Pencarian

Medali Wasiat 3

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 3


Pada waktu lohor, sampailah Cia Yan-khek dibawah sebuah
tebing yang menegak curam, tinggi mencakar langit. Dengan
bantuan seutas rantai besi yang menjulur dari atas tebing itu
Yan-khek lantas mendaki tebing itu.
Tebing itu sesungguhnya halus licin dan tegak, jangankan
manusia, sekalipun kera juga susah mendaki keatas. Coba
kalau tiada rantai besi yang panjang itu, biarpun kepandaian
Cia Yan-khek setinggi langit juga belum tentu mampu
memanjat keatas. Sampai dipuncak tebing itu, Cia Yan-khek menurunkan anak
muda itu, lalu katanya: "Tempat ini namanya Mo-thian-kay
(tebing pencakar langit), karena itulah aku mendapat julukan
sebagai Mo-thian-kisu (pertapa dari tebing pencakar langit).
Maka itu bolehlah tinggal saja disini."
Anak muda itu coba memandang sekitarnya, ia lihat puncak
tebing itu cukup luas jua, tapi dikelilingi oleh kabut dan awan
sehingga dirinya seakan-akan berada ditengah langit. Tanpa
merasa ia menjadi cemas dan gelisah. Segera ia tanya:
"Katanya kau akan mencarikan ibuku dan si Kuning ?"
Tapi Cia Yan-khek telah menjawabnya dengan dingin : "Dunia
seluas ini, kemana aku harus mencari ibumu" Biarlah kita
menunggunya disini saja, boleh jadi pada suatu hari ibumu
akan datang kesini untuk menjenguk kau, siapa tahu ?"
Biarpun anak muda itu masih ke-kanak-anakan dan hijau
dalam segala hal, tapi tahu juga bahwa dia telah diapusi oleh
Cia Yan-khek. Ditempat demikian cara bagaimana ibunya dapat
menemukan dia" Karena itu, seketika ia menjadi terkesima.
"Kapan-kapan bila kau ingin pergi dari sini juga boleh," kata
Yan-khek pula. Diam-diam ia percaya kalau anak muda itu tak
diberi makan, untuk turun kebawah tebing juga tidak berani,
akhirnya anak muda itu tentu akan membuka mulut untuk
memohon sesuatu padanya. Biasanya biarpun ibu anak muda itu bersikap sangat dingin,
tetapi selamanya tidak pernah mengapusi padanya. Sekarang,
untuk pertama kali selama hidupnya dia telah diapusi orang,
entah bagaimana perasaannya, air matanya lantas berlinanglinang
dikelopak matanya, tapi sedapat mungkin ia
menahannya agar air matanya tidak sampai menetes.
Ia lihat Cia Yan-khek telah memasuki sebuah gua, selang tak
lama dari dalam gua tampak mengepul keluar asap, yaitu asap
orang sedang memasak. Selang sejenak pula lantas terendus
bau sedap dari dalam gua itu.
Memangnya perut anak muda itu sudah lapar, maka ia lantas
masuk kedalam gua. Ia lihat gua itu sangat luas dan cukup
untuk bersembunyi beberapa ratus orang.
Rupanya Cia Yan-khek sengaja menanak nasi dan memasak
daging dimulut gua dengan tujuan memancing selera makan
anak muda itu agar meminta makan padanya. Tak terduga,
anak muda itu sejak kecil hanya hidup berdampingan dengan
ibunya saja, pada hakikatnya dia tidak tahu tentang milikmu
ataupun milikku, asal melihat makanan lantas diambilnya dan
dimakan, kenapa mesti pakai minta segala. Karena itulah, demi
dilihatnya diatas meja batu didalam gua itu tertaruh sepiring
daging rebus dan sebakul nasi, maka tanpa permisi lagi ia
lantas mengambil mangkuk dan sumpit sendiri, lalu mengisi
nasi dan mengambil dan terus dimakan.
Cia Yan-khek menjadi tercengang sendiri. Pikirnya: "Ia pernah
mentraktir aku makan bakpau, bahakan juga makan di
restoran, kalau sekarang aku melarang dia makan masakanku
tentu hal ini akan memperlihatkan kerendahan budiku sendiri."
Karena itulah iapun tidak ambil pusing, segera ia juga makan
sendiri. Rupanya penghidupan "berdikari" bagi anak muda itu sudah
menjadi biasa, maka sehabis makan ia lantas mencuci
mangkok, piring dan sumpit, lalu membersihkan bakul nasi dan
selesai itu ia lantas pergi mencari kayu semuanya itu
dikerjakannya seperti biasanya kalau dia hidup bersama
dengan ibunya. Sesudah mendapatkan kayu satu pikul, baru saja dia
memikulnya pulang kegua, tiba-tiba dari semak-semak ditepi
jalan melompat keluar seekor rusa. Dengan sebat sekali anak
muda itu mengangkat kapaknya dan rusa itu kena dihantam
mati. Segera ia menyembelih rusa itu dan dicuci bersih dengan
air selokan yang jernih, lalu dibawanya pulang kegua. Ia
gantung sebelah badan rusa itu ditempat terbuka agar kena
angin dan supaya tidak rusak, daging rusa yang lain ia potongpotong,
lalu direbus didalam kuali.
Ketika mengendus bau sedapnya daging rusa rebus, Cia Yankhek
tidak tahan lagi, ia coba menceduk satu sendok kuahnya
dan mencicipinya. Tiba-tiba ia menjadi girang dan masgul pula.
Ternyata rasa kuah itu enaknya tak terkira, cara masaknya
ternyata berpuluh kali lebih pandai daripada dia sendiri.
Sungguh tak tersangka olehnya bahwa anak muda itu ternyata
masih mempunyai kepandaian simpanan, kalau hidup bersama,
tentu selanjutnya dia akan dapat banyak menikmati makanan
enak. Tapi lantas teringat pula olehnya, jika anak muda itu
dapat berburu dan memasak, tentunya juga takkan meminta
supaya diantar kebawah gunung, maka harapannya agar anak
muda itu akan mengemukakan permintaannya itu menjadi
kandas lagi. Kiranya ibu anak muda itu pintar sekali memasak, tapi
tabiatnya aseran dan malas pula, lebih sering dia suruh anak
muda itu memasak daripada dia turun tangan sendiri. Bila
masakan anak muda itu kurang enak, dikala senang iapun suka
memberi petunjuk-petunjuk cara masak dan resep-resepnya,
tapi diwaktu kurang senang, sedikit-sedikit ia lantas
mendamperat dan memukul anak muda itu.
Begitulah dengan cepat beberapa hari telah lalu, selama itu
anak muda itu tetap melakukan pekerjaannya dengan baik, ia
memasang perangkap untuk menangkap binatang, membikin
jepretan untuk membidik burung, ternyata macam-macam dan
ada-ada saja kepandaiannya sehingga setiap hari dia membikin
masakan yang serba baru untuk disajikan kepada Cia Yankhek.
Kalau tidak habis termakan, maka sisa daging lantas
dikeringkan menjadi dendeng.
Karena kepandaian sianak muda yang serba pintar dan baru
itu, Cia Yan-khek menjadi terheran-heran. Waktu dia
menanyakan dari mana asal-usulnya kepandaian masak itu,
sianak muda menjawab bahwa semuanya itu adalah ibunya
yang mengajarkannya. Diam-diam Cia Yan-khek tambah heran. Ia pikir kalau ibu dan
anak itu sedemikian pandai memasak, maka seharusnya
mereka adalah orang-orang pintar, ia menduga mungkin
ibunya adalah wanita kampung yang telah ditinggalkan sang
suami sehingga timbul tabiatnya yang aneh dan menjendiri,
atau boleh jadi karena tabiat pembawaannya yang aneh itu
maka telah ditinggalkan suaminya.
Dan karena anak muda itu jarang sekali mengajak bicara
padanya, diam-diam Cia Yan-khek sendiri menjadi sedih malah.
Pikirnya: "Kalau urusan ini tidak lekas-lekas dibereskan,
betapapun akan selalu merupakan ancaman bagiku. Bila pada
suatu ketika anak muda itu mendapat bujukan musuhku dan
mendadak dia memohon aku memunahkan ilmu silatku sendiri
atau membikin cacat anggota badanku sendiri, wah, kan bisa
celaka " Atau mungkin sekali dia minta aku jangan turun dari
Mo-thian-kay ini untuk selamanya, bukankah itu berarti aku
akan mati konyol diatas puncak yang terpencil ini?"
Dalam keadaan demikian, biarpun Cia Yan-khek adalah seorang
yang cerdik, seketika iapun tidak mendapatkan akal yang baik.
Pada suatu hari, lewat lohor, Cia Yan-khek sedang berjalanjalan
iseng dihutan dekat guanya, sekilas dilihatnya anak muda
itu sedang tengkurap diatas batu cadas dengan tertawa-tawa
senang menghadapi serentetan benda-benda.
Waktu Yan-khek memperhatikan, kiranya benda-benda itu
adalah ke-18 buah boneka tanah pemberian Tay-pi Lojin tempo
hari. Anak muda itu telah menaruh boneka-boneka itu secara
terpisah disana-sini, sebentar dia membariskan boneka-boneka
itu, lain saat boneka itu disuruh perang-perangan. Sungguh
asyik dan senang sekali anak muda itu dengan barang
permainannya itu. Ketika melihat diatas badan boneka-boneka itu penuh terdapat
garis merah dan titik-titik hitam, segara Yan-khek
mendekatinya, benar juga seperti apa yang telah diduganya,
memang titik-titik hitam itu menunjukkan berbagai Hiat-to
diatas tubuh manusia dan garis merah itu adalah jalannya uraturat
nadi. Yan-khek menjadi teringat kepada kejadian dahulu ketika ia
bertanding dengan Tay-pi Lojin diatas gunung Pak-bong-san,
kepandaian Tay-pi Lojin tatkala itu hanya keras pukulannya
dan ilmu Kim-na-jiu-hoat yang banyak perubahannya dan
cepat. Sesudah bertanding lebih satu jam, akhirnya Yan-khek
telah menang setengah jurus sehingga Tay-pi Lojin lantas
mundur teratur. Ilmu silat Tay-pi Lojin memang sangat tinggi,
tapi mengutamakan kepandaian luar dan bukan kepandaian
dalam tau Lweekang, akan tentang tanda-tanda latihan
Lweekang yang terlukis dibadan boneka-boneka itu mungkin
sangat cetek dan mentertawakan.
Segera Yan-khek mengambil salah sebuah boneka itu, ia lihat
tanda-tanda Hiat-to dan garis-garis urat nadi yang terlukis itu
memang benar adalah pengantar latihan Lweekang yang tepat,
pada umumnya cara-cara permulaan melatih Lweekang dari
berbagai golongan dan aliran tiada banyak bedanya seperti apa
yang terlukis diatas boneka-boneka ini dan tiada sesuatupun
yang perlu dirahasiakan. Apa barangkali Tay-pi Lojin kemudian
sadar bahwa kepandaiannya yang takdapat melebihi tokoh lain
adalah disebabkan kekurangannya dalam ilmu Lweekang, maka
entah darimana dia telah memperoleh 18 buah boneka itu
dengan maksud hendak meyakinkan Lweekang untuk
mengimbangi kepandaiannya yang sudah ada. Tapi untuk
meyakinkan Lweekang dengan baik toh tidak dapat
disempurnakan dalam waktu singkat saja, padahal usia Tay-pi
Lojin sampai ajalnya sudah lebih 80 tahun, maka Lweekang
yang dikehendakinya itu terpaksa dilatihnya diakhirat saja.
Hahaha, sungguh lucu! ~ Demikian pikir Yan-khek dan tanpa
terasa akhirnya ia bergelak tertawa.
Anak muda itu ikut tertawa, katanya: "Paman tua, tentunya
kau geli melihat boneka-boneka ini berjenggot dan bukan
anak-anak, tapi semuanya telanjang bulat, makanya kau
tertawa geli." "Ya, memang menggelikan", ujar Yan-khek sambil tertawa.
Lalu ia memeriksa boneka-boneka lain lagi, ia lihat Hiat-to dan
urat-urat nadi yang terlukis diatas boneka-boneka itu satu
sama lain berbeda-beda. Yang 12 buah melukiskan Cing-kengcap-
ji-meh, yaitu 12 urat nadi tetap diatas tubuh manusia.
Sedangkan 6 buah lainnya melukiskan enam urat nadi aneh
diatas tubuh manusia, padahal urat nadi aneh itu mestinya
berjumlah delapan, yaitu apa yang disebut "Ki-keng-pat-meh".
Tapi sekarang dua urat nadi, yaitu Ciong-meh dan Tay-meh
yang paling ruwet dan paling susah dipahami itu ternyata tidak
ada, jadi boneka-boneka itu kurang lengkap.
Diam-diam Cia Yan-khek membatin: "Boneka-boneka yang
dianggap benda mestika dan selalu dibawa oleh Tay-pi Lojin ini
ternyata tidak lengkap. Padahal Lweekang yang dia ingin
belajar ini adalah ilmu kasaran saja, asal dia mengundang
seorang murid salah satu perguruan ilmu silat yang melatih
Lweekang untuk memberi petunjuk, maka dengan mudah akan
dapat dipahaminya. Tapi, ya, maklumlah, dia adalah tokoh
angkatan tua yang kenamaan, masakah dia mau merendahkan
diri untuk minta petunjuk kepada orang lain?"
Ia lantas terbayang lagi pada pertandingannya melawan Tay-pi
Lojin dahulu, meski akhirnya dia menang setengah jurus, tapi
kemenangannya itu diperoleh secara kebetulan saja, selama
satu jam bertarung dengan mati-matian itu beberapa kali ia
sendiripun menghadapi bahaya maut, kalau dipikir sekarang,
sungguh untung sekali baginya, coba kalau waktu itu Taypi
Lojin sudah mempunyai dasar Lweekang yang kuat, tentu tidak
sampai setengah jam dirinya sudah dihantam terjungkal
kedalam jurang oleh Tay-pi Lojin.
Dan baru saja ia hendak tinggal pergi, mendadak terpikir lagi
olehnya: "Jika bocah ini sedemikian senangnya memain
boneka-boneka ini, kenapa aku tidak mengajarkan Lweekang
yang terlukis diatas boneka-boneka itu padanya supaya dia
nanti "Cau-hwe-jip-mo" (tenaga dalam jalan tersesat sehingga
mengakibatkan kematian atau kelumpuhan) dan mungkin juga
akan binasa " Dahulu aku cuma bersumpah takkan
menggunakan kekerasan kepada orang yang mengembalikan
medali wasiat padaku, kalau sekarang dia mampus sendiri
karena salah melatih Lweekang, hal ini dengan sendirinya
bukan salahku dan bukan aku yang membunuhnya sehingga
aku tidak melanggar sumpah. Ya, kukira jalan inilah yang
paling baik". Demikianlah tindak-tanduk Cia Yan-khek memangnya
tergantung kepada pikirannya seketika itu saja. Walaupun dia
suka pegang teguh tentang kepercayaan, terutama apa yang
pernah dia janjikan sendiri, tapi dalam hal tingkah laku dan
cara berpikir baginya adalah bukan apa-apa dan tidak berharga
sepeserpun. Karena itulah segera ia pegang pula sebuah boneka itu dan
berkata: "He, anak kecil, apakah kau tahu apa artinya titik-titik
hitam dan garis-garis merah diatas boneka ini?"
Anak muda itu berpikir sejenak, kemudian menjawab:
"Boneka-boneka ini sedang sakit."
"Mengapa sakit?" tanya Yan-khek dengan heran.
"Tahun yang lalu akupun pernah sakit dan sekujur badanku
timbul tutul-tutul merah seperti ini", ujar sianak muda.
Yan khek menjadi tertawa geli. Katanya: "Itu adalah sakit
gabak. Tapi apa yang terlukis dibadan boneka ini bukan
penyakit gabak melainkan rahasia cara belajar ilmu silat. Kau
telah menyaksikan aku menggendong kau sambil berlari
secepat terbang, kepandaianku itu bagus atau tidak?"
Sampai disini, agar dapat memperteguh keinginan anak muda
itu akan belajar ilmu silat, maka ia lantas meloncat kepucuk
sebatang pohon, dengan kaki kiri ia menahan diatas dahan,
sekali menyendal, kembali ia meloncat keatas lagi, lalu
menurun dengan perlahan kedahan pohon, kemudian meloncat
pula keatas dan begitu seterusnya sampai beberapa kali. Pada
saat itulah tiba-tiba diudara terbang lalu dua ekor burung
gereja. Karena Cia Yan-khek sengaja hendak memperlihatkan
kepandaiannya yang tinggi, segera kedua tangannya menjulur


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keatas, sekali raup, tahu-tahu kedua ekor burung itu sudah
tertangkap olehnya. Kemudian ia melompat turun kebawah
dengan enteng sekali. "Bagus! Bagus! Kepandaian hebat!" demikian puji sianak muda
sambil menepuk tangan dan tertawa.
Waktu Yan-khek membuka telapak tangannya, segera kedua
ekor burung gereja itu pentang sayap hendak terbang pergi,
tapi baru saja sayap burung itu menggelepak sekali, tiba-tiba
dari telapak tangan Cia Yan-khek timbul serangkum tenaga
dalam sehingga kekuatan terbang burung-burung itu
dipunahkan. Anak muda itu tambah senang demi melihat telapak tangan Cia
Yan-khek terbuka, tapi dua ekor burung itu hanya
mengelepakkan sayap saja dan tetap tidak sanggup
meninggalkan tangannya, segera ia berteriak-teriak: "Ha,
bagus, bagus! Sungguh menarik, sungguh permainan
menarik!" "Sekarang kau boleh coba!" kata Yan-khek dengan tertawa.
Lalu ia menyerahkan kedua ekor burung itu kepada sianak
muda. Segera anak muda itu memegang burung-burung itu dengan
kencang dan tak berani membuka tangannya, kuatir terlepas.
"Nah, ketahuilah bahwa apa yang terlukis dibadan bonekaboneka
itu adalah cara melatih ilmu yang hebat", demikian
Yan-khek menerangkan dengan tertawa. "Rupanya kau telah
membela tua bangka itu dengan mati-matian, makanya dia
berterima kasih dan menghadiahkan boneka-boneka itu
padamu. Ini bukan barang mainan biasa, tapi adalah benda
mestika yang susah dinilai. Asal kau berhasil melatih ilmu yang
terlukis diatas boneka-boneka itu, tentu kau pun dapat
membuka tanganmu dan burung-burung itu takkan mampu
terbang pergi." "Wah, menarik juga jika demikian, aku akan coba-coba
melatihnya?" kata anak muda itu sambil membuka kedua
tangannya. Karena tangannya tidak dapat mengeluarkan tenaga dalam,
dengan sendirinya kedua burung gereja itu lantas pentang
sayap dan terbang keatas.
Yan-khek tertawa terbahak-bahak. Tapi dilihatnya kedua ekor
burung gereja yang sudah terbang meninggalkan tangan anak
muda itu setinggi satu-dua meter, mendadak burung-burung
itu terjungkal lurus kebawah dan kembali jatuh kedalam tangan
sianak muda, burung-burung itu ternyata sudah kaku, rupanya
sudah mati. Keruan kejut Yan-khek tak terkatakan sehingga suara
tertawanya berhenti seketika. Secepat kilat ia pegang urat nadi
tangan sianak muda, tangan yang lain menuding hidung anak
muda itu sambil membentak: "Kau?"?".kau adalah murid
sibangsat tua Ting Put-si, bukan" Le?"".lekas mengaku!"
Biarpun Cia Yan-khek adalah seorang gembong persilatan yang
telah banyak berpengalaman, tapi bicara tentang "sibangsat
tua Ting Put-si" suaranya menjadi agak gemetar juga.
Kiranya dia menjadi kaget demi melihat cara anak muda itu
membunuh kedua ekor burung gereja, terang itulah ilmu
berbisa "Han-ih-bian-ciang" (pukulan lunak berbisa dingin)
yang menjadi kemahiran Ting Put-si. Ilmu yang maha lihay dan
jahat itu sampai-sampai saudara sekandung Ting Put-si sendiri,
yaitu Ting Put-sam juga tidak bisa. Tapi sekarang anak muda
ini ternyata sedemikian mahir menggunakan ilmu itu,
tampaknya paling sedikit sudah terlatih sepuluh tahun
lamanya, maka pasti anak muda itu adalah ahli waris Ting Putsi.
Cia Yan-khek cukup kenal Ting Put-si, ilmu silat tokoh itu
sangat tinggi, tindak-tanduknya aneh dan susah diduga pula,
bahkan sangat keji dan licin, nama julukannya ialah "Ce-jitput-
ko-si", artinya satu hari tidak lebih dari empat, yaitu orang
yang akan dibunuhnya setiap hari hanya empat saja, jadi lebih
banyak satu orang menurut ketentuan saudara sekandungnya,
yaitu Ting Put-sam. Demi terpikir bahwa anak muda ini telah memperoleh ajaran ini
"Han-ih-bian-ciang" yang menjadi andalan Ting Put-si,
andaikan bocah ini bukan keturunannya tentu adalah
muridnya. Padahal medali wasiatnya sendiri itu diterima
kembali dari anak muda ini, rupanya segala sesuatu ini
memang sengaja telah diatur oleh Ting Put-si, sebab itulah
maka betapapun didesak anak muda ini tetap tidak mau
memohon sesuatu apa padanya, rupanya akan tunggu sampai
saat terakhir yang menentukan barulah akan dikemukakan.
Besar kemungkinan saat ini Ting Put-si sendiri sudah berada
diatas Mo-thian-kay. Berpikir demikian, seketika Cia Yan-khek menjadi tegang, ia
coba memandang sekelilingnya, meski tiada nampak sesuatu
yang mencurigakan, tapi sekilas itu didalam benaknya sudah
timbul macam-macam pikiran: "Selama beberapa hari ini aku
telah banyak memakan daharan yang dimasak oleh anak muda
ini, entah didalam makanan itu dia taburi racun atau tidak" Jika
Ting Put-si bermaksud membikin celaka padaku, entah rencana
apa yang telah diaturnya" Dan anak muda ini adalah alat Ting
Put-si, entah apa yang akan dia minta agar aku
mengerjakannya ?" Dalam pada itu karena pergelangan tangannya dipegang
dengan kencang sehingga seperti ditanggam, sianak muda
menjadi meringis kesakitan dan segera berseru:
"Ting?"?""Ting Put-si apa"...........Aku?"?"aku tidak tahu!"
Karena gugupnya tadi, maka sekuatnya Cia Yan-khek telah
cengkeram pergelangan sianak muda, sekarang demi ingat ada
kemungkinan Ting Put-si sudah berada disekitar situ dan
menyaksikan dia menganiaya seorang anak kecil, hal ini tentu
akan menurunkan derajatnya sebagai seorang tokoh
terkemuka, maka ia lantas lepas tangan dan berseru: "Mothian-
kay ini jarang didatangi oleh orang kosen, jikalau Tinglosi
sudah berada disini, mengapa tidak perlihatkan dirimu
saja?" Berulang-ulang ia berseru sehingga suaranya berkumandang
jauh menggema lembah pegunungan itu, namun sampai lama
sekali hanya terdengar suara angin menderu-deru saja tanpa
sesuatu jawaban orang. Yan-khek coba mencemput burung gereja yang sudah mati itu,
ia merasa bangkai burung itu kaku dingin, ia coba meremasnya
sedikit, bangkai burung itu berbunyi kresek-kresek, nyata isi
perut burung itu telah membeku menjadi es batu. Dari ini
dapat diketahui bahwa dasar kepandaian "Han-ih-bian-ciang"
yang dilatih anak muda itu sudah mencapai tiga atau empat
bagian. Jika Ting Put-si yang menggunakan ilmu berbisa itu
tentu bangkai burung itu sudah membeku menjadi es
seluruhnya sampai-sampai bulunya sekalipun.
Diam Yan-khek terkesiap. Ia berpaling dan berkata dengan
suara ramah: "Adik cilik, tingkah lakumu sekarang sudah
ketahuan, buat apalagi kau masih berlagak pilon" Lebih baik
kau mengaku saja Ting-losi itu pernah apamu?"
"Ting-losi" Aku?"?"aku tidak kenal, siapa dia ?" demikian
jawab sianak muda. "Baik, jika kau tidak mau mengaku, maka cobalah kau memaki
si maling tua Ting-losi itu", kata Yan-khek.
"Kau pernah mengatakan bahwa kata-kata maling tua adalah
makian pada orang lain, dia toh tidak berbuat kesalahan
apapun padaku, kenapa aku mesti memaki dia ?" sahut anak
muda itu. Lama-lama Yan-khek jadi gemas, sungguh dia ingin sekali
hantam lantas membinasakan anak muda itu. Tapi lantas
terpikir pula: "Rupanya Ting Put-si percaya akau takkan
mengingkar kepada sumpahku sendiri dan takkan mengganggu
orang yang mengembalikan medali wasiat padaku, makanya ia
menyuruh anak muda ini ikut aku ketas tebing ini tanpa
kuatir." Sebenarnya Cia Yan-khek hanya saling mengenal nama saja
dengan Ting Put-si dan tidak pernah bertemu muka, maka
diantara mereka juga tiada selisih paham atau permusuhan
apa-apa. Tapi demi teringat dirinya mungkin sudah terjeblos
didalam perangkap Ting Put-si yang terkenal keji itu, mau-takmau
Yan-khek lantas merinding.
Kemudian ia tanya pula kepada sianak muda: "Adik cilik, kau
punya "Han-ih-bian-ciang" ini sungguh sangat lihay, sudah
berapa tahun kau melatihnya?"
"Apa itu "Han-ih-bian-ciang?" Entahlah, aku tidak tahu", sahut
sianak muda. Muka Cia Yan-khek berubah masam, katanya dengan aseran:
"Kalau ditanya, semuanya kau jawab tidak tahu. Memangnya
kau anggap aku orang she Cia ini manusia goblok ?"
"Ada apakah engkau marah-marah padaku"
Sung?"?".sungguh aku tidak tahu. Ah, barangkali karena aku
membikin mati kedua ekor burung yang kau tangkap itu. Tapi
kepandaian paman tua sangat hebat, maukah engkau terbang
keudara untuk menangkap dua ekor lagi. Bukankah engkau
menyatakan hendak mengajarkan caranya menangkap burung
sehingga burung-burung itu tidak dapat terbang dari telapak
tanganku." "Bagus, biarlah aku lantas mengajarkan kepandaian ini
padamu", kata Yan-khek. Lalu ia ambil sebuah boneka yang
terlukis Hiat-to dan urat-urat nadi itu, katanya pula: "Ilmu ini
tidak susah untuk dilatih, jauh lebih gampang daripada kau
melatih "Han-ih-bian-ciang". Ini, sekarang aku mengajarkan
apalannya padamu, asal kau ingat dengan baik, lalu melatihnya
menurut titik hitam dan garis-garis merah yang terlukis
dibadan boneka ini, tentu dalam waktu singkat kau akan dapat
menguasainya." Segera ia mengajarkan satu kalimat demi satu kalimat apalan
sejurus ilmu "Yam-yam-kang" padanya.
Tak terduga sianak muda itu tampaknya cukup cerdas, pula
sudah memiliki beberapa bagian dasar "Han-ih-bian-ciang".
Namun entah pura-pura bodoh atau memang sungguhsungguh
ternyata dalam hal Hiat-to, urat nadi, cara bernapas
dan mengerahkan tenaga, sama sekali ia tidak becus.
Sebabnya Cia Yan-khek hendak mengajarkan "Yam-yam-kang"
padanya, yaitu semacam ilmu yang bertenaga dalam maha
panas, tujuannya ialah ingin memunahkan tenaga dingin yang
ditimbulkan Han-ih-bian-ciang yang telah dimiliki anak muda
itu, lalu akan dibikinnya pula agar tenaga dalam yang maha
panas itu sesat keurat nadi yang salah sehingga antara panas
dan dingin saling bertentangan, akibatnya anak muda itu tentu
akan binasa. Sudah tentu "Yam-yam-kang" itu tak dapat dilatih dengan baik
dalam waktu singkat, untuk bisa mengimbangi "Han-ih-bianciang"
yang dimilikinya sekarang sedikitnya harus berlatih
selama beberapa tahun, kalau tidak tentu tidak cukup untuk
membinasakan anak muda itu. Tapi sekarang anak muda itu
mengaku sama sekali tidak paham apa-apa tentang Hiat-to dan
sebagainya, diam-diam Cia Yan-khek mendongkol. Sekarang
kau berlagak bodoh, kelak kalau kau sudah tahu rasa barulah
kenal kelihayanku. Demikian pikirnya.
Karena itu iapun berlaku sabar sedapat mungkin dan
menjelaskan tempat-tempat letak Hiat-to yang bersangkutan
menurut apa yang terlukis dibadan boneka itu.
Dalam keadaan demikian anak muda itu ternyata tidak bodoh
lagi, tapi dapat memahami dengan cepat, ingatannya juga
cukup kuat. Lalu Yan-khek mengajarkan pula caranya
mengatur pernapasan dan suruh anak muda itu berlatih
sendiri. Untuk selanjutnya, tiap-tiap hari selain melatih ilmu-ilmu itu
seperti biasa iapun pergi berburu, lalu memasak, sedikitpun
tidak menyurigakan ilmu yang diajarkan oleh Cia Yan-khek
padanya itu. Semula Cia Yan-khek merasa kuatir kalau Ting Put-si datang ke
Mo-thian-kay untuk menyerangnya, untuk menjaga
kemungkinan itu maka ia telah mengerek rantai besi yang
panjang itu keatas. Sang waktu berlalu dengan cepat, hari berganti bulan dan
bulan berganti musim, dalam sekejap saja setahun sudah lalu,
selama itu tiada seorangpun yang berusaha naik keatas tebing
yang curam itu, bahkan diatas Mo-thian-kay seluas belasan li
itupun tiada terdapat orang asing.
Karena persediaan beras dan garam sudah hampir habis, Cia
Yan-khek terpaksa harus membelinya kebawah gunung. Tapi ia
tidak tega membiarkan anak muda itu tinggal sendiri diatas
gunung, kuatir kalau ada orang datang kesitu dan menculiknya,
jika terjadi demikian, hal ini berarti dia menyerahkan matihidupnya
sendiri kepada orang lain. Sebab itulah ia lantas
mengajak anak muda itu kemanapun dia pergi. Ia membeli
bahan makanan seperlunya ditambah minyak dan garam, baju,
sepatu, dan kaos kaki. Selam turun gunung Cia Yan-khek selalu
berlaku waspada, namun mereka dapat pulang keatas gunung
tanpa mengalami halangan apa-apa.
Keadaan begitu telah mereka lewatkan lagi selama beberapa
tahun. Dalam setahun mereka suka turun gunung satu-dua
kali, habis belanja apa yang perlu mereka lantas cepat-cepat
pulang keatas gunung lagi.
Sementara itu usia anak muda itu sudah menjadi 18-19 tahun,
perawakannya sekarang tinggi besar, kekar dan kuat, bahkan
lebih tinggi daripada Cia Yan-khek.
Selama itu Cia Yan-khek tetap berlaku hati-hati sekali, diwaktu
malam dia tidak tidur bersama didalam satu gua. Diwaktu
makan juga mesti membiarkan anak muda itu mencobanya
dahulu untuk membuktikan didalam makanan itu tiada diberi
racun. Sehabis itu baru dia berani makan daharan yang
disajikan itu. Sehari-hari selain mengajarkan lweekang kepada anak muda
itu, untuk omong iseng saja ia merasa enggan.
Untungnya anak muda itu sejak kecil juga telah diperlakukan
secara dingin oleh ibunya seperti sikap Cia Yan-khek sekarang.
Maka ia tidak merasakan kejanggalan atas perlakuan Cia Yankhek
itu. Malahan ibunya sering mendamperat dan memukul
dia, sebaliknya Cia Yan-khek tidak banyak bicara, tidak tertawa
dan tidak marah padanya. Karena tiada pekerjaan lain, maka selain berburu dan
memasak, kerja anak muda itu hanya berlatih Lweekang untuk
melewatkan tempo yang senggang. Sesudah beberapa tahun,
lambat laun "Yam-yam-kang" yang dilatihnya itupun hampir
mendekati selesainya. Cia Yan-khek sendiri sejak dulu mengalami sesuatu urusan
yang mengecewakan pada waktu dia berusia 30 tahun, lalu dia
tirakat diatas Mo-thian-kay dan jarang lagi berkelana didunia


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kangouw. Tapi selama beberapa tahun terakhir ini, setiap kali
terpikir ada kemungkinan dia sedang diincar oleh seorang
tokoh aneh seperti Ting Put-si, maka siang dan malam dia
selalu kebat kebit dan hidup tidak tenteram, terpaksa setiap
saat iapun selalu waspada. Maka selain dia giat berlatih ilmu
silat perguruannya sendiri, ia meyakinkan pula tiga macam
Ciang hoat (ilmu pukulan dengan tangan terbuka) dan Kun
hoat (ilmu pukulan dengan kepalan) yang khusus digunakan
menghadapi Lweekang lawan yang berbisa dingin.
Dalam waktu beberapa tahun bukan saja Yam-yam-kang yang
dilatih sianak muda sudah hampir selesai, bahkan kekuatan Cia
Yan-khek sendiri juga maju pesat, jauh berbeda kalau
dibandingkan pada waktu ia bertemu dengan sianak muda
dahulu. Pagi hari itu Yan-khek melihat sianak muda sedang berduduk
diatas batu cadas disebelah timur sana dan asyik melatih. Dari
ubun-ubun anak muda itu tampak mengepulkan uap tipis.
Itulah tanda tenaga dalam yang diyakinkan itu sudah mencapai
tarap yang masak. Diam-diam Yan-khek membatin: "Anak
setan, sekarang sebelah kakimu sudah berada diambang pintu
akhirat." Ia tahu latihan anak muda itu baru akan selesai menjelang
lohor nanti, maka ia lantas tinggal pergi. Ia gunakan Ginkang
yang tinggi dan berlari sampai ditengah hutan cemara yang
berada dibelakang puncak gunung.
Tatkala itu embun belum lagi kering seluruhnya, hawa masih
sejuk segar. Yan-khek menghirup napas dalam-dalam, lalu
dihembusnya kembali dengan perlahan. Habis itu mendadak
sebelah tangannya menyodok kedepan, menyusul tangan yang
lain juga memukul dengan cepat, badannya lantas menggeser
pula mengikuti pukulan-pukulannya itu dan menyusur kian
kemari ditengah pohon-pohon cemara itu. Makin lama makin
cepat larinya dan kedua tangannya juga naik-turun bekerja
dengan teratur, terdengar suara "crat-cret" yang perlahan,
pukulan-pukulannya tiada hentinya diarahkan kebatang pohon.
Larinya bertambah cepat, sebaliknya makin lama pukulannya
makin lambat. Jadi kakinya bekerjanya tambah cepat,
sebaliknya tangannya makin perlahan bergeraknya. Tapi
cepatnya tidak terburu-buru, sedangkan perlahan tidak
mengurangi keganasannya. Nyata ilmu silatnya sekarang sudah
mencapai puncaknya kesempurnaan.
Saking semangatnya mendadak Cia Yan-khek bersuit nyaring,
"plak-plak", dua kali pukulannya tepat mengenai batang pohon
cemara, seketika terdengar suara gemersik, lidi cemara telah
rontok sebagai hujan. Tapi Yan-khek lantas keluarkan ilmu
pukulannya, beribu-ribu lidi cemara itu telah dipukul mumbul
kembali keudara. Dari atas pohon lidi cemara itu masih terus bertebaran jatuh,
tapi tetap takbisa jatuh ketanah karena terguncang kembali
keatas oleh angin pukulan Cia Yan-khek.
Hendaklah maklum bahwa lidi cemara itu mempunyai bobot
dan kecil, tidak seperti daun pohon biasa yang enteng dan
mudah kabur terbawa angin. Tapi sekarang angin pukulan Cia
Yan-khek itu mampu membikin lidi cemara sebanyak itu kabur
keatas, nyata sekali tenaga dalamnya sudah dapat dikeluarkan
dengan menurut sesuka hatinya.
Begitu banyak lidi cemara yang berterbaran itu sehingga
berubah menjadi suatu gulungan bayangan yang membungkus
rapat disekeliling tubuh Cia Yan-khek. Agaknya dia sengaja
hendak menguji sampai betapa hebatnya Lweekang yang telah
diyakinkannya selama ini, maka ia masih terus mengerahkan
tenaga dalam, lidi cemara itu diperlebar dan didorong lebih
kedepan. Dengan meluasnya lingkaran bayangan lidi cemara, dengan
sendirinya tenaga dalamnya menjadi susah dikuasai secara
merata, maka lidi cemara yang berada paling luar itu lantas
bertebaran jatuh kebawah. Tapi mendadak Yan-khek menarik
napas dalam-dalam dan tenaganya tiba-tiba terpencar cepat
keluar sehingga lidi cemara yang jatuh itu dapat dicegah.
Sungguh girang sekali Cia Yan-khek, ia terus mengerahkan
tenaga dalamnya, ia merasa setiap gerak-gerik kaki dan
tanganya dapat dilakukan dengan lancar, jiwa raganya seakanakan
sudah bersatu padu tak terpisahkan lagi.
Sampai agak lama juga, ketika dia mulai menahan tenaganya,
mulailah lidi cemara itu bertebaran jatuh ketanah sehingga
berwuyud sebuah lingkaran hijau disekelilingnya.
Selagi Yan-khek berseri-seri puas atas Lweekangnya sendiri itu,
sekonyong-konyong air mukanya berubah hebat. Ternyata
entah sejak kapan, tahu-tahu disekelilingnya sudah berdiri
sembilan orang. Kesembilan orang ini semuanya bersenjata
dan sedang memandang kearahnya tanpa berkata.
Dengan kepandaian Cia Yan-khek yang sudah sedemikian
tingginya, jangankan orang hendak mendekati dia, andaikan
masih sejauh satu-dua li tentu juga akan diketahui olehnya.
Soalnya tadi ia sedang asyik mengerahkan tenaga dalamnya
untuk melatih sejurus "Pek-ciam-jing-ciang" (ilmu pukulan
jarum hijau), perhatiannya terpusat kepada ilmunya itu
sehingga kedatangan orang-orang yang sama sekali tak
disangkanya itu tak diketahuinya.
Padahal Mo-thian-kay itu selamanya tak pernah dikunjungi
orang luar. Sekarang mendadak kedatangan tamu tak
diundang sebanyak itu, maka Yan-khek insaf para pendatang
itu tentu tidak bermaksud baik. Tapi ia menjadi besar hati pula
ketika diketahui para pendatang itu berjumlah sembilan orang.
Maklum, selama beberapa tahun ini yang dia kuatirkan hanya
Ting Put-si yang berjuluk "Ce-jit-put-ko-si" itu. Ia tahu betul,
baik Ting Put-si maupun Ting Put-sam selamanya suka jalan
sendirian dan tidak pernah bergerombol dengan orang banyak.
Kedua saudara sekandung itupun tidak akur satu sama lain dan
jarang berada bersama. Sekarang para pendatang itu
berjumlah sembilan orang, terang diantara mereka tiada
terdapat Ting Put-si, karena itulah iapun tidak perlu jeri lagi.
Waktu dia perhatikan lebih jauh, tiba-tiba ia mengenali tiga
orang diantaranya, yaitu seorang tinggi kurus, seorang Tojin
dan seorang bermuka jelek. Itulah tiga orang yang telah
mengeroyok dan membinasakan Tay-pi Lojin dahulu. Yan-khek
ingat betul menurut pengakuan mereka kepada Tay-pi Lojin
bahwa mereka adalah orang-orang Tiang-lok-pang.
Sesaat itu timbul macam-macam pikiran dalam benak Cia Yankhek.
Tak peduli siapapun juga, kalau datangnya keatas Mothian-
kay itu dilakukan secara diam-diam, terang ini terlalu
memandang rendah kepadanya dan tidak gentar untuk
memusuhinya. Padahal selamanya dia tiada permusuhan apaapa
dengan pihak Tiang-lok-pang. Lalu apa maksud tujuan
kedatangan mereka ini" Jangan-jangan seperti halnya Tay-pi
Lojin, merekapun akan memaksanya masuk menyadi anggota
Tiang-lok-pang mereka"
Ia menaksir kekuatannya cukup untuk menghadapi ketiga
orang yang sudah dikenalnya itu. Tapi bagaimana harus
melayani pula keenam orang yang lain"
Dilihatnya usia keenam orang yang lain itu semuanya sudah
lebih 40 tahun, dua diantaranya terang memiliki Lweekang
yang tinggi. Kemudian ia lantas menyapa dengan tersenyum: "Apakah
saudara-saudara ini adalah sobat dari Tiang-lok-pang" Maafkan
aku tidak menyambut kedatangan kalian secara mendadak ini.
Entah ada kepentingan apa, mohon penjelasan."
Kesembilan orang itu serentak membalas hormat. Tadi mereka
telah menyaksikan tenaga dalam Cia Yan-khek ketika
memainkan "Pek-ciam-jing-ciang" tadi. Mereka tidak
menyangka kalau Cia Yan-khek sedang memusatkan perhatian
dalam latihannya itu sehingga tidak tahu akan kedatangan
mereka, sebaliknya mereka mengira Cia Yan-khek sengaja
tidak gubris dan anggap enteng datangnya mereka itu. Segera
seorang tua diantaranya yang berbaju kuning menjawab:
"Kedatangan kami ini terlalu kurang sopan, diharap Ciasiansing
suka memaafkan." Melihat dandanan orang tua itu, mukanya pucat, bicaranya
lemah seperti orang yang berpenyakitan, tiba-tiba Yan-khek
ingat seseorang, segera ia bertanya: "Apakah tuan ini adalah
"Tiok-jiu-seng-jun" Pwee-tayhu?"
Orang tua itu memang betul "Tiok-jiu-seng-jun" (sekali pegang
lantas sembuh) Pwe-tayhu, sitabib sakti she Pwe. Nama
lengkapnya adalah Pwe Hay-ciok.
Ia merasa bangga juga demi mengetahui Cia Yan-khek
mengenal namanya. Ia batuk-batuk dua kali, lalu menjawab:
"Ah, Cia-siansing terlalu memuji saja. Julukan "Tiok-jiu-sengjun"
itu sungguh malu aku menerimanya."
"Pwe-tayhu terkenal suka bertindak sendiri kemanapun pergi
untuk menolong derita sesamanya, entah sejak kapan juga
telah masuk kedalam Tiang-lok-pang?" tanya Yan-khek.
"Kekuatan seorang adalah terbatas, tapi kalau kekuatan orang
banyak bergabung untuk kesejahteraan sesama manusia,
maka kekuatan ini tentu akan besar," sahut Pwe Hay-ciok.
"Cia-siansing, kedatangan kami ini memang terlalu sembrono,
diharap engkau jangan marah. Sudah tentu kedatangan kami
ini ada urusan penting yang harus disampaikan kepada Pangcu
kami, maka sudilah Cia-siansing menghadapkan kami kepada
beliau." "Siapakah gerangan Pangcu kalian ?" Yan-khek menegas
dengan heran. "Mungkin Cayhe sudah terlalu jarang
berkecimpung dikangouw, maka pengetahuanku menjadi cetek
sehingga nama Pangcu kalian juga tidak tahu. Tapi mengapa
kalian mencarinya kesini ?"
Kesembilan orang itu tampak kurang senang atas jawaban
Yan-khek itu. Pwe Hay-ciok meraba-raba jenggotnya yang
pendek itu sambil batuk-batuk beberapa kali, lalu katanya
pula: "Cia-siansing, Ciok-pangcu kami adalah kawan karibmu
dan selalu berada bersama, dengan sendirinya segenap
anggota Tiang-lok-pang kami juga sangat menghormati Ciasiansing
dan tak berani kurang sopan sedikitpun. Tentang
gerak-gerik Ciok-pangcu kami, sebagai kaum bawahan
selamanya kami tidak berani ikut campur. Soalnya adalah
karena Pangcu sudah terlalu lama meninggalkan markas dan
banyak urusan yang menantikan penyelesaiannya, ditambah
lagi pada saat ini ada dua urusan maha penting yang
mendesak, maka?"..makanya begitu mendapat kabar bahwa
Ciok-pangcu berada diatas Mo-thian-kay sini, segera juga kami
menyusul kesini dengan cepat."
Bab 8. Anak Anjing Berubah Menjadi Tiang-Lok-Pangcu
Melihat cara bicara Pwe Hay-ciok itu sangat tulus, melihat sikap
kesembilan orang itupun tiada bermaksud jahat meski
semuanya bersenjata, diam-diam Cia Yan-khek mengetahui
telah terjadi salah paham, maka jawabnya dengan tersenyum:
"Diatas Mo-thian-kay ini tiada meja kursi, sehingga telah
mentelantarkan tamu-tamu terhormat, silakan kalian duduk
saja diatas batu. Sebenarnya darimanakah Pwe-tayhu
mendengar berita bahwa Ciok-pangcu kalian selalu berada
bersama dengan aku" Padahal tidak sedikit kesatria-kesatria
yang terhimpun didalam Pang kalian, dengan sendirinya Ciokpangcu
kalian adalah seorang tokoh terkemuka, sebaliknya aku
hanya seorang gunung miskin yang tiada suka bergaul, mana
bisa berkumpul dengan kesatria ternama sebagai Ciok-pangcu
kalian. Hehe, lucu, sungguh lucu."
Pwe Hay-ciok menjadi ragu-ragu. Ia menduga sebabnya Cia
Yan-khek tidak mau mengakui kenal Ciok-pangcu mereka,
tentu didalam hal ini ada apa-apa yang tak dapat diterangkan.
Maka ia lantas memberi tanda kepada kawan-kawannya dan
berkata: "Saudara-saudara sekalian, silakan duduk untuk
bicara." Nyata sekali Pwe Hay-ciok adalah pemimpin dari kesembilan
oran ini. Maka kawan-kawannya itu lantas mengambil tempat
duduk sendiri-sendiri. Ada yang duduk diatas batu cadas, ada
yang duduk didahan pohon yang rendah, Pwe Hay-ciok duduk
diatas gundukan tanah. Kesembilan orang itu telah memasukkan kembali senjatasenjata
mereka dan berduduk semua, tapi posisi kepungan
mereka terhadap Cia Yan-khek masih tidak berubah. Keruan
diam-diam Yan-khek menjadi gusar, pikirnya: "Sikap kalian ini
benar-benar terlalu kasar padaku. Jangankan aku memang
tidak tahu Ciok-pangcu kalian, andaikan tahu juga masakah
aku dapat dipaksa untuk mengatakan ?"
Segera ia hanya tersenyum-senyum dingin saja sambil
menengadah, terhadap orang-orang disekitarnya ia anggap
sepi saja dan tak menggubris.
Padahal "Tiok-jiu-seng-jun" Pwe Hay-ciok itu sekalipun tidak
lebih tinggi kedudukannya didunia persilatan dibandingkan Cia
Yan-khek, paling tidak juga setingkat. Sekarang Cia Yan-khek
sengaja bersikap sedemikian angkuhnya, hal ini juga
keterlaluan. Namun Pwe Hay-ciok masih mengingat kehormatan Pangcu
mereka dan tetap bicara dengan ramah: "Cia-siansing,
sesungguhnya ini adalah urusan rumah tangga Pang kami, jika
engkau sampai terlibat, sungguh kami merasa tidak enak.
Maka kami hanya minta Cia-siansing suka menghadapkan kami
kepada Pangcu dan dengan sendirinya kami akan berterima
kasih dan nanti akan minta maaf pula padamu."
Kalau mengingat nama besar dan watak "Tiok-jiu-seng-jun"
Pwe Hay-ciok yang terkenal disegani dan angkuh itu, sekarang
dia bicara sedemikian ramahnya, hal ini boleh dikata jarang
terjadi. Tapi Yan-khek tetap menjawab dengan dingin: "Pwe-tayhu,
engkau adalah kesatria ternama di Kangouw, setiap ucapan
seorang laki-laki sejati harus dapat dipercaya, bukan ?"
Mendengar pertanyaan Cia Yan-khek yang bernada gusar itu,
diam-diam Pwe Hay-ciok menjadi was-was, sahutnya: "Ah, Ciasiansing
terlalu sungguh-sungguh."
"Dan kalau ucapan Pwe-tayhu adalah kata-kata tulen, apakah
ucapanku ini adalah kentut ?" kata Yan-khek pula. "Sejak tadi
aku sudah menyatakan tidak pernah melihat Ciok-pangcu
kalian, tapi kalian tetap tidak percaya. Jika demikian, apakah
kalian adalah laki-laki sejati dan orang she Cia ini adalah kaum
pembohong ?" "Ah, ucapan Cia-siansing terlalu sungguh-sungguh, orangorang
Tiang-lok-pang kami selamanya juga sangat menjunjung
tinggi kepada Cia-siansing," sahut Pwe Hay-ciok sambil terbatuk-
batuk. "Jika Cia-siansing tidak suka menghadapkan kami
kepada Pangcu kami, tiada jalan lain terpaksa kami mesti
mencarinya sendiri."
Air muka Cia Yan-khek merah padam menahan rasa gusar,


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya: "Jadi bukan saja Pwe-tayhu tidak percaya kepada
ucapanku, bahkan hendak bertindak secara sewenang-wenang
ditempat tinggalku ini?"
"Ah, tidak, mana kami berani ?" sahut Pwe Hay-ciok. "Sungguh
memalukan kalau dibicarakan. Tiang-liok-pang telah kehilangan
Pangcu dan mesti minta orang menemukan Pangcu mereka,
kalau cerita ini tersiar tentu akan dibuat bahan tertawaan
orang Kangouw. Maka kami terpaksa hanya akan mencari
sekadarnya saja, harap Cia-siansing jangan salah paham."
Sungguh dongkol Yan-khek tak terkatakan. Pikirnya: "Diatas
Mo-thian-kay ini darimana ada mereka punya Pangcu kentut
apa segala" Dasar mereka ini adalah kawanan perusuh,
tentang mencari Pangcu apa jelas hanya sebagai alasan saja.
Kalau sekarang mereka telah mengincar diriku, biarpun
darahku mesti membasahi puncak gunung ini juga aku tidak
gentar." Iapun insaf keadannya sekarang sangat berbahaya. Melulu
menghadapi Pwe Hay-ciok seorang saja paling banter dirinya
cuma mampu melawannya dengan sama kuat, inipun sudah
berkat kemajuan pesat kekuatan yang dilatihnya selama
beberapa tahun paling akhir. Sekarang pihak lawan ditambah
lagi delapan jago pilihan, maka sangat sulitlah baginya untuk
menyelamatkan diri. Tiba-tiba ia mendapat akal. Mendadak pandangannya beralih
kesebelah kanan, air mukanya mengunjuk rasa terkejut sambil
mengeluarkan suara heran perlahan.
Karena itu sinar mata kesembilan orang itu lantas memandang
kearah yang dituju Cia Yan-khek itu. Pada saat itulah
mendadak Yan-khek bergerak, secepat kilat ia memutar
kesamping sitinggi kurus, yaitu Bi-hiangcu yang sudah
dikenalnya itu, segera ia hendak mencabut pedang yang
tergantung dipinggang kawan itu.
Ketika tidak melihat apa-apa diarah yang dipandang itu dan
segera merasa berkesiurnya angin dan tahu-tahu musuh sudah
berada disampingnya, secepat kilat Bi-hiangcu juga lantas
bertindak, tangannya bekerja lebih cepat daripada tangan Cia
Yan-khek dan mendahului memegang pedang sendiri dan "sret"
senjata itu segera dilolosnya.
Tapi baru saja sinar pedangnya berkelebat, sekonyongkonyong
bagian iga dan punggungnya terasa kesakitan, Hiat-to
bagian iga sudah tertutuk dan punggungnya sudah
dicengkeram oleh Cia Yan-khek.
Kiranya Cia Yan-khek insaf bukan tandingan kesembilan orang
itu, dia pura-pura terkejut sambil memandang kesebelah kanan
hanya sebagai pancingan saja, gerakannya hendak merebut
pedang itupun pancingan belaka. Sebab Bi-hiangcu yang tidak
mau kehilangan senjatanya tentu akan mempertahankannya
dengan mati-matian, sebaliknya bagian iga dan punggung
dengan sendirinya terbuka sehingga kena ditawan Cia Yankhek.
Kalau tidak, biarpun kepandaiannya lebih rendah juga
tidak mungkin ditundukkan hanya dalam satu-dua gebrakan
saja. Yan-khek sendiri dahulu sudah pernah menyaksikan caranya
Bi-hiangcu menempur Tay-pi Lojin dan caranya menggunakan
Kui-thau-to memapas rambut sianak muda, maka ia cukup
paham jalannya ilmu pedang Bi-hiangcu, dan untung juga
sekali coba lantas berhasil.
Maka dengan tersenyum Yan-khek lantas berkata: "Maaf, Bihiangcu."
Sebaliknya Pwe Hay-ciok lantas tanya dengan bingung, "Ciasiansing,
apa maksudmu ini" Apakah engkau benar-benar
melarang kami untuk mencari Pangcu kami?"
"Kalau kalian hendak membunuh orang she Cia tentunya tidak
sukar, hanya saja mesti diiringi dengan beberapa lembar jiwa
pula," sahut Yan-khek.
"Selamanya kita tiada permusuhan apa-apa, masakah kami
bermaksud jahat kepada Cia-siansing?" sahut Pwe Hay-ciok
dengan tersenyum getir. "Apalagi dengan ilmu silat Ciasiansing
yang aneh dan banyak perubahannya secara
mendadak, biarpun kami ada maksud jahat juga tak mampu
meng-apa-apakan Cia-siansing. Kita adalah sahabat baik,
silakan melepaskan Bi-hiangcu saja."
Diam-diam iapun kagum melihat Cia Yan-khek dalam satu
gebrakan saja sudah dapat menawan Bi-hiangcu. Tapi sebagai
ahli silat, sebenarnya betapa kemampuan pihak lawan sekali
lihat saja sudah dapat diukurnya. Ia tahu sebabnya Cia Yankhek
berhasil menawan Bi-hiangcu adalah karena kelicikannya
dengan serangannya secara mendadak, jadi bukan dengan
kepandaian yang sejati. Sebab itulah dalam ucapannya tadi dia
menyatakan ilmu silat Cia Yan-khek itu aneh dan banyak
perubahannya secara mendadak.
Saat itu Cia Yan-khek mencengkeram "Tay-cui-hiat"
dipunggung Bi-hiangcu, asal dia kerahkan tenaga dalamnya,
seketika urat nadi jantung Bi-hiangcu itu akan putus dan
binasa. Maka ia telah menjawab: "Asal kalian segera pergi dari
Mo-thian-kay ini, sudah tentu aku akan segera melepaskan Bihiangcu."
"Apa susahnya untuk pergi?" kata Pwe Hay-ciok. "Sekarang
pergi, sebentar dapat datang lagi."
"Pwe-tayhu," kata Yan-khek dengan menarik muka. "Secara
ngotot kau merecoki diriku, sebenarnya apa maksud
tujuanmu?" "Maksud tujuan apa" O, ya, saudara-saudaraku, apa maksud
tujuan kita ?" demikian Pwe Hay-ciok sengaja mengulangi
pertanyaan Cia Yan-khek itu.
Sejak tadi ketujuh orang kawannya hanya tinggal diam saja,
sekarang mereka menjawab serentak: "Kita ingin bertemu
dengan Pangcu dan menyambut Pangcu pulang Congtho
(markas besar)." "Bicara kesana kesini ternyata kalian tetap menuduh aku telah
menyembunyikan Pangcu kalian ?" Yan-khek menegas dengan
gusar. "Cia-siansing, sesungguhnya didalam urusan ini ada sesuat
yang tak dapat kami terangkan dan terpaksa kami harus
bertemu dulu dengan Pangcu kami," sahut Pwe Hay-ciok. Lalu
ia berpaling kepada seorang kawannya yang bertubuh tinggi
besar, katanya: "In-hiangcu, silakan kau bersama para saudara
coba melongok kesekitar sini, bila melihat Pangcu hendaklah
segera beritahukan padaku."
In-hiangcu yang disebut itu bersenjatakan sepasang tombak
pendek, ia memanggut dan mengiakan. Lalu serunya: "Marilah
kawan-kawan, Pwe-siansing ada perintah agar kita coba
mencari Pangcu dulu."
Keenam orang lain serentak mengiakan. Ketujuh orang lantas
mundur beberapa langkah, mendadak mereka membalik tubuh
terus berlari keluar hutan.
Walaupun Cia Yan-khek sudah menawan seorang lawan, tapi
orang-orang Tiang-lok-pang ternyata tidak kena digertak dan
sama sekali tidak memikirkan mati-hidupnya Bi-hiangcu yang
tertawan, mereka tetap menjalankan tugasnya masing-masing,
hanya tertinggal Pwe Hay-ciok sendiri masih tetap berada
disitu, nyata sekali untuk mengawasi dia dan bukan untuk
berusaha menolong Bi-hiangcu. Diam-diam Yan-khek
membatin: "Jika kalian tidak menemukan Pangcu kalian yang
memang tiada disini itu, sekembalinya nanti tentu kalian akan
merecoki aku lagi. Sianak muda pernah mengembalikan medali
wasiat padaku, hal ini telah menggemparkan dunia Kangouw,
maka sebentar lagi pemuda itu tentu akan ditawan oleh
mereka dan ini berarti Tiang-lok-pang memiliki suatu senjata
lagi untuk membikin aku tak berdaya. Rasanya sekarang tak
berpaedah untuk bercekcok dengan mereka, paling perlu aku
harus berusaha meloloskan diri dahulu."
Ia lihat ketujuh orang Ciang-lok-pang sudah menghilang diluar
hutan. Mendadak telapak tangan kiri menolak kepunggung Bihiangcu
terus didorong sekuatnya. Jurus ini disebut "Bun-caybu-
wi" (satu halus dan satu kasar), yaiut dengan kiri
menggunakan tenaga Im dan tangan kanan memakai tenaga
Yang. Tubuh Bi-hiangcu itu diperalat olehnya sebagai senjata
yang ampuh terus ditolak kearah Pwe Hay-ciok.
Terpaksa Cia Yan-khek harus melakukan serangan kilat, sebab
ia cukup tahu Lwekang Pwe Hay-ciok sangat lihay, hanya saja
diwaktu mudanya Pwe Hay-ciok pernah terluka dalam dan
penyakit itu takbisa disembuhkan seluruhnya, sebab itulah ilmu
silatnya telah banyak terpengaruh. Dan karena Pwe Hay-ciok
sendiri menderita sakit dalam sehingga lama-lama dia menjadi
pandai ilmu pertabiban, dari situlah dia memperoleh julukan
sebagai Pwe-tayhu, padahal dia bukan seorang tabib sungguhsungguh.
Walaupun demikian ilmu silatnya tetap luar biasa
lihaynya, hal ini terbukti pada sembilan tahun yang lalu, dalam
semalam saja dia telah membunuh "Ek-tiong-sam-sat" (Tiga
malaikat maut Opak) yang masing-masing tinggal di tempatKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
tempat yang tidak sama dalam jarak 200 li jauhnya. Peristiwa
itu telah menggemparkan dunia persilatan pada waktu itu.
Sebab itulah meski Cia Yan-khek melihat Pwe Hay-ciok
berulang-ulang terbatuk-batuk seperti orang sakit tebese, tapi
iapun tidak berani ayal sedikitpun, maka sekali serang lantas
menggunakan kekuatan sepenuhnya.
Pwe Hay-ciok lantas batuk-batuk lagi ketika mendadak
diserang, katanya: "Ai, Cia-siansing?"".huk-huk?"..mengapa
mesti menggunakan kekerasan ?" ~ Terpaksa iapun memapak
dengan kedua telapak tangan untuk menahan dada Bi-hiangcu
yang ditolak kearahnya itu, berbareng itu mendadak dengkul
kaki kiri terus mendengkul keatas sehingga tepat mengenai
perut Bi-hiangcu, kontan tubuh Bi-hiangcu tertolak keatas dan
mencelat kebelakangnya. Dengan demikian kedua telapak
tangannya menjadi seakan-akan menolak kedada Cia Yan-khek
sekarang. Perubahan jurus ini sungguh terlalu cepat dan sangat aneh,
biarpun Cia Yan-khek sangat luas pengalamannya jua merasa
kaget atas kejadian itu. Tiada jalan lain kecuali kedua
tangannya digunakan untuk menyambut tolakan Pwe Hay-ciok
itu. Tapi begitu keempat tangan beradu, Yan-khek merasa ujung
jari-jari seperti ditusuk oleh beribu-ribu jarum. Cepat Yan-khek
mengerahkan tenaga dalam tapi sekonyong-konyong terasa
"blong", pusat tenaganya terasa kosong dan susah dikerahkan.
Sekilas itu tahulah dia bahwa karena latihannya tadi dia sudah
menghabiskan tenaga dalam sendiri sehingga sekarang tidak
mungkin mengadu tenaga dalam pula dengan lawan.
Cepat ia tekan kedua tangan kebawah untuk menghantam
perut lawan. Tapi Pwe Hay-ciok juga lantas tarik tangan
kebawah untuk menahan serangannya.
Sekonyong-konyong kedua lengan baju Cia Yan-khek
mengebas dengan kuat untuk menyabet muka Pwe Hay-ciok.
Serangan ini sangat lihay tampaknya. Tapi Pwe Hay-ciok sudah
dapat melihat kelemahan musuh, namun demikian dia hanya
mengegos untuk menghindar dan tidak balas menyerang.
Kesempatan itu lantas digunakan Cia Yan-khek untuk menarik
kembali lengan bajunya, berbareng tubuhnya terus melayang
kebelakang dengan kekuatan angin serangan yang ditarik
kembali itu. Ia memberi salam dan berseru: "Maafkan, mohon
pamit dulu, sampai berjumpa pula". ~ Sambil bicara iapun
terus mundur dengan cepat, sikapnya tetap keras dan
gerakannya sebat, sedikitpun tidak kentara kalau dia
sebenarnya hendak melarikan diri.
Berturut-turut ia telah menyerang tiga kali dan tahu keadaan
tidak menguntungkan, maka cepat ia lantas mengundurkan
diri, jadi tidak dapat dianggap kalah. Walaupun dia dipaksa
kabur dari Mo-thian-kay, tapi dia dikepung sembilan orang
lawan, malahan dia dapat menjatuhkan Bi-hiangcu dari pihak
musuh, hal ini sebaliknya cukup mematahkan semangat jagojago
Tiang-lok-pang tadi. Maka ketika dia melompat turun dari
tebing Mo-thian-kay yang tinggi dan curam itu, rasa lega dan
senangnya ada lebih besar daripada rasa penasaran dan
dongkolnya. Tapi baru beberapa li ia berlari, tiba-tiba ia merasa
jari-jari tangan agak kesakitan.
Ia coba memeriksa jari-jari itu, ternyata ujung tiap-tiap jari itu
semuanya merah dan agak bengkak. Diam-diam ia terkejut
akan lihaynya tenaga dalam Pwe Hay-ciok. Maka ia tidak berani
berlari cepat lagi, tapi berjalan dengan perlahan dan mencari
suatu tempat yang sepi untuk mengatur Lwekang dan
menjalankan darahnya?"".
Dilain pihak, demi nampak Cia Yan-khek kabur meninggalkan
Mo-thian-kay, Pwe Hay-ciok menjadi terheran-heran: "Dia
adalah sahabat karib Ciok-pangcu, mengapa dia menggunakan
serangan seganas ini terhadap Bi-hiangcu" Sungguh tingkahlakunya
benar-benar susah untuk dipahami."
Segera ia membangunkan Bi-hiangcu dan menempelkan kedua
telapak tangannya dipunggung sang kawan dan menyalurkan
tenaga dalam. Selang sejenak, perlahan-lahan Bi-hiangcu
dapat membuka matanya dan berkata dengan lemah: "Banyak
terima kasih atas pertolongan Pwe-tayhu."
"Bi-hiante hendaklah rebah dan mengaso saja, sekali-kali
engaku jangan menggunakan tenaga," ujar Pwe Hay-ciok.
Kiranya jurus "Bun-cay-hu-wi" yang dikeluarkan Cia Yan-khek
tadi, tujuannya bukan saja untuk membinasakan Bi-hiangcu,
bahkan merupakan serangan maut terhadap Pwe Hay-ciok.
Kalau Pwe Hay-ciok menahan tubuh Bi-hiangcu dengan tenaga
dalam, maka digencet dari muka dan belakang, tentu seketika
Bi-hiangcu akan mati. Sebab itulah Pwe Hay-ciok hanya
menahan sedikit dadanya Bi-hiangcu, berbareng dengkul kaki
menyontak tubuh Bi-hiangcu hingga mencelat kebelakang,
dengan demikian barulah jiwa Bi-hiangcu dapat diselamatkan.
Walaupun demikian, toh lukanya juga tidak ringan, andaikan
dapat disembuhkan juga susah pulih kembali seperti semula
dalam waktu beberapa tahun.
Perlahan-lahan Pwe Hay-ciok menaruh tubuh Bi-hiangcu diatas
tanah, lalu menggunakan tenaga dalam untuk mengurut dada
dan perutnya. Pada saat itulah mendadak terdengar suara orang: "Pangcu
berada disini, Pangcu berada disini!"
Girang Pwe Hay-ciok tak terhingga, katanya kepada Bihiangcu:
"Bi-hiante, keadaanmu sudah tidak berbahaya lagi,
engkau mengaso dulu disini, aku hendak pergi menemui
Pangcu dahulu." ~ Lalu ia berlari kearah datangnya seruan
tadi. Diam-diam ia merasa bersyukur sang Pangcu telah
diketemukan, kalau tidak, bukan mustahil Tiang-lok-pang
mereka akan pecah berantakan tak keruan.
Setelah berlari-lari, akhirnya ia melihat diatas sepotong batu
cadas berduduk seorang. Dipandang dari samping memang
betul adalah sang Pangcu. Pula In-hiangcu dan keenam kawan


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lain tampak berdiri didepan batu dengan sikap sangat
menghormat. Cepat Pwe Hay-ciok mendekati mereka. Tatkala itu sang surya
sedang memancarkan sinarnya yang terang sehingga wajah
orang itu dapatlah terlihat dengan jelas, tertampak alisnya
yang tebal dan mata besar, raut mukanya lonjong, siapa lagi
kalau bukan Ciok-pangcu yang sedang dicarinya"
"Pangcu, baik-baikkah engkau ?" seru Pwe Hay-ciok dengan
girang. Tapi tiba-tiba dilihatnya air muka sang Pangcu mengunjuk rasa
derita sakit yang aneh, muka sebelah kiri tampak bersemu
kehijau-hijauan, sebaliknya muka sebelah kanan kemerahmerahan
seperti orang mabuk arak.
Sebagai seorang tokoh persilatan, pula mahir ilmu pertabiban,
segera Pwe Hay-ciok melihat keadaan sang Pangcu yang luar
biasa itu, ia terkejut: "He, rupanya Pangcu sedang melatih
semacam Lwekang yang sangat hebat. Wah, celaka, boleh jadi
lantaran kedatangan kami yang sembrono ini, maka telah
mengganggu ketenangan latihannya."
Sesaat itu ia merasa macam-macam tanda tanya yang
tersekam di dalam benaknya selama ini menjadi terjawab
:"Kiranya Pangcu telah memperoleh "Bu-kang-pit-kip" (kitab
rahasia ilmu silat) apa-apa, makanya dia menghilang sampai
setengah tahun lamanya dan susah diketemukan. Tentu Ciasiansing
itu mengetahui latihan Pangcu sedang mencapai detik
yang paling gawat dan tidak boleh diganggu oleh siapapun
juga, makanya betapapun dia tidak mau menghadapkan kami
kepada Pangcu. Ai, maksud baiknya itu telah disalah terima
oleh kami sehingga membikin susah padanya, sungguh tidak
pantas. Melihat keadaan Pangcu ini, agaknya hawa panas dan
dingin tubuhnya sedang bergolak dan susah dihimpun menjadi
satu, jika terjadi sesuatu kesalahan, tentu beliau akan celaka,
sungguh berbahaya sekali."
Maka cepat ia memberi tanda agar kawan-kawannya itu
mundur semua sehingga belasan meter jauhnya dari tempat
sang Pangcu. Lalu dengan suara perlahan ia menjelaskan
keadaan itu. Semua orang lantas paham duduknya perkara dan bergirang
tercampur kuatir. Ada yang bertanya apakah sang Pangcu
berbahaya" Ada pula yang menyesal tindakan mereka yang
semberono sehingga telah mengganggu latihan sang Pangcu.
Pwe Hay-ciok lantas berkata: "Bi-hiangcu telah dilukai oleh Ciasiansing
itu. Sekarang salah seorang saudara hendaklah pergi
menjaganya. Aku sendiri akan menjaga disini dan mungkin
akan dapat membantu Pangcu bilaman keadaan perlu. Kawankawan
yang lain silakan mengawasi sekitar tempat ini dan
jangan sekali-kali bersuara keras. Kalau ada musuh datang
boleh dibereskan secara diam-diam dan jangan sekali-kali
membikin kaget Pangcu."
Jago-jago Tiang-lok-pang itu mengiakan perintah Pwe Hay-ciok
dan menjaga disekitar puncak Mo-thian-kay itu. Pwe Hay-ciok
sendiri lantas mendekati Ciok-pangcu, ia lihat muka sang
Pangcu berkerut-kerut, sekujur badannya berkejang, mulutnya
tampak terpentang ingin berteriak, tapi takdapat mengeluarkan
suara sedikitpun. Terang itulah tanda tenaga dalamnya tersesat
dan jiwanya terancam bahaya dalam waktu singkat.
Keruan Pwe Hay-ciok terkejut. Ia ingin memberi pertolongan,
tapi ia tidak tahu Lwekang apa yang sedang dilatih sang
Pangcu. Kalau secara ngawur ia memberi pertolongan, bukan
mustahil akan mempercepat kematian orang yang ditolong itu
malah. Ia lihat pakaian sang Pangcu yang memangnya compangcamping
itu menjadi koyak-koyak dan hancur karena dicakar
dan dirobek kedua tangan sendiri, bahkan badannya
berlumuran darah. Sebaliknya ubun-ubun kepalanya tampak
menguap. Pikirnya: "Ilmu silat Ciok-pangcu memang sangat
aneh dan lihay serangannya, tapi tenaga dalamnya masih
cetek. Namun melihat uap yang mengepul diatas kepalanya
sekarang, terang Lwekangnya ini sudah terlatih sampai
puncaknya. Sungguh aneh, mengapa hanya didalam waktu
setengah tahun saja dia memperoleh kemajuan sedemikian
pesatnya " Hal ini membuktikan bahwa ilmu yang dilatihnya ini
benar-benar luar biasa."
Selagi merasa ragu-ragu dan tak berdaya, sekonyong-konyong
Pwe Hay-ciok mengendus bau sangit, dilihatnya baju bagian
pundak kanan sang Pangcu mengepulkan asap tipis. Itulah
benar-benar tanda terbakar karena salah melatih dan dalam
sekejap saja penderita itu dapat binasa seketika.
Karena terkejut, segera Pwe Hay-ciok mengulur tangan untuk
menahan "Jing-leng-hiat" dilengan kanan sang Pangcu,
maksudnya hendak membikin tenang pikiran sipenderita untuk
sementara waktu. Tak terduga baru saja jarinya menempel
lengannya, ia merasa seluruh badannya menggigil kedinginan,
ia tidak berani mengerahkan tenaga untuk melawan, terpaksa
menarik kembali tangannya. Pikirnya dengan heran: "Lwekang
aneh apakah ini" Mengapa setengah badannya mengepul
panas, sebaliknya separuh badan yang lain sedingin ini?"
Selagi Pwe Hay-ciok ragu-ragu cara bagaimana harus berbuat,
tiba-tiba tertampak tubuh sang Pangcu berkerut-kerut dan
akhirnya meringkuk dengan tangan memegang kepala sendiri
terus terguling jatuh kebawah. Sesudah kejang beberapa kali,
lalu tidak bergerak lagi.
"Pangcu! Pangcu!" seru Hay-ciok. Ia coba periksa hidungnya,
syukurlah masih dapat bernapas. Hanya sangat lemah, seakanakan
setiap saat bisa berhenti bernapas.
Pwe Hay-ciok mengerut kening kuatir. Cepat ia bersuit
memanggil kawan-kawannya, lalu ia membangunkan sang
Pangcu dan disandarkan pada batu cadas besar itu.
Tidak lama kemudian berturut-turut kawannya sudah
berkumpul. Ketika melihat muka sang Pangcu sebentar merah
membara dan sebentar lagi pucat seakan-akan kedinginan,
badannya yuga bergemetar, keruan mereka ikut kaget. Dengan
sorot mata penuh tanda tanya mereka pandang Pwe Hay-ciok.
"Terang Pangcu sedang melatih semacam Lwekang yang maha
hebat, apakah dia telah salat latih, seketika akupun belum tahu
dengan pasti," demikian kata Pwe Hay-ciok. "Urusan ini
memang serba sulit dan menyangkut Pang kita, maka diharap
saudara-saudara ikut memberi saran yang baik."
Namun tiada seorangpun yang bersuara. Semuanya saling
pandang dengan bingung. Kalau Pwe-tayhu saja tak berdaya
apalagi kita orang" Demikian pikir mereka.
Dalam pada itu Bi-hiangcu yang telah dipayang kawankawannya
dan ikut berkumpul disitu lantas berkata dengan
suara lemah: "Pwe-tayhu, apa yang kau anggap paling baik,
maka bolehlah dijalankan, betapapun pikiranmu jauh lebih
sempurna daripada kami."
Pwe Hay-ciok memandang sekejap kearah Ciok-pangcu, lalu
berkata: "Keempat golongan paling berpengaruh dari Kwantang
telah berjanji akan berkunjung kemarkas besar kita pada
Tiong-yang-ce (hari raya tanggal 9 bulan 9) nanti, temponya
sekarang sudah sangat mendesak dan tinggal sebulan lagi.
Urusan ini menyangkut mati atau hidupnya Pang kita, tentu
saudara-saudara sendiri sudah tahu bahwa keempat golongan
besar dari Kwantang itu hanya tampil kemuka sebagai pelopor
saja, tapi sebenarnya masih banyak pihak-pihak lain yang
diam-diam ingin?".huk, huk, ingin menjungkalkan Tiang-liokpang
kita. Dan bila Pang kita sampai dirobohkan oleh
Kwantang-si-pay (keempat golongan dari Kwantang) sehingga
pecah berantakan, maka jangankan kita hendak berkecimpung
pula didunia Kangouw, sekalipun mencari suatu tempat untuk
menyelamatkan diri rasanya juga?""juga susah."
"Ucapan Pwe-tayhu memang benar," ujar In-hiangcu.
"Bagaimana Tiang-liok-pang kita dalam pandangan orangorang
Kangouw kita cukup mengetahui. Segala sesuatu kita
biasanya suka bertindak dan berbuat secara tegas dan blakblakan,
kita tidak suka meniru cara-cara kaum pengecut,
dengan sendirinya kita telah banyak membikin sirik orangorang
lain. Dalam urusan-urusan sekarang ini kalau tiada
Pangcu sendiri yang tampil kemuka,
mungkin?"?"?".mungkin?"..ai?"".."
"Ya, sebab itulah kita harus cepat mengambil keputusan,"
sahut Pwe Hay-ciok. "Menurut pendapatku, kita harus cepat
menyambut Pangcu pulang kemarkas besar. Tapi penyakit
yang diderita Pangcu sekarang ini tampaknya tidak ringan,
berkat rejeki beliau kalau dalam waktu sepuluh hari atau
setengah bulan beliau dapat sembuh kembali, maka inilah yang
sangat kita harapkan. Kalau tidak, asalkan Pangcu sendiri
sudah berada dimarkas, sekalipun kesehatannya belum pulih,
namun beliau sudah cukup untuk memberi dorongan semangat
kepada kita untuk menghalau musuh bersama. Betul tidak
saudara?" "Ya, ucapan Pwe-tayhu memang betul," sahut semua orang.
"Jika demikian, marilah kita lekas membuat dua usungan untuk
membawa pulang Pangcu dan Bi-hiangcu" kata Pwe Hay-ciok
pula. Beramai-ramai mereka lantas terpencar untuk melakukan
tugas, ada yang menebang dahan pohon, kulit pohon dipuntir
menjadi tambang yang kuat, maka dalam waktu singkat dua
buah usungan sudah selesai disiapkan. Mereka mengikat kuatkuat
sang Pangcu dan Bi-hiangcu diatas usungan itu agar tidak
terjatuh diwaktu mereka menuruni tebing curam itu. Kedelapan
orang menggotong usung-usungan itu secara bergiliran dan
meninggalkan Mo-thian-kay.
Siapakah Ciok-pangcu yang dibawa pulang orang-orang Tianglok-
pang itu. Ia tak lain tak bukan adalah sianak muda penemu
medali wasiat itu. Pada hari itu ia sedang melatih Lwekang menurut cara-cara
yang diajarkan Cia Yan-khek padanya. Sampai lohor, tiba-tiba
ia merasa hawa panas merangsang naik melalui urat nadi,
bagian kaki dan tangan sebelah kanan terasa panas sebagai
dibakar. Berbareng itu urat nadi kaki dan tangan sebelah kiri
terasa kedinginan seperti direndam es. Jadi yang panas keliwat
panas dan yang dingin terlalu dingin, keduanya takdapat
dibaurkan menjadi satu. Kiranya sesudah berlatih dengan giat selama beberapa tahun,
maka tenaga dalam anak muda itu sudah tambah hebat dan
maju dengan pesat, sampai lohor hari itu "Yam-yam-kang"
yang dilatihnya itu sudah jadi.
Menurut perhitungan Cia Yan-khek, bilamana Yam-yam-kang
yang dilatih itu sudah jadi, seketika tenaga Yam-yam-kang
yang maha panas itu akan saling terjang dan saling gontok
dengan Lwekang "Han-ih-bian-ciang" yang maha dingin,
akibatnya jiwa anak muda itu tentu akan melayang.
Sekarang anak muda itu ternyata tidak tahan sampai setengah
jam dan orangnya lantas tak sadarkan diri, sampai sekian
lamanya ia tetap tak sadar, sebentar ia merasa seluruh
badannya panas seperti dipanggang, keringat bercucuran dan
mulut terasa kering, lain saat ia merasa kedinginan seperti
tertutup didalam gudang es, sampai darahpun seakan-akan
membeku. Begitulah ia terus tersiksa oleh rasa panas dan dingin secara
bergilir, lapat-lapat iapun tahu ada orang berada disekitarnya,
ada lelaki, ada wanita dan sedang bicara, tapi sedikitpun ia
tidak tahu apa yang sedang dipercakapkan mereka. Ia sendiri
ingin berteriak tapi susah membuka mulut. Ia merasa
pandangannya terkadang terang dan terkadang gelap, ia
merasa sering kali diberi makan dan minum oleh orang lain,
apa yang diminum itu terkadang rasanya sangat pahit, ada
kalanya juga sangat manis, tapi entah apa yang diminum dan
dimakannya itu. Keadaan yang gelap dan membingungkan itu entah sudah
berapa lamanya berlangsung, ketika pada suatu hari mendadak
ia merasa dahinya menjadi segar, hidungnya lantas mengendus
bau harum. Perlahan-lahan ia coba membuka matanya, yang
pertama-tama terlihat ada sebatang lilin dengan apinya yang
ter-guncang2 perlahan. Menyusul lantas terdengar suara orang
yang sangat halus dan merdu berkata: "Ah, akhirnya kau sadar
juga!" Anak muda itu berpaling kearah suara itu, ia melihat pembicara
itu adalah seorang anak dar berumur 17-18 tahun, berbaju
hijau pupus, raut mukanya potongan daun sirih, cantiknya
susah dilukiskan. Biji mata anak dara itu mengerling bening,
dengan suara perlahan telah berkata pula: "Bagian manakah
yang terang tidak enak?"
Namun anak muda itu masih merasa bingung. Ia ingat ketika
itu dirinya sedang berlatih diatas Mo-thian-kay, mendadak
sebelah badannya terasa panas dan sebelah badan yang lain
terasa dingin, dalam kaget dan bingungnya itu ia lantas jatuh
pingsan. Dan mengapa didepannya sekarang muncul seorang
anak dara jelita" Ia hendak menjawab, tapi lantas merasa dirinya merebah
disebuah ranjang yang empuk, bahkan badannya berselimut,
segera ia hendak bangun, tapi baru sedikit bergerak, seketika
anggota badannya serasa dicocok beribu-ribu jarum, sakitnya
tidak kepalang, tanpa terasa ia menjerit.
"Kau baru saja mendusin, janganlah bergerak," demikian anak
dara tadi berkata. "Terima kasihlah kepada Thian yang maha
murah, akhirnya jiwamu ini dapat diselamatkan."
Habis bicara, mendadak mukanya yang cantik itu bersemu
merah, dengan kemalu-maluan ia lantas berpaling kearah lain.
Jantung sianak muda memukul keras. Ia merasa si nona ini
cantik tak terkirakan dan sangat menggiurkan. Akhirnya ia
coba berkata: "Ber?"?"".berada dimanakah diriku ini?"
"Ssssst!" mendadak anak dara itu mengacungkan jarinya
kedepan mulut sebagai tanda jangan bersuara. Lalu ia berbisikbisik:
"Ada orang datang, aku harus pergi dahulu." ~ Dan
sekali melesat, cepat sekali ia sudah melompat keluar melalui
jendela. Ketika anak muda itu berkedip, tahu-tahu sinona sudah
menghilang. Hanya terdengar diatas wuwungan rumah ada
suara orang berjalan dengan perlahan, tapi cepat sekali lantas
menjauh. "Siapakah dia" Apakah dia akan datang menjenguk
diriku pula?" demikian sianak muda berpikir dengan bingung.
Selang sejenak, tiba-tiba diluar pintu ada suara tindakan orang,
lalu ada orang berbatuk-batuk beberapa kali, menyusul pintu
berkeriut dan didorong terbuka, maka masuklah dua orang.
Sianak muda melihat yang datang itu diantaranya ada seorang
tua, tampaknya berpenyakitan. Seorang lagi tinggi kurus dan
seperti sudah dikenalnya.
Ketika melihat sianak muda itu sudah sadar, siorang tua


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi girang, ia lantas mendekati dan berkata: "Pangcu,
bagaimana rasanya penyakitmu" Air mukamu hari ini tampak
jauh lebih segar." "Kau?""..kau panggil apa padaku" Ak?"?"aku berada
dimanakah ini?" sahut sianak muda.
Sekilas siorang tua tampa merasa sedih, tapi segera mukanya
berseri-seri, jawabnya dengan tertawa: "Pangcu telah jatuh
sakit beberapa hari lamanya, sekarang pikiranmu sudah jernih
kembali, sungguh harus diberi selamat dan bersyukur.
Sekarang silakan Pangcu mengaso dan tidur saja, besok hamba
akan datang menjenguk Pangcu lagi."
Lalu ia memegang sebentar nadi tangan sianak muda, katanya
kemudian sambil mengangguk: "Denyut nadi Pangcu sudah
teratur dan kuat, sedikitpun tiada berbahaya lagi. Pangcu
sungguh-sungguh seorang berejeki besar, segenap anggota
Pang kitapun ikut bahagia."
"Aku?"?"..aku bernama "Kau-cap-ceng" dan bu?"?"bukan
"Pangcu", kata sianak muda itu dengan heran dan bingung.
Siorang tua dan sikurus tampak melengak demi mendengar
jawaban itu. Mereka saling pandang sekejap, lalu
berkatadengan suara perlahan: "Harap Pangcu mengaso saja."
~ Mereka mundur beberapa langkah, lalu memutar tubuh dan
keluar dari kamar itu. Orang tua itu bukan lain daripada "Ciok-jiu-seng-jun" Pwe Hayciok
adanya. Dan sikurus adalah Bi-hiangcu, nama lengkapnya
ialah Bi Heng-ya. Sementara itu luka Bi Heng-ya sudah mulai sembuh berkat
pertolongan Pwe Hay-ciok. Hanya saja ia merasa menyesal
karena nama baiknya telah tersapu bersih lantaran dijatuhkan
Cia Yan-khek hanya dalam satu jurus saja.
Tapi Pwe Hay-ciok telah menghiburnya: "Bi-hiante, kalau
dibicarakan, bahkan aku berharap waktu itu kita bersembilan
lebih baik dijatuhkan semua oleh Cia-siansing, dengan
demikian kita tentu tidak sampai membikin kaget Pangcu dan
beliau takkan Cau-hwe-jip-mo dan menderita seperti sekarang.
Kalau melihat keadaan Pangcu sekarang, sungguh susah
diramalkan apakah beliau akan dapat sembuh atau tidak.
Andaikan sembuh, maka Lwekang aneh yang bertenaga panas
dingin itu pasti susah diyakinkan pula. Sebaliknya, yika terjadi
apa-apa atas diri Pangcu, ai, Bi-hiante, malahan diantara
kesembilan orang adalah engkau sendiri yang paling ringan
dosanya, sebab meski kau ikut naik ke Mo-thian-kay, tapi
ketika menemukan Pangcu engkau sendiri sudah dalam
keadaan payah." "Apa bedanya keadaan diriku pada waktu itu?" sahut Bi Hengya.
"Ya, pendek kata bila terjadi apa-apa atas diri Pangcu,
rasanya kita bersembilan susah menebus dosa sebesar itu
selain membunuh diri semua."
Tak tersangka, pada malam hari kedelapan, ketika Pwe Hayciok
dan Bi Heng-ya menyambangi sang Pangcu, mereka
melihat sang Pangcu sudah sadar kembali dan dapat bicara.
Sudah tentu kedua orang itu sangat lega dan girang. Hanya
saja mereka anggap Ciok-pangcu baru saja mengalami derita
Cau-hwe-jip-mo, pikiran dan jiwanya tentu mengalami
guncangan hebat, sebab itulah bicaranya menjadi me-lantur2
tak keruan serta tidak kenal pada mereka lagi.
Waktu Pwe Hay-ciok memeriksa nadi sang Pangcu, ia merasa
jalannya nadi sangat kuat dan baik, baru saja ia merasa
senang, tiba-tiba sang Pangcu telah mengucapkan kata-kata
yang membuatnya bingung, katanya dia bukan "Pangcu", tapi
bernama "Kau-cap-ceng" apa segala. Keruan mereka menjadi
kaget dan tidak berani banyak bicara lagi, cepat-cepat mereka
lantas mengundurkan diri.
Sampai diluar, dengan suara perlahan Bi Heng-ya tanya Pwetayhu:
"Bagaimana, mengapa bisa demikian?"
Pwe Hay-ciok berpikir sejenak, sahutnya kemudian: "Saat ini
pikiran Pangcu masih kacau, tapi ada lebih baik daripada tak
sadarkan diri sama sekali. Ya, tentu aku akan berusaha
sepenuh tenaga dan semoga dalam waktu singkat kesehatan
Pangcu sudah dapat dipulihkan kembali." ~ Sampai disini ia
merandek sedetik, lalu menyambung pula: "Cuma urusan
organisasi kita sudah makin mendesak waktunya, entah kapan
kesehatan Pangcu dapat disembuhkan seluruhnya ?"
Bab 9. Tiang-Lok-Pangcu Palsu Atau Tulen
Dalam pada itu, sesudah kedua orang itu pergi barulah sianak
muda mengamat-amati keadaan didalam kamar, ia melihat
dirinya tertidur diatas sebuah ranjang berukuran sangat besar
dengan kelambu dan selimut yang indah, didepan tempat tidur
itu terdapat sebuah meja tulis bercat merah, disamping meja
itu ada dua buah kursi dengan kasur bersulam. Selain itu
banyak pula pajangan-jangan lain yang serba mewah dengan
bau asap yang harum semerbak sehingga membikin orang
merasa seperi berada didalam gua dewa.
Sudah tentu sianak muda tidak pernah kenal tempat tidur
sebesar dan sebagus itu, apalagi benda-benda lain yang
menyilaukan mata didalam kamar itu. Pikirnya: "Besar
kemungkinan aku berada dalam impian."
Tapi bila teringat kepada sinona baju hijau yang cantik
menggiurkan itu, sampai alisnya yang lentik dan bibirnya yang
merah tipis sebagai delima merekah, semuanya itu juga masih
teringat dengan jelas, pula daun jendela yang dibukanya tadi
untuk melompat keluar itu sampai sekarang juga masih
setengah terpentang, semuanya ini toh tidak seperti dalam
mimpi" Ia coba angkat tangan kanan hendak meraba kepalanya
sendiri. Tak tersangka hanya sedikit bergerak saja, seluruh
badannya lantas kesakitan pula sehingga ia menjerit.
Karena suaranya itu, tiba-tiba terdengar suara orang menguap
kantuk dipojok kamar sana dan berkata: "Siauya" (tuan muda),
engkau sudah mendusin?".." itulah suara seorang wanita,
agaknya baru saja terjaga bangun dari tidurnya. Tiba-tiba ia
berseru kaget pula: "Ha, eng?""..engkau sudah sadar
kembali?" Sianak muda merasa pandangannya menjadi silau ketika tibatiba
seorang anak dara berbaju kuning tahu-tahu sudah berdiri
didepan tempat tidurnya. Semua ia bergirang, disangkanya
sinona baju hijau tadi yang telah datang lagi, tapi sesudah
diperhatikan ternyata nona dihadapannya sekarang ini berbaju
ringkas warna kuning telur, bergelung ciodah dibagi dua. Bukan
saja dandanannya lain, bahkan mukanya juga beda. Muka
sinona didepannya sekarang ini agak bundar, matanya besar,
dibalik kecantikannya tampak sangat pintar dan lincah pula.
"Siauya, engkau sudah sadar kembali?" demikian terdengar
sinona bertanya pula dengan rasa girang dan kuatir.
"Ya, aku?".aku sudah sadar. Apakah?""..apakah aku bukan
didalam mimpi?" sahut sianak muda.
Sinona mengikik tawa. "Ya, mungkin engkau masih didalam
mimpi, boleh jadi," katanya. Habis itu lalu ia bersikap sungguhsungguh
dan bertanya pula: "Siauya, apakah engkau ada
perintah sesuatu?" "Kau panggil aku apa" Siau?"?".Siauya apakah?" tanya
sianak muda dengan heran.
Air muka sinona tampak mengunjuk rasa marah, sahutnya:
"Sudah lama kukatakan padamu bahwa kami ini adalah orangKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
orang rendah, kaum hamba belaka, kalau tidak panggil Siauya
padamu, habis panggil apa?"
"Aneh," ujar sianak muda dengan menggumam sendiri. "Yang
seorang memanggil aku Pang?"Pangcu, sekarang yang satu
lagi memanggil aku Siauya. Sebenarnya siapakah aku ini" Dan
mengapa bisa berada di sini?"
Sinona tampak bersabar kembali, katanya: "Siauya,
kesehatanmu belum lagi pulih, hendaklah kau mengaso saja.
Apakah suka makan sedikit sarang burung?"
"Sarang burung ?" sianak muda menegas. Ia tidak tahu barang
apakah "sarang burung" itu. Tapi perutnya memang terasa
sangat lapar, tiada jeleknya untuk makan apapun juga. Maka ia
lantas manggut. Dan sesudah membetulkan bajunya yang agak kusut, lalu anak
dari itu menuju kekamar sebelah. Tidak lama kemudian ia
datang lagi dengan membawa sebuah nampan dimana tertaruh
sebuah mangkuk berwarna indah, dari dalam mangkuk itu
terkepul uap yang berbau sedap wangi. Ditengah malam itu
entah cara bagaimana nona itu dapat menyediakan daharan
panas dalam waktu sesingkat itu.
Memangnya perut sianak muda sudah lapar, demi mengendus
bau harum sedap itu, seketika ia mengiler, perutnya semakin
berkeruyukan. Rupanya suara keruyukan perut sianak muda dapat didengar
anak dara itu, dengan tersenyum anak dara itu berkata:
"Sudah tujuh delapan hari engkau hanya minum kuah kolesom
melulu untuk menguatkan badanmu, tentu saja kau sangat
kelaparan." ~ berbareng ia lantas menghaturkan nampan yang
dibawanya itu. Sianak muda dapat melihat bahwa isi mangkuk itu adalah
sejenis makanan seperti bubur tapi bukan bubur, diatasnya
ditaburi sedikit kelopak bunga mawar yang sudah kering
sehingga menyiarkan bau harum. Segera ia tanya: "Makanan
baik ini apakah untukku?"
"Sudah tentu, masakah pakai sungkan-sungkan segala?" ujar
sianak dara dengan tersenyum.
Tapi sianak muda itu menjadi ragu-ragu, ia pikir makanan
sebaik ini entah berapa harganya, padahal uangnya sudah
habis, entah boleh utang atau tidak" Lebih baik bicara secara
terang-terangan sebelumnya. Maka ia lantas berkata:
"Ta?""tapi aku tiada punya uang, apa?"?"apakah boleh
utang ?" Anak dara itu tampak tercengang sejenak, tapi lantas berkata
dengan tertawa: "Dasar jahil, sesudah sakit sepayah ini
watakmu masih juga belum berubah. Baru saja kau dapat
bicara sudah mulai mengoceh yang tidak-tidak lagi. Sudahlah,
kalau lapar lekas makan saja." ~ Sambil bicara ia menyodorkan
nampannya lebih dekat pula.
Sianak muda menjadi girang. "Habis makan aku tidak perlu
bayar?" ia menegas. Rupanya anak dari itu menjadi jemu, tiba-tiba ia menarik muka
dan menyahut: "Ya, tidak perlu bayar, kau mau makan atau
tidak ?" "Makan, tentu saja makan!" seru sianak muda cepat.
Segera ia hendak memegang sendok yang berada diatas
nampan. Tapi baru saja tangannya bergerak, seketika
tubuhnya kesakitan lagi seperti ditusuk jarum, ia merintih
tertahan dan sambil meringis ia mengangkat tangannya
dengan perlahan, namun toh tetap bergemetar.
"Siauya, kau ini sakit sungguh-sungguh atau pura-pura
kesakitan?" tanya sianak dara dengan muka masam.
"Sudah tentu sakit sungguh-sungguh, mengapa mesti purapura?"
sahut sianak muda dengan heran.
"Baik, mengingat deritamu diwaktu sakit keras ini, biarlah
untuk sekali lagi aku menyuapi kau," kata sianak dara. "Tapi
awas, Siauya, jika kau main pegang-pegang dan comat-comot
lagi, tentu aku tidak mau gubris lagi padamu."
Sianak muda semakin heran. "Apa itu main pegang-pegang
dan main comat-comot?" tanyanya.
Air muka sianak dara menjadi merah jengah. Ia pelototi anak
muda itu sekejap sambil mendengus, lalu ia pegang sendok
dan menyendok bubur sarang burung untuk menyuapinya.
Seketika sianak muda melenggong, sama sekali tak terpikir
olehnya bahwa didunia ini ternyata ada orang sebaik ini. Tanpa
pikir ia lantas membuka mulut dan makan bubur sarang burung
yang dilolohkan kepadanya itu. Sungguh rasanya sangat manis
dan harum, enaknya tak terkatakan.
Anak dara itu hanya diam-diam saja dan terus menyuapi
sampai beberapa kali, ia berdiri agak jauh dari tempat tidur
sianak muda, hanya tangannya yang dijulurkan untuk
menyuap, tampaknya seperti takut-takut kalau-kalau
mendadak "diterkam" oleh sianak muda.
Namun sianak muda sendiri sedang menikmati bubur sarang
burung itu dengan menjilat-jilat bibirnya sambil memuji: "Ehm,
sungguh enak sekali. Aku harus berterima kasih padamu."
"Hm, hendaklah kau jangan pakai akal licik untuk menipu aku,"
dengus sianak dara. "Sarang burung seperti ini entah berapa
ribu mangkuk telah kau makan, bilakah kau pernah memuji
akan keenakannya?" Sianak muda menjadi bingung sebab ia merasa selama
hidupnya belum pernah makan sarang burung yang enak itu. Ia
coba bertanya pula: "Apakah ini yang di?"?""dinamakan
sarang burung ?" "Huh, kau benar-benar pandai berlagak bodoh, Siauya," jengek
sianak dara, berbareng ia melangkah mundur satu tindak seakan
kuatir diperlakukan secara tidak senonoh oleh sianak
muda. Anak muda itu coba mengamat-amati sianak dara, terlihat
pakaiannya yang berwarna kuning telur, rambutnya yang agak
kusut bergelung ciodah bagi dua, matanya tampak masih
keriyap-keriyep sepat karena baru mendusin, kakinya telanjang
dan tidak memakai kaos sehingga kelihatan putih bersih
bersandal sulam kembang cantiknya susah dilukiskan. Tanpa
terasa ia lantas memuji: "Kau?"".kau sungguh sangat cantik!"
Muka sianak dara menjadi merah dan mengunjuk rasa marah,
mendadak ia taruh mangkuk diatas meja, lalu menuju kepojok
kamar dan menggulung sebuah tikar dan sehelai selimut,
tangan yang lain membawa sebuah bantal, terus berjalan
kepintu kamar. Dengan gugup sianak muda berseru: "He, hen"..dak kemana
kau " Kau tak gubris lagi padaku ?"
"Kau baru saja sembuh, sekarang mulutmu sudah mulai
mengoceh tak keruan lagi," sahut sianak dara. "Kemana aku
dapat pergi" Engkau adalah majikan dan kami adalah kaum
hamba yang rendah, masakan dapat dikatakan gubris dan tidak
?" ~ Sambil berkata ia terus melangkah pergi.
Sianak muda menjadi bingung, ia tidak tahu sebab apakah
anak dara itu marah-marah. Pikirnya: "Seorang nona telah
pergi dengan melompat jendela, nona ini pergi pula melalui
pintu, apa yang mereka katakan sama sekali aku tak paham.
Ai, aku benar-benar seorang tolol, segala apa tidak paham."
Tengah termenung-menung sendiri, tiba-tiba terdengar suara
tindakan orang yang halus, ternyata anak dara tadi telah
masuk kamar lagi, air mukanya tampak masih bersengut,
tangannya membawa sebuah baskom.


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sianak muda menjadi girang. Dilihatnya anak dara itu
meletakkan baskom itu diatas meja, lalu dari dalam baskom
diangkatnya sepotong handuk yang mengepul panas, sesudah
diperas, handuk itu lantas disodorkan kepada sianak muda,
katanya dengan nada dingin: "Ini, cuci muka!"
"Ya, ya," sahut sianak muda cepat dan segera hendak
mengambil handuk hangat itu. Tapi baru bergerak sedikit saja
sekujur badannya lantas kesakitan seperti ditusuk-tusuk jarum.
Ia meringis tertahan sambil menerima handuk itu. Ketika
hendak dipakai mengusap mukanya, kedua tangan gemetar
dengan hebat, betapapun handuk itu susah dilekatkan kepada
mukanya. Anak dara itu tampak ragu-ragu dan curiga, katanya dengan
menyindir: "Huh, pintar sekali caramu berlagak". ~ Segera ia
ambil kembali handuk itu dan berkata pula: "Ingin aku
mengusapkan mukamu juga tidak sukar. Cuma saja engkau
tidak boleh main gila dengan tanganmu, asal kau menyentuh
seujung rambutku, untuk selanjutnya aku pasti tidak mau
masuk ke kamar ini lagi."
"Ah, nona jangan mengusapkan mukaku, mana aku berani
dilayani olehmu," ujar sianak muda. "Kain ini sedemikian putih
bersih, sedangkan mukaku sangat kotor, tentu kain bersih ini
nanti akan ikut menjadi kotor."
Mendengar nada anak muda itu agak lebih rendah daripada
dahulu, caranya bicara dan lafalnya juga rada berbeda daripada
masa dulu, lebih-lebih mengenai apa yang dikatakan selalu halhal
yang tak genah, mau tak mau sianak dara semakin curiga:
"Jangan-jangan karena sakitnya yang keras ini, maka otaknya
telah terganggu. Menurut pembicaraan Pwe-siansing dan lainlain,
katanya dia melatih sesuatu ilmu dan telah membakar
dirinya sendiri sehingga menderita luka dalam yang berat.
Kalau tidak mengapa bicaranya selalu tak keruan dan tak
teratur ?" Kemudian ia coba bertanya: "Siauya, apakah kau masih ingat
namaku?" "Selamanya kau tidak pernah katakan padaku, dari mana aku
kenal namamu?" sahut sianak muda. Ia tersenyum, lalu
menyambung pula : "Aku sendiri bukan bernama Siauya, tapi
namaku adalah Kau-cap-ceng, ini adalah nama panggilan
ibuku. Paman tua itu mengatakan nama ini tidak baik. Dan
siapakah namamu ?" Kening sianak dara semakin mengerut mengikuti ucapan sianak
muda itu, pikirnya: "Melihat cara bicaranya ini toh tiada tandatanda
sengaja bergurau atau pura-pura, apakah dia benarbenar
sudah tidak waras lagi ?" ~ Berpikir demikian ia sendiri
menjadi sedih, katanya: "Siauya, apakah engaku benar-benar
tidak kenal diriku lagi" Kau sudah lupa kepada Si Kiam ?"
"Oh, apa kau bernama Si Kiam" Baiklah, selanjutnya aku akan
panggil kau Si Kiam?"..tidak, tapi akan kupanggil enci Si
Kiam. Kata ibuku, terhadap wanita yang jauh lebih tua harus
memanggilnya bibi, jika usianya sebaya bolehlah
memanggilnya enci." Tiba-tiba air mata Si Kiam berlinang-linang, katanya dengan
suara senggugukan: "Siauya, apa engkau benar-benar sudah
lupa padaku dan bukan cuma pura-pura saja ?"
Sianak muda menggeleng kepala, sahutnya: "Apa yang kau
katakan semuanya aku tidak paham, enci Si Kiam, sebab
apakah kau menangis, mengapa kau tidak senang " Apakah
aku berbuat salah padamu " Dikala ibuku merasa tidak senang
sering beliau memaki dan memukul aku, sekarang kaupun
boleh memaki dan memukul padaku saja."
Perasaan Si Kiam semakin pilu, perlahan-lahan ia
menggunakan handuk tadi untuk mengusap muka sianak
muda, katanya dengan perlahan: "Aku adalah pelayanmu,
mana boleh memaki dan memukul kau" Siauya, semoga Thian
memberkahi dirimu supaya penyakitmu lekas sembuh. O,
Tuhan, jika ingatanmu benar-benar terganggu, lantas
bagaimana baiknya ?"
Sejenak kemudian Si Kiam bertanya pula: "Siauya, kau telah
melupakan namaku, apakah urusan-urusan lain juga sudah kau
lupakan" Misalnya tentang kau adalah Pangcu dari Pang apa?"
Sianak muda menggeleng, sahutnya: "Tidak, aku bukan Pangcu
apa-apa, paman tua telah mengajarkan aku melatih ilmu,
sekonyong-konyong sebelah badanku sangat panas seperti
dipanggang dan sebelah badan yang lain dingin luar biasa.
Aku?"?".aku tidak tahan dan akhirnya tidak ingat diri lagi.
Enci Si Kiam, mengapa aku bisa berada disini" Apakah kau
yang membawa aku kesini ?"
Kembali hati Si Kiam merasa pilu, pikirnya: "Jika demikian,
agaknya dia benar-benar tidak ingat apa-apa lagi."
Dalam pada itu sianak muda telah berkata pula: "Dimanakah
paman tua itu" Dia mengajarkan aku melatih ilmu menurut
garis-garis merah yang terlukis diatas boneka-boneka itu,
mengapa badanku bisa menjadi panas dan dingin, aku ingin
minta keterangan padanya."
Mendengar kata-kata "boneka", Si Kiam menjadi teringat
beberapa hari yang lalu ketika menggantikan pakaian sianak
muda, dari kantong bajunya telah jatuh keluar sebuah kota
kecil yang berisi 18 buah boneka kecil berbentuk lelaki
telanjang. Waktu itu muka Si Kiam menjadi merah, ia cukup
kenal sifat tuan mudanya yang bangor dan suka main gila,
boneka-boneka telanjang itu tentu bukanlah barang mainan
yang genah. Maka lantas menutup baik-baik kotak boneka itu
dan disimpan didalam laci.
Ia pikir kalau boneka-boneka itu diperlihatkan kepada sianak
muda, boleh jadi akan membantu mengingatkan daya
pikirannya pada kejadian yang lalu. Maka ia lantas membuka
laci dan mengeluarkan kotak kecil itu, katanya: "Apakah
boneka-boneka yang didalam kotak ini?"
"Ya, benar, boneka-boneka ini berada disini, tapi dimanakah
paman tua" Kemanakah dia?"
"Paman tua siapa?" tanya Si Kiam.
"Paman tua ya paman tua. Katanya?"?"?"?"..katanya dia
bernama Mo-thian kisu."
Si Kiam sendiri sangat cetek pengetahuannya dalam dunia
persilatan, maka ia tidak tahu bahwa Mo-thian-kisu Cia Yankhek
adalah seorang tokoh terkemuka. Katanya kemudian:
"Siauya, betapapun engkau sudah sadar kembali, jika kejadiankejadian
dahulu sudah kau lupakan, biarkan saja, perlahanlahan
tentu engkau akan ingat kembali. Sekarang subuh belum
tiba, engkau boleh tidur lagi. Ai, sebenarnya?""..sebenarnya
akan lebih baik juga jikalau engkau sudah melupakan kejadiankejadian
dimasa lampau." Sambil berkata ia terus menyelimuti sianak muda, lalu
membawa nampan dan segera hendak tinggal pergi.
Mendadak sianak muda bertanya: "Enci Si Kiam, mengapa kau
anggap ada lebih baik jika aku tidak ingat lagi kepada kejadiankejadian
dimasa yang lalu?" "Sebab?".sebab perbuatanmu dimasa yang lampau?"?""."
baru sekian ucapan Si Kiam, mendadak ia berhenti, lalu
menunduk dan bertindak pergi dengan cepat.
Sianak muda menjadi bingung. Ia merasa segala apa yang
dialaminya sekarang ini sungguh susah untuk dipahami. Ia
dengar diluar ada suara kentongan tiga kali, ia tidak tahu
bahwa itu adalah tanda waktu yang ditabuh peronda,
sebaliknya ia heran mengapa ditengah malam buta masih ada
orang memain tetabuhan segala.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong ia merasa "Siang-yanghiat"
di bagian jari telunjuk kanan menjadi panas, suatu arus
hawa panas mendadak mengalir melalui lengan terus kebahu.
Diam-diam sianak muda mengeluh: "Celaka!" ~ Dan pada saat
yang sama, "Yong-coan-hiat" ditelapak kaki kiri juga lantas
terasa dingin tak terkatakan.
Siksaan panas-dingin demikian itu sudah dirasakannya
beberapa kali, ia tahu setiap kali kumat berarti penderitaan
hebat baginya. Jika sudah tak tertahankan lagi, akhirnya ia
menjadi pingsan. Biasanya kalau penyakitnya kumat selalu dia
dalam keadaan tak sadar, tapi sekali ini penyakit itu kumat
dikala pikirannya sedang terang, tentu saja lebih dirasakan dan
lebih menguatirkan. Dalam pada itu hawa panas dan dingin itu perlahan-lahan mulai
menyerang dari kanan kiri dan lambat laun sudah memusat ke
bagian jantungnya. "Sekali ini pasti tamatlah riwayatku!"
demikian pikir sianak muda.
Berjangkitnya penyakit panas-dingin itu biasanya berpindahpindah,
kalau tidak berpusat kebagian perut, sering bertemu
dibagian paha atau bahu, tapi sekali ini hawa panas-dingin itu
merangsang kebagian jantung yang merupakan tempat
berbahaya, keruan deritanya lebih-lebih hebat.
Ia tahu gelagat jelek, segara ia meronta bangun sekuatnya
untuk duduk, pikirnya ingin duduk bersila, tapi kedua kakinya
betapapun susah ditekuk. Dalam keadaan amat tersiksa itu,
tiba-tiba timbul pikirannya: "Apakah dahulu diwaktu sipaman
tua sendiri melatih ilmu ini beliau juga menderita seperti
diriku" Sebenarnya permainan menangkap burung dan
membuat burung takbisa terbang dari telapak tangan juga
bukan sesuatu permainan yang terlalu menarik, tahu begini
akibatnya tentu aku tidak mau melatihnya."
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki
sedang bertanya dengan suara tertahan diluar jendela:
"Apakah Pangcu belum tidur" Hamba Pah-ciat-tong Tian Hui
ingin melaporkan sesuatu urusan rahasia yang maha penting."
Dalam keadaan diserang hawa panas dingin didalam badan,
sianak muda sedikitpun tidak sanggup bersuara lagi.
Selang sejenak, perlahan-lahan daun jendela terbuka, ketika
bayangan orang berkelebat, tahu-tahu seorang laki-laki
berbaju loreng sudah melompat masuk kamar.
Ketika mendekati tempat tidur dan mendadak melihat sianak
muda duduk diatas ranjang, orang itu terperanjat. Agaknya hal
demikian sama sekali diluar dugaannya, maka cepat ia
menyurut mundur setindak.
Dalam pada itu hawa panas-dingin dibadan sianak muda
sedang berkecamuk dengan hebatnya, jantungnya bekerja
dengan sangat lemah seakan-akan setiap saat bisa berhenti
dan mati orangnya. Namun demikian pikirannya tetap sangat
jernih walaupun sedang menderita siksaan hawa panas-dingin
itu. Ia melihat laki-laki berbaju loreng itu melompat masuk dan
mendengar dia mengaku bernama "Pah-ciat-tong" Tian Hui,
karena tidak tahu apa maksud kedatangan orang, maka anak
muda itu hanya memandangnya dengan mata terbelalak lebar.
Sesudah mundur setindak dan melihat anak muda itu tiada
bergerak sama sekali, lalu Tian Hui berkata pula dengan suara
perlahan: "Pangcu, kabarnya engaku sedang sakit keras,
apakah sekarang sudah menjadi baik?"
Badan sianak muda tampak berkejang beberapa kali dan
takdapat bersuara. Tiang Hui menjadi girang, katanya pula: "Pangcu, jadi
kesehatanmu belum pulih, sekarang engkau masih belum
dapat bergerak?" Walaupun suara Tian Hui itu sangat perlahan, tapi toh sudah
didengar juga oleh Si Kiam yang berada dikamar sebelah,
segera anak dara itu mendatangi dan ketika melihat Tian Hui
bersikap beringas dan buas, ia terkejut dan berseru: "He,
untuk apa kau datang kekamar Pangcu ini" Tanpa dipanggil
kau berani masuk sendiri, apakah kau tidak takut dihukum
mampus?" Tapi mendadak Tian Hui melompat maju kesisi Si Kiam, kontan
sikutnya menyodok kepinggang anak dara itu, berbareng
pundaknya ditutuk pula sekali. Walaupun Si Kiam juga paham
sedikit ilmu silat, tapi terlalu jauh kalau dibandingkan Tian Hui
yang gesit dan tangkas itu. Seketika Si Kiam tertutuk roboh
dan didudukkan diatas kursi. Lalu Tian Hui menyumbat pula
mulut anak dara itu dengan sehelai handuk kecil. Sudah tentu
Si Kiam kelabakan dan tahu Tian Hui bermaksud jahat kepada
sang Pangcu, tapi apa daya, dia sendiri tak bisa berkutik.
Meski Si Kiam sudah dibekuk, tapi Tian Hui tetap sangat jeri
terhadap sang Pangcu, ia pura-pura angkat tangannya dengan
gaya hendak menghantam sambil berkata: "Dengan pukulan
Tiat-sah-ciang (pukulan tangan besi) ini rasanya tidak susah
untuk membinasakan kau sibudak cilik ini!"
Tak terduga meski tangannya sudah hampir mengenai kepala
sasarannya, dilihatnya sang Pangcu masih tetap tidak
bergerak. Tian Hui menjadi girang dan cepat tahan pukulannya
itu. Lalu ia berpaling kepada sianak muda, katanya dengan
menyeringai: "Maling cabul kecil, selama hidupmu sudah
berlumuran dosa, kejahatanmu sudah kelewat takaran, hari ini
kau toh mampus juga ditangaku." ~ Ia melangkah lebih dekat,
lalu sambungnya pula dengan suara perlahan: "Saat ini kau
sama sekali takdapat melawan, jika aku membunuh kau,
perbuatan demikian bukan tindakan seorang kesatria sejati.
Akan tetapi dendamku kepadamu lebih daripada lautan dan
tidak perlu bicara tentang peraturan Kangouw segala, jikalau
engkau kenal kesopanan orang Kangouw tentu kau takkan
menggoda isteriku!" Walaupun sianak muda dan Si Kiam tidak dapat bergerak, tapi
apa yang dikatakan Tian Hui itu dapat didengar mereka dengan
jelas. Pikir sianak muda: "Mengapa dia dendam padaku" Apa
maksudnya dia mengatakan aku menggoda isterinya?"
Sebaliknya Si Kiam membatin didalam hati: "Selama ini entah
sudah betapa banyak Siauya berutang dalam perkara asusila,
hari ini akhirnya dia mendapatkan ganjarannya. Ai, tampaknya
orang ini benar-benar hendak membunuh Siauya."
Karena kuatirnya,sekuat mungkin Si Kiam meronta, namun
anggota badan terasa lemas linu, sedikit condong badannya,
"bruk", ia jatuh kelantai.
Dalam pada itu terdengar Tian Hui sedang memaki pula: "Hm,
kau telah mencemarkan kehormatan isteriku, kau anggap aku
tutup mata dan tidak tahu. Andaikan tahu juga tidak dapat
berbuat apa-apa terhadap kau dan terpaksa menahan perasaan
seperti sibisu makan empedu, merasa pahit tapi takbisa bicara.
Siapa nyana tiba saatnya juga kau tergenggam didalam
tanganku, rupanya kejahatanmu sudah kelewat takaran dan
sudah tiba ajalmu." Sambil berkata ia terus pasang kuda-kuda, sekali tenaga
dikerahkan, ruas tulang lengan kanannya sampai
mengeluarkan suara berkertakan. Segera telapak tangannya
menghantam kedepan, ulu hati sianak muda tepat kena
digenjot olehnya. Tian Hui ini adalah Hiangcu dari Pah-ciat-tong, yaitu satu
diantara lima hulubalang bagian luar dari Tiang-lok-pang. Ilmu


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silat andalannya ialah Tiat-sah-ciang, ilmu pukulan pasir besi
yang maha dahsyat. Pukulan ini telah digunakan sepenuh tenaganya dan tepat
mengenai "Tan-tiong-hiat" di ulu hati sianak muda. Maka
terdengarlah suara "krak", suara patahnya tulang.
Tapi bukan tulang dada sianak muda yang patah, sebaliknya
tulang lengan Tian Hui sendiri yang telah patah, bahkan
tubuhnya terus terpental keluar jendela dan terbanting diluar
kamar, kontan orangnya tak sadarkan diri lagi.
Diluar kamar itu adalah sebuah taman bunga dan selalu ada
orang ronda disitu. Malam ini adalah orang-orang Pah-ciat-tong
yang berdinas meronda, sebab itulah Tian Hui dapat masuk
kekamar tidur sang Pangcu dengan leluasa.
Rupanya suara gedebukan terbantingnya Tian Hui dan suara
patahnya dahan-dahan tanaman yang tertindih oleh tubuhnya
itu telah mengagetkan para peronda itu, maka ada dua orang
diantaranya lantas mendekatinya. Waktu melihat Tian Hui
menggeletak tak berkutik disitu, mereka sangka telah
kedatangan musuh tangguh dan sedang menyatroni kamar
sang Pangcu, dalam kaget mereka segera mereka
membunyikan peluit sebagai tanda ada bahaya, berbareng
mereka melolos senjata dan melongok kedalam kamar sang
Pangcu melalui jendela yang sudah terpentang itu. Namun
didalam kamar gelap gulita, bahkan tiada sesuatu suara
apapun. Cepat mereka menerangi dengan obor sambil
memutar senjata untuk menjaga diri.
Dari cahaya obor yang remang-remang dapatlah terlihat sang
Pangcu sedang duduk bersila diatas ranjang, didepan tempat
tidur itu menggeletak seorang wanita seperti pelayan sang
Pangcu, selain itu tiada orang ketiga lagi.
Pada saat itulah beramai-ramai orang-orang Tiang-lok-pang
yang mendengar suara alarm tadi juga sudah memburu tiba.
Dengan memegang senjata gada besi, Khu San-hong, itu
Hiangcu dari Hou-beng-tong, lantas berseru: "Pangcu, engkau
baik-baik saja bukan?" ~ Berbareng itu ia lantas masuk
kedalam kamar sang Pangcu.
Mendadak dilihatnya badan sang Pangcu tiada hentinya
bergemetar, sekonyong-konyong mulutnya terpentang dan
memuntahkan darah hitam sampai beberapa mangkuk
banyaknya. Cepat Khu San-hong menyingkir kepinggir sehingga tidak
sampai tersembur oleh darah hitam yang berbau amis busuk
itu. Tengah terkejut dan ragu-ragu, tiba-tiba terlihat sang
Pangcu sudah melangkah turun dari tempat tidurnya dan
pertama-tama pelayan yang menggeletak dilantai itu lantas
dibangunkan, katanya: "Enci Si Kiam, apakah dia telah melukai
engkau?" ~ Berbareng ia lantas mengeluarkan handuk yang
menyumbat mulut anak dara itu.
Si Kiam menghirup napas segar dalam-dalam, lalu menjawab:
"Siauya, apakah engkau terluka kena hantamannya tadi?"
"Tidak, malahan pukulannya itu membuat aku merasa sangat
segar sekali," sahut sianak muda.
Dalam pada itu diluar kamar terdengar ramai orang-orang
berdatangan, dengan langkah cepat Pwe Hay-ciok dan Bi Hengya
tampak masuk kedalam kamar, yang berkedudukan rendah
hanya menunggu diluar saja.
Segera Pwe Hay-ciok mendekati sianak muda dan bertanya:
"Pangcu, apakah pembunuh gelap itu telah membikin kaget
padamu ?" "Pembunuh gelap apa" Tidak ada pembunuh," sahut sianak
muda. Sementara itu Tian Hui sudah diberi pertolongan oleh jago
Tiang-lok-pang dan telah sadar kembali serta dibawa masuk
kedalam kamar. Tian Hui cukup paham tata tertib dalam Pang mereka,
terutama hukuman kepada penghianat adalah paling keras,
biasanya penghianat itu ditelanjangi pakaiannya, lalu diikat
diatas batu "Heng-tay-ciok" (batu panggung hukuman) diatas
gunung dibelakang markas dan dibiarkan digigit semut dan
serangga-serangga lain, diserang oleh elang-elang lapar dan
binatang buas, sesudah disiksa beberapa hari lamanya,
akhirnya akan binasa juga. Sekarang dia sendiri telah berbuat
sesuatu yang khianat, pukulannya yang dahsyat tadi tidak
berhasil membinasakan sang Pangcu, sebaliknya ia sendiri
malah terpental oleh tenaga dalam sang Pangcu yang maha
kuat, lengah kanan patah dan terluka dalam parah pula,
memangnya dia berharap lekas mati saja, tapi sekarang dia
dibawa masuk pula kedalam kamar, diam-diam ia sudah
mengumpulkan kekuatan, asal sang Pangcu memerintahkan
hukuman memancangkan dia diatas "Heng-tay-ciok" dan
segera dia akan menumbukkan kepalanya kedinding untuk
membunuh diri. "Apakah ada pembunuh gelapmasuk melalui jendela?" tanya
Pwe Hay-ciok pula. "Aku sendiri tertidur, rasanya toh tiada orang masuk kesini",
sahut sianak muda. Tian Hui terheran-heran mendengar keterangan itu: "Apakah
tadi dia benar-benar dalam keadaan tak sadar dan tidak
mengetahui aku yang telah memukul dia" Tapi budak cilik ini
mengetahui aku yang telah melakukan hal itu, tentu dia akan
memberi keterangan sebenarnya apa yang terjadi tadi."
Benar juga, segera Pwe Hay-ciok memijat dan menutuk
pinggang dan pundak Si Kiam untuk membuka Hiat-to yang
tertutuk, lalu bertanya kepada anak dara itu: "Siapakah yang
menutuk kau punya Hiat-to?"
"Dia !" sahut Si Kiam sambil menuding Tian Hui.
Pwe Hay-ciok memandang kearah Tian Hui dengan penuh rasa
curiga. Sebaliknya Tian Hui hanya mendengus saja. Segera ia
bermaksud mencaci maki biarpun nanti harus dihukum mati,
tapi lantas terdengar sang Pangcu sedang berkata:
"Aku?".akulah yang suruh dia berbuat demikian."
Keruan Si Kiam dan Tian Hui melengak semua, hampir-hampir
mereka tidak percaya kepada telinganya sendiri. Dengan
tercengang mereka memandangi sianak muda, mereka tidak
paham apa maksud tujuannya dengan keterangannya itu.
Walaupun anak muda itu sama sekali hijau dalam segala hal,
tapi lapat-lapat ia dapat merasakan keadaan yang genting. Ia
lihat semua orang sangat menghormat padanya, jika diketahui
Tian Hui yang telah menotok Hiat-to sipelayan serta memukul
pula pada dirinya, jika hal ini diketahui oeh orang-orang itu,
tentu Tian Hui bisa celaka. Karena itulah ia sengaja berdusta
untuk mengeloni Tian Hui. Adapun apa sebabnya dia membela
Tian Hui, untuk ini ia sendiripun tidak paham sama sekali. Ia
hanya merasa sebabnya Tian Hui memukul dirinya adalah
lantaran didorong oleh sesuatu rasa dendam yang luar biasa
yang mau tak mau harus dilakukan olehnya. Apalagi waktu
Tian Hui memukulnya tadi, ia sendiri sedang dirangsang oleh
hawa panas-dingin yang sangat menyiksa, pukulan Tian Hui itu
tepat mengenai "Tan-tiong-hiat" dibagian ulu hatinya. Tantiong-
hiat itu merupakan pusat penyaluran tenaga, karena
pukulan Tian Hui itu, maka secara kebetulan telah
membaurkan bergeraknya hawa dingin dan panas dari "Han-ihbian-
ciang" serta "Yam-yam-kang", hal mana membuat tenaga
dalam sianak muda seketika menjadi bertambah hebat dan
lantaran itulah Tian Hui sampai terpental keluar jendela.
Sesudah menerima pukulan Tian Hui itu, sama sekali sianak
muda tidak merasa tersiksa lagi oleh membakarnya hawa
panas dan membekunya hawa dingin, sebaliknya ia lantas
merasa segar dan nikmat sekali, tanpa merasa ia ingin
berteriak-teriak untuk melampiaskan rasa mual yang
ditahannya sejak tadi. Ketika Hiangcu dari Hou-beng-tong yaitu
Khu San-hong, masuk tadi, tiba-tiba ia memuntahkan darah
mati yang tersekam didalam tubuhnya, habis itu semangatnya
lantas segar, bukan saja tenaga dalamnya bertambah luar
biasa, bahkan otaknya juga tambah tajam.
Melihat keadaan didalam kamar sang Pangcu itu, Pwe Hay-ciok
mempunyai pendapatnya sendiri. Ia lihat pakaian Si Kiam agak
kusut, rambutnya tak teratur, sikapnya takut dan gugup. Maka
pahamlah dia akan duduknya perkara. Ia cukup kenal watak
sang Pangcu yang bangor, suka main perempuan. Maka
tentulah Si Kiam hendak diperlakukan secara tidak senonoh
walaupun penyakitnya baru saja sembuh. Tapi perbuatan sang
Pangcu itu rupanya telah dipergoki Tian Hui yang sedang
meronda disekitar situ, maka Pangcu lantas panggil sekalian
hulubalang itu dan suruh dia menutuk Hiat to sipelayan cantik
itu, cuma entah sebab apakah Tian Hui telah membikin marah
pula kepada sang Pangcu sehingga dia dihantam terpental
keluar kamar. Bab 10. Disangka Buntung Malah Mendapat Untung
Setiap anggota Tiang-lok-pang cukup kenal sifat sang Pangcu
yang aneh dan pemarah, siapa saja, sekalipun orang
kepercayaannya yang mempunyai kedudukan tinggi, asal dia
sedang marah juga sering didamperat, bahkan dipukul olehnya
tanpa pandang bulu. Sekarang mereka melihat luka Tian Hui
cukup parah, muka dan tangannya juga babak belur terluka
oleh duri bunga mawar diluar kamar, tentu saja mereka ikut
prihatin, namun merekapun tidak berani menghibur Tian Hui
dihadapan sang Pangcu. Dan karena pikiran demikian itulah, maka tokoh-tokoh Tianglok-
pang itu tiada yang berani menyinggung tentang pembunuh
gelap lagi. Hiangcu dari Hou-beng-tong, Khu San-hong, masih
merasa kuatir karena dirinya telah mengganggu
kesenangannya sang Pangcu, bukan mustahil sang Pangcu
akan marah dan memukulnya. Ia pikir paling selamat lekaslekas
tinggal pergi saja. Maka ia lantas berkata dengan hormat:
"Silakan Pangcu mengaso saja, hamba mohon diri dulu."
Segera orang-orang lain juga ikut-ikut memohon diri. Hanya
Seruling Samber Nyawa 1 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 21
^