Pencarian

Medali Wasiat 6

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 6


Namun Ciok Jing hanya tersenyum saja, sahutnya sambil
kerjakan pedangnya, "Apakah Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li
Hong-suheng berada di sini" Kalau Hong-suheng berada di sini
dia boleh main berganda bersama Pek-suheng dan kita
berempat boleh coba-coba mengukur ilmu pedang masingmasing."
Terang sekali maksudnya hendak mengatakan bahwa di antara
anak murid Swan-san-pay sebanyak itu, selain Hong-hwe-sinliong
Hong Ban-li, maka yang lain-lain pasti tidak mampu main
ganda bersama Pek Ban-kiam untuk melawan mereka suami
istri. Padahal Ciok Jing juga tahu bahwa dengan suami-istri mereka
mengerubut Pek Ban-kiam seorang terang mereka lebih kuat
dan sebenarnya juga tidak pantas menurut peraturan
Kangouw. Tapi sekarang urusan menyangkut mati-hidup putra
kesayangannya, kalau anak muda itu sampai dibawa pulang ke
Leng-siau-sia, maka terang pasti akan dihukum mati.
Demi untuk menyelamatkan putranya itu, saat inilah suatu
kesempatan yang paling baik, walaupun kelak akan dicerca
sesama orang Bu-lim tentang mereka main kerubut dua lawan
satu dan bukan perbuatan kesatria sejati, terpaksa mereka tak
peduli lagi. Apalagi di dalam kelenteng ini di pihak Swat-sanpay
masih ada belasan orang lagi, keadaan demikian pun boleh
dikatakan mereka suami-istri melawan belasan orang musuh.
Adapun soal kepandaian orang-orang Swat-san-pay yang lain
itu terlalu rendah untuk dapat melawan mereka, adalah salah
pihak Swat-san-pay sendiri, siapa sih yang suruh Swat-san-pay
mendidik murid-murid segoblok itu?"
Di lain pihak Pek Ban-kiam menjadi gusar ketika mendengar
Ciok Jing menyebut nama Hong-hwe-san-liong Hong Ban-li.
Pikirnya, "Justru Hong-suko telah kehilangan sebelah
lengannya gara-gara perbuatan putramu yang durhaka itu,
sekarang kau masih coba-coba menyebut namanya dan ingin
bertanding dengan dia?"
Pertandingan di antara jago-jago kelas tinggi sebenarnya tidak
boleh lena sedikit pun, apalagi memencarkan pikirannya.
Memangnya Pek Ban-kiam sudah terdesak, dalam gusarnya itu
gerak pedangnya menjadi lambat, saat itu ia sedang
menyerang, tapi Ciok Jing sempat menangkisnya dan segera
dapat dilihatnya pula lubang kelemahan Ban-kiam itu, ia
kerahkan tenaga dalam ke batang pedang dan sekuatnya
menekan pedang lawan. Insaf keadaan yang berbahaya itu
cepat Ban-kiam hendak menggeser ke samping, namun lubang
kelemahan yang hanya terlintas dalam sekejap saja itu sudah
digunakan oleh Bin Ju dengan baik, tahu-tahu ujung
pedangnya sudah menyambar tiba dan tepat menjurus ke dada
Pek Ban-kiam. Ban-kiam tahu serangan ini tak bisa dielakkan lagi dan pasti
akan menembus dadanya, maka ia pejamkan mata dan terima
nasib. Tak terduga ujung pedang Bin Ju hanya ditujukan kira-kira
belasan senti berada di depan dadanya, lalu ditariknya kembali
segera. Berbareng mereka suami-istri lantas melompat
mundur, mereka menyimpan kembali pedang masing-masing
dan berdiri tegak tanpa bicara.
Bab 16. Antara Anak Berbakti dan Murid Durhaka
Dengan muka merah padam Ban-kiam membuka matanya
pula. Ia pikir pihak lawan sudah mengampuni jiwaku, maksud
tujuannya adalah jelas sekali, yaitu mereka hendak membawa
pergi putra mereka. Sekarang dirinya sudah keok, mana boleh
bertempur lagi dan merintangi kehendak mereka" Andaikan
bertempur lagi juga tak dapat melawan mereka suami-istri.
Demi teringat nasib putri kesayangannya yang telah binasa
gara-gara kelakuan murid murtad perguruannya sendiri,
sekarang dirinya memimpin para Sute datang ke Tionggoan, di
antara para Sute itu ada tujuh orang telah ditawan pula oleh
pihak Tiang-lok-pang, Ciok Tiong-giok yang dapat
ditangkapnya ini sekarang mesti dirampas orang lagi,
sedangkan Swat-san-kiam-hoat yang paling diandalkan juga
tak dapat melawan Hian-soh-siang-kiam (sepasang pedang
Hian-soh-ceng), nama baiknya selama ini telah runtuh habishabisan,
teringat semuanya ini seketika Ban-kiam menjadi
putus asa, ia berdiri dengan termenung-menung tanpa
bersuara. Dalam pada itu suara pertempuran di dalam kelenteng itu juga
telah didengar Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu yang menjaga
di luar kelenteng, mereka pun sudah masuk kembali dan
menyaksikan kekalahan sang Suheng, segera mereka berseru,
"Mereka dapat main kerubut, masakah kita tidak boleh main
keroyok!" Dan sekali memberi tanda serentak 12 orang murid Swat-sanpay
lantas menerjang maju mengelilingi Ciok Jing dan Bin Ju.
Ban-kiam tahu ke-12 orang Sutenya itu sekali-kali bukan
tandingan Ciok Jing suami-istri, sekalipun dirinya ikut pula di
dalam pertempuran juga sukar memperoleh kemenangan.
Karena itulah ia menjadi ragu-ragu apa yang harus
diperbuatnya. Tiba-tiba terdengar Ciok Jing berkata, "Pek-suheng, kami
suami-istri bergabung melawan Pek-suheng memang telah di
atas angin sedikit, tapi tak dapat dikatakan telah mendapat
kemenangan. Maka dari itu marilah kita mulai lagi. Awas
serangan!" Habis berkata segera pedangnya menusuk lebih dahulu.
Terhadap ke-72 jurus ilmu pedang Swat-san-pay memangnya
sudah dapat dipahaminya dengan baik, sekarang dilihatnya
pula permainan Pek Ban-kiam yang lihai itu, ia merasa setiap
jurus yang dimainkan itu cocok benar dengan seleranya.
Dengan kedudukan Pek Ban-kiam sebagai seorang tokoh
terkemuka, kalau tadi pihak lawan sudah mengampuni jiwanya,
maka seharusnya ia tidak boleh menantang lagi. Tapi sekarang
Ciok Jing sendiri yang melancarkan serangan lebih dulu, untuk
ini ia boleh menangkisnya. Diam-diam ia membatin, "Baik, biar
aku coba mengukur kekuatanmu lagi dengan satu lawan satu."
Segera ia menangkis sambil menggeser ke samping, lalu balas
menyerang. Keadaan menjadi berbeda dengan pertarungan Pek Ban-kiam
melawan Ciok Jing ini. Tadi dia satu melawan dua, dengan
sendirinya lebih banyak diserang daripada menyerang,
walaupun dia dapat berjaga dengan sangat rapat, tapi di waktu
balas menyerang mau tak mau mesti berpikir kepada lawan
yang lain, kalau menyerang Ciok Jing harus menjaga pula
serangan dari Bin Ju, sebaliknya kalau menusuk Bin Ju harus
pula cepat menangkis serangan balasan dari Ciok Jing yang
selalu kerja sama dengan sangat baik bersama istrinya.
Sekarang satu lawan satu, pula merasa malu atas kekalahan
tadi, seketika Pek Ban-kiam memainkan 72 jurus Swat-sankiam-
hoat dengan sehebat-hebatnya dan tanpa kenal ampun
lagi. Di dalam kelenteng yang kecil itu seketika penuh bertaburan
sinar pedang yang menyilaukan.
Diam-diam Ciok Jing harus mengakui ilmu pedang Pek Bankiam
memang benar-benar lihai dan tergolong ahli pedang
kelas satu. Segera dengan penuh semangat ia melayani seranganserangan
lawan dengan segenap kepandaiannya.
Pikirnya, "Biarkan tahu bahwa ilmu pedang dari Hian-soh-ceng
kami sebenarnya tidak di bawah ilmu pedang Swat-san-pay
kalian. Sebabnya aku suruh putraku belajar di tempat kalian
adalah karena aku mempunyai maksud tujuan tertentu, maka
janganlah kau tinggi hati dan mengira aku Ciok Jing tak dapat
menandingi seorang Pek Ban-kiam."
Dengan pertarungan ulangan Ciok Jing melawan Pek Ban-kiam
sangat cepat dan tangkas, sebaliknya Ciok Jing bertahan
dengan rapat dan tenang. Berulang-ulang Ban-kiam mengganti serangan belasan kali dan
sedikit pun tidak memperoleh keuntungan apa-apa, maka
diam-diam ia pun terkejut dan heran, "Kehebatan ilmu pedang
orang ini ternyata lebih tinggi daripada kesohoran yang
diperolehnya dari orang Kangouw. Jika demikian hebat ilmu
pedangnya sendiri buat apa dia menyuruh putranya belajar
kepada golongan Swat-san-pay kami?"
Lalu terpikir pula olehnya, "Tadi aku telah dikalahkan, hal ini
boleh dikatakan lantaran aku dikeroyok dua. Tapi sekarang
hanya satu lawan satu, kalau aku kalah sejurus saja akan
berarti runtuhlah nama baik Swat-san-pay selama ini. Maka
aku harus mengalahkan dia dan mengancam sesuatu tempat
yang berbahaya di badannya, lalu mengampuni jiwanya. Kalau
tidak, susah aku membalas hinaan kekalahanku tadi."
Dan karena nafsunya ingin menang, mau tak mau seranganserangannya
menjadi agak terburu-buru dan sering dilakukan
secara ceroboh. Diam-diam Ciok Jing bergirang, "Semakin kau terburu nafsu,
semakin cepat kau akan kalah lagi di bawah pedangku."
Sesudah belasan jurus, benar juga Pek Ban-kiam sendiri
berulang-ulang terancam bahaya malah. Ia terkesiap dan cepat
memusatkan perhatiannya dengan tenang, ia tidak berani
sembrono lagi. Sampai di sini barulah kedua jago benar-benar bertempur
dengan sama kuat dan sama tangkasnya sehingga susah
menentukan kalah atau menang.
Dari pertarungan sengit kedua tokoh ini, Ciok Boh-thian telah
tambah berpengalaman lagi macam-macam teori ilmu pedang
itu, sebenarnya teori ilmu pedang yang itu susah dipahami oleh
seorang pemuda yang baru berusia 20-an tahun, tapi pertama
karena ciok Boh-thian sudah memiliki Lwekang yang sangat
tinggi, pula cara pertarungan kedua jago pedang yang sama
kuatnya dan dilakukan dengan sangat dahsyat itu
sesungguhnya jarang dijumpai di dalam dunia persilatan,
untunglah Ciok Boh-thian dapat menyaksikan dengan secara
teratur sehingga tanpa merasa teori ilmu pedang yang paling
mendalam telah dapat dipecahkan dan dipahaminya.
Saking asyiknya Ciok Boh-thian menonton pertarungan Ciok
Jing dan Pek Ban-kiam juga seru sekali sehingga melupakan
segala apa yang berada di sekeliling mereka. Sesudah 200
jurus lebih, semangat Pek Ban-kiam tambah menyala, ia
merasa pertarungan hari ini benar-benar suatu hal yang
menyenangkan selama hidup ini sehingga rasa terhina atas
kekalahannya tadi sudah tak berpikir lagi olehnya.
Begitu pula Ciok Jing merasa girang karena telah ditemukan
tandingan yang sama tangguhnya.
Maka dengan sendirinya kedua orang sama-sama timbul rasa
sayangnya kepada pihak kawan, rasa permusuhan mereka pun
mulai berkurang, sebaliknya timbul keinginan untuk menguji
dan tukar kepandaian masing-masing, maka kedua orang
sama-sama mengeluarkan segenap kemahiran sendiri-sendiri
untuk memancing cara bagaimana pihak lawan akan
menangkis serangannya. Di waktu mulai bertempur tadi, di dalam kelenteng itu ramai
dengan suara "trang-tring" beradunya pedang, tapi sekarang
yang terdengar hanya suara "cring-cring" yang perlahan dari
gesekan dua batang pedang saja.
Sampai suatu saat menentukan, tiba-tiba Pek Ban-kiam
menusuk dari samping dalam jurus "Am-hun-so-eng" (sebagai
awan laksana bayangan), pedangnya menyambar tiba dengan
cepat sehingga tampaknya ada tapi seperti tiada pula.
"Kiam-hoat yang bagus!" Ciok Jing memuji perlahan. Cepat ia
pun menegakkan pedangnya untuk menangkis sehingga kedua
batang saling bentur. Sekali ini diam-diam kedua orang telah mengerahkan segenap
Lwekang masing-masing, maka terdengarlah suara "pletak",
tahu-tahu pedang yang dipegang Ciok Jing telah patah menjadi
dua. Namun, begitu pedangnya patah saat itu juga dari samping kiri
sebatang pedang telah disodorkan. Dan begitu taman kiri
menerima pedang itu, menyusul Ciok Jing lantas menggunakan
jurus "Co-yu-hong-goan" (ketemu sasaran di kanan di kiri),
pedangnya terus berputar satu kali di depan badannya untuk
merintangi serangan susulan pihak lawan.
Di luar dugaan, Pek Ban-kiam lantas mundur setindak malah,
katanya, "Rupanya pedang Ciok-cengcu itulah yang jelek dan
mudah patah, sekali-kali bukan kekalahan dalam ilmu pedang.
Jikalau Ciok-cengcu memegang pedang hitam sendiri, pedang
mestika itu masakah dapat patah?"
Tapi baru selesai berkata, mendadak air mukanya berubah
hebat. Kiranya baru diketahuinya bahwa orang yang berdiri di
samping kiri dan telah menyodorkan pedang kepada Ciok Jing
itu bukan lain adalah Bin Ju, istri Ciok Jing sendiri.
Sebaliknya ke-12 orang Sutenya sudah menggeletak malang
melintang memenuhi lantai.
Kiranya di waktu Pek Ban-kiam mencurahkan seluruh
perhatiannya untuk menempur Ciok Jing, saat itu juga Bin Ju
seorang diri sudah merobohkan ke-12 orang murid Swat-sanpay
yang mengerubutnya itu. Luka yang diderita setiap murid
Swat-san-pay itu sangat ringan, tapi Bin Ju telah menusuk
dengan menyalurkan Lwekangnya melalui batang pedang dan
mengenai Hiat-to sasarannya sehingga murid-murid Swat-sanpay
yang tertusuk ringan itu lantas menggeletak dan tak
berkutik lagi. Ini adalah suatu kepandaian khas Bin Ju, perangainya memang
welas asih dan tidak suka membikin celaka orang lain, sebab
itulah ia telah menggunakan ilmu Tiam-hiat di dalam ilmu
pedangnya, kelihatannya lawan tertusuk pedang dan roboh,
tapi sebenarnya terkena tutukan tenaga dalamnya. Hanya saja
Lwekang Bin Ju belum mencapai tingkatan sempurna, kalau
tidak, asal ujung pedangnya mengenai Hiat-to sasarannya
sudah cukup merobohkan lawan tanpa melukainya sedikit pun.
Begitulah, sesudah Bin Ju menyodorkan pedangnya kepada
sang suami, segera ujung kakinya menyungkit, sebatang
pedang milik seorang Swat-san-pay yang terlempar di lantai itu
lantas mencelat ke atas dan segera dipegang olehnya serta
siap untuk membantu sang suami pada setiap saat.
Melihat itu, Pek Ban-kiam seketika cemas. Pikirnya, "Betapa
pun aku dan Ciok Jing hanya dapat bertempur dengan sama
kuatnya, kalau nyonya Ciok ikut pula di dalam pertempuran
dan kejadian tadi terulang lagi, lalu apa yang dapat
kuharapkan pula?" Terpaksa ia berkata, "Ya, sayang Hong-suko tiada berada di
sini, kalau ada, dengan kami berdua tentu akan dapat
mengukur tenaga lebih jauh dengan kalian suami-istri.


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang kalah dan menang sudah jelas, apa mau dikatakan
lagi?" "Ya, betul, kelak kalau ketemu dengan Hong hwe-sin-liong ...."
belum selesai ucapannya tiba-tiba teringat olehnya bahwa
Hong Ban-li telah terkutung sebelah lengannya disebabkan
perbuatan putranya yang bernama Ciok Tiong-giok itu,
sekalipun kelak dapat berjumpa juga, tokoh Swat-san-pay itu
tidak dapat bertanding pedang lagi, karena itu ucapannya
lantas terhenti setengah jalan dan tidak diteruskan.
Melihat wajah Pek Ban-kiam yang merah padam dan
perasaannya yang cemas itu, sedangkan Ciok Jing dan Bin Ju
juga kelihatan menaruh simpatik kepada lawannya, diam-diam
Ciok Boh-thian membatin, "Ke-12 murid Swat-san-pay itu
benar-benar sangat goblok, masakah tiada seorang pun yang
mampu membantu Suhengnya dalam permainan ganda
melawan Ciok-cengcu suami-istri sehingga pertandingan yang
mengasyikkan ini terhenti setengah jalan."
Teringat olehnya rasa sayang Pek Ban-kiam ketika menatap
padanya tadi, ia pikir, "Orang she Pek ini sangat baik padaku,
tapi nyonya Ciok itu pun pernah memberi uang padaku.
Sekarang mereka ingin bertanding kurang seorang lawan,
rupanya ada seorang bernama Hong-suheng apa, tapi
orangnya tidak berada di sini sehingga mereka merasa kecewa.
Walaupun aku tidak tahu ilmu pedang segala, tapi tadi aku
sudah menyaksikan permainan mereka dan sudah hafal,
biarlah aku ikut main-main dengan mereka."
Karena pikiran demikian, segera ia berbangkit, ia menirukan
caranya Pek Ban-kiam tadi, dengan ujung kaki ia menutuk
gagang sebatang pedang yang terlempar di lantai itu, di mana
tenaga dalamnya sampai, kontan pedang itu lantas mencelat
ke atas dan segera dipegang olehnya. Lalu katanya dengan
tertawa, "Kalian kurang satu orang dan tidak jadi bertanding,
biarlah aku main berganda bersama Pek-suhu!"
Baik Pek Ban-kiam maupun Ciok Jing suami-istri sama-sama
terperanjat ketika melihat mendadak Ciok Boh-thian dapat
berdiri. Ban-kiam heran sebab pemuda itu sudah terang
ditutuknya beberapa puluh kali pada Hiat-to yang penting,
mengapa sekarang bisa bergerak" Jangan-jangan sesudah
merobohkan ke-12 Sutenya tadi Bin Ju telah membuka Hiat-to
pemuda itu" Sebaliknya Ciok Jin dan Bin Ju yakin sesudah pemuda itu
ditawan Pek Ban-kiam tentu sudah tertutuk Hiat-to yang paling
penting agar tidak dapat lolos, tapi mengapa seenaknya saja
sekarang pemuda itu dapat berbangkit"
"Anak Giok ...." baru Bin Ju hendak menyapa, mendadak ia
hentikan panggilannya dan berpaling kepada sang suami
dengan perasaan cemas. Sebab apakah mendadak Ciok Boh-thian dapat bergerak
sendiri" Padahal dia sudah tertutuk oleh Pek Ban-kiam. Tadi dia
sudah menggeletak lebih dua jam di situ, selama itu Pek Bankiam
sibuk memberi petunjuk kepada para Sutenya, kemudian
bertanding melawan Ciok Jing suami istri sehingga tidak pernah
menambahi tutukannya kepada Hiat-to di tubuh Ciok Bohthian.
Tutukan Pek Ban-kiam itu sebenarnya berkekuatan 12 jam
baru dapat punah sendirinya. Tak terduga Ciok Boh-thian telah
memiliki Lwekang yang mahatinggi, walaupun tidak paham
cara membuka Hiat-to sendiri yang tertutuk itu, tapi tidak
sampai satu jam, tempat-tempat yang tertutuk itu tanpa
merasa telah punah sendiri oleh karena tenaga dalamnya yang
berjalan sendiri secara kuat itu. Sudah tentu Ciok Boh-thian
tidak tahu bahayanya Hiat-to yang tertutuk itu, juga tidak
merasa bingung mengapa Hiat-to tertutuk dapat punah sendiri.
Begitulah mendadak pikiran Pek Ban-kiam tergerak, serunya,
"Mengapa kau ingin main ganda bersama aku" Apakah karena
kau hendak mencoba ilmu pedang yang telah kau pelajari
selama menjadi murid Swat-san-pay?"
"Tapi aku tidak tahu apakah benar tidak kepandaianku ini,"
sahut Boh-thian dengan manggut-manggut secara ketololtololan,
"dari itu diharap Pek-suhu dan Ciok-cengcu berdua
suka memberi petunjuk."
Habis berkata pedangnya lantas terangkat melintang di depan
dada sambil berdiri ke sisi Pek Ban-kiam, gerakan yang
digunakan memang benar adalah jurus "Siang-tho-say-lay"
(dua unta datang dari barat) dari Swat-san-kiam-hoat.
Untuk sejenak Ciok Jing dan Bin Ju termangu-mangu
memandangi Ciok Boh-thian, rasa suka duka dan gemas-malu
meliputi perasaan mereka berhadapan dengan putra yang telah
sekian tahun tidak pernah bertemu ini. Perawakan sang putra
sekarang sudah tumbuh sekian tingginya dan kekar, walaupun
mukanya tampak agak kurus dan letih, tapi tidak memengaruhi
sikapnya yang gagah itu. Lebih-lebih sepasang matanya yang
bersinar terang seperti di dalam tubuhnya tersembunyi
kekuatan Lwekang yang sangat tinggi.
Sebagai seorang ayah, sebenarnya Ciok Jing merasa malu
karena perbuatan putranya yang mencemarkan nama baik
Hian-soh-ceng, terutama bila mengingat peraturan-peraturan
Bu-lim, maka selama beberapa tahun ini mereka tidak berani
muncul di depan umum, sebaliknya cuma menyelidiki jejak
sang putra secara diam-diam. Sekarang sesudah bertemu
dengan ayah-bunda, anak durhaka ini sudah tidak memberi
sembah hormat, bahkan hendak bertanding ilmu pedang
dengan kedua orang tua, melulu hal ini saja sudah meyakinkan
bahwa berita-berita yang tersiar di Kangouw tentang kelakuan
putranya yang tidak senonoh itu pastilah bukan kabar bohong
belaka. Karena itulah diam-diam Ciok Jing merasa gemas,
cuma dia wataknya memang sabar, pula di depan Ban-kiam,
maka sedapat mungkin ia menahan perasaannya itu.
Berlainan dengan kasih sayang seorang ibu, dalam pertemuan
ini rasa girang karena Bin Ju melebihi rasa gemasnya kepada
sang putra. Mestinya dia mempunyai dua orang putra, yang satu telah
dibunuh musuh secara keji, karena itulah kasih sayangnya
lantas terpusatkan kepada putra satu-satunya yang masih ada
ini. Tentang perbuatan Ciok Tiong-giok yang tidak senonoh di
Leng-siau-sia itu ia telah coba membela diri putranya, ia yakin
putranya yang masih muda tidaklah mungkin melakukan halKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
hal yang durhaka itu, minggatnya Tiong-giok dari Leng-siau-sia
boleh jadi karena anaknya merasa dihina atau dianiaya
sehingga tidak kerasan tinggal di sana. Demikian ia berdebat
kepada sang suami. Dalam usaha mencari putranya selama beberapa tahun ini, ia
sering mengucurkan air mata, ia khawatir jangan-jangan sudah
terkubur di tanah salju di pegunungan Tay-swat-san atau
sudah menjadi mangsa binatang buas.
Sekarang putra kesayangan yang sangat dirindukan itu berada
di depannya, biarpun dosa anak itu setinggi langit juga sudah
diampuni di dalam kasih seorang ibu.
Ia pun tahu putranya itu sejak kecil sudah sangat cerdik dan
licin, kalau sekarang anak muda itu menyatakan hendak main
berganda bersama Pek Ban-kiam, tentu ada maksud tujuannya
yang tertentu. Ia menjadi khawatir sang suami akan marah
dan mendamprat putranya sehingga membikin urusan menjadi
runyam, pula ia pun ingin lihat bagaimana ilmu silat yang
dipelajari anak muda itu selama sekian tahun, lantas
mendahului berkata, "Baiklah, kita berempat boleh dua-lawandua
dan coba-coba kepandaian masing-masing, toh hanya
coba-coba saja dan tidak menjadi soal."
Ciok Jing melirik sekejap kepada sang istri sambil manggutmanggut.
Ia menduga maksud yang istri ialah ingin tahu
bagaimana ilmu silat putranya itu, pula agar Pek Ban-kiam
dapat dikalahkan dengan sukarela setelah main berganda,
betapa pun pintarnya Ciok Tiong-giok, dalam usianya yang
masih begitu muda juga takkan lebih lihai daripada para paman
gurunya yang telah dirobohkan Bin Ju tadi, apalagi anak muda
itu pun tidak mungkin membantu Pek Ban-kiam untuk
bertempur dengan ayah-ibunya sendiri dengan sungguhsungguh.
Sebaliknya Pek Ban-kiam mempunyai rekaan sendiri, "Dengan
Swat-san-kiam-hoat kau hendak main berganda dengan aku,
ini berarti sudah mengaku sendiri sebagai murid Swat-san-pay,
maka tak peduli bagaimana dengan hasil pertandingan ini, asal
aku tidak terbinasa, bila aku mengeluarkan tanda kebesaran
ketua Swat-san-pay, mau tak mau anak muda ini harus ikut
aku pulang ke Leng-siau-sia. Kalau Ciok-Jing berdua
merintangi, ini berarti mereka telah melanggar peraturan Bulim."
Dengan tekad bulat ia lantas menjawab, "Apakah ingin dua
lawan dua atau tiga lawan satu, memangnya aku adalah jago
yang sudah keok, biar bagaimana tentu aku akan ikuti
kehendakmu." Diam-diam ia pun telah ambil keputusan jika dirinya terdesak,
sebelum terbinasa sedikitnya ia harus membunuh dulu Ciok
Boh-thian. Melihat ujung pedang yang dipegang Pek Ban-kiam agak
tergetar dan mengarah miring ke depan, tapi tidak segera
menyerang, maka Boh-thian lantas berkata, "Jika demikian
akulah yang dahulu!"
Dengan ujung pedang yang agak tergetar segera ia membuka
serangan, ia menusuk ke bahu kanan Ciok Jing.
Begitu tusukannya dilontarkan, seketika hawa pedang
memuncak, tusukan pedang ini tidak terlalu cepat, tapi di mana
tenaga dalamnya sampai seketika menjangkitkan suara
mendesusnya angin. Jurus pedangnya adalah Swat-san-kiamhoat,
tapi betapa hebat tenaga dalamnya bahkan Pek Ban-kiam
bukan tandingannya. Seketika Ban-kiam, Ciok Jing dan Bin Ju bersuara heran
berbareng begitu menyaksikan serangan pembukaan Ciok Bohthian
itu. Semula Ban-kiam memandang hina ketika pemuda
itu menjujukan pedangnya ke depan, ia lihat siku pemuda itu
terangkat terlalu tinggi, cara memegang pedang juga tidak
kuat, kuda-kudanya juga salah dan macam-macam kelemahan
lain. Tapi begitu serangan itu sudah mencapai titik sasarannya,
seketika pandangannya yang memandang rendah itu berubah.
Ternyata tenaga dalam yang mengiringi tusukan pedang itu
benar-benar tiada taranya, tenaga dalam sekuat ini hanya
pernah dilihatnya di kala ayahnya, yaitu Pek Cu-cay alias Witek
Siansing bermain pedang. Namun untuk mengeluarkan
tenaga selihai itu juga tidak dapat dilakukan secara sekaligus
sebagaimana Ciok Boh-thian sekarang, baru serangan pertama
sudah membawa kekuatan yang tak terkira hebatnya.
Tapi segera ia menyaksikan bahwa dugaannya ternyata tidak
betul. Saat itu Ciok Jing telah menangkis serangan Boh-thian,
mendadak "krek" sekali, pedang yang dipegang Ciok Jing telah
patah menjadi dua bagian, yang patah itu sampai mencelat dan
menancap di dinding. Ciok Jing sendiri merasa genggaman
panas pedas, lengan pegal, hampir-hampir gagang pedang
yang masih terpegang itu pun terlepas dari cekalannya.
Walaupun gemas kepada putra durhaka itu, tapi seorang jago
silat bila ketemukan jago yang pandai tanpa merasa lantas
timbul perasaan kagumnya, maka secara otomatis tercetus
juga pujiannya, "Bagus!"
Sebaliknya Boh-thian lantas berseru kaget melihat pedang Ciok
Jing patah, segera ia tarik kembali pedangnya dengan wajah
yang menunjukkan rasa menyesal dan sayang pula.
Di bawah sinar lilin yang remang-remang air muka Boh-thian
itu dapat juga oleh Ciok Jing dan Bin Ju, diam-diam terkilas
rasa hangat dalam hati mereka, "Nyata, betapa pun anak Giok
masih tetap seorang anak yang berbakti."
Ciok Jing lantas membuang pedang yang patah dan kembali
menggunakan ujung kaki untuk mencukit sebatang pedang
yang lain. Lalu katanya, "Jangan khawatir terimalah serangan
ini!" Dan "sret", segera ia balas menusuk ke paha kiri Ciok
Boh-thian. Bagaimanapun Boh-thian tidak pernah belajar ilmu pedang
secara resmi mesti tenaga dalamnya sangat kuat dan dapat
digunakan di waktu menyerang, tapi bila diserang oleh seorang
jago sebagai Ciok Jing, tentu saja ia kelabakan dan bingung
untuk menangkisnya, syukur ia dapat berpikir cepat, dengan
kaku ia melintangkan pedangnya untuk menangkis dalam jurus
"Jong-siong kheng-khek" (pohon siong menyambut tamu).
Namun sedikit miringkan pedangnya tahu-tahu ujung pedang
Ciok Jing sudah menyambar lewat dan mencapai pahanya.
Coba kalau lawannya ini bukan putra kesayangannya tentu
paha anak muda itu sudah ditebasnya terkutung menjadi dua.
Sebab itulah pada titik terakhir mendadak ia tahan pedangnya.
Walau demikian Bin Ju juga sudah terkejut dan telah berseru
khawatir, "Jangan, Engkoh Jing!"
Waktu Boh-thian memandang paha kanan sendiri, ternyata
lengan celananya sudah terobek satu jalur, untung tidak
terluka. Dengan agak malu-malu ia berkata dengan tertawa,
"Banyak terima kasih atas kemurahan hatimu. Ilmu pedangmu
ternyata jauh lebih pandai daripadaku!"
Apa yang diucapkan Ciok Boh-thian ini adalah timbul dari
hatinya yang tulus, tapi bagi pendengaran Pek Ban-kiam katakata
itu menjadi sangat menusuk perasaannya. Pikirnya, "Kau
menyatakan ilmu pedang ayahmu jauh lebih tinggi daripada
ilmu pedangmu, bukankah hal itu berarti kau telah sengaja
menilai rendah Swat-san-kiam-hoat sendiri" Dasar kau bocah
ini memang licin dan licik dan sengaja membikin ayahmu
mendapat nama harum. Pendek kata hari ini kalau aku Pek
Ban-kiam masih dapat bernapas, tentu aku tidak rela dihina
oleh kalian sekeluarga ini."
Di sebelah sana Ciok Jing juga mengerut kening dan berpikir,
"Adik Ju selalu menyangsikan anak Giok pasti dicemooh dan
dihina dalam perguruannya, tapi aku selalu anggap Pek Cu-cay,
Pek-locianpwe adalah seorang tokoh yang jujur, Hong Ban-li
juga seorang pendekar budiman, kalau dia sudah menerima
anakku sebagai murid, tentu dia akan memberi pelajaran
sebagaimana mestinya dan tidak nanti menghinanya malah,
Tapi kalau melihat dua jurus yang dimainkannya barusan,
walaupun caranya betul, tapi banyak lubang kelemahannya,
mana boleh dipakai dalam gelanggang pertempuran"
Tampaknya dia memang tiada mendapat kepandaian apa-apa
di Leng-siau-sia. Kalau melihat tenaga dalamnya yang sangat
kuat tadi agaknya toh tiada sangkut pautnya dengan
kepandaian pihak Swat-san-pay, bahkan Wi-tek Siansing
sendiri belum tentu memiliki Lwekang sehebat ini. Ya, tentu
anak Giok mempunyai pengalaman aneh tertentu, untuk ini
aku harus menyelidikinya sampai terang agar kelak dapat
dipakai sebagai bahan pembelaan bagi kesalahan anak Giok."
Setelah ambil ketetapan itu, lalu ia berkata, "Mari, mari, kita


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak perlu main sungkan-sungkan, bertandinglah sebagaimana
mestinya saja!" Segera pedangnya bergerak, ia mendahului menusuk ke arah
Pek Ban-kiam. Cepat Ban-kiam menangkis dan kontan balas menyerang satu
kali. Maka serangan Bin Ju lantas beralih juga kepada Ciok
Boh-thian, dengan perlahan-lahan ia menusuk ke dada anak
muda itu. Ia sengaja menyerang dengan perlahan, maksudnya
supaya anak muda itu tidak kelabakan dan susah
menangkisnya. Melihat serangan itu, Boh-thian menjadi teringat kepada
kebaikan Bin Ju waktu memberi persen padanya di Hau-kamcip
tempo dulu, tanpa merasa ia tertawa mengangguk kepada
Bin Ju sebagai tanda hormat dan terima kasih, habis itu
barulah ia angkat pedangnya untuk menangkis.
Karena kelakuan Boh-thian itu, Bin Ju menyangka anak muda
itu sedang memberi salam hormat kepada sang ibu, ia menjadi
lebih girang, segera ia tarik kembali pedangnya, lalu menebas
ke pinggang Boh-thian. Untuk beberapa detik Boh-thian berpikir dengan jurus apa dia
harus menangkisnya, akhirnya ia lantas mengeluarkan sejurus
Swat-san-kiam-hoat untuk menahan serangan Bin Ju itu.
Melihat kepandaian sang putra sangat dangkal, gerakannya
juga lamban, diam-diam Bin Ju menyesalkan jago-jago Swatsan-
pay yang mengaku ilmu pedangnya tiada bandingannya itu
ternyata cara demikian mendidik muridnya sebagai putraku ini.
Segera ia ganti serangan lagi, ia menusuk bahu kiri Boh-thian,
ia tunggu sesudah anak muda itu ingat cara bagaimana
menangkis barulah dia menusuk sungguh-sungguh, kalau
seketika Boh-thian belum mampu menangkis, maka ia lantas
menunggu pula. Sudah tentu cara demikian bukan lagi bertanding, bahkan lebih
sabar dan lebih sayang daripada seorang guru yang sedang
mengajar muridnya. Belasan jurus kemudian, lambat laun Boh-thian mulai percaya
kepada dirinya sendiri, permainan pedangnya telah bertambah
cepat. Diam-diam Bin Ju bergirang, setiap kali kalau jurus yang
digunakan Boh-thian cukup bagus, ia lantas mengangguk
sebagai tanda memuji. Di sebelah lain untuk ketiga kalinya Ciok Jing bertempur
melawan Pek Ban-kiam lagi. Terhadap keunggulan dan
kelemahan masing-masing kedua orang sudah sama-sama
tahu, maka sekarang mereka menjadi lebih hati-hati dan tidak
berani lena sedikit pun, mereka mencurahkan segenap
perhatian dalam pertandingan ulangan ini sehingga tidak ambil
pusing kepada apa yang terjadi di sekitar mereka, Sebab itulah
tentang cara bagaimana Bin Ju bertempur melawan Ciok Bohthian,
apakah mereka bertempur sungguh-sungguh atau purapura,
siapa yang menang dan siapa yang kalah, sama sekali
tak dihiraukan lagi oleh Ban-kiam dan Ciok Jing, sebab siapa
saja sedikit ayal tentu akan membawa akibat bagi dirinya
sendiri, kalau tidak mati tentu juga terluka parah.
Sebaliknya di waktu Bin Ju seakan-akan sedang mengajar ilmu
pedang kepada Ciok Boh-thian itu, dia mempunyai banyak
kesempatan untuk melihat pertarungan sengit sang suami
melawan Pek Ban-kiam. Didengarnya suara napas sang suami
sangat panjang, terang tenaga dalamnya masih sangat kuat,
andaikan tidak menang juga tak akan kalah. Biasanya sang
suami jarang ketemukan seorang lawan yang tangguh,
sekarang telah bertemu dengan lawan yang sama kuatnya,
kesempatan ini biarlah digunakan oleh sang suami untuk
bertempur dengan sepuasnya.
Dalam pada itu sejurus demi sejurus Boh-thian sudah selesai
memainkan ke-72 jurus Swat-san-kiam-hoat. Maka Bin Ju
lantas menurutkan jalan tadi untuk memancing Boh-thian
mengulangi sekali lagi ilmu pedang Swat-san-pay itu.
Dasar pembawaan Boh-thian memangnya sangat pintar,
tenaga dalamnya sangat kuat pula, maka percobaan ulangan
ini sudah jauh berbeda daripada pertama tadi, sekarang dalam
bertahan ia dapat menyerang juga, gerak-geriknya juga jauh
lebih cepat. Ketika ulangan ke-72 jurus Swat-san-kiam-hoat ini sudah
hampir habis, Bin Ju melihat pertarungan sang suami melawan
Pek Ban-kiam itu masih tetap sama kuatnya, diam-diam ia
merancang, "Selesai gebrakan ini aku harus membantunya dan
tidak perlu berayal-ayalan lagi dengan orang she Pek itu, yang
penting bawa pergi saja anak Giok."
Maka waktu Ciok Boh-thian menusuknya lagi segera ia
menangkis terus balas menyerang, ia menduga cara menangkis
serangannya ini sudah dipahami Boh-thian, tentu dengan
mudah akan dapat dilakukan anak muda itu. Tak tersangka
pada saat itu juga mendadak keadaan menjadi gelap gulita,
kiranya lilin yang tersulut di dalam kelenteng itu sudah habis
dan mendadak padam. Dalam pada itu tusukan Bin Ju itu sudah di lontarkan, begitu
api lilin padam segera ia pun menarik kembali serangannya.
Tak terduga Ciok-Boh-thian sama sekali tiada punya
pengalaman bertempur, ketika keadaan mendadak gelap
gulita, bukannya mundur, sebaliknya ia malah melangkah maju
ke depan dengan maksud hendak mendekati Bin Ju untuk
mengajak bicara dan akan mengaturkan terima kasihnya atas
kebaikan nyonya cantik itu. Dan karena mendekatnya itu
kebetulan tubuhnya seakan-akan disodorkan ke ujung pedang
Bin Ju, segera Bi Ju merasa senjatanya kena menusuk sesuatu,
dalam kagetnya cepat ia tarik pedangnya dan lempar ke
belakang, lalu ia pegang pundak Ciok Boh-thian dalam
kegelapan itu sambil bertanya dengan khawatir, "Ai, apakah
kau terluka Di manakah lukanya" Parah atau tidak?"
"Aku ... aku ...." berulang-ulang Boh-thian terbatuk-batuk dan
sukar berbicara lagi. Cepat Bin Ju menyalakan geretan api, maka tertampaklah dada
Ciok Boh-thian penuh berlumuran darah. Mestinya Bin Ju
adalah orang yang tenang, tapi sekarang ia menjadi tertegun
bingung, ia menoleh dan tanya kepada sang suami, "Engkoh
Jing, ba ... bagaimana ini?"
Dalam kegelapan Ciok Jing dan Pek Ban-kiam masih terus
bertempur berdasarkan suara sambaran senjata lawan. Ketika
Bin Ju menyalakan api dan berseru khawatir, Ciok Jing telah
melirik sekejap dan melihat Ciok Boh-thian roboh terluka, sang
istri tampak sangat khawatir dan cemas, betapa pun adalah
hubungan ayah dan anak, mau tak mau Ciok Jing merasa
gelisah juga. Dan karena sedikit ayal itulah Ban-kiam telah menggunakan
kesempatan itu dengan baik, pedangnya secepat kilat sudah
menusuk ke ulu hati Ciok Jing, serangan kilat yang mengancam
tempat mematikan ini ketika disadari Ciok Jing namun sudah
terlambat, untuk menangkis sudah tidak keburu lagi.
Tapi Ban-kiam tidak meneruskan tusukannya, ketika ujung
pedang tinggal dua tiga senti di depan dada sasarannya segera
ia tahan senjatanya itu. Sebagai seorang ahli Ciok Jing tahu apa maksud Pek Ban-kiam
itu. Tadi Bin Ju juga telah mengancam jiwanya, tapi tidak jadi
diteruskan dan jiwanya diampuni maka sekarang Ban-kiam
juga ingin membayar kembali mengampuni jiwanya, sehingga
kedua belah pihak tidak mempunyai utang piutang apa-apa
lagi. Karena khawatirkan luka putranya, Ciok Jing tidak sempat
memikirkan soal kalah-menang atau terhina tidak, segera ia
mendekati Boh-thian dan memeriksa lukanya. Dilihatnya darah
terus mengucur dari dada anak muda dengan perlahan, nyata
lukanya tidak terlalu parah. Baru saja Ciok Jing dan Bin Ju
merasa lega karena luka yang tidak berbahaya itu, sekonyongkonyong
sebatang pedang telah mengancam di tenggorokan
Ciok Boh-thian. Waktu mereka berpaling, kiranya yang
memegang pedang itu adalah Pek Ban-kiam.
"Putramu telah menghina dan menyebabkan kematian putriku,
sakit hati ini tidak boleh tidak dibalas," demikian kata Ban-kiam
dengan nada dingin. "Jika kalian membiarkan dia kubawa
pulang Leng-siau-sia, paling sedikit dia masih bisa hidup buat
dua bulan lamanya, tapi kalau kalian tetap berkeras hendak
merampasnya, maka sekali tusuk segera kucabut nyawanya."
Ciok Jing saling pandang dengan Bin Ju. Ngeri juga Bin Ju
membayangkan kematian putra kesayangannya, ia kenal Bankiam
sebagai seorang tokoh persilatan yang berani berkata
berani berbuat, kalau sampai putranya betul-betul ditusuk mati
maka tiada gunanya lagi andaikan nanti mereka suami-istri
dapat juga membunuh Pek Ban-kiam.
Rupanya Ciok Jing juga mempunyai pikiran yang sama dengan
sang istri, ia memberi isyarat kepada Bin Ju sambil memegang
tangannya lalu bersama-sama melompat ke pekarangan
kelenteng. Bin Ju menoleh dan memandang sekejap lagi
kepada Ciok Boh-thian yang menggeletak di atas lantai itu
dengan sorot mata penuh kasih sayang seorang ibu. Dan hanya
sekejap itu saja geretan api yang dia nyalakan itu pun sudah
padam, keadaan di dalam kelenteng kembali gelap gulita pula.
Dari suara tindakan Ciok Jing suami-istri Ban-kiam mengetahui
mereka sudah pergi jauh, ia yakin kedua orang itu pasti tidak
rela putranya dibawa pergi begitu saja, dalam perjalanan
pulang ke Leng-siau-sia ini tentu akan banyak rintanganrintangan
bukan saja dari pihak Tiang-liok-pang bahkan juga
dari Ciok Jing berdua. Bila membayangkan pertarungan tadi sungguh Ban-kiam
merasa untung sekali, coba kalau api lilin itu tidak kebetulan
habis dan padam, tentu bocah she Ciok ini sudah direbut oleh
ayah ibunya, bahkan dirinya terhina habis-habisan boleh jadi
jiwa bisa melayang pula. Sesudah tenangkan diri, kemudian Ban-kiam coba mencari
batu ketikan api pada tubuh salah seorang Sutenya,
perbekalannya sendiri telah dia titipkan kepada Houyan Bansian
ketika dia hendak menuju ke sarang Tiang-lok-pang.
Waktu api sudah diketik menyala, baru saja dia hendak
mencari sebatang lilin, mendadak ia melongo kaget, ternyata
Ciok Boh-thian yang menggeletak di sebelahnya tadi sekarang
sudah lenyap. Di samping kaget Pek Ban-kiam menjadi merinding pula, yang
terpikir olehnya ialah ada setan. Sebab kalau bukan setan atau
badan halus tentu tidak mungkin Ciok-Boh-thian lenyap dalam
sekejap saja. Tanpa pikir ia membuang kertas api yang sudah menyala itu,
dengan pedang terhunus ia lantas berlari keluar kelenteng. Di
luar keadaan sunyi senyap, di sekitar situ tiada suatu bayangan
seorang pun, yang terdengar hanya suara jangkrik dan
serangga-serangga malam belaka.
Semula Ban-kiam berpikir ada setan, tapi segera disadarinya,
bahwa di sekitar situ tentu ada tokoh kosen yang sedang
mengintip, dia sedang mencari batu api. Kesempatan itu
digunakan oleh orang kosen untuk menolong Ciok Boh-thian.
Segera ia melompat ke atas rumah dan memandang
sekelilingnya, hanya di jurusan tenggara sana ada
segerombolan semak-semak pohon yang dapat dibuat
sembunyi, segera ia melompat turun dan memburu ke tepi
hutan itu, bentaknya, "Kenapa mesti main sembunyi-sembunyi,
kalau laki-laki sejati, hayolah keluar bertempur sampai titik
terakhir." Tapi sudah ditunggu sekian lamanya keadaan di dalam hutan
tetap tiada sesuatu jawaban apa-apa, dasar kepandaiannya
tinggi dan nyalinya besar, tanpa pikir lagi Ban-kiam lantas
menerjang ke dalam hutan. Tapi di dalam hutan keadaan juga
sepi dan kosong, hanya angin meniup silir-silir dan suara
keresek jatuhnya daun-daun kering.
Seketika rasa takabur Pek Ban-kiam lantas lenyap.
Pertempuran tadi sudah membuatnya tidak berani lagi
memandang enteng kepada kesatria-kesatria di jagat ini,
sekarang ia lebih-lebih merasa di luar langit ini masih ada
langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai.
Lapat-lapat timbul juga perasaan cemasnya, teringat kematian
putrinya yang mengenaskan, tanpa terasa ia menjadi berduka.
Ia menghela napas panjang dan putar kembali ke dalam
kelenteng Toapekong tadi. Ia menyalakan api lagi dan
menyulut sebatang lilin, lalu menolong para Sutenya yang
ditutuk oleh Bin Ju tadi. Tapi ia menjadi kaget pula.
Bab 17. Tidak Ajar-Jangan Lari-Tidak Ampun
Tiba-tiba Ban-kiam tercengang kaget lagi. Ternyata di pipi kiri
Houyan Ban-sian, Bun Ban-hu dan lain-lain masing-masing
terdapat bekas tamparan yang jelas, kelihatan bekas lima jari
tangan. Bekas tamparan itu hitam gosong dan melekuk
beberapa mili dalamnya. "Sia siapa ... siapa" Siapakah yang memukul kalian ini" Ka ...
kapan terjadinya?" demikian Ban-kiam bertanya dengan suara
terputus-putus. Dilihat dari bekas tamparan yang kecil itu, agaknya adalah
tangan kaum wanita. Biasanya Pek Ban-kiam jarang
menjelajahi Tionggoan, tapi sering ia mendengar cerita dari
ayahnya tentang kejadian-kejadian yang menarik di dunia
persilatan, walau pengalamannya sedikit, tapi pengetahuannya
cukup luas. Ia lihat bekas tamparan yang berwarna hitam gosong itu bukan
bekas pukulan Hek-sah-ciang atau Thiat-sah-ciang (pukulan
pasir hitam dan pasir besi), sebab kalau kedua macam pukulan
itu tentu yang terkena sudah binasa sejak tadi, tapi sekarang
para Sutenya itu hanya ringan saja lukanya, bahkan terdengar
Houyan Ban-sian dapat berteriak-teriak, "Setan alas, aku sama
sekali tidak tahu siapakah yang menggampar diriku!"
"Keparat, merunduk orang secara diam-diam, babi ...."
demikian Bun Ban-hu juga mencaci maki.
Ternyata tiada seorang pun yang tahu siapa yang telah
menyerang mereka secara menggelap itu. Yang jelas ketika
Ban-kiam berlari ke luar kelenteng dengan pedang terhunus
tadi, mendadak pipi seorang lantas kena ditampar orang,
menyusul seorang lagi juga kena digampar, yang dipukul
belakangan tidak mendengar suara tamparan yang dipukul
lebih dulu, sebaliknya yang terpukul dahulu karena sedang
meringis kesakitan sehingga tidak mendengar kawan di
sebelahnya juga kena pukulan, kemudian Ban-kiam masuk
kembali dan menyalakan lilin barulah mereka mengetahui
semua kawannya rata-rata telah diserang orang. Tadinya
mereka menyangka dirinya sendiri saja yang mengalami nasib
sial. Ban-kiam termenung-menung tanpa memberi komentar apaapa,
ia menduga orang yang menolong Ciok Boh-thian dan


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menyerang para Sutenya itu tentu terdiri dari satu orang
yang sama. Terang sesudah menolong Ciok Boh-thian orang itu
masih bersembunyi di dalam kelenteng, ketika dirinya
mengejar keluar, lalu, dengan sebebasnya ia menggampar para
Sutenya setiap orang satu kali, habis itu barulah Ciok Boh-thian
dibawa pergi. Orang itu dapat memukul tanpa mengeluarkan
suara, yang digunakan adalah tenaga dalam yang lunak,
kepandaiannya dan kecerdikannya terang bukan orang
sembarangan, Ban-kiam menjadi ngeri membayangkannya.
Kiranya lukanya tidaklah parah karena dia sendiri yang
menumbuk ujung pedangnya Bin Ju, rasanya juga tidak terlalu
sakit. Ketika Ciok Jing dan Bin Ju dipaksa pergi, keadaan di
dalam kelenteng lantas gelap gulita, tiba-tiba ia merasa
mulutnya didekap sebuah tangan, lalu badannya diseret orang
dengan perlahan-lahan dan akhirnya sampai di kolong meja
sembahyang. Tidak lama kemudian terasa pula orang itu mengempitnya
terus membawanya lari keluar kelenteng, tidak terlalu lama lalu
melompat ke atas sebuah perahu, menyusul ada orang
menyalakan pelita. Waktu Boh-thian membuka mata, tertampak orang berada di
sampingnya dengan memegang pelita itu tak-lain-tak-bukan
adalah si Ting Tong. "Hai, Ting-ting Tong-tong, kiranya kau yang telah membawa
aku ke sini?" seru Boh-thian dengan girang.
Tapi mulut Ting Tong tampak mencibir, omelnya malah, "Babi
mampus kau, masakah siapa yang membawa kau ke sini juga
tidak tahu. Yaya yang telah menyelamatkan kau, tahu?"
Boh-thian menoleh, dilihatnya Ting Put-sam berada di haluan
perahu dengan duduk berpangku dengkul sedang memandang
ke udara, sedikit pun tidak menggubris padanya. Maka ia
lantas menyapa, "Yaya untuk ... untuk apakah membawa aku
ke sini?" "A Tong," tiba-tiba Ting Put-sam mendengus tanpa menggubris
Boh-thian, "orang ini adalah orang sinting, buat apa kau
menjadi istrinya" Toh kau belum tidur bersama dia, sebelum
telanjur lebih baik kau bunuh dia saja."
"Tidak, tidak!" sahut Ting Tong dengan gugup. "Engkoh Thian
telah menderita sakit keras sehingga banyak kejadian-kejadian
di masa lampau terlupa olehnya. Lambat laun dia tentu akan
sehat kembali. Engkoh Thian, coba kuperiksa lukamu."
Dengan hati-hati Ting Tong lantas membuka baju Ciok Bohthian,
dengan saputangan ia mengusap darah di sekitar luka
itu, lalu membubuhkan obat luka, akhirnya ia menyobek ujung
baju sendiri untuk membalut luka di dada anak muda itu.
"Terima kasih, Ting-ting Tong-tong!" kata Boh-thian. "Eh,
apakah tadi kau dan Yaya sembunyi di kolong meja sana"
Haha, sungguh sangat menarik main sembunyi-sembunyian
begitu!" "Jiwamu sendiri hampir amblas masih bilang sangat menarik
segala?" semprot Ting-Tong. "Pertarungan sengit antara ayahibumu
melawan orang she Pek itu sungguh membikin hatiku
ikut berdebar-debar."
"Ayah-ibuku?" Boh-thian menegas dengan heran. "Kau bilang
tuan yang berbaju hitam mulus itu adalah ayahku" Tapi wanita
cantik itu bukanlah ibuku ... ibuku tidak demikian mukanya,
tidak secantik nyonya tadi."
Ting Tong menghela napas, katanya kemudian, "Engkoh Thian,
sakitmu itu benar-benar telah membikin susah padamu,
sampai-sampai ayah ibunya sendiri pun sudah terlupa. Kulihat
caramu memainkan ke-72 jurus Swat-san-kiam-hoat itu pun
sangat kaku dan belum hafal betul, jangan-jangan sampai ilmu
silatnya sendiri juga kau lupakan sama sekali" Ai, mana boleh
jadi begini." Kiranya sudah Ciok Boh-thian ditawan dan dilarikan oleh Pek
Ban-kiam, segera Ting Put-sam dan Ting Tong mengejarnya
sepanjang jalan. Kejadian-kejadian Pek Ban-kiam memberi
petunjuk ilmu pedang kepada para Sutenya dan kedatangan
Ciok Jing suami-istri ke dalam kelenteng lalu bertempur, semua
itu dapat disaksikan oleh Ting Put-sam dan si Ting Tong.
Waktu Ting Put-sam berhasil menolong Ciok Boh-thian, Ting
Tong juga tidak mau tinggal diam, ia mengeluarkan ilmu
pukulan keluarga Ting yang ternama dan memberi persen satu
kali tamparan pada tiap-tiap murid Swat-san-pay. Terhadap
Pek Ban-kiam rupanya si Ting Tong benar-benar jeri, maka
sebelum tokoh Swat-san-pay itu masuk kembali ke dalam
kelenteng ia sudah lantas kabur lebih dulu menyusul kakeknya.
Begitulah maka Boh-thian telah menjawab dengan heran, "Kau
bilang ilmu silat" Ilmu silat apa" Sama sekali aku tidak bisa
ilmu silat. Apa yang kalian bicarakan aku pun tidak paham."
Mendadak Ting Put-sam berdiri, katanya dengan suara bengis,
"A Tong, apa barangkali pikiranmu sudah butek atau bebal,
makanya menyukai seorang bocah tolol dan sinting seperti dia
ini" Biarlah sekali hantam kumampuskan dia saja. Pendek kata
kau tidak perlu khawatir, kakek tanggung jawab untuk
mencarikan seseorang kesatria muda yang gagah, tampan dan
serbapandai untuk menjadi suamimu."
"Aku .... aku tak mau, aku tidak inginkan kesatria muda lain
yang tampan dan pintar apa segala," jawab Ting Tong dengan
terguguk-guguk dan air mata berlinang-linang. "Dia ... dia toh
bukan orang sinting, hanya saja karena ... karena dia habis
sakit keras, mungkin pikirannya belum jernih kembali."
"Belum jernih apa?" bentak Ting Put-sam dengan gusar. "Siapa
saja yang menyaksikan kelakuannya yang memuakkan di
dalam kelenteng itu pasti meledak dadanya saking gusarnya
dan gemasnya. Coba bayangkan, caranya bergerak yang
ngular-kambang seperti anak kecil yang baru belajar, setiap
jurus selalu salah dan kaku, banyak lubang kelemahannya,
hehe, sudah terang orang telah menarik kembali pedangnya,
tapi anak gebleg ini justru menumbukkan badannya sendiri dan
baru puas kalau sudah terluka. Hm, manusia goblok seperti
begini ada lebih baik kumampuskan saja daripada kelak
dibunuh orang lain. Jangan-jangan akan tersiar di kalangan
Kangouw bahwa cucu menantu Ting Put-sam telah dibunuh
orang, kan aku yang malu. Maka, ada lebih baik dimampuskan
sekarang saja, harus dibunuh."
Ting Tong hanya menggigit bibir dan terdiam. Ia kenal watak
sang kakek, kalau beliau sudah berkata demikian, maka pasti
akan dilakukannya demikian pula, percuma saja untuk
berdebat atau membantah pendiriannya itu. Sejenak kemudian
barulah ia berkata, "Yaya, habis cara bagaimanakah supaya
engkau tak jadi membunuhnya?"
"Ha, mengapa aku tidak jadi membunuhnya! Aku harus, ya,
harus membunuhnya supaya tidak membikin malu," kata Ting
Put-sam dengan marah-marah. "Bila orang mendengar Ting
Put-sam telah membunuh cucu menantunya sendiri, hal ini
tidaklah mengherankan, tapi kalau terdengar kabar tentang
cucu menantunya Ting Put-sam dibunuh orang, lantas apa
tindakanku" "Apa tindakanmu" Tentunya membalaskan sakit hatinya!" kata
Ting Tong. "Hahahaha! Kau bilang aku akan membalaskan sakit hati
seorang goblok sebagai dia" Haha, kau anggap kakekmu ini
orang macam apa" "Habis bagaimana, kan salahnya kakek sendiri?" sahut Ting
Tong sambil menangis. "Engkau yang suruh aku menikah
dengan dia, secara resmi dia adalah suamiku, kalau engkau
membunuhnya, bukankah aku akan menjadi janda?"
Ting Put-sam menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal,
katanya kemudian, "Tatkala itu aku telah menjajal dia dan
merasa Lwekangnya sangat tinggi dan memenuhi syarat untuk
menjadi cucu menantuku, siapa tahu dia ternyata seorang
sinting. Jika kau berkeras tidak memperbolehkan aku
membunuhnya, hal ini boleh juga asal kau memenuhi sesuatu
syaratku." Ting Tong menjadi girang karena ada harapan menyelamatkan
sang suami, segera ia bertanya, "Syarat apa" Lekas katakan,
lekas!" "Sudah kukatakan dia adalah seorang sinting dan harus
dibunuh, tapi kau bilang dia tidak sinting dan jangan dibunuh.
Untuk ini, baiklah, aku memberi batas waktu 10 hari agar dia
pergi mencari dan bertanding dengan Pek Ban-kiam itu, dia
harus membunuh atau mengalahkan orang she Pek yang
bergelar "Gi-han-se-pak" itu barulah aku dapat mengampuni
jiwanya dan mengizinkan dia menjadi suamimu yang sungguhsungguh."
Ting Tong menarik napas panjang mendengar syarat sang
kakek itu. Ia pikir ilmu pedang orang she Pek itu sedemikian
lihainya, hal ini telah disaksikan sendiri oleh mereka kakek dan
cucu berdua. Boh-thian sendiri baru saja sembuh dari sakit
keras, sekarang terluka pula, di dalam sepuluh hari ini cara
bagaimana dia dapat berlatih dan mengalahkan seorang ahli
pedang sebagai Pek Ban-kiam"
Dengan cemas kemudian Ting Tong berkata, "Yaya, syaratmu
ini sudah terang sukar dilaksanakan."
"Apakah sukar dilaksanakan atau mudah dilakukan, pendek
kata bila dia tidak mampu mengalahkan Pek Ban-kiam, segera
sekali hantam kumampuskan dia," sahut Ting Put-sam dengan
tegas. Ting Tong menjadi sedih, ia coba berpaling kepada Boh-thian,
tertampak anak muda itu acuh-tak-acuh saja, seperti apa yang
dipercakapkan antara Ting Tong dan kakeknya itu sama sekali
tiada sangkut paut dengan kepentingannya.
Dengan gemas Ting Tong coba mengisiki Boh-thian, "Engkoh
Thian, Yaya memberi tempo dalam waktu sepuluh hari supaya
kau mengalahkan Pek Ban-kiam itu, bagaimana, apakah kau
sanggup?" "Mengalahkan Pek Ban-kiam" Haya, mana bisa, ilmu
pedangnya teramat lihai, siapa pun bukan tandingannya,
apalagi diriku?" sahut Boh-thian dengan melenggong.
"Ya, tapi kakek bilang bila kau tidak mampu mengalahkan dia,
maka kau yang akan dibunuh oleh kakek," kata Ting Tong.
"He, he, orang tidak apa-apa mengapa hendak dibunuh?" sahut
Boh-thian dengan tertawa. "Ah, kakek hanya berkelakar saja
dengan kau, masakah kau anggap sungguh-sungguh" Kakek
adalah orang baik dan bukan orang jahat, masakah dia akan ...
akan membunuh aku?" Ting Tong menghela napas panjang, pikirnya, "Engkoh Thian
benar-benar agak sinting tampaknya, segala apa selalu anginanginan.
Jalan paling baik sekarang ialah menyanggupi dulu
syarat kakek tadi, di dalam sepuluh hari semoga dapat
diperoleh sesuatu akal dan kesempatan agar Engkoh Thian bisa
melarikan diri dengan selamat."
Karena itu ia lantas berkata pada Ting Put-sam, "Baiklah,
kakek, aku terima syaratmu, di dalam sepuluh hari akan
kuminta dia pergi mencari dan mengalahkan Pek Ban-kiam."
"Ya, sekarang kakek sudah merasa lapar, lekas pergi menanak
nasi," sahut Ting Put-sam dengan tertawa dingin. "Biarlah
kukatakan padamu, pertama tidak ajar, kedua jangan lari,
ketiga tidak ampun. Tidak ajar ialah kakek sekali-kali takkan
mengajarkan ilmu silat kepada seorang sinting. Jangan lari
ialah supaya kau jangan sekali-kali bermaksud melepaskan dia
untuk melarikan diri, asal kakek mengetahui dia bermaksud
lari, di dalam waktu singkat tentu aku dapat menemukan dia
dan membinasakan dia lebih cepat daripada waktu sepuluh
hari. Tentang tidak ampun, sudah cukup jelas, tidak perlu
kukatakan lagi." "Jika engkau mengatakan dia seorang sinting, maka biarpun
engkau mengajarkan ilmu silat padanya juga dia takkan bisa,
buat apa mesti menyatakan tidak akan mengajar ilmu silat
padanya?" ujar Ting Tong.
"Kau tidak perlu memancing aku," sahut Ting Put-sam dengan
tersenyum. "Padahal, andaikan kakek mau mengajarkan dia, di
dalam waktu sepuluh hari juga tidak mungkin dia mampu
mengalahkan Pek Ban-kiam" Huh, biarpun 10 tahun mendidik
dia juga percuma saja."
Mendadak pikiran Ting Tong tergerak, katanya, "Baik, kakek
tidak mau mengajar dia, biar aku saja yang mengajarnya
mengalahkan Pek Ban-kiam" Huh, biarpun sepuluh tahun
mendidik dia juga percuma saja."
Tatkala itu perahu mereka itu sudah di pasang layarnya dan
mendapat angin buritan sedang berlayar ke hulu sungai
melawan arus. Cuaca sudah mulai terang, fajar telah
menyingsing, tapi di permukaan sungai penuh kabut melulu.
"A Tong kau tidak mau masak, apakah kau sengaja membikin
kakek mati kelaparan?" kata Ting Put-sam dengan gusar.
"Engkau hendak membunuh suamiku, lebih baik aku membikin
kau mati kelaparan dulu," sahut Ting Tong.
"Budak setan yang kurang ajar! Hayo, lekas menanak nasi,"
semprot Ting Put-sam pula. Tapi Ting Tong tidak menggubris
sang kakek lagi, ia berkata kepada Ciok Boh-thian, "Engkoh
Thian, biarlah aku mengajarkan semacam kepandaian padamu,
tanggung di dalam 10 hari saja pasti dapat mengalahkan Pek
Ban-kiam itu." "Huh ngaco-belo! Sedangkan aku saja tidak mampu
mengajarkan dia secepat itu, masakah kau si budak cilik ini
mampu?" omel Ting Put-sam. Begitulah kakek dan cucu itu
terus bertengkar mulut, padahal di dalam hati si Ting Tong
sangat gelisah dan sedih, ia tidak tahu cara bagaimana supaya
bisa membujuk sang kakek agar tidak jadi membunuh Ciok
Boh-thian. Ia kenal watak kakeknya yang aneh, biar memohon
dengan sangat juga tiada gunanya, jalan satu-satunya harus
mencari suatu akal yang licin sehingga orang tua itu mau
menarik kembali keputusan secara sukarela. Pikir Ting Tong,
"Kalau aku tidak memasak baginya, bila sudah lapar terpaksa
dia akan menyuruh perahu ini berlabuh dan mendarat untuk
membeli makanan, kesempatan itu akan dapat digunakan oleh
Engkoh Thian untuk melarikan diri."
Tak tersangka ketika melihat Ting Put-sam bermuka masam
dan menyatakan kelaparan, Ciok Boh-thian yang merasa
dirinya juga sudah lapar dengan tiba-tiba ia terus berbangkit
dan berkata, "Biarlah aku menanakkan nasi bagimu?"
Dasar anak muda ini memang seorang berhati polos, ternyata
sama sekali ia tidak paham maksud tujuannya Ting Tong.
Keruan anak dara itu menjadi gusar, serunya, "Kau baru saja
terluka, kalau bekerja sehingga membikin lukamu tambah
parah, lantas bagaimana?"
"Obat luka keluarga Ting kita adalah obat mujarab, sekali
dibubuhkan lantas sembuh, pula lukanya tidak berat, kenapa
mesti khawatir?" demikian kata Ting Put-sam. "Ya, anak baik,
lekas pergi menanak nasi untuk kakek."


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia menanak nasi untukmu, lalu kau masih akan
membunuhnya atau tidak?" tanya Ting Tong.
"Menanak nasi adalah menanak nasi, membunuh orang tetap
membunuh orang, kedua hal yang berlainan mana boleh
dicampuradukkan?" sahut Ting Put-sam. Nyata ia tetap
bertekad harus membunuh Ciok Boh-thian menurut batas
waktu yang telah ditetapkan.
Waktu Boh-thian meraba dadanya sendiri, ternyata tidak terlalu
sakit lagi. Segera ia menuju ke buritan perahu untuk mencuci
beras dan menanak nasi. Ia melihat seorang tukang perahu tua
sedang memegang kemudi dan duduk di buritan, terhadap
pembicaraan mereka bertiga tadi seperti tidak ambil pusing
sama sekali. Dalam hal menanak nasi dan memasak daharan enak adalah
kepandaian khas Boh-thian, maka dalam waktu yang tidak
terlalu lama ia sudah selesai menanak sebakul nasi yang
hangat-hangat, dan sekejap juga sudah selesai menggoreng
dua ekor ikan yang berbau sedap.
Sambil makan Ting Put-sam sambil memuji, katanya, "Jika
kepandaian ilmu silatmu ada setengahnya kepandaian
memasak seperti ini tentulah kakek tidak akan membunuh kau.
Tapi sayang, sungguh sayang. Coba kalau tempo hari kau tidak
menikah dengan A Tong, tapi hanya menjadi kokiku saja,
jangankan membunuh kau, andaikan orang lain yang akan
membunuh kau juga kakek akan membela kau malah."
Dalam pada itu si Ting Tong telah mengisi semangkuk nasi dan
mengambil setengah ekor ikan goreng dan dibawa ke buritan
untuk si tukang perahu. Selesai makan, Boh-thian dan Ting Tong bersama-sama
mencuci mangkuk dan piring di buritan perahu. Melihat sang
kakek duduk di haluan perahu, dengan suara berbisik Ting
Tong lantas berkata, "Sebentar aku akan mengajarkan sejurus
Kim-na-jiu-hoat (ilmu menangkap dan memegang) padamu,
hendaklah kau mempelajarinya dengan baik-baik."
"Sesudah mempelajarinya apakah akan digunakan untuk
bertanding dengan Pek-suhu itu?" tanya Boh-thian.
"Ai, apakah engkau benar-benar-orang sinting" O, Engkoh
Thian, dahulu ... dahulu engkau toh tidak seperti ini," kata Ting
Tong. "Dahulu bagaimana keadaanku?" tanya Boh-thian. Muka Ting
Tong menjadi bersemu merah, sahutnya kemudian, "Dahulu
bila kau bertemu dengan aku, mulutmu sungguh lebih manis
daripada madu, kau banyak bergurau sehingga membikin
hatiku alangkah senangnya. Apa yang kau katakan selalu di
luar dugaan dan sangat mencocoki seleraku. Tapi sekarang ...
sekarang engkau telah berubah."
"Ya, memangnya aku bukan kau punya Engkoh Thian itu,"
sahut Boh-thian dengan menghela napas. "Dia pandai
membikin senang hatimu, tapi aku tidak dapat. Maka ada lebih
baik kau mencari dia saja."
"O, Engkoh Thian, apakah kau marah padaku?" tanya si anak
dara dengan suara setengah meratap.
"Aku mana bisa marah, aku hanya bicara dengan
sesungguhnya padamu, tapi kau selalu tidak mau percaya,"
ujar Boh-thian sambil menggeleng.
Sambil memandang air sungai yang membanjir lewat di sisi
perahu, Ting Tong menggumam sendiri, "Ai, entah kapan
barulah dia akan pulih kembali seperti dahulu kala."
Ia termenung-menung sejenak sehingga tanpa terasa sebuah
mangkuk yang dipegangnya itu kecemplung ke dalam sungai
dan hanyut ke dalam arus.
"Ting-ting Tong-tong betapa pun aku tak dapat berubah
menjadi kau punya Engkoh Thian itu, apabila aku selamanya
sin ... sinting seperti ini, maka selamanya pula kau takkan suka
padaku bukan?" "Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!" jerit Ting Tong dengan suara
tertahan, pedih hatinya seperti disayat-sayat. Saking kesalnya
tiba-tiba ia pegang sebuah mangkuk dan dilemparkan pula ke
dalam sungai, dan begitu pula berturut-turut diulangi sampai
dua-tiga kali. "Apabila mulutku pandai bicara dan dapat mencerocos terus
untuk menyenangkan dirimu, maka aku pun suka untuk
berbuat demikian bagimu," kata Boh-thian. "Namun aku be ...
benar-benar bukanlah kau punya Engkoh Thian itu, biar
bagaimanapun juga aku tidak dapat menirukan dia."
A Tong coba mengamat-amati pemuda itu, tatkala mana sang
surya baru saja muncul di ufuk timur sehingga muka Ciok Bohthian
kelihatan terang kemerah-merahan, kedua matanya
bersinar tajam, air mukanya tampak bersikap sangat tulus dan
jujur. Kembali Ting Tong menghela napas, lalu katanya, "Jikalau
engkau bukanlah aku punya Engkoh Thian, mengapa di
pundakmu terdapat bekas luka gigitanku" Mengapa engkau
juga mempunyai sifat bangor yang sama, suka menggoda
wanita dan mempermainkan nona Hoa dari Swat-san-pay itu"
Bila engkau adalah aku punya Engkoh Thian, mengapa
mendadak kau berubah menjadi angin-anginan seperti orang
hilang ingatan, sama sekali kau tidak menarik dan romantis
lagi seperti dahulu?"
"Aku adalah suamimu, bukankah ada lebih baik aku berlaku
jujur dan setia padamu?" ujar Boh-thian dengan tertawa.
"Tidak, aku lebih suka engkau selincah dan senakal dahulu,
apakah kau akan menggoda anak perawan orang lain atau
akan mencolong istri orang, pendek kata aku tidak suka kau
berlaku sekaku demikian," kata Ting Tong.
"Mencolong istri orang" Ha, mana boleh jadi" Kalau aku
mencuri istri orang lain, kan orang akan kehilangan istri?" ujar
Boh-thian. Ting Tong menjadi kurang senang, ia pikir makin diajak bicara
makin ruwet, dasar goblok. Saking gemasnya mendadak ia
menjewer kuping Ciok Boh-thian terus dipelintir sekuatnya,
sampai-sampai pangkal telinga itu berdarah.
Keruan Boh-thian meringis kesakitan dan tanpa pikir
menyampuk dengan tangannya.
Seketika Ting Tong merasa lengannya diketuk oleh suatu
tenaga yang mahakuat, tanpa kuasa tangannya lantas terlepas,
bahkan tubuhnya sampai tersentak ke belakang dan hampirhampir
mematahkan tiang layar yang ditumbuknya. Ia menjerit
kaget dan memaki, "Setan, apa kau hendak mengajar istrimu"
Kenapa pakai tenaga begitu besar?"
"Ai, maaf, maaf, aku ... aku tidak sengaja," sahut Boh-thian
cepat. Waktu Ting Tong periksa lengan sendiri, ternyata sudah
matang biru di tempat yang tersampuk itu. Tiba-tiba wajahnya
yang uring-uringan tadi berubah menjadi girang, ia memegang
kedua tangan Ciok Boh-thian dan digoyang-goyangkan,
katanya, "Engkoh Thian, kiranya kau memang sengaja purapura
saja untuk menipu aku."
"Pura-pura apa?" sahut Boh-thian dengan bingung.
"Ilmu silatmu kan sama sekali tidak berkurang?" Ting Tong
menegas. "Aku ... aku tidak paham ilmu silat apa segala," sahut Bohthian.
Ting Tong menjadi marah lagi, omelnya, "Kau sengaja ngacobelo
lagi, lihatlah kalau aku mau gubris padamu."
Habis berkata, segera ia hendak menampar pipi kiri Boh-thian.
Cepat Boh-thian mengegos dan hendak menangkis. Tapi ilmu
pukulan si Ting Tong adalah sedemikian cepatnya, dengan
sendirinya tangkisan Boh-thian itu mengenai tempat kosong,
tahu-tahu pipinya terasa kesakitan, secara tidak bersuara
sudah kena dipukul oleh Ting Tong.
Kembali Ting Tong menjerit kaget, bahkan mengandung rasa
khawatir yang melebihi tadi. Kiranya ia menyangka ilmu silat
Ciok Boh-thian belum punah dan dengan sendirinya akan dapat
menghindarkan tamparannya itu dengan gampang, sebab
itulah pukulannya itu telah menggunakan tenaga lunak yang
berbisa dingin. Maklum, setiap pukulan kalau tidak membawa
tenaga dalam tentu akan kurang cepat dan gesit. Siapa duga
cara menangkis Ciok Boh-thian ternyata sedemikian lamban
dan bodoh, seakan-akan seorang yang sama sekali tidak
paham ilmu silat, keruan tamparannya dengan tepat lantas
mengenai pipinya. Sambil memegangi tangan sendiri yang digunakan menampar
itu, Ting Tong melihat di pipi kiri Boh-thian sudah terdapat cap
tangan berwarna hitam dan gosong melekuk. Ia menjadi
menyesal dan malu pula, ia merangkul pinggang Boh-thian dan
menempelkan pipi sendiri ke pipi anak muda itu, katanya
sambil menangis, "O, Engkoh Thian, sungguh aku tidak tahu
bahwa sebenarnya keadaanmu belum pulih kembali
seluruhnya." Ada wanita cantik di dalam pelukan, Ciok Boh-thian menjadi
lupa kepada pipinya yang sakit, katanya dengan menghela
napas, "Ting-ting Tong-tong, sebenarnya apa sebabnya kau
sebentar senang dan sebentar marah" Sungguh aku tidak
paham." "O, bagai ... bagaimana baiknya" Bagaimana baiknya?" kata
Ting Tong. Segera ia melepaskan diri dari pelukan Boh-thian, ia
mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dan menuang sebutir
obat pil serta suruh Boh-thian meminumnya, katanya, "Semoga
takkan meninggalkan bekas di atas pipimu itu."
Begitulah kedua muda-mudi itu duduk saling bersandar di
buritan perahu, untuk sesaat keduanya sama-sama diam saja.
Selang agak lama, tiba-tiba Ting Tong membisiki Boh-thian,
"Engkoh Thian, sesudah kau menderita sakit keras, rupanya
ilmu silatmu telah kau lupakan semua, tapi tenaga dalamnya
tidaklah terlupa. Biarlah aku mengajarkan ilmu Kim-na-jiu-hoat
itu padamu." "Jika kau mau mengajar padaku, tentu aku akan
mempelajarinya," sahut Boh-thian.
Dengan jarinya yang halus lentik perlahan-lahan Ting Tong
meraba lekuk cap tangan bekas tamparannya tadi di pipi anak
muda itu, sungguh rasa menyesalnya tak terhingga. Mendadak
ia mencium sekali pipi Boh-thian di tempat cap tangan itu.
Seketika kedua muda-mudi sama-sama merah jengah. Untuk
menutupi perasaan malunya, cepat Ting Tong berdiri, ia
membetulkan rambutnya, lalu memainkan ke-18 jurus Kim-najiu-
hoat dan diikuti oleh Boh-thian dengan cermat. Selesai ia
memain, lalu Boh-thian disuruhnya bergebrak dengan dia.
Dasar bakat Boh-thian memang amat tinggi, otaknya juga
cerdas, hanya satu kali diberi contoh saja ia sudah ingat
dengan baik. Dengan cepat tiga hari telah lalu, sementara itu ke-18 jurus
Kim-na-jiu-hoat itu sudah terlatih sangat hafal oleh Ciok Bohthian.
Meski Kim-na-jiu-hoat itu hanya meliputi 18 jurus saja,
tapi tiap-tiap jurus di antaranya membawa perubahan yang tak
terbatas, ada yang belasan macam, ada yang membawa
berpuluh macam perubahan ikutan, semuanya sangat ruwet
dan bagus. Di dalam tiga hari sementara luka di dada Boh-thian sudah
hampir sembuh seluruhnya, maka sepanjang hari dia hanya
mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari ilmu Kim-na-jiuhoat
menurut ajaran si Ting Tong.
Ting Put-sam hanya menyaksikan kelakuan kedua muda-mudi
itu dengan acuh tak acuh, terkadang ia pun suka mengejek dan
menyindir. Perahu mereka yang berlayar ke hulu itu perlahan-lahan telah
sampai di tempat yang sunyi dan jauh dari rumah penduduk.
Melihat kemajuan Ciok Boh-thian yang sangat pesat itu, diamdiam
si Ting Tong sangat senang. Suatu kali waktu mendengar
kakeknya mengejek Boh-thian sebagai orang sinting lagi,
kontan ia lantas berkata, "Yaya, ke-18 jurus Kim-na-jiu-hoat
keluarga Ting kita ini kalau disuruh belajar seorang sinting
harus makan waktu berapa lamanya untuk bisa dipahami
benar-benar?" Ting Put-sam menjadi bungkam dan tak bisa menjawab. Ia
menyaksikan sendiri Ciok Boh-thian telah dapat mempelajari
Kim-na-jiu-hoat itu dengan baik, jika demikian sesungguhnya
anak muda ini bukan seorang tolol, apalagi sinting. Tapi
mengapa kelakuannya dan kata-katanya seperti orang miring"
Apakah dia pura-pura saja, memang benar telah melupakan
segala kejadian di masa lampau lantaran sakit keras yang
pernah dideritanya" Dasar watak Ting Put-sam memang kukuh dan tidak mau
kalah, terhadap cucu perempuannya itu ia pun tidak mau kalah
berdebat, segera ia menjawab secara pokrol bambu, "Ada juga
orang sinting yang pintar, ada pula orang sinting yang goblok,
orang sinting yang pintar sudah tentu akan cepat dan hanya
setengah hari saja sudah paham diberi ajaran sesuatu, kalau
orang sinting yang tolol adalah seperti suamimu itu, harus tiga
hari baru bisa." "Yaya, dahulu waktu engkau mempelajari Kim-na-jiu-hoat
keluarga kita ini memerlukan waktu beberapa hari?" tanya Ting
Tong sambil tertawa. "Masakah aku perlu belajar sampai beberapa hari" Dahulu
moyangmu hanya mengajarkan satu kali saja padaku, tidak
sampai setengah hari juga Yaya lantas paham seluruhnya,"
sahut Ting Put-sam. "Haha, jika demikian, kiranya Yaya adalah seorang sinting yang
pintar," kata Ting Tong dengan tertawa.
Karena terpegang kelemahan ucapannya tadi, dari malu Ting
Put-sam menjadi gusar, dengan mendelik ia membentak, "Hus,
budak setan, omong tak keruan!"
Pada saat itulah tiba-tiba ada sebuah perahu sedang mengejar
tiba dari sungai sana. Perahu itu memasang layar, dikayuh
empat orang pula, badan perahu kecil, meluncurnya menjadi
enteng dan cepat, maka makin lama makin mendekati perahu
yang ditumpangi Ting Put-sam ini.
Di hulu perahu itu tampak berdiri dua orang lelaki, seorang di
antaranya sedang berteriak, "Hai, bocah she Ciok itu apakah
berada di dalam perahu di depan itu" Lekas berhenti! Lekas
berhenti!" Ting Tong hanya mendengus sekali saja, katanya, "Yaya,
rupanya orang Swat-san-pay sedang mencari Engkoh Thian
pula." "Itulah paling baik," sahut Ting Put-sam dengan senang.
"Biarkan si sinting ini ditangkap mereka untuk dicincang,
dengan demikian barulah terkabul cita-cita kakek."
"Yang akan ditangkap si sinting yang pintar atau si sinting yang
tolol?" tanya Ting Tong.
"Sudah tentu si sinting yang tolol yang akan ditangkap, siapa


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sih yang berani menangkap si sinting yang pintar," sahut Ting
Put-sam. "Ya, memang ilmu silat si sinting yang pintar ini sedemikian
lihainya, siapa yang berani mengganggu seujung rambutnya?"
ujar Ting Tong dengan tersenyum.
Ting Put-sam tertegun, segera ia sadar ucapannya yang kasar
tadi, bentaknya dengan gusar, "Budak alas, kau berani putar
kayun dan memaki kakekmu?"
Tengah bicara, sementara itu perahu kecil tadi sudah makin
mendekat. Ting Put-sam dan Ting Tong duduk di dalam
hanggar perahu, dengan tenang mereka mengikuti apa yang
akan terjadi. Maka terdengarlah kedua lelaki yang berdiri di haluan perahu
sana sedang membentak dengan marah-marah, "Hai, orang
itu, tampaknya kau adalah bocah dari she Ciok dari Tiang-lokpang
itu, mengapa kau tidak lekas menghentikan perahumu?"
Boh-thian menjadi gugup, serunya kepada si Ting Tong, "He,
Ting-ting Tong-tong, ada orang mengejar tiba, kau bilang apa
yang harus kulakukan?"
"Dari mana aku tahu apa yang harus kau lakukan" Kau seorang
laki-laki dewasa, masakah sedikit pun tidak dapat mengambil
sesuatu keputusan?" sahut Ting Tong.
Pada saat itulah perahu kecil tadi sudah berada kira-kira dua
meter jauhnya, sambil menggertak kedua lelaki itu lantas
melompat ke buritan perahu yang ditumpangi Ciok Boh-thian,
kedua orang sama-sama menghunus pedang.
Boh-thian mengenali kedua orang itu adalah murid-murid
Swat-san-pay yang pernah dilihatnya di dalam kelenteng
tempo hari itu. Pikirnya, "Entah apa kesalahanku, mengapa
orang-orang Swat-san-pay ini selalu mengincar diriku saja, ke
mana aku pergi selalu diuber-uber?"
Bab 18. Pertama Kali Melukai Orang, Menyesalnya Tak
Terhingga Dalam pada itu, "sret" pedang salah seorang lelaki Swat-sanpay
menusuk ke bahunya. Dalam beberapa hari ini Boh-thian terus-menerus berlatih
dengan si Ting Tong, kadang-kadang kalau dia bergerak sedikit
lambat tentu kena ditempeleng atau disikut oleh anak dara itu,
sudah banyak pahit getir yang telah dirasakan maka gerakgeriknya
sekarang sudah jauh lebih cepat dan gesit daripada
waktu bertanding melawan Ciok Jing suami-istri di dalam
kelenteng tempo hari. Ketika melihat serangan musuh tiba,
tanpa pikir lagi ia lantas menggunakan jurus kedelapan dari
Kim-na-jiu-hoat yang disebut "Hong-bwe-jiu" (tangkapan ekor
angin), tangan kanan memutar ke atas, orangnya mendesak
maju, kontan pergelangan tangan lawan dipegang terus
dipuntir. Waktu orang itu menjerit kesakitan dan melepaskan
senjatanya, berbareng Ciok Boh-thian lantas mengangkat
sikutnya, "plok", tepat janggut orang itu kena disikut, tanpa
ampun lagi janggut orang itu pecah, darah bercucuran dan gigi
rontok belasan biji, semuanya termuntah di geladak perahu.
Sama sekali Boh-thian tidak menduga bahwa jurus "Hong-bwejiu"
itu akan membawa hasil yang sedemikian lihainya, ia
menjadi terlongong-longong sendiri dengan hati berdebardebar.
Orang Swat-san-pay yang kedua mestinya hendak maju
membantu sang kawan untuk mengeroyok Ciok Boh-thian, tapi
hanya dalam sekejap saja dilihatnya sang Suheng yang
menyerang lebih dulu itu sudah terluka parah, padahal ilmu
silat Suhengnya jauh lebih tinggi daripadanya, andaikan ia ikut
maju juga pasti akan mengalami nasib yang sama, terpaksa ia
tidak berani main garang lagi, paling penting menolong sang
Suheng lebih dulu, segera ia melompat maju dan memondong
sang Suheng. Saat itu kebetulan perahunya yang kecil itu sedang meluncur
sejajar dengan perahu besar yang ditumpangi Ciok Boh-thian,
sambil membawa Suhengnya yang terluka segera ia melompat
kembali ke perahunya sendiri dan memerintahkan tukang
perahu menurunkan layar dan membelokkan haluan, maka
dalam sekejap saja kedua kendaraan air itu sudah berpisah
jauh, perahu kecil itu telah meluncur kembali ke hilir.
Ciok Boh-thian masih terkesiap dan merasa menyesal sambil
memandangi belasan biji gigi dan darah yang berceceran di
geladak kapalnya. Dalam pada itu Ting Tong telah keluar dari hanggar perahu dan
mendekati anak muda itu, katanya dengan tersenyum, "Engkoh
Thian, jurus "Hong-bwe-jiu" yang kau mainkan barusan
sungguh sangat bagus dan tepat."
"Ai, mengapa sebelumnya kau tidak menerangkan padaku
bahwa jurus ini sedemikian hebatnya bila mengenai lawan,
tahu begini tentu aku tidak mau mempelajarinya," sahut Bohthian
sambil menggeleng-geleng.
Perasaan Ting Tong menjadi sedih pula, ia pikir penyakit si
sinting ini kembali kumat lagi, bicaranya telah melantur tak
keruan. Katanya kemudian, "Jika sudah belajar ilmu silat,
sudah tentu lebih lihai akan lebih baik. Coba kalau tadi jurus
Hong-bwe-jiu yang aku mainkan itu tidak bagus dan tepat,
tentu bahumu sendiri sekarang sudah tertembus oleh
pedangnya. Pendek kata dalam hal ilmu silat hanya ada dua
pilihan, melukai orang atau dilukai orang. Nah, coba kau ingin
pilih yang mana" Padahal hanya membikin rontok belasan biji
gigi juga cuma luka yang ringan saja, pertarungan di dunia
persilatan setiap saat ada kemungkinan jiwa akan terancam.
Kau memang berhati nurani baik, sebaliknya pihak lawan
berhati jahat, jika kau tadi sudah terbunuh, biarpun hatimu
lebih baik seratus kali juga tidak guna."
Boh-thian termangu-mangu tak bicara, akhirnya ia
menggumam, "Paling baik kalau kau mengajarkan semacam
kepandaian padaku, kepandaian yang tidak dapat melukai atau
membunuh orang, sebaliknya juga tidak mungkin dapat dilukai
atau dibunuh orang. Dengan demikian kepada siapa pun kita
akan berkawan saja dan takkan bermusuhan."
"Omong kosong, ngaco-belo belaka," sahut Ting Tong dengan
tersenyum getir. "Setiap orang yang belajar silat, sekali sudah
bergebrak tentu berarti mengadu jiwa. Memangnya kau sangka
cuma permainan anak kecil saja?"
"Aku lebih suka permainan anak kecil daripada berkelahi dan
mengadu jiwa," ujar Boh-thian.
"Dasar orang linglung, sialan bagi mereka yang bicara dengan
kau," omel Ting Tong dengan mendongkol. Saking jengkelnya
ia tidak gubris lagi pada anak muda itu, ia masuk ke dalam
hanggar perahu dan merebahkan diri.
"Nah, apa kataku" Betul tidak buktinya" Sekali sinting tetap
sinting. Ilmu silatnya tinggi tetap seorang sinting, ilmu silatnya
jelek juga tetap sinting. Bukankah lebih baik dibunuh saja
daripada membikin mangkel belaka," demikian Ting Put-sam
membubui. Diam-diam Ting Tong bergerak juga perasaannya, ia merasa
bila Engkoh Thian itu selalu linglung begini, cara bagaimana
dirinya dapat hidup didampingnya selama hidup ini" Daripada
tersiksa lahir batin, memang ada lebih baik dibunuh saja
seperti anjuran kakek dan segala urusan menjadi beres.
Tapi segera terpikir pula olehnya pada masa sebelum Engkoh
Thian jatuh sakit, tatkala mana entah betapa banyak katanya
yang menarik dan manis sebagai madu, biarpun tak berkata
apa-apa, asal dia memandang sekejap saja pada dirinya, maka
rasanya pandangan itu pun penuh mengandung kata-kata yang
merayu kalbu dan memabukkan.
Siapa duga sesudah berpisah, kekasih yang dirindukan itu
lantas jatuh sakit, kekasih yang pintar dan ganteng itu lantas
berubah menjadi seorang linglung dan ketololan sebagai
tonggak kayu. Makin dipikir makin kesal sehingga air matanya
bercucuran, akhirnya ia membenamkan kepalanya ke dalam
selimut dan menangis sesenggukan.
"Apa gunanya menangis" Dengan menangis toh takkan dapat
mengubah seorang tolol menjadi pintar," jengek Ting Put-sam.
"Kalau aku mengubah seorang sinting yang tolol menjadi
seorang sinting yang pintar, boleh tidak?" sahut Ting Tong
dengan sengit. "Ngaco-belo lagi!" semprot Ting Put-sam.
Ting Tong masih terus menangis, pikirnya, "Kalau melihat sikap
dan tutur kata nona Hoa dari Swat-san-pay itu, tampaknya dia
toh belum diganggu oleh Engkoh Thian, jika demikian, sifat
kebangoran Engkoh Thian terhadap kaum wanita sekarang
sudah berubah, terang dia tidak mirip seorang laki-laki sejati
pula. Bila aku menikah dengan seorang suami yang kaku dan
tolol sedemikian, lalu apakah aku bisa hidup bahagia?"
Begitulah ia terus menangis sampai setengah harian, terpikir
olehnya dirinya secara resmi sudah menjadi istri orang, selama
beberapa hari ini mereka selalu bergaul dengan rapat, di waktu
tidur mereka pun selalu berdampingan, tapi jangankan hidup
layak sebagai suami-istri, sedangkan mencium saja, bahkan
memegang tangan atau kakinya saja tidak pernah dilakukan
pemuda itu. Hidup sedemikian masakah mirip suami-istri yang
baru saja kawin" Dalam pada itu terdengar suara mendengkur Ciok Boh-thian
yang lelap di buritan perahu, pemuda itu sedang bermimpi di
alamnya sendiri, seketika Ting Tong menjadi naik darah, diamdiam
ia mengeluarkan goloknya, pikirnya dengan mengertak
gigi, "Suami yang tolol sebagai tonggak kayu demikian apa
gunanya dibiarkan hidup di dunia ini?"
Segera ia bangun dan menuju ke buritan perahu, terdengar
suara mendengkur si tukang perahu yang keras, Ciok Bohthian
yang tidur tidak di sebelah tukang perahu itu ternyata
tidak berasa sama sekali, diam-diam Ting Tong mendongkol,
katanya di dalam hati, "Engkoh Thian, kau sendirilah yang
telah berubah dan jangan salahkan aku berlaku kejam."
Ia angkat goloknya dan hendak membacok ke leher pemuda
itu. Tapi mendadak hatinya menjadi lemas, ia tertegun
sejenak, kemudian ia berjongkok dan perlahan-lahan menarik
pundak Ciok Boh-thian dengan maksud memandangnya untuk
penghabisan kalinya sebelum ajal pemuda itu.
Ketika Boh-thian membalik tubuh, di bawah sinar bulan yang
remang-remang tertampak mukanya bersenyum simpul, entah
impian manis apa yang sedang dialaminya. Kata Ting Tong di
dalam hati, "Sebentar lagi kau akan mati, biarkan kau
menyelesaikan impianmu dahulu barulah akan kubunuh kau,
toh hanya dalam waktu tidak lama lagi kita akan berpisah
untuk selamanya." Maka Ting Tong lantas duduk menunggu di samping Ciok Bohthian,
ia pandang muka pemuda itu, asal senyuman yang
tersimpul di muka pemuda itu sudah lenyap, segera goloknya
akan membacok. Selang sejenak, tiba-tiba terdengar Ciok Boh-thian berkata
dalam keadaan tak sadar, "He, Ting-ting Ting-tong, sebab ...
sebab apakah kau marah" Tapi ... tapi di waktu marah kau
menjadi ... menjadi lebih-lebih cantik, ya, lebih cantik, biarkan
aku memandang kau selama seratus hari seratus malam juga
tidak cukup rasanya, bahkan seribu hari, selaksa hari, sejuta
juga ... juga tidak cukup ...."
Dengan tenang Ting Tong mendengarkan igauan Ciok Bohthian,
pikirannya menjadi terombang-ambing, katanya di dalam
hati, "O, Engkoh Thian, kiranya di dalam mimpi kau selalu
terkenang padaku. Ucapanmu yang enak didengar ini jika kau
katakan padaku di waktu siang bukankah sangat baik" Ai,
semoga penyakitmu yang linglung ini pada suatu hari akan
lenyap, pikiran sehatmu akan pulih kembali dan dapat
mengucapkan kata-kata manis seperti ini kepadaku."
Tertampak olehnya papan perahu di sebelahnya agak basah
terkena air embun, baju yang dipakai Ciok Boh-thian agak tipis,
seketika timbul rasa kasih sayang si Ting Tong, segera ia ambil
sehelai selimut dan perlahan-perlahan diselimutkan ke atas
badan pemuda itu. Untuk sekian lamanya ia termangu-mangu
pula memandangi muka sang suami, habis itu barulah dia
masuk kembali ke dalam kamar perahu.
Tiba-tiba terdengar Ting Put-sam mengomel, "Tengah malam
buta di dalam perahu ini ada seekor tikus kecil yang
gentayangan kian kemari, sudah kecil nyalinya, mau turun
tangan tidak berani lagi, huh, tiada berguna!"
Ting Tong tahu kelakuannya tadi telah diketahui semua oleh
sang kakek, tapi karena dia sedang senang hatinya, maka
sindiran orang tua itu sama sekali tak diambil pusing olehnya.
Di dalam hatinya hanya teringat ucapan Ciok Boh-thian tadi
yang menyatakan, "Di waktu marah kau menjadi lebih-lebih
cantik, biarpun kupandang selama sejuta hari juga tidak
cukup." Mendadak Ting Tong tertawa sendiri, katanya dalam hati,
"Engkoh Thian ini memang linglung, sampai di waktu mimpi
juga tidak keruan ucapannya. Andaikan manusia dapat hidup
seratus tahun juga cuma ada 36 laksa hari, dari mana bisa
mencapai sejuta hari lamanya?"
Begitulah si Ting Tong telah sibuk semalam suntuk dengan
sebentar senang dan sebentar sedih, sampai menjelang pagi
barulah dia dapat terpulas.
Tapi tidak lama ia sudah terjaga bangun lagi oleh suara ribut
Ciok Boh-thian, terdengar pemuda itu sedang berteriak-teriak
di belakang, "He, sungguh aneh ini! Oi, Ting-ting Tong-tong,
mengapa tadi malam selimutmu bisa lari sendiri ke atas
badanku" Apa barangkali selimutmu punya kaki?"
Ting Tong menjadi malu, cepat ia melompat bangun dan
memburu ke buritan perahu, terdengar Ciok Boh-thian sedang
berkata pula sambil memegangi selimutnya, "Ting-ting Tongtong,
coba lihat, aneh atau tidak" Selimut ini ...."
Sebelum pemuda itu selesai berkata si Ting Tong sudah lantas
merebut kembali selimut itu sambil membentak dengan suara
tertahan, "Hus, omong yang bukan-bukan, selimut berkaki
kenapa mesti diherankan dan digegerkan?"
"Ada selimut berkaki kau bilang tidak mengherankan" Di
manakah letak kakinya selimut?" Boh-thian menegas.
Sekilas Ting Tong melihat si tukang perahu yang sudah tua itu
dengan tersenyum-tak-senyum sedang melirik kepada dirinya
sambil mendayung, Ting Tong menjadi merah jengah mukanya,
omelnya kepada Ciok Boh-thian, "Mengoceh tak keruan!"
Berbareng ia terus hendak menjewer kuping pemuda itu.
Tapi tangan kanan Boh-thian lantas menangkis, secara
otomatis ia mengeluarkan sejurus Kim-na-jiu-hoat untuk
membela. Waktu Ting Tong menggunakan tangan lain hendak
mencengkeram iga Boh-thian, segera Boh-thian menggunakan
siku kiri untuk menahan serangan, berbareng tangan lain


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digunakan untuk balas mencengkeram pundak si nona.
Begitulah dalam sekejap saja kedua muda-mudi itu telah
bergebrak sampai belasan jurus. Makin lama makin cepat
serangan si Ting Tong, tapi Ciok Boh-thian juga melayani
dengan penuh perhatian, sedikit pun tidak ayal.
Sampai jurus ke-45, Ting Tong telah menggunakan gerakan
"Liong-hing-jiau" (cakar naga melayang) untuk mencengkeram
kepala Ciok Boh-thian, tapi pemuda itu sempat menangkis
dengan cepat luar biasa, rupanya Ting Tong tidak keburu
menarik kembali tangannya sehingga Hiat-to bagian
pergelangan tangan kena tersabet oleh jari Boh-thian, seketika
lengannya terasa kaku pegal, suatu arus tenaga hangat terasa
menyalur dari lengannya terus ke pinggang, lalu dari pinggang
mengalir ke kaki. Karena tak bisa berdiri tegak lagi, Ting Tong
jatuh terkulai dan kebetulan jatuh di atas selimutnya.
Tiba-tiba timbul kejahilan Boh-thian yang bersifat kekanakkanakan,
segera ia membungkus si Ting Tong dengan selimut
itu, lalu diangkatnya, katanya dengan tertawa, "Hayo, kenapa
kau menjewer kupingku" Biar kulemparkan kau ke dalam
sungai untuk umpan ikan."
Walaupun berpisah oleh sehelai selimut, tapi seluruh badan si
Ting Tong menjadi lemas lunglai di dalam pondongan si anak
muda, dengan malu dan girang ia menjawab, "Kau berani?"
"Mengapa tidak berani?" kata Boh-thian dengan tertawa. Lalu
ia bergerak pura-pura hendak melemparkan si Ting Tong ke
sungai. Tapi segera ia melemparkan tubuh si nona yang
terbungkus selimut itu dengan perlahan ke dalam hanggar
perahu. Dengan cepat Ting Tong menerobos keluar dari bungkusan
selimut, lalu berlari ke buritan perahu lagi. Khawatir kalau
diserang pula, cepat Boh-thian mundur selangkah sambil
pasang kuda-kuda dan siap bertempur.
"Sudahlah, tak mau main lagi," kata Ting Tong dengan tertawa.
"Melihat lagakmu ini lebih mirip seorang dusun, sedikit pun
tidak memperlihatkan gaya sebagai seorang jago di dalam
dunia persilatan." "Memangnya aku bukan jagoan dalam dunia persilatan," sahut
Boh-thian dengan tertawa.
"Kionghi, Kionghi, Kim-na-jiu-hoat yang kau pelajari ini
sekarang sudah terlatih dengan sangat bagus, bahkan lebih
lihai daripadaku, si murid telah melebihi sang guru," kata Ting
Tong. Tiba-tiba terdengar Ting Put-sam berkata dengan nada
mengejek di dalam hanggar perahu, "Tapi untuk bertanding
dengan jago Swat-san-pay yang bernama Pek Ban-kiam itu,
hah, selisihnya paling sedikit masih tiga pal jauhnya."
"Yaya," kata Ting Tong, "sedemikian cepat majunya cara dia
belajar, asal Yaya mau mengajar setahun atau setengah tahun
padanya, biarpun nanti bukan jago yang tiada tandingannya di
jagat ini, tapi paling sedikit juga dia takkan membikin malu
sebagai cucu menantumu."
"Tidak, apa yang telah diucapkan Ting Put-sam apakah pernah
ditarik kembali atau diubah?" sahut sang kakek. "Pertama aku
sudah menyatakan, bila dia ingin ambil kau sebagai istri, maka
selamanya jangan mengharap belajar ilmu silatku. Kedua, aku
memberi waktu sepuluh hari padanya untuk mengalahkan Pek
Ban-kiam, aku toh tidak mengatakan setahun atau setengah
tahun. Padahal lewat lima hari lagi jiwanya juga bakal
melayang, tiada gunanya bicara melantur-lantur lagi."
Ting Tong merasa ngeri membayangkan apa yang dikatakan
sang kakek itu selamanya pasti dilakukan. Kalau kemarin ia
bermaksud membunuh Ciok Boh-thian dengan tangan sendiri,
tapi sekarang ia benar-benar keberatan kalau Engkoh Thian
yang dikasihi itu terbinasa di tangan sang kakek. Ia menjadi
bingung. Setelah dipikir bolak-balik, akhirnya Ting Tong mengambil
keputusan harus mencari jalan keluar melalui ke-13 jurus Kimna-
jiu-hoat yang telah dipahami Ciok Boh-thian. Maka dalam
beberapa hari ini, selain makan dan tidur, Ting Tong selalu
bergebrak dan berlatih dengan sang suami mengenai aneka
macam perubahan dari Kim-na-jiu-hoat itu. Sampai akhirnya
Boh-thian benar-benar sudah paham dan hafal, biarpun tidak
dengan tenaga dalam yang kuat juga sudah mampu serangmenyerang
dengan Ting Tong dengan sama sekuatnya.
Sampai pagi hari kedelapan, sesudah berdehem sekali, Ting
Put-sam telah berkata, "Awas, tinggal tiga hari saja."
"Yaya," kata Ting Tong, "kau suruh dia mengalahkan Pek BanKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
kiam, menurut pandanganku hal ini toh bukan sesuatu yang
sukar. Biarpun ilmu pedang Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay
itu cukup lihai, tapi juga masih bukan tandingan ilmu silat
keluarga Ting kita, Kim-na-jiu-hoat yang dilatih Engkoh Thian
ini sudah cukup masak, tenaga dalamnya bahkan sangat hebat,
melulu dengan bertangan kosong saja dia sudah dapat merebut
pedang dari tangannya Pek Ban-kiam. Kalau dia dapat merebut
senjata lawan dengan tangan kosong, hal ini dianggap
kemenangan atau tidak?"
"Huh, budak setan, bicara seenaknya saja," jengek Ting Putsam.
"Hanya dengan sedikit kepandaiannya ini dia mampu
merebut pedang dari tangannya Gi-han-se-pak yang tersohor
itu" Ha, lebih baik kau jangan mimpi di siang bolong. Sekalipun
kakekmu sendiri dengan bertangan kosong juga tidak mampu
merebut pedang dari tangannya Pek Ban-kiam."
Ting Tong menjadi uring-uringan, katanya, "Ke sana kemari toh
sama-sama akan mati, kalau berusaha merebut pedang orang
she Pek itu boleh jadi masih ada harapan akan berhasil
daripada mati konyol di tanganmu. Yaya, kau suruh dia
mengalahkan Pek Ban-kiam itu di dalam waktu sepuluh hari,
tapi kalau di dalam sepuluh hari orang she Pek itu tidak
diketemukan, ini kan bukan salahnya Engkoh Thian?"
"Sekali kukatakan sepuluh hari, maka tetap juga sepuluh hari,"
sahut Ting Put-sam. "Pendek kata orang she Pek itu pasti
berada di sungai ini, apakah akan dia ketemukan atau tidak
adalah bukan urusanku, singkatnya kalau di dalam sepuluh hari
dia tidak mengalahkan orang she Pek itu, maka bocah she Ciok
yang sinting inilah yang akan kubunuh."
"Sekarang waktunya tinggal tiga hari saja, ke mana harus
mencari orang she Pek itu?" ujar Ting Tong. "Ai, kau ... kau
benar-benar keterlaluan dan tidak pakai aturan."
"Kalau Ting Put-sam tidak keterlaluan kan bukan Ting Put-sam
lagi," sahut si orang tua. "Boleh kau coba cari tahu di kalangan
Kangouw apakah selama ini Ting Put-sam kenal kasihan dan
bicara tentang aturan?"
Ting Tong menjadi bungkam. Di dalam hari kedelapan dan
kesembilan ini dia hanya mengajarkan Boh-thian jurus-jurus
"Say-cu-bok-tho" (singa lapar terkam kelinci), "Jong-eng-liakkhe"
(elang menyambar anak ayam), "Jiu-kau-nah-lay" (di
mana tangan tiba lantas diambilnya), dan "Tam-kiu-ju-but"
(merogoh saku mengambil barang), keempat jurus ini adalah
khusus dipakai untuk merebut senjata yang lihai.
Pada hari kesembilan itu Ting Put-sam selalu melirik-lirik Ciok
Boh-thian dengan senyum mengejek dan mencemoohkan.
Ting Tong tahu sang kakek pasti akan membunuh Engkoh
Thian pada hari kesepuluh, pada waktu ini jangankan Ciok Bohthian
masih bukan tandingan Pek Ban-kiam, sekalipun ilmu
silatnya benar-benar dapat mengalahkan orang she Pek itu
juga susah mencari lawan di dalam waktu singkat di tengah
sungai yang luas itu. Lewat tengah hari, sesudah Ting Tong berlatih pula sebentar
dengan Ciok Boh-thian, tanpa merasa ia telah berkeringat, ia
telah mengambil saputangan dan mengusap keringat yang
membasahi hidung dan di atas bibirnya. Tiba-tiba ia menguap
kantuk. Katanya, "Sudah bulan kedelapan, hawa masih segerah
ini!" Kemudian ia duduk berjajar dengan Boh-thian di tepi perahu,
sambil menunjuk dua burung belibis yang sedang berenang di
tengah sungai sana ia berkata, "Engkoh Thian, coba lihat,
alangkah bebas dan bahagianya sepasang suami-istri itu
berenang kian kemari di dalam sungai. Kalau burung jantan itu
dipanah mati umpamanya, burung betina itu akan hidup
merana sebatang kara, bukanlah sangat kasihan?"
"Ya, dahulu aku sering berburu di pegunungan, di waktu
menangkap burung aku tidak pernah pikirkan apakah burung
itu jantan atau betina, jika demikian halnya, kelak aku hanya
memburu burung betina saja."
Ting Tong menghela napas dengan rasa gemas-gemas dongkol,
pikirnya, "Sungguh tolol Engkoh Thian ini."
Saat itu ia merasa lelah, ia bersandar di bahu Boh-thian sambil
pejamkan mata, lambat laun ia terpulas.
"Ting-ting Tong-tong, apakah kau sudah penat" Kupondong
kau ke dalam kamar perahu saja, ya?" kata Boh-thian.
"Tak mau, aku ingin tidur begini saja," sahut Ting Tong dengan
samar-samar. Boh-thian tidak berani membantah maksud si nona, terpaksa
membiarkannya tidur bersandar di bahunya. Terdengar
pernapasan anak dara itu makin lambat dan makin panjang,
tidurnya semakin nyenyak. Rambutnya yang panjang
bergosok-gosok di pipi kiri Boh-thian, anak muda itu merasa
geli dan nikmat tak terkatakan.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara seorang yang
sangat lembut sedang berkata padanya, "Aku bicara padamu,
tapi kau hanya boleh mendengarkan saja dan jangan
mengangguk, lebih-lebih tidak boleh bersuara, mukamu juga
tidak boleh memperlihatkan rasa heran dan kaget. Paling baik
kau pun pejamkan mata dan pura-pura tidur saja, kalau kau
mengeluarkan suara mendengkur pula tentu akan lebih bagus
lagi untuk menutupi suara ucapanku."
Dari suara itu Boh-thian mengenali pembicara itu adalah si Ting
Tong, semua ia terheran-heran dan mengira anak dara itu
sedang mengigau, tapi waktu ia meliriknya, tertampak bulu
mata si Ting Tong yang panjang itu sedikit bergerak,
mendadak mata kirinya terbuka dan mengedip dua kali
padanya, lalu terpejam pula.
Boh-thian lantas sadar, kiranya si Ting Tong ingin bicara apaapa
yang harus dirahasiakan dan tidak boleh didengar oleh
kakeknya. Maka Boh-thian lantas pura-pura menguap juga,
katanya, "Ahhham! Ngantuk!" Lalu ia pun memejamkan
matanya. Diam-diam Ting Tong bergirang, ia pikir Engkoh Thian betapa
pun toh bukan seorang tolol benar-benar, hanya sekali diberi
tahu saja sudah paham, suruh dia pura-pura tidur, dia lantas
berpura-pura dengan sangat mirip.
Kemudian Ting Tong lantas membisiki Boh-thian, "Yaya
mengatakan ilmu silatmu terlalu rendah, kelakuanmu anginanginan
pula dan tidak sesuai untuk menjadi cucu menantunya.
Batas waktu sepuluh hari sudah akan habis sampai besok, kau
pasti akan dibunuh olehnya. Kita pun susah menemukan Pek
Ban-kiam. Jalan satu-satunya sekarang ialah kita harus
melarikan diri dan sembunyi di pegunungan yang sunyi agar
Yaya tidak dapat menemukan kita."
Diam-diam Boh-thian merasa heran, "Tanpa sebab mengapa
Yaya akan membunuh aku" Ah, dasar Ting-ting Tong-tong ini
masih kekanak-kanakan, ucapan kakek yang cuma berkelakar
saja dianggapnya sungguh-sungguh. Dia mengajak aku
bersembunyi di pegunungan yang sunyi agar tidak dapat
ditemukan Yaya, ha, permainan ini menarik juga."
Dalam pada itu terdengar Ting Tong sedang berbisik pula, "Bila
kita melarikan diri ke daratan, tentu kita akan ditangkap
kembali oleh Yaya dan susah terlepas lagi. Maka kau harus
ingat dengan baik-baik nanti tengah malam bila mendadak aku
merangkul Yaya dengan kencang sambil menjerit dan
menangis, "O, Yaya, ampunilah Engkoh Thian, janganlah kau
membunuhnya!" " Pada saat itu juga kau harus lekas memburu
masuk ke dalam hanggar perahu, tangan kananmu
menggunakan jurus "Hou-jiau-jiu" (cengkeraman cakar
harimau) untuk memegang punggung kakek, sedang tangan
kiri dengan jurus "Giok-li-cui-ciam" (si gadis ayu menyusup
jarum) berbareng pinggangnya harus dicengkeram. Ingat, asal
terdengar aku menjerit, "Janganlah kau membunuh dia," maka
kau harus segera bertindak. Ingat yang baik, jurus "Hou-jiaujiu"
dan "Giok-li-cui-ciam". Saat itu Yaya telah kurangkul dengan
kencang, seketika dia tak dapat melawan, maka sekali pegang
dengan tenaga dalammu yang kuat itu tentu Yaya takkan bisa
berkutik lagi." Diam-diam Boh-thian membatin, "Si Ting Tong benar-benar
sangat nakal, masakah suruh aku bermain gila pada Yaya,
entah nanti Yaya akan marah atau tidak" Ya, sudahlah, jika si
Ting Tong suka bergurau, biarkan aku menuruti dia saja.
Rasanya permainan ini sangat menarik."
Lalu Ting Tong berbisik lagi, "Cengkeramanmu itu nanti
menentukan mati dan hidup kita berdua, maka kau harus
melakukannya dengan cepat dan tepat. Coba kau meraba
"Leng-tay-hiat" di punggungku ini, jurus "Hou-jiau-jiu" itu nanti
harus mencengkeram di tempat ini."
Dengan tetap memejamkan mata perlahan-lahan Boh-thian
menggeser tangannya dan meraba perlahan di punggung si
anak dara. "Ya, benar, di situlah tempatnya," kata Ting Tong. "Dalam
keadaan gelap nanti, caramu menyerang harus cepat,
tempatnya harus jitu, dengan mati-matian aku akan merangkul
Yaya dengan kencang, asal kau dapat bertindak dalam waktu
singkat tentu urusan akan menjadi beres, sebaliknya kalau
terlambat sehingga rencana kita disadari Yaya, tentu kita akan
celaka. Coba sekarang kau pegang pula "Koan-ki-hiat" di
pinggangku, jurus yang digunakan adalah "Giok-li-cui-ciam"
yang dipakai hanya jari jempol dan jari telunjuk saja, tenaga
dalam harus digunakan melalui jari untuk menutuk Hiat-to ini."
Perlahan-lahan tangan Boh-thian lantas menggeser ke samping
bawah, dengan kedua jari yang dikatakan itu perlahan-lahan ia
memegang sekali "Koan-ki-hiat" di bagian pinggang si nona.
Sudah tentu sekarang dia tidak menggunakan tenaga dalam,
maka jarinya seakan-akan hanya mengilik-ngilik saja,
memangnya si Ting Tong masih perawan yang takut geli,
karena ia menjadi tak tahan maka tertawalah dia terkikik-kikik
sambil membentak, "Hei, kau main gila apa?"
Ketika Ciok Boh-thian bergelak tertawa, segera Ting Tong balas
mengilik-ngilik iga pemuda itu.
Begitulah kedua muda-mudi itu lantas bergurau sendiri dan
tertawa haha-hihi melupakan kelakuan mereka yang pura-pura
tidur tadi.

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada petang harinya, si tukang perahu telah melabuhkan
perahunya di dermaga sebuah kota kecil, dengan membawa
poci arak dia mendarat ke kota untuk membeli arak.
"Engkoh Thian, marilah kita juga jalan-jalan ke kota," ajak si
Ting Tong. "Hayo," sahut Boh-thian.
Segera mereka mendarat dengan bergandeng tangan. Kota itu
sangat kecil, penduduk tiada lebih daripada seratus rumah,
belasan rumah di antaranya adalah pedagang-pedagang ikan.
Sampai di ujung kota sana, melihat sekitar mereka tiada orang
lain, Boh-thian telah berkata, "Yaya sedang tidur di dalam
perahu, kalau sekarang juga kita lantas angkat kaki dan
melarikan diri, apakah beliau dapat menemukan kita kembali?"
"Tidak semudah demikian," sahut Ting Tong dengan
menggeleng. "Biarpun kita sudah berlari 20-30 li jauhnya
akhirnya pasti akan dapat disusul olehnya."
"Memang, biarpun kau sudah lari seratus atau seribu li juga
akhirnya kami pasti dapat menyusul dan membekuk kau,"
demikian tiba-tiba suara seorang yang agak serak berkata di
belakang mereka. Waktu Boh-thian dan Ting Tong menoleh tertampaklah dua
orang lelaki telah muncul dari balik pohon sana, kedua orang
itu yang satu tinggi dan yang lain pendek sedang menyengir
ejek pada mereka. Boh-thian lantas kenal kedua orang itu adalah Houyan Ban-sian
dan Bun Ban-hu dari Swat-san-pay. Ia terkejut dan merasa
takut. Kiranya sesudah orang-orang Swat-san-pay memergoki jejak
Ciok Boh-thian di perairan Tiangkang, bahkan dua orang di
antaranya berusaha menangkap Boh-thian, tapi diserang
pemuda itu sehingga luka parah. Sesudah mendapat laporan
itu segera Pek Ban-kiam menyebarkan para Sutenya untuk
menguber melalui darat dan sungai.
Rombongan Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu bertugas
mengejar ke arah barat menuju ke hulu sungai. Tak terduga di
kota kecil inilah mereka dapat memergoki Ciok Boh-thian.
Houyan Ban-sian orangnya lebih hati-hati, ia pikir pihaknya
berdua belum tentu mampu melawan bocah she Ciok ini, baru
saja dia ingin melepaskan panah berapi sebagai tanda untuk
memanggil kawan-kawannya yang lain sebagaimana telah
diperintahkan Pek Ban-kiam, tak terduga Bun Ban-hu yang
bertabiat berangasan itu sudah tidak tahan diri lagi dan segera
menegur Ciok Boh-thian. Ting Tong juga terkejut melihat
munculnya orang-orang Swat-san-pay, ia khawatir janganjangan
Pek Ban-kiam juga berada di sekitar situ, jika demikian,
bila nanti Yaya memaksa Engkoh Thian harus bertanding
dengan orang she Pek itu kan urusan bisa runyam"
Segera ia memelototi Ban-sian dan Ban-hu, semprotnya, "Kami
sedang bicara sendiri, siapa suruh kalian ikut menimbrung"
Marilah Engkoh Thian, kita kembali ke perahu saja."
Memang Boh-thian merasa jeri, segera ia mengangguk setuju
dan kedua orang lantas membalik tubuh hendak bertindak
pergi. Biasanya Bun Ban-hu sangat memandang hina kepada murid
keponakan she Ciok ini, ia pikir kepandaian apa yang kau miliki
selama beberapa tahun saja bela jar di Leng-siau-sia" Jika
sekarang aku dapat menangkapnya, maka ini akan merupakan
suatu pahala besar bagiku dan tentu akan mendapat pujian
dari Suhu. Maka ia lantas membentak pula, "Hendak lari ke
mana bocah she Ciok" Hayo, lebih baik ikut padaku saja jika
kau tidak ingin dihajar!"
Sambil berkata segera tangan kirinya digunakan menjambret
pundak Ciok Boh-thian. Cepat Boh-thian mengegos ke samping dan secara otomatis ia
mengeluarkan Kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong untuk
menangkis cengkeraman Bun Ban-hu itu.
Sudah tentu Bun Ban-hu tidak membiarkan tangannya beradu
dengan tangan lawan, cepat ia tarik kembali dan berbareng
kakinya lantas menendang ke perut Ciok Boh-thian.
Boh-thian menjadi bingung menghadapi tendangan itu, ia tidak
tahu cara bagaimana harus menangkis atau mengelakkan diri.
Maklum, dalam hal tendangan sama sekali ia tidak pernah
belajar, Ting Tong hanya mencurahkan perhatiannya
mengajarkan Kim-na-jiu-hoat, terutama jurus "Hou-jiau-jiu dan
Giok-li-cui-ciam" yang akan digunakan terhadap kakeknya, tapi
dalam hal cara bagaimana menghadapi serangan-serangan
atau tendangan dari golongan lain sama sekali tak diajarkan
kepada pemuda itu. Begitu pula dalam hari terakhir ini Ciok Boh-thian juga melulu
menghafalkan dengan sebaiknya jurus-jurus "Hou-jiau-jiu" dan
"Giok-li-cui-ciam," maka dalam keadaan berbahaya yang
teringat olehnya juga kedua jurus itu.
Tapi sekarang dia berdiri berhadapan dengan Bun Ban-hu,
padahal kedua jurus itu khusus digunakan menyerang bagian
belakang tubuh lawan, terang tak cocok untuk dipakai. Tapi di
saat terancam bahaya ia menjadi tidak peduli apakah jurusjurus
serangan itu cocok digunakan atau tidak, sekali kakinya
menggeser, tahu-tahu ia telah memutar ke belakang Bun Banhu.
Karena Lwekangnya sangat tinggi, gerak-geriknya menjadi
cepat dan gesit luar biasa sehingga langkahnya itu dengan
tepat justru berhasil menghindarkan tendangan Bun Ban-hu
tadi, bahkan dengan tangan kanan menggunakan "Hou-jiaujiu"
dan tangan kiri memakai jurus "Giok-li-cui-ciam", sekaligus
ia cengkeram Leng-tay-hiat dan Koan-ki-hiat di bagian
pinggang lawan. Dengan Lwekangnya yang lihai itu, di mana dia
mencengkeram, seketika Bun Ban-hu merasa tubuhnya
menjadi lemas lunglai, kontan roboh terjungkal.
Dalam pada itu baru saja Houyan Ban-sian hendak ikut
mengerubut maju, demi tampak Ciok Boh-thian telah dapat
mencengkeram Hiat-to penting di tubuh sang Sute dengan cara
yang lihai, dalam gugupnya Ban-sian tidak sempat melolos
senjata lagi, tapi cepat ia menghantam ke pinggang Ciok Bohthian.
Karena tujuan hendak memaksa agar Boh-thian melepaskan
cengkeramannya kepada sang Sute, maka tenaga yang
digunakan Ban-sian ini adalah sekuat-kuatnya, maka
terdengarlah suara "bluk", hampir berbareng juga terdengar
suara "krak", Houyan Ban-sian merasa kesakitan sendiri,
ternyata tulang lengannya telah patah sebaliknya Boh-thian
hanya merasa pinggangnya seperti tersodok perlahan oleh
sesuatu, waktu ia melepaskan tubuh Bun Ban-hu, ternyata jago
Swat-san-pay itu sudah meringkuk kaku dalam keadaan yang
menyeramkan tampaknya. Keruan Boh-thian terperanjat, teriaknya, "Haya, celaka! He,
Ting-ting Tong-tong, ken ... kenapa mendadak dia kejang"
Jangan-jangan dia ... dia sudah mati?"
Ting Tong tertawa, sahutnya, "Engkoh Thian, kedua jurus itu
telah kau mainkan dengan sangat bagus, cuma saja langkahmu
tadi agak tergesa-gesa dan gugup, sedikit pun tiada
memperlihatkan gaya seorang jagoan. Sesudah kau
cengkeram, orang ini takkan mati, tapi akan cacat untuk
selama hidupnya, kedua kaki dan tangannya takkan bisa
bergerak lagi." Boh-thian tambah kaget, segera ia memayang Bun Ban-hu
sambil berkata, "Ai, ma ... maaf, aku ... tidak sengaja
membikin susah padamu. Lantas bagaimana baiknya" Ting-ting
Tong-tong, dapatkah kau mencari akal untuk menyembuhkan
dia?" Tapi Ting Tong lantas melolos pedang yang tergantung di
pinggang Bun Ban-hu, katanya, "Apa kau ingin dia tidak terlalu
menderita dalam hidupnya nanti" Itulah mudah, boleh sekali
tebas kau membinasakan dia saja."
"Tidak, tidak boleh jadi!" seru Boh-thian, dan saling gelisahnya
ia sampai meneteskan air mata.
"Kalian berdua siluman cilik ini, hendaklah tahu bahwa murid
Swat-san-pay lebih suka dibunuh daripada dihina," teriak
Houyan Ban-sian dengan gusar. "Hari ini kami berdua telah
terjungkal di tanganmu, jika mau bunuh hayolah lekas bunuh
saja." Khawatir kalau si Ting Tong benar-benar membunuh kedua
orang itu, cepat Boh-thian merampas pedangnya dan
ditancapkan ke atas tanah, lalu katanya, "Ting-ting Tong-tong,
lekas, lekas kita kembali saja." Segera ia tarik nona dan diajak
pulang ke perahu mereka. "Orang Kangouw suka mengatakan Ciok-pangcu dari Tiang-lokpang
berhati keji dan bertangan gapah, membunuh orang tidak
kenal kasihan, mengapa sekarang tiba-tiba berubah alim?"
demikian Ting Tong mencemoohkan. "Engkoh Thian, sebaiknya
kejadian barusan ini jangan dikatakan kepada Yaya."
"Baik, aku takkan bilang padanya," sahut Boh-thian. "Ting-tang
Ting-tong, apakah dia benar-benar akan ... akan cacat untuk
selama hidupnya?" "Sudah tentu," sahut Ting Tong. "Kau telah cengkeram kedua
Hiat-to penting di tubuhnya, kalau paling sedikit tak bisa
membikin dia cacat selama hidup, habis apa gunanya ke-18
jurus Kim-na-jiu-hoat dari keluarga Ting kita yang tersohor
ini?" "Jika demikian lihainya cengkeraman-cengkeraman itu,
mengapa kau suruh aku nanti malam menggunakan jurus-jurus
keji ini untuk mencengkeram Yaya?" tanya Boh-thian.
"Engkoh tolol, tokoh macam apakah Yaya kita itu" Masakan
dapat dipersamakan dengan kaum keroco sebangsa orang
Swat-san-pay itu?" ujar Ting Tong. "Jika untung kau dapat
mengerahkan segenap tenaga dalam, paling-paling hanya akan
membikin Yaya tak bisa berkutik dalam dua-tiga jam saja,
memangnya kau sangka begitu mudah Yaya dibikin cacat?"
Namun Boh-thian masih bersangsi, ia menjadi ragu-ragu dan
tidak tenteram. Petangnya, sesudah si tukang perahu menyediakan daharan,
dengan kurang nafsu ia makan setengah mangkuk saja, lalu
Cinta Bernoda Darah 18 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Memanah Burung Rajawali 25
^