Pencarian

Kisah Para Penggetar Langit 10

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Bagian 10


seperti Cio San, bukanlah pekerjaan mudah. Karena sesungguhnya ia
sendiri bisa "terjatuh" kapan saja.
Cio San sendiri sudah benar-benar tidur. Jika ada istilah "tidur dengan perempuan", maka yang dilakukan Cio San adalah benar-benar tidur!
Kalau ada perempuan meletakkan dirinya di dalam pelukanmu dan
mengatakan ia rela memberikan apa saja yang kau minta, tentunya kau
tidak akan meminta ia untuk terlelap bersamamu. Tapi Cio San benar-benar tidur. Sedikit mendengkur pula.
Kadang-kadang perempuan yang mendapati lelaki tidur terlelap saat sedang berduaan bersamanya, akan merasa dirinya tidak berharga sama sekali.
Tapi Bwee Hua tahu, jika ia marah pada Cio San, maka seluruh rencananya akan sia-sia.
Di dunia ini hanya Cio San seorang, lelaki yang tidur mendengkur saat berduan dengannya!
Maka Bwee Hua pun memilih tidur terlelap.
Rupanya nyaman juga rasanya. Nafsu memang tidak harus kau salurkan.
Kadang-kadang justru jauh terasa lebih indah dan "manis" jika kau hanya bertatapan mata dengan kekasihmu, daripada melakukan "hal-hal"
penyaluran nafsu. Bwee Hua yang sudah berpengalaman dengan jutaan lelaki, justru baru
menemukan hal ini sekarang.
Malam semakin dingin, hujan pun semakin deras. Untunglah walaupun kuil tua ini sudah bobrok, setidaknya masih ada sedikit atap dan tembok yang melindungi. Api unggun pun sudah lumayan bisa menghangatkan mereka.
Dua orang ini tidur terlelap dengan nyaman.
Si nona punya kebiasaan. Jika tidur ia selalu tanpa busana. Oleh karena itu ia memang membuka sedikit bajunya. Walaupun tidak terbuka seluruhnya, orang masih bisa melihat betapa indah tubuh yang ia miliki. Sayangnya satu-satunya orang yang berada di sana hanya Cio San. Dan Cio San pun sudah mendengkur pula.
Wanita, ingin kecantikannya dilihat, dihargai, dikagumi, dan yang paling penting dihormati,. Jika kau bertemu wanita cantik, dan kau tidak
menatapnya sama sekali, perasaan mereka akan seperti seniman yang
karyanya tidak dihargai. Seperti pengkhotbah yang khotbahnya tidak
didengarkan. Atau seperti raja yang perintahnya tidak dilaksanakan.
Sayangnya, lelaki yang "menghormati" kecantikan wanita sungguh jarang.
Jika mereka melihat wanita cantik, biasanya lelaki hanya akan tergiur. Cara terbaik memperlakukan wanita adalah dengan memberi rasa hormatmu,
bukan menunjukan nafsumu. Niscaya dia akan menganggapmu sebagai
lelaki terbaik. Tapi ada juga sementara wanita, yang jika tidak kau perlihatkan
ketertarikanmu, mereka akan semakin tertarik kepadamu.
Maka kau harus pintar-pintar memilih langkah apa yang harus kau jalani menghadapi seorang wanita. Karena kau tidak akan pernah tahu isi hatinya.
Walaupun Cio San tidak paham ini, untunglah secara kebetulan ia
melakukannya. Bwee Hua sungguh menjadi penasaran ada lelaki yang bisa benar-benar mengacuhkannya dan benar-benar tidur mendengkur di
hadapannya. Bagi Bwee Hua ini justru menjadi tantangan menarik baginya.
Ia harus bisa menaklukkan Cio San. Apapun yang terjadi!
Toh akhirnya Bwee Hua memilih tidur juga. Memangnya dia bisa apa"
Kecantikan wanita tak akan berarti apa-apa di hadapan satu macam lelaki.
Lelaki yang sedang tidur.
Mereka tertidur beberapa lama. Sampai saat tengah malam, telinga Cio San
"membangunkannya". Bwee Hua pun tentu saja terbangun juga.
"Pakai bajumu kembali, nona" kata Cio San.
"Gelap. Bisa tolong kau pakaian?"
Ia berdiri. Bajunya awut-awutan. Rambutnya pun berantakan. Tetapi
mengapa terlihat begitu cantik. Seolah-olah segala keindahan di bumi
dikumpulkan lalu diletakkan kepadanya.
Mau tidak mau Cio San harus melakukannya. Dia tidak ingin orang yang
datang nanti menganggapnya sedang melakukan hal-hal tidak pantas
dengan nona ini. Dan nona ini pun tidak ada niat untuk merapikan bajunya.
Biasanya Cio San mampu bergerak secepat kilat. Tapi tidak saat
memakaikan baju pada perempuan. Selain karena tidak ada seorang
lelakipun yang sanggup memakaikan baju dengan cepat kepada wanita, juga karena dia tidak tahu cara memakaikannya.
Maka ketika ada 7 orang memasuki kuil itu juga, tentu saja ke 7 orang itu kaget melihat pemandangan di hadapan mereka.
Seorang lelaki dan seorang wanita setengah telanjang.
Siapapun yang berada di sana pasti akan berpikiran yang sama dengan ke 7
orang ini. "Cih! Manusia rendahan!" terdengar seruan kaget mereka melihatnya.
Segera mereka memalingkan wajah.
Ke 7 orang ini semuanya adalah wanita. Dari bajunya, Cio San tahu mereka dari partai Gobi pay. Ke 7 wanita ini sebenarnya ingin keluar lagi, tapi petir dan Guntur yang menyambar membuat mereka kaget. Apalagi hujan
bertambah deras dan angin bertambah kencang pula.
Cio San berdiri dan memberi salam,
"Selamat malam chit-wi tayhiap (tujuh pendekar sekalian)" katanya sambil menjura.
"Cih!" Bwee Hua tetap santai saja. Walaupun bajunya masih berantakan,
setidaknya kini tubuhnya sudah tertutup. Katanya,
"Ada apa malam-malam begini 7 Pendekar Wanita Gobi mampir kesini" Ingin bergabung dengan kami juga" Mari silahkan"
"Kami tidak sudi!" walaupun bicara begitu, mereka tetap berada di
tempatnya. Hanya wajah mereka saja yang dipalingkan.
"Nona sekalian sedang menghindari kejaran siapa?" tanya Cio San tiba-tiba.
Ketujuh orang ini heran. Bagaimana Cio San bisa tahu jika mereka sedang menghindari kejaran orang. Tapi sekali pandang Cio San pasti tahu.
"Di sini tidak aman. Orang yang mengejar nona tentu saja pasti akan segera sampai ke sini"
Semua nona itu kini bertambah pucat wajahnya.
Lalu ketika kilat menyambar, terlihat sebuah bayangan di luar sana. Bahkan Cio San pun tidak mendengar langkah kakinya.
Ia hanya berucapa dalam hati, sambil memejamkan mata, "Ang Hoat Kiam
Sian" Ya memang orang yang berada di depan sana adalah Si Dewa Pedang
Rambut Merah! Berdiri dengan tenang dalam lebatnya hujan. Langkahnya perlahan namun pasti.
"Keluar" katanya pelan. Tapi semua orang yang ada di dalam kuil itu
mendengarkannya. Padahal hujan sedang lebat-lebatnya.
Cio San yang keluar. "Selamat malam, Suma-tayhiap (pendekar Suma)"
"Kau" Pantas saja. Ku kira hanya ada delapan orang di dalam sana" kata Suma Sun, si dewa pedang rambut merah. Lalu lanjutnya,
"Kau ingin bertarung untuk mereka?"
"Kita semua sesama orang sendiri, mengapa harus bertarung?" jawab Cio San sambil tersenyum.
"Karena mereka memakai pedang"
Di dunia ini, mana ada alasan yang lebih tidak masuk akal selain alasan itu"
Tentu saja ketujuh nona itu menolak untuk bertarung dengannya.
Cio San sampai bingung menjawabnya. Ia lalu berkata,
"Tidak bisa kah kau tunda" Aku sedang memerlukan bantuan mereka"
"Baiklah" Ia dengan santai lalu berbalik dan berjalan pergi.
Cio San lalu berkata lagi,
"Aku pun memerlukan bantuanmu"
Langkah itu pun berhenti.
"Sekarang?" tanya Suma Sun
"Belum." "Kirimkan Cukat Tong kepadaku. Ia tahu di mana harus mencariku" kata
Suma Sun. Ia lalu pergi. Di dalam lebatnya hujan, bayangannya
menghilang. Dalam hujan selebat ini, entah kenapa malah terasa sepi dan sunyi.
Pesta seramai apapun, jika ada Suma Sun, pastilah akan terasa sunyi
seperti kuburan. Ketika Cio San berbalik ke kuil, ia malah sudah dihadang ketujuh nona itu,
"Siapa kau sampai-sampai merasa harus membantu kami?"
Cio San sudah sangat mengerti betapa tinggi hatinya kaum kang ouw.
"dan apa kau pikir kami akan membantumu?" tukas salah satu dari mereka.
Melihat ini, malah Bwee Hua yang marah. Dengan sekali gerakan tentu saja ia bisa membunuh ketujuh nona ini. Tapi Bwee Hua tidak suka mengotori tangannya dengan darah orang-orang yang tidak pantas. Maka ia hanya
berkata, "Jika kau tahu siapa dia, tentu kau akan berlutut minta ampun"
Heran. Ia berkata tentang Cio San. Tapi kata-kata itu terasa bagai
membicarakan dirinya sendiri.
Cio San malah menjura kepada nona-nona itu,
"Apakah Bu-Ciangbunjin (ketua Bu) baik-baik saja kabarnya?" tanyanya
Melihat Cio San bertanya dengan santun tentang ketua mereka, perlahan-lahan hati mereka mencair juga.
"Suhu baik-baik saja"
Lalu salah satu dari mereka berkata,
"Ayo kita pergi"
Mereka pun pergi. Tanpa salam dan hormat. Begitu saja.
Kadang-kadang perempuan cantik memang seperti punya "hak" untuk
berbuat seenaknya. Jika mereka salah, orang mudah memaafkan pula. Jadi cantik memang punya banyak keuntungan.
Baru saja mereka melangkah keluar kuil, tahu-tahu Bwee Hua sudah berada di hadapan mereka.
"Kalian baru boleh pergi jika sudah meninggalkan hidung kalian" katanya.
Cring! Suara tujuh pedang keluar dari sarungnya.
Jurus Pedang Pelangi milik Gobi pay sangat terkenal. Bahkan nama besar jurus ini sudah menyamai nama besar "Tarian Pedang" milih Butong Pay.
Jika jurus ini dilakukan oleh 7 pendekar utama Gobipay, tentunya
kedahsyatannya tak mungkin terbayangkan.
Kelebatan pedang itu benar-benar seperti pelangi. Pelangi yang
mengantarkan nyawa kepada Giam Lo Ong (dewa kematian).
Tapi sinar pelangi itu tiba-tiba berhenti. Hilang tak membekas. Ketujuh pedang itu sudah terjepit di anatara jari-jari kedua tangan Cio San.
"Nona, kalian semua bukan tandingannya. Pergilah"
Ia menangkap pedang itu tentu saja bukan melindungi Bwee Hua. Ia
melakukannya untuk melindungi ketujuh nona itu.
Di kolong langit ini, mungkin bahkan ketua mereka sendiri, tidak mampu menangkap Jurus Pedang Pelangi dalam satu jurus saja. Dengan tangan
kosong pula. Jika ada orang mampu melakukannya, maka apapun yang
orang itu katakan, harus kau dengarkan.
Ketujuh nona itu diam membisu. Lalu jatuh terduduk.
"Ah".ada pendekar besar di hadapan kami. Sungguh sempit pandangan
kami tidak mampu mengenal gunung Thay San"
"Pergilah" kata Cio San. Ia melepaskan pedang-pedang itu dari jarinya.
Nona-nona itu bersoja. "Harap ampuni kami"harap ampuni kami..tayhiap"
Mereka pun berlari pergi dari situ penuh rasa malu.
"Ah mengapa nama besar selalu sebagian besarnya berisi nama kosong"
Tujuh Pendekar Cantik Gobipay. Menyandang nama "pendekar" pun tidak
pantas. Menyandang kata "cantik" pun tidak pantas" kata Bwee Hua sambil tersenyum.
Jika yang mengatakan ini adalah orang paling cantik di dunia, tentunya kau harus setuju.
Bwee Hua menatap Cio San dalam-dalam. Lelaki ini sungguh mengagumkan
hatinya. Ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Malah Cio San yang berkata,
"Nona, bukankah kau tadi berkata, apapun yang aku minta malam ini, akan kau berikan?"
"Benar" "Bolehkah ku minta satu hal dari mu?"
"Apapun itu" kata Bwee Hua tersenyum. Senyumnya bukan senyuman yang
nakal dan penuh nafsu. Senyumannya adalah senyuman bunga-bunga
kepada dunia. Indah, tulus, mekar, mewangi dan berseri. Penuh kepolosan dan kedalaman hati.
"Maukah kau menghentikan semua perbuatanmu?"
"Aku akan melakukannya jika kau pun berjanji melakukan satu hal untukku"
kata Bwee Hua tersenyum. "Apa?" "Jadilah kekasihku."
Cio San terdiam. Kadang-kadang memang satu-satunya keadaan di mana
ada wanita tercantik di dunia memintamu menjadi kekasih, adalah saat
engkau bermimpi. Lalu ia menjawab, "Aku sudah punya kekasih"
"Tinggalkan dia"
"Seseorang yang meninggalkan kekasihnya demi engkau, suatu saat pasti akan meninggalkan engkau demi orang lain pula" kata Cio San.
Si nona terdiam. "Belum pernah ada seorang pun yang menolakku" katanya
"Selalu ada saat pertama, untuk setiap hal di dunia ini" tukas Cio San.
"Kau tahu, semakin kau menolakku, semakin aku berusaha untuk
mendapatkanmu. Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak pernah
TIDAK kudapatkan" "Berusahalah lebih keras" kata Cio San sambil tersenyum dan memainkan ujung rambutnya.
"Jika kekasihmu mati, bukankah tiada seorang pun yang akan
menghalangiku untuk mendapatkanmu?"
"Jika kau sentuh ujung rambutnya saja, sampai ke ujung dunia pun akan ku cari kau"
"Perempuan mana yang tidak suka kau cari?" Bwee Hua berkata,
senyumnya tak pernah hilang.
"Saat itu terjadi, kau akan berharap aku tidak pernah mencarimu"
"Aku justru ingin kau mencariku, lalu kau berlutut memintaku untuk
mencintaimu" "Umurmu sudah 60 tahun. Sebentar lagi akan mati, mengapa masih susah-
susah mencari kekasih?"
Wanita secantik apapun, jika kau ingatkan ia pada umurnya, tentu akan menerkammu. Tapi Bwee Hua tidak.
Ia malah bangga. Dengan umurnya yang setua itu, ia masih tampak seperti anak gadis yang masih perawan.
Maka ia hanya tertawa, "Apakah kau yakin kata-kata Beng Liong tentang umurku memang benar?"
"Dari mana kau tahu jika Beng Liong yang menceritakannya kepadaku?"
tanya Cio San. "Manusia punya telinga. Kenapa pohon dan rerumputan tidak boleh punya telinga juga?"
Cio San hanya tertawa. "Jika Beng Liong yang berkata, aku pasti percaya. Beng Liong adalah Beng Liong. Kata-katanya adalah emas"
"Kalau itu, aku pun setuju" tukas Bwee Hua.
"kau sudah pernah bertemu dengannya?" tanya Cio San
"Selama beberapa tahun ini dia selalu merecoki urusanku" jawabnya
pendek. Lanjutnya, "Orang yang menyebalkan"
"Kau tidak tertarik kepadanya?"
"Orang yang sok suci dan sok bersih, tidak pantas menjadi kekasihku"
"Lalu siapa yang pantas?"
"Kau" "Hanya aku?" "Hanya kau" "Sayang kau bukan golongan wanita yang ku sukai"
"Memangnya aku golongan wanita macam apa?"
"Golongan wanita yang terlalu yakin bahwa setiap laki-laki akan jatuh hati kepada mereka karena kecantikan mereka"
"Memangnya ada lelaki di dunia ini yang tidak terpikat kecantikanku?"
"Ada. Aku" "Kau pasti akan terpikat. Mungkin tidak sekarang. Mungkin bisa besok, seminggu lagi, sebulan lagi, setahun lagi. Tapi ku yakin kau akan terpikat"
"Mengapa kau begitu yakin?"
"Karena aku tak pernah gagal memikat lelaki"
"Kan sudah kubilang selalu ada saat pertama untuk setiap hal"
"Bukankah itu semakin membuktikan bahwa selalu akan ada saat dimana
kau terpikat padaku?"
"Apakah kau yakin saat itu akan tiba" Bisa saja sebelum saat itu tiba, kau sudah mati"
Si nona terdiam. Memang satu-satunya "orang" yang tidak akan terpikat oleh kecantikannya adalah malaikat maut.
Lama sekali mereka saling berpandangan.
"Aku mau pergi" kata si nona.
"Pergilah" "Kau seharusnya secepatnya menemui sahabat-sahabatmu." Sambil berkata begitu ia sudah menghilang dari hadapan Cio San.
Apakah nona ini mengancam"
Bab 51 Serigala Bwee Hua Sian sudah menghilang dari hadapannya. Ia masih tetap
tersenyum. Dalam hujan lebat seperti ini, hanya orang gila yang mau berada di luar. Suma Sun, Bwee Hua, dan Tujuh Pendekar Cantik Go Bi Pay.
"Mereka mungkin semua sudah gila" pikir Cio San.
Ia lalu kembali ke dalam kuil dan tidur.
Malam semakin larut, hujan semakin lebat, dan siapa yang akan tahu jika ada musuh yang menanti" Tapi Cio San memilih pergi tidur. Seolah-olah tidak ada satu pun di dunia ini yang sanggup menghalanginya untuk tidur.
Saat pagi ia terbangun. Hujan sudah berhenti. Yang tertinggal hanya
kesejukan embun pagi dan matahari pagi yang hangat. Tubuhnya terasa
segar. Dengan sekali lompatan, ia sudah memetik beberapa buah-buahan
yang berada di pepohonan.
Segar! Hari ini dimulai dengan semangat dan kesegaran. Memang begitulah
seharusnya seseorang memulai harinya. Apa yang terjadi di depan nanti, toh belum terjadi. Mengapa harus kau pikirkan dan takutkan"
Dan jika terjadi, ya harus kau hadapi. Memangnya kau bisa
menghindarinya" Ia berjanji untuk bertemu dengan sahabat-sahabatnya di kota Bu Tiau.
Segera ia bergegas ke sana. Larinya sangat cepat. Gerakannya sangat
ringan. Jika ada yang melihat tentu akan berdecak kagum melihat
kehebatan Ginkangnya. Sayangnya, di kolong langit ini yang sanggup
melihat gerakannya mungkin hanya beberapa orang saja.
Perjalanan yang cukup panjang. Ia hanya berhenti sebentar untuk istirahat, dan makan buah-buahan. Untuk mengisi kekuatannya. Cio San tidak pernah mau membuang-buang kekuatannya. Jika ia mengeluarkan kekuatannya,
haruslah dilakukan dengan sabaik-baiknya, dengan tujuan sebaik-baiknya, dan dengan perhitungan sabaik-baiknya.
Karena itulah ia selalu ada dalam kondisi terbaik untuk bertempur.
Karena ia tidak pernah mau merepotkan diri memikirkan segala kesusahan yang akan terjadi nanti, maka itulah ia selalu mempersiapkan kondisi terbaik bagi tubuh, pikiran, dan jiwanya.
Apa yang akan terjadi, terjadilah!
Sampai memasuki tengah hari, ia telah memasuki gerbang kota Bu Tiauw.
Kota ini merupakan salah satu kota paling ramai di Tionggoan. Kota ini sangat padat dan ramai sekali perdagangannya. Cio San tidak begitu suka dengan kota seperti ini. Tapi dia lumayan menikmati pemandangan yang
dilihatnya, Berbagai macam orang lalu lalang dengan segala urusannya. Jalanan juga di penuhi kereta dan orang berkuda. Suasana hiruk pikuk ini mengingatkan Cio San kepada pasar. Rasa-rasanya seperti seluruh kota ini adalah pasar.
Walaupun kota ini sangat ramai dan penuh kesibukkan, kota ini terlihat sangat bersih dan rapih. Jauh lebih bersih daripada kota-kota lain yang sudah dikunjunginya. Setelah bertanya-tanya sebentar, Cio San akhirnya menemukan tempat yang dicarinya. Penginapan terbaik. Ia telah berjanji untuk menemui sahabat-sahabatnya di sana.
Penginapan itu bernama "Penginapan Seribu Bunga". Mengingat kata


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"bunga", ia jadi teringat Bwee Hua Sian lagi. Membuatnya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Lelaki memang kadang melakukan hal seperti ini jika teringat beberapa orang perempuan yang dikenalnya.
Ia melangkahkan kaki memasuki penginapan itu. Ruang depan di
penginapan itu memang berfungsi juga sebagai restoran. Saat itu telah memasuki waktu makan siang, sehingga terlihat ramai sekali. Begitu ia masuk, seorang pelayan menghampirinya.
"Tuan ingin menginap, atau memesan makanan?" tanyanya sopan.
"Saya mencari beberapa orang sahabat yang menginap di sini"
"Oh siapa nama-nama mereka tuan?"
Cio San tak tahu bagaimana harus menjelaskan. Tentunya mungkin
sahabat-sahabatnya tidak menggunakan nama asli ketik menginap.
"Oh, ada 4 orang. Salah satunya wanita berambut putih, dan seorang pria botak"
"Hmmmm?" si pelayan mengingat-ingat sebentar. Lalu berkata "Setahu ini selama beberapa hari ini tidak ada tamu yang berciri-ciri demikian".
"Apakah selama ini penginapan ini selalu penuh?" tanya Cio San
"Selama beberapa hari ini kami justru memiliki banyak kamar kosong"
"Ahhh"baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak" kata Cio San sambil
menjura. Ia lalu pergi. Dugaannya ternyata benar. Sahabat-sahabatnya telah mengalami sesuatu
hal. Tapi kenapa ia tidak segera bertindak, jika ia sudah menduga demikian"
Ketika Bwee Hua Sian bilang bahwa ia seharusnya cepat-cepat menemui
sahabatnya, ia sudah tahu bahwa sahabat-sahabatnya itu pasti sudah jatuh ke tangan Bwee Hua. Oleh sebab itu, ia tidak segera berangkat menyusul karena ia tahu percuma saja. Ia memilih tidur untuk memulihkan
kekuatannya. Ia kemudian pergi ke kota ini hanya untuk benar-benar memastikan bahwa mereka memang diculik. Ia yakin bahwa mereka diculik. Tidak mungkin si otak besar membunuh mereka. Karena mereka lebih berharga saat hidup
daripada saat mati. Otak besar pasti akan menggunakan mereka untuk mengancam dirinya.
Oleh sebab itu ia bersikap menunggu saja. Suatu saat, si otak besar pasti akan menghubunginya. Ia berjalan menyusuri kota. Jika sedang berpikir, ia memang suka sambil berjalan. Begitu selesai, wajahnya bersinar, dan
matanya berkilat-kilat. Ji Hau Leng! Ya, Ji Hau Leng terlibat dengan semua ini.
Itulah kenapa Ji Hau Leng mencegatnya di jalan dan mengundangnya
datang ke markas mereka. Mengajaknya untuk minum sampai mabuk. Agar
ia tak dapat segera menyusul teman-temannya.
Rupanya partai terbesar dalam Kang Ouw terlibat semua ini. Itulah kenapa jumlah anggotanya bertambah berkali lipat dalam beberapa tahun
belakangan ini. Mereka punya rencana besar yang akan mereka laksanakan dalam waktu dekat ini.
Cio San kemudian bergegas. Dalam keramaian ia mencari-cari orang. Entah siapa yang dicarinya. Tak lama kemudian ia menemukan orang yang
dicarinya itu. "Selamat siang" kata Cio San sambil menjura.
"Siang" kata orang itu menjawab sekenanya.
"Angin dari barat menyapa. Apakah saudara merasakan cahayanya?" kata
Cio San Orang itu kaget sebentar.
"Cahaya di depan mata. Masakah kami buta" Tapi entah siapa pembawa
cahaya ini?" kata si orang itu.
"Raja tanpa mahkota, adalah kaisar di tengah cahaya"
Si orang terbelalak. Ia lalu menjatuhkan diri,
"Mohon maaf, hamba tidak mengenal kaucu! Hamba pantas mati..pantas
mati!" "Berdirilah, dengarkan perintah ketua" kata Cio San
Orang itu lalu berdiri. "Siapa nama saudara" Apakah dari cabang Bu Tiauw?" tanya Cio San.
"Nama hamba Kou Sim. Hamba adalah wakil ketua cabang kota Bu Tiauw.
Hamba siap menerima perintah"
"Baik. Saudara Kou Sim, aku memintamu untuk mengantarkan surat kepada Pangcu partai Kay Pang di markas besar mereka. Apa kau tahu di mana
markasnya?" "Tahu, kaucu" "Baiklah". Cio San lalu merobek sedikit kain bajunya yang menjuntai, lalu kemudian menuliskan sesuatu.
MENANTIKAN KEHADIRAN PANGCU DI GERBANG KOTA BU TIAUW BESOK
SAAT TENGAH HARI HORMAT KAMI CIO SAN- MO KAUW KAUCU "Jaga jangan sampai surat ini jatuh ke orang lain. Kau juga harus
memastikan bahwa surat itu benar-benar sampai ke tangan Ji-pangcu.
Bisa?" "Hamba akan menjaga surat ini dengan nyawa hamba, kaucu"
"Baiklah. Jasamu akan kuingat. Segera berangkat sekarang juga"
"Hamba pergi. Mohon doa dan perlindungan kaucu"
Cio San hanya mengangguk dan tersenyum.
Mereka bedua pun saling berpisah. Cio San memilih pergi ke sebuah rumah bordil. Mencari sebuah rumah bordil terbaik jauh lebih gampang daripada bernafas. Maka Cio San kini sudah sampai di pintunya.
Ia sudah di sambut dengan senyuman beberapa orang gadis yang amat
cantik. "Silahkan masuk tuan".silahkan menikmati hidangan"
Cio San balas tersenyum. Jika ada wanita yang tidak kau kenal tersenyum kepadamu, kau harus balas tersenyum pula. Kalau tidak kau yang akan
dianggapnya gila. Tetapi jika kau tersenyum duluan kepada wanita yang tidak kau kenal, maka ia yang akan menganggapmu gila.
Begitu masuk, suasanya rumah bordil ini memang seperti rumah bordil
lainnya. Puluhan wanita cantik dengan dandanan penuh gincu sedang
melayani banyak lelaki. Biasanya melayani minum atau makan hidangan.
Jika kau memutuskan untuk menggunakan "layanan" yang "lebih", maka kau akan meneruskannya ke dalam bilik-bilik yang sudah tersedia.
Seorang gadis mendatanginya,
"Tuan mari silahkan duduk, meja di sana masih kosong. Mari kutemani" ia berkata begitu sambil menggenggam tangan Cio San dan menariknya ke
meja kosong. Perempuan kalau sudah punya kemauan, maka gayanya menarik tanganmu
akan seperti ini. Seperti iblis yang menarikmu ke neraka.
"Tuan ingin minum arak apakah" Kami punya semua arak terbaik yang ada di dunia"
Heran. Dia begitu ramah terhadap pemuda yang berpakaian sederhana dan penampilan biasa seperti Cio San. Walaupun Cio San memang sangat
tampan, tapi gaya berpakaiannya ini sedikit awut-awutan dan tidak
mentereng. Yang tidak perlau kau herankan adalah, wanita-wanita ini sudah punya
banyak pengalaman tentang lelaki. Jika kau ada dalam kerumunan ratusan orang pun, dalam sekali pandang ia bisa membedakan orang yang bertulang kere, atau yang kaya raya.
Karena orang-orang terkadang salah menilai. Mereka menilai orang kaya atau miskin dari baju yang mereka pakai. Padahal orang kaya yang
berpakaian mentereng sangat sedikit ketimbang orang kaya yang
berpakaian sederhana. Entahlah kenapa mereka berpakaian sederhana.
Mungkin takut jika banyak pengemis akan datang meminta-minta kepada
mereka. Dan orang-orang miskin pun kadang menghabiskan banyak uang hanya
untuk membeli baju mentereng. Mungkin supaya mereka bisa merasa lebih dihargai orang.
Tetapi nona-nona yang ada di tempat seperti ini, tidak mungkin salah. Mata mereka adalah mata elang. Bahkan jika kau sembunyi di balik pintu pun, ia akan tahu jika ada orang kaya bersembunyi di balik pintu.
Tanpa diminta, pelayan sudah satang membawa arak yang wangi. Si nona
menuangkannnya ke dalam cawan. Lalu memberikannya kepada Cio San
dengan penuh mesra. Tanpa arak pun Cio San bisa mabuk melihat betapa
mesranya nona itu kepadanya.
"Siapa nama nona?" tanya Cio San sopan
"Ah, aku sampai lupa memperkenalkan nama. Kadang-kadang jika bertemu
pria tampan, aku memang suka bingung tak tahu harus melakukan apa"
"Hahaha" mereka berdua tertawa
"Eh, namaku Cin Cin. Tuan yang gagah siapakah namanya?"
"Namaku Cio San"
"Ah nama yang bagus sekali tuan" ia tersenyum sambil menatap mata Cio San.
Kadang-kadang Cio San memang suka bingung menghadapi wanita yang
langsung menatap matanya. Takut kalau-kalau sinar mata wanita malah
akan menyihirnya atau membuatnya sedikit mabuk. Di dunia ini memang
yang paling indah sekaligus juga menakutkan adalah mata wanita.
Jika kau berani menatapnya, maka bersiap-siaplah kau terjatuh ke dalam dunia mimpi.
Mereka menghabiskan seguci arak. Cio San mengeluarkan satu tael emas.
Begitu melihat uang satu tael itu, mata si nona terbelalak.
"Cin-siocia (nona Cin), aku ingin bertanya. Apakah kau pernah melihat sahabatku kesini" Ciri-cirinya rambutnya sedikit merah. Bajunya putih semua. Dan selalu menenteng pedang"
"Ah maksud tuan Suma-tayhiap" Tentu saja. Sejak semalam ia sudah
menginap di sini" "Antarkan aku menemuinya. Sudah lama sekali aku tidak bertemu
dengannya" "Baik. Mari sini, tuan" katanya sambil menggandeng tangan Cio San.
Mereka menuju ke sebuah bilik. Si nona mengetuknya,
"Suma tayhiap, aku datang mengantarkan sahabat tuan"
Dari dalam terdengar suara,
"Masuklah Cio San" suaranya pelan dan tenang. Tapi terdengar jelas sampai ke luar pintu.
Cio San membuka pintu dan melangkah masuk. Tidak ada suara dari
langkah-langkah ini. Rupanya dengan car ini Suma Sun tahu bahwa yang
datang bersama Cin Cin adalah Cio San Hanya Suma Sun sendirian yang ada di sana. Ia tidak mempersilahkan Cio San duduk, tapi Cio San sudah duduk.
"Terima kasih nona Cin Cin. Tolong tinggalkan kami sendirian. Selesai ini, kau akan kupanggil kembali" kata Cio San sambil menyelipkan uang satu tael.
Ada uang, si nona pun menurut. Nona mana saja akan menurut.
"Bantuan apa yang kau minta dari ku?" tanya Suma Sun. Begitu dingin.
"Kau yakin dengan pedangmu?"
"Tidak" jawab Suma Sun. Lanjutanya,
"Tapi aku yakin dengan diriku"
"Baiklah. Kau yakin menang melawan siapapun?" tanya Cio San lagi.
"Jika mereka punya nama"
"Baiklah. Aku percaya kepadamu, karena itu aku datang. Aku belum bisa memberitahukan siapa namanya. Tapi orang-orang yang kita akan hadapi
sungguh banyak" "Siapa lagi yang kau ajak?"
"Beng Liong" kata Cio San.
"Itu sudah cukup" kata Suma Sun.
"Aku terpaksa memintamu berangkat sekarang" kata Cio San
"Kemana?" tanya Suma Sun.
"Tolong kau cari Cukat Tong dan beberapa orang anak buahku"
"Itu saja?" "Itu saja" "Dan setelah itu hutangku lunas?"
"Kau tidak pernah berhutang kepadaku" jelas Cio San.
Sum Sun hanya mengangguk. Lalu ia berdiri dan menenteng pedangnya.
Ia keluar ruangan itu dengan tenang. Langkahnya halus bagaikan anak
perempuan yang sedang dipingit. Ia tidak bertanya kemana harus pergi.
Kemana harus mencari. Sikapnya seperti Cukat Tong yang saat itu dimintai tolong oleh Cio San untuk mencari contoh racun.
Sejak kecil ia sudah hidup di alam bebas sendirian. Mencari makan dan bertahan hidup sendirian. Hidup di dalam alam yang ganas. Berburu telah dilakukannya sejak kecil. Apalagi hanya mencari jejak manusia.
Serigala. Melihat Suma Sun, Cio San teringat dengan serigala.
Begitu Suma Sun keluar, Cin Cin masuk.
"Tuan butuh apa" Bisa ku bantu?"
"Kemarilah" Nona itu datang dan duduk di pangkuan Cio San.
"Katakan pada tuanmu untuk segera menghubungiku, dan tanyakan apa
maunya" Belum sempat nona itu berkata apapun, Cio San sudah menendangnya
keluar jendela. Kebetulan jendela itu memang terbuka, dan tendangan Cio San bukan tendangan mematikan. Si Nona itu tidak terluka sedikit pun.
"Kenapa perempuan senang sekali berfikir kalau semua lelaki di dunia ini sudah pikun seluruhnya?" tanya Cio San dalam hati sambil geleng-geleng kepala.
Bab 52 Pertempuran Di Gerbang Kota
Hari itu tiba. Tepat tengah hari, Cio San sudah berada di gerbang kota. Ia hany perlu menanti sebentar. Ji Hau Leng pun sudah datang dengan menunggang kuda.
Dengan menunggang kuda, berarti ia menghemat tenaganya. Jika ia
menghemat tenaganya berarti ia telah bersiap-siap untuk bertempur. Jika ia telah bersiap-siap untuk bertempur, berarti secara tidak langsung ia telah mengakui kesalahannya.
Pemahaman ini muncul di benak Cio San hanya dalam sekelebatan.
"Aku datang" kata Ji Hau Leng sambil tersenyum.
"Terima kasih" balas Cio San sambil menjura dan tersenyum pula.
"Kaucu ada petunjuk apa?" kata Ji Hau Leng sambil turun dari kudanya.
"Justru cayhe yang ingin minta petunjuk dari pangcu" jawab Cio San.
Tangannya mememainkan ujung rambutnya.
"Tentang?" "Tentang 4 sahabat cayhe yang menghilang"
"Mengapa kaucu bertanya kepadaku?"
"Cayhe tidak tahu harus bertanya kepada siapa lagi"
"Baiklah. Aku akan membantu kaucu mencari sahabat-sahabat kaucu yang
menghilang itu" katanya.
"Kau berbohong"
"Eh?" "Aku punya kemampuan membaca bahasa tubuh. Saat berkata begitu, ada
sedikit tarikan bibir ke samping. Hampir seperti senyum tapi belum menjadi senyum. Itu menandakan kau meremehkan orang yang kau ajak bicara.
Seperti senyum kemenangan karena melihatku percaya kepadamu"
Lamjutnya, "Bahumu bergerak sedikit. Manusia adalah makhluk yang jujur sepenuhnya.
Kata-kata bisa berbohong, tapi gerak tubuh manusia akan memberitahukan jika ia berbohong. Gerakan bahumu itu seperti gerakan orang mengatakan
"tidak". Gerakan bahu itu akan sering muncul, sebagai tanda bahwa
tubuhmu sendiri tidak setuju dengan kata-katamu"
Ji Hau Leng hanya diam lama. Lalu berkata,
"Kaucu seperti cacing yang ada di dalam perutku yang mengerti isi
pikiranku. Tapi kata-katamu tidak membuktikan apa-apa. Hanya untuk
membuat kagum anak-anak"
"Apakah kau bisa membuktikan bahwa aku ada hubungannya dengan
hilangnya sahabat-sahabatmu?" tanya Ji Hau Leng.
"Jika aku mau menyelediki tentu saja bisa. Tapi aku tak punya waktu."
"Kau pikir dirimu pintar bukan" Sesungguhnya kau sama sekali tidak tahu apa-apa" tukas Ji Hau Leng.
"Aku memang tidak penah merasa pintar atau cerdas. Tapi aku pun bukan orang yang sudah pikun"
Ji Hau Leng mengepalkan tangannya. Suara gemeratak keluar dari jari-
jarinya. Cio San hanya berdiri dan memandangnya.
"Mengapa kau bersedih?" tanya Cio San. Ia melihat gurat-guratan kesedihan di wajah Ji Hau Leng.
"Tidak perlu banyak tanya. Lihat serangan"
Gerakannya bagai angin puyuh. Seperti ribuan kati batu karang yang
dilemparkan. Bahkan jika ada orang berani menangkisnya, tentu tangannya akan hancur.
Cio San menerimu pukulan itu dengan gerakan Thay Kek Kun. Menghadapai keras dengan lembut. Jika gerakan Ji Hau Leng cepat dan berat, gerakan Cio San justru lambat dan lemas.
Tapi walaupun Cio San sanggup menepis lengan itu, ia tak dapat
menangkapnya. Ji Hau Leng ternyata sama cepatnya dengan Cio San!
"Serangan hebat!" puji Cio San.
Ji Hau Leng diam saja. Ia memusatkan pikiran pada serangan-serangannya sendiri. Kuda-kudanya rendah. Semakin rendah kuda-kuda berarti semakin dahsyat juga tenaga yang ia kumpulkan. Cio San belum pernah bertemu
dengan lawan seperti ini. Yang menggunakan tenaga keras namun memiliki kecepatan sangat mengagumkan. Dulu pernah ia menghadapi seorang
Hwesio di atas bukit tempat rumah peristirahatan Bwee Hua. Tapi
kecepatannya tak sampai separuh kecepatan Ji Hau Leng.
Saat melawan Hwesio itu, Cio sengaja melambatkan gerakannya, karena ia ingin mempelajari gerakan jurus "Cakar Macan" milik Siau Lim Pay. Tapi kini saat menghadapi Ji Hau Leng, Cio San sudah tidak bisa "bermain-main" lagi.
Jurus kedua Ji Hau Leng datang!
Kali ini pukulan yang dilancarkan dengan bertubi-tubi sehingga terlihat seperti Ji Hau Leng melakukan 20 pukulan sekaligus!
Kecepatannya sungguh sukar dibayangkan. Cio San menerima ke 20
serangan itu dengan 20 tangkisan yang sama cepatnya. Masing-masing
kepalan Ji Hau Leng seperti hilang di telan telapak Cio San.
Saat ke 20 kepalan itu menghilang, entah bagaimana Ji Hau Leng telah
berada di atas kepala Cio San. Dari atas, ia melancarkan dua pukulan
sekaligus dengan tangan kedua tangannya. Cio San menangkis pukulan
dahsyat itu dengan telapaknya lagi.
Tapi kedahsyatan pukulan itu sedemikian dahsyatnya sampai-sampai kaki Cio San amblas ke dalam tanah hingga sampai lututnya!
Cio San memang sengaja menyalurkan kekuatan pukulan Ji Hau Leng itu ke tanah, agar tangannya tidak hancur menerima pukulan itu.
Ji Hau Leng sudah bersalto dan kini telah berada di belakang Cio San.
Melihat kaki Cio San yang terperangkap dalam tanah, ia yakin Cio San tak akan mampu menghindar lagi dari serangannya. Karena jika ingin
menghindar Cio San harus menggunakan kakinya untuk bergerak. Ia
mungkin bisa menghancurkan tanah yang memerangkap kakinya, tapi itu
akan membuatnya kalah langkah sepersekian detik. Hitungan sepersekian detik saja akan mengakibatkan kesalahan yang fatal!
Dua buah pukulan dilancarkan Ji Hau Leng mengarah ke bagian belakang
kepala dan tulung punggung Cio San. Dua buah serangan yang sangat
mematikan, sangat dahsyat, dan sukar dilukiskan kata-kata. Tak seorang pun yang sanggup menghindar dari serangan seperti ini.
Dengan sebuah gerakan aneh, tiba-tiba bagian atas tubuh Cio San telah memutar 90 derajat ke belakang. Kelenturan tubuh seperti ini ia dapatkan karena telah berlatih silat dengan Ular Sakti di dalam gua. Ji Hau Leng hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Karena kekagetan itu, gerakan Ji Hau Leng menjadi sedikit melambat.
Kesempatan itu tak disia-siakan Cio San. Ia menangkap kedua kepalan Ji Hau Leng lalu melemparkannya ke atas.
Saat tubuh Ji Hau Leng berada di atas, segera tubuh Cio San pun melenting ke atas. Dari tangannya keluar 20 pukulan pula yang mengincar semua
tempat-tempat berbahaya di tubuh Ji Hau Leng.
Saat Ji Hau Leng terlempar ke atas, dengan sebuah gerakan aneh ia pun sudah mampu membalikkan tubuh menghadapi serangan Cio San.
Keduapuluh telapak Cio San pun disambutnya dengan dua puluh tangkisan pula. Malah sambil menangkis itu kakinya ikut menyerang juga secara
berubi-tubi. Cio San yang kedua tangannya sibuk menyerang Ji Hau Leng, sudah tidak punya apa-apa lagi untuk menghalau puluhan tendangan itu.
Maka diterima saja puluhan tendangan dengan dadanya.
Tidak ada tanah di mana ia bisa menyalurkan tenaga serangan lawan,
seperti yang saat dilakukannya tadi.
Maka Cio San terlempar beberap tombak ke belakang!
Untunglah tenaga sakti dari jamur-jamuran aneh yang pernah dimakannya mampu melindunginya dari luka dalam yang parah. Tapi mau tidak mau,
sedikit darah merembes keluar dari mulutnya.
Ilmu, kemampuan, dan kecepatan mereka berdua mungkin hampir sama.
Tetapi Ji Hau Leng punya pengalaman bertarung lebih banyak!
Begitu Ji Hau Leng menginjakkan tanah, tubuhnya segera melenting lagi.


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kali ini serangannya lebih dahsyat. Bahkan terlihat angin dari tangannya berubah seperti seekor naga.
Lalu dari mulutnya terdengar suara,
"Naga Menggerung Menyesal!"
Cio San tercekat melihat gerakan ini!
Ini adalah jurus pertama dari ilmu silat yang paling ditakuti di dunia persilatan!
18 Tapak Naga! Cio San tak sempat berpikir lagi. Dengan satu gerakan sederhana ia
menerima pukulan itu dengan kedua telapaknya. Saking dahsyatnya
gerakan itu sampai-sampai tubuh Cio San terlempar ke belakang belasan tombak. Ia memang sengaja tidak mau menyalurkan tenaga itu ke tanah,
dan benar-benar menerima kekuatan pukulan Ji Hau Leng.
Ia terlempar tapi tidak terluka. Ini membuat Ji Hau Leng kaget. Biasanya orang yang berani menerima pukulan itu akan langsung hancur organ
dalamnya dan mati menggenaskan.
Tapi Cio San bangkit dan malah tersenyum!
"Mengapa kau tersenyum?"
"Pukulanmu hebat. Sayang belum sempurna" kata Cio San
"Apa?" Dengan kemarahan yang meluap-luap Ji Hau Leng menyerang lagi,
kali ini jurusnya datang lebih dahsyat lagi. Gerakan yang maha hebat ini dibarengi dengan teriakan,
"Naga Terbang di Langit!"
Ji Hau Leng seperti benar-benar terbang. Jaraknya dengan Cio San yang belasan tombak itu seperti tiada artinya, karena tahu-tahu pukulan Ji Hau Leng telah melayang ke arah Cio San.
Kali ini Cio San menerimanya dengan Thay Kek Kun. Gerakan yang sama
sederhananya dengan gerakan Ji Hau Leng. Ilmu-ilmu silat yang maha sakti, biasanya sederhana. Karena tiada lagi hiasan-hiasan keindahan gerakan.
Yang tertinggal hanya serangan mematikan.
Gerakan Cio San ini walaupun sederhana, namun tidak ada seorang pun
murid Bu Tong atau pesilat lain yang sanggup melakukannya. Karena
gerakan itu adalah gerakan yang digunakan menahan serangan 18 Tapak
Naga. Pesilat mana di muka bumi ini yang sanggup menangkis 18 Tapak
Naga sambil berdiri tegak"
Tapi Cio San bisa. Karena ia telah paham rahasia penyaluran kekuatan jurus dahsyat itu. Saat pertama kali ia menerimanya, ia sengaja tidak menyalurkannya ke tanah adalah karena alasan ini. Ia ingin mengerti bagaimana orang bisa
mengeluarkan tenaga sebesar dan sedahsyat itu.
Begitu tahu rahasianya maka dengan "mudah" Cio San kini menghadapinya.
Inti jurus 18 Tapak Naga ini menggunakan tenaga keras, yang berpusat
pada pengerahan tenaga luar. Cio San sebenarnya memiliki kekuarangan
dalam hal tenaga keras, dan juga penggunaan tenaga luar. Jenis ini adalah jenis tenaga yang dilatih dengan tempaan fisik sangat berat. Jika orang berlatih sampai kepada puncaknya, maka kedahsyatannya bisa jauh lebih tinggi daripada menggunakan tenaga dalam.
Sejak kecil Cio San tak pernah menghadapi tempaan fisik seperti ini.
Tubuhnya lemah. Oleh karena itu Cio San lebih memusatkan latihannya
kepada tenaga dalam yang mengacu kepada tenaga lembut. Kebetulan
Butong Pay adalah perguruan silat yang menggunakan tenaga lembut.
Satu-satunya saat di mana ia menempa fisiknya adalah ketika ia hidup di dalam gua selama 3 tahun. Kehidupan yang berat itu, ditambah lagi dengan khasiat jamur sakti, membuat tenaga luarnya mencapai tahap yang berlipat-lipat. Tapi tentu saja masih di bawah Ji Hau Leng yang sejak kecil memang sudah melatihnya.
Ji Hau Leng kini mengeluarkan lagi kuda-kuda rendahnya. Cio San
menmghadapinya dengan berdiri tegak sambil melipat tangan kirinya ke
belakang. Tangan kanannya memain-mainkan rambutnya. Posisi seperti ini adalah posisi bertarung yang paling disukainya.
Kini kepalan Ji Hau Leng seperti mengeluarkan cahaya. Penyaluran tenaga yang dahsyat memang bisa membuat tubuh seseorang terlihat lebih
bercahaya dan bersinar. Tubuhnya kini melenting lagi menuju Cio San.
Tapi sebelum tubuhnya mendekat, serta merta ia berhenti dan
mengeluarkan pukulan jarak jauh. Inilah jurus ketiga dari 18 Tapak Naga
"Naga Bertempur Di Alam Liar". Teriakannya membahana bagaikan naga
yang mengamuk. Pukulan jarak jauh ini berupa angin kencang yang mampu merobohkan karang. Anginnya adalah angin panas pula yang mampu
melepuhkan kulit. Cio San menyambut serangan jarak jauh ini dengan tenang. Datangnya
angin sungguh lebih cepat daripada gerakan Ji Hau Leng sendiri. Cio San mengangkat tangan kirinya, suara ular derik terdengar dari jemarinya.
Dengan satu hentakan ia maju menyambut angin dahsyat itu.
Blarrrrrrr! Suara gemuruh terdengar saat tangannya beradu dengan angin dahsyat itu.
Saking hebatnya sampai bagian lengan kiri baju Cio San koyak moyak.
Tangannya tergetar hebat. Tapi getaran itu tidak melukainya malahan
membuat suara getaran derik terdengar lebih jelas.
Di sini lah kehebatan Cio San. Ia menggabungkan jurus ular deriknya yang menggunakan kekuatan luar, dengan Thay Kek Kun yang berdasarkan
tenaga dalam lembut. Di dunia ini, mungkin hanya Cio San lah satu-satunya orang yang berhasil menggabungkan tenaga itu secara bersamaan.
Jurus Ular derik adalah untuk menahan dahsyatnya tenaga, sedangkan Thay Kek Kun bertujuan untuk mengolah tenaga itu agar tidak melukai tubuhnya.
Kini dengan tangan kanannya, ia mengeluarkan sebuah jurus. Jurus yang sama dengan yang tadi dikeluarkan Ji Hau Leng!
"Naga Bertempur Di Alam Liar!" hanya itu suara yang keluar dari mulut Ji Hau Leng.
Angin dahsyat itu bahkan lebih dahsyat dari serangan Ji Hau Leng, karena Cio San menyalurkan tenaga pukulan Ji Hau Leng yang tadi diterimanya dari Ji Hau Leng untuk digunakan menghadapi pangcu Kay Pang itu sendiri. Itu juga ditambah dengan tenaga Cio San sendiri. Tenaga sakti jamur di dalam gua, di tambah tenaga sakti hasil latihan Thay Kek Kun.
Tak dapat dibayangkan betapa kagetnya Ji Hau Leng saat jurus itu
mengenai tubuhnya. Selama ini ia hanya berlatih jurus-jurus itu secara rahasia. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa menggunakannya dengan
kekuatan yang jauh lebih dahsyat"
Ia terlempar bertombak-tombak. Mulutnya memuntahkan darah segar. Tapi Cio San tidak memberi ampun. Tubuhnya melayang tinggi lalu meluncur
dengan cepat sambil berputar seperti gasing. Ini adalah jurus maut yang diciptakannya saat melihat Cukat Tong memberi makan burung-burung
peliharaannya. Kali ini ia menggunakan kakinya untuk menyerang.
Ji Hau Leng tak dapat melakukan apa-apa lagi. Semangatnya sudah sirna.
Keinginan untuk bertempur sudah tak ada lagi. Ia menghadapi serangan
ganas Cio San ini dengan tatapan kosong. Tak ada kuda-kuda. Tangannya terkulai lemas ke samping.
Duaaaarrrrrrrrr!!!! Tanah disebelah Ji Hau Leng hancur berantakan. Lubangnya sangat dalam seperti habis ditabrak batu meteor. Di saat-saat terakhir, Cio San
mengalihkan serangannya. Ia tidak mungkin membunuh lawan yang sudah
tidak berdaya. "kenapa kau tidak melawan?"
Ji Hau Leng tidak menjawab. Hanya tatapan kosong yang ada di wajahnya.
Jiwanya terguncang. Cio San heran karena ia tahu pukulannya tadi tidak mungkin membunuh Ji Hau Leng, karena itu disambungnya lagi dengan serangan jurus gasing tadi.
Tak tahunya Ji Hau Leng malah tak melawan sama sekali.
Dalam batinnya, Ji Hau Leng benar-benar terguncang. Jurus 18 Tapak Naga adalah jurus rahasia Kay pang, bagaimana orang luar sanggup
menggunakannya" Apalagi orang itu malah "menyempurnakannya" dengan
cara menggabungkannya dengan beberapa ilmu lain sekaligus"
Bagi orang yang belajar silat berdasarkan kitab-kitab, maka ilmu silatnya hanya akan sebatas apa yang dijelaskan oleh kitab-kitab itu. Jarang sekali timbuk pemahaman yang luas dan mendalam selain apa yang tertulis di
dalam kitab itu. Oleh karena itu, ilmu Ji Hau Leng menjadi terbatas. Memang kekuatannya dahsyat. Bahkan sungguh snagat dahsyat. Tapi sangat sempit dan terbatas.
Cio San yang pemahamannya sangat luas, cukup sekali saja melihat jurus orang lain atau mempelajari penyaluran kekuatannya, maka ia sudah
mampu menggunakan jurus itu. Itu karena ia mencoba menyelami dasar
ilmu itu. Apalagi ditambah dengan pemahamannya terhadap Thay kek Kun.
Inti kehebatan Cio San adalah ia mampu mengerti dasar dari Thay Kek Kun.
Sehingga dengan mudah ia menggunakan ilmu itu dengan bebas. Tanpa
aturan, dan tanpa dibatasi oleh jurus-jurus. Sehingga ia bebas
mencampurkan ilmu itu dengan ilmu apa saja. Bebas menggunakan ilmu itu dengan jurus-jurus dari ilmu lain.
Justru disinilah letak kehebatan Thay Kek Kun.
Ilmu ini menitikberatkan kepada penyaluran tenaga yang alami. Semua
jurus silat penyaluran tenaganya serta gerakan-gerakan jurusnya pasti tak akan bertentangan dengan alam. Oleh karena itu, seseorang yang paham
dengan Thay Kek Kun, seharusnya bisa memahami jurus-jurus yang lain.
Sayangnya kebanyakan murid Butongpay memandang Thay Kek Kun
sebagai jurus-jurus dan ilmu silat baku yang diciptakan Thio San Hong.
Mereka tidak memandang ilmu itu sebagai pijakan dasar berpikir dalam ilmu silat. Itu sebabnya ilmu silat mereka tidak berkembang.
Itu jugalah yang terjadi pada ahli-ahli silat kebanyakan yang ada di
kalangan persilatan. Mereka memiliki ilmu-ilmu yang sakti sebagai hasil dari latihan bertahun-tahun. Tapi dasar pemahaman pijakan berfikir mereka
sendiri sama sekali tidak ada. Mereka terpaku oleh jurus dan jurus. Tak berani mengotak-atik ilmu mereka sendiri.
Kebanyakan karena menganggap ilmu mereka yang paling hebat.
Kebanyakan juga karena merasa ilmu mereka sudah sempurna.
Tapi yang paling banyak adalah karena mereka sendiri juga tak paham
mengapa dan bagaimana ilmu-ilmu itu diciptakan.
Jika mereka mampu menyadari bahwa di dalam kekosongan, sebuah ilmu
silat akan mampu berubah menjadi jurus apa saja. Menjadi berbagai macam bentuk, dan berbagai macam perubahan, maka sungguh mereka akan
mampu menjadi pesilat yang tak terkalahkan.
Sayangnya hanya Cio San yang mampu.
Untungnya hanya Cio San yang mampu.
Ji Hau Leng hanya menatap Cio San,
"bagaiaman kau bisa menggunakan 18 Tapak Naga?"
"Aku melihatmu menggunakannya tadi?"
"Kau sekali lihat langsung bisa?"
"Tidak. Aku harus menerima pukulan-pukulanmu dulu baru aku paham cara kerjanya."
"Kau bilang ilmuku belum sempurna" kata Ji Hau Leng
"Memang. Itu karena kau menitik beratkan 18 Tapak naga pada kekuatan
luar yang sangat dahsyat. Padahal jika digabungkan dengan tenaga dalam yang lembut, justru akan menghasilkan kekuatan yang lebih dahsyat" jelas Cio San.
"Aku.,.aku pernah mendengar bahwa leluhur Kwee Cheng telah mampu
menggabungkannya dengan ilmu lain yang lebih lembut. Ta"tapi aku tak
tahu bagaimana caranya"
"Itu karena kau terlalu banyak berpikir. Seharusnya kau biarkan saja ilmu itu mengalir dengan alami. Pada akhirnya kau akan menemukan caranya"
"Tapi aku sudah terlambat bukan" Kau tak akan memberiku waktu bukan?"
"Jika kau mengatakan dimana sahabat-sahabatku, aku akan
mengampunimu" Pada awalnya ia ingin membunuh Ji Hau Leng. Tapi
melihat keadaannya yang demikian, luluh juga hati Cio San.
"Aku sungguh tak tahu di mana mereka berada" jawab Ji Hau Leng.
"Siapa yang memerintahkanmu untuk menjemputku dan mengalihkan
perhatianku?" tanya Cio San
"Bwee Hua Sian"
"Kenapa kau patuh kepadanya" Bukankah kau adalah pemimpin partai
terbesar di kolong langit ini?"
"Ia menawan orang yang paling kusayangi"
Cinta! Semua ini karena cinta. Orang melakukan apapun demi cinta.
Apakah benar orang melakukannya demi cinta"
Bukankah orang melakukan apapun adalah demi dirinya sendiri" Ia takut kehilangan, ia takut ditinggalkan. Ia takut kesepian. Ia takut tak ada yang mencintainya lagi. Ia takut hatinya bersedih.
Jadi sesungguhnya orang melakukan apapun bukan karena cinta. Melainkan untuk dirinya sendiri.
"Tolong kau selamatkan dia" kata Ji Hau Leng.
"Kau jangan?" ucapan Cio San terhenti.
Tubuh Ji Hau Leng telah jatuh dan roboh. Ia telah mengambil nyawanya
sendiri. Di dunia ini siapakah yang berani menanggung malu sebesar ini" Menjadi pendekar yang dikagumi, membawahi puluhan ribu anggota partai terbesar di Bu Lim, tetapi melakukan hal-hal rendah demi cinta"
Tapi Cio San tak pernah menganggap hal itu rendah. Orang yang mati demi cinta adalah orang yang berbahagia. Apapun kata orang. Serendah apapun hinaan orang. Cinta harus diperjuangkan dan jika engkau mati di tengah jalan, engkau tetap orang yang beruntung. Karena setidaknya di dalam
hatimu masih ada sedikit kesetiaan dan kasih sayang.
Cio San mengangkat tubuh Ji Hau Leng dengan penuh hormat. Pendekar ini telah mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Maka Cio San
bertekad membawa tubuh Ji Hau Leng kembali ke markasnya.
Sampai menjelang malam, baru Cio San sampai di markas itu.
Kedatangannya membawa kekagetan dan tangisan membahana.
Seluruh pengemis yang ada di sana menangis dan berebut mencium jasad
ketua mereka. Setelah itu mereka mengurus jasad itu dengan baik.
Cio San heran mengapa ia tidak ditanyai macam-macam. Kematian orang
besar seperti ini tentunya menimbulkan kehebohan. Apalagi dia adalah
pangcu partai terbesar. Cio San sedikit kecewa mengapa tidak ada seorang pun anggota Kay pang yang menanyakan banyak hal kepadanya.
Ketika ia meminta diri untuk pulang, semua orang lalu berlutut di
hadapannya. "Salam hormat kepada Pangcu!"
Cio San tak bisa berkata apa-apa lagi.
Catatan Penulis part I: Tentang 18 Tapak Naga
Kwee Cheng dengan pemeran berbeda-beda
Jurus 18 Tapak Naga adalah jurus fiktif yang diciptakan salah satu penulis novel silat favorit saya, Chin Yung (Jin Yong). Jurus ini pertama kali muncul di novel "Demi God and Semi Devil". Saat itu tokoh jagoannya yang bernama Xiao Feng mempelajari ilmu 28 Tapak Naga.
Ilmu itu kemudian diringkasnya menjadi hanya 18 saja. Ilmu itu menjadi lebih efektif dan lebih dahsyat.
Xiao Feng adalah ketua perkumpulan Kay pang (pengemis) sehingga ilmu itu diturunkan kepada penggantinya secara turun temurun. Sampai kepada ketuanya yang ke 18 bernana Hung Qigung (Ang Cit Kong). Ang Cit Kong ini kemudian menurunkan jurus ini kepada muridnya Kwee Cheng.
Di tangan Kwee Cheng inilah, ilmu ini berkembang menjadi lebih dahsyat lagi. Kwee Cheng
menggabungkan jurus ini dengan beberapa ilmu yang dimiliknya seperti ilmu 9 bulan (Jiu Yin Jen Cheng/ Kyu Im Cin Keng). Ilmu ini menjadi sangat legendaris, karena baru Kwee Cheng lah orang pertama yang benar-benar menggunakannya dengan sempurna. Kedahsyatan ilmu ini sangat terkenal sehingga dianggap sebagai ilmu tenaga luar yang paling sakti di dalam kalangan persilatan.
Setelah Kwee Cheng, ia meneruskan ilmu ini kepada beberapa orang muridnya. Selama 100
tahun kemudian ilmu ini menjadi kabur, karena tidak jelas siapa lagi yang meneruskan mempelajari ilmu ini. Ilmu ini kemudian muncul secara mengagetkan di novel Chin Yung berikutnya yang berjudul "Heaven Sword and Dragon Sabre" (To Liong To, sekarang lagi main di Indosiar setiap jam 6 sore senin sampai jumat).
Dalam novel saya ini, saya sengaja menyebutkan ilmu ini sebagai bentuk penghormatan saya kepada Chin Yung-tayhiap. Karya beliau telah memberikan hiburan dan pengetahuan kepada saya. Bahkan saya menulis novel ini juga sebagai penghormatan kepada beliau, dan kepada idola saya yang lainnya, yaitu Khu Lung (Gu Long). Kedua penulis ini yang membuat saya benar-benar tertarik untuk menulis novel seperti ini.
Ok, cukup sudah selingannya. Selamat menikmati ya teman-teman,,semoha cukup menghibur.
Bab 53 Kejadian di Kay Pang
Pengemis Cun "Ada yang bisa menjelaskan maksud semua ini?" tanya Cio San
"Sebelum pergi, mendiang Ji-pangcu telah menuliskan surat. Ini suratnya, pangcu"
Cio San membuka dan membacanya,
Aku Ji Hau Leng, ketua ke 28 Kay Pang menerbitkan surat perintah sekaligus wasiat kepada seluruh anggota Kay pang di mana pun berada.
Saat ini aku akan menjalani pertempuran hidup dan mati. Sebuah
pertarungan karena masalah pribadi dan tidak ada hubungannya denga Kay Pang. Oleh sebab itu aku melarang setiap anggota Kay pang untuk turut campur dalam masalah pribadi ini.
Kesalahan masa lalu harus ditebus, harga diri harus diraih kembali. Jika aku pulang dalam keadaan hidup, maka semua akan tetap berjalan seperti biasa.
Jika aku mati, maka jabatan ketua ke 29 aku serahkan kepada Cio San.
Jabatan ini dipegangnya sementara sampai seluruh Kay Pang berhasil memilih ketua terbaru berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh partai kita
Kepada seluruh anggota Kay pang aku mengucapkan hormat sebesar-
besarnya atas cinta dan kesetiaan yang telah saudara-saudara semua berikan kepada partai kita yang tercinta. Kepada leluhur-leluhur, aku memohon maaf karena tidak mampu menjaga kehormatan. Kepada ketua
yang baru, aku percaya bahwa engkau akan sanggup menjalani tugas yang berat ini. Aku meyakini kebersihan hatimu, kejujuranmu, serta tingginya ilmu mu.
Salam hormat selalu Ji Hau Leng Cio San meneteskan air mata saat membaca surat ini. Ia merasakan
penderitaan Ji Hau Leng yang harus merusak kehormatan diri sendiri karena cintanya. Betapa dalam pedih yang harus dirasakan Ji Hau Leng saat ia diharuskan menjadi pengkhianat dan orang yang curang.
Entah berapa banyak perbuatan dosa yang terpaksa ia lakukan karena
mendapat ancaman dari Bwee Hua Sian.
Entah berapa kali ia harus melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya
"Saudara semua sudah tahu isi surat ini?" tanya Cio San kepada hadirin yang ada di sana.
"Sudah. Mendiang pangcu memerintahkan kami untuk membuka surat ini,
tepat ketika garis merah di langit hilang" kata salah seorang yang diikuti oleh anggukan hadirin yang lain.
"Lalu apa tanggapan kalian?"
"Perintah dan pesan terakhir mendiang Ji-pangcu harus dilaksanakan!!"
mereka yang ada di sana semua setuju.
Melihat ini, betapa hati Cio San seperti tersayat-sayat. Kesetiaan semua anggota Kay Pang ini kepada pesan terakhir pangcu mereka, membuat Cio San paham betapa baiknya perlakuan Ji Hau Leng terhadap mereka.
Lalu ia berkata, "Bagaimana jika perintah mendiang pangcu itu kutolak?"
Semua orang yang ada di sana heran,
"Maksud pangcu?"
"Aku tidak ingin menjadi pangcu Kay Pang"
Para hadirin yang berjumlah ratusan itu serentak lalu berdiri dan berkata,
"Mengapa?" Menjadi pangcu dari Kay Pang adalah dambaan semua orang yang ada di
dunia persilatan. Itu seperti menjadi kaisar tanpa mahkota.
"Karena aku tidak mau"
Semua orang yang ada di sana tidak percaya dengan apa yang mereka
dengar. Seorang pengemis tua maju ke depan dan bertanya,
"Apakah karena perkumpulan kami ini begitu hina sehingga tuan menolak?"
"Harap saudara-saudara tidak salah mengerti. Cayhe sendiri adalah kaucu dari sebuah partai. Cayhe takut jika tidak mampu mengurus 2 partai
sekaligus" kata Cio San.
"Ah partai apakah?"
"Mo Kauw" Semua hadirin yang ada di sana berdecak kagum. Cio San lebih mudah
daripada Ji Hau Leng. Sudah menjadi salah satu ketua partai besar.
"Aih..kalau begini malah akan semakin merepotkan" kata pengemis tua tadi.
Di pundaknya tergantung sejenis tas yang berisi banyak kantong. Jumlah kantongnya ada 9. Dalam Kay Pang, pengemis berkantong Sembilan adalah golongan pengemis yang paling tinggi derajatnya.
Semua orang menggeleng-geleng.
"Ada apa?" tanya Cio San.
"Menurut peraturan partai kami, seorang ketua tidak boleh menyandang 2
jabatan." "Aha. Cocok kalau begitu." Kata Cio Sambil tersenyum. "Cayhe memang
tidak pantas jadi ketua"
"Tapi pesan terakhir mendiang Ji-pangcu harus tetap dilaksanakan" kata pengemis tua itu, yang disambut dengan anggukan setuju oleh semua yang hadir di situ.
"Lalu harus bagaimana?" tanya Cio San.
"Biarkan kami berunding dulu. Boleh?" tanya si pengemis tua. Rupanya dia memang adalah sosok yang paling dihormati di sana.
"Silahkan, totiang (tetua). Cayhe akan menunggu di luar" kata Cio San.
Ia lalu ke halaman depan dan duduk-duduk di sebuah pavilion kecil yang ada di pojok halaman. Hari telah gelap. Langit hitam dan bintik-bintik cahaya di langit. Cio San menatap langit sambil berbaring. Kedua telapak tangannya ia jadikan bantal bagi kepala.
"Ikut aku" Terdengar sebuah suara. Jika bukan karena tidak percaya tahayul, Cio San pasti mengira itu suara setan. Ia menoleh ke sumber suara, di lihatnya Suma Sun sedang berdiri gagh di atas pagar yang tinggi.
"kau sudah menemukan mereka?" tanya Cio San
Suma Sun hanya mengangguk.
"Baiklah, tunggu sebentar. Aku pamitan dulu dengan anggota Kay Pang"
Cio San segera menuju balairung utama markas Kay Pang tempat mereka
sedang berunding. Telinganya sempat mendengar kedatangan banyak orang di gerbang depan, tapi mengacuhkannya saja. Baginya urusan
menyelamatkan sahabat-sahabatnya jauh lebih penting.
"Mohon maaf mengganggu rapat saudara-saudara sekalian. Bolehkah cayhe memohon ijin untuk pergi sebenatr menyelamatkan sahabat-sahabat cayhe.
Karena cayhe takut, jika terlambat mereka akan celaka"
Belum sempat orang-orang yang ada di sana menjawab, terdengar suara
dari belakang Cio San, "Jangan biarkan penipu itu pergi!"
Cio San menoleh. Serombongan pengemis berjumlah puluhan orang telah
muncul di situ. Berarti itu langkah-lagkah mereka yang tadi di dengar Cio San.
"Apa maksud saudara Han?" tanya salah seorang.
Orang yang dimaksud "saudara Han" tadi itu berkata,


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orang inilah pembunuh Ji-pangcu!" katanya sambil menuding Cio San.
"Apa?"!" semua orang yang ada di sana terbelalak.
"benarkah" Apa maksudmu Han-te (adik Han)" tanya pengemis tua yang
tadi dipanggil "totiang" oleh Cio San.
"Aku punya saksi Cun-ko (kakak Cun). Biar dia saja yang bercerita. Ayo Pan Lang, ceritakan semua yang terjadi tadi!"
Orang yang bernama Pan Lang itu maju ke depan. Ia menjura kepada
semua orang lali mulai bercerita,
"Saat tengah hari, aku berencana untuk pergi ke markas sini. Tapi begitu sampai di gerbang aku melihat pangcu kita sedang bercakap-cakap dengan bangsat ini" katanya sambil menunjuk Cio San.
"Karena tertarik, aku "menguping" sedikit pembicaraan mereka. Dari yang kudengar, mendiang Ji-pangcu mengatakan bahwa si bangsat ini telah
mencuri kitab sakti 18 Tapak Naga yang sempat ditemukan oleh Ji Pangcu setahun yang lalu itu"
"Apa?"!!!" semua orang yang ada di sana kaget.
Lalu Pan Lang melanjutkan,
"Si bangsat ini menolak mengembalikan, oleh sebab itu ketua bertarung dengannya. Pertarungan sangat dahsyat sekali. Karena masing-masing
mendiang Ji-pangcu dan si bangsat ini sama-sama menggunakan jurus 18
Tapak Naga!" Semua orang tak henti melongo dan terkaget-kaget.
"Lalu si bangsat ini menyerah kalah. Karena ilmu mendiang Ji-pangcu lebih murni dan lebih dahsyat. Tapi saat Ji-pangcu lengah, si bangsat ini
membokong dan membunuh pangcu kita!"
Semua orang marah dan menangis. Mereka bangkit dan memaki "Kurang
ajar!" suasana di sana ramai dan kacau balau.
Lalu tetua yang tadi dipanggil sebagai "Cun-ko" berkata, "Tenang-
tenang"urusan ini rumit dan banyak rahasia. Kita harus membahasnya
dengan kepala dingin"
Mendengar kata-katanya, entah kenapa semua orang Kay Pang menurut.
Tetapi beberapa angota daro rombongan yang tadi datang, masih berteriak-teriak "Bunuh si bangsat"bunuh si bangsat"
Si pengemis tua bernama Cun tadi menoleh kepada Cio San,
"benarkah apa yang diceritakan Pan Lang tadi?"
Bagaiamana Cio San bisa menjelaskan semua ini" Jika ia benar-benar jujur berkata bahwa Ji Hau Leng bunuh diri karena menyesal telah menjadi kaki tangan si otak besar, tentu tak ada yang percaya. Walaupun ada yang
percaya pun, Cio San tidak akan menceritakan rahasia itu. Ia ingin menjaga kehormatan dan nama baik Ji Hau Leng.
Maka ia hanya menjawab, "Benar, cayhe memang benar bertarung dengan mendiang Ji-pangcu"
"Kurang ajar! Bunuh si bangsat!" semua yang ada di sana pun serentak
memasang kuda-kuda. "Tahan! Tahan sebentar!" kata Pengemis Cun. Lanjutnya,
"Lalu apa maksud surat mendiang Ji-pangcu" Kita semua tahu surat itu
adalah tulisan tangan beliau"
"Surat itu palsu!" sahut Han Siauw. Dia ini kepala rombongan yang tadi datang. "Aku punya surat asli"
Ia melemparkan sebuah kertas ke arah pengemis Cun. Ia lalu membacanya.
"Seorang pengacau telah merusak kehormatan Kay Pang, dan telah mencuri kitab sakti 18 Tapak Naga kebanggaan kita. Aku pergi untuk meminta
pertanggung jawabannya. Jika aku gugur nanti, jabatan pangcu ku serahkan kepada Han Siauw
Tertanda Ji Hau Leng" Semua orang bertambah terbelalak lagi.
"Itu adalah surat yang asli. Seorang penyusup telah masuk ke kamar
mendiang Ji-pangcu lalu menukarkan surat iini dengan surat palsu.
Untunglah kami berhasil menangkap penyusup itu dan membunuhnya"
Pengemis Cun berkata, "Tapi surat yang tadi kami baca pun, surat asli. Ada cap dan tanda tangan Ji-pangcu sendiri. Apalagi kita semua mengenal
tulisan tangan mendiang pangcu"
"Cun-ko" kata Han Siawu, "Coba engkau periksa surat yang ku bawa itu.
Bukankah ada cap dan tanda tangan ketua" Bukankah tulisan tangannya
pun sama persis?" Semua orang memeriksa surat itu dan mengangguk-angguk. "Benar, surat
ini pun asli!" "Nah, sekarang mana yang kalian percaya" Orang asing ini atau aku" Surat bisa dipalsukan, tanda tangan dan gaya tulisan pun bisa dipalsukan. Tapi kebenaran tak akan bisa dipalsukan!" kata Han Siauw lantang.
"Bantai si bangsat! Bantai si bangsat!" semua orang yang berada di situ berteriak-teriak.
"Buat formasi Barisan Pemukul Anjing!" perintah Han Siauw. Semua orang kemudian bergerak dan membentuk lingkaran mengelilingi Cio San. Hanya Cio San dan Han Siauw yang berada dalam lingkaran itu. Barisan ini
mengepung mereka berdua sambil mengetuk-ngetukan tongkat kayu
mereka ke lantai. Menimbulkan suara bising yang menakutkan. Inilah
Barisan Pemukul Anjing yang snagat tersohor itu!
Semua tetua dan orang yang tidak bergabung ke dalam Barisan Pemukul
Anjing telah menepi ke luar lingkaran.
Cring! Han Siauw mengeluarkan pedangnya. Pedang itu tersimpan di dalam
tongkatnya. "Kau menggunakan pedang?" terdengar suara lembut dan tenang
Tiada satu orang pun yang tahu bagaimana sosok berbaju putih dan
berambut kemerahan itu telah muncul dan berada di dalam lingkaran itu!
"Suma-tayhiap, tolong jangan bunuh orang" kata Cio San
"Pedang hanya untuk membunuh" kata Suma Sun. Masih dengan lembut
dan tenang. Memintanya untuk tidak membunuh orang, adalah seperti meminta serigala menjadi domba.
"Ah jadi ini si dewa pedang rambut merah. Kau antek-antek si bangsat ini bukan" Coba ku lihat kehebatan ilmu pedangmu yang tersohor"
Han Siauw bergerak. Suma Sun tidak bergerak. Tapi Han Siauw telah terkapar dengan luka tusukan tepat di dahinya.
Tanpa darah. Yang ada hanya kematian. Melihat ini tiada satu pun orang yang mengeluarkan suara. Bahkan suara tongkat beradu dengan lantai pun sudah berhenti.
Tak ada yang tahu bagaimana Han Siauw mati. Tak ada yang tahu
bagaimana Suma Sun bergerak.
Akhirnya Cio San berkata,
"Harap saudara-saudara jangan maju menyerang. Biarkan aku
menyelesaikan fitnah dengan baik-baik. Aku bersumpah bukan yang
membunuh Ji-pangcu. Rahasia ini harus kita bongkar. Aku hanya berharap saudara-saudara sekalian percaya kepadaku"
"Kami tidak takut mati!!!" mereka semua menyerang. Inilah barisan tongkat pemukul anjing yang dahsyat dan mematikan.
Hujan tongkat berdatangan bagai badai dan hujan. Mereka yang menyerang Suma Hun tentu saja langsung terkapar dengan luka tusukan di dahi
mereka. Mereka yang menyerang Cio San semua terlempar kembali tanpa
terluka sedikit pun. Thay Kek Kun telah menunjukkan kehebatannya sekali lagi.
"Tahan! Jangan menyerang!" tapi sergahan Cio san ini malah seperti
membangkitkan semangat bertarung mereka.
Kembali puluhan orang terlempar kembali ke belakang oleh Cio San. Kini tak ada yang berani menyerang Suma Sun.
"Cun totiang (tetua Cun)! Harap tahan anak buahmu. Kau tahu pasti ada rahasia di balik ini semua. Percayalah padaku"
Cio San berkata begitu karena ia tahu, pengemis Cun adalah oeang yang cerdas dan yang paling didengarkan kata-katanya. Dan pandangan Cio San tidak pernah salah.
"Saudara-saudara, tahan serangan!" kata pengemis Cun
Serangan pun berhenti. "terima kasih." Kata Cio San kepada pengemis Cun.
"Saudara-saudara sekalian. Dengarkan perkataanku. Aku bukan pembunuh
Ji-pangcu. Aku justru terfitnah. Kami berdua terfitnah. Memang kami
bertarung tapi aku tidak membunuhnya. Kami juga bertarung bukan gara-
gara 18 Tapak naga. Percayalah. Beri aku waktu 3 bulan untuk
membersihkan namaku dan meluruskan fitnah ini" kata Cio San. Baru kali ini terlihat wibawanya.
Memangnya jika kau tidak memberinya waktu, kau bisa apa"
Menyerangnya" Tentu kaulah yang mati. Oleh sebab itu para anggota Kay pang mengangguk-angguk saja. Mereka telah melihat kebaikan hati Cio san untuk tidak membunuh mereka.
"Baiklah kami beri kau waktu. Tiga bulan. Jika tidak, kami yang akan
mengobrak-abrik Mo Kauw" kata salah seoran tetua.
"Cun-totiang" kata Cio San "Ikutlah dengan ku. Aku akan menjelaskan
semuanya sambil jalan. Aku butuh bantuanmu"
Pengemis Cun mengangguk. "Ayo pergi" Mereka bertiga lalu menghilang dari sana.
Bab 54 Di Lembah Seribu Kupu-Kupu
Tak berapa jauh mereka pun berhenti. Karena Suma Sun berhenti.
Serigala memang tak perlu terburu-buru mengejar mangsa. Jika mangsanya kecil, serigala akan segera membunuhnya. Tapi jika musuhnya lebih besar daripada dirinya, maka ia akan menunggu dan menunggu sampai si musuh
lengah dan kehabisan tenaga.
Serigala akan semakin tenang jika menghadapi musuhnya.
Suma Sun pun seperti itu. Jika kau melihatnya semakin tenang dan lembut.
Itu berarti ia sedang bersiap-siap bertempur.
Cio San paham hal ini oleh sebab itu ia tidak bertanya apa-apa kepada Suma Sun. Mereka berjalan kaki dengan santai tanpa berbicara.
Ia memilih bercakap-cakap dengan pengemis Cun.
"Ku pikir, totiang harus mendengar semua ceritaku dari awal. Tapi
sebelumnya, aku hanya ingin bertanya. Apakah totiang yakin bahwa di dunia ini ada orang yang tidak pernah melakukan kesalahan?"
"Tidak ada orang yang sempurna, pangcu" kata pengemis Cun
"Totiang memanggilku pangcu. Apakah totiang menganggapku tetap sebagai Kay pang pangcu?" tanya Cio San.
"Tentu saja, pangcu"
"Dengan segala kejadian tadi, pandangan totiang terhadapku tidak
berubah?" "Tidak. Walaupun cayhe tahu ada banyak rahasia dibalik semua ini. Cayhe tetap percaya kepada pangcu"
"Kenapa?" "Tak ada alasan"
Memang ada saat saat di mana saat kita bertemu orang yang tak kita kenal, kita kadang-kadang percaya penuh kepadanya. Orang yang memakai akal
sehat tentu tidak akan melakukannya. Tapi kadang-kadang akal sehat kita kalah oleh perasaan. Jika sudah percaya, maka apapun yang dia lakukan, kita akan percaya. Tapi jika sudah tidak percaya, sebenar dan sebaik apapun tindakannya, kita tetap tidak akan percaya.
Kejadian seperti itu rasa-rasanya memang sudah umum.
"Jika ku katakan kepada totiang bahwa mendiang Ji-pangcu pernah
melakukan kesalahan, apakah totiang akan percaya?" tanya Cio San
"Tidak ada orang yang bersih dari kesalahan, pangcu. Tapi kesalahan apa yang pangcu maksud?"
Cio San lalu bercerita dari awal. Tentang pembunuhan-pembunuhan yang
dilakukan oleh orang-orang bertopeng. Tentang sehalanya. Dan tentang Ji Hau Leng yang kekasihnya disandera. Sehingga akhirnya harus melakukan banyak "dosa". Dan kemudian memilih mati bunuh diri untuk menebus dosa-dosanya.
"Aihhhhh. Cayhe tidak mengerti mengapa bisa sedalam itu urusannya" kata pengemis Cun.
"Apakah totiang percaya seluruh ceritaku?" tanya Cio San
"Mau percaya juga berat. Mau tidak percaya, kenyataannya sangat masuk akal. Ketahuilah, pangcu. Cayhe sendiri banyak melihat perubahan-perubahan dalam diri mendiang Ji-pangcu dalam setahun belakangan ini.
Beliau sering sekali melamun. Ketika cayhe tanya ada apa, beliau hanya tersenyum dan tidak menjawab apa-apa. Beliau pun sering "menghilang".
Lebih banyak berada di luar markas. Tidak ada seorang pun yang tahu
kemana beliau pergi. Padahala jaringan partai kamu terbesar dan paling hebat dalam mencari berita. Jangankan pangcu kami sendiri, nyamuk dan lalat pun kami tahu keberadaannya."
"Banyak juga keputusan-keputusan dan kebijakan beliau yang cayhe rasa cukup janggal"
"seperti apa?" tanya Cio San
"Banyak pangcu. Hamba tidak ingat satu persatu. Yang paling cayhe ingat adalah keputusan beliau untuk membuka penerimaan anggota sebebas-bebasnya. Padahal dulu partai kami adalah partai yang paling ketat
keanggotaannya. Tidak sembaran oran atau sembarang pengemis bisa
menjadi anggota" "Hmmm: Cio San hanya mengagguk angguk saja.
"Apakah kebijakan itu ada hubungannya dengan semua kejadian
pembunuhan ini, pangcu?"
"Tentu saja" jawab Cio San pendek.
"Lalu bagaimana dengan surat yang tadi dibawa Han Siauw" Cayhe
perhatikan, surat itu asli. Tak ada bedanya dengan tulisan tangan mendiang Ji-pangcu"
"Surat itu tentunya palsu. Si otak besar pasti telah menyiapkannya, begitu dilihat Ji Hau Leng bunuh diri. Pergerakan si otak besar ini lumayan cepat, sampai-sampai dia bisa menyusun rencana dan membuat suart palsu
sedemikian cepat" Lanjut Cio San, "Saat aku kecil dulu, aku ingat ayahku pernah bercerita tentang seorang Siucai (sastrawan) yang mampu meniru tulisan dan lukisan siapa saja. Aku lupa siapa namanya. Tentunya orang-orang seperti ini yang memalsukan
tulisan dan cap perguruan Kay Pang"
"Hmmm, masuk akal"
Pengemis Cun hanya merenung. Hatinya bersedih oleh kejadian yang baru saja lewat. Ia bahkan tak tahu harus berbuat apa.
Lalu ia berkata, "Lalu pangcu membawa saya untuk mengikuti pangcu kesini untuk apa?"
"Aku hanya menyelamatkanmu dari si otak besar"
"Hah?" "Tentunya jika aku tidak ada di sana, pemberontakan akan segera terjadi.
Orang-orang si otak besar yang ia susupkan kesana pasti akan
membunuhmu jika mereka tahu engkau berpihak kepadaku"
Penemis Cun mengangguk-angguk.
"Jika kau mengangapku sebagai pangcumu, aku inin memberi perintah
kepadamu" "Hamba siap terima perintah" katanya sambil berlutut.
"Kau harus "menghilang" untuk sementara. Atur langkah baik-baik. Cari anggota-anggota Kay Pang yang sekiranya setia dan percaya kepadamu.
Kalian harus bersiap-siap karena mulai saat ini aku yakin kay pang akan dikuasai oleh antek-antek si otak besar. Selain itu, aku memintamu untuk pergi ke kotaraja. Seledikilah pergerakan Kay Pang di sana. Segera laporkan kepadaku jika ada perkembangan"
"Baik, pangcu. Eh tapi bagaimana hamba harus mencari pangcu?"
"Pergilah ke Khu Hujin. Kau tahu siapa dia bukan" Nah, katakan bahwa
engkau punya pesan untukku. Biar Khu Hujin yang akan mengurusnya"
"Baik. Hamba segera berangkat" pngemis Cun lalu menghilang dari sana.
"Apa hubungannya Khu Hujin dengan semua ini?" tanya Suma Sun. Ia
sepertinya tertarik "Sangat berhubungan."
Suma Sun hanya mengangguk-angguk.
Perjalanan mereka dilakukan dengan tidak berburu-buru. Mereka berdua
beristirahat, menikmati makanan, dan bahkan mandi dan menyegarkan diri saat terang tanah.
Dalam pertarungan, seorang petarung haruslah dalam kondisi terbaik.
Kekuarangan satu hal kecil saja akan membuat mereka kalah. Tubuh harus segar. Asupan gizi harus penuh. Tidak ada luka, tidak ada cedera. Tidak ada masalah yang merisaukan hati.
Bahkan luka di ujung kuku saja bisa membuatmu kalah.
Kondisi daerah pertarungan tempat engkau bertarung pun harus kau kuasai.
Pepohonannya. Rerumputannya. Tanahnya. Letak arah sinar matahari. Arah angin. Bahkan jam berapa engkau bertarung itu pun harus kau
perhitungkan. Suma Sun memang ahlinya dalam bidang itu. Makanya Cio San menurut
saja apa kata Suma Sun. Suma Sun bilang tidur, maka ia manut tidur. Suma Sun bilang makan, ia manut makan. Bahkan jika Suma Sun menyuruhnya
buang air, ia akan menurut.
Kini setelah mandi dan sarapan, mereka duduk menikmati sinar matahari pagi.
"Setelah melihat sendiri gerakan pedangmu tadi, aku yakin aku tidak dapat menangkap pedangmu" kata Cio San.
"Kau bisa melihat pedangku?" tanya Suma Sun
"Bisa" "Ah?" ada kekecewaan dalam suaranya.
"Tapi aku kan tidak bisa menangkapnya" sanggah Cio San
"Tetap saja kau bisa melihatnya" kata Suma Sun dingin. Lanjutnya, "Jika bukan karena kita akan bertempur melawan musuh di depan, saat ini juga aku sudah ingin bertempur denganmu"
"Aku kan sudah bilang aku tidak bisa menangkap pedangmu" kata Cio San
"Tapi kau tidak bilang bahwa aku sanggup mengalahkanmu" tukas Suma
Sun. Kata-katanya malah jauh lebih tenang dan dingin. Ini pertanda bahwa ia sudah mulai memasuki "gaya tempur" nya.
Cio San geleng-geleng kepala. Mengapa di dunia ini ada orang seperti ini"
"Musuh di depan kita, apakah adalah seseorang yang selama ini kau cari-cari?" tanya Suma Sun.
"Mungkin saja" tukas Cio San santai.
"Kau tak akan bisa menempurnya sendirian" kata Suma Sun
"Aku tahu. Karena itulah aku mengajakmu"
"Mengapa kau begitu yakin aku mau menerima ajakanmu?"
"Karena kau pun mencari dia, bukan?"
Suma Sun sedikit kaget, "Darimana kau tahu?"
"Kau memiliki dendam terhadapnya. Karena itulah kau mau datang ketika dulu dipanggil Cukat Tong. Jika bukan karena urusanmu sendiri, kau tentu tidak akan mau datang" jelas Cio San.
"Kau hebat" kata Suma Sun.
"Jika kau yang mengatakannya, aku baru percaya baru aku hebat" kata Cio San sambil tersenyum. Tapi Suma Sun tidak tersenyum.
"Baru kali ini aku merasakan takut kepada seseorang" kata-katanya lambat dan pelan. Terasa semakin lembut dan halus terdengar. "Musuh sekuat
apapun, bahkan yang lebih kuat dari aku pun aku tak pernah takut. Hanya kepadamu aku baru merasakannya. Ternyata seperti ini rasanya"
"Jika kau bertarung denganku dalam kondisi seperti ini, kau pasti akan kalah" kata Cio San.
"Tentu saja" Ia mengaku kalah dengan santai dan ringan. Padahal orang seperti Suma Sun harga dirinya sangat tinggi.
"Orang yang akan kita hadapi apakah ada 2 orang?" tanya Cio San
"Kau tahu?" Suma Sun balik bertanya.
"Jika cuma satu orang, tentu kau bisa menghadapinya sendirian"
Suma Sun mengangguk. Dia memeluk erat pedangnya. Di dunia ini hal yang paling disayanginya tentulah pedang itu.
"Apakah mereka sehebat itu?" tanya Cio San lagi.
"Ilmunya sudah ia kuasai puluhan tahun. Tempat yang kita datangi ini
adalah tempatnya. Ia sudah menang beberapa langkah"
"Apa yang membuatmu yakin kita akan menang?"
"Ada kau dan aku"
Ini bukan kesombongan. Jika ia tidak yakin benar, sudah pasti ia tak akan mau bertempur.
"Mari kita lanjutkan perjalanan"
Mereka pun berangkat. Sampai sore hari tibalah mereka di sebuah lembah yang indah. Begitu banyak bunga dan kupu-kupu membuat tempat ini
menjadi sangat indah. Cio San jadi teringan Mey Lan. Biasanya Mey Lan paling suka tempat seperti ini.
"Tempat seindah ini, siapa yang menyangka menyimpan kematian?"
"Belum pernah ada kematian di sini" sahut Suma Sun.
"Oh" Jika Suma Sun yang bicara, Cio San menurut saja.
Manusia-manusia yang bernaluri tinggi seperti Suma Sun memang
pendapatnya lebih bisa dipegang. Ini karena mereka lebih mengandalkan perasaan mereka. Suma Sun yang mengalami kebutaan mungkin sejak
lahir, telah terbiasa mengasah perasaannya ini sehingga menjadi sangat tajam.
Posisi tubuh Suma Sun tiba-tiba menegak. Gerakannya menjadi lamban.
Jalannya menjadi perlahan. Ia telah merasakan bahaya di depan!
Telinga Cio San sendiri belum mendenar apa-apa.
"Kau mendengar apa?" tanya Cio San
"Ada orang di depan. Langkahnya tidak terdengar. Tapi aku bisa merasakan hawa pembunuhnya"
Tak berapa lama, tampaklah seseorang di depan.
"Ah, Mo Kauw kaucu dan Ang Hoat Kiam Sian" kata orang itu sambil
tersenyum. Penampilannya biasa saja. Seperti seorang pedagang pasar yang kelebihan berat bedan. Senyumnya ramah dan bersahabat.
"Salam hormat" kata Cio San menjura. Suma Sun diam saja.
"Salam hormat" kata orang itu sambil balas menjura.
"Mari silahkan duduk dulu" Ia berkata ramah sambil mengajak mereka
duduk di sebuah pavilliun kecil di tepi kolam. Pemandangannya sungguh indah.


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cio San dan Suma Sun mengikutinya saja. Mereka kemudian duduk di
paviliun itu. "Cayhe punya seguci arak. Tapi entah tuan-tuan ada minat tidak untuk
sekedar menghabiskan beberapa cangkir bersama cayhe?"
"Tentu saja minat, tuan?" Cio San menggantungkan kata-katanya.
"Nama cayhe Man Tho Li" katanya sambil tersenyum.
Siapa pun yang punya telinga di dunia, pasti pernah mendengar nama ini.
Man Tho Li. Pria terkaya di seluruh Tionggoan. Harta pribadinya saja bahkan mungkin lebih banyak dari kaisar sendiri!
Tak disangka, orang bernama Man Tho Li ini cuma seorang bertubuh tambun berpakaian sederhana.
"Ah, ternyata cayhe berhadapan dengan Man-wangwe (saudagar Man).
Maafkan mata cayhe yang lamur dan tidak mengenal orang. Sungguh ini
sebuah kehormatan" kata Cio San.
"Aha..tidak berani..tidak berani. Justru ini sebuah kehormatan bagi cayhe bisa bertemu langsung dengan jagoan-jagoan terkemuka di jaman ini"
katanya Lalu ia bertanya,
"Apakah gerangan yang membawa enghiong ji-wi (dua orang satria) ini
kemari?" katanya sambil menuangkan arak ke dalam cangkir.
"Kami mencari 4 orang sahabat kami. Mungkin telah tersesat jalan hinga kemari. Kami pun hanya mencari-cari saja tanpa tujuan" kata Cio San
"Eh" Siapa nama 4 sahabat Cio-kaucu?" tanya Man-wangwe
"Cukat Tong, Ang Lin Hua, Sie Peng dan Yan Tian Bu" jawab Cio San.
Man-wangwe berpikir sebentar, lalu berkata,
"Maksud kaucu, Cukat Tong raja maling dan Ang Lin Hua putri mendiang
Ang-kaucu?" "Benar sekali" jawab Cio San
"Lalu Sie Peng dan Yan Tian Bu ini siapa?" tanya Man wangwe lagi
"Mereka adalah anak buah cayhe, wangwe"
"Hmmmm". Aku yakin mereka tidak ada di sini" kata Man wangwe
"Eh?" Cio San hanya bisa menoleh ke Suma Sun.
"Mereka ada di sini" kata Suma Sun tenang.
"Apa Suma-tayhiap tidak keliru" sudah, begini saja. Mari kita sama-sama ke dalam dan ji-wi enghiong bisa memeriksa sendiri.
Habis bicara begitu ia bangkit dan mempersilahkan mereka mengikutinya.
Dari jauh rumah Man-wangwe terlihat sangat indah. Sebuah rumah yang
walaupun tidak begitu besar, terlihat megah dan cantik sekali.
Begitu memasuki rumah itu, tampaklah perabotan-perabotan yang
sederhana sekali. Orang terkaya di dunia ternyata hidup begitu sederhana.
"Silahkan ji-wi enghiong memeriksa seluruh ruangan yang ada" katanya
mempersilahkan. Dengan agak rikuh Cio San memeriksa setiap ruangan. Suma Sun hanya
berdiri saja dengan tenang sambil memeluk pedangnya.
Setiap ruangan yang di masukinya memang tidak ada hal yang
mencurigakan. Cio San sampai berpikir bahwa mungkin saja Suma Sun bisa salah. Ketika sampai di depan ruangan terakhir yang pintunya terlihat cukup indah, Man wangwe berkata,
"Harap kaucu jangan masuk ke sana"
"Kenapa?" "Itu kamar istri cayhe yang sedang sakit"
"Mereka berada di kamar itu" sahut Suma Sun.
"Suma-tayhiap! Jangan asal bicara" ucapannya masih tenang tapi
kemarahannya sudah mulai tampak.
"Kau ingin bertarung?" tanya Suma Sun
"Cayhe bukan pesilat. Tapi siapapun yang mengganggu ketenangan istri
cayhe, akan cayhe hadapi"
"Majulah" kata Suma Sun tenang.
Cio San bingung harus berkata apa. Dalam hatinya, tentu saja ia percaya Suma Sun.
Man-wangwe membuat kuda-kuda.
Suma Sun berdiri tegak. Ia telah menyelipkan pedang di pinggangnya.
Man wangwe bergerak! Gerakannya sungguh cepat sekali. Untuk ukuran orang segemuk dia,
gerakannya bahkan sama lincahnya dengan Ji Hau Leng! Cio San saja
hampir tak percaya. Pukulannya sederhana. Suma Sun telah menggenggam pedangnya.
Begitu jarak keduanya semakin dekat, tiba-tiba dari mulut Man-wangwe
terdengar teriakan yang sangat dahsyat!
Teriakan itu menghanucrkan seluruh isi ruangan yang ada. Perabotan pecah, pintu-pintu jebol, bahkan dinding tebal pun retak-retak.
"Auman Singa!" bisik Cio San dalam hati. Ia telah mengeluarkan tenaga dalamnya dan menutup jalan pendengarannya. Tapi tetap saja ia terlambat sedikit. Kecepatan suara, jauh lebih cepat dari kecepatan gerakan manusia.
Yang paling menderita adalah Sum Sun!
Ia tak menyangka Man-wangwe akan menyerangnya dengan ilmu Auman
Singa. Ilmu itu telah menyerang gendang telinganya dengan sangat cepat.
Apalagi telinganya memang jauh lebih peka dari siapa saja, sehingga
membuat serangan ilmu Auman Singa itu memiliki efek yang berlipat ganda kepadanya. Menutup jalan pendengaran pun sudah tidak sempat.
"Arggggggghhhhhhhhh," ia terjatuh berlutut sambil menutup telinga.
Pukulan dahsyat Man Wangwe pun kini sudah sangat dekat dengan
kepalanya. Dengan gerakan yang tak terduga, Suma Sun sudah menghindari pukulan
itu. Entah bagaimana caranya!
Mungkin nalurinya yang kini bekerja sekarang. Selama ini, ia selalu
bertarung mengandalkan pendengarannya. Kini pendengarannya tak
berfungsi sama sekali, tapi ia mampu menghindari pukulan ganas itu. Hanya pengalaman bertarung lah yang membuat naluri seorang petarung menjadi sedemikian tajam!
Ingin Cio San membantu Suma Sun. Tetapi Cio San tahu, mengeroyok
bukanlah perbuatan para satria. Apalagi ia tahu juga, bahwa Suma Sun
tentu tak ingin orang lain mencampuri pertarungannya.
Kini pedang Suma Sun telah terlepas dari tangannya. Seorang pendekar
tanpa pedangnya, bagaikan serigala tanpa cakar dan taringnya.
Terlihat wajah Suma Sun pucat dan ia meringis menahan sakit. Tapi
sikapnya masih tenang. Setelah berhasil menghindari pukulan ganas Man-wangwe, kini Suma Sun telah berhasil mengatur jarak dari Man wangwe.
"Hebat!" puji Man wangwe.
"Selama ini belum pernah ada orang yang lolos dari seranganku ini"
katanya. Percuma saja ia berkata-kata karena Suma Sun tidak bisa mendengar apa-apa.
Serangan Man-wangwe kini datang lagi. Pukulan bertubi-tubi yang
mengincar berbagi tempat di tubuh Suma Sun. Ada yang berhasil ia hindari dan tangkis, tetapi ada beberapa pukulan juga yang masuk.
Suma Sun terlempar menghantam dinding di belakangnya. Hantaman ini
bahkan sampai menjebol dinding itu.
Masih belum puas, Man-wangwe mengejar tubuh yang terlempar itu dan
kembali melancarkan serangan pukulan dan tendangan yang maha dahsyat.
Jika orang lain yan menerima pukulan dan tendangan itu, tentunya
tubuhnya akan remuk. Tapi tubuh Suma Sun telah ditempa oleh banyak hal. Walaupun terluka,
setidaknya tidak sampai membuat ia mati.
Melihat pemandangan ini hati Cio San bagai tersayat-sayat. Ia sudah ingin maju bergerak, tetapi di lihatnya Suma Sun telah kembali berdiri degan gagah!
Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Beberapa tulangnya ada yang
patah. Tetapi ia tetap berdiri gagah bagaikan serigala yang sedang terluka!
"Hebat!" tak terasa pujian itu keluar dari mulut Cio San.
Man wangwe kembali melancarkan jurus-jurusnya yang ganas. Pukulannya
datang bagai air bah. Tendanganya datang menghujam bagai angin badai.
Semua coba ditangkis dan dihindari oleh Suma Sun. Tapi berkali-kali juga pukuan dan tendangan itu ada yang lolos dan mengenai tubuhnya.
Suma Sun terjatuh berlutut. Serangan-serangan ini terlalu dahsyat baginya.
Ia jatuh dan kedua tangannya kini menahan tubuhnya agar tidak jatuh
tertelungkup. Satu lagi serangan, dan Suma Sun akan habis riwayatnya!
Dan serangan itu pun tiba. Man-wangwe mengatupkan kedua telapak
tangannya membentuk sebuah tinju yang sangat mengerikan. Inilah ilmu
andalannya "Tinju Palu Besi Menghujam Sukma". Cio San tercekat!
Sudah tak ada harapan lagi baginya untuk menolong Suma Sun!
Gerakan tinju itu sangat dahsyat, sangat cepat, sangat ganas. Menghujam ke batok kepala bagian belakang Suma Sun.
Jleb! Ia pun roboh! Roboh kehilangan nyawanya!
Tapi bukan Suma Sun. Man-wangwe lah yang roboh
Sebuah luka di dahinya. Tak ada darah. Hanya ada kematian. Suma Sun masih berlutut. Di tangan kanannya terdapat sebuah bambu kecil yang tidak begitu panjang.
Bambu pecahan perabot kursi yang tadi pecah dan hancur karena
pertarungan mereka yang dahsyat.
Cio San jadi ingat kata-kata Suma Sun,
"Aku tidak percaya pedangku. Tetapi aku percaya kepada diriku"
Dan Suma Sun benar-benar membuktikannya.
Cio San segera bergegas ke Sum Sun. Dengan nalurinya, Suma Sun tahu
jika orang yang datang bukan untuk menyerangnya. Ia diam saja ketika Cio San menempelkan tangan ke pundaknya dan menyalurkan tenaga saktinya.
Tak berapa lama Suma Sun mulai merasa badannya segar kembali.
Walaupun tulangr rusuk, lengan, serta tulang pahanya patah, seluruh
organnya terlindungi. Hal ini karena Suma Sun sendiri memiliki tenaga sakti yang dilatihnya bertahun-tahun sejak kecil.
Cio San lalu menotok beberapa titik yang berhubungan dengan indra
pendengaran Suma Sun. Begitu ditotok, si dewa pedang ini merasakan sakit di telinganya mulai menghilang. Pendengarannya berangsur-angsur pulih.
Sedikit demi sedikit ia sudah bisa mendengar suara.
"Untung tenaga dalammu sangat tinggi, walaupun kau terlambat sedikit, setidaknya tenaga dalammu berhasil melindungi gendang telingamu dari
cedera yang parah. Jika kau beristirahat memulihkan diri selama beberapa bulan, ku kira pendengaranmu akan kembali seperti semula" jelas Cio San Suma Sun hanya mengangguk-angguk dan berkata, "Terima kasih" Sambil
berkata begitu ia melanjutkan semedhi untuk memulihkan kekuatannya.
Cio San sendiri segera berdiri. Ia melangkah ke pintu besar tadi. Pintu yang menimbulkan semua perkelahian ini. Pertarungan sedahsyat tadi tidak
merusak pintu itu secuil pun.
Ia membukanya. Bau harum bercampur sedikit bau darah terhembus dari dalam ruangan itu.
Ruangan yang biasa saja. Bwee Hua Sian duduk di sebuah kursi, di sebelahnya terdapat tempat tidur.
Seorang nenek tua terbaring lemah di atas tempat tidur itu.
"Terima kasih" itulah kata-kata yang keluar dari bibir Bwee Hua Sian.
Cio San hampir tidak mengerti untuk apa Bwee Hua Sian mengucapkan
kata-kata itu. Ia hanya tersenyum memandang Bwee Hua Sian.
"Kau harus berterima kasih kepada Suma Sun" kata Cio San.
"Aku tahu, aku mendengar semua kejadian tadi dari sini" kata Bwee Hua Sian sambil tersenyum pula. Wajahnya terlihat tenang dan gembira. Seperti sebuah beban telah terlepas dari pundaknya.
"Orang ini, apakah gurumu?" tanya Cio San
"Aku lebih memilih memanggilnya ibu. Aku ingin bercerita banyak hal, tapi aku yakin kau sudah tahu begitu banyak"
"Aku lebih memilih kau yang menceritakannya." Sahut Cio San sambil
tersenyum. "Baiklah" Ia pun memulai ceritanya,
"Sebenarnya, yang bernama asli Bwee Hua Sian adalah ibuku ini. Beliaulah yang dijuluki wanita paling cantik dan paling kaya sedunia. Beliau yang memungutku dari jalan saat keluargaku dibunuh orang dahulu.
Beliau yang mendidikku silat. Mengajarkanku banyak hal, termasuk merawat tubuh hingga tetap terjaga seperti ini"
"Ah, aku tahu umurmu belum 60 tahun. Mungkin baru sekitar 30-35 tahun.
Tapi harus kuakaui, wajah dan perawakanmu seperti anak perempuan
berumur 17" tukas Cio San sambil tersenyum.
"Haha. Memang benar kata orang, kau tak dapat menipu Cio San. Beng
Liong salah mengambil kesimpulan. Karena memang selama ini aku selalu menyamar menjadi ibuku. Menggunakan namanya dalam setiap aksi-aksiku."
"Ibuku lah yang berumur 60 tahun. Dan kecantikannya memang benar-
benar terjaga. Kau pasti heran mengapa ibuku terlihat menderita seperti ini kan" Itu karena bajingan Man-wangwe!" ada kemarahan terlihat di matanya.
"Kau tahu kenapa bajingan itu bisa menjadi orang terkaya di dunia" Itu karena dia berhasil memperdaya ibuku. Beberapabelas tahun yang lalu, ia sangat tampan walaupun sudah lumayan berumur. Ibuku jatuh cinta
kepadanya. Mereka kemudian menikah. Dia seorang yang biasa-biasa saja waktu itu. Karena ibuku lah ia menjadi kaya raya. Orang berhati culas itu perlahan-lahan meracuni ibuku sedikit demi sedikit. Racun itu mengambil kecantikannya. Bahkan juga mengambil ilmu silatnya. Untunglah aku tidak ikut teracuni juga karena aku tinggal terpisah dengan ibu"
"Dengan segenap kekuasaan ibuku, yang memiliki banyak pengaruh, anak
buah, dan sebagainya, si bajingan itu kemudian mulai melaksanakan
rencana bejatnya. Ia ingin menguasai dunia Kang Ouw. Ia ingin merebut jabatan Bu Lim Beng Cu yang akan diadakan 2 bulan ini. Selama beberapa tahun ia mulai menyingkirkan saingan-saingannya. Semua dilakukannya
dengan cermat dan pintar."
"Ia juga mengancamku untuk turut menjadi anak buahnya. Ia
memanfaatkan aku untuk menjalankan semua rencananya. Memikat para
pendekar. Merayu mereka, menggoda mereka. Dan semuanya memang
benar-benar terlaksana dengan baik. Sungguh perih hatiku menjalaninya.
Karena aku melakukannya demi ibuku ini"
"Dan seperti yang kau tahu, segala kejadian-kejadian mengerikan yang ada di dunia persilatan semua akibat si bajingan itu"
Ia meneteskan air mata. Jika perempuan sudah meneteskan air matanya, itu adalah tanda bagi lelaki untuk berhenti bicara.
"Biar ku periksa ibumu" kata Cio San
"Ahhh"ahhh tolooooong"toloooong" si nenek tua yang berada di atas
ranjang itu berteriak sekencang-kencangnya karena ketakutan. Seperti
memandan mayat yang baru bangkit dari kubur.
"Ah, Cio-tayhiap, maafkan lah ibuku".beliau..beliau menjadi seperti ini sejak kejadian yang lampau. Beliau takut kepada laki-laki. Jika ada yang
mendekatinya, ia akan memangis dan berteriak. Segala kecantikan, dan
kelembutannya hilang. Ia sudah seperti kehilangan dirinya sendiri. Sudah tidak memperdulikan dirinya sendiri lagi".." sambil berkata begitu, "Bwee Hua" muda mendekati nenek itu dan menenangkannya. Dengan lembut ia
mencium, dan berbisik-bisik di telinga "ibu" nya untuk menenangkannya.
Setelah ibunya tenang, Bwee Hua muda lalu bertanya kepada Cio San,
"Kau tahu, aku sengaja menculik keempat sahabatmu, adalah untuk sebuah maksud. Karena bukan Man-wangwe yang memerintahkannya"
"kau menculik mereka, sebenarnya adalah untuk memancingku kemari,
bukan" Untuk meminjam tanganku mengalahkan Man-wanwe" tukas Cio San
"Benar sekali. Ia sendiri tidak tahu jika aku menculik sahabatmu dan
kubawa kemari. Karena ia sendiri paham, jika kau sampai mengendus
keberadaannya, maka segala rencananya akan berantakan"
"Lalu dimana sahabat-sahabatku?"
"Tenang, mereka aman" Bwee Hua muda lalu berdiri dan berjalan menuju
sebuah lemari. Begitu lemari itu dibuka, ia menekan sebuah tombol rahasia di dalamnya. Terdengar bunyi berderit, dan tampaklah sebuah ruanan
rahasia di balik lemari itu.
"Silahkan" katanya
Cio San memasuki ruangan itu dan melihat keempat sahabatnya berada di dalamnya. Walaupun mereka tertotok, keadaan mereka sehat-sehat saja
dan tak kurang suatu apa. Melihat itu Cio San pun lega.
"Aku memperlakukan mereka dengan baik. Kau jangan khawatir. Tapi
sebelumnya aku minta maaf telah melakukan semua ini. Sungguh ini semua bukan keinginanku" katanya sambil melepas totokan ke empat sahabat Cio San itu.
Begitu totokan mereka terlepas, keempatnya segera bersemedhi untuk
mengunpulkan kekuatan. Ditotok selama berhari-hari membuat mereka
lemas dan kehilangan tenaga.
Bwee Hua lalu berkata, "Biarkan aku merawat ibuku di akhir sisa-sisa hidupnya ini. Kau tahu beliau sekarang sekarat. Setelah itu, aku akan datang ke puncak Thay San untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku"
"Baik" kata Cio San.
"Eh, aku masih punya satu pertanyaan lagi. Di mana kau sembunyikan
kekasih Ji Hau Leng?" tanya Cio San
"kekasih Ji Hau Leng" Aku tidak menyembunyikannya" jawab Bwee Hua
Cio San memandangnya lama, ia lalu tersadar,
"Ah"tentunya kau lah kekasih Ji Hau Leng"
Terlihat wajah Bwee Hua menjadi sangat sedih.
"Kau sudah tahu apa yang terjadi dengannya, bukan?"
Bwee Hua hanya menganguk dan menangis. Cio San tak tahu harus berkata apa-apa.
Mereka semua lalu pergi dari situ. Meninggalkan Bwee Hua muda yang
merawat ibundanya tercinta. Cukat Tong dan Yan Tian Bu membantu
memapah Suma Sun yang terluka parah.
Lembah Seribu Kupu-Kupu yang begitu indah. Menyimpan cerita yang begitu menyedihkan.
Mereka berjalan menyusuri jalanan kecil sampai tiba di sebuah hutan bambu di luar lembah.
"Aih, ada yang salah!" tiba-tiba Cio San tercekat.
Segera ia bergegas lari kembali ke rumah tadi. Keadaannya masih
berantakan seperti tadi mereka tinggalkan. Mayat Man-wangwe pun masih di sana.
Tapi tiada seseorang disana.
Hanya ada bau darah. Dan sebuah mayat tergeletak di atas tempat tidur.
Bwee Hua "tua" mati dengan mata mendelik dan leher hampir putus.
Cio San mengepalkan tangan.
"Mengapa aku sampai tertipu siluman rubah itu?"
Katanya sambil garuk-garuk kepala.
Bab 55 Pernah Datang, Pernah Hidup, Pernah Cinta
Ketika ia kembali lagi, teman-temannya masih menunggunya di tempat
yang sama. "Terlambat" kata Cio San. "Mari kita lanjutkan saja perjalanannya"
Mereka pun berangkat. Di jalan Cio San bertanya,
"Bagaimana kalian bisa sampai tertangkap?"
"Seseorang menaruh racun ke dalam makanan kami. Untunglah racun itu
bukan racun yang berbahaya. Hanya untuk membius. Setelah bangun tahu-
tahu kami sudah tertotok" jelas Cukat Tong.
"Kalian makan di mana?" tanya Cio San lagi.
"Saat itu kami berhenti di sebuah warung pinggir jalan di dekat hutan.
Warung biasa yang memang buka di tempat seperti itu, khusus bagi
pelancong-pelancong yang melintas antar kota" kata Cukat Tong.
"Oh" kata Cio San sambil mengangguk-angguk.
"Kau sendiri, apa saja yang kau alami?" Cukat Tong balas bertanya.
Cio San menjelaskan kejadian di bukit bunga Bwee, pertemuan dan
perkelahiannya dengan Ji Hau Leng, serta kejadian di Kay Pang.
"Jadi kau sekarang Kay Pang pangcu?"


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Secara tidak resmi. Haha" kata Cio San sambil tertawa.
"Eh, apa yang membuatmu curiga sehingga kau tadi kembali lagi ke lembah seribu kupu-kupu?" tanya Cukat Tong lagi.
"Pada awalnya, aku bingung. Karena aku tahu Man-wangwe tidak berbohong saat ia berkata ia tidak tahu keberadaan kalian. Bahasa tubuh dan raut wajahnya memang memperlihatkan bahwa ia berkata jujur. Karena itulah
aku sempat ragu." "Tapi begitu melihat keyakinan Suma Sun, aku justru yakin jika Man-
wangwe berbohong. Mungkin Man-wangwe sangat ahli dalam berbohong
sehingga aku tidak bisa membedakannya"
"Nah, saat Bwee Hua menceritakan semua cerita bohongnya, aku justru
percaya! Padahal justru sebaliknya, Man-wangwe yang berkata jujur, dan Bwee Hua yang berbohong. Rupanya justru Bwee Hua lah yang menguasai
ilmu berbohong ini, haha"
"Memangnya ada ilmu demikian?" tanya Cukat Tong.
"Mencuri saja ada ilmunya, kenapa berbohong tidak?" tukas Cio San.
"Lalu apa yang membuatmu curiga sehingga kembali lagi?"
"Aku melihat si nenek tua itu menggunakan pewarna kuku dan gelang"
"Heh, memangnya apa hubungannya?"
"Pada awalnya aku tidak menyadari. Tapi setelah kita keluar lembah tadi, ada sebuah kesalahan yang dibuat Bwee Hua yang terlambat kusadari"
"Apa?" "Bwee Hua bilang, ibunya sudah lama menjadi seperti itu. Kehilangan
kecantikannya dan sudah tidak pernah mengurusi diri lagi. Jika perempuan tidak perduli lagi dirinya, masakah masih bisa pakai pewarna kuku dan gelang segala?"
"oh, begitu" tukas Cukat Tong.
"Begitulah, saat aku kembali si nenek tua itu sudah mati"
"Bwee Hua tega membunuh ibunya sendiri?"
"Tentunya itu bukan ibunya. Beng Liong benar. Bwee Hua yang asli ya Bwee Hua yang muda itu. Rupanya ia benar-benar sudah menguasai ilmu merawat tubuh sehingga tubuhnya benar-benar awet muda seperti itu" jelas Cio San.
Lalu lanjutnya, "Sebenarnya kau tahu kan siapa Bwee Hua itu sebenarnya?"
"Eh, bicara apa kau ini?" kata Cukat Tong sedikit tergagap.
"Sudahlah, kita bahas lain kali saja" kata Cio San sambil menepuk pundak Cukat Tong.
Dalam 3 hari, perjalanan mereka sampai di kota Tho Hoa. Selama
perjalanan, Cio San membantu memulihkan keadaan Suma Sun. Si Dewa
Pedang ini pulih dengan cepat. Mungkin karena tenaga sakti dari Cio San, dan tenaga dalamnya sendiri. Ia kini sudah dapat berjalan sendiri dan pendengarannya berangsur-angsur membaik. Menurut perhitungan Cio San, dalam 1 bulan saja, Suma Sun mungkin sudah akan pulih seperti sedia kala.
Begitu memasuki gerbang kota Tho Hoa, sudah ada orang yang menyambut
mereka. Cio San masih mengingat orang ini. Dia adalah Huan Biau. Orang yang dulu datang ke restoran Lai Lai untuk memperbaiki bangunan Lai Lai yang hancur karena pertempuran.
"Selamat datang para hoohan (orang gagah). Nama cayhe adalah Huan
Biau. Orang suruhan Khu Hujin. Beliau mengundang hoohan sekalian untuk sudi mampir ke kediaman beliau" kata orang itu sambil menjura.
"Salam hormat kepada kaucu dan Seng Koh (perawan suci)!" tiba-tiba hadir pula beberapa orang memberi hormat kepada Cio San. Ia masih ingat,
orang-orang ini pernah datang ke Istana Ular dulu.
"Salam. Berdirilah" kata Cio San
"Kami telah menyiapkan tempat bagi kaucu, Seng Koh, Cukat-tayhiap, dan Suma-tayhiap untuk beristirahat" kata salah satu dari anggota Mo Kauw yang baru datang itu.
"Anggota Kay Pang menyambut pangcu!" terdengar teriakan lagi. Ternyata ada beberapa anggota Kay Pang yang datang. Dalam rombongan itu ada
pengemis Cun juga. "Aishh" kata Cio San sambil eleng-geleng kepala. Ia menyambut kedatangan para anggota Kay Pang itu sambil menjura dan tersenyum,
"Apa kabar" Cun-totiang?"
"Baik pangcu" pengemis Cun menjura.
Huan Biau berkata, "Aih, Cio-tayhiap masih muda begini sudah menjadi kaucu dan pangcu 2
partai terbesar di Kang Ouw" pujinya sambil menjura.
"Ah..tidak berani..tidak berani. Justru tugas seberat ini tidak berani ku pegang" kata Cio San
"Aha, tidak berani pegang tugas kan bukan berarti tidak pantas" kata Huan Biau tersenyum.
Cio San hanya menghela nafas dan tersenyum.
"Sesungguhnya cayhe bingung harus menerima undangan yang mana"
"Semua cayhe serahkan kepada kebijakan tayhiap" kata Huan Biau.
"Hmmmm" "Perlu tayiap ketahui, Khu hujin kini sedang tidak berada di tempat. Nanti malam baru pulang. Tapi beliau memesan kepada cayhe untuk segera
mengundang tayhiap, karena besok di rumah Khu hujin akan diadakan
perjamuan" "Perjamuan?" "Iya. Beberapa hari ini, kota kami banyak didatani orang gagah. Rupanya kota kami ini dijadikan tempat persinggahan para orang gagah menuju
puncak Thay San. Karena begitu banyaknya, sehingga Khu Hujin merasa,
harus membuat penyambutan yang selayaknya bagi orang-orang gagah"
jelas Huan Biau. "Oh begitu. Baik. Begini saja. Bagaimana jika cayhe dan sahabat-sahabat cayhe datang besok saja pada acara perjamuan besok siang?"
"Baik. Tidak apa-apa"
"Baiklah. Terima kasih sekali atas undangan Khu hujin. Dan terima kasih Huan-enghiong sudah mau bersusah payah menyambut kami di depan
gerbang sini" kata Cio San sopan.
"Ah tidak berani..tidak berani. Cio-tayhiap terlalu sungkan. Baiklah cayhe minta diri. Kita bertemu besok di kediaman hujin?"
"Baik. Terima kasih Huan-enghiong" kata Cio San sambil menjura.
"Terima kasih. Cayhe mohon diri. Selamat siang"
Huan Biau pun pergi. Cio San lalu bertanya, "Menurut kalian, bagaimana enaknya ini" Apakah aku harus ke markas Mo Kauw dulu atau ke markas Kay pang?" tanyanya.
Semua orang tidak ada yang berani menjawab.
Jika Cio San memilih pergi ke markas Mo Kauw, maka ia meremehkan Kay
Pang. Tetapi jika ia pergi ke markas Kay Pang, maka ia meremehkan Mo
Kauw. "Begini saja. Aku menginap saja di penginapan. Dengan begitu semua akan merasa adil. Semua anggota Mo Kauw dan Kay Pang bersiap-siap dan
berjaga-jaga di penginapan itu. Jika kupanggil harus datang. Bagaimana?"
"Setuju!" mereka menjawab dengan kompak.
"Bagus. Sekarang tunjukan padaku penginapan yang bagus"
Supaya tidak terlalu mencolok, Cio San membubarkan dulu puluhan anggota Mo Kauw dan Kay Pang yang tadi menyambutnya. Ia hanya meminta satu
orang dari Mo Kauw untuk mengantarkannya ke penginapan. Sampai di sana mereka memesan 3 kamar. Satu untuk Ang Lin Hua dan Sie Peng. Satu
untuk Cukat Tong dan Yan Thian Bu. Satunya lagi untuk Cio San dan Suma Sun.
Mereka beristirahat sampai pagi di sana.
Paginya Cio san sudah rapi.
Ia keluar untuk melihat-lihat keadaan kota sekitarnya. Kota yang sangat indah, megah, dan maju sekali. Rupanya perdagangan Kh Hujin yang
sukses, turut mengangkat maju kotanya ini. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah ini juga adalah kota gurunya, Kam Ki Hsiang"
Berpikir bahwa dulu gurunya dan Khu Hujin pernah memadu kasih di kota ini, menimbulkan perasaan haru dalam hatinya.
Sambil jalan-jalan ia bertemu dengan banyak anggota Kay pang dan Mo
Kauw. Cio San berbincang-bincang dengan mereka. Bertanya-tanya banyak hal. Bahkan juga mentraktir mereka minum arak.
Kaum laki-laki memang jika sudah berkumpul, terlihat sangat menikmati waktu mereka.
Cio San dan puluhan anggota Mo Kauw dan Kay Pang itu pesta arak sampai mabuk. Bahkan mereka mampir juga ke rumah judi untuk sedikit
bersenang-senang. Ini untuk pertama kalinya Cio San bermain judi. Rasanya menyenangkan!
Entah karena beruntung, atau karena otaknya yang cerdas, Cio San menang banyak hari itu. Uang hasil kemenangannya ia bagi-bagi. Bahkan dipakai juga untuk membeli arak lagi.
Orang-orang yang lalu lalang walaupun tidak terlalu terganggu, setidaknya merasa risih juga dekat-dekat dengan puluhan orang berpenampilan kotor dan awut-awutan itu. Cio san yang tadinya rapi dan bersih kini juga sudah ikut awut-awutan dan ketularan kotor.
Dalam hatinya, terdapat perasaan yang sangat riang. Ia jauh lebih nyaman berkumpul dengan orang-orang seperti ini, daripada berkumpul dengan
orang-orang "terhormat" yang baginya kadang terlalu banyak basa-basi dan aturan.
Pedang Medali Naga 3 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Istana Yang Suram 7
^