Medali Wasiat 13
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 13
pula. "Aku rindu padamu, maka datang menjenguk kau lagi," sahut
Ting Tong dengan tertawa. "Gimana sih" Apakah aku tak boleh
datang kemari?" "Kau sudah menemukan kembali kau punya Engkoh Thian,
buat apa kau datang menjenguk diriku lagi?" ujar Boh-thian
sambil menggeleng. "Ai, kau marah padaku, bukan?" kata Ting Tong dengan
tertawa merayu. "Engkoh Thian, siang tadi aku telah
menampar kau, apakah kau masih marah padaku?" sambil
berkata ia terus meraba-raba pipi Ciok Boh-thian yang
ditamparnya itu. Hidung Boh-thian lantas mengendus bau harum yang
menggiurkan, mukanya terasa diraba oleh sebuah tangan yang
putih dan halus, tanpa kuasa perasaannya menjadi kacau.
Katanya dengan setengah menggumam, "Aku tidak marah,
Ting-ting Tong-tong. Tak usah kau datang menjenguk diriku,
memangnya kau telah salah mengenali diriku, asal kau tidak
sebut aku sebagai penipu saja sudah cukup bagiku."
"Penipu, penipu! Ai, jika kau benar-benar penipu, mungkin aku
malah senang," ujar Ting Tong dengan suara lembut. "Ai,
Engkoh Thian, engkau benar-benar seorang jantan, seorang
kesatria sejati yang jarang terdapat di dunia ini. Kau sudah
menikah dan sudah sembahyang Thian dengan aku, kita pun
sudah... sudah tidur bersama, tapi selama itu... selama itu kau
tidak pernah memperlakukan aku sebagai istrimu."
Muka Boh-thian menjadi merah jengah, sekujur badannya
terasa panas, katanya dengan tergagap-gagap, "Ting-ting
Tong-tong, aku... aku bukan kesatria sejati! Bukanlah aku
tidak... tidak kepingin, aku hanya... hanya tidak berani! Ya,
untung juga kita belum... belum apa-apa, kalau tidak, wah,
tentu bisa runyam!" Ting Tong menggeser dan duduk di tepi ranjang, mendadak ia
menutupi matanya dan menangis tersedu sedan.
Keruan Boh-thian menjadi gugup, cepat ia tanya, "He, ada
apakah, Ting-ting Tong-tong?"
"Ya, aku tahu engkau adalah seorang kesatria se... sejati, akan
tetapi tidak begitulah pendapat... pendapat orang lain,"
demikian sahut Ting Tong sambil menangis. "O, sungguh,
biarpun aku terjun ke dalam sungai juga tidak cukup untuk
membersihkan nama suciku. Ciok... Ciok Tiong-giok itu
mengatakan... mengatakan bahwa aku sudah menikah dengan
kau dan sudah bersatu kamar, maka dia tidak mau padaku
lagi." "He, maaa... mana boleh jadi!" seru Boh-thian sambil
membanting-banting kaki. "Ting-ting Tong-tong, jangan
khawatir kau, biar kubicarakan dengan dia, akan kuterangkan
bahwa hubungan kita adalah suci bersih, selamanya tidak...
tidak pernah...." "Tapi... tapi dia sudah sangat benci padamu, biarpun kau
bicara padanya juga dia takkan percaya," ujar Ting Tong sambil
menangis. Dalam hati kecilnya lapat-lapat Boh-thian merasa senang, "Jika
dia tidak mau padamu, akulah yang mau."
Tapi ia pun tahu kata-kata demikian tidak layak diucapkan,
bahkan memikirnya juga tidak pantas. Maka dia hanya berkata,
"Lalu bagaimana" Wah, gara-gara diriku sehingga ikut
membikin susah padamu!"
Dengan terguguk-guguk Ting Tong berkata pula, "Dia bukan
sanak kadangmu, kau pun tidak berbuat sesuatu kebaikan
baginya, sebaliknya malah menyerobot dan menikah dengan
kekasihnya, sudah tentu saja dia benci dan dendam padamu.
Apabila dia... dia bukan dia, tapi misalnya Hoan It-hui atau
kawan-kawannya, mereka pernah utang budi padamu, dengan
sendirinya mereka akan percaya segala apa yang kau katakan."
Boh-thian mengangguk, katanya, "Ya, benar. Ting-ting Tongtong,
sungguh aku merasa tidak enak, kita harus mencari
suatu akal yang baik. Eh, ya, kau boleh minta kakekmu
berbicara padanya, tentu dia akan menurut."
"Percuma, percuma!" sahut Ting Tong, "Dia... dia Ciok Tionggiok
itu jiwanya sedang terancam, dalam waktu singkat kita
pun tak dapat menemukan kakek."
"Hah, mengapa jiwanya sedang terancam?" tanya Boh-thian
terkejut. "Itu Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay tadinya mengira kau
adalah Ciok Tiong-giok sehingga kau ditangkap olehnya, syukur
kakek dan aku telah menyelamatkan kau, kalau tidak, tentu
kau sudah digiring ke Leng-siau-sia dan dicincang di sana, kau
masih ingat tidak kejadian itu?"
"Ya, sudah tentu masih ingat. Wah, celaka, sekali ini Pek-suhu
tentu akan menggiring dia ke Leng-siau-sia pula."
"Memangnya! Orang-orang Swat-san-pay itu sudah terlalu
benci padanya, sekali dia sudah sampai di Leng-siau-sia, pasti
jiwanya akan melayang!"
"Benar, kalau melihat cara orang-orang Swat-san-pay yang
berulang-ulang menguber dan menangkap aku tempo hari,
tampaknya urusannya tentu bukan sembarang persoalan.
Cuma saja mengingat kehormatan Ciok-cengcu suami-istri,
boleh jadi kau punya Engkoh Thian hanya akan didamprat
sekadarnya saja dan urusan akan menjadi beres."
"Enak saja kau bicara," ujar si Ting Tong. "Jika mereka mau
mendamprat, apa tak bisa dilakukan pada setiap tempat, buat
apa mereka mesti susah-susah menggiringnya pulang ke Lengsiau-
sia" Apakah kau tidak tahu bahwa dalam usaha
menangkapnya selama ini Swat-san-pay sudah jatuh korban
beberapa orang?" Seketika Boh-thian berkeringat dingin. Memang diketahuinya
bahwa Swat-san-pay telah jatuh korban beberapa orang,
jangankan dosa yang diperbuat Ciok Tiong-giok di Leng-siausia
itu pasti sangat berat, hanya melulu perhitungan korban
akibat pemburuannya di daerah Kanglam ini saja sudah cukup
alasan untuk menjatuhkan hukuman mati padanya.
Dalam pada itu si Ting Tong berkata pula, "Engkoh Thian
memang betul bersalah, adalah pantas kalau dia menebus
dosanya dengan jiwanya sendiri. Yang harus disayangkan
adalah Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, mereka adalah orang-orang
baik, tapi sekarang mereka harus ikut berkorban "jiwa"."
"Hah" Apa katamu" Ciok-cengcu dan nyonya juga akan ikut
berkorban jiwa?" seru Boh-thian sambil melonjak bangun. Ia
masih ingat kebaikan suami-istri she Ciok itu, ia merasa
mereka adalah orang yang paling baik di dunia ini, maka demi
mendengar kedua orang itu menghadapi bahaya, dengan
sendirinya ia menaruh perhatian penuh.
"Kau sudah tahu bahwa Ciok-cengcu berdua adalah ayahbunda
Engkoh Thian, jika mereka mengantar Engkoh Thian ke
Leng-siau-sia, masakah mereka sengaja mengantarkan
kematian putranya" Sudah tentu mereka akan mintakan
ampun kepada Pek-losiansing. Namun dapat dipastikan Peklosiansing
tentu takkan meluluskan dan tetap akan
membinasakan Engkoh Thian. Untuk mana Ciok-cengcu berdua
tentu akan membela putra kesayangan mereka dan pada saat
mana mau tak mau pasti akan menggunakan kekerasan. Coba
kau pikir, betapa banyak jago-jago Swat-san-pay itu, pula di
rumahnya sendiri, sebaliknya Ciok-cengcu hanya bertiga, mana
bisa mereka melawannya" Ai, kulihat selama ini Ciok-hujin
sangat baik padamu, ibumu sendiri mungkin juga tidak
sedemikian sayangnya padamu. Tapi sekarang dia akan... akan
tewas juga di Leng-siau-sia."
Sambil berkata ia terus menutupi mukanya dan kembali
menangis pula. Seketika darah Ciok Boh-thian bergolak dan mendidih, serunya
tanpa pikir, "Jika Ciok-cengcu dan Ciok-hujin ada kesukaran,
biarpun betapa bahayanya di Leng-siau-sia sana juga aku akan
menyusul untuk membantunya. Seumpama aku tidak mampu
menolong mereka, aku lebih suka gugur bersama mereka di
sana daripada hidup sendirian. Ting-ting Tong-tong, biarlah
sekarang juga aku akan pergi!"
"Kau hendak ke mana?" tanya si Ting Tong sambil menarik
lengan baju pemuda itu. "Malam ini juga aku akan menyusul mereka untuk bersamasama
naik ke Leng-siau-sia," sahut Boh-thian.
"Kabarnya ilmu silat Wi-tek Siansing Pek-loyacu itu sangat
lihai, di samping itu ada tokoh-tokoh lain seperti Hong-hwe-sinliong
Hong Ban-li dan sebagainya, andaikan kepandaianmu
dapat menangkan mereka, tapi di tengah Leng-siau-sia konon
penuh terdapat pesawat-pesawat rahasia seperti jaring kawat,
panah berbisa, jebakan di bawah tanah, dan macam-macam
lagi, sedikit kurang hati-hati tentu kau akan masuk perangkap
mereka." "Jika begitu apa mau dikata lagi kalau memang sudah nasib,"
ujar Boh-thian. "Janganlah kau terdorong oleh ketekadanmu yang timbul
seketika ini, jika terjadi apa-apa atas dirimu, siapa lagi yang
mampu menolong Ciok-cengcu dan nyonya?" ujar Ting Tong.
"O, apabila engkau gugur di sana, entah betapa akan rasa
dukaku, aku... aku pun tentu tak bisa hidup sendirian."
Hati Boh-thian berdebur keras mendengar ucapan yang
meresap itu, katanya dengan agak gemetar, "Mengapa engkau
sedemikian... sedemikian baik padaku" Aku toh bukan... bukan
kau punya Engkoh Thian yang sebenarnya?"
"Ya, kalian berdua terlalu mirip laksana pinang dibelah dua,
dalam hatiku hakikatnya tiada perbedaan, apalagi kita telah
berkumpul cukup lama, selama itu pun kau sangat baik dan
jujur padaku," sampai di sini tiba-tiba Ting Tong pegang kedua
tangan Ciok Boh-thian dan menambahkan, "Engkoh Thian,
berjanjilah padaku, biar bagaimanapun engkau jangan pergi
dan binasa." "Akan tetapi aku harus menolong Ciok-cengcu dan istrinya,"
ujar Boh-thian. "Sebenarnya aku ada satu akal, cuma kukhawatir engkau
curiga dan mengira aku menipu kau, maka tidak enak akan
kukatakan," kata Ting Tong.
"Lekas katakan, lekas! Apakah akalmu itu, masakah aku curiga
padamu?" Ting Tong tampak merenung sejenak, katanya dengan raguragu,
"Engkoh Thian, cara ini sesungguhnya terlalu membikin
susah padamu, sebaliknya terlalu menguntungkan dia, setiap
orang yang mengetahui akalku ini tentu akan mengatakan aku
sengaja menjebak kau. Ai, tidak, tidak bisa, biar bagaimanapun
hal ini adalah terlalu tidak adil."
"Sebenarnya bagaimana akalmu itu" Asal dapat menolong
Ciok-cengcu berdua, biarpun sedikit membikin susah padaku
apa sih halangannya?"
"Engkoh Thian, jika kau berkeras ingin tahu, biarlah akan
kuturut dan akan kuterangkan," sahut Ting Tong. "Cuma kalau
kau benar-benar akan menjalankan akalku ini, maka akulah
yang tidak boleh. Aku akan tanya dulu padamu, apakah kau
tahu sebab apakah orang-orang Swat-san-pay sedemikian
bencinya kepada Ciok Tiong-giok dan bertekad akan
membunuhnya?" "Kalau tidak salah Ciok Tiong-giok itu adalah murid Swat-sanpay,
dia telah melanggar larangan perguruan, telah
mengakibatkan kematian putri Pek-suhu sehingga sebelah
lengan gurunya, yaitu Hong Ban-li ikut menjadi korban, ditebas
oleh Pek-losiansing, ya, boleh jadi berbuat pula kejahatankejahatan
lain yang tidak senonoh."
"Benar, justru karena Ciok Tiong-giok itu telah mencelakai
orang, makanya mereka akan membunuhnya untuk mengganti
jiwa. Engkoh Thian, apakah kau telah membinasakan putri Peksuhu
dari Swat-san-pay itu?"
"Hah, aku?" seru Boh-thian melengak. "Sudah tentu tidak!
Sedangkan muka putri Pek-suhu itu belum pernah kulihat."
"Itu dia," kata Ting Tong. "Akalku ini sesungguhnya juga
sangat sederhana, ialah engkau boleh menyaru sebagai Ciok
Tiong-giok dan ikut Ciok-cengcu ke Leng-siau-sia sana, nanti
bila mereka hendak membinasakan kau barulah kau mengaku
terus terang bahwa kau sesungguhnya adalah Kau-cap-ceng
dan bukan Ciok Tiong-giok. Yang akan mereka bunuh adalah
Ciok Tiong-giok dan bukan kau, paling-paling mereka akan
mencaci maki padamu karena kau telah menipu mereka
dengan menyaru, tapi akhirnya kau toh akan dibebaskan juga.
Dan karena kau tak dibunuh oleh mereka, dengan sendirinya
Ciok-cengcu berdua juga tidak perlu bergebrak dengan mereka
dan tentu pun tidak berbahaya lagi."
Untuk sejenak Boh-thian terdiam, katanya kemudian, "Akalmu
ini cukup baik, cuma letak Leng-siau-sia itu jauh di wilayah
barat sana, dalam perjalanan sejauh ribuan li bersama Peksuhu
dan rombongannya itu bukan mustahil sedikit salah
omong saja penyamaranku akan diketahui. Kau sudah tahu
sendiri, Ting-ting Tong-tong, aku tidak pintar bicara, gerakgerikku
juga bodoh, mana dapat menirukan Ciok Tiong-giok
yang... yang pintar dan cerdik itu."
"Soal ini sudah kupikirkan juga," ujar Ting Tong dengan
tertawa. "Kau bisa semir sejenis... sejenis obat yang berbisa di
bagian tenggorokanmu sehingga di bagian itu akan menjadi
bengkak, kau pura-pura sakit tenggorokan dan susah bicara,
pura-pura menjadi bisu dan tidak perlu membuka suara dalam
perjalanan." Sampai di sini tiba-tiba Ting Tong menghela napas, lalu
katanya pula dengan menyesal, "Engkoh Thian, meski akalku
ini cukup bagus, tapi kau yang harus menderita, maka aku
merasa tidak enak." Mendengar ucapan si nona itu penuh rasa kasih sayang
padanya, sungguh Boh-thian menjadi terharu. Dalam keadaan
demikian jangankan dia cuma disuruh pura-pura menjadi bisu,
sekalipun dia diminta mati baginya juga mau. Maka segera ia
berseru, "Bagus, akalmu sangat bagus! Cuma cara bagaimana
aku harus menggantikan Ciok Tiong-giok itu?"
"Rombongan mereka itu bermalam semua di Heng-co-tin di
sebelah barat sana, sekarang juga kita dapat menyusul ke
sana," kata Ting Tong. "Kutahu kamar tidurnya Ciok Tionggiok,
diam-diam kita masuk ke sana dan kalian dapat saling
tukar pakaian. Besok pagi kau lantas pura-pura merintih-rintih
kesakitan dan mengatakan bagian tenggorokanmu keluar bisul
jahat sehingga susah bersuara, sebelum saat kau hendak
dibunuh orang Swat-san-pay janganlah kau membuka mulut
dan bicara." "Ting-ting Tong-tong, akal sebagus ini hanyalah engkau yang
dapat memikirkannya," seru Boh-thian dengan girang.
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan ingatlah, sepanjang jalan jangan kau bicara dengan siapa
pun juga, terhadap Ciok-cengcu dan Ciok-hujin juga tidak
boleh memberi isyarat apa-apa. Maklum Pek-suhu dan kawankawannya
itu sangat lihai, sedikit kau memperlihatkan tandatanda
yang mencurigakan akan berarti membikin celaka
kepada Ciok-cengcu berdua."
"Ya, baiklah, biarpun kepalaku dipenggal juga aku takkan
bicara," sahut Boh-thian sambil mengangguk. "Hayolah,
sekarang juga kita berangkat."
Tapi mendadak pintu kamar dibuka orang, suara seorang
wanita berseru, "Jangan kau tertipu olehnya, Siauya!"
Remang-remang Boh-thian melihat seorang wanita muda
berdiri di depan pintu, kiranya adalah Si Kiam. "Jangan...
jangan tertipu apa, Si Kiam?"
"Di luar kamar telah kudengar seluruhnya," sahut Si Kiam.
"Nona Ting ini tidak bermaksud baik, dia... dia hanya ingin
menyelamatkan dia punya Engkoh Thian dan sengaja menipu
kau untuk mewakilkan kematiannya."
"Ah, masakah begitu?" ujar Boh-thian. "Nona Ting membantu
aku memikirkan cara bagaimana harus menolong Ciok-cengcu
dan Ciok-hujin." "Ai, mengapa Siauya tidak pikir masak-masak, mungkinkah
mereka menaruh maksud baik padamu?" kata Si Kiam.
Mendadak Ting Tong tertawa dingin, "Huh, memangnya kau
adalah pelayan pangcumu yang tulen, sekarang kau sengaja
membantu orang luar dan sengaja mengadu domba."
Lalu ia berpaling kepada Boh-thian dan berkata, "Engkoh
Thian, jangan kau pedulikan perempuan hina ini, lekas kau
pergi minta sedikit bun-hiang (dupa pemabuk) kepada Tanhiangcu,
tapi jangan bicara tentang urusan kita ini, sesudah
mendapatkan dupa itu boleh tunggu aku di luar sana saja."
"Untuk apa kita membawa dupa seperti itu?" tanya Boh-thian.
"Sebentar tentu kau akan tahu, sekarang lekas berangkat,
lekas!" desak si Ting Tong.
Boh-thian mengiakan dan segera melangkah keluar.
Setelah Boh-thian pergi, segera Ting Tong menyemprot Si
Kiam, "Hm, budak hina, baik juga ya hatimu!"
Si Kiam menjadi takut, ia menjerit terus hendak lari. Tapi si
Ting Tong tidak memberi kesempatan padanya, cepat ia
memburu maju, kedua tangannya menghantam sekaligus,
tepat punggung Si Kiam kena digenjot dan tanpa ampun lagi
mati seketika. Sebelum meninggalkan kamar itu, lebih dulu Ting Tong
menyeret jenazah Si Kiam itu ke dalam kamar, ia sengaja
merobek-robek pakaian Si Kiam dan meletakkan jenazah
pelayan itu di atas ranjang agar besok paginya dicurigai orangorang
Tiang-lok-pang yang pasti akan menyangka pangcu
mereka sendiri yang telah membunuh pelayannya lantaran
melawan kehendak sang pangcu yang tidak senonoh. Dengan
demikian Pwe Hay-ciok dan lain-lain tentu juga tidak akan
kaget bilamana mendadak Ciok Boh-thian menghilang, mereka
tentu mengira sang pangcu sengaja menyingkir untuk
beberapa hari lamanya karena merasa malu.
Selesai mengatur, perlahan-lahan Ting Tong lantas menyusup
keluar dan setelah menunggu agak lama barulah kelihatan Ciok
Boh-thian muncul. "Sudah dapat!" kata pemuda itu.
"Bagus!" sahut Ting Tong dengan girang dan segera
mengajaknya berangkat menuju ke tepi sungai dan naik ke
atas perahu yang sudah siap.
Setelah mendayung perahu itu beberapa li jauhnya, kemudian
mereka mendarat, ternyata di bawah pohon sana sudah
tertambat dua ekor kuda. "Marilah kita menunggang kuda
saja!" kata si nona.
"Ai, rencanamu ini benar-benar sangat rapi, sampai-sampai
kuda pun sudah disiapkan," ujar Boh-thian.
"Rapi apa segala?" semprot Ting Tong dengan muka merah.
"Ini adalah kuda Yaya, aku toh tidak tahu kalau kau ingin buruburu
hendak pergi menolong Ciok-cengcu."
Boh-thian menjadi bingung mengapa si nona mendadak marah.
Ia tidak berani banyak bicara lagi dan terus cemplak ke atas
kuda. Kira-kira jam tiga dini hari sampailah mereka di luar Kota
Heng-co-tin, mereka turun dari kuda dan masuk ke dalam
kota. Ting Tong membawa Boh-thian ke sebuah hotel. Di luar
hotel si nona berbisik-bisik padanya, "Ciok-cengcu suami-istri
dan putranya tidur di kamar kedua di sebelah timur sana."
"Apakah mereka bertiga tidur di suatu kamar?" tanya Bohthian.
"Wah, jangan-jangan nanti ketahuan Ciok-cengcu dan
Ciok-hujin." "Mereka terpaksa harus tidur sekamar, mereka harus
mengawasi putranya agar tidak melarikan diri," sahut Ting
Tong. "Ai, mereka hanya memikirkan harga diri mereka sebagai
kesatria tanpa memikirkan mati-hidup putranya, orang tua
demikian benar-benar jarang terdapat di dunia ini."
Mendengar nada si nona seperti merasa penasaran, Boh-thian
menjadi bingung dan tidak dapat menanggapi. Terpaksa ia
tanya dengan suara tertahan, "Habis, bagaimana?"
"Boleh kau sulut dupa pemabuk yang kau bawa, masukkan ke
dalam kamar mereka melalui celah-celah jendela, sesudah
mereka tak sadarkan diri barulah kau membuka jendela dan
masuk ke dalam, diam-diam kau pondong keluar Ciok Tionggiok
dan selesaikan tugasmu. Ginkangmu sangat tinggi, keluarmasuk
kamar tentu takkan diketahui Pek-suhu dan kawankawannya.
Aku akan menunggu kau di bawah emper sana."
"O, kiranya demikian," kata Boh-thian sambil mengangguk.
"Baiklah, akan kukerjakan menurut petunjukmu. Apakah dupa
ini yang digunakan Tan-hiangcu dan kawan-kawannya untuk
menawan orang-orang Swat-san-pay sebagaimana dikatakan
mereka itu?" "Benar," sahut Ting Tong. "Ini adalah perbuatan rendah yang
biasa dilakukan oleh orang-orang Pang kalian, tentu dupa ini
sangat manjur, kalau tidak masakah orang-orang Swat-sanpay
yang bukan kaum lemah itu dapat dibekuk begitu saja"
Cuma kau pun harus hati-hati, jangan sampai menerbitkan
suara sedikit pun. Ketahuilah Ciok-cengcu dan nyonya tidak
dapat disamakan dengan anak murid Swat-san-pay."
Boh-thian mengiakan perlahan. Segera ia menyalakan dupa
pembius yang dibawanya. Walaupun di tempat terbuka
kepalanya terasa pusing juga ketika membau asap dupa itu.
Keruan ia terkejut. "Dupa ini bisa mematikan orang tidak?"
cepat ia tanya. "Mereka telah menawan orang-orang Swat-san-pay dengan
dupa semacam ini, apakah di antara orang-orang Swat-san-pay
ada yang mati?" Ting Tong balas bertanya.
"Ya, tidak," sahut Boh-thian. "Baiklah, harap kau tunggu di
sini." Perlahan-lahan ia melompat, melintasi pagar tembok, ternyata
enteng sekali gerakannya sehingga tiada menimbulkan suara
sedikit pun. Ia menemukan jendela kamar kedua di serambi
timur, ia dengar suara napas ketiga orang di dalam kamar itu
sedang terpulas dengan nyenyaknya, perlahan-lahan ia
membasahi kertas penutup jendela dengan air ludah sehingga
terkorek menjadi sebuah lubang kecil, lalu ia menyalakan dupa
dan memasukkannya ke dalam kamar. Nyala dupa itu sangat
cepat dan sebentar saja sudah habis. Ia dengar sekeliling situ
tiada sesuatu suara, dengan hati-hati ia lantas mendorong
daun jendela sehingga terpentang, palang jendela telah patah
oleh tenaga dalamnya yang kuat. Dengan gesit ia lantas
melompat ke dalam kamar. Bab 38. Ciok Boh-thian Pura-pura Sakit Gondok
Di bawah cahaya bintang-bintang yang remang-remang
dilihatnya dalam kamar itu terdapat dua buah dipan. Ciok Jing
suami-istri bersatu dipan dan Ciok Tiong-giok tidur sendirian di
dipan yang lain. Baru saja ia hendak mengangkat tubuh Ciok Tiong-giok,
mendadak ia merasa kepala sendiri agak pusing, ia tahu telah
mengisap bau dupa pemabuk, cepat ia menahan napas dan
membawa Ciok Tiong-giok keluar hotel.
Ting Tong sudah menunggu di sana, bisiknya perlahan,
"Marilah kita menyingkir agak jauh supaya tidak membikin
kaget Pek-suhu dan kawan-kawannya."
Boh-thian mengiakan, dengan memondong Ciok Tiong-giok ia
ikut si nona menyingkir ke tempat lebih jauh dari hotel itu.
"Lekas kau menanggalkan pakaiannya dan menukar dengan
pakaianmu, begitu pula seluruh isi sakunya," kata si Ting Tong.
Waktu Boh-thian merogoh kantongnya sendiri, ia
mengeluarkan sekotak boneka kayu pemberian Tay-pi Lojin
dahulu serta dua potong medali tembaga. "Apakah ini juga...
juga diberikan padanya?" tanyanya.
"Ya, berikan semua," sahut Ting Tong. "Kalau tersimpan di
bajumu, jangan-jangan akan dilihat orang dan terbongkar
rahasia penyamaranmu. Biarlah aku meronda di sebelah sana.
Cepat kau bertukar pakaian dengan dia."
Menunggu sesudah si Ting Tong menyingkir agak jauh, segera
Boh-thian melepaskan, pakaiannya sendiri, lalu membelejeti
Ciok Tiong-giok dan saling bertukar pakaian. "Sudah, sudah
selesai!" serunya kemudian.
Maka kembalilah Ting Tong mendekat, katanya, "Jiwa Ciokcengcu
dan Ciok-hujin selanjutnya tergantunglah padamu, jika
kau kurang pandai bergaya tentu celakalah mereka."
"Aku akan berbuat sebisanya," ujar Boh-thian.
Lalu Ting Tong mengeluarkan sebuah kotak kecil, ia membuka
tutup kotak dan mengorek sedikit salep dengan kukunya sambil
berkata, "Dongakkan kepalamu!"
Sesudah Boh-thian mengangkat kepalanya, segera ia poles
salep itu di lehernya dan berkata pula, "Sebelum pagi
mendatang nanti harus kau membersihkan salep ini supaya
tidak dilihat orang lain. Besok akan terasa sakit sedikit, untuk
ini kau harus tahan derita."
"Tidak apa," sahut Boh-thian.
Tiba-tiba terlihat badan Ciok Tiong-giok sedikit bergerak seperti
akan siuman. Cepat ia berkata, "Ting-ting Tong-tong, aku akan
kembali ke kamarnya, sampai bertemu!"
"Ya, lekas, selamat!!" sahut Ting Tong.
Kira-kira belasan meter jauhnya Boh-thian melangkah ke arah
hotel, waktu menoleh, terlihat Ciok Tiong-giok sudah berduduk
dan seperti sedang bicara dengan si Ting Tong dengan suara
lirih. Tiba-tiba terdengar Ting Tong mengikik tawa, suaranya
sangat perlahan, tapi penuh rasa gembira.
Sekonyong-konyong Boh-thian merasakan semacam
kecemasan yang hebat, lapat-lapat ia merasa selanjutnya tidak
dapat berkumpul bersama si Ting Tong lagi. Sesudah merandek
sejenak, akhirnya ia melompat masuk ke dalam hotel dan
menyusup ke dalam kamar. Asap dupa di dalam kamar masih cukup keras, ia membuka
daun jendela supaya ada hawa segar. Terdengar suara derapan
kuda yang makin menjauh, ia tahu si Ting Tong dan Ciok
Tiong-giok telah pergi bersama. Pikirnya, "Ke manakah
mereka" Sekarang si Ting-ting Tong-tong tentulah sangat
senang. Aku sendiri terlalu bodoh dan tidak pintar bicara,
berada bersama dia hanya selalu membikin marah padanya
saja." Ia berdiri termenung-menung agak lama di depan jendela,
ketika mendadak merasa lehernya mulai sakit barulah cepatcepat
ia menyusup ke kolong selimut.
Obat salep si Ting Tong itu ternyata sangat manjur, tidak
sampai satu jam tenggorokan Ciok Boh-thian sudah kesakitan.
Waktu ia meraba dengan tangan, tempat tenggorokan itu
sangat panas dan bengkak seperti orang gondok.
Ia tahan sampai fajar sudah menyingsing, lalu ia
membersihkan bekas salep itu dengan selimut, kemudian mulai
merintih-rintih kesakitan menurut ajaran Ting Tong supaya
menarik perhatian Ciok Jing suami-istri dan tidak curiga
bilamana mengendus sisa bau dupa.
Benar juga, sesudah merintih-rintih sebentar lantas didengar
oleh Ciok Jing, segera orang tua itu bertanya, "Kenapa kau?"
Nadanya bukannya kasih sayang, sebaliknya rada marah.
Bin Ju juga lantas bangun dan bertanya, "Kenapakah anak
Giok" Apakah badanmu kurang enak?"
Dan tanpa menunggu jawaban segera ia mendekati Boh-thian.
Ketika mendadak melihat kedua pipi Boh-thian merah
membara, lehernya juga bengkak, ia menjadi kaget dan cepat
berteriak, "He, Engkoh Jing, lekas kemari, coba lihatlah!"
Mendengar seruan sang istri yang khawatir itu, cepat Ciok Jing
lantas melompat bangun ke depan dipan putranya, ia menjadi
khawatir juga demi tampak leher putranya merah bengkak
sebagai gondokan. "Besar kemungkinan hanya penyakit bisul
biasa saja, kalau diobati cepat-cepat tentu akan segera
sembuh." Lalu ia tanya Boh-thian, "Bagaimana, Nak" Apakah sangat
sakit?" Boh-thian hanya merintih saja dan tidak berani membuka
suara. Pikirnya sendiri, "Karena ingin menolong kalian,
makanya aku pura-pura sakit untuk menipu kalian. Hanya sakit
bisul begini saja kalian sudah sedemikian menaruh perhatian
padaku, ini menandakan kalian masih sangat cinta kepada
putramu Ciok Tiong-giok itu walaupun dia telah banyak
berdosa. Ai, mengapa di dunia ini tiada seorang pun yang
mencintai aku seperti ini."
Teringat demikian ia menjadi terharu sehingga mengembeng
air mata. Melihat putranya mewek-mewek akan menangis, Ciok Jing dan
Bin Ju mengira dia kesakitan, maka mereka tambah khawatir.
Ciok Jing bertanya, "Biarlah kucari seorang tabib."
"Di kota kecil seperti ini tentu tiada tabib pandai, marilah kita
pulang ke Yangciu saja dan minta tolong Pwe-tayhu untuk
memberi obat padanya," usul Bin Ju.
"Tidak," jawab Ciok Jing. "Jangan-jangan akan menimbulkan
curiga Pek Ban-kiam dan kawan-kawannya, pula akan
dipandang hina oleh Pwe Hay-ciok."
Ia tahu Pwe Hay-ciok dan orang-orang Tiang-lok-pang sudah
dendam kepada putranya yang khianat ini, bilamana dibawa ke
sana bukan mustahil sang putra akan dicelakai malah.
Segera Bin Ju membawakan semangkuk kuah hangat untuk
Ciok Boh-thian, tak terduga salep berbisa itu sangat lihai, luardalam
tenggorokan itu telah bengkak semua sehingga tak
dapat makan-minum sama sekali. Keruan Bin Ju tambah
khawatir. Ciok Jing lantas mencari seorang tabib. Dasar tabib
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kampungan, tapi berlagak mahapandai, sesudah memeriksa
penyakit Boh-thian itu, sebentar ia bilang cuma penyakit
gondok, tapi lain saat ia menakut-nakuti katanya sakit kanker.
Akhirnya ia membual betapa kepandaiannya dan minta
pasiennya jangan khawatir, lalu ia membuka resep.
Ciok Jing memberi pujian sekadarnya dan memberikan
honorarium yang cukup, setelah tabib itu pergi ia lantas
membeli obat ke apotek. Karena kesibukan Ciok Jing, itu, akhirnya orang-orang Swatsan-
pay mendapat tahu juga persoalannya. Khawatir kalaukalau
Ciok Jing main gila dan berusaha menyelamatkan
putranya, maka Pek Ban-kiam pura-pura menjenguk ke
kamarnya. Ketika melihat tenggorokan Ciok Boh-thian benarbenar
seperti orang sakit gondok dan Bin Ju tampak khawatir
dan bingung, diam-diam ia merasa senang dan syukur.
Pikirnya, "Kau bocah durhaka ini sudah berdosa kelewat
takaran, jika kau terbunuh begitu saja di Leng-siau-sia nanti
akan terlalu murah bagimu, memangnya kau harus disiksa dan
banyak menderita dahulu agar kau bertobat."
Walaupun demikian pikirnya, namun sebagai seorang kesatria
ia malah menghibur Bin Ju agar jangan khawatir.
Sesudah memberikan obat kepada putranya, kemudian Ciok
Jing berkata kepada sang istri, "Aku sudah siapkan kereta di
luar. Tiong-giok adalah seorang lelaki, dia harus berani tahan
uji, sedikit penyakit saja tidak boleh menghalangi urusan orang
banyak. Marilah kita lantas berangkat saja."
Bin Ju menjadi ragu-ragu, katanya, "Penyakit anak begini
parah, kalau dipaksa meneruskan perjalanan mungkin...
mungkin akan tambah berat."
"Kedua sucia pengganjar dan penghukum itu sedang menuju
ke Leng-siau-sia, Pek-suheng harus buru-buru menyusul ke
sana, jika Wi-tek Siansing sampai bergebrak dengan mereka,
kita tak dapat membantu, sebaliknya memperlambat
perjalanan Pek-suheng, hal ini tidaklah pantas."
Bin Ju terpaksa mengiakan, katanya kepada Boh-thian, "Nak,
marilah kubantu kau memakai baju."
Lalu ia membantu Boh-thian berpakaian dan lantas keluar
hotel. Melihat Ciok Jing memaksa putranya melanjutkan perjalanan
dalam keadaan sakit, mau tak mau Pek Ban-kiam menaruh
hormat juga atas jiwa kesatrianya.
Sebaliknya Bin Ju paham apa yang diperhitungkan sang suami,
ia kenal watak suaminya tidak nanti mengeluyur pergi dengan
membawa lari putranya. Tapi menurut perhitungan Ciok Jing
kunjungan Thio Sam dan Li Si ke Leng-siau-sia nanti pasti akan
cekcok dan bertempur dengan Pek Cu-cay alias Wi-tek Siansing
yang berperangai keras dan tidak nanti mau terima medali
tembaga yang disodorkan itu. Jika bisa Ciok Jing ingin
mencapai Leng-siau-sia tepat pada waktunya dan dapat
membantu pihak Swat-san-pay dengan sepenuh tenaga, jika
nasibnya malang dan gugur dalam pertempuran itu, maka
paling sedikit akan dapat mencuci bersih nama busuk putranya,
sebaliknya kalau untung mendapat kemenangan, maka berita
tentang Swat-san-pay bergabung dengan Hian-soh-ceng telah
menjatuhkan Thio Sam dan Li Si pasti akan tersiar di dunia
Kangouw, jasa itu tentu dapat menebus dosa putranya dan Pek
Cu-cay tentu tidak tega membunuhnya lagi.
Namun Bin Ju sendiri sudah menyaksikan kepandaian Thio Sam
dan Li Si di markas Tiang-lok-pang dan menduga lebih banyak
kalah daripada menangnya bila benar-benar bergabung
melawan kedua orang itu. Akan tetapi selain pikiran sang
suami itu rasanya tiada jalan lain lagi yang lebih sempurna,
sebab itulah ia pun menurut saja.
Sebenarnya tabib di Heng-co-tin itu memang tidak becus, dia
telah salah sangka bengkak di tenggorokan Ciok Boh-thian itu
sebagai sakit gondok. Namun dengan demikian Ciok Jing dan
Bin Ju menjadi tidak curiga apa-apa. Pula wajah Boh-thian dan
Ciok Tiong-giok memang sangat mirip, sesudah saling tukar
pakaiannya, siapa pun tidak dapat membedakannya lagi.
Dengan enak-enak Boh-thian bertiduran di dalam kereta kuda
tanpa bersuara sedikit pun, maka rahasianya juga tidak sampai
ketahuan siapa-siapa. Kepergian si Ting Tong tanpa pamit itu
adalah kebetulan bagi Ciok Jing dan Bin Ju, maka mereka pun
tidak mengusut lebih lanjut.
Begitulah rombongan mereka lantas mempercepat perjalanan
agar tidak didahului oleh Thio Sam dan Li Si. Setiba di wilayah
Provinsi Oulam, bengkak di tenggorokan Ciok Boh-thian sudah
kempis, akan tetapi dia masih gagu dan tidak dapat bicara.
Beberapa kali Ciok Jing membawanya kepada tabib-tabib di
kota yang dilalui, namun tidak diperoleh sesuatu kepastian
tentang penyakitnya, hal ini membuat Ciok Jing menjadi
masygul dan Bin Ju pun lebih sering mencucurkan air mata.
Suatu hari sampailah mereka di wilayah Se-ek (daerah
provinsi-provinsi sebelah barat). Orang-orang Swat-san-pay
sangat hafal keadaan setempat, mereka selalu mengambil
jalanan kecil yang lebih dekat. Untuk ini mereka yakin pasti
akan dapat tiba lebih dulu di tempat tujuan daripada Thio Sam
dan Li Si. Makin dekat dengan Leng-siau-sia makin legalah hati
mereka. Hanya Ciok Jing dan Bin Ju saja yang merasa bimbang, mereka
menduga pada waktu bertemu dengan Wi-tek Siansing nanti
kedua pihak tentu akan serbasalah. Apabila orang tua itu lantas
marah-marah terus membinasakan anak Giok dan pada saat itu
juga Thio Sam dan Li Si muncul pula, maka keadaan tentu
akan menjadi sulit. Diam-diam Ciok Jing dan Bin Ju juga saling berunding, tapi
susah mengambil sesuatu keputusan, terpaksa mereka pasrah
nasib dan terserah kepada keadaan nanti.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di suatu lereng
gunung di mana terdapat sederetan rumah-rumah papan kayu,
Pek Ban-kiam telah tanya penjaga rumah-rumah papan itu dan
diketahui beberapa hari terakhir ini belum pernah ada orang
asing lalu di situ, maka hatinya menjadi makin lega.
Mereka bermalam di perumahan papan itu, besok paginya
mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Kiranya
perjalanan selanjutnya sangatlah terjal dan tidak dapat dilalui
dengan kuda. Beberapa murid Swat-san-pay jalan di depan
sebagai penunjuk jalan mereka terus mendaki gunung dan
melintasi tanjakan. Kira-kira satu jam kemudian, seluruh tanah
mulai tertampak hanya salju belaka. Untung ginkang setiap
orang tidaklah lemah sehingga tidak mengalami suatu
kesukaran. Sepanjang jalan Ciok Boh-thian terus ikut di belakang ayahbundanya,
tidak mendahului juga tidak ketinggalan.
Melihat kekuatan berjalan sang putra sangat tangkas,
napasnya juga panjang, diam-diam Ciok Jing dan Bin Ju
merasa lwekang pemuda itu tidak lebih lemah daripada mereka
sendiri, mereka menjadi kagum dan senang. Tapi demi ingat
tidak lama lagi akan berjumpa dengan Pek Cu-cay, kembali
mereka khawatir pula. Petangnya mereka melihat di depan sana berdiri suatu puncak
gunung yang menjulang tinggi dengan bangunan berpuluhpuluh
rumah. "Ciok-cengcu, inilah Leng-siau-sia adanya, tempatnya terlalu
terpencil dan miskin, segalanya kasar dan sederhana saja,"
kata Pek Ban-kiam. "Sungguh suatu tempat yang bagus," puji Ciok Jing. "Puncak
yang tertinggi dikelilingi gunung-gemunung, benar-benar
sesuai dengan namanya sebagai "leng-siau" (mencakar langit)."
Tertampak awan mengapung ke atas dan lambat laun seluruh
Leng-siau-sia telah terselubung semua di-tengah-tengah
gumpalan awan yang tebal.
Ketika rombongan mereka sampai di kaki puncak gunung itu
hari pun sudah gelap, mereka lantas bermalam pada dua
rumah batu yang biasanya disediakan untuk orang-orang yang
hendak berkunjung ke Leng-siau-sia agar besok pagi-pagi
dapat mendaki puncak tinggi itu dengan tenaga penuh.
Waktu fajar baru menyingsing segera rombongan mereka mulai
mendaki puncak terjal itu. Walaupun semua orang
berkepandaian tinggi, tidak urung mereka harus berhenti
mengaso dua kali serta makan ransum di gardu kecil di tengah
gunung. Lewat tengah hari barulah mereka sampai di luar
Leng-siau-sia. Tertampaklah beratus-ratus rumah dikelilingi
selapis tembok benteng yang putih dan tingginya lebih dari
lima-enam meter, kelihatannya penuh dengan salju yang sudah
membeku. "Pek-suheng, dinding benteng penuh dengan salju yang
membeku, maka pastilah sangat kukuh laksana baja, orang
luar tidaklah mungkin dapat menyerbu ke dalam," kata Ciok
Jing. "Ya, selama lebih 170 tahun berdirinya golongan kami memang
tidak pernah diserbu musuh dari luar," sahut Ban-kiam dengan
tertawa. "Hanya saja di musim dingin sering mendapat
gangguan kawanan serigala yang lapar, tapi juga tidak mampu
masuk ke dalam benteng."
Sampai di sini dilihatnya jembatan gantung yang melintasi
sungai es yang mengelilingi benteng itu masih tergantung
tinggi-tinggi dan belum dihubungkan, diam-diam Ban-kiam
menjadi marah, segera ia membentak, "Siapa itu yang dinas
jaga" Apakah tidak lihat kami telah pulang?"
Maka tertampaklah di atas benteng menongol sebuah kepala
dan berkata, "Kiranya Pek-supek dan para supek yang lain
telah pulang, segera akan kulaporkan dulu."
"Ada tamu jauh berkunjung kemari, lekas turunkan jembatan
gantung!" bentak Ban-kiam pula.
Terdengar orang itu mengiakan sambil mengkeretkan kembali
kepalanya, tapi sampai sekian lamanya jembatan gantung
masih tetap tidak diturunkan.
Ciok Jing melihat sungai yang mengelilingi benteng itu lebarnya
ada lima-enam meter lebih, untuk melompat ke seberang
memang tidak gampang. Pada umumnya dinding benteng memang selalu dikelilingi oleh
sungai pelindung benteng, tapi di puncak gunung ini hawa
sangat dingin, air sungai telah membeku menjadi es, sungai ini
pun sangat dalam, tepi sungai juga membeku sebagai dinding
es yang licin, baik binatang maupun manusia jika terjerumus
ke bawah tentu sangat sukar untuk naik kembali.
Dalam pada itu terdengar Kheng Ban-ciong dan Kwa Ban-kin
juga sedang membentak-bentak suruh penjaga-penjaga
benteng lekas turunkan jembatan gantung dan membuka
pintu. Melihat suasana agak luar biasa, Ban-kiam menjadi khawatir
jangan-jangan terjadi apa-apa di dalam benteng. Segera ia
membisiki kawan-kawannya, "Para Sute harap waspada, boleh
jadi kedua orang dari Liong-bok-to itu sudah tiba lebih dahulu."
Mendengar itu semua orang terkesiap dan tanpa merasa sama
meraba senjatanya masing-masing.
Pada saat itulah terdengar suara berkeriang-keriut, jembatan
gantung perlahan-lahan telah diturunkan. Pintu gerbang lantas
terbuka dan tertampak berlari keluar seorang yang berjubah
putih, lengan baju sebelah kanan terikat pada ikat
pinggangnya, di dalam lengan baju itu tertampak kosong
melompong, terang tiada isinya, yaitu lengannya buntung.
Orang ini lantas berteriak-teriak, "Haha, kiranya Ciok-heng dan
Ciok-so yang telah tiba, sungguh tamu yang tak terduga,
selamat datang!" Melihat Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li menyambut sendiri
kedatangan mereka, sedangkan lengan kanannya kelihatan
buntung akibat perbuatan putranya sendiri, sungguh Ciok Jing
menyesal tak terhingga. Cepat ia memapak maju sambil
berseru, "Hong-jite, kami suami-istri membawa putra durhaka
ini sengaja datang kemari untuk menerima hukuman yang
akan dijatuhkan Pek-supek dan engkau."
Habis berkata ia terus melangkah maju dan bertekuk lutut
memberi hormat. Sejak Ciok Jing terkenal di dunia Kangouw
belum pernah ia memberi hormat kepada angkatan yang
setingkat kecuali kepada orang tua, sekarang lantaran
pengorbanan Hong Ban-li terlalu besar gara-gara perbuatan
putranya, maka tanpa merasa ia lantas menjura kepada sobat
lama itu. Melihat suaminya berlutut dan menjura, sebaliknya sang putra
masih berdiri termangu di samping, cepat Bin Ju menarik baju
Ciok Boh-thian sambil berlutut di samping sang suami.
Boh-thian sendiri tidak tahu apa-apa, tapi ia berpikir, "Dia
adalah gurunya Ciok Tiong-giok yang kusamar sekarang,
ketemu guru memang seharusnya memberi hormat."
Maka ia lantas berlutut juga dan menjura berulang-ulang
sampai kepalanya membentur tanah.
Hong Ban-li tidak menggubris perbuatan Ciok Boh-thian itu
sebaliknya ia berkata kepada Ciok Jing, "Ai, mengapa Ciokheng
dan Ciok-so memakai adat setinggi?"
Cepat ia pun berlutut dan balas menjura.
Sesudah Ciok Jing suami-istri dan Hong Ban-li berbangkit
kembali, hanya Ciok Boh-thian sendiri yang masih berlutut di
situ. Sama sekali Ban-li tidak menggubris Ciok Boh-thian, katanya
kepada Ciok Jing, "Ciok-heng dan Ciok-so, rasanya sudah
belasan tahun kita tidak bertemu, kalian berdua ternyata
semakin sehat dan tambah muda. Selama ini terdengar juga
nama kalian berdua yang sangat terpuji di dunia Kangouw,
sungguh aku merasa sangat kagum dan terimalah ucapan
selamat dariku." "Kami tidak mampu mengajar anak, segala pujian kawankawan
Kangouw hanya nama kosong saja, apa yang perlu
ditonjolkan?" sahut Ciok Jing dengan rendah hati. "Hari ini
melihat keadaan Hong-hiante, sungguh kami merasa malu tak
terhingga." "Ah, kita adalah sahabat lama dan sesama kaum persilatan,
hanya sedikit persoalan mengapa harus selalu disebut-sebut"
Kalian datang dari jauh dan tentu sudah capek, hayolah lekas
masuk ke dalam benteng dan mengaso dulu," kata Hong Ban-li
tetap tidak ambil pusing kepada Ciok Boh-thian yang masih
berlutut di tempatnya. Segera Hong Ban-li mengiringi Ciok Jing mendahului masuk ke
dalam benteng. Bin Ju lantas menarik bangun putranya dengan
mengerut kening, melihat sikap Hong Ban-li tadi walaupun
ucapannya enak didengar, tapi jelas belum mau mengampuni
dosa Ciok Boh-thian. Ketika masuk ke benteng, Pek Ban-kiam telah memanggil
seorang penjaga dan bertanya dengan suara perlahan, "Apakah
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Loyacu (tuan besar, maksudnya ayahnya) baik-baik saja" Apa
yang telah terjadi di sini sesudah aku pergi?"
"Loyacu... Loyacu cuma suka marah-marah dan agak kasar
perangainya," sahut anak murid Swat-san-pay itu. "Sejak
Supek berangkat juga tiada terjadi apa-apa. Hanya...
hanya...." "Hanya apa?" desak Ban-kiam dengan menarik muka.
Murid itu menjadi ketakutan, jawabnya, "Lima... lima hari yang
lalu mendadak Loyacu mengamuk dan... dan telah membunuh
Liok-supek dan Boh-susiok."
"Hah" Mengapa bisa begitu?" tanya Ban-kiam terkejut.
"Tecu sendiri tidak tahu," sahut murid itu. "Kemarin dulu
kembali Loyacu membunuh Yan-susiok pula, juga sebelah kaki
Tho-supek kena ditebas kutung oleh beliau."
Sungguh kaget Ban-kiam tak terkatakan. Pikirnya, "Boh, Lio,
Yan, dan Tho-sute adalah jago-jago pilihan dalam Swat-sanpay,
biasanya ayah sangat sayang kepada mereka, mengapa
mendadak ayah berlaku sekejam ini kepada mereka?"
Cepat ia menarik murid itu ke samping, sesudah Bin Ju dan
Ciok Boh-thian pergi lebih jauh, segera ia tanya pula,
"Sesungguhnya apa yang telah terjadi?"
"Tecu benar-benar tidak tahu," sahut murid itu. "Sesudah
meninggalnya paman-paman guru itu, setiap orang di Lengsiau-
sia merasa tidak tenteram dan kebat-kebit. Kemarin
malam Thio-susiok, Be-susiok, dan lain-lain juga pergi tanpa
pamit, katanya hendak pergi mencari Pek-supek. Untunglah
hari ini Pek-supek sudah pulang dan dapatlah meredakan
kemarahan Loyacu." Karena tidak mendapatkan keterangan yang diharapkan,
segera Ban-kiam menyusul ke rumah. Setiba di ruangan tamu,
tertampak Hong Ban-li sedang mengiringi Ciok Jing dan Bin Ju
minum teh. Segera ia berkata, "Silakan kalian duduk dahulu,
Siaute akan menemui ayah dan minta beliau keluar bertemu
dengan tamu." Mendadak Hong Ban-li menukas dengan mengerut kening,
"Beberapa hari yang lalu mendadak Suhu jatuh sakit, mungkin
beliau harus mengaso beberapa hari lagi baru dapat menemui
tamu. Kalau tidak, beliau biasanya sangat menghormati Ciokheng,
tentu sejak tadi beliau sudah keluar."
Pikiran Ban-kiam menjadi kacau, cepat ia berkata, "Jika
demikian, biarlah aku menjenguk ayah dahulu."
Dengan langkah lebar segera ia menuju ke kamar tidur sang
ayah, sampai di luar pintu, ia berdehem dahulu, lalu berseru,
"Ayah, anak sudah pulang!"
Maka tertampaklah tirai pintu tersingkap, muncul seorang
wanita cantik pertengahan umur, ialah bini muda Pek Cu-cay
yang bernama Yu-nio. Wajahnya kelihatan agak pucat, melihat
Ban-kiam segera ia berkata, "Syukurlah sekarang Toasiauya
sudah pulang, memangnya kami sedang bingung apa yang
harus kami lakukan. Sejak kemarin dulu pikiran Loyacu
mendadak menjadi linglung, aku... aku telah sembahyang dan
berdoa, tapi sedikit pun tidak berhasil apa-apa. Toasiauya,
semoga kau...." sampai di sini ia lantas menangis tergugukguguk.
"Urusan apakah yang membikin ayah menjadi marah-marah?"
tanya Ban-kiam. "Ya entah anak muridnya salah omong apa sehingga Loyacu
menjadi murka, berturut-turut beberapa muridnya telah
dibunuh," tutur Yu-nio. "Saking marahnya sekujur badan
Loyacu menjadi gemetar, sepulangnya di kamar mukanya
tampak berkejang, mulutnya berbuih dan mengiler, bicara pun
tidak sanggup lagi. Ada orang mengatakan beliau terkena
"angin" dan entah betul atau tidak...." sembari bicara dia terus
menangis sedih. Mendengar penyakit "kena angin", seketika Pek Ban-kiam
menjadi khawatir, tanpa bertanya lagi ia lantas berseru,
"Ayah!" dan terus berlari ke dalam kamar.
Ia lihat kelambu tempat tidur sang ayah tertutup rapat, di
dalam kamar ternyata ada sebuah anglo kecil dan sedang
masak obat. "Ayah!" seru Ban-kiam pula sambil membuka kelambu. Maka
tertampaklah ayahnya bertiduran dengan menghadap ke
sebelah sana, badannya sedikit pun tidak bergerak.
Pendengaran Ban-kiam sangat tajam, ia merasa pernapasan
ayahnya seperti sudah berhenti. Saking kagetnya tanpa pikir ia
terus menjulur tangan untuk memeriksa pernapasan hidung
sang ayah. Tapi baru saja sebelah tangannya terjulur sampai di samping
mulut ayahnya, dari dalam selimut mendadak menyambar
keluar suatu benda, "krek", tahu-tahu tangan Ban-kiam telah
terbelenggu dengan kencang, kiranya benda itu adalah sebuah
jepitan baja yang penuh berduri tajam.
Keruan Ban-kiam tambah kaget. "Ayah, akulah, anak telah
pulang!" teriaknya. Tapi mendadak dada dan perutnya
berbareng telah tertutuk dua kali dan tepat mengenai hiat-to
yang penting sehingga dia tidak bisa berkutik lagi....
Dalam pada itu Ciok Jing suami-istri yang dilayani Hong Ban-li
dalam sedang minum di ruangan tamu itu pun merasakan
sesuatu yang aneh pada orang-orang Swat-san-pay yang
dilihatnya, seakan-akan setiap orang itu menyembunyikan
rahasia apa-apa. Ciok Jing menjadi heran dan mengira janganjangan
berhubung akan datangnya kedua rasul pengganjar dan
penghukum dari Liong-bok-to itu, maka orang-orang Swat-sanpay
itu merasa cemas dan gelisah.
Rupanya Hong Ban-li mengetahui perasaan tamunya, ia coba
memberi penjelasan bahwa gurunya sudah tua, biasanya cukup
sehat, tapi mendadak jatuh sakit rada berat. Untuk mana Ciok
Jing juga mendoakan agar Pek Cu-cay lekas sembuh dan minta
Hong Ban-li jangan terlalu berduka.
Sementara itu hari sudah mulai gelap, Hong Ban-li perintahkan
orang menyiapkan perjamuan. Kheng Ban-ciong, Kwa Ban-ki
dan lain-lain ternyata tidak muncul lagi, maka Ciok Jing bertiga
diiringi oleh Ban-li sendiri bersama seorang sutenya yang
bernama Liok Ban-thong. Sekali ini Ciok Boh-thian juga
disilakan duduk dan disuguhi arak. Dengan alasan minum arak
untuk bikin hangat badan, berulang-ulang Ban-li menyilakan
tamunya penghabisan isi cawan sehingga Bin Ju sampai-sampai
menghabiskan tiga cawan. Sekonyong-konyong terasa suatu arus panas menaik dari
dalam perut, menyusul dada pun terasa panas sebagai dibakar,
cepat Bin Ju mengerahkan lwekang untuk bertahan, katanya
dengan tertawa, "Hong-hiante, arakmu ini sungguh lih... lihai!
Agaknya Ciok Jing juga merasakan hebatnya arak itu,
mendadak ia berbangkit dan membentak, "Arak apakah ini?"
"Ini adalah som-yang-ciu (arak kolesom) yang memang agak
keras sedikit tapi rasanya tak sampai memabukkan Hian-sohsiang-
kiam, bukan?" sahut Ban-li dengan tertawa.
Dengan suara bengis Ciok Jing membentak pula, "Kau...
kau...." tapi mendadak tubuhnya menggeliat dan akan jatuh.
Cepat Bin Ju dan Ciok Boh-thian berbangkit dan bermaksud
memayang Ciok Jing, tak terduga mereka berdua berbareng
juga merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang.
Sekaligus mereka pun roboh dan terduduk kembali di
tempatnya masing-masing tak sadarkan diri.
Entah berselang berapa lama, dengan lwekang Ciok Boh-thian
yang kuat itu perlahan-lahan ia siuman lebih dulu. Semula ia
mengira di dalam mimpi saja, perlahan-lahan ia menggerakgerakkan
tangannya dan bermaksud menahan tubuhnya untuk
berduduk, sekonyong-konyong terasa kedua tangannya
terkatup oleh sesuatu benda yang keras dan dingin. Ia
terkejut, pikirannya lantas jernih seketika.
Maka tahulah dia bahwa kaki dan tangannya telah terbelenggu
semua. Waktu ia membuka mata, ternyata keadaan gelap
gulita dan tidak mengetahui di mana ia berada. Ia coba berdiri
dan melangkah ke depan, tapi baru dua tindak saja, "blang",
batok kepalanya lantas membentur dinding yang keras.
Ia coba tenangkan diri sambil raba-raba kepalanya yang benjut
Perlahan-lahan ia meraba-raba dinding di sekelilingnya, kiranya
dia terkurung di dalam sebuah kamar batu yang kecil. Keadaan
gelap gulita, hanya pada ujung kiri sana remang-remang ada
cahaya yang menembus masuk. Ketika diperiksa, kiranya
adalah sebuah lubang sebesar belasan senti, jangankan
manusia, anjing pun susah menerobos lewat. Ia coba ketokketok
dinding batu dengan borgol di tangannya itu sehingga
mengeluarkan suara gemerantang yang nyaring, nyata dinding
batu itu sana tebal dan kukuh.
Boh-thian duduk bersandarkan dinding dan mengingat-ingat
kembali apa yang telah terjadi, "Mengapa aku bisa sampai di
sini" Apa barangkali arak kolesom yang mereka suguhkan itu
dicampur dengan obat tidur sehingga Ciok-cengcu suami-istri
juga jatuh pingsan di tempat perjamuan itu. Tampaknya orangorang
Swat-san-pay berkeras akan membunuh Ciok Tiong-giok,
khawatir kalau Ciok Jing berdua membelanya, maka mereka
perlu dipulaskan lebih dulu dengan obat tidur. Tapi mengapa
mereka belum membunuh aku" Ah, besar kemungkinan karena
Wi-tek Siansing sedang sakit, mereka sengaja mengurung kami
untuk beberapa hari lagi dan akan diputuskan sendiri oleh Witek
Siansing bila sakitnya sudah sembuh."
Lalu terpikir pula olehnya, "Bilamana Wi-tek Siansing tanya
padaku, asal aku mengatakan bahwa aku adalah Kau-cap-ceng
dan bukan Ciok Tiong-giok, kukira dia pasti akan
membebaskan diriku. Tapi Ciok-cengcu berdua belum tentu
akan dibebaskan olehnya, boleh jadi akan tetap dipenjarakan
sebagai sandera sampai tertangkapnya Ciok Tiong-giok yang
tulen. Selama dipenjarakan, orang halus dan suka bersih
sebagai Ciok-hujin apakah tahan di tempat yang gelap dan
kotor seperti ini, wah, entah betapa dia akan merana. Cara
bagaimanakah aku harus mencari suatu akal untuk menolong
Ciok-hujin dan Ciok-cengcu, habis itu barulah aku akan bicara
menurut aturan dengan Pek-loyacu."
Demi teringat harus bertempur seketika ia menjadi sedih pula,
padahal dirinya sekarang dalam keadaan terborgol dan
memerlukan pertolongan orang lain, cara bagaimana pula
dapat pergi menolong Ciok-cengcu berdua" Di dalam Lengsiau-
sia ini adalah orang-orang Swat-san-pay semua, siapa
yang mau menolongnya"
Ia coba meronta dan membetot-betot borgol itu, tapi hanya
terdengar suara gemerencing rantai saja, kiranya di antara
borgol tangan dan kaki itu tersambung pula beberapa utas
rantai besi. Pada saat itulah mendadak dari lubang kecil di dinding tadi ada
cahaya lampu menembus masuk. Ada orang mendekati kamar
batu itu dengan membawa pelita. Menyusul dari luar lubang
dinding itu terlihat disodorkan masuk sebuah kuali kecil yang
berisi setengah kuali nasi, di atas nasi terdapat beberapa iris
sayur asin, sepasang sumpit tertancap di atas nasi pula.
Boh-thian tidak pikirkan lagi tentang pura-pura menjadi gagu
segala, segera ia berteriak, "He, he! Aku ingin bicara dengan
Pek-loyacu, lekas sampaikan kepada beliau!"
Tapi orang di luar itu hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Sinar pelita tadi lambat laun menjadi pudar dan akhirnya
lenyap. Ternyata orang itu telah pergi tanpa menggubris
permintaan Boh-thian. Terendus bau sedapnya nasi barulah Boh-thian ingat perutnya
sudah lapar. Padahal ia ingat sudah makan cukup banyak
dalam perjamuan itu, mengapa sekarang sudah lapar sekali.
Rupanya waktu tak sadar dan terkurungnya di kamar batu itu
sudah cukup lama. Tanpa pikir lagi segera ia pegang kuali nasi itu, sumpit lantas
bekerja dan makan dengan lahap, hanya sekejap saja isi kuali
itu sudah disapu bersih ke dalam perutnya. Habis makan ia
taruh kuali kosong itu di tempatnya semula.
Beberapa kali ia coba membetot lagi, tapi borgol di kakitangannya
itu ternyata terbuat dari baja, biarpun ia
mengerahkan segenap lwekangnya juga susah
mematahkannya, sebaliknya pergelangan tangan dan kaki
sendiri yang kesakitan dan lecet. Ia coba meraba daun pintu
kamar batu itu, akhirnya ia menemukan garis celah-celah
pintu, sekuatnya ia mendorong dengan pundak, tapi pintu batu
tidak bergerak sedikit pun.
Boh-thian menjadi putus asa dan menerima nasib di samping
mengkhawatirkan keselamatan Ciok Jing dan istrinya. Daripada
susah-susah akhirnya ia tidak mau pikir lagi, dengan
bersandarkan dinding ia pejamkan mata dan tidur.
Di dalam kamar tahanan yang gelap gulita itu susah diketahui
sudah lewat berapa lamanya, besar kemungkinan sudah
menunggu satu hari barulah ada orang mengantarkan nasi lagi.
Terlihat sebuah tangan menjulur masuk dari luar lubang
dinding untuk mengambil kuali kosong.
Sekilas benak Ciok Boh-thian timbul suatu akal. Ketika orang
itu memasukkan makanan pula, secepat kilat Boh-thian
menubruk maju, di tengah gemerencingnya rantai besi, tahutahu
pergelangan tangan orang itu sudah terpegang.
Dengan kim-na-jiu-hoat ditambah lwekang yang lihai, sekali
tangannya sudah dipegang Ciok Boh-thian, biarpun tokoh
terkemuka di dunia persilatan juga tidak tahan, apalagi
sekarang hanya seorang pengantar makanan biasa saja"
Keruan orang di luar itu kaget, saking kesakitan ia menjerit
laksana babi hendak disembelih. Ketika Ciok Boh-thian sedikit
menarik, seluruh lengan orang itu telah kena diseret masuk ke
dalam, bentaknya, "Jangan berteriak, kalau berteriak lagi
segera kubetot putus lenganmu!"
Terpaksa orang itu minta ampun, "Tidak, aku takkan berteriak
lagi. Lek... lekas engkau melepaskan tanganku!"
"Buka dulu pintu kamar batu ini, lepaskan aku keluar," sahut
Boh-thian. "Baik, lepaskan tanganku, biar kubuka pintunya," kata orang
itu. "Sekali kulepaskan tentu kau akan lari, tidak dapat kulepaskan
tanganmu," ujar Boh-thian.
"Habis, cara bagaimana aku dapat membukakan pintunya?"
jawab orang itu. Boh-thian pikir benar juga alasan orang itu. Kalau melulu
memegangi tangannya saja terang tak berguna. Tapi dengan
susah payah tangan orang sudah kena dipegang, masakah
sekarang lantas dilepaskan begitu saja"
Tiba-tiba ia mendapat akal pula, katanya, "Lekas serahkan
kunci borgol kaki-tanganku ini!"
"Kunci?" orang itu menegas. "Wah, buk... bukan aku yang
memegang kuncinya. Hamba cuma seorang pengantar ransum
saja."
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Boh-thian merasa curiga atas pada jawaban orang. Ia pikir toh
sudah tiada jalan lain, terpaksa orang ini harus didesak terus.
Segera ia genggam lebih keras sambil berkata, "Baiklah, biar
kupatahkan dulu tanganmu dan urusan belakang!"
Keruan orang itu berkuik-kuik kesakitan pula. Di luar dugaan,
sesudah mengaduh-aduh beberapa kali, akhirnya terdengar
suara nyaring, sebuah kunci telah terlempar masuk.
Ternyata orang itu sangat licin sekali, dia sengaja
melemparkan kunci ini jauh-jauh sehingga tangan Boh-thian
tidak sampai untuk mengambilnya. Jika mau ambil kunci itu
terpaksa pemuda itu harus melepaskan dulu tangannya.
Bab 39. Dengan Perkasa Ciok Boh-thian Menolong Supopo
dan A Siu Seketika Boh-thian menjadi bingung juga. Sambil membetot
sekuatnya tangan orang itu Boh-thian mengulurkan sebelah
kakinya ke belakang untuk meraih kunci borgol itu. Namun
meski lengan orang itu sudah terbetot sampai-sampai hampir
copot dari ruasnya toh masih belum bisa mencapai kunci itu.
Sebaliknya orang itu menjerit-jerit kesakitan pula seperti babi,
"Aduh, aduuuh! Jangan tarik lagi, kalau tarik lagi tanganku
tentu putus!" Melihat kaki sendiri tidak bisa mencapai tempat kunci, tiba-tiba
Boh-thian mendapat akal pula, cepat ia menanggalkan sebelah
sepatunya sendiri, ia incar dinding sebelah sana, lalu sepatu itu
ditimpukkan sekuatnya. Ketika sepatu itu membentur dinding
dan terpental balik, dengan tepat kunci yang terletak di tanah
itu juga tersampuk dan terbawa ke sebelah sini.
Boh-thian sampai bersorak saking senangnya karena akalnya
mencapai hasil yang diharapkan. Segera ia jemput kunci itu
dan memakai kembali sepatunya. Secara bergantian ia
membuka kedua belah borgol tangannya. Habis itu mendadak
"krek", ia gunakan borgol itu untuk membelenggu tangan
orang itu. Keruan orang itu terkejut. "He, ap... apa yang kau lakukan?"
serunya takut. "Sekarang bolehlah kau membukakan pintu kamar tahanan
ini," kata Boh-thian dengan tertawa sambil mengeluarkan
rantai borgol. Tapi orang itu masih ragu-ragu, Boh-thian menjadi tidak sabar,
ia tarik rantai borgol sehingga lengan orang itu terseret ke
dalam lubang lagi. Rupanya agak keras juga tenaga yang
digunakan Ciok Boh-thian sehingga muka orang itu tertumbuk
dinding, kontan batok kepalanya benjut dan hidung keluar
kecapnya. Orang itu sadar tidak dapat membangkang lagi, terpaksa
sambil menyeret rantai borgol ia membukakan pintu kamar
batu itu. Akan tetapi ujung rantai yang lain masih terikat pada
borgol kaki Ciok Boh-thian, meski pintu sudah terbuka, namun
kedua ujung rantai besi itu menembus lubang dinding batu dan
terikat pada tangan dan kaki dua orang, jadi Ciok Boh-thian
tetap tidak dapat keluar.
"Coba serahkan kunci borgol kakiku ini," kata Boh-thian sambil
menarik rantai borgol tangan orang itu.
"Aku benar-benar tidak memegang kuncinya," sahut orang itu
dengan wajah sedih. "Hamba benar-benar cuma seorang
pengantar makanan saja dan tidak berkuasa memegang kunci."
"Baiklah, jika begitu tunggulah sesudah aku keluar dahulu,"
kata Boh-thian. Segera ia tarik pula lengan orang itu ke dalam
lubang dan membukakan borgolnya.
Begitu tangannya terlepas dari borgol, dengan cepat orang itu
lantas berlari ke sana dan bermaksud menutup kembali
pintunya. Akan tetapi semuanya ini sudah dalam perhitungan
Ciok Boh-thian, secepat kilat ia sudah melompat ke sana dan
menyelinap keluar pintu. Sekali cengkeram segera ia bekuk
kuduk orang itu dan diangkat ke atas.
Ia lihat orang itu berjubah putih, badannya kekar, mukanya
cerdas, terang adalah anak murid Swat-san-pay dan bukan
pengantar nasi saja seperti pengakuannya tadi. Segera ia
membentaknya, "Kau mau buka borgol kakiku atau tidak" Atau
kau minta kutumbukkan kepalamu di atas dinding batu ini?"
Sebenarnya ilmu silat orang itu juga tidak lemah, tapi kebentur
di tangan Ciok Boh-thian orang itu menjadi seperti anak ayam
dicengkeram oleh elang, sedikit pun tidak dapat berkutik. Tiada
jalan lain terpaksa ia mengeluarkan kunci dan membuka borgol
kaki pemuda itu. "Di mana kalian telah mengurung Ciok-cengcu dan Ciok-hujin,
lekas membawa aku ke sana," bentak Boh-thian.
"Sebenarnya Swat-san-pay tiada permusuhan apa-apa dengan
Hian-soh-ceng, maka Ciok-cengcu suami-istri sudah pergi
tanpa cedera sesuatu apa pun," sahut orang itu.
Boh-thian merasa sangsi, sekilas dilihatnya orang itu melirik ke
arah pintu yang terletak di ujung lorong sebelah sana, ia pikir
orang ini tentu berdusta, boleh jadi Ciok-cengcu berdua
terkurung di kamar sana. Segera ia menyeret orang itu ke depan pintu batu itu, lalu
bentaknya, "Lekas membuka pintu ini."
Air muka orang itu tampak berubah pucat, katanya, "Aku... aku
tidak punya kuncinya! Yang terkurung di dalam ini bukan...
bukan manusia, tapi adalah... adalah seekor singa dan dua
ekor macan, jika dibuka tentu bisa celaka."
Boh-thian merasa heran bahwa yang terkurung di dalam situ
adalah singa dan harimau, ia coba menempelkan telinganya ke
pintu dan mendengarkan dengan cermat, tapi tak terdengar
sesuatu suara binatang-binatang buas itu.
"Engkau toh sudah terlepas, silakan lekas melarikan diri saja,
jika tinggal lebih lama di sini, jangan-jangan akan dipergoki
orang dan mungkin engkau akan tertangkap pula," demikian
kata orang itu setengah menakut-nakuti.
Boh-thian pikir kau toh bukan kawanku, mengapa sedemikian
baik hatimu memikirkan keselamatanku" Padahal tadi aku
minta dibukakan borgol saja kau tidak mau, sekarang malah
suruh aku lekas melarikan diri. Jangan-jangan Ciok-cengcu
berdua memang benar-benar dikurung di dalam kamar ini.
Segera ia angkat tubuh orang itu, ia benturkan kepalanya
dengan perlahan di dinding batu, lalu bertanya, "Kau mau buka
pintu tidak" Atau minta kepalamu pecah" Hm, aku justru ingin
tahu macam apa singa dan harimau yang kau katakan itu."
"Ai, binatang-binatang itu sangat buas, sudah beberapa hari
tidak diberi makan, bila melihat manusia nanti pasti akan terus
menerkam...." Karena buru-buru ingin menolong Ciok Jing dan istrinya, Bohthian
merasa sebal akan ocehan orang, tanpa menunggu
selesai uraiannya segera ia jungkirkan tubuh orang itu dan
dikocok-kocok untuk memaksanya menurut. Di luar dugaan
lantas terdengar suara gemerencing nyaring, dari baju orang
itu telah terjatuh dua buah kunci.
Boh-thian sangat girang, segera ia lemparkan orang itu ke
tanah dan cepat menjemput kunci-kunci itu untuk membuka
pintu batu. Benar juga, hanya sekali putar saja segera kunci
pintu itu terbuka. Dalam pada itu orang tadi telah menjerit kesakitan, cepat ia
merangkak bangun dan segera putar tubuh hendak angkat
langkah seribu. Namun Boh-thian tidak memberi kesempatan padanya. Ia pikir
kalau orang ini sampai lari keluar dan memanggil kawan, tentu
akan banyak menimbulkan kesukaran lagi. Secepat terbang
Boh-thian lantas memburu maju, sekali jambret segera orang
itu diseretnya terus dijebloskan ke dalam kamar tahanannya
sendiri tadi, sekalian ia lemparkan borgol kaki dan tangan
beserta rantainya ke dalam dan menutup pintunya, bahkan
dikunci pula dari luar. Habis itu barulah ia kembali ke kamar
batu di ujung lorong sana.
"Ciok-cengcu! Ciok-hujin! Apakah kalian berada di sini?" seru
Boh-thian sambil melongok ke dalam kamar.
Tapi tak terdengar suara jawaban apa-apa. Ia coba pentang
pintu lebih lebar, ternyata di dalam tiada terdapat seorang pun.
Sebaliknya kira-kira dua-tiga meter di sebelah sana terdapat
sebuah pintu pula. Pikirnya, "Ya, pantas ada dua buah kunci."
Segera ia menggunakan kunci yang lain untuk membuka pintu
kedua, baru saja pintu itu terbuka sedikit dan belum lagi ia
bersuara, tiba-tiba terdengarlah ada orang sedang mencaci
maki di dalam situ, "Jahanam keparat, haram jadah! Akan
kusembelih dan potong-potong kalian agar kalian sekarat
setengah mampus...." dan di samping itu terdengar pula suara
gemerencingnya rantai besi.
Suara caci maki orang itu kedengaran sangat berat, rupanya
tenggorokannya serak, sama sekali bukan logat orang Kanglam
sebagaimana suaranya Ciok Jing. Maka percayalah Boh-thian
bahwa Ciok Jing dan istrinya memang tidak dipenjarakan di
situ. Tapi lantas terpikir olehnya mengapa tidak membebaskan
sekalian orang yang ditawan Swat-san-pay ini. Karena itu ia
lantas berseru, "He, kau tidak perlu memaki lagi, biar kutolong
kau keluar dari sini!"
Namun orang itu masih terus memaki, "Huh, kau kutu macam
apa" Berani mengaco-belo dan menipu Locu" Apa kau minta
kupuntir putus lehermu...."
Boh-thian merasa geli dan anggap perangai orang benar sangat
kasar. Tapi ia pun maklum, siapa pun kalau dikurung di tempat
demikian tentu akan merasa sebal dan tertekan pantas kalau
orang ini pun marah-marah.
Ia lantas melangkah ke dalam kamar dan berkata, "Apakah
engkau juga diborgol dan dirantai oleh mereka?"
Tapi baru sekian ia berkata, dalam kegelapan sekonyongkonyong
sesuatu benda yang berat terasa mengepruk dari
atas. Cepat Boh-thian berkelit ke samping, namun belum lagi
dia berdiri kuat, tahu-tahu hiat-to penting di bagian punggung
sudah kena dicengkeram orang, menyusul lehernya lantas
dicekik oleh sebuah lengan yang besar dan kuat, makin lama
makin kencang sehingga napasnya sesak seketika, telinganya
sampai mendenging-denging dan mata mulai berkunangkunang,
sebaliknya terdengar pula suara caci maki orang itu.
Sama sekali Boh-thian tidak menduga bahwa di dalam kamar
tahanan situ akan terdapat jago selihai itu. Sekali kena
didahului orang, seketika ia pun tak berdaya, diam-diam ia
hanya mengeluh dan sedapat mungkin mengerahkan tenaga ke
bagian lehernya untuk melawan cekikan lengan orang itu.
Meski daging bagian tenggorokan cukup lemas dan tidak
sekuat lengan, tapi lwekang Ciok Boh-thian teramat hebat,
semakin bertempur semakin kuat, di mana tenaganya sampai,
tangan orang itu ternyata dapat ditolak agak kendur. Cepat
Boh-thian mengambil napas, ketika lengan orang itu hendak
mengait kembali dengan lebih kencang, tanpa ayal lagi tangan
kanan Ciok Boh-thian lantas digunakan untuk menarik,
berbareng kepalanya lantas memberosot ke bawah sambil
melompat mundur. "Hai, dengan maksud baik aku hendak menolong kau keluar,
mengapa tanpa bertanya engkau menyerang aku malah?" seru
Boh-thian dengan mendongkol.
"Eh, sia... siapa kau" Boleh juga ya kepandaianmu?" demikian
orang itu sangat terkejut sambil memandang Boh-thian dengan
mata terbelalak lebar. Selang sejenak, kembali ia bersuara
heran, lalu membentak, "Anak busuk, siapa kau?"
"Aku... aku...." seketika Ciok Boh-thian menjadi bingung untuk
menjawab apa mesti mengaku bernama Kau-cap-ceng atau
tetap memalsukan nama Ciok Tiong-giok"
"Ya, kau dengan sendirinya adalah kau, masakah tidak punya
nama?" semprot orang itu.
"Loyacu, biar kutolong kau keluar dahulu, segala urusan boleh
kita bicarakan nanti," ujar Boh-thian.
"Apa" Kau hendak menolong aku" Hahaaah! Apakah gigi orang
seluruh dunia ini takkan copot semua menertawakan kau"
Hahaha, siapakah aku ini" Dan macam apakah kau itu" Huh,
hanya sedikit kepandaianmu yang mirip cakar ayam saja
mampu menolong aku?"
Dari dekat sekarang Boh-thian dapat melihat orang itu sudah
tua, jenggotnya sudah putih, tubuhnya tinggi besar tapi agak
bungkuk seakan-akan kamar batu yang kecil ini kurang tinggi
bagi tubuhnya yang tegap itu, kedua matanya lekuk ke dalam,
tapi sorot matanya tajam berwibawa.
Boh-thian sampai mengirik ketika sinar mata orang itu
menyapu kian-kemari di atas mukanya. Pikirnya, "Orang Swatsan-
pay tadi bilang di kamar ini terkurung singa dan harimau,
melihat macamnya orang ini ternyata benar-benar mirip seekor
binatang buas." Ia tidak berani banyak bicara lagi padanya, segera katanya,
"Loyacu, biar kupergi mencari kunci untuk membuka
borgolmu." Orang tua itu menjadi gusar, dampratnya, "Aku tidak perlu,
aku sendiri suka tinggal tirakat di sini, kalau tidak, di dunia ini
siapa yang mampu mengurung aku" Huh, kau bocah ini
barangkali tidak punya mata, masakah anggap aku dikurung
orang di sini" Hehe, untung saat ini Yaya lagi sabar, kalau tidak
tentu badanmu sudah kurobek-robek."
Ketika kedua tangannya digoyang-goyangkan, terdengarlah
suara gemerencing rantai borgolnya. Lalu ditambahkannya,
"Ini, sekali Yaya sudah murka, apa artinya rantai-rantai seperti
ini, apa gunanya borgol-borgol ini, hm, dalam pandanganku
tidak lebih seperti tahu yang empuk."
Sudah tentu Boh-thian tidak mau percaya, ia pikir tutur kata
orang ini kok mirip orang gila, tapi kepandaiannya sangat tinggi
pula, akan kutolong berbalik aku hendak dipentung. Lebih baik
kutinggal pergi untuk mencari Ciok-cengcu saja. Maka katanya
kemudian, "Baiklah, jika begitu biar aku pergi saja dari sini!"
"Pergi ya pergi, lekas enyah kau! Selamanya Yaya malang
melintang di dunia ini tanpa ketemu tandingan masakah
mengharapkan pertolongan bocah ingusan macam kau"
Hahaha, benar-benar lucu, sungguh menggelikan...."
"Ya, sudah, maaf, maaf!" kata Boh-thian sambil mengundurkan
diri dan perlahan-lahan merapatkan kembali daun pintu.
Jalan lorong itu cukup panjang, Boh-thian menyusur ke sana
dan membelok satu kali, sesudah belasan meter lagi barulah
sampai di ujung. Tertampak di kanan-kiri masing-masing
terdapat sebuah pintu. Ia coba mendorong pintu sebelah kiri,
tapi tertutup kencang, waktu mendorong pintu yang lain
dengan mudah saja pintu itu lantas terpentang. Kiranya di situ
adalah sebuah ruangan. Tidak seberapa jauh memasuki
ruangan itu lantas terdengar dari arah kiri sana ada suara
beradunya senjata, agaknya pertempuran cukup sengit.
"Kiranya Ciok-cengcu sedang bertempur dengan orang di sini,"
demikian pikir Boh-thian. Segera menuju ke arah datangnya
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara. Akan tetapi ia tidak menemukan pintu yang menuju ke
tempat suara pertempuran itu. Karena khawatirkan
keselamatan Ciok Jing dan Bin Ju, ketika dilihatnya dinding
papan di sebelah sana tidak terlalu tebal, segera ia
menumbuknya dengan bahunya dan kontan dinding papan itu
jebol. Seketika suara nyaring beradunya senjata tambah keras dan
ramai. Kiranya di situ juga sebuah ruangan, empat laki-laki
berjubah putih dan berpedang sedang mengerubut dua orang
wanita. Sesudah mengenali kedua orang wanita itu, tanpa merasa Bohthian
terus berteriak, "He, Suhu, A Siu! Kalian berada di sini"!"
Kiranya kedua wanita itu tak-lain-tak-bukan adalah Su-popo
dan cucu perempuannya, si A Siu.
Su-popo memakai golok dan A Siu memutar sebatang pedang,
dengan rambut kusut kedua orang sedang melawan kerubutan
empat murid Swat-san-pay. Baju nenek dan cucu itu tampak
berlepotan darah, agaknya sudah terluka, keadaannya cukup
mengkhawatirkan. Mereka mendengar juga seruan Ciok Bohthian,
tapi serangan-serangan keempat lawannya terlalu
gencar sehingga tidak sempat menoleh. Bahkan lantas
terdengar jeritan kaget A Siu, pundaknya tertusuk musuh pula.
Walaupun tidak bersenjata, tanpa pikir Ciok Boh-thian lantas
menerjang maju, kontan punggung orang yang sedang
mencecar A Siu itu hendak dicengkeramnya. Cepat orang itu
berkelit dan balas menebas dengan pedangnya.
Mendadak tangan kanan Ciok Boh-thian menyampuk pula
sehingga pedang orang itu terguncang ke samping, menyusul
tangan kiri Ciok Boh-thian lantas menggaplok ke arah seorang
tua yang lain. Namun orang tua itu ternyata tidak kalah
cepatnya tahu-tahu pedangnya sudah mendahului menusuk
perut Boh-thian. Serangan itu benar-benar sangat lihai dan cepat, untung Bohthian
tempo hari sudah mendapat didikan Su-popo, terhadap
intisari ilmu pedang Swat-san-pay sudah dipahami dengan
baik, diketahui bahwa serangan si orang tua adalah jurus yang
bernama "Leng-sing-song-bwe" (Sepasang Pohon Bwe di Atas
Bukit), mestinya cuma satu jurus, tapi mempunyai dua
gerakan, tusukan pertama segera disusul dengan tusukan
kedua. Maka cepat Boh-thian mengerutkan perutnya ke
belakang untuk menghindar, menyusul tangan kiri lantas
mengebut ke bawah, jarinya segera menyelentik.
Benar juga, saat itu tusukan kedua si orang tua sedang
dilancarkan sehingga pedangnya seakan-akan sengaja
disodorkan untuk diselentik Ciok Boh-thian. Maka terdengarlah
suara "tring" sekali, kontan pedang itu patah menjadi dua.
Separuh tubuh si orang tua sampai kesemutan karena getaran
tenaga selentikan itu, tanpa kuasa lagi setengah potong
pedang juga terlepas dari cekalan, cepat ia melompat mundur
dengan muka pucat. Boh-thian tidak mendesak lebih jauh, orang yang sedang
menyerang A Siu lantas kena dicengkeram terus diangkat dan
dijujukan ke arah pedang kawannya yang datang hendak
menolong. Keruan orang itu terkejut dan cepat menarik kembali
senjatanya. Kesempatan itu tidak disia-siakan Boh-thian,
kontan ia menghantam dan tepat mengenai dadanya, orang itu
terhuyung-huyung mundur dan akhirnya jatuh terduduk.
Menyusul Boh-thian lantas melemparkan tawanannya ke arah
orang keempat. Orang itu sedang melabrak Su-popo dengan
mati-matian, ia menjadi kaget dan tidak sempat menghindar
lagi, ia kena ditumbuk dengan keras oleh tubuh kawannya
sendiri, kedua orang sama-sama muntah darah dan
menggeletak tak sadarkan diri.
Hanya dalam sekejap saja keempat orang itu telah dirobohkan
semua oleh Ciok Boh-thian, hanya si orang tua saja yang
belum terluka. Namun nyalinya menjadi pecah juga demi
menyaksikan ketangkasan Boh-thian yang lihai itu. "Kau...
kau...." demikian entah apa yang hendak dikatakannya,
mendadak ia putar tubuh terus hendak lari.
"Jangan membiarkan dia lari!" seru Su-popo.
Cepat Boh-thian melompat maju, sekali kakinya menyapu,
kontan orang tua itu terjungkal, kedua lutut kakinya keseleo
semua dan tak bisa bangun.
"Bagus, muridku yang bagus! Murid pertama dari Kim-oh-pay
kita memang benar-benar hebat!" seru Su-popo dengan
tertawa. Wajah A Siu tampak putih pucat, sepasang matanya
memandang Boh-thian dengan sayu merawan, nyata sekali
hatinya sangat girang. "Suhu, A Siu, sungguh tidak nyana dapat berjumpa dengan
kalian di sini," kata Boh-thian.
Buru-buru Su-popo membalut luka si A Siu, menyusul nona itu
pun merobek ujung bajunya sendiri untuk membalut luka sang
nenek. Syukurlah luka kedua orang tidak parah sehingga tidak
menjadi halangan. "Tempo hari waktu aku kehilangan kalian di Ci-yan-to, sungguh
aku merasa sangat kesepian, sekarang kita telah berjumpa
pula, paling baik paling baik untuk selanjutnya kita jangan
berpisah lagi," demikian kata Boh-thian.
Muka A Siu yang pucat itu seketika bersemu merah dan
menunduk malu. Ia tahu sifat Ciok Boh-thian yang tulus jujur
dan tidak pandai bicara. Apa yang diucapkan itu jelas timbul
dari lubuk hatinya yang murni, walaupun dirasakan malu juga
karena pemuda itu terang-terangan menyatakan isi hatinya di
depan sang nenek, tapi tidak urung hati A Siu merasa sangat
senang. Su-popo tertawa mengekek, katanya, "Jika kau sudah berjasa
besar, hal ini bukan mustahil akan terlaksana dan boleh
anggap nenek sendiri yang telah meluluskan permintaanmu."
Kepala A Siu makin menunduk, mukanya tambah merah
lantaran malu. Sebaliknya Ciok Boh-thian masih belum tahu bahwa ucapan
Su-popo itu berarti telah menerima lamarannya. Dengan
bingung ia malah tanya, "Suhu meluluskan permintaanku soal
apa?" "Aku mengizinkan cucu perempuanku ini menjadi istrimu, kau
mau tidak" Kau ingin tidak" Kau suka tidak?" kata Su-popo
dengan tertawa. Boh-thian terkejut campur girang. "Aku... aku sudah tentu
suka...." sahutnya dengan tergagap-gagap.
"Tapi kau harus berjuang dan berjasa dahulu," kata Su-popo.
"Sekarang Swat-san-pay sedang terjadi huru-hara, kita harus
pergi menolong satu orang dahulu."
"Ya, memangnya aku hendak menolong Ciok-cengcu dan Ciokhujin,
marilah kita lekas pergi mencarinya," sahut Boh-thian.
Teringat keadaan Ciok Jing suami-istri dalam keadaan bahaya,
seketika hatinya menjadi gelisah sehingga urusan A Siu tak
terpikir lagi. "Apakah Ciok Jing dan istrinya juga sudah datang di sini?"
tanya Su-popo. "Kita harus mengamankan pemberontakan
dahulu, soal Ciok Jing berdua adalah urusan biasa saja. A Siu,
binasakan saja keempat orang ini!"
Segera A Siu menghunus pedang dan melangkah maju. Tibatiba
dilihatnya si orang tua yang kedua kakinya keseleo tadi
sedang duduk bersandarkan dinding, sorot matanya penuh
mengunjuk rasa minta diampuni. Maka A Siu menjadi tidak
sampai hati untuk membunuhnya. Katanya, "Nenek, beberapa
orang ini bukanlah biang keladinya, mereka hanya ikut-ikutan
saja, sementara ini biarlah diampuni dahulu, nanti sesudah
diperiksa dan jika memang bersalah barulah dibunuh."
"Ya, sudah! Hayo lekas, jangan sampai bikin runyam urusan,
lekas berangkat!" sahut Su-popo. Segera ia mendahului
melangkah pergi dan disusul oleh Boh-thian dan A Siu.
Cepat sekali Su-popo menyusur serambi dan melintasi
ruangan-ruangan, setiap kali ada orang datang dari depan
mereka lantas sembunyi di pojok atau di belakang pintu untuk
menghindar, tampaknya nenek itu hafal sekali terhadap setiap
kamar dan ruangan di situ.
Boh-thian jalan berjajar dengan A Siu dari belakang, dengan
suara tertahan ia tanya si nona, "Suhu suruh aku berjuang dan
berjasa apa" Siapakah yang akan ditolong?"
Baru saja A Siu akan menjawab, tiba-tiba terdengar suara
tindakan yang ramai, dari depan telah mendatangi lima atau
enam orang. Lekas Su-popo sembunyi di balik sebuah tiang yang besar.
Segera A Siu juga menarik Boh-thian untuk sembunyi di
belakang pintu. Beberapa orang itu sambil berjalan sembari mengobrol. Kata
seorang di antaranya, "Sesudah bergotong royong bersamasama
dan dapat mengurung si tua gila itu barulah kita merasa
lega. Selama beberapa hari ini hidup kita benar-benar sangat
tertekan dan terancam."
"Ya, selama Si Gila itu belum binasa, selalu pula kita belum
bebas dari ancaman," kata seorang lagi. "Ce-supek masih
ragu-ragu saja, bukan mustahil bisa membikin urusan menjadi
runyam malah." Segera seorang dengan suara kasar menanggapi,
"Memangnya, daripada kerja kepalang tanggung, mestinya kita
bereskan Ce-supek sekalian!
"Hus," bentak seorang kawannya dengan suara tertahan.
"Kata-kata demikian masakah boleh kau ucapkan dengan
keras" Jika didengar oleh anak muridnya Ce-supek, sebelum
kita menumpas mereka boleh jadi buah kepalamu sudah
berpisah dengan kau."
Orang yang bersuara kasar itu rupanya menjadi penasaran,
sahutnya, "Kalau perlu biar kita coba-coba dengan mereka,
masakah kita pasti kalah?"
Begitulah orang-orang itu makin menjauh. Ciok Boh-thian yang
berjubelan sembunyi di belakang pintu bersama A Siu dapat
merasakan badan anak dara itu rada gemetar. Dengan
berbisik-bisik ia tanya, "Apakah kau takut, A Siu?"
"Ya, aku agak takut," sahut si nona. "Jumlah mereka sangat
banyak mungkin kita tak dapat melawan mereka."
Dalam pada itu Su-popo telah keluar dari tempat sembunyinya
dan berseru tertahan kepada mereka, "Ayo, lekas!"
Segera ia mendahului menyusur ke depan dengan cepat.
Sesudah melalui sebuah pelataran luas dan menembus sebuah
serambi yang panjang, akhirnya mereka sampai di suatu taman
bunga yang luas. Taman itu penuh salju, hanya kelihatan
sebuah jalanan kecil dari batu-batu kecil menembus ke suatu
ruangan tertutup. Su-popo mendekam di balik sebatang pohon, ia comot
segumpal salju, sesudah dikepal segera disambitkan keluar
ruangan tertutup tadi, "plok" batu salju itu jatuh di tanah dan
mengejutkan dua orang penjaga yang berdiri di samping
ruangan itu. Cepat mereka berlari datang untuk memeriksa
dengan pedang terhunus. Menunggu kedua orang itu sudah dekat, sekonyong-konyong
Su-popo melompat keluar, goloknya menebas dua kali dengan
cepat luar biasa. Kontan leher kedua orang itu tertebas, tanpa
bersuara sedikit pun kedua orang itu terjungkal binasa.
Untuk pertama kalinya Ciok Boh-thian menyaksikan Su-popo
membunuh orang secara ganas, tanpa merasa bulu romanya
sama berdiri. Selang sejenak baru teringat olehnya bahwa
jurus serangan Su-popo tadi pernah juga diajarkan padanya di
Ci-yan-to tempo hari, jurus itu bernama "Cay-au-to" (Golok
Menebas Tenggorokan) dan dirinya sudah mahir
menggunakannya, cuma selama ini belum pernah terpikir
olehnya bahwa jurus serangan itu ternyata sedemikian bagus
dan cepat untuk membunuh orang.
Ketika dia tenang kembali, sementara itu Su-popo sudah
menyeret kedua mayat ke belakang gunung-gunungan, lalu
dengan enteng sekali ia mendekati jendela ruangan tertutup itu
untuk mendengarkan. Telinga Ciok Boh-thian amat tajam, belum dekat dengan
jendela itu sudah didengarnya di dalam ruangan itu ada suara
dua orang sedang bertengkar. Meski suara mereka tidak terlalu
keras, tapi terang keduanya sama-sama marah dan tidak mau
mengalah. Terdengar seorang di antaranya berkata, "Menangkap harimau
adalah gampang dan celakalah kalau melepaskannya.
Peribahasa ini tentu kau sudah paham. Urusan ini sudah
telanjur kita kerjakan, sekarang kau menjadi takut malah.
Jikalau si tua gila itu sampai lolos keluar, tentu kita akan mati
semua tanpa ampun." Diam-diam Boh-thian berpikir, "Jangan-jangan "si tua gila" yang
mereka maksudkan adalah orang tua aneh di dalam kamar
tahanan itu" Tingkah laku orang tua itu memang aneh, aku
mau menolong dia keluar, tapi dia justru tidak mau. Mungkin
dia memang benar-benar orang gila. Ilmu silat orang tua itu
memang sangat lihai, pantas kalau semua orang ini sedemikian
takut kepadanya." Maka terdengar seorang lain telah menjawab, "Si Gila itu sudah
terkurung di penjara binatang, sekalipun dia memiliki
kepandaian setinggi langit juga tak mampu lolos keluar. Kalau
saat ini kita mau membunuh dia adalah teramat mudah, cuma
kita harus menjaga nama baik kita. Perbuatan durhaka
terhadap orang tua demikian mungkin Liau-sute sendiri tidak
ambil pusing, tapi aku tidak berani memikul tanggung
jawabnya. Kelak kalau kita ditanyai kawan-kawan dunia
persilatan, lantas cara bagaimana kita akan menjawab dan ke
mana muka kita harus ditaruh?"
"Huh, jika kau takut bertanggung jawab atas perbuatan
durhaka, seharusnya sejak mula kau jangan menjadi biang
keladi urusan ini," jengek orang pertama yang disebut she Liau
itu. "Sekarang urusan sudah dilaksanakan, kau menjadi
menyesal dan ingin mengelakkan tanggung jawab. Hm,
masakan di dunia ini ada soal seenak ini" Pendek kata, Cesuko,
apa yang kau pikirkan sudah kuketahui, lebih baik kita
bicara blakblakan saja dan tidak perlu pura-pura."
"Aku mempunyai pikiran apa" Ha, ucapan Liau-sute benarbenar
berduri dan penuh tulang," sahut orang she Ce.
"Apa maksudnya ucapan berduri?" kata si orang she Liau.
"Sesungguhnya Ce-suko cuma pura-pura baik hati dan ingin
menimpakan perbuatan durhaka ini kepadaku saja. Tujuanmu
ialah satu kali tembak dapat dua burung, supaya kau sendiri
bisa enak-enak dan tenang-tenang naik di atas singgasana."
"Haha, aneh benar tuduhan Liau-sute ini!" jawab orang she Ce.
"Berdasarkan apa aku ada hak naik ke atas singgasana" Kalau
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mesti menurutkan urut-urutan, di atas kita masih ada Sengsuko
dan tidak mungkin jatuh kepada bagianku."
Mendadak suara seorang yang lebih tua dan serak menyela,
"Kalian bertengkar urusan kalian sendiri dan tidak perlu
menyangkutpautkan diriku."
"Seng-suko, engkau adalah orang jujur, kau tidak lebih hanya
akan digunakan sebagai tameng oleh Ce-suko, maka segala
sesuatu hendaklah kau pikirkan yang jelas, janganlah dijadikan
boneka sedangkan engkau sendiri masih belum sadar,"
demikian kata orang she Liau.
Boh-thian coba membasahi kertas perapat jendela dengan air
ludahnya, perlahan-lahan ia mengorek sebuah lubang kecil, lalu
mengintip ke dalam ruangan. Ia menjadi terkejut ketika
diketahui bahwa di dalam situ tidak cuma tiga orang yang
bicara saja, tapi masih ada dua-tiga ratus orang lainnya, ada
yang berdiri dan ada yang berduduk, laki-laki dan wanita, ada
yang tua dan ada yang masih muda, semuanya berjubah putih
seragam murid Swat-san-pay.
Di tengah ruangan tertampak ada lima buah kursi besar, kursi
yang tengah kosong, keempat kursi di kedua sampingnya
berduduk empat orang. Terdengar ketiga orang tadi masih
berdebat tak henti-hentinya. Dari suara mereka dapat dikenali
bahwa yang duduk di sebelah kiri adalah orang-orang she Seng
dan Liau, seorang yang duduk di sebelah kanan terang she Ce,
seorang lagi berwajah putih kurus dan muram durja seakanakan
baru kematian istri. Saat itu terdengar orang she Ce telah menegurnya, "Nio-sute,
sejak tadi kau diam saja, sesungguhnya bagaimana
pendapatmu?" Orang she Nio yang berwajah muram itu menghela napas, lalu
geleng-geleng kepala, kemudian menghela napas pula dan
tetap tidak membuka suara.
"Nio-sute tidak berbicara, dengan sendirinya ia menyetujui
urusan ini," kata si orang she Ce.
"Kau toh bukan cacing pita di dalam perut Nio-sute, dari mana
kau mengetahui pikirannya?" debat orang she Liau dengan
gusar. "Kita berempat yang telah melakukan urusan ini,
seorang laki-laki sejati, sekali sudah berbuat harus berani
bertanggung jawab. Kalau berani di muka dan takut
belakangan, huh, terhitung orang gagah macam apa ini?"
Tapi si orang she menjawab dengan dingin, "Justru karena kita
semua ini takut mati, makanya telah melakukan kejadian ini,
masakah kita dapat disebut sebagai kesatria atau orang gagah"
Lebih tepat kalau dikatakan bahwa kita sudah kepepet
sehingga terpaksa menyerempet bahaya."
"Ban-li," sekonyong-konyong si orang she Liau berseru. "Coba
katakan, bagaimana menurut pendapatmu?"
Maka majulah seorang ke depan, yakni Hong-hwe-sin-liong
Hong Ban-li yang buntung sebelah tangannya. Ia memberi
hormat, lalu menjawab, "Tecu tidak mampu menyelesaikan
urusan ini sehingga menimbulkan malapetaka, dosa ini saja
sudah diganjar dengan kematian, masakah sekarang Tecu
berani mempunyai pikiran durhaka lagi" Maka Tecu setuju
dengan usul Ce-susiok, jangan sekali-kali turun tangan keji
kepada beliau." "Aku pernah menyelamatkan jiwamu, apakah kau sudah lupa?"
bentak si orang she Liau dengan gusar.
"Mana mungkin Tecu melupakan budi kebaikan Susiok," sahut
Ban-li. "Tapi kalau Susiok menyuruh Tecu membunuh beliau,
betapa pun Tecu tidak bisa menurut."
"Lalu cara bagaimana kau akan menyelesaikan anak murid
Tiang-bun (cabang utama) yang baru pulang itu?" tanya orang
she Liau dengan suara bengis.
"Jika Susiok mengizinkan Tecu ikut bicara, maka menurut
pendapatku sementara ini mereka dapat ditahan dulu untuk
kemudian dicarikan jalan penyelesaiannya," ujar Ban-li.
"Cari penyelesaian apa" Hehe, keputusanmu sudah lama
disiapkan, masakah aku tidak tahu?" jengek orang she Liau.
"Apa maksud ucapan Susiok ini?" tanya Ban-li.
Si orang she Liau menjawab, "Anak murid Tiang-bun kalian
berjumlah banyak, tinggi pula kepandaiannya, sudah tentu
kedudukan ciangbun (ketua) tidak rela diserahkan kepada anak
murid dari cabang lain. Lebih dulu kau ingin menimpakan dosa
pendurhakaan atas diriku, kemudian anak murid cabang empat
kami akan kalian bunuh habis, dengan demikian kalian tentu
akan menjagoi dengan aman sentosa."
Sampai di sini mendadak ia keraskan suaranya, "Maka dari itu,
setiap murid Tiang-bun semuanya merupakan bibit bencana,
hari ini kita harus babat rumput sampai akar-akarnya. Kita
harus turun tangan bersama, setiap murid Tiang-bun harus
dibinasakan seluruhnya."
Habis berkata, "sret", segera pedangnya dilolosnya.
Serentak dari sekitar ruangan melompat maju dua-tiga puluh
orang dengan pedang terhunus dan siap siaga di seputar Hong
Ban-li, tapi di samping itu ada pula beberapa puluh orang
dengan pegang pedang juga telah mengepung.
Diam-diam Boh-thian menjadi khawatir dan berpikir,
"Tampaknya Hong-suhu susah melawan orang banyak, entah
aku harus membantunya atau tidak?"
Dalam pada itu terdengar Hong Ban-li telah berseru, "Sengsusiok,
Ce-susiok, dan Nio-susiok, apakah kalian membiarkan
Liau-susiok malang melintang di sini" Jika cabang empat
mereka sudah membunuh habis anak murid Tiang-bun, maka
cabang-cabang dua, tiga dan lima kalian tentu akan menjadi
giliran dibasmi pula oleh mereka."
"Bergerak!" bentak orang she Liau memberi komando kepada
anak buahnya, berbareng ia terus menubruk maju, kontan
dada Hong Ban-li lantas ditusuknya.
Cepat Ban-li melolos pedang dengan tangan kiri untuk
menangkis serangan itu. Terdengar suara "trang", menyusul
lantas "bret" pula. Walaupun pedang lawan tertangkis, tapi
tidak urung lengan baju kanan Hong Ban-li terkupas sepotong.
Hendaklah maklum bahwa Hong Ban-li terkenal lihai seperti
halnya Pek Ban-kiam, kedua orang merupakan jago-jago
utama Swat-san-pay dari angkatan kedua, ilmu pedangnya
sesungguhnya tidak kalah daripada paman-paman gurunya she
Seng, Ce, Liau, dan Nio itu. Cuma sayang sebelah lengannya
sudah buntung, permainan pedang dengan tangan kiri dengan
sendirinya kurang leluasa. Ia telah dapat menangkis tusukan
orang she Liau itu, tapi paman guru itu mendadak mengganti
gerakan pedangnya dari menusuk menjadi menebas. Walaupun
Ban-li sudah menduga akan jurus serangan itu, tapi pedang di
tangan kiri agak canggung digunakan, untung lengan kanan
sudah buntung sehingga yang tertebas hanya lengan bajunya,
kalau tidak tentu lengannya akan menjadi korban pula.
Paman gurunya itu benar-benar kejam, sekali berhasil
serangannya, menyusul serangan kedua lantas dilancarkan
pula. Namun dari samping Ban-li lantas menyambar maju dua
batang pedang saling beradu sehingga serangan orang she Liau
kembali gagal. "Kenapa tidak lekas maju!" bentak orang she Liau kepada anak
buahnya. Sambil berteriak-teriak serentak beberapa puluh
orang dari anak murid cabang empat lantas mengerubut maju.
Seketika terdengarlah suara riuh ramai, pertarungan sengit
lantas terjadi, anak murid cabang utama kebanyakan harus
satu-lawan-dua atau tiga. Ruangan itu seketika berubah
menjadi medan pertempuran.
Orang she Liau lantas melompat ke pinggir untuk menyaksikan
pertempuran. Dilihatnya anak murid dari cabang dua, tiga dan
lima tidak bergerak, semuanya menonton di samping. Tergerak
hatinya dan tahulah dia apa sebabnya. Segera ia berseru, "Loji,
Losam, Longo, keji amat kalian, sengaja kalian membiarkan
cabang empat kami bertarung mati-matian dengan cabang
utama dan nanti kalian yang akan mengambil keuntungannya.
Hehe, jangan kalian mimpi!"
Karena pikiran demikian, ia menjadi murka, kedua matanya
menjadi merah, kontan ia terus menyerang orang she Ce. Maka
kedua orang lantas saling gebrak dengan sengit.
Nyata ilmu pedang orang she Liau lebih bagus daripada orang
she Ce. Sesudah belasan jurus si orang she Ce lantas mulai
terdesak mundur. Cepat orang she Seng, yaitu suheng kedua, melompat maju
dengan pedang terhunus, serunya, "Losi, segala urusan
hendaklah dirundingkan dengan baik-baik. Sesama saudara
seperguruan mengapa mesti menggunakan kekerasan seperti
ini?" berbareng pedangnya lantas menyambar maju sehingga
tusukan orang she Liau kena ditangkis.
Melihat jisuheng sudah ikut maju, kesempatan itu tidak
diabaikan orang she Ce, cepat ia melangkah maju dan balas
menusuk perut orang she Liau. Serangan samsuheng she Ce ini
pun tidak kurang kejinya, tujuannya hendak membinasakan
lawannya tanpa kenal ampun sedikit pun.
Bab 40. Su-popo Ternyata adalah Nyonya Pek Cu-cay
Saat itu pedang orang she Liau sedang ditangkis pergi oleh
pedang jisuhengnya dan sedang saling adu tenaga dalam buat
melepaskan lengketan pedang lawan, maka tusukan
samsuhengnya itu benar-benar di luar dugaan dan betapa pun
susah dielakkan. Pada saat demikian untunglah sang sute she Nio yang tadi
hanya diam-diam saja itu kini mendadak ikut melolos pedang
terus menusuk ke punggung orang she Ce sambil berkata, "Ai,
dosa, dosa caramu ini!"
Untuk membela diri, terpaksa orang she Ce menarik kembali
pedangnya untuk menangkis serangan gosute she Nio itu.
Begitulah anak murid dari cabang dua, tiga, lima dan lain-lain
lantas ikut menerjang maju untuk membela gurunya masingmasing.
Maka pertempuran menjadi tambah seru....
Ciok Boh-thian sampai bingung menyaksikan pertarungan
gaduh itu. Hanya sebentar saja terjadilah banjir darah di
ruangan pendopo itu, banyak tangan kutung dan kaki patah
tercecer di sana-sini diseling suara jerit ngeri.
"Toako, aku... aku takut!" kata A Siu dengan suara gemetar
sambil menggelendot di samping Boh-thian.
"Sebenarnya ada urusan apakah, mengapa mereka saling
hantam sendiri?" tanya Boh-thian.
Tatkala itu setiap orang di dalam ruangan itu sedang
memikirkan keselamatannya sendiri, maka biarpun Boh-thian
bicara lebih keras di luar juga takkan dipedulikan.
Sebaliknya Su-popo lantas menjengek, "Hm, bagus, bagus!
Pertarungan yang bagus! Biarkan semuanya mampus barulah
puas hatiku!" Pertempuran sengit beratus-ratus orang tanpa teratur itu agak
lucu juga tampaknya, lebih-lebih pakaian mereka adalah
seragam putih semua, senjata yang dipakai juga sama, kawan
atau lawan menjadi susah membedakan. Semula anak murid
cabang utama bertarung melawan cabang ketiga, tapi sesudah
anak murid cabang-cabang lain juga ikut masuk medan
pertempuran, seketika keadaan menjadi kacau, banyak di
antaranya yang memangnya ada permusuhan pribadi lantas
dilampiaskan dalam pertempuran gaduh ini.
"Sudahlah, kita jangan lihat lagi, marilah menyingkir saja,"
kata A Siu kepada Boh-thian.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara gedubrakan yang
gemuruh, daun pintu telah terpentang dan terlepas dari
engselnya. Lalu terdengar seorang berseru dengan suara
lantang, "Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to
berkunjung kemari hendak bertemu dengan ketua Swat-sanpay!"
Begitu keras dan nyaring suara seruan itu sehingga suara
pertempuran yang riuh ramai tadi tersirap semua.
Mendengar nama Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bokto
sudah tiba, semua orang sangat terkejut. Segera sebagian
orang berhenti bertempur dan melompat ke pinggir. Berturutturut
yang lain juga berhenti bertempur. Hanya sekejap saja
semua orang sudah menyingkir ke samping, perhatian semua
orang tertuju ke arah pintu. Di tengah ruangan hanya
tertinggal suara rintihan mereka yang terluka, suara lain tiada
terdengar lagi. Sejenak kemudian penderita-penderita luka itu
pun lupa merintih lagi dan sama memandang ke arah pintu.
Ternyata di ambang pintu secara berjajar telah berdiri dua
orang, satu gemuk dan satu kurus, pakaian mereka sangat
perlente. Hampir-hampir Ciok Boh-thian berseru menyapa
ketika melihat yang datang itu adalah Thio Sam dan Li Si. Tapi
lantas teringat dirinya dalam penyamaran sebagai Ciok Tionggiok
dan belum waktunya untuk menonjolkan siapa sebenarnya
dia. Dalam pada itu terlihat Thio Sam mulai berkata dengan
tertawa, "Pantas ilmu silat Swat-san-pay termasyhur di seluruh
jagat, kiranya di waktu latihan di antara sesama saudara
seperguruan digunakan cara menyerang dan membunuh
sungguhan. Wah, cara demikian benar-benar hebat. Sungguh
mengagumkan." Orang she Liau lantas tampil ke muka dan menegur dengan
suara bengis, "Apakah kalian ini yang disebut sebagai Siangsian
dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to?"
"Benar," sahut Thio Sam. "Entah siapakah di antara kalian ini
adalah Ciangbunjin Swat-san-pay" Atas perintah Liong-bok-to
Tocu kami ingin menyampaikan medali undangan agar
ciangbunjin kalian kelak berkunjung ke pulau kami untuk
sekadar ikut minum semangkuk Lap-pat-cok."
Sambil bicara ia lantas mengeluarkan dua buah medali
tembaga, tiba-tiba ia berpaling kepada Li Si dan berkata, "Eh,
kabarnya Ciangbunjin Swat-san-pay adalah Wi-tek Siansing
Pek-loyacu, tampaknya orang-orang yang berada di sini kok
tidak mirip dia?" "Ya, aku pun berpikir begitu," sahut Li Si.
Segera orang she Liau tadi menanggapi, "Orang she Pek itu
sudah mati, ciangbunjin yang baru...."
Belum habis ia bicara mendadak Hong Ban-li lantas memotong
dengan mendamprat, "Kentut busuk! Wi-tek Siansing masih
baik-baik, beliau hanya...."
"Apakah demikian ini caranya kau bicara dengan susiokmu?" si
orang she Liau balas mendamprat.
"Orang macam kau ini juga ada harganya untuk dipanggil
susiok?" jawab Ban-li.
Nama orang she Liau itu selengkapnya adalah Liau Cu-le,
wataknya sangat keras dan berangasan. Karena jawaban Ban-li
yang kasar itu, kontan pedangnya lantas menusuk.
Cepat Ban-li menangkis sambil melangkah mundur. Rupanya
Liau Cu-le sudah merah matanya, dengan murka ia lantas
menerjang maju. Tapi seorang murid cabang utama lantas
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengadang maju untuk melabraknya. Menyusul Seng Cu-hak,
Ce Cu-bian, Nio Cu-cin, berturut-turut juga menyerbu maju lagi
sehingga pertempuran gaduh kembali terjadi.
Hendaklah maklum bahwa geger-geger yang terjadi di dalam
Swat-san-pay ini cukup berat persoalannya. Sebab itulah
keempat saudara seperguruan she Seng, Ce, Liau, dan Nio itu
saling tidak mau mengalah, saling sirik, saling dendam, asal
salah seorang di antara mereka binasa keadaan tentu akan
berubah, sebab itulah meski kedua rasul pengganjar dan
penghukum itu sudah datang toh mereka masih cekcok
mengenai urusannya sendiri.
Menyaksikan suasana begitu Thio Sam lantas bergelak tertawa,
katanya, "Rupanya kalian tekun benar melatih ilmu silat
perguruannya sendiri, tapi temponya kan masih banyak,
mengapa mesti buru-buru pada saat ini?"
Habis berkata ia terus melangkah maju dengan perlahan,
mendadak kedua tangannya bekerja, ia mencengkeram dan
menarik ke sana kemari, maka terdengarlah suara
gemerencing yang ramai, tahu-tahu beberapa batang pedang
sudah terbuang ke atas lantai. Entah cara bagaimana pedang
orang-orang she Seng Ce, Liau, dan Nio beserta pedang Hong
Ban-li dan dua orang muridnya tahu-tahu sudah kena dirampas
oleh Thio Sam, mereka hanya merasa tangan tergetar
kesemutan, lalu pedang sudah terlepas dari cekalan.
Keruan mereka menjadi terperanjat semua, baru sekarang
mereka nyaho bahwa ilmu silat kedua tamu itu bukan main
lihainya. Dalam kagetnya mereka sampai lupa mengenai
percekcokan di antara mereka sendiri itu dan teringat kepada
macam-macam cerita tentang korban yang jatuh di mana
tempat yang kedatangan Siang-sian dan Hwat-ok Sucia.
Sekarang mereka telah menyaksikan dan merasakan sendiri
jelas bilamana kedua rasul itu mau mengganas, mungkin susah
dilawan sekalipun segenap kekuatan Swat-san-pay dikerahkan
seluruhnya. Apalagi di dalam golongan sendiri sedang saling
bunuh-membunuh. Begitulah mereka menjadi takut dan ada
yang sampai menggigil. Sementara itu Thio Sam berkata pula dengan tertawa,
"Ketekunan kalian meyakinkan ilmu silat sungguh harus dipuji,
tapi juga tidak perlu segiat ini dan masih banyak tempo. Kami
berdua masih harus menyampaikan medali undangan ke lain
tempat dan tiada waktu senggang untuk tinggal di sini.
Tentang Wi-tek Siansing apakah dia sudah mati atau masih
hidup kami tidak ambil pusing, yang pasti Swat-san-pay toh
harus ada seorang ciangbunjin. Yang diundang oleh Liong-bokto
kami adalah ciangbunjin dari Swat-san-pay, maka lekas
terangkan yang manakah adalah ciangbunjin kalian?"
Untuk sejenak Seng Cu-hak dan para sutenya hanya saling
pandang saja tanpa bisa menjawab. Mereka tahu selama
berpuluh tahun ini, setiap ciangbunjin yang menerima
undangan dan pergi ke Liong-bok-to selamanya tiada seorang
pun yang dapat pulang kembali, maka siapa saja yang menjadi
Ciangbunjin Swat-san-pay sekarang akan berarti membunuh
diri pula menghadapi utusan-utusan dari Liong-bok-to ini.
Tadinya mereka anggap Leng-siau-sia terletak jauh di wilayah
barat dan jarang ada hubungan dengan orang-orang persilatan
daerah Tionggoan, medali undangan Liong-bok-to itu rasanya
takkan sampai di Leng-siau-sia yang terpencil ini. Pula tentang
kepandaian rasul-rasul pengganjar dan penghukum itu hanya
beritanya saja yang mereka dengar dan besar kemungkinan,
sengaja dibesar-besarkan dan dilebih-lebihkan oleh orang,
padahal belum tentu benar sedemikian lihainya. Siapa duga
hal-hal yang disangka takkan terjadi itu mendadak lantas
muncul di depan mereka sekarang.
Kalau beberapa saat sebelumnya tadi kelima cabang murid
Swat-san-pay saling bertengkar dengan harapan cabangnya
sendiri yang akan menjagoi dan pemimpinnya sendiri yang
keluar sebagai pejabat ciangbunjin, untuk mana mereka tidak
segan-segan saling hantam dan saling bunuh. Tapi sekarang
setelah keadaan berubah mendadak, mereka menjadi
mengkeret dan berharap agar pihak lawan yang menjadi
ciangbunjin saja, supaya bisa mewakilkan mereka mengantar
nyawa ke Liong-bok-to. Lantaran itulah, serentak Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le,
Nio Cu-cin, dan Hong Ban-li saling tunjuk dan sama berseru,
"Itu dia! Dia adalah ciangbunjinnya!"
Tentang Swat-san-pay dapat diterangkan bahwa sudah cukup
lama diketuai oleh Wi-tek Siansing Pek Cu-cay, yaitu ayahnya
Pek Ban-kiam. Pek Cu-cay mempunyai empat orang sute, ialah
Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le, dan Nio Cu-cin. Guru
mereka sudah lama wafat sehingga kepandaian keempat sute
itu sebagian besar adalah ajaran Pek Cu-cay, sebab itulah
resminya Pek Cu-cay adalah suheng mereka, tapi
sesungguhnya adalah guru dan murid.
Ilmu silat Swat-san-pay terkenal banyak ragam perubahannya,
tentang lwekang berbalik tiada sesuatu yang bisa ditonjolkan.
Pek Cu-cay sendiri hanya secara kebetulan pada masa
mudanya telah makan sejenis buah ajaib sehingga mendadak
tenaga dalamnya bertumbuh dengan luar biasa. Karena tenaga
dalamnya yang hebat itu ditambah bagusnya ilmu silat, maka
selama beberapa puluh tahun ini dia menjagoi daerah Se-ek
tanpa tandingan. Caranya Pek Cu-cay menurunkan kepandaiannya kepada para
sute dan anak muridnya tidak pernah menyembunyikan satudua
jurus yang istimewa, tapi telah mengajar dengan segenap
kepandaian yang dia miliki sendiri. Hanya tentang lwekangnya
yang diperolehnya secara kebetulan itulah yang susah
dipelajari, sebab itu kepandaian para sutenya selalu terbatas
dan susah mencapai tingkatan seperti Pek Cu-cay.
Dasar watak Pek Cu-cay adalah suka menang dan tinggi hati,
mengenai dia kebetulan makan buah ajaib sehingga
lwekangnya tumbuh mendadak, hal ini selalu dirahasiakannya,
dengan demikian dia ingin menunjukkan bahwa kepandaiannya
itu adalah berkat kecerdasan dan kegiatannya berlatih dan
bukan diperoleh secara mujur.
Sebaliknya di dalam hati keempat sutenya itu lantas timbul
rasa penasaran dan sirik, mereka anggap sang suheng yang
dipesan mendiang gurunya agar memberi bimbingan kepada
para sute itu berlaku tamak dan sengaja merahasiakan
sebagian ilmu silat perguruan sendiri.
Lebih-lebih ilmu silat Pek Ban-kiam dan Hong Ban-li ternyata
sangat tinggi dan hampir-hampir memadai keempat susioknya,
hal ini membuat Seng, Ce, Liau, dan Nio menjadi penasaran.
Cuma di bawah pengaruh Wi-tek Siansing mereka tidak berani
memperlihatkan perasaan kurang puas itu. Dan baru sekarang
ketika anak murid Tiang-bun (cabang utama di bawah Pek Cucay)
banyak yang turun gunung, Pek Cu-cay sendiri kurang
waras pula pikirannya, maka para sutenya serentak melakukan
pemberontakan. Namun kepandaian antara mereka berempat boleh dikata
sembabat, maka siapa pun tidak mau tunduk kepada yang lain
dan sama-sama ingin menjadi ciangbunjin. Tapi untuk bisa
mencapai cita-cita itu mereka pun sadar harus berdaya
menumpas dahulu ketiga orang sekutunya barulah dapat aman
menduduki kursi ciangbunjin. Sama sekali tak terduga bahwa
pada saat yang krisis itulah mendadak kedua sucia dari Liongbok-
to muncul di situ. Begitulah, kalau tadi mereka berebut menjadi ciangbunjin,
maka sekarang mereka sama-sama ingin mengelakkan
tanggung jawab. Kata Ce Cu-bian, "Usia Samsuheng (Ce Cubian)
adalah paling tua, menurut aturan dan dengan sendirinya
dia yang harus menjabat ketua golongan kita."
"Hanya usia lebih tua saja apa gunanya?" jawab Ce Cu-bian.
"Dalam urusan kita ini kau yang paling banyak mengeluarkan
tenaga, jika Liau-sute tidak mau menjadi ciangbunjin siapa lagi
yang cocok untuk menjabatnya?"
"Huh, soal Ciangbunjin Swat-san-pay kita sebenarnya adalah
biasa dijabat oleh Toasuheng, sekarang Toasuheng sudah exit,
dengan sendirinya Jisuko yang harus menggantikannya,
kenapa mesti dipersoalkan lagi?" demikian kata Gosute, Nio
Cu-cin. Tapi jisuheng Seng Cu-hak lantas menjawab, "Bicara tentang
banyak akal dan kecerdikan di antara kita berempat harus
diakui Gosute yang paling pintar. Maka aku setuju bila Gosute
yang menjabat ciangbunjin kita. Maklumlah urusan hari ini
lebih mengutamakan mengadu kecerdikan daripada mengadu
kekuatan." Liau Cu-le lantas menyambung pula, "Ciangbunjin kita
memangnya dijabat oleh orang dari Tiang-bun, jika Ce-suheng
tidak mau menggantikannya, maka boleh silakan Heng-sutit
dari Tiang-bun yang menjabatnya. Kukira semua orang pasti
tidak mempunyai alasan untuk menolaknya, paling sedikit aku
orang she Liau pasti setuju."
"Tapi tadi ada orang berteriak-teriak, katanya anak murid
Tiang-bun harus dibinasakan semua, entah siapakah tadi itu
yang melepaskan kentut anjing demikian?" kata Ban-li.
Liau Cu-le menjadi gusar, alisnya sampai menegak. Mestinya ia
hendak balas memaki, tapi lantas terpikir sesuatu olehnya,
sedapat mungkin ia bersabar dan berkatalah, "Urusan sudah
kadung demikian, apakah terhitung seorang kesatria sejati jika
mengkeret digaris depan?"
Begitulah kelima orang itu ribut mulut sendiri saling
mengajukan orang lain untuk menjadi ciangbunjin.
Sejak tadi Thio Sam hanya mendengarkan saja dengan
tersenyum-senyum tanpa membuka suara. Sebaliknya Li Si
yang tidak sabar lagi mendengarkan pertengkaran orang-orang
Swat-san-pay yang tidak habis-habis itu. Segera ia
membentak, "Sebenarnya siapakah di antara kalian ini adalah
ciangbunjinnya" Kalian bertengkar terus, kalau sampai makan
waktu seminggu atau sebulan, apakah kami juga disuruh
menunggu begitu lama?"
"Ya, Seng-suko, hendaklah kau lekas menerima saja," kata Nio
Cu-cin. "Jika ayal lagi jangan-jangan akan timbul malapetaka,
maka kaulah yang akan membikin susah orang banyak."
"Mengapa aku yang akan membikin susah orang banyak?"
sahut Seng Cu-hak dengan gusar.
Begitulah kembali kelima orang itu bertengkar pula dengan
sengitnya. Segera Thio Sam berkata pula dengan tertawa, "Aku ada suatu
akal. Begini, kalian berlima boleh memutuskan urusan ini
dengan mengadu kepandaian masing-masing. Kepandaian
siapa yang paling tinggi, dialah yang akan menjadi Ciangbunjin
Swat-san-pay." Kelima tokoh Swat-san-pay itu tidak berani menjawab. Mereka
saling pandang dan menimbang-nimbang dalam hati masingmasing.
Maka Thio Sam menyambung pula, "Tadi waktu kami datang
terlihat kalian berlima sedang saling labrak, kukira di samping
Misteri Lukisan Tengkorak 6 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Kisah Si Pedang Kilat 1
pula. "Aku rindu padamu, maka datang menjenguk kau lagi," sahut
Ting Tong dengan tertawa. "Gimana sih" Apakah aku tak boleh
datang kemari?" "Kau sudah menemukan kembali kau punya Engkoh Thian,
buat apa kau datang menjenguk diriku lagi?" ujar Boh-thian
sambil menggeleng. "Ai, kau marah padaku, bukan?" kata Ting Tong dengan
tertawa merayu. "Engkoh Thian, siang tadi aku telah
menampar kau, apakah kau masih marah padaku?" sambil
berkata ia terus meraba-raba pipi Ciok Boh-thian yang
ditamparnya itu. Hidung Boh-thian lantas mengendus bau harum yang
menggiurkan, mukanya terasa diraba oleh sebuah tangan yang
putih dan halus, tanpa kuasa perasaannya menjadi kacau.
Katanya dengan setengah menggumam, "Aku tidak marah,
Ting-ting Tong-tong. Tak usah kau datang menjenguk diriku,
memangnya kau telah salah mengenali diriku, asal kau tidak
sebut aku sebagai penipu saja sudah cukup bagiku."
"Penipu, penipu! Ai, jika kau benar-benar penipu, mungkin aku
malah senang," ujar Ting Tong dengan suara lembut. "Ai,
Engkoh Thian, engkau benar-benar seorang jantan, seorang
kesatria sejati yang jarang terdapat di dunia ini. Kau sudah
menikah dan sudah sembahyang Thian dengan aku, kita pun
sudah... sudah tidur bersama, tapi selama itu... selama itu kau
tidak pernah memperlakukan aku sebagai istrimu."
Muka Boh-thian menjadi merah jengah, sekujur badannya
terasa panas, katanya dengan tergagap-gagap, "Ting-ting
Tong-tong, aku... aku bukan kesatria sejati! Bukanlah aku
tidak... tidak kepingin, aku hanya... hanya tidak berani! Ya,
untung juga kita belum... belum apa-apa, kalau tidak, wah,
tentu bisa runyam!" Ting Tong menggeser dan duduk di tepi ranjang, mendadak ia
menutupi matanya dan menangis tersedu sedan.
Keruan Boh-thian menjadi gugup, cepat ia tanya, "He, ada
apakah, Ting-ting Tong-tong?"
"Ya, aku tahu engkau adalah seorang kesatria se... sejati, akan
tetapi tidak begitulah pendapat... pendapat orang lain,"
demikian sahut Ting Tong sambil menangis. "O, sungguh,
biarpun aku terjun ke dalam sungai juga tidak cukup untuk
membersihkan nama suciku. Ciok... Ciok Tiong-giok itu
mengatakan... mengatakan bahwa aku sudah menikah dengan
kau dan sudah bersatu kamar, maka dia tidak mau padaku
lagi." "He, maaa... mana boleh jadi!" seru Boh-thian sambil
membanting-banting kaki. "Ting-ting Tong-tong, jangan
khawatir kau, biar kubicarakan dengan dia, akan kuterangkan
bahwa hubungan kita adalah suci bersih, selamanya tidak...
tidak pernah...." "Tapi... tapi dia sudah sangat benci padamu, biarpun kau
bicara padanya juga dia takkan percaya," ujar Ting Tong sambil
menangis. Dalam hati kecilnya lapat-lapat Boh-thian merasa senang, "Jika
dia tidak mau padamu, akulah yang mau."
Tapi ia pun tahu kata-kata demikian tidak layak diucapkan,
bahkan memikirnya juga tidak pantas. Maka dia hanya berkata,
"Lalu bagaimana" Wah, gara-gara diriku sehingga ikut
membikin susah padamu!"
Dengan terguguk-guguk Ting Tong berkata pula, "Dia bukan
sanak kadangmu, kau pun tidak berbuat sesuatu kebaikan
baginya, sebaliknya malah menyerobot dan menikah dengan
kekasihnya, sudah tentu saja dia benci dan dendam padamu.
Apabila dia... dia bukan dia, tapi misalnya Hoan It-hui atau
kawan-kawannya, mereka pernah utang budi padamu, dengan
sendirinya mereka akan percaya segala apa yang kau katakan."
Boh-thian mengangguk, katanya, "Ya, benar. Ting-ting Tongtong,
sungguh aku merasa tidak enak, kita harus mencari
suatu akal yang baik. Eh, ya, kau boleh minta kakekmu
berbicara padanya, tentu dia akan menurut."
"Percuma, percuma!" sahut Ting Tong, "Dia... dia Ciok Tionggiok
itu jiwanya sedang terancam, dalam waktu singkat kita
pun tak dapat menemukan kakek."
"Hah, mengapa jiwanya sedang terancam?" tanya Boh-thian
terkejut. "Itu Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay tadinya mengira kau
adalah Ciok Tiong-giok sehingga kau ditangkap olehnya, syukur
kakek dan aku telah menyelamatkan kau, kalau tidak, tentu
kau sudah digiring ke Leng-siau-sia dan dicincang di sana, kau
masih ingat tidak kejadian itu?"
"Ya, sudah tentu masih ingat. Wah, celaka, sekali ini Pek-suhu
tentu akan menggiring dia ke Leng-siau-sia pula."
"Memangnya! Orang-orang Swat-san-pay itu sudah terlalu
benci padanya, sekali dia sudah sampai di Leng-siau-sia, pasti
jiwanya akan melayang!"
"Benar, kalau melihat cara orang-orang Swat-san-pay yang
berulang-ulang menguber dan menangkap aku tempo hari,
tampaknya urusannya tentu bukan sembarang persoalan.
Cuma saja mengingat kehormatan Ciok-cengcu suami-istri,
boleh jadi kau punya Engkoh Thian hanya akan didamprat
sekadarnya saja dan urusan akan menjadi beres."
"Enak saja kau bicara," ujar si Ting Tong. "Jika mereka mau
mendamprat, apa tak bisa dilakukan pada setiap tempat, buat
apa mereka mesti susah-susah menggiringnya pulang ke Lengsiau-
sia" Apakah kau tidak tahu bahwa dalam usaha
menangkapnya selama ini Swat-san-pay sudah jatuh korban
beberapa orang?" Seketika Boh-thian berkeringat dingin. Memang diketahuinya
bahwa Swat-san-pay telah jatuh korban beberapa orang,
jangankan dosa yang diperbuat Ciok Tiong-giok di Leng-siausia
itu pasti sangat berat, hanya melulu perhitungan korban
akibat pemburuannya di daerah Kanglam ini saja sudah cukup
alasan untuk menjatuhkan hukuman mati padanya.
Dalam pada itu si Ting Tong berkata pula, "Engkoh Thian
memang betul bersalah, adalah pantas kalau dia menebus
dosanya dengan jiwanya sendiri. Yang harus disayangkan
adalah Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, mereka adalah orang-orang
baik, tapi sekarang mereka harus ikut berkorban "jiwa"."
"Hah" Apa katamu" Ciok-cengcu dan nyonya juga akan ikut
berkorban jiwa?" seru Boh-thian sambil melonjak bangun. Ia
masih ingat kebaikan suami-istri she Ciok itu, ia merasa
mereka adalah orang yang paling baik di dunia ini, maka demi
mendengar kedua orang itu menghadapi bahaya, dengan
sendirinya ia menaruh perhatian penuh.
"Kau sudah tahu bahwa Ciok-cengcu berdua adalah ayahbunda
Engkoh Thian, jika mereka mengantar Engkoh Thian ke
Leng-siau-sia, masakah mereka sengaja mengantarkan
kematian putranya" Sudah tentu mereka akan mintakan
ampun kepada Pek-losiansing. Namun dapat dipastikan Peklosiansing
tentu takkan meluluskan dan tetap akan
membinasakan Engkoh Thian. Untuk mana Ciok-cengcu berdua
tentu akan membela putra kesayangan mereka dan pada saat
mana mau tak mau pasti akan menggunakan kekerasan. Coba
kau pikir, betapa banyak jago-jago Swat-san-pay itu, pula di
rumahnya sendiri, sebaliknya Ciok-cengcu hanya bertiga, mana
bisa mereka melawannya" Ai, kulihat selama ini Ciok-hujin
sangat baik padamu, ibumu sendiri mungkin juga tidak
sedemikian sayangnya padamu. Tapi sekarang dia akan... akan
tewas juga di Leng-siau-sia."
Sambil berkata ia terus menutupi mukanya dan kembali
menangis pula. Seketika darah Ciok Boh-thian bergolak dan mendidih, serunya
tanpa pikir, "Jika Ciok-cengcu dan Ciok-hujin ada kesukaran,
biarpun betapa bahayanya di Leng-siau-sia sana juga aku akan
menyusul untuk membantunya. Seumpama aku tidak mampu
menolong mereka, aku lebih suka gugur bersama mereka di
sana daripada hidup sendirian. Ting-ting Tong-tong, biarlah
sekarang juga aku akan pergi!"
"Kau hendak ke mana?" tanya si Ting Tong sambil menarik
lengan baju pemuda itu. "Malam ini juga aku akan menyusul mereka untuk bersamasama
naik ke Leng-siau-sia," sahut Boh-thian.
"Kabarnya ilmu silat Wi-tek Siansing Pek-loyacu itu sangat
lihai, di samping itu ada tokoh-tokoh lain seperti Hong-hwe-sinliong
Hong Ban-li dan sebagainya, andaikan kepandaianmu
dapat menangkan mereka, tapi di tengah Leng-siau-sia konon
penuh terdapat pesawat-pesawat rahasia seperti jaring kawat,
panah berbisa, jebakan di bawah tanah, dan macam-macam
lagi, sedikit kurang hati-hati tentu kau akan masuk perangkap
mereka." "Jika begitu apa mau dikata lagi kalau memang sudah nasib,"
ujar Boh-thian. "Janganlah kau terdorong oleh ketekadanmu yang timbul
seketika ini, jika terjadi apa-apa atas dirimu, siapa lagi yang
mampu menolong Ciok-cengcu dan nyonya?" ujar Ting Tong.
"O, apabila engkau gugur di sana, entah betapa akan rasa
dukaku, aku... aku pun tentu tak bisa hidup sendirian."
Hati Boh-thian berdebur keras mendengar ucapan yang
meresap itu, katanya dengan agak gemetar, "Mengapa engkau
sedemikian... sedemikian baik padaku" Aku toh bukan... bukan
kau punya Engkoh Thian yang sebenarnya?"
"Ya, kalian berdua terlalu mirip laksana pinang dibelah dua,
dalam hatiku hakikatnya tiada perbedaan, apalagi kita telah
berkumpul cukup lama, selama itu pun kau sangat baik dan
jujur padaku," sampai di sini tiba-tiba Ting Tong pegang kedua
tangan Ciok Boh-thian dan menambahkan, "Engkoh Thian,
berjanjilah padaku, biar bagaimanapun engkau jangan pergi
dan binasa." "Akan tetapi aku harus menolong Ciok-cengcu dan istrinya,"
ujar Boh-thian. "Sebenarnya aku ada satu akal, cuma kukhawatir engkau
curiga dan mengira aku menipu kau, maka tidak enak akan
kukatakan," kata Ting Tong.
"Lekas katakan, lekas! Apakah akalmu itu, masakah aku curiga
padamu?" Ting Tong tampak merenung sejenak, katanya dengan raguragu,
"Engkoh Thian, cara ini sesungguhnya terlalu membikin
susah padamu, sebaliknya terlalu menguntungkan dia, setiap
orang yang mengetahui akalku ini tentu akan mengatakan aku
sengaja menjebak kau. Ai, tidak, tidak bisa, biar bagaimanapun
hal ini adalah terlalu tidak adil."
"Sebenarnya bagaimana akalmu itu" Asal dapat menolong
Ciok-cengcu berdua, biarpun sedikit membikin susah padaku
apa sih halangannya?"
"Engkoh Thian, jika kau berkeras ingin tahu, biarlah akan
kuturut dan akan kuterangkan," sahut Ting Tong. "Cuma kalau
kau benar-benar akan menjalankan akalku ini, maka akulah
yang tidak boleh. Aku akan tanya dulu padamu, apakah kau
tahu sebab apakah orang-orang Swat-san-pay sedemikian
bencinya kepada Ciok Tiong-giok dan bertekad akan
membunuhnya?" "Kalau tidak salah Ciok Tiong-giok itu adalah murid Swat-sanpay,
dia telah melanggar larangan perguruan, telah
mengakibatkan kematian putri Pek-suhu sehingga sebelah
lengan gurunya, yaitu Hong Ban-li ikut menjadi korban, ditebas
oleh Pek-losiansing, ya, boleh jadi berbuat pula kejahatankejahatan
lain yang tidak senonoh."
"Benar, justru karena Ciok Tiong-giok itu telah mencelakai
orang, makanya mereka akan membunuhnya untuk mengganti
jiwa. Engkoh Thian, apakah kau telah membinasakan putri Peksuhu
dari Swat-san-pay itu?"
"Hah, aku?" seru Boh-thian melengak. "Sudah tentu tidak!
Sedangkan muka putri Pek-suhu itu belum pernah kulihat."
"Itu dia," kata Ting Tong. "Akalku ini sesungguhnya juga
sangat sederhana, ialah engkau boleh menyaru sebagai Ciok
Tiong-giok dan ikut Ciok-cengcu ke Leng-siau-sia sana, nanti
bila mereka hendak membinasakan kau barulah kau mengaku
terus terang bahwa kau sesungguhnya adalah Kau-cap-ceng
dan bukan Ciok Tiong-giok. Yang akan mereka bunuh adalah
Ciok Tiong-giok dan bukan kau, paling-paling mereka akan
mencaci maki padamu karena kau telah menipu mereka
dengan menyaru, tapi akhirnya kau toh akan dibebaskan juga.
Dan karena kau tak dibunuh oleh mereka, dengan sendirinya
Ciok-cengcu berdua juga tidak perlu bergebrak dengan mereka
dan tentu pun tidak berbahaya lagi."
Untuk sejenak Boh-thian terdiam, katanya kemudian, "Akalmu
ini cukup baik, cuma letak Leng-siau-sia itu jauh di wilayah
barat sana, dalam perjalanan sejauh ribuan li bersama Peksuhu
dan rombongannya itu bukan mustahil sedikit salah
omong saja penyamaranku akan diketahui. Kau sudah tahu
sendiri, Ting-ting Tong-tong, aku tidak pintar bicara, gerakgerikku
juga bodoh, mana dapat menirukan Ciok Tiong-giok
yang... yang pintar dan cerdik itu."
"Soal ini sudah kupikirkan juga," ujar Ting Tong dengan
tertawa. "Kau bisa semir sejenis... sejenis obat yang berbisa di
bagian tenggorokanmu sehingga di bagian itu akan menjadi
bengkak, kau pura-pura sakit tenggorokan dan susah bicara,
pura-pura menjadi bisu dan tidak perlu membuka suara dalam
perjalanan." Sampai di sini tiba-tiba Ting Tong menghela napas, lalu
katanya pula dengan menyesal, "Engkoh Thian, meski akalku
ini cukup bagus, tapi kau yang harus menderita, maka aku
merasa tidak enak." Mendengar ucapan si nona itu penuh rasa kasih sayang
padanya, sungguh Boh-thian menjadi terharu. Dalam keadaan
demikian jangankan dia cuma disuruh pura-pura menjadi bisu,
sekalipun dia diminta mati baginya juga mau. Maka segera ia
berseru, "Bagus, akalmu sangat bagus! Cuma cara bagaimana
aku harus menggantikan Ciok Tiong-giok itu?"
"Rombongan mereka itu bermalam semua di Heng-co-tin di
sebelah barat sana, sekarang juga kita dapat menyusul ke
sana," kata Ting Tong. "Kutahu kamar tidurnya Ciok Tionggiok,
diam-diam kita masuk ke sana dan kalian dapat saling
tukar pakaian. Besok pagi kau lantas pura-pura merintih-rintih
kesakitan dan mengatakan bagian tenggorokanmu keluar bisul
jahat sehingga susah bersuara, sebelum saat kau hendak
dibunuh orang Swat-san-pay janganlah kau membuka mulut
dan bicara." "Ting-ting Tong-tong, akal sebagus ini hanyalah engkau yang
dapat memikirkannya," seru Boh-thian dengan girang.
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan ingatlah, sepanjang jalan jangan kau bicara dengan siapa
pun juga, terhadap Ciok-cengcu dan Ciok-hujin juga tidak
boleh memberi isyarat apa-apa. Maklum Pek-suhu dan kawankawannya
itu sangat lihai, sedikit kau memperlihatkan tandatanda
yang mencurigakan akan berarti membikin celaka
kepada Ciok-cengcu berdua."
"Ya, baiklah, biarpun kepalaku dipenggal juga aku takkan
bicara," sahut Boh-thian sambil mengangguk. "Hayolah,
sekarang juga kita berangkat."
Tapi mendadak pintu kamar dibuka orang, suara seorang
wanita berseru, "Jangan kau tertipu olehnya, Siauya!"
Remang-remang Boh-thian melihat seorang wanita muda
berdiri di depan pintu, kiranya adalah Si Kiam. "Jangan...
jangan tertipu apa, Si Kiam?"
"Di luar kamar telah kudengar seluruhnya," sahut Si Kiam.
"Nona Ting ini tidak bermaksud baik, dia... dia hanya ingin
menyelamatkan dia punya Engkoh Thian dan sengaja menipu
kau untuk mewakilkan kematiannya."
"Ah, masakah begitu?" ujar Boh-thian. "Nona Ting membantu
aku memikirkan cara bagaimana harus menolong Ciok-cengcu
dan Ciok-hujin." "Ai, mengapa Siauya tidak pikir masak-masak, mungkinkah
mereka menaruh maksud baik padamu?" kata Si Kiam.
Mendadak Ting Tong tertawa dingin, "Huh, memangnya kau
adalah pelayan pangcumu yang tulen, sekarang kau sengaja
membantu orang luar dan sengaja mengadu domba."
Lalu ia berpaling kepada Boh-thian dan berkata, "Engkoh
Thian, jangan kau pedulikan perempuan hina ini, lekas kau
pergi minta sedikit bun-hiang (dupa pemabuk) kepada Tanhiangcu,
tapi jangan bicara tentang urusan kita ini, sesudah
mendapatkan dupa itu boleh tunggu aku di luar sana saja."
"Untuk apa kita membawa dupa seperti itu?" tanya Boh-thian.
"Sebentar tentu kau akan tahu, sekarang lekas berangkat,
lekas!" desak si Ting Tong.
Boh-thian mengiakan dan segera melangkah keluar.
Setelah Boh-thian pergi, segera Ting Tong menyemprot Si
Kiam, "Hm, budak hina, baik juga ya hatimu!"
Si Kiam menjadi takut, ia menjerit terus hendak lari. Tapi si
Ting Tong tidak memberi kesempatan padanya, cepat ia
memburu maju, kedua tangannya menghantam sekaligus,
tepat punggung Si Kiam kena digenjot dan tanpa ampun lagi
mati seketika. Sebelum meninggalkan kamar itu, lebih dulu Ting Tong
menyeret jenazah Si Kiam itu ke dalam kamar, ia sengaja
merobek-robek pakaian Si Kiam dan meletakkan jenazah
pelayan itu di atas ranjang agar besok paginya dicurigai orangorang
Tiang-lok-pang yang pasti akan menyangka pangcu
mereka sendiri yang telah membunuh pelayannya lantaran
melawan kehendak sang pangcu yang tidak senonoh. Dengan
demikian Pwe Hay-ciok dan lain-lain tentu juga tidak akan
kaget bilamana mendadak Ciok Boh-thian menghilang, mereka
tentu mengira sang pangcu sengaja menyingkir untuk
beberapa hari lamanya karena merasa malu.
Selesai mengatur, perlahan-lahan Ting Tong lantas menyusup
keluar dan setelah menunggu agak lama barulah kelihatan Ciok
Boh-thian muncul. "Sudah dapat!" kata pemuda itu.
"Bagus!" sahut Ting Tong dengan girang dan segera
mengajaknya berangkat menuju ke tepi sungai dan naik ke
atas perahu yang sudah siap.
Setelah mendayung perahu itu beberapa li jauhnya, kemudian
mereka mendarat, ternyata di bawah pohon sana sudah
tertambat dua ekor kuda. "Marilah kita menunggang kuda
saja!" kata si nona.
"Ai, rencanamu ini benar-benar sangat rapi, sampai-sampai
kuda pun sudah disiapkan," ujar Boh-thian.
"Rapi apa segala?" semprot Ting Tong dengan muka merah.
"Ini adalah kuda Yaya, aku toh tidak tahu kalau kau ingin buruburu
hendak pergi menolong Ciok-cengcu."
Boh-thian menjadi bingung mengapa si nona mendadak marah.
Ia tidak berani banyak bicara lagi dan terus cemplak ke atas
kuda. Kira-kira jam tiga dini hari sampailah mereka di luar Kota
Heng-co-tin, mereka turun dari kuda dan masuk ke dalam
kota. Ting Tong membawa Boh-thian ke sebuah hotel. Di luar
hotel si nona berbisik-bisik padanya, "Ciok-cengcu suami-istri
dan putranya tidur di kamar kedua di sebelah timur sana."
"Apakah mereka bertiga tidur di suatu kamar?" tanya Bohthian.
"Wah, jangan-jangan nanti ketahuan Ciok-cengcu dan
Ciok-hujin." "Mereka terpaksa harus tidur sekamar, mereka harus
mengawasi putranya agar tidak melarikan diri," sahut Ting
Tong. "Ai, mereka hanya memikirkan harga diri mereka sebagai
kesatria tanpa memikirkan mati-hidup putranya, orang tua
demikian benar-benar jarang terdapat di dunia ini."
Mendengar nada si nona seperti merasa penasaran, Boh-thian
menjadi bingung dan tidak dapat menanggapi. Terpaksa ia
tanya dengan suara tertahan, "Habis, bagaimana?"
"Boleh kau sulut dupa pemabuk yang kau bawa, masukkan ke
dalam kamar mereka melalui celah-celah jendela, sesudah
mereka tak sadarkan diri barulah kau membuka jendela dan
masuk ke dalam, diam-diam kau pondong keluar Ciok Tionggiok
dan selesaikan tugasmu. Ginkangmu sangat tinggi, keluarmasuk
kamar tentu takkan diketahui Pek-suhu dan kawankawannya.
Aku akan menunggu kau di bawah emper sana."
"O, kiranya demikian," kata Boh-thian sambil mengangguk.
"Baiklah, akan kukerjakan menurut petunjukmu. Apakah dupa
ini yang digunakan Tan-hiangcu dan kawan-kawannya untuk
menawan orang-orang Swat-san-pay sebagaimana dikatakan
mereka itu?" "Benar," sahut Ting Tong. "Ini adalah perbuatan rendah yang
biasa dilakukan oleh orang-orang Pang kalian, tentu dupa ini
sangat manjur, kalau tidak masakah orang-orang Swat-sanpay
yang bukan kaum lemah itu dapat dibekuk begitu saja"
Cuma kau pun harus hati-hati, jangan sampai menerbitkan
suara sedikit pun. Ketahuilah Ciok-cengcu dan nyonya tidak
dapat disamakan dengan anak murid Swat-san-pay."
Boh-thian mengiakan perlahan. Segera ia menyalakan dupa
pembius yang dibawanya. Walaupun di tempat terbuka
kepalanya terasa pusing juga ketika membau asap dupa itu.
Keruan ia terkejut. "Dupa ini bisa mematikan orang tidak?"
cepat ia tanya. "Mereka telah menawan orang-orang Swat-san-pay dengan
dupa semacam ini, apakah di antara orang-orang Swat-san-pay
ada yang mati?" Ting Tong balas bertanya.
"Ya, tidak," sahut Boh-thian. "Baiklah, harap kau tunggu di
sini." Perlahan-lahan ia melompat, melintasi pagar tembok, ternyata
enteng sekali gerakannya sehingga tiada menimbulkan suara
sedikit pun. Ia menemukan jendela kamar kedua di serambi
timur, ia dengar suara napas ketiga orang di dalam kamar itu
sedang terpulas dengan nyenyaknya, perlahan-lahan ia
membasahi kertas penutup jendela dengan air ludah sehingga
terkorek menjadi sebuah lubang kecil, lalu ia menyalakan dupa
dan memasukkannya ke dalam kamar. Nyala dupa itu sangat
cepat dan sebentar saja sudah habis. Ia dengar sekeliling situ
tiada sesuatu suara, dengan hati-hati ia lantas mendorong
daun jendela sehingga terpentang, palang jendela telah patah
oleh tenaga dalamnya yang kuat. Dengan gesit ia lantas
melompat ke dalam kamar. Bab 38. Ciok Boh-thian Pura-pura Sakit Gondok
Di bawah cahaya bintang-bintang yang remang-remang
dilihatnya dalam kamar itu terdapat dua buah dipan. Ciok Jing
suami-istri bersatu dipan dan Ciok Tiong-giok tidur sendirian di
dipan yang lain. Baru saja ia hendak mengangkat tubuh Ciok Tiong-giok,
mendadak ia merasa kepala sendiri agak pusing, ia tahu telah
mengisap bau dupa pemabuk, cepat ia menahan napas dan
membawa Ciok Tiong-giok keluar hotel.
Ting Tong sudah menunggu di sana, bisiknya perlahan,
"Marilah kita menyingkir agak jauh supaya tidak membikin
kaget Pek-suhu dan kawan-kawannya."
Boh-thian mengiakan, dengan memondong Ciok Tiong-giok ia
ikut si nona menyingkir ke tempat lebih jauh dari hotel itu.
"Lekas kau menanggalkan pakaiannya dan menukar dengan
pakaianmu, begitu pula seluruh isi sakunya," kata si Ting Tong.
Waktu Boh-thian merogoh kantongnya sendiri, ia
mengeluarkan sekotak boneka kayu pemberian Tay-pi Lojin
dahulu serta dua potong medali tembaga. "Apakah ini juga...
juga diberikan padanya?" tanyanya.
"Ya, berikan semua," sahut Ting Tong. "Kalau tersimpan di
bajumu, jangan-jangan akan dilihat orang dan terbongkar
rahasia penyamaranmu. Biarlah aku meronda di sebelah sana.
Cepat kau bertukar pakaian dengan dia."
Menunggu sesudah si Ting Tong menyingkir agak jauh, segera
Boh-thian melepaskan, pakaiannya sendiri, lalu membelejeti
Ciok Tiong-giok dan saling bertukar pakaian. "Sudah, sudah
selesai!" serunya kemudian.
Maka kembalilah Ting Tong mendekat, katanya, "Jiwa Ciokcengcu
dan Ciok-hujin selanjutnya tergantunglah padamu, jika
kau kurang pandai bergaya tentu celakalah mereka."
"Aku akan berbuat sebisanya," ujar Boh-thian.
Lalu Ting Tong mengeluarkan sebuah kotak kecil, ia membuka
tutup kotak dan mengorek sedikit salep dengan kukunya sambil
berkata, "Dongakkan kepalamu!"
Sesudah Boh-thian mengangkat kepalanya, segera ia poles
salep itu di lehernya dan berkata pula, "Sebelum pagi
mendatang nanti harus kau membersihkan salep ini supaya
tidak dilihat orang lain. Besok akan terasa sakit sedikit, untuk
ini kau harus tahan derita."
"Tidak apa," sahut Boh-thian.
Tiba-tiba terlihat badan Ciok Tiong-giok sedikit bergerak seperti
akan siuman. Cepat ia berkata, "Ting-ting Tong-tong, aku akan
kembali ke kamarnya, sampai bertemu!"
"Ya, lekas, selamat!!" sahut Ting Tong.
Kira-kira belasan meter jauhnya Boh-thian melangkah ke arah
hotel, waktu menoleh, terlihat Ciok Tiong-giok sudah berduduk
dan seperti sedang bicara dengan si Ting Tong dengan suara
lirih. Tiba-tiba terdengar Ting Tong mengikik tawa, suaranya
sangat perlahan, tapi penuh rasa gembira.
Sekonyong-konyong Boh-thian merasakan semacam
kecemasan yang hebat, lapat-lapat ia merasa selanjutnya tidak
dapat berkumpul bersama si Ting Tong lagi. Sesudah merandek
sejenak, akhirnya ia melompat masuk ke dalam hotel dan
menyusup ke dalam kamar. Asap dupa di dalam kamar masih cukup keras, ia membuka
daun jendela supaya ada hawa segar. Terdengar suara derapan
kuda yang makin menjauh, ia tahu si Ting Tong dan Ciok
Tiong-giok telah pergi bersama. Pikirnya, "Ke manakah
mereka" Sekarang si Ting-ting Tong-tong tentulah sangat
senang. Aku sendiri terlalu bodoh dan tidak pintar bicara,
berada bersama dia hanya selalu membikin marah padanya
saja." Ia berdiri termenung-menung agak lama di depan jendela,
ketika mendadak merasa lehernya mulai sakit barulah cepatcepat
ia menyusup ke kolong selimut.
Obat salep si Ting Tong itu ternyata sangat manjur, tidak
sampai satu jam tenggorokan Ciok Boh-thian sudah kesakitan.
Waktu ia meraba dengan tangan, tempat tenggorokan itu
sangat panas dan bengkak seperti orang gondok.
Ia tahan sampai fajar sudah menyingsing, lalu ia
membersihkan bekas salep itu dengan selimut, kemudian mulai
merintih-rintih kesakitan menurut ajaran Ting Tong supaya
menarik perhatian Ciok Jing suami-istri dan tidak curiga
bilamana mengendus sisa bau dupa.
Benar juga, sesudah merintih-rintih sebentar lantas didengar
oleh Ciok Jing, segera orang tua itu bertanya, "Kenapa kau?"
Nadanya bukannya kasih sayang, sebaliknya rada marah.
Bin Ju juga lantas bangun dan bertanya, "Kenapakah anak
Giok" Apakah badanmu kurang enak?"
Dan tanpa menunggu jawaban segera ia mendekati Boh-thian.
Ketika mendadak melihat kedua pipi Boh-thian merah
membara, lehernya juga bengkak, ia menjadi kaget dan cepat
berteriak, "He, Engkoh Jing, lekas kemari, coba lihatlah!"
Mendengar seruan sang istri yang khawatir itu, cepat Ciok Jing
lantas melompat bangun ke depan dipan putranya, ia menjadi
khawatir juga demi tampak leher putranya merah bengkak
sebagai gondokan. "Besar kemungkinan hanya penyakit bisul
biasa saja, kalau diobati cepat-cepat tentu akan segera
sembuh." Lalu ia tanya Boh-thian, "Bagaimana, Nak" Apakah sangat
sakit?" Boh-thian hanya merintih saja dan tidak berani membuka
suara. Pikirnya sendiri, "Karena ingin menolong kalian,
makanya aku pura-pura sakit untuk menipu kalian. Hanya sakit
bisul begini saja kalian sudah sedemikian menaruh perhatian
padaku, ini menandakan kalian masih sangat cinta kepada
putramu Ciok Tiong-giok itu walaupun dia telah banyak
berdosa. Ai, mengapa di dunia ini tiada seorang pun yang
mencintai aku seperti ini."
Teringat demikian ia menjadi terharu sehingga mengembeng
air mata. Melihat putranya mewek-mewek akan menangis, Ciok Jing dan
Bin Ju mengira dia kesakitan, maka mereka tambah khawatir.
Ciok Jing bertanya, "Biarlah kucari seorang tabib."
"Di kota kecil seperti ini tentu tiada tabib pandai, marilah kita
pulang ke Yangciu saja dan minta tolong Pwe-tayhu untuk
memberi obat padanya," usul Bin Ju.
"Tidak," jawab Ciok Jing. "Jangan-jangan akan menimbulkan
curiga Pek Ban-kiam dan kawan-kawannya, pula akan
dipandang hina oleh Pwe Hay-ciok."
Ia tahu Pwe Hay-ciok dan orang-orang Tiang-lok-pang sudah
dendam kepada putranya yang khianat ini, bilamana dibawa ke
sana bukan mustahil sang putra akan dicelakai malah.
Segera Bin Ju membawakan semangkuk kuah hangat untuk
Ciok Boh-thian, tak terduga salep berbisa itu sangat lihai, luardalam
tenggorokan itu telah bengkak semua sehingga tak
dapat makan-minum sama sekali. Keruan Bin Ju tambah
khawatir. Ciok Jing lantas mencari seorang tabib. Dasar tabib
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kampungan, tapi berlagak mahapandai, sesudah memeriksa
penyakit Boh-thian itu, sebentar ia bilang cuma penyakit
gondok, tapi lain saat ia menakut-nakuti katanya sakit kanker.
Akhirnya ia membual betapa kepandaiannya dan minta
pasiennya jangan khawatir, lalu ia membuka resep.
Ciok Jing memberi pujian sekadarnya dan memberikan
honorarium yang cukup, setelah tabib itu pergi ia lantas
membeli obat ke apotek. Karena kesibukan Ciok Jing, itu, akhirnya orang-orang Swatsan-
pay mendapat tahu juga persoalannya. Khawatir kalaukalau
Ciok Jing main gila dan berusaha menyelamatkan
putranya, maka Pek Ban-kiam pura-pura menjenguk ke
kamarnya. Ketika melihat tenggorokan Ciok Boh-thian benarbenar
seperti orang sakit gondok dan Bin Ju tampak khawatir
dan bingung, diam-diam ia merasa senang dan syukur.
Pikirnya, "Kau bocah durhaka ini sudah berdosa kelewat
takaran, jika kau terbunuh begitu saja di Leng-siau-sia nanti
akan terlalu murah bagimu, memangnya kau harus disiksa dan
banyak menderita dahulu agar kau bertobat."
Walaupun demikian pikirnya, namun sebagai seorang kesatria
ia malah menghibur Bin Ju agar jangan khawatir.
Sesudah memberikan obat kepada putranya, kemudian Ciok
Jing berkata kepada sang istri, "Aku sudah siapkan kereta di
luar. Tiong-giok adalah seorang lelaki, dia harus berani tahan
uji, sedikit penyakit saja tidak boleh menghalangi urusan orang
banyak. Marilah kita lantas berangkat saja."
Bin Ju menjadi ragu-ragu, katanya, "Penyakit anak begini
parah, kalau dipaksa meneruskan perjalanan mungkin...
mungkin akan tambah berat."
"Kedua sucia pengganjar dan penghukum itu sedang menuju
ke Leng-siau-sia, Pek-suheng harus buru-buru menyusul ke
sana, jika Wi-tek Siansing sampai bergebrak dengan mereka,
kita tak dapat membantu, sebaliknya memperlambat
perjalanan Pek-suheng, hal ini tidaklah pantas."
Bin Ju terpaksa mengiakan, katanya kepada Boh-thian, "Nak,
marilah kubantu kau memakai baju."
Lalu ia membantu Boh-thian berpakaian dan lantas keluar
hotel. Melihat Ciok Jing memaksa putranya melanjutkan perjalanan
dalam keadaan sakit, mau tak mau Pek Ban-kiam menaruh
hormat juga atas jiwa kesatrianya.
Sebaliknya Bin Ju paham apa yang diperhitungkan sang suami,
ia kenal watak suaminya tidak nanti mengeluyur pergi dengan
membawa lari putranya. Tapi menurut perhitungan Ciok Jing
kunjungan Thio Sam dan Li Si ke Leng-siau-sia nanti pasti akan
cekcok dan bertempur dengan Pek Cu-cay alias Wi-tek Siansing
yang berperangai keras dan tidak nanti mau terima medali
tembaga yang disodorkan itu. Jika bisa Ciok Jing ingin
mencapai Leng-siau-sia tepat pada waktunya dan dapat
membantu pihak Swat-san-pay dengan sepenuh tenaga, jika
nasibnya malang dan gugur dalam pertempuran itu, maka
paling sedikit akan dapat mencuci bersih nama busuk putranya,
sebaliknya kalau untung mendapat kemenangan, maka berita
tentang Swat-san-pay bergabung dengan Hian-soh-ceng telah
menjatuhkan Thio Sam dan Li Si pasti akan tersiar di dunia
Kangouw, jasa itu tentu dapat menebus dosa putranya dan Pek
Cu-cay tentu tidak tega membunuhnya lagi.
Namun Bin Ju sendiri sudah menyaksikan kepandaian Thio Sam
dan Li Si di markas Tiang-lok-pang dan menduga lebih banyak
kalah daripada menangnya bila benar-benar bergabung
melawan kedua orang itu. Akan tetapi selain pikiran sang
suami itu rasanya tiada jalan lain lagi yang lebih sempurna,
sebab itulah ia pun menurut saja.
Sebenarnya tabib di Heng-co-tin itu memang tidak becus, dia
telah salah sangka bengkak di tenggorokan Ciok Boh-thian itu
sebagai sakit gondok. Namun dengan demikian Ciok Jing dan
Bin Ju menjadi tidak curiga apa-apa. Pula wajah Boh-thian dan
Ciok Tiong-giok memang sangat mirip, sesudah saling tukar
pakaiannya, siapa pun tidak dapat membedakannya lagi.
Dengan enak-enak Boh-thian bertiduran di dalam kereta kuda
tanpa bersuara sedikit pun, maka rahasianya juga tidak sampai
ketahuan siapa-siapa. Kepergian si Ting Tong tanpa pamit itu
adalah kebetulan bagi Ciok Jing dan Bin Ju, maka mereka pun
tidak mengusut lebih lanjut.
Begitulah rombongan mereka lantas mempercepat perjalanan
agar tidak didahului oleh Thio Sam dan Li Si. Setiba di wilayah
Provinsi Oulam, bengkak di tenggorokan Ciok Boh-thian sudah
kempis, akan tetapi dia masih gagu dan tidak dapat bicara.
Beberapa kali Ciok Jing membawanya kepada tabib-tabib di
kota yang dilalui, namun tidak diperoleh sesuatu kepastian
tentang penyakitnya, hal ini membuat Ciok Jing menjadi
masygul dan Bin Ju pun lebih sering mencucurkan air mata.
Suatu hari sampailah mereka di wilayah Se-ek (daerah
provinsi-provinsi sebelah barat). Orang-orang Swat-san-pay
sangat hafal keadaan setempat, mereka selalu mengambil
jalanan kecil yang lebih dekat. Untuk ini mereka yakin pasti
akan dapat tiba lebih dulu di tempat tujuan daripada Thio Sam
dan Li Si. Makin dekat dengan Leng-siau-sia makin legalah hati
mereka. Hanya Ciok Jing dan Bin Ju saja yang merasa bimbang, mereka
menduga pada waktu bertemu dengan Wi-tek Siansing nanti
kedua pihak tentu akan serbasalah. Apabila orang tua itu lantas
marah-marah terus membinasakan anak Giok dan pada saat itu
juga Thio Sam dan Li Si muncul pula, maka keadaan tentu
akan menjadi sulit. Diam-diam Ciok Jing dan Bin Ju juga saling berunding, tapi
susah mengambil sesuatu keputusan, terpaksa mereka pasrah
nasib dan terserah kepada keadaan nanti.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di suatu lereng
gunung di mana terdapat sederetan rumah-rumah papan kayu,
Pek Ban-kiam telah tanya penjaga rumah-rumah papan itu dan
diketahui beberapa hari terakhir ini belum pernah ada orang
asing lalu di situ, maka hatinya menjadi makin lega.
Mereka bermalam di perumahan papan itu, besok paginya
mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Kiranya
perjalanan selanjutnya sangatlah terjal dan tidak dapat dilalui
dengan kuda. Beberapa murid Swat-san-pay jalan di depan
sebagai penunjuk jalan mereka terus mendaki gunung dan
melintasi tanjakan. Kira-kira satu jam kemudian, seluruh tanah
mulai tertampak hanya salju belaka. Untung ginkang setiap
orang tidaklah lemah sehingga tidak mengalami suatu
kesukaran. Sepanjang jalan Ciok Boh-thian terus ikut di belakang ayahbundanya,
tidak mendahului juga tidak ketinggalan.
Melihat kekuatan berjalan sang putra sangat tangkas,
napasnya juga panjang, diam-diam Ciok Jing dan Bin Ju
merasa lwekang pemuda itu tidak lebih lemah daripada mereka
sendiri, mereka menjadi kagum dan senang. Tapi demi ingat
tidak lama lagi akan berjumpa dengan Pek Cu-cay, kembali
mereka khawatir pula. Petangnya mereka melihat di depan sana berdiri suatu puncak
gunung yang menjulang tinggi dengan bangunan berpuluhpuluh
rumah. "Ciok-cengcu, inilah Leng-siau-sia adanya, tempatnya terlalu
terpencil dan miskin, segalanya kasar dan sederhana saja,"
kata Pek Ban-kiam. "Sungguh suatu tempat yang bagus," puji Ciok Jing. "Puncak
yang tertinggi dikelilingi gunung-gemunung, benar-benar
sesuai dengan namanya sebagai "leng-siau" (mencakar langit)."
Tertampak awan mengapung ke atas dan lambat laun seluruh
Leng-siau-sia telah terselubung semua di-tengah-tengah
gumpalan awan yang tebal.
Ketika rombongan mereka sampai di kaki puncak gunung itu
hari pun sudah gelap, mereka lantas bermalam pada dua
rumah batu yang biasanya disediakan untuk orang-orang yang
hendak berkunjung ke Leng-siau-sia agar besok pagi-pagi
dapat mendaki puncak tinggi itu dengan tenaga penuh.
Waktu fajar baru menyingsing segera rombongan mereka mulai
mendaki puncak terjal itu. Walaupun semua orang
berkepandaian tinggi, tidak urung mereka harus berhenti
mengaso dua kali serta makan ransum di gardu kecil di tengah
gunung. Lewat tengah hari barulah mereka sampai di luar
Leng-siau-sia. Tertampaklah beratus-ratus rumah dikelilingi
selapis tembok benteng yang putih dan tingginya lebih dari
lima-enam meter, kelihatannya penuh dengan salju yang sudah
membeku. "Pek-suheng, dinding benteng penuh dengan salju yang
membeku, maka pastilah sangat kukuh laksana baja, orang
luar tidaklah mungkin dapat menyerbu ke dalam," kata Ciok
Jing. "Ya, selama lebih 170 tahun berdirinya golongan kami memang
tidak pernah diserbu musuh dari luar," sahut Ban-kiam dengan
tertawa. "Hanya saja di musim dingin sering mendapat
gangguan kawanan serigala yang lapar, tapi juga tidak mampu
masuk ke dalam benteng."
Sampai di sini dilihatnya jembatan gantung yang melintasi
sungai es yang mengelilingi benteng itu masih tergantung
tinggi-tinggi dan belum dihubungkan, diam-diam Ban-kiam
menjadi marah, segera ia membentak, "Siapa itu yang dinas
jaga" Apakah tidak lihat kami telah pulang?"
Maka tertampaklah di atas benteng menongol sebuah kepala
dan berkata, "Kiranya Pek-supek dan para supek yang lain
telah pulang, segera akan kulaporkan dulu."
"Ada tamu jauh berkunjung kemari, lekas turunkan jembatan
gantung!" bentak Ban-kiam pula.
Terdengar orang itu mengiakan sambil mengkeretkan kembali
kepalanya, tapi sampai sekian lamanya jembatan gantung
masih tetap tidak diturunkan.
Ciok Jing melihat sungai yang mengelilingi benteng itu lebarnya
ada lima-enam meter lebih, untuk melompat ke seberang
memang tidak gampang. Pada umumnya dinding benteng memang selalu dikelilingi oleh
sungai pelindung benteng, tapi di puncak gunung ini hawa
sangat dingin, air sungai telah membeku menjadi es, sungai ini
pun sangat dalam, tepi sungai juga membeku sebagai dinding
es yang licin, baik binatang maupun manusia jika terjerumus
ke bawah tentu sangat sukar untuk naik kembali.
Dalam pada itu terdengar Kheng Ban-ciong dan Kwa Ban-kin
juga sedang membentak-bentak suruh penjaga-penjaga
benteng lekas turunkan jembatan gantung dan membuka
pintu. Melihat suasana agak luar biasa, Ban-kiam menjadi khawatir
jangan-jangan terjadi apa-apa di dalam benteng. Segera ia
membisiki kawan-kawannya, "Para Sute harap waspada, boleh
jadi kedua orang dari Liong-bok-to itu sudah tiba lebih dahulu."
Mendengar itu semua orang terkesiap dan tanpa merasa sama
meraba senjatanya masing-masing.
Pada saat itulah terdengar suara berkeriang-keriut, jembatan
gantung perlahan-lahan telah diturunkan. Pintu gerbang lantas
terbuka dan tertampak berlari keluar seorang yang berjubah
putih, lengan baju sebelah kanan terikat pada ikat
pinggangnya, di dalam lengan baju itu tertampak kosong
melompong, terang tiada isinya, yaitu lengannya buntung.
Orang ini lantas berteriak-teriak, "Haha, kiranya Ciok-heng dan
Ciok-so yang telah tiba, sungguh tamu yang tak terduga,
selamat datang!" Melihat Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li menyambut sendiri
kedatangan mereka, sedangkan lengan kanannya kelihatan
buntung akibat perbuatan putranya sendiri, sungguh Ciok Jing
menyesal tak terhingga. Cepat ia memapak maju sambil
berseru, "Hong-jite, kami suami-istri membawa putra durhaka
ini sengaja datang kemari untuk menerima hukuman yang
akan dijatuhkan Pek-supek dan engkau."
Habis berkata ia terus melangkah maju dan bertekuk lutut
memberi hormat. Sejak Ciok Jing terkenal di dunia Kangouw
belum pernah ia memberi hormat kepada angkatan yang
setingkat kecuali kepada orang tua, sekarang lantaran
pengorbanan Hong Ban-li terlalu besar gara-gara perbuatan
putranya, maka tanpa merasa ia lantas menjura kepada sobat
lama itu. Melihat suaminya berlutut dan menjura, sebaliknya sang putra
masih berdiri termangu di samping, cepat Bin Ju menarik baju
Ciok Boh-thian sambil berlutut di samping sang suami.
Boh-thian sendiri tidak tahu apa-apa, tapi ia berpikir, "Dia
adalah gurunya Ciok Tiong-giok yang kusamar sekarang,
ketemu guru memang seharusnya memberi hormat."
Maka ia lantas berlutut juga dan menjura berulang-ulang
sampai kepalanya membentur tanah.
Hong Ban-li tidak menggubris perbuatan Ciok Boh-thian itu
sebaliknya ia berkata kepada Ciok Jing, "Ai, mengapa Ciokheng
dan Ciok-so memakai adat setinggi?"
Cepat ia pun berlutut dan balas menjura.
Sesudah Ciok Jing suami-istri dan Hong Ban-li berbangkit
kembali, hanya Ciok Boh-thian sendiri yang masih berlutut di
situ. Sama sekali Ban-li tidak menggubris Ciok Boh-thian, katanya
kepada Ciok Jing, "Ciok-heng dan Ciok-so, rasanya sudah
belasan tahun kita tidak bertemu, kalian berdua ternyata
semakin sehat dan tambah muda. Selama ini terdengar juga
nama kalian berdua yang sangat terpuji di dunia Kangouw,
sungguh aku merasa sangat kagum dan terimalah ucapan
selamat dariku." "Kami tidak mampu mengajar anak, segala pujian kawankawan
Kangouw hanya nama kosong saja, apa yang perlu
ditonjolkan?" sahut Ciok Jing dengan rendah hati. "Hari ini
melihat keadaan Hong-hiante, sungguh kami merasa malu tak
terhingga." "Ah, kita adalah sahabat lama dan sesama kaum persilatan,
hanya sedikit persoalan mengapa harus selalu disebut-sebut"
Kalian datang dari jauh dan tentu sudah capek, hayolah lekas
masuk ke dalam benteng dan mengaso dulu," kata Hong Ban-li
tetap tidak ambil pusing kepada Ciok Boh-thian yang masih
berlutut di tempatnya. Segera Hong Ban-li mengiringi Ciok Jing mendahului masuk ke
dalam benteng. Bin Ju lantas menarik bangun putranya dengan
mengerut kening, melihat sikap Hong Ban-li tadi walaupun
ucapannya enak didengar, tapi jelas belum mau mengampuni
dosa Ciok Boh-thian. Ketika masuk ke benteng, Pek Ban-kiam telah memanggil
seorang penjaga dan bertanya dengan suara perlahan, "Apakah
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Loyacu (tuan besar, maksudnya ayahnya) baik-baik saja" Apa
yang telah terjadi di sini sesudah aku pergi?"
"Loyacu... Loyacu cuma suka marah-marah dan agak kasar
perangainya," sahut anak murid Swat-san-pay itu. "Sejak
Supek berangkat juga tiada terjadi apa-apa. Hanya...
hanya...." "Hanya apa?" desak Ban-kiam dengan menarik muka.
Murid itu menjadi ketakutan, jawabnya, "Lima... lima hari yang
lalu mendadak Loyacu mengamuk dan... dan telah membunuh
Liok-supek dan Boh-susiok."
"Hah" Mengapa bisa begitu?" tanya Ban-kiam terkejut.
"Tecu sendiri tidak tahu," sahut murid itu. "Kemarin dulu
kembali Loyacu membunuh Yan-susiok pula, juga sebelah kaki
Tho-supek kena ditebas kutung oleh beliau."
Sungguh kaget Ban-kiam tak terkatakan. Pikirnya, "Boh, Lio,
Yan, dan Tho-sute adalah jago-jago pilihan dalam Swat-sanpay,
biasanya ayah sangat sayang kepada mereka, mengapa
mendadak ayah berlaku sekejam ini kepada mereka?"
Cepat ia menarik murid itu ke samping, sesudah Bin Ju dan
Ciok Boh-thian pergi lebih jauh, segera ia tanya pula,
"Sesungguhnya apa yang telah terjadi?"
"Tecu benar-benar tidak tahu," sahut murid itu. "Sesudah
meninggalnya paman-paman guru itu, setiap orang di Lengsiau-
sia merasa tidak tenteram dan kebat-kebit. Kemarin
malam Thio-susiok, Be-susiok, dan lain-lain juga pergi tanpa
pamit, katanya hendak pergi mencari Pek-supek. Untunglah
hari ini Pek-supek sudah pulang dan dapatlah meredakan
kemarahan Loyacu." Karena tidak mendapatkan keterangan yang diharapkan,
segera Ban-kiam menyusul ke rumah. Setiba di ruangan tamu,
tertampak Hong Ban-li sedang mengiringi Ciok Jing dan Bin Ju
minum teh. Segera ia berkata, "Silakan kalian duduk dahulu,
Siaute akan menemui ayah dan minta beliau keluar bertemu
dengan tamu." Mendadak Hong Ban-li menukas dengan mengerut kening,
"Beberapa hari yang lalu mendadak Suhu jatuh sakit, mungkin
beliau harus mengaso beberapa hari lagi baru dapat menemui
tamu. Kalau tidak, beliau biasanya sangat menghormati Ciokheng,
tentu sejak tadi beliau sudah keluar."
Pikiran Ban-kiam menjadi kacau, cepat ia berkata, "Jika
demikian, biarlah aku menjenguk ayah dahulu."
Dengan langkah lebar segera ia menuju ke kamar tidur sang
ayah, sampai di luar pintu, ia berdehem dahulu, lalu berseru,
"Ayah, anak sudah pulang!"
Maka tertampaklah tirai pintu tersingkap, muncul seorang
wanita cantik pertengahan umur, ialah bini muda Pek Cu-cay
yang bernama Yu-nio. Wajahnya kelihatan agak pucat, melihat
Ban-kiam segera ia berkata, "Syukurlah sekarang Toasiauya
sudah pulang, memangnya kami sedang bingung apa yang
harus kami lakukan. Sejak kemarin dulu pikiran Loyacu
mendadak menjadi linglung, aku... aku telah sembahyang dan
berdoa, tapi sedikit pun tidak berhasil apa-apa. Toasiauya,
semoga kau...." sampai di sini ia lantas menangis tergugukguguk.
"Urusan apakah yang membikin ayah menjadi marah-marah?"
tanya Ban-kiam. "Ya entah anak muridnya salah omong apa sehingga Loyacu
menjadi murka, berturut-turut beberapa muridnya telah
dibunuh," tutur Yu-nio. "Saking marahnya sekujur badan
Loyacu menjadi gemetar, sepulangnya di kamar mukanya
tampak berkejang, mulutnya berbuih dan mengiler, bicara pun
tidak sanggup lagi. Ada orang mengatakan beliau terkena
"angin" dan entah betul atau tidak...." sembari bicara dia terus
menangis sedih. Mendengar penyakit "kena angin", seketika Pek Ban-kiam
menjadi khawatir, tanpa bertanya lagi ia lantas berseru,
"Ayah!" dan terus berlari ke dalam kamar.
Ia lihat kelambu tempat tidur sang ayah tertutup rapat, di
dalam kamar ternyata ada sebuah anglo kecil dan sedang
masak obat. "Ayah!" seru Ban-kiam pula sambil membuka kelambu. Maka
tertampaklah ayahnya bertiduran dengan menghadap ke
sebelah sana, badannya sedikit pun tidak bergerak.
Pendengaran Ban-kiam sangat tajam, ia merasa pernapasan
ayahnya seperti sudah berhenti. Saking kagetnya tanpa pikir ia
terus menjulur tangan untuk memeriksa pernapasan hidung
sang ayah. Tapi baru saja sebelah tangannya terjulur sampai di samping
mulut ayahnya, dari dalam selimut mendadak menyambar
keluar suatu benda, "krek", tahu-tahu tangan Ban-kiam telah
terbelenggu dengan kencang, kiranya benda itu adalah sebuah
jepitan baja yang penuh berduri tajam.
Keruan Ban-kiam tambah kaget. "Ayah, akulah, anak telah
pulang!" teriaknya. Tapi mendadak dada dan perutnya
berbareng telah tertutuk dua kali dan tepat mengenai hiat-to
yang penting sehingga dia tidak bisa berkutik lagi....
Dalam pada itu Ciok Jing suami-istri yang dilayani Hong Ban-li
dalam sedang minum di ruangan tamu itu pun merasakan
sesuatu yang aneh pada orang-orang Swat-san-pay yang
dilihatnya, seakan-akan setiap orang itu menyembunyikan
rahasia apa-apa. Ciok Jing menjadi heran dan mengira janganjangan
berhubung akan datangnya kedua rasul pengganjar dan
penghukum dari Liong-bok-to itu, maka orang-orang Swat-sanpay
itu merasa cemas dan gelisah.
Rupanya Hong Ban-li mengetahui perasaan tamunya, ia coba
memberi penjelasan bahwa gurunya sudah tua, biasanya cukup
sehat, tapi mendadak jatuh sakit rada berat. Untuk mana Ciok
Jing juga mendoakan agar Pek Cu-cay lekas sembuh dan minta
Hong Ban-li jangan terlalu berduka.
Sementara itu hari sudah mulai gelap, Hong Ban-li perintahkan
orang menyiapkan perjamuan. Kheng Ban-ciong, Kwa Ban-ki
dan lain-lain ternyata tidak muncul lagi, maka Ciok Jing bertiga
diiringi oleh Ban-li sendiri bersama seorang sutenya yang
bernama Liok Ban-thong. Sekali ini Ciok Boh-thian juga
disilakan duduk dan disuguhi arak. Dengan alasan minum arak
untuk bikin hangat badan, berulang-ulang Ban-li menyilakan
tamunya penghabisan isi cawan sehingga Bin Ju sampai-sampai
menghabiskan tiga cawan. Sekonyong-konyong terasa suatu arus panas menaik dari
dalam perut, menyusul dada pun terasa panas sebagai dibakar,
cepat Bin Ju mengerahkan lwekang untuk bertahan, katanya
dengan tertawa, "Hong-hiante, arakmu ini sungguh lih... lihai!
Agaknya Ciok Jing juga merasakan hebatnya arak itu,
mendadak ia berbangkit dan membentak, "Arak apakah ini?"
"Ini adalah som-yang-ciu (arak kolesom) yang memang agak
keras sedikit tapi rasanya tak sampai memabukkan Hian-sohsiang-
kiam, bukan?" sahut Ban-li dengan tertawa.
Dengan suara bengis Ciok Jing membentak pula, "Kau...
kau...." tapi mendadak tubuhnya menggeliat dan akan jatuh.
Cepat Bin Ju dan Ciok Boh-thian berbangkit dan bermaksud
memayang Ciok Jing, tak terduga mereka berdua berbareng
juga merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang.
Sekaligus mereka pun roboh dan terduduk kembali di
tempatnya masing-masing tak sadarkan diri.
Entah berselang berapa lama, dengan lwekang Ciok Boh-thian
yang kuat itu perlahan-lahan ia siuman lebih dulu. Semula ia
mengira di dalam mimpi saja, perlahan-lahan ia menggerakgerakkan
tangannya dan bermaksud menahan tubuhnya untuk
berduduk, sekonyong-konyong terasa kedua tangannya
terkatup oleh sesuatu benda yang keras dan dingin. Ia
terkejut, pikirannya lantas jernih seketika.
Maka tahulah dia bahwa kaki dan tangannya telah terbelenggu
semua. Waktu ia membuka mata, ternyata keadaan gelap
gulita dan tidak mengetahui di mana ia berada. Ia coba berdiri
dan melangkah ke depan, tapi baru dua tindak saja, "blang",
batok kepalanya lantas membentur dinding yang keras.
Ia coba tenangkan diri sambil raba-raba kepalanya yang benjut
Perlahan-lahan ia meraba-raba dinding di sekelilingnya, kiranya
dia terkurung di dalam sebuah kamar batu yang kecil. Keadaan
gelap gulita, hanya pada ujung kiri sana remang-remang ada
cahaya yang menembus masuk. Ketika diperiksa, kiranya
adalah sebuah lubang sebesar belasan senti, jangankan
manusia, anjing pun susah menerobos lewat. Ia coba ketokketok
dinding batu dengan borgol di tangannya itu sehingga
mengeluarkan suara gemerantang yang nyaring, nyata dinding
batu itu sana tebal dan kukuh.
Boh-thian duduk bersandarkan dinding dan mengingat-ingat
kembali apa yang telah terjadi, "Mengapa aku bisa sampai di
sini" Apa barangkali arak kolesom yang mereka suguhkan itu
dicampur dengan obat tidur sehingga Ciok-cengcu suami-istri
juga jatuh pingsan di tempat perjamuan itu. Tampaknya orangorang
Swat-san-pay berkeras akan membunuh Ciok Tiong-giok,
khawatir kalau Ciok Jing berdua membelanya, maka mereka
perlu dipulaskan lebih dulu dengan obat tidur. Tapi mengapa
mereka belum membunuh aku" Ah, besar kemungkinan karena
Wi-tek Siansing sedang sakit, mereka sengaja mengurung kami
untuk beberapa hari lagi dan akan diputuskan sendiri oleh Witek
Siansing bila sakitnya sudah sembuh."
Lalu terpikir pula olehnya, "Bilamana Wi-tek Siansing tanya
padaku, asal aku mengatakan bahwa aku adalah Kau-cap-ceng
dan bukan Ciok Tiong-giok, kukira dia pasti akan
membebaskan diriku. Tapi Ciok-cengcu berdua belum tentu
akan dibebaskan olehnya, boleh jadi akan tetap dipenjarakan
sebagai sandera sampai tertangkapnya Ciok Tiong-giok yang
tulen. Selama dipenjarakan, orang halus dan suka bersih
sebagai Ciok-hujin apakah tahan di tempat yang gelap dan
kotor seperti ini, wah, entah betapa dia akan merana. Cara
bagaimanakah aku harus mencari suatu akal untuk menolong
Ciok-hujin dan Ciok-cengcu, habis itu barulah aku akan bicara
menurut aturan dengan Pek-loyacu."
Demi teringat harus bertempur seketika ia menjadi sedih pula,
padahal dirinya sekarang dalam keadaan terborgol dan
memerlukan pertolongan orang lain, cara bagaimana pula
dapat pergi menolong Ciok-cengcu berdua" Di dalam Lengsiau-
sia ini adalah orang-orang Swat-san-pay semua, siapa
yang mau menolongnya"
Ia coba meronta dan membetot-betot borgol itu, tapi hanya
terdengar suara gemerencing rantai saja, kiranya di antara
borgol tangan dan kaki itu tersambung pula beberapa utas
rantai besi. Pada saat itulah mendadak dari lubang kecil di dinding tadi ada
cahaya lampu menembus masuk. Ada orang mendekati kamar
batu itu dengan membawa pelita. Menyusul dari luar lubang
dinding itu terlihat disodorkan masuk sebuah kuali kecil yang
berisi setengah kuali nasi, di atas nasi terdapat beberapa iris
sayur asin, sepasang sumpit tertancap di atas nasi pula.
Boh-thian tidak pikirkan lagi tentang pura-pura menjadi gagu
segala, segera ia berteriak, "He, he! Aku ingin bicara dengan
Pek-loyacu, lekas sampaikan kepada beliau!"
Tapi orang di luar itu hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Sinar pelita tadi lambat laun menjadi pudar dan akhirnya
lenyap. Ternyata orang itu telah pergi tanpa menggubris
permintaan Boh-thian. Terendus bau sedapnya nasi barulah Boh-thian ingat perutnya
sudah lapar. Padahal ia ingat sudah makan cukup banyak
dalam perjamuan itu, mengapa sekarang sudah lapar sekali.
Rupanya waktu tak sadar dan terkurungnya di kamar batu itu
sudah cukup lama. Tanpa pikir lagi segera ia pegang kuali nasi itu, sumpit lantas
bekerja dan makan dengan lahap, hanya sekejap saja isi kuali
itu sudah disapu bersih ke dalam perutnya. Habis makan ia
taruh kuali kosong itu di tempatnya semula.
Beberapa kali ia coba membetot lagi, tapi borgol di kakitangannya
itu ternyata terbuat dari baja, biarpun ia
mengerahkan segenap lwekangnya juga susah
mematahkannya, sebaliknya pergelangan tangan dan kaki
sendiri yang kesakitan dan lecet. Ia coba meraba daun pintu
kamar batu itu, akhirnya ia menemukan garis celah-celah
pintu, sekuatnya ia mendorong dengan pundak, tapi pintu batu
tidak bergerak sedikit pun.
Boh-thian menjadi putus asa dan menerima nasib di samping
mengkhawatirkan keselamatan Ciok Jing dan istrinya. Daripada
susah-susah akhirnya ia tidak mau pikir lagi, dengan
bersandarkan dinding ia pejamkan mata dan tidur.
Di dalam kamar tahanan yang gelap gulita itu susah diketahui
sudah lewat berapa lamanya, besar kemungkinan sudah
menunggu satu hari barulah ada orang mengantarkan nasi lagi.
Terlihat sebuah tangan menjulur masuk dari luar lubang
dinding untuk mengambil kuali kosong.
Sekilas benak Ciok Boh-thian timbul suatu akal. Ketika orang
itu memasukkan makanan pula, secepat kilat Boh-thian
menubruk maju, di tengah gemerencingnya rantai besi, tahutahu
pergelangan tangan orang itu sudah terpegang.
Dengan kim-na-jiu-hoat ditambah lwekang yang lihai, sekali
tangannya sudah dipegang Ciok Boh-thian, biarpun tokoh
terkemuka di dunia persilatan juga tidak tahan, apalagi
sekarang hanya seorang pengantar makanan biasa saja"
Keruan orang di luar itu kaget, saking kesakitan ia menjerit
laksana babi hendak disembelih. Ketika Ciok Boh-thian sedikit
menarik, seluruh lengan orang itu telah kena diseret masuk ke
dalam, bentaknya, "Jangan berteriak, kalau berteriak lagi
segera kubetot putus lenganmu!"
Terpaksa orang itu minta ampun, "Tidak, aku takkan berteriak
lagi. Lek... lekas engkau melepaskan tanganku!"
"Buka dulu pintu kamar batu ini, lepaskan aku keluar," sahut
Boh-thian. "Baik, lepaskan tanganku, biar kubuka pintunya," kata orang
itu. "Sekali kulepaskan tentu kau akan lari, tidak dapat kulepaskan
tanganmu," ujar Boh-thian.
"Habis, cara bagaimana aku dapat membukakan pintunya?"
jawab orang itu. Boh-thian pikir benar juga alasan orang itu. Kalau melulu
memegangi tangannya saja terang tak berguna. Tapi dengan
susah payah tangan orang sudah kena dipegang, masakah
sekarang lantas dilepaskan begitu saja"
Tiba-tiba ia mendapat akal pula, katanya, "Lekas serahkan
kunci borgol kaki-tanganku ini!"
"Kunci?" orang itu menegas. "Wah, buk... bukan aku yang
memegang kuncinya. Hamba cuma seorang pengantar ransum
saja."
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Boh-thian merasa curiga atas pada jawaban orang. Ia pikir toh
sudah tiada jalan lain, terpaksa orang ini harus didesak terus.
Segera ia genggam lebih keras sambil berkata, "Baiklah, biar
kupatahkan dulu tanganmu dan urusan belakang!"
Keruan orang itu berkuik-kuik kesakitan pula. Di luar dugaan,
sesudah mengaduh-aduh beberapa kali, akhirnya terdengar
suara nyaring, sebuah kunci telah terlempar masuk.
Ternyata orang itu sangat licin sekali, dia sengaja
melemparkan kunci ini jauh-jauh sehingga tangan Boh-thian
tidak sampai untuk mengambilnya. Jika mau ambil kunci itu
terpaksa pemuda itu harus melepaskan dulu tangannya.
Bab 39. Dengan Perkasa Ciok Boh-thian Menolong Supopo
dan A Siu Seketika Boh-thian menjadi bingung juga. Sambil membetot
sekuatnya tangan orang itu Boh-thian mengulurkan sebelah
kakinya ke belakang untuk meraih kunci borgol itu. Namun
meski lengan orang itu sudah terbetot sampai-sampai hampir
copot dari ruasnya toh masih belum bisa mencapai kunci itu.
Sebaliknya orang itu menjerit-jerit kesakitan pula seperti babi,
"Aduh, aduuuh! Jangan tarik lagi, kalau tarik lagi tanganku
tentu putus!" Melihat kaki sendiri tidak bisa mencapai tempat kunci, tiba-tiba
Boh-thian mendapat akal pula, cepat ia menanggalkan sebelah
sepatunya sendiri, ia incar dinding sebelah sana, lalu sepatu itu
ditimpukkan sekuatnya. Ketika sepatu itu membentur dinding
dan terpental balik, dengan tepat kunci yang terletak di tanah
itu juga tersampuk dan terbawa ke sebelah sini.
Boh-thian sampai bersorak saking senangnya karena akalnya
mencapai hasil yang diharapkan. Segera ia jemput kunci itu
dan memakai kembali sepatunya. Secara bergantian ia
membuka kedua belah borgol tangannya. Habis itu mendadak
"krek", ia gunakan borgol itu untuk membelenggu tangan
orang itu. Keruan orang itu terkejut. "He, ap... apa yang kau lakukan?"
serunya takut. "Sekarang bolehlah kau membukakan pintu kamar tahanan
ini," kata Boh-thian dengan tertawa sambil mengeluarkan
rantai borgol. Tapi orang itu masih ragu-ragu, Boh-thian menjadi tidak sabar,
ia tarik rantai borgol sehingga lengan orang itu terseret ke
dalam lubang lagi. Rupanya agak keras juga tenaga yang
digunakan Ciok Boh-thian sehingga muka orang itu tertumbuk
dinding, kontan batok kepalanya benjut dan hidung keluar
kecapnya. Orang itu sadar tidak dapat membangkang lagi, terpaksa
sambil menyeret rantai borgol ia membukakan pintu kamar
batu itu. Akan tetapi ujung rantai yang lain masih terikat pada
borgol kaki Ciok Boh-thian, meski pintu sudah terbuka, namun
kedua ujung rantai besi itu menembus lubang dinding batu dan
terikat pada tangan dan kaki dua orang, jadi Ciok Boh-thian
tetap tidak dapat keluar.
"Coba serahkan kunci borgol kakiku ini," kata Boh-thian sambil
menarik rantai borgol tangan orang itu.
"Aku benar-benar tidak memegang kuncinya," sahut orang itu
dengan wajah sedih. "Hamba benar-benar cuma seorang
pengantar makanan saja dan tidak berkuasa memegang kunci."
"Baiklah, jika begitu tunggulah sesudah aku keluar dahulu,"
kata Boh-thian. Segera ia tarik pula lengan orang itu ke dalam
lubang dan membukakan borgolnya.
Begitu tangannya terlepas dari borgol, dengan cepat orang itu
lantas berlari ke sana dan bermaksud menutup kembali
pintunya. Akan tetapi semuanya ini sudah dalam perhitungan
Ciok Boh-thian, secepat kilat ia sudah melompat ke sana dan
menyelinap keluar pintu. Sekali cengkeram segera ia bekuk
kuduk orang itu dan diangkat ke atas.
Ia lihat orang itu berjubah putih, badannya kekar, mukanya
cerdas, terang adalah anak murid Swat-san-pay dan bukan
pengantar nasi saja seperti pengakuannya tadi. Segera ia
membentaknya, "Kau mau buka borgol kakiku atau tidak" Atau
kau minta kutumbukkan kepalamu di atas dinding batu ini?"
Sebenarnya ilmu silat orang itu juga tidak lemah, tapi kebentur
di tangan Ciok Boh-thian orang itu menjadi seperti anak ayam
dicengkeram oleh elang, sedikit pun tidak dapat berkutik. Tiada
jalan lain terpaksa ia mengeluarkan kunci dan membuka borgol
kaki pemuda itu. "Di mana kalian telah mengurung Ciok-cengcu dan Ciok-hujin,
lekas membawa aku ke sana," bentak Boh-thian.
"Sebenarnya Swat-san-pay tiada permusuhan apa-apa dengan
Hian-soh-ceng, maka Ciok-cengcu suami-istri sudah pergi
tanpa cedera sesuatu apa pun," sahut orang itu.
Boh-thian merasa sangsi, sekilas dilihatnya orang itu melirik ke
arah pintu yang terletak di ujung lorong sebelah sana, ia pikir
orang ini tentu berdusta, boleh jadi Ciok-cengcu berdua
terkurung di kamar sana. Segera ia menyeret orang itu ke depan pintu batu itu, lalu
bentaknya, "Lekas membuka pintu ini."
Air muka orang itu tampak berubah pucat, katanya, "Aku... aku
tidak punya kuncinya! Yang terkurung di dalam ini bukan...
bukan manusia, tapi adalah... adalah seekor singa dan dua
ekor macan, jika dibuka tentu bisa celaka."
Boh-thian merasa heran bahwa yang terkurung di dalam situ
adalah singa dan harimau, ia coba menempelkan telinganya ke
pintu dan mendengarkan dengan cermat, tapi tak terdengar
sesuatu suara binatang-binatang buas itu.
"Engkau toh sudah terlepas, silakan lekas melarikan diri saja,
jika tinggal lebih lama di sini, jangan-jangan akan dipergoki
orang dan mungkin engkau akan tertangkap pula," demikian
kata orang itu setengah menakut-nakuti.
Boh-thian pikir kau toh bukan kawanku, mengapa sedemikian
baik hatimu memikirkan keselamatanku" Padahal tadi aku
minta dibukakan borgol saja kau tidak mau, sekarang malah
suruh aku lekas melarikan diri. Jangan-jangan Ciok-cengcu
berdua memang benar-benar dikurung di dalam kamar ini.
Segera ia angkat tubuh orang itu, ia benturkan kepalanya
dengan perlahan di dinding batu, lalu bertanya, "Kau mau buka
pintu tidak" Atau minta kepalamu pecah" Hm, aku justru ingin
tahu macam apa singa dan harimau yang kau katakan itu."
"Ai, binatang-binatang itu sangat buas, sudah beberapa hari
tidak diberi makan, bila melihat manusia nanti pasti akan terus
menerkam...." Karena buru-buru ingin menolong Ciok Jing dan istrinya, Bohthian
merasa sebal akan ocehan orang, tanpa menunggu
selesai uraiannya segera ia jungkirkan tubuh orang itu dan
dikocok-kocok untuk memaksanya menurut. Di luar dugaan
lantas terdengar suara gemerencing nyaring, dari baju orang
itu telah terjatuh dua buah kunci.
Boh-thian sangat girang, segera ia lemparkan orang itu ke
tanah dan cepat menjemput kunci-kunci itu untuk membuka
pintu batu. Benar juga, hanya sekali putar saja segera kunci
pintu itu terbuka. Dalam pada itu orang tadi telah menjerit kesakitan, cepat ia
merangkak bangun dan segera putar tubuh hendak angkat
langkah seribu. Namun Boh-thian tidak memberi kesempatan padanya. Ia pikir
kalau orang ini sampai lari keluar dan memanggil kawan, tentu
akan banyak menimbulkan kesukaran lagi. Secepat terbang
Boh-thian lantas memburu maju, sekali jambret segera orang
itu diseretnya terus dijebloskan ke dalam kamar tahanannya
sendiri tadi, sekalian ia lemparkan borgol kaki dan tangan
beserta rantainya ke dalam dan menutup pintunya, bahkan
dikunci pula dari luar. Habis itu barulah ia kembali ke kamar
batu di ujung lorong sana.
"Ciok-cengcu! Ciok-hujin! Apakah kalian berada di sini?" seru
Boh-thian sambil melongok ke dalam kamar.
Tapi tak terdengar suara jawaban apa-apa. Ia coba pentang
pintu lebih lebar, ternyata di dalam tiada terdapat seorang pun.
Sebaliknya kira-kira dua-tiga meter di sebelah sana terdapat
sebuah pintu pula. Pikirnya, "Ya, pantas ada dua buah kunci."
Segera ia menggunakan kunci yang lain untuk membuka pintu
kedua, baru saja pintu itu terbuka sedikit dan belum lagi ia
bersuara, tiba-tiba terdengarlah ada orang sedang mencaci
maki di dalam situ, "Jahanam keparat, haram jadah! Akan
kusembelih dan potong-potong kalian agar kalian sekarat
setengah mampus...." dan di samping itu terdengar pula suara
gemerencingnya rantai besi.
Suara caci maki orang itu kedengaran sangat berat, rupanya
tenggorokannya serak, sama sekali bukan logat orang Kanglam
sebagaimana suaranya Ciok Jing. Maka percayalah Boh-thian
bahwa Ciok Jing dan istrinya memang tidak dipenjarakan di
situ. Tapi lantas terpikir olehnya mengapa tidak membebaskan
sekalian orang yang ditawan Swat-san-pay ini. Karena itu ia
lantas berseru, "He, kau tidak perlu memaki lagi, biar kutolong
kau keluar dari sini!"
Namun orang itu masih terus memaki, "Huh, kau kutu macam
apa" Berani mengaco-belo dan menipu Locu" Apa kau minta
kupuntir putus lehermu...."
Boh-thian merasa geli dan anggap perangai orang benar sangat
kasar. Tapi ia pun maklum, siapa pun kalau dikurung di tempat
demikian tentu akan merasa sebal dan tertekan pantas kalau
orang ini pun marah-marah.
Ia lantas melangkah ke dalam kamar dan berkata, "Apakah
engkau juga diborgol dan dirantai oleh mereka?"
Tapi baru sekian ia berkata, dalam kegelapan sekonyongkonyong
sesuatu benda yang berat terasa mengepruk dari
atas. Cepat Boh-thian berkelit ke samping, namun belum lagi
dia berdiri kuat, tahu-tahu hiat-to penting di bagian punggung
sudah kena dicengkeram orang, menyusul lehernya lantas
dicekik oleh sebuah lengan yang besar dan kuat, makin lama
makin kencang sehingga napasnya sesak seketika, telinganya
sampai mendenging-denging dan mata mulai berkunangkunang,
sebaliknya terdengar pula suara caci maki orang itu.
Sama sekali Boh-thian tidak menduga bahwa di dalam kamar
tahanan situ akan terdapat jago selihai itu. Sekali kena
didahului orang, seketika ia pun tak berdaya, diam-diam ia
hanya mengeluh dan sedapat mungkin mengerahkan tenaga ke
bagian lehernya untuk melawan cekikan lengan orang itu.
Meski daging bagian tenggorokan cukup lemas dan tidak
sekuat lengan, tapi lwekang Ciok Boh-thian teramat hebat,
semakin bertempur semakin kuat, di mana tenaganya sampai,
tangan orang itu ternyata dapat ditolak agak kendur. Cepat
Boh-thian mengambil napas, ketika lengan orang itu hendak
mengait kembali dengan lebih kencang, tanpa ayal lagi tangan
kanan Ciok Boh-thian lantas digunakan untuk menarik,
berbareng kepalanya lantas memberosot ke bawah sambil
melompat mundur. "Hai, dengan maksud baik aku hendak menolong kau keluar,
mengapa tanpa bertanya engkau menyerang aku malah?" seru
Boh-thian dengan mendongkol.
"Eh, sia... siapa kau" Boleh juga ya kepandaianmu?" demikian
orang itu sangat terkejut sambil memandang Boh-thian dengan
mata terbelalak lebar. Selang sejenak, kembali ia bersuara
heran, lalu membentak, "Anak busuk, siapa kau?"
"Aku... aku...." seketika Ciok Boh-thian menjadi bingung untuk
menjawab apa mesti mengaku bernama Kau-cap-ceng atau
tetap memalsukan nama Ciok Tiong-giok"
"Ya, kau dengan sendirinya adalah kau, masakah tidak punya
nama?" semprot orang itu.
"Loyacu, biar kutolong kau keluar dahulu, segala urusan boleh
kita bicarakan nanti," ujar Boh-thian.
"Apa" Kau hendak menolong aku" Hahaaah! Apakah gigi orang
seluruh dunia ini takkan copot semua menertawakan kau"
Hahaha, siapakah aku ini" Dan macam apakah kau itu" Huh,
hanya sedikit kepandaianmu yang mirip cakar ayam saja
mampu menolong aku?"
Dari dekat sekarang Boh-thian dapat melihat orang itu sudah
tua, jenggotnya sudah putih, tubuhnya tinggi besar tapi agak
bungkuk seakan-akan kamar batu yang kecil ini kurang tinggi
bagi tubuhnya yang tegap itu, kedua matanya lekuk ke dalam,
tapi sorot matanya tajam berwibawa.
Boh-thian sampai mengirik ketika sinar mata orang itu
menyapu kian-kemari di atas mukanya. Pikirnya, "Orang Swatsan-
pay tadi bilang di kamar ini terkurung singa dan harimau,
melihat macamnya orang ini ternyata benar-benar mirip seekor
binatang buas." Ia tidak berani banyak bicara lagi padanya, segera katanya,
"Loyacu, biar kupergi mencari kunci untuk membuka
borgolmu." Orang tua itu menjadi gusar, dampratnya, "Aku tidak perlu,
aku sendiri suka tinggal tirakat di sini, kalau tidak, di dunia ini
siapa yang mampu mengurung aku" Huh, kau bocah ini
barangkali tidak punya mata, masakah anggap aku dikurung
orang di sini" Hehe, untung saat ini Yaya lagi sabar, kalau tidak
tentu badanmu sudah kurobek-robek."
Ketika kedua tangannya digoyang-goyangkan, terdengarlah
suara gemerencing rantai borgolnya. Lalu ditambahkannya,
"Ini, sekali Yaya sudah murka, apa artinya rantai-rantai seperti
ini, apa gunanya borgol-borgol ini, hm, dalam pandanganku
tidak lebih seperti tahu yang empuk."
Sudah tentu Boh-thian tidak mau percaya, ia pikir tutur kata
orang ini kok mirip orang gila, tapi kepandaiannya sangat tinggi
pula, akan kutolong berbalik aku hendak dipentung. Lebih baik
kutinggal pergi untuk mencari Ciok-cengcu saja. Maka katanya
kemudian, "Baiklah, jika begitu biar aku pergi saja dari sini!"
"Pergi ya pergi, lekas enyah kau! Selamanya Yaya malang
melintang di dunia ini tanpa ketemu tandingan masakah
mengharapkan pertolongan bocah ingusan macam kau"
Hahaha, benar-benar lucu, sungguh menggelikan...."
"Ya, sudah, maaf, maaf!" kata Boh-thian sambil mengundurkan
diri dan perlahan-lahan merapatkan kembali daun pintu.
Jalan lorong itu cukup panjang, Boh-thian menyusur ke sana
dan membelok satu kali, sesudah belasan meter lagi barulah
sampai di ujung. Tertampak di kanan-kiri masing-masing
terdapat sebuah pintu. Ia coba mendorong pintu sebelah kiri,
tapi tertutup kencang, waktu mendorong pintu yang lain
dengan mudah saja pintu itu lantas terpentang. Kiranya di situ
adalah sebuah ruangan. Tidak seberapa jauh memasuki
ruangan itu lantas terdengar dari arah kiri sana ada suara
beradunya senjata, agaknya pertempuran cukup sengit.
"Kiranya Ciok-cengcu sedang bertempur dengan orang di sini,"
demikian pikir Boh-thian. Segera menuju ke arah datangnya
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara. Akan tetapi ia tidak menemukan pintu yang menuju ke
tempat suara pertempuran itu. Karena khawatirkan
keselamatan Ciok Jing dan Bin Ju, ketika dilihatnya dinding
papan di sebelah sana tidak terlalu tebal, segera ia
menumbuknya dengan bahunya dan kontan dinding papan itu
jebol. Seketika suara nyaring beradunya senjata tambah keras dan
ramai. Kiranya di situ juga sebuah ruangan, empat laki-laki
berjubah putih dan berpedang sedang mengerubut dua orang
wanita. Sesudah mengenali kedua orang wanita itu, tanpa merasa Bohthian
terus berteriak, "He, Suhu, A Siu! Kalian berada di sini"!"
Kiranya kedua wanita itu tak-lain-tak-bukan adalah Su-popo
dan cucu perempuannya, si A Siu.
Su-popo memakai golok dan A Siu memutar sebatang pedang,
dengan rambut kusut kedua orang sedang melawan kerubutan
empat murid Swat-san-pay. Baju nenek dan cucu itu tampak
berlepotan darah, agaknya sudah terluka, keadaannya cukup
mengkhawatirkan. Mereka mendengar juga seruan Ciok Bohthian,
tapi serangan-serangan keempat lawannya terlalu
gencar sehingga tidak sempat menoleh. Bahkan lantas
terdengar jeritan kaget A Siu, pundaknya tertusuk musuh pula.
Walaupun tidak bersenjata, tanpa pikir Ciok Boh-thian lantas
menerjang maju, kontan punggung orang yang sedang
mencecar A Siu itu hendak dicengkeramnya. Cepat orang itu
berkelit dan balas menebas dengan pedangnya.
Mendadak tangan kanan Ciok Boh-thian menyampuk pula
sehingga pedang orang itu terguncang ke samping, menyusul
tangan kiri Ciok Boh-thian lantas menggaplok ke arah seorang
tua yang lain. Namun orang tua itu ternyata tidak kalah
cepatnya tahu-tahu pedangnya sudah mendahului menusuk
perut Boh-thian. Serangan itu benar-benar sangat lihai dan cepat, untung Bohthian
tempo hari sudah mendapat didikan Su-popo, terhadap
intisari ilmu pedang Swat-san-pay sudah dipahami dengan
baik, diketahui bahwa serangan si orang tua adalah jurus yang
bernama "Leng-sing-song-bwe" (Sepasang Pohon Bwe di Atas
Bukit), mestinya cuma satu jurus, tapi mempunyai dua
gerakan, tusukan pertama segera disusul dengan tusukan
kedua. Maka cepat Boh-thian mengerutkan perutnya ke
belakang untuk menghindar, menyusul tangan kiri lantas
mengebut ke bawah, jarinya segera menyelentik.
Benar juga, saat itu tusukan kedua si orang tua sedang
dilancarkan sehingga pedangnya seakan-akan sengaja
disodorkan untuk diselentik Ciok Boh-thian. Maka terdengarlah
suara "tring" sekali, kontan pedang itu patah menjadi dua.
Separuh tubuh si orang tua sampai kesemutan karena getaran
tenaga selentikan itu, tanpa kuasa lagi setengah potong
pedang juga terlepas dari cekalan, cepat ia melompat mundur
dengan muka pucat. Boh-thian tidak mendesak lebih jauh, orang yang sedang
menyerang A Siu lantas kena dicengkeram terus diangkat dan
dijujukan ke arah pedang kawannya yang datang hendak
menolong. Keruan orang itu terkejut dan cepat menarik kembali
senjatanya. Kesempatan itu tidak disia-siakan Boh-thian,
kontan ia menghantam dan tepat mengenai dadanya, orang itu
terhuyung-huyung mundur dan akhirnya jatuh terduduk.
Menyusul Boh-thian lantas melemparkan tawanannya ke arah
orang keempat. Orang itu sedang melabrak Su-popo dengan
mati-matian, ia menjadi kaget dan tidak sempat menghindar
lagi, ia kena ditumbuk dengan keras oleh tubuh kawannya
sendiri, kedua orang sama-sama muntah darah dan
menggeletak tak sadarkan diri.
Hanya dalam sekejap saja keempat orang itu telah dirobohkan
semua oleh Ciok Boh-thian, hanya si orang tua saja yang
belum terluka. Namun nyalinya menjadi pecah juga demi
menyaksikan ketangkasan Boh-thian yang lihai itu. "Kau...
kau...." demikian entah apa yang hendak dikatakannya,
mendadak ia putar tubuh terus hendak lari.
"Jangan membiarkan dia lari!" seru Su-popo.
Cepat Boh-thian melompat maju, sekali kakinya menyapu,
kontan orang tua itu terjungkal, kedua lutut kakinya keseleo
semua dan tak bisa bangun.
"Bagus, muridku yang bagus! Murid pertama dari Kim-oh-pay
kita memang benar-benar hebat!" seru Su-popo dengan
tertawa. Wajah A Siu tampak putih pucat, sepasang matanya
memandang Boh-thian dengan sayu merawan, nyata sekali
hatinya sangat girang. "Suhu, A Siu, sungguh tidak nyana dapat berjumpa dengan
kalian di sini," kata Boh-thian.
Buru-buru Su-popo membalut luka si A Siu, menyusul nona itu
pun merobek ujung bajunya sendiri untuk membalut luka sang
nenek. Syukurlah luka kedua orang tidak parah sehingga tidak
menjadi halangan. "Tempo hari waktu aku kehilangan kalian di Ci-yan-to, sungguh
aku merasa sangat kesepian, sekarang kita telah berjumpa
pula, paling baik paling baik untuk selanjutnya kita jangan
berpisah lagi," demikian kata Boh-thian.
Muka A Siu yang pucat itu seketika bersemu merah dan
menunduk malu. Ia tahu sifat Ciok Boh-thian yang tulus jujur
dan tidak pandai bicara. Apa yang diucapkan itu jelas timbul
dari lubuk hatinya yang murni, walaupun dirasakan malu juga
karena pemuda itu terang-terangan menyatakan isi hatinya di
depan sang nenek, tapi tidak urung hati A Siu merasa sangat
senang. Su-popo tertawa mengekek, katanya, "Jika kau sudah berjasa
besar, hal ini bukan mustahil akan terlaksana dan boleh
anggap nenek sendiri yang telah meluluskan permintaanmu."
Kepala A Siu makin menunduk, mukanya tambah merah
lantaran malu. Sebaliknya Ciok Boh-thian masih belum tahu bahwa ucapan
Su-popo itu berarti telah menerima lamarannya. Dengan
bingung ia malah tanya, "Suhu meluluskan permintaanku soal
apa?" "Aku mengizinkan cucu perempuanku ini menjadi istrimu, kau
mau tidak" Kau ingin tidak" Kau suka tidak?" kata Su-popo
dengan tertawa. Boh-thian terkejut campur girang. "Aku... aku sudah tentu
suka...." sahutnya dengan tergagap-gagap.
"Tapi kau harus berjuang dan berjasa dahulu," kata Su-popo.
"Sekarang Swat-san-pay sedang terjadi huru-hara, kita harus
pergi menolong satu orang dahulu."
"Ya, memangnya aku hendak menolong Ciok-cengcu dan Ciokhujin,
marilah kita lekas pergi mencarinya," sahut Boh-thian.
Teringat keadaan Ciok Jing suami-istri dalam keadaan bahaya,
seketika hatinya menjadi gelisah sehingga urusan A Siu tak
terpikir lagi. "Apakah Ciok Jing dan istrinya juga sudah datang di sini?"
tanya Su-popo. "Kita harus mengamankan pemberontakan
dahulu, soal Ciok Jing berdua adalah urusan biasa saja. A Siu,
binasakan saja keempat orang ini!"
Segera A Siu menghunus pedang dan melangkah maju. Tibatiba
dilihatnya si orang tua yang kedua kakinya keseleo tadi
sedang duduk bersandarkan dinding, sorot matanya penuh
mengunjuk rasa minta diampuni. Maka A Siu menjadi tidak
sampai hati untuk membunuhnya. Katanya, "Nenek, beberapa
orang ini bukanlah biang keladinya, mereka hanya ikut-ikutan
saja, sementara ini biarlah diampuni dahulu, nanti sesudah
diperiksa dan jika memang bersalah barulah dibunuh."
"Ya, sudah! Hayo lekas, jangan sampai bikin runyam urusan,
lekas berangkat!" sahut Su-popo. Segera ia mendahului
melangkah pergi dan disusul oleh Boh-thian dan A Siu.
Cepat sekali Su-popo menyusur serambi dan melintasi
ruangan-ruangan, setiap kali ada orang datang dari depan
mereka lantas sembunyi di pojok atau di belakang pintu untuk
menghindar, tampaknya nenek itu hafal sekali terhadap setiap
kamar dan ruangan di situ.
Boh-thian jalan berjajar dengan A Siu dari belakang, dengan
suara tertahan ia tanya si nona, "Suhu suruh aku berjuang dan
berjasa apa" Siapakah yang akan ditolong?"
Baru saja A Siu akan menjawab, tiba-tiba terdengar suara
tindakan yang ramai, dari depan telah mendatangi lima atau
enam orang. Lekas Su-popo sembunyi di balik sebuah tiang yang besar.
Segera A Siu juga menarik Boh-thian untuk sembunyi di
belakang pintu. Beberapa orang itu sambil berjalan sembari mengobrol. Kata
seorang di antaranya, "Sesudah bergotong royong bersamasama
dan dapat mengurung si tua gila itu barulah kita merasa
lega. Selama beberapa hari ini hidup kita benar-benar sangat
tertekan dan terancam."
"Ya, selama Si Gila itu belum binasa, selalu pula kita belum
bebas dari ancaman," kata seorang lagi. "Ce-supek masih
ragu-ragu saja, bukan mustahil bisa membikin urusan menjadi
runyam malah." Segera seorang dengan suara kasar menanggapi,
"Memangnya, daripada kerja kepalang tanggung, mestinya kita
bereskan Ce-supek sekalian!
"Hus," bentak seorang kawannya dengan suara tertahan.
"Kata-kata demikian masakah boleh kau ucapkan dengan
keras" Jika didengar oleh anak muridnya Ce-supek, sebelum
kita menumpas mereka boleh jadi buah kepalamu sudah
berpisah dengan kau."
Orang yang bersuara kasar itu rupanya menjadi penasaran,
sahutnya, "Kalau perlu biar kita coba-coba dengan mereka,
masakah kita pasti kalah?"
Begitulah orang-orang itu makin menjauh. Ciok Boh-thian yang
berjubelan sembunyi di belakang pintu bersama A Siu dapat
merasakan badan anak dara itu rada gemetar. Dengan
berbisik-bisik ia tanya, "Apakah kau takut, A Siu?"
"Ya, aku agak takut," sahut si nona. "Jumlah mereka sangat
banyak mungkin kita tak dapat melawan mereka."
Dalam pada itu Su-popo telah keluar dari tempat sembunyinya
dan berseru tertahan kepada mereka, "Ayo, lekas!"
Segera ia mendahului menyusur ke depan dengan cepat.
Sesudah melalui sebuah pelataran luas dan menembus sebuah
serambi yang panjang, akhirnya mereka sampai di suatu taman
bunga yang luas. Taman itu penuh salju, hanya kelihatan
sebuah jalanan kecil dari batu-batu kecil menembus ke suatu
ruangan tertutup. Su-popo mendekam di balik sebatang pohon, ia comot
segumpal salju, sesudah dikepal segera disambitkan keluar
ruangan tertutup tadi, "plok" batu salju itu jatuh di tanah dan
mengejutkan dua orang penjaga yang berdiri di samping
ruangan itu. Cepat mereka berlari datang untuk memeriksa
dengan pedang terhunus. Menunggu kedua orang itu sudah dekat, sekonyong-konyong
Su-popo melompat keluar, goloknya menebas dua kali dengan
cepat luar biasa. Kontan leher kedua orang itu tertebas, tanpa
bersuara sedikit pun kedua orang itu terjungkal binasa.
Untuk pertama kalinya Ciok Boh-thian menyaksikan Su-popo
membunuh orang secara ganas, tanpa merasa bulu romanya
sama berdiri. Selang sejenak baru teringat olehnya bahwa
jurus serangan Su-popo tadi pernah juga diajarkan padanya di
Ci-yan-to tempo hari, jurus itu bernama "Cay-au-to" (Golok
Menebas Tenggorokan) dan dirinya sudah mahir
menggunakannya, cuma selama ini belum pernah terpikir
olehnya bahwa jurus serangan itu ternyata sedemikian bagus
dan cepat untuk membunuh orang.
Ketika dia tenang kembali, sementara itu Su-popo sudah
menyeret kedua mayat ke belakang gunung-gunungan, lalu
dengan enteng sekali ia mendekati jendela ruangan tertutup itu
untuk mendengarkan. Telinga Ciok Boh-thian amat tajam, belum dekat dengan
jendela itu sudah didengarnya di dalam ruangan itu ada suara
dua orang sedang bertengkar. Meski suara mereka tidak terlalu
keras, tapi terang keduanya sama-sama marah dan tidak mau
mengalah. Terdengar seorang di antaranya berkata, "Menangkap harimau
adalah gampang dan celakalah kalau melepaskannya.
Peribahasa ini tentu kau sudah paham. Urusan ini sudah
telanjur kita kerjakan, sekarang kau menjadi takut malah.
Jikalau si tua gila itu sampai lolos keluar, tentu kita akan mati
semua tanpa ampun." Diam-diam Boh-thian berpikir, "Jangan-jangan "si tua gila" yang
mereka maksudkan adalah orang tua aneh di dalam kamar
tahanan itu" Tingkah laku orang tua itu memang aneh, aku
mau menolong dia keluar, tapi dia justru tidak mau. Mungkin
dia memang benar-benar orang gila. Ilmu silat orang tua itu
memang sangat lihai, pantas kalau semua orang ini sedemikian
takut kepadanya." Maka terdengar seorang lain telah menjawab, "Si Gila itu sudah
terkurung di penjara binatang, sekalipun dia memiliki
kepandaian setinggi langit juga tak mampu lolos keluar. Kalau
saat ini kita mau membunuh dia adalah teramat mudah, cuma
kita harus menjaga nama baik kita. Perbuatan durhaka
terhadap orang tua demikian mungkin Liau-sute sendiri tidak
ambil pusing, tapi aku tidak berani memikul tanggung
jawabnya. Kelak kalau kita ditanyai kawan-kawan dunia
persilatan, lantas cara bagaimana kita akan menjawab dan ke
mana muka kita harus ditaruh?"
"Huh, jika kau takut bertanggung jawab atas perbuatan
durhaka, seharusnya sejak mula kau jangan menjadi biang
keladi urusan ini," jengek orang pertama yang disebut she Liau
itu. "Sekarang urusan sudah dilaksanakan, kau menjadi
menyesal dan ingin mengelakkan tanggung jawab. Hm,
masakan di dunia ini ada soal seenak ini" Pendek kata, Cesuko,
apa yang kau pikirkan sudah kuketahui, lebih baik kita
bicara blakblakan saja dan tidak perlu pura-pura."
"Aku mempunyai pikiran apa" Ha, ucapan Liau-sute benarbenar
berduri dan penuh tulang," sahut orang she Ce.
"Apa maksudnya ucapan berduri?" kata si orang she Liau.
"Sesungguhnya Ce-suko cuma pura-pura baik hati dan ingin
menimpakan perbuatan durhaka ini kepadaku saja. Tujuanmu
ialah satu kali tembak dapat dua burung, supaya kau sendiri
bisa enak-enak dan tenang-tenang naik di atas singgasana."
"Haha, aneh benar tuduhan Liau-sute ini!" jawab orang she Ce.
"Berdasarkan apa aku ada hak naik ke atas singgasana" Kalau
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mesti menurutkan urut-urutan, di atas kita masih ada Sengsuko
dan tidak mungkin jatuh kepada bagianku."
Mendadak suara seorang yang lebih tua dan serak menyela,
"Kalian bertengkar urusan kalian sendiri dan tidak perlu
menyangkutpautkan diriku."
"Seng-suko, engkau adalah orang jujur, kau tidak lebih hanya
akan digunakan sebagai tameng oleh Ce-suko, maka segala
sesuatu hendaklah kau pikirkan yang jelas, janganlah dijadikan
boneka sedangkan engkau sendiri masih belum sadar,"
demikian kata orang she Liau.
Boh-thian coba membasahi kertas perapat jendela dengan air
ludahnya, perlahan-lahan ia mengorek sebuah lubang kecil, lalu
mengintip ke dalam ruangan. Ia menjadi terkejut ketika
diketahui bahwa di dalam situ tidak cuma tiga orang yang
bicara saja, tapi masih ada dua-tiga ratus orang lainnya, ada
yang berdiri dan ada yang berduduk, laki-laki dan wanita, ada
yang tua dan ada yang masih muda, semuanya berjubah putih
seragam murid Swat-san-pay.
Di tengah ruangan tertampak ada lima buah kursi besar, kursi
yang tengah kosong, keempat kursi di kedua sampingnya
berduduk empat orang. Terdengar ketiga orang tadi masih
berdebat tak henti-hentinya. Dari suara mereka dapat dikenali
bahwa yang duduk di sebelah kiri adalah orang-orang she Seng
dan Liau, seorang yang duduk di sebelah kanan terang she Ce,
seorang lagi berwajah putih kurus dan muram durja seakanakan
baru kematian istri. Saat itu terdengar orang she Ce telah menegurnya, "Nio-sute,
sejak tadi kau diam saja, sesungguhnya bagaimana
pendapatmu?" Orang she Nio yang berwajah muram itu menghela napas, lalu
geleng-geleng kepala, kemudian menghela napas pula dan
tetap tidak membuka suara.
"Nio-sute tidak berbicara, dengan sendirinya ia menyetujui
urusan ini," kata si orang she Ce.
"Kau toh bukan cacing pita di dalam perut Nio-sute, dari mana
kau mengetahui pikirannya?" debat orang she Liau dengan
gusar. "Kita berempat yang telah melakukan urusan ini,
seorang laki-laki sejati, sekali sudah berbuat harus berani
bertanggung jawab. Kalau berani di muka dan takut
belakangan, huh, terhitung orang gagah macam apa ini?"
Tapi si orang she menjawab dengan dingin, "Justru karena kita
semua ini takut mati, makanya telah melakukan kejadian ini,
masakah kita dapat disebut sebagai kesatria atau orang gagah"
Lebih tepat kalau dikatakan bahwa kita sudah kepepet
sehingga terpaksa menyerempet bahaya."
"Ban-li," sekonyong-konyong si orang she Liau berseru. "Coba
katakan, bagaimana menurut pendapatmu?"
Maka majulah seorang ke depan, yakni Hong-hwe-sin-liong
Hong Ban-li yang buntung sebelah tangannya. Ia memberi
hormat, lalu menjawab, "Tecu tidak mampu menyelesaikan
urusan ini sehingga menimbulkan malapetaka, dosa ini saja
sudah diganjar dengan kematian, masakah sekarang Tecu
berani mempunyai pikiran durhaka lagi" Maka Tecu setuju
dengan usul Ce-susiok, jangan sekali-kali turun tangan keji
kepada beliau." "Aku pernah menyelamatkan jiwamu, apakah kau sudah lupa?"
bentak si orang she Liau dengan gusar.
"Mana mungkin Tecu melupakan budi kebaikan Susiok," sahut
Ban-li. "Tapi kalau Susiok menyuruh Tecu membunuh beliau,
betapa pun Tecu tidak bisa menurut."
"Lalu cara bagaimana kau akan menyelesaikan anak murid
Tiang-bun (cabang utama) yang baru pulang itu?" tanya orang
she Liau dengan suara bengis.
"Jika Susiok mengizinkan Tecu ikut bicara, maka menurut
pendapatku sementara ini mereka dapat ditahan dulu untuk
kemudian dicarikan jalan penyelesaiannya," ujar Ban-li.
"Cari penyelesaian apa" Hehe, keputusanmu sudah lama
disiapkan, masakah aku tidak tahu?" jengek orang she Liau.
"Apa maksud ucapan Susiok ini?" tanya Ban-li.
Si orang she Liau menjawab, "Anak murid Tiang-bun kalian
berjumlah banyak, tinggi pula kepandaiannya, sudah tentu
kedudukan ciangbun (ketua) tidak rela diserahkan kepada anak
murid dari cabang lain. Lebih dulu kau ingin menimpakan dosa
pendurhakaan atas diriku, kemudian anak murid cabang empat
kami akan kalian bunuh habis, dengan demikian kalian tentu
akan menjagoi dengan aman sentosa."
Sampai di sini mendadak ia keraskan suaranya, "Maka dari itu,
setiap murid Tiang-bun semuanya merupakan bibit bencana,
hari ini kita harus babat rumput sampai akar-akarnya. Kita
harus turun tangan bersama, setiap murid Tiang-bun harus
dibinasakan seluruhnya."
Habis berkata, "sret", segera pedangnya dilolosnya.
Serentak dari sekitar ruangan melompat maju dua-tiga puluh
orang dengan pedang terhunus dan siap siaga di seputar Hong
Ban-li, tapi di samping itu ada pula beberapa puluh orang
dengan pegang pedang juga telah mengepung.
Diam-diam Boh-thian menjadi khawatir dan berpikir,
"Tampaknya Hong-suhu susah melawan orang banyak, entah
aku harus membantunya atau tidak?"
Dalam pada itu terdengar Hong Ban-li telah berseru, "Sengsusiok,
Ce-susiok, dan Nio-susiok, apakah kalian membiarkan
Liau-susiok malang melintang di sini" Jika cabang empat
mereka sudah membunuh habis anak murid Tiang-bun, maka
cabang-cabang dua, tiga dan lima kalian tentu akan menjadi
giliran dibasmi pula oleh mereka."
"Bergerak!" bentak orang she Liau memberi komando kepada
anak buahnya, berbareng ia terus menubruk maju, kontan
dada Hong Ban-li lantas ditusuknya.
Cepat Ban-li melolos pedang dengan tangan kiri untuk
menangkis serangan itu. Terdengar suara "trang", menyusul
lantas "bret" pula. Walaupun pedang lawan tertangkis, tapi
tidak urung lengan baju kanan Hong Ban-li terkupas sepotong.
Hendaklah maklum bahwa Hong Ban-li terkenal lihai seperti
halnya Pek Ban-kiam, kedua orang merupakan jago-jago
utama Swat-san-pay dari angkatan kedua, ilmu pedangnya
sesungguhnya tidak kalah daripada paman-paman gurunya she
Seng, Ce, Liau, dan Nio itu. Cuma sayang sebelah lengannya
sudah buntung, permainan pedang dengan tangan kiri dengan
sendirinya kurang leluasa. Ia telah dapat menangkis tusukan
orang she Liau itu, tapi paman guru itu mendadak mengganti
gerakan pedangnya dari menusuk menjadi menebas. Walaupun
Ban-li sudah menduga akan jurus serangan itu, tapi pedang di
tangan kiri agak canggung digunakan, untung lengan kanan
sudah buntung sehingga yang tertebas hanya lengan bajunya,
kalau tidak tentu lengannya akan menjadi korban pula.
Paman gurunya itu benar-benar kejam, sekali berhasil
serangannya, menyusul serangan kedua lantas dilancarkan
pula. Namun dari samping Ban-li lantas menyambar maju dua
batang pedang saling beradu sehingga serangan orang she Liau
kembali gagal. "Kenapa tidak lekas maju!" bentak orang she Liau kepada anak
buahnya. Sambil berteriak-teriak serentak beberapa puluh
orang dari anak murid cabang empat lantas mengerubut maju.
Seketika terdengarlah suara riuh ramai, pertarungan sengit
lantas terjadi, anak murid cabang utama kebanyakan harus
satu-lawan-dua atau tiga. Ruangan itu seketika berubah
menjadi medan pertempuran.
Orang she Liau lantas melompat ke pinggir untuk menyaksikan
pertempuran. Dilihatnya anak murid dari cabang dua, tiga dan
lima tidak bergerak, semuanya menonton di samping. Tergerak
hatinya dan tahulah dia apa sebabnya. Segera ia berseru, "Loji,
Losam, Longo, keji amat kalian, sengaja kalian membiarkan
cabang empat kami bertarung mati-matian dengan cabang
utama dan nanti kalian yang akan mengambil keuntungannya.
Hehe, jangan kalian mimpi!"
Karena pikiran demikian, ia menjadi murka, kedua matanya
menjadi merah, kontan ia terus menyerang orang she Ce. Maka
kedua orang lantas saling gebrak dengan sengit.
Nyata ilmu pedang orang she Liau lebih bagus daripada orang
she Ce. Sesudah belasan jurus si orang she Ce lantas mulai
terdesak mundur. Cepat orang she Seng, yaitu suheng kedua, melompat maju
dengan pedang terhunus, serunya, "Losi, segala urusan
hendaklah dirundingkan dengan baik-baik. Sesama saudara
seperguruan mengapa mesti menggunakan kekerasan seperti
ini?" berbareng pedangnya lantas menyambar maju sehingga
tusukan orang she Liau kena ditangkis.
Melihat jisuheng sudah ikut maju, kesempatan itu tidak
diabaikan orang she Ce, cepat ia melangkah maju dan balas
menusuk perut orang she Liau. Serangan samsuheng she Ce ini
pun tidak kurang kejinya, tujuannya hendak membinasakan
lawannya tanpa kenal ampun sedikit pun.
Bab 40. Su-popo Ternyata adalah Nyonya Pek Cu-cay
Saat itu pedang orang she Liau sedang ditangkis pergi oleh
pedang jisuhengnya dan sedang saling adu tenaga dalam buat
melepaskan lengketan pedang lawan, maka tusukan
samsuhengnya itu benar-benar di luar dugaan dan betapa pun
susah dielakkan. Pada saat demikian untunglah sang sute she Nio yang tadi
hanya diam-diam saja itu kini mendadak ikut melolos pedang
terus menusuk ke punggung orang she Ce sambil berkata, "Ai,
dosa, dosa caramu ini!"
Untuk membela diri, terpaksa orang she Ce menarik kembali
pedangnya untuk menangkis serangan gosute she Nio itu.
Begitulah anak murid dari cabang dua, tiga, lima dan lain-lain
lantas ikut menerjang maju untuk membela gurunya masingmasing.
Maka pertempuran menjadi tambah seru....
Ciok Boh-thian sampai bingung menyaksikan pertarungan
gaduh itu. Hanya sebentar saja terjadilah banjir darah di
ruangan pendopo itu, banyak tangan kutung dan kaki patah
tercecer di sana-sini diseling suara jerit ngeri.
"Toako, aku... aku takut!" kata A Siu dengan suara gemetar
sambil menggelendot di samping Boh-thian.
"Sebenarnya ada urusan apakah, mengapa mereka saling
hantam sendiri?" tanya Boh-thian.
Tatkala itu setiap orang di dalam ruangan itu sedang
memikirkan keselamatannya sendiri, maka biarpun Boh-thian
bicara lebih keras di luar juga takkan dipedulikan.
Sebaliknya Su-popo lantas menjengek, "Hm, bagus, bagus!
Pertarungan yang bagus! Biarkan semuanya mampus barulah
puas hatiku!" Pertempuran sengit beratus-ratus orang tanpa teratur itu agak
lucu juga tampaknya, lebih-lebih pakaian mereka adalah
seragam putih semua, senjata yang dipakai juga sama, kawan
atau lawan menjadi susah membedakan. Semula anak murid
cabang utama bertarung melawan cabang ketiga, tapi sesudah
anak murid cabang-cabang lain juga ikut masuk medan
pertempuran, seketika keadaan menjadi kacau, banyak di
antaranya yang memangnya ada permusuhan pribadi lantas
dilampiaskan dalam pertempuran gaduh ini.
"Sudahlah, kita jangan lihat lagi, marilah menyingkir saja,"
kata A Siu kepada Boh-thian.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara gedubrakan yang
gemuruh, daun pintu telah terpentang dan terlepas dari
engselnya. Lalu terdengar seorang berseru dengan suara
lantang, "Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to
berkunjung kemari hendak bertemu dengan ketua Swat-sanpay!"
Begitu keras dan nyaring suara seruan itu sehingga suara
pertempuran yang riuh ramai tadi tersirap semua.
Mendengar nama Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bokto
sudah tiba, semua orang sangat terkejut. Segera sebagian
orang berhenti bertempur dan melompat ke pinggir. Berturutturut
yang lain juga berhenti bertempur. Hanya sekejap saja
semua orang sudah menyingkir ke samping, perhatian semua
orang tertuju ke arah pintu. Di tengah ruangan hanya
tertinggal suara rintihan mereka yang terluka, suara lain tiada
terdengar lagi. Sejenak kemudian penderita-penderita luka itu
pun lupa merintih lagi dan sama memandang ke arah pintu.
Ternyata di ambang pintu secara berjajar telah berdiri dua
orang, satu gemuk dan satu kurus, pakaian mereka sangat
perlente. Hampir-hampir Ciok Boh-thian berseru menyapa
ketika melihat yang datang itu adalah Thio Sam dan Li Si. Tapi
lantas teringat dirinya dalam penyamaran sebagai Ciok Tionggiok
dan belum waktunya untuk menonjolkan siapa sebenarnya
dia. Dalam pada itu terlihat Thio Sam mulai berkata dengan
tertawa, "Pantas ilmu silat Swat-san-pay termasyhur di seluruh
jagat, kiranya di waktu latihan di antara sesama saudara
seperguruan digunakan cara menyerang dan membunuh
sungguhan. Wah, cara demikian benar-benar hebat. Sungguh
mengagumkan." Orang she Liau lantas tampil ke muka dan menegur dengan
suara bengis, "Apakah kalian ini yang disebut sebagai Siangsian
dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to?"
"Benar," sahut Thio Sam. "Entah siapakah di antara kalian ini
adalah Ciangbunjin Swat-san-pay" Atas perintah Liong-bok-to
Tocu kami ingin menyampaikan medali undangan agar
ciangbunjin kalian kelak berkunjung ke pulau kami untuk
sekadar ikut minum semangkuk Lap-pat-cok."
Sambil bicara ia lantas mengeluarkan dua buah medali
tembaga, tiba-tiba ia berpaling kepada Li Si dan berkata, "Eh,
kabarnya Ciangbunjin Swat-san-pay adalah Wi-tek Siansing
Pek-loyacu, tampaknya orang-orang yang berada di sini kok
tidak mirip dia?" "Ya, aku pun berpikir begitu," sahut Li Si.
Segera orang she Liau tadi menanggapi, "Orang she Pek itu
sudah mati, ciangbunjin yang baru...."
Belum habis ia bicara mendadak Hong Ban-li lantas memotong
dengan mendamprat, "Kentut busuk! Wi-tek Siansing masih
baik-baik, beliau hanya...."
"Apakah demikian ini caranya kau bicara dengan susiokmu?" si
orang she Liau balas mendamprat.
"Orang macam kau ini juga ada harganya untuk dipanggil
susiok?" jawab Ban-li.
Nama orang she Liau itu selengkapnya adalah Liau Cu-le,
wataknya sangat keras dan berangasan. Karena jawaban Ban-li
yang kasar itu, kontan pedangnya lantas menusuk.
Cepat Ban-li menangkis sambil melangkah mundur. Rupanya
Liau Cu-le sudah merah matanya, dengan murka ia lantas
menerjang maju. Tapi seorang murid cabang utama lantas
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengadang maju untuk melabraknya. Menyusul Seng Cu-hak,
Ce Cu-bian, Nio Cu-cin, berturut-turut juga menyerbu maju lagi
sehingga pertempuran gaduh kembali terjadi.
Hendaklah maklum bahwa geger-geger yang terjadi di dalam
Swat-san-pay ini cukup berat persoalannya. Sebab itulah
keempat saudara seperguruan she Seng, Ce, Liau, dan Nio itu
saling tidak mau mengalah, saling sirik, saling dendam, asal
salah seorang di antara mereka binasa keadaan tentu akan
berubah, sebab itulah meski kedua rasul pengganjar dan
penghukum itu sudah datang toh mereka masih cekcok
mengenai urusannya sendiri.
Menyaksikan suasana begitu Thio Sam lantas bergelak tertawa,
katanya, "Rupanya kalian tekun benar melatih ilmu silat
perguruannya sendiri, tapi temponya kan masih banyak,
mengapa mesti buru-buru pada saat ini?"
Habis berkata ia terus melangkah maju dengan perlahan,
mendadak kedua tangannya bekerja, ia mencengkeram dan
menarik ke sana kemari, maka terdengarlah suara
gemerencing yang ramai, tahu-tahu beberapa batang pedang
sudah terbuang ke atas lantai. Entah cara bagaimana pedang
orang-orang she Seng Ce, Liau, dan Nio beserta pedang Hong
Ban-li dan dua orang muridnya tahu-tahu sudah kena dirampas
oleh Thio Sam, mereka hanya merasa tangan tergetar
kesemutan, lalu pedang sudah terlepas dari cekalan.
Keruan mereka menjadi terperanjat semua, baru sekarang
mereka nyaho bahwa ilmu silat kedua tamu itu bukan main
lihainya. Dalam kagetnya mereka sampai lupa mengenai
percekcokan di antara mereka sendiri itu dan teringat kepada
macam-macam cerita tentang korban yang jatuh di mana
tempat yang kedatangan Siang-sian dan Hwat-ok Sucia.
Sekarang mereka telah menyaksikan dan merasakan sendiri
jelas bilamana kedua rasul itu mau mengganas, mungkin susah
dilawan sekalipun segenap kekuatan Swat-san-pay dikerahkan
seluruhnya. Apalagi di dalam golongan sendiri sedang saling
bunuh-membunuh. Begitulah mereka menjadi takut dan ada
yang sampai menggigil. Sementara itu Thio Sam berkata pula dengan tertawa,
"Ketekunan kalian meyakinkan ilmu silat sungguh harus dipuji,
tapi juga tidak perlu segiat ini dan masih banyak tempo. Kami
berdua masih harus menyampaikan medali undangan ke lain
tempat dan tiada waktu senggang untuk tinggal di sini.
Tentang Wi-tek Siansing apakah dia sudah mati atau masih
hidup kami tidak ambil pusing, yang pasti Swat-san-pay toh
harus ada seorang ciangbunjin. Yang diundang oleh Liong-bokto
kami adalah ciangbunjin dari Swat-san-pay, maka lekas
terangkan yang manakah adalah ciangbunjin kalian?"
Untuk sejenak Seng Cu-hak dan para sutenya hanya saling
pandang saja tanpa bisa menjawab. Mereka tahu selama
berpuluh tahun ini, setiap ciangbunjin yang menerima
undangan dan pergi ke Liong-bok-to selamanya tiada seorang
pun yang dapat pulang kembali, maka siapa saja yang menjadi
Ciangbunjin Swat-san-pay sekarang akan berarti membunuh
diri pula menghadapi utusan-utusan dari Liong-bok-to ini.
Tadinya mereka anggap Leng-siau-sia terletak jauh di wilayah
barat dan jarang ada hubungan dengan orang-orang persilatan
daerah Tionggoan, medali undangan Liong-bok-to itu rasanya
takkan sampai di Leng-siau-sia yang terpencil ini. Pula tentang
kepandaian rasul-rasul pengganjar dan penghukum itu hanya
beritanya saja yang mereka dengar dan besar kemungkinan,
sengaja dibesar-besarkan dan dilebih-lebihkan oleh orang,
padahal belum tentu benar sedemikian lihainya. Siapa duga
hal-hal yang disangka takkan terjadi itu mendadak lantas
muncul di depan mereka sekarang.
Kalau beberapa saat sebelumnya tadi kelima cabang murid
Swat-san-pay saling bertengkar dengan harapan cabangnya
sendiri yang akan menjagoi dan pemimpinnya sendiri yang
keluar sebagai pejabat ciangbunjin, untuk mana mereka tidak
segan-segan saling hantam dan saling bunuh. Tapi sekarang
setelah keadaan berubah mendadak, mereka menjadi
mengkeret dan berharap agar pihak lawan yang menjadi
ciangbunjin saja, supaya bisa mewakilkan mereka mengantar
nyawa ke Liong-bok-to. Lantaran itulah, serentak Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le,
Nio Cu-cin, dan Hong Ban-li saling tunjuk dan sama berseru,
"Itu dia! Dia adalah ciangbunjinnya!"
Tentang Swat-san-pay dapat diterangkan bahwa sudah cukup
lama diketuai oleh Wi-tek Siansing Pek Cu-cay, yaitu ayahnya
Pek Ban-kiam. Pek Cu-cay mempunyai empat orang sute, ialah
Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le, dan Nio Cu-cin. Guru
mereka sudah lama wafat sehingga kepandaian keempat sute
itu sebagian besar adalah ajaran Pek Cu-cay, sebab itulah
resminya Pek Cu-cay adalah suheng mereka, tapi
sesungguhnya adalah guru dan murid.
Ilmu silat Swat-san-pay terkenal banyak ragam perubahannya,
tentang lwekang berbalik tiada sesuatu yang bisa ditonjolkan.
Pek Cu-cay sendiri hanya secara kebetulan pada masa
mudanya telah makan sejenis buah ajaib sehingga mendadak
tenaga dalamnya bertumbuh dengan luar biasa. Karena tenaga
dalamnya yang hebat itu ditambah bagusnya ilmu silat, maka
selama beberapa puluh tahun ini dia menjagoi daerah Se-ek
tanpa tandingan. Caranya Pek Cu-cay menurunkan kepandaiannya kepada para
sute dan anak muridnya tidak pernah menyembunyikan satudua
jurus yang istimewa, tapi telah mengajar dengan segenap
kepandaian yang dia miliki sendiri. Hanya tentang lwekangnya
yang diperolehnya secara kebetulan itulah yang susah
dipelajari, sebab itu kepandaian para sutenya selalu terbatas
dan susah mencapai tingkatan seperti Pek Cu-cay.
Dasar watak Pek Cu-cay adalah suka menang dan tinggi hati,
mengenai dia kebetulan makan buah ajaib sehingga
lwekangnya tumbuh mendadak, hal ini selalu dirahasiakannya,
dengan demikian dia ingin menunjukkan bahwa kepandaiannya
itu adalah berkat kecerdasan dan kegiatannya berlatih dan
bukan diperoleh secara mujur.
Sebaliknya di dalam hati keempat sutenya itu lantas timbul
rasa penasaran dan sirik, mereka anggap sang suheng yang
dipesan mendiang gurunya agar memberi bimbingan kepada
para sute itu berlaku tamak dan sengaja merahasiakan
sebagian ilmu silat perguruan sendiri.
Lebih-lebih ilmu silat Pek Ban-kiam dan Hong Ban-li ternyata
sangat tinggi dan hampir-hampir memadai keempat susioknya,
hal ini membuat Seng, Ce, Liau, dan Nio menjadi penasaran.
Cuma di bawah pengaruh Wi-tek Siansing mereka tidak berani
memperlihatkan perasaan kurang puas itu. Dan baru sekarang
ketika anak murid Tiang-bun (cabang utama di bawah Pek Cucay)
banyak yang turun gunung, Pek Cu-cay sendiri kurang
waras pula pikirannya, maka para sutenya serentak melakukan
pemberontakan. Namun kepandaian antara mereka berempat boleh dikata
sembabat, maka siapa pun tidak mau tunduk kepada yang lain
dan sama-sama ingin menjadi ciangbunjin. Tapi untuk bisa
mencapai cita-cita itu mereka pun sadar harus berdaya
menumpas dahulu ketiga orang sekutunya barulah dapat aman
menduduki kursi ciangbunjin. Sama sekali tak terduga bahwa
pada saat yang krisis itulah mendadak kedua sucia dari Liongbok-
to muncul di situ. Begitulah, kalau tadi mereka berebut menjadi ciangbunjin,
maka sekarang mereka sama-sama ingin mengelakkan
tanggung jawab. Kata Ce Cu-bian, "Usia Samsuheng (Ce Cubian)
adalah paling tua, menurut aturan dan dengan sendirinya
dia yang harus menjabat ketua golongan kita."
"Hanya usia lebih tua saja apa gunanya?" jawab Ce Cu-bian.
"Dalam urusan kita ini kau yang paling banyak mengeluarkan
tenaga, jika Liau-sute tidak mau menjadi ciangbunjin siapa lagi
yang cocok untuk menjabatnya?"
"Huh, soal Ciangbunjin Swat-san-pay kita sebenarnya adalah
biasa dijabat oleh Toasuheng, sekarang Toasuheng sudah exit,
dengan sendirinya Jisuko yang harus menggantikannya,
kenapa mesti dipersoalkan lagi?" demikian kata Gosute, Nio
Cu-cin. Tapi jisuheng Seng Cu-hak lantas menjawab, "Bicara tentang
banyak akal dan kecerdikan di antara kita berempat harus
diakui Gosute yang paling pintar. Maka aku setuju bila Gosute
yang menjabat ciangbunjin kita. Maklumlah urusan hari ini
lebih mengutamakan mengadu kecerdikan daripada mengadu
kekuatan." Liau Cu-le lantas menyambung pula, "Ciangbunjin kita
memangnya dijabat oleh orang dari Tiang-bun, jika Ce-suheng
tidak mau menggantikannya, maka boleh silakan Heng-sutit
dari Tiang-bun yang menjabatnya. Kukira semua orang pasti
tidak mempunyai alasan untuk menolaknya, paling sedikit aku
orang she Liau pasti setuju."
"Tapi tadi ada orang berteriak-teriak, katanya anak murid
Tiang-bun harus dibinasakan semua, entah siapakah tadi itu
yang melepaskan kentut anjing demikian?" kata Ban-li.
Liau Cu-le menjadi gusar, alisnya sampai menegak. Mestinya ia
hendak balas memaki, tapi lantas terpikir sesuatu olehnya,
sedapat mungkin ia bersabar dan berkatalah, "Urusan sudah
kadung demikian, apakah terhitung seorang kesatria sejati jika
mengkeret digaris depan?"
Begitulah kelima orang itu ribut mulut sendiri saling
mengajukan orang lain untuk menjadi ciangbunjin.
Sejak tadi Thio Sam hanya mendengarkan saja dengan
tersenyum-senyum tanpa membuka suara. Sebaliknya Li Si
yang tidak sabar lagi mendengarkan pertengkaran orang-orang
Swat-san-pay yang tidak habis-habis itu. Segera ia
membentak, "Sebenarnya siapakah di antara kalian ini adalah
ciangbunjinnya" Kalian bertengkar terus, kalau sampai makan
waktu seminggu atau sebulan, apakah kami juga disuruh
menunggu begitu lama?"
"Ya, Seng-suko, hendaklah kau lekas menerima saja," kata Nio
Cu-cin. "Jika ayal lagi jangan-jangan akan timbul malapetaka,
maka kaulah yang akan membikin susah orang banyak."
"Mengapa aku yang akan membikin susah orang banyak?"
sahut Seng Cu-hak dengan gusar.
Begitulah kembali kelima orang itu bertengkar pula dengan
sengitnya. Segera Thio Sam berkata pula dengan tertawa, "Aku ada suatu
akal. Begini, kalian berlima boleh memutuskan urusan ini
dengan mengadu kepandaian masing-masing. Kepandaian
siapa yang paling tinggi, dialah yang akan menjadi Ciangbunjin
Swat-san-pay." Kelima tokoh Swat-san-pay itu tidak berani menjawab. Mereka
saling pandang dan menimbang-nimbang dalam hati masingmasing.
Maka Thio Sam menyambung pula, "Tadi waktu kami datang
terlihat kalian berlima sedang saling labrak, kukira di samping
Misteri Lukisan Tengkorak 6 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Kisah Si Pedang Kilat 1