Pencarian

Kembalinya Pendekar Rajawali 20

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 20


Lekas Nimo Singh melompat turun, dengan pelahan ia tancapkan kakinya di atas perahu, perahu kecil itu hanya bergoyang sedikit saja tanpa menimbulkan guncangan berarti Hoat-ong dan lain sama berseru memuji melihat Ginkangnya yang bagus itu.
Nimo Singh lantas menunjukkan arahnya dan cepat perahu itu didayung balik, lalu menerobos semak pohon lebat itu.
Perahu itu terus meluncur dengan cepat, tertampak tebing gunung menjulang tinggi di kedua tepi sungai yang sempit itu sehingga langit kelihatannya seperti satu garis saja.
Setelah beberapa li lagi, bagian depan di tengah sungai itu teralang oleh sembilan potong batu besar yang menonjol di permukaan sungai sehingga perahu mereka tidak dapat melintasi "Wah, celaka ! Perahu ini tak dapat digunakan lagi!" seru Be Kong-co.
"Tubuhmu segede kerbau, boleh kau angkat perahu ini ke sebelah sana," kata Siau-siang-cu dengan suara melengking.
"Mana aku kuat, kecuali kau?" jawab Be Kong-co dengan gusar.
Memangnya Kim-lun Hoat-ong lagi ragu cara bagaimana melintasi rintangan kesembilan batu karang itu, Demi mendengar pertengkaran Be Kong-co dan Siau-siang-cu, -tiba2 pikirannya tergerak.
Kalau mengandalkan tenaga seorang tentu siapapun tak mampu mengangkat perahu itu, tapi kalau enam orang bergotong royong, kan segala persoalan menjadi mudah dipecahkan" Karena itu ia lantas berkata : "He, bagaimana kalau kita berenam lakukan bersama saja" Adik Nyo, In-heng dan diriku di-sisi sini, saudara Nimo, Siau-heng dan Be-heng di sisi sana.
" Serentak semua orang bersorak setuju dan menuruti petunjuk Kim-lun Hoat-ong, enam orang terbagi dan berdiri dua sisi, karena sungai itu sangat sempit, dengan berdiri di sisi tepian tangan mereka masih dapat meraih pinggir perahu.
Begitulah ketika Kim-lun Hoat-ong memberi komando, serentak enam orang mengerahkan tenaga, kontan perahu itu terangkat melintasi sepotong batu karang yang mengalang di tengah sungai itu.
Tukang perahu yang berduduk di atas perahu belum lagi menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu terasa seperti terbang di udara, saking kagetnya ia jerit kuatir.
Di tengah jerit kaget dan tertawa senang, berturut perahu itu telah melintasi sembilan batu pengalang itu, lalu semua orang melompat kembali ke atas perahu dengan tertawa gembira, lalu tukang perahu yang masih melongo itu diperintahkan lekas mendayung lagi.
Sebenarnya keenam orang itu saling curiga mencurigai dan suka bertengkar, tapi setelah mendalami kerja sama ini, tanpa terasa mereka menjadi lebih akrab dan mulai pasang omong.
Kata Siau-siang-cu: "Betapapun kepandaian kita berenam ini boleh dikatakan terhitung jago kelas satu di dunia persilatan, dengan tenaga gabungan kita memang tidak sulit untuk mengangkat perahu ini, akan tetapi mereka.
" "Ya, benar, mereka hanya empat orang, masakah merekapun mampu mengangkat perahu dan melintasi sembilan batu karangtadi?" tukas Ni-mo Singh.
Teringat hal itu, mereka sama merasa heran.
Tidak lama, berkatalah In Kik-si: "Perahu mereka memang lebih kecil, tapi jumlah mereka juga lebih sedikit daripada kita.
Kalau mereka berempat mampu mengangkat perahu itu, maka kepandaian merekapun harus dipuji.
" "Nona cantik muda belia, apapun juga pasti tidak mempunyai kemampuan sebesar itu," kata Nimo Singh.
"Kukira mereka pasti mempunyai cara lain yang seketika tak dapat kita pecahkan.
" Kim-Iun Hoat-ong tersenyum dan berkata: "Manusia tak boleh dinilai dari lahiriahnya, misalnya saudara Nyo kita ini, meski usianya masih muda, tapi memiliki ilmu maha tinggi, jika kita tidak menyaksikan sendiri, siapa yang mau per-caya?" "Ah, sedikit kepandaianku ini apa artinya?" ujar Nyo Ko dengan rendah hati.
"Tapi keempat orang berseragam hijau itu mampu meringkus Ciu Pek-thong yang maha sakti itu, tentu merekapun mempunyai kepandaian sejati" Kini lagak lagu Nyo Ko sudah sejajar dengan Siau-siang-cu dan lainnya, karena semua orang sudah menyaksikan caranya menyambut samberan piring yang disambitkan Ciu Pek-thong tadi, maka tiada seorangpun yang berani lagi meremehkan dia.
Di antara keenam orang usia Nyo Ko paling muda, sedangkan Kim-lun Hoat-ong, Be Kong-co dan Nimo Singh bertiga baru sekarang ini menginjak daerah Tionggoan, Siau-siang-cu juga lebih sering tirakat di pegunungan sunyi dan jarang bergaul dengan khalayak ramai, hanya In Kik-si saja yang sangat paham terhadap kejadian di dunia persilatan daerah Tionggoan dengan aneka macam aliran serta tokohnya.
Tapi bagaimana asal usul keempat orang berbaju hijau tadi ternyata tak diketahuinya.
Selagi mereka berbincang keanehan orang berbaju hijau itu, sementara itu perahu telah sampai di ujung sungai kecil itu, jalan menjadi buntu, terpaksa mereka menyuruh tukang perahu tinggal di perahunya mereka berenam lantas melempat ke tepi sungai, dengan mengikuti sebuah jalanan kecil mereka terus menyusuri lembah gunung yang rindang itu.
Untungnya jalan kecil itu hanya satu sehingga mereka tidak sampai salah arah, namun jalanan itu makin lama makin meninggi dan makin terjal, sampai akhirnya sukar dibedakan lagi mana jalannya di antara batu padas yang berserakan itu.
Kim-lun Hoat-ong dan lainnya bertenaga dalam tinggi, dengan sendirinya mereka tidak susah menempuh jalan pegunungan yang curam itu, hanya Be Kong-co seorang saja, karena Ginkangnya tidak setinggi kelima orang kawannya, ia sudah mulai terengah-engah, kalau saja dia tidak ditarik Nyo Ko, In Kik-si dan Kim-lun Hoat-ong, beberapa kali ia hampir terjerumus ke dalam jurang.
Baru sekarang Be Kong-co merasakan kelemahannya sendiri, meski memiliki tenaga sebesar kerbau, tapi bicara tentang tenaga dalam jelas masih selisih jauh dengan orang lain, Meski dia seorang kasar, tapi diam-diam japun tahu diri dan malu hati.
Sementara itu hari sudah mulai gelap, tapi jejak keempat orang berbaju hijau masih belum di ketemukan, Selagi mereka merasa gelisah, tiba-tiba di kejauan tertampak beberapa gunduk api unggun yang sedang menyala, seketika mereka bergirang bahwa di lembah pegunungan itu ada cahaya api, dengan sendirinya di sana juga ada penduduknya, Kecuali beberapa orang berbaju hijau tadi, orang biasa tentunya juga tak dapat bertempat tinggal dj tempat securam ini.
Begitulah mereka lantas berlari lebih cepat ke sana, dalam sekejap saja Be Gong-co sudah tertinggal jauh di belakang, Kecuali Nyo Ko, empat orang lainnya sudah banyak berpengalaman biar-pun berlari secepatnya, tapi merekapun menyadari sedang berada di daerah berbahaya, maka mereka sama was-was terhadap segala kemungkinan.
Namun begitu merekapun bertambah tabah mengingat kini mereka datang berenam, dengan gabungan tenaga mereka berenam, rasanya tidak perlu gentar terhadap siapapun juga.
Tidak lama sampailah mereka di suatu tanah lapang di atas puncak gunung itu, terlihat empat gundukan api yang sangat besar sedang berkobar dengan hebatnya.
Waktu mereka mendekati, maka tertampaklah dengan jelas bahwa gundukan api besar itu masing-masing mengitari sebuah rumah batu kecil di tengah, di pinggir rumah batu itulah tertimbun kayu bakar yang berkobar itu.
entah barang apa di dalam rumah batu itu yang lagi dibakar.
Nimo Singh datang dari negeri Thian-tiok, dia mahir ilmu Yoga dan tidak takut pada api, segera ia melompat maju dan mendekati rumah batu di ujung timur sana, ia mendorong pintunya dan terpentanglah seketika, tertampak rumah batu itu kosong melompong tiada isinya, hanya di lantai duduk, seorang lelaki baju hijau, kedua tangannya tersingkap di depan dada sebagai penganut agama Budha, tubuhnya kelihatan menggigil air mukanya tampak meringis menahan derita.
Heran sekali Nimo Singh, ia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan orang itu" Apakah sedang berlatih semacam Lwekang" Tapi tampaknya bukan" Waktu mengamat-amati lebih jelas, kiranya kaki dan tangan orang itu terikat oleh rantai besi dan terikat pula pada tiang di belakangnya.
Ia coba memeriksa lagi rumah batu kedua dan ketiga, keadaannya ternyata serupa dengan rumah pertama, Rumah keempat rada berbeda, sebab yang terikat di situ adalah seorang gadis berbaju hijau, jelas keempat orang ini adalah orang yang menangkap Ciu Pek-thong dengan jaring ikan itu.
Cuma si tua nakal itulah yang tak kelihatan bayangannya.
Nyo Ko dan lain-lain ikut memandang ke dalam rumah itu dan semuanya ikut heran dan terkesiap, kelihatan api semakin berkobar dan pasti luar biasa panasnya, keempat orang itu menjadi seperti dipanggang hidup-hidup.
Tindak-tanduk Nyo Ko biasanya memang tidak suka memikirkan bagaimana akibatnya, selain itu ia justeru dilahirkan dengan perasaan yang suka kepada keindahan dan dengan sendirinya juga suka kepada perempuan cantik ia pikir ketiga lelaki itu tidak menjadi soal biarpun mampus terpanggang, tapi nona jelita ini kan harus dikasihani.
Segera ia mengambil sepotong ranting pohon dan digunakan memadamkan api yang berkobar di tepi rumah batu yang didiami si nona.
Tidak lama Be Kong-co juga menyusul tiba, tanpa bertanya iapun membedol sebatang pohon kecil dan membantu Nyo Ko memadamkan api, tidak lama api dapat diatasinya.
Nyo Ko bermaksud memadamkan api pada rumah yang lain, tiba-tiba si nona baju hijau berkata: "Tuan tamu harap berhenti agar tidak menambah dosa kami" Selagi Nyo Ko merasa bingung dan hendak tanya apa artinya, tiba-tiba dari balik rumah muncul seorang dan berseru: "Kokcu (pemilik lembah) ada perintah, karena ada tamu, maka hukuman sementara ditunda, keempat murid diperintahkan melayani tamu sebaiknya.
" Nona baju hijau itu mengiakan dan menyatakan terima kasih, Lalu orang yang bicara itu melompat masuk rumah batu, ia mengeluarkan sebuah kunci yang amat besar untuk membuka gembok pada rantai si nona, begitulah ber-turut2 keempat, orang itu telah dibebaskan, habis itu dia terus berlari pergi tapi memandang sekejap kepada Nyo Ko dan Iain-lain.
Keempat orang yang terantai di dalam rumah batu tadi lantas keluar semua dan memberi hormat seorang di antaranya berkata: "Maafkan jika tadi kami tak dapat menyambut kedatangan tuan sekalian.
" - lalu ia tuding tanah lapang di sebelah timur sana dan menyambung: "Silakan duduk saja di sana, rumah terlalu panas terbakar, sukar untuk menerima tamu di dalam rumah.
" Kim-lun Hoat-ong mengangguk tanda setuju, baru saja mau melangkah ke sana, mendadak Nimo Singh berkata: "semakin panas semakin menyenangkan.
" - Habis itu dengan lagak tak takut mati ia terus melangkah masuk ke dalam rumah batu yang terletak di tengah dan masih dikelilingi oleh api yang berkobar itu.
-------- gambar ---------"Hei, adik cilik, siapa namamu?" "Aku she Nyo bernama Ko" "Siapakah gurumu?" "Guruku seorang perempuan jelita, ilmu silatnya, tinggi, orang lain dilarang menyinggung namanya.
" ---------------------------Semua orang melengak dan tahu kakek keling cebol itu sengaja pamer kepandaian, Siau-siang-cu mendengus satu kali, segera iapun menyusul ke dalam rumah itu.
"Wah, jangan sampai orang Persi berubah menjadi daging panggang," ujar In Kik-si dengan tertawa, walaupun begitu katanya, tanpa ragu ia pun ikut masuk ke dalam rumah.
Kim-lun Hoat-ong paling tenang dan pendiam, tanpa bicara iapun masuk ke situ.
Sudah tentu Be Kong-co juga tidak mau ketinggalan tapi baru sampai di ambang pintu, se-konyong2 hawa panas terasa membakar, ia berseru: "Ah, lebih baik kucari angin saja di bawah pohon sana.
" Habis itu ia terus berlari kebawah pohon dan duduk istirahat.
Kini tertinggal Nyo Ko saja, baru saja dia mau masuk ke rumah itu, mendadak si nona baju hijau tadi berkata padanya: "Jika tuan tamu ini takut panas, bagaimana kalau silakan berduduk istirahat di sana bersama tuan itu?" Rupanya dia merasa terima kasih atas bantuan.
Nyo Ko tadi yang telah memadamkan api, pula melihat usianya masih muda, ia pikir Nyo Ko pasti tidak mampu menahan hawa panas di dalam rumah yang mirip dipanggang itu.
Tak terduga Nyo Ko tetap melangkah kesana, ia Ijetpaling dengan tertawa dan berkata :" "Biarlah aku duduk sebentar di dalam, kalau tidak tahan tentu aku akan keluar," Sesudah di dalam rumah, ia duduk di sebelah Kim-lun Hoat-ong, keempat lelaki-perempuan berseragam hijau itupun ikut masuk dan duduk di sisi Iain sebagai tuan rumah, seorang di antaranya lantas bertanya: "Maaf, sekiranya boleh kami mengetahui nama tuan-tuan yang terhormat ?" ln Kik-si paling lancar main mulut, dengan tersenyum ia memperkenalkan kelima orang ka-wannya, akhirnya ia berkata: "Cayhe sendiri bernama In Kik-si, berasal dari Persi, kepandaianku selain makan nasi adalah cari duit, berbeda dengan beberapa kavvanku ini, mereka memiliki ilmu sakti yang sukar kuterangkan.
" "Tempat kami ini bernama Cui-sian-kok, biasanya jarang dikunjungi orang luar," kata orang tadi.
"Maka kami merasa beruntung dapat kunjungan tuan-tuan sekarang.
Entah tuan-tuan ini ada keperluan apa, sudilah kiranya memberitahu?" "Kami melihat kalian meringkus Lo-wan-tong Ciu Pek-thong dan dibawa ke sini, karena rasa ingin tahu, maka kami telah ikut kesini tak terduga kami dapat menyaksikan peristiwa aneh pula di sini.
" jawab In Kik-si. Selama tanya jawab kedua orang itu, suhu panas di dalam rumah telah bertambah hebat, Nimo Singh dan Siau-siang-cu sudah lantas duduk bersila begitu mereka masuk ke dalam rumah, satu patah-katapun mereka tidak buka suara, soalnya lwekang yang mereka latih itu di kala mengerahkan tenaga sekali-kali tidak boleh membuka mulut.
Dalam pada itu, akhirnya In Kik-si sendiripun terengah-engah napasnya, suarapun terputus-putus.
Rupanya Lwekang keempat orang baju hijau itu berbeda Lwekang orang lain, juga sudah biasa melawan hawa panas itu, meski kepandaian mereka terbatas, tapi masih sanggup bertahan.
Maka orang pertama tadi berkata pula: "Jadi orang tua yang mengacau itu she Ciu" Pantas dia berjuluk Lo-wan-tong, nyatanya sudah tua masih nakal seperti anak kecil.
" "Apakah kalian juga sehaluan dengan si tua nakal itu?" tanya orang baju hijau kedua.
In Kik-si menjawab: "Kami.
. . kami ti. . . . tidak. . . " Melihat kawannya sudah megap-megap dan tidak sanggup melanjutkan ucapannya, cepat Kim-lun Hoat-ong menyambung: "Kami juga baru kenal dia tadi, bdleh dikatakan tiada hubungan apa-pun.
" Meski perkataan Kim-Iun Hoat-ong dapat diucapkan dengan lancar, tapi sebenarnya cukup makan tenaga, Diam-diam ia mendongkol terhadap Nimo Singh yang sejak tadi duduk diam saja, padahal gara-gara Nimo Singh yang sok aksi dan mendahului masuk rumah ini, kalau tidak, tentu mereka tidak perlu tersiksa, sekarang Nimo Singh duduk terpekur tanpa menggubris orang lain, kalau sebentar para teman tak sanggup membuka mulut, bukankah akan ditertawai pihak lawan " Karena rasa gemas itu, tanpa terasa Kim-lun Hoat-ong melotot kepada Nimo Singh, namun orang keling itu tetap pejam mata dan bersemadi tanpa ambil pusing.
Hanya Nyo Ko saja ternyata dapat duduk dengan tenangnya, ia pernah tidur selama beberapa tahun di atas dipan kumala dingin yang terdapat di kuburan kuno itu, biarpun dalam keadaan tidur nyenyak tubuhnya secara otomatis telah biasa mengatur suhu yang berubah setiap waktu, maka untuk melawan hawa panas sekarang sedikitpun dia tidak merasa sulit.
Begitulah orang baju hijau pertama tadi membuka suara lagi: "Lo-wan-tong itu telah menyusup ke Cui-sian-kok kami ini dan membikin kacau.
. . ". "Membikin kacau bagaimana" Apakah benar dia telah membakar rumah, merobek kitab dan sebagainya seperti tuduhan kalian?" tukas Nyo Ko.
Semua orang menjadi terheran-heran melihat Nyo Ko masih sanggup membuka suara dengan lancar, sedikit tiada ubahnya seperti biasa, padahal pemuda ini juga sudah duduk sekian lamanya di dalam rumah batu yang panas ini.
Karena itu semua orang sama memandang padanya, kecuali Nimo Sing yang masih tetap memejamkan mata dan tidak pusing terhadap kejadian di sekitarnya.
Terdengar orang baju hijau tadi menjawab pula: "Memang begitulah.
Waktu itu aku diperintahkan guruku menunggui anglo yang menggembleng obat, entah cara bagaimana mendadak tua bangka itu menerobos masuk ke situ dan mengajak ngobrol padaku ke timur dan ke barat, dia mengajak main teka teki segala dan menantang taruhan padaku, sungguh sinting dia.
Padahal aku sedang sibuk menunggui anglo yang sedang menyala, aku tidak sempat mengusir dia, terpaksa ku anggap tidak mendengar ocehannya, Tak terduga mendadak dia mengayun kakinya, anglo yang kutunggu itu telah ditendangnva hingga terguling.
" "Dan dia malah menyalahkan kau karena kau tidak menggubris dia, betul tidak ?" kata Nyo Ko dengan tertawa.
"Benar, memang begitulah," kata si nona baju hijau tadi, "Waktu kudengar suara ribut, ku tahu telah terjadi keonaran, baru aku hendak meninggalkan kamar penyimpan Leng-ci-cau yang ku tunggui itu, mendadak kakek aneh itu sudah menerobos tiba, sekali pegang, kontan dia bedol dan dipatahkan menjadi dua sebatang Leng-ci-cau yang sudah berumur lebih 400 tahun.
" "Wah, Lo-wan-tong itu sungguh terlalu, sebatang Leng-ci-cau yang sudah hidup lebih 400 tahun.
tentulah benda mestika yang perlu disayang" ujar Nyo Ko sambil geleng kepala dengan tertawa.
"Padahal ayahku telah merencanakan Leng-ci-cau ini akan dimakan bersama ibu tiriku pada hari pernikahan mereka nanti, siapa tahu tua nakal telah membikin kacau semuanya itu, maka tidak perlu dijelaskan lagi apabila ayahku menjadi murka!" kata si nona baju hijau.
"Apa boleh kami mengetahui nama ayahmu yang terhormat?" tanya Nyo Ko, "Tanpa sengaja kami menyusup ke sini, tapi nama tuan rumah sampai saat ini belum diketahui sungguh terasa kurang sopan.
" Nona baju hijau itu tampak sangsi untuk menjawab, maka seorang lelaki baju hijau yang lain lantas berkata: "Sebelum diidzinkan Kokcu, maafkan jika kami tidak dapat memberi keterangan" Nyo Ko pikir orang-orang ini tentulah orang kosen yang hidup di dunianya sendiri maka tidaklah heran jika mereka tidak mau menjelaskan asal usul mereka.
Maka ia lantas bertanya pula: "Dan kemudian bagaimana dengan Lo-wan-tong itu?" Pada saat itulah terlihat In Kik-si berbangkit lalu melangkah cepat ke luar rumah dengan sempoyongan.
Rupanya orang Persi itu sudah tidak tahan lagi hawa panas.
Maka orang baju hijau, ketiga ikut bicara: "Orang tua she Ciu itu tidak mau kepalang tanggung, dia menerobos lagi ke dalam kamar tulis guru kami dan merobek beberapa buah kitab pusaka, dalam pada itu kedua suhengku dan Sumoay ini telah memburu tiba, kami berempat akhirnya tetap tak dapat merintangi dia.
. . " Belum habis ucapannya, mendadak terlihat tubuh Siau-siang-cu melayang keluar rumah, dia tidak berdiri, tapi masih tetap duduk bersila.
Gerakan tubuhnya yang gesit itu tanpa berdiri itu sungguh luar biasa.
Nyo Ko tersenyum, lalu berkata pula: "Watak lo-wan-tong itu sungguh teramat aneh, ilmu silatnya juga sudah mencapai tingkatan yang sukar di ukur, pantas kalau kalian tak dapat menghalangi dia.
" "Malahan dia belum selesai, dia masuk lagi ke kamar senjata," tutur orang kedua, "tapi lantaran di situ cuma senjata melulu, dia terus menyalakan api sehingga lukisan dan seni tulisan yang bergantung di dinding semuanya terbakar.
Kami sibuk memadamkan api, peluang itu telah digunakan olehnya untuk kabur.
" "O, makanya kemudian kalian mengejarnya dan berhasil menawannya dengan jaring ikan," kata Nyo Ko.
Mendadak Kim-lun Hoat-ong juga berbangkit sambil menggeliat pinggang yang pegal, katanya dengan tertawa: "Adik cilik, akupun merasa tidak tahan lagi, perlu cari angin keluar saja, Kaupun jangan paksakan diri, racun api ini tidak boleh dibuat permainan" Habis berkata ia terus melangkah keluar dengan tenang.
Si nona baju hijau berkata.
kepada Nyo Ko: "Hampir semua tetamu telah keluar, kami berempat sesungguhnya juga tak tahan lagi, bagaimana kalau kita bicara di bawah pohon di luar sana?" Nyo Ko tersenyum dan mengiakan, lalu ia berdiri dan berkata kepada Nimo Singh: "He, saudara tua, kau mau keluar tidak?".
Siapa duga Nimo Singh masih tetap pejam mata dan diam saja, waktu Nyo Ko mendorong pelahan pundaknya, kontan Nimo Singh roboh di lantai Nyo Ko tetkejut, cepat ia membangunkannya.
"Rupanya dia pingsan karena hawa yang teramat panas ini, setelah mendapat angin silir di luar tentu akan siuman kembali," ujar si lelaki baju hijau pertama tadi.
Diam-diam Nyo Ko merasa geli terhadap kemampuan dengan keling tua yang sok aksi itu, segera ia jinjing tubuh Nimo Singh yang kurus kecil itu dan dibawa keluar.
Begitulah semua orang lantas duduk mengitar di bawah pohon, keempat orang baju hijau itu tiada hentinya memuji kehebatan Lwekang si Nyo Ko.
"Kami berempat harus bicara secara bergiliran," setelah buka mulut harus mengerahkan tenaga untuk melawan suhu panas dan pembicaraan disambung oleh yang lain, tapi tuan Nyo ini dapat sekaligus melayani pembicaraan kami berempat tanpa berhenti sungguh sangat mengagumkan tenaga dalamnya yang Iihay," demikian kata orang pertama tadi.
Tiba-tiba orang kedua menyambung: "Eh, Su-ko, aliran Lwekang tuan Nyo ini tampaknya sangat mirip dengan ibu guru kita yang baru itu?" Hati Nyo Ko tergerak tanpa pikir ia terus tanya: "Siapakah ibu guru kalian ?" - Tapi segera ia menyadari ketidak sopanan pertanyaannya itu.
ketika keempat orang baju hijau itu saling pandang dengan air muka yang aneh tanpa menjawab.
In Kik-si tahu Nyo Ko merasa kikuk dan perlu dialihkan pokok- pembicaraan mereka, maka cepat ia menimbrung: "Sebenarnya sebab apakah Lo-wan-tong itu mengamuk, padahal tabiatnva tidaklah jelek meski kelakuannya memang nakal" "Dia bilang usia ayahku sudah sebanyak itu, tapi masih ingin.
. . " belum si nona baju hijau habis berbicara, mendadak kawannya yang pertama tadi menyambung: "Ah, Lo-wan-tong itu memang sinting, mana ucapannya dapat dipegang buntutnya, O, ya, kalian datang dari jauh, tentu sudah lapar, silakan dahar sekadarnya ke sana.
" "Bagus ! Bagus !" kontan Be Kong-co bersorak bicara makan, dia paling bernapsu.
Sementara itu pernapasan Nimo Singh belum lagi lancar kembali dia terus angkat tubuh sang kawan yang kecil itu dan dikempit terus mendahului menuju ke arah yang ditunjuk lelaki baju hijau tadi.
Tempat bersantap juga sebuah rumah batu yang sederhana, tidak banyak alat perabotnya, tapi sangat luas.
Keempat orang baju hijau tadi masuk dapur sendiri untuk menyiapkan daharan, Tidak lama perjamuan lantas dimulai, meja penuh dengan sayur mentah dan buah-buahan belaka, tiada makanan dari daging atau ikan dan juga tiada satu pun yang dimasak.
Makan tanpa ikan daging bagi Be Kong-co jelas tidak menarik, maka ia menjadi kecewa melihat meja itu tiada sesuatu daharan enak selain sayur mentah dan buah-buahan.
"Di sini selamanya tidak kenal makanan berjiwa dan tidak pakai asap api, maka diharap tuan-tuan suka maklum," kata orang pertama tadi.
"Masakah tidak pakai api segala " Tadi kalian kan membakar rumah dengan api?" ujar Be Kong co.
. . "Itu adalah cara hukuman Kokcu," kata orang kedua.
Lalu lelaki baju hijau ketiga menyambung: "Silahkan dahar !" - Lalu ia ambilkan sebuah botol dan menuangkan setiap orang satu mangkoK air jernih.
Be Kong-co mengira disuguh arak, ia tidak makan daging juga tak jadi soal asalkan dapat minum arak.
Tanpa pikir ia terus angkat mangkoknya dan ditenggak, tapi rasanya tawar, baru sekarang ia tahu isi mangkok itu adalah air.
Dasar, wataknya memang kasar, segera ia berteriak: "He, majikan kalian itu sungguh kikir, masakah arak saja tidak disuguhkan kepada tamu.
" "Di lembah ini dilarang minum arak, peraturan ini sudah turun temurun selama beratus tahun, harap tuan tamu suka memaafkan," kata orang pertama tadi.
Si nona baju hijau juga berkata: "Hanya dalam kitab saja kami pernah membaca tulisan arak, tapi sebenarnya bagaimana rasanya arak, selama hidup tak pernah kami lihat, Menurut tulisan dalam kitab, katanya arak dapat mengacaukan pikiran sehat, tentunya juga bukan barang baik" Nyo Ko dan lainnya adalah orang yang sudah biasa hidup bebas di dunia kangouw, mereka merasa kurang cocok dengan lagak lagu keempat orang itu, apalagi sejak mulai bicara tadi belum pernah tertampak air muka mereka mengunjuk senyum, walaupun juga tidak menjemukan, tapi boleh dikatakan tidak menarik.
Karena itu mereka hanya makan nasi saja.
Celakanya nasi itupun mentah, yaitu beras yang digiling halus dan dicampur air melulu, tentu saja rasa katulnya sangat terasa sehingga sukar ditelan saja sekadar tangsal perut.
Hanya Be Kong co yang bertubuh besar kekar, setiap kali makan sedikitnya delapan sampai sembilan mangkok besar, tentu saja dia tidak puas akan suguhan itu, sambil makan nasi beras mentah itu ia terus menggerundel tiada hentinya.
Aneh juga, keempat orang baju hijau itu ternyata tidak ambil pusing terhadap gerundelan Be Kong-co, semula mereka masih minta maaf kepada tamunya, tapi kemudian merekapun tidak menanggapi apapun, mereka anggap makan nasi mentah dan minum air tawar adalah kehidupan yang wajar.
Selesai bersantap, Be Kong-co berkaok ingin pulang saja malam itu juga, tapi kelima orang kawannya merasa tertarik oleh macam-macam keanehan di lembab gunung ini, mereka sama ingin mencari tahu duduknya perkara, maka In Kik-si coba memberi pengertian- kepada Be Kong-co, katanya: "Be-heng, kita sudah datang di sini dan sepantasnya besok kita harus menemui Kokcu, mana boleh pulang begitu saja," "Tidak ada arak tidak daging, nasipun tidak keruan, aku merasa tersiksa di sini," seru Be Kong-co pula.
Mendadak Siau-siang-cu menarik muka dan berkata: "Semua orang bilang tinggal dulu di sini, kau sendiri ribut apa?" Be Kong-co paling takut kepada Siau-siang-cu karena potongannya yang mirip mayat hidup itu, karena itu ia tidak berani mengomel lagi Malamnya mereka berenam lantas tidur di dalam rumah batu itu, lantai batu dingin sekali, jangankan kasur dan selimut, bahkan tikar dan sejenisnya juga tidak ada sama sekali.
"Eh, Hwesio gede," kata Nimo Singh kepada Kim-lun Hoat-ong, "kau adalah otak kita berenam, coba katakan, menurut pendapatmu orang macam apakah Kokcu ini" Apakah orang baik atau orang busuk, besok kita harus bersikap ramah tamah atau labrak dia habis-habisan?" "Seperti juga kalian, aku sendiripun belum tahu bagaimana Kokcu mereka ini, biarlah besok kita bertindak menurut keadaan saja," jawab Kim-lun Hoat-ong tertawa.
Dengan suara pelahan In Kik-si berkata: "Kepandaian keempat orang ini sudah begini bagus, dengan sendirinya sang Kokcu akan jauh lebih lihay.
Besok kita harus selalu waspada, sedikit lengah bisa jadi kita berenam akan terkubur di sini.
" Tapi Be Kong-co masih terus menggerundel tentang makanan tak enak dan sebagainya, sama sekali ia tidak menghiraukan peringatan In Kik-si yang suka berpikir itu.
Maka Nyo Ko sengaja menakuti Be Kong-co, katanya: "Besok kalau kau tidak bertindak hati2 dan kena ditawan mereka, selamanya kau hanya akan merasakan air tawar dan sayur mentah belaka.
" Baru sekarang Be Kong-co terkejut dan cepat menjawab: "Baik, adik cilik, baiklah, aku akan menuruti kalian!" Karena berada di tempat berbahaya, maka tidur mereka semalaman boleh dikatakan tidak nyenyak, hanya Be Kong-co saja yang dapat pulas, suara mendengkurnya begitu keras laksana guntur Setelah bangun pagi-pagi, Nyo Ko keluar rumah batu itu dan memandang sekelilingnya, semalam karena hari sudah gelap, maka keadaan setempat belum terlihat jelas.
Ternyata sekitar pepohonan menghijau permai dengan bunga mekar harum semerbak, sungguh suatu tempat dengan pemandangan alam yang indah.
Karena terpesona oleh pemandangan yang menarik itu, Nyo Ko mengayunkan langkah ke depan, tertampak di tepi jalan bangau putih bergerombol dua-tiga sekalian di sana sini menjangan putih berkelompok, tupai dan kelinci berlari kian kemari tanpa menghiraukan manusia yang berlalu di situ.
Setelah membelok ke sana, terlihat si nona baju hijau kemarin itu sedang memetik bunga di tepi jalan, nampak Nyo Ko, nona itu lantas menyapa: "Selamat pagi! Silakan sarapan !" - Sembari bicara ia lantas memetik dua tangkai bunga dan disodorkan kepada Nyo Ko.
Tanpa ragu Nyo Ko menerima bunga itu, ia ragu apakah mesti makan bunga ini sebagai sarapan pagi" Melihat si nona mengeleteki kelopak bunga dan dimakan, Nyo Ko meniru dan makan juga beberapa sayap kelopak bunga itu, ia merasa kelopak itu ada rasa manis yang sangat tipis, tapi dikunyah lebih jauh, terasa pula rasa sepat dan pahit, ia merasa tidak sopan kalau memuntahkan kembali kelopak bunga yang dimakannya itu, tapi untuk ditelan rasanya sukar pula masuk tenggorokan.
Ia coba mengamati pohon bunga itu, ternyata ranting daunnya penuh duri kecil, tapi warna kelopak bunga indah sekali, mirip bunga mawar tapi lebih harum, menyerupai melati tapi lebih cantik, entah apa nama bunga yang aneh ini.
"Bunga apakah ini, belum pernah kulihat," tanya Nyo Ko, "Namanya Bunga Cinta, memang jarang ada di dunia ini," jawab si nona.
"Enak tidak rasanya dirasakan?" , "Mula-mula terasa manis, tapi kemudian terasa pahit," ujar Nyo Ko sembari mengulur tangannya untuk memetik bunga lagi.
Karena melihat ranting bunga itu berduri, maka dia memetik dengan sangat hati-hati.
Tak terduga, di balik kuntuman bunga yang hendak dipetik itu tersembunyi juga duri yang kecil itu dan jarinya terluka hingga meneteskan beberapa tetes darah segar.
Aneh juga, batang pohon bunga itu mirip kapas saja, begitu darah menetes di dahan pohon, seketika darah segar itu terisap lenyap tanpa bekas.
"Menurut cerita ayahku, bunga cinta ini paling suka kepada darah manusia," tutur si nona baju hijau, "Dengan mengisap beberapa tetes darahmu ini, pasti bunganya akan mekar terlebih indah dan harum, Lembah ini bernama "Lembah Patah Hati", tapi di sini justeru tumbuh bunga cinta sebanyak ini, aneh bukan ?" Nyo Ko merasa nama lembah itu sangat aneh, katanya: "Mengapa bernama lembah patah Hati, nama ini sungguh luar biasa.
" Nona baju hijau itu menggeleng, jawabnya: "Akupun tidak tahu apa maksudnya, nama ini sudah turun temurun, bisa jadi ayah, mengetahui asal-usul nama ini" Sembari bicara mereka lantas berjalan berendeng ke depan, Hidung Nyo Ko mengendus bau harum yang sedap, terlihat pula menjangan kecil yang berlari kian kemari di tepi jalan itu sangat menarik, hatinya menjadi lapang dan semangat segar, terpikir olehnya tiba-tiba : "Alangkah bahagianya apabila yang berjalan berendeng denganku sekarang ini adalah Kokoh, sungguh aku ingin tinggal selamanya di lembah sunyi ini.
" Baru berpikir sampai di sini, mendadak jari yang tertusuk duri bunga tadi terasa sakit nyeri sekali rasa sakit ini sangat aneh dan lihay, dada terasa seperti dipalu beberapa kali oleh orang, tanpa terasa ia menjerit tertahan dan cepat jari dimasukkan ke dalam mulut untuk dihisap.
"Terkenang kepada buah hatimu, bukan?" tanya si nona hambar.
Karena isi hatinya tepat dikatakan si nona, .
muka Nyo Ko menjadi merah, jawabnya: "Aneh, darimana kau mendapat tahu?" "Bila anggota badan tertusuk oleh duri bunga cinta itu, selama tiga hari tiga malam tidak boleh timbul rasa rindu, kalau tidak tentu akan merasa sakit luar biasa," tutur nona itu.
"Sungguh aneh, masakah di dunia ini terdapat hal aneh begini?" kata Nyo Ko dengan heran.
"Kata ayahku, memang begitulah arti cinta, mula-mula terasa manis, tapi kemudian akan timbul terasa pahit getir, bahkan penuh duri, biarpun kau sudah berhati-hati juga tak terhindar akan terluka olehnya, Mungkin karena bunga ini memiliki beberapa segi Khas ini, makanya orang memberi nama begini," "Dan mengapa selama tiga hari tiga malam tidak boleh timbul rasa rindu asmara?" tanya Nyo Ko.
Betapapun dia masih muda belia, bicara mengenai "rindu asmara", tanpa terasa mukanya merah lagi.
Tapi nona baju hijau sama sekali tidak terpengaruh dengan tenang ia berkata pula: "menurut ayah, duri bunga cinta ini berbisa, Umumnya setiap orang yang tergerak cinta berahinya, bukan saja jalan darahnya akan mengalir lebih cepat, bahkan di dalam darah akan timbul sesuatu unsur yang entah apa namanya, Biasanya racun duri bunga cinta ini tidak membahayakan, tapi begitu bertemu dengan unsur itu di dalam darah, seketika akan membuat orang kesakitan tidak kepalang.
" Nyo Ko merasa cerita orang juga rada masuk diakal tapi ia masih setengah ragu.
Kedua orang itu terus melangkah ke dataran puncak yang terang benderang oleh sinar matahari pagi yang hangat, bunga cinta tampak mekar semarak, bahkan pohon bunga itu pun berbuah.
Macam-macam warna buahnya, ada hijau, ada merah dan kombinasi merah dan hijau, malahan buahnya berbulu halus seperti bulu ulat.
"Aneh, bunga cinta itu sangat indah, mengapa buahnya begini jelek," ujar Nyo Ko.
"Buah bunga cinta ini tak dapat dimakan," kata si nona, "rasa buahnya ada yang masam, ada yang pedas, malahan ada yang bau busuk dan memuakkan.
" "Masakah tiada yang manis sebagai madu?" ujar Nyo Ko dengan tertawa.
Nona itu memandang sekejap padanya, lalu menjawab : "Ada sih memang ada, cuma sukar dibedakan dari kulit buahnya, ada yang rupanya buruk, tapi rasanya manis, tapi yang rupanya bagus tidak selalu pasti manis.
" Nyo Ko pikir meski apa yang dikatakan si nona itu mengenai bunga cinta, tapi sebenarnya mengandung filsafat tentang asmara lelaki dan perempuan apakah rasa cinta itu memang mula-mula manis dan akhirnya pasti pahit getir " Apakah cinta kasih sepasang laki perempuan tentu akan berakhir dengan mimpi buruk daripada mimpi indah " Apakah rasa rindukan kepada Kokoh ini kelak juga akan.
. . ! Begitu dia terkenang kepada Siao-liong-li, kontan jarinya terasa kesakitan lagi, baru sekarang ia percaya kepada apa yang diceritakan si nona baju hijau memang bukan omong kosong belaka, Melihat Nyo Ko meringis lagi menahan sakit, si nona seperti mau tersenyum, tapi segera ditahannya, sementara itu wajahnya yang tersorot oleh sinar matahari itu telah menambah cantiknya.
"Di jaman dahulu ada seorang raja telah mengorbankan kerajaannya hanya karena ingin melihat senyuman manis seorang perempuan cantik, itulah tandanya sukarnya melihat tertawa perempuan cantik sejak jaman kuno sampai jaman kini memang sama susahnya," kata Nyo Ko dengan tertawa.
Dasar si nona memang masih muda dan polos, karena olok-olok Nyo Ko itu, tak tertahan lagi, akhirnya tertawa mengikik.
Tadinya sikap si nona tampak dingin dan kaku, maka Nyo Ko selalu merasa prihatin, kini tawa si nona telah membuat jarak hubungan mereka menjadi lebih dekat.
"Ai, bicara tentang sukarnya melihat tertawa orang perempuan yang mengakibatkan musnahnya suatu negara, padahal masih ada sesuatu pada diri perempuan cantik yang lebih sukar diperoleh dari pada tertawanya," kata Nyo Ko pula.
Nona itu tampak terbeliak heran dan ingin tahu, cepat ia tanya.
"Apakah itu?" "Ialah nama si cantik," ujar Nyo Ko.
"Bahwa dapat melihat wajah si cantik sebenarnya sudah beruntung, apalagi dapat melihat tertawanya, itulah rejeki nomplok namanya, sedangkan kalau ingin si cantik sendiri mengatakan namanya, untuk itu perlu rejeki nomplok di tambah perbuatan amal bakti turun temurun.
" Si nona tahu arti ucapan Nyo Ko itu hendak menuju ke mana, sambil tertawa iapun menjawab: "Aku bukan perempuan cantik segala, di lembah ini belum pernah ada orang mengatakan aku ini cantik, rupanya engkau bercanda padaku?" Nyo Ko menarik napas panjang, katanya : "Ai, pantas lembah ini bernama Lembah Patah Hati atau Lembah Tanpa Perasaan, Menurut pendapatku lembah ini perlu ganti nama.
" "Ganti nama apa?" tanya si nona.
"Lebih tepat pakai nama Lembah Orang Buta," kata Nyo Ko.
"Sebab apa?" si nona menegas.
"Kan mudah dimengerti.
" kata Nyo Ko. "Orang yang tidak tahu kecantikan seseorang kan namanya orang buta, Kau begini cantik, tapi mereka tidak pernah memuji kau, bukankah semua penghuni lembah ini adalah orang "buta?" Kembali si nona tertawa terkekeh, padahal wajahnya meski tergolong kelas atas, tapi kalau dibandingkan Siao-liong-li jelas masih jauh sekali, dibandingkan kelembutan Thia Eng dan kegenitan Liok Bu-siang juga masih kalah.
Cuma nona gunung ini lebih polos, sederhana, tidak pernah makan barang berjiwa, dengan sendirinya ada sesuatu gaya yang istimewa pada dirinya.
BegituIah dengan sendirinya nona itu sekarang senang karena dipuji cantik oleh Nyo Ko, dengan tertawa ia menjawab: "kau sendirilah yang buta, masakah menganggap seorang perempuan jelek sebagai orang cantik " Melihat tertawa si nona yang menarik, tubuhnya yang semampai rada bergetar, tanpa terasa hati Nyo Ko tergerak juga.
Maklumlah, seorang pemuda berdiri di samping seorang gadis cantik dan melihat wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang indah, adalah jamak kalau timbul juga pikiran berahinya.
Siapa duga karena goncangan perasaannya itu, mendadak jarinya yang tertusuk jari bunga cinta tadi kembali kesakitan lagi.
Melihat Nyo Ko meringis kesakitan sambil memegangi jarinya, si nona rada kurang senang, omelnya: "Aku sedang bicara dengan kau, tapi kau justeru memikirkan kekasihmu.
" "Ai, sungguh mati, sakitnya jariku ini justeru akibat aku memikirkan dirimu, tapi kau malah marah padaku," kata Nyo Ko.
Mendadak muka si nona merah jengah terus berlari cepat ke depan sana.
Nyo Ko menjadi menyesal setelah ucapannya keluar, pikirnya: "cintaku telah kucurahkan seluruhnya kepada Kokoh, tapi tabiatku yang sok bangor mengapa tidak dapat berubah" Ai, dasar !" Maklumlah, pembawaan Nyo Ko memang memiliki sebagian sifat ayahnya yang ugal-ugalan dan suka kepada kaum wanita, meski sebenarnya tidak bermaksud jahat, tapi dia suka menggoda dan merayu beberapa patah kata terhadap setiap gadis cantik, sudah tentu akibatnya si nona menjadi kacau pikirannya.
Setelah berlari tak jauh, mendadak nona tadi berhenti termenung di depan sebatang pohon bunga cinta.
selang sejenak ia menoleh dan tertawa kepada Nyo Ko, lalu berkata: "Jika kuberi tahukan namaku, tapi kau tidak boleh katakan lagi kepada orang lain, lebih-lebih tidak boleh memanggil aku di depan orang lain.
" "Wah, banyak amat syaratnya, baiklah, aku bersumpah.
" ujar Nyo Ko dengan sikapnya yang kocak Si nona tertawa pula, lalu berkata : "Ayahku she Kongsun.
. . " dia tetap tak mau mengatakan namanya sendiri secara langsung, tapi sengaja berputar untuk menyebut namanya, "Dan siapakah she nona?" sela Nyo Ko.
"Entah, boleh kau terka sendiri," jawab si nona sambil tertawa geli, lalu melanjutkan: "Yang jelas ayahku memberikan nama kepada puteri tunggalnya yaitu Lik-oh".
"Sungguh nama yang bagus, secantik orangnya," puji Nyo Ko.
Setelah memperkenalkan namanya.
Kongsun Lik-oh menjadi lebih akrab terhadap Nyo Ko, katanya pula: "Sebentar ayah akan bertemu dengan kau, tapi jangan kau tertawa padaku.
" "Memangnya kenapa?" tanya Nyo Ko.
"Apabila ayah mengetahui aku pernah tertawa padamu, apalagi mengetahui aku telah memberitahukan namaku padamu, wah, entah cara bagaimana dia akan menghukum diriku," kata Kongsun Lik-oh.
"Masakah begitu bengis ayahmu?" ujar Nyo Ko.
"Semalam kalian dihukum panggang di rumah batu itu, masakah dia tidak sayang kepada puterinya yang begini cantik ini?" Mata Kongsun Lik-oh menjadi merah basah.
jawabnya: "Dahulu ayah sangat sayang padaku, tapi sejak ibuku meninggal ketika umurku baru sepuluh tahun, selanjutnya ayah lantas makin bengis padaku, Apalagi nanti kalau ayah sudah punya isteri baru, entah bagaimana nasibku ini kelak.
" Habis berkata, tak tertahan lagi air matanya lantas menetes.
Nyo Ko berusaha menghiburnya: "Setelah menikah, ayahmu tentu gembira dan pasti akan perlakukan kau dengan lebih baik.
" Kongsun Lik-oh menggeleng, katanya: "Aku lebih suka dia terlebih bengis padaku daripada dia mengambil isteri baru lagi.
" Karena sejak kecil Nyo Ko sudah ditinggalkan ayah-bundanya.
maka perasaan kekeluargaan demikian kurang dipahami olehnya, dia hanya ingin membikin senang hati si nona, maka ia berkata pula: "Ibumu yang baru tentu tiada setengahnya daripada kecantikanmu-" "Salah kau," cepat Lik-oh menyanggah "Justeru ibuku yang baru itulah seorang wanita cantik sejati.
ilmu silatnya juga bagus.
Kemarin ketika kami berhasil menangkap pulang Ciu Pek-thong, kalau saja ayah dan ibu baru tidak lagi bertanding silat dan tidak sempat memeriksanya tentu si anak tua nakal tak bakalan bisa kabur.
" "llmu silat ayahmu dan ibumu yang baru itu siapa lebih tinggi?" tanya Nyo Ko.
"Sudah tentu ayah lebih tinggi, kalau tidak, masakah ibu baru mau menjadi isterinya?" jawab Lik-oh, "Lusa adalah hari perkawinan mereka, besar kemungkinan ayah akan mengundang kalian tinggal dua-tiga hari lagi di sini untuk menghadiri pesta nikahnya.
Ai, aku sendiri lebih baik pergi sejauhnya saja.
" Setelah berbicara sekian lama, sementara itu sang surya sudah makin tinggi di ufuk timur, Lik-oh tersadar dan berkata: "Lekas kau kembali ke sana, jangan sampai kita dipergoki para suhengku dan dilaporkan kepada ayah.
" Serentak timbul rasa kasihan kepada keadaan si nona, Nyo Ko genggam tangan sebelah tangan nona itu dan tangan lain menepuk pelahan pada bahunya sebagai tanda simpatik, habis itu ia terus melangkah kembali ke rumah batu itu.
Belum lagi dia memasuki pintu rumah sudah lantas mendengar suara teriakan Be Kong-co yang lagi mengomel karena makanan tidak enak dan merasa disiksa segala.
Terdengar In Kik-si lagi berkata: "Be-heng, jika kau membawa sesuatu barang yang berharga, kukira kau harus menyimpannya dengan baik, tampaknya Kokcu di sini tidak bermaksud baik.
" Be Kong-co tidak tahu In Kik-si sengaja menggodanya ia mengira betul apa yang dikatakan itu, maka berulang mengiakan.
Waktu Nyo Ko masuk rumah, tertampak di atas meja batu tersedia beberapa piring kelopak bunga cinta, sudah tentu tiada seorangpun yang doyan makanan istimewa itu dan karena itu semuanya tampak bersungut.
Pada saat itu juga datanglah seorang berbaju hijau dan memberitahu bahwa sang Kokcu mengundang kehadiran Nyo Ko berenam, Kim-lun Hoat ong, Nimo Singh dan lainnya adalah tokoh terkemuka dunia persilatan, di manapun mereka selalu disambut sendiri oleh tuan rumah, bahkan pangeran yang berkuasa seperti Kubilai juga menghormati mereka, siapa duga sampai di lembah sunyi ini mereka justeru diperlakukan dengan dingin oleh tuan rumahnya, tentu saja mereka sangat mendongkol.
Namun, merekapun penuhi undangan itu, hanya dalam hati mereka sama membatin: "Sebentar kalau sudah bertemu biarlah Kokcu keparat itu disuruh rasakan kelihayanku.
" Begitulah mereka berenam terus ikut orang berbaju hijau itu menuju ke belakang gunung, mendadak di depan sana terbentang hutan bambu yang luas, biasanya di daerah utara jarang ada pohon bambu, apalagi hutan bambu selebar ini.
Mereka terus menyusuri hutan bambu itu, terendus bau harum bunga yang menyegarkan semangat.
Setelah menembus hutan bambu itu, terlihatlah alam luas sejauh mata memandang penuh Cui-sian-hoa (bunga dewi air) belaka.
Kiranya tanah di situ adalah empang yang dangkal, dalam air cuma sebatas betis saja dan penuh tumbuh bunga yang harum itu.
Padahal Cui-sian-hoa itu adalah tumbuhan khas daerah selatan, entah mengapa bisa muncul di atas gunung daerah utara ini" Kim-lun Hoat-ong pikir tentu di puncak gunung ini adalah sebangsa sumber air panas, karena tanahnya menjadi subur dan hawa hangat, makanya bunga daerah selatan dapat tumbuh dan mekar dengan suburnya.
Pada permukaan empang yang sangat luas itu kelihatan ada tonggak kayu yang berjajar dalam jarak dua-tiga meter, Orang berbaju hijau yang mengantar mereka itu mendahului melompat ke atas tunggak kayu pertama, seterusnya ke tunggak kedua dan ketiga dan begitu selanjutnya seperti di tanah datar saja.
Nyo Ko berenam juga menirukan cara melintasi empang itu seperti orang berbaju hijau, hanya Be Kong-co saja karena tubuhnya segede kerbau, Ginkangnya juga kurang, meski langkahnya lebar, tapi sukar mencapai dua-tiga meter sekali melangkah, akibatnya beberapa tunggak menjadi ambruk terinjak olehnya, akhirnya ia menjadi tidak sabar, diseberanginya empang itu dengan berjalan di air.
Sesudah melintasi empang bunga dewi air, tertampaklah di tempat yang rindang di kejauhan sana enam tamunya.
lalu berkata: "Selamat datang, silahkan, kelihatan dua kacung berbaju hiiau dengan memegang kebut yang semula berdiri di depan pintu, seorang diantaranya segera masuk melapor, sedangkan kacung yang Iain lantas membukakan pintu untuk menyambut tamu.
Selagi Nyo Ko ragu apakah tuan rumahnya juga akan muncul menyambut kedatangan mereka atau tidak, sekonyong-konyong bayangan hijau berkelebat di depan mata, tahu-tahu seorang kakek berjenggot panjang dan berjubah hijau sudah berdiri di depan mereka.
Perawakan kakek ini sangat pendek, tidak lebih dari satu meter, mukanya jelek lagi aneh, mulutnya menjengkit, hidungnya pesek, daun telinga lebar seperti kuping gajah, memakai jubah hijau dari kain kasar, ikat pinggangnya adalah tali rumput warna hijau pula, Sungguh istimewa wajah dan dandanannya.
Nyo Ko merasa heran bahwa puterinya begitu cantik, mengapa sang Kokcu begini aneh dan jelek" Kakek cabol itu memberi hormat kepada ke-enam tamunya, lalu berkata: "Selamat datang, silakan duduk di dalam dan sekadar minum teh !" Nimo Singh berpikir: "Aku sendiri pendek.
.

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi Kokcu di sini ternyata juga cebol, sebentar ingin kutahu apakah cebol macammu lebih hebat atau cebol macamku lebih lihay.
" Segera ia mendahului ke depan dan mengulurkan tangan sambil berkata: "Selamat bertemu !" Kakek berjenggot panjang itupun menyodorkan tangannya, begitu tangan berjabat tangan, seketika Nimo Singh mengerahkan tenaganya.
Melihat kedua orang bermaksud menguji tenaga, orang lain cepat menyingkir ke samping, mereka tahu pertandingan dua tokoh lihay tentu tidak boleh diremehkan akibatnya.
Semula Nimo Singh hanya mengerahkan tiga bagian tenaganya, terasa pihak lawan tidak memberi reaksi apapun dan juga tidak balas menggempur.
ia rada heran, segera ia tambahi lagi tiga bagian tenaga, terasa yang tergenggam ditangan itu seperti sepotong kayu yang keras, Waktu Nimo Singh menambahi lagi tiga bagian tenaganya, sekilas air muka kakek berjenggot panjang itu bersemu hijau, lalu tenang kembali dan tangannya tetap kaku dan keras.
Nimo Singh sangat heran, sisa tenaganya yang masih sebagian itu tidak berani dikeluarkan lagi, ia kuatir kalau mendadak pihak lawan melancarkan serangan balasan dan diri sendiri sudah tiada tenaga cadangan untuk menghadapi tentu diri sendiri akan celaka.
BegituIah ia lantas tertawa, lalu me!epaskan tangan lawan".
Pertarungan halus ini ternyata tidak kelihatan pihak mana yang lebih unggul entah si kakek berjenggot sengaja mengalah atau memang cuma begitu saja kekuatannya.
Nimo Singh merasa sia-sia ketika perasaannya tadi, betapa hebat kepandaian lawan ternyata sedikitpun sukar dijajaki.
Kim-lun Hoat-ong berjalan di belakang Nimo Singh, ia sangat cerdik, ia pikir kalau Nimo Singh tak dapat mengukur kepandaian lawan, maka dirinya juga tidak perlu mengujinya Iagi.
Dengan tenang ia terus masuk saja kedalam rumah disusul dengan Siau-siang-cu dan In Kik-si.
Menyusul adalah Be Kong-co, dilihatnya jenggot si kakek yang panjang itu terjulai sampai di atas tanah, Memangnya dia sedang dongkol karena sejak pagi belum makan apapun, rasa lapar ditambah rasa gusar, segera ia sengaja mencari gara-gara.
Waktu melangkah masuk pintu rumah itu, ia berlagak tidak tahu, sebelah kakinya terus menginjak ke atas jenggot si kakek sehingga ujung jenggot terinjak.
Tapi kakek itu tidak berbuat apapun, dia cuma berkata : "Hati-hati tuan.
" Kaki Be Kong-co yang lain sengaja menginjak pula di atas jenggot orang, lalu pura-pura tidak tahu dan bertanya : "Ada apa ?" Si kakek menggeleng pelahan, kontan Be Kong-co tergebat dan jatuh terjengkang.
Jatuhnya sesosok tubuh sebesar itu tentu saja menimbulkan suara gedebuk yang keras.
Nyo Ko berjalan paling belakang, cepat ia memburu maju, --sebelah tangannya menyanggah pantat Be Kong-co terus disodok ke depan, seketika tubuh yang besar itu melayang ke sana, dengan enteng dapatlah Be Kong-co berdiri tegak kembali sambil meraba bckong yang kesakitan itu dengan meIongo.
Si kakek berjenggot anggap tidak pernah terjadi apapun, dia menyilakan keenam tamunya mengambil tempat duduk yang telah tersedia, lalu berseru nyaring: "Para tamu sudah tiba, harap Kokcu suka menemuinya.
" Nyo Ko dan lainnya sama terkesiap, baru sekarang mereka tahu bahwa si kakek cebol berjenggot panjang ini kiranya bukan sang Kokcu.
Dalam pada itu dari ruangan belakang telah muncul belasan orang lelaki perempuan berseragam baju hijau dan berdiri berjajar di sebelah kiri, Habis itu dari balik pintu anginpun keluar seorang lelaki, setelah memberi salam kepada tetamunya, lalu iapun berduduk.
Orang terakhir ini adalah sang Kokcu, usianya sekitar 45-46 tahun, wajahnya bagus, dapat dibayangkan 20 tahun yang lalu tentu dia ini seorang pemuda yang cakap, cuma sekarang air mukanya rada pucat kuning dan kurus sehingga sukar diketahui bahwa dia memiliki ilmu silat maha tinggi.
Sesudah Kokcu itu berduduk, beberapa kacung berbaju hijau lantas menyuguhkan teh.
Di ruangan tamu ini segala perabotan dan pakaian seluruhnya berwarna Hijau, hanya jubah yang dipakai sang Kokcu berwarna biru manikam sehingga tampaknya sangat menyolok di tengah2 yang segalanya serba hijau itu.
Sejenak kemudian sang Kokcu mengebaskan lengan bajunya yang panjang, lalu angkat mangkok teh dan berseru.
"Silakan minum tuan-tuan yang terhormat !" Melihat air teh di dalam mangkok yang di-suguhkan padanya itu sangat cemplang, keruan hati Be Kong-co bertambah dongkol ia terus berteriak: "He, tuan rumah, daging kau tidak doyan, minum teh juga setawar ini, pantas kalau kau selalu kelihatan sakit-sakitan.
" Sang Kokcu tidak memperlihatkan reaksi apa-pun, sehabis minum tehnya, ia menjawab : "Selama beberapa ratus tahun hidup di lembah ini kami melulu makan minum cara begini.
" "Coba jelaskan, apa paedafanya hidup cara demikian" Apakah bisa menjadikan kau panjang umur?" tanya Be Kong-co.
"Yang pasti pantangan makan barang berjiwa dan hidup sederhana demikian sudah dimulai sejak kakek moyang kami hijrah menetap di sini pada jaman Tong-hian-cong, kami sebagai anak cucunya tiada yang berani melanggar peraturan ini," jawab sang Kokcu.
"Oh, jadi keluarga kalian sudah menetap di sini sejak dinasti Tong, sungguh lama dan kerasan sekali," kata Kim-lun Hoat-ong.
Mendadak Siau-siang-cu ikut bertanya dengan suaranya yang banci: "Eh, jika begitu kakek moyangmu itu tentu pernah melihat Nyo-kuihui (seorang selir kaisar Tong-hian-cong yang sangat cantik)?" Suara Siau-siang-cu ini kedengaran sangat aneh, sebenarnya suaranya sudah cukup dikenal oleh Nimo Singh, In Kik-si dan lainnya, karena ini mereka menjadi heran, mereka sama memandang wajah Siau-siang-cu, serentak mereka terperanjat ternyata wajah Siau-siang-cu telah berubah sama sekali, mukanya yang memang kaku pucat sebagai mayat kini bertambah aneh luar biasa.
Diam-diam Nimo Singh dan lainnya menjadi jeri, mereka menyangka ilmu yang dilatih Siau-siang-cu itu ternyata begini lihay, apabila dikeluarkan bahkan air mukapun bisa berubah sama sekali.
Bahwa sekarang Siau-siang-cu telah mulai mengerahkan ilmunya, tentu segera dia akan mulai melabrak sang Kok-cu.
Karena pikiran demikian, Nimo Singh dan lainnya juga sama siap siaga.
Begitulah terdengar sang Kokcu lagi menjawab: "Leluhurku memang pejabat tinggi dan pemindahan leluhur kami ke sini ketika itu memang untuk menghindari keganasan menteri dorna Nyo Kok-tiong yang berkuasa pada masa itu.
" Kembali Siau-siang-cu mengakak dan berkata: "Haha, jika begitu leluhurmu itu pasti pernah minum air cuci kaki Nyo-kuihui.
" Ucapan ini sungguh membikin kaget semua orang, jelas kata-kata demikian berarti suatu tantangan terhadap sang Kokcu dan pertarungan pasti segera akan terjadi.
Diam-diam Kim-lun Hoat-ong dan lainnya merasa heran, padahal mereka kenal Siau-siang-cu biasanya sangat licik dan licin, segala persoalan lebih suka ditimpakan kepada orang lain, mengapa sekarang dia mau tampil ke muka sendiri" Kokcu itu ternyata tidak gubris ucapan Siau-siang-ciu itu, dia cuma memberi isyarat kepada si kakek jenggot panjang yang berdiri di belakangnya.
"Hm" kakek berjenggot itu berseru: "Kokcu menghormati kalian sebagai tamu, sebab itulah kalian diperlakukan dengan baik, tapi mengapa kau bicara secara ngawur ?" Siau-siang-cu terkekeh lagi dan berkata dengan nada suara yang dibuat-buat: "Hehe, leluhurmu itu pastilah pernah minum air cuci kaki Nyo-kui-hui, aku berani bertaruh dengan potong kepalaku ini.
" Be Kong-cu merasa terheran-heran, ia bertanya: "Hai, Siau-heng, darimana kau tahu begitu pasti " Apakah waktu itu kau juga minum air cuci kaki itu bersama dia?" Kembali Siau-siang-cu tertawa, tapi sekali ini nada suaranya berubah pula, katanya: "Jika bukan lantaran muak terlalu banyak minum air cuci kaki itu, mengapa orang hidup tidak makan minum sebagaimana lazimnya ?" Kim-lun Hoat-ong dan lainnya sama mengerut kening dan merasa ucapan Siau-siang-cu ini keterlaluan, makan-minum adalah kebiasaan masing2 orang, mana dapat dipersamakan dan dijadikan bahan olok-olok" Tampaknya si kakek berjenggot panjang tidak tahan lagi, ia melangkah ke tengah ruangan dan berseru : "Siau-siansing, setahuku kami tidak berbuat kesalahan apapun padamu, jika engkau benar-benar ingin coba-coba, marilah maju sini !" "Boleh!" kata Siau-siang-cu, mendadak orangnya bersama kursinya melompati meja di depannya dan tahu-tahu berduduk di tengah ruangan, "Nah, kakek jenggot panjang, siapa namamu " Kau kenal namaku, tapi aku tidak tahu namamu, kan tidak adil?" Ucapan ini seperti tepat tapi juga lucu, keruan kakek berjenggot itu bertambah gusar, tapi diam2 iapun waspada setelah menyaksikan lompatan orang berikut kursinya dengan gaya yang gesit dan lihay itu.
Terdengar sang Kokcu berkata: "Boleh kau beritahukan dia, tidak soal.
" "Baik," jawab si kakek berjenggot panjang, "Nah, dengarkan, aku she Hoan bernama It-hong.
sekarang silakan berdiri dan marilah kita mulai!" "Kau menggunakan senjata apa" Coba perlihatkan padaku dahulu !" kata Siau-siangcu.
"Kau ingin bertanding dengan bersenjata" Boleh juga !" ucap Hoan It-hong.
Mendadak sebelah kakinya memukul lantai sambil berseru : "Ambilkan sini!" Serentak dua kacung berbaju hijau tadi berlari ke ruangan dalam, keluarnya kedua kacung itu sudah menggotong sebatang tongkat yang pangkalnya berukirkan kepala naga, panjang tongkat sekitar, dua meter.
Tentu saja Nyo Ko dan lainnya terperanjat, mereka tidak habis paham mengapa si kakek cebol itu menggunakan senjata yang panjangnya hampir dua kali daripada panjang badannya, cara bagaimana akan dapat dimainkannya" Ternyata Siau-siang-cu tidak ambil pusing terhadap senjata orang, ia sendiri lantas mengeluarkan dari dalam bajunya yang longgar itu sebuah gunting raksasa dan berkata: "lni senjataku, apakah kau tahu kegunaannya ?" Kalau semua orang paling-paling cuma heran saja atas gunting besar itu, tidak demikian dengan Nyo Ko, ia terperanjat sekali, tanpa meraba rangselnya iapun yakin bahwa gunting besar miliknya itu sudah hilang.
Gunting raksasa itu khusus dipesannya pada pandai besi Pang dan ingin digunakan untuk memotong ujung kebut Li Bok-chiu, kini ternyata kena dicuri oleh Siau-siang-cu di luar tahunya" Sementara itu Hoan It-hong telah pegang tongkat panjang yang digotong keluar kedua kacung tadi, dia pegang bagian tengah tongkat, lalu di-jungkirkan, pangkal tongkat dipukulkan pelahan pada lantai.
Karena ruangan tamu rumah batu itu sangat luas, ketokan tongkat baja itu dengan sendirinya menimbulkan suara gemerantang yang nyaring mengejutkan.
Dengan tangan kanan Siau-siang-cu memegangi guntingnya, jarinya dikerjakan sekuatnya barulah gunting itu dapat terbuka dan terkatup, lalu ia berseru : "He, orang cebol berjenggot, tentunya kau tidak kenal nama guntingku ini, apakah kau perlu kuberitahukan dahulu ?" "Huh, senjata rombengan entah kau temukan dari mana, masakah punya nama yang baik?" jengek si kakek alias Hoan It-ong dengan mendongkol.
"Benar, namanya memang kurang enak di-dengar," ujar Siau-siang-cu dengan bergelak tertawa, "Gunting ini disebut Kau-mo-cian (gunting bulu anjing).
" Nyo Ko merasa kurang senang, pikirnya : "Brengsek ! Masakah guntingmu itu kauberi nama begitu ?" Dalam pada itu terdengar Siau-siang-cu lagi berkata : "Karena kutahu di sini ada makhluk aneh berjenggot panjang, maka sengaja kupesan gunting bulu anjing ini untuk memotong jenggotmu".
Berbareng Nimo Singh dan Be Kong-co bergelak tertawa, In Kik-si dan Nyo Ko juga ikut tertawa walaupun tidak keras, Hanya Kim-lun Hoat-ong dan sang Kokcu saja yang tetap duduk tenang berhadapan seperti tidak mendengar apa yang terjadi itu.
Segera Hoan It-ong angkat tongkatnya dan diputar sedikit, serentak berjangkit angin keras, lalu ia berkata: "Memangnya jenggotku ini sudah terlalu panjang, jika kau ingin menjadi tukang cukur, wah, kebetulan bagiku, Nah silakan mulai !" Siau-siang-cu seperti terkesima memandangi dinding ruangan itu dan sama sekali tidak mendengarkan ucapan Hoan It-ong, tapi begitu orang selesai bicara, mendadak guntingnya menyambit ke depan secepat kilat, "creng", kontan ia menggunting jenggot lawan.
Sama sekali Hoan It-ong tidak menyangka dalam keadaan masih berduduk mendadak Siau-siang-cu dapat melancarkan serangan, untuk menghindar jelas tidak keburu lagi, terpaksa ia menggunakan gerakan istimewa, sekuatnya tangan menahan batang tongkatnya, tubuhnya terus meloncat ke atas.
Dalam sekejap itu kedua orang telah sama2 memperlihatkan gerak kilat yang mengejutkan namun Hoan It-ong tetap rugi dalam keadaan diserang lebih dulu tanpa terduga, meski guntingan itu dapat dihindarkan, tidak urung ujung beberapa utas jenggotnya masih tergunting putus juga.
Siau-siang-cu tampak sangat senang, jenggot yang putus itu disambernya terus ditiupnya, tiga-tmpat utas jenggot itu lantas terbang ke arah mangkok teh sendiri yang terletak di meja, menyusul terdengarlah suara nyaring, mangkok teh itu jatuh dan pecah berantakan.
Nyo Ko dan lainnya cukup paham bahwa pecahnya mangkok itu adalah disebabkan hawa yang ditiupnya Siau-siang-cu itu.
Tapi Be Kong-co tidak tahu hal ikhwalnya, ia mengira mangkok teh itu jatuh lantaran tersodok oleh samberan bulu jenggot yang ditiup itu.
Segera ia berteriak: "Wah, hebat benar jenggotmu itu, Siau-siang-cu !" Sambil tertawa Siau-siang-cu mengacipkan guntingnya beberapa kali hingga menimbulkan suara "creng-creng", katanya: "Hayo maju sini, jenggot cebol!" Semua orang kini dapat melihat lebih jelas ketika Siau-siang-cu tertawa ternyata kulit mukanya sama sekali tidak bergerak keruan semua orang bertambah kejut dan heran, Bahwa orang yang memiliki Lwekang maha tinggi memang sanggup tidak memperlihatkan sesuatu tanda gusar atau gembira, tapi air muka Siau-siang-cu yang kaku dan seram meski dalam keadaan gembira, hal ini sungguh luar biasa dan belum pernah mereka alami.
Berulang kali dipermainkan, Hoan It-ong semakin murka, ia memberi hormat kepada sang Kokcu dan berkata: "Suhu, terpaksa Tecu tidak dapat menghormati tamu kita secara layak.
" Nyo Ko heran mendengar kakek cebol berjenggot itu memanggil sang Kokcu sebagai Suhu, padahal umurnya jauh lebih tua, masakah malah menyebutnya sebagai guru" Terlihat sansi Kokcu memanggut sekalian sambil melambaikan tangannya, Segera Hoan It-ong mengayun tongkatnya, "wuttt", kontan kursi yang diduduki Siau-siang-cu itu dihantam.
Meski tubuhnya pendek, tapi tenaganya luar biasa hebatnya, tongkat baja yang bobotnya ratusan kati itu, bila sampai kursi itu kena dihantam, tentu akan hancur berkeping.
Walau Nyo Ko dan lainnya datang bersama Siang-siang-cu, tapi sampai di mana kepandaian smjati kawannya itu hakikatnya merekapun tidak tahu persis, Maka mereka lantas mengikuti pertarungan itu dengan penuh perhatian.
Kelihatan tongkat si kakek sudah dekat dengan kaki kursi, mendadak tangan kiri Siau-siang-cu menjulur ke bawah, ternyata tongkat itu hendak dipegangnya.
Malahan sekaligus gunting di tangan lain terus menyamber ke depan untuk menggunting jenggot lawan yang panjang itu.
Tidak kepalang gusar Hoan It-ong karena merasa orang terlalu meremehkan dirinya, cepat ia miringkan kepalanya hingga jenggotnya yang panjang itu melayang ke samping dan tongkatnya tetap dipukulkan ke tangan Siau-siang-cu yang hendak menangkap senjatanya itu, serangan ini dengan tepat mengenai telapak tangan, serentak semua orang bersuara kaget dan berbangkit.
Hoan It-ong menduga tangan orang pasti akan patah kena dihantamnya, tak tahunya ketika menyentak sasarannya, rasanya tongkat seperti menghantam air, lunak dan enteng, ia sadar keadaan bisa runyam, cepat ia menarik kembali tongkatnya, namun sudah terlambat, tongkat sudah tergenggam kencang oleh tangan Siau-siang-cu.
Segera Hoan It-ong merasakan pula lawan sedang membetot, segera ia dorong sekalian tongkatnya ke depan, Tongkat itu amat panjang, maka dorongannya itu sangat kuat, tampaknya Siau-siang-cu pasti akan terdesak meninggalkan kursinya jika tidak mau roboh terjungkal.
Tak terduga sedikit Siau-siang-cu kencangkan pantatnya, serentak orang berikut kursinya meloncat lagi ke samping, seketika dorongan tongkat Hoan It-ong tidak mencapai sasarannya, sedangkan pegangan Siau-siang-cu pada tongkatnya juga lantas dilepaskan.
Cepat Hoan It-ong memutar tongkatnya yang panjang itu dan kembali menyabet ke kepala lawan, Agaknya Siau-siang-cu sengaja hendak pamer kepandaiannya kembali orang bersama kursinya meloncat setingginya dan melayang lewat di atas samberan tongkat musuh.
Melihat gerakannya yang aneh lagi gesit itu, meski duduk di atas kursi, tapi tiada bedanya seperti orang berdiri saja, tanpa terasa semua orang sama bersorak memuji.
Hoan It-ong tak berani ceroboh lagi menghadapi lawan yang lihay itu, ia putar tongkatnya sedemikian cepat, ia pikir untuk menghantam tubuh orang jelas sukar, kalau dapat menghancurkan kursinya rasanya lebih baik.
Karena itu tongkatnya terus mengincar untuk menyabet kursi lawan.
Siapa tahu ilmu silat Siau-siang-cu sungguh maha sakti, gunting di tangan kanan terus mengincar jenggot lawan, sedangkan tangan kiri selalu berusaha hendak merampas tongkat baja.
Kedua orang terus berkisar kian kemari di ruangan tamu yang luas itu, dalam sekejap saja berpuluh jurus sudah berlangsung, tampaknya kedua orang sama kuat dan belum ada yang lebih unggul, tapi Siau-siang-cu yang tetap berduduk saja di kursinya, serangan Hoat It-ong ternyata disepelekan olehnya.
Diam-diam Kim-lun Hoat-ong dan lainnya terkejut, mereka tidak mengira Siau-siang-cu yang lebih mirip mayat hidup itu ternyata memiliki kepandaian sehebat ini.
Setelah belasan jurus lagi, tongkat Hoan It-ong masih terus mengincar dan menyabet kursi lawan, terdengar suara kaki kursi yang mengetok lantai riuh ramai tiada hentinya dan makin lama makin cepat.
Mendadak sang Kokcu berseru kepada Hoan It-ong: "Jangan hantam kursinya, kau pasti bukan tandingannya !" Hoan It-ong melengak, tapi segera ia menyadari peringatan sang guru, ia pikir: "Ya, dia duduk di atas kursi barulah aku sanggup menandingi dia dengan sama kuat, apabila kursinya hancur dan dia berdiri di tanah, mungkin dalam beberapa jurus saja jenggotku pasti sudah terpotong oleh guntingnya.
" Cepat ia ganti permainan tongkatnya dan diputar semakin cepat sehingga tubuhnya yang pendek itu se-olah2 terbungkus oleh sinar tongkat, sedangkan di luar gulungan sinar perak itu adalah sesosok bayangan orang yang mirip mayat hidup sedang berlompatan, pemandangan demikian menjadi sangat aneh dan menarik Rupanya sang Kokcu tahu Siau-siang-cu sengaja hendak mempermainkan lawannya, kalau berlangsung lagi, sebentar Hoan It-ong pasti akan kecundang.
Segera ia berbangkit dan melangkah maju, katanya: "lt-ong, kau bukan tandingan orang kosen ini, mundur saja kau !" Karena perintah sang guru itu, Hoan It-ong mengiakan dengan suara keras, tongkatnya ditarik dan segera ia hendak mengundurkan diri.
Tak terduga Siau-siang-cu terus berteriak: "Tidak boleh ! Tidak boleh !" - Mendadak tubuhnya melayang maju meninggalkan kursinya terus menubruk ke atas batang tongkat.
Terdengarlah suara "krak" yang keras, kursi terhantam hancur oleh ujung tongkat Hoan It-hong, namun berbareng itu batang tongkat juga kena ditahan ke bawah oleh tangan kiri Siau-siang-cu terus diinjak dengan kaki kiri, menyusul gunting raksasa di tangan kanan terbuka, jenggot Hoan liong yang panjang legam itu sudah terjepit pada mata guntingnya, sekali gunting dikasipkan, tanpa ampun jenggot yang indah menarik itu pasti akan putus.
Tak tahunya jenggot panjang yang dipelihara Hoan It-ong itu sesungguhnya juga semacam senjata yang maha lihay, daya gunanya serupa dengan ruyung, cambuk dan sebagainya, Terlihat sedikit Hoan It-ong menggeleng kepalanya, serentak jenggotnya yang panjang itu terus menguntir dan terlepas dari mata gunting, malahan sempat pula balas melilit gunting lawan, menyusul kepalanya mendongak ke belakang, dengan tenaga maha kuat ia membetot untuk rebut gunting musuh.
"Haya, cebol tua, jenggotmu sungguh lihay, kagum sekali aku !" seru Siau-siang-cu sambil bertahan sekuatnya.
Begitulah jadinya jenggot seorang membelit pada gunting dengan kencang, sebaliknya seorang lain menahan batang tongkat dengan sebelah kaki dan tangan, seketika keduanya sukar melepaskan diri.
"Haha ! Menarik ! Menarik !" seru Siau-siang-cu dengan tertawa gembira.
Pada saat itulah sekonyong-konyong berkelebat sesosok bayangan orang, cepat luar biasa seorang telah menerjang masuk, sekaligus kedua tangannya menghantam punggung Siau-siang-cu.
"Siapa itu?" bentak sang Kokcu.
Sergapan yang cepat dan ganas itu tampaknya pasti akan kena pada sasarannya, Namun kembali Siau-siang-cu memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa, tangan kirinya membalik ke belakang, dengan mudah saja ia telah dapat mematahkan tenaga pukulan musuh yang menyerangnya itu.
"Keparat, jahanam !" teriak penyergap itu dengan gusar "Biar kuadu jiwa dengan kau !" Waktu Nyo Ko dan lainnya mengawasi penyergap ini, mereka menjadi kaget dan heran, "He, Siau-siang-cu !" seru mereka berbareng.
Kiranya penyergap ini juga Siau-siang-cu yang sudah mereka kenal itu, mengapa dia bisa berubah menjadi dua dan sebab apa dia menyergap pada dirinya sendiri yang kembar itu" seketika mereka menjadi bingung.
Setelah diamat-amati pula, orang yang lagi bergelut dengan Hoan It-ong itu memang jelas memakai dandanan Siau-siang-cu, pakaiannya, sepatunya dan topinya, semuanya persis, tapi wajahnya ternyata berbeda daripada wajah asli Siau-siang-cu meski air mukanya juga kaku pucat sebagai mayat sebaliknya wajah orang yang datang belakangan itu persis dengan Siau-siang-cu yang sudah mereka kenal hanya baju yang dipakainya berwarna hijau seperti seragam yang dipakai orang-orang di Cui-sian-kok ini.
Nyo Ko dan Kim-lun Hoat-ong sama2 dapat berpikir cepat, sejenak saja mereka sudah dapat menerka apa yang terjadi sebenarnya.
Sementara itu Siau-siang-cu yang berbaju hijau tua dengan kedua tangan yang kurus laksana cakar itu kembali mencengkeram lagi ke punggung Siau-siang-cu yang memegang gunting sambil berteriak: "Keparat ! Main curang, jago macam apa kau?" Hoan It-ong heran dan kejut juga meski mendapatkan bala bantuan, walau orang mengenakan seragam hijau, tapi mukanya tak dikenal sementara ia mundur ke pinggir dan menyaksikan kedua orang yang menyerupai mayat hidup itu saling labrak dengan serunya.
Kini Nyo Ko sudah dapat menduga bahwa orang yang memegang gunting itu pasti telah mencuri kedok kulit manusia pemberian Thia Eng tempo hari dan dipakainya, lalu ganti pakaian Siau-siang-cu dan sengaja mengacau ke ruangan ini soalnya wajah Siau-siang-cu memang kaku seperti orang mati, maka sejak mula tiada orang yang memperhatikannya.
Setelah mengamat-amati sekian lama dan dapat mengenali gaya ilmu silat orang bergunting itu, segera Nyo Ko berseru : "Hai, Ciu Pek-thong, kembalikan kedok dan guntingku !" - Berbareng ia melompat maju untuk merebut gunting.
Kiranya orang itu memang betul Ciu Pek-thong adanya, Dia tertawan oleh keempat murid Cin-sian-kok dengan jaring ikan, Meski wataknya nakal dan jahil, tapi ilmunya memang maha sakti, sedikit meleng saja keempat orang itu segera Ciu Pek-thong berhasil lolos dengan membobol jaring, akibatnya sang Kokcu menghukum keempat orang itu dengan hukum panggang.
Ciu Pek-thong tidak lantas kabur, dia sembunyi di suatu tempat, dia memang sengaja hendak mengobrak-abrik lembah sunyi itu.
Tapi segera dia lihat Nyo Ko berenam juga datang ke situ, Malamnya dia melakukan sergapan, Siau-siang-cu diculiknya hingga tak bisa berkutik, lalu dipindahkan ke luar rumah dan dilucuti pakaiannya untuk dipakai sendiri.
Karena Ginkangnya maha sakti, pergi datang tanpa suara dan tak meninggalkan bekas, maka dalam tidurnya Siau-siang-cu kena dikerjai, bahkan Kim-lun Hoat-ong dan lainnya juga tidak mengetahui akan kejadian itu.
Setelah mengganti pakaian Siau-sian cu, lalu Ciu Pek-thong masuk lagi ke rumah itu dan tidur di sisi Nyo Ko, kesempatan itu digunakan pula untuk menggerayangi rangsel pemuda itu, gunting dan kedok kulit dapat dicurinya.
Esoknya ternyata semua orang juga belum menyadari akan perbuatan Ciu Pek-thong itu.
Sudah tentu Siau-siang-cu berusaha melepaskan diri dari tutukan Ciu Pek-ehong, tapi lantaran ilmu Tiam-hiat yang digunakan Ciu Pek-thong itu sangat lihay, sampai tiga-empat jam kemudian barulah Siau-siang-cu berhasil melancarkan jalan darah dan dapat bergerak kembali sementara itu tubuhnya hanya memakai baju dan celana dalam saja, sudah tentu dia sangat dongkol dan murka.
Ketika kebetulan seorang murid Cui-sian-kok lewat di situ, secepat kilat ia merobohkannya dan merampas bajunya untuk dipakai, lalu memburu ke rumah batu yang besar itu.
Pada saat itu dilihatnya Ciu Pek-thong dengan memakai bajunya sendiri sedang bertempur sengit dengan Hoan It-ong, dengan murka ia terus menerjang maju, sekaligus ia ingin membinasakan Ciu-Pek-thong dengan pukulannya yang dahsyat, beberapa jurus kemudian lalu Nyo Ko juga ikut maju mengeroyok.
Tapi Ciu Pek-thong mempunyai kepandaian khas yang dilatihnya ketika dia disekap di Tho hoa-to dahulu oleh Ui Yok-su, yaitu dua tangan memainkan silat yang berbeda, Maka dengan tangan kiri ia layani Nyo Ko, sedang tangan kanan dengan gunting ia lawan Siau-siang-cu, guntingnya sebentar terbuka dan sebentar terkatup, betapapun Siau-siang-cu tidak berani sembarangan mendekat.
Maklumlah, gunting itu amat besar, kalau mata gunting terbuka, jaraknya hampir setengah meter, kalau saja leher tergunting, mustahil kepala takkan berpisah dengan tuannya, Karenanya, meski Siau-siang-cu sangat murka, tapi iapun tidak berani sembarangan melancarkan serangan.
Dalam pada itu sang Kokcu masih terus mengikuti pertarungan sengit itu.
Sudah turun temurun Kokcu itu menetap di lembah sunyi ini, ilmu silat keluarganya juga turun-temurun semakin hebat.
Pada umumnya ada kebiasaan buruk dalam dunia persilatan, lantaran kuatir muridnya kelak berkhianat atau murtad, maka seringkali sang guru menyimpan beberapa jurus rahasia untuk menjaga kemungkinan penghianatan murid.
Karena itu, beberapa keturunan saja ilmu silatnya semakin berkurang dan akhirnya habis sama sekali.
Ciri demikian tak berlaku dalam ilmu silat keturunan.
Sang ayah mengajarkan kepada anak atau sang kakek mengajarkan kepada cucu pasti takkan menahan jurus simpanan, malahan setelah beberapa keturunan seringkali timbul satu-dua angkatan yang berbakat dan pintar menciptakan jurus baru sehingga satu turunan lebih hebat daripada angkatan yang lebih tua.
Begitulah dengan Kokcu ini, ilmu silatnya kini boleh dikatakan jauh lebih lihay daripada leluhurnya, ia yakin bila dirinya keluar lembah, ilmu silatnya pasti dapat menjagoi dunia.
Siapa duga lembah yang aman tenteram ini mendadak kedatangan Ciu Pek-thong sehingga suasana menjadi kacau balau, ia sudah kagum ketika menyaksikan pertarungan Ciu Pek-thong dengan Hoan It-ong, kini melihat anak tua nakal itu menempur dua orang dengan dua tangan yang bermain silat dengan cara yang berbeda, malahan sedikitpun tidak tampak lebih lemah dari kedua Iawannya, sungguh sang Kokcu menjadi kagum tak terhingga.
Dilihatnya pula ilmu silat Siau-siang-cu sangat ganas, serangannya tak kenal ampun.
sedangkan gerak-gcrik Nyo Ko tenang halus dan tenang, tapi tidak kurang lihaynya.
Diam-diam Kokcu itu harus mengakui bahwa dunia seluas ini ternyata tidak sedikit terdapat orang kosen.
Segera ia berdiri dengan suara lantang ia berkata : "Harap kalian bertiga suka berhenti dulu !".
Berbareng Nyo Ko dan Siau-siang-cu melompat mundur," Ciu Pek-thong lantas menanggalkan kedok kulit, berikut guntingnya terus dilemparkan kepada Nyo Ko sambil berkata: "Permainanku sudah cukup, aku hendak pergi saja!" Sekali mengenjot kaki seperti anak panah cepatnya dia terus meloncat ke atas belandar rumah.
. Karena kedoknya ditanggalkan, dengan sendirinya wajah aslinya lantas kelihatan.
Keruan gemparlah para anak murid Cui-sian-kok setelah mengenali siapa dia.
"Ayah, orang tua inilah !" seru Kongsun Lik-oh.
Sementara itu Ciu Pek-thong sedang bergelak tertawa sambil duduk mengangkang di atas belandar.
Tinggi belandar rumah itu sedikitnya lima-enam, meter dari permukaan tanah, biarpun di ruangan itu tidak sedikit terdapat tokoh terkemuka, terasa sukar juga kalau ingin sekali lompat mencapai belandar itu.
Hoan It-ong adalah murid pertama Cui-sian-kok, usianya bahkan lebih tua daripada sang guru, dalam hal ilmu silat, kecuali sang Kokcu dialah terhitung nomor satu, Kini berulang dia dipermainkan oleh Ciu Pek-thong, tentu saja dia murka.
walaupun tubuhnya cebol, tapi dia mahir memanjat sekali lompat ia rangkul erat-erat tiang ruangan itu terus memanjat ke atas segesit kera.
. Dasar watak Ciu Pek-thong paling suka cari gara2, dia paling senang kalau ada orang mau main gila dengan dia, maka ia menjadi gembira melihat Hoan It-ong memanjat ke atas, belum lagi kakek cebol itu mencapai belandar, lebih dulu ia sudah menjulurkan tangannya untuk menariknya ke atas.
Sudah tentu Hoan It-ong tidak tahu tujuan Ciu Pek-thong sebenarnya baik, melihat tangan orang menjulur, segera ia menutuk Tay-leng-hiat pada pergelangan tangannya.
Namun ilmu silat Ciu Pek-thong sudah mencapai tingkatan yang maha sakti sedikit merasakan sesuatu, segera ia menutuk Hiat-to yang hendak ditutuk itu dan mengendorkan urat dagingnya, Karena itu tusukan Hoan It-ong itu laksana mengenai kapas yang lunak, cepat ia menarik kembali tangannya.
. . " Tapi Ciu Pek-thong sempat membaliki tangannya dan menepuk sekali pada tangan Hoan It-ong sambil berseru: "Keplok ami-ami! Kakak makan nasi adik cebol minta isteri!" Dengan murka Hoan It-ong menggelengkan kepalanya, jenggotnya yang panjang itu terus menyabet ke dada lawan, Mendengat samberan angin yang keras itu, Ciu Pek-thong tahu betapa lihaynya jenggot lawan, cepat ia melompat mundur, dengan tangan kiri berpegangan pada belandar, tubuhnya bergantungan seperti anak sedang main ayunan.
Siau-siang-cu yakin Hoan It-ong pasti bukan tandingan anak tua nakal itu, sekalipun dirinya ikut mengerubut juga sukar mengaIahkannya.
Segera ia berpaling kepada Nimo Singh dan Be Kong-co, katanya: "Saudara Singh dan Be, tua bangka ini tidak memandang sebelah mata kepada kita berenam sungguh keterlaluan !" Watak Nimo Singh paling berangasan dan tidak tahan dibakar, sedangkan pikiran Be Kong-co sangat sederhana dan tidak dapat menimbang antara baik dan buruk, demi mendengar rombongannya berenam tidak dipandang sebelah mata, serentak mereka menjadi gusar dan melompat ke atas untuk menangkap kaki Ciu Pek-thong.
Namun dengan jenaka Ciu Pek-thong mengayun kakinya untuk menggoda, tapi sebenarnya menendang dengan tepat ke arah yang mematikan pada tangan Nimo Singh dan Be Kong-co sehingga gagal total usaha kedua orang itu.
"ln-heng, apakah kau sendiri hanya mau menonton saja?" jengek Siau-siang-cu terhadap In Kik-si tersenyum dan menjawab : "Baiklah, siakan Siau-heng maju lebih dulu, segera aku menyusul !" Siau-siang-cu bersuit aneh menyeramkan, mendadak ia melompat ke atas, kedua kakinya tidak nampak tnemekuk, tubuhnya kaku lurus, kedua tangan juga menjulur lempeng ke atas terus mencengkeram ke perut Ciu Pek-thong, gaya ilmu silat yang diperlihatkannya ini ternyata tiada ubahnya seperti mayat hidup.
Melihat tibanya serangan, cepat Ciu Pek-thong mengerutkan tubuhnya, tangan kiri berganti tangan kanan dan tetap bergelantungan di belandar.
Serangan Siau-siangcu menjadi luput, ia tak dapat berhenti diudara, terpaksa anjlok ke bawah.
Siapa saja kalau jatuh ke bawah dari ketinggian begitu tentu kedua kakinya akan menekuk agar tidak keseleo dan terluka, tapi gaya Siau-siang-cu sungguh istimewa, seluruh tubuhnya tetap, kaku seperti sepotong kayu saja, begitu kaki menyentuh lantai, "tok", kembali ia meloncat lagi ke atas.
Begitulah, jadinya Hoan It-ong merangkul pada tiang dan mengayun jenggotnya untuk menyerang, sedangkan Siau-siang-cu, Nimo Singh dan Be Kong-co bertiga berloncatan naik turun bergantian menyerang dari bawah ke atas.
"Si tua ini sungguh luar biasa, biar akupun ikut bikin ramai!" kata In Kik-si, tangannya merogoh saku sejenak kemudian tertampaklah sinar kemilauan menyilaukan mata, tahu2 tangan In Kik-si sudah bertambah sebuah ruyung lemas yang terbuat dari benang emas dan perak penuh bertaburkan batu permata pula.
Sebenarnya tokoh selihay In Kik-si, melulu bertangan kosong saja sudah jarang ada tandingannya, ruyung bertaburkan batu permata demikian tidak lebih hanya pameran akan kekayaannya saja.
Ia pikir untuk menyerang Ciu Pek-thong yang berada tinggi di atas itu jelas tidak mudah, maka dengan ruyungnya itu ia coba menyerang bagian bawah lawan.
Nyo Ko tertarik" oleh pertarungan lucu ini, ia-pikir dengan kepandaian kelima orang itu ternyata tidak mampu mengalahkan seorang Lo-wan-tong, kalau aku tidak dapat menang dengan cara istimewa tentu takkan membikin takluk orang Iain.
Setelah berpikir begitu, segera ia memakai kedoknya yang tipis itu, menirukan gaya Siau-siang-cu yang mengatakan itu, ia jemput tongkat baja Hoat It-ong tadi sekali tongkat itu menahan dilantai, tubuhnya terus mengapung ke atas.
Panjang tongkat itu dua meteran, ditambah loncatannya, maka tubuh Nyo Ko kini hampir sama tingginya dengan Ciu Pek-thong yang bergelantungan di belandar itu.
"Awas gunting, Lo-wantong" seru Nyo Ko samibil mengarahkan guntingnya untuk memotong jenggot Ciu Pek-thong.
" Bukannya marah, sebaliknya Ciu Pek-thong malah senang akan serangan itu, ia miringkan kepalanya untuk menghindari guntingan itu dan berseru : "Bagus sekali caramu ini, adik cilik !" "Lo-wan-tong, aku kan tidak bersalah pada-mu, mengapa kau main gila dengan aku ?" kata Nyo Ko.
"Ada ubi ada tales, diberi harus membalas !" jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa, "Kau kan tidak rugi, mungkin mendapat untung malahan tidak tahu.
" "Ada ubi ada talas apa maksudmu ?" tanyanya.
"Kelak kau tentu akan tahu sendiri sekarang tidak perlu banyak omong," jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa, sementara itu ruyung "in Kik-si sedang menyamber ke arahnya, segera sebelah tangannya meraup untuk menangkapnya.
Namun ruyung In Kik-si yang lemas itu terus membelit untuk menghantam punggung tangannya, sedangkan tubuhnya telah anjlok ke bawah.
Dalam pada itu jenggot Hoan it ong yang panjang juga telah menyabet tiba, kini Hoan It-ong juga bergelantungan pada belandar, kedua tangannya memegang belandar itu, melulu jenggotnya saja yang digunakan menyerang musuh.
"Eh kiranya jenggotmu sebanyak ini pula daya gunanya," ujar Ciu Pek-thong tertawa, iapun menirukan cara orang dan mengayunkan jenggot sendiri ke arah lawan.
Tapi panjang jenggotnya tiada separuh panjang jenggot Hoan It-ong, pula tak pernah berlatih akan kegunaannya sebagai senjata, dengan sendirinya sabetan jenggotnya ini tidak berguna, "sret", pipinya malah kena tersabet oleh jenggot lawan sehingga terasa panas pedas kesakitan, untung lwekangnya sangat tinggi kalau tidak pasti akan kelengar seketika dan terbanting ke bawah.
walaupun merasakan pil pahit, tapi lo wan tong tidak menjadi gusar, sebaliknya malah timbul rasa laparnya kepada Hoan It-ong, katanya: "jenggot panjang, sungguh lihay kau, jenggotku tak dapat menandingi jenggotmu, sudahlah, kita tak perlu bertanding lagi !" Tapi Hoan It-ong ternyata tidak mau kompromi, kembali jenggotnya menyabet pula, Kini Ciu Pek-thong tak berani melawannya lagi dengan jenggot, segera ia melancarkan gaya pukulan "Khong-beng-kun" angin pukulannya yang keras membikin jenggot Hoan It-ong terpencar dan melayang ke samping, kebetulan saat itu Be Kong-co lagi meloncat ke atas untuk menyerang Ciu Pek-thong, maka jenggot Hoan It-ong tepat menyabet pada muka Be Kong-co.
Cepat Be Kong-co pejamkan mata, muka terasa gatal pedas pula, dalam keadaan mata tertutup Be Kong-co memegang sekenanya sehingga jenggot Hoan It-ong itu kena dicengkeramnya.
Sebenarnya jenggot Hoan It-ong dapat melilit seperti barang hidup, tapi lantaran tenaga pukulan Ciu Pek-tiong tadi, Hoan It-ong tak dapat mengendalikan lagi jenggotnya, sehingga kena dipegang Be Kong-co, dalam kagetnya cepat Hoan It-ong membetot sekuatnya, tapi Be Kong-co juga menarik sekencangnya ketika tubuhnya anjlog ke bawah sehingga kedua orang akhirnya terbanting ke tanah.
Tubuh Be Kong-co segede kerbau, kulit kasar daging tebal, dia tidak teriak merasakan sakit, Tubuh Hoan It-ong tepat terbanting menindih badan Be Kong-co, ia menjadi gusar dan membentak : "He, apa-apaan kau" Lekas lepaskan jenggotku !" Duduk diatas berlandar, Cui Pek-thong mempermainkan lawan2 yang terdiri dari tokoh2 dunia pesilatan secara lucu dan nakal.
"Bantingan itu tidak dirasakan oleh Be Kong-co, tapi perutnya terinjak oleh Hoan It-ong, rasanya tentu tidak enak, ia menjadi gusar juga dan batas membentak : "Aku justeru tidak mau lepas, kau mau apa?" - Berbareng itu tangannya terus memutar sehingga jenggot orang malahan melilit beberapa kali lagi pada tangannya.
Dengan gemas Hoan It-ong terus memukul ke muka lawan, Be Kong-co cepat miringkan kepalanya tak terduga pukulan Hoan It-ong itu cuma pura-pura saja, kepalan lain mendadak menyamber tiba, "plok", dengan tepat hidung Be Kong-co kera ditonjok sehingga berdarah, Sambil berkaok-kaok kesakitan Be Kong-co juga balas menjotos satu kali.
Bicara tentang ilmu silat sebenarnya Hoan It-ong jauh lebih tinggj, celakanya jenggotnya terlilit pada tangan lawan sehingga kepalanya tidak leluasa bergerak, karena itu jotosan Be Kong-co juga tepat mengenai tulang pipinya dan matang biru.
Begitulah yang satu tinggi dan yang lain pendek lantas main baku hantam, meski tubuh Hoan It-ong menindih di atas, tapi tetap sukar meloloskan diri dari betotan lawan yang terus menarik kencang jenggotnya itu.
Melihat suasana kacau balau, rombongannya berenam ternyata tidak dapat berkutik menghadapi seorang anak tua nakal, betapapun terasa memalukan maka Kim-lun Hoat-ong tidak dapat tinggal diam Iagi, segera ia mengeluarkan dua buah gelang, satu perak dan satu lagi tembaga, sekaligus kedua gelang.
atau roda itu disambitkan dari kanan kiri dan menerbitkan suara mendenging.
"Barang apa ini?" kata Ciu Pek-thong, ia tidak tahu lihaynya senjata orang, maka tangannya terus meraih dan bermaksud menangkapnya.
Betapapun Nyo Ko menaruh simpatik kepada Ciu Pek-thong yang polos itu, cepat ia memperingatkan: "Hei, jangan dipegang!" Berbareng pula ia lemparkan tongkat baja yang dipegangnya itu ke atas, Maka terdengarlah suara gemerantang nyaring, tongkat baja yang panjang itu tertumbuk hingga terpental ke sudut ruangan sana, sebaliknya arah gelang tembaga yg terbentur itu tidak berubah dan masih tetap berputar menyamber ke atas be-landar.
Baru sekarang Ciu Peh-thong tahu si Hwesio besar ini tidak boleh diremehkan, ia pikir kalau dikerubuti jelas dirinya sukar melayani Segera ia berjumpalitan turun ke bawah dan berseru: "Maaf, Lo-wan-tong tak dapat menemani lebih lama, besok saja kita main-main lagi.
" Habis berkata ia terus berlari ke pintu ruangan tamu, tapi dilihatnya empat orang berseragam hijau telah mengadangnya di situ dengan mementang sebuah jaring ikan.
Ciu Pek-thong sudah merasakan lihaynya jaring begitu, cepat ia membelok ke kanan dan bermaksud menerobos keluar melalui iendela, tapi bayangan hijau lantas berkelebat, kembali sebuah jaring merintangi jalannya.
Setelah melompat kembali ke tengah ruangan, Ciu Pek-thong melihat keempat penjuru sudah terentang oleh jaring ikan sehingga jalan lolosnya menjadi buntu.
Segera ia melompat lagi ke atas belandar, dengan hantaman dari jauh ia bikin atap rumah berlubang besar.
maksudnya hendak menerobos keluar melalui lubang itu, tapi baru saja ia mendongak, dilihatnya di atas juga sudah terpasang sebuah jaring ikan.
Terpaksa ia melompat turun ke bawah, katanya dengan tertawa sambil menuding si Kokcu: "He, untuk apakah kau menahan diriku di sini" Setiap hari melulu minum air tawar dan makan beras mentah, memangnya Lo-wan-tong dapat kau piara sampai tua?" Kokcu itu menjawab dengan dingin : "Asalkan kau tinggalkan kitab dan obat yang kau ambil itu, segera kau boleh pergi dari sini" Ciu Pek-thong menjadi heran, katanya : "Untuk apa kuambil kitab dan obatmu segala " seumpama mampu berlatih sehingga selihay kau juga aku tidak kepingin.
" Sang Kokcu melangkah pelahan ke tengah ruangan, ia kebut-kebut debu pada baju sendiri, lalu berkata : "Jika sekarang bukan hari bahagiaku, tentu aku akan minta petunjuk beberapa jurus padamu, sebaiknya kau tinggalkan barang yang kau ambil itu dan kau boleh pergi dengan bebas.
" Dengan gusar Ciu Pek-thong berteriak: "Jadi kau tetap menuduh aku mencuri barangmu" Huh, memangnya apa barangmu yang berharga sehingga aku perlu mencurinya " Ini, boleh kau periksa!" Sembari bicara dengan cepat ia terus membuka baju sendiri sepotong demi sepotong, dalam sekejap saja sudah telanjang bulat.
Berulang sang Kokcu membentak agar Ciu Pek-thong menghentikan perbuatannya, tapi anak tua nakal itu tidak ambil pusing, ia pentang dan membaliki baju celananya, memang benar tiada sesuatu benda apapun juga.
Sudah tentu anak murid perempuan yang hadir di situ menjadi kikuk dan sama berpaling ke jurusan lain.
Kelakuan Ciu Pek-thong ini sungguh sama sekali tak terduga oleh sang Kokcu, iapun ragu apakah benar Ciu Pek-thong tidak mencuri barangnya yang hilang itu, padahal barang-barang itu besar sangkut-pautnya dengan Cui-sian-kok ini.
Selagi sang Kokcu termenung sangsi tiba-tiba Ciu Pek-thong bertepuk tangan dan berseru: "He, usiamu sudah cukup tua, mengapa kau tidak tahu harga diri ngomong sesukanya, berbuat seenak sendiri di depan umum melakukan hal memalukan begini sungguh menggelikan.
" Ucapan itu sebenarnya lebih tepat ditujukan kepada Ciu Pek-thong sendiri tapi justeru dia mendahului omong, keruan Kongsun Kokcu itu dibuat serba salah dan takdapat membuka suara, Ketika melihat Hoan It-ong dan Be Kong-co masih bergumul di lantai, segera ia membentaknya agar lekas berdiri.
Padahal bukanlah Hoan It-ong tidak mau melepaskan diri soalnya jenggotnya teriilit di tangan Be Kong-co dan sukar melepaskan diri.
Dalam pada itu sambil mengernyitkan dahinya Kongsun Kokcu menuding Ciu Pek-thong dan mendamperatnya.
"Kukira yang tidak tahu malu adalah kau sendiri !" "Memangnya aku kenapa ?" jawab Ciu Pek-thong, "Aku dilahirkan dengan bugil, sekarang aku telanjang bulat, putih bersih, apanya yang salah" sebaliknya kau sudah tua dan masih ingin mengawini seorang perawan muda sebagai isteri, hehe, sungguh mentertawakan !" Ucapan ini laksana palu besar yang menghantam dada Kongsun Kokcu itu, seketika mukanya yang kuning itu bersemu merah dan tak dapat menjawab.
Mendadak Ciu Pek-thong berteriak : "Haya, celaka ! Tidak pakai baju, bisa masuk angin nih !" - Berbareng ia terus menerjang keluar.
Ketika mendadak melihat bayangan orang berkelebat ke arahnya, empat murid berbaju hijau yang siap di dekat pintu itu cepat bergerak dan membentang jaring, sekaligus jaring terus menutup ke atas kepala orang, Terasa sasarannya berontak di dalam jala, maka cepat keempat orang itu mengikat kencang empat ujung jaring dan diseret ke depan sang Kokcu.
Jala ikan itu terbuat dari benang emas yang halus dan Iemas, sekalipun golok dan pedang pusaka juga sukar membobolnya, apalagi gerakan ke empat orang itu sangat cepat dan lihay, biar tokoh maha hebat juga sukar menghadapinya.
Begitulah keempat orang itu sangat senang karena berhasil menawan sasarannya sehingga merekapun tidak memperhatikan lagi siapa sebenarnya yang terjaring itu, Tapi ketika mendadak nampak air muka sang Kokcu bersungut dari menatap tajam jaring mereka, cepat merekapun menunduk dan mereka menjadi kaget hingga berkeringat dingin, cepat pula mereka membuka jaring dan membebaskan dua orang yang sedang bergumul.
Siapa lagi mereka kalau bukan Hoan It-ong dan Be Kong-co.
Kiranya tiada seorangpun yang menduga bahwa dalam keadaan telanjang bulat Ciu Pek-thong berani menerjang keluar semendadak itu.
Karena gerakannya secepat kilat, sekali samber ia tarik kedua orang yang sedang bergumul itu terus dilemparkan ke dalam jaring.
Selagi keempat murid Cui-sian-kok itu sibuk mengencangkan ikatan jaring mereka, secepat angin Ciu Pek-thong terus menyelinap keluar, Gerakan aneh dan maha cepat ini sungguh luar biasa dan maha lihay.
Gara-gara perbuatan Lo-wan-tong Ciu Pek-thong ini, tidak cuma sang Kokcu saja yang kebobolan, bahkan mereka Kim-lun Hoat-ong dan kawannya juga merasa malu, masakah gabungan tokoh kelas wahid seperti mereka ini ternyata tidak mampu menangkap seorang tua yang gila-gilaan itu, sungguh terlalu tidak becus.
Hanya Nyo Ko saja yang kagum sekali terhadap kepandaian Ciu Pek-thong, tadi ia sudah bertekad akan menolong anak tua nakal itu apabila sampai tertawan, tapi kini Ciu Pek-thong sendiri dapat meloloskan diri, diam-diam Nyo Ko bersukur dan lega.
Tujuan Kim-lun Hoat-ong sebenarnya hendak mencari tahu seluk-beluk sang Kokcu, tapi setelah " dikacau" oleh Ciu Pek-thong, ia merasa rikuh untuk tinggal lebih lama lagi di situ, Setelah berunding dengan Slau-siang-cu dan In Kik-si, lalu dia berbangkit dan mohon diri.
Semula Kokcu itu menyangka keeram orang ini adalah sekomplotan dengan Ciu Pek-thong, tapi kemudian melihat Siau-siang-cu, Be Kong-co dan lainnya menempur Ciu Pek-thong dengan sengit dan menggunakan kepandaian khas masing-masing yang lihay, tampaknya memang sengaja membantu pihak sendiri maka ia lantas memberi hormat dan berkata: "Ada sesuatu permintaanku yang tidak pantas, entah kalian berenam sudi menerimanya tidak?" "Asalkan kami sanggup, tentu akan kami terima," jawab Kim-lun Hoat-ong.
"Begini. " kata sang Kokcu, "lewat lohor nanti adalah upacara pernikahanku yang kedua kalinya, maka ingin kuundang kalian ikut hadir memberi do"a restu, di lembah pegunungan ini selama beratus tahan jarang didatangi orang luar, kebetulan sekarang kalian hadir sekaligus, sungguh kurasakan sangat beruntung.
" "Ada arak tidak nanti ?" seru Be Kong-co.
Belum lagi sang Kokcu menjawab, mendadak bayangan orang berkelebat masuklah seorang perempuan berbaju putih sambil bertanya: "Apakah orang yang mengacau sudah pergi?" Kejut dan girang tidak kepalang Nyo Ko melihat perempuan ini, cepat ia melompat maju dan menarik tangannya serta berseru : "Hei, Kokoh, engkau juga datang ke sini" sungguh payah kucari kau sekian lamanya!" Perempuan itu memandang sekejap kepada Nyo Ko dengan air muka merasa heran, lalu menjawab: "Siapakah tuan" Kau memanggil apa padaku ?" , Nyo Ko terperanjat ia coba mengamat-amati lagi perempuan ini, kelihatan wajahnya yang putih halus dan cantik, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li adanya " Tanpa ragu segera ia menjawab: "Kokoh.
. aku ini Nyo Ko, masakah kau sudah pangling padaku?" Kembali perempuan itu memandang sekejap kepadanya, lalu menjawab dengan dingin: "Selamanya aku tidak pernah kenal kau, mana kuberani dipanggil sebagai Kokoh?" Berbareng ia terus melangkah ke depan dan duduk di sebelah sang Kokcu.
Wajah sang Kokcu yang tadinya kaku dingin segera berubah berseri-seri akan kedatangan perempuan cantik itu, dia berkata kepada Kim-lun Hoat-ong: "lnilah bakal isteriku yang upacara perkawinan kami segera akan dilangsungkan lewat lohor nanti" Habis berkata ia melirik sekejap ke arah Nyo Ko seperti kurang senang akan kecerobohan pemuda itu yang salah mengenali-orang.
Keruan kejut Nyo Ko tak terkatakan, serunya: "Kokoh, masakah engkau ini bukan Siao-liong-li" Memangnya kau bukan Suhuku?" Perempuan itu mengawasi Nyo Ko sejenak air mukanya menampilkan perasaan heran dan bingung, sejenak kemudian barulah menjawab sambil menggeleng: "Bukan, siapakah Siao-liong-li itu?" Kedua tangan Nyo Ko mengepal sekencangnya dan diremas-remas hingga lecet, benaknya terasa tawar sekali, ia tidak tahu apakah sang Kokoh marah padanya sehingga tidak mau mengakui dia lagi" Atau disebabkan berada di tempat berbahaya dan dia sengaja bersikap demikian untuk mencari selamat" Atau barangkali di dunia ini benar-benar ada perempuan lain yang serupa dengan dia" Meski Nyo Ko biasanya pintar dan cerdik, tapi kini ia tak dapat mengendalikan pergolakan perasaannya teringat cintanya kepada Siao-Jiong-li, dan tanpa terasa ia menjerit.
Melihat pemuda itu bersikap kurang wajar, Kokcu itu mengernyitkan dahi dan berkata pelahan kepada perempuan baju putih itu : "Liu-ji, hari ini sungguh banyak orang yang aneh" Perempuan itupun tidak menggubris padanya, pelahan ia menuang secawan air dan diminum, sorot matanya mengerling semua orang, tapi sampai pada Nyo Ko, pandangnya menghindarkan pemuda itu dan tidak melihatnya lagi.
Jika orang lain tentu akan bersikap tenang untuk melihat apa yang akan terjadi nanti, tapi dasar watak Nyo Ko memang tidak sabaran, apa lagi Kokcu itu menyatakan akan menikah lewat lohor nanti, dalam keadaan bingung dan tak berdaya, Nyo Ko coba berpaling dan tanya Kim-lun Hoat-ong: "Kau pernah bertanding dengan suhuku, tentu kau kenal dia dengan baik, coba katakan, apakah aku salah mengenali dia?" Ketika perempuan baju putih itu muncul tadi sebenarnya Kim-lun Hoat-ong sudah mengenal dia sebagai Siao-Iiong-li, tapi nona itu ternyata tidak mau gubris, meski Nyo Ko telah menegurnya sendiri, di antara pasangan muda-mudi ini tentu terjadi pertengkaran, maka ia tersenyum dan menjawab: "Entahlah, akupun tidak begitu ingat lagi.
" Sudah tentu jawaban Kim-lun Hoat-ong ini mempunyai dua maksud tujuan.
Dia pernah dikalahkan oleh Giok-Ii-kiam-hoat yang dimainkan bersama antara Nyo Ko dan Siao-liong-Ii, kini kepandaian Myo Ko sudah jauh lebih maju lagi, kalau kedua muda-mudi itu bergabung, jelas dirinya lebih-Iebih bukan tandingan mereka.
Tapi kalau kedua orang itu bertengkar biarpun bergabung lagi dan menempurnya, asalkan antara jiwa kedua orang itu sudah terjadi keretakan dan tidak dapat saling kontak, maka kesempatan untuk menang bagi dirinya menjadi sangat besar.
BegituIah Nyo Ko menjadi melengak oleh jawaban Hoat-ong itu, tapi ia lantas paham juga maksud tujuan orang, pikirnya dengan mendongkol: "Hati manusia benar-benar keji dan culas, Ketika kau terluka parah, aku pernah membantu menyembuhkan kau, tapi sekarang kau malah bermaksud membikin susah padaku.
" Melihat sorot mata kebencian Nyo Ko, Kim- lun Hoat-ong tahu pemuda itu merasa dendam padanya, kelak pasti akan membahayakan, kalau ada kesempatan harus kubereskan sekarang juga.
ia lantas balas menghormat sang Kokcu dan menjawab: "Kami berterima kasih atas undangan Kok-cu-untuk menghadiri pernikahanmu, cuma kedatangan kami hanya kebetulan sehingga tidak membawa kado apapun, sungguh kami merasa tidak enak?" Kokcu itu merasa senang karena Kim-lun Hoat-ong dan rombongannya mau terima undangannya, segera ia memperkenalkan mereka kepada bakal isterinya, ketika giliran Nyo Ko, ia hanya menyebutnya she Nyo saja, lalu tidak diberi tambahan keterangan Iain.
Kelihatan perempuan baju putih itu cuma mengangguk pelahan saja tanpa memberi sesuatu perhatian apapun ketika diberitahu nama setiap orang, terhadap Nyo Ko iapun tidak ambil pusing seperti halnya orang Iain.
Muka Nyo Ko menjadi merah padam, jantungnya memukul keras, apa yang dibicarakan Kokcu itu sama sekali tak terdengar olehnya.
Kongsun Lik-oh yang berdiri di belakang ayahnya dapat mengikuti gerak-gerik Nyo Ko itu, ia teringat ketika pemuda itu tertusuk duri bunga cinta segera merasa sakit karena timbul rasa rindunya, melihat gelagatnya sekarang apakah memang betul bakal ibu tiriku ini adalah kekasihnya " Masakah bisa terjadi secara begini kebetulan, jangan-jangan kedatangan orang-orang ini justeru di sebabkan oleh bakal ibu tiriku ini" Karena pikiran itu, Kongsun Lik-oh coba mengawasi perempuan baju putih itu, terlihat air mukanya tenang-tenang saja, tidak merasa suka ria juga tidak merasa kikuk dan malu, sama sekali tidak memper sebagai seorang calon pengantin baru.
Dalam pada itu Nyo Ko merasakan dadanya sesak seakan-akan putus napasnya, tapi biarpun wataknya mudah terguncang perasaannya namun dia juga seorang yang pintar dan cerdik, ia pikir kalau sang Kokoh tidak mau mengakui dia, bisa jadi Kokoh mempunyai maksud tujuan tertentu, untuk ini aku harus menjajakinya dengan jalan lain.
Segera ia berdiri dan memberi hormat kepada sang Kokcu, katanya dengan lantang: "Karena ada seorang sanak keluargaku yang mirip dengan wajah nyonya barumu, tadi aku salah mengenalinya untuk itu kumohon maaf.
" Ucapan yang cukup sopan ini diterima dengan baik oleh Kokcu itu, sikapnya lantas berubah ramah juga, ia balas hormat dan menjawab: "Salah mengenali orang adalah kejadian biasa dan tidak ada persoalan maaf segala, Cuma.
. . cuma di dunia ini ternyata ada orang lain lagi yang serupa bakal isteriku tercinta ini, hal ini tidak hanya kebetulan saja.
tapi sesungguhnya teramat aneh.
" Di balik ucapannya ini dia ingin menyatakan bahwa di dunia ini mustahil ada wanita cantik lagi yang serupa dengan calon isterinya itu.
"Memangnya, maka akupun sangat heran," ujar Nyo Ko.
"Maaf, apakah boleh kutanya siapakah she nyonya yang terhormat?" "Dia she Liu, apakah kenalanmu itu juga she Liu?" kata sang Kokcu dengan tersenyum.
"Oh, bukan," jawab Nyo Ko, Diam-diam ia menimang-nimang mengapa sang Kokcu mengaku she Liu.
Tapi, segera pikirannya tergerak: "Ah, soalnya aku she Nyo.
" Nyoliu Yang itu adalah nama pohon, jadi jelas Siau-liong-li mengaku she liu karena dia belum lagi melupakan Nyo Ko.
Terpikir akan demikian, seketika jari Nyo Ko kesakitan lagi.
Melihat Nyo Ko meringis menahan sakit, Kongsun Lik-oh merasa kasihan dan sayang padanya, sorot matanya senantiasa mengikuti perubahan aii muka pemuda itu.
Sekuatnya Nyo Ko menahan rasa sakit bekerjanya racun bunga cinta, mendadak teringat lagi sesuatu olehnya, cepat ia tanya "Apakah nona Liu ini penduduk sekitar pegunungan ini" Entah cara bagaimana Kokcu berkenalan dengan "dia?" Sebenarnya Kokcu itu juga sangat ingin tahu asal-usuI bakal isterinya itu, ia pikir bukan mustahil bocah ini memang kenal Liu-ji dan dari dia nanti akan diperoleh keterangan lebih jelas mengenai asal-usul bakal isteri itu, segera ia menjawab: "Ya, pertemuan kami memang terjadi secara kebetulan setengah bulan yang lalu, ketika aku sedang mencari bahan obat di lereng gunung, kutemukan dia menggeletak di kaki gunung sana dalam keadaan terluka parah dan kempas-kempis.
Setelah kuperiksa dia, kiranya dia menderita kesesatan lantaran berlatih lwekang kurang tepat, Aku lantas membawanya pulang dan mengobati dia dengan obat mujarab keluargaku yang sudah turun temurun, jadi perkenalan kami ini boleh dikatakan secara kebetulan, itulah yang dikatakan kalau memang sudah jodoh.
" "O, kiranya di dunia ini juga ada obat mujarab yang dapat menyembuhkan nona Liu, kukira hanya dapat disembuhkan dengan bantuan darah "orang lain," kata Nyo Ko.
Mendengar ucapan ini, mendadak perempuan itu menumpahkan darah segar sehingga bajunya yang putih itu berlepotan darah, "Semua orang menjerit kaget dan sama berbangkit.
Kiranya nona Liu ini memang betul nama samaran Siao-liong-li, setelah mendengar pembicaraan Ui Yong tempo hari itu, semalam suntuk ia tak dapat tidur, setelah dipikir bolak-balik, ia merasa kalau "Nyo Ko menjadi suami isteri dengan dirinya, akibatnya pemuda itu akan dicaci maki orang dan hati sendiri merasa tidak enak jika keduanya mengasingkan diri di dalam kuburan kuno-itu, lama-lama pemuda itu tentu akan kesal dan akhirnya bukan mustahil akan meninggalkannya.
Namun cintanya terhadap Nyo Ko sesungguhnya teramat mendalam, sebab itulah dia tegas memutuskan hubungan hal inipun timbul dari cintanya yang suci murni dan demi kebahagiaan dan hari depan Nyo Ko.
Begitulah seorang diri dia mengayunkan langkah tanpa arah tujuan di ladang sepi dan lereng, pegunungan, suatu hari ia berduduk bersemadi, mendadak pikirannya bergolak dan sukar diatasi, akibatnya luka dalam yang lama kambuh lagi.
Untung Kokcu she Kongsun itu kebetulan lewat di situ dan menolongnya, kalau tidak tentu Siao-liong-li sudah tewas di pegunungan sunyi itu.
Kongsun Kokcu itu sudah lama menduda, meIihat kecantikan Siao-liong-li yang tiada taranya itu, ia menjadi tertarik sebenarnya Siao-liong-Ii sendiri juga sudah putus asa, tapi setelah dipikirkan lagi ketika dilamar oleh Kokcu ,itu, ia pikir kalau sudah menjadi isteri orang lain, jelas persoalannya dengan Nyo Ko akan menjadi putus, apalagi Cui-sian-kok ini sangat sunyi dan terpencil, selanjutnya pasti takkan bertemu lagi dengan pemuda itu.
Siapa tahu mendadak muncul Lo-wan-tong Ciu Pek-thong dan mengacaukan Cui-sian-kok itu dan memancing pula kedatangan Nyo Ko.
Kini mendadak berhadapan dengan Nyo Ko di tengah perjamuan, sungguh remuk rendam hati Siao liong-li, pikirnya: "Aku sudah menerima lamaran orang dan segera akan menikah, lebih baik aku berlagak tidak kenal dia, biar dia pergi dari sini dengan gusar dan membenci diriku selama hidup.
Sebab itulah dia tetap tidak menggubrisnya meski dilihatnya Nyo Ko sangat cemas dan bingung, Ketika mendadak Nyo Ko berkata tentang penyembuhan dengan bantuan darah orang lain, segera teringat olehnya ketika dirinya terluka parah oleh kaum Tosu Coan-cin-kau sehingga muntah darah, tapi tanpa menghiraukan keselamatan sendiri Nyo Ko telah menyalurkan darah sendiri untuk menyelamatkan jiwanya, hal ini sungguh terukir mendalam di lubuk hatinya.
Hati Budha Tangan Berbisa 2 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Bara Diatas Singgasana 25
^