Pencarian

Kisah Para Penggetar Langit 7

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Bagian 7


"Hmmmm, aku tidak memperhatiakn secara jelas. Tapi saat saudara Cio San bilang begitu, aku mulai sedikit ingat. Memang kebanyakan gerakan
jurusnya adalah dari bawah ke atas. Bagaimana saudara bisa tahu, padahal belum pernah melihat?"
"Aku hanya menduga saja, tapi itu tampaknya yang paling masuk akal.
Gerakan pedang secepat dan setiba-tiba itu, hanya dimungkinkan kalau kita melakukan gerakan ayunan lengan dari bawah ke atas. Ambil contoh, jika pedang berada di pinggang sebelah kirinya, berarti saat ia mencabut pedang itu dari sarungnya, gerakan yang ia lakukan adalah dari bawah ke atas. Oleh sebab itu, jurus itu dilakukan tepat saat ia mencabut pedang dari sarungnya.
Bersamaan dengan itu ia akan menyerang ke daerah dahi. Kalau ia
menyerang dari arah lain, misalnya dari atas ke bawah, maka kecepatan, ketepatan, dan keefektifannya akan berkurang. Karena ia harus mengangkat pedang ke atas dulu, baru melakukan jurus menyerangnya. Perbedaan
sepersekian detik itu saja, sudah menghasilkan perbedaan yang jauh sekali"
Semua orang manggut-manggut mendengar penjelasan Cio San. Ia lalu
melanjutkan, "Aku pernah melihat "hasil karyanya" saat di Rumah Teng Teng dulu. Dan yang kuperhatikan, semua luka di dahi korbannya adalah dari sabetan
pedang dari bawah ke atas. Ini memang aneh, karena jarang ada jurus
pedang seperti ini. Tapi menurutku justru jurus inilah yang paling tepat.
Karena posisi tangan kita, adalah selalu di bawah, di dekat pinggang. Itu adalah "titik 0" posisi tangan kita. Jika semua gerakan dimulai dari situ, maka hasilnya akan sangat cepat dan efektif. Karena kita tidak perlu
mengangkat tangan, atau membentuk posisi tangan yang umumnya
dilakukan saat kita bersilat"
Ini memang dugaan Cio San yang sangat tepat. Orang yang bersilat, saat melakukan kuda-kuda, pastilah tangannya ada yang di angkat di depan
dada, ada yang dikembangkan ke belakang, macam-macam bentuknya.
Tapi jurus sang dewa pedang tidak!
Ia tidak memerlukan gaya. Tidak memerlukan jurus. Tidak memerlukan
posisi tangan. Semua gerakan dilakukan dari gaya "posisi 0". Posisi paling normal dari tubuh manusia. Jika kau berdiri dengan tegak, maka secara normal, dada dan punggungmu tegak. Kepala tegak lurus dan mata
memandang ke depan.Tangan berada di samping pinggang. Itulah "titik 0"
posisi berdiri manusia. Jurus sang Dewa Pedang nampaknya mengambil pemahaman ini. Oleh
sebab itu ia bergerak dengan efektif. Karena dilakukan dari "titik 0", "titik tengah". Mau ke arah manapun, dalam posisi apapun, jika dilakukan pada posisi seperti ini, maka akan efektif, dan cepat!
Itulah inti dari jurus pedang Dewa Pedang!
Dan Cio San mampu menduganya hanya dari melihat luka korban-
korbannya. Semua orang menyadari ini. Betapa cerdasnya Cio San. Tanpa terasa hati mereka tergetar juga. Memiliki sahabat atau musuh seperti ini, mau tidak mau hatimu akan tergetar.
"Kalau kita memperhatikan luka ketiga mayat ini, semua luka dibuat dari ayunan tangan atas ke bawah. Berlawanan dengan jurus Dewa pedang. Oleh sebab itu, aku yakin bukan ia yang membuat luka ini" kata Cio San
Sang Kaucu menukas, "Kalau bukan dia, lalu siapa" Sejauh ini hanya dia yang mempu membuat luka mematikan yang tidak mengeluarkan darah.
Berarti maksudmu ada orang lain yang mempunya kemampuan yang sama
sepertinya" Mampu membunuh tanpa mengeluarkan darah?"
"Kematian mereka bukan karena luka tusukan pedang, kaucu. Mereka mati karena racun!" kata Cio San.
Semua orang terhenyak! Racun!
"Dan racun itu pastilah ada racun yang sama, yang telah meracuni saudara-saudara sekalian"
Memang, meracuni ketiga tokoh utama dalam dunia persilatan itu bukan hal yang mudah. Jika bukan racun paling hebat, tidak mungkin mereka mudah diracuni orang.
"Dari mana kau tahu itu karena racun?" tanya Bun Tek Thian
"Lihatlah saat mereka mati, mereka tidak menghunus senjata. Semua mayat yang kulihat di depan rumah Teng Teng seluruhnya menghunus senjata"
"Bisa saja itu karena Dewa Pedang terlalu cepat sehingga ketiga orang ini tidak menghunus senjata"
"Tidak mungkin!" kata sang Kaucu. "Ketiga orang ini jauh lebih tinggi ilmunya daripada mayat-mayat di depan rumah Teng-Teng. Setidaknya
mereka pasti bisa melakukan perlawanan"
"Benar, kaucu. Luk Hoan Tit, adalah ketua Perkumpulan Golok Emas". Ilmu goloknya sudah menggetarkan kolong langit. Tidak mungkin ia bisa mati tanpa sempat menghunus goloknya sekalipun. Goloknya masih tersarung
rapi di pundaknya. Soe Sam Hong, ketua Perkumpulan Naga Lautan. Terkenal dengan kait
saktinya. Kait itu masih tersarung rapi di kedua pinggang.
Ban Lang Ma, murid terbaik Siau Lim Pay. Walaupun terkenal dengan ilmu tangan kosongnya, setidaknya tidak mungkin mati hanya karena satu jurus."
"Betul, pandanganmu tajam cucuku!" di saat begini Bun Tek Thian masih bercanda.
"Terima kasih kakekku yang tampan" balas Cio San.
Lama orang-orang terdiam memandang ketiga mayat itu.
Sang kaucu kemudian berkata,
"Jadi kesimpulanmu, mereka bertiga ini mati diracun dulu, baru kemudian pelakunya membuat luka di dahi mereka?"
"Betul sekali, kaucu. Coba perhatikan luka di dahi mereka, itu adalah akibat sabetan pedang yang diayunkan dari atas ke bawah. Beda dengan ciri khas Dewa Pedang yang mengayunkan dari bawah ke atas. Menurut dugaanku,
saat mereka mati diracun dan rebah di tanah, pelakunya sambil berdiri membuat luka di dahi mereka. Seperti ini"
Cio San lalu mencontohkan gerakannya. Ia lalu menambahkan
Jika saudara-saudara melihat dari dekat, di sekitar luka di dahi itu ada beberapa luka lecet"
Semua orang menunduk lebih dekat untuk memperhatikan
"Luka itu disebabkan karena pelaku membersihkan darah yang menetas
keluar dari dahi mayat-mayat itu. Tubuh yang sudah mati, tidak akan
mengalirkan darah. Mungkin sedikit saja. Tapi karena sedikit saja itu bisa mencurigakan, maka pelaku mencoba membersihkan darah itu. Supaya
benar-benar terlihat luka di dahi itu tanpa darah"
"Terus aku kagum dengan keluasan pandanganmu. Tidak gampang
menyimpulkan hal seperti ini, tapi kau mampu melakukannya dengan cepat dan tepat" kata Sang kaucu. Diikuti dengan decakan kagum anggota Mo
Kauw yang lain. "Ah tidak berani,,tidak berani" kata Cio San tersenyum sambil bersoja.
Ia menambahkan, "Masih ada satu lagi yang kurang. Coba saudara-saudara perhatikan baju mereka. Apa pendapat saudara?"
Semua memperhatikan. Salah seorang berkata,
"Bajunya bau!" Yang lain, "Bajunya ketinggalan jaman"
Satunya lagi, "Baju curian"
"Baju mereka baru!"
Begitu mendengar kalimat terakhir itu, Cio San mengangguk dan berkata,
"Tepat sekali. Bajunya baru"
"Bagaimana saudara bisa tahu?" tanya salah seorang.
"Coba kalian cium baunya. Baju baru biasanya mengeluarkan aroma yang
khas. Walaupun ketiga mayat ini sudah mulai membusuk, aroma "baru" nya masih membekas di pakaian mereka. Warna pakaian mereka pun masih
terang menyala". "Lalu kenapa jika baju mereka masih baru?"
"Bukankah itu sebuah kejanggalan" Mungkin saja mereka memang
kebetulan memakai pakaian baru bersama-sama. Tetapi mungkin juga itu
kebetulan. Apalagi Ban Lang Ma adalah seorang bhiksu. Mereka jarang sekali memakai baju baru"
Ia kemudian melanjutkan, "Mereka memakai baju baru, karena baju mereka yang lama belepotan
darah mereka sendiri. Darah yang mereka muntahkan karena keracunan.
Lalu sang pelaku mengganti baju mereka, agar tidak ada orang yang curiga"
"Tapi itu justru menambah kecurigaanmu bukan" Aku mulai bisa
menangkap, bahwa mayat ini memang sengaja dibuang di sungai agar
ditemukan orang dan menimbulkan kehebohan. Siapapun si pelaku, ia ingin melimpahkan kesalahan itu kepada si Dewa Pedang."
"Betul sekali kaucu" timpal Cio San "Oleh sebab itu mayat ini jangan sampai ketahuan. Kita harus menguburnya secara diam-diam. Nanti baru kita
pikirkan bagaimana cara memberitahukan kematian mereka kepada orang-
orang Kang Ouw. Mungkin menunggu sampai kita bisa menemukan
pelakunya" "Kau bisa menebak kira-kira siapa pelakunya?" tanya sang Kaucu.
"Saya belum berani menebak-nebak, karena jika saya mengambil
kesimpulan terlalu cepat, bisa-bisa menutup kebenaran yang sesungguhnya.
Malah akan membuat mata saya buta terhadap berbagai hal. Untuk
sementara, sudah ada beberapa dugaan, tapi saya tidak berani
mengemukakannya jika dugaan saya itu belum terbukti kebenarannya"
"Bagus!" sahut sang kaucu
Bab 32 Pertemuan Dua Enghiong
"Orang yang berpikiran luas, memang tidak boleh menyempitkannya dengan prasangka-prasangka. Aku sungguh kagum" sekali lagi sang Kaucu menjura kepada Cio San. Dan diikuti oleh para anggota Mo Kauw yang lain.
Cio San pun tersenyum ramah dan membalas hormat mereka. Diam diam
dalam hati ia memutuskan untuk begitu saja memperlihatkan dan
menceritakan pemikiran-pemikirannya. Ia bukan orang yang senang
disanjung. Sejak dulu ia memang tidak pernah disanjung. Orang yang tidak pernah disanjung, seharusnya senang ketika ia disanjung. Tapi Cio San tidak. Memang ada sementara orang yang merasa diri mereka tidak pantas disanjung-sanjung. Cio San adalah salah satunya.
"Ayo kita semua masuk kembali ke dalam. Bun Tek Thian, coba tolong kau urus ketiga mayat itu" perintah sang Kaucu.
"Siap ketua!" semua menjawab serentak.
Kapal bergerak dengan lambat. Hari sudah mencapai tengah malam.
Nahkoda memutuskan untuk mampir ke dermaga terdekat untuk beberapa
keperluan. Cio San lega juga, karena dia tidak begitu suka naik kapal.
Sang nahkoda masuk ke dalam bangsal dan dengan sedikit teriak ia berkata,
"Siapapun tidak boleh turun ke darat. Ingat kita sedang dalam pelarian, oleh karena itu kalian harus menjaga agar orang luar jangan sampai tahu.
Jangan sampai ada orang yang curiga dengan perjalanan kita"
Semua mengangguk mengiyakan.
Kapal merapat ke dermaga, karena bosan menunggu karena sudah hampir
sejam lamanya, Cio San memutuskan untuk keluar dan duduk-duduk ke
tempat tadi dia duduk bersama Tio Sim Lin. Baru beberapa jam saja ia
disana, tempat itu sudah jadi tempat duduk kesukaannya. Dari situ ia bisa memandang ke segala arah. Ia paling suka di tempat seperti itu.
Ketika sedang duduk melamun, telinganya yang tajam mendengarkan
sebuah percakapan di bawah. Dua orang sedang bercakap-cakap di darat.
Tapi karena posisi mereka yang lumayan dekat dengan kapal, Cio San bisa mendengar obrolan mereka.
"Apakah kau yakin mayat yang kau temukan adalah mayat tuan Hong?"
"Saya yakin sekali, saya sudah kenal beliau lama. Saya tidak mungkin salah"
"Ah, kasihan sekali"
"Saya juga menemukan beberapa mayat yang lain"
"Oh ya" Siapa saja?"
"Saya tidak kenal, tapi mayat-mayat itu telah dibawa ke rumah Can-cengcu.
Kalau tuan mau lihat, saya bisa mengantar tuan ke sana!"
"Baiklah. Ayo" Mendengar percakapan ini Cio San terhenyak. Pasti mayat-mayat itu ada hubungannya dengan mayat yang mereka temukan barusan. Ternyata ada
banyak korban. Dan dunia Kang Ouw pasti akan segera heboh. Dalam hati ia menyesalkan sekali hal ini.
Karena penasaran, ia memutuskan untuk membuntuti kedua orang itu. Cio San tidak perduli lagi dengan peringatan nahkoda kapal tadi. Toh dia bukan anggota Mo Kauw. Dalam sekali loncat, ia sudah berada di darat. Ini
pertama kali ia menguntit orang. Perasaan ini membuatnya malah semakin bersemangat.
Kedua orang yang dikuntitnya itu memiliki Ginkang (ilmu meringankan
tubuh) yang lumayan. Gerakan mereka ringan dan tangkas. Sudah pasti
adalah jagoan silat yang lumayan. Cio San mengikuti mereka dengan
berhati-hati. Karena selain berusaha tidak ketahuan orang yang menguntit, ia juga berusaha agar tidak ketahuan orang-orang yang lain.
Ia mengikuti mereka menyusuri dermaga, keluar gerbang dermaga, dan kini memasuki kota. Sebuah kota yang ramai. Tapi karena telah memasuki
hampir tengah malam, tidak terlalu banyak kegiatan yang ada. Cio San
mengikuti kedua orang sambil menghafal-hafal keadaan kota dan jalan yang ia lalui.
Masih ada beberapa warung dan penginapan yang buka. Cio San masih
berusaha mengikuti kedua orang di depan, ketika sebuah suara menegurnya dari belakang,
"Tuan, harap berhenti sebentar"
Cio San terhenyak, suara itu tidak mungkin dilupakannya.
Ia menoleh. Si pemilik suara itu pun terhenyak.
"Liong-ko (kakak Liong), apa kabar?" tanya Cio San ramah.
"San-te (adik San)"." Hanya itu kata yang keluar dari mulutnya.
Ia nampak tampan dan gagah sekali. Wajahnya masih menampakkan
keterkejutan. Tapi ia segera bisa menguasai dirinya.
"Ternyata benar, ku kira aku salah mengenal orang. Tak kusangka bertemu di sini" katanya.
"Aku juga, Liong-ko" kata Cio San.
Beng Liong akhirnya bertanya, "Apa yang kau lakukan di sini?"
"A"aku menguntit kedua orang di depan" jawab Cio San. Ia kesulitan
menjelaskan. "Apapun urusanmu dengan kedua orang itu, maafkan aku harus
menghentikanmu sekarang. Ada banyak hal yang harus kau jelaskan San-
te" kata Beng Liong.
"Memang ku kira, hanya kepadamulah aku bisa menjelaskan semuanya,
Liong-ko" "Mulailah" Ia tersenyum, tapi matanya memandang tegas.
Cio San menceritakan semua kejadian di Butongsan. Tentunya ia tidak
menceritakan penyamarannya sebagai A San di Lai-Lai serta pertemuannya dengan Khu Hujin. Cio San menganggap hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan Beng Liong.
"Lalu kenapa kau membela anggota Mo Kauw dan menyerang Butong Ngo
Kiam (5 Pedang Butong)?" tanya Beng Liong
"Aku hanya menganggap tidak adil jika 5 melawan 1. Apalagi Bun Tek Thian sudah tidak bisa melawan" jelas Cio San.
"Sejak dulu Butongpay Ngo Kiam selalu berlima. Melawan 1 atau 1000 orang pun mereka selalu berlima" tegas Beng Liong
"Dan apakah Liong-ko menganggap itu adil" Apalagi mereka menyerang
orang yang sudah tidak bisa melawan"
Beng Liong diam saja. Dalam hatinya ia tahu itu memang tidak adil.
Akhirnya ia berkata, "Lebih baik kau ikut saja denganku ke Butongsan. Jelaskan semuanya
kepada Ciangbunjin (ketua)"
"Aku ingin sekali, Liong-ko. Tapi ada banyak hal yang harus kulakukan sekarang. Engkau apa masih percaya kepadaku?" tanya Cio San
"Aku juga ingin sekali, San-te. Aku ingin sekali percaya kepadamu. Tapi urusan ini bukan urusan sepele. Hanya Ciangbunjin yang bisa memutuskan.
Aku tidak bisa membiarkanmu pergi lagi, San-te. Harap maafkan aku" kata Beng Liong.
"Aku tak ingin melawanmu, Liong-ko"
"Aku juga tidak, San-te. Maka kau ikutlah denganku. Luruskan semua ini di hadapan Ciangbunjin. Biar semua fitnahmu terhapuskan"
Dalam hatinya Cio San ingin sekali pergi bersama Beng Liong. Tapi mana mungkin ia bisa meninggalkan puluhan anggota Mo Kauw yang keracunan"
Bagaimana ia bisa mengacuhkan fitnah yang dialami si Dewa Pedang" Ada banyak sekali kejadian yang membuat Cio San meyakinkan diri untuk
melibatkan dirinya. Ini adalah urusan besar. Ia melihat banyak sekali hubungannya dengan kejadian yang menimpa hidupnya sendiri.
"Sekali lagi maafkan aku, Liong-ko. Aku tidak bisa" ia menjura
"Kalau begitu harap kau maafkan aku. Aku terpaksa harus memaksamu,
San-te. Kau tahu bahwa ini bukan keinginanku. Tapi perintah Ciangbunjin adalah membawamu ke Butongsan."
Mereka saling memandang. Mata bertemu mata. Mau tidak mau, mereka
saling mengagumi. Yang satu tampan, gagah, dan berbudi luhur. Yang satu cerdas, bebas, dan menarik.
"Ku dengar, ilmumu hebat sekali, San-te"
"Masih jauh dari engkau, Liong-ko"
Mereka diam mematung. Pertarungan dua orang yang mencapai tahap
sangat tinggi dalam ilmu silat melibatkan semua hal. Tidak saja ilmu silat, melainkan suasana hati, ketenangan, cuaca, keadaan lingkungan, dan masih banyak lagi.
Kaki Beng Liong menekuk. Tangan kanan terbuka ke depan. Tangan kiri
membentuk setengah lingkaran ke atas. Ini adalah kuda-kuda Thay-kek
Kun! Cio San tidak melakukan kuda-kuda sama sekali. Ia berdiri diam mematung.
"Anggap saja ini latihan biasa, San-te. Kalau kau kalah dalam 10 jurus, kau harus ikut denganku. Setuju?" tanya Cio San
"Kalau aku yang menang?"
"Maka kau bebas pergi kemana yang kau suka. Seumur hidup aku tidak
akan memaksamu lagi"
"Baiklah, Liong ko"
Cio San berkata begitu tapi ia tetap berdiri mematung. Tidak ada kuda-kuda sama sekali.
Angin dingin menghembus. Harum tubuh Beng Liong yang terkenal itu
terhembus bahkan sampai memenuhi daerah di sekitar situ.
"Awas serangan pertama, San-te"
Kata-kata itu baru terucap, sudah ada 5 pukulan yang ia lepaskan. Begitu cepat gerakannya Cio San bahkan tidak sempat berkedip. Tapi ia tetap
tenang. Kelima pukulan itu ia hadapi dengan sebuah elakan ringan.
Begitu tahu kelima pukulannya hanya mengenai bayangan, tahu-tahu Beng Liong telah melepaskan tendangan memutar. Entah bagaimana ia bisa
melepaskan tendangan dalam posisi tubuh seperti itu. Karena tendangan biasanya dilepaskan dengan posisi tubuh condong ke belakang. Beng Liong bisa melepaskan tendangan saat tubuhnya sedang condong ke depan!
Melihat kelihayan ini, Cio San kagum sekali. Jurus Beng Liong penuh
perubahan dan spontanitas yang mengagumkan. Belum lagi kecepatannya
sama sekali tidak dibawah siapapun. Angin yang dihasilakn oleh pukulan dan tendangan Beng Liong terasa hangat. Memperlihatkan tenaga dalamnya
yang sangat tinggi. Di pihak lain, Beng Liong pun tidak kalah kagum dengan kecepatan dan
kelincahan Cio San. Elakan yang dilakukan Cio San sangat tepat dan efektif.
Tidak ada gerakan yang sia-sia. Tidak ada gerakan tambahan.
"Kebakaran! Kebakaran!"
Terdengar teriakan orang-orang. Teriakan itu masih jauh, tetapi telingan kedua orang ini sudah mampu mendengarkannya. Gerakan Beng Liong
menjadi sedikit lambat. Mungkin karena terpengaruh teriakan itu.
"Kau mendengarnya, Liong-ko" Bagaimana kalau kita hentikan dulu
pertempuran ini?" tanya Cio San.
"Baiklah. Ayo kita lihat ada kejadian apa. Siapa tahu ada yang butuh
pertolongan" tukas Beng Liong
Secepat kilat mereka melesat. Hanya menyisakan bayangan yang bergerak dengan sangat lincah. Masing-masing saling mengagumi Ginkang yang lain.
Cio San semakin berdebar hatinya ketika disadarinya kebakaran itu terjadi di dermaga. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan para anggota Mo Kauw.
Dan benar saja. Kebakaran itu berasal dari kapal yang tadi dinaikinya.
Dengan perasaan bercampur aduk, dan tidak memperdulikan apapun, Cio
San sudah melayang naik ke atas kapal. Api berkobar di mana-mana.
Harapan yang tersisa adalah menyelamatkan orang yang ada di kapal.
Beng Liong tadi sempat mencegah Cio San untuk naik, karena ia melihat api sudah sangat besar. Tapi melihat Cio San yang sudah berada di atas kapal, Beng Liong pun turut naik. Keadaan di atas kapal sangat mengagetkan
mereka berdua. Mayat ditumpuk-tumpuk di dalam bangsal besar, dan
terbakar habis. Bau daging terbakar bercampur dengan asap dan bebauan lain yang sangat menusuk pernapasan.
Baru kali ini mereka melihat pemandangan sekejam dan semenyedihkan itu.
Cio San terpaku dan termenung. Tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ketika Beng Liong menyentuh pundaknya, dan mengajaknya pergi, ia pun sendiri menjadi terpaku.
Sebuah tulisan di tembok kapal kayu itu. Di ukir dengan pedang. Walaupun mulai terbakar api, terlihat dengan sangat jelas.
"HANCURLAH KALIAN MANUSIA IBLIS MO KAUW
JAYALAH BUTONGPAY DAN DUNIA PERSILATAN"
-BUTONGPAY BENG LIONG- Kedua orang itu masih berdiri mematung. Tak percaya dengan apa yang
mereka lihat. Beberapa orang lain pun sudah naik ke atas kapal. Mereka pun tidak percaya atas apa yang mereka lihat. Pemandangan ini terlalu kejam dan terlalu tidak masuk akal.
Mereka masih sempat berusaha mencari-cari kehidupan di dalam kapal.
Tetapi akhirnya menyerah dan melompat keluar. Kapal telah tenggelam
hampir separuh, dan air telah mencapai lutut mereka.
Begitu sampai di darat, Beng Liong baru memperhatikan orang-orang yang tadi masuk dan ikut menolong di dalam kapal.
Sih Hek Tiaw, sang rajawali hitam. Beberapa orang lain adalah anak
buahnya. Can Siauw Liong, cengcu (kepala perkampungan) Liong Thian beserta
beberapa orang anak buahnya.
Mereka semua memandang hancurnya kapal yang tenggelam dengan sangat
cepat itu. Tapi posisi mereka semua mengelilingi Cio San dan Beng Liong.
Bisa terbang pun mereka tidak akan mungkin lolos.
Orang-orang pun sudah sangat ramai melihat kejadian ini.
"Beng Liong ciokhee (tuan), bisakah ciokhee menjelaskan apa yang terjadi di atas sana?" Tanya Can Siauw Long yang biasa dipanggil Can-cengcu.


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Boanseng (yang muda, panggilan untuk merendahkan diri sendiri), sendiri datang ketika api sudah sangat besar. Boanseng datang bersama adik
seperguruan boanseng" jawab Beng Liong
"Ini adik seperguruanmu" Siapa namanya?" tanya Can sengcu
"Nama Boanseng, A San, tuan" jawab Cio San cepat. Menyebut nama asli
nanti hanya akan menimbulkan masalah.
"Bisa kau jelaskan apa arti tulisan di tembok itu" Kami semua sudah
membacanya" kali ini Sih Hek Tiaw yang bertanya.
"Kami berdua pun terkaget-kaget melihatnya. Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tidak mungkin kami percaya ada pemandangan
sekejam itu" jawab Beng Liong.
"Tapi itulah yang terjadi bukan" Setelah kuperiksa beberapa kamar, aku sangat yakin kalau itu memang kapal milik Mo Kauw. Entah ada dendam apa antara Butongpay dengan Mo Kauw. Tapi perbuatan demikian itu terlalu
kejam" kata Sih Hek Tiauw dengan pandangan tajam. Matanya ini memang
sangat tajam. Mungkin karena itulah ia dijuluki rajawali hitam. Tentu saja mungkin karena hidungnya yang terlalu mancung, serta dagunya yang
terlalu maju. Sehingga hampir membentuk paruh burung.
"Demi Tuhan kami orang Butongpay tidak mungkin bertindak sekejam
itu" Wajah Beng Liong masih tenang, tapi matanya sudah mulai
menunjukkan kemarahannya.
"Tapi fakta dan bukti sudah terlihat jelas. Kau dan adikmu adalah orang yang ada di atas kapal saat kami naik. Tidak ada seorang lain pun selain kalian. Tulisan di tembok kapal pun sudah terlihat jelas bukan?" Sih Hek Tiauw sudah membunyikan jari-jarinya.
"Jika kami membunuh orang, kami pasti akan mengakui. Buat apa bertindak pengecut" Beng Liong masih tetap tenang. Tapi posisi tubuhnya pun kini sudah mulai bersiap-siap. Dia berkata perlahan pada Cio San "San-te, jika nanti bergebrak, kau pergilah. Jangan sampai kau jadi tersangkut masalah ini"
Cio San menjawab, "Jika Liong-ko memotong leherku, tetap saja aku ingin turut campur" senyumnya.
"Tulisan di tembok sudah sangat mengakuinya. Kau tak usah mengelak lagi.
Walaupun kami tidak suka orang Mo Kauw, pembunuhan sekejam itu sudah
keterlaluan! Kau merusak nama baik orang-orang Kang Ouw. Kau menodai
kehormatan dunia persilatan. Apakah pantas kau disebut orang Bu Lim?"
Cio San berkata kepada Beng Liong,
"Liong-ko, percuma kau berdebat dengan "nona-nona" ini. Berkata apapun kita tak akan dipercaya" Ia berkata seperti orang-orang di sana tidak bisa mendengar. Tentu saja wajah mereka semakin merah padam.
Wuuusssh, serangan cakar Sih Hek Tiauw langsung mengarah ke
tenggorokan Cio San. Ucapan Cio San tadi sangat menyinggung hatinya.
Apalagi ia memilih Cio San karena tadi Beng Liong mengatakan Cio San
adalah adik seperguruannya. Tentu saja ilmu silat Cio San "pasti" di bawah Beng Liong, pikirnya.
Yang lain pun bergerak mengeroyok Beng Liong. Can cengcu mengeluarkan sepasang pedang tipisnya. Pedang itu menyambar dengan cepat. Tapi tentu saja tidak cukup cepat bagi Beng Liong. Dengan satu gerakan lincah, ia sudah menghindari 7 tusukan pedang Can Cengcu, sekaligus menghindari
serangan pedang dan golok bebrapa orang anak buahnya.
Para penyerang menyerang dengan ganas. Tapi mereka pun tidak malu
mengakui betapa lihay dan hebatnya kedua orang yang mereka serang. Cio San memutuskan untuk hanya menggunakan jurus-jurus Butongpay. Ini
untuk menjaga jangan sampai timbul kecurigaan mereka yang
menyerangnya. Melihat itu, Beng Liong tersenyum kepadanya. Ia mengerti maksud Cio San.
Kini telah sampai jurus ke 8. Para penyerang mengeluarkan jurus-jurus yang semakin brutal. Cio San dan Beng Liong pun hanya menghindar saja. Dalam hati mereka sepakat untuk tidak memperkeruh suasana. Melihat kedua
orang ini hanya menghindar saja, para penyerang ini malah semakin
bersemangat. Mungkin dalam hati mereka merasa di atas angin.
"Tahan serangan!" terdengar teriakan.
Semua orang lantas menghentikan serangan.
Ketika menoleh ke asal suara, mereka melihat seorang Hwesio (bhiksu) tua.
Semua orang di sana mengenalnya. Kecuali Cio San. Ia sama sekali tidak mengenal tokoh-tokoh persilatan.
"Salam, Hong Sam totiang (panggilan untuk orang terhormat dan
dituakan)." Kata Beng Liong sambil menjura.
"Oh jadi ini yang namanya bhiksu Hong Sam, orang kelima dari Siau Lim Pay" pikir Cio San dalam hati. Ia kagum juga. Hong Sam Hwesio sudah tua.
Tapi wibawanya sungguh terpancar dari wajahnya yang teduh. "Jika ini
orang kelima, bagaimana dengan orang pertamanya?" batin Cio San. Siau Lim Pay memang sangat hebat!
Tatapan matanya saja sudah membikin orang segan. Suara yang tadi ia
keluarkan sudah sanggup menghentikan pertarungan. Ia bahkan belum
bersilat! "Para hoohan (orang gagah) sekalian, harap menahan diri." Kata Hong Sam hwesio.
Semua orang tidak sadar mengangguk.
"Maaf pinceng (aku) turut campur. Tapi mengapa tuan-tuan berkelahi
sesama sendiri?" perkataannya halus dan sopan. Mau tidak mau, yang
menjawab pun harus lebih sopan.
Siapa lagi yang bahasanya paling sopan dan tutur katanya paling halus di antara mereka yang bertempur itu selain Beng Liong" Maka dialah yang kini menceritakan semuanya.
Setelah mendengarkan, Hong Sam hwesio berkata,
"Saudara-saudara, mengenai Beng Liong dan adiknya ini, pinceng bisa
bersaksi bagi mereka"
Semua orang mendengarkan.
"Beberapa saat yang lalu, Beng Liong dan pinceng sedang bercengkerama.
Kami tidak sengaja bertemu di penginapan. Beng Liong dan pinceng
membahas banyak kejadian yang terjadi di dunia kang ouw. Sepanjang sore sampai malam kami terus mengobrol. Lalu tahu-tahu ada orang lewat di
depan penginapan kami. Beng Liong bilang bahwa mungkin saja itu adik
seperguruannya yang sudah lama tidak bertemu. Ia lalu menyusul adiknya itu. Lalu saat mereka berdua sedang bercakap-cakap, terdengar teriakan kebakaran dari arah dermaga. Mereka berdua pun segera lari ke arah
dermaga." "Di lihat dari waktu dan penempatannya, walaupun punya ilmu seperti dewa pun, tidak mungkin Beng Liong bisa berada di tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Untuk itu, pinceng berani bersumpah" tegas Hong San
Hwesio. Siapapun di dunia ini pasti percaya dengan ucapannya tanpa ia harus
bersumpah sekalipun. "Mengenai tulisan di tembok kapal. Pinceng yakin, pasti ada orang yang memfitnahnya. Kita sudah tahu kegagahan dan sepak terjang Beng Liong
enghiong (ksatria). Selama ini tidak pernah melakukan perbuatan yang
berlawanan dengan aturan dunia persilatan"
Jika yang berbicara Hong San hwesio, semua orang mau tidak mau harus
setuju. "Maka pinceng dengan sangat meminta, untuk para hoohan (orang gagah)
sekalian untuk menyudahi saja kesalahpahaman ini"
Semua orang mengangguk setuju, dan saling meminta maaf. Mereka
akhirnya semua pergi dan hanya meninggalkan Beng Liong, Cio San, dan
Hong Sam hwesio. Keramaian sudah berakhir. Kapal yang terbakar itu sudah tenggelam seluruhnya. Hanya pengurus dan petugas dermaga yang kini
mulai berkumpul untuk mengangkat bangkai kapal.
Ketiga orang ini masih termenung memandang tempat kapal itu karam.
Entah bagaimana perasaan Cio San. Ia meneteskan air mata. Walaupun
baru mengenal orang-orang Mo Kauw selama beberapa hari, perasaannya
sudah sangat dekat dengan mereka. Tapi Cio San berusaha menahan
kegundahan dan kemarahan hatinya. Ia bukan anak kecil yang harus
menangis meraung-raung. Tapi ia juga bukan orang tak berperasaan yang diam saja melihat kekejaman yang terjadi kepada sahabat-sahabatnya.
Mereka semua terdiam. Kekejaman ini entahlah apa maksudnya.
Hong Sam Hwesio akhirnya membuka percakapan,
"Jadi ciokhee (tuan) yang bernama Cio San?" tanyanya.
"Benar Totiang, wanpwe (saya, panggilan untuk merendahkan diri) yang
bernama Cio San" jawab Cio San sambil menjura.
"Terima kasih atas pertolongan Totiang" kali ini Beng Liong yang menjura.
"Kalian berdua adalah pendekar-pendekar muda yang sangat berbakat.
Pinceng banyak mendengar cerita tentang kalian. Semoga ke depannya,
dunia kang Ouw menjadi lebih baik" puji Hong San Hwesio sungguh-
sungguh. Ia melanjutkan, "Beng Liong, kau kini merasakan hal yang sama dengan Cio San bukan" Kau merasakan rasanya difitnah dan tak mampu menjelaskan bukan?"
"Benar totiang. Semua ini menyimpan banyak rahasia. Wanpwe sekarang
percaya dengan Cio San. Jika ia mau pergi, wanpwe akan melepaskannya
dengan rela" kata Beng Liong
Mereka berdua tersenyum. Cio San malah berkata,
"Maafkan kelancangan wanpwe, totiang. Apa yang membuat totiang
terlambat sampai kemari?" tanya Cio San
Hong Sam Hwesio memandang Cio San dengan penuh kekaguman.
"Tajam sekali pemikiranmu, Cio San. Mari ikut pinceng. Akan pinceng
jelaskan dalam perjalanan!"
Ketiga orang itu melesat secepat kilat.
Cio San Beng Liong Bab 33 Musuh Yang Tak Terlihat
Cukat Tong Mereka berlari cepat. Dalam perjalanannya Hong Sam Hwesio bercerita bahwa ketika dia akan
berlari ke arah dermaga, ia dihadang oleh kelompok bertopeng. Ada sekitar sepuluh orang yang mengeroyoknya. Semua dengan ilmu aneh yang tidak
pernah ia lihat sebelumnya.
"Lalu di mana mereka sekarang, totiang?" tanya Beng Liong
"Mereka semua pinceng totok dan pinceng taruh di kuil Buddha di pinggir kota" jawab sang Hwesio (bhiksu).
Tak berapa lama mereka sampai di kuil yang di maksud. Masuk ke ruang
belakang, di mana kamar Hong Sam Hwesio "menyandra" pasukan bertopeng itu. Ternyata begitu kamar terbuka, terlihat tidak ada seorang pun di dalamnya!
Hong Sam Hwesio tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Beng Liong terlihat tidak bisa menahan amarah.
Cio San semakin kagum dengan pergerakan kelompok bertopeng ini.
Pastilah ketika Hong Sam Hwesio menotok mereka dan meninggalkan
mereka di kuil ini, ada orang yang datang melepaskan mereka. Cara kerja kelompok bertopeng yang penuh rahasia ini, sungguh membuat hatinya
penasaran. Mereka seperti ada di mana-mana. Muncul di saat yang tidak pernah di duga. Dan selalu menebarkan kematian.
Hong Sam Hwesio keluar dan bertanya-tanya kepada para bhiksu yang ada di kuil. Kebanyakan dari mereka sudah tidur. Dan tidak mendengar ada
keributan apa pun. Akhirnya mereka bertiga duduk termenung di halaman kuil.
"Dari seluruh kejadian dalam dunia Kang Ouw yang pinceng perhatikan
sepanjang hayat pinceng, urusan pembunuh bertopeng ini yang paling
memusingkan dan paling berbahaya" kata sang Hwesio.
"Apakah totiang bisa meraba-raba kemana arah gerakan kelompok
bertopeng ini?" tanya Beng Liong.
"Pinceng belum tahu. Tapi jika pinceng bisa mengira-ngira, mungkin ini ada hubungannya dengan pemilihan Bu Lim Beng Cu (Pemimpin Dunia
Persilatan) tahun depan." Kata sang Hwesio.
"Ahhhh" Beng Liong dan Cio San sama-sama menghela nafas.
Rupanya pembunuhan-pembunuhan ini mengarah ke sana. Masuk akal juga.
Hampir seluruh Ketua partai persilatan besar telah mati dibunuh. Beruntung ada beberapa percobaan yang gagal. Tapi sejauh ini hampir seluruh
pembunuhan ini telah berhasil.
"Memangnya, jika orang-orang ini bisa menguasai dunia Kang Ouw, apa
yang mereka dapatkan?" tanya Cio San.
"Kau belum tahu" Siapapun yang menjadi Beng Cu nantinya, akan memiliki banyak kekuasaan. Yang paling utama adalah bahwa setiap Beng Cu yang
terpilih, diberi tanggung jawab besar untuk menjaga kitab-kitab sakti peninggalan leluhur"
"Kitab sakti?" tanya Cio San
"Sejak jaman dahulu, banyak sekali terjadi perubatan kitab-kitab sakti persilatan. Leluhur-leluhur kita telah sanggup menciptakan ilmu-ilmu yang sangat dahsyat. Ketika terjadi pengusiran bangsa Mongol dulu, Beng Cu saat itu telah berhasil mengumpulkan semua kitab yang menjadi rebutan itu. Ada sekiat 10 Kitab Sakti yang pinceng sendiri tidak tahu judul-judulnya. Tapi yang pinceng tahu ilmu-ilmu dalam kitab itu sungguh dahsyat. Selama
beberapa kali, yang terpilih sebagai Beng Cu adalah ketua partai kami.
Hanya seorang Bu Lim Beng Cu yang berhak menyimpan kesepuluh Kitab
Sakti itu, dan mempelajarinya. Isi kitab itu hanya boleh ia kuasai, tapi tak boleh diajarkan kepada orang lain"
Sang Hwesio melanjutkan lagi,
"Kau bisa bayangkan jika ilmu-ilmu jatuh ke tangan orang-orang jahat" Apa yang akan terjadi pada dunia ini" Selama berpuluh-puluh tahun, Siau Lim Pay telah mampu menghadapi ratusan kali percobaan pencurian kitab ini.
Untunglah kami selalu berhasil mengatasinya"
Siau Lim Pay adalah partai terkemuka di dunia persilatan. Siapapun yang mencoba mencari gara-gara ke sana, kalau bukan pikun pastilah sudah
merasa diri menjadi dewa!
Cio San dan Beng Liong akhirnya bisa melihat akar permasalahan ini.
Sebuah kelompok yang sangat rahasia, yang ilmunya sukar dicari
tandingannya, bergerak membunuh lawan-lawan mereka, agar saat nanti
pemilihan Beng Cu, mereka bisa menang mudah tanpa saingan.
Untuk itulah mereka menggunakan segala cara. Pengeroyokan, meracuni,
bahkan memfitnah. Bukan main geramnya Cio San memikirkan ini. Hatinya semakin bersedih
mengingat hancurnya Mo Kauw. Kematian yang tragis dan menyedihkan.
Mereka semua dibunuh tanpa mampu melawan karena racun telah
memunahkan ilmu silat mereka.
Tak terasa air matanya menetes lagi. Melihat ini Beng Liong bertanya,
"Ada apa San-te?"
Cio San tidak bisa menjawab. Ia tidak mampu memutuskan untuk
menceritakan nasib anggota Mo Kauw dalam kapal itu, atau
merahasiakannya saja. Ia hanya menggeleng pelan. Air mata memang
kadang-kadang bisa dijadikan alasan seseorang untuk tidak berbicara.
Lama mereka termenung. Cio San lalu bertanya,
"Lalu apakah itu alasan Totiang turun gunung" Untuk memecahkan
permasalahan besar ini?"
"Salah satunya. Sebenarnya kami telah mengirimkan murid terbaik kami.
Tapi ia tidak melapor sejak seminggu yang lalu. Padahal tidak pernah ia berbuat demikian. Kalau bukan telah terjadi sesuatu, tidak mungkin ia tidak melapor"
Cio San terdiam lagi. Ia masih belum bisa memutuskan untuk bercerita.
Setelah berfikir lama, akhirnya ia memilih untuk bercerita.
Mendengar peracunan di markas Mo Kauw, 3 mayat di sungai, fitnah atas Ang Hoat Kiam Sian, pembunuhan seluruh anggota beserta ketua Mo Kauw, serta fitnah atas Beng Liong, membuat kedua orang yang mendengar ini
terpaku. "Demi Tuhan, kalau tidak mendengar sendiri aku merasa seperti membaca cerita dongeng." Kata Beng Liong.
Musuh membunuh untuk menyingkirkan saingan. Memfitnah untuk
menyingkarkan mereka yang dianggap mengganggu pergerakan mereka.
Musuh yang bergerak dalam bayangan. Yang selalu mengintai, dan bergerak saat mereka lengah. Musuh yang tidak bisa mereka duga siapa. Musuh yang ilmu silat dan racunnya sangat berbahaya. Siapapun, sesakti apa dia, pasti akan merinding dan bergidik mendengar ini semua.
Banjir darah. Pembunuhan. Dan fitnah yang kejam.
Cio San meremas jarinya. Tidak tahu harus melakukan apa. Tidak tahu
harus mulai dari mana. Penulis yang paling brutal pun tidak mungkin bisa memikirkan cerita seperti ini.
Hong San Hwesio buka suara,
"Kalian berdua, segeralah bergerak. Beng Liong kau segera kembalilah ke Butongpay. Ceritakan semua kisah ini kepada Lau-Ciangbunjin. Minta beliau untuk turun tangan memikirkan langkah-langkah yang harus di ambil.
Sedangkan engkau Cio San, selidikilah lebih dalam tentang kejadian
pembakaran kapal Mo Kauw"
"Baik. Totiang" jawab mereka berdua.
Setelah menjawab itu, kedua enghiong muda ini saling berpandangan.
Tatapan mata dua sahabat yang bertemu kembali setelah sejak lama
berpisah. Masing-masing mengagumi kelihayan satu sama lain.
"Sampai bertemu lagi, San-te"
"Sampai bertemu lagi, Liong-ko"
Masing masing saling menjura. Lalu berkelebat menghilang.
Hong Sam Hwesio hanya geleng-geleng kepala.
"Dua orang yang mengagumkan"
Cio San kini sudah kembali ke dermaga. Ia kini turut membantu
pengangkatan bangkai kapal dari dasar sungai. Walaupun saat itu sudah dini hari, para petugas dermaga masih bekerja. Dengan alat seadanya mereka menyelam dan menarik bangkai kapal itu. Selain itu mereka juga berusaha mengeluarkan mayat-mayat yang ada di dalam bangkai kapal itu.
Cio San bekerja membantu sampai terang tanah. Jumlah semua mayat yang berhasil diangkat adalah 43. Berarti ada mayat lain yang hilang terbawa arus sungai. Walaupun ia berusaha tegar, mau tidak mau air matanya
menetes juga. Kebersamaan dan ketulusan yang ia rasakan bersama para
anggota Mo Kauw ini sangat membekas di hatinya, meskipun berkumpul
hanya beberapa saat saja.
Ketika matahari sudah benar-benar muncul, banyak orang yang sudah
berkumpul dan melihat keramaian di dermaga. Melihat sejumlah mayat yang hangus terbakar seperti itu, banyak orang yang tidak tahan dan muntah-muntah.
Cio San beristirahat sejenak di bawah sinar matahari. Baju dan celananya yang sudah basah kuyup tetap dipakainya agar kering. Tak berapa lama ada orang yang datang dan duduk di sebelah Cio San. Ia mengangguk
kepadanya, dan dibalas Cio San dengan anggukan pula.
Orang ini kepalanya botak. Banyak kudis di kepalanya. Bajunya kotor dan bau. Tapi wajahnya bercahaya, dan sinat matanya tajam. Sekali pandang Cio San sudah tahu orang yang duduk di sebelahnya ini bukan orang
sembarangan. "Nama cayhe (saya) Cukat Tong" katanya sambil menjura.
Cio San kaget sebentar. "Nama cayhe Cio San" Ia balas menjura sambil
tersenyum. "Cayhe sudah tahu siapa ciokhee (tuan)" kata Cukat Tong tersenyum.
"Apakah cayhe sedang berhadapan dengan si Raja Malang Tanpa Tanding?"
tanya Cio San, senyumnya pun tidak berubah.
"Ah"tidak berani".tidak berani?"
Orang-orang di dunia persilatan mana yang belum pernah mendengar nama Cukat Tong" Orang ini sudah menjadi tokoh legendaris. Ia tidak pernah terlibat pertarungan, tidak pernah membunuh, tidak pernah berpihak, dan tidak pernah mau turut campur urusan kang Ouw. Tapi ilmu dan
kehebatannya dalam mencuri, tiada seorang pun di kolong langit yang
menandingi. Korban yang dicurinya tidak tanggung-tanggung adalah tokoh-tokoh utama dunia persilatan. Ia tidak suka berkelahi sehingga mungkin mencuri adalah caranya menantang orang. Anehnya setelah mencuri barang, tak berapa
lama kemudian barang yang dicurinya di kembalikan lagi ke pemiliknya. Ia mencuri hanya untuk membuktikan bahwa ia mampu mencuri!
Semua korban-korbannya adalah orang-orang ternama. Karena itulah,
banyak orang yang bangga bisa menjadi korban pencurian Cukat Tong. Ia pernah mencuri pedang pusaka yang disimpan di kamar pribadi kaisar. Ia pernah mencuri tongkat pemukul anjing milik Kaypang, dan ratusan benda berharga lain, yang tak seorang pun sanggup membayangkan.
Kini ia duduk tersenyum di sebelah Cio San!
"Rahasia apa yang ingin ciokhee sampaikan kepada cayhe?" tanya Cio San
"Kau tahu aku ingin menyampaikan sebuah rahasia?" tanyanya terbelalak.
Sampai lupa menggunakan bahasa yang sopan. Orang seperti dia memang
mana bisa sopan lama-lama"
"Urusan dengan ciokhee bukankah cuma dua" Mengambil dan
mengembalikan barang. Cayhe tidak punya barang yang bisa ciokhee ambil sekarang. Berarti tinggal urusan mengembalikan barang. Sejauh ini cayhe hanya punya sebuah buntalan kotor yang tertinggal di atas kapal. Buntalan itu bukan sesuatu yang berharga. Dan cayhe pun bukan orang ternama yang bisa dianggap pantas untuk jadi korban ciokhee. Jadi kalau bukan urusan rahasia yang amat penting mengenai kejadian semalam, memangnya
ciokhee hendak mengajak cayhe minum arak?" jelas Cio San. Senyumnya
itu pun tak pernah hilang meskipun hatinya sedang bersedih.
"Bukan main! Kau memang mengagumkan Cio San. Orang seperti kau, jika
tidak ku jadikan musuh besar, maka hidupku sungguh membosankan!
Maukah kau jadi musuh besarku?" tanyanya
"Musuh besar berarti Ciokhee menganggap cayhe setara dengan ciokhee,
ah"untuk itu cayhe mengaku kalah saja. Tapi kalau sekedar tanding minum arak, atau lari lari kecil, cayhe mungkin bisa menemani ciokhee" tukas Cio San
"Hahaha..bagus! cukup jujur! Tapi dalam hal ini, dugaanmu yang tadi
hampir semuanya salah" kata Cukat Tong.
"Coba ciokhee jelaskan"
"Pertama, kata siapa buntalanmu itu tidak berharga" Jika kau menang
minum arak denganku, pasti kukembalikan. Kedua, kata siapa juga kau
tidak pantas jadi korbanku" Buktinya buntalanmu juga sudah berada di
tanganku. Apa kau pikir, jika aku menganggapmu tidak pantas, aku mau
duduk-duduk disini bersama mu?"


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia melanjutkan, "Aku telah menyaksikan sendiri sepak terjangmu sejak kejadian peracunan di markas Mo Kauw dulu. Saat itu aku ingin mencuri kitab Menghisap
Matahari milik Mo Kauw Kaucu. Aku menyamar jadi salah satu anggotanya.
Tidak sulit menyamar jadi orang bau dan jelek. Tidak ada satu orang pun yang mau memperhatikan. Hahahaa"
"Saat aku jadi korban racun, kau lah yang menolongku. Untuk itu aku
berhutang nyawa kepadamu. Lalu saat kita semua berada di atas kapal, aku juga yang memberi bantal berkutu kepadamu. Kau memakainya dengan
nyaman. Maka kupikir kau orang yang benar-benar tulus, dan bukan orang yang sok suci. Untuk itu, kau ku anggap pantas jadi korbanku. Hehehe"
\ Cio San hanya bisa manggut-manggut tertawa.
"Di malam saat kapal kita beristirahat sebentar, aku menemukan saat yang tepat. Kau duduk-duduk di luar. Aku masuk ke bilikmu dan mengambil
buntalanmu. Lalu saat kaucu pergi ke kakus, aku pun mengambil kotak yang biasa ia bawa-bawa. Setelah itu aku pun menghilang dari atas kapal. Siapa sangka begitu aku turun ke darat dan mau keluar dermaga, ternyata
puluhan orang bertopeng sudah naik kesana dan melakukan kekejaman itu"
Ada bayangan kengerian yang tak bisa dijelaskan di wajah Cukat Tong. Tak terasa matanya pun berkaca-kaca,
"Pembantaian yang aku lihat semalam, adalah perbuatan yang paling
pengecut yang pernah ku saksikan di dalam hidupku. Aku mau turun tangan membantu pun percuma. Ilmu mereka sangat dahsyat dan tinggi. Lagipula, aku sudah bersumpah dalam hidupku tidak akan berkelahi atau turut
campur urusan kang ouw"
"Aku percaya hanya kau yang bisa meluruskan dan menyelesaikan masalah pembunuhan ini. Dengan kecerdasan dan ilmumu, ditambah lagi dengan
sifat isengmu yang suka ikut campur urusan orang, kupikir kau pasti bisa.
Untuk itulah aku datang kepadamu untuk menceritakan sebuah rahasia
kepadamu." "Aku mengenal setidaknya 3 orang dari para pembunuh bertopeng itu. Dan aku hampir-hampir tidak percaya jika mereka pelakunya. Tapi aku hafal suara orang. Ilmu mereka pun, walau mereka sembunyikan, bisa ku kenali.
Ketiga orang ini adalah Lamkiong Gin ketua Kim Hong pay, Sih Hek Tiaw si rajawali hitam yang menyerangmu semalam, dan Sip Lim Han, raja pedang dari pantai timur"
Cio San membelalakan mata. Ketua Kim Hong Pay" Matipun ia tidak bisa
percaya. Kim Hong Pay adalah sebuah partai putih yang sangat terhormat.
Perbuatan mereka selalu gagah dan lurus. Dan si raja pedang dari pantai timur" Orang itu walau sudah berusia setengah abad, kegagahan dan
kesaktiannya sudah jadi bahan pembicaraan orang. Bagaimana mungkin"
"Kau pasti tidak percaya padaku bukan" Aku sendiri tidak percaya pada diriku sendiri saat menyaksikannya. Tapi terserah kau mau percaya atau tidak. Aku hanya bercerita apa adanya"
Habis berkata begitu ia berdiri dan menjura, "Aku harus pergi. Barang-barang yang kuambil di atas kapal akan kukembalikan kepadamu. Aku sama sekali belum melihat apa isinya. Selamat tinggal dan sampai bertemu
kembali" Cio San balas menjura. Cukat Tong pergi. Berjalan dengan santai.
Cio San memutuskan untuk melaporkan hal ini kepada Hong Sam Hwesio.
Segera ia berlari keluar dermaga. Ia bingung untuk pergi ke penginapan semalam, ataukah ke kuil. Akhirnya Cio San memilih pergi ke kuil, karena posisinya lebih dekat ke dermaga.
Sampai di kuil, ternyata Hong Sam Hwesio memang masih ada di sana.
Beliau sedang berdoa. Setelah menunggu beliau selesai berdoa, Cio San lalu menemuinya dan bercerita kejadian tadi. Hong Sam Hwesio sangat kaget, tapi beliau berkata, "Baiklah, kita ke rumah Sih Hek Tiauw, pinceng tahu rumahnya. Tunggulah sebentar ku ambil tongkat ku dulu di bilik belakang"
Hong Sam Hwesio lalu pergi. Tak berapa lama, Cio San mendengar suara
ribut-ribut. Segera ia melesat ke belakang. Begitu sampai, betapa kagetnya ia ketika melihat Hong Sam Hwesio sudah jatuh berlutut. Mulutnya
mengeluarkan darah. "Cepat kejar, ia lari lewat jendela!" kata Hong Sam Hwesio terbata-bata.
Secepat kilat Cio San melompat keluar jendela. Tidak ada siapa-siapa yang terlihat.
"Ada penyerang yang bersembunyi di lemari pinceng. Saat piceng buka ia menyerang. Ah sungguh hebat sekali ilmunya" kata Hong Sam Hwesio.
"Totiang tidak apa-apa?" tanya Cio San.
"Aku tidak apa-apa, memang luka dalam tapi tidak parah. Tenaga dalamku masih mampu melindungi organ bagian dalam."
Hong Sam Hwesio bangkit dan membereskan meja dan perabot lain yang
berantakan. Alat-alat tulis, pot bunga, beberapa peralatan ibadah, serta sebuah sangkar burung yang terbuka. Semua berserakan di lantai.
"Aih sekarang burung kecil ku pun kabur. Para pencoleng ini benar-benar mencari gara-gara" kata Hong Sam Hwesio.
Saat dia terluka, ia tidak marah. Tapi saat burung peliharannya hilang, ia malah geram. Mau tidak mau Cio San sedikit terseyum juga. Orang-orang Kang Ouw memang sedikit aneh.
"Ayolah kita segera ke rumah Sih Hek Tiaw" kata Hong Sam Hwesio.
Mareka pun buru-buru kesana. Tapi karena lukanya, pergerakan Hong Sam Hwesio sedikit banyak berkurang kecepatannya. Ingin Cio San
mengendongnya, tapi ia tahu itu hanya akan merendahkan sang Hwesio.
Tak berapa lama, mereka pun sampai di rumah Sih Hek Tiaw. Besar dan
megah. Rupanya selain pintar berkelahi, si rajawali hitam ini juga pintar dagang.
"Oh Hong Sam totiang, silahkan masuk" Rupanya orang di rumah itu sudah mengenal sang Hwesio.
"Apa tuan besar ada?" tanya Hong Sam Hwesio dengan sopan.
"Ah beliau sedang beristirahat di kamar. Sejak semalam beliau belum tidur.
Tunggu saya panggilkan, totiang" jawab si pelayan
"Baik. Terima kasih sekali" sang Hwesio mengangguk sopan.
Tak berapa lama terdengar teriakan,
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa".!!!!!, tolong! Tolong! Tuan besar mati, tuan besar mati!"
Segera Cio San dan Hong Sam Hwesio berlari ke kamar.
Nampak tubuh Sih Hek Tiauw terbaring kaku. Darah segar masih mengalir dari kerongkongannya.
Seseorang telah menggorok lehernya!
Cio San mengepalkan tangannya.
Benar-benar musuh yang tak terlihat!
Bab 34 Sebuah Tugas Yang Berat
Mayatnya sudah mulai kaku dan dingin. Tapi darah di tenggorokannya masih hangat. Cio San memeriksa luka di leher itu. Sebuah tusukan pedang. Satu tusukan. Satu nyawa. Tidak banyak orang yang mampu membunuh Sih Hek
Tiauw hanya dalam satu tusukan. Selain Ang Hoat Kiam Sian, Cio San tidak bisa membayangkan ada orang lain yang punya ilmu pedang sedahsyat itu.
Jendela di dekat kamar terbuka lebar. Pasti pembunuhnya melarikan diri dari situ. Cio San memeriksa jendela dan daerah sekitarnya. Tidak ada jejak yang tertinggal. Cio San mencoba mereka-reka apa yang dilakukan
pembunuh itu setelah selesai melakukan perbuatannya. Lari keluar jendela adalah jalan yang paling masuk akal. Ia mencoba dengan seksama
memperhatikan tanah yang dipijaknya. Hanya sebuah goresan kecil di
tanah. Garis kecil yang tidak kelihatan, dan mungkin hanya dianggap
sebagai garis biasa di atas tanah. Besarnya hanya seujung kuku. Tapi itu sudah cukup membuat Cio San curiga.
Dengan seksama ia menelusuri garis kecil itu.Ia menepukan lagi garis yang hampir sama beberapa tombak dari garis pertama. Dan menemukan yang
berikutnya, dan berikutnya. Pahamlah Cio San bahwa itu adalah sebuah
jejak kaki. Tapak kaki itu jarang-jarang. Jarak antara satu tapak dengan yang lain jaraknya hampir beberapa tombak. Berarti pemilik jejak kaki itu adalah orang yang ilmu meringankan tubuhnya sangat tinggi. Langkah
antara kaki yang satu dengan yang lain begitu lebar jaraknya. Dengan
cermat Cio San menghitung jarak kaki itu.
Orang-orang yang ada di rumah Sih Hek Tiaw sudah tidak perduli lagi
dengan apa yang sedang dilakukan Cio San. Mereka kini sedang menangis bersedih menangisi tuan mereka. Cio San heran juga ketika melihat tidak ada satu orang pun anggota keluarga. Hanya pelayan saja. Ia kemudian
paham bahwa Sih Hek Tiaw sepertinya tidak menikah dan berkeluarga.
Jejak kaki berakhir di tembok belakang. Dengan sekali loncat Cio San sudah berdiri di atas tembok belakang. Sebuah pasar!
Pasar yang sangat ramai. Ia kecewa dan segera kembali ke rumah utama.
Setelah meminta diri dari sana, Cio San mengantarkan Hong Sam Hwesio
kembali ke kuil. Sampai semalaman ia berjaga di kamar sang Hwesio.
Pembunuhan-pembunuhan yang telah terjadi membuat dia sudah tak
mampu untuk tidur lagi. Sekali terlelap nyawanya atau nyawa orang lain bisa melayang.
Besok paginya dua orang hwesio yang gagah datang. Rupanya mereka
dikirim untuk menjaga Hong Sam Hwesio. Legalah hati Cio San, ia bisa pergi meninggalkan Hong Sam Hwesio tanpa harus diliputi rasa khawatir.
Setelah minta diri dan mendapat sedikit wejangan dan nasihat, Cio San akhirnya pergi. Segala macam pikiran berkecamuk dalam kepalanya.
Mencoba mengaitkan seluruh peristiwa yang telah terjadi. Tubuhnya letih tapi pikirannya segar sekali. Sedikit banyak ia sudah mulai menemukan benang merah permasalahan ini. Pertemuannya dengan Beng Liong dan
Hong Sam Hwesio mulai membuatnya mengerti. Ia pun tambah
bersemangat. Cio San memutuskan untuk pergi ke penginapan. Ia butuh istirahat untuk mengembalikan semua tenaganya. Ia butuh makan! Seorang ahli silat yang dipenuhi tenaga sakti mampu bertahan selama beberapa hari tanpa makan dan minum. Tapi bagi Cio San, tenaganya harus terisi penuh. Masalah yang ia hadapi bukanlah masalah sepele. Untuk itu pikiran dan tenaga harus berada dalam kondisi terbaik.
Cio San mampir sebentar di sebuah warung di teipan sungai. Warung ini berada di pinggiran kota. Sebuah warung kecil yang tidak begitu ramai.
Pemiliknya seorang pasangan suami istri yang sudah tua. Dengan ramah
mereka mempersilahkan Cio San masuk.
"Pesan teh, nasi, sayur-sayuran dan daging" kata Cio San sambil tersenyum
"Segera, loya (tuan)!" kata yang laki-laki.
Tak sampai menunggu berapa lama pesanan sudah datang. Warung
memang hanya berisi 4 orang. Cio San, dan 3 tamu lainnya yang saat itu sudah berada duluan di sana. Cio San makan dengan lahap sekali. Sudah hampir 3 hari ia tidak makan.
"Itu dia, kan?" "Ya benar, itu dia"
Cio San mendengar ketiga tamu itu kasak-kusuk. Mereka sedang
membicarakan dirinya. Dalam hati ia menyesalkan, mengapa tidak bisa
sedetik saja hidupnya tenang.
"Kau yang bernama Cio San bukan?" kata salah seorang.
Cio San angkat kepala dan mengangguk.
Baru saja ia mengangguk, sebuah serangan telah mengincar batok
kepalanya. Sebuah rantai hitam dengan ujung bola berduri. Dengan sedikit membengkokan kepalanya, bola rantai itu lewat di samping telinga kirinya.
Lalu dengan sumpit di tangan kiri, ia memukul rantai itu. Rantai yang terpukul kemudian melingkar di sumpitnya. Cio San menunduk karena tahu bola berduri itu memutar di belakangnya.
Kejadian ini hanya sepersekian detik!
Kini rantai dan bolanya telah terikat penuh dan melingkar di sumpitnya. Si penyerang menarik sekuat tenaga, tapi rantainya tidak bergerak sama
sekali. Sumpitnya pun tidak patah. Dengan segala upayanya ia menarik
kembali rantainya, tapi semua usahanya sia-sia.
Seorang temannya yang sejak tadi diam saja, kini telah mengeluarkan golok dari punggungnya. Dengan sekali lompatan, ujung goloknya telah mengincar kepala Cio San pula. Menghadapi ini Cio San tenang saja. Ia mengangkat tangan kirinya yang memegang sumpit. Dengan menggunakan rantai yang
ujungnya terikat di sumpit itu, ia menangkis serangan golok itu.
Begitu golok mengenai rantai, Cio San segera memutar tangan kirinya.
Golok itu pun terikat di dalam rantai. Sama dengan penyerang pertama, si penyerang kedua itu pun berusaha menarik kembali goloknya. Tapi tetap sia-sia.
Orang ketiga, yang tadi juga duduk di sana. Hanya terpaku diam saja. Ia tidak menyangka serangan 2 orang sahabatnya itu dihadapi Cio San tanpa berdiri dan bergerak sama sekali. Bahkan tangan kanan Cio San kini sedang memegang mangkok teh. Ia minum dengan lahap.
"Kau tidak ingin ikut bergabung?" tanya Cio San santai.
Si orang ketiga itu berdiri. Lalu bersujud dengan penuh ketakutan.
"Salam hormat bagi ketua! Semoga ketua berumur panjang!"
Mimpi pun Cio San tidak menyangka ada kejadian seperti ini. Kedua orang yang tadi menyerangnya pun kini melakukan hal yang sama. Bersujud
berkali-kali dan menyebut hal yang sama.
"Sam-wi (kalian bertiga) bangunlah. Dan jelaskan kepadaku apa maksud
semua ini" kata Cio San.
Ketiga orang ini lalu bangkit.
"Maaf kelancangan kami menyerang kaucu (ketua). Kami hanya ingin
menguji apakah benar tuanlah orang yang dimaksud" jelas salah orang
yang tadi senjatanya bola rantai.
"Sejak kapan aku menjadi ketua kalian?" tanya Cio San
"Semalam berita sudah tersebar. Apa tuan tidak tahu?"
"Berita apa?" "Tuanlah Mo Kauw kaucu yang baru!"
Ia seperti mendengar petir di siang bolong.
"Bagaimana bisa?" tanyanya heran
"Tuan benar-benar tidak tahu?" tanya si bola rantai
"Apa kau pikir aku terlihat seperti orang yang tahu?" ia bertanya sambil tersenyum. Kekagetannya hilang. Ia sudah mulai paham.
"Apakah ini semua berasal dari Cukat Tong?" tanyanya.
"Benar kaucu. Semalam si Raja Maling Tanpa Tanding ke markas rahasia
kami. Ia menyerahkan surat perintah yang ditulis dan di stempel kaucu yang lama" Saat ia mengatakan "kaucu yang lama" matanya sudah berkaca-kaca.
Betapa dalam cinta dan kesetiaan para anggota Mo Kauw ini pada ketuanya yang lama.
"Apa isi perintah beliau?"
"Beliau menyerahkan segala urusan Mo Kauw kepada tuan. Intinya, jika ada sesuatu terjadi kepada beliau, beliau menyerahkan urusan kempemimpinan Mo Kauw kepada tuan. Perintah lengkapnya ada di dalam surat beliau,
hamba tidak hafal" jelas si bola rantai.
"Surat perintah itu berada di markas kalian bukan?" tanya Cio San.
"Benar tuan, berada di markas kita"
"Antarkan aku kesana"
"Siap!" Mereka berangkat setelah tak lupa membayar.
Markas cabang Mo Kauw di kota ini berada di sebuah: Rumah Bordil!
Walaupun dulu sudah pernah datang ke markas/rumah bordil bersama Bun
Tek Thian, mau tidak mau Cio San geleng-geleng kepala juga sekarang.
Begitu menginjakkan kaki di depan pintu, bau wangi sudah tercium.
Untungnya wangi yang digunakan adalah wangi yang lembut. Cio San serta merta langsung merasa nyaman. Pantas banyak orang yang suka pergi ke
rumah bordil. Itu baru baunya. Hiburan bagi mata jauh lebih menyenangkan lagi. Begitu datang ia sudah disambut wanita-wanita cantik. Baju-baju mereka ketat dan tipis.
Memperlihatkan lekuk-lekuknya yang indah. Cio San pengagum keindahan, dan ia pun bukan manusia munafik. Melihat pemandangan seperti ini, ia tersenyum-senyum saja.
"Hai tampan, selamat datang"
"Baru pertama kali ya?"
"Bagaiamana mungkin dia baru pertama kali, sepertinya wajahnya sudah
sangat pengalaman" Cio San tersenyum-senyum saja. Timbul pikiran iseng di kepalanya, ia
berkata, "Nona semua begini cantik, aku sampai bingung pilih yang mana"
Nona-nona itu tertawa berbarengan. Salah satu berkata,
"kenapa tidak pilih kami semua?"
Yang lain menimpali, "Memangnya dia kuat "mengatasi" kita semua?"
Cio San tersenyum cuek, dan tetap berjalan mengikuti ketiga orang "anak buah" barunya. Mereka sampai ke lantai atas. Lalu kemudian naik tangga lagi sampai tingkat empat. Bisnis begini ramai dan besar, tentunya
untungnya banyak sekali, pikir Cio San.
Sampai ke tingkat 4, mereka terus masuk ke sebuah lorong kecil. Lorong itu tembus ke sebuah kamar kecil. Si bola rantai menekan sebuah tombol
rahasia. Lemari kecil di kamar itu terbuka. Rupanya sebuah pintu rahasia.
Di balik pintu rahasia terdapat sebuah balairung. Sudah ada beberapa orang yang berada di dalam.
"Salam hormat kaucu. Semoga kaucu panjang umur!"
Mereka semua berdiri lalu sujud memberi hormat.
Cio San tidak tahu harus menjawab apa, dia lalu berkata
"Terima kasih, berdirilah tuan-tuan"
Mereka berdiri. "Silahkan duduk, kaucu" kata mereka mempersilahkan
"Kalian sudah tahu kejadian di dermaga?" tanya Cio San sambil duduk di sebuah kursi
"Sudah kaucu. Si Raja Maling Tanpa Tanding yang memberitahukan kami"
kata salah seorang. Ia menjawab dengan raut wajah yang bercampur aduk.
Marah, sedih, dendam. "Ah hampir lupa, nama cayhe Cio San. Mohon perkenalkan nama-nama
saudara semua" Mereka semua memperkenalkan nama. Rupanya mereka semua bersaudara.
Ada 7 orang. Wajah mereka tidak ada yang mirip.
"Ketika semalam Cukat Tong datang dan menceritakan apa yang terjadi,
kami kaget sekali. Bagaikan tidak percaya atas apa yang terjadi. Awalnya kami mendengar bahwa sebuah kapal berisi anggota Mo Kauw terbakar. Tapi kami tidak percaya, karena jika kaucu akan datang ke kota ini, kami pasti diberitahu sebelumnya."
"Baru ketika Cukat Tong datang dan menjelaskan semuanya, kami baru
percaya. Kami semua lalu berangkat ke dermaga. Setelah kami periksa
ternyata memang benar itu kapal kaucu. Jenazah-jenazah telah dikubarkan oleh petugas dermaga. Kamu lalu membongkar makam, lalu kami pindahkan jenazah-jenazahnya."
"Sekarang di mana jenazah-jenazah itu" Apakah bisa kalian kenali?" tanya Cio San
"Semua sudah kami kirimkan ke Istana Ular. Itu tempat semua kaucu
dimakamkan. Memang ada beberapa jenazah yang bisa kami kenali. Mayat
lainnya sudah tidak bisa lagi" Ia berbicara sambil meneteskan air mata dan mengepalkan tangan.
"kalian mengenali mayat kaucu?" tanya Cio San lagi.
"Awalnya susah tuan, tetapi untunglah berdasarkan ciri-cirinya, kami bisa mengenali jasad beliau. Dari cincin lambang ketua. Lalu kalung, dan
beberapa gelang. Selain itu dari gigi geligi beliau. Ada beberapa beliau emas yang beliau pakai. Kami semua yakin betul itu jasad beliau." Jawab salah seorang. Ia melanjutkan,
"kami tidak tahu harus marah atau senang kepada Cukat Tong. Ia berani sekali mencuri barang kaucu. Tapi justru karena dia lah, Mo Kauw
terselamatkan. Ia berhasil menyelamatkan kotak yang sangat penting. Ini kotaknya, kaucu. Silhkan kaucu buka dan lihat isinya"
Sebuah kotak kayu sederhana. Cio San membukanya.
Seketika itu juga puluhan jarum yang sangat tipis menyerang matanya!
Tapi Cio San lebih cepat. Ia sudah siap sejak tadi. Ia hanya memiringkan kepalanya, puluhan jarum itu lewat di belakangnya. Mengenai ketiga orang yang tadi mengantarnya. Mereka semua tewas berkelojotan di rantai.
Ketujuh orang yang duduk di depannya serempak menyerangnya. Tujuh
senjata, tujuh titik mematikan. Tapi serangan ahli silat kelas menengah seperti ini, apa bisa melukainya. Sekali hentak dengan tangan kirinya yang mengeluarkan suara berderik, ketujuh senjata itu ia tangkap dan rampas.
Tujuh orang itu melongo! Mana mungkin orang menangkap pedang, golok, clurit, dan tombak kecil
hanya dengan tangan kosong"
Dengan sebuah gerakan tangan kanan, Cio San sudah menotok ketujuh
orang itu. Kesiagaannya sudah memuncak, dia tidak ingin tertipu lagi kali ini. Oleh karena itu Cio san sudah tahu ketika ada puluhan jarum beracun yang menyerang ketujuh orang itu.
Kaki kanannya menghentak ke lantai, seketika itu meja di depannya
melayang ke atas. Tangan kanannya lalu "menyentil" meja itu. Puluhan
jarum tadi langsung tertancap seluruhnya di atas meja!
Cio San lalu melesat ke arah dari tadi jarum disambit. Si penyerang sudah melarikan diri lewat jendela. Ia lompat ke bawah. Ilmu meringakan
tubuhnya hebat juga. Tapi jika dibandingkan dengan Cio San tentu saja terlalu jauh. Kini Cio San malah sudah ada di hadapannya.
Si Nahkoda! Ia adalah nahkoda kapal Mo Kauw yang kemarin terbakar.
Belum sempat si nahkoda mengeluarkan suara, Cio San sudah menotoknya.
Siang itu jalanan sedang ramai. Melihat pertunjukan itu orang-orang malah tertarik.
Tapi yang berkumpul memang bukan cuma orang-orang biasa yang sedang
lewat saja. Karena tahu-tahu muncul 5 orang bertopeng. Entah sejak kapan mereka berada di situ.
"Ah, datang juga. Salam kenal, Ngo-wi (tuan berlima)" kata Cio San sambil tersenyum menjura.
Kelima orang itu tidak membalas. Hanya mencabut senjatanya masing-
masing. Orang-orang yang tadi berkerumun, kini malah menjauh. Mereka
tahu ini pertarungan hidup mati. Tak seorang pun yang berani mendekat.
Secara tidak sengaja, pandangan mata Cio San menangkap seseorang di
atas atap seberang rumah bordil. Dialah Cukat Tong!
Dia duduk sambil tersenyum-senyum saja. Cio San membalas
senyumannya. Memang di saat seperti ini, bukan hal yang pantas untuk
tersenyum. Tapi Cio San memang punya kebiasaan tersenyum. Bahkan
tersenyum di saat-saat yang tidak cocok.
Lima pedang telah muncul. Bersinar terang terkan cahaya matahari.
Cio San paham mereka bukan lawan yang mudah. Mereka inilah para
pembunuh bertopeng yang sudah menggetarkan dunia kang ouw.
Pertarungan seperti ini, adalah pertarungan kelas tinggi. Segala hal kecil sangat berpengaruh dalam hal ini. Kondisi Cio San yang sudah hampi 3 hari tidak tidur, jelas adalah suatu kelemahan. Sebelum bertarung ia sudah kalah satu langkah.
Ia pun kalah jumlah. Untuk hal ini Cio San sudah kalah dua langkah.
Ia pun tidak paham ilmu silat kelima orang ini. Dalam pertarungan, mengerti keadaan lawan amatlah sangat penting. Kelebihan mereka, kekurangan
mereka. Sehingga dalam pertarungan, seseorang bisa lebih siap menghadapi berbagai hal. Untuk hal ini, Cio San sudah kalah tiga langkah.
Tapi ia tetap tersenyum. Tangan kanannya memain-mainkan rambut
panjangnya yang lewat di bawah telinganya. Tangan kirinya terlipat ke belakang. Ini adalah posisi bhe-si (kuda-kuda) yang paling disukai Cio San, jika memang posisi itu bisa dibilang kuda-kuda.
Lima pedang menusuk. Lebih tepatnya "menghempas". Karena angin
serangannya saja bisa mendorong orang. Cio San berkelebat mengikuti
angin tusukan ini. Satu langkah hentakan ke belakang. Tapi pedang terus mengejarnya. Kelima pedang itu membentuk sebuah tusukan tunggal ke
arah tenggerokan. Cio San sudah waspada, ia tahu tusukan tunggal itu bisa berubah menjadi ratusan macam perubahan. Benar saja, serangan itu lalu terpecah menjadi puluhan bayangan pedang. Satu pedang sudah melakukan tujuh serangan!.
Total semua serangan itu mengarah ke 35 titik di tubuhnya!
Jika orang sanggup melihat serangan ini, tentunya mereka akan mengakui keindahannya. Sinar pedang itu indah, membentuk cahaya-cahaya yang
menyeliputi tubuh Cio San. Tapi memang jika orang-orang benar-benar bisa melihat, tentunya mereka akan bergidik ngeri melihat dahsyat dan
kejamnya serangan itu. Cio San mengelak ketigapuluhlima serangan itu dengan meloncat ke atas.
Itu hanya bisa dilakukan jika seseorang mempunyai kecepatan yang jauh lebih cepat dari ketigapuluhlima serangan itu. Tentu saja Cio San lebih cepat. Ia hanya lebih cepat sedikit. Tapi yang "sedikit" itu seringkali menyelamatkan nyawa.


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika melayang, kepalanya berada dibawah. Cio San mengembangkan
tangannya unutk menangkis lagi hujan pedang yang sudah mengejarnya.
Tangan kirinya mengeluarkan suara derik. Ia menangkap satu pedang
dengan dua jarinya. Padang yang terbuat dari bisa baja khusus yang
ditempa berbulan-bulan itu patah, bagai ranting kering.
Keempat pedang lainnya ia sambut dengan tangan kanan yang melakukan
gerakan lembut. Ini adalah gerakan khas thay kek kun. Sebuah jurus yang menggunakan tenaga "lembut" untuk menghalau yang keras. Tenaga itu
memanfaatkan dorongan serangan musuh untuk dikembalikan kepada
musuh itu sendiri. Bisa dibayangkan ketika 4 tenaga pedang yang dahsyat itu dikembalikan kepada penyerangnya sendiri. Gabungan kekuatan itu menghantam mereka
sendiri! Alangkah kagetnya mereka ketika melihat ujung pedang mereka malah
mengarah ke tenggorokan mereka sendiri.
Satu-satu cara menghentikannya adalah membuang pedang dan
menghindar. Itulah yang mereka lakukan.
Walaupun wajah mereka tertutup topeng, rasa takut dan heran bisa di lihat jelas dari wajah mereka.
"Jangan pernah berani untuk angkat pedang kalian"
Terdengar suara dari belakang Cio San. Suara itu dingin dan tenang. Saking tenangnya terasa seperti beku. Tanpa menoleh Cio San tahu suara siapa itu.
Ang Hoat Kiam Sian! "Pedang diciptakan bukan untuk mengeroyok orang" Ia berjalan sambil
berbicara. Entah kenapa saat orang ini berbicara, dunia terasa berhenti. Tidak ada seorang pun di dalam keramaian itu yang bergerak. Bahkan burung-burung yang melayang di angkasa pun mungkin akan diam mematung jika orang ini berbicara.
"Orang yang kehilangan pedang dari tangannya, tidak pantas untuk
memegang pedang selamanya"
Ia melanjutkan, "Jika ada salah satu dari kalian yang kutemukan memegang pedang lagi, kalian akan kubunuh"
Kata-katanya sangat tenang. Tidak ada amarah. Tidak ada geram. Tidak ada sedih. Tidak ada kebanggaan. Tidak ada rasa senang. Tidak ada apapun.
Tak disangka kelima orang itu lalu mengangkat tangan memukul kepala
mereka masing-masing. Tapi sebelum tangan mereka terkena kepala, sinar dari tangan kiri Cio San sudah melayang menotok tubuh mereka. Potongan pedang yang tadi ia patahkan, sudah berubah menjadi kepingan-kepingan sinar itu.
Herannya tubuh mereka tidak tertotok, dan tangan mereka tetap sampai ke tujuan. Mereka roboh dengan kepala pecah!
Cio San hanya geleng-geleng kepala.
"Hahahaa"aku baru tahu kalau kau tidak bisa menyambitkan senjata!"
terdengar tawa Cukat Tong dari atas atap.
"Belum pernah latihan, bagaimana bisa mahir?" jawab Cio San
Cio San ternyata tidak mahir melemparkan senjata.
Kepandaian memang hanya bisa didapatkan dari latihan serius dan
berulang-ulang. Selama ini Cio San memang tidak pernah melatih
kemampuan melemparnya. Ia pun tertawa-tawa saja.
Ang Hoat Kiam Sian berkata,
"Kita bertemu lagi tuan. Kepandaian yang hebat. Mau kah kau bertarung denganku?"
Tangannya sudah memegang ujung pedang.
Tapi kemudian ia berkata,
"Aku berterima kasih tuan sudah membersihkan namaku dari fitnah"
Seketika Cio San paham, "Kau kah yang mengundangnya kesini?" tanyanya kepada Cukat Tong.
"Benar" ia sudah melayang turun.
"Kau tau alamat rumahnya?" tanya Cio San heran.
"Di dunia ini aku tahu alamat semua orang. Kalau tidak, bagaimana aku bisa mencuri barang mereka?"
Cio San tertawa, ia menoleh ke nahkoda ya tadi di totoknya. Si nahkoda sudah mati. Ia mati berdiri oleh sebuah jarum beracun yang sangat tipis. Cio Sang menghela nafas. Tentunya ketujuh orang yang tadi ditotoknya sudah mati semua juga.
Mereka kini duduk bersama di bawah sebuah pohon. Menikmati arak dan
buah-buahan. Mendengar Cukat Tong bercerita.
"Segera sesudah aku bertemu denganmu, aku mengirimkan surat kepada
Ang Hoat Kiam Sian menceritakan apa yang telah terjadi. Aku lalu
penasaran apa isi kotak Mo Kauw Kaucu. Karena kotak itu diberi perangkap sejata rahasia yang ganas. Setelah berhasil memecahkan rahasia senjata itu, kotak akhirnya berhasil ku buka. Isinya adalah sebuah surat perintah yang berisi bahwa kau telah diangkat sebagai kaucu baru. Karena merasa surat itu penting, aku membawa kotak itu ke markas Mo Kauw terdekat."
"Mereka menerimaku dengan baik, karena aku kenal beberapa orang disana.
Kuceritakan semua yang terjadi. Herannya mereka tidak begitu kaget. Aku lantas curiga. Untunglah, ketika aku pulang, dan lewat depan salah satu kamar rumah bordil, aku melihat si keparat nahkoda itu. Kamarnya tidak sengaja terbuka sedikit, saat ada perempuan keluar dari dalam. Dari sedikit celah itu aku bisa melihatnya sedang bersenang-senang"
"Akhirnya aku paham kalau dia itu pengkhianatnya. Makanya tak berapa
lama aku kembali lagi ke rumah bordil. Kali ini secara rahasia. Hehe. Aku mendengar rencana mereka untuk menjebakmu. Seluruh markas rumah
bordil itu telah jatuh dalam kekuasaan kelompok bertopeng. Makanya,
secara rahasia, aku mencuri lagi surat perintah Mo Kauw kaucu. Aku takut jika mereka menghancurkannya"
"Oh begitu" kata Cio San, "Lalu ketika kau sudah tahu mereka akan
menjebakku, kenapa kau tidak memberi tahu aku?"
"Kalau kau sampai terjebak oleh para keroco-keroco itum berarti kau tak pantas jadi ketua Mo kauw. Dan kau tak pantas pula jadi "musuhku".
Hehehe" jawab Cukat Tong sambil tertawa. "Aku terbukti benar, bukan?"
Cio San hanya manggut-manggut sambil tersenyum.
Ang Hoat Kiam Sian hanya diam saja dari tadi. Tidak bersuara sedikitpun. Ia hanya bersandar di pohon besar itu. Cio San ingin bertanya sesuatu
kepadanya, tapi ia mengurungkan niatnya.
"Masih ada lagi satu surat yang ditulis khusus untukmu" kata Cukat Tong kepada Cio San
"Tolong simpankan. Aku mengantuk. Aku mau tidur!" seru Cio San. Ia
berbaring dan menutup mata.
Cukat tong hanya tersenyum dan memandangnya lama, lalu berkata,
"Terima kasih" Cio San hanya terseyum pula.
Ia tahu alasan Cukat tong berterima kasih. Jika Cio San berani tidur dengan pulas, berarti ia menganggap Cukat tong sebagai sahabat yang akan
melindunginya saat musuh tiba.
Memang di antara sahabat, ada banyak hal yang tidak perlu kau katakan.
Bab 35 Ke Istana Ular Tidur Cio San sangat pulas. Dari sejak tengah hari ia tidur sampai sore.
Begitu bangun, ia melihat Cukat Tong dan Ang Hoat Kiam Sian masih duduk di sebelahnya. Yang satu duduk diam tenang. Tanpa suara dan tanpa kata-kata. Yang satu sedang menyandar di pohon sambil minum arak.
"Kalian berdua sejak tadi duduk saling diam?" tanya Cio San kepada Cukat Tong.
Cukat Tong hanya mengangguk.
"Dan sejak tadi kau minum arak" Banyak sekali persediaan arakmu"
Cukat Tong mengangguk sambil tertawa. "Aku sudah 3 kali bolak balik ke warung arak"
Cio San ikut tertawa. Ia duduk menyandar pohon dan ikut minum arak. Arak Lin Cia. Arak ini dibuat dari sari buah-buahan yang di masukkan ke dalam bilah bambu, lalu di kubur dalam tanah selama berbulan-bulan. Semakin dikubur lama, rasanya semakin enak.
Bangun tidur lalu minum arak. Habis minum arak, lantas tidur lagi. Di dunia ini tidak ada yang lebih menggembirakan buat para peminum selain hal ini.
"Kau kenal dia dari mana?" tanya Cio San, sambil menunjuk Ang Hoat Kiam Sian.
"Aku tidak kenal dia. Dia pun tidak kenal aku" jawab Cukat Tong santai.
"Lalu dari mana kau tahu alamat rumahnya?" tanya Cio San lagi.
"Memangnya kau harus kenal orangnya baru tahu rumahnya?" Malah Cukat
Tong balas bertanya. "Betul juga" kata Cio San sambil tepuk jidat. Lanjutnya,
"Biar ku tebak, ia datang begitu menerima suratmu, bukan karena
persahabatan. Bukan juga karena namanya difitnah. Orang seperti dia tidak perlu dengan nama baik dan segala macam fitnah. Ia datang karena kau
bilang padanya ada sekelompok pembunuh berpedang yang sedang
mengacau di dunia kang ouw"
"Benar" jawab Cukat Tong.
"Sebenarnya ia sudah tahu tentang kelompok bertopeng ini, cuma tidak tahu harus mulai dari mana"
"Benar lagi" kata Cukat Tong.
"Jadi saat kau bilang kelompok bertopeng ini akan menyerang lagi, ia serta merta datang dengan penuh semangat"
"Lagi-lagi kau benar" jawab Cukat Tong.
"Aku tidak hanya datang untuk mereka" tiba-tiba Ang Hoat Kiam Sian buka suara. Masih tenang dan tanpa perasaan. Ia hanya menatap ke depan.
Tanpa menoleh sedikitpun ke lawan bicara yang ada disampingnya.
"Aku juga datang untuk mencarimu" lanjut si Dewa Pedang. "Ku dengar kau menaklukkan Butongpay Ngo Kiam (Lima Pedang Butongpay) dalam satu
jurus." "Yang ku kalahkan adalah orangnya, bukan pedangnya. Bukan aku yang
hebat, melainkan mereka saja yang malas latihan" kata Cio San sambil
menenggak arak. Si Dewa Pedang masih tetap dingin ketika ia berkata, "Kau juga
mengalahkan kelima orang bertopeng itu dalam dua jurus"
"Hanya karena aku lebih cepat sedikit dari mereka." Ia kemudian menoleh ke Cukat Tong "Eh raja Maling, apakah kau tahu siapa mereka" Tadi sebelum keperiksa wajah mereka, kepala mereka sudah hancur duluan"
"Tahu, mereka ad.." sebelum Cukat Tong meneruskan kata-katanya, si
Dewa Pedang sudah memotong,
"Aku ingin melihat seberapa cepat kau menangkap pedangku" Ia sudah
berdiri. Masih dengan pandangan kosongnya. Bagi Cio San itu bukan
padangna kosong. Hanya pandangan manusia yang sangat-sangat kesepian.
Si Dewa Pedang sudah berdiri dihadapannya. Cio San hanya duduk dengan santai. Ia menenggak arak dengan nikmat.
"Awas serangan"
Kata itu belum selesai diucapkan tapi pedangnya sudah berkelebat. Tahu-tahu telah sampai di dahi Cio San. Cukat Tong saja yang pengetahuan dan ilmunya sangat tinggi masih terkagum-kagum melihat kecepatan dan
ketepatan pedang itu. Tapi pedang itu tidak menembus dahi. Berhenti tepat sebelum tertusuk
masuk ke dalam dahi. Menyerang seperti itu adalah sebuah gerakan yang amat sangat sulit. Menghentikannya di tengah jalan adalah hal yang jauh lebih sulit lagi. Cio San hanya tersenyum sambil memegang rambutnya.
"Kenapa kau tidak menghindar atau menangkis?" tanya si Dewa Pedang.
"Kenapa kau menyerang?" ia balas bertanya dengan santai.
"Aku ingin melihat kecepatan tanganmu" jawab si dewa Pedang.
"Aku tidak ingin menunjukkannya" tukas Cio San.
Dewa Pedang tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Setelah terdiam lama, ia berkata "Seranganku yang kedua benar-benar akan membunuhmu"
"Pedang memang tidak berperasaan, tapi manusia iya" jawab Cio San.
"Aku bukan manusia dan aku tidak memiliki perasaan" jawab Dewa Pedang dingin.
"Ya, mungkin. Tapi kau bukan orang rendahan yang membunuh lawan yang
tidak melawan dan tanpa senjata" habis berkata begitu ia menenggak lagi secawan arak.
Dewa Pedang terdiam. Cio san bisa melihat ia sedikit tersenyum. Hanya sedikit. Lalu begitu cepat wajahnya sudah berubah dingin seperti semula.
"Aku pergi" ia lalu membalikkan tubuh dan benar-benar pergi.
"Ke tempat biasanya?" tanya Cukat Tong sambil tersenyum.
Si Dewa Pedang tidak menjawab. Ia berlalu dan berjalan dengan santai.
"Ia mau pergi kemana?" tanya Cio San.
"Rumah bordil" kata Cukat Tong sambil tertawa.
"Dia ke rumah bordil?" tanya Cio San heran. Pantas saja, dua kali
pertemuannya dengan si Dewa Pedang, kedua-duanya terjadi di dekat
rumah bordil. "Kenapa" Manusia dingin seperti dia juga tahu cara bersenang-senang
dengan perempuan"Hahaha" tawa Cukat Tong.
"Bukan itu" tukas Cio San.
"Lalu apa?" tanya Cukat Tong.
"Kau tidak tahu kalau dia buta?"
"Buta" Dia?" Cukat Tong tak bisa berkata-kata lagi.
"Dia buta dan aku mengirimkan surat kepadanya?" si raja maling seperti bertanya kepada dirinya sendiri.
"Orang buta itu terkadang melihat lebih banyak hal daripada orang yang normal" kata Cio San.
"Sejak kapan kau tahu jika dia buta?" tanya si Raja Maling.
"Sejak awal bertemu dengannya di rumah Teng Teng. Cara pandangnya.
Sinar matanya yang aneh. Membuatku curiga. Setelah ku perhatikan, ketika ia berbicara atau melakukan gerakan apapun, kepalanya agak dimiringkan.
Itu tanda kalau dia lebih mengandalkan telinganya ketimbang matanya"
"Tapi jurus pedangnya yang mantap dan cepat seperti itu?" tanya Cukat Tong lagi.
"Justru karena ia buta maka jurus pedangnya bisa dahsyat seperti itu.
Karena ia tidak bertarung dengan menggunakan mata. Ia bertarung
menggunakan hati. Ia adalah contoh manusia yang telah bisa menyatu
dengan pedangnya" jelas Cio San
"Ada sebagian orang yang hidupnya adalah pedang. Yang sebagian lain,
pedangnya adalah hidupnya. Tapi baginya, hidupnya bukan pedang, dan
pedang bukan hidupnya. Ia adalah pedang itu sendiri"
Mau tidak mau Cukat Tong bergidik juga mendengarnya.
"Kau tidak tahu asal-usulnya?" Tanya Cio San
"Aku tidak tahu pasti, aku hanya bisa menebak-nebak" Cukat Tong lalu
melanjutkan, "Sekitar dua puluh sampai tiga puluh tahun yang lalu, ada pasangan suami istri yang ilmu pedangnya sangat hebat. Selain ilmu pedang, mereka juga pandai membuat pedang. Setelah lama menggetarkan dunia persilatan,
suami istri itu menghilang. Menurut kabar yang terdengar mereka
mengasingkan diri di pegunungan Himalaya. Di sana kabarnya mereka
membuat pedang terbaik. Dari bahan-bahan terbaik, ditempa dalam kondisi lingkungan paling baik. Aku curiga pedang itulah yang sekarang dipakai oleh si dewa pedang."
"Kabar suami istri itu kemudian tidak terdengar sama sekali. Dengar-dengar mereka meninggal setelah menyelesaikan pedang itu. Tapi beberapa tahun kemudian, tersiar kabar bahwa ada seorang anak kecil yang berkelana
sendirian di pegunungan Himalaya. Ia menenteng sebuah pedang yang
indah. Tidak ada orang yang mengetahui dengan pasti siapa anak ini, karena tidak ada seorang pun yang jelas-jelas pernah bertemu atau bercakap-cakap dengannya"
"Menurut cerita, anak kecil itu hidup sendirian. Ia berburu hewan-hewan gunung untuk makanannya. Kadang-kadang ia menolong jika ada orang
yang tersesat. Itu saja kabar yang ku dengar."
"Tapi aku hampir yakin kalau anak kecil itu adalah si dewa pedang ini. Nama she (marga) nya dengan kedua suami istri itu sama"
"Ooh..kau tahu siapa namanya?" tanya Cio San
"Ya. Namanya Suma Sun"
"Ah" Cio San mengangguk-angguk. "Tapi tadi katamu kau tidak kenal padanya"
"Kenal dan tahu nama adalah dua hal yang berbeda" jawab Cukat Tiong Lama termenung, Cio San berkata,
"Pantas saja ia menjadi orang yang seperti itu. Selama ini bertahan hidup di tengah alam pegunungan salju yang ganas. Sendirian dan buta pula. Jika bukan bergantung pada pedang dan kepandaian sendiri, tidak mungkin ia bisa bertahan. Sejak lahir pedang adalah sahabatnya."
"Eh, katamu kau kenal siapa 5 orang bertopeng tadi?" tanya Cio San
"Mereka, kalau aku tidak salah lihat, adalah Pendekar Pedang Perbatasan."
Jawab Cukat Tong. "Apa" Kenapa mereka mau-maunya jadi pembunuh bertopeng" Ku dengar
mereka adalah 5 pendekar pedang legendaris yang hidup dengan sangat
mewah di ujung perbatasan bagian barat Tionggoan. Kekayaan mereka
bahkan sudah seperti raja-raja. Buat apa mereka terlibat urusan beginian?"
"Bisa saja karena urusan beginian mereka jadi kaya raya?" kata Cukat Tong
"Dari kabar yang pernah kudengar, keluarga mereka sejak jaman dahulu
sudah kaya raya. Pembunuhan bertopeng ini kan baru beberapa tahun saja ini muncul"
"Bahkan mereka telah mendapat gelar pahlawan dari kaisar terdahulu.
Karena jasa mereka mengusir penjajah Mongol"
"Yah, mungkin itu rahasia yang harus kau pecahkan, Cio san" kata Cukat Tong sambil menghela nafas.
Lalu tiba-tiba ia teringat sesuatu,
"Hey, ada surat terakhir yang ditulis Mo Kauw kaucu kepadamu," sambil berkata begitu ia merogoh kantongnya.
"Sebenarnya, aku tidak mau lihat" kata Cio san sambil tertawa, "Sudah pasti isinya memerintahkanku untuk melakukan banyak hal"
"Hahahaha" Cukat Tong tertawa. Rupanya ia sudah membaca isi surat itu.
"Kau benar sekali, teman. Kalau kau tidak mau baca, biar aku saja
membacakan" Kepada Cio San tayhiap (pendekar besar) Yang Terhormat -- wah kau disebut Tayhiap
Mo Kauw sedang dalam keadaan gawat dan genting. Hampir semua anggota inti keracunan oleh racun hebat, dan kami tidak tahu apakah kami akan bisa sembuh. Dalam keadaan seperti ini, Mo Kauw amat sangat rentan oleh serangan dari luar.
Oleh sebab itu, kami dengan segala hormat meminta engkau turun tangan menangani Mo Kauw jika ada sesuatu yang terjadi kepada kami. Cayhe baru mengenal engkau beberapa hari, namun ketulusan, kebaikan hati, ilmu, dan kecerdasanmu telah membuat kami kagum dan hormat sekali.
Engkau berhak mempelajari seluruh ilmu Mo Kauw, dan engkau berhak memberi perintah kepada seluruh anggota Mo Kauw yang ada. Engkau
berhak mengumumkan perang kepada siapa saja, dan engkau berhak pula mengadakan perjanjian damai kepada siapa saja.
Selain permintaan ini, kami mempunyai satu permintaan lagi. Putri kami sedang sakit. Mohon kau memberi kabar kepadanya jikasesuatu telah terjadi kepada kami. Ia mengasingkan diri di Istana Ular. Dengan segala
kerendahan diri, kumohon engkau menjaganya saat kami telah tiada nanti.
Salam Hormat Ang Soat Cio San mendengarkan sambil terkejut.
"Bukankah tadi para pengkhianat di rumah bordil bilang kalau mereka
membawa jenazah ke Istana Ular" Kita harus segera berangkat kesana.
Bahaya sedang mengancam putri sang Kaucu."
"Ah" Tapi ia seperti mengurungkan niatnya. "Kita sudah sangat terlambat.
Aku juga tidak tahu di mana Istana Ular berada" Cio san tertunduk lesu
"Jangan khawatir dan menyerah dulu. Aku punya pemecahannya. Ayo ikut
aku" Mereka berlari. Di tengah jalan Cukat Tong memungut sebuah papan yang lumayan lebar.
Cio San tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Ketika sampai di tepi sungai, Cukat Tong mengeluarkan sebuah benda dari kantongnya. Sebuah tulang
kecil. Ia meletakkan tulang itu di bibir dan meniupnya. Terdengar suara kecil yang menusuk telinga.
Ia tersenyum. Mungkin dalam hatinya ia berkata "Tunggu saja, kau akan kaget nanti"
Tak berapa lama di langit muncul puluhan burung elang yang besar. Dengan sebuah gerakan cepat, Cukat Tong menangkat tangannya. Ada puluhan
benang yang sangat tipis yang terulur ke atas ke arah burung-burung itu. Ia menendang papan yang tadi dibawanya ke sungai.
"Ayo" serunya. Cio San ikut melompat ke atas papan.
Sebuah kapal kecil yang ditarik oleh puluhan burung-burung besar.
Kendaraan paling aneh di muka bumi yang pernah dinaikinya!
Bab 36 Seseorang Yang Menakutkan
Menyenangkan juga menaiki kendaraan seperti ini!
Cio San merasa ini adalah kendaraan terbaik yang pernah ia naiki. Ia
bertanya, "Di mana kau mempelajari kepandaian ini?"
"Ada hal-hal rahasia yang tidak boleh diberitahukan kepada orang lain"
jawab Cukat Tong sambil tertawa.
"Rahasia" Hmmmmm" Cio San berpikir
"Wah kalau kau sudah mulai berpikir, bisa-bisa rahasiaku ketahuan.
Hahaha" tawa Cukat Tong.
"Aku sudah mengerti rahasia besar. Tapi bukan rahasiamu" jawab Cio San
"Lantas, rahasia siapa?"
"Rahasia para pembunuh bertopeng itu. Bagaimana mereka bisa dikuasai
dan diperintah oleh otak di belakang mereka" kata Cio San
"Apa" Rahasia mengapa orang-orang terhormat dan sakti itu mau jadi
pembunuh bertopeng?" tanya si Raja Maling.
"Benar" "Hey, katakan padaku apa rahasianya?"
"Ada hal-hal rahasia yang tidak boleh diberitahukan kepada orang lain" Cio San mengejek Cukat Tong dengan meniru kata-kata Cukat Tong sendiri.
"Setan buluk! Hahahahahaahahahahahaha" Mereka berdua tertawa.
"Biar kutebak" kata Cukat Tong masih penasaran,
"Kekayaan yang sangat melimpah?" tanyanya
"Kebanyakan dari mereka bahkan lebih kaya dari siapapun. Pendekar
Pedang Perbatasan misalnya" jawab Cio San
"Perempuan paling cantik sedunia?" tanya Cukat Tong


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau pernah melihat ada perempuan seperti itu?" Cio San balas bertanya.
"Kitab ilmu silat yang maha sakti?"
"Mungkin. Tapi kitab ilmu maha sakti kan sedang di pegang oleh Bu Lim Beng Cu (Ketua Dunia persilatan) yang sekarang. Apa kau pikir jika si otak di belakang pembunuh bertopeng itu sudah menguasainya, ia akan mau
berbagi ilmu itu dengan yang lain?" tanya Cio San balas bertanya "Tentunya semua orang yang terlibat kelompok ini sudah paham itu"
"Jabatan di istana?" tanya Cukat Tong lagi.
"Kenapa harus bunuh orang" Mereka tinggal mendaftar ke istana, sudah
pasti diterima" jawab Cio San.
"Ah aku bingung, entahlah!" tukas Cukat Tong.
"Di dunia ini apa yang paling menggerakan manusia selain jabatan, harta, nama besar, dan wanita cantik?" tanya Cio San
Cukat Tong berpikir lama lalu menjawab, "AKu benar-benar tidak tahu"
"Rasa malu" jawab Cio San tenang.
"Aih. Betul juga. Jadi maksudmu, semua orang ini mau jadi budak si "otak besar" karena mereka khawatir ada perbuatan mereka di masa lalu yang jika terbongkar akan membuat mereka malu?" kata Cukat Tong.
"Benar. Kau bayangkan jika orang-orang ini mempunyai rahasia yang sangat memalukan jika terbongkar. Seumur hidup mereka akan jalani dengan
penuh rasa malu dan kehinaan. Bukankah itu lebih buruk dari kematian?"
kata Cio San "Benar sekali. Apalagi orang-orang ini semuanya adalah orang-orang
terhormat yang punya nama baik. Sekali ada perbuatan memalukan yang
mereka lakukan terbongkar, aku bisa bayangkan betapa mereka tidak mau hidup lagi" tukas Cukat Tong.
"Kau betul. Kehormatan dan nama baik, kadang-kadang begitu berharga
sehingga orang lebih suka menjalani kepalsuan untuk mendapatkannya" ujar Cio San.
"Jadi maksudmu si "otak besar" ini mengetahui semua rahasia-rahasia paling gelap dari para orang terhormat ini, sehingga ia menggunakannya untuk menjadikan mereka sebagai budaknya?" tanya Cukat Tong memastikan.
"Tepat sekali" jawab Cio San pendek.
"Di dunia ini siapa yang punya kekuasaan sebesar itu sehingga mampu
mengorek rahasia-rahasia terpendam orang lain?" tanya Cukat Tong.
"Aku kenal satu orang" jawab Cio San sambil tersenyum
"Siapa dia" Orang sehebat itu memang pantas jadi raja"
"Lebih tepatnya "ratu?" kata Cio San
"Hah" Maksudmu dia perempuan" Siapa?"
"Rahasia!" Cio San menjawab sambil tertawa.
Cukat Tong tak mampu berkata-kata.
"Aku rela mencuri barang apapun yang kau suruh, jika kau menyebut
namanya" katanya sungguh-sungguh. "Aku belum pernah mencuri untuk
orang lain, tapi sekali ini saja, aku akan melakukannya"
"Kau benar-benar akan mencuri barang untukku?" tanya Cio San, sepertinya mulai tertarik dengan tawaran Cukat Tong.
"Apapun yang kau minta! Walalupun itu celana dalam kaisar yang sedang ia pakai sekalipun!"
"Baiklah. Namanya Khu Hujin" tukas Cio San
"Hah! Khu Hujin?"" Si nyonya besar paling kaya sedunia itu?"
"Benar" "Ah, aku tak menyangka kalau dia itu otak besar di balik semua ini" kata Cukat Tong masih tidak percaya.
"Aku tidak bilang dia adalah otak besarnya."
"Setan buluk! Tadi kau bilang ia punya kemampuan untuk melakukan ini
semua" kata Cukat tong setengah marah
"Aku cuma bilang dia memiliki kemampuan yang sangat besar untuk
melakukannya. Tapi aku tidak bilang dia yang melakukannya" Kata Cio San sambil tersenyum.
"Hahahahahaha, aku sudah tertipu! Setan buluk!"
"Dan kau harus tetap pegang janjimu" Cio San dan Cukat Tong tertawa.
"Jangan takut. Sekali berkata, amat sangat najis untuk dijilat kembali. Kau minta kucuri apa untukmu?" tanya si Raja Maling
"Aku belum memikirkannya. Mungkin nanti. Hehe"
"Di dunia ini, kalau ada orang yang bilang dirinya paling pintar, itu pasti karena belum bertemu denganmu" kata Cukat Tong
"Dan di dunia ini kalau ada orang yang bilang dia bisa melakukan apa saja, itu pasti karena ia belum bertemu denganmu" balas Cio San.
Pemandangan di sepanjang sungai sangat indah. Apalagi hari menjelang
sore, sinar matahari yang jatuh di atas sungai sungguh indah. Banyak kapal dan perahu yang berpapasan dengan mereka. Semua melongo dan
ternganga melihat kendaraan yang aneh itu. Banyak yang memuji kagum.
Cukat Tong dan Cio San membalas dengan senyum dan anggukan.
"Berapa lama perjalanan ke istana ular?" tanya Cio San
"Kalau pakai kapal biasa, bisa satu setengah hari. Tapi kalau pakai burung ini, besok pagi-pagi sekali kita sudah sampai" jawab Cukat Tong.
"Ah berarti kita bisa menyusul rombongan pengkhianat itu" tukas Cio San
"Mudah-mudahan. Kau simpan tenagamu. Pertempuran dan pertarungan
masih panjang" "Bagaimana kalau sambil makan?" jawab Cio San
Ia duduk di tepi "rakit" aneh itu. Dengan sedikit menjentikkan jari saja, dua-tiga ekor ikan sudah ditangkapnya.
Cio San lalu meloncat. Dengan ilmu meringankan tubuhnya ia melayang di atas air. Lalu mendarat di tepian sungai. Saat itu jalur yang mereka lalui memang adalah sebuah sungai yang tidak terlalu besar. Di darat ia
memungut beberapa ranting pohon kering dan memetik beberapa daun. Ia
lalu kembali menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuhnya)nya untuk melayang lagi di atas air dan menyusul "rakit" Cukat Tong.
Begitu kembali ia segera menggunakan ranting-ranting itu sebagai sebagai api unggun. Cio San tidak takut rakit itu terbakar karena sebelumnya dia sudah membasahi dulu lantai rakit dengan banyak air. Ketika ikan panggang sekedarnya itu matang. Bau harumnya menyebar dan membangkitkan
selera. Mereka berdua menikmati dengan nikmat sambil duduk di atas rakit. Cukat Tong makan dengan sebelah tangan, karena tangan yang satunya harus
mengendalikan burung-burung.
"Aku masih punya arak di dalam buntalan yang kubawa" kata Cukat Tong.
Arak. Ikan panggang yang lezat. Serta sahabat dekat. Apalagi yang
dibutuhkan oleh seorang lelaki"
Kau mungkin akan berkata "perempuan". Tapi sesungguhnya bagi lelaki, ada saat di mana kehadiran perempuan itu terasa menganggu. Yaitu saat lelaki berkumpul dengan sahabat-sahabat terbaiknya.
"Kau tadi bilang Khu Hujin sebagai orang yang mampu melakukan ini
semua. Apa alasanmu?"
"Beliau memiliki jaringan yang sangat luas. Setiap kota ada cabangnya.
Masing-masing cabang berisi ahli silat hebat. Semua kabar yang terjadi di sebuah kota, pasti langsung mereka ketahui."
"Tapi Kay Pang (partai pengemis) juga seperti itu" sanggah Cukat Tong
"Tapi Kaypang tidak memiliki uang sebanyak Khu Hujin. Lagian, menurut penglihatanku, pergerakan Kay Pang masih kalah cepat dengan pergerakan orang-orang Khu Hujin. Mereka sigap, tangkas, dan tidak pernah buang-buang waktu." jawab Cio San. Lanjutnya,
"Aku sendiri sudah pernah bertemu dengan Khu Hujin. Orangnya sangat
cerdas. Bisa melihat banyak rahasia tersembunyi. Bahkan mungkin bisa
"membaca" pikiran orang"
"Dari mana kau tahu ia bisa membaca pikiran orang?" tanya Cukat Tong
"Kemampuan berpikirku ini sedikit banyak beliau yang memberikan" tukas Cio San
"Haha" Cukat Tong cuma tertawa
"Kau tidak percaya" Cukup dengan melihatmu aku bisa tahu banyak hal"
"Oh ya" Coba buktikan"
"Kau mempunyai guru yang sangat engkau hormati. Mungkin beliau adalah orang suku asli di bagian ujung barat Tionggoan. Kemungkinan besar beliau sudah meninggal. Kau pun juga memiliki seorang kekasih. Kau sangat
mencintainya. Ia pun sangat mencintaimu. Tapi entah kenapa kalian sudah berpisah."
"Kau"kau..bagaimana bisa?" Cukat Tong hampir bisu.
"Dugaanku benar, bukan?"
"Benar seluruhnya" jawab Cukat Tong.
"Bagaimana kau bisa tahu" Itu adalah rahasia yang tak pernah ku
beritahukan kepada orang lain"
"Aku hanya memperhatikan" jawab Cio San sambil tersenyum.
"Coba kau jelaskan. Aku sungguh tak bisa berkata-kata"
"Jidatmu hitam. Orang yang jidatnya hitam, kebanyakan karena sering
bersujud. Sujud kepada siapa" Kau bukan seseorang yang gampang sujud
dan menghormati orang lain. Tentunya kau sujud kepada orang yang sangat kau hormati. Tentunya bukan kepada orang tua. Karena melihat
keadaanmu, kau adalah orang yang sudah berpetualang sejak kecil.
Mestinya kau adalah seorang yatim piatu. Jadi sujud kepada siapa"
Tentunya kepada gurumu"
"Lalu, siapa gurumu" Tentunya ia adalah orang yang mengajarimu banyak hal. Termasuk mengajarimu mengandalikan burung-burung ini.
Kuperhatikan jari-jarimu. Banyak lingkaran bekas benang yang ada di jari-jarimu. Lingkaran itu sudah menghitam dan mengras. Tentunya lingkaran itu tercipta karena kau banyak belajar mengendalikan burung-burung itu. Dan di Tionggoan hanya orang-orang di bagian Sianjing (perbatasan bagian barat atas Tionggoan) yang terkenal mampu mengendalikan hewan-hewan. Jadi
tentunya gurumu pasti berasal dari barat.
"Lalu mengenai kekasih?" tanya Cukat Tong.
"Dari sepatumu. Baju, celana, dan badanmu kotor. Tapi sepatumu tidak. Aku memperhatikan kau sering membersihkan sepatu itu dengan tanganmu.
Saat kau minum arak pun kadang-kadang kau melirik ke sepatumu. Jadi
mestinya sepatu itu adalah benda yang sangat berharga bagimu. Pemberian seseorang yang juga sangat berharga bagimu. Tentunya bukan gurumu
yang memberikannya. Karena biasanya guru lebih suka memberikan benda-
benda yang jauh lebih bermanfaat seperti senjata, kitab sakti, atau mungkin sempritan tulang yang kau gunakan untuk memanggil burung-burung tadi.
Sepatu, seperti juga pakaian. adalah pemberian yang "penuh cinta". Itu diberikan karena orang itu memperhatikanmu. Jadi siapa orang itu"
Tentunya ia kekasihmu."
Cukat Tong terdiam. Semua yang dijelaskan Cio San benar. Ia hanya
menggeleng-geleng dan berkata,
"Jika Khu Hujin memang benar-benar mempunyai kemampuan seperti ini,
maka sudah pasti ia lah otak dibalik semua kejadian pembunuhan bertopeng itu"
"Aku tidak tahu jika Khu Hujin memiliki kemampuan ini. Tapi beliaulah yang memberi pelajaran kepadaku untuk terus memperhatikan sesuatu sekecil-kecilnya. Untuk menggunakan akal pikiranku sekuat-kuatnya. Karena
kekuatan manusia yang paling besar berada pada akalnya"
"Ia telah memberikanmu pelajaran, dan kau masih mencurigainya?" tanya Cukat Tong.
"Aku curiga pada siapa saja. Bahkan kepada ikan-ikan yang tadi kita makan"
tawa Cio San. "Kau tidak curiga kepadaku?" tanya Cukat Tong
"Curiga" jawab Cio San pendek
"Lalu kenapa kau masih mau naik kapal denganku?"
"Memangnya kalau tidak naik kapal denganmu, aku harus tidur denganmu?"
Cio San tertawa. "Aku bisa saja membunuhmu"
"Kalau kau ingin membunuhku, bisa kau lakukan saat aku tadi tidur"
"Saat itu kan ada si Dewa Pedang. Bisa saja kau berpikir ia akan
melindungimu" tukas Cukat Tong
"Aku pun curiga kepadanya. Bagaimana bisa percaya kepadanya?" tanya Cio San santai.
"Lalu kenapa dengan santai kau tidur sampai mendengkur seperti tadi?"
"Aku mengantuk" kata Cio San
"Kau tidak takut kubunuh saat kau tidur?"
"Takut" "Lalu kenapa kau tidur?"
"Karena aku mengantuk"
Cukat Tong terdiam dan bisu. Tidak percaya ada orang seperti Cio San. Ia cuma bisa garuk-garuk kepalanya yang penuh kudis.
"Jadi kau mengaggapku sebagai musuhmu atau sahabatmu?" tanya Cukat
Tong "Selama kau belum terbukti sebagai musuhku, tentu saja kau adalah
sahabatku." "Tapi bagaimana bila aku menganggapmu sebagai musuh?" sahut Cukat
Tong "Aku akan tetap menganggapmu sebagai sahabat"
Cukat Tong tersenyum puas, "Aku percaya" katanya.
Mereka berdua duduk menatap sungai yang sudah mulai hitam. Karena
matahari pun sudah mulai menghilang. Garis-garis merah di atas langit mengiringi perjalanan mereka. Ada rasa khawatir, ada rasa senang, ada rasa tertarik, ada rasa penasaran. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka
hadapi nanti. Tapi mereka menjalaninya. Memangnya selain dijalani, apa lagi yang bisa dilakukan"
Hidup yang berat, selain kau jalani, apalagi yang bisa kau lakukan"
Menangis" Tidak ada seorang pun yang perduli.
Tertawa" Orang akan menganggapmu gila.
Maka jalani saja dengan senyum dan kelegaan.
Masalah dan ujian hanyalah angin dalam perjalanan kehidupan. Laki-laki seperti mereka masakan akan demam dan jatuh sakit hanya karena angin
belaka" Maka saat Cio San menghadapi begitu banyak hal dalam hidupnya, ia
menjalaninya dengan penuh rasa syukur. Karena ia masih bisa hidup sampai kini. Ia mendapatkan banyak pelajaran. Pelajaran yang nantinya akan
membuatnya menjadi manusia yang utuh.
Manusia yang berguna bagi sesamanya.
Itulah makna kehidupan yang sebenarnya. Sayangnya tidak banyak orang
yang menyadari. Hidup mereka habiskan mengejar cita-cita kosong. Nama besar palsu. Dan harta kekayaan yang tak terpuaskan.
Bukankah jauh lebih bahagia menjadi orang yang sederhana. Yang
kebutuhan hidupnya hanya udara, air, dan makanan. Sedikit pakaian dan sebuah atap yang menaungi. Hidup merdeka tanpa harus terbebani oleh
pikiran dan impian-impian. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang sungguh berbahagia. Mereka tidak pernah menjadi budak dari siapapun. Dan budak apapun.
Di usianya yang sangat muda, Cio San telah menjalaninya. Ia memang
belum paham tentang makna-makna hidup yang sesungguhnya. Tapi dia
telah menjalaninya. Ia benar-benar telah menjalaninya.
Maka jika orang menyakitinya, ia akan memaafkan. Jika orang
menyalahinya ia tak akan membalas. Baginya setiap perbuatan mempunyai buahnya sendiri-sendiri. Oleh karena itu ia tak pernah takut menjalani kehidupan. Ia tidak berbuat salah, ia tidak menyalahi orang. Ia tidak mengambil yang bukan miliknya. Ia pun tidak menginginkan kepunyaan
orang lain. Hidupnya ringan dan bebas!
Cukat Tong mengendalikan burung-burung dengan sangat baik. Cio San
memperhatikan saja. Dalam hati ia sangat mengagumi Cukat Tong. Tidak
mudah menjadi Raja Maling seperti dia. Di dunia ini tidak ada yang tidak bisa dicurinya. Tapi tetap saja dia miskin. Pakaian kotor. Kepala penuh kudis pula.
Memang, ada sebagian orang yang walaupun dalam posisi dan kekuasaan
yang besar, tetap tidak mau menyalahi orang. Tetap tidak mau mengambil keuntungan. Tidak mau merugikan orang lain.
Itulah kenapa Cio San sangat mengagumi Cukat Tong. Usia mereka beda
belasan tahun. Bertemu pun baru beberapa hari. Tapi kecocokan dan
kesamaan hati membuat mereka merasa telah bersahabat selama puluhan
tahun. Sepanjang jalan mereka bercanda dan tertawa-tawa. Perahu dan kapal yang berpapasan dengan mereka selain heran dengan kendaraannya, juga heran mengapa kedua orang ini bisa tertawa lepas bahagia seperti tidak ada satu pun hal di dunia ini yang bisa membuat mereka bersedih.
Malam semakin larut. Bintang dan rembulan muncul di langit yang legam.
Dua orang sahabat bercerita tentang kehidupan. Mereka tertawa. Bukan
menertawakan orang lain, melainkan menertawakan diri sendiri. Jika orang sudah mampu menertawakan diri sendiri, maka kesedihan macam apapun
akan dijalaninya dengan senyum.
"Burung-burung mu ini apa tidak makan?" tanya Cio San
"Sebentar lagi mereka makan, tunggu saja. Pertunjukan yang menarik"
jawab Cukat Tong "Oh, jadi mereka ini punya jam makan tertentu?"
"Hewan itu hidupnya jauh lebih teratur daripada manusia. Mereka punya waktu makan, punya waktu tidur, punya waktu bangun, juga punya waktu
kawin dan beranak." Cio San mengangguk-angguk setuju.
"Kira-kira berapa lama lagi burung-burung akan makan?" tanyanya
"Mungkin satu jam lagi"
"Kalau begitu sambil menunggu, kita bisa olah raga sebentar" kata Cio San tersenyum. Ia berdiri dan memandang ke depan. Ada sebuah kapal kecil
yang akan lewat. Kapal itu berada beberapa tombak di hadapan mereka.
"Ah, telingamu lebih tajam daripada telingaku" Cukat Tong menggeleng-
geleng kecewa. "Kau pusatkan saja pikiranmu mengatur burung-burungmu. Aku cari
keringat sebentar" kata terakhir dari kalimatnya sudah terdengar jauh karena dia sudah melayang pergi dari situ.
Hanya dengan satu hentakan kaki di air, ia telah sampai di atas kapal di hadapannya.
"Selamat malam semua, nama cayhe Cio San"
Ia baru mengucap nama. Ratusan pedang telah menghujam mengincar
segala jengkal tubuhnya. Semua orang di sini bertopeng. Semua orang di sini menyerangnya dengan berbagai macam senjata. Semua orang di sini
berjumlah puluhan orang. Betapa dahsyatnya serangan ini sampai setiap jengkal di tubuhnya terdapat serangan senjata lawan.
Cio San melawan mereka dengan hanya
menggunakan ranting kayu sisa bakaran tadi. Ia menyalurkan tenaga
saktinya ke ranting kayu itu, sehingga kekuatan ranting itu jauh melebihi kekuatan baja paling keras sekalipun.
Tubuhnya melayang. Berputar seperti gasing. Tangan kanan lurus ke depan menghalau segala serangan dengan menggunakan ranting kayu. Tangan kiri mengeluarkan bunyi derik menangkis semua serangan. Kaki lurus ke
belakang. Cio San seperti terbang berputar bagai gasing menembus barisan serangan yang maha dahsyat itu.
Semua penyerangnya terlempar berhamburan. Mereka belum pernah
menghadapi jurus dan serangan sedahsyat itu. Serasa tenaga serangan
mereka seperti membalik menyerang mereka sendiri. Inilah kedahsyatan
Thay Kek Kun yang sebenarnya!
Cio San sendiri tidak tahu jurus apa yang dilakukannya. Ia hanya bergerak sesuai serangan lawan. Menerima gelombang kekuatan serangan mereka,
Hina Kelana 30 Panji Sakti Karya Khu Lung Badai Laut Selatan 8
^