Pencarian

Kembalinya Pendekar Rajawali 33

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 33


Biasanya Kwe Hu suka memandang hina si Nyo Ko, tapi sekarang ia menjadi malu diri.
Sejenak Nyo Ko berdua berdiri, sambil memandangi api yang mengamuk itu, Siao-Iiong-li berkata dengan gegetun: "Setelah terbakar habis bersih, kelak kalau pepohonan tumbuh lagi di sini, entah bagaimana wujudnya nanti?" "Api yang dibakar pasukan Mongol ini mungkin merupakan pesta bagi pernikahan kita," ujar Nyo Ko dengan tertawa, "Mari!ah kita mengaso saja ke gua sebelah sana.
" Siao-liong-li mengiakan Keduanya lantas ber-jalan ke balik gunung sana.
Tiba2 Bu Sam-tisong ingat sesuatu, cepat ia berteriak: "Adik Nyo Susiok dan Cu-sute terkurung di Coat-ceng-kok, engkau mau menolong mereka tidak?" Nyo Ko rada melengak, ia menggumam sendiri: "Peduli amat urusan orang lain.
" Sambii berkata begitu ia terus melangkah ke sana.
Meski racun mengeram hebat dalam tubuhnya, namun sementara ini belum bekerja, sebaliknya ilmu silatnya mulai pulih karena Hiat-to yang tadinya terganggu itu telah berhasil diterobos semuanya, Dengan memondong Kwe Yang ia dapat melangkah cepat ke depan.
Lebih satu jam mereka berjalan dan makin jauh meninggalkan Tiong-yang-kiong, dipandang dari jauh api masih berkobar di pegunungan itu.
Angin utara meniup semakin kencang sehingga muka si Kwe Yang cilik kedinginan ke-merah2an.
"Marilah kita mencari sesuatu makanan, anak ini kedinginan dan lapar pula, mungkin tidak tahan" kata Siao-liong-Ii.
"Ya, aku ini sungguh tolol, entah untuk apa kurebut anak ini, hanya menambah beban saja," ujar Nyo Ko.
Siao-liong-li mencium muka Kwe Yang yang memerah apel itu, katanya: "Adik cilik ini sangat menyenangkan, apakah kau tidak suka padanya?" "Anak orang lain, tetap anak orang Iain, paling baik kalau kita dapat melahirkan anak sendiri," kata Nyo Ko dengan tertawa.
Wajah Siao-liong-li menjadi merah, ucapan Nyo Ko ini menyentuh sifat keibuan lubuk hatinya, pikirnya: "Ya, alangkah baiknya kalau kudapat melahirkan anak bagimu, akan tetapi ai.
. . . " Kuatir si nona berduka, Nyo Ko tak berani mengadu pandang, ia menengadah memandangi langit tertampak awan tebal menggumpal bergeser dan sebelah barat-laut, begitu tebal dan luas gumpalan awan itu seakan2 jatuh menimpa kepala saja, katanya: "Melihat gelagatnya, mungkin segera akan turun salju, kita perlu mencari rumah penduduk untuk mondok.
" Tapj arah yang mereka tempuh adalah lereng pegunungan yang sunyi, di mana2 hanya batu padat dan semak belukar belaka, mana ada rumah penduduk segala.
"Wah, tampaknya salju yang turun nanti pasti sangat lebat, agar jalan kita tidak tertutup, sebaiknya kita harus memburu waktu dan turun gunung sekarang juga," kata Nyo Ko sambil mempercepat langkahnya.
"Paman Bu dan nona Kwe mereka akan ke-pergok pasukan Mongol tidak" Para Tosu Coan-cin-kau itu entah dapat lolos dengan selamat tidak?" Demikian Siao liong-li berucap dengan nada yang simpatik.
"Kau benar2 mempunyai Liangsim (hati nurani), orang2 itu berbuat jahat padamu, tapi kau tetapi tidak melupakan keselamatan mereka, pantas dahulu kakek guru mengharuskan kau berlatih ilmu yang bebas dari segala cinta rasa, urusan apapun tidak peduli dan tidak ambil pusing, akan tetapi karena kau menaruh perhatian padaku, hasil latihanmu selama 20-an tahun telah hanyut seluruhnya dan mulailah kau menaruh perhatian terhadap siapapun" Siao-liong-li tersenyum, katanya: "Sesungguhnya, pahit getir penderitaanku bagimu juga mendatangkan rasa mnais, yang kukuatirkan adalah kau tidak mau terima perhatianku kepadamu.
" "Ya, merasakan pahit dan manis jauh lebih baik daripada tidak merasakan apa2!" kata Nyo Ko.
"Aku sendiri hanya suka ugal2an dan angin2an, tidak pernah hidup tenang dan aman tenteram.
" "Bukankah kau mengatakan kita akan pergi ke selatan, di sana kita akan bercocok tanam dan beternak?" tanya si nona dengan tersenyum.
"Benar, semoga terkabul harapan kita," ujar Nyo Ko dengan menghela napas.
Sampai di sini, tertampaklah kapas tipis mulai beterbangan dari udara, bunga salju sudah mulai turun.
Dengan Lwekang mereka yang tinggi, dengan sendirinya hawa dingin itu tidak menjadi soal bagi mereka, segera mereka melangkah dengan cepat.
"Eh, Ko-ji, coba kau terka ke mana perginya Suciku sekarang?" "Kembali kau memperhatikan dia lagi, Akhirnya Giok-li-sim-keng dibawa lari olehnya dan terkabul cita2nya.
Kuatirnya kalau isi kitab itu berhasil diyakinkan dan ilmu silatnya maju pesat, bisa jadi kejahatannya juga akan bertambah hebat.
" "Sebenarnya Suci juga harus dikasihani," ujar Siao-liong-li.
"Tapi dia sendiri tidak rela dan ingin membikin setiap orang di dunia ini juga berduka dan merana seperti dia, "kata Nyo Ko.
Tengah bicara, cuaca semakin gelap.
Setelah membelok ke lereng sana, tiba2 terlibat di antara dua pohon Siong tua terdapat dua buah rumah gubuk, atap rumah itu sudah tertimbun salju setebal jari manusia, "Aha, di sinilah kita lewatkan malam ini," seru Nyo Ko kegirangan.
Setiba di depan gubuk2 itu, terlihat daun pintunya setengah tertutup tanah salju di situ tiada tanda2 bekas kaki, ia coba berseru: "Permisi! Karena hujan salju, kami mohon mondok semalam saja.
" Tapi sampai sekian lama ternyata tiada suara jawaban, Nyo Ko lantas mendorong pintu di dalam rumah, tiada seorangpun.
Di atas meja kursi penuh debu, agaknya sudah lama tiada penghuninya, segera ia memanggil Siao liong li masuk, setelah menutup pintu, mereka lantas membuat api unggun.
"Dinding papan rumah itu tergantung busur dan anak panah, di pojok rumah sana ada sebuah alat perangkap kelinci, Tampaknya rumah ini adalah pondok darurat kaum pemburu.
Dengan busur dan anak panah itu Nyo Ko keluar berburu dan mendapatkan buruan, maka mulailah mereka berpesta rusa panggang.
Sementara itu salju turun semakin lebat, namun hawa dalam rumah cukup hangat oleh api unggun.
Siao liong li mengunyah sedikit daging rusa dan dan menyuapi si Kwe yang cilik, dengan menikmati daging rusa panggang itu, Nyo Ko memandangi mereka berdua dengan tersenyum simpuI, suasana hangat dan mesra laksana pengantin baru yang sedang bertamasya.
Se-konyong2 dari arah timur tanah salju itu berkumandang suara tindakan orang yang cepat, jelas itulah ginkang orang yang mahir ilmu silat.
Nyo Ko berdiri dan melongok ke sana melalui jendela, dilihatnya dua kakek mendatang ke arah gubuk ini, seorang gemuk dan yang lain kurus, pakaian mereka rombeng, kakek kurus menyanggul sebuah HioIo-(buli2 dari sejenis labu besar) besar warna merah.
Hati Nyo Ko tergetar, teringat olehnya bahwa benda itu adalah milik Ang Jit-kong.
Dahulu Ang Jit-kong, itu ketua Kaypang yang berjuluk pengemis sakti berjari sembilan, bertempur mati2an dengan Auyang Hong di puncak tertinggi Thian san, akhirnya kedua orang sama2 kehabisan tenaga dan gugur bersama.
Nyo Ko yang mengubur kedua orang tua itu dan Holo besar merah itupun ditanam di samping jasad Ang Jit-kong.
Kemudian dalam pertemuan besar para ksatria, seorang pengemis tua pernah membawa Holo merah itu sebagai tanda perintah Ang Jit-kong, katanya sang ketua itu belum meninggal, bahkan menganjurkan kaum jembel berbangkit membela tanah air dan mengusir musuh.
Tatkala mana Nyo Ko sangat heran darimana munculnya Holo merah itu" Tapi dalam pertemuan besar itu banyak terjadi persoalan sehingga tidak sempat mengusut urusan itu, kemudian juga tidak bertemu lagi dengan orang Kaypang, maka urusan itupun sudah terlupa, sekarang dandanan kedua kakek ini jelas juga anggota Kaypang.
Nyo Ko jadi tertarik demi ingat kejadian dahulu itu, segera ia membisiki Siao-Iiong li: "Di luar ada orang, kau rebah saja di pembaringan dan pura2 sedang sakit?" Siao-liong-li menurut, ia pondong Kwe Yang dan berbaring di atas ranjang, ditariknya selimut butut yang terletak di ujung tempat tidur itu.
Nyo Ko lantas xnemolesi mukanya dengan hangus, topinya ditariknya hingga hampir menutupi mukanya, pedang pusaka juga disembunyikan.
Dalam pada itu kedua orang tadi sudah mengetok pintu.
Cepat Nyo Ko meng-gosok2 tangannya yang berlepotan minyak daging rusa yang baru dimakannya itu sehingga lebih mirip seorang pemburu yang kotor, habis itu pintu lantas dibukanya.
Dengan tertawa si kakek gemuk lantas berkata: "Hujan salju ini sangat hebat dan sukar meneruskan perjalanan, mohon kemurahan hati tuan sudi menerima pengemis untuk mondok semalam.
" "Ah, pemburu macamku tidak perlu dipanggil tuan segala, silakan Lotiang (bapak) masuk dan bermalam di sini," jawab Nyo Ko.
Ber-ulang2 pengemis gemuk itu mengucapkan terima kasih, Segera Nyo Ko lantas mengenali juga si pengemis kurus itu, jelas dia orang yang pernah menyampaikan perintah Ang Jit-kong dahulu dengan membawa Holo besar merah, diam2 ia menjadi kuatir kalau2 dirinya akan dikenali pengemis kurus itu, cepat ia merobek dua potong daging panggang dan diberikan kepada kedua orang itu, katanya: "Mumpung masih hangat2, silakan makan seadanya, hujan salju begini kebetulan bagiku untuk menambah penghasilan.
Besok pagi2 harus kupergi memasang perangkap untuk menangkap rase, maafkan aku tidak temani kalian lebih lama," "Oh, jangan sungkan2, silakan saja," jawab si pengemis gemuk tadi.
Segera Nyo Ko sengaja berseru dengan suara keras: "He, ibunya bocah, apakah batukmu sudah baikan?" "Wah, pergantian musim menambah dadaku makin sesak saja," jawab Siao-liong-li sambil batuk lebih keras, berbareng ia sengaja menggoyangi si Kwe Yang sehingga anak itu terjjaga bangun, maka di antara suara batuk lantas terseling suara tangisan anak bayi, sandiwara keluarga pemburu benar2 dimainkan mereka dengan sangat hidup.
05 Nyo Ko lantas masuk ke ruangan dalam serta menutup pintu, lalu ia berbaring disamping Siao-liong-li, diam2 ia sedang mengingat2 muka si pengemis gemuk tadi seperti sudah pernah dikenalnya, cuma di mana, seketika tak teringat.
Kedua pengemis gemuk kurus itu menyangka Nyo Ko benar2 seorang pemburu miskin, maka mereka tidak menaruh perhatian padanya, sembari makan daging rusa panggang mereka lantas mulai mengobrol Si pengemis kurus berkata: "Melihat api yang berkobar di Cong-lam-san itu, agaknya sudah berhasil.
" dimana tiba pasukan Mongol disitu lantas ditaklukkan hanya sekawanan Tosu Coan-cin-kau saja apa artinya lagi?" ujar si pengemis gemuk dengan tertawa.
"Tapi beberapa hari yang lalu Kim-lun Hoat-ong dan begundalnya telah pulang dengan mengalami kekalahan yang mengenaskan," kata si kurus.
"Itupun baik, biar Sri Baginda tahu bahwa untuk menduduki tanah air bangsa Han ini juga diperlukan tenaga bangsa Han sendiri, kalau melulu mengandalkan orang Mongol dan orang asing lainnya jelas tidak jadi.
" Sampai di sini, tiba2 Nyo Ko teringat pada si gemuk ini juga pernah dilihatnya dalam pertemuan besar kaum ksatria dahulu, cuma waktu itu si gemuk ini memakai mantel kulit dan berdandan sebagai orang Mongol serta selalu ber-bisik2 di samping Kim-lun Hoat-ong, jelas inilah orangnya.
Diam2 ia merasa gemas, pikirnya: "Apa yang mereka bicarakan melulu urusan pengkhianatan belaka, kebetulan kepergok olehku, tidak dapat kuampuni mereka.
" Kiranya pengemis gemuk ini adalah satu di su-tay-tianglo (empat tertua) dalam Kay-pang, yaitu Peng-tiangIo.
perbuatannya memang khianat sudah lama dia menyerah kepada pihak Mongol.
Begitulah terdengar si pengemis kurus sedang berkata pula: "Peng-tianglo, sekali ini apabila Kay-pang aliran selatan jadi didirikan, entah pangkat apa akan kau dapat dari raja Mongol?" "Raja menjanjikan pangkat "panglima besar wilayah selatan" padaku," jawab Peng-tianglo.
"Akan tetapi seperti kata pribahasa kita, mengemis tiga tahun lebih bebas daripada jadi raja tiga hari.
Kaum pengemis seperti kita masakah ingin menjadi pembesar segala?" Walaupun demikian katanya, namun dan balik ruangan sana Nyo Ko dapat menangkap nada ucapannya yang penuh ambisi dan harapan itu.
"Wah, untuk itu terimalah lebih dulu ucapan selamat dariku," kata si kurus.
"Selama beberapa tahun terakhir ini, jasamu juga tidak kecil, kelak tentu kau juga akan mendapat bagian yang sesuai.
" "Soal kedudukan tidak berani kuharapkan cuma engkau pernah menjanjikan Liap hun-tay-hoat (ilmu pengikat sukma, serupa hipnotisme sekarang), bilakah baru engkau akan mengajarkannya kepadaku?" "Nanti kalau Kay-pang selatan sudah berdiri dengan resmi, setelah aku menjadi Pangcu dan begitu ada waktu luang segera akan kuajarkan padamu.
" "Kukira setelah engkau menjadi Paagcu serta diangkat menjadi panglima, pekerjaanmu tentu semakin banyak dan sibuk, mana ada waktu luang?" "Ah, masakah kau tidak percaya padaku," ujar Peng-tianglo dengan tertawa.
Si kurus tidak bicara lagi, hanya hidungnya mendengus pelahan, tampaknya dia masih ragu.
Diam2 Nyo Ko membatin: "seluruh dunia hanya ada satu organisasi Kay-pang tanpa membedakan utara dan selatan, untuk apa dia mau mendirikan Kay-pang aliran selatan segala, ini pasti permainan gila orang Mongol.
" Terdengar Peng-tianglo sedang berkata pula dengan tertawa: "Setelah berkeliling, hendaklah kau menyebarkan perintah si setan tua she Ang, katakan utara dan selatan teralang dan sukar mengadakan kontak, maka utara dan selatan perlu dipisahkan menjadi dua.
" "Dan anggota bagian selatan dengan sendirinya berada di bawah pimpinanmu" kata si kurus dengan dingin.
"Juga tidak perlu begitu, biarlah kita mengangkat dulu Kan-tianglo sebagai ketua, usianya lebih tua, anak muridnya juga banyak, orang lain tentu tidak curiga, Nanti kalau dia sudah kupengaruhi dengan Liap-hun-tay-hoat, tentu dia akan menyerahkan kedudukannya padaku, tatkala mana segalanya akan menjadi beres dengan sendirinya.
" "sebenarnya Ang-lopangcu sudah lama wafat, kalau kusiarkan lagi perintah palsu beliau, mungkin akan lebih menimbulkan curiga orang, Melulu mengandalkan Holo palsu ini rasanya sukar mendustai orang terus menerus, kalau kepungan terhadap Siang-yang sudah mereda dan Ui-pangcu datang mengusut persoalan ini, wah, biarpun jiwaku pakai serep juga akan melayang semuanya.
" "Hahaha!" Peng tianglo tertawa, "Asal kau bertindak secara cepat, maka urusan juga akan cepat beres, mengenai perempuan hina she Ui itu, kini dia terkepung di kota, jiwanya pasti sukar tertolong" Sampai di sini barulah Nyo Ko mengetahui duduknya perkara, kiranya Holo merah itu adalah tiruan, lantaran tiada orang yang menyaksikan meninggalnya Ang Jit-kong, mereka berdua lantas membawa Holo palsu itu untuk mempengaruhi murid2 Kay pang, karena seruan yang mereka sebarkan itu mengenai tugas suci kaum pahlawan, demi negara dan bangsa, sebab itulah anggota Kay-pang tidak menaruh curiga.
Kalau semua anggauta sudah percaya penuh barulah Peng-tianglo itu akan berusaha mendirikan aliran cabang untuk memecah belah Kay-pang, itu organisasi terbesar pada jaman itu.
Meski Nyo Ko hanya berkumpul beberapa hari saja dengan Ang Jit-kong, tapi dia benar2 kagum dan hormat terhadap sifat ksatria tokoh tua itu, pikirnya: "Ang-locianpwe sedemikian perkasa, nama baiknya sesudah meninggal tidak boleh dirusak oleh kaum tikus celurut begini.
" Apalagi iapun teringat kepada keganasan pasukan Mongol yang dilihatnya di sepanjang jalan, maka diam2 ia bertekat akan membunuh kedua-jahanam ini.
Begitulah terdengar si pengemis kurus tadi sedang berkata pula: "Peng-tianglo, barang yang sudah kau janjikan, kapan2 juga harus kau berikan, cuma kulihat engkau rada2 lain di mulut lain di hati.
" "Habis kau mau apa?" tanya Peng-tianglo dengan tak senang.
"Aku berani apa?" jawab si kurus, "Hanya aku ini memang penakut, selanjutnya aku tak berani lagi menyiarkan perintah palsu Ang-pangcu.
" Diam2 Nyo Ko anggap ucapan si kurus itu benar2 goblok, barangkali ingin mampus, makanya berani berkata begitu.
Terdengar Peng-tianglo lantas bergelak tertawa katanya: "Baiklah, urusan ini dapat kita rundingkan lagi, jangan kau sangsi.
" Setelah berhenti sejenak, kemudian si kurus berkata pula: "Sisa daging rusa ini tidak kenyang kita makan, biar kupergi mencari buruan lain.
"- Habis itu ia lantas membawa busur dan anak panah dan melangkah keluar.
Segera Nyo Ko mengintip dari sela2 dinding papan, dilihatnya begitu si kurus pergi, Peng-tiango itu juga lantas berbangkit dan mclolos belati serta mendengarkan gerak-gerik kawannya dari balik pintu, setelah mendengar suara tindakan si kurus sudah pergi jauh, dengan ber jengket2 iapun menyelinap keluar.
Dengan tertawa Nyo Ko membisiki Siao-liong-li: "jelas kedua jahanam ini akan saling bunuh, kebetulan bagiku, dapat ku irit tenaga, Ku-lihat si gemuk itu jauh lebih lihay dan sikurus bukan tandingannya.
"Paling baik kalau keduanya tidak datang kembali semua dan gubuk ini akan tenang dan tenteram tak terganggu," ujar Siao -liong li.
Nyo Ko mengiakan, Mendadak ia mendesis pula dengan suara tertahan: "Dengarkan suara tindakan orang.
" - Terdengar ada orang berjalan dengan ber-jinjit2 di lereng sebelah barat terus memutar ke belakang gubuk.
"Agaknya si kurus tadi menyusup kembali hendak menyergap si gemuk," bisik Nyo Ko pula dengan tersenyum.
Segera ia menolak daun jendela dan melompat keluar dengan enteng tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Benar juga dilihatnya si pengemis kurus sedang mengintip di antara sela2 dinding.
Rupanya ia menjadi ragu2 karena tidak menemukan bayangan si gemuk.
Pada saat itulah Nyo-Ko telah berada di belakangnya dan mendadak mengikik tawa Sudah tentu si kurus kaget, cepat ia berpaling dengan air muka ketakutan karena menyangka Peng tianglo yang berada di belakangnya, tapi si Nyo Ko lantas berkata dengan tertawa: "Jangan takut, jangan takut!" Berbareng itu cepat sekali ia menutuk tiga Hiat-to penting di bagian dada, iga dan kaki orang, lalu ia menjinjing tubuh si kurus ke depan gubuk.
Ia memandang sekelilingnya yang sunyi dan salju belaka, itu, tiba2 timbul sifat kanak2nya, serunya: "Liongji, lekas kemari, bantulah aku membikin orang2an salju,"- Habis itu ia terus mengeduk salju yang memenuhi bumi itu dan diurukkan pada tubuh si pengemis kurus.
Siao-liong-li lantas keluar dari gubuk dan membantunya, dengan tertawa cekakak dan cekikik Nyo Ko dan Siao-liong-li benar2 seperti anak kecil saja, hanya sebentar seluruh badan pengemis kurus itu sudah penuh diuruki salju.
Selain sepasang biji mata saja yang masih dapat bergerak, kini pengemis kurus itu telah berubah menjadi orang salju yang gemuk laksana "gajah bengkak", malahan pada punggungnya masih menggendong Holo besar yang juga berlapiskan bunga salju.
"Hahaha, kakek kurus kering ini hanya sekejap saja telah berubah menjadi gemuk dan putih," kata Nyo Ko sambil tertawa.
"Dan kakek aslinya memang gemuk dan putih itu nanti akan kau permak menjadi apa?" ujar Siao-liong-ii dengan riang.
Belum lagi Nyo Ko menjawab, terdengarlah Iangkah orang dari jauh.
cepat anak muda itu mendesis: "Ssssst, si gemuk sudah kembali, lekas kita sembunyi dulu.
" Cepat mereka masuk lagi ke dalam rumah dan merapatkan pintu kamar, Siao liong-li sengaja menggoyangkan Kwe Yang agar anak itu menangis, tapi niatnya tiada berhenti menimangnya agar lekas tidur.
Selama hidupnya tidak pernah Siao-liong-li berdusta dan berbuat munafik, perbuatan yang aneh dan licik ini malahan belum terbayang olehnya, soalnya dia melihat Nyo Ko suka berbuat begitu, maka iapun ikut ramai2 saja.
Dalam pada itu Peng-tianglo telah kembali, sepanjang jalan ia mengikuti jejak kaki, dilihatnya jejak kaki si kurus itu memutar balik dan sembunyi di kiri belakang rumah, maka iapun mengikuti jejak itu ke belakang, lalu sampai pula di depan rumah.
Dari sela2 dinding Nyo Ko dan Siao-liong-li dapat melihat si gemuk sedang mengintip ke dalam rumah dengan menggenggam belati dan siap siaga.
Meski pengemis kurus yang diuruki salju itu merasa kedinginan setengah mati, tapi dia masih sadar, di lihatnya Peng-tianglo justeru berada disampingnya, tapi sedikitpun pengemis gemuk itu tidak menyadari hal ini, asal si kurus ayun tangannya ke bawah pasti dapat membinasakan si gemuk, celakanya tiga tempat Hiat-to si kurus tertutuk dan takbisa berkutik.
Tampaknya Peng-tianglo sangat heran ketika mengetahui si kurus tidak berada di dalam rumah, ia lantas mendorong pintu dan sedang memikirkan ke mana perginya pengemis kurus itu, pada saat itulah tiba2 terdengar suara orang berjalan mendatangi.
Muka Peng-tianglo tampak berkerut lalu sembunyi di balik pintu untuk menanti pulangnya si kurus.
Siao-liong-li dan Nyo Ko juga sangat heran, jelas pengemis kurus itu sudah menjadi orang salju, mengapa ada orang datang pula" Baru mereka berpikir, segera terdengar bahwa yang datang itu seluruhnya dua orang, jelas adalah pendatang baru dan bukan si kurus.
Karena Peng-tianglo itu bertujuan jahat dan bertekad akan membinasakan si kurus, pula daya pendengarannya memang kalah tajam daripada Nyo Ko dan Siao-liongli, maka dia tidak mendengarnya dan baru tahu dugaannya meleset dan setelah kedua pendatang itu sudah berada di depan rumah.
. "0-mi-to-hud: (Adhi Budaya)!" terdengar seorang di antaranya mereka menyebut Budha, "Karena kehujanan salju, kami mohon Sicu suka memberi mondok semalam di sini.
" Peng-tianglo lantas menyelinap keluar, dilihatnya di tanah salju sana berdiri dua Hwesio tua, seorang alis jenggotnya sudah putih, wajahnya welas asih, seorang lagi jenggot hitam kaku dan memakai jubah hitam, walaupun di musim dingin, namun pakaian kedua pendeta itu sangat tipis.
Selagi Peng-tianglo melengak dan belum menjawab, tahu2 Nyo Ko sudah keluar dan berseru: "Silakan masuk, Toa hwesio! Orang dalam perjalanan memangnya membawa rumah sendiri?" Pada saat itu juga mendadak Peng-tianglo melihat Holo besar dipungguhg si pengemis kurus yang telah berubah orang salju gemuk itu, ia terkejut dan heran melihat keadaan kawannya yang aneh itu.
Waktu ia menoleh pada Nyo Ko, dilihatnya anak muda ini bersikap biasa saja seperti tidak mengetahui sesuatu.
Dalam pada itu Nyo Ko telah menyilakan kedua Hwesio tua itu ke dalam rumah, dari gerak-gerik kedua Hwesio itu ia yakin mereka pasti bukan sembarangan pendeta agama Budha, terlebih Hwesio jubah hitam yang berwajah bengis dan bersorot mata aneh itu, ia menjadi sangsi jangan2 adalah orang segolongan Peng-tianglo.
"Silakan tinggal saja di sini, Toahwesio," kata Nyo Ko kemudian, "cuma orang gunung miskin seperti kami ini tiada alat perlengkapan tidur segala" Eh, kalian suka makan daging panggang tidak?" Padahal dia tahu umumnya kaum Budha tidak makan barang berjiwa, Maka cepat si Hwesio alis putih telah menjawab: "Ampun, ampun! Kami sendiri membawa sekedar rangsum kering, Sicu tidak perlu repo2" "Baiklah, kalau begitu," kata Nyo Ko, lalu iapun masuk ke kamarnya dan membisiki Siao-liong li: "Kedua Hwesio tua ini tampaknya adalah tokoh yang sangat tangguh, sebentar kita harus dua lawan tiga.
Siao-liong-li mengernyitkan keningnya, katanya dengan suara tertahan.
"Orang jahat di dunia ini sungguh banyak sekali, orang ingin hidup tenang di pegunungan sunyi begini juga tetap terganggu," Nyo Ko coba mengintip gerak-gerik kedua Hwesio tua, dilihatnya si Hwesio alis putih mengeluarkan empat potong kue tawar, dua potong diberikan si Hwesio baju hitam, ia sendiri makan dua biji.
Dari wajah dan sikap Hwesio alis putih itu Nyo Ko percaya pendeta itu pasti tinggi ibadat agamanya, cuma di dunia ini juga tidak kurang manusia jahat berwajah alim, contoh di depan mata juga ada, yaitu Peng-tianglo, bukankah sikapnya juga ramah tamah dan wajahnya selalu berseri2, tapi hatinya ternyata busuk.
Yang aneh adalah Hwesio jubah hitam itu, mengapa sinar matanya begitu bengis buas.
Tengah berpikir, se-konyong2 terdengar suara gemerinctng, si Hwesio jubah hitam mendadak mengeluarkan dua potong benda ke-hitam2an terbuat dari besi.
Tadinya Peng-tianglo duduk dibangku, mendadak ia melompat bangun sambil siap melolos senjata, Tapi Hwesio jubah hitam tidak menggubris-nya, "krek-krek", benda hitam itu telah digembol pada kakinya sendiri, kiranya benda itu adalah sepasang belenggu besi.
sepasang belenggu lagi lantas dipasang pula pada kedua tangan sendiri.
Tentu saja Nyo Ko dan Peng-tianglo sangat heran dan tidak dapat menerka apa maksud dan artinya perbuatan Hwesio itu membelenggu kaki dan tangan sendiri Tapi dengan demikian rasa was-was mereka juga lantas berkurang beberapa bagian.
Paderi alis putih tampaknya menaruh perhatian kepada kawannya, dengan suara pelahan ia bertanya: "Apakah hari ini waktunya?" "Sepanjang jalan Tecu sudah merasakan gelagat tidak enak", bisa jadi hari ini," jawab si Hwesio jubah hitam, mendadak ia terus berlutut, kedua tangan terangkap di depan dada serta berdo'a: "Mo-hon pertolongan Budha- yang maha welas asih.
" Habis berucap begitu, Hwesio baju hitam itu lantas menunduk dari meringkukkan tubuhnya tanpa bergerak, Selang sejenak, tubuh bagian atas rada gemetar, napasnya mulai ter-engah2, makin lama makin ngos2an, sampai akhirnya suara napasnya menjadi seperti raungan kerbau yang sekarat, sampai rumah papan itu bergetar oleh suara raungannya dan bunga salju di atas atap sama rontok.
Tidak hanya Peng-tianglo saja yang terkejut dan kebat-kebit hatinya, tapi Nyo Ko dan Siao-liong-li juga saling pandang dengan bingung, mereka tidak tahu apa yang dilakukan Hwesio baju hitam itu, dari suara raungannya itu tampaknya dia sedang menderita siksaan yang maha hebat.
Tadinya Nyo Ko berprasangka buruk terhadap Hwesio baju hitam itu, sekarang mau tak-mau timbul rasa kasihannya.
pikirnya: "Entah penyakit aneh apa yang dideritanya, mengapa Hwesio alis putih tidak ambil pusing, bahkan anggap tidak tahu dan tidak lihat suara napasnya yang keras itu?" Selang sebentar pula, suara napas Hwesio baju hitam semakin memburu, dengan pelahan Hwesio alis putih berkatalah "Tidak seharusnya diperbuatnya tapi telah diperbuatnya, seharusnya diperbuat malah tidak diperbuatnya, terbakar oleh mengamuk nya api penyesalan terjerumuslah ke jalan sesat di-jelmaan mendatangi.
. . . " Kalimat sabda Budha itu diucapkan Hwesio itu dengan pelahan, tapi ternyata dapat terdengar dengan jelas di tengah suara napas Hwesio baju hitam yang gemuruh, Nyo Ko terkejut akan Lwekang si Hwesio tua yang hebat itu, rasanya di jaman ini jarang ada bandingannya.
Terdengar Hwesio alis putih meneruskan membaca weda Budha "Kalau orang berdosa mau menyadari dosanya, sesudah sadar tidak lagi meresahkannya, dengan begitu hatipun tenteram, tidak perlu lagi memikirkannya pula, jangan karena rasa penyesalannya itu, tidak melakukan apa2 yang seharusnya dilakukannya, kejahatan2 yang sudah diperbuatnya, tidak mungkin ditariknya kembali.
" Lambat laun napas Hwesio baju hitam menjadi pelahan dan akhirnya berhenti, sambil berenung iapun menggumam: "Kalau orang berdosa mau -menyadari dosanya, sesudah sadar tidak lagi meresahkannya.
Suhu, Tecu menyadari macam perbuatan di masa lalu itu berdosa, Tecu sangat menyesal dan hampir tak dapat mengatasi perasaan berdosa sendiri ini.
Yang Tecu pikirkan adalah: kejahatan yang sudah diperbuatnya, tidak dapat ditarik kembali Karena itu hati Tecu tidak jadi tenang dan gembira, bagaimana sebaiknya ini?" "Berbuat salah dan mau menyesalinya, biasanya sukar terjadi," ujar Hwesio alis putih, "Manusia bukan Nabi, manabisa tanpa berbuat salah.
Berbuat salah dan mau memperbaikinya, itulah yang maha muIia.
" Sampai di sini mendadak Nyo Ko teringat kepada namanya sendiri, yakni "Ko" (salah), menurut ibunya dia juga mempunyai nama alias "Kay-ci" (perbaikilah), jadi persis seperti apa yang diucapkan Hwesio alis pulih tadi, ia menjadi ragu apakah pendeta tua ini adalah seorang maha sakti yang sengaja datang buat membuka pikirannya" Mau-tak-mau timbul rasa kagum dan hormatnya kepaaa pendeta yang ucapannya penuh filsafat hidup ini.
Terdengar Hwesio baju hitam berkata pula: "Akar kejahatan Tecu sukar dilenyapkan sepuluh tahun yang lalu.
Tecu sudah lama mengikuti ajaran Suhu dan tetap terjadi menewaskan jiwa tiga orang, sekarang darah Tecu terasa bergolak dan sukar diatasi mungkin sekali Tecu akan berbuat dosa pula, Untuk ini mohon welas asih Suhu, sukalah potong saja kedua tangan Tecu ini.
" "Syahdu! Syahdu! Biarpun kudapat potong ke dua tanganmu, tapi pikiran jahat dalam hatimu harus kau babat sendiri.
Kalau pikiran jahat belum lenyap, meski kaki dan tanganmu putus juga percuma saja, Coba dengarkan, akan kuceritakan sebuah kisah "lnduk menjangan dan si pemburu, bagimu.
" "Tecu siap mendengarkan," jawab si baju hitam sambil duduk bersila, Di balik ruangan sana Nyo Ko dan Siao-liong-Ii juga lantas duduk tenang ikut mendengarkan cerita pendeta itu.
"Ada seekor induk menjangan dengan dua ekor anak menjangan," demikian Hwesio alis putih mulai berkisah.
"Malang bagi induk menjangan itu karena tertangkap oleh seorang pemburu, Pemburu akan membunuh induk menjangan, dengan sangat induk menjangan minta dikasihani katanya: "Aku mempunyai dua anak, masih kecil dan lemah, belum mahir mencari makan dan minum.
Mohon di beri kelonggaran sementara waktu agar dapat mengajarkan cara mencari makan bagi anakku, habis itu pasti kudatang kembali untuk menyerahkan diri" - pemburu tidak mengidzinkan, Induk menjangan memohon pula dengan memelas, akhirnya hati pemburu terharu dan meluluskannya, induk menjangan menemukan kedua anaknya dan saling bermesraan dengan girang dan sedih pula induk menjangan menceritakan nasibnya yang malang dan berharap kedua anaknya menjaga diri.
Sudah tentu anak menjangan yang masih kecil itu tidak paham maksud sang induk.
Lalu induk menjangan membawa kedua anaknya ke tempat yang banyak rumput dan sumber air, setelah memberi petunjuk cara2 mencari hidup lain, dengan berlinang air mata kemudian induk menjangan lantas mohon diri.
" Mendengar sampai disini, Siao-liong-li jadi teringat kepada jiwa sendiri yang sudah dekat ajalnya, tanpa terasa iapun mencucurkan air mata, walaupun tahu cerita Hwesio itu cuma dongeng belaka, tapi cinta kasih ibu dan anak dalam cerita itu sangat mengharukan hati Nyo Ko.
Dalam pada itu Hwesio alis putih sedang melanjutkan ceritanya: "Sehabis memberi pesan, induk menjangan lantas melangkah pergi.
Kedua anak menjangan lantas menangis sedih dan terus mengikutinya dari belakang, walaupun kecil dan lemah, larinya lambat dan jatuh bangun, namun tetap tidak mau berpisah dengan sang induk.
induk menjangan lantas berhenti dan menoleh, katanya: "O, anakku, janganlah kalian ikut, kalau dilihat pemburu itu, tentu jiwa kita akan tamat semuanya, ibu rela mati, cuma kalian yang masih kecil dan lemah, Di dunia ini menang tiada suatu yang abadi, setelah berkumpul akhirnya juga akan berpisah.
Nasibku yang jelek sehingga membikin kalian kehilangan ibu sejak kecil.
" - Habis berkata ia terus berlari ke tempat si pemburu.
Kedua anak menjangan sangat menginginkan kasih sang induk, tanpa gentar kepada panah si pemburu merekapun mencari sampai di sana.
Melihat induk menjangan menepati janji dan rela untuk mati, kejujuran dan kesetiaannya sukar dibandingi manusia.
Dilihatnya pula antara induk dan anak menjangan itu merasa berduka dan berat untuk berpisah, si pemburu merasa tidak tega dan akhirnya membebaskan induk menjangan.
" Habis mendengar cerita itu, air mata bercucuran memenuhi muka si Hwesio jubah hitam, katanya: "Menjangan saja mengutamakan janji, induknya baik hati dan anaknya berbakti, betapapun Tecu tak dapat meniru mereka.
" "Asal timbul perasaan kasih, seketika napsu membunuh akan lenyap," kata Hwesio alis putih sembari memandang sekejap ke arah Peng-tianglo.
Dengan sujud Hwesio baju hitam mengiakan Lalu Hwesio alis putih berkata pula: "Jika ingin menebus kesalahan, jalan satu2 nya adalah berbuat amal.
Dari menyesali perbuatan yang seharusnya dilakukan di masa lalu, ada lebih baik selanjutnya lebih banyak berbuat sesuatu yang harus dikerjakan.
" Habis ini ia menghela napas pelahan dan menambahkan pula: "Sekalipun aku sendiri selama ini juga banyak berbuat kesalahan.
" - Lalu ia memejamkan kan mata seperti orang semedi.
Setelah mendengarkan cerita sang guru, Hwesio baju hitam seperti mulai sadar, tapi gejolak perasaannya selalu sukar diatasi.
Waktu ia mengangkat kepalanya, dilihatnya Peng-tianglo sedang memandangnya dengan tersenyum simpul, kedua matanya menyorotkan cahaya yang sangat tajam dan kuat.
Hwesio baju hitam terkesiap, ia merasa pernah bertemu dengan orang ini, terasa pula sorot mata orang menimbulkan perasaan sangat tidak enak, cepat ia berpaling ke arah lain, tapi hanya sejenak kembali ia menoleh ke sana.
"Wah, lebat sekali salju yang turun ini," kata Peng tianglo dengan tertawa.
"Ya, ya, lebat sekali," jawab Hwesio baju hitam.
"Marilah kita pergi melihat pemandangan hujan salju ini," kata Peng-tianglo pula sambil membuka pintu.
"Baiklah, kita pergi melihat pemandangan hujan salju," jawab si Hwesio sambil berbangkit dan berdiri di luar pintu di samping Peng-tianglo.
Dari balik dinding Nyo Ko juga merasakan sorot mata Peng-tianglo yang aneh itu, samar2 ia merasakan sesuatu alamat yang tidak enak.
"Ucapan gurumu sangat tepat, membunuh orang sekali2 jangan, tapi seluruh tubuhmu penuh tenaga yang me luap2, kalau tidak bergebrak dengan orang rasanya tidak tahan, begitu bukan?" demikian Peng-tianglo berkata pula dengan tertawa.
Secara samar2 si Hwesio baju hitam mengiakan, Lalu Peng-tianglo berkata pula: "Boleh coba kau hantam orang salju ini, pukul saja, kan tidak berdosa.
" Hwesio baju hitam memandang orang salju itu dan mengangkat tangannya, hasratnya ingin sekali melancarkan pukulannya.
Sementara itu tubuh si pengemis kurus itu sudah teruruk lagi oleh bunga salju yang bertebaran sejak tadi, maka kedua matanya juga tertutup oleh salju.
"HayoIah, pukul saja dengan kedua tanganmu, hantam orang salju ini! Pukul, hayo pukul!" demikian Peng-tiangIo menganjurkan pula, suaranya halus, tapi penuh daya memikat.
"Baik, akan kupukul.
" kata si Hwesio baju hitam sambil mengumpulkan tenaga pada tangannya.
Si Hwesio alis putih mengangkat kepala dan menghela napas panjang, dengan pelahan ia menggumam: "Sekali napsu membunuh timbul, seketika terjadi mala petaka," Segera terdengar suara "blang" yang keras, kedua tangan Hek-ih-ceng (Hwesio baju hitam) menghantam sekaligus.
salju berhamburan dan terdengar jeritan pengemis kurus.
Rupanya Hiat-to yang tertutup tergetar buka terkena pukulan Hek-ih-ceng" jeritan itu sangat ngeri dan menyeramkan dan berkumandang hingga jauh menggema angkasa pegunungan itu.
Siaoliong-li juga bersuara kaget dan memegangi tangan Nyo Ko dengan erat.
"Ha, di dalam salju ada orang!" teriak Hek-ih-ceng kaget Cepat Pek-bi-ceng (Hwesio alis putih) berlari keluar dan memeriksa keadaan sang korban, ternyata pengemis kurus itu sudah binasa terkena pukulan tangan besi yang maha sakti si Hek-ih-ceng" seketika Hwesio baju hitam ini melongo dengan bingung, sedangkan Peng tianglo berlagak kaget dan berseru: "He, benar2 aneh, untuk apakah orang ini sembunyi didalam gundukan salju" Eh, mengapa dia membawa senjata?" Meski dengan Liap-hun tayhoatnya dia berhasil mempengaruhi Hek-ih-ceng membinasakan si pengemis kurus, sudah tentu ia sangat senang, tapi iapun merasa heran pula mengapa si kurus sanggup bertahan tanpa bergerak bersembunyi di dalam gundukan salju dan tidak mendengar suaraku menyuruh orang menghantamnya" "Suhu.
. . Suhu!" dengan melongo bingung ber-ulang2 Hek-ih-ceng memanggil sang guru.
"Karma! karma!" ucap Pekbiceng, "Orang ini tidak dibunuh olehmu, tapi juga kau yang membunuhnya.
" Hek-ih-ceng mendekap di atas tanah salju dan bertanya dengan suara gemetar: "Tecu tidak paham artinya.
" "Kau mengira hanya orang salju belaka dan hatimu tiada bermaksud mencelakai orang," kata Pek-bi-ceng.
"Tapi tenaga pukulanmu maha dahsyat waktu melancarkan serangan, masakah sama sekali tiada pikiranmu hendak membunuh orang!" "Sesungguhnya Tecu memang berkehendak membunuh orang" jawab Hek-ih-ceng.
Pek-bi-ceng lantas memandangi Peng-tianglo hingga sekian lama, sorot matanya halus penuh welas asih, Tapi hanya sekali pandang saja, Liap-hun tay-hoat yang menggetar sukma orang, ilmu andalan Peng tianglo itu lantas sirna tanpa bekas.
Mendadak Hek-ih ceng berteriak: "He.
. . kau. . . kau adalah Tianglo di Kay-pang dahulu itu, ya, ya, betul ingatlah aku sekarang!" Seketika wajah asli Peng-tianglo timbul dari balik sikapnya yang selalu ramah tamah dan tersenyum simpul itu, air mukanya lantas penuh rasa bertentangan batin, katanya: "Ah, engkau adalah Kiu-pangcu dari Tiat-ciang-pang, mengapa engkau menjadi Hwesio?" Kiranya Hwesio baju hitam ini memang betul ialah Kiu Jian yim, ketua Tiat-ciang-pang.
Setelah terjadi pertandingan di puncak Hoa-san dahulu, dia telah menyadari segala dosanya di masa lampau dan mengangkat It-teng Taysu sebagai guru, iapun menjadi Hwesio.
Dan Pek-bi-ceng atau Hwesio alis putih ini bukan lain daripada It-teng Taysu, namanya sejajar dengan Ong Tiang-yang, Ui Yok-sui.
Auyang Hong dan Ang Jit-kong itu.
Sesudah menerima agama Budha, Kiu Jian yim mendapatkan nama agama sebagai Cu-in.
Dengan giat dia mempelajari agamanya dan telah memperoleh kemajuan pesat.
Cuma dahulu dia sudah terlalu banyak berdosa, akar kejahatannya sukar dibasmi seluruhnya, kalau kutemukan daya pikat yang kuat dari luar, terkadang dia masih suka umbar kemurkaannya dan mencelakai orang, sebab itulah dia telah membuat dua pasang belenggu besi, apabila pikirannya sedang judek, ia lantas membelenggu kaki tangan sendiri untuk mengekang tindak jahatnya.
Suatu hari lt-teng Taysu menerima berita minta tolong dari muridnya, yaitu Cu Cu-liu, maka dari negeri Tayli It-teng Taysu lantas membawa Cu-in berangkat ke Coat-ceng-kok.
Tak terduga di pegunungan sunyi ini mereka bertemu dengan Peng-tianglo dan tanpa sengaja Cu-in telah membunuh satu orang pula.
Sejak menjadi Hwesio, selama belasan tahun baru pertama kali ini ia membunuh orang meski ada juga pelanggaran yang diperbuatnya, seketika hatinya menjadi bimbang, ia merasa latihannya selama belasan tahun telah hanyut ke laut seluruhnya.
Dengan pelahan ia menoleh dan memandang Peng-tianglo dengan mata berapi.
It-teng Taysu tahu saatnya sangat gawat, kalau mengalangi dia dengan kekerasan, tentu pikiran jahatnya akan semakin menumpuk dan pada suatu hari pasti akan meluap laksana air bah yang tidak terbendungkan.
Hanya dengan jalan menimbulkan rasa welas-asih kepada sesamanya barulah pikiran-jahatnya dapat dilenyapkan dan menuju ke jalan yang bersih.
Begitulah sambil berdiri di samping Cu-in, pelahan- It-teng Taysu menyebut:" "O-mi to-hud!" -Sampai hampir ratusan kali ia menyebut nama Budha barulah sorot mata Cu-in mulai meninggalkan tubuh Peng-tianglo, lalu berduduk di tanah dan napasnya ter-engah2 pula.
Sudah sejak dulu Peng-tianglo tahu ilmu silat Kiu Jian-yim maha hebat, tapi kalau ia dapat dipengaruhi dengan Liap-hun-tay-hoat, maka dapatlah dia peralat sesukanya.
Siapa tahu kemana sinar mata It-teng Taysu menyorot, seketika perasaannya seperti tertekan oleh sesuatu yang maha berat dan sukar mengeluarkan ilmunya.
Maklumlah, Liap-hun-tay-hoat itu kira2 serupa dengan sebangsa ilmu bipnotis atau telepati pada jaman kini, dengan kekuatan batin untuk mengendalikan pihak lawan, kalau kekuatan batin lebih kuat daripada dirinya, maka ilmu itu takkan berhasil sama sekali.
Dalam hal ini pikiran It-teng ternyata lebih kuat daripada Peng-tianglo sehingga sukar dipengaruhinya.
Kini Peng-tianglo sudah menginsyafi keadaannya yang berbahaya.
ia pikir Hwesio tua yang senantiasa menganjurkan orang berbuat bajik ini semoga dapat mempengaruhi Kiu Jian-yim.
Kalau dirinya melarikan diri sekarang, betapapun pasti sukar lolos dari kejaran Kiu Jian yim yang Ginkangnya terkenal maha hebat.
Terpaksa ia meringkik di pojok rumah dengan hati kebat-kebit, pandangannya sekejap saja-tidak berani meninggalkan gerak-gerik Kiu Jian-yim.
Tidak lama kemudian suara napas Cu-in semakin memburu pula, tiba2 ia berseru: "Suhu, pembawaanku memang orang jahat, Thian tidak berkenan menerima penyesalanku, meski aku tidak sengaja membunuh orang, akhirnya mencelakai juga jiwa orang.
Aku tidak mau menjadi Hwesio lagi.
" "Ampun! Ampun Akan kuceritakan pula sebuah kisah padamu," kata It- teng.
Mendadak Cuin berteriak dengan suara keras: "Kisah apa lagi" Sudah belasan tahun kau menipu diriku, aku tak percaya lagi padamu.
" Krak-krek, tahu2 belenggu pada kaki dan tangannya itu retak dan terlepas.
Dengan suara halus It-teng berkata pula: "Jika perbuatan yang sudah terlanjur terjadi tidak perlu dirisaukan, jangan kau sesalkan lagi.
" Namun Cu-in lantas berbangkit ia meng-geleng2 kepada It-teng, habis itu ia memutar tubuh dan menghantamkan kedua tangannya, "blam", tahu2 tubuh Peng-tianglo mencelat dan menumbuk dinding gubuk terus melayang keluar.
Di bawah pukulan telapak tangan besi yang maha dahsyat itu jelas otot tulangnya pasti hancur, biarpun jiwanya rangkap sepuluh juga pasti tamat riwayatnya.
Nyo Ko dan Siao-liong-li juga kaget mendengar suara gedubrakan yang keras itu, cepat mereka memburu keluar dari ruangan dalam, terlihat kedua tangan Cu-in terangkat ke atas, dengan sorot mata bengis ia membentak mereka berdua: "Apa yang kalian pandang" Satu tidak berbuat, dua tidak berhenti (artinya kalau sudah telanjur berbuat, ya sekalian kerjakan saja), hari ini sengaja kuIanggar pantangan membunuh," Habis berkata, tenaga yang sudah terkumpul pada kedua tangannya segera akan dihantamkan.
Dengan tenang It-teng Taysu melangkah maju dan mengadang di depan Nyo Ko berdua, di situ ia berduduk dan mcngucap Budha, air mukanya kereng, katanya: "Belum jauh kau tersesat, masih sempat kembali jika kau mau.
Cu-in, apakah benar2 kau ingin terjerumus ke alam yang tak tertolong pula.
" Wajah Cu-in sebentar merah sebentar pucar kusut sekali pikirannya, terjadilah pertentangan batin antara baik dari jahat.
Rupanya pikiran jahatnya akhirnya berkobar lebih hebat, mendadak sebelah tangannya menghantam ke arah It-teng taysu.
Dengan satu tangan terangkat di depan dada It-teng menahan serangan itu dengan tubuh rada tergeliat.
"Bagus, jadi kau benar2 ingin memusuhi aku?" teriak Cu-in dengan gusar, menyusul tangan kiri lantas menghantam pula.
!t-teng tetap" menangkis saja dan tidak balas menyerang.
Dengari gusar Cu-in lantas mendamperat: "Hm, nntuk apa kau mengalah" Hayolah membalas! Mengapa kau tidak balas seranganku" Huh apanya yang hebat antara kalian Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pakkay dan Tiong-sin-thong segala" Belum tentu kalian mampu menandingi telapak tangan besi orang she Kiu ini, Hayolah balas, kalau kau tidak balas menyerang, jangan kau penasaran jika jiwamu melayang percuma.
" Meski pikiran Cu-in dalam keadaan kacau tapi ucapannya itu juga tidak salah, ilmu pukulan telapak tangan besinya boleh dikatakan mempunyai keunggulannya sendiri dibandingkan lt-yang-ci yang menjadi andalan It-teng Taysu itu.
Dalam hal ajaran agama memang It-teng jauh lebih daripada cukup untuk menjadi guru Cu-in, tapi bicara tentang ilmu silat, kalau bertempur sekuat tenaga mungkin It teng lebih unggul setingkat, tapi kalau melulu di hantam tanpa membalas, lama2 juga pasti akan terluka parah sekalipun jiwanya tidak melayang.
Akan tetapi It teng sudah bertekad lebih suka mengorbankan diri untuk menolong orang lain, lebih suka binasa kena pukulan tangan besi itu daripada balas menyerang dengan harapan Cu-in akhirnya dapat diinsafkan, jadinya sekarang mereka tidak lagi bertanding iimu silat atau tenaga dalam, tapi lebih tepat dikatakan pertarungan antara pikiran bajik dan pikiran jahat.
Nyo Ko dan Siao-liong li menyaksikan pukulan sakti Cu-in itu terus menerus dilontarkan ke arah It-teng, sampai pada pukulan ke-14, tertumpas lah darah segar dari mulut It-teng.
"Apakah kau tetap tidak mau membalas"," bentak Cu-in melengak demi melihat darah yang mengucur dari mulut It teng itu.
Dengan tersenyum It-teng menjawab: "Untuk apa aku membalas" Apa gunanya jika kukalahkan kau" Apa pula paedahnya kalau kau kaIahkan diriku" Yang paling sukar adalah mengalahkan dirinya sendiri, mengekang perasaannya sendiri.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Cu-in tampak tertegun dan bergumam: "Mengalahkan dirinya sendiri, mengekang perasaan sendiri inilah yang sukar?" Beberapa kalimat ucapan It-teng itu laksana bunyi geledek yang menggetar hati Nyo Ko.
Pikirnya: "Untuk mengalahkan kehendak diri sendiri dan mengekang hasrat buruk sendiri memang jauh lebih sukar daripada mengalahkan musuh yang tangguh.
" Ucapan pendeta agung ini benar2 sangat tepat dan bernilai.
Dalam pada itu dilihatnya kedua tangan Cu-in berhenti sejenak di atas, habis itu terus menghantam pula ke depan.
"Brak", tubuh It-teng terhuyung, darah segar kembali tersembur keluar, jenggotnya yang putih dan jubahnya sama berlepotan darah.
. . Dari caranya menerima serangan lawan serta daya tahannya, Nyo Ko tahu ilmu silat It-teng asebenarnya terlebih tinggi daripada Hek-ih-ceng itu, tapi kalau melulu terima pukulan saja, biarpun tubuh terbuat dari besi juga akhirnya akan meleyot.
Kini Nyo Ko luar biasa kagum dan hormatnya kepada It-teng Taysu, ia tahu It-teng sengaja mengorbankan diri untuk menginsafkan orang jahat, tapi iapun tak dapat menyaksikan orang baik seperti lt teng tewas begitu saja, karena itulah ia lantas mengangkat pedangnya dan mengitar ke samping It-teng, waktu Cu-in melancarkan pukulan lagi, "sret", iapun membarengi dengan tusukan pedang.
Guncangan angin pukulan yang dahsyat itu menumbuk angin pukulan Cu-in, tubuh kedua orang sama tergetar.
Cu-in bersuara heran, tak tersangka olehnya bahwa di pegunungan sunyi ini ada seorang pemburu muda yang memiliki ilmu silat setinggi ini.
It-teng memandang Nyo Ko sekejap, hatinya juga heran luar biasa.
"Siapa kau" Apa kehendakmu?" bentak Cu-in dengan bengis.
"Gurumu memberi nasihat secara baik2, mengapa Taysu tidak mau sadar?" jawab Nyo Ko.
"Tidak mau menerima nasihat sudah keliru, malahan kau membalas kebaikan dengan kebencian dan melancarkan pukulan keji kepada gurumu.
Manusia macam demikian bukankah jauh lebih rendah daripada binatang?" Dengan gusar Cu-in membentak: "Apakah kaupun orang Kay-pang" Begundal si Tianglo konyol tadi?" "Kedua orang ini memang orang busuk Kay-pang" jawab Nyo Ko dengan tertawa, "Bahwa Taysu telah membinasakan mereka, menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan, mengapa engkau merasa menyesal?" Untuk sejenak Cu-in melengak, lalu menggumam: "Menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan.
. . menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan.
. . " Setelah mengikuti percakapan It-teng dan Cu-in tadi, lapat2 Nyo Ko sudah paham isi hati mereka yakni lantaran Cu-in merasa menyesal sehingga timbul rasa benci, dari benci lantas timbul pikiran jahat.
Maka ia lantas berkata pula: "Kedua orang itu adalah anggota khianat Kay-pang, yang berkomplot dengan pihak musuh dan bermaksud menjual tanah air kita kepada bangsa lain, sekarang Taysu membunuh mereka, ini adalah pahala yang maha besar.
Kalau kedua orang ini tidak mati, entah betapa orang baik2 akan menjadi korban kejahatan mereka" Cuin merasa ucapan Nyo Ko itu sangat tepat, pelahan2 ia menurunkan tangannya yang siap menghantam itu.
Tapi segera teringat olehnya dahulu dirinya juga pernah bekerja bagi kerajaan Kim dan pernah membantu bangsa asing itu menjajah negerinya sendiri, jadi ucapan Nyo Ko itu tiada ubahnya seperti mencaci maki kesalahannya itu, mendadak pukulannya dilancarkan ke arah Nyo Ko sambil membentak: "Kau mengaco-balo apa, binatang cilik?" Tadinya Nyo Ko menyangka ucapannya tadi telah membangunkan hati nurani Cu-in, siapa duga mendadak orang malah melancarkan serangan maut, serangan yang cepat lagi keji itu dalam sekejap saja sudah sampai di depan dadanya, dalam keadaan gawat ia tidak sempat menangkisnya, terpaksa ia ikuti daya pukulan musuh dan melompat mundur, "blang-blang" dinding papan rumah ambrol dan tubuh Nyo Ko mencelat keluar rumah.
lt-teng Taysu terkejut, pikirnya: "Apakah pemuda ini akan binasa begitu saja" tampaknya ilmu silatnya juga tidak rendah.
" Pada saat lain, mendadak api unggun yang berkobar di dalam rumah itu menyurut gelap, lubang dinding yang ambrol itu dihembus angin keras, tahu2 Nyo Ko melayang masuk lagi sambil menusukkan pedangnya ke arah Cu-in dengan membentak: "Baik, hari ini boleh kita coba2 ukur tenaga.
" Rupanya Nyo Ko tadi dapat mundur lebih cepat daripada tenaga pukulan musuh, dengan menumbuk ambrol dinding rumah, dapatlah ia terhindar dari pukulan maut itu.
Kini pedangnya menusuk lurus ke depan kekuatan yang dahsyat dan sukar di tahan.
Cu-in memukulkan tangannya agar tenaga pukulan dapat mengguncang pergi daya tusuk Nyo Ko itu.
Tak disangkanya bahwa ilmu pedang Nyo Ko ini adalah ajaran Tokko Kiu-pay yang tiada tandingnya, apalagi sudah digembleng di tengah air bah serta tambahan tenaga dari buah merah dibantu pula oleh rajawali sakti, kini ilmu pedang yang dikuasi Nyo Ko sudah tiada ubahnya seperti kesaktian Tokko Kiu-pay dahulu, maka telaga pukulan Cu-in itu hampir tiada artinya bagi Hyo Ko, pedang anak muda itu masih tetap menyelonong ke depan.
Keruan Cu-in kaget, cepat mengelak agar tubuhnya tidak tertembus.
Setelah bergebrak barulah sama2 mengetahui ilmu silat pihak lawan memang sangat lihay dan tidak berani lagi meremehkan musuh, It teng ter-heran2 menyaksikan semua itu, ia pikir usia anak muda ini paling2 baru Iikuran, tapi ternyata mampu menandingi ilmu pukulan tangan besi Kiu Jian-yim yang pernah menggetarkan dunia kangouw di masa lampau, malahan gaya ilmu pedang anak muda ini tidak diketahui berasal dari aliran mana meskipun pengalaman sendiri tergolong sangat luas, lebih2 pedangnya yang hitam berat itu jelas merupakan senjata yang aneh pola.
Bahkan Siao-liong-li yang cantik molek itu mengikuti pertarungan itu di samping dengan tenang2 saja, diam2 iapun yakin nona ini pasti juga tokoh yang lain daripada yang lain, Ketika ia mengawasi lebih teliti, dilihatnya diantara dahi si nona samar2 bersemu hitam, tanpa terasa ia bersuara kaget.
Siao-liong-li tersenyum melihat sikap It-teng Taysu itu, katanya: "Oh, kau sudah tahu?" Dalam pada itu pertarungan Nyo Ko lebih beruntung dalam hal senjata sebaliknya Cu-in lebih banyak sebuah lengan, jadinya seimbang.
Terdengai pula suara "blang", papan kayu jebol sebuah, menyusul "krek" sekali, tiang rumah patah sebuah, padahal luas rumah itu sudah kecil bangunan kurang kukuh pula, betapapun tidak mungkin digunakan sebagai arena pertarungan dua tokoh kelas wahid, ke mana serangan mereka tiba, di situ papan kayu bertebaran, akhirnya terdengarlah suara gemuruh, sebuah tiang patah lagi serentak atap rumah lantas ambruk.
Cepat Siao-liong-li pondong Kwe Yang dan menerobos keluar melalui jendela, Di luar salju masih turun dengan lebatnya dengan angin yang menderu, Nyo Ko dan Cu-in telah mengobrak-abrik kedua rumah gubuk itu secara mentah2 dan pertandingan tetap berlangsung dengan sengitnya di bawah badai salju.
Sudah belasan tahun Cu-in tidak pernah bertempur sesengit ini dengan orang, saking bersemangat nya pukulan telapak besinya yang dahsyat itu disertai pula dengan raungan yang keras.
Sampai ratusan jurus, tenaga pedang pusaka Nyo Ko itu ternyata semakin berat, karena usia Cu-in memang sudah lanjut, lambat-laun ia merasa kewalahan untuk menahannya.
Ketika Nyo Ko menusuk lagi dari depan, Cu-in, lantas menggeser ke samping.
Tapi pedang Nyo Ko lantas menyapu sehingga menimbulkan angin keras dengan hamburan salju menyambar ke muka Cu-in.
Karena matanya tertutup bunga salju, cepat Cu-in mengusap mukanya.
Pada saat itulah pedang Nyo Ko terus memutar dari atas dan menempel di atas pundak Cu-in.
Seketika Cu in merasa seperti ditindihi oleh benda yang beribu kati beratnya dan tidak sanggup berdiri tegak, ia jatuh telentang, Ujung pedang Nyo Ko terus mengancam di dada lawan, biarpun ujung pedang itu tidak tajam, tapi beratnya tak terperikan sehingga Cu-in merasa sesak napas.
Pada saat demikian sekilas terbayang "mati" dalam benak Cu-in.
Sejak dia menjadi gembong Tiat-ciang-pang dan malang melintang di dunia Kangouw, selamanya dia hanya membunuh dan mencelakai orang, jarang sekali mengalami kekalahan, biarpun pernah dikalahkan Ciu Pek-thong dan lari ke wilayah barat, akhirnya dia juga dapat menggertak lari si Anak Tua Nakal itu, sekarang ia merasakan ajalnya sudah dekat pintu gerbang neraka, inilah belum pernah dialaminya selama hidup, mau-tak-mau timbul rasa penyesalannya, kalau tamat begini saja riwayatnya, ia merasakan segala dosa yang pernah diperbuatnya menjadi tak bisa ditebus lagi.
Selama ini kuliah It-teng Taysu tidak dapat membuka pikirannya yang gelap, kini ancaman pedang Nyo Ko ternyata merupakan bunyi guntur yang dapat memecahkan segala persoalan dan seketika membuatnya teringat, ternyata begini mengenaskan kalau dibunuh orang, jika begitu orang2 yang pernah kubunuh dahulu tentu juga mengenaskan seperti ini.
Diam2 It-teng sangat kagum menyaksikan Nyo Ko akhirnya dapat menaklukkan Cu-in, segera ia melangkah maju, jarinya menyelentik pelahan pada batang pedang, seketika Nyo Ko merasa lengan kiri kesemutan, pedang lantas bergetar ke samping, serentak Cu-in melompat bangun dan menjura kepada It-teng sambil berseru.
"Suhu, dosa Tecu pantas dihukum mati!" It-teng tersenyum dan meraba punggungnya, katanya: "Tidaklah mudah kau dapat menginsafl segalanya, kau harus berterima kasih kepada anak muda ini.
" Tadinya Nyo Ko juga sudah sangsi kalau Hwe-sio tua beralis putih ini adalah It-teng Taysu, setelah pedangnya terselentik ke saraping, tanpa sangsi lagi akan dugaannya, sebab soal tenaga jari sakti pada jaman ini selain Ui Yok-su hanya It-yang-ci saja yang dapat mengimbanginya dan tokoh nomor satu It-yang-ci tiada lain adalah It-teng Taysu, segera iapun menyembah dan berkata: "Tecu Nyo Ko memberi salam hormat kepada Taysu.
" - Dilihatnya pula Cu-in mendekatinya dan menjura padanya.
Cepat ia membalas hormat dan berkata: "Wah, mana kuberani terima penghormatan sebesar ini, Locian-pwe," Lalu ia tuding Siao-liong-li dan menambahkan pula: "lni adalah isteriku she Liong, Eh,liong-ji, lekas memberi hormat kepada Taysu.
" Dengan ber-gegas2 Siao-libng-li melangkah maju dengan memondong Kwe Yang serta memberi hormat.
"Kedua rumah ini sungguh malang sehingga kitapun tiada tempat berduduk untuk ber-bincang2" kata It-teng dengan tertawa.
"Tadi pikiran Tecu menjadi gelap dan hilang akal, apakah luka Suhu berbahaya?" tanya Cu-in.
"Kau sendiri apakah sudah sehat?" tanya It-teng sambil tersenyum.
Cu-in merasa sangat menyesal dan tidak tahu apa yang harus diucapkan, ia coba menegakkan tiang rumah gubuk itu, dinding papan dibetulkan sehingga sekedarnya sebuah gubuk dapat didirikan kembali sekadar tempat bernaung, sementara itu Nyo Ko juga menceritakan pengalamannya berkenalan dengan Bu Sam-kong dan Cu Cu-liu serta terkena racun di Coat-ceng-kok, lalu Paderi Hindu dan Cu Cu-liu berusaha mencarikan obat baginya.
"Kedatangan kami berdua ini justeru hendak pergi ke Coat-ceng-kok," tutur It-teng Taysu, "Apakah kau tahu hubungan Cu-in Hwesio ini dengan penguasa wanita Coat-ceng-kok itu?" Karena beberapa kali mendengar Peng-tianglo dan Cu-in menyebut "Kiu-pangcu", maka Nyo Ko lantas bertanya: "Apakah asalnya Cu-in Taysu she Kiu, yaitu Kiu-pangcu dari Tiat-ciang-pang dahulu?" - Ketika dilihatnya Cu-in mengangguk pelahan, lalu ia berkata pula padanya: "Jika kegitu penguasa wanita Coat ceng-kok itu adalah adik perempuanmu.
" "Benar," jawab Cu in, "apakah adik perempuanku baik2 saja?" Nyo Ko merasa sukar untuk menjawabnya.
Kaki dan tangan Kiu Jian-jio telah dibikin cacat oleh sang suami, jadi bagaimanapun tak dapat dikatakan "baik.
" Melihat anak muda itu ragu2 menjawabnya, Cu-in berkata pula: "Adik perempuanku itu suka menuruti adatnya sendiri, kalau dia mengalami sesuatu juga tidak perlu diherankan.
" "Adikmu hanya cacat tangan dan kaki saja, badannya sih sehat2 saja," kata Nyo Ko.
Cu-in menghela napas, katanya: "Selang sekian tahun, semua sudah tua.
. . , biasanya dia cuma akur dengan Toako kami saja.
. . " sampai disini ia lantas ter-mangu2 mengenang masa lampau It-teng Taysu tahu pikiran Cu-in belum bersih dari urusan kehidupan manusia, kalau tadi dia menyesal dan insaf adalah karena menghadapi detik antara mati dan hidup, maka pikiran jahatnya mendadak lantas Ienyap, padahal pikiran jahat dalam benaknya belum hilang sampai akarnya, kelak kalau terpengaruh lagi daya kuat dari luar mungkin penyakitnya akan kambuh lagi dan sukarlah dibayangkan apakah kelak mampu mengatasinya atau tidak.
Melihat It-teng memandangi Cu-in dengan sorot mata yang kasihan, tiba2 Nyo Ko merasa tindakannya tadi bisa jadi malah membikin urusan semakin runyam, maka ia lantas bertanya: "Taysu, tindakanku yang bodoh tadi apakah salah, mohon Taysu memberi petunjuk.
" "Hati orang sukar dijajaki, seumpama aku dihantam mati olehnya juga belum tentu dia akan sadar dan mungkin malah kejeblos lebih dalam," jawab It-teng.
"Yang jelas kau telah menyelamatkan jiwaku, mana bisa salah" Sungguh aku sangat berterima kasih padamu.
" Lalu dia berpaling jkepada Siao-liong-Ii dan berianya: "Cara bagaimana nyonya ini terkena racun?" Mendengar pertanyaan itu, seketika Nyo Ko rSeperti melihat setitik sinar harapan dalam kegelapan, cepat ia menjawab: "Dia terluka dan waktu itu sedang berusaha dengan penyembuhan melancarkan urat nadi, tak terduga pada saat yang gawat itu mendadak terserang rahasia berbisa, Apakah Taysu sudi menaruh belas kasihan dan menolong jiwanya?" Habis berkata tanpa terasa ia berlutut lagi di hadapan It-teng Taysu.
It-teng membangunkan anak muda itu dan berkata: "Cara bagaimana penyembuhan dengan melancarkan urat nadi itu dilakukan?" "Dia mengerahkan tenaga dalam secara terbalik berbaring di dipan kemala dingin serta ditambah bantuanku," tutur Nyo Ko serta menceritakan secara ringkas apa saja yang telah dilakukannya.
Maka pahamlah It-teng, berulang2 ia menyatakan rasa herannya, ia coba memegang nadi pergelangan tangan Siao-liong-li, lalu kelihatan sedih tanpa membeli keterangan.
Dengan ter-mangu2 Nyo Ko juga memandangi It-teng dengan penuh harapan dari mulut Hwesio agung itu akan bercetus ucapan: "Dapat ditolong", sedangkan pandangan Siao-liong-li terarahkan kepada Nyo Ko, sudah sejak mula tak terpikir olehnya bahwa jiwanya dapat bertahan sampai sekarang, maka ia coba menghibur Nyo Ko yang kelihatan menanggung sedih tak terkatakan itu: "Ko-ji, hidup atau mati sudah ditakdirkan mana bisa dimohon secara paksa, untuk ini hendaklah kau dapat berpikir panjang dan jangan terlalu merisaukannya.
" Baru pertama kali ini It-teng Taysu mendengar Siao-liongli buka suara, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa perempuan muda seperti ini dapat bicara seterang itu, biasanya setiap orang pasti cemas dan sedih menghadapi persoalan mati hidup sendiri, tapi ucapan Siao-liong-li tadi se-akan2 seorang alim yang sudah tinggi ibadatnya, mati seakan2 pulang saja.
Diam2 It-teng memuji sepasang muda-mudi ini sungguh manusia luar biasa, yang lelaki sangat hebat ilmu silatnya, yang perempuan memiliki ketinggian batin yang tiada bandingannya, Cuma sayang, karena racunnya sudah merasuk terlalu dalam, aku sendiripun terluka dan tak dapat menggunakan ilmu jari sakti It-yang-ci.
Setelah berpikir sejenak, lalu ia berkata: "Meski usia kalian berdua masih muda, tapi sudah memiliki kebatinan yang tinggi, biarlah kukatakan terus terang saja.
. . . " Mendengar sampai di sini, hati Nyo Ko serasa tertekan, kedua tanganpun terasa dingin.
"Racun dalam tubuh nyonya memang sudah mendalam," demikian It-teng menyambung, "kalau saja aku tidak terluka, dapat kubantu menyetop bekerjanya racun dengan lt-yang ci, habis itu berusaha mencarikan obat mujarab baginya, tapi sekarang ya, untung Lwekang nyonya sudah terlatih amat tinggi, akan kuberi lagi satu biji obat ini, setelah diminum dapat di jamin selama tujuh hari tujuh malam takkan terjadi alangan apapun, Kita segera berangkat pula ke Coatceng-kok untuk mencari Suteku".
"Benar. " seru Nyo Ko sambil berdiri.
"Memang kepandaian mengobati keracunan rahib sakti Hindu itu maha hebat, beliau pasti mempunyai cara pengobatannya.
" "Andaikan Suteku juga tidak mampu menolongnya, maka anggaplah memang sudah takdir" kata It-teng.
"Di dunia ini banyak anak2 yang belum lama dilahirkan sudah lantas mati pula, sedangkan nyonya sudah menikah barulah mengalami kejadian ini sehingga tidak dapat dikatakan pendek umur.
" Selesai berkata, lt-teng lantas termenung karena teringat kepada anak yang dilahirkan selirnya yaitu Lau-kwi hui, hasil hubungan gelap selir itu dengan Ciu Pek-thong, akibat dendam dan cemburu dirinya dan berkeras tidak mau mengobati anak itu dengan It-yang-ci, akhirnya bocah itupun meninggal sedangkan orang yang menyerang anak itu bukan lain daripada Cu-in Hwesio ini.
Dahulu It-teng juga tidak tahu bahwa Cu-in memukul anak itu, baru diketahui setelah Kiu Jian-yim alias Cu-in itu mengangkat dia sebagai gurunya serta mengaku semua dosa yang pernah diperbuatnya.
Namun satu katapun It-teng tidak menyesali Cu-in, cuma dalam lubuk hatinya tidak urung timbul semacam perasaan bahwa nasib jelek sendiri adakah karena gara2 perbuatan Cu-in itu.
Begitulah dengan mata terbelalak Nyo Ko memandangi It-teng Taysu, pikirnya: "Dapat tidak mengobati Liong-ji belum bisa dipastikan, tapi mengapa engkau sama sekali tidak menghibur sepatah katapun" Dalam pada itu Siao-liong-li hanya tersenyum tawar saja dan mengiakan setiap ucapan It-teng Taysu, Tiba2 It teng mengeluarkan sebutir telur ayam dan diserahkan kepada Siao-liong-li, katanya: "Coba katakan, ada ayam lebih dulu atau telur ada lebih dulu.
" Ini memang teka-teki yang belum terpecahkan, Nyo Ko menjadi heran dalam keadaan begini si Hwesio tua ini sempat bertanya soal yang tidak penting ini.
Siao-liong-li lantas menerima telur ayam itu, ketika diperiksa ternyata bukan telur ayam biasa melainkan tiruan terbuat dari porselen, baik warna maupun besarnya serupa dengan telur asli.
Setelah berpikir sejenak Siao-liong-li lantas tahu maksud orang, katanya: "Telur menetaskan ayam, ayam besar bertelur, kalau ada lahir tentu juga ada mati.
" Segera ia pencet telur itu dan tertampaklah satu biji obat warna kuning di dalamnya mirip kuning telur.
"Lekas diminum," kata lt-eng, taysu.
Tanpa pikir Siao-Hong-ii terus memasukkam obat itu ke mulut, ia tahu obat itu pasti sangat berharga.
Esok paginya hujan salju masih belum mereda.
m :Nyo Ko pikir jarak dari sini ke Coat-ceng-kok tidak dekat, meski It-teng Taysu menyatakan obatnya dapat mempertahankan jiwa Siao-liong li selama tujuh hari tujuh malam, untuk mencapai lembah itu masih harus menempuh perjalanan secepatnya baru dapat tiba tepat pada waktunya.
Maka ia lantas berkata: "Taysu, apakah lukamu sendiri tidak beralangan?" Sebenarnya luka It-teng cukup parah, tapi demi menolong sang Sute, Cn Cu-liu serta Siao-liong-li yang takdapat di-tunda2 lagi, segera ia menyatakan tidak beralangan dan mendahului berangkat, sekali melesat tahu2 sudah beberapa meter jauhnya Cepat Nyo Ko bertiga mengikut kencang dari belakang Setelah minum obat tadi, Siao-liong-ii merasa bagian perutnya terasa hangat, semangat terbangkit, ia melancarkan Ginkangnya dan sekaligus sudah melampaui di depan It-teng Taysu.
Cu-in terkejut, tak disangkanya bahwa nona cantik molek begini juga memiliki ilmu silat setinggi ini.
Semalam melulu menghadapi Nyo Ko saja dirinya sudah kalah, apalagi kalau perempuan muda inipun ikut maju, jelas dirinya pasti kalah terlebih cepat.
Tiba2 timbul rasa ingin menangnya, segera "tancap gas" dan menguber cepat ke depan.
Yang seorang adalah ahli waris Ko-bong pay dengan Ginkangnya yang tiada bandingannya di dunia ini, seorang lagi adalah jago tua yang pernah termasyhur dengan julukan "Tiat-ciang-cui-siang-hui" (telapak tangan besi mengapung di atas air) yang menggambarkan betapa hebat ilmu pukulannya seru kecepatan berlarinya.
Hanya sekejap saja kedua orang sudah saling uber menguber di kejauhan dan sejenak pula hanya tampak dua titik hitam saja di tanah salju sana.
Kuatir pikiran jahat Cu-in mendadak timbul lagi dan mencelakai Siao liong-li, cepat Nyo Ko mengejar ke sana.
Ginkangnya sebenarnya bukan tandingan kedua orang itu, tapi dia miliki tenaga dalam yang kuat, dengan sendirinya tenaga kakinya juga lain daripada yang lain, semula jaraknya dengan kedua orang itu sangat jauh, tapi setelah sekian lamanya, bayangan kedua orang di depan itu muIai nampak dan semakin jelas kelihatan.
Selagi Nyo Ko asyik mengejar, tiba2 terdengar It-teng menegur di belakang: "Hebat benar tenaga dalammu, siapakah gurumu, bolehkah kuketahui.
" Nyo Ko terkejut, dia mengejar kedua orang didepan itu tanpa menoIeh, disangkanya It-teng- sudah jauh ditinggalkan di belakang, siapa tahu tanpa besuara Hwesio tua itu tetap mengintil rapat di belakangnya.
Segera ia mengendurkan langkah dan jalan berjajar dengan paderi itu, jawabnya: "Kepandaianku ini adalah ajaran isteriku.
" "Tapi tampaknya isterimu toh tidak lebih hebat daripadamu?" ujar It-teng heran.
"Entah mengapa selama beberapa bulan terakhir ini tenagaku mendadak bertambah kuat luar biasa, Cayhe sendiri tidak tahu apa-sebabnya.
" "Apakah kau makan suatu obat penambah tenaga" seperti Jinsom atau Lengci dan sebagainya?" Nyo Ko.
menggeleng, Tapi tiba2 teringat sesuatu olehnya, cepat katanya pula: "Wanpwe pernah makan beberapa puluh biji buah warna merah segar, habis makan buah2an itu tenaga lantas-banyak bertambah, entah buahan itu ada sangkut-pautnya atau tidak dalam hal ini?" "Buah merah segar" Apakah besarnya hampir sama jeruk nipis, rasanya manis dan tanpa biji?" "Benar, buah itu memang tiada terdapat biji Wanpwe merasa heran, kalau buah tidak berbiji lalu cara bagaimana membibitnya?" "Barimana kaudapat buah itu?" tanya It-teng.
"Tecu diberi oleh seekor burung rajawali raksasa," jawab Nyo Ko.
"Wah, sungguh suatu penemuan yang sukar dicari.
Buah merah segar itu namanya Cu-koh (buah merah), jauh lebih sukar dicari dan bernilai daripada Jinsom dan Lengci yang paling bagus.
Cu-koh itu niscaya tumbuh di lereng2 gunung yang sukar di jangkau manusia, biasanya berbuah beberapa puluh tahun sekali, bisa jadi ratusan tahun juga tidak pernah berbuah sekalipun.
Agaknya rajawali raksasa itu benar2 rajawali sakti.
" "Ya, memang rajawali sakti!" tukas Nyo Ko.
iapun berpikir kalau rajawali itu dapat diminta mencarikan beberapa biji buah merah itu untuk Liong-ji, tentu akan besar manfaatnya bagi kesehatannya.
Tapi menurut keterangan Taysu ini, katanya buah merah itu bisa jadi ratusan tahun juga tidak pernah berbuah sekali, entah kesempatan mendapatkan buab merah itu kelak masih terluka atau tidak" Begitulah sambil bicara kaki merekapun tidak lemah berhenti, beberapa lama kemudian, jarak mereka dengan Siao-liong-li dan Cu-in sudah bertambah dekat, It-teng dan Nyo Ko saling pandang dengan tersenyum.
Rupanya Ginkang mereka memang tidak sehebat Siao-liong-Ii dan Cu-in, tapi dalam hal lomba lari jarak jauh, kepastian terakhir terletak pada tenaga dalam dan bukan bergantung kepada Ginkang, Ginkang hebat tak didukung oleh tenaga dalam yang tahan lama, akhirnya pasti mengendur larinya.
Di antara kedua orang yang berlomba di bagian depan itupun ada perbedaan, Siao-Iiong-li tampak ketinggalan beberapa meter pula di belakang.
Agaknya soal kekuatan Siao-liong-li juga kalah sedikit daripada Cu in.
Tengah berlari dan setelah melintasi sebuah tanjakan, tiba2 Nyo Ko menuding ke depan dan berkata kepada It-teng: "He, aneh, mengapa di depan sana ada tiga orang?" Benar juga, tidak jauh di belakang Siao liong-li ternyata ada seorang pula yang ikut berlari dengan cepat.
sekilas pandang saja Nyo Ko lantas merasakan Ginkang orang ketiga ini tidak di bawah Siao-liong-li dan Cu-in, malahan orang ketiga ini tampak memanggul sesuatu benda yang amat besar, seperti sebuah peti, namun langkahnya tetap gesit dan cepat, jaraknya selalu beberapa meter saja di belakang Siao-Iiong-li.
It-teng Taysu juga heran, sama sekali di luar dugaannya bahwa di pegunungan sunyi ini ber-turut2 bertemu dengan orang kosen, semalam bertemu dengan sepasang suami isteri muda yang hebat, sekarang orang yang ikut berlari di depan itu jelas adalah seorang kakek.
Sementara itu Siao-liong-li yang ketinggalan di belakang Cu-in itu semakin menjauh jaraknya, ketika didengarnya di belakang ada suara langkah orang, disangkanya Nyo Ko yang telah menyusul tiba, maka ia lantas berkata: "Ko-ji, Ginkang Toa-hwesio ini teramat hebat, aku tidak sanggup menandingi dia, coba saja kan menyusulnya.
" Tiba2 orang di belakangnya itu tertawa dan berkata: "Silakan kau mengaso dahulu di atas petiku ini, setelah tenagamu pulih, tentu kau akan melampaui Hwesio itu," Merasa suara orang bukan Nyo Ko, cepat Siao liong-li mcnoleh, dilihatnya seorang tua berjenggot dan berambut putih, siapa lagi kalau bukan Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, si Anak Tua Nakal, Dengan tertawa simpatik orang tua itu sambil menunjuk peti yang dipangguInya itu "Sini, mari sini, naik ke atas peti ini!" Peti itu adalah barang Tiong-yang-kiong, mungkin tempat menyimpan kitab Coan-cin-kau, untuk menyelamatkannya dari amukan api, maka Ciu Pek thong telah menggondolnya lari.
Selagi Siao-liong-li tersenyum dan belum menjawab atas tawaran orang tua itu, mendadak Ciu pek thong menyelinap maju ke depan Siaoliong-li, sekali tangannya menolak pinggang si nona dengan enteng, Siao-liong-li di dukungnya ke atas peti yang di pangguInya itu.
Gerakannya sangat cepat, caranya aneh pula, sebelum Siao-liong-ii menghindar atau menolak, tahu2 ia sudah diangkat ke atas peti.
Mau-tak mau Siao-liong-li memuji betapa hebat ilmu silat Coan-cin-pay yang memang mempunyai keunggulan sendiri itu, bahwa para Tosu di Tiong-yang kiong itu tidak mampu menandingi dirinya hanya karena mereka belum menguasai sampai puncaknya ilmu silat perguruan mereka.
Sementara itu Nyo Ko dan It-teng juga sudah mengenali Ciu Pek-thong adanya.
Hanya Cu-in saja yang kuatir disusul Siao-liong-li, ia masih ngebut ke depan tanpa menyadari di belakangnya telah bertambah seorang lagi.
Dengan langkah cepat dan mantap Ciu Pek-thong terus mengintil di belakang Cu-in, dengan suara tertahan ia membisiki Siao-Iiong-li: "Sebentar lagi langkahnya pasti akan lamban.
" "Dari mana kau tahu?" tanya Siao-Iong-li dengan tertawa.
"Aku pernah berlomba lari dengan dia, dari Tionggoan kami udak mengudak sampai di wilayah barat dan dari sana memutar balik lagi ke Tionggoan, berpuluh ribu li kami telah berlari, tentu saja kutahu kemampuannya," tutur Ciu Pek-thong dengan tersenyum.
Duduk diatas peti itu, Siao-liong-li merasa sangat anteng dan setabil melebihi naik kuda, dengan suara pelahan ia tanya dengan tertawa: "Lo-wan-tong, untuk apa kau membantu aku?" "Siapa yang tidak suka membantu nona cantik seperti kau ini, kaupun tidak nakal dan centil seperti si Ui Yong," jawab Ciu Pek thong.
"Malahan kaupun tidak pernah marah biarpun aku telah mencuri madumu.
" Begitulah mereka berlari dengan Siao-liong-li membonceng di panggul Ciu Pek-thong, benar juga, tidak lama kemudian lambat laun langkah Cu-in mulai mengendur.
Pada saat itulah Ciu Pek-thong lantas berkata: "Pergilah!" - Berbareng pundaknya terus menyembul dan tubuuh Siao-liong-li lantas melayang jauh ke depan.
Karena cukup istirahat begitu mulai lari lagi, hanya sejenak saja Siao-liong-li sudah dapat melampaui Cu-in, setelah itu ia sengaja menoleh dan tersenyum.
Keruan Cu-in terkejut, lekas2 ia "tancap gas" pula dan ngebut sekuatnya.
Namun Ginkang kedua orang memangnya selisih tidak jauh, kini yang seorang sudah cukup beristirahat, yang lain sejak tadi ber-lari2 tanpa berhenti, maka jarak kedua orang makin lama makin menyolok dan sukar lagi bagi Cu-in untuk menyusuInya.
Selama ini Cu-in sangat bangga akan dua macam kepandaiannya yang khas dan merasa tiada tandingannya di dunia ini, tapi dalam sehari semalam saja ilmu pukulannya telah dikalahkan Nyo Ko, kini Ginkangnya dikalahkan pula oleh Siao-liong-li, seketika ia lantas lesu dan patah semangat, kedua kakinya terasa lemas se-akan2 tidak mau menurut perintah lagi Diam2 ia berkuatir apakah ajalnya sudah dekat sehingga nona jelita begitu saja mampu menyusulnya" Semalam napsu jahatnya memuncak dan melukai sang guru, sehabis itu hatinya tidak tenteram, kini dia tak sanggup lagi menyusul Siao-liong-li meski sudah mengerahkan segenap tenaganya, keruan pikirannya semakin kacau dan merasa segala urusan di dunia ini sama sekali sukar dibayangkan.
Kejadian Ciu Pek-thong membantu Siao-liong-li itu dapat dilihat dengan jelas oleh Nyo Ko yang mengintil di belakang, ia tertarik juga oleh perbuatan jahil si Anak Tua Nakal, segera ia percepat pula langkahnya mendekati Ciu Pek-thong serta menegur dengan tertawa: "Terima kasih banyak2, Ciu-locianpwe" "Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengan si tua Kiu Jian-yim ini, mengapa semakin tua semakin konyol sehingga akhirnya cukur rambutnya hingga kelimis dan menjadi Hwesio.
" "Dia telah mengangkat It-teng Taysu sebagai guru, masakah engkau tidak tahu?", tutur Nyo Ko sambil menuding ke belakang.
Ciu Pek-thong terkejut, serunya: "He, apakah Toan-hongya juga datang?" Waktu ia menoleh dan melihat bayangan It-teng, cepat ia berseru pula: "Wah, tidak enak, paling selamat angkat langkah seribu saja.
Habis ini mendadak ia berlari menjurus ke samping terus menyusup ke dalam pepohonan yang rimbun.
Nyo Ko sendiri tidak tahu apa itu "Toan Hongya" (raja she Toan) yang diucap Ciu Pek-thong itu, dilihatnya dalam sekejap saja Anak Tua Nakal itu sudah menghilang tanpa bekas, diam-diam ia merasa tindak tanduk orang tua itu sungguh aneh dan jarang ada bandingannya.
Melihat Ciu Pek thong telah kabur menjauhi dirinya, It teng lantas mendekati Nyo Ko, dilihatnya Cu-in lesu dan Iemas, sikapnya semula yang bersemangat dan tangkas mendadak hilang dan entah ke mana, maka dengan suara halus ia coba menghiburnya: "Masakah jalan pikiranmu masih belum terbuka menghadapi soal kalah dan menang begini?" Cu-in melenggong bingung.
It-teng berkata puIa: "Setiap kehendak tentu ada kelemahannya dengan kepandaianmu yang tinggi, kalau saja engkau tidak berkeras ingin menang, masakah kau tidak mengetahui bahwa di belakangmu telah bertambah seorang penguntit?" Sampai di sini, tiba2 terdengar Siao-Iiong-Ii berseru di depan sana :"He, lekas kemari, lihatlah ini.
. Cepat Nyo Ko bertiga menyusul kesana, tertampak Siao-liong-li menunjuk pada sebatang pohon, kulit batang pohon itu terkupas, sebagian terlukis sebuah ujung panah yang mengarah ke utara, di bawah panah ada tisi kan beberapa huruf kecil yang berbunyi: "Arah ke Coat-ceng-kok.
" Huruf2 itu dicocok dengan jarum dan bersemu ke-hitam2an.
Agaknya huruf2 ini dicocok dengan jarum berbisa Li Bok-chiu," kata Nyo Ko.
"Benar," jawab Siao-Iiong-li.
"Tapi Suciku selamanya tidak pernah ke Coat-ceng-kok, dia tidak mengenal jalanan ke sana.
" Nyo Ko termenung sejenak, lalu berkata pula.
"Kwe-hujin dan nona Kwo masih menyimpan Pek-pok-gin-ciam bekas milik Li Bok-chiu.
Paman Bu tahu jalanan ke Coat-ceng-kok, mungkin tulisan ini dibuat oleh rombongan mereka.
" "Untuk ditujukan kepada siapa petunjuk ini?" tanya Siao Iiong-li.
"Muridku she Cu itu banyak tipu akalnya, dia terkurung di sana dan sempat mengirim berita mohon bantuan padaku, bisa jadi Sam-thong juga mengetahui aku akan datang ke sini," kata It-teng Taysu.
Begitulah mereka berempat lantas mempercepat perjalanan mereka, lima hari pertama mereka dapat berjalan dengan cepat, tapi pagi hati keenam luka It-teng tenyata bertambah parah dan mulai tidak tahan berjalan.
. Segera Cu-in berjongkok dan memaksa menggendong It-teng Taysu, dengan begitu mereka melanjutkan perjalanan tanpa terhenti Lewat lohor, sampailah rombongan mereka di mulut lembah Coat ceng kok itu.
"Apakah kita perlu memberitahukan kedatangan kita agar adikmu menyambut kedatangan Taysu," tanya Nyo Ko kepada Cu-in.
Belum lagi Cu-in menjawab tiba2 terdengar di tengah lembah sana sayup2 ada suara beradunya senjata.
Kuatir akan keselamatan adik perempuan nya itu yang mungkin sudah bergebrak dengan Bu Sam-thong dan lain2, cepat Cu-in berkata:" Marilah kita masuk saja langsung ke sana untuk mencegah pertarungan mereka, " Be-ramai2 mereka lantas berlari ke arah datangnya suara itu.
Sesudah dekat, terlihat beberapa orang berseragam hijau dengan senjata terhunus sedang berjaga di luar semak2 pohon sana dan suara beradunya senjata berkumandang dari dalam pepohonan yang rimbun itu, sedangkan orang2 yang bertempur tidak kelihatan sama sekali.
Melihat kedatangan musuh lagi, orang2 berbaju bijau itu.
berteriak-teriak sambil menyingkir ke sayap kanan dan kiri dengan maksud hendak mendesak musuh ke tengah pepohonan.
Tapi sesudah berhadapan, mereka mengenali Siao-liong-li dan Nyo Ko, serentak mereka merandek dengan melenggong.
Salah seorang yang menjadi kepala rombongan orang2 berbaju hijau itu lantas menegur Nyo Ko.
"Cubo (majikan perempuan - Cukong majikan Ielaki) menugaskan Nyo-kongcu ke Siangyang, apakah tugas itu sudah berhasil dengan baik?" Sudah tentu tugas yang dimaksudkan itu adalah membunuh Kwe Cing dan Ui Yong, Nyo Ko tidak menjawab sebaliknya malah bertanya: "Siapa yang sedang bertempur itu?" Orang itu tidak menjawab, tapi melirik dengan sangsi, karena tidak tahu kedatangan Nyo Ko ini adalah kawan atau lawan.
"Kedatanganku ini tidak bermaksud buruk," jawab Nyo Ko tersenyum, "apakah Kongsun-hujin baik2 saja, begitu pula nona Kongsun?" Hilanglah rasa waswas orang berbaju hijau itu mendengar jawaban Nyo Ko itu, katanya kemudian: "Terima kasih, Cubo dan nona baik2 semuanya.
" Cu-in bergirang mendengar adik perempuannnya baik2 saja.
Orang berbaju hijau tadi bertanya pula: "Dan siapakah kedua Toa-hwesio ini" Apakah sehaluan dengan keempat perempuan di dalam hutan itu" "Keempat perempuan" siapakah mereka?" tanya Nyo Ko.
. . . "Keempat perempuan itu telah menyerbu dalam doa jurusan, Cubo memberi perintah agar mereka diusir, tapi mereka membangkang dan sekarang telah dipancing ke dalam lingkaran bunga cinta, di luar dugaan, begitu keempat perempuan itu saling, bertemu, mereka lantas saling labrak malah," demikian keterangan orang itu.
Nyo Ko terkejut mendengar keempat perempuaa itu terkurung di tengah lingkaran bunga cinta, seketika iapun tidak tahu siapakah keempat perempuan yang dikatakan itu.
Kalau Ui Yong, Kwe Hu, Wanyan Peng dan Yalu Yan, mengapa mereka berempat saling labrak" Karena itulah ia lantas berkata: "Jika tidak keberatan, tolong, perlihatkan padaku, kalau kukenal mereka, boleh jadi dapat kulerai mereka untuk ber-sama2 menghadap Kokcu.
" Orang berbaju hijau itu yakin keempat perempuan yang sudah terkurung di tengah tetumbuhan bunga cinta itu pasti sukar meloloskan diri, maka ia tak menolak permintaan Nyo Ko, segera ia membawa Nyo Ko berempat ke dalam hutan, Maka tertampaklah di suatu tanah yang rendah yang penuh dilingkari bunga2 yang indah permai ada empat perempuan yang terbagi dalam dua partai sedang bertempur dengan sengit.
Menyaksikan keadaan pertarungan keempat orang itu, serentak Nyo Ko dan Siao-liong-li terkejut bahkan Siao-liong-li sampai berseru kuatif.
Kiranya tempat di mana keempat perempuan itu bertempur adalah sebuah tanah rumput seluas tiga empat meter persegi yang sekitarnya penuh dipagari bunga cinta yang berduri itu, pagar bunga cinta yang mengitari tanah rumput dibagian tengah itu rata2 melebar sampai belasan meter jauhnya, biarpun orang yang memiliki Ginkang maha tinggal dunia ini juga tidak mampu ke luar dari pagar bunga cinta itu dengan sekali lompat, bahkan dua kali lompatan juga sukar.
It-teng Taysu dan Cu-in tidak begitu heran menyaksikan keadaan itu karena mereka tidak tahu betapa lihaynya bunga cinta itu, tapi Nyo Ko dan Siao-liong-li sudah merasakan siksaan bunga itu, maka begitu melihat mereka lantas berkuatir bagi keempat perempuan itu, "Kiranya Suci adanya," kata Siao-liong-li kemudian.
"Dia datang terlebih dulu dari pada kita" Kiranya dua di antara keempat perempuan itu memang Li Bok-chiu dan muridnya, yaitu Ang Leng-po.
Mereka sama2 bersenjatakan pedang, mungkin setelah kebutnya patah di dalam kuburan kuno Li Bok-chiu belum sempat membuat kebut baru, sedangkan ke dua perempuan yang menjadi lawan mereka masing2 menggunakan senjata Liu yap-to (golok panjang: sempit) dan seorang lagi memegang sebangsa seruling, potongan tubuh keduanya sama2 langsing, langkah mereka cepat dan gesit, tampaknya ilmu silat mereka juga tidak lemah walaupun jelas bukan tandingan Li Bok-chiu.
"Kiranya kedua saudara misan inilah," demikianlah Nyo Ko membatin setelah mengenali kedua orang yang bukan lain daripada Thia Eng dan Liok Bu-siang.
Bertempur di tengah arena yang cuma tiga-empat meter luasnya memerlukan kecermatan yang luar biasa, sedikitpun tidak boleh salah langkah, dengan demikian bagi yang lemah ilmu silatnya menjadi rada kerepotan.
Untungnya Li Bok-chiu kurang leluasa menggunakan pedangnya yang bukan senjatanya se-hari2, sedangkan Thia Eng sejak mendapatkan didikan langsung dari Ui Yok-su, sebagian kepandaiannya yang bagus itu juga telah diajarkan kepada Liok Bu-siang, selama beberapa bulan ini mereka sudah maju pesat, ditambah lagi Ang Leng-po merasa kasihan pada Bu-siang yang pernah belajar bersama di bawah pimpinan Li Bok-chiu, ia tidak tega melancarkan serangan maut, karena itulah Bu-siang dan Thia Eng masih sanggup bertahan meski keadaan mereka sudah mulai payah.
"Tanpa sebab apa2 mengapa mereka berempat bisa menerobos ke tengah pagar bunga cinta itu dan bertempur di situ?" tanya Nyo Ko kepada orang berbaju hijau.
Orang itu sangat bangga dan bercerita dengan pongahnya: "lnilah perangkap rahasia yang diatur oleh Kongsun-kokcu, sekali mata2 musuh menyusup ke tengah pagar bunga cinta itu, begitu kami tutup jalan masuknya, maka semua jalan menjadi buntu dan tak mungkin bisa keluar lagi.
" "Apakah mereka sudah terkena racun bunga cinta itu?" tanya Nyo Ko kuatir, "Seumpama belum kena, kukira cuma soal waktu saja, sebentar lagi," kata orang itu, Nyo Ko menjadi heran cara bagaimana orang2 ini mampu memancing atau memaksa Li Bok-chiu ke dalam pagar bunga cinta itu.
Akhirnya ia ingat, pasti orang2 berbaju hijau ini telah menggunakan barisan berpisau yang lihay itu.
ia menjadi kuatir kalau Thia Eng dan Bu-siang juga kena racun bunga cinta, maka di dunia ini tiada obat lagi yang dapat menyembuhkan mereka.
Dengan suara lantang ia lantas berseru: "Thia-cici dan Liok-cici, ini-ku diriku Nyo Ko berada di sini.
Kalian harus hati2 terhadap bunga2 berduri di sekitar kalian itu, tidak kepalang lihaynya racun bunga itu, awas jangan sampai tertusuk !" Li Bok-chiu yang cerdik itu sejak mula sudah menduga pasti ada sesuatu pada bunga cinta itu, kalau musuh mengurung mereka dengan tumbuh2an berduri itu tentu ada sebabnya, maka diam2 ia teIah membisiki Ang Leng--po agar ber-hati2 dan sebisanya menjauhi bunga berduri itu.
Thia Eng dan Liok Bu siang juga bukan nona bodoh, tentu saja merekapun melihat keadaan yang tidak beres itu, sebab itulah mereka bertempur dengan waspada dan menghindari sentuhan pada tetumbuhan itu.
Kini demi mendengar peringatan Nyo Ko, di antara keempit orang itu dua orang merasa terkejut dan dua orang bergirang, tapi merekapun bertambah was-was terhadap tetumbuhan di sekitar mereka itu, pertarungan merekapun bertambah sengit mencari selamat sendiri.
Bahwasanya Thia Eng din Liok Bu-siang bertempur demi menuntut balas kematian keluarga mereka, maka mereka sudah tidak memikirkan kelamaan sendiri asalkan dapat membinasakan musuh.
sebaliknya Li Bok-chiu berhasrat harus membunuh kedua "nona" itu agar dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk melompat dari kepungan pagar bunga cinta itu.
Kedatangan Siao liong-li dan Nyo Ko sebenarnya telah membikin Li Bok-chiu menjadi kuatir, untunglah mereka teralang oleh pagar bunga cinta dan tidak dapat memberi bantuan.
Segera ia membentak: "Leng-po, lekas menyerang jika kau tidak ingin lekas mati di sini" Sejak kecil Ang-Leng-po sangat takut kepada sang guru, cepat ia mengiakan dan pedangnya lantas menusuk ke arah Thia Eng.
Tekanan kepada Liok Bu-siang menjadi kendur, tapi Thia Eng lantas terancam bahaya.
Ketika Thia Eng angkat serulingnya menangkis serangan Ang Leng po dari belakang itu, mendadak secepat kilat pedang Li Bok-chiu juga menyerang ke tenggorokannya.
Dengan sendirinya Bu-sing tidak tinggal diam, segera goloknya menangkis.
Namun Li Bok-chiu telah angkat pedangnya berbareng sebelah kakinya kena memegang pergelangan tangan Bu-siang sehingga goloknya terlepas dari pegangan dan jatuh ke tengah bunga cinta.
Menyusul itu pedang Li Bok Chiu bergerak pula, ber-turut2 dia, menusuk tiga kali sehingga Thia Eng tidak mampu menangkisnya dan terpaksa mundur ke belakang, kalau dia mundur lagi selangkah tentu akan menginjak bunga berduri itu.
"Awas, Eng-ci, jangan mundur lagi!" seru Bu-siang kuatir.
"Tidak mundur boleh maju saja!.
" jengek Li Bok-cniu sambil melangkah mundur satu tindak.
Thia Eng tahu, orang pasti tidak bermaksud baik, tapi tempat berdirinya itu memang sangat berbahaya, maka tanpa pikir ia lantas melangkah maju.
"Hm, berani amat kau !" jengek Li Bok-chiu pula, pedangnya bergerak, serentak sinar pedangnya mengurung rapat tubuh Thia Eng bagian atas.
Dari jauh Nyo Ko dapat menyaksikan permainan ilmu pedang Li Bok chiu yang lihay itu, kalau tidak memaharai gaya serangan itu, kebanyakan orang tentu akan berusaha melindungi tubuh sendiri bagian atas, karena itu bagian perut menjadi tak terjaga dan pasti akan terserang.
Tanpa ayal lagi Nyo Ko-lantas pungut sepotong batu kecil dan mendadak diselentikkan.
Begitu cepat batu itu meluncur ke depan mengarah Li Bokchiu yang tinggal satunya itu.
Pada saat itu pula ujung pedang Li Bok-chiu juga sedang menyerang bagian perut Thia Eng.
Ketika tiba2 mendapat serangan batu, kalau serangan pada Thia Eng diteruskan dan dapat membinasakan gadis itu, namun mata sendiri juga sukar diselamatkan Terpaksa ia menarik kembali pedangnya untuk menyampuk batu itu, "trang", batu itu tersampuk jauh.
Sambitan batu Nyo Ko itu adalah ilmu jari sakti ajaran Ui Yok-su, cuma belum sempurna dilatihnya, maka dia hanya dapat menggunakannya untuk menggertak musuh dan menolong teman, Untung sejak sebelah mata Li Bok-chiu buta, sisa mata satu2nya itu selalu dijaganya dengan baik, kalau tidak mungkin dia berani mengambil risiko membinasakan Thia Eeng lebih dulu, habis itu baru berusaha menundukkan kepala untuk menghindari sambitan batu.
Kalau serangan itu dilakukan oleh Ui Yok-su tentu batu itu akan menggetar jatuh pedang Li Bok-chiu atau sedikitnya membuat pedang itu terpental walaupun tidak sehebat Ui Yok-su, namun sedikit-ilmu ajarannya itu juga telah berhasil menyelamatkan jiwa murid kesayangannya.
Setelah lolos dari renggutan sang maut, wajah Thia Eng yang memang putih itu menjadi semakin pucat, Melihat itu, segera Li Bok-chiu membentak: "Awas, datang lagi!" pedangnya bergerak, serangan seperti tadi kembali dilancarkan pula.
Thia Eng sudah mendapatkan pengalaman tadi dan ia tahu sasaran musuh adalah bagian perutnya, maka serulingnya lebih diutarnakan melindungi bagian tubuh tersebut.
Di luar dugaan, serangan Li Bok-chiu ternyata beraneka macam perubahannya ujung pedangnya benar2 menusuk pula ke perut Thia Eng, tapi berbareng iapun menubruk maju, jarinya berhasil menutuk "Giok-tong-hiat" di dada nona itu, ketika Thia Eng melenggong, segera kaki Li Bok chiu menyapu pula hingga Liok Bu-siang didepak jatuh, menyusul ujung kakinya menendang pula Hiat-to di bagian dengkul Thia Eng.
Beberapa gerakan itu berlangsung dengan cepat luar biasa, dalam sekajap saja Thia Eng dan Liok Bu-siang kena dirobohkan semua, meski Nyo Ko hendak menolongnya juga tidak keburu lagi.
"Suhu!" seru Ang Leng-po kuatir.
Tapi Li Bok-chiu lantas cengkeram punggung Thia Eng dan di lempar kesana menyusut Bu siang juga dilemparkannya sambil berkata: "Leng-po, cepat lompat keluar dengan menginjak tubuh mereka berdua.
. . . " belum habis ucapannya, mendadak Nyo Ko melompat maju dan sempat menangkap tubuh Thia Eng sebelum nona itu terjatuh ke tengah bunga cinta".
Habis itu lantas melompat maju lagi.
Meski Hiat-to bagian dada dan kaki tertutuk, tapi kedua tangan Thia Eng masih dapat bergerak, segera ia merangkul Liok Bu-siang yang saat itu sedang melayang ke arahnya itu sambil berseru: "Nyo-toako, engkau.
. . " seketika darah bergolak dalam dalam dadanya, memangnya dia sudah jatuh cinta pada Nyo Ko, kini pemuda itu menerjang ke tengah bunga cinta itu untuk menoIongnya tanpa memikirkan keselamatan sendiri, sungguh ia menjadi sangat terharu dan terima kasih tak terhingga.
Rupanya waktu melihat Thia Eng dan Liok Busiang dilemparkan Li Bok-chiu ke tengah semak2 bunga cinta, semula Nyo Ko dapat meraba maksud keji Li Bok-chiu yang hendak menggunakan kedua nona itu sebagai batu loncatan untuk keluar dari kepungan pagar bunga cinta itu, maka tanpa pikir ia terus menerjang maju untuk menolong kedua nona itu.
Setelah berhasil menangkap tubuh kedua orang itu, cepat ia melompat mundur menurunkan mereka.
Kaki Thia Eng tertutuk sehingga tidak dapat berdiri, cepat Siao-liong-li membukakan Hiat-to yang tertutuk itu.
. . . Ketiga nona sama memandangi Nyo Ko, tertampak kaki celananya sudah robek terkena duri, kakinya juga berlumuran darah, entah berapa banyak duri bunga berbisa itu telah melukainya.
Thia Eng mengembeng air mata dan tidak sanggup membuka suara, Liok Bu-siang juga cemas dan berkata: "Mestinya engkau.
.

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. . tidak perlu menolong diriku mengapa.
. . mengapa engkau bertindak begini ?" Dengan tertawa Nyo Ko menjawab "memangnya aku sudah terkena racun bunga itu", kalau tercocok lagi duri bunga itu juga tidak ada bedanya.
" Sudah tentu semua orang tahu banyak dan sedikit terkena racun bunga itu besar perbedaannya.
Ucapannya itu jelas hanya untuk menghibur ketiga nona ini saja.
Tiba2 Liok Bu-siang-berseru pula: "He, Tolol, ken.
. . kenapa lengan kananmu" Mengapa buntung?" Siao-liong-li tidak kenal Thia Eng dan Bu-siang, tapi melihat mereka cantik manis, dalam hatinya sudah timbul rasa suka, apalagi melihat mereka sangat memperhatikan Nyo Ko, sekejap saja ia sudah anggap mereka sebagai teman karib.
Dengan tersenyum ia lantas bertanya: "Mengapa engkau memanggilnya tolol" sama sekali dia tidaklah tolol" "Ah, maaf, karena sudah terbiasa memanggilnya begitu, seketika aku lupa," jawab Bu-siang ia saling pandang sekejap dengan Thia Eng, lalu bertanya: "Cici ini apakah.
. . " "lalah. . . . " belum selesai Nyo Ko menerangkan cepat Thia Eng menyambung: "Tentunya Siao-liong-li cianpwe bukan?" "Ya, memang sudah kuduga, sungguh cantik laksana bidadari," demikian Bu-siang menambahi.
Rasa cemburu pasti ada pada setiap orang, apalagi perempuan Dahulu, ketika melihat Nyo Ko sangat mencintai Siao-liong-li, betapapun timbul rasai cemburu dalam hati Thia Eng dan Bu-siang, tapi sekarang setelah bertemu, makin dipandang makia terasa Siao-liong-li memang cantik molek dan sederhana, lain daripada yang lain tanpa terasa timbul pikiran rendah dirinya, keduanya sama membatin: "Memang diriku tak dapat dibandingkan dia.
" Bu siang yang berwatak tidak sabaran itu segera bertanya pula:"He, Nyo-toako, sebab apakah lenganmu itu terkutung" Apalah lukanya sudah sembuh?" "Sudah lama sembuh, "jawab Nyo Ko.
"Putus karena dikutungkan orang.
" "Keparat!" omel Bu-siang.
"Bangsat manakah yang pantas mampus itu" Tentu dia menggunakan akal licik dan keji, bukan", Apakah perbuatan iblis perempuan yang jahat itu?" Tiba2 suara seseorang mendengus di belakangnya: "Hm, apakah tidak rendah caramu memaki di luar tahu orangnya?" Bu-siang dan Thia Eng terkejut, cepat mereka berpaling, terlihatlah yang bicara itu adalah seorang nona cantik, siapa lagi kalau bukan Kwe Hu.
Dengan tangan memegang garan pedang air muka Kwe Hu tampak marah, di sebelahnya berdiri pula beberapa orang, baik lelaki maupun perempuan.
Dengan heran Bu-siang lantas menjawab: "He, kan bukan kau yang kumaki, yang kumaki adalah bangsat keparat yg membuntungi lengan Nyo-toako.
" "Sret", mendadak Kwe Hu melolos pedangnya sebagian dan berkata pula dengan gusar: "Akulah yang mengutungkan lengannya.
Aku sudah minta maaf padanya, akupun sudnh kenyang didamperat ayah ibuku, tapi kalian masih memaki aku secara keji di belakangku.
. . " sampai di sini matanya menjadi memberambang merah penuh rasa penasaran Kiranya rombongan Bu Sam-thong, Kwe Hu, Yalu Ce dan kedua saudara Bu kemudian bergabung kembali dengan Ui Yong serta Wanyan Peng dan Yalu Yan, lalu mereka lantas menuju ke Coat-ceng-j kok, karena Bu Sam-thong sudah tahu jalannya maka rombongan mereka tiba lebih dini setengah hari daripada rombongan It-teng dan Nyo Ko, cuma rombongan Ui Yong lebih dulu berusaha mencari paderi Hindu dan Cu Cu-Iiu, tapi tidak ketemu, maka banyak waktu yang terbuang secara sia2.
Mengenai beradanya Li Bok-chiu dan Ang Leng-po di Coat-ceng-kok, begitu pula Thia Eng dan Liok Bu-siang, keadaan mereka sebaliknya ber-beda2.
Li Bok-chiu berdua datang ke situ tanpa sengaja karena mereka mengikuti tanda2 petunjuk jalan yang ditinggalkan Bu Sam-thong, sedangkan kedatangan Thia Eng berdua adalah karena terpancing oleh kejahilan Ciu Pek-thong.
BegituIah Ui Yong, Bu Sam-thong dan lain2 lantas memberi hormat kepada It-teng Taysu, lalu diperkenalkan pula kepada lain2nya.
Thia Eng belum pernah bertemu dengan kakak seperguruannya seperti Ui Yong ini, namun namanya sudah lama didengarnya serta dikaguminya, maka dengan sangat hormat ia lantas menyembah kepada Ui Yong sambil memanggil "Suci!" Dari Nyo Ko memang Ui Yong sudah mendengar bahwa akhir2 ini ayahnya telah menerima lagi seorang murid perempuan, kini melihat sang Sumoay ini cukup cantik, ia menjadi menyukainya dan bertanya tentang keadaan ayahnya.
Sementara itu beberapa orang berbaju hijau tadi lantas kabur melaporkan kedatangan musuh itu kepada Kiu Jian-jio.
Kwe Hu dan Liok Bu-siang masih saling melotot, meski tidak berkelahi, tapi sama2 merasa benci.
Apa lagi dari ibunya Kwe Hu disuruh memberi hormat serta memanggil "Susiok" kepada Thia Eng, tentu saja ia kurang senang, suara panggilan nya juga sangat kaku.
Sedang Nyo Ko dan Siaoliong-li bergandengan tangan berdiri rada jauh, melihat Kwe Yang dalam pondongan Siao-liong-li itu, ia lantas berkata: "Liong-ji kembalikan saja, anak ini pada ibunya.
" Siao-liong li setuju, ia menciumi dulu pipi mungil anak bayi itu, lalu mendekati Ui Yong dan berkatal "Kwe hujin, terimalah anakmu ini.
" Dengan girang Ui Yong menerimanya.
Sejak dilahirkan baru sekarang Kwe Yang berada dalam pangkuan sang ibu, sungguh rasa girang Ui Yong sukar dilukiskan.
"Nona Kwe," dengan suara lantang Nyo Ko berkata kepada Kwe Hu, "itu dia, adikmu dalam keadaan sehat walafiat tanpa kurang, sesuatu apapun sama sekali aku tidak menggunakannya untuk menukar obat bagiku.
" "lbuku datang dengan sendirinya kau tidak berani," jawab Kwe Hu dengan gusar, "Kalau kau tidak bermaksud begitu, untuk apa kau membawa lari adikku ke sini?" Kalau menurut watak Nyo Ko biasanya tentu kontan dia balas mengejeknya, tapi beberapa bulan terakhir ini dia telah banyak mengalami gemblengan lahir batin, pertengkaran mulut begitu, sudah tidak menarik baginya, maka ia hanya tersenyum tawar saja, lalu menyingkir dengan menggandeng tangan Siao-Iiong li.
Bu-siang memandang sekejap kearah Kwe Yang lalu berkata kepada Thia Eng: "inilah puteri bungsu Sucimu" Semoga setelah dia besar kelak tidak terlalu galak dan warok!" Sudah tentu Kwe Hu dapat merasakan ucapan yang menyindirnya itu, segera ia menanggapi: "Adik-ku akan galak dan warok atau tidak, sangkut paut apa dengan kau" Apa maksud ucapanmu ini?" "Aku tidak bicara dengan kau," jawab Bu-siang.
"Orang jahat dan galak, setiap orang di dunia ini boleh ikut urus, mengapa tiada sangkut paut denganku.
" Jiwa Bu-siang pernah diselamatkan Nyo Ko dalam lubuk hati nona itu hanya anak muda itulah yang selalu dipikirkan olehnya, misalnya waktu sama2 terancam bahaya, Bu-siang rela menyerahkan setengah potong saputangan wasiat kepadanya, itulah pertanda dia rela mengorbankan jiwa sendiri, demi keselamatan Nyo Ko.
Kini mendengar anak muda itu dikutungi oleh Kwe Hu, tentu saja ia ikut sakit hati dan gusar pula.
Wataknya memang tidak sabaran seperti Thia Eng, meski di depan orang banyak iapun tidak dapat menahan perasaannya itu.
Begitulah dengan murka Kwe Hu lantas balas mendamprat: "Keparat! Kau perempuan pincang.
. . " "Hu-ji! jangan kurang ajar!" bentak Ui Yong cepat.
Pada saat itulah tiba2 terdengar suara orang menjerit di sebelah sana, semua orang lantas memandang ke sana, tertampaklah di tengah lingkaran semak2 bunga cinta itu Li Bok-chiu mengangkat tubuh Ang Leng-po, jeritan itu adalah suara Ang Leng-po yang ketakutan itu.
Rupanya It-teng, Ui Yong, Thia Eng dan lain2 asyik bercengkerama sehingga melupakan Li Bok-chiu dan muridnya itu.
"Celaka, Suhu hendak menggunakan Suci sebagai batu loncatan!" seru Bu-siang kuatir.
Sejak kecil dia tinggal bersama Li Bokchiu, maka ia cukup kenal watak sang guru yang keji dan ganas itu, Biarpun Ang Leng-po merupakan jatuhnya orang yang paling dekat dengan dia, tapi kalau terancam bahaya, sang guru itu tidak segan2 menerbitkan jiwa muridnya demi keselamatannya sendiri Selagi semua crang melengak kaget, tertampak Li Bok-chiu sedang melemparkan Ang Leng-po ke semak2 bunga cinta yang berduri itu, menyusul ia sendiri lantas melompat ke sana, sekali kakinya menutul tubuh Leng-po.
serentak dia melompat pula sekuatnya ke depan sambil tangan menarik Ang Leng-po dan dilemparkan lagi, lalu digunakan lagi sebagai batu loncatan, dengan begitu tiga kali lompatan saja dia akan dapat keluar dari kurungan semak2 bunga itu.
Dia juga kuatir akan dicegat Ui Yong dan rornbongannya, maka arah yang dia ambil adalah berlawanan dengan tempat berdiri rombongan Ui Yong itu.
Di luar dugaan, ketika untuk kedua kalinya dia hendak melompat lagi ke depan, mendadak Ang Leng-po berteriak keras2 dan ikut melompat juga ke atas terus merangkul erat2 paha kiri Li Bok-chiu seketika tubuh Li Bok-chiu tertarik ke bawah, dalam keadaan terapung tiada jalan lain bagi Li Bok-chiu kecuali mengayun kakinya yang lain, "bluk", dengan keras dada Ang Lengpo tertendang isi perutnya tergetar hancur dan binasa seketika.
Namun begitu tangan Ang Leng-po masih merangkul se-kencang2nya sehingga kedua orang sama terbanting jatuh ke semak2 bunga, walaupun tempatnya hanya dua-tiga kaki saja dari tepi semak2 namun selisih jarak sekian itu pun telah membikin Li Bok-chiu ikut merasakan siksaan be-ribu2 duri bunga yang berbisa itu.
Perubahan itu mula2 sama sekali tak terduga oleh siapapun dan berakhir secara mengerikan pula, semua orang menyaksikan dengan melongo dan berdebar.
Dalam pada itu Li Bok-chiu telah berjongkok dan mementang tangan Ang Leng-po yang masih merangkul erat pada kakinya itu, dilihatnya muridnya itu sudah mati, namun matanya tetap melotot penuh benci dan dendam.
Li Bok-chiu tahu dirinya telah keracunan bunga berduri itu, untuk itu harus mencari obat penawarnya di lembah ini.
Selagi dia hendak melangkah pergi, tiba2 terdengar Ui Yong berseru padanya: "Li-cici, coba kemari, ingin kukatakan sesuatu padamu.
". . Dengan rada sangsi Li Bok-chiu mendekati Ui Yong, lalu bertanya: "Ada apa?" Diam2 ia berharap maksud Ui Yong memanggilnya itu hendak memberi obat atau paling tidak akan memberi petunjuk ke mana harus mencari obat penawar.
Maka berkatalah Ui Yong, "Untuk keluar dari kurungan semak2 bunga itu sebenarnya kau tidak perlu mengorbankan jiwa muridmu.
" "Hm, jadi kau hendak mengguruiku?" jengek Li Bok chiu.
"Mana aku berani," jawab Ui Yong dengan tertawa, "Aku cuma ingin mengajarkan sesuatu akal padamu, mestinya cukup kau menggali tanah dan membungkusnya dengan bajumu menjadi dua karung, lalu dilemparkan ke semak2 bunga itu, bukankah akan merupakan batu loncatan yang sangat bagus" Kan kau dapat keluar dengan baik dan jiwa muridmu juga tidak perlu melayang.
" Muka Li Bok-cbio menjadi merah dan lain saat berubah pucat pula penuh rasa menyesal.
Apa yang diucapkan Ui Yong itu sebenarnya tidak sulit dilakukan soalnya dia terburu napsu dan tidak memikirkannya tadi sehingga satunya orang yang paling dekat telah menjadi korban dan ia sendiripun belum terhindar dari bencana, Maka dengan gemas ia menjawab: "Sudah tertambat kalau dibicarakan sekarang!" "Ya, memang benar sudah terlambat.
" ujar Ui Yong, "Padahal terkena racun bunga itu atau tidak bagimu tiada bedanya.
" Dengan gusar Li Bokchiu mendelik pada Ui Yong karena tidak paham apa arti ucapan itu.
Sebenarnya sudah terang kau terkena racun patah hatimu, akibatnya kau berbuat sesuka hatimu, mencelakai orang lain dan bikin susah sendiri puIa, sampai saat ini memang sudah sangat tertambat bagimu," kata Ui Yong dengan gegetun.
Serentak timbul pula rasa angkuh Li Bok-chiu, jawabnya: " jiwa muridku itu akulah yang menyelamatkannya, kalau aku tidak membesarkan dia, mungkin sejak dulu dia sudah mati, jadi dia hidup dariku dan mati pula bagiku, ini kan maha adil.
" "Setiap orang tentu terlahir dari ibu dan ayah, sekalipun ayah-ibu juga takkan membunuh putra putri sendiri, apalagi orang luar ?" kata Ui Yong.
Segera Bu Siu-bun melangkah maju dengan pedang terhunus dan membentakt "Li Bok-chiu kejahatanmu sudah kelewat takaran, ajal mu sudah sampai sekarang, maka terima saja kematianmu dan tidak perlu banyak bacot.
" Menyusul Bu Tun-si, Bu Sam-thong serta Yalu Ce, Yalu Yan, Wanyan Peng dan Kwe Hu berenam serentak juga mendesak maju dari kanan dan kiri.
Sorot mata Li Bok-chiu menyapu sekeliling tawarnya itu, jelas semua orang penuh rasa benci padanya, ia pikir melulu seorang Ui Yong saja tukar dilawan apa lagi masih ada Nyo Ko dan Siaoliong-li.
Dilihatnya Liok Bu-siang dan Thia Eng juga lantas melangkah maju dengan senjata masing2.
"Orang she Li, secara keji kau telah membunuh segenap keluargaku, kalau sekarang hanya jiwamu sendiri saja yang membayar utangmu itu kan masih terlalu murah bagimu?" seru Liok Busiang.
"Kalau bicara kejahatanmu melulu caramu membunuh Ang-suci barusan, kematianmu saja tidak cukup untuk menebas dosamu.
" Dalam keadaan demikian ternyata Kwe Hu masih sempat melirik pada Liok Bu-siang dan mengejeknya: "Hm, itulah perbuatan gurumu yang baik itu!," Bu-siang balas melotot, jawabnya: "Segala perbuatan harus di tanggung sendiri dosanya, yang benar jangan kau meniru tingkah-lakunya.
" Li Bok-chiu berseru: "Siausumoay, apakah sama sekali kau tidak memikirkan hubungan baik saudara seperguruan lagi?" Selama hidupnya malang melintang di dunia Kangouw tampa kenal belas kasihan kepada siapa-pun, sekarang dia sendiri malah memohon kebaikan hati Siao liong-li, nyata karena dia merasa terdesak dan keadaan sangat gawat bagi nya, selain itu mau-tak-mau hatinya merasa menyesal juga setelah membinasakan Ang Leng-po tadi sehingga membuatnya patah semangat.
Pendekar Latah 2 Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial Manusia Harimau Karya S B. Chandra Tusuk Kondai Pusaka 8
^