Pencarian

Medali Wasiat 4

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 4


Pwe Hay-ciok yang memperhatikan kesehatan sang Pangcu, ia
lihat air muka Pangcu agak aneh, segera ia pegang tangan
sang Pangcu dan berkata: "Biar kuperiksa pula nadi Pangcu."
Sianak muda juga tidak menolak, ia mengangsurkan tangannya
untuk diperiksa. Ketika ketiga jari Pwe-tayhu baru saja
menyentuh urat nadi anak muda itu, sekonyong-konyong
tangannya tergetar dan setengah badannya kaku kesemutan.
Keryan Pwe Hay-ciok terkejut. Tapi segera ia menjadi girang.
Katanya: "Hah, selamat, Pangcu! Selamat, Pangcu! Akhirnya
ilmu sakti yang maha hebat itu telah berhasil diyakinkan juga
olehmu!" Sebaliknya sianak muda menjadi bingung, sahutnya:
"Ilmu?".ilmu sakti apa?"
Pwe Hay-ciok menyangka sang Pangcu tidak ingin orang lain
ikut mengetahui ilmu sakti yang dilatihnya itu, maka ia tidak
berani menegas lagi, cepat berkata: "Ya, ya, hamba
sembarangan mengoceh, harap Pangcu jangan marah." ~ Ia
memberi hormat, lalu mengundurkan diri.
Dalam waktu singkat saja semua orang sudah pergi, hanya
tinggal Tian Hui dan Si Kiam saja. Tian Hui terluka dalam, tapi
kawan-kawan-nya tidak tahu cara bagaimana sang Pangcu
akan memutuskan perkaranya, maka mereka tidak berani
bertanya dan terpaksa membiarkan dia tetap tinggal didalam
kamar dan tidak seorangpun yang berani membawanya pergi
untuk diberi obat. Karena tulang lengan patah, saking kesakitan dahi Tian Hui
sampai penuh keringat. Ia lihat kawan-kawannya sudah pergi
semua, segera ia berkata dengan penuh dendam: "Kau ingin
menyiksa diriku, boleh lekas kau lakukan, kalau orang she Tian
minta ampun padamu bukanlah seorang laki-laki sejati."
"Buat apa aku menyiksa kau?" sahut sianak muda. "Wah,
tulang lenganmu patah, harus lekas disambung dengan baik.
Dahulu si Kuning piaraanku telah tergelincir kebawah gunung
dan patah tulang kakinya, akhirnya akulah yang telah
menyambung tulangnya dan telah sembuh."
Kiranya pembawaan anak muda itu sebenarnya sangat pintar.
Dia hidup terpencil diatas gunung yang sepi bersama
ibundanya, segala pekerjaan harus dilakukannya sendiri.
Karena itu, meski usianya masih muda, namun segala
pekerjaan dapat dilakukannya dengan baik seperti menanam
sayur, menanak nasi, membuat tali, mencari kayu dan lainlain.
Ketika anjing piaraanya, yaitu si Kuning, patah tulang
kakinya, dia telah menggapit kaki binatang itu dengan
sepotong kayu, lalu diikat kencang, belasan hari kemudian
ternyata lantas sembuh. Maka sekarang iapun hendak
menyambungkan tulang lengan Tian Hui yang patah itu, sambil
bicara ia lantas mencari-cari sepotong kayu yang diperlukan.
"Apa yang kau cari, Siauya?" tanya Si Kiam ketika melihat anak
muda itu memandang kian kemari mencari sesuatu.
"Aku ingin mencari sepotong kayu," sahut sianak muda.
Mendadak Si Kiam terus berlutut didepan sianak muda dan
berkata: "Siauya, kumohon sudilah engkau mengampuni dia
ini. Engkau telah?"".telah mencemarkan isterinya, maka
tidaklah heran kalau dia menjadi dendam padamu, tapi dia toh
tidak sampai melukai engkau. Siauya, jika engkau betul-betul
hendak membunuh dia, maka boleh juga dibunuh saja
sekaligus, tapi janganlah menyiksa dia."
"Mencemarkan isterinya apa" Mengapa aku membunuh dia"
Kau bilang aku hendak membunuh dia" Apakah manusia boleh
dibunuh?" sahut sianak muda dengan tidak mengarti.
Ketika dilihatnya tiada sesuatu yang dapat ditemukan, akhirnya
anak muda itu mengangkat sebuah kursi, segera ia menyempal
sebuah kaki kursi itu. Sekarang tenaga dalamnya sudah
terbaur merata, ilmu saktinya baru saja jadi, sudah tentu
kekuatannya luar biasa hebatnya, maka "krak" sekali, dengan
mudah kaki kursi itu sudah disempal olehnya.
Tapi anak muda itu masih tidak tahu tenaganya sendiri yang
maha hebat itu, dia menggerundel sendiri: "Kursi ini kenapa
begini lapuk, kalau diduduki kan orang bisa jatuh terjungkal"
Eh, enci Si Kiam, kenapa kau berlutut disitu" Lekas bangun!"
Lalu ia mendekati Tian Hui dan berkata padanya: "Kau jangan
bergerak!" Tian Hui sendiri meski keras dimulut, tapi didalam hati
sebenarnya juga takut. Ia tidak tahu cara bagaimana sang
Pangcu akan menyiksa padanya, maka dengan gemetar ia
memandangi kaki kursi yang dipegang sianak muda. Pikirnya:
"Kaki kursi ini tentu tidak akan digunakan untuk memukul
diriku, wah, celaka, jangan-jangan kaki kursi ini akan
dimasukkan kedalam mulutku sehingga menembus
ketenggorokan agar aku mati tidak dan hidup pun tidak."
Kiranya cara memberi hukuman dan siksaan didalam Tiang-lokpang
sangat banyak macamnya. Diantaranya ada satu macam
hukuman, yaitu dengan memasukkan mulut pesakitan dengan
sepotong kayu sehingga menembus sampai tenggorokan terus
ke kantong nasi, pesakitan itu takkan mati karena siksaan
demikian, tapi sudah tentu sangat menderita.
Teringat akan jenis hukuman yang kejam itu, keruan Tian Hui
menjadi ketakutan. Ketika melihat sang Pangcu sudah berada
didepannya, segera ia angkat tangan kiri dan menghantam.
Sebaliknya, sianak muda tidak tahu kalau Tian Hui hendak
menyerangnya, ia berkata: "Eh, jangan bergerak, jangan
bergerak!" ~ Berbareng ia terus pegang tangan Tian Hui itu.
Seketika Tian Hui merasa badannya lemas linu dan takbisa
berkutik lagi. Sianak muda lantas melekatkan potongan kaki kursi tadi
disamping lengan Tian Hui yang patah itu, katanya kepada Si
Kiam: "Enci Si Kiam, adakah tali atau kain, coba balutlah dia
ini." Si Kiam terheran-heran, "Kau benar-benar hendak
menyambungkan tulangnya?" tanyanya.
"Sudah tentu, masakah sambung tulang pakai pura-pura segala
?" sahut sianak muda dengan tertawa. "Coba lihat, sedemikian
dia kesakitan, masakah aku bergurau padanya ?"
Dengan tetap kurang percaya Si Kiam mencarikan juga
sepotong kain pembalut, dengan sorot mata yang masih raguragu
Si Kiam membalutkan lengan Tian Hui yang patah tulang
itu. "Bagus, bagus, rapi sekali caramu membalut, jauh lebih baik
daripada waktu aku membalut kaki si Kuning dahulu," ujar
sianak muda dengan tersenyum.
Dikala Si Kiam membalut lengannya, diam-diam Tian Hui
berkebat kebit, ia tidak tahu Pangcu yang jahat dan cabul itu
entah akan menggunakan cara apa untuk menyiksanya lebih
lanjut. Ketika mendengar sang Pangcu berulang kali menyebut
si Kuning, segera ia menanyakan: "Siapakah si Kuning itu ?"
"Si Kuning adalah anjing piaraanku," sahut sianak muda.
"Cuma sayang sekarang telah menghilang."
Tian Hui menjadi gusar, teriaknya dengan murka: "Seorang
lelaki sejati boleh dibunuh daripada dihina, jika kau hendak
membunuh boleh lekas lakukan, tapi janganlah orang she Tian
ini dipersamakan dengan khewan ?"
"O, tidak, tidak !" sahut sianak muda cepat. "Aku hanya
menyebutnya dengan tidak sengaja, hendaklah Toako jangan
marah, maafkan ucapanku yang salah itu." ~ Sambil berkata
sambil memberi kiongciu (hormat dengan merangkap kepalan
didepan dada). Tian Hui tahu Lwekang sang Pangcu teramat lihay, disangkanya
dia pura-pura minta maaf, tapi sebenarnya hendak
menyerangnya pula dengan tenaga dalam yang kuat. Sebab
sang Pangcu biasanya terkenal sangat angkuh dan sombong,
mana dia mau minta maaf kepada seorang bawahannya" Maka
dengan sendirinya ia mengegos kesamping untuk menghindari
hormat sang Pangcu sambil melototkan matanya.
"Toako?""o, ya, Toako khan she Tian" Tian toako, silakan
kembali ketempatmu sendiri saja," demikian kata sianak muda
pula. "Aku Kau-cap-ceng memang tidak pandai bicara sehingga
telah membikan marah Tian toako, harap suka maafkan."
Keruan Tian Hui terkejut, ia tidak habis mengarti. "Apa-apaan
ini" Mengapa dia menyebut dirinya sebagai "Kau cap ceng"
segala " Apakah ini adalah istilah baru yang dia gunakan untuk
memaki padaku ?" Disebelah sana Si Kiam juga sedang merenung: "Pikiran Siauya
hanya jernih kembali sebentar saja dan sekarang dia mulai
mengoceh tak keruan lagi." ~ Ia lihat sianak muda sedang
tertegun dan mengerut dahi, entah apa yang sedang
dipikirkan, maka ia lantas mengedipi Tian Hui agar lekas
tinggal pergi saja. Tapi Tian Hui lantas berteriak malah: "Bocah she Ciok, kau
tidak perlu jual lagak padaku. Pendek kata, jika kau hendak
membunuh diriku, memangnya aku sudah pasrah nasib. Nah,
mengapa kau tidak lekas turun tangan saja ?"
"Kau ini sungguh aneh," ujar sianak muda dengan heran. "Buat
apa aku membunuh kau" Sungguh menggelikan. Diwaktu
mendongeng ibuku selalu berkata: hanya orang jahat saja
yang suka membunuh orang, kalau orang baik tentu tidak suka
membunuh. Sudah tentu aku tidak ingin menjadi orang jahat."
Melihat keadaan yang bertele-tele itu, Si Kiam lantas
menimbrung: "Tian-hiangcu, Pangcu sudah mengampuni kau,
kenapa kau tidak lekas pergi saja?"
Tian Hui garuk-garuk kepala sendiri yang tidak gatal itu,
pikirnya: "Apakah barangkali bangsat cilik ini sudah pikun, atau
aku sendiri yang sedang mimpi ?"
"Lekas pergi, lekas pergi !" demikian Si Kiam mendesak pula,
berbareng ia terus mendorong Tian Hui keluar kamar.
"Hahahaha! Orang ini sungguh lucu," kata sianak muda dengan
tertawa. "Berulang-ulang dia mengatakan aku hendak
membunuhnya, seakan-akan aku ini adalah seorang jahat dan
paling suka membunuh orang."
Selama Si Kiam melayani sang Pangcu baru pertama kali ini
melihatnya bermurah hati dan mengampuni seorang bawahan
yang bersikap kasar padanya. Diam-diam ia merasa bersyukur
akan perubahan sifat sang Pangcu itu. Dengan tersenyum ia
berkata: "Ya, sudah tentu engkau adalah seorang baik, seorang
yang maha baik. Orang baik, makanya merebut isteri orang
dan merusak rumah tangga orang."
"Apa " Kau bilang aku me?"".merebut isteri orang ?" sianak
muda menegas dengan heran. "Cara bagaimana merebut isteri
orang" Dan untuk apa sesudah merebutnya ?"
Muka Si Kiam menjadi merah, omelnya: "Orang baik masakah
juga bicara serendah ini" Hanya sebentar saja pura-pura baik,
dalam sekejap sudah berubah lagi."
"Kau?""..kau omong apa?" tiba-tiba mulut sianak muda
ternganga. Saat itu dirasakan sekujur badannya penuh terisi
tenaga dan seakan-akan susah tersalurkan, sorot matanya
menjadi berkilat-kilat pula.
Diam-diam Si Kiam menjadi takut, ia berlari keambang pintu
untuk siap-siap melarikan diri kalau-kalau sang Pangcu
mendadak menjadi buas dan hendak menerkamnya. Maklum,
sudah beberapa kali ia lolos dari napsu binatang sang Pangcu,
semuanya itu berkat kecerdikannya serta ketekadannya yang
tidak mau menyerah, makanya kesucian badannya dapat
dipertahankan sampai sekarang.
"Siauya, kesehatanmu belum pulih dengan baik, hendaklah
mengaso saja," kata Si Kiam sejenak kemudian.
Tapi sianak muda telah geleng-geleng kepala dan berkata:
"Sesudah turun dari gunung aku lantas mengalami macammacam
urusan yang sedikitpun aku tidak paham. Ai, aku
benar-benar tidak paham."
Dalam keadaan linglung kedua tangannya telah memegang
sandaran kursi, sedikit menggunakan tenaga, mendadak kursi
yang terbuat dari kayu cendana itu lantas sempal dua potong.
Ketika ia meremas, tahu-tahu sempalan kayu itu lantas hancur
menjadi bubuk. Sianak muda sendiri sampai kaget: "Ken?"..kenapa kursi ini
sedemikian lapuknya, hanya dipegang saja sudah hancur, kalau
diduduki orang kan bisa celaka."
Si Kiam sampai terkesima menyaksikan ilmu sakti yang telah
dimiliki sang Pangcu itu. Ia terkejut dan bergirang pula. Tapi
demi teringat tingkah laku sang Pangcu, dengan ilmu silatnya
yang sedemikian tingginya, kalau melakukan kejahatankejahatan
menurutkan napsu angkara murkanya, maka
celakalah orang-orang yang berada disekitarnya, bahkan bukan
mustahil akan merupakan malapetaka pula bagi dunia
Kangouw. Kiranya diwaktu kecilnya anak muda itu, secara kebetulan ia
telah mendapat ajaran semacam Tok-ciang (ilmu pukulan
berbisa) yang sangat lihay. Mestinya kalau dia melatihnya
sampai usianya mencapai 20-an, apabila tiada diberi obat-obat
mujarab sebangsa Jinsom (kolesom) atau Ho-siu-oh yang
berumur ribuan tahun untuk memunahkan racun dingin dari
ilmu pukulan yang dilatihnya, maka dia pasti akan binasa
keracunan sendiri. Dahulu orang yang mengajarkan juga tiada
punya maksud baik, sama sekali tak terduga bahwa secara
kebetulan Mo-thian-kisu Cia Yan-khek juga telah mengajarkan
semacam "Yam-yam-kang" padanya.
Menurut perhitungan Mo-thian-kisu Cia Yan-khek, jikalau anak
muda itu adalah murid orang pandai, tentu gurunya juga telah
mengajarkan cara-cara menghapuskan hawa dingin berbisa
yang dilatihnya itu. Sama sekali tak terduga bahwa orang yang
mengajarkan ilmu pukulan berbisa dingin itupun berpendirian
serupa dengan Cia Yan-khek, yaitu menghendaki anak muda
itu mati konyol sendiri akibat ilmu yang dilatihnya.
Soalnya ilmu pukulan berbisa yang secara tidak sadar telah
diyakinkan anak muda pada sebelum bertemu dengan Cia Yankhek
itu memang sangat mirip dengan ilmu pukulan "Han-ihbian-
ciang" yang menjadi kebanggan Ting Put-si, padahal sama
sekali bukanlah "Han-ih-bian-ciang", hanya keduanya samasama
ilmu pukulan berbisa dingin yang sejenis.
Kemudian sesudah anak muda itu melatih Yam-yam-kang pula,
pada hari itu betul juga dia telah dirangsang oleh hawa panas
dan dingin yang hebat, dan sungguh sangat kebetulan pula
Pwe Hay-ciok sedang berada disitu yang segera membantunya
dengan menyalurkan Lweekang murni untuk menguatkan daya
tahannya sehingga anak muda itu tidak sampai mati seketika.
Dan sampai malam ini secara kebetulan Tian Hui telah
menghantam pula dia punya "Tan-tiong-hiat" sehingga darah
mati yang tersekam didalam badannya didesak keluar, lalu
tercampur baurlah antara hawa panas dan dingin, antara Im
dan Yang (negatip dan positip), dengan demikian badannya


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak terganggu apa-apa, sebaliknya malah membikin
sempurna semacam tenaga dalam aneh yang dilatihnya itu.
Sudah tentu hal-hal demikian itu sama sekali tidak disadari
oleh sianak muda. Memangnya dia tidak paham apa-apa,
sekarang ia lebih bingung dan menyangka dirinya sedang
bermimpi. Begitulah, maka Si Kiam telah berkata pula padanya dengan
suara perlahan: "Jika kau sudah mengampuni jiwanya, kau
telah menyambung pula tulang lenggannya, tapi mengapa kau
memakinya pula sebagai binatang" Dengan demikian
dendamnya padamu menjadi tambah mendalam lagi". ~ Dan
ketika melihat sorot mata sang Pangcu yang aneh kembali
timbul lagi, tanpa menunggu jawaban, lekas-lekas ia
mengundurkan diri. Sianak muda hanya menggeleng kepala saja sambil berkata
sendiri: "Aneh, sungguh aneh!" ~ Ia lihat boneka-boneka
didalam kotak itu masih tertaruh diatas meja dengan baik,
maka ia menggumam pula: "Boneka itu masih berada disini,
jika demikian aku toh bukan didalam mimpi?"
Segera ia membuka kotak kayu dan mengeluarkan bonekaboneka
kecil itu. Sementara itu ilmu saktinya baru selesai
diyakinkannya, ia tidak tahu tenaga sendiri sekarang sangat
besar, dengan sendirinya iapun tidak tahu cara bagaimana
harus menggunakan tenaga itu dengan tepat. Tapi seperti
biasanya ia terus pegang begitu saja sebuah boneka itu,
mendadak lapisan luar yang membentuk boneka tanah itu
mengelotok dan jatuh semua.
Sianak muda berseru kaget, ia merasa sayang sekali atas
rusaknya boneka itu. Tapi ia menjadi melotot heran ketika
dilihatnya boneka yang sudah rontok bagian lapisan luar itu
ternyata dibagian dalam ada selapis kayu bercat pula. Segera
sianak muda membersihkan sekalian tanah lapisan luar itu,
maka tertampaklah samar-samar bentuk boneka yang
menyerupai manusia. Sesudah dikeletek lebih bersih lagi,
akhirnya menjadi lebih jelas lagi bentuk boneka itu, yaitu
berwujud badan manusia yang telanjang. Diatas boneka kayu
yang diberi bercat minyak ini juga penuh terlukis garis-garis
hitam, tapi tiada titik-titik tanda tempat Hiat-to. Bentuk dan
wajah boneka kayu inipun berbeda daripada boneka tanah liat
semula. Boneka kayu ini dibuat secara rajin dan indah sekali, mimik
mukanya sangat hidup dalam keadaan sedang tertawa
terbahak-bahak, kedua tangannya memegang perut
menyerupai orang sewaktu tertawa terpingkal-pingkal,
sikapnya sangat jenaka. Meski sianak muda sudah berusia 20 tahun, tapi sifat
kebocahannya belum lagi lenyap. Ia menjadi senang melihat
boneka yang lucu itu. Apalagi tanda-tanda urat nadi dan Hiat to
dibadan boneka-boneka tanah itu sekarang sudah teringat
dengan baik diluar kepala, maka ia lantas mebelejeti sekalian
boneka-boneka tanah yang lain. Benar juga didalam setiap
boneka tanah itu terbungkus pula sebuah boneka kayu. Sikap
dan mimik muka daripada setiap boneka kayu itu berbedabeda,
ada yang sedang kegirangan, ada yang sedih, ada yang
sedang menangis dan ada pula yang sedang gusar dan macammacam
sikap yang lain. Garis-garis urat nadi yang terlukis
diatas badan boneka-boneka kayu ini hampir seluruhnya sama
dengan boneka tanah sebelumnya, hanya garis yang
menunjukkan jalan caranya mengerahkan tenaga adalah sama
sekali berbeda. Pikir sianak muda: "Boneka-boneka kayu ini sangat menarik,
biarlah aku coba melatihnya menurut sikap boneka-boneka ini.
Muka boneka yang sedang menangis ini takkan kutiru" Yang
sedang tertawa seperti orang sinting juga tidak sedap
dipandang dan takkan kulatih. Yang akan kutirukan hanya
sikap dan mimik wajah boneka-boneka yang sedang berseriseri
dan tampak ramah saja."
Segera ia duduk bersila, ia taruh boneka yang bermuka
senyum simpul didepannya, lalu mengerahkan tenaga dengan
perlahan dari pusatnya, maka terasalah suatu arus hawa
hangat perlahan-lahan naik keatas. Ia jalankan tenaga dalam
itu menurutkan garis-garis yang terlukis dibadan boneka itu ke
tempat-tempat Hiat-to diseluruh badan.
Kiranya apa yang terlukis diatas badan boneka-boneka kayu itu
adalah semacam ilmu sakti ciptaan seorang paderi saleh
angkatan tua dari Siau-lim-pay, ilmu sakti itu bernama "Lohan-
hok-mo-sin-kang" (ilmu sakti Budha menaklukkan iblis).
Ilmu sakti ini mencakup Lweekang dan Gwakang (kekuatan
dalam dan luar atau rohani dan jasmani) yang pernah dihimpun
oleh kaum Budha. Setiap boneka kayu itu adalah sebuah
patung Budha. Untuk bisa melatih ilmu sakti itu dengan baik, orang itu harus
mempunyai kecerdasan yang luar biasa, tapi harus berjiwa
bersih dan berpikiran polos. Sudah tentu orang demikian
sangat sulit diketemukan didunia ini. Jarang sekali terjadi
bahwa seorang yang pintar bisa membatasi pikirannya pada
soal-soal yang sederhana, sebaliknya tentu akan banyak
memeras pikiran untuk macam-macam urusan.
Namun pembawaan anak muda itu justeru sangat pintar dan
cerdas, kebetulan sejak kecil dia hidup dipegunungan yang
sunyi dan terasing dari dunia luar sehingga hijau dalam segala
urusan insaniah, hal ini kebetulan cocok sebagai dasar dari
permulaan meyakinkan ilmu sakti Lo-han-hok-mo-sin-kang itu.
Rupanya paderi sakti Siau-lim-pay yang menciptakan ilmu ini
menyadari sukarnya mencari manusia yang cocok untuk
meyakinkan ilmu ciptaannya itu, maka dia telah sengaja
melapisi boneka-boneka kayu itu dengan tanah liat dan diberi
bercat minyak serta dilukis pula ajaran pengantar Lwekang
Siau-lim-pay yang asli, maksudnya supaya orang yang
menemukan boneka-boneka itu tidak tertarik untuk melatih Lohan-
hok-mo-sin-kang yang sukar itu dan bukan mustahil
akibatnya akan membikin jiwa orang yang melatihnya itu
melayang. Tay-pi Lojin, penguasa Pek-keng-to (pulau paus putih), yang
menemukan boneka-boneka itu hanya mengetahui bahwa
benda-benda itu adalah benda mestika dunia persilatan, tapi
dimanakah letak rahasia daripada benda mestika yang
berharga itu ia sendiripun tidak tahu meski dia sudah
menyelidikinya selama bertahun-tahun. Maklum, karena
boneka-boneka tanah itu dipandang sebagai benda mestika,
dengan sendirinya benda-benda itu dijaganya dengan baik,
sedikitpun tidak boleh rusak, padahal selama boneka tanah itu
tidak rusak, selama itu pula boneka kayu didalamnya takkan
diketahui. Makanya sampai ajalnya Tay-pi Lojin tetap tidak
tahu dimana letak rahasia gaib daripada boneka-boneka itu.
Sebenarnya juga tidak melulu Tay-pi Lojin saja yang kecele,
sejak rangkaian boneka-boneka tanah itu terlepas dari tangan
paderi sakti Siau-lim-pay, selama itu sudah berganti tangan 12
orang dan semuanya masuk liang kubur bersama dengan
rahasia yang tidak pernah diketahui mereka.
Demikianlah, karena tenaga dalam sianak muda sekarang
sudah sangat hebat, ketika dia mengerahkan tenaga dalam
menurutkan garis-garis petunjuk diatas badan boneka-boneka
kayu itu, maka setiap rintangan diurat nadinya menjadi
tertembus sekaligus. Sesudah diulanginya sampai tiga kali,
akhirnya ia merasa badannya sangat segar dan sehat. Maka ia
lantas ganti sebuah boneka kayu yang lain dan melatihnya lagi.
Karena dia baru mulai melatih Lwekang demikian sehingga
seluruh perhatian dan pikirannya dicurahkan kesitu, habis
sebuah boneka berganti pula sebuah lagi dan begitu
seterusnya. Tanpa merasa ia telah melatih diri dari subuh
sampai lohor terus sampai malam dan kembali keesok paginya.
Dengan penuh rasa kuatir Si Kiam terus menjaga didepan
pembaringan sang Pangcu. Pwe Hay-ciok juga menjenguk
beberapa kali keadaan anak muda itu. Ketika dilihatnya ubunubun
kepala sang Pangcu mengepulkan uap tipis, ia tahu
Lwekang yang dilatihnya itu sedang mencapai detik-detik yang
penting. Segera ia memberi perintah bawahannya untuk
memperkuat penjagaan diluar kamar sang Pangcu, siapapun
dilarang mengganggunya. Waktu sianak muda selesai melatih Hok-mo-sin-kang
menurutkan apa yang terlukis diatas ke 18 boneka kayu,
sementara itu sudah tiba subuh hari ketiga. Anak muda itu
menarik napas dalam-dalam, lalu ia simpan kembali ke-18
boneka buah boneka itu kedalam kotak. Ia merasa
semangatnya segar dan kuat, tenaga dalamnya berjalan
menurut sesuka hatinya. Sekilas tertampak Si Kiam tertidur
dengan nyenyaknya ditepi ranjang.
Anak muda itu lantas turun dari tempat tidurnya. Tatkala mana
sudah lewat hari Tiongkhiu, hawa pada akhir bulan delapan itu
belum terlalu dingin, tapi lebih nyaman rasanya. Ia lihat baju Si
Kiam sangat tipis, segera ia ambil sehelai selimut tipis dan
perlahan-lahan ia mengemuli pelayan itu. Mungkin saking
lelahnya karena dua malam tidak tidur, maka Si Kiam benarbenar
sudah terpulas dan lupa daratan.
Lalu ia mendekati jendela untuk menghirup hawa segar dan
berbau harum bunga yang mekar ditaman itu. Tiba-tiba
terdengar Si Kiam sedang berkata: "Siau?".Siauya,
jangan?"?"janganlah membunuhnya!"
Cepat sianak muda menoleh dan menjawab: "Kenapa kau
selalu memanggil aku Siauya dan mengatakan aku suka
membunuh orang?" ~ Tapi lantas tertampak olehnya pelayan
itu masih tertidur, rupanya dia telah mengigau.
Namun demikian, ketika mendengar suara sianak muda,
seketika juga Si Kiam terjaga bangun, ia tepuk-tepuk dada
sendiri sambil berkata: "Wah, sangat menakutkan!" ~ Tapi
ketika melihat diatas tempat tidur tiada orang lagi, cepat ia
menoleh, maka tertampaklah sianak muda berdiri didekat
jendela, ia terkejut dan bergirang, katanya dengan tertawa:
"O, Siauya, kau sudah dapat bangun! Coba lihat, aku sampai
tertidur dan tidak mengetahui."
Waktu ia berdiri, segera selimut yang menutup pundaknya itu
lantas jatuh kelantai. Ia terperanjat, ia menyangka diwaktu
terpulas dirinya telah diperlakukan secara tidak senonoh oleh
tuan mudanya yang terkenal bangor itu. Tapi ketika melihat
bajunya sendiri masih terpakai dengan rajin dan baik, seketika
ia menjadi ragu-ragu dan bersyukur pula, katanya dengan
suara terputus-putus: "Kau?""..kau
tidak?"?"aku?""ku?"".."
"Tadi kau telah mengigau dan minta aku jangan membunuh
orang, apakah didalam mimpi kau melihat aku hendak
membunuh orang?" kata sianak muda dengan tertawa.
Mendengar ucapan sianak muda tiada bersifat kotor, pula
keadaan dirinya juga tiada sesuatu yang mencurigakan, maka
hati Si Kiam menjadi lega. Segera ia menjawab: "Ya, dalam
mimpi aku melihat engkau membawa sepasang golok, dimanamana
mayat bergelimpangan, semuanya?""semuanya?"?".
~ Sampai disini mukanya menjadi merah dan tidak
melanjutkan lagi. Rupanya siang harinya dia banyak melihat boneka-boneka
telanjang yang dimiliki sianak muda, maka didialam mimpi
yang dilihatnya juga mayat-mayat kaum lelaki yang telanjang.
Dengan sendirinya ia merasa malu untuk mengatakan terus
terang. Sudah tentu sianak muda tidak tahu duduknya perkara, ia
menegas: "Semuanya kenapa?"
Muka Si Kiam kembali bersemu merah, sahutnya:
"Semuanya?"?"..semuanya bukan orang jatah."
"Enci Si Kiam," demikian sianak muda bertanya: "Banyak sekali
kejadian-kejadian yang aku tidak paham, apakah kau suka
menjelaskan kepadaku ?"
"Ai, mengapa sesudah sakit, sekarang watakmu sudah berubah
sejauh ini," sahut Si Kiam dengan tertawa. "Bicara dengan
kaum hamba sebagai kami ini masakah pakai memanggil enci
apa segala ?" "Justeru itulah yang membingungkan aku," ujar sianak muda.
"Mengapa kau memanggil Siauya padaku dan mengapa pula
kau mengaku sebagai hambaku. Para paman itupun menyebut
aku sebagai Pangcu. Dan Tian-toako itu mengatakan aku telah
merebut isterinya. Sebenarnya bagaimanakah duduknya
perkara?" Si Kiam memandang termangu-mangu sejenak, melihat anak
muda itu ber-sungguh-sungguh, lalu katanya: "Sudah dua hari
dua malam engkau tiada makan apa-apa, diluar sana ada
bubur tim, biarlah kuambilkan untukmu."
Mendengar tentang makanan, seketika sianak muda merasa
perutnya sangat lapar, serunya: "Biarlah aku ambil sendiri
saja, dimanakah bubur tim itu?" ~ Lalu ia menggunakan
hidungnya untuk mengendus dan berkata pula dengan tertawa:
"Ya, tahulah aku."
Segera ia menuju keluar. Diluar kamar tidurnya itu ternyata
adalah sebuah kamar besar pula. Dipojok kiri kamar sana ada
sebuah anglo kecil dengan sebuah panci diatasnya, terdengar
suara krupukan masaknya bubur itu.
Sianak muda berpaling sekejap kepada Si Kiam. Seketika muka
pelayan itu menjadi merah, ia tahu apa yang terjadi. Segera ia
berseru: "Ai, bubur tim telah kedaluan sehingga hancur
menjadi bubur sumsum."
"Bubur sumsum juga enak," kata sianak muda dengan tertawa.
Waktu dia membuka tutup panci, seketika terendus bau sangit,
bubur itu memang benar sudah hancur menjadi bubur
sumsum, bahkan sebagian besar sudah hangus.
"Siauya, harap kau tunggu sebentar, biar kumasak lagi.
Sungguh gebleg hamba ini, ketelanjur tidur sampai lupa
daratan", kata Si Kiam.
Anak muda itu sudah lama tinggal di pegunungan, soal nasi
atau bubur hangus sudah seringkali dimakannya, maka bubur
sumsum yang sudah hangus itupun tidak mengherankan dia, ia
ambil sendok dan menyendok bubur itu terus dimakan.
Bubur tim itu mestinya bercampur Jinsom yang rasanya
memang agak pahit, sekarang hangus dan tiada diberi gula,
sudah tentu lebih-lebih pahit. Namun anak muda itu hanya
sedikit mengerut dahi dan bubur itu terus ditelannya, ia melelet
lidah dan berkata: "Wah, pahit!".
Tapi segera ia menyendok lagi dan dimakan, lalu berkata pula:
"Wah, pahit!" Cepat Si Kiam hendak merebut sendoknya sambil berkata:
"Barang sudah hangus jangan dimakan lagi."
Ketika tangannya menyentuh tangan sianak muda, karena
anak muda itu tidak mau melepaskan sendoknya, dengan


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendirinya lantas menimbulkan tenaga tolakan sehingga tangan
Si Kiam tergetar, pelayan itu terkejut dan cepat menarik
kembali tangannya. Apa yang terjadi itu sama sekali tak dirasakan oleh sianak
muda, dia masih terus makan bubur sumsum yang hangus itu.
Melihat anak muda itu makan dengan lahap sekali tanpa peduli
barang hangus dan pahit, Si Kiam menjadi geli, katanya
kemudian: "Ya, maklum juga, memangnya engkau sudah
terlalu lapar." Hanya sebentar saja setengah panci bubur itu sudah dimakan
habis bersih. Walaupun bubur itu sudah hangus, tapi bubur itu
dicampur dengan Jinsom yang berkwalitas tinggi dan
merupakan obat kuat, maka sehabis makan, tidak lama
kemudian semangat sianak muda menjadi lebih tangkas.
Melihat air muka anak muda itu merah bercahaya, dengan
tertawa Si Kiam bertanya: "Siauya, yang kau latih sebenarnya
ilmu apa" Tanganku sampai tergetar ketika tersentuh
tanganmu. Cahaya mukamu juga sedemikian segarnya."
"Akupun tidak tahu ilmu apa yang kulatih ini, aku hanya
melatihnya menurut contoh diatas badan boneka-boneka kayu
itu," sahut sianak muda. "Eh, enci Si Kiam, se?"".sebenarnya
siapakah aku ini?" Kembali Si Kiam tertawa, sahutnya: "Engkau benar-benar tidak
ingat lagi atau cuma bergurau saja?"
Sianak muda meng-garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal,
mendadak ia bertanya: "Kau melihat ibuku atau tidak ?"
"Tidak," sahut Si Kiam dengan heran. "Siauya, selamanya aku
tak pernah mendengar bahwa engkau masih mempunyai
ibunda. Ah, tahulah aku, tentu engkau sangat penurut kepada
apa yang dikatakan Lothaythay (nyonya besar), makanya
watakmu juga sudah berubah."
"Apa yang dikatakan ibu sudah tentu harus diturut," kata
sianak muda. Ia menghela napas perlahan, lalu berkata pula:
"Cuma sayang entah ibu telah pergi kemana?"
"O, syukurlah bahwa didunia ini masih ada seorang yang dapat
menundukkan kau," kata Si Kiam.
Pada saat itu tiba-tiba diluar kamar ada orang berseru:
"Apakah Pangcu sudah bangun" Hamba ingin memberi lapor
sesuatu." Sianak muda diam saja dengan bingung. Tanyanya kepada Si
Kiam dengan suara bisik2: "Apakah dia sedang bicara padaku?"
"Ya, dia bilang hendak memberi laporan kepadamu," sahut Si
Kiam. "Wah, bagaimana aku harus bicara dengan dia," kata sianak
muda dengan bingung. "Enci Si Kiam, suruhlah dia tunggu
sebentar, engkau harus mengajarkan dulu padaku cara
bagaimana aku harus bicara."
Bab 11. Tiang-Lok-Pangcu Namanya = Ciok Boh Thian
Si Kiam memandang sekejap kepada anak muda itu, lalu
serunya: "Siapakah yang berada diluar itu?"
"Hamba Tan Tiong-ci dari Say-wi-tong," sahut orang itu.
"Atas perintah Pangcu hendaklah Tan-hiangcu tunggu
sebentar," seru Si Kiam pula.
"Baik," sahut Tan Tiong-ci diluar kamar.
Segera sianak muda mengajak Si Kiam kekamar dalam, lalu
tanyanya dengan suara tertahan: "Sebenarnya aku ini siapa?"
Si Kiam mengerut kening, hatinya menjadi sedih karena
menyangka anak muda itu benar-benar tidak ingat apa-apa lagi
atas dirinya sendiri. Jawabnya kemudian: "Engkau adalah
Pangcu dari Tiang-lok-pang, she Ciok bernama Boh-thian.
"She Ciok bernama Boh-thian" Ciok Boh-thian, kiranya aku ini
bernama Ciok Boh-thian, jadi namaku bukan Kau-cap-ceng
lagi?" demikian sianak muda menggumam sendiri.
Melihat air muka anak muda merasa bingung dan gelisah,
segera Si Kiam menghiburnya: "Siauya, kau tidak perlu risau,
perlahan-lahan tentu kau dapat ingat kembali."
"Tiang-lok-pang itu barang apa" Apa yang dilakukan
Pangcunya?" tanya pula si anak muda alias Ciok Boh-thian.
Si Kiam menyadi serba sukar untuk menerangkan, sesudah
memikir sejenak, akhirnya ia menjawab: "Tiang-lok-pang
mempunyai anggota-anggota sangat banyak, seperti Pwesiansing,
Bi-hiangcu dan Tan-hiangcu yang menunggu diluar
itu. Engkau adalah Pangcu, maka mereka harus tunduk kepada
perintahmu." "Lantas apa yang harus kubicarakan dengan mereka?" tanya
Ciok Boh-thian. "Aku sendiripun tidak tahu apa-apa," sahut Si Kiam. "Siauya,
jika engkau merasa susah mengambil keputusan, maka segala
sesuatu boleh kau tanya kepada Pwe-siansing. Dia adalah
Kunsu (penasehat) daripada Pang kita, dia sangat pintar."
"Tapi sekarang Pwe-siansing tiada disini, apakah kau tahu Tanhiangcu
itu hendak melaporkan apa kepadaku" Jika dia tanya
apa-apa kepadaku, tentu aku tidak mampu menjawabnya. Ada
lebih baik kau suruh dia pergi saja."
"Suruh dia pergi mungkin bukan cara yang baik," ujar Si Kiam.
"Kau boleh mendengarkan saja apa yang dia katakan, apa yang
dia laporkan, cukup kau mengangguk saja."
"Baiklah, hanya mengangguk saja tidak sukar," kata Ciok Bohthian
dengan girang. Segera Si Kiam mengantar Ciok Boh-thian menuju kesebuah
ruangan tamu dibagian luar. Maka tertampaklah seorang lakilaki
tinggi besar lantas berbangkit dari tempat duduknya dan
memberi hormat sambil menyapa: "Pangcu baik, terimalah
salam hormat hamba Tan Tiong-ci."
Ciok Boh-thian membalas hormat dan berkata: "Tan?".Tanhiangcu
juga baik, akupun memberi salam hormat padamu."
Air muka Tan Tiong-ci berubah pucat dan cepat melangkah
mundur dua tindak. Maklum, biasanya Tan Tiong-ci mengetahui sang Pangcu adalah
seorang kasar, seorang sombong, kejam dan suka main
perempuan pula. Sebagai seorang bawahan ia memberi salam
hormat padanya, siapa duga sang Pangcu juga balas memberi
salam hormat, hal ini menandakan pikiran jahatnya telah
timbul dan segera akan membunuhnya. Walaupun takut, tapi
dia adalah seorang kesatria yang berkepandaian tinggi, sudah
tentu ia tidak mandah dibinasakan tanpa melawan, maka diamdiam
iapun sudah bersiap siaga, katanya dengan suara berat:
"Entah hamba telah melanggar peraturan Pang kita pasal
berapa" Jika Pangcu hendak menjatuhkan hukuman juga mesti
mengadakan sidang terbuka dan menjatuhkan keputusan
didepan orang banyak."
Dengan sendirinya Ciok Boh-thian tidak paham apa yang
dimaksudkan, katanya dengan heran: "Menjatuhkan hukuman"
Menghukum siapa?" Tan Tiong-ci tambah penasaran, katanya dengan mendongkol:
"Selamanya Tan Tiong-ci jujur dan setia kepada Tiang-lok-pang
dibawah pimpinan Pangcu, selama inipun tiada merasa berbuat
salah, mengapa Pangcu berulang-ulang menyindir?"
Ciok Boh-thian menjadi bingung. Tiba-tiba teringat pesan Si
Kiam tadi yang menyuruhnya mengangguk saja bila ada
sesuatu yang tidak paham dan soalnya nanti boleh ditanyakan
kepada Pwe Hay-ciok. Maka ia lantas mengangguk sambil
berkata: "Ya, ya, silakan Tan-hiangcu duduk dan jangan
sungkan-sungkan." "Dihadapan Pangcu masakah ada tempat duduk bagi hamba,"
sahut Tan Tiong-ci. "Ya, ya!" kata Ciok Boh-thian dengan bingung.
Jadi kedua orang hanya berdiri saja dengan saling pandang,
keduanya sama-sama tidak membuka suara lagi. Kalau wajah
Tan Tiong-ci agak cemas-cemas kuatir dan penuh
kewaspadaan, sebaliknya air muka Ciok Boh-thian mengunjuk
rasa bingung, tapi bersenyum simpul ramah.
Menurut peraturan Tiang-lok-pang, dikala bawahan memberi
laporan rahasia kepada sang Pangcu, maka orang lain harus
menyingkir. Sebab itulah maka sejak tadi Si Kiam sudah tingal
keluar dari ruangan tamu itu. Kalau tidak tentu dia akan dapat
memberi sekadar penjelasan kepada Tan Tiong-ci tentang
belum pulihnya kesehatan sang Pangcu dan minta Tan-hiangcu
jangan kuatir. Begitulah sesudah kedua orang itu tertegun sejenak, tiba-tiba
Ciok Boh-thian melihat diatas meja ada dua mangkuk teh
wangi, segera ia mengambil semangkuk, semangkuk lagi ia
sodorkan kepasa Tan Tiong-ci: "Mari minum!"
Karena kuatir didalam teh itu ditaruh racun, pula kuatir
mendadak diserang Ciok Boh-thian, maka Tan Tiong-ci tidak
berani menerima mangkuk teh itu, sebaliknya malah mundur
selangkah. Maka terdengarlah suara "prang" yang nyaring
mangkuk itu jatuh kelantai dan pecah berantakan.
"Ai, maaf, maaf!" seru Ciok Boh-thian, segera ia menyodorkan
mangkuk yang satu lagi dan berkata: "Silakan minum yang ini
saja." Alis mata Tan Tiong-ci menjengkit, ia pikir toh tidak dapat lolos
dari maksud jahat sang Pangcu, seorang laki-laki biarpun mati
juga tidak perlu takut. Maka tanpa pikir lagi ia lantas terima
mangkuk itu dan sekali tenggak isi mangkuk itu lantas diminum
habis. Ia gabrukan mangkuk teh itu diatas meja, lalu berkata
dengan rasa cemas: "Sedemikianlah cara Pangcu
memperlakukan bawahanmu yang setia, semoga Tiang-lokpang
bahagia selamanya dan semoga Ciok-pangcu panjang
umur." Sedikit banyak Ciok Boh-thian dapat menangkap maksud katakata
"semoga Ciok-pangcu berpanjang umur", cuma ia tidak
tahu maksud ucapan Tan Tiong-ci itu adalah kebalikannya,
maka ia lantas menjawab: "Ya, semoga Tan-hiangcu juga
panjang umur." Sudah tentu jawaban ini bagi pendengaran Tan Tiong-ci
merupakan sindiran pula, ia tertawa dingin berkata didalam
hati: "Jiwaku hanya tinggal sekejap saja, tapi kau masih
mendoakan aku berpanjang umur, sungguh keji amat kau."
Namun demikian ia masih penasaran, serunya pula: "Entah
dimana letak kesalahanku, makanya aku harus terima
ganjaranku seperti sekarang, untuk ini Siok-he (bawahan)
tidak ingin banyak omong lagi. Hanya saja mengenai maksud
kedatangan Siokhe ini ialah ingin memberi lapor kepada
Pangcu, bahwa semalam ada dua wanita telah menyusup
kemarkas Say-wi-tong, yang seorang adalah wanita setengah
umur, yang satu lagi baru berusia 27-28 tahun. Kedua wanita
itu semuanya menggunakan pedang, ilmu silat mereka seperti
dari golongan Swat-san-pay. Siokhe bersama para kerabat
berusaha menangkap mereka, tapi ilmu pedang kedua wanita
itu terlalu lihay, tiga anak murid Siokhe telah menjadi korban
keganasan mereka, tapi wanita yang lebih muda itupun terluka
kakinya dan akhirnya tertawan. Untuk mana Siokhe sengaja
datang kemari untuk minta keputusan Pangcu."
"O, jadi yang satu tertangkap dan yang lain lolos," kata Ciok
Boh-thian. "Entah kedua wanita itu mau apa datang kesini"
Apakah hendak mencuri ?"
"Dimarkas Say-wi-tong tiada kehilangan apa-apa," sahut Tan
Tiong-ci. "Kedua wanita itu mengapa begitu kejam, masakah sekaligus
membunuh tiga orang," kata Ciok Boh-thian sambil mengerut
kening. Tiba-tiba timbul rasa ingin tahunya, segera ia
bertanya: "Eh, Tan-hiangcu, cobalah kau membawa aku pergi
melihat wanita itu."
"Baik," sahut Tan Tiong-ci dengan hormat.
Sesudah mereka keluar dari ruangan tamu, tiba-tiba timbul
suatu pikiran dalam benak Tan Tiong-ci: "Wanita yang kutawan
itu bermuka cantik, boleh jadi Pangcu akan suka padanya dan
dalam girangnya mungkin dia akan memberikan obat penawar
padaku." ~ Tapi lantas terpikir pula: "Tan Tiong-ci, wahai Tan
Tiong-ci, Ciok-pangcu adalah seorang yang kasar, girang dan
marah tiada tertentu, rasanya Tiang-lok-pang ini bukanlah
tempat bernaung yang baik bagimu. Kalau hari ini jiwamu
beruntung dapat selamat, selanjutnya lebih baik kabur saja
sejauh mungkin dan mengasingkan diri serta jangan
berkecimpung pula didunia Kangouw."
Begitulah Ciok Boh-thian ikut Tan Tiong-ci menyusuri beberapa
ruangan dan melalui dua buah taman, akhirnya sampailah
didepan sebuah pintu batu yang besar. Tertampak empat
penjaga bersenjata berdiri disitu. Melihat datangnya Ciok Bohthian
dan Tan Tiong-ci, dengan gugup penjaga2 itu memberi
hormat. Ketika Tan Tiong-ci memberi tanda, segera dua
penjaga diantaranya mendorong daun pintu batu itu. Dibalik
pintu batu itu kiranya masih ada sebuah pintu berterali besi
yang dikunci dengan gembok besar. Segera Tiong-ci
mengeluarkan kunci dan dibukanya sendiri.
Sesudah masuk, ternyata disitu adalah sebuah lorong yang
panjang, didalamnya ada api lilin besar. Pada ujung lorong ada
empat penjaga pula dan kembali menghadapi sebuah pintu
berterali besi. Sesudah pintu terali dibuka, didalamnya ada
sebuah pintu besi yang tebal. Setelah Tan Tiong-ci membuka
gembok dan membuka pintu tebal itu, maka tertampaklah
sebuah kamar batu kira-kira tiga meter persegi. Seorang
wanita berbaju putih tampak duduk mungkur. Waktu
mendengar suara pintu terbuka, wanita itu lantas menoleh.
Segera Tan Tiong-ci menaruh Cektay (tatakan lilin) diatas meja
disamping pintu, cahaya lilin dapat menerangi muka siwanita
dengan jelas. Mendadak Ciok Boh-thian berseru kaget: "Ha,
bukankah engkau adalah nona Hoa, Hoa Ban-ci dari Swat-sanpay?"
Kiranya apa yang terjadi di Hau-kam-cip dulu masih teringat
dengan baik olehnya. Walaupun sudah berselang beberapa
tahun, namun wajah Hoa Ban-ci itu tiada banyak berubah,
maka begitu lihat Ciok Boh-thian lantas mengenalnya.
Sebaliknya dulu Ciok Boh-thian adalah seorang pengemis kecil
yang dekil, hari ini pakaian sudah mewah dan berubah dewasa
menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan, dengan
sendirinya Hoa Ban-ci tidak mengenalnya lagi.
Maka dengan marah-marah Hoa Ban-ci berkata: "Mengapa kau
mengenal diriku?" Diam-diam Tan Tiong-ci juga kagum terhadap kecerdasan sang
Pangcu, hanya sekali lihat saja lantas dapat mengatakan siapa
dan dari mana asal-usul tawanannya itu. Segera ia
membentak: "Ini adalah Pangcu kami, cara bicaramu harus
tahu aturan sedikit!"
Hoa Ban-ci terkejut. Sama sekali tak tersangka olehnya akan
bertemu dengan Tiang-lok-pangcu Ciok Boh-thian yang
terkenal busuk itu. Kabarnya pangcu ini suka merusak kaum
wanita, hari ini dirinya berada didalam cengkeramannya, tentu
lebih banyak celaka dari selamatnya. Karena itulah ia menjadi
kuatir dan cepat berpaling kearah dinding agar wajahnya yang


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cantik itu tidak terlihat. Berbareng terdengar suara
gemerincingnya benda logam, kiranya kaki dan tangannya
telah diborgol. Diwaktu mendengarkan ibunya mendongeng, Ciok Boh-thian
pernah diberitahu tengan borgol dan lain-lain dan baru hari ini
ia melihat dengan mata sendiri bentuk borgol itu. Segera ia
tanya Tan Tiong-ci: "Tan-Hiangcu, apa sih dosa nona Hoa ini
sehingga kaki dan tangannya perlu diborgol."
Sebabnya dia tanya adalah karena dia memang tidak paham.
Tapi bagi pendengaran Tan Tiong-ci, disangkanya pertanyaan
sang Pangcu itu bermaksud kebalikannya. Pikirnya: "Wah,
celaka, mungkin Pangcu menganggap aku memperlakukan
nona Hoa dengan tidak pantas, maka dia telah meracuni diriku.
Sedapat mungkin aku harus berusaha memperbaiki
kesalahanku ini." ~ Maka cepat ia menjawab: "Ya, ya, hamba
memang salah." ~ Segera ia mengeluarkan kunci dan cepat
membuka borgol yang membelenggu kaki dan tangan Hoa Banci
itu. Walaupun Hoa Ban-ci sekarang sudah merdeka, tapi ia menjadi
lebih-lebih kuatir sehingga gemetar.
Dalam hal kecerdasan dan kepandaian silat Hoa Ban-ci yang
berjuluk Bwe-hoa-lihiap (pendekar bunga Bwe) itu tidaklah
kalah daripada kesatria kaum lelaki. Kalau Ciok Boh-thian
mengancam akan membunuhnya, betapapun tidak nanti dia
menyerah. Tapi sekarang ia mendengar Ciok Boh-thian malah
menyalahkan Tan-hiangcu yang menawannya, terang dibalik
ucapannya itu mengandung maksud tertentu atas dirinya,
jelasnya dia telah dipenujui oleh Ciok Boh-thian. Padahal
selama hidup ini dia selalu menjaga diri dengan baik dan
sampai saat ini masih suci bersih, kalau sampai dinodai oleh
Ciok Boh-thian yang terkenal busuk itu, wah, benar-benar bisa
celaka. Dalam pada itu Tan Tiong-ci juga sengaja hendak membikin
senang hati sang Pangcu, maka ia telah berkata: "Pangcu,
mengapa nona Hoa tidak diajak bicara kekamar Pangcu saja"
Disini terlalu gelap dan kotor, bukan suatu tempat yang pantas
untuk tetamu." "Ya, bagus," sahut Ciok Boh-thian dengan girang. "Marilah
nona Hoa, disana tersedia sarang burung yang sangat enak,
nanti kau boleh coba mencicipi satu mangkuk."
"Tidak, tidak mau," seru Hoa Ban-ci dengan suara gemetar.
"Enak, sungguh sangat enak, boleh kau coba dulu nanti", kata
Ciok Boh-thian pula. Hoa Ban-ci menjadi gusar, sahutnya: "Kalau mau bunuh, lekas
bunuh, nona adalah murid terhormat dari Swat-san-pay, tidak
nanti sudi minta ampun padamu. Kau bangsat ini kalau
menaruh maksud jahat padaku, aku lebih suka membunuh diri
daripada?"?"datang kekamarmu."
"Ai, mengapa kau bilang demikian, seakan-akan aku ini paling
suka orang saja, sungguh aneh, buat apa aku membunuh kau"
Jika kau tidak doyan sarang burung ya sudah, ya, mungkin kau
lebih suka makan ayam panggang dan bebek tim. Eh, Tanhiangcu,
apakah makanan-makanan demikian kita ada sedia?"
"Ada, ada, ada!" cepat Tan Tiong-ci menjawab. "Apa yang
disukai nona Hoa, asal terdapat didunia ini tentu didapur kita
juga sedia." "Fui, biarpun mati juga nona tidak sudi makan barang suguhan
kalian yang hanya membikin kotor mulutku saja," sahut Ban-ci
dengan marah. "O, apa barangkali nona Hoa lebih suka belanja sendiri kepasar
untuk dibawa pulang dan dimasak sendiri" Apakah kau
mempunyai uang" Jika tidak punya, tentunya Tan-hiangcu
punya, bukan" Harap kau berikan sedikit padanya," demikian
kata Ciok Boh-thian. "Ada, ada, segera kusuruh mengambilkan pada kasir!" ~
"Tidak, tidak, biar mati juga aku tidak sudi!" demikian Tan
Tiong-ci dan Hoa Ban-ci bersuara berbareng.
"Ah, mungkin kau sendiri sudah punya uang, Tan-hiangcu
bilang kakimu terluka, kami akan minta Pwe-siansing
mengobati lukamu, tapi tampaknya kau tidak suka kepada
Tiang-lok-pang, maka bolehlah kau pergi mencari tabib sendiri,
kalau lukamu terlalu banyak mengeluarkan darah tentu akan
kurang baik." Sudah tentu Hoa Ban-ci tidak percaya Ciok Boh-thian mau
membebaskan dia, ia menduga dirinya akan dipermainkan
seperti kucing menggoda tikus, maka dengan marah-marah ia
menjawab: "Pendek kata aku takkan masuk perangkapmu
biarpun kau pakai tipu muslihat apapun juga."
Ciok Boh-thian menjadi lebih heran, katanya: "Kamar batu ini
mirip dengan penjara, buat apa tinggal disini" Nona Hoa, lebih
baik lekas kau keluar dari sini saja."
Karena mendengar ucapan itu agak sungguh-sungguh, Hoa
Ban-ci mendengus dan berkata: "Hm, dimanakah pedangku,
mau mengembalikan atau tidak?" ~ Ia pikir kalau sudah
pegang senjata, bila Ciok Boh-thian akan berbuat tidak
senonoh padanya tentu akan dapat membunuh diri biarpun
tidak mampu melawannya. "O, ya, nona Hoa suka pakai senjata pedang. Tan-hiangcu,
sukalah kau mengembalikan pedangnya ?" kata Ciok Boh-thian.
"Ya, ya, pedangnya tersimpan diluar sana, silakan nona keluar
dan segera akan kami kembalikan", sahut Tan Tiong-ci.
Karena sudah bertekad akan membunuh diri maka Hoa Ban-ci
tidak gentar terhadap tipu muslihat pula. Mendadak ia
berbangkit terus melangkah keluar. Segera Ciok Boh-thian dan
Tan Tiong-ci mengikutinya dari belakang.
Sesudah tiba ditaman diluar penjara itu, maka Hoa Ban-ci
menjadi silau oleh cahaya sang surya. Walaupun demikian
semangatnya lantas terbangkit.
Rupanya Tan Tiong-ci ingin mengambil hati sang Pangcu,
sebelum disuruh ia sudah mengambilkan pedangnya Hoa Banci
dan diserahkan kepada Ciok Boh-thian. Lalu Ciok Boh-thian
mengembalikan pedan itu kepada Hoa Ban-ci.
Kuatir kalau mendadak dirinya diserang, maka diwaktu
menerima kembali pedangnya, cepat sekali ia menyambar
gagang pedang dan siap-siap untuk melolosnya dari sarung
pedang. Tan Tiong-ci tahu ilmu pedang murid Swat-san-pay itu sangat
hebat, maka berbareng iapun menyambar sebatang golok dari
tangan seorang penjaga dan siap untuk menghadapi Hoa Banci.
Namun Ciok Boh-thian telah berkata: "Nona Hoa, apakah
lukamu tidak menjadi halangan" Jika tulang kakimu patah,
boleh juga aku menyambungkan untukmu seperti aku
menyambung tulang kaki si Kuning dahulu."
Yang bicara tidaklah sengaja, tapi yang mendengarkan merasa
terhina. Apalagi Hoa Ban-ci masih seorang perawan suci, ketika
melihat sorot mata Ciok Boh-thian memandang kearah
kakinya, seketika mukanya menjadi merah, damperatnya:
"Dasar bajingan, cara bicaramu juga kotor dan rendah."
"He, apakah salah perkataanku?" seru Ciok Boh-thian dengan
heran. "Apakah boleh kuperiksa lukamu itu?"
Apa yang dikatakannya adalah timbul dari jiwanya yang masih
ke-kanak-anakan dan tiada punya maksud lain, Hoa Ban-ci
menganggap Ciok Boh-thian hendak menggodanya. "Sret,
pedang segera dilolosnya sambil membentak: "Manusia she
Ciok, jika kau berani maju setindak lagi segera nona mengadu
jiwa dengan kau." "Nona Hoa, Pangcu kami sangat gagah dan tampan, jika beliau
sudah penujui kau, ini adalah rejekimu, biarpun kau membawa
pedang juga tiada bedanya bagi pandangan Pangcu kami.
Padahal entah betapa banyak nona cantik didunia ini yang ingin
memikat Pangcu kami dan tak terkabul harapan mereka,"
demikian kata Tan Tiong-ci.
Dengan muka pucat menahan gusar, tanpa pikir lagi pedang
Hoa Ban-ci lantas menusuk kedada Ciok Boh-thian dalam tipu
"Tay-boh-hui-sah" (pasir terbang digurun luas).
Meski Lwekang Ciok Boh-thian sekarang sudah maha kuat, tapi
dalam hal ilmu silat untuk menghadapi musuh selamanya dia
belum pernah belajar. Sekarang dilihatnya pedang Hoa Ban-ci
menyambar kepadanya, dalam gugupnya ia menjadi
kelabakan, tapi ia masih sempat membalik tubuh terus
melarikan diri. Untung Lwekangnya sekarang sudah sangat sempurna,
walaupun cara larinya agak ketolol-tololan dan menggelikan,
tapi cepatnya benar-benar luar biasa, hanya beberapa langkah
saja dia sudah berlari sejauh beberapa meter.
Sama sekali Hoa Ban-ci tidak menyangka Ciok Boh-thian akan
melarikan diri, bahkan sedemikian cepat larinya, betapa aneh
dan hebat Ginkangnya itu sungguh belum pernah dilihatnya,
seketika Hoa Ban-ci sampai terkesima sendiri dan tak dapat
bersuara. "Wah, nona Hoa, kau jangan main-main dengan senjatamu,"
demikian Ciok Boh-thian berseru sambil goyang-goyang kedua
tangannya. "Berulang-ulang kau menuduh aku suka
membunuh orang, padahal kau sendirilah yang suka
membunuh. Sudahlah, jika kau mau pergi boleh pergi saja dan
kalau ingin tinggal disini juga boleh, aku tidak mau bicara lagi
dengan kau." Rupanya ia menduga Hoa Ban-ci tentu mempunyai alasannya,
maka dirinya hendak dibunuh olehnya. Untuk ini ada lebih baik
meminta keterangan kepada Si Kiam saja. Maka sehabis bicara
ia lantas tinggal pergi. Hoa Ban-ci menjadi lebih heran, serunya: "Ciok-pangcu,
apakah kau benar-benar telah membebaskan diriku" Janganjangan
kau menyuruh orang untuk merintangi aku diluar sana."
"Untuk apa aku merintangi kau" Jangan-jangan pedangmu
akan menusuk aku lagi, wah, kan bisa runyam!" sahut Ciok
Boh-thian. Betapapun Hoa Ban-ci masih ragu-ragu. Tapi ia pikir daripada
tetap tinggal disarang maut itu ada lebih baik tinggal pergi
saja. Maka tanpa bicara lagi ia lantas putar tubuh dan
melangkah pergi. "Nona Hoa," tiba-tiba Tan Tiong-ci berseru dengan tertawa.
"Jelek-jelek Tiang-lok-pang kami juga tidak kekurangan
penjaga, masakah nona Hoa sedemikian mudahnya pergidatang
sesukanya, memangnya kau anggap orang-orang
Tiang-lok-pang kami ini adalah sebangsa tukang gegares yang
tak berguna?" "Habis apa yang kau inginkan?" sahut Hoa Ban-ci dengan alis
menjengkit. "Kukira, haha, adalah lebih baik aku yang mengantar nona Hoa
keluar," ujar Tan Tiong-ci dengan tertawa.
Diam-diam Hoa Ban-ci berpikir: "Sekarang aku masih berada
disarang mereka, terpaksa aku tunduk kepada keinginannya,
kalau aku membangkang tentu akan sukar untuk keluar dari
sini. Sekarang biarlah aku telan semua hinaan, kelak aku akan
mengajak para saudara seperguruan untuk mengobrak-abrik
tempat ini dan membalas dendam."
"Jika demikian, silakan antarkan," katanya kemudian.
"Pangcu, Siokhe hendak mengantar nona Hoa keluar dari sini,"
kaa Tiong-ci kepada Ciok Boh-thian.
"Bagus, bagus!" sahut Boh-thian. Melihat sinar pedang Hoa
Ban-ci yang gemilapan itu, dia menjadi jeri, kalau Tan Tiong-ci
bersedia mengantarnya keluar adalah kebetulan baginya. Maka
ia lantas kembali ke kamarnya sendiri melalui jalan tadi. Setiap
orang yang dijumpainya ditengah jalan selalu menyingkir dan
memberi hormat padanya. Setiba kembali dikamarnya, diatas meja ternyata sudah
tersedia macam-macam daharan yang serba enak, segera Si
Kiam melayaninya makan. Dengan lahap Ciok Boh-thian
melahap semua masakan-masakan jang disediakan itu dan
berulang-ulang memuji kelezatannya, sekaligus ia
menghabiskan lima mangkuk nasi barulah merasa kenyang.
Selesai makan, baru saja dia hendak tanya Si Kiam mengenai
ditawannya Hoa Ban-ci oleh Tan-hiangcu dan mengapa nona itu
hendak membunuhnya, tiba-tiba penjaga diluar pintuk
memberi lapor bahwa Pwe Hay-ciok datang.
Boh-thian sangat girang, cepat ia memapak keluar ruangan
tamu. Segera ia berkata kepada Pwe Hay-ciok: "Pwe-siansing,
tadi telah terjadi sesuatu yang aneh," ~ Lalu ia menceritakan
tentang Hoa Ban-ci tadi. "Pangcu," kata Pwe Hay-ciok kemudian dengan sikap prihatin.
"Siokhe ingin mohon sesuatu padamu. Yaitu tentang Tan
hiangcu dari Say-wi-tong yang selamanya sangat setia dan
berjasa kepada Pang kita, haraplah Pangcu suka mengampuni
jiwanya." "Mengampuni jiwanya?" Ciok Boh-thian menegas dengan
heran. "Ya, mengapa tidak" Bukankah dia seorang baik.
Apakah dia sakit" Jika demikian hendaklah Pwe-siansing suka
menolongnya saja." Pwe Hay-ciok sangat girang, ia memberi hormat dan
menghaturkan terima kasih. Biasanya sang Pangcu itu sangat
tak berbudi, orang yang dianggapnya bersalah jarang
diampuni, tapi hari ini kebiasaan itu telah dilanggar, hal ini
menandakan penghargaannya terhadap permohonan dirinya
itu. Maka cepat Pwe Hay-ciok lantas mengundurkan diri.
Kiranya sesudah Tan Tiong-ci berpisah dengan Hoa Ban-ci,
kemudian buru-buru ia menemui Pwe Hay-ciok dan minta
bantuannya untuk memohon ampun kepada sang Pangcu dan
memberi obat penawar racun (padahal sama sekali ia tidak
keracunan). Obat penawar racun milik Pwe Hay-ciok yang
bernama "Ban-leng-kay-tok-tan" sangat mujarab bagi segala
macam racun, asal sang Pangcu mengijinkan, dengan mudah
sekali ia dapat menyelamatkan jiwa Tan Tiong-ci. Dan ternyata
dengan cepat sang Pangcu lantas meluluskan permintaannya,
sudah tentu girang Pwe Hay-ciok tak terkatakan, terutama
mengingat kekuatan Tiang-lok-pang tidak jadi retak dengan
urung perginya Tan Tiong-ci.
Begitulah, sesudah Pwe Hay-ciok pergi, lalu Ciok Boh-thian
tanya berbagai urusan kepada Si Kiam, maka baru diketahui
bahwa tempat markas besar Tiang-lok-pang berada itu adalah
kota Yangciu. Dia adalah Pangcu dari Tiang-lok-pang yang
susunan organisasinya terbagi menjadi Lwe-sam-tong (tiga
seksi dalam) dan Gwa-ngo-tong (lima seksi luar) dengan
anggota yang tersebar luas dimana-mana.
Jago-jago pilihan didalam Tiang-lok-pang teramat banyak,
beberapa tahun terakhir ini perkembangan organisasi mereka
maju dengan pesat, tokoh-tokoh seperti Pwe Hay-ciok saja
juga mau masuk menjadi anggota, maka dapat dibayangkan
betapa hebat pengaruh dan kekuatan Tiang-lok-pang. Adapun
bagaimana azas perjuangan Tiang-lok-pang, siapa kawan dan


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siapa lawannya, hal-hal ini Si Kiam tak dapat menceritakan,
maklum ia hanya seorang pelayan yang masih hijau.
Dengan sendirinya Ciok Boh-thian tidak mendapatkan
gambaran yang jelas tentang Tiang-lok-pang, apalagi dia
sendiri tiada punya pengalaman apa-apa.
Sesudah merenung sejenak, kemudian ia berkata: "Enci Si
Kiam, tentu kalian telah salah mengenali orang. Jikalau aku
tidak berada dalam mimpi, maka teranglah Pangcu kalian
adalah seorang lain lagi. Aku adalah pemuda gunung, masakah
dianggap Pangcu apa segala."
"Sekalipun banyak manusia yang mirip didunia ini juga tiada
mungkin semirip ini," kata Si Kiam dengan tertawa. "Siauya
rupanya engkau sedang melatih semacam ilmu dan mungkin
telah mengguncangkan otakmu sehingga kau melupakan
kejadian yang lalu. Hendaklah kau mengaso saja, perlahanlahan
tentu dapat ingat kembali."
"Tidak, tidak, masih banyak yang aku merasa tidak mengarti
dan ingin tanya padamu," kata Boh-thian. "Enci Si Kiam, sebab
apa kau suka menjadi pelayan?"
"Masakah ada orang sukarela menjadi pelayan?" sahut Si Kiam
dengan hati pedih. "Sejak kecil aku sudah yatim piatu, aku
telah dijual orang kedalam Tiang-lok-pang sini dan Tocongkoan
(kepala rumah tangga, she To) menugaskan aku
melayani kau, terpaksa aku harus melayani kau."
"Jika demikian, jadi kau tidak suka, kalau begitu bolehlah kau
pergi saja, aku tidak perlu dilayani orang, segala apa aku dapat
mengerjakannya sendiri," kata Boh-thian.
"Aku hanya sebatangkara, kau suruh aku pergi kemana" Jika
To-congkoan mengetahui kau takmau dilayani diriku, tentu aku
yang disalahkan dan mungkin akan dihajarnya hingga mati."
"Aku akan minta dia jangan menghajar kau," kata Boh-thian.
Namun Si Kiam tetap menggeleng, katanya: "Kesehatanmu
belum pulih, akupun tidak boleh pergi dengan begini saja. Pula
asal kau tidak nakal padaku, sesungguhnya aku suka melayani
kau, Siauya." "Bilakah aku nakal padamu" Selamanya aku tidak pernah nakal
pada orang lain." Si Kiam mendongkol dan geli pula, katanya: "Jika demikian,
orang tentu akan mengatakan Ciok-pangcu kita benar-benar
telah berubah sekarang menjadi alim."
Boh-thian tidak berkata lagi, tapi pikirnya: "Ciok-pangcu yang
sebenarnya itu tentulah seorang manusia jahat, nakal dan suka
membunuh orang pula, maka setiap orang takut padanya.
Wah, bagaimana baiknya ini" Biarlah besok dibicarakan
sejelasnya dengan Pwe-siansing saja, terang mereka telah
salah mengenali diriku."
Begitulah pikirannya timbul-tenggelam tak tertentu,
sebenarnya ia merasa senang menjadi Pangcu yang dihormati
orang sebanyak itu, tapi lain saat ia merasa tidaklah pantas
memalsukan orang lain, kelak kalau Pangcu tulen itu pulang
tentu akan marah, boleh jadi dirinya akan dibunuh dan inilah
suatu risiko baginya. Petangnya sesudah makan malam, kembali ia mengobrol lagi
dengan Si Kiam, ia tanya ini dan itu, ia merasa serba menarik
dari keterangan-keterangan yang diberikan Si Kiam itu. Sampai
jauh malam, Si Kiam kuatir penyakit nakal sang Siauya akan
kumat lagi, maka cepat-cepat ia mengundurkan diri dan
sekalian menutupkan pintu kamar.
Tinggal Ciok Boh-thian sendirian didalam kamar, dalam
isengnya ia lantas duduk bersila diatas ranjang dan berlatih
menurut petunjuk-petunjuk dibadan boneka-boneka kayu itu.
Dimalam yang sunyi senyap itulah tiba-tiba terdengar suara
"tik-tik-tik" tiga kali, suara daun jendela diselentik. Waktu Ciok
Boh-thian membuka mata, tertampaklah daun jendela
perlahan-lahan terpentang, sebuah tangan yang halus tampak
sedang menggapai-gapai padanya, samar-samar kelihatan pula
lengan bajunya yang berwarna hijau pupus.
Hati Ciok Boh-thian tergerak, teringat olehnya wajah sianak
dara berbaju hijau muda. Segera ia melompat turun dan
memburu kedepan jendela, serunya: "Cici!"
"Cis, mengapa memanggil Cici sekarang" Lekas keluar sini!"
demikian terdengar suara seorang anak dara menyahut dengan
suara yang nyaring merdu.
Segera Boh-thian melangkah keluar melalui jendela. Tapi tiada
seorangpun tertampak olehnya. Tengah heran, mendadak
pandangannya menjadi gelap, sepasang tangan yang halus
lemas telah mendekap kedua matanya, berbareng terdengar
suara mengikik-tawa dibelakangnya, menyusul lantas terandus
bau bunga anggrek yang harum.
Terkejut dan senang pula hati Ciok Boh-thian. Ia tahu si-anak
dara sedang bergurau dengan dia. Padahal sejak kecil ia hidup
ditengah gunung yang sepi, kawan satu-satunya adalah si
Kuning, anjing piaraannya. Sekarang mendadak ada seorang
muda yang sebaya dan suka bergurau dengan dia, sudah tentu
dia sangat senang. "Nah, aku akan tangkap kau!" serunya sambil kedua tangannya
merangkul kebelakang. Tapi betapa cepatnya dia bergerak, tahu-tahu dia hanya
memegang tempat kosong, dengan cepat sekali sianak dara
sudah melompat pergi. Ketika ia menoleh, sekilas tertampak
baju hijau berkelebat di-semak-semak pohon bunga sana,
cepat ia memburu maju dansegera menangkapnya, tapi yang
terpegang adalah duri-duri mawar sehingga dia menjerit
kesakitan. Sianak dara tampak mengongol dari balik semak-semak sana
dan berkata perlahan dengan tertawa: "Tolol, jangan bersuara,
lekas ikut padaku!" Ketika melihat anak dara itu berjalan pergi, segera Boh-thian
mengikutinya. Waktu berlari sampai ditepi pagar tembok, baru
saja anak dari itu hendak melompat keatas, mendadak dari
tempat gelap telah mengadang keluar dua orang bersenjata
sambil membentak: "Jangan bergerak! Siapa kau?"
Pada saat itu pula juga dengan tertawa-tawa Ciok Boh-thian
juga sudah ikut tiba. Rupanya kedua orang itu adalah anggota Tiang-lok-pang yang
sedang meronda. Mereka menjadi mengkeret demi nampak
sang Pangcu bersama anak dara itu dalam keadaan tertawa
senang, cepat mereka melangkah mundurdan memberi
hormat, kata mereka: "Hamba tidak tahu nona ini adalah
teman Pangcu, harap memaafkan." ~ Menyusul merekapun
memberi hormat pada sianak dara sebagai tanda permintaan
maaf. Anak dara itu meleletkan lidah kepada mereka dengan muka
jenaka, lalu ia menggape pula kepada Ciok Boh-thian terus
melompat keatas pagar tembok.
Melihat pagar tembok itu cukup tinggi, Boh-thian merasa tidak
sanggup melompat keatas sebagaimana cara sianak dara itu.
Tapi dilihatnya anak dara itu sedang menggape lagi padanya,
bahkan kedua peronda tadi juga sedang memandang padanya,
ia pikir tidaklah mungkin menyuruh mereka membawakan
tangga baginya, terpaksa ia harus melakukannya sebisa
mungkin, segera ia tekuk lutut sedikit terus meloncat keatas.
Eh, aneh juga, entah darimana timbulnya semacam tenaga
pada kakinya, sekonyong-konyong tubuhnya terus membal
keatas, bahkan tanpa hinggap diatas pagar tembok dan
sekaligus melintas keluar sana.
Kedua peronda tadi sampai melonjak kaget, mereka lantas
berseru memuji: "Gin-kang yang hebat !"
Namun lantas terdengar suara gedebukan diluar pagar tembok
sana, suara jatuhnya benda berat. Kiranya Ciok Boh-thian tidak
tahu cara bagaimana harus tancapkan kakinya ketanah maka
ia telah jatuh terbanting. Kedua peronda hanya saling pandang
dengan bingung, sudah tentu mereka tidak tahu apa yang
sudah terjadi. Sungguh tak tersangka oleh mereka bahwa
Ginkang sang Pangcu sebagus itu akhirnya dapat jatuh
terbanting dalam keadaan yang lucu.
Sebaliknya sianak dara yang berdiri diatas pagar tembok dapat
melihat dengan jelas, ia terkejut dan cepat melompat turun
kesana. Ia lihat Ciok Boh-thian sampai sejenak belum lagi
bangun, segera ia memayangnya dan bertanya: "Engkoh Thian,
bagaimana" Agaknya kesehatanmu belum pulih betul-betul,
janganlah terlalu menggunakan tenaga.
Pantat Ciok Boh-thian terasa kesakitan karena jatuh terbanting
dengan keras, atas bantuan sianak dara akhirnya dia dapat
berdiri kembali. "Maukah kita pergi ketempat biasanya sana," ajak sianak dara.
"Apakah kau masih sakit, dapat berjalan tidak?"
Dasar Ciok Boh-thian sangatlah bandel, biarpun sakit juga
takkan mengaku sakit, apalagi Lwekangnya sekarang sudah
sangat tinggi, rasa sakit terbanting itu hanya sebentar saja
sudah lenyap, segera ia menjawab: "Aku tidak merasa sakit
lagi, marilah kita segera berangkat."
"Sudah sekian lamanya kita tidak bertemu, kau kangen padaku
atau tidak?" tanya sianak dara dengan mendongak, menatap
muka Ciok Boh-thian dan sambil menarik tangan kanannya.
Maka tertampaklah didepan Ciok Boh-thian sebuah wajah yang
cantik molek, dibawah pantulan cahaya rembulan, kedua biji
mata anak dara itu seakan-akan dua titik bintang yang
cemerlang. Dari badan anak dara itupun terendus bau yang
harum, mau-tak-mau hati pemuda itu terguncang. Walaupun
dia sama sekali tidak paham soal hubungan antara kaum pria
dan wanita, tapi seorang pemuda berusia 20 tahun berada
dalam keadaan dan adegan demikian, biarpun lebih tolol lagi
juga akan timbul rasa cintanya kepada anak dara yang cantik
itu. Sesudah tertegun sejenak, lalu ia menjawab: "Malam itu kau
telah datang menjenguk diriku dan segera kau pergi lagi.
Sungguh aku sangat merindukan dikau."
Sianak dara tertawa genit, katanya pula: "Kau telah
menghilang sekian lamanya, lalu tak sadarkan diri sekian
lamanya pula, sungguh aku menjadi kuatir sekali. Selama
beberapa hari ini setiap malam aku pasti datang menjenguk
kau, apakah kau tahu" Kulihat kau sedang asyik berlatih,
karena kuatir mengganggu, maka aku tidak memanggil kau."
"Apa betul" Sungguh aku sama sekali tidak tahu. O, enci yang
baik, mengapa kau se?""..sedemikian baiknya padaku?" kata
Boh-thian dengan girang. Mendadak air muka sianak dara berubah, ia kipatkan tangan
sianak muda dan omelnya: "Kau panggil aku apa" Ya, memang
aku sudah?""..sudah menduga sebabnya kau menghilang
sekian lamanya, tentu?"" tentu kau mempunyai teman wanita
lagi dilain tempat. Hm, rupanya kau sudah terlalu biasa
memanggil "enci yang baik" kepada orang lain, maka sekarang
juga kau panggil aku demikian."
Baru saja anak dara itu masih tertawa riang dan menggiurkan,
sekarang mendadak lantas berubah marah, keruan Ciok Bohthian
tidak paham dan bingung, katanya dengan tergagapgagap:
"Aku?""..aku?"?"."
Sianak dara bertambah marah, tiba-tiba ia jewer telinga kanan
Ciok Boh-thian, katanya dengan gusar: "Selama ini sebenarnya
kau telah berkumpul dengan wanita siapa" Bukankah kau
memanggilnya sebagai "enci yang baik?" Hayo, lekas mengaku,
lekas!" ~ Sambil bicara jewerannya tambah keras dan makin
keras. Keruan Ciok Boh-thian menjerit kesakitan, serunya: "He, he!
Kenapa kau segalak ini" Aku takmau bermain lagi dengan kau!"
Kembali sianak dara menjewer lebih keras, katanya: "Jadi kau
hendak meninggalkan aku dan takkan menggubris lagi padaku"
Hm, tidak boleh semudah ini. Siapa wanita yang berada
bersama kau itu" Hayo, lekas mengaku!"
"Ya, aku memang berada bersama seorang wanita," akhirnya
Boh-thian mengaku dengan meringis kesakitan. "Dia?"".dia
tidur sekamar dengan aku?"?"."
"Nah, apa kataku?" sela sianak dara dengan gusar. Kontan ia
menjewer terlebih keras sehingga kuping Ciok Boh-thian
sampai berdarah. Lalu teriaknya dengan suara melengking:
"Biar sekarang juga akan kubunuh dia!"
"Eh, eh, jangan! Dia adalah enci Si Kiam, dia telah
membuatkan sarang burung dan memasakkan bubur untukku,
walaupun bubur itu kedaluan dan hangus, tapi dia sangat baik.
Kau?""kau tidak boleh membunuhnya."
Mestinya anak dara itu sudah mencucurkan air mata,
mendadak ia tertawa kembali. "Fui!" semprotnya sambil
menjewer lagi dengan keras. "Kukira enci yang baik siapa,
kiranya adalah budak busuk itu. Ah, kau berdusta, aku tidak
percaya. Selama beberapa malam ini aku selalu mengawasi
kau dari luar jendela, tampaknya kau dan budak busuk itu
cukup prihatin juga, ya, anggaplah kau masih tahu batas." ~
Habis berkata kembali ia hendak menjewer lagi.
Boh-thian terkejut dan cepat hendak berusaha menghindar,
tapi sekali ini anak dara itu ternyata tidak menjewer lagi,
sebaliknya ia mengelus-elus telinga pemuda itu, tanyanya
dengan tertawa: "Apakah sakit?"
"Sudah tentu sakit," sahut Boh-thian.
"Biar kau tahu rasa, habis siapa suruh kau berdusta, secara
aneh kau memanggil aku "enci yang baik" apa segala!"
"Menurut ibuku, katanya panggilan "Cici" adalah tanda hormat
pada orang lain, apa aku salah panggil?"
Sianak dara mempelototinya sekali. "Sejak kapan kau
menghormat padaku" Sudahlah, jika kau merasa penasaran,
bolehlah kau balas menjewer telingaku. Ini!" ~ Berbareng ia
terus miringkan muka dan sodorkan telinganya kedepan.
Seketika Boh-thian mengendus bau harum yang teruar dari
muka anak dara itu. Tanpa merasa hidungnya meng-endus2
beberapa kali seperti si Kuning piaraannya. Ia pegang-pegang
kuping anak dara itu, lalu katanya: "Tidak, aku takmau
menjewer kau?"?".O, ya, cara bagaimana aku mesti
memanggil kau?" "Cara bagaimana kau panggil aku dahulu" Masakah sampai
namaku juga sudah kau lupakan?" omel sianak dara.
Boh-thian terdiam sejenak, lalu katanya dengan sungguhsungguh:
"Nona, biarlah kukatakan terus terang padamu.
Sesungguhnya kau telah salah mengenali aku. Aku bukanlah
kau punya "engkoh Thian" apa segala. Aku bukan Ciok Bohthian,
tapi aku adalah Kau-cap-ceng."
Bab 12. Ting Tong! Si Nona Berbaju Hijau
Anak dara itu melengak, ia pegang pundak pemuda itu dan
diputarnya ke kanan dan ke kiri, ia mengamat-amati pemuda
itu sejenak di bawah cahaya rembulan. Tiba-tiba ia tertawa
terkekeh-kekeh, katanya, "Engkoh Thian, sungguh kau pintar


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkelakar. Ucapanmu barusan sungguh membuat kaget
padamu, kusangka benar-benar telah salah mengenali kau.
Hayolah, mari kita berangkat."
Segera ia tarik tangan Ciok Boh-thian dan mendahului
bertindak ke depan. "Ti ... tidak, aku tidak berkelakar," seru Ciok Boh-thian dengan
gugup. "Kau benar-benar telah salah mengenali diriku. Coba
pikir, sedangkan namamu saja aku tidak tahu."
Mendadak si anak dara menghentikan langkahnya, katanya
dengan tertawa genit, "Ya, sudahlah, dasar kepala batu, tidak
mau mengalah, biarlah aku tunduk padamu. Nah, dengarkan
aku she Ting bersama Tong, biasanya kau suka panggil aku
ting-tong, ting-tong, terkadang kau pun panggil aku ting-tingtong-
tong Sekarang sudah jelas, bukan?"
Habis berkata segera ia putar tubuh dan berlari ke depan
secepat terbang. Karena diseret si anak dara, tanpa kuasa Ciok Boh-thian ikut
berlari juga, semula ia hampir keserimpet, untung tidak sampai
jatuh. Akhirnya ia dapat membuang langkah dan mengikuti lari
si anak dara dengan sama cepatnya. Bermula napasnya
menjadi tersengal-sengal tapi lama-kelamaan tenaga dalamnya
mulai merata, kakinya makin lama makin enteng, sedikit pun
tidak terasa payah lagi. Entah sudah berlari berapa jauhnya, tiba-tiba tertampak
pantulan cahaya air mengambang di depan, nyata mereka
telah sampai di tepi sebuah sungai. Segera Ting Tong menarik
tangan Ciok Boh-thian dan melompat perlahan ke depan,
menghinggap di haluan sebuah perahu kecil yang tertambat di
tepi sungai. Karena Ciok Boh-thian belum dapat menggunakan tenaga
dalamnya untuk dikerahkan sebagai Ginkang, maka
lompatannya ke atas perahu itu seperti orang biasa saja,
dengan antap menancapkan kaki di haluan perahu sehingga
perahu tertekan dan air muncrat.
"Ai, apakah kau ingin menenggelamkan perahu ini?" jerit Ting
Tong dengan tertawa. Segera ia melepaskan tambatan perahu, ia angkat dengan
galah bambu, sekali dorong dengan galahnya, dengan cepat
perahu itu lantas meluncur ke tengah sungai.
Boh-thian melihat kedua tepi sungai itu banyak tumbuh pohon
Yangliu, dari jauh tertampak beberapa buah rumah penduduk,
malam sunyi, bulan terang, sayup-sayup hidungnya
mendengus bau harum yang memabukkan, entah bau harum
bunga yang tumbuh di tepi sungai atau bau wangi yang timbul
dari badan Ting Tong"
Perahu itu meluncur dengan pesat di tengah sungai, sesudah
membelok beberapa kali, setiba di bawah sebuah jembatan
batu, Ting Tong lantas menambat perahunya di batang pohon
Yangliu. Pohon-pohon Yangliu di sekitar jembatan itu tumbuh
sangat rindang sehingga jembatan batu yang kecil itu hampir
tertutup rapat. Sinar bulan menembus remang-remang melalui
celah-celah daun pohon, perahu yang berlabuh itu menjadi
mirip bermukim di dalam sebuah rumah alam yang kecil.
"Sungguh baik sekali tempat ini, andai kata siang hari juga
orang mungkin tidak menyangka bahwa di sini berlabuh sebuah
perahu kecil," puji Boh-thian.
"Mengapa baru sekarang kau memuji tempat ini?" sahut Ting
Tong dengan tertawa. Segera anak dara itu membuka peti perahu, ia mengeluarkan
sehelai tikar dan dibentang di haluan perahu, dikeluarkannya
dua pasang sumpit dan mangkuk serta satu poci arak, katanya
dengan tertawa, "Silakan duduk dan minum arak."
Kemudian ia mengeluarkan lagi beberapa macam makanan
pengiring arak seperti kacang goreng, dendeng dan lain-lain.
Ketika anak dara itu baru menuangkan arak, Ciok Boh-thian
lantas membau harum arak yang menusuk hidung. Sudah
pernah dia mendengar cerita ibunya tentang minum arak, tapi
macam apakah "arak" itu selamanya belum pernah dilihat dan
dicobanya. Cia Yan-khek juga tidak suka minum arak, sebab
itulah ketika tinggal di Mo-thian-kay juga tidak pernah kenal
arak. Sekarang ia melihat secawan arak yang disodorkan Ting Tong
itu berwarna merah kekuning-kekuningan, tanpa pikir ia terus
menenggaknya hingga habis. Ia merasakan hawa hangat
menerjang ke dalam perut, dalam mulut terasa sedikit pedas
dan sedikit pahit. Seketika ia mengerut dahi.
Ting Tong tertawa, katanya, "Ini adalah arak "Lu-ji-hong" dari
Siauhin simpanan dua puluh tahun, apakah enak rasanya?"
Tapi belum lagi Boh-thian menjawab, tiba-tiba dari atas
terdengar suara seorang tua berkata, "Hm, Lu-ji-hong
simpanan 20 tahun masakah tidak enak rasanya?"
Tanpa terasa cawan arak yang dipegang Ting Tong jatuh ke
papan perahu dan akhirnya menggelinding masuk ke dalam
sungai, arak menciprat membasahi pakaiannya. Muka anak
dara itu pucat seketika dengan badan gemetar, ia pegang
tangan Ciok Boh-thian dan berbisik, "Celaka, itulah suara
kakek!" "Ya, betul memang inilah kakekmu," kata suara orang tua di
atas itu. "Budak setan, kau berkencan dengan kekasih tidaklah
menjadi soal, tapi mengapa arak yang kudapatkan dengan
susah payah itu juga kau curi untuk disuguhkan kepada
kekasihmu?" "Dia ... dia bukan kekasih, hanya ... hanya kawan biasa saja,"
sahut Ting Tong. "Huh, kawan biasa masakah perlu kau melayaninya sedemikian
baik?" semprot si kakek. "Ya, sampai arak kesayangan kakek
juga kau berani mencuri" Hayo, maling cilik, lekas-lekas keluar
sini, ingin kulihat bagaimana macammu sehingga hati cucu
perempuanku sampai tercuri olehmu?"
Waktu Ciok Boh-thian mendongak ke arah datangnya suara,
terlihat sepasang kaki menjulai dan bergerak-gerak di atas
kepalanya, terang orang tua itu duduk di atas jembatan sambil
menjulurkan kedua kakinya ke bawah, kalau kakinya mengulur
belasan senti lagi ke bawah tentu akan dapat menginjak di atas
kepala Ciok Boh-thian. Kedua kaki itu memakai kaus kaki katun warna putih, sepatu
kain tebal bersulam indah. Baik kaus kaki dan sepatunya
tampak sangat rajin dan resik.
Dalam pada itu Ting Tong telah menjawil-jawil Ciok Boh-thian
sambil memberi macam-macam tanda, maksudnya agar
pemuda itu jangan mengaku siapa sebenarnya dia, lalu nona
itu berseru, "Yaya (kakek), kawanku ini bermuka jelek lagi
tolol, kalau melihatnya pasti kakek takkan suka padanya.
Arakmu yang kucuri ini hanya akan kuminum sendiri, orang
macam dia masakah ada harganya untuk disuguhi arak seenak
ini" Soalnya cucu merasa kesepian dan sembarangan mencari
seorang teman mengobrol seperti dia ini."
Sudah tentu Ciok Boh-thian sangat mendongkol, masakah
dirinya dikatakan jelek dan dianggap tolol serta dikatakan tiada
harganya disuguhi arak itu, segera ia mengipratkan tangan
Ting Tong sehingga terlepas.
Tapi cepat Ting Tong memegang pula tangan pemuda itu dan
menggoyang-goyang tangan serta menjawil-jawil, seperti
tanda mesra dan seperti memberi pesan dengan sangat pula
agar pemuda itu menurut. Dengan sendirinya Ciok Boh-thian merasa bingung.
Sementara itu si orang tua yang duduk di atas itu telah berkata
pula, "Hayo, kedua setan cilik lekas keluar semua. A Tong, hari
ini kakek sudah membunuh beberapa orang?"
"Seperti ... seperti baru membunuh satu orang," sahut Ting
Tong dengan suara terputus-putus.
Diam-diam Ciok Boh-thian merasa heran mengapa ke sana
kemari selalu ditemukan orang-orang yang suka membunuh,
yang dibicarakan juga selalu soal membunuh.
Dalam pada itu si kakek di atas jembatan itu telah berkata,
"Bagus, jadi hari ini aku baru membunuh satu orang, jika
demikian masih boleh membunuh dua orang lagi. Membunuh
dua orang lagi sebagai pengiring minum arak juga boleh."
"Membunuh orang sebagai pengirim minum arak, di dunia ini
mengapa ada kejadian demikian?" demikian pikir Ciok Bohthian.
Pada saat lain mendadak terasa tangan yang dipegang Ting
Tong tadi telah dilepaskan, berbareng suatu bayangan
berkelebat, tahu-tahu di atas perahu mereka sudah bertambah
satu orang dan tepat duduk di tengah-tengah antara Ting Tong
dan Boh-thian. Dalam kejutnya cepat Boh-thian menyurut mundur sedikit,
waktu ia pandang orang itu, ternyata jenggot dan kumis orang
itu sudah memutih perak, wajahnya berseri-seri, itulah seorang
kakek yang tampaknya sangat welas asih. Tapi begitu tertatap
sinar matanya, tanpa kuasa Ciok Boh-thian bergidik. Kiranya
dari sorot mata orang tua itu terpantul sesuatu sifat jahat yang
susah dilukiskan sehingga bagi yang melihatnya seketika akan
merasa merinding ketakutan.
Kakek itu tampak tertawa dan mengangkat tangannya
menepuk satu kali di atas pundak Ciok Boh-thian, katanya,
"Anak bagus, mulutmu sungguh sangat beruntung dapat
minum arak Lu-ji-hong simpanan 20 tahun milik kakek."
Meski dia hanya menepuk perlahan saja, tapi tulang pundak
Ciok Boh-thian seketika berkeriukan seakan-akan pecah dan
rontok semua. Ting Tong terperanjat dan cepat memegang tangan sang kakek
sambil memohon, "Yaya, ja ... janganlah kau melukai dia."
Tepukan yang perlahan tadi sebenarnya mengandung tenaga
dalam yang mahadahsyat, maksud orang tua itu adalah untuk
membikin remuk tulang pundak Ciok Boh-thian. Tak terduga
ketika telapak tangannya menyentuh bahu pemuda itu,
seketika dari bahunya timbul semacam tenaga tolakan yang
mahakuat, tenaga dalam yang hebat itu bukan saja telah
melindungi tubuh pemuda itu, bahkan tangan si kakek sendiri
sampai tergetar membal ke atas.
Syukur kakek itu cepat mengerahkan tenaganya lagi sehingga
tangannya tidak sampai terpental ke atas.
Keruan kejut si kakek melebihi Ting Tong, tapi ia lantas tertawa
dan berkata pula, "Bagus, bagus! Anak bagus, kau memenuhi
syarat untuk minum arakku. Hayo, A Tong, tuangkan lagi
beberapa cawan arak, sekarang Yaya yang menjamu dia
minum arak dan takkan menyalahkan kau yang mencuri arak
ini." Ting Tong menjadi girang. Ia kenal watak sang kakek yang
angkuh. Jarang ada tokoh-tokoh persilatan yang terpandang
olehnya. Sekarang baru bertemu dengan Ciok Boh-thian sudah
lantas menjamunya minum arak, sudah tentu anak dara itu
merasa girang dan lega. Ia mengira sang kakek juga suka
kepada kekasihnya yang gagah dan tampan ini. Sama sekali
tak terduga olehnya bahwa Ciok Boh-thian tadi sebenarnya
sudah terancam elmaut. Sebabnya sang kakek berubah sikap adalah karena terkejut
atas Lwekang Ciok Boh-thian yang luar biasa itu dan sekali-kali
bukan karena pemuda itu "gagah dan tampan", padahal muka
Ciok Boh-thian meski tidak jelek, namun untuk dibilang tampan
juga belum sesuai. Begitulah dengan senang Ting Tong lantas mengeluarkan dua
cawan arak lagi dan menuangkan secawan untuk sang kakek,
secawan untuk Ciok Boh-thian, ia sendiri pun menuang
secawan. "Bagus, bagus! Jikalau A Tong sudah penujui kau, tentu kau
mempunyai asal usul yang tidak sembarangan. Nah, coba
katakan, siapa namamu?" demikian si kakek bertanya.
"Aku ... aku bernama ...." sahut Ciok Boh-thian dengan
tergagap. Sekarang dia sudah tahu bahwa "Kau-cap-ceng"
adalah kata-kata makian yang kotor, sudah tentu tidak boleh
diucapkan di depan seorang tua. Tapi selain itu sesungguhnya
dia tiada punya nama lain, maka sesudah mengucapkan,
"Bernama ... bernama ...." ia tidak sanggup menyambung pula.
Si kakek tampak kurang senang, tegurnya, "Apakah kau tidak
berani berkata terus terang kepada kakek?"
"Mengapa tidak berani?" tiba-tiba Boh-thian menjawab dengan
tegas. "Hanya saja namaku agak kurang enak didengar. Aku ...
bernama Kau-cap-ceng!"
Untuk sejenak si kakek tampak melengak. Tapi mendadak ia
bergelak tertawa terpingkal-pingkal, suara tertawanya
berkumandangan jauh, jenggotnya yang sudah putih semua itu
sampai terguncang-guncang.
"Hah, bagus, bagus, namamu sungguh sangat baik," kata si
kakek sesudah berhenti tertawa. "Kau-cap-ceng!"
"Ya, kakek!" sahut Ciok Boh-thian.
Seketika Ting Tong tersenyum girang. Ia pandang sang kakek
dan pandang pula Ciok Boh-thian. Sebabnya dia merasa
senang adalah karena Ciok Boh-thian secara spontan
memanggil kakek kepada kakeknya, malah waktu dipanggil
dengan nama Kau-cap-ceng pemuda itu pun menurut saja.
Nyata ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ciok Boh-thian itu
memang bersama Kau-cap-ceng, pula pemuda itu tidak tahu
tata krama, bagaimana orang memanggil ia pun menirukan
saja, si Ting Tong memanggil kakek, maka ia pun menirukan
memanggil kakek. Jadi rasa puas Ting Tong dan kakek yaitu
sebenarnya "salah wesel" belaka.
"A Tong," si kakek berkata pula, "apakah nama kakek sudah
kau katakan kepada kekasihmu?"
Ting Tong menggeleng dengan sikap malu-malu, jawabnya,
"Tidak, belum kukatakan padanya."
Mendadak si kakek menarik muka, katanya, "Sebenarnya kau
suka atau tidak padanya. Jika suka, mengapa asal usul sendiri
belum lagi diberitahukan padanya" Jikalau tidak suka mengapa
kau berani mencuri arak simpanan kakek untuk disuguhkan
kepadanya, bahkan selama beberapa malam berturut-turut kau
mencuri arak Hian-peng-pek-hwe-ciu yang merupakan jimat
simpanan kakek itu dan dicekokkan kepada bocah ini?" Makin
lama makin keras suaranya, sampai akhirnya suaranya
berubah menjadi bengis, ketika menyebut nama Hian-pengpek-
hwe-ciu (arak api hijau inti es) bahkan sorot matanya
menjadi beringas. Ciok Boh-thian ikut-ikut kebat-kebit hatinya
menyaksikan demikian itu.
Namun Ting Tong lantas menjatuhkan dirinya ke pangkuan si
kakek sambil memohon, "O, Yaya, ternyata engkau sudah
mengetahui semuanya. Harap ampunilah A Tong."
"Mengampuni A Tong" Hm, enak saja bicara," jengek si kakek.
"Apakah kau tahu bahwa betapa mujarabnya Hian-peng-pekhwe-
ciu itu, sekarang telah kau habiskan, untuk
memperolehnya apakah sedemikian mudahnya?"


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ampun kakek," pinta Ting Tong. "Soalnya karena A Tong tidak
tega menyaksikan dia tersiksa oleh penyakit panas-dingin.
Tiba-tiba A tong teringat kepada arak mustajab simpanan
kakek itu, maka secara sembrono telah mencurinya untuk
diminumkan padanya. Ternyata ada hasilnya sedikit, lalu
berturut-turut kuminumkan dia lagi sehingga tanpa terasa
habis terminum. Baiklah kakek memberitahukan resep
membuat arak itu padaku, betapa pun A Tong pasti akan
mengembalikan sebotol kepada kakek."
Sesudah mendengarkan percakapan kakek dan cucu
perempuan itu barulah Ciok Boh-thian paham duduknya
perkara. Kiranya sewaktu dirinya dalam keadaan tak sadar ketika
diserang penyakit panas-dingin tempo hari, secara diam-diam
Ting Tong telah mencuri dan mencekoki arak "Hian-peng-pekhwe-
ciu yang merupakan milik kesayangan kakeknya. Rupanya
kesembuhannya ini sebagian adalah jasa si anak dara itu yang
telah menolong jiwanya, sekarang terdengar si kakek sedang
marah-marah kepada anak dara itu maka ia lantas menyela,
"Kakek, jikalau arak itu telah diminumkan padaku, maka
tanggung jawab mengembalikan arak itu harus kupikul. Biarlah
aku akan berdaya untuk mengembalikannya padamu. Jika tidak
dapat, terpaksa terserah kepada cara bagaimana kau akan
ambil tindakan padaku."
"Bagus, bagus!" seru si kakek dengan tertawa. "Jika demikian,
soalnya menjadi agak lain. Eh, A Tong, mengapa kau tidak
memberi tahu padanya tentang asal usul dirimu sendiri?"
Ting Tong tampak serbasalah, jawabnya, "Dia ... dia tidak
pernah tanya padaku, maka aku pun tidak pernah katakan
padanya. Hendaklah kakek jangan sangsi, sama sekali tiada
maksud tertentu di dalam hal ini."
"Tiada maksud tertentu?" si kakek menegas. "Kukira toh tidak
demikian halnya. Apa isi hatimu masakah kakek tidak tahu"
Tentunya kau sudah benar-benar menyukai dia dengan
harapan bocah ini akan mengambil kau sebagai istri, tapi kalau
kau katakan nama dan asal usulmu, hm, tentunya bocah ini
akan kaget setengah mati. Sebab itulah kau berusaha
mengelabui dia sedapat mungkin. Hm, betul tidak dugaanku?"
Uraian si kakek benar-benar tepat mengenai isi Ting Tong. Tapi
kalau dia mengaku terus terang tentu sang kakek akan gusar.
Sebab ia tahu sang kakek adalah tokoh yang disegani, ditakuti,
dihormati, tapi juga dijauhi oleh setiap orang Bu-lim lantaran
kejahatannya yang merontokkan nyali siapa saja yang
mendengarnya. Tapi orang tua itu ingin bersikap ramah dan suka padanya, asal
orang memperlihatkan tanda takut atau muak padanya, orang
itu tentu akan segera dibunuh olehnya.
Begitulah Ting Tong menjadi serbasusah. Kalau berdusta tentu
akan makin membikin gusar sang kakek dan membikin urusan
menjadi runyam. Tapi kalau mengatakan terus terang nama
dan asal usul sang kakek sehingga benar-benar menakutkan
kekasihnya, lalu melarikan diri dan tak mau berkumpul lagi
dengan dirinya, lantas bagaimana. Ia khawatir dalam gusarnya
sang kakek akan membinasakan sang kekasih, tapi ia pun
khawatir sang kekasih akan meninggalkannya, jika demikian
tentu ia pun tak bisa hidup sendirian lagi.
Akhirnya dengan suara terputus-putus ia berkata, "Kakek aku
... aku ...." "Hahaha! Kau khawatir kita dipandang rendah oleh orang lain
bukan?" demikian si kakek memotong. "Haha, Ting-lothau
sudah berumur selanjut ini, ternyata cucu perempuanku sendiri
sampai tidak berani menyebut nama kakeknya sendiri, bukan
saja tidak merasa bangga atas diri kakeknya, sebaliknya malah
merasa malu bagi sang kakek. Haha, sungguh lucu,
hahahahaha!" Ting Tong insaf bahaya sedang mengancam. Ia tahu sang
kakek sangat mementingkan arak "Hian-peng-pek-hwe-ciu,"
agaknya arak mestika itu menyangkut sesuatu urusan yang
menentukan mati atau hidupnya di kemudian hari. Sekarang
dirinya telah mencuri arak itu untuk menolong jiwa sang
kekasih, tapi selama ini tidak berani menyebut nama kakeknya.
Sekarang orang tua itu bergelak tertawa sedemikian rupa,
terang rasa murkanya sudah mencapai puncaknya. Mau tak
mau Ting Tong harus menempuh segala risiko, dengan
menggigit bibir akhirnya ia berkata, "Engkoh Thian, kakekku
she Ting." "Ya, sudah tentu! Kau she Ting, dengan sendirinya kakekmu
juga she Ting," sela Boh-thian.
"Nama beliau bagian depan Put dan bagian belakang Sam,
nama julukannya ialah ... ialah ... Ce-jit-put-ko-sam!" Ting
Tong menyambung pula dengan tak lancar. Ia menyangka
dengan tersebutnya nama julukan sang kakek itu tentu Ciok
Boh-thian akan terperanjat. Sebab itulah dengan hati kebatkebit
ia telah pandang pemuda itu dengan mata tak berkedip.
Tak terduga air muka Ciok Boh-thian tenang-tenang saja,
bahkan dengan tersenyum ia menjawab, "O, nama julukan
Yaya ternyata sangat enak didengar!"
Hati Ting Tong tergetar keras, sekali ia bergirang. Tapi ia masih
khawatir, segera ia menegas lagi, "Mengapa kau bilang sangat
enak didengar?" "Aku pun tidak tahu sebabnya. Aku hanya merasa nama itu
enak didengar," sahut Ciok Boh-thian.
Waktu Ting Tong melirik ke arah sang kakek dilihatnya orang
tua itu sedang mengelus jenggot dan tampak sangat senang.
Mendadak ia menepuk pula pundak Ciok Boh-thian, tapi sekali
ini adalah tepukan biasa tanpa tenaga dalam. Terdengar dia
berkata dengan manggut-manggut, "Orang hidup bisa
mendapatkan seorang teman sepaham, maka hidup ini tidaklah
tersia-sia lagi. Orang lain kalau mendengar nama julukanku,
kalau orang itu berjiwa rendah tentu akan segera memuji dan
menjilat padaku, bila orang itu bernyali kecil tentu akan
ketakutan setengah mati, ada juga beberapa orang gila yang
berani mencaci maki padaku. Hanya kau bocah ini sama sekali
tidak terpengaruh oleh nama julukanku, bahkan memuji
namaku enak didengar. Ehm, bagus, bagus! Untuk sikapmu ini
kakek ingin memberi sesuatu hadiah. Hadiah apa ya ... biarlah
kupikir sebentar dulu." Lalu ia duduk berpeluk dengkul, sambil
termenung-menung memandangi sang dewi malam yang
menghias di tengah cakrawala.
Supaya diketahui bahwa "Ce-jit-put-ko-sam Ting Put-sam
adalah seorang gembong, suatu iblis yang memiliki ilmu silat
mahatinggi di dunia persilatan, sifatnya aneh dan kejam
sedikit-sedikit suka membunuh orang. Kendati peraturan yang
dia tetapkan sendiri menyatakan setiap orang yang dibunuhnya
takkan melampaui tiga orang, tapi cobalah hitung, kalau satu
hari tiga orang, sepuluh hari 30 orang dan 100 hari berarti 300
orang, maka selama berpuluh tahun ini entah sudah berapa
ribu orang yang telah menjadi korbannya, celakanya orangorang
yang telah dibunuhnya itu sering kali tidak sempat
melihat mukanya dan tahu-tahu sudah dibinasakan olehnya.
Misalnya kedua murid Swat-san-pay, yaitu Sun Ban-lian dan Cu
Ban-jing yang diceritakan di depan itu, mereka juga mati
konyol tanpa mengetahui siapa pembunuhnya.
Beberapa tahun yang lalu dia masih merahasiakan jejaknya,
sehabis membunuh orang juga tidak pernah meninggalkan
nama sehingga Bu-lim jarang yang kenal namanya. Tapi paling
akhirnya ini mendadak ia sengaja menyiarkan namanya secara
luas, cuma saja orang yang pernah melihat mukanya dan dapat
tetap hidup jumlahnya adalah sangat sedikit.
Bagi Ciok Boh-thian yang sama sekali tidak tahu seluk-beluk
urusan Kangouw, biarpun nama Ting Put-sam itu lebih tersohor
lagi juga tiada arti baginya. Tapi dalam pandangan Ting Putsam
sekarang, pemuda yang tidak jeri dan menjilat padanya ini
adalah luar biasa, terutama dengan perasaan yang tulus dan
jujur pemuda itu telah menyatakan rasa mesranya ketika
mendengar nama julukan orang tua itu.
Sebagai seorang tua yang berusia lebih dari 60 tahun, sudah
tentu Ting Put-sam sangat kenal watak manusia, setiap sikap
manusia yang rendah dan palsu tentu susah mengelabui
matanya. Di dunia ini selain cucu perempuan kesayangannya
itu boleh dikata tiada orang kedua yang benar suka dan
mencintainya, sekarang pemuda itu ternyata juga sedemikian
baik padanya sudah tentu hal ini sangat menyenangkan
hatinya. Begitulah, sesudah termenung-menung memandangi rembulan,
akhirnya orang tua itu berkata, "Kakek mempunyai tiga macam
pusaka. Yang pertama adalah "Hiang-peng-pek-hwe-ciu" yang
telah kau minum itu, tapi arak ini hanya sebagai pinjaman saja,
kelak kau bayar kembali, maka tak bisa dianggap sebagai
pemberian. Pusaka kedua adalah ilmu silat yang dimiliki kakek,
kalau kau dapat mempelajarinya tentu akan sangat besar
manfaatnya. Tentang pusaka ketiga bukan lain adalah cucu
perempuanku si A Tong ini. Di antara dua pusaka ini hanya
dapat kuberikan satu saja. Nah Kau-cap-ceng, kau ingin belajar
ilmu silat atau ingin mengambil si A Tong saja?"
Seketika Ting Tong dan Ciok Boh-thian melengak oleh karena
pertanyaan itu. Hati Ting Tong berdebar-debar dengan hebatnya. Pikirnya,
"Ilmu silat kakek boleh dikata tiada bandingannya di dunia ini,
walaupun kepandaian Engkoh Thian juga tidak lemah, tapi
kalau dibandingkan kakek sudah tentu bedanya terlalu jauh.
Kalau dia dapat mempelajari ilmu silat andalan kakek,
selanjutnya namanya tentu akan lebih disegani dan dapat
malang melintang di dunia Kangouw. Dia adalah Pangcu dari
Tiang-lok-pang, kabarnya Pang mereka sedang menghadapi
kesulitan yang sukar diselesaikan, jika bisa mendapatkan ilmu
silat kakek tentu akan besar bantuannya bagi kesulitannya itu.
Sebagai seorang lelaki, seorang kesatria, tentu lebih
mengutamakan ilmu silat daripada soal asmara."
Ia coba melirik Ciok Boh-thian, dilihatnya pemuda itu merasa
bingung, terang sedang serbasulit mengambil keputusan.
Diam-diam hati Ting Tong mencelus.
Ia tahu tabiat sang kekasih yang romantis, selama hidup entah
sudah berapa banyak wanita yang telah disukainya. Selama
setengah tahun terakhir ini walaupun memperlihatkan tanda
cinta padanya, tapi dalam hati pemuda itu seorang Ting Tong
mungkin hanya seperti awan saja yang sebentar sudah akan
buyar tertiup angin. Apalagi kakek mempunyai nama buruk di
dunia persilatan, meski nama Ciok Boh-thian dan Tiang-lokpang
mereka juga tidak begitu harum tapi toh tidak sejahat
kakek yang telah membunuh orang tak terhitung jumlahnya.
Dan kalau dia sudah tahu asal usulku masakah dia sudi
mengambil aku sebagai istrinya" Demikianlah pikiran Ting Tong
bergolak, air mata pun berlinang-linang.
Dalam pada itu Ting Put-sam sudah lantas mendesak, "Hayo,
lekas katakan, lekas! Pendeknya kau jangan coba main gila
bahwa sekarang kau ingin belajar ilmu silat lebih dulu
kemudian akan dapat memperistrikan A Tong pula, atau
sekarang minta A Tong, lalu secara diam-diam ingin belajar
ilmu silatku. Biarlah kukatakan padamu, di dunia ini tiada
seorang pun yang bisa main gila pada Ting Put-sam. Kau hanya
boleh pilih satu di antara dua, kalau tidak jiwamu tentu akan
melayang. Nah, lekas katakan, lekas!"
"Yaya, engkau dan Ting-ting Tong-tong telah salah mengenali
orang, aku ... aku bukan ...."
"Aku tidak peduli kau ini siapa, apakah kau anak anjing, anak
setan atau anak kura-kura, semua aku tak peduli," demikian
Ting Put-sam memotong sebelum Ciok Boh-thian menerangkan
lebih lanjut. "Aku pun tidak peduli apakah A Tong suka padamu
atau tidak. Yang terang adalah karena Ting Put-sam telah
penujui kau, dan sekali Ting Put-sam sudah penujui kau maka
kau harus memilih satu di antara dua pusaka yang kusebut
tadi." Ciok Boh-thian menjadi serbasalah, ia pandang si kakek dan
pandang pula si anak dara. Pikirnya, "Ting-ting Tong-tong ini
telah salah menganggap diriku sebagai dia punya Engkoh
Thian, sedangkan itu Engkoh Thian yang tulen tidak lama lagi
tentu akan kembali, bukanlah dalam hal ini aku telah menipu si
Ting Tong dan memalsukan Engkoh Thian itu pula" Sebaliknya
kalau aku menyatakan tidak mau si Ting Tong dan pilih belajar
ilmu silat saja, hal ini tentu akan melukai hati si Ting Tong. Ah,
lebih baik tidak mau dua-duanya saja."
Maka ia lantas menggeleng kepala dan berkata, "Yaya, aku
telah minum kau punya Hian-peng-pek-hwe-ciu dan seketika
tak dapat kubayar kembali padamu, maka bolehlah dianggap
sebagai salah satu pusaka pemberianmu saja."
"Tidak, tidak boleh jadi," sahut Ting Put-sam dengan muka
masam. "Sudah kukatakan tadi Hian-peng-pek-hwe-ciu itu
hanya dipinjamkan saja dan kelak harus kau bayar kembali.
Biar kau hendak mengangkangi juga tak bisa. Nah, kau sudah
pilih dengan baik belum" Ingin ambil A Tong atau pilih ilmu
silat?" Ciok Boh-thian memandang sekejap ke arah Ting Tong,
kebetulan anak dara itu pun sedang melirik padanya. Sinar
mata kedua orang terbentur, cepat keduanya melengos lagi.
Wajah Ting Tong tampak pucat, air matanya berlinang-linang,
kalau menuruti adatnya, kalau dia tidak lantas menjewer
telinga Ciok Boh-thian, tentu akan ditinggal pergi dengan
marah-marah. Tapi di hadapan sang kakek sekarang sedikit
pun ia tidak berani main garang, sudah tentu perasaannya
sangat tertekan. Sekilas melihat air mata Ting Tong yang berlinang-linang itu,
hati Ciok Boh-thian menjadi tidak tega. Segera ia berkata
dengan suara halus, "Ting Ting Tong Tong, dengarkanlah
keteranganku ini, kau sesungguhnya telah salah mengenal
diriku. Jika aku benar-benar adalah kau punya Engkoh Thian
masakah aku masih ragu-ragu untuk memilihnya" Sudah tentu
aku akan memilih dirimu dan tidak sudi pilih ilmu silat segala."
Air mata Ting Tong masih bercucuran, namun mulutnya sudah
mengulum senyum, katanya, "Kau bukan Engkoh Thian" Habis
di dunia ini apakah masih ada Engkoh Thian yang kedua?"
"Ya, boleh jadi mukaku agak mirip dengan Engkoh Thian-mu
itu," ujar Boh-thian.
"Kau masih tidak mengaku?" Ting Tong menegas dengan
tertawa. "Baiklah, ingin kutanya padamu sekarang. Pada
permulaan tahun ini, waktu kita baru mulai kenal, secara kasar
kau telah pegang tanganku, maka kontan aku lantas pukul kau,
betul tidak?" Boh-thian tidak menjawab, tapi dengan ketolol-tololan ia
pandang si anak dara dengan melenggong.


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah Ting Tong tampak mengunjuk rasa kurang senang lagi,
katanya pula, "Apakah kau benar-benar sudah melupakan
segala kejadian dahulu setelah menderita sakit payah atau
cuma pura-pura saja dan berlagak bodoh?"
Boh-thian garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sahutnya,
"Sudah terang kau telah salah mengenali diriku. Dari mana aku
tahu apa yang terjadi antara kau dengan Ciok-pangcu itu?"
"Hm, apakah kau kira dapat menyangkal lagi," kata Ting Tong
pula, "Waktu itu kau telah pegang kedua tanganku, aku
menjadi kelabakan, lebih-lebih ketika dengan cengar-cengir
kau hendak ... hendak mencium aku. Cepat aku melengos dan
menggigit sekali di atas pundakmu sehingga darah bercucuran,
karena kesakitan barulah kau melepaskan aku. Sekarang boleh
coba bu ... buka bajumu, bukankah di atas pundak kirimu
masih ada bekas luka gigitan itu" Andaikan aku memang salah
mengenali orang, betapa pun bekas luka itu tak dapat kau
hapus." "Ya, kau tidak pernah menggigit aku, dengan sendirinya di atas
pundak tak ada bekas luka itu," sambil berkata Boh-thian
lantas menyingkap bajunya sehingga kelihatan pundaknya, tapi
mendadak ia menjerit kaget, "He, sungguh aneh, mana bisa
jadi?" Ternyata dengan terang dan gamblang ketiga orang dapat
melihat dengan jelas bahwa di atas pundak pemuda itu benarbenar
terdapat bekas luka gigitan. Bekas luka itu sudah
menjadi belang yang menonjol dan terang adalah gigitan mulut
orang. "Nah, apa katamu sekarang" Apa kau berani menyangkal lagi?"
jengek Ting Put-sam. "Biarlah kukatakan padamu, orang yang sering naik gunung
pada akhirnya tentu ketemu harimau. Kau suka main gila
akhirnya tentu kecantol salah satu wanita dan susah
melepaskan diri. Dalam hal demikian kakek juga pernah ditipu
orang di waktu masih muda. Sudahlah, jadi jelasnya yang kau
pilih adalah A Tong, bukan?"
Namun Ciok Boh-thian sedang terheran-heran, ia tidak ingat
bilakah pundaknya pernah digigit orang" Kalau melihat bekas
luka itu, terang gigitan itu sangat parah, luka sedemikian itu
masakah dapat dilupakan" Selama beberapa hari ini dia telah
banyak mengalami kejadian-kejadian aneh, untuk semua ini ia
dapat memecahkan persoalannya dengan alasan "salah
mengenali orang" dan hanya bekas luka gigitan inilah yang
benar-benar susah dimengerti.
Melihat pemuda itu termangu-mangu dan tidak menjawab
pertanyaannya, air mukanya tampak aneh sekali, diam-diam
Ting Put-sam mengira pemuda itu merasa malu dan tidak
berani mengaku terus terang isi hatinya. Maka ia lantas
berkata dengan tertawa, "Baiklah, A Tong, hayo, dayung
perahu dan pulang!" Ting Tong terkejut dan bergirang pula, serunya, "Yaya, apa
engkau maksudkan membawa dia pulang ke rumah kita?"
"Dia adalah cucu menantuku, mengapa tidak membawanya
pulang?" sahut Ting Put-sam. "Jangan-jangan sedikit lena nanti
dia terus kabur, kan urusan bisa runyam dan ke mana muka
Ting Put-sam harus ditaruh?"
Dengan muka berseri-seri Ting Tong pelototi sekali pada Ciok
Boh-thian, mendadak mukanya menjadi merah, cepat dia
angkat galah dan menolak perahunya ke depan Sesudah
menyusuri kolong jembatan, perahu itu lantas meluncur
dengan lajunya. "Ke rumahmu?" demikian mestinya Ciok Boh-thian ingin
bertanya. Tapi di dalam benaknya sesungguhnya terlalu
banyak tanda tanya, maka ucapan yang hampir dicetuskan itu
telah ditelannya kembali.
Di tengah malam yang sunyi perahu itu menyusur sungai di
bawah dahan-dahan pohon Yangliu yang lemas gemulai
menjulur ke tengah sungai sehingga terkadang mengeluarkan
suara gemeresik karena sentuhan badan perahu dengan
dahan-dahan itu. Sayup-sayup hidung Boh-thian mengendus
bau harum bunga, hampir ia tidak sadar lagi di mana ia berada.
Beberapa kali perahu itu menerobos kolong jembatan, jalanan
air itu pun berliku-liku. Agak lama juga akhirnya sampailah
mereka di tepi pekarangan rumah yang berundakan batu
bertingkat-tingkat dan menurun ke tepi sungai.
Ting Tong menambat perahunya di sebuah cagak kayu, ia
tersenyum kepada Ciok Boh-thian dan mendahului melompat
ke undak-undakan batu. "Hari ini kau adalah tamu sanjungan kami, mari, mari!" kata
Ting Put-sam dengan tertawa.
Boh-thian tidak tahu cara bagaimana harus menjawab. Dengan
linglung ia ikut belakang Ting Tong menyusur sebuah jalan
batu yang rata, sesudah menembus sebuah pintu bundar lalu
melintasi sebuah taman bunga, kemudian mereka sampai di
sebuah gardu pemandangan.
"Silakan duduk, tamu sanjungan!" kata Ting Put-sam dengan
tertawa sesudah masuk ke dalam gardu itu.
Boh-thian tidak paham apa maksudnya "tamu sanjungan",
karena disilakan duduk, maka ia pun berduduk. Ting Put-sam
sendiri lantas membawa cucu perempuannya meninggalkan
taman bunga dan masuk ke rumah di sebelah sana.
Saat itu sang dewi malam sudah mendoyong ke sebelah barat,
suasana sunyi senyap, angin meniup silir-silir. Sambil meraba
bekas luka di atas pundaknya Ciok Boh-thian merasa
serbabingung. Agak lama kemudian terdengarlah suara orang mendatangi,
dua wanita setengah umur muncul di depan gardu itu, mereka
memberi hormat dan berkata dengan tersenyum, "Silakan Sinkoa-
lang (pengantin baru) berganti pakaian ke ruangan
dalam." Sudah tentu Ciok Boh-thian tidak paham apa maksud mereka,
ia menduga dirinya diundang ke ruangan dalam sana, maka ia
lantas ikut kedua wanita itu. Sesudah lewat di sebuah kolam
bunga teratai, menyusur pula sebuah serambi panjang,
akhirnya ia sampai di sebuah kamar samping. Di dalam kamar
sudah tersedia sebuah baskom besar dengan air hangat, di
samping tertaruh dua helai handuk.
"Silakan Sin-koa-lang mencuci badan," demikian kata salah
seorang wanita tadi. "Kata Loyacu (tuan besar) waktunya
sudah sangat mendesak sehingga tidak sempat menyediakan
pakaian baru, terpaksa Sin-koa-lang diminta tetap
menggunakan pakaian sendiri yang terpakai sekarang ini."
Lalu dengan mengikik tawa kedua wanita itu mengundurkan
diri sambil menutupkan pintu kamar.
Boh-thian bertambah bingung, pikirnya, "Sudah terang aku
bernama Kau-cap-ceng, mengapa sebentar aku dianggap
sebagai Ciok-pangcu, sebentar lagi berubah menjadi Engkoh
Thian, dan sekarang aku dipanggil sebagai "Sin-koa-lang" apa
segala?" Ia pikir toh sudah datang, tampaknya Ting Put-sam dan Ting
Tong juga tiada bermaksud jahat padanya, maka tanpa pikir
lagi segera ia mencuci badan dengan air hangat berbau harum
yang tersedia itu. Habis mandi, ia merasa semangatnya
menjadi segar. Baru saja ia selesai berpakaian kembali, tiba-tiba terdengar
suara seorang lelaki berseru di luar pintu, "Silakan Sin-koalang
ke ruangan tengah untuk sembahyang Thian!"
Boh-thian terkejut. Ia paham tentang "sembahyang Thian"
berikutnya ia menjadi teringat juga tentang sebutan "Sin-koalang"
itu. Sewaktu kecil pernah ia mendengar cerita ibunya
tentang pengantin lelaki dan pengantin wanita bersembahyang
kepada Thian. Maka sesaat itu ia menjadi melengong saja.
Dalam pada itu lelaki di luar tadi sedang bertanya pula,
"Apakah Sin-koa-lang sudah selesai berpakaian?"
Terpaksa Boh-thian mengiakan. Lalu masuklah orang itu,
tampak bicara lagi lelaki itu lantas menyampirkan sehelai kain
merah di atas leher Ciok Boh-thian, sebuah bunga kain sutra
merah disematkan pula di dadanya. Lalu katanya, "Kionghi!
Kionghi!" Segera ia gandeng tangan Boh-thian dan diajak keluar.
Dengan rasa bingung Boh-thian tahunya cuma ikut saja.
Setibanya di ruangan besar, tertampaklah delapan lilin besar
telah dinyalakan terletak di atas sebuah meja besar dengan
Toh-wi (tirai meja) merah bersulam indah yang terdapat di
tengah-tengah ruangan. Kelihatan Ting Put-sam berdiri di sisi meja besar itu dengan
senyum berseri-seri. Dan begitu Ciok Boh-thian melangkah
masuk, serentak tiga orang lelaki di samping ruangan sana
lantas membunyikan seruling.
Lelaki yang menggandeng Boh-thian tadi lantas berseru,
"Silakan pengantin perempuan keluar!"
Maka terdengarlah suara kerincing-kerincing dan keriangkeriut,
dari belakang keluarlah kedua orang wanita pertama
tadi dengan memapah seorang gadis berbaju ungu mudah
berkerudung kain sutra merah. Dilihat bangun tubuhnya terang
itulah si Ting Tong. Ketiga wanita itu lantas berdiri di sisi kiri Ciok Boh-thian.
Sayup-sayup pemuda itu mendengus bau harum yang
meresap. Hatinya menjadi bimbang, takut tapi juga girang.
"Menyembah kepada Thian (langit)!" seru pula lelaki tadi
selaku protokol. Segera Boh-thian melihat Ting Tong berlutut ke arah meja dan
perlahan-lahan mulai menyembah.
Sudah tentu ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Untunglah si lelaki tadi telah membisikinya, "Lekas berlutut dan
menyembah!" Karena punggungnya didorong perlahan pula dari belakang,
terpaksa Boh-thian berlutut dan menyembah beberapa kali
secara ngawur. Melihat kelakuannya yang lucu itu, salah
seorang wanita pengiring pengantin perempuan itu sampai
tertawa geli. "Menyembah kepada bumi!" si protokol berseru lagi.
Segera Boh-thian dan Ting Tong membalik tubuh dan
menyembah ke arah ruangan dalam.
"Menyembah kakek!" seru pula protokol.
Ting Put-sam lantas siap di tengah, lebih dulu Ting Tong
menyembah, dengan agak ragu-ragu Boh-thian juga
menyembah. "Suami istri saling menyembah!" teriak si protokol.
Melihat si Ting Tong telah miringkan tubuh dan berlutut ke
arahnya, seketika otak Boh-thian berubah terang. Mendadak ia
berseru, "He, Ting-ting Tong-tong! He Yaya! Aku sungguhsungguh
bukan Ciok-Pangcu dan bukan kau punya Engkoh
Thian apa segala. Kalian telah salah mengenali diriku, kelak ...
kelak kalian jangan menyalahkan aku, lho!"
Ting Put-sam terbahak-bahak, katanya, "Anak dungu, dalam
keadaan begini masih bicara hal demikian" Tidak, tidak akan
Panji Wulung 3 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Keris Pusaka Nogopasung 6
^