Pencarian

Kembalinya Pendekar Rajawali 39

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 39


" Pada saat itulah dari balik pohon sana muncul seorang dan berkata, "Syukurlah luka Su-goko tidak terlalu parah.
Tindak-tanduk perempuan itu memang semberono dan cerohoh, ketahuilah bahwa lenganku ini justeru ditebas kutung olehnya.
" Melihat yang bicara itu adalah Nyo Ko, semua orang sama melengak dan tak dapat bicara lagi, setiap orang sama sangsi dan ingin tahu, tapi tidak berani bertanya.
Begitulah Kwe Hu telah membawa Kwe Yang kembali ke tempat penyeberangan, sementara itu air sungai Kuning yang membeku itu sudah cair, kakak beradik bertiga dapat menyeberang dan pulang ke Siangyang, sepanjang jalan Kwe Hu masih terus mengomeli Kwe Yang yang dianggap suka berkeluyuran dengan orang2 yang tidak keruan.
Tapi Kwe Yang berlagak tuli saja dan tidak menggubris omelan sang Taci, mengenai pertemuannya dengan Nyo Ko juga sama sekali tak disinggungnya.
Setiba di Sianyang, per-tama2 Kwe Hu lantas melapor kepada ayah-bundanya bahwa Kwe Yang dalam perjalanan tidak mau tunduk padanya dan banyak menimbulkan keonaran, lalu iapun menceritakan apa yang terjadi selama Kwe Yang menghilang dua hari dua malam, tentu saja ia bumbui-bumbui pula, tambahi kecap dan imbuhi sambel.
Kwe Cing sendiri sedang pusing kepala oleh situasi militer beberapa hari terakhir ini, maka ia tambah marah demi mendengar laporan Kwe Hu itu, segera ia bertanya: "Yang-ji, benar tidak laporan cici ini?" Kwe Yang mengikik tawa, katanya: "Ah, cici memang suka geger, aku ikut seorang teman pergi melihat keramaian, kenapa sih mesti diributkan?" "Teman apa" Siapa namanya?" taaya Kwe-Cing.
Kwe Yang melelet lidah, lalu menjawab: "Ah, lupa kutanyai namanya, cuma kudengar orang memanggil dia Tea-thau-kui begitu.
" "Seperti orang dari "Gerombolan Setan Se-san," tukas Kwe Hu.
Kwe Cing juga dengar nama "Gerombolan Setan Se-san" itu, meski tak dapat dikatakan gerombolan penjahat, tapi juga bukan kaum ksatria yang baik, maka ia tambah marah demi mendengar anak perempuan itu bergaul dengan orang2 macam begitu, Cuma perangainya memang sabar dan pendiam, biarpun marah ia hanya mendengus geram saja dan tidak berkata lagi, sedangkan Ui Yong lantas mengomeli Kwe Yang.
Malamnya Kwe Cing suami-isteri mengadakan perjamuan keluarga untuk menghibur pulangnya Kwe Hu dan Kwe Boh-Io, tapi sengaja tidak menyediakan tempat duduk bagi Kwe Yang.
Yalu Ce berusaha membujuk kedua mertuanya, tapi malah diomeli Kwe Cing agar sebagai kakak ipar seharusnya ikut mendidik adiknya, Karena itulah terpaksa Yalu Ce tak berani mengusik lagi.
Kiranya Kwe Cing dan Ui Yong merasa pernah terlalu memanjakan Kwe Hu sehingga banyak menimbulkan petaka, maka sekarang caranya mendidik Kwe Yang dan Kwe Boh-lo telah berubah sama sekali.
Sejak kecil diawasi dengan keras, sifat Kwe Boh-lo pendiam seperti sang ayah sehingga tak menjadi soal, tapi Kwe Yang sejak kecil sudah suka berbuat hal2 yang aneh dan sukar di-jajaki jalan pikirannya, lahirnya ia menurut, tapi di dalam hati ia memberontak Ketika ia diberitahu oleh pelayan bahwa Tuan dan Nyonya mengadakan perjamuan keluarga dan Ji siocia (puteri kedua) sengaja tidak diundang, keruan Kwe Yang menjadi marah, bahkan ia lantas mogok makan sekalian selama dua hari.
Sampai hari ketiga, Ui Yong jadi kasihan sendiri, di luar sang suami ia membuat beberapa macam daharan lezat, disertai menghibur dan membujuk barulah anak perempuan bungsu itu mau makan dan gembira lagi.
Tapi dengan demikian, maksud orang tua mendidik anaknya dengan keras kembali luntur dan sia2 pula.
Sementara itu pasukan Mongol sudah berhasil menyerbu ke negeri Tayli di daerah Hunlam (Yu-nan), sesudah menduduki kerajaan kecil selatan itu, pasukan induk beralih pula ke utara, sedangkan pasukan Mongol yang lain dari utara juga menerobos ke selatan sehingga dua induk pasukan telah bergabung hendak menggempur Siangyang untuk akhirnya melalap kerajaan Song sekaligus.
Waktu pasukan Mongol mulai menyerbu Tayli, Kwe Cing menyebarKan Eng hiong-tiap (kartu undangan para ksatria) agar para pahlawan berkumpul di Siangyang untuk merundingkan siasat menghadapi musuh, keberangkatan Kwe Hu dan kedua adiknya ke utara itu adalah mengemban tugas yang diberikan sang ayah itu.
Tak terduga gerak cepat pasukan Mongol ternyata luar biasa, dalam waktu singkat Tayli sudah ditumpas, sebab itulah ketika para pahlawan mulai berkumpul di Siangyang, sementara itu kekuatan pasukan Mongol juga mulai mendekati kota itu.
Eng-hiong-tay hwe atau musyawarah besar para pahlawan ditetapkan pada tanggal 15 bulan sepuluh dan direncanakan berlangsung selama 10 hari.
Hari ini baru tanggal 13, jadi masih dua hari sebelum hari rapat, sementara itu para pahlawan dan ksatria dari segenap penjuru ber-bondong2 telah tiba di Siangyang.
Kwe Cing dan Ui Yong sibuk mengurusi tugas pertahanan, maka urusan menyambut tamu telah diserahkan kepada Loh Yu-ka dan Yalu Ce.
Di antara tamu2 yang sudah tiba itu ada Cu Cu-liu, Su-sui Hi-un dan Bu Sam-thong, kedua Bu cilik bersama Yalu Yan dan Wanyan Peng juga sudah datang, begitu pula Hui-thian-pian-hok Kwa Tin-ok.
Pejabat ketua Coan-cin-kau waktu itu, Li Ci siang, dengan 16 murid utama Coan-cin-pay juga sudah tiba, begitu pula para tertua Kay-pang serta tokoh2 pengemis yang berkantong tujuh dan delapan.
Seketika kota Siangyang penuh dengan jago2 silat terkemuka.
Banyak di antara tokoh2 persilatan yang jarang muncul di dunia Kangouw kini juga hadir mengingat pertemuan Siangyang sekali ini menyangkut nasib negara dan bangsa, pula mereka kagum pada budi pekerti Kwe Cing suami isteri, maka hampir semua orang yang menerima kartu undangan pasti hadir.
Malam hari tanggal 13 bulan sepuluh, Kwe Cing suami-isteri mengadakan perjamuan kecil pribadi di di kediamannya dan mengundang Cu Cu-liu, Bu Sam-thong dan beberapa kenalan lama untuk beramahtamah.
Loh Yu-ka juga diundang, tapi sampai malam ketua Pangcu itu belum tampak hadir, semua mengira dia sibuk oleh pekerjaan sehingga tidak menyangka sesuatu.
Tengah mereka bersuka ria dan berbincang macam2 kejadian Bu-lim selama belasan tahun terakhir ini, Yalu Ce, Kwe Hu dan anak2 muda yang bersatu meja tersendiri juga asyik bercengkerama, tiba2 datang seorang murid Kay-pang berkantong delapan dan ber-bisik2 kepada Ui Yong, seketika air muka Ui Yong tampak berubah dan berkata dengan suara gemetar: "Bisa terjadi demikian?" Semua orang sama berpaling memandang nyonya rumah itu.
Terdengar Ui Yong berkata pula kepada anggota Kay-pang itu: "Yang hadir di sini adalah orang kita sendiri, boleh kau bicara saja, bagaimana awal mula kejadian ini?" Segera anggota Kay-pang itu menutur.
"Lewat lohor tadi, Loh-pangcu membawa tujuh murid kantong tujuh patroli ke utara kota, siapa tahu sampai malam tiba beliau belum nampak pulang, Tecu menjadi kuatir dan bersama teman2 lain terbagi dalam beberapa kelompok keluar kota untuk mencarinya, akhirnya di kelenteng Yo-tayhu di kaki gunung Hian diketemukan jenazah Loh-pangcu.
" Mendengar kata2 "jenazah", tanpa terasa semua orang sama menjerit kaget.
Sampai di sini, suara anggota Kay-paog itupun ter-sendat2.
Maklumlah meski ilmu silat Loh Yu-ka tidak terlalu tinggi, tapi orangnya berbudi dan bijaksana sehingga mendapat dukungan luas di kalangan anggota.
Murid Kay-pang tadi melanjutkan penuturannya: "Kedua murid tujuh kantong yang mengiringi pangcu itupun menggeletak di samping beliau, seorang sudah tewas yang lain belum putus napasnya sehingga sempat memberi keterangan bahwa mereka kepergok pangeran MongoI yang bernama Hotu.
Pangcu yang kena sergap lebih dulu, kedua murid kantong tujuh itu bertempur mati2an dan akhirnya juga dicelakainya.
" "Hehe, jadi Hotu, Hotu!" demikian gumam Kwe Cing saking menahan gusarnya, ia jadi menyesal dahulu telah memberi ampun kepada pangeran Mongol itu di Cong-lam-san, tahu begini tentu waktu itu sudah dibinasakan.
"Apakah Hotu itu meninggalkan ucapan apa?" tanya Ui Yong.
"Tecu tidak berani omong," kata anggota Kay-pang itu.
"Kenapa lidak berani omong," tukas Ui Yong.
"Tentunya dia bilang supaya Kwe Cing disuruh lekas menyerah kepada pihak mongol, kalau tidak, maka contohnya ialah Loh Yu-ka itu, begitu bukan?" "Hu jin sungguh hebat, memang begitulah ucapan keparat Hotu itu," jawab si anggota Kay-pang.
Be ramai2 semua orang lantas pergi memeriksa jenazah Loh Yu-ka, terlihat punggungnya terkena sebatang tulang2 kipas buatan dari baja, tulang iganya juga patah, jelas lebih dulu Hotu menyergapnya dengan senjata rahasia, habis itu menghantamnya pula dengan tenaga dahsyat hingga binasa, semua orang menjadi gusar dan berduka pula menyaksikan itu.
Saat itu di Siangyang berkumpul be-ribu2 anggota Kay-pang, maka suasana menjadi sedih ketika kabar tewasnya Loh Yu-ka disiarkan.
Se-hari2nya Kwe Yang sangat akrab dengan Loh Yu-ka, sering ia menyeret orang tua itu diajak ke tempat sepi seperti kelenteng Yo-tayhu itu untuk minum arak sambil merecoki orang itu menceritakan kejadian2 menarik di dunia Kangouw, kalau sudah begitu, maka acapkali berlangsung hingga hampir sehari suntuk dan kedua orang tua dan muda itu sama2 gembiralah.
Kelenteng Yo-tayhu itu tidak jauh di luar kota, ketika mendengar kawan tua itu meninggal di kelenteng itu, Kwe Yang ikut berduka, segera ia membawa satu Holo (buii2) berisi arak penuh serta menjinjing sebuah keranjang sayur, seperti biasanya ia terus menuju ke kelenteng itu.
Saat itu sudah hampir tengah malam, Kwe Yang mengeluarkan dua pasang sumpit dari keranjangnya dan diatur secara berhadapan, dituangnya dua cawan arak pula, lalu berkata: "Paman Loh, setengah bulan yang lalu kita baru saja makan-minum dan mengobrol di sini, siapa duga sekarang engkau telah mengalami malapetaka, apabila arwahmu mengetahui, silakan kemari minum arak lagi bersamaku ini.
" Habis berkata, ia siram secawan arak itu di lantai, ia sendiri lantas menenggak habis secawan.
Teringat kepada teman karib yang kini telah tiada itu, ia menjadi berduka katanya sambil mencucurkan air mata: "Paman Loh, marilah kita habiskan pula secawan!" - ia menyiram lagi secawan arak di lantai dan ia sendiri kembali menghabiskan secawan.
Kemampuan minum arak Kwe Yang sebenarnya sedikit sekali, cuma sifatnya yang terbuka dan suka bergaul dengan orang2 Kangouw, maka iapun ikut2an minum arak dan bicara seperti orang dewasa.
Kini setelah menghabiskan dua cawan, mau-tak-mau mukanya menjadi merah, kepala rada pening.
Dalam kegelapan tiba2 seperti ada bayangan orang berkelebat di luar pintu kelenteng sana, ia terkejut dan bergirang, disangkanya arwah Loh Yu-ka benar2 telah datang, segera ia berseru: "Apakah paman Loh" marilah kita minum dan mengobrol" Hatinya ber-debar2, tapi juga sangat ingin melihat arwah halus Loh Yu ka.
Tapi segera didengarnya seorang menegurnya: "Tengah malam buta kau main gila apa di sini" ibu mencari kau, lekas pulang!" secepat itu pula seorang lantas menyelinap masuk, kiranya Kwe Hu adanya.
Kwe Yang sangat kecewa, katanya: "Aku sedang memanggil arwah paman Loh untuk bertemu di sini, dengan gangguanmu ini mana dia mau datang lagi" Cici, silakan kau pulang dahulu, segera aku menyusul.
" "Kembali kau mengaco belo lagi, dalam benakmu yang kecil itu selalu berpikir hal2 yang tidak karuan.
Mana bisa arwah Loh Yu-ka mau menemui kau?" "Biasanya dia sangat akrab denganku, apalagi sudah kusanggupi akan memberitahukan sesuatu padanya sudah kujanjikan akan kuberitahu pada hari ulang tahunku.
Siapa tahu, dia tidak dapat menunggu lagi," sampai di sini, anak dara itu menjadi berduka lagi.
"Sekejap saja kau lantas menghilang, segera ibu menduga kau datang ke sini dan ternyata tepat dugaan ibu," kata Kwe Hu.
"Hm, se-nakal2nya monyet kecil macammu ini masakah dapat mengelabuhi perhitungan ibu" Kau benar2 teramat bandel, ibu sangat marah, coba kalau Hotu itu bersembunyi di sekitar sini, sedangkan tengah malam buta kau sendirian berada disini, kan sangat berbahaya?" Kwe Yang menghela napas, katanya "Aku terkenang kepada paman Loh sehingga tidak memikirkan bahaya lagi, O, Cici yang baik, temanilah duduk sebentar di sini, boleh jadi arwah paman Loh akan datang benar2 menemui aku.
Cuma engkau jangan bersuara agar tidak mengejutkan dia.
" Biasanya Kwe Hu kurang menghormati Loh Yu-ka, menurut anggapannya bisanya Loh Yu-ka diangkat menjadi Pangcu adalah karena dukungan ibunya, maka ia pikir kalau betul arwah Loh Yu-ka akan datang juga tidak perlu ditakuti, iapun tahu watak kepala batu adiknya itu, sekali sudah menyatakan hendak menunggu di situ, maka sukar-lah disuruhnya pulang begitu saja kecuali kalau ayah-ibu datang sendiri dan mengomelinya.
Maka ia lantas berduduk, katanya dengan gegetun: "Ji-moay, usiamu makin menanjak, tampaknya kau semakin ke-kanak2an.
Tahun ini kau sudah 16 tahun, selang dua-tiga tahun lagi juga akan punya mertua, memangnya sesudah di rumah mertua kau juga akan angin2an seperti ini?" "Memangnya apa bedanya?" ujar Kwe Yang.
"Setelah kau menikah dengan Cihu (kakak ipar, suami kakak), bukankah kaupun tetap bebas merdeka seperti waktu masih gadis?" "He, mana boleh kau membandingkan Cihu-mu dengan orang Iain?" jawab Kwe Hu dengan bangga, "Dia adalah ksatria sejati jaman kini, pengetahuan dan pandangannya sudah tentu jauh lebih daripada orang lain, dengan sendirinya dia takkan mengekang kebebasanku.
Bakat seperti Cihumu itu jasanya jarang ada bandingannya di antara jago2 angkatan muda sekarang.
Kelak kalau bakal suamimu ada setengah kepandaiannya saja, kukira ayah-ibu sudah cukup merasa puas.
" Mendengar ucapan sang Taci yang sombong itu, Kwe Yang balas mcncibir, katanya: "Sudah tentu Cihu adalah tokoh yang hebat, cuma aku tidak percaya bahwa di dunia ini tiada orang lain yang melebihi dia.
" "BoIeh lihat saja nanti kalau kau tidak percaya" ujar Kwe Hu.
"Aku justeru mempunyai seorang kenalan yaog berpuluh kali lebih hebat daripada Cihu," kata Kwe Yang.
Keruan Kwe Hu menjadi gusar, teriaknya: "Siapa dia" Hayo katakan lekas!" "Untuk apa kukatakan" Asalkan aku sendiri tahu di dalam hati saja, kan cukup?" jawab Kwe Yang.
"Huh, apakah kau maksudkan Li-samte" atau Ong Kiam bu" Atau Tio Si-kong?" jengek Kwe Hu-Yang disebutnya itu adalah beberapa ksatria muda yang ganteng kenalan mereka.
Namun Kwe Yang menggeleng, katanya: "Bukan, bukan! Memadai Cihu saja mereka tidak dapat, mana bisa dikatakan lebih hebat berpuluh kali daripada nya?" "Habis siapa?" Kwe Hu menegas-, "Ya, kecuali Gwakong kita, atau ayah dan ibu atau paman Cu Cu-liu dan beberapa ksatria angkatan tua," "Tidak, orang yang kumaksud itu justeru lebih muda daripada Cihu, wajahnya juga lebih cakap, sedangkan ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripada Cihu, hakikatnya bedanya seperti langit dan bumi, sama sekali tak dapat dibandingkan.
. . . " Setiap kalimat diucapkan Kwe Yang, setiap kali pula disambut oleh Kwe Hu dengan mencemoohkan: "Cis, cis, cis!" Tapi Kwe Yang tidak peduli, ia menyambung pula: "Jika kau tidak mau percaya, ya terserah padamu, Pokoknya orang itu sangat baik budi, siapapun yang ada kesukaran, tak peduli kenal atau tidak selalu dia suka memberi pertolongan.
" Bicara sampai akhirnya, wajahnya yang cantik itu tampak memandang kesima ke depan seperti mengenangkan sesuatu yang sukar dilupakannya.
Dengan gusar Kwe Hu lantas berkata: "Dalam benakmu yang kecil ini selalu berkhayal saja.
Baik-lah, setelah matinya Loh Yu-ka, jabatan Pangcu menjadi lowong, tadi ibu mengatakan, mumpung para pahlawan berkumpul di sini, maka kesempatan ini sebaiknya digunakan mengadakan pemilihan Pangcu.
Biarlah orang banyak ikut bertanding, siapa yang berkepandaian paling tinggi, dia yang diangkat menjadi Pangcu, dengan begitu persengketaan antara Ut-ih-pay (aliran baju kotor) dan Ceng-ih-pay (aliran baju bersih) dalam Kaypang dapat dihindarkan.
Kalau orang yang kau anggap hebat itu benar2 lihay, nah boleh kau suruh dia maju dan bertanding dengan Cihumu untuk memperebutkan kedudukan Pangcu.
" "Hihi, belum tentu dia kepengin menjadi Pangcu kaum jembel begitu," ujar Kwe Yang dengan tertawa.
"Hm, kau berani meremehkan kedudukan Pang-cu?" semprot Kwe Hu dengan marah.
"Dahulu kedudukan itu pernah di jabat Ang Jit-kong, ibu kita juga pernah menjabatnya, masakah kau berani menghina Ang- lokongkong dan ibu?" "Baik aku pernah menghina beliau2 itu, kan kau sendiri yang bilang" Kau sendiripun tahu aku sangat akrab dengan paman Loh dan bergaul baik dengan kaum jembel lain," "Baiklah, boleh kau suruh pahlawanmu itu bertanding dengan Cihumu," kata Kwe Hu pula.
"Sementara ini para ksatria sama berkumpul di Siangyang, lihat saja nanti, siapa pahlawan dan siapa kerbau, sekali gebrak segera akan ketahuan.
" "Cici, bicaramu memang suka melamur tak genah, bilakah kubilang Cihu adalah kerbau" Kalau dia kerbau, bukankah engkaupun menjadi hewan" Padahal kita dilahirkan dari satu ibu, kan aku ikut kurang terhormat?" Kwe Hu menjadi serba runyam, ya dongkol dan geli, ia lantas berbangkit dan berkata: "Aku tidak ada waktu buat ribut dengan kau.
Hayolah pulang, jangan2 nanti aku ikut didamprat" Kwe Yang bersifat lincah dan pintar bicara, biasanya memang suka adu mulut dengan sang Ta-ci, segera ia ber-olok2 pula: "Ai, engkau kan nyonya muda yang sudah menikah, biasanya ayah dan ibu juga paling sayang padamu, engkau juga isteri calon pangcu, siapakah gerangannya yang sudah makan "hati harimau sehingga berani mendamperat kau?" Mendengar adiknya menyebutnya "isteri calon Pangcu", hati Kwe Hu menjadi senang, katanya: "Sekian banyak kaum ksatria berkumpul di sini, siapa orangnya yang tidak ingin menjadi Pangcu" Cihumu juga belum tentu akan terpilih, sebaiknya kau jangan bicara muluk2 dahulu agar tidak ditertawakan orang.
" Kwe Yang termangu2 sejenak pula, dilihatnya bulan setengah bulat itu menghiasi cakrawala yang kelam, suasana sunyi sepi, katanya kemudian dengan gegetun: "Tampaknya arwah paman Loh takkan datang, Cici, mengapa begini cepat mengangkat Pangcu" pengganti paman Loh kan dapat ditunda sementara waktu agar kita dapat lebih lama mengenangkan jasa beliau.
" "Kembali kau bicara seperti anak kecil," ujar Kwe Hu "Kay-pang adalah organisasi terbesar di dunia Kangouw, naga tanpa kepala, mana boleh jadi?" "Ibu bilang kapan akan diadakan pemilihan Pangcu?" tanya Kwe Hu.
"Tanggal 15 adalah hari pembukaan Eng-hiong-tay-hwe dengan acara utama bagaimana menghimpun para pahlawan dari segenap penjuru untuk bersama2 melawan Mongol.
Musyawarah itu bisa berlangsung hingga lima enam hari atau bisa juga 8-9 hari.
Jadi pemilihan ketua Kay-pang itu kukira baru dapat diselenggarakan pada tanggal 23 atau 24 nanti.
" "Ahhhh!" Kwe Yang bersuara tertahan "Ada apa?" tanya Kwe Hu.
"Tidak apa2," jawab Kwe Yang, "Soalnya tanggal 24 adalah bertepatan dengan hari ulang tahun-ku, Karena kesibukan kalian dalam pemilihan pangcu itu, tentunya ibu menjadi tidak sempat merayakan hari ulang tahunku nanti.
" "Hahahaha!" Kwe Hu bergelak tertawa, "Cuma hari ulang tahun anak dara seperti kau ini memangnya begitu penting" Mana boleh kau anggap urusan penting pemilihan pangcu itu justeru mengganggu hari ulang tahunmu" Haha, kalau didengar orang bisa jadi gigi orang akan rontok menertawakanmu, Ai, mungkin di dunia ini hanya kau saja yang selalu ingat kepada urusan tetek bengek begitu?" Dengan muka merah padam Kwe Yang menjawab: "Umpama ayah tidak ingat ibu pasti ingat.
kau bilang urusan tetek bengek, aku justeru bilang ini urusan penting, Sekali ini ulang tahunku genap berusia 16.
kau tahu tidak?" Kwe Hu tambah geli dan ber-oIok2: "Ya, ya! Pada hari itu nanti, berpuluh ksatria dan pahlawan yang berada di Siangyang ini akan hadir memberi selamat kepada Kwe-jisiocia kita, setiap orang akan menyumbangkan kado padamu, sebab tahun ini Kwe-jisocia kita genap berusia 16 dan bukan lagi anak dara melainkan sudah nona besar, Hahahaha!" "Orang lain mungkin takkan ambil pusing, tapi paling sedikit ada seorang pahlawan besar pasti ingat kepada hari ulang tahunku, dia sudah berjanji akan datang menemui aku," kata Kwe Yang dengan rasa bangga.
"Ah, pahlawan besar apakah" Ya, tahulah aku, tentu pahlawan yang jauh lebih hebat daripada Cihumu itu," ujar Kwe Hu.
"lngin kukatakan padamu, pertama, di dunia ini hakikatnya tiada tokoh nomor satu begituan, hanya benakmu sendiri yang berkhayal seperti itu.
Kedua, seumpama ada orang begitu, betapa banyak urusan penting yang harus dilakukannya, mana dia mau datang memberi selamat kepada anak dara seperti kau ini.
Kecuali dia juga menghadiri Eng-hiong-tay-hwe, kalau tidak masakah dia datang ke Siangyang ini.
" Hampir2 menangis Kwe Yang oleh olok2 sang taci, sambil banting2 kaki ia berseru: "Dia sudah berjanji padaku, dia sudah berjanji.
Dia takkan menghadiri Eng-hiong tay-hwe dan juga tak ikut berebut pangcu segala.
" "Dia bukan Enghiong, dengan sendirinya ayah takkan mengirim Eng-hiong-tiap padanya," kata Kwe Hu.
"Sekalipun dia ingin menghadiri pertemuan besar ini kukira juga belum memenuhi syarat.
" Kwe Yang mengusap air matanya dengan sapu-tangan kecil, katanya.
"Jika begitu akupun takkan hadir pada pertemuan kalian itu, masa-bodoh kalian hendak mengangkat Pangcu segala, betapapun ramainya juga aku takkan meiihatnya.
" "Aduh, jika Kwe-jisiocia kita tidak hadir, lalu bagaimana jadinya Eng-hiong-tay-hwe itu nanti?" demikian Kwe Hu ber-olok2 pula.
"Yang terpilih menjadi Pangcu nanti juga kurang gemilang, mana boleh kau tidak hadir.
" Sambil menutupi kedua telinganya Kwe Yang terus berlari keluar kelenteng, Tapi mendadak bayangan berkelebat tahu2 diambang pintu kelentertg telah berdiri seorang dan mengalang jalan keluarnya, keruan Kwe Yang kaget, cepat ia melompat mundur sehingga tidak bertubrukan dengan pengadang-nya itu.
Di bawah cahaya bulan tertampak perawakan orang itu sangat jangkung, mukanya hitam, anehnya tubuh bagian atas ternyata sangat cekak, hanya bagian pinggang ke bawah yang teramat panjang.
Setelah diawasi lebih teliti baru tahu jelas, rupanya kedua kaki orang itu buntung, kedua ketiaknya di sanggah dengan sepasang tongkat yang panjangnya-hampir dua meter, karena itulah lengan celananya menjadi bsrgoyang-gontai di bagian bawah, orang pendek memakai egrang sehingga menjadi orang jangkung.
"He, kau, Nimo Singh!" seru Kwe Hu terkejut.
Kiranya orang ini memang betul Nimo Singh adanya.
Sekali ini raja Mongol memimpin sendiri pasukannya ke selatan, maka segenap jago silat benua barat dan Mongol telah dikerahkan, setiap orang sama berharap dapat memamerkan kemahirannya dalam pertempuran nanti untuk mendapatkan pahala dan kedudukan.
Meski kedua kaki Nimo Singh sudah buntung, tapi ilmu silatnya belum punah, selama gembleng belasan tahun itu, sepasang tongkat penyanggah tubuhnya itu dapat dimainkan terlebih lihay daripada sebelum buntung kakinya.
Sementara ini pasukan Mongol masih ratusan li di utara Siangyang, tapi para pengintai yang terdiri dari jago2 silat pilihan seperti Nimo Singh dan lain2 sudah tiba lebih dulu di sekitar Siangyang.
Malam ini maksudnya hendak menginap di kelentong Yo-tayhu ini tak terduga didengarnya percakapan Kwe Hu berdua, keruan ia menjadi kegirangan, ia tahu berhasilnya Siangyang dipertahankan sekian lama oleh kerajaan Song adalah berkat perjuangan Kwe Cing, kalau sekarang kedua puteri kesayangannya ini ditawan, andaikan tak dapat memaksa Kwe Cing menyerah, sedikitnya juga dapat mengacaukan semangatnya dan sungguh suatu jasa besar baginya bila dilaporkan kepada raja Mongol.
Karena itulah ia lantas menjawab: "Eh, nona Kwe, sungguh bagus daya ingatanmu, ternyata kau tidak pangling padaku, Baiklah, supaya tidak membikin susah kedua pihak, silakan kalian ikut padaku saja.
" Gusar dan kuatir pula Kwe Hu, ia tahu ilmu silat orang Hindu ini sangat lihay, sekalipun dirinya kakak beradik maju sekaligus juga bukan tandingannya.
Tanpa terasa ia melotot gusar pada Kwe Yang, pikirnya: "Semua ini gara2mu, coba cara bagaimana harus menghadapi bahaya di depan mata sekarang?" Sebaliknya Kwe Yang telah berkata pada Nimo Singh: "Eh, kenapa kedua kakimu itu begitu aneh" Sebelum buntung dahulu apakah juga sepanjang itu?" Nimo Singh hanya mendengus saja dan tidak menggubrisnya, tapi lantas berkata pula kepada Kwe Hu: "Kalian berjalan di depan, jangan sekali2 timbul pikiran hendak melarikan diri.
" - Nyata dia telah anggap kakak beradik itu sebagai tawanannya yang sudah berada dalam genggamannya.
Kwe Yang lantas berkata pula: "He, cara bi-caramu ini sungguh aneh, tengah malam buta kau suruh kami kakak beradik pergi ke mana?" "Jangan banyak bicara, lekas ikut pergi!" bentak Nimo Singh, ia kuatir kedatangan musuh yang kini banyak berkumpul Siangyang dan usahanya ini mungkin bisa gagal, maka ingin lekas2 pergi.
"Jimoay, si cebol ini adalah jagoan pihak Mongol, kepandaiannya cukup lihay, marilah kita mengerubutnya dari kanan dan kiri," bisik Kwe Hu kepada adiknya.
Habis barkata, "sret", segera ia melolos pedang terus menusuk ke pinggang musuh.
Kwe Yang tidak membawa senjata, ia lihat Nimo Singh tidak mempunyai kaki, bisanya berdiri adalah berkat tongkatnya saja, sekarang sang Taci menyerangnya, apakah dia bisa menangkisnya" Dasar hati Kwe Yang memang welas asih, maka ia berbalik berseru: "He, Cici, orang ini harus dikasihani jangan dilukai!" .
Tak terduga, belum lenyap suaranya, mendadak Nimo Singh menyangga tubuhnya dengan tongkat kiri, tongkat kanan terus menyabet, "trang" tongkat membentur pedang Kwe Hu dan memercikkan lelatu api dalam kegelapan, pedang Kwe Hu hampir saja terlepas dan cekalan.
Seketika Kwe Hu merasa tangannya kesemutan dan dada sakit Cepat ia menggeser ke samping dan menyerang pula, ia mainkan "Wat-li-kiam hoat" dan menempur Nimo Singh dengan sengit.
Wat li-kiam hoat atau ilmu pedang gadis cantik diajarkan Kwe Cing kepada puterinya ini untuk mengenang salah seorang gurunya dari Kanglam-jit-koay, yaitu Han Siao-eng yang tewas secara mengenaskan di Mongol.
ilmu pedang ini mengutamakan kelincahan dan kegesitan, akan tetapi karena terbatas oleh tenaga, betapapun Kwe Hu memang bukan tandingan Nimo Singh.
Melihat cara Nimo Singh menggunakan kedua tongkatnya dengan bergantian, yang satu digunakan menyangga tubuh, yang lain lantas digunakan menyerang, gerak geriknya cepat dan gesit tiada ubahnya seperti orang yang berkaki, apalagi kedua tongkatnya itu sangat panjang, dari atas menggempur ke bawah, daya serangannya menjadi lebih hebat, jelas sang Taci tidak sanggup melawannya, baru sekarang Kwe Yang merasa kuatir.
Sesungguhnya kepandaian Nimo Singh memang jauh lebih tinggi daripada Kwe Hu, hanya kepandaian nona itu adalah ajaran Kwe Cing dan Ui Yong yang lihay, maka dapatlah Kwe Hu bertahan sekian lama, tapi dirasakannya tekanan tongkat musuh semakin berat sehingga sukar ditangkis lagi.
Nampak kakaknya terdesak, tanpa pikir lagi Kwe Yang lantas menubruk maju dengan bertangan kosong.
"Kena!" mendadak Nimo Smgh berteriak tongkat kiri menutul lantai, tubuhnya mengapung ke atas, kedua tongkat digunakan sekaligus untuk menyerang, tongkat yang satu kena menutuk bahu kiri Kwe Yang, tongkat lain tepat menutuk Hiat to di dada Kwe Hu.
Kwe Yang tergeliat sempoyongan dan mundur beberapa tindak.
sedangkan Kwe Hu cukup berat ditutuk oleh tongkat lawan, ia tidak tahan dan "bluk", jatuh terduduk.
Gesit luar biasa Nimo Singh, cepat lagi keji, begitu tongkatnya menutul pelahan, segera ia mendesak maju ke depan Kwe Hu sambil menjengek: "Nah, sudah kukatakan ikut saja padaku.
. . " Di luar dugaannya, mendadak Kwe Hu sambil berseru: "Jimoay, lekas lari ke belakang!" Nimo Singh terkejut, sudah jelas Hiat-to di dada Kwe Hu kena ditutuknya dengan ujung tongkat, mengapa nona itu masih dapat bergerak dengan bebas" ia tidak tahu bahwa Kwe Hu memakai baju wasiat berduri landak (Nui-wi-kah) pemberian sang ibu, disangkanya keluarga Kwe punya ilmu kekebalan yang tidat mampu ditutuk dan tidak mempan dilukai.
Padahal setelah terkena tutukan tongkat tadi, meski tidak beralangan apa2, namun rasa sakitnya juga tidak kepalang, dan kurang leluasa lagi buat bergerak.
Tapi Kwe Yang lantas memainkan ilmu pukulan "Lok-eng-ciang-hoat" dan melindungi di belakang sang Taci sambil berseru: "Cici, engkau saja lari lebih dulu!" Namun sebelum mereka angkat kaki, tahu2 Nimo Singh melayang lewat di atas mereka dan mengadang di depan Kwe Hu sambil membentak "jangan bergerak!" Kwe Yang menjadi gusar dan mendamperat: "Tadinya kau harus dikasihani tak tahunya kau begini jahat!" "Hahaha!" Nimo Singh bergelak tertawa.
"Anak dara, rupanya kau belum kenal kelihayan kakek sebelum tahu rasa.
" Habis ini, kedua tongkatnya bergantian melangkah maju sehingga menerbitkan suara "tok-toktok" yang keras, dengan muka menyeringai selangkah demi selangkah ia mendesak maju.
Keruan Kwe Hu dan Kwe Yang melangkah mundur dengan ketakutan.
Selama hidup Kwe Yang belum pernah melihat wajah orang sebengis ini, dilihatnya kedua mata Nimo Singh melotot, mukanya beringas dan muIutnya menyeringai iblis, tampak pula taringnya yang runcing putih, se-akan2 drakula yang akan menerkam dan menggigit lehernya, saking takutnya ia menjerit ngeri.
Pada saat itulah tiba2 Kwe Yang mendengar suara halus berkata di belakangnya: "Jangan takut, serang dia dengan Am-gi (senjata rahasia)!" Dalam keadaan gawat begitu, tak berpikir lagi oleh Kwe Yang siapa yang bicara itu, segera ia meraba bajunya, tapi lantas disadarinya dia tidak membawa senjata apapun juga, katanya dengan cemas: "Aku tidak membawa Am-gi.
" Sementara itu Nimo Singh telah mendesak maju Iagi, ia menjadi bingung dan terpaksa kedua tangannya disodorkan ke depan dengan gaya membela diri.
Tak terduga baru saja tangannya menjulur ke depan, se-konyong2 dari belakang se-akan2 ditiup serangkum angin, lengannya terasa tergetar pelahan, sepasang gelang untiran emas yang dipakainya itu tahu2 terlepas dari pergelangan tangannya dan melayang ke depan, "tring-tring", sepasang gelang emas itu membentur kedua tangan Nimo Singh.
Tampaknya benturan itu sangat pelahan, tapi entah mengapa, Nimo Singh ternyata tidak sanggup memegangi lagi kedua tongkatnya dan mendadak ia terlempar keras ke belakang, "blang-blang" dua kali kedua tongkat membentur dinding dan membikin debu pasir sama rontok.
Karena tongkat penyangganya terlepas dari cekalan, tubuh Nimo Singh lantas jatuh, tapi si cebol ini memang lihay juga, baru punggungnya menempel lantai, sekali melejit, tahu2 ia meloncat lagi ke atas, sepuluh jarinya yang berkuku panjang tajam itu terus menubruk ke arah Kwe Yang.
Dalam kagetnya tanpa pikir Kwe Yang cabut tusuk kundai kemala hijau yang dipakainya itu terus disambitkan ke depan, terasa angin meniup pula lari belakangnya, tusuk kundai itu disurung cepat ke depan.
Melihat samberan tusuk kundai itu sangat aneh, cepat kedua telapak tangan Nimo Singh memapak ke depan, tapi terdengarlah dia bersuara tertahan, lalu jatuh terdukuk pula dan tidak bergerak lagi.
Kuatir musuh main akal licik, cepat Kwe Yang melompat ke samping Kwe Hu dan berseru dengan-suara gemetar: "Cici, le.
. . . lekas lari!" Tapi mereka melihat Nimo Singh tetap diam saja tanpa bergerak sedikitpun ditunggu lagi sejenak juga tetap begitu, Kwe Hu menjadi berani katanya: "Apakah dia kena penyakit angin duduk dan mati mendadak?" Segera ia membentak "Nimo Singh, kau main gila apa?" Kwe Hu pikir musuh sudah kehilangan tongkat dan tidak leluasa bergerak, tentunya tidak perlu ditakuti lagi, dengan pedang terhunus ia lantas mendekatinya.
Dilihatnya kedua mata Ntmo Singh mendelik dengan penuh rasa ketakutan, mulut ternganga lebar ternyata sudah mati sejak tadi.
Kejut, heran dan girang pula Kwe Hu, cepat ia menyulut lilin pada altar sembahyangan, "belum lagi ia sempat memeriksa lebih jauh, tiba2 terdengar suara orang berteriak di luar kelenteng.
"Hu-moay Jimoay, apakah kalian berada di dalam kelenteng" Nyata itulah suaranya Yalu Ce.
Dengan girang Kwe Hu lantas menjawab: "Lekas kemari, kakak Ce, sungguh kejadian sangat aneh!" Sejenak kemudian Yalu Ce berlari masuk dengan dua anggota Kay-pang berkantong enam, Iapun terkejut melihat Nimo Singh tewas menggeletak di situ, ia tahu ilmu silat Nimo Singh sangat tinggi, sekalipun dirinya juga bukan tandingannya, tapi kini jagoan Hindu itu ternyata bisa dibunuh oleh isterinya, sungguh sangat di luar dugaan.
Segera ia mengambil tempat lilin dari tangan Kwe Hu dan mendekati Nimo Singh, setelah diperiksanya, ia tambah keheranan Ternyata kedua telapak tangan Nimo Singh sama berlubang, sebuah tusuk kundai kemala hijau tepat menancap pada Sin-ting-hiat di batok kepalanya.
Padahal tusuk kondai kemala itu sangat mudah patah, namun dapat menembus telapak tangan seorang jago silat kenamaan dan dan sekaligus membinasakannya maka betapa lihay kepandaian pemakai tusuk kundai ini sungguh sukar diukur dan dibayangkan Yalu Ce lantas berpaling dan tanya Kwe Hu: "Apakah Gwakong datang ke sini" Lekas pertemukan aku dengan beliau.
" Kwe Hu menjadi heran, jawabnya: "Siapa yang bilang Gwakong datang ke sini?" "Bukan Gwakong?" Yalu Ce menegas, mendadak ia menjadi girang dan menambahkan "Aha, jika begitu Guruku yang datang!" Lalu ia memandang sekeliling situ, namun tidak dilihatnya sesuatu jejak Ciu Pek-thong, gurunya itu jenaka dan suka bergurau bisa jadi sengaja sembunyi untuk membuatnya kaget, Cepat ia berlari keluar kelenteng dan melompat ke wuwungan untuk memeriksa sekitar, namun tiada sesuatupun yang ditemukannya, terpaksa ia melompat turun kembali.
"He, apa2an kau bilang Gwakong dan Suhu segala?" tegur Kwe Hu dengan bingung.
Yalu Ce lantas bertanya cara bagaimana mereka kepergok Nimo Singn dan mengapa orang itu bisa tewas begitu saja" Kwe Hu lantas menceritakan apa yang terjadi tadi, tentang tusuk kundai adiknya itu dapat menancap mati Nimo Singh, ia sendiripun tidak dapat menjelaskan.
"Di belakang jimoay pasti ada seorang kosen yang membantu secara diam2," ujar Yalu Ce.
"Ku kira orang yang memiliki kepandaian setinggi ini jaman kini selain ayah mertua hanyalah Gwakong kita Uitocu, guruku, It-teng Taysu serta Kim-lun Hoat-ong saja berlima.
Kim-lun Hoat-ong adalah Koksu Mongol, tentunya dia takkan membunuh kawan sendiri, sedangkan It teng Taysu tidak sembarangan mau melanggar pantangan membunuh, maka kukira kalau bukan Gwakong tentulah guruku, Jimoay, coba jelaskan, siapakah gerangan orang yang membantumu itu?" Kelika menyambitkan tusuk kundainya tadi dan membinasakan Nimo Singh, Kwe Yang segera menoleh dan tidak melihat bayangan seorangpun, maka diam2 ia meresapi ucapan "jangan takut, serang dia dengan Am-gi", ia merasa suara itu sudah dikenalnya, ia menjadi sangsi apakah Nyo Ko adanya" Maka waktu ditanya Yalu Ce, seketika ia tak dapat menjawab karena dia masih kesima merenungkan suara itu.
"He, kenapa kau, Jimoay?" seru Kwe Hu sambil menarik lengan adiknya, ia kuatir jangan2 adiknya itu menjadi Iinglung karena kejadian yang menakutkan tadi.
Tiba2 air muka Kwe Yang berubah menjadi merah dan menjawab: "O, tidak apa2.
" "Cihu bertanya padamu siapa yang membantu tadi, kau dengar tidak?" kata Kwe Hu dengan mendongkol.
"O, siapakah yang membantuku membinasakan orang jahat ini" Ah, sudah tentu dia! Kecuali dia siapa lagi yang memiliki kepandaian setinggi ini?" kata Kwe Yang.
"Dia" Dia siapa?" Kwe Hu menegas.
"Apakah pahlawan besar yang kau katakan itu?" "O, tidak, tidak! Kumaksudkan arwah halus paman Loh," jawab Kwe Yang cepat.
"Cis!" semprot Kwe Hu sambil mengipatkan tangan adiknya itu.
"Memangnya apakah kau melihat sesuatu bayangan orang?" kata Kwe Yang pula, "Pastilah paman Loh yang melindungi aku secara diam2.
Kau tahu, semasa hidupnya paman Loh sangat karib denganku.
" Sudah tentu Kwe Hu menyangsikan cerita Kwe Yang itu, namun memang nyata tadi dirinya tidak melihat sesuatu bayangan orang dan tahu2 Nimo Singh sudah mati.
Sementara itu Yalu Ce sedang memeriksa kedua tongkat Nimo Singh, katanya dengan gegetun: "Kepandaian sehebat ini, sungguh sangat mengagumkan.
" Waktu Kwe Hu dan Kwe Yang ikut meneliti, tertampak setiap tongkat itu terbingkai sebuah gelang emas untiran.
Padahal gelang itu cuma terbuat dari untiran emas yang halus, tapi orang dapat mendorongnya dengan tenaga dalam yang dahsyat dan membentur jatuh kedua tongkat Nimo Singh, pantasIah kalau Yalu Ce merasa gegetun dan kagum tidak kepalang.
"Marilah kita perlihatkan pada ibu, siapakah sebenarnya orang yang membantu jimoay secara diam2 itu, tentu ibu mengenalnya," ujar Kwe Hu.
Nimo Singh dan sepasang tongkatnya segera dibawa kedua anak murid Kay pang dan ikut Yalu Ce pulang ke kota.
Ketika Kwe Cing dan Ui Yong mendengar cerita Kwe Hu dan membayangkan betapa berbahaya kejadian itu, mau tak-mau Kwe Cing terperanjat.
Semula Kwe Yang menyangka keonaran yang diterbitkannya ini pasti akan mendapat persen damperatan, tapi Kwe Cing justeru gembira oleh keberanian dan tinggi budi puteri kecil yang menurunkan gaya sang ayah itu, ia tidak mendamperat, malah menghiburnya.
Begitu pula demi nampak sang suami tidak gusar, maka Ui Yong segera saja merangkul puteri kecil itu dengan penuh sayangnya.
Tapi kemudian setelah dilihatnya mayat Nimo Singh serta keadaan kedua tongkatnya, Ui Yong ter-menung2, kemudian ia baru tanya Kwe Cing: "Cing-toko, siapakah orangnya menurut kau?" "Tenaga dalam orang ini mengutamakan keras dan kuat, setahuku,selamanya hanya ada dua orang" sahut Kwe Cing.
"Ya, tapi guru berbudi kita Ang Jit-kong sudah lama wafat, pula bukan kau sendiri," ujar Ui Yong.
Ia coba menanya lebih jelas tentang kejadian di kelenteng itu, namun tetap tak bisa diterkanya.
Sesudah Kwe Hu dan Kwe Yang kembali ke-kamar masing2, segera Ui Yong berkata lagi pada sang suami: "Cing-koko, kau tahu tidak puteri ke-dua kita ada apa2 yang membohongi kita.
" "Membohong" Membohong apa?" tanya Kwe Cing heran.
Nyata wataknya sangat sederhana dan jujur, maka tidak pernah ia mencurigai orang lain.
"Sejak kembalinya dari utara mengantar kartu undangan," demikian tutur Ui Yong, "seorang diri ia selalu ter-menung2, cara bicaranya malam ini juga sangat aneh.
" "Ia terkejut, sudah tentu pikirannya tidak tenang," ujar Kwe Cing.
"Bukan, bukan," sahut Ui Yong, "la sebentar malu2 kucing, lain saat tersenyum kecil, itu sekali2 bukan karena terkejut,.
tapi, dalam hatinya justeru merasa senang tak terkatakan.
" "Anak kecil mendadak mendapat bantuan orang kosen, sudah tentu akan terkejut serta kegirangan, apapun tak perlu dibuat heran," kata Kwe Cing Iagi.
Ui Yong tersenyum, ia tidak buka suara pula, tapi dalam hati ia berkata: "Perasaan anak perempuan yang dirundung asmara, waktu mudamu saja kau tak paham, sampai tua juga kau tetap tak mengerti!" Karena itu, lalu iapun belokkan pokok percakapan mereka tentang siasat2 yang harus digunakan, untuk menghadapi musuh serta acara2 penyambutan tamu dalam perjamuan ksatria besok.
Habis itu masing2pun pergilah mengaso.
Tapi di atas ranjang Ui Yong sukar pulas, sebentar2 ia terbayang oleh sikap puteri kecil yang aneh itu, pikirnya: "Pada waktu anak perempuan ini baru lahir lantas mengalami kesukaran, selama ini aku selalu berkuatir hidupnya akan banyak terjadi alangan, tapi syukurlah selama 16 tahun ini telah dilewatkan dengan selamat, apakah mungkin sekarang inilah bakal terjadi sesuatu atas dirinya?" Apabila teringat olehnya musuh sudah dekat, malapetaka yang akan datang bakal dihadapi oleh setiap penduduk kota, jika sebelumnya bisa diketahui, sedikit apa2 yang bakal terjadi juga ada gunanya untuk ber jaga2.
Namun tabiat puteri kecil ini sangat aneh, apa yang tak ingin dikatakannya tetap tak dikatakan, betapapun orang tua membujuk dan mendamperatnya, ia tetap bungkam dalam seribut basa, dalam keadaan begitu orang tua jadi kewalahan.
BegituIah makin dipikir perasaan Ui Yong semakin tak enak, diam2 ia berbangkit dan menuju ke pintu kota, ia suruh penjaga benteng membukakan pintu terus menuju ke kelcmeng Yo-tayhu di barat kota.
Tatkala itu sudah jauh lewat tengah malam, bintang guram dan rembulan suram.
Ui Yong keluarkan ilmu entengi tubuhnya yang tinggi berlari ke sana.
Ketika dekat kelenteng Yo-tayhu itu, tiba2 terdengar di belakang tugu "Tui-lui pi ada suara percakapan orang, Lekas2 Ui Yong mendekam ke tanah dan merunduk maju pelahan, setelah beberapa tombak dari tugu itu, ia mengumpet di belakang pohon besar.
Terdengar seorang berkata: "Sun-toako, In kong (tuan penolong) suruh kita menanti dibelakang Tui-lui-pi (tugu mencucurkan air mata) ini.
Sebab apakah tugu ini diberi nama yang begini menyedihkan, bukankah ini alamat jelek?" "lnkong agaknya selalu hidup kurang senang, oleh sebab itu bila mendengar nama2 tentang Tui-pi (mengucurkan air mata)," Yu-jiu" (bersedih) dan lain2 yang menyedihkan lantas mudah teringat akan nasibnya," demikian sahut orang she Sun itu.
"Ah, orang berkepandaian tinggi seperti Inkong, seharusnya tiada urusan sulit baginya," ujar orang yang duluan, "Tapi kulihat wajahnya senantiasa bermuram durja.
Tui-lui-pi" ini mungkin sekali dia sendiri yang menamakannya.
" "ltulah bukan," sahut orang she Sun, "Aku pernah mendengar cerita kuno bahwa kelenteng Yo-taybu ini didirikan orang di kaki bukit Hian, ini untuk memperingat seorang menteri bernama Yo Koh yang sangat cinta pada rakyat di daerah sekitar sini, maka telah didirikan pilar (atau tugu) sebagai tanda jasanya.
Rakyat yang melihat pilar ini lantas ingat pada kebaikannya dan saking terharu banyak yang menangis, sebab itu pilar ini disebut Tui-lui-pi (tugu mencucurkan air mata), Tan lakte, hidup manusia kalau bisa seperti Yo tayhu ini barulah boleh dikata seorang laki2 sejati.
" "lnkong selamanya membela keadilan di Kangouw hingga banyak dipuji orang, bila ia menjadi pembesar negeri di Siangyang, boleh jadi namanya akan lebih cemerlang daripada Yo tayhu nya orang she Tao.
" "Benar," sahut si orang she Su, "malahan Kwe-tayhiap yang namanya terkenal diseluruh jagat memiliki kebaikan yang meliputi apa yang dipunyai Yo-tayhu dan Inkong kita.
" Mendengar kedua orang itu memuji suaminya, sudah tentu diam2 Ui Yong senang, tapi ia lantai berpikir juga: "Siapakah gerangannya Inkong (tuan penolong) yang mereka maksudkan itu" Apakah mungkin orang yang diam2 menolong Yang-ji itu?" Sementara itu terdengar si orang she Sun berkata pula.
"Kita berdua dahulu bermusuhan dengan Inkong, tapi kemudian jiwa kita malah dia yang menolong.
Caranya menghadapi musuh seperti kawan sendiri.
sungguh boleh dikata melebihi Yo Koh, Yo-tayhu.
Menurut cerita kuno, dijaman Sam Kok waktu itu, Yo Koh menjaga Siangyang dan bertempur melawan panglima Tang Go yang bernama Liok Gong, sewaktu Yo Koh menyerbu daerah Tang Go, waktu perlu memotong tanaman rakyat untuk rangsum pasukannya, ia berkeras mengganti kerugian penduduk setempat Waktu Liok Gong sakit, ia malah mengirim obat untuknya dan Liok Gong pun sama sekali tidak curiga terus mcminumnya, sesudah minum obat itu ternyata lantas sembuh sakitnya.
Begitulah betapa tinggi martabat Yo Koh sebagai manusia, sampai musuh sekalipun sangat menghormati dan segan padanya," "Sewaktu Yo Koh meninggal, perwira dan tentara Tang Go yang menjadi musuhnya juga ikut menangis sedih, Caranya menaklukkan hati manusia berdasarkan kebajikan itulah baru benar2 disebut Enghiong (pahlawan sejati).
" "He, Sun samko," tiba2 si orang she Tan berseru, "kau sebut2 Yo Koh, bukankah nama ini sama suaranya dengan nama Inkong kita.
. . . . " "Sssst, diam, ada orang datang!" mendadak orang she Sun itu mendesis.
Ui Yong terkejut, benar segera terdengar dari bawah bukit ada suara orang berlari mendatangi dalam hati iapun berpikir: "Nama yang sama suaranya dengan "Yo Koh",, apakah mungkin adalah Nyo Ko" Ah, tidak, tidak mungkin, Sungguhpun, ilmu silat Ko-ji banyak maju juga tak nanti meningkat sampai tarap yang susah diukur itu.
" . . Selang tak lama, orang yang datang itu tepuk2 tangan tiga kali, lantas orang she Sun itu membalas tepuk tangan, orang yang datang itu mendekati tugu Tui-lui-pi, lalu katanya: "Sun dan Tan berdua saudara, Inkong suruh kalian tak usah menunggunya lagi, Tapi disini ada dua kartu nama Inkong agar kalian berdua lekas mengirimkannya.
Sun-samte mengirimkan kartu ini kepada Tio-lokunsu di Sin-yang, HoIam, Sedang Tan-lakte hendaklah mengirimkan kartu yang ini kepada Liong-ah Thauto di Oh-ah-san.
Katakanlah pada mereka bahwa mereka berdua diminta berkumpul di sini dalam waktu sepuluh hari.
" Maka terdengarlah orang she Sun dan Tan itu menyahut dengan hormat dan menerima kartu undangan itu.
Percakapan orang2 itu membikin Ui Yong semakin heran dan terkejut.
Kiranya Tio-lokunsu atau si guru silat tua sho Tio yang disebut itu adalah keturunan lurus dari kerajaan Song, ilmu pukulan 32 jurus Tiang kun dan 18 jurus permainan toyanya sangatlah terkenal.
Sedang Liong-ah Thauto atau si paderi berambut bisu dan tuli dari Oh-ah-san adalah jago silat pendaman yang sangat tersohor di daerah Ohlam.
Cuma sejak kecilnya bisu dan tuli, meski ilmu silatnya sangat tinggi, namun selamanya tiada hubungan dengan orang luar.
Karena adanya Eng-hiong-tay-hwe atau perjamuan besar kaum ksatria, Kwe Cing dan Ui Yong tahu kedua orang itu suka menyepi dan pasti tidak suka tampil ke dunia ramai, tapi untuk menghormati nama mereka, toh kartu undangan tetap dikirim, namun betul juga, kedua orang itu membalas dengan surat, dengan alasan halus mereka menolak untuk hadir.
Tapi kini "lnkong" yang disebut itu apakah benar2 begitu hebat hingga melulu berdasarkan secarik kartu namanya lantas kedua tokoh terpendam itu sudi datang dalam waktu 10 hari yang ditentukan" Demikian Ui Yong berpikir penuh tanda tanya.
Tapi bila ia pikir pula, tiba2 ia menjadi kuatir.
Besok perjamuan besar kaum ksatria sudah akan dibuka, kini ada seorang sedang mengumpulkan tokoh2 Kangouw ternama ke Siangyang, apakah tujuannya" jangan2 hendak membantu pihak Mongol" Namun bila mengingat watak Tio-lokunsu dan Liong-ah Thauto yang khas, agaknya bukanlah sebangsa manusia khianat, pula "lnkong" yang disebut itu bila benar orang yang membantu Yang-ji membunuh Nimo Singh itu, maka jelas pula orang itu adalah kawan pihak sendiri.
Begitulah selagi Ui Yong mengasah otak sendiri, sementara itu terdengar ketiga orang tadi sedang bisik2 pula sebentar, namun jaraknya sudah jauh, maka tak terdengar jelas, hanya sayup2 terdengar si orang she Tan itu bilang: "selamanya Inkong tak memberi tugas pada kita, sekali ini kita harus melakukannya dengan baik.
. . . kita harus menaikkan pamornya.
. . kado kita esok.

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. . . kata2 lain tak yang jelas.
"Baiklah, sekarang juga kita berangkat, kau jangan kuatir, rencana Inkong pasti takkan kapiran," demikian lantas terdengar si orang she Sun mengiakan.
Habis itu, ke tiga orang lantas turun bukit dengan cepat.
Sesudah orang pergi jauh, Ui Yong masuk kelenteng itu dan memeriksanya, tapi tiada sesuatu tanda2 aneh yang dilihatnya.
Bangunan kelenteng itu sangat megah dan kuat tapi karena pasukan musuh telah mendekat, maka penghuninya sudah lama lari ke kota hingga tiada seorang pula.
Sungguhpun Ui Yong orang pintar, tapi seketika juga bingung oleh orang yang disebut "lnkong" atau tuan penolong itu, iapun tak ingin "mengeprak rumput mengejutkan ular" dengan menangkap ke tiga orang itu untuk ditanyai, maka sampai fajar menyingsing, barulah ia kembali ke kota.
Ketika sampai disimpang jalan dekat pintu barat kota, tiba2 dilihatnya ada dua penunggang kuda secepat terbang menyerempet lewat, cepat Ui Yong menyingkir kepinggir jalan, waktu diawasinya, ternyata kedua penunggang itu adalah laki2 kekar semua.
Setiba disamping jalan itu, seorang memutar kuda ke barat-laut dan yang lain membalik ke barat-daya.
Ketika hendak berpisah, terdengar seorang diantaranya berseru: "lnsat, jangan lupa bilang pada Thio-toagocu bahwa dalang, pesinden dan penabuh-nya harus dia sendiri yang membawanya dan pula jangan lupa membawa tukang pembuat bunga api!" "Ah, tak perlu kau mengingatkan aku terus menerus, kau sendiri disuruh pergi memanggil tukang isak yang kesohor itu, jika terlambat sehari, kau akan diomeli orang banyak," sahut kawannya itu.
Habis itu, cepat sekali kedua orang itu lantas berpisah.
Perlahan Ui Yong masuk ke kota dalam hati ia tambah heran, nama Thio-toagocu (si selendang besar she Thio) sudah dikenalnya sebagai seorang berpengaruh di Hanggau, masakah ada seorang secara begitu mudah bisa memanggilnya datang, apakah ini juga suruhan "lngkong" yang disebut itu.
Mereka main secara besar2an, sebenarnya apakah maksudnya" BegituIah penuh tanda tanya dalam hati Ui Yong.
Mendadak hatinya terkesiap, katanya: "Ya.
. . ya, sekarang tahulah aku, pasti inilah sebabnya.
" Cepat ia kembali ke rumah serta menanyai sang suami: "Cing-koko, apakah tamu undangan kita ada yang ketinggalan dikirim kartu?" "Ketinggalan mengirimkan undangan?" tanya Kwe Cing heran "Tapi kita sudah memeriksanya beruIang kali, rasanya tiada yang ketinggalan.
" "Memangnya akupun berpikir begitu," ujar Ui Yong, "Karena kuatir ada yang ketinggalan tak di undang, maka orang gagah mana saja, walaupun tidak terlalu dikenal juga kita kirimkan kartunya.
Tapi apa yang kulihat tadi jelas sekali ada seorang tokoh besar yang merasa sakit hati hingga akan mengadakan suatu perjamuan besar kaum ksatria untuk mengkonkireni kita.
" Namun Kwe Cing yang berjiwa luhur dan berhati terbuka, bukannya iri, sebaliknya ia girang, katanya.
"Aha, itulah kebetulan jika ada seorang Enghiong yang bercita2 sama, itulah paling baik.
Kita akan mendukung dia sebagai Bengcu (ketua perserikatan) dan biar dia memimpin para ksatria untuk melawan MongoI, kita sendiri tunduk pada perintahnya saja.
" Namun Ui Yong lantas mengkerut keningnya, katanya: "Tapi melihat tindak-tanduknya, tidak mirip hendak melawan musuh, ia telah kirim undangan kepada Tio-lokunsu di Sinyang, Liong-ah Thauto di Oh-ah-san, Thio-toagocu dan lain-lain lagi.
" Tapi Kwe Cing malahan bertambah girang, ia tepuk meja serta berseru: "Ha, jika orang ini sanggup mengundang Tio-lokunsu, Liongah Thauto dan Thio toagocu ke Siangyang, pasti kekuatan kita akan bertambah bcsar.
Yong-ji, tokoh2 seperti itu, kita harus bersahabat baik2 dengan mereka.
" Namun Ui Yong tidak menyahut lagi, sementara itu petugas memberitahu bahwa tamu2 telah datang hingga terpaksa Kwe Cing dan Ui Yong sibuk menyambut.
Saking sibuknya harus menyambut tetamu yang datang ber-bondong2 dari segala pelosok itu, terhadap pengalamannya semalam sementara tak sempat dipikirkan lagi oleh Ui Yong.
Esok harinya adalah Eng-hiong-tay-hwe, pertemuan besar ksatria itu tidak kurang disediakan 400 meja perjamuan, komandan militer kota pemerintah Song, Lu Bun-hwan, telah menyuguh sendiri arak kehormatan kepada para ksatria atau pahlawan itu.
Dalam perjamuan, ketika semua orang berbicara tentang keganasan serdadu Mongol yang membunuh rakyat dan merebut tanah airnya, semua orang merasa murka sekali, be-ramai2 semua orang akan bertempur matian melawan musuh -" Dan malam itu juga dengan suara bulat Kwe Cing dipilih sebagai Bengcu atau ketua perserikatan, semuanya bersumpah dengan darah dan berjanji melawan musuh hingga titik darah penghabisan.
Di lain pihak sesudah hari itu Kwe Yang bertengkar dengan sang Taci di kelenteng Yo-taybu serta menyatakan takkan ikut hadiri perjamuan besar ksatria itu, betul juga ia tak menampakkan diri melainkan makan-minum sendirian dikamarnya, katanya pada dayang yang melayaninya: "Taci pergi menghadiri perjamuan ksatria itu, aku sendirian enak2 makan-niinum, masa kalah gembiranya daripada dia?" Kwe Cing dan Ui Yong sendiri lagi pusatkan pikiran untuk menghadapi musuh, sudah tentu mereka tak sempat menilik kelakuan anak dara yang lagi ngambek itu, Kwe Cing boleh dikatakan sama sekali tak tahu menahu.
Ui Yong pernah juga menanyakan, tapi iapun tahu adat puteri kecil itu memang aneh, maka ia hanya ganda tersenyum saja.
Dalam perjamuan besar itu kebanyakan para pahlawan adalah jago minum, sesudah banyak minum hingga pengaruh alkhohol sudah bekerja, lantas saja banyak yang lupa daratan, ada juga yang lantas memamerkan ilmu silat mereka sebagai selingan.
Betapapun juga akhirnya Ui Yong terkenang pada puteri kecilnya itu, maka katanya pada Kwe Hu: "Coba kau pergi memanggil adikmu itu keluar untuk melihat keramaian ini, perjamuan seperti ini, selama hidup orang belum tentu dapat menyaksikannya satu kali.
" "Ah, aku justeru tak mau mengundangnya," sahut Kwe Hu.
"Adik memangnya lagi ngambek dan ingin mencari gara2 padaku, bukankah aku cari penyakit bila pergi kesana.
" "Biar aku saja menyeret Ji-ci kemari," ujar Kwe Boh-lo.
Lalu iapun berbangkit dan menuju kebelakang.
Tapi tak lama Boh-lo telah kembali sendirian, belum lagi ia buka suara atau Kwe Hu sudah mendahului berkata: "Gimana" Aku kan sudah bilang ia takkan datang sekarang betul tidak?" Melihat wajah puteranya itu penuh rasa keheranan segera Ui Yong bertanya: "Apa yang dikatakan Ji-ci?" "Sungguh aneh, mak!" sahut Boh-lo.
"Sebab apa?" tanya sang ibu.
"Kata Ji-ci, di kamarnya sedang diadakan perjamuan kecil kaum ksatria, maka takkan menghadiri perjamuan besar ksatria ini!" demikian Boh-lo menerangkan.
Namun Ui Yong hanya tersenyum, katanya: "Ji-cimu itu memang suka berpikir yang tidak2, biarkanlah.
" "Mak, tapi di kamar Ji-ci benar2 ada tetamunya," kata Kwe Bob-lo lagi.
"Diantaranya lima laki2 dan dua wanita, semuanya lagi minum arak bersama Ji-ci.
" Dengar itu, mau tak-mau Ui Yong mengkerut kening, ia pikir anak dara ini makin lama semakin berani, masakah kamar seorang perawan memasukkan orang laki2 untuk makan-minum sesukanya" sungguh nama julukan Siau-tong-sia yang diberikan orang benar2 tidak salah.
Tapi hari ini semua orang lagi bergembira, tidak pantas untuk soal sekecil ini puteri itu harus didamperat hingga menghilangkan kegembiraan semua orang.
"Cobalah kau pergi mengundang teman2-adikmu itu agar minum arak ke ruangan besar ini, biar ramai2 bergembira bersama," demikian katanya kepada Kwe Hu, Nyata ia mengira Boh-lo tak pandai menghadapi tamu, maka puteri sulung ini yang di suruhnya sekarang.
Kwe Hu sendiri memang juga heran dan ingin mengetahui kamar adiknya itu kedatangan tamu siapakah, ia cukup kenal watak sang adik yang tak pedulikan adat perbedaan laki2 perempuan segala macam dan lapisan masyarakat suka bergaul, ia pikir teman yang lagi minum arak bersamanya itu tentu sebangsa orang2 tak keruan.
Kini mendengar perintah sang ibu segera iapun berbangkit menuju ke kamar Kwe Yang.
Ketika hampir dekat kamar adiknya itu, terdengarlah suara anak dara itu lagi berseru: "Hai, Gin-koh, suruhlah koki membawakan lagi dua guci arak!" Pelayan yang disebut itu menyahut sekali, lalu terdengar Kwe Yang menambahkan: "Dan pesan pula koki lekas masak dua paha kambing serta memotong 20 kati daging rebus yang hangat2.
" Maka pergilah pelayan menerima perintah itu.
Kemudian terdengar suara seorang seperti bunyi gembreng pecah berkata pula: "Kwe-jikohnio (nona Kwe kedua) benar- bertangan sangat terbuka, sayang aku Jin-tu-cu tidak kenal sejak dulu, kalau tahu, sudah lama aku berkawan dengan kau.
" "Berkawan sekarang juga belum terlambat," sahut Kwe Yang tertawa.
Mendengar percakapan itu, Kwe Hu mengkerut kening, waktu ia mengintip melalui sela2 jendela, terlihatlah dalam kamar adiknya itu terletak sebuah meja pendek, delapan orang berduduk dilantai, diatas meja sendok-piring simpang siur tak ter-atur, perjamuan sedang berlangsung dengan meriahnya.
Yang duduk menghadap kemari terlihat adalah seorang gemuk gede, simbar dada hingga bulu dadanya yang hitam lebat itu kelihatan, disebelah kirinya adalah seorang sastrawan berjenggot cabang tiga, pakaiannya rajin bersih.
Dan sebelahnya lagi adalah seorang wanita setengah umur, cuma mukanya penuh codet bekas luka, sedikitnya berpuluh tempat.
Dan yang duduk disebelahnya lagi adalah segarang thauto berambut memakai sebuah ikat rambut emas yang berkilau2, ia sedang menggerogoti sepotong ayam panggang dengan lahapnya: Sedang tiga orang lainnya duduk mungkur, maka tak jelas muka mereka, agaknya yang dua adalah kakek2 yang beruban rambutnya dan seorang lagi adalah Nikoh (paderi wanita) berbaju hitam.
Kwe Yahg sendiri duduk diantara orang2 itu, wajahnya yang cantik itu sudah bersemu merah, suatu tanda pengaruh alkohol, tapi anak dara ini asyik beromong tak pernah diam, nyata sekali hatinya sangat bergembira.
Tidak lama kemudian koki telah antarkan masakan yang diminta tadi, maka semuanya orang makan se-puas2nya pula, malahan yang minum dan makan paling banyak adalah si Nikoh berbaju hitam itu.
Diam2 Kwe Hu pikir, melihat betapa gembiranya mereka, seumpama diundang keruangan besar di depan sana juga mereka tak mau pergi.
Dalam pada itu terlihatlah seorang kakek2 beruban diantaranya telah berdiri, lalu berkata: "perjamuan ini rasanya sudah mencukupi delapan bagian, biarlah hari ini kita sampai di sini saja, kelak kalau hari ulang tahun nona, pasti kami akan makan minum lebih besar pula, Kini orang tua ada sedikit hadiah.
harap saja nona Kwe jangan mencela!" Habis berkata, dikeluarkannya sebuah kotak terbungkus sutera dan diletakkan di meja.
"Pek-cau-siao hadiah apakah yang kau berikan itu, hayolah perlihatkan.
" segera kakek yang lain berteriak.
Sembari berkata iapun ulur tangan membuka kotak itu sendiri.
Tapi segera ia berseru tertahan: "Ah, ini adalah "Jian-lian-swat-som" (Kolesom salju berumur ribuan tahun), dari mana kau memperolehnya?" - Lalu benda mestika itupun dijemputnya dan di-amat2i.
Dari sela2 jendela dapatiah Kwe Hu melihat jelas kakek itu memegangi sebatang Jin-som seputih salju yang panjangnya kira2 satu kaki, bentuknya menyerupai benar anak orok, kepala, tubuh dan anggota badan semuanya lengkap, malahan kulitnyapun bersemu merah, sungguh semacam benda mestika yang sukar didapatkan saking kagumnya hingga semua orang ber-keplok2 memuji.
Tampaknya kakek yang dipanggil Pek-cau sian atau Dewa Seratus Rumput itu menjadi senang, katanya: "Jian-lian-swat-som ini manjur menyembuhkan penyakit yang paling berat dan untuk memunahkan segala racun, boleh dikata khasiatnya dapat menghidupkan yang masti dan menyambung umur yang hidup.
Bahwa nona hidup bahagia hingga berumur seabad, memangnya tak memerlukannya.
Tunggu saja sampai hari ulang tahun seabad, ambil Jim som ini dan meminumnya agar nona panjang umur lagi seratus tahun, bukan kah sangat bagus.
" Semua orang bertepuk tangan sambil tertawa, mereka memuji kakek itu pandai mengucapkan kata2 pujian.
Dalam pada itu orang gemuk gede yang bernama Jin-tuicu (si jagal orang) lantas mengeluarkan sebuah kotak besi juga, katanya dengan tertawa: "Nah, aku menghadiahi nona semacam mainan, hanya untuk bikin tertawa nona saja, tapi tak bisa dibandingkan dengan benda mestika hadiah Pek Cau-sian-ong tadi.
" Dan ketika kotak besi itu dijeplakkan, mendadak dari dalam kotak meloncat keluar dua Hwe-sio gemuk terbuat dari besi, panjangnya masing2 kira2 tujuh dim, lalu yang satu memukul dan yang lain menendang terus saling serang-menyerang.
Betapa lucu boneka besi itu hingga semua orang tertawa geli, Ternyata dari gerak gerik pukulan2 kedua boneka besi itu adalah ilmu pukulan "Siau-limlo-han-kun" yang terkenal, tak lama kemudian, sesudah alat putaran (pergas) dalam boneka besi itu habis barulah mendadak kedua boneka itu berhenti dengan berdiri tegak, gayanya mirip jago silat kelas satu.
Melihat ini semua orang tidak sanggup tertawa lagi, sebaliknya mereka berwajah kuatir.
"Jin-tu-cu," tiba2 wanita yang bermuka codet itu berkata, "jangan kau jaga mukamu, tapi malah mendatangkan penyakit bagi nona Kwe.
Thi-lo-han" (orang2an besi) ini adalah milik Siau-lim-si, darimana kau dapat mencurinya?" "Hehe," sahut Jin-tu-cu tertawa, sungguhpun aku Jin-tu-cu bernyali sebesar langit juga tak berani coba2 gerayangi Siau-lim-si, Tapi ini justeru adalah Bu-sik Siansu, itu paderi utama ruangan Lo-han-tong dari Siau-lim-si yang menyuruh aku membawanya kemari, ia bilang tepat pada hari ulang tahun nona pasti akan sampai di Siangyang untuk memberi selamat.
Nah, yang inilah baru benar2 adalah hadiahku sendiri yang tak berarti!" Habis berkata, ia buka lapisan bawah kotak besi itu hingga tertampaklah sepasang gelang kemala hitam.
Gelang hitam itu tertampak ber-kilat2, bentuknya tidak menarik, mendadak Jin-tu-cu melolos sebilah golok terus membacok gelang kemala itu, maka terdengarlah suara "trang" yang nyaring, golok itulah yang membal ke atas, sebaliknya gelang kemala tak kurang apapun.
Maka bersoraklah memuji semua orang, Menyusul itu lantas si sastrawan, Nikoh, Thau-to dan si wanita muka codet masing2 juga memberi kado kepada Kwe Yang, semuanya barang aneh dan mestika yang jarang dilihat.
Tentu saja Kwe Yang kegirangan, dengan senyum simpul semua kado itu diterimanya.
Menyaksikan itu Kwe Hu semakin terperangah sekali putar tubuh, segera ia lari kembali keruangan depan dan ceritakan semua apa yang dilihatnya kepada sang ibu.
Mendengar itu kejut Ui Yong melebihi Kwe Hu, segera ia mengajak Cu Cu-liu dan bertiga masuk ke ruangan dalam.
Lalu Ui Yong tuturkan apa yang dilihat Kwe Hu tadi kepada Cu-Iiu, itu murid tertua dari It-teng Taysu.
Cu Cu-liu ikut ter heran2, katanya: "Jin-tuicu dan Pek cau-sian" Mengapa mereka bisa datang ke Siangyang sini" si Nikoh berbaju hitam itu mungkin sekali adalah Coat hou-jiu Seng-in Suthay yang membunuh orang tak berkesip, sedang kipas lempit si sastrawan itu terlukis satu setan Bu-siang (setan gentayangan), ehm, apakah mungkin ialah Coan-lun-ong Thio It bin?" Sembari berkata Ui Yong ber-ulang2 mengangguk sebaliknya Cu-liu sendiri geleng2 kepala, katanya: "Tapi hal ini teranglah tak mungkin.
berapakah usia nona Kwe, kecuali akhir2 ini pernah keluar sekali, selain itu belum pernah kakinya menginjak tempat lebih jauh 10 li di luar Siangyang, mana bisa ia kenal orang2 kosen dari segala pelosok itu" Pula, Bu-sik siansu dari Siaulim-si itu sudah berpuluh tahun tak pernah turun gunung, orang lain sengaja mohon bertemu saja ditolak, mana mungkin sekarang ia malah datang ke Siangyang melulu untuk memberi selamat ulang tahun kepada seorang nona" Menurut pendapatku, tentu nona cilik ini sengaja bersekongkol dengan kawannya dan membesarkan segalanya untuk menggoda encinya.
" "Tapi nama2 seperti Seng-in Suthay, Thio It-bin dan lain2 jarang kita sebut2, darimana Yang-ji bisa kenal mereka, hendak main2 juga tidak selengkap itu," ujar Ui Yong ter-mangu2.
"Marilah kita coba menemui mereka menurut aturan, jika mereka adalah teman Kwe-jikohnio kedatangan mereka ke Siangyang ini pasti tiada maksud jahat," kata Cu-Iiu kemudian.
"Akupun berpikir begitu," sahut Ui Yong.
"Cuma Seng-lo Suthay, Coan-lun-ong Thio It-biti dan lain2 itu biasanya lurus2 serong tak tertentu, walaupun kita tak jeri, tapi kalau terlibat permusuhan, rasanya cukup akan bikin kepala pusing, kini pasukan musuh dekat didepan mata, betapapun tak boleh lagi memencarkan perhatian untuk melayani manusia2 aneh ini.
. . " Sampai di sini, mendadak terdengar suara seorang bergelak ketawa di luar jendela dan berkata.
"Kwe-hujin, kami datang ke Siangyang melulu untuk memberi selamat ulang tahun dan tiada maksud jahat lain, kenapa harus menjadi pusing kepala?" Ketika mengucapkan "tiada maksud jahat, kenapa harus pusing kepala," ternyata suara itu sudah menjauh.
Cepat Ui Yong, Cu Cu-Iiu dan Kwe Hu memburu ke pinggir jendeia, terlihatlah satu bayangan berkelebat diatas pagar sana, gerak tubuh itu cepat luar biasa, hingga sekejap saja sudah menghilang.
Sedianya Kwe Hu hendak mengudak, tapi Ui Yong telah menariknya "Jangan sembrono, tak mungkin kau bisa menyandaknya!" Dan ketika ia mendongak tiba2 terlihat di atas dahan pohon diluar itu tertancap sebuah kipas putih yang terpentang.
Kipas itu tingginya empat tombak lebih, Kwe Hu menduga dirinya tak mampu sekali loncat meraihnya, maka serunya: "Mak!" Ui Yong meogangguk, dengan enteng saja ia meloncat, tangan kirinya menahan pelahan disuatu dahan terus mencelat naik pula keatas dan kipas itupun dapat dicabutnya turun.
Ketika mereka periksa kipas itu dibawah sinar lampu di dalam rumah, terlihatlah disebelah kipas itu terlukis setan Bu-siang putih yang lidahnya melelet panjang dengan muka ber-seri2, kedua tangannya terangkap mengunjuk hormat, disampingnya tertulis 14 huruf besar yang berbunyi.
"Selamat hari ulang tahun nona Kwe kedua, semoga hidup seabad dan berumur panjang" Waktu Ui Yong membalik kipas itu, disebelahnya juga tertulis kata2.
"Hek-ih-ni Seng-in, Pek- cau-sian, Jin tu-cuw Kiu-su-sing, Kau-bak Thauto, Han Bu hou dan Thio It-bin, menyampaikan salam hormat kepada Kwe-thayhiap serta Kwehujin, selamat hari ulang tahun puteri kesayangan kalian, kedatangan kami yang lancang ini tak berani lagi tinggal lebih lama, haraplah maaf, maaf.
" Beberapa baris tulisan itu belum kering tinta-nya, tulisannya kuat dan bergaya, Cu Cu-Iiu adalah ahli seni-tulis, maka segera ia memuji: tulisan bagus, tulisan bagus!" "Nah, teranglah sekarang, marilah kita pergi melihat Yang-ji," kata Ui Yong kemudian.
Waktu mereka sampai dikamar anak dara itu, pelayan sedang membersihkan sisa daharan dan mangkok piring kotor "Mak, Cu-pepek, Cici, lihatlah kalian, inilah kado yang kuterima dari tetamu," demikian kata Kwe Yang segera.
Menyaksikan benda2 seperti Jin-lian-swat-som, Tiat-lo-han kembar, gelang kemala hitam serta kado2 lain hadiah Coat-hou-jiu Seng-in Suthay dan Coan-luo-ong Thio It-bin cs.
, sudah tentu Ui Yong dan Cu-liu sama merasa heran sekali.
Ketika Kwe Yang menjeplak alat penggerak hingga sepasang boneka besi itu bersilat saling pukul puIa, tampaklah anak dara itu amat girangnya.
Ui Yong menunggu selesai kedua boneka itu memainkan "Lo-han-kun" dari Siau-lim-si itu, lalu tanyanya: "Yang-ji, sebenarnya apakah yang terjadi, coba ceritakanlah pada ibu.
" "Ah, biasa saja, beberapa kawan baru mengetahui aku Shejit (hari ulang tahun), maka mereka memberikan kado padaku," sahut Kwe Yang tertawa.
"Darimana kau kenal orang2 ini?" tanya sang ibu.
"Juga baru hari ini kukenal mereka.
" sahut Kwe Yang. "Tadi waktu aku seorang diri minum arak didalam kamar, tiba2 terdengar Han-cici, itu enci yang bernama Han Bu hou, menyapa diluar jendela, katanya: "Adik cilik, kami be-ramai2 mengiringi kau minum, mau tidak?" Aku menyahut: "Baik sekali! Marilah masuk, marilah masuk!" -Dan merekapun melompat masuklah dari luar, malahan mereka menyatakan pada tanggal 24 tepat hari ulang tahun ku nanti mereka akan datang pula memberi selamat.
Ya, entah dari mana mereka tahu saat hari ulang tahunku.
Mak, apakah mereka kenalanmu dan ayah.
Bila tidak, kenapa mereka beri kado begini banyak padaku?" "Ayahmu dan aku tidak kenal mereka," sahut Ui Yong, "Tentunya mereka datang atas undangan seorang sobatmu yang aneh, bukan?" "Aku tidak punya sobat aneh, kecuali Cihu," sahut Kwe Yang tertawa.
"Ngaco, Cihu-mu kenapa kau katakan aneh?" semprot Kwe Hu.
Kwe Yang me-Ielet2 lidah, sahutnya tertawa.
"Sesudah menikahi kau, tidak anehpun Cihu ber-ubah aneh.
" Segera Kwe Hu angkat tangannya hendak memukul namun sambil terkikik Kwe Yang sembunyi di belakang sang ibu "Sudahlah, taci-adik jangan bergurau Iagi," ujar Ui Yong, "Coba, Yang-ji, jawablah, tadi Coan-lun-ong dan Pek-cau-sian itu me-nyebut2 tentang Eng hiong-tay-hwe yang akan kita adakan itu tidak?" "Tidak," sahut Kwe Yang.
"Hanya kedua kakek yang bernama Pek-cau-sian dan Kiu-su-sing itu bilang sangat mengagumi ayah.
" Sesudah Ui Yong tanya lagi dan melihat Kwe Yang benar2 tidak membohongi apa2, lalu katanya: "Baiklah, lekas tidurlah!" - Bersama Cu Cu-liu dan bersama Kwe Hu merekapun keluar dari kamar anak dara itu.
"Mak," tiba2 Kwe Yang menyusul keluar kamar.
"lni Jian-lian-swat-som agaknya sangat berfaedah, harap ibu memakannya separah dan ayah separoh.
" "Bukankah itu kado Pek-cau-sian untuk ulang tahunmu?" sahut Ui Yong.
"Aku sudah terlahir dan juga sudah besar, tapi tiada sedikit jasapun, tapi ibulah yang selama ini benar2 terlalu capek," ujar Kwe Yong.
Ui Yong pikir janganlah mengecewakan maksud baik puteri kecil ini, maka Jin-som itu diterimanya, bila terkeuang olehnya pada hari Kwe Yang dilahirkan lantas banyak mengalami hal2 yang berbahaya tanpa terasa ia menghela napas.
Ketika Kwe Cing kembali ke kamar dan bercerita pada sang isteri tentang semangat para ksatria yang bersatu padu dan siap berjuang sepenuh tenaga untuk melawan musuh, tampaknya ia menjadi luar biasa girangnya.
Ui Yong menceritakan juga tentang kehadiran Seng in Suthay dan Pek-cau sian cs.
dalam perjamuan Kwe Yang, seketika Kwe Cing melengak.
"Bisa terjadi hal begitu?" demikian ia menegas.
Ketika ia periksa Jian-lian-swat-som itu, ternyata memang benda mustika yang sukar diperoleh.
"Ha, nona cilik kita agaknya pengaruhnya jauh melebihi orang tuanya," ujar Ui Yong tertawa.
Tapi Kwe Cing tak bersuara, ia menunduk memikirkan tindak-tanduk orang2 sebangsa Seng in Suthay, Coan lun ong dan Han Bu hou itu.
"Cing-koko," kata Ui Yong pula, "urusan pemilihan Pangcu apa lebih baik dimajukan beberapa hari, bila tidak, sampai hari ulang tahun Yang-ji dan Bu-sik siansu cs.
benar2 datang rasanya terlalu banyak campur aduk orang2 luar, mungkin akan terjadi hal2 di luar dugaan.
" "Tapi aku malah ada suatu pikiran," ujar Kwe Cing, "Kita justeru tunggu sampai tanggal 24 baru mulai memilih pangcu agar suasana bertambah semarak.
Bila Bu-sik siansu dan Liong-ah Thauto benar2 hadir, kita lantas minta mereka agar suka bersatu padu melawan musuh penjajah, bukankah demikian ini menjadi lebih baik?" Namun aku kuatir kalau2 mereka hanya pura2 datang memberi selamat saja, tapi tujuannya hendak mengacau," sahut sang isteri, "Coba kau pikir, ada hubungan apakah mereka dengan Yang-ji yang masih kecil ini, masakah mereka datang melulu untuk memberi selamat Shejit padanya" Sejak dahulu kala yang lurus dan yang serong tidak pernah berdiri sejajar, mungkin masih ada sebagian besar ahli silat didunia ini yang tak suka kau diangkat menjadi Bu-lim Bengcu (ketua himpunan persilatan).
" Tiba2 Kwe Cing berdiri dan ter-bahak2.
"Yong-ji," katanya, "perbuatan kita asal tidak merugikan negara dan bangsa, tentang Bu-lim Bengcu ini siapapun yang menjabatnya bagiku serupa saja, Apalagi yang serong takkan menangkan yang lurus, jika mereka benar2 bermaksud jahat, biar kita melayani mereka.
Kau punya "Pak-kau-pang hoat" (ilmu permainan pentung penggebuk anjing) dan aku punya "Hang-liong-sip-pat-ciang" (18 jurus ilmu pukulan penakluk naga) sudah ada belasan tahun tak pernah dipertunjukkan dan agaknya tidaklah perlu jeri pada orang" Melihat semangat sang suami masih me-nyala2 tidak kurang daripada masa dahulu, maka kata Ui Yong dengan tertawa: "Baiklah aku menurut saja pada keputusan pimpinan.
Dan minumlah Jin-som salju dari Yang-ji ini, agaknya khasiatnya cukup membandingi latihan selama lima-enam tahun" "Ah, tidak?" sahut Kwe Cing, "kau sudah melahirkan tiga anak, kekuatanmu tentunya banyak berkurang, kaulah yang perlu tambah jamu kuat.
Nyata cinta kasih antara suami isteri itu benar2 kekal, sesudah tolak menolak akhirnya Kwe Cing berkata: "Sudanlah, biar Jin-som ini kita simpan saja.
Beberapa hari lagi dalam pertarungan ksatria2 tentu ada kawan kita yang terluka, dan benda ini kita simpan untuk menolong jiwa mereka.
" Besok paginya perjamuan besar kaum ksatria itu masih terus dilangsungkan dan di kamar Kwe Yang perjamuan "kecil kaum ksatria juga tetap diadakan.
Sudah siang2 Ui Yong pesan koki agar memasak se-baik2nya untuk tetamu puteri kecilnya itu.
Kwe Hu sendiri sedang mencurahkan seluruh perhatiannya untuk persiapan kemungkinan sang suami, yaitu Yalu Ce, yang bakal merebut kedudukan Pangcu Kay-pang.
Maka terhadap urusan tamu2 aneh sang adik itu sama sekali tak dihiraukannya.
Beberapa hari keadaan demikian itu telah berlangsung dalam pertemuan para ksatria itu sudah selesai dirundingkan dan ditetapkan siasat cara bagaimana menggalang seluruh kekuatan kaum patriot dan cara mengacaukan bala bantuan Mongol serta pertahanan kota.
Para pahlawan sama menggosok2 kepalan penuh semangat menanti datangnya musuh untuk bertempur.
Akhirnya tibalah tanggal 24, pertemuan besar sudah selesai, acara selanjutnya adalah pemilihan pangcu atau ketua Kay-pang, persatuan kaum jembel.
sehabis makan siang, beramai2 para ksatria lantas menuju ke alun2 di selatan kota.
Di tengah alun2 itu terlihatlah satu panggung tinggi megah sudah dipasang, di atas panggung itu kosong bersih tanpa sebuah bangkupun.
Hal ini memang sudah menjadi peraturan Kay-pang turun temurun, tak perduli pertemuan besar rapat kecil, selamanya mereka duduk ditanah sebagai tanda tidak meninggalkan adat asli kaum jembel atau pengemis.
Hanya di sebelah timur panggung teratur beberapa ratus kursi itu melulu disediakan untuk para tamu undangan yang tidak termasuk anggota Kay-pang.
Belum lohor, disekitar panggung itu sudah berjubel lebih dua ribu anggota Kay-pang, semuanya adalah anggota lama dan tergolong tokoh, paling rendah tingkatannya adalah anak murid berkantong empat.
Kedua ribu anggota Kay pang itu tadinya berada di bawah pimpinan empat orang Tianglo atau tertua, yakni yang mula2 terdiri dari Loh-tianglo, yaitu Loh Yu-ka, lalu Kan tianglo, Kho-tianglo dan Peng-tianglo.
Loh-tianglo naik pangkat menjadi Pangcu, sekarang mati dibokong musuh.
Peng-tianglo telah mengkhianat dan terbunuh oleh Cu-in, Kan-tianglo mati tua dan kini tinggal seorang Nio-tianglo saja yang merupakan tertua satu2nya.
Sedang lowongan ketiga Tianglo yang lain itu telah diisi oleh murid berkantong delapan yang dinaikkan pangkatnya.
BegituIah anggota2 Kay-pang itu sama duduk di tanah mengitari panggung itu menurut daerah masing2, sedang beribu ksatria itu duduk dikursi tempat peninjau.
Yalu Ce suami-isteri, Bu Tun si dan Yalu Yen, Bu Siu-bun dan Wanyen Peng cs, karena termasuk angkatan muda, mereka duduk dibarisan kursi yang paling belakang.
Sesudah berlatih giat selama belasan tahun ini, mereka merasa sudah banyak maju, maka diam2 sama memikirkan cara bagaimana nanti akan unjuk kepandaian mereka dihadapan orang banyak.
Kwe Boh lo waktu itu berduduk disamping sang Cici, Kwe Hu, pemuda ini menjadi kegirangan melihat suasana yang begitu ramai, katanya: "Ji-ci benar2 aneh, suasana seramai ini ternyata tak mau menonton.
" "Ah, hati si kecil aneh itu memang sukar menerkanya," sahut Kwe Hu menjengek.
Dalam pada itu terlihatlah disebelah timur sana seorang anak murid Kaypang berkantong delapan telah berdiri dan menempelkan sebuah kulit keong besar kemulutnya dan ditiupnya hingga mengeluarkan suara "hauk-bauk", kiranya telah tiba waktunya antara pukul satu lewat Iohor.
Segera Ui Yong melompat ke atas panggung, ia memberi hormat kepada hadirin, lalu dengan suara hutang berkata, "Perkumpulan kami hari ini mengadakan rapat besar, berkat para pahlawan dan ksatria angkatan tua sudi mengunjungi serta banyak kawan muda yang sudi hadir sebagai peninjau, sungguh segenap anggota perkumpulan kami merasa bangga dan berterima kasih-" Habis ini ia memberi hormat lagi hingga para ksatria di bawah panggung sama berdiri membalas hormatnya.
"Mendiang Loh-pangcu kami" demikian Ui Yong melanjutkan kata pembukaannya, "selama hidupnya selalu berbudi dan berjuang untuk kepentingan rakyat dan negara secara tak kenal lelah.
Sayang kemarin dulu telah dicelakai bangsat Hotu di kelenteng Yo-tayhu di bukit Hiansan.
Dendam ini tidak terbalas, sungguh merupakan suatu noda yang memalukan bagi perkumpulan kita.
. . " Sampai di sini para anggota Kay-pang yang ingat pada kejujuran dan kebaikan budi Loh Yu ka, segera banyak yang ter-guguk2 menangis dan ada pula yang mengertak gigi mengumpat maki si bangsat Hotu.
"Tapi pasukan Mongol yang mengarah ke kota Siangyang kita ini dalam waktu singkat ini sudah akan datang.
" demikian Ui Yong melanjutkan "maka persoalan pribadi jangan dipikir, urusan perkumpulan kami untuk sementara ditangguhkan, nanti saja dibicarakan lagi setelah musuh kita gempur mundur.
" Seketika bersoraklah para hadirin memuji kebijaksanaan Ui Yong yang mengutamakan kepentingan umum daripada urusan pribadi.
"Cuma saja anggota perkumpulan kami yang beratus ribu banyaknya tersebar luas diseluruh pelosok.
. . " demikian Ui Yong menyambung.
"ibarat naga tanpa kepala, maka perlu harus diangkat dulu-seorang pangcu baru.
Dan pada kesempatan inilah kita memilih seorang yang memenuhi syarat, seorang patriot komplit sebagai Pangcu perkumpulan kita.
Adapun caranya memilih baiklah silakan Nio-tianglo saja untuk menerangkannya.
" Segera Nio tianglo melompat ke atas panggung, Walaupun Nio-tianglo sudah tua, rambutnya penuh beruban, tapi dadanya membusung, semangatnya me-nyala2, gaya lompatnya juga gesit dan cekatan, suatu tanda betapa tinggi ilmu silatnya, maka semua orangpun bersorak memuji.
Menunggu setelah suara sorak sorai itu mereda barulah kemudian Nio-tianglo buka suara keras2: "Kepintaran bekas Ui-pangcu tiada bandingannya, apa yang dia katakan barusan pasti tidak salah.
Tapi beliau sendiri merasa sungkan hingga kami yang terdiri dari empat Tianglo serta delapan murid berkantong delapan telah disuruh berunding untuk memutuskan.
Kini sesudah kami berunding setengah harian, akhirnya dapat juga dikemukakan suatu usuI.
" Seketika suasana dibawah panggung menjadi sunyi senyap, semua orang sama ingin mendengarkan apa yang akan diumumkan tertua Kay-pang itu.
"Menurut pendapat kami," demikian Nii tianglo melanjutkan "anak murid Kay-pang tersebar diseluruh jagat, walaupun bukan orang pandai dan tiada berguna, tapi jumlah orangnya tidak sedikit, hendak memimpin sejumlah orang ini, tepat seperti apa yang dikatakan bekas Ui-pangcu tadi bahwa harus dipilih seorang "patriot-komplit".
Kini yang hadir disini semuanya adalah orang gagah terkenal di Kangouw, siapa saja yang sudi menjadi pemimpin perkumpulan kami pasti akan kami sambut dengan gembira.
Cuma para ksatria terlalu banyak untuk memilih juga susah, sebab itulah kami 12 orang lantas menentukan suatu cara yang bodoh," yakni silakan para ksatria suka unjuk kepandaian di atas panggung, siapa lebih kuat dan mana yang lemah biar kita saksikan bersama.
Cuma harus dijelaskan lebih dulu bahwa pertandingan nanti hendaklah berakhir asal salah sepihak sudah tertutuk saja, sebab bila sampai ada orang terluka atau jiwa melayang sungguh perkumpulan kami yang akan berdosa dan bikin perasaan tidak enak.
. Oleh sebab itulah, bila diantara saudara2 ada yang dendam segala, se kali2 tak boleh diselesaikan diatas panggung sini, bila ketentuan ini tidak diturut, itu berarti sengaja mengacau perkumpulan kami, tatkala itu hendaklah jangan menyalahkan kami jika terpaksa diambil tindakan.
" Ketika berkata sampai terakhir ini, sinar mata Nio tianglo menyorot tajam kesekitar hadirin sekalian.
Nio-tianglo tahu bahwa dalam keadaan bertanding dan saling unjuk kemahiran masing2 tentu tak mau saling mengalah hingga bakal ada yang terluka atau mati.
Tapi kini saatnya lagi genting menghadapi musuh dari luar, bukankah berbalik bila terjadi saling bunuh dulu diantara bangsa sendiri" Sebab itulah Nio-tianglo memperingatkan sungguh2 dengan maksud agar orang jangan ambil kesempatan itu untuk balas dendam perseorangan itu.
bila terjadi, tentu be-ramai2 orang akan mengerubutnya.
Mendengar uraian Nio-tianglo itu, keadaan di bawah panggung menjadi sunyi.
Kiranya umumnya jago tua tentunya sudah lama punya kedudukan ketua atau pemimpin aliran masing2 dan tidak mungkin tampil kemuka untuk rebut jabatan Pangcu dari Kay-pang, hanya orang2 muda dibawah umur 40 usianya yang ber-debar2 ingin sekali coba2 mengadu tenaga diatas panggung.
Tapi mengingat harus bertanding dihadapan beribu orang itu dan harus menundukkan anggota2 Kay-pang yang beribu2 banyaknya itu, sesungguhnya bukanlah suatu hal yang mudah.
Karena itulah, sehabis Nio-tianglo bicara tiada seorangpun yang tampak melompat keatas panggung.
"Kecuali beberapa tokoh Locianpwe, ksatria seluruh jagat dan orang2 kosen semuanya berada disini, asal ada yang berminat terhadap perkumpulan kami, bolehlah silakan naik panggung," demikian Nio tianglo berseru lagi dengan suara keras.
"Dan diantara enam murid perkumpulan kita sendiri bila ada yang merasa yakin kepandaiannya tahan diuji, beleh juga naik panggung, sekalipun seorang murid berkantong empat, boleh jadi selama ini ia sengaja menyembunyikan diri hingga tiada yang mengetahui kegagahannya" Setelah Nio tianglo mengulangi beberapa kali undangannya itu, kemudian barulah terdengar suara bentakan seorang yang keras bagai guntur.
"Akulah yang dalang!" Menyusul itu, cepat sekali seorang melompat keatas panggung.
Setelah melihat jelas orang itu, seketika para hadirin terkejut, ternyata tubuh orang ini kekar tegap luar biasa, berat badannya sedikitnya ada 300 kati.
Saking beratnya ketika naik keatas panggung, papan panggung yang dipasang sangat kuat itupun terasa tergetar.
Orang itu berjalan ke depan panggung, tanpa pakai menghormat segala, sebaliknya kedua tangannya menolak pinggang terus berkata: "Aku bernama Tong Tay-hai, berjuluk Jian-kio-tong (wajan seribu kati), jabatan pangcu aku tidak kepingin, tapi siapa yang ingin bergebrak dengan aku boleh silakan naik sini.
" Mendengar itu, hati semua orang menjadi senang, dari lagak- lagu nya teranglah seorang tolol atau dogol.
"Tong-toako," segera Nio-tianglo menyapa, panggung yang kita buka hari ini bukanlah panggung Lui-tay (panggung bertanding silat).
jika sekiranya Tong-toako tidak suka menjadi pangcu perkumpulan kami, harap turun saja.
" "Tidak sudah terang ini adalah Lui-tay, kenapa bilang bukan?" sahut Tong Tay hai menggeleng kepala, "Jika kau melarang berkelahi kenapa kau tadi ber kaok2 suruh orang naik panggung?" Selagi Nio-tianglo hendak menjelaskannya, tiba2 Tong Tay- hai berkata lagi: "Baiklah, jika yang hendak berkelahi dengan aku juga boleh.
" Habis ini, kepalannya segera menjotos ke muka Nio tianglo.
Lekas Nio-tiangto melompat mundur menghindarkan serangan itu, dengan tertawa katanya: "Ah, beberapa tulangku yang tua ini mana sanggup menahan sekali hantaman Tong-toako?" "Memangnya aku sudah menduga kau tak berguna, maka lebih baik lekas menyingkir," ujar Tong Tay-hai dengan tertawa.
Namun belum habis suaranya, tiba2 suatu bayangan berkelebat diatas panggung tahu2 sudah berdiri seorang pengemis yang berbaju compang-camping.
Pengemis ini berusia 30-an, dibelakang punggungnya menggemblok enam buah kantong kain, ialah cucu murid Nio-tianglo, Biasanya si jembel ini sangat menghormat pada kakek-guru itu, kini melihat Jian-kin-teng Tong Tay-bai berani kurang ajar terhadap kakek-gurunya, tak tahan lagi rasa gusarnya dan segera melompat keatas panggung, segera ia berkata dengan dingin: "Kakek-guruku tak nanti sudi bergebrak dengan seorang angkatan muda, Tong-toaco, lebih baik aku menjajal kau tiga kali jotosan saja!" "Bagus!" sambut Tong Tay-hai.
Dan tanpa bertanya nama orang lagi, kepalannya sebesar mangkok itu terus saja menghantam ke dada orang sambil membentak: "Awas, pukulan!" Tak terduga mendadak pengemis itu memutar tubuh dan melangkah setindak kedepan, karena itu pukulan Tong Tay-hai itu tepat mengenai kantong kain yang berada dipunggungnya hingga mengeluarkan suara "bluk".
Ketika pukulannya mengenai-isi kantong orang hingga rasa kepalannya mengenai barang licin dan lunak, Tong Tay-hai menjadi heran.
"Barang apakah di dalam kantongmu itu?" segera ia membentak.
"Biasanya kaum pengemis suka menangkap apa?" sahut si jembel itu dingin.
Seketika Tong Tay-hai terkejut dan berseru: "Hah! Ular.
. . ular. . . " "Ya, memang benar ular!" sahut pengemis itu.
Membayangkan kepalannya tadi, tanpa terasa Tong Tay-hai menjadi ngeri, maka waktu pukulan kedua dilontarkan sekarang ia mengarah muka orang.
. . Siapa tahu pengemis itu lantas melompat ke atas dan memutar tubuh sedikit habis itu, turunnya ke bawah kembali ia sodorkan punggung ke depan orang.
Karena kuatir kepalan sendiri kena digigit ular yang terisi dalam kantong lawan atau pakaiannya mengenai taring ular yang berbisa, maka Tong Tay-hai cepat menarik kembali pukulannya itu, ia berganti tipu dan mendadak menendang keselangkangan lawan.
Melihat orang jeri, si jembel itu diam2 geli, sengaja ia jatuhkan diri dan sedikit membalik hingga kembali kantongnya yang disodorkan pada kaki orang.
Keruan Tong Tay-hai ketakutan, ia berseru kaget sambil berjingkrak.
padahal ular yang berada dalam kantong itu sangat jinak, taring berbisa juga sudah dicabut.
Dan pada saat itulah mendadak pengemis itu melompat maju dan secepat kilat dada Tong Tay-hai dicengkeram nya terus diangkat tinggi2 ke atas sambil berteriak: "Nah, ini namanya Cohpa-ong (nama seorang raja yang kuat) mengangkat Jian kie teng!" Dalam keadaan gugup tadi Tong Tay-hai telah kena dicengkeram "ci kiong-hiat" di dadanya, seketika tubuhnya menjadi lemas tak bisa berkutik, sungguhpun rasa gusarnya tidak kepalang, tapi tak dapat berbuat apa2.
Tong Tay-hai berjuluk Jian-kin-teng (wajan seribu kati), tapi kini "wajan" itu diangkat orang tinggi2, maka seketika pecahlah gelak-tawa penonton.
"Lekas lepaskan, jangan kurang sopan!" cepat Nio-tianglo membentak cucu-muridnya itu.
Maka cepat si jembel itu meletakkan Tong Tay hai ke atas panggung, lalu melompat turun ke bawah dan menghilang di antara orang banyak.
Dasar Tong Tay-hai ini memang dogoI, dengan muka merah padam ia menuding ke bawah panggung sambil mencaci-maki: "Pengemis bangsat, hayolah jika berani maju lagi! Main sembunyi2, termasuk orang gagah macam apa" Hayolah maju pengemis busuk" pengemis sialan!" Terus menerus ia memaki pengemis, padahal di bawah panggung itu terdapat beribu anggota Kay-pang, tapi karena merasa lucu, maka tiada orang menggubrisnya.
Pada saat itulah mendadak bayangan seorang melayang ke atas panggung dengan enteng sekali ketika kaki kirinya menancap tepi panggung,tiba2 tubuh orang itu ter-huyung2 se-akan2 merosot jatuh.
sungguhpun orangnya dogol tapi hati Tong tai-hai ternyata baik, ia berveru.
"Eh, hati2. . . !" Dia berlari maju hendak menarik orang, tapi ternyata melesetlah dugaannya, ia tidak tahu bahwa orang itu sengaja pamerkan ilmu silatnya yang tinggi dihadapan orang banyak, ketika tangan Tong Tay-hay memegang lengan kiri orang itu, mendadak orang itu mcmbaliki tangan terus diayun dengan gerakan Kim-na-jiu-hoat (ilmu mencekal dan raenawan) hingga tanpa kuasa lagi tubuh Tong Tay-hai segede kerbau itu melayang keluar panggung dan jatuh terbanting di tanah.
Waktu semua orang mengamati orang itu, ternyata pakaiannya rajin bersih, alisnya panjang dan matanya jeli, kiranya adalah muridnya Kwe Cing, Bu Siu-bun adanya.
Menyaksikan muridnya mengunjukkan tipu gerakan yang meski gayanya sangat bagus, tapi terlalu sombong, se-kali2 bukan, perbuatan seorang jujur, maka dalam hati Kwe Cing menjadi kurang senang.
Betul saja, dibawah panggung segera banyak suara gerondelan orang yang tidak setuju, berbareng dari kanan-kiri bergema tiga suara orang: "Kepandaian bagus! Marilah kita belajar kenal berapa jurus!" "Macam apakah cara itu?" "Orang bermaksud baik menarik kau tapi kau malah membantingnya, benar2 kurang pantas!" Dan berbareng itu tiga orang sudah melompat keatas panggung.
ilmu silat Bu Siu-bun adalah ajaran Kwe Cing dan Ui Yong, pula mempunyai dasar kepandaian, yaitu mendapat pelajaran dari sang ayah, Bu Samthong serta It-yangci" yang diperolehnya dari sang Susiok, Cu Cu-liu, Kini kepandaiannya dalam angkatan muda sudah boleh dikatakan kelas terkemuka.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat tiga lawan datang sekaligus, diam2 ia bargirang, pikirnya: "Ha, kebetulan aku kalahkan tiga orang ini barulah dapat menunjukkan betapa lihay ilmu silatku.
" Kuatir ketiga orang itu akan menempurnya secara bergiliran, maka tanpa berkata lagi segera ia mendahului bergerak, dalam sekejap saja ia sudah melontarkan serangan masing2 sekali kearah tiga lawan itu.
Ketiga orang itu belum lagi berdiri tegap di atas panggung, tapi datang2 lantas diserang, dalam gugupnya lekas2 mereka menangkis, namun kerepotan juga.
Siu-bun tidak tunggu lawan ada kesempatan berpikir, cepat kedua tangannya susul-menyusul menyerang pula hingga satu mengurung tiga di-tengah2, ia sendiri berada dilingkaran luar mengitar kian kemari secepat terbang, sebaliknya ketiga orang yang tergencet di-tengah2 menjadi saling desak hingga gerak-gerik mereka kurang leluasa.
Menyaksikan itu, para pahlawan di bawah panggung seketika terkejut, semuanya berpikir "Nyata nama Kwe tayhiap yang menggetarkan kolong langit ini memang bukan omong kosong belaka, buktinya muridnya saja sedemikian lihaynya.
" Ketiga orang yang terkurung ditengah ini satu-sama-lain tidak kenal, lebih2 tak paham dari aliran mana ilmu silat masing2, kini kena dikurung Siu bun, seketika mereka susab bergerak dan tak dapat saling membantu, sebaliknya malah terasa saling merintangi.
Berapa kali ketiga orang itu hendak menerjang keluar, tapi selalu tertahan oleh pukulan2 Bu Siu-bun yang ber tubi2 bagai hujan.
Melihat sang suami sudah berada diatas angin, tentu saja dalam hati Wanyan Peng sangat girang, sebaliknya Kwe Hu lantas berkata: "Ah, tiga orang goblok ini sudah tentu bukan tandingan engkoh-Bu kecil, padahal buat apa dia pamer kegagahannya sekarang hingga banyak membuang tenaga saja, kalau sebentar ada jago kuat naik panggung, bukankah akan susah menandinginya?" Wanyen Peng berperangai halus, maka ia hanya tersenyum saja tanpa menjawab.
Sebaliknya Yalu-Yen adalah seorang berhati lugu dan tidak pantang omong, meski Kwe-Hu adalah enso (isteri kakaknya), tapi kedua orang sering adu mulut, kini mendengar kata2 enso ini, dapatlah ia menduga maksud hati orang, maka katanya: "Kalau adik ipar sudah membereskan dulu sebagaian lawan dan nanti Tuh-si juga maju membereskan sebagian lawan Iagi.
Paling akhir barulah Koko sendiri naik panggung mengalahkan semua pahlawan maka kau akan menjadi nyonya Pangcu secara aman, bukankah lebih baik begitu?" Wajah Kwe Hu menjadi merah, jawabnya: "Ah, begini banyak orang gagah yang hadir disini.
Siapa yang tidak ingin menjadi Pangcu" Mnsa bisa dikatakan sudah "aman" segala?" "Ya, sebenarnya Koko-ku juga tak perlu naik panggung," kata Yalu Yen lagi.
"Maksudmu?" tanya Kwe Hu heran.
"Bukankah tadi Nio-tianglo bercerita bahwa dahulu dalam usia belasan tahun Subo (ibu guru) sudah menjadi Pangcu dengan mengandalkan sebatang pentung bambu.
Kata pribahasa, ada sang ibu pasti ada sang puteri, Maka menurut aku, Enso, paling baik kalau kau yang naik panggung daripada Kokoku.
" "Bagus, kau sengaja ber olok2 diriku, ya?" omel Kwe Hu sembari ulur tangannya hendak mengitik-itik ketiak orang.
Tapi cepat Yalu Yen mengumpet kebelakang Yalu Ce sambil berseru tertawa: "Tolong Pangcu, belum2 nyonya Pangcu sudah akan membunuh orang!" Begitulah, meski waktu itu usia Kwe Hu dan Bu-si Hengte sudah lebih tiga puluh, tapi sejak kecil sudah biasa bergurau, sungguhpun Yalu Yen dan Wanyen Peng juga sudah punya putra-putri, namun bila bertemu masih suka berkelakar seperti waktu muda.
Tatkala itu Ui Yong berduduk disamping Kwe Cing sambil kadang2 memandang jauh ke sekelilingnya, ia ingin mengamat-amati kalau2 ada orang asing menyelundup masuk diantara orang banyak Disekitar alun2 itu juga sudah diatur penjaggaan oleh anak murid Kay-pang agar bila ada sesuatu yang mencurigakan harus segera melapor.
Betapapun ia kuatir kalau2 Seng-in Suthay, Han Buhou, Thio It-bin cs datang mengacau, tapi tampaknya kini sudah mendekat sore, keadaan masih tenang2 saja seperti biasa, diam2 ia pikir: "Ada apakah kedatangan mereka ke Siangyang sini" Kalau dibilang ada sesuatu tujuan, kenapa belum lagi kelihatan sesuatu tanda" jika melulu untuk memberi selamat pada Yang-ji, rasanya tidaklah masuk akal.
" Ketika ia memandang ke atas panggung, ternyata sekali pukul Bu Siu-bun sudah menjatuhkan dua lawannya kebawah, tinggal seorang lagi yang masih bertahan mati2an, tapi dapat diduga dalam lima jurus pasti akan dikalahkan juga.
"Hari ini para pahlawan dari segenap pelosok berada disini untuk berebut jabatan Pangcu dari Kay-pang, akhirnya nanti entah siapa yang unggul dan menduduki jabatan itu?" demikian diam2 Ui Yong membatin.
"Begitu pula hati beratus pahlawan di bawah panggung saat itupun mempunyai pikiran seperti itu.
Tapi ditaman bunga, dibelakang rumah keluarga Kwe itu ternyata ada seorang yang sama sekali tidak memikirkan kejadian luar biasa dikota sekarang ini.
Yang sedang dipikirkan adalah: "Hari itu telah kuserahkan sebuah jarum emas, padanya dan kukatakan agar hari ini ia datang menemui aku karena hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 16.
Tatkala itu ia sendiri sudah menyanggupi tapi kenapa sampai saat ini masih belum datang?" Begitulah anak dara itu sedang duduk ditengah gardu di dalam taman yang dilingkungi bunga beraneka warna, anak dara itu bersandar pada hek gardu dan ter-menung2 sambil menyaksikan sang betara surya lambat-laun menggeser kebarat.
Dalam hatinya berpikir pula "Hari sudah larut sekalipun sekarang juga ia datang, hanya tinggal waktu tiada setengah hari saja untuk berkumpul" Sambil memandangi bayang2 tetumbuhan di tanah, tangannya memegangi sebuah jarum emas satu2 nya itu sambil menggumam pelahan lagi: "Ya, aku masih dapat mengharap sesuatu darinya.
. . . tapi boleh jadi sama sekali ia sudah melupakan diriku hingga lupa datang menjenguk daku, lalu harapan ketiga ini apa bisa kuutarakan lagi?" Kemudian gumamnya pula: "Ah, tak mungkin, pasti tak mungkin ia adalah pendekar besar di jaman ini, tentu pegang janji, mana bisa menjilat kembali apa yang sudah pernah dikatakannya" Lewat sebentar lagi, ya, sebentar lagu tentu akan datang menyambangi aku" Teringat segera akan bertemu, tanpa terasa pipinya lantas bersemu merah, jarinya yang memegangi jarum emas itu rada gemetar.
Begitulah kalau di taman bunga, si cilik Kwe Yang lagi dirundung rindu, adalah di tengah alun2 Ui Yong justru sedang menyelami perasaan puteri kecilnya itu.
Ia pikir, "Menurut apa yang dialami kedua puterinya di kelenteng Yo-tayhu, dimana ada orang kosen diam2 telah menolongnya.
Kata Cing-koko, selamanya hanya ada dua orang memiliki tenaga dalam sekuat itu, yaitu kalau bukan Ang Chit-kong almarhum, tentunya Cing-koko sendiri.
Tapi guru berbudi luhur itu sudah wafat, Cing-koko lebih2 tak mungkin.
Kalau begitu apakah orang yang mengundang manusia2 aneh dari segala tempat untuk memberi selamat pada Yang-ji itu adalah seorang kosen lain lagi" Jika Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, si tua nakal itu tabiatnya memang-suka main gila tapi tindak-tanduknya tidak begitu rapi.
It-teng Taysu orangnya prihatin, tidak nanti suka buang waktu percuma, sedang Se-tok Auyang Hong dan Cu-in Hwesio alias Kiu-Jianyim sudah mati semua, lalu apakah mungkin ialah Ayah" Memang tindak tanduk Ui Yok Su yang aneh2 dan sukar diraba itu rada2 mirip dengan apa yang dilihatnya sekarang ini.
" PuIa Ui Yok-su memang terkenal dengan nama "Tang-sia" atau manusia aneh dari timur yang namanya menggetarkan Kangouw beberapa puluh tahun yang lalu, kalau dia yang tampil kemuka mengundang tokoh2 silat itu, rasanya orang pasti akan memenuhinya.
Walaupun tidaklah patut orang tua itu main2 dengan puteri dan cucunya, tapi siapa bisa menduga akan kelakuannya yang terkenal aneh itu, atau bukan mustahil didalamnya ada pula maksud tujuan lain" Berpikir sampai disini, segera Ui Yong menggapai Kwe Hu agar mendekatinya, lalu dengaa berbisik ia menanya: "Adikmu menghilang sehari semalam di kota tambangan Hong-leng, ketika kembali pernah tidak ia bicara, tentang Gwakong?" Kwe Hu tercengang oleh pertanyaan tiada ujung-pangkal ini.
"Gwa Kong?" ia menegas, "Ooh tidak.
Bahkan muka Gwakong saja adik belum pernah kenal.
" "Coba kau meng-ingat2nya, ketika ia ikut pergi si setan Se-san di tambangan Hongleng itu, pernah ia me-nyebut2 siapa lagi tidak?" desak Ui Yong.
"Tidak, tak pernah dia sebut2," sahut Kwe Hu.
ia tahu kepergian adiknya tempo hari justeru ingin melihat Nyo Ko, tapi dihadapan ayah-bundanya paling ditakutinya bila bicara menyangkut namanya- Nyo Ko, sebab bila mendengar nama itu, sang ibu masih mendingan, tapi sang ayah seketika akan menarik muka hingga beberapa hari tak bicara padanya, sebab itulah, kalau adiknya tidak sebut, iapun lebih suka tutup mulut, apalagi urusan sudah lalu, untuk apa nama orang- itu di-ungkat2 buat cari penyakit sendiri" Tapi Ui Yong adalah wanita cerdik dan pandai, sedikit melihat air muka puteri sulung itu berubah, segera ia menduga pasti tersembunyi sesuatu.
Maka dengan sungguh2 segera ia mendesak lagi.
"Apa yang bakal terjadi didepan mata ini bukanlah main2, coba katakan, apa yang pernah kau dengar, lekas kau katakan terus tarang padaku.
" Melihat wajah sang ibu sungguh2, tak berani lagi Kwe Hu membohongi maka katanya: "Ketika dalam perjalanan mendengar orang mengobrol tentang apa yang disebut Sin-tiau-rayhiap, ialah.
. . ialah Nyo. . . Nyo Ko, adik lantas bilang ingin pergi melihatnya.
" Terkesiap hati Ui Yong, "Lalu dapat dilihatnya tidak?" tanyanya.
"Pasti tidak," kata Kwe Hu.
"Jika sudah, menurut watak adik masakah tidak terus dibuat bahan cerita?" "Ah, Ko ji, benar2 Ko-ji, benar2 dia!" demikian diam2 Ui Yong berkata dalam hati.
Segera ia tanya lagi. "Dan menurut pendapatmu orang yang diam2 membantu kalian membunuh Nimo Singh dikelenteng Yo tayhu itu, dia atau bukan?" "Mana mungkin?" sahut Kwe Hu.
"Nyo. . . Nyo toako mana bisa memiliki ilmu silat begitu bagus?".
"Apa saja yang kau percakapkan dengan adikmu dikelenteng itu, coba ceritakan seluruhnya, satu patah katapun tak boleh melompat," desak Ui Yong.
"Juga tiada apa2 yang kami bicarakan memang sudah biasa adik suka adu mulut dengan aku," sahut Kwe Hu.
Lalu iapun tuturkan tentang adik perempuannya itu menyatakan takkan menghadiri Eng-hiong-tay-hwe, takkan menyaksikan pemilihan pangcu serta bilang pada Shejitnya nanti bakat ada seorang ksatria muda yang gagah perkasa akan datang menyambanginya.
Habis menuturkan semuanya itu, akhirnya ditambahkannya dengan tertawa: "Dan betul juga tidak sedikit sobatnya telah datang, cuma kalau bukan sebangsa Hwesio atau Nikoh, ternyata adalah kakek2 dan nenek2, sedangkan ksatria muda gagah perkasa entahlah?" Mendengar sampai disini, tidak ragu2 lagi Ui Yong, ia yakin orang yang dimaksudkan Kwe Yang itu tentulah Nyo Ko.
ia menaksir tentunya Kwe Yang dan Nyo Ko sudah berjanji untuk bertemu dikelenteng Yo-tayhu, tapi kena dikacau oleh datangnya Kwe Hu, untuk membela kehormatan Kwe Yang, lalu Nyo Ko mengundang tokoh2 Kangouw yang banyak itu untuk memberi kado serta memberi selamat hari ulang tahunnya.
"Tapi, untuk apa ia korbankan begitu banyak tenaga dan pikiran untuk Yang ji?" demikian pikirnya pula, Apabila teringat olehnya selama beberapa hari ini puteri kecil itu selalu lesu, pikiran tak tenteram kadang2 pipinya merah jengah mendadak tanpa terasa Ui Yong menarik napas dingin: "Celaka, jangan2 selama menghilang sehari semalam itu ditambangan Hongleng Yang-ji telah berbuat hal tidak senonoh dengan, dia?" Menyusul itu lantas terpikir pula olehnya: "Nyo Ko sakit hati karena aku membinasakan ayahnya, ia benci pula Hu-ji yang mengutungi lengannya dan melukai Siao-liong li dengan jarum berbisa, Ah, janji Siao liong-li yang akan bertemu padanya lagi sesudah 16 tahun, tahun inilah tahun ke-16 itu.
Ha, kalau begitu, agaknya Nyo Ko datang untuk membalas dendamnya.
" Teringat akan kata2 "Nyo Ko datang untuk membalas dendam", tanpa terasa Ui Yong menjadi ngeri, ia cukup kenal kepintaran Nyo Ko meski belum melebihi dirinya, tapi orang ini sejak kecil tindak tanduknya sudah sangat lihay, cintanya terhadap Siao liong-li sangat mendalam dan murni, setelah menunggu selama 16 tahun ini, tapi tidak bersua kembali, tentulah penasaran itu akan dicari pangkal pokok yang menyebabkannya dan tentu akan benci luar biasa pada-keluarga Kwe.
Dan dendam selama 16 tahun ini kalau menuruti sifat Nyo Ko yang luar biasa itu tak nanti puas hanya sekali hantam membinasakan Kwe Hu saja, tapi pasti akan menggunakan tipu akal yang paling keji untuk membalas sakit hati itu secara besar2-an.
"Apakah ia sengaja hendak memancing Yangji masuk perangkapnya, membikin anak ini jatuh hati dan menyerah padanya, lalu menyiksanya lahir batin, mati tidak, hidup tidak" Ah, ya, ya, benar, kalau turuti watak Nyo Ko memang benar akan dilakukannya," demikian pikir Ui Yong pula.
Biia teringat semua ini, perasaan tertekan selama beberapa hari segera menjadi buyar, ia menduga sebabnya Nyo Ko mau bunuh Nimo Singh untuk menolong Yang-ji dan mengundang begitu banyak tokoh2 silat untuk datang memberi selamat padanya, semua ini bertujuan untuk menarik hati anak dara itu.
Diam2 Ui Yong menghitung lagi dan berpikir.
Tapi ada sesuatu yang tidak benar! Hari ini tepat adalah ulang tahun Yang-ji, Enam belas tahun yang lalu ketika Yang ji lahir, lewat beberapa bulan kemudian barulah ia berpisah dengan Siao-liong-li di lembah Coat-ceng-kok, layaknya kalau dia mau balas dendam juga harus menunggu genap 16 tahun, yalah sesudah lewat janjinya bertemu dengan Siao-liong-Ii.
Meski janji bertemu 16 tahun kemudian itu sukar dipercaya, tapi tulisan yang ditinggalkan itu jelas tulisan Siao liong li, siapa tahu kalau mereka suami isteii benar2 akan berkumpul pula" Apakah mungkin ayahku.
. . . atau mungkin bualan tentang Lam-hay Sin-ni?" Begitulah makin dipikir perasaannya mulai tak enak, "Ah, biarlah apapun jadinya, jika Yang-ji bertemu lagi dengan dia pastilah terlalu banyak risikonya, Sifat Yangji masih polos kekanak2an, mana bisa memahami hati manusia yang kejam dan keji?" Pada saat itulah tiba2 terdengar suara jeritan, kiranya Bu Siu-bun telah merobohkan lagi lawannya yang tinggal satu tadi.
Lalu Ui Yong mendekati suaminya dan membisikinya: "Kau mengawasi di sini, biar aku pergi menjenguk Yang-ji.
" "Yang ji tidak datang?" tanya Kwe Cing.
"Ya, biar aku sendiri memanggilnya, budak cilik ini memang aneh," sahut sang isteri.
Ketika sampai di kamar puteri kecil itu, ternyata Kwe Yang tidak di kamar, ia tanya pelayan, katanya puteri kecil itu berada di taman bunga dan melarang orang mengganggunya.
Ui Yong terkejut, pikirnya: "Ah, Yang-ji tidak mau menonton pertandingan ramai di alun2, tentu karena dia sudah ada janji dengan Nyo Ko.
" Segera ia kembali ke kamar sendiri, ia bawa senjata rahasia seperlunya dan menyelipkan sebilah pedang pendek, lalu membawa lagi pentung pendek terus menuju ke taman bunga di belakang rumah.
Ia tahu ilmu silat Nyo Ko sekarang tentu lain daripada dulu, sesungguhnya lawan yang menakutkan, sebab itu tak berani ia ayal, ia tidak melalui jalanan taman yang ber-batu2 kecil itu, tapi memutar dari belakang gunung2an.
Istana Kumala Putih 2 Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Lentera Maut 14
^