Pencarian

Pedang Inti Es 1

Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Bagian 1


"PEDANG INTI ES
(Peng Pok Han Kong Kiam)
OKT Kisah Pedang Inti Es ini merupakan bagian dari serial kisah
Pendekar Thian San, yang disadur oleh OKT.
Akibat kekalahan yang dialami oleh Pendekar Koei Hoa Seng
dalam suatu pibu, telah mendorong dia untuk meninggalkan
Tionggoan merantau ke Tibet dan Nepal. Dalam perantauan
itu, Koei Hoa Seng yang telah memiliki ilmu silat yang
bersumber dari Tat-mo Pit-kip menghadapi berbagai intrik
dalam mewujudkan keinginannya untuk menyunting si Gadis
Baju Putih misterius.
Ketertarikan dua anak manusia berlainan jenis tumbuh ketika
mereka berjuang bersama untuk mendapatkan Kumala Inti Es
di Kota Iblis yang ditakuti rakyat Tibet. Perjodohan yang
melalui perjuangan berat akhirnya dapat diwujudkan setelah
Koei Hoa Seng mampu mengalahkan saingan pemuda-pemuda
dari berbagai negara lainnya.
01.Pelancong Wilayah Tibet
Bagaikan jarum lenyap dan kemudi hilang,
Demikian gunung Koen Loen dibuat jeri.
Tinggal di dalam guha, berdiam di dalam
Gubuk sarang, apakah artinya itu semua"
Dengan tongkat rotan hitam di tangan,
Di puncak gunung Leng San menggedor pintu langit ...
Seumpama seorang raksasa yang rebah berbantal bumi dan
menyender kepada langit, demikian gunung Koen Loen San
bercokol melintang di perbatasan kedua wilayah Sinkiang dan
Tibet, dengan puncak-puncaknya yang sambung-bersambung
seperti tak ujung pangkalnya seantero tahun tertutup salju yang
putih-mulus, yang memutuskan hubungan daratan antara Tibet
dan Tiongkok Asli. Itulah jalan yang tersohor sulit dan
berbahaya, yang tak banyak orang melaluinya, baik dahulu
maupun sekarang.
Tetapi pada saat ini, kita melihat seorang pelancong telah
melintasi gunung itu serta tengah memasuki wilayah Tibet.
Ketika ia berpaling ke belakang, ia mendapatkannya gunung
itu sudah ketinggalan jauh di sebelah belakangnya. Ia berdiam
memandangi, lalu tanpa merasa ia bersiul panjang. Ia
mengingatnya bagaimana selama dalam perjalanannya ini ia
telah bernaung di dalam guha-guha atau di dalam gubuk-gubuk
bagaikan sarang burung. Menghadapi sang angin, ia lalu
bersenandung ?"?".
Pelancong ini adalah seorang pemuda yang usianya baru
duapuluh tahun lebih. Ialah Koei Hoa Seng, ciangbunyin atau
ahliwaris, yang menggantikan menjadi pemimpin atau ketua,
dari partai persilatan Boe Tong Pay cabang Utara. Ia pun
adalah putera nomor dua dari Koei Tiong Beng, satu di antara
Thian San Cit Kiam " Tujuh jago pedang dari Thian San. Ia
dandan dengan sederhana akan tetapi dandanannya itu tak
menutupi romannya yang gagah.
Tengah memandangi gunung maha besar itu, tiba-tiba Koei
Hoa Seng tertawa dan berkata dengan nyaring: "Kata-katanya
Hoei Beng Siansoe memang bukan gertakan belaka untuk
menakut-nakuti orang, akan tetapi kalau dibilang, dengan
mendaki gunung Koen Loen San orang dapat dengan
tongkatnya menggedor terbuka pintu langit, itulah berlebihlebihan!"
Memang, syair yang disenandungkan Hoa Seng ini adalah syair
karyanya Hoei Beng Siansoe itu, yang dikarangnya di puncak
gunung Koen Loen San ini. Hoei Beng adalah seorang pendeta
yang menjadi pembangun dari partai persilatan Thian San Pay
dan dia berkenamaan di jaman akhirnya kerajaan Beng atau
permulaan dinasti Ceng.
Koei Hoa Seng terdidik sempurna, ia ternama sejak usia muda.
Di antara tiga saudara, dialah yang paling pandai. Akan tetapi
beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah gelanggang
pertempuran, ia kena dirobohkan suami-isteri Tong Siauw Lan
dan Phang Eng, yang menjadi ahliwaris turunan keempat dan
Thian San Pay. Sebenarnya, karena ayah Hoa Seng tergolong dalam Thian San
Cit Kiam, ia ada mempunyakan hubungan yang baik dengan
Thian San Pay itu, akan tetapi ia tidak sanggup menelan
kekalahannya ini dengan begitu saja, maka dengan menuruti
ambekannya, ia lantas melakukan perjalanan, mendaki gununggunung,
melayari sungai-sungai, maksudnya ialah mencari
orang yang berilmu tinggi untuk meyakinkan ilmu silat terlebih
jauh. Ia bercita-citakan mewarisi ilmu kepandaian yang
istimewa untuk dapat membangun satu partai persilatan baru!
Kembali Hoa Seng menoleh, mengawasi gunung Koen Loen
San itu, habis itu baru ia memutar tubuhnya, akan memandangi
sebuah gunung lain, yang sekarang berada di sebelah
depannya. Itulah gunung Nyenchin Dangla, yang tingginya
dapat menyaingi gunung Koen Loen San. Sambil memandang,
ia tertawa lebar.
"Benarlah, sebuah gunung tinggi, masih ada lain gunung yang
lebih tinggi pula!" katanya seorang diri. "Ketika pertama kali
aku tiba di Thian San, aku menganggapnya gunung Thian San
itu gunung tinggi yang tak termendaki, akan tetapi sekarang
aku melihatnya gunung Koen Loen San dan Nyenchin Dangla
ini tak ada terlebih kate dari padanya ?"" Katanya di
perbatasan di antara Tibet dan Nepal ada sebuah gunung
Himalaya ialah gunung yang paling tinggi di dalam dunia ini,
maka itu benarlah itu pembilangan, di luar langit ada langit
lainnya, di samping orang ada orang lainnya lagi, artinya, yang
tinggi ada yang terlebih tinggi, yang pintar ada yang terlebih
pintar. Di dalam Rimba Persilatan selama seratus tahun ini,
umum mengenalnya ilmu pedang Thian San Kiam-hoat yang
tak ada tandingannya, tetapi aku -- hm! " tak aku mau
mempercayainya! Ketika dulu hari itu Hoei Beng Siansoe
menciptakan ilmu pedangnya, katanya ia memilih dan
mengumpulnya dari sarinya ilmu pedang pelbagai partai
lainnya. Siapakah itu pelbagai partai lainnya" Termasukkah
didalam situ partai atau partai-partai yang berada di dalam
wilayah Tibet atau lain wilayah lagi di luar Tiongkok Asli?"
Maka, memandangi gunung raksasa dihadapannya itu, pada
otaknya Koei Hoa Seng terkilas suatu angan-angan yang luar
biasa. Ia melamun untuk melintasi gurun pasir yang besar,
guna mendaki gunung yang tinggi, guna menjelajah dunia, buat
melihat daerah-daerah yang asing untuknya, supaya ia bisa
mendapatkan suatu ilmu silat yang menyampaikan puncaknya
kemahiran! Tengah lamunannya itu, tiba-tiba kuping Hoa Seng menangkap
suara terompet mengaung di udara, lama dan mengalun,
suaranya serupa, nadanya sedih.
Ketika itu sudah dekat magrib, sinar layung tengah bersorot,
mega nampak merah bagaikan darah, maka juga, di waktu
demikian terdengar suara aneh itu, walaupun dia bernyali
besar, hati Hoa Seng tergetar juga, ia merasakan bulu romanya
bagaikan bangun berdiri ?".
Mengikuti suara terompet itu, Hoa Seng membuka
tindakannya. Sebentar kemudian, tibalah ia di mulut lembah
yang terjepit gunung di kiri dan kanan. Di dalam lembah itulah
tertampak rombongan orang Tibet dengan terompet mereka
yang panjang. Mereka itu tengah mengarak-arak sebuah patung
malaikat, yang berkepala tiga, setiap kepala patung itu
warnanya putih, hitam dan merah.
Orang-orang Tibet itu mengitari patung itu, mereka menari-nari
sambil bernyanyi-nyanyi.
Sebelum Koei Hoa Song me?lakukan perjalanannya ke Tibet
ini, pernah ia membalik-balik sejumlah kitab mengenai adatkebiasaan
bangsa Tibet serta pernah juga mempelajari
bahasanya dari beberapa pelancong ke Tibet, maka tahulah ia
patung itu patung siapa. Itulah patungnya Chietupa, malaikat
pelindung dari agama Lhama. Jikalau bukan di hari raya besar,
atau ada permohonan apa-apa, tidak nanti patung malaikat itu
dikeluarkan untuk diarak-arak.
Memasang kupingnya untuk nyanyian orang-orang Tibet itu
maka mengertilah Koei Hoa Seng yang mereka itu tengah
menyanyikan lagu "Memanggil Roh," yang maksudnya kirakira:
"Kami memohon Malaikat yang suci dan mulia, sudi
apalah mengasihani orang-orang dari lain kampung, yang
datangnya dari tempat jauh, supaya roh mereka dirampas
pulang dari tangannya hantu-iblis, agar dengan demikian hati
kami pun tenang-tenteram!" Dan nyanyian itu diulangi dan
diulangi terus-menerus.
Hoa Seng terperanjat, ia lantas saja, berpikir.
"Orang lain kampung" Itulah mesti orang asing ?"."
Demikian pikirnya.
"Orang asal dari manakah mereka itu" Mereka mendapat
penyakit berat ataukah lain bencana" Kenapa mereka
menyebabkan orang-orang Tibet ini mengarak malaikatnya
untuk memohon pertolongan, supaya roh mereka dapat
dirampas pulang" " Tidak sia-sia belaka permohonan mereka
ini! Mana dapat roh mereka dipanggil pulang secara begini"
Aku sendiri ada membawa obat obatan, baiklah aku tengok
mereka, jikalau mereka benar jatuh sakit, mungkin aku dapat
menolong mereka. Bukankah menolong satu jiwa lebih menang
daripada membangun sebuah menara tujuh tingkat?"
Segera juga orang-orang Tibet yang mengarak patung
malaikatnya itu melihat seorang asing lain mendatangi ke arah
mereka. Mereka agaknya menjadi heran.
Seorang tua sudah lantas bertindak memapaki orang asing ini.
Ia membawa satu cawan yang terbuat dari tengkorak manusia,
di dalam situ ada terisi arak yang warnanya hijau. Inilah arak
yang biasa dijadikan minuman suguhan setiap ada upacara
keagamaan, untuk menyambut setiap tetamu. Rasanya arak ada
sedikit pahit. Koei Hoa Seng mencegluk arak itu.
"Tetamuku yang mulia" berkata si orang tua, "bukannya kami
tidak berlaku hormat kepada tetamu kami tetapi kami terpaksa
hendak memohon kepada tuan. Di antara kami ini ada dua
orang yang rohnya telah ditarik setan-setan dari Kota Iblis, oleh
karena kami kuatir pengaruh jahat setan-setan itu nanti
mengganggu kepada tuan, kami minta sukalah tuan lekas-lekas
menyingkir dari tempat ini."
Hoa Seng menjadi heran sekali.
"Kota Iblis apakah itu?" ia menanya.
Justru itu mendadak datang angin meniup keras.
"Nah, kau lihat!" berkata si orang tua. "Bukankah itu Kota Iblis
tersebut?" Ia bicara dengan suara tergetar, tangannya menunjuk
ke atas. Hoa Seng dongak mengangkat kepalanya. Di udara ia
menampak segelempang mega di dalam mana samar-samar
terlihat wujud bagaikan sebuah kota, dengan rumah-rumah dan
jalan-jalan besarnya, dengan menaranya dan tembok kotanya,
atau sejenak kemudian, semua itu bersalin rupa warnanya, atau
lagi sesaat, lenyap?lah seluruhnya, udara kembali biasa seperti
tadinya. Selagi tertampaknya apa yang mereka menyebutnya Kota Iblis,
semua orang Tibet itu berikut si orang tua, yang rupanya
menjadi tertua mereka, pada bertekuk lutut menghunjuk hormat
mereka dengan segala kesujudan.
Hoa Seng sebaliknya, tanpa merasa, ia tertawa sendirinya.
Tidak lebih tidak kurang itulah permainan sang alam, ciptaan
dari perubahan warna mega atau sinar layung. Memang aneh
pemandangan itu tetapi tidak ada artinya suatu apa. Di pesisir
atau di gurun pasir, tidak sukar mendapati pemandangan mega
berubah seperti itu yang disebabkan pantulan sinar matahari. Ia
bukannya seorang ahli alam akan tetapi selagi melintasi padang
pasir di Sinkiang, Turkestan Tionghoa, beberapa kali ia telah
menampak keanehan alam itu.
Si orang tua heran ketika ia mengangkat kepalanya
mendapatkan si orang asing tetap berdiri tegak dengan mata
memandang ke "Kota Iblis," sama sekali tetamu ini tidak
berlutut sebagai mereka itu.
"Hai!" katanya, hatinya cemas, "Kota Iblis telah
memperlihatkan diri, kenapa kau tidak lekas berlutut untuk
memohon ampun" Kau tahu, sekalipun Chietupa tidak nanti
dapat melindungi padamu?"?"
Hoa Seng mengawasi kepada orang tua itu yang bertahayul,
ingin ia memberikan penjelasannya, ketika sang alam
mendatangkan perubahan pula secara tiba-tiba. Dengan
sekonyong-konyong muncul pula sang angin, yang menderu
keras, di dalam situ tercampur beberapa suara aneh, yang luar
biasa, yang mirip dengan suara tambur perang, bunyinya
guntur, atau seperti orang hutan menangis atau bagaikan orangorang
peperangan tengah bernyanyi dengan nada tinggi. Suara
campur-aduk itu benar dapat menggoncangkan hati orang.
Sebentar kemudian, angin dahsyat itu telah mendatangkan juga
serbuannya pasir atau batu halus, menyambar kepada patung
malaikat Chietupa itu, maka tanpa ampun lagi, malaikat
pelindung kesejahteraan itu lantas roboh ke tanah, tubuhnya
hancur lebur! Semua orang Tibet itu kaget bukan buatan, serentak mereka
menjerit, serentak juga mereka kabur ke segala penjuru tanpa
menghiraukan serbuannya pasir dan batu halus itu.
Chietupa ialah malaikat pelindung mereka, sekarang malaikat
itu roboh, itulah tandanya bahwa sekalipun malaikat mereka
kalah dari setan dari Kota Iblis yang sangat liehay itu. Kalau si
Raja Iblis yang menang, bagaimana mereka dapat tidak lari
tumpang siur"
Angin dahsyat itu menyebabkan jagat menjadi remang-remang.
Koei Hoa Seng hampir saja kena tertiup roboh angin hebat itu,
hingga ia pun menjadi heran.
"Benar-benar angin ini luar biasa hebat," katanya di dalam hati.
"Dan suara angin pun luar biasa sekali. Di mana angin
datangnya dari arah Kota Iblis itu, tidaklah heran jikalau orangorang
Tibet ini menjadi sangat ketakutan, mereka menyangka
telah diserbu angin puyu ?"."
Syukur sekali begitu mendadak datangnya angin, begitu lekas
sirnanya. Maka selang tak lama, suasana menjadi tenang
seperti biasa. Angin berhenti, pasir tak beterbangan pula.
Cuaca pun menjadi terang jernih. Hanya apa yang kacau adalah
reruntuhnya Chietupa serta pelbagai alat keagamaan, yang
tersebar memulahan di sekitar situ.
Sekarang Koei Hoa Seng dapat melihat dua sosok tubuh rebah
di tanah, tubuh berikut mukanya ketutupan pasir kuning. Ia
mendapatkan orang dandan sebagai orang Han. Ia merasa pasti
mereka inilah yang orang-orang Tibet itu menyebut si orang


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asing yang menjadi kurbannya setan-setan dari Kota Iblis.
Tidak ayal lagi ia menghampirkan dua orang itu, setelah
mengasi turun kantung airnya, ia menyingkirkan pasir di muka
mereka itu, terus ia mencucinya dengan air, maka dalam tempo
yang pendek, terlihatlah wajahnya mereka. Begitu ia telah
melihat tegas, ia menjadi kaget dan heran.
Dari dua orang itu, yang satu ialah seorang yang tubuhnya
tinggi-besar dan berewokan, umumya kira-kira empat puluh
tahun. Yang lainnya ada seorang bocah usia tiga atau empat
belas tahun, kulitnya putih-bersih, romannya cakap.
"Dia toh Tong Leng putera angkat dari Tong Say Hoa?" kata
Hoa Seng seorang diri setelah ia mengawasi pula wajah si anak
tanggung. Tong Say Hoa ialah anak perempuan dari Tong Jie Sianseng
ahli senjata rahasia di propinsi Soe-coan. Suaminya, yaitu Ong
Go yang menjadi congpoutauw atau kepala seksi dari kantor
soen?boe di Hoolam, telah terbinasakan Thian San Lie-hiap
Phang Lim, jago wanita dari gunung Thian San atau Thian San
Pay. Oleh karena tidak mempunyai anak laki-laki, Say Hoa
telah memelihara Tong Leng ini sebagai anak-angkatnya.
Benar dia anak-angkat akan tetapi disayangnya bagai anak
kandung sendiri.
Mengenai bocah ini, ada satu hal yang Koei Hoa Seng tidak
mengerti. Dengan keluarga Tong itu, keluarganya bergaul rapat
turun-temurun, dengan begitu, tahulah ia tentang keluarga itu,
akan tetapi sampai sebegitu jauh, belum pernah ia mendengar
Tong Jie Sianseng atau Tong Say Hoa sendiri menceritakan
asal-usulnya si anak angkat. Tong Leng sendiri ialah satu anak
manis dan cerdik, siapa pun suka padanya. Maka pernah
kejadian, selama Koei Hoa Seng berada di rumah keluarga
Tong itu, p?rnah ia mengajarkan si bocah beberapa jurus ilmu
silatnya. Mengawasi si orang tinggi besar, Koei Hoa Seng mengenali dia
sebagai Kat Teng Liong, pahlawan yang kosen yang sangat
dipercaya dari almarhum Ceng See Tayciangkoen Lian Keng
Giauw, itu kepala perang pemerintah Boan yang telah
ditugaskan berperang ke Barat.
Sebenarnya, bicara dari hal ilmu silat, di antara pahlawanpahlawannya
Lian Keng Giauw, Kat Teng Liong bukanlah
yang terkosen, kalau toh ia ada sangat dipercaya dan diandali,
itulah disebabkan kecerdikannya dan banyak akalnya, karena ia
mengerti baik ilmu perang berkat ia telah membaca banyak
kitab ilmu itu. Karena kepintarannya itu, dengan sendirinya ia
mengatasi pahlawan-pahlawan lainnya.
Tidak beruntung untuk Lian Keng Giauw, setelah berjasa besar
dan kedudukannya naik tinggi, oleh Kaisar Yong Ceng ia
dibuang ke kota Hangcioe di mana ia diberi tugas menjaga
pintu kota, setelah mana, ia tak luput dari hukuman mati yang
dihadiahkan pemerintah kepadanya.
Tempo Lian Keng Giauw dibuang, bubarlah semua orang
sebawahannya. Mengenai Kat Teng Liong, orang menyangka
dia bakal turut majikannya ke Hangcioe, untuk tinggal bersama
di tempat pembuangan. Kemudian ternyata dugaan itu meleset.
Berbareng dengan dibuangnya panglima perang besar ini,
lenyap juga pahlawannya, si orang she Kat ini, lenyap tidak
keruan paran, hingga kaum kang-ouw, atau Sungai Telaga,
menyangka jelek terhadapnya. Mereka itu menjadi percaya
bunyinya pepatah, "Kalau pohon roboh, buyarlah sang kera."
Maka sungguh tidak disangka sama sekali, sekarang Kat Teng
Liong kedapatan di Tibet ini dan bersama Tong Leng juga
?""..
Sungguh tak dapat dipikirkan: Kenapa Tong Say Hoa rela
melepaskan anak-pungutnya mengikuti Kat Teng Liong si
pahlawan kepercayaan dari Lian Keng Giauw almarhum"
Keluarga Tong tidak mencampuri urusan pemerintahan,
dengan Lian Keng Giauw tidak ada sangkut-pautnya, maka itu,
mengapa Tong Leng bolehnya mengenal si orang she Kat ini"
Jikalau mau dibilang, bocah ini buron, mustahillah ia
mempunyai nyali demikian besar" Pula, dapatkah ia
meninggalkan ibu angkatnya itu yang sangat mencintai ia"
Dan, yang paling aneh, mengapa mereka berada di gurun pasir
ini dalam keadaan tak sadarkan diri hingga mereka
menyebabkan penduduk Tibet itu mengarak malaikatnya untuk
memanggil pulang roh mereka, yang katanya dirampas setansetan
dari Kota Iblis itu"
Dengan teliti Hoa Seng memeriksa tubuhnya kedua orang yang
pingsan itu. Ia tidak mendapatkan sesuatu luka apa juga. Ia
mengatakannya pingsan karena nadi mereka itu berjalan
dengan baik, tldak ada tanda sekalipun yang mereka telah kena
totokan tangan liehay. Sebaliknya, wajah mereka merah,
seperti mereka habis menenggak air kata-kata. Tempo tubuh
mereka digoyang pergi-datang, tetap mereka tidak mendusin.
Sebagai ahli, Hoa Seng tidak melihat apa-apa yang luar biasa,
yang mencurigai ?".
Sekian lama Hoa Seng menjublak saja, mendadak ia ingat
suatu apa. "Kenapa aku tidak hendak mencoba dengan Thian San Soatlian?"
katanya di dalam hatinya.
Thian San Soat-lian itu, teratai-salju dari gunung Thian San,
mempunyai khasiat dapat menyembuhkan banyak macam
penyakit disebabkan pelbagai racun atau bisa. Sangat sukar
mendapatkan teratai istimewa itu. Ketika Hoa Seng pesiar di
Sinkiang, beruntung sekali ia mendapatkan tiga kuntum di
puncak utara tertinggi dari Thian San. Di waktu mekar, bunga
itu ada sebesar mangkok, warnanya warna sinar layung, setelah
kering, masih ada sebesar kepalan. Begitu bunga itu
dikeluarkan dari saku, berserakanlah harumnya yang halus
semerbak. Dengan lantas Hoa Seng menempelkan soat-lian di hidungnya
dua orang itu. Tidak lama, lantas terdengar suara bernapas
mereka. Ia menjadi girang, ia jadi mendapat harapan.
Lewat lagi sekian lama, Teng Liong mulai mendusin lebih
dulu. Ketika ia membuka kedua matanya, ia agaknya
terperanjat. Ia dapatkan di depannya ada orang berdiri dengan
tangan di gagang pedang, orang mana mengawasi ia dengan
roman murka. "Kau siapa" Tempat apakah ini?" ia menanya.
"Hm!" menjawab Hoa Seng, "Tunggulah sampai bocah ini
mendusin, baru kita bicara!"
Teng Liong berdiam, ia mengawasi orang dan bocah di sisinya
itu. Tidak lama, Tong Leng pun sadar. Begitu ia melihat Koei Hoa
Seng, ia berseru dengan kegirangan: "Paman Koei, adakah ini
Kota Iblis?"
Hoa Seng heran.
"Kota Iblis?" ia balik menanya. "Apakah itu?" Tapi hanya
sejenak, ia lantas memperlihatkan wajah sungguh-sungguh. Ia
menanya: "Tong Leng, tunggu dulu! Hendak aku menanya ini
orang!" Dan ia lantas berpaling kepada Kat Teng Liong, yang
ia bentak: "Kau bernyali besar, kau berani menculik puteranya
Keluarga Tong."
Sementara itu telah pulih ingatannya Kat Teng Liong, maka itu
mendengar panggilan Tong Leng kepada orang yang
menegurnya, ia pun lantas mengenalinya. Ia tertawa sambil
berlenggak. "Oh orang gagah si pembela keadilan!" katanya. "Dengan
sembrono kau menuduh orang! Sekarang kau tanyalah bocah
ini, apa benar aku telah menculik dia!"
"Memang bukan, paman Koei," Tong Leng lekas berkata.
"Yang benar akulah yang ikut dia."
Hoa Seng tercengang.
"Mengapa kau meninggalkan ibumu dan mengikuti dia ini?" ia
menanya selang sesaat. "Tahukah kau dia siapa?"
"Dialah paman Kat Teng Liong," menyahut Tong Leng cepat.
Tapi ia mengelakkan diri dari pertanyaan mengapa ia
meninggalkan rumahnya. Melihat sinar matanya, yang tak
tenang, ia mirip seorang tua yang tengah berpikir keras, ia
bukan miripnya seorang bocah.
Hoa Seng menjadi heran dan bercuriga. Tidak dapat ia menerka
Teng Liong menggunai akal apa untuk membujuk bocah ini
mengikut padanya.
"Serahkan anak ini padaku!" kata ia kemudian, tangannya
memegang gagang pedangnya, wajahnya bengis. "Kau sendiri,
pergilan kau ke rumah Keluarga Tong untuk memohon maaf!"
"Yangan!" Tong Leng berkata. "Aku suka sendiri mengikut
Paman Kat. Jangan kau menyusahi dia, Paman Koei."
Hoa Seng tidak mempedulikan bocah itu.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya kau membujuk bocah ini!"
katanya, tetap bengis. "Pendek, jikalau kau tidak serahkan anak
ini kepadaku, hendak aku menjalankan kebiasaan kita kaum
kang-ouw, ialah kita berdua bertempur untuk memastikan siapa
tinggi dan siapa rendah!"
"Aku bukannya tandinganmu!" kata Kat Teng Liong tawar. "Di
dalam hal ini, aku tahu diriku siapa."
Dulu hari ketika Lian Keng Giauw mengajukan pasukan
perangnya ke Cenghay, di sana Koei Hoa Seng telah
menunjuki kegagahannya tempo ia menolongi seorang touwsoe
atau kepala suku meloloskan diri dari kepungan, untuk itu ia
telah membinasakan beberapa pahlawannya panglima perang
besar itu. Kat Teng Liong ketahui baik peristiwa itu, maka
sekarang tak suka ia menempur orang kosen ini.
"Kalau begitu, nah, kau serahkan ini bocah padaku!"
"Tidak!" jawab Teng Liong. "Bocah ini tidak dapat diserahkan
padamu!" Hoa Seng menjadi gusar sekali.
"Kecewa kau menjadi orang kang-ouw kelas satu!" serunya.
"Kenapa kau begini tidak tahu malu" Apakah kau takut
mampus?" Teng Liong tertawa sambil melenggak.
"Jikalau aku takut mampus, tidak nanti aku melakukan
perjalanan jauh dan sesukar ini!" katanya lantang. "Tidak nanti
aku bawa bocah ini ke Tibet sini! Aku bukannya takut
mampus, hanya aku kuatir, setelah aku mati, nanti tidak ada
orang yang melindungi dan menunjang padanya!"
"Ngaco!" Hoa Seng membentak. "Anak ini toh ada ibu
angkatnya yang nanti merawatnya! Perlu apa kau mencapaikan
hati untuknya?"
Dengan memegang gagang pedangnya, jago ini mengancam
untuk menyerang.
"Paman Koei!" berseru Tong Leng, "jikalau paman
menyanyangi aku, aku minta kau jangan bikin susah padanya!"
Hoa Seng heran.
"Kenapakah?" ia tanya.
"Sebab seumur hidupku, sudah pasti aku akan mengikuti
Paman Kat ini," menyahut si bocah. "Jikalau paman
mambunuh mati padanya, habis aku harus mengandal pada
siapa lagi?"
"Ah!" Hoa Seng bersuara. Ia heran untuk bocah yang pandai
bicara itu. "Bukankah tahun ini kau masuk usia empat belas tahun?"
katanya, mengawasi dengan tajam. "Kenapa kau agaknya
begini sangat tak tahu urusan" Apakah tak cukup rawatannya
kakek dan ibumu she Tong itu" Kenapa kau tidak ingat lagi
budi mereka yang sudah memelihara dan mendidikmu?"
Airmatanya Tong Leng mengembang hendak bercucuran. Ia
sebenarnya tidak hendak berbicara tetapi ia kuatir ini paman
Koei benar-benar membinasakan Paman Kat-nya itu. Maka
memainlah biji matanya, berputar-putar. Sekonyong-konyong:
"Bukan! Aku bukannya anak keluarga Tong!" ia berseru.
Hoa Seng terkejut, untuk segera menjadi murka.
"Ingat!" katanya, bengis.
"Sejak masih kecil sekali kau telah dipiara dan dirawat
Keluarga Tong, kau harus ketahui budinya ibu angkatmu
melebihkan budi ibu kandungmu sendiri!"
"Akan tetapi aku masih mempunyai ayahku sendiri!" kata Tong
Leng, gagah. Hoa Seng bercekat hati.
"Siapakah dia?" ia tanya.
Tong Leng mengangkat kepala dan tubuhnya, sikapnya
bangga. "Ayahku ialah Tayciangkoen Lian Keng Giauw yang pernah
memimpin angkatan perang dari seratus laksa serdadu!"
jawabnya nyaring.
Hoa Seng benar-benar terkejut. Inilah di luar dugaannya. Ia
mau percaya bocah ini. Maka aneh sekali, anak-angkatnya
Tong Say Hoa sebenarnya ada puteranya itu panglima perang
besar she Lian yang kesohor! Selagi ia tercengang, ia
mendengar tangisan seduh-sedan dari si bocah.
"Memang besar sekali budinya ibu-angkat dan itu tidak dapat
dilupakan," dia berkata, "akan tetapi juga sakit hatinya ayahku,
aku si anak tidak dapat tidak membalasnya!"
Hoa Seng mengerutkan keningnya. Ia kenal baik Lian Keng
Giauw terutama semasa panglima itu berperang ke timur dan
ke barat, membantu pemerintah Boan menindas sesama orang
Han dan suku lainnya. Perbuatan itu membangkitkan
kemarahan dan kebenciannya setiap penyinta negara. Ketika
kemudian dia dibinasakan Kaisar Yong Ceng, kaisar mana pun
terbinasa di tangannya pendekar wanita Lu Soe Nio, semua
orang merasa girang dan puas sekali.
"Ah, kau hendak membalas musuh apa?" tanyanya kemudian.
Tong Leng menyusut air matanya.
"Sakit hati ayah dan ibu besar luar biasa!" sahutnya nyaring.
"Mungkinkah ayahku itu pantas mati penasaran?"
"Memang juga ayahmu mati pantas," kata Hoa Seng di dalam
hatinya. Ia hendak mengucapkan itu tetapi akhirnya dapat ia
membatalkannya. Ia berpikir pula:
"Lian Keng Giauw berdosa terhadap bangsa, bocah ini tidak.
Dia pun, setelah dewasa nanti, akan menginsafi ayahnya itu
orang macam apa .... Sekarang dia masih terlalu kecil, jikalau
sekarang aku menjelaskannya, hatinya tentulah tak kuat
mempertahankan diri," Karena memikir begini, ia menghela
napas. Lantas ia bersenyum.
"Bagaimana caranya kau hendak menuntut balas?" ia bertanya.
02. Kembang Iblis di Kota Iblis
Tong Leng melirik Hoa Seng berulangkali. Kalau tadi sinar
matanya seperti sangat bermusuh, sinar itu sekarang menjadi
berkurang tajamnya.
"Paman Kat membilangi aku," ia menyahut, "wilayah Tibet ini
terlalu jauh dari Tionggoan, pengaruhnya pemerintah Boan
sukar sampai di sini, maka di sini kami hendak memasang


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pokok dasar untuk nanti membangun usaha, supaya kami bisa
menggeraki angkatan perang. Syukur jikalau kita menang,
kalau toh kita gagal, kita boleh menetap di sini memperkokoh
kedudukan kita!"
Di waktu bicara, Tong Leng bersikap gagah mirip ayahnya
dulu memerintah pasukan perangnya.
"Sungguh tidak kecewa dia menjadi puteranya Lian Keng
Giauw," memuji Hoa Seng, kagum. "Kat Teng Long ini pun
tidak kecewa menjadi juru pemikir dari Lian Keng Giauw, dia
dapat memikir dan memandang demikian jauh! Tapi, soal
mereka ini tidak dapat aku tidak mencampurnya tahu!"
Maka ia cekal tangannya Tong Leng, untuk ditarik dengan
perlahan-lahan. Ia tertawa.
"Kau bersemangat, anak!" katanya, sabar. "Meski begitu, kau
mesti dapat membedakan mana yang benar mana yang salah,
mana yang baik mana yang busuk."
"Bagaimana itu, paman?" tanya Tong Leng. "Coba paman
tolong menjelaskan."
"Sekarang ini kau tengah terserang racun harum, kau harus
tidur beristirahat dulu," kata paman itu. "Sebentar, setelah kau
mendusin, aku nanti bicara pula denganmu."
Dengan perlahan Hoa Seng menekan, menotok jalan darah
pulas, maka berdiamlah bocah itu. Ia terus menoleh kepada
Teng Liong, untuk menunjuki roman murka.
"Bagus, ya!" serunya. "Seorang bocah baik-baik kau telah
membujuknya ke jalan sesat! Kau tahu, dosamu ini melebihkan
dosa membunuh orang dan membakar rumah!"
"Aku mengajari dia membalas sakit hati ayahnya, adakah itu
dosa?" balas tanya si orang she Kat.
"Lian Keng Giauw itu, seluruh negara membilangnya: dia
pantas binasa!" kata Hoa Seng. "Pantaskah orang membalaskan
sakit hatinya?"
"Kalau lain orang yang membinasakan Lian Keng Giauw,
masih ada alasannya," berkata Teng Liong, tenang. "Tetapi
Yong Ceng ialah orang yang dibela dan ditunjang Lian Keng
Giauw hingga dia bangun, pantaskah dia membunuh penunjang
dan pembelanya itu" Kalau aku tidak menuntut balas untuk
Lian Tayciangkoen, mana dapat aku melampiaskan dadaku
yang sesak ini" Di masa hidupnya, Tayciangkoen perlakukan
aku baik sekali, sudah sewajarnya aku membalas budinya itu.
Apa yang lain orang anggap atau bilang, aku tidak ambil
perduli!" Hoa Seng berpikir: "Orang bilang Co Coh pun mempunyai
sahabat karibnya, itulah benar." Maka ia menatap orang she
Kat itu dan berkata: "Bukankah Yong Ceng itu telah
terbinasakan Lu Soe Nio" Kau membilang hendak menuntut
balas, bukankah sakit hati itu sudah terbalas?"
"Memang Yong Ceng sendiri telah terbinasakan akan tetapi
negara kita ini masih tetap dikangkangi oleh kaum keluarga
Aisin Gioro!" seru Teng Liong.
Mau atau tidak, semangatnya Hoa Seng terbangun.
"Bagus," ia pun berseru. "Aku tidak sangka kau, pahlawannya
Lian Keng Giauw, dapat bersuara sebagai orang gagah kaum
kang-ouw! Baiklah, jikalau kau hendak membalas sakit hatinya
bangsa Han, untuk mengusir bangsa asing itu, urusanmu ini
aku tak akan campur tahu lagi! Tapi tentang bocah ini, kau
harus membawanya dia pulang kepada ibunya, tunggu sampai
ia sudah dewasa, kita nanti membiarkan dia pilih jalannya
sendiri! Kau akur atau tidak?"
Teng Liong cuma berpikir sebentar ketika ia memberikan
jawabannya: "Baiklah! Mengingat budi ini hari sudah
menolongi kami berdua, suka aku menurut perkataanmu."
Di mulut Teng Liong mengucap demikian, sebenarnya citacitanya
beda dengan cita-citanya orang gagah kaum kang-ouw
seperti dimaksudkan Koei Hoa Seng. Dia justru hendak
menggunai puteranya Lian Keng Giauw ini untuk
memberontak, buat memenuhkan cita-citanya sendiri menanjak
tinggi. la melihatnya Tong Leng cerdas sekali, hendak ia
mendidiknya hingga orang dapat digunai sebagai perkakas.
Maka itu, tanpa jerikan capai lelah dan kesengsaraan, ia
membawanya si bocah ke perdalaman ini.
Koei Hoa Seng sendiri berpikir: Orang ini bersemangat, benar
kesetiaannya terhadap Lian Keng Giauw ada kesetiaan tolok,
tetapi ia mencintai negara, dia dapat dihargai juga." Ia hanya
tidak tahu orang sebenarnya kouw-katie, mementingkan diri
sendiri saja. "Baiklah," ia berkata, kata-katanya seorang ksatria ......."
"Bagaikan kuda pesat dicambuk satu kali!" Teng Liong
menyambuti. Hoa Seng tertawa terbahak-bahak.
"Bagus, aku percaya kau!" katanya. "Sekarang kau antar bocah
ini pulang ke rumah keluarga Tong, nanti aku menulis sepucuk
surat untuk Tong Jie Sianseng, akan menjelaskan padanya dan
supaya dia tidak menyalahkan kau."
Di situ ada sehelai kulit kambing yang ditinggalkan orang
Tibet, Hoa Seng pungut itu, untuk dijadikan kertas istimewa, di
atas itu ia mencoret-coret dengan ujung pedangnya, menulis
surat untuk Tong Jie Sian?seng itu. Kat Teng Liong
menyambuti surat itu, untuk disimpan dengan rapi di dalam
bajunya, tetapi sementara itu, ia sudah menetapkan pikiran
lain........ Hoa Seng hendak segera menotok bangun kepada Tong Leng
ketika ia ingat suatu apa, lantas ia menundah niatnya itu.
"Bukankah barusan kamu omong tentang suatu Kota Iblis?"
katanya. "Bagaimana makanya kamu kena keracunan hingga
pingsan?" "Ya, kita pernah menyebut tentang Kota Iblis itu," menyahut
Teng Liong. "Mengenai kota itu, sudah beberapa kali aku
mencoba membuat penjelidikan, saban-saban aku gagal.
Sebabnya ialah aku tidak berani mendatanginya sampai dekat,
aku melainkan sampai di puncak di depan itu di mana aku
hanya mendampinginya. Adalah kali ini yang aku mencoba
datang lebih dekat, atau mendadak kena cium angin yang
berdesir, yang baunya beda, lalu kami pingsan."
Hoa Seng heran.
"Benar-benarkah ada itu Kota Iblis?" ia menegaskan.
"Setiap orang Tibet di sini dapat berbicara tentang Kota Iblis
itu, aku tadinya menyangsikan," Teng Liong mengutarakan
pikirannya. "Aku sebaliknya mau menduga di sana ada
berdiam satu atau lebih orang yang liehay. Selama
memandangi dari puncak, gunung itu, satu atau dua kali pernah
aku melihat mengepulnya asap yang mumbul ke atas, atau
kapan muncul angin hebat, dari sana terdengar itu suara yang
beraneka-ragam yang mendenjutkan jantung ?"?"
"Aku pun telah mendengarnya suara aneh itu," Hoa Seng
membenari. Mendengar hal angin aneh itu, pemuda ini tidak terbangkit rasa
herannya, tidak demikian dari halnya asap. Ada asap mesti ada
api. Dari mana asalnya api itu"
"Apakah kau melihatnya di dalam gunung itu ada kotanya?" ia
menanya. "Tadi malam aku telah mencoba memasuki lembah itu,"
menjawab Teng Liong. "Samar-samar aku melihatnya di
puncak gunung satu menara bundar yang ujungnya lancip,
belum lagi aku melihat tegas, datanglah sambaran angin
dengan baunya yang luar biasa itu, lalu kami tidak ingat apaapa
lagi sampai sekarang kau menyadarkan kami."
"Mestinya Kota Iblis itu aneh," pikir Hoa Seng. "Mesti ada
rahasianya. Di mana sekarang aku telah tiba di sini, tidak dapat
aku tidak melihatnya?"" Ia lantas mengulur tangan
kanannya, menotok sadar pada Tong Leng.
Bocah itu mendusin untuk terus membuka matanya. Ia mengasi
lihat roman girang kapan ia menyaksikan Hoa Seng dan Teng
Liong berdiri berhadapan tanpa sikap bermusuh lagi, bahkan
bersahabat. "Paman, adakah kamu berdua telah mencapai perdamaian?"
tanya ia tertawa.
"Sebenarnya pamanmu itu tidak bermusuh apa-apa denganku,"
menyahut Teng Liong. "Setelah sekarang semua jelas, tentu
sekali dia tidak bakal membikin susah pada kami!"
Sengaja Teng Long menyahut "kami." Di depan si bocah, ia
hendak mengesankan itu dengan tajam. Ia hendak mengambil
simpatinya bocah ini, supaya dia lebih rapat dengannya dan
sebaliknya menjauhkan si orang she Koei.
"Paman Koei, kau sungguh seorang baik!" kata Tong Leng
girang. "Bukankah kau tidak hendak mencegah lagi aku
membalaskan sakit hati ayahku?"
Kembali Hoa Seng mengerutkan kening. Dengan perlahan ia
berkata: "Yang benar dan yang keliru, yang baik dan yang
busuk, tidak gampang-gampang untuk membedakan itu.
Seorang yang berlaku baik terhadapmu belum tentu umum
menganggap baik juga. Untuk mendapat tahu perbuatan sendiri
tepat atau tidak, kita mesti mencoba mendengar suaranya orang
banyak. Sudahlah, apa yang aku katakan sekarang belum tentu
kau dapat tangkap artinya, maka itu baiklah kau pulang, disana
kau dapat menyesuaikan kakek dan ibumu. Lewat lagi
beberapa tahun, dengan kecerdasanmu, setelah kau dewasa,
kau nanti mengerti jelas."
Tong Leng pepat hatinya. Ia benar-benar kurang mengerti.
"Pulang-pergi kau toh menyuruhnya aku pulang ke rumah?"
katanya kemudian, suaranya nyaring.
Teng Liong segera mengedipi mata.
"Anak Leng, pamanmu ini bermaksud baik," ia berkata cepat.
"Mari kami berangkat sekarang. Dengan kau mengikuti aku,
aku tanggung tidak akan keliru."
Orang she Kat ini sudah lantas menuntun tangannya anak itu.
Koei Hoa Seng mengawasi orang berlalu melintasi lembah
hingga mereka tak nampak lagi. Sejenak ia merasa, tidaklah
sempurna akan membiarkan bocah itu mengikut Teng Liong.
Akan tetapi ia sendiri tengah pesiar di Tibet ini, tidak leluasa
untuknya mengajak-ajak bocah itu. Bukankah Teng Liong
berjanji mengantarkan Tong Leng pulang"
Habis beristirahat sebentar dan menangsal perut dengan
rangsum keringnya, di waktu mana matahari sudah silam di
barat dan sang rembulan mulai muncul di timur, pemuda ini
segera berangkat ke arah yang dikatakan orang Tibet sebagai
Kota Iblis ?""
Setelah melintasi serintasan padang rumput, di sebelah depan
jalan gurun pasir. Syukur gurun itu luasnya cuma belasan lie
sekitarnya, tidak terlalu lama, dapatlah dilalui. Habis itu
kembali padang rumput.
Berjalan sampai tengah malam maka di depan Hoa Seng
nampak gunung Nyenchin Dangla. Ia terus memasuki lembah
yang mirip terompet. Sekarang ia melihat aliran es malangmelintang
di atas gunung, di tengah malam seperti itu, sinarnya
rada kebiru-biruan muda.
Tengah pemuda ini memandang, tiba-tiba kupingnya
mendengar guruh angin hebat. Benar saja angin itu membawa
bau halus yang luar biasa, hingga ia merasakan kepalanya
sedikit pusing, ia seperti kantuk ingin tidur. Karena ia insaf,
lekas-lekas ia mengeluarkan soat-lian, ia bawa itu ke
hidungnya untuk menyedot bernapas. Cepat sekali, lenyap rasa
pusing dan kantuknya itu. Maka ia bertindak terus, tanpa
menghiraukan angin yang meniup makin keras. Sekarang pun
ia mendengar pula suara aneh yang ia dengar tadi siang.
Benarlah, suara itu aneh dan banyak ragamnya, seperti yang di
siang hari, bahkan kali ini lebih dahsyat lagi.
Hoa Seng menutup kupingnya, ia jalan maju di lamping bukit.
Sinar rembulan terang, ia dapat melihat dengan nyata. Maka
terlihatlah di tembok gunung itu banyak sekali liang-liang
kecil, yang mirip dengan sarang tawon. Selagi ia
memperhatikan itu, tiba-tiba ia mendengar suara ting tong ting
tong di bawahan kakinya, seperti lagu tetabuan ?""
Sekonyong-konyong pemuda ini tertawa sendirinya.
"Ha, kiranya inilah sumber suara aneh yang terbawa angin itu!"
katanya dalam hati.
Semasa di Thian San di mana ia pesiar kelilingan, Hoa Seng
pernah mendengar juga suara semacam ini yang datangnya dari
bawah gunung. Mulanya ia heran, sesudah meneliti, tahulah ia sebabnya atau
asal dari mana suara itu datang.
Di sekitar apa yang dinamakan nadi gunung dari gunung Thian
San itu ada kedapatan bukit es yang besar sekali, karena gempa
bumi, gunung yang tinggi di bagian belakang longsor,
menindih bukit es itu, lalu hari ketemu hari, es itu lumer
sendirinya, maka dengan lumemya es, terjadilah tanah
gerohong, kosong. Di tempat yang kosong itu air es mengalir
memperdengarkan suara. Inilah suara yang berirama sebagai
musik atau sebagai tindakan kaki, demikian rupa suara itu,
hingga dapat mengejutkan hati orang yang baru pertama kali
mendengarnya. Sambil meneliti pelbagai liang itu yang mirip sarang tawon,
sambil menempel kupingnya di beberapa liang, yang besarkecilnya
tak rata, Hoa Seng mendengar suara yang disebabkan
siuran angin. Suara itu berbeda-beda. Liang itu sudah terjadi
karena sampokan pasir yang terbawa angin dahsyat, sedikit
demi sedikit, akhirnya menjadi pelbagai liang. Serangan angin
menjadi lebih hebat karena lembah itu panjang dan sempit.
Penduduk gurun pasir atau padang rumput, yang cupat
pandangannya, yang terpengaruh takhjul, tidak berani mencari
tahu sebab-sebabnya suara itu, dengan gampang saja mereka
menduga kepada sepak terjang iblis, tidak heran kalau mereka
jadi ketakutan.
Walaupun segala apa telah menjadi terang baginya, Hoa Seng
masih heran dan bercuriga karenanya. Kenapa di situ ada orang
bertinggal berumah-tangga" Apakah maksudnya orang berdiam
di dalam lembah itu" Mungkinkah di dalam gunung itu benar
ada kotanya" Bukankah soal Kota Iblis itu telah lama
tersiarnya " mungkin semenjak dulu kala"
Maka makin bernapsulah pemuda ini hendak menyelidiki.
Bagus untuknya, angin pun telah berhenti, jadi ada terlebih
leluasa untuk ia mendaki dengan perlahan-lahan. Beberapa
puncak telah dapat dilewati. Setelah itu tibalah ia di suatu
tempat, yang mirip dunia lain.......
Di hadapannya sekarang terbentang tanah datar di mana ada
sisa-sisa genting dan tembok, reruntuhnya kuil-kuil satu
menara yang telah lama ambruk dan lainnya. Maka teranglah
itu suatu bekas kota tua. Hanya apa yang aneh, segala reruntuh
itu seperti bekas dikumpulkan " seperti juga belum terlalu
lama ada orang yang telah mengumpulkannya.


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoa Seng melalui bekas kota tua itu. Dari situ ia memandang
ke atas gunung. Segera ia menampak sesuatu yang terlebih
mengherankan. Di atas gunung itu ada sebuah, menara putih
yang utuh, tingginya belasan tombak. Di samping menara itu
ada dua petak rumah dengan wuwungannya bundar mirip
dengan daun teratai. Itulah rumah yang modelnya beda dari
kebanyakan rumah bangsa Tibet.
Di sebelah itu masih ada dua rumah lainnya, yang
mendatangkan cahaya berkilau, entah dari bahan apa
dibuatnya. Dari tempat jauh, taklah itu dapat dilihat tegas,
melainkan bisa diduga, itu bukannya rumah dari jaman dulu
kala, bahkan itu adalah bangunan baru.
Koei Hoa Seng tidak mempercayai adanya Kota Iblis tetapi toh
ia merasa aneh.
Ada rahasia apakah di atas gunung itu"
Oleh karena nyalinya yang besar, pemuda ini berjalan terus,
sampai tiba-tiba hidungnya merasakan angin yang membawa
semacam bebauan harum semerbak, walaupun ia menyiapkan
soat-lian, matanya sedikit berkunang dan hatinya rada goncang.
Ia lantas memasang matanya.
Sekarang terlihat di sana banyak sekali pohon bunga, yang luar
biasa, yang warnanya merah, putih dan biru, di terangnya sinar
rembulan, indah sekali dipandangnya.
Sambil mengemu dua lembar soat-lian, Hoa Seng bertindak di
antara pohon-pohon bunga itu. Karena ini tahulah ia, bau
harum yang terbawa angin itulah bau harum dari bunga-bunga
ini. Ia menghentikan tindakannya, untuk memandangi semua
bunga itu, yang berada di sekitarnya.
Tidak lama atau mendadak ia mendengar suara tindakan kaki
orang. Ia menjadi sangat heran. Dari antara pohon-pohon
bunga itu, ia mengintai. Ia lantas menampak tiga orang. Orang
yang pertama adalah seorang pahlawan yang mengenakan
pakaian serba hitam, yang berewoknya panjang seperti jenggot
kambing gunung. Dia ini memimpin, atau diikuti dua lhama,
atau pendeta Tibet, yang berpakaian serba putih. Mereka lagi
berjalan menuju ke arahnya. Si pahlawan bertubuh besar dan
kekar, melihat romannya, dia bukannya orang Tibet.
Hoa Seng pun memperhatikan dua lhama baju putih ini.
Di Tibet, agama lhama itu terbagi dalam tiga golongan.
Sebelum jaman kerajaan Ceng, yang berkuasa ialah lhama
golongan Merah. Di jaman Ceng, golongan Kuning yang
dijadikan agama negara. Kemudian golongan Merah ini tak
memperoleh kemajuan tetapi diijinkan tetap di Tibet. Golongan
yang ketiga ialah golongan Putih. Pemimpin tertinggi dari
golongan Lhama Putih ini dipanggil hoat-ong atau raja agama
atau buddha hidup.
Di jaman kerajaan Beng, golongan Putih dan golongan Merah
sama kedudukannya dan oleh Kaisar Beng Thay-couw pernah
dianugerahkan kehormatan sebagai Koan-teng Kok Soe, ialah
Guru Negara, serta dihadiahkan firman untuk menguasai ketiga
golongan. Pada masanya Kaisar Cong Ceng di akhir kerajaan
Beng, Dalai Lama V dari golongan Kuning bersama-sama
Panchen Lama IV telah meminjam pasukan perang dari Kushih
Khan, kepala suku bangsa lainnya. Selama seratus tahun lebih,
golongan Putih ini tidak pernah berani meninjak pula tanah
daerah Tibet. Oleh karena ketiga agama itu terbedakan warna jubah mereka,
teranglah kedua lama berbaju putih ini adalah dari golongan
Putih. Karenanya, Hoa Seng menjadi berpikir.
"Kedua golongan Putih dan Merah adalah musuh-musuh besar,
kenapa mereka ini, berani menyelundup masuk ke mari?"
demikian pikirnya.
Lantas juga ia mendengar suaranya si pahlawan pakaian hitam
itu: "Putera raja kami mendengar kabar kedatangannya utusan
dari Hoat-ong, dengan sengaja ia datang ke mari untuk
melakukan penyambutan dengan segala kehormatan. Juga ada
beberapa touwsoe yang bakal turut datang ke mari. Ha ha!
Inilah jodoh yang langka, pertemuan yang sukar
didapatkannya!" (Touwsoe ialah kepala suku).
Koei Hoa Seng menjadi semakin heran.
"Putera raja siapakah itu?" tanya ia pada dirinya sendiri.
"Kalau dia putera raja Tibet, mengapa dia tidak menjanjikan
pertemuan di Lhasa hanya di ini gunung yang penuh
keanehan?"
Pula suara kaku bahasa Tibet dari si pahlawan baju hitam itu
mendatangkan kecurigaannya pemuda ini.
Kedua lhama Putih itu mengucapkan beberapa kata-kata akan
tetapi karena mereka sudah berjalan semakin jauh, katakatanya
itu tidak terdengar nyata. Mereka jalan mendaki, lalu
tak lama, Hoa Seng tidak melihat lagi tubuh mereka bertiga.
Ketika ia hendak keluar dari tempatnya sembunyi, tiba-tiba ia
menampak seorang lhama Putih datang sambil berlari-lari,
ketika dia hampir sampai di pohon bunga itu, mendadak saja
dia roboh terguling, sampai sekian lama, dia tak bangun pula,
mungkin dia pingsan.
Untuk sejenak Hoa Seng melengak, atau segera ia sadar.
"Mengertilah aku sekarang," katanya dalam hati. "Dua lhama
Putih yang pertama itu mempunyai obat pemunah, dia ini tidak,
maka dia roboh karena dapat mencium harumnya bunga di sini.
Kenapa dia tidak mempunyainya" Kenapa dia tanpa pengantar
jalan" Ini pun aneh!"
Segera pemuda kita, berlompat keluar dari tempatnya
sembunyi. Ia melihat si lhama Putih dalam keadaan bagaikan
orang mabuk, sifat keracunannya sama benar dengan sifatnya
Kat Teng Liong dan Tong Leng.
Kat Teng Liong berdua ro?boh baru saja mereka tiba di
lembah," Hoa Seng berpikir, "dia ini roboh setibanya di depan
pohon bunga, inilah menandakan kemahiran tenaga dalamnya."
Oleh karena ia mengandung maksud, Hoa Seng masuki dua
lembar soat-lian ke dalam mulutnya lhama Putih itu, setelah
mana, ia menantikan.
Tidak lama, sadarlah pendeta Tibet itu, bahkan segera ia
berlompat bangun. Tapi lantas saja ia menjadi gusar, dalam
bahasanya, bahasa Tibet, ia mendamprat.
"Ha, kau menggunai ilmu siluman apa?" ia menegur, yang
mana dibarengi sama melayangnya tinjunya.
Hoa Seng menangkis. Ia lantas merasakan tenaga orang yang
besar. Ia sebenarnya hendak mengajukan pertanyaan, atau
lhama itu menghentikan serangannya, bahkan dia berdiri
menjublak, mengawasi orang yang diserangnya itu. Sebab dia
mengenali, orang adalah orang Han.
"Eh, kau siapa?" ia menanya, tinjunya ditarik pulang.
Hoa Seng tidak menjadi gusar atau tidak senang, ia malah
tertawa. "Tanpa aku, sampai sekarang kau masih belum sadar!''
katanya. "Kau siapa?"
Lhama itu berdiam. Ia pun heran karena ia merasakan
mulutnya mengemu dua lembar bunga teratai. Ketika juga ia
melihat bunga-bunga dengan warna-warna biru, putih dan
merah itu, ia terkejut, hingga ia keterlepasan berkata: "Ah,
kiranya ini bunga asura! Cuma di dalam kitab aku mengetahui
bunga ini, tidak kusangka di sini aku dapat menenemukannya!
Kau siapa" Mengapa kau begini pandai hingga kau dapat
menolongi aku?"
"Aku hanyalah orang Han biasa," menyahut Hoa Seng sabar,
"cuma kebetulan saja aku membawa soat-lian asal gunung
Thian San dengan apa aku dapat menyembuhkanmu. Inilah
tidak ada artinya. Kenapa ini bunga asura membuatnya kau
kaget sekali?"
"Kau tidak tahu, itulah sebabnya kau heran," menyahut si
pendeta Tibet. "Asura itu dalam bahasa Sangsekerta berarti
iblis, maka bunga ini dinamakan juga bunga iblis. Dalam kitab
Kerajaan Buddha, kalau bunga asura sedang mekar, siapa kena
mencium baunya, dia sama juga menemui iblis, dia akan segera
roboh pingsan. Sekarang terbuktilah keterangan kitab itu.
Bunga ini cuma terdapat di puncak es yang paling tinggi, tetapi
sekarang orang menanamnya di sini, sungguh si penanam
pandai sekali! Eh, kau sebenarnya siapa" Bukankah kau
orangnya mereka itu?"
"Siapa mereka itu?" Hoa Seng balik menanya. "Kau sendiri
siapa?" Pendeta itu nampaknya heran sekali.
"Kau tidak tahu siapa mereka itu?" katanya. "Habis perlu apa
kau datang ke mari?"
"Aku berniat mencari tahu tentang Kota Iblis," Hoa Seng
menjawab. "Kota Iblis... Kota Iblis..." pendeta itu kata tak tegas. "Kota
Iblis?" "Benar. Orang Tibet menyebutnya tempat ini Kota Iblis."
Lhama itu tertawa.
"Di dalam Kota Iblis ada bunga iblis, ah, pantaslah di sini ada
rombongan iblis pada menari!" katanya. "Kalau begini, kau
benarlah bukannya orang mereka itu. Karena kau bukannya,
baiklah kau lekas-lekas pergi turun gunung!"
Koei Hoa Seng menggeleng kepala.
Pendeta itu menatap.
"Jikalau kau tidak pergi, mungkin kau dapat menolong aku
tetapi aku tidak nanti dapat menolongmu!" katanya sungguhsungguh.
"Lekas pergi, lekas!"
Hoa Seng heran melihat orang demikian sungguh-sungguh. Ia
bersenyum. "Baiklah, sebentar lagi aku akan berlalu secara diam-diam,"
sahutnya. Justru itu ada melayang segumpal mega hitam, yang menutupi
si rembulan sisir, dan angin pun mulai menderu pula. Melihat
demikian, pendeta Tibet itu lantas lari mendaki.
Menggunai saat cuaca gelap itu, Hoa Seng lari menguntit.
Hanya, ketika selang tak lama mega hitam lenyap dan langit
menjadi terang pula, si pendeta sudah nampak lagi.
Hoa Seng mencari tempat untuk menyembunyikan diri, dari
situ ia memandang ke arah depan. Ia mendapat kenyataan, ia
telah sampai di depannya menara putih tadi.
Menara itu luar biasa mo?delnya. Bagian bawahnya
merupakan kuil persegi. Di dalam kuil ada sebuah menara
tinggi yang di bawahnya, di empat penjuru tembok luarnya,
ada diukirkan dua buah mata masing-masing, di atas mata ada
alisnya, dan di bawah mata ada benda seperti hidung, mirip
dengan tanda tanya?"
Bangunan semacam ini belum pernah Hoa Seng melihatnya,
pula belum pernah ia membacanya di dalam buku apa juga.
Dua rupa bangunan yang bercahaya gemerlapan, yang tadi ia
melihatnya dari jauh-jauh, letaknya di samping menara putih
ini. Di muka menara ada dua pahlawan berbaju hitam, yang
berdiri berhadapan, yang berjalan maju ke depan masingmasing,
setibanya mereka hingga dekat satu pada lain,
sebelumnya bersamplokan, lantas mereka berhenti bertindak,
untuk membalik tubuh, buat berjalan balik ke tempat dari mana
tadi mereka mulai berangkat, hingga mereka jadi berjalan
sambil saling membaliki belakang. Tempat mereka berangkat
semula ialah di ujung kuil. Demikian mereka jalan bulak-balik
secara lucu itu. Teranglah mereka tengah meronda di situ.
Sesudah mengawasi sekian lama, Hoa Seng lantas bekerja. Ia
menunggu sampai orang mulai berbalik, dengan pesat ia
berlompat tinggi melewati kepala mereka itu, untuk menaruh
kakinya di samping bangunan yang terang berkilau itu. Ia
berlompat dengan ilmunya "Burung belibis putih menyerbu
langit." Ketika ia meraba dengan tangannya kepada bangunan
itu, ia merasakan hawa yang dingin.
Maka, tahulah ia sekarang, rumah itu terbuat dari es yang
keras. Rumah yang satunya lagi tidak demikian dingin, akan tetapi
ketika ia bawa jari tangannya ke mulutnya ia merasakan sari
asin. Jadi inilah rumah yang terbuat dari garam kristal.
Hoa Seng heran berbareng lucu.
"Kota Iblis ini benar-benar luar biasa," pikirnya. "Tempatnya,
rumahnya, dan orangnya, semua aneh-aneh!"
Dari tempat di mana ia berdiam, pemuda ini memandang
kepada dua orang ronda tadi. Kebetulan mereka sampai di
ujung dan belum membalik tubuh, ia lantas berlompat pula.
Kali ini ia lompat naik ke menara putih, di tingkat pertama. Di
sini ia menyembunyikan diri di payon pojok, untuk
memandang ke bawah di antara genteng beling di wuwungan
kuil. Di dalam pendopo ada sebuah patung Buddha yang besar
sekali, tingginya beberapa tombak. Di depan patung itu ada
berdiri seorang dari usia pertengahan yang romannya bengis,
sebab dia bermata celong, berhidung bengkung, rambutnya
teriap hingga ke pundaknya, sedang bajunya ialah jubah merah
yang besar yang ditabur dengan mutiara. Di kedua sampingnya,
sebaris ada sejumlah pendeta, sebaris yang lain ialah
rombongan boe-soe atau pahlawan. Ketika itu kebetulan ada
tiga orang Tibet, yang dandan sebagai pembesar, tengah
menghunjuk hormat kepada orang yang romannya bengis itu.
Seorang pendeta, yang berjubah hitam, terdengar berkata:
"Utusan dari Raja Shaka, utusan dari Raja Lungchan, dan
utusan dari Raja Atung, menghadap kepada Pangeran!"
Dengan "pangeran" itu diartikan putera raja.
03. Persekutuan Pangeran Nepal
Koei Hoa Seng lantas berpikir.
"Ah, kiranya dialah si putera raja. Dilihat dari roman dan
dandanannya, dia bukan miripnya orang Tibet. Dia putera raja
dari manakah?" Sia-sia ia menerka.
Putera raja ini dan itu beberapa pendeta, bahasa Tibetnya
lancar sekali. "Sama sekali aku tidak mengharapi pembalasan budi,"
terdengar si putera raja. "Maksudku yang utama ialah
membantu dengan sungguh-sungguh kepada ketiga raja kamu
supaya bisa menjadi raja-raja jago seperti perapian kaki tiga di
Tibet ini! Asal kamu melayani baik-baik utusanku, di belakang
hari aku pun akan mengirim pasukan perang untuk membantu
kamu. Adakah raja kamu telah mengerti?"
"Sudah, sudah mengerti," menyahut ketiga pembesar Tibet itu.
"Kita datang ke mari memang istimewa untuk membuat
perjanjian dengan tuan pangeran."
Putera raja itu, yang dipanggil tuan pangeran, tertawa lebar.
Pendeta yang terdepan lantas menghampirkan dengan
membawa cawan tengkorak yang memuat arak darah, dengan
hormat ia mengangsurkan itu kepada si putera raja, siapa
menyambutnya, untuk diangkat tinggi seraya ia berkata-kata
dengan nyaring dalam bahasa Tibet, maksudnya : "Meminum


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sisa arak kamu adalah satu kehormatan, apakah kamu sudi
meluluskannya?"
Hoa Seng mendengar kata-kata itu tetapi ia tidak menangkap
artinya yang benar, rnaka itu ia terus memasang mata.
Utusan dari Hoan-ong atau Raja Shako, lantas mengangguk, ia
menyambuti cawan arak dari putera raja itu, ia mengirupnya
secegluk. Habis itu si anak raja menyambuti pulang cawan itu,
untuk ia pun meminumnya.
Setelah itu cawan, dengan bergantian, diangsurkan kepada
utusan-utusan dari Raja Lung-than dan Raja Atung, yang
masing-masing minum seperti utusan dari Shaka, dan si putera
raja pun meminumnya bergiliran seperti bermula tadi.
Di akhirnya putera raja itu tertawa terbahak.
"Mulai saat ini dan selanjutnya, kita adalah seperti satu
keluarga!" katanya nyaring. "Lebih dulu aku akan mengirim
orangku untuk mendidik pasukan perang kamu."
Sampai di sini barulah Hoa Seng sadar. Jadinya mereka ini
baru saja menjalankan upacara perserikatan menurut cara
bangsa Han, yaitu dengan minum arak tercampur darah. Si
utusan yang minum lebih dulu, baru si putera raja, demikian
mereka bergantian.
Setelah minum arak darah, ketiga utusan mengundurkan diri ke
tempatnya masing-masing.
Belum lama, pendeta-pendeta di kedua samping mengasi
dengar suaranya: "Utusan Hoat-ong tiba!"
Mendengar itu, putera raja berbangkit dengan air muka berseriseri,
ia sendiri yang menyambut utusan itu, ialah utusan hoatong
atau raja agama.
Yang datang itu adalah si pahlawan berbaju hitam, yang
memimpin kedua pendeta lama Putih tadi. Nampak nyata,
putera raja itu menyambut kedua utusan hoat-ong ini lebih
hormat daripada perlakuannya terhadap ketiga utusan hoanong.
Sambil membungkuk, putera raja membalas hormatnya kedua
utusan Lhama itu.
"Adakah Hoat-ong sehat-sehat saja?" dia menanya,
"Dengan berkah perlindungan Buddha kami, Hoat-ong kami
sehat tak kurang suatu apa," menyahut kedua utusan itu sambil
menjura. "Selama beberapa tahun ini Hoat-ong telah meninggalkan
tanah suci, hal itu membuatnya hatiku tidak tenteram," berkata
pula putera raja. Ini pun sebabnya kenapa sekarang aku
bersedia menyambut Hoat-ong kembali ke Tibet. Mengenai
maksudku ini yang setulusnya, mengertikah Hoat-ong?"
Pendeta lhama yang pertama menyahuti, katanya : "Tuan
pangeran berkenan melindungi Agama kami, atas itu bukan
main bersyukurnya Hoat-ong, maka juga kami sekarang diutus
datang ke mari untuk menyampaikan ucapan terima kasih
beserta sekalian mengikat janji."
Mendengar ini, kembali Hoa Seng terkejut. Ia ingat bahwa
sudah semenjak seratus tahun yang belakangan ini di Tibet
telah terjadi kekacauan agama, sebab pelbagai golongan saling
berebut kekuasaan, hingga karenanya pernah terjadi beberapa
kali pertempuran. Kalau sekarang juga agama Putih dari
Cenghay hendak kembali ke Tibet, untuk melakukan
penyerbuan, tidakkah itu berarti bencana perang terlebih hebat
pula" Kembali terdengar tertawa nyaring dari putera raja itu. Ia
mengangkat cawan tengkoraknya, ia mengucapkan pula katakatanya
tadi dalam bahasa Tibet, ialah meminta supaya si
utusan lama ini minum arak perserikatan itu lebih dulu, bahwa
ia sendiri akan meminum sisa arak.
Utusan lama yang menjadi pemimpin itu menyambut cawan
arak istimewa itu, untuk meminumnya, ia membungkuk
dengan hormat, akan tetapi belum lagi pinggiran cawan itu
nempel sama bibirnya, mendadak pahlawan-pahlawan di kedua
pinggiran pada mengasi dengar bentakan-bentakan yang
berisik. "Siapakah itu yang datang?" putera raja menegur dengan
bengis. "Kenapa kau berani lancang memasuki kuil yang suci?"
Koei Hoa Seng segera menoleh, akan melihat siapa itu si
lancang, yang seperti tidak menghormati tempat suci. Segera ia
mengenali si pendeta Lhama Putih, yang tadi ia tolongi hingga
sadar dari pingsannya. Dia ini membawa tongkatnya, tongkat
Kioe-hoan Sek-thung, sembari mengangkat itu tinggi-tinggi, ia
memperkenalkan dirinya dengan nyaring : "Akulah Maskanan
utusan dan Hoat-ong Agama Putih!"
Keterangan ini membuat terperanjat pendeta-pendeta dan
pahlawan-pahlawan di kiri dan kanan, mereka lantas
mengawasi dengan mata mendelong.
Si putera raja pun mengkerutkan keningnya.
"Utusan Hoat-ong berada di sini sekarang!" ia berkata. "Kau
sendiri siapa maka kau berani memalsukan diri mengaku
utusannya Hoat-ong?"
Utusan lhama Putih ini mengibaskan tongkatnya Kioe-hoan
Sek-thung itu. Di ujung tongkat itu ada dua renceng mutiara
terbikin dari emas, dengan dikibaskan, terdengarlah suara
mutiara itu nyaring. Sambil berbuat begitu, dia angkat
kepalanya dan tertawa, hingga karenanya di lehernya nampak
tergantungnya sebuah patung Buddha emas yang kecil, yang
memperlihatkan sinar bergemerlapan. Dia pun berkata pula
dengan nyaring: "Di sini ada bukti-bukti dari barang-barang
suci milik Hoat-ong, adakah aku memalsukannya?"
Kedua pendeta lhama yang pertama menjadi heran sekali.
"Kenapa Hoat-ong pun mengirim kau ke mari?" mereka tanya.
Tidaklah heran kalau mereka ini berdua menjadi bingung.
Merekalah orang-orang kepercayaannya Hoat-ong, diutusnya
mereka ke Kota Iblis ini untuk membuat persekutuan adalah
secara rahasia, yang mengetahuinya cuma berbatas dengan
beberapa orang. Di samping itu Maskanan, dalam Agama
Putih, kedudukannya sangat rendah, dia pun bukannya sebagai
pelindung, menurut pantas, dia tak berhak mengetahui urusan
rahasia itu, maka aneh, dia sekarang mengaku menjadi utusan
serta pun memegang bukti-bukti itu tongkat dan patung emas
mungil. Putera raja menyaksikan kebingungan kedua utusan lhama itu,
ia mengerti pada itu mesti ada sebabnya yang baru, entah
perkembangan apa itu, tetapi ia cerdik dan tabah, tahulah ia apa
yang ia mesti lakukan. Maka juga ia tertawa.
"Bagus!" katanya nyaring. "Hoat-ong telah menambah
perutusannya, itu menandakan bagaimana pentingnya urusan
kita ini! Bukankah kau datang untuk memperkuatkan ikatan
kita" Nah, silahkan minum araknya!"
Dengan arak, putera raja ini maksudkan arak campur darah itu.
Ia pun menyebutnya itu tetap dalam bahasa Tibet seperti tadi.
Kedua matanya Maskanan berputar, tanpa sungkan-sungkan ia
mengulur tangannya, akan menyambuti cawan arak tengkorak
itu. Setelah ia memegangnya, bukannya ia bawa cawan itu ke
mulutnya, hanya dengan tiba-tiba ia menghajarnya dengan
tangannya yang sebelah lagi.
Maka tak ampun, cawan itu pecah-hancur dan araknya
berhamburan. Ia pun berseru: "Perserikatan apakah yang
hendak dibikin" Hoat-ong justru menitahkan kamu untuk lekas
kembali, supaya kamu jangan bercampuran sama segala kaum
sesat!" Kedua utusan yang datang lebih dulu itu menjadi kaget, dari
bingung mereka menjadi gusar, airmuka mereka berubah.
"Benarkah Hoat-ong menitahkan begini?" menegaskan yang
satu. "Kau bernyanyi besar!" membentak yang lain. "Surat titahnya
Hoat-ong berada ditanganku! Bukankah kau main gila dengan
titahmu ini?"
"Kau membawa titahnya Hoat-ong yang mana?" Maskanan
tanya. "Kau ngaco!" membentak pendeta yang ditanya itu.
"Memangnya ada berapa Hoat-ong" Aku membawa titahnya
Hoat-ong ke-XV!"
Tapi Maskanan menjawab nyaring: "Hoat-ong ke-XV itu sudah
mengundurkan diri, dia sudah menyerahkan kedudukannya!
Sekarang ini aku mendapat tugas dari Hoat-ong ke-XVI!"
Di dalam kalangan ketiga agama Lhama di Tibet, yaitu
Golongan Merah, Kuning dan putih, cuma golongan Putih yang
mempunyai aturan menyerahkan kedudukan Hoat-ong kepada
penggantinya. Meski begitu adalah aneh, generasi yang ke-XV
ini, yang sedang makmumya, secara mendadak sudah
digantikan oleh generasi ke-XVI. Maka itu, kalau mulanya
mereka kaget dan heran, kedua Lhama itu menjadi murka.
Mereka lantas menduga kepada duduknya hal.
"Bagus betul!" mereka berseru. "Jadinya kamu kawanan iblis,
kamu sudah memberontak merampas kedudukan Hoat-ong
kami! " Tuan pangeran, utusan ini utusan yang palsu!"
"Kamu berdualah yang palsu!" Maskanan pun membentak.
Putera raja berdiri di pihak dua Lhama yang pertama. Ia
tertawa dingin.
"Tak usah ditanya lagi, segala apa sudah menjadi terang!"
katanya. "Utusannya Hoat-ong mana berani berlaku kurang
ajar dan mengacau di ini tempat suci?" Habis berkata, ia lantas
mengibaskan tangannya.
Melihat tanda itu, kedua lhama berikut si pahlawan baju hitam
sudah lantas bergerak, hampir berbareng mereka menubruk
lhama yang mereka tuduh utusan palsu itu.
Hebat Maskanan, ialah yang ditubruk, tetapi ia juga yang turun
tangan terlebih dulu. Dengan sebat ia menangkis kedua lhama
penyerangnya, sambil menangkis ia menghajar demikian hebat,
hingga seketika itu juga robohlah dua penyerang itu, roboh
dengan pingsan.
Si pahlawan jadi gusar sekali, sambil berseru ia menghunus
goloknya yang berupa mirip bulan sisir, dengan itu ia lantas
membabat batang lehernya si lhama.
Maskanan tidak berkelit, ia hanya menangkis dengan tongkat
kebesaran di tangannya. Kedua senjata bentrok nyaring, ujung
tongkat kebangkol golok, lelatu apinya berhamburan. Dengan
cepat ia menarik pulang tongkatnya, untuk membalas
menyerang, maka lagi sekali dua senjata beradu.
Hebat akibatnya dua kali bentrokan itu. Baik tajamnya golok,
maupun ujung tongkat, dua-duanya gompal dan kentop.
Si pahlawan menjadi penasaran agaknya. Ia menarik pulang
goloknya, begitu sebat ia menarik, begitu sebat juga ia
membacok pula. Goloknya itu menyambar ke bawah.
Maskanan tidak takut, ia mainkan tongkatnya untuk membuat
perlawanan. Maka dahsyatlah pertempuran mereka ini, anginnya tongkat
dan golok seperti turut saling menyambar.
Koei Hoa Seng, yang menyaksikan pertempuran itu, berkata di
dalam hatinya: "Goloknya pahlawan berbaju hitam ini beroman
luar biasa tetapi ilmu silatnya tidak ada bagian-bagiannya yang
istimewa, adalah ilmu tongkat dari Maskanan, benar-benar
bukan sembarang ilmu, gerakannya sangat cepat dan tangkas,
mirip dengan ilmu silat tongkat Hok Mo Thung-hoat."
Hok Mo Thung-hoat ialah ilmu silat tongkat Menakluki Iblis.
Dugaannya Hoa Seng tepat sekali. Setelah lagi beberapa jurus,
sambil berseru Maskanan telah menyampok golok lawannya
sampai terlepas dari cekalan dan mental melayang!
Si putera raja mengasi dengar suara "Hm!" dan terus
mengatakan sesuatu. Ia bukannya omong Tibet tetapi katakatanya
tidak terdengar nyata. Atas itu seorang pendeta asing
yang berdiri di paling muka muncul dari dalam barisannya.
"Letaki tongkat itu untukku!" ia berkata nyaring kepada
Maskanan. Ia maju dengan bertangan kosong.
Maskanan tidak sudi menyerahkan, bahkan ia mendongkol.
"Kalau kau bisa, kau ambillah!" bentaknya. Ia tidak takut,
bahkan ia lantas putar tongkatnya itu mengurung si pendeta
asing, yang berjubah kuning.
Pendeta itu tertawa dingin. Ia tidak membilang apa-apa lagi,
ketika ia mengasi kerja kedua tangannya, tongkatnya
Maskanan lantas kena dipancing, berbareng dengan mana,
lengannya pun digempur.
Bagus bersilatnya pendeta ini, dan sebat gerakannya itu. Ia pun
membangkitkan kekagumannya Hoa Seng.
Sekarang terlihat tegas, kalau tongkat Maskanan dimainkan
dengan tenaga luar, yaitu keras, tangannya si pendeta lama
Kuning bergerak dengan tenaga dalam, yang lemas. Belum ada
setengah jam, perbedaan mulai terlihat. Yaitu si pendeta lhama
Putih mulai mengeluarkan keringat dan gerakan tongkatnya tak
secepat mulanya.
Menyaksikan perubahan itu, Hoa Seng bergelisah sendirinya.
Inilah sebab simpatinya berada di pihaknya si pendeta Putih.
Lalu terlihat si pendeta Kuning memutar tangannya, mirip
dengan gerakan tipu-silat Tionghoa "Hoay tiong pauw goat,"
yaitu "Merangkul rembulan." Ujung tongkatnya Maskanan
lantas saja kena disambar.
Hoa Sang terkejut. Ia percaya tongkat itu bakal kena dirampas.
Maskanan sendiri tidak kaget karenanya. Dengan sebat ia
menggentak tongkatnya itu, menggeraki kaget kepala tongkat.
Atas itu dengan tiba-tiba terlihat menyambarnya dua buah sinar
kuning berkilau. Dari kepala tongkat itu melesat dua renceng
mutiara emas, yang merupakan senjata rahasia yang luar biasa.
Pendeta Kuning itu kaget bukan main, benar ia keburu
melepaskan tangannya kepada tongkat lawan seraya berkelit
juga, akan tetapi datangnya serangan hebat sekali, sebutir
mutiara mengenai juga matanya, hingga ia lantas menjerit
keras sambil menutupi mukanya.
Si putera raja menjadi sangat gusar, ia geraki tangannya akan
memberi tanda. Atas ini kedua baris pendeta dan pahlawan
maju semua, untuk mengurung si pendeta Putih yang liehay itu.
Maskanan memutar tongkat sucinya hebat sekali, lalu beberapa
puluh mutiaranya menyambar-nyambar, akan tetapi hasilnya
itu tidak seberapa, cuma beberapa orangnya saja yang terluka.
Inilah disebabkan kecuali orang sudah bersiap sedia, di antara
mereka tidak sedikit orang-orang yang liehay.
Oleh karena terkepung rapat, biarnya ia gagah sekali,
Maskanan segera terbacok dua kali dan pundaknya pun terhajar
satu kali tangannya si lhama Kuning. Dia ini sangat
mendongkol dan gusar karena sebelah matanya terhajar
mutiara hingga buta, dari itu tetap ia mendesak dengan sengit.
Mengetahui ia terancam bahaya, habis menyerang dengan
senjata rahasianya itu, Maskanan menggunai ketika untuk
berlompat keluar dari kuil, guna menyingkirkan diri. Akan
tetapi musuhnya penasaran, si lhama Kuning terus mengejar, di
belakangnya menyusul dua orang lain.
Lhama Kuning ini liehay sekali, tubuhnya sangat lincah,


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaikan melayang di udara, ia menyambar ke arah lawannya
dengan satu lompatan pesat, atau sekejab saja tangannya yang
besar sudah menjambak ke punggungnya Maskanan.
Lhama Putih itu juga tidak kurang liehaynya, dia merasakan
datangnya sambaran angin, untuk membela diri, dia tidak
berkelit atau lari terus, hanya, sebat luar biasa, tongkatnya
menyerang ke belakang!
"Aduh!" demikian jeritannya si lhama Kuning, menyusuli
mana dia roboh terguling.
Maskanan heran hingga ia tercengang.
"Kenapakah dia jatuh?" pikirnya. "Tongkatku toh belum
mengenai tubuhnya" Mustahilkah Sang Buddha telah
membantui aku?"
Selagi ia berpikir demikian, dua kali ia mendengar jeritan
susulan, dan dua lhama lain pengejarnya roboh saling-susul
seperti si lhama Kuning itu.
Dalam sesaat itu, riuhlah keadaan karena dari dalam kuil semua
orang memburu keluar, untuk turut mengejar, tetapi setibanya
di luar, mereka semua heran dan kaget akan menyaksikan
robohnya tiga lhama itu. Tidak seorang jua yang melihat
bagaimana robohnya mereka.
Dalam saat itu maka terdengarlah satu seruan nyaring sekali.
Maskanan terperanjat, matanya seperti kabur ketika ia
menampak berkelebatnya dua bayangan bagaikan awan merah
yang melesat ke arahnya, sesudah ia melihat tegas, ia
mengenali si putera raja serta seorang lhama Merah. Ia
terperanjat karena ia tahu betul dua orang itu liehay sekali.
Lama Merah itu sudah lantas mengasi lihat kepandaiannya.
Ketika ia menyambar dengan tangan bajunya, Maskanan lantas
terpelanting jungkir balik!
"Tinggallah Kioe Hoan Sek-thung padaku!" si putera raja
berseru sambil menggeraki tangannya, untuk menyambar
gelang emas di kepala tongkat suci dari si lhama Putih.
Berbareng sama serangannya pangeran ini, dua kali terdengar
suara sambaran angin disusul sama teriakan keras dari si
pangeran, agaknya dia telah mendapat luka, akan tetapi
walaupun demikian, dia berhasil merampas tongkat itu.
Menyusul si putera raja ini adalah merangsaknya seorang
lhama Merah, yang dengan sebat sekali telah melakukan
penyerangannya, karena mana, Maskanan merasakan
kepalanya pusing dan matanya kabur, lalu sejenak itu juga,
tubuhnya pun dirasakan menjadi enteng sekali, bagaikan orang
angkat tengteng dibawa terbang di atas mega.
Pendeta lhama Putih ini tidak tahu bahwa dia telah disambar
Koei Hoa Seng, untuk dibawa kabur, sedang ketiga lhama
Merah tadi pun terhajar ini penolongnya yang tidak dikenal
olehnya. Putera raja itu melihat ada pertolongan untuk si lhama Putih,
segera dia berkaok-kaok, terus sambil memperdengarkan
suaranya itu, dia berlompat naik ke menara guna menyusul.
Hoa Seng menjadi heran. Tadi ia telah menotok pangeran itu,
siapa tahu sekarang dia masih dapat bergerak dengan leluasa.
Oleh karena ini, sambil sebelah tangan mengempit Maskanan,
dengan tangannya yang lain ia menyerang, menyambuti
pangeran itu, untuk mengundurkan dia.
Putera raja itu diserang Hoa Seng dengan tangan kiri, hebat
serangan itu, tidak perduli dia tangguh sekali, dia kena juga
tertolak mundur hingga jatuh turun dari atas menara.
Selagi pangeran itu roboh, seorang lhama Merah berlompat
sampai, dengan lantas dia melakukan penyerangan. Sudah
kepalang, Hoa Seng menyambutnya juga. Dengan begitu,
tangan mereka bentrok satu pada lain. Hanya sedetik, tubuh si
pendeta Tibet itu terhuyung-huyung. Atas ini dia mengeluarkan
suara luar biasa dan nyaring, jubahnya digeraki seperti
menungkrap kepala!
Hoa Seng berlompat untuk menyingkir, tetapi ia tidak dikasi
hati, ia lantas disusul dan diserang si lhama Merah itu, yang
jubahnya liehay sekali. Tentu sekali ia kena didesak. Ia pun
lagi mengempit satu orang yang sedang pingsan.
Sekarang mereka berada di tingkat kedua.
Lhama Merah yang liehay itu menekan payon, ia berlompat ke
tingkat ketiga dari menara itu, dengan begitu ia jadi berada di
sebelah atas, dan dengan berada di atas, leluasa sekali ia
menungkrap dengan jubahnya yang merah api. Ketika ia
menyerang pula, dari bawah berkelebat suatu sinar putih
bagaikan kilat.
Sinar itu disebabkan Koei Hoa Seng terpaksa menghunus
pedangnya, pedang Theng-kauw-kiam, atau si Ular naga. Inilah
pedang warisan ayahnya, Koei Tiong Beng. Dengan pedang itu
Tiong Beng telah mengangkat nama hingga ia menjadi salah
satu di antara tujuh jago pedang dari Thian San. Pedang adalah
pedang mustika, dan tenaga dalam dari Hoa Seng mahir sekali,
maka itu tak perduli si lhama Merah liehay luar biasa, jubahnya
toh kena juga disontek hingga menjadi berlubang dua.
Lhama itu gusar sekali, ia berseru, ia menyerang pula. Ia
menggunai dua tangannya berbareng.
Hoa Seng belum tahu siapa pendeta ini, ia tidak mau
sembarangan melukakan, maka itu ia mainkan pedangnya di
muka orang, untuk membikin silau mata orang, karena mana, si
pendeta menjadi menubruk tempat kosong. Ketika ini digunai
dengan baik. Dengan ujung pedang, dada si pendeta ditowel,
tetapi ini pun sudah cukup untuk membuat pendeta itu roboh
dari tingkat ketiga itu.
Hoa Seng tertawa nyaring dan panjang, dengan menggendong
Maskanan ia lari ke muka menara, untuk berlompat turun, akan
dari situ lari terus menuju ke puncak gunung.
Di atas gunung ada mega dan puncak-puncak bersalju, dengan
rembulan bersinar indah, pemandangan di situ sebenarnya
mentakjubkan, akan tetapi untuk Hoa Seng, tidak ada ketikanya
guna mengicipi keindahan alam itu. Sambil terus menggendong
Maskanan, ia lari terus. Sesudah sekian lama, napasnya mulai
sengal-sengal juga. Ia berdiri diam seraya memandang ke
bawah. Bagaikan di bawahan kakinya, Kota Iblis itu, yang
tertutup mega, nampak wuwungan menaranya saja. Disebelah
atas, puncak gunung tak nampak sama sekali.
Sekarang sempat Hoa Seng memeriksa Maskanan. Lhama ini
masih pingsan, nadinya berjalan keras, bukan tandanya ia
terluka di dalam, bukan juga disebabkan totokan. Ia menjadi
heran. Lalu ia membawanya pula berjalan sekian lama, hingga
ia tiba di satu bagian tempat yang hawanya luar biasa, yaitu
hawa dingin tercampur dengan hawa hangat. Ia maju lagi
sedikit, sampai ia melihat satu selat yang mirip paso. Di situ
ada sumber air, yang terus memuntahkan air mancur, ialah air
hangat yang terbawa angin, pantas tadi Koei Hoa Seng
merasakan hawa dingin-dingin hangat itu.
Di bawah sinar rembulan, air mancur itu nampak bagus.
Berada di dekat sumber hawa ada terlebih hangat. Hanya apa
yang aneh, di dekat situ, di mana ada es, ada tumbuh juga
sejumlah pohon bunga yang indah, yang entah apa namanya.
"Kalau mereka menyusul aku, untuk tiba di sini, mereka
memerlukan waktu sekian lama," Hoa Seng berpikir. "Baiklah
aku beristirahat di sini ?".."
Ia bertindak ke samping air mancur itu, di situ ia letaki tubuh
Maskanan. Ia mencoba memeriksa dengan seksama. Pendeta
itu tetap pingsan, tak ketahuan lukanya. Ia, mencoba mengasi
orang membaui soat-lian, ini pun tidak ada hasilnya. Jadi orang
bukan terkena racun.
Heran juga Hoa Seng, ia menjadi berpikir keras. Tidak ada
jalan lain, terpaksa ia mencoba menyalurkan tenaga-dalamnya
dengan jalan mengurut perlahan-lahan di sekitar jalan darah
thian-kie-hiat. Menurut kitab "Tat-mo Cin-Keng," inilah jalan
untuk menolong diri dari totokan bagaimana liehay juga.
Benar saja, Hoa Seng berhasil.
Selang sekian lama, Maskanan sadar. "Oh, kiranya kaulah yang
menolongi aku!" ia berkata : "Sekarang kau lekas melancarkan
jalan darahku yang tertutup!"
Sambil berkata, lhama ini menggeraki tubuhnya tetapi ia tak
dapat bergeming.
"Apa itu jalan darah yang tertutup?" tanya Hoa Seng. "Di mana
adanya itu?"
"Aku tidak tahu," menjawab Maskanan. "Kalau aku tahu, tidak
nanti aku minta bantuanmu. Coba kau menotok seperti cara
ilmu totok kamu."
Luas pengetahuannya Koei Hoa Seng tetapi ia tetap tidak
mengerti. "Apakah kau pernah pelajarkan ilmu menutup jalan darah
tengah malam dan tengah hari?" Maskanan tanya pula.
Hoa Seng menggeleng kepala. Tapi ia meminta keterangan.
Maka tahulah ia, ilmu itu mulanya dari Eropah, lalu masuk ke
Arabia dan dari Arabia ke India dari mana terbawa terus ke
Nepal dan lainnya, hanya setibanya di India, ilmu itu dicampur
sama ilmu yoga. Maskanan ketahui ilmu itu dari raja agamanya
yang sekarang. Ilmu itu mirip sama ilmu Tionghoa, cara
bekerja dengan mengikuti sang waktu (jam), dengan begitu
darah bisa ditutup dan dialirkan seperlunya. Celakanya
Maskanan ketahui itu tetapi tidak mampu menggunainya.
Sebisanya Hoa Seng mencoba menolongi tetapi tidak ada
hasilnya, bahkan napas si lhama Putih menjadi terasakan sakit.
"Sudahlah, tidak ada daya lagi..." kata Maskanan akhirnya
sambil tertawa menyeringai, karena ia rela. Justru ia berkata
begitu, justru sebuah batu kecil menyambar padanya, hingga ia
menjadi kaget sekali. Ia tidak dapat bergeming, ia tidak bisa
berkelit. Tapi begitu ia kena tertimpuk, begitu juga ia menjerit
dan lompat mencelat, di saat mana pulihlah kesehatannya.
Koei Hoa Seng heran sekali.
"Ha, kiranya kau mengerti!" kata Maskanan sambil menarik
tangan orang, sedang Hoa Seng sebenarnya hendak menggeser
tubuhnya. "Kau membohongi aku, kau sengaja hendak
membikin aku ketakutan tidak keruan!"
Pendeta Putihh ini menyangka Hoa Seng karena ia tidak tahu
dari mana datangnya sambitan batu kecil itu.
Hoa Seng lompat naik ke atas tumpukan es, akan melihat
kelilingan. Ia hanya mendapat pohon-pohon bergoyang,
daunnya rontok terbawa angin. Di situ tidak ada orang lain,
tidak ada bayangannya juga.
"Hebat ilmu menimpuknya orang itu," ia berpikir. "Dengan
timpukan dia dapat menotok jalan darah dengan tepat sekali.
Siapakah dia" Dia juga bertubuh sangat ringan, hingga dalam
sedetik saja dia dapat menyingkirkan dirinya..."
"Eh, kau lagi melihat apa?" Maskanan menanya. "Apakah ada
musuh mengejar kita?"
Hoa Seng lompat turun, ia menggelengkan kepala.
Sampai di sini, keduanya lantas belajar kenal satu dengan lain.
"Nah, sekarang dapatlah kau memberi keterangan padaku!"
kemudian kata Hoa Seng tertawa. "Sebenarnya mereka itu
orang-orang macam apa?"
"Putera raja itu ialah putera raja Nepal," menyahut Maskanan
dengan terus terang. "Yang lain-lainnya ada rombongan
pendeta dan pahlawannya."
Hoa Seng terkejut.
"Kalau begitu, besar sekali angan-angannya putera raja itu!"
katanya. "Memang. Katanya dia bukan putera mahkota hanya
keponakan dari raja Nepal, disebabkan raja itu tidak punya
turunan, dia dipungut menjadi putera. Tapi dia menghendaki
lekas-lekas menduduk takhta kerajaan, dari itu dia
menghimpun komplotan. Dia mempunyai pahlawan-pahlawan
bangsa Arabia dan Eropah juga, sedang antara tetamutetamunya
ada orang-orang liehay dari kalangan Brahmana.
Untuk memperkuat kedudukannya, dia bermaksud mendirikan
jasa di luar negaranya, ialah dia hendak membasmi dan
merampas Tibet, untuk dijadikan jajahannya."
"Kalau demikian, tidaklah heran dia telah memilih tempat luar
biasa ini sebagai sarangnya!" berkata Hoa Seng kagum.
04. Peniup Seruling di Kota Iblis
"Menurut cerita, Kota Iblis ini asalnya ialah sebuah kota tua,"
Maskanan menerangkan. "Sang tempo membuatnya kota jadi
seperti sekarang ini, di depannya ada gurun pasir, di
belakangnya ada gunung es. Karena suara-suara aneh yang
terbawa angin itu, yang terdengarnya selalu di waktu malam,
penduduk sini takut datang ke bekas kota tua ini, bahkan
mereka membilangnya inilah Kota Iblis. Itulah si pangeran
Nepal yang membangun rumah, kuil dan menara putih itu. Dia
berdiam di sini sudah semenjak beberapa tahun, maka
kecewalah pembesar-pembesar pemerintah Boan, mereka tidak
mendapat tahu apa-apa!"
"Dia berkonco sama beberapa hoan-ong, dia pun mencoba
membujuk kaum agama Putih kami menerjang kembali ke
Tibet." Berkata Hoa Seng, "inilah ketikanya yang baik untuk ia
menangkap ikan dalam air keruh!"
"Hanya raja agama kami yang sekarang tidak kena
terpedayakan!" kata Maskanan, yang menjelaskannya terlebih
jauh. Nyatalah di dalam kalangan Lhama Putih pun ada terdapat dua
golongan Hoat-ong, atau raja agama, yang lama adalah kaum
kolot. Dia bercita-cita merampas Tibet dengan cara kekerasan,
dari itu tak segan dia berserikat sama pangeran Nepal itu. Dia
bersedia meminjam tenaga asing untuk mencapai maksudnya
itu. Sebaliknya adalah cita-cita raja agama yang sekarang, yang
baru. Dia berasal hoat-soe, guru agama, tugasnya ialah
mengurus kitab-kitab dan surat-surat, dalam kedudukan, ia
cuma berada di bawahan hoat-ong, tetapi karena pandai ilmu
surat, dari sebuah kitab kuno, ia dapat mempelajari ilmu silat
yang liehay. Karena ia pun mengerti Bahasa Sangsekerta dan
Nepal, bahkan dia pernah berziarah ke tanah suci di India, dia
jadi dapat sejumlah pengikut.
Beda dari raja agama yang lama, dia justru ingin membuat
pembicaraan sama pihak agama Kuning yang berkuasa di Tibet
itu. Karena sikapnya ini, dia disebut partai baru, beda dari
kaum kolot. Karena ada itu pertentangan tujuan, kedua kaum
jadi bentrok. Partai baru ketahui sepak terjang kaum kolot, hendak dia
menghalang-halanginya. Tapi kaum kolot bekerja terus, dia
mengirim utusannya kepada pangeran Nepal. Karena ini, di
hari kedua dari dikirimnya si utusan, oleh partai baru ia
disingkirkan. Maka kejadianlah Maskanan diutus dengan
tugasnya ini. Hoa Seng senang pada pihak agama Putih ada orang sadar
seperti itu hoat-ong yang baru, maka itu ia lantas menawarkan


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaganya kalau itu dibutuhkan.
"Jikalau kau sudi membantu, tuan, aku sangat bersyukur,"
menyahut Maskanan menghela napas. "Aku telah menjalankan
tugasku, aku merasa beruntung yang aku berhasil mencegah
dibikinnya perjanjian di antara mereka itu, tetapi di samping
itu, aku menyesal sekali karena aku telah kehilangan
tongkatku. Itulah suatu malu besar untukku. Mengenai ini, aku
mesti lekas memberikan laporan kepada Hoat-ong. Kalau tuan
suka membantu, harap tuan tolong mewakilkan aku pergi ke
Lhasa menghadap kepada Buddha Hidup Dalai Lama,
kepadanya tuan tuturkan segala peristiwa di sini sekalian
menyampaikan cita-cita kami."
"Kabarnya Dalai Lama dan Panchen Lama itu tidak biasa
menemui sembarang orang," berkata Koei Hoa Seng
Maskanan mengangguk. Ia meloloskan patung Buddha kecil di
lehernya. "Kau bawalah ini sebagai tanda kepercayaan," ia berkata.
"Dengan kepandaian yang kau punyakan, kau dapat masuk
secara diam-diam ke dalam istana Potala."
Ia menyerahkan patung Buddha emas itu.
Hoa Seng menyambuti patung itu. Tengah ia mengangkat
kepalanya, ia mendapat lihat sejumlah bayangan orang di dua
arah selatan dan utara mereka. Ia berkata sambil tertawa :
"Lihat di sana, dapat juga orang-orangnya si pangeran Nepal
mencari kita ?".!"
Belum berhenti suaranya orang she Koei ini atau mendadak
suara nyaring terdengar di samping mereka, dari jatuhnya batu
besar yang digelindingkan dari sebelah atasan mereka. Sebab
di atas situ ada orangnya si pangeran Nepal, yang melihat
mereka, dan orang itu segera menyerang dengan batu besar itu.
"Sungguh jahat!" seru Hoa Seng dengan murka. Ia menarik
Maskanan, untuk diajak lompat menyingkir. Syukur mereka
tidak terluka. Ketika itu tertampak munculnya seorang pahlawan dengan
pakaiannya serba hitam. Rupanya dialah yang tadi membokong
dan sekarang beraksi untuk membokong terlebih jauh.
"Baiklah!" Hoa Seng tertawa " tertawa mendongkol. ,,Kau
pun rasai batuku ini!"
Ia menjumput sebutir batu, dengan dua jari tangannya ia
menyentilkan itu, maka melesatlah batu itu, menyambar ke
arah si pahlawan. Dia tidak menyangka suatu apa, dan umpama
kata dia ketahui, dia pun tidak menduga batu bisa disentilkan
jauh dan tinggi sampai belasan tombak. Dia baru kaget ketika
tahu-tahu serangan itu mengenai tepat padanya, bahkan segera
dia roboh terguling.
Di situ ada beberapa pahlawan lain, melihat kawannya itu
roboh, mereka tidak berani turun untuk mengejar, mereka cuma
mengulangi serangan mereka dengan batu gunung. Maka itu
nyaringlah suara batu itu jatuh tak hentinya ke bawah gunung.
"Inilah hebat," berkata Hoa Seng kemudian. "Mereka itu
menyerang kita sambil berbareng memberikan tanda kepada
kawan-kawannya. Pula, kalau terus-menerus mereka
menyerang secara begini, gunung es pun bisa longsor!"
Memang juga, musuh masih menyerang terus.
Hoa Seng omong dari hal yang benar. Belum lama, atau
potongan es yang besar telah meluncur ke bawah. Kejadian itu
biasa, hanya sekarang jatuhnya es dipercepat jatuhnya banyak
batu besar itu. Es itu pun bisa longsor kalau ada angin dahsyat
atau bumi gempa. Celakalah siapa kena ketimpa dan keuruk
longsoran es itu.
Sebab tidak dapat membuat perlawanan, Hoa Seng ajak
Maskanan berlari-lari menyingkir dari ancaman bahaya itu.
Mereka kelit sana dan kelit sini. Ia merasakan sulit karena ia
pun mesti melindungi Maskanan, yang kesehatannya belum
pulih betul. Serangan batu oleh kawanan pahlawan pangeran Nepal itu
membawa akibat hebat. Dengan sendirinya serangan itu seperti
merupakan gempa bumi. Meluncurnya es menjadi terlebih
dahsyat. Dalam keadaan yang sangat mengancam itu, tiba-tiba kuping
Hoa Seng mendengar mengalunnya suara seruling yang
terbawa angin, walaupun suara jatuhnya es berisik sekali, suara
seruling itu tetap terdengar nyata. Ia menjadi heran sekali.
"Hebat orang itu," pikirnya. Sudah terang peniup seruling itu
mempunyai tenaga dalam yang istimewa. Di sebelah itu,
lagunya pun luar biasa, sedap sekali bagi telinga. Itulah lagu
orang Kanglam, yang untuk di tapal batas adalah lagu yang
langka, bahkan Hoa Seng belum pernah mendengarnya selama
ia merantau. Sebentar kemudian, lagu itu membawa perubahan, dari halus
menjadi nyaring, dari nada lemah-lembut menjadi
bersemangat, hingga Hoa Seng merasa darahnya tegang.
Pula yang aneh, setelah terdengar suara seruling, timpukan batu
menjadi berkurang secara perlahan. Hanya selang sedikit lama,
riuhlah terdengar jeritan kawanan pahlawan " jeritan
kekagetan. Habis itu, lalu sirap dan tenanglah gunung es itu.
Sebab turunnya es pun berhenti.
Masih lewat lagi sekian lama, Baru terdengar suara nyaring
dari arah Kota Iblis. Itulah suaranya genta dalam kuil.
Maskanan kenal suara itu.
"Itulah tanda mereka mengumpul kawan," ia bilang.
Benar pembilangannya pendeta Putih ini, suaranya disusul
sama suara panggilan di sana-sini, ialah suara pahlawanpahlawan
itu saling memanggil mengajak pulang.
Lagi sesaat, sirap juga suaranya sekalian pahlawan itu, maka
tenanglah lembah sebagaimana tadinya.
"Sungguh aneh," kata Maskanan kemudian. "Kenapa mereka
agaknya jeri terhadap suara seruling itu?"
Hoa Seng tengah berpikir, ia berdiam saja.
Maskanan menghela napas.
"Sebenarnya di tengah jalan pun pernah satu kali aku
mendengar suara seruling seperti tadi," ia menambahkan sesaat
kemudian. "Ketika itu kebetulan aku mendapat lihat dua orang
menyusul aku. Merekalah dua pendeta yang dandanannya luar
biasa sekali. Sebenarnya aku berniat mempergoki mereka,
supaya mereka tak usah main sembunyi-sembunyi lagi, untuk
sekalian menghajar mereka itu, atau mendadak terdengarlah
suara seruling itu, yang datangnya dari arah padang rumput.
Cuma suara itu tak sepanjang dan selama kali ini. Begitu
mendengar suara seruling, kedua pendeta itu lantas lari
menghilang. Bukankah barusan, karena seruling itu, semua
pahlawan musuh tidak menyerang terlebih jauh?"
Hoa Seng heran. Ia telah banyak pendengar dan
pengalamannya, tetapi belum pernah yang seaneh ini. Benarbenar
ia tidak mengerti, percuma saja ia kerjakan otaknya
untuk menduga-duga ?".
"Mereka takut akan suara seruling itu." kata Hoa Seng setelah
berpikir sejenak, "justru di Kota Iblis itu orang membunyikan
genta, sekaranglah waktunya untuk kau menyingkirkan diri.
Nah, kau pergilah!"
"Kau sendiri?" tanya Maskanan.
Orang yang ditanya bersenyum.
"Aku masih memikir untuk mencoba menyelidiki Kota Iblis,"
sahutnya. "Bahkan aku mengharap sekali nanti ada ketika atau
jodohnya untuk bertemu dengan si peniup seruling itu."
Maskanan mengangguk,
"Baiklah, akan aku pergi," katanya. Ia mengulangi pesannya,
lalu ia mengucap terima kasih dan berlalu.
Hoa Seng mengawasi kepergian pendeta Putih itu, lalu ia lari
kembali ke kuil tadi, yang si putera raja Nepal menyebutnya
tempat suci. Ia berlari-lari dengan ilmunya ringan tubuh.
Sekarang la mendapat kenyataan pintu kuil ditutup rapat dan
penjaganya pun tidak ada barang satu jua.
Tanpa bersangsi ia lompat naik ke atas menara, di undak
pertama. Di sini kembali ia sembunyikan diri di bawah payon
ujung, maka itu, ia bisa mengintai pula ke dalam kuil dengan
perantaraan genteng kaca di wuwungan kuil.
Di sana nampak si putera raja tengah berbicara sama sekalian
pendeta dan pahlawannya. Dia mengerutkan kening, suatu
tanda dia tengah berduka. Teranglah mereka lagi
membicarakan urusan penting. Karena mereka bicara dalam
bahasa Nepal, tak mengerti Hoa Seng akan pembicaraan
mereka itu tentulah mengenai suara seruling tadi.
Tidak lama terdengarlah tiga kali suara suitan, yang sekali
panjang, yang dua kali pendek, lalu suara itu disusul sama
bunyinya suara gelang pintu, tiga kali juga, bahkan sama
lagunya, ialah sekali panjang dan dua kali pendek.
Putera raja itu mengerutkan pula keningnya, lalu ia mengasi
dengar suaranya, suara yang dalam. Yang diucapkan hanya dua
patah kata. Segera juga pintu kuil terbuka, disusul sama bertindak
masuknya seorang pahlawan pakaian hitam diikuti seorang
pendeta lhama berjubah merah yang tubuhnya tinggi besar.
Dilihat dari romannya, pendeta lhama Merah ini telah berumur
enampuluh tahun lebih, di jidatnya terlihat kisut-kisut, tetapi
walaupun demikian, mukanya bercahaya merah menandakan ia
sehat sekali dan bersemangat. Begitu berada di dalam, ia
tertawa lebar, lalu dengan bahasa Tibet, ia berkata nyaring :
"Tuan pangeran berkenan memanggil padaku, seharusnya aku
mesti datang siang-siang, sayang sekali ada sesuatu urusan
yang memperlambat aku, maka itu aka mohon sudi apakah
kiranya aku diberi maaf!"
Putera raja Nepal itu berbangkit dan kursinya, untuk bertindak
menyambut. Ia menyambutnya dengan hormat sekali.
"Adakah Siangjin baik?" dia bertanya. "Siangjin telah sudi
berkunjung ke mari, itulah menandakan kebahagiaan negaraku.
Tjhong Leng Siangjin, sudikah kau merendahkan diri akan
datang ke negaraku untuk menjabat guru negaraku yang nomor
satu?" Mendengar disebutnya nama itu, Koei Hoa Seng terperanjat.
Ayahnya, yaitu Koei Tiong Beng, semasa hidupnya, telah
merantau ke seluruh Mongolia dan Tibet, dan ayah itu pernah
menceritakan kepadanya bahwa di Tibet ada seorang pendeta
dari golongan Merah yang bernama Tjhong Leng Siangjin,
yang pandai ilmu silat Bit Cong, bahwa ilmu luar dan ilmu
dalamnya liehay sekali. Pendeta ini dapat dikalahkan le Lan
Coe, salah seorang jago wanita dari Thian San Cit Kiam,
sesudah mereka bertempur lebih daripada seratus jurus.
Dan sekarang, pendeta lama yang liehay ini diundang putera
raja Nepal itu, dan bersama dia ada utusan-utusan dari ketiga
raja Shaka serta juga utusan dari lama Putih dari Cenghay. Jadi
sungguh hebat cita-citanya pangeran ini.
Pendeta lhama Merah itu, ialah Tjhong Leng Siangjin,
merangkap kedua tangannya.
"Sekarang ini golongan Kuning yang memegang tampuk
pimpinan," berkata dia, "maka itu meski benar golonganku
tidak dapat berbuat dengan merdeka, aku toh tidak leluasa
untuk meninggalkan jauh-jauh negara kita."
"Itulah bukannya suatu keberatan, Siangjin," berkata pangeran
Nepal itu membujuk. "Memang benar sekarang ini agama
Siangjin belum dipilih untuk menjadi agama negaraku, akan
tetapi jikalau Siangjin sudah datang ke negaraku itu, dapatlah
Siangjin menyebar itu di antara rakyatku. Tidakkah itu bagus"
Dengan begitu, di belakang hari pun bakal ada ketikanya untuk
Siangjin kembali ke negaramu!"
Mendengar begitu, Tjhong Leng berpikir. Tiba-tiba ia
berpaling, untuk dengan sepasang matanya yang tajam
menyapu semua orang di kiri-kanannya, ialah rombongan
pahlawan dan pendeta lama itu. Cuma sejenak, lalu ia tak dapat
menyembunyikan wajahnya yang menandakan putus asa.
Menyaksikan kelakuan orang itu, Hoa Song heran.
"Apakah di sini tidak ada Bapak Daud?" Tjhong Leng
menanya pula. "Negaraku kecil, tidak dapat kami mohon dia berdiam di
Nepal, maka itu dia telah pergi ke Mekkah," sahut pangeran
itu. "Apakah Liong Yap Taysoe dari India pun tidak datang?"
"Liong Yap Taysoe pernah datang pada tahun yang sudah ke
ibukotaku, Katmandu," menjawab pula si pangeran, "maka itu
mungkin dia bakal datang pula lain tahun."
"Sayang," berkata Tjhong Leng. "Aku tinggal di tempat sunji
belukar, pendengaranku sedikit, tetapi toh aku tahu Bapak
Daud itu ialah jago nomor satu untuk wilayah Arabia, sedang
Liong Yap Taysoe, pernah aku sendiri menemuinya di New
Delhi pada belasan tahun yang lalu ketika aku berziarah ke
sana. Di dalam ilmu silat, dia mahir sekali, dari itu bersama
Bapak Daud, aku percaya dia dapat menandingi si wanita tuabangka
she Ie itu!"
Hoa Seng tertawa di dalam hatinya mendengar disebutnya si
"wanita tua-bangka she Ie," sebab ia tahu betul, siapa yang
dimaksudkan. Ialah bukan lain daripada Ie Lan Coe. Ia merasa
lucu yang pendeta ini tidak ketahui, jago wanita itu sudah
menutup mata pada tujuh atau delapan tahun yang lampau, dan
dia masih saja tak melupakan kekalahannya.
Sementara itu sikapnya pendeta ini menyebabkan kecewanya
pendeta lainnya dan sekalian pahlawannya pangeran itu.
Mereka merasa bahwa mereka dipandang tak mata oleh ini
orang baru. Pangeran Nepal itu pun sudah lantas berkata: "Tidak sulit
untuk Siangjin menemui mereka berdua. Lain tahun bakal
dibikin upacara suci dari Buddha di negeriku, di ibukota
Katmandu, itu waktu tentulah mereka itu bakal datang."
Yang dimaksudkan upacara suci oleh putera raja itu ialah
sembahyang besar umum di waktu mana semua orang tak
dibedakan tingkat derajatnya, si bangsawan dan si hina, si kaya
dan si miskin, semua dipandang sama rata. Sembahyang
semacam ini pernah diadakan kaum Buddhist di Tiongkok
semasa Kaisar Liang Boe Tee dan diadakannya di kuil Tong
Tay Sie. Mendengar itu, hati Hoa Seng ketarik, hingga ia memikir untuk
pergi ke Katmandu untuk menyaksikan upacara sembahyang
besar itu. Atas kata-kata si putera raja, Tjhong Leng Siangjin menghela
napas. "Mana dapat aku menanti sampai lain tahun itu?" katanya
masgul. "Jikalau hari ini mereka berada di sini, dapat aku
meminjam tenaganya untuk mengambil serupa Benda mustika
yang sangat langka ?".."
"Mustika apakah itu?" tanya putera raja ketarik. "Di manakah
akan diambilnya?"


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendeta lama Merah itu tertawa.
"Justru di ini gunung!" sahutnya gembira. "Aku telah
menggunai tempo beberapa puluh tahun untuk mencari tahu
dan menyelidiki, baharu sekarang aku mendapatkannya, cuma
perihal kepastiannya, aku tetap masih bersangsi. Ada
kemungkinan aku keliru ?""."
Pangeran Nepal itu masgul. Bukankah orang tak sudi se?gera
menjelaskannya"
"Siangjin sudah sanggup bersabar hingga puluhan tahun, kalau
begitu baiklah Siangjin tidak usah terlalu tergesa-gesa,"
katanya kemudian. "Menurut aku, baiklah Siangjin pergi dulu
ke negeriku. Kita menanti sampai kita sudah dapat
mengundang Bapak Daud dan Liong Yap Taysoe barulah kita
datang pula ke mari untuk mencarinya."
Tjhong Leng Siangjin menggeleng kepala.
"Tidak bisa, tidak bisa!" katanya cepat. "Baiklah aku
menjelaskannya kepada tuan pangeran. Kali ini aku turun
gunung, kesatu untuk menyambut undangan tuan pangeran,
dan kedua untuk mustika itu. Hanya, begitu tiba di sini, aku
melihat sesuatu yang mencolok mataku. Rupa-rupanya ada
seorang yang pandai dan liehay yang telah datang ke mari dan
kedatangan mereka mungkin ada untuk benda mustika itu ".."
"Apakah itu yang mencurigai kau, Siangjin?" tanya pangeran
Nepal itu. Ia heran dan berkuatir.
"Bukankah tadi kamu mendengar suara seruling?" Tjhong
Leng balik menanya.
"Kenapa dia?"
"Peniup seruling itu ialah seorang yang mahir tenaga
dalamnya. Pangeran ada mempunyai tak sedikit orang liehay,
mustahil tidak ada di antaranya yang mendapat dengar suara
seruling itu?"
Mulanya terkejut, pangeran itu akhirnya tertawa.
"Belum bisa dipastikan dia datang untuk mustika itu!" katanya.
"Aku justru berkuatir dialah penentangku....."
"Tidak perduli bagaimana, mustika itu tak dapat didahului lain
orang!" berkata Tjhong Leng pula. "Biarnya mesti menghadapi
bencana besar, malam ini mesti aku pergi mengambilnya.
Maka itu, tuan pangeran, baiklah kita memikir dua daya yang
sempurna..."
Putera raja itu mengawasi.
"Apakah itu, Siangjin?" dia menanya.
"Dayaku itu ialah begini," menjelaskan si pendeta lama Merah
itu. "Lebih dulu tuan pangeran membantu aku mendapatkan
mustika itu, habis itu aku nanti membantu kau menghadapi
musuh. Tuan pangeran jangan kuatir, begitu lekas mustika itu
berada di dalam tanganku, aku bakal menjadi jago tak
tandingan di kolong langit ini!"
Hoa Seng heran, sedang pangeran Nepal itu bersangsi.
"Bagaimana aku harus membantunya, Siangjin?" dia menegasi.
"Tuan pangeran memilih satu barisan pahlawan untukku, untuk
aku yang pimpin," menyahut pendeta lhama Merah itu.
Sembari berkata, ia mengawasi pula para hadirin, kembali
nampaknya ia kecele. Kelihatan nyata ia menyesal tidak
melihat ada orang yang pandai yang berarti di antaranya, maka
ia memintanya pun karena terpaksa.
Agaknya permintaan itu berat untuk pangeran Nepal itu tetapi
ia toh meluluskannya. Untuk memilih pahlawan-pahlawannya
itu, ia bermupakatan sama si pendeta. Yang dipilih ialah
delapan pahlawan, semuanya lengkap dengan golok mereka
model bulan sisir, yang indah dan tajam sekali. Itulah golok
istimewa pahlawan Nepal.
"Biarlah aku coba," kata Tjhong Leng Siangjin tak nyata ketika
ia berlalu bersama barisannya itu.
Hoa Seng pun berpikir keras.
"Sebenarnya benda apakah itu yang dia hendak cari?" ia
menduga-duga. "Dia membilangnya mustika dan dapat dipakai
untuk menjagoi di dalam dunia ini. Tidak bisa lain, mesti aku
kuntit dia, untuk mendapatkan kepastian ?""
Meski ia sudah berpikir demikian, ia toh tidak segera pergi
menyusul si pendeta lhama Merah itu. Ia berpikir pula:
"Melihat gelagat, mungkin si peniup seruling pun bakal
muncul malam ini, maka sungguh sayang sekali apabila aku
tidak melihat dia?". Siapa tahu apabila aku dapat
kesempatan belajar kenal dengannya?"
Setelah berpikir sejenak, Hoa Seng mengambil putusan akan
berdiam dulu, akan menantikan si peniup seruling. Untuk
menyusul Tjhong Leng. bolehlah belakangan.
Seberlalunya Tjhong Leng Siangjin dan rombongannya itu,
pageran Nepal masih herbicara sama sekalian pendeta dan
pahlawannya yang lainnya itu, tetap mereka bicara dalam
bahasa Nepal hingga Hoa Seng pun tetap tidak mengerti apaapa,
hingga ia cuma bisa menduga, urusan mesti penting sekali.
Tidak lama mereka itu berunding, mendadak tertampak roman
mereka tegang sendirinya. Bahkan Hoa Seng turut merasa
tegang juga. Itulah sebab, di antara siurannya angin, kembali
terdengar suara seruling tadi. Kali ini suara seruling halus dan
jernih, bukan lagi bersemangat seperti yang pertama terdengar
tadi. Hanya kali ini, suara itu datang semakin lama semakin
dekat, sampai akhirnya tiba di muka kuil. Begitu suara seruling
berhenti, sebagai gantinya ialah ketokan pada daun pintu.
Semua pendeta dan pahlawan bungkam, mata mereka
mengawasi pangeran mereka.
Mendadak pangeran itu merogo ke sakunya, untuk
mangeluarkan serupa barang yang terus ia pakai di mukanya.
Maka segeralah ketahuan, barang itu topeng adanya. Maka di
lain saat ia terlihat cuma sepasang matanya serta bibirnya alas
dan bawah. Perbuatannya ini diturut oleh semua orang lainnya,
hingga dalam sekejab mereka semua telah menyalin wajah
mereka. Anehnya mereka semua sedia topeng, dan muka
topeng pun nampak djenaka, bagaikan badut.
"Rupanya mereka ini kenal peniup seruling itu," Hoa Sang
menduga-duga. "Mungkinkah mereka kuatir mereka nanti
dapat dikenali?"
Selagi pemuda ini menerka-nerka, suara ketukan pada pintu
terdengar pula, terdengar terus hingga pada ketukan yang ke
tigabelas kali. Sampai di situ, pangeran Nepal itu memberi
tanda dengan tangannya, atas mana pintu sudah lantas dibuka.
Segera terlihat, orang yang mengetuk pintu itu, yang sekarang
bertindak masuk, ada seorang nona muda-belia dengan pakaian
serba putih, mukanya cantik seperti bulan remaja, rambut yang
bagus teriap ke pundaknya. Potongan tubuhnya, tinggi dan
katenya setimpal sekali. Dia mempunyai kulit yang putih dan
halus, alisnya hitam dan lentik seperti dilukis. Tubuhnya pun
nampak sehat sekali. Melihat wajahnya, dia seperti orang
asing, orang Tibet, mirip juga dengan orang Han. Di matanya
Koei Hoa Seng, baik orang Han maupun orang Tibet, belum
pernah ia menemui nona secantik dia ini.
Hampir Hoa Seng tidak mau mempercayainya, nona asing ini
justru pandai memperdengarkan lagu Tionghoa, bahkan lagu
berasal Kanglam.
Tetapi keanehan tidak berhenti sampai di situ.
Sekarang terlihat kedua bibir si nona bergerak-gerak, mengasi
dengar suaranya yang halus tetapi terang, yang berlagu seperti
suara burung kuning. Hoa Seng asing untuk suara itu, suara
dalam bahasa Nepal, tetapi ia tersengsam untuk iramanya,
nadanya. Suara bicara itu berpengaruh seperti suara
serulingnya tadi.
Masih semua hadirin itu membungkam.
Mendapatkan orang berdiam saja, bukannya ia murka, si nona
sebaliknya tertawa. Maka kembali orang mendengar
tertawanya yang merdu itu. Setelah itu, ia berbicara pula, hanya
kali ini, bicaranya mengejutkan Koei Hoa Seng. Sebab si nona
menggunai bahasa Tionghoa.
"Pangeran Ngordu!" katanya nona itu, "kau tidak berani
menemui aku! Kenapakah itu" Adakah itu disebabkan segala
perbuatanmu di sini ialah perbuatan-perbuatan yang
memalukan" Baiklah, untuk melindungi mukamu, tidak suka
aku menegur kau di hadapan orang banyak ini. Sekarang, lekas
kau pulang ke negeri! Segala apa yang terjadi malam ini, aku
tidak akan uwarkan pada siapa juga."
Nona itu dapat berbicara Tionghoa, itu pun sudah aneh, akan
tetapi, masih ada lagi satu keanehannya, ialah ia bicara dengan
lidah Peking, dengan lagu suara yang menarik hati itu, cuma
cacadnya ialah tak terlalu lancar ?""..
Lain keanehan ialah si putera raja pun mengerti bahasa
Tionghoa. Koei Hoa Seng heran atas itu semua, malah keheranan ini
barulah terpecahkan setelah ia kemudian tiba sendiri di Nepal.
Sebenarnya, semenjak hikayatnya, Nepal sudah mempunyai
perhubungan dengan Tiongkok. Pendeta Fa Hsien pernah
mengunjungi Negara asing itu, dan belakangan, di jaman
dinasti Tang, pendeta Huan Tsang pun pernah pergi ke sana,
hingga kejadian bangsa Nepal mengirim utusannya demikian
pun sebaliknya. Dan di jaman Goan (ahala Mongol), Nepal
pernah mengirim delapan puluh lebih ahli pembangunan, ahli
ukir patung dan ahli petukangan ke Tiongkok, pemimpinnya
bernama Aniko, bahkan kemudian dia ini pernah memangku
pangkat menteri seperti tay?hoe atau soetouw.
Setelah itu ada perhubungan terus-menerus di antara kedua
negara, hingga kejadianlah di kalangan atas dari negeri Nepal,
siapa mengerti bahasa Tionghoa dan dapat omong dengan baik,
dia merasa bangga, sebab itu adalah suatu kehormatan.
Terutama di kalangan keluarga raja Nepal, sejak kecilnya
mereka tentu ditemani belajar oleh pelajar yang mengerti
bahasa Tionghoa.
Si nona serba putih itu menggunai bahasa Tionghoa adalah
dengan maksud hadirin lainnya di situ tidak mengerti apa yang
mereka bicarakan.
Akan tetapi si pangeran Nepal tetap membungkam.
Nona itu mengangkat tangannya ia membuat bunderan.
"Ngordu, aku telah memberikan kau satu jalan untuk mundur,"
ia berkata. "jikalau kau tidak dengar kata-kata baik, itu artinya
kau mencari malu sendiri!"
Sembari berkata. Si nona lantas bertindak di antara kedua baris
pendeta dan pahlawan itu, matanya menatap tajam kepada
setiap orang, ia agaknya seperti hendak mencari yang mana
satu si putera raja Nepal. Tepat ketika ia mendekati sebuah
patung Buddha yang besar, di depan patung itu, seorang
pendeta lhama Merah mendadak saja melakukan penyerangan,
dengan ujung jubahnya yang gerombongan ia menungkrap
kepala si nona!
Pendeta lhama ini juga mengenakan topeng akan tetapi Koei
Hoa Seng mengenali dengan baik dialah si pendeta lhama
Merah dengan siapa ia pernah bertempur. Ia terkejut
menyaksikan si nona dibokong. Ia melihat bagaimana jubah
merah itu melayang bagaikan awan merah dan anginnya
berkesiur keras.
Si nona diserang secara curang tetapi ia tidak roboh sebagai
kurban. Seperti juga ada mempunyai mata di belakang
kepalanya, sebelah tangannya diangkat, serulingnya bergerak,
untuk memapaki jubah merah itu, maka gagallah penyerangan
si pendeta. Habis itu, tanpa kepalang, si nona membalas,
menyerang beruntun hingga tiga kali.
Pertempuran tidak menjadi reda sampai di situ, bahkan menjadi
bertambah hebat. Menyaksikan si nona gagah, sekalian
pahlawan lantas turun tangan, untuk membantui si pendeta
lhama Merah. Maka riuhlah suara anginnya pelbagai macam
senjata serta bergemerlapanlah cahayanya semua senjata itu.
Dari belakang dan kiri-kanan si nona, beberapa pahlawan
menyerang dengan golok mereka, yang tadinya mereka soren
di pinggang mereka. Senjata-senjata mereka itu dilontarkan
bagaikan hoei-to atau golok terbang. Hoa Seng kaget
menyaksikan itu. Itu artinya si nona berada dalam bahaya,
sebab nona itu lagi melayani si pendeta yang kosen itu. Maka
tanpa bersangsi lagi, ia menjumput genteng, yang ia bikin
pecah lalu ia pakai itu untuk menyerang kawanan pengerojok
pembokong itu. Sayang untuknya, karena lagi sembunyi di atas payon, sebab
sebelah tangannya dipakai pepegangan, ia cuma dapat
menggunai satu tangan. Demikian enam buah golok dapat ia
robohkan, tetapi beberapa yang lain meluncur terus ke arah si
nona! Sekonyong-konyong nona baju putih ini tertawa panjang,
serulingnya menjontek. Entah tipu silat apa itu yang ia
gunakan, jubah si lama kena disontek hingga tertarik terampas,
maka dengan gerakan lebih jauh dari seruling itu, jubah itu
dapat dipakai sebagai alat penyambut semua golok selebihnya!
Sekalipun Koei Hoa Seng, ia heran dan kagum untuk tipu silat
menyambut serangan golok-golok itu, hingga ia merasa malu
sendirinya. Katanya dalam hatinya, "Kalau tahu begini, buat
apa aku usilan membantui dia ?".."
Si pendeta lhama Merah kaget bukan main karena jubahnya itu
kena dirampas, di saat itu ia tidak memikir lain daripada ingin
lekas-lekas menyingkirkan diri, akan tetapi sudah terlambat
baginya ?"..
Sangat sebat gerakannya si nona, serulingnya sudah bekerja
lebih jauh, sekarang ini untuk menjontek topeng di muka
orang, hingga pendeta itu menjadi gelagapan sebab topengnya
kena tersontek pecah!
Kembali Hoa Seng menjadi heran. Heran sebab seruling itu
kelihatan podol dan licin mengkilap tetapi di tangan si nona
menjadi seperti pisau yang tajam, sampaipun topeng itu, yang
terbuat dari kulit tebal, kena digores pecah. Di sebelah itu, kulit
mukanya si pendeta tak sampai terlukakan!
Oleh karena serangan pada topengnya itu, si pendeta lhama
kaget hingga ia berdiri tercengang. Kawan-kawannya pun
kaget hingga muka mereka menjadi pucat.
Sampai di sini, si nona tidak mengulangi serangannya, hanya ia
bawa serulingnya ke depan dadanya, untuk dilintangi, sedang
dengan matanya, yang bersinar hidup, ia menyapu mukanya
semua lawan. Kembali terjadi keanehan. Semua lawan itu, yang tadinya
bersikap garang, ketika tersapu sinar mata si nona, semua
menggigil sendirinya, semua berdiri diam saja, hingga ruang
itu menjadi sunji-senyap hingga umpamakata ada jarum jatuh,
suaranya pasti kedengaran.
Di akhirnya sinar mata si nona berhenti di muka si pendeta
lhama merah. "Too Seng Koksoe." ia berkata kepada pendeta itu, suaranya
halus, "bukannya kau berdiam di Katmandu, sekarang kau


Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang ke Tibet ini. Adakah di sini kau hendak menjiarkan
agamamu?" Pendeta lhama Merah itu, yang dipanggil Too Seng dan
katanya menjadi guru agama, tetap berdiam, hanya sesaat
kemudian, setelah menyingkirkan topengnya, ia bertindak ke
luar kuil, untuk berjalan pergi.
Di antara kawanan pahlawan Nepal itu terdengar seruan, lalu
beberapa di antaranya berlari pergi, mengikuti si pendeta lama.
Selagi kacau itu, tiba-tiba ada terdengar bunyinya panah
nyaring, entah siapa yang melepaskan. Atas itu beberapa
pahlawan bergerak pula, dengan goloknya, mereka maju.
Rupanya merekalah orang-orang kepercayaannya si putera raja.
walaupun mereka tahu mereka bakal tidak berdaya, mereka toh
mentaati titah, ialah titah yang berupa panah nyaring itu.
Ilmu Ulat Sutera 12 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Pendekar Riang 3
^