Pencarian

Kisah Para Penggetar Langit 8

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Bagian 8


lalu mengembalikannya. Itulah inti utama ilmu Thay Kek Kun ciptaan maha guru Thio Sam Hong. Cio San tidak pernah mempelajarinya sampai selesai.
Ia bahkan baru belajar tahap pernapasannya saja. Tapi ia telah mempu
menggunakan Thay Kek Kun dengan sangat baik dan sangat mahir. Jika ada murid Butongpay yang melihat ini, tentunya mereka akan tunduk hormat
kepada Cio San karena menganggapnya sebagai tetua Butongpay. Hanya
tetua Butongpay yang bisa mennggunakan Thay Kek Kun dengan seindah
dan sedahsyat ini. Ilmu silat, pada dasarnya sama saja. Jika engkau mengerti dasar
pemikirannya maka semua ilmu silat akan terlihat sama. Cio San telah
paham dasar pemikiran Thay Kek Kun. Intinya adalah menggunakan
kelembutan melawan kekerasan. Menggunakan kelemahan sebagai
kekuatan. Maka tanpa belajar jurus Thay kek Kun pun, ia bisa
menggunakannya. Karena jika hati bersih dan tenang, tanpa segala macam pengetahuan
tentang kuda-kuda, jurus, pertahanan dan serangan, maka akal akan
menemukan inti ilmu silat. Maka tanpa jurus pun akan mennghasilkan jurus.
Tanpa kuda-kuda akan menghasilkan kuda-kuda. Tanpa serangan akan
menghasilkan serangan. Bukankah kosong adalah isi dan isi adalah kosong"
Semua orang pernah mendengar ini.
Tapi amat sedikit orang yang memahaminya.
Ketika orang bicara silat. Maka yang dibicarakan adalah jurus. Jika jurus dihapus dari silat maka tidak ada silat. Pemahaman yang keliru ini akan membuat orang terhambat ilmu silatnya. Jurus hanya pengembangan dari
inti silat yang sebenarnya. Jika tidak ada jurus, maka inti silat itu akan berkembang menjadi apa saja. Menjadi jurus apa saja.
Silat akan menjadi murni. Tanpa diwarnai jurus, aliran, atau apapun juga.
Cio San tidak paham ini. Tapi justru karena tidak paham lah ia mampu melakukannya.
Karena bukankah semakin paham itu juga berarti semakin tidak mengerti"
Dan tidak mengerti itu juga berarti sudah paham"
Dari ketidakpahaman muncul kepahaman, dan dari kepahaman muncul
ketidakpahaman. Sudah berapa juta kali hal itu kita dengarkan, namun berapa dari kita yang benar-benar melihatnya di dalam kenyataan"
Cio San tidak tahu jika ia sedang menggunakan Thay Kek Kun. Ia hanya
bersilat sekenanya. Mengikuti gelombang. Seperti pada saat ia bersilat menghadapi gelombang banjir saat di dalam gua dulu. Dalam
ketidaktahuannya itu ia telah merapalkan Thay Kek Kun tingkat tertinggi.
Tingkat paling sempurna. Pikirannya kosong. Bersih oleh prasangka. Bersih oleh segala macam aturan jurus. Ilmu mengalir dari tubuhnya secara alami. Bagaikan air yang mengalir dari gunung ke laut. Seperti angin yang berhembus dari lembah-lembah ke pantai-pantai.
Seperti itulah ilmunya sebenarnya. Tanpa ia pernah paham atau sadari.
Para penyerangnya pun hancur dalam satu kali serang. Mereka yang
menggunakan tenaga paling dahsyat untuk menyerangnya, menderita luka
yang paling dahsyat pula. Karena semakin dahsyat tenaga lawan, semakin besar juga tenaga yang berbalik kepada lawan itu sendiri.
Inilah kedahsyatan Thay Kek Kun!
Sayangnya tidak ada satupun murid Butongpay saat ini yang mampu
melakukannya. Bahkan ketuanya sekalipun.
Sayangnya yang mampu melakukannya adalah anak kecil lemah yang dulu
sering dihina-hina, dan ditertawakan. Anak kecil yang nafasnya selalu tersengal-sengal saat berlatih silat. Anak kecil yang terusir secara hina dan terfitnah.
Inilah anak itu. Cio San berdiri ternganga melihat hasil jurusnya.
Puluhan tubuh hancur terkoyak-koyak, darah berceceran dimana-mana. Isi perut, tulang belulang, dan isi kepala berhamburan.
Demi Tuhan, Cio San tak pernah bermaksud melakukan hal ini. Ia bahkan tidak paham kekuatan ilmunya sendiri. Memang itu semua bukan salahnya.
Karena semakin kejam orang menyerangnya, semakin kejam juga serangan
itu berbailk kepada diri mereka sendiri.
Ia akhirnya jatuh terduduk dan menangis. Selama ini ia tidak pernah
membunuh orang. Sekali membunuh ternyata hasilnya seperti itu.
Perasaannya remuk. Dalam hati ia berjanji untuk tidak pernah membunuh orang lagi. Untuk tidak pernah mengeluarkan jurus seperti tadi lagi.
Darah, dan potongan tubuh berceceran membanjiri lantai kapal. Tapi tubuh dan bajunya tetap bersih tak ternoda sedikitpun.
Cukat Tong berdiri menyaksikan dari atas rakitnya. Belum pernah dalam hidupnya menyaksikan jurus demikian hebat, dahsyat, dan menggetarkan
seperti tadi. Seumur hidup sejak lahir sampai sekarang, ia belum pernah merasakan
takut. Baru kali inilah ia merasakannya. Rasa takut itu sungguh tidak menyenangkan!
Ia takut. Jika orang secerdas dan sesakti Cio San memilih menjadi bajingan, maka tidak ada lagi tersisa harapan di muka bumi.
Cio San sekali melompat. Ia telah sampai ke rakit Cukat Tong.
"Ilmu apa itu?" tanya Cukat Tong
"Aku sendiri tidak tahu" jawab Cio San. Air mata masih mengalir di pipinya.
"Aku tidak akan pernah menggunakan ilmu seperti itu lagi"
"Dari mana kau mempelajarinya?" Cukat Tong bertanya lagi
"Kau pikir aku mempelajarinya dari kitab sakti?" ia seperti tahu isi pikiran Cukat Tong "Aku hanya bergerak sembarangan saja. Mengikuti gelombang
serangan lawan." "Kalau itu hanya jurus sembarangan, tidak mungkin hasilnya sedahsyat itu"
tukas Cukat Tong "Ketika kau menghapus segala jurus, maka kau akan bersilat mengikuti
irama alam. Gerakanmu menjadi tidak terbatas. Perubahan gerak yang kau lakukan menjadi tidak terhitung. Inti silat yang sebenarnya, mungkin bukan terletak pada jurus. Tapi bergerak mengikuti alam." Jelas Cio San
Cukat Tong manggut-manggut. Sedikit banyak ia bisa memahami
maksudnya. Tapi untuk menjalaninya tentu bukan hal yang mudah. Ia
berkata, "Kau sepertinya sudah mencapai tahap tertinggi ilmu silat. Kau telah
mengerti inti sebenarnya dari ilmu silat"
"Aku justru tidak paham apa-apa" Cio San menggeleng. Sesungguhnya ia
memang tidak mengerti. Ia hanya bergerak! Lama ia hanya termenung di atas rakit. Malam semakin gelap. Sungai yang dilalui mereka semakin sempit dan kecil. Mereka kini telah memasuki hutan lebat. Terasa semakin gelap karena cahaya bulan telah tertutup bayangan pepohonan.
Mereka berdua diam membisu.
Bab 37 Seorang Nenek Tua Yang Cantik
Lama sekali mereka saling diam. Cio San masih tidak percaya dengan apa yang tadi ia lakukan. Ia tidak tahu kalau selama ini ia memiliki kekuatan dan kesaktian yang menakjubkan.
"Apa yang kau lakukan tadi, setidaknya membuat si otak besar ketakutan juga. Mereka pasti tidak menyangka kau adalah musuh yang setangguh itu"
kata Cukat Tong memecah kesunyian.
Cio San mengangguk. "Setidaknya kini dia sedang pusing memikirkan berbagai langkah" katanya
"Jika ia tahu kau sehebat itu, tentunya dia tidak akan buang-buang waktu dan buang tenaga untuk mengajakmu bertempur. Ia pasti memikirkan cara yang lebih licik. Racun misalnya. Tapi racun pun tidak bisa melukaimu." Ujar Cukat Tong.
"Dia sudah tahu satu kelemahanku" tukas Cio San
"Apa itu?" "Aku tidak bisa melempar senjata rahasia. Hahahahaah" tawa Cio San yang ditimpali dengan tawa Cukat Tong.
"Kau tahu, aku juga punya satu kelemahan yang fatal" kata Cio San
"Apa?" "Aku tidak bisa menunggang kuda"
Hahahahahaahah. Mereka berdua tertawa.
"Memangnya selama ini kau tidak pernah belajar?"
"Tidak" "Kenapa tidak mau belajar?"
"Aku punya kaki, kenapa harus menggunakan kuda?"
Memang jika kau punya sepasang kaki seperti Cio San, kau sebenarnya
tidak perlu kendaraan apapun.
"Aku heran denganmu. Kau mampu melakukan hal-hal yang mengagumkan,
yang membuat banyak orang iri, tapi kau tidak mampu melakukan hal-hal mendasar yang bisa dilakukan ahli silat biasa" Cukat Tong berkata sambil tersenyum.
"Aku bukan dewa. Pastinya aku punya kekurangan. Hahahaha" Cio San
tertawa. "Eh, ini sepertinya sudah waktunya makan para burung. Kau lihatlah"
Cio San memandang ke atas. Puluhan burung ini terbang semakin cepat.
Lalu menukik tajam. Mereka meluncur ke sungai. Puluhan burung itu
menyeburkan diri ke sungai. Cipratan air yang ditimbulkan membuat Cukat Tong dan Cio San basah kuyup.
"Hahaha, sekalian mandi" teriak Cukat Tong
Suara burung dan ceburan air itu menimbulkan keramaian tersendiri. Indah sekali.
Begitu mereka muncul ke permukaan, masing-masing burung telah
mencaplok ikan di paruhnya. Mereka lalu terbang membumbung lagi.
"Indah, bukan?" tanya Cukat Tong.
"Mengagumkan" balas Cio San.
Lalu ia berkata, "Kau bisa menciptakan jurus baru dari gerakan mereka"
Ia lalu melenting tinggi. Begitu sampai di puncak lompatan, Cio San
menukik tajam ke bawah. Tangannya membentuk cakar ke depan.
Tubuhnya beputar seperti gasing. Ia meluncur dengan kecepatan yang tak terbayangkan.
Blaaaaaaaaarrrrrrrrrrr!!!!!
Tubuh Cio San sudah menghujam ke dalam sungai. Hasil putaran tubuhnya membentuk gelombang pusaran air yang sangat dahsyat. Bagai pusaran
angin puyuh yang menghujam sungai. Pusaran itu saking dahsyatnya
sampai memperlihatkan dasar sungai!
Rakit Cukat Tong sampai ikut terlempar melayang ke atas. Ia berteriak,
"Hebaaaaatttt!!!!!"
Cio San telah ikut melenting pola ke atas mengikuti rakit yang melayang.
Begitu menginjakan kaki di rakit, Cukat Tong seperti tidak merasa tambahan baban apa-apa pada rakitnya. Rakit justru melayang pelan ke bawah bagai sehelai kertas tertiup angin.
Begitu mendarat, Cukat Tong hanya geleng-geleng kepala.
"Kau bisa menciptakan ilmu silat sedahsyat itu hanya dengan meniru
gerakan burung" Orang secerdas kau dalam ilmu silat, mungkin hanya
dilahirkan 100 tahun sekali"
Cio San menggeleng pula. Katanya,
"Orang yang lebih hebat dari aku, sesungguhnya lebih banyak lagi. Cuma mereka tidak mau menonjolkan diri"
"Yah, kau boleh merendahkan diri semaumu, tapi terus terang, seumur-
umur aku mengarungi dunia kang Ouw, belum pernah aku bertemu orang
yang silatnya lebih hebat dari engkau. Aku pernah bertemu Mo Kauw Kaucu.
Tapi aku belum pernah melihatnya bersilat. Sejauh ini mungkin hanya 4-5
orang saja di dunia ini yang bisa menandingi engkau"
Cio San malah termenung. "Kita sudah hampir sampai bukan?"
"Iya. Dari mana kau tahu?" Cukat Tong tiba-tiba tersadar, "Ah suara
pertempuran!" Cio San sudah mendengarnya terlebih dahulu.
Ketika mereka mendekat, terlihat juga sebuah kapal kecil yang "mendarat" di dekat sana.
Cukat Tong menghentakan tangannya, lalu benang-benang yang berada di
jari-jarinya tahu-tahu terputus dan meluncur masuk kembali ke dalam
kantongnya. "Terima kasih" teriaknya kepada burung-burung itu.
Ia melompat ke darat. Cio San pun melakukan hal yang sama.
"Suaranya berada di sana" ia menunjuk sebuah arah "Ayo cepat"
Mereka berdua melenting. Sekejap saja mereka berlari dan melayang,
mereka sudah sampai. Di balik pepohonan yang lebat dan besar-besar itu, dibalik hutan yang gelap dan rapat itu, terlihat sebuah rumah yang sangat besar.
Rumah yang hampir menyerupai istana!
Keadaan di sekitar Istana itu terang benderang, berbanding dengan keadaan sekitarnya yang gelap gulita.
Dengan sekali melenting mereka berdua telah melompat melewati pagar
yang tinggi. Begitu sampai di bawah, pertempuran baru saja selesai. Karena suara dentingan pedang pun sudah tidak terdengar lagi. Yang tersisa adalah pandangan yang mengerikan.
Puluhan mayat hangus mengering. Menyisakan debu hitam dan bau hangus.
Cio San paham, inilah ilmu Menghisap Matahari yang dahsyat itu.
Seorang nenek tua duduk diatas tangga batu yang ukirannya indah sekali.
Cio San dan Cukat Tong memandangnya. Ia pun balas memandang mereka.
Cio San dan Cukat Tong sedikit terhenyak.
Walalupun sudah tua, nenek ini terlihat masih cantik. Garis garis keriput di wajahnya tidak mampu menutupi kecantikan masa mudanya. Tubuhnya pun
ramping, seperti tubuh seorang gadis. Sayang rambutnya telah memutih
seluruhnya. Tapi justru rambut putih itu malah membuat kecantikan nenek ini semakin terasa berbeda.
Ia hanya duduk memandang kedua orang tamunya. Pandangannya sendu
dan dalam. Sepertinya seluruh kesedihan di muka bumi telah ditimpakan kepadanya.
"Siapa nenek ini, selama ini aku belum pernah melihatnya di Istana Ular"
bisik Cukat Tong kepada Cio San.
Cio San hanya diam, dan berkata kepada si nenek,
"Nama cayhe Cio San, ini saha?"
Belum selesai kata-katanya, si nenek telah bergerak menyerangnya. Jarak mereka ada beberapa tombak, tapi dalam sekejap mata saja, serangan sang nenek telah berada tepat di ulu hati Cio San.
Serangan itu hanya berupa sodokan satu jari telunjuk. Tapi angin
dahsyatnya telah terasa jauh sebelum jari telunjuk itu mendekat!
Cio San mengelak. Hanya memiringkan sedikit badannya ke kiri. Tanpa
melangkahkan kaki. Bagian atas tubuhnya bisa berputar jauh sampai ke
belakang. Cukat Tong terkaget lagi. Cio San memang tak pernah berhenti menimbulkan kekagumannya. Orang yang badannya bisa selentur itu yang
pernah dilihatnya, memang baru Cio San.
Gerakan Cio San dilakukan di saat-saat terakhir ujung serangan jari itu akan menyentuhnya. Orang manapun yang melihat pasti akan menyangka jari itu sudah masuk menembus ulu hatinya. Tapi entah bagaimana Cio San
bergerak di saat-saat akhir. Gerakannya jauh lebih cepat dari serangan yang datang. Bahkan yang menyerang sendiri terbelalak karena menyangka
serangnnya sudah menemui sasaran.
Tapi si nenek tidak lama kagetnya. Karena tahu kini daerah punggungnya sudah terbuka, dengan gerakan sangat cepat kakinya sudah menendang.
Tendangan belakang yang dilakukan dengan cara membengkokan kaki dan
lutut ke ke belakang. Sarangan ini mengincar kepala Cio San. Dengan menggunakan punggung
kirinya, Cio San mendorong tubuh si nenek.
Si nenek tahu, Cio San sedang berbuat "baik" kepadanya. Karena jika Cio San mau menghabisinya, ia tinggal membuat sserangan yang mematahkan
tulang punggungnya. Hal ini membuat ia semakin marah. Ia lebih memilih mati daripada
dikasihani orang. Karena itulah kini serangannya makin dahsyat. Cio San menerimanya pun dengan senyum.
Si nenek tidak tahu arti senyuman Cio San. Yang ia tahu arti senyuman itu adalah meremehkannya. Sepuluh jurus berlalu, tapi ia tidak mampu
menyentuh ujung rambut Cio San. Setiap serangnnya terasa pasti
menemukan sasaran, Cio San melakukan gerakan-gerakan aneh untuk
menghindarinya. "Kau mengampuniku" Justru aku tak akan mengampunimu! Lihat serangan"
Ketika itu ia telah membuat sebuah kuda-kuda. Tangannya mengembang ke samping. Kedua telapak tangannya seperti mengeluarkan cahaya kuning.
Cio San tahu ini bukan jurus sembarangan, tapi dengan santai ia bertanya,
"Lolo (nenek), apakah ini yang disebut ilmu Menghisap Matahari?"
Ketika disebut "lolo" entah kenapa cahaya kemerahan di matanya sedikit memudar, digantikan cahaya kesedihan. Perubahan sekilas ini, di dalam gelap gulita pun Cio San bisa melihatnya.
"Awas jangan sampai bersentuhan dengan kedua telapaknya!" teriak Cukat Tong memperingatkan.
Ilmu Menghisap Matahari adalah ilmu khas Mo Kauw. Ilmu ini adalah sejenis ilmu sakti yang mampu menghisap semua tenaga dalam lawan. Siapapun
yang tersentuh oleh telapak tangan, seluruh tenaga dalamnya akan tersedot habis. Sampai-sampai hanya menyisakan abu mayatnya saja!
Cio San tahu ia harus lebih berhati-hati lagi. Tapi tetap saja tubuh dan posisinya santai. Tanpa kuda-kuda, tanpa persiapan, tanpa apapun!
Ia hanya berdiri. Tangan kanan membelai-belai ujung rambut sendiri.
Tangan kiri terlipat ke belakang.
Senyumnya tidak hilang. Dalam sebuah pertempuran tingkat tinggi, segala hal sangat menentukan.
Pemusatan pikiran harus dilakukan seluruhnya. Gaya berdiri Cio San seperti ini, walaupun tanpa kuda-kuda, dan tanpa jurus, sebenarnya adalah caranya untuk memecah konsentrasi lawan.
Jika lawan melihatnya dalam posisi seperti itu, setidaknya mereka akan berfikir dua hal. Yang pertama, mereka menganggapnya bodoh. Hal ini akan membuat si lawan meremehkan Cio San. Yang kedua, mereka akan
menganggapnya sangat sakti, sehingga tidak memerlukan jurus dan kuda-
kuda. Hal ini malah akan menimbulkan sedikit rasa takut bagi lawan.
Jika pikiran lawan sudah terpecah, maka Cio San akan unggul sedikit. Yang sedikit ini, seringkali menentukan hidup dan mati dalam sebuah
pertempuran. Ilmu Menghisap Matahari adalah salah satu dari 3 besar ilmu tertinggi di kalangan Kang Ouw yang masih ada sampai sekarang. Yang kedua lainnya
adalah Thay Kek Kun milik ButongPay, dan Cakar Macan milik Siau Lim Pay.
Sampai sekarang, ilmu Cakar Macan lah yang dianggap nomor satu, karena selama ini selalu Siau Lim Pay lah yang menjadi Bu Lim Beng Cu (Pemimpin Dunia Persilatan).
Si nenek tidak menyerang. Ia hanya menunggu. Cio San pun tidak
menyerang. Lama mereka berdiri saling menatap.
Lalu si nenek bergerak! Kecepatan yang amat sangat sukat diikuti oleh mata. Sepertinya tadi ia tidak menyerang karena mengumpulkan kekuatan sakti. Kini ketika
kekuatannya telah terkumpul semua, tubuhnya melesat dan kedua
telapaknya telah mengincar 7 titik paling berbahaya di tubuh Cio San.
Cukat Tong tercekat. Siapakah yang mampu menerima jurus seperti ini"
Sebuah jurus yang sederhana, namun dilancarkan sedemikian cepatnya.
Yang membuat serangan ini lebih ganas lagi adalah bahwa serangan ini
tidak boleh ditangkis. Siapapun yang menyentuh ujung telapak tangan yang bersinar kuning itu, siap-siaplah menjadi arang.
Cio San mundur selangkah, ketujuh serangan itu kini berkembang menjadi 14 serangan!
Tidak ada ruang untuk mundur lagi, karena ada sebuah tembok besar di
belakangnya. Akhirnya Cio San memang tidak mundur. Ia menerima dengan pasrah telapak tangan yang bersinar kuning itu.
Cukat Tong kaget setengah mati!
Ia segera maju hendak menolong, tapi Cio San malah berteriak, "Jangan!"
Dalam adu tenaga seperti ini, mengeluarkan suara saja adalah sebuah
perbuatan yang menyia-nyiakan tenaga. Bisa dibayangkan penderitaan Cio San menerima serangan telapak itu, ditambah lagi ia harus mengeluarkan suara mencegah Cukat Tong. Tenaga dalamnya akan tersedot lebih banyak.
Cukat Tong tidak tahu harus berbuat apa.
Telapak tangan si nenek sudah menempel di dada Cio San. Kepulan asap
keluar dari tubuh mereka. Cio San menutup matanya. Si nenek justru
matanya semakin terbelalak.
Duaaaarrrrrrrrrrrrr!!!!!!!
Suara ledakan besar terdengar. Tubuh si nenek terlemparbeberapa tombak ke belakang. Tubuhnya meluncur sangat cepat. Si nenek seperti tidak bisa berbuat apa-apa ketika tubuhnya akan menghujam tangga batu di
belakangnya. Ia hanya menunggu kematian saat nanti tulang punggungnya menghujam tangga batu.
Cukat Tong bergerak, tapi posisinya terlalu jauh dan gerakannya terlambat sedikit.
Tapi bukankah yang sedikit itu menentukan hidup dan mati"
Si nenek menutup mata. Pluk! Tubuhnya tidak menghujam tangga batu, melainkan ujung telapak Cio San.
Entah bagaimana Cio San telah berada di sana. Menahan hujaman tubuhnya hanya dengan putaran telapak tangan. Tenaga hujaman yang sekeras dan
secepat itu langsung buyar hanya oleh putaran telapak tangan yang
sederhana!

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cukat Tong terhenyak lagi, "Thay Kek Kun!" ujarnya dalam hati.
Memang Thay Kek Kun lah yang menyelamatkan hidup si nenek. Thay Kek
Kun pula yang menyelamatkan hidup Cio San tadi.
Inti dari ilmu Menghisap Matahari adalah menyerap tenaga lawan. Inti dari Thay Kek Kun adalah menyerap tenaga lawan pula. Jadi ketika kedua ilmu ini salaing "menghisap" maka siapa yang tenaganya paling dahsyat dialah yang menang.
Akan sangat berbeda jika tenaga Cio San dibawah tenaga si nenek. Tentulah Cio San yang akan kalah. Atau jika orang lain yang menggunakan ilmu
selain Thay Kek Kun, tentunya akan kalah juga. Karena kebanyakan ilmu orang lain adalah ilmu yang mengeluarkan tenaga untuk menyerang. Maka walaupun tenaga dalam mereka lebih tinggi dari si nenek, tentunya mereka akan terhisap tenaganya.
Tapi ilmu Thay Kek Kun ini adalah ilmu yang mengandalkan kelembutan.
Ilmu yang memanfaatkan tenaga lawan yang menyerangnya.
Maka ketika ilmu Menghisap Matahari dan Thay Kek Kun bertemu, yang
terjadi adalah saling hisap tenaga. Dan siapa yang tenaga hisapnya paling kuat, dialah pemenangnya. Dasar inti dari Thay Kek Kun adalah, semakin besar kekuatan lawan, semakin besar juga kekuatan itu balik menyerang si lawan itu sendiri. Belum lagi ditambah kekuatan sinking (tenaga sakti) Cio San ia ia dapatkan dari jamur-jamuran di dalam goa.
Itulah kenapa si nenek terlempar ke belakang dengan dahsyat.
Untunglah Cio San menolongnya dengan jurus dasar Thay Kek Kun. Sebuah gerakan sederhana untuk memunahkan serang lawan. Jurus "Membayar
Pedang dengan Senyum". Jurus yang waktu ia kecil tidak mampu
dilakukannya. Kini bahkan ia tidak sadar ia mampu melakukannya dengan alami. Mengalir bagaikan aliran sungai.
Si nenek wajahnya pucat dan memuntahkan darah.
Cio San tahu si nenek sedang menghadapi situasi hidup dan mati. Segera ia meletakkan kedua telapaknya di punggung si nenek ia sedang bersila.
Ia menyalurkan tenaga sakti di punggung si nenek.
"Atur jalan darah yang berada di jantung. Gunakan tenaga dalam yang
masih tersisa untuk melindungi jantung. Tutup semua lubang yang ada
dalam tubuh. Usahakan sampai kau tidak mendengar apapun, melihat
apapun, menghirup apapun"
Si nenek melakukan persis seperti ucapan Cio San. Segera ia merasa semua gelap. Tidak ada udara, karena ia menahan nafasnya. Tidak ada suara
karena ia mematikan indera pendengarannya. Tidak ada bau karena ia
mematikan indera penciumannya.
Ini sebuah cara pengobatan yang aneh, karena jarang ada yang seperti itu.
Tapi luka yang dialami si nenek bukan luka dalam biasa. Luka akibat
pertempuran hebat seperti tadi, hampir tidak mungkin bisa disembuhkan hanya dengan mengatur jalan darah dan saluran tenaga dalam dari orang lain.
Cio San menotok beberapa jalan darah si nenek agar bekerja lebih baik. Si nenek telah menahan nafas sangat lama. Tapi keadaan luka yang ia rasakan sudah membaik. Tenaga dalamnya tidak lagi menyerang dirinya sendiri.
Bantuan dari Cio San tadi sangat membantunya melewati masa yang
berbahaya. Orang yang terluka dalam seharusnya mengatur jalan nafas. Tetapi saran Cio San justru untuk menahan nafas. Ini karena sebenarnya Cio San tahu bahwa tenaga di dalam tubuh si nenek sedang mengalir kacau dan tidak
jelas. Jika orang mengatur jalan nafasnya, maka tenaga dalam itu akan lebih kacau karena konsentrasi orang tersebut terpecah untuk mngeatur jalan nafas. Justru dengan menutup semua indera, orang baru bisa
berkonsentrasi memulihkan tenaganya.
Pengetahuan seperti ini, jarang ada orang yang mengetahuinya. Makanya banyak pendekar yang tidak mampu menyembuhkan luka dalamnya. Justru
semakin parah dan mengakibatkan kematian. Dari pengatahuan tentang
organ tubuh yang dibacanya di puncak gunung dulu, serta pemahamannya
yang mendalam tentang tenaga, Cio San baru bisa sampai kepada
kesimpulan seperti itu. Kehidupannya di dalam gua dulu, telah menambah pemahamannya yang
mendalam tentang tenaga dalam. Ia memepeljarinya dari mengamati
sungai, banjir, dan berlatih silat bersama Kim Coa (ular emas). Kini, mungkin Cio San telah bisa disejajarkan dengan pesilat-pseilat nomor satu karena tenaga dalamnya ini.
Si nenek beruntung sekali bahwa orang yang dihadapinya adalah Cio San.
Kalau tidak nyawanya sudah melayang dari tadi. Ia mengikuti saja petunjuk dari Cio San. Baru ketika ia merasa sudah mampu mengendalikan tenaga, aliran darah, dan organ-organ dalamnya, ia baru membuka lagi semua
panca inderanya. Pandangannya kini sudah terang. Ia tidak jadi mati!
Dirasakannya Cio San masih menyalurkan tenaga melalui punggungnya. Si nenek lalu berkata,
"Aku sudah baikan. Terima kasih atas pertolongan Ciokhee (tuan)"
Cio San tersenyum, "Lolo (nenek) jangan memaksakan diri dulu. Istirahatlah sebentar. Pulihkan semua tenaga. Kita bicara setelah engkau benar-benar sudah membaik"
Si nenek mengikuti saran Cio San, ia duduk bersila. Kini ia sudah bisa mengatur jalan nafasnya. Cio San jongkok, ia bekata "Maafkan saya
lancang, lolo" lalu ia menyentuh pergelangan tangan si nenek untuk
memeriksa denyut nadinya.
Cio San sedikit kaget, tapi setelah itu ia tersenyum. Memang kebiasaannya jika tahu sesuatu rahasia, ia pasti tersenyum.
Ia berbalik. Cukat Tong sudah duduk di atas tanah tak jauh dari si nenek.
Cio San pun turut duduk di sebelahnya.
"Surat-surat Kaucu masih ada padamu kan?" tanya Cio San
"Masih" jawab Cukat Tong pendek.
Karena Cio San hanya mengangguk-angguk saja, ia lantas penasaran dan
bertanya, "Kau ingin menunjukan surat kepada si nenek itu sebagai bukti, ya?"
Cio San tersenyum saja. "Orang-orang yang sudah jadi debu dan arang ini, mungkin telah
memfitnahmu. Menggunakan namamu sebagai ketua Mo Kauw yang baru,
untuk menipu si nenek. Entah bagaimana kemudian mereka bertempur. Lalu si nenek menghabisi mereka semua. Itulah ketika pertama kali mendengar namamu, ia menyerang bagai orang gila." Jelas Cukat Tong.
Sebenarnya ia tidak sedang menjelaskan. Ia sedang bertanya. Apakah
penjelasannya itu benar adanya. Ketika Cio San mengangguk mengiyakan, legalah hatinya.
"Ternyata aku tidak sebodoh yang kusangka" katanya sambil tertawa.
"Tidak ada orang bodoh yang bisa jadi Raja Maling" kata Cio San tertawa juga.
"Siapapun orangnya, jika berada di sampingmu tentulah merasa bodoh" ia menupuk punggung Cio San
Cio San hanya tersenyum lalu berkata, "Siapapun yang berada di
sampingmu, jika tidak merasa beruntung tentulah merasa bahagia"
Kedua orang ini saling memuji tanpa basa-basi dan penuh ketulusan.
"Mari kita kuburkan mayat-mayat ini" sambil berkata begitu Cio San
beranjak. Ia melompat ke atas pagar dan melihat ada sebuah daerah kosong di luar pagar yang cukup dijadikan sebagai kuburan. Ia lalu melompat ke sana. Dengan bantuan sebuah kayu ukuran setombak, ia mulai menggal
kuburan. Cukat Tong yang awalnya geleng-geleng kepala, akhirnya ikut juga menggali kuburan. Setelah selesai, mereka lalu memindahkan mayat-mayat itu.
Setelah selesai menguburkan, mereka kembali. Rupanya si nenek sudah
selesai bersemedhi. Ia berdiri memandang kedua orang di depannya. Lalu berkata,
"Bisa ku lihat surat yang kalian bicarakan tadi?"
Cukat Tong mengeluarkan dua bua surat. Yang satu surat perintah kepada seluruh anggota Mo Kauw, yang satunya lagi surat pribadi Kaucu kepada Cio San yang beberapa waktu lalu dibacakan Cukat Tong saat mereka
beristirahat di bawah pohon.
"Surat yang mana yang harus kuberikan?" tanyanya kepada Cio San.
"Kedua-duanya" sahut Cio San.
Ia lalu berkata kepada si nenek,
"Salam hormat kepada nona, maafkan cayhe tidak mampu melindungi
ayahanda nona" perkataannya tulus. Air matanya sudah menggenang di
pelupuk matanya. Cukat Tong kaget. "Nona?" Bab 38 Bunga Merah Yang Cantik
Cio San tidak menjawab pertanyaan Cukat Tong. Ia hanya tersenyum
walaupun air mata sedikit menggenang di matanya. Malah si nenek yang
setelah membaca surat itu kemudian bersoja, bersujud di hadapan Cio San,
"Salam hormat Kaucu, semoga panjang umur!"
Cio San segera bergegas menuju si nenek dan membantunya berdiri.
Katanya, "Buat apa segala adat begini, nona"
"Mari ikut hamba masuk" kata si nenek.
Mereka bertiga masuk ke dalam Istana Ular. Pemandangan di dalam lebih mengerikan dibandingkan dengan yang diluar. Puluhan mayat berserakan.
Ada yang sudah menjadi arang, ada yang masih utuh. Banjir darang
menggenang hampir seluruh lantai. Cio San dan Cukat Tong hanya geleg-
geleng kepala. Katanya pada Cukat Tong,
"Urusan kubur mengubur ini ternyata masih panjang"
Ditimpali oleh Cukat Tong dengan tertawa sedikit meringis.
"Kaucu, mohon ceritakan apa yang telah terjadi" tanya si nenek pada Cio San.
Cio San lalu bercerita sejak awal. Mulai dari saat ia ditotok Bun Tek Thian.
Lalu dibawa ke markas Mo Kauw. Lalu menolong semua anggota yang
keracunan. Lalu perjalanan di atas kapal saat menemukan 3 mayat. Setelah itu tentang kejadian pembunuhan di dermaga. Semua diceritakan secara
lengkap dan jelas oleh Cio San. Kadang-kadang Cukat Tong menambahkan
sedikit cerita pula. Si nenek jatuh terduduk dan menangis. Ia tidak berkata apa-apa.
Pandangan matanya yang sejak tadi sendu, kini telah tertutup oleh air mata yang membasahi wajahnya.
Nasib dan umur manusia siapa yang tahu" Perjalanan hidup akankah diakhiri oleh kebahagiaan atau kesedihan" Maka itu, ketika engkau masih hidup, lakukan yang terbaik untuk orang lain. Agar saat engkau mati, orang lain yang akan menangisi engkau. Jika seumur hidup kau hanya hidup untuk
dirimu, memikirkan kesenangan-kesenanganmu sendiri, bukankah saat
engkau mati, tidak seorang pun yang memperdulikanmu"
Berbahagialah orang yang kematiannya ditangisi orang lain. Orang seperti ini telah meninggalkan bekas-bekas hidupnya dalam kenangan yang indah.
Kenangan yang terus hidup bersama umat manusia, sepanjang dunia masih ada.
Karena orang-orang yang menangisimu, bukan bersedih karena
kepergianmu. Mereka menangis karena mereka tak akan menemukan lagi
orang sebaik engkau. Cio San telah sering menangis. Terlalu banyak orang yang dicintainya yang pergi meninggalkannya. Maka ia bisa turut merasakan kesedihan si nenek.
Katanya, "Nona beristirahat dululah. Biar kami yang mengurusi kekacauan di sini"
katanya lembut. Si nenek segera tersadar dan berkata,
"Hamba mana berani membiarkan Kaucu membersihkan ini semua. Kaucu
beristirahatlah, biar hamba yang membersihkan" ia segeri berdiri dan mulai mengangkat beberapa mayat.
"Perintah kaucu, bukankah adalah kewajiban bagi anggota?" tanya Cio San kepadanya
"Benar kaucu" jawab si nenek
"Aku memerintahkanmu untuk istirahat!"
Si nenek tidak bisa berkata apa-apa lagi. Malah Cukat Tong yang tertawa, katanya
"Kau tidak lupa kapal yang berlabuh di depan itu kan?"
"Tentu tidak. Bisa tolong kau uruskan untukku" Biar aku yang mengurus mayat-mayat ini" jawab Cio San
"Tentu saja" sambil menukas begitu, tubuhnya pun sudah menghilang dari situ. Tak lama terdengar bunyi ledakan. Itu tentunya Cukat Tong meledakan kapal itu. Cio San tersenyum saja. Cukat Tong memang selalu memiliki
barang-barang aneh yang sangat berguna.
Ia lalu membereskan mayat-mayat itu. Mengangkutnya ke luar pagar,
tempat tadi ia menguburkan mayat-mayat yang lain. Cukat Tong datang dan membantu pula. Mereka lalu membuat lubang dan menguburkan semua
mayat. Jika dihitung ada ratusan mayat. Korban memang jatuh dari kedua belah pihak, pihak pembunuh yang datang ke Istana Ular, dan pihak
anggota Mo Kauw sendiri yang berdiam di Istana itu.
Setelah selesai mengubur, masih ada urusan membersihkan genangan
darah pula. Cio San melakukannya dengan senang hati. Cukat Tong yang
sedikit merengut, "Kau suka sekali berurusan dengan mayat" katanya.
"Urusan dengan mayat jauh lebih gampang ketimbang urusan dengan
manusia" tukasnya sambil tersenyum.
"Betul juga" Begitu darah selesai dibersihkan, si nenek bantu menebarkan bunga-
bungaan dan beberapa botol cairan pewangi. Ruangan dalam Istana yang
tadinya berbau amis darah, kini berbau wangi dan segar. Si nenek juga sudah mengatur meja-meja dan kuris-kursi yang tadi berantakan.
Mereka semua duduk bertiga saling berhadap-hadapan. Cukat Tong
mengeluarkan seguci arak. Si nenek ke belakang mengambil cangkir.
"Maafkan tadi hamba sudah berani sekali menyerang kaucu" kata si nenek buka suara.
"Tidak apa-apa. Nona, apakah seluruh anggota kita di istana ini sudah meninggal semua?" tanya Cio San
"Iya kaucu. Tadi para penghianat-penghianat itu datang dengan kapal.
Mereka adalah anggota-anggota Mo Kauw juga. Beberapa mungkin ada
orang luar yang menyusup. Mereka bilang akan mengantarkan mayat kaucu yang lama. Mereka juga bilang kalau kaucu yang baru telah diangkat,
namanya Cio San. Kaucu baru itu yang memerintahkan mereka untuk
mengantarkan peti mati yang berada dipojok sana itu" jelas si nenek sambil menunjuk peti mati yang berada di pojok.
"Ternyata setelah peti kami buka, ada beberapa orang yang keluar dari dalam menyerang kami. Untunglah hamba bisa menghindar. Tapi beberapa
saudara yang lain tidak. Kami semua bertempur, dan akhirnya bisa kaucu saksikan sendiri"
Cio San manggut-manggut. Ia sendiri sudah paham apa yang terjadi. Pati mati kosong yang berada di pojok ruangan sudah "menceritakan" banyak hal kepadanya.
"Ah sampai lupa, hamba belum memperkenalkan diri?" kata si nenek. "Tapi tentunya kaucu telah tahu siapa hamba"
"Sesungguhnya engkau sakit apa sehingga keadaanmu menjadi demikian,
nona?" tanya Cio San. "Tapi kalau nona tidak leluasa bercerita, tidak apa-apa. Aku bisa mengerti"
"Hamba"hamba mencoba-coba belajar ilmu Menghisap Matahari" jawab si
nenek. "Apakah ilmu Menghisap Matahari tidak boleh dipelajari wanita?" tanya Cio San
"Sebenarnya boleh kaucu. Tetapi wanita hanya boleh sampai tingkat ke 7, lebih dari itu, maka..maka?" Ia tidak melanjutkan kata-katanya.
"Ah, aku mengerti" jawab Cio San sambil manggut-manggut.
"Aku yang tidak mengerti" tukas Cukat Tong.
Cio San tersenyum saja. Katanya kepada Cukat Tong, "Nona tidak mau
cerita, masa aku yang cerita rahasianya"
Cukat Tong berpikir sebentar. Lalu ia akhirnya tersenyum pula, "Ah aku paham sekarang"
"Baguslah" kata Cio San.
"Nama cayhe Cukat Tong" kata si Raja Maling memperkenalkan diri sambil menjura.
"Nama cayhe Ang Lin Hua"
Namanya indah, berarti "Bunga Merah yang Cantik".
Ia memang cantik. Matanya walaupun terlihat selalu sendu dan sedih,
memantulkan cahayanya yang indah. Wajahnya walaupun pucat dan penuh
keriput, masih menyimpan garis-garis kecantikan yang tak terkatakan.
"Apakah nona sudah berusaha mencari obatnya?" tanya Cio San.
"Hamba sudah berusaha, tapi tabib-tabib Mo Kauw semua mengatakan hal
yang sama" "Apa kata mereka?"
"Penyakit ini hanya bisa disembuhkan oleh satu orang. Satu orang itu pun sudah meninggal pula"
"Siapa" Cio San dan Cukat Tong sama-sama bertanya
"Thio Sam Hong"
Mereka berdua sama-sama menghela nafas. Thio Sam Hong, sang
mahaguru, memang adalah seorang yang mempunyai pengetahuan sangat
luas. Selain ilmu silat, ilmu pengobatannya pun terkenal hebat. Saking hebatnya ilmu silat serta kecerdasannya, orang-orang di dunia Kang Ouw menyebut beliau sebagai "Thay San Pek Tau" Yang artinya adalah "Gunung Thay San dan Bintang Utara". Sebutan ini berarti "Kiblat" atau "Panutan".
Orang yang mendapat julukan ini di dalam dunia Kang Ouw memang baru
beliau satu-satunya. Jadi jika Ang Lin Hua berkata bahwa hanya Thio Sam Hong yang bisa
mengobati sakitnya, mau tidak mau Cio San dan Cukat Tong menghela
nafas. Memangnya selain beliau, siapa lagi yang bisa"
Tapi beliau telah meninggal 50 tahun yang lalu. Orang-orang Butongpay mulai dari ketua sampai anggotanya pun tidak ada yang menguasai ilmu
pengobatan Thio Sam Hong yang snagat dalam. Toh kalaupun ada, apa
mereka mau menolong seorang anggota Mo Kauw"
Peluang bagi kesembuhan nona ini bisa dibilang telah tertutup sama sekali.
Cio San hanya bisa terdiam.
Cukat Tong hanya menenggak araknya berkali-kali.
"Tuan berdua istirahatlah. Sebentar lagi pagi. Biar hamba yang berjaga-jaga kalau-kalau musuh datang lagi" kata si nenek memecah kesunyian.
Cukat Tong malah menjawab,
"Jangan khawatir, mereka tidak akan berani kemari lagi"
Tentu saja. Jika si otak besar telah tahu betapa hebatnya ilmu Cio San, dia tak akan repot-repot mengirim orang mengantar nyawa dengan percuma.
"Nona. Kaulah yang beristirahat. Jika kau sudah bangun nanti, aku akan minta tolong kepadamu untuk mengantarkanku keliling istana ini" kata Cio San
Bukankah kata-kata Kaucu adalah perintah"
Si nenek mengangguk dan menjura, "terima kasih atas kebaikan kaucu"
Ia pun menghilang di balik pintu kamarnya.
"Wanita yang hebat" kata Cukat Tong setelah bayangan Ang Lin Hua
menghilang. Cio San hanya mengangguk-angguk. Dia sudah menenggak arak lagi.
"Sejak kapan kau tahu bahwa dia adalah putri dari kaucu yang lama?" tanya Cukat Tong
"Saat aku menyentuh pergelangan nadinya. Denyutan yang kurasakan
adalah denyut orang yang muda usianya. Orang yang masih muda,
walalupun bagian luarnya terlihat tua, tetap akan ketahuan dari denyut nadinya. Demikian juga sebaliknya. Orang yang sudah tua namun kelihatan masih muda, tetap denyut nadinya akan mengatakan bahwa ia sudah tua."
"Hanya dari denyut nadi, kau bisa membedakan?" tanya Cukat Tong
"Organ tubuh orang muda dan tua, tidak sama. Sesehat apapun orang tua, cara kerja organ tubuhnya sudah berbeda dengan orang muda" jelas Cio
San "Walaupun orang tua itu memiliki tenaga sakti dan ilmu silat tinggi
sekalipun?" tanya Cukat Tong lagi
"Benar. Meskipun susah membedakannya, tapi aku bisa" jawab Cio San
Cukat Tong geleng-geleng kepala lagi. Entah kenapa sejak bertemu Cio San, ia menemukan kebiasaan baru. Kebiasaan geleng-geleng kepala.
Cio San berkata, "Ketika aku memegang denyut nadinya, aku lalu teringat surat kaucu yang lama bahwa putrinya sedang sakit. Mungkin si nenek itulah putrinya. Apalagi dia bisa menguasai jurus Menghisap Matahari. Sejauh ini, bukankah hanya ketuanya saja yang boleh menguasai ilmu ini?"
Cukat Tong manggut-manggut saja.
"Ilmu Menghisap Matahari itu sangat dahsyat, sampai-sampai jika kaum
wanita memepelajarinya, si wanita itu akan menjadi tua. Rambutnya
memutih dan kulitnya mengeriput. Tapi bagusnya, organ bagian dalamnya tetap berfungsi seperti biasa. Tidak ikutan tua. Ah, pengetahuan yang baru.
Sangat menarik" kata Cio San
Lama mereka melamun sambil minum arak.
"Walau sudah seperti nenek begitu, ia masih cantik saja. Kalau dia bisa sembuh, aku akan segera mengawininya"
Cio San tertawa lebih keras lagi.
"Kenapa tertawa" Apakah kau merasa lucu arak yang kau tenggak sekarang rasanya seperti cuka" Hahahahaa" Cukat Tong tertawa.
Istilah "minum cuka" bagi orang Tionggoan berarti "cemburu".
"Arak dan gucinya ini kau kan yang bawa" Kalau rasanya seperti cuka,
tentunya itu berasal dari engkau" kata Cio San sambil tertawa pula.
"Kalau rasanya seperti cuka, kenapa juga masih kau minum?" jengek Cukat Tong sambil tertawa juga
"Ak menghabiskan isi gelasku karena ingin kupinjamkan kepadamu.
Khawatir cangkirmu sendiri tidak mampu menampung cukamu sendiri"
Mereka dua tertawa keras sekali.
"Eh, tapi kau harus pegang kata-katamu" kata Cio San
"Kata-kata apa?"
"Bahwa kau akan menikahinya jika ia sudah sembuh" jelas Cio San
"Memangnya kenapa?"
"Aku akan menyembuhkannya besok" kata Cio San enteng
Cukat Tong tahu Cio San tidak berbohong.
Bab 39 Hari Pertama Di Istana Ular
Pagi telah tiba hanya dalam beberapa kedipan mata. Cio San dan Cukat
Tong tidur pun hanya beberapa jam saja. Tapi badan mereka telah segar saat mereka bangun. Suara hewan-hewan yang ada di dalam hutan
membuat pagi itu terasa indah. Seperti tidak ada kematian yang semalam meliputi istana ini.
Bau wangi teh dan makanan memenuhi balairung istana kecil ini. Cio San bangkit dan menuju ke sumber wangi ini. Sebuah dapur ternyata berada di bagian belakang istana yang indah ini. Ang Lin Hua rupanya sedang
menyiapkan sarapan.

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat kedatangan Cio San, ia mengangguk dan memberi salam. Cio San
membalas salamnya, lalu bertanya,
"Siocia (nona) sedang masak apa?"
"Hanya makanan kecil untuk sarapan, kaucu. Hanya ini yang tersisa dari kemarin. Hamba bermaksud berburu dulu baru kemudian memasak untuk
makan siang" jawabnya.
"Tidak perlu repot-repot siocia. Biar nanti kami saja yang berburu dan memasak" kata Cio San. Tangannya sudah menjawil sebuah kue yang ada di situ. "Enak juga"
"Kalau semua-semuanya kaucu yang mengerjakan, lalu apa guna hamba
menjadi anggota." Kata Ang Lin Hua sedikit tersenyum.
"Aku sudah terbiasa mengerjakan segala hal sendirian. Mana mungkin
menyuruh orang lain mengerjakan keperluanku. Siocia pun sebaiknya
jangan terlalu capek dulu. Luka yang kemarin kan belum pulih seluruhnya"
Mulutnya berbicara, tapi juga sambil mengunyah.
"Hamba bisa paham, mengapa ayah memilih tuan sebagai pengganti beliau"
ujar Ang Lin Hua Cio San tidak menjawab. Ia sibuk memilih-milih kue.
"Dalam sekali pandang, orang bisa tahu kalau tuan adalah orang yang baik"
kata Ang Lin Hua "Justru seharusnya kau waspada jika ada orang yang kelihatan baik." Jawab Cio San santai sambil mulutnya tetap mengunyah. Dia paling suka makan enak. Dan kue ini enaknya bukan main.
"Ini kau yang masak, atau orang lain?" tanyanya kepada Ang Lin Hua
"Kita punya koki di sini. Tapi dia sudah meninggal saat serangan kemarin.
Hamba cuma memanaskan saja" jawab Ang Lin Hua.
Cio San manggut-manggut. "Mari kubantu kau membawa semua ini ke depan. Cukat Tong mungkin
sudah kelaparan" kata Cio San. Tangannya sudah menata guci teh dan
piringan kue. Ang Lin Hua ingin mencegahnya, tapi apa daya Cio San sudah melakukan
semuanya. Akhirnya Ang Lin Hua hanya membawa beberapa piring yang tersisa dengan kedua tangannya. Begitu mereka sampai ke ruang balairung, Cukat Tong
sudah bangun juga. Ia sedang bersandar di kursinya. Semalam mereka
berdua memang tertidur di kursi.
Melihat Cio San dan Ang Lin Hua datang, Cukat Tong tersenyum dan
berkata, "Wah, baru sehari di sini, aku sudah jadi kaisar. Punya dayang yang cantik dan seorang taykham (orang kebiri yang jadi pegawai di istana) yang
tampan. Hahahaha" Cio San ikut tertawa. Ang Lin Hua yang wajahnya tidak senang.
Cio San mengerti dan berkata kepadanya, "Jangan tersinggung nona,
beginilah cara kami bercanda."
Ang Lin Hua mengangguk tapi tidak berkata apa-apa. Cukat Tong tersenyum saja.
"Eh, teh Lin-Cha" Enak sekali ini" kata Cukat Tong
"Silahkan paduka kaisar, hanya ini yang bisa hamba sajikan kepada
paduka" jengek Cio San.
Ang Lin Hua akhirnya tidak bisa menahan diri, ia lalu berkata,
"Tuan, anda adalah Mo Kauw kaucu"
Cio San segera tersadar. Si nona ini marah bukan karena Cukat Tong
menyebutnya "dayang". Tetapi marah karena Cio San melayani Cukat Tong.
Seorang kaucu dari Mo Kauw haruslah punya wibawa!
Ia tersenyum lalu berkata dengan lembut,
"Aku mengerti siocia. Maafkan aku"
Ang Lin Hua hanya mengangguk, lalu berbalik ke dapur.
"Aku suka perempuan yang terus terang" kata Cukat Tong. Ia sudah
menuangkan teh nya. Lalu lanjutnya,
"Selama ini mereka bisanya diam membisu, berharap laki-laki mengerti isi hati mereka. Setan dan dewa saja tidak bisa mengerti isi hati manusia, kenapa mereka berharap laki-laki bisa mengerti?"
"Oh, jadi si Raja Maling ini sudah mulai beneran jatuh cinta rupanya" tukas Cio San tersenyum.
"Eh, yang berbau cuka ini teh nya atau kata-katamu ya" Sungguh sukar
dibedakan" kata Cukat Tong sambil tertawa. Ia melanjutkan, "Kau tidak tertarik padanya?"
"Aku sudah punya seorang kekasih" jawab Cio San
"Di mana dia sekarang?"
"Di kota Liu Ya"
"Kau pergi bertualang meninggalkannya?"
"Iya." Cio San menjawab sambil minum tehnya.
"Dan dia bilang, dia akan menunggu sampai engkau pulang?" tanya Cukat Tong
"Benar" "Kau siap-siaplah kecewa" kata Cukat Tong.
"Kenapa bisa begitu?"
"Di dunia ini mana ada perempuan yang setia" Ditinggal pergi kekasihnya sebentar saja, tak lama kemudian mereka sudah punya kekasih baru.
Perempuan itu tidak tahan kesepian. Mereka akan setia selama mereka
belum menemukan lelaki yang lebih baik. Tapi jika sudah menemukan,
maka mereka akan melupakanmu begitu saja"
Cio San malah terbahak-bahak. "Ini pengalaman pribadimu?"
Cukat Tong agak sedikit tercekat, tapi ia berkata "Ini pengalaman pribadi hampir semua lelaki di dunia. Kau pun sebentar lagi akan mengalaminya"
Cio San tidak berkata apa-apa. Malah terdengar suara Ang Lin Hua
"Tuan Raja Maling salah. Perempuan justru jauh lebih setia daripada lelaki"
"Nah, sudah mulai ramai nih" kata Cio San
"Sudah berapa wanita yang tuan temui" Apakah tuan sudah mengencani
mereka satu-satu?" tanya Ang Lin Hua. Kata-katanya lembut saja. Tapi
Cukat Tong tidak bisa menjawab.
"Wanita yang mati bunuh diri karena dikhianati lelaki, sudah tak terhitung jumlahnya di dunia. Wanita yang tidak menikah sampai seumur hidup
karena menanti kekasihnya pun juga sudah tak bisa dihitung."
"Mari duduk siocia" Cio San berdiri dan menarik kursi di sebelahnya.
Ang Lin Hua lalu duduk. Ia menuangkan teh ke cangkirnya. Gerakannya
halus dan lembut. Melihat Cukat Tong yang diam saja sambil senyum-senyum sendiri, Cio San ikut senyum-senyum juga.
Kaum lelaki di mana-mana memang sama saja. Mereka selalu menjelek-
jelekan perempuan. Tapi jika ada perempuan cantik duduk di hadapan
mereka, segera umpatan jelek itu menghilang entah kemana.
Cukat Tong malah mengalihkan pembicaraan, katanya kepada Cio San,
"Rencanamu yang semalam, kapan kau laksanakan?"
"Segera sesudah nona ini puas memarahimu" jawab Cio San enteng.
Mereka berdua malah tertawa.
Ang Lin Hua malah tambah jengkel,
"Jika pernah ada wanita yang menyakiti tuan, bukankah harusnya tuan
berkaca kepada diri sendiri" Apa penyebab ia mengkhianatimu" Seringkali wanita memutuskan hubungan karena merasa kekasihnya itu memang tidak
pantas bagi dirinya"
"Auw," hanya itu yang keluar dari mulut Cio San. Ia sudah tidak bisa
menahan tawanya. Cukat Tong kelabakan. Ia malah memerahi Cio San,
"Oh, jadi hanya segitu saja persahabatan kita?" wajahnya terlihat marah, tapi bibirnya mengulum senyum.
"Aku bisa menolongmu dari ancaman pedang. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kemarahan wanita. Urusan ini kau sendiri yang
memulainya, kenapa menyalahkan aku?" tukas Cio San.
Melihat Cio San berada di pihaknya, Ang Lin Hua kini tersenyum, segera ia melanjutkan,
"Perempuan itu makhluk yang sederhana tuan. Saking sederhananya, para lelaki menganggap kami makhluk yang tidak mudah di mengerti"
Cukat Tong manggut-manggut.
Memang lebih baik kau hanya manggut-manggut saja, jika ada perempuan
yang sedang memarahimu. Setelah Cukat Tong "menyerah", segera kemarahan ANg Lin Hua pun surut.
Ia bertanya kepada Cio San,
"Kaucu berencana hendak melakukan apa?"
"Aku ingin berkeliling melihat keadaan sekitar sini. Bisa siocia temani" Ada bebarapa hal yan ingin kutanyakan sambil jalan"
"Bisa, kaucu" Begitu selesai sarapan, mereka lalu bersiap-siap pergi. Cio San lalu berkata kepada Cukat Tong,
"Kamu masih ada dua janji kepadaku bukan?"
"Aku masih ingat"
"Bisakah ku tagih janjimu yang pertama?" tanya Cio San
"Sekarang?" "Kalau tidak sekarang, aku takut dunia tambah kacau balau" tukas Cio San sambil tersenyum.
"Kau memintaku mencuri apa?"
"Tolong bawakan racun hebat itu kepadaku"
"Maksudmu, racun yang digunakan si otak besar itu?"
"Iya" "Baiklah, Aku berangkat"
Cukat Tong berangkat dengan santai dan ringan. Mencuri racun sakti itu adalah sebuah pekerjaan yang sangat sulit dan berbahaya. Di mana ia harus mencurinya" kemana ia harus mencarinya" Tapi ia pergi dengan ringan,
seolah-olah urusan mencuri racun itu adalah semudah pergi ke jamban.
Cukat Tong tidak bertanya untuk apa Cio San memintanya untuk mencuri
racun itu. Cio San juga tidak mengucapkan kata-kata untuk memberi Cukat Tong
semangat. Masing-masing dari mereka telah paham atas kemampuan mereka. Mereka
berpisah seperti perpisahan biasa. Padahal masing-masing sadar bahwa itu adalah pekerjaan yang sangat sukar di muka bumi ini.
Cukat Tong senang karena Cio San mempercayainya dalam pekerjaan ini.
Cio San pun senang ia memiliki sahabat yang bisa diandalkan.
Masing-masing saling mengerti.
Maka meeka berpisah dengan ringan. Seolah-olah yakin bahwa pekerjaan ini akan diselesaikan dengan mudah dan Cukat Tong akan pulang dengan
selamat. "Aku akan kembali dalam 3 hari" kata Cukat Tong. Orangnya sendiri telah menghilang, kata-katanya masih terdengar.
Melihat sikap kedua orang sahabat ini, mau tidak mau Ang Lin Hua
bertanya, "Sudah berapa lama kaucu mengenal si Raja Maling?"
"Baru 2 atau 3 hari" jawab Cio San enteng.
"Baru dua-tiga hari tapi tuan berdua sudah seakrab itu?"
"Begitulah" "Dan tuan yakin ia akan kembali dalam 3 hari?"
"Jika ia bilang akan kembali siang ini pun, aku tetap percaya" jawab Cio San enteng.
"Memang para lelaki beda dengan kami kaum perempuan" kata Ang Lin Hua.
"Dimana perbedaannya?"
"Kami tidak pernah percaya orang lain, bahkan sahabat kami sendiri. Kami hanya percaya kepada diri kami sendiri"
"Oooo" Cio San manggut-manggut. Urusan perempuan, memang hanya
perempuan yang mengerti. Memang bagi kaum lelaki, sahabatnya itu adalah harta terbaiknya.
Sedangkan perempuan, diri mereka sendirilah harta terbaiknya. Mungkin kecantikannya, mungkin kepintarannya, mungkin kepandaiannya, mungkin
pula kekayaannya. Mereka berdua berjalan menyusuri jembatan kecil di bagian belakang istana.
Walaupun tidak begitu besar, istana itu indah sekali. Seluruh bangunannya dilindungi oleh tembok batu yang tebal dan tinggi. Pemandangan di
dalamnya sangat indah. Di pagi yang cerah saat burung berkicau dan hewan hutan berkeliaran dengan ramainya, suasana di istana itu sungguh indah.
"Aku masih heran, kenapa istana ini disebut istana ular" tanya Cio San
"Dulu, istana ini dibangun oleh kaisar Hongwu. Sebagai tempat
pertahanannya untuk daerah sungai. Makanya ada sebuah dermaga besar di depan. Dinamai istana ular karena dulu sebelum istana ini dibangun, banyak ular di daerah ini. Tapi kaisar memanggil seorang ahli racun dari barat untuk mengusir semua ular-ular itu, sebelum membangun istana ini"
"Ooo, jadi istana ini dulunya milik kerajaan. Lalu kenapa sekarang jadi milik Mo Kauw?"
"Setelah bangsa Goan (mongol) berhasil di usir, istana ini lantas
ditinggalkan, dan tak ada yang mengurusi. Akhirnya banyak ular yang
kembali ke sini. Karena itu, jarang ada orang yang mau datang ke sini.
Seorang ahli racun dari Mo Kauw berhasil mempelajari rahasia untuk
mengusir ular, dia lalu tinggal di sini"
Cio San manggut-manggut. Mereka kini telah berada di luar istana. Hutan di luar istana sangat lebat dan rapat. Cahaya matahari hanya bisa menembus sedikit saja. Cio San banyak memetik dedaunan. Rupanya kebiasaan mengumpulkan bahan masak dan
obat tidak pernah hilang dalam dirinya. Di mana saja ia menemukan
tumbuhan yang menarik hatinya, pasti dikumpulkannya.
Sambil keliling-keliling mereka bercakap-cakap. Cio San bertanya tentang banyak hal, terutama yang berkaitan dengan Mo Kauw. Cio San merasa
kagum juga dengan partai ini. Banyak hal dalam partai ini yang baru
diketahuinya. Seperti jumlah cabang rahasia yang tersebar, bahkan juga ia baru tahu kalau di istana kaisar terdapat banyak anggota Mo Kauw.
Cio San juga bertanya tentang peraturan-peraturan partai. Ia masih sangat buta dalam hal ini. Ang Lin Hua menjelaskan secara ringkas dan jelas.
Setelah mereka selesai berkeliling, Cio San sudah paham hampir sebagian besar tentang Mo Kauw.
Kedua orang ini lalu kembali ke istana ular. Cio San lalu mengeluarkan dedaunan dan akar-akaran yang tadi ia kumpulkan. Ia lalu bertanya,
"Di mana tempat obat-obatan?"
Ang Lin Hua lalu mengantarnya ke sebuah ruangan. Ruangan yang tertata rapi dan bersih. Di dalamnya terdapat banyak rak yang berisi bahan obat.
Persis seperti ruangan di markas rahasia Mo Kauw dalam perut gunung
dahulu. Cio San memperhatikan semua dan mencari-cari bahan yang ia butuhkan.
Ang Lin Hua tidak tahu apa yang akan dilakukan Cio San. Tapi dia juga tidak bertanya apa-apa.
Begitu selesai, Cio San tersenyum.
"Bahan-bahannya kini lengkap"
"Kaucu membutuhkan bahan-bahan ini untuk apa?" tanya Ang Lin Hua
"Untuk menyembuhkanmu, siocia" jawab Cio San enteng
Kening Ang Lin Hua berkerut.
"Jangan khawatir, sedikit banyak aku sudah paham penyakitmu. Masih bisa disembuhkan"
Di dunia ini hanya Thio Sam Hong yang bisa menyembuhkan penyakit Ang
Lin Hua, jika Cio San mengaku-ngaku bisa menyembuhkan pula, bukankah
hal itu terasa berlebihan" Itu sama saja Cio San mengaku dirinya setara dengan Thio Sam Hong.
"Siocia, mungkin tidak yakin jika aku bisa menyembuhkan. Percayalah, aku sudah paham dengan apa yang terjadi padamu"
"Penyakitmu itu hanya berupa penyakit kulit biasa. Kekuatan tenaga ilmu Menghisap Matahari membuat kulit mengeras, dan kehilangan
kekenyalannya. Ini disebabkan karena organ-organ wanita berbeda dengan wanita. Kekuatan Ilmu Menghisap Matahari ini hanya mampu dikuasai oleh lelaki. Jika kau bisa mengatur jalannya tenaga itu di dalam tubuhmu sendiri, organ-organ dalam tubuh akan berfungsi baik. Penyakitmu akan hilang"
jelas Cio San "Tapi bagaimana caranya" Kepandaian mengatur jalan tenaga hanya dimiliki oleh murid-murid Butongpay. Hanya Thay Kek Kun yang bisa sejajar dengan ilmu Menghisap Matahari. Ilmu hamba ini sudah mencapai tahap 9, dua
tingkat di bawah mendiang ayah" kata Ang Lin Hua
"Jangan khawatir, aku bisa Thay Kek Kun sedikit-sedikit" kata Cio San sambil senyum.
Ang Lin Hua hanya bisa terbelalak. "Sedikit-sedikit?"
Tapi entah kenapa ia malah percaya. Pengalaman bertarung dengan Cio San semalam, setidaknya membuat ia harus percaya.
"Pantas saja hamba kalah dalam pertarungan semalam"
Cio San tersenyum. "Penyakit siocia bisa disembuhkan, jika siocia mempelajari Thay Kek Kun.
Aku akan mengajarimu"
Sinar di mata Ang Lin Hua memudar. Rupanya ia kecewa,
"Hamba tak ingin mempelajarinya"
"Kenapa?" tanya Cio San
"Itu bukan ilmu Mo Kauw"
Cio San geleng-geleng kepala.
"Jika aku sebagai kaucu yang baru, menciptakan ilmu yang baru pula, apa kau akan mempelajarinya" tanya Cio San
"Tentu hamba akan mempelajarinya"
"Baiklah, bersiap-siaplah. Aku akan mengajarimu sebuah ilmu baru"
Segala ilmu silat pada dasarnya bersumber dari satu. Yaitu hasil ciptaan biksu Tat Mo saat ia menyebarkan agama Buddha di Tionggoan ribuan tahun yang lalu. Saat itu untuk melindunginya dari gangguan ia menciptakan ilmu bela diri. Ilmu itu kemudian diajarkan kepada murid-muridnya.
Dalam perkembangannya, ilmu itu kemudian menyebar ke segala golongan.
Golongan itu kemudian mengembangkannya sesuai pemahaman dan
pengetahuan mereka sendiri. Perkembangan itulah yang membuat ilmu silat mulai berbeda satu sama lain. Tetapi pada dasarnya semua ilmu itu
bersumber kepada ciptaan Tat Mo itu.
Cio San dalam pengelanaannya, secara tidak sengaja telah mencapai inti dasar ilmu silat itu. Itulah kenapa saat ia bersilat di atas gunung, Kam Ki Hsiang mengira Cio San sedang bersilat menggunakan jurus-jurus milik Kam Ki Hsiang.
Karena pada intinya, seluruh ilmu silat itu sama!
Thay Kek Kun sebenarnya sama saja dengan Ilmu Menghisap Matahari.
Hanya penggunaan dan pengembangannya yang berbeda. Jika
pengembangannya dihapus, maka inti yang tertinggal dari kedua ilmu itu pasti sama persis.
Mereka berdua lalu ke balairung. "Siocia, coba lihat gerakan ini lalu hafalkan"
Cio San bergerak. Tubuhnya seperti orang menari. Gerakan Thay Kek Kun memang seperti orang menari. Ang Lin Hua memperhatikan, baginya jurus itu buan jurus baru. Melainkan Thay kek Kun. Tapi saat di gerakan kedua, gerakan Cio San sudah berubah, kali ini adalah gerakan beberapa jurus ilmu Menghisap Matahari.
Pada dasarnya Cio San tidak menggabungkan kedua ilmu itu, ia hanya
bersilat menggerakan tubuhnya. Matanya tertutup, merasakan desahan
angin dari jendela. Menghirup udara segara dari hutan yang lebat. Suara gemericik air di kolam belakang pun dinikmatinya.
Tubuhnya bergerak, hentakan tenaga terasa berat namun lembut. Cio San seperti kembali ke Butongsan, saat ia bersilat secara sembarangan. Hanya mengikuti kemana "gerakan" itu membawanya.
Tapi bagi Ang Lin Hua, gerakan Cio San adalah gerakan silat maha dahsyat penggabungan dari berbagai macam ilmu silat yang pernah dilihatnya. Ada gerakan Thay Kek Kun, ada pernafasan Gobi Pay, ada hentakan tenaga
Cakar Macan-nya Siau Lim Pay, ada hisapan tenaga Menghisap Matahari.
Semua itu seperti menjadi satu dalam gerakan Cio San. Si nona
memperhatikan dengan seksama. Untunglah bakatnya dalam ilmu silat
sangat tinggi, sedikit banyak ia sudah hafal gerakan-gerakan Cio San tadi.
Setelah selesai, tubuh Cio San seperti lebih bercahaya. Entah itu
memang seperti itu, atau hanya dalam pikiran Ang Lin Hua saja.
Cio San sendiri merasa tubuhnya sangat sadar dan dipenuhi kekuatan yang dahsyat.
"Siocia sudah hafal seluruh gerakannya?" tanyanya
"Hampir seluruhnya" jawab Ang Lin Hua
"Bagus. Tolong hafalkan, karena aku sendiri sudah lupa seluruhnya"
Ang Lin Hua heran. Tapi Cio San memang tidak berbohong. Gerakan silat yang tadi ia lakukan sungguh tidak dipikirkan atau dikarang sebelumnya.
Ia hanya bergerak! Ia mengosongkan segala pikirannya dari pengetahuan, pemahaman, dan
jurus-jurus silat. Hasilnya adalah sebuah ilmu silat yang maha dahsyat.
Sudah sering kita lihat penyair yang menemukan ide puisi yang indah, tapi tidak lama setelah itu ia lupa akan syair-sayir puisinya sendiri. Itu pemain musik yang menggubah lagu, tapi setelah itu dia lupa akan lagunya.
Kenapa pesilat tangguh tidak bisa seperti itu"
Cio San bisa. Ia hanya membiarkan tubuhnya dibuai oleh gerakan-gerakan indah. Seperti penyair yang tenggelam dalam kata-kata indahnya. Seperti pemain musik yang terbenam dalam musiknya yang merdu.
"Siocia, lakukanlah gerakan-gerakan tadi"
Si nona pun menurut. Gerakannya pun indah, padahal baru sekali melihat.
Walaupun tidak selancar dan semengalir Cio San, gerakan-gerakan si nona boleh dibilang gerakan silat kelas tinggi.
"Atur pernafasan. Jangan sampai tenaga yang terkumpul di bawah perut
sampai bocor. Salurkan tenaga keras di kaki, salurkan tenaga lembut ke tangan"
Cio San memberi petunjuk, si nona melakukannya sambil bersilat.
Mereka berdua melakukan hal ini sampai berjam-jam lamanya. Si nona


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semakin lama merasa tubuhnya semakin segar. Orang jika bersilat terlalu lama, tenaganya akan habis. Tapi si nona merasa justru sebaliknya.
Setelah sekian lama, Cio San akhirnya berkata, "Cukup!"
"Bagus sekali siocia, kau memang sangat berbakat"
Si nona tersenyum senang.
"Apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Cio San\
"Hamba..hamba merasa tubuh hamba jauh lebih segar. Tenaga liar yang
selama ini berputar-putar di daerah perut sedikit banyak sudah bisa hamba kendalikan"
"Bagus, berarti kau melakukannya dengan benar. Mulai hari ini, setiap pagi kau harus melatihnya"
"Baik, kaucu" Mereka beristirahat. Tak lama lagi masuk waktu makan siang, Cio San
hendak pergi berburu. "Kaucu, hamba mohon, tolong biarkan hamba melayani kaucu, selama ini
hamba belum melakukan apa-apa untuk kaucu" ujar Ang Lin Hua
"Baiklah, jika kau memaksa. Engkau tidak bisa memasak bukan?"
"Dari mana kaucu tau?" tanya Ang Lin Hua
"Caramu menggunakan alat-alat dapur terlihat kaku. Kiranya kau lebih
pantas menggunakan pedang daripada pisau dapur. Baiklah, kau pergi
berbaru, aku yang memasak"
Ang Lin Hua mengangguk dan tersenyum. Ia pun berkelebat dari situ.
Cio San hanya geleng-geleng kepala, "Dunia memang sudah terbalik. Jaman sekarang, perempuan pergi bekerja, laki-laki yang memasak di rumah".
Sambil menunggu Ang Lin Hua kembali, Cio San menyiapkan peralayan dan bumbu-bumbu. Tak lupa ia juga menyiapkan ramuan obat untuk Ang Lin
Hua. Tak lama kemudian si nona sudah kembali membawa 3 buah kelinci besar-
besar. Saat kembali, ia melihat Cio San sedang menanak nasi.
"Kaucu rupanya pintar memasak" katanya
"Ah, aku pernah bekerja di sebuah retoran" kata Cio San ringan.
Ang Lin Hua cuma tersenyum. Sepanjang sejarah, baru kali ini seorang
kaucu dari partai Mo Kauw adalah mantan koki.
Cio San segera mengolah ketiga daging kelinci itu. Beberapa lama kemudian sudah tercium bau panggangan yang enak. Ang Lin Hua membantu
menyiapkan piring-piring dan peralatan makan lain.
"Apakah istana ini punya penyimpanan arak?" tanya Cio San
Ang Lin Hua tersenyum, "Di dunia ini, mungkin tempat yang paling banyak menyimpan arak adalah tempat ini" Ia segera pergia. Tak lama kemudian ia sudah kembali
membawa dua buah guci. Saat menghirup baunya, Cio San langsung terpana, "Arak Cui Ju"
Arak ini dibuat dari beras yang direndam lama. Warnanya seperti susu.
Rasanya manis dan gurih. Ini adalah minuman khas dalam Istana Kaisar.
"Ada arak apa saja yang ada di sini?" tanyanya tertarik
"Apa saja yang tuan cari, semua ada di dalam ruang penyimpanan bawah
tanah" jawab Ang Lin Hua
"Wuah," hanya kata itu saja yang keluar dari mulut Cio San.
Orang jika terlalu senang memang susah berkata-kata. Dan apa yang lebih menyenangkan bagi peminum selain mendengarkan bahwa ada sebuah
ruangan yang menyimpan segala macam arak"
Entah sejak kapan dia jadi peminum.
Kedua orang ini lalu menikmati makan siangnya. Kelinci panggang yang
bagian perutnya dikeluarkan dan di isi rempah-rempah, butiran jagung
rebus, serta potongan daging asap yang sebelumnya tersedia di dapur.
Begitu menyantapnya, mata Ang Lin Hua bercahaya.
"Seumur hidup hamba belum pernah menyantap makanan senikmat ini. Apa
nama masakan ini tuan?"
"Tidak ada nama, aku baru saja menciptakannya" jawab Cio san.
Ang Lin Hua hanya bisa geleng-geleng kepala. Rupanya ia sudah tertular kebiasaan Cukat tong yang sering geleng-geleng kepala jika berada di dekat Cio San.
Selesai makan, Cio San menuangkan arak ke cangkir si nona. Mereka lalu bersulang.
"Ahhh, arak seenak ini, diminum ratusan cangkir juga tak akan membuat mabuk" kata Cio San.
Minum arak adalah bagian dari budaya orang Tionggoan. Ada tata krama
dan sopan santun. Budaya ini telah dianggap sebagai bagian dari kekayaan budaya Tionggoan yang beragam dan menakjubkan. Perempuan yang
minum arak pun bukan dianggap sebagai sesuatu yang melanggar
kesopanan. Arak, bagi orang Tionggoan mengambarkan kebahagiaan.
Tapi bukankah bagi banyak orang, arak benar-benar melambangkan
kebahagiaan" Orang yang bersedih hatinya, biasanya lari kepada arak,
adalah karena hal ini. Ia ingin merasakan sedikit kebahagiaan di dalam kesedihannya.
Menikmati arak pun harus ada aturannya. Harus dalam sekali tenggak.
Karena itu melambangkan keberanian. Tapi, walalupun jika tak berarti apa-apa, bukankah cara terbaik untuk minum arak adalah dengan sekali
tenggak. Cuma orang yang benar-benar menghargai arak, yang paham hal ini.
Dua guci arak telah mereka habiskan. Kedua orang ini duduk terdiam.
Masing-masing tenggelam dalam pikirannya.
"Siocia, jika penyakit siocia telah sembuh, apakah siocia akan terus menetap disini?" tanya Cio San
"Entahlah kaucu, hamba belum memikirkan sejauh itu. Memang selama ini hamba menyembunyikan diri di sini karena malu dengan keadaan hamba"
Perempuan cantik yang menjadi tua. Di dunia ini, apakah yang lebih
menyedihkan dari hal ini"
Cio San sangat mengerti. Laki-laki banyak yang masih gagah saat ia tua.
Bahkan ada yang bertambah kegagahannya. Itulah kenapa di dunia ini,
masih banyak perempuan muda yang suka terhadap laki-laki yang sudah
tua. Tapi perempuan tua" Kalau bukan karena banyak uang, mungkin tidak ada seorang laki-laki pun yang mau.
Itulah sebabnya kenapa perempuan begitu mencintai uang. Mereka merasa uang bisa menggantikan kecantikan mereka yang nanti pudar.
"Siocia, setelah ini kau minumlah ramuan yang sudah ku siapkan. Ramuan ini untuk membantu menghaluskan kembali kulitmu" kata Cio San
"Terima kasih banyak kaucu, budi kaucu memang tak sanggap hamba balas.
Memang ayahanda tidak salah memilih kaucu sebagai penggantinya" ujar
Ang Lin Hua. Cio San hanya menggumam, "Urusan sebesar ini, kenapa pula harus aku yang menyelesaikan"
"Karena memang hanya kaucu yang pantas, dan sanggup
menyelesaikannya" Cio San merenung. Memang ada sedikit orang yang membenci masalah, tapi entah kenapa
masalah selalu menghampiri mereka. Kalau tidak diselesaikan, masakah
hanya ditangisi dan disesali saja"
Sesungguhnya masalah datang adalah untuk mendidik seseorang. Agar ia
menjadi lebih tegar, lebih rajin, lebih pintar, dan lebih dewasa. Jika kau hanya hidup enak, bagaimana mungkin kau menghadapi hidup yang tiba-
tiba berubah menjadi susah" Bukankah hidup selalu berubah" Hari ini kau bahagia, besok mungkin kau menangis sedih.
Jika engkau tidak menghadapi sendiri, apakah kau pikir orang lain akan menghadapinya untukmu"
Cio San menghela nafas. Perjalanannya masih sangat panjang. Sedikit
banyak ia telah menangkap inti sari permasalahannya. Ia pun telah tahu siapa otak dibalik semua ini. Tapi masih butuh waktu panjang untuk
membuktikannya. Masih butuh perjalanan yang jauh untuk
mengungkapkannya. Tapi ia segera tersenyum.
Menghadapi hidup dengan tersenyum, memang adalah perbuatan laki-laki
sejati. Bab 40 Tamu dan Surat Saat sore, pemandangan di Istana Ular juga tidak kalah indahnya. Cio San berada di taman belakang. Ia sedang menikmati arak sambil menikmati
taman belakang Istana Ular yang sangat indah. Ada kolam kecil yang indah.
Di dalamnya terdapat berbagai macam ikan hias. Melihat mereka berenang dan bermain sudah merupakan hiburan tersendiri bagi Cio San.
Di sekeliling kolam terdapat jalan setapak yang berisi batuan berwarna-warni yang indah. Di sekeliling jalan setapak itu pun diliputi rumput hias yang terpotong rapi. Di pojok taman, terdapat pavilliun kecil. Di sini terdapat meja kecil dan terdapat sebuah khim (kecapi) yang besar. Cio San pernah memainkan kecap yang besar saat di rumah Khu Hujin dulu. Kini ia
duduk memainkannya. Entah karena memang bakat musik yang menurun dari ayahnya, Cio San
memainkan khim dengan sangat indah. Ang Lin Hua yang saat itu sedang berada di kamarnya, sayup sayup mendengar suara khim dan nyanyian Cio San. Sebuah lagu yang indah namun menyedihkan.\
Lagu yang menyedihkan memang sering sekali terasa jauh lebih
menyenangkan daripada lagu yang menceritakan tentang kebahagiaan.
Orang yang sedang bahagia pun kadang ikut sedih ketika mendengar lagu yang sedih. Sedangkan orang yang sedih jarag ada yang ikut berbahagia karena mendengar lagu tentang kebahagiaan.
Apakah itu berarti orang yang sedih hatinya jauh lebih banyak daripada orang yang berbahagia"
Entahlah. Tapi seberapa banyak orang yang bahagia yang pernah kau temui"
Kebanyakan orang pasti merasa hidupnya menyedihkan dan membosankan.
Walaupun ia orang yang paling kaya sekalipun. Karena jika kau menganggap kebahagiaan terdapat pada harta yang banyak, maka hidupmu hanya akan
habis mengejar harta. Lalu kapan kau akan menikmati hartamu"
Uang memang perlu. Tapi bukan uang bukanlah kebahagiaan.
Kebahagiaan adalah ketika engkau mampu menerima dirimu apa adanya.
Menjadi dirimu sendiri. Hidup dengan caramu sendiri.
Bagaimana mungkin kau hidup dengan caramu sendiri jika kau terus
diperbudak keinginan"
Dentingan dawai khim merasuk ke jiwa. Orang yang jiwanya mabuk bukan
karena minum atau makan sesuatu yang memabukkan, tentulah mabuknya
adalah mabuk yang paling indah. Mabuk seperti ini selalu lebih
menyenangkan. Ang Lin Hua begitu mendengar musik seindah itu, justru tidak berani keluar kamarnya. Memang kata orang, sesuatu yang indah itu harus dinikmati
sedikit demi sedikit. Ia lebih memilih menikmati suara yang sayup-sayup itu.
Desir angin sore hari, dentingan dawai, dan nyanyian yang merdu. Jika kau tidak bisa menikmati ketiga hal ini, mungkin sudah tidak ada hal lagi di dunia ini yang bisa membuatmu bahagia.
Daun daun jatuh dari pucuk-pucuk dahan. Mungkin karena musim gugur
telah tiba. Tapi juga mungkin karena pepohonan pun ikut bersedih
mendengarkan lagu seindah dan sesedih ini. Karena memang, perpisahan
dua orang kekasih, jauh lebih menyedihkan daripada kisah tentang
kematian. Daun sekering ini, masa kah bisa sekering hati manusia yang kesepian"
Kolam seluas ini, masa kah bisa menampung air mata kekasih yang terluka"
Bebatuan sekeras ini, walaupun tuli, mungkin akan ikut menangis juga
mendengar kisah-kisah sedih tentang kehidupan manusia.
Maka siapakah hatinya yang tak akan tersentuh mendengar nyanyian
sesedih ini" Tak terasa air mata Ang Lin Hua pun ikut menetes.
Jika pendengar saja menangis, bukankah yang bercerita akan jauh lebih banyak air matanya"
Cio San tahu air mata sedang menetes deras di pipinya. Tapi ia
menikmatinya. Ia menikmati setiap tetesan air matanya. Baginya setiap tetes adalah tegur sapa dari kekasih yang dirindukannya.
Bagaimana kabarmu, Mey Lan"
Apakah engkau di sana merindukanku juga"
Apakah engkau di sana selalu setia menanti kepulanganku"
Apakah engkau akan selalu menatap pintu depan rumahmu, seperti aku juga menatap garis kaki langit"
Perpisahan ini baru sekejap. Tapi yang sekejap itu justru yang paling menyakitkan.
Lelaki sekuat apapun, jika berpisah dengan kekasihnya, pasti akan lemah juga hatinya.
Karena tegar bukan berarti tanpa air mata. Tegar berarti menghadapi
apapun walaupun kau harus tersakiti, terluka, dan bersedih karenanya.
ANg Lin Hua kini mengerti mengapa ia tidak ingin keluar dari kamarnya. Ia tahu Cio San sedang bersedih. Oleh karena itu ia tak ingin kehadirannya akan mengganggu Cio San. Karena kadang-kadang, menangis itu justru
jauh lebih membahagiakan daripada tertawa.
Tak terasa lagu sudah berhenti.
Tak terasa yang tertinggal hanyalah kesunyian belaka.
Sinar merah matahari sore. Daun daun berguguran. Angin berhembus.
Desahan ranting-ranting pohon berbisik merdu.
Apa yang lebih indah daripada itu semua"
Tapi herannya, orang-orang yang mengaku bahagia, justru tidak bisa
menemukan keindahannya. Justru orang-orang yang bersedih hatilah yang bisa menikmati keindahannya.
Ang Lin Hua menyalakan lilin dan obor penerang. Di dalam istana memang sudah mulai gelap. Ia lalu beranjak ke taman belakang. Paviliiun tempat Cio San berada ternyata sudah terang. Cio San duduk di sana.
Saat melihat Ang Lin Hua datang membawa obor, Cio San tersenyum. Tapi Ang Lin Hua bisa melihat bekas-bekas kesenduan di sana. Ia membalas
senyum Ang Lin Hua, dan mengangguk pelan. Lalu ia menerangi beberapa
obor yang ada di sekeliling taman pula.
Sekejap suasana taman belakang menjadi sangat indah.
"Mari duduk di sini, siocia" kata Cio San
"Tunggu hamba ambilkan arak, kaucu" tukas ANg Lin Hua
Tak berapa lama ia kembali dengan sebuah guci arak dan dua buah cangkir.
Ia duduk di hadapan Cio San lalu menuangkan arak ke dalam cangkir
dengan lembut. Bau harumnya menebar kehangatan di pavilliun itu. Cio San langsung tahu arak apa itu.
"Arak Lin Sam" istimewa!"
"Siocia (nona), memang pintar memilih arak" katanya
Arak itu ada seninya. Bukan hanya kau harus kuat meminumnya. Bukan
saja kau harus tahu ciri-cirinya. Bukan saja kau harus tahu khasiatnya.
Bukan saja harus kau tahu cara meminumnya. Tapi kau pun harus tahu
memilihnya di saat yang tepat.
Selalu ada arak yang berbeda untuk dinikmati di saat yang berbeda pula.
Seni seperti ini, kalau bukan seorang peminum arak, tentu tak akan paham.
Teguk demi teguk telah tertenggak. Yang ada hanya kehangatan. Mereka
walau duduk saling berhadapan, tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Kita kedatangan tamu" kata Cio San memecah kesunyian.
Dalam sekejap mata ia sudah menghilang dari hadapan Ang Lin Hua. Si
nona akhirnya menyusul juga. Begitu sampai di depan pintu depan,
terdengar suara dari gerbang,
"Salam kepada kaucu, semoga panjang umur"
Ang Lin Hua menarik sebuah tuas yang berada di dekat pintu depan tempat ia berdiri.
Blunggg Terdengar suara gerbang depan terbuka. Pintu gerbang itu terbuat dari besi besar yang tinggiya beberapa kaki. Gerbang yang sangat kokoh karena
memang tempat itu dulunya adalah benteng pertahanan.
Puluhan orang lalu masuk. Pakaian dan dandanan mereka pun aneh-aneh.
Sekali pandang saja Cio San tahu jika mereka adalah anggota Mo Kauw.
Begitu tiba di hadapan Cio San, segera orang-orang itu berlutut dan kembali mengucap kalimat yang sama,
"Salam hormat kepada Kaucu, semoga panjang umur. Juga salam kepada
Seng Koh (perawan suci)"
"Berdirilah" jawab Cio San. Dalam hati dia kagum juga dengan nama
panggilan Ang Lin Hua. Perawan suci! Dia ingin tersenyum.
Tapi Cio San saat ini bukanlah Cio San yang senyumnya jenaka, dan
berkelakukan seenaknya. Cio San yang ini adalah seorang Mo Kau Kaucu.
"Apa yang membawa saudara-saudara sekalian ke sini?" tanyanya
"Kami mendengar bahwa kaucu yang lama telah meninggal, dan tuan telah diangkat sebagai kaucu yang baru" jawab salah seorang.
"Itu benar. Aku akan bercerita, mohon saudara-saudara sekalian
mendengarkan" Cio San pun bercerita. Sebuah cerita yang sama dengan yang ia ceritakan kepada Ang Lin Hua. Puluhan orang-orang yang mendengarkan itu
tertunduk. Mereka semua meneteskan air mata. Salah satu dari mereka
bertanya, "Bolehkah kami melihat kuburan kaucu yang lama?"
"Saat ini aku belum mencari jasad beliau, dan jasad saudara-saudara yang lain. Dalam beberapa hari ini mudah-mudahan aku bisa menemukannya"
"Apakah ada kemungkinan jasad-jasad itu masih disimpan para pengkhianat dari rumah bordil?" tanya salah seorang.
"Mungkin saja. Tapi beri aku waktu, aku akan menemukannya"
"Biar saya saja kaucu" salah seorang maju dan mengajukan diri.
Orangnya sudah cukup tua dan rambutnya sudah hampir putih seluruhnya.
Cio San seperti pernah bertemu dengannya. Samar-samar ia mengingat-
ingat. "Nama hamba Hing Liok Tay, hamba adalah ketua cabang daerah Hubei.
Nona Hua telah mengenal hamba"
Cio San menoleh ke Ang Lin Hua,
"Ah, jika Hing-susiok (paman) yang menanganinya, kiranya kita semua
boleh berlega hati" sahut Ang Lin Hua.
"Saat ini, jika diperintahkan, hamba langsung berangkat sekarang juga"
kata Hing Liok Tay "Susiok boleh berangkat besok pagi. Sekarang ini marilah semua saudara masuk dan menikmati arak" kata Cio San
Terdengar suara mereka semua bersorak.
Karena tidak ada pelayan, orang-orang ini yang melayani diri mereka
sendiri. Untunglah dari rombongan ini terdapat beberapa orang wanita. Para wanita ini menyiapkan makanan, minuman, dan tentu saja arak yang keras.
Jika ramai-ramai, arak yang paling keras itu yang paling cocok!
Cio San berkisah tentang banyak hal. Ia mengakrabkan diri dengan "anak buah" barunya itu. Ang Lin Hua sudah menunjukkan surat pengangkatan Cio San, oleh sebab itu orang-orang ini menjadi lebih yakin lagi.
Walaupun suasana sedang dirundung duka karena kehilangan kaucu yang
lama, tak ayal mereka kagum juga dengan Cio San. Ang Lin Hua yang
menceritakan semuanya. Bagaimana Cio San mengalahkan ilmu Menghisap
Matahari, dan juga mencoba menyembuhkannya.
Dunia hal yang paling dihormati dalam dunia Kang Ouw memang adalah
ilmu silat dan ilmu ketabiban. Cio San memiliki kedua-duanya dalam
tingkatannya yang sangat tinggi.
Setelah makan malam dan acara minum arak selesai, Cio San berkata,
"Dengarkan titah kaucu!"
Semua orang, termasuk Ang Lin Hua langsung berlutut, Cio San berdiri
dengan gagah "Karena banyaknya kejadian yang menghebohkan di dalam dunia Kang Ouw, sehingga kita tidak bisa membedakan mana kawan, lawan, dan pengkhianat, maka aku memerintahkan kalian untuk segera kembali ke posisi masing-masing esok hari. Hanya beberapa orang yang ku minta tinggal di sini untuk mengurus segala keperluan di Istana Ular."
Cio San memang ketika tadi saat mengobrol dengan orang-orang ini telah mencoba menyelami sifat mereka satu persatu. Dengan pengetahuan yang
dibacanya dari kitab yang diberikan Khu Hujin, ia sedikit banyak sudah bisa menyelami sifat manusia, dan apa-apa yang mereka sembunyikan dalam
hati mereka. Ia lalu menyebutkan nama-nama,
"Hing Liok Tay, Sie Peng, Hok Jin, Goan Say Tan, Yan Tian Bu, Lim Tin, dan Cua Cin Sin harap tinggal. Saudara-saudara yang lain silahkan pulang besok.
Saya akan memberikan tugas khusus kepada saudara-saudara yang paling
besok" "Kami dengar dan kami laksanakan!" teriak seluruh anggota yang ada.
"Silahkan semua beristirahat. Bagi yang ingin bercengkerama dulu silahkan saja. Bagi yang ingin tidur, silahkan pilih kamarnya masing-masing. Perintah selesai. Silahkan bubar" Kata Cio San. Terdengar gagah dan berwibawa.


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti ia telah menjadi kaucu selama bertahun-tahun.
Ia sendiri tidak segera pergi tidur melainkan kembali duduk di pavilliun taman belakang. Ia duduk sambil memperhatikan anggota-anggota yang
lain. Ada yang meneruskan makan. Ada yang berbincang-bincang dengan
sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Ada yang diam saja. Ada juga yang sedang mempertontonkan silat. Mungkin sedang memperlihatkan jurus baru kepada sahabat-sahabatanya.
Cio San memberi perintah memanggil Hing Liok Tay. Segera Hing Liok Tay pun datang menemuinya.
"Salam kaucu" katanya sambil menjura.
Cio Sang mengangguk dan tersenyum, "Silahkan duduk susiok" katanya.
"Tidak berani..tidak berani"Kaucu harap jangan memanggil hamba susiok (paman)"
"Aku memanggilmu dengan panggilan yang aku suka, susiok" jawab Cio San tersenyum.
"Ahhh"kaucu sungguh seseorang yang rendah hati" kata Hing Liok Tay
"Kaucu, ada petunjuk apa?" tanya Hing Liok Tay
"Kita pernah bertemu, tapi susiok memang pasti tidak tahu"
"Benarkah, kaucu?" tanya Hing Liok Tay
"Kau bukankah dulu pernah menjadi petani tua, dan memberi sepatu kepada seorang pemuda?"
"Sejujurnya, hamba banyak memberikan sepatu kepada banyak orang"
jawab Hing Liok Tay. Cio San paham, rupanya orang ini memang sudah sering punya tugas jadi mata-mata Mo Kauw
"Aku dulu adalah seorang pemuda berwajah pucat yang datang kepadamu
tanpa sepatu." "Apakah di pinggiran hutan bambu di tepi air terjun Huey" ada desa kecil bernama Tau Lam di kaki gunung Butongsan. Hamba bertugas bertahun-tahun disana."
"Yah, kejadian itu baru beberapa bulan yang lalu. Mungkin belum sampai sekitar setahunan"
"Hamba saat itu mendapat perintah dari kaucu yang lama untuk menetap di sana. Beberapa orang anggota memang mendapat perintah untuk menetap
dibeberapa daerah sekitar kaki gunung Butong san"
"Oh, kalian diperintahkan kaucu yang lama untuk mecari kabar tentang
pemuda bernama Cio San, bukan?"
"Benar kaucu" "Aku lah pemuda pucat yang dulu kau berikan sepatu itu, susiok" kata Cio San tersenyum
"Ahhhh,mohon maaf kaucu..mohon maaf" kata Hing Liok Tay sambil bersujud berkali-kali
"Sudahlah, apa yang harus dimaafkan" tukas Cio San sambil tersenyum.
Lanjutnya, "Aku hanya ingin bertanya"
"Silahkan, kaucu"
"Setelah kau memberiku sepatu yang berisi penanda jejak, dan
kemudian aku tiba di kota Liu Ya, dua orang yang menguntitku adalah anak buahmu?" tanya Cio San
"Benar, kaucu" "Lalu kenapa mereka mati?"
"Yang membunuh mereka adalah ketua Mo kauw cabang Liu Ya, kaucu.
Mereka berdua terpakasa harus dibunuh agar jangan sampai membocorkan
rahasia bahwa Mo Kauw tertarik untuk mencari tahu rahasia anda, kaucu"
"Oh, aku mengerti sekarang. Di mana ketua cabang kota Liu Ya?"
"Dia belum datang. Mungkin sedang dalam perjalanan"
"Kalian mengerti tentang pergantian kaucu ini, apakah dari Cukat Tong?"
"Benar tuan. Ia mengirimkan surat ke beberapa cabang kita, mengatakan bahwa tuan berada di Istana Ular"
"Baiklah. Ada lagi yang ingin susiok sampaikan?"
"Tidak ada lagi, kaucu" kata Hing Lion Tay menggeleng
"Mari kau duduklah di sini susiok, ada hal yang ingin kuminta kepadamu"
Hing Liok Tay duduk di hadapan Cio San.
"Biasanya, bagaimana cara partai kita saling mengirim kabar?" tanya Cio San
"Kita biasanya menggunakan merpati. Dalam beberapa saat saja, kabar
sudah langsung sampai ke semua cabang. Tergantung jauhnya jarak antar kota" jawab Hing Liok Tay.
"Begitu"Baiklah aku akan menuliskan surat kepada seluruh anggota kita.
Bisakah susiok mengirimkannya kepada beberapa cabang" Ada beberapa hal yang harus ku sampaikan kepada beberapa ketua cabang"
"Siap laksanakan, kaucu"
Cio San lalu mendiktekan isi suratnya. Intinya meminta agar setiap cabang menggunakan daya upaya untuk menyelidiki tentang para pembunuh
bertopeng, berhati-hati terhadap racun baru yang sangat dahsyat, serta sebisa mungkin tidak bentrok dengan partai lain, baik yang besar maupun yang kecil.
Begitu selesai didikte, Hing Liok Tay lalu menyalinnya menjadi beberapa surat, kemudian mengirimkannya. Cio San lalu memintanya untuk istirahat karena besok pagi-pagi sekali ia Hing Liok Tay harus segera pergi
melaksanakan tugas menyelediki keberadaan jenazah kaucu lama dan
anggota-anggota yang lain.
Cio San kini sendirian lagi. Ia ingin memainkan khim tapi merasa akan mengganggu anggota-anggota lain yang sedang beristirahat. Karena belum mengantuk Cio San berencana untuk duduk-duduk di situ sampai larut
malam sambil minum arak. Sampai larut malam baru ia tertidur dengan pulas di pavillliun itu. Padahal ia tahu, ada beberapa pasang mata yang sedang memperhatikannya di dalam
kegelapan. Saat bangun, hari belum begitu pagi. Bau masakan dari dapur sudah
menari-nari di hidungnya. Saat bangkit, ternyata sudah ada seguci teh panas, serta sepiring kue-kue.
"Enak juga, jadi kaucu. Segala sesuatunya sudah dilayani orang lain. Pantas saja banyak orang ingin menjadi pemimpin" pikir Cio San.
Cio San menikmati secangkir teh, dan mencomot satu kue. Setelah itu dia bangkit dan pergi ke dapur. Ternyata Sie Peng, Lim Tin, dan Cua Cin Sin sudah berada di sana. Mereka memasak banyak sekali makanan untuk
puluhan anggota yang ada di sana.
"Hey, kalian sudah bangun" Sini kubantu memasak" kata Cio San
"Ah kaucu, mana kami berani?" mereka semua mencegah Cio San jangan
sampai turun tangan. Tapi apa daya Cio San sudah menggunakan kata-kata andalannya "Ini perintah!". Sambil tersenyum ia lantas saja menumbuk
bumbu. Ketiga anggota wanita Mo Kauw itu tak bisa berkata apa-apa lagi.
Ketika matahari sudah mulai naik, dan tanah terlihat sudah terang, masakan yang disiapkan mereka berempat sudah matang. Kesemuanya makanan
enak. Rupanya semalam ada beberapa anggota yang pergi berburu ke hutan belakang dan berhasil menangkap beberapa rusa, ayam hutan, dan ular.
Hasil tangkapan itu diolah Cio San dengan sangat mantap. Sampai-sampai ketiga anggota wanita itu terheran-heran. Mereka saja tidak mampu masak seenak dan selezat itu.
Seluruh anggota lalu makan dengan lahap. Seumur hidup mereka mungkin
belum pernah makanan selezat itu. Ketika tahu bahwa hidangan itu adalah hasil masakan Cio San mereka semua bergetar tak ada yang berani
bersuara, "Ma"matipun,,,mana berani kami makan?" kata salah seorang.
"Maafkan".kami..kaucu..kami.kami" mereka semua salah tingkah.
Cio San hanya tersenyum, ia berkata "Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang paling memperhatikan anak buahnya. Aku justru merasa bangga bisa menyiapkan makanan untuk saudara semua"
Begitu mereka mendengar hal ini, mereka lalu berlutut dan bersujud,
"Kaucu sunggu baik dan adil! Kami rela menyerahkan nyawa bagi kaucu dan Mo Kauw!" teriak mereka keras.
"Sudahlah, kalian berdiri lah. Kita belum lagi menikmati araknya" kata Cio San.
Tak lama setelah mereka minum-minum, terdengar suara dari gerbang besi depan,
"Cukat Tong datang menghadap Mo Kauw kaucu!"
"Raja maling sudah datang. Hmmm..ternyata lebih cepat dari perkiraan
semula" batin Cio San. Dalam hati ia kagum juga. Langkah Cukat Tong tidak terdengar sama sekali olehnya. Padahal dalam jarak segini, ia biasanya bisa mendengar jika ada orang lain di gerbang depan.
Cio San sendiri yang menyambut Cukat Tong di pintu depan.
"Salam kepada kaucu. Hamba Cukat Tong membawa berita dan
mengantarkan surat" kata Cukat Tong.
"Salam Cukat-tayhiap (pendekar besar Cukat)" kata Cio San sambil senyum dan menjura.
Kedua orang ini bersikap penuh adat tentunya karena banyak orang di situ.
Kalau tidak mereka mungkin sudah saling peluk dan bercanda.
"Mari ke belakang, kita berbicara di sana saja" Cio San lalu mengajak Cukat Tong ke pavilliun belakang.
Semua mata memandang Cukat Tong. Tidak menyangka kalau si Raja
Maling Tanpa Tanding ternyata penampilannya sama seperti mereka. Kotor dan awut-awutan.
Begitu mereka berdua sampai di pavilliun belakang.
"Ini racunnya sudah kubawa" ia mengeluarkan sebuah botol kecil. Isinya sebuah cairan seperti air biasa. Bening dan tak berbau.
"Aku juga membawa surat dari Beng Liong untukmu. Aku bertemunya di
jalan" ia mengeluarkan sepucuk surat. Cio San lalu membacanya.
Salam Hormat, Begitu mendengar kabar dari Cukat Tong bahwa San-te telah menjadi Mo Kauw Kaucu, aku sangat bahagia. Thian (langit) memang sangat adil dan mengerti perjalanan hidup manusia. Tapi kebahagiaan ini serasa tawar saat kubayangkan engkau akan banyak menanggung banyak urusan.
Saat ini pun aku terpaksa meminta bantuanmu. Pergerakan tentara Mongol di perbatasan membuat tentara kerajaan sangat terdesak di sana. Baru-baru ini kaisar mengumumkan permintaan bantuan kepada seluruh kaum Kang Ouw untuk turun tangan membantu kerajaan.
Hal ini, ditambah lagi dengan urusan Pembunuh Bertopeng membuat kaum Kang Ouw juga semakin terdesak. Karena itulah pertemuan pemilihan Bu Lim Beng Cu dimajukan dari tahun depan, menjadi 3 bulan lagi. Pertemuan akan di adakan di puncak gunung Thay San.
Aku harap San-te bersama Mo Kauw yang kau pimpin bisa turut turun tangan dalam kedua urusan ini. Sekali lagi aku mohon maaf karena harus merepotkan dirimu. Semoga kita bisa bertemu di puncak Thay San 3 bulan lagi, tanggal 15.
Saudaramu, Beng Liong. Cio San melipat kembali suratnya. Ia berpikir lama sekali. Cukat Tong diam saja, karena ia tahu Cio San sedang memikirkan urusan yang sangat
penting. Cio San lalu tersenyum lebar,
"Ada kau di sini, jika tidak kucekoki arak sampai mampus, jangan bilang namaku Cio San"
Bab 41 Memulai Perjalanan
Mereka berdua minum sampai tengah hari. Saat itu anggota-anggota Mo
Kauw sudah bersiap-siap untuk kembali ke posisi masing-masing. Mereka mungkin segan mengganggu Cio San yang sedang minum-minum sehingga
menunggu sampai ia selesai dulu.
Tapi bukankah pekerjaan yang paling membosankan adalah menunggui
lelaki pemabuk minum arak, dan menunggui wanita cantik bersolek"
Oleh sebab itu, para anggota Mo Kauw menunggu hingga tengah hari.
Padahal mereka sudah ingin berangkat sejak tadi.
Ketika Cio San dan Cukat Tong selesai, baru para anggota Mo Kauw itu
berani mendatangi Cio San untuk minta diri.
"Kami berangkat kaucu!, segala titah kaucu, akan kami laksanakan!"
"Bagus. Selamat jalan saudara-saudara. Apakah bekal kalian sudah cukup?"
tanya Cio San "Lebih dari cukup, kaucu!"
"Baiklah. Hati-hatilah di jalan"
"Kebaikan hati kaucu tidak kami lupakan. Kamu mohon diri!"
Mereka bersoja di hadapannya, dan Cio San membalas dengan menjura.
Lalu puluhan orang itu kemudian pergi. Terdengar ramai suara mereka
tertawa dan bercanda. Cio San memang paling suka suasana seperti itu.
Maka ia tersenyum saja melihat mereka pergi, dari kejauhan.
"Kau tidak menceritakan isi surat itu kepada mereka?" tanya Cukat Tong
"Tidak perlu, kan yang diundang hanya aku"
"Undangan itu untuk seluruh Mo Kauw. Jika ketua mereka diundang, maka itu berarti undangan untuk seluruh anggotanya"
"Oh begitu" tukas Cio San
"Hey, dalam dua hari ini Ang Lin Hua terlihat lebih muda, apakah kau sudah mulai menyembuhkannya?" tanya Cukat Tong lagi.
"Iya, syukurlah pengobatannya lumayan berhasil. Tapi dibutuhkan waktu berbulan-bulan agar ia pulih seluruhnya"
Ang Lin Hua datang. Dari kejauhan mereka bisa melihatnya membawa
nampan berisi kue-kue. "Silahkan kaucu, dan Cukat tayhiap" katanya sambil meletakkan nampan itu di atas meja.
"Terima kasih" jawab mereka berdua.
"Tak lama lagi waktu makan siang tiba, apa kita masih punya makanan?"
tanya Cio San "Masih banyak kaucu, sisa tadi pagi masih ada" jawab Ang Lin Hua. Ia
menjura dan berbalik pergi. Tapi Cio San menahannya,
"Siocia, dalam beberapa hari ini, maukah kau menemaniku ke puncah Thay San?" tanyanya
"Baik, kaucu" si nona mengangguk
"Baik, terima kasih. Nona, silahkan pergi" kata Cio San tersenyum.
Cukat Tong menatap punggung Ang Lin Hua dari kejauhan
"Ia bahkan tidak bertanya pergi kemana" katanya, ia melanjutkan
"Bagi anggota partai silat, titah ketua bagai titah kaisar. Disuruh lompat ke dalam api pun, mereka dengan senang hati akan melakukannya"
Cio San hanya melamun saja. Lalu ia kemudian bertanya,
"Selama beberapa kali pemilihan Bu Lim Beng Cu (pemimpin dunia
persilatan), selalu Siau Lim Pay yang memenangkan pertarungan.
Bagaimana menurutmu tingkatan mereka dibanding kaucu Mo Kauw yang
lama?" "Menurutku Mo Kauw yang lama masih dibawah sedikit daripada ketua Siau Lim Pay. Tapi jika dibandingkan dengan ketua Bu Tong Pay, kaucu Mo Kauw yang lama masih di atas sedikit" jawab Cukot Tong.
"Setiap pemilihan Bu Lim Beng Cu, apakah kau selalu datang?" tanya Cio San lagi.
"Aku datang 2 kali"
"Bagaimana pertarungannya?"
"Sangat seru, semua orang yang merasa bagian dari partai persilatan boleh untuk turun ke dalam pi-bu (adu tanding) itu. Tapi karena itu pertarungan tingkat tinggi, hanya ketua-ketua partai saja yang ikut. Juga beberapa ahli silat kelana, dan beberapa anggota keluarga-keluarga terkemuka dalam
dunia persilatan. Sayangnya Mo Kauw tidak pernah ikut, walaupun selalu diundang" jelas Cukat Tong.
"Mo Kauw tidak pernah ikut?" tanya Cio San, ia agak sedikit kaget.
"Iya. Ketua Mo Kauw yang lama merasa ia tidak perlu ikut urusan Bu Lim Beng Cu segala. Entah apa alasannya, aku tidak tahu"
Cio San merenung sebentar. Pikirannya menerawang jauh. Matanya
bersinar-sinar. Ia lalu berkata,
"Rasa-rasanya, aku sudah mulai paham segala kejadian ini dengan jelas"
"Kau, kau sudah berhasil memecahkan rahasia si otak besar?" tanya Cukat Tong
"Sekitar 8 dari 10 bagian, aku sudah paham" kata Cio San tersenyum
"Dan kau tidak ada niat untuk mengatakannya kepadaku?"
"Belum saatnya. Karena sekarang adalah saat makan siang" Cio San berkata begitu karena ia melihat 3 orang anggota Mo Kauw yang wanita sudah
datang membawa nampan-nampan berisi makanan.
Mereka makan dengan lahap. Setelah makan Cio San meminta diri untuk
bekerja sebentar. Cukat Tong tidak tahu apa yang dilakukan Cio San.
Karena sungkan bertanya, ia memilih berdiam saja di kamar yang sudah
dipersiapkan anggota Mo Kauw kepadanya.
Cio San sendiri pergi ke ruangan obat-obatan. Rupanya ia berusaha keras untuk memecahkan rahasia racun hebat itu. Dari siang sampai tengah
malam ia bekerja keras. Ia hanya keluar untuk makan malam. Saat makan malam bersama, Cukat Tong pun tidak bertanya apa-apa, karena ia kini
sudah tahu apa yang sedang dilakukan Cio San.
"Lakukanlah yang terbaik" begitu kata Cukat Tong. Cio San hanya
membalasnya dengan anggukan dan senyuman.
Memang jika dua sahabat sudah saling mengerti kemampuan masing-
masing, kebanyakan mereka akan lebih banyak diam dan saling tersenyum.
Jika kau perhatikan, sahabat-sahabat yang sangat akrab dan mendalam,
memang kebanyakan tidak terlalu banyak ngobrol. Mereka justru lebih
banyak saling diam. Ini karena mereka sudah saling mengerti isi hati
masing-masing. Berbeda dengan sahabat yang tidak terlalu mendalam, yang kebanyakan ngobrol, tertawa, dan bercanda ria.
Cio San kembali ke biliknya dan mulai bekerja lagi. Ini dilakukannya sampai terang tanah. Saat itu anggota-anggota wanita Mo Kauw sudah bangun dan menyiapkan sarapan. Begitu keluar dari biliknya, Cio San muncul dengan senyum cerah.
"Selamat pagi, kaucu" ketiga wanita anggota Mo Kauw itu memberi salam.
"Selamat pagi juga, para nona" Cio San mengangguk sambil tersenyum. "Si Raja Maling sudah bangun?" tanyanya kepada mereka.
"Sepertinya sudah. Ia berada di halaman depan. Sedang berbincang-bincang dengan Seng Koh (perawan suci)"
Cio San tersenyum lagi. Entah kenapa setiap mendengar kata "Seng Koh", ia selalu tersenyum. Ia lalu beranjak ke depan.
Bagian depan Istana Ular memang tak kalah indahnya dengan taman bagian belakangnya.
Begitu melihat Cio San datang, mereka berdua tersenyum dan mengangguk.
"Sudah selesai?" tanya Cukat Tong.
"Sudah" jawab Cio San
"Boleh aku mencobanya?" tanya Cukat Tong lagi.
Cio San tidak berkata apa-apa, dan hanya menyodorkan dua botol.
"Botol yang bening adalah racunnya, yang botol hitam adalah penawarnya"
kata Cio San Dengan santai Cukat Tong menegak sedikit racun. Tak berapa lama
kemudian ia sudah muntah darah. Lalu dengan cepat, ia menenggak sedikit penawarnya.
Cio San hanya memandang saja. Ang Lin Hua terbelalak. Ia tidak
menyangka ada orang seberani itu. Begitu percaya kepada orang lain. Cukat Tong melakukan hal ini, seperti ia melakukan hal-hal paling sederhana dalam hidupnya.
"Bagiamana?" tanya Cio San
Cukat Tong menutup mata dan mengatur jalan nafasnya. Tak lama
kemudian wajah pucatnya terliat kembali segar. Ia lalu membuka mata dan berkata,
"Sudah punah seluruhnya. Kau benar-benar hebat"
Mereka berdua lalu saling tersenyum dan menepuk pundak.
Ang Lin Hua pun ikut tersenyum. Ada 1 hal dari lelaki di dunia ini yang bisa membuat wanita kagum dan muak secara bersamaan, yaitu persahabatan
antar lelaki. "Siocia, bersiap-siaplah. Mungkin besok kita sudah berangkat. Jarak dari sini ke puncak Thay San mungkin dibutuhkan waktu 3 bulan berjalan kaki" kata Cio San
"Kau akan berjalan kaki?" tanya Cukat Tong
"Kau lupa, bukankah aku tidak bisa mengendarai kuda?"
"Aku tidak lupa. Tapi masa kau tega mengajak nona Ang berjalan kaki
juga?" "Kemana pun kaucu pergi, hamba akan turut" kali ini Ang Lin Hua yang
menjawab. "Kita jalan kaki saja dulu. Jika dirasakan memakai kuda lebih baik, kita akan mencari kereta. Kau bisa mengendarai kereta bukan?" tanyanya kepada
Cukat Tong "Tentu saja. Tapi kenapa kau begitu yakin aku akan ikut denganmu?"
"Kau tidak mau tahu rahasia si otak besar?"
Cukat Tong hanya tertawa terbahak-bahak.
Besok paginya mereka semua telah bersiap-siap. Cio San, Cukat Tong, dan ANg Lin Hua telah menyelesaikan sarapan pagi. Di pundak masing-masing terdapat buntalan yang berisi baju dan perlengkapan sehari-hari. Ang Lin Hua membawa sebuah pedang yang sangat indah. Mereka mengajak dua
orang anggota Mo Kauw untuk turut pergi juga. Satu lelaki dan satu wanita.
Anggota yang tersisa diperintahkan untuk menjaga Istana Ular.
"Siocia, bukankah rakit kecil yang berada di gudang belakang bisa dipakai?"
tanya Cio San kepada Ang Lin Hua
"Bisa, kaucu" "Baik. Kita berangkat menggunakan rakit dulu untuk sampai ke seberang.
Kira-kira berapa lama kita sampai ke seberang?" kali ini Cio San bertanya kepada Cukat Tong.
"Sungai Huang Ho ini lumayan lebar. Mungkin tengah hari baru kita sampai di seberang" jawab si Raja Maling.
Cio San mengangguk. Mereka berangkat. Cio San, Cukat Tong, Ang Lin Hua, dan dua orang
anggota Mo Kauw yaitu Sie Peng, dan Yan Tian Bu. Sie Peng adalah seorang wanita yang lumayan cantik dan tangkas. Sejak awal ia datang, Cio San sudah memperhatikannya. Ia menganggap Sie Peng cocok untuk menemani
Ang Lin Hua. Sedangkan Yan Tian Bu adalah seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar dan tidak banyak bicara. Gerak-geriknya pun tangkas dan cerdas. Cio San butuh seorang anggota yang mampu melaksakan perintah-perintahnya jika diperlukan.
Perjalanan menyeberang sungai memang tepat selesai pada saat tengah
hari. Mereka mendarat di sebuah hutan lebat. Cukat Tong yang memilih
tempat ini karena ia yang paling paham daerah-daerah.
Setelah menyusuri hutan selama kira-kira sepeminum teh, tibalah mereka di pinggiran kota Kun Tau. Sebuah kota kecil yang lumayan ramai. Mereka tiba di gerbang kota itu dan terhenyak juga melihat banyaknya pasukan kerajaan yang berada di sana.
"Pasukan-pasukan ini pasti mempersiapkan diri untuk berangkat ke
perbatasan" kata Cukat Tong.
"Sebegitu parahnya kah keadaan di perbatasan sehingga pasukan dari
daerah timur pun harus di tarik ke barat?" tanya Cio San
"Menurut kabar yang kudengar, pasukan Goan (mongol) sudah semakin
kuat. Pasukan kerajaan kita sangat terdesak, sehingga mau tidak mau,
kaisar memerintahkan pengiriman pasukan secara besar-besaran" kata
Cukat Tong. Cio San mengangguk dan memperhatikan. Sepanjang hidupnya, ia belum
pernah melihat pasukan berkumpul sebanyak ini. Ada ribuan tentara yang berbaris dengan rapi. Pakaian perang mereka membuat mereka terlihat


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih gagah. "Mari saudara-saudara, kita percepat perjalanan kita" ujarnya.
Ketika sampai di dalam kota, Cio San memutuskan untuk menggunakan
kereta saja. Mereka kemudian mencari tukang kuda. Setelah lama memilih, akhirnya mereka membeli dua kuda terbaik yang dimiliki tukang kuda itu.
Dua ekor kuda daerah barat yang terkenal kekar dan kuat. Walaupun larinya tidak begitu kencang.
Mereka pun membeli sebuah kereta yang akan dipasangkan kepada kedua
ekor kuda itu. Sebuah kereta sederhana yang tidak mahal. Tapi cukup
nyaman dan sejuk juga. Bagian dalamnya tidak ada isinya, sehingga seluruh rombongan bisa muat di dalamnya. Yan Tian Bu bertugas menjadi kusirnya.
Cio San memilih duduk di sebelahnya. Padahal biasanya seorang kaucu
selalu berada di dalam kereta. Tapi Cio San menolak, ia ingin menikmati perjalanan dengan menikmati udara segar dan angin.
Perjalanan dilakukan dengan senang dan ceria. Kadang-kadang Cio San
menceritakan kisah-kisah lucu yang membuat semua orang tertawa
terpingkal-pingkal. Hanya Ang Lin Hua yang tidak terpingkal-pingkal,
walaupun ia tersenyum lebar saat mendengarkan cerita-cerita Cio San.
Kadang-kadang perjalanan yang menyenangkan justru jauh lebih
mengasyikkan daripada tujuannya. Di sinilah kita memahami sifat dan
pembawaan orang. Cio San senang sekali bisa banyak mengobrol dengan
Yan Tian Bu. Walaupun pendiam, Tian Bu lumayan menyenangkan diajak
ngobrol. Yang merasa rikuh tentu saja Cukat Tong. Ia berada sendirian di dalam kereta bersama dua orang wanita. Walaupun bagian kereta tembus ke
depan langsung ke posisi kusir, mau tidak mau ia tetap merasa tidak enak juga. Apalagi Cio San sedang asik ngobrol dengan Yan Tian Bu, sedangkan Ang Lin Hua pun mengobrol dengan Sie Peng. Akhirnya ia memilih tidur-tiduran saja.
Tak terasa perjalanan sudah mencapai 2 hari. Karena dilakukan dengan
santai dan tidak terburu-buru, rombongan ini tidak merasa letih atau lelah.
Sepanjang perjalanan mereka menikmati pemandangan yang ada. Kadang-
kadang Cukat Tong yang menjadi kusir, kadang-kadang Cio San pun belajar mengendarainya. Tentu saja harus didampingi Cukat Tong atau Yan Tian Bu.
Jika tidak, kereta bisa oleng atau masuk sungai.
Mereka melakukannya dengan riang dan gembira.
Cio San juga menggunakan kesempatan ini untuk mengunjungi markas-
markas rahasia Mo Kauw yang tersebar di kota-kota. Kebanyakan dari
mereka memang sudah tahu jika Cio San telah menjadi Kaucu mereka yang baru. Sebenarnya mereka beramai-ramai ingin pergi ke Istana Ular, dan melihat sendiri ketua mereka yang baru, tetapi tugas dari Cio San membuat hal ini tertunda.
Cio San berjanji akan mengadakan upacara pemakaman terbaik apabila
jasad-jasad kaucu yang lama beserta anggota-anggota lain ditemukan.
Kunjungan ke markas-markas rahasia ini membuat Cio San semakin
mengerti urusan Mo Kauw, dan juga membuatnya lebih akrab dengan
anggota-anggota lain. Memang Mo Kauw itu sebuah partai yang sedikit
berbeda daripada partai lain. Mo Kauw lebih longgar dan luwes, sehingga tidak terlalu banyak aturan dan peradatan seperti partai-partai lain.
Selain mengunjungi markas-markas rahasia, kesempatan ini digunakan Cio San untuk melihat dunia juga. Berjalan-jalan ke tempat terkenal dan
menikmati tempat-tempat yang indah. Cukat Tong sendiri sempat heran dan bertanya kepada Cio San tentang hal ini,
"Kau tidak khawatir atas apa nanti yang akan terjadi" Urusan besar sudah menanti di depan, kau masih leha-leha dan malah berpesiar"
"Urusan belum kejadian, mengapa harus dipikir?" tukas Cio San
"Tapi musuhmu, si otak besar, sekarang sedang menyusun sebuah rencana besar. Rencananya matang, dan penuh intrik dan rahasia, jika kau tidak bersiap-siap, kau akan kalah langkah dengannya"
"Justru aku sudah menang beberapa langkah darinya" ujar Cio San enteng
"Bagaimana bisa begitu?"
"Si otak besar kini sibuk mempersiapkan rencananya. Pikirannya,
tenaganya, seluruh sumber dayanya, ia curahkan. Bahkan mungkin malam
tidak tidur, dan kurang makan di siang hari. Dari sini saja, aku sudah menang satu langkah" Cio San melanjutkan,
"Orang yang merencanakan sesuatu, tentulah segala daya upaya ia
kerahkan agar rencananya tidak bocor, dan berjalan dengan baik. Tapi
siapkah ia menghadapi segala macam perubahan" Perubahan alam,
Pendekar Super Sakti 18 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Kasih Diantara Remaja 12
^