Pencarian

Medali Wasiat 12

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 12


coba kau memenggalnya!" seru Lu Cing-peng, berbareng ia
terus melompat ke samping orang itu, golok Ci-kim-to bekerja,
kontan ia menebas ke pinggang orang.
Orang itu menjerit, tahu-tahu Ci-kim-to telah menebasnya
menjadi dua sebatas pinggang. Badan bagian atas itu sampai
mencelat dua-tiga meter jauhnya dan darah memenuhi
pelataran. Sementara itu Hoan It-hui, Hong Liang, Ko Sam-niocu, dan
lain-lain telah berdiri di sekeliling pelataran dan sedang
menonton, mungkin mereka takkan terkejut seperti sekarang
apabila lelaki pendek kecil itu mengeluarkan ilmu silatnya yang
hebat dan aneh atau sekalipun Lu Cing-peng yang tertebas
menjadi dua, sungguh sama sekali tak terduga oleh mereka
bahwa hanya dengan sekali tebas saja dan tanpa mengadakan
perlawanan, lelaki yang galak di mulut itu ternyata sudah
terbunuh mati. Keruan Lu Cing-peng sendiri juga ternganga
kaget karena lawannya ternyata tidak mahir ilmu silat sedikit
pun. Dan selagi semua orang saling pandang dengan bingung itu,
tiba-tiba di atas atap rumah ada suara orang berkata dengan
nada dingin, "Bagus sekali! Sungguh kepandaian yang hebat!
Lu-tayhiap dari Gway-to-bun di Liautang dengan sekali tebas
telah membikin pelayan hotel terputus menjadi dua potong!"
Waktu semua orang mendongak dan memandang ke atas,
maka tertampaklah seorang dengan jubah warna kelabu
sedang berdiri di atas rumah sambil bertolak pinggang.
Melihat itu sadarlah semua orang bahwa orang yang dibunuh
oleh Lu Cing-peng barusan kiranya adalah pelayan hotel yang
telah disuruh oleh orang tak dikenal itu untuk sengaja mencari
perkara kepada jago-jago Liautang.
Tanpa bicara lagi tangan Ko Sam-niocu lantas bekerja "crit-critcrit"
tiga kali, tiga batang pisau terbang terus menyambar ke
atas. Namun dengan cepat sekali orang itu telah tangkap
sebilah pisau terbang terus melompat ke samping sehingga dua
bilah pisau yang lain juga terhindar.
Lalu dengan tertawa orang itu berseru, "Atas kedatangan Sutay-
mui-pay dari Kwantang, kami akan menunggunya dengan
hormat di tengah hutan siong yang terletak 12 li di utara kota
ini, jika kalian tidak berani datang juga tidak menjadi soal."
Dan sebelum Hoan It-hui dan lain-lain menjawab, cepat orang
itu lantas melompat turun ke sana terus menghilang dalam
kegelapan. Untuk sejenak semua orang terdiam. Kemudian berkatalah Ko
Sam-niocu, "Kita akan pergi atau tidak?"
"Tak peduli siapa adanya pihak lawan, sekali mereka sudah
menantang, mau tak mau kita harus menerimanya," ujar Hoan
It-hui. "Benar," tukas Ko Sam-niocu. "Betapa pun kita harus
mempertahankan martabat dan nama Su-tay-mui-pay dari
kalangan persilatan di Kwantang."
Lalu ia mendekati jendela kamar Ciok Boh-thian dan berseru,
"Ciok-inkong, adik perempuan cilik, kami ada janji dengan
orang dan terpaksa harus berangkat dulu, biarlah besok saja
kita bertemu pula di kota sebelah depan sana."
Setelah merandek dan tidak mendapat jawaban Ciok Bohthian,
segera ia menyambung pula, "Di tempat ini sudah terjadi
perkara jiwa, tentu akan timbul kesukaran, maka ada lebih baik
Inkong berdua juga lekas berangkat saja daripada tersangkut
dalam perkara ini." Dia tidak langsung minta Ciok Boh-thian dan Ting Tong ikut
hadir dalam pertemuan mereka nanti, maklum siang harinya
jiwa mereka baru saja ditolong oleh Ciok Boh-thian, kalau
sekarang mereka mengajaknya pula akan berarti pemuda itu
seakan-akan telah dijadikan pengawal mereka, hal ini tentu
akan sangat memerosotkan derajat jago-jago Su-tay-mui-pay
dari Kwantang. Namun segala gerak-gerik di pelataran ini telah cukup jelas
didengar oleh Ciok Boh-thian dan si Ting Tong. Dengan bisikKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
bisik Boh-thian telah tanya Ting Tong, "Bagaimana kita harus
berbuat?" "Ya, toh tidak dapat tinggal terlalu lama lagi di sini, terpaksa
kita harus mengikut di belakang mereka untuk menonton," ujar
Ting Tong sambil menghela napas gegetun. Maklumlah, sebab
dengan demikian maka malam yang bahagia bagi mereka
berarti akan dilalui dengan sia-sia pula.
Namun Ciok Boh-thian ternyata tidak berpikir dan tidak
merasakan apa-apa tentang malam pengantin segala, katanya
pula, "Entah siapakah pihak lawan mereka itu, apakah tidak
mungkin adalah siyaya-mu?"
"Aku pun tidak tahu," sahut Ting Tong. "Biarlah kita jangan
perlihatkan diri saja, boleh jadi siyaya-ku yang akan mereka
hadapi." "Wah, jika demikian tentu bisa runyam," seru Boh-thian
dengan khawatir. "Le... lebih baik aku tidak ikut pergi saja."
"Tolol," omel Ting Tong. "Jika betul Siyaya yang akan mereka
hadapi, kan kita dapat mengeluyur pergi secara diam-diam"
Sekarang ilmu silatmu sudah begini tinggi, Siyaya juga tidak
mampu membikin susah lagi padamu. Aku tidak khawatir, kau
sendiri malah takut."
Tengah bicara, terdengarlah suara derapan kuda yang ramai,
jago-jago Kwantang itu beramai-ramai sudah meninggalkan
hotel. Terdengar Ko Sam-niocu berteriak kepada pengurus
hotel, "Aku meninggalkan 210 tahil perak di sini, yang sepuluh
tahil adalah biaya-biaya tinggal kami, sedangkan 200 tahil
yang lain adalah ganti rugi dan ongkos penguburan si pelayan
yang mati itu. Pembunuhnya adalah begal dari Soatang yang
bernama Ong Tay-hou, janganlah kalian merembet perkara ini
kepada orang lain." Boh-thian menjadi heran, ia tanya si Ting Tong dengan suara
lirih, "Siapakah Ong Tay-hou itu?"
"Tolol! Itu kan nama palsu, agar besok dalam laporan kepada
yang berwajib ada cukup alasannya," kata Ting Tong.
Mereka lantas keluar juga dan melihat dua ekor kuda tertambat
di muka hotel, segera mereka mencemplak ke atas kuda dan
meninggalkan hotel itu. Walaupun tahu telah terjadi
pembunuhan di dalam hotel itu, tapi siapakah di antara
penghuni-hotel yang berani keluar untuk menegur mereka"
Begitulah Boh-thian dan Ting Tong lantas mengintil rombongan
jago-jago Kwantang itu dari jauh. Kira-kira belasan li jauhnya,
benar juga di depan sana terbentang sebuah hutan siong yang
lebat. Dari jauh terdengar Hoan It-hui telah berseru dengan suara
lantang, "Entah sobat dari kalangan mana tadi telah
mengundang kami, maka sekarang orang-orang Han-bweceng,
Gway-to-bun, Jing-liong-bun ,dan Ho-hou-kau sudah
berada di sini dan mohon bertemu!"
Dalam kalangan Kangouw terdapat semboyan yang
mengatakan "Hong-lim-bok-jip" (Bila Ketemu Hutan Janganlah
Masuk), apalagi dalam malam gelap, siapa tahu kalau di dalam
hutan itu sudah disediakan perangkap bagi mereka" Sebab
itulah jago-jago Kwantang itu lantas berhenti di depan hutan
dan menyapa. "Marilah kita sembunyi di semak-semak sana, coba lihat dulu
apakah Siyaya atau bukan?" kata Ting Tong kepada Boh-thian.
Kedua orang lantas melompat turun dari kuda mereka, dengan
merunduk mereka lantas sembunyi di belakang sepotong batu
besar yang sekelilingnya tumbuh rumput yang cukup lebat.
Ketika mendengar suara kaki kuda, Hoan It-hui dan kawankawannya
sudah tahu bahwa Boh-thian berdua jadi mengikut di
belakang mereka. Maka sekarang mereka pun tidak menyapa
pemuda itu, mereka memusatkan perhatian ke arah hutan.
Empat pemimpin berdiri paling depan, belasan anak murid
mereka berbaris beberapa meter di belakang mereka. Akan
tetapi keadaan ternyata sunyi senyap, sedikit pun tiada
jawaban apa-apa. Malam itu bulan sudah menyerong ke barat dan agak guram,
wajah semua orang menjadi agak kepucat-pucatan tersorot
cahaya rembulan itu, perasaan mereka rada tegang.
Selang agak lama, tiba-tiba terdengar suara suitan di dalam
hutan, menyusul dari sebelah kiri dan kanan lantas berlari
keluar sebaris laki-laki berseragam hitam, kedua barisan yang
berjumlah ratusan orang itu lantas berputar ke belakang
sehingga jago-jago Kwantang itu akhirnya terkurung di tengah.
Sesudah itu, dari dalam hutan kembali keluar sepuluh orang
laki-laki seragam hitam pula, serentak kesepuluh orang ini
lantas berdiri secara berjajar.
Ciok Boh-thian bersuara heran perlahan di tempat
sembunyinya. Kiranya kesepuluh orang ini telah dikenalnya
semua. Mereka bukan lain daripada para hiangcu Lwe-go-tong
dan wakilnya dari Tiang-lok-pang. Bi Heng-ya, Tan Tiong-ci,
Tian Hui dan lain-lain juga termasuk di antara kesepuluh orang
itu. Dan sesudah kesepuluh orang itu sudah berdiri di tempatnya,
lalu keluar lagi seorang dari dalam hutan, siapa lagi dia kalau
bukan "Tio-jiu-seng-jun" Pwe Hay-ciok.
Lebih dulu tabib she Pwe itu batuk-batuk beberapa kali, lalu
membuka suara, "Para pemimpin Su-tay-mui-pay dari
Kwantang telah sudi berkunjung kemari, kami... huk, huk,
tidak berani menunggu di markas, tapi sengaja datang
menyambut ke sini. Hanya saja... huk, huk,... hanya saja
kedatangan kalian agak terlambat, sungguh membikin para
saudara kami merasa tidak sabar lagi."
Mendengar pembicaraannya diseling dengan terbatuk-batuk,
maka Hoan It-hui lantas tahu tokoh di hadapannya ini pasti
Pwe Hay-ciok yang termasyhur di dunia persilatan itu. Tapi ia
merasa lega malah setelah mengetahui bahwa pihak lawan
ternyata adalah Tiang-lok-pang yang justru menjadi tujuan
perjalanan mereka ini. Ia pikir kebetulan juga dapat bertemu
dan bertempur untuk menentukan mati atau hidup dengan
Tiang-lok-pang di tempat ini daripada tanpa sebab terlibat
dalam permusuhan dengan Ting Put-si yang gila-gilaan itu.
Maka cepat ia memberi hormat dan menjawab, "O, kiranya
Pwe-siansing yang telah jauh-jauh menyambut kedatangan
kami ini, sungguh kami sangat terima kasih. Cayhe adalah
Hoan It-hui dari Ho-hou-kau dan saudara ini adalah...."
begitulah ia lantas perkenalkan pula Lu Cing-peng, Hong Liang,
dan Ko Sam-niocu. Melihat kedua pihak itu bertemu secara ramah tamah, diamdiam
Boh-thian menyangka mereka tidak jadi berkelahi, segera
ia membisiki si Ting Tong, "Kiranya adalah kawan-kawan
sendiri semua, marilah kita keluar untuk menemui mereka."
Namun si Ting Tong pantas mencegahnya, bisiknya perlahan,
"Nanti dulu, tunggulah sebentar lagi!"
Di sebelah sana terdengar Hoan It-hui mulai bicara pula, "Kami
sudah berjanji akan berkunjung ke tempat kalian pada hari
Tiong-yang-ce, tak terduga di tengah jalan kami telah
mengalami sedikit halangan sehingga datang agak terlambat,
untuk ini mohon Pwe-siansing dan para hiangcu sudilah
memaafkan." "Ah, tidak," jawab Pwe-tayhu. "Cuma saja Ciok-pangcu sudah
cukup lama menunggu dan kalian belum juga berkunjung
datang, maka beliau telah berangkat pergi untuk urusan
penting yang lain. Beliau menyangka janji pertemuan kalian itu
tentu telah dibatalkan, maka tidak menunggu lebih lama lagi."
Hoan It-hui tertegun atas keterangan itu. Katanya kemudian,
"Entah sekarang Ciok-enghiong pergi ke mana" Sesungguhnya
saja kedatangan kami dari jauh ke Tionggoan sini justru
berharap dapat berjumpa dengan Ciok-enghiong kalian. Jika
tidak dapat bertemu, maka... maka kami benar-benar sangat
kecewa." "Dasar orang goblok," demikian si Ting Tong membisiki Bohthian.
"Dia berada bersama kau, makan-minum bersama satu
meja, tapi mengatakan tidak bertemu dengan kau dan sangat
mengecewakan mereka. Sungguh menertawakan."
Dalam pada itu terdengar Hoan It-hui telah menyambung lagi,
"Kunjungan kami ini telah membawa juga sedikit hasil bumi
Kwantang, beberapa lembar kulit berbulu dan beberapa kati
jinsom untuk dipersembahkan kepada Ciok-enghiong, Pwesiansing,
dan para hiangcu yang terhormat. Sedikit oleh-oleh
yang tak berarti ini sudilah kiranya kalian terima dengan suka
hati." Habis bicara ia lantas memberi tanda, segera ada tiga orang
anak buahnya mendekati seekor kuda dan menurunkan tiga
bungkusan dari punggung binatang tunggangan itu. Lalu
dengan membungkuk hormat mereka mendekati Pwe Hay-ciok.
"Ah, kalian... kalian benar-benar sangat baik hati," sahut Pwetayhu
dengan tertawa. "Atas... huk, huk,... atas hadiah kalian
yang berharga ini, sungguh kami sangat... sangat berterima
kasih, sangat berterima kasih!"
Lalu dari punggung sendiri Hoan It-hui lantas menanggalkan
juga sebuah bungkusan kecil, ia melangkah maju tiga tindak,
lalu bungkusan kecil itu dipersembahkan sambil berseru,
"Tonghong-pangcu dari Pang kalian dahulu pernah tinggal di
Kwantang serta mempunyai persahabatan yang akrab dengan
kami. Di sini adalah sebuah jinsom tua yang telah berbentuk
badan manusia, kalau dimakan akan dapat awet muda dan
panjang umur, jinsom ini terhitung benda yang jarang
terdapat, dengan ini khusus kupersembahkan kepada
Tonghong-toako." Dengan kedua tangannya dia persembahkan bungkusan kecil
itu, tapi sorot matanya menatap tajam kepada Pwe-tayhu.
Diam-diam Ciok Boh-thian sangat heran, ia tidak tahu dari
mana munculnya seorang Tonghong-pangcu lagi"
Sementara itu terdengar Pwe-tayhu sedang terbatuk-batuk
beberapa kali, lalu menghela napas pula dan menjawab,
"Pangcu kami yang dahulu, Tonghong-toako, pada... huk, huk,
pada beberapa tahun yang lalu telah mengalami sesuatu
urusan yang tidak menyenangkan, beliau menjadi putus asa
dan tidak mau mengurus soal organisasi lagi. Sebab itulah
segala urusan penting dari Pang kami telah diserahkan kepada
Ciok-pangcu yang sekarang. Tonghong toako sendiri lantas...
huk, lantas mengasingkan diri, sampai saat ini kami pun tidak
pernah menerima kabar beritanya dan sangat merindukan
beliau. Sekarang kalian membawakan oleh-oleh berharga ini,
tapi entah cara bagaimana harus menyampaikan kepada
beliau?" "Entah Tonghong-toako bertirakat di mana dan sebab apakah
beliau sampai perlu mengasingkan diri?" tanya It-hui. Lapatlapat


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nadanya sudah mengandung maksud menegur dan
mendesak. Namun Pwe-tayhu menjawabnya dengan tersenyum, "Cayhe
cuma bawahan Tonghong-toako saja, pengetahuan kami atas
urusan pribadi beliau sangatlah terbatas dan tidak banyak. Jika
saudara Hoan dan para kawan mengaku adalah sahabat akrab
Tonghong-pangcu, maka kebetulan Cayhe ingin minta
petunjuk: sebab apakah di kala Tiang-lok-pang sedang
berkembang dengan pesat dan namanya lagi jaya, tapi
mendadak Tonghong-pangcu malah menyerahkan beban yang
amat berat ini kepada Ciok-pangcu?"
Tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya. Dengan demikian
Hoan It-hui menjadi terdesak dan susah menjawabnya.
"Tentang ini, mungkin... mungkin...." It-hui menjawab dengan
tergagap-gagap dan tidak sanggup meneruskan.
Maka Pwe-tayhu lantas berkata pula, "Pada waktu Tonghongpangcu
menyerahkan kedudukan pangcu, saat itu para saudara
kami boleh dikata sama sekali tidak mengetahui seluk-beluk
tentang ilmu silat dan pribadi Ciok-pangcu yang sekarang.
Mengingat usianya masih sangat muda namanya juga tidak
menonjol di dunia persilatan, sekarang dia diharuskan
memimpin para kesatria, tentu saja menimbulkan ketidakadilan
dalam hati saudara-saudara kami. Namun sesudah Ciokpangcu
menduduki jabatannya, berturut-turut beliau lantas
melakukan beberapa pahala bagi Pang kami, hal ini
membuktikan bahwa pandangan Tonghong-pangcu benarbenar
sangat tajam dan pintar memilih penggantinya, bukan
saja ilmu silatnya memang tinggi, bahkan pengetahuannya
juga lain daripada yang lain.... Huk, huk, jika tidak demikian
masakah beliau dapat bersahabat akrab dengan kalian"
Hahahaha!" Di balik kata-katanya, yang terakhir ini seakan-akan dia ingin
mengatakan bahwa kalau kalian anggap pilihan Tonghongpangcu
itu tidak tepat, maka kalian yang merupakan sahabat
pilihan Tonghong-pangcu pula tentu juga bukan manusia baikbaik
atau cuma kaum keroco saja.
"Pwe-tayhu," mendadak Lu Cing-peng menimbrung, "berita
yang kami peroleh di Kwantang justru tidak demikian ini, sebab
itulah maka jauh-jauh kami sengaja datang kemari untuk
menyelidikinya." "Berita yang tersiar sejauh itu bukan mustahil telah sengaja
ditambah dan dibuat-buat," ujar Pwe Hay-ciok. "Entah berita
bohong apakah yang telah kalian dengar?"
"Ya, sebelum jelas duduknya perkara yang sebenarnya
memang susah untuk dikatakan apakah berita ini cuma berita
bohong atau bukan," kata Lu Cing-peng. "Dari seorang kawan
kami mendengar, katanya Tonghong-toako telah... telah...."
sampai di sini sorot matanya mendadak berapi-api, nadanya
lantas meninggi, "telah dibunuh oleh pengkhianat dalam Tianglok-
pang, kematiannya tidaklah jelas dan kedudukan pangcu
telah ditempati oleh seorang pemuda yang kejam, angkara
murka dan cabul pula perbuatannya. Apa yang kami dengar
dari kawan itu rasanya bukan bualan belaka. Mengingat
persahabatan kami dengan Tonghong-toako di masa lampau,
walaupun kami sadar baik ilmu silat maupun derajat kami
sesungguhnya tidak sesuai untuk ikut campur dalam urusan
Pang kalian, tapi demi untuk kepentingan Tonghong-toako,
terpaksa... terpaksa kami harus berlaku sembrono."
"Benar, ucapan Lu-heng memang tepat, tindakan kalian ini
memanglah sembrono," sambung Pwe Hay-ciok dengan
tertawa dingin. Muka Lu Cing-peng menjadi panas, diam-diam ia mengakui
"Tio-jiu-seng-jun" Pwe Hay-ciok memang benar-benar pintar
dan cerdik. Segera ia menjawab dengan suara keras,
"Sebenarnya soal pengangkatan pangcu kalian, sebagai orang
luar kami tidak perlu ikut campur. Kedatangan kami jauh-jauh
dari Kwantang ini hanya ingin tanya kepada Pang kalian,
sesungguhnya Tonghong-toako saat ini masih hidup atau sudah
mati. Dia mengundurkan diri sebagai pangcu sesungguhnya
dilakukan secara sukarela atau atas paksaan orang lain?"
Pwe Hay-ciok tertawa dingin. Katanya, "Sekalipun orang she
Pwe ini tidak becus, tapi jelek-jelek juga ada sedikit nama di
dunia Kangouw, apa yang sudah kukatakan masakah pernah
dijilat kembali" Biarpun kalian menganggap aku berdusta, apa
mau dikata lagi, terpaksa orang she Pwe akan berdusta sampai
titik terakhir. Hehe, kalian adalah orang-orang yang ada nama
di dunia persilatan, dengan penuh semangat kalian suka
membela teman, hal ini sungguh harus dipuji dan dikagumi.
Tapi dalam urusan ini rasanya tidaklah tepat."
Selamanya Ko Sam-niocu suka disanjung puji orang, keruan
sekarang ia menjadi gusar atas olok-olok Pwe Hay-ciok itu.
Dengan suara garang ia berkata, "Orang yang membunuh
Tonghong-toako bukan mustahil kau orang she Pwe inilah
biang keladinya. Kedatangan kami ke Tionggoan sini adalah
untuk menuntut balas bagi Tonghong-toako, memangnya kami
sudah bertekad takkan pulang dengan hidup. Seorang laki-laki
sejati berani berbuat harus berani bertanggung jawab,
mengapa kau bicara secara plintat-plintut" Nah, lebih baik kau
mengaku terus terang saja, sebenarnya Tonghong-toako sudah
meninggal atau masih hidup?"
Dengan acuh tak acuh Pwe Hay-ciok menjawab, "Orang she
Pwe ini sudah lama menderita sakit sehingga selalu tersiksa,
memangnya aku sudah merasa bosan hidup. Jika Ko Samniocu
mau bunuh, boleh silakan mulai saja."
"Huh, percuma saja kau mengaku sebagai tokoh persilatan,
tapi main akal bulus terhadap nyonya besarmu ini," damprat
Ko Sam-niocu. "Baiklah, jika kau tidak mengaku, bolehlah kau
panggil keluar itu anak jadah she Ciok, biar nyonya besar tanya
langsung kepadanya."
Ia pikir Pwe Hay-ciok terlalu licik, untuk adu mulut rasanya
tidak bisa menang, main kekerasan juga mungkin kalah karena
jumlah lawan lebih banyak. Sebaliknya Ciok-pangcu itu hanya
seorang pemuda ingusan, andaikan nanti tidak mau bicara
terus terang, sedikitnya dari sikapnya dan gerak-geriknya akan
dapat diketemukan sedikit tanda-tanda yang meyakinkan.
Akan tetapi Tan Tiong-ci yang berdiri di sebelah Pwe Hay-ciok
itu mendadak menanggapi, "Untuk bicara terus terang kepada
Ko Sam-niocu, memang Ciok-pangcu kami biasanya paling
suka kepada kaum wanita, tapi yang dia pilih hanya anak dara
yang masih muda dan cantik, yang masih halus dan empuk.
Kalau beliau diminta menemui Ko Sam-niocu, hehe, kukira...
kukira...." Ucapan Tan Tiong-ci itu bernada sangat bangor, secara terangterangan
ia mengolok-olok Ko Sam-niocu sudah tua lagi jelek
mukanya, maka Ciok-pangcu mereka tentu tidak mau
menemuinya. Diam-diam si Ting Tong merasa geli, ia membisiki Boh-thian,
"Sebenarnya Ko-cici juga sangat cantik, jika menurut kata-kata
Tan-hiangcu tadi, apakah kau juga telah penujui dia?"
"Hus, jangan sembarangan mengoceh!" bentak Boh-thian
tertahan sambil memegang tangan si nona.
Dalam pada itu Ko Sam-niocu menjadi gusar, kontan ia telah
menyambitkan tiga bilah pisaunya ke arah Tan Tiong-ci.
Tapi Tan Tiong-ci dapat mengelakkannya semua, katanya
dengan tertawa, "Eh, apa gunanya kau penujui diriku"...."
begitulah mulutnya lantas mencerocos lagi dengan kata-kata
yang tidak senonoh. Keruan Ko Sam-niocu semakin kalap, segera pisau terbangnya
menyambar lagi. "Nanti dulu!" It-hui bermaksud melerai.
Akan tetapi sekali Ko Sam-niocu sudah murka, maka susahlah
dihentikan, sekaligus ia telah menyambitkan enam bilah pisau,
yang satu menyambar terlebih cepat daripada yang lain.
Keenam bilah pisau itu dapat dihindarkan oleh Tan Tiong-ci,
akan tetapi waktu pisau ketujuh menyambar tiba, "cret", ia
tidak sempat mengelak, dengan tepat kaki kanan termakan,
seketika kaki Tan Tiong-ci sakit dan lemas sehingga berlutut.
"Huh, apa gunanya berlutut dan minta ampun?" demikian Ko
Sam-niocu balas mengejek.
Sekarang Tan Tiong-ci yang menjadi murka, ia cabut pisau
yang menancap di kakinya itu terus menerjang maju. Akan
tetapi Hong Liang telah putar ruyungnya dan menyabet
sehingga Tiong-ci terpaksa mundur lagi.
Tampaknya pertempuran total segera dapat terjadi, untunglah
pada saat itu mendadak Ciok Boh-thian lantas berseru, "Jangan
berkelahi! Jangan berkelahi! Kalian ingin bertemu dengan aku,
bukankah kalian sudah bertemu sekarang?"
Sembari bicara ia lantas keluar dari tempat sembunyinya
dengan gandeng tangan si Ting Tong, hanya beberapa kali
lompatan saja ia sudah berdiri di tengah-tengah orang banyak.
Serentak Tan Tiong-ci dan Hong Liang yang telah siap-siap
bertempur tadi lantas melompat mundur, segenap anggota
Tiang-lok-pang lantas bersorak gemuruh dan sama memberi
sembah hormat, "Pangcu sudah tiba!"
Keruan Hoan It-hui dan lain-lain sangat terkejut. Sebenarnya
dia merasa sangsi, tapi kalau melihat sikap anggota-anggota
Tiang-lok-pang yang sungguh-sungguh itu rasanya toh tidaklah
pura-pura. Lalu terpikir olehnya, "Ya, Inkong mengaku she
Ciok, usianya masih muda, ilmu silatnya sangat tinggi,
memangnya tidaklah mengherankan juga dia adalah Pangcu
Tiang-lok-pang, adalah salah kami sendiri yang tidak berpikir
sampai begini jauh."
Ko Sam-niocu juga lantas menyapa, "Eh. Ciok... Ciok-inkong,
kiranya kau adalah... adalah Pangcu Tiang-lok-pang" Ai, kami
benar-benar terlalu sembrono. Tahu begini, masakah kami
berani tidak memercayai lagi?"
Boh-thian hanya tersenyum, katanya kepada Pwe Hay-ciok,
"Pwe-siansing, sungguh tidak nyana bahwa kita akan bertemu
di sini. Mereka ini adalah sahabatku semua, jangan kita saling
cekcok." Memangnya Pwe Hay-ciok juga sangat girang atas munculnya
Ciok Boh-thian, ia pun tiada permusuhan apa-apa dengan jagojago
Kwantang itu, segera ia memberi hormat dan menjawab,
"Pangcu sudah datang sendiri, maka segala sesuatu terserah
kepada kebijaksanaan Pangcu."
"Sungguh kami tidak pernah menduga bahwa pangcu baru
Tiang-lok-pang kiranya adalah Inkong," demikian Ko Samniocu
berkata. "Kami telah percaya kepada berita bohong yang
mengatakan Tonghong-toako dicelakai kaum pengkhianat,
makanya kami lantas mengadakan janji pertemuan dengan
Pang kalian. Tapi jika Pangcu baru ternyata adalah Inkong
adanya, dengan budi luhur Inkong ini tidaklah mungkin berbuat
sesuatu yang tidak pantas terhadap Tonghong-toako, kami
percaya pasti Tonghong-toako yang penujui Inkong karena
nyata-nyata berjiwa luhur dan berkepandaian tinggi, maka
beliau rela mengundurkan diri dan memberikan tempatnya
kepada tenaga muda. Cuma keadaan Tonghong-toako entah
baik-baik atau tidak?"
Ciok Boh-thian menjadi bingung untuk menjawabnya. Ia
berpaling dan coba bertanya kepada Pwe-tayhu, "Tonghong...
Tonghong-toako ini...."
"O, Tonghong-pangcu telah mengasingkan diri di pegunungan
sunyi, beliau tidak mau menemui tetamu dari mana pun juga,"
jawab Pwe Hay-ciok. "Ya, sayang, kalian yang penuh menaruh
perhatian atas diri beliau dan sengaja datang dari jauh,
mestinya memang harus bertemu dengan beliau."
"Tadi ucapan Cayhe mungkin agak kasar, untuk mana haraplah
Pwe-siansing suka memberi maaf," kata Hoan It-hui sambil
memberi hormat. Lalu sambungnya pula, "Hanya saja
hubungan, kami dengan Tonghong-toako boleh dikata lain
daripada yang lain, maka betapa pun juga kami harap dapatlah
bertemu sejenak dengan beliau, untuk ini mohon Inkong dan
Pwe-siansing sudi meluluskan. Walaupun Tonghong-toako
menyatakan tidak mau menemui orang luar, tapi kami ini
bukanlah orang luar."
"Tempat tirakat Tonghong-toako itu entah jauh atau tidak?"
kata Boh-thian kepada Pwe Hay-ciok. "Sesungguhnya memang
sangat mengecewakan bila kedatangan Hoan-toako dan
kawan-kawannya dari tempat sejauh ini ternyata tidak dapat
bertemu dengan beliau."
Pwe Hay-ciok menjadi serbasusah. Setiap ucapan sang pangcu
boleh dikata adalah perintah. Tapi apa yang terjadi di antara
persoalan pangcu lama dan baru tampaknya sudah dilupakan
seluruhnya olehnya, di hadapan orang banyak tidak leluasa
pula untuk mengingatkannya kembali. Terpaksa ia mengulur
tempo dan berkata, "Untuk ini seketika juga susah diterangkan.
Sementara ini silakan para tamu mampir dulu di markas kita
yang terletak tidak jauh dari sini, sambil minum sekadarnya
perlahan-lahan kita dapat membicarakannya lagi."
"Markas kita terletak tidak jauh dari sini?" Boh-thian menegas
dengan heran. Pwe-tayhu memandang sekejap kepada pemuda itu. "Penyakit
linglung Pangcu kembali kumat lagi?" pikirnya. Tapi ia pun
lantas menjawab, "Dari sini menuju ke timur laut, dengan
mengambil jalan singkat kita hanya perlu menempuh 50-an li
saja sudah dapat sampai di markas besar kita di Yangciu."
Baru sekarang Boh-thian sadar telah disasarkan oleh si Ting
Tong. Waktu dia memandang si nona, si Ting Tong telah
menjawabnya dengan menjulurkan lidah dan tertawa.
Hoan It-hui dan kawan-kawannya memang ingin mencari tahu
di mana beradanya Tonghong Heng, maka mereka lantas
menerima baik undangan Pwe Hay-ciok.
Begitulah beramai-ramai mereka lantas berangkat ke jurusan
timur laut. Menjelang pagi mereka sudah sampai di markas
besar Tiang-lok-pang. Petugas-petugas penyambut tamu sibuk
melayani Hoan It-hui dan kawan-kawannya. Sedangkan Ciok
Boh-thian dan si Ting Tong lantas masuk ke ruangan dalam.
Melihat sang pangcu telah pulang, Si Kiam sangat girang dan
kejut pula ketika melihat beliau membawa pulang seorang
nona cantik. Pikirnya, "Baru saja kesehatannya sedikit pulih,
sekarang penyakit bangornya sudah kumat lagi. Tadinya kukira
dia akan berubah kelakuannya yang buruk ini, siapa duga dia
tetap demikian. Ya, memangnya kalau sifatnya itu dapat
berubah, tentu matahari akan muncul dari arah barat."
Sesudah cuci muka dan baru saja Boh-thian minum teh,
terdengarlah Pwe Hay-ciok berseru di luar kamar, "Enci Si
Kiam, harap sampaikan kepada Pangcu bahwa Pwe Hay-ciok
mohon bertemu." Bab 35. Pek Ban-kiam Menerjang ke Sarang Tiang-lokpang
Tanpa menunggu laporan Si Kiam, segera Boh-thian keluar dan


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata, "Pwe-siansing, memangnya aku ingin bicara dengan
kau. Sebenarnya bagaimana duduknya perkara tentang
Tonghong-pangcu?" "Harap Pangcu ikut kemari," sahut Pwe Hay-ciok, Ia membawa
Boh-thian menyusur taman dan sampailah di suatu gardu
pemandangan. Ia menunggu Boh-thian mengambil tempat
duduk, habis itu barulah dia sendiri pun berduduk. Lalu
katanya, "Sesudah Pangcu menderita sakit ini, jangan-jangan
telah melupakan semua kejadian di masa lampau?"
Boh-thian sendiri sudah mendengar pembicaraan ayah-ibunya
dan mengetahui sebabnya orang-orang Tiang-lok-pang
mengangkatnya menjadi pangcu sebenarnya tidak dengan
iktikad baik, tapi justru ingin memperalat dan mengorbankan
jiwanya demi keselamatan orang banyak di dalam Pang
mereka. Hanya saja selama ini Pwe Hay-ciok selalu ramah
tamah dan sangat menghormat padanya, di waktu dirinya
menderita sakit payah juga berkat pengobatannya yang tekun,
biar bagaimanapun juga orang tua itu telah banyak
mengurangi penderitaannya. Jika sekarang dirinya menegur
dengan terus terang, tentu akan membuatnya kikuk. Apalagi
kejadian-kejadian di masa dahulu memangnya dirinya juga
sudah lupa, untuk ini perlu juga mendapat keterangan yang
jelas. Maka ia lantas menjawab, "Ya, benar! Harap Pwe-siansing sudi
menguraikannya dari awal sampai akhir sejelas-jelasnya."
"Tonghong-pangcu yang dulu nama lengkapnya adalah
Tonghong Heng, berjuluk Pat-jiau-kim-liong (Si Naga Emas
Delapan Cakar), beliau adalah Pangcu punya susiok, apakah
Pangcu masih ingat?"
"Aku punya susiok?" Boh-thian menegas dengan heran.
"Mengapa... mengapa aku tidak ingat sedikit pun" Dari aliran
dan golongan manakah dia itu?"
"Tentang asal usul perguruan Tonghong-pangcu, karena kami
adalah kaum bawahan dan tidak pantas untuk tanya kepada
beliau," sahut Pwe Hay-ciok. "Tiga tahun yang lalu, Pangcu
sendiri mendapat perintah Suhu...."
"Mendapat perintah Suhu" Siapa sih guruku?" tanya Boh-thian.
Hay-ciok menggeleng-geleng kepala. Katanya, "Penyakit
Pangcu ini benar-benar sangat parah, sampai-sampai gurunya
sendiri pun sudah terlupa. Tentang perguruan Pangcu, kami
sebagai bawahan juga tidak mengetahui. Tempo hari, itu Pek
Ban-kiam dari Swat-san-pay menuduh Pangcu adalah murid
pelarian dari Swat-san-pay mereka, hal ini pun membuat
Siokhe (bawahan) merasa heran."
Sampai di sini ia lantas berhenti, agaknya mengharap agar
Boh-thian menyambungnya dan membeberkan asal usul
perguruannya sendiri. Tapi Boh-thian cuma menerangkan, "Tentang guruku, aku
hanya pernah mengangkat Su-popo dari Kim-oh-pay sebagai
suhu, hal ini pun baru terjadi tidak lama berselang."
Lalu ia ketok-ketok dahi sendiri karena apa yang diingatnya
selalu berbeda daripada apa yang dikatakan orang lain, hal
demikian ini membuatnya sangat kesal. Kemudian ia menanya
lagi, "Lalu bagaimana sesudah aku mendapat perintah dari
guruku?" "Atas perintah guru Pangcu, maka Pangcu telah datang
menumpang kepada Tonghong-pangcu dan mohon
bimbingannya agar dapat menambah pengalaman. Tidak lama
kemudian Pang kita lantas terjadi suatu urusan penting, yaitu
mengenai medali tembaga tanda undangan Siang-sian dan
Hwat-ok Sucia. Tentang ini apakah Pangcu masih ingat?"
"Tentang medali dari Siang-sian dan Hwat-ok itu memang aku
mengetahui," sahut Boh-thian, "tapi bagaimana dan apa yang
dirundingkan pada waktu itu, hal ini sedikit pun aku tidak ingat
lagi." "Begini, menurut tradisi Pang kita, setiap tahun satu kali kita
mesti mengadakan sidang pleno pada tanggal tiga bulan tiga,"
demikian Pwe Hay-ciok menjelaskan. "Pada hari itu berkumpul
para hiangcu dari pusat dan para thocu dari cabang-cabang di
berbagai tempat. Pada suatu sidang besar tiga tahun yang lalu
tiba-tiba ada kawan menyinggung tentang kemajuan Pang kita
yang pesat, lewat dua-tiga tahun lagi soal undangan medali
tembaga akan muncul pula di Kangouw, tatkala mana rasanya
Pang kita takkan terhindar daripada undangannya, lalu cara
bagaimana harus menghadapinya, ini harus dirundingkan
sekalian supaya tiba saatnya nanti tidak tergesa-gesa dan
bingung." "Ya, benar itu," ujar Boh-thian sambil mengangguk. "Bila
medali tembaga rasul-rasul itu sudah disampaikan, kalau
Pangcu tidak mau terima dan berjanji akan hadir, maka
segenap anggota tentu akan ikut menjadi korban. Hal ini aku
sudah menyaksikan sendiri."
"Pangcu telah menyaksikan sendiri?" tanya Hay-ciok terheranheran.
"Sesungguhnya saja aku bukan pangcu kalian," kata Boh-thian.
"Cuma tentang Siang-sian dan Hwat-ok Sucia itu aku memang
telah menyaksikannya sendiri, yaitu ketika mereka membunuh
habis-habisan orang-orang Hui-hi-pang dan Tiat-cha-hwe."
Tentang tertumpasnya Hui-hi-pang dan Tiat-cha-hwe lantaran
menolak untuk menerima medali tembaga, berita-berita itu
sudah lama didengar oleh orang-orang Tiang-lok-pang.
Pwe Hay-ciok menghela napas, lalu berkata pula, "Kita juga
sudah menduga akan tiba suatu hari nahas seperti kawankawan
Kangouw itu, sebab itulah hiangcu yang dahulu
mengemukakan persoalan ini sesungguhnya cukup beralasan.
Cuma saja Tonghong-pangcu menjadi gusar dan anggap
hiangcu she Ho itu sengaja menjangkitkan perasaan takut dan
mengeruhkan suasana, segera beliau memerintahkan Hohiangcu
itu ditahan. Ketika para kawan memohonkan ampun
bagi Ho-hiangcu, pada lahirnya Tonghong-pangcu menyatakan
baik, tapi pada malamnya Ho-hiangcu itu lantas dibunuh
olehnya, besok paginya diumumkan katanya Ho-hiangcu telan
membunuh diri karena takut kepada dosanya sendiri."
"Mengapa beliau berbuat demikian?" tanya Boh-thian. "Ya,
mungkin Tonghong-pangcu ada permusuhan pribadi dengan
Ho-hiangcu itu, kesempatan itu lantas digunakan untuk
membunuhnya." "Tidak, tidak begitulah soalnya," kata Pwe Hay-ciok sambil
menggeleng. "Alasan yang sesungguhnya adalah karena
Tonghong-pangcu tidak ingin orang lain mengungkat soal
medali tembaga itu."
"O," Boh-thian mengangguk dan pahamlah dia.
Hendaklah maklum bahwa sebenarnya dia mempunyai bakat
yang pintar, soalnya dia jarang bergaul sehingga seluk-beluk
orang hidup sama sekali asing baginya. Tapi akhir-akhir ini dia
telah berkumpul dengan Ting Tong, selama beberapa hari
berbicara dan tukar pikiran pula dengan Ciok Jing dan Bin Ju,
maka sekarang ia telah dapat meraba pikiran orang lain,
Pikirnya, "Rupanya Tonghong-pangcu sadar bila terima
undangan medali tembaga, maka berarti akan tamatlah
riwayatnya. Sebaliknya kalau tidak mau terima medali itu,
tentu segenap anggota akan ikut berkorban. Lantaran soal
yang serbamenyusahkan ini, maka beliau tidak mau soal sulit
itu disebut-sebut." Dalam pada itu Pwe Hay-ciok telah menyambung ceritanya,
"Sudah tentu para kawan mengetahui bahwa beliau sendiri
yang telah membunuh Ho-hiangcu. Dari perbuatannya ini para
kawan lantas dapat menarik kesimpulan bahwa kelak bila
medali tembaga itu disodorkan kepadanya, tentu beliau akan
menolak, tidak mungkin beliau rela mengorbankan diri sendiri
untuk keselamatan para kawan. Tatkala itu semua orang hanya
membatin saja, tapi tiada yang berani membuka suara. Pada
saat itulah, hanya engkau Pangcu yang telah tampil ke muka
dan menegur Tonghong-pangcu atau susiokmu itu."
"Aku... aku yang tampil ke muka dan... dan menegurnya?"
Boh-thian menegas dengan terheran-heran.
"Benar!" sahut Hay-ciok. "Waktu itu dengan tegas Pangcu telah
berkata, "Susiok, sebagai seorang pangcu, hendaklah engkau
berpikir panjang demi kepentingan Pang kita di kemudian hari.
Hari munculnya Siang-sian dan Hwat-ok Sucia sebab tidak jauh
lagi, sebabnya Ho-hiangcu mengemukakan soal ini juga
mengingat kebaikan kita bersama, tapi Susiok telah
mendesaknya sehingga dia membunuh diri, hal ini mungkin
akan menimbulkan rasa penasaran para kawan." " Tonghongpangcu
menjadi gusar dan mendamprat engkau, "Anak kurang
ajar! Di tengah sidang ini masakah kau berani ikut bicara"
Akulah yang mendirikan Tiang-lok-pang, kalau mau runtuh
biarlah aku pula yang meruntuhkannya, orang lain tidak perlu
banyak bacot." " Ucapan Tonghong-pangcu itu lebih-lebih
menimbulkan rasa kurang puas para kawan. Tapi Pangcu
sendiri lantas berkata, "Susiok, engkau akan terima medali
tembaga atau tidak, akhirnya toh tetap akan mati, apa sih
bedanya" Jika engkau tidak mau terima, paling-paling jiwa
kawan-kawan yang setia ini akan ikut menjadi korban, cara
demikian apa manfaatnya bagimu" Maka ada lebih baik kalau
Susiok menerima medali secara kesatria sehingga segenap
anggota Pang kita pasti akan selamanya teringat kepada budi
kebaikanmu.?" "Ya, benar juga kata-kata ini," ujar Boh-thian sambil anggukangguk.
"Akan tetapi... akan tetapi, Pwe-siansing, aku merasa
tidak... tidak mahir bicara sebagus itu. Aku tidak mampu
mengucapkan kata-kata seindah itu."
"Ah, mengapa Pangcu mesti merendah hati?" kata Hay-ciok
dengan tersenyum. "Soalnya Pangcu baru saja sembuh dari
sakit keras, maka daya ingatanmu belum lagi pulih. Kelak bila
kesehatanmu sudah pulih, tentang kepandaianmu berbicara
dan berdebat, jangankan segenap kawan kita, sekalipun tokohtokoh
Kangouw pada masa kini juga tiada seorang pun yang
dapat menandingi engkau."
"Apa ya?" kata Boh-thian dengan setengah percaya dan
setengah ragu-ragu. "Lalu... lalu bagaimana sesudah aku
berkata begitu?" "Seketika muka Tonghong-pangcu lantas merah padam," tutur
Pwe Hay-ciok. "Beliau menggebrak meja dan berteriak-teriak,
"Kurang ajar! Hayo, lekas... lekas ringkus bocah murtad ini!" "
Tetapi meski dia membentak berulang-ulang, semua orang
hanya saling pandang belaka dan tiada seorang pun yang
bergerak. Keruan Tonghong-pangcu semakin murka, dia
berteriak-teriak, "Ha! Jadi kalian telah bersekongkol dengan
bocah ini dan hendak berontak padaku" Baik, kalian tidak mau
turut perintah, biarlah aku sendiri yang membinasakan bocah
keparat ini!?" "Apakah para kawan tidak dapat mencegahnya?" tanya Bohthian.
"Sudah tentu semua orang tidak mau turut perintahnya, tapi
tetap tiada seorang pun yang berani bersuara," kata Hay-ciok.
"Segera Tonghong-pangcu mengeluarkan senjatanya, Pat-jiauKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
hui-coa (Cengkeram Bercakar Delapan), kontan dia lantas
menyerang engkau, Pangcu. Tapi dengan cepat engkau sempat
menghindar. Berulang-ulang Tonghong-pangcu melancarkan
serangan mematikan, tapi satu per satu dapat dielakkan
olehmu, sebaliknya engkau tetap tidak balas menyerang.
Permainan cengkeram delapan cakar Tonghong-pangcu itu
terhitung suatu kepandaian tunggal di dunia persilatan, tapi
engkau mampu menghindarkan beberapa kali serangannya, hal
ini sudah boleh dikata sangat hebat, Saat itu Bi-hiangcu lantas
berseru, "Pangcu, sutitmu telah mengalah beberapa kali
seranganmu tanpa membalas, hal ini adalah karena dia
menghormati engkau sebagai pangcu dan susioknya, jika
engkau menyerang secara ganas lagi, tentu seluruh kesatria di
jagat ini akan anggap kau yang salah."
"Tapi Tonghong-pangcu tambah murka, bentaknya, "Boleh kau
suruh dia balas menyerang saja! Memangnya kalian sudah
condong padanya, jika perlu bolehlah kalian maju semua dan
bunuhlah aku, angkatlah bocah ini sebagai pangcu, supaya
terlaksana maksud tujuan kalian!" " Sambil memaki seranganserangannya
tidak pernah berhenti sehingga engkau berulangulang
terancam bahaya, tampaknya dengan segera jiwamu
akan melayang di bawah senjatanya.
"Pada saat itulah Tian-hiangcu telah berseru padamu,
"Terimalah pedang ini, Saudara Ciok!" " Berbareng dia lantas
melemparkan sebatang pedang padamu. Sesudah bersenjata
engkau mengalah tiga jurus lagi, lalu berkata, "Susiok, aku
sudah mengalah lebih 20 jurus, jika kau tetap mendesak,
janganlah menyalahkan aku berlaku kasar padamu." " Akan
tetapi dengan sinar mata yang buas Tonghong-pangcu
menjawab kau dengan serangan keji, mukamu segera hendak
dicakar dengan senjatanya.
"Para kawan menjadi penasaran dan berteriak-teriak
menganjurkan engkau membalas serangannya. Akhirnya
barulah engkau mengucapkan maaf, lalu melancarkan
serangan balasan. Pertarungan kalian menjadi sangat seru.
Kepandaian Tonghong-pangcu dan Pangcu adalah berasal dari
suatu perguruan, keruan para kawan susah membedakan siapa
yang lebih unggul. "Namun sesudah sekian lamanya, akhirnya semua orang dapat
melihat jelas bahwa Pangcu engkau belum mengeluarkan
segenap tenaga dan terang masih mengalah padanya,
sebaliknya Tonghong-pangcu menyerang semakin kalap.
Akhirnya dengan sejurus yang menyerupai "Sun-cui-tui-ciu"
(Mendorong Perahu Menurut Arus) dapatlah engkau menusuk
pergelangan tangannya, hui-jiau terjatuh ke lantai, tapi engkau
tidak menyerang lebih jauh, sebaliknya lantas menarik senjata
dan melompat mundur malah.
"Dengan muka pucat Tonghong-pangcu terpaku di tempatnya,
sinar matanya menyapu ke muka para kawan satu per satu.
Keadaan sunyi senyap, tiada seorang pun yang membuka
suara. Selang agak lama barulah Tonghong-pangcu berkata
dengan nada iba, "Ya, baik, baik!" " Lalu ia melangkah keluar
dengan cepat. Para kawan hanya menyaksikan kepergiannya
itu dan tetap tidak seorang pun yang bersuara.
"Dengan perginya Tonghong-pangcu itu, teranglah beliau
merasa malu untuk kembali lagi. Tapi Pang kita tidak boleh
tanpa pimpinan, maka beramai-ramai para kawan lantas
mengangkat engkau sebagai pangcu. Waktu itu dengan rendah
hati engkau berkata, "Aku tidak mempunyai kepandaian apaapa,
sebenarnya aku tidak berani menanggung kewajiban
seberat ini. Cuma saja mengingat dua-tiga tahun lagi akan
muncul pula soal medali tembaga, maka sementara ini biarlah
aku menjabat kedudukan ini, jika medali tembaga itu diantar
kemari, akulah yang akan menerimanya dengan baik untuk


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menanggung segala akibatnya."
"Mendengar pernyataanmu itu, serentak para kawan bersorak
gembira dan lantas menyembah padamu. Kepandaianmu tinggi
dan telah menundukkan Tonghong-pangcu, sekarang engkau
menyanggupi pula berkorban bagi orang banyak, budi
kebaikanmu itu sungguh tiada taranya. Para kawan merasa
tidak kecewa telah mendukung engkau sebagai pangcu."
"O, makanya beberapa kali aku melancong keluar, kalian
menjadi panik dan khawatir kalau-kalau aku tidak pulang lagi,"
kata Boh-thian. Muka Pwe Hay-ciok menjadi merah. Cepat ia berkata, "Kami
hanya khawatirkan keselamatan Pangcu. Selama ini walaupun
Pangcu agak keras terhadap para kawan, tapi budi kebaikan
Pangcu tetap membuat kami berterima kasih."
"Pwe-siansing," kata Boh-thian sesudah merenung sejenak,
"kejadian-kejadian di masa lampau aku sudah tidak ingat lagi.
Maka hendaklah kau jangan menutupi apa adanya, sebenarnya
aku pernah berbuat kesalahan-kesalahan atau tidak?"
"Dikatakan kesalahan, sebenarnya juga jamak," ujar Pwe Hayciok
dengan tersenyum. "Usia Pangcu masih muda, tentu juga
agak romantis dan suka pelesir. Pula wanita-wanita itu
kebanyakan adalah sukarela, tidaklah banyak terjadi
pemaksaan. Nama Tiang-lok-pang kita memangnya tidak
terlalu disukai orang luar, andaikan terjadi apa-apa juga
dianggap sepele saja oleh para kawan."
Diam-diam Boh-thian sangat mencela kepada dirinya sendiri. Ia
tahu ucapan Pwe Hay-ciok itu meski kedengaran soal sepele,
tapi jelas selama beberapa tahun ini dirinya pasti sudah banyak
melakukan perbuatan tidak senonoh, yaitu dalam hal main
perempuan. Akan tetapi sudah dipikir dan diingat kembali,
rasanya selain si Ting Tong toh dirinya tidak pernah
berhubungan dengan perempuan lain lagi.
"Pangcu," Hay-ciok berkata pula, "Siokhe ingin mengemukakan
sesuatu yang agak menyinggung, entah Pangcu sudi
mendengarkan atau tidak?"
"O, ya, aku justru ingin mendapat petunjuk-petunjuk Pwesiansing
silakan bicara terus terang saja," sahut Boh-thian
cepat. "Bahwasanya Tiang-lok-pang terpaksa melakukan pekerjaanpekerjaan
gelap, hal ini memang susah dihindarkan, kalau
tidak daripada kita memperoleh pembiayaan sandang-pangan
bagi beberapa ribu anggota Pang kita" Memangnya kita juga
bukan kaum kesatria dari kalangan pek-to (golongan baik-baik)
sehingga tidak perlu patuh kepada adat peraturan mereka yang
tengik. Cuma saja mengenai putri atau istri bawahannya
sendiri, menurut pendapat Siokhe ada lebih baik Pangcu jangan
terlalu menggubrisnya agar... agar tidak menimbulkan
sengketa di antara saudara-saudara kita sendiri."
Seketika muka Boh-thian merah jengah. Teringat olehnya pada
malam itu Tian-hiangcu telah berusaha membunuhnya dengan
menuduh dirinya telah mencemarkan kehormatan istri hiangcu
itu. Karena dirinya kena penyakit hilang ingatan, bukan
mustahil hal demikian itu memang betul terjadi, wah, lantas
bagaimana baiknya sekarang"
Dalam pada itu Pwe Hay-ciok telah berkata pula, "Tingkah laku
Ting Put-sam, Ting-losiansing itu rada aneh, ilmu silatnya juga
sangat tinggi, jika Pangcu berhubungan dengan cucu
perempuannya, kelak kalau Pangcu membuangnya lagi,
mungkin Ting-losiansing tidak mau terima dan hal ini berarti
akan menambah permusuhan...."
"Mana bisa aku membuangnya?" sela Boh-thian.
Hay-ciok tersenyum, katanya, "Di waktu Pangcu sedang
menyukai seorang nona sudah tentu Pangcu menganggapnya
sebagai jantung hati kesayangan. Cuma biasanya Pangcu tidak
bisa lama menyukai nona-nona itu. Tentang nona Ting, jika
Pangcu benar-benar suka padanya juga tidak menjadi soal, tapi
janganlah sekali-kali mengadakan upacara nikah segala supaya
tidak masuk perangkap Ting-losiansing itu."
"Akan tetapi aku... aku sudah menikah dengan dia," kata Bohthian
dengan rada tergagap. "Ya, waktu itu penyakit Pangcu belum lagi sembuh, besar
kemungkinan dalam keadaan tak sadar Pangcu telah terjerat
oleh perangkap Ting Put-sam, hal ini pun tidak perlu dianggap,"
ujar Hay-ciok. Boh-thian mengerut dahi dan merasa bingung untuk
menjawabnya. Sampai di sini Hay-ciok merasa sudah cukup membicarakan
soal pribadi sang pangcu, kalau melampaui batas boleh jadi
akan mendatangkan rasa rikuh malah. Maka ia lantas
membelokkan pokok pembicaraan, katanya, "Su-tay-mui-pay
dari Kwantang telah datang kemari dengan garang sekali, tapi
begitu bertemu dengan Pangcu sikap mereka lantas lunak,
bahkan memanggil inkong tak habis-habis, hal ini menandakan
budi luhur dan wibawa Pangcu yang tiada bandingannya."
Kiranya tentang Ciok Boh-thian menggempur lari Ting Put-si
serta menolong jiwa Ko Sam-niocu dan kawan-kawannya, di
tengah jalan jago-jago Kwantang itu sudah bercerita kepada
orang-orang Tiang-lok-pang, dan sudah tentu banyak dibumbubumbui.
Maka Pwe Hay-ciok berkata pula, "Meski ilmu silat orang-orang
itu selisih sangat jauh dibandingkan Pangcu, tapi di dunia
persilatan mereka pun tergolong tokoh-tokoh ternama. Mereka
telah utang budi kepada Pangcu, kesempatan ini dapat
digunakan untuk merangkul mereka. Jika nanti mereka
bertanya pula tentang Tonghong-pangcu, hendaklah Pangcu
menjawab bahwa Tonghong-pangcu sudah mengundurkan diri,
kejadian yang Siokhe ceritakan tadi tidaklah perlu
diberitahukan kepada mereka agar tidak menimbulkan hal-hal
yang tak diinginkan."
"Ya, saran Pwe-siansing ini memang beralasan," kata Boh-thian
sambil mengangguk. Sesudah bicara sejenak pula, kemudian Pwe Hay-ciok
mengeluarkan sehelai daftar dan melaporkan tentang
keuangan organisasi, tentang mutasi petugas, tentang
penerimaan sumbangan dari pelabuhan atau dari gunung
mana. Sudah tentu Ciok Boh-thian tidak paham tentang administrasi
segala, apalagi dia memang buta huruf, maka dia hanya
mengiakan saja atas laporan Pwe Hay-ciok itu.
Cuma sekarang lantas diketahuinya juga bahwa apa yang
dilakukan oleh Tiang-lok-pang kiranya adalah hal-hal yang
tidak halal, banyak diterima upeti dari kaum begal di berbagai
tempat, hakikatnya adalah persekongkolan dan membagi
rezeki. Hati Boh-thian merasa tidak enak, tapi tidak tahu cara
bagaimana harus bicara kepada Pwe Hay-ciok.
Malamnya diadakan perjamuan besar-besaran untuk
menghormati jago-jago dari Kwantang itu. Hoan It-hui, Ko
Sam-niocu, Hong Liang, dan Lu Cing-peng berempat duduk di
tempat yang terhormat dengan diiringi Ciok Boh-thian, Pwe
Hay-ciok, dan si Ting Tong.
Sesudah saling angkat gelas serta mengobrol hal-hal yang
biasa, kemudian Hoan It-hui berkata, "Dengan bakat Inkong
yang tinggi ini sehingga Tiang-lok-pang semakin berkembang
dan jaya, untuk ini Tonghong-toako tentu juga merasa sangat
senang." "Saat ini Tonghong-pangcu sendiri sedang menikmati
kehidupannya yang aman dan tenteram, beliau tidak mau ikut
campur lagi urusan-urusan dalam Pang, maka kami pun tidak
berani melaporkan sesuatu kepadanya," kata Hay-ciok.
Dan baru Hoan It-hui ingin memancing lebih jauh untuk
mendapatkan keterangan tentang diri Tonghong Heng, tibatiba
wakil hiangcu dari Hou-beng-tong mendekati Pwe Hay-ciok
dengan tergesa-gesa dan membisiki apa-apa kepadanya. Lalu
Hay-ciok mengangguk dengan tersenyum. Kemudian ia
berpaling dan berkata kepada Ciok Boh-thian, "Harap Pangcu
maklum bahwa Swat-san-pay telah mengirim bala bantuan
kemari dengan maksud menolong kawan-kawan mereka. Di
luar dugaan mereka, bukannya berhasil menolong kawan
mereka, sebaliknya dua orang di antara penyatron baru itu
kembali diringkus kita lagi."
"Ha, anak murid Swat-san-pay telah kita tawan?" Boh-thian
menegas dengan terkejut. "Tempo hari sesudah Pangcu meninggalkan markas bersama
Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay itu, Siokhe dan para kawan
merasa khawatir kalau-kalau Pangcu kena diingusi oleh orang
she Pek itu, maka menyusul para kawan lantas bergerak
serentak untuk mencari jejak Pangcu," demikian Pwe Hay-ciok
menjawab tanpa menjelaskan ditawannya Ciok Boh-thian oleh
Pek Ban-kiam dahulu supaya tidak kehilangan muka di
hadapan jago-jago Kwantang itu, "Di tengah jalan kita telah
pergoki serombongan mereka di sini. Cuma sayang Pek Bankiam
itu cukup cerdik sehingga hanya ia sendiri yang berhasil
lolos." "Dan bagaimana dengan nona Hoa Ban-ci itu?" mendadak si
Ting Tong menimbrung. "Dia sudah tertawan lebih dulu pada rombongan pertama,
tatkala mana nona Ting juga berada di sini, bukan?" sahut Hayciok.
"Pertama kali itu seluruhnya kita telah menawan tujuh
orang Swat-san-pay."
Hoan It-hui dan kawan-kawannya terperanjat. Sungguh tak
terduga oleh mereka bahwa Swat-san-pay yang begitu tersohor
ternyata sudah dikalahkan habis-habisan oleh Tiang-lok-pang.
Maka Pwe Hay-ciok menyambung pula, "Ketika kita memeriksa
dan menanyakan jejak Pangcu kepada anak murid Swat-sanpay
itu, mereka sama mengaku bahwa pada malam itu juga
Pangcu telah meninggalkan kelenteng kecil itu, kemudian tidak
pernah bertemu lagi. Setelah yakin keadaan Pangcu tidak
kurang suatu apa pun, Siokhe dan para kawan barulah merasa
lega. Sekarang terserahlah kepada kebijaksanaan Pangcu cara
bagaimana akan memperlakukan orang-orang Swat-san-pay
itu." Diam-diam Boh-thian membatin, "Menurut cerita ayah-ibu,
katanya dahulu aku pernah berguru kepada Swat-san-pay dan
orang-orang Swat-san-pay ini masih terhitung paman guruku.
Sekarang mana boleh aku menahan mereka apalagi
menghukum mati mereka?"
Maka berkatalah Boh-thian, "Kukira di antara kita dan Swatsan-
pay telah terjadi sedikit salah paham, maka lebih baik...
lebih baik berkawan saja daripada mencari lawan. Pwesiansing,
kukira bebaskan mereka saja dan undang mereka ikut
makan minum sekalian, bagaimana pendapatmu?"
"Jika Pangcu anggap jalan ini adalah paling baik, nyata sekali
keluhuran budi Pangcu ini harus dipuji," sahut Pwe Hay-ciok
dengan tertawa. Segera ia memberi perintah, "Bawalah kemari
orang-orang Swat-san-pay itu!"
Wakil hiangcu tadi mengiakan terus berlalu. Sejenak kemudian
empat anggota Tiang-lok-pang telah menggiring datang dua
lelaki berbaju putih. Tangan kedua orang itu terikat telikung,
baju mereka berlepotan darah, agaknya sebelum tertawan
mereka telah melawan mati-matian sehingga terluka.
"Lekas maju dan menyembah kepada Pangcu!" bentak wakil
hiangcu tadi. Lelaki yang berusia lebih tua hanya mendelik saja. Sebaliknya
kawannya berumur 30-an itu lantas mencaci maki, "Sembah
apa" Jika berani bolehlah bunuh saja tuan besarmu ini! Kalian
kawanan bandit yang kejam ini adakalanya tentu akan
menerima ganjaran yang setimpal. Tunggulah kedatangan
guruku, Wi-tek Siansing, beliau akan mencincang kalian
sehingga hancur luluh untuk membalas dendam kami."
"Dampratan Si-sute sangat tepat! Ya, makilah mereka, bandit
anjing! Maling yang tidak tahu malu!" demikian mendadak
suara seorang yang keras menanggapi dari luar.
Menyusul terdengarlah suara gemerencing nyaringnya rantai
besi makin mendekat. Tertampaklah 20-an orang Swat-san-pay yang terborgol semua
telah memasuki ruang pendopo dengan bersitegang leher.
Kheng Ban-ciong, Houyan Ban-sian, Kwan Ban-lu, Kwa Bankin,
Ong Ban-jim, Hoa Ban-ci, semuanya termasuk di antara
tawanan-tawanan itu. Bahkan Ong Ban-ek yang memiliki
ginkang tertinggi sekarang juga ikut tertangkap.
Begitu masuk, Ong Ban-jim dan kawan-kawannya lantas
mencaci maki lebih keras lagi, ada pula di antaranya berteriak
murka, "Huh, dasar bangsat pengecut, hanya pandai main asap
pembius dan obat tidur, perbuatan demikian biasanya cuma
dilakukan oleh golongan maling ayam yang rendah!"
Mendengar itu. Hoan It-hui saling pandang sekejap dengan
kawan-kawannya. Pikir mereka jika apa yang dituduhkan
orang-orang Swat-san-pay itu benar, memang perbuatan
demikian itu bukanlah sesuatu yang gemilang walaupun
berhasil membekuk lawan-lawannya.
Rupanya Pwe Hay-ciok dapat menduga pikiran jago-jago
Kwantang itu, segera ia berbangkit. Katanya dengan tertawa,
"Ya, memang tempo hari kami telah menggunakan obat tidur,
hal ini bukanlah kami takut kepada kepandaian kalian, tapi
adalah mengingat hubungan Ciok-pangcu dengan perguruan
kalian, kalau sampai kami melukai kalian tentulah tidak baik.
Sekarang kalian bergembar-gembor, agaknya kalian merasa
penasaran karena telah tertawan. Baik begini saja, boleh kalian
maju satu per satu untuk coba-coba padaku, asal salah
seorang di antara kalian mampu bertahan sepuluh jurus saja,
maka Tiang-lok-pang kami boleh kalian anggap bangsat yang
rendah dan pengecut?"
Tempo hari dalam pertempuran di markas besar Tiang-lokpang
ini Pwe Hay-ciok telah memperlihatkan kepandaiannya
"Ngo-heng-liok-hap-ciang", Kwa Ban-kin dan kawan-kawannya
tiada satu pun yang mampu melawannya, hanya dalam duatiga
jurus saja sudah kena ditutuk roboh semua, maka untuk
bergebrak sepuluh jurus dengan Pwe Hay-ciok sekarang
memang bukanlah soal mudah.
Si Ban-lian, murid Swat-san-pay yang baru sekarang ikut
tertawan, dia belum kenal betapa lihainya Pwe Hay-ciok.
Sebaliknya ia melihat muka Pwe Hay-ciok pucat kurus seperti
orang sakit tebese, sudah tentu ia tidak takut padanya. Terus
saja berteriak, "Tiang-lok-pang kalian hanya menang dengan
jumlah orang lebih banyak, apanya yang luar biasa" Huh,
jangankan sepuluh jurus, biar seratus jurus juga akan Locu
layani!" "Bagus, bagus!" kata Hay-ciok dengan tertawa. "Saudara ini
benar-benar pemberani dan harus dipuji. Kita boleh bertaruh
saja, jika kau mampu bertahan dalam sepuluh jurus, maka
Tiang-lok-pang boleh dianggap sebagai kawanan bangsat


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengecut, tapi kalau saudara yang kalah di dalam sepuluh
jurus, apakah Swat-san-pay juga boleh dianggap sebagai
kawanan bandit pengecut?"
Sambil bicara ia terus mendekati Si Ban-lian dan begitu
mengebut dengan jarinya, kontan beberapa utas tali yang
meringkus di tubuh Si Ban-lian itu lantas putus semua. "Nah,
silakan mulai sekarang!" kata Hay-ciok pula dengan tertawa.
Hanya dengan sekali kebutan jari saja tali-tali rami sebesar
jeriji itu lantas putus semua, padahal tadi Si Ban-lian telah
meronta sekuatnya dan tidak mampu melepaskan diri. Keruan
muka Ban-lian menjadi pucat, tanpa merasa badannya menjadi
gemetar. Pada saat itulah tiba-tiba dari luar ada suara seorang
menanggapi ucapan Pwe Hay-ciok tadi, "Bagus, bagus! Jadilah
kita bertaruh!" Mendengar suara itu, anak murid Swat-san-pay lantas
bergirang, sebaliknya orang-orang Tiang-lok-pang melengak,
sampai-sampai Pwe Hay-ciok sendiri juga rada terkejut.
Maka tertampaklah seorang yang gagah berwibawa telah
muncul di depan pintu. Siapa lagi dia kalau bukan "Gi-han-sepak"
Pek Ban-kiam. Sesudah melangkah masuk, segera Ban-kiam memberi salam
kepada Hay-ciok, lalu berkata, "Cayhe tidak becus, tapi ingin
coba-coba sepuluh jurus dengan Pwe-siansing."
Pwe Hay-ciok tersenyum, sikapnya tetap sangat tenang, tapi
batinnya sebenarnya serbarunyam. Menurut kepandaian Pek
Ban-kiam, rasanya paling sedikit harus ratusan jurus lebih baru
bisa menangkan tokoh Swat-san-pay ini, jadi tidaklah mungkin
dapat mengalahkannya di dalam sepuluh jurus saja.
Namun sebagai seorang tua yang berpengalaman, hanya
berpikir sekejap saja ia lantas menjawab dengan tertawa,
"Pertaruhan sepuluh jurus hanya dapat digunakan untuk
menggertak para sute Pek-tayhiap saja, sekarang Pek-tayhiap
sendiri yang datang, maka syarat pertaruhan ini perlu diubah
sedikit. Jika Pek-tayhiap ada minat buat lemaskan otot dengan
Cayhe, maka bolehlah kita tentukan saja di dalam dua-tiga
ratus jurus." "O, kiranya apa yang telah diucapkan Pwe-siansing tadi dijilat
kembali?" desak Pek Ban-kiam.
"Hahaha!" Hay-ciok tertawa. "Pertaruhan sepuluh jurus hanya
ditujukan kepada kaum muda yang hijau dan congkak saja,
masakah Pek-tayhiap tergolong orang-orang demikian ini?"
"Jika Tiang-lok-pang mau mengaku sebagai kawanan bangsat
pengecut, apa halangannya kalau aku dianggap masih hijau
dan congkak?" Kiranya sesudah Pek Ban-kiam masuk ke ruang pendopo, ia
menjadi mendongkol ketika melihat Ciok Boh-thian duduk
terhormat di tengah ruangan, sebaliknya para sutenya
bermuka pucat dan teringkus semua. Sebab itulah ia terus
pegang kelemahan ucapan Pwe Hay-ciok tadi agar dia mau
mengaku bahwa Tiang-lok-pang adalah kawanan bangsat
pengecut. Pada saat itulah tiba-tiba di luar ada orang berseru dengan
suara lantang, "Nyo Kong dari Ka-hin-hu dan suami-istri Ciok
Jing dari Hian-soh-ceng datang berkunjung!"
Itulah suaranya Ciok Jing.
Ciok Boh-thian sangat girang, cepat ia melompat bangun
sambil berseru, "Ayah! Ibu!" Berbareng ia terus berlari keluar.
Ketika lewat di samping Pek Ban-kiam, mendadak Ban-kiam
pegang tangannya. Karena di luar dugaan, tahu-tahu nadi
pergelangan tangan Ciok Boh-thian sudah terpencet. Tapi dia
buru-buru ingin menemui ayah-ibunya, tanpa pikir lagi ia
lantas mengebaskan tangannya, di mana tenaga murninya
bekerja, seketika Ban-kiam merasa separuh tubuhnya pegal
kesemutan, lekas-lekas Ban-kiam lepas tangan, namun tidak
urung terasa juga suatu arus tenaga mahadahsyat telah
menumbuk ke arahnya, cepat ia melangkah mundur.
Air muka Ban-kiam berubah seketika. Dilihatnya Pwe Hay-ciok
sedang tersenyum-senyum padanya sambil berkata, "Benarbenar
kepandaian yang hebat!"
Ucapan ini seperti memuji Ciok Boh-thian, tapi sesungguhnya
menyindir kepandaian Pek Ban-kiam terlalu cetek, masih hijau
dan sombong. Dalam pada itu tertampaklah Ciok Boh-thian telah masuk
kembali mengiring kedatangan Ciok Jing dan Bin Ju, selain itu
ada pula seorang tua berjenggot putih dan berbadan tinggi
besar. Jarak Yangciu dan Ka-hin-hu tidak terlalu jauh, maka jago-jago
Tiang-lok-pang mengenali Nyo Kong adalah tokoh silat ternama
di daerah Kanglam, lebih-lebih sang pangcu memanggil Ciok
Jing dan Bin Ju sebagai "ayah-ibu", dengan sendirinya mereka
lantas berbangkit sebagai tanda hormat.
Dengan penuh kasih sayang tertampak Ciok Boh-thian
menggandengi tangan Bin Ju. Nyonya itu tersenyum simpul,
katanya kepada Boh-thian, "Sungguh aku sangat khawatir
ketika kau menghilang dari hotel kemarin pagi. Tapi ayahmu
mengatakan jangan khawatir, tidak mungkin orang mampu
menculik kau lagi. Dia bilang pasti akan bisa mendapat kabar
tentang dirimu bila tanya ke Tiang-lok-pang sini, benar juga
kau ternyata berada di sini."
Sebaliknya muka si Ting Tong menjadi merah atas kedatangan
Ciok Jing dan Bin Ju, cepat ia melengos ke arah lain, hanya
pasang kuping untuk mendengarkan apa yang dibicarakan
mereka. Maka terdengar Ciok Jing suami-istri, Nyo Kong telah
bersalaman dengan Pwe Hay-ciok, Hoan It-hui dan lain-lain.
Karena sama-sama tokoh persilatan yang ternama, maka
masing-masing saling mengucapkan kata-kata pujian kepada
kenalan-kenalan baru itu. Lebih-lebih Hoan It-hui dan kawanKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
kawannya menjadi tambah hormat kepada Ciok Jing dan Bin Ju
ketika diketahui mereka adalah ayah-ibunya Ciok Boh-thian.
Kemudian Boh-thian berkata kepada Pwe Hay-ciok, "Pwesiansing,
kesatria-kesatria Swat-san-pay ini biarlah kita
lepaskan semua saja."
"Atas perintah Pangcu, lepaskan semua "kesatria" Swat-sanpay!"
sambung Pwe Hay-ciok dengan tertawa meneruskan
perintah Ciok Boh-thian. Kata-kata "kesatria" sengaja
diucapkan dengan lebih keras, terang ia sengaja hendak
menyindir tawanan tawanannya itu.
Belasan anggota Tiang-lok-pang serentak mengiakan atas
perintah itu. Lalu petugas-petugas yang bersangkutan sama
maju membuka ringkusan dan belenggu atas diri anak murid
Swat-san-pay. Tapi dengan muka merah padam sambil meraba gagang
pedangnya Pek Ban-kiam lantas membuka suara, "Nanti dulu!
Ciok... hm, Ciok-pangcu, Pwe-siansing, mumpung Nyo Kong,
Nyo-loenghiong dan Ciok-cengcu suami-istri berada di sini,
marilah urusan kita harus dibicarakan dahulu sehingga jelas."
Sesudah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula, "Kita
sebagai orang-orang Bu-lim, jika kita sendiri yang tidak becus
sehingga terkalahkan, maka pihak lawan akan membunuh atau
menghinanya, biar bagaimanapun adalah lumrah dan mati pun
tidak perlu menyesal. Akan tetapi para suteku ini tertawan oleh
karena dibius dengan obat tidur, perbuatan Tiang-lok-pang
yang rendah dan memalukan ini sebenarnya merugikan nama
baik Swat-san-pay atau merusak nama baiknya Tiang-lok-pang
sendiri" Dan apa pula yang telah dikatakan oleh Pwe-siansing
tadi rasanya tidak ada salahnya untuk diuraikan lagi agar dapat
didengar sekalian oleh ketiga orang sobat yang baru datang
ini." Pwe Hay-ciok terbatuk-batuk beberapa kali, lalu menjawab
dengan tertawa, "Rupanya saudara Pek ini...."
"Siapa yang sudi bersaudara dengan kawanan bangsat yang
rendah dan pengecut" Huh, tidak punya malu!" potong Pek
Ban-kiam dengan suara bengis.
"Ciok-pangcu kami...."
"Pwe-siansing," demikian Ciok Jing menyela sebelum Pwe Hayciok
bicara lebih jauh, "usia anakku ini masih muda dan
pengalamannya cetek, masakah dia memenuhi syarat untuk
menjadi pangcu kalian" Belum lama berselang ia pun jatuh
sakit keras sehingga melupakan segala kejadian yang lampau.
Maka dalam persoalan ini tentu ada salah paham yang besar,
sebaiknya sebutan "pangcu" janganlah digunakan lagi.
Sebabnya Cayhe mengundang Nyo-loenghiong ke sini justru
ingin bikin terang urusan ini. Pek-suheng, soal persengketaan
Swat-san-pay kalian dengan Tiang-lok-pang dan anakku yang
durhaka ini pernah berdosa pula kepadamu, dua persoalan ini
hendaklah dipisah-pisahkan untuk diselesaikan tersendirisendiri.
Aku orang she Ciok walaupun cuma kaum keroco biasa
saja, tapi selamanya tidak sudi berdusta kepada siapa pun
juga. Aku ingin mengatakan bahwa putraku ini benar-benar
telah melupakan segala apa yang terjadi di masa lampau."
Bab 36. Ciok Boh-thian Tulen dan Palsu, yang Satu
Jantan, yang Lain Pengecut
Dan sesudah merandek sejenak, kemudian ia sambung pula
dengan suara lantang, "Namun demikian, segala sesuatu yang
pernah dilakukan olehnya, tak peduli apakah dia masih ingat
atau sudah lupa, pendek kata tidak nanti kami mengelakkan
tanggung jawab. Sebaliknya jika perbuatan orang lain yang
dilakukan dengan memperalat nama putraku, untuk ini kami
menyatakan dengan tegas di sini bahwa semuanya tidak ada
sangkut pautnya dengan kami."
Seketika heran dan bingunglah semua orang yang hadir di situ,
sungguh tiada seorang pun akan menduga bahwa mendadak
bisa terjadi hal-hal yang luar biasa ini.
"Hehe, hehe, mengapa bicara demikian?" jawab Pek Hay-ciok
dengan terkekeh kaku. "Ciok-pangcu kami...."
Tiba-tiba Ciok Boh-thian menimbrung, "Ya, Pwe-siansing, apa
yang dikatakan ayah memang tidak salah. Aku bukan pangcu
kalian, hal ini berulang-ulang sudah kukatakan, tapi kalian
tetap tidak percaya."
"Sebenarnya rahasia apa yang terkandung di dalam urusan ini,
sungguh kami ingin ikut mengetahuinya dengan jelas,"
demikian Hoan It-hui membuka suara. "Kami hanya kenal
Pangcu Tiang-lok-pang adalah Tonghong Heng, Tonghongtoako,
mengapa beliau bisa diganti oleh Ciok-inkong?"
Sejak tadi Nyo Kong hanya diam saja, sekarang ia pun ikut
bicara sambil mengelus jenggotnya, "Pek-suhu, janganlah
engkau keburu nafsu, siapa yang salah dan siapa yang benar di
dalam urusan ini tentu dunia persilatan akan memberi
pertimbangan yang adil."
Meski usianya sudah tua, tapi suaranya ternyata keras lantang
dan berwibawa. Terdengar ia melanjutkan lagi, "Maka segala
persoalan biarlah kita bicara secara tenang saja. Paling betul
sekarang belenggu atas diri beberapa saudara itu hendaklah
dibuka lebih dulu." Melihat Pwe Hay-ciok sudah mengangguk setuju, segera
beberapa anggota Tiang-lok-pang tadi melepaskan orang-orang
Swat-san-pay yang tertawan itu.
Sesudah mendengar nada Ciok Jing dan Nyo Kong tadi yang
lebih condong menegur kepada Pwe Hay-ciok dan tiada tanda
bermusuhan dengan dirinya, hal ini membuat Pek Ban-kiam
menjadi heran Sebenarnya sikapnya yang keras dan
menantang kepada Pwe Hay-ciok tadi hanyalah karena
terpaksa mengingat para sutenya sudah tertawan, sekarang dia
hanya bersendirian, demi mempertahankan martabat Swatsan-
pay terpaksa ia bersuara galak dan siap menghadapi
segala risiko. Tapi dengan datangnya Ciok Jing suami-istri dan
Nyo Kong secara mendadak, tampaknya situasi menjadi
berubah, maka ia pun tidak banyak bicara lagi, hanya tunggu
dan lihat dulu apa yang akan diperbuat oleh Pwe Hay-ciok.
Menunggu sesudah anak murid Swat-san-pay telah dibebaskan
semua dan telah ambil tempat duduk masing-masing,
kemudian Ciok Jing berkata pula, "Pwe-siansing, usia putraku
masih demikian muda, pengalamannya terlalu cetek, kalau dia
dapat menduduki pemimpin suatu organisasi besar sebagai
Tiang-lok-pang kalian, apakah hal ini takkan ditertawai setiap
kesatria Kangouw" Hari ini mumpung Nyo-loenghiong, Peksuheng,
dan para saudara-saudara Swat-san-pay yang lain
serta Su-tay-mui-pay dari Kwantang juga hadir di sini, maka
persoalan ini harus dibikin jelas. Ingin kukatakan bahwa sejak
kini putraku, Ciok Tiong-giok ini tiada sesuatu hubungan dan
sangkut paut apa-apa lagi dengan Tiang-lok-pang. Tentang
perbuatan-perbuatannya selama beberapa tahun ini, apa yang
dia lakukan sendiri sudah tentu akan dibereskan, sebaliknya
perbuatan yang dilakukan orang lain dengan memperalat
namanya, apakah perbuatan itu baik atau jelek, bukanlah
menjadi tanggung-jawab anak Giok."
"Apa yang dibicarakan Ciok-cengcu ini benar-benar membikin
orang merasa bingung dan tidak habis mengerti," demikian
Pwe Hay-ciok menjawab dengan tertawa. "Bahwasanya Ciokpangcu
menjabat pangcu kami, hal ini sudah berlangsung
selama tiga tahun dan bukan kejadian sehari semalam saja,
selama ini kami pun tidak pernah mendengar cerita dari Pangcu
bahwa Hian-soh-siang-kiam yang termasyhur di dunia
Kangouw ternyata adalah ayah-ibu beliau. Pangcu, mengapa
tidak kau katakan sejak dulu" Kalau tidak, jarak Hian-soh-ceng
dari ini toh tidak terlalu jauh, pada waktu engkau diangkat
menjadi pangcu tentu kita sudah mengundang ayah-bundamu
untuk menyaksikan upacara resmi itu."
"Aku... aku sebenarnya juga tidak tahu," sahut Boh-thian.
Jawaban Boh-thian ini membuat semua orang melengak.
"Mengapa kau sebenarnya juga tidak tahu?" demikian mereka
bertanya-tanya di dalam hati.
Maka cepat Ciok Jing menukas, "Ya, sebagaimana telah
kukatakan tadi, putraku ini pernah jatuh sakit keras sehingga
melupakan segala kejadian di masa lampau, bahkan ayahibunya
sendiri juga tak teringat lagi. Maka soal ini tak bisa
menyalahkan dia." Sebenarnya Pwe Hay-ciok serbasusah dan terdesak oleh katakata
Ciok Jing tadi. Tak mungkin secara terang-terangan ia
menceritakan maksud tujuan mereka mengangkat Ciok Bohthian
sebagai pangcu hanya untuk tameng saja dalam
menghadapi undangan medali tembaga dari kedua rasul
penghukum dan pengganjar, sedangkan soal ini pun tidak
pernah diucapkan oleh orang-orang Tiang-lok-pang sendiri,
mereka hanya sama-sama tahu di dalam hati saja, masakah di
hadapan orang luar boleh diceritakan"
Tapi sekarang demi mendengar Ciok Boh-thian mengaku


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa sebelumnya dia sendiri pun tidak tahu Ciok Jing dan Bin
Ju adalah ayah-ibunya, maka dapatlah dia alasan bantahannya,
segera ia berkata, "Ya, belum lama memang Pangcu telah
menderita sakit keras, tapi kejadian itu baru dua bulan saja,
ketika beliau diangkat menjadi pangcu kesehatannya cukup
baik, pikirannya sangat jernih, kalau tidak mana mungkin
beliau mampu menandingi dan bahkan mengalahkan
Tonghong-pangcu?" Ciok Jing dan Bin Ju menjadi curiga, mereka merasa belum
pernah mendengar kejadian demikian dari sang putra.
"Nak, sebenarnya bagaimana kejadian yang dikatakan itu?"
tanya Bin Ju kepada Boh-thian.
"Aku sendiri pun sama sekali tidak ingat lagi," sahut Boh-thian
sambil geleng kepala. "Kami hanya tahu pangcu she Ciok dan bernama Boh-thian,
nama Ciok Tiong-giok hanya baru saja kami mendengarnya
dari Pek-suhu dan Ciok-cengcu," kata Pwe Hay-ciok pula. "Apa
tidak mungkin Ciok-cengcu yang telah salah mengenali orang?"
"Putra kandungku sendiri masakah aku bisa salah
mengenalnya?" sahut Bin Ju dengan gusar. Biasanya dia sangat
ramah tamah, tapi Pwe Hay-ciok mengatakan Ciok Boh-thian
bukan putranya, betapa pun ia menjadi geram juga.
Melihat Pwe Hay-ciok tetap ngotot, Ciok Jing pikir tiada jalan
lain kecuali mengungkap terus terang saja tipu muslihat
mereka. Segera ia berkata, "Pwe-siansing, biarlah kita bicara
secara blakblakan. Sebabnya pang kalian sedemikian
menghargai putraku yang masih hijau ini kukira sekali-kali
bukanlah lantaran dia memiliki kepandaian tinggi dan
pengetahuan luas segala, tujuan kalian hanya ingin
memperalat dia untuk menghadapi bencana undangan medali
tembaga saja, coba katakan betul tidak?"
Karena ucapan Ciok Jing ini secara langsung telah kena isi hati
Pwe Hay-ciok, biarpun dia sudah berpengalaman dan licin,
tidak urung air mukanya berubah juga. Ia terbatuk-batuk
untuk mengulur tempo, dalam benaknya terkilas macammacam
pikiran dengan cepat cara bagaimana harus menjawab
tuduhan Ciok Jing itu. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang bergelak
tertawa dan berseru, "Kalian sedang menunggu undangan
medali tembaga bukan" Bagus, bagus sekali! Ini dia medali
yang kalian tunggu sudah datang!"
Dan tahu-tahu di tengah ruangan sudah berdiri dua orang, satu
gemuk dan satu kurus, pakaian mereka sangat perlente. Cara
bagaimana datangnya mereka itu ternyata tiada seorang pun
yang memerhatikan. Ciok Boh-thian sangat girang demi melihat kedua orang itu,
cepat ia menyapa, "He, Toako dan Jiko, sudah lama berpisah,
apakah kalian baik-baik saja?"
Ciok Jing dan Bin Ju pernah mendengar cerita putranya itu
tentang mengangkat saudara dengan Thio Sam dan Li Si. Maka
mereka menjadi terkejut ketika mengetahui yang dimaksudkan
Thio Sam dan Li Si itu kiranya adalah kedua pendatang ini.
Cepat mereka berkata, "Kedatangan kalian berdua ini sungguh
sangat kebetulan, kami sedang susah menentukan tentang
kedudukan pangcu dari Tiang-lok-pang, untuk ini harap kalian
berdua suka ikut menjadi saksi."
Sementara itu Boh-thian sudah mendekati Thio Sam dan Li Si
untuk memegang tangan mereka dengan mesra sekali.
"He, kiranya Samte adalah Pangcu Tiang-lok-pang, pantas ilmu
silatmu sedemikian hebat," kata Thio Sam dengan berseri-seri.
Diam-diam Bin Ju pikir keselamatan sang putra hanya
tergantung dalam waktu singkat ini saja, maka cepat ia
menyela, "Pangcu Tiang-lok-pang sebenarnya adalah
Tonghong-siansing, mereka telah menipu putraku ini untuk
menjadi tameng, maka kedudukan anakku ini tak bisa
dianggap sungguh-sungguh."
Thio Sam memandang sekejap kepada Li Si, tanyanya,
"Bagaimana pendapatmu, Losi?"
"Harus mencari orang yang sesungguhnya," sahut Li Si dengan
nada dingin. "Benar," seru Thio Sam. "Kita sudah mengangkat saudara dan
berjanji akan hidup bahagia bersama, ada kesulitan dipikul
bersama. Sekarang Samte kita hendak digunakan sebagai
tameng oleh mereka, bukankah ini berarti mencari setori
kepada kita berdua?"
Melihat cara munculnya Thio Sam dan Li Si yang mendadak itu,
semua orang sudah tahu bahwa ilmu silat kedua orang ini
susah diukur. Dari wajah dan tingkah laku mereka jelas
kelihatan pula sama dengan kedua rasul penghukum dan
pengganjar yang namanya mengguncangkan Bu-lim selama
beberapa puluh tahun ini, keruan semua orang terkesiap.
Sekalipun Pwe Hay-ciok dan Pek Ban-kiam juga ikut kebatkebit.
Dalam pada itu terdengar Thio Sam telah berkata pula dengan
tertawa-tawa, "Kami mengundang tamu untuk ikut menikmati
Lap-pat-cok, maksud kami adalah baik, tapi entah mengapa
setiap orang yang kami undang selalu sungkan hadir sehingga
sangat mengecewakan kami. Padahal orang yang kami undang
semuanya adalah ciangbunjin-ciangbunjin yang terkenal,
pangcu-pangcu yang ternama atau kaucu-kaucu dari kalangan
terpuji, kalau cuma orang biasa saja tidak nanti dikunjungi oleh
medali-medali tembaga kami. Ya, bagus, bagus, bagus!"
Sambil mengucapkan "bagus-bagus" sorot matanya lantas
menyapu ke arah Hoan It-hui, Lu Cing-peng, Hong Liang dan
Ko Sam-niocu sehingga keempat orang itu merasa mengirik.
Ketika paling akhir pandangannya menatap Ko Sam-niocu,
untuk sejenak sorot matanya berhenti lebih lama, dengan
tertawa ia menambahkan sekali lagi, "Bagus!"
Sebelumnya Hoan It-hui sudah merasa sebagai seorang
ciangbunjin tentu tidak luput dari undangan medali tembaga,
maka dapat diduga ucapan "bagus" empat kali Thio Sam itu
tentu maksudnya mereka berempat ciangbunjin dari Kwantang
kebetulan juga di sini, dengan demikian dia tidak perlu susah
payah melawat ke daerah Kwantang untuk menyampaikan
medalinya. Sebaliknya Ko Sam-niocu menjadi gusar, segera ia berteriak,
"Apa maksudmu dengan ucapan "bagus" sambil memandangi
nyonya besarmu ini?"
"Bagus berarti bagus, apa sih maksudnya yang lain" Pendek
kata bagus pasti tidak berarti tidak bagus," sahut Thio Sam
sambil tertawa. "Jika mau bunuh boleh lekas bunuh, tapi jangan harap nyonya
besar mau terima medalimu!" bentak Ko Sam-niocu, Berbareng
tangan kanan bergerak, kontan dua bilah pisau lantas
melayang ke arah Thio Sam.
Semua orang ikut terkejut. Sungguh tidak terduga bahwa
sedikit hatinya tidak senang seketika juga dia lantas
menyerang, bahkan terhadap kedua rasul pengganjar dan
penghukum itu ternyata tidak merasa jeri sedikit pun.
Sesungguhnya walaupun watak Ko Sam-niocu sangat keras,
tapi dia bukanlah seorang yang sama sekali tak bisa berpikir.
Ia sudah menduga jika kedua rasul itu toh sudah berniat
menyampaikan medali tembaga padanya, maka bencana ini
betapa pun susah dihindarkan. Sekarang ada sekian jago-jago
terkemuka yang berkumpul di markas Tiang-lok-pang, dalam
keadaan menghadapi musuh bersama, begitu mulai bergebrak,
tentu yang lain-lain takkan berpeluk tangan, mereka tentu
berpikir daripada dibunuh oleh kedua rasul itu ada lebih baik
sekarang mengerubut maju bersama, dengan tenaga gabungan
Su-tay-mui-pay dari Kwantang, ditambah Tiang-lok-pang,
Swat-san-pay, Hian-soh-siang-kiam dan lain-lain, boleh jadi
kedua musuh itu dapat ditumpas.
Karena itulah Ciok Boh-thian menjadi kaget ketika melihat Ko
Sam-niocu mulai menyerang dahulu, cepat ia berseru, "Awas,
Toako!" "Tidak apa-apa, jangan khawatir!" ujar Thio Sam dengan
tertawa. Dan begitu lengan bajunya mengebas, dua potong
tanda warna kuning lantas menyambar ke depan dan tepat
berbenturan dengan kedua pisau terbang Ko Sam-niocu.
"Trang-tring", didahului oleh suara nyaring mendenging, kedua
benda kuning itu dari tegak berubah menjadi melintang dan
dengan mendorong kedua bilah pisau terus menyambar ke
arah Ko Sam-niocu. Didengar dari suara sambaran angin, nyata kekuatan benturan
tadi sangat hebat, kalau Ko Sam-niocu mendak dan mengegos,
tentu kawan-kawan yang berdiri di belakangnya yang akan
menjadi korban. Tanpa pikir lagi kedua potong benda kuning itu lantas
ditangkapnya. Seketika terasa kedua lengannya tergetar sakit,
setengah badannya bagian atas terasa linu kesemutan. Waktu
ia periksa benda-benda kuning yang menolak kembali pisaunya
itu, kiranya bukan lain dari dua buah medali pengganjar dan
penghukum yang ditakuti itu.
Sudah lama juga Ko Sam-niocu mendengar tentang peraturan
yang ditentukan oleh kedua rasul pengganjar dan penghukum,
siapa saja asal sudah menerima medali tembaga mereka, maka
dapatlah dianggap sebagai telah terima baik undangan mereka
untuk hadir dalam perjamuan Lap-pat-cok dan tak mungkin
menolaknya pula. Seketika pucatlah mukanya, sampai-sampai
tubuhnya juga agak gemetar.
Tapi dengan tertawa-tawa Thio Sam terus berkata pula, "Pwesiansing,
kalian telah memasang perangkap untuk menipu
Samte kami agar dapat dipalsukan sebagai pangcu kalian.
Samte kami adalah seorang yang jujur dan polos, dengan
gampang saja dia terjebak. Tapi kami Thio Sam dan Li Si ini
bukan manusia jujur. Kedatangan kami adalah untuk
mengundang tamu, sudah tentu sebelumnya kami sudah
menyelidiki dengan jelas. Kalau kami sampai salah
mengundang orang, bukankah akan menjadi buah tertawaan"
Ke mana lagi muka Thio Sam dan Li Si ini akan ditaruh" Sebab
itulah, eh, saudaraku, tidakkah lebih baik kita persilakan turun
saja sasaran utama yang hendak kita undang ini?"
"Benar, seharusnya kita persilakan dia turun," sahut Li Si.
Habis berkata, sekonyong-konyong ia sambar sebuah bangku
bundar terus dilemparkan ke langit-langit rumah. "Blang",
seketika atap rumah tertimpuk menjadi suatu lubang besar,
debu pasir bertebaran disertai sepotong benda yang besar.
"Bluk", benda besar itu jatuh terbanting di tengah ruangan.
Tanpa merasa para hadirin mundur beberapa tindak karena
jatuhnya benda besar itu. Ketika mereka memerhatikan,
kiranya yang jatuh terbanting itu adalah satu manusia. Orang
itu tampak meringkuk tak bergerak.
Waktu Li Si menutuk beberapa kali dari jauh dengan jari kiri,
seketika hiat-to orang yang tertutuk itu terbuka dan perlahanlahan
dapatlah berbangkit. Sungguh kejut dan kagum tak
terkatakan semua orang atas kepandaian tiam-hiat (menutuk
jalan darah) Li Si dari jarak jauh itu. Dalam pada itu orang itu
telah kucek-kucek matanya, kemudian memandang sekitarnya
dengan bingung. Demi mengenali siapa orang itu, serentak ramainya suara
teriakan kaget, "He, dia!" " "Kenapa... kenapa dia?" "
"Sungguh aneh!"
Ternyata wajah orang itu mirip benar dengan Ciok Boh-thian,
hanya saja pakaiannya lebih perlente, bajunya dari kain sutra,
kopiahnya berhiaskan mutiara yang besar.
"Ciok-pangcu, kami datang kemari untuk mengundang kau
pergi makan Lap-pat-cok, kau akan hadir atau tidak?" demikian
Thio Sam lantas berkata kepada pemuda itu sambil
mengeluarkan dua buah medali tembaga.
Agaknya Ciok Boh-thian tidak habis mengerti atas kejadian itu.
Ia bertanya, "He, Toako, seb... sebenarnya apa-apaan ini?"
"Samte, coba kau lihat, wajah orang ini mirip kau atau tidak?"
sahut Thio Sam dengan tertawa. "Mereka telah
menyembunyikan dia, sebaliknya kau ditipu untuk
menggantikan dia sebagai pangcu. Akan tetapi, hahaha, toako
dan jikomu akhirnya dapat menemukan dia sehingga kau gagal
menjadi pangcu mereka, untuk ini kau menyesal kepada kami
atau tidak?" Boh-thian menggeleng-geleng kepala, dengan mata tak
berkedip ia pandang orang itu. Selang sejenak barulah berkata,
"Ayah, ibu, Ting-ting Tong-tong, Pwe-siansing, sejak mula aku
sudah menyatakan kalian telah... telah salah mengenali diriku,
sekarang menjadi lebih terang lagi bahwa aku bukan dia, dia...
dialah yang tulen!" Cepat Bin Ju melangkah maju, dengan suara terputus-putus ia
bertanya, "Kau... kau adalah anak Giok?"
Orang itu mengangguk, sahutnya, "Ya, ibu, ayah, kalian berada
di sini semua?" Pek Ban-kiam juga mendesak maju dan menegur, "Kau masih
kenal padaku tidak?"
Orang itu lantas menunduk, sahutnya, "Pek-susiok dan... dan
para Susiok, kalian juga berada di sini semua"!"
"Hahahaha! Ya, memang kami sudah datang semua!" kata
Ban-kiam dengan terbahak-bahak.
Sebaliknya dengan mengerut kening Pwe Hay-ciok berkata,
"Muka mereka berdua satu-sama-lain sangat mirip, perawakan
dan usia mereka juga sama, sebenarnya siapakah di antara
kalian adalah pangcu kami, sungguh aku tidak mampu
membedakan. Wah, ini benar-benar suatu kejadian aneh.
Apakah engkau inilah pangcu kami?"
Orang baru itu tampak mengangguk. Lalu Pwe Hay-ciok
bertanya pula, "Habis selama ini sebenarnya Pangcu pergi ke
mana?" "Ai, susah untuk diceritakan, biarlah kita bicarakan nanti saja,"
kata orang itu. Seketika suasana di ruang pendopo itu menjadi sunyi senyap,
yang terdengar hanya sedu sedan Bin Ju yang sedang
menangis. "Wajah orang memang banyak yang sama, tapi bekas luka
pedang di paha apakah juga bisa sama, kukira di dalam
persoalan ini ada sesuatu yang ganjil," kata Ban-kiam.
"Ya, orang ini adalah palsu," akhirnya Ting Tong ikut bicara.
"Engkoh Thian yang tulen di atas pundak kirinya ada... ada
sebuah bekas luka gigitan."
Ciok Jing menjadi ragu-ragu juga, ia pun mengemukakan
alasannya, "Benar, putraku pada waktu kecilnya juga pernah
terluka oleh senjata rahasia musuh."
Lalu ia tuding Ciok Boh-thian dan melanjutkan, "Pada tubuh
orang ini justru terdapat bekas luka senjata rahasia itu. Untuk
membedakan siapa yang tulen atau palsu, asal keduanya
diperiksa tentu segera akan dapat diketahui."


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua orang menjadi heran dan bingung juga mengikuti
percakapan itu. Mereka sebentar-sebentar pandang Ciok Bohthian
dan lain saat mengamat-amati pula si pemuda
berpakaian perlente itu. Maka terdengarlah Thio Sam bergelak tertawa sambil berkata,
"Jika Ciok-pangcu sudah harus dipalsukan, maka setiap ciricirinya
dengan sendirinya harus dibikin persis pula. Kalau di
atas badan yang tulen ada bekas luka, yang palsu dengan
sendirinya juga harus ada."
Habis berkata, "sret", mendadak ia lolos sebatang pedang yang
tergantung di pinggang seorang wakil hiangcu Tiang-lok-pang
dan di mana pedangnya menyambar, kontan bahu, paha kiri
dan pantat pemuda perlente itu masing-masing tergores suatu
lingkaran, ketika dia meniup pula, kontan jatuhlah tiga potong
kain kecil bulat sebesar mangkuk. Tiga potong kain bundar itu
kemudian bertebaran dan berubah menjadi sembilan potong.
Ternyata hanya sedikit bergerak saja pedangnya telah
mengorek satu bundaran pakaian pemuda perlente yang
berlapis tiga (baju luar dan dalam) sehingga kelihatan kulit
badannya. Maka tertampaklah di ujung bahunya terdapat
keriput bekas luka, di paha dan di pantatnya juga ada,
semuanya cocok seperti apa yang dikatakan si Ting Tong, Pek
Ban-kiam, dan Ciok Jing. Melihat itu, semua orang sampai menjerit kaget, selain kejut
atas kepandaian Thio Sam yang luar bisa itu, mereka pun
heran melihat bekas luka di badan pemuda itu ternyata serupa
dan persis seperti apa yang terdapat pada Ciok Boh-thian.
Cepat Ting Tong memburu maju, dengan suara gemetar ia
tanya, "Apa kau benar-benar Engkoh Thian?"
Pemuda itu tersenyum getir, sahutnya, "Ting-ting Tong-tong,
sudah lama kita tak bertemu, sungguh aku sangat kangen
padamu, sebaliknya kau ternyata sudah melupakan daku.
Biarpun kau tak kenal padaku lagi, tapi aku, biarpun seratus
tahun atau seribu tahun juga aku masih tetap kenal kau."
Mendengar itu, saking girangnya sampai si Ting-tang Ting-tong
melelehkan air mata, serunya, "Ya, engkau inilah benar-benar
Engkoh Thian-ku. Dia... dia ini hanya penipu yang memuakkan,
mana bisa dia mengucapkan kata-kata mesra demikian"
Hampir-hampir saja aku tertipu olehnya!"
Sambil berkata ia pun melotot marah kepada Ciok Boh-thian,
berbareng ia lantas gandeng tangan pemuda perlente itu
dengan mesra. Ketika pemuda itu menggenggam kencang tangan si nona dan
tersenyum padanya, seketika si Ting Tong merasa senang dan
bahagia tak terperikan. "Ting-ting Tong-tong, memangnya sejak mula aku sudah
menyatakan aku bukan kau punya Engkoh Thian, apa sekarang
kau ma... masih marah padaku?" tanya Boh-thian sambil
mendekati anak dara itu. "Plok", mendadak ia dipersen sekali tamparan oleh si Ting Tong
dengan dampratan, "Kau penipu, aduh...." kiranya dia
menampar terlalu keras sehingga tangannya kesakitan tergetar
oleh tenaga dalam Ciok Boh-thian yang lihai itu.
"Apakah tanganmu sa... sakit?" tanya Boh-thian.
"Enyah, enyah kau! Aku tidak sudi melihat penipu yang tak
kenal malu seperti kau ini!" damprat Ting Tong dengan gusar.
Boh-thian menjadi murung. "Aku... aku tidak sengaja menipu
kau," katanya setengah menggumam sendiri.
"Kau masih menyangkal?" semprot si Ting Tong. "Kau sengaja
membuat bekas luka palsu di pundakmu, mengapa tidak kau
katakan sejak mula?"
"Aku... aku sendiri pun tidak tahu adanya bekas luka ini," ujar
Boh-thian. "Penipu! Pendusta! Enyah kau!" bentak Ting Tong dengan
muka merah padam. Air mata berlinang-linang di kelopak mata Ciok Boh-thian dan
hampir-hampir menetes, sedapat mungkin ia menahannya
sambil menyingkir mundur.
"Pwe-siansing," segera Ciok Jing berkata kepada Pwe Hay-ciok,
"pem... pemuda ini dari mana kalian menemukannya dan
putraku ini mengapa bisa dipaksa menjadi pangcu kalian"
Mumpung di sini banyak hadir kawan-kawan Bu-lim, urusan ini
harus kau jelaskan untuk menghindarkan rasa curiga semua
orang?" "Pemuda ini serupa benar dengan Ciok-pangcu, kalian Hiansoh-
siang-kiam sendiri adalah ayah-ibu kandungnya toh juga
salah mengenalnya, apalagi orang lain?" jawab Pwe Hay-ciok.
Ciok Jing mengangguk, ia pikir memang beralasan juga ucapan
tokoh Tiang-lok-pang itu.
Maka Pwe Hay-ciok berkata pula, "Adapun soal diangkatnya
Ciok-pangcu sebagai pimpinan pang kami, untuk ini beliau
telah mengalahkan Tonghong-pangcu dahulu dengan
kepandaian yang sejati, karena itu maka para saudara kami
telah mendukungnya. Coba silakan Ciok-pangcu bicara apa
betul atau tidak kejadian ini" Bahwasanya kami "memaksa"
beliau, kami sangsi apakah istilah ini cukup tepat?"
"Apa yang dilakukan tempo dulu sebenarnya hanya keputusan
untuk sementara saja untuk mencegah kerusuhan yang
mungkin timbul di dalam pang kita," kata si pemuda perlente
alias Ciok Tiong-giok itu dengan nada tergagap-gagap. "PweKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
siansing, jabatan pangcu ini kukira... kukira engkau sendiri saja
yang menduduki, aku... aku tidak sanggup melakoni lagi."
Air muka Pwe Hay-ciok tampak guram membesi, katanya, "Apa
yang telah Pangcu katakan dahulu itu" Mengapa sekarang kau
merasa menyesal dan menghindarkan kewajiban?"
"Ya, sesungguhnya aku tidak sanggup melakukannya lagi,"
sahut Tiong-giok. "Segala urusan pang kita pada hakikatnya
adalah Pwe-siansing yang mengambil keputusan, aku hanya
menjadi pangcu boneka saja, sebab itulah aku bertekad
menyingkir pergi untuk memberikan tempatku kepada orang
lain yang lebih pandai. Dan karena kepergianku tanpa pamit
ini, dengan sendirinya aku bukan pangcu lagi. Bukankah dalam
surat yang kutinggalkan padamu itu sudah kukatakan dengan
cukup jelas?" "Surat?" Pwe Hay-ciok menegas dengan heran. "Surat apa"
Mengapa aku tidak pernah melihatnya?"
"Kepandaian Pwe-siansing benar-benar luar biasa," kata Ciok
Tiong-giok dengan tertawa. "Ketika aku menghilang, entah dari
mana engkau telah menemukan bocah yang mukanya mirip
benar dengan aku ini. Jika dia sudah mau memalsukan diriku,
maka bolehlah dia lakukan sampai saat terakhir, buat apa
tanya padaku lagi" Ayah dan ibu, marilah kita tinggalkan saja
tempat yang tak genah ini!"
Nyata mulutnya sangat lincah, kalau dibandingkan Ciok Bohthian
jelas seperti langit dan bumi bedanya.
Dengan bergelak tertawa Thio Sam lantas berkata, "Ciokpangcu,
Pwe-siansing, kalian tentu tahu peraturan Liong-bok-to
kami. Jika pangcu kalian sendiri yang menerima medali
undangan kami, maka inilah jalan yang terbaik, sebaliknya
kalau pangcu tidak mau terima, ini berarti pang kalian
memandang rendah kepada Liong-bok-to, dari kawan kita akan
berubah menjadi lawan dan terhadap lawan biasanya Liongbok-
to tidak mau sungkan-sungkan lagi."
Pwe Hay-ciok dan gembong-gembong Tiang-lok-pang yang lain
terkesiap. Mereka tahu bilamana tiada orang yang tampil ke
muka untuk menerima medali tembaga yang dikatakan, maka
si gendut dan si kurus pasti akan mulai mengganas. Dilihat dari
kepandaian yang telah diperlihatkan mereka tadi rasanya
segenap anggota Tiang-lok-pang tiada seorang pun yang
mampu melawannya. Melihat orang-orang Tiang-lok-pang tertegun, segera Ciok Bohthian
berkata, "Pwe-siansing, apa yang dikatakan Thio-toako
itu bukanlah berkelakar, sekali beliau bilang bunuh orang tentu
akan segera terjadi pembunuhan. Seperti orang-orang Hui-hipang
dan Tiat-cha-hwe, seluruh anggota mereka telah dibunuh
habis oleh Toako berdua. Maka sebaiknya medali mereka itu
diterima saja lebih dahulu, tak peduli siapa yang akan menjadi
pangcu nanti, yang terang korban jiwa orang banyak dapatlah
dihindarkan. Kedua belah pihak adalah saudara sendiri semua,
kalau sampai terjadi perkelahian, sungguh aku tidak tahu harus
membantu pihak mana?"
"Itu adalah urusan Pangcu, kami yang menjadi bawahan tidak
dapat mengambil keputusan," ujar Pwe Hay-ciok.
"Ciok-pangcu," Boh-thian lantas berkata kepada Ciok-Tionggiok,
"harap kau terima medali itu saja. Medali itu kau terima
akan mati, tidak terima juga pasti mati. Bedanya jika kau tidak
terima, maka segenap anggota yang lain juga akan ikut
menjadi korban, untuk ini apakah... apakah kau tega?"
"Hehe, kau bicara seenaknya dan sok budiman bagi orang lain,
jika sedemikian luhur budimu, kenapa kau sendiri tidak terima
saja kedua medali itu demi keselamatan Tiang-lok-pang" Hehe,
sungguh menggelikan!" demikian jawab Tiong-giok.
Boh-thian memandang sekejap kepada Ciok Jing suami-istri
dan si Ting Tong sambil menghela napas, katanya, "Pwesiansing,
selama ini kalian sangat baik terhadap diriku,
memangnya kalian berharap agar aku dapat melepaskan
bencana ini bagi Tiang-lok-pang. Jika sekarang Ciok-pangcu
yang tulen tidak mau menerima medali-medali undangan itu,
maka biarlah aku yang menerimanya saja."
Habis berkata ia lantas mendekati Thio Sam dan hendak
mengambil medali yang terdapat di tangannya itu.
"Nanti dulu!" cepat Thio Sam menarik tangannya. Lalu katanya
kepada Pwe Hay-ciok, "Medali undangan Liong-bok-to ini hanya
diserahkan langsung kepada orang yang diundang. Nah,
sesungguhnya kalian menganggap siapa yang benar-benar
menjadi pangcu kalian?"
Sama sekali Pwe Hay-ciok dan gembong-gembong Tiang-lokpang
itu tidak menduga bahwa Ciok Boh-thian masih mau
berkorban bagi pang mereka meski sudah tahu akan tipu
muslihat dan intrik mereka. Dalam keadaan demikian, betapa
pun keji dan kejamnya mereka, mau tak mau mereka merasa
sangat berterima kasih juga kepada Ciok Boh-thian, serentak
mereka lantas membungkuk tubuh memberi hormat kepada
Boh-thian sambil berseru, "Kami rela mengangkat Ciok-tayhiap
sebagai pangcu kita, segala perintah Pangcu akan kami
laksanakan dan taati."
"Ah, mana aku berani!!" sahut Boh-thian sambil balas
menghormat. "Aku tidak paham apa-apa, kalau salah omong
atau salah berbuat diharap kalian janganlah marah padaku."
"Hahahahaha!" Thio Sam bergelak tertawa. "Nah, Ciok-pangcu
dari Tiang-lok-pang, pada tanggal delapan bulan dua belas
tahun ini diharap sudi hadir ke Liong-bok-to kami untuk
sekadar menikmati Lap-pat-cok."
"Baiklah, tentu aku akan hadir sekalian menyambangi Toako
dan Jiko," sahut Boh-thian.
Thio Sam dan Li Si saling pandang sekejap dengan mengerut
dahi. Tapi Thio Sam lantas mengayun tangannya, dua potong
medali tembaga terus melayang ke arah Ciok Boh-thian dengan
perlahan. Ketika semua orang memusatkan perhatian untuk menyaksikan
cara bagaimana Ciok Boh-thian akan menerima medali-medali
itu, sekonyong-konyong Bin Ju berteriak, "Jangan terima, nak!"
"Aku sudah menyanggupinya, ibu!" sahut Boh-thian. Ketika
kedua tangannya menjulur, dengan gampang saja masingmasing
tangannya sudah menangkap sepotong medali tembaga
itu. Lalu katanya pula kepada Bin Ju, "Seperti Ciok... Ciokcengcu,
meski sudah tahu ada bahaya toh beliau tetap mau
mewakilkan Siang-jing-koan untuk hadir ke Liong-bok-to,
sungguh sikapnya itu sangat mengagumkan orang, maka anak
juga ingin menirukannya."
"Bagus, memang kesatria sejati dan pendekar budiman, tidak
percumalah kita telah mengangkat saudara," puji Li Si. "Tapi,
Samte, biarlah kita bicara di muka secara terang-terangan,
apabila sudah datang di Liong-bok-to nanti, Toako dan Jiko
akan memandang kau sebagaimana tamu-tamu yang lain
tanpa pandang bulu dan tak dapat memberi sesuatu pelayanan
istimewa." "Ya, sudah seharusnya demikian," sahut Boh-thian.
"Dan di sini masih ada beberapa buah medali yang harus
diserahkan kepada saudara-saudara Hoan, Hong dan Lu dari
Kwantang, silakan nanti juga hadir ke Liong-bok-to untuk
menikmati Lap-pat-cok. Apakah kalian mau terima atau tidak?"
demikian Li Si berkata pula.
Hoan It-hui memandang sekejap kepada Ko Sam-niocu,
pikirnya, "Kau toh sudah menerima medalinya, kita Su-taymui-
pay dari Kwantang sudah berjanji mati-hidup bersama,
tiada jalan lain terpaksa ikut mengantarkan jiwa juga ke Liongbok-
to." Maka berkatalah dia, "Ya, jikalau sedemikian Liong-bok-to
menghargai kami, masakah kami menolak arak suguhan dan
memilih arak hukuman" (maksudnya masakah diundang tidak
mau sebaliknya minta dipaksa)."
Lalu ia mendahului melangkah maju untuk menerima medali
undangan disusul dengan Hong Liang dan Lu Cing-peng.
"Terima kasih, terima kasih!" sambut Thio Sam dan Li Si. Lalu
katanya kepada Ciok Boh-thian, "Samte, kami masih perlu
melanjutkan perjalanan jauh, hari ini terpaksa tidak dapat
minum sepuas-puasnya dengan kau. Biarlah kami lantas
mohon diri saja." "Tiada halangannya kalau kita minum tiga mangkuk saja," seru
Boh-thian, "Eh, di manakah buli-buli arak Toako dan Jiko?"
"Sudah kami buang," sahut Thio Sam. "Arak kami itu tidak
dapat dibuat di dalam waktu singkat, apa gunanya selalu
membawa buli-buli kosong. Baiklah, mari Jite, kita bertiga
habiskan tiga mangkuk arak."
Segera anggota-anggota Tiang-lok-pang menuangkan arak,
Thio Sam, Li Si, dan Ciok Boh-thian masing-masing lantas
menghabiskan tiga mangkuk penuh.
Tiba-tiba Ciok Jing melangkah maju sambil berseru, "Cayhe
Ciok Jing adanya, biasanya dikenal sebagai cengcu dari Hiansoh-
ceng, kami suami-istri ada maksud hendak ikut hadir ke
Liong-bok-to untuk minta semangkuk Lap-pat-cok."
Cepat Thio Sam berpaling. Pikirnya dengan heran, "Selama
lebih 30 tahun ini, setiap orang Bu-lim bila mendengar nama
Liong-bok-to tentu kebat-kebit dan ketakutan, tapi hari ini
ternyata ada orang yang sengaja minta berkunjung ke sana,
hal ini benar-benar baru terjadi untuk pertama kalinya."
Tapi ia pun lantas menjawab, "Ciok-cengcu, maafkan atas
permintaanmu ini. Kalian berdua adalah murid Siang-jing-koan


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan belum pernah berdiri sendiri secara resmi di dunia
persilatan, maka kami tidak dapat mengundang. Begitu pula
seperti halnya dengan Nyo-loenghiong dan Pek-tayhiap."
Bab 37. Ciok Boh-thian Memalsukan Ciok Tiong-giok
untuk Menolong Ciok Jing "Kalian bilang akan melanjutkan perjalanan jauh, apakah...
apakah kalian akan berkunjung juga ke Leng-siau-sia?" tibatiba
Ban-kiam bertanya. "Dugaan Pek-tayhiap sangat jitu, kami berdua memang hendak
berkunjung dan menyambangi ayahmu, Wi-tek Siansing Pekloenghiong,"
sahut Thio Sam dengan tertawa.
Ban-kiam melangkah maju, tampaknya ia ingin bicara apa-apa,
tapi tidak jadi. Selang sejenak barulah berkata, "Ya, baik,
baiklah!" "Jika Pek-tayhiap cepat pulangnya mungkin kita dapat
berjumpa pula di Leng-siau-sia," ujar Thio Sam. "Nah, selamat
tinggal, sampai bertemu!"
Sesudah memberi salam, bersama Li Si segera mereka
melangkah keluar. "Keparat! Berlagak apa di sini"!" mendadak Ko Sam-niocu
memaki, berbareng empat bilah pisau terbang lantas
ditimpukkan ke punggung kedua orang.
Sebenarnya Ko Sam-niocu sadar bahwa serangannya itu sukar
mengenai sasarannya, soalnya dia teramat murka, beberapa
bilah pisau terbang itu hanya sekadar pelampias saja. Benar
juga, kedua orang itu seperti tidak merasa apa-apa meski
empat bilah pisau itu sudah melayang sampai di belakangnya.
"Awas, Toako!" seru Boh-thian khawatir.
Tapi mendadak bayangan orang berkelebat, kedua orang itu
tahu-tahu melesat ke samping untuk kemudian menghilang
dengan cepat sehingga pisau-pisau terbang itu mengenai
tempat kosong dan jatuh dengan sendirinya. Betapa cepatnya
gerakan kedua orang itu sungguh susah untuk diukur, keruan
semua orang saling pandang dengan tercengang.
Saat itu Ciok Tiong-giok sebenarnya bermaksud mengeluyur
pergi dengan membawa si Ting Tong, tak terduga serangan Ko
Sam-niocu itu telah memancing perhatian semua orang ke arah
pintu sehingga perbuatan Ciok Tiong-giok itu diketahui.
"Berhenti!" bentak Pek Ban-kiam dengan bengis. Lalu katanya
kepada Ciok Jing, "Ciok-cengcu, silakan menyatakan
keputusanmu!" "Apa mau dikata lagi jika memang demikian jadinya," sahut
Ciok Jing dengan menghela napas. "Pek-suheng, biarlah kami
suami-istri membawa serta anak murtad itu ikut kau pergi ke
Leng-siau-sia untuk menerima hukuman dari Pek-supek."
Ucapan Ciok Jing ini benar-benar di luar dugaan Pek Ban-kiam
dan anak murid Swat-san-pay yang lain. Untuk membela
putranya yang palsu tempo hari Ciok Jing suami-istri telah
bertempur mati-matian pantang menyerah, sekarang demi
putranya yang tulen sudah ketemu malah dia menyanggupi
berkunjung ke Leng-siau-sia, jangan-jangan di balik ini ada
sesuatu tipu muslihat. Dalam pada itu Ciok Jing dan Bin Ju sendiri merasa sangat
sedih, mereka sangat menyesalkan putranya yang tak becus,
sudah mau menjadi pangcu, di kala ada bahaya berbalik main
sembunyi dan mengelakkan kewajiban, manusia demikian
biarpun ilmu silatnya setinggi langit juga takkan diindahkan
oleh orang gagah di dunia Kangouw.
Bilamana mereka bandingkan dengan Ciok Boh-thian yang
telah kumpul bersama sekian lamanya, walaupun tutur kata
pemuda itu rada-rada kekanak-kanakan, tapi dasar wataknya
sangat jujur dan polos, terkadang pun memperlihatkan jiwa
kesatrianya yang menggembirakan mereka menjadi suka
kepada pemuda itu. Tak terduga Ciok Tiong-giok yang tulen mendadak muncul,
meski wajah kedua pemuda itu sangat mirip, tapi jiwa mereka
sangat berbeda, yang satu gagah perwira, yang lain lemah
pengecut. Celakanya yang pengecut itu justru adalah putranya
sendiri yang tulen, sedangkan kesatria muda itu berbalik bukan
putranya, hal ini membuat Bin Ju sangat kecewa. Tapi apa pun
juga pemuda itu tetap darah dagingnya sendiri, tidak urung ia
memanggilnya, "Anak Giok, coba ke sinilah!"
Segera Tiong-giok mendekat dan berkata dengan tersenyum,
"Ibu, sudah beberapa tahun kita berpisah, sungguh anak
sangat merindukan engkau. Tampaknya ibu menjadi semakin
cantik dan lebih muda, setiap orang yang melihat tentu akan
mengira engkau adalah kakak perempuanku dan takkan
percaya engkau adalah ibu kandungku."
Bin Ju tersenyum, tapi hatinya sangat mendongkol, ternyata
putranya hanya pandai omong sebagai bergajul saja.
Dalam pada itu Tiong-giok berkata pula, "Ibu, anak telah
memperoleh sepasang gelang kemala yang indah, sudah lama
anak berharap dapat berjumpa dengan ibu agar dapat
memasang gelang kemala ini di tangan ibu sendiri."
Sambil berkata ia lantas mengeluarkan sebuah bungkusan kecil
yang berisi sepasang gelang kemala dan sebuah tusuk kundai
berbingkai mutiara dan berbatu permata indah. Ia tarik tangan
sang ibu dan memasukkan sepasang gelang kemala hijau itu.
Memang Bin Ju sangat suka kepada perhiasan dan berdandan,
melihat sepasang gelang kemala itu sangat bagus, mau tak
mau ia menjadi senang juga atas kebaktian putranya kepada
orang tua. Lalu Tiong-giok membalik tubuh dan menancapkan tusuk
kundai bermutiara itu di atas sanggul si Ting Tong, katanya
dengan perlahan, "Tusuk kundai mutiara ini seharusnya lebih
cantik sepuluh kali lagi baru cocok untuk mengimbangi wajah si
Ting-ting Tong-tong yang cantik molek."
Ting Tong menjadi girang, sahutnya lirih, "Engkoh Thian, kau
memang selalu pandai bicara."
Rupanya Pwe Hay-ciok menjadi tidak sabar menyaksikan
adegan itu, segera itu berseru, "Hari ini Nyo-loenghiong, Ciokcengcu
dan nyonya, para kesatria Swat-san-pay dan su-taymui-
pay (empat golongan besar) Kwantang berkumpul di sini
semua, segala kesalahpahaman juga sudah dapat diakhiri,
sekarang marilah kita mulai dengan jamuan baru, marilah kita
sama-sama bergembira."
Akan tetapi Ciok Jing, Pek Ban-kiam, Hoan It-hui, dan lain-lain
masih tertekan perasaan, mereka pikir, "Kesukaran Tiang-lokpang
kalian sudah ada yang mau menghadapi, tapi kami masih
harus memikirkan keselamatan sendiri-sendiri, siapa yang
punya nafsu untuk makan-minum lagi?"
Segera Pek Ban-kiam membuka suara, "Menurut kedua sucia
dari Liong-bok-to itu, katanya mereka akan berkunjung juga ke
Leng-siau-sia, persoalan ini menyangkut kepentingan ayah dan
Swat-san-pay kami, maka Cayhe harus lekas-lekas pulang ke
sana. Tentang maksud baik Pwe-siansing ini Cayhe hanya
mengucapkan terima kasih saja."
"Kami bertiga ingin berangkat bersama dengan Ciok-suheng,"
segera Ciok Jing menambahkan.
Maka Hoan It-hui dan kawan-kawannya juga lantas mohon diri
dengan alasan waktunya sudah mendesak, mereka harus
lekas-lekas pulang ke Kwantang untuk kemudian bersiap-siap
menghadiri pertemuan di Liong-bok-to.
Begitulah dengan perasaan hampa Ciok Boh-thian mengikuti
Pwe Hay-ciok mengantar para tamu yang mohon diri itu.
Pikirnya dengan rasa pedih, "Memangnya sejak mula aku bilang
mereka telah salah paham, tapi si Ting-ting Tong-tong justru
mengatakan aku adalah dia punya Engkoh Thian, Ciok-cengcu
dan nyonya juga bilang aku adalah putra mereka, tapi
sekarang diriku telah ditinggal sendirian oleh mereka."
Mendadak ia merasa di dunia ini hanya tertinggal seorang diri
saja, siapa pun tiada sangkut pautnya dengan dia, sungguh ia
ingin menangis sepuas-puasnya.
Ketika memberi salam perpisahan, Ciok Jing dan istri melihat
Ciok Boh-thian mengunjuk rasa cemas yang tak terhingga,
mestinya Bin Ju hendak mengatakan akan memungut Bohthian
sebagai anaknya, tapi mengingat dia adalah pangcu suatu
organisasi besar, ilmu silatnya juga sedemikian lihai,
kedudukannya sudah jauh lebih tinggi daripada mereka suamiistri,
maka ia merasa rikuh untuk mengemukakan maksudnya.
Terpaksa ia hanya berkata dengan suara halus, "Ciok-pangcu,
karena salah kenal tempo hari sehingga selama ini kami agak
kurang hormat padamu, untuk ini kami berharap... berharap
kelak kita dapat berjumpa pula."
Boh-thian hanya mengiakan saja dengan kurang semangat.
Sampai semua tamunya sudah lenyap dari pandangan dia
masih termangu-mangu di depan pintu.
Para anggota Tiang-lok-pang tiada berani mengusiknya,
mereka menduga mungkin sang pangcu menjadi masygul
karena sadar sudah dekat ajalnya sesudah menerima medali
tembaga kedua rasul pengganjar dan penghukum tadi, kalau
mereka mengganggunya, jangan-jangan rasa marah sang
pangcu akan dilampiaskan atas diri mereka"
Malamnya selekasnya Boh-thian sudah masuk kamar tidurnya,
tapi pikirannya bergolak, sampai tengah malam masih belum
pulas. Pada saat mulai melayap-layap hendak pulas, mendadak
terdengar daun jendela diketuk perlahan-lahan tiga kali. Cepat
Boh-thian bangun berduduk, teringat olehnya dahulu apabila si
Ting-ting Tong-tong datang mencarinya selalu memberi tanda
dengan ketukan jendela seperti sekarang ini. Tanpa merasa ia
lantas menegur, "Apakah Ting-ting...." baru sekian ucapannya
ia lantas menghela napas, sebab lantas teringat pula bahwa
saat itu si nona tentu sudah berada di dalam pelukan Engkoh
Thian yang dicintainya dan tidak mungkin sudi datang
mencarinya lagi. Di luar dugaan, daun jendela perlahan-lahan telah terdorong
buka, sesosok tubuh yang langsing tampak melompat masuk
sambil mengikik tawa, siapa lagi dia kalau bukan si Ting Tong"
"Mengapa kau potong namaku, Ting-tong kau ganti menjadi
Ting-ting saja?" demikian nona genit itu berkata dengan suara
perlahan sambil mendekati tempat tidur Ciok Boh-thian.
"Hah, kenapa kau kem... kemari lagi?" seru Boh-thian sambil
meloncat turun dari tempat tidurnya, ia girang dan terkejut
Harpa Iblis Jari Sakti 6 Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Harpa Iblis Jari Sakti 26
^