Pencarian

Pedang Angin Berbisik 14

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 14


otaknya untuk mengingat kembali apa yang baru dia dengar dan memprosesnya. Dengan wajah tersipu Ding Tao pun
menjawab. "Tidak perlu, tidak apa, justru kuharap kalian semua mau menemaniku untuk menemui mereka berdua."
"Tapi jika ada yang terlalu pribadi untuk kami dengar?", jawab Wang Xiaho dengan meragu.
"Tidak, tidak apa. Kebetulan ada Paman Wang dan Tabib Shao Yong di sini. Kalian berdua sudah kuanggap orang-orang tua
yang bijak, tempat aku bertanya, pengganti orang tuaku. Sedang yang lain sudah kuanggap sebagai saudara tuaku sendiri.
Sudahlah, masakan aku harus lari dari perbuatanku sendiri. Tapi tentang apakah hubungan kami itu harus dibuka atau
tidak, biarlah bukan aku yang memutuskan.", ujar Ding Tao menjawab sebagian pertanyaan dalam benak mereka.
Ding Tao tidak lagi ingin menyembunyikan sesuatu, lagipula dari cara mereka bertanya, sudah tersirat bahwa tebakan
mereka tidak jauh dari kejadian yang sesungguhnya. Mencegah mereka untuk ikut mendengar justru bisa membuat tebakan
mereka lebih buruk dari kejadian yang sesungguhnya. Tapi bukan nama baik dirinya yang dia pikirkan, melainkan nama
baik kedua gadis itu. Itu sebabnya dia mengatakan, tentang hubungan mereka biarlah bukan dia yang memutuskan. Ding
Tao juga cukup percaya, bahwa mereka yang dia ajak adlah orang-orang yang cukup bijaksana untuk menimbang apa yang
bisa dikatakan dan apa yang sebaiknya disimpan.
Tidak lama mereka berjalan menyusuri lorong-lorong rumah, akhirnya sampai pula mereka di bangunan tempat tamu-tamu
mereka menunggu. Bangunan kecil itu ditata dengan rapi dan sederhana, ke empat dindingnya bisa digeser, sehingga pada
saat cuaca cerah seperti sekarang ini, ke empat sisi bangunan itu terbuka luas. Angin semilir bertiup melewati ruangan, di setiap sisi terlihat pula pemandangan yang menyejukkan mata. Hamparan rumput hijau yang tebal, semak-semak dengan
bebungaan, pohon-pohon dengan buahnya yang ranum dan sungai buatan berisi ikan-ikan hias yang mengalir mengelilingi
taman kecil itu. Suara gemericik air dan kicauan burung menambah asri suasana.
Namun keindahan taman itu lebih bersinar lagi hari ini, karena di pusat taman adalah bangunan tempat tamu-tamu mereka
menunggu. Di tengah ruangan, duduklah kedua orang tamu. Dua orang gadis cantik jelita yang sedang dilayani oleh pelayan dari rumah Ding Tao saat ini. Kedua tamu itu begitu jelita dan ramah, hingga mereka yang melayaninya ikut tertawa lepas mendengar
gurauan mereka. Seakan tidak bosan-bosannya memandangi kedua orang tamu itu, gadis-gadis itu tidak juga beranjak
pergi meskipun hidangan sudah selesai diletakkan.
Mereka terlihat begitu riang, hingga Ding Tao dan mereka yang baru datang pun merasa enggan untuk mengganggu.
Apalagi Ding Tao, begitu dia melihat kembali Murong Yun Hua, seketika itu juga ingatan yang telah lama dipendam dalam-
dalam muncul kembali ke permukaan.
Siapa orangnya yang bisa mengendalikan perasaan cinta" Bahkan banyak pertapa masih tergoda olehnya. Apalagi Ding Tao
yang terlalu peka perasaannya, lebih mudah lagi diombang-ambingkan perasaan cinta. Sejak dia menerima berita akan
bencana yang menimpa keluarga Huang, ditambah lagi dengan kepercayaan yang diletakkan di atas pundaknya, perasaan
cintanya pada Murong Yun Hua pun terpendam dalam-dalam. Namun di luar kuasanya, segala perasaan yang pernah dia
rasakan, memberontak keluar begitu dia bertemu dengan gadis itu kembali.
Ding Tao pun sadar, betapa dia mencintai gadis itu. Kesadaran ini pula yang menyiksa dirinya, karena perasaan yang dia
miliki ternyata lebih kuat dari kesetiaan yang sudah dia janjikan pada Huang Ying Ying. Sebagai seorang pemuda yang
romantis dan tergila-gila pada prinsip-prinsip hidup ideal yang ada dalam angannya, kegagalannya untuk tetap setia
merupakan siksa sendiri baginya.
Kerumunan gadis di bangunan tempat menerima tamu itu pun pecah, saat seorang dari mereka menyadari kehadiran Ding
Tao dan sahabat-sahabatnya. Dengan menutup mulut dan tawa geli campur malu, untuk menyembunyikan rasa canggung
mereka, gadis-gadis itu pun bertebaran, menghilang. Menyisakan dua gadis jelita yang sama-sama memandang Ding Tao
dengan hati penuh rindu. Murong Huolin yang tadi bercanda penuh tawa, tiba-tiba berubah menjadi pendiam, tapi tatapan
matanya tidak bisa menyembunyikan perasaan pemiliknya. Demikian juga Murong Yun Hua yang tadi tampil begitu anggun,
berubah menjadi seorang gadis yang gugup dan pendiam.
"Enci Yun Hua, Adik Huolin, bagaimana kabar kalian" Perkenalkan mereka ini sahabat-sahabatku, orang-orang yang sangat
dekat dan kupercaya, bisa dikatakan tidak ubahnya keluarga sendiri bagiku.", sapa Ding Tao sambil berjalan mendekat.
Dengan sapaan itu, kekakuan yang ada jadi sedikit mencair, dilanjutkan dengan saling memperkenalkan diri. Meskipun
masih ada rasa canggung dan serba salah, namun setidaknya mereka bisa bercakap-cakap dengan lancar. Setelah berbasa-
basi beberapa lama sambil menikmati hidangan yang ada, Murong Yun Hua menggamit lengan Murong Huolin yang segera
saja bangkit dari duduknya dan mengambil sebuah peti yang bila ditillik dari lebar dan panjangnya, sesuai benar untuk
menyimpan sebilah pedang.
Murong Yun Hua pun membuka mulutnya dan berkata, "Adik Ding Tao, sudah kudengar sepak terjangmu beberapa bulan
terakhir. Sepak terjangmu sudah membuat gempar dunia persilatan, hingga kami yang sudah lama tidak mengikuti berita
dunia persilatan akhirnya mendengar pula tentang kebesaran namamu saat ini."
Sambil tersipu Ding Tao menggoyangkan tangannya, "Tidak ada yang bisa dibanggakan, hanya orang-orang saja yang
sering membesar-besarkan. Lagipula itu adalah berkat hasil kerja keras saudara-saudara yang ada, bukan hanya hasil
kerjaku seorang." Murong Yun Hua tersenyum lembut, "Aku mengerti" bagaimanapun juga tugas yang kau sandang cukup berat, tidak
mungkin dengan seorang diri kau dapat menyelesaikannya. Kudengar sampai saat inipun, kau belum berhasil menemukan
Pedang Angin Berbisik. Benarkah itu?"
Ding Tao mengangguk, "Benar, sampai sekarang jejaknya belum lagi ketahuan. Tapi dukungan dari sahabat dan saudara
yang kurasakan saat ini, jauh lebih berharga dari pedang itu sendiri."
"Syukurlah kalau begitu?", ucap Murong Yun Hua dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari bibirnya.
Seperti agak ragu dia berhenti sejenak sebelum menyambung, "Aku bersyukur jika benar demikian, mungkin aku terlalu
banyak mengkhawatirkan dirimu tanpa sebab. Aku kuatir kehilangan pedang itu akan membuatmu kehilangan semangat."
"Enci Yun Hua menghabiskan banyak waktu untuk memeriksa rumah dan bangunan-bangunan milik kami, karena dia
teringat, bahwa paman, membuat sepasang pedang. Satu untuk dirinya sendiri dan satu untuk ayahku, adiknya", ujar
Murong Huolin yang sudah tidak sabar untuk menceritakan penemuan mereka berdua, menyambung perkataan Murong Yun
Hua. "Dan hasilnya kami menemukan pasangan dari Pedang Angin Berbisik, cobalah lihat ini", ujarnya sambil membuka peti yang
dia bawa-bawa. Mendengar cerita Murong Huolin, tentu saja setiap orang jadi tertarik. Tanpa terasa mereka semua mendekat untuk melihat isi dari kotak tersebut. Sebilah pedang yang tidak terlihat istimewa tapi Ding Tao yang sudah pernah memiliki Pedang Angin Berbisik tidak kaget. Pedang itu pun tidak telrihat istimewa, sampai kau mulai mencoba menggunakannya.
"Apakah" apakah.. aku boleh coba memegangnya?", tanyanya dengan terbata-bata.
"Tentu saja tolol, Enci Yun Hua mencarinya siang dan malam untuk diberikan padamu, mengapa pula kau tidak boleh
memegangnya.", ujar Murong Huolin sambil terkekeh geli.
Ding Tao merasa lucu sekaligus terharu, dengan sungguh-sungguh dia memandang Murong Yun Hua dalam-dalam dan
berkata, "Enci Yun Hua, sekali lagi dirimu menanam budi yang tidak akan pernah bisa kubalas?"
Tersipu Murong Yun Hua mendengar celoteh Murong Huolin dan tanggapan Ding Tao, dengan cepat dia menjawab, "Jangan
berterima kasih padaku, sebenarnya Adik Huolin tidak kalah sibuknya denganku. Bahkan sebenarnya dia pula yang
menemukan pedang tersebut."
Ding Tao yang mengetahui perasaan Murong Huolin padanya menjadi terenyuh dan dengan tulus dia menatap gadis nakal
yang sekarang jadi pemalu setelah Ding Tao menatapnya dengan mesra, "Adik Huolin, kalau begitu aku harus mengucapkan
banyak terima kasih padamu."
Dengan wajah memerah dan mulut mencibir, Huolin menjawab cepat, "Ah, aku pun tidak akan tahu kalau ada pasangan dari
Pedang Angin Berbisik kalau bukan Enci Yun Hua yang bercerita dan soal aku mencarinya, itu karena aku kasihan pada Enci Yun Hua, bukan karenamu, tolol. Sudah kenapa tidak cepat kau coba saja."
Sambil tersenyum haru Ding Tao mengangguk, "Baiklah kalau begitu coba aku lihat."
Dengan tangan sedikit gemetar dia meraih pedang itu. Begitu pedang itu berada di dalam genggamannya, maka dia pun
merasa bertemu kembali dengan sahabat lama. Sungguh pedang ini merupakan kembaran dari Pedang Angin Berbisik.
Meskipun ukiran dan bentuk bilah dan gagang yang sedikit berbeda, namun baik dari bobot maupun perasaan saat
menggenggamnya terasa begitu serupa. Yang namanya pendekar pedang, sudah biasa jika jadi gila pedang. Ding Tao bukan
orang yang gila pedang, tapi semakin banyak pengalamannya dalam bertarung menggunakan pedang, semakin dia bisa
meresapi nilai dari satu bilah pedang. Setelah berkali-kali bertarung menggunakan pedang biasa, sekarang kembali bisa
merasakan pedang pusaka di tangan, barulah terasa betapa jauh perbedaannya.
"Bagaimana" Bagus tidak" Kenapa tidak coba mainkan beberapa jurus?", seru Murong Huolin dengan nada ingin tahu.
"Benar, bagaimana kalau kau coba memainkan beberapa jurus dengan pedang itu. Lihatlah apa kau menyukainya.", ujar
Murong Yun Hua tidak kalah bersemangatnya.
Tidak sulit untuk membayangkan perasaan mereka berdua. Setelah berminggu-minggu mereka membongkar seluruh
bangunan milik keluarga Murong akhirnya mereka menemukan pula pedang itu. Setelah menemukan pedang itu,
merekapun harus memberanikan diri untuk pergi jauh dan bertatapan muka kembali dengan Ding Tao. Sekarang akhirnya
pedang itu sudah sampai di tangan Ding Tao, betapa menggelembungnya perasaan mereka saat ini.
Ding Tao tidak menjawab, hanya mengangguk singkat, lalu melompat keluar bangunan. Di atas hamparan rumput yang
hijau dia mulai bergerak-gerak, memainkan jurus-jurus pedang yang terangkai dalam ingatannya.
Ding Tao hari ini berbeda dengan Ding Tao beberapa tahun yang lalu. Dulu dia melatih jurus-jurus yang sama berulang-
ulang. Memperhatikan rincian tiap-tiap jurus dan mengejar bentuk ideal dari jurus yang dia pelajari. Demi mendapatkan
pemahaman akan tiap-tiap jurus dia melatih bentuk yang sama berulang-ulang. Ding Tao yang sekarang memainkan jurus
menurut keadaan, tanpa tergantung patokan yang baku. Bentuk dari tiap jurus tidaklah kaku, melainkan mengikuti keadaan
yang selalu berubah. Itu pula sebabnya setiap kali dia mendapatkan pengalaman baru, bentuk jurusnya pun berubah, hal ini terjadi justru karena sekarang dia sudah menyentuh pemahaman terdalam dari jurus-jurus yang dia miliki.
Jika dulu lewat bentuk dia berusaha mendapatkan isi. Sekarang ini dia telah mendapatkan isi, karenanya bentuknya bisa
berubah disesuaikan dengan keadaan, meskipun isinya tetap sama.
Karena itu berbeda pula cara Ding Tao berlatih, jika dulu dia melatih jurus membayangkan penggunaannya. Sekarang dia
membayangkan lawan dan keadaan, kemudian menggunakan jurus untuk bermain melawan bayangan tersebut, pada
hakekatnya apakah dia berlatih sambil bergerak atau berlatih dalam keadaan duduk, tidak selisih banyak perbedaannya.
Meskipun tentu saja, latihan fisik, bentuk dan gerak tidak bisa ditinggalkan.
Masih segar dalam ingatan Ding Tao tentang pertarungannya yang diakhiri dengan kekalahan, melawan Xun Siaoma. Kali ini
adalah pertarungan antara dirinya melawan Xun Siaoma untuk kedua kalinya.
Di antara mereka yang hadir mungkin hanya Liu Chuncao yang bisa benar-benar memahami keindahan dari gerakan Ding
Tao. Meskipun demikian dilihat oleh orang awam pun gerakan Ding Tao terlihat mengesankan. Kecepatan yang terkadang
sulit diikuti mata, hawa pedang yang terasa menggores tubuh mereka padahal mereka berada cukup jauh dari pemuda itu.
Ding Tao sendiri larut dalam bayangannya. Mereka yang menonton menjadi ikut tegang di luar pengertian mereka sendiri.
Liu Chuncao untuk kesekian kalinya terhanyut dalam permainan pedang Ding Tao.
Setelah beberapa puluh jurus, tiba-tiba Ding Tao berhenti, mengerutkan alis dan berpikir. Pada akhirnya dia belum bisa
menemukan jalan untuk mengalahkan Xun Siaoma. Tapi ini bukan saatnya memikirkan hal itu, dia memalingkan wajah pada
Murong Yun Hua dan Murong Huolin, lalu tersenyum.
"Pedang ini rasanya serupa benar dengan Pedang Angin Berbisik, meskipun ada perbedaan pada bentuk luarnya, namun
dalam hal yang lain-lain, terasa sama sempurnanya. Kukira tinggal satu ujian lagi buat dia.", ujarnya sambil mendekat ke arah Liu Chuncao.
"Pendeta Liu, bisakah kau lemparkan pedang yang biasa kubawa-bawa ke mari?", tanya Ding Tao sambil menunjuk pada
pedang yang dia tinggalkan.
"Hmm, baiklah coba kita lihat.", ujar Liu Chuncao sambil menganggukkan kepala.
Dengan gerakan yang gesit dia melemparkan pedang itu ke arah Ding Tao, cara melemparkannya punya tehnik sendiri,
pedang dilemparkan sehingga saat dia turun ke bawah, dia turun dengan gagang terlebih dahulu. Di tengah udara, tepat di depan Ding Tao, saat pedang itu mulai jatuh ke bawah, pedang dan sarungnya berpisah. Di saat yang pendek itu, terdengar desingan pedang dicabut dan dibabatkan. Itulah gerakan Ding Tao yang dengan cepat menghunus pedang lalu
menabaskannya ke bilah pedang yang sedang jatuh.
Memotong sebilah pedang dari baja pilihan, seperti sedang merajang bambu muda, sudah tentu, tidak salah lagi, pedang
pusaka ini benar-benar pasangan dari Pedang Angin Berbisik.
"Pedang hebat!"
"Benar-benar pedang pusaka!"
Mereka yang melihat pun sama-sama memuji dan bersorak, ketika Ding Tao kembali ke dalam ruangan, dengan serta merta
mereka ikut mengamat-amati bentuk dari pedang pusaka tersebut. Jika melihat penampilan luarnya maka tak seorangpun
akan merasa bahwa pedang tersebut bisa sedemikian hebatnya.
Dengan mata berbinar, Ding Tao menghampiri Murong Yun Hua dan Murong Huolin, "Sungguh besar budi kalian pada orang
yang tidak berguna ini."
Tersipu kedua nona tersebut mendengar ucapan Ding Tao, Murong Yun Hua pun menjawab dengan lembut, "Dirimu
memikul tugas yang penting bagi seluruh negeri, jadi sewajarnya saja bila kamipun berusaha semampu kami untuk
membantu tercapainya tujuanmu."
"Enci Yun Hua?", tercekat tenggorokan Ding Tao tak mampu menjawab.
Semua yang mendengar ikut kagum oleh jawaban Murong Yun Hua, meskipun ada pemikiran juga bahwa tentunya bukan
patriotisme semata yang mendorong sepasang gadis itu untuk bersusah payah sedemikian jauhnya. Tapi mereka juga
merasa kikuk, sebagai pengikut yang harus menyaksikan ketuanya sedang dimabuk cinta, beralih membicarakan pedang
pusaka yang baru saja mereka lihat.
Liu Chuncao pun berkata, "Ketua Ding, bolehkah aku meminjam pedang itu sebentar, aku pun jadi ingin untuk merasakan,
seperti apa yang namanya pedang pusaka."
"Tentu saja, eh Enci Murong" tidak apa-apa kan?"
"Tentu saja, pedang itu sudah jadi milikmu, dengan sendirinya, apa yang mau kau lakukan dengan pedang itu terserah pada dirimu.", jawab Murong Yun Hua dengan tersenyum manis.
Pedang pun beralih ke tangan Liu Chuncao yang dengan segera dirubungi oleh penggila silat yang lain. Ding Tao hanya
menyengir saja melihat kelakuan mereka, tanpa ada rasa was-was bahwa akan ada yang melarikan pedang itu. Ding Tao
justru berbalik ke arah kedua gadis Murong dan bercakap-cakap dengan mereka. Kekakuan yang sempat muncul, mencair
dengan cepat, meskipun dinding penghalang belum sepenuhnya bisa dihilangkan. Bagaimanapun juga apa yang sudah
pernah terjadi tidak bisa dengan mudah hilang dari ingatan.
Tabib Shao Yong bukan seorang pendekar silat, tentu saja beda dengan pengikut Ding Tao yang lain, yang ikut bersorak dan mengagumi pedang pusaka yang dibawa oleh Murong Yun Hua. Tabib Shao Yong sebagai orang yang sudah tua, justru lebih
memperhatikan Murong Yun Hua dan Murong Huolin. Bukan maksud penulis mengatakan bahwa Tabib Shao Yong seorang
yang mata keranjang, tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Namun orang tua ini justru lebih tertarik untuk mengurai
hubungan antara Ding Tao dengan kedua gadis itu. Selain Tabib Shao Yong, ada juga Chou Liang yang juga memandang
pedang pusaka dengan cara pandang yang berbeda. Saat semua masih memperhatikan dan bergantian ingin ikut mencoba
menggerak-gerakkan pedang itu, dia sudah teralih perhatiannya.
Chou Liang melihat pandangan Tabib Shao Yong yang sesaat merenung, sesaat pula menghitung, memandang Ding Tao,
kemudian Murong Yun Hua. Otak Chou Liang bekerja dengan cepat, melihat keluarga Murong ternyata adalah pembuat
Pedang Angin Berbisik, Chou Liang pun sudah mulai menimbang-nimbang, keluarga seperti apakah keluarga Murong itu.
Apalagi saat dia memperhitungkan pula, peti-peti kecil lain yang dibawa oleh kedua nona Murong itu.
Tapi adalah Tabib Shao Yong yang terlebih dahulu menyela percakapan ramah tamah antara Ding Tao dan kedua gadis
Murong itu. "Maafkan orang tua ini, nona muda, tapi kelihatannya, nona yang ini, sedikit pucat. Apakah merasa tidak enak badan?",
tegurnya dengan ramah. Murong Yun Hua pun menengok ke arah Tabib Shao Yong dengan terkejut lalu menjawab dengan ramah, "Ah", paman, aku
tidak apa-apa. Hanya sedikit lelah setelah menempuh perjalanan yang jauh. Kami tidak berani terlalu lama beristirahat di satu tempat, karena cukup banyak barang berharga yang kami bawa di perjalanan. Tapi sekarang semuanya sudah sampai
di tempat tujuan, tentu aku pun akan dapat beristirahat dengan nyenyak nanti malam."
Murong Huolin memandang kakak perempuannya dengan pandangan penuh perhatian, "Itu benar sekali, beberapa hari ini,
Enci Yun Hua tidak pernah bisa beristirahat dengan benar. Malam ini, Enci harus benar-benar menggunakan waktu untuk
beristirahat." "Enci Yun Hua, benarkah itu" Ah" tidak seharusnya Enci terlalu memaksakan diri, seharusnya Enci mengirimkan saja
seorang pembawa pesan dan aku bisa pergi ke sana untuk meminjam pedang ini. Apakah benar Enci tidak apa-apa?", ujar
Ding Tao dengan cemas. "Sungguh aku tidak apa-apa. Kalian tidak perlu terlalu kuatir, tubuhku tidak selemah yang kalian bayangkan.", jawab
Murong Yun Hua sambil tersenyum.
"Ah, kalau memang benar begitu tentu saja baik. Tapi kalau nona tidak keberatan, biarlah kuperiksa denyut nadi nona
sebentar. Jelek-jelek begini, aku orang tua mengerti sedikit ilmu pertabiban.", ujar Tabib Shao Yong dengan tersenyum
ramah. Murong Yun Hua tercenung dan sekilas lamanya saling bertatapan dengan Murong Huolin, kemudian dia ragu-ragu
menjawab, "Paman sungguh baik hatimu, namun sungguh aku tidak apa-apa. Rasanya tidak enak kalau sebagai tamu aku
terlalu banyak menyusahkan tuan rumah."
Giliran Ding Tao yang menyela, "Enci Yun Hua, janganlah memandang remeh kesehatan tubuh sendiri. Biarlah Tabib Shao
Yong memeriksa sebentar, jika ada resep untuk memperkuat tubuh apa salahnya nanti kami menyediakan. Justru kami
semua merasa sangat berhutang budi pada kalian sekeluarga. Jika sedikit apa yang bisa kami lakukan, kalian tolak, betapa kami merasa semakin susah hati saat bertemu dengan kalian."
"Soal itu?", Murong Yun Hua sekali lagi memandang Murong Huolin, seakan meminta pertimbangan atau bantuan.
Murong Huolin pun beberapa kali membuka mulut, seakan ingin berkata, namun tidak menemukan kata-kata yang tepat.
Tabib Shao Yong, tertawa ramah, kemudian dengan gerakan yang luwes, dia sudah menyentuh ringan denyut nadi Murong
Yun Hua. "Wah, sudahlah tidak perlu sungkan, aku ini sudah tua, kalau tidak diikuti kemauannya bisa kualat lho kalian nanti.",
ujarnya bergurau. Hanya sebentar saja Tabib Shao Yong menyentuh nadi Murong Yun Hua, Murong Yun Hua dan Murong Huolin belum sempat
mengatakan apa-apa ketika Tabib Shao Yong sudah pula mengangkat tangannya dan terdiam sejenak untuk berpikir. Kedua
gadis itu dan juga mereka yang ikut mendengarkan percakapan mereka hanya bisa memandang tabib tua itu dengan sedikit
cemas, karena raut wajah Tabib Shao Yong yang tampak cukup serius.
Sebentar kemudian Tabib Shao Yong pun menengadahkan kepala dan tersenyum pada sekalian orang yang memandangi
dirinya; "Hehehe, kalian ini kenapa" Tidak perlu cemas, Nona Murong tidak apa-apa. Tubuhnya lemah, mungkin karena
perjalanan yang jauh, tapi tidak kulihat ada tanda penyakit tertentu. Kalau boleh kusarankan, sebaiknya kita sediakan salah satu bangungan yang memang disediakan untuk sahabat-sahabat dekat yang datang berkunjung. Biar kutuliskan beberapa
resep untuk mengembalikan tenaga dan stamina."
"Hmmm" tabib tua, rupanya kau nakal juga. Jika tidak ada yang serius, mengapa berdiam diri dengna raut wajah semacam
itu, menakut-nakuti kami saja.", ujar Wang Xiaho dengan gemas dan disambut tawa oleh yang lainnya.
"Tabib Shao Yong benar, bagaimana menurut kalian berdua, apakah kalian berdua setuju" Kami pun akan merasa sangat
senang jika nona berdua bersedia menginap beberapa lama di tempat kami. Ketua kami sudah mendapat banyak
pertolongan dari kalian, biarlah kamipun membalasnya sebisa kami.", ujar Chou Liang dengan ramah.
Murong Yun Hua dan Murong Huolin yang tampaknya lega oleh jawaban Tabib Shao Yong dengan cepat menyetujui usulan
tersebut, tidak lupa pula mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas keramahan mereka.
Ding Tao pun menyambut kesediaan mereka untuk menginap dengan senyum senang. Memang ada kecanggungan untuk
berdekatan kembali dengan kedua gadis itu, namun sulit disangkal, hatinya pun merasa berbahagia dengan kedatangan
mereka. Pembicaraan antara dua orang tamu yang menyenangkan dan tuan rumah yang ramah, tentu saja berlangsung
cukup lama, bercakap-cakap dengan orang yang menyenangkan memang seringkali membuat kita lupa waktu. Tapi setiap
hal tentu ada waktu berakhirnya, demikian juga dengan perbincangan mereka.
Apalagi Ding Tao dan para pengikutnya tidak pernah tidak, selalu memiliki tugas di tiap-tiap harinya. Setelah mereka cukup lama berbincang, akhirnya mereka pun berpisah. Murong Huolin dan Murong Yun Hua diantar ke tempat peristirahatan oleh
beberapa orang pelayan wanita di tempat itu. Mereka diperlakukan dengan sangat ramah dan hormat. Sementara Ding Tao
dan yang lain pergi untuk mengerjakan tugas masing-masing.
Di luar sepengetahuan yang lain, diam-diam Chou Liang pergi menemui Tabib Shao Yong yang berjaga di toko obat milik
Partai Pedang Keadilan yang dia kelola.
"Tabib Shao Yong, apa kabar?", ujar Chou Liang sambil berjalan menuju ke meja tempat Tabib Shao Yong memeriksa
pasien-pasiennya. "Saudara Chou, baik-baik. Ada keperluan apa ke mari?", tanya Tabib Shao Yong sambil tersenyum lebar.
Chou Liang menunggu sampai pasien Tabib Shao Yong yang diperiksa pergi ke tempat para penjaga toko yang lain
meracikkan obat sesuai resep Tabib Shao Yong sebelum membungkuk dan berbisik, "Tentang du aorang Nona Murong?"
Kemudian orang yang sekarang menjadi penasihat dari Partai Pedang Keadilan itu pun duduk di kursi pasien, menghadap
Tabib Shao Yong dengan mata penuh selidik. Tabib Shao Yong pun menghela nafas, kemudian mengitarkan pandangannya
ke sekelilng ruangan. Ada beberapa orang yang membeli obat, namun pasien yang menunggu untuk dia periksa tidak ada.
Akhirnya Tabib Shao Yong melihat ke arah Chou Liang dan berkata, "Mari kita bicarakan saja di dalam."
Kemudian tanpa menunggu jawaban dari Chou Liang, Tabib Shao Yong berdiri dan pergi berjalan ke ruang dalam.
Ketika melewati salah seorang pekerja, dia berpesan, "A Chou, kalau ada pasien, suruh tunggu terlebih dahulu, aku ada
keperluan dengan seorang sahabat."
A Chou yang melihat Chou Liang dengan segera mengangguk. A Chou pun merupakan salah satu anggota Partai Pedang
Keadilan yang ditugaskan untuk membantu Tabib Shao yong, dengan sendirinya sudah cukup maklum dengan pesan Tabib
Shao Yong. Chou Liang mengangguk ramah pada A Chou sebelum mengikuti Tabib Shao Yong pergi ke ruang dalam.
Sepanjang perjalanan Tabib Shao Yong tidak mengatakan apa-apa, setelah sampai di ruangan yang dia maksud, Tabib Shao
Yong pun menunggu Chou Liang masuk dan segera menutup pintu ruangan.
Tapi Chou Liang justru tersenyum dan membuka pintu ruangan, katanya, "Kalau pintu tertutup dan ada orang yang sedang
mendengarkan, justru kita tidak tahu. Kalau pintu terbuka dan kita bicara perlahan-lahan, orang yang di luar tidak
mendengar dan sebaliknya kita pun akan segera tahu bila ada yang datang mendekat."
Tabib Shao Yong duduk dan tercenung sebentar memikirkan perkataan Chou Liang sebelum tertawa kecil dan memuji Chou
Liang, "Hahaha, tidak salah kalau Saudara Chou dipercaya untuk menjadi penasihat, segala urusan tentu Saudara Chou
Liang bisa melihat dari sisi yang berbeda dari orang kebanyakan."
"Hahaha, biasa saja, kelebihanku hanya sedikit usilan saja.", jawab Chou Liang sambil tertawa pula.
"Hahhh". Jadi Saudara Chou Liang memiliki pikiran yang sama denganku tentang kedua nona itu" Atau setidaknya tentang
salah satu dari mereka?", tanya Tabib Shao Yong.
"Oh itu tergantung, aku tidak tahu apa Tabib Shao Yong pikirkan, dengan sendirinya, tidak bisa pula mengatakan apakah
sama atau tidak.", jawab Chou Liang sambil tersenyum.
"Nah, coba dengarkan dulu apa yang kupikirkan tentang kedua orang nona itu. Keduanya jelas memiliki perhatian khusus


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada Ketua Ding Tao. Keduanya berasal dari keluarga yang memiliki kedudukan unik dalam dunia persilatan. Kukatakan
unik, karena semenjak mengikut Ketua Ding Tao, setiap waktu yang ada kupergunakan untuk mempelajari peta kekuatan
dunia persilatan dan tidak sedikitpun aku mendengar nama keluarga Murong muncul dalam penyelidikanku."
"Tapi dari pembicaraan kita tadi, bisa ditarik kesimpulan keluarga Murong adalah pembuat Pedang Angin Berbisik, berarti ada hubungan pula dengan Pendekar pedang Jin Yong, pemilik dari pedang pusaka tersebut. Aku pun sempat memeriksa
beberapa bingkisan yang lain, mereka memang tidak menyinggungnya, namun setiap barang yang ada, semuanya barang
dari kualitas pilihan. Jadi bisa disimpulkan keluarga Murong ini adalah keluarga yang cukup terpandang."
"Oh ya?" Aku justru tidak terpikir masalah itu.", ujar Tabib Shao Yong dengan kening berkerut.
"Saudara Chou Liang sebenarnya ke arah mana pembicaraan ini nantinya?", tanya tabib tua itu menyelidik.
Chou Liang menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dan mendesah, "Hmm" Tabib Shao Yong, kalau tidak salah
perhitunganku, apakah benar jika kukatakan bahwa Nona Murong Yun Hua sedang mengandung?"
Tabib Shao Yong memejamkan mata dan menghela nafas panjang sebelum kembali membuka matanya, "Benar sekali
katamu itu"darimana Saudara Chou Liang menebaknya?"
"Tentu saja dari melihat tindak tanduk, Tabib Shao Yong pada pertemuan itu. Juga sikap kedua nona itu yang tampak serba salah. Dari cara mereka bertindak, nampaknya mereka ingin menyembunyikan keadaan itu dari Ketua Ding Tao. Menurut
Tabib Shao Yong, apakah kemungkinan besar, ayah dari bayi itu adalah Ketua Ding Tao" Atau justru ayah dari bayi itu
bukanlah Ketua Ding Tao dan kedua nona itu ingin menyembunyikan hal itu darinya?", tanya Chou Liang segera setelah
menjelaskan. "Hmm" tanpa bertanya dengan Ketua Ding Tao tentu sulit untuk memastikannya. Namun bila ditilik dari umur kehamilan
dan waktu saat menghilangnya Ketua Ding Tao selama beberapa bulan dari dunia persilatan. Ada kemungkinan Ketua Ding
adalah ayah dari bayi itu.", jawab Tabib Shao Yong dengan serius.
"Jika benar demikian, menurut Tabib Shao Yong apa yang harus dilakukan oleh Ketua Ding Tao?", tanya Chou Liang.
"Hahh" apa ada hal lain yang bisa dilakukan, kecuali menikahi nona tersebut" Nona itu berasal dari keluarga yang
terhormat, betapa besar aib yang harus dia tanggung jika Ketua Ding Tao tidak segera menikahinya.", keluh Tabib Shao
Yong sambil membayangkan nasib dari Murong Yun Hua.
"Tabib Shao Yong, jika benar Ketua Ding Tao adalah ayah dari bayi itu, mengapa pula kedua nona itu berusaha
menyembunyikannya dari Ketua Ding Tao" Bukankah lebih masuk akal bila kedatangan mereka adalah untuk meminta
pertanggung jawaban Ketua Ding Tao?", tanya Chou Liang.
"Mungkin mereka merasa malu karena di sana ada banyak orang.", jawab Tabib Shao Yong.
"Hmm" jika demikian tentu setidaknya besok atau lusa Ketua Ding sudah mengetahui akan hal ini dan akan pergi untuk
meminta pertimbangan dari Tabib Shao Yong. ", ujar Chou Liang.
"Kukira demikian.", jawab Tabib Shao Yong sambil berpikir apa tujuan dari pembicaraan ini.
"Tapi bagaimana jika tidak terjadi hal seperti itu" Apakah mungkin itu artinya, anak yang dikandung Nona Murong bukanlah anak dari Ketua Ding Tao?", tanya Chou Liang lebih lanjut.
Alis Tabib Shao Yong berkerut, perlahan tabib itu menggeleng, "Mana mungkin demikian, kedua nona itu terlihat terpelajar dan terhormat, pula pandangan mereka tidak bisa menyembunyikan perasaan mereka pada Ketua Ding Tao. Meskipun bisa
jadi?", ujar Tabib Shao Yong yang kemudian terdiam oleh keraguannya.
"Bisa jadi karena keduanya kakak beradik dan mengasihi satu orang yang sama. Sehingga untuk menjaga perasaan sang
adik, sang kakak memilih untuk berdiam diri.", lanjut Chou Liang.
"Bisa jadi" tapi adiknya tentu tidak akan mengijinkan hal itu terjadi, keduanya terlihat rukun sebagai saudara. Tapi
mungkin" mungkin sekali, keduanya tahu pula akan perasaan Ketua Ding Tao terhadap Nona muda Huang Ying Ying. Jika
benar demikian" padahal jika mereka mengenal baik sifat Ketua Ding Tao dan memikirkan perasaannya" Bisa jadi?", Tabib
Shao Yong menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ikut pusing memikirkan masalah asmara dari orang-orang muda.
"Bisa jadi keduanya memilih diam untuk menjaga perasaan dan nama baik Ketua Ding Tao. Melupakan masalah nama baik
mereka sendiri. Dengan uang kukira mereka tidak akan kesulitan untuk menutup masalah ini dan membesarkan anak itu
sendirian.", ujar Chou Liang.
"Menurut Saudara Chou Liang, apakah seperti itu yang mereka pikirkan" Lalu bagaimana dengan putera atau puteri Ketua
Ding Tao" Bagaimana pula nasib kedua orang nona muda Murong itu" Saudara Chou Liang, engkau datang ke mari tentu
karena sudah memiliki satu pemikiran, coba ceritakan pemikiran itu padaku.", ujar Tabib Shao Yong penuh harap.
"Tabib Shao, tentang masalah partai memang Ketua Ding Tao akan mencari nasihat padaku. Tapi mengenai masalah ini,
sudah jelas Ketua Ding akan mencari dirimu, selain sebagai orang yang dituakan, dirimu juga orang yang terdekat setelah gurunya Tetua Gu Tong Dang. Selain itu, bila kedua gadis itu memutuskan untuk menyimpan rahasia ini, sekali lagi, hanya Tabib Shao Yong yang bisa menyampaikannya pada Ketua Ding Tao. Jadi?"
"Jadi bagaimana?", tanya Tabib Shao Yong memburu.
"Jadi jika menurut Tabib Shao Yong, Ketua Ding Tao harus bertanggung jawab masalah ini, maka Tabib Shao Yong
sebaiknya segera menemui Ketua Ding Tao dan membicarakan masalah ini dengannya.", ujar Chou Liang.
"Untuk itukah kau datang ke mari?", tanya Tabib Shao Yong.
"Ya" begitulah. Tabib Shao Yong, mungkin apa yang kupikirkan tidak semurni pikiran Tabib Shao. Yang kupikirkan adalah
kedudukan partai kita dan keuntungan bagi partai kita jika Ketua Ding Tao menikah dengan Nona Murong Yun Hua. Selain
keuntungan dalam bentuk sokongan harta dan hal-hal lain, pernikahan juga akan memantapkan kedudukan Ding Tao
sebagai seorang yang mapan bukan seorang pemuda yang baru keluar sekolah. Apalagi Nona Murong Yun Hua, jelas adalah
seorang gadis yang memiliki banyak kelebihan."
"Permasalahannya akan terletak pada perasaan Ketua Ding Tao pada Nona muda keluarga Huang. Bukan hanya perasaan
cinta tapi juga ada perasaan bersalah dan keinginannya untuk setia menanti kabar tentang keselamatan Nona muda Huang.
Padahal kenyataannya, bisa jadi Tiong Fa hanya membual saja pada waktu itu.", ujar Chou Liang.
"Apakah Saudara Chou Liang belum mendapatkan sedikitpun kabar mengenai nona dan tuan muda Huang?", tanya Tabib
Shao Yong. Chou Liang menggelengkan kepala, "Bukan aku tidak berusaha, namun jejaknya memang sulit ditemukan. Ada
kemungkinan Tiong Fa memang menyelamatkan mereka, tapi kalaupun benar demikian, maka bila Ketua Ding Tao menikah
dengan Nona Murong Yun Hua, ada kemungkinan Tiong Fa akan membebaskan mereka."
"Maksud Saudara Chou bagaimana?", tanya Tabib Shao Yong.
"Tiong Fa menahan kedua orang bersaudara itu karena dia maklum akan perasaan Ding Tao pada Nona muda Huang Ying
Ying. Tapi jika didengarnya Ketua Ding Tao menikah, bukankah harga dari Nona muda Huang Ying Ying jadi turun di
matanya" Daripada menyimpan kedua orang bersaudara itu, sementara dia tidak akan dapat menggunakan mereka untuk
menekan Ketua Ding Tao, bukankah lebih baik melepaskan mereka berdua. Sedikitnya dia akan menanamkan budi pada
Ketua Ding Tao. Secara licik dan melihat sifatnya yang picik, mungkin juga dia ingin melihat Ketua Ding Tao dipermalukan oleh Nona muda Huang Ying Ying yang marah setelah mendengar berita pernikahan itu."
Tabib Shao Yong menjawab dengan sedikit gemetar, "Saudara Chou Liang, tahukah kau di mana aku berdiri saat ini. Di satu sisi ada Nona Murong Yun Hua dan putera Ketua Ding Tao dalam kandungannya. Di sisi lain ada Nona muda Huang Ying
Ying" Apa yang harus kulakukan coba?"
Chou Liang terdiam beberapa lama, menunggu Tabib Shao Yong mereda pergolakan hatinya, kemudian dengan hati-hati dia
menjawab, "Tabib Shao Yong, bukankah dari uraian tadi sudah cukup jelas, menikahkan Ding Tao dengan Nona Murong Yun
Hua adalah keputusan, yang bukan saja baik bagi Nona Murong Yun Hua, tapi juga memiliki keuntungan buat Nona muda
Huang Ying Ying juga, itu bila benar Nona muda Huang Ying Ying masih hidup dan saat ini berada dalam sekapan Tiong Fa."
"Tapi apa yang akan terjadi, bila benar Nona muda Huang Ying Ying masih hidup dan kemudian dibebaskan hanya untuk
mendapati Ketua Ding Tao sudah menikah dengan Nona Murong Yun Hua?", tanya Tabib Shao Yong.
"Apa salahnya bila Ketua Ding Tao memiliki dua atau bahkan tiga orang isteri" Meskipun bukan sesuatu yang ideal, namun
juga bukan sesuatu yang melanggar adat istiadat. Sudah lumrah bila seorang laki-laki yang berkedudukan tinggi memiliki
lebih dari satu isteri. Bukankah Sun Liang dari Luo Yang yang terkenal akan budinya itu pun memiliki tiga isteri?", jawab Chou Liang dengan sabar.
"Ada baiknya juga jika Tabib Shao Yong, mendiskusikan hal ini dengan Nona Murong Yun Hua, jika benar kedua nona itu
memilih untuk diam demi menjaga perasaan Ketua Ding Tao, kukira bisa diatur agar saat Nona muda Huang benar-benar
muncul, maka Nona muda Huang akan berkedudukan sebagai isteri pertama. Bukankah Ketua Ding Tao lebih dahulu
berkenalan dengan Nona muda Huang" Kukira ini bisa jadi jalan tengah yang terbaik bagi kita semua.", bujuk Chou Liang.
Tabib Shao Yong terdiam beberapa lama, merenungi pilihan-pilihan yang ada, kemudian akhirnya dia pun menyerah pada
keadaan. "Saudara Chou Liang, aku tidak dapat memikirkan pemecahan yang lebih baik dari yang kau usulkan. Baiklah, malam ini
aku akan menemui Ketua Ding Tao dan berusaha membicarakan masalah ini dengannya.", ujar tabib tua itu dengan sedikit
lemah. "Maaf Tabib Shao Yong, kukira lebih baik justru Tabib Shao Yong berbicara dengan Nona Murong Yun Hua terlebih dahulu.", sela Chou Liang.
"Oh mengapa demikian?", tanya Tabib Shao Yong.
"Saat nanti Tabib Shao Yong membicarakan hal ini dengan Ketua Ding Tao, tentunya Ketua Ding tidak akan bisa mengambil
keputusan dengan segera. Untuk meyakinkan Ketua Ding Tao, Tabib Shao Yong pun akan menggunakan berbagai alasan
seperti tadi yang sudah kuceritakan. Antara lain demi kebaikan Nona muda Huang sendiri, juga tentang kedudukan Nona
muda Huang sebagai isteri pertama."
"Hmm" kurasa begitu", jawab Tabib Shao Yong sambil mendengarkan.
"Nah, jika setelah itu Ketua DIng Tao akhirnya setuju, lalu Tabib Shao Yong menemui Nona Murong Yun Hua dan
menjelaskan apa-apa yang ktia bicarakan tadi. Tentu nona muda itu pun akan bertanya, apakah Tabib Shao Yong sudah
menemui Ketua Ding Tao. Jika ditanya demikian apa jawab Tabib Shao Yong?", tanya Chou Liang menyelidik.
"Eh" tentu saja kukatakna kalau aku sudah bertemu dengan Ketua Ding Tao dan dia setuju.", jawab Tabib Shao Yong
dengan heran. Sambil tersenyum Chou Liang pun berkata, "Jika demikian, bukankah dalam benak Nona Murong Yun Hua akan muncul
pikiran bahwa tindakan Ketua Ding Tao bersumber dari rasa cintanya pada Nona muda Huang bukan karena Ketua Ding Tao
mengasihi dirinya. Pikiran seperti itu bisa jadi menyulut rasa cemburu dan sakit hati Nona muda Murong."
"Wah, kalau begitu akan kujawab tidak", ujar Tabib Shao Yong.
"Hahaha, begitu pun kurang baik, dari waut wajah Tabib Shao Yong, tentu Nona muda Murong akan merasakan bahwa
Tabib Shao Yong sedang berbohong. Tabib Shao Yong orang yang jujur, ketika berbohong hal itu dengan mudah nampak di
wajah Tabib Shao.", jawab Chou Liang sambil tertawa kecil.
"Astaga" apakah benar begitu" Baiklah kalau begitu kukira aku akan menemui Nona Murong Yun Hua terlebih dahulu. Tapi
Saudara Chou Liang, dengan membujuk Nona Murong Yun Hua memakai uraianmu, bukankah sama juga pada akhirnya kita
bisa dianggap lebih mementingkan diri Nona muda Huang daripada dirinya?"
"Ada persamaannya ada pula perbedaannya. Karena hal ini terjadi sebelum Ketua Ding Tao tahu, maka Nona Murong Yun
Hua akan memandang hal ini sebagai pengorbanan dari pihaknya. Bukan merupakan permintaan Ketua Ding Tao pada
dirinya untuk berkorban. Hal ini tentu jauh sekali perbedaannya, antara menyerahkan sesuatu karena kerelaan, dengan
menyerahkan sesuatu karena terpaksa.", jawab Chou Liang sambil tersenyum.
"Hmm hmm" ya" ya" kukira aku sedikit mengerti.", gumam Tabib Shao Yong.
Memandangi Chou Liang yang tersenyum-senyum, Tabib Shao Yong pun menggelengkan kepala sambil berujar, "Saudara
Chou Liang, aku tidak tahu apakah aku harus merasa kagum padamu atau merasa takut padamu. Keputusanmu ini
sebenarnya bukan didasari atas perasaan kasihan pada kedua nona itu bukan" Hanya karena menimbang untung dan rugi,
namun pertimbanganmu sungguh melampaui pertimbanganku yang sudah tua ini."
Chou Liang tercenung sejenak kemudian sambil menganggukkan kepala dia menjawab dengan serius, "Memang tidak salah
jika Tabib Shao Yong mengatakan demikian. Memang jika dilihat sepintas sepertinya siauwtee ini orang yang tidak
berperasaan. Tapi jangan salah, bukannya siauwtee tidak bersimpati dengan kedua orang nona itu, hanya saja saat ini
dalam pikiran siauwtee hanya ada Ketua Ding Tao saja."
"Berpuluh tahun siauwtee hidup dan belajar, namun tidak ada seorangpun yang menghargai kerja keras dan bakat
siauwtee. Sampai tiba-tiba siauwtee dipertemukan dengan Ketua Ding Tao. Bukan saja beliau menghargai bakat siauwtee,
tapi juga diri siauwtee sebagai manusia. Perasaan ini sungguh sulit diungkapkan, namun sejak pertemuan itu siauwtee
sudah bersumpah dalam hati akan bekerja sekeras mungkin demi kejayaan ketua Ding Tao.", demikian Chou Liang
menjawab dengan bersungguh-sungguh.
Tabib Shao Yong yang mendengarkan jadi ikut terharu lalu berkata pula dengan setengah bercanda untuk meringankan
suasana, "Hehehe, sungguh tak kusangka Ding Tao yang dulu begitu pemalu bisa menjadi seorang pemimpin yang memiliki
sekian banyak pengikut."
Chou Liang tersenyum, "Ya" kukira banyak juga mereka yang mengenal Ketua Ding Tao sejak masa kecilnya merasakan hal
yang sama. Sayangnya terkadang hal itu jadi membuat kalian sulit untuk mengenali dirinya yang sekarang ini. Seorang
pemuda yang memiliki kharisma untuk menjadi seorang pemimpin besar."
"Benarkah demikian" Saudara Chou Liang, mendengar perkataanmu aku jadi berpikir pula, sebenarnya tanpa Ding Tao pun
kau bisa menjadi seorang yang sukses tapi mengapa kau menunggu sampai bertemu orang seperti dia sebelum mulai aktif
bekerja?", ujar Tabib Shao Yong yang mulai menikmati percakapannya dengan Chou Liang.
"Tabib Shao, setiap orang memiliki tempatnya sendiri-sendiri, menurutku pribadi, orang semacam diriku dan dirimu, juga
orang seperti Tiong Fa dan Tuan besar Huang Jin, tidaklah ditakdirkan untuk menjadi seorang pemimpin yang besar. Kita
bisa jadi sukses menjadi pemimpin kecil, namun jangan berharap menjadi besar. Menjadi kepala ayam tapi jangan berharap
menjadi kepala naga."
"Hmm" aku pernah mendengar ucapan lebih baik jadi kepala ayam daripada ekor naga. Menurut Saudara Chou Liang
bagaimana?", tanya Tabib Shao Yong.
"Itu relatif, tergantung kita saja bagaimana memandangnya. Namun semut yang kecil bisa membuat sarang yang setinggi
kepala anak-anak, itu dapat dilakukan karena semut mau bekerja sama. Demikian pula manusia, jika ingin melakukan satu
pekerjaan besar, maka tidak mungkin bekerja sendirian, melainkan haruslah dikerjakan bersama-sama. Dan hanya seorang
pemimpin yang besar yang memungkinkan hal itu bisa dilakukan. Seorang yang berjiwa pemimpin akan mampu
menyatukan berbagai macam orang untuk bekerja sebagai satu kesatuan.", jawab Chou Liang.
"Dan menurutmu Ding Tao memiliki hal itu" Hehh". Sebenarnya apa yang membuat seseorang menjadi pemimpin" Saat dia
masih kecil tidak pernah lewat dalam pikiranku bahwa dia bakal menjadi seorang pemimpin."
"Ding Tao belumlah menjadi seorang pemimpin yang sempurna, dalam artian dia memiliki kekurangannya juga. Namun dia
memiliki beberapa syarat yang membuat dia menjadi sosok pemimpin yang tepat. Yaitu yang pertama, kepeduliannya pada
orang banyak, kepedulian yang kemudian mendorong dia untuk membentuk satu cita-cita yang wawasannya melingkupi
kepentingan orang banyak. Dan yang kedua adalah, keyakinannya yang sangat kuat pada cita-cita yang dia miliki."
"Dua hal ini saja tentu belumlah cukup, namun dua hal ini yang membedakan Ketua Ding Tao dengan kebanyakan tokoh
persilatan yang lain. Kemudian didukung dengan beberapa hal seperti, sifatnya yang jujur, lurus dan terbuka. Bakat dan
ilmunya yang tinggi dalam bidang ilmu silat. Maka jadilah dia seorang yang pantas untuk menjadi pemimpin dunia
persilatan.", ujar Chou Liang berusaha menjelaskan.
"Jika hanya berpatokan pada kharisma dan kemampuan ilmu silat saja, mungkin banyak ketua partai dan tokoh-tokoh lain
yang bisa menyamai. Namun keluasan pandangan Ketua Ding Tao, agaknya hal inilah yang menjadi kelebihannya yang sulit
ditandingi. Kebanyakan ketua partai, cenderung hanya memikirkan kepentingan partainya sendiri. Dengan sendirinya, cita-
cita dan pandangan yang mereka miliki hanya mampu membuat tertarik orang-orang dalam partainya tapi tidak untuk
mereka yang ada di luar partainya."
Mendengarkan penjelasan Chou Liang, Tabib Shao Yong pun hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala.
"Hehh" uraianmu masuk akal juga. Orang mau mengikuti Ding Tao karena merasa apa yang menjadi pemikirannya,
terwakili oleh pemikiran Ding Tao. Hal itu hanya mungkin terjadi karena Ding Tao memiliki pemikiran yang luas dan tidak berpusat pada diri sendiri.", ujar tabib tua itu sambil memikirkan kembali ucapan Chou Liang.
"Selama ini setiap orang yang bekecimpung dalam dunia persilatan, memikirkan sebutan dan nama besar. Setiap
perkumpulan hanya berpikir untuk menjadi yang terbesar dan setiap jagoan yang hidup lepas dari perkumpulan, mengincar
gelar nomor satu di dunia" Tapi Anak Ding berbeda, dia belajar ilmu silat bukan untuk menjadi yang terkuat?", gumam
Tabib Shao Yong seorang diri.
"Hehehe, tak kusangka, kepribadian seperti itu bisa juga jadi seorang pemimpin.", ujar Tabib Shao Yong sambil terkekeh.
"Ya", dan kukira hampir semua jenis pemimpin besar, berawal dari kepeduliannya yang besar. Berawal dari kebesaran
jiwanya yang tidak berpusat pada memikirkan diri sendiri, melainkan memperhatikan kepentingan yang lebih luas.", jawab
Chou Liang sambil menganggukkan kepala.
"Saudara Chou" baiklah, aku merasa lebih mantap sekarang. Masalahnya bukan hanya perasaan hati tapi juga kepentingan
yang lebih luas. Meskipun sepertinya tidak memiliki perasaan" tapi selain aku tidak boleh bersikap tidak adil dengan lebih mementingkan perasaan Nona muda Huang, kenyataannya memang dari segala segi pertimbangan yang terbaik adalah bila
Ketua Ding Tao bersedia menikahi Nona Murong Yun Hua.", ujar Tabib Shao Yong dengan hati berat.
"Tabib Shao Yong, terima kasih sudah mau mengerti. Meskipun demikian, pastikanlah sekali lagi bahwa yang dikandung itu
adalah benar putera dari Ketua Ding Tao. Dengan demikian hatimu pun akan jauh lebih yakin dan tidak terbeban oleh
perasaan bersalah pada Nona muda Huang.", ujar Chou Liang.
Tabib Shao Yong pun memandangi Chou Liang dan Chou Liang menjelaskan, "Aku yakin, Nona muda Huang akan mengerti
keadaan Ketua Ding Tao. Apalagi jika benar anak yang dikandung oleh Nona Murong Yun Hua adalah anak dari Ketua Ding
Tao, maka aku yakin Nona muda Huang juga akan menghendaki pernikahan mereka berdua."
Tabib Shao Yong merenung dan menganggukkan kepala, dalam hati dia membatin, "Benarkah demikian" Kalaupun benar,
bukankah hatinya tetap akan sakit juga?"
Tapi pada masa itu memang hal yang lumrah jika seorang laki-laki memiliki beberapa isteri. Dengan sendirinya keberatan
yang muncul dalam hati pun tidaklah terlampau besar. Banyak pula wanita yang lebih bisa menerima keadaan ini, meskipun
mungkin dalam hati ada juga setitik penolakan.
Setelah mendapatkan kunjungan dari Chou Liang, Tabib Shao Yong pun mulai memikirkan apa yang harus dia lakukan.
Keesokan paginya, Tabib Shao Yong pergi berkunjung ke tempat rombongan dari Keluarga Murong beristirahat. Dengan
dalih ingin memeriksa kesehatan Murong Yun Hua ditambah umurnya yang sudah tua, tanpa banyak menarik perhatian orang Tabib Shao Yong pun berhasil bertemu dengan Murong Yun Hua secara pribadi.
Setelah berbasa-basi sejenak dan menunggu tidak ada orang lain yang hadir dalam pembicaraan mereka, dengan hati-hati
Tabib Shao Yong bertanya, "Maafkan bila orang tua ini terlalu banyak bertanya, Nona Murong Yun Hua", benarkah nona
sedang dalam keadaan" eh" mengandung?"
Murong Yun Hua dan Murong Huolin sudah berkali-kali membicarakan tentang Tabib Shao Yong dan kehamilan Murong Yun
Hua. Mulai dari kemungkinan yang terburuk hingga kemungkinan yang baik, mereka pun sedikit banyak sudah bertanya-
tanya, siapakah Tabib Shao Yong tersebut. Jawaban-jawaban yang mereka dengar, tidak juga membuat hati mereka merasa
tenang. Benar memang Tabib Shao Yong tampaknya adalah orang yang bisa dipercaya, tapi Tabib Shao Yong juga pengikut
keluarga Huang yang setia. Bahkan dikatakan dekat pula dengan Ding Tao dan Huang Ying Ying, jika benar demikian apakah
kemudian tabib tua itu akan marah dengan Ding Tao yang tidak setia pada Huang Ying Ying"
Karena itu ketika Tabib Shao Yong datang berkunjung, hati mereka sudah berdebar. Di luar mereka berusaha tampil
setenang mungkin, namun dalam hati selalu ada pertanyaan, apa maksud kedatangan dari tabib tua ini"
Begitu mendengar pertanyaan Tabib Shao Yong yang cukup terbuka tanpa ditutup-tutupi, kagetlah kedua gadis itu, sebelum
membuka mulut untuk menjawab, muka mereka pun memucat terlebih dahulu.
Tabib Shao Yong yang melihat reaksi dari kedua orang gadis itu buru-buru menenangkan mereka, "Nona-nona sekalian
jangan salah sangka, aku orang tua tidak memiliki pikiran yang buruk tentang kalian berdua. Aku pun tidak memiliki niatan yang buruk. Jika aku bertanya itu muncul dari kepedulianku sebagai seorang yang sudah tua, seorang yang menganggap
Ketua Ding Tao sebagai puteraku sendiri."
"Mungkin caraku menyampaikannya membuat kalian terkejut dan merasa risih, namun setelah kupikirkan lama tidak
kutemukan cara lain yang lebih baik untuk membciarakan masalah ini, selain dengan saling terbuka dan jujur tanpa
menutupi apa-apa.", ujar Tabib Shao Yong ketika melihat kedua gadis itu sudah melampaui rasa terkejut mereka.
"Tabib Shao Yong" kemarin kau sudah memeriksa nadiku, kurasa aku tidak mungkin menyembunyikan hal ini darimu.
Memang benar aku sedang mengandung, namun yang aku belum mengerti, apa urusannya hal itu dengan Tabib Shao?",
jawab Murong Yun Hua dengan nada bertanya.
Bagaimanapun kedudukan Murong Yun Hua tidaklah menyenangkan, hamil di luar nikah, apa pendapat orang mengenai
dirinya" Tapi hendak mengelak pun sudah tidak bisa. Tabib Shao Yong berusaha memahami perasaan gadis ini dan berpikir
keras untuk tidak menyinggungnya dengan kata-kata yang dia ucapkan.
"Maafkan aku Nona muda " sesungguhnya memang terlalu usil bila aku bertanya-tanya. Hanya saja aku memberanikan diri
untuk bertanya, meskipun dalam hati merasa malu, itu semua karena aku sudah menganggap Ketua Ding Tao seperti
puteraku sendiri. Kulihat, di antara kalian berdua" ada" ada hubungan yang khusus" sementara usia kehamilan nona,
bertepatan pula dengan saat menghilangnya Ketua Ding Tao setelah dia melarikan diri dari Kota Wuling.", ujar Tabib Shao Yong dengan berhati-hati.
"Apakah" apakah benar tebakanku, bahwa" bahwa anak yang nona kandung adalah anak dari Ketua Ding Tao?"
Murong Yun Hua mengalihkan pandangan ke arah Murong Huolin, tapi Murong Huolin pun tidak tahu harus menjawab apa.
Keduanya terdiam, membiarkan Tabib Shao Yong menanti dan menebak-nebak sendiri jawaban dari pertanyaannya.
"Nona Murong Yun Hua, jika benar, anak itu adalah anak dari Ketua Ding Tao, bukankah sebaiknya Nona memberitahukan
hal itu padanya. Tidak baik jika anak itu sampai dilahirkan tanpa ayah. Jika nona merasa kesulitan untuk menceritakan hal itu pada Ketua Ding Tao, biarlah aku membantu nona untuk menyampaikannya pada Ketua Ding Tao."
"Jangan"!", sergah Murong Yun Hua begitu dia mendengar Tabib Shao Yong hendak menyampaikan berita itu pada Ding
Tao. "Jangan beritahukan tentang kehamilanku pada Adik Ding Tao?", ujar Murong Yun Hua dengan nada isak yang tertahan.
Sepasang matanya yang bening mulai berkilauan oleh air mata yang mengembeng di pelupuk mata. Tabib Shao Yong pun
terdiam untuk sesaat. Dengan gerakan yang anggun Murong Yun Hua menyusut air mata yang hendak jatuh, kemudian
dengan nada yang lebih terkendali dia mengulangi perkataannya.
"Tabib Shao Yong, kumohon, rahasiakanlah hal ini dari Adik Ding Tao, jangan beritahukan apa pun padanya.", ujar Murong
Yun Hua dengan tubuh tegak dan mata menatap Tabib Shao Yong.
"Duh" nona" mengapa" Apakah mataku yang tua ini salah melihat" Bukankah kalian berdua saling mencinta" Atau
salahkah dugaanku bahwa anak yang nona kandung adalah anak Ketua Ding Tao" Coba katakanlah mengapa, apa sebabnya
nona melarang, supaya hati orang tua ini bisa tenang.", ujar tabib tua itu dengan sungguh-sungguh.
Murong Yun Hua menghela nafas, hatinya terasa berat untuk menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dengan Ding
Tao. Bagaimanapun juga dia berusaha menerima, kejadian itu tetaplah satu pengalaman yang menyakitkan bagi dirinya.
Lama dia menundukkan kepala. Saat dia menengadahkan kepala, Tabib Shao Yong masih duduk di hadapannya, dengan
pandangan mata yang menyorotkan belas kasihan. Betapa Murong Yun Hua berharap, kedatangan tabib tua itu hanya
permainan angan-angannya belaka, dan saat dia menengadahkan kepala tidak ada siapa-siapa di sana, kecuali dirinya dan
adiknya Huolin. "Tabib Shao Yong" tidak salah dugaan Tabib, bahwa aku mencintai Adik Ding Tao dengan sepenuh hatiku dan anak yang
ada dalam kandunganku ini adalah anaknya. Namun ada hal-hal yang Tabib Shao Yong tidak mengerti dalam hubungan
kami berdua.", dengan berat Murong Yun Hua pun mulai menceritakan tentang bagaimana hubungan antara dirinya dan
Ding Tao bermula. Sejak pertemuan mereka untuk pertama kalinya, cerita Ding Tao tentang Pedang Angin Berbisik dan sumpah Murong Yun
Hua sebagai keturunan dari pembuat pedang tersebut, penolakan Ding Tao hingga malam terjadinya hubungan di antara


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka berdua. Tentu saja tidak disampaikan secara rinci, meskipun demikian cukuplah cerita Murong Yun Hua itu
memberikan gambaran pada Tabib Shao Yong mengenai apa yang telah terjadi. Mulai dari penolakan Ding Tao dan
kekecewaan yang dirasakan kedua gadis bermarga Murong itu, hingga bagaimana mereka belajar untuk menerima
keputusan Ding Tao dan mencintainya dari kejauhan.
"Oleh karena itu Tabib Shao" kuharap kau mengerti, janganlah kau ceritakan hal ini pada Adik Ding Tao. Kami sudah
merasa bahagia dengan adanya bayi kecil dalam kandunganku ini. Biarlah dia menjadi pelipur lara, pengingat kami akan
cinta kami dan pengganti kehadirannya yang tidak akan pernah hadir dalam hidup kami. Karena hatinya sudah ada yang
memiliki.", ujar Murong Yun Hua menutup penuturannya.
Murong Huolin hanya bisa menundukkan kepala dengan wajah yang terkadang terasa panas oleh rasa malu. Terkadang
gadis yang pemberani ini justru merasa kagum pada keberanian encinya yang terlihat pendiam. Jika dia yang berada di
posisi Murong Yun Hua, tidak terbayang apa yang harus dia katakan atau bahkan apakah dia bisa berkata-kata.
Tabib Shao Yong pun memandangi kedua gadis itu bergantian, sebelum kemudian menundukkan kepala. Di wajah kedua
gadis itu, terbayang wajah Huang Ying Ying. Tabib tua itu pun dalam hati menggelengkan kepala dan bertanya-tanya,
mengapa nasib mempermainkan muda-mudi dengan jerat-jerat cinta. Beberapa saat kemudian tabib tua itu pun menghela
nafas dan bertanya. "Nona Murong Yun Hua, mungkin benar dalam hati Ketua Ding Tao sudah ada Nona muda Huang Ying Ying, tapi kurasa di
dalam hatinya juga ada nona berdua. Hal itu dapat kulihat saat kalian saling berjumpa. Mungkin bukan sesuatu yang ideal, namun apa salahnya seorang lelaki memiliki lebih dari satu orang isteri" Bukankah lebih baik demikian daripada harus ada yang terluka hatinya, lebih baik berbagi dan saling mengasihi daripada harus ada yang mengalah?", ujar tabib tua itu
kepada kedua nona muda yang ada di hadapannya.
Dalam hatinya Tabib Shao Yong membayangkan apa yang akan dikatakan Chou Liang. Chou Liang meminta agar Tabib Shao
Yong bisa mengatur pernikahan Ding Tao dengan Murong Yun Hua, entah apa reaksinya jika nanti dia tahu bahwa bukan
hanya Murong Yun Hua saja tapi juga adiknya pun akan dinikahi oleh Ding Tao.
"Tabib Shao Yong, aku ini hanya seorang janda muda, masakan aku hendak keberatan jika Adik Ding Tao menghendaki aku
menjadi isteri kedua atau ketiganya" Masakan Tabib Shao Yong tidak memahami pula watak dari Adik Ding Tao?", tanya
Murong Yun Hua dengan kepala tertunduk.
"Hehhh" Ding Tao masih sangat muda apalagi saat dia baru bertemu dengan nona berdua. Kurasa pendiriannya sebenarnya
sudah berubah. Sejak bencana yang terjadi atas keluarga Huang di Kota Wuling, wawasannya jauh berubah. Dia sudah
merasakan sendiri, betapa kematian bisa datang sewaktu-waktu, menjemput orang yang kita kasihi. Aku yakin, jika
sekarang aku berbicara dengannya, dia pasti akan menerima usulanku ini.", ujar tabib tua itu dengan hati-hati.
"Apakah Tabib Shao Yong sudah pernah membicarakan hal ini dengan Ketua Ding Tao" Apakah maksud Tabib Shao Yong,
karena sekarang nona muda Huang sudah meninggal maka Ketua Ding Tao akan menerima kami berdua?", tanya Murong
Yun Hua dengan wajah yang masih tertunduk.
Jika Shao Yong belum pernah bercakap-cakap dengan Chou Liang mungkin tidak terpikir olehnya, bahwa jawaban yang dia
berikan bisa memiliki berbagai macam arti. Pertanyaan Murong Yun Hua pun tentu akan dengan mudah dijawab olehnya.
Namun justru Chou Liang sudah bercakap-cakap panjang dengannya, sehingga sekarang tabib tua itu pun memutar otak,
menganalisa pertanyaan Murong Yun Hua dan jadi ragu-ragu untuk menjawab dengan segera.
"Nona Murong, tentang Ketua Ding Tao sendiri, aku belum pernah menyinggung-nyinggung sedikitpun tentang masalah ini
dengannya.", ujar Tabib Shao dengan cepat, menjawab pertanyaan yang termudah.
Kemudian perlahan-lahan Tabib Shao Yong berusaha menjawab pertanyaan kedua dengan berhati-hati, "Kemudian tentang
perasaan Ketua Ding Tao pada nona berdua, sebagai orang yang mengenalnya dengan baik. Aku sangat yakin bahwa diapun
mencintai nona berdua. Jika dia meragu, itulah karena wataknya yang lurus, tapi aku yakin di lubuk hatinya yang terdalam, diapun ingin bisa hidup bersama dengan nona berdua. Kuharap kesalahannya di masa lalu, tidak membuat nona berdua
mengeraskan hati, justru saat kesempatan untuk hidup bahagia bersama terbuka bagi kalian."
Di lain tempat, Chou Liang sedang bercakap-cakap dengan Ding Tao. Mereka berdua baru saja selesai membicarakan hasil
laporan dari Song Luo, orang tua yang tadinya lebih banyak mengetahui tentang bumbu dapur daripada tokoh-tokoh dunia
persilatan, sekarang sudah berubah menjadi pustaka mengenai tokoh-tokoh dunia persilatan yang ada. Ketekunannya
membuahkan hasil, meskipun Song Luo bukan orang yang berotak jenius, namun hal itu bisa ditutupi dengan ketekunan
dan ketelitiannya. Song Luo ternyata menjadi pasangan yang serasi dengan Chou Liang.
Kecerdikan Song Luo lebih terarah pada kecerdikan yang praktis. Sebagai seorang yang hidup dari membuka warung dan
menjual makanan, hal itu adalah bagian dari hidupnya, dan Chou Liang dengan bijak bisa mengarahkan Song Luo agar dia
dapat menggunakan kelebihan-kelebihan yang dia miliki dalam menjalankan tugasnya.
Ding Tao pun terlihat puas dengan kemajuan yang mereka capai, meskipun hatinya sedih karena bulan-bulan sudah berlalu
namun kabar mengenai Tiong Fa, apalagi mengenai Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu tidak juga didapatkan.
"Hhh". Kakak Chou Liang, apakah menurutmu, pada saat itu Tiong Fa hanya menggertak saja" Apakah menurutmu aku
hanya ditipu mentah-mentah oleh pengkhianat itu?", tanya Ding Tao waktu itu.
"Ketua Ding Tao, soal itu jangan lagi dipikirkan. Orang ini memang licin seperti belut, tapi keputusan Ketua Ding Tao waktu itu adalah keputusan yang terbaik. Aku yakin semua yang hadir pada saat itu bisa memahami dan sepenuhnya setuju
dengan keputusan Ketua Ding Tao.", jawab Chou Liang dengan diplomatis.
"Hmm" kuharap begitu?", ujar Ding Tao dengan lemah, jawaban Chou Liang menyiratkan bahwa dugaan Ding Tao
kemungkinan besar benar, Tiong Fa hanya mempermainkan mereka.
"Jangan kuatir Ketua Ding Tao, meskipun dunia ini lebar, namun tetap ada batas-batasnya, lagipula ada perkataan jaring
keadilan dari langit tidak pernah luput menangkap orang yang bersalah. Sepandai-pandainya Tiong Fa, satu saat nanti dia akan jatuh juga.", hibur Chou Liang.
"Daripada membicarakan orang yang menyebalkan itu, mengapa tidak membicarakan hal lain yang lebih menyenangkan?",
tanya Chou Liang. "Hai" apa maksud Kakak Chou Liang?", tanya Ding Tao dengan alis terangkat.
"Hahaha, Ketua Ding Tao jangan pura-pura tidak tahu. Maksudku tentu saja kedua nona dari keluarga Murong itu, bukankah
keduanya menyenangkan bagi mata dan menyenangkan pula bagi telinga. Daripada Ketua Ding Tao memikirkan Tiong Fa,
tidak ada salahnya jika Ketua Ding Tao mengunjungi kedua nona itu dan bercakap-cakap dengan mereka.", goda Chou
Liang sambil tertawa lebar.
"Kakak Chou Liang, jangan menggodaku.", ujar Ding Tao sambil tersipu malu.
Melihat reaksi Ding Tao Chou Liang pun tertawa makin keras, "Ketua Ding Tao, tak kusangka ternyata kau pun memiliki
kelemahan. Pendekar lain ada yang takut pedang ada pula yang takut racun tapi ketua kami berbeda, dia takut perempuan
muda dan cantik." "Kakak Chou Liang, janganlah berbicara sembarangan, kedua nona itu berasal dari keluarga yang terhormat. Janganlah
bercanda secara keterlaluan.", ujar Ding Tao dengan wajah memerah karena malu.
"Ah ya" baiklah, baiklah. Maafkan aku, kedua nona itu jelas memang dua orang nona yang terhormat, cara mereka
berbicara dan berperilaku sungguh menunjukkan hal itu. Tapi Ketua Ding Tao, tidakkah ketua merasa bahwa mereka sangat
memperhatikan Ketua Ding Tao?", ujar Chou Liang setelah tawanya mereda.
"Ya" kurasa begitu" yang pasti aku sudah banyak berhutang budi pada mereka.", jawab Ding Tao.
"Ketua Ding Tao, apakah Ketua Ding Tao tidak memiliki perasaan sedikitpun pada kedua gadis itu?", tanya Chou Liang pada Ding Tao.
"Maksud Kakak Chou Liang bagaimana" Tentu saja aku sangat berterima kasih pada mereka dan.. dan" sebagai teman aku
sangat menghargai mereka berdua.", ujar Ding Tao dengan susah payah.
"Maafkan aku Ketua Ding Tao, tapi kita semua sudah di sini sudah cukup berumur, sudah cukup dewasa, jadi kupikir biarlah aku berterus terang saja. Ketua Ding Tao toh sudah cukup umur untuk menikah dan kedua gadis itu sepertinya menaruh
hati pada Ketua Ding Tao. Apakah Ketua Ding Tao tidak pernah berpikir untuk membangun keluarga dengan salah satu dari
mereka?", tanya Chou Liang dengan serius.
Wajah Ding Tao pun terasa panas dengan suara sedikit terbata dia menjawab, "Kakak Chou Liang, kalau aku berkata bahwa
aku tidak memiliki perasaan apapun pada kedua nona itu tentu saja aku berbohong. Keduanya sangat cantik, lagipula
memiliki sifat yang baik. Tapi" keadaanku saat ini" apakah tidak terlalu terburu-buru untuk memutuskan hal seperti itu?"
"Ketua Ding Tao, salah satu dari kewajiban sebagai seorang anak lelaki terhadap leluhur adalah melanjutkan nama
keluarga. Bagaimana bisa Ketua Ding Tao memandang sepele hal seperti ini.", tegur Chou Liang dengan wajah serius.
Bukan Chou Liang namanya jika tidak mengetahui titik lemah seseorang. Jika dia ingin Ding Tao berbuat sesuatu, maka cara termudah adalah dengan menghadapkan pemuda itu pada hal-hal seperti ini, tradisi, nilai-nilai kekeluargaan dan prinsip-prinsip lain yang diikuti secara umum. Dihadapkan pada pertanyaan demikian, Ding Tao pun menghela nafas.
"Hahh" Kakak Chou Liang, bukannya aku tidak pernah berpikir demikian. Tapi" bukankah pekerjaan yang kita hadapi saat
ini lebih penting daripada persoalan pribadi?", tanya Ding Tao.
"Hee" jika berpikir demikian, maka sampai Ketua Ding Tao berumur pun Ketua Ding Tao tidak akan pernah menikah karena
pekerjaan kita tidak akan pernah selesai. Apakah Ketua Ding Tao berpikir pendek saja ke depan" Apakah hanya Ren Zuocan
atau Tiong Fa saja yang menjadi ancaman" Bagaimana dengan tingkah laku orang-orang dunia persilatan yang cenderung
menggunakan kekerasan untuk menekan yang lemah" Bagaimana dengan persaingan untuk menjadi yang terkuat, yang
seringkali hanya menimbulkan pertumpahan darah yang tidak perlu?", ujar Chou Liang dengan gemas.
"Yang ini dikerjakan, yang lain pun tidak boleh dilupakan. Kewajiban yang satu tidak berarti melupakan kewajiban yang lain.
Menjaga agar setiap kewajiban dilaksanakan dengan berimbang, itulah baru lelaki sejati."
Ding Tao pun tercenung didebat oleh Chou Liang, jangankan didebat oleh Chou Liang, tanpa didebat pun siapa yang tidak
ingin memperistrikan wanita secantik Murong Yun Hua" Tapi jika itu dilakukan bagaimana pula dengan Huang Ying Ying"
Bagaimana juga dengan permintaan Murong Yun Hua di waktu yang lalu" Haruskah Ding Tao menikahi juga Murong Huolin"
"Kakak Chou Liang, hal ini sebenarnya aku tidak bisa mendebat kakak, namun antara diriku dan Nona Murong Yun Hua
sebenarnya ada latar belakang yang kakak belum tahu?", ujar Ding Tao dengan ragu-ragu.
"Ah" kalau begitu mengapa Ketua Ding Tao tidak menceritakannya saja" Sejak mengikut Ketua Ding Tao, selain merasa diri
sebagai seorang pengikut, akupun sering merasa seperti saudara tua bagi Ketua Ding Tao. Aku ini seorang anak tunggal,
terkadang iri pula dengan mereka yang memiliki banyak saudara. Bertemu dengan Ketua Ding Tao, kerinduan ini sedikit
terobati, jika Ketua Ding Tao tidak keberatan, aku ingin memandang Ketua Ding Tao seperti adikku sendiri.", ujar Chou
Liang dengan sungguh-sungguh.
Ucapan Chou Liang ini tentu saja setengah benar, setengahnya lagi karangan saja, namun lagi-lagi dengan cerdik dia
berhasil mengenai kelemahan Ding Tao. Ding Tao yang tidak memiliki keluarga, mudah sekali terharu oleh kebaikan orang.
Chou Lian yang memahami hal ini, memanfaatkannya untuk membuat Ding Tao terbuka. Benar saja, mendengarkan
perkataan Chou Liang hati Ding Tao pun jadi terharu.
Dengan tulus dia menjawab, "Kakak Chou Liang, tentu saja aku tidak keberatan, sebenarnya kalian semua ini sudah
kuanggap seperti keluarga sendiri. Baiklah aku akan menceritakannya, tapi kuharap kakak Chou Liang bisa merahasiakan
hal ini, karena hal ini bukan saja menyangkut diriku tapi juga menyangkut nama baik kedua nona itu."
"Tentu saja, aku mengerti dan Ketua Ding Tao tidak perlu merasa kuatir. Masakan Chou Liang tidak bisa menjaga mulutnya
sendiri?", ujar Chou Liang dengan meyakinkan.
Dengan jawaban Chou Liang itupun akhirnya Ding Tai mulai menumpahkan apa yang selama ini tersimpan dalam hati dan
pikirannya, berkenaan dengan pengalamannya setelah melarikan diri dari Kota Wuling. Sudah sejak lama hal itu menjadi
rahasia bagi dirinya sendiri, seperti luka yang digaruk-garuk terus dan tak pernah sembuh. Gatal tapi tidak boleh disentuh.
Sekarang ada orang yang bisa dipercaya yang mau peduli, maka Ding Tao pun bercerita untuk sedikit melegakan hatinya.
Ding Tao tentu saja tidak menceritakan dengan rinci tentang apa-apa yang terjadi, tapi setidaknya hal itu sudah cukup bagi Chou Liang untuk merangkaikan seluruh kejadian.
"Begitulah kesulitanku dalam hal ini, entah bagaimana dengan pendapat Kakak Chou Liang?", ujar Ding Tao mengakhiri
penjelasannya. Mendengar cerita Ding Tao, dalam hati Chou Liang jadi semakin bersemangat untuk menjodohkan Ding Tao dengan
keluarga Murong. Salah satu kelemahan Ding Tao dalam hal ilmu silat adalah pengalamannya. Chou Liang memang bukan
seorang ahli bela diri, namun pengetahuannya dalam ilmu perang membantu dia untuk memahami kedudukan Ding Tao
ketika pemuda itu berhadapan dengan tokoh-tokoh nomor satu dalam dunia persilatan. Hampir setiap orang yang
membicarakan Ding Tao, selalu mengakui bakat dan potensi dari pemuda itu, namun pengalaman tidak bisa dipaksakan.
Setiap orang menjalani waktu yang sama dan tidak mungkin pula jika Ding Tao yang saat ini berusaha meraih dukungan
dari orang banyak untuk pergi menantang tokoh-tokoh yang ada.
Jika Ding Tao bersikap seperti itu, tentu akan mengundang banyak rasa tidak suka dari mereka yang lebih tua. Belum lagi kekalahan-kekalahan yang mungkin saja terjadi, bisa mengurangi dukungan yang ada. Melawan Xun Siaoma saja Ding Tao
masih membentur dinding batu. Tapi sekarang ada kemungkinan untuk menutupi kelemahan itu, jika benar keluarga
Murong menyimpan berbagai macam kitab pelajaran ilmu silat, maka tanpa bertarung pun Ding Tao bisa mempelajari
kelemahan dan kelebihan calon lawan-lawannya.
Tapi di luar tentu saja Ding Tao tidak melihat yang bergejolak dalam hati Chou Liang.
Chou Liang justru bersikap sangat prihatin, kemudian dengan suara yang berat dia berkata, "Ketua Ding Tao, kau sudah
banyak sekali membuat susah kedua orang nona itu. Betapa mereka merasa terhina saat Ketua Ding Tao menolak
pernyataan cinta mereka, bisakah Ketua Ding Tao bayangkan?"
"Ya" ya" justru aku bisa membayangkan rasanya, aku semakin merasa bersalah pada mereka saat mereka menghujani
aku dengan berbagai macam kebaikan.", ucap Ding Tao dengan sedih.
"Hehhh" Ketua Ding Tao, kurasa tidak ada jalan lain untuk menebus semua kesalahan Ketua ini, Ketua Ding Tao harus
pergi menemui mereka dan mengajukan lamaran selayaknya.", ujar Chou Liang dengan serius, padahal dalam hati dia
tertawa gembira. "Kakak Chou Liang, bagaimana juga dengan permintaan Nona Murong Yun Hua mengenai urusan melanjutkan keturunan
dari Keluarga Murong?", tanya Ding Tao.
"Apa salahnya dengan hal itu" Apakah Ketua Ding Tao melihat ada kekurangan dalam diri Nona Murong Huolin?", tanya
Chou Liang dengan wajar. "Tentu saja tidak... bagaimana mungkin ada yang kurang dari dirinya", jawab Ding Tao sambil menggelengkan kepala.
"Nah, jadi tidak ada masalah bukan" Tentang nama marga, kukira kedua nona itu pun dapat mengerti jika Ketua Ding Tao
meminta putera pertama untuk terlebih dahulu mewarisi marga Ding. Soal sekecil ini kurasa bukan masalah besar.", jawab
Chou Liang seakan-akan tidak mengerti masalah Ding Tao.
Ding Tao sendiri dihadapkan pada jawaban Chou Liang yang ringan dan wajar, jadi memikirkan kembali keberatan-
kebaratan yang selama ini dia ajukan. Apakah selama ini dia mempersoalkan hal kecil dan melupakan yang penting"
Bukankah justru dia jadi tidak jujur pada diri sendiri dengan setiap pertimbangan yang dia lakukan" Hatinya merasa senang, tapi di mulut mengatakan tidak, bukankah munafik namanya" Tapi bagaimana dengan janji setianya pada Huang Ying Ying.
Dalam hal ini, perkataan Chou Liang jadi tidak berarti dan Ding Tao pun mencetuskan hal ini.
"Tapi bagaimana dengan Adik Ying Ying" Patutkah aku menikah dan bersenang-senang, sementara nasibnya belum jelas
diketahui" Sudahlah Kakak Chou Liang, aku mengerti setiap pertimbangan yang kakak utarakan, namun satu hal ini tidak
bisa kupungkiri. Jika aku menikah sekarang maka aku akan merasa bersalah pada Adik Ying Ying.", ujar Ding Tao dengan
nada yang tidak bisa diganggu gugat.
Tapi bukankah Chou Liang sudah memiliki jawabannya"
Dan Chou Liang pun menjawab, "Tapi Ketua Ding Tao, keputusan Ketua Ding Tao ini justru bisa menjadi bencana bagi Nona
muda Huang Ying Ying. Lagipula apakah itu bukan merupakan tindakan seorang pengecut?"
"Apa maksud perkataan Kakak Chou Liang?", tanya Ding Tao dengan heran dan penasaran.
"Yang pertama, Ketua Ding Tao sendiri mengakui perasaan cinta Ketua Ding Tao terhadap Nona Murong Yun Hua, bahkan
sampai Ketua Ding Tao melakukan hubungan di luar batas. Sekarang Ketua Ding Tao menyembunyikan perasaan Ketua
Ding Tao itu dari Nona muda Huang Ying Ying, bukankah itu karena rasa takut dan bersalah" Jika Ketua Ding Tao memang
seorang lelaki, akuilah hal itu di hadapan Nona muda Huang Ying Ying. Atau Ketua Ding Tao ingin hidup sampai tua dalam
kebohongan" Memakai topeng manusia suci padahal di dalam hatinya mendua?"
Keras dan pedas perkataan Chou Liang, jika Chou Liang tidak yakin akan watak Ding Tao tidak akan berani dia berkata
demikian. Merah dan pucat bergantian wajah Ding Tao ditegur sedemikian rupa. Beberapa lama tidak ada yang membuka
suara, sampai akhirnya Ding Tao menghela nafas dan mengangguk dengan berat.
"Ya" dalam hal ini Kakak Chou Liang benar" aku tidak boleh menyembunyikan hal ini terus menerus. Segera setelah kita
menemukan Adik Ying Ying, aku akan membuka semuanya?", ujar Ding Tao dengan hati yang sudah menemukan
ketetapan. "Hmm" tapi sampai kapan Ketua Ding Tao mau menunggu, sampai kapan kedua nona itu harus menunggu" Bagaimana jika
Nona muda Huang Ying Ying tidak pernah ditemukan" Ketua Ding Tao mengorbankan dua orang demi satu orang,
membicarakan yang mungkin dan mengorbankan yang di depan mata. Padahal jika Nona Huang Ying Ying muncul pun
Ketua Ding Tao tetap akan menikahi kedua Nona Murong itu. Sikap yang tidak tegas seperti ini, masakan layak bagi seorang pemimpin?", tanya Chou Liang dengan wajah tidak puas.
Merah padam wajah Ding Tao, tanpa sadar digebraknya meja yang ada di hadapannya, "Apa Kakak Chou Liang pikir aku
pun menikmati keadaan ini !"
"Jadi lelaki mengapa takut menderita" Demi orang yang dicintai rela menanggung derita, demi menunaikan kewajiban
sanggup menekan perasaan. Tahu mana kepentingan yang besar dan mana yang kecil. Menempatkan kepentingan orang
lain, di atas perasaan sendiri. Baru itu namanya lelaki!", ujar Chou Liang tidak kalah kerasnya.
Kedua orang itupun saling berhadapan dengan wajah keras. Selama bertemu dengan Chou Liang mungkin baru kali ini
keduanya bersinggungan sedemikian rupa. Tapi tidak berlangsung lama Ding Tao pun akhirnya menghela nafas.
"Sebagian dari diriku membenarkan perkataan Kakak Chou Liang, tapi sebagian yang lain menolaknya.", ujarnya setelah
menyabarkan diri dan menghalau pergi amarah yang tadi menguasai hatinya.
"Jika hati terbelah siapa yang bisa mengaturnya, tapi bagaimana dengan pertimbangan pikiran Ketua Ding Tao?", tanya
Chou Liang. "Hmmm" aku cenderung memandang pertimbangan-pertimbangan akalku dengan curiga. Selama ini aku mengamat-amati,
tidak jarang akalku memberikan berbagai pertimbangan hanya demi menekan hati nuraniku dan membenarkan
keinginanku. Dan dalam hal ini aku sudah menginginkan Nona Murong Yun Hua?", jawab Ding Tao dengan muka kelam.
"Jika kuminta Ketua Ding Tao untuk menjawab dengan jujur, dari ketiga gadis itu siapa sebenarnya yang Ketua Ding Tao
inginkan?", tanya Chou Liang.
Ding Tao pun menggigit bibir dan menjawab, "Murong Yun Hua."
"Jadi sebenarnya bukankah tidak salah jika kukatakan perasaan Ketua Ding Tao pada Nona muda Huang Ying Ying sudah
berubah?", kejar Chou Liang.
Meskipun dengan berat hati akhirnya Ding tao pun menganggukkan kepala.
"Bukankah sebenarnya terjadinya pertentangan batin adalah karena Ketua Ding Tao tidak bisa menerima hal ini" Ketua Ding Tao lari dari kenyataan. Salahkah jika aku mengatakan bahwa Ketua Ding Tao adalah seorang pengecut?", tanya Chou Liang
tanpa memberi Ding Tao ampun sedikitpun.
Ding Tao pun menganggukkan kepala dengan lemah.
"Menurut Ketua Ding Tao, seandainya ketua Ding Tao menemukan Nona muda Huang Ying Ying dan menikahinya, sambil
mengubur dalam-dalam kenyataan bahwa hati Ketua Ding Tao sudah menjadi milik orang lain. Apakah Nona muda Huang
Ying Ying tidak akan merasakannya" Apakah bahagia hidup dalam satu tipuan?"
"Tapi jika Ketua Ding Tao dengan jantan mau mengakuinya, maka sakitnya mungkin terasa, tapi ada kesempatan bagi Nona
muda Huang Ying Ying untuk menemukan orang lain yang lebih mencintainya daripada cinta yang terbagi yang bisa
diberikan Ketua Ding Tao. Bukankah sikap Ketua Ding Tao yang sekarang ini justru mencelakai Nona muda Huang Ying
Ying" Karena Ketua Ding Tao mengurungnya dengan kata kesetiaan, padahal Ketua Ding Tao sendiri tidak bisa memberikan
sepenuh hati Ketua Ding Tao padanya?"
Tercenung Ding Tao mendengarkan uraian Chou Liang.
"Apa yang Ketua Ding Tao lakukan, sebenarnya sudah menyakiti semua pihak dan menutup pula masa depan Nona muda
Huang Ying Ying.", ujar Chou Liang dengan lembut.
"Bagaimana tuntutan Nona Murong Yun Hua mengenai Nona Murong Huolin?", tanya Ding Tao.
"Dalam hal ini tergantung pada keputusan Nona muda Murong Huolin sendiri. Jika Ketua Ding Tao bisa berterus terang dan
mengatakan perasaan Ketua Ding Tao secara sejujurnya pada Nona Murong Huolin, maka apapun keputusannya bukankah
tidak ada keberatan dalam nurani Ketua Ding Tao?", tanya Chou Liang.
Setelah mendengarkan uraian Chou Liang, Ding Tao pun akhirnya menganggukkan kepala. Melihat Ding Tao sudah
menerima pendapatnya, Chou Liang pun menambahkan.
"Demikian pula nanti jika pada akhirnya kita berhasil menemukan dan menyelamatkan Nona muda Huang. Jika setelah
melihat kenyataan dan dia bersedia menerima cinta Ketua Ding Tao yang terbagi. Maka selama masih ada kasih Ketua Ding
Tao pada dirinya, kukira yang terbaik adalah Ketua Ding Tao menerimanya pula. Bagaimana pun juga Ketua Ding Tao sudah
pernah menjanjikan hal itu pada dirinya. Namun hal itu terjadi bukan dengan kebohongan-kebohongan atau ada yang
ditutupi, melainkan dengan melihat kenyataan dan sesuai pilihan hati Nona muda Huang sendiri.", ujar Chou Liang.
Alis Ding Tao pun terangkat mendengar usulan Chou Liang yang terakhir. Chou Liang seperti orang yang tidak tahu kapan
harus berhenti. Sudah berhasil meyakinkan Ding Tao untuk menikahi Murong Yun Hua, bahkan Murong Huolin jika gadis itu
setuju, sekarang Chou Liang menyarankan Ding Tao untuk menikah pula dengan Huang Ying Ying, seandainya gadis itu
menyetujuinya. "Tentu saja dengan mendengarkan pula pertimbangan dari Nona Murong Yun Hua dan Nona Murong Huolin.", ujar Chou
Liang tanpa merasa bersalah.
Ding Tao pun mendesah dan menggelengkan kepala, "Baiklah, aku sudah mengerti apa maksud Kakak Chou Liang.
Sekarang tolong tinggalkan aku sendiri, biarkan aku memikirkannya sekali lagi."
Chou Liang menganggukkan kepala dan berpamitan, "Baiklah kalau begitu, semoga Ketua Ding Tao boleh mendapatkan
jalan keluar yang terbaik."
"Terimakasih", jawab Ding Tao.
Chou Liang pun keluar meninggalkan Ding Tao sendirian di ruang kerjanya. Para penjaga pintu mengangguk hormat
padanya, meskipun di wajah mereka terlihat pula keheranan. Pintu ruangan itu memang tebal, namun tidak urung mereka
sempat mendengar pertengkaran yang sempat terjadi, meskipun tidak dengan jelas.
Chou Liang yang melihat keheranan di wajah mereka hanya tersenyum dan berkata, "Dua orang tentu tidak aneh jika
memiliki dua pendapat yang berbeda. Seorang pengikut yang baik bukan hanya mengikuti secara membuta, tapi harus
berani memberikan pendapatnya yang mungkin berbeda, jika itu demi kebaikan. Kalian mengerti?"
"Ya, kami mengerti Tuan Chou Liang", jawab salah seorang dari mereka.
"Baguslah kalau begitu, sekarang kalian berjagalah baik-baik, jika tidak ada persoalan yang sangat penting, maka kuminta kalian mencegah orang yang hendak menemui Ketua Ding Tao.", ujar Chou Liang berpesan.
"Baik Tuan Chou.", jawab para penjaga.
Sementara itu pembicaraan Tabib Shao Yong dan kedua nona dari keluarga Murong itu pun akhirnya selesai. Wajah dua
gadis yang tadinya pucat saat mendapatkan kunjungan dari Tabib Shao Yong, sekarang menjadi cerah. Awan gelap yang
tadinya menutupi hati sudah hilang tertiup angin dan harapan sedang berbunga dalam hati keduanya.
"Kalau begitu, kurasa sudah saatnya aku pergi menemui Ketua Ding Tao, bagaimana menurut nona berdua?", tanya Tabib
Shao Yong mengakhiri pembicaraan yang menyenangkan.
Dengan tersipu malu, Murong Yun Hua menjawab, "Tentu saja, aku menyerahkan segala persoalan di tangan Tabib Shao
Yong. Kami hanya bisa menunggu dan berharap."


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tabib Shao Yong pun tertawa bahagia, "Hahaha, jangan kuatir, aku mengenal Ketua Ding Tao dengan baik. Kukira tidak
akan ada halangan apa pun. Baiklah kalau begitu aku pamit dahulu, entah nanti aku akan datang kembali atau Ketua Ding
Tao sendiri yang akan datang ke mari."
"Terima kasih Tabib Shao Yong, hati-hati dalam perjalanan.", ucap kedua gadis itu dengan wajah kemerahan.
Dengan hati berdebar keduanya mengantarkan Tabib Shao Yong sampai di luar, menanti tabib tua itu lenyap dari
pandangan mata, keduanya saling berpandangan. Senyum mengembang di wajah keduanya.
"Hmm" Enci Yun Hua sepertinya senang sekali, jangan keburu senang dulu Tabib Shao Yong kan belum bertemu dengan
Kakak Ding Tao, bagaimana kalau nanti jawabannya tidak sesuai harapan.", goda Murong Huoling dengan mata berkilat,
antara kata-kata dan raut wajahnya saling bertentangan.
"Eh..eh.. anak nakal, bukannya dirimu yang dari tadi tersenyum-senyum.", balas Murong Yun Hua sambil memainkan mata.
Semburat merah wajah Murong Huolin tapi tak mau mengalah, "Ah" aku hanya senang melihat Enci senang. Tidak ada
sebab yang lain." "Oh" jadi begitu ya" benar tidak mau jadi isterinya Ding Tao?", goda Murong Yun Hua dengan geli.
"Huuh" kalau jadi isterinya bisa makan hati tiap hari, matanya kan melihat Enci terus, mana ada waktu untukku.", balas
Murong Huolin dengan bibir mencibir.
"Ah masa iya sih" Kulihat tadi senyumanmu lebih lebar saat Tabib Shao Yong mengatakan akan meminta Adik Ding Tao
untuk menerima syaratku, yaitu dia harus menikahi kita berdua sekaligus.", ujar Murong Yun Hua tidak mau kalah.
"Ahh" siapa bilang" Aku tidak tersenyum kok", jawab Murong Huolin sambil mencubit kakak perempuannya.
"Aduh" aduh" kalau tidak tersenyum ya tidak perlu mencubit. Belum jadi isteri Ding Tao aku sudah kau cubit, nanti kalau sudah menikah dengan Ding Tao jangan-jangan kau malah lupa dengan Encimu ini.", goda Murong Yun Hua sambil berlari
menuju ke dalam. Murong Huolin pun mengejar sambil tersipu malu, "Ah" jangan bicara sembarangan, siapa juga yang kepingin jadi
isterinya." Salah satu pembantu di kediaman Partai Pedang Keadilan yang kebetulan sedang membawakan makanan dan minuman
untuk kedua gadis itu melongokkan kepala ke dalam dan berseru, "Wah, kenapa nona muda berdua ceria sekali, aku dengar
ada yang mau kawin, siapa yang mau kawin?"
"Hush" bukan kawin, tapi nikah, ini adik kecilku ini yang mau menikah", jawab Murong Yun Hua dari dalam.
Dengan segera ketiga gadis itu pun ramai bercanda. Murong Huolin yang termuda, meskipun pandai bicara, kali ini tidak
berkutik karena diserang dari dua arah. Jika di tempat Murong Yun Hua dan Murong Huolin menginap ramai dengan canda
tawa. Berbeda lagi dengan suasana di ruang kerja Ding Tao. Sesuai dengan pesan Chou Liang, para penjaga pintu terlebih
dahulu menanyai urusan dari orang yang ingin bertemu dengan Ding Tao. Hari itu sudah tidak ada hal penting lain kecuali pertemuan dengan Chou Liang, dengan sendirinya tidak ada seorangpun yang diijinkan untuk menemui Ding Tao.
Di dalam ruang kerjanya pemuda itu duduk sendirian ditemani dengan kesunyian. Entah sudah berapa kali pemuda itu
bangkit berdiri kemudian berjalan mondar-mandir dalam ruang kerjanya, untuk kemudian duduk lagi sambil menghela
nafas. Sekali lagi dia berdiri dan berjalan, mengelilingi ruang kerjanya, matanya tertumbuk pada sebilah pedang yang
digantungkan di dinding. Pedang hadiah dari Murong Yun hua dan Murong Huolin, lebih tepatnya hadiah dari Murong Huolin, karena jika Pedang Angin Berbisik itu milik ayah Murong Yun Hua, pedang yang satu ini adalah milik ayah Murong Huolin. Entah apa nama pedang itu, ayah Murong Huolin tidak pernah memberikannya nama, Ding Tao sendiri sebagai pemiliknya tidak terpikirkan untuk
memberikan nama. Dicabutnya pedang itu dan diamatinya baik-baik, lalu ditimangnya dan diayunkan dengan hati-hati. Tiba-tiba ditikamkannya pedang itu dengan sekuat tenaga hingga suara dengungan pedang memenuhi ruangan. Penjaga di luar terlonjak kaget
mendengar dengungan yang bagai raungan seekor macan kumbang di pendengaran mereka.
Sebelum para penjaga bisa memutuskan akan mencoba mengetuk pintu ataukah mendiamkan saja kejadian itu, Ding Tao
terlihat melangkah keluar.
Segala kebimbangan sudah dia tikam habis dengan pedang pusakanya, sekarang hanya ada satu tempat yang harus dia
tuju. Melihat roman wajah Ding Tao, para penjaga tidak ada yang berani bertanya, meskipun dalam hati mereka tidak
habis-habisnya menebak. Pertama pertengkaran Ding Tao dengan Chou Liang, sekarang suara raungan dari dalam ruangan.
Baru beberapa langkah Ding Tao meninggalkan bangunan tempat ruang kerjanya berada, ketika dia melihat Tabib Shao
Yong sedang berjalan ke arahnya. Melihat tabib tua itu berjalan ke arahnya, Ding Tao pun menghentikan langkahnya dan
menunggu. "Tabib Shao Yong, apakah mencariku?", tegurnya sambil tersenyum ramah.
"Ya, benar. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Apakah waktunya tepat" Sepertinya Ketua Ding Tao hendak
pergi ke satu tempat.", jawab tabib tua itu dengan senyum lebar, hatinya masih berbunga-bunga oleh kabar gembira yang
hendak dia sampaikan. "Hmmm" tidak apa, tapi jika tidak terlalu penting biarlah kita bicarakan di sini saja. Aku hendak pergi mengunjungi Nona muda Murong.", jawab Ding Tao.
"Ah" kedua gadis itu.., kebetulan justru aku baru saja dari sana dan hendak menemui Ketua untuk membicarakan sesuatu
mengenai mereka.", ujar Tabib Shao Yong.
"Apakah terjadi sesuatu dengan mereka" Apakah berkenaan dengan kesehatan Nona muda Murong Yun Hua?", tanya Ding
Tao dengan cemas. Tabib Shao Yong tertawa geli melihat reaksi pemuda itu, "Ya.. memangnya ada sesuatu terjadi pada diri Nona muda Murong
Yun Hua, dan itu jelas-jelas karena kesalahanmu. Namun tidak ada yang perlu dikuatirkan, aku sudah memberikan obat
yang baik bagi mereka. Asalkan tidak ada salah perhitungan tentu mereka berdua baik-baik saja."
"Eh" aku jadi tidak mengerti maksud Tabib Shao.", ujar Ding Tao dengan kebingungan.
"Hehehe, sudahlah, kita cari tempat yang nyaman untuk bicara sebentar. Bagaimana kalau ke taman sebelah situ?", ujar
Tabib Shao Yong sambil menunjuk sebuah taman kecil yang mengisi jarak antara bangunan yang satu dengan yang lain.
"Baiklah, mari kita pergi ke sana. Tapi benar tidak ada apa-apa dengan kesehatan dua orang nona itu?"
"Tidak ada yang perlu dikuatirkan, marilah kita pergi ke sana, setelah kujelaskan pasti Ketua Ding Tao akan paham juga.", ujar Tabib Shao Yong sambil lebih dahulu berjalan ke arah taman yang dia maksud.
Ding Tao dengan tidak sabar menunggu Tabib Shao Yong yang menurunkan pantatnya perlahan-lahan ke salah satu bangku
yang ada dalam taman kecil itu. Menunggu Tabib Shao Yong duduk dengan nyaman, barulah Ding Tao duduk di bangku
yang lain. Dari kedudukan sudah sewajarnya bila Ding Tao yang duduk terlebih dahulu, tapi mengenai hal ini Ding Tao
justru berkeras, agar mereka yang lebih tua yang lebih dahulu duduk. Pada saat awal Ding Tao menjadi ketua tentu saja
beberapa kali hal ini jadi perdebatan kecil di antara mereka. Namun karena Ding Tao tidak mau mengalah, maka akhirnya
orang tua- orang tua itu yang mengalah.
"Tabib Shao Yong, jadi bagaimana dengan keadaan kedua nona tersebut?", tanya Ding Tao dengan tidak sabar.
"Hmm" baiklah pertama-tama mengenai Nona Murong Yun Hua" kuharap Ketua Ding Tao jangan terburu-buru mengambil
kesimpulan atau kaget mendengar berita ini.", ujar Tabib Shao Yong dengan hati-hati.
"Ya" ya" aku mengerti, jadi ada apa dengan Enci Murong Yun Hua?"
"Nona Murong Yun Hua saat ini dalam keadaan hamil?", jawab Tabib Shao Yong sambil terus memperhatikan wajah Ding
Tao. Pucat wajah Ding Tao mendengar berita itu, termangu pemuda itu tidak memberikan tanggapan apa-apa pada Tabib Shao
Yong, otaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan dugaan, begitu sibuknya hingga Ding Tao sendiri tidak tahu apa
yang dia pikirkan. Melihat Ding Tao terdiam, Tabib Shao Yong pun kembali berkata.
"Menurut perhitunganku, usia kandungannya kurang lebih berumur 5 bulan, apakah kira-kira perhitunganku ini tepat
dengan perhitungan Ketua Ding Tao?", tanya Tabib Shao Yong dengan lembut.
Pertanyaan Tabib Shao Yong itu seperti angin yang bertiup keras menghembus semua kericuhan dalam benak Ding Tao.
Pemuda itu memejamkan mata dan menghela nafas.
Ketika dia membuka mata diapun berkata, "Kukira apa yang terjadi antara diriku dengan Enci Murong Yun Hua, sudah Tabib
Shao Yong ketahui. Tapi biarlah kuucapkan terus terang, kecuali Enci Murong Yun Hua berkata lain, anak dalam
kandungannya itu tentu adalah anakku."
Tabib Shao Yong menganggukkan kepala, "Nona Murong Yun Hua tidak mengatakan hal yang berlawanan, ketika aku
bertanya padanya." "Apakah Enci Murong Yun Hua yang meminta Tabib Shao Yong untuk menyampaikan kabar itu padaku?". Ding Tao bertanya
dengan tenang. Tabib Shao Yong pun menggelengkan kepala, "Tidak, akulah yang pergi ke sana untuk bertanya, dan aku pula yang
menawarkan diri untuk menyampaikan berita ini padamu. Tadinya kedua nona itu hendak menyembunyikan hal ini darimu,
berkenaan dengan perasaanmu terhadap Nona muda Huang Ying Ying."
Termenung Ding Tao mendengar jawaban Tabib Shao Yong, kemudian dengan perlahan dia berkata, "Syukurlah Tabib Shao
Yong berpikir sampai ke sana. Jika tidak, betapa besar dosaku telah menelantarkan Enci Yun Hua dan anakku sendiri."
Kembali Tabib Shao Yong mengangguk-anggukkan kepala, teringat juga dia dengan perkataan Chou Liang, dalam hatinya
tabib itu pun membenarkan pendapat Chou Liang, "Jadi, sekarang, apa yang akan Ketua Ding Tao lakukan?"
"Aku akan pergi menemui mereka. Hari ini pun sebenarnya aku sudah banyak mendengarkan pendapat Kakak Chou Liang
mengenai hubunganku dengan kedua gadis itu dan akupun sudah mengambil keputusan, meskipun ada juga pertanyaan
dalam hati. Tapi berita dari Tabib Shao Yong menegaskan semuanya, kukira tidak ada yang perlu dipikirkan lagi.", jawab
Ding Tao sambil tersenyum.
Tabib Shao Yong pun tersenyum lebar, "Baiklah kalau begitu, nah apakah Ketua Ding Tao mau ke sana sendirian, atau perlu aku temani?"
Sambil tersipu malu Ding Tao menjawab, "Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan, biarlah kali ini aku pergi sendiri. Di kali kedua tentu aku akan meminta bantuan dari Tabib Shao Yong untuk pergi mewakili diirku."
"Hahahahaha, baiklah kalau begitu. Memang sebaiknya kau pergi sendiri untuk meluruskan semuanya terlebih dahulu. Aku
orang tua hanya ikut ambil bagian dalam peresmiannya saja", jawab Tabib Shao Yong sambil tertawa berkepanjangan.
Sambil tersipu malu Ding tao menganggukkan kepala lalu berpamitan dengan Tabib Shao Yong. Bergegas pemuda ini
melangkahkan kaki menuju ke tempat menginapnya rombongan dari keluarga Murong. Langkah kakinya begitu ringan, jika
tidak malu karena dlilihat orang, mungkin dia sudah berlari sekencang mungkin. Namun mengingat kedudukannya, ditahan-
tahan juga langkah kakinya, meskipun setiap saat berlalu, sejumput kesabarannya juga ikut melayang.
Saat akhirnya dia sampai di depan gedung justru langkah kakinya terhenti. Tadi dia begitu tak sabar ingin cepat sampai, sekarang setelah tinggal mengetuk pintu justru dia terdiam dengan jantung berdebaran.
Kalau tidak ada yang kebetulan hendak pergi keluar dan melihat dirinya, entah sampai berapa lama Ding Tao akan berdiri
mematung di situ. Salah seorang pengantar Murong Yun Hua dan Murong Huolin, rupanya mendapat perintah untuk mengembalikan peralatan
makan yang sudah mereka pakai ke dapur. Sambil membawa keranjang berisi setumpuk mangkok dan seikat sumpit dia
berjalan keluar. Saat dia melihat Ding Tao ada di sana, dengan sendirinya dia pun membungkuk dan menyapa Ding Tao, "Eh" Ketua Ding
Tao" selamat datang, apakah ada keperluan?"
"Oh" ya" ya aku ingin bertemu dengan Nona Murong Yun Hua dan Nona Murong Huolin, apakah mereka ada di dalam?",
jawab Ding Tao sedikit terbata.
"Ada, ada, tunggulah sebentar, biar siauwtee panggilkan.", jawab orang tersebut dan dengan terburu-buru diapun masuk
kembali ke dalam dan menyampaikan kedatangan Ding Tao pada kedua Nona Murong tersebut.
Mendengar kedatangan Ding Tao tentu saja hati kedua gadis itu jadi berdebar makin kencang. Sejak kepergian Tabib Shao
Yong, keduanya sudah dilambungkan oleh angan-angan. Sekarang orang yang ditunggu dan diimpikan sudah ada di depan
pintu. "Persilahkan dia untuk masuk dan menunggu di ruang tamu, kami mau merapikan diri sebentar", ujar Murong Yun Hua pada
orangnya. Ketika orangnya baru saja hendak pergi keluar, cepat-cepat pula dia menyusul dan setengah berteriak, "Jangan lupa
hidangkan makanan kecil dan minuman untuk Adik Ding Tao."
"Ya, baik nona", jawab pembantunya sambil menggelengkan kepala, senyum kecil tersungging di bibirnya.
Di luar diapun menemui Ding Tao dan mempersilahkan Ding Tao menunggu di ruangan yang dimaksud, tidak lupa beberapa
hidangan disediakan untuk menemani Ding Tao menunggu. Setelah selesai semuanya, sambil tersenyum penuh arti diapun
berpamitan pada Ding Tao. Melihat senyum di wajah orang, muka Ding Tao terasa panas dan dengan hati berdebar dia
menunggu. Berapa lama Ding Tao harus menunggu, jika bertanya pada Ding Tao tentu akan dijawab sangat lama. Jika ditanya pada
kedua nona tersebut, jawabnya tidak terlalu lama. Jika Ding Tao berani mendebat jawaban mereka, bisa-bisa kan dijawab,
toh tidak selama kami menunggu kedatangan dirimu.
Berapa lama Ding Tao menunggu bukan masalah, selama apapun itu akhirnya penantiannya pun berakhir. Murong Yun Hua
dan Murong Huolin akhirnya muncul juga, sebelum terlihat, bau harum sudah terlebih dahulu sampai, diikuti dua orang nona yang berdandan sepenuh hati. Melihat mereka berdua jantung Ding Tao pun berdebaran makin kencang. Murong Yun Hua
memang selalu tampil cantik dan anggun, entah memakai dandanan atau tidak Ding Tao dengan mudah dibuat terpesona
olehnya. Perubahan terbesar justru ada pada Murong Huolin, dandanannya lebih dewasa dibanding biasanya, sehingga dia
tampil seperti orang yang berbeda, tidak kalah anggun dengan Murong Yun Hua.
Membuat Ding Tao jadi terpesona, matanya menatap kedua gadis itu bergantian. Sebelum bertemu mereka, sudah berkali-
kali Ding Tao berpikir tentang apa yang akan dia katakan, sekarang tiba-tiba saja Ding Tao kehilangan kata-kata. Murong Huolin yang tadinya begitu gugup untuk bertemu, menjadi hilang kegugupannya, karena merasa geli melihat raut wajah
Ding Tao, juga merasa bangga bisa membuat Ding Tao terkagum-kagum.
Sambil menutup mulutnya Murong Huolin terkikik geli, "Kakak Ding Tao, makanya kalau makan perlahan-lahan saja, jangan
serakah, jangan sampai terlalu banyak yang dimasukkan ke mulut hingga sulit bicara."
"Ah" bukan.. bukan begitu" aku hanya" Adik Huolin hari ini kau cantik sekali.", ujar Ding Tao terbata-bata.
Huolin yang tadinya mau menggoda Ding Tao pun jadi terbungkam dengan wajah tersipu. Murong Yun Hua yang melihat hal
ini jadi tertawa geli. "Wah" Adik Ding Tao, sekarang pandai merayu?", ujarnya sambil melirik Huolin yang terdiam.
"Eh.. bukan maksudku seperti itu, aku hanya kaget saja dan di luar mauku, tercetus begitu saja.", jawab Ding Tao dengan malu.
Murong Yun Hua sebenarnya ingin menggoda Ding Tao lebih lama, namun melihat wajah pemuda itu, dia jadi jatuh kasihan
dan berhenti menggoda. Murong Yun Hua segera duduk di seberang Ding Tao dan Huolin mengikutinya.
"Adik Ding Tao, ada keperluan apa engkau mencari kami?", tanya Murong Yun Hua memulai.
Kedua gadis itu pun memperhatikan tiap patah kata dan raut wajah Ding Tao dengan hati berdebar. Mereka sangat
berharap Tabib Shao Yong sudah bertemu dan dapat mempengaruhi keputusan Ding Tao, namun di saat yang sama mereka
juga berusaha menekan harapan mereka itu agar tidak terlalu kecewa jika harapan itu salah. Apalagi kedatangan Ding Tao
tidak berselang terlalu lama dari kepergian Tabib Shao Yong.
Ding Tao sendiri kesulitan untuk menjawab pertanyaan Murong Yun Hua, padahal sepanjang jalan dia sudah berpikir
panjang dan rinci tentang apa yang akan dia sampaikan. Namun semuanya menguap begitu berhadapan dengan kedua
gadis itu. Di bawah tekanan dan pikiran yang kalut, yang terucap adalah, "Aku datang untuk menikahi kalian berdua."
Perkataan Ding Tao yang begitu langsung membuat mereka bertiga kaget, termasuk Ding Tao sendiri, karena bukan itu
yang ingin dia ucapkan. Meskipun hal itu yang ingin dia sampaikan, namun tentunya dengan perkataan yang lebih tertata.
Tergagap Ding Tao memandangi kedua gadis itu dan berusaha menjelaskan, "Eh, maksudku" aku datang untuk bertanya,
apakah kalian berdua mau kunikahi?"
"Ah", bagaimana ya, Tabib Shao Yong dan Kakak Chou Liang, mereka membicarakan tentang perasaanku terhadap kalian
berdua. Ini tentang perasaan cintaku pada Enci Yun Hua dan perasaan sukaku pada Adik Huolin. Juga tentang perasaanku
pada Adik Ying Ying, sebenarnya memang memalukan, seorang lelaki bisa memiliki perasaan demikian pada tiga wanita
berbeda. Tapi kenyataannya demikian dan aku tidak mau bersikap tidak jujur."
"Jadi?" "Jadi kau nikahi saja ketiga-tiganya, begitu maksud Kakak Ding?", tanya Huolin yang sudah pulih dari rasa kagetnya, pura-pura marah dan menikmati kecanggungan Ding Tao.
"Ya". Ya", bagaimana ya?", jawab Ding Tao dengan bingung.
"Bagaimana kalau kami menolaknya?", tanya Murong Huolin.
"Kalau demikian, tentu saja tidak apa-apa. Itu " bukan maksudku mencari mauku sendiri, hanya saja kupikir?"
"Oh" jadi rasa cintamu pada kami hanya sebesar itu, kalau mau ya iya, kalau tidak ya apa boleh buat, kalau dari 3 ada 1 yg mau ya syukur, kalau ketiganya mau ya untung. Apa begitu?", sela Murong Yun Hua ikut pura-pura marah.
"Bukan begitu pula" soal ini?"
Melihat Ding Tao kebingungan, tidak tahan akhirnya kedua gadis itu pun tertawa terbahak-bahak. Ding Tao pun sadar dia
sudah dikerjai oleh kedua gadis itu.
"Ah". Kalian ini" sungguh aku tidak bisa menjelaskan apa maksud hatiku. Hanya saja kuharap kalian sudah cukup
mengenalku untuk mengerti isi hatiku.", keluh Ding Tao sambil menundukkan kepala.
Kedua gadis itupun saling berpandangan, kemudian dengan senyum simpul Murong Yun Hua berkata dengan lembut, "Kami
tidak mengerti isi hatimu, tapi kami percaya padamu. Lamaran itu, kau atur sajalah sesuai dengan yang seharusnya
diadakan. Kami berdua akan mengikuti kemauanmu."
Dan itu adalah akhir dari bab ini, bisa saja diceritakan tanggapan Ding Tao, godaan Huolin, kebahagiaan yang terpancar di wajah ketiga orang tersebut. Namun jika semuanya dituliskan, akan terbuang lagi beberapa lembar halaman hanya untuk
menceritakan pertemuan mereka hari itu. Apalagi jika kemudian diceritakan bagaimana Ding Tao menemui Tabib Shao Yong
dan Chou Liang. Demikian juga tanggapan setiap orang ketika mereka mendengar berita itu. Orang-orang tua seperti Wang
Xiaho dan Li Yan Mao, yang muda seperti Tang Xiong dan Qin Baiyu.
Singkat cerita, pesta pernikahan berlangsung dengan meriah, untuk menutupi kehamilan Murong Yun Hua yang sudah
berjalan selama 5 bulan, maka dibuatlah cerita bahwa ketiganya sudah menikah beberapa bulan yang lalu dan pernikahan
kali ini hanyalah sebuah pesta untuk merayakannya secara terbuka.
Untuk sesaat lamanya, segala kesibukan dan kerisauan ditinggalkan. Bagi sepasang " atau dua pasang" atau 1 ? pasang
mempelai itu, juga bagi mereka yang dekat dengan mereka bertiga, hari-hari itu adalah hari perayaan yang penuh tawa.
Mungkin hanya Chou Liang yang masih saja berkerut kening dan menjalankan semua urusan. Berusaha memanfaatkan
berita pernikahan Ding Tao ini untuk memperluas hubungan mereka di luaran, tanpa pernah lupa untuk berjaga-jaga
terhadap adanya bahaya. Namun hari-hari itu berjalan tanpa gangguan, hingga terkadang sebagian besar dari mereka lupa
akan adanya bayangan gelap yang belum terungkap di dunia persilatan.
Tiong Fa sedang termenung di ruangan kecilnya, uang bekal yang diberikan Chou Liang cukup besar. Meskipun kehilangan
banyak pengikut, namun bahkan orang seperti Tiong Fa pun masih memiliki orang-orang kepercayaan yang setia padanya.
Kecerdikan dan kepandaiannya bermain dalam dunia persilatan yang keras, menimbulkan kekaguman di hati orang-orang
tertentu. Orang-orang yang terinspirasi oleh kekuasaan dan tidak merasa ngeri pada kelicikan.
Entah bagaimana dalam hati mereka percaya bahwa boleh saja Tiong Fa mengorbankan orang lain, tapi itu bukan mereka.
Dalam kenyataannya memang demikian, Tiong Fa pun mengerti dia membutuhkan orang-orang yang bisa dia percayai
sepenuhnya, dan terhadap orang pilihannya dia tidak segan-segan mengorbankan banyak hal.
Tapi sebanyak apapun modal yang dia miliki saat ini, masih jauh dari keadaannya di masa sebelumnya. Apalagi Tiong Fa
sadar, di luaran sana, mata dan telinga Ding Tao serta sekutunya sedang mencari dirinya.
Berbagai cara dia pikirkan untuk membalaskan sakit hatinya pada Ding Tao. Bukan hanya masalah balas dendam, tapi dia
juga tahu, dia tidak bisa bergerak bebas selama Ding Tao masih memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar. Beruntung
bagi Ding Tao dia memiliki Chou Liang, di permukaan hal ini tidak nammpak, namun sebenarnya kedua orang ini, Tiong Fa
dan Chou Liang sudah bertarung ratusan kali banyaknya, dan Chou Liang selalu menang. Bukan berarti kecerdikan Chou
Liang berkali lipat di atas Tiong Fa.
Memang kedudukan Tiong Fa sudah ada posisi yang kalah, sehingga seperti tikus yang terjepit, Tiong Fa harus mati-matian untuk sekedar lepas dari genggaman tangan Chou Liang. Sehingga hampir-hampir mustahil bagi dirinya untuk melakukan
pembalasan. Beberapa kali jejaknya tercium Chou Liang dan Tiong Fa harus melarikan diri secepatnya. Beberapa bulan ini
hidupnya selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tapi sesulit apapun keadaannya Tiong Fa masih merasa memiliki satu kunci penting melawan Ding Tao.
Huang Ying Ying. Ya, Tiong Fa bukan sekedar menggertak sewaktu dia mengatakan bahwa Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu berada dalam
kekuasaannya. Tapi sekarang muncul kabar baru yang membuat Tiong Fa risau, kesempatannya untuk membalas dendam pada Ding Tao
semakin mengecil. Berita tentang rencana pernikahan Ding Tao sudah sampai ke telinga Tiong Fa. Segera setelah
mendengar berita itu, Tiong Fa pun segera mengirimkan orang untuk menyelidiki kebenarannya dan tentu saja siapa dan
apa latar belakang calon isteri Ding Tao.
Laporan baru saja masuk dan sekarang Tiong Fa merenungi kedudukan Ding Tao yang makin kuat sementara dari sisi
dirinya tidak ada kemajuan yang berarti. Dengan pernikahan ini semakin kecil pula nilai Huang Ying Ying sebagai sandera.
Orang sering mengukur orang lain dengan diri sendiri, tidak luput Tiong Fa sendiripun demikian. Meskipun cerdik diapun
tidak luput dari kebiasaan ini.
Saat ini Tiong Fa sedang mempertimbangkan ilang kepribadian Ding Tao yang dia kenal. Dulunya Tiong Fa memandang Ding Tao sebagai pemuda tolol yang kepalanya penuh berisi ajaran-ajaran ketinggalan jaman dan roman-roman picisan. Itu
sebabnya dia yakin bahwa Huang Ying Ying sangat berharga bagi Ding Tao. Siapa sangka, dalam keadaan kekasihnya masih
disekap oleh orang semacam dirinya, Ding Tao justru menikah dengan dua orang gadis sekaligus. Kakak dan adik dari satu
keluarga yang tidak kalah kaya dengan keluarga Huang di masa kejayaannya.
Karena kejadian di luar dugaan inilah, Tiong Fa pun mulai memikirkan kembali, siapakah Ding Tao yang sedang dia hadapi
saat ini. Jangan-jangan selama ini dia sudah salah perhitungan. Mungkin Ding Tao adalah seorang pemuda ambisius yang
bertopengkan kejujuran dan kepolosan. Jika demikian, bukankah tidak aneh jika Ding Tao berusaha merebut hati Huang
Ying Ying" Merebut hati Huang Ying Ying bisa menjadi jalan pintas untuk masuk ke dalam jajaran pimpinan keluarga Huang.
Sekarang setelah keluarga Huang hancur, Ding Tao pun tanpa segan-segan, mencari incaran yang lain.
Lalu kenapa waktu itu Ding Tao melepaskan dirinya" Bisa jadi untuk merebut simpati orang-orang bekas pengikut keluarga
Huang. Bukankah dengan cara itu Ding Tao menunjukkan kasihnya yang begitu besar pada Nona muda mereka"
Memikirkan itu semua membuat Tiong Fa semakin putus asa. Dipikirkannya kembali setiap langkah dan perbuatan Ding Tao
Kedele Maut 21 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Si Pemanah Gadis 9
^