Pendekar Pedang Sakti 16
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen Bagian 16
dia ciptakan serangannya dengan jurus ini maka tidak
heran, begitu serangan itu dilancarkan, tenaganya
bertambah berapa kali lipat lebih kuat, hingga Kinlungo
dengan mengeluarkan suara "Ihhh" saking herannya, buru-
buru dia mundur dua langkah berturut-turut, dan dengan
menggunakan tiga kali tangkisan barulah dia berhasil
memunahkan serangan pemuda kita itu.
Dengan berhasilnya serangannya sekali ini, Lie Siauw
Hiongpun sudah berhasil menguasai keadaannya lagi, lalu
diapun mundur satu langkah untuk memusatkan seluruh
kekuatannya yang baru.
Kinlungo lalu menyabetkan talinya pada muka pemuda
kita, tapi Lie Siauw Hiong segera mengelitkan badan bagian
atasnya kekiri dan badannya bagian bawah kemudian
dikelitkan kekanan, hingga dengan menerbitkan suara "bet"
yang nyaring sekali dia sudah berhasil mengelitkan
serangan lawannya ini, sehingga serangan tersebut jatuh
ditempat yang kosong.
Seluruh hadirin pada berteriak memberi pujian pada
pemuda kita, karena sesungguhnya daya kelitan pemuda
kita itu terlalu hebat, karena jurus itupun adalah dari bagian
'Am-hiang-pu-eng'.
Kemudian Kinlungo sendiri setelah melihat serangannya
jatuh ditempat kosong, segera dia majukan badannya
kemuka, dengan menggentak talinya itu menjadi tegak dan
lurus, lagi-lagi dia menyerang tenggorokkan pemuda kita
dengan menotok pada jalan darah yang berbahaya.
Jurusnya ini sungguh aneh sekali. Sedangkan dia merasa
kesenangan, diam-diam dia berkata pada dirinya sendiri:
"Sekalipun tadi dia berhasil mengelitkan seranganku itu,
tapi sekali ini tidak dapat lagi dia meloloskan dirinya pula."
Sekarang dia tidak berani lagi memandang ringan pada
pemuda kita. Tali itu menerbitkan suara yang aneh, dengan pesatnya
menjurus ketenggorokannya Lie Siauw Hiong, siapa tahu
akhirnya dengan mengeluarkan suara "sret" yang nyaring
sekali, lagi-lagi serangan itu jatuh ditempat yang kosong.
Seluruh para hadirin tidak mengetahui dengan jalan
bagaimana Lie Siauw Hiong telah mengelitkan dirinya,
karena mereka tampak sangat kabur mata mereka, sedang
Lie Siauw Hiong dengan cepat sudah beralih tempatnya,
sampaikan Peng Hoan Siangjin sendiri tidak terasa lagi
mengeluarkan suara "ihhhh" saking herannya, karena yang
dipakai mengelitkan tadi adalah pelajaran Kit Mo Sin Pouw
dari Hui Tay Su. Hweeshio tua itu tidak mengetahui,
bahwa Lie Siauw Hiong telah mewariskan jurus yang luar
biasa itu! Lie Siauw Hiong dengan mmeperoleh kesempatan yang
sangat baik ini, buru-buru dia menambah kekuatannya pada
tangannya, kemudian lantas menyabetkan pedangnya pada
tali lemas lawannya dengan jurus 'leng-bwee-hut-bian'
(bunga bwee menyapu muka).
Pada umumnya bila diantara dua jago yang paling tinggi
kepandaiannya saling bertempur, jarang sekali mereka mau
menyerang lawannya dengan seluruh kemampuan terakhirnya, karena bila mereka sampai berbuat demikian
dan lawannya dapat memecahkan serangannya itu, maka
dirinya sendiri bila tidak kejadian kalah pasti akan
menderita luka-luka. Begitupun kepandaian yang dikeluarkan masing-masing hanya kira-kira enam bagian
saja, sedangkan empat bagian lagi mereka simpan sampai
saat-saat terakhir saja, bila lawannya sudah tidak berdaya
lagi. Tapi Kinlungo karena terlampau percaya pada dirinya
sendiri, maka dia telah lancarkan serangan-serangannya
yang sehebat-hebatnya. Kemudian ia berusaha sedapatnya
untuk menahan tubuhnya yang sudah terlampau maju itu,
karena pedangnya Lie Siauw Hiong dengan cepat sekali
telah menjurus kearahnya, maka tidak terasa lagi dia
merasa terkejut sekali, buru-buru dia gentak tali lemasnya
menjadi keras seperti besi, untuk menotok pergelangan
tangan lawannya, dengan demikian, dari menyerang dia
berbalik jadi menjaga diri.
Lie Siauw Hiong mana mau sia-siakan kesempatan
sebaik ini, begitu pergelangan tangannya diputarkan, dia
sudah berhasil membebaskan totokan lawannya, dan
berbareng dengan itu, pedangnya lalu sedikit dibengkokkan
yang langsung menotok jalan darah 'Ciang-bun-hiat' pada
badan lawannya. Hal ini sungguh hebat sekali, karena
sampaikan Lie Siauw Hiong sendiri hampir tak menyangka,
bahwa pergerakannya itu begitu hebat dan jitu, hingga
hatinya menjadi giraug sekali, karena mengetahui bahwa
tenaga-dalamnya
sudah maju sedemikian pesatnya, sehingga kepercayaan terhadap dirinya telah pulih kembali.
Kinlungo yang melihat serangan pemuda kita ini, dia
tidak menghiraukan terhadap ancaman pedang lawannya,
hanya buru-buru dia gentak tali lemasnya untuk melilit
pergelangan tangannya pemuda kita.
Lie Siauw Hiong bermimpi pun tidak bakal diserang
dengan cara demikian, maka dengan terpaksa lagi-lagi dia
gunakan pergerakan kaki Kit Mo Sin Pouw yang sempurna
itu. Badannya dengan pesat mundur dua langkah. Dengan
mengeluarkan suara "pak" yang cukup nyaring, tali itu
sudah tiba untuk menggulung lengannya. Syukur juga Lie
Siauw Hiong berlaku cukup gesit, sehingga dia tidak sampai
kena serangan lawannya, tapi tidak urung lengan bajunya
tersobek sebagian besar karena tergulung oleh tali lemas
lawannya itu. Kinlungo dengan menggereng tanda gusar, segera
mengubah pula serangannya, yang kali ini jauh lebih aneh
daripada serangan-serangan sebelumnya, karena tali
lemasnya sudah mengandung sifat-sifat pembunuhan.
Begitupun Lie Siauw Hiong sendiri kini tidak merasa
jerih lagi. Kemudian dia menggunakan jurus-jurus dari
'Tay-yan-sip-sek'
dicampur dengan 'Kiu-cie-kiam-sek',
sedangkan pergerakan kakinya memakai jurus-jurus Kit Mo
Sin Pouw yang sangat lihay, hingga dengan digabungkannya ketiga ilmu yang langka dan hebat ini,
telah membuat Kinlungo yang sudah memiliki ilmu tenaga-
dalam sangat hebat tidak berdaya untuk dapat berada diatas
angin. Pada lima puluh jurus pertama Lie Siauw Hiong masih
merasa tidak begitu leluasa, tapi setelah melampaui lima
puluh jurus pertama tadi, serangan maupun penjagaan
dirinya semakin lancar dan hebat serta jitu dilaksanakannya, cepatnyapun bukan buatan, setiap
serangan pedangnya disertai tenaga-dalam yang hebat
sekali, sehingga angin menderu-deru keluar dari pedangnya,
sedangkan pergerakan badannyapun luar biasa lincahnya.
Tapi Kinlungo semakin bertempur merasa semakin
terperanjat, maka sambil menggigit giginya dia sudah
bersedia untuk melancarkan serangan sepenuh tenaga untuk
memperoleh kemenangan terakhir.
Para hadirin didalam ruangan itu tidak mengetahui
bahwa Lie Siauw Hiong sudah mencapai puncak
kehebatannya, dan mereka hanya merasakan teriakan-
teriakan Kinlungo semakin kerap dan nyaring, hingga diam-
diam mereka turut kuatir atas keselamatannya diri Lie
Siauw Hiong. Cek Yang Totiang bersama Kouw Am Taysu jadi saling
berpandangan saking herannya, mereka tidak sangka bahwa
sejak berpisahan beberapa bulan saja lamanya, tenaga-
dalam pemuda kita sudah maju sedemikian pesat dan
hebatnya, hingga mereka berbalik mengharapkan agar dia
memperoleh kemenangan, tapi mereka sama kuatirnya
terhadap buntut dari kemenangannya itu maka diam-diam
hati mereka dirasakan berkebat-kebit.
Dengan cepatnya ratusan jurus sudah berlalu, dalam
mana permainan pedangnya Lie Siauw Hiong sudah dapat
mengendalikan tali lemas Kinlungo. Untuk memperoleh
kemenangan dengan cepat memang tidak mudah, tapi ia
yakin bahwa akhirnya toh kemenangan pasti diperoleh
olehnya, hingga diam-diam dia berpikir dengan penuh
kegembiraan dan berkata pada dirinya sendiri: "Bila
bukannya pertempuran yang dahsyat ini, mana dapat aku
menciptakan dan menggabungkan tiga ilmu itu secara
berhasil dengan gemilang?"
Tidak perduli sudah ratusan tipu-tipu yang aneh yang
dilancarkan oleh Kinlungo, tapi tetap saja pemuda kita
tidak menjadi jatuh dibawah angin, hal mana barulah
diinsyafi oleh para hadirin disitu bahwa kepandaian Lie
Siauw Hiong sesungguhnya sangat lihay sekali. Perlahan-
lahan bersamaan dengan lewatnya waktu pertempuran
dahsyat itu, Lie Siauw Hiong pun dapat memecahkan
rahasia kelemahan lawannya, karena dia melihat bahwa
serangan-serangan yang dilancarkan oleh lawannya itu
kebanyakan melalui tubuh bagian atasnya saja, sedangkan
bagian bawahnya jarang digunakan, hingga hatinya
tergerak dan lalu berpikir: "Benar, seluruh kepandaian yang
dimiliki oleh Kinlungo ini, kelemahannya terletak dibagian
sebelah bawahnya, sedangkan pergerakan Kit Mo Sin
Pouw-ku sudah terhebat dan sempurna, hingga ini tepat
sekali untuk melayani dan memecahkan kelemahannya
ini." Pada saat itu dia menyerang dengan jurus 'Hong-seng-
put-sip' (gerak tidak putus-putusnya), jurus mana adalah
jurus terhebat dari pelajaran 'Tay-yan-sip-sek', tapi
disamping itu, Lie Siauw Hiong lalu menekuk kakinya, dan
dengan badanan separuh dibungkukkan, dia menyerang
bagian bawah Kinlungo, dan dengan serangan yang diubah
ini, tenaganya telah bertambah hebat, sehingga ia dapat
memaksa Kinlungo mundur sampai tiga langkah jauhnya.
Lie Siauw Hiong baru saja ingin mengubah serangannya
yang berjurus 'Hong-seng-put-sip' ini, ketika dengan
sekonyong-konyong dia teringat akan pelajaran yang baru
saja dia pelajari tadi dari Peng Hoan Siangjin, hingga
hatinya menjadi sangat gembira sekali, dan diam-diam dia
berkata: "Sungguh jitu dan hebat sekali, karena dengan
lantas Peng Hoan Siangjin sudah dapat memecahkan
kelemahannya Kinlungo ini, dan berbareng dengan itu,
barulah dia ajarkan ilmunya itu kepadaku, maka
seranganku sekali ini pasti ia sukar sekali untuk dapat
menghindarkannyal"
Begitulah dengan hati gembira Siauw Hiong tiba-tiba
memperlambat serangannya, sehingga memberi kesempatan
untuk Kinlungo menyerang dengan ganasnya, dengan mana
lagi-lagi dia berhasil menggulung sebagian besar bajunya
Lie Siauw Hiong, tapi pemuda kita buru-buru bentangkan
Kit Mo Sin Pouw untuk mengelitkan serangan lawannya.
Para hadirin yang melihat Lie Siauw Hiong menderita
kerugian ini, muka mereka menunjukkan perasaan takut
dan cemas atas diri pemuda kita, tapi mereka tidak habis
berpikir, mengapa orang tua itu malahan tinggal tersenyum-
senyum saja dengan tenangnya sambil menggendong kedua
tangannya, padahal mereka tidak mengetahui, bahwa Peng
Hoan Siangjin diam-diam dia memuji pada muridnya yang
sudah berhasil menerima pelajarannya dengan sempurna.
Dengan tangan kiri Lie Siauw Hiong lalu melancarkan
serangannya, sedang tusukan pedangnya sekali ini
mengancam jalan darah 'Kie-bun-hiat' atas diri lawannya.
Beruang-ulang sehingga tiga kali, Lie Siauw Hiong
menggunakan seluruh kepandaian yang beraneka macam
dan sangat hebat itu, sehingga lawannya tidak terasa lagi
menjadi terkejut bukan buatan.
(Oo-dwkz-oO) Jilid 32 Lie Siauw Hiong dengan beruntun sebanyak sepuluh kali
telah melancarkan serangannya dengan menggunakan
jurus-jurus 'Tay-yan-sip-sek'nya,
yang telah berhasil diciptakannya serta diperluas setelah dia mengalami
pertempuran hebat dengan sembilan jago dari Kwan Tiong,
dan sekarang dia pakai menyerang Kinlungo, dengan
tenaga yang ternyata telah bertambah hebat dan kuat,
sehingga saking gugupnya Kinlungo buru-buru berkata
didalam hatinya: "Tipu permainan pedangnya ini cukup
hebat, sebenarnya aku bisa bertahan, tapi mengapa dalam
waktu yang pendek dia dapat mengeluarkan banyak sekali
tipu-tipu aneh lainnya serta perubahan-perubahan yang
tidak habis-habisnya?"
Beruntun tiga kali dengan memperdengarkan suara sret
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sret sret dari sabetan pedangnya, Lie Siauw Hiong
menyerang bagian bawah tubuh Kinkungo, maka dalam
keadaan yang semakin gugup dia mengekuh pada dirinya
sendiri: "Habislah! Ternyata dia telah dapat memecahkan
kekemahanku .." Sambil berpikir begitu, buru-buru dia
melompat mundur sejauh dua langkah.
Dengan pedangnya Lie Siauw Hioug lalu menyerang
secara menyamping kearah tubuh bagian bawah lawannya,
sedang jurus yang dipakainya ini adalah yang tadi dia
terima dari Peng Hoan Siangjin! Kinlungo buru-buru
menyabetkan tali lemasnya kebawah dengan sepenuh
tenaganya, kemudian dengan sekonyong-konyong saja
terdengar suara bentakannya Lie Siauw Hiong: "Kena!"
Baru saja pedang Lie Siauw Hiong ditarik, Kinkungo
merasakan pundaknya sudah tertusuk oleh pedang
lawannya, sedangkan orang banyak hanya melihat sinar
pedang berkelebat, badan kedua orang itu berpencaran
dengan cepatnya, kemudian disusul pula dengan seruan
pemuda kita: "Kena!" Setelah itu, lagi-lagi mereka saling
berpencaran, kesudahannya pemuda kita lalu melintangkan
pedangnya didadanya, memandang pada Kinkungo yang
baju dipundaknya sudah tersobek dan darah tampak
mengucur dengan derasnya dari lukanya itu.
Setelah berselang sejurus kemudian, diruangan itu lalu
terbit suara yang amat bergemuruh dari teriakan-teriakan
para hadirin untuk menyambut kemenangan yang diperoleh
oleh jago muda kita ini. Kinlungo sendiri dengan muka biru
buru-buru mencekal tangannya Katar, mereka dengan tidak
menolehkan kepalanya lagi lalu keluar dari ruangan Bu-wie-
thia itu dibawah tampik sorak orang banyak yang mengejek
mereka. Lie Siauw Hiong setelah mengalahkan Kinlungo, dia
masih berdiri disitu sambil melihat pada wajah orang
banyak yang bergembira atas kemenangannya ..
Peng Hoan Siangjin sambil tertawa berseri-seri laku
berkata: "Bocah, sekali ini benar-benar kau sudah berhasil
dapat membikin namamu harum dalam rimba persilatan!
Ah, hampir-hampir aku melupakan urusan yang penting,
mari, lekas jalan .."
Dengan tidak menunggu persetujuannya Lie Siauw
Hiong lagi, dia sudah menarik lengannya si pemuda, dan
seperti juga seekor burung elang yang menyamber anak
ayam, seketika itu juga tampak bayangan kedua orang ini
melampaui kepala orang banyak melayang keluar dari
ruangan besar itu, hingga dengan tergesa-gesa Gouw Leng
Hong berseru: "Hiong Tee .. Loo-cian-pwee, tunggu
sebentar!"
Buru-buru dia keluar dari pintu itu, dan pada saat berada
diluar, dia lihat bayangannya Peng Hoan Siangjin dengan
Lie Siauw Hiong sudah tampak kecil bagaikan semut
karena amat jauhnya.
Gouw Leng Hong sangat mencintai pemuda kita
bagaikan adik kandungnya sendiri, dan sekalipun dia dapat
menerka bahwa orang tua itu mungkin sekaki Peng Hoan
Siangjin yang Lie Siauw Hiong sering sebut-sebut namanya,
maka dalam hatinya tidak pernah merasa khawatir apa-apa.
Maka tanpa berpikir panjang lagi dia kalu bentangkan
Keng-sin-kangnya untuk coba menyusul kedua orang itu.
Dia tidak pernah berpikir, bahwa Keng-sin-kangnya
sendiri mana mungkin dapat menandingi Keng-sin-kangnya
Peng Hoan Siangjin, sehingga diapun sudah melupakan
orang yang berada dalam ruangan itu dan merupakan
pembunuh ayahnya sendiri, ialah Kouw Am dan Cek Yang.
Pada saat itu hatinya hanya bertekad bulat atas suatu tujuan
saja, yaitu mengejar pada adiknya, tapi andaikata dia sudah
berhasil dapat mengejarnya, diapun tak tahu untuk maksud
apa dia melakukan pengejaran itu.
Leng Hong lihat orang tua yang mencekal lengannya Lie
Siauw Hiong hanya dengan berapa kali lompatan saja
sudah mencapai jarak puluhan tombak jauhnya, hingga
dengan sekeras-keras kemampuannya dia berusaha untuk
mengejarnya, dan diwaktu mengetahui bahwa dirinya tidak
mungkin dapat menyandaknya lagi, sekonyong-konyong
dari belakangnya meniup angin yang agak keras, dan
bersamaan dengan itu, sesosok bayangan dari belakangnya
mekesat melewati tubuhnya, hingga kecepatannya bagaikan
bintang beralih saja. Orang ini justeru adakah pemuda yang
bertempur tadi dengan Katar, yaitu Bu-lim-cie-siu, maka
dalam hatinya diam-diam dia berkata: "Aku yang telah
makan buah mujijat, tenaga-dalam maupun Keng-sin-
kangku sudah maju pesat sekali, aku kira kecuali Hiong
Tee, jarang sekali ada orang yang dapat menandingiku, tapi
tidak disangka pemuda ini, yang usianya juga tidak
melebihi berapa tahun daripadaku, bukan saja tenaga-
dakamnya, tapi Keng-sin-kang-nya pun hampir bersamaan
denganku."
Dalam hati dia merasa sangat tidak puas, maka sambil
menghempos semangatnya iapun telah melesat untku
mengejarnya, tapi Bu-kim-cie-siu yang tadi lari melewatinya, sebentar kemudian tampak sudah balik
kembali. Pemuda itu ketika melihat bahwa Leng Hongpun
mengejarnya, juga tidak berhasil mengejar oraug tua itu,
maka hatinya yang sedang merasa tidak puas, sambil
menekuk mukanya dia berkata pada Leng Hong: "Kau
mengejarku mau apa?"
Leng Hong melihat wajah orang itu masih muda sekali,
tapi disitu menunjukkan bahwa dia itu bertabiat sangat licik
sekali. Pada saat itu sekalipun dia sedang mengumbar
amarahnya, sedikitpun dia tidak menunjukkan keangkarannya, hingga tidak terasa lagi diapun berkesan
baik juga terhadapnya. Maka walaupun dia bertabiat panas
dan mendongkol, tapi dengan berbaik dan tidak ingin
menunjukkan kelemahannya diapun lantas berkata: "Aku
kira bahwa kau sudah berhasil dapat mengejar Loo-ho-siang
dan Hiong Teeku."
Si pemuda itu yang merasa dirinya disindir, dengan
marah lalu berkata: "Bagaimana, kau mau apa sekarang?"
Leng Hong yang mendengar omongan pemuda itu tidak
beraturan, diapun dengan berpura-pura marah lalu berkata:
"Kaupun mau apa?"
Dengan marah pemuda itu berkata: "Bocah liar, aku
sedang menantikan pengajaranmu!"
Leng Hong lalu tertawa dan berkata: "Pengajaran?"
Pemuda itu lalu mengepalkan kedua tinjunya, yang
kemudian dipukulkan kearah Leng Hong hingga si pemuda
she Gouw yang segera kenali bahwa dia itu seorang murid
dari partai Siauw Lim, dengan tidak berayal lagi segera
membentangkan jurus Liok-teng-kay-san, atau Malaikat
Liok Teng membuka gunung, untuk balas menyerang
kepadanya. Kedua orang ini memang tidak bermaksud
untuk mencelakai lawannya masing-masing, tapi dengan
beradunya kedua kepalan ini, mereka masing-masing jadi
terdesak raundur hingga sejauh dua langkah.
Dengan memuji Leng Hong berkata: "Sungguh suatu
kepandaian yang bagus sekali!"
Pemuda itupun memuji atas kekuatan Leng Hong, maka
setelah mendengar Leng Hong memuji, rasa permusuhannyapun jadi banyak berkurang, hingga dalam
pada itu diapun lalu berkata: "Kali ini aku mempunyai
urusan yang penting, maka tidak bisa tinggal lama-lama
disini. Jika dibelakang hari memang kita berjodoh satu
sama lain, akan kuminta pengajaran pula darimu!"
Sehabis berkata begitu, dengan tidak menunggu jawaban
Leng Hong lagi, dia sudah meninggalkannya pergi bagaikan
angin cepatnya.
Leng Hong yang memang tidak bermaksud jahat
kepadanya, sudah tentu saja diapun tidak menghalanginya,
tapi sekonyong-konyong dia teringat pada orang yang
merupakan musuh yang membunuh ayahnya, maka buru-
buru dia balik keruangan Bu-wie-thia tadi.
Waktu dia masuk kedalam ruangan itu, dia lihat ruangan
itu sudah sepi hingga yang ketinggalan disitu hanya berapa
orang yang tidak ternama sama sekali. Ternyata bahwa
kepergiannya tadi, telah menyebabkan banyak sekali
pendekar-pendekar ternama di Tiong-goan sudah pada
meninggalkan tempat itu menuju kedaerah masing-masing,
dan diwaktu dia sapukan matanya pada sekeliling tempat
itu, dia tidak melihat lagi musuhnya itu, maka dalam hati
dia berpikir: "Musuhku adalah orang-orang yang sudah
ternama, jika aku menantangnya, merekapun tidak
mungkin dapat menyembunyikan diri begitu saja, maka
apakah pula yang perlu kutakuti?" Tapi satu pikiran lalu
melintas dikepalanya: "Tadi orang tua itu mempunyai
Keng-sin-kang yang sukar diduga betapa tingginya, dia
kenal baik kepada Hiong Tee. Maka dengan menilik pada
kecintaannya terhadap saudaraku itu, rasanya sudah
pastilah bahwa dia itu pemimpin dari 'Tiga Dewa Diluar
Dunia', yaitu Peng Hoan Siangjin, belum tahu orang tua itu
hendak mewariskan pelajaran hebat apa lagi kepada Hiong
Tee! Aku pernah menyanggupinya untuk menjenguk Souw
Kho-nio, oleh sebab itu, akupun tidak boleh menghilangkan
kepercayaannya. Setelah mengambil keputusan yang pasti
diapun pergilah untuk menepati janjinya.
Waktu dia berangkat kearah perbatasan propinsi Shoa
Tang, dia lihat disepanjang jalan banyak sekali orang tua
maupun muda yang menggendong barang-barang yang
berat diatas bebokong mereka, tampaknya mereka sangat
lelah karena tengah melarikan diri dari kejaran serdadu-
serdadu, hingga dalam hati dia merasa heran sekali.
Waktu orang tua itu ditanyakan dan mengetahui, bahwa
Leng Hongpun mempunyai dialek bahasa yang sama
sepertinya, diapun mengetahui, bahwa Leng Hong adalah
penduduk sekampung halaman yang baru pulang dari
perantauannya, maka sambil menghela napas dia berkata:
"Sebulan yang lampau pernah turun hujan lebat beberapa
kali, air sungai Hong Hoo pada meluap membobolkan
tanggu-ltanggulnya sehingga seluruh kampung mengalami
kebanjiran hebat sekali, kampungku terpisah dengan
kampung Phui-kee-cun hanya seratus lie lebih, maka masih
keburu menyingkir bersama keluargaku .."
Leng Hong dengan tidak menunggu sampai orang tua itu
selesai berbicara, ia sudah memotong sambil bertanya:
"Loo-pek, kampung Lim-cun bagaimana?"
Orang tua itu menjawab: "Apakah yang dimaksudkan
olehmu bukan Lim-cun sebelah barat yang terpisah lima
puluh lie dari Kho-kee-cun" Disanapun dikuatirkan sudah
menjadi lautan besar pula!"
Setelah mengucapkan terima kasihnya, diapun berpamitanlah dari orang tua itu.
Waktu dia memikirkan Toa Nio bersama anak daranya
yang cantik tertimpah bencana alam yang kejam ini, dia
pikir bagi mereka lebih banyak celakanya daripada selamat,
hingga hatinya gugup cemas bukan buatan. Mula-mula dia
berniat hendak membentangkan Keng-sin-kangnya untuk
pergi melihat kedaerah itu, tapi, karena kuatir terlampau
menarik perhatian orang, terpaksa ia urungkan niatannya
itu. Begitulah sejak pagi dia berjalan sampai senja, tanpa
makan tengah hari. Disepanjang jalan benar saja terlihat
banyak sekali penduduk yang mengalami bencana alam ini
melarikan diri dengan berbondong-bondong, hingga hatinya
merasa tertusuk sekali menyaksikan kesengsaraan penduduk itu. Dan setelah terpisah dengan kampung Lim-
cun kurang lebih seratus lie lagi, dia tanyakan pada salah
seorang penduduk tentang keadaan dalam kampung itu,
dari siapa ia diberitahukan bahwa kampung yang
dimaksudkan itu dan sekitarnya sejauh sepuluh lie, baru
kemarin malam saja digenangi air.
Mendengar keterangan begitu, Leng Hong jadi terkejut
seperti orang disamber geledek saja, hingga untuk sesaat dia
berdiri terpaku, merasa pilu sekali berpikir, cara bagaimana
dia harus menolongi Ah Lan ibu dan anak"
"Rumah gubuknya itu dibangun menyender dengan
gunung," pikirnya, "daerah disekelilingnya memang juga
cukup tinggi, bila mereka naik diatas puncak gentingnya,
untuk setengah hari mungkin air belum dapat melandanya.
Sekarang kampung Lim-cun sudah habis digenangi air,
perjalanan sukar dijalani, lebih baik aku pergi kesana
dengan menyewa perahu saja."
Dengan mengeluarkan ongkos yang cukup besar, lalu dia
menyewa sebuah perahu, dan dengan berlawanan dengan
arah banjir, mereka menuju ketempat yang dimaksudnya
itu. Pada saat itu air yang mengalir sangat deras sekali,
tukang perahu itu
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan mengeluarkan seluruh kekuatannya mendayung perahunya, tapi lajunya perahu itu
tetap perlahan sekali, hingga hati Leng Hong bertambah
gugup saja. Lalu dia minta satu pengayuh lagi, dan sambil
mengeluarkan tenaga-dalamnya,
diapun bantu mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendayung
perahu itu, hingga dengan mendayung berduaan dapat juga
mereka membuat lajunya perahu itu menjadi pesat juga.
Setelah berlayar tiga jam lamanya, pada saat itu sudah
tengah hari, tukang perahu sudah kehabisan tenaga, maka
diapun tidak dapat melanjutkan mendayung lagi, dia sudah
hendak mengasoh untuk memelihara semangatnya, tapi
Leng Hong tidak menghiraukannya dan dengan seorang
diri saja kini dia mendayung pearhu tersebut.
Sebentar kemudian banjir itu semakin bertambah tinggi
dan hebat, sedangkan jalanan tidak dapat dikenali lagi, dan
sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah air belaka,
hingga dalam hati Leng Hong mengetahui, bahwa daerah
ini terpisah dengan Lim-cun sudah tidak berapa jauh lagi,
maka sambil menghempos semangatnya dia mendayung
terlebih giat lagi.
Dia lihat disepanjang jalan yang dilewatinya, seluruh
rumah sudah digenangi air bah, hingga banyak penduduk
yang naik diatas pohon atau atap rumah yang tinggi,
dengan ditangan mereka memegang obor yang menyala.
Orang banyak ketika melihat Leng Hong mendatangi
kearah mereka, obor mereka lalu dibolang-balingkan sambil
berteriak-teriak minta pertolongan.
Leng Hong yang memikirkan keselamatannya Ah Lan
ibu dan anak, dia berpura-pura tidak mendengar teriakan-
teriakan orang banyak, hanya berlayar terus saja dengan
hati yang penuh kekuatiran.
Kini terpisah dengan kampung Lim-cun sudah semakin
mendekat, hingga hatinyapun bertambah tegang, tangannya
sudah berkeringat, sedangkan didalam hati dia berpikiri:
"Asalkan .. asalkan mereka naik diatas genting saja, maka
mereka masih mungkin dapat ditolong."
Perahu kecil itu lalu masuk kedalam kampung Lim-cun.
Pada saat itu dengan hati berdebar-debar Leng Hong
memandang keempat penjuru, dia hanya melihat air
melulu, seluruh bangunan dikampung itu sudah digenangi
air bah, hingga hanya ada berapa batang pohon Gouw
Tong saja yang masih terlihat cabangnya diatas permukaan
air banjir itu.
Hatinya menjadi tawar sekali, dia yang sudah
mendayung sehari semalam, seluruh tenaganya sudah
habis, kini melihat pengharapan satu-satunya hilang pula,
maka seluruh badannya dirasakan lemas sekali, maka
dengan tidak disadarinya lagi dayungnya jatuh kegeladak
perahu, sedangkan orangnyapun turut jatuh semaput.
Leng Hong yang sejak kecil sudah ditinggal oleh kedua
orang tuanya, dia terus dipelihara dengan kasih sayang oleh
Toa Nio. Terhadap Ah Lan dia paling baik sekali, karena
sekalipun mereka tidak terang-terangan menyatakan
kesayangan mereka masing-masing, tapi dengan tindak-
tanduknya terang sekali lebih menang daripada perkataan
yang diucapkan itu. Dia hanya berharap dapat membalaskan sakit hati kedua orang tuanya, sebelum itu
dia ingin mencari buah Hiat-ko untuk menyembuhkan
pandangan Ah Lan, kemudian .. membawa Ah Lan serta
ibunya kesatu tempat yang indah seperti dalam lukisan ..
tapi, sekarang" Mimpi indah yang dibayangkannya itu kini
telah buyar seluruhnya ..
Leng Hong rasakan dadanya panas, kemudian dingin,
seakan-akan dia dapat mendengar darah yang mengalir
ditubuhnya, darah yang mengalir dijantungnya, jantung itu
seakan-akan pecah dan hatinyapun turut pecah pula ..
Kemudian dia menarik napas, sambil membantah:
"Dunia ini ternyata tidak kekal, hingga apa saja selalu
berubah-ubah, sehingga hanya barang logam seperti
tembaga saja yang tak mudah berubah."
Benar, penghidupan didunia ini memang penuh dengan
kesengsaraan: berpisah hidup, berpisah mati, putus
harapan, kepedihan, dan masih ada apa lagi yang perlu
diharapkan"
Dalam saat itu juga, dia rasakan antara dunia dengannya
seolah-olah tidak ada hubungannya lagi, sedangkan
pikirannya seakan-akan sedang memasuki satu dunia yang
lainnya pula ..
Leng Hong lalu berkata pada dirinya sendiri: "Ah Lan,
Ah Lan, kau jangan menangis. Twako akan datang
menemanimu!"
Tengah dia mabuk kepayang ini, sekonyong-konyong
belakangnya didorong orang, hingga dengan terkejut dia
bangun berdiri, dan waktu dia balikkan kepalanya
memandang, dia lihat orang itu adakah si tukang perahu.
Ternyata waktu dia jatuh semaput tadi, tukang perahu
sudah siuman dari tidurnya, dan setelah dia nyalakan api,
dia lihat Leng Hong dengan muka pucat terbaring digeladak
perahunya, mukanya tidak tampak warna darah. Dan
tatkala melihat muka pemuda kita yang sedang terlongong-
longong dan seakan-akan sedang memikirkan sesuatu,
sekonyong-konyong dia lihat pemuda kita tertawa dan lalu
berkata pada dirinya sendiri, hingga dengan tidak sabaran
lagi dia telah mendorong tubuh pemuda kita.
Sesudah terbangun dari melamunnya dan menyadari apa
yang telah terjadi atas dirinya, hatinya merasa pilu dan
cemas, sehingga diapun tidak berani memikirkan masa
depannya. Pada saat itu haripun sudah pagi lagi, lalu dia
perintahkan tukang perahu berlayar balik. Mengikuti aliran
air laju perahu sangat pesat sekali, hingga tidak sampai dua
jam lamanya merekapun sudah sampailah dipantai pula.
Leng Hong setelah turun dari perahu dan mencampurkan diri diantara korban bencana banjir itu, dia
perhatikan satu-persatu orang yang mengalami bencana itu,
tapi diantara mereka dia tidak menemui orang yang
dicarinya. Maka dengan putus harapan diapun tidak mau
lagi bercampuran dengan penduduk yang mengalami
bencana itu, sedangkan pikirannya hanya ditujukan pada
satu jurusan saja, yaitu pulang.
Jalan yang diambilnya kini tidak lagi jalan besar,
melainkan jalan kampung yang kecil dan memotong jalan,
agar supaya lebih cepat sampainya, dari situ dia mengambil
jalan gunung yang sepi dan lengang. Kalau lapar dia makan
buah-buahan yang terdapat dijalanan, sedangkan minumnya dia minum air sungai yang jernih. Jalan gunung
itu yang tidak putus-putusnya, seakan-akan tidak ada
ujungnya, maka dalam hati Leng Hong berpikir: "Biarlah
bila ujung jalan ini dijumpai, itulah berarti bahwa
nyawakupun sudah sampai."
Begitulah dia berjalan tanpa tujuan, dan tatkala berjalan
sudah berapa hari lamanya, kini dia melihat disebelah
depan terdapat satu jalan yang menuju ke Cee Leng, hingga
hatinya terkejut dan berkata: "Souw Kho-nio tinggal di Cee
Leng, baiklah aku menjenguknya sekali saja, setelah itu,
aku akan mencari pembunuh orang tuaku, kemudian .."
Diapun tidak mengetahui lagi apa
yang hendak dikerjakannya selanjutnya.
Leng Hong setelah masuk kedalam kota, otaknya terasa
kosong melompong, tujuannya hanya satu, yaitu berjalan
terus .. Setelah dia lewati lagi gang, kemudian didepannya dia
melihat pintu besar berwarna hitam dan diatas pintu itu
tergantung besi pengetuk pintu yang tampak kuning seperti
mas, didepan pintu itu terdapat dua orang serdadu penjaga,
hingga diapun segera mengetahui, bahwa itulah tempat
tinggal Tie-hu (kurang lebih sama dengan bupati). Lalu dia
jalan menghampiri sambil bertanya: "Saudara, apakah
rumah ini rumah Kong Koan dari Tie-hu" Aku Gouw Leng
Hong ingin mencari dan bertemu dengan nona Souw Hui
Cie." Penjaga pintu tersebut ketika melihat wajah pemuda kita
yang kini berpakaian sangat kotor dan tidak keruan, tapi
wajahnya tampak tampan sekali, lagi pula waktu
mendengar bahwa dia menanyakan anak angkat Tie-hu itu,
diapun segera mengetahui, bahwa pemuda kita tentulah
orang yang mempunyai asal-usul yang terang, oleh karena
itu, tanpa berani berlaku ayal-ayalan lagi dia lalu masuk
kedalam untuk melaporkannya.
Berselang sejurus antaranya, lalu keluar seorang yang
tampaknya seperti orang pesuruh dari orang berpangkat itu,
yang dengan laku sangat hormat sekali lalu berkata: "Gouw
Kong-cu silahkan masuk, Sio-cia sedang menantikan
diruangan tamu."
Baru saja dia jalan setengahnya, Souw Hui Cie sudah
datang menyambutnya, Leng Hong melihat dia tersenyum
manis sekali bagaikan bunga yang sedang mekar, wajahnya
tampak sangat gembira. Selama beberapa bulan tidak
berjumpa ia tampak agak lebih kurus, tapi mukanya tampak
bertambah cantik.
Leng Hong sambil memberi hormat lalu berkata: "Souw
Khonio, apakah kau baik-baik saja selama ini" Aku bersama
Hiong Tee sebenarnya ingin datang bersama-sama, tapi
ditengah jalan dia dipanggil pergi oleh seorang Loo-cian-
pwee, maka untuk itu dia mengirim salam kepadamu dan
menanyakan tentang kesehatanmu."
Souw Hui Cie dengan segera menjawab dengan lemah-
lembut: "Gouw Kong-cu silahkan masuk kedalam, tempo
hari begitu kita saling berpisah, hatiku sangat memikirkan
tentang kau saja, setiap hari aku senantiasa menantikan
kedatanganmu untuk menjenguk .." Waktu dia berkata
sampai disitu, seakan-akan dia dapatkan yang perkataannya
itu agak tidak sesuai, hingga dengan muka merah dia lalu
berhenti berkata-kata.
Leng Hong yang melihat sepasang matanya yang indah,
tidak terasa lagi dia terpikir akan diri Ah Lan, sedangkan
didalam hatinya dia berkata: "Ai, sungguh banyak
miripnya! Hanya yang satu begitu beruntung sekali,
sedangkan yang lainnya mengalami bencana yang sangat
menyedihkan. Oh, Tuhan, mengapakah kau tidak adil
sekali?" Hwie Cie yang melihat pemuda dihadapannya tiba-tiba
tinggal terpekur saja, hatinya jadi merasa heran, dan
bersamaan dengan itu, tidak terasa lagi perasaan sayang dan
kasihannya semakin jadi mendalam.
Dengan suara yang lemah-lembut dia berkata: "Gouw
Kong-cu, apakah kau datang dari daerah kebanjiran?"
Leng Hong menganggukkan kepalanya, kemudian Hwie
Cie melanjutkan perkataannya: "Sungai Hong Hoo (sungai
kuning) setiap tahun selalu menimbulkan bahaya banjir,
para pembesar yang diharuskan bertugas membetulkan
tanggul-tanggul sungai itu, biasanya hanya pandai memeras
rakyat saja dengan jalan memungut pajak dari rakyat jelata
yang katanya untuk dipakai membetulkan tanggul-tanggul
itu, tapi kenyataannya uang yang didapatkan itu masuk
kantongnya sendiri, sehingga waktu bahaya banjir datang,
siang-siang mereka sudah melarikan diri meninggalkan
rakyat yang pernah diperasnya, hingga ayah angkatkupun
sangat geram menyaksikan tingkah laku pembesar-
pembesar itu, dan diapun sudah ingin melaporkan
kekejadian ini kepada gubernur."
Leng Hong menjadi tergerak hatinya mendengar
perkataan nona ini, semulanya dia ingin membuka mulut
untuk menanyakan lebih lanjut, tapi karena Hwie Cie
kelihatannya sangat girang sekali, maka dia tidak sempat
mengajukan pertanyaannya, lebih-lebih ketika sinona
berbicara terus dan tidak henti-hentinya, menceritakan
tentang kisahnya sendiri.
Ternyata tempat nona Hwie Cie menyenderkan dirinya
pada sahabat ayahnya adalah seorang Tie-hu (bupati) she
Kim, begitu dia lihat nona Souw ini, orang tua ini jadi
sangat girang, dan atas penuturan nona ini, dia merasa
terharu sekali, hingga dengan segala senang hati dia suka
menerima anak dara kawannya untuk tinggal bersama-sama
dengannya. Orang tua itu sudah berumur lima puluh tahun lebih, dan
dia sangat menyayangi sekali terhadapnya, dan dia sering-
sering menghela napas karena dia tidak mempunyai anak
laki-laki maupun anak perempuan, oleh karena itu, dia lalu
angkat orang tua itu sebagai ayah angkatnya, hal mana
telah menyebabkan orang tua itu merasa sangat girang
sekali. Sebenarnya Leng Hong ingin pamitan, tapi melihat
nona itu menceritakan kisahnya dengan gembira, tidak tega
rasanya untuk meninggalkan dia dengan segera.
Hwie Cie setelah berkata-kata demikian, dia lihat
pemuda kita sangat memperhatikan kisahnya, hingga
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diapun menjadi sangat girang didalam hatinya.
Sekonyong-konyong dia berkata: "Gouw Siang-kong,
kau lihatlah, karena saking girangnya, sehingga aku berlaku
sangat tolol sekali. Kau yang telah datang dari tempat yang
jauh, tentu sekali sangat lelah, aku malah mengoceh tidak
keruan, baiklah kau mandi dan tukar pakaian dahulu,
kemudian kau boleh beristirahat."
Sesudah itu dia perintah babu untuk menyediakan air
panas, untuk Leng Hong mandi.
Leng Hong setelah mandi dan bertukar pakaian, dia
rasakan badannya amat segar sekali, tapi perasaan itu hanya
hinggap sebentaran saja, sebab pikirannya kemudian
menjadi ruwet demi memikirkan sesuatu yang dialaminya.
Hwie Cie menunggu Leng Hong, setelah pemuda itu
selesai mandi, lalu diantarkan kekamar tidur sambil berkata:
"Kau baiklah beristirahat sebentar, setelah kau bangun, lalu
kita boleh makan malam, baru sesudah itu kita boleh
melanjutkan cerita kita yang belum selesai."
Setelah waktu makan tiba, Leng Hong lalu mengikuti
babu untuk bertandang kekamar siocianya, yang setelah
melewati dua lorong, dihadapannya terlihat sebuah pintu
bundar, dan babu itu lalu berkata: "Inilah tempat tinggal
Sio-cia kita."
Leng Hong setelah masuki kamar bundar itu, hidungnya
lantas dapat menangkap hawa yang harum semerbak,
ternyata dalam taman disitu ditanami pohon-pohon bunga
melati, dibelakang gunung-gunungan buatan terdapat air
mancur, yang diwaktu sinar puteri malam jatuh diatas air
terjun itu, tampak memancarkan warna-warni yang gilang-
gemilang, hingga pemandangan itu sungguh luar biasa
sekali indahnya.
Leng Hong melihat Hwie Cie sedang menantikannya
dengan duduk dipinggir sebuah meja, diatas mana sudah
diatur hidangan dan sayur-mayur, kemudian dia dipersilahkannya duduk disisinya.
Dengan lemah-lembut ia berkata: "Apakah Kho-nio
sudah lama menantikan aku?"
Dengan tertawa Hwie Cie menjawab: "Gouw Siang-
kong, ternyata kau terlampau sopan-santun. Mari, kita
minum arak dahulu." Waktu dia mengucapkan perkataan
'kita', tidak terasa lagi dia merasa sedikit malu.
Leng Hong tanpa tujuan tertentu lalu mengangkat
cangkir araknya untuk minum isinya, dengan mana Hwie
Cie pun menelad sedikit malu.
Dengan perkataan yang lemah-lembut Hwie Cie coba
menghibur pemuda kita, Leng Hong yang hatinya penuh
diliputi kesedihan, dia berpikir untuk menghilangkan
kesedihannya itu dengan jalan minum arak, begitulah
secangkir demi secangkir dia hirup araknya.
Si nona sendiripun minum secangkir pula, hingga
mukanya menjadi agak merah. Dibawah sorotan sinar
lampu minyak, pipinya yang berwarna putih kini tampak
bersemu dadu, hingga tampaknya begitu indah bagaikan
sekuntum bunga yang baru mekar saja.
Sekonyong-konyong dia berkata: "Hari itu aku berjumpa
dengan tuan Lie .. Lie Siang-kong panggil kau Twako,
bukan" Dia sungguh mengagumimu, aku .. akupun
mengharapkan, bahwa pada suatu hari akupun dapat
memanggilmu dengan sebutan Twako juga, bukankah hal
itu sangat baik sekali?"
Leng Hong sudah agak dipengaruhi oleh susu macan,
melihat sinona sungguh indah dan cantik sekali, diapun
berkata: "Akupun sangat mengharapkan sekali akan
mempunyai seorang moay-moay (adik perempuan) sepertimu."
Dengan penuh rasa girang yang memuncak Hwie Cie
berkata: "Twako, benarkah hal itu" Kau tak usah panggil
aku dengan sebutan Souw Kho-nio lagi, ibuku panggil aku
Siauw Hwie, kaupun boleh panggil begitu
juga terhadapku."
Kemudian diapun melanjutkan: "Twako, sejak kepergianmu, aku sungguh memikirkan dirimu saja, setiap
hari aku menghitung-hitung hari lalu, aku ketahui bahwa
kau pasti akan datang kepadaku. Pagi hari ini aku dengar
burung gereja berkicau didahan pohon, hingga akupun
mengetahui, bahwa kau pasti akan datang."
Leng Hong berkata: "Siauw Hwie Moay-cu, aku .. aku."
Siauw Hwie lalu melanjutkan perkataannya: "Tak usah
kau katakan Twako, akupun mengetahui yang kaupun
senantiasa memikirkan tentang diriku, bukankah begitu?"
"Ayah angkatku yang melihat aku senantiasa tidak
bergembira, mengira bahwa aku jatuh sakit. Twako, hatiku
senantiasa merasa risau sekali. Twako, kau tidak akan
meninggalkan aku lagi ya" Aku tahu bahwa kau tidak suka
tinggal disini, bila kau ingin mengembara dikalangan Kang-
ouw, masakah aku tidak ingin turut bersamamu?"
Leng Hong yang mendengar perkataan si nona yang
penuh rasa kasih sayang, hatinya merasa tergerak dan
terharu sekali. Hwie Cie duduk dekat sekali dengannya,
hingga hawa wangi yang memancar dari tubuhnya dapat
dirasakan oleh Leng Hong.
Dia sendiri memangnya tidak begitu gemar minum arak,
pada saat itu dia bermaksud untuk menghilangkan
kesedihannya dengan jalan menenggak arak, dan kini waktu
dia angkat kepalanya memandang pada nona Souw,
ternyata si nona tengah memandang padanya dengan
perasaan cinta yang mendalam sekali.
Leng Hong rasakan matanya itu begitu lembut dan
mesra, dia kini yang sudah kena dipengaruhi susu macan
darahnya agak naik, setelah memandang pula, diapun tidak
dapat lagi mengendalikan gelora hatinya, maka dengan
serta-merta lalu dia ulurkan tangannya memegang tangan si
nona sambil berkata: "Moay-cu (adik, dinda) kau sungguh
cantik sekali."
Hwie Cie yang dicekal tangannya, tidak berusaha untuk
melepaskannya, dia biarkan saja diusap-usap oleh pemuda
kita, dia rasakan tangan Leng Hong yang hangat terus
menjalar keseluruh tubuhnya, hatinya merasa lemas dan
mesra sekali. Dia yang sejak kecil sudah ditinggal mati oleh ibunya,
sekalipun ayahnya sangat mencintainya, tapi selama berapa
tahun berselang, dia yang sudah sebatang kara, bila
dimalam terang bulan hanya duduk sendirian menggadangi
bulan, sungguh hatinya merasa kosong dan kesepian sekali,
tapi kini hatinya sudah terisi, sehingga dunia kini sudah
berubah begitu indah, dengan segala-galanya yang ada
dimuka bumi ini menjadi serba indah pula seluruhnya!
Demikianlah khasiatnya .. cinta!
Leng Hong dengan penuh kemesraan memanggil:
"Moay-cu!"
Hwie Cie dengan lembutnya menyahut: "Twako, ada
apa?" Leng Hong dengan terputus-putus berkata: "Aku .. aku ..
ingin sekali mencium matamu .."
Hwie Cie merasa sangat malu sekali, dia yang memang
bertabiat sopan dan lemah-lembut, melihat mata Leng
Hong tengah memandangnya seakan-akan menantikan
jawahannya, diapun tidak tega untuk menolaknya, begitu
juga dalam sanubarinya memang dia tidak ingin
menolaknya. Lalu, dia meramkan matanya begitulah dia menantikan
ciuman pemuda kita, dalam detik-detik itu dia tidak
inginkan segala apapun didunia ini .. semuanya
dirasakannya bagaikan awan putih yang tengah berarak-
arak diatas langit tidak ada gunanya.
Setelah itu, dia merasakan pemuda kita menciumi
matanya berulang-ulang, dalam hati dia berkata: "Dia
sungguh seorang jantan sejati, cuma dia terlampau kuno
sekali dan kering."
Waktu kemudian dia meleki matanya kembali, dia lihat
pemuda kita seakan-akan seorang yang sedang mabuk
kepayang, dalam hati dia berpikir: "Twako, dikuatirkan kau
mabuk karena terlampau gembira agaknya, bukankah?"
Sekonyong-konyong, dari luar jendela terdengar suara
helaan napas seseorang yang amat sedihnya.
Leng Hong yang sedang merasakan puncak kenikmatannya dalam lembah asmara, sekalipun dia
mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, dia tidak
mendengar suara helaan napas orang diluar jendela,
berhubung pikirannya sedang tenggelam dilautan asmara,
sedangkan Hwie Cie sendiri juga tidak mendengar suara itu
karena diapun sedang merasakan kemesraan bercinta kasih,
pada saat itu harapannya adalah bila mungkin dunia ini
tidak berjalan ataupun berkisar, sedangkan detik-detik tidak
berjalan agar dia dapat menikmati kemesraan cinta itu lebih
lama pula, dari itu, dimanalah dia mendengar suara helaan
napas diluar jendela tersebut"
Kejadian didunia ini memang seperti juga sudah diatur
oleh yang berkuasa, andaikata suara helaan napas itu
terdengar oleh Leng Hong dan dia buru-buru mengejarnya,
maka pasti sekali penghidupannya akan mengalami
perubahan yang besar sekali.
Ternyata dibalik gunung-gunungan palsu, duduk seorang
wanita yang lemah-lembut, dia ini tidak henti-hentinya
menangis, waktu angin malam meniup pipinya, dia
bergemetaran karena dinginnya tapi rasa dingin itu jauh
lebih ringan bila dibandingkan dengan perasaan hatinya
yang merasa putus asa dan pilu sekali.
Setelah dia menangis puas, perasaan marahnya mulai
hilang, dan suatu perasaan yang seumurnya belum pernah
dirasakannya, telah bersarang didalam dadanya.
"Orang lain adalah anaknya orang besar, aku hanya
seorang .. aku hanyalah seorang gadis desa yang buta,
bagaimana dapat dibandingkan dengan orang lain?" Dan
hatinya berpikir lebih jauh: "Twako, akupun tidak
menyalahkanmu, aku sesungguhnya tidak pantas menjadi
pasanganmu! Twako, kau tidak usah memikirkan pula
tentang gadis desa yang bodoh, baiklah kau kawin dengan
nona Souw saja." Dia yang dari kecil sampai besar
dibesarkan dalam lingkungan desa, seumurnya belum
pernah mengalami perbuatan dusta dan palsu, diapun
belum pernah merasakan dirinya tertipu oleh orang lain,
dan sekarang barulah dia rasakan perasaan itu, karena dia
rasakan orang yang seumurnya menjadi idam-idamannya,
dia mengira bahwa pemuda kita adalah seorang laki-laki
yang sempurna, tapi ternyata akhirnya dapat menipunya
juga, dengan jalan memindahkan kasih sayangnya pada lain
gadis, segala impiannya yang muluk dan indah kini sudah
buyar laksana asap tertiup angin, hingga yang ketinggalan
sekarang hanyalah perasaan sedih dan pilu saja, maka
saking pilunya, dia merasa seakan-akan hatinya sedang
dimakan oleh seekor ular yang berbisa.
Cinta akhirnya memenangkan segala-galanya, diapun
tidak merasa dendam kesumat pada kekasihnya karena dia
berpikir: "Aku masih tetap mencintai Twako, aku ingin
Twako senantiasa sehat-sehat saja, asal saja dia selalu segar
bugar, apa lagi yang aku inginkan" Twako dengan nona
Souw adalah pasangan yang setimpal dan cocok sekali, aku
mengapa harus menyelak diantara mereka,
untuk menyusahkan Twako saja" Pergi! Pergi! Biarlah aku pergi
sejauh-jauhnya untuk membiarkan melaksanakan cinta
kasih mereka!"
Lalu dia bangkit dan berjalan perlahan-lahan waktu sinar
puteri malam menyinari tubuhnya, maka terbentuklah
bayangan panjang yang berpeta dibumi.
Sekalipun dia tidak melihat bayangannya sendiri, tapi
dalam hati dia berpikir: "Mulai hari ini, aku adalah seorang
yang sebatang kara, bayangan, oh bayangan, hanya engkau
saja yang senantiasa menemaniku !"
Perlahan-lahan diapun sudah pergi jauh sekali, seorang
yang berbudi luhur mengalami nasib yang demikian
memilukan hati, perlahan-lahan bayangannya ditelan oleh
kegelapan malam yang tidak berbatas ..
Keesokan harinya Leng Hong lalu minta diri dari nona
Souw. Hwie Cie yang mengetahui bahwa pemuda kita ingin
menuntut balas sakit hati orang tuanya, diapun tidak
berusaha untuk menghalang-halanginya, baru saja Leng
Hong ingin berangkat, sekonyong-konyong hatinya tergerak
dan diapun berpikir: "Ayah angkatnya Souw Kho-nio
adalah pejabat Tie-hu dari daerah delapan kewedanaan di
Shoa-tang barat, aku mengapa tidak coba menyelidiki
jejaknya Ah Lan ibu dan anak?"
Dalam pada itu diapun berkata pada Hwie Cie, waktu
Hwie Cie mendengar pemuda kita dalam menyebutkan
nama An Lan, perasaannya begitu penuh kasih dan sayang,
hingga tidak terasa lagi hatinya merasa sedikit tidak enak.
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diapun berdiam diri sebentar, dan satu pikiran melintas
diotaknya, sudah beberapa kali dia berusaha untuk
mengatakannya, tapi perasaannya yang lebih mementingkan diri sendiri melarangnya akan berbuat
demikian. Didunia ini, bagi wanita kebanyakan, perasaan
mementingkan diri sendiri dan cemburu adalah paling
menonjol, maka dengan berperasaan demikian, hal ini
akhirnya dapat membuat seorang wanita yang tadinya
lemah-lembut dan berbudi luhur berubah menjadi seorang
wanita yang kejam dan jahat.
Begitulah perasaan tersebut berperang dalam hatinya
Hwie Cie, dia yang memangnya anak seorang pembesar
pula, sejak kecil sudah dibiasakan dimanja oleh ayahnya,
dia yang memang sangat cerdik, kemarin malam waktu
Leng Hong datang dan bercakap-cakap, dia telah lihat
mukanya sedikit berubah, waktu itu dia kira karena pemuda
kita tengah diganggu oleh banyak pikiran, tapi nyatanya dia
hanya dapat menebak separuh. Pada saat ini setelah dia
mendengar kata-kata pemuda kita, maka seluruhnya telah
menjadi terang benderang. Dia tahu, andaikata dia
menjelaskan hal yang sebenarnya, maka kebahagiaannya
akan lenyap pada saat itu juga, tapi ajaran ayahnya sendiri
yang bengis, seakan-akan masih mengiang-ngiang
ditelinganya. Pada saat ini, dia rasakan jika dibandingkan
dengan keadaan sepuluh tahun yang lampau, perasaannya
kini jauh lebih sedih dan goncang.
Akhirnya dia dapat mengambil keputusan yang pasti,
karena satu tindakan yang didorong oleh pertimbangan
yang luhur akhirnya telah memenangi perasaannya yang
bersifat terlampau mementingkan diri sendiri itu. Maka
dengan suara yang agak gemetar dia bertanya: "Nona Ah
Lan yang kau maksudkan itu, apakah bukannya wanita
yang bertubuh kecil langsing?"
Leng Hong yang lama sekali tidak mendengar dia
menjawab, seakan-akan sedang memikirkan satu soal yang
sulit, kini waktu secara sekonyong-konyong dia ditanyakan
olehnya, dia masih mengira bahwa nona itu menanyakan
soal Ah Lan dengan jelas dan bermaksud untuk membantu
untuk mencarinya, maka tidak terasa lagi diapun merasa
sangat berterima kasih sekali dan berkata: "Siauw Hwie
Moay-cu, Ah Lan memang benar seperti apa yang kau
katakan itu, aku harap kau perhatikan sungguh-sungguh,
kedua matanya adalah buta."
Hwie Cie kemudian memanggil pada budaknya sambil
diperintahkan: "Lekas kau panggil Ah Lan Kho-nio datang
untuk menjumpai Gouw Siang-kong!"
Begitu perkataan ini diucapkan, Leng Hong merasa
diluar dugaan sama sekali, dia seakan-akan tidak dapat
mempercayai atas pendengarannya sendiri, buru-buru dia
bertanya: "Moay-cu, kau .. kau mengatakan apa?"
Budaknya itupun tidak mengerti jelas maksud majikannya, maka sambil membelalakan matanya ia
memandang pada nona majikannya sambil berdiri terpekur
disitu. Hwie Cie berkata pula: "Aku menyuruhmu untuk
memanggil nona Ah Lan datang kemari."
Budak itu kini barulah mengerti jelas perintah
majikannya, sambil mengeluarkan suara 'ahhhh' buru-buru
dia berlari-lari melaksanakan tugasnya, Leng Hong yang
tidak dapat mengendalikan lagi perasaannya, buru-buru
berlari juga sambil mengikuti budak itu.
Hwie Cie yang menampak sinar pandangannya pemuda
kita luar biasa girangnya, dan hal itu teranglah
menunjukkan perasaan cinta yang sangat mendalam
terhadap Ah Lan, hingga tidak terasa lagi hatinya menjadi
hancur dan diapun berputus harapan, dan sambil menutupi
mukanya, buru-buru diapun lari kedalam kamarnya, dari
mana dengan sekonyong-konyong dia mendengar suara
Leng Hong yang bergemetar sedang menanyakan budaknya. "Dia .. bagaimana .. jam berapa .. meninggalkan tempat
ini?" Budak itu menjawah: "Kemarin malam."
Leng Hong lalu bertanya pula: "Dia mengapa secara
sekonyong-konyong ingin meninggalkan rumah ini?"
Kedengaran suara budak itu menyahut: "Aku tidak tahu,
waktu dia ingin meninggalkan tempat ini, dia telah
menitipkan sepucuk surat yang dipesannya untuk disampaikan pada Gouw Siang-kong, kepala rumah tangga
yang mengurus budak-budak karena melihat dia bukanlah
seorang budak biasa, melainkan adalah orang yang telah
ditolong oleh majikan kita, maka waktu dia memaksa
hendak meninggalkan tempat ini, diapun tidak berani
menghalanginya maupun melarangnya."
Dengan perasaan yang gugup Leng Hong berkata:
"Lekas kau berikan suratnya itu kepadaku."
Dia yang mengengtahui bahwa Ah Lan masih hidup
didunia maya ini, hatinya girang tidak kepalang, dia tidak
mengerti mengapa dia ingin meninggalkannya .. dia telah
melupakan perbuatannya semalam akibat terlampau banyak
minum susu macan.
Setelah dia sambuti surat itu, dan baru saja bermaksud
untuk membukanya, tiba-tiba dari belakangnya terdengar
suara yang lemah-lembut mengatakan: "Twako, kau
sendiripun harus baik-baik menjaga dirimu sendiri."
Waktu dia menolehkan kepalanya memandang, ternyata
orang itu adalah Hwie Cie yang kini mukanya penuh tanda
bekas-bekas airmata, hingga tidak terasa lagi dia merasa
terharu sekali, tapi dia yang pikirannya sedang kacau
karena ingin sekali segera mengejar pada Ah Lan, saat itu
tidak dapat mencari daya untuk menghiburnya.
Dia hanya dapat berkata: "Moay-cu, kau sungguh
terlampau baik memperlakukanku. Hatiku mengetahui
jelas, setelah aku dapat mengejar Ah Lan, barulah aku
datang kembali untuk menjengukmu."
Hwie Cie hanya dapat menganggukkan kepala saja
dengan perasaan ingat-ingat lupa. Leng Hong lalu
melambaikan tangan kepadanya, kemudian dengan tidak
menolehkan kepalanya lagi dia sudah lari cepat sekali.
"Aku merasa puas sudah, terhadap cium asmaranya ..
sekalipun dihatinya dia mempunyai kekasih lainnya pula,
tapi, aku sudah merasa puas terhadapnya.
"Hari depan masih banyak bagiku, akupun tidak
bersendirian pula, hal itu patut kuingat seumur hidupku!
Aku, aku .. ingin hidup terus dan beginilah perjalanan
hidupku ini!" Dan tanpa terasa pula air matanya mengalir
turun melalui kedua pipinya.
(Oo-dwkz-oO) Ombak yang besar mendampar-dampar .. itulah suasana
dipulau Tay Ciap Too, sinar matahari yang jatuh dilaut
memperlihatkan warnanya yang kemerah-merahan, hingga
menyebabkan ombak itu menjadi beraneka warna dan
berubah-ubah, sebentar biru sebentar merah, hingga tampak
indah sekali dipemandangan mata.
Sebuah perahu kecil perlahan-lahan menyusur pantai,
sekalipun dasar perahu sudah menyentuh pasir, tapi
sesungguhnya terpisah dengan pantai masih kurang lebih
lima tombak lagi. Diatas perahu kecil itu terdapat dua orang
penumpangnya, seorang yang duduk dikepala perahu kecil
itu adalah seorang pendeta tua, sedangkan diburitan perahu
itu duduk seorang pemuda yang berwajah tampan lagi
muda belia .. tidak usah dikatakan lagi, mereka berdua ini
adalah salah seorang pemilik pulau Tay Ciap Too, Peng
Hoan Siangjin, sedangkan pemuda itu tentu saja bukan lain
daripada Lie Siauw Hiong adanya.
Lie Siauw Hiong setelah berhasil menjatuhkan bangsa
asing yang sangat tangguh itu digunung Kwie San, maka
julukannya 'Bwee Hiang Sin Kiam' sudah menjadi terkenal
dan tersiar luas sekali dalam kalangan Kang-ouw, hingga
ditiap tempat selalu ada orang yang memuji tinggi
kepadanya, tapi sebaliknya orangnya sendiri tidak
mengetahuinya sama sekali, karena sejak dia merobohkan
Kinlungo, dia sudah dengan segera dibawa lari oleh Peng
Hoan Siangjin .. sekarang, dia dan orang tua itu sudah tiba
kembali dipulau Tay Ciap Too.
Disepanjang jalan Lie Siauw Hiong sudah menanyakan
berulang-ulang, tapi Peng Hoan Siangjin hanya diam saja
merahasiakan sesuatu padanya dan dia hanya berkata:
"Pokoknya kau turut denganku, pasti kau akan mendapatkan tidak sedikit kefaedahannya."
Atau bila tidak menjawab begitu, dia hanya mengganda
tersenyum saja, tidak menjawab pertanyaannya itu.
Lie Siauw Hiong sekalipun sangat menghormati serta
menjunjung tinggi terhadap orang tua yang mempunyai
kepandaian yang luar biasa serta sudah memberikan
pelajaran yang hebat kepadanya ini, hatinya masih tetap
merasa bimbang karena sesungguhnya dia masih mempunyai banyak urusan yang belum sempat dia
selesaikan, tapi dia tidak enak untuk memberitahukannya,
hanya dengan diam-diam terpaksa mengikuti saja orang tua
itu. Waktu perahu mereka sudah keluar dari laut, dia yang
baru tahu sekalipun hendak berlaku guguppun percuma
saja, terpaksa dengan menekan perasaannya diapun
berusaha tidak mengingat-ingat urusan yang belum sempat
dia kerjakan itu.
Peng Hoan Siangjin pun tidak mengajak dia bicara apa-
apa, hanya tersenyum-senyum saja dengan penuh rahasia
dan memandang kepadanya sambil duduk dimuka perahu.
Lie Siauw Hiong yang duduk diburitan perahu, kini dia
tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, tapi dengan termangu-
mangu dia duduk disitu, sedangkan hatinya dengan tidak
terasa lagi jadi teringat pula akan jurus demi jurus yang
dialaminya selama bertempur dengan Kinlungo tadi.
Diam-diam dia berpikir sambil berkata pada dirinya
sendiri: "Umurnya Kinlungo itu jika dibandingkan
denganku, tidak terpaut terlampau banyak, paling banyak
dia baru berusia tiga puluh tahun lebih, tapi tenaga-
dalamnya begitu hebat sekali, hingga sejak aku menerima
pelajaran Peng Hoan Siangjin dan setelah mengalami
berapa kali pertempuran hebat, boleh dikatakan tenaga-
dalamku sudah maju pesat sekali. Tapi, berlawanan
dengannya ternyata masih kurang, andaikata Peng Hoan
Siangjin tidak mengajarkan jurusnya yang tunggal itu,
mungkin juga hasilnya akan menjadi lain, karena jurus
tunggal itu adalah yang paling sempurna dan terhehat,
hingga seandainya tenaga-dalam Kinlungo-pun lebih tinggi
sekalipun, sukar juga agaknya untuk menahan jurus tunggal
yang luar biasa itu ..
Tatkala berpikir sampai disitu, tidak terasa lagi dia
menjadi sangat girang sekali, maka dengan tidak disadari
lagi dia sudah terlepasan omong sambil berkata: "Sungguh
hebat, sungguh jitu .."
Dengan sekonyong-konyong Peng Hoan Siangjin pun
menyelak sambil herkata: "Tunggulah, sebentar lagi masih
ada yang jauh lebih hebat dan jitu daripada apa yang kau
duga semula."
Waktu Lie Siauw Hiong mengangkat kepalanya
memandang pada orang tua itu, ternyata Peng Hoan
Siangjin sedang memandang padanya dengan senyumnya
yang penuh arti, sedangkan mukanya tampak sangat puas
sekali, hingga tidak terasa lagi dia merasa sangat heran
didalam hatinya.
Peng Hoan Siangjin sambil tertawa lahu herkata:
"Bocah, kau tentunya pada saat ini sedang memikirkan
tentang pelajaran hebat yang telah kuajarkan, hahahaha,
yang lebih aneh dan lebih hebat masih banyak lagi
dibelakangnya .."
Sekonyong-konyong badan perahu mereka tergoncang
dan tidak dapat maju lebih lanjut, ternyata pantat perahu
mereka telah menyentuh pada batu-batu didasar pasir laut
itu. Peng Hoan Siangjin lahu berseru: "Sudah sampai, bocah
lekas naik kedarat."
Sambil berkata begitu, lalu dia enjot badannya dan
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagaikan seekor burung kepinis tubuhnya sudah melompat
maju sejauh lima tombak lebih, sedang apa yang paling
aneh dari gerakan loncatannya itu, adalah tubuh perahu itu
tidak bergoyang akibat loncatannya itu.
Lie Siauw Hiong diam-diam berkata pada dirinya
sendiri: "Sekali melompat dapat mencapai satu jarak sejauh
lima atau enam tombak, itulah sesungguhnya suatu hal
yang tidak mengherankan, tapi akan tidak menyebabkan
perahu itu tergoncang, kepandaian semacam ini adalah
hebat dan sukar dipercaya, jika umpamanya orang tidak
melihatnya dengan mata kepala sendiri .. tapi aku sendiri
belum sanggup menelad jejaknya itu Hanya tampak diapun
menggerakkan kakinya dan diapun sudah melayang pada
jarak sejauh tiga tombak .. tentu saja perahu itupun tidak
tertolak mundur .. kemudian badannya dengan gerak yang
indah melesat maju lurus sekali dan tempat dia jatuhkan
kakinyapun sudah sampai dipasir yang kering.
Kepandaian yang dimilikinya ini sekalipun tidak sehebat
dan sesempurna seperti yang dimiliki oleh Peng Hoan
Siangjin, tapi bagi orang sebaya dan seangkatannya cukup
memuaskan, hingga Peng Hoan Siangjin yang menyaksikannya juga, tertawa terkekeh-kekeh sambil
berkata: "Bocah, kau cukup hebat, marilah turutku, aku
mempunyai kata-kata yang hendak disampaikan kepadamu
.." (Oo-dwkz-oO) Jilid 33 Dengan tercengang Lie Siauw Hiong terpaksa mengikutnya, tapi ketika baru saja menikung dua putaran,
dalam hutan tersebut lantas tampak sebuah rumah yang
terbikin dari kayu.
Diluar rumah kayu tersebut, disebelah timurnya terdapat
sebilah papan, sedangkan disebelah baratnya terdapat
sebilah bambu, kelihatannya tidak sedap sekali dipandang
mata. Hal mana terang sekali, bahwa pantekan itu adalah
buatannya Peng Hoan Siangdiin sendiri. Lie Siauw Hiong
lalu mendekati rumah kayu tersebut, dimana Peng Hoan
Siangjin lalu menolak pintu rumah kayu itu.
Rumah itu tampaknya tidak sedap dipandang mata, tapi
keadaan didalamnya cukup memuaskan. Karena selain
sinar matahari cukup menyinari keadaan disebelah dalam
rumah tersebut, diatas lantaipun dipasang sehelai permadani pula, hingga Lie Siawu Hiong yang menampak
hal itu, tidak terasa lagi jadi menghela napas menunjukkan
keheranannya. Peng Hoan Siangjin lalu mengambil sebuah bangku yang
berbentuk aneh, sambil tertawa dia berkata: "Kursi ini juga
adalah buatanku sendiri, bagaimana pendapatmu?"
Lie Siauw Hiong menjawab: "Bagus, bagus, hanya .."
Peng Hoan Siangjin sambil mengerutkan keningnya
berkata: "Hanya bagaimana?"
Lie Siauw Hiong menjawah: "Hanya terlampau kotor."
Mendengar jawaban pemuda kita, Peng Hoan Siangjin
jadi tertawa bergelak-gelak, kemudian ia bantingkan
bangkunya itu dan benar saja abu pada meluruk jatuh,
sedangkan tempat yang bekas dipegangnya terdapat bekas-
bekas jari tangannya.
Kemudian Lie Siauw Hiong dengan rupa yang tidak
sabaran lalu bertanya: "Loo-cian-pwee membawa Boan-
pwee kesini, sebenarnya bermaksud apakah?"
Peng Hoan Siangjin lalu memotong perkataan pemuda
kita sambil berkata: "Kau tidak usah tergesa-gesa, baiklah
sebentar lagi aku akan menjelaskannya .. Hm, bocah kau
katakan, didunia ini soal apakah yang paling sukar
dihadapi?"
Dengan perasaan tercengang Lie Siauw Hiong balik
bertanya: "Entah dari sudut manakah yang Loo-cian-pwee
maksudkan?"
Peng Hoan Siangjin menjawab: "Yang aku tanyakan,
adalah orang macam apakah yang paling sukar dihadapi?"
Lie Siauw Hiong setelah terdiam sebentar, lalu
menggelengkan kepalanya.
Dengan muka yang sungguh-sungguh Peng Hoan
Siangjin lalu berkata: "Bocah, aku beritahu kepadamu,
bahwa didunia ini yang paling sukar dihadapi adalah kaum
wanita .."
Tidak terasa lagi Lie Siauw Hiong jadi mengeluarkan
suara "Ihhh", dan hampir saja dia tak tahan lagi untuk tidak
tertawa, maka dengan perasaan tidak sabaran dia bertanya:
"Kenapa?"
Tapi siapa tahu Peng Hoan Siangjin tidak mau
menjawab, selain mengganda tertawa saja atas pertanyaan
pemuda kita itu.
Lie Siauw Hiong jadi terbengong dan dengan perasaan
tidak mengerti jadi memandang wajah orang tua itu dengan
terheran-heran.
Setelah berselang sejurus lamanya, Peng Hoan Siangjin
dengan secara sekonyong-konyong dan sambil tertawa lalu
bertanya: "Hei, bocah, coba kau katakan, kemajuan
pukulanku itu bagaimana?"
Lie Siauw Hiong segera menjawab: "Kepandaian kau
orang tua adalah yang nomor wahid dikolong langit ini .."
Peng Hoan Siangjin lalu berkata sambil tertawa:
"Benarkah" Hm, cobalah kau lihat satu jurusku ini .."
Lie Siauw Hiong hanya mehihat lengan bajunya paderi
tua itu dikebutkan, sepasang tinjunya dibentangkan dengan
berbareng. Diantara pergerakan tinjunya itu terdengar suara
yang mengaung-ngaung, sedang suatu hal yang paling aneh
lagi, adalah Lie Siauw Hiong yang berdiri terpisah hanya
setengah langkah saja dari orang tua itu, sedikitpun tidak
merasakan samberan angin pukulan orang tua itu, karena
kepandaian semacam ini hanya dapat dilakukan oleh
seseorang yang sudah terlatih sehingga mencapai tingkat
yang tertinggi.
Lie Siauw Hiong yang melihat diantara tiga pukulan
orang tua itu, ternyata kehebatannya sungguh tidak ada
batas-batasnya, sehingga tanpa terasa pula dia berdiri
disamping sambil berpikir keras. Pada saat ini tenaga-dalam
maupun kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang
tertinggi, maka setelah menyaksikan Peng Hoan Siangjin
bersilat sejurus lamanya, iapun sudah mengerti seluruhnya,
hingga tak terasa lagi dia berseru: "Ai, aku mengerti sudah
.." Peng Hoan Siangjin tertawa bergelak-gelak, kemudian
sambil melompat dia berkata: "Bocah, mari aku pelajari kau
tipu-tipu ini!"
Lie Siauw Hiong merasa begitu gembira, sehingga tidak
sempat mengucapkan terima kasih pula dan lalu berlompat
menghampiri orang tua itu, yang segera mulai menjelaskan
tipu-tipu silat tadi kepadanya.
Lie Siauw Hiong yang mendengarnya, tidak terasa lagi
hatinya menjadi sangat gembira dan semangat belajarnyapun menjadi terangsang hebat sekali, karena apa
yang diajarkan oleh Peng Hoan Siangjin itu, ia
mendengarnyapun baru pernah kali ini saja. Gerakan-
gerakan pukulan itu sangat luar biasa dan hebat, hingga
dengan mengandalkan kepandaian setinggi yang dimilikinya, pemuda kita ini baru dapat mempelajari
sepuluh jurus saja dari ilmu silat luar biasa itu, setelah dia
berlatih satu hari suntuk. Dan karena asyik dan sungguh-
sungguhnya ia belajar, Lie Siauw Hiong sampai tidak
memikirkan pula tentang pekerjaan-pekerjaannya yang
belum selesai itu.
Terus sampai hari kelima, barulah Lie Siauw Hiong
dapat mempelajari ilmu silat yang sangat hebat itu sehingga
enam puluh jurus banyaknya, dan selama itu sekonyong-
konyong dia berpikir: "Peng Hoan Siangjin membawaku
kemari, apakah disebabkan karena dia hanya ingin
menurunkan pelajaran ini saja kepadaku" Sepanjang jalan
dia terus membungkam dan merahasiakan, sebenarnya dia
bermaksud apakah" Oh! Aku masih mempunyai banyak
sekali pekerjaan yang hendak diselesaikan, tapi mengapa
aku menghamburkan waktuku disini saja?"
Dia pikir bahwa Peng Hoan Siangjin sungguh baik sekali
terhadapnya. Dia sendiri tidak mengetahui apa sebabnya.
"Bila aku terangkan soal yang kuhadapi dengan sebenar-
benarnya, pasti sekali dia akan menyuruhku lekas-lekas
kembali ke Tiong-goan untuk menyelesaikan pekerjaanku
yang terbengkalai itu." Tapi sesungguhnya pelajaran-
pelajaran ini sangat hebat dan aneh sekali, maka diam-diam
dia berpikir: "Ilmu ini memang sangat hebat dan aneh,
maka bila aku melepaskan kesempatan baik ini, bukankah
terlampau sayang sekali?"
Pada saat itu, tiba-tiba dari belakangnya terdengar suara
tertawa yang nyaring sekali: "Bocah," kata suara itu,
"apakah barangkali kau menemui kesukaran dalam
pelajaranmu" Hal ini memang sukar disalahkan kepadamu.
Jurus-jurus pelajaran yang kuberikan ini, namanya disebut
'Kong-kong-ciang-hoat'
(pukulan ditempat kosong). Pelajaran ini adalah yang baru-baru ini saja aku ciptakan,
sehingga pada saat ini barangkali tidak ada pelajaran dari
partai lainpun yang sanggup melayani aku sampai tujuh
puluh dua jurus lamanya .. Hm, kau lihat, bukankah aku
berlaku bodoh sekali" Dengan kepandaianku yang kumiliki
sekarang ini, tentu saja tidak ada seorangpun yang sanggup
bertahan sampai tujuh puluh dua jurus lamanya, bukan?"
Lie Siauw Hiong dengan tidak sabaran lalu bertanya:
"Bagaimana dengan kepandaian Boan-pwee?"
Peng Hoan Siangjin jadi tertawa besar dan lalu berkata:
"Jika kau berlatih terus, barulah kau akan mengetahui
sendiri hasilnya."
Wajah Lie Siauw Hiong
tampak menunjukkan kegembiraannya, maka sambil mengeraskan perasaan
hatinya, diam-diam dia berkata: "Perduli apa, bila aku
sudah mewariskan ketujuh puluh dua jurusnya itu barulah
aku akan berlatih pula dengannya."
Peng Hoan Siangjin berkata pula: "Hei, bocah, pelajaran
ini sudah menyebabkan aku siorang tua sibuk sehingga
sebulan penuh lamanya, dengan kurang tidur dan makan,
barulah aku berhasil dapat menciptakannya. Setelah kau
dapat mempelajari jurus-jurus tersebut dengan sempurna,
entah dengan jalan bagaimana kau harus menyatakan
terima kasihmu kepadaku?"
Lie Siauw Hiong yang pada saat itu tengah diliputi
perasaan yang riang gembira, dengan sungguh-sungguh dia
berkata: "Apa yang hendak Siangjin perintahkan kepada
Boan-pwee, pasti sekali akan kulaksanakan dengan taat."
Peng Hoan Siangjin tinggal tetap tertawa dan lalu
menjawab: "Apakah kau dapat meluluskan satu permintaanku" Aku jelaskan terlebih dahulu kepadamu,
bahwa pekerjaan yang hendak kuminta kau lakukan itu,
adalah suatu hal yang tidak mudah."
Lie Siauw Hiong yang memang gampang dibuat marah
dengan perkataan yang separuh memancing itu, lalu tanpa
berpikir-pikir lagi dan dengan suara lantang dia sudah
menjawab: "Jangankan baru satu, sampaikan sepuluh lagi
masih ada apa sulitnya sih?"
Peng Hoan Siangjin lalu berkata: "Bagus, kau berlatihlah
terus, akan kuberitahukan hal itu belakangan."
Ilmu Kong-kong-ciang-hoat itu sekalipun pada pokoknya
terdiri dari tujuh puluh dua jurus, tapi diantara
perubahannya terdapat sehingga ribuan banyaknya, maka
tidak heranlah bila Peng Hoan Siangjin sebagai seorang
tokoh yang paling hebat dapat menciptakan ilmu luar biasa
itu, sedangkan Lie Siauw Hiong dengan menggunakan
waktu sepuluh hari lamanya, barulah dia dapat mempelajari
ketujuh puluh dua jurus itu dengan sebaik-baiknya, tapi
perubahan-perubahan yang terdapat begitu banyaknya,
belum dapat dia kuasai dengan sesempurna-sempurnanya.
Setelah berlatih lagi lima bari, tanpa terasa lagi Lie Siauw
Hiong sudah berdiam dipulau Tay Ciap Too setengah bulan
lamanya, pada waktu mana kepandaian yang sangat luar
biasa dan hebat milik Peng Hoan Siangjin sudah berhasil
dapat diwariskan olehnya.
Pada hari itu sehabisnya bersantap malam, sekonyong-
konyong Peng Hoan Siangjin berkata kepadanya: "Bocah,
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
coba kau katakan, didunia ini yang paling sukar dihadapi
adalah orang macam apakah?"
Mendengar pertanyaan orang tua ini, Lie Siauw Hiong
menjadi tercengang, diam-diam dia berkata: "Ehhh,
mengapa pertanyaan ini diulang lagi?"
Tapi waktu dia lirikan matanya memandang pada orang
tua itu, ternyata muka Peng Hoan Siangjin menunjukkan
kesungguhan, hingga dalam pada itu dengan tertawa diapun
berkatalah: "Aku tahu, orang itu adalah kaum wanita."
Peng Hoan Siangjin menepuk pahanya sambil berkata:
"Benar! Wanita adalah orang yang paling sukar diganggu,
bila kita berlawanan dengan wanita, maka kita akan
mengalami kerugian."
Dengan perasaan heran Lie Siauw Hiong diam-diam
berkata: "Apakah barangkali. Peng Hoan Siangjin pernah
terbentur pada diri wanita?"
Kemudian terdengar Peng Hoan Siangjin berkata pula:
"Pendeta wanita dipulau Siauw Ciap Too kaupun sudah
pernah melihatnya, bukan" Pendeta wanita ini lebih-lebih
sukar diganggu orang. Aku orang tua pernah bertaruh
dengannya, dan selama ini aku belum pernah memperoleh
keuntungan daripadanya. Tempo hari dengan barisan
kunonya aku pernah terkurung selama sepuluh tahun
lamanya, untung nasibku masih cukup baik, sehingga
namaku tidak sampai terusak, tapi walau bagaimanapun,
aku sudah menderita kerugian yang besar sekali, maka
mulai hari itu, akupun sudah bersumpah pada diriku
sendiri." Lie Siauw Hiong semakin mendengar semakin merasa
heran didalam hatinya, sehingga kemudian diapun lantas
bertanya: "Sumpah apakah itu?"
Dengan paras bersungguh-sungguh Peng Hoan Siangjin
berkata: "Aku bersumpah bahwa seumur hidupku, aku tidak
lagi mau bertempur dengan kaum wanita lagi."
Hal mana, sudah barang tentu telah membuat Lie Siauw
Hiong tertawa dan berkata: "Hal itu tidak cukup aneh .."
Peng Hoan Siangjin lalu bertanya: "Kenapa?"
Lie Siauw Hiong lalu menjawab: "Andaikata Hui Taysu
itu datang lagi ingin bertaruhan denganmu, bukankah hal
itu berarti bahwa kau akan mengalami kerugian belaka?"
Sambil berteriak Peng Hoan Siangjin berkata pula: "Ha!
Benar juga perkataanmu ini, tempo hari aku pernah
ditantangnya dengan mengirimkan kabar melalui burung
dara, yang mengatakan bahwa dia telah berhasil
menciptakan suatu ilmu yang hebat sekali. Dan bagaimana
luar biasanya, katanya lebih lanjut, dia ingin bertarung
denganku. Aku segera kirim balasan kepadanya, bahwa aku
tidak mau menerima tantangannya itu, hingga akhirnya
pendeta wanita yang jahat itu lalu menyiarkan kabaran
diluaran, bahwa aku takut bertarung dengannya, hingga
semakin dipikir, semakin mendongkol rasa hatiku, oleh
sebab itu, maka akhirnya .. maka aku mencarimu dan
membawamu kesini .."
Dengan heran Lie Siauw Hiong berkata: "Mencariku?"
Peng Hoan Siangjin tertawa dengan perasaan bangga
dan berkata: "Benar, yang tadi aku ingin kau lakukan, ialah
dengan kepandaianku ini kau harus menggantikan aku
untuk melayani bertempur dengan pendeta wanita
bangkotan itu, untuk bertanding dengan kepandaiannya
yang luar biasa itu .."
Dengan gugup Lie Siauw Hiona menjawab: "Hal itu
tidak mungkin .."
Peng Hoan Siangjin lalu berkata: "Jangan takut, jangan
kuatir, pelajaran yang aku ciptakan itu khusus untuk
melayani ilmunya itu, kau pasti tidak akan mengalami
kerugian apa-apa."
Lie Siauw Hiong segera menjawab: "Bukan disebabkan
oleh ini .."
Dengan perasaan tidak senang Peng Hoan Siangjin
berkata: "Habis mau apa?"
Lie Siauw Hiong lalu menjawab: "Hui Taysu itu pernah
mewariskan ilmu 'Kit-mo-sin-pouw' kepadaku, aku mana
enak turun tangan terhadapnya?"
Peng Hoan Siangjin tertawa besar demi mendengar
perkataan pemuda kita ini, lalu dia berkata lebih lanjut:
"Aku kira urusan apa, tidak tahunya hanya urusan begitu
saja. Hal itu tidak menjadi persoalan apa-apa bagimu. Kau
sendiri bukanlah untuk bertarung mati-matian dengannya,
bukan" Lagi pula kau pernah meluluskan padaku tadi,
masakah sekarang kau mau membantahnya?"
Lie Siauw Hiong sekalipun merasa serba salah, diapun
tidak dapat lagi mengemukakan dalil-dalilnya lagi.
Peng Hoan Siangjin lalu berkata pula: "Besok kita pergi!"
Setelah berkata begitu, diapun tidak bercakap-cakap lagi,
agaknya dia sudah melatih dirinya lebih lanjut.
Diatas pulau Siauw Ciap Too banyak sekali batu-batu
besar yang berdiri dengan megahnya, laksana raksasa-
raksasa yang berdiri tegak menjangkau langit saja layaknya.
Dari atas perahunya dari jarak yang jauh sekali, Lie
Siauw Hiong sudah dapat melihat batu-batu raksasa itu, dan
diwaktu dia berpikir tentang dirinya sendiri yang pernah
mengalami hal-hal yang aneh diatas pulau itu, tidak terasa
lagi perasaannya menjadi terbangun.
Peng Hoan Siangjin dengan perasaan gembira serta
berbesar hati lalu menggerakkan kedua lengan bajunya
menyampok ombak pertama yang besar dan menghalanginya, sehingga perahunya maju dengan pesat
sekali. Setelah perahu mereka sampai dipantai, lalu mereka
dengan cepat mendarat dengan menghempos semangat
masing-masing yang bergolak-golak. Peng Hoan Siangjin
dengan suara yang lantang lalu berseru kearah pulau itu
sambil berkata: "Loo-nie-po, aku mendatangi untuk
menyambut tantanganmu!"
Tidak antara lama dari barisan batu-batu itu sekonyong-
konyong terlihat bayangan tubuh seseorang yang dengan
hanya beberapa kali lompatan saja sudah sampai dihadapan
mereka, dan orang yang berdiri dihadapan mereka ini
bukan lain daripada Hui Taysu adanya.
Lie Siauw Hiong yang melihatnya, buru-buru maju
memberi hormatnya, sedang Hui Taysu sendiri lalu
membalas penghormatan itu sambil mengibaskan lengan
bajunya, darimana suatu tenaga yang keras sekali
menyamber kemuka pemuda kita, Hui Taysu berkata
dengan suara dingin: "Sudahlah."
Lie Siauw Hiong rasakan tenaga itu kuat tapi tidak
ganas. Tenaga luar biasa kerasnya itu seakan-akan hendak
menerbangkannya,
maka buru-buru Siauw Hiong memasang bhesi sekuat-kuatnya, sehingga dia masih tetap
berdiri dengan tegaknya.
Dengan mengeluarkan suara "Ihhhh" Hui Taysu lalu
berkata: "Hm, tenaga-dalammu ternyata sudah maju pesat
sekali, ya?"
Kemudian sambil membalikkan kepalanya pada Peng
Hoan Siangjin dia menegurnya: "Aku siang-siang sudah
mengetahui, bahwa kau ini pendeta busuk tidak mau
menyambut tantanganku, maka tentulah akan meminta
bantuan orang lain. Pada kali ini kau sudah berhasil
menciptakan ilmu yang lihay apakah, untuk melayani
ilmuku yang hebat itu?"
Peng Hoan Siangjin membiarkan pendeta wanita itu
habis berbicara dahulu, barulah dia memberi hormat sambil
berkata: "Loo-nie-po, sekalipun benar kini aku datang untuk
menyambuti tantanganmu, tapi maksudnya adalah sedikit
berlainan .."
Hui Taysu hanya tersenyum dingin saja.
Peng Hoan Siangjin lalu melanjutkan perkataannya:
"Aku tidak bisa turun tangan denganmu pribadi, pelajaran
pukulanku itu aku sudah wariskan pada bocah ini, maka
beranikah kau menyambuti pukulannya itu?"
Hui Taysu tidak menjawab barang sepatah katapun,
selain tertawa bergelak-gelak. Tampaknya dia sama sekali
tidak menghiraukan kepada Peng Hoan Siangjin.
Tidak terasa lagi Hweeshio tua itu menjadi marah,
kemudian dia berkata: "Kau tertawakan apa?"
Hui Taysu menjawab: "Kalau kau tidak berani ya sudah,
mengapa kau masih mau menelorkan bermacam-macam
dalih tidak keruan. Sekarang baru terbukalah mataku!"
Mendengar jawaban pendeta wanita itu, sekonyong-
konyong Peng Hoan Siangjin pun jadi menengadahkan
kepalanya sambil tertawa panjang, tapi sudah barang tentu
Hui Taysu tak mau menghiraukannya.
Peng Hoan Siangjin yang melihat dia tidak dihiraukan
orang, terus saja tertawa sambil memusatkan tenaga-
dalanmya dengan
sehebat-hebatnya,
sehingga suara tertawanya itu menjadi panjang dan nyaring luar biasa,
yang mana telah membuat Hui Taysu akhirnya menjadi
tidak sabaran dan lalu berkata: "Kau tertawakan apa?"
Peng Hoan Siangjin, lalu menghentikan tertawanya dan
berkata: "Kalau kau tidak berani ya sudah, mengapa kau
masih mau menelorkan bermacam-macam dalih tidak
keruan. Sekarang baru terbukalah mataku!"
Perkataan yang diucapkannya itu, sedikitpun tidak
berlainan dengan apa yang telah diucapkan oleh Hui Taysu
tadi, sehingga si Nikouw yang mendengar perkataannya itu
menjadi geram sekali dan segera berkata: "Tidak beranikah
engkau bertempur?"
Peng Hoan Siangjin lalu menunjuk pada Lie Siauw
Hiong sambil berkata: "Beranikah kau bertempur dengan
pemuda itu?"
Hui Taysu lalu mengeluarkan suara jengekannya sambil
memandang kelangit, seakan-akan tidak memandang
sebelah matapun pada diri pemuda kita.
Dengan demikian berarti, bahwa Peng Hoan Siangjin
tidak sudi bertempur dengan Hui Taysu, sedangkan Hui
Taysu sendiri egah pula melayani Lie Siauw Hiong,
sehingga akhirnya kedua belah pihak tinggal berdiri diam
disitu. Setelah berselang sejurus lamanya, Peng Hoan Siangjin
dengan secara sekonyong-konyong
berkata sambil menunjukkan muka yang berseri-seri: "Ada .. ada .."
Sambil melototkan matanya. Hui Taysu bertanya: "Ada
apa?" Peng Hoan Siangjin lalu menjawab: "Aku mempunyai
suatu usul yang mohon pertimbanganmu. Aku sudah
mewariskan kepandaianku kepada si pemuda ini, kaupun
boleh menyebutkan segala kepandaianmu kepadanya.
Biarkanlah dia yang melayaninya pertempuran kita ini,
dengan cara demikian, yaitu mula-mula aku akan
menyebutkan daya seranganku, kemudian kau boleh
memberitahukan kepadanya tangkisan maupun serangan
balasan pada sipemuda, untuk melayani seranganku yang
pertama itu, dan demikianlah seterusnya."
Hui Taysu lalu tertawa dingin dan menjawab: "Caramu
ini memang baik juga, hanya pelajaranku ini adalah hasil
jerih payahku, yang dengan susah-payah baru berhasil
menciptakannya, oleh sebab itu, cara bagaimana dengan
mudah saja dapat diberikan kepada pemuda itu?"
Peng Hoan Siangjin yang menganggap bahwa usulnya
yang baik itu ditolak mentah-mentah oleh Hui Taysu, sudah
barang tentu menjadi amat gusar dan lalu berkata: "Apakah
kau takut bahwa kepandaiannya akan melampauimu" Kau
ini pendeta wanita bangkotan yang mudah sekali
tersinggung! Bila demikian halnya, lebih baik kita jangan
bertempur lagi!"
Sehabis berkata begitu, diapun segera membalikkan
badannya hendak pergi, sehingga Hui Taysu tidak dapat
mengendalikan lagi dirinya dan lalu berkata: "Kalau mau
bertanding ya boleh bertanding! Bocah, mari sini, aku akan
memberitahukan pelajaranku kepadamu .. tapi pendeta
busuk itu tidak boleh coba mengintip!"
Peng Hoan Siangjin lalu tertawa mengakak sambil
kemudian berkata: "Aku tua bangka pasti sekali tidak
kemaruk terhadap kepandaianmu! Baiklah aku pergi
kesana, agar supaya kau merasa tenteram!"
Hui Taysu lalu mengajak Lie Siauw Hiong kesuatu
tempat disebelah barat, dimana dia lalu mulai memberikan
pelajarannya. Lie Siauw Hiong secara berturut-turut dapat memperoleh
kepandaian kedua orang yang luar biasa ini, boleh
dikatakan peruntungannya terlampau mujur. Dia cukup
maklum, bahwa kedua orang luar biasa ini tidak pernah
menerima murid, hingga kesempatan sebaik ini sukar sekali
dijumpainya, maka dengan seluruh perhatiannya dia
mendengarkan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh
paderi perempuan itu.
Kepandaian yang dimiliki oleh Hui Taysu ini sungguh
hebat sekali, sehingga tidak terlampau mengherankan bila
dia sampai mencari Peng Hoan Siangjin
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk ditantangnya, berhubung kepandaiannya yang sesungguhnya amat luar biasa itu. Lie Siauw Hiong dengan
menggunakan tempo lima hari, barulah berhasil mempelajari separuh daripada kepandaian yang diajarkannya itu, maka didalam hatinya diam-diam dia jadi
menghela napas sambil berkata pada dirinya sendiri:
"Ternyata didunia ini ada pukulan yang sedemikian
hebatnya itu. Andaikata pelajaran 'Kong-kong-ciang-hoat'
dari Peng Hoan Siangjin digabungkan dengan gerak 'Kit-
mo-sin-pouw', belum tentu kepandaiannya Peng Hoan
Siangjin dapat memenangkannya. Apalagi jika Tiga Dewa
Diluar Dunia dapat bersatu padu dan menciptakan
kepandaian yang hebat-hebat, sudah pasti akan mampu
menjagoi serta menaklukkan semua pendekar-pendekar
dalam rimba persilatan."
Tengah dia berpikir keras, sekonyong-konyong tampak
melayang turun tubuh seseorang yang cepat bagaikan kilat,
hingga sebentar saja ia sudah sampai dimuka mereka. Dan
tatkala mengenali bahwa orang itu adalah Peng Hoan
Siangjin sendiri, Hui Taysu lalu bertanya: "Pendeta busuk,
kau datang kemari mau apa?"
Dengan gugup Peng Hoan Siangjin berkata: "Lebih baik
kita jangan bertempur lagi. Pulau Tay Ciap Too
kepunyaanku didatangi orang kuat, aku harus memburu
kesana .."
Sambil berkata begitu, lalu dia angsurkan tangannya
memperlihatkan sesuatu barang, dan ketika mereka
melihatnya, ternyata barang itu adalah mayatnya seekor
burung elang, yang ternyata ditenggorokkannya tertancap
sebatang anak panah.
Lie Siauw Hiong segera mengenali, bahwa burung elang
serupa itu adalah banyak terdapat dipulau Tay Ciap Too,
tapi burung itu telah kedapatan terpanah sehingga binasa.
Dalam pada itu, lalu dia maju dan memperhatikan anak
panah tersebut, yang ternyata bentuknya agak aneh dan
tidak sama seperti yang banyak kedapatan didaerah Tiong-
goan. Oleh sebab itu, teranglah bahwa anak panah itu
bukan orang Han yang melepaskannya. Pada badan anak
panah tersebut terdapat tiga huruf yang kecil sekali.
Dan diwaktu Lie Siauw Hiong memeriksanya dengan
teliti, ia segera mengetahui bahwa anak panah itu telah
dilepaskan oleh 'Kinlungo'!
Lie Siauw Hiong lalu memberitahukan segala sesuatu
yang dialaminya kepada Peng Hoan Siangjin, yang setelah
mendengar penuturan pemuda kita, dengan geram ia lalu
berkata: "Ternyata bahwa inilah perbuatannya bocah asing
sialan itu! Hm, dia berani membunuh burung elangku .."
Kemudian diapun membalikkan badannya dan pergi.
Dengan ini Lie Siauw Hiong berpendapat bahwa
Kinlungo tentunya bermaksud hendak mencarinya, tapi
karena tidak berhasil menjumpainya, barulah dia mencari
orang tua itu. Kemudian diapun lantas berteriak: "Siangjin,
tunggu dulu, Boan-pwee pun ingin turut juga kau pergi .."
Sambil berdehem, Peng Hoan Siangjin lalu dengan sekali
lompat saja sudah berhasil melesat sehingga puluhan
tombak jauhnya.
Peng Hoan Siangjin mengajak Lie Siauw Hiong naik
kembali kedalam perahu mereka, yang dengan cepat
ditujukan kepulau Tay Ciap Too. Disana, dari kejauhan
mereka sudah melihat dua buah perahu besar yang sedang
ditambatkan dipantai. Maka Peng Hoan Siangjin yang
menyaksikan hal ini, dengan tergesa-gesa telah mengebutkan sepasang lengan bajunya, hingga dengan ini
ia telah membuat perahu mereka laju sangat pesat sekali,
maka tidak antara lama merekapun sudah tibalah dipantai
pula. Peng Hoan Siangjin dengan cepat lalu berkata: "Bocah,
lekas!" Dengan menarik sebelah tangan Lie Siauw Hiong, orang
tua ini lalu menendangkan kakinya ketanah, hingga badan
mereka lantas melayang dan jatuh tepat diatas sebatang
pohon beringin tua yang terpisah antara enam atau tujuh
tombak jauhnya.
Lie Siauw Hiong yang berdiri diatas tempat yang tinggi,
dia segera melihat bahwa didalam hutan itu terdapat
serombongan orang yang sedang bertempur dengan
serunya. Mereka ini ternyata terdiri dari tujuh atau
delapanbelas pendeta yang sedang bertempur dengan empat
orang laki-laki yang dandanannya agak aneh. Diantara
mereka ini, ada tiga orang yang berpakaian secara pendeta
dan seorang yang berpakaian biasa saja. Ketika orang yang
berpakaian secara pendeta itu mengenakan pakaian yang
berwarna merah, sedangkan yang seorang berpakaian
seperti seorang anak sekolah. Mereka berempat dengan
bergiliran telah melakukan serangan dahsyat terhadap
beberapa belas orang pendeta yang menjadi lawan mereka,
sehingga tiada seorangpun antara pendeta-pendeta itu yang
berani datang terlampau dekat.
Waktu pemuda yang berpakaian seperti anak sekolah itu
melancarkan serangannya, barulah Siauw Hiong mengerti
jelas, maka dengan suara yang rendah dia membisiki pada
Peng Hoan Siangjin sambil berkata: "Orang yang
berpakaian seperti anak sekolah itulah yang bernama
Kinlungo."
Peng Hoan Siangjin jadi tertawa dingin dan berkata:
"Ketiga pendeta itu memang sangat lihay. Hm! Tidak
mengherankan bila Kinlungo ini berani datang mengacau
ke Tiong-goan, dan makanya dia berani datang kepulau Tay
Ciap Too, adalah karena dia mempunyai senderan yang
kuat ini."
Setelah mendengar perkataan orang tua itu, Lie Siauw
Hiong pun lalu memusatkan perhatiannya pada ketiga
pendeta tersehut. Dia lihat salah seorang diantara mereka
sambil berseru segera melancarkan serangan yang hebat
sekali, hingga seorang pendeta setengah tua yang mendiadi
lawannya, buru-buru mengelitkan diri, kemudian terdengar
suara "Bruk!" yang nyaring sekali, karena sebatang pohon
cemara yang sebesar tong dan terdapat dibelakang pendeta
itu, telah kena terpukul musuh sehingga tumbang!
Menyaksikan hal itu, diam-diam Lie Siauw Hiong
menjadi terkejut dan berpikir didalam hatinya: "Pendeta
yang tiga orang dan berpakaian merah itu, ternyata tenaga-
dalamnya hebat sekali. Kepandaian merekapun tidak
berada disebelah bawah dari Tiga Dewa Diluar Dunia, dan
mereka ini pastilah orang-orang dari pihak seatasan
Kinlungo .."
Waktu dia menoleh kepada Peng Hoan Siangjin,
ternyata orang tua ini tengah memperhatikan pada
serombongan pendeta-pendeta ini. Wajahnya menunjukkan
perasaan yang aneh sekali, maka tidak terasa lagi Lie Siauw
Hiong pun merasa aneh juga didalam hatinya. Tatkala dia
coba meneliti, ternyata rombongan pendeta-pendeta itu
tepat terdiri dari delapanbelas orang, diantara mereka
terdapat seorang pemuda yang memakai pakaian biasa saja,
yang ketika Siauw Hiong memperhatikannya, ternyata dia
itu bukan lain daripada 'Bu-Iim-cie-siu' Sun Ie Tiong
adanya. Lie Siauw Hiong yang baru memahami persoalan itu
dengan jelas, tanpa berpikir lagi segera berseru: "Ah,
pendeta-pendeta Siauw Lim Sie!"
Dia melihat ketujuhbelas pendeta dan Sun Ie Tiong yang
tengah mengurung tiga pendeta asing berbaju merah serta
Kinlungo, gerakan kaki mereka sangat rapat sekali,
sehingga hatinya tergerak dan diam-diam berkata: "Jadi ini
mungkinkah yang sudah terkenal diseluruh muka bumi dan
biasa disebut barisan 'Loo-han-tin' itu?"
Sekonyong-konyong Peng Hoan Siangjin berkata:
"Celaka! Pendeta asing itu akan menurunkan tangan
jahatnya, sedangkan pendeta-pendeta dari Siauw Lim Sie
itu pasti akan mengalami kekalahan. Ayoh, mari kita lekas
terjang!" Baru saja kata-kata itu selesai diucapkan, Hweeshio tua
itu sudah melesat keudara, hingga Lie Siauw Hiong yang
melihatnya menjadi terkejut bukan kepalang. Buru-buru
diapun mengikuti jejaknya, ditengah-tengah udara Lie
Siauw Hiong sudah mendengar teriakan-teriakan yang
mengejutkan hati, karena ketiga pendeta asing serta
Kinlungo dari menjaga diri sekarang sudah berbalik
menjadi pihak yang menyerang, sehingga pada saat itu
mereka tengah merangsak maju dengan amat dahsyatnya.
Bagaikan seekor burung besar yang menukik turun
kebawah, dengan dua kali mengibaskan lengan bajunya
Peng Hoan Siangjin dengan tepat sekali sudah menangkis
serangannya salah seorang pendeta asing tersebut.
Dengan mengeluarkan suara "Buk" yang nyaring sekali,
ternyata badan pendeta asing itu telah terpental jauh sekali,
sedangkan Peng Hoan Siangjin sendiri agak tergetar
pundaknya. Selanjutnya kedua orang itu lalu mengeluarkan
suara teriakan terkejut yang tertahan.
Pendeta asing itu dengan penuh kemarahan memandang
pada Peng Hoan Siangjin, kemudian mengangkat pula
tangannya hendak dipukulkan kepadanya.
Tapi Peng Hoan Siangjin pun tidak mau menunjukkan
kelemahannya. Mereka tidak mau saling mengalah dan lagi-
lagi terdengar suara "Plok" yang nyaring sekali karena
beradunya kedua pukulan itu, sehingga mereka kedua-
duanya terpukul mundur kebelakang setengah langkah
jauhnya! Peristiwa ini adalah yang selama ratusan tahun belum
pernah kejadian, dengan mengandalkan kepandaian Hui
Taysu dan Bu Heng Seng, mereka berdua tidak berani
melawan keras lawan keras terhadap Peng Hoan Siangjin,
kali ini setelah ada orang yang berani menyambutinya keras
lawan keras, maka bagaimana dia tidak merasa heran"
Sebaliknya pendeta asing itupun merasa sangat terheran-
heran pula, karena dinegerinya kekuatan pukulannya ini
adalah sudah termasuk salah seorang yang paling kuat dan
jempolan sekali, hingga dia tidak habis berpikir, mengapa
ada pula orang yang kuat sehingga dapat memukul mundur
kepadanya. Sementara itu Kinlungo telah menunjuk pada diri Lie
Siauw Hiong sambil berkata: "Suhu, inilah bocahnya!"
Pendeta yang berpakaian merah dan berdiri paling
belakang lalu memperhatikan sebentar pada Lie Siauw
Hiong, kemudian dengan bahasa Han yang masih agak
kaku dia berkata: "Kau apakah muridnya pendeta itu?"
Sambil dia menunjuk kepada Peng Hoan Siangjin.
Lie Siauw Hiong baru saja ingin menjawab perkataan
pendeta asing yang berjubah merah itu, ketika Peng Hoan
Siangjin sudah keburu berteriak kepadanya sambil berkata:
"Bocah, kau tidak usah melayaninya!"
Mendengar perkataan orang itu, pendeta berjubah merah
tersebut lalu melototkan matanya yang sangat tajam kearah
Peng Roau Siangjin, kemudian dengan sekonyong-konyong
dia berkata sambil tertawa: "Tuan ini pastilah orang yang
disebut Peng Hoan Siangjin dan pemimpin dari 'Tiga Dewa
Diluar Dunia', bukan" Aku dan saudara-saudaraku sekalian
yang dapat berjumpa dengan orang yang berkepandaian
setinggi seperti kau ini, sungguh merasa sangat beruntung
sekali." Sambil berkata begitu, dia menunjuk pada pendeta yang
pertama kali mengadu kekuatan dengan Hweeshio tua itu
sambil berkata: "Yang ini adalah kakak seperguruanku
Progota .."
Kemudian menunjuk kepada pendeta lainnya sambil
meneruskan bicaranya: "Yang ini adalah adik seperguruanku Pantenpur, aku sendiri bernama Kinposuf.
Kami bertiga saudara biasa disebut 'Tiga Buddha dari
Sungai Gangga'. Sebenarnya sungai Gangga adalah
sebatang sungai kecil saja, kami tiga saudara berkeinginan
keras untuk dapat mengubah nama tersebut dengan sebutan
'Tiga Buddha dari Sungai Kuning', karena dengan sebutan
itu, barulah bagi kami cukup berarti. Tambahan pula
dengan sebutan tersebut, kami dapat memasuki daerah
Tiong-goan dan bertemu dengan para pendekar Tiongkok
untuk mencukupi kementerengan dan ketenaran nama
kami, dengan demikian, para pendekar di Tiong-goan pun
pasti akan merasa girang dapat berjumpa dengan kami
bertiga .. hanya, muridku ini pernah berbuat sesuatu
sehingga menerbitkan perselisihan dengan para pendekar di
Tiong-goan. Kami sebenarnya tidak ingin turut campur
tangan dalam urusan ini. Tapi setelah kami selidiki dan
ternyata bahwa orang yang pernah mengikat permusuhan
dengan murid kami ini adalah seorang yang mempunyai
senderan Tiga Dewa Diluar Dunia, maka kami menarik
kesimpulan akan tak bisa tidak harus campur tangan juga
.."
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itu, pertempuran kedua belah pihak sudah
terhenti sama sekali. Diantara pendeta-pendeta Siauw Lim
Sie itu ada salah seorang yang paling tua dan dengan
sekonyong-konyong lalu memimpin pendeta-pendeta yang
lainnya maju kehadapan Peng Hoan Siangjin, setelah itu,
mereka sekalian lalu berlutut ditanah, sedangkan pendeta
tua itu lalu berkata: "Tee-cu murid keturunan keempatbelas
Tie Kheng memberi hormat pada Leng Kong Couw-su."
Dengan lantas muka Peng Hoan Siangjin menjadi
berubah, hingga sambil berlompat ia telah menggoyang-
goyangkan sepasang tangannya berkata: "Ternyata kalian
telah keliru mengenali orang, Pin .. Pin-ceng bukannya
Leng Kong, karena Leng Kong siang-siang sudah
meninggal dunia .."
Sekalipun Peng Hoan Siangjin adalah seorang pendeta
juga, tapi selama berpuluh-puluh tahun dia tidak pernah
berhubungan lagi dengan pendeta-pendeta yang lainnya,
maka tampaknya ia agak canggung membahasakan diri
sendiri dengan menyebut 'Pin-ceng', Hweeshio yang miskin,
suatu ucapan sebagai ganti kata 'aku' bagi kaum paderi
Buddha. Tingkat-tingkat para pendeta Siauw Lim Sie diurutkan
dengan urutan kata-kata sebagai berikut: "Leng, Tay, Ceng,
Beng, Tie, Cu dan Hong." Pendeta-pendeta yang kini
berlutut dihadapan Peng Hoan Siangjin masuk golongan
buruf 'Tie', dan orang yang mereka tengah hormati itu
bergelar 'Leng', yang berarti tingkatnya lebih tinggi dari
mereka. Ketiga pendeta asing itu ketika menyaksikan para
pendeta itu secara sekonyong-konyong pada berlutut
dihadapan Peng Hoan Siangjin, tidak terasa lagi mereka
jadi merasa sangat heran.
Lie Siauw Hiong tiba-tiba teringat, bahwa dirinya tempo
hari pernah diselidiki oleh Sun Ie Tiong dan pendeta Siauw
Lim Sie itu, serta tanpa sebab hendak mengadu kepandaian.
Kini ada kemunginan mereka tengah menyelidiki jejak
Leng Kong Couw-sunya, karena dia pernah memakai jurus
'Tay-yan-sip-sek' dari Peng Hoan Siangjin. Pendeta-pendeta
ini menyebut Peng Hoan Siangjin dengan sebutan Leng
Kong Couw-su, sedangkan Peng Hoan Siangjin pada waktu
menyebutkan Leng Kong Couw-su empat huruf dengan
secara lancar, teranglah bahwa diapun mengetahui siapa
adanya Leng Kong itu, tapi apakah dia mempunyai
hubungan dengan pendeta-pendeta Siauw Lim Sie itu"
Mungkinkah dia ini.
Pada saat itu orang yang menjadi gurunya Kinlungo,
yaitu Kinposuf sudah berkata pula: "Peng Hoan Siangjin,
baiklah kita bicara dengan terus terang, hari ini kami ingin
minta pengajaran dari Tiga Dewa Diluar Dunia .."
Seketika itu juga hatinya Peng Hoan Siangjin jadi agak
bingung, kemudian sambil membalikkan kepalanya dia
berkata pada para pendeta yang berlutut dihadapannya itu:
"Kalian salah paham, aku .. Pin-ceng bukannya Leng Kong
.." Tapi Tie Kheng sambil menganggukkan kepalanya lalu
berkata: "Couw-su, apakah kau hendak membohongi Tee-
cu" Permainan pedang Lie .. Lie Sucouw itu adalah
pelajaran silat pedang Siauw Lim Sie yang sudah
menghilang itu .."
Tampaknya karena dia terlebih rendah empat tingkat
dengan orang yang disebut Peng Hoan Siangjin ini, maka
diapun menyebut Lie Siauw Hiong dengan sebutan Lie
Sucouw, karena dia menganggap bahwa pemuda kita ini
adalah murid Leng Kong Couw-su-nya.
Kinposuf dengan perasaan tidak sabar lalu berkata pula:
"Peng Hoan Siangjin, bila kau tidak berani melayani
kamipun tidak mengapa, asal saja kau menyerahkan
sibocah she Lie itu kepada kami sekalian, untuk kami bawa
pergi .." Peng Hoan Siangjin yang perasaannya pada saat itu
sangat kacau, ketika mendengar Tiga Buddha dari Sungai
Gangga hendak membawa pergi pemuda kita, tidak terasa
lagi dia menjadi marah sekali dan lalu membentak:
"Kentut!"
Karena sukar mengambil keputusan yang pasti, hatinya
lalu dikeraskan dan diam-diam dia berkata pada dirinya
sendiri: "Aku siorang tua harus membawa pergi pemuda
ini!" Dalam pada ins, sambil mencekal pemuda Lie Siauw
Hiong dan dengan tidak memberi jawaban apa-apa atas
pembicaraan Kinposuf, dengan secara sekonyong-konyong
dia telah membentangkan Keng-sin-kang yang sehehat-
hebatnya, sehingga dalam waktu sekejap mata saja mereka
telah lenyap entah kemana perginya.
Tiga Buddha dari Sungai Gangga tidak pernah menduga,
bahwa Peng Hoan Siangjin akan melarikan diri dengan
begitu saja, maka dalam rasa terkejut mereka jadi berteriak
dan lalu mengejar pada orang tua tersebut, hingga disitu
tinggal para pendeta Siauw Lim yang masih berlutut
ditanah. Peng Hoan Siangjin yang sayang sekali terhadap Lie
Siauw Hiong, dia ketahui bahwa mereka hendak
membunuh si pemuda, sedangkan kedatangan mereka
memang sesungguhnya hendak sengaja mengacau, maka
dengan suara perlahan Hweeshio tua itu berkata pada
sipemuda: "Beberapa orang pendeta asing setan itu hendak
mencabut nyawamu, tapi aku tidak rela menyerahkan kau
dengan begitu saja, tapi tenaga satu orang tidak dapat
melayani mereka, maka aku telah pergunakan siasat ini
untuk melarikan dirimu .."
Lie Siauw Hiong yang otaknya sangat cerdik lalu
berkata. "Kita harus pergi kepulau Siauw Ciap Too!"
Peng Hoan Siangjin pun berkata: "Benar, kita harus pergi
kesana selekas mungkin!"
Lie Siauw Hiong setelah berdiam sejurus lalu berkata
pula: "Hanya, hanya .."
Peng Hoan Siangjin lalu memotong bicara sipemuda
sambil berkata: "Hanya dikuatirkan bahwa Hui Taysu tidak
mau meluluskan permintaan kita."
Pena Hoan Siangjin lalu menjawab: "Jangan kuatir, aku
mempunyai daya untuk menghadapi pendeta wanita
bangkotan itu .. maka sesampainya kau dipulau Siauw Ciap
Too, begitu aku mendarat, kau harus lekas-lekas naik
perahu pergi kepulau Bu Kek Too untuk mencari Bu Heng
Seng, karena aku kuatir dengan ternaga dua orang saja
masih belum sanggup melayani mereka bertiga."
Lie Siauw Hiong setelah mendengar bahwa dia harus
pergi kepulau Bu Kek Too, seketika itu juga hatinya
menjadi terkejut sekali, berbareng dengan mana bayangan
Ceng Jie yang amat cantikpun lantas terbayang didalam
hatinya. Sesampainya dipantai, Peng Hoan Siangjin lantas
melompat dan tubuhnya lantas melayang dan jatuh tepat
diatas perahunya, yang lantas dilayarkan kepulau Siauw
Ciap Too kembali.
Dengan Lie Siauw Hiong menggunakan dayung dan
Peng Hoan Siangjin mengebutkan kedua lengan bajunya,
perahu mereka meluncur maju dengan kecepatan yang luar
biasa sekali. Meskipun Lie Siauw Hiong tidak begitu mahir
mengemudikan perahunya, tapi dengan mengandal pada
tenaganya yang sangat kuat, sebentar saja perahu mereka
sudah laju jauh ketengah lautan.
Waktu mereka menolehkan kepala, merekapun menyaksikan pendeta-pendeta asing itu bersama Kinlungo
dengan laku yang tergesa-gesa tengah membongkar sauh
perahu mereka yang besar untuk melakukan pengejaran
terhadap mereka.
Perahu mereka yang besar itu dengan menggunakan
pengayuh majunya pesat sekali, tapi jika dibandingkan
dengan perahu orang tua itu yang lebih kecil, ternyata
masih kalah lajunya, oleh karena itu juga, mereka belum
berhasil mengejar perahu Peng Hoan Siangjin itu.
Setelah berselang pula beberapa saat lamanya dan Lie
Siauw Hiong menolehkan kepalanya memandang, dia lihat
tiga pendeta asing itu masing-masing pada mengebutkan
lengan bajunya, sehingga laju perahu merekapun jadi
bertambah pesat saja. Maka dalam waktu sekejap saja
kedua perahu itu sudah semakin dekat saja jaraknya dari
satu dengan yang lainnya.
Peng Hoan Siangjin lalu menolehkan kepalanya
memandang dan memungut sauhnya. Ia menantikan
perahu lawan mereka dating semakin dekat, kemudian
dengan sekonyong-konyong dia melemparkan sauhnya itu
kepada perahu lawannya ..
Peng Hoan Siangjin yang sudah mencapai puncak
tertinggi dalam tenaga-dalam maupun dalam kepandaian
silatnya, waktu sauh itu dilemparkan, segera menerbitkan
suara yang nyaring sekali, dan cepat bagaikan bintang
beralih dan menerbitkan suara "Pletak!" yang sangat
nyaring, ternyata tiga tiang dari perahu lawannya sudah
berhasil dipatahkan oleh lemparan jangkar itu, sehingga
dengan demikian lajunya perahu lawan mereka menjadi
berkurang. Lie Siauw Hiong dengan menggunakan kesempatan ini,
buru-buru menghempos semangatnya untuk membuat
perahunya maju lebih pesat lagi, sehingga bagaikan anak
panah yang baru lepas dari busurnya, perahu mereka
melayang kemuka dengan pesatnya.
Tidak antara lama, dari antara dorongan ombak yang
bergulung-gulung naik turun tidak berketentuan, samar-
samar pulau Siauw Ciap Too sudah berbayang dihadapan
mereka .. Waktu ombak datang mendampar, maka air pada
muncrat kesana-kemari bagaikan kembang api diudara
sekitarnya .. Peng Hoan Siangjin yang berdiri dimuka perahu, pada
saat itu tengah memusatkan perhatiannya. Dengan
sepasang lengan baju yang tiap-tiap saat dikibaskan itu,
ditambah pula dengan dayungnya terus-menerus dari Lie
Siauw Hiong, maka menyebabkan perahu mereka laju
bagaikan ditarik oleh kuda semberani saja cepatnya.
Sekali-kali Lie Siauw Hiong menolehkan kepalanya
memandang, tapi perahu besar lawannya masih tetap
mengejar dari belakang, malahan sekarang kecepatannya
sangat mengejutkan orang, hingga tidak antara lama jarak
perahu merekapun sudah terpisah tidak terlampau jauh
pula. Pulau Siauw Ciap Too sudah terbayang jelas dihadapan
mereka, Peng Hoan Siangjin lalu mengebutkan kembali
lengan bajunya, dan perahu kecil mereka lagi-lagi laju
sejauh sepuluh tombak lebih.
Peng Hoan Siangjin dengan mengikuti arah laju
perahunya itu, lantas tubuhnya dienjot, ditambah dengan
ilmu Keng-sin-kangnya yang hebat, dengan sekali loncat
saja dia sudah berhasil mencapai sepuluh tombak jauhnya
dan tepat sekali dia jatuh dipantai. Sedangkan Lie Siauw
Hiong sendiri dengan tidak banyak cakap lagi, sudah
mengayuh perahunya menuju kepulau Bu Kek Too untuk
mencari Bu Heng Seng.
Baru saja Peng Hoan Siangjin mendarat, perahu Heng
Hoo Sam Hut atau Tiga Buddha dari Sungai Gangga itupun
sudah mendekat. Hweeshio tua itu menantikan didarat dan
benar saja tidak lama kemudian mereka sudah sampai dan
beruntun merekapun turun kedarat.
Peng Hoan Siangjin lalu bersiul panjang sambil berkata:
"Aku datang menyambut tantangan kalian .." Sewaktu
tubuh ketiga lawannya sedang melayang diudara, dia sudah
mengarahkan pukulannya kepada mereka.
Pukulannya ini sangat hebat sekali tenaganya, hingga
mengeluarkan angin yang menderu-deru menyerang ketiga
lawannya itu. Ketiga paderi asing itu dengan terkejut dan
buru-buru turun kebawah untuk mengelakkan pukulan
Hweeshio tua itu.
Yang memimpin dimuka pendeta ini menjadi geram
sekali, dengan segera dia melancarkan serangan balasan,
tapi Peng Hoan Siangjin yang menampak hal itu hanya
tertawa tergelak-gelak, dan setelah buru-buru dia menarik
pulang pukulannya, serangan lawannya itu segera dapat
dikelitkan dengan secara tepat sekali.
Disamping itu Peng Hoan Siangjin pun tidak tinggal
diam, dengan lantas dia melancarkan serangan balasannya,
kemudian dengan mengeluarkan suara yang gemuruh,
terpaksa pendeta itu menjatuhkan diri dengan berjungkir
balik dan badannya jatuh kelaut kembali, sedangkan Peng
Hoan Siangjin tetap berdiri dengan gagahnya.
Sekonyong-konyong
dari dalam perahu mereka melayang sekerat papan dan jatuh tepat diinjakannya
pendeta yang badannya hendak tercemplung kedalam laut
itu. Maka dengan meminjam tenaga dari papan itu, buru-
buru pendeta itu menotolkan kakinya sambil mengenjotkan
badannya sehingga dia dapat mendarat pula dengan tak
kurang suatu apa, dan berbareng dengan itu, dari dalam
perahu itupun melayang sesosok tubuh manusia, dan orang
yang baru muncul ini adalah Kinlungo.
Peng Hoan Siangjin sekali turun tangan saja sudah
berhasil menjatuhkan pemimpin dari Heng Hoo Sam Hut,
maka dengan tertawa bergelak-gelak ia segera membalikkan
tubuhnya dan terus lari kesebelah dalam dari pulau Siauw
Ciap Too itu. 'Heng Hoo Sam Hut' yang pernah menjumpai pendeta
luar biasa ini dipulau Tay Ciap Too, mereka segera
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengetahui, banwa kalau mereka menempurnya dengan
satu lawan satu, mereka pasti tidak dapat memenangkannya, oleh sebab itu dengan laku yang licik
mereka bertiga bermaksud mengeroyok pendeta itu.
Dengan demikian, mereka yakin bahwa mereka pasti akan
memperoleh kemenangan, maka tanpa ragu-ragu lagi
mereka lalu mengejar pada Hweeshio tua itu.
(Oo-dwkz-oO) Jilid 34 Peng Hoan Siangjin sekalipun mempunyai kepandaian
yang luar biasa dan mengejutkan orang, tapi menghadapi
tiga lawannya yang tidak dapat dipandang ringan ini,
diapun mengetahui, bahwa tiga lawan satu tidak mungkin
dia dapat memenangkan lawan-lawannya itu. Oleh karena
itu, dia bersiasat untuk bersatu padu dengan Hui Taysu dan
Bu Heng Seng, dalam menghadapi lawan-lawannya itu.
Begitu hatinya tergerak, lalu dia putarkan badannya dan
berlari masuk kedalam pulau itu untuk menyesatkan lawan-
lawannya dibarisan 'Kwie-goan-kouw-tin' (barisan kuno
yang menyesatkan), yang tempo hari dia pernah terkurung
selama sepuluh tahun.
Pergerakan kaki 'Heng Hoo Sam Hut' tidak perlahan,
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 1 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Seruling Samber Nyawa 3
dia ciptakan serangannya dengan jurus ini maka tidak
heran, begitu serangan itu dilancarkan, tenaganya
bertambah berapa kali lipat lebih kuat, hingga Kinlungo
dengan mengeluarkan suara "Ihhh" saking herannya, buru-
buru dia mundur dua langkah berturut-turut, dan dengan
menggunakan tiga kali tangkisan barulah dia berhasil
memunahkan serangan pemuda kita itu.
Dengan berhasilnya serangannya sekali ini, Lie Siauw
Hiongpun sudah berhasil menguasai keadaannya lagi, lalu
diapun mundur satu langkah untuk memusatkan seluruh
kekuatannya yang baru.
Kinlungo lalu menyabetkan talinya pada muka pemuda
kita, tapi Lie Siauw Hiong segera mengelitkan badan bagian
atasnya kekiri dan badannya bagian bawah kemudian
dikelitkan kekanan, hingga dengan menerbitkan suara "bet"
yang nyaring sekali dia sudah berhasil mengelitkan
serangan lawannya ini, sehingga serangan tersebut jatuh
ditempat yang kosong.
Seluruh hadirin pada berteriak memberi pujian pada
pemuda kita, karena sesungguhnya daya kelitan pemuda
kita itu terlalu hebat, karena jurus itupun adalah dari bagian
'Am-hiang-pu-eng'.
Kemudian Kinlungo sendiri setelah melihat serangannya
jatuh ditempat kosong, segera dia majukan badannya
kemuka, dengan menggentak talinya itu menjadi tegak dan
lurus, lagi-lagi dia menyerang tenggorokkan pemuda kita
dengan menotok pada jalan darah yang berbahaya.
Jurusnya ini sungguh aneh sekali. Sedangkan dia merasa
kesenangan, diam-diam dia berkata pada dirinya sendiri:
"Sekalipun tadi dia berhasil mengelitkan seranganku itu,
tapi sekali ini tidak dapat lagi dia meloloskan dirinya pula."
Sekarang dia tidak berani lagi memandang ringan pada
pemuda kita. Tali itu menerbitkan suara yang aneh, dengan pesatnya
menjurus ketenggorokannya Lie Siauw Hiong, siapa tahu
akhirnya dengan mengeluarkan suara "sret" yang nyaring
sekali, lagi-lagi serangan itu jatuh ditempat yang kosong.
Seluruh para hadirin tidak mengetahui dengan jalan
bagaimana Lie Siauw Hiong telah mengelitkan dirinya,
karena mereka tampak sangat kabur mata mereka, sedang
Lie Siauw Hiong dengan cepat sudah beralih tempatnya,
sampaikan Peng Hoan Siangjin sendiri tidak terasa lagi
mengeluarkan suara "ihhhh" saking herannya, karena yang
dipakai mengelitkan tadi adalah pelajaran Kit Mo Sin Pouw
dari Hui Tay Su. Hweeshio tua itu tidak mengetahui,
bahwa Lie Siauw Hiong telah mewariskan jurus yang luar
biasa itu! Lie Siauw Hiong dengan mmeperoleh kesempatan yang
sangat baik ini, buru-buru dia menambah kekuatannya pada
tangannya, kemudian lantas menyabetkan pedangnya pada
tali lemas lawannya dengan jurus 'leng-bwee-hut-bian'
(bunga bwee menyapu muka).
Pada umumnya bila diantara dua jago yang paling tinggi
kepandaiannya saling bertempur, jarang sekali mereka mau
menyerang lawannya dengan seluruh kemampuan terakhirnya, karena bila mereka sampai berbuat demikian
dan lawannya dapat memecahkan serangannya itu, maka
dirinya sendiri bila tidak kejadian kalah pasti akan
menderita luka-luka. Begitupun kepandaian yang dikeluarkan masing-masing hanya kira-kira enam bagian
saja, sedangkan empat bagian lagi mereka simpan sampai
saat-saat terakhir saja, bila lawannya sudah tidak berdaya
lagi. Tapi Kinlungo karena terlampau percaya pada dirinya
sendiri, maka dia telah lancarkan serangan-serangannya
yang sehebat-hebatnya. Kemudian ia berusaha sedapatnya
untuk menahan tubuhnya yang sudah terlampau maju itu,
karena pedangnya Lie Siauw Hiong dengan cepat sekali
telah menjurus kearahnya, maka tidak terasa lagi dia
merasa terkejut sekali, buru-buru dia gentak tali lemasnya
menjadi keras seperti besi, untuk menotok pergelangan
tangan lawannya, dengan demikian, dari menyerang dia
berbalik jadi menjaga diri.
Lie Siauw Hiong mana mau sia-siakan kesempatan
sebaik ini, begitu pergelangan tangannya diputarkan, dia
sudah berhasil membebaskan totokan lawannya, dan
berbareng dengan itu, pedangnya lalu sedikit dibengkokkan
yang langsung menotok jalan darah 'Ciang-bun-hiat' pada
badan lawannya. Hal ini sungguh hebat sekali, karena
sampaikan Lie Siauw Hiong sendiri hampir tak menyangka,
bahwa pergerakannya itu begitu hebat dan jitu, hingga
hatinya menjadi giraug sekali, karena mengetahui bahwa
tenaga-dalamnya
sudah maju sedemikian pesatnya, sehingga kepercayaan terhadap dirinya telah pulih kembali.
Kinlungo yang melihat serangan pemuda kita ini, dia
tidak menghiraukan terhadap ancaman pedang lawannya,
hanya buru-buru dia gentak tali lemasnya untuk melilit
pergelangan tangannya pemuda kita.
Lie Siauw Hiong bermimpi pun tidak bakal diserang
dengan cara demikian, maka dengan terpaksa lagi-lagi dia
gunakan pergerakan kaki Kit Mo Sin Pouw yang sempurna
itu. Badannya dengan pesat mundur dua langkah. Dengan
mengeluarkan suara "pak" yang cukup nyaring, tali itu
sudah tiba untuk menggulung lengannya. Syukur juga Lie
Siauw Hiong berlaku cukup gesit, sehingga dia tidak sampai
kena serangan lawannya, tapi tidak urung lengan bajunya
tersobek sebagian besar karena tergulung oleh tali lemas
lawannya itu. Kinlungo dengan menggereng tanda gusar, segera
mengubah pula serangannya, yang kali ini jauh lebih aneh
daripada serangan-serangan sebelumnya, karena tali
lemasnya sudah mengandung sifat-sifat pembunuhan.
Begitupun Lie Siauw Hiong sendiri kini tidak merasa
jerih lagi. Kemudian dia menggunakan jurus-jurus dari
'Tay-yan-sip-sek'
dicampur dengan 'Kiu-cie-kiam-sek',
sedangkan pergerakan kakinya memakai jurus-jurus Kit Mo
Sin Pouw yang sangat lihay, hingga dengan digabungkannya ketiga ilmu yang langka dan hebat ini,
telah membuat Kinlungo yang sudah memiliki ilmu tenaga-
dalam sangat hebat tidak berdaya untuk dapat berada diatas
angin. Pada lima puluh jurus pertama Lie Siauw Hiong masih
merasa tidak begitu leluasa, tapi setelah melampaui lima
puluh jurus pertama tadi, serangan maupun penjagaan
dirinya semakin lancar dan hebat serta jitu dilaksanakannya, cepatnyapun bukan buatan, setiap
serangan pedangnya disertai tenaga-dalam yang hebat
sekali, sehingga angin menderu-deru keluar dari pedangnya,
sedangkan pergerakan badannyapun luar biasa lincahnya.
Tapi Kinlungo semakin bertempur merasa semakin
terperanjat, maka sambil menggigit giginya dia sudah
bersedia untuk melancarkan serangan sepenuh tenaga untuk
memperoleh kemenangan terakhir.
Para hadirin didalam ruangan itu tidak mengetahui
bahwa Lie Siauw Hiong sudah mencapai puncak
kehebatannya, dan mereka hanya merasakan teriakan-
teriakan Kinlungo semakin kerap dan nyaring, hingga diam-
diam mereka turut kuatir atas keselamatannya diri Lie
Siauw Hiong. Cek Yang Totiang bersama Kouw Am Taysu jadi saling
berpandangan saking herannya, mereka tidak sangka bahwa
sejak berpisahan beberapa bulan saja lamanya, tenaga-
dalam pemuda kita sudah maju sedemikian pesat dan
hebatnya, hingga mereka berbalik mengharapkan agar dia
memperoleh kemenangan, tapi mereka sama kuatirnya
terhadap buntut dari kemenangannya itu maka diam-diam
hati mereka dirasakan berkebat-kebit.
Dengan cepatnya ratusan jurus sudah berlalu, dalam
mana permainan pedangnya Lie Siauw Hiong sudah dapat
mengendalikan tali lemas Kinlungo. Untuk memperoleh
kemenangan dengan cepat memang tidak mudah, tapi ia
yakin bahwa akhirnya toh kemenangan pasti diperoleh
olehnya, hingga diam-diam dia berpikir dengan penuh
kegembiraan dan berkata pada dirinya sendiri: "Bila
bukannya pertempuran yang dahsyat ini, mana dapat aku
menciptakan dan menggabungkan tiga ilmu itu secara
berhasil dengan gemilang?"
Tidak perduli sudah ratusan tipu-tipu yang aneh yang
dilancarkan oleh Kinlungo, tapi tetap saja pemuda kita
tidak menjadi jatuh dibawah angin, hal mana barulah
diinsyafi oleh para hadirin disitu bahwa kepandaian Lie
Siauw Hiong sesungguhnya sangat lihay sekali. Perlahan-
lahan bersamaan dengan lewatnya waktu pertempuran
dahsyat itu, Lie Siauw Hiong pun dapat memecahkan
rahasia kelemahan lawannya, karena dia melihat bahwa
serangan-serangan yang dilancarkan oleh lawannya itu
kebanyakan melalui tubuh bagian atasnya saja, sedangkan
bagian bawahnya jarang digunakan, hingga hatinya
tergerak dan lalu berpikir: "Benar, seluruh kepandaian yang
dimiliki oleh Kinlungo ini, kelemahannya terletak dibagian
sebelah bawahnya, sedangkan pergerakan Kit Mo Sin
Pouw-ku sudah terhebat dan sempurna, hingga ini tepat
sekali untuk melayani dan memecahkan kelemahannya
ini." Pada saat itu dia menyerang dengan jurus 'Hong-seng-
put-sip' (gerak tidak putus-putusnya), jurus mana adalah
jurus terhebat dari pelajaran 'Tay-yan-sip-sek', tapi
disamping itu, Lie Siauw Hiong lalu menekuk kakinya, dan
dengan badanan separuh dibungkukkan, dia menyerang
bagian bawah Kinlungo, dan dengan serangan yang diubah
ini, tenaganya telah bertambah hebat, sehingga ia dapat
memaksa Kinlungo mundur sampai tiga langkah jauhnya.
Lie Siauw Hiong baru saja ingin mengubah serangannya
yang berjurus 'Hong-seng-put-sip' ini, ketika dengan
sekonyong-konyong dia teringat akan pelajaran yang baru
saja dia pelajari tadi dari Peng Hoan Siangjin, hingga
hatinya menjadi sangat gembira sekali, dan diam-diam dia
berkata: "Sungguh jitu dan hebat sekali, karena dengan
lantas Peng Hoan Siangjin sudah dapat memecahkan
kelemahannya Kinlungo ini, dan berbareng dengan itu,
barulah dia ajarkan ilmunya itu kepadaku, maka
seranganku sekali ini pasti ia sukar sekali untuk dapat
menghindarkannyal"
Begitulah dengan hati gembira Siauw Hiong tiba-tiba
memperlambat serangannya, sehingga memberi kesempatan
untuk Kinlungo menyerang dengan ganasnya, dengan mana
lagi-lagi dia berhasil menggulung sebagian besar bajunya
Lie Siauw Hiong, tapi pemuda kita buru-buru bentangkan
Kit Mo Sin Pouw untuk mengelitkan serangan lawannya.
Para hadirin yang melihat Lie Siauw Hiong menderita
kerugian ini, muka mereka menunjukkan perasaan takut
dan cemas atas diri pemuda kita, tapi mereka tidak habis
berpikir, mengapa orang tua itu malahan tinggal tersenyum-
senyum saja dengan tenangnya sambil menggendong kedua
tangannya, padahal mereka tidak mengetahui, bahwa Peng
Hoan Siangjin diam-diam dia memuji pada muridnya yang
sudah berhasil menerima pelajarannya dengan sempurna.
Dengan tangan kiri Lie Siauw Hiong lalu melancarkan
serangannya, sedang tusukan pedangnya sekali ini
mengancam jalan darah 'Kie-bun-hiat' atas diri lawannya.
Beruang-ulang sehingga tiga kali, Lie Siauw Hiong
menggunakan seluruh kepandaian yang beraneka macam
dan sangat hebat itu, sehingga lawannya tidak terasa lagi
menjadi terkejut bukan buatan.
(Oo-dwkz-oO) Jilid 32 Lie Siauw Hiong dengan beruntun sebanyak sepuluh kali
telah melancarkan serangannya dengan menggunakan
jurus-jurus 'Tay-yan-sip-sek'nya,
yang telah berhasil diciptakannya serta diperluas setelah dia mengalami
pertempuran hebat dengan sembilan jago dari Kwan Tiong,
dan sekarang dia pakai menyerang Kinlungo, dengan
tenaga yang ternyata telah bertambah hebat dan kuat,
sehingga saking gugupnya Kinlungo buru-buru berkata
didalam hatinya: "Tipu permainan pedangnya ini cukup
hebat, sebenarnya aku bisa bertahan, tapi mengapa dalam
waktu yang pendek dia dapat mengeluarkan banyak sekali
tipu-tipu aneh lainnya serta perubahan-perubahan yang
tidak habis-habisnya?"
Beruntun tiga kali dengan memperdengarkan suara sret
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sret sret dari sabetan pedangnya, Lie Siauw Hiong
menyerang bagian bawah tubuh Kinkungo, maka dalam
keadaan yang semakin gugup dia mengekuh pada dirinya
sendiri: "Habislah! Ternyata dia telah dapat memecahkan
kekemahanku .." Sambil berpikir begitu, buru-buru dia
melompat mundur sejauh dua langkah.
Dengan pedangnya Lie Siauw Hioug lalu menyerang
secara menyamping kearah tubuh bagian bawah lawannya,
sedang jurus yang dipakainya ini adalah yang tadi dia
terima dari Peng Hoan Siangjin! Kinlungo buru-buru
menyabetkan tali lemasnya kebawah dengan sepenuh
tenaganya, kemudian dengan sekonyong-konyong saja
terdengar suara bentakannya Lie Siauw Hiong: "Kena!"
Baru saja pedang Lie Siauw Hiong ditarik, Kinkungo
merasakan pundaknya sudah tertusuk oleh pedang
lawannya, sedangkan orang banyak hanya melihat sinar
pedang berkelebat, badan kedua orang itu berpencaran
dengan cepatnya, kemudian disusul pula dengan seruan
pemuda kita: "Kena!" Setelah itu, lagi-lagi mereka saling
berpencaran, kesudahannya pemuda kita lalu melintangkan
pedangnya didadanya, memandang pada Kinkungo yang
baju dipundaknya sudah tersobek dan darah tampak
mengucur dengan derasnya dari lukanya itu.
Setelah berselang sejurus kemudian, diruangan itu lalu
terbit suara yang amat bergemuruh dari teriakan-teriakan
para hadirin untuk menyambut kemenangan yang diperoleh
oleh jago muda kita ini. Kinlungo sendiri dengan muka biru
buru-buru mencekal tangannya Katar, mereka dengan tidak
menolehkan kepalanya lagi lalu keluar dari ruangan Bu-wie-
thia itu dibawah tampik sorak orang banyak yang mengejek
mereka. Lie Siauw Hiong setelah mengalahkan Kinlungo, dia
masih berdiri disitu sambil melihat pada wajah orang
banyak yang bergembira atas kemenangannya ..
Peng Hoan Siangjin sambil tertawa berseri-seri laku
berkata: "Bocah, sekali ini benar-benar kau sudah berhasil
dapat membikin namamu harum dalam rimba persilatan!
Ah, hampir-hampir aku melupakan urusan yang penting,
mari, lekas jalan .."
Dengan tidak menunggu persetujuannya Lie Siauw
Hiong lagi, dia sudah menarik lengannya si pemuda, dan
seperti juga seekor burung elang yang menyamber anak
ayam, seketika itu juga tampak bayangan kedua orang ini
melampaui kepala orang banyak melayang keluar dari
ruangan besar itu, hingga dengan tergesa-gesa Gouw Leng
Hong berseru: "Hiong Tee .. Loo-cian-pwee, tunggu
sebentar!"
Buru-buru dia keluar dari pintu itu, dan pada saat berada
diluar, dia lihat bayangannya Peng Hoan Siangjin dengan
Lie Siauw Hiong sudah tampak kecil bagaikan semut
karena amat jauhnya.
Gouw Leng Hong sangat mencintai pemuda kita
bagaikan adik kandungnya sendiri, dan sekalipun dia dapat
menerka bahwa orang tua itu mungkin sekaki Peng Hoan
Siangjin yang Lie Siauw Hiong sering sebut-sebut namanya,
maka dalam hatinya tidak pernah merasa khawatir apa-apa.
Maka tanpa berpikir panjang lagi dia kalu bentangkan
Keng-sin-kangnya untuk coba menyusul kedua orang itu.
Dia tidak pernah berpikir, bahwa Keng-sin-kangnya
sendiri mana mungkin dapat menandingi Keng-sin-kangnya
Peng Hoan Siangjin, sehingga diapun sudah melupakan
orang yang berada dalam ruangan itu dan merupakan
pembunuh ayahnya sendiri, ialah Kouw Am dan Cek Yang.
Pada saat itu hatinya hanya bertekad bulat atas suatu tujuan
saja, yaitu mengejar pada adiknya, tapi andaikata dia sudah
berhasil dapat mengejarnya, diapun tak tahu untuk maksud
apa dia melakukan pengejaran itu.
Leng Hong lihat orang tua yang mencekal lengannya Lie
Siauw Hiong hanya dengan berapa kali lompatan saja
sudah mencapai jarak puluhan tombak jauhnya, hingga
dengan sekeras-keras kemampuannya dia berusaha untuk
mengejarnya, dan diwaktu mengetahui bahwa dirinya tidak
mungkin dapat menyandaknya lagi, sekonyong-konyong
dari belakangnya meniup angin yang agak keras, dan
bersamaan dengan itu, sesosok bayangan dari belakangnya
mekesat melewati tubuhnya, hingga kecepatannya bagaikan
bintang beralih saja. Orang ini justeru adakah pemuda yang
bertempur tadi dengan Katar, yaitu Bu-lim-cie-siu, maka
dalam hatinya diam-diam dia berkata: "Aku yang telah
makan buah mujijat, tenaga-dalam maupun Keng-sin-
kangku sudah maju pesat sekali, aku kira kecuali Hiong
Tee, jarang sekali ada orang yang dapat menandingiku, tapi
tidak disangka pemuda ini, yang usianya juga tidak
melebihi berapa tahun daripadaku, bukan saja tenaga-
dakamnya, tapi Keng-sin-kang-nya pun hampir bersamaan
denganku."
Dalam hati dia merasa sangat tidak puas, maka sambil
menghempos semangatnya iapun telah melesat untku
mengejarnya, tapi Bu-kim-cie-siu yang tadi lari melewatinya, sebentar kemudian tampak sudah balik
kembali. Pemuda itu ketika melihat bahwa Leng Hongpun
mengejarnya, juga tidak berhasil mengejar oraug tua itu,
maka hatinya yang sedang merasa tidak puas, sambil
menekuk mukanya dia berkata pada Leng Hong: "Kau
mengejarku mau apa?"
Leng Hong melihat wajah orang itu masih muda sekali,
tapi disitu menunjukkan bahwa dia itu bertabiat sangat licik
sekali. Pada saat itu sekalipun dia sedang mengumbar
amarahnya, sedikitpun dia tidak menunjukkan keangkarannya, hingga tidak terasa lagi diapun berkesan
baik juga terhadapnya. Maka walaupun dia bertabiat panas
dan mendongkol, tapi dengan berbaik dan tidak ingin
menunjukkan kelemahannya diapun lantas berkata: "Aku
kira bahwa kau sudah berhasil dapat mengejar Loo-ho-siang
dan Hiong Teeku."
Si pemuda itu yang merasa dirinya disindir, dengan
marah lalu berkata: "Bagaimana, kau mau apa sekarang?"
Leng Hong yang mendengar omongan pemuda itu tidak
beraturan, diapun dengan berpura-pura marah lalu berkata:
"Kaupun mau apa?"
Dengan marah pemuda itu berkata: "Bocah liar, aku
sedang menantikan pengajaranmu!"
Leng Hong lalu tertawa dan berkata: "Pengajaran?"
Pemuda itu lalu mengepalkan kedua tinjunya, yang
kemudian dipukulkan kearah Leng Hong hingga si pemuda
she Gouw yang segera kenali bahwa dia itu seorang murid
dari partai Siauw Lim, dengan tidak berayal lagi segera
membentangkan jurus Liok-teng-kay-san, atau Malaikat
Liok Teng membuka gunung, untuk balas menyerang
kepadanya. Kedua orang ini memang tidak bermaksud
untuk mencelakai lawannya masing-masing, tapi dengan
beradunya kedua kepalan ini, mereka masing-masing jadi
terdesak raundur hingga sejauh dua langkah.
Dengan memuji Leng Hong berkata: "Sungguh suatu
kepandaian yang bagus sekali!"
Pemuda itupun memuji atas kekuatan Leng Hong, maka
setelah mendengar Leng Hong memuji, rasa permusuhannyapun jadi banyak berkurang, hingga dalam
pada itu diapun lalu berkata: "Kali ini aku mempunyai
urusan yang penting, maka tidak bisa tinggal lama-lama
disini. Jika dibelakang hari memang kita berjodoh satu
sama lain, akan kuminta pengajaran pula darimu!"
Sehabis berkata begitu, dengan tidak menunggu jawaban
Leng Hong lagi, dia sudah meninggalkannya pergi bagaikan
angin cepatnya.
Leng Hong yang memang tidak bermaksud jahat
kepadanya, sudah tentu saja diapun tidak menghalanginya,
tapi sekonyong-konyong dia teringat pada orang yang
merupakan musuh yang membunuh ayahnya, maka buru-
buru dia balik keruangan Bu-wie-thia tadi.
Waktu dia masuk kedalam ruangan itu, dia lihat ruangan
itu sudah sepi hingga yang ketinggalan disitu hanya berapa
orang yang tidak ternama sama sekali. Ternyata bahwa
kepergiannya tadi, telah menyebabkan banyak sekali
pendekar-pendekar ternama di Tiong-goan sudah pada
meninggalkan tempat itu menuju kedaerah masing-masing,
dan diwaktu dia sapukan matanya pada sekeliling tempat
itu, dia tidak melihat lagi musuhnya itu, maka dalam hati
dia berpikir: "Musuhku adalah orang-orang yang sudah
ternama, jika aku menantangnya, merekapun tidak
mungkin dapat menyembunyikan diri begitu saja, maka
apakah pula yang perlu kutakuti?" Tapi satu pikiran lalu
melintas dikepalanya: "Tadi orang tua itu mempunyai
Keng-sin-kang yang sukar diduga betapa tingginya, dia
kenal baik kepada Hiong Tee. Maka dengan menilik pada
kecintaannya terhadap saudaraku itu, rasanya sudah
pastilah bahwa dia itu pemimpin dari 'Tiga Dewa Diluar
Dunia', yaitu Peng Hoan Siangjin, belum tahu orang tua itu
hendak mewariskan pelajaran hebat apa lagi kepada Hiong
Tee! Aku pernah menyanggupinya untuk menjenguk Souw
Kho-nio, oleh sebab itu, akupun tidak boleh menghilangkan
kepercayaannya. Setelah mengambil keputusan yang pasti
diapun pergilah untuk menepati janjinya.
Waktu dia berangkat kearah perbatasan propinsi Shoa
Tang, dia lihat disepanjang jalan banyak sekali orang tua
maupun muda yang menggendong barang-barang yang
berat diatas bebokong mereka, tampaknya mereka sangat
lelah karena tengah melarikan diri dari kejaran serdadu-
serdadu, hingga dalam hati dia merasa heran sekali.
Waktu orang tua itu ditanyakan dan mengetahui, bahwa
Leng Hongpun mempunyai dialek bahasa yang sama
sepertinya, diapun mengetahui, bahwa Leng Hong adalah
penduduk sekampung halaman yang baru pulang dari
perantauannya, maka sambil menghela napas dia berkata:
"Sebulan yang lampau pernah turun hujan lebat beberapa
kali, air sungai Hong Hoo pada meluap membobolkan
tanggu-ltanggulnya sehingga seluruh kampung mengalami
kebanjiran hebat sekali, kampungku terpisah dengan
kampung Phui-kee-cun hanya seratus lie lebih, maka masih
keburu menyingkir bersama keluargaku .."
Leng Hong dengan tidak menunggu sampai orang tua itu
selesai berbicara, ia sudah memotong sambil bertanya:
"Loo-pek, kampung Lim-cun bagaimana?"
Orang tua itu menjawab: "Apakah yang dimaksudkan
olehmu bukan Lim-cun sebelah barat yang terpisah lima
puluh lie dari Kho-kee-cun" Disanapun dikuatirkan sudah
menjadi lautan besar pula!"
Setelah mengucapkan terima kasihnya, diapun berpamitanlah dari orang tua itu.
Waktu dia memikirkan Toa Nio bersama anak daranya
yang cantik tertimpah bencana alam yang kejam ini, dia
pikir bagi mereka lebih banyak celakanya daripada selamat,
hingga hatinya gugup cemas bukan buatan. Mula-mula dia
berniat hendak membentangkan Keng-sin-kangnya untuk
pergi melihat kedaerah itu, tapi, karena kuatir terlampau
menarik perhatian orang, terpaksa ia urungkan niatannya
itu. Begitulah sejak pagi dia berjalan sampai senja, tanpa
makan tengah hari. Disepanjang jalan benar saja terlihat
banyak sekali penduduk yang mengalami bencana alam ini
melarikan diri dengan berbondong-bondong, hingga hatinya
merasa tertusuk sekali menyaksikan kesengsaraan penduduk itu. Dan setelah terpisah dengan kampung Lim-
cun kurang lebih seratus lie lagi, dia tanyakan pada salah
seorang penduduk tentang keadaan dalam kampung itu,
dari siapa ia diberitahukan bahwa kampung yang
dimaksudkan itu dan sekitarnya sejauh sepuluh lie, baru
kemarin malam saja digenangi air.
Mendengar keterangan begitu, Leng Hong jadi terkejut
seperti orang disamber geledek saja, hingga untuk sesaat dia
berdiri terpaku, merasa pilu sekali berpikir, cara bagaimana
dia harus menolongi Ah Lan ibu dan anak"
"Rumah gubuknya itu dibangun menyender dengan
gunung," pikirnya, "daerah disekelilingnya memang juga
cukup tinggi, bila mereka naik diatas puncak gentingnya,
untuk setengah hari mungkin air belum dapat melandanya.
Sekarang kampung Lim-cun sudah habis digenangi air,
perjalanan sukar dijalani, lebih baik aku pergi kesana
dengan menyewa perahu saja."
Dengan mengeluarkan ongkos yang cukup besar, lalu dia
menyewa sebuah perahu, dan dengan berlawanan dengan
arah banjir, mereka menuju ketempat yang dimaksudnya
itu. Pada saat itu air yang mengalir sangat deras sekali,
tukang perahu itu
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan mengeluarkan seluruh kekuatannya mendayung perahunya, tapi lajunya perahu itu
tetap perlahan sekali, hingga hati Leng Hong bertambah
gugup saja. Lalu dia minta satu pengayuh lagi, dan sambil
mengeluarkan tenaga-dalamnya,
diapun bantu mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendayung
perahu itu, hingga dengan mendayung berduaan dapat juga
mereka membuat lajunya perahu itu menjadi pesat juga.
Setelah berlayar tiga jam lamanya, pada saat itu sudah
tengah hari, tukang perahu sudah kehabisan tenaga, maka
diapun tidak dapat melanjutkan mendayung lagi, dia sudah
hendak mengasoh untuk memelihara semangatnya, tapi
Leng Hong tidak menghiraukannya dan dengan seorang
diri saja kini dia mendayung pearhu tersebut.
Sebentar kemudian banjir itu semakin bertambah tinggi
dan hebat, sedangkan jalanan tidak dapat dikenali lagi, dan
sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah air belaka,
hingga dalam hati Leng Hong mengetahui, bahwa daerah
ini terpisah dengan Lim-cun sudah tidak berapa jauh lagi,
maka sambil menghempos semangatnya dia mendayung
terlebih giat lagi.
Dia lihat disepanjang jalan yang dilewatinya, seluruh
rumah sudah digenangi air bah, hingga banyak penduduk
yang naik diatas pohon atau atap rumah yang tinggi,
dengan ditangan mereka memegang obor yang menyala.
Orang banyak ketika melihat Leng Hong mendatangi
kearah mereka, obor mereka lalu dibolang-balingkan sambil
berteriak-teriak minta pertolongan.
Leng Hong yang memikirkan keselamatannya Ah Lan
ibu dan anak, dia berpura-pura tidak mendengar teriakan-
teriakan orang banyak, hanya berlayar terus saja dengan
hati yang penuh kekuatiran.
Kini terpisah dengan kampung Lim-cun sudah semakin
mendekat, hingga hatinyapun bertambah tegang, tangannya
sudah berkeringat, sedangkan didalam hati dia berpikiri:
"Asalkan .. asalkan mereka naik diatas genting saja, maka
mereka masih mungkin dapat ditolong."
Perahu kecil itu lalu masuk kedalam kampung Lim-cun.
Pada saat itu dengan hati berdebar-debar Leng Hong
memandang keempat penjuru, dia hanya melihat air
melulu, seluruh bangunan dikampung itu sudah digenangi
air bah, hingga hanya ada berapa batang pohon Gouw
Tong saja yang masih terlihat cabangnya diatas permukaan
air banjir itu.
Hatinya menjadi tawar sekali, dia yang sudah
mendayung sehari semalam, seluruh tenaganya sudah
habis, kini melihat pengharapan satu-satunya hilang pula,
maka seluruh badannya dirasakan lemas sekali, maka
dengan tidak disadarinya lagi dayungnya jatuh kegeladak
perahu, sedangkan orangnyapun turut jatuh semaput.
Leng Hong yang sejak kecil sudah ditinggal oleh kedua
orang tuanya, dia terus dipelihara dengan kasih sayang oleh
Toa Nio. Terhadap Ah Lan dia paling baik sekali, karena
sekalipun mereka tidak terang-terangan menyatakan
kesayangan mereka masing-masing, tapi dengan tindak-
tanduknya terang sekali lebih menang daripada perkataan
yang diucapkan itu. Dia hanya berharap dapat membalaskan sakit hati kedua orang tuanya, sebelum itu
dia ingin mencari buah Hiat-ko untuk menyembuhkan
pandangan Ah Lan, kemudian .. membawa Ah Lan serta
ibunya kesatu tempat yang indah seperti dalam lukisan ..
tapi, sekarang" Mimpi indah yang dibayangkannya itu kini
telah buyar seluruhnya ..
Leng Hong rasakan dadanya panas, kemudian dingin,
seakan-akan dia dapat mendengar darah yang mengalir
ditubuhnya, darah yang mengalir dijantungnya, jantung itu
seakan-akan pecah dan hatinyapun turut pecah pula ..
Kemudian dia menarik napas, sambil membantah:
"Dunia ini ternyata tidak kekal, hingga apa saja selalu
berubah-ubah, sehingga hanya barang logam seperti
tembaga saja yang tak mudah berubah."
Benar, penghidupan didunia ini memang penuh dengan
kesengsaraan: berpisah hidup, berpisah mati, putus
harapan, kepedihan, dan masih ada apa lagi yang perlu
diharapkan"
Dalam saat itu juga, dia rasakan antara dunia dengannya
seolah-olah tidak ada hubungannya lagi, sedangkan
pikirannya seakan-akan sedang memasuki satu dunia yang
lainnya pula ..
Leng Hong lalu berkata pada dirinya sendiri: "Ah Lan,
Ah Lan, kau jangan menangis. Twako akan datang
menemanimu!"
Tengah dia mabuk kepayang ini, sekonyong-konyong
belakangnya didorong orang, hingga dengan terkejut dia
bangun berdiri, dan waktu dia balikkan kepalanya
memandang, dia lihat orang itu adakah si tukang perahu.
Ternyata waktu dia jatuh semaput tadi, tukang perahu
sudah siuman dari tidurnya, dan setelah dia nyalakan api,
dia lihat Leng Hong dengan muka pucat terbaring digeladak
perahunya, mukanya tidak tampak warna darah. Dan
tatkala melihat muka pemuda kita yang sedang terlongong-
longong dan seakan-akan sedang memikirkan sesuatu,
sekonyong-konyong dia lihat pemuda kita tertawa dan lalu
berkata pada dirinya sendiri, hingga dengan tidak sabaran
lagi dia telah mendorong tubuh pemuda kita.
Sesudah terbangun dari melamunnya dan menyadari apa
yang telah terjadi atas dirinya, hatinya merasa pilu dan
cemas, sehingga diapun tidak berani memikirkan masa
depannya. Pada saat itu haripun sudah pagi lagi, lalu dia
perintahkan tukang perahu berlayar balik. Mengikuti aliran
air laju perahu sangat pesat sekali, hingga tidak sampai dua
jam lamanya merekapun sudah sampailah dipantai pula.
Leng Hong setelah turun dari perahu dan mencampurkan diri diantara korban bencana banjir itu, dia
perhatikan satu-persatu orang yang mengalami bencana itu,
tapi diantara mereka dia tidak menemui orang yang
dicarinya. Maka dengan putus harapan diapun tidak mau
lagi bercampuran dengan penduduk yang mengalami
bencana itu, sedangkan pikirannya hanya ditujukan pada
satu jurusan saja, yaitu pulang.
Jalan yang diambilnya kini tidak lagi jalan besar,
melainkan jalan kampung yang kecil dan memotong jalan,
agar supaya lebih cepat sampainya, dari situ dia mengambil
jalan gunung yang sepi dan lengang. Kalau lapar dia makan
buah-buahan yang terdapat dijalanan, sedangkan minumnya dia minum air sungai yang jernih. Jalan gunung
itu yang tidak putus-putusnya, seakan-akan tidak ada
ujungnya, maka dalam hati Leng Hong berpikir: "Biarlah
bila ujung jalan ini dijumpai, itulah berarti bahwa
nyawakupun sudah sampai."
Begitulah dia berjalan tanpa tujuan, dan tatkala berjalan
sudah berapa hari lamanya, kini dia melihat disebelah
depan terdapat satu jalan yang menuju ke Cee Leng, hingga
hatinya terkejut dan berkata: "Souw Kho-nio tinggal di Cee
Leng, baiklah aku menjenguknya sekali saja, setelah itu,
aku akan mencari pembunuh orang tuaku, kemudian .."
Diapun tidak mengetahui lagi apa
yang hendak dikerjakannya selanjutnya.
Leng Hong setelah masuk kedalam kota, otaknya terasa
kosong melompong, tujuannya hanya satu, yaitu berjalan
terus .. Setelah dia lewati lagi gang, kemudian didepannya dia
melihat pintu besar berwarna hitam dan diatas pintu itu
tergantung besi pengetuk pintu yang tampak kuning seperti
mas, didepan pintu itu terdapat dua orang serdadu penjaga,
hingga diapun segera mengetahui, bahwa itulah tempat
tinggal Tie-hu (kurang lebih sama dengan bupati). Lalu dia
jalan menghampiri sambil bertanya: "Saudara, apakah
rumah ini rumah Kong Koan dari Tie-hu" Aku Gouw Leng
Hong ingin mencari dan bertemu dengan nona Souw Hui
Cie." Penjaga pintu tersebut ketika melihat wajah pemuda kita
yang kini berpakaian sangat kotor dan tidak keruan, tapi
wajahnya tampak tampan sekali, lagi pula waktu
mendengar bahwa dia menanyakan anak angkat Tie-hu itu,
diapun segera mengetahui, bahwa pemuda kita tentulah
orang yang mempunyai asal-usul yang terang, oleh karena
itu, tanpa berani berlaku ayal-ayalan lagi dia lalu masuk
kedalam untuk melaporkannya.
Berselang sejurus antaranya, lalu keluar seorang yang
tampaknya seperti orang pesuruh dari orang berpangkat itu,
yang dengan laku sangat hormat sekali lalu berkata: "Gouw
Kong-cu silahkan masuk, Sio-cia sedang menantikan
diruangan tamu."
Baru saja dia jalan setengahnya, Souw Hui Cie sudah
datang menyambutnya, Leng Hong melihat dia tersenyum
manis sekali bagaikan bunga yang sedang mekar, wajahnya
tampak sangat gembira. Selama beberapa bulan tidak
berjumpa ia tampak agak lebih kurus, tapi mukanya tampak
bertambah cantik.
Leng Hong sambil memberi hormat lalu berkata: "Souw
Khonio, apakah kau baik-baik saja selama ini" Aku bersama
Hiong Tee sebenarnya ingin datang bersama-sama, tapi
ditengah jalan dia dipanggil pergi oleh seorang Loo-cian-
pwee, maka untuk itu dia mengirim salam kepadamu dan
menanyakan tentang kesehatanmu."
Souw Hui Cie dengan segera menjawab dengan lemah-
lembut: "Gouw Kong-cu silahkan masuk kedalam, tempo
hari begitu kita saling berpisah, hatiku sangat memikirkan
tentang kau saja, setiap hari aku senantiasa menantikan
kedatanganmu untuk menjenguk .." Waktu dia berkata
sampai disitu, seakan-akan dia dapatkan yang perkataannya
itu agak tidak sesuai, hingga dengan muka merah dia lalu
berhenti berkata-kata.
Leng Hong yang melihat sepasang matanya yang indah,
tidak terasa lagi dia terpikir akan diri Ah Lan, sedangkan
didalam hatinya dia berkata: "Ai, sungguh banyak
miripnya! Hanya yang satu begitu beruntung sekali,
sedangkan yang lainnya mengalami bencana yang sangat
menyedihkan. Oh, Tuhan, mengapakah kau tidak adil
sekali?" Hwie Cie yang melihat pemuda dihadapannya tiba-tiba
tinggal terpekur saja, hatinya jadi merasa heran, dan
bersamaan dengan itu, tidak terasa lagi perasaan sayang dan
kasihannya semakin jadi mendalam.
Dengan suara yang lemah-lembut dia berkata: "Gouw
Kong-cu, apakah kau datang dari daerah kebanjiran?"
Leng Hong menganggukkan kepalanya, kemudian Hwie
Cie melanjutkan perkataannya: "Sungai Hong Hoo (sungai
kuning) setiap tahun selalu menimbulkan bahaya banjir,
para pembesar yang diharuskan bertugas membetulkan
tanggul-tanggul sungai itu, biasanya hanya pandai memeras
rakyat saja dengan jalan memungut pajak dari rakyat jelata
yang katanya untuk dipakai membetulkan tanggul-tanggul
itu, tapi kenyataannya uang yang didapatkan itu masuk
kantongnya sendiri, sehingga waktu bahaya banjir datang,
siang-siang mereka sudah melarikan diri meninggalkan
rakyat yang pernah diperasnya, hingga ayah angkatkupun
sangat geram menyaksikan tingkah laku pembesar-
pembesar itu, dan diapun sudah ingin melaporkan
kekejadian ini kepada gubernur."
Leng Hong menjadi tergerak hatinya mendengar
perkataan nona ini, semulanya dia ingin membuka mulut
untuk menanyakan lebih lanjut, tapi karena Hwie Cie
kelihatannya sangat girang sekali, maka dia tidak sempat
mengajukan pertanyaannya, lebih-lebih ketika sinona
berbicara terus dan tidak henti-hentinya, menceritakan
tentang kisahnya sendiri.
Ternyata tempat nona Hwie Cie menyenderkan dirinya
pada sahabat ayahnya adalah seorang Tie-hu (bupati) she
Kim, begitu dia lihat nona Souw ini, orang tua ini jadi
sangat girang, dan atas penuturan nona ini, dia merasa
terharu sekali, hingga dengan segala senang hati dia suka
menerima anak dara kawannya untuk tinggal bersama-sama
dengannya. Orang tua itu sudah berumur lima puluh tahun lebih, dan
dia sangat menyayangi sekali terhadapnya, dan dia sering-
sering menghela napas karena dia tidak mempunyai anak
laki-laki maupun anak perempuan, oleh karena itu, dia lalu
angkat orang tua itu sebagai ayah angkatnya, hal mana
telah menyebabkan orang tua itu merasa sangat girang
sekali. Sebenarnya Leng Hong ingin pamitan, tapi melihat
nona itu menceritakan kisahnya dengan gembira, tidak tega
rasanya untuk meninggalkan dia dengan segera.
Hwie Cie setelah berkata-kata demikian, dia lihat
pemuda kita sangat memperhatikan kisahnya, hingga
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diapun menjadi sangat girang didalam hatinya.
Sekonyong-konyong dia berkata: "Gouw Siang-kong,
kau lihatlah, karena saking girangnya, sehingga aku berlaku
sangat tolol sekali. Kau yang telah datang dari tempat yang
jauh, tentu sekali sangat lelah, aku malah mengoceh tidak
keruan, baiklah kau mandi dan tukar pakaian dahulu,
kemudian kau boleh beristirahat."
Sesudah itu dia perintah babu untuk menyediakan air
panas, untuk Leng Hong mandi.
Leng Hong setelah mandi dan bertukar pakaian, dia
rasakan badannya amat segar sekali, tapi perasaan itu hanya
hinggap sebentaran saja, sebab pikirannya kemudian
menjadi ruwet demi memikirkan sesuatu yang dialaminya.
Hwie Cie menunggu Leng Hong, setelah pemuda itu
selesai mandi, lalu diantarkan kekamar tidur sambil berkata:
"Kau baiklah beristirahat sebentar, setelah kau bangun, lalu
kita boleh makan malam, baru sesudah itu kita boleh
melanjutkan cerita kita yang belum selesai."
Setelah waktu makan tiba, Leng Hong lalu mengikuti
babu untuk bertandang kekamar siocianya, yang setelah
melewati dua lorong, dihadapannya terlihat sebuah pintu
bundar, dan babu itu lalu berkata: "Inilah tempat tinggal
Sio-cia kita."
Leng Hong setelah masuki kamar bundar itu, hidungnya
lantas dapat menangkap hawa yang harum semerbak,
ternyata dalam taman disitu ditanami pohon-pohon bunga
melati, dibelakang gunung-gunungan buatan terdapat air
mancur, yang diwaktu sinar puteri malam jatuh diatas air
terjun itu, tampak memancarkan warna-warni yang gilang-
gemilang, hingga pemandangan itu sungguh luar biasa
sekali indahnya.
Leng Hong melihat Hwie Cie sedang menantikannya
dengan duduk dipinggir sebuah meja, diatas mana sudah
diatur hidangan dan sayur-mayur, kemudian dia dipersilahkannya duduk disisinya.
Dengan lemah-lembut ia berkata: "Apakah Kho-nio
sudah lama menantikan aku?"
Dengan tertawa Hwie Cie menjawab: "Gouw Siang-
kong, ternyata kau terlampau sopan-santun. Mari, kita
minum arak dahulu." Waktu dia mengucapkan perkataan
'kita', tidak terasa lagi dia merasa sedikit malu.
Leng Hong tanpa tujuan tertentu lalu mengangkat
cangkir araknya untuk minum isinya, dengan mana Hwie
Cie pun menelad sedikit malu.
Dengan perkataan yang lemah-lembut Hwie Cie coba
menghibur pemuda kita, Leng Hong yang hatinya penuh
diliputi kesedihan, dia berpikir untuk menghilangkan
kesedihannya itu dengan jalan minum arak, begitulah
secangkir demi secangkir dia hirup araknya.
Si nona sendiripun minum secangkir pula, hingga
mukanya menjadi agak merah. Dibawah sorotan sinar
lampu minyak, pipinya yang berwarna putih kini tampak
bersemu dadu, hingga tampaknya begitu indah bagaikan
sekuntum bunga yang baru mekar saja.
Sekonyong-konyong dia berkata: "Hari itu aku berjumpa
dengan tuan Lie .. Lie Siang-kong panggil kau Twako,
bukan" Dia sungguh mengagumimu, aku .. akupun
mengharapkan, bahwa pada suatu hari akupun dapat
memanggilmu dengan sebutan Twako juga, bukankah hal
itu sangat baik sekali?"
Leng Hong sudah agak dipengaruhi oleh susu macan,
melihat sinona sungguh indah dan cantik sekali, diapun
berkata: "Akupun sangat mengharapkan sekali akan
mempunyai seorang moay-moay (adik perempuan) sepertimu."
Dengan penuh rasa girang yang memuncak Hwie Cie
berkata: "Twako, benarkah hal itu" Kau tak usah panggil
aku dengan sebutan Souw Kho-nio lagi, ibuku panggil aku
Siauw Hwie, kaupun boleh panggil begitu
juga terhadapku."
Kemudian diapun melanjutkan: "Twako, sejak kepergianmu, aku sungguh memikirkan dirimu saja, setiap
hari aku menghitung-hitung hari lalu, aku ketahui bahwa
kau pasti akan datang kepadaku. Pagi hari ini aku dengar
burung gereja berkicau didahan pohon, hingga akupun
mengetahui, bahwa kau pasti akan datang."
Leng Hong berkata: "Siauw Hwie Moay-cu, aku .. aku."
Siauw Hwie lalu melanjutkan perkataannya: "Tak usah
kau katakan Twako, akupun mengetahui yang kaupun
senantiasa memikirkan tentang diriku, bukankah begitu?"
"Ayah angkatku yang melihat aku senantiasa tidak
bergembira, mengira bahwa aku jatuh sakit. Twako, hatiku
senantiasa merasa risau sekali. Twako, kau tidak akan
meninggalkan aku lagi ya" Aku tahu bahwa kau tidak suka
tinggal disini, bila kau ingin mengembara dikalangan Kang-
ouw, masakah aku tidak ingin turut bersamamu?"
Leng Hong yang mendengar perkataan si nona yang
penuh rasa kasih sayang, hatinya merasa tergerak dan
terharu sekali. Hwie Cie duduk dekat sekali dengannya,
hingga hawa wangi yang memancar dari tubuhnya dapat
dirasakan oleh Leng Hong.
Dia sendiri memangnya tidak begitu gemar minum arak,
pada saat itu dia bermaksud untuk menghilangkan
kesedihannya dengan jalan menenggak arak, dan kini waktu
dia angkat kepalanya memandang pada nona Souw,
ternyata si nona tengah memandang padanya dengan
perasaan cinta yang mendalam sekali.
Leng Hong rasakan matanya itu begitu lembut dan
mesra, dia kini yang sudah kena dipengaruhi susu macan
darahnya agak naik, setelah memandang pula, diapun tidak
dapat lagi mengendalikan gelora hatinya, maka dengan
serta-merta lalu dia ulurkan tangannya memegang tangan si
nona sambil berkata: "Moay-cu (adik, dinda) kau sungguh
cantik sekali."
Hwie Cie yang dicekal tangannya, tidak berusaha untuk
melepaskannya, dia biarkan saja diusap-usap oleh pemuda
kita, dia rasakan tangan Leng Hong yang hangat terus
menjalar keseluruh tubuhnya, hatinya merasa lemas dan
mesra sekali. Dia yang sejak kecil sudah ditinggal mati oleh ibunya,
sekalipun ayahnya sangat mencintainya, tapi selama berapa
tahun berselang, dia yang sudah sebatang kara, bila
dimalam terang bulan hanya duduk sendirian menggadangi
bulan, sungguh hatinya merasa kosong dan kesepian sekali,
tapi kini hatinya sudah terisi, sehingga dunia kini sudah
berubah begitu indah, dengan segala-galanya yang ada
dimuka bumi ini menjadi serba indah pula seluruhnya!
Demikianlah khasiatnya .. cinta!
Leng Hong dengan penuh kemesraan memanggil:
"Moay-cu!"
Hwie Cie dengan lembutnya menyahut: "Twako, ada
apa?" Leng Hong dengan terputus-putus berkata: "Aku .. aku ..
ingin sekali mencium matamu .."
Hwie Cie merasa sangat malu sekali, dia yang memang
bertabiat sopan dan lemah-lembut, melihat mata Leng
Hong tengah memandangnya seakan-akan menantikan
jawahannya, diapun tidak tega untuk menolaknya, begitu
juga dalam sanubarinya memang dia tidak ingin
menolaknya. Lalu, dia meramkan matanya begitulah dia menantikan
ciuman pemuda kita, dalam detik-detik itu dia tidak
inginkan segala apapun didunia ini .. semuanya
dirasakannya bagaikan awan putih yang tengah berarak-
arak diatas langit tidak ada gunanya.
Setelah itu, dia merasakan pemuda kita menciumi
matanya berulang-ulang, dalam hati dia berkata: "Dia
sungguh seorang jantan sejati, cuma dia terlampau kuno
sekali dan kering."
Waktu kemudian dia meleki matanya kembali, dia lihat
pemuda kita seakan-akan seorang yang sedang mabuk
kepayang, dalam hati dia berpikir: "Twako, dikuatirkan kau
mabuk karena terlampau gembira agaknya, bukankah?"
Sekonyong-konyong, dari luar jendela terdengar suara
helaan napas seseorang yang amat sedihnya.
Leng Hong yang sedang merasakan puncak kenikmatannya dalam lembah asmara, sekalipun dia
mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, dia tidak
mendengar suara helaan napas orang diluar jendela,
berhubung pikirannya sedang tenggelam dilautan asmara,
sedangkan Hwie Cie sendiri juga tidak mendengar suara itu
karena diapun sedang merasakan kemesraan bercinta kasih,
pada saat itu harapannya adalah bila mungkin dunia ini
tidak berjalan ataupun berkisar, sedangkan detik-detik tidak
berjalan agar dia dapat menikmati kemesraan cinta itu lebih
lama pula, dari itu, dimanalah dia mendengar suara helaan
napas diluar jendela tersebut"
Kejadian didunia ini memang seperti juga sudah diatur
oleh yang berkuasa, andaikata suara helaan napas itu
terdengar oleh Leng Hong dan dia buru-buru mengejarnya,
maka pasti sekali penghidupannya akan mengalami
perubahan yang besar sekali.
Ternyata dibalik gunung-gunungan palsu, duduk seorang
wanita yang lemah-lembut, dia ini tidak henti-hentinya
menangis, waktu angin malam meniup pipinya, dia
bergemetaran karena dinginnya tapi rasa dingin itu jauh
lebih ringan bila dibandingkan dengan perasaan hatinya
yang merasa putus asa dan pilu sekali.
Setelah dia menangis puas, perasaan marahnya mulai
hilang, dan suatu perasaan yang seumurnya belum pernah
dirasakannya, telah bersarang didalam dadanya.
"Orang lain adalah anaknya orang besar, aku hanya
seorang .. aku hanyalah seorang gadis desa yang buta,
bagaimana dapat dibandingkan dengan orang lain?" Dan
hatinya berpikir lebih jauh: "Twako, akupun tidak
menyalahkanmu, aku sesungguhnya tidak pantas menjadi
pasanganmu! Twako, kau tidak usah memikirkan pula
tentang gadis desa yang bodoh, baiklah kau kawin dengan
nona Souw saja." Dia yang dari kecil sampai besar
dibesarkan dalam lingkungan desa, seumurnya belum
pernah mengalami perbuatan dusta dan palsu, diapun
belum pernah merasakan dirinya tertipu oleh orang lain,
dan sekarang barulah dia rasakan perasaan itu, karena dia
rasakan orang yang seumurnya menjadi idam-idamannya,
dia mengira bahwa pemuda kita adalah seorang laki-laki
yang sempurna, tapi ternyata akhirnya dapat menipunya
juga, dengan jalan memindahkan kasih sayangnya pada lain
gadis, segala impiannya yang muluk dan indah kini sudah
buyar laksana asap tertiup angin, hingga yang ketinggalan
sekarang hanyalah perasaan sedih dan pilu saja, maka
saking pilunya, dia merasa seakan-akan hatinya sedang
dimakan oleh seekor ular yang berbisa.
Cinta akhirnya memenangkan segala-galanya, diapun
tidak merasa dendam kesumat pada kekasihnya karena dia
berpikir: "Aku masih tetap mencintai Twako, aku ingin
Twako senantiasa sehat-sehat saja, asal saja dia selalu segar
bugar, apa lagi yang aku inginkan" Twako dengan nona
Souw adalah pasangan yang setimpal dan cocok sekali, aku
mengapa harus menyelak diantara mereka,
untuk menyusahkan Twako saja" Pergi! Pergi! Biarlah aku pergi
sejauh-jauhnya untuk membiarkan melaksanakan cinta
kasih mereka!"
Lalu dia bangkit dan berjalan perlahan-lahan waktu sinar
puteri malam menyinari tubuhnya, maka terbentuklah
bayangan panjang yang berpeta dibumi.
Sekalipun dia tidak melihat bayangannya sendiri, tapi
dalam hati dia berpikir: "Mulai hari ini, aku adalah seorang
yang sebatang kara, bayangan, oh bayangan, hanya engkau
saja yang senantiasa menemaniku !"
Perlahan-lahan diapun sudah pergi jauh sekali, seorang
yang berbudi luhur mengalami nasib yang demikian
memilukan hati, perlahan-lahan bayangannya ditelan oleh
kegelapan malam yang tidak berbatas ..
Keesokan harinya Leng Hong lalu minta diri dari nona
Souw. Hwie Cie yang mengetahui bahwa pemuda kita ingin
menuntut balas sakit hati orang tuanya, diapun tidak
berusaha untuk menghalang-halanginya, baru saja Leng
Hong ingin berangkat, sekonyong-konyong hatinya tergerak
dan diapun berpikir: "Ayah angkatnya Souw Kho-nio
adalah pejabat Tie-hu dari daerah delapan kewedanaan di
Shoa-tang barat, aku mengapa tidak coba menyelidiki
jejaknya Ah Lan ibu dan anak?"
Dalam pada itu diapun berkata pada Hwie Cie, waktu
Hwie Cie mendengar pemuda kita dalam menyebutkan
nama An Lan, perasaannya begitu penuh kasih dan sayang,
hingga tidak terasa lagi hatinya merasa sedikit tidak enak.
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diapun berdiam diri sebentar, dan satu pikiran melintas
diotaknya, sudah beberapa kali dia berusaha untuk
mengatakannya, tapi perasaannya yang lebih mementingkan diri sendiri melarangnya akan berbuat
demikian. Didunia ini, bagi wanita kebanyakan, perasaan
mementingkan diri sendiri dan cemburu adalah paling
menonjol, maka dengan berperasaan demikian, hal ini
akhirnya dapat membuat seorang wanita yang tadinya
lemah-lembut dan berbudi luhur berubah menjadi seorang
wanita yang kejam dan jahat.
Begitulah perasaan tersebut berperang dalam hatinya
Hwie Cie, dia yang memangnya anak seorang pembesar
pula, sejak kecil sudah dibiasakan dimanja oleh ayahnya,
dia yang memang sangat cerdik, kemarin malam waktu
Leng Hong datang dan bercakap-cakap, dia telah lihat
mukanya sedikit berubah, waktu itu dia kira karena pemuda
kita tengah diganggu oleh banyak pikiran, tapi nyatanya dia
hanya dapat menebak separuh. Pada saat ini setelah dia
mendengar kata-kata pemuda kita, maka seluruhnya telah
menjadi terang benderang. Dia tahu, andaikata dia
menjelaskan hal yang sebenarnya, maka kebahagiaannya
akan lenyap pada saat itu juga, tapi ajaran ayahnya sendiri
yang bengis, seakan-akan masih mengiang-ngiang
ditelinganya. Pada saat ini, dia rasakan jika dibandingkan
dengan keadaan sepuluh tahun yang lampau, perasaannya
kini jauh lebih sedih dan goncang.
Akhirnya dia dapat mengambil keputusan yang pasti,
karena satu tindakan yang didorong oleh pertimbangan
yang luhur akhirnya telah memenangi perasaannya yang
bersifat terlampau mementingkan diri sendiri itu. Maka
dengan suara yang agak gemetar dia bertanya: "Nona Ah
Lan yang kau maksudkan itu, apakah bukannya wanita
yang bertubuh kecil langsing?"
Leng Hong yang lama sekali tidak mendengar dia
menjawab, seakan-akan sedang memikirkan satu soal yang
sulit, kini waktu secara sekonyong-konyong dia ditanyakan
olehnya, dia masih mengira bahwa nona itu menanyakan
soal Ah Lan dengan jelas dan bermaksud untuk membantu
untuk mencarinya, maka tidak terasa lagi diapun merasa
sangat berterima kasih sekali dan berkata: "Siauw Hwie
Moay-cu, Ah Lan memang benar seperti apa yang kau
katakan itu, aku harap kau perhatikan sungguh-sungguh,
kedua matanya adalah buta."
Hwie Cie kemudian memanggil pada budaknya sambil
diperintahkan: "Lekas kau panggil Ah Lan Kho-nio datang
untuk menjumpai Gouw Siang-kong!"
Begitu perkataan ini diucapkan, Leng Hong merasa
diluar dugaan sama sekali, dia seakan-akan tidak dapat
mempercayai atas pendengarannya sendiri, buru-buru dia
bertanya: "Moay-cu, kau .. kau mengatakan apa?"
Budaknya itupun tidak mengerti jelas maksud majikannya, maka sambil membelalakan matanya ia
memandang pada nona majikannya sambil berdiri terpekur
disitu. Hwie Cie berkata pula: "Aku menyuruhmu untuk
memanggil nona Ah Lan datang kemari."
Budak itu kini barulah mengerti jelas perintah
majikannya, sambil mengeluarkan suara 'ahhhh' buru-buru
dia berlari-lari melaksanakan tugasnya, Leng Hong yang
tidak dapat mengendalikan lagi perasaannya, buru-buru
berlari juga sambil mengikuti budak itu.
Hwie Cie yang menampak sinar pandangannya pemuda
kita luar biasa girangnya, dan hal itu teranglah
menunjukkan perasaan cinta yang sangat mendalam
terhadap Ah Lan, hingga tidak terasa lagi hatinya menjadi
hancur dan diapun berputus harapan, dan sambil menutupi
mukanya, buru-buru diapun lari kedalam kamarnya, dari
mana dengan sekonyong-konyong dia mendengar suara
Leng Hong yang bergemetar sedang menanyakan budaknya. "Dia .. bagaimana .. jam berapa .. meninggalkan tempat
ini?" Budak itu menjawah: "Kemarin malam."
Leng Hong lalu bertanya pula: "Dia mengapa secara
sekonyong-konyong ingin meninggalkan rumah ini?"
Kedengaran suara budak itu menyahut: "Aku tidak tahu,
waktu dia ingin meninggalkan tempat ini, dia telah
menitipkan sepucuk surat yang dipesannya untuk disampaikan pada Gouw Siang-kong, kepala rumah tangga
yang mengurus budak-budak karena melihat dia bukanlah
seorang budak biasa, melainkan adalah orang yang telah
ditolong oleh majikan kita, maka waktu dia memaksa
hendak meninggalkan tempat ini, diapun tidak berani
menghalanginya maupun melarangnya."
Dengan perasaan yang gugup Leng Hong berkata:
"Lekas kau berikan suratnya itu kepadaku."
Dia yang mengengtahui bahwa Ah Lan masih hidup
didunia maya ini, hatinya girang tidak kepalang, dia tidak
mengerti mengapa dia ingin meninggalkannya .. dia telah
melupakan perbuatannya semalam akibat terlampau banyak
minum susu macan.
Setelah dia sambuti surat itu, dan baru saja bermaksud
untuk membukanya, tiba-tiba dari belakangnya terdengar
suara yang lemah-lembut mengatakan: "Twako, kau
sendiripun harus baik-baik menjaga dirimu sendiri."
Waktu dia menolehkan kepalanya memandang, ternyata
orang itu adalah Hwie Cie yang kini mukanya penuh tanda
bekas-bekas airmata, hingga tidak terasa lagi dia merasa
terharu sekali, tapi dia yang pikirannya sedang kacau
karena ingin sekali segera mengejar pada Ah Lan, saat itu
tidak dapat mencari daya untuk menghiburnya.
Dia hanya dapat berkata: "Moay-cu, kau sungguh
terlampau baik memperlakukanku. Hatiku mengetahui
jelas, setelah aku dapat mengejar Ah Lan, barulah aku
datang kembali untuk menjengukmu."
Hwie Cie hanya dapat menganggukkan kepala saja
dengan perasaan ingat-ingat lupa. Leng Hong lalu
melambaikan tangan kepadanya, kemudian dengan tidak
menolehkan kepalanya lagi dia sudah lari cepat sekali.
"Aku merasa puas sudah, terhadap cium asmaranya ..
sekalipun dihatinya dia mempunyai kekasih lainnya pula,
tapi, aku sudah merasa puas terhadapnya.
"Hari depan masih banyak bagiku, akupun tidak
bersendirian pula, hal itu patut kuingat seumur hidupku!
Aku, aku .. ingin hidup terus dan beginilah perjalanan
hidupku ini!" Dan tanpa terasa pula air matanya mengalir
turun melalui kedua pipinya.
(Oo-dwkz-oO) Ombak yang besar mendampar-dampar .. itulah suasana
dipulau Tay Ciap Too, sinar matahari yang jatuh dilaut
memperlihatkan warnanya yang kemerah-merahan, hingga
menyebabkan ombak itu menjadi beraneka warna dan
berubah-ubah, sebentar biru sebentar merah, hingga tampak
indah sekali dipemandangan mata.
Sebuah perahu kecil perlahan-lahan menyusur pantai,
sekalipun dasar perahu sudah menyentuh pasir, tapi
sesungguhnya terpisah dengan pantai masih kurang lebih
lima tombak lagi. Diatas perahu kecil itu terdapat dua orang
penumpangnya, seorang yang duduk dikepala perahu kecil
itu adalah seorang pendeta tua, sedangkan diburitan perahu
itu duduk seorang pemuda yang berwajah tampan lagi
muda belia .. tidak usah dikatakan lagi, mereka berdua ini
adalah salah seorang pemilik pulau Tay Ciap Too, Peng
Hoan Siangjin, sedangkan pemuda itu tentu saja bukan lain
daripada Lie Siauw Hiong adanya.
Lie Siauw Hiong setelah berhasil menjatuhkan bangsa
asing yang sangat tangguh itu digunung Kwie San, maka
julukannya 'Bwee Hiang Sin Kiam' sudah menjadi terkenal
dan tersiar luas sekali dalam kalangan Kang-ouw, hingga
ditiap tempat selalu ada orang yang memuji tinggi
kepadanya, tapi sebaliknya orangnya sendiri tidak
mengetahuinya sama sekali, karena sejak dia merobohkan
Kinlungo, dia sudah dengan segera dibawa lari oleh Peng
Hoan Siangjin .. sekarang, dia dan orang tua itu sudah tiba
kembali dipulau Tay Ciap Too.
Disepanjang jalan Lie Siauw Hiong sudah menanyakan
berulang-ulang, tapi Peng Hoan Siangjin hanya diam saja
merahasiakan sesuatu padanya dan dia hanya berkata:
"Pokoknya kau turut denganku, pasti kau akan mendapatkan tidak sedikit kefaedahannya."
Atau bila tidak menjawab begitu, dia hanya mengganda
tersenyum saja, tidak menjawab pertanyaannya itu.
Lie Siauw Hiong sekalipun sangat menghormati serta
menjunjung tinggi terhadap orang tua yang mempunyai
kepandaian yang luar biasa serta sudah memberikan
pelajaran yang hebat kepadanya ini, hatinya masih tetap
merasa bimbang karena sesungguhnya dia masih mempunyai banyak urusan yang belum sempat dia
selesaikan, tapi dia tidak enak untuk memberitahukannya,
hanya dengan diam-diam terpaksa mengikuti saja orang tua
itu. Waktu perahu mereka sudah keluar dari laut, dia yang
baru tahu sekalipun hendak berlaku guguppun percuma
saja, terpaksa dengan menekan perasaannya diapun
berusaha tidak mengingat-ingat urusan yang belum sempat
dia kerjakan itu.
Peng Hoan Siangjin pun tidak mengajak dia bicara apa-
apa, hanya tersenyum-senyum saja dengan penuh rahasia
dan memandang kepadanya sambil duduk dimuka perahu.
Lie Siauw Hiong yang duduk diburitan perahu, kini dia
tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, tapi dengan termangu-
mangu dia duduk disitu, sedangkan hatinya dengan tidak
terasa lagi jadi teringat pula akan jurus demi jurus yang
dialaminya selama bertempur dengan Kinlungo tadi.
Diam-diam dia berpikir sambil berkata pada dirinya
sendiri: "Umurnya Kinlungo itu jika dibandingkan
denganku, tidak terpaut terlampau banyak, paling banyak
dia baru berusia tiga puluh tahun lebih, tapi tenaga-
dalamnya begitu hebat sekali, hingga sejak aku menerima
pelajaran Peng Hoan Siangjin dan setelah mengalami
berapa kali pertempuran hebat, boleh dikatakan tenaga-
dalamku sudah maju pesat sekali. Tapi, berlawanan
dengannya ternyata masih kurang, andaikata Peng Hoan
Siangjin tidak mengajarkan jurusnya yang tunggal itu,
mungkin juga hasilnya akan menjadi lain, karena jurus
tunggal itu adalah yang paling sempurna dan terhehat,
hingga seandainya tenaga-dalam Kinlungo-pun lebih tinggi
sekalipun, sukar juga agaknya untuk menahan jurus tunggal
yang luar biasa itu ..
Tatkala berpikir sampai disitu, tidak terasa lagi dia
menjadi sangat girang sekali, maka dengan tidak disadari
lagi dia sudah terlepasan omong sambil berkata: "Sungguh
hebat, sungguh jitu .."
Dengan sekonyong-konyong Peng Hoan Siangjin pun
menyelak sambil herkata: "Tunggulah, sebentar lagi masih
ada yang jauh lebih hebat dan jitu daripada apa yang kau
duga semula."
Waktu Lie Siauw Hiong mengangkat kepalanya
memandang pada orang tua itu, ternyata Peng Hoan
Siangjin sedang memandang padanya dengan senyumnya
yang penuh arti, sedangkan mukanya tampak sangat puas
sekali, hingga tidak terasa lagi dia merasa sangat heran
didalam hatinya.
Peng Hoan Siangjin sambil tertawa lahu herkata:
"Bocah, kau tentunya pada saat ini sedang memikirkan
tentang pelajaran hebat yang telah kuajarkan, hahahaha,
yang lebih aneh dan lebih hebat masih banyak lagi
dibelakangnya .."
Sekonyong-konyong badan perahu mereka tergoncang
dan tidak dapat maju lebih lanjut, ternyata pantat perahu
mereka telah menyentuh pada batu-batu didasar pasir laut
itu. Peng Hoan Siangjin lahu berseru: "Sudah sampai, bocah
lekas naik kedarat."
Sambil berkata begitu, lalu dia enjot badannya dan
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagaikan seekor burung kepinis tubuhnya sudah melompat
maju sejauh lima tombak lebih, sedang apa yang paling
aneh dari gerakan loncatannya itu, adalah tubuh perahu itu
tidak bergoyang akibat loncatannya itu.
Lie Siauw Hiong diam-diam berkata pada dirinya
sendiri: "Sekali melompat dapat mencapai satu jarak sejauh
lima atau enam tombak, itulah sesungguhnya suatu hal
yang tidak mengherankan, tapi akan tidak menyebabkan
perahu itu tergoncang, kepandaian semacam ini adalah
hebat dan sukar dipercaya, jika umpamanya orang tidak
melihatnya dengan mata kepala sendiri .. tapi aku sendiri
belum sanggup menelad jejaknya itu Hanya tampak diapun
menggerakkan kakinya dan diapun sudah melayang pada
jarak sejauh tiga tombak .. tentu saja perahu itupun tidak
tertolak mundur .. kemudian badannya dengan gerak yang
indah melesat maju lurus sekali dan tempat dia jatuhkan
kakinyapun sudah sampai dipasir yang kering.
Kepandaian yang dimilikinya ini sekalipun tidak sehebat
dan sesempurna seperti yang dimiliki oleh Peng Hoan
Siangjin, tapi bagi orang sebaya dan seangkatannya cukup
memuaskan, hingga Peng Hoan Siangjin yang menyaksikannya juga, tertawa terkekeh-kekeh sambil
berkata: "Bocah, kau cukup hebat, marilah turutku, aku
mempunyai kata-kata yang hendak disampaikan kepadamu
.." (Oo-dwkz-oO) Jilid 33 Dengan tercengang Lie Siauw Hiong terpaksa mengikutnya, tapi ketika baru saja menikung dua putaran,
dalam hutan tersebut lantas tampak sebuah rumah yang
terbikin dari kayu.
Diluar rumah kayu tersebut, disebelah timurnya terdapat
sebilah papan, sedangkan disebelah baratnya terdapat
sebilah bambu, kelihatannya tidak sedap sekali dipandang
mata. Hal mana terang sekali, bahwa pantekan itu adalah
buatannya Peng Hoan Siangdiin sendiri. Lie Siauw Hiong
lalu mendekati rumah kayu tersebut, dimana Peng Hoan
Siangjin lalu menolak pintu rumah kayu itu.
Rumah itu tampaknya tidak sedap dipandang mata, tapi
keadaan didalamnya cukup memuaskan. Karena selain
sinar matahari cukup menyinari keadaan disebelah dalam
rumah tersebut, diatas lantaipun dipasang sehelai permadani pula, hingga Lie Siawu Hiong yang menampak
hal itu, tidak terasa lagi jadi menghela napas menunjukkan
keheranannya. Peng Hoan Siangjin lalu mengambil sebuah bangku yang
berbentuk aneh, sambil tertawa dia berkata: "Kursi ini juga
adalah buatanku sendiri, bagaimana pendapatmu?"
Lie Siauw Hiong menjawab: "Bagus, bagus, hanya .."
Peng Hoan Siangjin sambil mengerutkan keningnya
berkata: "Hanya bagaimana?"
Lie Siauw Hiong menjawah: "Hanya terlampau kotor."
Mendengar jawaban pemuda kita, Peng Hoan Siangjin
jadi tertawa bergelak-gelak, kemudian ia bantingkan
bangkunya itu dan benar saja abu pada meluruk jatuh,
sedangkan tempat yang bekas dipegangnya terdapat bekas-
bekas jari tangannya.
Kemudian Lie Siauw Hiong dengan rupa yang tidak
sabaran lalu bertanya: "Loo-cian-pwee membawa Boan-
pwee kesini, sebenarnya bermaksud apakah?"
Peng Hoan Siangjin lalu memotong perkataan pemuda
kita sambil berkata: "Kau tidak usah tergesa-gesa, baiklah
sebentar lagi aku akan menjelaskannya .. Hm, bocah kau
katakan, didunia ini soal apakah yang paling sukar
dihadapi?"
Dengan perasaan tercengang Lie Siauw Hiong balik
bertanya: "Entah dari sudut manakah yang Loo-cian-pwee
maksudkan?"
Peng Hoan Siangjin menjawab: "Yang aku tanyakan,
adalah orang macam apakah yang paling sukar dihadapi?"
Lie Siauw Hiong setelah terdiam sebentar, lalu
menggelengkan kepalanya.
Dengan muka yang sungguh-sungguh Peng Hoan
Siangjin lalu berkata: "Bocah, aku beritahu kepadamu,
bahwa didunia ini yang paling sukar dihadapi adalah kaum
wanita .."
Tidak terasa lagi Lie Siauw Hiong jadi mengeluarkan
suara "Ihhh", dan hampir saja dia tak tahan lagi untuk tidak
tertawa, maka dengan perasaan tidak sabaran dia bertanya:
"Kenapa?"
Tapi siapa tahu Peng Hoan Siangjin tidak mau
menjawab, selain mengganda tertawa saja atas pertanyaan
pemuda kita itu.
Lie Siauw Hiong jadi terbengong dan dengan perasaan
tidak mengerti jadi memandang wajah orang tua itu dengan
terheran-heran.
Setelah berselang sejurus lamanya, Peng Hoan Siangjin
dengan secara sekonyong-konyong dan sambil tertawa lalu
bertanya: "Hei, bocah, coba kau katakan, kemajuan
pukulanku itu bagaimana?"
Lie Siauw Hiong segera menjawab: "Kepandaian kau
orang tua adalah yang nomor wahid dikolong langit ini .."
Peng Hoan Siangjin lalu berkata sambil tertawa:
"Benarkah" Hm, cobalah kau lihat satu jurusku ini .."
Lie Siauw Hiong hanya mehihat lengan bajunya paderi
tua itu dikebutkan, sepasang tinjunya dibentangkan dengan
berbareng. Diantara pergerakan tinjunya itu terdengar suara
yang mengaung-ngaung, sedang suatu hal yang paling aneh
lagi, adalah Lie Siauw Hiong yang berdiri terpisah hanya
setengah langkah saja dari orang tua itu, sedikitpun tidak
merasakan samberan angin pukulan orang tua itu, karena
kepandaian semacam ini hanya dapat dilakukan oleh
seseorang yang sudah terlatih sehingga mencapai tingkat
yang tertinggi.
Lie Siauw Hiong yang melihat diantara tiga pukulan
orang tua itu, ternyata kehebatannya sungguh tidak ada
batas-batasnya, sehingga tanpa terasa pula dia berdiri
disamping sambil berpikir keras. Pada saat ini tenaga-dalam
maupun kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang
tertinggi, maka setelah menyaksikan Peng Hoan Siangjin
bersilat sejurus lamanya, iapun sudah mengerti seluruhnya,
hingga tak terasa lagi dia berseru: "Ai, aku mengerti sudah
.." Peng Hoan Siangjin tertawa bergelak-gelak, kemudian
sambil melompat dia berkata: "Bocah, mari aku pelajari kau
tipu-tipu ini!"
Lie Siauw Hiong merasa begitu gembira, sehingga tidak
sempat mengucapkan terima kasih pula dan lalu berlompat
menghampiri orang tua itu, yang segera mulai menjelaskan
tipu-tipu silat tadi kepadanya.
Lie Siauw Hiong yang mendengarnya, tidak terasa lagi
hatinya menjadi sangat gembira dan semangat belajarnyapun menjadi terangsang hebat sekali, karena apa
yang diajarkan oleh Peng Hoan Siangjin itu, ia
mendengarnyapun baru pernah kali ini saja. Gerakan-
gerakan pukulan itu sangat luar biasa dan hebat, hingga
dengan mengandalkan kepandaian setinggi yang dimilikinya, pemuda kita ini baru dapat mempelajari
sepuluh jurus saja dari ilmu silat luar biasa itu, setelah dia
berlatih satu hari suntuk. Dan karena asyik dan sungguh-
sungguhnya ia belajar, Lie Siauw Hiong sampai tidak
memikirkan pula tentang pekerjaan-pekerjaannya yang
belum selesai itu.
Terus sampai hari kelima, barulah Lie Siauw Hiong
dapat mempelajari ilmu silat yang sangat hebat itu sehingga
enam puluh jurus banyaknya, dan selama itu sekonyong-
konyong dia berpikir: "Peng Hoan Siangjin membawaku
kemari, apakah disebabkan karena dia hanya ingin
menurunkan pelajaran ini saja kepadaku" Sepanjang jalan
dia terus membungkam dan merahasiakan, sebenarnya dia
bermaksud apakah" Oh! Aku masih mempunyai banyak
sekali pekerjaan yang hendak diselesaikan, tapi mengapa
aku menghamburkan waktuku disini saja?"
Dia pikir bahwa Peng Hoan Siangjin sungguh baik sekali
terhadapnya. Dia sendiri tidak mengetahui apa sebabnya.
"Bila aku terangkan soal yang kuhadapi dengan sebenar-
benarnya, pasti sekali dia akan menyuruhku lekas-lekas
kembali ke Tiong-goan untuk menyelesaikan pekerjaanku
yang terbengkalai itu." Tapi sesungguhnya pelajaran-
pelajaran ini sangat hebat dan aneh sekali, maka diam-diam
dia berpikir: "Ilmu ini memang sangat hebat dan aneh,
maka bila aku melepaskan kesempatan baik ini, bukankah
terlampau sayang sekali?"
Pada saat itu, tiba-tiba dari belakangnya terdengar suara
tertawa yang nyaring sekali: "Bocah," kata suara itu,
"apakah barangkali kau menemui kesukaran dalam
pelajaranmu" Hal ini memang sukar disalahkan kepadamu.
Jurus-jurus pelajaran yang kuberikan ini, namanya disebut
'Kong-kong-ciang-hoat'
(pukulan ditempat kosong). Pelajaran ini adalah yang baru-baru ini saja aku ciptakan,
sehingga pada saat ini barangkali tidak ada pelajaran dari
partai lainpun yang sanggup melayani aku sampai tujuh
puluh dua jurus lamanya .. Hm, kau lihat, bukankah aku
berlaku bodoh sekali" Dengan kepandaianku yang kumiliki
sekarang ini, tentu saja tidak ada seorangpun yang sanggup
bertahan sampai tujuh puluh dua jurus lamanya, bukan?"
Lie Siauw Hiong dengan tidak sabaran lalu bertanya:
"Bagaimana dengan kepandaian Boan-pwee?"
Peng Hoan Siangjin jadi tertawa besar dan lalu berkata:
"Jika kau berlatih terus, barulah kau akan mengetahui
sendiri hasilnya."
Wajah Lie Siauw Hiong
tampak menunjukkan kegembiraannya, maka sambil mengeraskan perasaan
hatinya, diam-diam dia berkata: "Perduli apa, bila aku
sudah mewariskan ketujuh puluh dua jurusnya itu barulah
aku akan berlatih pula dengannya."
Peng Hoan Siangjin berkata pula: "Hei, bocah, pelajaran
ini sudah menyebabkan aku siorang tua sibuk sehingga
sebulan penuh lamanya, dengan kurang tidur dan makan,
barulah aku berhasil dapat menciptakannya. Setelah kau
dapat mempelajari jurus-jurus tersebut dengan sempurna,
entah dengan jalan bagaimana kau harus menyatakan
terima kasihmu kepadaku?"
Lie Siauw Hiong yang pada saat itu tengah diliputi
perasaan yang riang gembira, dengan sungguh-sungguh dia
berkata: "Apa yang hendak Siangjin perintahkan kepada
Boan-pwee, pasti sekali akan kulaksanakan dengan taat."
Peng Hoan Siangjin tinggal tetap tertawa dan lalu
menjawab: "Apakah kau dapat meluluskan satu permintaanku" Aku jelaskan terlebih dahulu kepadamu,
bahwa pekerjaan yang hendak kuminta kau lakukan itu,
adalah suatu hal yang tidak mudah."
Lie Siauw Hiong yang memang gampang dibuat marah
dengan perkataan yang separuh memancing itu, lalu tanpa
berpikir-pikir lagi dan dengan suara lantang dia sudah
menjawab: "Jangankan baru satu, sampaikan sepuluh lagi
masih ada apa sulitnya sih?"
Peng Hoan Siangjin lalu berkata: "Bagus, kau berlatihlah
terus, akan kuberitahukan hal itu belakangan."
Ilmu Kong-kong-ciang-hoat itu sekalipun pada pokoknya
terdiri dari tujuh puluh dua jurus, tapi diantara
perubahannya terdapat sehingga ribuan banyaknya, maka
tidak heranlah bila Peng Hoan Siangjin sebagai seorang
tokoh yang paling hebat dapat menciptakan ilmu luar biasa
itu, sedangkan Lie Siauw Hiong dengan menggunakan
waktu sepuluh hari lamanya, barulah dia dapat mempelajari
ketujuh puluh dua jurus itu dengan sebaik-baiknya, tapi
perubahan-perubahan yang terdapat begitu banyaknya,
belum dapat dia kuasai dengan sesempurna-sempurnanya.
Setelah berlatih lagi lima bari, tanpa terasa lagi Lie Siauw
Hiong sudah berdiam dipulau Tay Ciap Too setengah bulan
lamanya, pada waktu mana kepandaian yang sangat luar
biasa dan hebat milik Peng Hoan Siangjin sudah berhasil
dapat diwariskan olehnya.
Pada hari itu sehabisnya bersantap malam, sekonyong-
konyong Peng Hoan Siangjin berkata kepadanya: "Bocah,
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
coba kau katakan, didunia ini yang paling sukar dihadapi
adalah orang macam apakah?"
Mendengar pertanyaan orang tua ini, Lie Siauw Hiong
menjadi tercengang, diam-diam dia berkata: "Ehhh,
mengapa pertanyaan ini diulang lagi?"
Tapi waktu dia lirikan matanya memandang pada orang
tua itu, ternyata muka Peng Hoan Siangjin menunjukkan
kesungguhan, hingga dalam pada itu dengan tertawa diapun
berkatalah: "Aku tahu, orang itu adalah kaum wanita."
Peng Hoan Siangjin menepuk pahanya sambil berkata:
"Benar! Wanita adalah orang yang paling sukar diganggu,
bila kita berlawanan dengan wanita, maka kita akan
mengalami kerugian."
Dengan perasaan heran Lie Siauw Hiong diam-diam
berkata: "Apakah barangkali. Peng Hoan Siangjin pernah
terbentur pada diri wanita?"
Kemudian terdengar Peng Hoan Siangjin berkata pula:
"Pendeta wanita dipulau Siauw Ciap Too kaupun sudah
pernah melihatnya, bukan" Pendeta wanita ini lebih-lebih
sukar diganggu orang. Aku orang tua pernah bertaruh
dengannya, dan selama ini aku belum pernah memperoleh
keuntungan daripadanya. Tempo hari dengan barisan
kunonya aku pernah terkurung selama sepuluh tahun
lamanya, untung nasibku masih cukup baik, sehingga
namaku tidak sampai terusak, tapi walau bagaimanapun,
aku sudah menderita kerugian yang besar sekali, maka
mulai hari itu, akupun sudah bersumpah pada diriku
sendiri." Lie Siauw Hiong semakin mendengar semakin merasa
heran didalam hatinya, sehingga kemudian diapun lantas
bertanya: "Sumpah apakah itu?"
Dengan paras bersungguh-sungguh Peng Hoan Siangjin
berkata: "Aku bersumpah bahwa seumur hidupku, aku tidak
lagi mau bertempur dengan kaum wanita lagi."
Hal mana, sudah barang tentu telah membuat Lie Siauw
Hiong tertawa dan berkata: "Hal itu tidak cukup aneh .."
Peng Hoan Siangjin lalu bertanya: "Kenapa?"
Lie Siauw Hiong lalu menjawab: "Andaikata Hui Taysu
itu datang lagi ingin bertaruhan denganmu, bukankah hal
itu berarti bahwa kau akan mengalami kerugian belaka?"
Sambil berteriak Peng Hoan Siangjin berkata pula: "Ha!
Benar juga perkataanmu ini, tempo hari aku pernah
ditantangnya dengan mengirimkan kabar melalui burung
dara, yang mengatakan bahwa dia telah berhasil
menciptakan suatu ilmu yang hebat sekali. Dan bagaimana
luar biasanya, katanya lebih lanjut, dia ingin bertarung
denganku. Aku segera kirim balasan kepadanya, bahwa aku
tidak mau menerima tantangannya itu, hingga akhirnya
pendeta wanita yang jahat itu lalu menyiarkan kabaran
diluaran, bahwa aku takut bertarung dengannya, hingga
semakin dipikir, semakin mendongkol rasa hatiku, oleh
sebab itu, maka akhirnya .. maka aku mencarimu dan
membawamu kesini .."
Dengan heran Lie Siauw Hiong berkata: "Mencariku?"
Peng Hoan Siangjin tertawa dengan perasaan bangga
dan berkata: "Benar, yang tadi aku ingin kau lakukan, ialah
dengan kepandaianku ini kau harus menggantikan aku
untuk melayani bertempur dengan pendeta wanita
bangkotan itu, untuk bertanding dengan kepandaiannya
yang luar biasa itu .."
Dengan gugup Lie Siauw Hiona menjawab: "Hal itu
tidak mungkin .."
Peng Hoan Siangjin lalu berkata: "Jangan takut, jangan
kuatir, pelajaran yang aku ciptakan itu khusus untuk
melayani ilmunya itu, kau pasti tidak akan mengalami
kerugian apa-apa."
Lie Siauw Hiong segera menjawab: "Bukan disebabkan
oleh ini .."
Dengan perasaan tidak senang Peng Hoan Siangjin
berkata: "Habis mau apa?"
Lie Siauw Hiong lalu menjawab: "Hui Taysu itu pernah
mewariskan ilmu 'Kit-mo-sin-pouw' kepadaku, aku mana
enak turun tangan terhadapnya?"
Peng Hoan Siangjin tertawa besar demi mendengar
perkataan pemuda kita ini, lalu dia berkata lebih lanjut:
"Aku kira urusan apa, tidak tahunya hanya urusan begitu
saja. Hal itu tidak menjadi persoalan apa-apa bagimu. Kau
sendiri bukanlah untuk bertarung mati-matian dengannya,
bukan" Lagi pula kau pernah meluluskan padaku tadi,
masakah sekarang kau mau membantahnya?"
Lie Siauw Hiong sekalipun merasa serba salah, diapun
tidak dapat lagi mengemukakan dalil-dalilnya lagi.
Peng Hoan Siangjin lalu berkata pula: "Besok kita pergi!"
Setelah berkata begitu, diapun tidak bercakap-cakap lagi,
agaknya dia sudah melatih dirinya lebih lanjut.
Diatas pulau Siauw Ciap Too banyak sekali batu-batu
besar yang berdiri dengan megahnya, laksana raksasa-
raksasa yang berdiri tegak menjangkau langit saja layaknya.
Dari atas perahunya dari jarak yang jauh sekali, Lie
Siauw Hiong sudah dapat melihat batu-batu raksasa itu, dan
diwaktu dia berpikir tentang dirinya sendiri yang pernah
mengalami hal-hal yang aneh diatas pulau itu, tidak terasa
lagi perasaannya menjadi terbangun.
Peng Hoan Siangjin dengan perasaan gembira serta
berbesar hati lalu menggerakkan kedua lengan bajunya
menyampok ombak pertama yang besar dan menghalanginya, sehingga perahunya maju dengan pesat
sekali. Setelah perahu mereka sampai dipantai, lalu mereka
dengan cepat mendarat dengan menghempos semangat
masing-masing yang bergolak-golak. Peng Hoan Siangjin
dengan suara yang lantang lalu berseru kearah pulau itu
sambil berkata: "Loo-nie-po, aku mendatangi untuk
menyambut tantanganmu!"
Tidak antara lama dari barisan batu-batu itu sekonyong-
konyong terlihat bayangan tubuh seseorang yang dengan
hanya beberapa kali lompatan saja sudah sampai dihadapan
mereka, dan orang yang berdiri dihadapan mereka ini
bukan lain daripada Hui Taysu adanya.
Lie Siauw Hiong yang melihatnya, buru-buru maju
memberi hormatnya, sedang Hui Taysu sendiri lalu
membalas penghormatan itu sambil mengibaskan lengan
bajunya, darimana suatu tenaga yang keras sekali
menyamber kemuka pemuda kita, Hui Taysu berkata
dengan suara dingin: "Sudahlah."
Lie Siauw Hiong rasakan tenaga itu kuat tapi tidak
ganas. Tenaga luar biasa kerasnya itu seakan-akan hendak
menerbangkannya,
maka buru-buru Siauw Hiong memasang bhesi sekuat-kuatnya, sehingga dia masih tetap
berdiri dengan tegaknya.
Dengan mengeluarkan suara "Ihhhh" Hui Taysu lalu
berkata: "Hm, tenaga-dalammu ternyata sudah maju pesat
sekali, ya?"
Kemudian sambil membalikkan kepalanya pada Peng
Hoan Siangjin dia menegurnya: "Aku siang-siang sudah
mengetahui, bahwa kau ini pendeta busuk tidak mau
menyambut tantanganku, maka tentulah akan meminta
bantuan orang lain. Pada kali ini kau sudah berhasil
menciptakan ilmu yang lihay apakah, untuk melayani
ilmuku yang hebat itu?"
Peng Hoan Siangjin membiarkan pendeta wanita itu
habis berbicara dahulu, barulah dia memberi hormat sambil
berkata: "Loo-nie-po, sekalipun benar kini aku datang untuk
menyambuti tantanganmu, tapi maksudnya adalah sedikit
berlainan .."
Hui Taysu hanya tersenyum dingin saja.
Peng Hoan Siangjin lalu melanjutkan perkataannya:
"Aku tidak bisa turun tangan denganmu pribadi, pelajaran
pukulanku itu aku sudah wariskan pada bocah ini, maka
beranikah kau menyambuti pukulannya itu?"
Hui Taysu tidak menjawab barang sepatah katapun,
selain tertawa bergelak-gelak. Tampaknya dia sama sekali
tidak menghiraukan kepada Peng Hoan Siangjin.
Tidak terasa lagi Hweeshio tua itu menjadi marah,
kemudian dia berkata: "Kau tertawakan apa?"
Hui Taysu menjawab: "Kalau kau tidak berani ya sudah,
mengapa kau masih mau menelorkan bermacam-macam
dalih tidak keruan. Sekarang baru terbukalah mataku!"
Mendengar jawaban pendeta wanita itu, sekonyong-
konyong Peng Hoan Siangjin pun jadi menengadahkan
kepalanya sambil tertawa panjang, tapi sudah barang tentu
Hui Taysu tak mau menghiraukannya.
Peng Hoan Siangjin yang melihat dia tidak dihiraukan
orang, terus saja tertawa sambil memusatkan tenaga-
dalanmya dengan
sehebat-hebatnya,
sehingga suara tertawanya itu menjadi panjang dan nyaring luar biasa,
yang mana telah membuat Hui Taysu akhirnya menjadi
tidak sabaran dan lalu berkata: "Kau tertawakan apa?"
Peng Hoan Siangjin, lalu menghentikan tertawanya dan
berkata: "Kalau kau tidak berani ya sudah, mengapa kau
masih mau menelorkan bermacam-macam dalih tidak
keruan. Sekarang baru terbukalah mataku!"
Perkataan yang diucapkannya itu, sedikitpun tidak
berlainan dengan apa yang telah diucapkan oleh Hui Taysu
tadi, sehingga si Nikouw yang mendengar perkataannya itu
menjadi geram sekali dan segera berkata: "Tidak beranikah
engkau bertempur?"
Peng Hoan Siangjin lalu menunjuk pada Lie Siauw
Hiong sambil berkata: "Beranikah kau bertempur dengan
pemuda itu?"
Hui Taysu lalu mengeluarkan suara jengekannya sambil
memandang kelangit, seakan-akan tidak memandang
sebelah matapun pada diri pemuda kita.
Dengan demikian berarti, bahwa Peng Hoan Siangjin
tidak sudi bertempur dengan Hui Taysu, sedangkan Hui
Taysu sendiri egah pula melayani Lie Siauw Hiong,
sehingga akhirnya kedua belah pihak tinggal berdiri diam
disitu. Setelah berselang sejurus lamanya, Peng Hoan Siangjin
dengan secara sekonyong-konyong
berkata sambil menunjukkan muka yang berseri-seri: "Ada .. ada .."
Sambil melototkan matanya. Hui Taysu bertanya: "Ada
apa?" Peng Hoan Siangjin lalu menjawab: "Aku mempunyai
suatu usul yang mohon pertimbanganmu. Aku sudah
mewariskan kepandaianku kepada si pemuda ini, kaupun
boleh menyebutkan segala kepandaianmu kepadanya.
Biarkanlah dia yang melayaninya pertempuran kita ini,
dengan cara demikian, yaitu mula-mula aku akan
menyebutkan daya seranganku, kemudian kau boleh
memberitahukan kepadanya tangkisan maupun serangan
balasan pada sipemuda, untuk melayani seranganku yang
pertama itu, dan demikianlah seterusnya."
Hui Taysu lalu tertawa dingin dan menjawab: "Caramu
ini memang baik juga, hanya pelajaranku ini adalah hasil
jerih payahku, yang dengan susah-payah baru berhasil
menciptakannya, oleh sebab itu, cara bagaimana dengan
mudah saja dapat diberikan kepada pemuda itu?"
Peng Hoan Siangjin yang menganggap bahwa usulnya
yang baik itu ditolak mentah-mentah oleh Hui Taysu, sudah
barang tentu menjadi amat gusar dan lalu berkata: "Apakah
kau takut bahwa kepandaiannya akan melampauimu" Kau
ini pendeta wanita bangkotan yang mudah sekali
tersinggung! Bila demikian halnya, lebih baik kita jangan
bertempur lagi!"
Sehabis berkata begitu, diapun segera membalikkan
badannya hendak pergi, sehingga Hui Taysu tidak dapat
mengendalikan lagi dirinya dan lalu berkata: "Kalau mau
bertanding ya boleh bertanding! Bocah, mari sini, aku akan
memberitahukan pelajaranku kepadamu .. tapi pendeta
busuk itu tidak boleh coba mengintip!"
Peng Hoan Siangjin lalu tertawa mengakak sambil
kemudian berkata: "Aku tua bangka pasti sekali tidak
kemaruk terhadap kepandaianmu! Baiklah aku pergi
kesana, agar supaya kau merasa tenteram!"
Hui Taysu lalu mengajak Lie Siauw Hiong kesuatu
tempat disebelah barat, dimana dia lalu mulai memberikan
pelajarannya. Lie Siauw Hiong secara berturut-turut dapat memperoleh
kepandaian kedua orang yang luar biasa ini, boleh
dikatakan peruntungannya terlampau mujur. Dia cukup
maklum, bahwa kedua orang luar biasa ini tidak pernah
menerima murid, hingga kesempatan sebaik ini sukar sekali
dijumpainya, maka dengan seluruh perhatiannya dia
mendengarkan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh
paderi perempuan itu.
Kepandaian yang dimiliki oleh Hui Taysu ini sungguh
hebat sekali, sehingga tidak terlampau mengherankan bila
dia sampai mencari Peng Hoan Siangjin
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk ditantangnya, berhubung kepandaiannya yang sesungguhnya amat luar biasa itu. Lie Siauw Hiong dengan
menggunakan tempo lima hari, barulah berhasil mempelajari separuh daripada kepandaian yang diajarkannya itu, maka didalam hatinya diam-diam dia jadi
menghela napas sambil berkata pada dirinya sendiri:
"Ternyata didunia ini ada pukulan yang sedemikian
hebatnya itu. Andaikata pelajaran 'Kong-kong-ciang-hoat'
dari Peng Hoan Siangjin digabungkan dengan gerak 'Kit-
mo-sin-pouw', belum tentu kepandaiannya Peng Hoan
Siangjin dapat memenangkannya. Apalagi jika Tiga Dewa
Diluar Dunia dapat bersatu padu dan menciptakan
kepandaian yang hebat-hebat, sudah pasti akan mampu
menjagoi serta menaklukkan semua pendekar-pendekar
dalam rimba persilatan."
Tengah dia berpikir keras, sekonyong-konyong tampak
melayang turun tubuh seseorang yang cepat bagaikan kilat,
hingga sebentar saja ia sudah sampai dimuka mereka. Dan
tatkala mengenali bahwa orang itu adalah Peng Hoan
Siangjin sendiri, Hui Taysu lalu bertanya: "Pendeta busuk,
kau datang kemari mau apa?"
Dengan gugup Peng Hoan Siangjin berkata: "Lebih baik
kita jangan bertempur lagi. Pulau Tay Ciap Too
kepunyaanku didatangi orang kuat, aku harus memburu
kesana .."
Sambil berkata begitu, lalu dia angsurkan tangannya
memperlihatkan sesuatu barang, dan ketika mereka
melihatnya, ternyata barang itu adalah mayatnya seekor
burung elang, yang ternyata ditenggorokkannya tertancap
sebatang anak panah.
Lie Siauw Hiong segera mengenali, bahwa burung elang
serupa itu adalah banyak terdapat dipulau Tay Ciap Too,
tapi burung itu telah kedapatan terpanah sehingga binasa.
Dalam pada itu, lalu dia maju dan memperhatikan anak
panah tersebut, yang ternyata bentuknya agak aneh dan
tidak sama seperti yang banyak kedapatan didaerah Tiong-
goan. Oleh sebab itu, teranglah bahwa anak panah itu
bukan orang Han yang melepaskannya. Pada badan anak
panah tersebut terdapat tiga huruf yang kecil sekali.
Dan diwaktu Lie Siauw Hiong memeriksanya dengan
teliti, ia segera mengetahui bahwa anak panah itu telah
dilepaskan oleh 'Kinlungo'!
Lie Siauw Hiong lalu memberitahukan segala sesuatu
yang dialaminya kepada Peng Hoan Siangjin, yang setelah
mendengar penuturan pemuda kita, dengan geram ia lalu
berkata: "Ternyata bahwa inilah perbuatannya bocah asing
sialan itu! Hm, dia berani membunuh burung elangku .."
Kemudian diapun membalikkan badannya dan pergi.
Dengan ini Lie Siauw Hiong berpendapat bahwa
Kinlungo tentunya bermaksud hendak mencarinya, tapi
karena tidak berhasil menjumpainya, barulah dia mencari
orang tua itu. Kemudian diapun lantas berteriak: "Siangjin,
tunggu dulu, Boan-pwee pun ingin turut juga kau pergi .."
Sambil berdehem, Peng Hoan Siangjin lalu dengan sekali
lompat saja sudah berhasil melesat sehingga puluhan
tombak jauhnya.
Peng Hoan Siangjin mengajak Lie Siauw Hiong naik
kembali kedalam perahu mereka, yang dengan cepat
ditujukan kepulau Tay Ciap Too. Disana, dari kejauhan
mereka sudah melihat dua buah perahu besar yang sedang
ditambatkan dipantai. Maka Peng Hoan Siangjin yang
menyaksikan hal ini, dengan tergesa-gesa telah mengebutkan sepasang lengan bajunya, hingga dengan ini
ia telah membuat perahu mereka laju sangat pesat sekali,
maka tidak antara lama merekapun sudah tibalah dipantai
pula. Peng Hoan Siangjin dengan cepat lalu berkata: "Bocah,
lekas!" Dengan menarik sebelah tangan Lie Siauw Hiong, orang
tua ini lalu menendangkan kakinya ketanah, hingga badan
mereka lantas melayang dan jatuh tepat diatas sebatang
pohon beringin tua yang terpisah antara enam atau tujuh
tombak jauhnya.
Lie Siauw Hiong yang berdiri diatas tempat yang tinggi,
dia segera melihat bahwa didalam hutan itu terdapat
serombongan orang yang sedang bertempur dengan
serunya. Mereka ini ternyata terdiri dari tujuh atau
delapanbelas pendeta yang sedang bertempur dengan empat
orang laki-laki yang dandanannya agak aneh. Diantara
mereka ini, ada tiga orang yang berpakaian secara pendeta
dan seorang yang berpakaian biasa saja. Ketika orang yang
berpakaian secara pendeta itu mengenakan pakaian yang
berwarna merah, sedangkan yang seorang berpakaian
seperti seorang anak sekolah. Mereka berempat dengan
bergiliran telah melakukan serangan dahsyat terhadap
beberapa belas orang pendeta yang menjadi lawan mereka,
sehingga tiada seorangpun antara pendeta-pendeta itu yang
berani datang terlampau dekat.
Waktu pemuda yang berpakaian seperti anak sekolah itu
melancarkan serangannya, barulah Siauw Hiong mengerti
jelas, maka dengan suara yang rendah dia membisiki pada
Peng Hoan Siangjin sambil berkata: "Orang yang
berpakaian seperti anak sekolah itulah yang bernama
Kinlungo."
Peng Hoan Siangjin jadi tertawa dingin dan berkata:
"Ketiga pendeta itu memang sangat lihay. Hm! Tidak
mengherankan bila Kinlungo ini berani datang mengacau
ke Tiong-goan, dan makanya dia berani datang kepulau Tay
Ciap Too, adalah karena dia mempunyai senderan yang
kuat ini."
Setelah mendengar perkataan orang tua itu, Lie Siauw
Hiong pun lalu memusatkan perhatiannya pada ketiga
pendeta tersehut. Dia lihat salah seorang diantara mereka
sambil berseru segera melancarkan serangan yang hebat
sekali, hingga seorang pendeta setengah tua yang mendiadi
lawannya, buru-buru mengelitkan diri, kemudian terdengar
suara "Bruk!" yang nyaring sekali, karena sebatang pohon
cemara yang sebesar tong dan terdapat dibelakang pendeta
itu, telah kena terpukul musuh sehingga tumbang!
Menyaksikan hal itu, diam-diam Lie Siauw Hiong
menjadi terkejut dan berpikir didalam hatinya: "Pendeta
yang tiga orang dan berpakaian merah itu, ternyata tenaga-
dalamnya hebat sekali. Kepandaian merekapun tidak
berada disebelah bawah dari Tiga Dewa Diluar Dunia, dan
mereka ini pastilah orang-orang dari pihak seatasan
Kinlungo .."
Waktu dia menoleh kepada Peng Hoan Siangjin,
ternyata orang tua ini tengah memperhatikan pada
serombongan pendeta-pendeta ini. Wajahnya menunjukkan
perasaan yang aneh sekali, maka tidak terasa lagi Lie Siauw
Hiong pun merasa aneh juga didalam hatinya. Tatkala dia
coba meneliti, ternyata rombongan pendeta-pendeta itu
tepat terdiri dari delapanbelas orang, diantara mereka
terdapat seorang pemuda yang memakai pakaian biasa saja,
yang ketika Siauw Hiong memperhatikannya, ternyata dia
itu bukan lain daripada 'Bu-Iim-cie-siu' Sun Ie Tiong
adanya. Lie Siauw Hiong yang baru memahami persoalan itu
dengan jelas, tanpa berpikir lagi segera berseru: "Ah,
pendeta-pendeta Siauw Lim Sie!"
Dia melihat ketujuhbelas pendeta dan Sun Ie Tiong yang
tengah mengurung tiga pendeta asing berbaju merah serta
Kinlungo, gerakan kaki mereka sangat rapat sekali,
sehingga hatinya tergerak dan diam-diam berkata: "Jadi ini
mungkinkah yang sudah terkenal diseluruh muka bumi dan
biasa disebut barisan 'Loo-han-tin' itu?"
Sekonyong-konyong Peng Hoan Siangjin berkata:
"Celaka! Pendeta asing itu akan menurunkan tangan
jahatnya, sedangkan pendeta-pendeta dari Siauw Lim Sie
itu pasti akan mengalami kekalahan. Ayoh, mari kita lekas
terjang!" Baru saja kata-kata itu selesai diucapkan, Hweeshio tua
itu sudah melesat keudara, hingga Lie Siauw Hiong yang
melihatnya menjadi terkejut bukan kepalang. Buru-buru
diapun mengikuti jejaknya, ditengah-tengah udara Lie
Siauw Hiong sudah mendengar teriakan-teriakan yang
mengejutkan hati, karena ketiga pendeta asing serta
Kinlungo dari menjaga diri sekarang sudah berbalik
menjadi pihak yang menyerang, sehingga pada saat itu
mereka tengah merangsak maju dengan amat dahsyatnya.
Bagaikan seekor burung besar yang menukik turun
kebawah, dengan dua kali mengibaskan lengan bajunya
Peng Hoan Siangjin dengan tepat sekali sudah menangkis
serangannya salah seorang pendeta asing tersebut.
Dengan mengeluarkan suara "Buk" yang nyaring sekali,
ternyata badan pendeta asing itu telah terpental jauh sekali,
sedangkan Peng Hoan Siangjin sendiri agak tergetar
pundaknya. Selanjutnya kedua orang itu lalu mengeluarkan
suara teriakan terkejut yang tertahan.
Pendeta asing itu dengan penuh kemarahan memandang
pada Peng Hoan Siangjin, kemudian mengangkat pula
tangannya hendak dipukulkan kepadanya.
Tapi Peng Hoan Siangjin pun tidak mau menunjukkan
kelemahannya. Mereka tidak mau saling mengalah dan lagi-
lagi terdengar suara "Plok" yang nyaring sekali karena
beradunya kedua pukulan itu, sehingga mereka kedua-
duanya terpukul mundur kebelakang setengah langkah
jauhnya! Peristiwa ini adalah yang selama ratusan tahun belum
pernah kejadian, dengan mengandalkan kepandaian Hui
Taysu dan Bu Heng Seng, mereka berdua tidak berani
melawan keras lawan keras terhadap Peng Hoan Siangjin,
kali ini setelah ada orang yang berani menyambutinya keras
lawan keras, maka bagaimana dia tidak merasa heran"
Sebaliknya pendeta asing itupun merasa sangat terheran-
heran pula, karena dinegerinya kekuatan pukulannya ini
adalah sudah termasuk salah seorang yang paling kuat dan
jempolan sekali, hingga dia tidak habis berpikir, mengapa
ada pula orang yang kuat sehingga dapat memukul mundur
kepadanya. Sementara itu Kinlungo telah menunjuk pada diri Lie
Siauw Hiong sambil berkata: "Suhu, inilah bocahnya!"
Pendeta yang berpakaian merah dan berdiri paling
belakang lalu memperhatikan sebentar pada Lie Siauw
Hiong, kemudian dengan bahasa Han yang masih agak
kaku dia berkata: "Kau apakah muridnya pendeta itu?"
Sambil dia menunjuk kepada Peng Hoan Siangjin.
Lie Siauw Hiong baru saja ingin menjawab perkataan
pendeta asing yang berjubah merah itu, ketika Peng Hoan
Siangjin sudah keburu berteriak kepadanya sambil berkata:
"Bocah, kau tidak usah melayaninya!"
Mendengar perkataan orang itu, pendeta berjubah merah
tersebut lalu melototkan matanya yang sangat tajam kearah
Peng Roau Siangjin, kemudian dengan sekonyong-konyong
dia berkata sambil tertawa: "Tuan ini pastilah orang yang
disebut Peng Hoan Siangjin dan pemimpin dari 'Tiga Dewa
Diluar Dunia', bukan" Aku dan saudara-saudaraku sekalian
yang dapat berjumpa dengan orang yang berkepandaian
setinggi seperti kau ini, sungguh merasa sangat beruntung
sekali." Sambil berkata begitu, dia menunjuk pada pendeta yang
pertama kali mengadu kekuatan dengan Hweeshio tua itu
sambil berkata: "Yang ini adalah kakak seperguruanku
Progota .."
Kemudian menunjuk kepada pendeta lainnya sambil
meneruskan bicaranya: "Yang ini adalah adik seperguruanku Pantenpur, aku sendiri bernama Kinposuf.
Kami bertiga saudara biasa disebut 'Tiga Buddha dari
Sungai Gangga'. Sebenarnya sungai Gangga adalah
sebatang sungai kecil saja, kami tiga saudara berkeinginan
keras untuk dapat mengubah nama tersebut dengan sebutan
'Tiga Buddha dari Sungai Kuning', karena dengan sebutan
itu, barulah bagi kami cukup berarti. Tambahan pula
dengan sebutan tersebut, kami dapat memasuki daerah
Tiong-goan dan bertemu dengan para pendekar Tiongkok
untuk mencukupi kementerengan dan ketenaran nama
kami, dengan demikian, para pendekar di Tiong-goan pun
pasti akan merasa girang dapat berjumpa dengan kami
bertiga .. hanya, muridku ini pernah berbuat sesuatu
sehingga menerbitkan perselisihan dengan para pendekar di
Tiong-goan. Kami sebenarnya tidak ingin turut campur
tangan dalam urusan ini. Tapi setelah kami selidiki dan
ternyata bahwa orang yang pernah mengikat permusuhan
dengan murid kami ini adalah seorang yang mempunyai
senderan Tiga Dewa Diluar Dunia, maka kami menarik
kesimpulan akan tak bisa tidak harus campur tangan juga
.."
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itu, pertempuran kedua belah pihak sudah
terhenti sama sekali. Diantara pendeta-pendeta Siauw Lim
Sie itu ada salah seorang yang paling tua dan dengan
sekonyong-konyong lalu memimpin pendeta-pendeta yang
lainnya maju kehadapan Peng Hoan Siangjin, setelah itu,
mereka sekalian lalu berlutut ditanah, sedangkan pendeta
tua itu lalu berkata: "Tee-cu murid keturunan keempatbelas
Tie Kheng memberi hormat pada Leng Kong Couw-su."
Dengan lantas muka Peng Hoan Siangjin menjadi
berubah, hingga sambil berlompat ia telah menggoyang-
goyangkan sepasang tangannya berkata: "Ternyata kalian
telah keliru mengenali orang, Pin .. Pin-ceng bukannya
Leng Kong, karena Leng Kong siang-siang sudah
meninggal dunia .."
Sekalipun Peng Hoan Siangjin adalah seorang pendeta
juga, tapi selama berpuluh-puluh tahun dia tidak pernah
berhubungan lagi dengan pendeta-pendeta yang lainnya,
maka tampaknya ia agak canggung membahasakan diri
sendiri dengan menyebut 'Pin-ceng', Hweeshio yang miskin,
suatu ucapan sebagai ganti kata 'aku' bagi kaum paderi
Buddha. Tingkat-tingkat para pendeta Siauw Lim Sie diurutkan
dengan urutan kata-kata sebagai berikut: "Leng, Tay, Ceng,
Beng, Tie, Cu dan Hong." Pendeta-pendeta yang kini
berlutut dihadapan Peng Hoan Siangjin masuk golongan
buruf 'Tie', dan orang yang mereka tengah hormati itu
bergelar 'Leng', yang berarti tingkatnya lebih tinggi dari
mereka. Ketiga pendeta asing itu ketika menyaksikan para
pendeta itu secara sekonyong-konyong pada berlutut
dihadapan Peng Hoan Siangjin, tidak terasa lagi mereka
jadi merasa sangat heran.
Lie Siauw Hiong tiba-tiba teringat, bahwa dirinya tempo
hari pernah diselidiki oleh Sun Ie Tiong dan pendeta Siauw
Lim Sie itu, serta tanpa sebab hendak mengadu kepandaian.
Kini ada kemunginan mereka tengah menyelidiki jejak
Leng Kong Couw-sunya, karena dia pernah memakai jurus
'Tay-yan-sip-sek' dari Peng Hoan Siangjin. Pendeta-pendeta
ini menyebut Peng Hoan Siangjin dengan sebutan Leng
Kong Couw-su, sedangkan Peng Hoan Siangjin pada waktu
menyebutkan Leng Kong Couw-su empat huruf dengan
secara lancar, teranglah bahwa diapun mengetahui siapa
adanya Leng Kong itu, tapi apakah dia mempunyai
hubungan dengan pendeta-pendeta Siauw Lim Sie itu"
Mungkinkah dia ini.
Pada saat itu orang yang menjadi gurunya Kinlungo,
yaitu Kinposuf sudah berkata pula: "Peng Hoan Siangjin,
baiklah kita bicara dengan terus terang, hari ini kami ingin
minta pengajaran dari Tiga Dewa Diluar Dunia .."
Seketika itu juga hatinya Peng Hoan Siangjin jadi agak
bingung, kemudian sambil membalikkan kepalanya dia
berkata pada para pendeta yang berlutut dihadapannya itu:
"Kalian salah paham, aku .. Pin-ceng bukannya Leng Kong
.." Tapi Tie Kheng sambil menganggukkan kepalanya lalu
berkata: "Couw-su, apakah kau hendak membohongi Tee-
cu" Permainan pedang Lie .. Lie Sucouw itu adalah
pelajaran silat pedang Siauw Lim Sie yang sudah
menghilang itu .."
Tampaknya karena dia terlebih rendah empat tingkat
dengan orang yang disebut Peng Hoan Siangjin ini, maka
diapun menyebut Lie Siauw Hiong dengan sebutan Lie
Sucouw, karena dia menganggap bahwa pemuda kita ini
adalah murid Leng Kong Couw-su-nya.
Kinposuf dengan perasaan tidak sabar lalu berkata pula:
"Peng Hoan Siangjin, bila kau tidak berani melayani
kamipun tidak mengapa, asal saja kau menyerahkan
sibocah she Lie itu kepada kami sekalian, untuk kami bawa
pergi .." Peng Hoan Siangjin yang perasaannya pada saat itu
sangat kacau, ketika mendengar Tiga Buddha dari Sungai
Gangga hendak membawa pergi pemuda kita, tidak terasa
lagi dia menjadi marah sekali dan lalu membentak:
"Kentut!"
Karena sukar mengambil keputusan yang pasti, hatinya
lalu dikeraskan dan diam-diam dia berkata pada dirinya
sendiri: "Aku siorang tua harus membawa pergi pemuda
ini!" Dalam pada ins, sambil mencekal pemuda Lie Siauw
Hiong dan dengan tidak memberi jawaban apa-apa atas
pembicaraan Kinposuf, dengan secara sekonyong-konyong
dia telah membentangkan Keng-sin-kang yang sehehat-
hebatnya, sehingga dalam waktu sekejap mata saja mereka
telah lenyap entah kemana perginya.
Tiga Buddha dari Sungai Gangga tidak pernah menduga,
bahwa Peng Hoan Siangjin akan melarikan diri dengan
begitu saja, maka dalam rasa terkejut mereka jadi berteriak
dan lalu mengejar pada orang tua tersebut, hingga disitu
tinggal para pendeta Siauw Lim yang masih berlutut
ditanah. Peng Hoan Siangjin yang sayang sekali terhadap Lie
Siauw Hiong, dia ketahui bahwa mereka hendak
membunuh si pemuda, sedangkan kedatangan mereka
memang sesungguhnya hendak sengaja mengacau, maka
dengan suara perlahan Hweeshio tua itu berkata pada
sipemuda: "Beberapa orang pendeta asing setan itu hendak
mencabut nyawamu, tapi aku tidak rela menyerahkan kau
dengan begitu saja, tapi tenaga satu orang tidak dapat
melayani mereka, maka aku telah pergunakan siasat ini
untuk melarikan dirimu .."
Lie Siauw Hiong yang otaknya sangat cerdik lalu
berkata. "Kita harus pergi kepulau Siauw Ciap Too!"
Peng Hoan Siangjin pun berkata: "Benar, kita harus pergi
kesana selekas mungkin!"
Lie Siauw Hiong setelah berdiam sejurus lalu berkata
pula: "Hanya, hanya .."
Peng Hoan Siangjin lalu memotong bicara sipemuda
sambil berkata: "Hanya dikuatirkan bahwa Hui Taysu tidak
mau meluluskan permintaan kita."
Pena Hoan Siangjin lalu menjawab: "Jangan kuatir, aku
mempunyai daya untuk menghadapi pendeta wanita
bangkotan itu .. maka sesampainya kau dipulau Siauw Ciap
Too, begitu aku mendarat, kau harus lekas-lekas naik
perahu pergi kepulau Bu Kek Too untuk mencari Bu Heng
Seng, karena aku kuatir dengan ternaga dua orang saja
masih belum sanggup melayani mereka bertiga."
Lie Siauw Hiong setelah mendengar bahwa dia harus
pergi kepulau Bu Kek Too, seketika itu juga hatinya
menjadi terkejut sekali, berbareng dengan mana bayangan
Ceng Jie yang amat cantikpun lantas terbayang didalam
hatinya. Sesampainya dipantai, Peng Hoan Siangjin lantas
melompat dan tubuhnya lantas melayang dan jatuh tepat
diatas perahunya, yang lantas dilayarkan kepulau Siauw
Ciap Too kembali.
Dengan Lie Siauw Hiong menggunakan dayung dan
Peng Hoan Siangjin mengebutkan kedua lengan bajunya,
perahu mereka meluncur maju dengan kecepatan yang luar
biasa sekali. Meskipun Lie Siauw Hiong tidak begitu mahir
mengemudikan perahunya, tapi dengan mengandal pada
tenaganya yang sangat kuat, sebentar saja perahu mereka
sudah laju jauh ketengah lautan.
Waktu mereka menolehkan kepala, merekapun menyaksikan pendeta-pendeta asing itu bersama Kinlungo
dengan laku yang tergesa-gesa tengah membongkar sauh
perahu mereka yang besar untuk melakukan pengejaran
terhadap mereka.
Perahu mereka yang besar itu dengan menggunakan
pengayuh majunya pesat sekali, tapi jika dibandingkan
dengan perahu orang tua itu yang lebih kecil, ternyata
masih kalah lajunya, oleh karena itu juga, mereka belum
berhasil mengejar perahu Peng Hoan Siangjin itu.
Setelah berselang pula beberapa saat lamanya dan Lie
Siauw Hiong menolehkan kepalanya memandang, dia lihat
tiga pendeta asing itu masing-masing pada mengebutkan
lengan bajunya, sehingga laju perahu merekapun jadi
bertambah pesat saja. Maka dalam waktu sekejap saja
kedua perahu itu sudah semakin dekat saja jaraknya dari
satu dengan yang lainnya.
Peng Hoan Siangjin lalu menolehkan kepalanya
memandang dan memungut sauhnya. Ia menantikan
perahu lawan mereka dating semakin dekat, kemudian
dengan sekonyong-konyong dia melemparkan sauhnya itu
kepada perahu lawannya ..
Peng Hoan Siangjin yang sudah mencapai puncak
tertinggi dalam tenaga-dalam maupun dalam kepandaian
silatnya, waktu sauh itu dilemparkan, segera menerbitkan
suara yang nyaring sekali, dan cepat bagaikan bintang
beralih dan menerbitkan suara "Pletak!" yang sangat
nyaring, ternyata tiga tiang dari perahu lawannya sudah
berhasil dipatahkan oleh lemparan jangkar itu, sehingga
dengan demikian lajunya perahu lawan mereka menjadi
berkurang. Lie Siauw Hiong dengan menggunakan kesempatan ini,
buru-buru menghempos semangatnya untuk membuat
perahunya maju lebih pesat lagi, sehingga bagaikan anak
panah yang baru lepas dari busurnya, perahu mereka
melayang kemuka dengan pesatnya.
Tidak antara lama, dari antara dorongan ombak yang
bergulung-gulung naik turun tidak berketentuan, samar-
samar pulau Siauw Ciap Too sudah berbayang dihadapan
mereka .. Waktu ombak datang mendampar, maka air pada
muncrat kesana-kemari bagaikan kembang api diudara
sekitarnya .. Peng Hoan Siangjin yang berdiri dimuka perahu, pada
saat itu tengah memusatkan perhatiannya. Dengan
sepasang lengan baju yang tiap-tiap saat dikibaskan itu,
ditambah pula dengan dayungnya terus-menerus dari Lie
Siauw Hiong, maka menyebabkan perahu mereka laju
bagaikan ditarik oleh kuda semberani saja cepatnya.
Sekali-kali Lie Siauw Hiong menolehkan kepalanya
memandang, tapi perahu besar lawannya masih tetap
mengejar dari belakang, malahan sekarang kecepatannya
sangat mengejutkan orang, hingga tidak antara lama jarak
perahu merekapun sudah terpisah tidak terlampau jauh
pula. Pulau Siauw Ciap Too sudah terbayang jelas dihadapan
mereka, Peng Hoan Siangjin lalu mengebutkan kembali
lengan bajunya, dan perahu kecil mereka lagi-lagi laju
sejauh sepuluh tombak lebih.
Peng Hoan Siangjin dengan mengikuti arah laju
perahunya itu, lantas tubuhnya dienjot, ditambah dengan
ilmu Keng-sin-kangnya yang hebat, dengan sekali loncat
saja dia sudah berhasil mencapai sepuluh tombak jauhnya
dan tepat sekali dia jatuh dipantai. Sedangkan Lie Siauw
Hiong sendiri dengan tidak banyak cakap lagi, sudah
mengayuh perahunya menuju kepulau Bu Kek Too untuk
mencari Bu Heng Seng.
Baru saja Peng Hoan Siangjin mendarat, perahu Heng
Hoo Sam Hut atau Tiga Buddha dari Sungai Gangga itupun
sudah mendekat. Hweeshio tua itu menantikan didarat dan
benar saja tidak lama kemudian mereka sudah sampai dan
beruntun merekapun turun kedarat.
Peng Hoan Siangjin lalu bersiul panjang sambil berkata:
"Aku datang menyambut tantangan kalian .." Sewaktu
tubuh ketiga lawannya sedang melayang diudara, dia sudah
mengarahkan pukulannya kepada mereka.
Pukulannya ini sangat hebat sekali tenaganya, hingga
mengeluarkan angin yang menderu-deru menyerang ketiga
lawannya itu. Ketiga paderi asing itu dengan terkejut dan
buru-buru turun kebawah untuk mengelakkan pukulan
Hweeshio tua itu.
Yang memimpin dimuka pendeta ini menjadi geram
sekali, dengan segera dia melancarkan serangan balasan,
tapi Peng Hoan Siangjin yang menampak hal itu hanya
tertawa tergelak-gelak, dan setelah buru-buru dia menarik
pulang pukulannya, serangan lawannya itu segera dapat
dikelitkan dengan secara tepat sekali.
Disamping itu Peng Hoan Siangjin pun tidak tinggal
diam, dengan lantas dia melancarkan serangan balasannya,
kemudian dengan mengeluarkan suara yang gemuruh,
terpaksa pendeta itu menjatuhkan diri dengan berjungkir
balik dan badannya jatuh kelaut kembali, sedangkan Peng
Hoan Siangjin tetap berdiri dengan gagahnya.
Sekonyong-konyong
dari dalam perahu mereka melayang sekerat papan dan jatuh tepat diinjakannya
pendeta yang badannya hendak tercemplung kedalam laut
itu. Maka dengan meminjam tenaga dari papan itu, buru-
buru pendeta itu menotolkan kakinya sambil mengenjotkan
badannya sehingga dia dapat mendarat pula dengan tak
kurang suatu apa, dan berbareng dengan itu, dari dalam
perahu itupun melayang sesosok tubuh manusia, dan orang
yang baru muncul ini adalah Kinlungo.
Peng Hoan Siangjin sekali turun tangan saja sudah
berhasil menjatuhkan pemimpin dari Heng Hoo Sam Hut,
maka dengan tertawa bergelak-gelak ia segera membalikkan
tubuhnya dan terus lari kesebelah dalam dari pulau Siauw
Ciap Too itu. 'Heng Hoo Sam Hut' yang pernah menjumpai pendeta
luar biasa ini dipulau Tay Ciap Too, mereka segera
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengetahui, banwa kalau mereka menempurnya dengan
satu lawan satu, mereka pasti tidak dapat memenangkannya, oleh sebab itu dengan laku yang licik
mereka bertiga bermaksud mengeroyok pendeta itu.
Dengan demikian, mereka yakin bahwa mereka pasti akan
memperoleh kemenangan, maka tanpa ragu-ragu lagi
mereka lalu mengejar pada Hweeshio tua itu.
(Oo-dwkz-oO) Jilid 34 Peng Hoan Siangjin sekalipun mempunyai kepandaian
yang luar biasa dan mengejutkan orang, tapi menghadapi
tiga lawannya yang tidak dapat dipandang ringan ini,
diapun mengetahui, bahwa tiga lawan satu tidak mungkin
dia dapat memenangkan lawan-lawannya itu. Oleh karena
itu, dia bersiasat untuk bersatu padu dengan Hui Taysu dan
Bu Heng Seng, dalam menghadapi lawan-lawannya itu.
Begitu hatinya tergerak, lalu dia putarkan badannya dan
berlari masuk kedalam pulau itu untuk menyesatkan lawan-
lawannya dibarisan 'Kwie-goan-kouw-tin' (barisan kuno
yang menyesatkan), yang tempo hari dia pernah terkurung
selama sepuluh tahun.
Pergerakan kaki 'Heng Hoo Sam Hut' tidak perlahan,
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 1 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Seruling Samber Nyawa 3