Pencarian

Mutiara Hitam 2

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


"Wah, Cim-jip-houw-hiat (Serbu Masuk Guha Harimau) yang buruk sekali!" Ia pun cepat melakukan gerakan yang sama. Akan tetapi jurus yang sama ini ia laku-kan dengan cara yang jauh berlainan, hanya gayanya saja yang sama akan te-tapi dasar dan isinya sudah berbeda jauh. Akan tetapi hebat akibatnya, karena ke-tika kepalan tangan Si Muka Bopeng itu bertemu dengan telapak tangan Kwi Lan, mendadak Si Muka Bopeng itu merasa betapa tangannya membalik tenaganya dan kepala tangannya seakan-akan sudah tak dapat ia kuasai lagi dan menyambar ke arah dadanya sendiri! Persis seperti yang dialami oleh enam orang anak buahnya tadi. Akan tetapi ia cukup lihai dan secepat kilat ia menggunakan tangan kirinya menangkis tangan kanannya sendiri sampai terdengar suara "dukkk!" karena beradunya kedua lengan. Ia meringis kesakitan, wajahnya makin merah. Jelas tadi ia melihat gadis cilik itu bergerak dalam jurus yang sama, akan tetapi mengapa amat berbeda" Memang tidak aneh sebetulnya. Seperti kita ketahui dari cerita SULING EMAS, mendiang Tok-siaw-kwi Liu Lu Sian telah berhasil mencuri banyak sekali kitab-kitab ilmu silat dari pelbagai perguruan silat dan partai-partai besar. Di antaranya, ia telah mencuri pusaka Kong-thong-pai. Kemudian semua kitab pusakanya terja-tuh ke tangan Kam Sian Eng, maka ten-tu saja sebagai muridnya yang amat rajin, Kwi Lan telah mempelajari pula ilmu silat dari kitab Kong-thong-pai ini.
Seperti juga dengan ilmu-ilmu silat lain, penjelasan Sian Eng menyeleweng daripada ilmunya yang benar, maka menjadi ber-beda, bahkan ada yang terbalik sama sekali!
Mengapa ilmu yang dipelajari terbalik dan menyeleweng ini malah mengatasi ilmu yang aseli, yang telah dipelajari oleh Si Muka Bopeng" Hal itu pun tidak aneh. Biarpun telah mewarisi ilmu ber-macam-macam yang dipelajari secara menyeleweng, namun Sian Eng telah berhasil memiliki dan mencipta ilmu--ilmu yang tinggi dan aneh, sehingga menyerupai ilmu ciptaan iblis sendiri. Muridnya Kwi Lan, memperoleh kepandai-annya dari Sian Eng, tentu saja juga mendapatkan pelajaran ilmu menghimpun hawa sakti yang mujijat. Hanya ketika sudah membaca kitab dan belajar sendiri kitab-kitab itu, penafsirannya berbeda dengan penafsiran gurunya sehingga da-lam ilmu-ilmu yang tinggi, terdapat perbedaan aneh di antara Kwi Lan, Suma Kiat, dan Sian Eng sendiri. Akan tetapi karena dasar-dasar pelajaran lwee-kang, khikang dan sin-kang diperoleh dari Sian Eng, maka dalam hal ini mereka bertiga memiliki dasar yang sama. Dibandingkan dengan Si Muka Bopeng, Kwi Lan jauh lebih menang tenaga
dalamnya maka biarpun jurus yang ia mainkan itu tidak aseli, namun jauh lebih ampuh!
Si Muka Bopeng telah menerjang lagi kini dengan kedua tangan terbuka jari--jarinya, karena ia bermaksud menangkap gadis cilik ini untuk ditawan dan kelak dipaksa mengaku darimana mempelajari ilmu silat Kong-thong-pai yang berubah aneh itu dan pula, biarpun gadis itu ma-sih terlalu muda setengah kanak-kanak, namun sudah kelihatan cantik manis se-hingga hati Si Muka Bopeng tertarik.
Bagi Kwi Lan, serangan lawan yang kasar ini bukan apa-apa dan sama sekali ia tidak menjadi gentar, malah tertawa mengejek, "Hi-hik, kaugunakan jurus Hek-houw-phok-sai (Macan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 26
Hitam Menubruk Tahi)" Busuk dan bau sekali!" Gadis cilik yang nakal ini sengaja merobah nama jurus itu yang sebetulnya adalah Hek-houw-phok-thouw (Macan Hitam Me-nubruk Kelinci).
Si Muka Bopeng mengeluarkan ge-rengan marah sambil menubruk, seperti seekor harimau tulen. Kwi Lan sama sekali tidak mengelak, malah memba-rengi gerakan lawan dengan jurus yang sama akan tetapi diam-diam ia menyalurkan hawa sakti ke arah kedua telapak tangannya dan tercimlah ganda wangi karena gadis cilik ini telah memperguna-kan Ilmu Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi). Ilmu ini adalah ciptaan Sian Eng sendiri yang mempergunakan sari kembang beracun yang amat wangi dan ke-tika berlatih ilmu ini, kedua telapak tangan digosok-gosok racun kembang ini sehingga hawa beracun yang berbau harum masuk ke dalam kedua telapak tangan. Jika dalam keadaan biasa, kedua telapak tangan tidak berbau harum dan racunnya juga tidak keluar, akan tetapi apabila dipakai untuk bertanding dan dari dalam dikerahkan lwee-kang ke arah kedua tangan, maka hawa yang wangi beracun itu akan keluar dari telapak tangan.
Si Muka Bopeng menjadi girang melihat gadis cilik itu menyambut serang-anya dengan jurus yang sama dan memapaki kedua tangannya yang menubruk. Diam-diam ia mengerahkan
tenaganya dan mukanya menyeringai. Gadis cilik sombong ini tentu akan mudah ditawan kalau kedua tangannya dapat ia tangkap. Bau wangi yang menyambar hidungnya tidak membuat Si Muka Bopeng sadar, bahkan makin girang mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu demikian wangi!
"Plak-plak!" Kedua pasang tangan bertemu dan beradu telapak tangan. Si Muka Bopeng mengeluarkan pekik aneh dan tubuhnya terlempar ke belakang, terbanting roboh telentang dan tidak bergerak lagi. Kedua lengannya masih berkembang seperti akan menubruk, akan tetapi lengan itu kaku dan telapak tangannya terdapat warna merah dan ke-biruan, matanya mendelik napasnya pu-tus!
Sisa para pengemis baju bersih men-jadi kaget dan jerih. Wanita setengah tua yang kini menangisi pengemis baju butut tadi sudah hebat, kiranya gadis cilik ini lebih hebat lagi, dalam segebrakan mam-pu menewaskan pimpinan rombongan mereka! Dengan ketakutan, sembilan orang pengemis itu cepat menyeret te-man-teman mereka yang luka dan meng-angkut mayat Si Muka Bopeng, lalu melarikan diri dari tempat itu sambil se-bentar-sebentar menoleh ketakutan melihat ke arah Kwi Lan yang tertawa-tawa sambil bertolak pinggang!
Setelah semua pengemis pergi, Kwi Lan baru sadar akan suara Bi Li yang menangis terisak-isak. Ia cepat mem-balikkan tubuh dan melihat Bi Li ber-lutut di depan pengemis baju butut yang dikeroyok tadi, ia cepat menghampiri. Kini pengemis itu sudah bangkit duduk, bersandar pada batang pohon, napasnya terengah-engah, kedua lengannya meme-luk pundak Bi Li yang berlutut di depan-nya. Melihat keadaan mereka, Kwi Lan menjadi heran bukan main, akan tetapi ia tidak mau bertanya karena merasa jengah. Kenapa Bibi Bi Li mau dipeluk laki-laki jembel itu" Sebagai seorang gadis cilik yang belum pernah menyaksikan orang berpelukan, Ia tidak tahan untuk melihat lebih lama lagi, maka ia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi mereka. Akan tetapi ia mendengar suara mereka ketika mereka bicara.
"Suamiku.... mana dia" Mana Hauw Lam anak kita....?" terdengar Bi Li ber-kata menahan isak. Mendengar ini, Kwi Lan makin kaget. Suami" Jembel itu suami Bibi Bi Li" Rasa heran dan kaget membuat ia kembali membalik dan me-mandang pengemis itu lebih teliti. Se-orang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, pakaiannya lapuk dan kotor, pakaian seorang jembel. Akan tetapi mukanya bersih terpelihara, muka yang pucat karena menderita luka parah, namun masih membayangkan ketampanan laki--laki.
"Bi Li.... isteriku, kenapa engkau me-ninggalkan aku" Kenapa engkau tega pergi
meninggalkan kami, suamimu dan anak kita" Apakah kesalahanku kepada-mu sehingga
engkau begitu kejam?" Suaranya ini penuh pertanyaan, penuh tuntutan dan tangis Bi Li makin tersedu-sedu. Di antara isak tangis, istri yang malang ini lalu bercerita dengan singkat betapa Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 27
ia diculik dan dipaksa pergi oleh Kam Sian Eng untuk menyusui dan merawat anaknya yang baru terlahir, men-ceritakan betapa Kam Sian Eng adalah seorang yang berilmu tinggi dan betapa dia tidak berdaya.
"Demikianlah, Suamiku. Kuharap eng-kau suka mengampunkan aku, akan teta-pi.... sungguh aku tidak berdaya.... sampai sekarang pun aku tidak mungkin bisa pergi meninggalkan Sian-kouwnio...."
Laki-laki itu makin pucat jelas ia menahan sakit sambil menggigit bibir. "Ah, engkau terluka hebat.... mari kubawa ke pondok kami, biar kuminta Kouw-nio memberi obat kepadamu...."
"Tidak perlu lagi!" Laki-laki itu yang bernama Tang Sun, suami dari Phang Bi Li, mencegah sambil mengangkat tangan, kemudian karena tidak tahan bersandar dan duduk, ia lalu merebahkan diri lagi, dibantu isterinya. "Lukaku amat parah, kurasa ada perdarahan di dalam dada-ku, sakit sekali.... ougghh.... tak mungkin dapat diobati. Akan tetapi, terima kasih kepada Thian.... mati pun aku tidak pena-saran, sudah dapat bertemu denganmu.... tapi sayang....
Hauw Lam.... di mana engkau, Anakku....?"
Mendengar disebutnya nama anaknya, Bi Li lupa akan penderitaan suaminya yang sudah menghadapi maut. Sambil memegang lengan suaminya ia berseru keras, "Dimana Hauw Lam" Dimana dia?"
Suara Tang Sun makin lemah, bahkan agak menggigil dan pelo, akan tetapi lancar dan tidak terputus-putus lagi. Pe-rubahan ini tidak diketahui Bi Li yang amat ingin mendengar cerita tentang puteranya.
"Sepeninggalmu, kubawa dia pergi mencarimu dan hidup menderita. Ketika dia berusia lima tahun. kuserahkan dia kepada ketua kelenteng di puncak Gu-nung Kim-liong-san yang kutahu seorang berilmu tinggi. Aku sendiri lalu melanjut-kan perjalanan mencarimu, Bi Li, me-nempuh seribu satu macam kesukaran!"
Cerita ini terputus sebentar oleh tangis Bi Li penuh keharuan sambil me-meluk leher suaminya. Kwi Lan yang berdiri tak jauh dari situ, merasa betapa jantungnya seperti disayat-sayat saking terharu, namun ia dapat menekannya dan tidak sebutirpun air mata menetes turun. Di dalam hatinya, ia makin menyesalkan perbuatan Kam Sian Eng yang telah
me-misahkan suami isteri ini dan menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan dua orang, bahkan mungkin tiga orang dengan anak mereka yang agaknya tidak dike-tahui pula di mana adanya.
"Akan tetapi sekarang aku tidak me-nyalahkan engkau, isteriku, setelah aku tahu betapa engkau pun menderita dan tidak berdaya. Aku lalu hidup sebagai pengemis dan akhirnya aku tertarik akan sepak terjang Khong-sim Kai-pang yang adil dan gagah, maka aku masuk menjadi anggauta Khong-sim Kai-pang. Khong--sim Kai-pang termasuk perkumpulan
pe-ngemis golongan bersih yang ditandai de-ngan pakaian kotor, dan pada waktu ini golongan bersih sedang berusaha mem-basmi pengemis-pengemis golongan kotor yang ditandai dengan pakaian bersih. Se-telah menjadi anggauta Khong-sim Kai-pang, banyak teman-temanku membantu-ku mencarimu. Dan beberapa hari yang lalu, seorang temanku melihat engkau di depan pondok. Karena dia tidak menge-nalmu akan tetapi merasa heran melihat seorang wanita dan dua orang anak tang-gung tinggal bersunyi diri didalam hutan, ia lalu menceritakannya kepadaku. Nah, hari ini aku datang ke sini menyelidik, siapa kira, di sini aku bertemu dengan belasan orang pengemis golongan hitam yang mengeroyokku...."
"Dan Hauw Lam, Anakku.... dia bagai-mana.... ?" Bi Li mendesak, tidak sadar bahwa kini wajah suaminya yang pucat itu sudah mulai agak kebiruan.
"Dia.... dia...." Kini napas Tang Sun mulai tersendat-sendat, "Dia, kini tentu sudah dewasa....
hampir lima belas tahun.... akan tetapi ketika aku datang menjenguk ke sana.... hwesio tua itu telah meninggal dunia dan.... dan Hauw Lam.... dia...." Sukar sekali ia melanjutkan kata-katanya.
Barulah Bi Li sadar akan keadaan suaminya. Ia menjerit dan memeluk, melihat suaminya Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 28
meramkan matanya, ia menciuminya dan memanggil-manggil namanya, kini tidak peduli lagi akan anaknya. Kwi Lan yang berdiri termangu--mangu cepat menggunakan punggung tangan kirinya menghapus dua butir air mata yang tak tertahankan lagi menetes turun ke atas pipinya.
Tang Sun membuka matanya, lalu ter-senyum dan membelai rambut isterinya. Wajahnya membayangkan kepuasan, akan tetapi kembali keningnya berkerut ketika ia berkata,
"....Hauw Lam.... dia.... pergi dari sana.... tak seorang pun tahu ke mana. Isteriku, kau....
kaucarilah dia...." Tangan yang membelai rambut itu lemas dan terkulai.
Bi Li menjerit dan roboh pingsan sambil memeluk mayat Tang Sun yang masih hangat!
"Bibi Bi Li....! Bibi Bi Li....!" Kwi Lan memanggil-manggil sambil mengguncang--guncang tubuh Bi Li. Wanita itu akhirnya siuman dan dengan muka merah mata berapi-api ia meloncat bangun, membalikkan tubuhnya dan mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Bi Li memang memiliki kepandaian yang khusus ia pelajari dari Sian Eng, yaitu bermain pe-dang, bahkan ia menerima hadiah se-batang pedang indah dari Sian Eng. Kini dengan pedang di tangan, matanya ter-belalak memandang kanan kiri, mulutnya menantang-nantang.
"Pengemis-pengemis busuk, jembel-jembel terkutuk! Hayo majulah semua, akan kubunuh kalian sampai habis!"
Kwi Lan maklum bahwa bibinya ini amat marah dan sakit hati karena ke-matian suaminya.
Suami yang terpisah darinya, selama belasan tahun, dan yang kini begitu berjumpa terus meninggal dunia!
"Perempuan setan, berani kau mem-bunuh saudara kami?" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah tiga orang kakek berpakaian pengemis. Me-reka adalah tiga orang kakek tinggi ku-rus yang memegang tongkat butut, se-butut pakaian mereka.
Begitu melihat tiga orang kakek pengemis ini, sambil berseru marah Bi Li maju menerjang dengan pedangnya. Gerakannya secepat kilat, pedangnya berkelebat seperti halilintar menyambar.
"Tranggg....!" Pedang itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan Bi Li ketika tertangkis sebatang tongkat butut yang dipegang oleh kakek pengemis yang bertahi lalat besar di bawah hidungnya.
Bi Li makin marah. Kakek pengemis ini kiranya lihai sekali, tidak boleh di-samakan dengan para pengemis yang tadi mengeroyok suaminya. Maka ia lalu mengeluarkan seruan keras sambil memutar pedangnya dan mengerahkan tenaga, me-nerjang dengan cepat sekali.
Menghadapi serangan yang begitu dahsyat, kakek pengemis itu terkejut dan cepat memutar tongkat melindungi tubuhnya. Kemudian terjadilah pertandingan hebat di antara Bi Li dan kakek pengemis.
Dua orang kakek pengemis lain segera melangkah maju mendekati mayat Tang Sun. Melihat ini, Kwi Lan menjadi curiga dan membentak, "Jembel-jembel busuk, mundurlah kalian!"
Gadis cilik ini menerjang maju dengan pukulan kedua tangan-nya yang mendorong.
Karena melihat bahwa yang mener-jang mereka hanyalah seorang gadis cilik berusia empat belas tahun, dua orang kakek jembel itu tersenyum tenang, bah-kan mengulur tangan untuk menangkap pundak Kwi Lan. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tangan mereka bertemu dengan tangan Kwi Lan, tubuh mereka terdorong mundur dan hampir saja mereka terbanting roboh! Baiknya keduanya adalah tokoh-tokoh lihai, cepat dapat menekan tanah dengan ujung tong-kat sehingga dapat menguasai keseimbangan tubuh lagi. Sejenak mereka saling pandang dengan muka merah, lalu me-natap wajah Kwi Lan dengan sikap ter-heran-heran. Namun mereka merasa pe-nasaran. Mungkinkah bocah perempuan ini memiliki tenaga yang sedemikian dahsyatnya" Karena merasa malu untuk menghadapi seorang anak-anak dengan senjata tongkat mereka, keduanya lalu menyelip-kan tongkat di ikat pinggang lalu me-langkah maju mengulur tangan.
"Bocah setan, mau lari kemana kau?"
Melihat dirinya diserang dengan jangkauan tangan hendak menangkap, Kwi Lan tertawa Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 29
mengejek, "Lari ke mana" Untuk apa lari menghadapi dua ekor babi tua macam kalian?" Dan dengan gerakan yang indah namun gesit bukan main, Kwi Lan sudah dapat mengelak, lolos dari tu-brukan mereka, kemudian cepat ia mem-balik dan mengirim pukulan ke arah
punggung mereka! "Wuuuttt!" Dua orang pengemis tua itu berseru kaget dan cepat melompat jauh ke depan sehingga terhindar dari-pada pukulan maut tadi. Wajah mereka menjadi pucat dan keringat dingin me-menuhi jidat. Sebagai orang-orang yang ahli, mereka cukup maklum betapa pu-kulan kedua tangan bocah ini tadi me-ngandung tenaga Iweekang yang hebat dan dapat mematikan! Berubahlah pan-dangan mereka. Kiranya bocah ini gerakannya jauh lebih hebat daripada wanita yang bertanding melawan saudara me-reka. Tanpa malu-malu lagi keduanya lalu mencabut tongkat.
"Hi-hik, kalian mau lari ke mana?" Kwi Lan mengejek. Akan tetapi cepat gadis cilik ini menggerakkan kaki untuk berkelit karena melihat dua sinar tongkat sudah meluncur dengan hebat. Selanjut-nya, Kwi Lan harus mempergunakan ke-lincahannya untuk menghindarkan diri daripada kurungan sinar kedua tongkat itu.
Diam-diam anak ini kaget juga. Ki-ranya dua orang pengeroyoknya ini benar-benar amat tangguh sehingga te-kanan kedua tongkat itu mengurung dirinya, membuat ia tidak mampu balas me-nyerang. Dia tidak tahu bahwa dua orang kakek itu jauh lebih kaget dan heran daripadanya. Selama mereka hidup, sudah hampir enam puluh tahun, baru kali ini mereka menghadapi peristiwa yang begini aneh dan memalukan. Mereka terkenal sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi, hanya orang-orang pilihan saja di dunia kang--ouw yang setanding dengan mereka. Akan tetapi kini, dengan maju berdua dan me-megang tongkat pula, mereka tidak mampu mengalahkan seorang gadis cilik yang bertangan kosong! Sebetulnya ting-kat ilmu silat anak itu belumlah matang dan tidaklah seberapa tinggi, akan tetapi gerakannya amat aneh luar biasa sekali dan sukar diduga karena jauh berbeda de-ngan dasar-dasar ilmu silat yang lazim!
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring sekali, datangnya dari jauh akan tetapi amat jelas seakan-akan yang berkata berada di belakang mereka, "Enci Bi Li! Kwi Lan! Mundur....!"
Tentu saja Bi Li dan Kwi Lan me-ngenal baik suara ini dan mereka cepat meloncat mundur tanpa menoleh. Tiga orang pengemis yang tidak mendengar seruan tadi, mendesak maju.
Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan putih berke-lebat dan.... tiga orang kakek itu berhenti bergerak dan telah menjadi kaku seolah-olah mereka berubah menjadi arca batu! Tanpa dapat mereka lihat, jalan darah mereka telah ditotok oleh ujung lengan baju Sian Eng yang kini sudah berdiri di depan mereka dengan sikap bengis!
Pada saat itu, terdengar bunyi angin menyambar. Belasan buah senjata rahasia berbentuk piauw (pisau) dan besi bintang menyambar ke arah Bi Li, Kwi Lan, Sian Eng, dan juga ke arah tiga orang penge-mis yang berdiri kaku. Bi Li dan Kwi Lan melihat datangnya senjata rahasia yang membawa angin ini, maklum bahwa senjata itu digerakkan oleh tangan yang lihai, maka tidak berani menyambut dan cepat mengelak. Akan tetapi Sian Eng lalu mengebutkan kedua tangannya ke depan dan.... belasan batang senjata raha-sia yang menyambar ke arahnya dan ke arah tiga orang pengemis tua runtuh ter-pukul oleh hawa pukulan kedua tangannya!
Dari balik pohon meloncat keluar lima orang kakek pengemis pula, akan tetapi mereka ini berbeda dengan yang tiga tadi. Kalau tiga orang kakek per-tama berpakaian butut kotor, adalah lima orang ini berpakaian bersih, sungguhpun bertambal-tambalan seperti halnya para pengemis yang mengeroyok Tang Sun.
"Wanita iblis, berani kau...." Hanya sampai sekian saja bentakan seorang di antara mereka karena tiba-tiba tubuh Sian Eng lenyap berkelebat ke depan dan lima orang itu menggerakkan kaki tangan hendak melawan bayangan yang tiba-tiba menyambar, namun sia-sia belaka karena tahu-tahu mereka ini pun sudah berdiri kaku seperti patung, persis se-perti keadaan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 30
tiga orang kakek baju butut!
Melihat munculnya lima orang penge-mis baju bersih ini, baru Bi Li sadar akan perbedaan antara lima orang penge-mis ini dan tiga orang pengemis yang tadi datang lebih dulu. Pakaian mereka! Pakaian lima orang pengemis yang da-tang belakangan ini serupa dengan pakaian para pengemis yang mengeroyok-nya, yang membunuh suaminya. Adapun pakaian tiga orang pengemis yang mengeroyoknya, sama butut dengan pakaian suaminya. Teringatlah ia akan cerita suaminya tentang golongan putih yang berpakaian butut dan golongan hitam yang berpakaian bersih. Kini melihat Kam Sian Eng memandang kepada tiga orang pengemis baju butut dengan mata beringas, ia cepat meloncat maju dan berkata.
"Sian-kouwnio....! Jangan.... jangan bunuh mereka ini...."
Kam Sian Eng tanpa menoleh ber-tanya, suaranya dingin dan ketus, "Apa yang terjadi di sini?"
Bi Li yang teringat kembali kepada suaminya, tidak menjawab melainkan ber-lutut lagi di depan mayat suaminya sam-bil menangis. Kwi Lan maklum bahwa bibinya dan juga gurunya itu sedang marah, maka ia cepat maju mewakili Bi Li dan bercerita singkat.
"Bibi Bi Li dan aku sedang memetik bunga ketika kami mendengar suara orang bertempur di sini. Ternyata yang bertempur adalah.... suami Bibi Bi Li dikeroyok pengemis-pengemis baju bersih sampai terluka dan tewas. Bibi Bi Li dan aku berhasil mengusir dan membunuh beberapa orang pengemis baju bersih, dan sebelum mati suami Bibi Bi Li sempat bercerita bahwa dia adalah anggauta pe-ngemis baju butut. Kemudian muncul tiga orang kakek pengemis baju butut ini yang lancang menyerang Bibi Bi Li dan aku. Agaknya mereka bertiga ini masih segolongan dengan suami Bibi Bi Li. Dan lima orang kakek yang datang
belakangan ini agaknya hendak membalaskan kematian anak buah mereka."
Sian Eng mendengar ini, melirik ke arah Bi Li dengan wajah yang tertutup tirai sutera itu sedikit pun tidak ber-ubah, tetap dingin dan keras. Tiba-tiba tangannya bergerak ke punggung, sinar terang berkelebatan disusul jerit-jerit ke-sakitan dan.... delapan orang pengemis yang masih berdiri kaku itu kini telah buntung semua tangan kanannya! Entah kapan Sian Eng menggunakan pedang, entah kapan mencabutnya, dan menya-rungkannya kembali, tak dapat diikuti pandang mata para pengemis itu sehingga biarpun mereka menanggung luka hebat dan nyeri, mereka masih terbelalak kaget dan gentar. Tiga orang pengemis tua baju butut itu adalah tokoh-tokoh Khong--sim Kai-pang sedangkan lima orang pe-ngemis baju bersih itu adalah tokoh-tokoh terkemuka pula dari perkumpulan golongan hitam. Di dalam dunia kang-ouw, terutama dunia para pengemis kang-ouw, mereka delapan orang ini merupa-kan orang-orang terkenal dengan ilmu silat mereka yang tinggi. Akan tetapi kini, dalam tangan wanita berkerudung yang cantik dan aneh itu, mereka sama sekali tidak berdaya, dipermainkan se-perti tikus-tikus dipermainkan kucing!
"Ohh, Kouwnio, jangan....!" Bi Li yang mendengar jerit mereka dan mengangkat muka, segera meloncat bangun. "Tiga orang Lo-kai ini adalah orang-orang segolongan mendiang suami saya...."
Sian Eng mendenguskan suara dari hidung. "Hemmm....!"
Kwi Lan segera berkata, "Bibi Bi Li, tiga orang jembel tua ini biarpun se-golongan dengan suamimu, namun mereka datang-datang menyerang kita. Pasti bukan orang baik-baik! Sudah sepatutnya Bibi Sian memberi hukuman."
Kakek pengemis baju butut yang ber-tahi lalat di bawah hidungnya, terdengar menarik napas panjang.
Delapan orang ini biarpun tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi yang kaku hanyalah kaki tangan, sedangkan anggauta tubuh yang lain tidak, sehingga mereka masih mam-pu bicara.
"Kami tiga orang tua bangka memang telah berlaku ceroboh, tidak mengenal orang dan tidak dapat membedakan mana kawan mana lawan. Kehilangan tangan ini sudah sepantasnya....!"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 31
"Kouwnio, harap sudi mengampuni mereka. Tentu tadi mereka menyangka bahwa sayalah yang membunuh saudara mereka ini, padahal dia.... dia ini...., Tang Sun, suamiku...."
"Hemmm....! Kwi Lan bebaskan me-reka!" Sian Eng menggerakkan kepalanya ke arah tiga orang pengemis baju butut. Sebagai seorang murid yang amat tekun dan amat cerdik, tentu saja Kwi Lan sudah pula membaca dan mempelajari isi kitab Im-yang-tiam-hoat, sebuah kitab pusaka dari Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri oleh Tok-siauw-kwi dan terjatuh ke tangan Sian Eng. Dan tentu saja ia dapat pula membebaskan pengaruh totok-an ilmu menotok jalan darah ini. Diham-pirinya tiga orang kakek itu dan dengan sebuah jari telunjuk kanan, ditotoknya punggung belakang pusar mereka sambil tangan kirinya tidak lupa menampar belakang kepala. Sebetulnya tamparan be-lakang kepala ini tidak ada hubungannya dengan pembebasan totokan, anak tetapi dasar anak nakal, ia hendak melampias-kan kemendongkolan hatinya kepada tiga orang kakek pengemis itu dalam kesem-patan ini!
Kembali tiga orang kakek ini terkejut sekali. Mereka adalah ahli-ahli silat ting-kat tinggi dan tahu banyak tentang seluk-beluk Ilmu Tiam-hiat-hoat (Menotok Jalan Darah). Akan tetapi selama hidup mereka, baru sekali ini mereka tahu ada ilmu menotok jalan darah yang pembebas-annya diharuskan menempiling kepala segala! Makin gentarlah mereka terhadap Sian Eng, dan cepat-cepat mereka meng-gunakan tangan kiri untuk menotok lengan kanan, menghentikan jalan darah agar darah yang mengalir keluar dari pergelangan tangan yang buntung itu berhenti. Kemudian, sejenak mereka me-mandang kepada Sian Eng, dan
pengemis tua bertahi lalat segera menjura, diturut dua orang temannya dan bertanya,
"Kami bertiga dari Khong-sim Kai--pang telah menerima petunjuk Kouwnio (Nona), semoga lain kali kami akan dapat membalas kebaikan ini. Sudilah Kouwnio memberitahukan nama yang mulia dan tempat tinggal."
Sian Eng tersenyum, senyum yang dingin dan mendirikan bulu roma. Suara-nya halus merdu akan tetapi juga me-ngandung hawa dingin yang menyeramkan ketika ia berkata, "Aku Kam Sian Eng dan tinggal di hutan ini. Kalau belum puas, boleh suruh ketua Khong-sim Kai--pang datang! Pergilah!"
Tiga orang pengemis tua itu menjura lalu menghampiri mayat Tang Sun, akan diambilnya. Bi Li maju hendak mencegah akan tetapi Sian Eng menghardiknya, "Enci Bi Li, mundur kau!"
Bi Li terkejut sekali dan segera meloncat mundur, wa-jahnya pucat dan air matanya bercucuran ketika ia melihat mayat suaminya dibawa pergi oleh tiga orang kakek pengemis itu. Tiga orang ini memandang sebentar kepada Bi Li dengan pandang mata ka-sihan, lalu menghela napas dan pergi dari tempat itu dengan langkah lebar sambil membawa mayat Tang Sun.
Lima orang pengemis tua baju bersih itu tadinya terkejut dan khawatir sekali mendengar bahwa anggauta Khong-sim Kai-pang yang terbunuh adalah suami wanita yang tak tertutup mukanya. Akan tetapi, melihat sikap Bi Li dan mende-ngar bentakan wanita yang
berkerudung dan mengaku bernama Kam Sian Eng itu, mereka menjadi lega hati. Jelas bahwa biarpun wanita yang ke dua itu mem-punyai suami anggauta Khong-sim Kai--pang, namun si wanita aneh yang sakti itu sama sekali tidak bersahabat dengan Khong-sim Kai-pang. Biarpun tubuh mereka masih kaku dan tak mampu ber-gerak, namun pengemis yang tertua di antara mereka, yang hidungnya bengkok seperti hidung kukuk beluk berkata me-rendah,
"Mohon maaf sebanyaknya kepada Cianpwe yang mulia. Karena tidak tahu dan belum
mengenal, boanpwe berlima berani mati lancang memasuki wilayah Cianpwe. Hendaknya Ciancwe memaklumi bahwa boanpwe berlima adalah pimpinan perkumpulan pengemis Hek-peng Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Garuda Hitam) yang masih berada di bawah
lindungan yang mulia Bu-tek Siu-lam! Maka boanpwe berlima mengharap sudilah kira-nya Cianpwe melihat muka Ciangbujin (Pemimpin Besar) Bu-tek Siu-lam untuk mengampuni dan membebaskan boanpwe berlima!"
Sian Eng mengerutkan keningnya. Diam-diam ia merasa geli mendengar betapa lima orang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 32
kakek itu menyebut-nya cianpwe, sebutan bagi tokoh-tokoh tinggi dunia persilatan dan menyebut diri boanpwe, sikap yang amat merendahkan sekali. Akan tetapi ia heran
mendengar nama Bu-tek Siu-lam (Laki-laki Tampan Tanpa Tanding). Siapakah itu" Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri sehing-ga tidak melihat perubahan di dalam dunia kang-ouw, tidak mengenal tokoh-tokoh barunya.
Siapakah dia yang berjuluk Bu-tek Siu-lam itu?" tanyanya tanpa disengaja karena pertanyaan dalam hati ini ter-lontar keluar melalui bibirnya.
Lima orang pengemis tua baju bersih itu saling pandang dengan heran dan juga kecewa.
Benarkah ada orang di dunia kang-ouw ini yang belum mengenal nama Bu-tek Siu-lam" Dan wanita aneh ini demikian sakti! Tapi mungkin belum me-masuki dunia kang-ouw. Karena ini, Si Hidung Bengkok segera berkata, sengaja mengangkat-angkat nama besar Bu-tek Siu-lam untuk menimbulkan kesan men-dalam.
"Beliau adalah tokoh tertinggi di dunia kang-ouw yang datang dari dunia barat. Semua perkumpulan pengemis baju bersih berada dibawah perlindungan beliau, dan boanpwe yakin bahwa kelak beliaulah yang akan menjadi pemimpin besar se-mua kai-pang! Juga dalam pemilihan tokoh-tokoh terbesar untuk memilih jago-an yang Thian-he-te-it (di Seluruh Dunia Nomor Satu) yang akan diadakan di pun-cak Cheng-liong-san pada malam tahun baru nanti, sudah dapat dipastikan bahwa Ciangbujin Bu-tek Siu-lam yang akan keluar sebagai juara, jagoan di antara segala datuk! Tapi.... eh, kecuali.... kalau Cianpwe ikut pula dalam kejuaraan itu, keadaan akan makin ramai." Demikian tambah Si Hidung Bengkok ketika me-lihat wajah di balik kerudung itu kelihat-an tak senang.
"Aku tidak peduli segala macam Bu-tek Siu-lam! Kalian berlima sudah lan-cang berani menyerangku, berani meman-dang sebelah mata. Karena itu, kalian baru boleh pergi kalau kalian suka men-congkel keluar sebuah biji mata kalian!"
Lima orang pengemis itu terbelalak, dan muka mereka pucat. Keringat dingin mengalir keluar membasahi jidat dan leher. Sebuah biji mata disuruh cokel keluar" Siapa yang sudi" Sebelah tangan sudah dibuntungkan, kini sebelah mata diminta lagi! Mana ada aturan begini bocengli (kurang ajar)" Wanita aneh ini tidak takut kepada Bu-tek Siu-lam, ber-arti belum mengenal.
Kalau belum kenal, belum tentu wanita ini benar-benar sakti. Agaknya hanya memiliki Ilmu Tiam-hiat--hoat yang aneh sehingga mereka tadi menjadi korban totokan sebelum dapat bergerak banyak dan sebelum melihat sampai di mana tingkat ilmu kepandaian wanita berkerudung itu. Karena tidak terdapat jalan lain untuk menghindarkan diri daripada ancaman cokel mata, Si Hidung Bengkok lalu berkata, nadanya sengaja dikeluarkan untuk mengejek.
"Sebagai orang-orang kang-ouw kami tahu bahwa hukumnya adalah siapa kuat dia menang dan siapa kalah harus tun-duk. Sayang sekali bahwa kami belum merasa dikalahkan, hanya dibuat tidak berdaya oleh serangan gelap. Sebagai tokoh-tokoh Hek-peng Kai-pang, kami mengandalkan keselamatan nyawa kami di ujung pedang. Siapa tahu, sebelum kami sempat mencabut pedang, kami mengalami penghinaan. Kalau sudah ter-totok seperti ini, bicara pun kami tak berhak. Seorang kanak-kanak yang masih ingusan sekalipun dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya terhadap kami!"
Akal Si Hidung Bengkok ini berhasil baik sekali. Sian Eng menjadi merah mukanya dan sekali tubuhnya bergerak, tampak bayangan putih berkelebat. Ujung lengan bajunya menyambar dan lima orang kakek itu merasa betapa punggung belakang pusar mereka
tertotok yang membuat tubuh mereka pulih seperti biasa. Serentak mereka berlima mencabut pedang dan membuat gerakan keliling, mengurung wanita berkerudung itu.
Sian Eng yang berdiri di tengah-te-ngah dalam keadaan terkurung, hanya memandang tanpa mengubah kedudukan badan dan tanpa menoleh. Hanya sepa-sang matanya di balik kerudung hitam itu yang melirik ke kanan kiri, kemudian tampak giginya berkilat putih ketika ia berkata,
"Kalian telah bebas. Pedang telah di-cabut. Tidak lekas mencokel mata kanan kalian. Tunggu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 33
apa lagi?" Ucapan yang menyakitkan hati ini merupakan komando bagi lima orang kakek pengemis itu untuk menerjang dengan hebat. Sian Eng dalam keadaan ter-kepung dan lima orang itu melakukan serangan berbareng. Lima buah pedang dengan tusukan dan bacokan kilat
me-ngarah tubuhnya. Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh dan lima orang pengemis terkejut ketika melihat bayang-an putih melesat cepat dari tengah ke-pungan dan benar saja, ketika mereka melihat, ujung pedang mereka hanya mengenai tempat kosong dan lima buah pedang mereka hampir beradu sendiri de-ngan kawan. Cepat mereka menengok dan kiranya Sian Eng telah berdiri sambil bertolak pinggang di sebelah kiri sambil tersenyum mengejek.
Pengemis hidung bengkok yang berdiri paling dekat, cepat menerjangnya dengan pedang, diikuti oleh teman-temannya yang kini tidak mengurung lagi. Inilah yang dikehendaki Sian Eng, yaitu agar lima orang pengeroyoknya itu menyerang-nya dengan susul menyusul, tidak ber-bareng seperti tadi. Begitu pedang Si Hidung Bengkok menyambar, ia mengge-rakkan lengannya secara aneh. Pedang menusuk datang dan terdengarlah jerit mengerikan disusul robohnya tubuh pe-ngemis hidung bengkok. Sian Eng tidak berhenti sampai di situ saja.
Tubuhnya terus bergerak ke depan dan jerit ke-sakitan susul menyusul sehingga akhirnya empat orang pengemis yang lain juga roboh. Hanya beberapa puluh detik saja terjadinya.
Lima orang pengemis itu sen-diri tidak tahu benar apa yang terjadi. Ketika mereka menyerang secara men-dadak pedang mereka membalik dan mencokel mata mereka sendiri, mata kanan!
Kini Sian Eng berdiri tegak, meman-dang lima orang pengemis itu yang me-rangkak bangun sambil merintih-rintih. Tangan kanan mereka sebatas pergelang-an telah buntung. Tadi mereka meng-gunakan tangan kiri untuk bermain pe-dang, siapa kira, secara aneh sekali wa-nita sakti itu telah membuat pedang mereka membalik dan mencokel keluar biji mata kanan mereka dengan pedang mereka sendiri. Setelah mereka mampu berdiri, lima orang pengemis tua yang terluka parah itu, berdiri memandang Sian Eng dengan mata sebelah mereka, memandang penuh kemarahan dan ke-bencian.
"Pergilah kalau tidak ingin mampus!" Sian Eng berkata dingin.
Lima orang pengemis itu ingin sekali menerjang mengadu nyawa. Akan tetapi kini
maklumlah mereka bahwa terhadap wanita aneh ini mereka tidak berdaya sama sekali. Si Hidung Bengkok sambil meringis menahan sakit berkata,
"Akan kami laporkan bahwa engkau menantang ciangbujin kami Bu-tek Siu-lam!"
"Boleh! Suruh dia datang ke sini, akan kubuntungi kedua tangannya dan kucokel keluar kedua biji matanya!" bentak Sian Eng.
Lima orang itu terkejut. Benar-benar wanita ini sudah gila, berani mengeluar-kan kata-kata seperti itu terhadap Bu-tek Siu-lam yang sakti seperti dewa. "Tunggulah dan kalau memang berani, datanglah kelak di puncak Cheng-liong-san!"
Sian Eng hanya tersenyum dan me-mandang lima orang itu yang pergi sam-bil meringis kesakitan. Setelah keadaan menjadi sunyi, barulah Sian Eng menoleh kepada Bi Li dan membentak, "Apakah engkau hendak pergi pula meninggalkan aku?" Di dalam suaranya terkandung ancaman maut.
Bi Li menggeleng kepala, menyusut air matanya. "Pergi ke mana" Suamiku telah mati....!
Tidak, aku tidak akan pergi dari sini, kecuali pergi ke akhirat. Tidak ada lagi yang kuharapkan."
Mendengar jawaban ini, Sian Eng me-ngeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh mendirikan bulu roma. Kwi Lan menge-rutkan keningnya, akan tetapi ketika me-lirik ke arah Bi Li, ia melihat wanita itu memandang kepadanya dan tahulah ia bahwa Bi Li diam-diam amat mengharap-kan agar kelak dapat bertemu dengan puteranya yang bernama Hauw Lam. Dan gadis ini, biarpun tidak mendengar kata-kata keluar dari mulut Bi Li, dapat menduga, bahkan berjanji dalam hatinya bahwa kelak ia akan bantu mencari pu-tera yang hilang itu.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 34
Semenjak terjadi peristiwa itu, Kwi Lan belajar makin tekun dan giat karena ia maklum bahwa ilmu kepandaian tinggi merupakan modal terutama baginya untuk kelak mencari orang tuanya dan untuk membantu Bi Li mencari puteranya yang bernama Tang Hauw Lam. Dan semenjak terjadinya peristiwa itulah nama Kam Sian Eng dikenal di dunia kang-ouw se-bagai seorang tokoh yang aneh dan luar biasa, serta memiliki ilmu kesaktian yang dahsyat pula. Hal ini menyebabkan semua orang menjauhkan diri dari hutan itu, yang dianggap sebagai hutan iblis dan tak seorang pun berani memasukinya.
*** Lima tahun kemudian, seorang gadis berusia sembilan belas tahun berjalan se-orang diri di kaki Gunung Lu-liang-san, di sebelah barat kota Tai-goan. Gadis remaja ini cantik sekali dan amat manis. Bentuk mukanya lonjong, dagunya me-runcing, dengan kulit muka yang halus dan putih seperti susu, dihias warna me-rah jambu di kedua pipinya, warna merah karena sehat. Mulutnya kecil dengan bibir selalu tersenyum, bibir merah membasah dan segar.
Rambutnya agak awut-awutan, tidak disisir rapi, namun me-nambah keluwesan dan
keayuannya. Tu-buhnya sedang dan ramping, agak kurus akan tetapi dengan lekuk-lengkung tubuh yang menonjolkan kewanitaannya. Pakaiannya berwarna merah muda, dengan ikat pinggang merah tua. Sebatang pedang tergantung di pinggangnya dan gagang pedang ini dihias sebuah mutiara yang besar, mutiara berwarna hitam ber-kilauan.
Gadis jelita ini bukan lain adalah Kam Kwi Lan! Sudah setengah tahun ia merantau meninggalkan hutan iblis. Se-tengah tahun yang lalu, bibinya, juga gurunya, Kam Sian Eng telah pergi ber-sama Suma Kiat.
"Aku pergi bersama Suhengmu. Kau tidak boleh ikut, Kwi Lan. Akan tetapi kalau engkau mau pergi merantau, ter-serah. Engkau sudah cukup dewasa dan kuat untuk menjaga diri."
Demikian pe-san Sian Eng secara singkat. Adapun Suma Kiat tersenyum-senyum, agaknya hendak menggoda sumoinya itu yang tidak boleh ikut pergi! Memang, biarpun usianya sudah dua puluh tahun, Suma Kiat yang kini juga memiliki ilmu ke-pandaian tinggi itu kadang-kadang sikap-nya seperti kanak-kanak saja!
"Bibi, saya hanya minta agar sebelum Bibi pergi, Bibi suka memberi sedikit ke-terangan kepadaku."
Sian Eng tersenyum di balik kerudung hitamnya. "Keterangan tentang Ayah -bundamu, bukan?"
Kwi Lan terkejut dan melirik ke arah Bi Li yang juga berdiri di situ dan yang menjadi kaget pula.
"Hemm, jangan kira bahwa aku tidak tahu akan persekutuan kalian beberapa tahun yang lalu!
Enci Bi Li, suamimu telah mati, anakmu hilang. Kalau dia memang anak berbakti, tentu dia akan datang mencarimu kelak. Kwi Lan, kalau kau hendak mencari Ibumu, pergilah ke Khitan. Ibumu adalah adik angkatku, yaitu Ratu Yalina di Khitan. Tentang Ayahmu.... hi-hik, kautanya saja kepada Ibumu yang manis itu!"
Demikianlah, setelah Sian Eng ber-sama Suma Kiat pergi, Kwi Lan lalu pergi pula
meninggalkan hutan di mana ia hidup selama delapan belas tahun. Ia menasihati Bi Li agar tinggal di dalam istana bawah tanah saja, menanti kembalinya mereka dari perantauan. Ia ber-janji akan mencari keterangan di dunia luar tentang Tang Hauw Lam.
Dengan kawan pedang pusaka pem-berian bibinya, Kwi Lan melakukan per-jalanan seorang diri. Tujuan perjalanan-nya tentu saja di Khitan di sebelah utara. Akan tetapi ia tidak tergesa-gesa, me-lakukan perjalanan seenaknya. Hal ini bukan saja karena ia memang hendak menikmati keadaan kota dan dusun yang dilaluinya, juga terutama sekali karena hatinya merasa amat kecewa ketika mendengar keterangan gurunya bahwa dia sebetulnya anak Ratu Khitan! Anak ratu! Akan tetapi ratunya bangsa Khitan yang dianggap sebagai bangsa yang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 35
setengah liar di utara. Dan kalau dia benar anak ratu, mengapa sampai diberikan kepada gurunya" Kalau benar ibunya itu, Ratu Khitan, adalah adik angkat gurunya, ten-tu dia telah diberikan kepada bibi itu untuk dilatih ilmu silat. Alangkah tega hati ibu kandungnya itu!
Berarti tidak sayang kepadanya! Karena pikiran inilah maka Kwi Lan tidak sangat bernafsu untuk bertemu dengan ibu kandungnya yang menjadi ratu di Khitan.
Pada pagi hari yang cerah itu, Kwi Lan berjalan di kaki Bukit Lu-liang-san, menikmati keindahan alam yang mandi cahaya matahari pagi. Tiba-tiba pende-ngarannya yang tajam dapat menangkap suara orang bertanding di sebelah depan. Hatinya tertarik dan ia mempercepat langkahnya. Ketika tiba di sebuah belok-an, ia melihat dua orang tengah bertan-ding hebat. Yang seorang bersenjata pedang, yang ke dua bersenjata tongkat butut. Di sekeliling tempat pertandingan itu, berdiri pula beberapa orang dengan tegak dan penuh perhatian menonton jalannya pertandingan. Melihat betapa dua orang yang bertanding, juga mereka yang berdiri menonton, semua berpakaian pengemis, teringatlah Kwi Lan akan pe-ristiwa di hutan iblis pada lima tahun yang lalu. Yang bersenjata tongkat butut adalah seorang kakek pengemis berpakai-an butut dan di situ masih ada tiga orang temannya yang kurus-kurus dan tua berdiri menonton. Adapun lawannya, yang berpedang, adalah seorang pengemis pakaian bersih, sedangkan agaknya empat orang yang berdiri menonton di sebelah kiri adalah teman-temannya, sungguhpun hanya dua diantara mereka yang ber-pakaian pengemis baju bersih.
Pertandingan itu cukup seru dan dari gerakan mereka tahulah Kwi Lan bahwa mereka yang bertanding itu memiliki ke-pandaian cukup tinggi dan tentu bukan anggauta biasa dari perkumpulan mereka, melainkan tokoh-tokoh yang berkedudukan -cukup tinggi. Maka ia memandang penuh perhatian sambil mendekati dengan lang-kah perlahan.
"Ssssttt....!" Kwi Lan terkejut dan berdongak. Ter-nyata yang berdesis itu adalah seorang pemuda yang duduk ongkang-ongkang di atas dahan pohon sambil menghadap ke arah pertandingan.
Pemuda itu kini me-noleh kepadanya dan menaruh telunjuk ke depan mulut. Melihat wajah pemuda itu yang berseri, tidak hanya mulutnya, bah-kan hidung dan matanya ikut tersenyum ramah, sekaligus timbul rasa suka di hati Kwi Lan. Mata pemuda itu bersinar terang dan gembira, jelas tampak bahwa dia seorang periang yang lucu dan juga nakal.
"Kalau mau nonton, di sini paling enak, jelas aman dan tidak usah bayar!" bisik pemuda itu dan terkejutlah Kwi Lan. Pemuda itu hanya berbisik-bisik, akan tetapi suaranya jelas sekali ter-dengar olehnya, seperti di dekat telinga-nya. Tahulah ia bahwa pemuda yang periang ini bukan hanya seorang pemuda berandalan biasa, melainkan seorang pe-muda yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah menguasai Ilmu Coan-im-pek-li (Mengirim Suara Seratus Mil).
Kalau saja pemuda itu tidak memiliki wajah tampan yang begitu jenaka seperti wajah seorang anak kecil yang nakal, tentu Kwi Lan akan ragu-ragu bahkan marah. Namun jelas baginya bahwa pemuda itu nakal dan polos, tidak bermaksud kurang ajar. Hal ini dapat ia lihat dari sinar matanya. Selama setengah tahun me-rantau dan bertemu banyak laki-laki, Kwi Lan sudah dapat membedakan pandang mata laki-laki yang tertarik akan kecan-tikan wajah dan bentuk tubuhnya, pan-dang mata mengandung berahi yang kurang ajar.
Sengaja Kwi Lan mengerahkan gin-kangnya sehingga ketika ujung kedua kakinya
menggenjot tanah, tubuhnya melayang naik seperti seekor burung kenari terbang melayang dan hinggap di atas cabang di dekat pemuda itu, duduk ong-kang-ongkang seperti si pemuda tanpa sedikit pun membuat cabang itu ber-goyang. Akan tetapi Kwi Lan kecelik kalau ia memancing kekaguman pemuda itu, karena si pemuda menoleh kepadanya seperti tidak ada apa-apa saja, seakan-akan gerakannya yang indah dan ringan itu tadi sudah sewajarnya!
Setelah menoleh dan memandang wa-jah Kwi Lan sejenak, pemuda itu ter-senyum lebar, merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan bungkusan dan membuka bungkusan itu, menyodorkannya kepada Kwi Lan. Kiranya tanpa bicara pemuda itu telah menawarkan
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 36
kacang garing kepada Kwi Lan!
"Enak nonton di sini sambil makan kacang," katanya dengan mata bersinar-sinar. "Gerakan mereka dapat nampak jelas. Hayo bertaruh, siapa yang akan menang antara pengemis bertongkat kurus kering dan pengemis botak ber-pedang itu" Aku berpegang kepada Si Botak!"
Kwi Lan makin suka kepada pemuda yang sebaya dengannya ini, atau mungkin lebih muda melihat sikapnya yang ke-kanak-kanakan. Tanpa ragu-ragu lagi ia mengambil segenggam kacang, membuka kulit dan memakannya sambil menonton ke arah pertandingan.
"Aku bertaruh pengemis baju butut yang menang," Kwi Lan berkata setelah menonton sebentar. Kacang garing itu enak sekali, selain gurih dan wangi tanda kacang tua dan baik, juga agaknya diberi bumbu dan asinnya cukup.
"Belum tentu!" kata Si Pemuda gem-bira dan kedua kakinya yang ongkang--ongkang itu digerak-gerakkan menendang. "Memang Si Kurus Kering itu lebih lihai ginkangnya, lebih cekatan. Akan tetapi kulihat Si Botak ini banyak tipu muslihatnya. Di gagang pedangnya terdapat alat untuk melepas jarum beracun."
"Ihhh....! Memang pengemis baju bersih itu golongan hitam dan curang!" Kwi Lan berseru.
"Eh, bagaimana engkau bisa tahu?"
"Tahu saja! Kaukira engkau saja yang tahu kelicikan mereka?"
Mereka saling pandang, cemberut karena dengan pertaruhan itu mereka seperti hendak saling memihak. Akan tetapi pemuda itu tersenyum, menyodor-kan lagi bungkusan kacangnya.
"Enak kacang ini, bukan" Tentu enak, kacang ini khusus dibuat untuk istana kerajaan!" ia tertawa ha-ha-he-he, lalu melanjutkan, "Akan tetapi, Raja dan para Pangeran belum tentu mempunyai mulut seperti mulutku, maka aku merasa bahwa mulut-ku tidak terlalu rendah untuk mencicipi kacang untuk istana ini dan kucuri se-bagian. He-he-heh!"
Kwi Lan juga tersenyum lebar dan mengambil lagi segenggam. Keduanya kini tidak berkata-kata lagi karena ikut merasa tegang dengan pertandingan yang makin seru itu. Mereka seperti lupa diri, makan kacang sambil menonton ke ba-wah, persis seperti lagak para penonton permainan sepak bola yang ramai. Me-reka seperti dua orang anak nakal yang sudah sejak kecil menjadi kawan ber-main.
Memang pertandingan itu makin seru. Tepat seperti yang dikatakan pemuda itu, gerakan pengemis baju butut yang me-megang tongkat amat lincah, tubuhnya seringkali mencelat ke atas dan me-nyambar-nyambar dengan tongkatnya. Pengemis botak yang berbaju bersih, agaknya kewalahan dan terdesak sehingga ia hanya mampu mengelak dan menangkis, sukar untuk dapat membalas. Namun harus diakui bahwa pertahanan pedangnya cukup kuat
sehingga semua terjangan Si Pengemis kurus kering selalu tidak mengenai sasaran. Tiba-tiba pengemis baju kotor itu mengeluarkan seruan keras dan ilmu tongkatnya berubah, membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin sempit sehingga mengurung tubuh lawannya.
"Hah, mampus sekarang jagomu!" kata Kwi Lan.
"Heh, belum tentu! Lihat saja.... jawab Si Pemuda.
"Lihat, nah.... kena!" Berbareng de-ngan ucapan Kwi Lan yang tentu saja dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan jelas dan bahkan dapat menduga pula perkembangan setiap gerakan, benar saja tongkat pengemis pakaian kotor itu dapat menusuk leher pengemis botak.
Akan tetapi, ketika pengemis botak itu berusaha menangkis dengan sia-sia, tiba--tiba dari gagang pedangnya meluncur sinar hitam dan kakek pengemis kurus kering itupun berseru kesakitan dan ro-boh bersama-sama lawannya. Kalau lawannya dapat ia tusuk dengan tongkat, tepat mengenai leher, adalah dia sendiri men-jadi korban tiga batang jarum beracun yang menyambar keluar dari gagang pe-dang ketika lawannya menekan alat ra-hasia di gagang pedang itu. Tiga batang jarum berbisa memasuki perutnya!
Tiga orang pengemis baju kotor yang bertubuh kurus-kurus itu menjadi marah sekali. Akan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 37
tetapi pada saat itu, empat orang lawannya yang tadinya juga me-nonton, dengan bersorak telah menyerbu dan menerjang mereka bertiga. Tiga orang pengemis ini cepat menggerakkan tongkat melawan pengeroyokan empat orang lawan itu. Akan tetapi ternyata kepandaian empat orang lawan, terutama yang berpakaian seperti jago silat, ber-muka penuh brewok dengan alis tebal, tubuhnya tinggi besar, amatlah lihai. Si Brewok tinggi besar ini menggunakan se-pasang pedang dan gerakannya laksana harimau mengamuk. Tiga orang pengemis baju kotor itu amat kewalahan dan ter-desak sambil mundur. Namun mereka melawan terus dengan nekad sambil me-maki-maki. Tidak lama pertandingan itu karena tiba-tiba tiga orang pengemis kurus itu berteriak keras dan terjungkal roboh. Kiranya diam-diam empat orang lawannya itu telah mempergunakan sen-jata rahasia dan memukul roboh
lawan-nya dengan senjata rahasia ini. Dan agaknya senjata rahasia mereka itu se-mua memakai racun, buktinya begitu roboh, seperti halnya pengemis pertama, tiga orang kakek baju kotor ini pun tak bergerak lagi, mati seketika!
"Hah-ha-ha, kau kalah bertaruh! Bu-kankah jembel-jembel busuk pesolek yang menang?"
Pemuda di samping Kwi Lan bersorak.
Kwi Lan cemberut, lalu berseru keras ke bawah, "Jembel-jembel pesolek dan kaki tangannya memang curang! Anak buah Bu-tek Siu-lam mana ada yang tidak curang dan pengecut?"
Teringat peristiwa lima tahun yang lalu, sengaja Kwi Lan menyebut nama itu. Siapa kira, mendengar disebutnya nama ini, Si Pe-muda di sampingnya terkejut dan ber-teriak keras lalu terjungkal ke bawah pohon! Kwi Lan terkejut dan baru ia tahu bahwa pada saat pemuda itu ter-jungkal, dari bawah menyambar beberapa macam senjata rahasia itu. Cepat ia
menggunakan ujung lengan bajunya me-ngebut dan.... runtuhlah semua senjata rahasia itu.
Dengan muka merah Kwi Lan meloncat berdiri di atas cabang pohon. Ia melihat empat orang itu ter-belalak kaget, akan tetapi seorang di antara dua pengemis baju bersih, yang bertubuh pendek dan bermuka bengis, telah mencabut pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya kembali menyambitkan senjata rahasia gelang besi yang melayang dan terputar-putar me-nyambar ke arah perut Kwi Lan.
Gadis ini memuncak kemarahannya. Ia meloncat turun sambil menyampok sen-jata gelang besi itu ke bawah dan se-tengah disengaja ia menyampok gelang besi itu ke arah Si Pemuda yang sudah bangun.
"Aduhh!" teriak Si Pemuda sambil berloncatan bangun dan mengelus-elus kepalanya, seakan-akan kepalanya terkena hantaman senjata rahasia itu. Akan te-tapi jidatnya yang lebar dan kelimis itu tidak terluka, lecet pun tidak.
Kwi Lan tidak pedulikan pemuda itu, lalu melayang ke arah pengemis baju bersih yang menyambut kedatangannya dengan sebuah tusukan pedang! Tampak-nya serangan ini tak mungkin dielakkan lagi oleh Kwi Lan yang tubuhnya sedang melayang di udara dan memang gadis ini pun tidak berusaha untuk mengelak. Ta-ngan kirinya dengan telapak tangan ter-buka melakukan gerakan mendorong dan.... pedang itu terkena dorongan hawa pukulan ini membalik kemudian secepat kilat Kwi Lan menyentil dengan telunjuk-nya ke arah
pergelangan tangan yang memegang pedang dan.... pedang itu men-celat sambil membalik sehingga menusuk pangkal lengan pengemis pendek itu sendiri sehingga kulit dagingnya terbelah dan tampak tulang lengannya! Sementara itu, entah bagaimana pedangnya telah berpindah ke tangan Kwi Lan yang mempergunakan pedang rampasan untuk me-nodong!
"Ha-ha-ha-heh-heh!" Si Pemuda itu bersorak sambil mempermain-mainkan gelang besi yang tadi menyambarnya dengan tangan kanan. "Jembel tua bang-ka pesolek sekarang kehilangan aksinya. Makanya jangan sok aksi. Sudah tua bang-ka begitu, pura-pura jadi pengemis tapi pakaiannya bersih dan baru, biar kelihat-an aksi dan tampan. Wah, ini namanya tua-tua keladi!"
Tentu saja pengemis pendek yang dirobohkan Kwi Lan itu melotot ke arah Si Pemuda dengan kemarahan meluap-luap, akan tetapi juga terheran-heran mengapa senjata rahasianya yang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 38
biasa-nya ampuh bahkan mengandung racun itu kini dipakai main-main oleh Si Pemuda ini.
Pada saat itu, pengemis ke dua yang tubuhnya kurus kecil seperti kucing kela-paran itu menudingkan telunjuknya kepada Kwi Lan sambil membentak, suaranya besar dan parau sungguh berlawanan de-ngan tubuhnya yang serba kecil kurus.
"Eh, iblis betina dari mana berani menentang Hek-coa Kai-pang dan menge-luarkan ucapan menghina ciangbujin Bu--tek Siu-lam" Apakah sudah bosan hidup?"
Kwi Lan membalikkan tubuhnya, mem-belakangi pengemis pendek yang terluka untuk
menghadapi lawan baru ini. Ia ter-senyum manis ketika berkata, "Kalian ini jembel-jembel busuk, biarpun tidak sama dengan Hek-peng Kai-pang, kiranya sama busuknya, apalagi sama-sama di bawah pimpinan Bu-tek Siu-lam yang biarpun belum pernah kujumpai, tentu busuk pula!"
"Eh, perempuan keparat! Selama hidup kami tidak pernah bertemu denganmu dan tidak pernah bertentangan, mengapa hari ini kau datang-datang menghina dan memusuhi kami"
Apakah kau berpihak kepada jembel-jembel butut itu?" bentak pula pengemis kurus kecil sambil menuding ke arah mayat empat orang pe-ngemis baju butut. Kumis kecil di kanan kiri hidung itu bergerak-gerak akan te-tapi tidak sama sehingga kelihatannya seperti sepasang sayap kupu-kupu yang hinggap di situ membuat Kwi Lan men-jadi geli dan memperlebar senyumnya.
"Urusan kalian dengan jembel-jembel berpakaian butut sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan aku. Akan tetapi kebetulan sekali aku adalah orang yang paling tidak suka melihat perbuatan-per-buatan curang dan pengecut. Dalam per-tandingan tadi, kalian merobohkan lawan mengandalkan senjata rahasia secara cu-rang sekali. Kemudian kalian juga
me-nyerangku dengan senjata rahasia. Apa-kah kau masih mau bilang di antara kita tidak ada pertentangan?" Berkata demi-kian, Kwi Lan melirik kepada dua orang lain yang tidak berpakaian pengemis, yaitu yang bermuka brewok dan seorang temannya lagi. Jelas mereka itu tidak segolongan dengan dua orang pengemis baju bersih ini dan mereka puri tidak mencampuri perdebatan, hanya memandang dengan mata terbelalak heran dan kening
berkerut. "Bocah sombong! Merampas pedang dan melukai saudaraku masih belum merupakan dosa besar, akan tetapi me-nyebut dan menghina nama ciangbujin kami...."
Kwi Lan memegang ujung pedang dengan tangan kirinya dan sekali tekuk, pedang rampasan itu patah menjadi dua dan ia buang ke atas tanah. "Pedang sudah kupatahkan, kalau aku bunuh sau-daramu itu dan kumaki Si Kepala Penjahat busuk Bu-tek Siu-lam, kau mau apa?"
"Iblis betina, rasakan tanganku!" Tiba--tiba pengemis kecil kurus itu sudah men-cabut pedang dan menggerakkan pedang-nya membacok, gerakannya selain cepat juga kuat sekali, jauh lebih kuat daripada gerakan pengemis yang sudah terluka tadi. Pada saat yang sama, ketika Kwi Lan memutar tubuhnya untuk menghadapi serangan pengemis kecil kurus, pengemis ke dua yang sudah terluka lengannya itu kini menggerakkan tangan kirinya me-nyambitkan sebuah gelang besi ke arah punggung gadis itu.
Apa yang terjadi selanjutnya sedemi-kian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata, akan tetapi tahu-tahu dua orang pengemis itu menjerit dan roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi dan hebatnya, tepat di dahi mereka tam-pak luka berlubang ditembusi gelang besi beracun! Kiranya ketika tadi diserang pedang pengemis kurus, Kwi Lan juga tahu bahwa dari belakang ia diserang dengan senjata rahasia maka secepat kilat ia
berkelebat ke depan, menangkap tangan yang berpedang dari samping lalu mem-betot tubuh itu dipakai menangkis gelang besi yang menyambar punggungnya se-hingga senjata rahasia itu tepat me-nyambar dahi pengemis kurus. Adapun Si Pengemis pendek yang melepas senjata rahasia secara curang itu, sebelum sem-pat mengelak, telah "dimakan" senjata rahasianya sendiri yang dilemparkan oleh pemuda teman Kwi Lan dengan gerakan
sembarangan namun yang membuat sen-jata itu menyambar cepat sekali dan masuk ke dalam Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 39
dahi pemiliknya. Kini tinggal dua orang yang bukan pengemis, teman-teman dari pengemis baju bersih, berdiri memandang dengan mata terbelalak kaget. Mereka berdua mengerti bahwa dua orang muda itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Orang pertama yang mukanya penuh brewok segera melangkah maju dan men-jura sambil mengangkat kedua tangan ke dada dan berkata,
"Kepandaian Ji-wi (Tuan Berdua) sungguh hebat dan membuat kami merasa kagum sekali!"
Kwi Lan hanya tersenyum mengejek, akan tetapi pemuda itu tertawa-tawa tanpa membalas penghormatan orang. "Heh-heh, kulihat kalian berdua bukan pengemis. Tapi tadi membantu dalam pertandingan antar pengemis! Apakah sekarang hendak menuntut bela atas kematian dua orang sahabatmu ini?"
Si Brewok menggeleng-geleng kepala-nya. "Kami tidak tersangkut dalam urus-an antara mereka dan Ji-wi, dan telah saya lihat betapa mereka itu mencari mati sendiri dengan keberanian mereka melawan dan memandang rendah Ji-wi. Sungguhpun menghadapi empat orang anggauta Khong-sim Kai-pang pengemis baju butut tadi kami merupakan sekutu mereka, namun urusan terhadap Ji-wi kami tidak ikut campur."
"Menggerakkan lidah memang amat mudah!" Kwi Lan berkata mengejek. "Kau bilang tidak ikut campur, akan tetapi siapa tadi yang ikut menyerangku dengan senjata rahasia ketika aku berada di atas pohon itu?"
Wajah Si Brewok menjadi merah. Me-mang tadi dia ikut menyerang Kwi Lan dengan senjata rahasianya yang berbentuk peluru bintang. Ia menjura kepada gadis itu dan berkata,
"Harap Nona maafkan, tadi saya me-nyangka Nona adalah kawan pengemis Khong-sim Kaipang."
"Tidak peduli apa yang kausangka. Hayo serang aku lagi dengan senjata rahasiamu!" bentak Kwi Lan sambil ter-senyum mengejek.
Berubah muka Si Brewok. "Saya.... saya mana berani?"
"Berani atau tidak masa bodoh, kau harus! Kalau membangkang, jangan bilang aku
keterlaluan!" Suara ini mengandung penuh ancaman sehingga muka yang pe-nuh brewok itu menjadi pucat. Ia berdiri saling pandang dengan kawannya. Kawan-nya itu agaknya lebih berani daripada Si Brewok, matanya yang agak menjuling itu dipelototkan ke arah Kwi Lan dan ia berseru,
"Nona, engkau sungguh keterlaluan! Kami adalah orarg-orang Thian-liong--pang, bukan orang-orang sembarangan! Kalau Suhengku ini berlaku mengalah kepadamu, adalah karena melihat engkau masih muda, masih setengah kanak-ka-nak. Setelah Ouw-suheng mengalah, mengapa engkau malah mendesaknya"
Sekali dia turun tangan, engkau akan celaka, dan hal itu akan sayang sekali, melihat engkau begini muda dan cantik!"
"Sute, diam....!" Si Brewok menegur adik seperguruannya.
Kwi Lan marah sekali, akan tetapi tak seorang pun tahu akan hal ini karena senyumnya makin manis. "Ah, begitukah" Jadi kalian ini orang-orang Thian-liong-pang yang lihai" Kebetulan sekali, lekas kalian berdua menyerangku dengan sen-jata-senjata rahasia kalian!"
Si Brewok ragu-ragu, akan tetapi Si Mata Juling berkata, "suheng, dia yang minta dihajar, tunggu apa lagi?" Sambil berkata demikian Si Juling mengeluarkan dua buah senjata rahasianya, yaitu peluru bintang. Senjata rahasia ini terbuat dari-pada baja, ujungnya runcing-runcing dan karena bentuknya bulat seperti peluru, maka dapat disambitkan dengan keras.
Melihat ini, Si Brewok yang didesak-desak juga mengeluarkan senjata rahasia yang sama, akan tetapi hanya sebuah.
"Hayo lekas serang, tunggu apa lagi?" Kwi Lan berseru, berdiri dengan sikap seenaknya, bahkan sengaja ia miringkan tubuh dan menoleh membelakangi dua orang itu.
Selagi Si Brewok ragu-ragu dan adik seperguruannya yang marah itu menanti gerakan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 40
kakaknya, terdengar pemuda itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Aku men-dengar nama besar Thian-liong-pang sebagai perkumpulan yang disegani dan ditakuti, yang mempunyai cabang di se-luruh negeri, yang dipimpin oleh orang--orang sakti. Akan tetapi ternyata kini orang-orangnya hanya pengecut-pengecut yang suka menyerang seorang gadis dengan curang...."
"Eh, manusia berandalan! Diam kau! Ini bukan urusanmu!" Kwi Lan memben-tak dan
melotot kepada pemuda itu. Si Pemuda masih tertawa-tawa, akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak dan wajah-nya memperlihatkan sikap kaget ketika pemuda itu melihat betapa dua orang itu menggunakan kesempatan selagi Kwi Lan menoleh dan bicara kepadanya untuk menyerang dengan senjata rahasia me-reka. Pemuda itu menjadi pucat karena maklum betapa hebatnya serangan itu dan betapa ia sendiri yang berdiri jauh tidak sempat mencegah serangan ini. Akan tetapi wajah yang kaget itu ber-ubah girang dan sinar matanya menyorotkan kekaguman ketika ia mendengar pekik kesakitan kedua orang anggauta Thian-liong-pang itu.
Si Mata Juling roboh dan tewas seketika karena pelipis dan dadanya dihantam senjata rahasianya sendiri, sedangkan Si Brewok roboh ke-sakitan akan tetapi segera melompat bangun kembali karena hanya pahanya yang terluka oleh senjata rahasianya sendiri pula. Ia berdiri dengan mata ter-belalak kagum dan heran. Memang luar biasa sekali caranya gadis itu mengha-dapi serangan senjata rahasia tadi. Biar-pun sedang menengok ke belakang, namun Kwi Lan tahu akan serangan sen-jata rahasia. Bahkan tanpa menoleh lagi ia menggerakkan kedua tangannya, me-nyambar senjata rahasia Si Juling yang datang lebih dulu ke arah pelipis dan dada, kemudian secepat kilat ia mengembalikan dua senjata itu ke arah pemilik-nya, tepat mengenai pelipis dan dada! Adapun peluru bintang yang dilepas Si Brewok hanya mengarah pahanya, itupun tidak tepat di tengah-tengah, maka Kwi Lan juga me"retour" senjata rahasia itu tepat mengenai pinggir paha Si Brewok yang mendatangkan luka daging!
Sambil meringis menahan sakit, Si Brewok menjura kepada Kwi Lan. "Benar hebat dan mengagumkan. Saya mengaku kalah dan kematian Suteku adalah karena tidak hati-hatinya.
Mohon tanya, siapakah nama Nona yang gagah?"
Kwi Lan sudah menggerakkan bibir hendak mengaku, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu berkata, "Eh, apakah matamu sudah buta" Terang Nona ini mengguna-kan nama Mutiara Hitam, engkau masih bertanya-tanya lagi?" Sambil berkata demikian, pemuda itu sekali menggerak-kan kaki tubuhnya sudah melayang dan hinggap di dekat Kwi Lan seperti
gerak-an seekor burung ringannya. Si Brewok memandang kagum dan tersenyum men-dengar kata-kata itu. Ia menduga bahwa gadis ini memakai nama julukan Mutiara Hitam karena gagang pedangnya terhias sebutir mutiara hitam yang besar. Ia lalu menjura kepada pemuda itu dan bertanya,
"Terima kasih atas penjelasan Tuan Muda. Bolehkah saya mengetahui nama Kongcu?"
"Namanya Si Berandal, apa kalian belum tahu?" Suara ini keluar dari mu-lut Kwi Lan yang hendak membalas pemuda itu. Akan tetapi Si Berandal hanya tertawa, lalu berkata kepada ang-gauta Thian-liong-pang itu.
"Kau ini manusia tidak tahu diri be-rani main-main di depan Mutiara Hitam dan Berandal, sungguh sudah bosan hi-dup!"
"Mohon Ji-wi (Tuan Berdua) sudi me-maafkan, karena tidak mengenal maka kami telah berlaku kurang hormat. Harap Ji-wi suka memandang perkumpulan dan ketua kami memberi maaf kepada saya."
"Kalau kami tidak memaafkan, apa kaukira akan masih tinggal hidup?" Si Berandal
bersombong. "Hayo ceritakan siapa engkau dan apa urusan Thian-liong-pang dengan
pengemis-pengemis itu serta mengapa pula terjadi pertandingan de-ngan pengemis-pengemis Khong-sim Kai-pang" Dan mengapa pula nama Bu-tek Siu-lan tadi kudengar disebut
Ciang-bujin oleh pengemis pendek itu?"
"Saya bernama Ouw Kiu seperti se-mua pimpinan dan petugas Thian-liong-pang saya taat dan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 41
tunduk kepada pe-rintah atasan. Saya dan Sute Ouw Lun itu mendapat tugas untuk
menyampaikan undangan kepada para pimpinan Hek--coa Kai-pang, untuk menghadiri
pengang-katan ketua baru Thian-liong-pang per-tengahan bulan depan. Ketika hendak kembali ke Yen-an, di sini kami bertemu dengan tiga orang anggauta Hek-coa Kai-pang yang berhadapan dengan empat orang Khong-sim Kai-pang. Tentu saja kami membantu Hek-coa Kai-pang dan salah mengira bahwa Ji-wi adalah teman-teman anggauta Khong-sim Kaipang."
"Dan tentang Bu-tek Siu-lam?" pe-muda itu mendesak.
Ouw Kiu tidak menjawab, wajahnya pucat.
"Ah, urusan begitu saja mengapa mesti banyak tanya lagi?" Kwi Lan men-cela. "Si badut Bu-tek Siu-lam itu sudah jelas menjadi cukong dunia pengemis golongan hitam! Ingin aku bertemu de-ngan badut itu untuk memberi hajaran agar ia kapok dan tidak membiarkan anak buahnya bermain curang!"
Ouw Kiu makin pucat. "Saya.... saya tidak mempunyai cukup harga untuk me-nyebut-nyebut nama besar Beliau, hanya saya mengerti bahwa Beliau merupakan seorang tokoh besar yang amat dihormati Thian-liong-pang. Suaranya agak gemetar dan matanya lirak-lirik ke kanan kiri penuh kekhawatiran.
"Sudah, pergilah dan bawa mayat temanmu. Mengingat Thian-liong-pang kami
memaafkanmu dan bulan depan kalau tiada halangan, kami akan datang menonton keramaian di Yen-an."
Ouw Kiu menjura mengucapkan te-rima kasih, kemudian menyambar mayat sutenya dan
pergi dari situ dengan langkah terpincang-pincang. Kwi Lan mem-balikkan tubuh terus lari pergi pula dari tempat itu. Akan tetapi belum jauh ia pergi, ia mendengar suara orang berlari di belakangnya. Ketika melirik dan melihat bahwa yang mengikutinya adalah pemuda itu, Kwi Lan lalu mengerahkan ginkangnya dan berlari makin cepat. Setelah lari agak jauh, ia melirik ke belakang. Kiranya pemuda itu masih saja mengikuti di belakangnya, hanya terpisah tiga meter! Kwi Lan penasaran dan me-ngerahkan seluruh tenaganya, lari secepat terbang.


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda itupun mengerahkan tenaganya. Beberapa lama mereka ber-lari-larian cepat sampai puluhan li jauh-nya. Akhirnya terdengar pemuda itu ber-kata dengan napas memburu.
"Waduh...., berat nih! Eh, Mutiara Hitam, apakah engkau takut padaku maka melarikan diri?"
Kalau pemuda itu mengeluarkan ucap-an lain, agaknya Kwi Lan tidak akan
mempedulikannya dan akan berlari terus. Akan tetapi dikatakan takut merupakan pantangan besar baginya, maka cepat ia mengerem larinya, berhenti dengan tiba--tiba sehingga pemuda yang membalap di belakangnya itu hampir saja menubruknya kalau tidak cepat-cepat membuang diri ke samping dan berjungkir balik dua kali. Gerakan pemuda ini amat lucu, akan tetapi juga indah dan membuktikan ke-gesitannya yang luar biasa.
"Takut" Siapa bilang aku takut pada-mu?" Kwi Lan bertanya, memandang tajam dan
mengangkat muka membusung-kan dada, sikapnya menantang.
"Tentu saja aku yang bilang....!" Pe-muda itu berhenti dan mengatur napasnya yang agak terengah-engah. "Wah, bisa putus napasku kalau diajak balapan lari gila-gilaan seperti tadi!
Aku tidak bilang kau takut, aku tadi bertanya apa-kah engkau takut kepadaku."
"Aku tidak takut! Apamu yang ku-takuti?" Kwi Lan membentak.
"Kalau tidak takut mengapa lari se-perti dikejar setan" Aku.... aku mau bi-cara denganmu, aku ingin jalan bersama, kenapa kau melarikan diri?"
"Aku lari, atau jalan, atau tidur, bukan urusanmu. Aku tidak ada urusan denganmu, aku tidak ingin berjalan ber-sama, tidak ingin bicara denganmu."
"Wah-wah-wah, kenapa begini galak" Sungguh tidak berbudi...."
"Aku tidak berhutang budi kepadamu! Kau mau apa?"
Pemuda itu menyeringai dan senyum-nya yang lebar itu lucu sekali, seperti senyum orang mengunyah garam, se-hingga diam-diam Kwi Lan menjadi geli.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 42
"Kau memang tidak berhutang budi kepadaku. Akan tetapi engkau hutang kacang! Hayo menyangkallah kalau mam-pu! Bukankah kau berhutang kacang asin garing yang gurih dan wangi, tidak satu, tidak pula dua atau tiga, melainkan tiga genggam yang isinya banyak!"
"Hanya dua genggam!" bentak Kwi Lan.
"Dua genggam banyak juga namanya. Lebih dua puluh! Hayo kaubayar kembali hutangmu itu, baru di antara kita tidak ada sangkut paut lagi!"
Kwi Lan tertegun dan melengak. Ia menoleh ke kanan ke kiri, tak berdaya. Darimana ia bisa mendapatkan kacang asin di dalam hutan itu" Dan yang sudah masuk perutnya pun tidak mungkin di-keluarkan lagi. Betapapun juga, ia kalah benar. Memang tak dapat ia menyangkal bahwa ia tadi telah makan dua genggam kacang asin pemuda itu. Baru sekarang Kwi Lan merasa kalah debat. Biasanya, menghadapi suhengnya, Suma Kiat ia selalu menang berdebat sampai suhengnya kewalahan. Akan tetapi sekarang ia benar-benar bingung, tak tahu harus me-lawan secara bagaimana. Akhirnya Kwi Lan menggerakkan kepala keras-keras untuk menyingkap gumpalan rambut yang jatuh ke mukanya, sebuah kebiasaan atau gerakan yang biasa ia lakukan tanpa sadar apabila ia merasa malu, bingung atau marah.
"Kau memang manusia berandalan, ugal-ugalan, tidak tahu malu menyebut-nyebut urusan dua genggam kacang asin yang tidak ada harganya! Cih!"
"Kau yang sombong, galak, tidak menghargai orang. Diajak jalan bersama dan bicara saja tidak sudi, seperti tidak ingat saja betapa tadi di atas pohon ikut duduk dan makan kacang...."
Pemuda itu merengut. "Sudahlah! Betul aku telah berhutang dua genggam kacang padamu. Nah, se-karang apa yang hendak kaubicarakan."
Wajah pemuda itu sekaligus berseri kembali seperti biasa, sepasang matanya bersinar-sinar penuh keriangan. Memang wajah yang amat tampan dan melihat wajah ini, sukarlah bagi Kwi Lan untuk mempertahankan kemendongkolan hatinya. Wajah itu amat segar dan riang, tidak hanya mata dan bibir yang selalu membayangkan senyum gembira, bahkan alis yang tebal itu bergerak-gerak lucu, bulu mata ikut bergetar seperti menari-nari. Wajah yang tampan, wajah yang lucu dan gembira! Seperti awan tipis disapu angin, lenyaplah rasa panas di hati Kwi Lan dan gadis ini lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol, membereskan ram-butnya dan mengusap peluh di leher de-ngan ujung lengan baju.
"Gerah, ya" Memang hawanya panas, apalagi kalau dipakai lari-lari cepat, bisa mandi keringat kita." Tangannya merogoh dalam baju dan ketika ditarik keluar, ternyata ia telah memegang sebuah guci panjang berisi air jernih dan dingin. Ge-rakannya cepat dan kelihatannya seperti seorang pelawak main sulap saja. Di-bukanya tutup guci dan dengan terse-nyum ia berkata,
"Isinya air, jernih dan bersih. Guci ini bukan sembarang guci, melainkan guci wasiat dan air yang disimpan di sini, makin lama tidak makin kotor malah makin jernih, berbau harum dan timbul rasa manis, juga menjadi dingin segar. Minumlah, Nona." Ia menyodorkan guci itu kepada Kwi Lan.
Air yang tampak jernih berkilau, mu-ka yang tampak riang dan menawarkan dengan penuh kejujuran, hawa yang pa-nas, semua ini membuat Kwi Lan ber-nafsu sekali untuk meneguk air segar itu. Tanpa berkata apa-apa ia menerima guci, mendekatkan bibir guci yang halus ke-pada bibirnya sendiri yang lebih halus lagi, akan tetapi pada saat itu pandang mata mereka bentrok dan cepat-cepat Kwi Lan menurunkan lagi guci air itu ke bawah, tidak jadi minum.
"Kenapa....?" Kwi Lan mengerling dengan pandang mata tajam. "Apakah air ini juga akan dianggap hutang" Lebih baik mati ke-hausan daripada minum air hutangan!" Ia menyerahkan kembali guci itu kepada pemiliknya.
Pemuda itu tertawa bergelak, mem-perlihatkan deretan gigi yang terpelihara rapi dan putih.
"Apakah benar-benar eng-kau begini pemarah dan galak" Ah, aku tidak percaya, kau hanya Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 43
pura-pura ber-sikap galak saja!"
"Siapa tidak akan marah kalau kau begini ugal-ugalan" Dua genggam kacang asin saja digugat-gugat, dijadikan alas-an...."
Pemuda itu tiba-tiba berdiri dan men-jura sampai jidatnya hampir menyentuh tanah, seperti seorang melakukan peng-hormatan kepada ratu. "Hamba mohon beribu ampun atas segala kesalahan ham-ba terhadap tuan putri yang mulia...."
"Heiii! Bagaimana engkau tahu bah-wa....?" Kwi Lan tiba-tiba menghentikan kata-katanya.
Sikap pemuda ugal-ugalan yang melawak itu sejenak mengingatkan ia akan ibu kandungnya yang menjadi ratu di Khitan sehingga timbul dugaan dan kecurigaannya bahwa pemuda aneh ini tahu bahwa dia anak ratu. Akan tetapi melihat wajah pemuda itu berbalik menjadi kaget dan heran, ia menahan kata-katanya, kemudian melanjutkan.
"Sudahlah! Jangan kau main-main seperti badut. Sebetulnya engkau mau apakah" Mengapa mengejarku dan hendak bicara apa dengan aku?"
Pemuda itu menarik muka sungguh-sungguh, akan tetapi tetap saja mukanya yang kekanak-kanakan itu berseri ketika ia menyodorkan guci airnya. "Harap nona suka minum dulu air ini agar per-caya bahwa Nona tidak lagi marah ke-padaku."
Kwi Lan menerima guci itu dan me-neguk isinya. Memang air yang amat di-ngin dan segar sehingga hilanglah haus-nya, terasa amat puas dan nikmat. "Enak benar air ini," katanya memuji sambil mengembalikan guci. Pemuda itupun meneguk air, kemudian menutup guci dan menyimpannya kembali ke balik bajunya.
"Nona, terus terang saja, begitu ber-temu denganmu, aku sudah menjadi sa-ngat tertarik dan kagum. Gerakanmu jelas menunjukkan bahwa engkau memi-liki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sikapmu terbuka dan tegas. Benar-benar hebat sekali. Setelah bertemu dengan se-orang seperti Nona, bagaimana aku dapat berpisah begitu saja tanpa lebih dahulu bicara dan mengikat persahabatan" Apa lagi melihat sikap Nona yang sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-liong-pang dan terutama sekali berani memaki seorang tokoh besar seperti Bu--tek Siu-lam, benar-benar hebat sekali dan tentulah Nona seorang yang memiliki kedudukan sejajar dengan tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw pada waktu ini."
"Ngawur dan ngaco! Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan ma-camnya Bu-tek Siu-lam dan aku merasa heran sekali mengapa Ouw Kiu si Brewok tadi kelihatan begitu ketakutan ketika nama Bu-tek Siu-lam disebut-sebut."
"Apalagi dia, aku sendiri pun hampir terjengkang karena kaget mendengar engkau berani memaki-maki Bu-tek Siu-lam!"
"Huh, orang macam apakah Bu-tek Siu-lam itu" Aku hanya pernah mende-ngar dari mulut pengemis-pengemis Hek-peng Kai-pang bahwa dia yang melindungi semua pengemis
golongan hitam yang katanya datang dari dunia barat. Perlu apa takut terhadap badut macam dia?"
"Aihh.... aihh...., agaknya Nona belum banyak tahu akan tokoh-tokoh dunia kang-ouw pada waktu ini! Sehingga nama besar Bu-tek Siu-lam pun belum dikenal-nya betul. Nona, agaknya engkau meru-pakan seorang perantau yang baru, belum lama turun gunung...."
Kwi Lan merasa betapa pipinya panas. Hatinya juga panas karena rahasianya diketahui.
Dengan lain kata-kata pemuda ini hendak mengejeknya, mengatakan bahwa ia masih hijau, masih belum berpengalaman sehingga tidak mengenal tokoh-tokoh besar!
"Hemm, kalau engkau...., sudah banyak pengalaman, ya" Sudah puluhan tahun merantau?"
Kwi Lan sengaja mengatakan puluhan tahun padahal usia pemuda itu paling banyak sama dengan usianya sen-diri, sembilan belas tahun!
Akan tetapi pemuda itu tidak me-rasakan ejekan ini agaknya. Wajah-nya serius ketika ia menjawab, "Semen-jak lahir aku sudah merantau, Nona."
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 44
"Dan aku...., sebelum lahir sudah me-rantau!" potong Kwi Lan, matanya me-nyinarkan kemarahan, bibirnya tersenyum manis, senyum marah. Memang ciri khas gadis ini, makin marah ia, makin manis senyumnya!
Pemuda ini menatap wajahnya penuh selidik, tiba-tiba wajahnya yang serius itu kembali berseri seperti biasa. "Aih, kiranya Nona juga suka berkelakar. Mana bisa sebelum lahir sudah merantau!"
"Mengapa tidak bisa kalau kau pun sudah merantau sejak lahir" Tentu kau akan mendongeng bahwa begitu lahir engkau sudah pandai tertawa, pandai berlari cepat, dan pandai....
membual?" "Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali!" Pemuda itu terpingkal-pingkal dan mau tak mau Kwi Lan tertawa juga membayangkan betapa begitu lahir pemuda itu pandai membual.
"Aku tidak membohong, Nona. Tentu saja bukan aku yang melakukan perantau-an seorang diri, melainkan Ayahku. Aku dibawa merantau dan sejak itu tak per-nah berhenti merantau.
Akan tetapi su-dahlah, tidak ada yang menarik untuk diceritakan. Lebih baik kuceritakan ke-padamu tentang tokoh itu. Bu-tek Siu--lam adalah seorang tokoh besar yang benar-benar sakti. Tidak ada tokoh kang-ouw yang tidak ngeri mendengar nama ini sungguhpun baru beberapa tahun saja ia datang dari sebelah barat Pegunungan Himalaya. Seiain sakti, dia pun amat aneh sehingga tak seorang pun dapat menduga apakah dia itu laki-laki tulen ataukah perempuan."
"Hee...." Mengapa begitu?" Kwi Lan mulai tertarik. Karena semenjak kecil ia terkurung di istana bawah tanah kemudian di dalam hutan yang tak pernah ada yang berani memasukinya, tentu saja pengetahuannya tentang dunia kang-ouw amat sempit. Apalagi tentang tokoh-tokoh yang demikian anehnya. Adapun pemuda itu ketika melihat sikap Kwi Lan mulai tertarik, menjadi gembira untuk bercerita.
"Dia berperawakan laki-laki tinggi tegap dan gagah, wajahnya tampan se-kali, rambutnya terurai dan berombak indah. Akan tetapi lagak dan bicaranya seperti seorang perempuan yang amat genit, dan senjatanya adalah sebuah gunting besar yang amat mengerikan. Me-lihat gerak-gerik dan lagaknya, dia itu seratus prosen wanita, akan tetapi me-lihat bentuk tubuh dan wajahnya, dia adalah laki-laki. Hal ini saja sudah me-nyeramkan, apalagi menyaksikan kekejamannya, membikin bulu roma berdiri. Ia pernah membasmi pengemis golongan putih dalam sebuah rapat besar sebanyak dua ratus orang lebih yang digunting-gunting dan dipotong-potong tubuhnya! Sejak itu ia menjadi datuknya pengemis golongan hitam. Banyak sudah tokoh golongan putih dan para pendekar hendak membasminya, namun mereka itu malah menjadi korban. Karena kesaktiannya inilah maka tak seorang pun berani lagi mengganggunya dan ia merupakan tokoh besar yang dicalonkan menjadi pemimpin dunia hitam jika ada pemilihan lagi di samping tokoh-tokoh yang lain."
Kwi Lan, mengerutkan keningnya. Tak pernah disangkanya ada seorang yang sedemikian hebatnya. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini hanya bibinya, Kam Sian Eng, saja yang paling lihai. Siapa tahu, pemuda ini sendiri sudah lihai sungguhpun ia belum mencobanya, akan tetapi pemuda ini amat jerih ketika menceritakan kesaktian Bu-tek Siu-lam!
"Hemm, betapapun juga, aku tidak takut kepadanya!" kata Kwi Lan. "Bagai-mana dengan Thian-liong-pang" Apakah ketuanya juga sehebat laki-laki genit itu?"
Pemuda itu tertawa. "Ihh, mengapa kau tertawa?" "Mendengar kau menyebut Bu-tek Siu--lam laki-laki genit!"
"Kau sendiri yang bilang dia genit."
"Mana bisa laki-laki genit" Laki-laki tidak ada yang genit, yang genit hanya-lah perempuan."
"Belum tentu semua perempuan genit! Laki-laki yang genit banyak, di antaranya.... engkau inilah!"
"Wah, wah, menyerang lagi. Kau be-nar-benar pemarah, Nona. Maaflah. Yang kumaksudkan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 45
adalah bahwa Bu-tek Siu-lam itu bersikap genit seperti wanita, jadi dia itu laki-laki bukan wanita bukan. Dia seorang banci."
"Banci" Apa banci....?"
"Banci itu wadam!"
"Wadam" Apa itu?"
"Wadam itu wandu."
"Wandu" Aku tidak mengerti."
Pemuda itu menarik napas panjang, lalu menggeleng kepala. "Tidak banyak pengertianmu, Nona. Banci, wadam, atau wandu itu adalah orang yang bukan laki--laki bukan pula wanita, akan tetapi juga bisa laki-laki bisa disebut wanita."
Pusing kepala Kwi Lan mendengar ini.
Keningnya berkerut, matanya bersinar marah. "Berandal, kalau kau memper-mainkan aku, hemm.... aku takkan sudi mendengarmu lag!"
"Eh, eh, nanti dulu! Aku tidak main-main, Nona. Banci adalah seorang yang bertubuh laki-laki akan tetapi berwatak perempuan, atau sebaliknya. Memang sukar untuk menerangkan, karena aku sendiri tidak tahu persis mengapa bisa begitu, akan tetapi memang kenyataan-nya demikian. Kau tadi bertanya tentang Thian-liong-pang" Ketuanya juga seorang yang terkenal memiliki ilmu kepandaian hebat, dan bukan itu saja yang mem-buat Thian-liong-pang disegani, melainkan banyaknya anggauta dan banyaknya para pimpinan yang tinggi-tinggi ilmunya. Kabarnya tidak kurang dari dua belas orang murid kepala Thian-liong-pang amat lihai dan jika tenaga mereka di-gabungkan menjadi satu, agaknya Bu--tek Siu-lam sendiri tidak berani main-main dengan mereka. Pusatnya di Yen--an dan entah apa yang
dimaksudkan Si Brewok tadi dengan upacara pengangkat-an ketua baru. Mungkin ketua lama me-ngundurkan diri, diganti muridnya yang paling besar. Peristiwa itu tentu amat menarik dan dikunjungi semua tokoh dunia hitam, karena itu aku ingin sekali mengunjungi ke Yen-an bersama...., Nona, kalau Nona.... berani!"
"Tentu saja aku berani!" Kwi Lan meloncat sambil meraba gagang pedang-nya.
"Jadi Nona mau....?" Pemuda itu ter-senyum lebar dan menjadi girang sekali.
Kwi Lan sadar lalu duduk kembali, "Soal mau atau tidak, nanti, dulu! Akan tetapi pokoknya aku berani! Sekarang ceritakan, selain laki-laki genit...." Ia berhenti dan melotot, akan tetapi pe-muda itu tidak tertawa sekarang, "selain dia, siapa lagi tokoh besar di dunia ini sekarang?"
"Tokoh-tokoh dunia hitam banyak se-kali, akan tetapi mereka itu adalah tokoh-tokoh yang dahulu berada di bawah Thian-te Liok-koai yang sekarang sudah lenyap dari permukaan bumi. Adapun tokoh-tokoh yang sekiranya dapat disejajarkan Bu-tek Siu-lam, sedikit sekali.
Aku hanya mendengar bahwa ada tokoh-tokoh iblis yang berjuluk Thai-lek Kauw--ong, seorang hwesio tua yang kabarnya memiliki kesaktian seperti iblis. Ada pula yang berjuluk Sin-cam Khoa-ong yang suka membunuh orang tanpa sebab dan tanpa berkedip. Orang ke empat adalah Siauw-bin Lo-mo. Kabarnya empat tokoh itulah yang kini merajai empat penjuru dunia hitam. Akan tetapi aku sendiri belum pernah bertemu dengan seorang di antara mereka."
"Hemm, kalau mereka itu jahat, perlu apa memiliki kepandaian hebat" Apakah tidak ada yang menentang dan mengalah-kan mereka?"
"Aku tidak tahu jelas, hanya kabarnya sudah terlalu banyak orang gagah dan pendekar yang roboh di tangan mereka."
"Orang gagah" Pendekar" Orang ma-cam apa mereka ini?"
Pemuda itu membelalakkan matanya. Kalau tadi mendengar gadis ini tidak tahu apa-apa tentang dunia hitam, ia menyangka gadis ini tentu murid tokoh sakti dunia putih yang baru saja turun gunung. Akan tetapi mendengar pertanya-an ini ia benar-benar heran sekali. Kalau tidak mengerti tentang dunia hitam dan dunia putih, habis gadis ini termasuk golongon apa"
"Bagaimana Nona tidak mengerti akan hal ini" Pendekar adalah orang-orang yang menentang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 46
kejahatan, orang-orang dari dunia putih yang selalu berusaha menumpas dunia hitam. Aku percaya bahwa guru Nona sendiri tentu seorang tokoh besar, seorang locianpwe dari du-nia putih yang amat mulia."
Kwi Lan menggeleng kepala. "Guruku bukan dari dunia putih, bukan pula dunia hitam. Entah dunia apa aku tidak tahu! Coba katakan, siapa tokoh-tokoh paling hebat di dunia putih?"
Pemuda itu masih belum hilang ke-heranannya, akan tetapi ia menahan pe-rasaan ini dan menjawab,
"Juga di antara pendekar-pendekar sakti banyak sekali yang merupakan to-koh puncak, akan tetapi aku yang muda hanya pernah mendengar beberapa orang saja. Pertama-tama adalah Suling Emas...."
"Suling Emas" Aku tanya nama orangnya, bukan sulingnya. Dari emas, perak, atau kuningan siapa peduli?"
"Suling Emas adalah nama julukannya. Nama aslinya, seperti tokoh-tokoh besar kang-ouw lainnya, siapa yang tahu?"
"Siapakah Suling Emas itu" Orang macam apa dan bagaimana kelihaiannya?"
Pemuda itu mengangkat jempol tangannya ke atas. "Aku sendiri belum mempunyai
keberuntungan berjumpa dengan Suling Emas, akan tetapi namanya sudah seringkali
kudengar dari para Locianpwe. Ilmu kepandaiannya setinggi langit, bahkan kabarnya Thian Te Liok-koai, enam datuk persilatan, musnah oleh sepak terjang Suling Emas. Sulingnya yang terbuat dari emas itu mengalahkan segala macam senjata yang ada di dunia ini."
"Dimana dia tinggal?"
"Tak seorang pun tahu. Seperti juga empat tokoh dunia hitam, banyak tokoh dunia putih terdiri dari orang-orang aneh yang sukar diketahui tempatnya, akan tetapi yang sewaktu-waktu dapat muncul di tempat-tempat yang sekali tidak terduga-duga. Aku tidak akan merasa heran kalau saat ini di sekeliling kita terdapat tokoh dunia hitam maupun dunia putih. Sepak terjang mereka penuh rahasia."
Mendengar ini, tanpa disadarinya lagi, Kwi Lan melirik ke kanan-kiri, akan tetapi keadaan di sekeliling tempat itu sunyi. "Lalu siapa lagi selain Suling Emas?"
"Di antara para pengemis golongan putih menyebut-nyebut nama Yu Kang Tianglo adalah seorang tokoh pengemis yang amat lihai ilmu silatnya, senjatanya hanya sebatang tongkat rotan kecil namun keampuhannya tidak kalah oleh pedang pusaka yang manapun juga. Tentu saja dua orang itu hanya dua diantara banyak lagi. Apalagi kalau kita ingat kepada partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai yang tentu mempunyai banyak orang pandai. Belum lagi di selatan kabarnya Agama Beng-kauw di Negara Nan-co dipimpin oleh orang-orang yang amat sakti. Akan tetapi di antara segala orang sakti, baik di dunia putih maupun hitam, agaknya tidak akan dapat menyamai tingkat kakek yang mulia dan terhormat Bu Kek Siansu...."
Berkata sampai di sini, pemuda itu membungkukkan tubuhnya seakan-akan hendak memberi hormat kepada nama yang disebutnya tadi.
"Bu Kek Siansu" Siapa dia....?" Kwi Lan makin tertarik. Kalau di antara semua tokoh yang hebat-hebat tadi tidak dapat menyamai tingkat kakek ini, tentu kakek ini benar-benar seorang manusia yang amat luar biasa.
"Maaf, Nona. Aku tidak berani sem-barangan menyebut-nyebut namanya yang terhormat.
Akan tetapi aku mempunyai lagu yang menurut Suhu adalah ciptaan Beliau. Kau suka mendengar lagu tiupan suling?" Sambil berkata demikian, pe-muda itu merogoh ke belakang baju dan kembali seperti orang main sulap, ia telah mengeluarkan sebatang suling bam-bu.
Diam-diam Kwi Lan terheran dan menduga-duga, apa saja kiranya isi dalam baju pemuda tukang sulap ini. Kemudian melihat suling itu, ia bertanya,
"Jangan-jangan engkau sendiri yang berjuluk Suling Emas!"
Pemuda itu tertawa. "Ah, Nona ja-ngan main-main. Apakah aku pantas menjadi seorang laki-Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 47
laki berusia lima puluh tahun lebih" Dan pula, sulingku ini bambu biasa, bambu kuning, sama sekali bukan emas, biarpun sama kuning-nya. Kaudengarlah baik-baik, karena lagu ini bukan lagu sembarangan lagu melain-kan lagu agung ciptaan manusia dewa."
Pemuda itu lalu meniup sulingnya dan terdengar lengking suara suling yang halus merdu, kemudian suara itu mem-bentuk irama lagu yang amat aneh. Mula--mula amat sukar
ditangkap iramanya, sukar dirasakan kenikmatannya, akan tetapi makin lama suara suling itu makin menggulung semua pikiran dan perasaan Kwi Lan sehingga gadis ini duduk termenung seperti orang tak sadar, terbuai suara itu yang mendatangkan rasa tenang dan damai dalam hatinya. Lenyaplah segala kehendak, segala keinginan, segala perasaan, seperti keadaan orang tidur dalam sadar! Setelah pemuda itu meng-hentikan tiupan sulingnya, gema suara tadi masih berdengung dan mempesona jiwa Kwi Lan sehingga ia masih diam terlongong. Akhirnya ia sadar dan me-narik napas panjang, kemudian meman-dang dengan kagum kepada pemuda itu.
"Aiih, kiranya engkau amat pandai meniup suling. Hebat!"
Wajah pemuda itu makin berseri gem-bira. Ia menjura dan berkata, "Bukan karena aku pandai meniup suling Nona, melainkan karena lagu itu memang he-bat, sekaligus menembus jantung me-nguasai jiwa. Dibandingkan dengan Suling Emas, kepandaianku meniup suling tidak ada sepersepuluhnya dan lagi.... kabarnya Suling Emas memang menerima ilmu-ilmunya dari Bu Kek Siansu yang ter-hormat."
Kwi Lan makin kagum dan terheran--heran. Timbul keinginan hatinya untuk bertemu dengan Suling Emas, walaupun hanya untuk mendengar tiupan sulingnya yang sepuluh kali lebih hebat daripada tiupan suling pemuda ini.
"Wah, alangkah goblok!" Pemuda itu yang sudah menyimpan sulingnya kembali, meloncat bangun sambil menampar ke-palanya. Kwi Lan ikut terkejut dan ikut meloncat bangun.
"Ada apa lagi?"
Pemuda itu tertawa. "Alangkah goblok aku. Lihat, kita bicara sudah setengah hari, banyak nama tokoh-tokoh dunia hitam dan putih sudah kuperkenalkan, malah aku sudah meniup suling untukmu dan kau sudah menaruh kepercayaan penuh kepadaku. Akan tetapi, kita masih belum saling mengenal nama! Padahal aku merasa seakan-akan sudah mengenal Nona selama bertahun-tahun, seolah-olah kita sudah saling bersahabat lama sekali. Bolehkah aku mengetahui nama besar Nona yang mulia?"
Kwi Lan tersenyum. Terhadap seorang pemuda seperti ini, tak mungkin ia dapat
membencinya. Pemuda ini berandalan memang, aneh pula, akan tetapi tidak terbayang watak kurang ajar baik dalam kata-kata maupun dalam pandang mata kepadanya. Ilmu silatnya agaknya tinggi, banyak pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, budinya baik dan masih di-tambah pandai bersuling lagi!
"Mengapa masih bertanya lagi" Bukankah namaku Mutiara Hitam dan engkau Setan
Berandalan?" Pemuda itu tertawa geli kemudian berkata sungguh-sungguh, "Biarpun kita bukan orang lemah, namun kita belumlah seperti kakek-kakek dan nenek-nenek yang suka memakai nama julukan dan menyembunyikan nama sendiri! Nona yang baik, sudilah memperkenalkan nama besar dan she (nama keturunan) yang terhormat."
"Kau sendiri siapa" Kau yang ingin berkenalan, seharusnya kau yang lebih dulu
memperkenalkan nama."
Pemuda itu mengangguk-angguk. "No-na benar. Maafkan aku yang pelupa. Nah, namaku Hauw Lam, she Tang. Tang Hauw Lam, nama yang bagus, sesuai dengan orangnya, bukan?"
Sambil berkata demikian, sengaja pemuda itu pasang aksi menggoyang-goyangkan kedua pundak. Se-gala hal dilakukan sambil melucu. Akan tetapi kali ini Kwi Lan tidak merasa lucu, melainkan kaget bukan main. Kalau saja ia tidak memiliki batin yang kuat, tentu ia akan kelihatan kaget sekali pada mukanya. Namun muka yang cantik jelita itu tenang saja, hanya jantungnya yang berdebar-debar keras. Jadi inikah putera Bi Li" Putera Tang Sun dan Phang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 48
Bi Li yang disangka lenyap setelah gurunya, ketua kelenteng di Kim-liong-san, me-ninggal dunia" Inikah yang dicari-cari oleh Bi Li, bahkan yang telah ia janjikan kepada Bibi Bi Li untuk bantu mencari" Sungguh tidak disangka-sangka! Akan te-tapi, betapapun juga ia merasa girang bahwa putera Bibi Bi Li yang amat sa-yang kepadanya itu ternyata adalah se-orang yang berilmu tinggi, yang berbudi baik seperti Ibunya, dan yang lucu se-perti....
entah siapa yang menurunkan sifat lucu kepada pemuda ini. Akan tetapi, untuk sementara Kwi Lan tidak akan membuka rahasia ini.
"Aku sebatang kara," Hauw Lam me-lanjutkan, "dan Guruku yang terakhir adalah seorang kakek yang sakti dan aneh yang dahulu merupakan orang ke dua setelah Bu Kek Siansu, seorang ka-kek yang hidup di dalam kuburan, tidak pernah keluar dari kuburan itu! Kakek itu sudah sangat tua, sukar ditaksir lagi berapa usianya, akan tetapi sifatnya ugal-ugalan dan seenaknya sendiri...."
"Seperti engkau!" Kwi Lan memotong.
Hauw Lam tertawa dan mengangguk. "Ya, aku banyak meniru sifat-sifatnya itu, sifat yang amat baik. Manusia hidup satu kali di dunia, kalau tidak bergembira mau apa lagi" Keadaan baik diterima dengan gembira, akan menjadi lebih me-nyenangkan, sebaliknya keadaan buruk kalau diterima dengan gembira, akan terasa ringan! Aku hanya menerima pe-tunjuk Beliau selama seratus hari, akan tetapi gemblengan selama tiga bulan itu begitu jauh lebih berharga daripada ajar-an kuterima belasan tahun dari guru--guru yang lain."
"Siapa nama Gurumu yang aneh. itu?"
"Julukan Beliau adalah Bu-tek Lo--jin. Menurut Beliau memang aku berjodoh menjadi muridnya." Hauw Lam kemudian menuturkan pengalamannya menjadi mu-rid kakek sakti itu yang didengarkan Kwi Lan penuh perhatian.
Ketika Hauw Lam berusia lima tahun, setelah selama itu ia diajak merantau oleh Tang Sun, ayahnya, yang mencari ibunya, ia dititipkan oleh ayahnya kepada Gwat Kim Hosiang ketua kelenteng di Bukit Kim-liong-san. Karena ketika ber-pisah dari ayahnya ia baru berusia lima tahun, maka wajah ayahnya pun tidak begitu teringat olehnya. Apalagi ibunya
meninggalkannya ketika ia berusia tiga bulan! Sepuluh tahun lamanya ia tinggal di kelenteng Bukit Kim-liong-san, men-jadi kacung kelenteng membantu pekerja-an para hwesio dan karena bakatnya me-mang baik sekali, ketua kelenteng itu, Gwat Kim Hosiang murid Go-bi-pai, te-lah menurunkan semua ilmunya kepada Hauw Lam.
Ketika ia berusia lima belas tahun dan telah mewarisi ilmu kepandaian suhunya, ketua kelenteng itu meninggal dunia. Hauw Lam lalu meninggalkan kelenteng dan dan pergi merantau. Anak muda ini suka akan ilmu silat, maka dengan bekal pelajaran dari Gwat Kim Hosiang yang membuat ia mencapai dasar-dasar ilmu silat tinggi, ia dapat memperdalam ilmunya, Hauw Lam pandai merendah sehingga pandai ia mengambil hati beberapa tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga banyakpula ia menerima petunjuk.
Pada suatu hari, perantauannya membawanya ke selatan. Ia telah berusia tujuh belas tahun dan ketika ia melewati sebuah hutan, keadaan yang sunyi membuatnya menjadi keisengan dan dikeluarkanlah sulingnya. Memang semenjak kecil ketika ia tinggal di kelenteng Kim-liong-san, seorang hwesio yang pandai menyuling mengajarnya menyuling dan Hauw Lam amat suka meniup suling. Kini ia berjalan perlahan sambil meniup sulingnya. Tiba-tiba, ketika melewati segundukan tanah ia roboh terguling!
Hauw Lam kaget sekali, kedua kakinya adalah anggauta badan yang terlatih. Diserang lawan saja tidak mudah terguling bagaimana sekarang bisa terguling tanpa sebab" Ia tadi merasa kakinya ada yang tarik dengan tenaga luar biasa. Sambil meloncat bangun, ia memutar tubuh mempersiapkan kedua tangan untuk menangkis atau memukul dan memandang ke sekeliling.
Akan tetapi tidak ada apa-apa di sekeliling tempat itu. Ia memandang ke bawah. Tanah di bawah kakinya menonjol, merupakan gundukan tanah seperti tempat kuburan orang. Tiba-tiba Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 49
bulu tengkuknya meremang. Setankah yang menggodanya tadi" Setan dalam kuburan yang marah karena kuburan itu tanpa sengaja terinjak olehnya" Hauw Lam boleh jadi gagah perkasa dan tidak pernah merasa takut menghadapi lawan yang tangguh. Akan tetapi sekali ini, biarpun belum gelap, baru menjelang senja, berada seorang diri di hutan sunyi dan merasa diserang dari dalam kuburan, ia merasa ngeri karena seram dan takut.
Tanpa berpikir panjang lagi Hauw Lam menggerakkan kedua kaki hendak lari dari tempat yang menyeramkan itu, akan tetapi baru selangkah ia lari, kem-bali tubuhnya roboh terguling!
Timbul kemarahan hatinya yang amat sangat, melebihi ketakutannya. Belum pernah
selamanya ia diperhina seperti ini. Kali ini ia melompat bangun berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, memasang kuda-kuda, membusungkan dada melebarkan mata
mengatasi rasa seram sambil memaki-maki.
"Setan atau iblis atau siluman dari mana berani mengganggu Siauw-ya (Tuan Muda) yang sedang lewat"
Kalau manu-sia, jawablah, kalau siluman muncullah dan mari kita bertanding sepuluh ribu jurus melawan Tang Hauw Lam!"
Ia petentang-petenteng, memaki-maki sambil menantang-nantang sampai be-berapa lama.
Namun sunyi tiada jawaban, juga tiada suara maupun sesuatu. Hanya angin yang lewat menggerakkan daun-daun pohon menimbulkan suara bisik-bisik seperti banyak mahluk tak tampak bersendau gurau. Rasa seram kembali menyelubungi hati Hauw Lam, mengatasi kemarahannya dan semua bulu di tubuh-nya berdiri satu-satu. Tak salah lagi tentu setan, pikirnya. Ketika ia roboh yang kedua kalinya tadi terasa benar betapa ada hawa pukulan yang mengait kakinya.
Kini ia memaki-maki lagi, akan tetapi diam-diam ia mengerahkan kedua kaki-nya. Ia ingin mengikat perhatian "silu-man" yang mengganggunya dengan maki-annya kemudian
menggunakan saat "si-luman" itu lengah, sekali meloncat jauh pergi dari situ. Setelah siap, sambil me-maki-maki, mendadak ia menggerakkan kakinya meloncat jauh. Girang hatinya karena akalnya ini berhasil, buktinya ketika ia meloncat, tidak ada yang men-jegal kakinya lagi. Akan tetapi, selagi ia merasa girang dan tubuhnya masih melayang di atas, tiba-tiba tubuhnya itu tanpa dapat Ia kuasai lagi, tertarik ke bawah dan terbanting di atas tanah! Ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia terbanting kembali di atas gundukan tanah, ia makin kaget dan berseru, "Ce-laka.... mati aku di tangan siluman....!"
"Heh-heh, siapa bilang mati itu ce-laka" Hidup sekedar hidup itulah yang celaka, apalagi hidup menghamba nafsu, lebih-lebih celaka!"
Hauw Lam terkejut sekali. Karena suara itu terdengar dari bawah, ia lalu memandang ke bawah dan.... hampir ia terjengkang roboh kembali ketika melihat sebuah kepala di atas tanah!
Kepala yang berdiri sebatas leher di atas tanah yang rambutnya riap-riapan, mukanya penuh cambang bauk, matanya melotot. Dengan muka pucat Hauw Lam memandang ke-pala itu, mengucek-ucek kedua matanya, memandang lagi dan bergidik. Kedua kakinya terasa lemas dan lumpuh, seluruh tubuhnya menggigil.
Sambil menahan kedua kakinya agar tidak roboh saking lemas, Hauw Lam menghadap ke arah kepala di atas tanah lalu menjura dan berkata, suaranya ge-metar,
"Saya...., Tang Hauw Lam.... selamanya ingin menjadi orang baik-baik...., harap anda jangan mengganggu saya...."
Kepala itu bergerak, menengadah dan matanya yang melotot itu menatap ta-jam, kemudian terdengar suara dari balik kumis tebal yang menyembunyikan mulut,
"Tidak mengganggu, hah" Kau menginjak-injak dan melangkahi kepalaku, masih bisa bilang tindak mengganggu?"
Melihat kepala itu bergerak-gerak dan mendengar mulut di balik kumis dapat bicara seperti manusia, mulai berangsur hilanglah rasa ngeri dan takut dari hati Hauw Lam. Ia memandang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 50
lebih teliti lagi. Kepala itu di atas tanah den leher-nya tersembul keluar dari tanah, agaknya tubuhnya terpendam. Kakek tua renta ini tadi bicara tentang "kepalaku", hal ini hanya berarti bahwa kakek itu masih mempunyai bagian tubuh yang lain. Andai kata ia seorang siluman dan tubuhnya hanya kepala itu saja, tentu tidak akan menyebut kepalaku. Pula, setelah kini ia memandang penuh perhatian, biarpun muka itu buruk penuh cambang bauk dan tertutup rambut yang riap-riapan, namun jelas bahwa itu kepala manusia, hanya entah bagaimana tubuh kakek itu terpendam ke dalam tanah kuburan dan entah bagaimana pula kepala itu tiba-tiba mun-cul sedangkan tadinya tidak ada apa--apa di situ. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kepala itu dan berkata.
"Locianpwe (Orang Tua Gagah), mo-hon maaf sebanyaknya apabila boanpwe (saya yang bodoh) telah melakukan kesalahan terhadap Locianpwe karena se-sungguhnya boanpwe tidak tahu bahwa Locianpwe berada di sini dan tidak sengaja...."
"Wah-wah, membekuk-bekuk lidah pun tidak ada gunanya! Masa begini caranya orang minta maaf" Mulutnya bilang min-ta maaf akan tetapi berlutut di sebelah atas kepalaku" Terlalu....
terlalu....!" Ke-pala itu mengomel panjang pendek.
Hauw Lam membelalakkan matanya. Kakek ini terlalu aneh dan agaknya se-orang yang suka berkelakar. Ia sendiri adalah seorang pemuda yang jenaka dan selalu riang gembira maka biarpun ia merasa mendongkol atas sikap kakek yang tidak puas dengan permintaan maafnya itu, ia memutar otak mencari akal.
"Baiklah, Locianpwe. Saya akan mo-hon maaf dan memberi hormat sepatut-nya. Setelah berkata demikian Hauw Lam lalu mencabut goloknya dan dengan senjata ini ia menggali tanah di depan kepala itu. Dengan pengerahan tenaga dalam, cepat ia dapat menggali sampai dalam, dan ia lalu masuk ke dalam lu-bang itu sehingga kini yang tampak di luar tanah hanyalah kepalanya saja yang ia angguk-anggukkan sambil mengulangi permintaan maafnya.
Mulut kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, bagus sekali. Kau cocok untuk menjadi muridku. Kau banyak akal, tidak mudah putus asa dan menghadapi segala rintangan hidup dengan wajah gembira. Hayo naik!" Begitu kakek ini mengeluar-kan kata-kata tubuh Hauw Lam mencelat ke atas. Pemuda ini kaget sekali dan menggerakkan tenaga untuk mengatur keseimbangan tubuh. Ketika ia berhasil turun dengan berdiri di atas tanah, ter-nyata kakek itu sudah keluar dari dalam tanah, kini duduk bersila di atas tanah. Sekilas pandang, ia kaget dan heran. Kakek itu kepalanya besar dan seperti kepala orang dewasa, akan tetapi tubuh-nya kecil pendek seperti tubuh seorang anak berusia belasan tahun! Maklum bahwa kakek yang tubuhnya aneh ini seorang sakti, ia lalu menjatuhkan diri kembali, berlutut di depan kakek itu.
Pedang Inti Es 1 Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Kekaisaran Rajawali Emas 1
^