiba-tiba terdengar nyanyian keagamaan yang dilantangkan oleh paderi-paderi Siaulim-
si. Bermula nadanya rendah dan pelahan tetapi makin lama makin melengking tinggi.
Dalam malam yang sunyi seperti saat itu, nyanyian itu berkumandang jauh sekali. Penuh
dengan doa puji kewelasan budi tetapi pun mengandung suatu pancaran hawa yang
perkasa. Ketika nyanyian bersama dari paderi-paderi itu bersama, kedua puluh empat paderi
pilihan yang berada di belakang Tay Ih dan Tay To siansu, seketika seperti terbangun
semangatnya. Wanita baju kuning itu kerutkan dahi dan berseru nyaring; "Saat ini hanya tinggal
seperminuman teh dari waktu yang telah kami janjikan. Kalian masih mempunyai
kesempatan untuk mempertimbangkan keputusan menyerah atau melawan!"
Nadanya tandas dan tajam sehingga menembus gemuruh kumandang nyanyian,
langsung menyusup ke dalam telinga setiap orang.
Buru-buru Tay Ih siansu kerahkan tenaga murni untuk menahan getaran hatinya.
Kemudian berserulah ia menjawab: "Sejak gereja Siau-lim-si didirikan oleh kakek guru Tat
Mo sucou, sudah beratus tahun menyebarkan dharmanya. Memang sudah berulang kali
Siau-lim-si mengalami badai goncangan, tetapi selama itu tak pernah menyerah kepada
musuh." Wanita baju kuning berpaling ke belakang. Tampak gerombolan sinar hijau tadi sudah
tiba pada jarak satu li. Kini samar-samar kelihatan bahwa hamburan sinar hijau itu
merupakan sosok-sosok tubuh orang.
Wanita baju kuning itu tertawa dingin, serunya: "Jika tiada kedua Lam-koay dan Pakkoay
ini, kemungkinan kalian tentu tak berani menentang kehendak Beng-gak. Karena
sedangkan Tay Hong yang menjadi ketua Siau-lim-si saja pun tak berani kepadaku. Kalian
kan tahu sendiri. Tentunya tak perlu aku bicara panjang lebar, kalian sudah harus sadar.
Sekali lagi kuberi peringatan yang terakhir, apabila lonceng berbunyi satu kali,
pembunuhan besar-besaran segera akan berlangsung. Semua paderi Siau-lim-si besar
kecil tua muda takkan diberi hidup lagi. Pikirlah dahulu masak-masak sesal kemudian tak
berguna!" Siu-lam tertawa dingin, sambutnya: "Siau-lim-si sudah bersedia menyambut?" ia
menengadahkan kepala dan menghela napas, katanya lebih lanjut: "Kemungkinan akan
merupakan suatu pertempuran yang paling mengerikan. Tetapi bagaimana kesudahannya,
masih sukar ditentukan. Delapan ratus paderi Siau-lim-si yang berkepandaian tinggi, telah
bertekad bulat untuk menyerahkan jiwa raga demi membela gereja. Mereka telah
mengikhlaskan nyawa. Apabila partay-partay persilatan lain, pun segera akan mengirim
bala bantuan ....." Siu-lam sengaja memamerkan kekuatan itu agar dapat mengganggu ketenangan
musuh itu dan membesarkan semangat kawan-kawannya.
Wanita baju kuning itu tertawa melengking, serunya: "Bagus, jika jago-jago partay
persilatan itu segera tiba kemari, itulah lebih baik karena dapat menghemat waktu dan
tenaga untukmencarinya."
Sekonyong-konyong wanita itu gerakkan tangan menyambar lengan kanan Siu-lam.
Gerakannya secepat kilat.
Namun Siu-lam sekarang bukanlah Siu-lam pada beberapa waktu yang lalu ketika
datang ke gunnng Beng-gak. Apalagi ia sudah bersiap. Dua kali tersedot oleh lambaian
tangan Wanita tadi, ia telah meningkatkan kewaspadaan dan kekuatan. Secepat wanita itu
gerakkan tangan, Siu-lampun cepat meloncat mundur dua tiga langkah. Pedang Pek-kaukiam
sudah tergenggam di tangannya.
Wanita baju kuning itu tertegun. Pada lain saat ia tertawa hambar: "Bagus, mampu
menghindar dari cengkramanku, berarti kepandaianmu cukup berharga!"
Siu-lam mengangkat tangan memberi hormat: "Ah, jangan kelewat memuji. Rasanya
saat ini sudah saatnya. Kami akan menunggu di dalam gereja!" habis berkata ia terus
berpaling kepada Tay Ih siansu: "Siansu, mari kita masuk ke dalam!"
Ternyata pejabat ketua Siau-lim-si itupun mempunyai rencana yang sama dengan Siulam.
Bertempur di luar gereja tidak menguntungkan. Jika terkepung musuh, tentu sukar
masuk ke dalam gereja kembali. Di dalam gereja dapat mengerahkan barisan untuk
menembus kekuatan musuh. Maka ia mengiyakan.
Tay To siansu segera memberitahukan perintah Tay Ih siansu kepada sekalian
rombongan paderi. Tay To sendiri segera kerahkan tenaga murni. Tadi karena
terpengaruh oleh kecantikan wanita itu, semangatnya hampir melayang. Maka sekarang
tidak berani lagi memandang wanita baju kuning itu.
Nyanyian dari gereja tadi, banyak membantu menyegarkan semangat rombongan
paderi yang mengikuti Tay Ih siansu. Betapapun wanita baju kuning itu hendak
mempengaruhi mereka dengan kecantikan wajahnya yang cemerlang dan senyumnya
yang meruntuhkan iman, namun rombongan paderi itu tetap teguh laksana baja.
Sambil bersiap dengan pedang Pek-kau-kiam, Siu-lam berkata bisik-bisik kepada Tay
Ih: "Harap lo-siansu memimpin para paderi masuk ke dalam gereja. Biarlah wanpwe
bersama Shin dan Ui locianpwe yang mengawal di belakang!"
Tay Ih percaya kepada anak muda itu.Selain memiliki silat tinggi pun cerdik. Apalagi
ditemani oleh Lam-koay dan Pak-koay. Tentu takkan menderita. Maka segera ia
menyahut:"Baiklah, akan kulaksanakan perintahmu, Pui sicu!"
Siu-lam tertegun, serunya tergesa: "Ah, ucapan lo-siansu kelewat berat, wanpwe
sungguh tak berani menerima!"
Tetapi Tay Ih tak mau melayani. Segera ia memimpin anak buahnya masuk ke dalam
gereja. Siu-lampun mundur empat langkah, berdiri di samping Lam-koay dan Pak-koay.
Wanita baju kuning itu tertawa dingin: "Tak usah kalian begitu tegang. Beng-gak gakcu
selalu menepati ucapannya. Selama belum pukul satu aku belum turun tangan!"
Ketika memandang ke muka, Siu-lam melihat rombongan api hijau tadi sudah berada
sepuluhan tombak jauhnya. Setiap api hijau yang ternyata sebuah lentera diiringi lima
puluhan orang yang berpakaian warna-warni, merah, kuning, biru, putih, hitam. Wajah
merekapun bercontrengan macam setan. Rombongan itu berhenti di belakang tandu
kuning. Siu-lam segera menduga bahwa rombongan anak buah Beng-gak itu dibagi menjadi
lima buah rombongan. Tiap rombongan dipimpin oleh lentera. Karena setiap rombongan
mengenakan pakaian sewarna, maka mereka sudah dikenali.
Diam-diam Siu-lam heran mengapa mereka tak dibagi dalam empat rombongan. Karena
empat itu mudah dan leluasa untuk menghadapi serangan musuh dari empat jurusan.
Tetapi ia yakin pemecahan barisan menjadi lima rombongan itu tentu mengandung arti.
Ketika mengerling mata, Siu-lam dapatkan Lam-koay dan Pak-koay tengah terkesiap
memandang wanita baju kuning tadi. Pandangannya macam orang terkena pesona. Diamdiam
Siu-lam heran, pikirnya: Ditilik dari pembicaraan kedua tokoh itu tadi, mereka
agaknya pernah bertempur dengan Lo Hian. Dan wanita itu tentu menyaksikan
pertempuran itu. Sebagai tokoh yang lebih tua tetapi tampaknya kedua tokoh itu jeri
terhadang wanita baju kuning tentulah ada sebab musababnya!"
Bermula Siu lam hendak meminta penjelasan tetapi karena melihat wajah Lam-koay
dan Pak-koay amat tegang, tak berani ia membuka mulut bertanya.
Tetapi nyanyian dari dalam gereja itupun masih berkumandang. Dan nyanyian itu
benar-benar memberi ketenangan.
Kemudian Siu-lam melihat Tay ih siansu dan rombongannya sudah masuk ke dalam
gereja. Dan saat itu malam makin larut. Segera ia berseru nyaring: "Siau-lim-si sudah
menyiapkan barisan Lo-han-tin menunggu kedatangan bengcu!"
Rupanya wanita yang menjadi ketua Beng-gak itu mempunyai kesan bahwa Siau-lim-si
memang bukan tempat sembarang yang mudah diinjak-injak. Dan kehadiran Lam-koay,
Pak-koay di situ pun di luar perhitungannya. Maka ia tampak berdiri tegak tak bicara apaapa.
Ketika Siu-lam berseru itu, barulah ia tersadar. Serunya dingin; "Mungkin masih ada
beberapa saat lagi sebelum pukul satu malam itu tiba. Dan selamanya aku selalu
menepati janji. Sebelum kentongan berbunyi satu kali, silahkan kalian mempersiapkan
segala apa saja. Aku takkan menyerang. Dan andaikata engkau takut, silahkan mundur ke
dalam gereja dan siapkan pertahanan yang engkau rasa mampu melawan serangan Benggak!"
Siu-lam berpaling pada Lam-koay dan-Pak-koay. Diajaknya kedua tokoh itu masuk ke
dalam gereja. Kedua tokoh itupun mengikuti masuk juga.
Sikap kedua tokoh aneh itu jauh berlainan dari perangai mereka yang biasanya. Hal itu
menyebabkan Siu-lam agak heran: "Aneh, mengapa begitu bertemu dengan wanita baju
kuning sikapnya yang congkak mendadak turun beberapa derajat. Rupanya kedua tokoh
itu jeri kepada ketua Beng-gak. Ah, Lo Hian benar-benar sakti sekali. Orangnya sudah
lenyap berpuluh tahun, tapi namanya tetap ditakuti orang. Bahkan muridnypun ikut
ditakuti," pikirnya.
Dalam pada itu, tibalah mereka di muka pintu gereja. Sekonyong-konyong terdengar
suara lengking wanita pemberi perintah. Dan seketika terdengarlah murid melengkinglengking
tinggi seperti hantu menangis di pekuburan...."
Suara itu bercampur baur dengan nyanyian gereja, merupakan perpaduan musik yang
membisingkan telinga karena tidak serasi sekali.
Siu-lam berhenti dan berpaling ke belakang. Tampak kelima rombongan Beng-gak yang
berbeda-beda seragamnya itu, mulai bergerak ke arah gereja. Tetapi wanita baju kuning
itu tetap tak bergerak, begitu pula para pengiringnya.
Tay Ih siansu, demi menjaga keselamatan Siu-lam, begitu anak muda itu tiba di muka
pintu, Tay Ih segera siapkan duapuluh satu anak murid Siauilim-sie untuk menjaga
kemungkinan orang Beng-gak akan bergerak menyerang.
Tapi ternyata wanita baju kuning itu tak memperlihatkan tanda menurunkan tangan
secara gelap. Saat itu Siu-lam berhenti lagi di depan pintu untuk meneropong kekuatan musuh.


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi segera ia ditarik masuk oleh Tay Ih siansu: "Pui sicu. musuh sudah berada di luar,
lebih baik jangan lengah!"
Siu-lam tertawa dan menanyakan bagaimana persiapan yang telah diatur Tay Ih.
Kemudian ia meminta keterangan tentang tugas yang harus dilakukannya.
Kata Tay Ih: "Sicu bersama Shin dan Ui cianpwe, tetap merupakan poros penting untuk
menyambut musuh. Kalah menangnya pertempuran nanti, sebagian besar tergantung
pada kalian bertiga. Dalam hal itu, loni tak mampu menetapkan tugas-tugas sicu bertiga.
Terserah bagaimana sicu hendak mengatur sendiri!"
Siu-lam memandang ke arah kedua tokoh aneh itu dan berkata dengan nada
bersungguh: "Karena locianpwe berdua sudah berjanji hendak membantu aku dan saat ini
musuh sudah tiba di depan mata, maka sekali lagi kuharap lo-cianpwe berdua benar-benar
menepati janji danmembantu dengan seluruh tenaga!"
Lam-koay Shin Ki deliki mata. "Sudah tentu! Karena kita berdua sudah bagai kakak
beradik, dengan sendirinya aku tentu akan membantu segenap tenaga!"
Sebaliknya dengan tertawa dingin Pak-koay Ui Lian mendengus: "Sekali aku sudah
berjanji hendak membantumu, tetapi tiada disertai syarat harus dengan seluruh
tenagaku!" Siu-lam kerutkan alis, pikirnya: "Dalam pertempuran nanti, walaupun inti kekuataan
Siau-lim-si terletak pada barisan Lo-han-tin tetapi pada akhirnya di dalam menghadapi
ketua Beng-gak dan beberapa anak buahnya yang sakti, tentu harus mengandalkan
kesaktian. Dengan demikian Lam-koay dan Pak-koay merupakan tenaga-tenaga penting
yang akan menentukan kalah menangnya pertempuran ini. Jika aku tak dapat membujuk
Ui Lian supaya membantu dengan sepenuh tenaga. Karena kalau hanya Lam-koay Shin Ki
seorang saja, sukarlah untuk mengatasi musuh."
Serentak timbullah pikiran Siu-lam, ujarnya sambil tertawa dingin: "Jika lo-cianpwe
takut kepada wanita ketua Beng-gak itu, akupun tak berani memaksa dan marilah
kuantarkan lo-cianpwe beristirahat lagi di dalam kamar batu!"
Mendengar itu mata Pak-koay Ui Lian membalik: "Apa" Engkau hendak menjebloskan
aku ke dalam ruang batu di bawah tanah itu lagi?"
"Benar!" sahut Siu-lam, "demi kepentingan lo-cianpwe, aku sungguh kuatir kalau
locianpwe berada di luar!"
Pak-koay Ui Lian tertawa nyaring: "Engkau memang dapat membebaskan aku, tetapi
jika hendak menjebloskan diriku ke dalam penjara terkutuk itu, jangan harap engkau
mampu!" Sia-lampun balas tertawa nyaring: "Seorang manusia yang tak pegang janji, tentu akan
ditertawakan orang. Dan setelah mati, pun tetap akan menjadi buah tertawaan"."
Ia menengadah kepala dan tertawa pula:
"Jika dia hanya seorang manusia biasa, itu tak mengapa. Tetapi jika dia seorang tokoh
persilatan yang ternama, tentu lain halnya. Semua kaum persilatan tentu akan mendekap
hidung, menutup telinga jika mendengar namanya disebut"."
"Keparat! Siapa yang berani menertawakan aku!" teriak Pak-koay Ui Lian.
"Saat ini ada seseorang!" sahut Siu-lam dengan serempak.
"Siapa!" Ui Lian menjerit kalap seraya menghantam. Tetapi Siu-lam sudah bersiap-siap.
Begitu melihat dia hendak gerakkan tangan, cepat ia lindungkan tangan ke dada, siap
untuk menangkis. Tiba-tiba terdengar deru angin menyambur dan pada lain saat terdengar jeritan ngeri
disusul oleh sesosok tubuh yang terkapar di ambang pintu. Ternyata korban itu adalah
seorang anak buah Beng-gak dalam rombongan barisan bermuka setan. Mulut dan hidung
mengeluarkan darah, tubuh meregang kaku dan jiwanya amblas.
Ternyata Pak-koay Ui Lian dalam marahnya telah mengamuk. Tetapi pukulannya itu
tidak ditujukan kepada Siu-lam melainkan ke arah barisan anak buah Beng-gak. Hasilnya
seorang anak buah Beng-gak telah mati seketika.
Siu-lam diam-diam girang karena sudah dapat menundukkan hati Pak-koay. Hanya
karena watak tokoh itu memang aneh, sekalipun hatinya sudah menurut, tetapi mulutnya
tetap berat untuk menarik kembali pernyataan yangtelah diucapkan tadi. Yang jelas Pakkoay
Ui Lian sudah menyatakan akan membantu Siu-lam dengan sepenuh tenaga.
Buru-buru Siu-lam menghaturkan hormat, serunya: "Terima kasih atas ketajaman
pendengaran lo-cianpwe yang luar biasa. Jika lo-cianpwe tak bertindak, tentu salah satu
dari kita akan menjadi korban perbuatan serangan gelap dari anak buah Beng-gak itu!"
Diam-diam Pak-koay Ui Lian bangga mendengar pujian itu namun sikapnya tetap
sedingin es. Habis mendengus, ia palingkan muka.
Berkat kecerdasan otaknya, tahulah sekarang Siu-lam akan watak kedua tokoh aneh
itu. Dia tak menghiraukan sikap tawar dari Pak-koay itu. Kemudian berkata kepada Tay
Ih siansu: "Kami akan menjaga di belakang pintu. Hendak kami lihat dulu, siapakah yang
pertama masuk nanti!"
Tiba-tiba Lam-koay Shin Ki berkata: "Wanita baju kuning itu memang murid pewaris
dari Lo Hian. Dan dia merupakan murid tunggal dari Lo Hian. Ketika dahulu kami
bertanding dengan Lo Hian, dia masih seorang anak perempuan berumur dua belas tiga
belas tahun. Tidak nyana sekarang sudah begitu besar begitu kasar. Jika tadi dia tak
mengingat peristiwa pertempuran itu, tentu aku tak dapat mengenalinya lagi"."
Pak-koay Ui Lian pun tertawa menyambuti: "Pertandingan lawan Lo Hian itu sudah
terjadi empat atau lima puluh tahun yang lampu. Sudah tentu budak perempuan itu
sudah menjadi wanita berambut putih!"
"Tetapi nampaknya dia masih semuda orang yang berumur dua puluhan tahun saja.
Apakah dia bukan budak perempuan itu?"
"Ilmu kepandaian Lo Hian, tergolong pada ilmu kekerasan yang ganas. Ilmu itu
mengutamakan pemeliharaan tubuh agar awet muda dan tetap gagah. Karena budak
perempuan itu muridnya, sudah tentu mendapat pelajaran dalam ilmu menjaga awet
muda itu. Mungkin dua puluh tahun lagi dia akan tetap semuda itu tampaknya!"
Kali ini karena merasa ucapan Pak-koay itu beralasan, Lam-koay Shin Ki tak dapat
membantunya lagi. Ia tertawa dan berkata seorang diri: "Dua puluh tahun lagi" Ah,
kemungkinan dia malah lebih muda lagi tampaknya"."
"Brak?" tiba-tiba terdengar pintu gerbang yang bercat merah itu terpentang. Dan
seketika muncullah seorang lelaki tua berambut dan berjenggot putih, matanya tinggal
sebuah, tegak berdiri mencekal sebatang pedang pusaka. Ah" itulah Siau Yau-cu, jago
pedang nomor wahid dari Bu-tong-pay.
Di belakang jago tua itu bermuncullan Siu-chiu-kiau-in Su Bo-tun, Bu-ing-sin-kun Pek
Co-gi, Sin-to Lo Kun, Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat, Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong, Itciang-
tin-sam-siang Ngo Cong-han, Tui-hong-tiau Ngo Cong-gi dan lain-lain jago dari
daerah Kanglam dan Kangpak.
Rombongan jago-jago sakti yang ternama itu adalah anggota rombongan yag dahulu
menggempur Beng-gak. Tetapi saat itu ternyata telah ditundukkan ketua Beng-gak dan
dipergunakan mereka untuk menjadi barisan pelopor menggempur Siua-lim-si.
Betapa hebat dan ganas rencana wanita baju kuning itu. Jelas ia hendak
mengorbankan jago-jago sakti itu supaya menempur barisan Siau-lim-si. Apabila Siau-limsi
sudah kepayahan, barulah wanita baju kuning itu turun tangan menyelesaikan".
Siu-lam menghela napas, serunya: "Siasat yang keji dan terkutuk!"
Mendengar ucapan itu, Tay Ih siansu segera menduga bahwa pemuda itu tentu kenal
akan rombongan yang datang itu. Maka segera ia menanyakan apakah Siu-lam kenal
akan mereka. "Benar, wanpwe sudah kenal," Siu-lam mengiyakan, "Mereka adalah para jago sakti
yang dahulu hadir dalam pertemuan orang gagah di gunung Thay-san dan kemudian ikut
menggempur Beng-gak. Tetapi rupanya mereka sekarang menjadi kaki tangan Beng-gak
dan hendak menggempur Siau-lim-si! Ah, entah dengan cara bagaimana ketua Beng-gak
itu dapat menundukkan mereka sehingga mereka sampai lupa diri!"
"Jika begitu mereka adalah tokoh terkemuka dalam dunia persilatan dewasa ini?" Tay
Ih siansu terkejut. "Benar, yang mempelopori di muka itu adalah tokoh tua ahli pedang Bu-tong-pay yang
bernama Siau Yau- cu...."
Tay Ih siansu terkesiap: "Ah, sudah lama loni mendengar namanya. Tak nyana beliau
telah jatuh ke dalam perangkap Beng-gak!"
"Dan lelaki tua yang tampaknya seperti orang gunung itu adalah tokoh persilatan yang
termasyur sebagai manusia yang berhati dingin Su Boh-tun!"
"Apa?" Tay Ih siansu terkejut, "Dia juga takluk pada Beng-gak?"
"Dan dua orang pendek gemuk itu adalah jago tua dari Se-gak yang memiliki ilmu
pukulan sakti Bu-ing-sin-kun yakni Pek Co-gi namanya. Pukulannya itu sama sekali tak
mengeluarkan suara sehingga orang sukar menjaganya!" Siu-lam lanjutkan
keterangannya. Tay Ih siansu menghela napas, ujarnya: "Ah. jika menilik wajahnya, mereka itu terang
terkena semacam obat bius hingga kehilangan kesadaran pikirannya...."
Tiba-tiba terdengar suara melengking tajam. Macam siulan bukan siulan, suitan pun
bukan suitan. Suara aneh itu timbul di antara kumandang nyanyian gereja dan nyanyian
hantu menangis dari rombongan anak buah Beng-gak. Dan begitu suara aneh itu
melengking, Siau Yau-cu dan rombongannya segera bergerak menyerbu.
Tay To siansu cepat loncat menyongsong, serunya: "Siaute sudah lama mendengar
tentang ilmu pedang Bu-tong-pay yang sakti. Biarlah siaute yang menyambutnya lebih
dulu!" Tay To segera putar tongkat sianciangnya dengan deras sekali. Tetapi Siau Yau-cu
tawar saja melihatnya. Pedang tiba-tiba dihentakkan dengan gaya menusuk.
Terjadi benturan antara ujung pedang dengan tongkat sianciang. Tetapi anehnya
benturan yang keras itu sama sekali tak mengeluarkan suara. Tetapi tahu-tahu kuda-kuda
kaki Tay To siansu terkisar setengah langkah. Sedang Siau Yau-cu tetap tegak dengan
kokoh di tempatnya. Melihat itu, Tay Ih siansu menghela napas dan berseru: "Harap sute mundur, dia
bukan tandinganmu. Biarlah siau-heng yang menghadapinya."
Ternyata gerakan pedang Siau Yau-cu tadi menggunakan jurus ilmu pedang yang
disebut Hoa-liong-tiam-ceng atau melukis naga menitik matanya. Gerakan itu suatu jurus
untuk meminjam tenaga orang. Dengan demikian gerakan tongkat Tay To yang
menggunakan tenaga dahsyat itu telah dipinjam untuk mendorong dirinya. Begitu tongkat
menyapu angin, tubuh Tay To segera ikut terhuyung setengah langkah.
Dengan muka merah, Tay To siansu segera mundur. Tay Ih siansupun segera maju
dengan tenang sambil mengangkat tongkat sianciangnya.
Siau Yau-cu lintangkan pedang di muka dada. Dipandangnya Tay Ih siansu dengan
mata berkilat. Wajah jago pedang angkatan tua dari Bu-tong itu membeku dingin seperti
mayat. Tay Ih siansu berhenti tepat di hadapan jago Bu-tong-pay itu. Ia berdiri tegak sambil
lintangkan tongkat ke arah dada. Sebagai seorang yang berpengalaman luas, sekali
pandang tahulah ia akan keadaan lawan. Menilik wajah Siau Yau-cu yang sedemikian
dingin itu, Tay Ih siansu diam mengagumi. Gelar Dewa pedang yang diagungkan kepada
Siau Yau-cu ternyata memang bukan gelaran kosong. Sikap dan kerut wajah yang dingin
itu memang merupakan sikap permulaan dari jurus ilmu pedang taraf tinggi. Buru-buru
pejabat ketua Siau-lim-si itupun tenangkan diri. Tegak bersiap menungguh
perkembangan. Ilmu pedang merupakan ilmu silat bersenjata yang paling sukar diyakinkan. Gerak
permainannya memerlukan penyatuan semangat dan tenaga. Apabila sudah mencapai
taraf tinggi, memang hebatnya bukan alang kepalang. Tiada setitik lubang betapapun
kecilnya yang tidak dapat disusupi dengan ujung pedang. Dan apabila sudah mencapai
kesempurnaan ilmu, pedang dapat diluncurkan untuk membunuh musuh yang terpisah
beberapa tombak jauhnya. Siau Yau-cu memiliki otak yang cerdas. Maka dalam usia dua puluh tahun lebih saja, ia
mendapat gelar sebagai Kiam-seng atau Dewa pedang. Gelar itu tak diperoleh dengan
mudah tapi ditebus dengan latihan tekun sampai belasan tahun.
Sedang Tay Ih siansu walaupun tak meyakinkan ilmu pedang, tapi dia telah mencapai
taraf tinggi dalam memahami ilmu kesaktian partai Siau-lim-si. Maka sekali lihat, ia sudah
dapat menilai ilmu pedang Siau Yau-cu. Memang benar jago tua Bu-tong-pay itu sudah
sempurna ilmu pedangnya. Saat itu kedua jago tua itu masing-masing hanya terpisah empat lima langkah. Masingmasing
saling menunggu. Siu-lam keliarkan pandangan. Dilihatnya Lam-koay dan Pak-koay mencurahkan
pandangannya kepada Siau Yau-cu. Jelas kedua tokoh itu mempunyai kesan bahwa Siau
Yau-cu merupakan musuh yang tak boleh dipandang ringan.
Wajah Tay Ih siansu pun makin serius. Matanya melekat kepada pedang Siau Yau-cu.
Saat itu suara nyanyian gereja dan musik rombongan Beng-gak masih tetap
mengiakan-ngikan tak karuan.
Sesaat kemudian tampak Siau Yau-cu mulai mengangkat pedangnya pelahan-lahan.
Sekali melangkah maju, pedang berkiblat bagai kilat merekah angkasa dan tahu-tahu
orangnya sudah mundar ke tempat semula lagi. Maju mainkan pedang dan menyurut
mundur kembali ke tempatnya semula itu, dilakukan hanya dalam waktu sekejap mata.
Gebrak pertama itu dilakukan cepat sekali, tanpa mengeluarkan suara apa-apa dan
tanpa terjadi benturan senjata .
Tapi ketika Siu-lam berpaling memandang Tay Ih siansu, terkejutnya bukan kepalang.
Pejabat ketua Siau-lim-si itu masih tegak berdiri dengan rentangan tongkatnya. Tapi pada
lengan jubahnya yang gombyor itu berhias dengan lubang memanjang sampai empat lima
dim. Samar-samar tampak bekas darah pada lengannya.
Jelas bahwa serangan pertama dari jago pedang Bu-tong-pay itu telah berhasil melukai
lengan Tay Ih siausu. Siu-lam kerutkan alis, pikirnya: "Sejak mendapat pelajaran ilmu pedang dari Tan locianpwe
dan ilmu pedang Tat-mo-kiam dari Kak Bong taysu, sampai sekarang aku belum
mendapat lawan untuk berlatih. Mengingat Siau Yau-cu itu digelari sebagai dewa pedang,
ilmu pedangnya tentu hebat sekali. Mengapa tak kuhadapinya untuk menguji ilmu pedang
yang telah kupelajari itu?"
Gairah hatinya timbul seketika sehingga ia lupa akan segala bahaya. Sambil memutar
pedang Pek-kau-kiam, ia segera loncat maju dan tegak berdiri di depan Tay Ih Siansu. Ia
meminta ijin kepada ketua Siau- lim-si itu agar diberi kesempatan untuk menghadapi Siau
Yau-cu. "Ilmu pedangnya hebat sekali, Pui sicu..." baru Tay Ih siansu berkata begitu, Siu-lam
sudah menukasnya: "Ya, wanpwe memang sudah kenal dengannya. Harap lo- cianpwe
jangan kuatir!" Tay Ih siansu menghela napas: "Jika malam ini dinamakan adu kepandaian, loni
memang sudah kalah," ia mundur beberapa langkah.
Sembilan pasang sikap dan lencangkan pedang ke atas. Siu-lam memberi hormat:
"Apakah sejak berpisah dahulu, Siau lo-cianpwe sehat-sehat saja"
Siau Yau-cu menghela napas tetapi tak menyahut.
Siu-lam tertawa dingin: "Lo-cianpwe termasyhur di dunia persilatan sebagai Kim-seng
jaman ini. Tetapi mengapa lo-cianpwe begitu mengecewakan, tak menjaga nama dan rela
bekerja pada Beng-gak"
Siau Yau-cu murka dan bibirnya gemetar keras tetapi kata-katanya yang sedia
diluncurkan itu ditelannya kembali.
Siu-lam heran mengapa jago tua itu tak mau bicara. Sekali lagi ia berseru dengan
nyaring: "Apakah lo-cianpwe sudah tuli?"
Sebagai penyahutan, Siau Yau-cu segera menusukkan pedangnya kepada Siu-lam.
Gerakannya pelahan-lahan.
Siu-lam segera gunakan jurus Wan-to hoan-hun, dari bawah pedang Pek-kau-kiam
dibalikkan menabas ke atas. Tetapi tiba-tiba pedang Siau Yau-cu mengendap ke bawah
dan serempak dengan itu bergerak cepat sekali menabas lengan kanan Siu-lam.
Perubahan dari bertahan lalu balas menyerang itu, seolah-olah dilakukan dalam sebuah
gerakan yang langsung. Nama Dewa pedang benar-benar layak untuknya.
Siau lam kerutkan alis dan mundur selangkah. Cepat juga Siu-lam bergerak, tetapi
pedang Siau Yau-cu ternyata lebih cepat. Sinar berkelebat, hawa dingin membaur dan
ketika memeriksa ke bawah, ternyata lengan baju Siu-lam tergurat pecah, darah
bercucuran ke tanah. Lam-koay Shin Ki kerutkan kening dan berseru menanya: "Apakah luka adik itu berat?"
Memang perangai tokoh itu dingin. Walaupun pertanyaan itu bersifat rasa sayang,
tetapi nadanya tetap sedingin es.
Siu-lam kerahkan tenaga murni. Tetapi masih dapat menyalur ke tangan. Jadi lukanya
itu tak begitu berbahaya. Sahutnya: "Terima kasih toako. Aku masih dapat
menempurnya!" Sehabis berkata ia terus mengangkat pedang lagi dan meluncurlah Pek-kau-kiam dalam
jurus Peng-ho-gui-tong atau sungai es mencair.
Jurus itu merupakan salah satu ilmu pedang istimewa dari Bu-tong-pay. Sudah tentu
Siau Yau-cu cukup paham. Sebenarnya dengan mudah ia dapat memecahkannya. Tetapi ia
terkejut karena ilmu pedang simpanan partay Bu-tong-pay itu yang tak pernah diajarkan
kepada orang, dapat dimainkan oleh si anak muda.
Hanya sekejap ia tertegun tetapi pedang Siu-lam sudah menghamburkannya. Dan Siau
Yau-cu tak keburu menangkisnya lagi maka terpaksa ia mengisar dua langkah ke samping
untuk menghindar. Dari Tan lo-ciannwe, kakek si dara Hian-song, Siu-lam telah mendapat banyak sekali
pelajaran ilmu pedang dari berbagai partay persilatan. Dan karena Tan lo-cianpwe sudah
segera menutup mata, maka Siu-lam tak keburu lagi mendapat keterangan dari mana
asal-usul pelajaran yarg diterimanya itu. Dia hanya tahu menggunakan tetapi tak tahu
asalnya. Maka begitu melihat Siau Yau-cu menghindar, ia segera merubah gerakan pedangnya
dengan gerak menabas, Dan tanpa disadari gerak itu termasuk jurus ilmu pedang
istimewa dari partay Kun-lun-pay yang disebut Loh-jit-sia-ciau atau Mata condong ke
barat. Jurus yang khusus untuk mengejar musuh. Cepat bagai kilat menyambar sehingga
sekalipun seorang jago sakti juga sukar untuk menghindarkan serangan itu.
Mata Siau Yau-cu yang tajam segera mengetahui bahwa pedang anak muda itu sebuah
pedang pusaka yang dapat menabas senjata musuh. Ia tak berani menangkis dan
terpaksa menyurut mundur tiga langkah.
Tetapi bagaimanapun juga, Siau Yau-cu adalah tokoh tua yang digelari sebagai seorang


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa pedang jaman itu. Dua buah serangan lawan, telah menyadarkan pandangannya. Ia
tak boleh memandang rendah kepada anak muda itu. Maka sebelum anak muda itu
lancarkan serangan yang ketiga, cepat ia mendahului menyerangnya. Sekaligus itu sebuah
jurus yang mengandung tiga tusukan. Menusuk tiga bagian tubuh yang berbahaya.
Sekarang berbaliklah posisinya. Siu-lam terpaksa menarik pedangnya untuk melindungi
diri. Dengan begitu ia berbalik menjadi pihak yang diserang lagi.
Siau Yau-cu telah lancarkan jurus ganas. Dan walaupun memiliki berbagai ilmu pedang
istimewa, tetapi dalam hal tenaga dan pengalaman, Siu-lam kalah jauh sekali. Setelah
sepuluh jurus ia terdesak dan tak mampu melakukan serangan balasan lagi.
Melihat itu gelisahlah Tay Ih siansu. Segera ia melangkah hendak mengganti. Tetapi
pedang Siau Yau-cu mencurahkan laksana hujan lebat. Anginnya menghambur sampai
beberapa langkah sehingga Tay Ih siansu tak dapat mencari kesempatan untuk mengganti
Siu-lam. Tiba-tiba Lam-koay berpaling kepada Pak-koay, serunya: "Gelar Dewa pedang itu
memang layak diberikan kepada Siau Yau-cu. Kukuatir adikku itu bukan tandingannya!"
"Mungkin dalam sepuluh jurus lagi dia tentu tak kuat bertahan!" sahut Pak-koay Ui
Lian. Tapi Lam-koay tertawa dingin: "Ah, belum tentu. Siau Yau-cu itu hanya mengandalkan
tenaga dalamnya untuk memperoleh kemenangan..." Tiba-tiba Siu-lam menggembor
keras. Pedang Pek-kau-kiam tiba-tiba melancar dahsyat. Dari bertahan ia berganti
mengirim serangan balasan. Itulah jurus Jiau-to-co-hoa yang istimewa saktinya. Laksana
bunga api pecah berhamburan di udara, seketika Siau Yau-cu menjadi kaget dan mundur.
Sayang Siu-lam belum selesai memahami ilmu pedang istimewa itu. Pada saat ujung
pedang sudah membayangi dada lawan, ia tak mau meneruskan menusuk tapi
menghentikannya. Siau Yau-cu tertegun. Sesaat kemudian ia baru menyerang menabas lengan Siu-lam
dengan jurus Hun-hoa hud-liu atau Menyiak bunga mengebut pohon itu.
Siu-lam terdesak mundur selangkah lagi.
"Berhenti!" tiba-tiba terdengar teriakan melengking dari arah belakang. Nadanya tajam
sekali sehingga telinga orang seperti tertusuk benda tajam.
Siau Yau-cu dan Siu-lam sama-sama berhenti.
Ternyata yang berseru itu adalah wanita baju kuning atau ketua Beng-gak. Ia
menghampiri dengan langkah yang lemah gemulai. Goyang pinggulnya, memikat mata.
Siau Yau-cu menyisih ke samping memberi jalan, ternyata wanita baju kuning itu
berhenti di depan Siu-lam. Ditatapnya wajah anak muda itu tajam, tanyanya: "Siapa yang
mengajarkan kau ilmu pedang yang kau lancarkan tadi?"
"Jika aku menolak memberi keterangan?" jawab Siu-lam.
Ketua Beng-gak itu tertawa dingin: "Segala ucapanku, tak pernah orang berani
membentak. Jika kau berani, cobalah saja. Tapi jangan kau menyesal nanti. Karena
sekalipun kau akan memberitahukan, tetap sudah terlambat"."
Siu-lam tertawa: "Aku paling-paling hanya mati" Apakah yang harus kutakutkan?"
Wajah wanita baju kuning tiba-tiba menampilkan kemarahan: "Engkau kepingin mati"
Ah, jangan harap engkau dapat menikmati kematianmu dengan enak!"
Sejenak Siu-lam merenung, lalu katanya:
"Kupercaya, bengcu tentu dapat membuat diriku mati tidak, hidup pun tidak! Tetapi
harap bengcu menyadari, bahwa aku tak suka dan tak mau tunduk di bawah ancamanmu!
Karena kenal akan jurus permainan pedangku tadi, bengcu pasti mengetahui sumbernya.
Jika bengcu ingin mengetahui siapa yang mengajarkan ilmu pedang itu padaku, aku pun
mengharap bengcu meluluskan beberapa pertanyaanku. Tetapi pertempuran malam ini
bagaimanapun juga, harus dilangsungkan sampai ada yang menang dan kalah. Karena
bengcu tak mengungkat hal itu, kamipun terpaksa akan bertempur sampai mati. Namun
kalah menang itu bukanlah kekuasaan manusia. Harap bengcu suka merenungkan
ucapanku ini. Dan ketahuilah, bahwa ancaman bengcu itu, tak mungkin akan membuat
hatiku menyerah!" Wanita baju kuning itu menganggukkan kepalanya: "Di antara angkatan anak muda,
belum pernah ada yang berani bicara padaku seperti kau. Walaupun kata-katamu itu
sudah harus mendapat hukuman, tetapi kata-katamu itu cukup beralasan!"
Tampaknya wanita itu berumur dua puluhan tahun lebih. Tetapi nadanya yang begitu
angkuh, tak sesuai dengan umurnya.
"Kalau begitu, bengcu meluluskan?" tanya Siu-lam.
Sejenak wanita baju kuning memandang ke sekeliling, kemudian berkata: "Semua
orang yang berada di sini tak mungkin hidup lagi sampai jam tiga malam ini. Biarlah
mereka mendengarkan keteranganmu!"
Siu-lam tersenyum, ujarnya: "Yang kumainkan tadi adalah jurus Jiau-toh-coa-hoa.
Tentulah bengcu paham juga bahwa jurus itu merupakan jurus untuk menundukkan
musuh. Tetapi rasanya bengcu tentu lebih paham dan tahu di mana kekurangankekurangan
permainanku tadi!" "Benar!" sahut wanita baju kuning itu, "memang yang engkau mainkan itu jurus Jiautoh-
co-hoa. Di samping masih banyak gerak perubahannya yang engkau kurang mahir,
juga jurus itu masih ada kelanjutannya yang kaya dengan gerak perubahan indah!"
"Entah dari manakah asalnya ilmu pedang itu?" tanya Siu-lam.
Wanita baju kuning tertawa dingin: "Ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang nomor
wahid dalam jaman ini. Sudah tentu tidak sembarangan orang dapat beruntung
mendapatkannya!" Diam-diam Siu-lam membatin: "Jika jurus itu bukan berasal dari partai persilatan yang
manapun juga, tentu berasal dari seorang sakti yang menciptakannya sendiri."
Wanita baju kuning itu berkata pula: "Pada masa sekarang, kecuali aku, seharusnya tak
ada orang lain lagi yang mampu memainkan ilmu pedang itu. Entah dari mana engkau
memperoleh pelajaran itu?"
Teringat akan kakek Tan yang telah terkubur dalam tanah salju, hatinya berduka.
Menengadah ke atas, ia menghembuskan napas: "Seorang kakek she Tan tetapi entah
siapa namanya..." "Mengapa tidak menanyakan?" tegur si wanita baju kuning.
"Kakek itu keras kepala sekali. Apa yang tak dikatakan, percuma saja hendak
menanyakan. Tetapi kalau dia hendak menyuruh dan kau berani membantah, celakalah
engkau!" kata Siu-lam.
"Tetapi engkau tentu masih ingat rupanya, bukan?"
Siu-lam menghela napas perlahan, ujarnya: "Dia seorang kakek yangmenderita. Sekujur
tubuhnya penuh dengan luka dan tak dapat diobati lagi. Seorang tua yang sudah lanjut
usianya dan dirundung sakit, tentu menimbulkan kesan bahwa setiap saat dia dapat
meninggal dunia. Tetapi dia memiliki ilmu kesaktian yang tinggi dan pengalaman yang
luas. Dia memang tak mau memberitahukan kepada sebuah rahasia dari penyakit yang
dideritanyaselama berpuluh-puluh tahun itu. Memang suatu hal yang tak masuk akal tetapi
nyatanya memang begitu. Separuh tubuhnya sudah lumpuh, setiap hari ia harus keraskan
hati untuk menderita siksaan melakukan penyaluran darah"."
Tiba-tiba wanita baju kuning itu menengadah memandang lagit. Tanpa memandang
Siu-lam ia berseru: "Bukankah wajahnya terdapat sebuah bekas luka berat?"
"Ya, memang ada dan agaknya bekas luka senjata tajam. Bekas luka itu hampir
menyelubungi separuh mukanya. Di kala menderita luka dulu dia tentu sangat menderita
sekali!" Wanita baju kuning yang berwajah dingin itu tetap memandang langit, lalu berseru lagi:
"Teruskan ceritamu! Selama dua puluh tahun, baru sekali ini aku mempunyai kesabaran
untuk mendengar orang bercerita!"
"Tiap hari penyakitnya itu tentu kambuh dan apabila terus kambuh, dia seperti mati.
Dalam saat-saat itu, sekalipun orang yang tak mampu menyembelih ayam saja, tentu
dapat membacoknya mati"."
Siu-lam berhenti. "Teruskan ...!" seru wanita itu.
"Sebenarnya pertemuanku dengan Tan 1o-cianpwe itu hanya secara kebetulan karena
sebelumnya kami tak saling kenal. Dia telah mengajarkan banyak sekali ilmu kesaktian
kepadaku. Justru Jiauw-toh-co-hoa tadi, pun Tan lo-cianpwe yang mengajarkan. Sayang
aku tak dapat mengingat semua karena sebelum sempat memahami, beliau sudah keburu
menutup mata!" "Dimana dia dikubur?"
Siu-lam terdiam. Beberapa saat kemudian baru kedengaran ia berkata:"Maaf, hal itu
terpaksa aku tak dapat memberitahukan. Tan lo-cianpwe benar-benar seorang manusia
yang ajaib. Memiliki kepandaian yang sakti tetapi ia tak dikenal oleh kaum persilatan.
Mempunyai pengetahuan tinggi dalam ilmu pengobatan tetapi tak dapat menyembuhkan
lukanya sendiri. Mungkin pada masa sekarang, tiada seorangpun yang tahu asal-usulnya!"
Tiba-tiba wanita baju kuning berpaling dan berkilat-kilat menatap Siu-lam, ujarnya:
"Benar, yang mengetahui tentang riwayatnya, mungkin hanya aku seorang!"
"Akupun mempunyai anggapan begitu juga!"
Wanita baju kuning itu tertawa dingin: "Engkau cukup cerdik! Sayang jiwamu hanya
tinggal beberapa jam saja. Sekalipun engkau akan kubunuh yang terakhir sendiri tetapi
tetap engkau tak dapat menikmati matahari esok pagi!"
Siu-lam tertawa tawar: "Mati hidup, sudah tak kupikirkan lagi..." Ia berhenti sejenak
lalu melanjutkan dengan pertanyaan: "Sekarang giliranku untuk mengajukan pert anyaan
kepadamu!" "Tanyalah!" Dengan suara tinggi melantang, Siu-lam segera berseru: "Berpuluh-puluh tahun yang
lalu, wanita berkerudung kain hitam yang malang melintang di dunia persilatan dan
digelari kaum persilatan sebagai wanita siluman, apakah bukan bengcu sendiri?"
Wanita baju kuning itu mengangguk: "Benar!"
"Bukankah Tan lo-cianpwe itu suheng dari beng-cu sendiri?"
Sepasang mata wanita ketua Beng-gak itu berkilat-kilat tajam lalu menyahut dingin:
"Tajam benar penilaianmu!"
"Bukankah beng-cu dan Tan lo-cianpwe itu sama-sama murid dari Lo Hian?" tanya pula
Siu-lam dengan nada serius.
Wanita baju kuning itu tertawa dingin: "Engkau dapat menebak dengan jitu semua.
Rasanya tak perlu harus kujawab lagi!"
Sekonyong-konyong ia mengangkat tangan ke atas dan dilambaikan. Serentak
berpuluh-puluh anak buah Beng-gak maju bergerak. Siau Yau-cu mempelopori menyerang
dengan jurus Pek-sat-lok-gan. Di tangan jago pedang kawakan seperti Siau Yau-cu, jurus
Peng-sat-lok-gan atau burung belibis melayang turun ke tanah pasir, telah berubah
menjadi sebuah serangan yang dahsyat sekali.
Tring" cepat-cepat Siu-lam gunakan Pek-kau-kiam menangkis lalu menyurut mundur
ke tempat Tay Ih siansu, bisiknya: "Kita mundur ke dalam barisan Lo-han-tin. Kerahkan
seluruh kekuatan barisan untuk menghadapi pertempuran yang menentukan nanti!"
Belum Tay Ih menyahut, tiba-tiba dadanya terhunjam sebuah tinju sehingga ia
terhuyung lima langkah. Untung sebelumnya ia sudah bersiap lebih dulu. Sekalipun
terpukul berat tetapi tidak sampai terluka dalam.
Siu-lam segera lancarkan jurus Sing-ho-to-kwa atau Bintang lima sakti terjungkir untuk
menyerang Su Bo-tun yang memukul Tay Ih siansu itu, sambil berseru memperingatkan
ketua Siau-lim-si: "Lo-siansu, harap hati-hati terhadap pukulan Bu-ing-sin-kun dari Pek Cogi.
Dia bertubuh pendek gemuk, mudah dikenali..."
Belum selesai berkata, terdengar Pak-koay Ui Lian mendengus dingin dan tubuhnya
tergetar. Jelas ia telah menerima sebuah pukulan Bu-ing-sin-kun dari jarak jauh.
Pukulan itu telah menimbulkan kemarahan Pak-koay. Dengan menggembor keras
segera ia balas menghantam. Hebat benar pukulannya itu. Segulung hawa dingin yang
dahsyat segera melanda. Melihat kedahsyatan pukulan Pak-koay, seketika timbullah pemikiran dalam hati Siulam:
"Beng-gak telah kerahkan kekuatan untuk menggempur Siau-lim-si. Pertempuran
malam ini, kalah atau menang, tentu akan menimbulkan pembunuhan yang ngeri. Jika
dengan ilmu pedang Tat-mo-sam-kiam ajaran Kak Bong taysu, aku bersatu padu dengan
kesaktian kedua tokoh aneh itu, lalu mengajak musuh bertanding satu lawan satu,
mungkin dapat menyelamatkan pembunuhan besar-besaran ini...."
Baru ia berpikir begitu, wanita baju kuning sudah turun tangan. Sekali tangannya
menampar serangkum tenaga halus menyongsong pukulan dingin Hian-peng-ciang dari
Pak-koay. Dalam pada itu Su Bo-tun pun gunakan gerak kaki Chit-seng-tun-heng untuk
menyelinap dari tusukan Siu-lam, lalu menerjang Tay Ih.
Suara musik yang menusuk telinga tadipun melengking lagi. Kelima barisan aneka
manusia aneh dari Beng-gak segera bergerak menyerbu. Melihat itu Lam-koay Shin Ki
menggembor keras dan lepaskan sebuah pukulan panas Cek-yan-ciang ke arah si wanita
baju kuning. Wanita baju kuning mendengus dingin. Ia kebutkan tangan kiri untuk menangkis. Lalu
dengan kedua buah jari tangan kanan ia membuat gerakan menutuk dari jauh kepada
Lam-koay. Lam-koay Shin Ki, manusia aneh yang berwatak angkuh dan bersikap dingin, begitu
melihat wanita baju kuning itu menutuk dengan jari, wajahnya serentak berubah dan
buru-buru loncat ke samping.
Melihat itu Siu-lam terkejut dalam hati. Mengapa Lam-koay yang sedemikian saktinya
jerih juga terhadap ketua Beng-gak itu" Kalau tidak dahulu pernah menderita kekalahan,
tentu tak mungkin Lam-koay begitu ketakutan. Demikian pikirnya.
"Kita mundur ke dalam gereja!" seru Tay Ih.
Melihat barisan anak buah Beng-gak sudah bergerak, Siu-lam menyadari bahwa
ketegangan sudah meruncing benar-benar. Pertempuran dahsyat segera pecah.
Rencananyapun gagal. Karena para paderipun sudah siap tempur, akhirnya Siu-lam
memutuskan, biarlah mereka bertempur. Ia akan bertindak menurut perkembangan.
Dengan keputusan itu, ia mencabut Pek-kau-kiam dan dengan menggembor keras, ia
lancarkan jurus Se-lay-co-im atau Suara doa dari barat. Jurus yang dahsyat itu memaksa
Siau Yau-cu dan Su Bo-tun mundur.
Menyaksikan permainan pedang anak muda itu, si wanita baju kuning tertarik
perhatiannya. Dipandangnya anak muda itu dengan penuh perhatian.
Setelah mengundurkan kedua tokoh sakti, Siu-lam melesat ke samping Lam-koay dan
Pak-koay: "Lo-han-tin, barisan Siau-lim-si yang termasyhur sudah siap tempur. Marilah kita
masuk ke dalam gereja untuk menunggu perkembangan lebih jauh."
Kedua tokoh yang angkuh itu, rupanya menyadari bahwa pertempuran malam itu, tak
dapat hanya mereka berdua yang mengatasi. Setelah saling bertukar pandang, keduanya
segera mundur ke dalam gereja. Sedangkan Siu-lam mengawal di belakang dengan
pedang terhunus. Tiba-tiba terdengar suara genta bertalu memanjang. Suaranya yang bergema nyaring,
telah menindas suara nyanyian para paderi dan musik brengsek dari anak buah Beng-gak.
Dari jarak tiga tombak dalam pintu besar gereja, tiba-tiba menyala sebatang obor
besar. Sinarnya yang terang-benderang meliputi dua tombak jauhnya.
Dua belas paderi berjubah kelabu, siap berbaris dalam bentuk PAT atau segi tiga.
Wajah mereka tampak keren (serius) sekali. Yang enam orang yang mencekal tongkat
sian-ciang dan yang enam orang bergolok kwat-to. Ditimpali cahaya obor, golok mereka
itu berkilat-kilat menyilaukan mata.
Begitu rombongan Tay Ih siansu masuk, barisan itu segera menyisih memberi jalan.
Ternyata barisan di belakang itu masih terdapat berpuluh-puluh batang obor yang meliputi
sejauh empat puluh tombak. Pemandangan saat itu menyerupai lautan obor yang tiada
tampak ujungnya. Obor dan barisan paderi itu, menempati jarak tertentu secara teratur. Berpuluh-puluh
sosok tubuh dan sinar golok dalam suatu barisan besar yang teratur rapi dan rapat, benarbenar
menimbulkan rasa seram dan berwibawa.
Bahkan Lam-koay dan Pak-koay, tokoh yang aneh dan angkuh, ketika menyaksikan
barisan Siau-limisi saat itu, mau tak mau mengagumi juga.
Demikian juga dangan wanita ketua Beng-gak. Ia terkesiap melihat keperbawaan
barisan Siau-lim-si. Segera ia memberi isyarat agar kelima barisan Beng-gak itu berhenti
dulu. Setelah mengamati barisan Siau-lim-si beberapa jenak, wanita baju kuning itu
melambai ke kedua muridnya supaya datang.
Nona baju biru dan baju merah bergegas menghampiri suhunya: "Apakah yang hendak
suhu perintahkan?" Wanita baju kuning itu menghela napas pelahan, serunya: "Dengan persiapan itu jelas
bahwa Siau-lim-si sudah bertekad melawan sampai hancur binasa. Kemunculan kedua
Lam-koay dan Pak-koay membantu Siau-lim-si itu, sungguh di luar dugaan. Barisan Lohan-
tin sudah lama termasyhur sakti. Ternyata pertempuran malam ini tak semudah
seperti yang kukira. Segeralah kalian siapkan Chit-tok-sin-tong (tabung berisi tujuh jenis
racun) Begitu berhasil menyusup ke dalam barisan mereka, segera nyalakan dupa Bi-sinhiang
(dupa pelenyap kesadaran). Serang dengan ganas agar nyali mereka runtuh baru
kemudian hancurkan barisan Lo-han-tin mereka!"
Dengan hormat kedua nona itu mengiyakan.
"Walaupun pemuda yang bersenjata pedang itu tak berapa sakti, tapi dia banyak akal
siasat dan memiliki permainan pedang yang luar biasa. Rupanya seperti dia yang
memegang peranan di belakang layar. Jika bertemu dengan anak muda itu, jangan dilepas
begitu saja!" kata ketua Beng-gak itu pula.
Saat itu Tay Ih siansu bersama Siu-lam dan rombongannya, telah masuk sejauh lima
tombak, tapi ternyata pihak Beng-gak masih belum mulai menyerang.
Karena heran, ia berhenti dan berpaling ke belakang. Tampak barisan Beng-gak
membawa sesuatu yang aneh. Tangan mereka mencekal senjata tetapi tangan kiri
masing-masing membawa sebuah benda sebesar telur itik yang hampir setengah meter
panjangnya. Tiba-tiba genta bertalu dengan nyaring sekali. Barisan Lo-han-tin segera bergerak.
Kiranya tiga kali bunyi genta itu, merupakan tanda komando barisan. Barisan paderi itu
makin cepat bergerak dan dalam waktu beberapa kejap saja mereka sudah lenyap. Pintu
yang bermula penuh dengan barisan garang, saat itu penuh dengan bayangan paderi
Siau-lim-si yang bergerak-gerak.
"Toako, harap perlahan dulu, aku hendak mohon keterangan," bisik Siu-lam kepada


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lam-koay Shin Ki. "Mengapa?" Lam-koay berhenti. "Toako banyak pengalaman, kiranya tahu benda
apakah yang dibawa anak buah Beng-gak itu?"
Sejenak Lam-koay lepaskan pandangan ke arah rombongan Beng-gak, kemudian
jawabnya: "Seperti semacam dupa wangi!"
"Hm, apakah mereka hendak membius paderi Siau-lim-si dengan dupa wangi?" Siu-lam
heran. "Lo Hian si hidung kerbau itu memang pintar menciptakan yang aneh-aneh. Karena
budak perempuan itu anak muridnya, tentu menerima ilmu pelajarannya juga!"
"Sudah beratus tahun Siau-lim-si merupakan pimpinan dunia persilatan di Tiong-goan.
Sekali-kali bukan setiap paderi Siau-lim-si itu sakti, tetapi rata-rata mereka memiliki
kepandaian kiranya mampu untuk menahan serangan barisan Beng-gak itu. Apalagi Siaulim-
si telah menpersiapkan barisan Lo-han-tin. Jika hendak menyerbu Siau-lim-si, Benggak
tentu harus membayar mahal. Tetapi celakalah jika mereka menggunakan akal licik,
membius dulu, baru kemudian menyerang, kita tentu kalah!" Kata Siu-lam.
Lam-koay tertegun sejenak, ujarnya: "Tentang ilmu obat-obatan, aku kurang paham."
"Maksudku apakah toako tak dapat menemikan akal untuk menghadapi siasat mereka
itu?" tanya Siu-lam.
Lam-koay Shin Ki gelengkan kepala: "Ah, bo hwat" bo hwat"."
Bo hwat artinya tiada berdaya lagi.
Saat itu Tay Ih siansu dan rombongannya pun berhenti. Mereka memandang ke arah
rombongan anak buah Beng-gak yang membawa benda aneh itu. Wajah mereka mengerut
gelisah. Apa yang ditanyakan Siu-lam itu, pun didengarnya. Dan mereka juga tidak
mempunyai daya untuk menghadapi serangan rombongan Beng-gak itu.
Tiba-tiba Siu-lam berpaling kepada Tay Ih siansu dan bertanya: "Apakah barisan Lohan-
tin ini dapat bergerak maju mundur?"
Sahut Tay Ih siansu: "Selain gerak perubahan di dalam menghadapi serangan musuh,
Lo-han-tin pun mampu bergerak dengan leluasa menurut perintah yang dikehendaki!"
"Bagus!" Seru Siu lam.
Tay Ih siansu menang sudah mempunyai kesan baik terhadap anak muda itu. Namun ia
tak tahu apa yang direncanakan Siu-lam saat itu. Maka ia segera menanyakan apakah Siulam
sudah mempunyai rencana untuk menghadapi serangan dupa pembius barisan Benggak.
"Jika mereka memang hendak menggunakan cara keji itu, memang sukar untuk kita
larang. Kita hanya harus mencari jalan untuk menggagalkan siasat mereka itu!" kata Siulam.
Tay Ih siansu mendesak agar pemuda itu segera mengatakan apa rencana yang telah
disiapkan. Sejenak merenung Siu-lam berkata dengan berat: "Adakah rencanaku ini dapat berhasil
masih sukar dikata. Tetapi tiada jeleknya kita coba juga. Harap lo-siansu segera
mengeluarkan perintah. Demi menyelamatkan kematian yang sia-sia. Lo-han-tin mundur
dan perlahan-lahan memencar. Menggunakan kesempatan barisan sedang beristirahat itu,
sebagian dari anggota barisan itu supaya mempersiapkan air itu kita akan memadamkan
api Yalah api dari dupa yang mereka nyalakan itu. Adakah cara ini dapat berhasil atau
tidak, aku tak berani memastikan. Tetapi daripada tiada cara apa-apa, baiklah kita coba
cara itu!" Tay Ih siansu menghela napas: "Walaupun cara itu bukan buah pikiran baru, tetapi
dalam saat-saat yang genting, Pui sicu dapat menemukannya, jelas menandakan sicu
memiliki kecerdasan yang melebihi orang biasa. Baiklah loni segera akan mengeluarkan
perintah supaya kedua sute yang mengepalai barisan itu segera melaksanakan rencana
itu!" Pada saat itu kelima barisan Beng-gak yang terdiri dan bermacam-macam manusia
aneh, mulai bergerak maju. Tangan kanan mereka mencekal senjata dan tangan kiri
mengacungkan sebuah benda yang mengeluarkan asap. Mereka berbaris dengan rapi
dalam lima jajaran menurut pakaian seragam masing-masing barisan. Selekas wanita baju
kuning memberi perintah, kelima barisan itu segera akan menyerbu.
Tetapi si wanita baju kuning masih enak-enak memandang ke langit. Mulutnya
berkomat-kamit bicara seorang diri sedang dua buah jari tangan kanannya mengguratgurat
ke atas. Jilid 29 SIU LAM segera mendesak Tay Ih siansu supaya segera memerintah rombongan paderi
lekas mempersiapkan air: "Kelima barisan dengan lima macam pakaian seragam itu, tentu
ada maksudnya. Wanita baju kuning itu entah sedang merancang rencana apa. Tetapi
yang jelas pembagian kelima macam serangan dari barisan Beng-gak itu tentu juga
merupakan sebuah barisan yang hebat. Jika kita tunggu sampai mereka bergerak
menyerang dengan membaurkan asap pembius itu, dikuatirkan kita akan hancur semua!
Belum habis Siu-lam bicara, tampak Tay Hian Siansu memimpin berpuluh-puluh paderi
berlari-larian mendatangi. Setiap orang menenteng sebuah ember terisi air.
Wanita baju kuning itupun hentikan gerakan tangannya. Kini ia memandang ke arah
barisan Lo-han-tin dan perlahan-lahan mulai mengangkat tangannya.
Tay Hian siansu yang telah tiba di samping Tay Ih siansu segera memberi laporan:
"Telah kukerahkan delapan puluh anak murid angkatan kedua untuk mengambil air. Kini
mereka sudah siap. Harap suheng segera memberi perintah."
"Suruh mereka lekas naik ke atas titia. Jika barisan musuh mau bergerak menyerbu,
siramkan ember air itu kepada benda berasap yang mereka pegang itu!"
Tay Hian mengiyakan lalu memimpin rombongan jago-jago Siau-lim-si dari angkatan ke
dua itu menyongsong barisan musuh.
Pada saat itu, tangan wanita baju kuning digerakkan dan kelima barisan Beng-gak
segera maju menyerbu Lo-han-tin.
Melihat itu Siu-lam segera minta Tay Ih siansu dan rombongan masuk ke dalam barisan
Lo-han-tin, sedang ia sendiri hendak membantu rombongan Tay Hian siansu tadi.
Tetapi Tay Ih siansu mencegah: "Tay Hian sute dan rombongan paderi itu sudah
membawa ember air untuk menyiram musuh. Kiranya tak perlu sicu membantu, karena
kalau sampai sicu terputus hubungan, bukankah pihak kita akan kehilangan tenaga yang
penting?" Dengan kata-kata itu jelas Tay Ih siansu telah menganggap Siu-lam sebagai otak yang
memimpin pertahanan Siau-lim-si.
Diam-diam Siu-lam mendengus: "Hm, kamu paderi-paderi Siau-lim-si, memang selalu
menjunjung kebajikan saja. Menghadapi musuh yang licik dan ganas, harus harus
menggunakan cara yang ganas juga. Sekali kesempatan itu hilang, kita tentu akan
mengalami kekalahan total."
"Sekalipun paderi-paderi Siau-lim-si itu berkepandaian tinggi, tetapi mereka tak paham
akan hal dan tipu muslihat. Maka dalam menghadapi keadaan seperti saat ini, tentu
kurang cepat menyesuaikan diri. Maksud wanpwe, silahkan siansu memimpin barisan Lohan-
tin, wanpwe yang menghadapi setiap perubahan!"
Setelah berpikir sejenak akhirnya Tay Ih setuju. Setelah itu, Siu-lam meminta kepada
Lam-koay dan Pak-koay supaya beristirahat dulu. Setelah itu, Siu-lam terus loncat ke muka
menyusul rombongan Tay Hian.
Pada saat itu barisan Beng-gak sudah menyerbu Lo-han-tin. Di bawah penerangan dari
berpuluh-puluh obor yang nyala terang benderang, tampak sinar golok berkilat-kilat
menyambar kian kemari ditimpah oleh deru angin dari tongkat yang menabur seperti
hujan mencurah. Pertempuran dahsyat telah mulai....
Lo-han-tin bergerak-gerak maju mundur dan berputar-putar seperti roda. Paderi yang
bertempurpun sering berganti tempat.
Tetapi barisan Beng-gak itupun juga mempunyai gerak perubahan yang tertentu. Tiga
orang maju setelah bertempur sampai duapuluh jurus mereka menyisih ke dua belah
samping lalu mundur. Gelombang orang baru segera maju menyerang. Demikian
selanjutnya gelombang demi gelombang, silih berganti mereka maju dan mundur.
Dengan cara ganti berganti yang bertempur itu, pertempuran berjalan amat seru. Anak
buah Lo-han-tin telah dipesan Tay Ih siansu, dalam bertempur dengan musuh harus
mendahului merebut posisi untuk menguasai penyerangan. Dan pada waktu bertempur
harus menutup pernapasan untuk menghindari asap bius.
Diam-diam Siu-lam terkejut melihat gerakan Lo-han-tin yang sedemikian mengagumkan
itu. Oleh karena ia harus melalui barisan tersebut, maka gerakannya menyusul Tay Hian
siansu tadi terpaksa agak terlambat. Mencapai empat lima tombak saja, ia harus
menggunakan waktu sepeminum teh lamanya.
Bluk... tiba-tiba ia mendengar dua sosok tubuh rubuh. Dan ternyata dua orang paderi
Siau-lim-si menjadi mayat tanpa kepala karena kepalanya ditabas oleh manusia-manusia
setan dari barisan Beng-gak.
Ternyata asap dupa pembius itu makin lama makin tebal. Walaupun anggota Lo-han-tin
dapat menguasai penyerangan, tapi akhirnya paderi-paderi itu tak kuat harus menutup
pernapasan terlalu lama. Sekali menyedot asap, rubuhlah mereka.
Karena asap itu mcmperoleh hasil, anggota barisan Beng-gak menjadi lebih
bersemangat. Kini mereka bersuit-suit sambil menyerang. Suitan mereka bernada aneh,
macam binatang yang terluka.
Bluk, bluk, bluk" susul-menyusul rubuhlah paderi-paderi anggota Lo-han-tin itu
dengan berlumuran darah. Dalam beberapa kejap saja lima belas orang paderi telah
tewas. Mereka rubuh sendiri baru kemudian ditabas oleh manusia setan dari barisan Benggak.
Anggota barisan Lo-han-tin itu terdiri dari murid Siau-lim-si angkatan kedua dan ketiga
yang memiliki kepandaian tinggi. Apalagi barisan itu mempunyai sistim bertempur secara
bergilir. Maka walaupun telah jatuh berpuluh-puluh korban, barisan itu masih tetap hebat.
Betapapun barisan Beng-gak telah mengganas, namun mereka sulit untuk mendapat
kemenangan secara cepat. Tapi mau tak mau karena mayat-mayat bergelimpangan makin menumpuk, gerakan Lohan-
tin menderita rintangan juga. Poros tengah barisan mulai tampak tak lancar lagi. Jika
paderi Siau-lim-si tidak bertekad hendak menyerahkan jiwa, tentu barisan itu sudah sejak
tadi pudar. Menyaksikan keadaan itu, Siu-lam segera berteriak kepada Tay Hian siansu: "Lo siansu,
mengapa tak lekas-lekas menyerbu" Apakah hendak menunggu kalau barisan Lo-han-tin
sudah pecah ?" Dia hanya menuruti kekuatiran hatinya tetapi tak mengerti keindahan dari barisan Lohan-
tin. Memang Lo-han-tin mempunyai rahasia kebagusan tersendiri. Sekali gerak, maka
seluruh barisan segera bergerak dan berubah. Makin dekat musuh, gerak perubahan itu
makin cepat dan banyak ragamnya.....
Sebenarnya Tay Hian juga mengerti akan perubahan-perubahan barisan Lo-han-tin,
tetapi dia pun tak berdaya untuk menerobos maju mendekati barisan Beng-gak. Memang
diapun tak kurang sedihnya melihat kerusakan yang diderita Lo-han-tin itu. Dan ketika
mendengar seruan Siu-lam yang setengah mendamprat itu, hatinya makin bingung.
Segera ia berkata kepada seorang murid angkatan kedua yang memimpin barisan depan:
"Lekas tarik mundur barisan agar aku dapat menghancurkan asap mereka, baru nanti
kalian bergerak maju lagi !"
Sekedar supaya memperoleh gambaran yang lebih jelas, baiklah kami terangkan di sini.
Barisan Lo-han-tin itu terdiri dari berpuluh-puluh lapis regu. Regu yang terkecil jumlahnya
terdiri dari delapan belas orang. Sedang regu yang paling besar meliputi jumlah seratus
delapan orang. Untuk menghadapi Beng-gak Tay Ih siansu telah kerahkan delapan ratus paderi. Suatu
hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah kehidupan Siau-lim-si selama ini. Dan untuk
melancarkan gerakan barisan, Tay Ih telah membagi menjadi lima rombongan. Setiap
rombongan dipimpin oleh seorang dan kelima rombongan itu diketuai oleh seorang
komando. Kepala rombongan pertama ketika mendengar seruan Tay Hian, segera menghentikan
gerak barisan. Karena barisan muka berhenti, seluruh barisanpun ikut berhenti. Mereka
segera mundur kedua belah ke samping.
Melihat itu barisan Beng-gak segera mendesak maju. Dan saat itu Tay Hian siansu tak
mau menyia-nyiakan tempo lagi. Dengan menggembor keras ia mempelopori
menyiramkan air dalam ember ke arah musuh.
Barisan Beng-gak itu terkejut ketika kepala dan muka mereka basah kuyup dengan air
dan dupa menyala yang mereka pegang, padam seketika!
Tindakan Tay Hian itu segera diikuti oleh rombongannya. Mereka serempak
menyiramkan air dalam ember yang dibawanya. Dan barisan Beng-gak seperti ditimpah
hujan lebat. Dupa yang mereka bawa, padam asapnya.
Menyaksikan hal itu, diam-diam Siu-lam tersenyum girang: "Ah, tidak kira dengan cara
yang begitu sederhana, barisan Beng-gak telah dapat digagalkan rencananya."
Baru ia berpikir begitu, tiba-tiba dua orang anak buah Beng-gak menyerbunya dan
menyerang dari kanan kiri. Tetapi Siu-lam sudah siap sedia. Mundur setengah langkah, ia
menyabat dengan pedangnya. Tring" terdengar dering senjata beradu, disusul dengan
muncratnya darah ke udara. Kedua manusia setan anak-anak buah Beng-gak itu terbelah
menjadi dua! Semangat Siu-lam makin berkobar. Sambil memutar pedang, ia menerjang maju. Dalam
pertempuran malam itu, ia menyadari bahwa dalam menghadapi musuh yang ganas, ia
harus bertindak dengan ganas juga.
Pedang Pek-kau-kiam yang tajam tiada taranya, dan permainan pedangnya yang serba
aneh telah membuat Siu-lam laksana seekor banteng mengamuk. Dalam sekejap mata
saja dia sudah berhasil melukai belasan orang anak buah Beng-gak.
Barisan Lo-han-tin yang bergerak mundur tadi, demi menyaksikan kegagahan Siu-lam,
seketika timbullah lagi semangatnya. Segera mereka membentuk diri dalam formasi
barisan Lo-han-tin lagi. Terdengar Siu-lam menggembor keras dan dua anak buah Beng-gak menjadi korban.
Setelah itu Siu-lam berkisar menghampiri ke muka Tay Hian, serunya pelahan: "Losiansu
ternyata para paderi Siau-lim-si amat gagah berani dan tak gentar menghadapi maut.
Menilik gelagat, kita tentu dapat menahan serangan musuh. Satu-satunya yang dikuatirkan
ialah apabila musuh menyalakan dupa pembius itu lagi!"
Dalam pertempuran yang amat berisik itu, tetap Tay Hian dapat menangkap seruan
Siu-lam. Sahutnya: "Loni akan mempersiapkan ember-ember air lagi!"
Habis berkata Tay Hian terus berputar tubuh dan lari ke dalam gereja untuk mengambil
air. Rombongan pengikutnya segera mengikuti.
Amukan Siu-lam memang hebat sekali. Sebagian besar anak buah Beng-gak telah
terluka di bawah tabasan anak muda itu. Dan yang lain-lain dapat dihalau mundur oleh
paderi Siau-lim-si. Setelah melihat situasi Lo-han-tin mulai tenang kembali, Siu lam hendak mencari Tay Ih
siansu. Akan dimintanya paderi itu agar memerintahkan anak murid Siau-lim-si
menyediakan lebih banyak air lagi. Untuk menghadapi musuh yang mungkin akan
menyalakan dupa pembius lagi diperlukan seratus paderi yang dipecah msnjadi dua regu
dan mengambil air secara bergiliran.
Tetapi baru ia hendak melangkah, tiba-tiba terdengar lengking teriakan dari seorang
wanita disusul dengan sesosok tubuh yang melayang turun ke arahnya.
Siu-lam terkejut. Jika pendatang itu ketua Beng-gak sendiri atau si wanita baju
kuning tentu ia tak dapat menahan serangannya. Cepat ia memutar Pek-kau-kiam untuk
melindungi diri. Tring...tring....tring" terdengar pedangnya berbenturan dengan satu pedang lain. Siulam
loncat mundur dan memeriksa pedangnya. Ternyata Pek-kau-kiam itu sedikitpun tidak
menderita cacad apa-apa. Memandang ke muka tampak seorang nona cantik dalam pakaian biru, tegak
menghadapinya. Tangan kiri nona itu mencekal sebuah benda macam tanduk rusa yang
merah warnanya. Sedang tangan kanan mencekal pedang pusaka Ceng-liong-kiam. Ah,
lagi-lagi dia, murid ketua Beng-gak yang merampas pedang Ceng-liong-kiam dari
tangannya. Begitu masuk ke dalam barisan Siau-lim-si, nona baju biru itu segera memutar
senjatanya tanduk rusa yang aoeh untuk menangkis serangan dari para paderi. Di
samping itu ia lencangkan pedang Ceng-liong-kiam lurus ke muka dada untuk menjaga
serangan Siu-lam. Siu-lam tertawa dingin: "Ho, nyalimu besar sekali, berani masuk ke dalam barisan"."
Nona itu memang hebat kepandaiannya, tetapi menghadapi serangan para paderi Siaulim-
si yang gencar, mau tak mau ia agak kewalahan juga. Cepat-cepat ia berseru kepada
Siu-lam: "Suruhlah mereka berhenti menyerang, aku hendak bicara kepadamu!"
Siu-lam hanya menjawab dingin: "Dalam pertempuran, setiap detik, jiwa tentu
melayang. Sekali salah hitung, seluruhnya akan gagal semua. Hm, rencanamu itu bagus
juga!" Sambil masih memutar tanduk rusanya untuk menangkis serangan para paderi, nona
itu tertawa dingin: "Aku diutus ke sini oleh suhu, jika engkau tak percaya, apa boleh buat."
Melihat sikap dan nada nona itu serius sekali, tergeraklah perhatian Siu-lam. Ia hendak
mengetahui apa yang akan diajukan ketua Beng-gak itu.
"Barisan Lo-han-tin dari Siau-lim-si merupakan barisan nomor satu dalam dunia
persilatan. Gerak perubahan dan keindahan barisan itu memang tak sembarang orang
mengerti. Walaupun hatiku ingin menyuruh mereka berhenti, tetapi aku tak mempunyai
kemampuan untuk menghentikan barisan itu!" sengaja Siu-lam berseru dengan nyaring
untuk menyindir nona baju biru itu dan supaya pemimpin barisan Lo-han-tin mendengar
juga. Memang benar. Pemimpin Lo-han-tin mendengar juga dan berpaling memandang Siulam
lalu mengangkat tangan kanannya ke atas kemudian dikiblatkan ke samping.
Paderi-paderi yang menyerang nona baju biru berkisar ke samping. Sekalipun barisan
masih tetap bergerak, tetapi tidak lagi menyerang si nona baju biru.
"Nah, sekarang nona mempunyai kesempatan cukup untuk bicara. Apakah yang hendak
engkau katakan?" kata Siu-lam.
Nona baju biru itu kedipkan matanya lalu berkata: "Suhu menyuruh aku menyampaikan
sebuah perkataan." "Silahkan!" "Beliau hendak bertanya kepadamu, apakah engkau mau menggabung diri pada Benggak?"
Siu-lam menengadahkan kepala, tertawa: "Akupun mempunyai pernyataan, harap nona
suka. "Tanyakanlah kepadanya, apakah dia mau mencukur rambut masuk menjadi biarawati,
tinggalkan lumpur kcdosaan, mensucikan diri dalam gereja?"


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kata-kataku tadi, bukan bergurau!" seru si nona.
"Ucapanku itu pun keluar dengan setulus hatiku," Siu-lam tertawa.
Nona itu tersenyum, serunya: "Engkau bebas untuk menerima atau menolak. Mengapa
engkau mengejek begitu rupa?" dalam pada berkata itu, pedang dipindah ke tangan kiri
dan tangan kanan meraba dada bajunya.
Siu-lam amat waspada. Begitu melihat gerakan tangan si nona, cepat-cepat ia jujukan
ujung Pek-kau-kiam ke siku lengan si nona: "Harap nona jangan sembarang bergerak!"
Nona itu tertawa mengejek. Sekali kelima jarinya dibuka, ia menjepit sehelai sapu
tangan merah. "Jangan kelewat tegang, bung ....!"
"Ha ha," Siu-lam tertawa, "Terhadap orang Beng-gak, memang aku harus waspada!"
"Karena engkau menolak, aku akan kembali!" seru si nona baju biru.
"Harap nona masukkan sapu tangan nona ke dalam baju, baru nanti kita bicara lagi!"
Bara Diatas Singgasana 17 Kemelut Blambangan Seri Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Memanah Burung Rajawali 12
^