Pencarian

Kitab Mudjidjad 1

Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 1


"Kitab Mudjidjad (Lanjutan Bocah Sakti) Karya : Wang Yu Jilid 1 Bagian-01. Pagi-pagi. . . . Matahari pagi mulai muncul dari balik gunung,
gemilang cahayanya mempesonakan kepada siapa yang
menyaksikannya. Kabut pagi dengan sebentar saja telah tersapu oleh
panasnya sengatan surya, dan suasana alam menjadi
terang benderang. Pada saat itulah tampak diatas lembah Tong-hong-gay
melayang seekor burung rajawali raksasa dengan diatas
punggungnya membawa muatan dua insan muda mudi
yang tertawa dengan amat gembira sekali.
Mereka adalah Kwee In dan Eng Lian, pasangan yang
paling akrab dalam cerita Bocah Sakti.
Ternyata mereka telah kembali ke lembah Tong Honggay,
tempat dari mana asalnya mereka keluar untuk
mencari pengalaman dalam dunia Kang-ouw.
Eng Lian yang duduk didepan saban2 menoleh
kebelakang mengajak Kwee In bicara sambil ter-senyum2
kegirangan. "Adik In, akhirnya kita kembali kelembah Tong Honggay
dan menunggang lagi Tiauw-heng, sungguh
membuat hatiku senang sekali...." demikian kata Eng
Lian" Tiada yang lebih menyenangkan dari keadaan kita
seperti ini." sahut Kwee In dengan ketawanya cengirnya
yang khas. "Memang kau anak nakal selalu maunya berdekatan
saja dengan encimu." kata Eng Lian lagi tersenyum
manis seraya mencubit pelahan pipinya Kwee In.
"Aku paling takut kalau berjauhan dengan enciku yang
manis." sahut Kwee In nakaL
"Apa iya?" tanya si dara manya.
"Bila berjauhan dengan enci Lian, seperti juga aku
kehlangan pegangan- . ."
"Adik In, ini kau bicara dari hatimu yang tulus?"
"Sejak kapan aku membohongi enciku?"
Eng Lian menatap wajah cakap dari Kwee In, hatinya
amat senang dan bangga sekali. Kata2 demikianlah yang
diharap dari mulutnya Kwee In siang dan malam.
Per-lahan2 ia menyandarkan badannya pada dadanya
Kwee In dan tidak segan2 Kwee In telah memeluk si dara
nakal. Hatinya Eng Lian bergejolak kegirangan-
"Adik In, kau peluklah encimu lebih erat. . . ." kata si
dara cilik. Kwee in menurut.
Hangat rasanya Eng Lian rasakan dalam pelukan
orang yang dipujanya. Dengan suara agak gemetar ia
berkata "Adik In, inilah saat yang selalu encimu impikan,
apakah kau tak memikirkannya. . .?"
"Enci Lian, rasanya ak akan terus2an tolol. Hahahaha.
. ." Eng Lian angkat kepalanya dan mengawasi sang adik
yang dicintainya. Mulutnya bergerak2 seperti hendak
bicara tapi tidak keluar. Hanya bibirnya tampak agak
gemetar, sepasang matanya yang jeli bermain seperti
memohon. "Aku tahu. . . ." kata Kwee In perlahan, kepalanya
disenderkan dan ketika itu juga dua pasang bibir merapat
mesra dalam arti kasih sayang bukan karena napsu iblis.
. . . dalam pada itu burung rajawali me-layang2 terus
membawa muatannya yang ber-kasih2an.
"Adik In." kata Eng Lian setelah ia bernapas dari
ciuman hangat barusan. "Kenapa namamu tak diganti menjadi SIN, bukankah
sudah terang kau bernama Sin?"
"Aku lebih senang pakai nama In, yang sudah nempel
dibibir enci2 sekalian." sahut Kwee In, "Ayah dan ibu
sudah perkenankan, hanya she-nya mereka tak mengerti
kalau aku tak menggantinya, maka aku jadi mengalah.
Hahahaha. . . ." "Anak nakal, berani-berani merubah nama yang sudah
diberikan oleh orang tua." kata Eng Lian tersenyum
seraya menowel pipi Kwee In.
Kwee In ketawa, "Enci Lian, kau pakai anting2 itu
kelihatannya tambah menonjol kecantikan enci, sungguh
membuat Hek bin Sin-tong terpesona." Kwee In
berkelekar. "Apa iya, adikku?" tanya Eng Lian, matanya
mengerling memikat. "Enci Lian, kau. . . ." Kwee In berkata sambil
merangkul Eng Lian dan kembali dara cilik kita
merasakan hangatnya ciuman Kwee In.
"Adikku. . ." kata Eng Lian perlahan, "Kenapakah kau
jadi nakal begini. . .?"
"Enciku, ini bukannya nakal, sudah kemauannya
alam." bisik Kwee In.
Eng Lian mencubit, tapi tak bertenaga karena
merasakan pelukan Kwee In makin erat dengan penuh
kasih sayang. "Eh" tiba2 Eng Lian berontak dari pelukan Kwee In.
"Kau kenapa, enci Lian?" tanya Kwee In kaget.
"Kau peluki encimu terus2an begini, apa enci Hiang
nanti tidak cemburu?" Eng Lian menanya dengan wajah
ter-senyum2. Kwee In terkejut mendengar si nona timbulkan soal
Bwee Hiang. Meskipun demikian ia tidak kentarakan diwayahnya. Ia
tersenyum dan berkata "Enci Hiang ada pada ibunya dimarkas Ngo-tok-kauw
mana ia lihat kita berdua Sekarang" Taruh ia tahu juga,
paling2 ia mentertawakan perbuatan kita2, Enci Hiang
adalah gadis yang paling aku hormati, ia Sangat baik dan
pribadinya halus tidak bakal ia menaruh cemburu kepada
kita." Eng Lian tergetar hatinya mendengar perkataan Kwee
In. Ia memang akui Bwee Hiang adalah satu gadis yang
sangat baik hatinya. Sampai sebegitu jauh Eng Lian kenal
Bwee Hiang gadis itu ada terlalu baik terhadapnya.
Pantasan kalau adik Innya memuji kebaikannya Bwee
Hiang, belum pernah ia nampak wayahnya Bwee Hiang
berubah tidak senang, apabila kebetulan menampak ia
sedang bersenda gurau dengan adik Innya, itulah
menandakan bahwa Bwee Hiang berhati lapang dan
perangainya sangat halus, rupanya ia puas kalau Bwee
Hiang dan Eng Lian masing2 menyayangi Kwee In, si
bocah wajah hitam yang masih belum diketahui siapa
orang tuanya. "Adik In." kata Eng Lian, "Memang enci Hiang adalah
seorang yang baik dan polos hatinya, aku senang
padanya. . . Aku girang kalau kau ambil juga enci Hiang,
bersama dia aku akan melayani kau seumur hidup, . . ."
Eng Lian tundukkan kepala setelah berkata demikian-
"Enci Lian kau adalah gadis berhati mulia. Sungguh
aku sangat berterima kasih atas kebaikanmu, semoga
cita2 kita hidup bertiga dengan enci Hiang dikabulkan
oleh Tuhan dan menjadi kenyataan. Kita sudah biasa
bersenda gurau, oh, bagaimana girangnya kita bila cita2
itu menjadi kenyataan-"
Eng Lian unjuk paras senang mendengar perkataan
Kwee In. Sementara itu sang rajawali telah mendarat tidak jauh
dari taman bunga dahulu Eng Lian diculik oleh Ang Hoa
Lojin. Eng Lian senang sekali mengunjungi taman bunga
yang beraneka macamnya. . . Sambil bergandengan
tangan sepasang muda mudi itu memasuki taman-
Eng Lian seperti lagaknya anak kecil, lihat sana dan
lari sini menguber kupu-kupu yang beterbangan habis
menghisap madu bunga. Beberapa kembang yang indah
telah dipetiknya seraya saban2 memanggil Kwee In
untuk datang dekat padanya.
"Eng Lian, disinilah dahulu kau diculik si Nenek
Kembang Merah, bukan?" tanya Kwee In sambil ketawa
ter-bahak2. "Adik In, kau ketawakan aku?" sahut sidara cilik
seraya deliki matanya, "coba sekarang ia berani menculik
aku, kalau aku tidak hajar setengah mampus, jangan
panggil aku si Lian lagi"
"Aiiih, galak benar." goda Kwee In,
"Eng Lian dahulu dan Eng Lian sekarang lain-" berkata
pula si dara dengan gaya jenaka.
"Bagaimana kalau Hek-bin Sin-tong yang menculik?"
tanya Kwee In. Sambil memetik kembang matanya Eng
Lian melirik tajam. "Anak nakal, kau godai encimu?" tegurnya. "Hek bin
Sin-tong sudah tidak ada sekarang, yang ada Giok-bin
Long-kun, Hihihi. . . ."
Kwee In melengak mendengar perkataan Eng Lian-
Giok-bin Long-kun artinya "Perjaka muka kumala"
(wayahnya sangat cakap) "Siapa itu Giok bin Long-kun?"
tanya Kwee In keheranan. "Siapa lagi kalau bukan si orang she Kwee nama In
yang nakal." sahut si nona jelita ketawa.
Kwee In melengak. tapi diam2 ia merasa senang
mendapat nama barunya yang demikia gagah dan
indahnya. Ia tidak mengira enci Liannya menjuluki ia
seorang yang berwajah sangat cakap. bukan lagi si
bocah berwajah hitam legam seperti pantat kuali.
"Enci Lian, kau bisa saja menjuluki orang." kata Kwee
In ketawa cengir. "Apa kurang tepat encimu kasih julukan demikian"
Coba nanti tanya enci Hiang pasti ia akan dengar
perkataan encimu." sahut Eng Lian seraya ketawa
cekikikan- Kwee In juga ketawa. Ia melihat Eng Lian kepanasan
oleh sinarnya matahari pagi, tampak wayahnya makin
cantik. Kedua pipinya yang putih halus memerah kena
sorotnya sang batara surya.
"Enci Lian, pipimu yang halus putih memerah indah
kena sorotnya matahari."
"Apa sangkut pautnya pipiku memerah karena
matahari?" "Membuat aku ingin sekali. . . .ah, sudahlah. . . ."
Eng Lian heran, "Angot lagi adatmu. adik In- Kau
sebenarnya ingin apa?"
"Aku ingin memegangnya. ..." sahutnya, seraya
tertawa. Eng Lian monyongkan mulutnya dengan gaya
jenaka sekali. Kwee In datang menghampiri.
"Kau mau apa datang dekat-dekat" tegur sang gadis.
"Aku mau memegangnya." sahut Kwee In, seraya
mengulur tangannya. "Nah Ini pegang" kata Eng Lian seraya sodorkan
setangkai bunga yang berduri. hingga Kwee In terpegang
durinya tangkai bunga. Ia kesakitan, membuat Eng Lian cekikikan lari
menjauhi si bocah nakal. Tapi Kwee In sangat sebat,
baru saja Eng Lian sampai dibawah pohon untuk
mengumpet sambil masih ketawa cekikikan tiba2 ia
rasakan dua lengan yang kuat telah merangkul dirinya
hingga si dara kaget. "Adik In, kau nakal betul. ..." katanya, sementara itu
pipinya yang ke-merah2an tadi sudah kena dikecup
beberapa kali oleh si bocah nakal.
"Enci Lian- ..." bisiknya, "Kau senang kalau melihat
adikmu penasaran?" Eng Lian melengak heran- "Penasaran apa, kau penasaran apa, adik in?"
tanyanya kepingin tahu. "Penasaran kalau enci tidak menyerahan sesuatu yang
diinginkan oleh adikmu."
Terbelalak matanya Eng Lian- Hatinya berdebaran
ketika kembali pipinya dikecup oleh Kwee In.
dalam hatinya berpikiri "Apa artinya kata sesuatu yang
diingini oleh adik In" Kalau ia menginginkan sesuatu
mengenai pipi dan bibir, aku boleh menyerah tapi kalau
ia menginginkan sesuatu yang bukan2, apakah aku harus
menyerah" oh. . . adik in rupanya sudah mulai nantang. .
. ." Pipinya Eng Lian seketika itu dirasakan panas, tiba2
setelah memikir demikian-
"Enci Lian, apakah kau sakit?" tanya Kwee in, ketika
merasakan pipinya Eng Lian mendadak dirasakan sangat
panas. "oh, tidak...tidak. . ." sahut si gadis, diam2 ia merasa
jengah sendirinya. Kwee In sementara itu sudah
melepaskan pelUkannya. "Hahahaha. . ." terdengar suara ketawa tiba2 dari
balik pohon, sementara orangnya pun muncul.
Kwee In tidak kaget mendengar suara ketawa orang.
ia hanya mengawasi kepada orang yang barusan muncul
dari balik pohon yang disusul oleh empat orang
kawannya. oang yang pertama muncul beralis tebal, berewokan
lebat, Usianya sekitar lima puluhan, sementara
kawan2nya usianya juga tidak berjauhan, semuanya
tinggi besar dan bengis romannya menakutkan bagi
orang yang hatinya kecil. Eng Lian ketawa ngikik melihat
lima orang didepannya. "Siang hari belong main cinta ditempat terbuka,
sungguh bagus" berkata si berewokan seraya ngakak
ketawa. "Kami main cinta, main gila ditempat terbuka, apa


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangkut pautnya dengan kau" bentak Eng Lian marah,
"Memangnya kebagusan mukamu muncul didepan
nonamu?" "Nona kecil, kau jangan galak2." sahut si berewokan
kalem, "Aku tidak akan mengerecoki perasaanmu, asal
kau suka memberitahukan dimana adanya Hek bin Sintong"
Eng Lian menatap wajah Kwee In mendengar
perkataan orang itu. "Kau ada urusan apa dengan Hek bin Sin-tong?" tanya
Kwee In. "Kau jangan menanyakan kami ada urusan apa, lekas
kasih tahu saja dimana adanya si Bocah Muka Hitam itu,
kami semua akan menjadi tamunya" jawab si berewok.
"Karena kau tidak mau kasih tahu maksud mencari
Hek bin Sin-tong, menyesal aku juga tidak mau memberi
tahu dimana adanya si bocah itu," sahut Kwee In.
Terbelalak matanya si berewokan- ia menatap tajam
pada Kwee In- "Kau siapa, anak muda?" akhirnya ia menanya.
"Aku adalah kacungnya Hek-bin Sin-tong." sahut Kwee
In. "Bag us, kalau kau kacungnya, tentu kau dapat
membawa kami kesana." .
"Siapa yang sudi mengajak orang yang tidak dikenaL"
"Kami adalah Houw-san Ngo-kiam, masih kau tidak
kenal namanya yang sudah termashur dalam Rimba
Persilatan?" berkata si berewokan- Houw-san Ngo-kiam
artinya Lima pedang dari gunung Harimau. Mereka terdiri
dari lima saudara she The, bernama Go, Seng, Kiang,
Siong dan Beng. Si berewokan tadi, adalah saudara
paling tua yang bernama Go.
Mereka berlima dalam kalangan Kang-ouw sudah
mengangkat nama juga, orang sohorkan ilmu pedangnya
yang hebat. Masing2 mempunyai kepandaian yang khas
dalam ilmu pedang, lebih kuat dan hebat lagi kalau
mereka berlima menggunakan barisan Ngo-kiam-tin
(barisan lima pedang), hebat sekali. Belum pernah
musuhnya yang lebih kuat dapat meloloskan diri dari
Ngo-kiam-tin, tanpa mendapat luka2 parah dibadannya.
Oleh karena keunggulan itu, mereka jadi kepala besar
dan perbuatannya agak nyeleweng, hingga
menjengkelkan kepada para kesatria yang membela
kebenaran- Cuma saja mereka tidak mau mencampuri
urusan dengan lima saudara she The itu, karena takut
dengan Ngo-kiam-tinnya yang sangat liehay.
Kalau satu persatu barang kali mereka mudah dilayani.
justeru kalau keluar mereka selalu bergerombolan lima
orang, tidak pernah mereka keluar berpisahan.
Mereka juga sebagai orang-orang yang berkecimpung
dalam rimba persilatan ada dengar perihal adanya It-sinkeng
dalam guha ular raksasa. Mereka sudah pernah
pergi kesana dan mundur teratur melihat banyak korban
yang bergelimpangan terkena hawa racun ular.
Belakangan mereka dengar bahwa It-sin-keng (Kitab
mukjijad) sudah digondol oleh seorang bocah yang
bergelar Hek bin Sin-tong (Bocah berwajah hitam).
Mereka telah berkelana sambil mendengar- dengar
dimana adanya bocah itu. Dengan cara kebetulan mereka dapat tahu bahwa
asalnya Hek bin Sin-tong adalah dari lembah Tonghong-
gay, maka juga mereka perlu datang kelembah
tersebut dengan pengharapan mereka bisa memperoleh
kitab mukjijad itu dari tangannya Hek bin Sin-tong.
Mereka percaya si bocah sangat lihay, akan tetapi
lebih percaya lagi kalau barisannya Ngo kiam-tin ada
lebih lihay dan dapat merobohkan si bocah. oleh sebab
itu dengan berbesar hati mereka telah mencari Hek-bin
Sin-tong. "Aku tidak kenal dengan kalian lima pedang atau
sepuluh pedang, yang penting untukku, kalian mencari
Hek-bin Sin-tong ada urusan apa?" berkata Kwee In.
"Bocah. kau mau antar kami kesana atau tidak?"
mencelak The Seng tak sabaran.
"Mungkin aku akan mau antar kalian menemukan Hekbin
Sin-tong mana kala kalian mau menjelaskan
keperluannya," sahut Kwee In tenang2 saja.
"Siapa yang mau berurusan dengan bangsa kacung,"
berkata The Siong, si nomor empat. "Hei, kau nona kecil,
kau antar kita kesana"
The Beng, si nomor lima, nyeletuk
Eng Lian ketawa manis. "Aku mana punya wewenang
untuk mengantarkan kalian kesana, kecuali aku punya
engko ini" sahut si dara nakal seraya menunjuk pada
Kwee In. The Go saudara paling tua dari Houw-san Ngokiam,
kerutkan alisnya. Pikirnya, kalau tidak diberitahukan maksudnya mencari
Hek-bin Sin-tong, pasti anak muda didepannya ini tak
akan mau membawa mereka menemukan Hek-bin Sintong.
"Bocah, kau masih anak- anak tahu apa," ia berkata
kemudian, "Lekas antarkan kami menemukan
majikanmu, habis perkara" Kwee In tak menyahut, hanya
ia ketawa sinis. "Kau kira kami takut dengan majikanmu, sehingga
kami tak dapat memaksa kau menunjukkan tempat si
Bocah Muka Hitam" Hm Samte, kau kasih ajar adat
padanya" The Go meneriaki The Kiang untuk menghajar
Kwee In. "Biar aku saja yang maju," kata The Beng,
seraya lompat kedepan. "Hihihi . . tiba-tiba Eng Lian tertawa ngikik,
"Kau ketawakan apa, anak kecil?" bentak The Beng
kepada gadis kita, "Aku ketawakan kau, bocah tolol" sahut Eng Lian
berani. The Beng melengak dikatakan 'bocah tolol'. Ia saat itu
usianya sudah hampir empat puluh-lima dikatakan
'Bocah' oleh Eng Lian, terang amarahnya meluap tibatiba.
"Budak liar, dua-duanya aku bekuk sekarang"
bentaknya, "Kau mau membekuk kami berdua?" jengek Eng Lian-
Melawan aku sendirian kau masih belum tentu menang,
mau buka mulut besar lagi. Mari nonamu kasih ajar adat
padamu" Eng Lian berkata sambil pasang kuda2, lucu lagaknya,
hingga The Go dan saudara2nya yang lain ketawa
terbahak-bahak. Sebaliknya The Beng gemas sekali
melihat si nona demikian menghina kepadanya.
"Kenapa kau diam saja. Takut?" tegur Eng Lian yang
melihat The Beng belum bergerak.
"Siapa takuti kau budak hina" sahut The Beng bengis.
"Kau berani memaki nonamu, awas, ya Akan kuremas
mulutmu" Eng Lian ngeledek. Kwee In ketawa melihat
lagaknya sang enci. The Beng yang perangainya berangasan tak tahan ia
menghadapi dara cilik kita yang nakal, maka seketika itu
ia mengirim jotosan kemuka si gadis.
"Mana kena" seru Eng Lian seraya berkelit seenaknya.
The Beng merangsek. Beberapa serangannya
menyusul hebat sekali, akan tetapi si nona hanya
melayani dengan seenaknya saja sambil ketawa hahahihi.
Semua serangan The Beng hanya mengenai sasaran
kosong. Disamping mendelu hatinya. The Beng rada jerih juga
melihat si dara tidak demikian lincah mengelit
serangannya. Ia jadi kebingungan-
Tiba2 ia punya pikiran nakal, tampak wayahnya
ketawa, "Bocah nakal, kau jangan sesalkan pamanmu
akan berbuat kurang ajar" ia mengancam, berbareng ia
menggunakan gerakan Siang- coa-touw-sip atau
Sepasang ular muntahkan bisanya. Dan tangannya
dengan tiba2 menyerang kearah dada, hendak meremas
buah dada si dara cilik hingga Eng Lian kaget dan
mendongkol hatinya. The Beng sudah ketawa dalam hatinya, ia menduga si
nona tidak dapat berkelit dari serangannya yang
dilakukan dengan kecepatan kilat.
Tapi dara kita, bukannya murid Lamhay Mo Lie, kalau
dengan begitu saja sepasang buah dadanya dapat
disentuh tangannya The Beng. Ia berkelit kesamping
berbareng tangannya membacok. hingga dirasakan sakit
sekali oleh The Beng ketika kedua tangan berbenturan.
Ia cepat menarik pulang tapi sebelum ia perbaiki
posisinya, kaki Eng Lian melayang dan menendang, ia
roboh dengan tidak ampun lagi.
Tendangan Eng Lian diberikutkan lwekang, tidak heran
kala The Beng meringis-ringis sukar bangun dari
robohnya tadi. "Manusia kurang ajar, kau berani permainkan
nonamu" bentak Eng Lian ketika melihat lawannya sudah
roboh dengan tidak bisa bangun lagi.
"Awas, enci Lian" memperingatkan Kwee in, ketika
melihat The Siong, si nomor empat, membokong dara
kita yang sedang memaki The Beng, Eng Lian berkelit
dari bokongan, dengan menjejakkan kakinya dahulu.
"Manusia hina, kau berani membekong nonamu Awas,
akan kupelintir kupingmu" Eng Lian menghadang
kedatangan The Siong. Benar2 saja The Siong marah, "Anak kecil, kau jangan
sombong. Lihat aku bikin kau jungkir balik tiada tempat
untuk kakimu berpijak"
"Aduh sombongnya" ngeledek Eng Lian, "Kalau kau
dapat menyentuh ujung baju nonamu saja rejekimu
sudah beleh dikatakan besar...Jangan kau mimpi yang
bukan2?" Eng Lian berkata seraya merangsek lawannya.
The Siong kepandaiannya ada lebih tinggi sedikit dari
adiknya, ia masih dapat membuat pergerakan yang
lumayan, tidak sampai digertak seperti The Beng tadi.
Empat lima jurus mereka bertempur, sudah kenyataan
The Siong bukan tandingan dara cilik kita, hingga The Go
menjadi putus asa. "Samte, kau bantu padanya." serunya
kepada The Kiang. The Kiang cepat maju kedepan dan membantu
saudaranya mengeroyok Eng Lian-
Kwee In diam saja. Dilihatnya enci Eng Liannya
dikeroyok. Ia yakin kepada kemampuan encinya dalam
menghadapi musuh2nya. "Enci Lian, kau bertempur sambil memegangi seikat
bunga itu, mari aku tolong pegangi" berkata Kwee In
kepada Eng Lian, Memang juga si dara cilik bertempur dengan tidak
melepaskan bunga bunganya yang barusan dipetik,
rupanya ia sangat memandang enteng kepada lawannya.
Mendengar perkataan adik In-nya, Eng Lian ketawa
ngikik. "Adik In, kau lihat encimu sebentar unjuk
kefaedahannya bunga ditanganku." sahut si dara cilik
dengan masih mengikik ketawa dan musnahkan semua
serangan dari lawannya yang sangat bernapsu
mengalahkannya, "Budak sombong. jangan kau kepala besar" bentak
Tke Kiang. "Aku bukan sombong, hanya mau kasih hajaran
kepada kalian orang-orang tolol." mengejek Eng Lian
seraya lompat berkelit dari tendangan The Kiang yang
dahsyat, "Aku mau lihat apa kau masih dapat lolos dari
kepungan kami berdua?" kata The Kiang seraya
melakukan serangan2 yang makin gencar saja.
Eng Lian tidak takut, malah makin lincah kelihatannya
si dara cilik berkelahi, Kwee In tampak encinya demikian gembira bertempur,
diam-diam geleng kepala. Memang Eng Lian paling suka
kalau dikeroyok, maka ia sengaja menantang "Dua masih
belum cukup, hayo turun semua"
The Go melengak mendengar tantangan si dara cilik.
Ia mengawasi Kwee In, seperti hendak menanya,
apakah kalau mereka turun tangan semua Kwee In akan
tinggal diam saja" Kwee In balas mengawasi kepada toako dari Ngokiam.
Ia tidak berkata- kata, hanya wayahnya
tersenyum-senyum. The Go tidak sempat berpikir lama, karena melihat
dua saudaranya sudah kepepet melawan Eng Lian- ia
berseru kepada saudaranya yang kedua^ "Jite. lekas kau
turun tangan bantu saudara saudaramu, bekuk tuh anak
kecil" The Seng lantas terdjunkan diri mengeroyok Eng Lian-
"Masih kyrang satu lagi, lekas kau maju sahabat"
tantangnya kepada The Go.
Si Toako yang biasanya sangat kalem, ternyata tak
dapat mengendalikan hatinya yang gusar ditantang oleh
Eng LianTanpa banyak pikir ia terus maju dan mengeroyok Eng
Lian, Si dara cilik senang dikeroyok empat orang, itu
memang maunya. Kegesitannya bertambah dengan tibatiba,
hingga empat orang itu kebingungan untuk
menangkap si dara cilik. Tampak Eng Lian digencet. Kwee In terkesiap juga
nampak encinya seperti menghadapi bahaya, akan tetapi
ia girang, ketika Eng Lian melejit dari kepungan seraya
mengebaskan ikatan kembangnya, hingga berhamburan
menyerang mukanya empat lawannya.
Eng Lian ketawa cekikikan- Sikutnya berbareng
menyikut iga The Siong hingga terkulai roboh, kakinya
dengan sebat menyapu kaki The Kiang, juga roboh
dengan tidak ampun lagi. The Seng yang gelagapan kena
diserang taburan bunga, kena diserang dadanya, hingga
sempoyongan dan roboh dengan memuntahkan darah
segar. The Go yang masih dalam keadaan gugup, tibatiba
rasakan tenggorokannya ketusuk tangkai bunga


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga gelagapan, menyusul kakinya Eng Lian
menendang hingga ia terpental dua tombak jauhnya.
Sambil membereskan rambutnya yang kusut dan
merapihkan bajunya, Eng Lian ketawa cekikikan melihat
korban-korbannya semuanya mendeprok ditanah.
Kwee In puas dengan hasil enci Lian-nya. "Eng Lian,
kau hebat" Ia memuji, seraya unjukkan jempolnya.
Eng Lian hanya monyongkan mulutnya dengan lucu
kearah si bocah-Kwee In ketawa. "enci Lian, mari kita
pulang" ia mengajak.
"Nanti, aku mau petik dulu kembang." sahut si dara,
seraya menghampiri pohon-pohon kembang yang ia
sukai, ia sama sekali ia tidak memperhatikan pula kepada
Houw-san Ngo-kiam yang dengan hati panas mengawasi
kearahnya. "Adik In, mari" kata si dara, mengajak adiknya pulang.
Dengan bergandengan tangan muda-mudi itu berjalan
ngeloyor, tidak memperhatikan kepada korbankorbannya
yang masih pada mendeprok ditanah.
The Beng yang dijatuhkan paling dulu sudah dapat
bangun lagi dan lantas menyusul mereka dari kejauhan,
segera ia melihat dua pemuda itu naik diatasnya si
Rajawali yang besar luar biasa.
The Beng menjulurkan lidahnya.
Cepat ia balik kepada saudara-saudaranya, kepada
mereka ia cerita hal si Rajawali raksasa yang menjadi
tunggangannya dua muda-mudi tadi.
"Pelayan perempuannya saja sudah demikian hebat
kepandaiannya, bagaimana dengan pelayan lelakinya?"
berkata The Beng, "Apa lagi Hek bin Sin-tong sendiri,
entah bagaimana kepandaiannya" Apakah kita masih
mau teruskan niat kita?"
The Go diam, ia memikirkan juga perkataan sang adik
kelima itu, "Toako, dilihat begitu, kita bukan tandingan Hek-bin
sin-tong," nyeletuk The Kiang.
"Kita belum menyerah kalah, lantaran kita belum
menggunakan barisan kita," sahut The Go,
"Kalau Ngo-kiam-tin dapat mereka pecahkan, barulah
aku menyerah" Mendengar perkataan sang saudara tua, saudarasaudaranya
yang lain tidak menyahut.
Kekalahan mereka memang masih belum mutlak kalau
belum Ngo-kiam-tin mereka dipecahkan, itulah kebiasaan
dari lima saudara she The itu.
Mereka lalu pada bangun dan melempangkan badan,
menjalankan darahnya supaya menjadi sehat kembali.
Kemudian mereka berjalan untuk mencari tempat
meneduh, menantikan sebentar sore mencari tempatnya
Hek-bin Sin-tong. Mereka lewati tegalan yang lebar,
untuk memasuki pula rimba.
Justeru pada saat itulah terdengar suara aneh dari
belakang mereka, titik hitam mendatangi dangan
cepatnya dan ketika sudah dekat seperti juga awan
mendung menutupi mereka, kiranya itulah si Rajawali
raksasa yang lewat. Dengan beberapa kali kebasan saja The Go dan empat
saudaranya sudah terpental bergulingan diatas rumput,
tidak tahan mereka kena diserang angin kebasan
sayapnja si Rajawali. Terdengar diatas si Rajawali Eng Lian cekikikan
ketawa, sedang Kwee In terbahak-bahak melihat lima
jago pedang itu sungsang sumbel di-kebas sayapnya
burung raksasa mereka. Bukan main mendelu hatinya
mereka mendengar ketawanya dua bocah itu.
Mereka tidak terluka, meskipun demikian bukan main
kagetnya mereka dengan kejadian yang tidak terdugaduga
itu. "Sekarang bagaimana, toako?" tanya The Seng kepada
The Go "jalan terus, kenapa kita harus takut?" jawab si Toako.
"Mereka punya burung garuda dan kita punya Ngo-kiamtin,
lihat saja siapa yang lebih unggul?"
The Seng dan lain-lain saudaranya jengkel melihat
Toakonya ngotot dengan Ngo-kiam-tin- Mereka sendiri
tidak punya kepercayaan bahwa Ngo-kiam-tin dapat
mengalahkan Hek-bin sin-tong yang kepandaiannya tentu
melebihi dari para pelayannya.
Mereka teruskan jalan untuk mencari tempatnya Hekbin
Sin-tong. Diwaktu lohor mereka memasuki hutan
kecil, tiba-tiba mereka dibikin kaget oleh banyaknya
kawanan monyet yang mencegat perjalanan mereka.
Suara cucewetan yang menyeramkan dan horror
seperti yang bertemu musuh. sikap kawanan kera itu
membuat The Go dan empat saudaranya menjadi tidak
enak. Masing-masing pada mencabut pedangnya. untuk
menjaga gangguan kawanan monyet itu.
Lebih kaget mereka ketika nampak ada tiga gorilla
(orang utan) tengah berdiri tak jauh dari kawanan
monyet tadi. "celaka," mengeluh The Go. "Belum kita ketemu Hekbin
Sin-tong sudah harus berhadapan dengan tentara
kera. Mungkin mereka adalah anak buahnya si bocah
hitam, mari kita bereskan" mengajak si Toako kepada
empat kawannya- Ternyata kawanan kera itu sangat nakal, selain dari
bawah mereka mengganggu lima jago pedang itu, dari
atas juga mereka mengganggu. Kawanan monyet itu
menimpuki dengan buah-buahan dari atas, seperti juga
menyambarnya senjata rahasia, hingga repot juga lima
jago pedang itu menghindarkan dirinya.
"Kurang ajar, kalian tidak tahu kami punya kelihayan-"
seru The Kiang, yang jadi sangat mendongkol kepada
kawanan kera itu. Berbareng ia mengeluarkan senjata
rahasianya Thi-lian-Ci (Biji teratai besi) beberapa kali ia
menimpuk dan ada beberapa kera yang terkena telah
berteriak-teriak kesakitan dan jatuh dari atas.
Barangkali ada lebih baik kalau lima jago pedang itu
tidak mengganggu kawanan kera tersebut. sebab justeru
The Kiang mengobral senjata rahasianya, membuat
kawanan kera itu jadi sangat gusar melihat beberapa
kawannya yang jatuh terpelanting dari pohon-
Dengan berapa kawanan kera yang ada diatas pohon
pada melompat menubruk kepada The Go empt
saudaranya. Dibawah dikepung, diatas diserang, bukan
main lima jago pedang itu repotnya, Dengan pedangnya
mereka membela diri, tapi saking banyaknya kawanan
kera yang datang menyerbu mereka, kelihatannya
mereka kewalahan, Tidak berapa lama, kelihatan mereka sudah ngosngosan
napasnya. Peluh keluar membasahi tubuhnya dan
rasa haus menyerang tak tertahankan, Dalam keadaan
yang payah, tiba2 tiga gorilla yang tadi tengah berdiri
saja sekarang menghampiri mereka. Mereka ketakutan,
tapi seberapa bisa menabahkan hatinya.
The Go menggunakan pedangnya menyabet pada
Toa-hek yang menggubat tangannya hendak merampas
senjatanya, tapi alangkah kagetnja si Toako, tatkala
melihat dengan seenaknya Toa-hek mengigos dari
serangan pedang, seolah-olah gorilla itu berkepandaian
ilmu silat, sebelum The Go dapat berpikir lama dan
menenangkan rasa herannya, tiba-tiba ia rasakan
pundaknya dicengkeram oleh Ji-hek. hingga ia tidak
berdaya ketika pedangnya dirampas oleh Toa-hek.
The Seng dan saudara2nya yang lain sudah sangat
kepayahan. Meskipun demikian mereka tidak mau
menyerah kalah ketika Siauw-hek mendekati dan hendak
merampas pedangnya. Mereka coba mempertahankan
senjatanya, akan tetapi dengan mudahnya Toa-hek, Djihek
dan siauw-hek sudah melucuti senjata mereka.
Masing2 dipersen cengkeraman pada pundak yang
membuat tulangnya pada patah dan lengan itu tak dapat
digunakan lagi, Sungguh hebat cengkeramannya tiga gorilla itu, sebab
semua pundak kanan dari Ngo-kiam-tin pada remuk dan
lengan kanan mereka tak dapat digunakan pula.
Selanjutnja mereka harus menggunakan tangan kiri
untuk melatih Ngo-kiam-tin-
Mereka tidak nyana bahwa dilembah Tong-hong-gay
itu mereka telah menemukan kehancuran total. Bukan
saja senjata mereka kena dirampas, tapi juga mereka
menderita luka dipundak yang menjadikan mereka cacad,
dalam keadaan semaput merasakan akibat remuknya
tulang-tulang dipundak. mereka mendengar suara
ketawanya Eng Lian diatas pohon bersama Kwee In.
Tadi mereka tidak lihat dara cilik dan si bocah nakal
itu. dimana mereka mengumpet dibalik dahan- Sekarang
kelihatan nyata dua pemuda itu mentertawakan mereka,
hati mana membikin meluap amarahnya mereka. Tapi
apa daya". Mereka sudah tidak berguna dan untuk
menuntut balas nanti akan memakan tempo banyak.
karena mereka harus meyakinkan pula ilmu pedang
dengan tangan kiri dan membentuk Ngo-kiam-tin yang
mereka sangat banggakan- Kecuali merampas pedang dan meremukkan tulang
pundak. kelihatannya kawanan kera besar itu tidak
mengganggu mereka dan membiarkan mereka berlalu
dari situ. Kawanan kera juga tidak cececowetan seperti
menghadapi musuh. mereka cecowetan dengan wajar
lompat sana-sini. Tidak lagi mereka datang mengeroyok
seperti tadi hingga hatinya The Go dan empat
saudaranya menjadi lega. "Toako, inilah hasilnya kita mencari Kitab mukjijad,"
berkata The Seng ditengah jalan kepada saudara tuanya.
The Go menghela napas panjang.
"Houw-san Ngo-kiam menemukan kehancuran di
lembah Tong- hong- gay, sungguh kita tidak ada muka
lagi dalam kalangan Kang-ouw. kali ini kita hancur oleh
Hek bin Sin-tong, mungkin tokoh2 dari rimba persilatan
dapat memaafkan kita, akan tetapi kita justeru
dihancurkan oleh kawanan kera, apakah ini tidak
ditertawakan orang?" demikian The Kiang menyatakan
pikirannya . Kembali terdengar The Go menarik napas panjang.
- oo0dw0oo- Bab-02 BWEE HIANG Setelah tinggal beberapa lama di Coa
Kok. Bwee Hiang telah mengikuti ibunya kemarkas Ngo-tokkauw,
berpisahan dengan Yo In (Kwee In) dan Eng Lian
yang pulang kelembah Tong-hong-gay untuk menengok
burung Rajawali dan tentara keranya,
Sementara Leng Siong telah pulang ke Suyangtin
diantar oleh Kim Wan Thauto,
Kwee Cu Gie dan isterinya (Lamhay Mo Lie atau Sie
Lan ing ) menetap di Coa kok, meneruskan pimpinan
mengepalai Ang-hoa-pay, Atas usulnya Kwee Cu Gie orang-orang Ang-hoa-pay
telah dipulihkan kembali ingatannya menjadi normal dan
kepada mereka diberikan kesempatan memilih mau turut
terus pada Ang-hoa-pay atau kembali ke masing-masing
tempat tinggalnya" Ternyata diantara mereka itu, yang
mengetahui bahwa Ang-hoa-pay dikepalai oleh Kwee Cu
Gie suami-isteri, kebanyakan rela membantu terus Anghoa-
pay dan sedikit sekali yang pulang ke kampungnya.
Dengan pimpinannya Kwee Cu Giee,partai Kembang
Merah itu mendapat kemajuan pesat. Letaknya Coa- kok
ada sangat strategis, terutama dibantu oleh barisan ular,
sehingga orang sukar untuk mendatangi markas Anghoa-
pay tanpa ijin dari ketua.
Kwee Cu Gie yang berniat menghindarkan bentrokanbentrokan
pula dengan musuh2nya dahulu, Coa kok itu
merupakan tempat yang cocok sekali baginya. Setelah
menemukan kembali isteri dan anaknya, Kwee Cu Gie
alias Liok Su-he kelihatan riang gembira, kembali
semangatnya yang telah menjadi lesuh untuk sekian
lama. Bwee Hiang di markas Agama Panca Rasa (Ngo tokkauw)
mendapat perlakuan istimewa. Empat pelayan
wanita yang cantik-cantik dari usia antara lima belas
enam-belas telah disediakan untuk melayani dirinya.
Sungguh menyenangkan sekali hatinya si nona,
meskipun ada tempo-temponyaa terkenang kepada adik
kecilnya (Kwee In), yang sekarang bersama Eng Lian
berada di lembah Tong- hong- gay,
Terkadang ia terkenang ke rumahnya di Kun biang.
setempo ia mengepal-ngepalkan tangannya kapan ia
ingat kepada musuh2nya (Su Coan sam-sat) yang belum
ia balas. Entah kapankah ia dapat menunaikan tugasnya
menuntut balas kepada Su Coan Sam-sat" -
Hari-hari ia lewatkan dengan duduk pasang omong
bersama ibunya, setempo ditemani Tong hong Kaawcu
yang menjadi ayah tirinya.
Bwee Hiang perhatikan ibunya hidup serba senang
menjadi isteri Kauwcu. Kapan ia ingat kepada ayahnya almarhum (Liu Wang
Hwee) dalam hati diam-diam menyesalkan perbuatannya
sang ibu yang telah meninggalkannya. tapi apabila
ditimbang pula bahwa Tong hong Kin ada pemuda
pujaannya yang pertama diwaktu mudanya, Bwee Hiang
tarik pulang penyesalannya. Pikirnya, jikalau seandainya
riwayat ibunya itu ia alami, apakah ia juga akan
mengikuti jejak sang ibu"
Itulah pada suatu sore, ketika Bwee Hiang duduk
pasang omong dengan ibunya, sang ibu bertanya pada si
gadis: "Anak Hiang, kalau ibu tidak salah hitung,
sekarang kau sudah masuk usia dua puluh dua tahun,
lebih tua lima tahun dari anak In-",
Bwee Hiang anggukkan kepala bersenyum.
"Aku dengar pergaulanmu dengan anak in sangat


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rapat." "Bukan begitu saja, ia adalah guru cilikku, ibu."
"Guru cilik bagaimana, anakku?"
"Kepandaianku dalam ilmu silat adalah ajarannya."
"Bukan ayahmu yang mengajarnya?"
"Ayah juga pernah mengajarnya, akan tetapi adik In
yang mematangkan ilmu silatku, Tanpa ia yang memberi
banyak petunjuk. kepandaianku mentah matang. Adik in
adalah satu anak yang baik, aku suka padanya dan aku
merasa hutang budi besar,"
"Utang budi besar bagaimana, anak Hiang?"
"Adik in yang telah menolong jiwa anak. tanpa ia anak
sekarang tak berada didepan ibu," Bwee Hiang kata,
wayahnya tampak berduka. Kemudian Bwee Hiang menceritakan keganasan Su
Coan Sam-sat yang menyatroni rumahnya, melakukan
pembunuhan besar-besaran, untuk itu ia mau menuntut
balas. Lie Ceng Hoa, ibunya Bwee Hiang geleng-geleng
kepala dan terharu mendengar ceritanya sang anak.
Kematiannya Liu Wangwee membuat ia menepas air
mata, ia sedih mengingat cintanya Liu Wangwee tempo
hari atas dirinya ketika mereka masih berkumpul.
"Anak Hiang, Su Coan Sam-sat demikian ganas dan
menakutkan, lebih baik kau jangan cari perkara lagi
dengannya, aku kuatirkan atas keselamatanmu," berkata
sang ibu dengan penuh rasa sayang kepada anaknya.
Bwee Hiang ketawa tawar, "Tidak sedetikpun perbuatannya Su Coan Sam-sat
dilupakan olehku, nanti ada satu waktu akan anak satroni
tempatnya untuk menuntut balas" kata Bwee Hiang
gagah, "Annk Hiang, kau pergi kesana sendirian, cuma
mengantar jiwa saja..."
"Hehe, anak tidak pergi sendirian, ada adik in, Lian
dan Siong yang akan mengantar anak. malah Toako Kim
Wan Thau-to juga bersedia mengantar anak."
"Kim Wan Thauto" Kenapa kau panggil Toako kepada
seorang Thanto?" tanya sang ibu heran.
Bwee Hiang ketawa, ia lalu tuturkan bagaimana ia
angkat saudara dengan Kim Wan Thau-to, sehingga sang
ibu terheran-heran- "Tapi, anak Hiang," berkata pula ibunya. "cuma tiga
orang perempuan, diantara oleh satu Bocah dan satu
thauto, mana ungkulan menghadapi Su Coan Sam-sat?"
"Ibu," bantah sang anak. "Kau tidak tahu
kepandaiannya adik In. Untuk waktu ini pendeknya tak
ada tokoh-tokoh kuat dalam kalangan rimba persilatan
yang kepandaiannya diatas dari adik In- Kwee Cu Gie
Tayhiap yang menjadi ayahnya, tak akan menang kalau
bertempur dengan adik In- Ibu tak lihat, oh, bagaimana
hebatnya adik In telah bertempur dengan Lamhay Mo Lie
yang belakangan diketahui adalah ibunya."
Bwee Hiang lalu menceritakan halnya Lo in bertempur
dengan Lamhay Mo Lie yang kepandaiannya susah
diukur dan ditakuti namanya dalam Rimba persilatan.
Sepanjang mendengar penuturannya sang anak,
kelihatan Ceng Hoa geleng-geleng kepala dan matanya
terbelalak keheranan. "Ada bocah sampai begitu tangkas dan tinggi
kepandaiannya, sungguh ibu tidak nyana anak bayi
tukang ngompol itu sekarang menjadi jagoan," kata Ceng
Hoa. Bwee Hiang ketawa cekikikan mendengar ibunya
mengatakan Kwee in adalah bayi tukang ngompol,
hingga sang ibu menjadi heran anaknya dengan
mendadak akan ketawa demikian, ia menanya:
"Anak Hiang, apanya yang membikin kau jadi ketawa
geli?" "Ibu, coba ibu katakan didepan adik In, ia adalah bayi
tukang ngompol entah bagaimana reaksinya anak nakal
itu, tentu sangat lucu. Oh, ia sangat lucu..." Ceng Hoa
juga ketawa ngikik mendengar perkataan anaknya.
Ibu dan anak mengobrol dengan gembira. Sang ibu
mengulangi cerita bagaimana Lo In (Kwee In) pada masa
bayinya telah diculik oleh dua orang tidak dikenal.
Bwee Hiang cerita tentang ibu tirinja yang sangat baik
kepada dirinya, sayang umurnya ibu tiri yang baik hati itu
pendek sekali. Ketika Bwee Hiang usianya meningkat
enam belas tahun sang ibu telah menutup mata lantaran
sakit. "Anak Hiang," tiba-tiba sang ibu berkata serius. "
Usiamu sekarang sudah dewasa, apa belum ada niat
untuk mempunyai kawan hidup?"
Bwee Hiang melengak. Ia tidak mengira ibunya
mengeluarkan perkataan demikian-Ia tidak menjawab,
hanya menundukkan kepala,
Ceng Hoa tahu anaknya malu-malu. maka setelah
sejenak ia berkata pula: "Anak Hiang, bagaimana kalau
ibu pilihkan seorang pemuda yang setimpal menjadi
pasanganmu." Bwee Hiang masih berdiam saja,
"Anak, semalam aku dengan ayahmu telah berunding.
ingin kami menjodohkan kau dengan puteranya Pangcu
dari Ceng-Liong-pang, Pangcu dari Ceng-Liong-pang
adalah teman karib dari ayahmu, juga puteranya si Kim
Liong sangat menghormat pada kami. Ia satu pemuda
yang cakap tampangnya dan pintar, ilmu silatnya juga
cukup tinggi, barang kali hanya dibawah ayahnya. Yang
lainnya orang2 Ceng-Liong-pang tidak ada yang lebih
tinggi kepandaiannya dari dirinya,"
Bwee Hiang angkat kepalanja menatap wajah ibunya
yang ketawa-ketawa manis.
"Ibu," katanya perlahan. "Anak belum ada minat
menikah...." "Anak Hiang, itu bukannja alasan. Kau sudah cukup
umur, tiap gadis yang berumur sepertimu sebenarnya
sudah berumah tangga. Maka jangan menolak dengan
niat ayahmu dan ibumu, sebab ini untuk keberuntungan
sendiri." "Ibu, anak masih belum ada pikiran Untuk menikah,
juga. . ." "juga apa?" Apakah kau sudah mempunyai pemuda
yang menjadi pujaanmu, anak Hiang?" tanya sang ibu
ingin tahu. Bwee Hiang tidak menyahut. rasanya berat untuk ia
mengeluarkan perkataan- "anak Hiang. aku adalah asli ibumu, yang
mengandungkan sembilan bulan, sudah tentu aku sangat
perhatian pada hari depanmu. Ibu akan merasa
beruntung kalau disampingmu ada pemuda tampan yang
menyintai dirimu sampai dihari tua."
Bwee Hiang kembali tidak memberi jawaban.
"Anakku, kau jangan malu-malu kepada ibu sendiri,
lekas katakan siapa yang menjadi pemuda pujaanmu
itu," desak sang ibu.
Bwee Hiang kewalahan didesak ibunya. Ia segera
mengambil putusan untuk mengaku.
"Ibu, pemuda pujaanku itu adalah.,. adik.. , In . , ."
katanya kurang jelas. "Hihihi, . ." tertawa Ceng Hoa. "Bocah masih pentil
begitu kau harapi" Ah, anak Hiang, Anak in usianya baru
saja tujuh belas tahun dan kau sudah dua puluh dua
tahun, terpaut lima tahun- mana pantas orang
perempuan banyak lebih tua usianya dari sang suami,
Anak Hiang, sebaiknya kau jangan memikirkan yang
bukan-bukan" Berdebar hatinya Bwee Hiang mendengar perkataan
ibunya. Memang usianya terpaut jauh dengan Kwee In- Lebih
pantas Kwee In menjadi adiknya daripada ia menjadi
isterinya si Bocah, akan tetapi perasaan Simpati tiap kali
berkumpul dengan Kwee In membuat Bwee Hiang tidak
berdaya untuk mengusir rasa cinta murni terhadap adik
In-nya yang nakal itu. Terbayang saat itu adegan ketika ia dipeluk dan
dicium dengan mesra oleh Kwee In- hatinya berdebaran
dengan mendadak. itulah saat-saat yang tak dapat
dilupakan olehnya untuk seumur hidupnya. Permulaan
memang ia pandang Kwee In sebagai anak kecil dan
sebagai adiknya. tapi lama-lama sering ia bersentuhan
badan diwaktu ia berlatihan silat dan kenakalannya Kwee
in sering melewati batas. membuat timbulnya, pikiran
aneh dalam hati gadis hartawan itu.
Sebagai gadis yang sudah dewasa ia tahu bahwa ia
mencintai si Bocah, meskipun Kwee In sendiri pada
waktu itu belum unjuk kenakalannya sampai mencium.
Kwee In masih anak- anak waktu itu dan belum tumbuh
bibit asmaranya- Namun, setelah pertemuannya paling belakang
dengan Kwee in, Bwee Hiang dapat kepastian bahwa si
Bocah memang ada menyintai dirinya. Ia tidak berdaya
ketika dirangkul dan dicium oleh si Bocah, sebab
memang ia ada cinta pada Kwee In. Rela ia bersamasama
dengan Eng Lian akan menjadi kawan hidupnya
Kwee In-ia sudah mengambil keputusan itu.
Apa mau sekarang ibunya timbulkan soal
perjodohannya dan mengungkapkan bahwa usianya ada
terpaut jauh dengan Kwee in dan tidak pantas ia
mencintai si Bocah yang masih pentil. Sungguh hatinya
sekarang menjadi bimbang.
"Ibu, adik In besar budinya terhadapku, tak dapat aku
membalasnya kecuali aku melayani ia seumur hidupnya
bersama Eng Lian," berkata Bwee Hiang seraya
tundukkan kepala. "Bersama Eng Lian" Ah, yang benar, anak Hiang" seru
ibunya kaget. "Ya, aku dengan Eng Lian sudah sepakat untuk
menjadi kawan hidupnya adik In-"
"Anak Hiang, kau ini benar-benar bodoh. Eng Lian
dengan anak In usianya hanya berbeda setahun, mereka
pantas menjadi pasangan, Tapi, kau, yang lebih tua
banyak bagaimana mau ikut-ikutan Eng Lian untuk
menjadi kawan hidupnya Kwee In. Apakah nanti tidak
menjadi menyesal" Eng Lian selain usianya lebih muda
parasnya juga lebih cantik dari kau, apakah nanti si
Bocah tidak membeda-bedakan dan bikin kapiran kau"
anak Hiang, kau jangan bodoh, sekarang buang pikiran
yang gila-gila itu dan turutlah kehendak ayah dan ibumu,
tanggung kau tidak menjadi menyesal." Kembali Bwee
Hiang menjadi bimbang hatinya.
Apa yang dikatakan oleh ibunya memang beralasan-
Namun, apa katanya Kwee in nanti apabila ia membalik
belakang kepada guru ciliknya itu" Pasti ia dicap sebagai
gadis yang tidak berbudi dan ditertawakan Eng Lian, ia
merasa hutang budi besar kepada Kwee In, hanya
dengan menyerahkan dirinya sebagai isterinya si Bocah
baru ia merasa enteng hutangnya.
Melihat anaknya diam saja, Ceng Hoa mendesak.
"Ibu, aku belum dapat memberi putusan . , ." kata
Hwee Hiang. "Kasihlah tempo untuk aku
mempertimbangkan" Ceng Hoa ketawa manis mendengar anaknya berkata
seperti akan berubah pikirannya. Ia tidak mendesak lebih
jauh dan Simpangkan pembicaraan kelain hal lagi,
sehingga pikirannya Bwee Hiang yang tadi kebingungan
menjadi terang lagi. Tan Ek Tiong, Pangcu dari Ceng-Liong-pang, adalah
teman akrab dari Kauwcu Ngo-tok-kauw. Ia mempunyai
dua orang anak laki2, yang sulung bernama Kim Liang
sudah menikah, yang kedua Kim Liong sudah umur dua
puluh empat tahun belum menikah. Saban kali dicarikan
jodohnja Kim Liong selalu menampik dengan alasan
bahwa ia ingin dapatkan seorang gadis yang mempunyai
kepandaian silat tinggi disamping mengenal sastra.
Untuk mendapatkan gadis macam demikian, bisa silat
dan pandai sastra, memang bukannya mudah, maka
sampai sebegitu jauh Kim Liong masih belum
menemukan jodohnya. Sering Tan Ek Tlong omong2 dengan Tong hong Kin
dan tentunya membicarakan hal jodohnya Kim Liong, ia
minta suami isteri itu tolong carikan wanita yang diidamidamkan
oleh anaknya. Tong hong Kin dan isterinya berjanji akan perhatikan
hal itu. Tonghong Kauwcu dan isteri suka mengenangkan Eng
Lian, anak pungutnya yang pintar dan nakal itu entah
dimana ia sekarang. Kalau ada Eng Lian, dengan suka
rela mereka menyerahkan anak pungutnya itu untuk
dijadikan isterinya Kim Liong yang mereka pandang
sebagai anak sendiri, anak sopan santun dan sangat
menghormat kepada mereka.
Apa mau ia mendapat kabar perihal Kwee Cu Gie yang
telah memasuki Coa-kok dan telah bertemu dengan anak
isterinya. Untuk kasih selamat kepada kawan yang boleh
dikatakan penolong mereka, maka mereka perlu datang
ke Coa-kok untuk memberi selamat. Tidak mereka kira di
Coa-kok telah bertemu dengan Eng Lian, anak pungutnya
yang sudah jadi gadis cantik, disamping itu juga mereka
sudah bertemu Hwee Hiang. puteri kandungnya Ceng
Hoa. Bukan main Tonghong Kauwcu dengan isterinya
kegirangan dengan pertemuan yang tidak terduga-duga
itu. Setelah pesta di Coa-kok berakhir, Tonghong Kauwcu
dan Ceng Hoa ajak Eng Lian pulang kemarkas Ngo-tokkauw,
akan tetapi si dara nakal menolak dengan terangterangan
dan mengatakan bahwa ia mau pulang
kelembah Tong-hong-gay bersama Kwee in,
Bwee Hiang juga menolak ketika diajak pulang
kemarkas Ngo-tok-kauw, cuma saja Ceng Hoa membujuk


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil mengucurkan air mata, bahwa ia ingin dapat
berkumpul dengan anak kandungnya itu beberapa hari
untuk melepaskan rasa rindunya,
Atas bujukan Lamhay Mo Lie, akhirnya Bwee Hiang
menyetujui untuk ikut ibunya, dengan syarat ia tidak
dapat lama-lama menemani ibunya dan segera akan
menyusul Kwee in dan Eng Lian yang berangkat ke Tonghong-
gay. Bwee Hiang ingin sekali berkumpul dilembah
yang beriwayat itu, sebab disana Kwee in dan Eng Lian
katanya ada mempunyai banyak kawan yang berupa
gorilla, tentara kera dan si burung Rajawali raksasa.
Ketika Tonghong Kauwcu dan isteri bersama Bwee
Hiang kembali kemarkas, hal ini dapat diketahui oleh
orang-orangnya Ceng-Liong-pang yang lantas
mengabarkan kepada ketuanya. pada sorenya Tan Ek
Tiong bikin kunjungan ketempatnya Tonghong Kauwcu
dan mula-mula menanyakan bagaimana pesta di Coa-kok
telah berjalan, kemudian menanyakan halnya Bwee
Hiang, gadis siapakah itu"
"Tan-heng," sahut Tonghong Kauwcu ketawa. "ia
adalah puteriku, yang kebetulan ketemu di Coa-kok dan
kami bawa pulang." "Tong hong- heng, kau jangan main-main," kata Tan
Pangcu juga ketawa. "Mana gadismu sudah begitu
besar" Aku tak percaya."
Tonghong Kauwcu ketawa gelak-gelak. Dua sahahat
itu duduk mengobrol sebagaimana biasa.
Perlahan-lahan Tonghong Kauwcu menceritakan
halnya Bwee Hiang kepada kawannya.
Diam-diam Tan Pangcu merasa girang. Pikirnya. inilah
gadis yang bakal jodohnya Kim Liong, puteranya. ia
mohon Tuhan akan melindungi perjodohan itu, sebab
Kim Liong selalu menolak saja kalau dijodohkan karena
belum menemukan gadis yang menjadi idam-idamannya.
"Tong hong- heng, apa ia sudah ada yang punya?"
tanya Tan-Pangcu ketawa. "Itu belum bisa dikatakan, sebab kami baharu saja
ketemu dan belum menanyakan hal ini kepada Bwee
Hiang sendiri. Nanti, ibunya yang akan menanyakan
halnya. Semoga ia belum ada yang punya, dengan begitu
tugasku mencarikan anak ayam untuk anak Liong
menjadi selesai bukan?" berkata Tonghong Kauwcu
ketawa menjeringai. Tan-Pangcu senang hatinya.
"Kabarnya anak itu cantik parasnya, apa Tong hongheng
suka ajar kenal aku dengannya?" tanya Tan
Pangcu, "sudah kepingin lihat saja ia wajahnya si nona, sebab
menurut orangnya, gadis yang ikut Tonghong Kauwcu
ada sangat cantik." "jangan sekarang," sahut Tonghong Kauwcu. "Nanti,
kalau sudah tiga hari disini, akan kuantar kenal
dengannya. Malah, kalau ia masih belum ada pacarnya,
pasti aku akan ajar kenal ia dengan anak Liong."
Ketawa Tan Pangcu, karena saat itu ia tak dapat
belajar kenal dengan Bwee Hiang, akan tetapi ia merasa
senang mendengar Ketua dari Ngo-tok-kauw itu
menjanjikan bukan saja si gadis akan di-ajar kenal
dengannya tapi juga dengan puteranya.
Dua hari sejak itu, benar saja Tan Pangcu diundang
oleh Ketua dari Ngo-tok-kauw untuk datang ngobrol di
rumahnya. Tan Pangcu girang mendapat undangan itu,
segera ia datang dan menemukan kawannya, yang ketika
itu sedang enak-enak saja duduk di kamarnya.
"Tan-heng," kata Tonghong Kauwcu. "Rupanya
anakku bakal jodohnya anak Liong, mudah2an akan
menjadi kenyataan. sekarang ia sedang dalam bujukan
ibunya." "oh, apa ia masih belum ada yang punya?" tanya Tan
Pangcu kegirangan- "Rasanya begitu,, tapi lihat saja, Kalau memang
jodohnya anak Liong, pasti ia tak akan lari kemana. ilmu
silatnya sangat tinggi, baik-baik katanya pada Kim Liong,
jangan cari gara-gara bertengkar kalau sudah menjadi
suami isteri ... Hahaha"
Tan Pangcu juga ketawa gejak-gelak mendengar
sahabatnya berkelakar, Tonghong Kin membawa Tan Pangcu masuk
keruangan tengah, dimana mereka teruskan
mengobrolnya sambil minum air teh dan sedikit kuwekuwe,
Sebentar tuan rumah permisi masuk kedalam,
Agak lama ditinggalkan Pangcu menunggu, sampai
tiba-tiba ia dibikin terCengang nampak tuan rumah
keluar diiringi oleh isterinya bersama seorang gadis jelita.
cantik Sekali gadis itu dipandangan Ketua dari Ceng-
Liong-pang, "Pangcu inilah anakku yang baru sekarang ditemui"
nyonya rumah memperkenalkan Bwee Hiang kepada Tan
Pangcu, yang sedang bengong mengagumi
kecantikannya si nona, Bwee Hiang bersenyum-senyum
manis dan bersoja kepada Tan Pangcu, Ketua dari Ceng-
Liong-pang tersipu-sipu bangkit dan menyambut sojanya
Bwee Hiang. "Anak manis, sungguh cantik sekali kau." memuji
Ketua dari Ceng-Liong-pang.
Tonghong Kauwcu silakan tamunya duduk pula,
nyonya rumah dan gadisnya juga duduk berkumpul.
Ternyata Bwee Hiang adalah gadis toapan (tidak malumalu)
ia dapat melayani tamunya ngobroi dengan tidak
kikuk-kikuk. hingga Tan Pangcu menjadi senang hatinya.
Tidak baik untuk terus-terusan melayani tamunya
yang masih asing untuk gadisnya, maka nyonya rumah
telah ajak Bwee Hiang masuk kembali setelah permisi
kepada Tan Pangcu. "Silahkan, silahkan . . ." kata Tan Pangcu ketika
nyonya rumah permisi undurkan diri.
Tonghong Kin dengan sahabatnya itu kembali ngobrol,
Sudah tentu halnya Bwee Hiang yang menjadi pusatnya
pembicaraan mereka. Tan Pangcu sangat setuju kepada Bwee Hiang dan
minta supaya Tongbong Kin biar bagaimana juga
menanyakan agar putranya bisa berjodoh dengan gadis
cantik itu. Setelah cukup mengobrol, Tan Pangcu minta diri dari
tuan rumah. Kapan ia sampai dirumahnya, lantas saja Tan Pangcu
memanggil anaknya datang,
Tidak lama Kim Liong sudah berhadapan dengan
ayahnya. "Ayah panggil anak datang ada urusan apa?" tanya
sang anak. "Ada kabar baik, anak Liong," sahut sang ayah
bersenyum. "Kabar baik apa, Ayah?" tanya Kim Liong kepingin
tahu. "jodohmu sekarang didepan mata, kau harus
membilang terima kasih kepada paman dan bibi
Tonghong yang telah mendayakan gadis yang
diidam2kan." sahut sang Ayah. Kim Liong melengak
mendengar perkataan ayahnya,
"Anak Liong. ayah sudah lihat, gadis ini sangat cantik.
Pendeknya asal kau lihat lantas setuju. Kau jangan
banyak tingkah dengan jodohmu ini" kata sang ayah lagi.
Kim Liong tidak menyahut, tapi wajahnya berseri tawar.
Tan Pangcu ketika tampak anaknya bersikap acuh tak
acuh. Ia menanya^ "memangnya kau kurang senang
dengan pilihan ayahmu, bibi dan paman Tonghong?"
"Ayah, aku bukannya tidak senang, malah
mengucapkan terima kasih. cuma saja seperti yang anak
katakan, gadis yang menjadi idaman anak adalah yang
kepandaian silat tinggi, setengah tingkatan dengan
kepandaian anak sendiri. Disamping itu juga harus
mengerti sastra." Tan Pangcu tertegun, la meragukan kepandaiannya
silatnya Bwee Hiang, meskipun katanya Tonghong
Kauwcu puterinya itu tinggi kepandaian silatnya.
la tahu bahwa anaknya berkepandaian hampir
sepadan dengannya, maka sukar untuk dikatakan kalau
isterinya itu dapat mengalahkan Kim Liong.
"Begini saja, anak Liong. Kau sering-sering datang
kerumah paman Tonghong dan ngobrol disana dengan
bibimu, pasti si anak dara akan nimbrung mengobrol. ia
anaknya tidak pemaluan, pendeknya kau lihat sekali saja
lantas bayanganpun tak dapat disingkirkan dari ketopak
matamu." Kim Liong tertawa mendengar sang ayah demikian
memuji kecantikan si gadis.
Dalam hati Kim Liong berkata: "Biarpun ia cantik
seperti Yo Kui-hui, tidak nanti aku ketarik kalau
kepandaian silatnya dibawah aku."
Yo Kui Hui adalah perempuan cantik jaman dahulu,
kecantikannya sampai raja bertekuk lutut untuk
membikin girang si cantik.
nyonya Kauwcu sejak membicarakan soal perjodohan
sang cantik, tidak lagi meng-ungkit2 hingga Bwee Hiang
tenteram hatinya- Rupanya sang ibu sudah merencanakan sesuatu untuk
membikin anak gadisnya menurut kehendaknya.
-oo0dw0oo- Bab-03 MULAI pada suatu sore, udaranya cerah. ketika Bwee
Hiang dan ibunya sedang bercakap-cakap ditaman bunga
tiba-tiba dibikin kaget oleh suara yang menegur
"Bibi Tonghong, sungguh senang sekali kelihatannya
menikmati harumnya bunga diwaktu sore . . . ."
Bwee Hiang menengok. ia lihat yang menegur itu
adalah seorang muda berperawakan tinggi dan parasnya
cakap. tengah tersenyum kearahnya.
Terperanjat Bwee Hiang menghadapi senyuman
pemuda cakap yang baru dikenal itu. Tanpa merasa ia
juga bersenyum dan manggut kepada pemuda itu.
"Anak Liong, oh, kau yang datang, mari sini temani
bibi dan anak Hiang kongkouw," kata nyonya rumah
dengan roman girang menggapai pada si anak muda,
"Ibu, anak tidak kenal dengannya, biarlah aku masuk
saja." kata Bwee Hiang,
"Anakku, kau mau kemana, diam sini," kata sang ibu
seraya mencekal tangan Bwee Hiang dan ditarik untuk
duduk kembali. Sementara itu Kim Liong sudah datang dekat dan
memberi hormat kepada nyonya rumah dan Bwee Hiang.
Tampak nyonya rumah manis budi terhadap tamu
mudanya. "Anak Hiang, kenalkan ini Kim Liong, putera dari Tan
Pangcu yang kedua dan anak Liong kenalkan dengan
anak Hiang, puteri bibi yang barusan saja bertemu
kembali atas berkatnya Tuhan yang maha adil." demikian
nyonya rumah memperkenalkan dua anak muda itu satu
dengan lain- Keduanya tampak manggutkan kepala tanda
perkenalan. "Anak Hiang, anak Liong ini ibu pandang seperti anak
sendiri, maka kau jangan malu-malu bergaul dengannya,
Ia anak baik dan ibu suka padanya," berkata nyonya
rumah. Bwee Hiang tidak menyahut, hanya anggukkan kepala,
Sementara Kim Liong hanya ketawa saja, tapi dengan
cara sopan. Diam-diam Bwee Hiang mencuri lihat, untuk menegasi
wajahnya si anak muda, justeru Kim Liong sedang melirik
kepadanya, hingga sepasang mata berbentrokkan dan
cepat-cepat Bwee Hiang membalikkan kepalanya.
"Sungguh cakap anak muda ini. . . ." memuji Bwee
Hiang dalam hatinya. dan entah bagaimana dalam
hatinya berdebaran, mengingat perkataan sang ibu
bahwa ia akan dijodohkan kepada anaknya Tan Pangcu
dan justeru anak muda ini yang dimaksudkan.
Sementara itu bayangan Kwee In seperti yang
mengacungkan jari telunjuknya kepadanya,
mencemoohkan kelakuannya itu, hingga tanpa terasa
kedua pipinya si dara jelita menjadi panas lantaran
jengah. Sebagai gadis dari kalangan hartawan tempo hari,
Bwee Hiang munkin main-main dan merasa kikuk
menghadapi pemuda tampan yang baru dikenalnya itu.
tapi sekarang ia sudah termasuk gadis Kang-ouw, maka
rasa kikuk itu hanya sebentaran saja sebab lantas ia
mulai tabah dan dapat berbicara dengan lancar dengan si
anak muda. Kim Liong juga gerak geriknya sangat sopan dan ucap
katanya sangat hati-hati hingga Bwee Hiang makin
senang duduk mengobrol. Melihat si anak dara demikian cantik dan lemah
lembut. Kim Liong meragukan, kepandaian silatnya yang
dikatakan tinggi. Pikirnya, memang gadis didepannya ini
sebabat kalau dijadikan isterinya, cuma belum tahu
kepandaiannya sampai dimana"
Tidak lama Kim Liong temani nyonya rumah dan Bwee
Hiang kongkouw lantas permisi pulang, katanya ada
tugas untuk membantu pekerjaan ayahnya. sopan santun
gerak- geriknya si anak muda, menarik perhatian si dara
jagoan. "anak Hiang, itulah pemuda dengan kamu aku hendak
jodohkan," berkata sang ibu setelah Kim Liong berlalu
dari depan mereka. "anaknya sih boleh juga. cuma sayang aku sudah
dimiliki adik In," sahut Bwee Hiang dengan tidak raguragu
lagi. Nyonya rumah merengut. " Lagi- lagi kau sebut adik
In, memangnya Bocah itu bisa menjamin kebutuhanmu
dikemudian hari?" omel sang ibu.


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"ibu, kau jangan menghina adik In," bantah sang
puteri. "Ia benar masih Bocah, tapi ia sudah matang
pikirannya seperti orang tua. kepandaiannya susah
diukur, tidak ada anak yang demikian sakti seperti
dirinya." Ceng Hoa djeberkan bibirnya, hingga Bwee Hiang
tidak senang, Melihat anaknya seperti yang tidak senang, cepatcepat
sang ibu rubah air mukanya dan ramah-tamah lagi
sebagaimana biasa, Ceng Hoa masih belum putus akal. Diam-diam ia suruh
Kim Liong lebih sering datang dan temani Bwee Hiang
kongkouw. Diwaktu bercakap-cakap. sering nyonya
rumah meninggalkan kedua anak muda itu, seakan-akan
memberi kesempatan untuk mereka bergaul lebih leluasa
lagi. Bwee Hiang memang senang bergaul dengan anak
muda yang sopan santun itu, tapi hatinya tetap pada
Kwee In. Ia melayani Kim Liong kongkouw hanya untuk
membikin ibu dan ayah tirinya senang saja.
Setelah beberapa kali dapat kesempatan berbicara
dengan gadis cantik itu, Kim Liong mulai berani
memancing-mancing kepandaiannya Bwee Hiang. Ia
kata: "Adik Hiang. kabarnya kepandaian silatmu sangat
tinggi, siapa gurumu?"
Bwee Hiang ketawa manis sambil menatap wajah
sipemuda yang tampan- Kim Liong mengira si nona ketarik dengan
ketampanannya, diam-diam ia merasa sangat bangga
diawasi oleh dara jelita itu. Ia berkata pula "Adik Hiang,
sungguh sedikit sekali wanita yang berkepandaian tinggi
seperti kau, sungguh aku harus menghatur selamat
kepadamu," "Engko Liong," sahut si gadis bersenyum. "Aku anak
kampungan, mana mempunyai kepandaian setinggi yang
kau katakan- Mungkin Ayahku yang mengatakan
kepadamu. ini semua bohong, aku seorang gadis biasa."
"jangan kau terlalu merendah, adik Hiang," merayu
Kim Liong. "Mungkin aku yang menjadi lelaki bukan
tandinganmu. Hahahaha...." ia tertawa perlahan sopan-
Bwee Hiang tidak menjawab, hanya ia bersenyum manis.
Menampak gerak-gerik Bwee Hiang yang demikian
menarik hatinya. gugurlah syarat yang ditetapkan oleh
Kim Liong untuk memilih seorang isteri yang pandai silat
merangkap pandai sastra. Ia kelihatannya rela
mengambil Bwee Hiang meskipun ilmu silatnya tidak
seberapa tinggi. Makin lama makin ketarik hatinya oleh si dara jelita.
makin gencar kunjungan Kim Liong kerumahnya
Tonghong Kin, Tuan dan nyonya rumah senang melihat
gerak-gerik dua anak muda itu seperti sudah dapat kata
sepakat. Mereka memberi keleluasaan untuk muda mudi itu
bergaul lebih rapat. maka sekarang jarang sekali nyonya
rumah menemani mereka kongkouw, Tampak setiap kali
Kim Liong datang yang menemani pemuda itu adalah
Bwee Hiang, si cantik jagoan.
Bwee Hiang bukan tidak memikirkan halnya Kim Liong
yang sudah terjirat oleh gerak geriknya yang
mempesonakan. Diam-diam dalam hatinya merasa
kasihan- Kalau saja hatinya belum dimiliki oleh Kwee In,
pasti ia tidak keberatan untuk menjadi kawan hidup dari
pemuda cakap dan sopan santun itu.
Sementara itu Kim Liong sudah mabuk oleh
kecantikannya Bwee Hiang.
Ketika untuk kesekian kalinya ia datang berkunjung.
Bwee Hiang menolak ketika ibunya suruh menyambut
pemuda itu. Katanya: "ibu aku bosan melayaninya, sebab
kunjungannya belakangan ini makin gencar saja."
"anak Hiang, kau jangan begini, Anak Liong sudah
setuju benar padamu, makanya kedatangannya sering
sekali. Aku harap kalian nanti terangkap jodoh."
"ibu" memotong Bwee Hiang. "Kim Liong adalah satu
anak baik dan sopan, aku suka padanya..."
"Nah, sudah suka, mau apa lagi?" ibunya lantas
memotong perkataan Bwee Hiang yang belum habis,
hingga si nona jadi melengak.
"Tapi ibu, aku tidak berdaya, sebab diriku sudah
menjadi miliknya adik In..."
"Lagi-lagi adik In, adik In Bocah itu masih ingusan
apanya yang diharap?"
"Ia anaknya Lamhay Mo Lie Sie Lan Ing dan Kwee Cu
Gie Tayhiap" Tiba-tiba saja badannya Ceng Hoa menggigil
mendengar perkataan sang anak. Sama sekali kata-kata
seperti diatas tidak diduga keluar dari bibirnya Bwee
Hiang.-Ia menatap wajahnya sang puteri dengan badan
bergemetaran- "ibu, kau kenapa, apa sakit?" tanya Bwee Hiang heran.
"anak Hiang, aku tidak sakit," jawab sang ibu dengan
suara parau, "Tidak sakit, kenapa dengan mendadak saja
gemetaran?" "Anak Hiang. dengan menjebut namanya Sie Lan Ing
dan Kwee Cu Gie membikin ibumu jadi ketakutan,
mereka adalah tuan penolong dari ibu dan ayahmu...."
Bwee Hiang heran- Ia berkata lagi: "Kalau ibu merasa
ayah dan ibunya adik In ada tuan penolong dari ibu dan
Ayah. kenapa ibu menghina adik In?"
Ceng Hoa geleng2 kepala, tidak dapat ia menjawab
perkataan anaknya. Bwee Hiang tidak mendesak, Ia rupanya merasa
kasihan kepada ibanya yang tiba2 saja kaget mendengar
disebutnya nama Lamhay Mo Lie dan Kwee Cu Giee,
maka Bwee Hiang lalu keluar menemui Kim Liong.
Setelah mereka omong-omong sebentar, Kim Liong
mengajak si gadis jalan2 ditaman bunga sebab disana
hawanya adem dan menyenangkan Untuk bercakapcakap.
Bwee Hiang tidak keberatan dan mengikuti sianak
muda yang jalan duluan-Kim Liong kegirangan
nampak si gadis tidak menampik undangannya.
Bwee Hiang setelah memetik beberapa tangkai
kembang dan dipegang ditangannya ia menghampiri Kim
Liong yang sudah duduk menantinya.
"Engko Liong, kau sering-sering datang ada apa sih?"
tanya si gadis ketawa. Kim Liong agak berani sekarang, mendengar ditanya
ia tidak lantas menyahut, sebaliknya menatap pada
wajah si gadis. Bwee Hiang tidak marah melihat anak muda itu
mengagumi wajahnya. "Adik Hiang, kau cantik sekali sore hari ini." memuji
Kim Liong. "Ah, hanya tukaran pakaian baru saja masa dikatakan
cantik," sahut si gadis.
"Adik Hiang," suaranya gemetar, menyusul tangannya
telah memegang tangan Bwee Hiang diatas meja yang
menggenggam tangkai bunga.
Bwee Hiang tidak menarik tangannya yang dipegang
dan dielus-elus si anak muda. Malah kasih lihat
ketawanya yang manis. Ia menanya: "Kau kenapa, engko
Liong?" " .... Adik IHiang." melandjutkan Kim Liong, tangannya
memegang lebih erat pada tangan Bwee Hiang yang
halus laksana sutera. "Aku ingin ambil kau sebagai kawan
hidupku, maukah kau, adik Hiang?"
Bwee Hiang tercengang mendengar perkataan Kim
Liong yang tidak pakai tedeng aling-aing.
Ia tidak marah, malah ketawa manis. justeru
ketawanya yang bikin anak muda itu lebih bergejolak
hatinya menantikan jawaban si dara manis.
"Engko Liong, apakah kau sudah menimbang-nimbang
matang untuk mengambil aku gadis kampungan menjadi
teman hidupmu?" tanya si nona, Ia membiarkan
tangannya dipegang erat oleh si anak muda yang sudah
kehilangan pegangan karena kecantikan Bwee Hiang.
"Adik Hiang, itu keputusanku yang sudah tetap ....
"sahut Kim Liong, seraya tangannya yang memegang
tangan Bwee Hiang bergerak. maksudnya mau
mengangkat tangan si nona yang menempel diatas meja.
Ia kira dengan mudah ia mengangkat dan perlahanlahan
menarik si nona, untuk duduk didekatnya, namun.
tangan si nona tetap nempel dengan meja, sedikitpun tak
bergerak. Kim Liong heran. Ia kerahkan tenaganya, tapi
tetap tangan Bwee Hiang tak bergerak.
Pemuda itu lalu mengawasi si nona yang sedang
ketawa kearahnya. "Kau kenapa, engko Liong?" tanya Bwee Hiang.
"Tanganmu, adik Hiang," jawabnya, malu-malu.
"Kenapa tak bisa diangkat, seperti menempel dengan
muka meja?" "Nah, inilah engko Liong," berkata Bwee Hiang
ketawa. "Asa kau dapat mengangkat tanganku tidak
menempel pada muka meja, pengharapanmu dapat
terkabul. Aku rela menjadi kawan hidupmu, Hihihi . . "
Si nona ketawa, sebaliknya Kim Liong rasakan
mukanya seperti ditampar. Merah seluruh mukanya yang
putih cakap dan peluh entah datang dari mana telah
membasahi sekujur badannya. Ia tak mengira si nona
menguji dirinya. Ia meragukan kepandaiannya si gadis, kini ia dapat
kenyataan bahwa Bwee Hiang benar-benar bukan gadis
sembarangan dan berkepandaian sangat tinggi. Buktinya,
ia sudah kerahkan tenaga dalamnya masih belum dapat
mengangkat sedikitpun tangannya si gadis yang
menempel pada permukaan meja. Ia malu. Tapi ia masih
belum putus harapan. "Adik Hiang, aku tahu kau menolak maksudku, maka
kau menolak secara ini," Kim Liong berkata dengan tak
malu-malu. Bwee Hiang bersenyum.
"Sekarang begini saja," kata si gadis, "Nah, ini lihat,
aku pegang ini tangkai bunga. Kau coba patahkan
tangkai yang sekecil ini yang dijepit oleh dua jariku, kalau
kau dapat mematahkannya aku rela menjadi isterimu
yang baik. Nah, cobalah, jangan malu-malu"
Kim Liong pikir: "Tangkai bunga sekecil itu, masa aku
tak dapat patahkan" Untuk apa aku belajar lweekang dan
ilmu silat" Gadis ini benar-benar sombong, kalau tak
dikasih lihat kepandaianku, mana ia bisa takluk untuk
menjadi isteriku?" Setelah berpikir demikian, segera Kim Liong berkata:
"Baiklah, kau jepit yang kencang, aku mulai mematahkan
ini" "Tak usah kau nasehatkan, aku sudah tahu bagaimana
aku menjepit tangkai bunga supaya jangan patah," sahut
Bwee Hiang sambil ketawa cekikik,
Panas hatinya Kim Liong, segera juga ia meraba
tangkai bunga yang kecil itu dan dikerahkannya
tenaganya untuk mematahkan, untuk keheranannya
tangkai bunga itu berdiri tegak tak bergeming sedikit
juga, apa lagi menjadi patah.
Ternyata lwekang Bwee Hiang diatas dari Kim Liong,
ia membuat si pemuda putus harapan.
Meskipun berdegingan mengerahkan tenaganya,
tangkai bunga itu tetap berdiri tegak dalam jepitan dua
jarinya si nona yang kuat.
"Adik Hiang aku menyerah." kata si anak muda,
setelah tidak berhasil dengan usahanya. Putuslah
pengharapannya untuk memperisteri Bwee Hiang yang
cantik. "Engko Liong, ini hanya urusan sepele saja yang aku
perlihatkan padamu," berkata si nona, ketawa. "Tapi
orang yang memiliki diriku kepandaiannya seribu kali
mentakjubkan dari pada apa yang kau barusan alami.
Dari itu, engko Liong, bukannya aku tidak menyambut
kebaikanmu atas diriku. oleh karena aku sudah ada yang
punya , . ." Bwee Hiang berkata sambil melirik dan melemparkan
senyumannya yang mendebarkan jantungnya si pemuda
yang barusan kaget mendengar perkataan si nona.
Pikirnya. pantas Bwee Hiang begitu kalem dan biarkan
tangannya dipegang erat2 sebab kepandaiannya diatas
dari dirinya. Dan pantas si nona tidak mau jadi isterinya,
kalau begitu sudah ada yang punya" Sipemilik, menurut
katanya si gadis kepandaiannya seribu kali lebih atas dari
dirinya (Bwee Hiang) entahlah kepandaian apa yang
orang itu ada punya, ingin sekali ia berkenalan dengan
orang itu. "Adik Hiang, aku senang sekali kalau calon suamimu
ini nanti diperkenalkan kepadaku yang tidak berguna,"
berkata Kim Liong. "Sudah tentu, asal kami ada kesempatan tentu kami
mampir di tempat engko Liong," sahut Bwee Hiang
ramah-tamah. "Adik Hiang, aku permisi . ." kata Kim Liong seraya
bangkit dari duduknya. Pada saat itulah kelihatan Ceng
Hoa dengan gugup datang kepada mereka,
"Ada apa, bibi?" tanya Kim Liong mendahului Bwee
Hiang yang hendak menanya.
"Celaka, celaka . , . " katanya nyonya rumah gagap.
"Sim Liang dan Sim Leng datang mencari ribut dan diluar
sedang bertempur dengan Kauwcu ... oh, anak Hiang,
anak Liong, bagaimana ini?" ujar nyonya rumah
ketakutan setengah mati. Bwee Hiang kaget juga.
Ia menanya: "Siapa itu Sim Liang dan Sin Leng?"
tanyanya. "Mereka adalah dua orang busuk yang sudah dipecat
dari perkumpulan, mereka datang mencari ribut untuk
merebut kedudukan Kauwcu," menerangkan Ceng Hoa.
"anak Hiang, bagaimana ini, oh, anak Liong tolong


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pamanmu diluar sedang berhantam dengan mereka"
Kim Liong pikir ada kesempatan untuk memamerkan
kepandaiannya pada Bwee Hiang, maka dengan tidak
kata apa- apa lagi tubuhnya melesat dan pergi melihat
pertempuran, "Ibu, kau jangan menangis. Tunggu aku nanti akan
bereskan urusan itu," menghibur Bwee Hiang.
"Anak Hiang, mereka kepandaiannya tinggi, apa kau
sanggup mengusir mereka?"
"Itu nanti kita lihat," sahut Bwee Hiang, seraya
memimpin ibunya masuk rumah.
Ia sendiri kemudian ringkaskan pakaiannya dan
menyusul keluar. Disana tampak dua orang kakek tengah
bertempur dengan Tonghong Kin dan Kim Liong.
Sepasang kakek itu gagah sekali, gesit luar biasa,
hingga lawannya kelihatan kewalahan. Pamannya
(Tonghong Kauwcu) tampak sudah keteter, sebaliknya
Kim Liong masih gesit melayani seorang kakek.
Hebat pertempuran itu, sebab debu dan batu kerikil
pada beterbangan saking kerasnya mereka
mengeluarkan tenaga dalam untuk menjatuhkan
lawannya. Bwee Hiang lihat Kim Liong hanya pemulaan saja
kelihatannya gesit dan dapat mengimbangi seranganserangan
lawan, perlahan-lahan ia tampak keteter, Bwee
Hiang kerutkan alisnya yang lentik.
Tiba-tiba saja ia lompat kedalam kalangan
pertempuran dan membentak.: "Berhenti"
Kalangan pertempuran ini dikurung oleh banyak orang
Ngo-tuo-kauw yang sudah siap sedia akan melakukan
pengeroyokan jikalau melihat Kauwcunya dikalahkan-
Melihat Bwee Hiang dengan lompatan tinggi dan tancap
dalam kalangan pertempuran, bukan main mereka
kagum dengan kapandaiannya si gadis cantik.
Mereka kasak kusuk membicarakan siapa adanya si
gadis" yang sudah tahu, lantas membisikkan kawannya
bahwa anak gadis itu ada putrinya Tonghong Kauwcu.
Mereka menjadi kegirangan mendapat tahu Bwee Hiang
adalah gadisnya sang Kauwcu, mereka ber-sorak2 ramai
memberi semangat untuk pihaknya.
Bentakan Bwee Hiang tadi ternyata ada sangat hebat,
sebab suara bentakannya tidak sampai ditelan soraksorai
tadi, malah kedengaran tegas oleh mereka yang
sedang betempur sengit. Kedua pihak lantas pada
mundur dan mengawasi kepada Bwee Hiang. Tiba-tiba
saja kedengaran Sim Liang dan adiknya ketawa
terbahak-bahak. "Aku kira siapa, tidak tahunya budak ingusan datang
mengadap bisul Hahaha..." Sim Liang tertawa menghina
kepada Bwee Hiang. Jago betina kita tidak marah dikatakan budak ingusan,
ia malah bersenyum manis.
"kedua kakek ini sebenarnya ada urusan apa
membikin ribut dalam markas Ngo-tok-kauw" sungguh
aku si budak ingusan kepingin tahu"
"Hahaha, ingusmu belum bersih diseka, untuk apa
turut campur urusan orang tua?" bentak Sim Leng yang
labih berangasan dari saudara tuanya,
"anak Hiang, mereka hendak merebut kedudukan
Kauwcu," menerangkan Tonghong Kauwcu yang
napasnya masih memburu barusan bertempur dengan
Sim Liang. "Anak kecil untuk apa turut campur?" bentak Sim
Liang nyaring. "Memangnya hanya kakek-kakek saja yang ada
urusan, sedang anak kecil tak boleh tahu urusan" Hm
Kalau kalian tahu urusan juga tidak berhati jelus dan
dengki, sehingga kedudukan Kauwcu mau dirampas.
Memangnya, dengan kepandaian apa kalian datang
mengunjuk romanmu yang tidak enak dilihat"
Jago betina kita mulai nasping rupanya.
Dua kakek itu melengak disindir oleh Bwee Hiang.
"Anak kecil, kau enyah" bentak Sim Leng, seraya
mengebaskan lengan bajunya yang gerombongan,
Serangkum angin telah menyerang pada Bwee Hiang,
keras tekanan angin itu, menurut mestinya Bwee Hiang
terpelanting dan tidak bisa bangun lagi, Tapi untuk
kekagetannya dua kakek itu, mereka, melihat Bwee
Hiang berdiri tegak dan mentertawakan kepadanya,
sikapnya yang lucu mencemoohkan mereka. Bukan main
gusarnya Sim Leng nampak sikapnya si nona yang
menghina, Segera ia menghampiri sigadis dan membentak: "Kau
tidak mau menyingkir" Hm jangan sesalkan kalau
kakekmu bikin kau tidak ada lubang untuk lari "
Berbareng dengan kata- katanya Sim Leng sudah
menyerang hebat, hingga terdengar suara angin
pukulannya bergemuruh, Serangan itu mengarah dada.
mudah diperhitungkan si gadis akan remuk dadanya dan
mati seketika itu juga. Tapi diluar dugaannya, Bwee
Hiang teiah menghilang dari depannya, Ia gelabakan
mencari si nona, Serr...! suara ketawa ramai, melihat Sim Leng
celingukan mencari Bwee Hiang. sedang si nona lagi
umpatkan diri dibelakangnya.
"Budak hina . , . Au " seru Sim Leng seraya
memegangi kupingnya yang kena disentil dari belakang
oleh Bwee Hiang. "Kau berani mencaci nonamu, rasakan ini" kembali
Sim Leng rasakan kuping yang satunya kena disentil si
nona, Bukan main sakitnya, sedang yang barusan disentil
masih belum hilang sakitnya.
"Kau berani permainkan kakekmu" bentak Sim Leng,
segera ia berbalik tubuh dan menyerang dengan tenaga
penuh, kembali ia hanya menyerang sasaran kosong,
Bwee Hiang kemhali sudah berada dibelakangnya.
Bwee Hiang telah menggunakan tipu sang kumbang
permainkan bunga, ajaran Kwee in untuk mengocok
orang yang sombong. Dipermainkan pergi datang cara demikian membuat
Sim Leng kewalahan, hampir mewek ia saking
jengkelnya. Sementara itu penonton tidak henti-hentinya
bersorak ramai dan mencemoohkan si kakek yang sudah
mati kutu dikocok oleh Bwee Hiang,
Melihat saudaranya dibikin punya suka oleh si gadis,
hatinya Sim Liang menjadi panas. Tapi ia ragu-ragu
untuk turun tangan mengeroyok si gadis, yang tentu
akan ditertawakan oleh orang banyak. Dua kakek
mengeroyok seorang gadis jelita, mana ada aturan"
Tapi lama- lama melihat adiknya dikocok. Sim Liang
tak tahan, dengan menebalkan muka ia lompat melabrak
Bwee Hiang. Tabrukan itulah bukan main-main,gerakan yang
dinamakan Kie-eng-pok-touw atau Elang lapar
menyambar kelinci, kalau sasarannya kena pasti akan
terluka parah. Sambaran yang dibarengi dengan tenaga
lwekang yang kuat, siapa juga tidak bisa tahan,
Namun murid si jago cilik ini tampak tidak takut. Ia
melejit ketika ditubruk Sim Liang, hingga si kakek
menubruk angin, Sebelum ia perbaiki posisinya,
pinggulnya ditendang oleh Bwee Hiang, hingga si kakek
terpelanting jatuh. Tapi ia gesit, dengan cepat sudah
bangun lagi pasang kuda-kuda.
Gerrr kembali orang ketawa ramai melihat si kakek
ditendang jungkir balik. Tonghong Kauwcu kagum akan anak tirinya yang
kosen itu, sementara Kim Liong yang tadi bermaksud
mendemonstrasikan kepandaiannya didepan si gadis,
menjadi tertegun dibuatnya menyaksikan kepandaiannya
si dara jelita yang menawan hatinya.
Ia menghela napas. Kim Liong menghela napas,
sebaliknya, dua saudara Sim telah mulai beringas
menghadapi Bwee Hiang. Si nona sebaliknya tidak
kelihatan gentar. "Dua kakek manis," menyindir Bwee Hiang. "Sebaiknya
kalian lekas enyah dari sini, masih ada tempo untuk
kalian lari membawa ekor kalian, sebaliknya kalau
bandel, jangan salahkan nonamu akan kasih hajaran
pada kalian" "Hm, siapa takut padamu" bentak Sim Leng disusul
dengan suara wut wut beberapa kali, itulah suara angin
dari si kakek yang meluap amarahnya,
Dengan lincah sekali Bwee Hiang telah berkelit dari
serangan-serangan dahsyat itu.
Tonghong Kauwcu sampai geleng-geleng kepala
beberapa kali melihat puterinya demikian lihay, demikian
lincah menghindarkan serangan hebat dari si kakek.
Bwee Hiang sebagai muridnya sudah demikian hebat
kepandaiannya, entahlah yang menjadi gurunya, pikir
Kauwcu dari Ngo-tok-kauw, pasti kepandaiannya berlipat
ganda. Entah siapakah yang menjadi gurunya Bwee Hiang"
tanya Tonghong Kauwcu dalam hati kecilnya. Sementara
itu jalannya pertempuran tampak makin seru, Bwee
Hiang saban-saban lolos dari gencetan kedua kakek yang
kalap itu. "Percuma kalian sudah setua ini tidak punya guna,
sampai Bocah ingusan saja tak bisa menangkapnya.
Hahahihi..." goda Bwee Hiang seraya berkelit dari
serangan Sim Leng yang makin lama kakek itu makin
bernapsu untuk mencekik si gadis.
"Anak ingusan, jangan sombong" teriak Sim Liang
gusar. "Apa kau kira bisa lolos dari tangan kami" Hm.
jangan kau mimpi. " "Nah, inilah mimpi" seru Bwee Hiang, disusul oleh
suara plak plok dua kali dan kontan Sim Liang berdiri
tertegun, seraya pegangi pipinya yang kena ditampar
oleh si nona, Hebat tamparan itu, sebab beberapa buah
giginya Sim Liang telah lolos dari akarnya, meluncur ikut
keluar ketika darah dimulutnya disemburkan.
"Kurang ajar, kau berani tampar kakekmu?" bentak
Sim Leng, adiknya, melihat saudaranya telah dikerjai oleh
si gadis. "Ini bagianmu" seru Bwee Hiang, berbareng suara
plak plok terdengar keras. dan si kakek itu juga menjadi
puyeng ditampar si nona. Matanya dirasakan gelap dan
hampir ia jatuh terkulai, manakala tidak malu melihat ada
banyak orang yang nonton.
"Sungguh hebat" memuji Tan Pangcu, yang juga
menyaksikan pertempuran itu, belum lama ia datang
setelah menerima laporan dari orangnya bahwa dimarkas
Ngo-tok-kauw ada huru-hara ditimbulkan oleh dua kakek
she Sun. Kim Liong si wajah tampan diam-diam merasa rendah
dirinya, melihat kepandaiannya Bwee Hiang demikian
rupa. Dua kakek yang kepandaiannya begitu tinggi dapat
dipermalukan seenaknya saja, Bentar-bentar ia seperti
memimpikan memeluk rembulan untuk dapatkan Bwee
Hiang yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dirinya.
Tanpa merasa ia jadi menghela napas. Sementara itu
pertempuran masih berjalan seru.
Dua saudara she Sim itu sangat penasaran kepada si
jelita, Sebagai jagoan yang sudah ada nama, masa harus
terjungkal ditangannya seorang gadis tak ternama"
Sungguh keterlaluan, pikir mereka. Bagaimana juga
mereka harus dapat membekuk Bwee Hiang, barulah
mereka tidak turun merek. Tapi apa daya" Si jelita
sangat tangkas dan kosen sekali, malah sampai sebegitu
jauh ia belum balas menyerang dan hanya melawan
dengan kegesitan dadanya saja. Diam-diam mereka
kagumi ginkang dari si nona, tapi dasar kakek- kakek
yang tidak tahu gelagat, meskipun sudah tahu si nona
ada lebih unggul, masih juga kepingin dapat mencekik
batang lehernya Bwee Hiang.
Penonton tegang hatinya, meskipun ber-ulang2 sorak
ramai memberi semangat kepada si nona. Mereka
kuatirkan Bwee Hiang, meskipun saban-saban dapat
menghindarkan diri dari pukulan-pukulan maut kedua
kakek itu, kenyataannya si nona terus terdesak.
Melihat sebegitu lama belum juga dapat mencekik si
jelita, dan saudara she Sim itu benar2 penasaran- Budak
ingusan yang mereka katakan itu, ternyata memliki
kepandaian yang mempesonakan mereka.
"Suko, kalau kita harus roboh ditangan si Bocah
ingusan, rasanya benar-benar penasaan sekali-" berkata
Sim Leng kepada saudara tuanya.
"jangan kasih ia banyak bertingkah, maju dan desak
terus" sahut sang kakek.
"Kakek- kakek tidak tahu diri." bentak Bwee Hiang.
"Kalian masih memikirkan dapat menangkap aku" Lihat
nanti nonamu bikin kau lari tunggang-langgang"
"Hahaha, sombongnya jadi," jengek Sim Leng ketawa
berkakakan. Meskipun ketawa ternyata si kakek tidak kendorkan
serangan- Dalam sengitnya mereka telah mengeluarkan
ilmu pukulan Simpanannya yang dinamai "Kam-kauwciang"
atau ilmu pukulan GUnting emas yang mereka
ciptakan sendiri, Bwee Hiang melihat gelagat tidak mengUntungkan dan
pikir sudah cukup menggocek kedua kakek itu, maka ia
robah cara bersilatnya, Kini ia bergerak lebih gesit dan
balas menyerang seperti kilat, hingga kedua kakek itu
jadi gelabakan- "Kakek kakek dua mengepung satu Bocah ingusan,
keterlaluan kalau sampai begitu lama hanya menyerang
sasaran kosong melulu. Hihihihi . ,."
Bwee Hiang menertawakan lawannya.
Makin panas mereka dijengeki si nona. inilah memang
taktik Bwee Hiang, makin panas hati sang lawan makin
membuka banyak lowongan untuknya merobohkan,


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena sengitnya mereka menyerang menjadi agak
lengah melakukan penjagaan-
Taktik si nona benar saja menjadi kenyataan. Tampak
Sim Liang gerakan tangannya agak dipentang, seperti
gunting. kemudian kedua tangannya menyambar
pinggangnya Bwee Hiang yang langsing. ia menggunting
itulah gerakan yang dinamai gunting emas menggunting
pohon Liu, salah satu jurus dari Kim-kiauw-ciang yang
ganas, sebab sasarannya kalau terkena jitu, pinggang
bisa patah dan sang korban menemui ajalnya,
Bwee Hiang tahu serangan berbahaya itu, ia
menjejakkan kakinya dan mencelat keatas, hingga Sim
Leng menggunting angin- Bwee Hiang melambung tinggi bukan hanya
melambung begitu saja, sebab kakinya berbareng
menendang pergelangan tangan Sim Liang yang hendak
menCengkeram mukanya. Hebat akibatnya, Sim Liang harus merasakan
pergelangan tangannya yang kena tendang tadi nyeri
bukan main- Sampai tubuhnya bergemetaan. Untung
tidak mengenakan jalan darah yang-kek pada
pergelangannya itu, kalau kena, tidak ampun lagi ia bakal
bediri bagaikan patung "Hehe, budak ingusan Kau mau naik kelangit?"
mengejek Sim Leng, melihat Bwee Hiang tubuhnya
melambung tinggi. Ketika tubuh si nona melayang turun, Sim Leng
sambut dengan Pek-kong-ciang pukulan udara kosong.
Baik juga Bwee Hiang sudah mendapat latihan sempurna
dari guru ciliknya. Dengan meminjam tenaga sambaran
angin pukulan udara kosong Sim Leng ia melambung
lebih tinggi, indah sekali gayanya si nona dalam posisi
demikian- Penonton kontan bersorak ramai sekali.
"Hehe, baru tahu ia lihaynya si kakek" Sim leng
tertawakan Bwee Hiang yang tubuhnya mumbul lebih
inggi ketika menerima serangannya.
Maksud Sim Leng akan susulkan lagi pukulan udara
kosongnya, kapan tubuhnya si nona sedang meluncur
turun. la tidak mengira Bwee Hiang telah menggunakan
ilmu Cian-kin-tui, membuat berat badannya ribuan kati,
hingga tenaga meluncurnya dari udara menjadi lebih
cepat dan diluar perhitungannya si kakek.
Ketika Sim Leng siap dengan susulan pukulannya,
tiba-tiba dibuat kaget ujung sepatunya si nona yang
meluncur turun telah mencium jidatnya, hingga matanya
berkunang-kunang pusing dan ia tinggal manda saja
ketika Bwee Hiang susulkan tamparannya yang kedua
kali melanda pipinya. Giginya yang sudah tidak tinggal
seberapa kembali pada copot dan berlumuran darah pula
mulutnya. Dalam keadaan demikian Sim Leng masih dapat
bergerak seperti banteng mengamuk, ia menyerang
kalang kabut sekenanya, hingga jago betina kita ketawa
cekikikan, melihat tingkah lakunya si kakek seperti orang
edan. Sim Liang, sang Toako, menjadi gemas melihat
adiknya dipermainkan Bwee Hiang,
Untuk ia menyerang lagi si nona tidak unggul, sebab
bisa- bisa ia buat lebih malu lagi oleh si jelita ditempat
banyak orang itu. "Sute, sudah, sudah, kita terima kalah" serunya pada
Sim Leng yang masih berputar mencari lawannya.
Sim Leng hentikan gerakannya tatkala mendengar
perkataan sang kakak. ia berdiri menjublak sambil
matanya mengawasi Bwee Hiang dengan penuh
kebencian- Lucu kalau melihat keadaan Sim Leng pada saat itu.
Matanya yang beringas mengawasi si jelita diiring oleh
darah yang meleleh dari bibirnya, akibat tamparan si
nona yang paling belakang.
"Nona, kau sebenarnya siapa?" tanya Sim Liang lunak.
Bwee Hiang juga tidak mau berlaku keliwatan nampak
orang sudah berlaku ngalah, maka ia bersenyum ketika
ditanya si kakek. la menjawab: "Aku seorang tidak
ternama, untuk apa Lopek mengetahui tentang diriku?"
"Tapi nona kecil, kepandaianmu hebat sekali," memuji
Sim Liang. "Aku tahu kau barusan hanya main-main saja
melayani kami, kalau dengan sesungguhnya, terang
siang-siang kami sudah kena dirobohkan, si Nona kecil,
siapa gurumu yang terhormat?"
Bwee Hiang ketawa ngikik ditanya siapa gurunya"
"Kenapa kau tertawa, nona kecil." tanya Sim Liang
keheranan. "Kalau aku sebutkan nama guruku, barangkali kau
tidak kenal Lopek." sahut si nona.
"Kami sudah berusia lanjut, dimana-mana banyak
kawan dan lawan, pasti akan kenal dengan gurumu yang
mulia, nona," berkata pula Sim Liang yang ngotot
kepingin tahu siapa gurunya Bwee Hiang.
"Guruku hanya seorang Bocah ingusan saja, kalau
sebutkan kau akan mentertawakan tidak sudahnya,"
sahut Bwee Hiang yang tampaknya sangat pelit untuk
menyebutkan gurunya, atau memang ia hendak
menggodai si kakek. Sim Liang dan saudaranya melengak mendengar si
jelita berkata bahwa gurunya ada seorang Bocah
ingusan- Pikirnya: "Hm kau mau main gila terhadap
orang tua" Lihat, bukan saja kau nanti kami bekuk
batang lehernya, juga gurumu"
Meskipun dalam hati berpikir demikian Sim Liang tidak
kentarakan diwajahnya. ia tetap lunak dan ramah tamah,
"Nona, kepandaianmu sudah begitu hebat, tentu
gurumu lebih hebat lagi, coba sebutkan nama gurumu,
pasti kami orang tua kenal padanya," mendesak Sim
Liang, Bwee Hiang ketawa- ketawa, seperti yang tahan
harga. Jjengkel kelihatan dua kakek itu.
"anak Hiang, tidak apa, kau sebutkan saja nama
gurumu" berseru Tonghong Kauwcu dipinggiran, melihat
puterinya seperti belum puas menggodai diri kakek itu.
Bwee Hiang anggukkan kepala. ia menatap wajahnya
kedua kakek, yang berdebaran hatinya akan mendengar
disebutkan namanya guru si jelita.
"Kalian jangan mentertawakan padaku, kalau nanti
aku sebutkan nama guruku, ya" berkata Bwee Hiang
seraya ketawa ngikik. "Tidak. oh, tidak. masa kami mentertawakan guru
nona," sahut Sim Liang,
"Baiklah, kalian dengar, guruku adalah, Hek-bin Sintong."
kata Bwee Hiang ketawa manis kepada dua kakek
itu, Bwee Hiang mengira bahwa kedua kakek itu akan
mentertawakan menyebut nama gelaran si jago cilik
Kwee In, tidak tahunya malah sebaliknya. si jelita
bengong, nampak kedua kakek itu tubuhnya,
bergemetaran dan lemas lututnya seperti hendak
terkulai, "Kalian kenapa?" tanya si nona heran.
"Nona..." kata Sim Liang agak parau suaranya, "Apa
benar gurumu Hek-bin sin-tong?"
"Kenapa aku harus membohongi kalian?" sahut Bwee
Hiang wajar. "Nona, aku tidak berani mengganggu pula padamu,,,"
berkata Sim Liang, seraya tarik tangan adiknya dan
berlalu dari situ tidak mengatakan apa-apa lagi,
Semua orang menjadi heran atas kelakuannya dua
kakek itu, hanya Tonghong Kauwcu yang tertawa
berkakakan nampak dua kakek itu pergi dengan begitu
saja, seperti ketakutan melihat momok.
Bwee Hiang juga jadi kebingungan- ia heran ayah
tirinya ketawa berkakakan, maka ia lalu menanya: "Ayah
kenapa kau tertawa begitu enak?"
"anak Hiang, aku tertawa dua kakek itu," sahutnya
dengan masih ketawa, "Memangnya kenapa?" tanya si nona kepingin tahu,
"Mereka takut dengan bayangannya sendiri
mendengar kau sebut namanya Hek-bin Sin-tong."
"Hek-bin Sin-tong..." Bwee Hiang membatin. hatinya
senang tiba-tiba dan merasa bangga. sebab gelaran sang
adik kecilnya demikian berpengaruh sehingga membuat
dua kakek kosen itu ciut nyalinya.
Tan Pangcu merasa heran dengan kesudahan
pertempuran itu, lebih heran pula mendengar katakatanya
sang Kauwcu bahwa dua kakek itu dibikin terbirit2
oleh namanya Hek-bin Sin-tong, maka ia lalu minta
keterangan: "Tong hong-heng begitu perkasa,
bagaimana sih duduknya perkara?"
Tonghong Kauwcu kembali tertawa ter-bahak2,
setelah itu ia lalu menceritakan kepada Tan Pangcu
dengan singkat bagaimana dua kakek itu dibikin tidak
berdaya oleh Kwee In ketika si Bocah menolongi dirinya
dari ancaman dua kakek itu.
Sekarang juga Bwee Hiang baru tahu, kalau adik
kecilnya sudah pernah menghajar dua kakek itu,
makanya mereka jadi ketakutan ketika ia menyebutkan
gelarnya sang adik kecil.
Diam-diam ia merasa bangga akan adik kecilnya yang
telah menjadi tersohor namanya karena kepandaiannya
yang sangat tinggi. Bwee Hiang sementara itu sudah masuk pula kedalam
rumah, dimana ia dapatkan ibunya sedang menanti
dengan tubuh bergemetaran.
"Bagaimana, anak Hiang, apa mereka sudah dapat
diusir pergi?" tanyanya.
"Untung dapat anak punya sedikit kepandaian ajaran
adik In, kalau tidak dua kakek itu sukar dilayani. Tapi ibu
jangan takut, sekarang dua kakek itu pasti tidak berani
cari gara2 pula kesini, lantaran mereka ketakutan
mendengar nama gelaran adik In."
"Apa gelaran anak in, anak Hiang?" sang ibu menanya
kepingin tahu. "Hek-bin Sin-tong. . . ." sahut Bwee Hiang dengan
senyum bangga. Ketika sang ibu menanya lebih jauh halnya si bocah,
Bwee Hiang tuturkan gelaran itu didapat ketika Kwee In
masih hitam legam wajahnya.
"Entah apa gelarannya sekarang anak In yang sudah
salin rupa sangat cakap?"
Bwee Hiang melengak bangga mendengar ibunya
mengatakan adik In-nya sangat cakap.
Tapi ia hanya bersenyum saja menatap wajah
ibunya... Sang ibu ketawa melihat anaknya seperti bangga
Kwee In dipuji. "Anak Hiang, anak In setelah wajahnya sekarang
berubah cakap, tepat sekali kalau ia mendapat gelaran
baru Giok-bin Long-kun. Hahahaha. .." sang ibu ketawa
ngikik. -oo0dw0oo- JILID 2 Bab 4 TERBELALAK matanya Bwee Hiang mendengar sang
ibu memberi gelaran Giok-bin-Long-kun (si Perjaka Muka
Kumala), akan tetapi hatinya hanya ia sendiri yang tahu
sangat bangga dengan gelaran baru untuk adik In-nya
itu. Entah adik Lian akur apa tidak dengan gelaran itu
untuk adik In-nya" Demikian Bwee Hiang menanya pada
hati kecilnya. "Ibu terlalu berkelebihan menggelarkan adik In
demikian hebat!" Bwee Hiang memancing ibunya untuk
keluarkan pujian pula untuk adik In-nya.
"Anak Hiang, memang harus diakui ia sangat cakap,
jarang tandingannya. Coba kapan usianya sudah
menanjak dewasa, kira-kira umur dua-puluh tahun saja,
pasti wajahnya yang cakap menonjol diantara pemudapemuda
yang dikatakan tampan dan cakap wajahnya."
Hatinya Bwee Hiang berdebaran mendengar perkataan
sang ibu. Tanpa terasa berbayang wajah si jago cilik
yang sekarang sudah salin rupa. Bagaimana mesra Kwee
In ketika memeluk dirinya dan menciumnya. Itulah saatsaat
gembira yang tak dapat dilupakan seumur hidupnya.
Untuk membalas budinya Kwee In. Bwee Hiang sudah
bertekad bulat untuk menyerahkan dirinya kepada si
bocah. Ia ingin melayani Kwee In sepanjang hidupnya.
Tanpa terasa Bwee Hiang menyungging senyuman
diwajahnya. "Anak Hiang, kau bangga dengan adik In-mu?" tanya
sang ibu. Bwee Hiang mengangguk. "Bagaimana dengan Kim Liong" Apa kau sudah
mengambil keputusan?"
"Anak itu baik dan aku suka padanya," sahut Bwee
Hiang. "cuma saja hati anak sudah dimiliki oleh adik In,
sukar anak melupakan ia yang mendidik anak sekarang
punya kepandaian tinggi. Budinya ada sangat besar tak
terlupakan!" Sang ibu geleng-geleng kepala. Ia kewalahan dengan
anak kandungnya yang kepala batu.
Dalam hatinya sebenarnya ia sangat marah kepada
anaknya itu, namun tidak berani mengutarakannya,
sebab tanpa Bwee Hiang hari itu musnahlah kedudukan
Kauwcu dari suaminya dan entahlah dengan nasibnya
kalau sampai dua saudara she Sim itu dapat merampas
kedudukan Kauwcu. "Ibu,perkara jodoh itu tak dapat dipaksa," menghibur
sang anak, ketika melihat ibunya tiba-tiba berkaca-kaca
matanya menangis- "Kalau seandainya engko Liong
setuju, nanti aku bantu cari untuk jodohnya yang
setimpal" Sang ibu angkat mukanya mengawasi sang anak.
"Anak siapa yang kau akan majukan, anak-" tanyanya,


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seraya menyeka air matanya.
"Aku masih belum tahu, coba lihat saja nanti. Namun,
janjiku ini tak mengikat, asal engko Liong sudah terlebih
dahulu mendapat jodoh, itu ada lebih baik lagi. Tegasnya
jangan terlalu mengandalkan padaku."
Sang ibu angguk-anggukkan kepalanya.
Sementara itu diluar sudah bubaran dan masingmasing
kembali ketempat pekerjaannya.
Tan Pangcu pamitan dari Tong hong Kauwcu, bersama
anaknya pulang kerumahnya. Sampai dirumah, dengan
rupa kegirangan Tan Pangcu berkata pada anaknya:
"Anak Liong, sungguh calon isterimu itu hebat
kepandaiannya. Aku senang mempunyai mantu seperti
ia, bagaimana kau pikir?"
Kim Liong ketawa getir mendengar perkataan sang
ayah. "Kau kenapa, anak Liong?" tanya sang ayah heran.
"Ayah," kata sang anak, seraya ketawa getir, "Untuk
dapatkan isteri seperti adik Hiang, sama saja seperti anak
melamun memeluk rembulan. ia begitu tinggi
kepandaiannya, mana anak setimpal menjadi suaminya?"
Sang ayah terkekeh-kekeh ketawa.
"Anak Liong. ia cantik dan kau cakap. adalah jodoh
yang setimpal sekali, perlu apa ilmu kepandainn silat
yang menjadi halangan. Asal suka sama suka. urusan
tinggi rendahnya masing-masing pihak punya kepandaian
silat tidak menjadi rintangan,"
"Tapi ayah tidak tahu," sahut sang anak lesu.
"Tidak tahu bagaimana?" Tan Pangcu kepingin tahu.
"Adik Hiang sudah ada yang punya," jawab Kim Liong
menghela napas. Kaget Tan Pangcu mendengarnya.
Sebelum sang ayah menanya lebih jauh, Kim Liong
lalu tuturkan kejadian pertemuannya dengan si jelita
ditaman bunga, bagaimana Bwee Hiang telah menjajal
lwekangnya dan dikalahkan.
Dengan terang-terangan Bwee Hiang telah mengaku
bahwa dirinya sudah ada yang punya, jadi Kim Liong tak
usah memikirkan pula kepada dirinya.
Tan Pangcu yang semula kegirangan bakal dapat
mantu begitu hebat kepandaiannya, sekarang menjadi
lesu dan putus asa. Tapi ia masih belum mau menyerah,
ia mau bujuk Tonghong Kin supaya menggunakan
pengaruhnya sebagai ayah membujuk Bwee Hiang
merubah pikirannya dan terima anaknya menjadi
jodohnya. Malam.. . . Tampak dirumahnya Tan Pangcu masih ada
penerangan. Kiranya dalam rumah Tan Pangcu malam itu ada
pertemuam diantara Tan Pangcu dengan isterinya dan
Tonghong Kauwcu bersama nyonya. Empat orang itu
asyik pada omong. Apa yang mereka bicarakan"
Ternyata urusan perjodohannya Kim Liong dengan
Bwee Hiang. Rupa-rupanya Tan Pangcu mau paksakan
perjodohan dua anak muda itu dengan meminta
Tonghong Kauwcu dan isterinya unjuk pengaruhnya
sebagai orang tua menekan anaknya supaya bersedia
menjadi isterinya Tan Kim Liong, anaknya yang paling
disayang. "Adik ceng sebagai ibu, pasti ada lebih leluasa
membujuk anak Hiang, aku tidak percaya kalau anak
Hiang membandel kemauan ibu kandungnya" demikian
nyonya rumah mengutarakan pikirannya kepada nyonya
Tonghong. "Enci, aku sudah berusaha sekerasnya supaya anakku
bersedia menjadi isterinya anak Liong, tapi sampai
sebegitu jauh menemukan kegagalan, karena anak itu
kepala batu dan mangaku hatinya sudah dimiliki oleh
adik In-nya," menerangkan nyonya Tonghong.
"Ya, enso memang memegang peranan panting dalam
perjodohannya anak Liong dan anak Hiang, maka aku
minta kau suka membantu sungguh-sungguh," Tan
Pangcu menimpati isterinya.
"Aku sudah berusaha, seperti barusan aku katakan,"
sahut nyonya Kauwcu. "Tapi selalu gagal, kiranya anak
Liong bukan jodohnya. Malah ia menawarkan jasa
baiknya, kalau umpamanya anak Liong bersedia ia nanti
akan carikan seorang gadis yang setimpal dengan anak
Liong. Habis aku harus berusaha bagaimana lagi?"
Tan Pangcu dan isterinya kurang puas dengan
jawaban nyonya Tonghong. "Anak Hang adatnya keras, aku kuatir kalau nanti ia
salah mengerti bisa berabe," menyatakan Tonghong
Kauwcu. "Menurut pikiranku, lebih baik kita jangan
bicarakan urusan jodoh anak Hiang dan Liong biar kita
bebaskan kewajiban kepada anak Hiang supaya ia
mencarikan gadis yang setimpal untuk jodohnya anak
Liong." "Ya, tapi kapan itu bisa jadi?" menyindir nyonya Tan-
"Umurnya si Liong sekarang sudah dua-puluh empat
tahun, kalau mesti menanti beberapa tahun lagi ia
keburu tua." Tonghong Kauwcu dan nyonya kewalahan melihat
suami isteri dari Pangcu ceng-Liong-pang mendesak
demikian rupa, Akhirnya perundingan tidak menghasilkan apa- apa
yang memuaskan. Nyonya Tonghong kemudian mengajak suaminya
pulang, ketika melihat tuan dan nyonya rumah makin
lama makin tidak enak kata2nya yang diucapkan. Setelah
berada dirumah sendiri, nyonya Tonghong berkata pada
suaminya. "cungko, Tan pangcu dan nyonyanya kenapa begitu
tidak tahu malu, mendesak mau menjodohkan diri anak
kita kepada anak Liong" Sungguh aku tidak nyana. Kim
Liong kita suka dan pandang ia sebagai anak sendiri
lantaran anak itu baik pribadinya, kita juga kepingin ia
berjodoh dengan anak Hiang, tapi lantaran anak Hiang
sudah ada yang punya, bagaimana kita mendesaknya"
Malah anak Hiang pernah kata, ia bukannya tidak setuju
kepada anak Liong, hanya saja hatinya sudah diisi oleh
lain orang. Dari sebab itu ia kasihan pada kim Liong dan
ia menawarkan jasa baiknya untuk memilihkan seorang
gadis yang setimpal untuk menjadi isterinya anak Liong."
Tonghong Kauwcu geleng2 kepala,
"Aku juga tidak mengerti sikap mereka itu." katanya,
"Mereka suruh kita menggunakan pengaruh kita sebagai
orang tua untuk mendesak anak Hiang, mending kalau
anak Hiang tidak salah mengerti, kalau ia salah mengerti
berabe kita, sebab anak Hiang bukan anak2 lagi dan
kepandaiannya sangat tinggi. Siapa bisa lawan kalau
umpamanya ia marah?"
Suami isteri itu berunding, akhirnya diambil keputusan
untuk tidak menghiraukan permintaan Tan Pangcu dan
isterinya, Pada hari-hari berikutnya nyonya Tonghong tidak
melihat Kim Liong datang mengunjungi rumahnya untuk
duduk kongkouw dengan Bwee Hiang. hatinya menjadi
heran. ia lalu menanya pada anaknya:
"Anak Hiang, sudah dua-tiga hari ini tidak kelihatan
Kim Liong datang, kenapa" Apakah kau berselisih
dengannya?" Bwee Hiang ketawa. "ibu, mana ia berani datang lagi,
sebab anak sudah jelaskan bahwa anak sudah ada yang
punya." Lalu Bwee Hiang menuturkan pertemuannya ditaman
bunga, bagaimana ia adu lwekang dengan si anak muda,
sebelum adanya kejadian rusuh dalam markas Ngo-tokkauw.
Terbelalak matanya sang ibu menengar ceritanya
sang anak. "Pantasan ia tidak datang dalam beberapa hari ini, dan
mungkin ia bakalan tidak datang untuk selamanya,
sebelum Tan Panggcu mendapat keputusan." berkata
sang ibu. "Keputusan apa, ibu?" tanya Bwee Hiang kepingin
tahu. "Keputusan kau, suka menjadi menantunya." sahut
nyonya Tonghong. Bwee Hiang ketawa. "orang tua itu mengharap yang
tidak-tidak. Apakah anaknya tidak cerita, bagaimana ia
mendapat malu ditaman bunga" Hm orang begitu harus
dikasih hajaran baru tahu rasa" si nona mulai tidak
senang. "Hajaran" Hajaran apa, anak Hiang?" tanya sang ibu
gugup, "Biar anak nanti kasih hajaran pada orang tua tidak
tahu diri itu?" kata Bwee Hiang.
"oh, jangan, jangan...anak Hiang. Kau mau bikin ribut
di ceng-Liong-pang?" sang ibu dengan gugup melarang
anaknya yang hendak menimbulkan onar. Bwee Hiang
unjuk paras gemas. Meskipun sangat gemas Bwee Hiang tidak kata apaapa
lagi, melihat ibunya seperti ketakutan sekali.
Pada malamnya dengan mengenakan Ya-heng-ie
(pakaian untuk jalan malam) si nona sudah menyatroni
markas Theng-Liong-pang. Dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi,
Bwee Hiang tidak sukar untuk menemui rumahnya sang
Ketua. ia mengintip dari jendela, kemudian dengan
berani ia memasuki rumah Tan Pangcu yang waktu itu
sedang pasang omong dengan isterinya.
"Anak itu tinggi kepandaiannya, tapi aku tidak percaya
ia tidak kewalahan kalau dikepung oleh jago-jago pilihan
kita." Bwee Hiang dengar Tan Pangcu berkata pada
isterinya, "Lain jalan tidak ada, kalau ia sudah kenal
kelihayan kita, pasti ia menurut untuk dijadikan isterinya
anak Liong." Bwee Hiang tatkala itu sembunyi dibalik tiang.
"Kalau kita menggunakan kekerasan demikian, artinya
kita bertempur dengan oang-orang Ngo-tok-kauw dan
jadi bermusuhan?" sang isteri menyahut.
"Tidak apa- apa, memangnya kita takut dengan
orang2 Ngo tok-kauw?" ujar Tan pangcu.
"Tapi sebaiknya kita jangan lakukan kekerasan
demikian, perhubungan kita dengan Ngo-tok-kauw
menjadi terganggu. Kita tunggu saja bagaimana
kabarnya dari mereka, kalau dalam beberapa hari ini
tidak ada kabar berita apa-apa, terserah bagaimana kau
hendak mengambil tindakan."
Tan Pangcu rupanya setuju dengan pikiran sang isteri,
maka juga ia tidak berkata apa-apa lagi untuk sejenak
lamanya. Bwee Hang masih tahan amarahnya. Ia tidak mau
munculkan diri dulu dan mau menanti apa yang
dikatakan lebih jauh oleh suami isteri itu.
"Kalau kita dapat menantu seperti ia, sungguh ada
satu keuntungan bagi perkumpulan kita, kita bertambah
kuat. Maka dengan jalan apa pun juga aku harus
dapatkan anak itu sebagai menantu kita."
"Apa kau sudah yakin mengatasi kepandaiannya kalau
kau keluarkan jago-jago pilihanmu" Aku sendiri kurang
yakin mendengar anak Liong cerita bagaimana ia
mengalahkan dua kakek she Sim dengan hanya dilawan
sama kegesitan badannya dia."
"Kita jangan mengandalkan orang-orang kita saja. kita
juga berdua harus turun tangan, untuk membantu
semangat dan tenaga kepada orang-orang kita,"
"Ah, aku sudah lama tidak menggunakan senyata, aku
kuatir nanti salah tangan dan menjadi tawaan orang."
"Meskipun sudah lama kau tidak menggunakan
senyata, tapi ilmu silatmu yang tinggi tentu kau tidak
lupa, bukan?" sang isteri ketawa dipuji oleh suaminya.
"Kalau ia kita tangkap. biar anak kita perkosanya,
kalau beras sudah menjadi bubur, apa ia bisa bikin, tentu
akan menurut kepada anak kita," terdengar pula Tan
Pangcu bicara. "Ah, jangan begitu, itu perbuatan tidak baik," sahut
sang isteri tidak setuju.
"Kau bodoh, Perbuatan itu dilakukan dengan sangat
terpaksa, bukannya satu kejahatan- Ini hanya untuk
membikin ia rela menjadi isterinya Kim Liong, setelah ia
berasa dirinya dinodai oleh anak kita-"
"Kau jangan pandang rendah si Kim Liong. Kalau si
Kim Liong boleh jadi menurut dalam hal demikian, tapi
Kim Liong adatnya lain- Ia satu anak baik, makanya aku
sayang sekali kepadanya."
"Urusan itu kita bicara belakangan saja, nanti kalau
kita dapat bekuk ia dan dibawa kesini. Pasti Kim Liong
akan melaksanakan perintah ayahnya, kalau nanti aku
menyuruhnya, sebab itu bukan untuk kebaikannya
sendiri juga untuk kepentingan kumpulan kita yang akan
menjadi lebih berwibawa dan ditakuti."
"Terserahlah, bagaimana baiknya kau atur." sahut
sang isteri. Tan Pangcu merasa senang isterinya dapat dibikin
mengerti dengan maksudnya.
Tiba-tiba. . . . Pada saat itulah keluar Bwee Hiang dari tempat
sembunyinya, hingga Tang pangcu dan nyonya menjadi
kaget dan terbelalak matanya^
"Hei, kau sembunyi disitu mendengarkan pembicaraan
kami, sungguh nyalimu sangat besar sekali, apakah tak
takut dibunuh oleh orang-orangku?" tegur Tan pangcu
pada si nona. Bwee Hiang tak menyahut, hanya ia bersenyum
manis. Nyonya Tan bersengsem menampak kecantikannya si
nona dalam pakaian malamnya.
"Apa maksudmu datang kemari, nona?" tanya nyonya


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tan setelah kagetnya hilang.
"Urusan kita, dimana untuk dibereskan" jawab Bwee
Hiang dingin. "Urusan apa" Kita tak ada urusan apa-apa" kata Tan
Pangcu. "Hm Tidak ada urusan apa-apa" Barusan kau
mengatakan apa" Hm Mau membikin susah menantu"
Kau jangan mimpi orang tua orang sudah tidak sudi jadi
menantunya mau dipaksa dengan segala jalan keji, apa
macam kau menjadi orang tua"
Marah sekali Tan Pangcu dimaki si nona.
"Dengan mengandalkan kepandaianmu kau berani
datang kemari" Kau boleh pandai bersilat, namun,
didalam markas ceng-Liong-pang kau jangan banyak
lagak. Kau bisa masuk. tapi untuk keluar lagi" Ham lebih
susah kau naik kelangit. Maka, menyerahlah kau untuk
menjadi menantuku yang tersayang"
Kata- kata Tan Pangcu membikin sengit Bwee Hiang,
sebaliknya menjadi takut.
jago betina kita besar nyalinya. Ia tidak takut dengan
ancamannya sang Ketua dari Gerombolan Naga Hijau
(ceng-Liong-pang). Hatinya keras dan bertekad untuk
mengasi hajaran kepada Ketua yang tidak tahu diri itu.
"Hm Kau mau membikin susah nonamu" Lihat aku
nanti kasih hajaran pada orang tua yang tak tahu diri"
bentak Bwee Hiang- "Hei, nona, kau mau bikin onar dimarkas ceng-Liongpang?"
tegur nyonya rumah. "Kalian benar. kau mau apa?" mengejek Bwee Hiang,
sikapnya sangat gagah. Kagum hatinya nyonya rumah
nampak sikap dan kecantikannya si nona,
"Nona Hiang, sebaik kau jangan membikin onar dan
terimalah lamaran kita untuk mengambil kau sebagai
mantu kami" membujuk nyonya rumah^
"Kentut busuk" membentak jago betina kita nyaring.
nyonya rumah tidak senang, "Tan-ko, mari kita bekuk
nona liar ini" serunya kepnda sang suami seraya bangkit
berdiri. sekali lompat nyonya Tan sudah menyambar pedang
yang tergantung ditembok,
Dengan pedang ditangan nyonya Tan itu, merasa
aman, sebab memang ia jago pedang sebelum menikah
dengan Tan Pangcu. "Hehe" tertawa nyonya Tan, "Kau belum kenal
liehaynya Gin-eng Kam Sian Sui. Kalau sebentar melihat
keliehayannya si Elang Perak, barulah kau akan tunduk
dan mengaku aku pantas menjadi ibu mertuamU"
Gin Eng Kam Sian Sui, si Elang Perak jago pedang dari
murid Kong-tong-pay. Perjodohannya dengan Tan
Pangcu diwaktu mudanya juga dirangkap oleh
pertandingan pedang. Tan Pangcu kalah sejurus oleh si
Elang Perak, akan tetapi lantaran Tan Pangcu
mempunyai paras cakap. maka si Elang Perak rela
menjadi isterinya. Ilmu pedangnya hebat. bukan sedikit jago-jago
pedang masa mudanya si nyonya yang terjungkal
ditangannya. Sejak ia menikah dan ikut Tan Pangcu
mengepalai ceng-Liong-pang ia jarang memegang
pedangnya dan berlatih. Sekarang, melihat Bwee Hiang kelihatan mau
membuat onar dalam markasnya, si Elang Perak kepaksa
meraba pedangnya yang sudah lama tergantung
ditembok. Bwee Hiang tadinya tidak ingin mencabut pedangnya,
karena dengan mengeluarkan pedang berarti ia akan
menumpahkan darah. la ingat pesan adik kecilnya (Kwee
In), supaya selanjutnya ia mengurangi pembunuhan-
Namun, melihat nyonya rumah sudah siap dengan
pedang ditangan dan Tan Pangcu juga sudah menanti
Pendekar Buta 12 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Jangan Ganggu Aku 1
^