Pencarian

Kembalinya Pendekar Rajawali 27

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 27


Adik Hu adalah gadis yang suci bersih, tidak mungkin terjadi begitu, Nah biar kukatakan sejujurnya pada kalian, bahwa menyukai ke-dua2nya berarti satupun tidak disukainya.
" Lalu ia sengaja menirukan lagak lagu ucapan Kwe Hu pada malam itu: "O, Kakak Bu cilik, mengapa engkau selalu merecoki aku, masakah kau tidak tahu perasaanku padamu" O, kakak Bu besar rasanya lebih baik aku mati saja.
" Seketika air muka kedua saudara Bu berubah ucapan Kwe Hu dikatakan kepada mereka secara tersendiri tatkala itu tiada orang ketiga yang hadir disitu.
Kalau saja Kwe Hu tidak menceritakan kembali padanya, darimana Nyo Ko mengetahuinya" Hati mereka terasa sakit seperti disayat, rupa nya memang beginilah makanya selama ini Kwe Hu tidak mau menerima lamaran mereka.
. . Paras air muka kedua saudara Bu itu dapatlah Nyo Ko mengetahui bahwa akalnya telah mencapai sasarannya, segera ia berkata pula dengan sungguh2- "Pendek kata, adik Hu adalah bakal isteriku, sesudah menikah kami akan hidup bahagia sampai kakek2 dan nenek2.
. . " - Sampai di sini, tiba2 terdengar di belakang ada suara orang menghela napas pelan, kedengarannya mirip benar dengan suara Siao-liong-li.
Nyo Ko terkejut dan hampir2 saja berseru memanggil, tapi segera ia menyadari suara itu adalah suara Li Bok chiu di dalam gua, orang ini se-kali2 tidak boleh dipertemukan dengan keluarga Bu ini.
Segera ia berkata pula kepada kedua saudara Bu: "Nah, makanya kalian jangan bermimpi dan buang2 tenaga percuma, Mengingat kebaikan bakal ayah dan ibu mertuaku, biarlah urusan kalian ini tidak kupikirkan lagi, kalian boleh pulang saja ke Siangyang untuk membantu ayah mertuaku menjaga benteng itu, kukira itulah tugas yang lebih utama bagi kalian.
" BegituIah terus menerus ia menyebut Kwe Cing dan Ui Yong sebagai bakal ayah dan ibu mertuanya.
Sedih dan lesu kedua saudara Bu dan saling genggam tangan dengan kencang, kata Siu-bun dengan lemah: "Baiklah, Nyo-toako, kudoakan semoga engkau dan Kwe-sumoay hidup bahagia, kami bersaudara akan pergi jauh di rantau dan anggaplah di dunia ini- tak pernah ada kami berdua ini.
" Habis berkata mereka lantas membalik tubuh, diam2 Nyo Ko bergirang karena maksud tujuannya kelihatan akan tercapai ia pikir meski kedua Bu cilik itu akan dendam padanya, tapi kelak keaua bersaudara itu pasti akan rukun dan saling sayang sebagaimana yang diharapkan Bu Samthong.
Bu Sam-thong juga bergirang setelah menyaksikan Nyo Ko berhasil membikin kedua puteranya berhenti bertempur sendiri, dilihatnya kedua anak muda itu bergandengan tangan dan melangkah pergi, tanpa tertahan ia terus berseru: "Anak Bun dan anak Si, marilah kita berangkat bersama.
" Kedua Bu cilik melengak kaget, mereka menoleh dan memanggil "ayah" berbareng, Bu Sam-thong lantas memberi hormat kepada Nyo Ko dan berkata: "Adik Nyo, selama hidupku ini takkan melupakan budi pertolonganmu.
" Nyo Ko mengerut kuning, ia pikir sungguh sembrono orang tua ini berbicara demikian di hadapan kedua Bu cilik, baru saja ia hendak membingungkan mereka dengan perkataan lain, namun Bu Siu bun sudah mulai curiga, katanya tiba2 kepada Tun-si.
"Toako, apa yang dikatakan bocah she Nyo tadi belum tentu betul.
" Meski Bu Tun-si tidak banyak omong, tapi kecerdasannya tidak di bawah sang adik, ia pandang sekejap kepada ayahnya, lalu mengangguk kepada Siu-bun.
Melihat urusan bisa runyam, cepat Bu Samthong menambahkan: "Eh, kalian jangan salah wesel, sama sekali aku tidak minta adik Nyo ini untuk melerai kalian.
" Sebenarnya kedua Bu cilik cuma curiga saja dan belum tahu persis urusan yang sesungguhnya, tapi mereka menjadi curiga setelah sang ayah bermaksud menutupi persoalannya, segera mereka ingat hubungan Nyo Ko dengan Kwe Hu biasanya tidak cocok pula Nyo Ko sangat mencintai Siao-liong-li, jadi apa yang dikatakan Nyo Ko besar kemungkinan tidak betul.
"Toako," kata Siu-bun kemudian, "Marilah kita pulang ke Siangyang untuk menanyai adik Hu sendiri.
" "Benar," jawab Tun-si.
"Ocehan orang lalu masakah dapat menipu kita," Segera Siu-bun berkata kepada Bu Sam-thong: "Ayah, marilah engkau ikut juga ke Siangyang, Temuilah Suhu dan Subo, mereka kan sahabatmu.
" "Aku. . . aku. . . " muka Bu Sam-thong menjadi merah, ia bermaksud memperlihatkan wibawa seorang ayah untuk mengomeli kedua.
,puteranya, tapi kuatir kedua anak muda itu hanya mengiakan di depannya, tapi di belakangnya akan bertarung mati2an pula.
Nyo Ko lantas menjengek: "Saudara Bu, memangnya sebutan "adik Hu" boleh kau panggil se-sukamu" selanjutnya kularang kau menyebutnya, bahkan dalam hatipun tidak boleh kau pikirkan dia.
" Siu-bun menjadi gusar, teriaknya: "Bagus, di dunia ini ternyata ada manusia se-wenang2 macam kau.
"Adik Hu" sudah kusebut selama sepuluh tahun, mengapa kau berani melarang aku menyebutnya?" "Hm, bukan saja sekarang aku tetap memanggil adik Hu, bahkan besok, lusa dan selanjutnya aku tetap akan memanggilnya.
Adik Hu, adik Hu, adik Hu, .
. . . . " belum habis ucapannya, "plok", mendadak pipinya kena ditempeleng satu kali oleh Nyo Ko.
Segera Siu-bun mengacungkan pedangnya dan berkata dengan geram: "Baik, orang she Nyo, sudah lama kita tidak berkelahi, ya" "He, anak Bun, berkelahi apa maksudmu?" cepat Bu Sam-thong mencegahnya.
Mendadak Nyo Ko berpaling kepada Bu Sam-thong dan bertanya: "Paman Bu, kau membantu pihak mana?" Menurut aturan, adalah wajar kalau Bu Sam-thong membela anaknya sendiri, tapi tindakan Nyo Ko sekarang jelas demi untuk mencegah saling bunuh antara kedua bersaudara itu, karena itulah Bu-: Sam-thong menjadi serba salah dan melongo belaka.
"Begini saja," kata Nyo Ko pula, "Silahkan paman Bu duduk tenang di situ, aku takkan mencelakai jiwa mereka, rasanya merekapun tidak mampu mencelakai aku, engkau boleh menonton pertunjukan menarik ini saja.
" Usia Nyo Ko berselisih jauh daripada Bu Sam thong, tapi pintarnya dan cerdiknya jauh di atas-nya, jadi apa yang dikatakan tanpa kuasa terus di turut saja oleh Bu Samthong, segera ia berduduk di atas batu padas di samping sana.
Nyo Ko lantas melolos Ci wi-kiam, seketika cahaya dingin gemerlapan, ia menyabet pelahan pedang lemas itu, terdengar suara mendesir, sepotong batu besar di sebelahnya di sabetnya cara bersilang, waktu kakinya mendepak, kontan batu besar itu pecah menjadi empat bagian, bagian yang retak itu halus licin seperti insan tahu saja.
Melihat betapa tajamnya pedang orang, kedua saudara Bu saling pandang dengan jeri, mereka menjadi ragu cara bagaimana akan dapat menandingi Nyo Ko dengan pedang selihay itu.
Tapi Nyo Ko lantas menyimpan kembali pedangnya, lalu berkata dengan tertawa.
"Pedangku ini masakah kugunakan untuk menghadapi kalian?" sekenanya ia memotong sebatang dahan pohon, ia buang daunnya hingga berwujud.
sebatang pentung sepanjang satu meteran, lalu berkata pula: "Tadi sudah kukatakan bahwa ibu mertua condong padaku, tapi kalian tidak percaya.
sekarang boieh kalian saksikan, aku akan menggunakan pentung ini untuk melayani pedang kalian, kalian boleh maju sekaligus dan mengeluarkan segenap kepandaian ajaran ayah ibu mertuaku serta ajaran paman Cu Cu-liu, Sebaliknya aku hanya akan menggunakan ilmu silat ajaran ibu mertuaku saja, asalkan aku salah menggunakan sejurus dari aliran lain, segera anggap saja aku kalah.
" Kedua saudara Bu sebenarnya jeri pada kepandaian Nyo Ko yang hebat, mereka sudah menyaksikan dia menempur Kim-lun Hoat-ong dengan cara aneh, tapi mereka menjadi naik pitam pula demi mendengar ucapan Nyo Ko yang ber-ulang2 menyebut "ayah dan ibu mertua" segala, se-akan2 Kwe Hu benar2 sudah menjadi isterinya, sungguh gemas mereka tidak kepalang.
Malahan dengan sombongnya Nyo Ko menyatakan bersedia dikerubuti serta melayani pedang mereka dengan pentung, bahkan terbatas pada ilmu silat ajaran Ui Yong melulu.
Dalam keadaan begini kalau mereka tidak dapat mengalahkan Nyo Ko juga keterlaluan dan buat apalagi hidup di dunia ini.
Maka cepat Siu-bun menegas: "Baik, kau sendiri yang berkata begitu dan bukan kami yang minta.
Kalau kau salah menggunakan ilmu silat dari golongan lain, lalu bagaimana?" "Pertandingan kita ini bukan disebabkan permusuhan di masa lampau atau karena kebencian sekarang, kita bertempur demi adik Hu," kata Nyo-Ito.
"Maka kalau aku kalah, asalkan aku memandang sekecap padanya atau bicara sepatah saja dengan dia, katakanlah aku ini manusia rendah yang tidak tahu malu.
Tapi bagaimana pula jika kalian yang kalah?" Pertanyaan Nyo Ko sengaja memaksa kedua saudara Bu itu harus menyatakan janji yang sama Ialu Siu-bun telah menjawab "Jika kami kalah, kamipun takkan menemui adik Hu untuk selamanya.
" "Bagaimana kau, setuju?" tanya Nyo Ko kepada Tun Si.
"Kami bersaudara bersatu hati dan satu tujuan, tak ada perbedaan pendirian?" jawab Tun-si dengan gusar.
"Bagus, setelah kalah nanti, kalau kalian tidak pegang janji, maka kalian akan dianggap manusia tidak tahu malu yang melebihi binatang, begitu bukan?" Nyo Ko menegas pula.
"Benar," jawab Siu-bun.
"Tidak perlu banyak bicara lagi, orang she Nyo, marilah mulai.
" Habis berkata ia terus mendahulu menusuk dari sebelah kanan, berbareng Bu Tun-si juga bergerak dari sebelah kiri, asalkan Nyo Ko berusaha menghindar serangan Siu-Bun berarti akan dimakan oleh serangan Tun-si itu.
Akan tetapi dengan gesit Nyo Ko dapat menghindari beberapa kali serangan kedua Bu cilik itu sambil meng-olok2.
Keruan kedua saudara Bu tambah murka dan menyerang terlebih gencar, "Kau mengaco apa" Mengapa kepandaian ajaran Subo tidak lekas kau keluarkan?" "Baik, kaumeminta tentu akan kuperlihatkan.
Nah, awasi inilah kepandaian asli ajaran ibu mertuaku!" seru Nyo Ko.
Pentungnya menyabet serta diputar ke atas itulah gaya "menjegal" dari Pak kau-pang-hoat, berbareng jari tangan lain pura2 hendak menutuk Hiat-to di tubuh Bu Tun-si.
Ketika Tun-si melompat mundur, "bluk", tahu2 Bu Siu-bun sudah jatuh kesandung pentung.
Nampak adiknya kecundang, cepat Tun-si menubruk maju lagi dan menyerang dengan gencar.
"Benar, adik ada kesulitan, sang kakak yang menolong.
" demikian sambil meng-olok2, sekali pentungnya berkelebat tahu2 Nyo Ko sudah menggeser ke belakang Tun-si dan "plok", dengan tepat pantat Tun-si kena disabet sekali.
Gerakan pentung Nyo Ko itu tampaknya lamban, tapi tepat yang diarah adalah bagian yang sama sekali tak terduga.
Dan memang di situlah letak keistimewaan Pak-kau-pang-hoat yang termashur itu.
Setelah merasakan gebukan pada pantatnya, walaupun tidak terlalu sakit, tapi jelas iapun sudah kecundang, karena itu diam2 timbul rasa kedernya.
Dalam pada itu Bu Su-bun telah melompat bangun dan berseru: "Ini adalah Pak to-pau hoat, macam mana Subo mengajarkan kau secara diam2.
jelas kau mencuri belajar beberapa jurus ketika kita sama2 menyaksikan Subo mengajarkan ilmu permainan pentung ini kepada Loh-tianglo tempo hari.
" Mendadak pentung Nyo Ko menjulur dan "bluk" kembali Siu-bun dijegal hingga terbanting lagi, cepat Bu Tun-si menabas dengan pedangnya untuk menolong sang adik.
Nyo Ko menunggu Siu-bun merangkak bangun, lalu berkata dengan tertawar "Kalau kita menyaksikan bersama waktu ibu mertuaku mengajarkan pada loh-tianglo, kenapa aku bisa dan kalian tidak bisa" padahal yang diajarkan ibu mertuaku kepada Loh-tianglo hanya kuncinya saja secara lisan, bagaimana cara memainkan nya beliau telah mengajarkan padaku secara diam2, bahkan adik Hu juga tidakbisa, apalagi kalian ini.
" Bu Siu-bun tidak tahu bahwa secara kebetulan Nyo Ko pernah mendapatkan ajaran dari Ang Chit-kong ketika pengemis sakti itu bertanding dengan Auyang Hong dipuncak Hoasan dahulu, maka dalam hati sebenarnya ia percaya apa yang dikatakan Nyo Ko, cuma di mulut ia tetap tidak mau kalah, katanya: "Huh, setiap orang memang berbeda.
Bahwa secara kebetulan kami mendengar ajaran Subo kepada Loh tianglo itu, namun ilmu pentung mana boleh digunakan selain pangcu dari Kay-pang sendiri, sebelum ada perintah Subo, mana kami berani melatihnya" Hanya manusia rendah saja mau berbuat begitu" Hm.
kau sendiri tidak tahu malu, tapi malah meng-okok2 orang lain.
" Nyo Ko ter-bahak2, pentungnya berputar puIa dan "plok-plok" dua kali, tahu2 punggung Siu-bun dan Tun-si tersabet pula, Cepat kedua saudara Bu melompat ke samping dengan muka merah padam.
"Baiklah, karena tiada bukti dan saksi, meski kukalahkan kalian dengan Pak kau pang-hoat juga kalian belum mau mengaku kalah," ujar Nyo Ko, "Nah, sekarang akan kugunakan pula sejurus kepandaian lain ajaran Subo, coba lihat.
Habis ini ia pandang Siu-bun, kemudian menatap Tun-Si pula, lalu bertanya: "Katakan lebih dulu, ilmu silat ibu mertuaku berasal ajaran siapa?" Dengan gusar Siu-bun menjawab.
"Kalau kau tanpa malu2 menyebut lagi ibu mertua segala, maka kami tidak sudi bicara pula dengan kau.
" "Ah, kenapa kalian berjiwa sesempit ini," kata Nyo Ko dengan tertabak "Baiklah, coba jawab pertanyaanku, ilmu silat Subomu berasal dari siapa?" "Subo kami adalah puteri kesayangan Ui-tocu dari Tho-hoa-to, sudah tentu ilmu silatnya berasal ajaran ayahnya sendiri, masakah perlu kau tanyakan puia?" jawab Siu-bun.
"Benar" kata Nyo Ko, "Kaltan sendiri pernah tinggal beberapa tahun di Tho-hoa-to, apakah kalian tahu kepandaian khas Ui-tocu, terutama ilmu pedangnya, apa nama ilmu pedang kebanggaan beliau itu?".
Dengan bersemangat Bu Siu-hun menjawab "Ui-tocu terkenal maha sakti dan serba pintar segala apapun diketahui oleh beliau, Semua kepandaiannya juga diketahui olehmu, mengapa kau bertanya padaku, Giok-siau-kiam-hoat beliau termashur di seluruh dunia, tiada seorangpun di dunia Kangouw yang tidak tahu.
" "Dan kalian pernah berjumpa dengan Vi tocu Sdak?" tanya Nyo Ko pula.
"Tidak pernah. " jawab Siubun. "Ui-tocu suka mengembara, bahkan Suhu dan Subo sendiri jarang bertemu dengan beliau, apalagi orang muda seperti kami ini.
" "O, jika begitu Giok-siau-kiam-hoat Ui-tocu itu tak pernah kalian lihat?" kata Nyo Ko.
"Melihat langsung memang belum pernah," jawab Siu-bun dengan mendengus "Tapi ketika hari ulang tahun Uitocu, Subo telah merayakannya dan berdoa dari jauh bagi kesehatan beliau, dalam pesta itu Subo telah memperlihatkan ilmu pedang kebanggaan Ui-tocu itu.
Tatkala itu Nyo-heng sendiri sudah berangkat ke Cong-lam-san untuk mencari guru lain.
" "Benar," ujar Nyo Ko sambil tertawa.
Kemudian ibu mertuaku. . . ooh, baikiah, kemudian Subo kalian diam2 telah mengajarkan ilmu pedang itu padaku.
" Kedua saudara Bu itu saling pandang, sudah tentu mereka tidak percaya, sedangkan Kwe Hu saja yang merupakan puteri tunggal kesayangan Ui Yong juga tidak diajari ilmu pedang, masakan bisa jadi Nyo Ko malah diberi pelajaran di luar tahu mereka.
"Kalian tentu tidak percaya, bukan?" kata Nyo Ko.
"Baiklah, coba lihat jurus serangan ini?" Mendadak pentungnya digunakan sebagai pedang, "cret" tahu2 dada Bu Tunsi sudah tertusuk oleh ujung pedang.
Kalau saja pentung itu adalah pedang yang tajam, maka dada Bu Tun-si pasti sudah tembus dan jiwanya tentu sudah melayang.
Siu-bun cukup cekatan, melihat Nyo Ko mulai menyerang, secepat kilat iapun menusukkan pedangnya ke iga kanan Nyo Ko.
Akan tetapi tetap terlambat sedikit, pentung Nyo Ko sempat diputar balik dan tahu2 menusuk ke pergelangan tangannya.
Serangan Nyo Ko ternyata mencapai sasarannya lebih cepat daripada serangan Siubun itu, belum lagi ujung pedang Siu-bun mengenai tubuh lawan atau pergelangan tangannya sudah tertusuk lebih dulu oleh ujung pentung Nyo Ko dan pedangnya pasti akan terlepas dari cekalan.
Cepat Siu-bun menarik kembali pedangnya dan berganti serangan lain, sambil memutar balik pedangnya, kaki kirinya terus menendang, sementara itu pentung Nyo Ko telah ditusukkan ke bahu Bu Tun-si sembari melangkah maju, tendangan Siu-buo se-akan2 tak dihiraukannya.
Dengan sendirinya tendangan Siu-bun menjadi mengenai tempat kosong, sedangkan keadaan Bu Tun si menjadi berbahaya, cepat ia putar pedangnya dengan kencang utk bertahan dengan dgn rapat, begitu terhindarlah dia dari tusukan pentung lawan.
Hanya beberapa jurus saja kedua saudara Bu itu sudah dibikin kelabakan oleh Nyo Ko, bertahannya terasa sulit, jangankan hendak balas menyerang.
Sama sekali kedua Bu cilik itu tidak menyangka bahwa Giok-siau-kiara-noat yang pernah dipertunjukkan oleh Ui Yong itu ternyata memiliki gerak perubahan yang begini indah dan hebat pula untuk digunakan.
Karena kecundang kedua saudara Bu menjadi malu dan berduka pula, mereka mengira Giok siau-kiam hoat itu benar2 diajarkan oleh Ui Yong kepada Nyo Ko.
Sudah tentu tak pernah mereka bayangkan bahwa Nyo Ko pernah berkumpul cukup lama dengan Ui Yok-su dan mendapatkan ajaran langsung kedua macam ilmu silatnya yang maha sakti itu.
Melihat kedua orang itu sedih dan lesu, hati Nyo Ko menjadi tidak tega.
Tapi mengingat maksud tujuannya justeru hendak menyelamatkan jiwa mereka, kalau sekarang keduanya tidak dibikin menyerah betul2 agar selamanya takkan menemui Kwe Hu lagi, maka kelak keduanya pasti akan berkelahi mati2an lagi bagi nona itu, karena inilah dia mempergencar serangannya tanpa kenal ampun lagi.
Keruan kedua saudara Bo semakin keder, bayangan pentung" berkelebat mengelilingi mereka, segenap Hiat-to penting ditubuh mereka seluruhnya terancam oleh pentung Nyo Ko itu.
Terpaksa mereka mengertak gigi dan bertahan mati2an.
Sebenarnya kepandaian kedua Bu cilik itu tidak terlalu rendah, akan tetapi kalau dibandingkan Nyo to yang kini sudah menyamai jago kelas satu, dengan sendirinya mereka bukan tandingannya.
Apalagi sekarang mereka menjadi gelisah, cara bertempur mereka menjadi ngawur.
sebaliknya Nyo Ko tidak penggunakan serangan maut melainkan melayaninya dengan tenang.
Lambat-laun kedua saudara merasa pentung lawan itu se-akan2 membawa semacam kekuatan mengisap yang amat kuat, pedang mereka seperti melengket ikut bergoyang kian jemari tanpa kuasa.
Sampai akhirnya kedua saudara itu seperti saling tempur sendiri, pedang Bu Tun-si yang menusuk Nyo Ko terkadang hampir mengenai adiknya sendiri, begitu pula tabasan pedang Bu Siu-bun terpaksa harus ditangkis oleh Tunsi.
"Kebagusan Giok-siau-kiam-hoat tidak cuma begini saja, lihatlah" kata Nyo Ko "Trak" pentungnya beradu dengan pedang Tun-si, cuma yang terbentur adalah bagian samping batang pedang sehingga pentung kayu ttu tidak rusak.
Seketika Tun-si merasa dibetot oleh suatu tenaga kuat, pedang hampir terlepas dari cekalannya.
Lekas ia menarik balik sekuatnya, tapi Nyo Ko terus ikut mendorongkan pentungnya dan tahu2 pedang Bu Siu-bun juga ikut melengket pada pentungnya, ketika pentung Nyo Ko menahan ke bawah, segera ujung kedua pedang tertindih ke atas tanah.
Cepat kedua Bu cilik menarik pedang sekuat-nya, baru terasa sedikit kendur, tahu2 Nyo Ko melangkah maju, pentung kayu diangkat, tapi sebelah kakinya telah menggantikan pentung untuk menginjak ujung kedua pedang.
Tahu2 tenggorokan kedua saudara Bu telah terancam oleh ujung pentung, kalau saja bertempur sungguh2, pasti leher mereka sudah ditembus oleh senjata musuh.
"Bagaimana, menyerah tidak?" tanya Nyo Ko dengan tertawa.
Seketika wajah kedua Bu cilik pucat pasi seperti mayat, mereka bungkam tak dapat menjawab.
Segera Nyo Ko angkat kakinya dan mundur dua tiga tindak, melihat kedua saudara yang serba konyol itu, ia menjadi teringat kepada masa kecilnya dahulu, ketika dia kenyang dihina dan dikerubut oleh kedua Bu cilik itu dan baru sekarang dia dapat melampiaskan rasa dongkol itu, tanpa terasa mukanya memperlihatkan perasaan senang dan puas.
Kedua saudara Bu itu sama sekali tidak menduga bahwa Nyo Ko benar2 telah mendapatkan ajaran kepandaian Ui Yong.
Namun mereka tetap penasaran mereka merasa waktu bertempur tadi telah didahului oleh lawan sehingga mereka tidak sempat mengeluarkan segenap kepandaian yang diperoleh dan Kwe Cing, malahan lt-yang-ci yang baru mereka pelajari juga sama sekali tidak sempat dimainkan.
Bu Tun-si menjadi putus asa, ia menghela napas panjang, pedang bermaksud dibuangnya dan akan pergi, tapi mendadak Bu Siu-bun berseru padanya: "Toako, jika kita sudahi sampai di sini saja, lalu apa artinya hidup kita di dunia ini" Tidakkah lebih baik kita adu jiwa saja dengan dia!" Hati Tun-si terkesiap, segera iapun menjawab: "Benar!" Serentak kedua bersaudara memutar pedang dan mengerubut maju lagi, sekarang mereka sudah nekat sehingga tidak perlu menjaga diri, yang mereka utamakan adalah menyerang saja dan selalu mengincar tempat yang mematikan perubahan ini ternyata hebat juga.
Keduanya, tidak berjaga diri lagi melainkan menyerang, mereka rela mati di bawah pentung Nyo Ko asalkan dapat gugur bersama musuh, Malahan disamping menyerang dengan pcdang, tangan kiri kedua Bu cilik juga memainkan It-yang-ci yang lihay itu.
"Bagus, pertarungan begini barulah nikmat!" kata Nyo Ko dengan tertawa.
Malahan ia terus membuang pentungnya, dengan bertangan kosong ia berlari kian kemari di antara samberan pedang musuh, Meski kedua saudara Bu menyerangnya dengan tidak kenal ampun, namun tetap sukar mengenai sasarannya.
Bu Sam-thong merasa serba susah menyaksikan pertarungan itu, sebentar ia berharap Nyo Ko yang menang agar kedua puteranya takkan memikirkan dan memperebutkan Kwe Hu lagi.
Tapi bila melihat Bu cilik mengalami bahaya, tanpa terasa timbul juga keinginannya agar mereka dapat mengalahkan Nyo Ko.
Tiba2 terdengar Nyo Ko bersuit nyaring, "cring-cring", jarinya menyelentik batang pedang kedua lawannya, seketika lengan kedua saudara Bu merasa pegal linu, genggamannya juga kesakitan, setengah badan juga tergetar kaku, pedang mereka serentak mencelat mundur.
Dengan gesitnya Nyo Ko lantas melompat ke atas dan berhasil menangkap kedua pedang itu, lalu katanya dengan tertawa: "Nah, inilah ilmu sakti Sian ci-sin-thong dari Tho-hoa-to, kalian pernah melihat nya belum?" Sampai di sini, mautak-mau kedua saudara Bu juga menyadari bila pertarungan diteruskan, tentu mereka akan tambah konyol.
"Maaf!" kata Nyo Ko kemudian sambil menyodorkan kedua pedang rampasannya itu.
Siu-bun menerima kembali pedangnya dan berkata dengan pedih: "Ya, selamanya aku takkan menemui adik Hu lagi.
" - Habis berkata ia terus melintangkan pedang dan menggorok ke lehernya sendiri Pikiran Bu Tun-si ternyata sama dengan adiknya, pada saat yang sama pula iapun angkat pedangnya hendak membunuh diri.
Tentu saja Nyo Ko terkejut, secepat terbang ia menubruk maju, "cring-cring" dua kali, kembali kedua pedang itu kena diselentiknya dan mencelat ke atas, "trang", kedua pedang saling bentur dan patah.
Pada saat itu Bu Sam-thong juga melompat maju, satu tangan satu orang, ia cengkeram gitok kedua anaknya sambil membentak dengan suara bengis: "Demi memperebutkan seorang perempuan kalian berdua lantas berpikiran pendek, sungguk percumalah kalian menjadi laki2" Siu-bun mengangkat kepalanya dan menjawab: "Ayah, engkau sendiri bukankah juga merana selama hidup demi seorang perempuan" Aku.
. . . . . " Belum habis ucapannya ia melihat muka sang ayah penuh dengan air mata, rasa dukanya tidak kepalang, seketika teringat olehnya perbuatan mereka bersaudara sesungguhnya teramat melukai perasaan sang ayah, tanpa terasa ia lantas menangis keras2.
Pegangan Bu Samthong menjadi kendur, segera ia merangkul kedua puteranya itu dan menangislah ketiganya berpelukan menjadi satu.
Merasa usahanya telah berhasil, hati Nyo Ko sangat senang, ia pikir meski jiwanya takkan tahan lama lagi, paling tidak ia telah berbuat sesuatu kebajikan.
Dalam pada itu terdengar Bu Sam-thong lagi berkata: "Anak bodoh, laki2 sejati masakah takut tidak mendapatkan bini" Bocah perempuan she Kwe itu tidak menyukai kalian, lalu untuk apa kalian memikirkan dia" Tugas utama kita sekarang ini apa, coba katakan?" "Menuntut balas kematian ibu," seru Siu-bun "Benar," kata Bu Sam thong sambil beringas.
"Meskipun menjelajahi ujung langit juga akan kita temukan Jik-lian-siancu Li Bok-chiu yang jahat itu.
" Nyo Ko menjadi kuatir kalau ucapan merekah itu didengar oleh Li Bok chiu, kalau mereka tidak lekas dipancing pergi, tentu urusan bisa runyam.
Benar juga, sebelum ia berbuat sesuatu, tiba2 terdengar suara Li Bok-chiu mengekek tawa dan berkata: "Tidak perlu kalian menjelajahi ujung langit segala, sekarang juga Li Bok chiu menunggu di sini.
" - Sembari bicara ia terus melangkah ke-luar gua dengan tangan kiri membopong seorang bayi dan tangan kanan memegang kebut.
Sama sekali Bu Sam-thong dan kedua putera-nya tidak menduga iblis yang mereka sebut tadi akan muncul di situ secara mendadak, Dengan menggerang murka Bu Sam-thong terus menerjang dulu ke depan.
Pedang kedua saudara Bu sudah patah, cepat mereka menjembut pedang patah mereka dan ikut mengerubut dari kanan-kiri.
"Hei, jangan bergerak dulu, dengarkan penuturanku!" seru Nyo Ko.
Namun mata Bu Sam-thong sudah kadang merah membara, teriaknya: "Adik Nyo, bicara nanti saja, setelah kubunuh iblis ini.
" Sembari bicara ia lantas menyerang tiga, kali berturut2.
Meski dia dengan pedang kutung, namun daya serangan kedua saudara Bu juga tidak dapat dipandang ringan, mereka, terus menyerang dengan nekat.
Nyo Ko tahu dendam kesumat mereka terlalu mendalam, betapapun pasti sukar dilerai, tapi kalau tidak berusaha menengahi, bisa jadi mereka akan mencelakai si bayi.
Maka cepat ia berseru pula: "Li-supek, biarlah kupendong anak itu!" Bu Sam-thong melengak.
"Mengapa kau panggil dia Supek?" tanyanya bingung.
"Sutit yang baik, boleh kau serang bagian belakang orang gila ini, bayi ini akan kupondong sendiri dan tanggung tak apa," jawab Li Bok-chiu dengan tertawa.
Kiranya Li Bok-chiu juga merasakan kelihayan Bu Sam-thong, setelah bergebrak beberapa kali terasa jauh lebih kuat daripada dahulu, sedangkan kedua saudara Bu cilik juga tidak lemah, kerubutan ketiga orang agak sukar dilayani, sebab itulah ia sengaja memanggil Nyo Ko sebagai "Sutit yang baik" untuk mengacaukan pikiran ketiga lawan.
Ternyata Bu Sam-thbng terjebak oleh akal Li Bok-chiu itu, cepat ia berseru: "Anak Si dan Bun, kalian awasi bocah she Nyo itu, biar aku sendiri melabrak iblis ini.
" Nyo Ko lantas melangkah mundur dan ber-kata: "Aku takkan membantu pihak manapun, tapi kalian jangan sekali2 membikin celaka anak bayi itu.
" Hati Bu Sam-thong merasa lega melihat Nyo Ko sudah mundur, segera ia melancarkan serangan lebih gencar.
Sambil putar kebutnya menahan serangan lawan.
Li Bok-chiu berseru: "Kedua Bu cilik, melihat pri-laku kalian tadi, kalian ini tergolong laki2 yang punya perasaan, berbeda dengan laki2 yang tak ber-budi dan ingkar janji yang kejam itu, Mengingat hal ini, biarlah kuampuni jiwa kalian, nah, lekas kalian pergi saja.
" Tapi Bu Siu-bun lantas memaki: "Bangsat keparat, kau perempuan keji yang maha jahat, berdasarkan apa kau juga bicara tentang budi dan kebaikan" - Berbareng itu ia terus menyerang mati2an.
Ketika pedang kutung kedua Bu cilik terbentur kebut, dada mereka terasa sesak dan pedang kutung hampir terlepas, dari tangan, Cepat Bu Sam-thong menghantam, terpaksa Li Bok-chiu menangkisnya, dengan begitu kedua Bu cilik dapat diselamatkan.
Pelahan Nyo Ko mendekati belakang Li Bok-chiu, ia tunggu bila ada peluang segera akan menubruk maju untuk merebut bayi dalam pelukan iblis itu.
Akan tetapi ayah beranak she Bu itu sedang menyerang dengan sengit sehingga Li Bok-chiu terpaksa memutar kencang kebutnya untuk menjaga diri, sedikitpun tidak ada lubang yang dapat dimasuki Nyo Ko.
Nampak serangan Bu Sam-thong bertiga tanpa menghiraukan keselamatan anak bayi Nyo Ko menjadi kuatir, cepat ia berseru pula: "Berikan anak itu padaku, Li-supek!" Sambil menunduk segera ia bermaksud menerobos maju untuk merebut bayi itu.
Akan tetapi Li Bok-chiu keburu membentak:nya: "Kau berani maju, sedikit kupiting anak ini, masakah jiwanya takkan melayang?" Nyo Ko melengak dan tidak jadi menubruk maju.
Pada saat Li Bok-chiu sedikit meleng itulah secepat kilat It-yangci Bu Sam-thong telah bekerja dengan baik, pinggang Li Bok-chiu tertutuk satu kali oleh jarinya.
Seketika Li Bok-chiu merasakan tempat yang tertutuk itu sakit luar biasa dan hampir jatuh terguling, sebisanya ia angkat sebelah kakinya menendang terlepas pedang kutung di tangan Bu Tun-si, menyusul kebutnya menyabet pula ke kepala Bu-Siu-bun.
Melihat anaknya terancam bahaya, cepat Bu-Sam-thong tarik Siu-bun ke belakang sehingga terhindar dari sabetan maut tadi.
Sesudah terluka oleh tutukan tadi, Li Bok-chiu merasa sukar bertahan lebih lama lagi, sekuatnya ia putar kebutnya, berbareng ia melompat kesana dan berlari masuk ke dalam gua.
Dengan girang Bu Sam-thong berseru: "Perempuan bangsat itu sudah kena tutukanku, sekali ini jiwanya pasti melayang.
" Segera kedua Bu cilik hendak mengejar ke dalam gua dengan pedang terhunus, Tapi Sam-thong telah mencegahnya: "Awas, jarumnya berbahaya, dijaga saja di sini dan mencari akal.
. . " Baru saja kedua Bu cilik hendak melangkah mundur, se-konyong2 terdengar suara mengaum, dari dalam gua menerjang keluar seekor binatang buas.
Keruan Bu Sam-thong terkejut, sungguh di-luar dugaannya bahwa di dalam gua tempat sembunyi Li Bok chiu itu terdapat pula binatang buas begitu, Baru saja dia melengak, tahu2 cahaya perak gemerdep, dari bawah perut binatang buas itu menyambar beberapa buah jarum perak.
Hal ini lebih tak terduga oleh Bu Sam-thong, untung kepandaiannya cukup tinggi, sebisanya dia melompat ke atas sehingga jarum2 berbisa itu me-nyamber lewat di bawah kakinya, Tapt lantas terdengar jeritan kedua Bu cilik.
Sungguh kaget Bu Sam-thong tak terkatakan, sementara itu terlihat Li Bok-chiu telah memutar dari bawah perut macan tutul itu ke atas pung-gungnya, kebut terselip di kuduk baju, tangan kiri memeluk bayi dan tangan kanan memegangi gitok harimau, Binatang itu melompat beberapa kali dan menghilang di balik semak2 sana.
Lolosnya Li Bok-chiu dengan menunggang macan tutul juga sama sekali tak terduga oleh Nyo Ko: "Lisupek.
. . . ". . . " segera ia berseru dan hendak mengejar.
Tapi Bu Sam-thong tidak membiarkan Nyo Ko pergi begitu saja, ia sangat berduka melihat kedua putera-kesayangannya menggeletak tak bisaba ngun lagi, tanpa pikir ia rangkul Nyo Ko sambi berteriak: "Biarlah aku mengadu jiwa dengan kau.
" Sama" sekali Nyo Ko tak mengira" Bu Sam thong akan bertindak padanya, maka sedikitpun ia tak berjaga sehingga dia terangkuI dengan kencang.
Cepat ia berseru: "He, lepaskan! Aku harus merebut kembali bayi itu!" "Bagus! Biar kita be ramai2 mati bersama saja!" teriak Bu Sam-thong pula.
Nyo Ko menjadi kelabakan, ia coba menggunakan Kim-na-jiu-hoat untuk mementang tangan orang yang merangkulnya itu, tak terduga bahwa meski Bu Sam-thong dalam keadaan bingung dan sinting tapi ilmu silatnya tidak menjadi kurang, dengan kencang ia mengunci rangkulannya itu sehingga usaha Nyo Ko melepaskan diri sama sekali tidak berhasil.
Melihat Li Bolc-chiu sudah menghilang dengan menunggang macan tutul, untuk mengejarnya jelas tidak keburu Iagi, Nyo Ko menghela napas dan berkata: "Paman Bu, buat apa kau merangkul aku" Kau lebih penting menolong mereka itu" "Ya, ya, benar," seru Bu Sam-thong girang.
Sambil melepas rangkulannya "Apakah kau dapat menyembuhkan luka jarum berbisa itu?" Nyo Ko berjongkok memeriksa kedua Bu cilik, kelihatan dua jarum perak menancap di bahu kiri dan kaki kanan masing2, sementara itu racun sudah mulai menjalar, napas kedua anak muda itu tampak sesak dan dalam keadaan tak sadar.
Cepat Nyo Ko menyobek sebagian baju Bu Tun-si sebagai pembungkus tangan, lebih dulu ia cabut kedua jarum berbisa itu.
"Apakah kau punya obat penawar racuuoya?" tanya Bu Sam-thong kuatir.
Dahulu waktu Nyo Ko berkumpul dengan Thia Eng dan Liok Bu-siang, ia pernah membaca dan mengapalkan isi kitab pusaka "Panca Bisa" milik Li Bok-chiu yang dicuri Bu-siang itu, maka ia paham cara bagaimana menawarkan racun jarum berbisa itu cuma untuk membuat obatnya tentu makan waktu, sedangkan sekarang mereka berada dilembah pegunungan sunyi, ke mana mendapatkan bahan obat sebanyak itu" Karena itu Nyo Ko cuma menggeleng saja menyaksikan keadaan kedua Bu cilik yang sudah payah itu.
Perasaan Bu Sam-thong seperti di-iris2 menyaksikan keadaan kedua puteranya itu, ia jadi teringat kepada isterinya yang mati demi mengisap darah beracun dari lukanya dahulu itu, mendadak ia menubruk ke atas badan Bu Siu-bun dan menempel mulutnya pada luka di kaki anaknya itu.
Tentu saja Nyo Ko terkejut, cepat ia bersemi "Hei, jangan!" Segera ia menutuk Taycui-hiaf di pinggang orang tua itu.
Karena tidak ter-duga2, seketika Bu Sam-thong roboh terguling dan takdapat berkutik melainkan memandangi kedua putera kesayangan dengan air mata bercucuran.
Tergerak perasaan Nyo Ko, ia pikir jiwanya sendiri juga akan melayang apabila racun bunga cinta itu mulai bekerja, baginya terasa tiada bedanya hidup lima hari lagi atau mati lebih cepat lima hari, JP-ril kedua Bu cilik ini memang tiada menonjol, tapi pasti Bu ini adalah orang yang berperasaan dan berbudi luhur, nasibnya juga kurang beruntung selama seperti diriku, Biarlah kukorban kehidupanku yang cuma tinggal beberapa hari ini untuk membahagiakan kehidupan mereka ayah beranak.
Karena pikiran itu, mendadak ia mencucup luka di kaki Bu Siu-bun, setelah mengusap darah berbisanya dan diludahkan beberapa kali, kemudian ia mencucup pula darah berbisa dari luka Bu Tun-si.
Begitulah secara bergiliran Nyo Ko menyedot darah berbisa dari luka kedua saudara Bu itu, tentu saja Bu Sam-thong sangat berterima kasih dan merasa bingung menyaksikan perbuatan Nyo Ko itu, susahnya dia tak bisa berkutik karena Hiat-to tertutup.
Setelah mengisap sebentar pula, rasa pahit dalam mulut Nyo Ko mulai berubah menjadi rasa asin.
Sedangkan kepalanya semakin pusing dan terasa berat, ia menyadari dirinya telah keracunan hebat, sekuatnya ia berusaha mengisap lagi beberapa kali dan meludahkan air berbisa itu, tiba2 pandangannya menjadi gelap dan jatuh pingsanlah dia.
. . Entah berapa lamanya Nyo Ko tak sadarkan diri, ketika pelahan2 ia merasa ada bayangan orang yang samar2 bergoyang kian kemari di depannya, ia bermaksud mementangkan matanya untuk memandang lebih jelas, akan tetapi semakin berusaha semakin kabur rasanya.
Entah lewat berapa lama lagi barulah Nyo Ko membuka matanya, segera dilihatnya Bu Sam-thong sedang memandangi dirinya dengan rasa girang.
"Sudah baik dia, sudah baik!" terdengar orang tua itu berseru, mendadak berlutut dan menyembah beberapa kali padanya sambil berkata: "Adik Nyo, kau.
. . . kau telah menyelamatkan. . . menyelamatkan kedua puteraku dan juga telah menyelamatkan jiwaku yang tua bangka ini.
" Lalu dia merangkak bangun dan segera pula menyembah kepada seorang lagi sambil berseru : "Terima kasih, Susiok, terima kasih!" Waktu Nyo Ko memandang orang itu, terlihat lah mukanya hitam, hidung besar dan mata cekung, tertampak rada2 mirip dengan Nimo Singh, rambutnya juga keriting, cuma sebagian sudah ubanan, usianya sudah tua.
Nyo Ko hanya tahu Bu Sam-thong adalah murid It-teng Taysu, tapi tidak tahu bahwa dia masih mempunyai seorang paman guru dari negeri Thian tok.
Ia bermaksud bangun berduduk, tapi pinggang terasa lemas pegal, sedikitpun tak bertenaga, ia coba memandang sekitarnya ternyata berada di tempat tidur, di dalam kamarnya sendiri di kota Siangyang.
Baru sekarang dia benar yakin bahwa dirinya belum mati dan masih dapat berjumpa dengan Siao liong-li, tanpa terasa ia terus berseru: "Kokoh! Mana Kokoh?" Seorang lantas mendekatinya dan meraba dahinya sambil berkata: "Tenanglah, Ko-ji, Kokohmu sedang keluar kota untuk sesuatu urusan.
" Nyo Ko melihat orang ini adalah Kwe Cing.
Ia merasa terhibur melihat sang paman sudah sehat kembali.
Segera teringat olehnya bahwa untuk memulihkan kesehatan sang paman diperlukan waktu tujuh hari tujuh malam masakah ketidak sadaranku ini sudah berselang sekian hari pula" jika begitu mengapa racun bunga cinta dalam tubuhku tidak kumat" Ia.
menjadi bingung, pikiran menjadi kacau dan kembali ia tak sadarkan diri.
Waktu ia sadar kembali untuk kedua kalinya-sementara itu sudah jauh malam, di depan tempat tidur tersulut sebatang lilin merah, Bu Sam-thong kelihatan masih menungguinya dengan berduduk di depan situ dan memandangnya dengan penuh perhatian.
"Aku tidak apa2, paman Bu, jangan kuatir kau" kata Nyo Ko dengan tersenyum hambar, "-Dan kedua saudara Bu tentunya baik2 saja," Air mata Bu Sam-thong bercucuran, ia tak dapat berbicara saking terharunya, maka ia cuma menjawab dengan manggut2 saja.
. Selama hidup Nyo Ko tak pernah merasakan terima kasih sedemikian dari orang lain, maka ia menjadi rikuh, cepat ia belokan pembicaraannya dan bertanya: "Cara bagaimana kita dapat pulang ke Siangyang sini?" Bu Sam-thong mengusap air matanya, lalu menutur: "Atas permintaan nona Liong gurumu itu, Cu-sute telah mengantar kuda merah itu ke lembah sunyi untukmu, ketika melihat kita berempat sama2 tergeletak di situ, cepat2 dia menolong kita pulang ke sini" "Darimana suhuku mengetahui aku berada di mana?" ujar Nyo Ko dengan heran, "Dan urusan apa yang membuatnya tidak dapat mencari aku dan perlu minta pertolongan paman Cu untuk mengantarkan kuda merah padaku?" "Setibaku lagi di sini, akupun tidak sempat bertemu dengan nona Liong gurumu itu," tutur Bu Sam-thong.
"Menurut Cu-sute, katanya usia nona Liong masih muda, cantik rupawan pula dan ilmu silatnya juga maha tinggi, sayang aku belum bisa berkenalan dengan beliau, Ai memang kaum ksatria selalu timbul dari kalangan angkatan muda, kukatakan kepada Cu-sute bahwa seumur kita ini seperti hidup pada tubuh babi belaka.
" Nyo Ko sangat senang karena Bu Sam-thong memuji dan mengagumi Siao-liong-li dengan setulus hati, bicara tentang umur, menjadi ayah Siao-liong-li juga pantas bagi Bu Sam-thong, tapi dia ternyata begitu menghormati nona itu, jelas disebabkan dia menghormati si murid dan dengan sendirinya menghormat pulakepada sang guru.
Dengan tersenyum Nyo Ko lantas berkata.
"luka siautit ini. . .

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" "Adik Nyo," tiba2 Bu Sam-thong memotong "menolong sesamanya di dunia persilatan adalah kejadian yang biasa, tapi menyelamatkan orang lain tanpa memikirkan jiwa sendiri seperti engkau ia pula yang kau tolong adalah kedua puteraku yang sebelumnya bersikap kasar padamu, Tindakanmu ini selain guruku rasanya tiada orang ketiga lagi yang sanggup melakukannya.
Ber-ulang2 Nyo Ko menggeleng kepala, maksudnya minta Bu Sam-thong tidak meneruskan lagi ucapannya itu.
Namun Bu Sam-thong tidak menggubrisnya, dia tetap berucap: "Jika kupanggil engkau dengan sebutan "ln-kong" (tuan penolong) tentunya engkau juga tidak mau terima.
Tapi kalau engkau tetap menyebut aku sebagai paman, itupun jelas kau teramat menghina kepadaku Bu Sam-thong ini.
" Watak Nyo Ko memang suka terus terang dan tidak merecoki soal tetek bengek, seperti halnya Siao-liong-li, sekali dia anggap nona itu sebagai isteri maka soal pelanggaran tata adat umum dan panggilan yang tidak menurut aturan, semuanya suka dilakukan jika ada orang yang minta.
Karena itu tanpa pikir ia lantas menjawab: "Baiklah, aku akan panggil kau Bu-toako-saja, cuma kalau ketemu kedua saudara Tun-si dan Siu-bun.
kurasa agak kurang enak dan entah cara bagaimana harus ku-sebut mereka.
" "Sebut apa segala?" ujar Bu Sam-thong.
"Jiwa mereka diselamatkan olehmu, jika mereka menjadi kerbau atau kudamu juga pantas.
" "Engkau tidak perlu berterima kasih padaku, Bu-toako," kata Nyo Ko, "Memangnya aku sudah kena racun bunga cinta yang jahat dan jiwaku sukar diselamatkan, maka caraku cucup racun dari luka kedua saudara Bu itu sebenarnya tiada artinya sedikitpun bagiku.
" "Soalnya bukan begitu, adik Nyo," kata Ba Sam-thong sambil menggeleng.
"jangankan racun yang mengeram dalam tubuh itu belum pasti sukar diobati seumpama betul tak dapat disembuhkan namun tiap manusia tentu berharap akan tetap hidup biarpun cuma tahan sehari atau dua hari saja, sekalipun cuma sejam dua jam juga tetap ingin hidup.
Di dunia ini memang tiada manusia dapat hidup abadi, baik nabi maupun orang biasa, akhirnya juga akan kembali kepada asalnya, namun begitu mengapa setiap orang tetap suka hidup dan enggan mati.
" Nyo Ko tertawa dan tidak menanggapi jalan pikiran orang tua itu, tanyanya kemudian: "Sudah berapa hari kita pulang ke Siangyang sini?".
"Sampai sekarang sudah hari ketujuh," jawab Bu Sam thong.
Nyo Ko menjadi heran dan tidak habis mengerti katanya: "Pantasnya aku akan mati karena bekerjanya racun dalam tubuhku, mengapa aku masih hidup sampai sekarang, sungguh aneh dan ajaib.
" Dengan girang Bu Sam-thong bertutur: "Susiokku itu adalah paderi sakti dan negeri Thian-tiok, nomor satu di dunia ini dalam hal mengobati keracunan.
Dahulu guruku salah minum racun yang dikirim nyonya Kwe juga telah disembuhkan oleh beliau, sekarang juga akan kuundang dia ke sini.
" Habis berkata ber-gegas2 ia terus keluar kamar.
Diam2 Nyo Ko bergirang, ia pikir jangan2 waktu aku jatuh pingsan, paderi sakti itu telah meminumkan sesuatu obat mujarab kepadaku sehingga racun bunga cinta itu dapat dipunahkan Ai, entah Kokoh berada di mana saat ini" Kalau dia mengetahui aku takkan mati, entah betapa gembiranya dia.
Teringat kepada hal2 yang meresap dan mesra itu, mendadak dadanya terasa seperti dipalu dengan keras dan sakitnya tidak kepalang, tak tertahankan iapun menjerit keras.
Sejak minum setengah butir obat pemberian Kiu Jianjio itu, belum pernah dia mengalami kesakitan sehebat ini, bisa jadi kasiat setengah biji obat itu sudah bilang, sedangkan kadar racun dalam tubuhnya belum lagi punah seluruhnya.
Sambil memegangi dada, keringat membasahi dahi Nyo Ko saking sakitnya.
Tengah tersiksa dengan hebatnya, tiba2 Nyo-Ko mendengar suara seorang bersabda: "Namo Budaya!" - Sambil merangkap kedua tangan di depan dada, paderi Thian-tiok itu tampak masuk ke kamar.
Bu Sam-thong ikut di belakang paderi Hindu itu, melihat keadaan Nyo Ko itu, ia terkejut dan cepat bertanya: "Adik Nyo, kenapa kau" - Lalu ia berpaling kepada paderi itu dan, memohon: "Susiok, racunnya kumat lagi, lekas memberikan obat padanya.
" Paderi Hindu itu tidak paham ucapannya, tapi dia lantas mendekati Nyo Ko dan memeriksa nadinya.
Bu Sam-thong sendiri lantas keluar kamar untuk mengundang Cu Cu-Iiu.
Cu Cu-liu adalah bekas Conggoan (gelar ahli sastra tertinggi), dia paham bahasa dan tulis Hindu kuno, hanya dia saja yang dapat berbicara dengan paderi itu, maka Bu Sam-thong mengundangnya untuk dijadikan juru bahasa.
Setelah tenangkan diri, rasa sakit Nyo Ko mulai hilang, lalu dia menceritakan asal usulnya keracunan bunga cinta itu.
Dengan teliti paderi hindu itu bertanya tentang bentuk bunga cinta itu, tampak dia terkejut dan ter-heran2, katanya: "Bunga cinta itu adalah bunga ajaib jaman purba, konon sudah lama lenyap dari permukaan bumi ini, siapa kira daerah Tionggoan sini masih ada tetumbuhan itu.
Aku belum pernah melihat bunga itu, maka sesungguhnya tidak tahu cara bagaimana memunahkan kadar racunnya.
" Setelah Cu Cu-liu menterjemahkan ucapan paderi Hindu itu, segera Bu Sam-thong ber-teriak2 memohon: "Kasihanilah Susiok! Tolonglah!" Paderi itu menyebut nama Budha pula, lalu memejamkan mata dan menunduk merenung suasana dalam kamar menjadi sunyi senyap, siapapun tiada yang berani buka suara.
Selang agak lama baruIah paderi Hindu itu membuka mata dan berkata: "Nyo kisu telah mencucup darah berbisa bagi kedua cucu muridku, pada hal racun jarum itu sangat jahat terisap sedikit saja akan mengakibatkan jiwa melayang, tapi Nyo-kisu ternyata masih sehat2 saja, sedangkan racun bunga cinta juga tidak bekerja pada waktunya, jangan2 terjadi racun menyerang racun sehingga Nyo-kisu malah mendapat berkahnya dan sembuh.
" Cu Cu-liu dan Nyo Ko adalah orang2 yang pintar dan cerdik, mereka pikir uraian paderi Hindu itu memang masuk di akal, maka mereka sama mengangguk.
Paderi itu berkata pula: "Orang baik tentu mendapatkan pembalasan baik, Nyo-kisu mengorbankan diri demi menolong orang lain, inilah perbuatan bajik yang luhur, racun ini pasti dapat dipunahkan.
"Jika begitu, mohon Susiok lekas menolong nya," seru Bu Sam-thong girang.
"Untuk itu perlu kudatangi Coat-ceng-kok dan melihat sendiri bentuk bunga cinta itu, habis itu baru dapat mencari obat penyembuhnya yang tepat," tutur si paderi, "Yang penting selama ini hendaklah Nyo- kisu jangan timbul perasaan cinta, kalau tidak, maka rasa sakit akan semakin menghebat setiap kali kumat" "Akan lebih baik lagi apabila Nyo-kisu daptit memutuskan perasaan cinta itu dan racun inipun akan punah dengan sendirinya tanpa diobati.
" Nyo Ko pikir kalau harus memutuskan cinta kasihnya kepada Kokoh, lebih baik kumati saja, Tapi sebelum dia menanggapi cepat Bu Sam-thong mengajak Cu Cu-liu ikut paderi Hindu itu ke Coat ceng-kok, sudah tentu Cu Cu-liu menerima ajakan itu karena diapun utang budi kepada Nyo Ko.
Lalu Bu Sam-thong berkata pula kepada Nyp-Ko: "Adik Nyo, harap engkau istirahat saja dengan tenang, segala sesuatu pasti akan beres.
Besok juga kami akan berangkat dan kembali selekasnya utk menyembuhkan penyakitmu, kelak aku masih harus minum arak pesta pernikahanmu dengan nona Kwe.
" Nyo Ko melengak, ia pikir persoalan Kwe Hu sukar dijelaskan dalam waktu singkat, maka tanpa pikir ia hanya mengiakan saja.
sesudah ketiga orang itu pergi, ia sendiri lantas berbaring untuk tidur.
Waktu mendusin, terdengar suara burung ber-kicau, rupanya fajar sudah menyingsing, Sudah beberapa hari Nyo Ko tidak makan, perut terasa lapar, dilihatnya di atas meja dekat pembaringannya ada empat piring penganan, segera ia ambil beberapa gotong kue dan dimakan.
Belum sepotong kue itu termakan habis, terdengar orang mengetuk pintu, lalu masuklah seorang berbaju merah jambon dengan air muka tampak marah, ternyata yang datang ini adalah Kwe Hu.
Nyo Ko meIongo sejenak, lalu menyapa "Pagi benar, nona Kwe.
" Kwe Hu hanya mendengus pelahan saja dan tidak menjawab, ia lantas berduduk pada kursi di depan tempat tidur dengan alis menegak dan melotot gusar kepada Nyo Ko, sampai lama sekali masih tetap tidak berbicara.
Tentu saja hati Nyo Ko tidak enak, dengan tersenyum ia berkata pula: "Apa paman Kwe menyuruh kau menyampaikan sesuatu pesan padaku?" "Tidak!" jawab Kwe Hu singkat dan ketus Ber-ulang2 Nyo Ko mendapatkan sikap dingin begitu, kalau hari2 biasa tentu dia tak mau menggubris lagi nona itu, Tapi sekarang melihat sikap orang rada aneh, ia menjadi heran dan ingin tahu sebab apakah pagi2 nona itu sudah mendatangi kamarnya.
Maka dengan mengering tawa ia bertanya pula: "Setelah melahirkan tentunya Kwe- pekbo juga sehat2 saja?" "Sehat atau tidak ibuku, tidak perlu kau ber-kuatir," jawab Kwe Hu dengan lebih ketus.
Selain Siao-liong-li, tidak pernah Nyo Ko mau mengalah terhadap orang lain, tapi sekarang dia telah diperlakukan kasar oleh Kwe Hu, mau-tak mau timbul juga rasa dongkolnya.
Segera iapun batas mendengus, lalu memejamkan mata dan tak menggubrisnya lagi.
"Kau mendengus apa?" tanya Kwe Hu gemas.
Kembali Nyo Ko mendengus lagi dan tetap tidak menggubrisnya.
"Kau dengar tidak, kutanya apa yang kau de-nguskan" bentak Kwe Hu.
Diam2 Nyo Ko geli melihat si nona menjadi kelabakan, jawabnya kemudian: "Badanku tidak enak, kudengus dua kali supaya merasa segar.
" "Kau bohong, lain kata lain perbuatan, se-hari2 hanya mengacau, sungguh manusia rendah tidak tahu malu.
" damperat Kwe Hu dengan gusar.
Hati Nyo Ko tergerak karena tanpa sebab musabab si nona mendamperatnya secara sengit, ia pikir jangan2 ucapanku yang kugunakan untuk membohongi kedua saudara Bu telah diketahui nona ini.
Melihat dalam keadaan marah wajah Kwe Hu tetap cantik molek, tanpa terasa timbul rasa kasihannya.
Dasar watak Nyo Ko memang rada dugal, segera ia berkata pula dengan tertawa: "Nona Kwe, apakah kau maksudkan apa yang kukatakan kepada kedua saudara Bu itu?" "Apa yang kau katakan kepada mereka, hayo lekas mengaku," bentak Kwe Hu pula dengan suara tertahan.
"Tujuanku adalah demi kebaikan mereka agar mereka tidak saling membunuh dan membikin sedih hati ayahnya," ucap Nyo Ko dengan tertawa.
"Apa yang kukatakan itu telah disampaikan oleh paman Bu padamu, bukan?" "Dia.
. . . . dia begitu bertemu aku lantas mengucapkan selamat padaku dan memuji kau setinggi langit," tutur itwe Hu.
"Nama baik anak. . . anak perempuan seperti diriku yang putih bersih masakah boleh sembarangan kau nista?" - Sampai di sini suaranya menjadi ter-sendat2 dan air matapun ber-linang2.
Nyo Ko menjadi sangat menyesal pada diri sendiri yang sembarangan omong tanpa pikir bahwa ucapannya yang bermaksud baik itu justeru akan merusak nama baik Kwe Hu, apapun juga memang perkataannya itu memang keterlaluan, rasanya persoalan ini akan sukar diselesaikan.
Melihat Nyo Ko diam saja, hati Kwe jadi tambah panas, katanya sambil menangisi "Menurut paman Bu, katanya kau telah mengalahkan kedua kakak Bu, mereka kau paksa berjanji takkan menemuiku untuk selamanya, apakah hal ini memang betul?" Diam2 Nyo Ko menyesali Bu Sam-thong yang tidak genah itu, masakah kata2 itu perlu disampaikan kepada Kwe Hu, Terpaksa ia tidak membantah dan menjawab dengan mengangguk "Ya, memang tidak sepatutnya aku sembarangan omong, cuma maksud tujuanku sama sekali tidak jahat, harap kau memaklumi hal ini.
" Kwe Hu mengusap air matanya, lalu bertanya pula: "Dan apa yang kau katakan semalam, untuk maksud apa pula?" Nyo Ko melengak dan menegas: "Kukatakan apa semalam?" "Paman Bu bilang setelah kau sembuh, dia berharap akan minum arak pesta pernikahanmu dan aku ken,.
. . . kenapa kan mengiakan tanpa malu?" Wah, celaka, jadi ucapanku semalam juga terdengar olehnya, demikian Nyo Ko mengeluh dalam hati.
Terpaksa ia membantah: "Semalam aku dalam keadaan setengah sadar dan tidak jelas apa yang dikatakan paman Bu padaku.
" Kwe Hu dapat melihat anak muda itu sengaja berdusta, dengan suara keras ia berteriak: "Kau bilang ibuku mengajarkan ilmu silat padamu secara diam2 karena beliau penujui kau dan ingin memungut kau sebagai menantu, betul tidak ucapanmu ini?" Muka Nyo Ko menjadi merah diberondong pertanyaan2 itu, ia pikir kelakarnya mengenai Kwe Hu paling2 akan dianggap dugal saja oleh orang lain, dasarnya aku juga bukan ksatria yang suci dan alim, tapi aku berdusta tentang diajari ilmu silat secara diam2 oleh Kwe-pekbo.
persoalan ini bisa kecil bisa besar dan sekali2 jangan sampai diketahui bibi Kwe.
Maka cepat ia meminta: "Nona Kwe, memang salahku sembarangan omong, harap kau suka menutupi hal ini dan jangan sampai diketahui ayahmu.
" "Hm jika kau takut pada ayahku, kenapa kau berani berdusta dan menghina ibuku?" jengek Kwe Hu.
Cepat Nyo Ko menyatakan: "Terhadap ibumu" sedikitpun tiada maksudku untuk menistanya, waktu itu tujuanku cuma ingin membikin kedua Bu putus harapan atas dirimu supaya mereka tidak saling membunuh sehingga bicaraku rada2 kelewatan.
" Sejak kecil Kwe Hu dibesarkan bersama kedua saudara Bu, kini mendengar Nyo Ko berdusta dan membikin kedua anak muda itu putus asa terhadap dirinya serta berjanji takkan menemuinya keruan rasa gusarnya tak terperikan.
Dengan suara keras ia bertanya pula: "Baik, urusan ini akan kubereskan nanti dengan kau, sekarang yang penting adalah Moaymoayku, kemana kau membawanya pergi?" "Ya, lekas mengundang ayahmu ke sini, aku justeru hendak membicarakannya dengan beliau," seru Nyo Ko.
"Ayahku sudah keluar kota untuk mencari adikku itu," jawab Kwe Hu.
"Kau ini memang. . . . . memang manusia yang tidak tahu malu, kau hendak menggunakan adikku untuk menukar obat penawar.
Hm, rupanya jiwamu berharga dan jiwa adikku tidak berharga sepeserpun.
" Sejak tadi Nyo Ko memang merasa menyesal dan malu diri karena terlanjur berbuat hal2 yang merusak nama baik Kwe Hu, tapi dituduh hehdak menggunakan anak bayi itu untuk menukar obat baginya, hal ini betapapun dia tak dapat menerima, dengan suara lantang ia berkata: "Dengan tekad bulat aku hendak merebut kembali adik perempuanmu untuk dikembalikan kepada ayah-bundamu, kalau dikatakan hendak kugunakan adikmu untuk menukar obat, hal ini sekali2 tidak pernah timbul dalam pikiranku.
"Habis kemana perginya adik ku?" tanya Kwe Hu.
"Dia telah dibawa lari Li Bok-chiu, aku merasa malu karena tak berhasil merampas nya kembali," tutur Nyo Ko.
"Tapi bila tenagaku sudah pulih dan tidak mati, segera aku akan pergi mencarinya.
" "Hm Li Bok-chiu itu adalah paman gurumu, betul tidak?" jengek Kwe Hu.
"Tadinya kalian sembunyi di satu gua, betul tidak?" "Benar, meski dia adalah paman guruku, tapi selamanya dia tidak akur dengan guruku," jawab Nyo Ko.
"Hm, tidak akur apa?" jengek Kwe Hu.
"Tapi mengapa dia mau menuruti permintaanmu dengan membawa adikku pergi menukar obat bagimu?" Nyo Ko melonjak bangun dengan gusar, katanya "Kau jangan sembarangan omong nona Kwe, meski aku Nyo Ko bukan manusia yang terpuji, tapi sama sekali tiada maksud berbuat begitu.
" "Tiada bermaksud berbuat begitu" Hm, enak saja kau bicara," jawab Kwe Hu.
"Gurumu sendiri yang mengatakan hal itu, memangnya aku yang fitnah dan sembarangan omong?" "Guruku bilang apa lagi?" tanya Nyo Ko.
Serentak Kwe Hu berdiri dan menuding hidung Nyo Ko, katanya: "Gurumu berkata sendiri kepada paman Cu bahwa kau dan Li Bok-chiu sama2 berada di lembah sunyi sana, dia minta paman Cu suka mengantarkan kuda merah milik ayah untuk dipinjamkan padamu agar kau sempat membawa adikku ke Coat-ceng-kok untuk.
. . . " Kaget dan sangsi hati Nyo Ko, cepat memotong: "Benar, memang guruku mempunyai maksud begitu agar aku mengantar adikmu ke sana untuk mendapatkan separoh obat yang masih dipegang Kiu Jian-jio itu, tapi cara ini hanya untuk sementara saja dan takkan membikin susah adikmu.
. . " "Adikku baru lahir sehari dan telah kau serah-kan kepada seorang iblis yang kejam, masakah kau berani mengatakan takkan membikin susah adikku," kata Kwe Hu dengan gusar, "Kau ini bangsat keparat, manusia berhati binatang! Waktu kecilmu kau terluntang-lantung sebatangkara dan cara bagaimana ayah-ibuku telah memperlakukan kau" Kalau ayah ibu tidak memelihara kau hingga besar di Tho-hoa-to masakah kau dapat menjadi seperti sekarang ini" Siapa tahu air susu kau balas dengan air tuba, kau sekongkol dengan musuh dan ketika ayah - ibuku kurang sehat, kau telah menculik adikku.
" Semakin mendamperat semakin beringas nona itu sehingga Nyo Ko sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membantah.
Keruan tidak kepalang gusar dan dongkoInya Nyo Ko, "bliik", saking tak tahan ia terus jatuh pingsan di atas tempat tidur.
Selang agak lama, lambat-laun Nyo Ko siuman kembali, diiihatnya Kwe Hu masih menatapnya dengan muka merengut dan segera mengomeli pula: "Hm, tak tersangka kau masih mempunyai rasa malu, rupanya kaupun tahu kesalahan perbuatanmu yang terkutuk itu.
" Nyo Ko menghela napas panjang, katanya: "Jika aku mempunyai pikiran begitu, mengapa aku tidak membawa adikmu langsung ke Coat-ceng-kok saja.
" Racun dalam tubuhmu kumat dan tak dapat berjalan, makanya kau minta tolong paman gurumu.
" kata Kwe Hu. "Hehe, tapi maksud tujuanmu akhirnya toh gagal, biar kukatakan terus terang, begitu kudengar permintaan gurumu kepada paman Cu, segera kusembunyikan kuda merah itu sehingga muslihat jahat kalian guru dan murid menjadi gagal total.
" "Baik, baik, apa yang kau suka katakan boleh silakan katakan saja, akupun tidak ingin membantah.
" kata Nyo Ko dengan mendongkol "Dan di mana guruku " Ke mana dia?" Muka Kwe Hu tiba2 rada merah, katanya:" Huh, ini namanya gurunya begitu dengan sendirinya muridnya juga begitu, gurumu juga bukan manusia baik2.
" Dengan gusar Nyo Ko melonjak bangun pula dan berkata: "Kau memaki dan menghina aku, mengingat ayah-bundamu, takkan kupersoalkan pada-mu.
Tapi mengapa mencerca guruku?" "Cis, memangnya kalau gurumu kenapa?" semprot Kwe Hu pula.
"Soalnya dia sendiri yang bicara secara tidak senonoh.
" Sudah tentu Nyo Ko tidak percaya Siao-liong-li yang dianggapnya suci bersih dan polos itu dapat mengeluarkan kata2 yang tidak pantas segera ia balas mendengus "Hm, besar kemungkinan pikiranmu sendiri tidak benar, maka ucapan guruku juga kau terima dengan menyimpang.
" Sebenarnya Kwe Hu tidak ingin mengulangi perkataan Siao-liong-li, tapi ia tidak tahan oleh olok2 Nyo Ko itu, tanpa pikir ia terus berkata: "Gurumu bilang padaku: "Nona Kwe, hati Ko-ji sangat baik, hidupnya sebatangkara dan menderita, kau harus meladeni dia dengan baik," Lalu katanya pula: "Kalian memang pasangan yang setimpal suruhlah dia melupakan diriku, sama sekali aku tidak menyalahkan dia.
" Kemudian dia memberikan pula pedangnya padaku, katanya pedang ini bernama Siok-Ii-kiam dan merupakan pasangan dengan Kun-cu-kiam milikmu.
Apalagi namanya kalau perkataannya ini bukan tidak senonoh.
" Setiap mendengarkan suatu kalimat itu, setiap kali perasaan Nyo Ko seperti disayat, pikirannya menjadi bingung, ia tidak tahu mengapa Siao-liong-li mengemukakan ucapan begitu.
Habis Kwe Hu ber-kata, pelahan ia angkat kepalanya, mendadak matanya memancarkan cahaya aneh, bentaknya gusar.
"Kau berdusta, kau penipu.
Mana mungkin guruku berkata begitu" Mana itu Siok-li-kiam" Mana" jika tak dapat kau perlihatkan, maka jelas kau berdusta?" Kwe Hu mendengus, mendadak sebelah tangan mengeluarkan sebatang pedang dari belakang punggungnya, pedang itu hitam mulus, jelas itulah Siok li kiam yang diperoleh di Coat-ceng-kok itu" Tidak kepalang rasa kecewa Nyo Ko, bicaranya sudah tanpa pikir lagi, segera ia berteriak: "Siapa ingin menjadi pasangan setimpal dengan kau" Kun-cu-kiamku sudah patah, Pedang ini memang betul milik guruku, pasti kau mencurinya, ya, kau mencurinya ya, kau mencurinya!" Sudah sejak kecil Kwe Hu sangat dimanjakan, sekalipun ayah-bundanya juga mau mengalah padanya, apalagi kedua saudara Bu, mereka munduk2 belaka terhadap si nona, sekarang Nyo Ko bicara sekasar ini padanya, tentu saja ia tidak tahan.
Apalagi nada ucapan Nyo Ko itu se-akan2 menuduh-nya sengaja mengarang ucapan Siao-liong-li itu agar si Nyo Ko mau menjadi pasangannya dan si Nyo Ko justeru tidak sudi.
BegituIah segera Kwe Hu pegang pedangnya, dia bermaksud meloiosnya terus menabas, tapi segera timbul keinginannyaakan membikin panas hati Nyo Ko, ia tahu anak muda itu sangat menghormat dan mencintai gurunya, kalau kejadian ini diceritakannya pasti anak muda itu akan marah setengah mati.
. . Dalam keadaan murka sama sekali Kwe Hu tidak menimbang lagi bagaimana akibatnya jika dia menguraikan apa yang hendak dikatakannya itu.
Segera ia masukkan kembali pedang yang sudah hampir ditotoknya tadi, lalu berduduk dan berkata dengan tertawa dingin: "Ya, gurumu memang cantik dan tinggi pula ilmu silatnya, sungguh wanita yang jarang ada bandingannya di dunia ini, Cuma saja, ada sesuatu yang tidak beres.
" "Sesuatu apa yang tidak beres?" tanya Nyo Ko, "cuma kelakuannya tidak beres, suka bergaul secara sembunyi2 dengan kaum Tosu Coan-cin-kau," tutur Kwe Hu.
Dengan gusar Nyo Ko menyanggah: "Guruku bermusuhan dengan Coan-cin-kau, mana mungkin berhubungan secara gelap dengan mereka?" Kalimat bergaul secara sembunyi yang kukatakan ini sesungguhnya masih terlalu sopan, malahan ada lainnya lagi yang tidak pantas diucapkan anak perempuan seperti diriku ini" kata Kwe Hu pula dengan tertawa dingin.
Nyo Ko tambah gusar, teriaknya: "Guruku suci bersih, jika kau sembarangan omong lagi, awal kalau mulutmu tidak kuremas.
" Akan tetapi Kwe Hu tetap dingin2 saja dan berkata: "Ya, dia berani berbuat, aku yang berani mengatakan Huh, bagus amat nona yang suci bersih, tapi bergaul dengan seorang Tosu busuk.
" . "Apa katamu?" hardik Nyo Ko dengan muka merah padam.
"Aku mendengar dengan telingaku sendiri, masakah bisa keliru?" kata Kwe Hu pu!a, "Enam orang Tosu Coan-cin-kau berkunjung kepada ayahku, tatkala mana dalam kota sedang kacau menghadapi serangan musuh, ayah ibu kurang sehat dan tidak dapat menemui mereka, maka akulah yang menyambut tetamunya.
. . . " "Lantas bagaimana?" bentak Nyo Ko pula dengan gusar.
Melihat mata anak muda itu melotot merah, otot hijau sama menonjol di dahinya, Kwe Hu bergirang karena tujuannya tercapai, dengan ber-seri2 ia berkata pula: "Kedua Tosu itu masing2 bernama Tio Ci-keng dan In Cipeng, ada tidak Tosu Coan -cinkau yang bernama begitu?" "Kalau ada lantas bagaimana?" bentak Nyo-Ko pula.
Dengan tersenyum Kwe Hu menyambangi "Setelah kuatur pondokan untuk mereka, lalu aku tidak mengurus mereka lagi, Siapa duga tengah malam seorang murid Kay pang melapor padaku, katanya kedua Tosu itu sedang bertengkar sendiri di dalam kamar.
" Nyo Ko mendengus sekali, ia pikir Ci-keng dan Gi-peng memangnya tidak akur satu sama lain, bahwa mereka bertengkar kenapa mesti diherankan" Dalam pada itu Kwe Hu sedang menutur pula: "Karena ingin tahu, diam2 aku mendekati jendela kamar mereka, kulihat mereka tidak berkelahi lagi, tapi masih ribut mulut.
Orang she Tio bilang orang she In, berbuat begini dan begitu dengan gurumu, sedangkan Tosu she In itu tidak menyangkal hanya menyesalkan temannya itu tidak seharusnya bergembar-gembor.
. . " Mendadak Nyo Ko berbangkit dan duduk di tepi tempat tidur sambil membentak: "Berbuat begini dan begitu apa maksudmu?" Muka Kwe Hu tampak merah, sikapnya rada kikuk untuk menjawab, katanya kemudian: "Mana aku tahu" Yang pasti masakah, perbuatan yang baik" Apa yang dilakukan guru kesayanganmu itu hanya dia sendiri yang tahu.
" Nadanya penuh mengandung perasaan jijik dan menghina.
Saking gusar dan gugupnya, pikiran Nyo Ko menjadi kacau, tanpa pikir sebelah tangannya terus menampar, "plok", dengan tepat pipi Kwe Hu kena ditempeleng.
Dalam keadaan gusar, pukulan Nyo Ko itu cukup keras, keruan mata Kwe Hu ber-kunang2 dan sebelah pipinya lantas bengkak, kalau saja Nyo Ko tidak habis sakit, mungkin giginya rontok digampar oleh anak muda itu.
Selama hidup Kwe Hu mana pernah terhina secara begitu" sesungguhnya dia tidak tahu bahwa Siao-liong-li adalah satu2nya orang yang paliug dihormati dan dicintai Nyo Ko, mencemar nama baik Siao-liong-li adalah melebihi dia ditusuk pedang tiga kali.
Tapi Kwe Hu juga seorang nona yang tidak pikir apalagi jika sudah murka, segera dia melolos Siok-li-kiam terus menusuk ke leher Nyo Ko.
Habis menampar Kwe Hu, Nyo Ko pikir persoalan ini pasti sukar diselesaikan, nona ini adalah puteri kesayangan paman dan bibi Kwe, seumpama mereka tidak menyalahkan dia, rasanya juga tidak betah tinggal lebih lama di kota ini.
Karena ia lantas turun hendak memakai sepatu dan ketika itulah dilihatnya pedang Kwe Hu menusuk tiba, Sambil mendengus sebelah tangan Nyo Ko meraih dan tangan yang lain terus menutuk dan memegang, dengan mudah saja Siok-Ii-kiam itu dapat direbutnya.
Ber-turut2 kecundang, Kwe Hu tambah murka" dilihatnya di atas ranjang ada pula sebatang pedang, ia terus menubruk maju dan merampasnya, segera pedang itu dilolosnya terus ditabaskan ke kepala Nyo Ko.
Seketika pandangan Nyo Ko menjadi silau tidak kepalang kagetnya melihat nona itu menabas-nya dengan Ci-wi-kiam, ia tidak berani merebutnya dengan tangan, sebisanya ia angkat Siok- li-kiam untuk menangkis.
Tak terduga karena dia habis sakit selama tujuh hari, tenaga belum pulih, baru saja Siok li kiam terangkat sedikit segera lengannya tidak sanggup terangkat lebih tinggi lagi.
Sementara itu tabasan pedang Kwe Hu sudah tiba, "Trang", kedua pedang beradu, Sioklikiam kutung menjadi dua.
Kwe Hu sendiri terkejut, sama sekali tak disangkanya Ci-wi-kiam itu begitu lihay.
Dalam keadaan unggul dan dendam atas tamparan Nyo Ko tadi.
Kwe Hu pikir biarpun kubunuh kau juga rasanya ayah-ibu takkan menyalahkan aku mengingat jiwa adikku juga dicelakai olehmu, Ketika itu kaki Nyo Ko juga terasa lemas dan jatuh terduduk di lantai tanpa bisa melawan lagi, hanya tangan kanan saja yang terangkat di depan dada untuk menjaga diri, tapi sorot matanya sama sekali tiada menampilkan keinginan mohon dikasihani Kwe Hu menjadi gemas, segera pedangnya ditabaskan lebih ke bawah lagi.
. . . Bagaimana akibat dari tabasan pedang Kwe Hu itu merupakan kunci utama cerita ini maka untuk sementara ini kita tinggalkan dahulu, Marilah kita kembali dulu pada Siao-liong-li ketika dia menunggang kuda merah menyusul Nyo Ko dan Kim-lun Hoat-ong, tapi dia telah kesasar ke jurusan yang lain.
Kuda merah itu teramat cepat jarinya, sekejap sudah belasan li jauhnya, ketika dia putar balik, sementara itu Nyo Ko sudah menghilang di lembah pegunungan itu.
Tanpa kenal lelah Siao-liong-li terus mencari di sekitar Siangyang, Sampai tengah malam barulah ia mendengar suara raung tangis Bu Sam-thong di kejauhan.
Cepat Siaoliong-li mencari ke arah datangnya suara, tidak lama dapatlah didengarnya suara pertempuran kedua saudara Bu, menyusul terdengar pula suara bicara Nyo Ko.
Tentu saja ia girang, ia kuatir Nyo Ko ketemukan musuh tangguh, maka ia ingin membantunya secara diam2 saja, segera ia turun dari kudanya, ia tambat kuda merah itu pada sebatang pohon, lalu merunduk ke sana dan sembunyi di balik sepotong batu padas untuk mengintip cara bagaimana Nyo Ko menghadapi musuh.
Celakanya yang terdengar adalah ucapan Nyo Ko yang ber-ulang2 menyatakan sudah dijodohkan dengan Kwe Hu, nona itu disebutnya sebagai bakal isterinya, Kwe Cing dan Ui Yong dipanggilnya ayah dan ibu mertua.
Didengarnya pula Nyo Ko mengaku menerima ajaran ilmu silat secara diam2 dari Ui Yong, dilihatnya pula Nyo Ko sangat marah kepada kedua saudara Bu, serta melarang kedua anak muda itu kemudian menyebut nama Kwe Hu.
Begitulah setiap Nyo Ko mengucapkan hal itu, setiap kali pula Siao liong-Ii seperti disambar petir, pikirannya menjadi kacau, dunia mendadak dirasakan seperti sudah kiamat.
Kalau orang lain, tentu akan timbul rasa sangsinya melihat kata dan perbuatan Nyo Ko itu sama berbeda, namun Siao-liong li memang orang yang lugu, hatinya bersih, pikirannya sederhana, sedikitpun tidak paham seluk beluk kepalsuan kehidupan manusia.
Biasanya Nyo Ko juga tidak pernah membual sedikitpun padanya sekalipun terhadap orang lain anak muda itu memang suka juga, sebab itulah Siao-liong-li menaruh kepercayaan penuh terhadap apa yang diucapkan Nyo Ko.
Begitulah ketika melihat kedua Bu cilik bukan tandingan NyoKo, Siao-liong-Ii yang sedang berduka dan menyesali nasibnya itu tanpa terasa mengeluarkan suara tarikan napas panjang sebagaimana yang didengar oleh Nyo Ko itu sehingga dia hampir saja berseru memanggilnya.
Pada saat itu juga Siao-liong-li lantas pergi dengan berlinangan air mata.
Sambil menuntun kuda merah itu Siao-liong-li berkeliaran semalaman di ladang sunyi itu, pikirannya kacau dan bingung.
Usianya sudah lebih 20 tahun, tapi selama hidupnya berdiam di dalam kuburan kuno itu, seluk-beluk kehidupan manusia sedikitpun tidak dipahaminya, hakekatnya jalan pikirannya masih polos dan bersih seperti anak kecil.
ia pikir: "Nyo Ko sudah terikat jodoh dengan nona Kwe, dengan sendirinya tak dapat menikahi diriku lagi.
Pantas Kwe-tayhiap suami-isteri ber-ulang2 merintangi hasrat Ko-ji yang ingin menikahi aku, Bahwa selama ini Ko-ji tidak memberitahukan padaku tentang ikatannya dengan nona Kwe, tentunya karena dia kuatir aku akan berduka, Ai dia memang sangat baik padaku.
" Begitulah lantaran dia juga mencintai Nyo Ko, walaupun dengan mata telinga sendiri mendengar anak muda itu mengatakan hendak menikah dengan Kwe Hu, namun ia tidak dendam sedikitpun kepada anak muda itu, ia hanya berduka dan menyesali nasibnya sendiri Malahan lantas terpikir lagi olehnya: "Sebabnya Ko-ji tidak cepat2 membunuh Kwetayhiap untuk membalas sakit hati kematian ayahnya, kiranya persoalan nona Kwe inilah yang membuatnya bimbang, jika begitu tampaknya dia juga sangat baik kepada nona Kwe.
Kalau sekarang kuberikan kuda merah ini padanya, bisa jadi dia akan teringat lagi kepada kebaikanku dan perjodohannya dengan nona Kwe mungkin akan terganggu lagi.
Rasanya lebih baik kupulang sendirian saja ke kuburan kuno itu, dunia yang fana ini cuma membikin kacau dan membingungkan pikiranku saja.
" Setelah berpikir pula, akhirnya ia membulatkan tekad, meski hatinya terasa di-sayat2, cintanya kepada Nyo Ko terasa berat sekali untuk diputuskan, tapi terpikir pula olehnya menyelamatkan jiwa anak muda itu terlebih penting.
Karena itulah malam itu juga dia pulang ke Siangyang dan minta pertolongan Cu Cu-liu agar suka mengantarkan kuda merah kepada Nyo Ko yang masih berada di lembah sunyi itu.
Waktu itu Siangyang belum tenang kembali, Kwe Cing serta Ui Yong belum sehat pula, maka tugas pertahanan kota diurus oleh Loh Yu-kah dibantu oleh Cu Cu-liu.
Di tengah kemelut itulah Siao-liong-li membawa kuda merah datang pada Cu Cu-liu dan minta bantuannya mengantar kuda itu kepada Nyo Ko agar anak muda itu lekas pergi ke Coatcengkok dan menukar obat penawar dengan bayi yang baru dilahirkan Ui Yong.
Sudah tentu Cu Cu-liu merasa bingung oleh penuturan yang tak diketahui awal mulanya itu, la, coba bertanya lebih jelas, tapi Siao liong li sendiri sedang kesal dan tidak ingin banyak bicara, dia hanya mendesak Cu Cu-liu lekas berangkat, katanya kalau terlambat bisa jadi jiwa Nyo Ko akan melayang.
Sama sekali Siao-liong-li tidak pedulikan bahwa waktu itu Kwe Hu juga berada di sebelah Cu Cu-liu, ia pikir adikmu itu dibawa sementara ke Coat-ceng-kok, tentu tidak beralangan, apalagi demi menyelamatkan jiwa bakal suamimu.
Biasanya Siao-Iiong-li dapat menguasai perasaanya, suka atau duka jarang dipikirkan olehnya, tapi sejak jatuh cinta kepada Nyo Ko, segala ilmu menguasai perasaan sendiri yang dilatihnya sejak kecil hampir tak dapat digunakan lagi, guncangan perasaannya bahkan jauh lebih hebat daripada orang biasa.
Maka sesudah memberi pesan kepada Cu Cu liu lantaran beberapa kali menyebut nama Nyo Ko, tanpa terasa air matanya lantas bercucuran, cepat ia lari kembali kekamar sendiri dan menangis sedih di tempat tidur.
Biarpun Cu Cu-liu adalah seorang cerdik pandai, tapi lantaran tidak tahu seluk-beluknya persoalan, uraian Siao-Iiong-li yang tak keruan juntrungannya itu membuatnya bingung.
Tapi ingat bahwa kalau terlambat bisa jadi jiwa Nyo Ko akan melayang", ia pikir terpaksa harus cepat ke lembah itu dan bertindak menurut keadaan di sana.
Tetapi ketika dia mau berangkat ternyata kuda merah yang dibawakan Siao-liong-Ii itu sudah hilang, waktu ditanyakan penjaga, katanya nona Kwe yang membawanya pergi.
Ketika Kwe Hu dicari bayangan nona itupun tak dapat diketemukan.
Karena menguatirkan keselamatan Nyo Ko, terpaksa Cu Cu-liu menunggang kuda lain dan membawa belasan anggota Kay-pang menuju ke lembah yang ditunjuk Siao-liong-li itu.
Di situ dilihatnya Nyo Ko dan ayah beranak keluarga Bu itu sama menggeletak tak bisa berkutik.
Cepat mereka dibawa pulang ke Siangyang dan kebetulan paman gurunya, yaitu si paderi Hindu datang dari negeri Tayli, paderi inilah yang menyadarkan Nyo Ko dan lain2.
Begitulah Siao-liong-li terus menangis di kamarnya, makin dipikir makin sedih, air matapun sukar dibendung lagi sehingga membasahi baju dan tempat tidurnya, ia bermaksud mengambil saputangan untuk mengusap air mata, tiba2 tangannya menyentuh Siok-li-kiam yang terselip di tali pinggangnya.
Tiba2 timbul pikirannya akan memberikan pedang itu kepada Kwe Hu agar nona itu dan Nyo Ko benar2 menjadi suatu pasangan yang setimpal.
Maklumlah, Siao-liong-li teramat cinta kepada Nyo Ko, segala apa yang bermanfaat bagi anak muda itu rela dilakukannya Karena itulah ia lantas menuju ke kamar Kwe Hu.
Tatkala itu sudah lewat tengah malam, Kwe Hu sudah tidur, Tanpa mcngetok pintu segala segera Siao-liong-ii membuka daun jendela dan melompat masuk ke kamar serta membangunkan Kwe Hu serta mengatakan "kalian memang pasangan setimpal sebagaimana diuraikan kembali oleh Kwe Hu kepada Nyo Ko itu.
setelah menyerahkan Siok-li-kiam kepada Kwe Hu segeru Siao-liong-li tinggal pergi.
Sudah tentu Kwe Hu ter-heran2 dan bertanya apa yang dimaksud, Namun Siao-Iiong li tidak menjawab terus melompat keluar jendela pula.
"Kembalilah, Liong-kokoh!" cepat Kwe Hu teriaknya sambil melongok keluar, tapi terlihat Siao-liong-li sudah melangkah pergi tanpa berpaling pula.
Dengan menunduk kepala menahan rasa sedih Siao-liong-li masuk ke taman bunga, bau bunga mawar yang sedang mekar mewangi mengingatkan dia ketika bersama Nyo Ko berlatih Giok-li-sim-keng diseling oleh semak2 bunga dahulu.
Untuk berkumpul lagi seperti dahulu itu rasanya sukar terjadi lagi.
Selagi melayang pikirannya, tiba2 dari pojok rumah di sebelah kiri sana ada seorang sedang ber-kata: "Kau sebentar2 mengucap Siao-liong-li, apakah kau tidak dapat berhenti menyebutnya?" Keruan Siao-liong-li terkejut, ia heran siapakah yang selalu menyebut namaku" Segera ia berhenti di situ untuk mendengarkan lebih cermat.
Segera terdengar pula suara seorang lain tertawa mengejek dan berkata: "Kau sendiri boleh berbuat, masakah aku tidak boleh menyebutnya?" Terdengar orang- pertama tadi -menjawab: "lni adalah rumah orang lain, mata telinga teramat banyak kalau didengar orang lain, ke mana lagi nama baik Coan-cin-kau kita akan ditaruh?" "Hehe, ternyata kau masih ingat kepada nama baik Coan-cin-kau kita?" jengek pula orang kedui tadi, "Hehe, malam itu di tepi semak bunga mawar di Cong-lam-san, rasa nikmat naik surga itu .
. . . Wah, hahahaha!" Sampai disini ia hanya terkekeh2 saja dan tidak melanjutkan.
Siao-liong-Ii tambah kaget dan sangat curiga, ia pikir apakah mungkin malam itu waktu Ko-ji melaksanakan cintanya padaku telah dapat diintip oleh kedua Tosu ini" Dari suara kedua orang itu Siao-liong-li sudah tahu mereka adalah In Ci-peng dan Tio Ci-keng.
Maka diam2 ia mendekati jendela rumah itu dan berjongkok di situ untuk mendengarkan lebih Ianjut.
Sementara itu suara bicara kedua orang itu berubah menjadi lirih, tapi jarak Siao-liong-li sekarang sangat dekat, pendengarannya tajam pula, biarpun kedua orang bisik2 cara bicaranya juga dapat didengarnya dengan jelas.
Terdengar Ci-peng lagi berkata: "Tio-suheng, setiap hari siang dan malam kau selalu menyiksa aku, sebenarnya apa tujuanmu?" "Kau sendiri paham, masakah perlu kuterangkan?" jawab Ci-keng.
"Apa yang kau kehendaki dariku telah kusanggupi aku cuma memohon urusan ini jangan kau sebut lagi, tapi makin lama makin sering kau mengungkatnya, apakah sengaja hendak menyiksa aku sampai mati seketika di depanmu sini?" "Hm, akupun tidak tahu, yang jelas aku tidak tahan dan harus kuucapkan," jengek Ci-keng pula.
Mendadak In Ci-peng perkeras suaranya dan berkata: "Hm, memangnya kau kira aku tidak tahu" Yang benar kau cemburu, kau cemburu padaku pada saat menikmati surga dunia itu.
" Ucapan Ci-peng ini sangat aneh, Ci-keng ternyata tidak menjawab seperti hendak mengejek, tapi tak terucapkan.
Selang sebentar kembali Ci-peng bicara lagi: "Ya, memang benar, malam itu di balik semak2 bunga mawar itu dia tak bisa berkutik karena Hiat-to tertutuk oleh Auyang Hong sehingga cita2ku dapat terpenuhi.
Ya, tidak perlu aku menyangkal didepanmu, andaikan tak kukatakan padamu juga kau takkan tahu, betul tidak" Karena sudah terlanjur kuberitahukan padamu, lalu kau terus menerus menggoda aku dan menyiksa pikiranku.
Akan tetapi, akan tetapi aku tidak menyesal, tidak, sedikitpun tidak menyesal.
. . . " sampai akhirnya suaranya berubah menjadi halus dan lembut se-akan2 orang sedang mengingat.
Sambil mendengarkan hati Siao-liong-li serasa mendelung ke bawah, otaknya serasa mengingat "Masakah dia dan bukan Ko-ji yang kucintai itu" Tidak, tidak mungkin pasti Ko-ji adanya, dia berdusta, dusta!" Terdengar Ci-keng berkata pula dengan suara kaku dingin: "Ya, dengan sendirinya kau tidak menyesal sedikitpun, sebenarnya kau tidak perlu katakan padaku, akan tetapi saking senangnya karena kau telah melakukan hal itu dan merasa perlu diutarakan pada seseorang.
Nah, karena itu akupun membicarakan hal itu padamu setiap hari, setiap saat aku mengingatkanmu, tapi mengapa kau menjadi takut mendengarnya?" Mendadak terdengar suara "blang-blung" beberapa kali, kiranya Ci-peng mem-bentur2kan kepala sendiri pada tembok, lalu berkata: "Baiklah, bicaralah, bicara lagi agar setiap orang di dunia ini tahu semua, akupun tidak takut.
. . . tidak. . . tidak. . . " "O, Tio-suheng, aoa yang kau inginkan dariku sudah kusanggupi, yang kumohon sukalah kau jangan mengungkapnya lagi.
" Dalam waktu yang singkat saja ber-turut2 Siao-liong-li mendengar dua pertanyaan yang membuat hancur hatinya, seketika dia berdiri ter-mangu2 di luar jendela, meski dapat mendengar jelas pembicaraan Ci-peng dan Ci-keng itu, tapi arti percakapan mereka itu seketika sukar dipahami.
Sementara terdengar Ci-keng lagi berkata dengan tertawa: "Orang beragama seperti kita ini sekali kejeblos harus dapat mengendalikan diri agar bisa kembali kearah yang terang, bahwa senantiasa aku mengingatkanmu akan nama Siao-liong-li supayai kau menjadi biasa mendengarnya dan kemudian menjadi jemu, dari jemu menjadi benci, ini kan maksud baikku untuk menyelamatkanmu dari jalan tersesat.
" "Dia adalah jelmaan bidadari manabisa kujemu dan benci padanya?" ujar Cipeng, Habis ini mendadak suaranya berubah keras: "Hm, tidak perlu kau bicara muluk2, pikiranmu yang keji dan berbisa masakah aku tidak tahu" Yang benar adalah kau iri kepadaku, kedua karena kau dendam pada Nyo Ko, kau ingin mengungkapkan peristiwa ini untuk menghancurkan kehidupan mereka guru dan murid, menyesal selama hidup.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Hati Siao-liong-li berdetak keras demi mendengar nama Nyo Ko disebut, tanpa terasa iapun menggumam pelahan nama anak muda itu dan timbul semacam perasaan bahagia yang tak terhingga, dia berharap kedua Tosu akan terus membicarakan si INyo Ko, asal ada orang menyebut nama anak muda itu maka gembiralan hatinya.
Terdengar Ci-keng juga perkeras suaranya dan berkata dengan gemas: "Hm, kalau aku tak dapat membikin anak jadah itu sekarat, hm, rasanya tak terlampias dendamku ini.
Cuma. . cuma. . . " "Cuma ilmu silatnya teramat tinggi dan kita bukan tandingannya begitu bukan?" jengek Ci peng.
"ltuIah belum pasti," kata Ci - keng.
"Sedikit ilmu silat golongannya yang liar itu kenapa mesti di-herankan" In-sute, boleh kau lihat saja.
suatu ketika kalau dia kepergok olehku, hm, tentu dia akan tahu rasa, tidak nanti kubiarkan dia mati dengan enak saja, kalau bukan kedua biji matanya tentu akan kukutungi kedua tangannya agar mati tidak hidup tidak, tatkala mana nonamu si Siao-liong-li itu boleh menyaksikannya supaya senang hatinya.
" Siao-liong-li bergidik mendengar itu, kalau waktu biasa tentu dia sudah menerjang ke situ dan menghabisi jiwa kedua orang itu, tapi sekarang pikirannya lagi bingung, kaki tangan terasa lemas tak bertenaga.
. Sementara itu In Ci-peng sedang mendengus "Hm, kau cuma mimpi kosong belaka, ilmu silat golongan kita rasanya sukar menandingi ilmu silat golongan liar macam mereka itu.
" "Keparat, kau ada main dengan Siao-liong-li, lantas ilmu silatnya juga kan puji setinggi langit," damperat Cikeng.
Rupanya Ci-peng sudah kenyang dihina selama ini, sekarang iapun tidak tahan lagi, segera ia balas membentak: "Apa katamu" Kau punya perasaan tidak, jadi manusia harus tahu batas2 tertentu.
" Ci-keng merasa titik kelemahan orang sudah tergenggam dalam tangannya, asalkan hal itu di-umumkan di Tiong-yang-kiong, akibatnya In Ci-peng pasti akan dijatuhi hukuman mati, sebab itulah dia menghina In Ci-peng dengan segala macam cara dan selama ini Ci-peng tak berani melawan Sedikitpun.
Tapi sekarang Ci-peng ternyata berani melawannya dengan kata2 kasar, ia menjadi gusar, mendadak ia melangkah maju terus menggampar.
Ci-peng tidak menduga sang Suheng akan meng-hantamnya, cepat ia menunduk, "plok", dengan tepat kuduknya yang kena tampar.
Betapapun Ci-keng adalah jago kelas satu dari Coan-cin-kau angkatan ketiga, tentu saja pukulanya itu cukup berat, tubuh Ci-peng sempoyongan dan hampir jatuh terjerungkup.
Saking gemasnya ia cabut pedang dan balas menusuk.
Tapi Ci-keng sempat mengegos ke samping dan mengejek: "Bagus, ternyata kau berani bergebrak dengan aku.
" Segera iapun mencabut pedangnya dan balas menyerang.
"Setiap hari kau menyiksa aku, paling2 juga cuma mati, biarlah sekarang kau bunuh aku saja dan bereslah segalanya," ucap Ci peng dengan geram.
Habis itu ia terus melancarkan serangan, Dia adalah murid tertua Khu Ju-ki, kepandaiannya dengan Tio Ci-keng tidak berbeda banyak, apa yang mereka pelajari juga sama, maka sebenarnya sukar dibedakan unggul dan asot.
Tapi lantaran dendamnya sudah menumpuk, yang diharapkan sekarang biarlah mati bersama saja.
Akan tetapi Ci-keng mempunyai perhitungan lain, dia tidak mau mencelakai jiwa Ci-peng, sebab itulah setelah dua-tiga puluh gebrakan, akhirnya Ci-keng sendiri malah terdesak ke pojok kamar.
Dengan sendirinya suara pertengkaran kedua Tosu itu segera diketahui anggota Kay-pang yang dinas jaga dan cepat pula dilaporkan kepada Kwe Hu.
Lekas2 nona itu mendatangi tempat itu, dilihatnya Siao-liong-li berdiri di luar jendela, ia lantas menyapanya: "Liong-Kokoh!" Siao liong-Ii berdiri ter-mangu2 saja di situ seperti tidak mendengar teguran Kwe Hu itu.
Tentu saja Kwe Hu heran, iapun tidak lantas masuk ke rumah itu melainkan ikut berdiri di situ, maka terdengarlah suara olok2 dan sindiran kasar Ci keng sambil menangkis serangan Ci-peng, setiap ucapannya semuanya menyangkut diri Siao-liong-li.
Sebagai nona muda yang sopan, Kwe Hu merasa tidak pantas berdiri di situ mendengarkan kata2 kotor kedua orang yang bertempur di dalam rumah itu, segera ia bermaksud tinggal pergi saja.
Tapi dilihatnya Siao-liong-li tetap berdiri terkesima, kata2 kotor kedua orang itu se-akan2 tak dihiraukan-nya sama sekali, Kwe Hu menjadi heran, ia coba tanya dengan suara pelahan: "Apakah betul apa yang mereka katakan itu?" "Aku.
. . akupun tidak tahu. " jawab Siao-liong-li dengan bingung, "Tampaknya memang begitu.
" . Seketika timbul perasaan menghina dalam hati Kwe Hu, ia mendengus sekali terus tinggal pergi tanpa bicara lagi.
Ci-peng dan Ci-keng tergolong jago silat pilihan, meski dalam pertempuran sengit selera mereka mendengar ada suara orang bicara diluar, "Trang" begitu kedua pedang beradu terus ditariknya kembali bersama dan serentak bertanya: "Siapa itu?" "Aku," jawab Siao-liong-li.
Seketika seluruh badan Ci-peng merinding, ia menegas dengan suara gemetar "Kau" Kau siapa?" "Siao-liong-li!" Begitu nama ini diucapkan, bukan saja In Ci-peng terkesima seperti patung, bahkan Ci-keng juga kaget setengah mati dan menggigil ketakutan.
Dengan mata kepala sendiri Ci-keng menyaksikan betapa Siao-liong-li telah mengobrak-abrik Tiong-yang-kiong, sampai paman gurunya yang lihay seperti Hek Tay-thong juga kalah dan hampir saja mati bunuh diri.
Sama sekali ia tak menduga bahwa Siao-liong-li juga berada di Siangyang, ia pikir ucapannya sendiri tadi besar kemungkinan telah didengar semua oleh si nona.
Seketika ia menjadi ketakutan setengah mati dan entah cara bagaimana harus melarikan diri.
Perasaan In Ci-peng aneh luar biasa sehingga tak terpikir olehnya akan menyelamatkan diri, sebaliknya ia terus membuka daun jendela, Dilihatnya di situ berdiri seorang perempuan jelita berbaju putih, siapa lagi kalau bukan Siao-liong-li yang dirindukannya siang dan malam itu.
"Kau. . . . kau" Ci-peng menegas dengan melongok "Benar, aku.
" jawab Siao-liong-li.
"Apa yang kalian katakan tadi apakah betul seluruhnya?" "Be.
. . . betul" Ci-peng mengangguk, "Boleh kau bunuh saja diriku!" Habis berkata ia terus menyodorkan pedangnya keluar jendela.
Sorot mata Siao-liong li memancarkan sinar yang aneh, hatinya pedih dan pilu tak terperikan, begitu sedih dan begitu gemas, rasanya biarpun membunuh seratus orang atau seribu orang juga dirinya bukan lagi seorang nona yang suci bersih dan tak dapat lagi mencintai Nyo Ko secara mendalam seperti dahulu.
Ketika Ci-peng menyodorkan pedangnya, Siao-liong-li tidak menerimanya, ia hanya pandang kedua Tosu itu dengan bingung.
Ci-keng melihat kesempatan baik, ia pikir perempuan ini dalam keadaan kurang waras, mungkin sudak gila, kalau sekarang tidak lekas kabur hendak tunggu kapan lagi" Maka cepat ia tarik Ci-peng dan berkata dengan menyeringai: "Lekas pergi saja, tampaknya dia merasa berat untuk membunuh kau-" Habis berkata ia menarik Ci-peng sekuatnya dan berlari keluar pintu sana.
Ci-peng menjadi linglung melihat wajah Siao-liong-Ii, seluruh badan terasa lemas tak bertenaga, karena tarikan Ci-keng itu ia menjadi ter-huyung2 dan ikut berlari keluar.
Cepat Ci-keng mengeluarkan Ginkangnya untuk berlari cepat, semula Ci-peng ditarik oteh Ci-keng tapi segera iapun dapat mengeluarkan Ginkang sendiri.
Kedua adalah jagoan Coan-cin-pay angkatan ke tiga, maka lari mereka ini sungguh cepat melebihi lari kuda, mereka menyusur kian kemari di jalan2 dalam kota, sebentar saja mereka sudah sampai di pintu gerbang sebelah timur.
Di pintu gerbang itu ada penjaga belasan anggota Kay-pang dan dua regu perajurit, anggota Kay-pang yang menjadi pemimpin kenal pada Ci-keng dan Ci-peng sebagai Tosu dari Coan - cin - pay, bicara tentang kedudukan kedua Tosu itu terhitung Suheng Kwe Cing, maka demi mendengar Ci-keng bilang ada urusan penting harus keluar benteng, kebetulan waktu ku tiada serangan dari pasukan musuh, maka cepat diperintahkan membuka pintu benteng.
Begitu pintu gerbang baru terbuka sedikit, cepat sekali Ci-keng lantas melompat keluar disusul oleh Ci-peng, Selagi orang Kay-pang itu memuji kehebatan Ginkang kedua Tosu itu, mendadak sesosok bayangan putih berkelebat keluar benteng pula, dengan terkejut ia membentak: "Siapa itu?" Namun bayangan orang itu sudah lenyap, waktu ia melongok keluar benteng, karena fajar baru menyingsing, belasan meter di depan masih remang2 tertutup oleh kabut, maka tiada sesuatupun yang kelihatan.
Diam2 anggota Kay-pang itu mengomel.
Ia pikir barangkali matanya sendiri yang mulai lamur sehingga pandangannya kabur.
Ci-keng berdua masih terus berlari hingga belasan li jauhnya baru berani melambatkan lari mereka.
Dengan kuatir dan bersyukur pula Ci-keng mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya sambil menggumam: "Wah, bahaya, sungguh bahaya!" Tapi waktu ia berpaling ke belakang, tanpa terasa kakinya menjadi lemas, hampir saja jatuh ter-jungkal.
Kiranya tidak jauh di belakangnya itu sudah berdiri seorang perempuan muda berbaju putih dan sedang memandangnya dengan melenggong, siapa lagi dia kalau bukan Siau-liong-li.
Sungguh kaget Ci-keng tak terperikan, ia menjerit satu kali dan segera menarik tangan Ci-peng untuk diajak lari pula, Sungguh tak tersangka olehnya bahwa Siao-liong-li yang dikiranya sudah jauh ditinggalkan di kota Siangyang sana tahu2 masih mengintil dibelakangnya, cuma cara berjalan nona itu tidak bersuara, meski mengintil dalam jarak dekat juga tidak diketahuinya.
Sekaligus ia berlari agak jauh barulah dia coba menoleh ke belakang, dilihatnya Siao-liong li menguntit di belakang dalam jarak tetap, seperti tadi.
Dengan pikiran bingung dan takut Ci-keng segera "tancap gas" lebih kencang sambil menyeret Ci-peng.
Dia tidak berani lagi sering2 menoleh, sebab setiap kali memandang kebelakang, setiap kali pula hatinya bertambah takut, lambat-laun kakinya mulai lemas, rasanya tangan yang memegangi lengan Ci-peng mulai tak bertenaga lagi.
"ln-sute," katanya kemudian, "kalau sekarang dia mau membunuh kita boleh dikatakan sangat mudah, tapi dia tidak melakukan hal ini, kukira dia pasti mempunyai maksud tertentu.
" "Maksud tertentu apa?" tanya Ci-peng.
. , "Kukira dia ingin menawan kita, lalu membongkar perbuatanmu yang kotor itu di depan para ksatria agar nama baik Coan-cin-pay akan runtuh habis2an.
" Hati Ci-peng terkesiap, terhadap mati-hidupnya sendiri sebenarnya tak terpikir lagi olehnya, kalau saja Siao-liong-li akan membunuhnya pasti dia takkan melawan, tapi jika mengenai nama baik Coan-cin-pay, betapapun ia harus membelanya mati2an, apalagi jika runtuhnya kehormatan Coan-cin pay itu disebabkan oleh perbuatannya.
Teringat alasan ini dia menjadi kuatir juga, segera larinya bertambah cepat mendampingi Ci-keng.
Kedua orang berlari ke daerah yang sunyi dan sukar dicapai orang lain, terkadang mereka menoleh, tapi Siao-liong-Ii selalu berada dalam jarak puluhan meter di belakang, Dengan Ginkang Ko-bong-pay yang tiada tandingannya itu, kalau mau sebenarnya dengan mudah Siao-liong-li dapat melampaui kedua buruannya.
Cuma dia memang masih polos, jalan pikirannya sederhana, menghadapi persoalan maha besar ini dia menjadi bingung dan tidak tahu cara bagaimana harus bertindak.
Karena itu terpaksa ia hanya mengintil saja di belakang mereka, selalu dalam jarak itu2 saja tapi juga tidak membiarkan lolosnya kedua orang itu.
Pikiran Ci-peng dan Ci-keng memangnya sangat bingung, apalagi Siao-liong-li terus menguntit dan tidak diketahui apa maksud tujuannya, makin dipikir makin takut mereka.
Mereka berlari dari pagi hingga siang, dari siang hingga sore hari sudah 6-7 jam mereka ber-lari2 kesetanan, betapapun kuatnya tenaga dalam mereka akhirnya juga terempas-empis, langkahpun mulai sempoyongan dan tidak sanggup berlari cepat lagi.
Dalam pada itu panas matahari yang menyengat itu telah membuat mereka mandi keringat, malahan juga lapar dan haus, ketika tiba2 nampak di depan ada sebuah sungai kecil, mereka menjadi nekat.
Mereka pikir andaikan akan tertangkap di situ masa-bodohlah, Begitulah mereka terus menjatuhkan diri di tepi sungai kecil itu dan minum air sekenyangnya.
Dengan pelahan Siao-liong-li juga mendekati sungai bagian hulu, iapun meraup air untuk diminum, permukaan air sungai mencerminkan seorang nona jelita berbaju putih dengan ikal rambut hitam dan wajah cantik molek laksana dewi kahyangan.
Tapi, perasaan Siao-liong-li serasa hampa, dukanya tidak kepalang sehingga cermin dirinya itu tidak menariknya melainkan termangu2 saja memandangi bayangan sendiri di dalam air itu.
Sambil minum air, Ci-keng berdua senantiasa, melirik Siao- liong li, melihat nona itu ter-mangu2 se-akan2 lupa daratan pada dunia fana ini, cepat mereka saling memberi i syarat, dengan pelahan mereka berbangkit dan berjalan ber-jengket2 menjauh ke sana.
Beberapa kali mereka menoleh dan melihat si nona masih termenung memandang air sungai, segera mereka percepat langkah terus berlari ke depan.
Mereka mengira sekali ini pasti dapat lolos dari kuntitan Siao-liong-li, siapa duga, ketika kebetulan Ci-peng berpaling, ternyata si nona sudah mengintil lagi di belakang mereka.
Seketika muka Ci-peng pucat pasi seperti mayat, serunya: "Sudahlah, sudahlah Tio suheng, kita toh tak dapat lolos, terserah saja apakah dia akan membunuh atau mencincang kita.
" Habis berkata ia terus berhenti dan berdiri di situ.
Ci-keng menjadi gusar dan membentak: "Kau mati juga pantas, tapi mengapa aku harus mati bersamamu?" Segera ia tarik tangan sang Sute untuk diajak lari pula.
Akan tetapi Ci-peng sudah putus asa dan tidak ingin lari lagi, Dasar Ci-keng memang pemberang, tanpa bicara lagi sebelah tangannya terus menggampar.
"Mengapa kau pukul aku?" teriak Ci - peng dengan gusar.
Melihat kedua orang itu saling hantam lagi, Siao-liong-li menjadi heran.
Pada saat itulah dari depan sana tampak mendatangi dua penunggadg kuda, rupanya dua kurir Mongol yang bertugas mengirim surat atau berita.
pikiran Ci-keng bergerak, dengaa suara tertahan ia berkata pada Ci-peng: "Mari kita rebut kuda mereka.
Kita pura2 berkelahi supaya tidak menimbulkan curiga Siao-liong-li.
" Ci-peng-menurut, mereka pura2 berhantam lagi sambil menggeser ke jalan raya, Karena jalan terhalang, kedua perajurit MongoI itu menahan kuda mereka sambil mem-bentak2.
Tapi Ci-keng mendadak melompat ke atas, seorang satu seketika kedua perajurit Mongol itu disodok terjungkal ke bawah kuda rampasan itulah mereka terus kabur cepat ke utara.
Kedua ekor kuda itu adalah kuda perang piIihan, perawakannya gagah dan larinya cepat.
Waktu mereka menoleh, ternyata Siao-liong-li tidak mengejar lagi, maka legalah hati mereka.
Mereka terus melarikan kuda ke utara, belasan li kemudian sampailah mereka pada jalan persimpangan tiga.
"Dia melihat kita kabur ke utara, sekarang justeru membelok ke timur," kata Ci-keng sambil membelokkan kuda ke kanan dan diikuti Ci-peng.
Menjelang magrib, sampailah mereka di suatu kota kecil.
Sehari suntuk mereka berlari tanpa mengisi perut barang sedikitpun, sudah tentu mereka sudah lelah dan lapar.
Segera mereka mencari suatu warung makan dan pesan satu piring daging dan beberapa bakpau.
Sambil duduk menunggu daharan, hati Ci-keng masih berdebar-debar mengenang bahaya yang dihadapi nya tadi, ia tidak tahu mengapa Siao liong-li melulu menguntit saja dan tidak segera turun tangan.
Dilihatnya Ci-peng juga duduk menunduk dengan muka pucat dan seperti orang linglung.
Tidak lama makanan yang dipesan telah disuguhkan, segera mereka makan minum.
Belum seberapa lama, tiba2 terdengar suara ribut di luar, seorang sedang mem-bentak2 dan bertanya "Siapa pemilik kedua ekor kuda ini" Mengapa berada di sini?" Dari logat suaranya agaknya orang Mongol.
Ci-keng berdiri dan mendekati pintu, dilihatnya seorang perwira Mongol dengan beberapa anak buah sedang bertanya mengenai kedua ekor kuda rampasan Ci-keng berdua itu, pelayan rumah makan tampak ketakutan dan menyembah.
Lantaran seharian diuber Siao-liong-li dan rasa dongkol Ci-keng belum terlampiaskan kini ada orang mencari gara2, segera ia tampil ke muka dan berteriak: "Kudaku, ada apa?" "Dapat darimana?" tanya perwira itu.
"milikku sendiri, peduIi apa dengan mu?" jawab Ci-keng.
Tatkala mana di utara Siangyang sudah berada dalam pendudukan pasukan Mongol, rakyat Song hidup di bawah penindasan secara kejam, mana ada orang berani bersikap kasar terhadap perwira Mongol" Tapi lantaran melihat perawakan Ci-keng gagah dan kuat, membawa pedang pula, diam2 perwira itu rada jeri, ia lantas tanya pula: "Kau dapat beli atau mencuri?" "Beli atau mencuri apa?" jawab Ci-keng dengan gusar.
"Kuda ini adalah piaraanku sendiri.
" "Tangkap" mendadak perwira itu memberi aba2.
serentak beberapa perajurit itu mengerubut maju dengan senjata terhunus.
"Hm, berdasarkan apa kalian menangkap orang.
" bentak Ci keng sambit meraba pedangnya.
"Berani kau melawan, maling kuda?" jengek perwira Mongol itu.
"Haha, barangkali kau sudah makan hati macan, maka berani melawan perwira markas besar" Hayo kau mengaku mencuri tidak?" - Berbareng ia menyingkap bulu paha belakang kuda hingga kelihatan cap bakar dua huruf Mongol.
Rupanya setiap kuda perang Mongol pasti di tandai dengan cap bakar untuk menjelaskan kuda itu termasuk pasukan dan kelompok mana, Ci-keng merampas kuda itu di tengah jalan, sudah tentu ia tidak tahu seluk-beluk tanda cap bakar sega!a.
Karena itu ia menjadi tak bisa menjawab.
Tapi dia sengaja berdebat secara ngotot: "Siapa bilang kuda perang Mongol" Di tempat kami banyak juga kuda yatg kami beri cap bakar seperti ini" Memangnya tidak boleh dan melanggar aturan?" "Perwira itu menjadi gusar, belum pernah ada orang yang berani membantah padanya, masakah sekarang ada maling kuda yang malah menantang-nya.
Segera ia melangkah maju terus hendak mencengkeram baju dada Ci-keng.
Akan tetapi tangan kiri Ci-keng menagkis dan membalik, tangan perwira itu berbalik kena dipegangnya.
Menyusul tangan kanan Ci-keng terus mencengkram punggung perwira itu dan diangkat ke atas, setelah diputar beberapa kali terus dilemparkan Tanpa ampun -perwira itu terbanting ke dalam sebuah toko barang pecah belah, seketika terdengarlah suara gemerantang nyaring ber-turut2, rak mangkok piring dan barang2 porselin lain sama roboh dan hancur berantakan.
. . Muka perwira itupun babak belur terluka oleh pecahan beling serta tertindih oleh rak yang ambruk.
Cepat para perajurit Mongol memberi pertolongan sehingga lupa menangkap orang.
Ci-keng ter-bahak2 gembira dan masuk kembali ke warung makan untuk meneruskan daharannya tadi.
Karena ribut2 itu, toko2 yang tadinya buka dasar seketika sama tutup pintu.
Tetamu yang sedang makan diwarung itupun segera buyar.
Maka jumlah tentara Mongol terkenal ganas dan kejam, tapi sekarang ada orang Han memukuli perwira Mongol, maka akibatnya dapatlah dibayangkan, bukan mustahil seluruh kota akan dibumi-hanguskan.
Belum banyak Ci-keng mengisi perutnya, tiba2 kuasa rumah makan itu mendekatinya dan berlutut di depannya.
Ci-keng tahu maksud orang, pasti kuatir perusahaannya ikut terkena getahnya, maka minta penyelesaian se-baik2nya.
Dengah tertawa ia lantas berkata: "jangan kuatir kau, setelah makan kenyang segera kami angkat kaki dari sini.
" Tapi kuasa rumah makan itu tetap menyembah dengan muka pucat.
Ci-peng lantas berkata kepada Ci-keng: "Rupanya dia takut bila kita pergi, sebentar lagi pasukan Mongol akan datang minta pertanggungan jawabnya.
" Ia memang lebih cerdik daripada Ci-keng, setelah berpikir sejenak," segera ia berkata pula kepada kuasa rumah makan itu.
"Lekas ambilkan lagi dataran yang lezat, apa yang telah kami perbuat, adalah tanggung jawab kami sendiri, kenapa mesti takut?" Kuasa rumah makan itu mengiakan dengan girang, cepat ia merangkak bangun dan memerintahkan daharan ditambah dan membawakan arak pula.
Sementara itu perwira Mongol yang babak belur itu telah dibangunkan anak buahnya dan dibawa pergi.
Dengan tertawa Ci-keng berkata kepada Ci-peng: "ln-sute, sudah seharian kita kenyang tersiksa, sebentar biarlah kita labrak mereka sepuasnya.
" Ci-peng hanya mendengus saja tanpa menanggapi sementara itu pelayan sibuk membawakan daharan, Sesudah makan lagi sekadarnya, mendadak Ci-peng berbangkit, pelayan yang ladeni disebelah-nya dihantamnya hingga terjungkal.
Keruan si kuasa rumah makan kaget, cepat ia mendekati dan minta maaf bila ada kesalahan pelayanan Tapi kaki Ci-peng lantas melayang pula, dengan tepat dengkul kuasa rumah makan itu didepak sehingga jatuh terguling.
Ci-keng tidak tahu maksud tujuan sang Sute, disangkanya rasa dongkol Ci-peng itu sengaja dilampiaskan atas diri si pelayan.
Ja berusaha mencegahnya tapi mendadak Ci-peng mendomplangkan meja yang penuh mangkok piring makanan itu, menyusul dua orang pelayan dipukul roboh lagi.
Cara memukul Ci-peng itu disertai dengan tutukan Hiat-to, maka setelah jatuh, orang2 itu sama tergeletak tak bisa berkutik.
Habis "ngamuk", Ci-peng kebut2 baju sendiri, lalu berkata: "sebentar kalau pasukan Mongol datang dan melihat kalian ku labrak sedemikian rupa, tentu kalian takkan di-marahi, Nah, paham tidak" Kalau perlu kalian boleh saling hantam lagi agar kelihatan lebih babak belur.
" Baru sekarang orang2 itu mengerti apa maksud tujuan Ci-peng memukuli mereka, setelah menyatakan akal bagus.
segera mereka saling hantam pula hingga baju robek dan hidung bengkak.
Pada saat itulah terdengar suara derapan kaki kuda, ada beberapa orang mendatang pula, serentak orang2 rumah makan itu sama merebabkan diri sambil berteriak mengaduh kesakitan serta minta ampun segala.
Setiba di depan rumah makan itu, benar juga penunggang2 kuda itu lantas berhenti dan masuklah empat perwira Mongol, dibelakangnya ikut pula seorang paderi Tibet yang bertubuh tinggi kurus dan seorang asing yang pendek dan hitam, orang asing itu sudah buntung kedua kakinya, kedua tangan memegang tongkat penyanggah ketiak.
Melihat keadaan rumah makan yang porak poranda itu, para perwira Mongol itu sambil me-ngerut kering, segera pula mereka membentak: "Lekas bawakan santapan enak, kami buru2 mau berangkat lagi!" Kuasa rumah makan tadi melengak, baru sekarang ia tahu rombongan ini bukanlah kawan rombongan pertama tadi, ia menjadi bingung, kalau perwira Mongol yang dilabrak In Ci-peng tadi datang kembali, lalu cara bagaimana akan menghadapinya" Tengah sangsi, perwira2 Mongol itu menjadi tidak sabar dan menyabetkan cambuk kudanya, Kuasa rumah makan itu terpaksa mengiakan dengan menahan rasa sakit, celakanya dia tak dapat bangun, syukur ada pegawai lain telah melayani kawanan Mongol itu dan mengaturkan meja kursi.
Paderi Tibet itu bukan lain daripada Kim-lun Hoat-ong dan orang asing hitam pendek dan kaki buntung itu adalah Nimo Singh.
Mereka merawai diri beberapa hari di lembah sunyi itu.
sesudah Hoat-ong mengeluarkan sisa racun dalam tubuh dan luka kaki Nimo Singh mulai sembuh barulah mereka meninggalkan lembah itu serta bertemu dengan perwira2 Mongol itu di tengah jalan, lalu bersama2 pulang ke markas besar Kubilai.
Tentu saja Ci-peng dan Ci-keng terkejut melihat datangnya Kim-lun Hoat-ong, mereka sudah pernah menyaksikan kelihayan paderi Tibet itu, malahan kedua muridnya saja, yaitu Darba dan Hotu yang dulu pernah menyatroni Tiong-yang-kiong, sukar ditandingi tokoh2 Coan-cin-pay, apalagi sekarang kepergok Kim-lun Hoat-ong sendiri, diam2 mereka kebat-kebit.
Mereka saling memberi tanda dan segera mencari jalan buat meloloskan diri.
Meski Ci-keng berdua kenal Kim-lun Hoat-ong, sebaliknya Hoat-ong tidak kenal kedua Tosu itu, Walaupun keadaan rumah makan itu berantakan, namun suasana perang tatkala itu tidak membuatnya heran jika menyaksikan keadaan rusak itu.
Karena kepergiannya ke Siangyang sekali ini mengalami kekalahan, ia merasa malu bila nanti bertemu dengan Kubilai, maka yang dia pikirkan sekarang adalah cara bagaimana harus bicara kepada tuannya itu, sehingga kehadiran dua orang Tosu di rumah makan ini tidak digubris olehnya.
Pada saat itu tiba2 terjadi kegaduhan di luar rumah makan.
sekawanan perajurit Mongol menerjang masuk, begitu melihat Ci-keng berdua, sambil mem-bentak2 terus hendak menangkapnya.
"Lari melalui pintu belakang".
demikian kata Ci-peng dengan suara tertahan kepada Ci-keng sembari mendomplangkan sebuah meja sehingga mangkuk piring berserakan di lantai, berbareng mereka terus melompat menuju ke pintu belakang.
Sebab Kim-lun Hoat-ong duduk dekat pintu depan, kalau lari lewat di sebelahnya bisa jadi dia akan mengalangi mereka.
Ketika hampir menuju ke ruangan belakang, sekilas Ci-peng menoleh dan melihat Hoat-ong masih asyik minum tanpa gubris kekacauan di rumah makan itu, diam2 ia tergirang, asalkan paderi itu tidak ikut campur tentu tidak sukar untuk kabur.
Tak terduga mendadak sesosok bayangan melayang tiba, orang cebol buntung tahu2 melompat ke sana, sebelah tongkatnya lantas menghantam sekaligus Ci-peng dan Ci-keng.
Sudah tentu Ci-pehg berdua belum kenal siapa Nimo Singh, cepat mereka mengelak.
Heran juga Nimo Singh karena serangannya tidak mengenai sasarannya, ia merasa kedua Tosu ini ternyata bukan jago Iemah.
Segera kedua tongkatnya bergantian yang satu dibuat menyanggah tubuh dan yang lain digunakan menyerang, dari bagian luar ia terus desak mundur Ci-peng berdua dan dengan sendirinya: Ci-peng berdua balas menyerang dan berusaha meloloskan diri.
Meski kepandaian Nimo Singh lebih tinggi dari pada Ci-peng berdua, tapi lantaran kedua kakinya buntung belum lama, tenaganya belum pulih seluruhnya, apalagi belum biasa memakai tongkat begitu, lama2 ia sendiri menjadi kewalahan dikerubuti Ci-peng dan Ci-keng.
Raja Naga 7 Bintang 2 Tokoh Besar Karya Khu Lung Pendekar Pedang Sakti 16
^