Pencarian

Medali Wasiat 10

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 10


perjamuan?" Tiba-tiba tosu tua itu melihat di atas meja perjamuan penuh
tetes air kuah, sebuah pinggan (basi) hanya tinggal sedikit sisa
kuah bening, masakan pokok di dalam basi itu entah ayam
atau itik, ternyata sudah terbang.
Tosu tua itu mengerut kening, ia pikir bagaimana kerjanya
anak-anak ini, masakah makanan yang sudah siap tidak dijaga
sehingga kena digondol kucing. Karena berada di depan tamu,
ia merasa tidak baik untuk mendamprat anak-muridnya yang
lengah itu. Tatkala itu kembali ada tosu-tosu cilik membawakan masakan
lain lagi. Waktu mereka melihat keadaan meja perjamuan yang
morat-marit itu, mereka menjadi kikuk dan serbasalah, cepat
mereka membersihkan meja dan menyiapkan daharan yang
lain lagi. Dengan hormat tosu tua itu menyilakan Ciok Jing suami-istri
duduk di meja utama, ia sendiri mengiringinya bersama tiga
orang tojin lain yang setengah umur, sisanya 12 orang tojin
lagi terbagi pada dua meja yang lain.
Setelah minum beberapa cawan, kemudian tosu tua itu
membuka suara pula dengan terharu, "Selama delapan tahun
tidak bertemu, ternyata Sute dan Sumoay tidak kurang sehat
dan gagahnya daripada dahulu. Sebaliknya suhengmu ini
sekarang sudah tua dan loyo."
"Rambut Suheng memang telah tambah ubanan, tapi
semangatmu toh tetap sangat kuat," sahut Ciok Jing.
"Tambah ubanan apa" Rambutku ini adalah karena pikiranku
yang sedih, hanya dalam semalam saja lantas ubanan," kata si
tosu tua. "Jika Sute dan Sumoay datang kemari pada tiga hari
yang lalu, tentu jenggot dan rambutku tidaklah seputih ini,
paling-paling cuma setengah putih saja."
"Yang dipikirkan Suheng apakah urusan tentang kedua sucia
(rasul) Siang-sian dan Hwat-ok (pengganjar bajik dan
penghukum jahat) itu?" tanya Ciok Jing.
"Ya, kecuali urusan ini, rasanya tiada urusan kedua di dunia ini
yang dapat membuat Thian-hi Tojin dari Siang-jing-koan
berubah menjadi lebih tua 20 tahun hanya dalam waktu
semalam," sahut si tosu tua alias Thian-hi Tojin.
"Justru Sute dan Sumoaymu ini mendengar tentang berita
bahwa kedua rasul itu kembali muncul, dunia persilatan harus
menghadapi bencana pula, makanya siang-malam kami
memburu kemari untuk berunding dengan Ciangbun-suheng
dan para Suheng dan Sute," tutur Ciok Jing. "Selama sepuluh
tahun terakhir ini nama Siang-jing-koan kita cukup menonjol di
kalangan bu-lim, pohon besar tentu terancam angin, kukira
kedua rasul itu boleh jadi akan berkunjung ke sini. Maka ada
maksud Siaute suami-istri untuk tinggal satu-dua bulan di sini.
Bilamana mereka benar-benar mencari gara-gara ke sini,
walaupun tidak becus, sedikitnya kami suami-istri juga dapat
berjuang mati-matian bahu-membahu bersama para Suheng
demi perguruan." Thian-hi saling pandang sekejap dengan para tosu yang hadir
di situ, lalu menghela napas perlahan sambil merogoh keluar
dua bentuk medali tembaga. Ia taruh kedua buah medali itu di
atas meja. Dari atas Boh-thian dapat melihat dengan jelas bahwa kedua
medali tembaga itu pun terukir muka tertawa dan muka gusar
sebagaimana medali-medali yang pernah dilihatnya di atas
kapal mayat dan di sarang Tiat-cha-hwe. Diam-diam ia
tercengang, "Aneh, mengapa Thian-hi Tojin ini pun mempunyai
dua buah medali yang serupa?"
Dalam pada itu terdengar Ciok Jing telah berkata dengan
heran, "Eh, kiranya sucia itu sudah berkunjung kemari. Jika
demikian kedatangan Siaute suami-istri toh tetap ketinggalan
walaupun kami telah memburu kemari siang dan malam. Dan
apakah mengenai urusan itu" Lalu cara... cara bagaimana
Suheng melayaninya?"
Karena pikiran Thian-hi tidaklah tenteram, seketika ia menjadi
susah menjawab. Segera seorang tojin setengah umur yang
duduk di sebelahnya mewakilkan menjawab, "Datangnya kedua
sucia itu adalah kejadian tiga hari yang lalu. Berkat budi
Ciangbun-suheng yang luhur dan rela menanggung segala
kemungkinan, maka beliau sudah menyanggupi akan pergi ke
sana untuk makan "Lap-pat-cok" (bubur atau jenang tanggal 8
bulan 12 atau penutup tahun)."
Ketika melihat kedua medali tembaga, memangnya Ciok Jing
sudah menduga akan hal demikian. Segera ia berbangkit dan
memberi hormat kepada Thian-hi, katanya, "Dengan rela Suko
telah menanggungnya sendirian untuk menyelamatkan seluruh
penghuni Siang-jing-koan ini, sungguh Siaute merasa
berterima kasih dan malu pula, di sini terimalah hormat Siaute
lebih dulu. Cuma Siaute masih ada suatu permohonan yang
kurang pantas, sebelumnya mohon Suko sudi memaafkan."
Thian-hi tersenyum, sahutnya, "Segala apa di dunia ini
sekarang bagiku adalah laksana awan yang terapung di udara
itu. Apa yang Sute inginkan tentu akan kupenuhi."
"Jika demikian, jadi tegasnya Suko sudah menyanggupi?" Ciok
Jing menegas. "Ya, kusanggupi," sahut Thian-hi. "Entah apakah keinginan
Sute itu?" "Begini, dengan lancang Siaute mohon agar Suko suka
menyerahkan tugas ciangbun atas Siang-jing-koan ini kepada
kami suami-istri," tutur Ciok Jing.
Ucapan Ciok Jing ini membuat para tosu yang hadir di situ
menjadi melengak semua. Dan belum lagi Thian-hi menjawab, segera Ciok Jing
menyambung pula, "Setelah kami suami-istri memegang
jabatan ciangbun ini, maka undangan untuk makan Lap-patcok
itu biarlah kami yang pergi ke sana mewakilkan Suko."
Mendadak Thian-hi terbahak-bahak, suara tertawa yang
mengandung rasa pahit getir, matanya juga tampak basah
berkaca-kaca. Katanya, "Maksud baik Hiante berdua, biarlah
suhengmu terima di dalam hati. Sebagai ketua Siang-jingkoan,
suhengmu sudah cukup dikenal oleh orang bu-lim selama
belasan tahun ini. Sekarang di kala menghadapi bahaya
masakah aku malah menghindarkan tanggung jawabku, lalu
muka Thian-hi yang tua keriput ini kelak harus ditaruh ke
mana?" Sampai di sini Thian-hi telah pegang tangan kanan Ciok Jing,
lalu menyambung pula, "Sute, usia kita selisih terlalu banyak,
kau adalah keluarga preman pula, kita jarang berkumpul di
masa yang lalu, tapi hubungan kita selamanya sangat baik,
apalagi ilmu silatmu dan pribadimu sesungguhnya adalah tokoh
utama perguruan kita, selama ini Suheng sangat kagum
padamu. Coba kalau bukan lantaran janji Lap-pat-cok ini, tentu
Suheng akan menyerahkan jabatan ciangbun ini kepadamu.
Namun keadaan hari ini sudah lain, maka permintaanmu tiada
mungkin dapat kupenuhi lagi. Hahaha!"
Di tempat sembunyinya Boh-thian dapat mendengar dengan
jelas percakapan itu. Ia tidak tahu barang apakah "Lap-patcok"
yang dibicarakan itu. Ia masih ingat istilah itu pun pernah
diucapkan Thio Sam waktu bertemu dengan orang-orang Tiatcha-
hwe, sekarang demi menyebut janji makan "Lap-pat-cok",
Thian-hi Tojin lantas sedih, apa barangkali "Lap-pat-cok" itu
adalah sesuatu racun yang lihai"
Dalam pada itu terdengar Thian-hi telah berkata pula, "Sute,
bahwasanya rambut Suheng menjadi putih dalam semalam, hal
ini sekali-kali bukanlah karena takut mati. Usiaku sekarang
sudah 62 tahun, kalau mati tahun ini juga sudah cukup umur.
Hanya saja yang selalu kupikirkan adalah cara bagaimana agar
kita dapat melenyapkan bencana besar yang setiap sepuluh
tahun satu kali tentu menimpa bu-lim ini" Dengan cara
bagaimana agar nama dan ilmu silat perguruan kita yang jaya
ini dapat dipertahankan" Ya, memang semuanya ini adalah
urusan mahasulit. Selama 32 tahun berselang, pihak sana
sudah tiga kali mengadakan perjamuan Lap-pat-cok. Setiap
tokoh dan setiap jago dari berbagai kalangan dan golongan
yang diundang ke sana belum pernah ada seorang pun yang
dapat pulang. Sesungguhnya kematian Suheng ini tiada perlu
dibuat gegetun, hanya, saja urusan kesudahannyalah yang
perlu kita pikirkan."
Tiba-tiba Ciok Jing juga terbahak, ia angkat cawan arak dan
mengeringkan isinya, lalu berkata, "Suko, bahwasanya secara
lancang Siaute mohon Suko menyerahkan jabatanmu, hal ini
bukanlah Siaute ingin mewakilkan Suko untuk mengantarkan
jiwa, tapi bertujuan ingin menyelidiki persoalan ini, ya, boleh
jadi Thian memberkahi sehingga Siaute dapat menyelidiki
rahasia di dalamnya, walaupun Siaute tak berani menjamin
akan mampu menumpas malapetaka yang selalu mengancam
bu-lim ini, tapi asal rahasia di balik layar sudah dapat
disiarkan, lalu setiap orang persilatan sama berbangkit dan
beramai-ramai berjuang, masakah kita benar-benar tak
mampu melawan pihak mereka itu?"
Namun Thian-hi telah menggeleng perlahan, katanya,
"Bukanlah aku sengaja menilai tinggi pihak orang dan
mengartikecilkan Sute, coba lihat, tokoh-tokoh sebagai It-bok
Totiang dari Bu-tong-pay, Giok-cin Tojin dari Jing-sia-pay, dan
tokoh-tokoh lain yang berkepandaian tinggi toh mereka hanya
bisa pergi dan tak bisa kembali. Maka menurut pendapatku, ai,
biarpun ilmu silat Sute cukup tinggi, betapa pun... betapa pun
juga belum dapat dibandingkan dengan kaum cianpwe
(angkatan tua) sebagai It-bok dan Giok-cin Totiang."
"Untuk ini Siaute juga cukup tahu diri," ujar Ciok Jing. "Namun
berhasil atau tidak dari sesuatu urusan sebagian adalah
tergantung pada kepandaian dan sebagian lagi juga tergantung
kepada nasib. Andaikan Siaute tidak mampu menumpas
bencana ini, tapi berusaha untuk menyelidiki sedikit rahasia
yang menyangkut urusan ini rasanya bukanlah tiada harapan
sama sekali." Namun Thian-hi tetap menggeleng, katanya, "Jabatan
Ciangbunjin Siang-jing-koan kita selama ratusan tahun ini
selalu dipegang oleh kaum beribadat (tosu). Bila aku mati,
maka aku sudah menunjuk Tiong-hi Sute sebagai penggantiku.
Untuk selanjutnya asalkan Sute berdua suka membantu
sepenuh tenaga agar supaya golongan kita tetap berkembang,
maka cukuplah bagiku untuk menyatakan terima kasih yang
tak terhingga." Begitulah meski Ciok Jing telah berulang kali mendesak, tapi
Thian-hi tetap menolak sehingga semua orang sampai berhenti
minum dan lupa makan. Di tempat sembunyinya Boh-thian sendiri sedang asyik
menikmati ayam Pek-sak yang dicurinya dari meja perjamuan
tadi. Sepotong demi sepotong ia jejalkan daging ayam itu ke
dalam mulut, tapi karena khawatir mengeluarkan suara, maka
ia tidak berani mengunyah, jadi terus menelannya matangmatang
begitu saja. Walaupun demikian ia pun tidak lupa
pasang mata mengintip segala kejadian di bawah.
Dilihatnya Nyonya Ciok, yaitu Bin Ju, sejak mula hanya
mendengarkan saja pembicaraan sang suami dengan Thian-hi
Tojin tanpa menimbrung apa-apa, sebaliknya perlahan-lahan ia
mengambil kedua bentuk medali tembaga yang berada di atas
meja, ia mengamat-amati medali-medali itu sejenak, lalu
seperti sengaja dan seperti tidak sengaja ia hendak
memasukkan benda-benda itu ke dalam sakunya.
"Taruh kembali, Sumoay!" mendadak Thian-hi berseru.
"Ah, aku yang menyimpannya bagi Suko toh sama saja," sahut
Bin Ju dengan tersenyum dan tampaknya kedua medali itu
segera akan masuk ke dalam bajunya.
Thian-hi menjadi khawatir, mencegahnya dengan ucapan tak
dihiraukan, terpaksa ia hendak merebutnya kembali dengan
tangan. Tapi kebetulan pada saat itu Ciok Jing sedang
menjulurkan sumpitnya hendak mengambil makanan sehingga
lengannya tepat merintangi tangan Thian-hi yang terjulur itu.
Segera Tiong-hi yang duduk di sebelahnya Bin Ju ikut
bergerak, cepat tangannya menyambar hendak merampas
medali-medali itu sambil berkata, "Lebih baik serahkan padaku
saja!" Namun cepat Bin Ju telah mengangkat tangannya ke atas,
berbareng tangan yang lain terus mengebas ke bawah.
Terpaksa Tiong-hi menarik kembali tangannya dan balas
menutuk pergelangan tangan Nyonya Ciok dan begitulah lantas
terjadi serang-menyerang di antara mereka.
Tiong-hi sudah ditetapkan oleh Thian-hi untuk
menggantikannya menjabat sebagai ketua Siang-jing-koan, ini
berarti Tiong-hi adalah calon pemimpin yang akan datang, ia
pun terhitung tokoh yang tertinggi ilmu silatnya di dalam
kelenteng itu di samping Thian-hi sendiri.
Sudah tentu Tiong-hi mengetahui apa yang dilakukan Ciok Jing
dan istrinya itu timbul dari maksud yang baik. Tapi kedua
bentuk medali tembaga itu menyangkut jiwa semua penghuni
Siang-jing-koan, Thian-hi sudah menerimanya dari kedua rasul
pengganjar dan penghukum, jika sekarang jatuh ke tangan
orang lain, hal ini berarti jiwa semua imam di dalam kelenteng
itu pun terancam, sebab inilah maka Tiong-hi telah berusaha
merebutnya sedapat mungkin.
Begitulah, sambil tetap berduduk Tiong-hi dan Bin Ju telah
bergebrak belasan jurus. Kedua orang adalah tunggal guru,
yang dimainkan adalah Kim-na-jiu-hoat (ilmu menangkap dan
memegang) dari perguruan sendiri, walaupun masing-masing
tiada maksud melukai lawannya, tapi terpaksa juga mesti
mengeluarkan segenap kepandaian.
Sebagai saudara seperguruan mereka sudah berpisah 20-an
tahun, selama itu walaupun pernah bertemu beberapa kali, tapi
belum pernah menyaksikan sampai di mana kemajuan ilmu
silat masing-masing. Sekarang kedua orang mendadak
bergebrak dengan sama kuatnya, mau tak mau dalam hati
masing-masing juga memuji akan kemajuan lawannya.
Belasan tojin yang duduk di meja-meja lain sementara itu juga
telah mengikuti pertarungan Tiong-hi dan Bin Ju. Tojin-tojin itu
adalah jago-jago terkemuka semua, mereka pun tahu selama
belasan tahun ini nama Ciok Jing dan Bin Ju sangat menonjol di
dunia Kangouw, sekarang menyaksikan Nyonya Ciok itu
berebut medali tembaga dengan Tiong-hi secara diam-diam,
nyonya itu telah memperlihatkan segenap intisari ilmu silatnya
dari perguruan mereka, maka tojin -tojin itu merasa sangat
kagum dan gegetun. Ternyata di antara mereka tiada seorang
pun yang sadar bahwa di atas kepala mereka masih ada
sepasang mata yang lain sedang mengikuti perebutan medali
itu.

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada belasan jurus permulaan kekuatan Bin Ju dan Tiong-hi
boleh dikata sembabat. Namun sebelah tangan Nyonya Ciok itu
memegang dua buah medali sehingga tangan kanan itu cuma
dapat menggunakan kepalan saja dan jarinya tak dapat
dimanfaatkan. Lantaran demikian, Kim-na-jiu-hoat yang paling
bagus menjadi tak dapat dimainkan dengan sempurna.
Sesudah beberapa jurus pula, dengan lwekang yang kuat
tangan kiri Tiong-hi berhasil memaksa lengan kiri Ciok-hujin ke
bawah, berbareng tangan kanannya sudah menyambar dan
sudah dapat menyentuh medali-medali yang tergenggam di
tangan nyonya itu. Bin Ju insaf sekali ini pasti susah dipertahankan lagi. Jika ia
menggenggam terus dan sama-sama mengadu lwekang,
pertama kurang pantas dilihat orang banyak, kedua dirinya
betapa pun adalah wanita, dalam hal lwekang tentu tidak
sekuat Tiong-hi. Segera ia mengendurkan tangannya sehingga
kedua bentuk medali dibiarkan jatuh. Dengan jalan demikian ia
berharap sang suami yang duduk di sisinya akan dapat
menyambar benda-benda itu.
Di luar dugaan, baru saja Ciok Jing hendak menjulurkan
tangannya, sekonyong-konyong dua rangkum yang keras telah
menyambar ke mukanya. Kiranya Thian-hi yang telah
menolaknya dengan kedua tangan. Kedua rangkum angin itu
sangat kuat, kalau tidak ditangkis tentu akan terluka parah.
Maka terpaksa ia angkat tangan untuk menangkis. Dan karena
sedikit ayal itulah, Ciau-hi Tojin yang duduk di sebelah Thian-hi
telah dapat menyambar kedua medali tembaga itu.
Begitu medali-medali itu jatuh di tangannya Ciau-hi, serentak
Ciok Jing suami-istri, Thian-hi dan Tiong-hi lantas bergelak
tertawa dan berhenti bergebrak.
Tiong-hi dan Ciau-hi lantas membungkuk tubuh dan berkata,
"Harap Sute dan Sumoay suka memaafkan."
Cepat Ciok Jing dan Bin Ju membalas hormat, kata Ciok Jing,
"Mengapa kedua Suheng berkata demikian, justru Siaute
berdua yang telah berlaku kasar. lwekang yang telah dicapai
Ciangbun-suheng ternyata sedemikian tingginya dan berpuluh
kali lebih kuat daripada Siaute, rasanya perjalanan ini
walaupun berbahaya, tapi untuk meloloskan diri saja dengan
selamat rasanya juga bukan tiada harapan."
Kiranya sesudah bergebrak tadi, Ciok Jing telah mengetahui
lwekang sang suheng ternyata jauh lebih tinggi daripada
dirinya, maka semangatnya yang sok jagoan tadi lantas lenyap
sebagian besar. Dengan tersenyum getir Thian-hi lantas menjawab, "Ya,
semoga terkabul menurut doa Sute itu. Terima kasih. Marilah,
silakan minum!" Lalu ia mengangkat cawan dan menenggaknya hingga habis.
Meski Siang-jing-koan adalah tempat beribadat, tapi mereka
tidak pantang minum arak dan makan barang berjiwa.
Dalam pada itu Ciok Boh-thian yang menyaksikan Bin Ju tak
berhasil merebut kedua medali tembaga yang tidak diketahui
apa gunanya itu, karena teringat kepada kebaikan Nyonya Ciok
dahulu, maka diam-diam ia telah merancang, "Tosu itu telah
merebut medali-medali tembaga, sebentar aku akan
merebutnya pula untuk dihadiahkan kepada Ciok-hujin."
Sementara itu sesudah saling mengangkat gelas dan habis
minum, lalu Ciok Jing berbangkit dan berkata, "Kuharap
perjalanan Suheng nanti takkan mengalami sesuatu halangan
sehingga dapat pulang dengan selamat. Siaute sendiri karena
urusan seorang anakku kena diculik orang dan sekarang buruburu
ingin pergi menolongnya sehingga tidak sempat bicara
lebih lama dengan para Suheng dan Sute, maka sukalah para
Suheng memaafkan, sekarang juga kami mohon diri."
Mendengar itu, para tosu terperanjat. Kata Thian-hi, "Kabarnya
putra Sute belajar di tempat Swat-san-pay, dengan nama Sute
suami-istri, ditambah pengaruh Swat-san-pay yang besar,
masakah ada manusia yang begitu kurang ajar dan berani
menculik putramu?" Ciok Jing menghela napas, sahutnya, "Urusan ini terlalu
panjang untuk diceritakan, soalnya juga karena salah Siaute
sendiri yang tidak pandai mendidik anak, maka akibat yang
ditimbulkan anak yang menyeleweng itu tidaklah dapat
menyalahkan orang lain."
Hendaklah maklum bahwa Ciok Jing adalah seorang yang
bijaksana, walaupun Hian-soh-ceng, kediamannya yang megah
itu, telah dibakar habis oleh Pek Ban-kiam, tapi ia tahu sebab
musababnya adalah kesalahan di pihaknya sendiri, maka dia
tidak menaruh dendam kepada Swat-san-pay.
Di antara para tosu itu, Tiong-hi terhitung orang yang paling
simpatik, dengan suara lantang ia lantas berseru, "Sute dan
Sumoay, jika musuh berani menculik putramu, itu berarti dia
pun memandang rendah kepada Siang-jing-koan. Tak peduli
tokoh macam apa penculik itu, biarpun suhengmu ini tidak
becus juga pasti akan memberi bantuan padamu."
Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Sedangkan
putramu diculik orang, tapi kau toh perlukan datang ke tempat
perguruan yang sedang menghadapi kesukaran, hal ini
menandakan betapa baik budi Sute berdua. Untuk ini masakah
kami tidak mempunyai perasaan dan berpeluk tangan
membiarkan Sute mengalami kesukaran sendiri?"
Ia sangka kalau penculik itu sudah tidak gentar kepada Ciok
Jing suami-istri dan tidak takut kepada orang-orang Swat-sanpay
yang berpengaruh itu, maka penculik itu tentulah seorang
tokoh yang sangat lihai. Sama sekali tak terpikir olehnya
bahwa orang yang menangkap putranya Ciok Jing itu justru
adalah kaum Swat-san-pay.
Pertama memang Ciok Jing tidak ingin perbuatan sang putra
yang merusak nama keluarganya diketahui orang luar, apalagi
sekarang Siang-jing-koan sendiri sedang menghadapi
kesulitan, tentu saja ia lebih-lebih tidak ingin para suheng itu
mengikat permusuhan baru dengan pihak lain lagi. Maka cepat
ia menjawab, "Maksud baik para Suheng dan Sute, sungguh
kami merasa terima kasih tak terhingga. Cuma persoalan ini
sekarang masih harus diselidiki dulu dengan lebih jelas, biarlah
kelak bilamana urusan sudah agak jelas, jikalau Siaute berdua
merasa kurang kuat, dengan sendirinya kami akan pulang
kemari untuk minta bantuan."
"Baiklah jika demikian halnya," ujar Tiong-hi. "Tatkala mana
Sute juga tidak perlu datang sendiri, asalkan menyampaikan
sedikit berita saja tentu seluruh isi Siang-jing-koan akan
dikerahkan." Ciok Jing dan Bin Ju memberi hormat dengan ucapan terima
kasih. Tapi di dalam hati diam-diam merasa berduka, mereka
tahu dosa putranya, andaikan anak itu akan dicincang atau
digantung oleh Swat-san-pay, mau tak mau mereka hanya bisa
menerima nasib saja dan tidak nanti minta pertolongan kepada
Siang-jing-koan. Begitulah Ciok Jing berdua lantas mohon diri, mereka diantar
keluar oleh Thian-hi, Tiong-hi dan lain-lain.
Melihat semua orang sudah keluar agak lama, segera Ciok Bohthian
melompat keluar dari tempat sembunyinya, ia melompat
ke atas rumah dan melintasi pagar tembok. Pikirnya, "Ciokcengcu
dan Ciok-hujin mengatakan putra mereka telah diculik
orang, entah siapakah yang melakukan perbuatan itu" Tentang
medali-medali tembaga itu tampaknya hanya benda permainan
yang tiada artinya, dapat direbut atau tidak, tidaklah menjadi
soal, sebaliknya tentang putranya yang diculik itu aku harus
bantu mencarikannya untuk membalas budi kebaikan Ciokhujin
padaku. Ya, bila aku dapat menolong kembali putranya,
tentu dia akan sangat gembira. Biarlah aku menyusulnya untuk
tanya siapakah nama putranya itu, berapa umurnya dan
bagaimana rupanya agar aku dapat mencarinya."
Ia coba melompat ke atas pohon yang tinggi, ia lihat belasan
buah lampu kerudung dalam dua baris sedang bergerak ke
sebelah sana, kiranya para tosu sedang mengantar Ciok Jing
dan Bin Ju keluar kompleks kelenteng.
Pikir Boh-thian, "Kuda tunggangan Ciok-cengcu berdua sangat
cepat larinya, ada lebih baik aku mendahuluinya mencegat
mereka di depan sana."
Sesudah membedakan arah yang akan dituju Ciok Jing suamiistri,
segera ia melompat turun dan mendahului berangkat
melalui lereng bukit. Tak terduga, belum lagi beberapa jauh ia meninggalkan
kompleks kelenteng itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan
orang, "Siapa itu" Lekas berhenti!"
Bahwasanya dengan lwekang Ciok Boh-thian yang tinggi itu, ia
sembunyi di atas papan pigura dengan menahan napas
sehingga sama sekali tidak diketahui oleh siapa pun juga. Tapi
sekarang begitu dia angkat kaki dan berlari, seketika imamimam
Siang-jing-koan yang bukan kaum keroco itu lantas
mengetahui tempat mereka telah kemasukan orang luar.
Semula mereka pun masih tinggal diam saja, tapi begitu Ciok
Jing dan Bin Ju sudah agak jauh, segera mereka menyusul dan
menggerebek Ciok Boh-thian dari berbagai jurusan.
Dalam kegelapan mendadak Ciok Boh-thian merasa hawa
pedang yang dingin, tahu-tahu dua orang tojin sudah
mengadang di depannya dengan pedang terhunus dan
memancarkan sinar yang gemerlapan. Samar-samar ia melihat
seorang di antaranya tak-lain-tak-bukan adalah Ciau-hi.
Ia menjadi girang, segera ia bertanya, "Apakah Ciau-hi Tojin di
situ?" Ciau-hi melenggong, ia pikir kiranya orang sudah
mengenalnya. Segera ia menjawab, "Ya, betul. Siapakah
saudara ini?" Tanpa banyak cincong lagi Boh-thian lantas berkata sambil
mengangsurkan tangan, "Berikan medali-medali tembaga tadi
padaku!" Ciau-hi menjadi gusar. "Terimalah ini!" bentaknya, berbareng
pedangnya terus menusuk ke paha Ciok Boh-thian.
Kaum Siang-jing-koan mempunyai peraturan yang keras, yaitu
tidak boleh sembarangan membunuh. Sekarang asal-usul pihak
lawan belum jelas, walaupun begitu datang Ciok Boh-thian
lantas minta medali tembaga apa segala, namun serangan
Ciau-hi itu toh tidak diarahkan ke tempat yang berbahaya.
Dengan cepat Boh-thian dapat mengegos, berbareng tangan
kanan balas mencengkeram pundak lawan.
Melihat gerak-gerik Boh-thian sangat cekatan, Ciau-hi tidak
berani ayal lagi, pedang berputar terus menusuk pula ke bahu
kanan lawan. Lekas-lekas Boh-thian mendakkan tubuh dan menggeser ke
samping, berbareng tangan kanan digunakan menyampuk. Di
luar dugaan, kontan Ciau-hi lantas mencium serangkum bau
amis yang memuakkan, kepalanya menjadi pening, seketika ia
roboh terjungkal. Selagi Boh-thian tercengang atas kejadian itu, tiba-tiba pedang
tojin kedua sudah menusuk dari belakang.
Sekarang Boh-thian sudah tahu bahwa telapak tangannya
sendiri itu rada-rada ajaib, asal memukul tentu akan
membinasakan orang, maka ia tidak berani balas menyerang
lagi, lekas-lekas ia melompat ke depan. Namun sudah kasip
sedikit, "bret", bajunya telah terobek satu garis, bahkan
kulitnya juga tergores sedikit.
Meski ilmu silat tojin itu lebih rendah daripada Ciau-hi, tapi
karena melihat Ciau-hi telah dirobohkan lawan dengan cara
yang tak jelas, maka buru-buru ia ingin menolong sang
suheng, pedangnya berputar dengan kencang, ia serang Bohthian
dengan gencar. Karena tak berani balas memukul, terpaksa Boh-thian berusaha
menghindar. Pada suatu kesempatan ia dapat menjemput
pedang Ciau-hi yang terlempar di atas tanah itu. Ia lihat musuh
masih terus menyerang tanpa kenal ampun, segera ia pun
memutar pedang itu sebagai gantinya golok, ia mainkan Kimoh-
to-hoat yang lihai itu. "Trang", sekaligus ia tangkis pergi
pedang lawan yang sedang menusuk.
Karena tenaga dalam Ciok Boh-thian yang luar biasa kuatnya
itu, tojin itu tidak mampu memegangi pedangnya lagi, senjata
itu terlepas dan mencelat dari cekalannya. Tapi ilmu silat kaum
Siang-jing-koan tidak melulu dalam hal ilmu pedang saja, Kimna-
jiu-hoat juga merupakan salah satu kepandaian tunggal
yang disegani di dunia persilatan.
Maka begitu kehilangan senjata, tojin itu tidak menjadi gentar,
sebaliknya ia terus menubruk maju malah, kedua tangannya
yang mirip cakar itu terus mencengkeram dada dan perut Ciok
Boh-thian. Dengan cara pertarungan dari jarak dekat ini, pihak
lawan yang berpedang menjadi sukar untuk menggunakan
senjatanya. "Hei, jangan, jangan!" demikian Boh-thian berteriak-teriak
gugup karena musuh menyeruduk dengan nekat. Berbareng
tangan kirinya terus menyampuk untuk mendorong pergi tojin
itu. Pada saat dia sudah mengeluarkan tenaga, dengan sendirinya
racun jahat yang mengeram di tubuhnya itu juga sudah ikut
terkumpul di telapak tangannya. Maka sekali tangannya
mendorong, kontan saja tojin itu pun roboh terkulai.
"Ai, ai! Sesungguhnya aku toh tidak ingin membikin celaka
kau!" seru Boh-thian sambil banting-banting kakinya sendiri
dengan penuh menyesal. Dalam pada itu terdengar suara suitan yang sahut-menyahut,
para tosu sudah makin mendekat. Cepat Boh-thian meraba
sakunya Ciau-hi, benar juga kedua medali tembaga dapat
diketemukannya. Segera ia masukkan benda-benda itu ke
dalam bajunya sendiri, lalu angkat langkah seribu menuju ke
jurusan yang ditempuh Ciok Jing dan istrinya.
Sekaligus tanpa berhenti ia terus berlari sampai belasan li
jauhnya, tapi sama sekali tak terdengar suara larinya kuda.
Pikirnya, "Apa barangkali kuda-kuda tunggangan Ciok-cengcu
dan Ciok-hujin itu sedemikian cepatnya sehingga aku tidak
dapat mendahului mereka" Atau, jangan-jangan aku telah
salah ambil arah, mereka tidak melalui jalan besar ini, tapi
mengambil jurusan lain?"
Setelah berlari beberapa li lagi, tiba-tiba terdengar suara kuda
meringkik. Cepat Boh-thian memandang ke arah suara kuda
itu, dari jauh dapat dilihatnya di bawah sebatang pohon
tertambat dua ekor kuda, seekor hitam dan seekor lagi putih.
Terang itulah kuda-kuda tunggangan Ciok Jing berdua.
Boh-thian sangat girang, segera ia mengeluarkan kedua medali
tembaga dan disiapkan di tangan. Baru saja ia hendak pentang
mulut untuk menyapa, sekonyong-konyong terdengar suara
Ciok Jing sedang bicara di kejauhan, "Adik Ju, maling kecil itu
secara sembunyi-sembunyi telah menguntit kita, tentu dia


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak bermaksud baik, bolehlah kau bereskan dia saja."
Keruan Boh-thian terperanjat, disangkanya Ciok Jing tidak suka
dikintil olehnya. Anehnya suara Ciok Jing terdengar dengan
jelas, tapi orangnya tidak kelihatan. Ia menjadi khawatir kalauKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
kalau Ciok-hujin melabrak dirinya dan terpaksa ia harus balas
menyerang, lalu nyonya baik itu juga terpukul mati, kan urusan
bisa runyam. Maka cepat ia menyusup dan sembunyi di tengah alang-alang
yang lebat. Ia pikir Bin Ju pasti akan memburu ke situ, jika
demikian ia akan melemparkan medali-medali tembaga tadi
kepada nyonya itu, lalu ia akan melarikan diri.
Tiba-tiba terdengar suara berkeresek, sesosok bayangan orang
telah melompat keluar dari balik pohon di sebelah sana,
dengan pedang terhunus orang itu menuding ke tengah semaksemak
sambil membentak, "He, anak muda, untuk apa kau
menguntit kami" Hayo lekas keluar!"
Itulah suaranya Bin Ju. Baru saja Boh-thian hendak menjawab, sekonyong-konyong
dari tengah semak-semak rumput menyambar keluar tiga titik
sinar, ada orang sedang menyerang Bin Ju dengan senjata
rahasia. Ketika Bin Ju mengayun pedangnya dan baru saja
senjata-senjata rahasia itu disampuk jatuh, cepat dari semaksemak
rumput telah melompat keluar seorang laki-laki berbaju
hijau, dengan golok laki-laki itu lantas membacok Bin Ju.
Kejadian ini benar-benar di luar dugaan Boh-thian, sama sekali
tak terpikir olehnya bahwa di tengah semak-semak rumput itu
tersembunyi orang lain pula.
Dilihatnya gerakan laki-laki itu cukup gesit, golok diputar
dengan kencang. Bin Ju hanya menangkis seperlunya saja dan
tidak balas menyerang. Sementara itu Ciok Jing juga sudah muncul dari balik pohon
sana, ia hanya menonton saja dengan berpangku tangan.
Setelah mengikuti beberapa jurus, tiba-tiba ia menegur, "He,
kau, bukankah kau ini muridnya Loh Cap-pek dari Thay-san?"
"Kalau betul mau apa?" bentak orang itu, goloknya sedikit pun
tidak kendur. "Walaupun Loh Cap-pek tiada persahabatan dengan kami, tapi
juga tidak bermusuhan," kata Ciok Jing. "Kau sudah menguntit
kami beberapa li jauhnya, apa maksud tujuanmu yang
sebenarnya?" "Aku tidak sempat menjelaskan...." sahut laki-laki itu. Kiranya
Bin Ju tampaknya seperti seenaknya saja melayani seranganserangan
lawan, tapi sebenarnya laki-laki itu sudah terdesak
sehingga kelabakan. Maka Ciok Jing berkata pula dengan tertawa, "Ilmu golok Loh
Cap-pek jauh lebih tinggi daripada kami, tapi tampaknya kau
belum lagi ada tiga bagian mempelajari kepandaian suhumu
itu. Nah, lepas senjata dan berdiri saja di situ!"
Mendengar ucapan Ciok Jing ini, kontan pedang Bin Ju juga
tepat menusuk pergelangan laki-laki itu. Sedikit berputar ke
samping, Bin Ju putar gagang pedangnya untuk mengetok,
dengan tepat hiat-to di punggung orang lantas ditutuknya.
"Trang", golok laki-laki itu jatuh ke tanah, sedangkan tubuhnya
sudah tak bisa berkutik lagi.
"Kau she apa, sahabat?" tanya Ciok Jing dengan tersenyum.
Namun orang itu sangat kepala batu, biarpun terancam dia
tetap tidak gentar. Bahkan dengan galak ia menjawab, "Mau
bunuh boleh bunuh, buat apa banyak bicara?"
"Jika sahabat tidak mau bicara juga tidak menjadi soal," ujar
Ciok Jing dengan tertawa. "Kau telah ikut di dalam organisasi
mana" Agaknya gurumu tidak mengetahui, bukan?"
Laki-laki itu mengunjuk rasa sangsi dan heran, ia pikir dari
manakah orang mengetahui seluk-beluk tentang dirinya"
Maka Ciok Jing menyambung lagi, "Cayhe tiada pernah
bermusuhan dengan gurumu, andaikan dia benar-benar
mengirim orang untuk menguntit kami, hehe, untuk bicara
terus terang, rasanya gurumu masih cukup menghormati kami
dan takkan mengutus orang semacam saudara."
Di balik kata-katanya ini Ciok Jing ingin mengatakan bahwa
ilmu silatmu terlalu rendah, tidaklah mungkin gurumu
mengirim seorang keroco seperti kau ini.
Keruan muka orang itu menjadi merah jengah, untung dalam
keadaan gelap sehingga tidak dilihat orang lain.
Ciok Jing lantas menepuk dua kali di pundak laki-laki itu,
katanya, "Kami suami-istri selamanya suka blakblakan dalam
segala hal. Jika kau ingin tahu jejak kami, tiada halangannya
kami memberitahukan secara terus terang. Kami tadi baru
datang dari menyambangi Thian-hi Totiang di Siang-jing-koan.
Bolehlah kau pulang dan tanya kepada gurumu, tentu kau akan
tahu bahwa di waktu mudanya Ciok Jing dan Bin Ju pernah
belajar silat di Siang-jing-koan dan Thian-hi Totiang adalah
suheng kami. Sekarang kami hendak berangkat ke Leng-siausia
di Swat-san untuk menemui Wi-tek Siansing, ciangbunjin
dari Swat-san-pay. Nah, jika sahabat tiada sesuatu yang perlu
ditanyakan lagi bolehlah silakan pergi saja."
Sesudah pundaknya ditepuk, segera laki-laki itu merasa
badannya bisa bergerak lagi. Di samping malu ia menjadi
kagum juga. Ia memberi hormat dan menjawab, "Ciok-cengcu
ternyata berbudi luhur dan tidak bernama kosong, maafkan
tadi aku telah mengganggu."
Habis berkata, goloknya yang jatuh tadi pun tidak berani
dijemput kembali, segera ia putar tubuh dan melangkah pergi.
Baru beberapa tindak orang itu berjalan, tiba-tiba Ciok Jing
berseru pula, "He, sahabat, apakah pangcu kalian sudah
diketemukan?" Orang itu terkejut. "Jadi... jadi kau sudah tahu semua?"
sahutnya dengan terputus-putus sambil berpaling.
"Ah, tidak, aku tidak tahu," kata Ciok Jing sambil menghela
napas perlahan. "Jadi belum ada beritanya, ya"
"Ya, belum ada," sahut laki-laki itu sambil menggeleng.
"Kami suami-istri juga ingin mencari dia," kata Ciok Jing pula.
Untuk sejenak ketiga orang berdiri terpaku berhadapan,
kemudian orang itu membalik tubuh dan melanjutkan
perjalanannya. "Engkoh Jing, apakah dia orang Tiang-lok-pang?" tanya Bin Ju
sesudah orang itu pergi agak jauh.
Hati Ciok Boh-thian tergetar demi mendengar "Tiang-lok-pang"
disebut. Bab 29. Ciok Jing Suami-Istri Difitnah Meracuni
Dalam pada itu terdengar Ciok Jing telah menjawab, "Tadi
waktu dia berputar tubuh dan menarik jubahnya, lapat-lapat
aku melihat ujung bajunya itu tersulam setangkai bunga
kuning, maka aku coba-coba menegurnya, dan ternyata
memang betul. Sebabnya dia menguntit kita kiranya... kiranya
adalah anak Giok. Tahu begitu, tentu tadi kita tak perlu
membikin susah padanya."
"Tampaknya mereka... mereka sangat setia kepada anak Giok,"
ujar Bin Ju. "Ya, anak Giok kena diculik oleh Pek Ban-kiam, tentu saja
orang-orang Tiang-lok-pang disebarkan untuk mencegat di
mana-mana," ujar Ciok Jing. "Jumlah mereka sangat banyak,
hubungan luas dan pengaruh besar, tak tersangka toh tetap
tiada mendapatkan sesuatu berita apa-apa."
"Dari... dari mana kau mengetahui tiada sesuatu berita apaapa?"
kata Bin Ju dengan sedih.
Dengan penuh kasih sayang Ciok Jing memegang tangan sang
istri, katanya dengan lembut, "Adik Ju, bila mereka sudah
mendapat berita tentang anak Giok, tentu mereka takkan
menyebarkan orang ke mana-mana untuk mengikuti jejak
tokoh-tokoh Kangouw. Murid Loh Cap-pek tadi tanpa sebab
telah menguntit kita, selain ingin mencari tahu jejak pangcu
mereka rasanya tiada maksud tujuan lain lagi."
Tempat di mana Ciok Jing dan Bin Ju berada itu jaraknya kirakira
beberapa meter dari tempat sembunyi Ciok Boh-thian.
Walaupun suara bicara Ciok Jing tidak keras, tapi cukup jelas
didengar oleh pemuda itu.
Sebenarnya dengan kepandaian Ciok Jing suami-istri yang
tinggi, waktu datangnya Boh-thian tadi tentu akan diketahui
oleh mereka. Cuma waktu itu mereka lagi mencurahkan
perhatian kepada laki-laki murid Loh Cap-pek yang selalu
menguntit itu, ditambah lagi lwekang Boh-thian sekarang
sudah sangat tinggi, langkahnya enteng tak bersuara, sebab
itulah sehabis Ciok Jing menyelesaikan urusan laki-laki itu,
sama sekali mereka tidak menduga bahwa di tengah semaksemak
sana masih sembunyi seorang lain lagi.
Dari percakapan Ciok Jing berdua itu, Boh-thian mendengar
tentang Pangcu Tiang-lok-pang yang diculik Pek Ban-kiam yang
maksudnya rasanya seperti dirinya, tapi "anak Giok" apa segala
toh bukanlah dirinya. Memangnya dalam benak Ciok Boh-thian telah penuh tanda
tanya mengenai asal usulnya sendiri, kalau sekarang
mendadak ia keluar dari tempat sembunyinya tentu juga
kurang pantas. Maka ia lantas diam saja untuk mendengarkan
lebih lanjut. Saat itu adalah malam yang gelap, suara serangga dan katak
mulai bergema, angin pun meniup mendesis-desis, sebaliknya
Ciok Jing suami-istri pun tidak bicara lagi.
Karena khawatir jejaknya diketahui, maka Ciok Boh-thian
sampai bernapas pun tidak berani terlalu keras. Selang agak
lama barulah didengarnya nyonya Ciok menghela napas,
menyusul terdengar suara tersedu-sedu yang perlahan.
Lalu terdengar Ciok Jing telah berkata, "Adik Ju, selama kita
merantau di kalangan Kangouw belum pernah kita melakukan
sesuatu yang jahat. Beberapa tahun terakhir ini demi
keselamatan anak Giok bahkan kita lebih banyak menjalankan
kebajikan. Kalau sudah begini kita masih diharuskan tidak
mempunyai keturunan maka apa mau dikata lagi bilamana
memang sudah suratan nasib, apalagi anak durhaka sebagai
anak Giok itu ada lebih baik kita anggap tidak mempunyai anak
saja, sudah." "Meski anak Giok memang agak nakal sejak kecil, tapi dia... dia
tetap jantung hati kita," ujar Bin Ju dengan suara lembut.
"Hanya karena anak Kian telah tewas dengan mengenaskan di
tangan orang, kita menjadi lebih memanjakan anak Giok dan
mengakibatkan gara-gara seperti sekarang ini, namun...
namun aku tetap takkan membencinya. Tempo hari waktu di
kelenteng kecil itu bukankah dia belum seburuk sebagaimana
kita sangka" Jika aku tidak... tidak salah melukai dia, tentu...
tentu takkan...." sampai di sini suaranya menjadi tergugukguguk,
rupanya ia sangat menyesal dan berduka.
"Sudah kukatakan janganlah kau sedih atas kejadian itu,
andaikan tempo hari kita dapat menyelamatkan dia, toh tidak
mustahil akan direbut lagi oleh mereka," kata Ciok Jing.
"Urusan ini pun sangat aneh, ke manakah perginya orangorang
Swat-san-pay ini, mengapa mendadak telah menghilang
semua dan tiada berita apa-apa lagi di dunia persilatan
Tionggoan. Adik Ju, besok juga kita berangkat langsung ke
Leng-siau-sia. Setiba di sana, baik atau buruk tentu kita akan
mendapat keterangan yang jelas."
"Tanpa beberapa pembantu yang kuat, apakah kita mampu
menyelamatkan anak Giok dari sarang harimau sebagai Lengsiau-
sia itu?" ujar Bin Ju.
"Untuk menolong orang di sana memang tidaklah gampang,"
kata Ciok Jing. "Harapan kita hanya mencegatnya di tengah
jalan, tapi sekali anak Giok sudah berada di Leng-siau-sia,
maka itu berarti kambing sudah masuk ke dalam mulut
harimau." "Kukira dalam urusan ini juga tidak seluruhnya anak Giok yang
bersalah," kata Bin Ju. "Lihatlah Swat-san-kiam-hoat yang
dimainkan anak Giok itu sedemikian ceteknya, tentu karena
Swat-san-pay tidak mengajarkan dia dengan sungguhsungguh.
Anak Giok adalah pemuda yang angkuh dan tinggi
hati pula, mungkin di sana ia telah banyak mengikat
permusuhan. Tentu selama beberapa tahun ini dia telah sangat
menderita lahir batin."
"Ya, semuanya adalah karena salahku, sungguh aku sangat
menyesal," kata Ciok Jing. "Dahulu waktu aku memutuskan
akan mengirim dia belajar kepada Swat-san-pay, walaupun kau
tidak membantah, tapi kutahu di dalam hati kau merasa sangat
berat. Sungguh tidak nyana Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li
yang sedemikian terhormat, persahabatannya dengan kita juga
begini baik, ternyata anak Giok telah disia-siakan di sana."
"Engkoh Jing, urusan ini mana boleh menyalahkan kau," ujar
Bin Ju. "Maksudmu mengirim anak Giok ke Leng-siau-sia
adalah demi kebaikanku, walaupun kau tidak menjelaskan juga
aku tahu sendiri. Kau tahu bahwa untuk membalas sakit hati
anak Kian melulu tenagaku sendiri tentu tidak berhasil, sampai
pada saat yang menentukan juga kau tidak enak ikut campur,
ditambah lagi pihak musuh terlalu hafal akan ilmu silat
perguruan kita, tentu dia sudah mempunyai cara untuk
mengalahkan kita. Tapi kalau anak Giok berhasil mempelajari
Swat-san-kiam-hoat, dengan bahu-membahu kami ibu dan
anak tentu mampu membinasakan musuh. Siapa tahu... siapa
tahu... ai!" Ciok Boh-thian dapat mengikuti percakapan Ciok Jing dan Bin
Ju itu, tapi sebagian besar ia merasa tidak paham dan bingung.
Hanya terpikir olehnya, "Nasib nyonya Ciok sungguh malang,
sedemikian sedih dia merindukan anaknya itu. Agaknya
anaknya telah ditawan orang Swat-san-pay dan dibawa ke
Leng-siau-sia, biarlah aku ikut mereka ke sana dan bila perlu
akan kubantu mereka. Bukankah tadi dia mengatakan ingin
mencari beberapa pembantu?"
Tengah merenung, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara
derapan kuda yang ramai dari kejauhan, ada belasan ekor kuda
sedang lari mendatangi dengan cepat. Rupanya Ciok Jing
berdua juga sudah dengar, mereka tidak bicara lagi, tapi duduk
dengan diam saja. Selang tidak lama, suara derapan kuda makin mendekat, lalu
ada orang berseru, "Itu dia, di sini!"
Menyusul ada orang berseru pula, "Ciok-sute, Bin-sumoay,
kami ingin bicara dengan kalian!"
Ciok Jing dan Bin Ju mengenali suara Tiong-hi Tojin itu, mereka
agak heran, tapi lantas melompat maju. Seru Ciok Jing, "Tionghi
Suheng, apakah telah terjadi sesuatu?"
Maka tertampaklah Thian-hi, Tiong-hi, dan belasan suheng dan
sute dari Siang-jing-koan itu semuanya berkuda, dua tojin di
antaranya masing-masing memondong sesosok tubuh. Karena
keadaan gelap sehingga tubuh-tubuh siapakah itu tidaklah
jelas.

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan pada yang gugup dan kasar Tiong-hi lantas menegur,
"Ciok... Ciok-sute dan Bin-sumoay, kalian tidak berhasil
merebut kedua medali pengganjar dan penghukum di dalam
kelenteng, mengapa lantas menggunakan tipu muslihat untuk
merebutnya pula" Urusan kedua medali tembaga itu tidak
menjadi soal, tapi mengapa kalian memakai cara keji terhadap
Ciau-hi dan Thong-hi Sute, perbuatan kalian ini sungguh...
sungguh tidak patut."
Ciok Jing dan Bin Ju terkejut semua mendengar uraian itu.
Cepat Ciok Jing bertanya, "Ciau-hi dan Thong-hi Suheng
telah... telah mengalami cedera" Mengapa... mengapa bisa
terjadi demikian" Apakah jiwa kedua suheng itu berbahaya?"
Karena mengkhawatirkan keselamatan kedua suheng itu,
seketika juga Ciok Jing tidak sempat mendebat dan membela
diri atas tuduhan Tiong-hi tadi.
Tapi dengan marah-marah Tiong-hi berkata pula, "Entah kau
telah bersekongkol dengan kaum pengecut yang tidak kenal
malu sehingga berani menggunakan racun yang keji. Walaupun
kedua sute belum lagi binasa, tapi keadaan mereka sekarang
rasanya juga tidak berbeda banyak."
"Harap Suheng jangan marah dulu, coba kuperiksa mereka,"
kata Ciok Jing sambil melangkah maju hendak melihat keadaan
Ciau-hi dan Thong-hi. Tapi lantas terdengar suara "sret-sret" di sana-sini, beberapa
tojin sudah melolos pedang dan mengadang di depan Ciok Jing.
Dengan menghela napas Thian-hi lantas berkata,
"Menyingkirlah kalian! Ciok-sute bukanlah manusia semacam
itu." Para tojin itu mendengus, lalu menurunkan pedang dan
memberi jalan. Segera Ciok Jing mengeluarkan geretan api untuk menerangi
muka Ciau-hi dan Thong-hi. Maka terlihatlah wajah kedua tojin
itu hitam gelap, itulah memang tanda-tanda terkena racun.
Waktu pernapasan mereka diperiksa, ternyata denyut
jantungnya sangat lemah, jiwa mereka sudah tinggal sesaat
dua saat saja. Hendaklah maklum bahwa ilmu silat Siang-jing-koan
mempunyai gayanya tersendiri dan mempunyai kelebihan
daripada ilmu silat golongan lain. Ciau-hi dan Thong-hi Tojin
semuanya memiliki lwekang yang cukup tinggi, sedangkan
pukulan berbisa Ciok Boh-thian tidak langsung mengenai tubuh
mereka, maka kedua tojin itu cuma jatuh pingsan terkena
hawa berbisa yang tertolak keluar dari telapak tangan Ciok
Boh-thian. Namun demikian, terang ajal mereka pun takkan
tahan lebih lama daripada satu atau setengah jam.
Melihat begitu parah kedua tojin itu keracunan, Ciok Jing
menoleh dan tanya kepada sang istri, "Adik Ju, kau kira orang
dari golongan manakah yang memakai cara sekeji ini?"
Dan karena menolehnya itu, tertampaklah beberapa tojin yang
lain dengan pedang terhunus sudah mengepung mereka
dengan rapat. Tapi Bin Ju anggap tidak tahu saja atas sikap permusuhan para
imam itu. Ia menerima geretan api dari tangan sang suami,
lalu mendekat untuk periksa air muka Ciau-hi dan Thong-hi,
sedikit saja terendus hawa berbisa yang diembuskan dari
pernapasan kedua imam itu, seketika Bin Ju sendiri merasa
kepala pening, cepat ia melangkah mundur.
Setelah memikir sejenak, lalu ia berkata, "Aku belum pernah
melihat racun begini selama merantau. Tolong tanya, Tiong-hi
Suheng, cara bagaimana kedua suheng ini kena racun" Apakah
salah minum obat racun" Atau terkena senjata rahasia musuh
yang berbisa" Apakah tubuh mereka ada bekas luka?"
"Dari mana aku bisa tahu?" sahut Tiong-hi dengan marah.
"Kami justru menyusul ke sini untuk tanya padamu. Kau
perempuan ini tadi tampak mencurigakan, besar kemungkinan
waktu makan-minum tadi, karena tidak berhasil merebut
medali-medali itu, lalu kau menaruh racun di dalam arak. Kalau
tidak, mengapa orang lain tidak keracunan, tapi Ciau-hi Sute
yang mengantongi medali-medali itu justru keracunan"
Sedangkan me... medali-medali itu pun direbut lagi oleh
kalian." Saking gusarnya air muka Bin Ju sampai pucat pasi. Tapi dasar
perangainya memang halus, sejak kecil ia pun sangat sopan
dan menghormati para suheng, maka ia tidak suka bercekcok
mulut dengan mereka, hanya air matanya yang berlinanglinang
dan hampir-hampir menetes.
Ciok Jing tahu di dalam persoalan ini tentu adalah
kesalahpahaman yang besar. Tadi dirinya suami-istri tidak
berhasil merebut medali-medali tembaga itu, habis itu Ciau-hi
lantas keracunan dan kehilangan medali-medali itu. Dalam
keadaan demikian mereka suami-istri memang berada pada
tempat yang harus dicurigai. Ia coba memegang tangan sang
istri dengan maksud menghiburnya agar jangan berduka. Tapi
seketika ia pun bingung dan tak berdaya.
"Aku... aku...." demikian Bin Ju bermaksud membela diri, tapi
hanya kata-kata itu saja yang sanggup diucapkan dan sudah
menangis. "Biarpun kau menangis sampai langit runtuh, memangnya
kedua sute ini dapat kau hidupkan kembali" Huh, kucing
menangisi tikus...." jengek Tiong-hi dengan gusar.
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong di belakang
mereka ada orang berseru, "Mengapa kalian tidak
membedakan hitam atau putih dan sembarangan memfitnah
orang?" Mendengar suara orang yang sangat keras dan kuat itu, para
imam terkejut dan berpaling semua. Maka tertampaklah di
sebelah sana sudah berdiri seorang laki-laki berbaju rombeng
kumal. Tatkala itu fajar sudah mulai menyingsing sehingga
remang-remang wajahnya kelihatan, rupanya usianya masih
sangat muda. Ciok Jing dan Bin Ju menjadi girang demi melihat pemuda itu.
Bin Ju sampai berteriak, "Ha... kau...." syukurlah
pengalamannya cukup luas sehingga kata-kata "anak Giok"
tidak sampai terucapkan. Pemuda itu memang betul Ciok Boh-thian adanya. Dia
sembunyi di dalam semak alang-alang dan mendengarkan para
imam itu menuduh Ciok Jing berdua telah meracuni kedua sute
mereka. Boh-thian menjadi ragu-ragu, kalau dirinya tampil ke
muka, tentu akan bergebrak dengan para imam dan bukan
mustahil pukulan berbisanya akan banyak minta korban lagi,
hal ini sesungguhnya sangat bertentangan dengan pikirannya.
Tapi akhirnya demi melihat Tiong-hi makin garang dan makin
mendesak sehingga Bin Ju sampai menangis, maka Boh-thian
tidak tahan lagi, segera ia keluar dari tempat sembunyinya.
"Siapa kau" Dari mana kau mengetahui kami sembarangan
memfitnah orang?" bentak Tiong-hi segera.
Boh-thian menjawab, "Ciok-cengcu dan Ciok-hujin tidak
mengambil medali-medali tembaga kalian, tapi kalian
bersitegang menuduh mereka, bukankah ini memfitnah secara
ngawur?" "Huh, kau bocah ini tahu apa" Kau berani sembarangan
mengoceh di sini?" bentak pula Tiong-hi sambil melangkah
maju setindak dengan pedang terhunus.
"Sudah tentu aku tahu," sahut Boh-thian. Mestinya ia hendak
mengatakan bahwa sesungguhnya dia yang mengambil medalimedali
itu, tapi terpikir pula bila dikatakan terus terang, tentu
kawanan imam itu akan main rebut lagi, dan kalau tidak
dikembalikan, tentu akan terjadi pertarungan sengit sehingga
terpaksa membunuh orang. Sebab itulah ia pikir lebih baik
tidak dikatakan saja. Di lain pihak hati Tiong-hi juga tergerak, ia pikir boleh jadi
pemuda ini mengetahui seluk-beluk tentang medali-medali itu.
Maka ia lantas tanya, "Habis siapakah yang mengambil medalimedali
itu?" "Pendek kata bukanlah Ciok-cengcu dan Ciok-hujin yang
mengambil." kata Boh-thian. "Kalian telah bersikap kasar
kepada mereka, sampai-sampai Ciok-hujin jadi menangis,
sungguh tidak pantas, lekaslah kalian meminta maaf kepada
Ciok-hujin." Sungguh girang Bin Ju tak terkatakan ketika mendadak melihat
sang putra kesayangan yang dirindukannya siang dan malam
itu, ternyata dalam keadaan selamat tanpa kurang sesuatu apa
pun. Sekarang didengarnya pula pemuda itu menyuruh Tionghi
meminta maaf, terang sekali anak muda itu ingin membela
sang ibu. Bin Ju mempunyai dua orang putra yang telah banyak
menyusahkan orang tua, dan baru sekarang ia mendengar
sang putra mengucapkan kata-kata yang bersifat membela
ibunda, seketika lega dan terhiburlah hatinya, ia merasa jerih
payah dan duka derita yang telah dialaminya selama 20-an
tahun bagi sang putra tidaklah sia-sia.
Melihat wajah sang istri berseri-seri, tapi air matanya
berlinang-linang pula, Ciok Jing dapat memahami pikirannya,
tangan istrinya yang masih dipegangnya itu digenggamnya
lebih kencang lagi. Ia pun berpikir, "Ya, betapa pun jeleknya
kelakuan anak Giok, terhadap ibunya toh dia masih sangat
berbakti." Dalam pada itu Tiong-hi menjadi gusar karena Boh-thian berani
bicara dengan kasar padanya. Dengan suara keras ia
membentak pula, "Siapakah saudara ini" Berdasar apa kau
berani menyuruh aku meminta maaf kepada Ciok-hujin?"
Karena senang hatinya, Bin Ju menjadi anggap sepi terhadap
tuduhan Tiong-hi yang tak berdasar tadi, ia khawatir putranya
bertengkar dengan imam-imam itu sehingga menimbulkan
persengketaan di antara saudara seperguruan sendiri, maka
cepat ia menyela, "Tiong-hi Suheng hanya salah paham saja,
kita adalah orang sendiri semua, asalkan duduknya perkara
dibikin terang, maka tidak perlu bicara tentang minta maaf apa
segala." Lalu ia berpaling kepada Boh-thian dan berkata pula dengan
suara halus, "Para Totiang adalah supek dan susiokmu, lekas
kau menjura kepada mereka."
Terhadap Bin Ju memangnya Ciok Boh-thian mempunyai kesan
baik, sekarang dilihatnya nyonya itu memandangnya dengan
wajah ramah dan penuh kasih sayang, hal ini selama hidupnya
belum pernah diterimanya dari siapa pun juga. Seketika darah
Ciok Boh-thian bergolak, ia merasa biarpun apa yang harus
dilakukannya menurut pesan Bin Ju, sekalipun mati juga tidak
menolak, apalagi cuma disuruh menjura saja.
Maka tanpa pikir lagi ia lantas tekuk lutut dan menjura kepada
Tiong-hi sambil berkata, "Ciok-hujin menyuruh aku menjura
padamu, maka aku lantas menjura!"
Thian-hi, Tiong-hi dan lain-lain sama melengak. Mereka heran
mengapa Ciok Boh-thian sedemikian menurutnya kepada Bin
Ju. Mereka tahu Ciok Jing mempunyai dua orang putra. Yang
satu telah dibunuh oleh musuh, seorang lagi hilang diculik,
maka pemuda ini besar kemungkinan adalah muridnya saja.
Walaupun tabiat Tiong-hi agak berangasan, tapi apa pun juga
dia adalah kaum beribadat, melihat Ciok Boh-thian memberi
hormat padanya, seketika rasa gusarnya lantas mereda. Cepat
ia melompat turun dari kuda dan hendak membangunkan
pemuda itu, katanya, "Ah, janganlah banyak adat!"
Tak tersangka bahwa sekali Ciok Boh-thian sudah disuruh
menjura, maka ia pikir harus menjura benar-benar, waktu
Tiong-hi memayangnya ia tidak lantas bangun.
Dengan sendirinya waktu tangan Tiong-hi memegang bahu
Boh-thian, ia merasa tubuh anak muda itu sangat berat, sedikit
pun tidak bergoyah. Keruan ia menjadi marah lagi, pikirnya,
"Kau anggap aku sebagai orang tua, tapi sekarang kau sengaja
pamer lwekang lagi di hadapanku."
Segera ia menarik napas dalam-dalam dan mengerahkan
tenaga untuk mengangkat ke atas, maksudnya hendak
menjungkirkan Ciok Boh-thian yang bandel itu.
Melihat kuda-kuda Tiong-hi itu, segera Ciok Jing suami-istri
mengetahui apa yang hendak dilakukan sang suheng. Ciok Jing
agak mendongkol atas sikap Tiong-hi itu. Tapi demi mengingat
sang suheng hendak memberi sedikit hajaran kepada putranya,
ya, apa boleh buat, terpaksa membiarkan anak muda itu tahu
rasa sedikit. Sebaliknya Bin Ju lantas berseru, "Perlahan sedikit, Suko!"
Maka terdengarlah suara "Wuuut... bluk", bukannya Ciok Bohthian
yang terangkat, sebaliknya tubuh Tiong-hi sendiri
mencelat ke belakang dan tertumbuk pada kudanya sendiri.
Dengan sempoyongan lekas-lekas Tiong-hi menggunakan ilmu
"Jian-kin-tui" (membikin berat tubuh), dengan demikian
barulah ia dapat berdiri tegak lagi. Namun kudanya yang
tertumbuk itu lantas meringkik dan terjungkal.
Kejadian yang disaksikan orang banyak ini sudah tentu
membuat semua orang terkejut. Ciok Jing dan Bin Ju sendiri
pernah bertanding pedang dengan Ciok Boh-thian di kelenteng
kecil di luar kata Yangciu tempo hari dan mengetahui tenaga
dalam anak muda itu sangat kuat, namun sama sekali tak
terbayang oleh mereka bahwa kekuatan lwekangnya sekarang
sudah memuncak selihai ini, hanya tenaga pentalan saja sudah
membikin tokoh kelas wahid dari Siang-jing-koan mencelat
sendiri. Begitu Tiong-hi sudah berdiri tegak, "sret", segera ia melolos
pedang. Saking gusarnya ia berbalik tertawa. Serunya, "Bagus,
bagus, bagus! Murid didik sute dan sumoay ternyata lain
daripada yang lain, maka biarlah aku belajar kenal beberapa
jurus dengan dia." Habis berkata, kontan ujung pedang lantas menusuk ke dada
Ciok Boh-thian. "Tidak, ti... tidak, aku tak mau berkelahi dengan kau!" seru
Boh-thian sambil goyang-goyang kedua tangannya dan mundur
setindak. Di sebelah lain Thian-hi sudah dapat melihat ilmu silat Ciok
Boh-thian tidak boleh dibuat main-main, ia pikir kalau Tiong-hi
Sute bertempur dengan anak muda ini, kalau menang toh
takkan terpuji, sebaliknya kalau kalah malah akan ditertawai
orang. Sekarang dilihatnya Ciok Boh-thian tidak mau
bertanding, hal ini menjadi kebetulan, maka cepat ia menyela,
"Ya, kita adalah orang sendiri, buat apa bertanding segala"
Andaikan ingin tukar pikiran tentang kepandaian masingKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
masing juga tidak perlu sekarang juga."
"Betul itu," Boh-thian menimpali. "Kalian adalah suheng dan
sutenya Ciok-cengcu, bilamana bergebrak dan aku
membinasakan kalian lagi, wah, kan bisa berabe!"
Maklum, sama sekali Boh-thian tidak tahu adat istiadat orang


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidup, ia khawatir jangan-jangan dalam pertarungan nanti
pukulannya yang berbisa akan membinasakan lawan lagi, maka
ia telah katakan terus terang isi hatinya itu. Tak disangkanya
bahwa ucapannya itu biarpun didengar oleh siapa pun juga
tentu akan menimbulkan rasa murka dan akan melabraknya.
Apalagi imam-imam Siang-jing-koan itu biasanya sangat
menilai tinggi ilmu silat golongan mereka, keruan mereka
menjadi gusar. Begitu pula Ciok Jing lantas membentak juga, "Kau bilang apa"
Jangan sembarang mengoceh!"
Semula Tiong-hi sudah menarik kembali pedangnya dan
hendak menyingkir karena perintah Thian-hi tadi. Tapi demi
mendengar ucapan Ciok Boh-thian yang menghina dan
memandang enteng para imam itu, ia tidak tahan lagi, segera
ia melangkah maju pula dan membentak, "Baik, aku justru
ingin tahu cara bagaimana kau akan membinasakan kami. Nah,
mulailah!" "Tidak, aku tidak mau berkelahi dengan kau," sahut Boh-thian
dengan goyang-goyang kedua tangannya.
Tiong-hi semakin murka, dengusnya, "Hm, jadi kau merasa
tiada harganya buat bergebrak dengan aku"!"
"Sret", kontan ia mendahului menusuk ke bahu anak muda itu.
Karena Boh-thian tidak bersenjata, maka serangan Tiong-hi ini
sengaja ditujukan ke tempat yang tidak berbahaya. Dia adalah
jago pedang terkemuka dari Siang-jing-koan, walaupun
pengalaman tempurnya tidak lebih banyak daripada Ciok Jing
dan Bin Ju, tapi ketangkasannya bahkan melebihi suami-istri
itu. Keruan Boh-thian menjadi kelabakan, ia tidak sempat
mengelakkan diri lagi, "cret", bahunya telah tertusuk sedikit,
kontan darah merembes keluar.
"Aduh!" Bin Ju menjerit khawatir.
Sebaliknya Tiong-hi lantas membentak pula, "Lekas keluarkan
senjatamu!" Namun Boh-thian berpikir, "Kau adalah suhengnya Ciok-hujin,
tadi aku sudah salah membunuh dua orang suhengnya, kalau
sekarang membunuh kau lagi, pertama, tidaklah baik terhadap
Ciok-hujin, kedua, aku pun akan dianggap sebagai orang
jahat." Sebab itulah ia tidak menangkis tusukan Tiong-hi tadi, ia
khawatir kalau tangannya bergerak, bukan mustahil telapak
tangan yang beracun itu akan menimbulkan korban lagi. Maka
kedua tangannya sengaja ditelikungnya di belakang punggung
dan saling genggam dengan erat, betapa pun dibentak Tiong-hi
tetap dia tidak mau mainkan tangannya.
Melihat kelakuan Boh-thian ini, para imam Siang-jing-koan
menyangka dia sengaja menghina, keruan mereka menjadi
marah biarpun biasanya mereka adalah orang yang sabar.
Segera ada yang berseru, "Tiong-hi Suheng, bocah itu terlalu
sombong, berilah hajaran yang setimpal!"
"Apa kau benar-benar tidak sudi bergebrak dengan aku?"
segera Tiong-hi membentak Ciok Boh-thian lagi. "Sret-sret",
kembali ia menyerang pula dua kali.
Saking cepatnya serangan Tiong-hi, dalam hal ilmu pedang
memangnya Boh-thian juga kurang mahir, walaupun
lwekangnya tinggi, tapi tidaklah sanggup menghindar, kontan
lengan kiri dan dada kanan tertusuk pula. Untung Tiong-hi
tidak bermaksud membunuhnya melainkan cuma memaksanya
bergebrak saja, maka tusukan-tusukan itu hanya mengenai
kulitnya dan pedang lantas ditarik kembali, makanya Boh-thian
hanya terluka lecet saja.
Melihat putra kesayangan berturut-turut terluka tiga tempat,
sungguh hati Bin Ju merasa seperti dirinya yang terluka. Maka
waktu melihat Tiong-hi kembali menusuk pula, "trang", segera
ia menangkiskannya bagi Ciok Boh-thian. Serentak
terdengarlah suara "trang-tring, trang-tring" yang ramai,
dalam sekejap saja Tiong-hi dan Bin Ju sudah bergebrak 13
kali. Kedua orang sama-sama terhitung jago pilihan dari Siang-jingkoan,
sekali ilmu pedang "Siang-jing-gway-kiam" dimainkan,
Tiong-hi sekaligus menyerang 13 kali dan Bin Ju sekaligus juga
menangkis 13 kali, seketika lelatu meletik sebagai kembang api
disertai sinar pedang yang kemilauan, cepatnya tak terkatakan.
Maka begitu ke-13 jurus sudah dimainkan, serentak para imam
dan Ciok Jing lantas bersorak dan menyenggak, "Bagus!"
Karena kedua orang adalah tunggal guru, Thian-hi tahu biarpun
bertarung lebih lama lagi juga susah menentukan kalah dan
menang. Maka ia lantas berkata, "Bin-sumoay, apa kau sudah
terang akan membela anak muda ini?"
Bin Ju tidak menjawab, ia hanya pandang Ciok Jing dengan
harapan sang suami yang menyatakan ketekadannya.
Maka Ciok Jing lantas membuka suara, "Bocah ini terlalu
angkuh dan sembrono, memanglah pantas kalau diberi
hajaran. Berturut-turut dia sudah kena tiga kali tusukan Tionghi
Suheng, syukurlah Tiong-hi Suheng sengaja bermurah hati
sehingga jiwanya tidak sampai melayang. Hanya sedikit
kepandaian kasaran bocah ini mana dia sesuai untuk bergebrak
dengan Tiong-hi Suheng" Nak, lekas kau menjura dan minta
maaf kepada Supek!" "Sudah terang dia memandang rendah kepada Siang-jing-koan
kita, ia anggap tiada harganya bergebrak dengan kita," seru
Tiong-hi dengan marah-marah. "Kalau tidak, mengapa tadi dia
menyatakan sekali tangannya bergerak kita tentu akan
terbunuh semua?" Waktu Ciok Boh-thian membuka tangannya, lapat-lapat ia
melihat noktah merah dan garis-garis biru di tapak tangannya
itu agak timbul lagi. Ia menghela napas dan berkata, "Kedua
tanganku ini benar-benar penyakit, sedikit-sedikit tentu
membinasakan orang."
Mendengar itu, kembali air muka para imam Siang-jing-koan
berubah. Mau tak mau Ciok Jing sendiri menjadi marah juga demi
mendengar ucapan Boh-thian yang sombong dan menyinggung
perasaan itu. Segera ia membentak, "Kau bocah ini benarbenar
tidak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi. Tadi
Tiong-hi Supek sengaja mengampuni kau, makanya jiwamu
tidak sampai melayang, apa kau tidak tahu?"
"Aku... aku...." sahut Boh-thian dengan tergagap-gagap.
Dalam pada itu Tiong-hi sudah mulai curiga. Tadi ia telah
menusuk tiga kali kepada Ciok Boh-thian, dilihatnya cara
pemuda itu belum paham cara menghindarnya, sebaliknya
lwekangnya sedemikian lihainya, kalau bicara tentang ilmu silat
tampaknya bukanlah murid didiknya Ciok Jing suami-istri.
Apalagi waktu Boh-thian membuka kedua tangannya, sayupsayup
tercium olehnya bau amis busuk yang memusingkan
kepala. Keruan ia tambah sangsi. Segera ia membentak pula,
"Sebenarnya kau murid siapa" Dari mana kau belajar berlagak
dan bermulut besar?"
"Aku... aku adalah murid tertua Kim-oh-pay," sahut Boh-thian.
Tiong-hi melengak. Pikirnya, "Kim-oh-pay" Setahuku di dunia
persilatan tiada terdapat nama demikian, besar kemungkinan
bocah ini membual lagi."
Segera ia berkata, "O, kukira kau adalah muridnya Ciok-sute
sendiri, tapi ternyata bukan orang sendiri, ini menjadi
kebetulan malah." Segera ia mengedipi dua orang sute yang berdiri di sebelahnya.
Kedua imam itu tahu maksud sang suheng, segera mereka
memutar pedang, masing-masing dengan jurus "Tiau-pay-kimteng"
(Menyembah Puncak Emas), yang seorang menghadapi
Ciok Jing dan yang lain mengarah Bin Ju.
Gaya "Tiau-pay-kim-teng" ini adalah satu jurus penghormatan
kepada lawan dari ilmu pedang Siang-jing-koan, biasanya
digunakan bilamana hendak bertanding dengan tokoh Bu-lim
yang terkemuka atau angkatan yang lebih tua. Jurus ini
tampaknya cuma sebagai penghormatan saja dengan ujung
pedang mengarah ke bawah, tapi sebenarnya telah
mengadakan penjagaan yang sangat rapat dalam lingkaran
beberapa meter. Sekali lawan bergerak, seketika lantas
mendahului menggempur. Sudah tentu Ciok Jing berdua paham maksud kedua imam itu,
yaitu mengawasi gerak-gerik mereka. Asalkan dirinya bergerak
hendak membela sang putra, maka kedua imam itu serentak
akan melayaninya. Tapi kalau dirinya tidak bergerak, maka
kedua imam itu pun takkan melakukan penyerangan lebih dulu.
Dalam pada itu Tiong-hi sudah tak sabar lagi, kembali ia
membentak Boh-thian, "Lekas keluarkan senjatamu! Jika kau
tidak balas menyerang, segera aku mampuskan kau murid
jahat dari Kim-oh-pay ini."
Dengan tegas ia mengatakan "Kim-oh-pay", terang supaya
Ciok Jing berdua tak dapat membelanya lagi andaikan nanti
Boh-thian benar-benar dibunuh olehnya.
Pada saat yang menentukan itu, Ciok Jing menduga bila Bohthian
tidak menandangi tantangan Tiong-hi itu, tentu anak
muda itu akan terancam bahaya. Sebaliknya kalau terima
tantangan itu, karena mengetahui ada kemungkinan dirinya
suami-istri akan membela anaknya, tentulah dia akan pikirpikir
lebih dulu sebelum merobohkannya dan paling-paling
anak muda itu hanya dilukai sedikit saja sekadar sebagai hajar
adat. Maka Ciok Jing lantas berseru, "Nak, jika Supek ingin memberi
petunjuk padamu, hal ini akan sangat berguna bagimu, tentu
Supek takkan melukai kau, janganlah takut. Lekas kau
keluarkan senjata untuk melayaninya!"
Melihat sinar pedang Tiong-hi yang gemerlapan dan wajah sang
supek yang kereng itu, diam-diam Boh-thian menjadi jeri.
Berulang-ulang dia telah tertusuk tiga kali, ia tahu ilmu pedang
imam itu sangat lihai. Sekarang didengarnya Ciok Jing
menyuruhnya mengeluarkan senjata, tiba-tiba timbul suatu
pikiran padanya, "Ya, betul, aku akan menangkis serangannya
dengan senjata, dengan demikian racun di tanganku tentu
takkan membinasakan dia."
Sekilas dilihatnya di atas tanah ada sebatang golok, yaitu
senjata yang ditinggalkan muridnya Loh Cap-pek tadi. Dengan
girang ia lantas berseru, "Baik, baik! Aku akan melayani
seranganmu. Tapi... tapi kau jangan menyerang lebih dulu,
tunggulah aku mengambil golok itu. Jika kau menggunakan
kesempatan ini untuk menusuk punggungku tentu tak bisa
dianggap menang, jangan kau main belit."
Melihat cara bicara Ciok Boh-thian itu seperti anak kecil saja,
Tiong-hi sangat mendongkol dan geli pula. Ia menjengek sekali
sambil melangkah mundur. "Cret", ia tancapkan pedangnya ke
tanah dan berkata, "Huh, kau anggap aku Tiong-hi ini orang
macam apa" Masakah pakai menyerang dari belakang
terhadap bocah ingusan macam kau?"
Dengan tangan tolak pinggang Tiong-hi sengaja menunggu
Boh-thian menjemput golok di atas tanah itu. Pikirnya,
"Kiranya bocah ini mahir menggunakan golok, jika demikian
terang dia bukan muridnya Ciok-sute. Hanya saja entah
mengapa Ciok-sute menyuruh dia memanggil supek pula
padaku?" Begitulah, selagi Ciok Boh-thian berjongkok hendak mengambil
golok, mendadak timbul pula suatu pikirannya, "Wah, dalam
pertarungan nanti jangan-jangan secara tidak sengaja aku
menggunakan sebelah tangan yang kosong ini dan tentu akan
membinasakan dia pula. Ya, ada lebih baik tangan kiri ini
kuikat saja pada badanku, dengan demikian akan aman
sentosa segalanya." Bab 30. Rahasia Putra-putra Ciok Jing yang Hilang
Maka ia tidak jadi menjemput golok itu, ia menegak kembali
dan berkata kepada Tiong-hi, "Maaf, harap kau tunggu dulu
sebentar." Habis itu ia lantas melepaskan ikat pinggang, tangan kiri ia
julurkan lurus di samping badan, lalu dengan tangan kanan ia
mengikat lengan kiri pada badannya sendiri.
Dengan mata terbeliak semua orang mengikuti perbuatannya
itu, semuanya tidak tahu permainan apa yang akan dilakukan
olehnya. Namun Boh-thian tetap asyik melakukan
pekerjaannya sendiri, setelah tangan kiri sudah terikat kencang
di atas badan, lalu golok di atas tanah barulah diambilnya dan
berkata, "Baiklah, sekarang kita boleh mulai, dengan demikian
aku takkan membinasakan kau."
Sungguh Tiong-hi hampir-hampir jatuh kelengar saking
gusarnya. Anak muda menerima tantangannya dengan
mengikat sebelah tangannya, ini berarti suatu hinaan yang tak
terkatakan. Sudah tentu para imam Siang-jing-koan juga
marah-marah, mereka membentak dan mencaci maki. Ciok
Jing dan Bin Ju juga lantas menyemprot Boh-thian, "Anak
kurang ajar! Hayo lekas melepaskan ikat pinggangmu itu!"
Untuk sejenak Boh-thian tertegun, pada saat itulah Tiong-hi
sudah hilang kesabarannya, pedangnya dengan cepat sudah
menusuk. Dengan gugup lekas-lekas Boh-thian mengangkat
goloknya untuk menangkis.
Tiong-hi sudah tahu lwekang anak muda itu sangat kuat, maka
sebelum pedangnya terbentur golok, cepat ia sudah ganti
serangan. "Sret-sret-sret", berturut-turut ia melancarkan
enam-tujuh kali tusukan sehingga Boh-thian kerepotan
melayaninya, jangankan hendak menangkis, dari mana
datangnya serangan lawan saja Boh-thian tidak jelas.
Diam-diam anak muda itu mengeluh, "Wah, celaka!"
Dalam keadaan kepepet, tanpa pikir goloknya lantas
membacok dan menebas serabutan, sedikit pun tidak menurut
aturan. Untunglah Tiong-hi sudah agak kapok terhadap lwekangnya
yang mahakuat itu, walaupun permainan golok Ciok Boh-thian
kelihatan banyak lubang kelemahannya, tapi di waktu goloknya
membacok, mau tak mau Tiong-hi harus menarik kembali
pedangnya dan menghindarkan diri, ia khawatir kalau-kalau
pedangnya terbentur golok dan mencelat, hal ini tentu akan
membikin malu habis-habisan padanya.
Sesudah membacok tak keruan, dilihatnya Tiong-hi berbalik
mundur, maka Ciok Boh-thian sempat tenangkan diri untuk
sementara. Teringat olehnya ilmu golok yang diciptakannya
dengan parang karatan yang ditemukan di Ci-yan-to tempo
hari, tiba-tiba timbul pikirannya, "Eh, ya, mengapa aku tidak
menggunakan ilmu golokku itu untuk melayani dia?"
Hanya saja dahulu tangan kirinya menggunakan pedang dan
tangan kanan memakai golok, sekarang tangan kiri sendiri
terikat kencang, hanya tinggal tangan kanan saja yang tetap
memainkan golok, dengan sendirinya daya gunanya menjadi
banyak berkurang, namun begitu jurus-jurus serangannya


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang aneh-aneh tetap tidak kurang banyaknya.
Sebenarnya kepandaian ciptaan Boh-thian sendiri ini tidaklah
sempurna, banyak lubang kelemahannya. Akan tetapi begitu ia
mengerahkan lwekangnya yang tiada bandingannya, dengan
sendirinya daya tempurnya menjadi sangat hebat. Hanya
belasan jurus saja para imam Siang-jing-koan dan Ciok Jing
suami-istri sudah melongo terheran-heran.
Lebih-lebih Tiong-hi, di samping kejut dan gusar, ia menjadi
rada-rada jeri pula. Sebagai orang beribadat, pengalaman
tempur Tiong-hi tidaklah luas, tapi ilmu golok dari golongangolongan
terkemuka di dunia persilatan boleh dikata sudah
dikenalnya semua. Sekarang dilihatnya ilmu golok Ciok Bohthian
itu sudah dangkal dan bodoh, caranya ngawur pula dan
sangat bertentangan dengan teori ilmu golok pada umumnya.
Ilmu golok demikian mestinya sekali gempur sudah cukup
mengalahkan anak muda itu, tapi aneh bin ajaib, justru dirinya
sendiri yang berulang-ulang terancam oleh serangan ngawur
itu, hal ini sungguh-sungguh tidak masuk akal.
Sesudah belasan jurus pula, lama-lama Tiong-hi menjadi
gelisah dan hilang sabar. "Sret", pedangnya menusuk dari
depan. Kebetulan pada saat itu golok Ciok Boh-thian telah
berputar balik. Karena kedua orang sama-sama cepatnya,
"trang", benturan kedua senjata tak dapat dihindarkan lagi.
Tiong-hi sudah berjaga-jaga sebelumnya, ia telah pegang
pedangnya dengan sangat kencang. Tapi tenaga dalam Ciok
Boh-thian benar-benar terlalu kuat, di tengah jerit kaget orang
banyak, pedang Tiong-hi tertampak sudah melengkung,
gagang pedang pun berdarah, ternyata genggaman tangan
Tiong-hi sampai tergetar pecah.
Tiong-hi terkesiap, diam-diam ia merasa nama harumnya
selama hidup sudah terhanyut sekarang, apa gunanya
meyakinkan ilmu pedang dan menjadi ciangbunjin segala"
Tanpa bicara lagi ia sambitkan pedang melengkung itu ke arah
Ciok Boh-thian, menyusul kedua tangannya bagaikan cakar
baja terus menubruk maju.
"Trang", Ciok Boh-thian sempat menangkis timpukan pedang
melengkung itu sehingga terpental, tapi lantaran itulah bagian
dadanya menjadi terbuka, kesempatan ini tidak disia-siakan
oleh Tiong-hi yang sedang menubruk maju itu, dengan cepat
kedua hiat-to penting di dada Ciok Boh-thian telah kena
dicengkeramnya. Serangan Tiong-hi ini laksana banteng ketaton dahsyatnya.
Kim-na-jiu-hoat kaum Siang-jing-koan pun terhitung sesuatu
kepandaian tunggal yang lihai. Siapa duga baru saja kedua
tangannya menyentuh hiat-to di dada Ciok Boh-thian, kontan ia
terpental balik oleh tenaga dalam anak muda itu sehingga
mencelat. Sekali ini karena dia menyerang dengan kalap, maka tenaga
pental balik itu pun tambah keras, tubuhnya yang mencelat itu
tampaknya dengan segera akan terbanting telentang, jika ini
terjadi, maka dia pasti akan malu besar.
Syukurlah Thian-hi Tojin cepat bertindak, dengan cepat ia
sempat menggunakan sebelah tangannya untuk menolak
pundak sang sute ke samping sehingga daya pental itu dihapus
sebagian, kedua kakinya menyentuh tanah lebih dulu dan
meloncat ke atas. Dengan demikian Tiong-hi tidak sampai
roboh terjungkal, tapi lalu menurun kembali dengan enteng.
Namun wajahnya sudah lantas pucat pasi sebagai mayat.
Setelah mendorong Tiong-hi ke samping, berbareng pula
Thian-hi sudah melolos pedangnya dan berkata, "Ternyata
benar-benar seorang kesatria muda yang hebat, kagum,
sungguh kagum sekali! Biarlah sekarang aku yang belajar kenal
beberapa jurus padamu, mungkin aku yang sudah loyo ini pun
bukan tandingan saudara."
Sambil bicara, berbareng pedangnya lantas menusuk lambat ke
depan. Waktu Boh-thian angkat goloknya menangkis,
mendadak ia merasa tenaga yang dikerahkan pada batang
goloknya itu punah tanpa bekas.
Kiranya Thian-hi mengetahui lwekang Ciok Boh-thian sangat
lihai, maka serangannya telah menggunakan cara "menggeser"
untuk menghapus tenaga lawan. Namun tidak urung lengan
kanan pun terasa tergetar dan kesemutan, dada pun kesakitan.
Keruan ia terkejut dan khawatir, jangan-jangan dirinya sudah
terluka dalam. Maka waktu menyerang pula, sebelum terbentur
dengar golok lawan, segera ia tarik pedangnya dan menyusul
menusuk dari samping. Jangan mengira Thian-hi sudah lanjut usianya, tapi
kegesitannya ternyata tidak kalah daripada orang muda,
bahkan serangannya lebih jitu dan makin ganas.
Begitulah, dalam waktu singkat saja kedua orang sudah
bergebrak lebih 20 jurus, karena sambaran angin senjata
semakin meluas, maka lingkaran para penonton juga makin
terdesak lebar. Leng-hi Tojin dan kawannya yang bertugas mengawasi Ciok
Jing dan Bin Ju sampai teralih perhatiannya dan asyik
mengikuti pertarungan yang seru di tengah kalangan.
Sementara itu Ciok Boh-thian telah mainkan ilmu goloknya
dengan semakin lancar, tenaga dalamnya juga ikut tambah
kuat, semula Thian-hi masih dapat menandingi, tapi setiap
bergebrak satu jurus tenaga anak muda itu pun tambah kuat
sebagian, boleh dikata tumbuh tiada habis-habis dan tiada
berhenti-henti. Walaupun menang dalam kebagusan ilmu pedang, tapi kedua
kaki Thian-hi sudah terasa mulai lemas, lengan juga mulai
pegal, setiap kali bergebrak berarti semakin payah.
Sekarang Ciok Jing dan Bin Ju juga sudah dapat melihat jelas,
apabila pertarungan itu diteruskan tentu Thian-hi akan
kecundang. Sebaliknya kalau sang putra yang dibentak suruh
berhenti, hal ini sama dengan menyuruh dia mengalah di depan
umum dan tentu akan membikin malu kepada Thian-hi.
Sungguh cemas dan bingung Ciok Jing berdua, mereka merasa
serbasalah dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Ciok Boh-thian sendiri makin bertempur makin bersemangat,
sampai akhirnya Thian-hi yang selalu terdesak malah.
Sekonyong-konyong Boh-thian melihat kaki kanan Thian-hi
menjadi lemas dan hampir-hampir tekuk lutut, namun imam
tua itu masih terus bertahan sekuatnya, hanya air mukanya
yang sudah berubah hebat.
Tiba-tiba tergerak hati Boh-thian, teringat olehnya ucapan A
Siu ketika berada di Ci-yan-to dahulu, "Di waktu kau bertempur
dengan orang, hendaklah selalu ingat bahwa di mana dapat
mengampuni orang hendaklah mengampuni saja."
Sekali teringat kepada pesan A Siu itu, seketika Boh-thian
terbayang wajah yang lembut dan ayu itu. Segera ia
melintangkan goloknya terus mendorong ke depan.
Kontan Thian-hi merasa dorongan golok itu membawa tenaga
tekanan yang dahsyat sehingga napasnya terasa sesak. Cepat
ia melompat mundur dua tindak dan tidak urung tindakan
mundur itu pun sudah membuatnya terhuyung-huyung. DiamKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
diam ia mengeluh, "Celaka, jika dia mendesak maju lagi, untuk
mundur saja rasanya aku pun tidak kuat lagi."
Akan tetapi Ciok Boh-thian tidak mendesak maju pula,
sebaliknya goloknya lantas menebas kosong ke kiri, lalu ditarik
kembali dan menusuk kosong lagi ke kanan, habis itu golok
berputar ke atas terus membacok di depan anak muda itu
sendiri. Tiga kali gerakan itu adalah serangan kosong semua,
namun betapa hebat tenaga yang digunakannya sehingga debu
pasir sampai bertebaran terguncang angin senjatanya.
Selagi Thian-hi tercengang dengan napas terengah-engah,
terlihatlah Boh-thian sudah menarik goloknya sambil mundur
dua tindak, lalu berdiri tegak sambil memondong senjata dan
berkata, "Ilmu pedang tuan sangat bagus, Cayhe merasa
sangat kagum. Hari ini susah menentukan kalah dan menang,
bolehlah kita berhenti dan marilah bersahabat saja."
Thian-hi hampir-hampir tidak percaya kepada pendengarannya
sendiri, ia berdiri termangu-mangu dan tidak sanggup
berbicara. Melihat Ciok Boh-thian menarik senjata dan melangkah mundur
dengan gayanya yang sangat indah serta kuat itu, tanpa
merasa semua orang memberi sorakan memuji. Ciok Jing
tersenyum-senyum dan merasa lega hatinya dengan
kesudahan pertarungan yang damai itu. Lebih-lebih Bin Ju,
girangnya tak terkatakan lagi.
Mereka senang karena ilmu silat sang putra yang hebat itu,
tapi yang lebih menggirangkan adalah sikap Ciok Boh-thian
yang terakhir itu, sudah pasti akan menang, tapi toh dia mau
mengalah dan menyudahi pertarungan itu dengan damai tanpa
syarat ini benar-benar perbuatan yang luhur dan cocok sekali
dengan sifat-sifat mereka suami-istri.
Namun Bin Ju lantas membentak Boh-thian dengan tertawa,
"Huh, anak goblok, sembarangan mengoceh tak keruan,
mengapa pakai sebutan Cayhe segala, harus panggil supek dan
mengaku Siautit (keponakan)!"
Thian-hi sendiri pun menghela napas lega, katanya dengan
gegetun, "Arus sungai selalu mendorong ke muka, orang muda
memang selalu lebih hebat, kita sudah tua, tidak berguna lagi!"
"Nak, lekas kau memberi hormat dan minta maaf kepada
Supek," cepat Bin Ju berseru pula.
Boh-thian mengiakan, ia membuang goloknya, lalu menjura
dengan penuh hormat. Bin Ju sangat senang, katanya, "Ciangbun-suko, ini adalah
anak nakal sute dan sumoaymu, sejak kecil kurang mendapat
didikan, harap suka memberi maaf atas kesalahannya."
Thian-hi terkesiap. "O, kiranya adalah lenglong (putra kalian),
pantas, pantas!" sahutnya kemudian. "Tapi Sute tadi
mengatakan lenglong telah diculik orang, kiranya hal itu
tidaklah betul." "Siaute mana berani mendustai Suheng," kata Ciok Jing. "Anak
itu memang diculik orang, entah cara bagaimana dia bisa lolos
sampai sekarang kami pun belum sempat tanya
keterangannya." "Ya, memangnya, dengan kepandaiannya yang tinggi ini
memang tidak susah untuk meloloskan diri," ujar Thian-hi
dengan manggut-manggut. "Hanya saja ilmu silat lenglong
terang bukan ajaran Sute dan Sumoay, dalam ilmu goloknya ini
pun tidak banyak terkandung jurus-jurus ilmu silat Swat-sanKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
pay, sebaliknya tenaga dalamnya sedemikian hebatnya dan
susah diukur. Bahkan jurus yang terakhir tadi lebih-lebih
jarang terlihat." "Betul itu, jurus ini adalah ajaran A Siu," demikian Boh-thian
menanggapi. "Dia bilang padaku agar senantiasa bermurah hati
kepada lawan, di mana dapat mengampuni orang supaya
mengampuni saja. Jurus ini bernama "Pang-kau-cik-kik" (pukul
dari samping dan hantam dari pinggir), gunanya untuk
mengalah kepada lawan, tapi juga takkan dilukai oleh lawan."
Begitulah tanpa tedeng-aling-aling dan prasangka apa-apa Ciok
Boh-thian mencerocos menurutkan apa saja yang hendak
diucapkan, keruan muka Thian-hi sebentar merah sebentar
pucat, malunya tak terkatakan.
Segera Ciok Jing membentak, "Diam! Kau sembarangan
mengoceh apa?" "Baiklah, aku takkan bicara lagi." kata Boh-thian. "Apabila
sejak mula terpikir olehku untuk mengikat tanganku yang
berbisa ini dan melulu gunakan golok untuk bergebrak dengan
orang, tentu takkan... takkan...." sampai di sini ia lantas
berhenti, ia pikir kalau bicara terus terang bahwa dirinya yang
telah membinasakan Ciau-hi dan Thong-hi, tentu akan timbul
persengketaan baru lagi. Namun begitu Thian-hi dan imam-imam lain sudah terperanjat,
beramai-ramai mereka membentak, "Apa katamu" Telapak
tanganmu berbisa?" " "Jadi Ciau-hi dan Thong-hi Sute adalah
kau yang membunuhnya?" " "Dan kedua medali tembaga itu
pun kau yang mencurinya bukan?"
Begitulah senjata-senjata para imam yang tadinya sudah
dimasukkan kembali ke sarungnya ini sekarang beramai-ramai
dicabut keluar lagi. Boh-thian menghela napas menyesal, katanya, "Sesungguhnya
aku tiada bermaksud membunuh mereka, tak terduga
tanganku hanya sedikit bergerak saja mereka sudah lantas
roboh sendiri." Dengan murka Tiong-hi lantas berseru kepada Ciok Jing, "Nah,
Ciok-sute, cara bagaimana urusan ini harus diselesaikan,
hendaklah kau katakan saja!"
Pikiran Ciok Jing menjadi kusut, ketika berpaling dilihatnya pula
air mata sang istri berlinang-linang, perasaannya juga sangat
khawatir dan cemas, terpaksa ia menjawab dengan kuatkan
perasaan, "Betapa pun kepentingan perguruan harus
diutamakan. Binatang cilik ini telah banyak menimbulkan garagara,
kami suami-istri susah juga untuk membelanya, maka
terserah kepada keputusan Ciangbun-suheng untuk mengambil
tindakan padanya." "Bagus!" seru Tiong-hi, berbareng pedangnya bergerak,
serentak ia hendak maju mengerubut.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Bin Ju mencegahnya.
Dengan melirik Tiong-hi berkata, "Apa yang Sumoay ingin
katakan lagi?" "Ciau-hi dan Thong-hi Suheng saat ini toh belum meninggal,
boleh jadi mereka masih dapat tertolong." ujar Bin Ju dengan
suara gemetar. Tiong-hi mengekek sambil mendongak, katanya dengan
mengejek, "Kedua sute sudah terkena racun sejahat ini,
masakah mereka masih ada harapan buat hidup lagi" Ucapan
Sumoay ini apa bukan sengaja mengolok-olok saja?"
Bin Ju pun tahu tiada harapan lagi, ia coba tanya Ciok Bohthian,
"Nak, racun apakah yang berada di telapak tanganmu
itu" Apakah ada obat pemunahnya?"
Sambil bertanya ia lantas mendekati anak muda itu, katanya,
"Coba kuperiksa sakumu apakah terdapat obat pemunah."
Lalu ia pura-pura memasukkan tangannya ke saku Ciok Bohthian
untuk mencari obat, tapi diam-diam ia membisiki anak
muda itu, "Lekas lari lekas! Ayah dan ibu tak sanggup
menolong kau lagi!" Boh-thian terperanjat. "Ayah dan ibu" Siapa adalah ayah dan
ibu?" serunya menegas.
Kiranya tadi Thian-hi selalu menyebut tentang "lenglong" apa
segala, karena buta huruf, maka Boh-thian tidak tahu bahwa
"lenglong" artinya "putramu". Bahwasanya Ciok Jing suami-istri
juga menyebutnya sebagai "anak", hal ini pun ia sangka


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebutan lazim kaum tua kepada kaum muda, sama sekali tak
terduga olehnya bahwa suami-istri itu telah salah mengenalnya
sebagai putra mereka. Pada saat itulah, sebelum Ciok Boh-thian dapat berbuat apaapa,
tiba-tiba terasa punggungnya tersentuh oleh sesuatu.
Kiranya Ciok Jing yang telah menjuju punggungnya dengan
ujung pedang, katanya, "Adik Ju, kita tidak boleh membela
binatang cilik ini sehingga merusak hubungan baik dengan
perguruan sendiri. Dia tidak boleh lari!"
Nada ucapannya ternyata penuh mengandung perasaan pahit
getir. Bin Ju pun hampir-hampir pingsan saking pedihnya, katanya
dengan suara gemetar, "Nak, apakah jiwa kedua supek ini
benar-benar tiada obat yang dapat menolong mereka?"
Saat itu Leng-hi yang berdiri di samping dan bertugas
mengawasi Bin Ju itu menjadi khawatir jangan-jangan sang
sumoay akan merintangi atau mungkin juga mendadak
membunuh diri, maka dengan cepat ia pegang tangan Bin Ju
dan merampas pedangnya. Tatkala mana Bin Ju sedang mencurahkan perhatian atas diri
Ciok Boh-thian sehingga dengan gampang saja pedangnya
kena dirampas. Sebaliknya Ciok Boh-thian tidak tinggal diam melihat Bin Ju
diperlakukan begitu, ia berteriak, "Apa yang kau lakukan?"
berbareng pedang Bin Ju tadi lantas hendak direbutnya
kembali. Akan tetapi Leng-hi telah putar pedang itu terus memotong.
Sebelum tertebas, cepat Boh-thian menarik tangan terus
membalik untuk memegang pergelangan tangan lawan. Ini
adalah satu jurus kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong tempo
hari. Walaupun kim-na-jiu-hoat ini amat bagus, tapi mana dapat
digunakan atas diri Leng-hi yang tergolong jago pilihan Siangjing-
koan" Mendadak Leng-hi membentak, "Bagus!"
Berbareng pedangnya memutar balik untuk menangkis.
Tak tersangka tubuhnya lantas sempoyongan, pandangannya
menjadi gelap, "bluk", ia jatuh tersungkur sendiri. Kiranya
racun di telapak tangan Ciok Boh-thian itu telah teruar pada
waktu tangannya bergerak tadi. Ketika Leng-hi membentak,
dengan sendirinya ia harus menyedot napas, maka kontan ia
keracunan. Saking kagetnya para imam sampai menyingkir mundur
beberapa tindak, wajah mereka pun pucat seketika laksana
melihat setan iblis. Boh-thian insaf keonaran yang ditimbulkannya ini telah tambah
besar, walaupun para imam itu tampak melangkah mundur,
tapi setiap orang tetap menghunus pedang dan mengepung di
sekelilingnya, untuk menerjang keluar tidak boleh tidak harus
menjatuhkan korban jiwa lagi. Sekilas dilihatnya pula kedua
tangan Leng-hi memegang perutnya sendiri sambil menggosokgosok
dan meremas-remas tiada hentinya, terang imam itu
sedang menderita sakit perut yang tak terhingga.
Kiranya imam-imam Siang-jing-koan itu jauh lebih kuat
lwekangnya dibanding anggota-anggota Tiat-cha-hwe, oleh
karena itu mereka tidak lantas binasa terkena hawa berbisa,
tapi masih sanggup tahan untuk sejam dua jam lamanya.
Tiba-tiba Ciok Boh-thian teringat kepada Thio Sam dan Li Si
sewaktu menderita sakit perut dan berkelesotan di sarang Tiatcha-
hwe tempo hari, kemudian Thio Sam telah mengajarkan
cara menolongnya sehingga racun di dalam tubuh kedua
saudara angkat itu dapat dipunahkan, maka cepat ia lantas
membangunkan Leng-hi. Para imam di sekelilingnya sudah siap-siap dengan pedangnya
untuk mengerubutnya, namun Boh-thian buru-buru ingin
menolong Leng-hi, maka sikap permusuhan imam-imam itu tak
dihiraukan lagi. Dengan tangan kiri Boh-thian lantas tahan
leng-tay-hiat di punggung Leng-hi, sedangkan tangan kanan
memegang tat-tiong-hiat di bagian dada, ia kerahkan tenaga
melalui tangan kiri dan tangan kanan dipakai menyedot,
dengan cara yang diajarkan Thio Sam itu, tidak lama kemudian
Leng-hi Tojin lantas bisa menarik napas panjang, sakit
perutnya lantas berhenti. Dan begitu sudah sembuh, kontan
Leng-hi memaki, "Maknya, bangsat kau!"
Sebagai orang beribadat, caci maki Leng-hi itu sesungguhnya
tidak pantas, tapi sekali dia sudah dapat bersuara, segera
semua orang mengetahui jiwanya sudah dapat diselamatkan,
maka semua orang lantas bersorak gembira dan tidak
memusingkan kata-kata Leng-hi yang kurang sopan tadi.
Saking girangnya Bin Ju sampai meneteskan air mata.
Katanya, "Nak, Ciau-hi dan Thong-hi Supek juga keracunan
sejak tadi, lekas kau menolong mereka!"
Dalam pada itu dua tosu sudah memondong Ciau-hi dan
Thong-hi ke depan Ciok Boh-thian, keadaan kedua imam itu
sudah sangat payah, napas mereka sudah tinggal Senin-Kamis
saja. Segera Boh-thian menjalankan cara penyembuhan seperti tadi.
Karena Ciau-hi dan Thong-hi lebih lama keracunan, maka
diperlukan waktu lebih lama pula barulah racun-racun di dalam
tubuh mereka dapat dipunahkan.
Begitu sadar kontan Ciau-hi lantas mendamprat, "Kakekmu
disambar geledek, anak keparat!"
Dan Thong-hi juga tidak mau ketinggalan, ia pun mengumpat,
"Anak jadah piaraan biang anjing, kau berani menggunakan
racun untuk menyerang tuanmu!"
Karena senangnya sehingga Ciok Jing dan Bin Ju tidak
mengambil pusing lagi kepada caci maki ketiga suhengnya
yang menyangkut kehormatan suami-istri mereka. Sebaliknya
diam-diam mereka menertawakan imam-imam itu, "Percuma
saja ketiga suheng itu bertirakat selama ini, biasanya mereka
sangat saleh, tampaknya seperti imam yang sangat alim, tapi
di waktu kepepet kata-kata mereka pun sedemikian kasarnya."
Setelah Ciok Boh-thian menyembuhkan Ciau-hi bertiga, maka
rasa gusar para imam tadi lantas hilang pula sebagian besar.
Bin Ju lantas berkata, "Nak, jika kau yang mengambil medalimedali
tembaga dari Ciau-hi Supek itu, hendaklah kau
mengembalikan saja kepada beliau, ibu tidak inginkan bendabenda
itu lagi." "Ibu" Ibu?" Boh-thian menggumam dengan terperanjat, lalu ia
mengeluarkan medali-medali itu dan dikembalikan kepada
Ciau-hi sambil menegas lagi kepada Bin Ju, "Ibu" Kau... kau
adalah ibuku?" Di sebelah sana Thian-hi Tojin sudah lantas berkata kepada
Ciok Jing dan Bin Ju, "Sute dan Sumoay, biarlah kita berpisah
saja di sini!" Ia tahu untuk bertemu lagi kelak susahlah diramalkan, maka
tanpa mengucapkan "sampai bertemu lagi" segera ia
memimpin para imam dan berangkat pergi.
Ciok Boh-thian masih memandangi Bin Ju dengan termangumangu
dan penuh keragu-raguan. Sebaliknya kedua mata Bin
Ju tampak basah, dengan tersenyum-senyum ia berkata, "Anak
bodoh, apa kau tidak... tidak mengenali ayah-ibumu lagi?"
Habis itu segera ia merangkul Boh-thian ke dalam
pangkuannya. Sejak tahu seluk-beluknya orang hidup belum pernah Bohthian
dikasihi orang, terhadap Bin Ju selama ini dia memang
merasa sangat suka dan terima kasih, kini mendadak
mengalami perlakuan sedemikian, dengan sendirinya
perasaannya juga terguncang dan terharu, ia terlongonglongong
tak sanggup bicara. Sampai agak lama barulah dia
bisa membuka suara, "Apakah dia... Ciok-cengcu adalah...
adalah ayahku" Tapi aku kok tidak tahu. Cuma... engkau
bukanlah ibuku, aku... aku memang sedang mencari ibuku
sendiri." Hati Bin Ju menjadi pilu karena Boh-thian tidak mengenalinya
lagi, hampir-hampir ia meneteskan air mata pula. Katanya, "O,
kasihan anak ini. Tapi kau juga tak dapat disalahkan,
sesudah... sesudah sekian tahun lamanya tentu kau sudah
pangling kepada ayah-ibumu. Waktu kau meninggalkan Hiansoh-
ceng tinggimu baru seperut ibu, tapi sekarang kau sudah
lebih tinggi daripada ayahmu. Wajahmu ternyata juga banyak
berubah, pertemuan di dalam kelenteng tempo hari kalau
sebelumnya ayah-ibu tidak mengetahui kau yang telah ditawan
Pek Ban-kiam, di kala bertemu juga tentu kita takkan saling
mengenal." Boh-thian semakin heran mendengarkan uraian nyonya Ciok
itu. Soal dirinya ditawan Pek Ban-kiam dan dibawa ke
kelenteng Toapekong itu memang betul terjadi, tapi tentang
ibunya yang diketahui bermuka kuning pucat, perawakannya
juga jauh lebih pendek dan kecil daripada Bin Ju, untuk ini
tidaklah mungkin dia pangling.
Maka dengan tergagap-gagap ia berkata, "Ciok-hujin, engkau
telah... telah salah kenal, aku... aku bukan an... anak kalian!"
"Engkoh Jing," Bin Ju berpaling kepada Ciok Jing, "coba kau
lihat anak ini...." Mendengar Ciok Boh-thian tidak mau mengakui ayah-ibunya,
diam-diam Ciok Jing lantas menimbang-nimbang, "Bocah ini
sangat cerdik, dia tidak mau mengakui orang tua sendiri tentu
dia mempunyai maksud yang mendalam. Jangan-jangan dia
telah menimbulkan bencana besar di Leng-siau-sia dan telah
banyak melakukan kejahatan di Tiang-lok-pang, namanya
tersohor sangat busuk, maka dia merasa malu untuk mengakui
ayah-ibu sendiri. Atau mungkin juga takut dihukum dan
khawatir merembet ayah-ibunya?"
Sesudah berpikir sejenak, kemudian ia tanya, "Jika demikian,
kau ini Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang atau bukan?"
Boh-thian garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sahutnya,
"Ya, semua orang mengatakan aku adalah Ciok-pangcu, tapi
sebenarnya bukan, mereka pun telah salah mengenali diriku."
"Habis siapa namamu?" tanya Ciok Jing.
"Aku tidak punya nama dan tidak punya she," sahut Boh-thian
dengan wajah bingung. "Ibu hanya panggil aku "Kau-capceng"."
Ciok Jing saling pandang dengan Bin Ju, mereka merasa
ucapan Ciok Boh-thian itu sangat jujur dan sungguh-sungguh,
sedikit pun tiada tanda-tanda sengaja berdusta.
Segera Ciok Jing mengedipi sang istri dan mengajaknya
menyingkir agak jauh, lalu dengan suara perlahan ia berkata,
"Adik Ju, bocah ini sebenarnya Tiong-giok atau bukan" Dari
kabar-kabar yang kita peroleh memang diketahui bahwa Tionggiok
telah menjadi pangcu di Tiang-lok-pang, tapi sebagai
seorang pangcu masakah bisa jadi sedemikian dungunya?"
"Anak Giok sudah belasan tahun meninggalkan kita," sahut Bin
Ju dengan berat, "sesudah dewasa sudah tentu muka dan
perawakannya akan banyak berubah. Akan tetapi... aku yakin
dia pasti putraku." "Kau benar-benar mantap, sedikit pun tidak sangsi?" Ciok Jing
menegas. "Kesangsian sih ada, tapi entah mengapa, aku percaya
bahwa... bahwa dia pasti putra kita. Apa sebabnya, aku sendiri
pun tak bisa menjelaskan."
Tiba-tiba Ciok Jing teringat kepada sesuatu, katanya, "Ah, aku
mendapat akal. Bukankah kau masih ingat waktu perempuan
hina itu hendak menyatroni kau, adik Ju"...."
Apa yang diungkap Ciok Jing ini merupakan kejadian yang tak
bisa dilupakan oleh mereka suami-istri, hanya mereka tidak
mau menyinggung kejadian itu. Maka Ciok Jing cuma
menyebut awalnya dan Bin Ju pun lantas mengerti.
"Betul, biar kutanya padanya," demikian Bin Ju lantas sadar
akan maksud sang suami. Lalu ia berduduk di atas sepotong
batu besar, kemudian Boh-thian dipanggilnya, "Nak, coba
kemari, ada yang hendak kukatakan padamu."
Boh-thian lantas mendekatinya dan oleh Bin Ju dia disuruh
duduk juga di sebelahnya, lalu nyonya itu mulai bertanya,
"Nak, pada waktu kau berusia dua tahun, datanglah seorang
penjahat wanita yang hendak membikin susah ibumu,
kebetulan ayahmu tidak di rumah, sedangkan ibu baru saja
melahirkan adikmu sehingga tidak mampu melawan penjahat
wanita itu. Wanita jahanam itu benar-benar sangat jahat,
bukan saja ibumu hendak dibunuhnya, bahkan kau dan adikmu
juga akan dibunuh olehnya."
"Hah, lalu aku terbunuh atau tidak?" seru Boh-thian terkejut.
Tapi ia lantas tertawa sendiri dan menyambung pula, "O, aku
benar-benar sudah linglung, sudah tentu aku tidak terbunuh."
Namun Bin Ju tidak tertawa, ia melanjutkan ceritanya, "Waktu
itu ibu membopong kau dengan tangan kiri, sedangkan tangan
kanan memainkan pedang untuk melawannya dengan matimatian.
Penjahat wanita itu sangat lihai, aku menjadi
kewalahan. Pada saat berbahaya itu kebetulan ayahmu keburu
pulang. Dengan cepat penjahat wanita itu menimpukkan tiga
buah kim-ci-piau (senjata rahasia berbentuk mata uang), dua
buah di antaranya kena disampuk jatuh oleh ibumu, kim-cipiau
yang ketiga telah mengenai bokongmu. Kau menjerit
menangis, ibumu menjadi khawatir dan lelah terus jatuh
pingsan. Tapi karena melihat ayahmu, penjahat wanita itu pun
lantas melarikan diri. Wanita itu benar-benar amat kejam,
sewaktu melarikan diri dia sekalian menggondol pergi adikmu
pula. Karena buru-buru ayahmu harus menolong aku dahulu,
pula khawatir kalau-kalau penjahat wanita itu
menyembunyikan pembantu dan aku akan dicelakai, maka
ayahmu tidak mau mengejarnya, pula mengingat... mengingat
penjahat wanita itu pun tidak mungkin membunuh putranya,
paling-paling orok itu sengaja diculik untuk menakut-nakuti
ayahmu saja. Siapa tahu pada hari ketiga mayat adikmu telah
dikirim pulang oleh penjahat wanita itu, di atas badan ulu
hatinya tertancap dua bilah pedang kecil, yang sebatang
pedang hitam dan sebatang lagi pedang putih, bahkan di atas
pedang-pedang itu terukir pula nama ayah-ibumu...." bercerita
sampai di sini, saking sedihnya air matanya sudah bercucuran
sebagai hujan. Boh-thian juga gusar mendengar peristiwa kejam itu, katanya,
"Penjahat wanita itu benar-benar terlalu keji, seorang anak
bayi yang tak berdosa juga tega membunuhnya. Wah, kalau
tidak terbunuh aku kan senang mempunyai seorang adik" Ciokhujin,
kejadian itu selamanya ibu tak pernah katakan padaku."
"Nak," kata Bin Ju pula dengan air mata berlinang-linang, "apa
benar-benar kau telah melupakan ibu kandungmu sendiri"
Aku... aku inilah ibumu yang sesungguhnya."
Boh-thian mengamat-amati sejenak wajah Bin Ju, lalu
menggeleng perlahan-lahan, katanya, "Bukan, kau bukan
ibuku. Kau telah salah mengenali aku."
"Dahulu pantatmu telah tertumpuk oleh kim-ci-piau si penjahat


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wanita, walaupun sekarang kau sudah dewasa, tentu bekas
luka itu takkan hilang. Nah, coba kau membuka celanamu dan
periksalah sendiri."
"Aku... aku...." sahut Boh-thian dengan muka merah dan
serbasalah. Teringat olehnya bahwa di atas pundak sendiri terdapat bekas
gigitan si Ting Tong, di atas paha juga terdapat enam titik
bekas luka tusukan pedang oleh "Liau-susiok" dari Swat-sanpay,
semuanya itu sebenarnya sudah dilupakan olehnya, tapi
setiap kali ia membuka baju dan periksa, selalu terlihat jelas
apa-apa yang tertinggal di atas badannya sebagaimana
dituduhkan orang. Seluk-beluk di dalam urusan ini benar-benar
membuatnya bingung dan tidak habis mengerti. Sekarang
Ciok-hujin mengatakan pula bahwa di pantatnya terdapat
bekas luka kim-ci-piau, wah, jangan-jangan luka demikian itu
benar-benar ada pula. Ia coba meraba-raba pantat sendiri sebelah kiri dari luar, ia
merasa tidak ada sesuatu bekas luka apa-apa. Hanya saja ia
sudah kapok dengan dua kali kejadian sebelumnya, yaitu luka
gigitan di pundak dan luka pedang di paha, mau tak mau
sekarang ia menjadi sangsi.
"Aku adalah ibu kandungmu, entah sudah berapa kali aku
mengganti kain popokmu jika kau ngompol atau berak,
masakah sekarang kau merasa malu segala?" ujar Bin Ju
dengan tersenyum. "Baiklah, boleh kau periksakan kepada
ayahmu saja." Habis berkata ia lantas memutar tubuh dan menyingkir ke
sana. Ciok Jing sendiri juga merasa ragu-ragu, katanya, "Nak, boleh
kau lepaskan celana dan periksa sendiri saja."
Dengan sangsi Boh-thian meraba pantat sendiri pula dari luar,
sesudah yakin tiada bekas luka apa-apa barulah dia membuka
tali kolor dan melorotkan celananya, waktu ia melongok ke
belakang, terlihatlah di sebelah kiri pantat itu lapat-lapat ada
sejalur bekas luka kira-kira tiga-empat senti panjangnya,
rupanya luka itu sudah terlalu lama, maka bekas luka itu sudah
samar-samar saja. Seketika Boh-thian ternganga kaget, ia merasa langit dan bumi
seakan-akan berputar, dirinya serasa mendadak telah berubah
seorang lain, tapi toh dirinya sama sekali tidak tahu apa-apa.
Saking kaget dan takutnya, tak tertahan lagi Boh-thian
menangis keras-keras. Cepat Bin Ju berpaling kembali, dilihatnya sang suami sedang
manggut-manggut padanya, maksudnya berkata, "Ya, dia
memang betul Tiong-giok adanya."
Bin Ju menjadi girang dan cemas pula, ia berlari mendekati
Boh-thian terus merangkulnya. Katanya dengan air mata
bercucuran, "Anak Giok, O, anak Giok, jangan takut, betapa
pun besarnya urusan tentu ayah-ibu akan menyelesaikan
bagimu." "Aku sudah lupa kepada segala kejadian di masa lampau," kata
Boh-thian sambil menangis. "Aku tidak tahu engkau adalah
ibuku, tidak tahu dia adalah ayahku, tidak tahu di pantatku ada
bekas luka demikian ini. Aku tidak tahu, ya, tidak tahu, segala
apa pun tidak tahu...."
"Lwekangmu yang begini tinggi ini kau belajar dari mana?"
tanya Ciok Jing. "Entah, aku tidak tahu," sahut Boh-thian.
"Habis pukulanmu yang berbisa itu kau pelajari dari siapa
pula?" desak Ciok Jing.
"Tidak tahu, tiada orang yang mengajarkan padaku," sahut
Boh-thian dengan takut-takut. "Ai, kenapakah aku ini, segala
apa sudah linglung bagiku. Apakah aku benar-benar Ciok Bohthian,
Ciok-pangcu" Ciok... Ciok, jadi aku benar-benar she Ciok
dan adalah anak kalian?"
Saking gugupnya sampai muka Boh-thian menjadi pucat,
kedua tangannya masih memegangi celananya yang
kedodoran, khawatir kalau melorot ke bawah, sebaliknya lupa
mengikat tali kolornya. Melihat Boh-thian sedemikian gugup dan takutnya, Bin Ju
merasa sangat kasihan, tiada hentinya ia menepuk-nepuk
perlahan pundak anak muda itu dan berkata, "Anak Giok,
jangan takut, jangan takut!"
Ciok Jing lantas kesampingkan juga rasa gemasnya kepada
putranya yang diketahui berkelakuan tidak senonoh itu,
pikirnya, "Aku pernah melihat kepala orang mengalami pukulan
keras atau menderita sakit parah, lalu melupakan segala apa
yang pernah dialaminya, konon penyakit ini bernama "sakit
hilang ingatan" dan sangat sukar disembuhkan kembali.
Jangan-jangan... jangan-jangan anak Giok sekarang terkena
penyakit aneh ini?" Pikiran Ciok Jing ini tidak berani lantas dikatakan kepada sang
istri, tak terduga Bin Ju sendiri juga mempunyai pikiran yang
serupa. Suami-istri itu saling tukar pandang dengan ragu-ragu,
akhirnya sama-sama tercetus, "Sakit hilang ingatan!"
Ciok Jing tahu orang yang menderita penyakit aneh itu tidak
boleh ditanyai terus-menerus, semakin didesak penyakitnya
akan semakin berat. Jalannya harus perlahan-lahan
membantunya memulihkan daya ingatannya, lalu dipancing
dan ditanya sedikit demi sedikit. Maka dengan ramah tamah ia
lantas berkata, "Hari ini kita telah dapat berkumpul kembali,
sungguh suatu hal yang sangat menggembirakan. Nak, tentu
perutmu sudah lapar, marilah kita pergi ke kota di depan sana
untuk makan dan minum."
"Se... sebenarnya siapakah diriku ini?" demikian Boh-thian
masih bingung. Bin Ju lantas bantu melipatkan celana anak muda itu dan
mengikat tali kolornya, lalu katanya dengan halus, "Nak,
apakah kau pernah terjatuh sehingga kepalamu terbentur
dengan keras" Atau kau pernah berkelahi dengan orang dan
kepalamu kena diketok benda keras oleh lawanmu?"
"Tidak, tidak pernah," sahut Boh-thian sambil geleng-geleng
kepala. "Atau selama ini pernahkah kau jatuh sakit panas?" tanya Bin
Ju pula. "O, ya, pernah," sahut Boh-thian. "Beberapa bulan yang lalu
sekujur badanku terasa sangat panas sebagai dibakar di dalam
tungku. Kemudian berubah menjadi dingin setengah mati.
Waktu itu aku berada di atas gunung, lalu... lalu jatuh pingsan
dan apa yang terjadi selanjutnya aku tidak tahu apa-apa lagi."
Bab 31. Ciok Jing Berkisah tentang Rasul-rasul
Pengganjar dan Penghukum Ciok Jing menjadi girang dan merasa lega karena sang istri
telah dapat menjelajahi sumber penyakit anak muda itu.
"Nak, janganlah kau takut," kata Bin Ju pula dengan lembut,
"karena sakit panas itu sehingga kau telah melupakan segala
apa di masa lampau, tapi perlahan-lahan daya ingatanmu pasti
akan pulih kembali."
Namun Boh-thian masih bersangsi. "Jadi kau benar-benar
adalah ibuku dan... dan Ciok-cengcu adalah ayahku?" tanyanya
pula. "Betul," sahut Bin Ju dengan tersenyum. "Nak, aku dan
ayahmu telah mencari kau ke mana-mana, berkat Tuhan yang
maha pengasih, akhirnya kita bertiga telah dapat berkumpul
kembali. Eh, mengapa kau tidak... tidak lekas panggil ayah?"
Boh-thian percaya penuh bahwa Bin Ju pasti tidak
membohonginya, memangnya ia sendiri pun tidak punya ayah,
maka sesudah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia memanggil ayah
pada Ciok Jing. "Dan panggil juga ibu!" sahut Ciok Jing dengan tersenyum.
Disuruh memanggil ibu kepada Bin Ju bagi Ciok Boh-thian
menjadi lebih sukar keluar dari mulutnya. Ia masih ingat
dengan jelas bahwa wajah ibunya sendiri sama sekali berbeda
daripada Bin Ju, ibunya yang menghilang itu rambutnya sudah
mulai ubanan, sebaliknya rambut Bin Ju masih hitam mengilap.
Tabiat ibunya sangat keras, sedikit-sedikit lantas marah-marah
dan memaki, bahkan main pukul segala, sama sekali berbeda
daripada sikap Bin Ju yang ramah tamah ini.
Melihat air muka Bin Ju penuh menaruh harapan akan
panggilannya, bahkan kelihatan matanya menjadi basah
sesudah menunggu sekian lamanya belum lagi dipanggil, Bohthian
menjadi tidak tega, akhirnya ia memanggil dengan suara
perlahan, "Ibu!"
Sungguh girang Bin Ju tak terlukiskan, terus saja ia merangkul
Boh-thian sambil berseru, "O, anakku yang baik!" berbareng air
matanya sudah bercucuran pula.
Ciok Jing pun terharu, pikirnya, "Kalau mengingat sepak
terjang anak ini ketika di Leng-siau-sia dan di tengah orangorang
Tiang-lok-pang, dosanya itu biarpun ditebus dengan
jiwanya juga belum cukup setimpal, mana dapat dikatakan
sebagai "anak yang baik?""
Tapi mengingat anak itu menderita penyakit hilang ingatan, ia
merasa tidak enak untuk menegurnya tentang perbuatanperbuatannya.
Apalagi kalau diingat bahwa kesalahan setiap orang harus
diberi kesempatan untuk memperbaikinya, bukan mustahil
kelak anak ini akan berubah menjadi baik. Padahal kalau
ditinjau lebih mendalam, sejak kecil dia sudah berpisah dengan
ayah-ibu, betapa pun dirinya sebagai ayah harus bertanggung
jawab karena kurang memberi didikan. Hanya saja perbuatan
tidak senonoh bocah inilah yang benar-benar telah membikin
busuk nama baik Hian-soh-siang-kiam (sepasang pedang dari
Hian-soh-ceng) yang tersohor di Kangouw selama ini.
Begitulah sesaat itu pikiran Ciok Jing menjadi bergolak di
samping gembira juga merasa menyesal dan gemas.
Melihat air muka sang suami yang sebentar terang sebentar
masam itu, segera Bin Ju dapat meraba apa yang dipikirnya.
Khawatir kalau suaminya mulai menanyai dosa Ciok Boh-thian
cepat Bin Ju berkata, "Engkoh Jing, Anak Giok, aku sudah
sangat lapar, marilah kita lekas mencari makanan."
Ia lantas bersuit, sejenak kemudian kedua ekor kuda hitamputih
lantas berlari mendatangi dari semak-semak sana. "Nak,
kau bersatu kuda tunggangan dengan ibu saja."
Melihat sang istri sangat gembira, hal ini jarang terjadi selama
belasan tahun ini, maka Ciok Jing hanya tersenyum saja dan
lantas mencemplak ke atas kuda hitam.
Boh-thian dan Bin Ju bersama menunggang kuda putih terus
dilarikan menuju ke jalan besar. Tapi di dalam hati Boh-thian
tetap ragu-ragu dan tidak habis mengerti, "Apakah dia benarbenar
ibuku" Jika betul ibu yang membesarkan aku sejak kecil
itu tentulah bukan ibuku lagi. Sebenarnya yang manakah yang
betul adalah ibuku?"
Begitulah tiga orang berdua kuda telah melanjutkan
perjalanan. Beberapa li kemudian, tiba-tiba terlihat di tepi jalan
ada sebuah kelenteng. "Marilah kita sembahyang dahulu ke dalam kelenteng," tibatiba
Amanat Marga 5 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Kucing Suruhan 9
^