Pencarian

Wanita Iblis 4

Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 4


Maka sebelum menutup mata, aku ingin menyempurnakan kepandaianmu. Untuk itu
dengan paksakan diri setiap hari karena menderita siksaan harus menyalurkan darah
dalam tubuhku"." ia berhenti sejenak dan perlahan-lahan alihkan pandangannya kepada
Siu-lam. Tegurnya, "Song-jie, siapakah orang itu?"
"Dia orang yang kutolong baru saja tadi!" sahut si dara. Kemudian ia menerangkan
bagaimana Siu-lam dikerubuti beberapa orang dan akhirnya ikut hendak menjenguk
kakeknya di goa. Siu-lam tersipu-sipu merah mukanya. Ia merasa tersinggung atas ucapan si dara yang
menyebut-nyebut tentang pertolongannya. Buru-buru ia bangkit dan memberi hormat
kepada dara itu, "Terima kasih budi pertolongan nona. Lain waktu aku tentu akan
membalasmu. Karena masih ada lain urusan penting, aku mohon diri!"
Baru tiba di mulut goha, tiba-tiba terdengar si kakek menggeram, "Hm, belum pernah
ada orang yang berani bertingkah liar di hadapanku. Nyalimu besar sekali, budak. Kau
mau kembali atau tidak?"
Walaupun nadanya agak rendah tak bertenaga tetapi masih penuh wibawa. Siu-lam
tertegun dan berhenti. Berpaling ke belakang dilihatnya kakek bungkuk itu duduk
bersandar dinding goha. Wajahnya pucat tetapi tetap memancar kewibawaan. Tanpa
disadari Siu-lampun menghampiri lagi.
Di hadapan si kakek, Siu-lam pun membungkuk memberi hormat, "Lo-cianpwe hendak
memberi pesan apa?" Kakek itu membuka mata. Matanya memancarkan sinar berkilat-kilat tajam. Pada saat
pandangan Siu-lam beradu dengan mata si kakek, diam-diam ia menggigil.
Si kakek memandang Siu-lam dari ujung kaki hingga ke atas kepala. Serunya dingin,
"Berhadapan dengan aku, mengapa kau begini tak tahu adat?"
"Ah, mana aku berani," Siu-lam tersipu-sipu.
"Dewasa ini, orang yang berhadapan dengan aku dan tak memberi hormat, sungguh
dapat dihitung jumlahnya. Dan kau termasuk orang yang memperlakukan aku seperti
orang biasa saja!" kata si kakek.
Panas juga hati Siu-lam mendengar kata-kata sombong dari si kakek. Kalau menuruti
perasaannya, seketika itu juga ingin mendampratnya. Tetapi pada lain saat itu teringat
akan si dara. Jika ia berlaku keras terhadap si kakek itu, tentulah si dara akan berduka.
Bukankah ia berhutang budi dengan dara itu. Ah, lebih baik ia menuruti kata-kata si kakek.
Buru-buru ia bangkit dan memberi hormat kepada si kakek.
Tiba-tiba wajah kakek itu berubah gembira. Katanya dengan lemah, "Bangunlah, nak!
Memang tak terhitung jumlahnya orang yang memberi hormat kepadaku. Tetapi orang
yang memberi hormat begini khidmat, hanyalah kau seorang"."
Diam-diam Siu-lam mengkal. Bukankah si kakek itu sendiri yang menyuruh ia memberi
hormat. Dengan penuh keberanian, Siu-lam mengangkat kepala dan menatap si kakek.
Pada kedua pipi si kakek itu terdapat dua buah bekas luka guratan golok. Suatu hiasan
yang menambah keseraman wajah kakek itu.
Kakek bungkuk itu menghela napas. Ia memandang keluar goha yang telah terang
benderang tertimpa sinar mentari pagi. Kemudian ia memandang si dara. Katanya seorang
diri, "Song-ji, aku kuatir tak dapat keluar dari goha ini selama-lamanya. Andaikata dapat
keluar, tetapi sudah tak dapat menikmati alam pemandangan di luar goha lagi"."
Tiba-tiba dara itu menangis sesenggukan, ujarnya berbisik, "Kek, jangan tinggalkan
aku! Di dunia hanya kakek seorang yang menjadi keluarga"."
Tubuh kakek itu agak gemetar. Ujarnya setengah berbisik, "Aku sudah menderita
selama belasan tahun. Kini rupanya tak dapat kupertahankan lagi. Kecuali bisa mendapat
peta Telaga Darah".ah, percuma. Sekalipun bisa mendapatkan peta itu, tetapi sudah
terlambat"." "Tidak, kek! Kutahu kau masih dapat hidup lebih panjang, tetapi kau sendiri rupanya
yang tidak mau." Kakek bungkuk itu merenung. Pelahan-lahan ia ulurkan tangan mengelus-elus kepala si
dara, "Aku sudah kehabisan tenaga murni. Walaupun minum air Ki-seng-hwe-si, juga tak
dapat menolong lagi. Ah, kau bakal hidup seorang diri"."
Dara itu tak dapat menahan kedukaannya. Ia menubruk dada si kakek dan menangis
tersedu-sedan. Kakek itu pejamkan mata. Dua butir air mata mengalir dari ujung
pelupuknya". Ruang goha sunyi senyap. Diam-diam Siu-lam timbul keheranan. Dara itu begitu cinta
sekali kepada si kakek. Tetapi siapakah ayah bundanya" Apakah ayah-bundanya sudah
meninggal?" Si kakek membuka mata lagi dan pelahan-lahan mendorong tubuh si dara, ujarnya,
"Jangan menangis, cucuku! Di dunia tiada pesta yang tak berakhir. Meskipun aku dapat
hidup beberapa tahun lagi, toh tak nanti kau ikut padaku seumur hidup!"
"Tidak, kek," sahut si dara, "sehari kakek hidup, sehari aku tetap akan menemanimu."
Tiba-tiba wajah kakek itu mengerut serius, "Song-ji, paling banyak aku hanya dapat
hidup setengah bulan lagi. Dalam waktu singkat itu aku harus dapat menurunkan seluruh
ilmuku kepadamu"." Ia berhenti sejenak memulangkan napas, "selama belasan tahun ini,
kau telah berlatih dengan sungguh-sungguh sehingga kau telah mencapai kemajuan yang
hebat. Telah kusadari bahwa aku tak dapat hidup lebih lama maka kutilik latihan dengan
bengis. Tujuanku tak lain agar kau benar-benar dapat mewarisi kepandaianku. Asal aku
dapat hidup setengah tahun lagi, cita-citaku tentu terlaksana. Tetapi ah, rupanya Tuhan
tak mengijinkan. Pada saat rencanaku belum selesai, tiba-tiba penyakitku lama kambuh
lagi!" "Mengapa dulu-dulu kau tak memberitahukan kepadaku, kek?"
"Agar pikiranmu tidak terganggu! Nah, sekarang dengarkanlah pesanku. Sebelum mati,
aku menghendaki jalan darah Seng-si-hian-kwanmu terbuka agar latihanmu mencapai
kesempurnaan. Tetapi jika hal itu gagal, lebih baik kulenyapkan seluruh kepandaianmu
dan kawinlah dengan seorang gunung. Mungkin kau dapat hidup bahagia"."
Jilid 7 "KEK".!" Si dara menjerit kaget.
Kakek berjenggot perak itu merogoh keluar sebatang pisau kecil lalu dilemparkan ke
tanah. Dengan wajah serius berkatalah dia, "Sudah lama kusiapkan pisau kecil ini. Sebelum
aku mati, jika jalan darahmu Seng-si-hian-kwan belum terbuka, urat-urat Sau-im-sim-keng
di lengan kirimu, akan kupotong agar kepandaianmu punah"."
Mendengar itu ngerilah Siu-lam. Ia gemetar dan mengucurkan keringat dingin. Pikirnya,
"Kakek ini kejam sekali. Terhadap darah dagingnya sendiri, ia begitu dingin"."
Tiba-tiba kakek berjenggot perak itu menghela napas. Ujarnya, "Sejak kecil aku telah
mendapat pelajaran ilmu pengobatan dari suhuku. Aku paham sekali akan letak jalan
darah tubuh manusia. Andaikata sampai salah, paling-paling kau hanya kehilangan sebuah
lengan. Kejam tampaknya tetapi demi untuk kebahagiaan hidupmu, Song-ji!"
Diam-diam Siu-lam mengakui kebenaran ucapan kakek itu. Memang lebih bahagia bagi
seorang anak perempuan jika tak mengerti ilmu silat. Dia menikah, menjadi isteri dan ibu
yang merawat rumah tangga dan anak-anak.
Berkata si kakek lebih lanjut, "Ketahuilah, kepandaianmu sekarang ini tak sembarangan
tokoh persilatan mampu menandingi. Jika aku mati dan kau berkelana di dunia persilatan,
tentu akan bertempur dengan orang. Dan sekali bertempur, orang tentu akan mengetahui
sumber ilmu silatmu. Lalu menyelidiki asal-usulmu. Pada waktu itulah"." tiba-tiba kakek
itu hentikan bicara dan memandang wajah si dara.
Si dara tertawa rawan, "Apakah kakek menguatirkan musuh-musuhmu akan melakukan
pembalasan kepadaku?"
"Benar! Jika tahu asal-usulmu, mereka tentu berusaha keras untuk menangkapmu. Dan
sekali kau sampai jatuh ke tangan mereka, kau tentu akan merasakan derita siksaan yang
paling ngeri di dunia"." si kakek berhenti sejenak, lalu berkata pula, "Siksaan itu benarbenar
tak terperikan sakitnya. Song-ji, menghadapi saat-saat seperti itu, sekalipun kau
ingin mati juga tak bisa!"
Kakek dan cucu itu bicara asyik, Siu-lam tak dihiraukan sama sekali. Tampak si dara
merenung diam. Bukan karena ngeri mendengar kata-kata kakeknya. Tetapi sedang
mempertimbangkan sesuatu hal penting.
Beberapa saat kemudian si kakek melanjutkan lagi, "Merekapun berusaha mencari aku,
tetapi sampai begitu juga tak berhasil. Tetapi mereka tetap belum puas. Bulan yang lalu,
kedua orang yang kau totok jalan darahnya dalam warung itu, setelah kuperiksa mereka
mengaku memang orang Beng-gak. Karena itu maka segera kututup warung dan kuajak
aku pindah kemari. Ah, di tengah perjalanan kudengar lagi tentang tersiarnya peta Telaga
Darah. Serentak kurobah rencana dan menuju ke gunung Kiu-kiong-san. Tetapi tak
kunyana, karena perjalanan itulah maka penyakit lamaku kambuh lagi"." ia berhenti
terbatuk-batuk. Si dara mengelus-elus punggung kakeknya. Setelah kakek itu berhenti batuk,
bertanyalah dara itu, "Kakek pandai sekali ilmu obat-obatan. Masakan tak dapat
mengobati penyakitmu sendiri?"
Kakek itu gelengkan kepala! "Ah, memang dalam ilmu pengobatan, tiada yang mampu
menandingi aku. Jika tidak, tentu aku sudah mati sepuluh tahun yang lalu!"
Diam-diam Siu-lam terkejut. Dalam dunia persilatan hanya tabib Gan Leng-po yang
termasyhur pandai. Mengapa kakek itu membanggakan dirinya tiada tandingan"
Mendengar ucapan si kakek, menangislah si dara, "Kalau begitu penyakit kakek tiada
obatnya lagi?" "Untuk menyembuhkan lukaku, hanya kecuali jika kakek gurumu Lo Hian muncul di
gunung sini lagi!" Siu-lam terbelalak. Jika kakek itu mengatakan si dara sebagai cucu-murid dari orang
sakti Lo Hian, tentulah kakek itu adalah murid dari Lo Hian.
"Tetapi kakek-gurumu Lo Hian sudah lama meninggalkan dunia fana ini. Nak, jangan
memimpikan hal yang tak mungkin!"
Tiba-tiba wajah si dara mengerut gelap, serunya, "Karena ternyata luka kakek tak
mungkin disembuhkan lagi, aku tak ingin hidup sebatang kara di dunia. Selesai mengubur
jenazah kakek, segera aku pun hendak menghabiskan jiwaku di hadapan makammu!"
Si kakek terkesiap. Sesaat kemudian ia marah, "Dengan susah payah kurawat kau
sampai dewasa. Aku mewajibkan diri sebagai ganti orang tuamu. Belasan tahun aku rela
menderita siksaan sakit dari jalan darahku yang bergolak-golak sehingga seluruh tenaga
murni dalam tubuhku habis. Kuhabiskan tenagaku untuk mencari daun obat untuk
memperpanjang jiwaku. Apakah guna kesemuanya itu" Tak kira sekarang setelah kau
besar, ternyata begitu ringan kau memandang jiwamu. Jika dulu tahu begitu, tak perlu
kualami penderitaan sekian lama!"
Mendengar dampratan itu, menangislah si dara. Serunya terisak-isak, "Jika kakek tak
menghendaki aku menyusul kau ke akhirat, apakah kakek hendak membiarkan aku
seorang dara berkeliaran di dunia persilatan seorang diri?"
Kakek jenggot putih itu menghela napas pelahan, "Aku telah berusaha sekuat-kuatnya
untuk mencari obat. Selama ini memang aku berhasil mengumpulkan ramuan obat yang
tak ternilai mutunya. Dan kini aku kehabisan darah dan tenaga murni"." ia berhenti
terbatuk-batuk lalu berkata pula, "Sekarang tak dapat kuketahui sampai berapa lama lagi
dapat kupertahankan hidupku. Tetapi akan kugunakan waktu itu sebaik-baiknya untuk
menyelesaikan harapanku membuka jalan darah Seng-si-hian-kwan tubuhmu. Dalam ilmu
pedang, kau sudah mendapat tujuh delapan bagian dari pelajaranku. Asal kau giat berlatih
tentu akan mencapai kesempurnaan. Pada saat aku menghembuskan napas terakhir, jika
jalan darahmu Seng-si-hian-kwat tak dapat terbuka, kau harus memotong sebelah urat
nadimu. Dan sejak itu janganlah kau bicara soal ilmu silat lagi!"
Perlahan-lahan mata si dara tertumpah pada pisau kecil di atas tanah. Butir-butir air
mata mencucur dari matanya. Beberapa saat kemudian barulah ia kerutkan gigi dan
berseru dengan nada keras, "Karena kakek sudah menetapkan sudah tentu Song-ji tak
berani melanggar. Aku akan berusaha keras agar harapan kakek terlaksana!" habis
berkata ia segera duduk bersila pejamkan mata.
Kemudian si kakek memandang pada Siu-lam, tegurnya, "Anak murid siapakah kau?"
"Wanpwe adalah anak murid dari Ciu Pwe lo-enghiong," sahut Siu-lam.
Kata si kakek, "Kau dapat berjumpa dengan aku tanpa kita berjodoh. Aku hendak minta
tolong sebuah hal padamu, apakah kau suka meluluskannya?"
Karena teringat akan keselamatan sumoaynya, Siu-lam agak meragu. Tetapi akhirnya ia
menerima juga. Sepasang alis kakek itu berjungkat ke atas. Wajahnya memancarkan sinar kemarahan.
Tetapi pada lain saat ia tenang kembali, ujarnya, "Setiap hari aku harus menggunakan sisa
tenaga murniku melawan derita kesakitan dari jalan darahku. Dalam keadaan seperti saat
itu aku tak berdaya melawan serangan siapapun juga"."
"Apakah lo-cianpwe menghendaki aku supaya melindungi nona Tan?" seru Siu-lam.
Tiba-tiba wajah kakek itu merah, serunya, "Seumur hidup aku tak pernah minta tolong
pada orang. Jika kau meluluskan hal itu, tentu kau takkan kecewa. Pada saat semangatku
sadar, akan kuberimu bermacam ilmu silat. Hal itu akan kulangsungkan sampai jalan darah
Seng-si-hian-kwan Song-ji sudah terbuka atau napas sudah berhenti."
Diam-diam Siu-lam girang. Ya, cukup dengan satu dua macam ilmu saja, tentulah ia
akan memiliki kesaktian yang menggemparkan. Tetapi pada lain saat ia teringat akan
keselamatan sumoaynya. Buru-buru ia hendak menolak permintaan si kakek, tetapi pada
lain kilas ia teringat akan pernyataan kakek itu tadi. "Ah, bahwa dia bakal tak lama hidup
di dunia tentulah tidak bohong! Wanita berwajah seram itu memberi batas waktu sampai
tiga bulan. Rasanya sekarang masih ada waktu. Ah, lebih baik kuterima permintaan kakek
ini. Menilik kepandaian si dara itu, apabila aku dapat memperoleh kepandaian kakeknya
tentulah bermanfaat sekali buat melaksanakan tujuanku membalas sakit hati kedua
guruku"." Akhirnya ia berkata kepada si kakek, "Aku merasa berhutang budi kepada nona Tan.
Sudah tentu aku wajib membalasnya. Tetapi sayang aku mempunyai janji dengan orang
lain sehingga tak dapat lama-lama tinggal di sini. Jika dalam setengah bulan nona Tan tak
dapat terbuka Seng-si-hian-kwannya, akupun terpaksa akan tinggalkan tempat ini."
Kakek jenggot putih menghela napas, "Mungkin sukar aku bertahan diri sampai
setengah bulan. Jika dalam setengah bulan itu dia tak berhasil membuka Seng-si-hiankwannya,
biarlah dia memotong urat nadinya dan melenyapkan seluruh ilmu
kepandaiannya"." ia berhenti sejenak lalu berkata pula, "Senjata apakah yang biasa kau
gunakan?" "Pedang!" sahut Siu-lam.
Si kakek memungut sebatang ranting pohon siong yang panjang, serunya, "Lebih dulu
hendak kuajarkan sebuah ilmu pedang. Hanya karena tenaga murniku sudah hampir habis
maka sukarlah kuberi penjelasan. Kau harus memperhatikan sendiri!" habis berkata segera
ia gerak-gerakkan batang ranting itu. Sambil memberi keterangan sambil memainkan
gerakannya. Siu-lam mencurahkan seluruh perhatiannya dan menirukan gerakan si kakek. Pada
permulaan ia masih belum mengetahui betapa tinggi keindahan ilmu pedang itu.
Dua belas jurus kemudian, si kakek berhenti, ujarnya, "Ilmu pedang ini, boleh dikatakan
sudah selesai. Kau harus mempelajarinya sendiri. Jika ada yang kurang jelas, boleh kau
tanyakan padaku." Habis berkata si kakek lalu pejamkan mata dan melakukan penyaluran
napas. Rupanya ia harus mengalami penderitaan yang hebat akibat kehabisan tenaga.
Makin yakin Siu-lam bahwa orang tua itu orang sakti, makin tumbuhlah rasa kagum dan
perindahannya. Tetapi diam-diam iapun kasihan melihat bagaimana penderitaan orang tua
itu untuk menggembleng cucunya. Tiba-tiba ia teringat akan pelajaran orang tua itu tadi.
Buru-buru ia memungut batang pohon dan segera berlatih. Tetapi makin lama ia makin
bingung. Beberapa kali ia terpaksa berhenti. Pikirnya hendak bertanya pada orang tua itu.
Tetapi ketika menampak wajahnya, keinginan itupun reda.
Saat itu si kakek sedang mandi keringat. Keringat bercucuran jelas dari kepala
membasahi mukanya. Jelas ia sedang berjuang mati-matian untuk menahan derita sakit
urat nadinya. Terpaksa Siu-lam tak mau mengganggunya.
Berpaling arah, dilihatnya si dara masih tetap duduk bersemedhi dengan wajah serius.
Kepalanya menengadah ke muka dan dari ubun-ubun kepalanya menguap asap. Diamdiam
Siu-lam kagum. Seorang dara yang baru belasan tahun umurnya ternyata sudah
memiliki ilmu lwekang yang sedemikian hebatnya.
Tiba-tiba Siu-lam gelagapan. Ia teringat akan tugas yang dihadapinya itu. Bukankah
tadi ia sudah menyanggupi diri untuk melindungi. Pada saat seperti itu, apabila ada musuh
datang, tentu celakalah kedua kakek dan cucu itu. Segera ia melangkah ke pintu goha.
Langit berkabut awan tebal dan angin menderu-deru. Beberapa saat kemudian tiba-tiba
cuaca berubah tenang. Puncak gunung yang putih tertutup salju, tampak menonjol jelas.
Sekonyong-konyong di antara angin puyuh, terdengar teriakan nyaring, "Kau mau
bilang tidak?" Siu-lam terkejut. Ia tak asing dengan suara itu. Berpaling arah, dari mulut lembah
muncul dua orang lelaki. Orang yang di muka kedua tangannya diringkus ke belakang.
Dan di belakang seorang tua rambutnya terurai, memegang sebatang tongkat bambu, tak
henti-hentinya mendorong orang di muka itu supaya lekas berjalan. Ah, orang tua
berambut kusut itu bukan lain dari Ti-ki-cu Gan Leng-po! Dan yang tak henti-hentinya
didorong itu bukan lain ialah kepala golongan hitam daerah Kanglam Wan Kiu-gui.
Kedua tangan Wan Kiu-gui diikat ke belakang. Sambil tangan kiri memegang ujung tali,
tangan kanan Gan Leng-po yang mencekal tongkat, tak henti-hentinya menggebuki Wan
Kiu-gui. Diam-diam Siu-lam geli, "Ah, tak nyana seorang pemimpin penyamun yang termasyhur,
telah ditawan dan digusur sedemikian rupa. Apabila diketahui anak buahnya, betapa
malunya!" Tiba-tiba Siu-lam terkesiap. Gan Leng-po seorang tabib sakti. Siapa tahu ia mungkin
dapat mengobati luka kakek dalam goha ini. Baru ia hendak meneriaki, tiba-tiba Wan Kiugui
berhenti dan memandang ke atas. Buru-buru Siu-lam menyurut ke dalam goha.
Kedengaran Wan Kiu-gui berkata, "Aku benar-benar tak tahu di mana beradanya peta
Telaga Darah itu. Kalau tak percaya, apa yang dapat kulakukan?"
Gan Leng-po marah, "Masakan aku Gan Leng-po kena kau kelabui" Tak mau
mengatakan peta Telaga Darah jangan harap kau bisa hidup!"
"Masakan aku takut mati" Mau bunuh, bunuhlah! Tetapi kalau mau menghina secara
begini, jangan marah kalau kumaki-maki!"
"Asal kau dapat membawa aku ke tempat peta itu tentu segera kulepaskan. Kau bebas
pergi kemana saja, aku tak perduli lagi!" Gan Leng-po tetap mengoceh peta Telaga Darah


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja. "Kau sudah memberi pertolongan mengobati lukaku. Tetapi juga tak sedikit hinaan
yang kau timpakan kepadaku. Budi dan dendam saling bertentangan. Jika aku
membunuhmu, bukankah aku membalas budi dengan kejahatan!"
"Jangan banyak bicara, lekas bawa aku ke tempat peta itu!" bentak Gan Leng-po.
Wan Kiu-gui tertawa dingin, "Walaupun aku tahu tempat itu, tetapi aku kuatir kau tak
berani memintanya." "Siapa bilang!" teriak si tabib.
Siu-lam terkejut. Dalam keadaan seperti orang gila itu, Gan Leng-po tentu berani
melakukan apa saja. Jika Wan Kiu-gui bermaksud hendak mencelakai dirinya (Siu-lam),
tentu mudah sekali. Bagaimana dengan keselamatan kakek dan cucunya ini" Ah, kakek ini
telah melepas budi kepadaku, aku harus melindungi mati-matian"."
Terdengar Wan Kiu-gui berkata, "Tempat peta itu jauh sekali. Mendaki puncak ini, kita
dapat menghemat waktu ke sana!"
Siu-lam makin kaget. Jika mereka naik ke puncak, tentulah mengetahui goha di situ.
Jelas kedua tokoh itu jauh lebih sakti dari dirinya. Siu-lam makin gelisah.
Tetapi agaknya Gan Leng-po tak mudah dikelabuhi. Serunya, "Mana bisa, puncak ini
melandai. Untuk mendaki tentu ikatan tanganmu harus dibuka dulu. Lebih baik kita ambil
jalan lain!" Kedua orang itu segera melangkah pergi. Siu-lam menghela napas longgar. Ia duduk
termenung-menung menjaga di muka pintu goha. Entah beberapa lama kemudian, tibatiba
kedengaran si kakek jenggot putih berseru, "Apakah kau sudah mengerti ilmu pedang
yang kuajarkan tadi?"
"Ilmu pedang yang lo-cianpwe ajarkan, luar biasa indahnya. Setelah berlatih beberapa
jurus aku bingung!" Kakek itu tersenyum, "Tak dapat menyalahkan kau. Kedua belas jurus ilmu itu,
memang merupakan kumpulan dari ilmu pedang di dunia persilatan. Sudah tentu dalam
waktu singkat kau tak mungkin dapat memahami perobahannnya. Tetapi asal kau ingat
baik gerakan kedua belas jurus itu dan terus berlatih giat, ilmu pedang itu tentu akan
dapat kau pahami. Tentang inti keindahannya, lama kelamaan kau tentu dapat menyelami
sendiri?" tiba-tiba ia berhenti dan berpaling ke arah cucunya. Wajahnya tampak berseri
girang. Siu-lam heran mengapa kakek itu tiba-tiba begitu gembira. Tiba-tiba ia dapat
menangkap bunyi desir halus. Wajah si dara tampak merah dan tubuhnya menggigil.
Rupanya ia tengah menahan penderitaan hebat.
"Huak".!" tiba-tiba mulut dara itu menguak keras dan rubuhlah ia terjerembab ke
belakang. Siu-lam terkejut dan cepat-cepat lompat hendak menolong. Tetapi si kakek
mencegahnya, "Jangan sentuh dia!"
Tangan Siu-lam yang sudah menyentuh pakaian si dara terpaksa ditarik lagi dan ia
mundur ke belakang. Dipandangnya kakek itu dengan kesima.
"Dia sedang mengumpulkan seluruh hawa murni dalam tubuhnya untuk menyelesaikan
usahanya yang terakhir, menembus jalan darah Seng-si-hian-kwan. Jika kau sembarangan
menggoyangnya jalan darahnya akan binal dan mungkin dia akan menjadi Co-hwat-jipmo!"
Siu-lam terkejut. Co-hwat-jip-mo artinya akan gusar dalam keadaan yang kacau. Atau
jalan darah itu akan membinal tak karuan jalannya. Kalau tidak rusak tubuhnya tentu dia
akan menjadi seperti orang gila".
Kira-kira sepeminum teh lamanya dalam keadaan tubuh telentang dengan kedua kaki
masih bersila, dara itu tiba-tiba mengurai kakinya lalu bergeliat bangun.
"Usahamu hampir berhasil. Mungkin dalam waktu setengah bulan lagi kau tentu sudah
memenuhi apa yang kuharapkan!" si kakek tertawa riang.
Dara itu gelengkan kepala, "Ah, janganlah kakek menaruh harapan terlalu besar
kepadaku. Setengah bulan cukup lama, mungkin terjadi perubahan yang mengecewakan!"
Habis berkata si dara lalu menghampiri sudut goha dan menyalakan api menanak nasi.
Tak beberapa lama mereka segera bersantap. Meskipun hanya dengan sayur-mayur
sederhana, tetapi ternyata dara itu pandai memasak. Dan karena sehari semalam tak
makan, Siu-lam dapat menghabiskan empat mangkok nasi.
Selesai makan, si dara kembali duduk bersemedhi. Sedang si kakek mulai mengajarkan
ilmu pukulan baru kepada Siu-lam.
Waktu berjalan cepat sekali. Tak terasa sudah sepuluh hari mereka tinggal di goha. Si
kakek sibuk menurunkan pelajaran kepada Siu-lam dan si dara giat bersemedhi
menyalurkan jalan darahnya. Bagi Siu-lam, apa yang diterima selama itu benar-benar tak
ternilai. Pelajaran dari si kakek itu boleh dikata meliputi seluruh ilmu silat yang terdapat di
dunia persilatan. Diam-diam tak mengerti mengapa sedemikian giat si kakek memberi
pelajaran kepadanya. Apakah kakek itu hendak mempergunakan hidupnya yang tinggal
sedikit itu untuk menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Siu-lam agar ilmu
kepandaian itu jangan turut lenyap terkubur di tanah"."
Pada hari yang keempat belas tiba-tiba kakek itu merangkak bangun dan menghampiri
goha. Ia melongok keluar. Saat itu malam hari. Langit penuh bertabur bintang. Salju
menyelimuti lereng gunung. Sambil mengurut-urut jenggot, kakek itu menghela napas.
"Ah, tak kira sinar bulan yang terakhir, tak dapat kunikmati"." katanya seorang diri
dengan nada penuh haru. Siu-lam hendak menghibur tetapi tak tahu bagaimana harus mengatakan. Hanya
sepatah kata yang dapat ia serukan, "Lo-cianpwe"."
Kakek jenggot putih berpaling, "Kemarilah!" serunya berbisik.
Buru-buru Siu-lam menghampiri, "Apakah yang lo-cianpwe hendak pesankan?"
Kakek berjenggot putih itu tertawa hambar, "Seumur hidup aku belum pernah begini
ramah terhadap orang"." Ia berpaling ke arah si dara yang masih duduk bersemedhi.
"Kecuali terhadap Song-ji seorang!"
"Tetapi lo-cianpwe telah memperlakukan sebagai orang tua dan melepas budi yang
besar sekali"."
"Ah, mungkin iut tanda-tanda dari keberangkatanku ke alam baka?" kata si kakek,
"Jika meninggal, kuburkanlah aku di puncak gunung itu!"
Menurut arah yang ditunjuk si kakek, Siu-lam melihat sebuah puncak yang menjulang
tinggi menyusup awan. Tempat yang bersuasana sunyi hampa, terpisah dari dunia ramai.
Tak terasa bercucuran air mata Siu-lam.
"Hm, anak yang berguna, perlu apa menangis. Dahulu aku menderita luka parah,
sekujur tubuhku tertabur luka. Sehari semalam terbujur di atas tanah salju, tetap aku tak
mengerang sepatahpun juga. Tak sebutir air mata mengucur dari mataku"."
"Lo-cianpwe seorang manusia luar biasa, sudah tentu wanpwe tak mungkin menyamai!"
Si kakek tersenyum, "Pintar sekali kau memaki. Mengapa tak memaki saja sebagai
seorang yang berwajah besi berhati dingin"." Tiba-tiba kakek itu mengerut wajah.
Dengan nada serius berkatalah ia, "Besok siang sudah penuhlah hari perjanjian kita. Aku
harus mengerahkan sisa tenagaku untuk membantu menembus jalan darah Seng-si-hiankwan
Song-ji"." "Dalam hal ini harap lo-cianpwe jangan"."
"Dalam setengah bulan ini Song-ji telah mencapai kemajuan pesat sekali. Paling-paling
aku hanya membantunya memberi penuntun. Mungkin akan menghabiskan tenaga
murniku dan akupun segera mati. Berlakulah tenang, setelah ia sadar"." Ia mengeluarkan
sebuah kantong kim-piau (kantong dari sutera emas), "Kim-tay ini untuk sementara kau
bawalah. Setelah ia sadar, kasihkanlah kepadanya. Jika ia masih belum berhasil terbuka
Seng-si-hian-kwannya, bakarlah kantong ini"."
Cepat-cepat Siu-lam menerima kantong itu dan disimpannya. Kakek itu menghela napas
pula, "Kemungkinan aku tentu sudah meninggal sebelum Song-ji tersadar. Jangan kau
gelisah dan mengganggu persemedhiannya"."
Dengan khidmat Siu-lam mengiakan.
Kakek itu merenung diam. Beberapa lama kemudian baru ia berkata kepada Siu-lam
pula, "Seumur hidup aku tak suka menerima pertolongan orang. Aku hendak menukarkan
sebuah ilmu pedang dan sejurus ilmu pukulan kepadamu. Dan kau harus mengerjakan
sebuah hal untukku."
"Mengapa lo-cianpwe berkata begitu" Apa yang lo-cianpwe pesan, tentu akan
kukerjakan. Tak perlu harus tukar-menukar"."
Si kakek menukas kata-kata Siu-lam dengan nada dingin, "Setiap saat aku bisa mati
sekarang ini. Tiada tempo banyak bicara dengan kau. Kau mau meluluskan atau tidak,
lekas bilang!" "Tentu wanpwe bersedia menerima," tersipu-sipu Siu-lam menyahut.
Si kakek menjumput batang pohon siong lagi, katanya, "Jurus ilmu pedang ini disebut
Kiu-toh-coa-hoa. Merupakan ilmu pedang yang paling ajaib sejak jaman dulu. Meskipun
bukan ciptaanku sendiri tetapi dalam dunia persilatan tiada orang kedua yang dapat
memainkan pedang itu kecuali aku"."
Ia berhenti untuk memulangkan napas. Katanya pula, "Sayang aku terlambat
mengetahui ilmu pedang ini. Maka selama bertempur dengan musuh, belum pernah aku
menggunakannya. Tentang jurus ilmu pukulan itu, meskipun tak sehebat ilmu pedang tadi,
tetapi dapat merupakan imbangan untuk menundukkan lawan. Di kolong jagad, tak
mungkin terdapat orang yang mampu lolos dari serangan ilmu pedang dan ilmu pukulan
itu. Satu-satunya orang yang mampu hanyalah guruku Lo Hian!"
Diam-diam Siu-lam heran mendengar ucapan kakek itu. Batinnya agak tak percaya,
"Betapapun luar biasa ilmu pukulan dan ilmu pedang itu, tetapi masakan di dunia tiada
terdapat orang yang mampu menghindari!"
Si kakek julurkan batang pohon siong ke muka, "Lihatlah! Sekali jurus ini bergerak,
semua berjumlah delapan buah perobahan. Kau harus ingat baik-baik akan perobahan itu.
Kurang satu saja, kehebatannya akan berkurang!"
Batang pohon lurus ke muka dan siku lengan si kakek itu agak bergoyang-goyang.
Seketika batang pohon itu bergerak-gerak menjadi sebuah lingkarang kecil.
Dengan penuh perhatian, Siu-lam mengikuti pelajaran itu. Ah, memang benar banyak
sekali perobahannya. Dan karena si kakek melambatkan gerakannya, maka mudahlah Siulam
melihatnya. Sambil memberi pelajaran, si kakek pun memberi penjelasan seperlunya. Tiba-tiba Siulam
menyadari bahwa apa yang dibanggakan si kakek itu memang nyata. Ilmu pedang itu
benar-benar luar biasa hebatnya. Seketika ia curahkan seluruh semangat dan perhatian
untuk mencatat di dalam hati.
Selesai memberi pelajaran tiba-tiba kakek itu batuk-batuk dan muntah darah. Bukan
main terkejutnya Siu-lam. Buru-buru ia mengelus punggung si kakek.
"Apa kau dapat mengingat perobahan ilmu pedang tadi?" tanya si kakek.
Melihat keadaan si kakek, kasihanlah Siu-lam.
Kalau mengatakan belum dapat mengingat seluruhnya, si kakek tentu akan mengulang.
Dan ini berarti menyiksanya. Maka terpaksa ia menyahut kalau sudah mengerti.
Saat itu pikiran si kakek sudah tak tenang lagi. Iapun menerima saja keterangan anak
muda itu, serunya, "Bagus, sekarang sudah kuajarkan padamu sebuah ilmu pukulan yang
disebut Hud-hwat-bu-pian (ilmu pelajaran Budha tiada batasnya)."
Sambil membuat gerakan-gerakan, si kakek menerangkan, "Ilmu pukulan ini
mempunyai tiga buah perobahan, sesuai dengan unsur Langit, Bumi dan manusia. Sedang
ilmu pedang Kiau-to-co-hoa sesuai dengan unsur Pat-kwa (delapan unsur dunia). Berbeda
namun saling mengisi satu sama lain. Sekalipun agak kalah hebat dengan ilmu pedang
Kiau-to-co-hoa, tetapi tak mungkin orang dapat menghindari pukulan Hud-hwat-bu-pian
ini!" Untuk ilmu pukulan ini, Siu-lam benar-benar curahkan seluruh perhatiannya. Dan
tampaknya kakek itupun bersemangat sekali mengajarkannya. Maka tak heran kalau Siulam
mengerti sepenuhnya pelajaran ilmu pukulan itu. Tetapi karena letih, kembali si kakek
muntah darah lagi! Setelah beberapa saat pejamkan mata, kakek itu bergeliat bangun, ujarnya, "Kini aku
telah menurunkan dua macam ilmu pukulan dan ilmu pedang yang tak terdapat di dunia
persilatan. Kini aku hendak minta kau melakukan sebuah hal untukku. Tetapi kau harus
bersumpah lebih dulu untuk melaksanakan sampai selesai."
Siu-lam terkejut heran, pikirnya, "Mengapa aku harus bersumpah" Urusan apakah yang
sedemikian pentingnya?"
"Apakah lo-cianpwe anggap wanpwe tentu dapat melakukannya?" tanyanya bersangsi.
"Kau mampu melakukannya. Yang dikuatirkan kau tak mau melakukannya!" jawab si
orang tua. Siu-lam menjawab serentak, "Asal wanpwe dapat, walaupun menerjang ke dalam
lautan api, wanpwe pasti akan melaksanakan untuk lo-cianpwe!"
"Ah, mudah sekali. Dengan sisa tenagaku, akan kubantu Song-ji untuk membuka Songsi-
hian-kwannya. Dalam melakukan itu, aku pasti akan mati. Adakah Song-ji nanti berhasil
terbuka Song-si-hian-kwannya atau tidak, sukar kukatakan. Kuperhitungkan, besok
sebelum tengah hari, dia pasti sudah sadar. Apabila Song-si-hian-kwannya belum terbuka,
dia tentu letih sekali"." si kakek berhenti. Tiba-tiba ia berganti dengan nada bengis,
"Apabila saat itu ia belum terbuka Song-si-hian-kwannya, kau harus segera menotok jalan
darah Si-hiat (kematian). Lalu timbunilah goha ini dengan kayu kering dan bakarlah
mayatku dan mayatnya"."
"Hai!" Siu-lam menjerit kaget.
"Kau sudah bersumpah. Jika ingkar, kau akan menerima akibat dari sumpahmu itu"." si
kakek memperingatkan. Kemudian ia menghela napas, ujarnya, "Rencanaku ini demi untuk
kepentingannya. Lakukan saja apa yang kukatakan tadi!"
Kakek itu segera terhuyung-huyung menghampiri si dara. Ia duduk bersila di belakang
tubuh dara itu. Dengan pejamkan mata, mulailah si kakek ulurkan tangan kanannya
melekat pada punggung si dara. Beberapa saat kemudian tampak wajah si kakek yang
pucat itu berobah merah segar. Kepalanya menguap asap dan keringat membanjir turun.
Sementara si dara yang duduk bersila, saat itu bahkan tampak tenang sekali. Suasana
dalam goha hening sekali. Siu-lam tak berkesiap memandang kedua kakek dan cucu
dengan hati yang gundah. Ia terharu sekali menyaksikan pemandangan yang begitu
mengharukan sekali. Karena semangat dan tenaganya letih sekali mengikuti pelajaran yang diberikan si
kakek tadi, tak terasa tertidurlah ia. Ketika terbangun ternyata matahari sudah menerangi
luar goha. Tampak si dara masih duduk bersila. Ia menghela napas lega lalu berjalan ke
pintu goha untuk menghirup hawa segar. Tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan orang
menyebut peta Telaga Darah. Celaka, tabib Gan Leng-po itu sakti sekali. Dalam keadaan
tak waras seperti dia sekarang, apabila sampai masuk ke dalam goha itu, si dara tentu
bakal terganggu. Sekali persemedhian dara itu terganggu, tak dapat tidak pasti si dara
akan terdampar dalam kondisi Co-hwe-jip-mo. Dara itu pasti cacad atau mungkin mati.
Siu-lam mengucurkan keringat dingin. Akhirnya ia memungut sebatang dahan pohon
siong yang agak panjang dan mengumpat di balik pintu goha. Ia memutuskan, demi untuk
melindungi keselamatan kakek dan cucunya itu, ia terpaksa harus menyerang Gan Lengpo.
Tetapi ketegangan hatinya hanya beberapa kejab. Teriakan tabib yang gila itu makin
lama makin jauh. Rupanya tabib itu lari menuju ke tengah lembah. Siu-lam menghela
napas longgar. Berpaling ke belakang dilihatnya bibir dara itu gemetar dan dada berkembang kempis,
napas terengah-engah. Kepala dan mukanya basah kuyup dengan cucuran keringat.
Saking kagetnya, Siu-lam cepat lari menghampiri. Segera ia hendak menjamah tetapi tibatiba
teringatlah ia akan pesan si kakek. Buru-buru ia menarik kembali tangannya.
Tiba-tiba dari belakang terdengar orang tertawa dingin, "Jangan mengganggunya!"
Siu-lam berpaling kaget. Ah, kiranya di dalam goha telah bertambah seorang tua
berjubah biru. Wajahnya membesi, mengenakan kain pembungkus kepala berbentuk
persegi. Siu-lam terkejut. Tak tahu ia bila dan bagaimana orang tua itu masuk. Dihampirinya
orang itu dan disapanya, "Siapakah yang lo-cianpwe hendak cari?"
Sepasang mata orang tua berjubah biru itu berkilat-kilat memancarkan api.
Dipandangnya sekeliling goha lalu menyahut dingin, "Kalian bertiga bukan orang yang
hendak kucari!" tiba-tiba ia berputar tubuh terus melangkah keluar.
Siu-lam diam saja. Baginya lebih baik kalau orang itu pergi agar terhindar dari
gangguan. Di luar dugaan, baru dua langkah orang itu berjalan, tiba-tiba ia berbalik diri
lagi, serunya, "Pernahkan kau berjumpa dengan dua orang pemuda yang bersenjata poankoan-
pit?" "Mereka lebih kurang berumur tujuh belas tahun?" seru Siu-lam.
"Benar, benar! Di manakah mereka sekarang?" orang tua berjubah biru itu berseru
girang. "Setengah bulan yang lalu aku memang pernah melihat mereka tetapi di manakah
mereka sekarang tak tahulah aku!"
Rupanya orang tua berjubah biru tidak begitu percaya atas keterangan Siu-lam. Masih
ia mendesaknya, "Mereka hanya dua orang atau dengan orang lain lagi?"
"Mereka berombongan. Di antaranya terdapat seorang tua berjenggot panjang yang
membekal golok besar"."
"Tentulah si Golok Besar Lo Kun!" seru orang tua berjubah biru itu.
"Entahlah, aku tak tahu namanya. Selain itu masih terdapat beberapa paderi lagi," kata
Siu-lam. "Mereka tentu Thian Hong totian dan murid-muridnya. Rupanya keteranganmu ini
memang tak bohong!" "Memang aku tak suka bohong."
Orang tua berjubah biru itu berputar diri melangkah ke mulut goha. Diam-diam Siu-lam
menghela napas lega. Ketika ia hendak berpaling melihat keadaan si dara, tiba-tiba orang
tua jubah biru itu melesat ke dalam goha lagi. Kedua matanya memandang berkilat-kilat
pada orang tua jenggot putih yang berada di belakang si dara yang tengah duduk bersila.
"Siapakah namamu?" tegurnya.
"Pui Siu-lam!" "Apakah orang tua yang berada di belakang si dara itu gurumu?"
Siu-lam mengakui bahwa orang tua jenggot putih itu telah menurunkan bermacam ilmu
kesaktian kepadanya. Kakek itu dapat dianggap menjadi gurunya. Tetapi jika ia
mengakuinya sebagai guru, tentulah si orang tua berjubah biru ini akan bertanya panjang
lebar. Setelah berpikir sejenak, menyahutlah ia, "Aku juga baru saja bertemu dengan
mereka dalam goha ini!"
"O, kiranya begitu?" orang tua jubah biru mengerutkan alis setengah tak percaya. Ia


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah maju. Bukan kepalang kejut Siu-lam. Cepat ia menghadang, "Lo-cianpwe mau apa" Mereka
sedang menyalurkan tenaga dalam, harap jangan diganggu!"
Orang tua jubah biru itu tertawa dingin, "Menyingkirlah!" ia menyiak dengan tangan
kiri. Siu-lam cepat menarik lengan kiri, secepat kilat tangan kanan menampar pergelangan
tangan orang tua itu. Dalam gugupnya, tak sengaja, Siu-lam gunakan ilmu penampar jalan
darah yang diajarkan si kakek jenggot putih kepadanya. Orang tua jubah biru itu terkejut
dan loncat mundur". Mulutnya mendesis perlahan. Ditatapnya Siu-lam tajam-tajam. Tiba-tiba ia menengadah
muka tertawa gelak-gelak, "Aku Kat Thian-beng sudah dua puluh tahun tak keluar dunia
persilatan. Tak kira di kalangan anak muda juga timbul jago-jago lihay. Ingin aku bermainmain
barang beberapa jurus denganmu!"
Mendengar itu gelisahlah Siu-lam. Buru-buru ia membungkuk memberi hormat, "Sama
sekali aku tak bermaksud hendak mengajak lo-cianpwe berkelahi!"
Tiba-tiba Kat Thian-beng berseru nyaring, "Katakan terus terang, siapa kakek itu
sebenarnya?" Sahut Siu-lam, "Tetapi benar-benar aku tak tahu namanya. Harap lo-cianpwe maafkan!"
Kat Thian-beng mendengus dingin, "Aku ini orang apa, masakah kena kau kelabuhi!"
tiba-tiba ia melesat maju dan memukul dada Siu-lam.
Melihat gerakan yang sepesat dan pukulan yang sedahsyat itu, bukan kepalang kejut
Siu-lam. Siu-lam bingung. Jika ia menangkis, ia merasa tak mampu menerima pukulan
orang tua itu. Namun kalau menghindar ke samping, tentulah orang tua itu akan
memperoleh kesempatan untuk masuk lebih dalam. Dalam gugupnya, ia kerahkan tenaga
dalam dan menyongsong dengan pukulan.
Di luar dugaan Kat Thian-beng mendesis dan loncat mundur sampai tiga langkah lalu
menyelinap keluar goha. Siu-lam tercengang. Sesaat kemudian baru ia menyadari bahwa pukulannya tadi
ternyata dapat membuat si orang tua jubah biru lari. Ia ingat bahwa ia tadi hanya
kerahkan seluruh tenaga dalam ke arah dada kemudian menyalurkan menutupi jalan
darah yang penting. Setelah siapkan pertahanan diri, barulah ia balas memukul. Ia
memukul sekenanya saja. Entah mengenai bagian mana dari tubuh orang tua itu.
Ternyata tanpa disadari Siu-lam telah gunakan jurus Hud-hwat-bu-pian ajaran si kakek.
Pelajaran itulah yang paling banyak meminta perhatian serta paling berkesan dalam
ingatannya. Beberapa saat kemudian ia melangkah ke mulut goha. Melongok ke bawah, tampak
sesosok bayangan orang lari bagai bintang meluncur jatuh di angkasa. Orang itu lari
keluar lembah dan pada lain kejab lenyap dari pemandangan.
Seketika teringatlah ia akan ucapan si kakek jenggot yang mengatakan, "Sayang aku
terlambat mengetahui rahasia ilmu pedang ini. Maka selama ini tak pernah kugunakan
ilmu pedang itu. Tentang ilmu pukulan, walaupun hanya satu jurus tetapi merupakan
imbangan dari ilmu pedang. Di kolong dunia tak mungkin terdapat orang yang mampu
lolos dari serangan ilmu pedang dan ilmu pukulan ajaranku ini."
Pada waktu itu, ia tak percaya akan kata-kata si kakek. Ia kira si kakek itu hanya
membual saja. Tetapi apa yang ia buktikan saat ini, benar-benar menyadarkan pikirannya.
Ucapan kakek jenggot putih bukan kata-kata kosong.
Serentak ia berlatih lagi ilmu pukulan ajaran kakek itu sampai dua kali".
Kali ini Siu-lam berlatih dengan penuh semangat dan berhati-hati sekali agar jangan
sampai salah. Walaupun hanya sejurus namun telah memaksa waktu yang cukup lama.
Setelah merasa cukup, mulailah ia berlatih ilmu pedang. Amboi" sama sekali ia lupa akan
gerak-gerak ilmu pedang itu! Buru-buru ia berhenti dan mulai merenung. Dipusatkan
seluruh pikirannya untuk mengingat gerak-gerak ilmu pedang itu. Akhirnya berhasil juga ia
mengingat-ingatnya. Diambilnya sebatang ranting pohon siong lalu mulai mainkan jurus-jurus menurut
ajaran si kakek. Menurut kata si kakek jenggot putih, ilmu pedang itu mempunyai delapan
jurus perobahan, tetapi baru ia mainkan tiga jurus, ia sudah berhenti. Benar-benar ia tak
mampu mengingat jurus-jurus berikutnya lagi".
Ia mengulang sampai berpuluh kali. Hendak dipaksanya ingatannya supaya dapat
melanjutkan jurus-jurus berikutnya dari ilmu pedang Jiu"toh-co-hoa itu, namun tetap
gagal. Benar-benar ia hanya mampu memainkan tiga jurus saja. Ia menghela napas
panjang". Tiba-tiba ia teringat akan si dara. Buru-buru ia berpaling. Dilihatnya dara itu masih
duduk bersemedhi. Saat itu ia tak mengucurkan keringat lagi. Bibirnya sudah terkatup dan
wajahnya berseri senyum. Longgarlah perasaan Siu-lam. Tiba-tiba ada suatu perhatian
yang menarik matanya. Kecuali pada kulit mukanya beberapa bintik-bintik kecil warna
hitam, tampang muka dara itu sebenarnya cukup menarik. Alis dan matanya indah
dipandang. Sepasang bibirnya merah segar, giginya memutih laksana untaian mutiara.
Seorang dara yang cantik juga kiranya".
Tiba-tiba dara itu menghela napas panjang dan membuka mata. Setelah memandang
kian kemari, ia berseru perlahan, "Kakekku".?"
Sekonyong-konyong Siu-lam teringat akan ucapan si kakek beberapa waktu yang lalu.
Seketika berdebarlah hatinya. Masih terngiang-ngiang kata-kata kakek itu, "Jika jalan
darah Seng-si-hian-kwan budak itu belum terbuka, segera kau tutuk jalan darahnya
supaya mati dan bakarlah mayatnya dan mayatku"."
Melihat Siu-lam menunduk tak bicara apa-apa, si dara kerutkan alis serunya, "Diajak
bicara, mengapa diam saja" Apa kau tak mendengar?"
Siu-lam terbeliak. Dengan tegang ia bertanya, "Apakah jalan darah". Seng-si-hiankwan".
nona sudah terbuka?"
"Sudah!" si dara mengangguk.
Siu-lam menghela napas longgar sekali. Dadanya seperti terlepas dari himpitan batu
besar. Darah serasa memancar ke seluruh tubuh. Mulutnya berseru lepas, "Syukur".!"
"Apa katamu?" dara itu terbeliak heran.
"Yang kumaksudkan adalah Tan lo-cianpwe. Dengan penyakinan tenaga dalam yang
telah sempurna, beliau telah berhasil membantu mencapai apa yang diinginkan!" sahut
Siu-lam. Dia tak mau mengatakan apa sebenarnya pesan kakek berjenggot putih. Maka
dalam merangkai kata-katanya, ia menggunakan kata-kata sekenanya saja sehingga kaku
dan janggal kedengarannya.
Untung si dara tak mengetahui kelemahan itu. Dara itu menghela napas, serunya,
"Entah bagaimana, kakek itu rupanya menaruh perhatian istimewa terhadap jalan darahku
Seng-si-hian-kwan. Beberapa tahun terakhir ini beliau tiap hari selalu mengemukakan soal
itu saja. Ah, jika bukan karena dorongan kakek, mungkin sepuluh tahun aku masih belum
mampu menembus Seng-si-hian-kwan itu"." tiba-tiba ia teringat akan kakeknya yang
masih belum kelihatan itu. "Kemanakah kakek?"
"Beliau kan duduk di belakangmu!" sahut Siu-lam.
Tiba-tiba wajah dara itu berobah. Pelahan-lahan ia berpaling. Agaknya ia sudah
mempunyai firasat tak baik. Maka berat sekali tampaknya ia memalingkan kepalanya itu.
Dan ketika pertama-tama matanya tertumbuk pada si kakek, air matanya segera
membanjir turun". Kedukaan yang begitu menggoyangkan, membuat dara itu tak dapat
mengeluarkan suara tangis. Dipandangnya sang kakek yang masih duduk bersila sambil
pejamkan mata". Siu-lam perlahan-lahan menghampiri dan berseru dengan perlahan, "Tan lo-cianpwe"."
"Kek".!" tiba-tiba dara itu menjerit dan muntah darah. Kemudian rubuhlah ia tak
sadarkan diri. Sejak kecil dara itu sudah terpisah dari orang tuanya. Kakeknya itulah yang merawat
dan mendidik sampai dewasa. Bagi si dara, hanya si kakek itulah satu-satunya
keluarganya. Bahwa sekarang orang satu-satunya yang dicintai meninggal dunia, remuk
redamlah hati dara itu. Ia bakal menjadi dara sebatang kara, tiada sanak tiada keluarga
lagi. Luapan kesedihan itu tak tertahankan lagi oleh si dara. Dan pingsanlah ia"
Siu-lam perlahan-lahan menjamah tangan si kakek. Ah, sudah membeku dingin.
Rupanya sudah beberapa lama kakek itu meninggal. Diam-diam Siu-lam memaki dirinya
sendiri. Mengapa menjaga goha sampai sekian lama belum juga mengetahui tentang
kematian si kakek itu"
Berpaling ke arah si dara, dilihatnya dara itu sudah sadar lagi. Berkat jalan darah Sengsi-
hian-kwannya sudah terbuka, seluruh jalan darah di tubuhnya berjalan lancar. Maka
hanya beberapa kejap pingsan, iapun sadar terbangun lagi.
Siu-lam menghiburnya, "Ah, orang yang sudah meninggal takkan hidup kembali.
Janganlah nona kelewat berduka. Apalagi dalam hidupnya Tan lo-cianpwe selalu
mengalami derita kesakitan yang hebat. Jika bukan demi kepentingan nona, mungkin
beliau sudah tak mau hidup di dunia ini lagi!"
Dara itu perlahan-lahan bergeliat duduk. Sambil mengusap air matanya ia bertanya,
"Kakek memberi pesan apa kepadamu?"
"Beliau pesan agar dikubur di atas salah satu puncak gunung ini?"
Sekonyong-konyong dara itu memeluk jenazah sang kakek. Sambil mengangkatnya ia
bertanya, "Di mana" Carikan lekas!" Tampak dara itu teringat akan sesuatu urusan yang
penting. "Hm, sekalipun aku pernah menerima budimu, tetapi janganlah kau bersikap begitu
kasar kepadaku. Karena orang tua itu mengajarkan ilmu kesaktian kepadaku, akupun
harus sering datang menyambangi kuburannya." diam-diam Siu-lam mempunyai pikiran
untuk segera meninggalkan dara itu.
Ia melangkah ke mulut goha. Walaupun ia menyadari ilmu ginkangnya tak mampu
loncat turun ke bawah lembah, tetapi di hadapan si dara itu tak mau unjuk kelemahan.
Segera ia loncat melayang ke bawah. Begitu hampir tiba di dasar lembah, ia empos
semangat dan berhasillah ia menginjakkan kaki di tanah. Tetapi ketika berpaling, hai".
Ternyata dara itu sudah berada di belakangnya! Sambil membopong jenazah kakeknya,
dara itu menganggukkan kepala dan berjalan mendahuluinya.
Setelah jalan darah Seng-si-hian-kwannya terbuka benar-benar, dara itu berobah
menjadi manusia baru. Walaupun membopong sesosok tubuh namun dengan lincah ia
dapat melayang turun dari karang yang cukup tinggi. Betapapun Siu-lam hendak
mengikuti langkah si dara, tapi makin lama makin ketinggalan jauh dan akhirnya dara itu
lenyap dari pandangan. Ketika ia dapat mencapai sebuah puncak gunung yang tertinggi
ternyata di situ si dara sudah selesai menggali sebuah lubang. Sedang si kakek masih
tampak duduk di tanah seperti orang yang semedhi.
Sejenak dara itu memandang Siu-lam seperti hendak berkata, tetapi tak jadi. Perlahanlahan
diangkatnya tubuh sang kakek lalu dimasukkan ke dalam lubang.
"Apakah begitu saja kau hendak menguburnya?" karena tak tahan akhirnya Siu-lam
menegur. "Lalu bagaimana menanamnya?" dara itu terkesiap.
Sejenak Siu-lam layangkan matanya memandang alam sekelilingnya. Sebuah tempat
yang dikelilingi oleh langit nan biru, salju putih dan gumpalan awan. Ia yakin kakek sakti
itu tentu mempunyai tujuan mengapa minta dikubur di tempat yang sedemikian sunyinya.
Tiba-tiba ia teringat akan kantong Kim-tay. Segera kantong itu diberikan kepada si dara,
"Lo-cianpwe pesan apabila nona sudah sadar, supaya memberikan kantong itu kepadamu.
Mungkinkah lo-cianpwe meninggalkan pesan dalam kantong ini."
Pada si dara menyambuti dan membuka kantong itu, Siu-lam pun segera berputar
tubuh dan melangkah pergi.
"Kembalilah!" tiba-tiba dara itu melengking.
"Apakah nona memanggil aku?" Siu-lam berpaling.
"Di sini hanya ada dua orang. Bukan kau siapa lagi" Apakah aku memanggil batu?"
Terpaksa Siu-lam menghampiri. Diam-diam ia heran mengapa si dara sekarang berubah
sedemikian kasar. Tetapi mengingat dara itu ditinggal mati oleh satu-satunya keluarga,
dapatlah Siu-lam memahami kegoncangan. Mungkin kegoncangan itulah yang
menyebabkan perangainya berobah kaku.
"Lihatlah!" seru si dara sambil menyerahkan kantong itu kepada Siu-lam meragu
beberapa saat, ujarnya, "Ini"."
"Ini ini, apa" Kusuruh kau melihat, lihat sajalah, habis perkara!" tukas si dara.
Siu-lam terpaksa membuka kantong itu. Dilihatnya kantong itu berisi tong-soh (jarum
berduri) dan secarik kertas yang bertuliskan:
Nanti pada malam pertengahan musim Tiong-ciu (rontok), pergilah ke gunung Tay-san
di telaga Hek-liong-than. Kutungan Chit-jiau-soh ini tukarkan dengan pedang Liong-sipkiam".
Melihat tulisannya, terang surat itu belum selesai. Tetapi ternyata sudah tak
bersambung lagi. Dan kecuali kutungan Chit-jiau-soh, tiada lain benda lagi dalam kantong
itu. Dan ketika mengamat-amatinya, pada batang jarum kutungan itu terdapat ukiran tiga
buah huruf "Chit-jiau-soh".
Ternyata kakek jenggot putih itu tak meninggalkan pesan apa-apa untuk Siu-lam.
"Hai, mengapa kau diam saja?" tegur si dara.
Sambil memasukkan jarum dan surat ke dalam kantong lagi, Siu-lam menyahut, "Jika
jenazah lo-cianpwe ditanam begitu saja tanpa dimasukkan ke dalam peti, mungkin kelak
akan terpendam hilang sehingga kita sukar mencarinya"."
"Apakah kelak kau sungguh mau menyambangi kakek ini?" tanya si dara.
Siu-lam menyatakan bahwa kakek itu tak beda dengan gurunya. Sudah tentu wajib ia
membalas budi. Yang penting saat itu, harus didayakan cara untuk melindungi jenazahnya
dari gangguan alam dan tangan jail. Untuk mencari peti mati di tempat seperti itu, terang
tak mungkin. Akhirnya Siu-lam mendapat akal. Ia mengusulkan agar jenazah kakek itu
dilingkupi batu-batu es yang keras dan bercahaya sehingga jenazah tentu awet takkan
rusak. Si dara setuju, begitulah mereka segera bekerja dan akhirnya dapatlah jenazah kakek
jenggot putih itu ditanam dalam es keras. Selesai penguburan, Siu-lam menanyakan
tentang tujuan si dara. Si dara tertawa hambar, "Dalam dunia seluas ini, kemanakah aku harus pergi" Aku
akan tinggal di sini menjaga kakek!"
"Tetapi tempat ini dingin sekali. Bahkan tanamanpun tak tumbuh. Tak mungkin nona
dapat tinggal di sini!" Siu-lam terkejut.
"Kalau begitu lebih baik aku pergi ke telaga Hek-liang-tham di gunung Thay-san saja!"
seru si dara. "Tetapi surat itu tak menyebutkan kepada siapa kau harus meminta pedang!" seru Siulam.
Si dara kerutkan alis, "Tinggal di sini, tak boleh. Pergi ke Thay-san pun tidak boleh.
Habis, kau hendak suruh aku pergi kemana?"
"Apakah nona tak mempunyai barang seorang family?" tanya Siu-lam.
"Kecuali kakekku yang sudah meninggal itu, aku tak punya sanak saudara lagi!"
"Ayah bundamu?"
"Sejak kecil aku hanya tahu kakek. Dan kakekpun tak pernah mengatakan siapa orang
tuaku!" Siu-lam kerutkan kening. Ia tak sampai hati membiarkan seorang dara seorang diri
mengembara di dunia persilatan. Akhirnya ia memutuskan, untuk sementara akan
bersama-sama dara itu. Tujuan pertama menuju ke poh-toh-kang menolong sumoaynya.
Katanya kepada dara itu, "Karena nona tiada tujuan, sebaiknya marilah kita bersama-sama
ke Lulam"." Dara itu berbangkit perlahan-lahan, "Baik, tetapi kau harus mau menemani aku pada
nanti musim Tiong-chiu ke telaga Hek-liong-tham di gunung Thay-san!"
"Hm, aku kasihan padamu karena kau seorang diri, mana kau artikan sebagai
menemanimu," diam-diam Siu-lam mendengus dalam hati. Namun ia sungkan menolak,
"Baiklah, jika ada kesempatan tentu akan kuantar kau ke Thay-san!"
Dara itu menengadah ke atas dan merenung, tiba-tiba ia berkata, "Aku seorang anak
perempuan. Jika bersama kau tentu akan ditertawakan orang"."
Siu-lam terbelalak. Memang apa yang dikatakan dara itu benar. Tetapi belum sempat ia
berkata, dara itu sudah berseru pula, "Sebenarnya sejak hidup dengan kakek, aku bebas
bergaul. Tetapi entah bagaimana, tiba-tiba aku merasa tegang mengadakan perjalanan
bersamamu?" "Tak dapat disalahkan karena selama belasan tahun kau hidup bersama kakekmu"."
"Bukan begitu, yang penting kutahu kau seorang baik?" habis berkata dara itupun
segera berbangkit dan berjalan perlahan-lahan menuruni puncak.
Diam-diam Siu-lam kasihan atas nasib dara itu.
Selama berjalan itu sampai beberapa belas lie keduanya tak bicara apa-apa. Rupanya
dara itu sedang terbenam dalam suatu perasaan tersendiri. Karena sebesar itu barulah
pertama kali itu ia berjalan bersama seorang pemuda.
"Ai, jika nanti-nanti bertemu orang, bagaimanakah hendaknya kupanggil kau?" tiba-tiba
ia teringat. Siu-lam terbeliak. Memang agaknya sulit juga. Sebelum ia mendapat pemecahan, dara
itu pun sudah menghela napas pelahan, "Namaku Tan Hiong-song. Di kala kakek masih
hidup, dia biasa memanggilku Song-ji. Baiklah kau panggil aku Song-ji juga!"
Siu-lam tersipu-sipu, "Mana bisa aku menyebutmu Song-ji, Song-ji kan berarti anak
Song. Bagaimana kalau kupanggilmu nona Song saja?"
Dara itu gelengkan kepala, "Tidak, dengan panggilan itu apabila didengar lain orang
tentu menduga kita ini orang asing. Dan seorang pemuda, berjalan dengan seorang
pemudi yang tak dikenal, tentu akan ditertawakan orang!"
Siu-lam kerutkan keningnya, serunya tertawa meringis, "Habis, bagaimana
memanggilmu?" "Suruh kau memanggil Song-ji, kau tak mau. Kalau begitu tak usah memanggil saja!"
seru dara itu. Karena Siu-lam sudah mempunyai perasaan mengalah maka tak memikirkan olok-olok
dara itu. Bahkan ia tersenyum melihat dara itu naik pitam.
Melihat pemuda itu tenang-tenang, makin meluaplah amarah Hian-song, "Huh,
mengapa kau tertawa" Orang bingung, kau malah seenakmu sendiri saja!"
Sahut Siu-lam, "Aku telah mendapat akal. Tetapi dikuatirkan tak menyenangkan kau."
"Katakan!" "Tan lo-cianpwe telah menurunkan ilmu silat kepadaku. Walaupun resmi belum menjadi
murid, tetapi sudah mempunyai hubungan sebagai guru dan murid. Jika kau setuju,
baiklah panggil aku sebagai suheng saja. Dengan begitu orang tentu tak mengurusi lagi!"
Mendadak si dara melengking tertawa, "Bagus, boleh jugalah!"
Sekonyong-konyong dari tengah lembah terdengar jeritan nyaring. Makin lama jeritan


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu makin jelas bahkan samar-samar terdengar dering senjata beradu. Rupanya terjadi
pertempuran. "Ayo kita ke sana. Entah siapa yang bertempur itu!" ajak Hian-song. Adalah berkat jalan
darahnya Seng-si-hian-kwan sudah terbuka maka indera pendengarannya tajam sekali.
"Boleh saja kita lihat-lihat sebentar, tapi jangan lama-lama," kata Siu-lam.
Hian-song melesat ke muka. Siu-lam menyusul. Setelah membiluk dua buah tikungan,
di sebelah muka tampak si tabib gila Gan Leng-po tengah bertempur seru dengan seorang
tua jubah biru. Gan Leng-po pakai tongkat bambu dan orang tua jubah biru menggunakan
sebatang bun-jiang-pit. Pertempuran berjalan seru sekali.
Di samping kedua orang yang bertempur itu menggeletak beberapa sosok tubuh.
Antara lain si Golok Sakti Lo Kun, kedua saudara Kat Hong dan Kat Wi serta paderi Thian
Hong dan keempat muridnya.
Siu-lam sudah menduga tentulah racun bekerja sehingga mereka rubuh.
Tiba-tiba terdengar Gan Leng-po memekik keras. Tongkatnya berubah gencar seperti
angin. Serangannya lebih deras dan hebat sekali. Walaupun sudah limbung pikirannya,
tetapi ternyata ilmu silat tabib itu masih hebat bahkan makin kalap.
Siu-lam teringat bahwa orang tua jubah biru itu pernah memperkenalkan dirinya
sebagai Kat Thian-beng. Dan ketika di dalam goha, ia berhasil mengalahkan orang itu
dengan pukulan sakti Hud-hwat-bu-pian. Tetapi apa yang dilihatnya saat itu benar-benar
mengherankan. Ternyata kepandaian orang tua bernama Kat Thian-beng itu luar biasa
saktinya. Diam-diam Siu-lam mengakui, sekiranya ia belum mendapat ilmu pukulan Hudhwat-
bu-pian dari kakek jenggot putih, tentulah ia tewas di tangan orang tua berjubah
biru itu. Rupanya kerut wajah pemuda itu dalam menyaksikan pertempuran telah diperhatikan si
dara Hiang-song. "Eh, Pui suheng, mengapa kau?" tegurnya. Agak kikuk juga ia
menggunakan sebutan itu hingga mukanya tersipu-sipu merah.
Siu-lam gelagapan, "Nona". eh, Song sumoay memanggil aku?"
"Eh, apa yang kau lamunkan" Orang mengajakmu bicara kau tertegun seperti patung
saja." Hian-song bersungut-sungut.
Siu-lam meringis, "Ah, aku sedang memikirkan sesuatu. Harap sumoay ulangi lagi."
Hian-song rentangkan kedua matanya yang bundar. Tetapi sampai lama belum juga ia
bicara. Akhirnya baru berseru, "Ah, tak usah berkata lagilah! Toh sekarang mau bicara
juga sudah tak jelas!"
"Mengapa?" Siu-lam terkejut. Tiba-tiba ia tersadar, serunya pula, "Ah, benar, kau tentu
hendak bertanya aku sedang memikirkan apa?"
Si dara tertawa, "Aku tak perduli!"
Tiba-tiba pembicaraan mereka terputus oleh bentakan Kat Thian-beng yang
menggeledek dan senjata bun-ciang-pitnyapun menyerang hebat dalam tiga jurus. Batang
pena itupun berubah menjadi segumpal sinar dan memaksa Gan Leng-po mundur dua
langkah. Kat Thian-beng tak mau mendesak melainkan berhenti menyerang dan berseru,
"Bukankah saudara ini tabib termasyhur Ti-ki-cu Gan Leng-po" Ah, aku Kat Thian-beng!"
tiba-tiba ia berpaling lontarkan lirikan ke arah Siu-lam. Cepat-cepat ia berpaling ke muka
lagi. Gan Leng-po deliki mata kea rah orang tua jubah biru itu. Tiba-tiba ia berteriak nyaring,
"Kembalikan peta Telaga Darahku!" Wut, tongkat dikemplangkan ke kepala Kat Thianbeng
dengan jurus Thay-san-ya-ting atau gunung Thay-san menindih puncak.
Kat Thian-beng loncat mundur setombak. Bentaknya, "Siapa kau!"
Dalam keadaan gila seperti itu, tak mungkin Gan Leng-po dapat mendengar jelas.
Sebagai jawabannya ia ayunkan tongkat menyapu dengan jurus Lat-soh-ngo-gak atau
dengan kekuatan menyapu lima gunung.
Keduanya kembali bertempur pula. Lebih dahsyat daripada tadi. Kat Thian-beng tak
mengetahui bahwa Gan Leng-po memang sudah gila. Dikiranya tabib itu tak mau kenal
lagi padanya, jago she Kat itu marah, senjata bun-ciang-pit dimainkan dalam jurus-jurus
yang luar biasa ganasnya. Serangannya selalu batal.
Tetapi walaupun dalam keadaan gila, kepandaian Gan Leng-po tetap sakti. Tongkatnya
bagaikan angin topan menyambar-nyambar dengan dahsyat.
Kepandaian kedua tokoh itu hampir berimbang. Pertempuran berjalan seru dan sengit
sekali. Diam-diam Siu-lam kasihan melihat keadaan tabib itu. Seorang tabib yang sakti dalam
ilmu pengobatan dan ilmu silat, mendadak menjadi gila karena memikirkan peta Telaga
Darah. Siu-lam berjanji dalam hati, akan berusaha mendapatkan peta itu dan
menyerahkannya kepada Gan Leng-po agar sembuh kembali.
Dilihatnya pertempuran makin seru dank eras. Tetapi yang jelas tabib itu sudah mulai
letih. Permainan tongkatnya mulai kacau.
Kat Thian-beng rupanya menyadari bahwa pertempuran itu takkan selesai dalam
seratus jurus. Maka iapun segera mengendalikan diri tak mau terlalu mengumbar nafsu
untuk menyerang mati-matian melainkan gunakan ilmu meringankan tubuh untuk
berlincahan menghindar dan memutari lawan. Rupanya ia hendak menghabiskan tenaga
lawan, baru kemudian memberi pukulan yang menentukan!
Diam-diam Siu-lam menilai bahwa Gan Leng-po takkan dapat bertahan sampai lima
puluh jurus lagi. Segera timbul pemikiran dalam hatinya. Peta Telaga Darah besar sekali
artinya bagi kehidupan dunia persilatan. Jika peta itu berada dalam tubuh seorang gila
seperti Gan Leng-po, tentulah tidak bermanfaat. Segera ia berpaling kepada si dara Hiansong,
"Harap Song sumoay tunggu di sini, aku hendak memancing supaya orang gila itu
menyingkir agar jangan sampai terluka di tangan orang yang bersenjata bun-jiang-pit itu!"
"Eh, kau kenal dia?" Hian-song heran.
"Aku sudah pernah berjumpa dengannya. Dia memang seorang tabib yang tiada
tandingan di dunia persilatan. Adalah karena kuali pemasakan obatnya dihancurkan orang
sehingga saking marahnya ia menjadi gila mendadak. Tetapi tenaga dalamnya tinggi
sekali, ilmu silatnya bukan main. Kupikir hendak menolongnya agar dia dapat sembuh"."
"Sayang kakek sudah meninggal. Jika dia masih hidup tentulah dia dapat
menyembuhkannya!" Siu-lam menghela napas, "Ah, sayang seorang tokoh luar biasa harus menderita
penyakit gila?" tiba-tiba ia melesat ke tempat kedua orang yang bertempur.
Jilid 8 SEJAK MENERIMA PUKULAN Hud-hwat-bu-pian dari Siu-lam, Kat Thian-beng berhatihati
terhadap pemuda itu. Selama bertempur dengan Gan Leng-po, dia tetap
memperhatikan gerak-gerik pemuda itu. Melihat Siu-lam loncat menghampiri, cepat-cepat
Kat Thian-beng tarik pulang senjatanya dan loncat mundur beberapa langkah.
Siu-lam tak memperdulikan Kat Thian-beng. Tujuannya ialah hendak mengambil
kembali peta Telaga Darah yang tersimpan dalam baju Gan Leng-po. Ia menghadang di
muka tabib itu berseru tertawa: "Apakah Gan lo-cianpwe masih kenal padaku?"
Tabib itu terlongong-longong mengawasi Siu-lam. Tiba-tiba ia menggembor keras dan
mengemplangkan tongkatnya. Tapi Siu-lam tahu bahwa tabib itu sedang tak waras
pikirannya. Diam-diam ia sudah bersiap. Setelah menghindari ia berseru tertawa pula:
"Jika Gan lo-cianpwe hendak mencari peta itu, silahkan ikut aku!"
Tanpa menunggu jawaban, Siu-lam berputar tubuh terus ayunkan langkah lari.
"Hai, sekalipun kau lari ke ujung langit, tentu akan kukejarmu!" teriak tabib itu seraya
mengejar. Siu-lam tak menghiraukan. Ia lari sekencang-kencangnya. Dia tahu bahwa kepandaian
orang lebih tinggi dan larinyapun tentu lebih kencang. Jika sampai tersusul dan bertemur
tentulah sukar lolos. Di luar dugaan ia rasakan tubuhnya jauh lebih ringan dari dulu. Sejak digembleng si
kakek jenggot putih, kepandaiannya maju pesat sekali. Larinyapun jauh lebih cepat.
Dalam beberapa kejap dapatlah ia melintasi tiga buah puncak. Dia berhenti di sebuah
tempat yang sunyi. Tetapi baru ia berputar tubuh, tongkat si tabib sudah menyambar
kepalanya". Siu-lam terkejut sekali. Untuk menghindar tak mungkin lagi karena jaraknya dekat dan
serangan tabib itu secepat kilat. Dalam gugupnya Siu-lam berpaling dan layangkan jurus
Hud-hwat-bu-pian. Ilmu pukulan si kakek jenggot perak yang paling berkesan dan paling
mendapat penuh perhatiannya. Desss". Gan Leng-po menjerit dan menyurut mundur!
Kiranya tabib itu kena dipukul lengan kanannya. Itu masih untung. Coba mengenai
tubuhnya, tabib itu tentu remuk.
Gan Leng-po terlongong-longong memandang si anak muda. Karena pertempuran
ratusan jurus dengan Kat Thian-beng tadi memakan banyak tenaganya. Walaupun tidak
menggunakan tenaga penuh, tetapi pukulan Hud-hwat-bu-pian Siu-lam tadi cukup
membuatnya ia meringis. Tulang lengannya serasa patah sehingga tak dapat digerakkan
lagi. Tabib itu benar-benar tak tahu apa jurus yang digunakan anak itu. Buru-buru ia
kerahkan tenaga dalam untuk menahan lukanya.
Siu-lam pun tegak berdiam diri. Kini ia putar otak untuk mencari cara mengambil peta.
Walaupun ia tak sampai hati melukai orang hanya karena hendak mengambil peta yang
tersimpan dalam pakaian tabib itu.
Setelah memandang anak muda itu beberapa saat tiba-tiba Gan Leng-po memutar
tubuh dan pergi. "Gan lo-cianpwe hendak pergi kemana?" teriak Siu-lam yang dengan gugup segera
loncat memburu. Sekonyong-konyong tabib itu berputar diri dan menghantam. Karena terlalu cepatnya
Siu-lam hendak mendekap tabib itu, tak sempat menarik pulang tenaganya. Terpaksa ia
menangkis. Krek" hebat benar akibat beradunya kedua tangan mereka. Siu-lam
terpental ke atas dan si tabib terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang lalu jatuh
terduduk di tanah! Siu-lam menyalurkan napas sejenak lalu menghampiri tabib itu. Tabib itu menggeletak
di tanah. Matanya meram, rambutnya kusut masai tak karuan. Siu-lam terharu melihat
keadaannya. Namun ia tak mau membuang waktu. Dengan cepat ia segera menelusuri
baju tabib itu dan ah".ternyata peta Telaga Darah itu masih ada. Buru-buru ia
mengambil dan menyimpan dalam bajunya lalu mulai mengurut-urut tubuh tabib itu.
Tabib itu terluka parah. Hampir sepeminum teh lamanya baru Siu-lam dapat
menyadarkannya. Tabib itu menghela napas panjang dan membuka mata.
Melihat Gan Leng-po sudah sadar, Siu-lam cepat loncat bangun dan terus lari menuju
ke tempat si dara Hian-song. Rupanya dara itu tengah cemas mengharap-harap
kedatangan Siu-lam. Demi melihat anak muda itu muncul, buru-buru ia menyongsongnya.
Serunya: "Orang-orang itu sama-sama terluka berat. Wajah mereka pucat lesu, mungkin
sukar ditolong". Ah, jika kakek masih hidup, tentulah mereka dapat ditolong. Sayang
kakek"." teringat akan kakeknya kembali dara itu berlinang-linang. Beberapa butir air
matanya menetes di tangan Siu-lam.
"Sudah, sumoay, jangan bersedih. Kita manusia tentu akhirnya akan mati," Siu-lam
menghiburnya. Ternyata orang-orang yang menggeletak itu sudah diangkut dan dikumpulkan jadi satu
oleh Kat Thian-beng. Jago tua itu tegak tertegun di samping mereka. Rupanya diapun
tak berdaya untuk menolong. Di antaranya, yang paling parah adalah Kat Hong dan Kat
Wi. Tubuh kedua pemuda itu sudah kaku, kebanyakan mereka tentu sudah mati. Sedang
yang lain-lain, wajahnya pucat lesi. Rupanya setelah tiba di tempat situ, barulah racun di
tubuh mereka mulai bekerja. Mereka segera duduk menyalurkan tenaga dalam untuk
coba bertahan. Walaupun mereka membekal ransum kering, tetapi agaknya sudah habis.
Dalam keadaan terluka dan hawa dingin dari angin bercampur salju, akhirnya tak kuatlah
mereka bertahan diri lagi"..
Diam-diam Siu-lam menimang: "Mereka terkena pukulan beracun dari si nona baju
merah. Entah ilmu pukulan apa yang digunakan nona itu. Tetapi rasanya nona itu telah
membenci kepadaku daripada orang-orang itu. Mengapa ia tak memukulku" Eh, apakah
memang racun dalam tubuhku belum bekerja?"
Teringat akan hal itu, serentak punggungnya terasa sakit. Siu-lam mulai kucurkan
keringat dingin. Tiba-tiba kedengaran Kat Thian-beng berkata seorang diri: "Hong-ji, Wi-ji, tak nyana
baru saja kau keluar ke dunia persilatan, telah menderita nasib yang begini
menggenaskan. Aku terlambat datang dan habislah keturunan kita"." tiba-tiba ia
memondong tubuh kedua pemuda itu. Ia tak menghiraukan siapa-siapa lagi. Hatinya
hancur dicengkam kedukaan.
Siu-lam terpaksa menyisih ke samping memberi jalan. Tiba-tiba beberapa langkah
kemudian Kat Thian-beng berhenti dan perlahan-lahan menghampiri ke tempat paderi
Thian Hong dan beberapa orang yang terluka. Ia membungkuk dan menutuki jalan darah
Beng-bun-pian pada orang-orang itu.
Tiba-tiba Siu-lam teringat bahwa ia membawa obat pemunah racun Bik-tok-tin-sin dari
Gan Leng-po. Ia memberanikan diri menghampiri Kat Thian-beng, ujarnya: "Wanpwe
membawa obat pemunah racun yang cukup mujarab. Entah dapat digunakan atau
tidak"." Berhenti sejenak mengambil keluar botol kumala, ia berkata pula: "Walaupun sejenak
keadaan mereka sudah sukar ditolong, tetapi kiranya tak ada jeleknya jika dicobakan.
Apabila lo-cianpwe setuju!"
Rupanya Siu-lam masih kuatir. Jangan-jangan setelah minum obat, orang-orang itu
malah mati. Maka sebelumnya ia meminta persetujuan jago tua itu.
Setelah menerima pukulan dari Siu-lam tahulah Kat Thian-beng bahwa pemuda itu
memiliki kepandaian yang sakti. Tawaran obat dari pemuda itu serentak mendapat
sambutan baik. Ujarnya: "Jika kau mau menolong, aku berterima kasih sekali. Orangorang
yang menderita luka ini, selain kedua puteraku juga sahabat-sahabatku yang erat.
Silahkan kau mencobakan. Toh mereka sudah tiada harapan. Andaikata setelah minum
obat mereka mati, tak apalah!"
Siu-lam segera membuka botol dan meminumkan beberapa butir pil ke mulut orangorang
itu. Dan di luar dugaan, pil Bik-tok-tin-sin-tan itu justeru obat penawar racun
pukulan Cek-lian-tok-ciang dari si nona baju merah. Khasiatnya cepat dan luar biasa.
Belum cukup sepeminum teh lamanya, napas mereka mulai berangsur ke"., wajah pun
merah. Bukan main rasa terima kasih Kat Thian-beng kepada Siu-lam. Segera memberi hormat
sehangat-hangatnya: "Sudah lama aku tak keluar ke dunia persilatan. Maafkan mataku
sudah lamur, tak kenal seorang ko-jin!"
Ko-jin artinya orang yang berilmu. Sudah tentu Siu-lam tersipu-sipu dan mengatakan
kata-kata merendah. Kemudian ia minta diri karena harus lekas-lekas mengerjakan
urusan penting. Dia tak mau diketahui oleh rombongan Thian Hong. Maka ia ajak Hiansong
setelah melintasi beberapa puncak, Siu-lam mulai kendorkan larinya.
"Aku hendak ke Po-to-kang di Lulam, entah"." baru Siu-lam mengatakan begitu si dara
sudah menukas: "Di atas dunia aku hanya kenal padamu seorang. Sudah tentu akan
bersamamu. Masakan masih bertanya lagi?"
Siu-lam mengatakan bahwa ia hendak menuju ke Lulam untuk menolong sumoaynya
dan karena waktunya sudah mendesak maka harus lekas-lekas tiba di sana.
Hian-song menantang: "Silahkan kau hendak lari bagaimana cepatnya, aku tentu dapat
mengimbangimu!" Siu-lam tersenyum dan segera lari. Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di Po-tokang.
Hampir memakan waktu setengah hari barulah Siu-lam berhasil menemukan muka
tempat persembunyian si wanita aneh. Terutama air terjun itulah yang merupakan tanda
pengenal bagi Siu-lam. Segera ia menerobos air terjun itu dan merayap ke atas karang.
Setelah menemukan karang goha, Siu-lam mengetuk dan berseru keras: "Lo-cianwe,
bukalah pintu. Aku telah membawa obat yang kau kehendaki!"
Tetapi sampai diulang beberapa kali, tetap tiada penyahutan. Saat itu hari sudah siang.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu: "Ai, benar, benar. Karen tubuh wanita itu dilumuri obat,
dia tak berani terkena sinar matahari. Terpaksa aku harus tunggu sampai malam!"
Hian-song tahu-tahu sudah tiba di sampingnya. Tegur dara itu: "Siapa yang hendak
kau cari, suheng" Mengapa kau berada di sini?"
Menunjuk pada batu karang, Siu-lam berbisik: "Orang itu tinggal dalam goha ini. Tetapi
sekarang belum bisa menemuinya!"
"Kenapa" Hayo kita bersama-sama menjebolnya, masakan tak dapat membuka?"
Siu-lam gelengkan kepala: "Jangan, bukannya dia tak mau menemui kita melainkan
melihat ada kesulitan!"
Hian-song tertawa: "Tahu kalau tidak bisa bertemu, perlu apa kau datang kemari?"
"Tunggu sampai nanti malam baru bisa bertemu!"
Hian-song terkesiap: "Mengapa" Siang hari tak bisa menemui orang dan harus pada
malam hari. Dia tentulah bukan manusia"."
"Huh, jangan omong sembarangan. Jika ia sampai mendengar, celakalah!" cegah Siulam.
Sebaliknya Hian-song malah menantang: "Biarkan dia mendengar, takut apa" Kau
boleh takut, tetapi aku tak sudi takut!" Dalam membawakan kata-katanya itu Hian-song
sengaja keraskan suaranya agar didengar orang di dalam goha.
Tahu bahwa dara itu memang manja, Siu-lam tak mau meladeni lebih jauh. Segera ia
berbangkit dan menarik tangan si dara diajak bicara ke lain tempat. Hian-song segansegan
berdiri. Tiba-tiba ia menendang ke arah batu karang.
Siu-lam terkejut. Tetapi ia tak keburu mencegah lagi. Apa boleh buat, ia hanya
melihat saja. Tiba-tiba ketika kaki si dara hampir menyentuh karang, ia memutar tubuh
secara mendadak dan tahu-tahu meluncur turun dan hinggap di atas sebuah pohon.
"Hayo, turunlah!" ia melambai Siu-lam sambil tertawa.
Siu-lam pun segera melayang turun dan menggerutu: "Dalam beberapa hari
sebenarnya aku hendak mengatakan perangaimu berobah baik, siapa tahu sekarang angot
nakal lagi!" "Eh, kapankah kau pernah memujiku?"
"Karena belum kuucapkan sudah tentu kau tak tahu!" sahut Siu-lam.
Hian-song tertawa dan melayang turun. Mereka duduk di sebuah lapangan rumput.
Kala itu meski sudah melewati tengah musim rontok, tetapi pohon belum mulai bersemi
lagi. Mereka dikelilingi oleh gunung karang sehingga terhindarlah mereka dari serangan
angin salju yang dingin. Dekat di mata jauh di hati. Demikian keadaan kedua muda-mudi yang tengah duduk di
atas rumput itu. Jika Hian-song sedang sedih memikirkan nasib yang sudah sebatang
kara, sebaliknya Siu-lam sedang gelisah memikirkan sumoaynya yang sedang berada
dalam goha. Ia kuatir apabila wanita berwajah buruk itu tak pegang janji dan turun


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan kepada sumoaynya. Berpaling muka, ia terkesiap kaget ketika melihat Hian-song bercucuran air mata.
Buru-buru ia menghiburnya: "Tan lo-cianpwe sudah meninggal, apa kau tangisi saja"."
"Satu-satunya keluargaku hanyalah kakek. Dan sekarang kakek sudah meninggal.
Sedang siapa ayah bundaku aku tak pernah melihatnya. Bagaimana tak sedih jika aku
mengenangkan diriku ini seorang anak perempuan sebatang kara hidup di dunia yang
begini luasnya." "Di dunia banyaklah jumlahnya orang yang sudah sebatang kara. Dan merekapun
tabah dalam menghadapi cobaan hidup. Mengapa kau harus berputus asa?"
Hian-song mengusap air matanya dan serentak berbangkit: "Apa" Kau juga sudah
sebatang kara seperti aku?"
"Walaupun orang tuaku masih hidup, tetapi kesulitan yang kuhadapi sekarang ini
mungkin tak kalah beratnya dengan kesulitanmu!"
"Hm, memang yang tersangkut batu benar-benar dapat merasakan penderitaannya!"
gumam Hian-song. Siu-lam segera menuturkan pengalamannya. "Sebenarnya yang kumaksud dengan
kedua orang tuaku bukan lain hanya kedua guruku. Mereka telah melepas budi besar
kepadaku maka kuanggap sebagai orang tuaku sendiri. Ah, nasib malang yang mereka
derita, jauh lebih besar dari nasibmu. Seluruh keluarga mereka, besar kecil tua muda,
telah dibunuh orang. Yang beruntung selamat hanya puterinya, lebih tua sedikit dari
kau"." "Dia tentu sumoaymu! Apakah kedatanganmu kemari karena hendak mencari
sumoaymu itu?" Siu-lam mengiakan: "Benar, dia telah ditawan oleh seorang wanita berwajah seram
yang tinggal di goha ini. Dia memberi batas waktu sampai tiga bulan harus membawa pil
Siok-beng-tan dari tangan Gan lo-cianpwe, untuk mengobati lukanya."
Hian-song tak mau mendesak melainkan perlahan-lahan berbangkit dan tegak
terlongong-longong. Siu-lam menghampiri dan berkata dengan berbisik: "Ah, maafkan
karena aku tak ingat membeli pakaian untukmu."
Sahut Hian-song: "Sejak kecil aku biasa mengenakan pakaian kasar. Tak usah suheng
repot-repot." Tiba-tiba Siu-lam teringat sesuatu. Hian-song ini seperti pinang dibelah dua dengan si
dara berbaju putih yang pernah memaksanya supaya menelan peta Telaga Darah tempo
hari. Dara yang itu bernama Bwe Hong-swat sedang dara yang ini bernama Hian-song.
Tengah pikirannya melayang-layang tiba-tiba ia mendengar derap kaki orang berjalan
datang. Cepat-cepat ia berpaling dan ah". kiranya si hitam Seng Kim-po, murid dari Su
Bo-tun. Cepat-cepat ia memberi salam.
Si hitam Seng Kim-po berpaling dan memandang dingin kepada Siu-lam: "Huh,
mengapa kau datang kemari lagi" Apakah masih belum kapok?"
Sebenarnya Siu-lam hendak menanyakan tentang Tio It-ping tetapi ketika mendengar
ucapan si hitam yang getas, sesaat ia tak dapat berkata apa-apa.
Adalah si dara Hian-song yang segera melengking: "Apakah Co-yang-ping ini milikmu"
Kami suka datang kemari, kau mau apa" Hm, jangan suka usil!"
Seng Kim-po melongo menerima sentilan itu, serunya: "Seorang anak perempuan,
omong asal omong. Tidak pakai aturan. Aku Seng Kim-po seorang lelaki yang bertubuh
tinggi besar, mana sudi melayani ocehanmu!" Lalu ia berpaling kepada kawannya seorang
paderi. "Ayo kita pergi!"
"Berhenti!" tiba-tiba Hian-song membentak si hitam yang melangkah hendak pergi.
Rupanya dara itu hendak maju melabrak, tetapi buru-buru dicegah Siu-lam: "Kita sedang
mengurus soal penting, janganlah sumoay cari onar!"
Tetapi Seng Kim-po sudah terlanjur berhenti dan paderi muda kawannya itupun sudah
melepaskan tongkat yang dipanggul di bahunya.
Melihat sikap kedua orang itu seperti hendak menantang, amarah si dara yang sudah
mereda berkobar lagi: "Lepaskan!" ia meronta dari cekalan Siu-lam terus melesat maju.
Karena tadi Seng Kim-po berjalan di muka dan si paderi mengikuti di belakang, maka
ketika berhenti, si paderi yang kini berada di muka Hian-song langsung hendak
menerjang. "Minggir! Apa memang sengaja mau menghadang aku?"
"Harap nona jangan marah-marah. Pinceng (aku) datang dari jauh karena hendak
menghadap guru dari saudara Seng ini. Perlu merundingkan suatu urusan maha penting
yang menyangkut mati hidupnya seluruh kaum persilatan. Urusan penting ini harus lekaslekas
diselesaikan. Sedetik ditunda, sedetik bahaya itu makin besar. Ah, mungkin akan
membinasakan jiwa beberapa orang"."
Hian-song menyeletuk: "Apa yang kau katakan begitu panjang lebar itu, sedikitpun aku
tak mengerti. Apa yang terjadi sebenarnya?"
Tampaknya paderi muda itu gelisah sekali. Katanya gugup: "Tanda kematian jarum
Chit-jiau-soh yang pernah menggemparkan dunia persilatan pada tiga puluh tahun yang
lalu, kini muncul lagi. Dan lagi para ketua partay persilatan dan tokoh-tokoh hitam telah
menerima pemberitahu. Diberi waktu sampai pesta Peh-cun (pesta air) tahun ini harus
datang menghadiri pesta Ciau-hun-yan (perjamuan memanggil nyawa) yang akan
diselenggarakan di lembah Coat-beng-koh (Lembah Putus Nyawa) di gunung Beng-gak.
Barangsiapa tak datang, dalam waktu sebulan seluruh keluarga dan handai taulan orang
itu akan dibasmi habis"."
Berkata sampai di sini tiba-tiba paderi muda itu berhenti. Ia anggap tiada manfaatnya
membicarakan soal penting itu kepada seorang anak perempuan yang tak dikenal. Segera
ia mengakhiri pembicaraannya: "Kedatangan pinceng kemari adalah hendak mohon pada
Siu-chiu-kiau-in Su Bo-tun tayhiap agar suka turun gunung untuk menyelamatkan bencana
dunia persilatan. Apabila li-sicu berkeras hendak berkelahi dengan Seng-sicu ini,
dikuatirkan akan menimbulkan kemarahan"." tiba-tiba ia berhenti karena menyadari
bahwa kata-katanya itu mungkin dapat membangkitkan ketidakpuasan nona itu. Buruburu
ia mengakhiri kata-katanya dengan ucapan "omitohud".
Melihat kecemasan wajah si paderi, Hian-song tertawa kecil: "Persetan Mengundang
Roh di Lembah Putus Nyawa itu. Seram benar kedengarannya!"
Mendengar dara itu seenaknya saja mengucapkan nama-nama tempat itu, si paderi
muda gelengkan kepala dan menghela napas: "Li sicu masih muda belia, tentulah tak
mengetahui tentang peristiwa hebat pada tiga puluh tahun yang lalu itu"."
Belum selesai si paderi mengucap, tiba-tiba Hian-song merogoh keluar kutungan jarum
Chit-jiau-soh dari kantong pemberian kakeknya: "Yang kau katakan jarum Chit-jiau-soh
sebagai lambang kematian dalam dunia persilatan itu, apakah bukan benda ini?"
Bermula si paderi muda tak percaya mendengar ucapan si dara. Dikiranya dara itu
hanya berolok-olok. Tetapi ketika dipandangnya dengan seksama, wajahnya segera
berubah pucat dan tubuhnya menggigil. Cepat ia menarik tangan Seng Kim-po diajak lari
secepat-cepatnya. Hian-song geli melihat tingkah laku si paderi yang begitu ketakutan seperti melihat
setan. Katanya kepada Siu-lam: "Eh, mengapa paderi itu begitu ketakutan setengah mati
melihat kutungan jarum ini" Ayo, kita kejar dan tanyakan sebabnya!"
Siu-lam tahu Su Bo-tun itu sangat lihay. Jika mengejar muridnya mungkin akan
menimbulkan onar. Ia mencegah maksud si dara. Untunglah Hian-song mau mendengar
kata. Tetapi pada lain saat dara itu tiba-tiba melengking: "Ya, ya, adanya kau takut akan
menimbulkan onar, karena kau kuatir akan membikin terlantar diri sumoay-mu!"
Siu-lam terkesiap, sahutnya: "Mundur seharipun tak jadi apa. Tetapi aku kuatir kalau
kau mengejarnya dan bertempur, jika sampai melukai orang, bukankah akan menambah
permusuhan saja" Dan jika kita yang terluka, pun bahkan lebih tak berharga lagi."
Agak terhibur juga hati Hian-song mendengar penjelasan itu. Ia tertawa: "Memang aku
sudah merasa, sejak kakek meninggalkan dunia ini tiada lagi orang yang menyayang
padaku"." ia melangkah pelahan-lahan ke muka.
Sejak kecil ditinggal mati kedua orang tuanya, dara itu ikut pada kakeknya dan amat
dimanjakan sekali. Memang tampaknya sang kakek keras sekali, hal mana agar dara itu
benar-benar mau belajar ilmu silat. Tapi pada hakekatnya kakek itu cinta sekali kepada
Hian-song. Siu-lam hanya mengikuti di belakang dara itu tanpa bicara apa-apa. Beberapa hari ini
ia dapat mempelajari perangai si dara. Seorang dara yang benar-benar aneh dan tak
dapat diraba hatinya. Cepat girang cepat pula merajuk.
Beberapa lama kemudian tiba-tiba Hian-song berpaling dan bertanya: "Pui suheng, aku
mempunyai persoalan yang sukar kupecahkan. Maukah kau memecahkannya?"
"Katakanlah, sedapat mungkin tentu kubantu!"
Si dara tertawa: "Melihat jarum kutung tadi, mengapa paderi itu ketakutan sekali?"
Sejenak merenung, menyahutlah Siu-lam: "Mungkin dia salah duga kalau kau juga anak
buah Beng-gak." "Tetapi mengapa kakek dapat menyimpan jarum yang katanya pernah menggegerkan
dunia persilatan itu?" tanya si dara pula, "Apakah aku ini benar"."
Dara itu tak melanjutkan kata-katanya lagi. Tetapi diam-diam Siu-lam yang cerdaspun
membatin dalam hati: "Ah, omongannya memang benar. Apa maksud kakeknya
menyimpan jarum maut itu" Ah, rupanya soal ini baru mungkin dipecahkan apabila sudah
tiba di telaga Hek-liong-than di gunung Thay-san. Paling tidak setelah menukarkan jarum
itu dengan pedang, tentulah dapat diketahui jejaknya"."
"Uh, mengapa kau diam saja" Apa saja yang kau pikirkan" Apakah kau benar-benar
mengira aku ini orang Beng-gak?" tiba-tiba si dara menegur karena Siu-lam tak mau bicara
lagi. Siu-lam menggeleng: "Tentu ada maksudnya mengapa Tan lo-cianpwe menyimpan
kutungan jarum itu" Walaupun kau bukan orang Beng-gak, tetapi sekurang-kurangnya
tentu mempunyai hubungan entah budi apa dendam dengan pemilik Chit-jiau-soh"."
Hian-song merenung. Ia berusaha mengingat peristiwa yang telah lalu. Tetapi sampai
hampir setengah hari, tak berhasil ia menemukan keterangan apa-apa.
"Ah," akhirnya ia menghela napas. "Memang aku gelap terhadap asal-usul diriku.
Bagaimanakah wajah ayah-bundaku, sama sekali aku tidak tahu. Apa yang kuketahui,
sejak kecil aku hidup bersama kakek. Kakek hanya mengatakan namaku disebut Hiangsong.
Aku harus giat belajar ilmu silat. Lain-lain hal dia tak pernah bercerita. Pernah
kutanya siapa ayah-ibuku, kakek diam saja. Karena kuatir ia sedih, akupun tak mau
bertanya lagi. Pikirku, kelak pada suatu hari, kakek tentu akan memberi tahu sendiri. Ah,
siapa tahu, sampai pada ajalnya, kakek tak memberitahukan hal itu. Maka untuk selamalamanya
aku tak bakal tahu siapakah ayah-bundaku"."
"Ah, mungkin Tan lo-cianwpe sudah mempersiapkan sesuatu rencana"." Siu-lam
menghiburi. Merenung sejenak, ia berkata pula: "Tan lo-cianpwe sakti dalam ilmu silat
dan ilmu pengobatan. Beliau bukan tokoh sembarangan. Asal-usul sumoay, kelak tentu
tak sukar diketahui, maka janganlah sumoay gelisah akan hal itu!"
Hian-song tertawa ringan: "Benar, memang jarang terdapat tokoh sesakti kakek. Jika
tak menderita luka dalam, beliau tentu terhitung seorang tokoh utama dari suatu angkatan
jamannya!" Saat itu haripun hampir petang. Kata Siu-lam: "Sudah hampir petang, baiklah kita
beristirahat di sini. Nanti malam kita menolong sumoayku dan lantas tinggalkan tempat
ini. Kita menuju ke telaga Se-ou yang termasyhur itu!"
"Apakah telaga Se-ou itu indah pemandangannya?" tanya Hian-song.
Baru Siu-lam hendak menyahut, si dara sudah mendahului lagi: "Ya, kutahulah! Se-ou
merupakan telaga yang indah di dunia. Baiklah, mari kita istirahat dulu."
Begitulah keduanya segera bersemedhi memulangkan tenaga. Setelah malam tiba,
mereka segera menuju ke goha di bawah air terjun. Sejak jalan darah Seng-si-hiankwannya
terbuka, gerakan Hian-song amat ringan sekali. Ia lebih dulu dapat tiba di muka
goha itu. Dan tahu-tahu menendang karang goha.
"Hai, jangan main tendang, sumoay!" Siu-lam kaget dan berseru. Tetapi sudah
terlambat. Tendangan Hian-song tepat mengenai pintu goha. Siu-lam kebat-kebit
hatinya. Ia kuatir si wanita berwajah seram akan marah. Tetapi sampai sekian lama
ternyata tak terdengar reaksi apa-apa. Segera ia mendebur pintu goha dan berseru
nyaring: "Wanpwe sudah membawa pil Kiu-coan-seng-ki-beng-tan. Harap lo-cianpwe
bukakan pintu!" Diulangnya seruan itu beberapa kali namun pintu tetap tertutup. Tiada penyahutan
sama sekali. "Mungkin wanita tua itu sudah meninggal"." tiba-tiba Hian-song menyeletuk.
Tergetar hati Siu-lam mendengar kata-kata si dara. Ujarnya: "Wanita aneh itu sudah
belasan tahun tinggal di dalam goha ini, masakah dia tak kuat bertahan sampai tiga bulan
seperti yang telah dijanjikan padaku"."
Hian-song tertawa: "Pui suheng, orang mati itu datangnya tak dapat diduga-duga!"
Memang Siu-lam sudah curiga, apalagi setelah mendengar keterangan Hian-song,
hatinya makin cemas. Katanya seorang diri: "Ah, wanita itu berhati dingin sekali. Jika ia
merasa bakal tak hidup, dikuatirkan ia lebih dahulu membunuh sumoayku!"
Bluk"! Mendadak ia menendang pintu goha dan berseru nyaring: "Wanpwe datang
menepati waktu yang dijanjikan, mengapa lo-cianpwe tak mau membukakan pintu?"
Namun goha tetap tak memberi reaksi apa-apa. Hian-song tak sabar dan ajak Siu-lam
mendobrak pintu. Malah ia sudah mendahului menendang pintu goha. Tak berapa lama
pintu dapat dihancurkan. Tetapi ketika si dara hendak masuk, Siu-lam mencegahnya:
"Wanita itu sakti sekali, janganlah sumoay gegabah masuk!"
"Aku tak takut!" Hian-song tertawa. Dengan kerahkan tenaga segera ia mendorong
pintu. Karena sudah digempur tendang, mudah saja pintu itu terbuka. Lebih dulu ia
lepaskan pukulan ke dalam goha, kemudian baru menerobos masuk. Dara itu betul-betul
tak kenal takut. Tetapi pada lain saat itu terdengarlah Hian-song menjerit dan loncat ke luar lagi
menubruk dada Siu-lam. "Eh, mengapa kau?" Siu-lam terkejut.
Hian-song mengangkat kepalanya perlahan-lahan, serunya: "Aku takut"."
Ketika Siu-lam memandang ke dalam goha ternyata di atas sebuah ranjang batu,
sebuah tengkorak duduk bersandar pada dinding. Kecuali rambutnya yang panjang yang
masih melekat di batok kepala, boleh dikata daging tubuhnya sudah tak ada lagi, tinggal
tulang kerangka. Kejut Siu-lam bukan alang-kepalang: "Ing sumoay! Ing sumoay".!"
Teriaknya. Hian-song lepaskan diri dari pelukan Siu-lam. Bersandar pada dinding, ia memandang
tak berkesiap kepada pemuda itu.
Siu-lam segera menghampiri pada tulang kerangka. Sejenak memeriksa, ia menjerit
keras dan terhuyung-huyung rubuh ke atas tanah.
Hian-song kaget mendengar jeritan pemuda itu. Betapapun ia tetap seorang anak
perempuan. Dalam tempat yang seseram itu, mau tak mau ia gemetar juga. Beberapa
saat kemudian setelah tenang, ia menghampiri Siu-lam dan mengangkatnya bangun.
Tampak pemuda itu mencucurkan air mata.
Iba juga hati dara itu melihat keadaan Siu-lam. Sambil mengusap air mata pemuda itu,
Hian-song menghiburnya: "Pui suheng, apakah kau berduka?" Selama hidup, ia tak
pernah menghibur orang tetapi dihibur. Maka tak dapat ia merangkai kata-kata yang
tepat. Siu-lam menghela napas panjang. Air matanya membanjir, ujarnya: "Sumoay mati"."
Berpaling ke samping, Hian-song melihat di ujung ruang goha, terbaring sesosok tubuh
yang memakai pakaian wanita, rambutnya kusut masai, tubuhnya kaku. Mungkin sudah
mati beberapa waktu. Dari perawakan dan pakaiannya, umurnya tentu masih muda.
Tiba-tiba Siu-lam berbangkit. Ia masih mengharap agar mayat itu bukanlah
sumoaynya. Buru-buru ia menghampiri. Disibakkan rambut mayat itu dan
mengangkatnya agar dapat mengraut wajahnya. Ah". tiba-tiba Siu-lam mengeluh kaget.
Wajah mayat itu tak dapat dikenali lagi karena hancur lebur tak karuan akibat dicakari jari
tangan! Siu-lam termangu. Tiba-tiba ia berpaling memandang kerangka yang duduk di atas
batu. Dampratnya: "Hei, perempuan siluman. Perjanjian belum kelewat batas waktunya.
Mengapa kau ingkar janji membunuh sumoayku"!"
Setelah memaki habis-habisan, ia tending kaki mayat itu. Pyur, tulang belulang bagian
kaki mayat itu berhamburan ke empat penjuru. Namun rupanya Siu-lam masih belum
puas hati. Ia menghantam juga bagian badan mayat itu. Tulang tubuh dan kepala mayat
itu berhamburan membentur dinding jatuh berserakan ke tanah.
Tring". tiba-tiba terdengar dering macam bunyi logam saling membentur. Siu-lam
memandang ke arah bunyi itu. Ada suatu benda berkilau-kilauan seperti emas masih
melekat pada dinding. "Ah, belum tentu kalau mayat itu sumoaymu!" tiba-tiba Hian-song menyeletuk.
Sahut Siu-lam: "Goha ini terletak di perut gunung yang sukar diketahui orang. Tak
mungkin orang luar masuk kemari. Siapa lagi kalau bukan tindakan wanita ganas itu.
Tahu bahwa lukanya tak bakal sembuh, sebelum mati ia membunuh sumoayku lebih dulu."
"Ah, masakan di dunia tiada orang tahu rahasia goha ini," bantah Hian-song.
"Sudah hampir tiga puluh musim dingin, wanita itu mengeram di sini dalam keadaan
luka parah, lumpuh tak dapat berjalan. Umurnyapun sudah lebih dari enam puluh tahun.
Dan mayat itu jelas mayat seorang perempuan. Siapa lagi kalau bukan sumoayku?"
"Apakah kau masih ingat baju warna apa yang dipakai sumoaymu tempo hari?"
"Bajunya warna biru!"
"Benar?" Hian-song menegas. Ia tahu jelas bahwa pakaian yang dipakai mayat itu
memang berwarna hijau atau biru. Ia anjurkan supaya Siu-lam mengangkat mayat itu
keluar agar dapat dikenali lebih jelas.
Siu-lam menurut. Diangkatnya mayat itu dan diletakkan di muka pintu goha. Ketika
mengamat-amati warna pakaiannya, ia menjerit.
"Orang yang sudah mati takkan hidup kembali. Apa gunanya kita tangisi" Bukankah
suheng pernah menasihati aku begitu?" Hian-song menghampiri seraya berseru perlahanlahan.
"Ah, memang akulah yang menyebabkan kematiannya. Jika aku lekas datang, tentulah
dia tak sampai dibunuh wanita jahat itu!" sahut Siu-lam.
Hian-song menghela napas: "Ah, akulah yang menjadi gara-garanya. Jika tidak karena
aku, kau tentu sudah pulang lebih cepat dari sekarang!"
"Kau tak salah, Song sumoay. Jika bukan kau yang menolong akupun tentu mati di
Kiu-kiong-san!" "Apakah Ing sumoay itu baik kepadamu?" tanya Hian-song setengah berbisik.
Siu-lam kembali membawa jenazah itu masuk dan diletakkan di atas ranjang batu.
Tiba-tiba dilihatnya sebuah benda mengkilap. Segera diambilnya seraya menyahut


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanyaan Hian-song: "Ya, dia baik kepadaku!"
"Ah, kalau dia baik kepadamu, biarlah aku yang mewakili dan akan memperlakukan kau
sebaik ia berlaku kepadamu"."
Siu-lam menghela napas. Diangkatnya jenazah sang sumoay, lalu mengajak Hian-song
tinggalkan goha itu. "Hendak kau bawa kemanakah jenazah sumoaymu?" tanya Hian-song.
Siu-lam tertawa hambar: "Hendak kucari sebuah tempat yang bagus alamnya sebagai
tempat peristirahatannya?" tiba-tiba ia teringat sesuatu, serunya rawan: "Tetapi ah, di sini
jauh dari kota. Sukar membeli peti mati?"
Kata Hian-song: "Goha ini walaupun gelap tetapi ada hawanya juga. Kukira lebih baik
jenazahnya diletakkan di atas ranjang batu sini lalu kita tutup goha ini rapat-rapat. Nanti
beberapa hari lagi, kita ambil jenazahnya untuk dikubur satu tempat dengan ayah
bundanya." Siu-lam tidak setuju karena dikuatirkan jenazah sumoaynya akan dimakan kutu.
"Kalau begitu," Hian-song tampak ragu-ragu, "ada lain cara, tetapi entah setuju atau
tidak!" Rupanya Siu-lam mengerti apa yang dimaksud si dara, serunya mendahului: "Bukankah
kau hendak membakar jenazahnya?"
Hian-song mengiakan: "Benar, kita mudah mengirim abunya. Eh, apa dengan cara
seperti penguburan kakekku ialah dibekukan dalam timbunan salju?"
Sejenak Siu-lam heran mengapa dara yang biasanya keras kepala dan manja itu, tibatiba
berubah lemah lembut dan memperhatikan dirinya. Akhirnya Siu-lam setuju untuk
memperabukan jenazah sumoaynya. Segera ia keluar goha dan sekali melesat ia
melayang turun ke bawah lembah. Hian-song tetap mengikutinya.
Setelah tiba di lamping gunung, di bawah sinar bintang Siu-lam makin yakin bahwa
jenazah itu adalah Hui-ing. Terkenang akan kehidupannya bersama sumoay itu di kala
masih berguru dan bergaul, air mata Siu-lam bercucuran deras".
Hian-song memperingatkan supaya cari kayu bakar. Ketika meletakkan jenazah, tibatiba
ia merasa tangannya yang memegang benda mengilap tadi menarik perhatiannya.
Benda itu ternyata sebuah senjata yang aneh bentuknya. Mirip pedang tetapi bukan
pedang, menyerupai golok tapi bukan golok. Senjata itu tumpul, kedua tepinya berbentuk
seperti perisai. Anehnya walaupun terbuat seperti dari bahan besi tembaga, tetapi senjata
itu ringan sekali. Semula hendak dibuang saja benda itu tetapi ia terkesiap ketika melihat Hian-song pun
mencekal benda semacam itu juga. Hanya warnanya agak berbeda. Yang dipegangnya
itu berwarna putih mengkilap, tetapi yang ada pada Hian-song berwarna kuning
keemasan. "Ah, dia tentu senang bermain-main benda ini. Baiklah kusimpan dahulu, kelak
kuberikan kepadanya," diam-diam Siu-lam membatin lalu menyimpan benda itu ke dalam
baju. "Jagalah di sini, aku hendak mencari kayu," tanpa menunggu penyahutan, Siu-lam
segera lari ke bawah gunung. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa setumpuk
kayu. "Eh, nanti dulu suheng," tiba-tiba Hian-song berkata, "Kita masih kurang guci untuk
tempat abu!" Siu-lam kerutkan dahi: "Ah, kemanakah kita harus mencari benda itu?"
"Su Bo-tun seorang ternama, kita minta pinjam sebuah guci, masakan dia tak boleh?"
kata Hian-song. "Dia seorang manusia aneh, tak kenal belas kasihan sama sekali. Jangankanlah guci,
cangkir untuk minumpun belum tentu boleh!"
"Eh, masakan dia manusia begitu. Tetapi marilah kita coba. Kalau boleh, ya sudah.
Tapi kalau menolak, kita paksa pinjam. Coba dia mau apa!"
"Tetapi dia sakti, kita berdua mungkin bukan tandingannya!" kata Siu-lam.
Hian-song tak puas dalam hati. Katanya: "Ah, tetapi kita perlu dengan benda itu!"
Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia terpaksa menyetujui usul Hian-song.
Hian-song tertawa: "Nanti apabila di sana, kaulah yang bicara. Aku berjanji takkan
menimbulkan onar!" "O, sekali-kali bukan maksudku hendak membatasi kebebasan sumoay. Tetapi orang
itu memang benar-benar sakti, lebih baik kita jangan cari perkara?"
Siu-lam segera mengatur persiapan. Jenazah diletakkan di atas batu karang lalu
ditimbuni kayu. Siu-lam ingat letak dataran karang Co-yang-ping dengan baik. Karena jaraknya tak
berapa jauh maka dalam waktu singkat tibalah mereka di tempat yang dituju.
"Co-yang-ping merupakan karang bunting. Jalan satu-satunya hanya dapat dicapai
dengan jembatan tonggak-tonggak karang yang licin. Maka harap sumoay berhati-hati!"
Siu-lam memberi peringatan dan terus hendak melayang ke tonggak karang pertama.
Tetapi tiba-tiba Hian-song sudah mendahuluinya. Tubuh dara itu ringan dan gerakannya
lincah serta tepat memilih sasaran. Beberapa kejab saja dara itu malah sudah meneriaki
Siu-lam supaya lekas menyusulnya.
"Lekas balik, sumoayku. Aku sudah pernah datang kemari satu kali maka biarlah aku
yang menunjukkan jalan!" seru Siu-lam.
Tetapi dara itu tetap tertawa: "Jangan kuatir, suheng. Walaupun malam, aku sudah
dilatih ilmu lwekang oleh kakek untuk melihat dalam kegelapan. Ayo, lekaslah suheng ke
tempat sini!" Karena menyadari bahwa ilmu dara itu lebih tinggi, terpaksa Siu-lam menurut.
Akhirnya mereka dapat mencapai tonggak karang yang terakhir. Hian-song lebih dulu
melayang ke tonggak itu kemudian Siu-lam menyusul. Tiba-tiba pemuda itu terkejut
karena si dara tak mau menyingkir. Kuatir membentur sehingga dara itu nanti
terpelanting jatuh ke bawah jurang, ia mengurangi gerakan melayangnya. Dengan
bergeliat tubuh Siu-lam sendirilah yang meluncur ke bawah. Tiba-tiba sesosok tubuh
melayang dan lambungnya dicekal oleh sebuah tangan halus terus disangga ke atas:
"Tonggak karang ini cukup untuk dua orang. Telah kusisihkan tempat untukmu!"
Tiba-tiba kaki Siu-lam sudah berdiri di atas tonggak karang, tubuhnya dipeluk erat-erat
oleh Hian-song. Dalam keadaan seperti tempat itu, tak dapat ia menghindari lagi.
"Pejamkan matamu, biar kubantumu mendorong ke seberang karang itu!" Hian-song
letakkan tangan di punggung si anak muda.
Sebenarnya Siu-lam memang tak mempunyai keyakinan akan dapat mencapai tepi
karang Co-yang-ping. Tetapi ia malu mengatakan. Tiba-tiba punggungnya kena didorong
oleh tangan si dara. Serasa ia ditiup angin badai dan dapatlah ia mencapai tepi karang
itu. Buru-buru ia tegak di karang datar itu, tiba-tiba terdengar suara Hian-song sudah
melengking di sampingnya: "Ai, karang buntung ini memang berbahaya sekali. Menilik
tempatnya saja terang kalau orang itu tentu seorang manusia aneh!"
Mereka menuju ke pondok kediaman manusia berhati dingin Su Bo-tun. Siu-lam heran
ketika melihat pondok Su Bo-tun masih terang dengan penerangan. Padahal saat itu
sudah tengah malam. Dan yang lebih mengherankan, pintu pondok itu terbuka lebar. Su
Bo-tun tampak duduk di kursinya yang terbuat dari pohon co-bok. Seng Kim-po tegak
berdiri di sampingnya. Rupanya dalam ruang pondok itu sedang menerima banyak
tetamu. Heran Siu-lam dibuatnya. Ia tahu bagaimana dingin dan aneh watak orang she
Su itu. Mengapa mendadak sontak dia mau menerima sekian banyak tetamu"
Tengah Siu-lam menimang-nimang, tiba-tiba ia dikejutkan oleh bentakan Su Bo-tun
yang bengis: "Hm, siapakah yang diam-diam berani menyelundup kemari" Sudah berani
datang ke Co-yang-ping mengapa tak berani masuk kemari?"
Siu-lam terbeliak. Akhirnya ia memutuskan untuk menemui orang she Su itu terang.
Ternyata tetamu yang berada dalam ruang pondok itu terdiri dari seorang tua lebih kurang
berusia enam puluh tahun. Jenggotnya yang putih menjulai panjang sampai ke dada.
Seorang paderi berjubah kelabu dan dua orang lelaki setengah tua yang bertubuh tinggi
besar. Melihat dari sinar mata dan sikapnya, jelas mereka tentulah tokoh yang berilmu
sakti. Hanya si paderi jubah kelabu yang memandang kedatangan Siu-lam berdua, tetapi
yang lain sama sekali tak mengacuhkan pemuda itu.
"Hm, mau apa kau datang kemari lagi?" tegur Su Bo-tun.
Siu-lam mengatakan kalau hendak pinjam sebuah benda milik tuan rumah. Belum Su
Bo-tun menyahut, kedua lelaki tinggi besar sudah serentak berdiri dan mendamprat: "Hai,
kau tahu tempat apa ini. Lekas enyah atau mau minta mati!?"
Hian-song kerutkan alis. Kemarahannya mulai berkobar. Tetapi ketika melihat Siu-lam,
Hian-song tenang kembali.
Terdengar si orang tua jenggot putih berseru: "Kiranya Su-heng sudah mengikat
permusuhan dengan orang Beng-gak. Kau tak mau cari perkara, tetapi mereka tetap akan
mencarimu. Aku tahu Su-heng tak mau bergaul dengan orang lagi maka mengasingkan
diri di sini. Tetapi dalam hal suasana seperti sekarang ini, bukan saja menyangkut
kepentingan seorang dua orang tetapi boleh dikata seluruh dunia persilatan. Bahkan para
ketua gereja Siau-li-si pun tak dapat berpeluk tangan lagi. Dapatlah diperkirakan betapa
gawatnya peristiwa ini. Jika Su-heng tetap tak mau ikut campur, dikuatirkan perempuan
siluman itu takkan mengampuni Su-heng!"
Si paderi jubah kelabu pun menyeletuk; "Omitohud! Suhuku pernah memuji ilmu Chitsing-
tun-heng dari Su sicu tiada taranya. Jika Su sicu meluluskan untuk menyelesaikan
urusan, ah, benar-benar suatu kebahagiaan bagi kaum persilatan!"
Rupanya tergerak juga hati Su Bo-tun mendengar permintaan para tamunya itu. Ia
tundukkan kepala tak bicara.
Tiba-tiba si orang tua jenggot putih berbangkit, serunya: "Mungkin Su-heng perlu
hendak mempertimbangkan dulu. Tetapi memang benar-benar aku telah menerima surat
dari ketua gereja Siau-lim-si agar supaya aku menemui dan meminta bantuan Su-heng?"
ia berhenti sejenak lalu melanjutkan: "Peristiwa ini benar-benar menyangkut seluruh dunia
persilatan. Sebagai tokoh terkemuka dari dunia persilatan, sekalipun Su-heng tidak
mengikut permusuhan dengan Beng-gak, tetapi mereka tentu akan mencarimu. Apalagi
Su-heng telah membunuh anak buah Beng-gak, tentulah takkan dimaafkan."
"Harap Lui-heng jangan membakar hatiku lagi. Ijinkanlah aku untuk berpikir. Setelah
beberapa hari baru kuberi putusan. Jika setuju, tentu pada saatnya aku akan datang ke
lembah Coat-beng-koh. Tetapi jika tak setuju, sekalipun ketua Siau-lim-si datang kemari
sendiri, aku tetap menolak. Hm, gelar Siu-chiu-kiau-in (Tak Mau Campur Urusan Dunia
Lagi) masakan hanya nama kosong?"
Si orang tua jenggot putih tertawa dingin: "Memperlakukan seorang sahabat lama
dengan sikap sedingin itu, apakah tidak kelewatan?"
"Terserah!" Su Bo-tun mengangkat bahu.
"Su-heng kelewat menghina orang!" orang tua jenggot putih itu tertawa dingin. "Jika
aku tak punya urusan penting yang harus kukerjakan, tentu saat ini aku akan minta
pelajaran padamu!" Ia terus melangkah keluar pondok.
Su Bo-tun tak mengacuhkan. Ia menengadah memandang puncak penglari pondoknya.
Dengan marah-marah, orang tua jenggot putih itu menerjang saja Siu-lam dan Hiansong
yang berdiri di ambang pintu. Hian-song tak puas dengan tingkah laku orang tua itu.
Ia malah menghadang di tengah jalan: "Apakah kau tak melihat kami berdiri di sini?"
Dada orang tua jenggot putih itu hampir meledak karena melihat sikap dingin dari Su
Bo-tun. Tetapi karena ia merasa kalah sakti dan pula masih mempunyai lain urusan, maka
terpaksa ia tahan kemarahannya. Bahwa kini seorang dara berani menghadang jalannya,
orang tua jenggot putih itu benar-benar meledak kemarahannya.
"Menyingkirlah!" serunya seraya menyiak kedua muda-mudi itu.
"Jangan turun tangan sumoay!" cepat-cepat Siu-lam mencegah Hian-song yang hendak
gerakkan tangan. Tetapi sudah terlambat. Si dara lebih cepat. Dengan gerakan yang
luar biasa cepatnya, dara itu menghindar dan balas menyerang dua kali sehingga orang
tua itu dipaksa mundur kembali.
Menyaksikan gerakan si dara yang sedemikian luar biasa, sekalian tetamu terbeliak
kaget. Demikian pun orang tua jenggot putih.
Su Bo-tun mendengus: "Hm, di depan hidung Su Bo-tun berani-berani bertempur,
berarti hendak cari sakit. Jika aku sampai marah, jangan harap kalian bisa hidup!"
Hian-song tak dapat menahan kesabarannya lagi. Berpaling kepada Siu-lam ia memaki:
"Suheng, pak tua itu kalau bicara seenaknya sendiri saja. Perlukah kita menghajarnya?"
Belum Siu-lam menyahut, Su Bo-tun sudah bangkit dan perlahan-lahan menghampiri si
dara. Melihat itu si paderi jubah kelabu gugup dan memburu ke samping Su Bo-tun,
serunya berbisik: "Gadis itu mempunyai Chit-jiau-soh, mungkin mempunyai hubungan
dengan Beng-gak?" Su Bo-tun terkesiap. Dibentaknya Siu-lam: "Siapakah budak perempuan ini" Lekas
bilang!" Siu-lam tak sempat menyelami maksud pertanyaan itu. Cepat-cepat ia menyahut: "Dia
sumoayku!" "Ngaco belo! Dari mana kau bisa memperoleh sekian banyak sumoay?" bentak Su Botun.
"Kau sendiri yang ngaco belo. Kalau bukan sumoaynya, masakah di aku-aku!" Hiansong
balas membentak. Bagi si dara ia memaki asal memaki untuk melampiaskan kedongkolannya. Tetapi bagi
Su Bo-tun hal itu merupakan hinaan besar. Ia tertawa dingin: "Kau pintar memaki!" tibatiba
ia menampar": "Biar gigimu rompal, coba lihat saja apakah kau masih bisa memakimaki
orang?" Hian-song jarang berkelahi. Mendapat serangan yang luar biasa cepatnya itu, ia
terkejut. Cepat-cepat ia menekuk pinggang dan menyurut mundur dua langkah ke
belakang. Tamparannya luput, Su Bo-tun makin panas hatinya. Tahu-tahu ia sudah melesat ke
samping Hian-song. Itulah ilmu Chit-sing-tun-heng atau Tujuh Bintang Beralih Tempat
yang tiada keduanya di dunia persilatan!
Siu-lam terkejut dan berseru nyaring: "Siu-chiu-kiau-lam yang termasyhur ternyata mau
juga melayani seorang anak perempuan tak ternama. Apakah kau tak takut ditertawain
orang?" Ia menutup serangannya mulut dengan serangan tangan.
Tetapi pada saat Siu-lam berseru, ternyata si dara sudah melesat mundur lima langkah.
Su Bo-tun terkesiap menyaksikan gerak si dara yang luar biasa itu. Seketika timbullah
nafsunya untuk mengadu kesaktian.
Tangan kiri gunakan jurus Chin-poh-ngo-hian untuk menangkis serangan Siu-lam,
sementara tangan kanan menghantam Hian-song dengan pukulan Biat-gong-ciang yang
dahsyat". Hian-song kaget melihat pukulan orang yang sedahsyat itu. Namun ia sudah terpojok
di dinding pojok. Tak mungkin ia mundur. Terpaksa ia kerahkan tenaga dalam,
menutupkan kedua tangannya ke dada dan sambil pejamkan mata ia menyambut pukulan
orang. Apa yang terjadi sesaat kemudian, benar-benar di luar dugaan. Hian-song tetap berdiri
di tempatnya. Sebaliknya Su Bo-tun menarik pulang tangannya dan mundur dua langkah
ke belakang. Kiranya ia rasakan pukulannya itu menimpa gumpalan kapas yang lunak sekali. Su Botun
sudah mencapai tingkat sempurna dalam menguasai tenaga dalam. Setiap saat dapat
menghamburkan tetapi setiap saat dapat ditarik menurut kehendak hati. Begitulah ia
lakukan saat itu. Tetapi betapa kejutnya ketika ia menarik pulang tangannya, tiba-tiba ia
rasakan serangkum aliran tenaga mendampratnya. Untuk menolaknya sudah tak keburu
lagi. Daya membal dari reaksi tenaga tangkisan Hian-song telah memaksa Su Bo-tun
tersurut dua langkah. Hian-song membuka mata dan tertawa kepada Siu-lam. Kemudian ia melesat
menerkam Su Bo-tun. Ia tak mau memberi peluang pada Su Bo-tun untuk melancarkan
pukulan Biat-gong-ciang yang kedua. Maka si dara bergerak cepat sekali. Sekaligus ia
sudah melancarkan tiga pukulan dan empat tusukan jari.
Serangan kilat Hian-song itu semua diarahkan pada bagian jalan darah yang
mematikan. Betapa saktinya Su Bo-tun, namun ia terpaksa tak berani betrayal untuk
menghindar. Memang ilmu Chit-sing-tun-heng yang dimiliki itu, sebuah ilmu silat yang
luar biasa. Penuh dengan gerak perubahan yang sukar diketahui. Tubuhnya berputarputar
lincah sekali dan serangan gencar si darapun menemui tempat kosong.
Hian-song pun tak kurang kejutnya. Tadi ia gunakan serempak pukulan Hui-ing-ciang
dan ilmu totokan Thian-sing-ci ajaran mendiang kakeknya. Tetapi kesemuanya itu dapat
dihindari lawan. Berputar tubuh, Hian-song loncat ke samping Siu-lam.
Sebenarnya kejut Su Bo-tun tak kalah besarnya. Ia benar-benar kaget melihat gaya
serangan si dara yang luar biasa hebat dan cepatnya itu. Bukan saja totokan si dara itu
Pendekar Misterius 6 Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Duri Bunga Ju 4
^