Pencarian

Medali Wasiat 7

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 7


duduk te-menung-menung. Malam itu ia tak bisa tidur nyenyak. Sampai tengah malam,
benar juga tiba-tiba terdengar Ting Tong sedang berseru di
dalam kamar perahu, "O, Yaya, ampunilah jiwa Engkoh Thian,
janganlah membunuh dia! Janganlah membunuh dia!"
Cepat Boh-thian melompat bangun dan berlari ke dalam
hanggar perahu, dalam keadaan remang-remang tertampak
Ting Tong telah menyingkap badan bagian atas Ting Put-sam
sambil masih berseru, "Yaya, janganlah kau membunuh
Engkoh Thian!" Segera Boh-thian menjulurkan tangannya dan bermaksud
mencengkeram ke punggung Ting Put-sam sebagaimana telah
direncanakan si Ting Tong.
Tapi mendadak terbayang olehnya keadaan menyeramkan
tatkala Bun Ban-hu habis kena cengkeramannya itu, seketika
Boh-thian ragu-ragu, pikirnya, "Bila aku jadi
mencengkeramnya sehingga Yaya juga kaku kejang sebagai
orang Swat-san-pay itu, wah, aku benar-benar akan berdosa.
Tidak, aku ... aku takkan melakukan hal demikian."
Karena itu diam-diam ia lantas mengundurkan diri dan kembali
ke tempatnya untuk tidur lagi.
Semula si Ting Tong sudah bergirang ketika melihat Boh-thian
berlari ke dalam hanggar, siapa tahu mendadak pemuda itu
menjadi ragu-ragu, lalu mengundurkan diri keluar lagi, rencana
mereka menjadi gagal sama sekali, keruan Ting Tong menjadi
gelisah dan mendongkol pula.
Bab 19. Pergi Ting Put-sam, Datang Ting Put-si
Sesudah merebah di tempatnya, Boh-thian merasa jantungnya
masih berdebar-debar. Selang sejenak, tiba-tiba terdengar si
Ting Tong lagi berseru pula, "Ai, Yaya, mengapa aku telah
merangkul badanmu" Tadi ... tadi aku mengimpi buruk seakanakan
Engkoh Thian telah kau pukul hingga mati, kumohon
engkau suka mengampuni jiwanya dan engkau tidak mau. Tapi
syukurlah itu hanya dalam impian saja."
Boh-thian menjadi agak lega, pikirnya, "Ting-ting Tong-tong
sungguh pintar berdusta, rupanya khawatir Yaya mencurigai
diriku, maka dia telah mengarang omongan kosong tentang
mimpi segala untuk menutupi kejadian tadi."
Tapi lantas terdengar Ting Put-sam sedang menjawab, "Apakah
kau mimpi atau tidak, pendek kata bila hari sudah terang
tanah, maka genaplah batas waktu sepuluh hari. Tinggal
melihat dia dalam hari terakhir dapat mengalahkan Pek Bankiam
atau tidak." "Ai, kuyakin Engkoh Thian pasti bukan seorang sinting," kata
Ting Tong sambil menghela napas.
"Ya, hati nuraninya sungguh harus dipuji," sahut Ting Put-sam.
"Orang yang berhati nurani baik adalah orang tolol, orang
sinting, pantas kalau mampus. Ha, dengan Hou-jiau-jiu
memegang Leng-tay-hiat dan dengan Giok-li-cui-ciam
mencengkeram Koan-ki-hiat, ai, sungguh akal yang bagus,
sungguh tipu yang baik."
Ucapan Ting Put-sam ini sekaligus membikin kaget baik Ting
Tong yang berada di dalam kamar maupun Boh-thian yang
berada di buritan. Sungguh susah dipahami dari manakah sang
kakek mengetahui rencana mereka itu"
Masih mendingan si Boh-thian yang tidak tahu apa-apa,
sebaliknya Ting Tong sampai berkeringat dingin, pikirnya,
"Kiranya Yaya sudah mengetahui apa yang akan kulakukan,
jika demikian diam-diam tentu beliau sudah berjaga-jaga.
Untunglah Engkoh Thian tidak jadi turun tangan. Namun susah
dibayangkan juga hukuman apa yang akan dijatuhkan Yaya
kepadaku?" Di sebelah sana Ciok Boh-thian percaya bahwa besok pagi Ting
Put-sam benar-benar akan membunuhnya, dengan seenaknya
saja ia terpulas lagi dengan nyenyaknya.
Menjelang pagi, sekonyong-konyong terdengar suara orang
ribut-ribut di daratan sana. Ada orang sedang berteriak, "Itu
dia, di sini orangnya!" lalu ada yang menanggapi, "Ya, betul!
Itulah kepalanya." " "Hayo, tangkap, jangan sampai siluman
tua itu meloloskan diri!"
Waktu Boh-thian bangun berduduk, ia lihat di tepi sungai ada
puluhan orang dengan penerangan obor sedang berlari-lari ke
samping perahu sambil membentak, "Di mana siluman tua itu"
Hayo, hendak lari ke mana siluman tua yang membikin celaka
manusia itu?" Rupanya Ting Put-sam juga terjaga bangun oleh suara ributribut
itu, segera ia keluar dari kamar perahu dan membentak,
"Kurang ajar! Kalian ribut-ribut apa di sini dan mengganggu
tidurnya tuan besarmu?"
"Nah, inilah dia! Inilah silumannya! Lekas semprot!" teriak
seorang laki-laki. Segera dari belakang laki-laki itu maju ke depan dua kawannya
yang membawa alat semprot yang terbuat dari bumbung
bambu, dengan mengincar ke arah Ting Put-sam segera
mereka menyemprotkan air darah.
Berbareng itu orang-orang yang berada di tepi sungai sana
serentak bersorak, "Nah, kena dia. Darah anjing hitam telah
tepat mengenai siluman tua itu, dia tak bisa menghilang lagi!"
Akan tetapi semprotan darah anjing itu mana dapat mengenai
tubuh Ting Put-sam" Mendadak orang tua itu meloncat ke atas,
pikirnya dengan murka, "Dari manakah datangnya orang-orang
gila ini" Masakah aku dianggap siluman dan hendak disemprot
dengan darah anjing hitam?"
Biasanya, biarpun orang lain tidak mengganggunya, asal dia
merasa gatal tangan, setiap saat dia juga suka membunuh
orang, apalagi sekarang, tanpa sebab orang lain berani
mengganggunya, keruan Ting Put-sam menjadi tambah murka
dan tidak kenal ampun. Begitu tubuhnya menurun kontan
kedua lelaki yang membawa alat semprot tadi kena ditendang
mencelat menyusul tangannya menghantam pula, tanpa
ampun lagi lelaki yang pertama tadi juga terpental dan mati
seketika di tepi sungai. Ketika Ting Put-sam hendak mengumbar angkara murkanya
lagi, sekonyong-konyong dari belakang terdengar Ting Tong
mendengus padanya, "Yaya, Ce-jit-pu-ko-sam (satu hari tidak
lebih tiga)!" Ting Put-sam tertegun. Saking gusarnya sampai dia hampirhampir
lupa kepada sumpahnya sendiri, yaitu menurut
julukannya yang menyatakan satu hari takkan membunuh
orang lebih dari tiga. Maka serangannya yang hampir
dilontarkan lagi itu lantas dibatalkan.
Orang-orang itu ketakutan setengah mati, serentak mereka
berteriak-teriak dan lari sipat kuping. Hanya dalam sekejap
saja keadaan menjadi sunyi kembali meninggalkan tiga sosok
tubuh yang tak bernyawa, obor pun terlempar di sana-sini tak
terurus. Segera Ting Put-sam berkata kepada si tukang perahu, "Lekas
berangkat, kalau kedatangan orang lagi aku bisa kewalahan
membunuh mereka!" Dengan tangan gemetar si tukang perahu lantas mengangkat
galah dan menolak perahunya ke tengah sungai, lalu
meluncurlah perahu itu ke depan. Darah anjing yang tidak
mengenai tubuh Ting Put-sam tadi telah menyemprot ke dalam
perahu sehingga menimbulkan bau anyir busuk.
Tiba-tiba Ting Put-sam menegur si Ting Tong, "A Tong,
bukankah kau yang main gila dalam peristiwa ini" Sebab apa
kau berbuat demikian?"
"Yaya," sahut Ting Tong dengan tertawa, "kau pegang janji
atau tidak terhadap apa yang telah kau ucapkan?"
"Bilakah aku pernah mengingkar janji?" sahut Ting Put-sam.
"Bagus!" kata Ting Tong. "Kau mengatakan bahwa habis
sepuluh hari bila Engkoh Thian tidak mengalahkan orang she
Pek itu, maka Engkoh Thian segera akan kau bunuh. Sekarang
adalah hari kesepuluh, terang dia tak dapat menemukan orang
she Pek itu, akan tetapi tadi kau sudah genap membunuh tiga
orang." Ting Put-sam menjadi melengak, semprotnya kemudian,
"Budak setan, kiranya Yaya telah tertipu oleh muslihatmu."
Ting Tong sangat senang, dengan tersenyum-senyum ia
berkata, "Ting-samya kita biasanya paling pegang janji, kau
mengatakan akan membunuh Engkoh Thian pada hari terakhir
ini, akan tetapi kau sudah membunuh tiga orang, orang
keempat ini tentulah tak boleh kau bunuh lagi. Yaya, jikalau
kau tidak dapat membunuh dia, untuk seterusnya kau pun
tidak boleh membunuh dia lagi. Kulihat cucu menantumu ini
toh bukan seorang tolol sungguh-sungguh, nanti kalau
kesehatannya sudah pulih kembali, dengan sendirinya ilmu
silatnya juga akan maju lebih pesat, pendek kata pasti takkan
membikin malu padamu."
Mendadak Ting Put-sam membanting kakinya sehingga papan
geladak perahu itu terinjak satu lubang, lalu teriaknya dengan
gusar, "Tidak, tidak bisa! Sekarang juga Ting Put-sam sudah
merasa malu karena ditipu oleh seorang budak setan seperti
kau." "Aku adalah cucu perempuanmu, kita adalah sekeluarga,
kenapa bicara tentang membikin malu apa segala" Toh
kejadian ini takkan kukatakan kepada orang luar."
"Tidak bisa. Karena aku ditipu, maka hatiku tetap tidak senang.
Apakah kau akan katakan kepada orang luar atau tidak
bukanlah soalnya." Mendengar percakapan kedua kakek dan cucu itu, baru
sekarang Boh-thian tahu duduknya perkara. Kiranya orangorang
yang datang membikin ribut dan menyemprot Ting Putsam
dengan darah anjing hitam itu adalah permainan si Ting
Tong yang sengaja didatangkan agar sang kakek membunuh
orang, bila sudah terpenuhi sumpah membunuh tiga orang
dalam sehari, maka orang tua itu tidak lagi membunuh dia.
Begitulah, maka ketika melihat Ting Tong berjalan ke buritan
dengan tersenyum simpul segera Boh-thian berkata, "Ting-ting
Tong-tong, untuk menolong jiwaku, sebaliknya kau telah
korbankan tiga jiwa yang tidak berdosa, bukankah ini ter ...
terlalu kejam?" Tiba-tiba Ting Tong menarik muka, sahutnya, "Kematian
mereka itu adalah gara-garamu, mengapa aku yang
disalahkan?" "Gara-garaku?" Boh-thian mengulangi dengan bingung.
"Mengapa tidak" Bukankah kita sudah merancang dengan baik,
tapi sampai detik terakhir kau tidak berani turun tangan. Kalau
tidak, tentu kita berdua sudah lolos dengan selamat dan tidak
perlu mengorbankan tiga jiwa orang yang tak berdosa itu."
Boh-thian pikir apa yang dikatakan si Ting Tong juga ada
benarnya, seketika ia menjadi tak bisa bicara pula.
"Hahahaha! Dapat sekarang, dapat!" demikian tiba-tiba
terdengar Ting Put-sam berseru dengan bergelak tertawa, "Hei,
bocah she Ciok, Yaya akan mencukil matamu dan akan
memotong kedua tanganmu supaya kau mati tidak dan hidup
sempurna juga tidak, tapi akan menjadi seorang cacat. Asal
aku tidak mencabut nyawamu, maka aku tak dapat dianggap
melanggar sumpahku."
Boh-thian dan Ting Tong terkejut mendengar ucapan itu.
Sebaliknya makin dipikir Ting Put-sam makin senang, berulangulang
ia berseru, "Ya, akal bagus, akal bagus! Aku takkan
membunuh kau, tapi akan membikin dia menjadi manusia
bukan manusia dan setan pun bukan setan. Nah, A Tong, cara
demikian tentulah boleh bukan?"
Ting Tong menjadi susah mendebatnya, terpaksa ia menjawab,
"Hari kesepuluh ini toh belum berakhir, boleh jadi sebentar lagi
akan bertemu dengan Pek Ban-kiam dan sekali gebrak nanti
mungkin Engkoh Thian dapat mengalahkan dia."
"Hahaha! Memang betul juga!" seru Ting Put-sam sambil
terbahak-bahak. "Urusan kita ini dilakukan dengan adil, maka
bolehlah kakek menunggu sampai tengah malam nanti baru
turun tangan." Ting Tong menjadi serbasusah dan tak dapat menemukan
sesuatu akal untuk menyelamatkan Boh-thian dari kesukaran
ini. Yang paling lucu adalah justru Boh-thian sendiri tidak sadar
kalau dirinya sedang terancam elmaut sebaliknya ia malah
tanya kepada Ting Tong, "Eh, Ting-ting Tong-tong, sebab
apakah kau sedih, apakah ada kesukaran?"
"Tidakkah kau mendengar Yaya mengatakan akan mencukil
matamu dan memotong kedua tanganmu?" omel Ting Tong
dengan mendongkol. "Ah, Yaya hanya bergurau saja untuk menakut-nakuti kau,
kenapa kau anggap sungguh-sungguh?" ujar Boh-thian. "Apa
sih gunanya dia mencukil mataku dan memotong tanganku?"
Dari dongkol Ting Tong menjadi gemas, pikirnya, "Dasar tolol
dan sinting, kalau selama hidup ini aku ikut dia, rasanya juga
tidak menyenangkan. Jika Yaya berkeras hendak membunuh
dia, maka biarpun dia mampus saja sudah."
Tapi lantas teringat olehnya bahwa sang kakek sekarang
takkan membunuh pemuda itu lagi, sebaliknya akan mencukil
mata dan memotong kedua tangannya. Apabila dirinya kelak
mendadak berubah pikiran dan terkenang pula kepada kekasih
ini, padahal kedua mata dan tangannya tentu tak bisa
dipulihkan kembali. Lalu apa gunanya aku bersuamikan
seorang yang cacat demikian"
Begitulah Ting Tong termenung-menung memandangi
bayangan sendiri yang terapung di permukaan air bersama
bayangan Ciok Boh-thian, makin lama makin memanjang
mereka, ternyata tanpa terasa hari sudah makin sore, sang
surya sudah makin condong ke barat. Dalam kesalnya tiba-tiba
terpikir pula oleh Ting Tong, "Daripada suamiku yang baik-baik
dibikin cacat oleh Yaya, adalah lebih baik aku sendiri yang
mengerjakan dia saja. Ketika berpaling, dilihatnya duduk Ciok Boh-thian sedang
membelakanginya, mendadak ia menjulurkan kedua tangannya
terus mencengkeram ke "Leng-tay-hiat" di punggung dan "Koan-
ki-hiat" di bagian pinggang, jurus-jurus lain yang digunakan
adalah Hou-jiau-jiu dan Giok-li-cui-ciam. Memangnya Ciok Bohthian
tidak berjaga-jaga, keruan ia lantas kena dibekuk dengan
mudah, seketika ia tak bisa berkutik.
Sebaliknya karena bekerjanya tenaga dalam Ciok Boh-thian,
maka Ting Tong juga tergetar dan terhuyung-huyung ke
belakang, hampir-hampir saja kecemplung ke dalam sungai.
Cepat ia memegangi atap kolong perahu dan memaki, "Yaya
segera akan mencukil matamu dan memotong kedua
tanganmu, orang cacat demikian kalau hidup di dunia ini
andaikan tidak membikin malu kepada Yaya juga aku si Tingting
Tong-tong yang merasa tiada muka untuk berjumpa


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan orang. Maka tidak perlu Yaya yang turun tangan,
biarlah aku sendiri yang mencukil kedua biji matamu."
Segera ia mengambil seutas tambang layar di buritan, lalu kaki
dan tangan Boh-thian diringkusnya dengan kencang, bahkan ia
terus membelebat Ciok Boh-thian mulai dari bahu sehingga
sampai bagian kaki, ia ikat badan pemuda itu dengan tambang
layar itu selingkar demi selingkar sehingga seluruhnya paling
sedikit ada 50-60 lingkar, sampai akhirnya badan Ciok Bohthian
mirip sebuah lemper raksasa.
Mestinya orang yang dicengkeram Hiat-to penting seperti Ciok
Boh-thian sekarang akan susah membuka suara di dalam
waktu satu-dua jam. Tapi dasar tenaga dalam Boh-thian
mahakuat, meski kaki dan tangannya tak bisa bergerak, tapi
dia masih dapat bicara, maka katanya, "He, Ting-ting Tongtong,
apakah kau bergurau padaku?"
Walaupun demikian dia bertanya, tapi demi tampak sikap si
Ting Tong yang galak dan bengis itu, diam-diam ia pun tahu
gelagat jelek maka matanya telah memantulkan sinar mata
yang mohon dikasihani.pTapi Ting Tong lantas menendang satu
kali di pinggang pemuda itu dengan gemas, dampratnya, "Hm,
kau sangka aku bergurau padamu" Kematianmu sudah di
depan mata, tapi kau masih bermimpi" Huh, orang tolol
sebagai kau biarpun dicincang menjadi perkedel juga pantas."
"Sret", mendadak ia lolos goloknya, ia gosok-gosok beberapa
kali di pipi Ciok Boh-thian seperti orang yang sedang mengasah
senjata. "Ting-ting Tong-tong, untuk selanjutnya aku pasti akan turut
kepada segala ucapanmu, hendaklah kau jangan membunuh
aku," demikian Boh-thian memohon.
Tapi Ting Tong menjawab dengan sengit, "Hm, mestinya aku
bermaksud menolong jiwamu, tapi kau justru tidak turut
kepada pesanku, maka kau sendirilah yang cari mampus dan
tak perlu menyalahkan orang lain. Kalau sekarang aku tidak
membunuh kau, tentu nanti juga kau akan dibunuh Yaya. Kau
adalah suamiku, bila harus dibunuh biarlah aku sendiri saja
yang melakukan, kalau orang lain yang membunuh suamiku,
hidupku tentu juga akan merana selamanya."
"Ampunilah diriku, bolehlah aku tidak menjadi suamimu,"
mohon Boh-thian. "Upacara nikah juga sudah berjalan, masakah kau dapat
membatalkan menjadi suamiku?" sahut Ting Tong. "Pendek
kata, lebih baik kau tutup mulut saja, kalau rewel-rewel lagi
segera kupenggal kepala anjingmu ini."
Boh-thian menjadi ketakutan dan tidak berani bersuara pula.
Maka terdengar Ting Put-sam telah berkata dengan tertawa,
"Haha, bagus, bagus! Cara demikianlah baru sesuai sebagai
cucu perempuannya Ting-losam. Nah, boleh lekas turun tangan
saja, sekali bacok bikin dia menjadi dua potong sudah."
Si tukang perahu sampai gemetar ketakutan ketika melihat si
Ting Tong mengangkat golok hendak membunuh orang,
sampai-sampai kemudi yang dipegangnya menjadi menceng,
perahunya menjadi oleng. Kebetulan pada saat itu dari depan sedang meluncur tiba
sebuah perahu kecil mengikuti arus sungai, karena olengnya
perahu yang ditumpangi Ting Put-sam itu, segera kedua
kendaraan air itu akan bertubrukan. Maka terdengar si tukang
perahu di atas perahu kecil sana telah berteriak-teriak
khawatir, "Hai, belokkan kemudimu! Belokkan!"
Dalam pada itu sang surya sudah hampir menghilang di ufuk
barat, cahaya matahari senja menyorot di atas golok yang
dipegang si Ting Tong sehingga menimbulkan sinar gemerdep
yang menyilaukan matanya Ciok Boh-thian. Mendadak tangan
si Ting Tong yang putih halus itu mengayun ke bawah, "plok",
golok nona itu kena membacok di atas geladak perahu yang
cuma beberapa senti di sisi kepala Ciok Boh-thian.
Begitu goloknya membacok papan geladak perahu, segera Ting
Tong lepas tangan, dengan cepat ia angkat tubuh Ciok Bohthian
terus dilemparkan sekuat-kuatnya menuju ke kolong
perahu kecil yang saat itu menyerempet lewat di sebelahnya.
Melihat cucu perempuannya mendadak main gila, dengan gusar
Ting Put-sam lantas membentak, "Apa yang kau lakukan!"
Cepat Ting Put-sam memburu keluar dan segera hendak
menjambret tubuh Ciok Boh-thian.
Namun sudah terlambat. Arus sungai teramat kencang, kedua
perahu dalam sekejap saja sudah berpisah belasan meter
jauhnya, betapa pun tinggi Ginkangnya Ting Put-sam juga tak
dapat melompat ke atas perahu kecil itu.
Dengan gusar ia menampar Ting Tong sekali sambil berteriak
kepada si tukang perahu, "Lekas putar kemudi, putar balik ke
sana dan kejar, lekas!"
Tapi arus sungai Tiangkang teramat deras, untuk memutar
kemudi dalam sekejap itu bukanlah pekerjaan yang mudah.
Apalagi perahu kecil tadi meluncur dengan cepat mengikuti
arus, makin lama makin cepat dan makin jauh sehingga susah
dikejar lagi. Ciok Boh-thian yang tubuhnya diringkus kencang-kencang
dengan tambang layar, ketika tubuhnya d lemparkan si Ting
Tong, ia merasa badannya berputar setengah lingkaran di atas
udara, lalu melayang ke depan, waktu turun mukanya
menghadap ke bawah, ia merasa di mana badannya jatuh
adalah suatu tempat yang empuk dan tidak terasa sakit, hanya
saja keadaan di situ gelap gulita, segala apa tidak kelihatan.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan orang yang tertahan, Bohthian
sendiri tidak dapat bergerak, maka ia pun tidak berani
membuka suara. Ia diam saja sampai sekian lamanya,
perlahan-lahan hidungnya mengendus bau harum, rasanya
seperti kembali berada di atas tempat tidur di dalam kamarnya
di markas Tiang-lok-pang.
Benar juga, sesudah tenangkan diri, ia lantas merasa dirinya
menggeletak di atas kasur, mukanya terbenam di atas bantal,
di samping bantal terasa ada kepala seorang lain lagi yang
berambut panjang, nyata seorang wanita adanya. Keruan Bohthian
terperanjat dan menjerit.
Sekonyong-konyong Boh-thian merasa belakang lehernya
ditempel sesuatu yang dingin dan rada sakit pula, ia tahu ada
orang telah memasang senjata tajam di atas lehernya.
Menyusul lantas terdengar suara seorang wanita telah berkata,
"Siapa kau" Apa kau adalah anak muridnya siluman tua Ting
Put-si?" "Aku ... aku ...." sahut Boh-thian dengan terputus-putus, ia
sendiri tidak tahu cara bagaimana harus menjawab.
Wanita itu menjadi gusar, dampratnya pula, "Kau berani
menyusup ke dalam perahu kami, tentu kau bukan manusia
baik-baik, biarlah nona binasakan kau saja."
Habis berkata, segera ia tambahkan tenaga tangannya
sehingga Boh-thian merasa belakang lehernya kesakitan.
"Ti ... tidak, bukan aku sendiri yang datang ke sini, tapi ... tapi
orang yang melemparkan aku kemari," seru Boh-thian.
"Hayo, lekas ... lekas keluar, mengapa kau menyusup ke dalam
ke dalam selimutku ini?" kata wanita itu.
Waktu Boh-thian coba-coba merasakan, benar juga di depan
dadanya adalah kasur, di atas punggung ada selimut, mukanya
menindih bantal, malahan di dalam kolong selimut terasa
masih hangat-hangat. Kiranya lemparan Ting Tong tadi dengan tepat telah membikin
Boh-thian menyusup ke dalam kolong perahu kecil ini terus
masuk ke dalam kolong selimut malah, yang paling runyam
adalah dari nada ucapan si wanita ini agaknya kolong selimut
ini adalah miliknya. Coba kalau Boh-thian tidak diringkus dan dapat bergerak, tentu
sejak tadi dia sudah melompat bangun dan berlari keluar.
Celakanya sekarang dia tertutuk Hiat-to yang penting dan tak
dapat bergerak sama sekali. Maka terpaksa ia hanya berkata,
"Aku tidak dapat bergerak, aku mohon dengan sangat padamu,
silakan kau pindahkan aku keluar saja, dorong aku keluar juga
boleh, ya, depak aku keluar juga baik."
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita lain yang tua berkata
di belakang sana, "Ngaco-belo apa keparat itu" Lekas bacok
mampus dia saja!" "Nenek, kalau bunuh dia, tentu di dalam kolong selimutku akan
berlumuran darah, lantas ... lantas bagaimana?" demikian
sahut wanita yang semula.
"Setan alas dari manakah dia?" kata si wanita tua dengan
gusar. "He, keparat kau, lekas kau merangkak keluar!"
"Aku benar-benar tidak dapat bergerak," sahut Boh-thian.
"Coba kalian lihat sendiri, aku telah dicengkeram orang bagian
Leng-tay-hiat dan Ko-an-ki-hiat, sekujur badan diikat kencang
pula dengan tali, untuk bergerak sedikit saja tidak dapat. Ai, ini
nona atau nyonya, silakan lekas bangun saja, kita tidur di
dalam satu kolong selimut, rasanya me ... memang kurang
pantas." "Nyonya apa" Aku masih gadis, tahu!" semprot wanita pertama
tadi. "Aku sendiri pun tidak dapat bergerak. Nenek, hendaklah
engkau mencarikan suatu akal bagiku saja, orang ini memang
benar-benar terikat kencang dengan tali-tali."
"Ya, Lothaythay (nyonya tua), aku pun mohon padamu,
tolonglah kau menyeret aku keluar," kata Boh-thian. "Ai, aku
... aku telah membikin susah nona ini, sungguh aku merasa ...
merasa tidak enak." "Setan alas, masih bicara muluk-muluk," damprat si nenek
dengan gusar. "Nenek, bolehkah kita suruh si tukang perahu menyeretnya
keluar saja," usul si nona.
"Tidak, tidak bisa, kalau tukang perahu itu sampai masuk ke
sini, tentu jiwa kita akan melayang," sahut si nenek.
Diam-diam Boh-thian membatin, "Jangan-jangan Lothaythay
dan nona ini pun diringkus orang dan tak bisa berkutik seperti
diriku?" Rupanya nenek itu menjadi gusar dan gelisah, tiada hentinya ia
memaki, "Setan alas, keparat, mengapa kau tidak pilih perahu
yang lain, tapi justru cari mampus ke sini" Sudahlah, A Siu,
bunuh saja dia!" "He, jangan, jangan! Darahku sangat kotor, tentu akan
merusak kolong selimut yang harum ini. Pula ... pula kalau di
kolong selimut ini terdapat mayat, tentu tidaklah baik,"
demikianlah Boh-thian berseru.
"Uh," hanya terdengar suara demikian, lalu Boh-thian merasa
golok yang mengancam di belakang lehernya telah terangkat
pergi. Ia menjadi girang, pikirnya, "Rupanya nyali nona cilik ini
sangat kecil, biarlah aku menakut-nakuti dia lagi."
Maka ia lantas berkata pula, "Sekarang aku tak bisa berkutik,
jika kau membunuh aku, tentu aku akan berubah menjadi
mayat hidup. Wah, betapa menakutkan bila kau tidur bersama
mayat hidup. Sekarang aku tak bisa bergerak, tapi sesudah
menjadi mayat hidup tentu bisa bergerak, dengan kedua
tanganku yang kaku dan dingin aku akan mencekik lehermu."
Rupanya nona itu benar-benar ketakutan atas obrolan Bohthian
itu, segera ia berkata, "Tidak, aku takkan membunuh
kau! Aku takkan membunuh kau!"
Selang sejenak si nona berkata pula kepada si wanita tua,
"Nenek, kita harus mencari suatu akal untuk mengeluarkan dia
dari sini." "Ya, aku sedang berpikir, kau jangan banyak bersuara," sahut
si nenek. Dalam pada itu hari sudah malam, di dalam kolong perahu
keadaan gelap gulita. Meski Boh-thian berada di dalam selimut
bersama si nona, tapi karena waktu dia dilempar masuk
kebetulan menceng di samping, maka tidak sampai menyentuh
badan nona itu. Dalam kegelapan sekarang dapat didengarnya
suara napas si nona yang memburu, nyata nona itu sangat
khawatir dan cemas. Sampai agak lama, si nenek tetap tidak mendapatkan sesuatu
akal apa-apa. Pada saat itulah mendadak dari arah sungai sana
terdengar suara suitan melengking tajam yang menyeramkan.
Belum lenyap suara suitan itu, terdengarlah suara orang
bergelak tertawa panjang, suaranya serak tua. Sambil tertawa
orang tua itu pun berseru, "Siau-jui, aku telah tunggu kau
sehari semalam, kenapa baru sekarang kau tiba?"
"Wah, celaka, nenek! Siluman tua itu telah memapak datang,
lantas bagaimana tindakan kita?" tanya si nona dengan
khawatir. Si nenek mendengus sekali, katanya, "Kau jangan bersuara
lagi. Aku sedang mengumpulkan tenaga, asal aku bisa
bergerak sedikit saja segera aku akan ... akan terjun ke dalam
sungai daripada dihina oleh siluman tua itu."
"Jangan ... jangan, nenek," kata si nona dengan cemas.
"Sudah kukatakan jangan bersuara, masih kau mengganggu
aku lagi," semprot si nenek. "Nanti kalau nenek terjun ke
dalam sungai, kau akan ikut aku apa tidak?"
Untuk sejenak si nona merasa sangsi, akhirnya ia menjawab,
"Aku ... aku akan mati bersama nenek saja."
"Baik!" kata si nenek. Habis ini ia lantas tidak bicara lagi.
Boh-thian sendiri pernah dua kali merasakan ketika
Lwekangnya "tersesat", pikirnya, "Kiranya Lothaythay dan nona
ini juga mengalami nasib seperti diriku, melatih Lwekang dan
tersesat sehingga tak bisa bergerak. Celakanya pada saat ini
musuhnya telah mengejar tiba, keadaan mereka benar sangat
sulit." Dalam pada itu suara si orang tua tadi terdengar pula dari hilir
sungai sana, "Sekarang boleh kau pilih, mau tanding pedang
boleh, mau adu kepalan juga jadi, Ting-losi pasti akan
mengiringi, kau, kita boleh bertempur tiga hari tiga malam
barulah menyenangkan. Nah, Siau-jui, mengapa kau tidak
menjawab?" Dari suara orang tua itu rasanya jaraknya sekarang sudah
semakin mendekat lagi. Selang tak lama, mendadak terdengar
suara gemerencing rantai besi, menyusul lantas terdengar
suara gedubrak yang keras, suatu benda yang berat telah jatuh
di atas perahu si nenek. Kiranya dari kapal yang memapak dari
depan itu telah dilemparkan sebuah jangkar berantai. Seketika
Boh-thian merasa badannya miring sebelah, rupanya
perahunya menjadi doyong karena tertimpa jangkar yang berat
itu. "Hei, hei! Mau apa itu?" demikian si tukang perahu berteriakteriak
kaget. Karena miringnya perahu, badan Boh-thian lantas
menggelinding ke samping, sebaliknya si nona juga lantas
menggelinding dan bersandar di badan pemuda itu.
"Wah, ini ... ini ...." demikian Boh-thian ingin minta si nona
jangan menempelkan tubuhnya itu, tapi segera teringat nona


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu pun serupa dirinya dalam keadaan tak bisa berkutik maka
kata-kata yang akan diucapkan itu lantas ditelan kembali.
Dalam pada itu terasa ada orang melompat ke atas perahu
mereka, hanya sekejap saja imbangan perahu itu sudah pulih
kembali. "Siau-jui," terdengar seorang tua tadi berkata di haluan
perahu, "sekarang aku sudah datang, apakah kita akan segera
bertanding?" "Eh, jangan kau main begitu, kedua perahu bisa berjungkir
semua," seru si tukang perahu di buritan dengan khawatir.
Si orang tua menjadi gusar, "Keparat, tutup bacotmu!" Segera
ia angkat jangkar tadi dan dilemparkan kembali.
Begitu dua perahu terpisah, segera terhanyut ke hilir semua
mengikuti arus. Melihat betapa hebat tenaga orang itu, jangkar besi yang
bobotnya beberapa ratus kati dilemparkan kian kemari dengan
seenaknya saja, keruan si tukang perahu ternganga kaget dan
tak berani bersuara lagi.
"Nah, Siau-jui, aku telah berada di haluan perahumu, lekas
keluar," demikian kata si kakek pula dengan tertawa. "Aku
takkan tertipu olehmu, aku tak mau masuk ke kolong perahu
yang mungkin telah kau siapkan perangkap."
Mendengar itu Boh-thian dan kedua wanita berada di dalam
kolong perahu itu menjadi lega hatinya. Mereka pikir kalau
kakek itu tidak mau masuk ke kolong perahu, itu berarti dapat
mengulur tempo lebih lama lagi.
Tapi Boh-thian lantas teringat lagi bila nanti si wanita tua
sudah dapat mengumpulkan sedikit tenaga saja tentu akan
terjun ke dalam sungai bersama si nona cilik ini. Walaupun
Boh-thian belum pernah kenal kedua wanita itu, bahkan si
nenek berulang-ulang ingin membunuhnya, namun dasar sifat
Boh-thian memang baik, ia tidak tega menyaksikan nenek dan
cucu perempuan itu mati secara mengenaskan.
Kebetulan saat itu telinga si nona terletak di sisi mulutnya,
segera ia membisikkannya, "Nona, kau harus minta nenekmu
jangan terjun ke sungai untuk membunuh diri."
"Dia ... dia takkan menurut, beliau pasti akan terjun," sahut si
nona dengan perlahan. Saking sedihnya air matanya lantas
bercucuran. Sekali air mata sudah bercucuran, maka susah dihentikan lagi,
nona itu lantas menangis tersedu-sedu, air matanya
membasahi pula pipi Boh-thian.
"Ma ... maafkan aku, air ... air mataku telah membikin kotor
mukamu," kata si nona dengan suara parau. Nyata nona ini
mempunyai perangai yang sangat lemah lembut dan halus
budi. "Ai, nona jangan main sungkan-sungkan, hanya air mata saja
tidak apa-apa," sahut Boh-thian.
"Sesungguhnya aku tidak mau mati," kata si nona pula dengan
perlahan. "Tetapi orang di haluan perahu itu sangat kejam,
nenek bilang lebih suka mati juga tidak sudi ditawan olehnya.
O, maaf, air mataku ... ah, kenapa kau pun menangis juga?"
"Aku menjadi terharu atas tangisanmu, maka aku pun ikut-ikut
menangis," sahut Boh-thian.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang berbangkit, di
pojok kolong perahu ada bayangan seorang telah berduduk.
Semula Ciok Boh-thian mestinya berada dalam keadaan
tengkurap, tapi sesudah menggelinding, badannya sekarang
menjadi miring. Maka waktu melihat orang itu berduduk, ia
menjadi khawatir, dengan suara terputus-putus ia membisiki si
nona, "Ne ... nenekmu sudah dapat bergerak dia ... dia telah
berduduk." Nona itu berseru khawatir, segera ia bermaksud memegangi
Boh-thian. Tapi dia sendiri tak bisa berkutik, bahkan satu jari
saja tak bisa bergerak, maka hanya hatinya yang gelisah, tapi
tak dapat berbuat lain. Selang sejenak, terdengar Boh-thian membisikinya lagi, "Dia ...
dia telah menjulurkan tangannya hendak menjambret kau."
"Lekas ... lekas kau suruh dia jang ... jangan pegang diriku ...
aku takut ...." seru si nona. Tapi pada saat itu juga
punggungnya lantas terasa dicengkeram oleh sepasang tangan.
Karena tak bisa bergerak, terpaksa Boh-thian hanya berseru,
"Lothaythay, jangan kau mencengkeramnya, dia tak mau
mengiringi kau terjun ke dalam sungai. Tolong, tolong!"
Si kakek yang berada di haluan perahu itu menjadi heran
ketika mendadak terdengar suara seorang pemuda dari dalam
kolong perahu, bentaknya, "Siapa itu yang bergembargembor?"
Cepat Boh-thian menjawab, "Lekas kau masuk kemari, lekas
tolong orang. Lothaythay tidak dapat menandingi kau, dia
hendak terjun ke sungai untuk membunuh diri."
Rupanya si kakek menjadi terkejut, segera ia menghantam
sehingga atap perahu tersingkap separuh, segera tangannya
mencengkeram sehingga lengan si nenek kena dipegangnya.
Hawa murni si nenek yang sudah terkumpul sedikit itu lantas
buyar seketika terus roboh terkulai.
Si kakek menjadi terkejut sesudah memegang nadi si nenek,
cepat ia tempelkan tangannya ke punggung si nenek, katanya
dengan khawatir, "He, Siau-jui, apakah kau melatih Lwekang
dan sesat jalannya" Mengapa tidak kau katakan sejak tadi, tapi
sengaja bertahan." "Lepaskan diriku, jangan kau pedulikan diriku! Lekas enyah
dari sini!" seru si nenek dengan napas terengah-engah.
"Denyut nadimu tak teratur, keadaanmu sangat berbahaya,
kalau tidak segera ditolong mungkin ... mungkin bisa cacat
untuk selamanya. Biarlah aku membantu kau," demikian kata
si kakek. Tapi si nenek menjawab dengan gusar, "Tidak, tidak perlu
bantuanmu! Jika kau sentuh badanku lagi, biarpun aku tak bisa
bergerak, segera juga aku akan menggigit putus lidahku untuk
membunuh diri." Si kakek kenal watak si nenek yang keras, berani berkata dan
berani berbuat. Terpaksa ia membujuknya pula, "Denyut
nadimu di bagian tangan semuanya kacau tak keruan, untuk ini
...." "Kau tak perlu urus," sahut si nenek. "Kau berkeras ingin
menangkan diriku. Sekarang aku melatih Lwekang dan
tersesat, bukankah menjadi lebih baik bagimu dan terpenuhi
cita-citamu?" "Kita jangan bicara soal ini," ujar si kakek. "A Siu, kenapakah
kau" Lekas kau menghibur nenekmu. Eh, ken ... kenapa kau
tidur di situ bersama seorang lelaki" Apakah dia kekasihmu?"
"Bu ... bukan!" A Siu dan Boh-thian menjawab berbareng.
"Kami tak bisa bergerak sama sekali."
Si kakek merasa heran dan geli pula. Segera ia seret Ciok Bohthian
keluar. Tak terduga seluruh badan Boh-thian terikat dengan kencang
oleh tambang sehingga kaku lempeng, pinggang tak bisa
membungkuk, tangan tak bisa melengkung, karena diseret,
seketika tubuhnya terangkat menegak ke atas sehingga
membuat kaget si kakek. Sesudah jelas duduknya perkara,
kakek itu terbahak-bahak geli, katanya, "A Siu, apa kau
kelaparan, maka kau menyimpan sebuah lemper raksasa di
kolong selimutmu?" "Bukan," sahut si A Siu cepat," dia ... dia melayang masuk
sendiri dari luar dan bukan ... bukan aku yang menyimpannya."
"Kau sendiri juga tidak bisa bergerak, apakah kau pun ingin
menjadi lemper raksasa?" kata si kakek.
Mendadak si nenek membentak dengan bengis, "Jangan kau
coba menyentuh A Siu atau segera aku mengadu jiwa dengan
kau." "Baik, aku takkan menyentuh dia," sahut si kakek. Lalu ia
menoleh kepada si tukang perahu dan berkata, "Juru mudi,
putar haluan, pasang layar, kalau aku suruh kau berhenti harus
segera berhenti!" Si tukang perahu tidak berani membangkang, terpaksa ia
menurut segala perintah itu.
"Apa yang hendak kau lakukan?" seru si nenek dengan gusar.
"Aku akan membawa kau ke Pik-lwe-san untuk merawat kau
dengan baik-baik," sahut si kakek.
"Tidak, mati pun aku takkan ke Pik-lwe-san (gunung keong
hijau)," bantah si nenek. "Aku toh tidak kalah padamu,
mengapa kau memaksa aku datang ke sarang anjingmu?"
"Bukankah kita sudah berjanji akan bertanding di sungai
Tiangkang ini. Kalau aku kalah, aku akan datang ke rumahmu
dan menyembah padamu. Sebaliknya kalau kau kalah, kau
harus ikut ke rumahku. Sekarang aku tak peduli apakah kau
melatih Lwekang dan tersesat atau kau kalah bertempur,
pendek kata sekali ini kau harus ikut aku ke Pik-lwe-san."
"Tidak, aku tidak mau ke sana! Tidak ...." baru sekian si nenek
menjerit dengan murka, mendadak napasnya menjadi sesak,
orangnya lantas pingsan. "Hahaha! Mau tidak mau kau harus ikut aku ke sana," kata si
kakek dengan tertawa. "Hari ini sudah terang kau tak berkuasa
lagi." "Eh, kalau dia tidak mau pergi, mana boleh kau memaksa
orang?" demikian Boh-thian telah menimbrung.
Si kakek menjadi gusar, "Siapa suruh kau ikut-ikut kentut?"
bentaknya, berbareng ia menampar ke muka Ciok Boh-thian.
Tampaknya pemuda itu pasti akan puyeng tujuh keliling kena
tempelengan itu, boleh jadi giginya bisa rontok pula semua.
Tapi sekilas tiba-tiba si kakek melihat di pipi Boh-thian terdapat
sebuah cap tangan yang hitam gosong, ia menjadi tertegun
dan menahan pukulannya. Katanya dengan tertawa, "Aha,
lemper raksasa, kukira siapa yang meringkus kau sedemikian
rupa, kiranya adalah perbuatan aku punya cucu keponakan
perempuan yang nakal itu. Bekas tamparan di mukamu ini
bukankah adalah pukulan cucu keponakan perempuan?"
"Cucu keponakan perempuanmu?" Boh-thian menegas dengan
bingung. "O, barangkali kau belum tahu siapa diriku ini" Aku adalah Ting
Put-si, cucu keponakan perempuanku ialah ...."
"Ah, benar, Ting-ting Tong-tong adalah cucu keponakan
perempuanmu," demikian sela Boh-thian. "Ya, memang si Tingting
Tong-tong yang telah menampar pipiku ini. Dia pula yang
telah meringkus aku dengan tali tadi."
Bab 20. Ciok Boh-thian Mengalahkan Ting Put-si
"Hahahaha! Memangnya aku sudah menduga di dunia ini selain
si budak cilik A Tong itu tiada anak perempuan yang demikian
nakalnya," kata Ting Put-si dengan tertawa terpingkal-pingkal.
"Ehm, bagus! Sebab apakah dia meringkus kau sekencang ini?"
"Kakeknya hendak membunuh aku, katanya ilmu silatku terlalu
rendah, aku dikatakan tolol dan sinting," tutur Boh-thian.
"Hahahaha!" Ting Put-si terpingkal-pingkal pula sampai
menungging dan memegangi perutnya yang sakit. "Orang yang
hendak dibunuh Losam, sekarang telah kepergok oleh Losi,
maka ... hahahaha!" "Kau juga hendak membunuh aku?" tanya Boh-thian dengan
khawatir. "Pikiran Ting-losi di dunia ini siapakah yang dapat menerka?"
ujar Ting Put-si. "Kau mengira aku hendak membunuh, tapi
aku justru tidak mau membunuh."
Habis berkata ia lantas mencengkeram tengkuk Ciok Boh-thian
dan ditegakkan. Telapak tangan kanan setajam pisau lantas
bekerja berulang-ulang ia memotong tambang layar yang
meringkus badan Boh-thian itu sehingga berpuluh-puluh
potong tali lantas jatuh semua dalam keadaan terputus-putus.
"Wah, Loyacu, kepandaianmu ini benar-benar sangat lihai.
Kepandaian apakah ini namanya?" puji Boh-thian.
Dasar watak Ting Put-si memang suka dipuji dan suka menang,
pujian Ciok Boh-thian itu telah membuatnya senang tidak
kepalang. Sahutnya, "Kepandaianku ini sudah tentu sangat
hebat, di dunia ini mungkin tiada orang kedua lagi yang dapat
menandingi kepandaian Ting Put-si ini. Tentang nama
kepandaian ini ...."
Mendengar bualan Ting Put-si itu, si nenek yang baru saja
siuman kembali segera mengejeknya, "Hm, tikus naik di atas
meja, membual dan memuji diri sendiri! Kepandaian Gway-tocam-
loan-moa (pisau cepat memotong tali rami) seperti itu
asal orang yang pernah belajar dua-tiga jurus saja tentu akan
dapat memainkannya. Kenapa mesti dibuat heran?"
"Fui!" semprot Ting Put-si. "Asal orang yang pernah belajar
dua-tiga jurus saja akan dapat memainkan jurus Gway-to-camloan-
moa ini" Nah, boleh coba kau memainkannya sekarang
juga!" "Kau tahu aku tak bisa bergerak, maka sengaja bicara
seenaknya," sahut si nenek. "He, Lemper raksasa, biarlah
kukatakan padamu, jurus "Gway-to-cam-loan-moa" ini di manamana
dapat kau saksikan, setiap penjual obat di pasar, asal
kau memberi dia satu-dua picis dan suruh dia memainkan jurus
ini, maka dia tentu akan memainkannya bagimu, tanggung
caranya serupa dengan gerakan tua bangka ini tadi. Jurus ini
adalah kepandaian yang tak berarti, setiap penipu di dunia ini
tentu juga bisa, kenapa mesti dibuat heran?"
Ting Put-si paling benci kalau orang mengolok-olok
kepandaiannya, sekarang ucapan si nenek sedemikian
menghinanya, keruan ia menjadi murka, kontan tangannya
mencengkeram ke pundak si nenek.
"He, jangan main kasar!" seru Boh-thian dan cepat tangannya
memotong ke pergelangan tangan Ting Put-si, yang digunakan
adalah jurus "Pek-ho-jiu" (cakar bangau putih) dari ke-18 jurus
Kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong.
Kiranya sudah cukup lama dia punya Hiat-to dicengkeram oleh
si Ting Tong, dengan Lwekangnya yang kuat, Hiat-to yang
tertutuk itu sudah punah dengan sendirinya, sekarang tali layar
yang meringkusnya itu sudah putus semua, darah telah jalan
lancar kembali, maka seketika ia dapat bergerak dengan
bebas. Tangkisan Boh-thian itu membuat Ting Put-si bersuara heran.
Segera ia memutar tangannya untuk menggaet lengan pemuda
itu. Namun Boh-thian sudah hafal sekali meyakinkan ke-18 jurus
Kim-na-jiu-hoat itu, segera ia pun ganti serangan, telapak
tangan kiri memukul, jari tangan kanan dipakai mencolok
kedua mata lawan. "Bagus! Ini adalah Kim-na-jiu-hoat ajaran Losam!" bentak Ting
Put-si. Berbareng kedua tangannya menolak ke depan untuk
menahan kedua tangan pemuda itu.
Tapi mendadak kedua tangan Ciok Boh-thian memutar dari
kedua samping untuk menggecek Thay-yang-hiat di kedua
pelipis lawan. Namun secepat kilat kedua tangan Ting Put-si


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerobos dari bawah ke atas terus menyampuk keluar
sehingga kedua lengan Ciok Boh-thian terketuk.
Disangkanya benturan tangan itu pasti akan membuat lengan
Ciok Boh-thian patah seketika. Tak terduga begitu keempat
lengan beradu, Boh-thian tetap berdiri tegak tanpa bergerak.
Sebaliknya Ting Put-si sendiri merasa tubuh bagian atas
seakan-akan kaku semua, "krak", tanpa merasa sebuah papan
perahu telah patah kena diinjaknya, badan perahu itu pun
terombang-ambing ke kanan dan ke kiri beberapa kali.
Sama sekali Ting Put-si tidak menduga bahwa bocah tolol ini
memiliki tenaga dalam sedemikian hebatnya, cepat ia mundur
selangkah supaya tidak kejeblos ke dalam lubang papan yang
patah itu sambil bersuara heran lagi.
Semula Ting Put-si bersuara heran karena di luar dugaannya
Ciok Boh-thian ternyata mahir menggunakan Kim-na-jiu-hoat
dari keluarga Ting. Tapi ia bersuara heran pula dengan terkejut
karena getaran tenaga dalam pemuda itu telah membuatnya
mundur selangkah dan mematahkan papan perahu, ia merasa
Lwekang anak muda ini benar-benar luar biasa dan susah di
ukur. Sungguh susah dimengerti entah dari manakah
mendadak bisa muncul seorang jago muda yang memiliki ilmu
silat setinggi ini" Walaupun benturan tangan tadi Ting Put-si tidak mengeluarkan
seluruh tenaganya, tapi pihak lawan seakan-akan tidak
merasakan apa-apa, sebaliknya dirinya telah menginjak patah
papan perahu, hal ini boleh dikata dirinya sudah kalah satu
jurus. Pemuda ini sedemikian lihainya, mengapa kena
ditangkap oleh Ting Tong" Bahkan kena ditampar pula"
Begitulah seketika Ting Put-si menjadi ragu-ragu dan sangsi.
Di sebelah sana si nenek juga heran dan terkejut. Tapi setiap
ada kesempatan untuk mengolok-olok Ting Put-si selalu
digunakannya dengan baik, maka ia lantas tertawa. Sesudah
terbahak-bahak beberapa kali, maksudnya hendak bicara, tapi
seketika napasnya menjadi sesak dan susah mengeluarkan
suara, terpaksa ia berkata dengan perlahan-lahan, "Hahaha!
Ter ... ha ... dap seorang bocah ... bocah tolol saja tidak ...
tidak bisa ...." Ting Put-si menjadi gusar, teriaknya, "Biarlah aku mewakilkan
kau bicara saja. Kau hendak bilang: Terhadap seorang bocah
tolol saja tidak bisa menang bukan?"
Nenek itu tersenyum simpul dan manggut-manggut
membenarkan. Tiba-tiba Ting Put-si berpaling kepada Ciok Boh-thian,
tanyanya, "Hei, Lemper raksasa, siapakah gurumu?"
Boh-thian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ia
pikir meski Cia Yan-khek dan si Ting Tong pernah mengajarkan
ilmu silat padanya, tapi mereka bukanlah gurunya yang resmi,
maka jawabnya, "Aku tidak punya guru."
"Ngaco-belo, habis kau punya Kim-na-jiu-hoat ini kau mencuri
belajar dari mana?" bentak Ting Put-si.
"Aku tidak mencuri belajar, tapi si Ting-ting Tong-tong yang
mengajarkan aku selama sepuluh hari," sahut Boh-thian. "Si
Ting Tong bukan guruku, tapi adalah ... adalah ...."
Mestinya ia ingin menerangkan bahwa "dia adalah istriku", tapi
ia merasa tidak enak, maka tidak diucapkannya.
Ting Put-si menjadi gusar, ia memaki, "Keparat, kau bilang
Kim-na-jiu-hoat ini si Ting Tong yang mengajarkan kau" Huh,
ngaco-belo!" Dalam pada itu napas si nenek sudah teratur kembar, segera ia
menyindir lagi, "Orang Kangouw suka mengatakan bahwa
"Kedua jago keluarga Ting, yang satu adalah kesatria dan yang
lain adalah babi". Sekarang dengan mataku sendiri aku telah
menyaksikannya dan nyata memang tidak salah kabar orang
Kangouw itu." Ting Put-si berjingkrak marah-marah, teriaknya, "Bilakah orang
Kangouw mengatakan demikian" Huh, pasti kau sendiri yang
membuat-buatnya. Coba katakan, siapa yang kesatria dan
siapa yang babi" Ilmu silatku lebih tinggi daripada Losam,
siapa orangnya di dunia persilatan yang tidak tahu hal ini?"
Si nenek tidak berani bicara terlalu buru-buru, maka dengan
sekata demi sekata ia menjawab, "Si Ting Tong adalah cucu
perempuannya Ting-losam. "Kepandaian Ting-losam diajarkan kepada putranya, putranya
mengajarkan kepada putrinya si Ting Tong itu dan akhirnya si
Ting Tong mengajarkan pula kepada bocah dogol ini. Malahan
bocah dogol ini cuma belajar sepuluh hari saja sudah
mengalahkan Ting Put-si. "Nah, boleh kau coba minta pertimbangan setiap orang di dunia
ini, sia ... siapakah ...." sampai di sini napasnya kembali sesak
lagi dan susah meneruskan.
Ting Put-si menjadi tidak sabaran lagi, segera ia menyambung,
"Biarlah kuwakilkan bicara, "Siapakah sebenarnya yang kesatria
dan siapa yang babi" Sudah tentu Ting-losam adalah kesatria
dan Ting-losi adalah babi", bukan?"
"Ya, asal ... asal kau tahu saja," kata si nenek sambil
memanggut dan tersenyum-senyum ejek.
Walaupun suara si nenek sangat lemah tapi bagi pendengaran
Ting Put-si terasa sangat menusuk, teriaknya pula, "Siapa
bilang si Lemper raksasa ini telah mengalahkan Ting Put-si"
Hayo, mari, mari, boleh kita coba-coba lagi! Kalau aku tidak
...." Mestinya ia hendak mengatakan, "Kalau aku tidak menghantam
kau masuk ke dalam sungai di dalam 3 jurus saja, biarlah aku
menyembah padamu" dan lain-lain lagi. Tapi sebelum
diucapkan ia lantas ingat ilmu silat Ciok Boh-thian yang susah
diduga itu, jangan-jangan di dalam tiga jurus tidak dapat
merobohkan dia, kan urusan bisa runyam" Kalau menyatakan
"di dalam sepuluh jurus", rasanya juga tidak meyakinkan,
sebaliknya kalau bilang "di dalam 50 jurus" rasanya terlalu
banyak, masakah dirinya sebagai seorang tokoh ternama harus
memerlukan 50 jurus baru dapat mengalahkan murid cucu
keponakan perempuan sendiri, lalu apakah dirinya masih dapat
disebut sebagai kesatria"
Sedikit Ting Put-si merandek saja, kesempatan itu lantas
digunakan si nenek untuk mengejeknya pula, "Boleh kau
katakan jika di dalam 200 jurus kau tidak mengalahkan dia,
maka kau akan menyembah dan mengangkat dia sebagai ...."
"Mengangkat dia sebagai guru, demikian hendak kau katakan
bukan?" teriak Ting Put-si dengan murka. Berbareng ia terus
meloncat ke atas, dari udara kedua tangannya lantas
menghantam kepala dan pundak Ciok Boh-thian.
Walaupun Boh-thian telah mempelajari ke-18 jurus Kim-na-jiuhoat,
tapi dia hanya dapat mematahkan serangan-serangan si
Ting Tong saja, cara belajarnya bukan cara yang hidup, cara
menggunakannya juga tidak bisa cara hidup.
Maka ketika melihat kedua tangan Ting Put-si menghantam
dari atas, ia menjadi kelabakan, terpaksa ia menjulurkan kedua
tangan ke atas untuk melindungi kepalanya sendiri.
Pada saat lain "Tay-cui-hiat" di kuduknya lantas terasa sakit
dan ditumbuk oleh suatu tenaga yang kuat, nyata telah kena
pukulan lawan. Tay-cui-hiat itu adalah Hiat-to penghubung antara urat-urat
nadi kaki dan tangan, dari situ seketika timbul tenaga reaksi
yang mahakuat. Kontan Ting Put-si merasa seluruh badannya
tergetar, tubuhnya lantas terpental balik. Waktu dia pandang
Ciok Boh-thian, pemuda itu ternyata tenang-tenang saja
seperti tidak terjadi apa-apa.
Meski serangan ini tepat mengenai Ciok Boh-thian, namun Ting
Put-si sendiri malah terpental mundur, maka tidak dapat
dianggap kalah atau menang.
Tapi si nenek sudah lantas menyindir lagi, "Ting-losi, orang
sengaja membiarkan seranganmu mengenai dia, tapi kau
sendiri malah terpental, sungguh terlalu tidak becus. Teranglah
hanya satu jurus saja kau sudah kalah."
"Mana bisa aku kalah" Ngaco-belo!" sahut Ting Put-si dengan
gusar. "Umpama kau belum kalah, maka boleh coba membiarkan dia
menghantam kau punya Tay-cui-hiat, bila kau tidak mampus
dan dapat pula membikin dia terpental mundur maka kalian
dapat dianggap seri, sama-sama kuat."
Diam-diam Ting Put-si memikir, dengan tenaga dalam anak
muda yang mahakuat ini, bila aku punya Tay-cui-hiat kena
dihantam, andaikan tidak binasa juga pasti terluka parah. Maka
lantas jawabnya, "Tanpa sebab buat apa aku membiarkan
diriku dihantam" Kalau perlu kau punya Tay-cui-hiat boleh coba
kuhantam saja." "Huh, memangnya aku sudah tahu si "Ting babi" adalah
pengecut, hanya mau menang sendiri, kalau disuruh
bertanding secara kesatria tentu tidak berani," jengek si nenek.
Ting Put-si menjadi bungkam karena sindiran si nenek kena
betul isi hatinya. Dasar dia memang suka unggul, biarpun kalah
bicara juga tidak mau tunduk. Segera ia berkata lagi kepada
Boh-thian, "Marilah kita coba-coba lagi!"
"Tidak," sahut Boh-thian. "Aku hanya belajar sedikit
kepandaian kepada Ting-ting Tong-tong, ilmu silat lain aku tak
paham sama sekali. Serangan-seranganmu yang ruwet tadi
aku tak dapat menangkisnya. Maka, biarlah anggap kau yang
menang dan tak perlu bertanding lagi."
"Anggap kau yang menang", kata-kata ini sangat menusuk
telinga Ting Put-si. Segera ia berseru, "Kalau kalah bilang
kalah, kalau menang ya menang, mengapa pakai anggap atau
tidak anggap" Sekarang aku akan membiarkan kau menyerang
dahulu. Nah, lekas kau mulai!"
"Tidak, aku tidak bisa," sahut Boh-thian sambil menggeleng.
Ting Put-si menjadi murka, apalagi dari samping si nenek
masih terus tertawa mengejeknya, segera ia memaki, "Anak
bedebah, kau tidak bisa, biar aku mengajar kau. Nah, lihatlah
yang jelas, jika kau memukul padaku cara demikian, aku lantas
begini menangkisnya, menyusul aku balas menyerang kau, kau
lantas mengegos ke samping dan batas memukul aku dengan
kepalan kiri." Disuruh belajar memang Ciok Boh-thian sangat cepat
memahaminya. Maka ia lantas menurutkan gaya yang
diajarkan Ting Put-si, ia menyerang dahulu, lalu Ting Put-si
balas menghantam. Baru saja mereka bergebrak empat jurus, ketika Ting Put-si
memukul pula maka Boh-thian tidak tahu cara bagaimana
menangkisnya lagi, terpaksa dia terdiri tegak dan berkata,
"Bagaimana aku harus terbuat" Aku tidak tahu lagi."
Ting Put-si merasa geli dan mendongkol pula, katanya, "Kalau
semuanya harus aku yang mengajarkan, lalu bertanding apa
lagi?" "Memangnya aku bilang tak perlu bertanding dan anggap saja
kau yang menang," sahut Boh-thian.
"Tidak, tidak bisa," kata Put-si. "Jika aku tidak menangkan kau
dengan sungguh-sungguh, selama hidup ini tentu aku akan
ditertawai Siau-jui dan dianggap sebagai babi dan pengecut.
Nah, ingatlah yang baik, bila aku sampai memukul begini,
maka kau tidak perlu menangkis, tapi menggeser maju terus
balas menusuk perutku dengan jarimu. Serangan balasan ini
sangat lihai dan terpaksa aku harus menarik kembali
pukulanku untuk menghindari seranganmu."
Begitulah Ting Put-si sambil berkata sambil bergaya memberi
contoh, Ciok Boh-thian juga mengingatnya dengan baik.
Sesudah paham lalu kedua orang bergebrak lagi dari
permulaan jika sudah terpakai habis jurus-jurus ajaran Ting
Put-si, lalu Boh-thian berhenti dan terpaksa Put-si mengajarkan
lagi, lalu mulai bergebrak dan begitu seterusnya sehingga
tanpa merasa lelah berlangsung sampai ratusan jurus, tapi Ting
Put-si tetap susah merobohkan Boh-thian, walaupun jurusjurus
yang digunakan anak muda itu adalah ajarannya.
Lama-kelamaan Ting Put-si menjadi gelisah. Apalagi si nenek
masih terus mencemoohkan dari samping, sehingga Ting Put-si
tidak berani main licik, terpaksa ia mengajarkan jurus-jurus
serangannya dengan sungguh-sungguh. Dasar ingatan Bohthian
sangat baik, Lwekangnya sangat kuat pula, terpaksa Ting
Put-si harus melayani dengan semangat, pertarungan demikian
menjadi tidak kalah hebatnya daripada dahulu tatkala dia
bertanding melawan si nenek.
Sesudah beberapa puluh jurus lagi, sementara itu fajar sudah
menyingsing. Ting Put-si menjadi tidak sabar lagi, mendadak
ilmu pukulannya berganti, ia mengeluarkan jurus "Kat-mapeng-
coan" (kuda haus berlari ke sumber air) yang telah
diajarkan permulaan tadi, mendadak ia menubruk maju sambil
menghantam. "He, he! Salah! Urut-urutannya salah!" teriak Boh-thian.
"Peduli urut-urutannya salah apa segala" Asal jurus yang
pernah kuajarkan saja tadi kan sudah jadi?" sahut Ting Put-si.
Namun demikian Boh-thian juga belum lupa harus
mematahkan serangan Ting Put-si itu dengan jurus "Hun-tiappian-
hui" (kupu-kupu terbang menari di angkasa) ajaran Ting
Put-si tadi, cepat ia melompat ke samping.
Menurut rekaan Ting Put-si, asal pemuda itu didesak mundur
sehingga kecemplung ke dalam sungai, maka itu berarti dia
sudah menang dan betapa pun Siau-jiu (si nenek) tiada alasan
untuk menyindirnya lagi. Maka cepat ia mendesak maju,
dengan jurus "Heng-sau-jian-kun" (menyapu seribu prajurit),
kedua tangannya berbareng memotong dari samping.
Tapi Boh-thian lantas menggunakan jurus "Ho-hong-se-uh"
(angin halus hujan gerimis) untuk menghindarkan serangan
lawan yang membadai. Namun terpaksa ia mesti mundur lagi
setindak sehingga sebelah kakinya telah menginjak di atas tepi
perahu. Ting Put-si sangat girang. "Turunlah!" bentaknya sambil
menyerang dengan gerak tipu "Ciong-koh-ce-bin" (genderang
menggema serentak), kedua kepalan sekaligus hendak
menghantam kedua pelipis Ciok Boh-thian.
Kalau menurut kepandaian ajaran Ting Put-si tadi, maka Bohthian
terpaksa harus melangkah mundur untuk memberi
tangkisan. Akan tetapi sekarang dia tiada jalan mundur lagi,
kalau melangkah mundur berarti terjerumus ke dalam sungai.
Dalam gugupnya tanpa pikir lagi Boh-thian lantas
menggunakan kepandaian yang paling dipahami ajaran si Ting
Tong dahulu, segera ia menggeser ke samping sehingga
berbalik berada di belakang Ting Put-si, berbareng tangan
kanan menggunakan jurus "Hou-jiau-jiu" untuk mencengkeram
"Leng-tay-hiat" dan tangan kiri memakai jurus "Giok-li-cui-ciam"
untuk memegang "Koan-ki-hiat" sekali tangannya kena
memegang sasarannya, seketika pula tenaga dalamnya yang
mahadahsyat juga bekerja.


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa ampun lagi Ting Put-si menjerit sekali, kontan ia roboh
terkulai di atas geladak perahu.
Padahal biarpun Lwekang pemuda itu teramat kuat, betapa pun
juga susah merobohkan Ting Put-si yang tergolong jago
kawakan itu. Soalnya Ting Put-si terlalu memandang enteng
kepada Boh-thian, disangkanya pemuda itu pasti akan
menggunakan jurus ajarannya untuk menangkis serangannya,
untuk mana pemuda itu pasti akan terdesak masuk ke dalam
sungai. Tak terduga olehnya bahwa pemuda dogol ini
mendadak bisa ganti tipu serangan, bahkan yang digunakan
adalah tipu serangan yang telah dipelajarinya dengan masak
betul sehingga Ting Put-si sama sekali tiada kesempatan untuk
menghindar, malahan tenaga dalam Ciok Boh-thian juga
sedemikian lihainya sehingga Ting Put-si tak dapat
menahannya. Kejadian di luar dugaan ini, bukan saja Ting Put-si dan Ciok
Boh-thian sendiri terkejut, bahkan si nenek juga melongo
kaget. Tapi ia lantas terbahak-bahak beberapa kali, tiba-tiba
napasnya sesak, lalu jatuh pingsan lagi dengan mata mendelik.
Keruan Boh-thian terperanjat, cepat ia berseru, "He,
Lothaythay, ken ... kenapakah kau?"
Si nona yang tak bisa berkutik dan berada di dalam kolong
perahu itu dengan sendirinya tidak dapat mengikuti apa yang
terjadi di luar itu, ketika mendengar suara seruan Boh-thian
yang gugup itu, segera ia bertanya, "Toako itu, bagaimanakah
dengan nenekku?" "Dia ... dia telah pingsan," sahut Boh-thian dengan tak lancar.
"Sekali ini tampaknya ... tampaknya agak berat, mungkin ...
mungkin susah sadar kembali."
"Ha, kau maksudkan nenek telah ... telah meninggal?" tanya si
nona dengan khawatir. Boh-thian coba memeriksa pernapasan hidung si nenek, lalu
menjawab, "Napasnya sih masih bekerja, cuma ... cuma
melihat gelagatnya agak ... agak berat."
"Berat bagaimana?" tanya pula si nona.
"Wajahnya pucat sebagai mayat," tutur Boh-thian. "Ah, biarlah
aku memondong kau keluar untuk melihatnya sendiri."
Sebenarnya si nona merasa rikuh dipondong pemuda itu, tapi
sesungguhnya ia sangat mengkhawatirkan keselamatan
neneknya. Sesudah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia berkata,
"Baiklah! Tolong engkau suka memayang aku keluar."
Selama hidup Ciok Boh-thian belum pernah mendengar orang
bicara sedemikian halus dan sopan padanya. Keruan ia sangat
senang. Biasanya kalau orang-orang Tiang-lok-pang bicara
padanya sikapnya sangat hormat dan takut-takut, hanya katakata
si nona inilah terasa sangat "sreg" dan enak bagi
pendengarannya. Maka perlahan-lahan ia lantas memondong nona itu, ia
membungkus tubuhnya dengan sehelai selimut tipis, lalu
membawanya ke haluan perahu.
Waktu melihat neneknya dalam keadaan pingsan, si nona telah
menjerit khawatir. Serunya, "Toako ini, sukalah engkau tolong
menyalurkan sedikit ... sedikit tenaga dalam ke tubuh nenek
melalui "Leng-tay-hiat" di punggungnya. Permohonan ini agak
melampaui batas, sungguh aku merasa tidak enak."
Mendengar suara si nona yang lemah lembut dan merdu itu,
tanpa terasa Boh-thian menunduk dan mengamati-amati
mukanya. Saat itu sang surya baru saja memancarkan sinarnya
yang gilang-gemilang, maka tertampaklah dengan jelas raut
muka si nona yang bundar telur, cantik molek, terutama
sepasang matanya yang besar juga sedang memandang
padanya dengan sorot matanya yang sayu rawan.
Ketika sinar mata kedua orang kebentrok, maka si nona
menjadi merah jengah. Karena tidak dapat berpaling ke arah lain, terpaksa dia
pejamkan mata. Sebaliknya Ciok Boh-thian tanpa merasa telah berkata,
"Kiranya kau juga sedemikian cantiknya, nona!"
Muka si nona tambah merah. Karena jarak muka kedua orang
terlalu dekat, ia tidak berani membuka suara, sebab khawatir
bau mulutnya menyembur ke muka Ciok Boh-thian, maka dia
diam saja dengan menutup mulut kencang-kencang.
Sesudah terkesima sejenak, kemudian Boh-thian berkata, "O,
maaf!" Segera ia menaruh tubuh si nona, lalu menggunakan telapak
tangannya untuk memegang Leng-tay-hiat di punggung si
nenek, sebenarnya ia tidak tahu cara bagaimana harus
menyalurkan tenaga dalam sebagaimana diminta oleh si nona,
maka dia hanya menggunakan cara mencengkeram Hiat-to itu
dengan "Hou-jiau-jiu" ajaran si Ting Tong, segera ia
mengerahkan tenaga. Mendadak si nenek menjerit sekali dan siuman kembali. "Anak
dogol, apa yang kau lakukan?" omelnya kepada Boh-thian.
"Nona ini minta aku menyalurkan tenaga kepadamu dan kau
ter ... ternyata sudah sadar kembali," sahut Boh-thian.
"Kau justru telah menutup aku punya Hiat-to di punggung,
masakah cara ini kau katakan hendak menyalurkan tenaga
padaku?" damprat si nenek.
"O, aku ... aku memang tidak bisa, harap engkau suka
mengajarkan padaku," pinta Boh-thian dengan kemalu-maluan.
Rupanya karena cengkeraman Boh-thian tadi sehingga
membikin si nenek tergetar sadar, semula ia sangat marah,
tapi ia lantas tahu juga Lwekang anak muda itu ternyata
sangat kuat, ia pikir apa barangkali bocah tolol ini telah makan
sesuatu buah-buahan atau tumbuhan ajaib sehingga membikin
tenaga dalamnya menjadi kuat, tapi dia justru tidak tahu cara
menggunakan tenaga dalam itu.
Sekarang aku melatih Lwekang dan tersesat, mungkin berkat
tenaga dalamnya yang kuat dapat membantu aku
menembuskan urat-urat yang tersumbat di dalam badanku,
asal jalan nadi sudah lancar, untuk kesembuhan selanjutnya
aku dapat melakukannya sendiri.
Begitulah maka ia lantas berkata, "Baiklah, akan kuajarkan
padamu. Hendaklah kau himpun dulu tenagamu ke dalam
perut, bila sudah merasakan suatu arus hawa hangat mulai
bergolak, maka dapatlah kau salurkan ke mana pun menurut
pikiranmu. Nah, untuk pertama kali hendaklah kau
menyalurkan hawa hangat itu ke nadi Siau-yang-meh di
telapakan tanganmu."
Segera Boh-thian melakukannya sesuai dengan petunjuk itu,
maka dengan mudah saja ia telah dapat menyalurkan tenaga
dalamnya ke telapak tangan. Hendaklah maklum bahwa "Lohan-
hok-mo-kang" yang telah diyakinkan sebelumnya itu
adalah Lwekang paling tinggi dari Siau-lim-pay yang serbaguna
dan dapat dikerahkan menurut keinginannya, soalnya dahulu ia
tidak tahu cara bagaimana menggunakan Lwekang itu sehingga
mirip seorang hartawan memiliki harta karun segudang penuh,
namun tidak menemukan kunci untuk membuka pintu gudang
harta karunnya. Tapi sekarang sesudah mendapat petunjuk si
nenek dan dilakukannya dengan baik, maka tenaga dalamnya
lantas membanjir keluar laksana air bah melanda.
Sedemikian hebat bekerjanya Lwekang Ciok Boh-thian
sehingga si nenek merasa kewalahan, ia berseru, "Tahan,
tahan dulu, per ... perlahan-lahan saja ...." belum habis
ucapannya, mendadak ia muntahkan sekumur darah hitam
kental. Boh-thian terperanjat, serunya cepat, "He, kenapa" Apakah
keliru caraku?" "Toako ini, nenek minta kau lambatkan tenaga yang kau
salurkan itu dan jangan terburu-buru," kata si nona yang
menggeletak di samping itu.
"Tolol," demikian si nenek mengomel, "apakah kau ingin
membikin jiwaku melayang" Kau harus menyalurkan tenagamu
sedikit demi sedikit, sesudah aku bernapas, lalu kerahkan pula
tenagamu." "O, ya, ya!" sahut Boh-thian.
Dan baru saja ia hendak lakukan menurut permintaan si nenek,
tiba-tiba terlihat Ting Put-si telah melompat bangun sambil
berteriak, "Bedebah, keparat! Hayo, kita bertanding lagi, yang
tadi tak bisa dihitung!"
"Huh, tua bangka yang tidak tahu malu! Mengapa yang tadi tak
bisa dihitung" Sudah terang kau telah kalah, bukan?" demikian
si nenek menanggapi. "Coba kalau tadi dia tambahkan sekali
hantam lagi atau membacok kepalamu dengan golok, apakah
jiwamu masih ada sampai saat ini?"
Ting Put-si merasa di pihak yang salah, maka ia tidak berani
bertengkar mulut lagi dengan si nenek. Tanpa bicara ia terus
menghantam pula ke arah Ciok Boh-thian sambil membentak,
"Jurus ini tadi telah kuajarkan padamu, tentunya kau sudah
paham, bukan?" Lekas-lekas Boh-thian mematahkan serangan Ting Put-si
dengan jurus ajaran orang tua itu pula.
Tapi Ting Put-si lantas menyerang pula sambil membentak,
"Dan jurus ini pun sudah kuajarkan tadi, tentu kau tak bisa
mengatakan aku main licik dan mau menang sendiri."
Ternyata setiap serangannya memang betul-betul adalah jurus
yang dia telah ajarkan kepada Ciok Boh-thian tadi, dengan
demikian dia hendak perlihatkan kepada si nenek bahwa dia
tetap pegang janji sebagai seorang kesatria. Namun tentang
dia kena dicengkeram pemuda itu tadi sehingga jatuh kalah,
untuk ini sepatah kata pun dia tidak menyinggung.
Makin lama makin cepat, sesudah belasan jurus mulut Ting
Put-si menjadi kewalahan atas kecepatan serangannya sendiri,
maka dia hanya membentak-bentak, "Ini sudah kuajarkan,
sudah kuajarkan, sudah kuajarkan!"
Karena serangan-serangan kilat itu, biar bagaimana pintarnya
Ciok Boh-thian juga tak dapat melayani dengan baik, hanya
beberapa jurus saja ia sudah kelabakan dan tampaknya akan
segera dirobohkan oleh Ting Put-si.
Untunglah pada saat ia sedang kewalahan, tiba-tiba terdengar
si nenek berseru, "Tahan dulu! Aku ingin bicara!"
Ting Put-si lantas menghentikan serangannya dan bertanya,
"Siau-jui, apa yang hendak kau katakan?"
Tapi si nenek berpaling kepada Boh-thian dan berkata, "Anak
muda, badanku merasa tidak enak, harap kau menyalurkan
sedikit tenaga lagi padaku."
"Ya, boleh juga," sela Ting Put-si sambil mengangguk. "Urat
nadimu memang kacau, napasmu juga sesak. Jika kau tidak
mau terima pertolonganku, boleh juga suruh dia membantu
kau. Ilmu silat pemuda ini rendah, tapi tenaga dalamnya
sangat kuat." "Hm," si nenek mendengus sekali. "Memangnya, ilmu silatnya
adalah ajaranmu." "Ilmu silatnya mana boleh buat dianggap aku yang
mengajarkan dia, padahal aku hanya memberi petunjuk dalam
waktu tiada satu jam barusan ini," sahut Ting Put-si dengan
gusar. "Tapi kalau dia mau ikut belajar padaku selama tiga
atau lima tahun, hm, aku tanggung kelak tiada seorang
kesatria angkatan muda yang dapat menandinginya."
"Sekalipun berhasil belajar sepandai dirimu juga apa sih
gunanya?" jengek si nenek. "Tanpa mempelajari ilmu silatmu
dia dapat mengalahkan kau, kalau sudah berhasil mempelajari
ilmu silatmu mungkin dia malah akan kau kalahkan. Makin
belajar padamu makin dungu dan semakin kalahan. Nah, coba
katakan, apa lebih baik belajar ilmu silatmu atau tidak?"
Untuk sejenak Ting Put-si menjadi bungkam, kemudian ia
mendebat lagi, "Jurus-jurus Hou-jiau-jiu dan Giok-li-cui-kiam
yang dia gunakan tadi bukankah juga kepandaian keluarga
Ting kami?" "Tapi itu adalah ajaran cucu perempuan Ting-losam dan bukan
kau yang mengajarkan dia," sahut si nenek. "Anak muda,
marilah ke sini, jangan gubris dia lagi."
Boh-thian mengiakan dan mendekati si nenek, ia gunakan
telapak tangannya untuk menahan di Leng-tay-hiat orang tua
itu dan membantunya melancarkan jalan darah urat nadinya.
Si nenek perlahan-lahan mengangkat lengannya ke atas, ia
pura-pura menutup mukanya dengan lengan baju, tujuannya
agar Ting Put-si tidak melihat dia sedang bicara, lalu dengan
suara bisik-bisik ia berkata kepada Boh-thian, "Sebentar bila
kau bergebrak lagi dengan dia, telapak tanganmu harus
menggunakan tenaga dalam sebagaimana sekarang
mengerahkan tenaga ke tanganmu ini. Bila dia memukul kau,
maka kau harus menggunakan jurus yang sama untuk
memapak tangannya, asal kedua tangan beradu, segera kau
kerahkan tenagamu ke badan lawan. Hati-hatilah, tua bangka
itu hendak mendesak kau terjerumus ke dalam sungai, kau
bisa mati kelelap. Maka ingatlah baik-baik, jurus apa pun yang
dia keluarkan kau pun menyambutnya dengan jurus yang
sama. Hanya dengan cara demikian barulah dapat
mempertahankan jiwa ... jiwa kita bertiga."
Rupanya sesudah si nenek berkumpul beberapa jam bersama
Ciok Boh-thian, diam-diam orang tua itu telah dapat
mengetahui pemuda itu berhati baik dan berjiwa luhur. Kalau
suruh dia bertanding tanpa alasan melawan Ting Put-si,
mungkin setiap saat dia bisa mengalah. Tapi kalau ditekankan
bahwa "demi untuk mempertahankan jiwa kita bertiga", ini
berarti termasuk jiwa si nenek dan cucu perempuannya, maka
besar kemungkinan Ciok Boh-thian akan membelanya dengan
sepenuh tenaga. Benar juga, segera tertampak Boh-thian manggut-manggut
setuju. Lalu si nenek berkata pula, "Sementara kau tidak perlu
menyalurkan tenaga padaku lagi. Sebentar kalau tanganmu
saling tahan dengan tangannya, maka tenaga yang kau
kerahkan tidak boleh perlahan-lahan, tapi harus cepat dan
keras, semakin kuat semakin baik."
"Dia akan muntah darah atau tidak?" tanya Boh-thian.
"Tidak," sahut si nenek. "Tadi aku muntah darah karena aku
sendiri sangat lemah dan mendadak diterjang oleh
membanjirnya tenagamu yang kuat. Tapi Lwekang tua bangka
itu sangat hebat, kalau kau tidak mengerahkan tenaga
sekuatnya tentu kau sendiri yang akan tergetar dan muntah
darah. Dan kalau kau terluka, tentu tiada orang lain lagi yang
mampu membela kami nenek dan cucu berdua. Dalam keadaan
tak bisa berkutik terpaksa kami mesti pasrah nasib dan
membiarkan diri kami dibunuh orang sesukanya."
Mendengar sampai di sini darah Ciok Boh-thian lantas bergolak,
timbul seketika jiwa kesatriaannya. Ia merasa saat ini biarpun
mati bagi nenek dan nona itu pun rela. Padahal kedua orang itu
siapa, apakah orang baik atau orang jahat, sama sekali dia


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak tahu. Begitulah perlahan-lahan si nenek lantas menurunkan lengan
bajunya yang menutupi mukanya itu, katanya, "Terima kasih,
anak muda, kalau tiada bantuan tenagamu mungkin sejak tadi
jiwa nenek sudah melayang. Rupanya tua bangka Ting Put-si
itu masih ngotot tak mau mengaku kalah padamu, maka
bolehlah kau bergebrak lagi padanya. Ai, aku sudah sedemikian
tua, sudah banyak juga aku menjumpai kesatria sejati dan
pahlawan tulen di dunia ini, tak tersangka pada saat hampir
dekat ajalku, di depan mataku sekarang justru terdapat seekor
babi tua, sungguh aku sangat penasaran."
"Kau bilang babi tua, apakah kau maksudkan aku?" tanya Ting
Put-si dengan gusar. "Seorang yang tahu diri masih boleh dikata belumlah terlalu
buruk," ujar si nenek dengan tersenyum. "Nah, Ting Put-si, jika
kau ingin membunuh dia kan terlalu gampang" Asal kau
gunakan beberapa jurus yang belum pernah kau katakan
padanya, tanggung dia tak mampu menangkis dan akan kau
binasakan." "Memangnya kau sangka aku Ting Put-si adalah pengecut
seperti itu?" sahut Ting Put-si dengan gusar. "Boleh kau
saksikan dengan baik, justru setiap jurus yang akan kugunakan
adalah kepandaian yang telah kukatakan padanya tadi."
Justru si nenek sengaja memancing ucapan Ting Put-si ini,
maka dapatlah ia menghela napas lega dan tidak bersuara
pula. Di sebelah sana Ting Put-si segera membentak, "Nah, Lemper
raksasa, segera aku akan menghantam dengan jurus "Gik-cuiheng-
ciu" (mendayung perahu melawan arus). Jurus ini sudah
kuajarkan padamu tadi, janganlah kau lupa."
Sambil berkata ia lantas pasang kuda-kuda dengan sedikit
berjongkok, mendadak telapak tangan kiri menghantam ke
depan dari bawah ke atas.
Ketika mendengar Ting Put-si menyebut jurus "Gik-cui-hengciu",
diam-diam Ciok Boh-thian lantas siap siaga, ia pun pasang
kuda-kuda dengan sedikit berjongkok, telapak tangan kiri juga
memukul ke depan dari bawah ke atas.
"He, salah, bukan begitu caranya menangkis seranganku!"
bentak Ting Put-si. Namun pada saat itu juga tampaknya
tangan pemuda itu sudah hampir membentur tangannya
sendiri, keruan ia terkesiap, ia tahu Lwekang Boh-thian sangat
kuat, kalau sampai kedua orang saling mengadu tenaga dalam,
untuk memenangkan pemuda itu menjadi susah diramalkan.
Maka cepat Put-si menarik kembali pukulannya itu, segera
telapak tangan kanan berganti menyodok ke depan. Jurus ini
bernama "Ki-hong-tut-gi" (kejadian aneh mendadak timbul).
Tapi Boh-thian telah ingat betul-betul pesan si nenek, segera ia
pun memapak dengan jurus yang sama, bahkan tangannya
membawa tenaga dalam yang lebih kuat. Sebelum kedua
tangan kebentur, seketika Ting Put-si merasakan angin pukulan
lawan telah menyampuk tiba. Ia terperanjat dan cepat ganti
serangan lagi .... Bab 21. Pulau Keong Hijau dan Pulau Kabut Ungu
Ciok Boh-thian sama sekali tidak ambil pusing jurus serangan
apa yang akan dilontarkan Ting Put-si, dia hanya
memerhatikan gerak-gerik lawan, jurus apa yang digunakan
orang tua itu, segera ia pun meniru dan memapak dengan
jurus yang sama. Dengan demikian Boh-thian menjadi tidak perlu menggunakan
otak, sebaliknya perhatiannya melulu dicurahkan dalam hal
mengerahkan tenaga dalam sehingga pukulannya makin lama
makin dahsyat. Di pihak lain Ting Put-si mesti dua kali pikir bila hendak
menyerang, ia khawatir kalau-kalau tangannya kebentur dan
lengket dengan tangan Ciok Boh-thian dan terpaksa harus
mengadu tenaga dalam. Sebab itulah banyak seranganserangannya
yang bagus-bagus tak dapat dikeluarkan.
Sebagai seorang tokoh, sudah tentu banyak sekali lawan
ternama yang pernah dihadapi Ting Put-si, tapi tak pernah ia
ketemukan lawan sebagaimana Boh-thian sekarang, tidak
peduli jurus apa yang dimainkan, selalu lawan menirukannya.
Bilamana lawannya adalah tokoh kenamaan, maka cara
pertarungan ini boleh dianggap terlalu licik, tapi sekarang Ciok
Boh-thian jelas tidak mahir ilmu silat dan sebelumnya sudah
berjanji akan melawannya dengan menggunakan jurus-jurus
serangan yang diajarkannya tadi, jadi perbuatan pemuda itu
yang menirukan setiap jurus serangannya boleh dikata tidak
melanggar janji. Keruan lama-kelamaan Ting Put-si menjadi gelisah, berulangulang
ia mencaci maki, tapi toh tak bisa mengapa-apakan Ciok
Boh-thian. Sesudah berlangsung beberapa puluh jurus, lambat laun Bohthian
sudah dapat meraba cara bagaimana mengerahkan
tenaganya maka setiap pukulannya makin lama makin kuat.
Sudah tentu Ting Put-si tak berani ayal, ia melayaninya dengan
sepenuh tenaga. Pikirnya, "Sebenarnya orang macam apakah bocah ini" Janganjangan
dia sengaja pura-pura bodoh, tapi sebenarnya dia
adalah seorang jago muda yang memiliki ilmu silat sangat
tinggi?" Setelah beberapa jurus pula, Ting Put-si ra\sakan tekanan
tenaga lawan makin lama makin kuat. Untung Boh-thian hanya
menirukan gaya serangannya saja sehingga dia tidak perlu
khawatir kalau-kalau pemuda itu mendadak menyerangnya
dengan cara di luar dugaan.
Pada suatu jurus, mendadak kedua tangan Ting Put-si berputar
beberapa kali, lalu kedua tangan Ting Put-si berputar beberapa
kali, lalu kedua telapak tangannya menghantam miring ke
depan. Jurus ini bernama "Hek-co-hek-yu" (mungkin kiri
mungkin kanan), ke mana tenaga pukulannya akan dikerahkan,
apa ke kiri atau ke kanan, hal ini tergantung dalam keadaan.
Diam-diam Put-si bergirang dengan jurus pukulannya ini, ia
membatin, "Anak busuk, sekali ini kau tentu mati kutu dan tak
bisa menirukan lagi. Masakah kau tahu dari jurusan mana
tenaga pukulanku akan kukerahkan?"
Benar juga, tertampak Boh-thian menjadi bingung, tiba-tiba ia
bertanya, "Hey, seranganmu ini akan mengarah ke kanan atau
ke kiri?" Ting Put-si terbahak-bahak geli, bentaknya, "Boleh kau terka
saja akan ke kanan atau ke kiri?" berbareng kedua tangannya
sengaja digerak-gerakkan untuk menggodanya.
Dalam gugupnya terpaksa Boh-thian mengangkat kedua
telapak tangannya dan sekaligus memapak kedua tangan
lawan. Karena tak mengetahui dari sebelah mana tenaga
pukulan lawan akan dikerahkan, terpaksa ia memapak dengan
kedua tangan dengan sekuatnya.
Keruan Ting Put-si menjadi kaget malah. Kurang ajar pikirnya,
masakah jurus "Mungkin kiri mungkin kanan" yang pura-pura
itu telah ditirukan oleh Ciok Boh-thian dengan perubahan "Hekco-
ek-yu" (juga kiri juga kanan) sehingga serangan sungguh.
Dengan cara demikian, terpaksa Ting Put-si harus mengadu
tenaga dalam dengan Ciok Boh-thian dan hal ini justru tidak
dikehendaki olehnya. Pada detik berbahaya itu, sekilas timbul
sesuatu akal, mendadak Put-si mengangkat kedua tangannya
ke atas sehingga tenaga pukulannya dilontarkan ke udara.
Jurus ini disebut "Thian-ong-thok-tah"(Thian mengangkat
menara), yaitu suatu jurus serangan yang biasanya digunakan
untuk melawan musuh yang sedang menubruk dari atas.
Boh-thian sendiri pada waktu itu toh tidak menyerang dari
udara, jadi jurus Ting Put-si itu sebenarnya tiada gunanya. Tapi
dasar Boh-thian selalu menirukan setiap jurus lawan, ketika
mendadak dilihatnya Ting Put-si mengeluarkan jurus "Thianong-
thok-tah" itu, walaupun tidak paham apa maksud
tujuannya, tapi dia lantas menirukan juga dengan mengangkat
kedua telapak tangan ke atas sehingga tenaga pukulannya
menjurus ke udara. Keadaan pada waktu itu menjadi empat tangan dari kedua
orang itu sama-sama terangkat ke atas dengan pandangmemandang,
Put-si memandang Boh-thian dengan geli, BohKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
thian memandang Put-si dengan bingung. Saking tak tahan,
akhirnya Ting Put-si terbahak-bahak geli.
Melihat lawannya tertawa, tanpa merasa Boh-thian juga ikut
tertawa. Si nona yang bersandar di dinding perahu sana juga
ikut tersenyum menyaksikan adegan yang lucu itu.
Sebaliknya si nenek lantas mencemoohkan, "Huh, tidak tahu
malu! Tidak dapat menangkan orang, lantas menggunakan akal
bulus untuk menipu anak kecil!"
Sekilas itu mendadak Ting Put-si dapat mengeluarkan tipu yang
aneh itu untuk menghindarkan adu Lwekang dengan Ciok Bohthian,
maka Put-si sangat puas atas kecerdikannya sendiri, ia
tidak ambil pusing terhadap ejekan si nenek, ia hanya tertawa
saja dan memberi alasan, "Aku toh tiada bermusuhan apa-apa
dengan bocah ini, buat apa aku mesti membinasakan dia
dengan tenaga dalamku?"
Dan baru saja si nenek hendak mengolok-olok pula, mendadak
terasa perahu mereka menjadi oleng terus meluncur cepat ke
hilir. Kiranya permukaan sungai di situ agak sempit dan arus
menjadi lebih kencang. Kembali Ting Put-si bergelak tertawa dan berkata, "Siau-jui,
sudah akan sampai di Pik-lwe-to, kalian nenek dan cucu
bersama si Lemper Raksasa disilakan dulu ke tempatku itu."
Air muka si nenek berubah mendadak, sahutnya tegas, "Tidak,
biar mati pun aku tidak sudi menginjak tanah pulau setanmu
itu." "Tinggal saja di sana buat beberapa hari lamanya, apa sih
halangannya?" ujar Put-si.
Dalam pada itu arus sungai bergelombang dengan hebat, air
ombak mendebur ke atas perahu mereka. Waktu Boh-thian
memandang ke arah yang dituju Ting Put-si, ternyata di
sebelah kanan sungai sana tertampak sebuah puncak gunung
yang menghijau, ujung puncak itu lancip dan bagian bawah
bulat sehingga bentuknya mirip keong. Ia pikir tentu inilah
"Pik-lwe-to" (pulau keong hijau) yang dimaksudkan itu.
"Belokkan kemudi untuk menepi," perintah Ting Put-si kepada
si tukang perahu. Si tukang perahu mengiakan. Segera Ting Put-si bersiap-siap di
haluan perahu dengan memegang jangkar, asal sudah dekat
dengan tepi sungai segera ia akan membuang sauh ke daratan
pulau itu. "Loyacu," demikian kata Boh-thian, "jika Lothaythay ini tidak
mau pergi ke rumahmu buat apa engkau me ...."
Belum habis Boh-thian bicara, sekonyong-konyong si nenek
telah meloncat bangun, sekali rangkul si nona, segera terjun ke
dalam sungai. "He! Jangan!" teriak Ting Put-si dengan kaget. Segera ia
hendak menjambret, tapi sudah terlambat. Terdengar suara air
berdebur, nenek dan nona itu sudah menghilang ditelan
ombak. Dalam kagetnya cepat Boh-thian juga bertindak, ia pegang
sepotong papan perahu terus ikut terjun ke dalam sungai.
Waktu melompat ia telah memancal di tepian perahu sehingga
walaupun terjun belakangan, tapi sauhnya justru berada di sisi
si nenek berdua. Boh-thian tidak dapat berenang, begitu masuk sungai mulutnya
lantas kemasukan air. Tapi tekadnya hendak menolong orang,
dengan tangan kanan merangkul papan, tangan kiri lantas
meraih kian kemari, kebetulan rambut si nenek yang panjang
kena dijambak olehnya, terus saja ia pegang dengan kencang
dan tak terlepaskan lagi. Ketiga orang lantas terhanyut oleh
arus yang deras itu. Sesudah terdampar sejenak, sementara itu kepala Boh-thian
terasa pusing, mulutnya masih terus tercekok air. Tiba-tiba
badannya terguncang hebat, pinggangnya terasa sakit,
rupanya ia telah terdampar dan tertumbuk oleh sepotong batu
karang yang melintang di tepi sungai.
Dengan girang segera Boh-thian gunakan kakinya untuk
menahan dirinya di batu karang itu. Waktu ia mendongak ke
permukaan air, di atas sana tampak kabut belaka, di tengah
kabut lapat-lapat tertampak pula banyak pepohonan.
Tanpa pikir lagi segera ia menarik si nenek ke atas, syukurlah
orang tua itu masih terus merangkul cucu perempuannya
dengan kencang, cuma tidak diketahui apakah sudah mati atau
masih hidup. Boh-thian lantas pondong kedua orang itu dan berusaha
mendarat sekuat tenaga. Ia berjalan ke tengah pepohonan
yang penuh kabut sana. Kira-kira beberapa puluh meter
jauhnya ia sudah meninggalkan tepi sungai yang penuh lumpur
itu. Setiba di tanah yang kering barulah ia meletakkan kedua
wanita itu. Tapi baru saja ia hendak menurunkan kedua wanita itu, tibaKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
tiba terdengar si nenek mendampratnya, "Anak kurang ajar!
Kau berani menjambak rambutku?"
Boh-thian melengak dan cepat menjawab, "O, ya, maaf, maaf!"
"Kau jambak rambutku sedemikian kencang sehingga kepalaku
kesakitan, huak ...." mendadak ia memuntahkan air sungai
yang telah diminumnya tadi.
"Nenek, kalau kita tak tertolong oleh Toako ini tentu saat ini
kita sudah ...." sampai di sini si nona berkata, tiba-tiba ia pun
memuntahkan air sungai yang tadi banyak masuk ke dalam
perutnya. "Jika demikian, jadi bocah ini yang telah menolong jiwa kita,"
kata si nenek. "Ya, sudah, kesalahannya menjambak rambutku
takkan aku persoalkan lagi padanya."
Si nona tersenyum, katanya pula, "Toako ini benar-benar
sangat baik, terima kasih banyak-banyak atas pertolonganmu."
Waktu itu si nenek dan si nona masih berada dalam pondongan
Boh-thian dan belum diturunkan, jarak pandangan mereka
tiada setengah meter jauhnya, wajah si nona menjadi merah
dan tak berani menatap Boh-thian.
"Sudahlah, sekarang boleh turunkan kami," kata si nenek.
"Tempat ini adalah Ci-yan-to (pula kabut ungu), letaknya tidak
terlalu jauh dengan tempat kediaman Ting-lokoay, maka kita
harus berjaga-jaga kalau-kalau dia mengacau ke sini."
Boh-thian mengiakan. Dan baru saja ia hendak menurunkan
nenek dan cucunya itu, tiba-tiba di balik semak pohon sana ada
suara orang berkata, "Bocah itu besar kemungkinan tidak


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampus, kita harus menemukan dia."
Boh-thian terkejut, katanya dengan suara bisik-bisik, "Wah,
celaka! Ting Put-si telah mengejar tiba!"
Segera ia mendekam ke dalam semak-semak dengan masih
memondong dua orang, sedikit pun ia tidak berani bergerak.
Maka terdengar suara tindakan orang yang lalu di sebelah
mereka, seorang tua dan seorang lagi wanita muda. Kaget Ciok
Boh-thian melebihi tadi demi mengetahui siapa kedua orang
itu. Sesudah kedua orang itu beberapa puluh meter jauhnya, ia
coba melongok ke sana, benar juga kedua orang itu adalah
Ting Put-sam dan si Ting Tong.
Kiranya Ting Put-sam dan Ting Put-si adalah saudara kandung,
usia mereka cuma selisih satu tahun, suara mereka pun sangat
mirip. Karena khawatir dikejar oleh Ting Put-si, maka suara
Ting Put-sam telah keliru disangka Ting Put-si oleh Boh-thian.
"Wah, celaka! Kiranya adalah Ting-samya!" bisik Boh-thian
dengan suara takut. "Mengapa kau demikian takutnya?" ujar si nenek, "Bukankah
cucu perempuan Ting Put-sam itu telah mengajarkan ilmu
silatnya padamu?" "Loyacu hendak membunuh aku, si Ting-ting Tong-tong juga
marah padaku, katanya aku tidak menurut kata-katanya, maka
aku telah diringkus menjadi sebuah lemper raksasa dan
dilemparkan ke dalam sungai," tutur Boh-thian. "Untunglah
saat itu perahu kalian lewat di sisinya, kalau tidak ... kalau
tidak ...." "Kalau tidak tentu kau sudah menjadi kura-kura di dalam
sungai, telah menjadi isi perut ikan, bukan?" sambung si nenek
dengan tertawa. "Ya, ya!" sahut Boh-thian. Dan bila teringat kejadian
kemarinnya, diam-diam ia merasa khawatir pula, segera ia
berkata, "Nenek, mereka masih mencari aku, kalau aku
tertangkap pula tentu ... tentu aku tak dapat menyelamatkan
jiwaku lagi." Si nenek menjadi gusar, sahutnya, "Jika aku tidak dalam
keadaan lumpuh begini, hanya seorang Ting Put-sam saja apa
artinya bagiku" Kau boleh pergi memanggil dia ke sini, ingin
kulihat apakah dia berani mengganggu seujung rambutmu atau
tidak?" Rupanya perangai si nenek ini sangat berangasan, biarpun dia
melatih Lwekang dan tersesat, tapi dia tetap memandang
sebelah mata kepada para jago-jago silat di dunia.
"Nenek, dalam keadaan demikian sebaiknya engkau
menghindari kedua saudara Ting itu, kelak kalau kesehatanmu
sudah pulih kembali barulah engkau membikin perhitungan
dengan mereka," demikian si nona juga menghiburnya.
Namun si nenek masih marah-marah, katanya, "Sekali ini
nenekmu benar-benar sialan, aku Su Siau-jui selama hidup ini
telah malang melintang di dunia Kangouw, biasanya akulah
yang membikin gara-gara kepada orang lain, mana bisa jadi
seperti sekarang ini aku harus bungkam dalam seribu bahasa"
Ya, semuanya ini adalah gara-gara perbuatan "binatang kecil"
dan "tua bangka" itu."
"Sudahlah, nenek," kata si nona, "apa yang sudah lalu buat apa
diungkat-ungkat pula" Kita berdua sama-sama menderita
kesukaran, kita harus tetirah dengan pikiran tenang barulah
dapat sembuh dengan cepat. Bila hati nenek selalu murung,
tentu akan semakin merusak kesehatannya sendiri."
"Rusak biar rusak, takut apa?" kata si nenek dengan gusar.
"Hari ini benar-benar sialan, sedemikian banyak aku tercekok
air sungai yang kotor, nama baik Su Siau-jui hari ini benarbenar
telah runtuh habis-habisan."
Begitulah semakin marah semakin keras suara ucapan nenek
itu. Boh-thian khawatir kalau didengar oleh Ting Put-sam,
maka cepat ia menghiburnya, "Tenanglah, nenek! Apa ...
apakah perlu aku menyalurkan sedikit tenaga kepadamu?"
Dan sebelum si nenek menjawab ia lantas menempelkan
telapak tangannya ke Leng-tay-hiat di punggung orang, lalu
mengerahkan tenaga dalam dan disalurkan ke tubuh si nenek
itu. Karena penyaluran tenaga dalam itu, terpaksa si nenek
mencurahkan pikirannya untuk mengerahkan tenaga bantuan
itu ke urat nadi di tubuh sendiri yang buntu itu. Maka satu
demi satu Hiat-to yang macet itu dapatlah ditembus.
Yang diharapkan Ciok Boh-thian, asalkan nenek itu tidak
bersuara lagi sehingga diketahui Ting Put-sam, maka ia masih
terus menyalurkan tenaga dalamnya.
Diam-diam Su-popo (si nenek she Su) terheran-heran,
"Sedemikian hebat tenaga dalam bocah ini, bukan saja sangat
kuat, bahkan tenaganya sangat murni, terang dia masih
berbadan jejaka, yang diyakinkan juga Lwekang dari golongan
yang baik. Tapi mengapa dia sama sekali tidak mahir ilmu
silat?" Karena sedikit pikirannya bercabang, seketika darah di rongga
dadanya bergolak, cepat si nenek memusatkan perhatiannya
lagi dan tidak berani memikirkan urusan lain.
Kira-kira setengah jam kemudian barulah "Siau-yang-kengmeh",
yaitu urat-urat nadi bagian kaki dapat ditembus semua.
Maka dapatlah si nenek bernapas lega, mendadak ia
berbangkit, katanya dengan tertawa, "Sementara ini cukuplah!
Kau tentu sudah capek juga."
Boh-thian dan si nona terkejut dan bergirang pula, seru mereka
berbareng, "Ha, nenek sudah dapat berjalan?"
"Ya, baru urat nadi bagian kaki yang telah bekerja lancar, tapi
masih banyak urat nadi bagian lain yang masih buntu," sahut si
nenek. "Aku toh tidak lelah, biarlah kita melancarkan sekalian uraturat
nadi yang lain," ujar Boh-thian.
"Seenaknya saja kau bicara," sahut si nenek. "Aku dan A Siu
bersama-sama melatih Bu-bon-sin-kang sehingga tersesat
jalan tenagaku, apakah kau kira penyakitku ini adalah penyakit
lumpuh biasa" Biarpun Tat-mo Cosu atau Thio Sam-hong hidup
kembali juga tidak dapat menembus seluruh urat nadiku di
dalam waktu satu hari."
"Ya, ya, aku tidak paham urusan demikian ini," kata Boh-thian
dengan kikuk. "Jika merasa iseng, bolehlah kau membantu A Siu melancarkan
Siau-yang-keng-meh di bagian kakinya," kata si nenek.
"Baiklah," sahut Boh-thian. Segera ia memayang si nona alias
A Siu, ia sandarkan bahu nona itu pada sebatang pohon, lalu
menggunakan telapak tangan untuk menahan Leng-tay-hiat di
punggungnya, perlahan-lahan ia menyalurkan tenaga dalam
menurut cara yang diajarkan si nenek tadi. Karena Lwekang si
A Siu jauh lebih cetek daripada neneknya, maka Boh-thian
harus menggunakan tempo berlipat ganda untuk melancarkan
Hiat-to si nona. Sesudah merangkak bangun, dengan suara lemah lembut A Siu
berkata, "Terima kasih, Toako ini. Nenek, kita juga belum
mengetahui nama Toako yang baik hati ini, entah cara
bagaimana kita harus menyebutnya, sungguh agak kurang
hormat." Meski ucapan A Siu itu ditujukan kepada neneknya, tapi
sebenarnya sedang menanyakan namanya Ciok Boh-thian,
soalnya dia merasa rikuh untuk bicara langsung kepada
seorang pemuda yang baru dikenalnya itu.
Diam-diam Boh-thian membatin sendiri, "Ya, siapakah
namaku?" Dalam pada itu si nenek sudah lantas berseru, "Hey, Lemper
Raksasa, cucu perempuan sedang menanyakan namamu
siapa?" "Aku ... aku pun tidak tahu," sahut Boh-thian dengan tergagapgagap.
"Ibuku memanggil aku ... memanggil aku ...."
Dia hendak mengatakan bernama "Kau-cap-ceng", tapi
sekarang ia sudah tahu bahwa nama itu tidak sopan untuk
diucapkan di depan seorang nona yang berbudi halus dan
sopan itu. Maka ia lantas menyambung pula, "Mereka
sebaliknya salah mengenali diriku, padahal aku bukan orang
yang mereka maksudkan itu. Sebenarnya siapakah diriku ini,
aku sendiri pun susah ... susah untuk menjelaskan ...."
Su-popo menjadi tidak sabar, bentaknya, "Jika tidak mau
mengatakan, boleh tak mengatakan, kenapa mesti bicara
macam-macam." "Nenek, bila orang tak mau mengatakan, tentu dia ada
kesukarannya sendiri, maka kita pun jangan memaksa," ujar A
Siu. "Tentang nama tidaklah menjadi soal, asalkan kita selalu
mengingat kepada budi kebaikannya sudah cukuplah."
"Tidak, tidak, bukanlah aku tidak mau mengatakan namaku,
soalnya namaku sesungguhnya sangat jelek," kata Boh-thian.
"Jelek apa segala" Apakah ada nama yang lebih jelek daripada
nama Lemper Raksasa?" ujar Su-popo. "Jika kau tidak mau
mengatakan, maka biarlah kupanggil kau si Lemper saja."
"Boleh juga engkau memanggil aku si Lemper, ini toh tidak
terlalu jelek," sahut Boh-thian dengan tertawa. Ia pikir paling
tidak nama Lemper akan lebih sedap didengar daripada
panggilan Kau-cap-ceng alias anak anjing.
A Siu menjadi lebih rikuh lagi melihat perangai Boh-thian yang
baik itu, biarpun neneknya mengolok-olok dan ucapannya
kasar toh pemuda itu sedikit pun tidak marah. Segera katanya
pula, "Sudahlah nenek, janganlah engkau menggodanya lagi.
Toako ini ...." "Tak apa, tak apa," sahut Boh-thian cepat. "Aku akan
berterima kasih asal Ting-yaya dan si Ting Tong tidak
menguber-uber diriku. Sekarang kalian bolehlah mengaso
sebentar, biarlah aku pergi mencari sesuatu makanan apaapa."
"Di Ci-yan-to ini banyak tumbuh buah kesemak, saat ini
buahnya sedang masak, boleh kau pergi memetiknya sedikit,"
kata Su-popo. "Di pulau ini juga banyak kepiting yang gemukgemuk,
boleh juga kau menangkapnya beberapa ekor."
Boh-thian mengiakan dan segera berangkat. Dengan hati-hati
ia menyusur pepohonan yang rindang itu karena khawatir
dipergoki oleh Ting Put-sam dan si Ting Tong. Kira-kira ratusan
meter jauhnya benar juga tertampak di lereng bukit situ ada
belasan pohon kesemak dengan buahnya yang merah masak.
Sesudah berada di bawah pohon-pohon kesemak itu, Boh-thian
memegang batang pohon dan digoyang-goyangkan sekuatnya.
Pertama karena tenaganya besar, kedua buah kesemak itu
memang sudah masak, seketika berjatuhanlah belasan buah
kesemak. Cepat Boh-thian pentang bajunya untuk menjemput
buah-buah itu, lalu dibawanya kembali.
Sementara itu, kaki Su-popo dan si A Siu sudah dapat
bergerak, cuma tangan mereka yang masih kaku, Su-popo
masih mendingan dapat mengangkat tangannya walaupun
berat sekali rasanya. Sebaliknya kedua tangan A Siu sama
sekali belum dapat bergerak.
Boh-thian mengupas kulit buah kesemak itu, lebih dulu ia
memberikan sebuah kepada Su-popo, lalu mengupas sebuah
pula untuk menyuapi A Siu.
Melihat pemuda itu menyuapi dirinya, muka si A Siu menjadi
merah sebagai buah kesemak itu. Tapi ia pun tak bisa menolak
terpaksa ia memakannya. Ketika Boh-thian hendak menyuapi sebuah lagi, tiba-tiba A Siu
berkata, "Toako sendiri bolehlah makan dulu, habis itu baru
baru ...." Begitulah mereka lantas makan secara bergiliran. Boh-thian
sendiri makan sebuah, lalu mengupas dan membaringkan Supopo
dan menyuapi A Siu lagi. "Tidak jauh di sebelah barat daya sana ada sebuah gua, malam
nanti kita boleh tinggal di sana agar kedua saudara setan yang
"tidak tiga tidak empat" (Put-sam dan Put-si) itu tak dapat
menemukan kita," kata Su-popo.
Boh-thian menjadi girang, serunya, "Ha, bagus sekali!"
Ia tidak begitu jeri terhadap Ting Put-si, tapi terhadap Ting Putsam
dan si Ting Tong yang hendak membunuhnya itu dia
benar-benar sangat takut. Maka ia menjadi terhibur demi
mendengar Su-popo mengatakan ada suatu tempat sembunyi
yang baik. Lambat laun malam pun tiba, segera Boh-thian memayang Supopo
dan tangan lain memapah A Siu, bertiga lantas menuju ke
arah gua. Rupanya Ci-yan-to adalah tempat yang pernah dijelajahi Supopo,
terbukti nenek ini sudah sangat hafal sekali jalannya.
Benar juga, kira-kira satu-dua li jauhnya, sampailah mereka di
suatu lembah bukit, di sisi kanan adalah dinding karang belaka,
sesudah Su-popo memberi petunjuk belok sini dan putar sana
akhirnya sampai juga di depan sebuah gua.
"Lemper Raksasa, malam ini kau tidur dan jaga di luar sini, tapi
tidak boleh masuk ke dalam gua," kata Su-popo.
Berulang-ulang Boh-thian mengiakan. Katanya pula, "Sayang
kita tidak berani menyalakan api untuk mengeringkan pakaian
kita." "Hm, dasar sialan, kelak kedua setan yang tidak tiga dan tidak
empat itu harus dibikin menderita sepuluh kali lebih berat
daripada kita sekarang," kata si nenek dengan gemas.
Besok paginya, sebagai sarapan pagi mereka pun makan buah
kesemak lagi, lalu Boh-thian menyalurkan tenaga pula untuk
melancarkan urat nadi kedua nenek dan cucu itu sehingga
tangan mereka dapatlah bergerak semua.
"Lemper Raksasa," kata Su-popo, "di sana ada sebuah empang
dan banyak terdapat kepiting yang gemuk-gemuk, boleh kau
pergi menangkapnya beberapa ekor daripada kita makan buah
kesemak setiap hari."
Boh-thian menjadi ragu-ragu, sahutnya kemudian, "Menangkap
kepiting sih tidak sukar, cuma saja kita tak dapat
memasaknya, pula tak dapat memakannya secara mentahmentah."
"Huh, seorang laki-laki yang muda dan kuat mengapa mesti
ketakutan setengah mati kepada seorang tua bangka sebagai
Ting Put-sam?" jengek Su-popo.
"Jangankan Ting-samya saja, sampai-sampai si Ting-ting Tongtong
juga jauh lebih lihai daripadaku," sahut Boh-thian sambil
menggeleng. "Jika aku kena ditangkap mereka, lalu aku diikat
pula sebagai lemper raksasa dan dilemparkan lagi ke dalam
sungai, wah, kan bisa runyam."
"Sudahlah, nenek, apa yang dikatakan Toako ini pun ada
benarnya," sela A Siu. "Bolehlah kita bersabar sementara,
tunggu nanti kalau urat nadi nenek sudah lancar kembali dan
tenaga saktimu sudah pulih, tatkala mana masakah kita masih
takut kepada Ting Put-sam atau Ting Put-si segala?"
"Hm, kau bicara seenaknya saja, untuk memulihkan tenaga
saktiku apakah begitu gampang?" jengek si nenek. "Untuk
melancarkan urat nadi kita saja diperlukan belasan hari


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lamanya dan kalau ingin memulihkan kepandaian semula,
sedikitnya diperlukan setahun atau paling tidak juga delapan
bulan lamanya. Apalagi di dalam delapan bulan ini kita dapat
makan buah kesemak melulu" Hm, mungkin belasan hari lagi
juga semua buah kesemak itu akan kedaluan dan busuk
semua." "Untuk itu kita tidak perlu khawatir," ujar Boh-thian. "Aku akan
memetik buah kesemak sebanyak-banyaknya, lalu dijemur
menjadi kesemak kering, kukira cukup untuk persediaan
setengah atau satu tahun dan kita takkan mati kelaparan."
Kiranya Boh-thian menjadi kapok setelah berulang-ulang
menghadapi bahaya dan tersiksa, ia pikir daripada hidup
merana tak menentu, ada lebih baik hidup aman tenteram di
gua ini saja. Tapi Su-popo lantas mengomelnya, "Kau suka menjadi kurakura
yang terus mengkeret di sini, aku yang tidak sudi. Pula
keparat Ting Put-si itu di dalam satu-dua hari ini tentu akan
mencari ke pulau ini, biarpun kau ingin mengkeret di sini
seperti kura-kura juga tak bisa jadi lagi. Eh, apa-apaan kau ini,
Lemper Raksasa" Percuma saja kau memiliki Lwekang setinggi
itu, tapi mengapa tidak pernah belajar ilmu silat?"
"Justru tiada orang yang mengajarkan aku, hanya si Ting-ting
Tong-tong saja pernah mengajarkan l8 jurus Kim-na-jiu-hoat,
dengan sendirinya aku tak sanggup melawannya. Ilmu silat
yang diajarkan kakek Ting Put-si kepadaku juga setiap
jurusnya sudah dipahami olehnya," demikian jawab Boh-thian.
"Nenek," tiba-tiba A Siu menyela, "mengapa engkau tidak mau
memberi petunjuk barang beberapa jurus kepada Toako ini.
Sesudah dia memahami kepandaianmu, bila dia dapat
mengalahkan Ting Put-si, bukankah lebih membanggakan
daripada engkau sendiri yang menangkan dia."
Su-popo memandang dengan tak berkesip kepada Boh-thian.
Sorot matanya mendadak memantulkan perasaan yang buas
dan benci, kedua tangannya juga tampak gemetaran seakanakan
ingin menubruk maju dan sekali gigit membinasakan
pemuda itu. Boh-thian menjadi takut dan tanpa merasa melangkah mundur
setindak. Katanya dengan terputus-putus, "Lothaythay, engkau
... engkau ...." "A Siu," mendadak si nenek berseru dengan suara bengis,
"coba kau pandang dia yang jelas, bukankah sangat mirip
sekali?" Sepasang mata A Siu yang besar bundar itu menatap sejenak
ke muka Ciok Boh-thian, tapi air mukanya sangat lemah
lembut sahutnya kemudian, "Nenek, memang agak mirip,
namun ... namun pasti bukan dia. Bila dia memadai sedikit
kejujuran dan ketulusan Toako ini saja ...."
Sinar mata si nenek yang bengis tadi perlahan-lahan mulai
pudar kembali, tapi ia masih mengejek dan berkata, "Meski
bukan dia, tapi mukanya sedemikian mirip, biar bagaimanapun
aku takkan mengajarkan kepandaianku padanya."
Seketika Boh-thian paham duduknya perkara, ia tahu tentu si
nenek menyangka dirinya sebagai pemuda Ciok Boh-thian itu,
agaknya Ciok-pangcu itu terlalu banyak berdosa kepada orang
lain, maka banyak sekali orang-orang di dunia ini yang benci
padanya. Kelak kalau aku dapat bertemu dengan dia, tentu aku
akan memberi nasihat padanya agar menjadi orang yang baikbaik,
demikian pikirnya. Dalam pada itu terdengar si nenek sedang bertanya padanya,
"Apakah kau juga she Ciok?"
"Bukan!" sahut Boh-thian sambil menggeleng. "Orang lain
memang mengatakan bahwa aku sangat mirip dengan Ciokpangcu
dari Tiang-lok-pang, padahal sama sekali aku bukanlah
dia. Ai, bicara ke sana ke sini tiada seorang pun yang mau
percaya padaku." Habis berkata ia lantas menghela napas
panjang dengan hati kesal.
"Aku percaya engkau bukanlah dia," tiba-tiba A Siu
menanggapi dengan suara perlahan.
Boh-thian menjadi girang, "Kau benar-benar tidak percaya"
Itulah sangat ... sangat bagus. Hanya engkau seorang yang
telah menyatakan tidak percaya."
"Engkau adalah orang baik-baik dan dia adalah orang ... orang
jahat," kata A Siu. "Kalian berdua sama sekali berbeda."
Alangkah terhibur hatinya Boh-thian, ia merasa telah
ketemukan seorang yang benar-benar dapat menyelami isi
hatinya, tanpa merasa ia pegang tangan si nona dan berkata,
"Banyak terima kasih." Dan saking terharunya sampai air
matanya bercucuran. Maklum, selama ini setiap orang selalu
menganggap dia sebagai Ciok-pangcu segala, untuk
membantah adalah sangat sulit. Sekarang ia menjadi seperti
seorang pesakitan yang mendadak telah dapat membikin
terang duduknya perkara dan dengan sendirinya dia sangat
berterima kasih kepada si nona yang sudi memahami isi
hatinya itu. Muka A Siu menjadi merah jengah, tapi ia pun tidak tega
menarik kembali tangannya yang dipegang Boh-thian itu.
Sebaliknya Su-popo lantas mencemooh lagi, "Kalau betul bilang
betul, jika bukan ya bukan, seorang laki-laki sejati macam apa
pakai menangis segala?"
"Iy ... ya, o, ma ... maaf!" mendadak Boh-thian sadar masih
memegang tangan A Siu yang putih halus itu, cepat ia
melepaskannya dan berkata pula, "Aku ... aku tidak seng ...
aku akan pergi memetik buah kesemak lagi."
Ia tidak berani banyak memandang si nona pula dan cepat
berlari pergi. Melihat tingkah laku Boh-thian yang serbakikuk, tingkah laku
yang wajar dan sekali-kali bukan pura-pura itu, mau tak mau si
nenek merasa geli juga. Ia menghela napas dan berkata, "Ya,
memang bukan. Coba alangkah baiknya kalau binatang kecil
she Ciok itu bisa memiliki sedikit kejujuran sebagai si Lemper
ini." Selang tidak lama, mendadak di luar gua terdengar suara
orang berlari, tertampak Boh-thian telah berlari kembali
dengan wajah pucat dan sangat ketakutan, katanya, "Wah,
celaka, celaka!" "Ada apakah" Kau telah dipergoki Ting Put-sam?" tanya Supopo.
"Bu ... bukan!" sahut Boh-thian. "Orang-orang Swat-san-pay
telah menyusul ke pulau ini, wah, berbahaya sekali ...."
Mendengar "Swat-san-pay" disebut, seketika air muka Su-popo
dan A Siu berubah, mereka saling pandang sekejap, lalu si
nenek bertanya, "Siapa yang datang?"
"Itu ... itu Pek Ban-kiam dengan belasan orang Sutenya," sahut
Boh-thian. "Mereka pasti akan menangkap diriku untuk dibawa
pulang ke Leng-siau-sia dan dihukum mati di sana."
"Kau telah dilihat mereka tidak?" tanya Su-popo.
"Untung tidak sampai dilihat mereka," ujar Boh-thian. "Cuma
aku telah melihat Pek Ban-kiam itu sedang ... sedang bicara
dengan kakek Ting Put-si.
"Apakah kau tidak keliru" Ting Put-si atau Ting Put-sam?" Supopo
menegas. "Ting Put-si, pasti tidak keliru," sahut Boh-thian. "Dia
mengatakan bahwa di sungai tiada diketemukan mayat, tentu
terdampar dan sembunyi di pulau ini. Mereka telah mulai
mencari dan sebentar tentu akan sampai di sini, wah, bisa
celaka ini." Saking khawatirnya sampai jidatnya penuh berkeringat.
A Siu coba menghiburnya, "Apakah Pek Ban-kiam itu pun salah
mengenali kau" Tapi kalau engkau memang bukan dia, betapa
pun kau dapat menerangkan kepada mereka dengan jelas dan
tidak perlu khawatir."
"Ti ... tidak, mereka sukar untuk diberi penjelasan," ujar Bohthian.
"Sukar diberi penjelasan" Jika begitu hantam saja!" kata Supopo.
"Di dunia ini orang yang difitnah juga tidak melulu kau
seorang saja." Bab 22. Ciok Boh-thian Diterima Menjadi Murid Kim-ohpay
"Pek-suhu itu adalah tokoh terkemuka Swat-san-pay, ilmu
pedangnya sangat tinggi, aku mana mampu melawannya?"
tutur Boh-thian. "Hm, macam apakah ilmu pedang Swat-san-pay itu" Bagiku
juga cuma biasa saja dan tidak mengherankan," jengek Supopo.
"Tidak, tidak," ujar Boh-thian sambil goyang-goyang
tangannya. "Ilmu pedang Pek-suhu itu memang sangat hebat,
benar-benar susah dilukiskan lihainya. Dia punya pedang
hanya sedikit bergerak begini saja lantas dapat meninggalkan
enam titik bekas luka di tubuh orang atau di atas pilar, kau
percaya tidak?" Sambil berkata ia pun memegangi lengan celananya, pikirnya
kalau Su-popo tidak percaya maka ia akan menyingsing lengan
celana untuk memperlihatkan bekas goresan pedang di
pahanya. Karena dia adalah bocah gunung dan tiada pernah
bergaul, maka sama sekali tak terpikir olehnya apakah
perbuatannya itu sopan atau tidak dilakukan di depan kaum
wanita. Namun terdengar Su-popo telah mendengus sekali dan
berkata, "Mengapa aku tidak percaya" A Siu, bila kita punya
Bu-bong-sin-kang kini berhasil dilatih, bukankah sekaligus aku
dapat membuat tujuh bekas luka pedang!"
A Siu mengangguk dan menghela napas perlahan karena
menyesal ilmu sakti mereka itu belum berhasil terlatih dan
mereka sudah telanjur menjadi orang cacat.
Segera Boh-thian menghiburnya, "Sementara ini kalian tak bisa
bergerak, tapi nanti kalau kalian sudah sembuh tentu dapat
melatihnya lagi, buat apa mesti banyak bicara pula."
"Persetan, ngaco-belo belaka!" semprot Su-popo. "Kalau aku
dapat melatihnya lagi buat apa mesti banyak bicara pula."
Boh-thian menjadi bingung atas omelan nenek itu, ia garukgaruk
kepala dan tidak berani buka suara lagi.
Rupanya kemarahan Su-popo masih belum reda, ia mengomel
lagi, "Hm, di mana letak kelihaian ilmu silat Swat-san-pay"
Dalam pandanganku justru tiada harganya barang sepeser pun,
Pek Cu-cay si setan tua itu main raja-rajaan di Leng-siau-sia
dan anggap dia punya Swat-san-kiam-hoat sudah nomor satu
di dunia ini. Hm, aku punya Kim-oh-to-hoat (ilmu golok Kimoh-
pay) justru adalah lawan mematikan bagi dia punya ilmu
pedang. Eh, Lemper Raksasa apakah kau tahu apa artinya Kimoh-
pay?" "Ti ... tidak tahu," sahut Boh-thian sambil menggeleng.
"Kim-oh artinya matahari, bilamana sang surya menyingsing,
apa yang akan terjadi dengan salju di atas gunung?" tanya Supopo.
"Salju akan cair," jawab Boh-thian.
"Itu dia! Jika sang surya sudah menyingsing, maka gunung
salju akan runtuhlah," kata Su-popo. "Sebab itulah ilmu silat
dari Kim-oh-pay merupakan lawan mematikan bagi ilmu silat
Swat-san-pay. Anak murid mereka bila bertemu dengan orang
Kim-oh-pay tentu mereka akan menyembah dan minta ampun
belaka." Tentang Swat-san-kiam-hoat sudah disaksikan oleh Boh-thian
sendiri, maka sekarang ia menjadi ragu-ragu akan kebenaran
Kim-oh-to-hoat sebagaimana dikatakan oleh Su-popo itu.
Dasar dia adalah orang jujur, karena rasa sangsinya itu
seketika tertampak jelas pada air mukanya.
"Apakah kau tidak percaya?" tanya Su-popo segera.
Jawab Boh-thian, "Ketika aku ditawan oleh Pek-suhu di
kelenteng sana, aku telah menyaksikan sesama saudara
seperguruan mereka saling gebrak dan aku masih ingat sedikit
kepandaian mereka itu, aku merasa ... merasa ilmu pedang
Swat-san-pay mereka itu memang ... memang ...."
"Memang apa?" bentak Su-popo dengan gusar. "Kau hanya
menyaksikan latihan di antara sesama saudara seperguruan
mereka, hanya semalam saja apa yang dapat kau pelajari" Dari
mana kau tahu bagus dan tidak" Coba kau pertunjukkan
kepadaku sekarang." "Sedikit kepandaian kasar yang kupelajari ini tentu tidak selihai
Pek-suhu itu," ujar Boh-thian.
Tiba-tiba Su-popo terbahak-bahak, A Siu juga tersenyumsenyum.
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 13 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Kuda Binal Kasmaran 4
^