Pencarian

Pedang Angin Berbisik 22

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 22


Tao, tidak berada di bawah Ding Tao. Demikian pula kecepatan dan ketepatan dia dalam mengambil keputusan.
Akibatnya sekian lama Ding Tao berusaha mendesak Ximen Lisi pada posisi mati tersebut, tidak juga dia berhasil.
Jika Ding Tao mau mengeraskan hati, maka bisa saja serangannya berhasil masuk. Namun Ximen Lisi akan mati atau
terluka parah, tanpa sempat menyerah. Satu hal yang tidak diingini Ding Tao dan agaknya Ximen Lisi pun mengerti hal ini.
Sehingga jika Ximen Lisi dihadapkan pada pilihan yang beresiko, tanpa ragu pendekar muda itu mengambil jalan tersebut,
karena yakin bahwa Ding Tao tidak akan memanfaatkan kesempatan itu untuk melukainya.
Hal ini tentu tidak luput dari pengamatan sekian orang yang menyaksikan. Suara desahan panjang, terdengar di sana-sini.
Entah dari mereka yang memandang Ding Tao seorang yang lemah hati, atau mereka yang menyesali betapa Ximen Lisi
keras kepala dan tidak mau mengakui kekalahan.
Bukan hanya mereka yang menyaksikan saja yang mulai hilang kesabarannya, Ding Tao pun ikut mulai hilang
kesabarannya. Terutama karena dia menyadari bahwa tenaganya mulai melemah. Baik dia maupun Ximen Lisi semakin
lama akan semakin kehabisan tenaga. Dengan tenaga yang kurang, maka penguasaan atas senjata dan pelaksanaan jurus-
jurus pun jadi berkurang. Jika diteruskan maka bukan tidak mungkin Ding Tao akan melukai Ximen Lisi tanpa sengaja. Atau bisa juga Ximen Lisi yang memenangkan pertarungan akibat kesalahan Ding Tao dalam melakukan jurus-jurus pedangnya.
Sehingga akhirnya Ding Tao pun memutuskan untuk mengakhiri pertarungan ini secepat mungkin, sebelum dia semakin
banyak kehilangan kendali atas jalannya pertarungan.
Dalam keadaannya itu, pemuda ini pun teringat pada cerita-cerita kepahlawanan yang sering dia dengar di masa kanak-
kanaknya. Bagaimana seorag pendekar pedang menunjukkan kelebihannya atas lawan, dengan memutuskan ikat kepala
lawan tanpa melukai, atau mungkin memotong putus beberapa kancing baju lawan sekedar untuk menunjukkan bahwa jika
dia mau dia bisa saja membunuh lawan.
Kisah itu tentu saja menjadi kisah yang membuat semangat Ding Tao yang masih kanak-kanak semakin berkobar untuk
belajar ilmu silat, terutama ilmu pedang. Namun dengan beranjak dewasanya Ding Tao kecil, Ding Tao semakin menyadari,
bahwa hal itu mudah diceritakan dan dibayangkan, tapi sesungguhnya sulit untuk dilaksanakan. Namun setelah berkutat
sekian lama tanpa hasil Ding Tao memutuskan untuk mencoba. Meskipun dia tidak yakin bisa melakukan seperti apa yang
dikisahkan dalam kisah-kisah kepahlawanan itu. Setidaknya dia memiliki keyakinan, bahwa kalaupun sampai Ximen Lisi
terluka, dia tidak akan terluka terlalu parah. Setidaknya lukanya masih bisa disembuhkan dan tidak mengancam jiwanya.
Setelah mengambil keputusan maka dengan sendirinya keraguan dan kekhawatiran yang berlebih menghilang. Permainan
pedang Ding Tao pun jadi semakin mantap.
Dalam satu gerak tipu, pedang Ximen Lisi yang menangkis serangan pedang Ding Tao yang menyerang bahu kanannya,
justru dibuat bergerak terlalu jauh keluar. Sebaliknya pedang Ding Tao dengan cantik bergerak melingkar, seperti sedang menyusuri pedang Ximen Lisi dengan lembut, kemudian berbalik arah menyerang ke arah tubuh Ximen Lisi.
Ding Tao tidak terlalu berambisi untuk memutuskan ikat kepala Ximen Lisi, kepala yang lebih kecil dibanding tubuh, jadi sasaran yang lebih sulit. Belum lagi meskipun pedangnya hanya menggores tipis, jika yang kena adalah mata bukankah
Ximen Lisi akan menjadi buta. Jika sampai ujung hidungnya terpotong atau timbul goresan luka memanjang, bukankah hal
itu akan menjadi cacat yang dibawa seumur hidup. Perasaan Ding Tao yang halus tidak menginginkan hal itu terjadi. Karena itu dia memutuskan untuk berusaha, menyobek saja baju di bagian jantung Ximen Lisi, sebagai tanda, bahwa jika dia ingin dia bisa menusuk jantung Ximen Lisi dan membunuhnya.
"Brett".", suara baju yang tersobek.
Bersamaan dengan kejadian itu terdengar pekikan terkejut dari dua tempat. Yang pertama dari bawah panggung, dari salah
seorang penonton, terdengar suara dua orang pria berseru kaget. Yang kedua adalah dari atas panggung sendiri, pekikan
terkejut yang nadanya terlalu tinggi bagi seorang laki-laki.
Kalau bukan laki-laki tentu seorang perempuan atau tepatnya seorang gadis. Tapi di mana ada seorang gadis di atas
panggung itu" Yang ada adalah Ding Tao dan Ximen Lisi.
Ding Tao sedang berdiri terpaku dengan mata terbelalak oleh rasa kejut dan mulut terbuka, hendak berbicara namun
otaknya terlampau bingung hingga tak bisa bersuara. Ximen Lisi berdiri dengan wajah pucat lesi, pipi bersemu merah muda dan mata membara. Tangannya tidak lagi memegang pedang, namun memegangi bagian dari jubah luar dan bajunya yang
terobek oleh sabetan pedang Ding Tao.
Hampir berbarengan dua sosok melompat ke atas panggung, ketika mereka sudah mendarat, orang pun segera mengenal
siapa mereka berdua. Yang pertama adalah Zhu Jiuzhen dan yang menyusul belakangan namun sampai di saat yang
bersamaan adalah Lu Jingyun. Zhu Jiuzhen tidak mempedulikan Ding Tao, tidak pula ambil pusing dengan Lu Jingyun yang
bergerak menengahi Zhu Jiuzhen dan Ding Tao seandainya, seakan-akan dia khawatir jika dua orang itu akan bentrok di
atas panggung. "Shu Lin, apakah kau tidak apa-apa?", tanya Zhu Jiuzhen pada Ximen Lisi.
Ximen Lisi yang disapa dan ditanya dengan nama Shu Lin tidak menjawab pertanyaan Zhu Jiuzhen dengan segera, matanya
masih memandangi Ding Tao dengan tajam. Ding Tao yang akhirnya berhasil juga menguasai keterkejutannya, apalagi
dengan hadirnya Lu Jingyun dan Zhu Jiuzhen dengan cepat merangkapkan tangan di depan dada dan menunduk dalam-
dalam. "Maaf, tidak sengaja. Kuharap nona tidak salah paham, maksud hati hanya memastikan kemenangan tanpa melukai siapa-
siapa.", ujarnya dengan sangat sopan.
Setelah sekian lama diceritakan, rasanya para pembaca sudah bisa menduga dengan sendirinya apa yang barusan terjadi.
Seharusnya penulis tidak perlu menceritakan lebih panjang, tapi mungkin karena dia mengejar setoran, harus menulis
sekian ribu kata, ditulisnya juga penjelasannya. Segera setelah pedang Ding Tao menyambar, persis seperti yang dia
harapkan, mata pedangnya berhasil merobek jubah luar dan baju bagian atas dari Ximen Lisi tanpa mengenai tubuh Ximen
Lisi. Pameran ketepatan ini sendiri, sungguh mengagumkan, meskipun jika Ding Tao ditanya maka dia akan menjawab
dengan jujur bahwa 7 dari 8 bagian hal itu terjadi karena keberuntungan saja dan bukan murni berdasarkan kemampuan.
Harusnya selesai sampai di situ, tapi cerita tidak berhenti di sana, dalam waktu yang sekejapan itu helai baju yang terkoyak menunjukkan bagian dada Ximen Lisi dan membongkar rahasianya.
Kejut dan malu, Ximen Lisi pun berteriak, lupa sudah dengan pedang dan pertarungan, yang teringat hanyalah secepat
mungkin menangkap jubah luar yang terkoyak dan menutupkannya ke bagian dada yang sempat sekilas terbuka.
Tapi sampai di sini tentu belum menjawab, mengapa pula Zhu Jiuzhen dan Lu Jingyun ikut berteriak kaget dan mereka
berdua susul menyusul melompat ke atas panggung. Dari sapaan Zhu jiuzhen, bisa kita simpulkan pendekar muda ini sudah
mengetahui rahasia Ximen Lisi dan nama asli Ximen Lisi adalah Shu Lin, entah apa nama marganya. Untuk lebih jelasnya
ada baiknya, beberapa puluh kata yang dibuang percuma oleh penulis dihentikan dulu sampai di sini.
Setelah mendengar Ding Tao meminta maaf, wajah Ximen Lisi atau Nona Shu Lin ini pun dengan cepat melunak, sekarang
wajahnya tidak segarang tadi. Sekarang dia menundukkan wajahnya yang bersemu merah dan pendekar tertampan di
propinsi Shanxi ini pun jadi makin terlihat tampan, atau lebih tepatnya terlihat cantik. Tubuhnya terhitung tinggi bagi ukuran seorang gadis, tadinya jubah luar yang dia kenakan mengesankan tubuh yang kekar di balik jubah itu, tapi sekarang saat tangannya menarik jubah itu kuat-kuat untuk menutupi dadanya, barulah terlihat, mungkin benar terhitung kekar bagi ukuran seorang gadis, tapi lekak-lekuk tubuh seorang gadis tidaklah hilang oleh karenanya. Justru di bagian yang harusnya menonjol maka benar-benar menonjol dan di bagian yang rata, benar-benar rata, dengan lekukan yang menggoda.
Meskipun terkesan kelaki-lakian, ada pula daya tarik sendiri yang muncul dari nona yang gagah ini.
Zhu Jiuzhen yang tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, mengulangi lagi pertanyaannya itu, "Shu Lin" apa kau
baik-baik saja?" Mendengar pertanyaan Zhu Jiuzhen, Ximen Lisi atau Shu Lin mengangkat wajahnya dan menyemprot pemuda itu dengan
keras, "Kenapa juga masih tanya-tanya!" Memangnya matamu itu buta" Tidak bisa melihat" Atau saat ini aku sedang
tertelungkup bersimbah darah" Pakai matamu, menurutmu aku baik-baik saja atau tidak?"
Merah padam sudah wajah Zhu Jiuzhen disemprot oleh Ximen Lisi disaksikan oleh hampir seluruh tokoh dunia persilatan
yang hidup di masa itu. Meski demikian pemuda itu tidak berubah menjadi marah pada Ximen Lisi atau Shu Lin,
kemarahannya justru dialihkan pada Ding Tao yang berdiri serba salah, tidak tahu harus berbuat apa karena keadaan tiba-
tiba mengarah pada situasi yang tidak pernah dia bayangkan.
Sambil menunjuk-nunjuk ke arah wajah Ding Tao, Zhu Jiuzhen menanyainya dengan keras, "Ketua Ding Tao, seorang laki-
laki yang terhormat, mengapa berbuat demikian rupa" Mempermalukan seorang gadis di hadapan sekian banyak orang.
Sekarang apa yang hendak ketua lakukan" Bagaimana tanggung jawab ketua pada Nona Shu Lin?"
Wajah Ding Tao jadi ikut memerah, bagaimanapun juga dia merasa bersalah juga dalam hal ini, dengan sedikit terbata dia
pun menjawab, "Tentang hal itu" tentang hal itu sekali lagi aku katakan, adalah bukan kesengajaan?"
Belum selesai Ding Tao berbicara Ximen Lisi sudah menyergah Zhu Jiuzhen, "Hei" apa kau marah karena perkataanku"
Kalau memang marah, labrak saja aku" Mengapa juga kau menyalahkan orang yang tidak bersalah?"
Ah apa mau dikata, maksud Zhu Jiuzhen maju membela Ximen Lisi, tapi Ximen Lisi yang dibela justru membela Ding Tao
yang menurut Zhu Jiuzhen sudah mempermalukan Ximen Lisi. Pemuda itu pun tergagao dan tidak bisa menjawab. Melihat
keadaan Zhu Jiuzhen mau tidak mau Ding Tao pun merasa kasihan. Dia bisa merasakan perasaan pemuda itu, seandainya
dia yang ada di posisinya, entah seperti apa wajahnya saat ini. Lu Jingyun yang sepertinya lega karena Zhu Jiuzhen tidak sampai bentrok dengan Ding Tao, menggamit tangan Zhu Jiuzhen.
"Sudahlah Saudara Jiuzhen, lupakan saja masalah ini, bukankah tentang keberadaan Shu Lin sebagai seorang wanita
memang tidak ada seorangpun yang tahu" Kau tidak bisa menyalahkan Ketua Ding Tao atas apa yang terjadi kali ini.", ujar Lu Jingyun berusaha mendamaikan suasana hati Zhu Jiuzhen.
Ding Tao yang ikut bersimpati dengan cepat merangkapkan tangan dan sedikit membungkuk pada Zhu Jiuzhen, "Saudara
Zhu Jiuzhen, aku sungguh minta maaf atas apa yang terjadi barusan. Kukira Nona Shu Lin tentunya adalah sahabat dekat
Saudara Zhu Jiuzhen, atas apa yang terjadi atas dirinya, aku dengan setulus hati memohon maaf pada kalian berdua."
Lu Jingyun mengangguk puas dengan sikap rendah hati Ding Tao, sementara Zhu Jiuzhen menganggukkan kepala menerima
maaf Ding Tao, sambil menggumamkan beberapa patah kata maaf. Setelah disergah dari berbagai jurusan, kemudian dia
mendapatkan tanggapan yang simpatik dan rendah hati dari Ding Tao, membuat emosi sesaat yang menggelapkan
pertimbangannya hilang pada saat itu juga. Dengan penuh rasa syukur Lu Jingyun menepuk-nepuk bahu Zhu Jiuzhen,
sepertinya semua sudah beres.
Tiba-tiba Ximen Lisi memelototi Ding Tao dan bertanya, "Eh, mengapa juga kau malah meminta maaf padanya" Sudah jelas
dia yang bersalah dalam hal ini, kau meminta maaf padanya kan justru membuatku seperti orang yang bersalah, karena
sudah mengingatkan dia?"
"Eh..." Ah" tentu saja bukan seperti itu maksudnya. Nona Shu Lin, kuharap kau mengerti, biarlah urusan ini disudahi
sampai di sini.", ujar Ding Tao tergagap.
Sebelum Shu Lin atau Ximen Lisi bicara lebih panjang, di luar tahu mereka sudah hadir di atas panggung, Bhiksu
Khongzhen, Pendeta Chongxan, Tetua Xun Siaoma, Bhiksuni Huan Feng, Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang. Wajah dua
orang yang terakhir, kurang sedap dipandang, tapi toh mereka bukan orang yang mudah ditebak perasaannya. Bhiksu
Khongzhen dengan wajah ramah dan senyum lebar menepuk pundak Ding Tao, sebelum kemudian menoleh ke arah Ximen
Lisi. "Ah" rupanya Ketua Ximen Lisi yang terkenal dari Shanxi adalah seorang gadis muda belia lagi jelita. Benar-benar sebuah kejutan, kuharap nona bisa memaafkan kesalahan sikap beberapa orang muda ini. Jika tidak keberatan, biarlah persoalan di antara kalian bisa diselesaikan secara pribadi setelah semuanya selesai. Bagaimana menurut nona?", ujar Bhiksu Khongzhen dengan ramah.
Bahkan Ximen Lisi yang tidak punya rasa takut inipun masih merasa segan pada ketua Shaolin yang berilmu tinggi namun
rendah hati ini. "Maafkan sikapku, memang benar aku menyembunyikan identitasku yang sesungguhnya, bahkan para pengikutku pun
hanya sedikit yang tahu. Nama siauwtee yang sebenarnya adalah Wang Shu Lin.", jawab Ximen Lisi atau Wang Shu Lin
dengan sopan. "Wang Shu Lin" apakah puteri dari Pelajar berbudi Wang Yang Hong?", tanya Bhiksu Khongzhen dengan pandang tertarik.
Dengan hormat Wang Shu Lin menjawab, "Benar Bhiksu?"
"Ah" rupanya begitu", apakah Adik Khongti baik-baik saja?", tanya Bhiksu Khongzhen setelah terdiam sejenak, di sisinya
Pendeta Chongxan ikut mendengarkan dengan penuh perhatian.
Demikian juga ke-4 ketua perguruan besar yang lain, ikut memperhatikan Wang Shu Lin dengan penuh perhatian. Wang
Shu Lin memandang ke arah wajah Bhiksu Khongzhen dengan pandang mata penuh selidik, kemudian setelah diam
beberapa lama dia pun menjawab.
"Keadaan Paman Khongti sangat baik adanya, demikian juga dengan kelima paman yang lainnya, mereka sekarang
menikmati kehidupan yang damai dan tenang di suatu desa kecil, hidup sederhana sebagai peternak dan petani. Jika tidak
sedang bekerja, maka mereka akan bermain catur atau membaca-baca tulisan dari para guru besar yang hidup di masa
lampau. Memikirkan masalah agama dan bukan masalah dunia.", demikian jawab Wang Shu Lin.
Wajah Bhiksu Khongzhen tampak lega, demikian pula wajah Pendeta Chongxan dan Bhiksuni Huan Feng. Tetua Xun Siaoma
tampak merenung sejenak, kemudian menganggukkan kepala dan menghela nafas, seperti seorang ayah yang merelakan
anaknya pergi memilih jalan sendiri. Beda dengan Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang, mereka berdua tampak kurang
puas dengan jawaban Wang Shu Lin, hanya saja memandang masalah itu sebagai masalah yang tidak cukup penting untuk
mereka pikirkan. Dengan sedikit ketus Zhong Weixia bertanya pada Wang Shu Lin, "Dari Pang Boxi, apa saja yang kau pelajari?"
Wang Shu Lin menatapnya dengan rasa tidak suka dan menjawab, "Dari Paman Pang Boxi aku hanya mendapat sedikit
petunjuk tentang bagaimana memainkan sepasang kapak dan sebilah pedang berkait. Menurutnya, kemungkinan besar
pada generasi yang berikut tentu Ketua Zhong Wei Xia akan terpilih menjadi Ketua Khongtong dan dirinya merasa segan
untuk mengajariku lebih oleh sebab orang itu."
Zhong Weixia menyeringai kejam dan berkata, "Baguslah dia mengerti diriku dengan baik, kepadamu aku peringatkan baik-
baik, jika sampai aku mendapatimu berkelahi dengan menggunakan salah satu ilmu simpanan Perguruan Khongtong, bukan
hanya dirimu yang kukejar, Pang Boxi yang murtad itu pun jangan harap bisa hidup lebih lama."
Wang Shu Lin dengan benci memandangi Zhong Wei Xia kemudian menjawab dengan hormat, "Perkataan Ketua Zhong
Weixia akan kuingat baik-baik."
"Bagaimana dengan Paman Chen Taijiang?", tiba-tiba Guang Yong Kwang bertanya pula.
Dengan pandang mata yang berapi-api, Wang Shu Lin menatap tajam Guang Yong Kwang dan dengan jawaban yang tidak
kalah hormat dia menjawab, "Paman Chen Taijiang mengajariku berbagai wejangan Guru besar Lao Tze. Diajarkannya pula
pergerakan bintang-bintang dan benda-benda di angkasa. Juga tentang lima unsur dalam dunia serta hubungannnya. Selain
itu tidak ada hal lain yang dia ajarkan."
Guang Yong Kwang bukannya tidak menangkap nada sinis dalam sikap Wang Shu Lin yang sopan, bahkan sopan secara
berlebihan, tapi dengan tetap menjaga sikapnya sebagai seorang ketua dia pun menjawab dengan tidak kalah sopannya,
"Syukurlah kalau Paman Chen Taijiang hidup dengan damai. Baguslah kalau di mana pun dia berada, dia selalu ingat akan
aturan dari perguruan yang membesarkan dia."
Pendeta Chongxan menunggu suasana sedikit mereda sebelum kemudian berkata dengan lemah lembut pada Wang Shulin,
"Keponakanku, jika kau sempat bertemu dengan adikku, Paman Zhu Yanyan, katakanlah padanya, banyak saudara di
Wudang yang rindu ingin bertemu. Jika dia mau datang, tentu kita akan siapkan pesta perayaan yang ramai. Jika dia ingin datang bersama sahabat yang lain, kami dari Wudang akan menerima dengan senang hati dan akan kami anggap seperti
saudara sendiri." Berhadapan dengan Pendeta Chongxan, berbeda lagi sikap Wang Shulin, dengan sedikit sendu dia menjawab, "Paman Zhu
Yanyan sering bercerita tentang anda dan paman-paman di Wudang. Jika sedang rindu pada saudara-saudara yang di
Wudang, seringkali beliau meminum arak sendirian sambil bermain pedang. Tapi sebelum aku pergi, beliau berpesan,
bahwasannya beliau tidak ingin menyusahkan kalian semua. Biarlah segala perasaan cukup disimpan dalam hati. Asalkan
ada saling mengerti dan percaya."
Pendeta Chongxan pun terdiam beberapa lama sebelum mendesah dan bertanya, "Apakah keponakan masih sering
berjumpa dengan ke-enam paman?"
Terhadap pertanyaan itu Wang Shu Lin menggeleng dengan sedih, "Segera setelah tamat belajar, ke-enam paman pergi
menghilang. Hanya sekali mereka mengirim surat, sekedar memberitahukan bahwa keadaan mereka baik-baik adanya. Agar
keponakan tidak perlu banyak berkuatir tentang keadaan mereka. Asalkan keponakan dengan tekun melaksanakan
kewajiban sebagai seorang anak terhadap orang tuanya, sebagai seorang murid pada gurunya. Tentu mereka yang
mendengar kabar tentang keponakan akan merasa berbahagia."
Tetua Xun Siaoma yang sedari tadi diam mendengarkan ikut pula berkata, "Anak Shu Lin, peristiwa menghilangnya
keluargamu dalam sebuah perjalanan, bersamaan pula dengan hilangnya enam sahabat pengikat perguruan besar, apakah
ada hubungannya dengan gerakanmu menghajar habis 16 orang kepala geng di Shanxi?"
Wang Shu Lin memandang sejenak wajah Xun Siaoma dan tidak mendapati sikap bermusuhan seperti yang ada pada Zhong
Weixia atau Guang Yong Kwang, tapi sikap bersahabat yang sama seperti pada wajah Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan
dan juga Bhiksuni Huan Feng. Melihat itu diapun tersenyum ramah.
"Benar sekali paman, meskipun tidak ada bukti yang kuat, hanya keponakan seorang sebagai saksi, bagaimana pun juga
dari penyelidikan ke-enam paman dan dari apa yang keponakan saksikan, kecurigaannya kuat ada 9 orang dari ke-16 orang
itu. Meskipun tidak bisa memastikan siapa yang 9 dari 16 orang itu, toh 16 orang itu sama jahatnya.", jawan Wang Shu Lin dengan penuh semangat.
Sikapnya yang sedikit berangasan ini tentu saja sesuai dengan Xun Siaoma yang di masa mudanya pernah mendatangi 9
orang pendekar pedang di 9 propinsi hanya untuk memahsyurkan reputasi ilmu pedang milik Hoashan. Meskipun usianya
yang sudah lanjut meredam banyak kegarangannya di masa muda, mendengar jawaban Wang Shu Lin yang bernada berani
namun juga sembarangan itu, tokoh tua ini pun tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha ", benar-benar, aku tahu ayahmu hanya seorang sastrawan, namun seorang sastrawan dengan nyali harimau.
Sungguh pantas kalau kau ini jadi puterinya. Baguslah, kau pesanlah juga pada ke-enam pamanmu, bukan hanya Wudang
yang membuka pintu bagi mereka, Hoasan juga terbuka bagi mereka.", ujarnya dengan bersemangat.
"Ucapan paman tentu aku ingat baik-baik, seandainya ada kesempatan untuk menyampaikannya, keponakan tentu akan
menyampaikannya.", jawab Wang Shu Lin dengan wajah cerah.
Berturut-turut Bhiksu Khongzhen dan Bhiksuni Huan Feng mengungkapkan hal yang sama. Wajah Zhong Weixia dan Guang
Yong Kwang makin tidak sedap saja untuk dilihat. Sementara itu mereka yang di bawah panggung dan tidak ikut bercakap-
cakap. Mempercakapkan sendiri di antara mereka tentang Ximen Lisi yang ternyata adalah saruan dari seorang gadis
bernama Wang Shu Lin. Gelaran "Enam Sahabat Pengikat Enam Perguruan Besar", cukup dikenal belasan tahun yang lalu.
Meskipun sekarang sudah mulai dilupakan orang sejak menghilangnya mereka dari dunia persilatan. Mereka adalah 6 orang
pendekar dari 6 perguruan besar, meskipun berasal dari perguruan yang berbeda-beda, mereka terikat erat dalam satu
persahabatan. Satu hubungan yang di masa itu menggambarkan sisa-sisa kedekatan 6 perguruan besar yang ada di masa
lalu. Ke-enamnya bukanlah tokoh yang berilmu tinggi, meskipun tidak bisa dikatakan lemah. Namun nama-nama perguruan
di belakang mereka yang membuat orang segan terhadap mereka ber-enam.
Keseganan orang atas asal-usul mereka, tidak membuat ke-enam orang ini bertindak pongah. Justru sebaliknya hal itu
sering menjadi beban bagi mereka. Karena itu tidak pernah sedikitpu mereka ber-enam berpaling pada perguruannya jika
sedang ditimpa masalah. Melainkan bersama-sama sebagai 6 orang sahabat mereka menyelesaikan masalah mereka
sendiri. Bagaimana pun juga, karena kedudukan dan tingkatan mereka, ditambah lagi dengan nama besar dibalik punggung
mereka. Bisa dikatakan kehidupan mereka dalam dunia persilatan tidaklah banyak dilanda badai dan ancaman. Sesekali
mereka bergerak bersama menolong orang, pihak yang bentrok biasanya memilih untuk mundur atau mengalah segera
setelah tahu siapa yang datang.
Tidak ada yang terlampau mengherankan dalam keberadaan mereka sebagai bagian dari dunia persilatan, sampai pada
kejadian menghilangnya Wang Yang Hong, seorang sahabat dari ke-enam orang pendekar tersebut. Persahabatan itu
terjalin belum begitu lama, ketika sebuah nasib buruk menimpa Wang Yang Hong. Disebabkan perkataannya yang jujur dan
tidak mau kenal bahaya, Wang Yang Hong bentrok dengan seorang ketua geng di Shanxi dalam satu perkara pengadilan.
Tidak banyak yang tahu apa yang kemudian terjadi, namun menilik dari percakapan Wang Shu Lin dan ke-enam orang
ketua perguruan besar, bisa disimpulkan bahwa ada 9 orang kepala geng di Shanxi yang bekerja sama untuk membalas
dendam dan melenyapkan Wang Yang Hong sekeluarga. Wang Shu Lin sendiri diselamatkan oleh ke-enam pendekar itu,
serta dididik dalam ilmu bela diri agar dapat membalaskan dendam orang tuanya.
"Kenapa ke-enam pendekar itu tidak membalaskan dendam Wang Yang Hong sendiri" Mengapa harus mewakilkannya pada
puterinya?", tanya seorang muda pada salah seorang seniornya.
Beberapa telinga pun ikut dipasang untuk mendengar penjelasan dari senior orang muda itu. Kebetulan sejak tadi
penjelasan dan uraiannya terdengar masuk akal. Yang sedang ditanya ini adalah seorang murid Wudang yang suka
berkelana, dikenal dengan wawasan yang luas dan mulut yang bocor alias suka sekali bercerita, sukar menyimpan rahasia.
"Kukira ada beberapa sebab. Yang pertama, ke-enam pendekar tersebut menyadari bahwa bakat mereka dalam bela diri
memang tidak cukup untuk menghadapi 9 orang ketua geng yang bersatu itu. Kukira 9 orang itu sendiri tentu paham bahwa
Wang Yang Hong adalah sahabat dari mereka berenam, itu sebabnya mereka urun bersama dalam melampiaskan sakit hati
pada Wang Yang Hong. Hal ini tentu saja bukan karena takut pada Wang Yang Hong, karena dia hanyalah seorang
sastrawan biasa, melainkan lebih karena hubungan Wang Yang Hong dengan ke-enam pendekar tersebut.", ujarnya
menjelaskan. "Hmm" masuk akal, kebetulan mereka melihat Wang Shu Lin memiliki bakat yang lebih baik dari mereka berenam, jadi
mereka memutuskan untuk melatih Wang Shu Lin dan mengutusnya untuk membalas dendam. Lagipula dia adalah puteri
Wang Yang Hong satu-satunya, tidak ada orang lain yang lebih tepat untuk itu. Kau bilang ada sebab lain, apa sebab lainnya itu?", tanya adik seperguruan-nya.
"Sebenarnya kalau sekedar masalah kekuatan, bukankah mereka bisa minta bantuan pada saudara seperguruan mereka"
Namun yang jadi masalah ke-enam pendekar ini memiliki harga diri yang tinggi. Karena urusan ini dipandang sebagai
urusan pribadi, maka memalukan adanya jika mereka sampai harus merepotkan saudara seperguruan mereka. Selamanya
urusan Enam Sahabat Pengikat Enam Perguruan Besar, selalu diselesaikan sendiri oleh mereka. Ini sebab kedua.", jawab
kakak seperguruannya. "Ya", kalau sekedar tidak bisa membalaskan dendam dengan kekuatan sendiri, bukan berarti harus mengajarkan Wang Shu
Lin ilmu-ilmu perguruan mereka. Bisa juga mereka meminta bantuan dari saudara-saudara seperguruan. Tapi akibat dari
gengsi mereka ini, mereka harus menyingkirkan diri dari dunia persilatan. Jika tidak tentu harus berhadapan dengan aturan perguruan yang melarang murid-muridnya untuk mengajarkan ilmunya pada orang luar.", ujar adik seperguruannya sambil
menganggukkan kepala. "Benar", demi sebuah gengsi mereka melanggar peraturan perguruan mereka. Tapi bagaimanapun juga, rasa kesetia
kawanan mereka patut dipuji.", jawab kakak seperguruannya.
"Tunggu dulu kak, kalau memang dua alasan itu saja, mengapa mereka tidak mengantarkan Wang Shu Lin ke Wudang
untuk diajar" Dengan bakatnya Wang Shu Lin tentu akan bisa mencapai taraf yang tinggi dan bisa membalaskan dendam
orang tuanya tanpa harus ada yang melanggar peraturan perguruan?", tiba-tiba adik seperguruannya berseru.
"Hmm" karena kau murid Wudang maka kau berkata demikian. Jika kau murid Hoashan maka kau akan berkata, mengapa
mereka tidak mengantarkan Wang Shu Lin ke Hoashan, dan demikian seterusnya. Harus kau ingat hubungan erat dari
mereka ber-enam, jalan yang kau berikan akan membuat seorang di antara mereka lebih berjasa sementara 5 orang yang
lain tidak berkesempatan menunjukkan persahabatan mereka pada almarhum Wang Yang Hong.", jawab kakak
seperguruannya dengan cepat, rupanya hal inipun sudah terpikirkan olehnya.
Mendengar perkataan kakaknya itu, sang adik seperguruan terpekur beberapa lama, "Hmm" ya, ya, sekarang bisa
kubayangkan keadaan mereka berenam saat itu."
Terdiam sejenak, tiba-tiba dia pun kembali berkata, "Ah" sungguh mengagumkan rasa kesetia kawanan mereka. Demikian
juga keengganan mereka untuk melibatkan perguruan tempat mereka belajar, kurasa tidak melulu disebabkan karena rasa
gengsi yang berlebihan. Kalau mengambil jalan demikian, tidak mungkin enam perguruan besar bergerak bersama hanya
karena urusan seperti ini. Di lain pihak menyerahkan pada salah satu perguruan akan membentur hal yang sama dengan
pemecahan yang sebelumnya kuajukan."


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakak seperguruannya pun tersenyum sambil menepuk bahu adik seperguruannya itu, "Nah" baguslah kalau kau bisa
belajar untuk menempatkan diri di posisi orang lain. Seringkali pertikaian yang tidak perlu, bisa terjadi hanya karena kita tidak bisa menempatkan diri pada posisi orang lain."
"Hmm apakah kakak juga tahu, apa hubungan Zhu Jiuzhen dan Lu Jingyun dalam masalah ini?", tanya adik
seperguruannya. "Heheheh, kalau soal ini secara pastinya aku tidak bisa menebak. Tapi dari percakapan di antara mereka bisa kukatakan
kalau Zhu Jiuzhen sepertinya menaruh hati pada Wang Shu Lin, hal itu tidaklah aneh karena mereka pernah saling
membantu ketika Wang Shu Lin menghabisi 16 orang kepala geng di Shanxi. Tentang Lu Jing Yun, dia adalah sahabat Zhu
Jiuzhen dan keikut sertaannya dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini, mungkin ada hubungannya dengan hal itu.", ujar kakak
seperguruannya. "Hmm" mungkin Zhu Jiuzhen yang menaruh hati pada Wang Shu Lin, mungkin menyatakan perasaannya itu pada Wang
Shu Lin. Namun Wang Shu Lin menolak dan memberikan syarat bahwa Zhu Jiuzhen harus mampu terlebih dahulu
mengalahkannya. Sayangnya sampai sekarang Zhu Jiuzhen masih juga gagal mengalahkannya, ketika Wang Shu Lin terjun
dalam pemilihan Wulin Mengzhu, Zhu Jiuzhen meminta Lu Jingyun sahabatnya untuk mewakili dirinya mengalahkan Wang
Shu Lin.", gumam si adik seperguruan sambil mencoba mengotak-atik fakta yang ada di tangan.
Kakak seperguruannya tertawa geli melihat tingkahnya itu, "Hahaha, itu kan hasil pemikiranmu yang baru saja menonton
drama Liang Shanbo dan Zhu Yingtai. Jangan terlalu dipaksakan kalau memang tidak bisa dimengerti, toh itu bukan urusan
kita, itu urusan pribadi mereka."
Wajah adik seperguruannya itu pun jadi memerah, mendengar komentar dari kakaknya, diapun memilih diam, namun
dalam hati dia masih memikirkan masalah itu, "Mungkin Wang Shu Lin mengatakan seperti ini, apa lebihnya lelaki" Aku tidak akan menikah, kecuali kalau terbukti ada lelaki yang lebih hebat dari diriku dalam memainkan pedang."
"Hmm" tentunya Zhu Jiuzhen ingin dirinya yang mengalahkan Wang Shu Lin, namun masuk dalam pemilihan Wulin
Mengzhu, ada banyak lelaki yang punya kesempatan untuk mengalahkan Wang Shulin, daripada orang yang tidak dikenal,
dia lalu minta tolong pada sahabatnya, Lu Jingyun. Jika Lu Jingyun berhasil mengalahkan Wang Shu Lin, lalu Wang Shu Lin membuka jati dirinya tapi Lu Jingyun tidak tergerak hatinya. Bukankah ini berarti kesempatan buat Zhu Jiuzhen?", pikirnya dalam hati.
"Kalau orang lain yang berhasil mengalahkan Wang Shu Lin, lalu Wang Shu Lin jatuh hati dan yang mengalahkannya itu juga menanggapi kan berabe buat Zhu Jiuzhen" Eh" bukankah yang menang akhirnya adalah Ding Tao" Kira-kira" apa Wang
Shu Lin akan mendekati Ding Tao?", dengan jantung berdegup, pemuda yang baru beranjak dewasa inipun memperhatikan
kejadian di atas panggung.
Kakak seperguruannya yang mengamati dari samping, hanya tersenyum kecil saja, dia merasa tidak ada yang terlalu
menyimpang dari kelakuan adik seperguruannya ini. Sudah wajar di umurnya itu, untuk tertarik pada masalah hubungan
antara pria dan wanita. Jadi bahaya jika yang dipikirkan hanyalah bentuk hubungan antara pria dan wanita yang tidak
sehat. Selama arahnya tidak menuju ke sana, dia pikir lebih baik dibiarkan saja.
Ini adalah salah satu contoh cara Pendeta Chongxan mendidik anak muridnya. Anak murid yang lebih muda biasanya
dipasangkan dengan anak murid yang lebih berpengalaman. Dengan cara itu wawasan dan cara berpikir yang luas
ditularkan pada yang lebih muda. Selain juga diadakan pertemuan-pertemuan umum, di mana Pendeta Chongxan
memberikan ceramah pada seluruh murid Wudang yang kebetulan sedang ada dalam perguruan.
Di atas panggung sendiri pembicaraan sudah mulai berubah ke arah yang berbeda.
Selesai dengan urusan pribadi yang kebetulan terbawa ke atas panggung, Bhiksu Khongzhen mengarahkan lagi
pembicaraan ke arah tujuan mereka semua berkumpul di kaki Gunung Songshan hari ini, "Nona Wang Shu Lin, bukankah
kita semua hari ini berkumpul untuk memilih seorang Wulin Mengzhu. Pemilihan yang kita adakan dengan jalan adu
kepandaian dan di babak terakhir, tinggallah Ketua Ding Tao dan Nona Wang Shu Lin. Dari hasil pertarungan apakah Nona
Wang Shu Lin keberatan jika aku, sebagai pihak yang netral mengatakan bahwa Ketua Ding Tao sudah memenangkan
pertarungan ini?" Dengan wajah sedikit bersemu merah, Wang Shu Lin pun menjawab, "Tidak", aku tidak keberatan, adalah kenyataannya
aku yang kalah." Sambil menjawab, matanya melirik sekilas ke arah Zhu Jiuzhen, kemudian ke arah Ding Tao sebelum kembali menatap
Bhiksu Khongzhen. Entah kegalauan apa yang sedang dirasakan gadis muda ini. Wang Shu Lin bukanlah gadis manja, sejak
dia belum bisa berkata-kata dengan jelas, dia sudah mengenal kerasnya dunia dan belajar untuk hidup di dalamnya dengan
mengandalkan kekuatannya sendiri tanpa bersandar pada orang lain. Sudah terbiasa bersikap keras, gadis muda yang
sedang dililit masalah asmara ini bisa memisahkan antara kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang banyak.
Bhiksu Khongzhen mengangguk puas, kemudian berbalik pada mereka semua yang telah datang untuk menyaksikan
terpilihnya seorang Wulin Mengzhu setelah sekian puluh tahun kedudukan itu tidak ada yang mengisi.
"Dengan pernyataan Nona Wang Shu Lin tadi, maka jelaslah bahwa Ketua Ding Tao dari Partai Pedang Keadilan, berhak
untuk menduduki kedudukan Wulin Mengzhu yang telah kosong selama berpuluh tahun. Dan aku sebagai Ketua dari
Shaolin, telah mengamati dan menimbang kepribadiannya."
"Ketika kami mengirimkan 18 orang bhiksu Shaolin untuk menguji mereka yang datang untuk ikut dalam pencalonan.
Hampir seluruh mereka yang kami kirimkan dan gagal untuk mempertahankan medali, telah pulang dalam keadaan terluka,
ringan maupun berat. Hanya mereka yang bertugas untuk menguji Ketua Ding Tao yang kembali dalam keadaan tanpa luka.
Demikian juga dalam pertarungan untuk memperebutkan kedudukan ini, berkali-kali Ketua Ding Tao menunjukkan sifat
yang welas asih dan menjunjung kepentingan orang banyak. Dengan menimbang itu semua, mewakili seluruh anak murid
Perguruan Shaolin, aku menyatakan bahwa kami bersedia untuk ikut bersumpah setia.", demikian Bhiksu Khongzhen
menjelaskan. Begitu Bhiksu Khongzhen mengakhiri penjelasannya , seketika itu juga suasana meledak oleh suara riuh rendah orang
bersorak. Meskipun masih cukup banyak yang meragukan hati Ding Tao yang dipandang seringkali terlalu lemah dalam
mengambil keputusan, namun tidak ada seorang pun yang meragukan betapa tinggi ilmu dari pemuda itu. Ditambah lagi
dengan pernyataan dari Bhiksu Khongzhen, kekhawatiran timbulnya perpecahan akibat perguruan Shaolin yang mengambil
sikap berbeda hilang. Dan hal itu justru terjadi karena sikap Ding Tao yang welas asih, sudah menarik simpati dari pihak Shaolin yang pada masa-masa di bawah pimpinan Bhiksu Khongzhen, lebih menekankan pada pembinaan spiritual dari anak
murid Shaolin daripada pelatihan ilmu-ilmu beladiri Shaolin. Sehingga banyak juga dari mereka yang masih sedikit
meragukan kemampuan Ding Tao untuk memimpin dengan tegas jadi bersimpati juga pada sifat pemuda ini yang kurang
mereka setujui itu. Tapi suara riuh rendah itu pun tiba-tiba menjadi senyap diganti oleh kediaman yang mencekam ketika sebuah suara berseru mengatasi sorakan setiap orang itu.
"TUNGGU !!!", seru seseorang dari luar panggung.
Suara itu bergema ke segala penjuru, seakan diserukan dari beberapa penjuru sehingga sulit ditentukan di mana orang
yang berseru itu sesungguhnya. Suara keras bergaung dan membawa rasa kengerian, seperti auman dari seekor singa.
Sebuah ilmu hawa murni yang disalurkan dalam bentuk suara dan sudah jarang terdengar di masa ini. Menyusul suara itu,
sebuah bayangan berkelebat ke atas panggung. Sebelum sampai di atas panggung, bayangan itu sudah menyambitkan
sesuatu ke arah Bhiksu Khongzhen. Ketika bayangan itu akhirnya berdiri di atas panggung, benda yang dia sambitkan sudah berada di tangan Bhiksu Khongzhen dan sedang dia amati. Itulah medali yang menyatakan bahwa pemiliknya lulus ujian
dari Shaolin dan berhak untuk datang sebagai calon Wulin Mengzhu.
Berdiri sambil tersenyum-senyum di atas panggun adalah seorang lelaki berusia 30-an dengan dandanan yang sangat rapi
dan warna-warna yang cerah. Bahkan lebih cerah dan bercorak dari Wang Shu Lin ketika menyamar sebagai Ximen Lisi.
Beberapa orang yang mengenalnya pun berseru, "Tawon merah" Apa yang dilakukan penjahat cabul itu di sini?"
"Keparat! Cari mati dia!"
"Wu Shan Yee" manusia bejad" akhirnya kutemukan dirimu?"
Dan banyak lagi seruan tertahan dari berbagai penjuru, jika dihitung jumlah orang yang ingin maju dan mencincang tokoh
yang satu ini, mungkin jumlahnya mencapai ratusan orang pendekar. Hanya karena memandang muka para tokoh besar
yang ada di atas panggung mereka menahan diri. Juga karena kepandaian orang ini tidak bisa disepelekan dan di antara
mereka yang ingin membuat perhitungan namun tidak memiliki keyakinan akan menang, berharap bahwa tokoh-tokoh itu
akan mewakili mereka memberikan hajaran.
Bhiksu Khongzhen dengan tenang bertanya, "Apa maksudmu datang ke mari?"
Meskipun ratusan bahkan ribuan mata memandangnya dengan sorot mata ingin membunuh, bahkan dari wajah tokoh yang
dikenal sabar seperti Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun tidak tampak ada persahabatan, yang biasanya
disediakan bagi hampir setiap orang. Ding Tao tidak terlalu mengenal nama busuk Wu Shan Yee, mau tidak mau dia
mengagumi keberanian orang ini.
Masih tersenyum-senyum Wu Shan Yee menjawab, "Kudengar Shaolin mengeluarkan pengumuman, barang siapa datang
dengan membawa medali ini, orang itu boleh ikut dalam pencalonan Wulin Mengzhu."
"Jika kau memang ingin ikut mencalonkan diri, mengapa tidak naik ke atas dari tadi?", tanya Bhiksu Khongzhen dengan
dingin. "Hahahaha, kebetulan aku ada urusan penting dan baru bisa datang. Apakah ada peraturan yang kulanggar?", jawab Wu
Shan Yee tertawa-tawa. Wajah Xun Sioma sudah gelap, penuh dengan hawa pembunuhan. Jika tidak mengingat kedudukannya yang mewakili ketua
perguruan Hoashan, mungkin sudah sejak tadi dia melabrak Wu Shan Yee tanpa mempedulikan aturan dan sopan santun.
Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang tentu saja diam-diam merasa girang melihat munculnya sandungan bagi jalan Ding
Tao. Bhiksuni Huan Feng memandang Bhiksu Khongzhen dan dengan menundukkan kepala, memberi tanda bahwa dia
menyerahkan keputusan pada Bhiksu Khongzhen. Bhiksu Khongzhen berpandangan sejenak dengan Pendeta Chongxan,
sahabat dekatnya itu pun balas memandang beberapa saat lamanya, bertukar pikiran tanpa kata, hanya rasa bertemu rasa,
kemudian menganggukkankepala.
Setelah mengitarkan pandangannya ke orang-orang di sekelilingnya sebentar, akhirnya Bhiksu Khongzhen pun siap untuk
memberikan jawaban. "Baiklah, memang mereka yang mendapatkan medali itu berhak untuk ikut dalam pencalonan Wulin Mengzhu. Meskipun
caramu memilih waktu mengesankan kecurangan dalam hatimu. Aku tidak akan membatalkan keputusan ini. Supaya jangan
dirimu membuat perkataan yang tidak-tidak di kemudian hari.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan tenang.
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan berpendapat bahwa Wu Shan Yee tidak akan menang melawan Ding Tao,
daripada menolak permintaan Wu Shan Yee dan menimbulkan ganjalan di kemudian hari, akhirnya Bhiksu Khongzhen
memutuskan untuk meluluskan permintaan Wu Shan Yee. Dari puluhan ribu orang yang menyaksikan terdengar berbagai
macam umpatan dan seruan.
"Hajar saja laki-laki keparat itu Mengzhu!"
"Hukum dia buat segala perbuatan bejadnya!"
"Ya, benar! Hajar saja orang tidak tahu diri itu!"
"Kutungi saja tangan dan kakinya!"
"Jangan kutungi saja yang di selangkangannya itu!"
Demikian mereka berteriak dan berseru, beberapa disambut tawa dan makian. Jelas dari sebanyak orang yang datang,
sebagian besar tidak bersimpati pada Wu Shan Yee. Mendengar sorakan orang banyak, Ding Tao menghela nafas.
Terbayang jika seandainya yang ada di atas panggung ini adalah sepasang iblis muka giok, apakah tidak seperti ini juga
kejadiannya. Orang ini apakah juga memiliki kesulitan-kesulitan untuk kembali ke jalan yang benar" Ding Tao pun sudah
berniat untuk melumpuhkan lawan untuk "diurus" lebih lanjut, selepas pemilihan ini berlalu. Jika bisa diluruskan ya
diluruskan. Jika tidak mungkin diluruskan, setidaknya dia bisa mencabut taringnya sehingga dia bisa dibiarkan hidup tanpa membahayakan orang lain.
"Apakah Ketua Ding Tao setuju?", tanya Bhiksu Khongzhen.
Ding Tao buru-buru merangkap tangan dan membungkuk hormat pada Bhiksu tua itu dan menjawab, "Tentu saja, aku
setuju." "Hahahaha bagus, bagus. Memang kalian semua adalah pendekar-pendekar yang terhormat.", ujar Wu Shan Yee sambil
bertepuk tangan. "Hmm" sebelum kalian mulai, kalau boleh aku bertanya, apa yang kau lakukan dengan 18 orang murid Shaolin yang
mengujimu?", tanya Bhiksu Khongzhen dengan tatapan mata yang tajam.
"Oh.. tentang 18 orang itu" Soal mereka seharusnya bukan kau tanyakan padaku, karena yang mengalahkan mereka
bukanlah aku. Aku naik ke sini hanya membantu dia menanyakan masalah pemilihan Wulin Mengzhu.", jawab Wu Shan Yee
"Hah !" Apa maksudmu?", tanya Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan dalam waktu yang hampir bersamaan.
Sebelum Wu Shan Yee memberikan jawaban maka terjadilah kejadian yang akan menjadi pemicu serentetan kejadian
lainnya. Sebuah gerobak pengangkut tiba-tiba datang dari arah jalan besar menuju ke arah panggung. Yang menjadi kusir
seorang dengan tinggi tubuh beberapa jengkal lebih rendah dari rata-rata orang. Biarpun badannya pendek, namun
tubuhnya gempal dengan otot-otot yang besar bertonjolan. Di depan gerobak itu berlari dengan cepat adalah seorang
dengan tinggi melampaui tinggi badan banyak orang. Bahkan lebih tinggi dari Ding Tao, yang tingginya di atas rata-rata.
Raksasa ini pun menunjukkan kebolehannya, dengan ringan dia melempar-lemparkan orang-orang yang menghalangi
jalannya gerobak itu ke arah panggung.
Dengan sendirinya keadaanpun jadi kacau balau, orang-orang yang sudah berdiri berjejalan jadi berjatuhan, baik mereka
yang kena tangkap lalu dilemparkan, ada pula mereka yang berusaha minggir namun saling bertabrakan, atau mereka yang
tiba-tiba ditimpa jatuh oleh sesama penonton yang sudah dilemparkan oleh orang tinggi besar itu. Mereka yang berdiri di bagian itu memang bukan tokoh kenamaan, namun dalam dunia persilatan ini ada berapa orang yang bisa dengan
mudahnya menangkapi mereka lalu melemparkannya seperti mainan"
Mereka yang berada di bagian kursi kehormatan, yang duduk di beberapa lapis baris terdepan, secara serempak sudah
bangkit dan mencabut senjata andalan masing-masing. Mau ditaruh ke mana muka mereka, jika mereka pun sampai
terkena tangkap dan dilemparkan seperti parapendekar kelas bawah seperti yang terjadi saat ini.
Selapis demi selapis, gerobak dan orang yang membuka jalan semakin dekat dengan mereka.
Otot-otot dan urat syaraf tiap orang pun makin menegang, bersiap menghajar bila pendatang yang tidak tahu aturan ini
berani menjajal ilmu mereka. Bukan hanya mereka, para tokoh besar yang ada di atas panggung pun memandangi kejadian
itu dengan pandang mata tajam. Hanya Wu Shan Yee yang tersenyum-senyum melihat kejadian itu. Dari sikapnya sudah
jelas dua orang yang baru datang ini adalah sekutunya.
Ketika lapis terakhir sudah pula tercapai, otomatis kuda-kuda mereka yang berada di barisan kursi kehormatan merendah,
bersiap untuk menghadapi serangan yang akan datang.
Di luar dugaan orang, gerobak dihentikan. Raksasa yang membuka jalan, melompat berjumpalitan ke belakang dengan
ringan, melayang dan tepat ditangkap oleh kedua tangan kusir yang berotot itu. Dengan sebuah hentakan, yang seorang
melontarkan orang yang dia tangkap sekuatnya ke depan, sementara yang tertangkap menghentakkan kakinya sekuat
tenaga melompat ke arah yang sama. Dua tenaga raksasa dikerahkan, hasilnya sesosok tubuh tinggi besar melompat
bagaikan terbang menuju tepat ke atas panggung, melewati beberapa barisan orang yang sedang bersiap untuk menerima
serangan mereka. Jangan dilihat tubuhnya tinggi besar, nyata ilmu meringankan tubuhnya tidak jauh di bawah Lu Jingyun.
Ketika orang itu sampai di atas panggung, pertunjukan belumlah usai, sambil tertawa berkakakan, dia berkata, "Khongzhen, kukembalikan anak muridmu yang tidak tahu diri hendak mengujiku."
Menyusul perkataannya itu, si kusir yang masih berada di gerobak, melempar-lemparkan tubuh-tubuh tak berdaya ke atas
panggung, yang dengan cekatan ditangkapi oleh orang tinggi besar yang berdiri di atas panggung. Dengan cepat sebuah
bukit kecil terbentuk di atas panggung, tersusun dari 18 orang bhiksu Shaolin yang tak berdaya. Menyusul si pendek kekar melompat pula ke atas panggung, jika ilmu meringankan tubuh si tinggi besar sedikit di bawah Lu Jingyun, maka yang
pendek kekar ini bisa dipastikan ilmu ringan tubuhnya selapis dua lapis di atas Lu Jingyun.
Di saat yang sama, orang mulai mengenali siapa yang datang barusan ini, termasuk Bhiksu Khongzhen yang dengan cepat
memburu ke arah anak muridnya yang bertumpukan tanpa daya. Ketika dia melihat mereka masih bernafas dengan stabil,
meskipun tak sadarkan diri, hatinya pun sedikit lebih tenang.
Dengan wajah marah, yang belum pernah dilihat orang Bhiksu Khongzhen menghadap ke arah dua orang yang baru datang,
"Shao Wang Gui! Thai Wang Gui! Bukankah dulu sudah kami ampuni selembar nyawa kalian!" Kalian pun sudah berjanji
untuk menarik diri dari dunia persilatan!" Lalu apa pula maksud kelakuan kalian berdua kali ini !?"
"Khongzhen" sahabat lama, tidak ada niatan buruk sama sekali. Aku dengar kau dan Chongxan mengalami kesulitan untuk
menghadapi Ren Zuocan, jadi kupikir baiklah kami datang untuk ikut membantu.", jawab Thai Wang Gui dengan senyum
lebar. Sebelum Bhiksu Khongzhen atau yang lain dari mereka yang berwenang sempat menjawab terjadi lagi peristiwa
mengejutkan yang lain. Sejak kemunculan Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui, selain adanya bisik-bisik di antara tokoh
dunia persilatan yang pernah mengenal keduanya. Ada bisik-bisik yang berbeda dari sisa-sisa anggota keluarga Huang.
"Bila dilihat perawakannya bukankah itu dua orang dari mereka?"
"Thai Wang Gui" Shao Wang Gui" mengapa hal itu tidak pernah terpikirkan olehku?"
"Waktu itu mereka memakai jubah kedodoran dan menyamarkan bentuk tubuh mereka. Barulah setelahmendengar suara
mereka kita merasa kenal."
"Bukankah keduanya mati di tangan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan?"
"Bukan, bukan mati, hanya seluruh ilmu silatnya sudah dimusnahkan, itu sebabnya tidak pernah terbayang jika mereka
merupakan salah satu pelaku dalam penyerangan itu."
Bisik-bisik ini semakin santer dan ketika keyakinan mereka sudah mantap, maka sampailah perkataan itu pada Ding Tao
lewat Li Yan Mao. "Ketua Ding Tao, ampuni mata kami yang buta.Dua dari lima orang yang memimpin penyerangan itu adalah mereka berdua.
Thai Wang Gui dan Shao Yang Gui.", ujar Li Yan Mao setelah menarik Ding Tao mendekat ke arah dirinya dan beberapa
orang bekas pengikut keluarga Huang yang lain.
Mendengar perkataan Li Yan Mao, jantung Ding Tao seperti berhenti saat mendengar perkataan Li Yan Mao, "Apa maksud
paman?" "Mendengar suaranya, kami semua yakin, kedua orang itu adalah salah satu dari lima yang memimpin penyerangan ke
keluarga Huang di Wuling.", sekali lagi Li Yan Mao menjelaskan.
Ding Tao menatap ke orang-orang yang ada di sekelilingnya, ada Tang Xiong, Li Yan Mao, Qin Baiyu dan yang lain.
Meskipun sulit mempercayai telinganya, perlahan-lahan Ding Tao mulai merangkaikan tiap-tiap fakta yang sedang mereka
hadapi. Meskipun Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui ini sempat menggegerkan dunia persilatan, namun sudah puluhan
tahun ketika mereka menghilang, setelah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan bertarung untuk menghentikan
kejahatan yang mereka lakukan.Meskipun perawakan tubuh kedua orang itu tidak bisa dikatakan lumrah dibanding
kebanyakan manusia, tidak bisa juga dikatakan sangat berbeda jauh. Menggunakan baju dan jubah, dengan mudah
keanehan tubuh mereka itu disamarkan. Apa lagi di antara mereka tidak ada yang pernah melihat dua orang raja iblis itu.
Wajahnya pun mengeras, "Kalian yakin?"
Mereka semua menganggukkan kepala, "Kami yakin."
"Paman pendeta Liu Chuncao, pendeta pusakaku?", ujar Ding Tao sambil mengangsurkan tangannya.
Liu Chuncao tanpa banyak tanya memberikan pedang pusaka milik Ding Tao kembali, namun sebelum Ding Tao melakukan
sesuatu, terjadi kejadian lain yang mengejutkan. Semuanya ini berjalan hampir bersamaan. Ketika Bhiksu Khongzhen
sedang memeriksa keadaan 18 orang bhiksu yang tidak sadarkan diri untuk kemudian berbicara dengan sepasang raja iblis
itu, Li Yan Mao dan yang lain sedang berbicara dengan Ding Tao. Di lain pihak di antara penonton ada pula 2 orang yang
sedang mengingat-ingat kembali kejadian malam itu dan sampai pada kesimpulan yang sama. Ketika Ding Tao baru berbalik
badan, ketika Bhiksu Khongzhen baru selesai bertanya, susul meyusuk 3 sosok berkelebat dariantara mereka yang berada
di bawah panggung. "Penjahat! Bayar hutang nyawa keluarga Huang !", diiringi pekik penuh kemarahan dua sosok yang berkelebat pertama kali
tanpa banyak cakap langsung menyerang dua orang itu.
"Ren Fu! Ying Ying hati-hati!"
Sosok ketiga yang menyusul dengan cekatan menyerang Shao Wang Gui yang hampir saja berhasil menyarangkan serangan
telak pada salah seorang penyerangnya. Dengan segera terjadi dua pertarungan di atas panggung, yang pertama Thai Wang
Gui melawan dua orang muda dan pertarungan kedua adalah antara seorang tua melawan Shao Wang Gui. Siapa lagi dua
orang muda dan seorang tua itu jika bukan Hua Ying Ying, Huang Ren Fu dan Hua Ng Lau. Ding Tao yang baru saja hendak
bergerak menggebrak jadi diam termangu, bibirnya komat-kamit tidak jelas.
"Adik Ying Ying" Adik Ying Ying?", gumam Ding Tao tak percaya.
Bukan hanya Ding Tao yang membeku di tempatnya oleh kejutan yang tidak disangka-sangka ini. Para pengikut keluarga
Huang yang lain juga hanya bisa terlongong-longong melihat orang-orang yang disangka sudah mati, ternyata masih hidup,
segar bugar bahkan sekarang memiliki ilmu silat yang lebih baik dari sebelumnya. Yang lebih mencolok tentu saja adalah
ilmu silat dari Huang Ren Fu yang tampil lebih kokoh dan liat daripada sebelumnya, tapi kemajuan yang lebih mengejutkan mungkin justru dari Huang Ying Ying yang dulunya bisa dikatakan bukanlah seorang pesilat yang sesungguhnya, sekarang
justru bisa bertarung dengan garang. Pertarungan itu jelas tidak seimbang, meski ilmu silat Huang Ren Fu dan Hua Ying
Ying sudah maju pesat, namun berhadapan dengan jagoan tua semacam Thai Wang Gui tentu saja permainan mereka tidak
lebih dari permainan kanak-kanak belaka. Syukur Huang Ren Fu yang lebih matang dalam berpikir dan bertindak ikut
membantu Hua Ying Ying, sehingga dia sangat berhati-hati dan lebih menitik beratkan jurus-jurusnya untuk
mempertahankan dirinya sendiri dan juga adiknya. Sementara pertarungan antara Shao Wang Gui dan Hua Ng Lau berjalan
lebih seimbang, meskipun serangan Shao Wang Gui lebih ganas, namun mampu dinetralisir oleh pertahanan Hua Ng Lau
yang lebih mantap. Rasa terkejut Ding Tao berubah jadi kegembiraan yang meluap dan dalam waktu singkat berubah menjadi kekhawatiran,
Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu perlahan-lahan mulai terdesak oleh serangan Thai Wang Gui yang membingungkan,
sudah beberapa kali Huang Ren Fu harus memasrahkan badannya untuk menerima pukulan dari Thai Wang Gui demi
menyelamatkan adiknya. Bukan hanya Ding Tao yang merasa cemas, tokoh-tokoh seperti Bai Chungho, Xun Siaoma, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta
Chongxan pun mengamati keadaan tersebut dengan cemas. Apalagi sebagai orang luar, mereka tidaklah cukup leluasa
untuk bertindak. Bukan sebuah alasan yang dibuat-buat, karena dunia persilatan kental dengan masalah harga diri. Jika
mereka menyelamatkan kedua kakak beradik itu, belum tentu keduanya akan berterima kasih. Lain halnya jika Thai Wang
Gui yang terlebih dahulu menyerang, tapi dalam kejadian ini, kedua kakak beradik itulah yang lebih dulu menyerang. Di lain pihak Thai Wang Gui pun tidak sembarangan menurunkan tangan kejam, bisa jadi hal itu dilakukan sehubungan dengan
keinginannya untuk menjadi Wulin Mengzhu. Selain itu bukankah bekas pengikut keluarga Huang banyak juga hadir di sana,
termasuk Ding Tao yang memiliki kemampuan setingkat dengan mereka. Berbagai alasan ini membuat mereka berpikir
beberapa kali sebelum ikut campur bertindak.
Segera setelah menguasai dirinya, tanpa menunggu keadaan menjadi lebih buruk lagi, Ding Tao pun berkelebat cepat
sambil menghunus pedang pusakanya.
Benar-benar saat yang tepat, karena Huang Ren Fu dan Hua Ying Ying berada dalam keadaan yang kritis, sebuah serangan
Thai Wang Gui telak mengenai punggung Huang Ren Fu, sedemikian kerasnya hingga membuat pemuda itu terpental dan
memuntahkan isi perutnya. Tanpa adanya Huang Ren Fu, Hua Ying Ying pun berada dalam bahaya besar, tangan Thai Wang
Gui yang panjang dengan kuku runcing seperti kuku harimau, bergerak menyambar. Hua Ying Ying yang sudah mati
langkah hanya bisa memandang datangnya serangan dengan pasrah. Di saat dia menyangka maut datang menjemput,
sebuah pedang berkelebat, memaksa Thai Wang Gui menarik serangannya. Dengan cekatan, hampir tanpa jeda, kaki Thai


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wang Gui bergerak menendang ke depan. Yang diserang bukan Ding Tao yang baru datang, tapi Hua Ying Ying yang lebih
lemah. Demi menolong Hua Ying Ying, Ding Tao pun dipaksa menarik mundur serangannya, memutar tubuh untuk
merengkuh Hua Ying Ying ke dalam pelukannya dan dengan punggungnya yang sudah dilambari Yi Cun Kai menerima
tendangan yang dimaksudkan untuk Hua Ying Ying itu.
Seperti halnya Huang Ren Fu pemuda itu pun terpental menjauh dari Thai Wang Gui, namun sambil membawa Hua Ying
Ying dalam pelukannya. Ding Tao yang sadar bahwa Hua Ying Ying akan terus menerus berada dalam bahaya, selama gadis
itu masih berada dalam jangkauan Thai Wang Gui, memanfaatkan tendangan Thai Wang Gui itu untuk melontarkan
tubuhnya dan Hua Ying Ying yang berada dalam pelukannya, menjauh dari arena pertarungan.
"Kakak Ding Tao?" bisik Hua Ying Ying sambil menatap mesra pemuda itu, segala rasa yang selama ini dikubur dalam-
dalam toh ternyata belum mati juga.
"Adik Ying Ying?" ujar Ding Tao sambil memandangi wajah gadis itu, rasa yang sama yang dia rasakan selama bertahun-
tahun lamanya ternyata tidak juga hilang, meski kini di hatinya ada pula Murong Yun Hua dan Murong Huolin.
Apa lagi ini kali pertama Ding Tao bertemu lagi dengan Hua Ying Ying setelah dirinya meminum obat dewa pengetahuan.
Seperti juga saat dirinya bertemu Murong Yun Hua setelah meminum obat dewa pengetahuan, panca inderanya yang jauh
lebih tajam dibandingkan sebelumnya membuat dia mabok oleh kehadiran Hua Ying Ying yang begitu dekat. Lebih-lebih lagi
bersama dengan Hua Ying Ying tidak membuat hati nuraninya memberontak, tidak seperti dulu waktu dia bersama Murong
Yun Hua sebelum pernikahan mereka. Hua Ying Ying sendiri merasa tubuhnya melumer dalam pelukan Ding Tao, lamat-
lamat dia masih ingat bahwa mereka sedang berpelukan di depan ribuan bahkan puluhan ribu pasang mata. Namun otaknya
tidak mau bekerja dengan benar, gadis itu merasa sudah berada di tempat yang tepat, dalam pelukan Ding Tao.
Hua Ng Lau yang melihat anak angkat dan muridnya lepas dari bahaya, tiba-tiba mengeluarkan jurus serangan yang hebat,
tongkatnya bergerak bagai angin puyuh, Shao Wang Gui dipaksa mundur beberapa langkah. Tidak meneruskan
serangannya, Hua Ng Lau justru melompat menjauh, mendekati Huang Ren Fu yang sedang merintih menahan sakit. Thai
Wang Gui dan Shao Wang Gui belum sempat menarik nafas ketika seorang bhiksu Shaolin yang sudah cukup tua ganti
melompat menyerang mereka. Orang itu adalah Bhiksu Khongti, dia termasuk jajaran tokoh tingkat atas dalam perguruan
Shaolin, dalam hal urutan dia adalah salah seorang kakak seperguruan Bhiksu Khongzhen, jadi bisa dibayangkan seberapa
tinggi ilmunya. "Kau apakan murid-muridku!", serunya dengan gusar.
Bhiksu Khongzhen yang tadinya sudah merasa lega melihat tidak ada bahaya yang mengancam ke-18 anak murid Shaolin
itu pun buru-buru menghampiri kerumunan anak murid Shaolin dan dua orang bhiksu tua yang mahir dalam hal obat-
obatan. "Ada apa sebenarnya dengan mereka?", tanya Bhiksu Khongzhen dengan khawatir.
Dia tidak mengkhawatirkan keadaan kakak seperguruannya yang sedang mengamuk dan berusaha menghajar Shao Wang
Gui dan Thai Wang Gui. Dia sudah cukup mengenal tingkatan ilmu Bhiksu Khongti yang tidak selisih jauh di bawah dirinya.
Justru keadaan 18 orang itu yang membuat dia khawatir, jika mereka tidak dalam keadaan yang sangat menyedihkan, tentu
kakaknya itu tidak akan semurka itu. Memang Bhiksu Khongti itulah yang bertugas melatih dan mengajar ilmu berisan pada
para bhiksu Shaolin. Sejak hilangnya 18 orang dari mereka, sikapnya sudah menjadi murung, jadi tidak heran jika sekarang dia meledak dan kehilangan pengawasan diri.
Salah satu dari bhiksu tua yang memeriksa 18 orang itu, menatap Bhiksu Khongzhen dan menggelengkan kepala dengan
sedih, "Tidak ada yang salah dengan tubuh mereka, tidak ada luka baik di dalam maupun di luar, tapi" tapi" keadaan
pusat-pusat hawa murni dan jalur-jalurnya?"
"Energi kehidupan mereka tidak stabil dan lemah sekali.", sambung yang seorang lagi, mulutnya masih terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu namun tidak berani.
Bhiksu Khongzhen dengan segera meletakkan telapak tangannya di atas pusar salah satu dari 18 orang itu. Tangannya yang
peka terhadap keberadaann hawa murni seseorang segera merasakan keadaan energi hawa murni dari orang itu. Wajahnya
pun berubah menjadi pucat saat memahami keadaan dari ke-18 anak murid Shaolin tersebut. Energi kehidupan mereka
sangat lemah, mungkin itu juga sebabnya mereka tak sadarkan diri meskipun tubuh mereka tidak terlihat mengalami luka.
Kemudian Bhiksu Khongzhen pun perlahan-lahan mengalirkan hawa murninya ke dalam tubuh bhiksu itu dengan hati-hati.
Sungguh terkejut hatinya saat merasakan hawa murni yang dia salurkan seperti hilang lenyap begitu saja. Seperti
menyiramkan air di atas tanah berpasir yang kering.
Bhiksu Khongzhen pun menengadahkan kepala, melihat ke arah dua orang bhiksu tua yang mahir ilmu obat-obatan
tersebut, alisnya bergerak naik, bertanya tanpa kata-kata.
"Benar ketua", mereka semua"18 orang" berada dalam kondisi yang sama. Saat ini kami sudah memerintahkan para
murid untuk menyiapkan ramu-ramuan yang menguatkan tubuh. Demikian pula, sedikit-sedikit kami sudah memijat dan
menyalurkan hawa murni di pusat-pusat penting dalam jalur energi mereka. Kami berharap, perlahan-lahan, tubuh mereka
bisa memulihkan sistem energi dalam tubuh mereka.", jawab yang seorang.
"Hanya saja" kami ragu apakah mereka bisa pulih sepenuhnya?", sambung yang seorang lagi.
Sedih sekali perasaan Bhiksu Khongzhen, namun tidak sampai dia kehilangan pengamatan diri seperti kakak
seperguruannya. Kekuatan batinnya memang sudah lebih mapan, apalagi ketua Shaolin yang seorang ini tidak terlalu
mementingkan ilmu silat. "Yang penting nyawa mereka masih bisa diselamatkan?", ujarnya perlahan-lahan, Pendeta Chongxan yang ikut merasakan
kesedihan Bhiksu Khongzhen, menepuk-nepuk bahu sahabat lamanya itu.
"Kami akan berusaha semampu kami.", jawab dua orang bhiksu tua itu.
Belum sempat Bhiksu Khongzhen menjawab, terdengarlah suara mengaduh dari belakang mereka. Dengan rasa terkejut
Bhiksu Khongzhen serta Pendeta Chongxan mengalihkan perhatian mereka ke arah pertarungan yang sedang terjadi antara
Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui melawan Bhiksu Khongti. Sungguh di luar sangkaan Bhiksu Khongzhen bahwa kakaknya
bisa terdesak sedemikian hebatnya dalam hitungan yang singkat. Dia tahu betul seberapa tinggi kemampuan kakak
seperguruannya itu, karena itu dia tidak begitu khawatir dengan keadaannya. Tapi pemandangan yang dia lihat sungguh di
luar perhitungannya. Belum 20 jurus lewat, Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui sudah mengajak Bhiksu Khongti mengadu
tenaga dalam. Telapak tangan kanan Bhiksu Khongti beradu dan menempel dengan tangan kiri Shao Wang Gui, sedangkan
telapak tangan kirinya beradu dengan tangan kanan Thai Wang Gui.
Meskipun cemas namun Bhiksu Khongzhen tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat untuk membantu. Sebagai adik
seperguruan dia tidak berani sembarangan berbuat, meskipun dirinya adalah seorang ketua. Waktunya memang singkat,
tapi waktu yang singkat itu nyata memiliki arti yang besar. Baik Pendeta Chongxan maupun Bhiksu Khongzhen, juga para
tokoh ternama yang menyaksikan pertarungan itu, melihat ada yang janggal dalam adu tenaga dalam ini.
Penuh rasa kejut Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen saling berpandangan. Mereka bisa melihat keterkejutan dan
rasa khawatir yang terpampang dengan jelas di wajah masing-masing. Tanpa banyak cakap, seperti sudah saling berjanji,
keduanya berkelebat menyerang. Pendeta Chongxan menyerang Shao Wang Gui dan Bhiksu Khongzhen menyerang Thai
Wang Gui. Keduanya bisa dikatakan merupakan jagoan nomor satu dalam dunia persilatan di masa ini. Betapa hebat
serangan mereka berdua, sungguh sulit dicari bandingannya. Dari segi kecepatan dan kekuatan, setingkat bahkan mungkin
setengah lapis di atas tinju petir Bai Shixian. Dari segi jurus, setingkat lebih mendalam dibandingkan Ding Tao dan Wang Shulin. Baik tusukan pedang Pendeta Chongxan maupun pukulan tangan Bhiksu Khongzhen, membuat hati mereka yang
menyaksikan tergetar oleh kehebatannya. Wibawa dari jurus yang dilancarkan sampai terasa ke seluruh penjuru. Berwibawa
tapi bukan menakutkan, menekan tapi tidak memancarkan hawa pembunuh. Menyentuh rasa sebelum sempat dipahami
akal. Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui yang sedang berjaya itu pun berlompatan menghindar, menjauh dari serangan yang
menakutkan itu. Tubuh Bhiksu Khongti terhuyung hendak jatuh ke belakang, disambut oleh tenaga lembut dari Pendeta
Chongxan yang dengan gesit menahan tubuh yang sedang jatuh itu. Sementara Bhiksu Khongzhen bergerak menghadang di
depan Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui yang hendak bergerak maju mendekat.
Sungguh hebat dua orang ini, serangan mereka bisa dikendalikan sedemikian rupa, hingga baik menyerang ataupun
bertahan bisa dilakukan tanpa jeda. Mengalir dan berubah begitu saja sesuai kehendak hati, seperti awan di langit.
Dalam satu gerakan yang sama, dari menyerang tiba-tiba Pendeta Chongxan sudah menyarungkan pedangnya dan
tangannya menangkap Bhiksu Khongti yang jatuh ke belakang. Dari tenaga keras, dalam satu tarikan nafas yang sama
berubah menjadi tenaga lembut. Demikian juga dengan Bhiksu Khongzhen, dari menyerang dengan tenaga bagaikan badai
hendak meniup habis seluruh desa, tiba-tiba tenaganya berubah menjadi diam seperti sebuah gunung. Saat bergerak
secepat kilat, saat diam setenang gunung Thaisan.
Mereka yang menyaksikan hal ini pun jadi terpana dan terkagum-kagum, hingga lupa dengan keberadaan Thai Wang Gui
dan Shao Wang Gui. Jika ada perkecualian, maka orang itu adalah Ding Tao dan Hua Ying Ying yang sedang dimabuk
asmara di waktu dan tempat yang tidak tepat. Jika ada perkecualian, maka orang itu adalah Wang Shu Lin yang
memperhatikan sepasang kekasih itu diam-diam dengan dada bergemuruh.
"Ah" ada apakah dengan aku ini?", keluh Wang Shu Lin dalam hati.
Terkecuali 3 orang ini, yang lainnya tentu saja mencurahkan seluruh perhatiannya pada apa yang terjadi antara Thai Wang Gui, Shao Wang Gui, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Pendeta Chongxan perlahan-lahan menurunkan tubuh
Bhiksu Khongti yang sudah lemah ke atas lantai panggung.
Bibir Bhiksu Khongti bergetar, barulah setelah mengerahkan tenaga dia bisa berkata, "Xi Xing Da Fa?"
Kata-kata itu dengan jelas terdengar oleh Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, membuktikan apa yang mereka
khawatirkan sebelumnya. Ketika beberapa orang bhiksu Shaolin datang untuk memapah Bhiksu Khongti pergi, Pendeta
Chongxan pun dengan wajah sedikit pucat, bangkit berdiri dan melangkah ke sisi Bhiksu Khongzhen berhadapan dengan
dua orang tokoh sesat yang tersenyum-senyum angkuh.
"23 tahun yang lalu kami memberikan kalian berdua jalan hidup. Siapa sangka alih-alih bertobat kalian berdua justru
semakin sesat. Jangan salahkan kami jika kali ini kami terpaksa mencabut nyawa kalian.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan
wajah gelap. "Memberi jalan hidup" Jalan hidup" Hahahahaha". Kau menyegel pusat energi dalam tubuh kami, membuat kami
kehilangan seluruh kepandaian kami. Apa itu yang kau anggap kemurahan hati" Ingat Khongzhen, saat itu kami berdua
sudah bersimpuh di hadapanmu memohon diberi jalan kematian, tapi kau justru menolaknya. Sekarang jangan kau
menyesali keputusanmu itu.", jawab Shao Wang Gui setelah puas tertawa.
"Khongzhen, bukankah tadi kau mengatakan, bahwa siapa yang memegang medali berhak mengikuti pemilihan Wulin
Mengzhu. Mengapa sekarang kau menghalangiku untuk mengikutinya" Apa kau mau menjilat ludahmu sendiri?", sekarang
ganti Thai Wang Gui yang bertanya.
"Urusanmu dengan Ketua Ding Tao boleh kau selesaikan nanti, kalau kau sudah selesai dengan kami. Bukankah sebelum
datang ke tempat ini, kau sudah terlebih dahulu melukai anak murid Shaolin" Jadi selesaikan dulu urusanmu dengan kami,
baru kau boleh tanya yang lain.", jawab Bhiksu Khongzhen diplomatis.
"Menghadapi manusia iblis, tidak perlu banyak bicara. Mari ?", ujar Pendeta Chongxan sembari mencabut pedang.
Tanpa banyak bicara dua orang itu pun berkelebat cepat, maju menyerang sepasang iblis yang dengan cekatan menyambut
serangan mereka. Ini lebih menegangkan dibandingkan pertarungan-pertarungan sebelumnya. Maksud Bhiksu Khongzhen
dan Pendeta Chongxan adalah baik adanya. Sadar bahwa Ding Tao tidak mungkin menang melawan salah seorang dari
sepasang iblis tua itu, mereka bertekad untuk maju lebih dahulu dan menghabisi keduanya sebelum keduanya bisa berbuat
onar lebih jauh. Selain itu, mereka juga ingin mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Dengan majunya mereka berdua,
bisa dipastikan tidak akan ada tokoh dunia persilatan lain yang berani ikut mencoba bertarung dengan sepasang iblis itu.
Meskipun mereka punya urusan atau dendam, sudah pasti mereka akan menunggu sampai pertarungan antara dua orang
iblis itu, melawan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan selesai.
Yang di luar perhitungan mereka adalah kehebatan sepasang iblis itu. 23 tahun bukan waktu yang pendek, sudah tentu 23
tahun adalah waktu yang cukup untuk memupuk kepandaian. Tapi 23 tahun yang lalu dua orang iblis itu kehilangan
kemampuan mereka untuk mengolah hawa murni. Kalau hanya sekedar main pukul atau tendang, tentu tidak masalah. Tapi
seperti harimau yang sudah dicabuti giginya, tidak akan ada lagi orang yang terancam oleh kejahatan mereka, karena
pukulan dan tendangan mereka tidak ada bedanya dengan serangan orang awam.
Siapa sangka sekarang mereka muncul dengan pusat-pusat energi yang sudah pulih dan bekerja seperti sedia kala, bahkan
jauh lebih baik dari 23 tahun yang lalu. Ditambah dengan ilmu baru mereka, membuat mereka berkali lipat jauh lebih
berbahaya dari 23 tahun yang lalu. Di lain pihak, memang Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan bukanlah orang yang
malas berlatih, sehingga ilmunya mengalami kemunduran. Tapi mereka berdua juga bukan orang yang keranjingan ilmu
silat dan berambisi untuk menjadi yang terkuat. Waktu mereka justru lebih banyak diarahkan pada menghaluskan rasa dan
mempertinggi kesadaran batin. Setelah 20 jurus lebih berlalu, dua orang tokoh besar ini mulai menyadari kesalahan
mereka. Xi Xing Da Fa, ilmu sesat yang ada dalam kisah-kisah kepahlawanan di masa lampau. Hanya pernah terdengar tapi tidak
ada yang pernah menyaksikannya. Benar-benar bukan ilmu yang bisa dianggap enteng. Setiap kali tubuh mereka
bersentuhan dengan tangan sepasang iblis itu, tentu mereka merasakan hawa murni mereka disedot oleh lawan. Syukur
mereka berdua memiliki pengendalian hawa murni yang sudah sempurna. Sehingga mereka bisa menarik mundur hawa
murni mereka sebelum hisapan itu terlampau kuat dan tidak bisa dilepaskan. Pada awalnya Pendeta Chongxan bertarung
menggunakan pedang, untuk mempersulit lawan menggunakan Xi Xing Da Fa, sementara Bhiksu Khongzhen menggunakan
tasbih yang ada di lehernya sebagai senjata. Tapi setelah beberapa jurus berlalu, mereka berdua sadar, cara inipun tidak berjalan seperti yang mereka inginkan. Karena lawan tetap bisa menghisap hawa murni mereka, meskipun lewat
perantaraan benda lain dan tidak bersentuhan langsung.
Tidak bisa menangkis, tidak boleh sembarangan menyerang. Jika sampai tersentuh telapak tangan lawan, sedikit banyak
hawa murni mereka akan dihisap lawan. Dalam usia mereka yang lanjut, baik Bhiksu Khongzhen maupun Pendeta
Chongxan, lebih menyandarkan diri pada himpunan hawa murni mereka untuk bertarung. Dengan lawan yang
menggunakan Xi Xing Da Fa, hal ini sangat merugikan mereka berdua, karena membuat ilmu mereka tidak bisa
berkembang sampai pada puncaknya.
Menolong salah, tapi tidak menolong juga salah. Hampir secara bersamaan, Xun Siaoma, Bai Chungho dan Hua Ng Lau
melompat maju, membantu Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan untuk menghadapi sepasang iblis itu.
"Membasmi kejahatan itu tugas setiap orang!", seru Bai Chungho sambil memutar tongkat penggebuk anjingnya, menyerbu
masuk. "Maafkan kami ketua berdua, ijinkan kami untuk membantu kalian membersihkan dunia ini dari kejahatan.", seru Hua Ng
Lau yang dengan gesit bergerak menebas ke kiri dan ke kanan.
"Lurus dan sesat selamanya tak bisa bersama!", seru Xun Siaoma sambil melancarkan serangan.
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan bukannya tidak tahu maksud baik orang. Namun dalam hati mereka juga ada
perasaan malu yang naik ke permukaan. Bagaimana pun juga mereka berdua adalah ketua dari dua perguruan besar, tapi
sekarang mereka harus bertarung secara keroyokan. Hanya karena menimbang kepentingan yang lebih luas, dua orang itu
pun menggertakkan gigi dan berpura-pura tidak mau tahu. Diserang 5 oang jagoan kelas satu, dua orang iblis itu pun mulai sedikit keteteran, tapi tak sedikitpun mereka terlihat khawatir. Bahkan Wu Shan Yee yang seharusnya merupaka nsekutu
mereka, masih saja berdiri dengan tenang sambil tersenyum-senyum.
"Bagus, sekarang baru kelihatan wajah busuk kalian" Hahahaha, mana itu Bhiksu Agung Khongzhen" Siapa itu Pendeta
Chongxan" Segala pendekar lurus, tai kucing, kalau kalah bisanya kalian hanya main keroyok.", seru Thai Wang Gui sembari menghentakkan kuda-kuda ke dalam tanah dan menangkis serangan tongkat Bai Chungho dan Hua Ng Lau yang menyerang
hampir bersamaan dari dua arah yang berbeda.
Merah muka mereka berlima mendengar ejekan Thai Wang Gui, Xun Siaoma dan Bai Chungho pun memaki habis-habisan
kedua orang iblis itu. "Iblis keparat, apa kau sudah mabuk bau neraka, hingga mulutmu bicara yang tidak-tidak?", maki Bai Chungho sambil
bergulingan di atas tanah, menghindari pukulan hawa beracun yang dilakukan Shao Wang Gui.
Sungguh ilmu sesat dua orang iblis itu beraneka rupa dan dikuasai dengan sempurna, membuat penyerangnya harus
berhati-hati dan tidak pernah lalai dalam mengamati keadaan, "Hahahaha, apa maksudmu mabuk bau neraka" Kukira
kaulah yang baru saja mencium aroma neraka. Pengemis bau, kuharap kau sudah makan tadi pagi, jika tidak aku khawatir
kau akan jadi setan kelaparan."
Meskipun berbagai macam makian, hinaan dan umpatan dilontarkan sepasang iblis itu, lima orang jagoan tua dari aliran
lurus itu memaksa diri untuk menulikan telinga mereka. Kalau sampai ada rasa marah, maka rasa marah itu mereka
lampiaskan dalam bentuk serangan-serangan. Keadaan dua pihak itupun jadi sedikit berimbang dengan kedatangan Xun
Siaoma, Bai Chungho dan Hua Ng Lau, karena sekarang jika ada yang terperangkap Xi Xing Da Fa, maka yang lain akan
membantu mereka lepas dari hisapan dengan menyerang si penghisap. Dua orang iblis itu juga kesulitan untuk
menggunakan Xi Xing Da Fa saat menangkis serangan lawan, karena serangan yang datang bukan hanya dari seorang atau
dua orang, tapi 3 orang bahkan terkadang serangan datang dari 5 orang sekaligus. Serangan tiap orang tidak bisa
diremehkan, karena yang menyerang juga tokoh-tokoh kelas satu.
Seluruh dunia persilatan menyaksikan pertarungan ini dengan hati tegang. Tidak semua orang mengharapkan kemenangan
dari partai lurus. Lurus dan sesat dalam dunia persilatan tidak mudah diuraikan ujung pangkalnya. Kecuali mereka yang
memiliki dendam pribadi dengan sepasang iblis itu, yang lainnya melihat pertarungan itu dengan pikiran mendua. Mereka
menginginkan satu orang kuat untuk memegang kedudukan Wulin Mengzhu dan menyatukan kekuatan menghadapi
ancaman dari luar. Tapi persatuan yang diinginkan ini hanyalah kesatuan yang semu, karena urusan dendam, ambisi dan
perebutan kekuasaan yang menghubungkan seorang dengan yang lain, antara satu golongan dengan golongan yang lain.
Hampir tidak ada seorangpun yang bersih dari pertentangan ini.
Bagi sebagian orang, Wulin Mengzhu yang haus harta dan kekuasaan justru lebih mudah dihadapi daripada seorang Wulin
Mengzhu dengan idealisme yang tinggi. Kemenangan Ding Tao di babak terakhir, disambut dengan meriah, namun juga
dengan banyak perhitungan di balik sorakan itu.
Kehadiran Shao Wang Gui dan Thai Wang Gui adalah bukti nyata tidak adanya kesatuan yang diharapkan itu. Sebagian
besar dari mereka, memilih untuk diam dan menunggu perkembangan lebih lanjut sebelum memilih pihak tertentu untuk
dibela. Jangankan dari keseluruhan tokoh persilatan yang begitu beragam. Dari 6 perguruan besar pun, kesatuan yang
rapuh itu sudah bisa dilihat. Bahkan Bhiksuni Huan Feng yang dipandang satu pandangan dengan dua perguruan berlatar
belakang agama yang lain, hanya berdiri menyaksikan, meski dengan kerut merut yang menunjukkan rasa khawatir di
wajahnya. Apalagi jika menilik wajah Guang Yong Kwang atau Zhong Weixia.
"Kurang ajar!", maki Shao Wang Gui, ujung tongkat Hua Ng Lau hampir saja mencium batang hidungnya, untung dia cepat
menjatuhkan tubuh ke belakang.
Sambil berjumpalitan dia pun berseru, "kakak, orang-orang ini mulai menyebalkan, kenapa tidak kau gunakan Pedang Angin
Berbisik?" "Apa kau sudah bosan bermain" Baiklah kita sudahi saja permainan ini.", lawan Thai Wang Gui.
5 orang jagoan tua itu pun dibuat menegang oleh percakapan itu, bagaimana tidak, ketika dua orang iblis itu bertangan
kosong mereka sudah dibuat memeras tenaga sekedar untuk mendesak mereka. Jika benar Pedang Angin Berbisik ada di
tangan Thai Wang Gui maka sama artinya mereka sudah menanda tangani perjanjian untuk mati, saat mereka memutuskan
untuk bertarung melawan dua orang dedengkot aliran sesat itu.
Bukan hanya mereka berlima yang jantungnya berdenyut kencang mendengar nama Pedang Angin Berbisik, bekas-bekas
pengikut keluarga Huang ikut pula berdebaran mendengar hal itu, pedang itu bisa jadi bukti paling nyata akan keterlibatan sepasang iblis itu dalam pembantaian di Wuling. Apalagi bagi Ding Tao yang merasa membawa beban tanggung jawab yang
diberikan Gu Tong Dang atas pedang itu.
Mereka tidak perlu menunggu lama, belum habis kata-kata Thai Wang Gui diucapkan, tangannya sudah bergerak
menghunus pedang yang digantungkan di pinggang.
Sebuah kilatan pedang, membelah barisan 5 orang tokoh besar di jaman itu. Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan, Tetua
Xun Siaoma, Ketua Bai Chungho dan Hua Ng Lau dipaksa berlompatan menghindar ke segala arah, saat pedang di tangan
Thai Wang Gui bergulung hampir-hampir tanpa suara, menyerang mereka dengan hebatnya. Tongkat di tangan Hua Ng Lau
sudah putus menjadi dua, ujung tongkat pemukul anjing milik Bai Chungo pun terpapas di ujungnya. Bagaikan harimau
tumbuh sayap, Thai Wang Gui berdiri di tengah panggung dengan kaki terpentang. Sementara kelima orang lawannya pucat
pias di tempat masing-masing, bukan mereka tidak memiliki keberanian untuk bertindak, tapi otak mereka berputar
kencang mencari kelemahan lawan dan tidak juga menemukannya.
Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui tertawa berkakakan dengan kepala mendongak pongah. Hati setiap orang jadi ciut
menyaksikan kegarangan mereka berdua. Bhiksuni Huan Feng yang dari tadi belum dapat menentukan sikap, perlahan-
lahan menghunus pedang di tangannya.
Suaranya jernih dan lantang, bening mengatasi tawa sepasang iblis itu, membangunkan setiap orang kembali pada
kesadarannya, "Saudara-saudara sekalian, sebelum menghadapi ancaman dari luar, kita bersihkan dulu yang ada di dalam.
Jika tidak jangan salahkan siapa-siapa, ketika sepasang iblis ini mencabut jantung kalian dan memakannya mentah-mentah.
Mereka ini sepasang binatang liar, yang tidak akan tenang jika tidak mencium darah. Hari ini mungkin bukan kalian, tapi akan datang saatnya mereka mengalihkan pandangannya ke setiap orang dari kita."
Hampir berbareng setiap orang dari yang muda hingga yang tua, dari yang memiliki nama sampai yang tak bernama,
mencabut senjata masing-masing meskipun belum tentu tahu dengan cara apa mereka akan menyerang sepasang iblis itu.
Namun sebelum ada seorangpun yang dapat bertindak Xhong Weixia pun berseru "TAHAN !!!"
Suaranya menggelegar bertalu-talu ke seluruh penjuru, tidak di bawah suara Bhiksuni Huan Feng yang bening dan tajam
menyelusup ke telinga setiap orang.
"Apa maksudmu?", terkejut Bhiksuni Huan Feng menatap tajam ke arah Zhong Weixia.
"Hmm" apakah kita semua berkumpul sekarang ini untuk menyelesaikan masalah orang-orang tertentu?", tanay Zhong
Weixia dengan suara yang keras bukan hanya ditujukan pada Bhiksuni Huan Feng tapi pada seluruh yang ada.
"Apakah kita berkumpul untuk menyelesaikan masalah keluarga Huang di Wuling" Atau mungkin urusan dendam lama salah
seorang dari kita terhadap Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui?"
"Tidak." "Kita berkumpul untuk menentukan Wulin Mengzhu yang baru. Wulin Mengzhu yang menyatukan kita untuk menghadapi
ancaman dari luar. Thai Wang Gui datang sebagai salah satu calon Wulin Mengzhu, seharusnya mendapatkan kesempatan
yang sama seperti calon-calon yang lain. Namun sebelum dia sempat diuji, apakah dia lebih baik dari Ketua Ding Tao atau tidak, tiba-tiba terjadilah serentetan kericuhan. Mungkin ini bukanlah kehendak Ketua Ding Tao sendiri, tapi jelas ada orang-orang yang mendukung Ketua Ding Tao, yang tidak ingin Ketua Ding Tao dan Thai Wang Gui mengukur kepandaian secara
adil.", ujar Zhong Weixia membuat setiap orang tak bisa bicara.
"Aku setuju dengan Ketua Zhong Weixia", ujar Guang Yong Kwang dengan suara lantang.
"Masalah pertentangan dan dendam, adakah seorang dari kita yang sepenuhnya tidak tersangkut dalam jaring-jaring
dendam ini" Jika masalah dendam dan pertentangan antar saudara, masih dibawa ke tempat ini, bagaimana mungkin kita
bisa menyatukan kekuatan melawan ancaman dari luar" Jika demikian tidak ada gunanya seorang Wulin Mengzhu dipilih.",
ujar Guang Yong Kwang sambil menatap ke arah orang-orang di sekelilingnya.
"Ketua Ding Tao belum bisa menjadi Wulin Mengzhu karena masih ada calon lain yang belum sempat maju untuk bertanding
dengannya, memutuskan siapa yang lebih tinggi tingkat kepandaiannya. Seandainya sudah, maka dengan satu patah kata
darinya tanpa banyak tanya aku pun akan ikut menangkap Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui."
"Tapi sekarang ini, jika aku melakukan hal itu, bukankah justru melanggar asas keadilan" Apakah sudah pasti bila mereka bertanding bahwa Ketua Ding Tao yang akan menang" Bagaimana jika ternyata Thai Wang Gui yang menang" Bukankah itu


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

artinya Thai Wang Gui-lah yang seharusnya jadi Wulin Mengzhu" Jika demikian bukankah aku justru melakukan perintah
Wulin Mengzhu yang palsu untuk menangkap Wulin Mengzhu yang asli?", tanya Guang Yong Kwang pada sekalian orang.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada dasarnya pandangan setiap orang pada kedudukan Wulin Mengzhu itu
tidaklah sederhana. Ada banyak kepentingan di dalamnya. Guang Yong Kwang tepat benar ketika bertanya, adakah di
antara kita yang bebas sepenuhnya dari jaring dendam" Bukan hanya jaring dendam, tapi juga jaring-jaring ambisi dan
perebutan kekuasaan. Meskipun hanya berupa berita angin, keinginan Ding Tao untuk menciptakan tatanan baru dalam
dunia persilatan bukannya tidak pernah terdengar, karena justru hal itu yang digunakan untuk merekrut orang-orang yang
sepikiran ke dalam Partai Pedang Keadilan, dan tidak semua orang menginginkan hal itu. Sesungguhnya memang hukum
rimba adalah hukum yang paling mudah diterima oleh mereka yang mengandalkan kerasnya kepalan dan tajamnya pedang
untuk hidup. Persoalan ini bukannya tidak pernah terpikirkan oleh para pimpinan Partai Pedang Keadilan, hampir dalam setiap pertemuan mereka membicarakan hal ini. Satu hal yang sangat sulit, bila memang Ding Tao ingin menerapkannya dalam posisi Wulin
Mengzhu. Sampai pada saat pertemuan terakhir, sebenarnya baru satu peraturan yang ingin coba ditetapkan, seandainya
Ding Tao berhasil menjadi Wulin Mengzhu. Peraturan itu adalah, larangan bagi setiap orang dalam dunia persilatan untuk
menggunakan ilmu silat melawan orang awam. Dengan larangan ini harapannya, pembegalan di jalan-jalan, pembunuhan di
luar masalah perebutan nama dan dendam keluarga, pemerkosaan, dan beberapa macam kejahatan lain yang sering timbul
bisa ditekan. Bahkan satu peraturan ini pun diyakini sudah akan membuat banyak orang berteriak marah. Bukan satu rahasia, tidak
sedikit orang-orang dalam dunia persilatan yang mencari makan dengan cara mencuri atau merampok. Lu Jingyun yang
tidak punya pekerjaan tetap dari mana dia bisa makan enak dan minum arak bagus, jika bukan karena mengandalkan ilmu
ringan tubuhnya. Meskipun tidak pernah tertangkap basah, tapi setiap orang dalam dunia persilatan sudah bisa menduga
apa yang dilakukan Lu Jingyun untuk mencari makan.
Tapi sudah seperti itu pun, tidak ada yang memandang rendah pada Lu Jingyun, tidak juga menganggap dia masuk ke
dalam aliran sesat. Bukan tanpa alasan memang, karena sasaran Lu Jingyun hanyalah orang-orang tertentu, yang mungkin
bahkan tidak merasa kehilangan saat hartanya diam-diam dicuri Lu Jingyun. Lagipula Lu Jingyun tidak pernah menggunakan
ilmunya itu untuk mencederai orang.
Sedemikian sulitnya untuk membuat garis yang jelas tanpa memancing perselisihan yang luas, hingga Ding Tao pun
akhirnya mengalah pada saran yang lain. Peraturan yang satu itu pun akhirnya dia batasi lagi, yang dilarang adalah
melukai, menghilangkan nyawa dan juga perbuatan-perbuatan yang mencederai kehormatan manusia lainnya. Merampok
atau mencuri tidak termasuk di dalamnya, selama tidak ada yang terbunuh atau terluka pada saat kejadian. Ding Tao pun
menggeleng-gelengkan kepala bila dia mengenang pertemuan-pertemuan itu. Sejak saat itu, keinginan Ding Tao untuk
menjadi Wulin Mengzhu semakin surut, jika bukan mengingat ancaman Ren Zuocan mungkin Ding Tao tidak akan berada di
kaki gunung Songshan hari ini.
Tapi sekarang Ding Tao tidak menyesal sudah datang ke kaki gunung Songshan, karena hari ini justru orang-orang yang
paling dia cari-cari sudah muncul. Yang pertama tentu saja Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu. Yang kedua adalah pelaku
yang memimpin pembantaian di kota Wuling, Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui.
Maka mendengar Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang berbicara panjang lebar, tanpa ragu-ragu lagi Ding Tao berseru
dengan lantang, suaranya pun mengatasi riuh rendah suara orang berbicara, "Aku tidak keberatan. Biarkan aku berhadapan
satu lawan satu dengan Thai Wang Gui, supaya jelas siapa yang berhak atas kedudukan Wulin Mengzhu."
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun tergagap, untuk kemudian mendesah, pasrah. Dengan perkataan Ding Tao
tadi, tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk mencegah terjadinya pertarungan antara Ding Tao melawan Thai Wang
Gui. Jika mereka berkeras, maka justru kesan yang buruk yang akan nampak. Kewibawaan Ding Tao akan diragukan orang,
akan muncul kesan dia seorang lemah yang harus dijaga. Kalau kemudian Ding Tao mengikuti nasehat mereka, justru lebih
buruk lagi, bisa muncul anggapan bahwa Ding Tao sebenarnya hanyalah boneka dari Bhiksu Khongzhen dan Pendeta
Chongxan. Bukan hanya Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang menghela nafas, Bai Chungho, Xun Siaoma,
Bhiksuni Huan Feng dan Hua Ng Lau pun ikut menghela nafas dan mengkhawatirkan keadaan pemuda itu.
Bai Chungho menghampiri Ding Tao yang sedang berjalan menuju ke tengah panggung untuk menghadapi Thai Wang Gui,
"Anak Ding Tao, apakah kau sudah yakin?"
Ding Tao menjawab pendek, "Tetua Bai Chungho, soal menang atau kalah, aku sendiri tidak punya keyakinan 100%. Tapi
soal apakah aku harus menghadapinya atau tidak, itu aku sudah yakin."
Bai Chungho hanya bisa mendesah, "Baiklah kalau tekadmu sudah bulat, dengar hati-hati dengan kukunya yang runcing,
karena tiap kuku mengandung bisa. Setiap kali hendak melakukan pukulan jarak jauh, setan tua itu tentu akan mengangkat
tangan setinggi pundak, merapat di depan dada. Jika warna telapak tangannya berubah kehitaman, berarti pukulannya
beracun, tidak perlu kau tangkis, lebih baik kau hindari sambil menahan nafas."
Hua Ng Lau menyambung, "Pukulan beracun itu sendiri tidak bisa digunakan terlalu sering, pada dasarnya pukulan itu
dilakukan dengan cara mengumpulkan darah beracun di telapak tangannya, kemudian dengan kukunya yang tajam dia
menggores telapak tangannya sendiri. Setelah itu dia menghentakkan hawa murni dalam bentuk pukulan tenaga dalam.
Dengan cara itu darah beracunnya akan menyembur sesuai dengan arah pukulan."
"Luka yang dia buat tidak boleh terlalu besar, jika terlalu besar maka darah yang disemburkan tidak akan berupa kabut
seperti yang kita lihat, selain juga darah yang menyembur akan terlalu banyak. Bagaimana pun juga cara itu merugikan diri sendiri karena jika darah terlampau banyak berkurang tentu saja tubuh akan menjadi lemah.", demikian Hua Ng Lau
mencoba menjelaskan tentang pukulan beracun Thai Wang Gui.
Xun Siaoma yang sudah ada di sana ikut memberikan nasihat, "Sebenarnya berat untuk mengatakan hal ini, tapi ilmu
pedang setan tua itu, punya kemiripan dengan ilmu pedang Hoashan. Kau sudah pernah berhadapan denganku, juga
dengan Pan Jun. Jadi kukira kau sudah cukup mengerti, setiap gerakan tentu diiringi penggunaan hawa murni yang mantap,
jadi hati-hati kalau beradu pedang."
Pendeta Chongxan pun ikut memberi masukan, "Terutama harus perhatikan penggunaan hawa murnimu, begitu kau merasa
hawa murnimu terhisap, segera cari jalan mundur dan hentikan pengerahan hawa murni. Juga jangan berpikir karena kau
menggunakan pedang dia tidak bisa menghisap hawa murnimu lewat perantaraan pedangnya."
Lanjutnya lagi, "Jika kau perhatikan baik-baik langkah kakinya, perkembangannya tidak lebih dari 3. Dia mungkin
menggunakan macam-macam gerak tipu, namun perubahan gerak tubuhnya hanya ada 3. Waktunya terlalu singkat untuk
kujelaskan, tapi aku percaya asalkan kau perhatikan baik-baik kau akan bisa memahaminya."
"Petunjuk Pendeta Chongxan ini sangat berharga, ingatlah pada beberapa gebrakan pertama kau perhatikan baik-baik ilmu
langkah dari Setan Tua itu, karena lawan menggunakan Xi Xing Da Fa, dalam menghadapi serangan lawan pilihannya
tinggal menghindar.", ujar Xun Siaoma mengingatkan.
Terharu juga Ding Tao oleh perhatian sekalian orang tua itu, dia mengangguk dengan sungguh-sungguh, "Terima kasih atas
petunjuk tetua sekalian, aku akan mengingatnya baik-baik. Jangan khawatir masalah pemilihan Wulin Mengzhu, sekuat
tenaga tidak akan kubiarkan dia mendapatkannya. Jika perlu aku akan mengadu jiwa dengan dia."
Bhiksu Khongzhen yang sejak tadi hanya diam berdiri menghela nafas dan berkata, "Justru itu yang membuat kami
khawatir. Kami yang tua ini tidak ingin melihatmu beradu nyawa dengannya, tapi membiarkan dia menduduki kedudukan
Wulin Mengzhu juga adalah satu hal yang berbahaya. Itu sebabnya kami mendahuluimu maju mendapatkan dia. Kalaupun
ada yang beradu nyawa, biarlah kami yang tua-tua ini."
Jangan kata Ding Tao bukan orang yang perasa, mendengar perkataan Bhiksu Khongzhen yang begitu mengasihi dirinya
pemuda ini pun merasa kedua bola matanya memanas, sambil mengerjapkan mata dan menahan agar tidak ada air mata
yang jatuh pemuda itu membungkuk dalam-dalam. Tidak berani dia mengucapkan sesuatu, karena dia tidak tahu apakah
nanti dia bisa bicara dengan jelas atau tidak. Tanpa panjang kata lagi, pemuda ini pun meninggalkan orang-orang tua yang menaruh banyak harapan padanya.
Thai Wang Gui berdiri sendirian di tengah panggung. Shao Wang Gui dan Wu Shan Yee menyisih ke bawah. Ding Tao belum
pernah berjumpa dengan orang setinggi Thai Wang Gui. Tingginya sendiri termasuk di atas rata-rata kebanyakan orang.
Sering dia berhadapan dengan orang yang lebih pendek dari dirinya, terkadang sama tinggi, tapi belum pernah dia harus
sedikit menengadahkan kepala agar dapat menatap mata lawannya.
"Heheheheh" anak muda" apa kau sudah selesai mendengar nasihat orang-orang tua itu" Ku harap kau tidak jadi
ketakutan setelah mendengar dongeng mereka. Tapi kalau kau merasa takut, tidak ada salahnya kau mundur sekarang.",
ujar Thai Wang Gui dengan tawa mengejek.
"Tidak perlu menghina orang, aku tidak takut padamu. Jika kau sudah siap, lebih baik kita mulai saja pertarungan ini.", jawab Ding Tao dengan singkat.
"Hmmm" anak muda memang bersemangat" baiklah tapi jangan nanti kau minta-minta ampun jika kita sudah
memulainya.", ujar Thai Wang Gui dengan mata berkilat marah.
Lucu memang dia yang menghina orang tapi sekarang dia yang marah. Seakan-akan jika ada orang yang tidak takut pada
ancamannya, hal itu adalah satu penghinaan buat dirinya. Tapi memang demikian kenyataannya, ada orang-orang yang
merasa derajatnya jadi lebih tinggi dibandingkan manusia lain, saat dia bisa membuat orang ketakutan pada dirinya. Entah seorang atasan saat berhadapan dengan bawahan, atau seorang kaya saat berhadapan dengan si miskin. Perlakuan tunduk
dan hormat karena takut, dia pandang sebagai satu penghargaan. Thai Wang Gui rupanya juga tidak lepas dari sifat
demikian. Ding Tao yang masih muda, dipandangnya rendah dan menurut perasaannya harus merasa takut pada dirinya.
Ding Tao yang tidak merasa takut pada dirinya adalah sebuah penghinaan.
"Kaupun jangan minta ampun setelah kita memulainya. Untuk perbuatanmu di Wuling, aku tidak akan mengampunimu.",
jawab Ding Tao dengan tidak kalah dingin mengancam.
"Cucu kura-kura! Demit! Setan alas! Akan kurobek mulutmu anak muda!", geram Thai Wang Gui dengan marah.
"Jaga mulutmu baik-baik atau nanti aku yang merobek mulutmu.", timpal Ding Tao dengan ringan, sementara matanya
mengawasi lawan tanpa berkedip sedikitpun.
Benar saja kemarahan Thai Wang Gui sudah sampai di ubun-ubun, tanpa banyak berbicara lagi, tanpa peringatan, pedang
angin berbisik menebas dengan cepat ke arah mulut Ding Tao. Rupanya Thai Wang Gui benar-benar tersinggung dan ingin
merobek mulut pemuda itu untuk membuktikan ancamannya dan mengembalikan harga dirinya. Gerakan Thai Wang Gui
benar-benar cepat, tubuhnya yang besar tidak membuat gerakannya jadi lamban, namun Ding Tao tidak kalah cepat, tanpa
ragu pemuda itu menangkis serangan Thai Wang Gui dengan pedang yang entah sejak kapan sudah terhunus di tangannya.
Tanpa menggeser kakinya sedikitpun, bahkan badannya pun tidak bergerak, Ding Tao menggerakkan pedangnya ke atas
dengan gerakan melingkar, menghadang Pedang Angin Berbisik yang menebas cepat ke arah mukanya. Hasilnya sungguh
mengejutkan bagi semua orang, terutama bagi Thai Wang Gui. Percikan bunga api pun melompat saat dua bilah pedang
yang terbuat dari bahan yang sama itu berbenturan. Selain Ding Tao dan para pengikut utamanya, tidak ada yang tahu bahwa Pedang Pusaka di tangan Ding Tao adalah kembaran dari Pedang Angin Berbisik, dibuat dengan bahan yang sama
dan oleh ahli pembuat pedang yang sama.
Pedang Angin Berbisik sedikit lebih ringan, sedikit lebih lentur, sedikit lebih panjang dan sedikit lebih tajam, tapi bukan berarti kualitas pedang pusaka yang ada pada Ding Tao berada di bawah Pedang Angin Berbisik. Perbedaan di antara kedua
pedang itu tak ubahnya Yin dan Yang dalam Tao. Tidak ada yang lebih di atas atau di bawah, semuanya tergantung
bagaimana cara pemakaiannya saja.
Bentuk pedang di tangan Ding Tao justru sangat sesuai untuk bertahan. Karena lebih berat, saat berbenturan dengan
Pedang Angin berbisik, maka Pedang Angin Berbisik yang lebih ringan yang terpental lebih jauh, meskipun tenaga yang
digunakan pemiliknya tidak jauh berbeda. Juga karena lebih pendek maka lebih mudah diatur pergerakannya sesuai dengan
kemauan Ding Tao. Tadinya semua orang termasuk Thai Wang Gui menganggap Ding Tao terlalu sembrono, menangkis
Pedang Angin Berbisik di tangan Thai Wang Gui, maklum saja jika Ding Tao ingin menggunakan hawa murni untuk
menguatkan pedang, maka Thai Wang Gui memiliki Xi Xing Da Fa. Jika tidak, maka Thai Wang Gui memiliki Pedang Angin
Berbisik. Tapi kenyataannya Ding Tao tidak mengandalkan hawa murninya, sehingga Thai Wang Gui tidak bisa
memanfaatkan Xi Xing Da Fa dan di hadapan pedang pusaka Ding Tao ternyata Pedang Angin Berbisik tidak bisa berbuat
banyak. Wajah-wajah mereka yang tadinya mengkhawatirkan Ding Tao pun berubah jadi lebih cerah. Meskipun setiap orang
tahu Ding Tao memiliki pedang pusaka, tapi sungguh di luar dugaan mereka bahwa pedang pusaka Ding Tao bisa menyamai
Pedang Angin Berbisik yang dipandang sebagai rajanya pedang pusaka.
Merasakan pedang pusakanya terpental balik, Thai Wang Gui ikut melompat mundur, sekilas dia memeriksa keadaan
Pedang Angin Berbisik, ketika dilihatnya tidak muncul cacat pada bilah pedang, barulah hatinya merasa lega. Saat Thai
Wang Gui memeriksa pedangnya, dengan ujung matanya Ding Tao pun melirik sekilas ke arah pedang yang sekarang
terangkat di sisi kepalanya.
Pendekar pedang di mana pun sama, menilai pedang melebihi nyawa sendiri. Apalagi Pedang Angin Berbisik adalah senjata
pusaka yang tidak ada bandingannya.
Setelah yakin tidak terjadi apa-apa pada pedangnya Thai Wang Gui pun menengok ke arah Ding Tao dan dilihatnya pemuda
itu berdiri dengan tenang sambil tersenyum mengejek. Tidak sedikitpun dia bergeser dari tempatnya yang semula.
Ditambah lagi dengan tangan kirinya yang tergantung di bahunya, sungguh penampilan Ding Tao itu membuat hati Thai
Wang Gui makin terbakar. "Keparat! Jangan terburu sombong!", teriaknya sambil melesat maju untuk kedua kalinya.
Entah siapa yang sebenarnya sombong, sekali lagi Thai Wang Gui mencecar Ding Tao di bagian wajahnya. Dalam hati dia
masih yakin bahwa pedang pusaka yang ada di tangannya lebih baik dibandingkan pedang pusaka milik Ding Tao dan untuk
menggandakan kekuatan Pedang Angin Berbisik, Thai Wang Gui pun mengerahkan hawa murninya, mengalirkannya pada
Pedang Angin Berbisik yang ada di tangannya.
Menurut perkiraan Thai Wang Gui, pedang di tangan Ding Tao tentu akan terpental oleh Pedang Angin Berbisik. Siapa
sangka di saat dirinya menyerang dengan menggunakan hawa murni, Ding Tao pun menggerakkan pedangnya untuk
menangkis serangan Thai Wang Gui dilambari dengan hawa murni juga. Sekali lagi serangan Thai Wang Gui digagalkan Ding
Tao tanpa harus menggeser tubuhnya sedikitpun. Gagal untuk kedua kalinya tidak membuat Thai Wang Gui
mempertimbangkan kembali penilaiannya atas Ding Tao, kegagalannya ini justru membuat emosinya naik dan makin
penasaran. Maka riuh rendah kaki gunung Songshan dentangan dua pedang berbenturan berkali-kali, sedemikian cepat
dalam waktu yang singkat. Tubuh Thai Wang Gui bergerak dengan cepat, demikian pula serangan pedangnya. Begitu
cepatnya hingga bagi yang tidak terbiasa, tubuh Thai Wang Gui terlihat mengabur, sesekali terlihat seperti berada di dua tempat sekaligus.
Sementara dengan tenangnya Ding Tao menangkis tiap-tiap serangan tanpa bergeser sedikitpun dair posisinya semula.
Mengundang kekaguman dari mereka yang menyaksikan, mengundang rasa marah dan kesal pada mereka yang membenci
dirinya. Bola mata Thai Wang Gui sampai melotot hampir melompat keluar dari tempatnya, betapa tidak, dia begitu yakin pada
ketajaman Pedang Angin Berbisik, dia menyerang seperti seorang tukang kayu menebang pohon. Dalam bayangannya
setelah belasan kali berbenturan pedang Ding Tao akan gempil di sana sini dan kemudian putus dibabat habis. Tapi sekian lama dia menyerang pedang Ding Tao tidak luka sedikitpun, malah dia yang terlihat seperti orang bodoh. Semakin
penasaran kali ini Thai Wang Gui berniat membuat Ding Tao kecolongan, dia menyerang dengan Xi Xing Da Fa disiapkan
untuk menghisap hawa murni lawan yang jelas-jelas mengaliri pedang.
Bwettt"! Tang! Sekali lagi Thai Wang Gui dibuat malu, jika tadi Ding Tao menangkis pedangnya dengan menggunakan hawa murni
sekarang Ding Tao menangkis pedangnya melulu dengan tenaga luar.
Betapa gemas hati Thai Wang Gui, dengan sebuah teriakan liar yang mengerikan dia bergerak dua kali lebih cepat.
Terkadang menggunakan hawa murni untuk menguatkan serangan, terkadang tanpa menggunakan hawa murni karena dia
bersiap menggunakan Xi Xing Da Fa untuk menghisap hawa murni Ding Tao, dan itu tidak bisa dia lakukan jika dia
mengerahkan hawa murninya. Tapi betapapun dia mencoba, Ding Tao selalu berhasil "menebak" dengan tepat siasat yang
dia pakai. Ketika Thai Wang Gui menyerang dengan Xi Xing Da Fa, Ding Tao menangkis dengan tenaga luar. Ketika Thai
Wang Gui menyerang dengan hawa murni mengaliri pedang, Ding Tao juga menangkis dengan cara yang sama.
Seakan mau pecah kepala Thai Wang Gui oleh rasa marah, muak dengan senyum tersungging di wajah Ding Tao yang tidak
juga hilang, dia pun mengerahkan segenap hawa murninya dan menyerang sehebat-hebatnya. Pedang Angin Berbisik yang
selalu bergerak hampir-hampir tanpa suara pun sampai dibuat mendengung dengan keras, karena selagi menebas Pedang
Angin Berbisik juga bergetar dengan cepat oleh sebab besarnya hawa murni yang dihentakkan oleh Thai Wang Gui.
Di saat Thai Wang Gui sudah sampai pada puncak kemarahannya ini, justru Ding Tao bergerak menghindar, kakinya sedikit
merendah dan tubuhnya meliuk ke belakang, menghindari Pedang Angin Berbisik yang lewat tipis saja melintasi ujung
hidungnya. Begitu serangan Thai Wang Gui lewat, tubuh Ding Tao sudah meliuk ke depan dan ganti menyerang.
Sekalinya menyerang Ding Tao tidak menyerang setengah-setengah, pedang pusaka di tangan Ding Tao dalam sekejapan
berubah seperti belasan bintang jatuh dari atas langit. Inilah jurus pedang yang dia hadapi dalam pertarungannya yang
pertama. Inilah jurus hujan bintang jatuh milik Wang Chen Jin, musuh pertama dalam hidupnya, sekaligus orang yang
mendorong dia terjun dalam dunia persilatan. Jurus boleh sama, tapi yang melakukan beda orangnya, di tangan Ding Tao
jurus ini berkali lipat berkembang kehebatannya. Wibawanya benar-benar mengerikan, rasa marah Thai Wang Gui yang
meluap-luap, seketika itu juga hilang lenyap, digantikan rasa takut yang luar biasa. Hawa kematian mencekam Thai Wang
Gui, ketika dia sadar sudah jatuh dalam jebakan lawan. Oleh karena kesombongan dan nafsunya sendiri dia melupakan
pertahanan, tidak terpikir lawan akan menghindar apalagi balik menyerang.
Sebelum otak Thai Wang Gui bekerja, tubuhnya sudah terlebih dahulu mengambil keputusan. Tanpa malu-malu setan tua
itu pun melompat bergulingan, menjauh dari serangan pedang Ding Tao yang seakan-akan berubah menjadi malaikat mau
yang mengejar nyawanya. Saat dia sadar dan melompat berdiri, barulah dia melihat, ternyata Ding Tao masih juga belum beranjak dari posisinya
semula. Berbarengan dengan itu terdengarlah suara sorak sorai meledak dari antara mereka yang menyaksikan pertarungan
itu. Bukan hanya sorak sorai, bahkan di sana sini tidak sedikit terdengar suara tawa meledak.
"Keparat! Keparat! Kutu busuk! Anjing kurap!", Thai Wang Gui komat-kamit sendiri dengan wajah merah padam menahan
malu. Sementara Shao Wang Gui dan Wu Shan Yee yang jadi pendukung Thai Wang Gui hanya bisa menundukkan kepala sambil
mengomel perlahan-lahan. Tidak sedikit di antara penonton yang tertawa menyaksikan Thai Wang Gui bergulingan di atas lantai, namun di antara
mereka yang berdiri dekat Shao Wang Gui mungkin hanya dua orang ini saja yang berani tertawa.
"Tidak kusangka iblis tua seperti Thai Wang Gui pun ternyata punya ilmu anjing merangkak yang hebat.", seru seorang dari mereka yang begitu terkesima dengan pameran Ding Tao mempermainkan Thai Wang Gui.
Ucapan itu disambut tawa oleh rekan yang berdiri di sebelahnya. Usia mereka masih muda, jika tidak mungkin ingatan akan kekejaman sepasang raja iblis itu akan menjaga mulut mereka untuk tidak sembarangan terbuka. Telinga Shao Wang Gui
yang sudah sejak tadi merasa dikili-kili oleh sorak sorai seluruh orang di kaki Gunung Songshan itu pun berubah warna jadi merah. Kebetulan hatinya sudah panas melihat kebodohan Thai Wang Gui yang kena dipermainkan oleh lawannya yang
lebih muda. Tanpa banyak cakap Shao Wang Gui berjalan ke arah dua orang muda itu. Sebelum mereka bisa berkata satu
patah kata pun, tangannya sudah bergerak cepat menyodok ulu hati mereka.
"Hukk"!", suara tertahan keluar dari tenggorokan kedua orang muda itu.
Dan tanpa banyak kata lagi mereka pun berjatuhan ke atas tanah seperti lalat kena pukul. Nyawanya hilang seketika itu
juga. Mereka yang berdiri di situ hanya bisa memandang dengan alis terangkat, tapi begitu pandang mata mereka bentrok
dengan pandang mata Shao Wang Gui, seketika itu juga mulut tiap orang terkatup rapat. Selesai membunuh dua orang
muda itu, perasaan Shao Wang Gui terasa sedikit lebih ringan. Sekali lagi dia menatap ke orang-orang yang ada di
sekelilingnya. Melihat mereka terdiam ketakutan, Shao Wang Gui pun berjalan kembali ke sisi Wu Shan Yee yang sedang
menyaksikan pertarungan antara Ding Tao dan Thai Wang Gui.
Sungguh sembrono dua orang muda itu, namun memang sungguh hebat kejadian yang mereka saksikan hari ini, sehingga
sulit juga untuk menyalahkan mereka. Seorang tokoh tua yang ditakuti bahkan baru saja menunjukkan kehebatannya saat
dikerubuti oleh jagoan-jagoan nomor satu di dunia persilatan bisa jadi kecundang di tangan seorang muda. Sebenarnya hal ini terjadi bukan melulu karena kehebatan Ding Tao, selihai-lihainya Ding Tao toh belum bisa melampaui kehebatan Bhiksu Khongzhen. Juga bukan melulu karena terbantu oleh pedang pusakanya yang mampu mengimbangi Pedang Angin Berbisik
di tangan Thai Wang Gui. Yang menjadi sebab utama justru adalah kesombongan Thai Wang Gui sendiri, kesombongan yang
berubah menjadi senjata terhebat untuk melawan dirinya. Karena sombong dan memandang rendah Ding Tao, amarahnya
jadi bangkit oleh keberanian pemuda itu. Karena marah, diapun termakan oleh perkataan pemuda itu. Sedari tadi yang
diserang hanyalah mulut Ding Tao, yang ingin dia robek untuk membuktikan kelebihannya atas pemuda itu. Semahir-
Bentrok Rimba Persilatan 15 Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pendekar Remaja 10
^