Pencarian

Maling Romantis 5

Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung Bagian 5


Coh Liu-hiang tertawa lebar, serunya: "Kukira hanya aku sendiri si kucing
malam ini, tak nyana masih ada orang lain lagi."
"Masih ada dua." kata Bu Hoa.
Wuktu Coh Liu-hiang berpaling, dilihatnva seseorang berdiri mematung di
dalam Hong-ih-ting sana, pakaian hitamnya kelihatan mengkilat ditimpa
sinar bintang, siapa lagi kalau bukan Hek-tin-cu. Entah lantaran apa
pemuda yang aneh dan luar biasa itu tetap berdiri di sana, menjublek
seperti orarg linglung. "Malam pertama di Tay-bing-ouw, menyendiri di Hong-ih-ting, Pinceng kira
itulah Coh-heng. Waktu aku hendak ke sana, tak kira Coh-heng sudah
muncul di sini." "Malam sudah selarut ini, tak kira kau masih ada selera pesiar ke tempat
ini?" "Janji main catur dan minum arak tempo hari, setiap waktu tak pernah
terlupakan oleh Pinceng, memang sengaja aku ke mari mencari Coh-heng
untuk menepati janji."
Mana ada selera Coh Liu-hiang main catur minum arak segala. Tapi biji
matanya berputar, tiba tiba ia mendapat akal, katanya tertawa: "Untuk
main catur kita berdua sudah cukup, hendak minum arak perlu ditambah
Lamkiong Ling lagi baru menarik."
"Kalau demikian, tiada halangannya kita gedor rumahnya menjadi tamu tak
diundang!" "Baiklah, kau tunggu di sini sebentar, biar kugugah dulu sahabat yang
sudah tertidur di sana itu, sebentar kuiringi kau ke sana!"
Tanpa menunggu jawaban Bu Hoa, badannva sudah berkelebat ke arah
Hong-ih-ting, dilihatnya Hek-tin-cu menjublek seperti patung tanpa
bergeming, alisnya berkerut dalam seolah-olah ada sesuatu persoalan pelik
yang merundung hatinya. Coh Liu-hiang tertawa, katanya; "Hanya kuda yang tidur sambil berdiri,
Hek-heng kenapa meniru kuda?"
Hek-tin-Cu tersentak sadar dan berpaling, sekilas itu terkandung banyak
perubahan dari kerlingan matanya, namun suaranya tetap dingin: "Kalau
tuan ingin bercanda, lebih baik pergilah kau mencari nelayan tua itu."
"Tidak jelek pandangan matamu." puji Coh Liu-hiang.
Hek-tin-cu menengadahkan kepala tanpa hiraukan orang.
Coh Liu-hiang tertawa besar, ujarnya: "Malam ini aku sudah ada janji tak
bisa temani kau minum arak, biar dua tiga hari lagi kita berbincang lebih
lanjut." Mendadak orang mengeluarkan kata-kata yang tiada juntrungannya ini,
keruan Hek-tin-cu terheran heran. Baru saja ia hendak umbar adatnya,
tiba-tiba Coh Liu-hiang menekan suara dan berbisik dengan cepat: "Bawa
kudamu dan tunggu aku di luar pintu selatan. Soal ini menyangkut urusan
penting, bisa tidak membongkar rahasia keseluruhannya, tergantung dari
kerja sama kita ini."
Di saat Hek-tin-cu masih terlongong, Coh Liu-hiang sudah putar badan
sambil bergelak tawa tinggal pergi.
Ada sementara orang, tanpa tidur tiga hari tiga malam pun tidak apa-apa,
tentunya Coh Liu-hiang termasuk di antara orang-orang itu, demikian pula
Bu-Hoa dan Lamkiong Ling.
Bahwasanya Bu Hoa tidak perlu mengetuk pintu, hakekatnya Lamkiong
Lingpun tidak tidur, kini dia sedang menghadapi araknya minum seorang
diri seolah-olah memang sedang menunggu kedatangan mereka. Papan catur
dengan biji-bijinya sudah tersedia di atas meja, demikian pula arak dan
hidangan gegaresnya sudah siap di atas meja.
Lamkiong Ling tertawa, ujarnya: "Akhirnya, kali ini kita bertiga harus
benar-benar menentukan menang kalah. Sebelum rebah tak berkutik, siapa
pun dilarang berlalu, entah bagaimana maksud Coh-heng?"
"Kau kan tahu aku ini pemabukan yang takkan pergi sebelum tenggelam
dalam air kata-kata, kenapa tidak kau tanya Bu Hoa, malah tanya aku?"
Sembari main catur, dia tenggak araknya dengan lahap, sedemikian
asyiknya seumpama dilecut dan dihajar pun dia takkan mau pergi.
"Lamkiong-heng toh tidak tahu betapa asyiknya orang main catur, sungguh
suatu hal yang harus disesalkan."
Lamkiong Ling tersenyum, ujarnya: "Pemain catur harus peras otak, main
secara serabutan akan kalah, mana bisa dibanding kenikmatan seorang
penonton yang bebas merdeka?"
Sebelum Bu Hoa bicara pula, tiba-tiba dilihatnya Coh Liu-hiang
meletakkan sebiji caturnya di garis pinggir paling sudut.
Berkerut alis Bu Hoa, katanya: "Teori catur sejak dulu kala sampai
sekarang, Pinceng pernah membacanya semua, belum pernah kulihat cara
permainan seperti ini. Daerah bawah yang amat penting ini, apakah Cohheng
tidak perlu menjaganya?"
Bab 13 Keterangan: Diambil dari jilid 9 Pendekar Pengejar Nyawa
dihttp://www.langka.info atas ijin bung bagusetia sebagai admin-nya.
Kontributor: kalenteha, sikasep, bpranoto, agusis, axd002, iwan1991
----------------------------------------------------------------------
"Permainan caturku ini teramat menakjubkan. Silahkan kau peras otak
memecahkannya, aku berkesempatan untuk menunaikan hajat, di mana
tempat hajat yang terdekat, terpaksa Lamkiong-heng harus tolong
menunjukkan tempatnya."
Dengan tersenyum Lamkiong Ling bawa dia ke belakang. Coh Liu-hiang
sudah kebelet dan di ujung tanduk, terburu-buru ia berlari masuk, namun
lewat lobang angin di sebelah belakangsana ia meluncur keluar. Lobang
angin ini kira-kira satu kaki lebarnya, bocah ingusan pun sukar lewat lobang
sekecil ini, siapa tahu tulang belulang dan badan Coh Liu-hiang sudah
dilatihnya sedemikian rupa sehingga bisa dipasang-surutkan menjadi kecil
dan lemas, cara yang ditempuh benar-benar jalan yang tak mungkin
dibayangkan orang lain. Setelah melayang jauh puluhan tombak, barulah Coh Liu-hiang tersenyum
geli, batinnya : "Bu Hoa, Bu Hoa, permainan caturku tadi memang busuk
dan tak bisa dicium, karena kau harus memecahkan letak kehebatan dari
cara permainanku itu, boleh dikata laksana mencari tulang dalam telur....
tapi permainan caturku memang lain dari yang lain. Di saat kalian sangka
aku terjeblos ke dalam kakus, mungkin aku sudah tiba di gunung Hi-san."
Pepohonan rimbun melambai bergoyang menyambut datangnya musim semi.
Di luar pintu selatan, memang pemandangan alam di Kilam menyerupai
Kanglam, terutama pada malam bulan purnama seperti ini, lebih jelas
kentara akan persamaan ini.
Di bawah bayangan dedaunan pohon yang menjuntai turun, tak kelihatan
bayangan orang, yang ada hanyalah sepasang biji mata yang bersinar
terang kemilau. Bagai asap melayang, Coh Liu-hiang meluncur ke sana dan
berbisik: "Mana kudanya?"
"Kau masih sembunyi-sembunyi, sebetulnya hendak ke mana?" tanya
Mutiara Hitam. "Kalau bukan rahasia, masakah aku bisa bertindak sembunyi-sembunyi"
Jikalau rahasia, mana boleh kuberitahu kepadamu."
"Kalau tidak percaya kepadaku, kenapa aku harus percaya kepadamu"
Kalau aku tidak percaya kepadamu, buat apa kupinjamkan kuda kepadamu?"
"Hanya perempuan yang suka mencari tahu rahasia orang lain, cuma
perempuan biasa menggunakan caranya ini untuk memeras orang. Kenapa
kau jadi meniru watak seorang perempuan?"
Mutiara Hitam tercengang. Walau tidak kelihatan perubahan air mukanya
di malam nan gelap ini, namun dari sorot matanya yang dingin itu kelihatan
terjadi perubahan yang rumit atas pikirannya.
Akhirnya dia bersuit perlahan, derap kuda lantas terdengar lari
mendatangi, langkah kakinya sedemikian enteng laksana dahan pohon liu
yang tergontai terhembus angin, hampir tak kedengaran tapak kakinya
berdentam di atas tanah. "Aku tahu, sekali-sekali kau tidak akan sudi dianggap sebagai kaum
perempuan," ujar Coh Liu-hiang.
Mutiara Hitam melengos, tiba-tiba ia berpaling pula, tanyanya: "Kapan kau
kembalikan kudaku" Di mana aku harus menunggu?"
Coh Liu-hiang mencemplak naik ke atas kuda, sahutnya: "Sekarang kau
sudah tidak menghadapi bahaya, pergilah ke kota dan main sesuka hatimu,
ingin ke mana pun tak usah kuatir diganggu murid-murid Kaypang. Dalam
dua hari ini kudamu kukembalikan, bila aku belum mati lho." Belum habis
kata-katanya, Coh Liu-hiang sudah keprak kudanya membedal ke depan
sambil tertawa panjang. Kuda itu memang sakti dan hebat luar biasa. Coh Liu-hiang mengeluarkan
kemahirannya naik kuda, sekencang-kencangnya ia larikan kuda ini, terasa
angin menderu di pinggir kupingnya, pepohonan di kedua samping jalan
berkelebat mundur ke belakang cepat sekali. Memang kecepatan laksana
kilat inilah yang paling disenangi oleh Coh Liu-hiang, bukan lantaran tiada
sebab maka Coh Liu-hiang ingin pinjam kuda ini, yaitu karena dia tidak ingin
menguras tenaga hanya untuk menempuh perjalanan jauh ini. Tenaga perlu
dia pertahankan untuk melakukan sesuatu yang teramat penting artinya.
Waktu kuda Jian-li-kik membawanya tiba di Ni-san, sementara tengah
malam sudah berselang, di bawah gunung Coh Liu-hiang mencari rumah
pemburu dan titipkan kudanya di sana. Dengan menyongsong terbitnya
matahari, langsung ia mendaki ke atas gunung.
Cahaya matahari membuat balok batu yang melintang itu kelihatan sangat
mengkilat, tapi kali ini tiada orang yang merintangi jalan Coh Liu-hiang.
Kicauan burung nan merdu seolah-olah menyambut kedatangannya,
segalanya serba tenang dan tentram. Gubuk-gubuk yang kokoh berderet di
sana masih tetap di bawah tingkah sinar matahari, pintu masih setengah
terbuka. Melongok ke dalam lewat jendela yang terbuka, keadaan sunyisenyap
tiada sesuatu gerakan. Segala ketenangan ini tak kelihatan adanya tanda-tanda sesuatu
kekerasan terjadi, tetapi terlalu tenang dan sunyi, sehingga hati Cob Liuhiang
merasakan firasat jelek. Tanpa mengetuk pintu, langsung ia
menerjang masuk ke dalam.
Ternyata Chiu Ling-siok sudah tidak di tempatnya lagi. Di atas kasur
bundar tempat duduknya hanya ketinggalan sebuah tusuk konde hitam
terbuat dari gading, bebauan harum masih terendus cukup keras.
Tersirap darah Coh Liu-hiang, serunya: "Jin-hujin.... Jin-hujin.... di mana
kau?" Sudah tentu ia tahu seruannya itu takkan mendapat jawaban. Sembari
berteriak-teriak, lekas sekali ia sudah menggeledah ketiga gubuk
berderet itu dengan seksama, namun bayangan nyamuk pun tidak
ditemukan. Selagi perabot dan benda di dalam gubuk masih tetap pada
tempatnya seperti tidak pernah disentuh tangan, tidak terlihat pula
adanya tanda-tanda perkelahian di sana.
Tapi Jin-hujin Chiu Ling-siok ke mana perginya" Seperti anjing pelacak
yang mengejar buruannya, sekali lagi Coh Liu-hiang mulai mencarinya
dengan lebih teliti, dia mengharap Jin-hujin ada meninggalkan sesuatu apaapa
meskipun itu hanya sebuah tanda rahasia, tapi tentulah amat besar
artinya. Tapi setiap sudut setiap tempat tertentu sudah dia periksa dengan teliti,
tiada sesuatu tanda-tanda atau tulisan yang memberikan keterangan.
Bantal guling tertata rajin di atas ranjang, pakaian pun tertumpuk rapi di
dalam lemari, di atas toilet menggeletak tiga batang sisir yang dijajar dan
bersih, perabot-perabot rumah tangga berada di tempat masing masing.
Semuanya serba beraturan tidak ada satu kesalahan.
Kalau tempat ini mau dikatakan ada sesuatu yang ganjil, yaitu bahwa
semua serba rapi, rajin dan beraturan pula seperti hendak sengaja ditata
dan diatur sedemikian rupa untuk dipamerkan pada orang.
Dengan kepala terasa berat, Coh Liu-Hiang melangkah keluar, sorot
matanya tiba-tiba tertumbuk pada tusuk konde hitam yang menggeletak di
atas kasur bundar itu. Kasur ini adalah kasur yg sering dipakai oleh Jinhujin,
di atas kasur ada menggeletak tusuk kondenya, sebetulnya tidak
perlu dibuat heran, maka pada waktu datangnya tadi Coh Liu-Hiang sedikit
pun tidak menaruh perhatian.
Tapi sekarang setelah ia melihat keadaan rumah yang serba aneh dan
ganjil ini, maka sebatang tusuk konde pun terasa terlalu menyolok
pemandangan, karena tusuk konde ini melulu tidak diletakkan pada tempat
yang sebenarnya, mana bisa berada di kasur bundar ini kalau tidak ada
sesuatu maksud tertentu"
Dengan kedua jarinya, pelan pelan Coh Liu-Hiang menjepit tusuk konde ini,
tiba-tiba didapatinya ujung tusuk konde ini menunjuk pintu kecil yg
menembus ke belakang. Sampai detik ini pintu itu masih tertutup rapat.
Tergopoh-gopoh Coh Liu-Hiang melompat ke arah pintu kecil tersebut,
terasa daun pintu terkunci atau terpalang dari sebelah luar sana. Sorot
matanya seketika memancarkan cahaya terang yang amat menggembirakan
hati, tanpa ayal ia mengayunkan kaki menendang jebol dan melompat
keluar. Belakang gunung jauh lebih belukar dan jarang diinjak kaki manusia.
Seperti seekor kucing yang hendak mengincar mangsanya di rumpun
semak belukar, tiba-tiba dilihatnya di atas dahan pohon berduri sebelah
kiri melambai secuil kain sobekan warna hitam. Kain itu jelas sobekan baju
yg dipakai oleh Jin-hujin. Lekas Coh Liu-hiang membelok ke kiri lalu
berjalan cepat-cepat dengan hati-hati, sekoyong-koyong didengarnya
seringai tawa seram. Seseorang berkata sambil terloroh-loroh kesenangan: "Kalau kau tidak
sudi aku menyentuh seujung jarimu, aku pun tidak mau memaksa, sampai
sekarang kenapa tidak kau lekas lompat saja?" Seringai tawa dan katakata
ini ternyata dikeluarkan oleh pengemis galak dari Bulim, Pek-giok-mo
adanya. Disusul terdengar suara Jin-hujin berkata: "Aku toh bakal mampus,
kenapa kau masih begitu tergesa-gesa?"
Pelan-pelan dan hati-hati Coh Liu-hiang menggeremel maju, perawakan
tubuh Jin-hujin yang ramping semampai sedang berdiri di ambang jurang,
hembusan angin gunung melambaikan pakaiannya, seolah-olah sembarang
waktu dia bisa terhembus jatuh ke bawah.
Cadar hitam masih menutupi mukanya, kedua tangannya memeluk sebuah
gentong kecil berisi abu Jin-lopangcu, sementara sambil menyeringai sadis
Pek-giok-mo menghadang di depannya kira-kira empat kaki jauhnya, gaman
yang dia pakai sekarang ganti sebatang Long-gee-pang yang berat dan
ganas itu. Hanya Pek-giok-mo seorang, diam-diam Coh Liu-hiang bersyukur dan lega
hati. Terdengar Pek-giok-mo membentak keras: "Cepat mati lekas menitis pula,
kalau kau tahu bakal mati, kenapa ulur-ulur waktu?"
"Nyawa amat berharga, bisa hidup sekejap lagi pun jauh lebih baik."
Gigi Pek-giok-mo gemeretak, desisnya: "Untuk menuntut balas kepada Jinlothau,
aku sudah menunggu dua puluh tahun! Meski aku tidak bisa
membunuhnya dengan tanganku sendiri, melihat abu jeneazahnya tersebar
beterbangan dan sekarang dapat memaksamu putus jiwa lagi, terhitung
terlampiaslah dendam hatiku selama ini."
"Aku tahu kau mencariku untuk menuntut balas, tapi cara bagaimana kau
bisa menemukan tempat ini?" tanya Chiu Ling-siok.
Pek-giok-mo menyeringai sinis, ujarnya: "Kau kira tempatmu ini amat
rahasia?" "Memang tempat ini amat tersembunyi dan rahasia."
"Tempat yang begini tersembunyi, siapakah orang yang membawamu ke
mari" Bukan mustahil kalau dia tahu bila kau berada di tempat ini?"
Sesaat lamanya Chiu Ling siok berdiam diri, katanya sambil menghela
napas panjang:"Ya, sejak lama seharusnya sudah kupikirkan hal ini, cepat
atau lambat dia pasti takkan membiarkan aku hidup!"
"Kalau pertanyaanmu sudah habis, apa lagi yang kau tunggu?" bentak Pekgiok-
mo. "Kalau toh kau sudah menunggu dua puluh tahun, kenapa harus ribut dan
tak sabar menunggu lagi beberapa kejap?"
Jelalatan mata Pek-giok-mo, katanya menyeringai: "Apakah kau sedang
menunggu orang untuk menolongmu" Bukankah kau sedang bermimpi?"
Chiu Ling-siok mendongak, agaknya sedang melihat cuaca, katanya
memilukan: "Sampai detik ini memang tiada orang yang akan bisa
menolongku .... mati, bagaimana rasa sebenarnya?" Dengan memeluk
gentong berisi abu jenazah itu, dia sudah siap menerjunkan diri ke dalam


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jurang. Mendadak Coh Liu-hiang keluar seraya membentak: "Pek-giok-mo, walau
selamanya aku belum pernah membunuh orang, tapi asal tanganmu
bergerak, biar kubunuh kau lebih dulu."
Long-gee-pang di tangan Pek-giok-mo sudah terangkat, namun seketika itu
ia berdiri menjublek dengan mata terbelalak.
Cepat sekali Coh Liu-hiang bertindak tanpa memberi kesempatan orang
memutar otak. Di tengah suara bentakannya, bayangan badannya seperti
elang menyambar mangsanya, ia jinjing badan Chiu Ling-siok dari pinggir
jurang. Baru sekarang Pek-giok-mo sadar dan gusar, bentaknya: "Orang she Coh!
Kenapa kau selalu turut campur urusan orang lain?"
Long-gee-pang yang panjang dan berat itu tahu-tahu sudah melanda
datang menyapu ke arah Coh Liu-hiang dah Chiu Ling-siok.
Long-gee- pang adalah gaman panglima perang yang biasa digunakan dalam
medan laga. Betapa berat, kuat dan hebat macam senjata ini, jarang
terlihat dipakai oleh tokoh-tokoh persilatan pada umumnya. Pek-giok-mo
memang dibekali tenaga raksasa pembawaan sejak dilahirkan, senjata yang
begitu berat dapat dia mainkan dengan lincah, enteng dan serasi sekali.
Siapa nyana, tidak berkelit atau menyingkir, Coh Liu-hiang justru
memapak maju. Waktu menarik dan menjinjing badan orang tadi, Coh Liuhiang
sudah menginsafi bahwa Chiu Ling-siok sudah kehilangan kepandaian
silatnya, maka sekali-sekali ia takkan membiarkan orang cidera sedikit pun.
Oleh karena itulah maka ia bertindak cepat, tegas dan menempuh bahaya.
Tampak bayangan badannya menekuk dan menggeliat, tahu-tahu badannya
sudah menyusup dan menerjang ke dalam sambaran Long-gee-pang yang
bergigi-gigi tajam, runcing dan kemilau itu. Secara mendadak ia turun
tangan menarik dan menyodok ke sikut Pek-giok-mo.
Maka lengan Pek-giok-mo yang bergerak mengikuti ayunan Long-gee-pang
itu serta merta tersentak naik dan tak kuasa mengendalikan diri pula!
Tahu-tahu tapak tangan Coh Liu-hiang sudah menepuk ke bawah ketiaknya.
Seketika Pek-giok-mo merasakan setengah badannya kesemutan dan
kemeng, Long-gee-pang tak kuasa dipegang lagi dan terpental terbang ke
tengah udara menembus mega, jatuh ke dalam jurang.
Gerakan menyanggah, menyodok dan menepuk dari Coh Liu-hiang, kalau
dikatakan amat biasa dan tiada sesesuatu keistimewaannya, tapi betapa
besar bahaya cara serangannya itu serta keanehan gerak tipunya, siapa
pun takkan mampu melakukan atau menirunya.
Sungguh mimpi pun Pek-giok-mo tidak pernah berpikir, dalam satu gebrak
saja gamannya secara aneh kena dilucuti oleh lawan. Selama puluhan tahun
ia malang melintang di Kangouw, belum pernah ia mengalami peristiwa yang
memalukan seperti ini, tanpa sadar ia melongo di tempatnya.
Dilihatnya Coh Liu-hiang berdiri di hadapannya dengan adem ayem seperti
tidak pernah terjadi apa-apa, katanya tersenyum lucu: "Tidak kau lekas
pergi?" Ternyata ia tidak menyerang lebih jauh, malah memberi kesempatan Pekgiok-
mo pergi demikian saja. Lebih tak terpikir oleh Pek-giok-mo, hari ini
ia mengalami kejadian yang lebih ganjil ini. Dirinya kejam dan telengas
bertangan gapah, sudah tentu takkan pernah terpikir olehnya jiwanya
bakal diampuni sedemikian saja. Sesaat lamanya ia kemekmek dan tak tahu
entah kaget, girang atau heran. Katanya tersendat: "Kau.... masakah
kau....." Berkata Coh Liu-hiang tawar: "Asal setiap saat kau berpikir 'kenapa aku
belum mampus"', maka selanjutnya kau akan tahu diri cara bagaimana
bersikap terhadap sesama manusia!"
Tanpa bicara lagi Pek-giok-mo segera putar tubuh dan lari sipat kuping.
"Klontang!" baru sekarang terdengar gema suara keras dari bawah jurang
sana, kiranya baru sekarang Long-gee-pang jatuh menyentuh dasar jurang.
Coh Liu-hiang pelan-pelan putar badan menghadapi Chiu Ling-siok dengan
tersenyum lebar: "Agaknya cayhe datang terlambat!"
"Betapapun, akhirnya kau datang juga," ujar Chiu Ling-siok bersyukur
menghela napas, lalu sambungnya: "Sekilas pandang aku lantas tahu kau
seorang pandai, pasti bisa menangkap arti kata-kataku, maka kau pasti
akan memburu datang pula. Maka waktu Pek-giok-mo mencariku, aku
berusaha menyembunyikan diri dan perlahan lahan lari ke tempat ini.
Mendengar aku ke mari hendak terjun ke bawah jurang, maka ia menundanunda
turun tangan." Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Kalau bukan karena keagungan Hujin,
mana bisa membuat Pek-giok-mo yang buas bertangan gapah itu jeri
menyentuh badan Hujin" Jikalau bukan mendapat petunjuk tusuk konde
hujin, mana cayhe bisa memburu ke sini pula?"
Kedua orang lain jenis yang sama pintar dan cerdiknya itu ternyata
bertemu di tempat ini secara kebetulan. Berkata Chu Ling-siok sambil
tertawa-tawa: "Ketahuilah bahwa apa yang kulakukan ini bukan demi
mempertahankan jiwaku sendiri. Tapi jika tidak kubeberkan rahasia yang
kupendam dalam relung hatiku, bukankah kematianku terlalu disayangkan?"
"Apakah boleh sekarang Hujin tuturkan rahasia hatimu itu?"
"Kalau sekarang tidak kubeberkan, maka mungkin selamanya tidak akan
ada kesempatan lagi, tapi hal ini sangat rumit dan menyangkut persoalan
besar yang amat penting artinya, cara bagaimana aku harus memulai
ceritaku?" Tanpa berpikir Coh Liu-Hiang berkata tegas:"Surat! Tentunya dari
keempat pucuk surat yang Hujin kirim itu, surat-surat yang diterima oleh
Ca Bok-hap, Sebun Jian, Ling Ciu-cu dan Cou Yu-cin bukan tulisan dan
kiriman Hujin?" "Ya ".. Akulah yang membuat celaka jiwa mereka."
"Kenapa Hujin menulis surat-surat itu, kesulitan apa yang Hujin hadapi?"
"Pernahkah kau dengar cerita Han Sian Te pada jaman kuno dulu. Sebagai
raja dia seperti boneka atau golekan yang dikekang dan dipermainkan oleh
para mentrinya, bukan saja tidak punya hak kekuasaan dan tak bebas
bertindak, malah jiwa sendiri pun tak mampu dipertahankan."
Tersirap darah Coh Liu-hiang: "Masakah Jin-lopangcu pun......."
"Keadaan Jin Jip selama tiga tahun belakangan ini, persis benar dengan
raja yang harus dikasihani itu. Namanya saja dia sebagai Kaypang Pangcu,
apa pun yang harus dia lakukan harus tunduk dan patuh oleh petunjuk
seseorang." Tak tahan bertanya Coh Liu-hiang: "Terkekang oleh siapa dia?"
"Lamkiong Ling!" sahut Chiu Ling-siok sepatah demi sepatah dengan
tandas. Coh Liu-hiang membanting kaki: "Kiranya memang benar dia, memang dia!"
"Asal mulanya dia seorang anak yatim piatu, sejak kecil dia diasuh dan
dirawat serta dididik oleh Jin Jip, diberi pelajaran ilmu silat lagi. Memang
bocah itu berotak encer, pintar sekali, apa pun yang diajarkan Jin Jip
pasti dapat dia pelajari dengan baik dan sempurna, malah lambat laun jauh
mengungguli gurunya."
"Tapi mengandalkan kepandaian silat tinggi Jin-lopangcu........"
"Meski usianya lanjut, kepandaian Jin Jip tidak mundur, badan pun kekar
dan sehat. Tapi tiga tahun belakangan ini, entah mengapa mendadak dia
dihinggapi semacam penyakit aneh, bukan saja badan dan kesehatannya
semakin lemah dan buruk, malah kaki tangan pun menjadi lumpuh, boleh
dikata sudah menyerupai seorang cacat."
"Orang gagah paling takut menghadapi penyakit, sejak dulu kala memang
demikianlah kejadiannya!" ujar Coh Liu-hiang.
"Tapi penyakit ini datang tidak wajar, dan di luar batas nalar."
"Maksud Hujin, apakah ada orang yang sengaja meracuninya?"
"Ya, begitulah!"
Walau Coh Liu-hiang sudah tahu, namun tak tahan ia bertanya pula:
"Siapa?" "Hanya ada seseorang yang mempunyai kesempatan menaruh racun, yaitu
Lamkiong Ling. Sebelum kedok aslinya terbongkar, siapa pun akan
beranggapan bahwa dia anak yang paling berbakti terhadap orang tua,
bukan saja segala tugas urusan penting dan sulit dalam Pang dia sendiri
yang menyelesaikan, sampai pun tempat tinggal, makan tidur Jin Jip pun
dia sendiri pula yang meladeninya. Memang demikian telaten dia meladeni
segala keperluan Jin Jip, aku malah menganggur. Semula aku amat terharu
melihat kebaktiannya, siapa tahu apa yang dia lakukan itu tak lain hanya
untuk mencari kesempatan untuk menurunkan tangan kejinya."
"Tapi lantaran khawatir menimbulkan kecurigaan orang lain, maka dia
tidak berani meracuni Jin-lopangcu mati seketika. Betapa telengas dan
kejam hatinya, begitu teliti dan cermat cara kerjanya, sampai aku pun
kena dikelabui." "Yang kena dia kelabui akan kekejamannya memang bukan kau seorang
saja. Setelah Jin Jip sadar akan kekejian orang, namun sudah terlambat.
Jin Jip sudah tidak mampu berbuat apa-apa atas dirinya, segala apa pun
dia harus tunduk akan perintahnya. Bukan saja dia tidak berani
membongkar tipu muslihat kejahatannya, malah dia harus pandang muka
orang dan mesti menjilat dan mengagulkannya."
Sampai di sini, kata-kata yang semula tenang datar berubah menjadi
gemetar dan tersendat dalam tenggorokan, maka dapatlah dibayangkan
kehidupan tertindas dan terkekang serta terhina itu, pastilah diliputi rasa
haru dan derita lahir batin yang kelewat batas.
Mendidih darah Coh Liu-hiang mendengar ceritanya ini, katanya marahmarah:
"Masakah tiada orang tahu atau perduli akan segala perbuatannya
itu?" "Di hadapan orang lain sikapnya sangat hormat dan patuh terhadap Jin Jip
dan aku, siapa yang bisa menembus kedok aslinya yang kejam dan telengas
itu?" "Jin-lopangcu sudah kehilangan tenaga, sudah tentu tidak leluasa
membongkar perbuatan jahatnya secara berhadapan. Tapi di saat dia tiada
di tempat, kenapa tidak dibongkar saja tipu muslihatnya yang keji itu!"
"Hari-hari belakangan, aku dan Jin Jip boleh dikata sudah dia kurung
secara halus, tanpa ijinnya siapa pun dilarang menemui kami. Terhadap
orang luar dia katakan Jin Jip sedang sakit keras, tidak boleh diganggu,
memangnya siapa yang tak percaya kata-katanya" Semua murid-murid
Kaypang sama mengharapkan penyakit Jin Jip lekas sembuh, siapa yang
berani datang mengganggunya?"
"Kalau demikian, cara bagaimana Hujin mengirimkan keempat pucuk surat
itu?" "Kuminta Lamkiong Ling mengirimkannya."
"Lamkiong Ling?" teriak Coh Liu-hiang melengak.
"Untuk mengirim surat kepada Sebun Jian dan Cou Yu-cin tidak sulit, tapi
Ling Ciu-cu dan Ca Bok-hap, satu di laut selatan dan yang lain di gurun
pasir nan jauh di barat laut sana, kecuali Lamkiong Ling yang bisa
memimpin para pengemis di seluruh jagat ini yang bisa mengirim ke sana,
siapa pula yang mampu mengirim surat itu tiba pada alamatnya dengan
selamat?" "Benarlah kalau begitu," seru Coh Liu-hiang bertepuk tangan. "Semula aku
heran. Ca Bok-hap, Ling Ciu-cu, Sebun Jian dan Cou Yu-cin bertempat
tinggal jauh dekat tidak menentu. Jikalau keempat pucuk suratmu kau
kirim bersamaan, Sebun Jian dan Cou Yu-cin seharusnya sudah tiba,
sebaliknya Ca Bok-hap dan Ling Ciu-cu mungkin belum menerima suratnya,
tapi mereka berempat justru tiba pada saat dan waktu yang bersamaan,
bukankah hal ini aneh?"
Coh Liu-hiang menelan ludah, lalu menyambung: "Baru sekarang aku tahu,
ternyata Lamkiong Ling sudah memperhitungkan waktunya. Ia sudah
memperhitungkan, setelah Ca Bok-hap dan Ling Ciu-cu menerima surat dan
berangkat dalam perjalanan, baru dia kirim surat untuk Sebun Jian dan
Cou Yu-cin. Persis dan tepat benar perhitungannya akan kedatangan
mereka berempat pada waktu yang sama, namun dia bikin mereka mati
pada saat yang sama pula."
Setelah memahami semua seluk-beluk persoalan ini, semakin terasa
olehnya betapa teliti dan cermatnya cara kerja Lamkiong Ling sungguh
menakutkan. Chiu Ling-siok menarik napas panjang, katanya pelan-pelan: "Sejak Jin Jip
jatuh sakit, laksaan murid kaypang yang tersebar di seluruh pelosok dunia
sama menganggap dan memandang Lamkiong Ling sebagai calon tunggal
pewarisnya. Cukup sepatah kata Lamkiong Ling, jangan kata hanya untuk
mengirim surat, seumpama suruh mereka menempuh gunung berapi dan
terjun ke air mendidih pun banyak orang yang berlompatan mendahului
terima tugas ini. Betapa besar kekuatan dan kekuasaannya , masakah boleh
dibuat permainan?" "Tapi cara bagaimana dia mau mewakili Hujin mengirimkan surat itu?"
"Akhir-akhir ini, untuk membeli hati orang, pengeluaran teramat besar,
tapi untuk mengangkat nama dan mendirikan wibawa di dalam dunia
persilatan, masakah dia merasa pelit dan kikir untuk mengeluarkan segala
harta benda meski dengan cara gelap?"
"Mungkinkah memang ada tujuannya yang lain?"
"Setelah aku menikah dengan Jin Jip, meski merubah she ganti nama, tapi
dia cukup jelas mengenai seluk-belukku, sudah tentu hal ini lantaran Jin
Jip yang terlalu percaya kepadanya. Hari ke hari, biaya yang dia keluarkan
relatif amat besar jumlahnya, semua tabungan milik Kaypang selama
puluhan tahun sudah dikurasnya sampai habis. Suatu hari dia paksa aku
untuk mencarikan jalan keluarnya, oleh karena itu terpaksa kutulis
keempat pucuk surat itu."
"Tidak salah, dalam surat Hujin itu tidak dijelaskan kesulitan apa
sebenarnya yang Hujin hadapi. Sebaliknya Cou Yu-cin dan Sebun Jian amat
gampang mengeruk uang sebanyak mungkin, harta milik pihak Hay-lam-pay
pun tidak kecil jumlahnya, apalagi raja gurun pasir, tak perlu dikatakan
lagi. Apakah Lamkiong Ling menyangka surat Hujin itu bertujuan untuk
pinjam uang pada mereka?"
"Karena dia hendak memperalat aku, maka kesempatan ini pun kugunakan
untuk ganti memperalat dia buat mengirimkan suratku itu. Asal dapat
bertemu dengan mereka berempat, segala urusan gampang diselesaikan."
"Tapi kenapa pula Lamkiong Ling mengubah maksudnya semula" Tidak
memeras uang mereka, sebaliknya malah mencabut jiwa mereka?"
"Itulah karena seseorang! Sehari setelah surat-surat itu dikirimkan,
malamnya datanglah orang itu. Mereka bicara dalam kamar tertutup
semalam suntuk, maka urusan lantas berubah seratus delapan puluh
derajat!" Bersinar mata Coh Liu-hiang, tanyanya segera: "Siapa orang itu?"
"Aku sendiri tidak melihatnya."
Dengan kecewa Coh Liu-hiang menghela napas, katanya: "Kau hanya tahu
akan kedatangannya?"
"Demi mengawasi tindak tanduk kami, Lamkiong Ling menetap di gubuk
sebelah. Kalau toh kami sudah menjadi ikan dalam jaringnya, maka dia
tidak begitu hati-hati terhadap kami, maka segala keadaan dalam gubuknya
itu kebanyakan dapat kudengarkan. Meski lwekangku sudah punah, untung
kepandaian kupingku masih dapat kupertahankan."
"Kau dengar apa saja yang mereka bicarakan?"
"Pembicaraan mereka amat lirih, berat dan prihatin. Aku tahu persoalan
yang mereka rundingkan pasti sesuatu rahasia yang teramat penting,
kadang kala agaknya ada sedikit perdebatan yang cukup sengit, namun tak
bisa kudengar persoalan apa yang mereka bicarakan."
"Sayang kau tidak bisa mendengarkan percakapan mereka, tokoh yang
misterius ini bukan mustahil adalah orang di belakang layar yang pegang
peranan akan semua peristiwa misterius ini."
"Tokoh misterius ini, hari kedua pagi-pagi benar lantas pergi. Tak lama
kemudian Lamkiong Ling masuk membawa semangkok kuah kolesom,
katanya untuk Jin Jip supaya tambah tenaga."
Berkilat sorot mata Coh Liu-hiang: "Kuah kolesom ini pastilah membawa
sesuatu akibat yang fatal?"
"Sudah lama dia tidak berbuat sebaik ini. Aku tahu di balik perbuatannya
ini pasti tersembunyi suatu muslihat, tapi aku sudah gunakan tiga macam
cara, namun tidak berhasil ketemukan adanya ramuan sesuatu jenis racun
dalam kuah itu!" Chiu Ling-siok menghela napas, lalu meneruskan: "Tentunya kau pun tahu,
dulu aku termasuk seorang tokoh yang cukup lihay, termasuk tingkatan
kelas satu di Bulim dalam permainan racun. Kalau dalam kuah itu ada
dicampur sedikit racun apa pun, perduli dengan cara dari aliran atau
golongan mana saja, pastilah dapat kucoba dengan baik. Maka aku


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpendapat bahwa kuah kolesom ini tentulah tidak ada apa-apanya yang
perlu dikuatirkan." "Oleh karena itu, dengan lega hati kau berikan kuah itu untuk diminum
Jin-lopangcu?" "Kalau toh kuah itu benar tiada racun, kenapa aku harus mengabaikan
kebaikan Lamkiong Ling" Apalagi saban hari Jin Jip hanya bisa makan
bubur, memang dia memerlukan bahan obat-obatan untuk menambah
kesehatan dan semangatnya."
Tiba-tiba tergerak hati Coh Liu-hiang, tanyanya keras: "Setelah minum
kuah kolesom itu, apakah seluruh badan Jin-lopangcu menjadi melepuh
besar?" Chiu Ling-siok kaget dan terkesima dibuatnya, tanyanya: "Dari mana kau
bisa tahu?" "Thian-it-sin-cui! Kau tidak berhasil mencoba kadar racun di dalam kuah
itu, karena itulah Thian-it-sin-cui."
Baru sekarang dia lebih yakin dan berkesimpulan lebih jelas bahwa biang
keladi dari semua peristiwa pembunuhan ini ternyata adalah orang yang
mencuri Thian-it-sin-cui dari Sin-cui-kiong itu. Sudah tentu dia pula yang
membunuh Thian-jiang-sin Song Kang dan orang yang menyamar jadi
Thian-hong-cap-si-long itu. Meski Lamkiong Ling seorang musuh yang cukup
menakutkan, namun kelicinan dan kekejaman orang itu jauh melebihi
Lamkiong Ling yang hanya diperalat saja.
Walau sekarang Coh Liu-hiang sudah tahu rahasia Lamkiong Ling, tapi
jikalau dia tak berhasil menyelidiki siapa orang itu, maka segala jerih
payahnya selama ini berarti sia-sia belaka.
Semakin hebat badan Chiu Ling-siok gemetar, katanya: "Sejak mula aku
tidak percaya Lamkiong Ling tega membunuh Jin Jip dengan tangannya
sendiri, aku tidak percaya bahwa kuah itu beracun, tapi sekarang.....
sekarang......" Mendadak ia menubruk ke depan Coh Liu-hiang dan berseru dengan suara
serak: "Segala persoalan sudah kututurkan kepadamu, dapatkah kau
membalaskan dendamku?"
Coh-Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Setelah segala rahasia ini
terbongkar, tanpa aku turun tangan, Lamkiong Ling sendiri takkan bisa
hidup lebih lama lagi. Tidak heran, tak segan-segan dia gunakan segala cara
dan menghabiskan seluruh harta benda, tujuannya hendak merintangi aku
menemuimu." "Tapi kenapa dia sudi membawamu ke mari?"
"Sejak semula dia segan bentrok secara berhadapan. Setelah kudesak dan
kupaksa, saking kewalahan dan tak berdaya, barulah dia membawaku ke
mari. Dia tahu, di hadapannya sekali-kali kau takkan berani membocorkan
rahasianya." Setelah merandek sebentar, lalu ia menggumam: "Hari itu dia
minta aku tunggu dua jam, maksudnya tentu bukan menyelesaikan urusan
dalam Kaypang, melainkan supaya pembunuh kejam itu datang ke mari lebih
dulu, menyaru jadi Thian-hong-cap-si liong dan menunggu aku di jembatan
batu itu. Dengan dia sendiri yang mengiringi, bukan saja dia tak perlu
takut aku berhadapan denganmu, dia pun hendak gunakan situasi tempat
yang berbahaya ini untuk menyikat aku, supaya kelak tidak meninggalkan
bibit bencana. Jikalau selamanya aku tak berhasil menemukanmu, sudah
tentu dia akan jauh lebih lega dan hidup ongkang-ongkang kaki."
"Dia suruh orang menunggumu dan membunuhmu. Jikalau tak berhasil, lalu
dia iringi kau menemui aku, dengan kehadirannya sudah tentu aku tidak
bisa sembarangan bicara." Mendadak Chiu Ling-siok tertawa pilu, lalu
katanya pula: "Dia sendiri berpendapat perbuatannya cukup rapi dan hatihati,
siapa tahu Thian maha adil, akhirnya dia takkan lolos dari
pertanggungan-jawab atas perbuatannya."
"Bahwasanya dia sendiri kukira belum tentu tega, dia pun kuatir aku akan
kembali pula ke sini, maka dia bocorkan tempat tinggalmu kepada Pek-giokmo.
Dengan pinjam tangan Pek-giok-mo untuk menyumbat mulutmu, di kala
orang lain tahu kejadian ini, segala tanggung jawab boleh dia timpakan
kepada Pek-giok-mo...." Sampai di sini Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya pula:
"Tapi tidak terpikir olehnya, bahwa selekas ini aku sudah menyusul ke
mari, permainan caturku itu agaknya tidak sia-sia kujalankan. Cuma di saat
dia sadar akan muslihat permainan caturku itu, kejadian pasti sudah
terlambat." Sesaat lamanya Chiu Ling-siok menepekur, mendadak dia berkata pula:
"Thian-hong-cap-si-long, tadi kau ada menyinggung nama ini?"
"Ya, Apakah Hujin juga kenal akan orang ini?"
"Meski aku tidak mengenalnya, dulu sering aku mendengar Jin Jip
menyinggung dirinya."
"Tak kuduga memang ada orang seperti itu dalam dunia ini, kukira nama
Thian-hong-cap-si-long hanyalah nama palsu yang mereka sebut untuk
mengada-ada saja!" "Lahirnya Jin Jip halus di luar dan keras batinnya, selamanya jarang dia
mau tunduk dan mengagumi orang lain, namun terhadap Thian-hong-cap-silong
ini dia teramat kagum dan menghormatinya. Setiap kali menyinggung
nama orang, selalu dia memujinya sebagai orang gagah laksana gemblengan
besi baja." "Orang seperti itu memangnya ada hubungan apa dengan Lamkiong Ling"
Kenapa Lamkiong Ling meminjam namanya" ... Apa Hujin tahu di mana dia
sekarang?" "Orang ini sudah meninggal sejak dua puluh tahun yang lalu."
"Siapa yang membunuhnya?"
"Yang membunuhnya adalah Jin Jip."
Tak terasa Coh Liu-hiang tertegun, katanya tak mengerti: "Jin-lopangcu
sedemikian hormat dan mengaguminya, kenapa pula harus membunuhnya?"
"Thian-hong-cap-si-long menyeberangi lautan dan mendarat di Tionggoan,
maksudnya hendak menjajal kepandaian dengan tokoh-tokoh Bulim. Waktu
itu belum lama Jin Jip memangku jabatan Kaypang Pangcu, saat
kegemilangan dan ketenarannya mencapai puncaknya, sudah tentu Thianhong-
cap-si-long tidak sia-siakan kesempatan untuk bertanding sama dia.
Tidak lama setelah dia berada di Tionggoan, langsung ia berkirim surat
menantang kepada Jin Jip, di mana dijelaskan tanggal, waktu dan tempat
pertandingan." "Thian-hong-cap-si-long itu memang terlalu takabur. Betapa besar negeri
kita dan berapa banyak tokoh-tokoh silat yang hebat kepandaian silatnya,
seumpama harimau mendekam naga menyembunyikan diri, masa
mengandalkan tenaganya seorang bisa malang melintang?"
"Setelah menerima surat tantangan Thian-hong-cap-si-long itu, demi nama
baik Kaypang, sudah tentu dia tidak menolak tantangannya, apalagi waktu
itu di saat jaya-jayanya, dia memang ingin juga berkenalan dengan
pendekar pedang dari Tang-ni yang aneh dan luar biasa itu."
"Betapa hebat dan menakjubkan pertandingan kala itu tentulah
menggetarkan bumi menggoncangkan langit. Sayang aku terlambat lahir
dua puluh tahun, betapa menyenangkan bila bisa menyaksikan pertandingan
besar yang tiada taranya ini."
"Kalau kau sudah lahir pada waktu itu, tentu kau akan kecewa, karena
pertempuran itu tidak seru dan tidak menakjubkan."
"Kenapa begitu" tanya Coh Liu-hiang melongo.
"Biasanya Jin Jip tidak mau mengagulkan diri. Setelah menerima surat
tantangan, kejadian ini tidak ia siarkan kepada umum, sampai sekarang
tokoh-tokoh Kangouw yang tahu akan peristiwa ini pun tak banyak. Orang
yang mengiringi dia dalam pertandingan itu cuma Sutouw Tianglo seorang
yang kini sudah meninggal, kecuali itu boleh dikata tiada orang ketiga yang
tahu." "Di mana tempat pertandingan ditentukan?"
"Kabarnya tempat itu berada di Binglam, di sebuah gunung yang tidak
begitu terkenal namanya, maksudnya supaya tidak menimbulkan perhatian
sesama kaum persilatan."
"Kalau demikian, Thian-hong-cap-si-long yang takabur itu kiranya seorang
yang tidak mengejar nama. Kalau tidak, seumpama Jin-lopangcu menutupi
peristiwa itu, tentulah dia sendiri akan menyiarkan peristiwa besar itu."
"Di dalam surat tantangannya itu memang ada dijelaskan, bertanding demi
mengukur kepandaian silat bukan untuk mengejar nama. Waktu Jin Jip dan
Sutouw Tianglo tiba di tempat yang ditentukan, Thian-hong-cap-si-long
ternyata sudah menunggu di sana. Tanpa banyak kata, segera ia turun
tangan kepada Jin Jip."
"Sepatah kata pun tidak bicara?"
"Menurut cerita Jin Jip kepadaku, waktu ia tiba di atas gunung, Thianhong-
cap-si-long sedang duduk di atas batu besar itu, kedua tangannya
menyoren sebilah pedang panjang yang sudah terlolos dari sarungnya.
Begitu melihat Jin Jip, segera ia bangkit dan pasang kuda-kuda menurut
ajaran tunggal ilmu pedang dari Tang-ni, mulutnya hanya berkata dua
patah saja." "Dua patah kata apa?"
"Hanya berkata "marilah." lalu dia tutup mulut. Melihat orang sedemikian
angkuh, Jin Jip naik pitam, maka dia pun malas buka suara."
"Apakah Jin-lopangcu menggunakan senjata juga?"
"Jin Jip bersenjata Pak-kau-pang, senjata tradisi dari leluhur para Pangcu
Kaypang yang terdahulu. Belum sepuluh jurus mereka bertempur, Jin Jip
sudah berhasil memukul pedang panjang di tangan Thian-hong-cap-si long,
tongkatnya telak mengenai badannya, kontan Thian-hong-cap-si-long roboh
dengan muntah darah."
Heran Coh Liu-hiang dibuatnya, teriaknya: "Thian-hong-cap-si-long
meluruk datang dari tempat jauh, membekal kepandaian yang tiada
taranya, masakah tidak begitu becus ilmu pedangnya?"
"Waktu itu Jin Jip pun heran. Belakangan baru dia tahu, kiranya Jin Jip
bukanlah orang pertama yang pernah bertanding dengan Thian-hong-cap
si-long pada hari yang sama. Sebelumnya dia sudah bertanding dengan
orang lain lebih dulu, malah membekal luka dalam yang amat parah. Jikalau
dia mau buka suara, tentu Jin Jip tidak sudi mengambil keuntungan ini,
namun dia justru tak mau bila orang sangka dirinya jerih, maka dia hanya
mengeluarkan kata-kata "marilah", sepatah kata pun tidak dia singgung
tentang luka-luka dalamnya. Jin Jip kira orang kelewat angkuh, tidak sudi
banyak bicara dengan orang lain. Luka-luka dalam yang dideritanya memang
teramat parah, ditambah sekali ketukan tongkat Jin Jip di dadanya lagi,
manusia besi pun takkan kuat bertahan. Hari itu juga dia menemui ajalnya.
Sebelum ajal, sepatah kata pun ia tidak mau unjuk kelemahannya, dia pun
tidak salahkan Jin-jip, cuma berkata bahwa dia bisa ajal di medan laga
maka tidak sia sialah perjalanannya ini."
Bergolak darah Coh Liu-hiang, katanya menengadah sambil menghela
napas: "Sampai ajalnya pun Thian-hong-cap-si-long tidak mau unjuk
kelemahan, tidak mau kehilangan kepercayaan akan keyakinan diri sendiri.
Sudah tahu bahwa jiwanya bakal ajal, namun dia tetap menghadapi
pertandingan secara jantan, memang tidak malu dan jarang sekali ditemui
orang gagah seperti gemblengan baja seperti itu."
"Mungkin itulah semangat juang yang paling dibanggakan oleh para Busu di
Tang-ni sana?"?"
"Bagaimana jua, orang seperti dia patut dipuji dan dibuat bangga, tidaklah
heran bila puluh tahun kemudian Jin-lopangcu masih sedemikian kagum dan
mengenangnya." "Memang tanggung jawab kematian Thian-hong-cap-si-long bukan lantaran
Jin Jip, namun Jin Jip sendiri berkata bila waktu itu dia sedikit
perhatikan, pastilah bisa mengetahui luka-luka yang diderita oleh Thianhong-
cap-si-long." "Siapakah orangnya yang sudah melukai berat Thian-hong-cap-si-long
sebelum mati di tangan Jin-lopangcu?"
"Selama ini Jin Jip tidak pernah menyinggung orang itu."
"Tentulah orang itu pula seperti Jin-lopangcu, seorang tokoh yang tidak
suka menonjolkan nama, sehingga pertarungannya dengan Thian-hong-capKoleksi
Kang Zusi si-long dulu sampai kini masih merupakan rahasia dan tiada orang yang
tahu." Berhenti sebentar, Coh Liu-hiang lalu meneruskan: "Dengan kekuatan
Lwekangnya orang itu memukul Thian-hong-cap-si-long sampai terluka
berat, betapa tinggi kepandaian silatnya dapatlah dibayangkan! Setelah
terluka parah melawan orang ini, Thian-hong-cap-si-long masih kuat
memburu ke tempat perjanjiannya dengan Jin Jip, tentulah tempat di
mana dia terluka parah itu masih termasuk dalam wilayah Binglam pula, lalu
siapakah tokoh tersembunyi itu" ... Ah..., apakah... ?"
Mendadak Chiu Ling-siok menyela: "Kuberitahukan cerita ini kepadamu
bukan tanpa alasan."
"Masih ada alasan apa?"
"Sebelum ajalnya, Thian-hong-cap-si-long berpesan sesuatu kepada Jin
Jip. Tapi bagaimana pun, dengan susah payah pernah kutanyakan kepada
Jin Jip, namun dia selalu geleng kepala dan tidak mau menerangkan."
"Kenapa Jin-lopangcu begitu rapat merahasiakan hal itu?"
"Hal itu aku pun tidak tahu, tapi belakangan dapatlah aku menerka-nerka
sebagian." "Oh?" "Setiap kali Jin Jip melihat Lamkiong Ling, dia selalu teringat kepada
Thian-hong-cap-si-long. Karena hal itu, selalu dia menghela napas dan
berdoa serta meneras diri. Belakangan, meski dia sudah tahu Langkiong
Ling mencelakai jiwanya, tapi dia tetap bersikap alim dan tak mau
mengeluarkan kata-kata yang menyinggung Lamkiong Ling. Selalu ia
berkata, memang dialah yang bersalah terhadap Lamkiong Ling. Sampai
dewasa, persoalan apa pula yang pernah dia salah lakukan terhadap
Lamkiong Ling, tidak pernah dia ceritakan."
Sorot matanya seolah-olah terpancar keluar dari balik cadar hitamnya.
Dengan tajam ia tatap Coh Liu-hiang, katanya tandas: "Maka kupikir pesan
terakhir menjelang ajal Thian-hong-cap-si-long tentulah mengenai
Lamkiong Ling. Jin Jip merasa berdosa terhadap Thian-hong-cap-si-long,
maka terhadap Lamkiong Ling pun ia mengalah dan memberi hati."
"Maksudmu bahwa Lamkiong Ling adalah keturunan Thian-hong-cap-silong?"
"Ya, begitulah tentunya!"
Coh Liu-hiang berpikir sebentar, katanya bertepuk tangan: "Benar, Jinlopangcu
tidak mau memberi tahu persoalan itu, tentulah dia kuatir
Lamkiong Ling mengetahui rahasia riwayat hidupnya sehingga timbul rasa
dendam dan keinginan menuntut balas."
"Terhitung kau bisa menyelami jerih payah Jin Jip. Waktu itu dia sudah
pandang Lamkiong Ling sebagai anak kandungnya sendiri, sudah tentu dia
harus merahasiakan bahwa dirinyalah yang membunuh ayah kandungnya.
Selama hidupnya sepak terjangnya selalu terang-terangan, namun toh dia
menyimpan rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain. Betapa
menderita batinnya, dapatlah dibayangkan."
"Tapi bagaimana pun juga ia menyimpan rahasia ini, yang mencelakai
jiwanya toh tetap Lamkiong Ling juga. Duapuluh tahun yang lalu secara
tidak sengaja dia melakukan kesalahannya itu, tak nyana duapuluh tahun
kemudian dia harus mempertaruhkan jiwa sendiri untuk menebus dosadosa
masa lalu." "Kalau Thian yang maha kuasa menghendaki dia memberikan imbalan
dengan jiwanya, kukira tidak adillah keputusan ini."
"Tapi apa benar Lamkiong Ling mengetahui persoalan ini" Pembunuh
misterius itu apakah benar ada sangkut-pautnya dengan Thian-hong-capsi-
long" Kalau tidak, dari mana dia memperoleh pelajaran tunggal Jin-sut
dari Tang-ni?" "Semua rahasia ini menjadi tanggunganmu untuk membongkarnya satu
persatu, segala rahasia yang kuketahui sudah kuberikan kepadamu,
sekarang boleh kau pergi"
Sorot mata Coh Liu-hiang balas menatap orang, katanya tiba-tiba: "Cayhe
masih ingin mohon sesuatu kepada Hujin."
"Masih ada persoalan apa?"
"Entah sudikah Hujin membuka cadar penutup muka supaya Cayhe dapat
menikmati wajah Hujin yang rupawan?"
Lama Chiu Ling-siok tenggelam dalam renungannya, katanya rawan: "Apa
benar kau ingin melihat mukaku?"
"Bukan hanya satu dua hari saja Cayhe mempunyai keinginan ini."
Hatinya amat tertarik, memang ingin dia menikmati wajah tercantik
sejagat yang dipuja-puja oleh khalayak ramai, kalau tidak mungkin dia akan
menyesal seumur hidupnya.


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dua puluh tahun mendatang," kata Chiu Ling-siok akhirnya, "Kau adalah
orang kedua yang pernah melihat mukaku."
"Hanya dua orang yang bisa melihat wajah Hujin?" Coh Liu-hiang menegas
dengan heran dan tak mengerti.
"Ya, hanya dua orang. Kau dan Jin Jip...."
"Kenapa" Orang lain..." Mendadak Coh Liu-hiang melongo dan tak kuasa
melanjutkan kata-katanya. Selama hidupnya, entah betapa banyak
berbagai persoalan dan kejadian aneh yang pernah dia alami, namun belum
pernah terjadi sesuatu yang bisa bikin hatinya bergetar dan terkesima.
Cadar hitam itu pelan-pelan tersingkap. Dalam hati Coh Liu-hiang
mengharap bisa menikmati seraut wajah nan ayu rupawan laksana bidadari.
Siapa tahu setelah cadar hitam itu tertanggalkan, seraut muka yang
terpampang di hadapannya ternyata menyerupai wajah setan iblis yang
paling menakutkan. Di atas mukanya itu, tiada secuil kulit daging pun yang utuh mengkilap,
selembar mukanya tonjol-menonjol laksana permukaan kawah gunung yang
sudah membeku, berlobang-lobang besar kecil, tiada panca indera yang
berbentuk, apa pun tiada, yang ada hanya daging-daging merah darah yang
buruk dan menjijikkan serta lobang-lobang yang merekah!
"Sekarang kau sudah puas belum?" tanya Chiu Ling-siok dengan pilu.
"Cayhe... sungguh Cayhe tidak habis mengerti...."
"Sekarang toh kau sudah tahu, kenapa hanya Jin Jip dan kau saja yang
pernah melihat raut wajahku, karena sejak lama mukaku ini sudah rusak.
Kupikir, tiada perempuan di dalam dunia ini yang sudi mukanya dilihat orang
dengan bentuk yang menakutkan seperti ini, benar tidak?"
Lagu bicaranya ternyata sedemikian tenang dan dingin, namun mendengar
kata-katanya ini serasa ditusuk sembilu ulu hati Coh Liu-hiang.
Dia seorang yang tak pernah tunduk, tanpa sadar sekarang dia tertunduk,
katanya tersekat: "Cayhe memang patut mati, kenapa Cayhe harus paksa
Hujin...." "Kau tidak memaksa, aku sendiri yang rela memperlihatkan kepadamu."
Kerlingan matanya masih lembut dan bersinar terang, sepasang matanya
yang menyorot terang ini bukan saja tidak memperlihatkan rasa haru,
takut dan penyesalan, malah menunjukkan sekulum senyuman manis.
Katanya lebih lanjut pelan-pelan: "Cuma sayang kau terlambat datang,
sehingga aku tidak bisa memperlihatkan raut wajahku dua puluh tahun
yang lalu kepada Maling Romantis. Bagimu memang merupakan sesuatu yang
mengecewakan, betapa aku pun tak merasa kecewa?"
"Bagaimanapun perubahan raut wajah Hujin, keagungan Hujin masih tiada
bandingan di seluruh kolong langit. Cayhe bisa berhadapan dengan
keagungan Hujin, sudah terhitung beruntung dan bahagia selama hidup."
"Kau tak usah menghiburku, karena aku tidak sedih dan menderita. Dua
puluh tahun sejak raut mukaku ini dirusak, belakangan ini baru aku betulbetul
mengecap kehidupan bahagia nan sejati." Mengawasi segumpal mega
yang terhembus angin pegunungan, ia berkata lebih tenang: "Kadangkala
aku malah berterima kasih kepada orang yang menyebabkan raut mukaku
rusak ini. Jika bukan karena dia, masa aku bisa mengecap kehidupan
bahagia dan tenang tenteram selama dua puluh tahun ini?"
"Entah siapakah orang yang setega itu?"
Chiu Ling-siok mengalihkan sorot matanya, dengan nanar ia tatap Coh Liuhiang,
katanya kalem: "Pernahkah kau dengar nama Ciok Koan-im?"
"Ciok Koan-im (Koan-im Batu)?" jerit Coh Liu-hiang.
"Tentu kau pernah dengar nama itu, memang dia seorang perempuan yang
berilmu silat paling tinggi dan berjiwa sempit serta kejam tiada
bandingannya di seluruh jagat ini. Kini mungkin dia terhitung perempuan
tercantik di seluruh dunia!"
"Dia... ada dendam sakit hati apa dengan Hujin?"
"Tiada dendam sakit hati apa-apa, paling-paling dia hanya satu kali
melihatku." "Lalu kenapa dia....."
Chiu Ling-siok menukas kata-katanya: "Menurut kabar yang tersiar di
kalangan Kangouw, konon dia mempunyai semacam kaca cermin iblis. Setiap
hari ia selalu bertanya kepada kaca ini: "Siapakah perempuan tercantik di
seluruh jagat ini?" "Apakah kaca itu selalu menjawab bahwa dia adalah perempuan tercantik
di seluruh dunia?" "Benar, sampai suatu ketika jawaban kaca iblis ini mendadak berubah, dia
mengatakan aku... katanyanya Chiu Ling-siok adalah perempuan tercantik di
kolong langit, dan bencana yang menimpaku dimulai sejak jawabannya itu."
Tentunya hal ini menyerupai dongeng belaka. Dongeng yang tidak menarik,
namun mengandung mistik yang tak bisa diterima oleh kesadaran manusia.
Tanpa terasa Coh Liu-hiang sampai linglung mendengar ini, katanya sesaat
kemudian dengan menghela napas: "Oleh karena itu maka dia lantas
mencari Hujin?" "Setelah ia berhadapan denganku, ia memandangku tanpa berkedip selama
dua jam. Akhirnya mendadak ia bertanya: "Chiu Ling-siok, kau ingin aku
membunuhmu atau kau sendiri merusak raut wajahmu?""
"Pertanyaan ini sungguh amat menggelikan."
"Tapi waktu itu sedikit pun aku tidak merasa geli, terasa kaki tanganku
berkeringat dingin, sepatah kata pun tak kuasa bicara. Dia mengawasiku
sekian lamanya pula, lalu tiba-tiba memutar badannya dan berkata: "Tiga
bulan lagi aku akan ke mari pula. Saat itu, jikalau kulihat mukamu masih
sama seperti sekarang ini, biar kubunuh kau." Di atas meja dia
meninggalkan sebuah botol kecil serta berkata pula: "Kubiarkan kau
pertahankan kecantikanmu selama tiga bulan lagi, tentunya kau cukup tahu
cara bagaimana menggunakan kesempatanmu!"
"Kalau dia sudah pergi, kenapa Hujin tidak pergi menyembunyikan diri
saja?" "Bila Ciok Koan-im sudah keluarkan kata-katanya hendak membunuh
seseorang, tiada seorang pun yang bisa lolos dari tangannya. Dengan mata
kepalaku sendiri aku saksikan kepandaian silatnya, waktu itu aku sendiri
pun belum ingin mati!"
"Masakah dalam dunia ini ada orang yang betul-betul ingin mati?"
Pelan-pelan Chiu Ling-siok memejamkan matanya, ujarnya: "Waktu itu aku
masih muda, masih amat berat meninggalkan kehidupan yang romantis ini.
Kupikir, meski aku tidak secantik ini lagi, tapi masih tetap bisa hidup, toh
jauh lebih baik daripada mati." Ia membuka mata seperti sedang tertawatawa,
katanya menyambung: "Kupikir pula, sedikitnya aku masih
mempertahankan tiga bulan kecantikanku, sudah tentu aku harus sayang
dan menggunakan kesempatanku ini. Lalu dalam jangka tiga bulan ini, apa
pula yang harus kulakukan?"
Tak tahan Coh Liu-hiang menimbrung: "Maka Hujin ingin meninggalkan
kesan kecantikan itu di dalam sanubari setiap insan yang pernah
melihatmu, maka Hujin lantas menemui ahli gambar yang paling terkenal
pada jaman itu, Sun Hak-boh."
Chiu Ling siok melengak, katanya: "Kau.... kau sudah tahu semua?"
"Cayhe sudah pernah menemui Sun-siansing!"
"Perbuatanku waktu itu memang terlalu kasar.... malam di mana ia berhasil
menyelesaikan gambar lukisan diriku, batas waktu tiga bulan pun sudah
tiba, Ciok Koan-im biasanya paling menepati janji dan waktu."
"Maka pada malam itu juga Hujin merusak roman muka sendiri?"
"Botol kecil peninggalan Ciok Koan-im itu berisi obat balur yang bisa
membakar kulit, jauh lebih panas dari bara api," Sampai di sini lagu
suaranya yang tenang kembali bergetar dan haru pula.
"Karena tidak ingin Sun-siansing melihat roman muka Hujin yang telah
rusak, setelah siuman maka....."
"Waktu aku melolohkan cairan obat itu ke mukaku, aku sudah kehilangan
kesadaran, kalau tidak mau dikata sudah gila, maka... oleh karena itu baru
bisa aku melakukan perbuatan yang terkutuk itu, aku... aku..." Mendadak ia
menutup muka dengan kedua tangan sendiri dan tak bicara lagi.
Coh Liu-hiang menghela napas panjang, ujarnya: "Sampai sekarang baru
Cayhe tahu kenapa Hujin berbuat sedemikian kejam terhadap Sunsiansing,
kenapa pula harus membikin empat gambar lukisan. Dulu aku
masih kabur dan tak tahu serta salah menebak akan maksud tujuan Hujin."
"Peduli apa pun maksud tujuanku, aku melakukan perbuatan serendah itu,
kau tak pantas memaafkan aku, benar tidak?"
Sesaat lamanya Coh Liu-hiang terbungkam, katanya kemudian dengan
suara haru: "Cayhe hanya tahu Jin-hujin yang sekarang adalah perempuan
yang paling lembut, welas asih dan bajik. Soal bagaimana sepak terjang
Chiu Ling siok yang dulu, bukan saja Cayhe tidak tahu, juga tidak akan
ambil perhatian." Chiu Ling-siok juga berdiam lama, katanya kemudian: "Dalam dua puluh
tahun ini memang sudah banyak perubahanku, sudah tentu kau pun bisa
menerka siapa yang membuatku berubah."
"Jin-lopangcu!"
Tidak menjawab, Chiu Ling-siok malah berkata: "Dalam keadaan gila aku
mengorek keluar kedua biji mata Sun Hak-boh, aku sendiri pun lantas
jatuh pingsan. Waktu aku siuman kembali, seluruh kepalaku sudah
diperban, selanjutnya aku hidup dalam kegelapan selama beberapa bulan.
Waktu itu sungguh tak tahu aku betapa aku harus berterima kasih kepada
Siok-sim Taysu. Jikalau bukan karena rawatannya yang telaten, mana bisa
aku hidup sampai sekarang?" Nada suaranya semakin tenang. katanya lebih
lanjut: "Tapi di saat aku melihat sinar matahari, baru aku tahu orang yang
selalu mendampingiku ternyata bukan Siok-sim, namun Jin Jip."
"Oleh karena itu rasa terima kasih dan utang budi Hujin lantas ditujukan
kepada Jin-lopangcu?"
"Waktu itu bukan saja aku tidak merasa berterima kasih atau utang budi,
malah aku amat membencinya."
"Membencinya?" "Waktu aku berhadapan dengan Jin Jip, kulihat pula raut mukaku. Setelah
menyaksikan raut mukaku ini, baru sadar aku takkan bisa hidup lebih lama
lagi, aku sudah kehilangan kecantikan mukaku, berarti kehilangan jiwa
ragaku pula." Sambil menghela napas, ia meneruskan: "Waktu itu bukan
saja aku teramat sedih, hatiku pun amat marah, lebih benci pula kenapa
Jin Jip justru menemui aku pada saat seperti itu. Kembali gilaku kumat,
kontan aku mengusirnya pergi."
"Keadaan Hujin waktu itu sedikit banyak Cayhe bisa merasakan dan
memahaminya." "Kalau begitu kau pun harus tahu, manusia seperti Jin Jip kau hajar,
takkan gampang mengusirnya pergi. Hari kedua pagi-pagi, dia datang pula,
aku mengusirnya lagi."
"Tapi hari ketiga dia tetap datang pula."
"Setiap hari datang, setiap hari kuusir dia. Kugunakan kata-kata paling
kotor, paling rendah, untuk memakinya, malah menghajarnya pula, tapi
setiap pagi dia tetap mengunjungiku."
Pelan-pelan ia mengelus gentong di pelukannya. Meskipun itu merupakan
sebuah gentong kecil yang dingin, tapi seakan-akan membawa hawa hangat
tak terbatas yang menghibur hatinya.
"Kau tahu," demikian ia melanjutkan pula. "Waktu itu dia sudah menjadi
Kaypang Pangcu, sebetulnya tak perlu peduli terhadap perempuan yang
buruk rupa dan kotor seperti aku ini. Dia bersikap begitu rupa, sekarang
kau melihat mukaku ini, tentu kau pun bisa merasakan, kecuali Jin Jip,
kukira tiada laki-laki dalam dunia ini yang sudi terima dihina dan
direndahkan. Kecuali aku ini orang yang betul-betul sudah ayal, kalau tidak
mana bisa hatiku tak terharu dan iba terhadap sikapnya itu?"
"Itulah karena yang dicintai Jin-lopangcu bukan kecantikanmu yang sudah
hilang itu, tapi jiwa dan sukma Hujin. Dia kan tahu, meski raut muka Hujin
sudah berubah, jiwa dan sukma takkan berubah!"
"Sayang di masa hidupnya Jin Jip tidak kenal denganmu, kalau tidak pasti
dia akan menjadi sahabat karibmu.... Cuma pengertianmu terhadapnya sih
belum cukup, terkaanmu tetap salah terhadap dia."
"Oh" Salah?"
"Sebelum peristiwa itu terjadi, hanya dua kali aku pernah berhadapan
dengan Jin Jip, cara bagaimana dia bisa begitu kepincut terhadapku"
Apalagi yang kelihatan cantik waktu itu hanyalah ragaku, sukma atau
jiwaku justru teramat buruk dan kotor."
"Adakalanya seseorang bisa juga jatuh cinta pada penglihatan pertama,
mencintai sampai ke tulang sumsumnya."
Agaknya Chiu Ling-siok tertawa mendengar kata-kata ini, ujarnya:
"Bagaimana pun, itu bukanlah sebab yang utama. Sebab yang utama adalah
karena dia ikut merasakan betapa besar derita seorang perempuan setelah
dia kehilangan kecantikannya. Dia pun tahu, hanyalah rasa iba dan kasih
sayang yang dapat meringankan beban penderitaan ini, maka dia
berkeputusan mengorbankan diri sendiri, untuk mendampingi aku dan
menghiburku seumur hidup!" Kepalanya menengadah, katanya pula: "Sudah
kukatakan, dia adalah orang yang paling bajik di seluruh kolong langit ini."
Bab 14 Keterangan: Diambil dari jilid 10 Pendekar Pengejar Nyawa
dihttp://www.langka.info atas ijin bung bagusetia sebagai admin-nya.
Kontributor: kalenteha, Sikasep, iwan1991
--------------------------------------------
"Bagaimanapun, tidak bisa dikatakan dia mengorbankan diri sendiri." ujar
Coh Liu-hiang. "Meski dia tidak mempersunting perempuan tercantik di
dunia, namun dia memperoleh kehalusannya, keagungannya, serta isteri
yang setia." "Terima kasih, terima kasih akan kata-katamu ini" kata Chiu Ling-siok
lembut. "Selamanya kau tidak akan mengerti, setelah mendengar katakatamu
ini betapa riang gembira hatiku ini."
"Cayhe malah harus berterima kasih kepada Hujin, yang telah memberi
tahu kejadian masa lalu. Selama hidup Cayhe, selamanya takkan bisa
mendengar cintaasmara yang sedemikian suci murni dan mengasyikkan."
"Tahukah kau, kecuali Jin Jip, bukan saja kau orang kedua yang pernah
melihat mukaku ini, kau pula laki-laki satu-satunya yang amat kukasihi, aku
amat berterima kasih!" tatapannya semakin lembut dan semakin hangat.
Dengan penuh kasih sayang ia mengelus gentong kecil, perlahan-lahan lalu
melanjutkan kata-katanya: "Karena, meskipun Jin Jip memberikan
kehidupan bahagia dan tenteram selama duapuluh tahun, namun hanya Kau
saja yang bisa memberikan ketenangan hati dan keteguhan iman untuk
menghadapi kematianku."
"Mati?" Coh Liu-hiang tersentak kaget.
"Setelah Jin Jip meninggal, tujuan hidupku hanyalah untuk membongkar
rahasia pribadi dan kejahatan Lamkiong Ling. Sekarang cita-citaku sudah
tercapai, kau kira aku masih bisa tetap hidup?"
*** Perjalanan cukup jauh dan lama. Waktu tiba di Kilam, hati Coh Liu-hiang
masih dirundung kesedihan. Dengan mendelong ia mengawasi badan Jinhujin
melayang-layang jatuh ditelan mega ke dalam jurang yang tak
terukur dalamnya, sedikitpun ia tidak mampu menolong atau berbuat apaapa.
Walaupun dia melihat dengan jelas, sorot mata Jin-hujin menjelang
ajal adalah sedemikian tenang, sedikitpun tidak memperlihatkan tekanan
derita. Meski dia pun tahu, kematian bagi jiwa Jin-hujin yang sudah rapuh
tidak lebih hanyalah istirahat yang abadi, tapi dia masih merasa amat pilu
dan sedih, sungguh bukan kepalang rasa marah dan gusarnya. Dia
bersumpah, dia harus menemukan Lamkiong Ling. Hampir saja dia hendak
segera meluruk kepada Lamkiong Ling.
Malam sudah larut, tapi di dalam Hiang-tong pihak Kaypang di Kilam,
cahaya lilin masih terpasang terang-benderang seperti di tengah hari
bolong. Setiba di Kilam sebetulnya tidak terpikir oleh Coh Liu-hiang untuk segera
menemui Lamkiong Ling, maka dia hanya menemukan seorang murid
Kaypang serta menanyakan di mana Lamkiong Ling sekarang berada.
Di bawah penerangan sinar lilin yang terang benderang, di atas kursi
cendana yang besar itu, bagai patung duduk seseorang dengan gagahnya,
dia bukan lain adalah Lamkiong Ling. Tangannya sedang menopang dagu,
duduk di sana seperti sedang memikirkan sesuatu yang amat berat
mengganjal hatinya, seolah-olah pula sedang menunggu kedatangan
seseorang. Siapakah yang dia tunggu"
Dari wuwungan rumah yang di luar sana, Coh Liu-hiang sudah melihat
dirinya. Pek giok mo pasti sudah pulang lebih dulu, tentunya dia pun sudah
tahu seorang diri Coh Liu-hiang sudah berhadapan langsung dengan Chiu


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ling siok dan bicara. Lalu kenapa dia tidak segera menyingkir" Kenapa masih tetap duduk di
sana" Apakah ini merupakan sebuah jebakan" Di dalam pekarangan yang
luas itu sudah terpendam tenaga pembunuh yang tak terhitung banyaknya,
tanpa segan-segan Lamkiong Ling menjadikan dirinya sendiri umpan untuk
memancing kedatangan Coh Liu-hiang"
Tapi pekarangan sedemikian sunyi senyap, tak kelihatan bayangan manusia,
tak terlihat adanya jebakan dan hawa angker, lantai batu hijau mengkilap
ditingkah sinar bintang laksana kaca.
Lamkiong Ling mendadak menengadah, serunya sambil tersenyum: "Apa
Coh-heng sudah tiba" Sudah lama Siaute menunggu di sini."
Rada kaget Coh Liu-hiang dibuatnya. Terdengar Lamkiong Ling berkata
pula: "Coh-heng tak usah kutlir, hanya Siaute seorang yang berada di sini,
tiada jebakan atau perangkap segala."
Coh Liu-hiang tertawa besar, serunya: "Sudah tentu di sini tiada
perangkap apa-apa, sudah tentu aku cukup lega hati, urusan seperti ini
tentunya kau tidak suka bikin terkejut lain orang. Sudah tentu kau tahu
lebih baik persoalan ini diselesaikan di antara kita berdua saja."
Di tengah kumandang kata-katanya, badannya sudah melayang masuk ke
pendopo. Dengan pandangan berkilat ia tatap Lamkiong-Ling.
Lamkiong Ling-pun balas menatapnya, sorot matanya setajam pisau,
seperti mata serigala, setajam mata burung elang pula. Lama sekali baru
Lamkioug Ling menarik napas, katanya: "Kau sudah tahu, bukan?"
Coh Liu-hiang manggut-manggut, ujarnya: "Kau pun sudah tahu bahwa aku
sudah tahu, benar tidak?"
Lamkiong Ling manggut-manggut pula, katanya: "Tapi Siaute masih belum
menyingkir, masih menunggu di sini, tentunya Coh-heng merasa heran,
bukan?" "Kau tidak menyingkir, karena kau tahu, kau takkan bisa menyingkir ke
mana pun!" "Aku tidak menyingkir lantaran aku memang tidak mau menyingkir. Kalau
tidak, betapa besar dunia ini, ke mana saja aku toh bisa pergi."
Coh Liu-hiang menarik kursi lalu duduk, katanya: "Kalau kau pergi, kau
harus meninggalkan segala milikmu, terombang-ambing dalam hidup di
pembuangan. Tapi jika dipaksa untuk meninggalkan ketenaran nama dan
kekuasaan yang kau pegang sekarang, tentulah jauh lebih menderita
daripada kau menghadapi kematian."
Lamkiong Ling terbahak-bahak, serunya: "Coh-heng betul-betul seorang
sahabatku yang paling karib, kau tahu segala isi hati dan cita-citaku."
Mendadak ia tarik senyum-tawanya, bentaknya bengis: "Kalau toh begitu
mendalam pengertianmu akan pribadiku, tentunya kau tahu sampai mati pun
aku tidak akan sudi membuang segala itu. Sesuatu yang kudapat atas jerih
payahku dengan memeras keringat dan darah, tiada seorang pun yang
kuasa memaksaku untuk meninggalkanya demikian saja."
"Tidak bisa tidak, kau harus membuangnya!"
Lamkiong Ling berjingkrak bangun, hardiknya beringas: "Kenapa tidak bisa
tidak aku harus membuangnya" Meskipun aku sudah membunuh Jin Jip,
tidak lebih karena aku harus menuntut balas bagi kematian ayahku!
Dendam orang tua sedalam lautan, siapa manusia di dalam Kangouw yang
berani mencercah perbuatanku?"
"Jadi kau sudah tahu rahasia tentang dirimu?"
"Jin Jip sangka dia bisa merahasiakan terhadapku, apa kau pun menyangka
bisa mengelabui diriku?"
Coh Liu-hiang menghela napas panjang, katanya kalem: "Seandainya
perbuatanmu itu hanya untuk menuntut balas kematian ayahmu, seumpama
tiada orang-orang Kangouw yang mengganggu usik dirimu, tapi murid-murid
Kaypang, jika mereka tahu kau membunuh Jin Jip, apakah mereka masih
berdiam diri dan membiarkan kau tetap menjadi Pangcu mereka?"
Bergetar badan Lamkiong Ling, tiba-tiba badannya melosoh tertunduk
pula di atas kursinya, kata-kata Coh Liu-hiang laksana sebilah pisau
menusuk telak ke ulu hatinya.
Seperti mendadak jauh lebih tua, kepalanya tertunduk, katanya rawan:
"Coh Liu-hiang! Coh Liu-hiang! Kenapa kau menyudutkan diriku demikian
rupa" Sebetulnya sedikit pun aku tidak ingin melukaimu, kau....., kenapa kau
suka turut campur urusan orang lain?"
Sesaat Coh Liu-hiang berdiam diri, katanya tertawa kecut: "Mungkin
karena sejak dilahirkan aku sudah dibekali pembawaan suka mencampuri
urusan orang lain." "Sejak pertama kali aku melihatmu, lantas aku berpendapat kau boleh
kuangkat sebagai temanku seumur hidup, kau..... masihkah kau ingat
pertama kali kita bertemu di tempat mana?"
"Di kaki gunung Thay-san. Waktu itu bukan saja Ki-loh-su-hiong berhasil
merampok barang kawalan Siang-gi-piaukiok dari Kim-leng, malah putri dari
Cong-piauthau Sa Thian-gi pun diculiknya. Setelah mendengar kabar buruk
ini, tak terkendali timbul sifatku suka mencampuri urusan orang lain. Cepat
aku menyusul ke Thay san, tak kira kau tiba lebih dulu di tempat itu."
Sorot matanya yang tajam berkilat lambat laun menjadi tenang dan kalem,
katanya pelan: "Waktu aku tiba di sana, seorang diri dengan mengandalkan
sepasang tapak tangan besimu, kau sudah bikin Ki-loh-su hiong terluka
parah. Melihat kepandaian silatmu yang luar biasa, masih berusia muda dan
gagah pula, aku jadi tertarik kepadamu. Waktu itu bila ada orang bertanya
kepadaku, siapakah Enghiong muda nomor satu di selurub jagat ini, tanpa
sangsi aku pasti akan mengatakan kepada mereka, Lamkiong Ling itulah
orangnya." "Sejak pertemuan itu, kau dan aku lantas jadi sahabat karib," ujar
Lamkiong Ling tertawa riang:"Setiap aku punya waktu senggang, pasti aku
bertamu ke atas kapalmu untuk berfoya-foya selama dua hari, masih ingat
tidak waktu aku membuat lukisan So Yong-yong......"
"Waktu itu adalah hari-hari terlama sejak kita berkumpul. Dalam lima
hari, kita berdua menenggak habis seluruh arak simpanan di dalam kapalku.
Pernah satu kali, karena mabuk aku terjun ke dalam laut hendak
menangkap rembulan, ternyata kau pun ikut terjun ke air hendak bantu
aku. Rembulan akhirnya tak berhasil kita tangkap, diluar dugaan kita samasama
menangkap seekor kura-kura laut yang amat besar."
"Kura-kura itu merupakan hidangan paling lezat yang pernah kunikmati
selama hidup, kau dan aku berlomba siapa yang makan lebih banyak. Kurakura
sebesar itu ternyata dapat kita habiskan dalam sehari, tapi karena
itu perut kita berontak dan sakit dua hari."
Kedua orang itu tertawa gembira dan saling berpandangan seperti sudah
melupakan ganjalan hati di antara mereka. Tapi entah kenapa, lama
kelamaan gelak tawa itu semakin lirih dan akhirnya sirap.
Coh Liu-hiang menggumam; "Kehidupan beberapa hari itu sungguh nikmat
dan menyenangkan, ada kalanya aku merasa heran kenapa kehidupan
gembira selalu terasa begitu pendek."
"Asal kau tidak merusak hubungan baik ini, kita tetap masih bisa
menikmati kehidupan yang jauh tebih menyenangkan. Asal kau tidak buka
mulut, orang lain pun tidak akan ada yang tahu."
Lama Coh Liu-hiang menepekur, lama sekali ia berpikir, akhirnya berkata
sambil menghela napas: "Jikalau mau berkata ada sesuatu yang dapat
menggerakkan hati Coh Liu-hiang, itulah persahabatan yang kental!"
"Kau . . . kau mau tutup mulut?"
"Aku tidak akan mengatakan......."
"Sahabat ...... memang aku tahu Coh Liu-hiang memang sahabat kental
Lamkiong Ling." "Aku tidak akan katakan, tapi kau harus terima dua syaratku!"
Lamkiong Ling melengak, tanyanya: "Dua syarat apa?"
"Walau kau harus menuntut balas terhadap kematian ayahmu, tindakanmu
tidak semestinya begitu kejam, tidak pantas pula kau mencelakai jiwa
beberapa orang yang tak berdosa. Aku harap untuk sementara kau
meletakkan jabatan Pangcumu, pergilah cari suatu tempat menyekap diri
dan renungkan segala kesalahanmu selama ini. Kau.... masih muda, kelak
masih bisa bekerja mulai dari permulaan. Mengandalkan bakat dan
kecerdikanmu, kelak tentu banyak yang bisa kau hasilkan."
Membesi muka Lamkiong Ling, katanya dengan tertawa menengadah: "Coh
Liu-hiang, sahabat baikku! Kau katakan tidak hendak membunuhku, tapi
sebaliknya kau suruh aku bekerja dari permulaan. Sampai kapan" Sepuluh
tahun" Dua puluh tahun ..." Mendadak ia berjingkrak bangun, sekujur
badannya gemetar keras, katanya serak: "Selama hidup seseorang, punya
berapa kali masa dua puluh tahun" Kenapa kau harus paksa aku
mengorbankan saat-saat terindah selama hidupku ini" Kenapa tidak cekak
aos saja kau katakan hendak membunuhku?"
"Aku hanya ingin kau bertobat dan menebus dosa atas semua
perbuatanmu, hanya ingin kau merubah cara hidup dan menyesali diri, aku
tidak ingin kau mati. Ketahuilah, mati bukan cara terbaik untuk menebus
dosa seseorang." "Lalu apa pula syaratmu yang kedua" Ingin pula aku mendengarkan."
"Aku hanya ingin tahu dan sukalah kau memberi tahu kepadaku, siapakah
sebetulnya si "dia" itu?"
"Dia?" Lamkiong Ling menegas dengan mengerutkan alis.
"Ya. dia yang membunuh Thian-ing-cu dan Song Kang, dia adalah orang
yang menyaru jadi Thian-hong-cap-si-long, orang yang hendak mencabut
nyawaku, dia pula orangnya yang mencuri Thian-it-sin-cui dari Sin-cuikiong
itu." Seperti kena setrum kuat, badan Lamkiong Ling bergetar hebat, seketika
ia terkesima dan melongo.
"Jelas kau sudah tahu, perbuatannya itu tentu bukan hanya ingin
membunuh Jin Jip saja, dia pasti banyak mempunyai rencana jahat lainnya,
sekali-kali aku tidak bisa berpeluk tangan menyaksikan rencana jahat
kalian terlaksana, aku harus merintanginya."
Lamkiong Ling kertak gigi, katanya sepatah demi sepatah: "Selamanya kau
takkan bisa merintangi dia, tiada seorang pun di dunia ini yang mampu
menghalangi maksudnya!"
"Sampai detik ini, kenapa kau masih merahasiakan dirinya" Tahukah kau,
kematian Jin Jip tidak lebih hanyalah salah satu dari rencana jahatnya,
kau tidak lebih hanya diperalat untuk membunuh Jin Jip saja. Bila tiba
waktunya di mana dia memandang perlu, jiwamu sendiri pun bakal dia bunuh
juga." Mendadak Lamkiong Ling terkial-kial menggila lagi, serunya: "Dia
memperalat aku" Dia pun bisa membunuh aku".... Tahukah kau siapa dia?"
"Justru aku tidak tahu siapa dia, maka kutanya kau."
"Sangkamu aku sudi mengatakan kepadamu?"
"Lamkiong Ling! Lamkiong Ling! Sebetulnya aku pun tidak ingin melukaimu,
kenapa kau ingin mendesakku?"
"Kaulah yang memaksaku, bukan aku memaksamu. Walau aku tidak ingin
melukaimu, kalau sudah terpaksa, apa boleh buat, aku harus turun tangan
terhadapmu." "Kau pasti takkan bisa turun tangan karena ilmu silatmu terang bukan
tandinganku." "Apa benar?" jengek Lamkiong Ling. Kelihatannya badannya tidak
bergerak, namun tahu-tahu tubuhnya melesat terbang lempang dari atas
kursinya. Demikian pula Coh Liu-hiang tidak pernah bergeming, tapi
badannya pun ikut mencelat terbang.
Tapi setiba di tengah udara, Coh Liu-hiang masih bergaya orang duduk,
kursi kayu cendana yang besar dan berat itu seolah olah lengket dengan
kulit badannya. Keduanya beradu di tengah udara, terdengar dua telapak
tangan saling beradu keras beruntun sebanyak tujuh kali. Dalam tempo
sedemikian pendek dan secepat kilat, keduanya sudah adu pukulan tujuh
kali. Tujuh pukulan kemudian, bayangan keduanya terpental balik pula ke
arah datangnya masing masing.
Membawa kursinya dengan enteng tanpa mengeluarkan suara sedikit pun,
Coh Liu-hiang meluncur balik ke tempatnya, persis di tempatnya semula
tanpa tergeser sedikit pun. Sedemikian berat dan keras kursi cendana itu,
namun tidak menimbulkan suara apa pun beradu dengan lantai batu hijau.
Sebaliknya Lamkiong Ling berjumpalitan balik dan meluncur pula ke atas
kursinya, namum dia buat kursi cendana yang berat itu terkeresek
mengeluarkan suara, roman mukanya pun berubah pucat dan bengis.
Walau keduanya tidak menderita luka-luka, namun tak dapat disangkal
sudah menunjukkan perbedaan tingkat kepandaian silat mereka. Meski
pendek gebrak pertarungan adu kepandaian ini, jelas akibatnya bakal
menentukan situasi yang akan datang. Kelihatannya gebrak sekali ini
sedemikian enteng dan singkat saja, namun betapa penting arti
pertarungan ini tidaklah kalah genting dan gawat dari suatu pertempuran
mati hidup yang pernah terjadi pada masa lalu.
"Lamkiong Ling! Masakah kau masih ingin paksa aku turun tangan
terhadapmu?" Dari merah berubah hijau dan memucat pula rona wajah Lamkiong Ling,
sikapnya kelihatan sedih dan harus dikasihani, katanya menghela napas
dengan menengadah: "Lamkiong Ling! Lamkiong Ling! Kau berlatih
menggembleng diri selama duapuluh tahun, ternyata tak mampu
menghadapi gebrakan serangan musuh?"
Mendadak ia melompat bangun, bentaknya keras: "Coh Liu-hiang, jangan
kau takabur! Kalau Lamkiong Liong hari ini berani menunggumu di sini,
masakah aku tidak punya cara lain untuk menundukkanmu?" Ditengah
hardikannya, sambil mengulapkan tangan, tahu-tahu seorang laki-laki tinggi
besar delapan kaki, dengan telanjang dada dan kepala pelontos gundul
seperti kingkong, beranjak keluar sambil menjinjing sebuah kursi tinggi di
atas pundaknya. Di bawah penerangan sinar lilin yang terang benderang, tampak jelas di
atas kursi itu duduk pula seseorang, raut mukanya pucat pias, sepasang biji
matanya yang indah tertuju kosong lempang ke depan.
Berubah pucat muka Coh Liu-hiang, teriaknya tersirap: "Yong ji, kau....
bagaimana kau bisa berada di sini?"
So Yong-yong seperti tidak mendengar pertanyaannya. Ia duduk lemas
tanpa bergerak. Lamkiong Ling tertawa dingin, ejeknya: "sudah tentu akulah yang
mengundang ke mari. Kecuali aku, siapa yang mampu mengundangnya ke
mari?" "Peristiwa di Hong-ih-ting, di pinggir Tay-bing-ouw, keempat laki-laki
jubah hijau itu jadi orang-orang utusanmu?"
"Ya, tidak salah!" Lamkiong Ling mengakui.
"Dari mana kau bisa tahu dia berada di sana?"
"Bulan purnama di Tay-bing-ouw, janji pertemuan menjelang magrib! Kalau
Bu Hoa sudah memberi ingat kepadaku, sudah tentu aku harus menengok
sendiri. Kalau aku dulu pernah menggambar lukisannya, kenapa aku tidak
bisa mengenalnya?" "Kau kuatir dia berhasil mencari tahu seluk-beluk rahasia pihak Sin-cuikiong,
maka kau suruh anak-anak buahmu turun tangan jahat. Tapi kalau
toh kalian sudah turun tangan serapi itu, dari mana pula kau bisa tahu bila
dia belum ajal?" Lamkiong Ling tersenyum, ujarnya: "Aku tahu pemuda baju hitam itu
menyaksikan dari kejauhan, sengaja kubiarkan dia untuk membawa kabar
kepadamu. Tapi waktu kau ke mari sedikit pun tidak menunjukkan
kesedihan hati. Dari sini dapatlah kusimpulkan bahwa So Yong-yong
hakekatnya belum mati! Oleh karena itu kau pura-pura masuk WC, terus
melarikan diri. Aku tidak mengejarmu, malah mengejar dia! Memang sukar
mengejarmu, tapi lebih gampang meringkus dia!"
"Sebaliknya dia sedikit pun tidak menaruh curiga terhadapmu, kalau tidak
mana mungkin bisa terjatuh ke tanganmu?"
"Memangnya dia pernah mencurigai sahabat karib Coh Liu-hiang?"
Tiba-tiba Coh Liu-hiang seperti teringat sesuatu, bentaknya keras: "Tidak
benar! Waktu keempat laki jubah hijau turun tangan kepadanya, kau
sedang menemani aku menemui Jin-hujin, terang kejadian itu ada orang
lain yang merencanakan. Siapa dia" Dari mana pula dia bisa kenal dengan
Yong-ji?" Berubah pula air muka Lamkiong Ling, bentaknya bengis: "Kalau aku sudah
keluarkan perintahku, memangnya aku sendiri harus hadir di sana?"
Tanpa menunggu Coh Liu-hiang bicara kembali, ia membentak: "Turunkan
dia!" Laki-laki besar seperti kingkong itu melempangkan kedua tangannya di
depan dada, pelan-pelan ia turunkan kursi yang dipanggulnya tadi.


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa tidak kau pertotonkan kekuatan kedua tanganmu itu?" kata
Lamkiong Ling kepada manusia kingkong itu.
Laki-laki besar itu membuka lebar mulutnya yang bertaring besar dan
menyeringai lucu, kedua tapak tangan segede kilas itu pelan-pelan terulur
ke depan meraih sebuah kursi, pelan-pelan pula kedua tangannya terangkap
mundur dan sedikit gencet, "pletak!", kursi kayu cendana yang berat dan
besar itu kena digencetnya hancur berkeping-keping.
Lamkiong Ling tertawa besar, serunya: "Bagus sekali! Sekarang letakkan
kedua tapak tanganmu di atas kepala nona cilik itu. Cuma kau harus hatihati
sedikit, jangan kau gencet kepalanya sampai pecah."
Betul juga, pelan-pelan tangan besar yang cukup untuk memegang kepala
So Yong-yong itu lalu sedikit ditarik ke atas.
Menuding Coh Liu-hiang, berkata Lamkiong Ling kepada manusia kingkong
itu; "Sekarang pentang lebar matamu, pandang seluruh badannya. Asal
jarinya sedikit saja bergerak, lekas kau gencet remuk batok kepala nona
itu." Laki-laki kingkong itu ternyata terloroh-loroh senang, seperti mendapat
suatu mainan yang menarik hatinya, sebaliknya Coh Liu-hiang merasa kaki
tangan berkeringat dingin, katanya sambil menengadah: "Lamkiong Ling!
Lamkiong Ling! Tak nyana kau tega melakukan pebuatan serendah ini. Kau....
tindakanmu ini sungguh membuat hatiku kecewa."
Lamkiong Ling melengos, katanya serak: "Sebetulnya aku tidak ingin
berbuat begini, tapi kenapa kau harus mendesakku begini rupa?"
"Sekarang, kau.... apa keinginanmu yang sebenarnya?"
"Aku hanya ingin kau tahu So Yong-yong sudah terjatuh di tanganku. Kalau
kau masih ingin dia tetap hidup, maka jangan sekali-kali ikut campur
mengurusi persoalan pribadiku!"
Lama Coh Liu-hiang berpikir, katanya kemudian: "Jikalau aku tidak
hiraukan jiwanya, tetapi mencampuri urusanmu, bagaimana?"
Lamkiong Ling berpaling, sahutnya tertawa: "Aku yakin benar Coh Liuhiang
bukan laki-laki yang suka berbuat senekad itu."
"Kalau demikian, kau.... maksudmu kau hendak menahan So Yong-yong
selamanya di tempatmu ini?"
"Peduli di mana saja, pasti akan kuusahakan supaya kau tahu bahwa dia
masih tetap hidup. Kukira keputusan ini jauh lebih baik daripada
kematiannya, benar tidak?"
"Tapi aku pun masih tetap hidup. Sehari aku masih bernyawa, jangan
harap kau bisa berlega hati. Seandainya sekarang aku menyetujui saranmu
ini, kalian toh tetap akan berusaha menamatkan jiwaku, benar tidak?"
Lambat-lambat Lamkiong Ling menarik muka, katanya sepatah demi
sepatah: "Itulah persoalan lain, mati hidupmu tiada hubungannya dengan
mati hidupnya. Jikalau kau masih ingin dia tetap hidup, sekarang juga
harus tunduk akan perkataanku."
"Setelah aku mati, kau pun akan membunuhnya juga?"
"Kalau kau sudah mampus, mati atau hidup masih ada hubungan apa dia
dengan kau" Tetapi jikalau kau masih hidup, tentu takkan tega melihat
kematiannya lantaran kau, ya?"
"Kukira imbalan syaratmu ini terlalu tidak adil!"
"Sampai detik ini kau masih bermimpi memperoleh imbalan syarat yang
adil?" seru Lamkiong Ling terbahak-bahak. "Apalagi, sebelum kau mampus,
kau kan masih punya kesempatan bisa menolongnya keluar dengan selamat."
Dengan nanar Coh Liu-hiang mengawasi ke arah muka So Yong-yong, tanpa
sadar ujung jarinya mulai gemetar. Jikalau ada orang bilang ternyata Coh
Liu-hiang bisa juga gemetar, mungkin tiada orang di kolong langit ini yang
mau percaya. "Coh Liu-hiang!" seru Lamkiong Ling tertawa besar. "Sebenarnya aku
cukup memahamimu sampai ke tulang-tulangmu, aku tahu kau harus tunduk
kepadaku, sekarang tiada pilihan lain lagi bagimu!"
Ujung mata Coh Liu-hiang seperti mengerling sekilas kepadanya, lalu
berkata dengan menghela napas lebih dulu: "Lamkiong Ling, kalau kau sudah
bikin aku kecewa, mungkin suatu ketika aku pun bisa bikin kau teramat
kecewa terhadapku." Ketika itu mendadak terdengar suara sambaran: "serrr!", selarik bayangan
hitam membawa deru angin kencang, bagai ular jahat tahu-tahu membelit
kencang ke leher laki-laki kingkong itu.
Dengan menjerit marah, laki-laki kingkong itu angkat kedua tangannya.
Baru saja tangannya terangkat, seenteng asap secepat kilat tahu-tahu Coh
Liu-hiang sudah berkelebat ke sana dan menyambar So Yong-yong seperti
elang menyambar anak ayam ke depan sana.
Saking kagetnya, Lamkiong Ling hendak ikut menubruk maju, tetapi
selarik sinar pedang yang tajam berhawa dingin tahu-tahu laksana
bianglala meluncur tiba menghadang di depannya.
Coh Liu-hiang membawa So Yong-yong ke pojok pendopo sana baru sempat
menghela napas lega, gumamnya tertawa: "Hek-tin-cu, It-tiam-ang, aku
berkenalan dengan kalian, sungguh nasibku menjadi baik."
Cambuk di tangan Hek-tin-cu sudah ditariknya sekencang gendewa,
dengan kedua tangannya ia menarik setakar tenaganya, seperti kawanan
nelayan di sungai Tiang-kang yang menarik perahunya menanjak air di
selat-selat yang berbahaya, badannya hampir rebah sejajar dengan lantai,
jari-jari tangan dan lengannya yang halus sudah menghijau hitam dan
merongkol otot-ototnya. Walau dia sudah kerahkan setakar kekuatannya
menarik, laki-laki kingkong itu ternyata tidak bisa ditarik roboh. Ujung
cambuknya boleh dikata sudah menjerat kencang masuk ke dalam kulit
dagingnya, sampai kedua biji matanya yang besar itu melotot keluar
seperti mata ikan mas, tapi sedikit pun ia tidak bergeming di tempatnya.
Bukan saja tidak ulur tangan mengendorkan jeratan ujung cambuk di
lehernya, dia malah memburu ke arah Hek-tin-cu, sementara lehernya
bersuara keruyukan, katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh: "Anak muda,
kau takkan bisa menarikku roboh!"
Bukan saja Hek-tin-cu belum pernah melihat orang yang bertenaga
sedemikian besarnya, dia pun belum pernah melihat manusia dengan otak
setumpul ini, sungguh hatinya terkejut dan heran. Mendadak ia berseru
lantang: "Apa sebaliknya kau mampu menarikku roboh?"
Laki-laki kingkong itu membuka mulutnya tertawa lebar, betul-betul ia
gunakan kekuatan lehernya untuk menarik cambuk panjang. Kedua pihak
sama-sama menggunakan seluruh kekuatannya. "Tas!", cambuk panjang itu
tiba-tiba putus di tengah-tengah.
Badan Hek-tin-cu menumbuk tembok, saking kagetnya ia jejak kaki
melambung naik ke atas belandar. Tampak badan laki-laki kingkong sebesar
menara itu pelan-pelan roboh terjerembab, kulit mukanya hitam dan merah
ungu, lidahnya sudah terjulur panjang keluar, demikian pula kedua biji
matanya melotot keluar, seolah-olah masih melotot kepada Hek-tin-cu.
Tak tahan Hek-tin-cu dibuatnya, katanya tertawa kecut dengan bergidik:
"Orang yang punya kekuatan luar biasa pada kaki tangannya, kenapa
otaknya selalu tumpul!"
Memandang dari atas belandar, dilihatnya It-tiam-ang dan Lamkiong Ling
sedang berhadapan seperti dua onggok kayu. Sampai sedemikian jauh
belum ada yang bergerak lebih dulu. Mata Lamkiong Ling tertuju pada
ujung pedang di tangan It-tiam-ang, melirik pun tak berani ke arah lain,
tapi kejadian di sekitarnya meski dia tidak melihat pun bisa mendengar
atau membayangkan. Keringat dingin sudah menetes-netes di atas
jidatnya. Mendadak ia berkata dengan keras: "It-tiam-ang, konon kau
hanya membunuh orang karena uang, apa benar?"
Biji mata It-tiam-ang yang abu-abu dingin membeku seperli biji mata ikan
yang sudah mati kaku menatap kepadanya tanpa bersuara.
"Jikalau kau mau bantu aku membunuh Coh Liu-hiang, kuberi kau selaksa
tail." Bergerak ujung mulut It tiam-ang, katanya sambil tertawa lebar: "Selaksa
tail" Apakah Coh Liu-hiang berharga setinggi itu?"
"Kau bunuh aku, jelas tiada orang yang sudi membayar kau setinggi itu,
benar tidak!" "Benar, karma manusia seperti kau ini sepeser pun tak berharga," jengek
It-tiam-ang. "Kalau demikian, lebih tidak setimpal kau membunuh aku."
Terunjuk senyum sinis menghina di ujung mulut It-tiam-ang, katanya
kalem: "Tahukah kau, seumpama lonte (pelacur), bila dia kebentur tamu
yang dia penujui, bolehlah dia layani sekali secara gratis, kali ini aku
membunuhmu pula secara gratis!" Habis kata-katanya, pedangnya pun
bergerak. Merah jengah muka Hek-tin-cu, tapi tidak tertahan dia tertawa geli,
katanya: "Perumpamaan ini walau kotor dan kasar, tapi amat tepat sekali."
Tampak dalam sekejap itu It-tiam-ang sudah menusuk tujuh kali, ilmu
pedangnya teramat brutal dan aneh, serba istimewa, lengan bagian atas
sikut sedikit pun tak bergeming, tapi bintik-bintik sinar pedangnya laksana
hujan gencarnya merangsek pada lawan! Beruntun Lamkiong Ling tersurut
mundur tujuh langkah, serunya dengan gelak tawa serak: "It-tiam ang, kau
kira aku takut padamu?"
"Aku tak suruh kau takut kepadaku, aku cuma ingin kau mampus!"
"Mungkin kaulah yg mampus," damprat Lamkiong Ling. Sekali raih ia tarik
sebuah kursi terus dilempar, berbareng tangan kanan meraba pinggang
melolos sepasang Bian-to. "Sret-sret-sret!", sinar golok seperti sekuntum
salju yang berterbangan di angkasa, tiga kali goloknya membacok dengan
dahsyat. Gerak serangan goloknya tanpa kembangan atau variasi, tapi
cepat, gesit, ganas dan nyata.
Selama hidup dan malang-melintang, tidak terhitung berapa kali It-tiamang
menghadapi lawan-lawan tangguh, sudah tentu ia cukup tahu banyak
ilmu silat seperti ini yang cukup menakutkan. Jikalau kau beranggapan ilmu
silat ini tidak enak dipandang mata, tahu-tahu sejurus sambaran kilatnya
sudah menamatkan jiwamu. Ilmu golok semacam ini sebenarnya tidak ada sesuatu yang indah dan
patut dibanggakan, tiada guna atau manfaat lainnya selain untuk membunuh
orang dan manfaatnya dalam hal ini justru amat berguna sekali.
Semakin menyala biji mata It-tiam-ang, serunya tertawa besar: "Tak
nyana hari ini aku bisa berhadapan dengan lawan tangguh seperti kau ini,
tak sia sia perjalananku kali ini."
Sinar golok dan hawa pedang mendesak mundur dan membuat sesak napas
Hek-tin-cu, sekujur badan terasa dingin. Sudah banyak dia menyaksikan
pertempuran tokoh-tokoh kosen, tapi belum pernah menyaksikan
pertempuran seperti kedua orang ini. Seolah-olah pertempuran ini bukan
manusia yang sedang berkelahi, lebih pantas kalau dikatakan dua serigala
kepalaparan sedang berebut mangsa. Setiap jurus, setiap tipu
serangannya, tujuannya mencabut jiwa musuhnya, terang tiada maksud lain
kecuali membunuh musuhnya.
Sinar golok dan pedang saling sambar dan saling gubat-menggubat serang
menyerang. Walau tidak mendengar benturan kedua senjata, namun hawa
membunuh yang bersuhu dingin menguap naik sehingga Hek-tin-cu yang
berada di atas belandar pun terdesak, napas sesak dan tak kuat bertahan
lagi. Lekas ia melompat tiga tombak jauhnya, kemudian melayang turun ke
lantai. Dilihatnya Coh Liu-Hiang sedang sibuk mengurut dan melancarkan
jalan darah So Yong-Yong, wajah So Yong-Yong yang pucat tadi lambat
laun mulai merah berwarna darah.
Tak tahan Hek-tin-cu memburu maju dan menepuk pundah Coh Liu-Hiang,
"Tahukah kau orang lain sedang adu jiwa demi kau?"
"Tahu," sahut Coh Liu-Hiang. "Memangnya kau tidak perduli dan turut
campur?" Coh Liu-hiang tertawa-tawa, ujarnya: "Kalau Tionggoan It-tiam-ang sudah
turun tangan, memangnya perlu orang lain turut campur?"
"Agaknya kau lega sekali," olok Hek-tin-cu.
"Masakah ilmu pedang It-tiam-ang tidak bisa melegakan hatiku?"
Terdengar "Cret!", It-tiam-ang melompat miring tujuh langkah, baju
atasnya tampak tergores robek terkena sambaran golok, darah segar
sudah merembes membasahi badannya.
Lamkiong Ling tertawa besar, serunya: "It-tiam-ang, kau masih belum
puas?" "Cis!" It-tiam-ang berludah ke atas pundaknya yang terluka, tahu-tahu
pedangnya sudah menusuk pula.
Seketika berubah pula air muka Hek-tin-cu, bentaknya bengis:"Sekarang
kau masih berlega hati?"
Coh Liu-hiang tertawa getir, katanya: "Kalau It-tiam-ang sudah turun
tangan, siapa yang ikut membantunya, dia adalah lawannya, apalagi
kepandaian silat kedua orang ini sama setingkat dan sebanding, siapa pun
jangan harap bisa melukai lawan."
"Oleh karena itu kau berpeluk tangan saja, begitu?"
"Dalam sepuluh jurus Lamkiong-Ling pasti kena dibikin cedera juga oleh
pedang It-tiam-ang, tidak lebih dari tiga puluh jurus dia pasti minta
menghentikan pertempuran. Kalau belum waktunya, tidak berguna aku ikut
mencampuri." "Mungkin hatimu sudah tumplek pada nona cantikmu ini, masa masih
perduli dengan mati hidup orang lain" Sungguh tak nyana olehku, Coh Liuhiang
yang cemerlang namanya ternyata lebih mementingkan paras cantik
daripada persahabatan kental."
Belum habis kata-katanya, terdengar "Cret!" sekali lagi. Lamkiong Ling
terhuyung mundur, pakaiannya berlubang, darah pun membasahi
pakaiannya. Coh Liu-hiang menyengir sambil berpaling pada Hek-tin-cu,
katanya: "Belum penuh sepuluh jurus malah, benar tidak?"
Sekian lama Hek-tin-cu tertunduk, entah apa yang ia renungkan, akhirnya
ia tujukan sorot matanya ke muka So Yong-yong. Sorot matanya yang
kelihatan dalam itu seakan-akan timbul suatu perubahan yang sedemikian
rumit. Katanya pelan-pelan, "Dia memang teramat cantik."
"Bukan hanya cantik saja."
"Tapi menurut pendapatku, perempuan yang lebih cantik dari dia masih
banyak jumlahnya." "Mungkin dia tidak bisa terhitung yang tercantik, tapi paling lembut,
paling setia, paling pandai melayani dan perempuan yang paling bisa
menyelami hati orang lain. Menurut apa yang kutahu, mungkin belum pernah
ada perempuan yang bisa dibandingkan dia di dalam dunia ini."
Pucat muka Hek-tin-cu, agaknya hendak mengucapkan apa-apa, namun ia
tahan sambil mengigit bibir. Tiba-tiba ia membalikkan badan dan tak sudi
melihat mereka lagi. Terdengar Lamkiong Ling sedang membentak:" Coh
Liu-hiang! Marilah kau saja yang perang tanding denganku untuk
menyelesaikan urusan ini. Kau sendiri tadi yang mengatakan hal ini, apa
sekarang kau masih ingat?"
"Sudah tentu masih ingat."
"Jikalau kau ingin tahu siapa tokoh misterius itu, lekas kau suruh keparat
berdarah dingin ini menghentikan pertempuran."
Coh Liu-hiang angkat pundak, katanya: "Sayang bukan saja aku tidak bisa
turun tangan, aku pun tidak bisa menyuruhnya berhenti". Jikalau It-tiamang
ingin membunuh seseorang, tiada seorang pun yang kuasa
mencegahnya." Siapa tahu, mendadak It-tiam-ang melompat setombak jauhnya, katanya
dingin: "Aku sudah berhenti, karena dia tidak mampu membunuhku, aku pun
tidak mampu membunuhnya. Kalau perkelahian ini diteruskan, tidak ada
artinya, biarlah kuserahkan kepadamu."
"Terima kasih."
Lama juga It-tiam-ang menatapnya lekat-lekat, katanya kalem "Tidak
perlu terima kasih, asal kau ingat sejak semula sampai akhir It-tiam-ang
tetap sahabatmu." Belum habis berkata, badannya sudah melambung tinggi berjumpalitan ke
belakang terus melesat ke luar jendela dan memghilang entah ke mana.
"Kenapa dia selalu bilang datang ya datang, mau pergi tinggal pergi." Baru
sekarang Lamkiong Ling berhasil mengatur nafas, katanya serak: "Coh Liu-
Hiang, kalau kau ingin menyelesaikan persoalan ini, marilah ikut aku!"
Coh Liu-hiang menengok ke arah So Yong-yong, katanya: "Ikut kau?"
Hek-tin-cu menyela keras, katanya: "Coh Liu-hiang saat ini amat berat
untuk tinggal pergi, demi perempuan ini urusan apa pun boleh tidak usah
diurus." Berputar biji mata Lamkiong Ling, katanya: "Jikalau kau tidak mau pergi,
jangan salahkan aku."
Sengaja ia putar badan jalan lambat-lambat, agaknya ia tidak ingin


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melarikan diri, sebab ia tahu lari bukan suatu cara terbaik, kalau tidak
sejak lama dia sudah menghilang tak karuan parannya.
Betapa Coh Liu-hiang tidak bisa membiarkan orang pergi demikian saja,
katanya: "Hek-heng, agaknya untuk sementara aku harus serahkan dia ke
dalam pengawasanmu."
Hek-tin-cu mendongak memandang ke langit, sahutnya dingin: "Masa kau
tidak kuatir?" "Dia tertotok Hiat-tonya dengan Jong-jiu-hoat, tapi setelah kuurut tadi
sebentar lagi bakal siuman. Cukup asal Hek-heng beritahu kepadanya,
suruh dia selekasnya pulang, urusan lain tidak perlu dia kuatirkan."
Sesaat Hek-tin-cu ragu-ragu, sahutnya kemudian: "Baiklah! Pergilah kau,
aku akan suruh dia pulang, tapi aku tetap akan menunggumu, masih ada
pertanyaan yang hendak kuajukan kepadamu."
Setelah Coh Liu-hiang keluar mengikuti jejaknya, baru Lamkiong Ling
mempercepat langkahnya. Beberapa kejap mereka berlari-lari kencang,
entah berapa jauh perjalanan sudah mereka tempuh, tiba-tiba Lamkiong
Ling berkata: "Agaknya kau lega menyerahkan dia kepada orang lain?"
"Kenapa aku harus kuatir?"
"Masalah kau tahu bila anak muda itu tidak akam mecelakai jiwanya?"
"Kau kira karakter dan martabat orang lain sekejam dan setelengas
dirimu?" "Aku hanya anggap kau ini orang yang cerdik pandai dan cermat, siapa
tahu ada kalanya kau pun bertindak kurang hati-hati."
"Memang aku ini serba teliti. Jikalau pernah terpikir dalam benakku bila
Hek-tin-cu punya alasan untuk mencelakai jiwa Yong-ji, meski sekarang aku
terpaksa, sekali-kali tidak akan kuserahkan Yong-ji kepadanya. Jika kau
pikir dengan persoalan ini kau hendak bikin hatiku tidak tenang sehingga
gugup dan kacau, kunasehati kau untuk membatalkan saja niatmu itu."
Lamkiong Ling terloroh-loroh dingin, selanjutnya memang dia tidak banyak
kata lagi. Tampak tak jauh di depan sana bayangan air kemilau dibungkus
kabut tebal, tahu-tahu mereka sudah tiba di Tay-bing-ouw. Di bawah
ayoman dahan pohon Liu yang menjuntai turun, sebuah sampan terikat di
sana, di dalamnya ternyata terpasang sebuah pelita yang bersinar terang.
Dari luar jendela kelihatan di sana sudah tersedia sebuah meja hidangan
yang serba komplit. Setelah Coh Liu-hiang masuk ke dalam ruangan kapal, Lamkiong Ling
menarik galah dan menutul tanggul, sehingga sampan meluncur ke tengah
danau. Kabut tebal, di mana-mana banyak asap seperti hujan. Mengikuti
riak gelombang yang mengalun halus, sampan melaju ke depan terbawa
angin. Di tengah alam semesta yang tak berujung pangkal ini, terkadang
orang akan terpesona tanpa sadar, tak tertahan orang akan berdiri bulu
kuduknya. Coh Liu-hiang memilih kursi dan duduk dengan nyaman, namun hatinya
sedikit pun tidak merasa nyaman, terasa olehnya persoalan yang
dihadapinya ini makin lama semakin janggal. Kenapa Lamkiong Ling
membawa dirinya ke tempat ini" Pembunuh misterius itu, apakah dia
berada di atas sampan besar ini"
Tapi, kecuali Coh Liu-hiang dan Lamkiong Ling, jelas di atas sampan tiada
orang ketiga! Hal ini Coh Liu-hiang berani pastikan sesaat setelah dia
beranjak ke atas sampan ini.
Hembusan angin malam nan sepoi-sepoi, menyibak bau harum arak dan
masakan, bau daun pohon liu nan wangi, tapi yang tersedot dalam
pernapasan Coh Liu-hiang sebaliknya adalah hawa membunuh yang amat
tebal. Kini Lamkiong Ling sudah duduk berhadapan dengan Coh Liu-hiang,
katanya sambil mengawasinya: "Tahukah kau kenapa aku membawamu ke
mari?" "Tentunya kau tidak ingin membunuhku di sini. Jikalau kau hendak
membunuhku, tentunya lebih jauh meninggalkan air lebih baik."
"Benar, tiada orang yang mau membunuh Coh Liu-hiang di dalam air."
"Apakah si dia yang suruh kau membawaku ke mari?"
"Benar! Dia beritahu kepadaku, bila mana aku sendiri tidak bisa
menyelesaikan persoalan ini, bawa saja kau ke mari, biar dia sendiri yang
akan menyelesaikan."
"Kau kira dia akan datang?"
"Tentu akan datang!"
"Pikirmu, setelah dia datang, lantas bisa menyelesaikan persoalan ini?"
"Jikalau ada seseorang yang bisa menghadapi Coh Liu-hiang, orang itu
adalah si dia itulah!"
"Siapa si dia itu, sungguh aku tak mengerti dia punya cara penyelesaian
apa?" "Cara yang dia gunakan tiada orang lain yang dapat menyimpulkan
sebelumnya." "Agaknya kau terlalu yakin akan kemampuannya?"
"Di dunia ini, jikalau ada orang yang dapat kupercayai, orang itu hanya dia
saja." Coh Liu-hiang pejamkan mata, katanya pelan-pelan: "Siapakah orang yang
demikian itu" Kalau toh dia sudah tahu membunuh Coh Liu-hiang di atas air
jauh lebih sukar daripada di daratan, kenapa membawaku ke atas sampan
ini" Sebetulnya rencana apa yang sedang dia atur" Sebenarnya dia punya
cara apa untuk menghadapi aku" Sungguh aku tak sabar lagi menunggu,
ingin secepatnya aku berhadapan dengan dia."
Teringat akan kelicikan orang, perbuatan telengas dan kejahatannya, mau
tidak mau Coh Liu-hiang bergidik bulu romanya. Musuh-musuh yang pernah
dia hadapi selama hidupnya, sungguh tiada seorang pun yang begini
menakutkan. Lamkiong Ling menuangkan dua cangkir arak, katanya: "Jikalau aku jadi
kau, sekarang lebih baik minum-minum dulu, tidak berguna kau banyak
peras otak, apalagi saat-saatmu menikmati arak toh takkan lama lagi."
Arak bening berwarna hijau pupus kelihatan memancarkan cahaya di dalam
cangkir emas. Lamkiong Ling angkat cangkirnya terus ditenggak habis, katanya
menengadah: "Tapi aku berdoa, semoga yang menemukan rahasia ini bukan
kau. Siapa pun dia, jikalau hendak membunuh sahabat yang dulu pernah
menangkap kura-kura besar bersama tentunya bukan sesuatu yang patut
dibuat girang!" Jari tangan Coh Liu-hiang menyentuh pun tidak cangkir arak itu, katanya:
"Aku pun mengharap kau adalah Lamkiong Ling yang pernah bantu aku
menangkap kura-kura itu."
Lamkiong Ling tertawa-tawa, tiba-tiba ia mengerutkan alis, katanya:
"Arakmu ...." "Masih banyak waktu untuk aku minum arak, sekarang tidak perlu tergesagesa!"
Coh Liu-hiang ternyata tidak tergesa-gesa minum arak, sungguh suatu
kejadian luar biasa dan aneh.
"Kau jangan lupa, aku adalah seorang yang amat teliti."
"Kedua cangkir arak ini kutuang dari poci yang sama. Jikalau kau masih
kuatir, secangkir arak ini biar kuhabisi sekalian!" lalu ia raih cangkir di
hadapan Coh Liu-hiang dan ditenggaknya habis. "Agaknya orang yang
terlalu teliti meski mungkin bisa berumur panjang, betapa pun dia harus
mengorbankan arak-arak bagus yang seharusnya dia nikmati. Tidak
seharusnya kau curiga arak ini mengandung racun, tokoh mana di dunia ini
yang bisa meracun mati Coh Liu-hiang hanya dengan permainan arak
beracun. Masakah dia bakal menaruh....." belum lagi kata-kata "racun"
keluar dari mulutnya, air mukanya mendadak berubah hebat. Lengan, jidat
dan lehernya.... otot-otot hijau menonjol keluar semua.
"Kenapa kau?" teriak Coh Liu-hiang kaget.
"Arak ini...." sahut Lamkiong Ling bergetar.
"Apa benar arak ini mengandung racun?" seru Coh Liu-hiang tersirap
darahnya, lekas ia memburu maju dan membuka kelopak mata Lamkiong
Ling, namun tak terlihat tanda-tanda keracunan, tapi sekujur badan
Lamkiong Ling semakin panas seperti terbakar.
Melonjak jantung Coh Liu-hiang, teriaknya kaget: "Thian-it-sin-cui, arak
ini ada dicampur dengan Thian-it-sin-cui!"
Coh Liu-hiang membanting kaki, katanya: "Sampai sekarang kau masih
belum paham" Bahwa dia mencampuri air sakti itu di dalam arak ini,
tujuannya bukan hendak mencelakai jiwaku, namun kaulah yang menjadi
sasaran utama! Dia pun tahu, setiap waktu aku selalu bertindak hati-hati,
sebaliknya kau tidak mungkin bersiaga terhadapnya."
Coh Liu-hiang menengadah dan melanjutkan: "Sejak naik ke atas sampan
ini, aku sudah merasa di sini diliputi mara bahaya, numun tak pernah
terpikir olehku dengan cara apa dia hendak mencelakai diriku. Baru
sekarang aku paham, ternyata yang dia tuju bukan aku, sebaliknya jiwamu
yang diincarnya." "Tapi dia.... kenapa dia harus membunuhku?" teriak Lamkiong Ling keras.
"Karena, asal kau mati, segala sumber penyelidikanku bakal putus
semuanya. Asal kau sudah ajal, dia tetap boleh luntang-lantung ke mana dia
suka, dan tidak akan ada orang tahu siapa sebenarnya si "dia" itu."
Bergetar badan Lamkiong Ling, agaknya ia amat kaget akan kata-kata ini,
matanya mendelong. Kini sekujur badannya mulai membengkak besar, kulit
dagingnya mulai pecah, sampai pun urat nadi dan jalan darahnya pun
merekah. Ujung mata, hidung, sela-sela kuku jarinya, mulai merembeskan
darah segar. Coh Liu-hiang membentak keras: "Tanpa kenal kasihan dia turun tangan
jahat membunuhmu, kenapa kau masih bertahan menyimpan rahasianya"
Lekas kau katakan siapakah dia sebenarnya, sekarang kau masih sempat
mengatakannya." Seperti mata ikan mas biji mata Lamkiong Ling melotot keluar, gumamnya:
"Katamu dia hendak membunuh aku.... aku masih tidak percaya.... "
"Sudah tentu dia harus membunuhmu! Kalau tidak, jelas dia tahu aku
takkakn minum arak, kenapa dia menaruh racun dalan arak" Kenapa tidak
beritahu kepadamu lebih dahulu bahwa arak itu beracun?"
Agaknya Lamkiong Ling tidak memahami kata-katanya seluruhnya,
mulutnya tetap menggumam sendiri: "Aku tidak percaya.... aku tidak
percaya...." Sekali raih, Coh Liu-hiang mencengkram baju di depan dadanya, teriaknya
serak: "Kenapa kau tidak percaya" Masa kau.... "
Bibir Lamkiong Ling yang sudah merekah, mendadak ia menampilkan
senyum pilu, katanya: "Tahukah kau siapa dia?"
"Siapa" Siapa dia?" desak Coh Liu-hiang.
Sepatah dengan sepatah Lamkiong Ling meronta keluarkan kata-katanya:
"Itulah suatu rahasia, tiada seorang pun di kolong langit ini yang tahu akan
rahasia ini. Aku.... aku punya seorang saudara sepupu. Engkoh sepupuku.....,
si "dia" bukan lain adalah engkoh sepupuku itu."
Coh Liu-hiang terlongong di tempatnya seperti linglung, badannya
terhuyung mundur setengah langkah, bersandar di pinggir meja. Serasa
sekujur badan lemas lunglai dan hampir meloso jatuh. Rada lama kemudian,
baru dia bersuara dengan tertawa getir: "Tak heran kau begitu percaya
kepadanya, tak heran kau begitu mendengar petunjuknya. Tapi..... tapi
siapakah engkohmu itu" Sampai detik ini kau masih segan menyebut
namanya?" Mulut Lamkiong Ling megap-megap seperti ikan mas yang menghirup napas
di permukaan air, mulutnya penuh digenangi darah segar. Kini lidahnya pun
mulai merekah, sepatah kata pun tak kuasa bicara lagi.
*** Entah beberapa lama Coh Liu-hiang menjublek duduk di atas kursi. Kini
bahan penyelidikannya sudah putus sama sekali, dia harus mulai dari
permulaan pula. Entah berapa ia sudah mengalami mara bahaya, entah berapa jerih
payahnya yang dia korbankan, baru diketahui bahwa Cou Yu-cin, Sebun
Jian, Ling-ciu-cu dan Ca Bok-hap keluar pintu setelah masing-masing
menerima sepucuk surat. Entah sudah mengalami beberapa kali kegagalan
dan kekecewaan baru berhasil dia selidiki si penulis surat itu sekaligus
membongkar segala rahasia Kay-pang.
Betapa besar kesulitan dan derita yang dialaminya untuk semua itu,
jikalau tidak dibekali kecerdikan dan keberanian yang luar biasa, boleh
dikata takkan ada orang yang kuat bertahan menghadapi tantangantantangan
yang hebat dan mengerikan itu. Tapi Lamkiong Ling sekarang
sudah ajal, segala jerih payah dan usahanya selama ini berarti sia-sia.
Karena sampai detik ini ia belum berhasil mengetahui siapakah biang keladi
atau tokoh misterius dalam peristiwa ini.
Fajar sudah menyingsing, kabut di permukaan danau malah makin tebal.
Coh Liu-hiang menggeliat sambil menghirup napas segar, gumamnya: "Kini
yang kuketahui masih berapa banyak?" Memang bahan-bahan yang masih
berada di benaknya tidak banyak lagi. Bahan satu-satunya yang ketinggalan
yaitu pembunuh misterius adalah saudara sepupu Lamkiong Ling. Di tangan
si "dia" itu masih terdapat Thian-it-sin-cui yang cukup untuk mencelakai
jiwa tiga puluh tiga orang. Tapi siapakah sebenarnya si "dia" itu"
Dengan Thian-it-sin-cui, dia sudah membunuh Jin Jip, Ca Bok-hap dan
Lamkiong Ling. Sasaran selanjutnya entah siapa! Tentu tokoh kosen yang
berilmu amat tinggi, namanya cukup tenar dan terpandang sebagai
angkatan tertinggi di Bulim pula.
Tokoh itu tentu mempunyai hubungan yang amat erat dengan si "dia" itu,
paling tidak takkan curiga bahwa si dia bakal mencelakai jiwanya, kalau
tidak cara bagaimana si dia dapat mencampurkan Thian-it-sin-cui ke dalam
cawan minumannya" Coh Liu-hiang memejamkan mata, mulutnya menggumam: " Thian-hong-capsi-
Pertemuan Di Kotaraja 10 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Rahasia Kunci Wasiat 4
^