Pencarian

Pedang Angin Berbisik 23

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 23


mahirnya Thai Wang Gui bermain pedang, jika hanya ada satu sasaran untuk dijaga, tentu saja tidak sulit untuk menjaga
diri dari serangannya itu.
Memang Thai Wang Gui punya Pedang Angin Berbisik dan juga punya Xi Xing Da Fa. Tapi sungguh kebetulan di tangan Ding
Tao ada pedang yang bisa menandingi Pedang Angin Berbisik. Juga pemuda itu sudah begitu lama mengenal Pedang Angin
Berbisik, meskipun hanya ada sedikit perbedaan yang mungkin orang tidak akan melihat atau lebih tepatnya mendengar,
tapi Ding Tao tahu dan mengenalinya, suara Pedang Angin Berbisik yang bergerak saat dilambari hawa murni dan Pedang
Angin Berbisik yang bergerak dalam keadaan kosong tanpa dialiri hawa murni.
Seharusnya Thai Wang Gui menyadari hal ini dalam belasan jurus saja, namun amarah dan kesombongan sudah
membutakan akal sehatnya. Pada puncaknya ketika dia menyerang dengan sepenuh tenaga, sudah hilang sama sekali
dalam benaknya, bahwa ada kemungkinan Ding Tao akan menghindar dan balik menyerang. Puluhan serangan sebelumnya
seakan sudah melekat kuat dalam benak Thai Wang Gui, bahwa jika diserang tentu akan ditangkis.
Gerakan Ding Tao yang di luar "pakem" ini membuat Thai Wang Gui kehilangan akal, untuk sejenak kesadarannya
melayang-layang, kehilangan pijakan. Seperti orang bodoh yang dibacakan sajak dari penyair terkenal, hanya bisa
mendengarkan dengan mulut terbuka, mata terbelalak dan otak kosong. Dalam keadaan kosong ini Ding Tao menyerang
dengan serangan yang membawa hawa kematian sedemikian kuat. Sehingga tubuh Thai Wang Gui pun bereaksi, digerakkan
melulu oleh naluri untuk bertahan hidupnya yang primitif, tidak lagi mengenal siasat apa lagi masalah harga diri. Siapa sangka, Ding Tao pun sudah berhitung bahwa dia tidak akan dapat melukai Thai Wang Gui dalam satu serangan itu,
sehingga jurus yang digunakan pun tidak diteruskan, melulu hanya menghentakkan semangat dan hawa pembunuh dalam
jurus, sementara orangnya diam di tempat.
Meskipun tubuh Thai Wang Gui tidak terluka, harga dirinya terluka habis-habisan, di depan puluhan ribu orang dia dibuat jadi bahan tertawaan.
"Raja besar iblis, apakah sudah selesai kau bergulingan" Apa bisa kita mulai lagi pertarungan ini?", tanya Ding Tao dari tempatnya, dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
Serasa mau pingsan Thai Wang Gui, karena darahnya mengalir begitu cepat ke kepala. Dengan rambut setengah berdiri,
setan tua itu pun melolong dan kembali berkelebat menyerang. Kali ini Ding Tao tidak bisa lagi bermain-main, sebelum
orangnya sampai sebuah pukulan jarak jauh sudah dilontarkan. Mata Ding Tao yang tajam melihat telapak tangan Thai
Wang Gui sudah berubah warna saat diangkat ke depan dada, teringat pesan-pesan Bhiksu Khongzhen dan yang lainnya,
dia pun bergerak menghindar sambil menutup jalan pernafasan. Benar saja sebuah kabut kehitaman segera saja
menyembur dari telapak tangan Thai Wang Gui, untung saja Ding Tao sudah sigap menghindar dan kabut itu pun hanya
melintas saja tanpa membahayakan dirinya.
Tapi sebelum sempat dia bergerak lebih jauh, Thai Wang Gui sudah sampai di depannya. Harus diakui Thai Wang Gui yang
murka, berkali lipat lebih menakutkan, dalam satu tarikan nafas saja Pedang Angin Berbisik sudah 4 kali disabetkan. Ding Tao tidak kehilangan nyali oleh tandang Thai Wang Gui yang trengginas, pedang pusaka di tangannya tidak kalah cepat
bergerak menangkis serangan Thai Wang Gui.
Kali ini Ding Tao tidak berdiam diri di tempat, serangan Thai Wang Gui pun tidak sesederhana tadi. Pedang di tangannya
bergerak ke sana dan ke mari, mencari-cari setiap celah yang terbuka dalam pertahanan Ding Tao. Tangan kirinya pun tidak diam menganggur, kuku-kukunya yang tajam tidak ubahnya 5 mata pedang yang berkeliaran mencari mangsa. Jika tadi
Ding Tao bisa melayani serangan Thai Wang Gui tanpa bergeser tempat sedikitpun tidak demikian kali ini. Pemuda itu
dipaksa berlarian ke seluruh penjuru, tangan kirinya yang patah membuat dia tidak bisa bertahan dengan maksimal. Jika
bukan karena pengamatannya yang tajam dan ilmu barunya, mungkin sudah sejak tadi Ding Tao terkapar tak bernyawa,
dihabisi oleh amukan Thai Wang Gui yang sudah kalap.
Kekalapan Thai Wang Gui memang cukup merepotkan, hanya dengan otak yang jernih dan hati yang tenang baru Ding Tao
bisa menghadapi tokoh sesat itu. Bukan hanya mata tapi seluruh daya tangkap yang ada pada dirinya, menganalisa
keadaan di sekelilingnya. Sejak dia mulai terjun dalam dunia persilatan, inilah lawan terkuat yang pernah dia hadapi.
Apalagi saat ini dia berada dalam kondisi yang tidak sempurna, bertarung dengan sebelah tangan dalam keadaan patah.
Belasan jurus sudah berlalu, menginjak jurus ke-20 bahkan sampai jurus ke-30, Ding Tao belum juga bergerak menyerang.
Peluh sudah membasahi seluruh tubuhnya, sementara Thai Wang Gui masih segar bugar, tidak aneh, karena sebelum
pertarungan ini dia dan Shao Wang Gui sudah menghisap hawa murni 18 orang bhiksu Shaolin ditambah hawa murni Bhiksu
Khongti. Meskipun sedikit banyak hawa murni yang mereka serap itu sudah terpakai saat melawan Bhiksu Khongzhen,
Pendeta Chongxan, Bai Chungho, Xun Siaoma dan Hua Ng Lau, apa yang sudah mereka hisap masih lebih dariapa yang
mereka hamburkan hari ini.
Xi Xing Da Fa sendiri bukannya tanpa cacat, hawa murni yang dihisap haruslah digunakan, bagaimanapun juga Xi Xing Da
Fa tidak mampu menyatukan hawa murni yang dia hisap dengan hawa murni pemiliknya. Tapi jika digunakan secara
berlebihan dalam waktu yang singkat, juga dapat merusak tubuh pemakainya.
Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui tidak malu dianggap dedengkot dari para tokoh sesat pada masa mereka. Pusat-pusat
dan jalur-jalur energi dalam tubuh mereka hampir mendekati sempurna. Dengan begitu mereka bisa menggunakan Xi Xing
Da Fa untuk menghisap lebih banyak hawa murni dibandingkan orang biasa. Mereka juga bisa menyimpan hawa murni hasil
hisapan Xi Xing Da Fa lebih lama dibandingkan kebanyakan orang.
Kecepatan Thai Wang Gui tidak juga berkurang, sementara Ding Tao belum juga bisa balik menyerang. Apakah ini tanda
bahwa perlawanan Ding Tao akan segera berakhir"
Jika banyak orang mulai merasa khawatir pada keadan Ding Tao, wajah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang
tadinya tegang justru mulai mencair.
"Lihat" dia sudah mulai memahami polanya", demikian kata Pendeta Chongxan.
"Hmm" dia memang berbakat, bukan hanya berotak cerdas, dia juga memiliki keberanian dan yang terpenting kesabaran
yang jarang dimiliki oleh orang seusianya.", jawab Bhikshu Khongzhen sambil mengangguk-angguk.
"Apakah yang dimaksudkan ketua adalah tentang 3 perubahan gerak tubuh milik Thai Wang Gui?", tanya Bai Chungho yang
ikut mendengarkan. "Benar, sejak tadi Ketua Ding Tao tidak menyerang, hal itu bukan melulu karena kecepatan dan keganasan serangan dari
Thai Wang Gui. Selama itu Ketua Ding Tao terus mengamati berbagai macam pola dari serangan Thai Wang Gui. Hingga
sekarang dia masih menghindar tanpa membalas, tapi sejak jurus ke-37, jika diamati dengan jeli ada satu perubahan yang
mendasar. Ketua Ding Tao sudah mampu menghindar dengan gerakan paling sedikit dari setiap kemungkinan yang ada.",
jawab Bhikshu Khongzhen sambil menoleh ke arah Bai Chungho.
Sebuah senyum lebar terbentuk di wajah Bai Chungho, "Heheheh, bagus. Itu artinya setiap serangan setan tua itu sudah
terbaca oleh Ketua Ding Tao. Tinggal menunggu waktu sebelum dia tersungkur mencium tanah di hadapan anak muda itu."
Pendeta Chongxan ikut tersenyum mendengar perkataan Bai Chungho, namun dia mengingatkan dengan sopan, "Tapi
hasilnya belum bisa dipastikan, memang mulai jurus ke-37 Ketua Ding Tao berhasil membaca pergerakan Thai Wang Gui.
Namun tenaganya sudah banyak terkuras habis, sementara Thai Wang Gui masih segar bugar. Pula Thai Wang Gui belum
menggunakan seluruh ilmu yang dia miliki. Masih terlalu awal untuk memperkirakan hasil pertarungan, namun setidaknya
kesempatan Ketua Ding Tao untuk menang sedikit bertambah."
Bai Chungho pun terdiam dan kembali mengamati pertarungan yang sedang terjadi. Ding Tao masih juga belum balas
menyerang, namun pergerakannya jauh lebih efektif daripada serangan-serangan Thai Wang Gui yang menghamburkan
tenaga. Ding Tao dengan cerdik memanfaatkan pedang pusakanya untuk menangkis atau menyelewengkan serangan Thai
Wang Gui. Seperti menyaksikan seorang matador mempermainkan seekor banteng yang ganas. Gerakan banteng tentu saja lebih kuat
dan lebih cepat. Namun sang matador berhasil mempermainkan banteng itu dengan gerakan-gerakan kecilnya. Membuat si
banteng bergerak ke sana dan ke mari, sementara sang matador hanya bergerser satu dua langkah untuk menghindari
serangan banteng itu. Thai Wang Gui bukanlah banteng, meskipun butuh waktu beberapa lama, akhirnya dia paham juga
dengan apa yang sudah terjadi. Mengetahui kunci gerakannya sudah terpegang di tangan orang, setan tua itu pun memutar
otaknya. Tidak lagi dia memandang Ding Tao sebagai lawan yang tidak sederajat dengan dirinya. Meskipun mungkin butuh
waktu lama untuk membuat kesombongannya mengakui kesalahan menilai orang, tapi Thai Wang Gui bukanlah orang
bodoh. Pada jurus ke 58, gerakan Thai Wang Gui pun berubah, tidak lagi sesederhana sebelumnya. Meskipun hanya 3 macam
perubahan, namun yang 3 itu bila dikombinasikan dengan jurus tipu dan jurus yang sungguh-sungguh, menjadi jumlah
yang sangat banyak kemungkinannya. Demikian pula dengan serangan-serangannya, memang jika Thai Wang Gui hendak
melakukan pukulan jarak jauh, dia akan mengangkat tangan ke depan dada, tapi bukan berarti setiap kali dia mengangkat
tangan ke depan dada, dia melakukan pukulan jarak jauh.
Bukan hanya Thai Wang Gui saja yang bertarung lebih serius, Ding Tao pun merasa dirinya sudah cukup lama mengamati
gerakan lawan, pemuda itu tidak hanya bertahan saja tapi juga berusaha menyerang. Selepas jurus ke-60 mulailah
pertarungan terlihat lebih berimbang. Bukan hanya Thai Wang Gui yang terus menerus mendesak Ding Tao, sesekali Ding
Tao ganti menyerang dan mendesak Thai Wang Gui mundur ke belakang.
Tapi justru di saat keadaan seperti membaik untuk Ding Tao, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan justru menghela
nafas dan menampilkan wajah khawatir.
"Ketua berdua, apakah keadaan Ding Tao lebih buruk dari sebelumnya?", tanya Bai Chungho yang ikut merasa khawatir.
"Hmm" belum ada kepastian" dalam satu pertarungan selalu saja ada kemungkinan hasilnya bisa berbalik di luar dugaan
pengamat yang paling jeli sekalipun.", jawab Bhikshu Khongzhen dengan diplomatis.
Mendengar jawaban itu, tentu saja para pendukung Ding Tao yang mendengarnya jadi menciut hatinya. Dengan penuh rasa
khawatir mereka memperhatikan pertarungan yang terjadi di atas panggung. Di antara mereka yang menyaksikan dengan
penuh rasa cemas, ada pula Hua Ying Ying dan Wang Shu Lin. Tidak butuh waktu lama sebelum perkataan Bhiksu
Khongzhen itu terbukti, hanya dalam belasan jurus, Ding Tao kembali terdesak. Bahkan beberapa kali Pedang Angin Berbisik sempat menggores tubuhnya.
Ding Tao berusaha untuk tetap tenang, ini bukan kali pertama dia harus menghadapi ancaman maut. Otaknya berputar
keras, seluruh tubuhnya sudah bersimbah peluh, otot-ototnya mulai terasa berat untuk digerakkan.
Apakah perjalanannya akan berakhir di sini" Di tangan Thai Wang Gui, orang yang sudah membantai puluhan anggota
keluarga Huang di Wuling. Di antara puluhan orang itu ada banyak sahabat yang dia kenal sejak kecil. Orang-orang yang
kepada mereka dia berhutang budi. Nafasnya makin memburu, detak jantungnya berpacu, berdentam sedemikian keras
sehingga serasa menulikan telinganya. Beberapa kali dia sudah melakukan kesalahan dan semakin lama semakin
terperangkap oleh jurus-jurus yang dilancarakan Thai Wang Gui. Sebuah seringai kejam penuh kemenangan sudah terpeta
di wajah dua orang setan tua itu. Shao Wang Gui yang sudah paham benar dengan permainan rekannya, sudah bisa
membayangkan bagaimana pertarungan itu akan berakhir.
Tiba-tiba Shao Wang Gui berseru, "Lima !"
Thai Wang Gui melontarkan pukulan jarak jauh yang beracun, Ding Tao yang baru saja mendaratkan kakinya di atas
panggung, dipaksa menjatuhkan badannya ke samping untuk menghindari pukulan beracun itu.
"Empat!", sekali lagi Shao Wang Gui berseru.
Pedang Thai Wang Gui bergulung menyerang Ding Tao yang masih bergulingan di atas lantai panggung. Sambil melenting
berdiri dan berputar di udara, Ding Tao berusaha menangkis serangan itu dengan pedang pusakanya. Namun karena kuda-
kudanya belum mantap, pedang Ding Tao pun terpental, hampir saja terlepas dari genggamannya.
"Tiga!", Shao Wang Gui kembali berseru dan kali ini semua orang mulai bisa meraba, apa yang dimaksudkan Shao Wang
Gui dengan seruan-seruannya itu.
Kelima jari Thai Wang Gui yang tidak memegang pedang, mengembang membentuk cakar garuda, menyambar ke wajah
Ding Tao yang tidak sempat lagi menarik pedangnya untuk melindungi wajahnya dari serangan Thai Wang Gui. Sadar akan
kuku-kuku Thai Wang Gui yang beracun, Ding Tao pun bergerak menghindar. Tidak ingin melepaskan pedang pusakanya,
tubuh Ding Tao pun mengikuti gerakan pedangnya yang dipentalkan Thai Wang Gui, membentuk sebuah putaran, sambil
sedikit merendahkan badan. Kuku-kuku jari Thai Wang Gui meleset tipis dan memutuskan ikat kepala Ding Tao. Pemuda itu
terus berputar dan pedangnya sekarang bergerak menebas kaki Thai Wang Gui dari posisi yang lebih rendah.
"Dua!", Shao Wang Gui berseru kembali.
Jauh sebelum pedang Ding Tao sampai pada sasarannya, Pedang Angin Berbisik yang ada di tangan Thai Wang Gui sudah
menebas lurus ke bawah, ke arah batok kepala Ding Tao, Ding Tao pun dipaksa untuk menarik kembali serangannya untuk
menangkis serangan Thai Wang Gui.
"Satu !", seru Shao Wang Gui dan jantung setiap orang pun terasa berhenti berdetak.
Serangan Thai Wang Gui menggunakan Pedang Angin Berbisik hanyalah sebuah pancingan, begitu pedang Ding Tao sudah
berada di atas kepala. Tangan Thai Wang Gui dengan bebasnya diletakkan di dada Ding Tao. Meski Ding Tao sadar sudah
jatuh dalam jebakan Thai Wang Gui, sudah tidak ada kesempatan baginya untuk menghindar.
Melihat kedudukan dirinya dan kedudukan Thai Wang Gui, menilik postur tubuh Thai Wang Gui saat ini, Ding Tao tidak
melihat ada jalan untuk melepaskan diri dari telapak tangan Thai Wang Gui yang menempel di dadanya.
Mata mereka saling bertemu dan seringai kejam di wajah Thai Wang Gui semakin lebar. Meskipun Thai Wang Gui belum
melakukan apa pun, mereka berdua sudah sama-sama tahu apa yang akan terjadi berikutnya.
"Ketua Ding Tao" aku persembahkan padamu" Xi Xing Da Fa?", ucap Thai Wang Gui perlahan-lahan, menikmati saat-saat
kemenangannya. Bukan hanya jantung Ding Tao yang berhenti berdenyut, puluhan bahkan ratusan denyut jantung mereka yang
menyaksikan ikut serasa berhenti berdenyut ketika Shao Wang Gui sampai pada hitungan satu. Tangan Hua Ying Ying tanpa
sadar mencengkeram tangan kakaknya erat-erat, sampai Huang Ren Fu mengerenyit menahan sakit. Lupa akan
kedudukannya Hua Ying Ying tiba-tiba maju ke depan, mendekati para tetua yang menyaksikan pertarungan itu dengan
tegang. "Tetua" Ayah" cepat tolonglah Ding Tao" mengapa kalian tidak melakukan sesuatu" Nyawanya dalam bahaya.", seru Hua
Ying Ying sambil menatap tidak mengerti ke arah mereka.
"Ying Ying" pertarungan belum berakhir?", jawab Hua Ng Lau dengan sedih.
"Apa maksud ayah" Bukankah sudah jelas Ding Tao yang kalah?", tanya Hua Ying Ying tidak mengerti.
Hua Ng Lau menghela nafas dengan sedih, mulutnya terbuka hendak menjelaskan namun tak sampai ada keluar kata-kata.
Hua Ng Lau hanya menggelengkan kepala dengan sedih. Xun Siaoma-lah yang akhirnya menjelaskan.
"Memang keadaan saat ini, tidak ubahnya seperti seekor kucing yang mempermainkan tikus yang sudah ditangkap. Tapi
selama Thai Wang Gui belum memutuskan untuk menyelesaikan pertarungan, meskipun tipis harapan bagi Ding Tao, bukan
berarti harapan itu hilang.", ujar Xun Siaoma menjelaskan.
"Nona" tenanglah, percayalah, kami pun tidak ingin melihat Ding Tao celaka. Begitu Thai Wang Gui menggunakan Xi Xing
Da Fa untuk mengakhiri pertarungan dan kesempatan untuk menang itu sepenuhnya tertutup, aku danBhiksu Khongzhen
akan maju ke depan untuk menyelamatkan Ketua Ding Tao.", ujar Pendeta Chongxan dengan prihatin.
"Kenapa harus menunggu selama itu" Apakah jabatan Wulin Mengzhu itu begitu besar artinya" Apakah demi jabatan itu
kalian hendak mengorbankan Ding Tao?", ujar Hua Ying Ying sambil terisak menahan tangis.
"Ying Ying! Kendalikan dirimu. Ingat dengan siapa kau bicara?", tegur Hua Ng Lau dengan keras.
"Tidak apa" kami mengerti perasaan Nona Hua Ying Ying?", ujar Bhiksu Khongzhen sambil menepuk-nepuk pundak Hua
Ying Ying untuk menenangkannya.
"Lihatlah nona, lihatlah sorot mata Ketua Ding Tao", ujar Bhiksu Khongzhen pada Hua Ying Ying.
Dalam keadaan putus asa, Hua Ying Ying mengikuti perkataan Bhiksu Khongzhen, sambil menghapus air mata yang
merebak, dia berusaha memandang ke arah Ding Tao yang berada di atas panggung.
"Lihatlah, sorot matanya masih menunjukkan keinginan untuk berjuang. Itu bukan sorot mata kekalahan. Jangan berpikir
bahwa kesempatan itu hilang, selama seseorang masih mau berusaha, kesempatan tidak akan hilang. Jangan kita khianati
keberaniannya dengan memutuskan sedikit harapan yang ada dengan tindakan kita.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan sabar.
Hua Ying Ying memandang ke arah Hua Ng Lau, dengan senyum sedih Hua Ng Lau menganggukkan kepala dan membelai
kepala puteri angkatnya itu, "Bhiksu Khongzhen benar, kita tidak bisa mengkhinati semangat Ding Tao dengan tindakan kita yang terburu-buru. Percayalah, kami semua tidak akan tinggal diam dan menyaksikan Ding Tao celaka tanpa berbuat apa-apa."
Masih terisak, akhirnya Hua Ying Ying pun menganggukkan kepala. Huang Ren Fu dengan tertatih-tatih mendekati adiknya,
kemudian sambil berpegangan tangan mereka berdua menyaksikan pertarungan yang tengah terjadi di atas panggung. Saat
itu Thai Wang Gui yang berada di atas angin berusaha menikmati kemenangannya.
"Anak muda" bagaimana" Apakah kau mau menyerah sekarang" Jika kau mau berlutut dan menyembahku sebanyak 3 kali
aku akan mengampuni selembar nyawamu.", ujar Thai Wang Gui dengan senang.
Ding Tao tidak menjawab, pikirannya masih berputar dan mencari jalan. Sungguhpun dia tidak melihat ada jalan baginya
untuk lepas dari tangan Thai Wang Gui yang melekat di dadanya. Tiba-tiba Ding Tao bergerak berputar, berusaha
melepaskan telapak tangan Thai Wang Gui dari dadanya. Namun Thai Wang Gui dengan cepat berlari berputar mengikuti
putaran Ding Tao. Sebenarnya putaran Ding Tao lebih kecil, sementara Thai Wang Gui harus bergerak mengitari Ding Tao.
Seharusnya cepat atau lambat Thai Wang Gui akan ketinggalan dan Ding Tao bisa melepaskan diri dari ancaman Xi Xing Da
Fa. Kenyataannya sudah beberapa kali mereka berputar, Thai Wang Gui masih bisa mengimbangi kecepatan Ding Tao.
Pertama memang ilmu meringankan diri Thai Wang Gui lebih tinggi dari Ding Tao. Kedua, telapak tangan Thai Wang Gui
yang menekan dada Ding Tao, dia gunakan juga sebagai rem untuk menahan gerakan Ding Tao.
Gagal melepaskan diri dengan putaran badan, Ding Tao berusaha menyerang tangan Thai Wang Gui yang menempel di
dadanya. Namun dengan pedangnya Thai Wang Gui mencegah Ding Tao untuk menarik pedangnya mendekat ke dada.
Ding Tao pun mencoba bergerak mundur, pemuda itu menjejakkan kakinya kuat-kuat ke atas lantai, melemparkan dirinya
sambil tetap berputaran. Namun Thai Wang Gui masih juga bisa mengikutinya.
Dengan cepat keduanya berubah jadi bayangan yang bergerak ke sana ke mari. Ding Tao bergerak secepat dia bisa tapi
Thai Wang Gui menunjukkan kelebihannya sebagai seorang dedengkot tokoh sesat di jamannya. Sambil terkekeh-kekeh,
Thai Wang Gui bergerak seperti sosok arwah penasaran yang menghantui Ding Tao.
"Heheheheh, kau tidak bisa lari ke mana pun, menyerah saja" heheheheh", ujar Thai Wang Gui sambil terkekeh-kekeh.
Ding Tao terus bergerak sampai nafasnya putus dan kepalanya serasa hendak meledak oleh denyutan pembuluh darah
dahinya. Terhuyung-huyung pemuda itu pun berhenti berlari, telapak tangan Thai Wang Gui masih menempel di dadanya.
Pemuda itu pun mau tidak mau mengakui ketangguhan lawan, mau tidak mau dia harus mengakui bahwa tidak ada lagi
yang bisa dia lakukan untuk memenangkan pertarungan ini. Dengan pasrah dia berdiri menanti Thai Wang Gui mengirimkan
serangan terakhir. Melihat sorot keputus asa-an di mata Ding Tao, mata Thai Wang Gui-pun berkilat-kilat puas,dengan nada jumawa dia
berkata, "Heh, sudah siap untuk mati" Apa kau tidak mau menyembah-nyembahku untuk minta ampun?"
Sorot mata Ding Tao yang tadinya penuh diwarnai keputus asa-an pun menyala, berkobar oleh rasa marah. Dadanya serasa
ingin meledak menyaksikan kejumawaan Thai Wang Gui. Di saat-saat kemtian menjelang, sebuah pikiran melintas di
benaknya. Satu-satunya perlawanan yang bisa dia lakukan.
Seulas senyum terbentuk di wajah Ding Tao, "Hahahaha, mau bunuh, bunuh saja. Tapi hati-hati jangan sampai kemudian
kau terguling-guling karena terkejut lagi."
Alis Thai Wang Gui pun berkerut karena kesal, dia paling sebal jika ada lawan yang tidak ketakutan saat hendak dia bunuh.
Meskipun bukan sekali dua, dia bertemu lawan seperti itu, tapi setiap kali dia berhadapan dengan orang yang demikian,
perasaan kesal yang sama selalu mengganggunya. Tapi Ding Tao berkali-kali lipat lebih mengesalkan. Urat-urat di dahinya mulai menonjol keluar, wajahnya memerah oleh murka yang kembali meledak.
"Hmm" baiklah kalau begitu, melihat keberanianmu akan kuampuni nyawamu", ujarnya sambil menyeringai kejam.
Ya, terkadang dibiarkan hidup setelah berhadapan dengan Thai Wang Gui bisa terasa lebih sengsara daripada mati. Karena
Thai Wang Gui tentu sudah punya rencana sendiri dalam benaknya bila dia berkata demikian. Rencana yang akan membuat
setiap orang normal yang mendengarnya bergidik dan muntah-muntah. Apalagi bagi orang yang menjadi sasarannya.
"Tapi pertama-tama, silahkan kau cicipi dulu hidangan pembukanya" Xi Xing Da Fa!", dengan kata-kata itu, Thai Wang Gui
mengerahkan tenaga hisap Xi Xing Da Fa.
Seketika itu juga Ding Tao merasakan dadanya seperti dihunjam satu tenaga yang tak terlihat, tapi perasaan itu hanya
sesaat saja, karena di detik berikutnya yang dia rasakan adalah hawa murninya terhisap keluar. Ding Tao sudah pasrah,
tidak ada yang bisa dia pikirkan untuk menolak hisapan lawan. Memang benar Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan
bisa menghindar dari Xi Xing Da Fa dengan mengosongkan bagian yang dihisap dari hawa murni untuk beberapa saat
lamanya. Segera setelah Xi Xing Da Fa kehilangan sasaran, mereka mundur dan kembali mengalirkan hawa murni melalui
bagian tersebut. Namun Thai Wang Gui berhasil menempelkan telapak tangannya di bagian dada, di pusat energi jantung
Ding Tao. Tentu saja berbeda dengan kasus di mana Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui berusaha menggunakan Xi Xing Da
Fa pada tangan atau pedang Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan saat mereka menangkis serangan.
Tidak mungkin Ding Tao mengosongkan pusat energi jantungnya dari hawa murni, jika demikian sama saja artinya dia
membunuh diri. Tapi di saat yang kritis itulah terjadi sesuatu di luar kehendak atau lebih tepatnya di luar kesadaran Ding Tao sendiri.
Digerakkan oleh naluri untuk bertahan hidup, tubuh Ding Tao-lah yang menggeliat dan menerapkan Yi Cun Kai di luar
kesadarannya. Kehendak seseorang untuk bertahan hidup, kekuatan yang membuat seorang bayi menangis dan mencari
tetek ibunya saat baru dilahirkan. Kekuatan yang melampaui kesadaran manusia sendiri.
Sebuah reaksi yang sulit ditentang oleh kesadaran manusia, seperti jika ada orang yang mendekatkan jarum pada bola
mata, meskipun orang tersebut secara sadar berusaha sebisa mungkin tetap membuka kelopak mata, tapi pada saat jarum
itu menyentuh bola mata atau bahkan mungkin sebelum tersentuh pun, kelopak mata akan bergerak menutup dengan
sendirinya. Seakan ada dua bagian dari diri manusia yang berebut hak mengambil keputusan, yang satu adalah alam sadarnya dan ada
pula sisi lain yang berada di luar kesadarannya.
Demikian pula pada diri Ding Tao kali ini, secara sadar dia sudah berpasrah, namun secara tidak sadar, kemauan untuk
terus bertahan hidup itu menggeliat dan berjuang. Pada awalnya pemuda ini hanya bisa mengamati apa yang terjadi pada
tubuhnya, karena sudah tidak ada niatan untuk berjuang melawan serangan Thai Wang Gui, dibiarkannya saja tubuhnya
bekerja tanpa dirinya melakukan sesuatu apa pun. Ding Tao hanya berdiri menjadi pengamat, menurut akalnya, semakin
dia mengerahkan hawa murni tentu akan semakin banyak yang terhisap oleh lawan. Saat itu dia berpikir, lebih cepat lebih baik, daripada terus menerus dihinakan lawan yang mempermainkan dirinya seperti seekor kucing mempermainkan tikus
tangkapannya. Dan memang benar untuk beberapa saat hawa murninya seperti membobol dan terhisap dengan kuat. Ding Tao pun
menutup mata, pasrah menerima kematian.
Tiba-tiba matanya terbuka lebar, terjadi sesuatu yang di luar perkiraannya, saat Yi Cun Kai mulai terbentuk di sekitar
tubuhnya, justru semakin sedikit hawa murni yang terhisap keluar, padahal dia masih bisa merasakan tenaga hisap Xi Xing Da Fa tidaklah berkurang. Matanya yang terbuka lebar, berbentrokan dengan pandang mata Thai Wang Gui dan dalam
sekejap mata itu pula Ding Tao menyadari bahwa Thai Wang Gui sama terkejutnya dengan dirinya.
Sungguh sebuah satuan waktu yang sangat singkat, antara timbulnya kesadaran Ding Tao dan Thai Wang Gui bahwa telah
terjadi sesuatu pada tubuh Ding Tao yang menahan tenaga hisap Xi Xing Da Fa, sampai pada akhir dari pertarungan. Waktu
itu menjadi singkat karena pada saat dia menyadari bahwa perkembangan itu di luar perhitungan Thai Wang Gui, serentak
semangatnya untuk tidak menyerah pun bangkit. Di saat yang singkat itu, otak Ding Tao bekerja dengan cepat, pertama dia sadar jika diukur tinggi rendahnya ilmu, dia masih 2 atau 3 tingkat di bawah Thai Wang Gui. Kesempatan yang muncul oleh kejadian ini adalah kesempatan yang langka. Kalaupun dirinya berhasil membebaskan diri dari Xi Xing Da Fa, jika Thai Wang Gui masih hidup, maka dirinya akan jatuh dalam permainan jurus-jurus Thai Wang Gui untuk kedua kalinya.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua kesempatan seperti saat ini belum tentu akan muncul kembali untuk kedua kalinya. Oleh karena itu dia harus
bertindak sekarang juga memanfaatkan keterkejutan Thai Wang Gui yang menggoyahkan kedudukan iblis tua itu.
Bertarung terus menerus dalam tekanan, membuat seluruh urat syaraf di tubuh Ding Tao menajam. Pemikiran ini berjalan
seperti kilat, sebelum Ding Tao sampai pada akhir pemikirannya, tangan kanannya yang memegang pedang sudah meluncur
turun, menusuk Thai Wang Gui dari atas ke bawah.
Thai Wang Gui justru berbeda, keterkejutannya tidak membuat benaknya bergerak dengan cepat dan mengambil keputusan
yang penting yang menolong dirinya. Semenjak puluhan jurus dia merasa berada di atas angin, Thai Wang Gui bertarung
tanpa ada tekanan. Ketika tiba-tiba Xi Xing Da Fa seperti menghisap karet yang liat, bukannya menghentikan Xi Xing Da Fa dan menjauh, iblis tua itu justru merasa penasaran dan berusaha memperkuat daya hisap Xi Xing Da Fa sambil berusaha
mengamati dan menganalisa apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Sebenarnya bisa dikatakan Yi Cun Kai adalah lawan dari Xi Xing Da Fa, dengan Yi Cun Kai hawa murni yang tidak berwujud
berubah sifat seakan-akan menjadi berwujud, sehingga membentuk selaput hawa pelindung di sekitar tubuh penggunanya.
Hawa pelindung yang bukan saja menghentikan serangan halus tapi juga serangan kasar. Berbeda dengan kebanyakan ilmu
kebal yang ada pada saat itu, misalnya Ilmu baju besi milik Shaolin, di mana hawa murni digunakan untuk menguatkan
bagian-bagian tubuh tertentu. Karena berubah sifatnya inilah Xi Xing Da Fa kesulitan untuk menghisapnya. Meskipun
lambat, tapi perlahan-lahan Thai Wang Gui mulai bisa meraba apa yang sedang terjadi. Namun percuma saja dia memahami
hal ini karena pada saat itu pedang Ding Tao sedang meluncur ke arahnya tanpa dia sadari.
Karena pikirannya tidak lagi tertuju pada pertarungannya dengan Ding Tao yang secara tidak sadar sudah dia anggap
selesai semenjak dia mengerahkan Xi Xing Da Fa, maka kesadarannya pun terlambat dalam menangkap serangan pedang
Ding Tao yang datang bagai kilat.
Jika besi saja bisa dipotong, apalagi dengan daging dan tulang manusia. Decit suara pedang yang menembus tulang
belulang terdengar saat pedang Ding Tao menembus tulang pundak Thai Wang Gui, terus melaju dan terus bergerak
mengiris otot dan tulang-tulang rusuk hingga sampai di jantung Thai Wang Gui, terus tak berhenti hingga pedang itu keluar kembali di sisi yang lain dari tubuh Thai Wang Gui. Dengan mata terbelalak tak percaya, Thai Wang Gui pun jatuh tanpa
daya dengan tubuh terbelah menjadi dua.
Melihat kengerian itu, kemarahan Ding Tao tiba-tiba menguap hilang digantikan oleh perasaan ngeri, jijik dan bersalah atas pembunuhan yang baru saja dia lakukan. Thai Wang Gui yang mati dengan cara mengerikan tidak terlihat seperti sosok iblis yang menakutkan. Dalam keadaan tanpa nyawa, jika dilihat kembali, Thai Wang Gui tak ubahnya seperti seorang kakek-kakek lanjut usia yang lain. Berbeda antara apa yang dirasakan Ding Tao dengan yang dirasakan oleh sisa anggota keluarga Huang yang lain. Juga termasuk di antara mereka, ratusan bahkan mungkin ribuan orang lain yang pernah menjadi korban
Thai Wang Gui dan memendam dendam. Pekik sorak sorai, umpatan, sumpahan dan ucapan syukur terdengar di mana-
mana. Serentak mereka mengacungkan senjata sambil memandangi Shao Wang Gui yang masih berdiri tak percaya.
Padahal baru beberapa saat yang lalu mereka esmua hanya berdiri dalam diam, mendendam tapi tak memiliki keberanian.
Shao Wang Gui yang tersadar dengan cepat memburu ke atas panggung, hendak mengambil Pedang Angin Berbisik yang
masih ada di genggaman Thai Wang Gui, tapi bukan hanya Shao Wang Gui yang berpikir demikian. Sebelum dia sampai di
sana Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen sudah sampai di atas panggung terlebih dahulu. Pedang Angin Berbisik yang
dia incar tiba-tiba saja sudah berpindah tangan, ketika menengok ke arah Ding Tao yang masih kehabisan tenaga, sudah
ada Bhiksu Khongzhen di hadapannya.
"Shao Wang Gui" bagaimana" Apakah kau mau menyerah baik-baik?", tanya Pendeta Chongxan dengan Pedang Angin
Berbisik di tangan. Shao Wang Gui yang terkejut dan marah tidak bisa menjawab dengan segera, tapi ketika perasaannya sudah pulih dengan
cepat dia menjawab, "Chongxan jangan bodoh, apa kau kira aku datang sendirian saja" Dengar dengan satu suitan ribuan
orang pendukungku akan memenuhi tempat ini. Jika kau tidak mau melepaskan diriku, mungkin benar aku akan tertangkap,
tapi jangan salahkan aku jika lapangan ini akan banjir dengan darah."
Tersenyum simpul Pendeta Chongxan menjawab, "Hmm" apa benar demikian?"
Marah oleh senyum Pendeta Chongxan yang meragukan kata-katanya, Shao Wang Gui pun bersuit kencang. Suitannya
dipenuhi hawa murni, terdengar mengalun dan menusuk telinga sampai beberapa li jauhnya.
Selesai bersuit dia pun menatap tajam ke arah Pendeta Chongxan dan berkata, "Heh", sekarang kau baru menyesal."
Kemudian suasana pun menjadi lengang beberapa saat. Setiap orang menanti dengan tegang, bahkan Pendeta Chongxan
sendiri sedikit menegang mendengar suitan Shao Wang Gui. Namun saat demi saat berlalu dan tidak terjadi apa-apa. Dari
wajah yang tegang, orang-orang pun berubah menjadi bingung dan heran. Lain lagi dengan Shao Wang Gui, tadinya dengan
penuh percaya diri dia menatap Pendeta Chongxan dan bersuit tanpa menengok ke sekelilingnya. Tapi sekian lama dia
menunggu, tidak terjadi sesuatu apa pun yang menunjukkan keberadaan orang-orang yang sudah berjanji untuk
mendukung gerakannya. Perlahan Shao Wang Gui mengitarkan pandangan, mula-mula hanya melirik ke kiri dan ke kanan
dengan ujung matanya. Tidak menangkap sedikitpun pergerakan dia mulai menengok ke kiri dan ke kanan. Tidak juga
melihat ada pergerakan dari rekan-rekannya, dia pun memalingkan tubuh dan melihat ke sekelilingnya, berputar,
memandangi orang-orang di sekelilingnnya dengan wajah bodoh.
Seorang pun tak terlihat, bahkan Wu Shan Yee pun diam-diam sudah pergi meninggalkan tempat.
Keringat dingin mengucuri punggung Shao Wang Gui, sambil menelan ludah dan wajah memerah oleh rasa malu dia
berpaling kembali ke arah Pendeta Chongxan, "Ap" apa" lalu apa maumu sekarang?"
Melihat ini, meledaklah tawa setiap orang. Betapa rusak sudah segala nama dan kemegahan yang dibangun oleh sepasang
iblis itu. Shao Wang Gui pun meradang namun tidak berani untuk bertindak gegabah, tidak sedikitpun lewat dalam
ingatannya untuk membalaskan dendam Thai Wang Gui. Yang dia cari saat ini adalah jalan untuk melarikan diri dan hidup.
Kalaupun dia memanggil orang-orang yang sempat menjadi pengikutnya, hal itu tidak lepas dari keinginannya untuk
membuat celah bagi dirinya untuk melarikan diri.
Siapa sangka, tak satupun dari mereka muncul membantu, bahkan Wu Shan Yee yang sudah muncul justr u diam-diam
menghilang di saat perhatian setiap orang tumpah pada dirinya.
Ding Tao yang terhuyung hendak jatuh, dengan cepat dipapah oleh Bhiksu Khongzhen, "Ketua Ding Tao, anda sudah
memenangkan pertarungan, dengan sendirinya jabatan Wulin Mengzhu itu sudah resmi jadi milikmu. Berikan saja perintah
padaku dan Pendeta Chongxan, biar kami bisa menyelesaikan urusan."
Dengan lemah Ding Tao memalingkan kepala ke arah Shao Wang Gui kemudian berkata, "Jika dia bersedia untuk menyerah
baik-baik, maka tangkap dia hidup-hidup. Musnahkan ilmunya, putuskan urat besar di pergelangan kaki dan tangan.
Kemudian penjarakan dia di biara Shaolin sampai akhir hidupnya. Jika pihak Shaolin tidak keberatan biarlah dia
merenungkan dan menebus dosa-dosanya di bawah bimbingan para guru sekalian. Tapi jika dia melawan, maka kuserahkan
nasibnya pada sekalian saudara yang ada di sini."
"Baik" tentu saja pihak Shaolin tidak keberatan, nah ketua lebih baik memulihkan dahulu keadaan ketua.", jawab Bhiksu
Khongzhen sembari mengalihkan Ding Tao pada Hua Ng Lau yang sudah ikut pula menyusul ke atas panggung bersama
dengan orang-orang lain yang bersimpati pada Ding Tao.
Berjalan ke sisi Pendeta Chongxan, Bhiksu Khongzhen pun berkata pada Shao Wang Gui, "Nah, Shao Wang Gui, kau sendiri
sudah mendengar apa keputusan Wulin Mengzhu yang terpilih atas dirimu. Tinggal dirimu sendiri yang menentukan apakah
hendak melawan atau menerima kemurahannya itu?"
Otak Shao Wang Gui pun berputar cepat, puluhan tahun yang lalu, dialah yang meminta-minta jalan hidup pada Pendeta
Chongxan dan Bhiksu Khongzhen. Pada dasarnya iblis tua yang satu ini memang seorang pengecut yang mencari selamat
bagi dirinya sendiri. Persahabatan antara dirinya dengan Thai Wang Gui muncul atas dasar keegoisan dan kelicikan. Di masa itu Shao Wang Gui yang menyadari kekuatan Shaolin dan Wudang, mengambil kesimpulan bahwa dia membutuhkan sekutu
untuk menguasai dunia persilatan. Atas dasar itu, dia pun pergi menemui Thai Wang Gui, dia pun tidak keberatan
menduduki kedudukan kedua dalam persekutuan itu. Baginya justru kebetulan jika Thai Wang Gui menghendaki kedudukan
pertama, karena perhatian orang pun akan tertuju pada Thai Wang Gui.
Sifat licik dan pengecut ini pula yang membuat mereka yang tadinya berjanji untuk mendukung mereka, memilih untuk
pergi diam-diam daripada maju membela Shao Wang Gui. Sebagian besar dari mereka bersedia untuk mendukung karena
diiming-imingi oleh kekuasaan dan didasari juga oleh rasa takut.
Ketika mereka melihat Thai Wang Gui ternyata kalah di tangan Ding Tao, belum lagi di sana masih ada Bhiksu Khongzhen
dan Pendeta Chongxan, bahkan Pedang Angin Berbisik pun jatuh pula ke pihak lawan, maka hilang sudah segala alasan bagi
mereka untuk tetap mendukung sepasang iblis itu. Namun jika yang masih hidup adalah Thai Wang Gui, mungkin masih ada
beberapa orang yang akan menyediakan diri untuk maju dengan mengharapkan imbalan berupa hutang budi dari setan tua
itu. Karena Thai Wang Gui memang bengis dan kejam, tapi dia juga tidak melupakan orang yang berjasa pada dirinya.
Berbeda dengan Shao Wang Gui yang akan mengorbankan siapa saja demi keuntungannya sendiri. Selain rasa takut, tidak
ada lain yang membuat orang patuh pada perintahnya.
Sadar dirinya sudah ditinggalkan, Shao Wang Gui pun menghitung-hitung kemungkinannya untuk lolos dengan usaha
sendiri. Dilihatnya di depan ada Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang sudah menggenggam Pedang Angin Berbisik. Di
dekat Ding Tao yang sedang menghimpun kembali hawa murninya ada Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu yang mungkin bisa
dijadikan sandera namun di sekitar gadis itu banyak juga para pengikut Ding Tao yang merubung, berbaris menjaga anak-anak muda itu. Belum lagi ada tokoh kawakan macam Bai Chungho dan Xun Siaoma yang juga berdiri di sana sambil
mengawasi dirinya dengan sepasang mata mereka yang tajam.
Ketika Shao Wang Gui menoleh ke kiri, kanan dan belakang, tidak terbilang banyaknya tokoh-tokoh dunia persilatan yang
berbaris mengepung. Wang Shu Lin, Zhu Jiuzhen, Lu Jingyun, Tong Baidun dan banyak lagi tokoh-tokoh kelas atas yang ada
di sana. Satu per satu, mereka bukan lawan yang setanding, tapi ratusan jumlahnya yang sekarang bersiap untuk
menangkap dirinya. Ding Tao yang menang melawan Thai Wang Gui sudah dipandang sebagai Wulin Mengzhu, meskipun
sumpah setia belum diucapkan. Siapa yang mau menunjukkan sikap menentang atas perintahnya" Siapa pula yang tidak
ingin membuat jasa di hadapannya"
"Bagaimana" Apa kau masih mau melawan?", sekali lagi Bhiksu Khongzhen bertanya.
"Tunggu dulu!", ujar Shao Wang Gui dengan panik, bagaimana pun juga dia ngeri jika membayangkan ilmunya akan
dimusnahkan untuk kedua kalinya.
Bhiksu Khongzhen pun mengerutkan alisnya, "Shao Wang Gui apa lagi yang kau pikirkan" Lihat ke sekelilinngmu, ada
banyak orang yang pernah menjadi korban kebiadabanmu. Bahwasannya Ketua Ding Tao mengeluarkan perintah yang
sedemikian sudah merupakan satu kemurahan yang sulit kau cari bandingannya. Jika kau mengatakan tidak, percayalah
padaku, ada ratusan orang yang akan bersorak gembira oleh keputusanmu itu dan bergerak maju untuk mencincang
tubuhmu dan memuaskan dendam mereka."
Tidak berlebihan perkataan Bhiksu Khongzhen ini, Shao Wang Gui pun bukannya tidak melihat sorot mata penuh dendam di
mata banyak orang yang mengepungnya kali ini. Tidak berlebihan juga jika dikatakan Ding Tao sudah banyak bermurah hati
padanya, karena tidak sedikit orang yang merasa penasaran pada tawaran Ding Tao itu. Apalagi mereka yang berasal dari
keluarga Huang, utamanya Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu, meskipun dua orang muda itu saat ini lebih mengkhawatirkan
keadaan Ding Tao yang cukup lemah setelah himpunan hawa murninya sempat dihisap oleh Thai Wang Gui.
"Tunggu" bukannya aku tidak mau menyerah. Tapi apakah Ketua Ding Tao tidak bisa memberikan sedikit keringanan"
Bukankah ilmuku sudah dimusnahkan, mengapa juga urat besar di pergelangan kaki dan tangan juga harus diputuskan.
Kalau demikian, bukankah seumur hidup aku akan jadi orang cacat" Apakah hukuman ini tidak terlalu berlebihan?", ujar
Shao Wang Gui mengiba. Betapa jauh berbeda, berbalik 180 derajat, selicik-liciknya Thai Wang Gui tidak akan sedemikian tidak tahu malu hingga
berbuat demikian. Tapi justru inilah yang menakutkan dari Shao Wang Gui, apa pun akan dia lakukan, asalkan perbuatan itu menguntungkan dirinya.Tidak heran mereka yang tadinya sudah berjanji mendukung sepasang iblis itu, diam-diam
melarikan diri begitu melihat Thai Wang Gui mati terbunuh di tangan Ding Tao. Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan
pun sampai menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah orang yang satu ini. Apalagi mereka yang tidak sesabar dua
orang tokoh itu, beberapa umpatan tertahan pun terlompat keluar dari mereka yang tidak tahan. Tapi sungguh tebal muka
Shao Wang Gui, terhadap umpatan-umpatan itu pun tidak sedikitpun dia menunjukkan rasa marah atau tersinggung atau
malu. Bhiksu Khongzhen pun menghela nafas dan menjawab, "Shao Wang Gui" Shao Wang Gui", bukankah dulu kami sudah
memberikan kesempatan itu padamu" Ilmumu kami musnahkan dan kami biarkan kalian berdua hidup. Nyatanya, entah
dengan cara apa, kalian berdua berhasil mendapatkan kembali ilmu kalian, bahkan mempelajari ilmu sesat yang lainnya."
"Menilik akal sehat saja, Ketua Ding Tao bukanlah tandingan dari Thai Wang Gui, tapi kenyataannya Ketua Ding Tao berhasil menang melawannya, ini menunjukkan perlindungan langit pada dirinya. Seandainya bukan karena perlindungan langit ini.
Seandainya Thai Wang Gui menang dan berhak atas kedudukan Wulin Mengzhu, kami dari enam perguruan besar jelas tidak
akan menyetujuinya. Tapi puluhan ribu orang yang ada di sini tentu akan terbelah menjadi dua bagian yang hampir sama
besarnya. Bukankah saat ini akan terjadi banjir darah seperti yang engkau ancamkan?"
"Melulu melihat dari hal ini saja, sudah adil rasanya jika Ketua Ding Tao menjatuhkan hukuman mati padamu. Apalagi jika ditimbang bahwa kalian berdua pula yang bertanggung jawab atas pembantaian di Wuling. Tapi di atas itu semua, Ketua
Ding Tao masih memberikan jalan hidup padamu, apakah kau masih menawar lagi?", tanya Bhiksu Khongzhen dengan
sungguh-sungguh setelah menjelaskan panjang lebar.
Curahan kata-kata sepertinya tidak berguna buat iblis ini, meskipun diucapkan dengan tulus dan sepenuh hati, tidak juga kata-kata itu mampu menyentuh hati Shao Wang Gui yang kelam. Jika iblis itu masih bersikap rendah hati, hal itu tidak
lepas dari kedudukannya yang tidak mungkin menang. Tapi otaknya sendiri terus berputar berusaha meringankan hukuman
yang akan dia terima. "Dengar, setidaknya jangan putuskan urat di kaki dan tanganku, kali ini sudah pasti tidak seperti dahulu. Apalagi dalam tahanan Biara Shaolin, bukankah kalian dapat memeriksa keadaanku hari per hari?", ujarnya memohon.
Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen saing berpandangan, dengan senyum prihatin Bhiksu Khongzhen menggelengkan
kepala perlahan-lahan. Pendeta Chongxan diam sejenak dan melirik ke arah Ding Tao yang masih duduk bersila
menghimpun kembali semangat dan hawa murninya, sebelum menganggukkan kepala.
"Tunggu" tunggu, coba dengar, aku memiliki satu barang yang akan aku tawarkan pada kalian, asalkan kalian mau
memberikan sedikit keringanan.", ujarnya cepat-cepat, ketika melihat Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan bergerak
mendekat. Langkah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun terhenti, bukan berarti mereka orang-orang yang tamak harta, tapi
mereka cukup kenal kelicinan Shao Wang Gui, jika barang yang hendak dia tawarkan itu bukanlah satu benda pusaka yang
sangat berharga, tentu tidak akan dia tawarkan untuk menggantikan urat besar di kaki dan tangannya. Bukan hanya Bhiksu
Khongzhen dan Pendeta Chongxan saja yang tertarik, para ketua enam perguruan besar dan tokoh-tokoh kelas atas yang
sudah berbaris mengepung pun ikut tertarik dengan tawaran Shao Wang Gui ini.
"Hmm" Shao Wang Gui, benda apa yang kau maksudkan ini" Masakan ada benda yang cukup berharga untuk menebus
kesalahanmu yang sudah sedemikian bertumpuk sampai ke atas langit?", tanya Pendeta Chongxan dengan alis berkerut.
"Ah" tidak, tidak, dosaku memang sudah terlampau banyak dan sudah sepatutnya orang rendah ini dihukum seberat-
beratnya. Tapi aku hanya minta sedikit keringanan saja, supaya jangan aku menghabiskan sisa hidupku dalam tahanan
dalam keadaan cacat. Bahkan untuk itu pun apa yang hendak kutawarkan ini tidak ada artinya, namun aku berharap
kesungguhanku memohon ini bisa menyentuh perasaan sekalian pahlawan di sini yang berbudi dan berbelas kasih.", ujar
Shao Wang Gui sambil merunduk-rundukkan badan.
Kalau orang yang tidak tahu ujung pangkal dari peristiwa ini dan melihat keadaan Shao Wang Gui sekarang, tentu akan
jatuh belas kasihan padanya dan memaki-maki sekalian orang dunia persilatan sebagai tukang menindas orang yang lemah.
Tidak demikian dengan perasaan sekalian mereka yang sudah kenyang menyaksikan atau mendengar tentang kekejaman
iblis tua yang satu ini, dengan pandangan dingin mereka menunggu Shao Wang Gui menjawab.
Melihat tidak ada yang tergerak oleh permohonannya, Shao Wang Gui pun menelan ludah dan memaki dalam hati,
kemudian menjelaskan, "Yang hendak aku tawarkan adalah, lencana penanda kewibawaan Wulin Mengzhu yang sudah lama
lenyap dari dunia persilatan. Sejak Wulin Mengzhu terpilih yang terakhir menghilang tanpa jejak, lencana itu ikut hilang bersamaan dengan dirinya."
"Bukan hanya sebagai penanda yang memiliki perbawa tersendiri, lencana itu juga berhiaskan mutiara katak salju yang bisa menghisap racun sejahat apapun. Lencananya sendiri terbuat dari logam istimewa yang memiliki daya hisap terhadap
segala macam logam, sehingga pemakainya sulit diserang menggunakan senjata rahasia karena senjata rahasia yang
dilemparkan padanya akan tertarik lencana dan melekat di sana."
Mendengar penjelasan Shao Wang Gui maka lapangan itu pun jadi berisik oleh suara orang yang saling berbicara satu
dengan yang lainnya. Lencana yang hilang itu sempat menjadi benda pusaka yang dikejar-kejar dan dicari-cari oleh seluruh tokoh dunia persilatan, siapa sangka pusaka itu justru jatuh ke tangan Shao Wang Gui. Lencana itu sendiri memiliki banyak arti, pada masa Wulin Mengzhu yang terakhir, dia tidak ubahnya sebagai penanda kekuasaan Wulin Mengzhu, barangsiapa
memegang lencana itu memiliki kekuasaan yang sama dengan Wulin Mengzhu sendiri. Jika Wulin Mengzhu perlu mengutus
seseorang untuk mewakili dirinya, maka dia akan memberikan kekuasaannya pada orang tertentu yang dia percaya untuk
melaksanakan tugas tertentu. Pada saat pengangkata Wulin Mengzhu saat itu, sumpah setia dilakukan bukan hanya kepada
Wulin Mengzhu tapi juga pada kekuasaan yang disematkan atas lencana itu.
Tentu saja sebuah benda mati tidak lebih dari sebuah benda mati. Kekuasaan yang muncul ada pada orang yang
memegangnya, namun Wulin Mengzhu sendiri sudah tentu tidak menyerahkan lencana itu pada sembarang orang, sehingga
lencana itu sendiri akhirnya mewakili satu mitos akan orang-orang yang tak terkalahkan.
Lepas dari segala cerita khayal dan tahayul yang dilekatkan pada lencana itu, lencana itu sendiri, seperti yang dikatakan Shao Wang Gui terbuat dari benda-benda pusaka yang sulit dicari tandingannya. Mutiara Katak Salju yang dikatakan Shao
Wang Gui memang benar adanya bisa menawarkan segala macam jenis racun. Demikian juga dengan bahan untuk
membuat lencana itu, yang memiliki daya hisap terhadap segala macam jenis logam.
"Shao Wang Gui" apakah kami bisa memegang kata-katamu itu?", tanya Pendeta Chongxan.
"Tentu saja, tentu saja, nyawaku yang jadi taruhannya, masakan aku mau main-main dengan ucapanku?", jawab Shao
Wang Gui cepat. Masuk akal memang jawaban Shao Wang Gui ini, meskipun terkenal sangat licik, dia juga terkenal sangat takut mati.
"Shao Wang Gui, aku tidak percaya kata-katamu itu, tunjukkan benda itu pada kami sekarang, baru kami mau percaya.",
uajr Bai Chungho dari tempatnya di sisi Ding Tao.
"Oh.. tidak" tidak", kau kira aku begitu bodohnya membawa barang berharga itu ke mana-mana dalam kantong celanaku.
Tidak barang itu kusimpan baik-baik di sarang rahasia kami. Tapi aku tidak menipu, asalkan Ketua Ding Tao memberikan
janji untuk tidak memutuskan urat-urat di tangan dan kakiku, aku akan mengantarkan kalian ke sana. Jika aku berbohong
bukankah belum terlambat bagi kalian untuk membunuhku?", jawab Shao Wang Gui dengan cepat, akalnya yang licik tidak
mudah terjebak dengan pertanyaan Bai Chungho.
"Huh" bagaimana juga kalau kau ternyata membawa kami berputar-putar, sambil mencari cara untuk melarikan diri" Siapa
yang tahu juga di dalam sarangmu itu ada jebakan apa saja?", jawab Bai Chungho sambil berjalan mendekat.
"Tidak.. tidak" masakan aku berani melakukan itu", jawab Shao Wang Gui sambil cengar-cengir.
"Ahh" keparat, lihat saja mukanya, sudah jelas dia merencanakan itu diam-diam", seru Bai Chungho sambil mengacung-
acungkan kepalan tangannya di depan wajah Shao Wang Gui.
"Dengar, aku bisa memberikan petunjuk, dan biar salah seorang dari kalian yang mengambilnya sendiri, sementara aku
kalian tahan di sini. Bagaimana?", tawar Shao Wang Gui mencoba memberikan jalan keluar.
Ding Tao yang saat itu sudah membuka mata mencoba berdiri.
"Bagaimana perasaanmu?", tanya Hua Ying Ying yang dengan cepat memegang tangannya, khawatir jika pemuda itu masih
merasa lemas. Ding Tao pun menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, dirasakannya tidak ada sesuatu yang mengganggu, sambil
tersenyum dia menjawab, "Aku merasa baik-baik saja, memang sedikit lemas setelah menguras bergitu banyak tenaga.
Tapi selain itu tidak ada masalah lain."
"Syukurlah", ucap Hua Ying Ying dengan lega.
Huang Ren Fu yang juga berada di sana, sedang menatap Shao Wang Gui dengan mata penuh kemarahan. Pemuda itu tidak
menyadari percakapan antara Ding Tao dan adiknya. Ding Tao yang hendak menyapa pun jadi ragu-ragu untuk menyapa.
Hua Ying Ying mengikuti arah pandang mata Ding Tao dan menyadari apa yang menjadi ganjalan dalam hati pemuda itu.
Hua Ying Ying bisa merasakan amarah kakaknya, namun karena dalam hatinya saat ini hanya dipenuhi oleh perasaan
cintanya pada Ding Tao, masalah Shao Wang Gui dan keinginan untuk membalas dendam hanya berbisik lirih dalam
hatinya. Hua Ng Lau sebagai ayah dan guru bagi dua orang anak muda itu menghela nafas.
"Ketua Ding Tao, ada urusan yang lebih besar, lebih baik diselesaikan terlebih dahulu", ujarnya sambil menunjuk Shao
Wang Gui yang sedang membela diri terhadap desakan Bai Chungho.
Ding Tao memandang orang tua itu dan menganggukkan kepala dengan hormat, "Tetua benar", kalau boleh tahu, siapakah
nama tetua" Apakah benar tetua ini yang menyelamatkan Adik Ying Ying dan Saudara Ren Fu" Jika benar sungguh kami
semua, berhutang budi pada tetua."
"Ini ayah angkatku, namanya Hua Ng Lau, atau lebih dikenal sebagai Tabib Dewa Hua, sekarang namaku berubah jadi Hua
Ying Ying, sedangkan kakak menjadi murid tunggalnya. Kami hampir saja mati di tangan anjing-anjing Tiong Fa jika saja
ayah tidak menolong kami waktu itu.", celoteh Hua Ying Ying menjawab pertanyaan Ding Tao.
Mendengar jawaban Hua Ying Ying itu, Ding Tao pun buru-buru memberi hormat, membungkuk dalam-dalam, "Ah" benar-
benar mata siauwtee ini tidak berguna"
Cepat-cepat Hua Ng Lau menahan bahu pemuda itu, "Ketua Ding Tao tidak perlu begitu, di antara sekeluarga sendiri tidak
perlu banyak adat." Ding Tao memandangi Hua Ng Lau dan Hua Ying Ying dengan penuh rasa syukur, meskipun bencana yang terjadi
menimbulkan banyak luka, tapi perbuatan-perbuatan baik menyembuhkannya, "Sungguh, tidak pernah kusangka",
sampai" ah sudahlah. Setelah ini kita harus banyak menghabiskan waktu untuk saling bercerita."
"Tentu saja, untuk sekarang ini, biarlah urusan yang lebih besar diselesaikan terlebih dahulu.", ucap Hua Ng Lau sambil tersenyum ramah.
Dalam hati tabib tua ini memuji anak angkatnya yang pandai menilai orang. Sejak pemilihan Wulin Mengzhu dilaksanakan,
dia mengamati tindak tanduk Ding Tao dan sedikitpun tidak mendapati ada yang kurang dari diri pemuda ini. Sikapnya yang terlalu lemah pada lawan, mungkin dilihat banyak orang sebagai kelemahan. Tapi tidak bagi Hua Ng Lau, sebagai seorang
tabib, nalurinya untuk menyelamatkan nyawa manusia, siapa pun itu, justru berjalan selaras dengan kelemahan Ding Tao.
"Meski terkadang, ada kalanya seorang tabib justru harus mengorbankan anggota tubuh tertentu yang sudah terlanjur
busuk, untuk menyelamatkan keseluruhan tubuh", pikir tabib tua itu sambil memandangi Ding Tao yang berjalan ke arah
Shao Wang Gui yang sedang dikepung banyak orang.
Melihat Ding Tao datang mendekat, dengan sendirinya mereka yang sedang mengepung Shao Wang Gui pun bergerak
menyibak, memberikan jalan bagi Wulin Mengzhu yang baru. Ding Tao merasa sedikit aneh, pemuda itu pun berulang kali
membalas penghormatan yang diberikan pada dirinya, meskipun hanya dengan anggukan kecil atau sedikit
membungkukkan badan jika yang memberi jalan seorang yang lebih tua. Ketika akhirnya sampai, Ding Tao melihat Bai
Chungho yang sedang mengacung-acungkan kepalan tangannya ke wajah Shao Wang Gui. Melihat Shao Wang Gui, wajah
Ding Tao yang tadinya ramah, berubah menjadi keras. Inilah orang yang memorak-porandakan kehidupannya. Teringatlah
kembali dia dengan saat-saat di mana dia baru mendengar berita tentang apa yang terjadi di Wuling. Teringat dengan
puluhan kuburan yang baru digali, pada wajah-wajah orang yang baru saja kehilangan keluarganya.
"Shao Wang Gui" aku sudah mendengar semua ocehanmu. Mengertilah satu hal ini, aku tidak tertarik pada sekalian benda
pusaka. Kau boleh simpan lencana itu di jurang yang terdalam. Pilihanmu hanyalah dua, menyerah atau mati.", tegas
ucapannya tidak ada keraguan di dalamnya.
Wajah Shao Wang Gui pun berubah jadi pucat pasi, "Tunggu" tunggu.. lencana penanda kekuasaan Wulin Mengzhu,
bukanlah sembarangan benda pusaka. Bayangkan berapa banyak nyawa orang yang bisa kau selamatkan dengan mutiara
katak salju itu. Pikirkan tentang orang yang penting bagi dirimu, kau bisa memakaikan lencana itu pada diri mereka dan
melindungi mereka dari serangan senjata rahasia."
"Dia benar Ketua Ding Tao, tapi Ketua Ding Tao juga benar, perbuatannya sudah melampaui batas hukuman yang Ketua


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ding Tao tawarkan sudah sangat ringan jika dibandingkan dengan dosa-dosanya.", ujar Bhiksu Khongzhen.
"Jadi jika menurut Tetua, bagaimana yang sebaiknya?", tanya Ding Tao dengan hormat.
Bhiksu Khongzhen tersenyum, "Jika Shaolin memutuskan untuk menerima Ketua Ding Tao sebagai Wuli Mengzhu, hal itu
karena kami percaya bahwa Ketua Ding Tao akan mengambil keputusan-keputusan yang tepat."
Ding Tao terdiam sejenak, sebelum kemudian kembali menatap ke arah Shao Wang Gui dan memberikan keputusan,
"Keputusanku sudah bulat, seandainya benda pusaka itu ada di tempat ini, aku mungkin akan memikirkan kembali
keputusanku. Namun karena benda itu tidak ada di sini, menunda lebih lama lagi pelaksanaan hukuman hanya akan
menimbulkan resiko yang tidak perlu. Karena itu Shao Wang Gui, keputusanku sudah tetap, menyerahlah sekarang atau kau
memilih jalan kematian."
Shao Wang Gui tergagap, iblis itu sadar Ding Tao tidak bisa ditawar-tawar lagi keputusannya, meskipun dengan iming-iming benda pusaka. Tiba-tiba iblis itu bergerak sangat cepat, tangannya terayun hendak mencengkeram leher Ding Tao.
Serangan ini di luar dugaan banyak orang, karena sejak tadi Shao Wang Gui merunduk-runduk seperti seorang pengecut,
tidak ada yang menduga tiba-tiba muncul keberaniannya untuk menyerang.
"Sreet", lima jari terkembang menyambar dengan kecepatan kilat.
"Cring!", suara pedang dicabut dari sarungnya.
Dan sebelum satu orang pun dapat bereaksi, serangan itu sudah berhenti, beberapa jengkal sebelum mengenai leher Ding
Tao, Pedang Angin Berbisik yang ada di tangan Pendeta Chongxan sudah menyambar leher Shao Wang Gui. Shao Wang Gui
pun dipaksa untuk membatalkan serangannya, ketika dia bergerak mundur, dia bisa merasakan keberadaan Bhiksu
Khongzhen di belakangnya. Berendeng di sisi kirinya bergerak dengan cepat menyusul Bai Chungho, di depan Ding Tao
sudah pula menghunus pedang pusakanya. Desingan pedang terhunus memenuhi telinga Shao Wang Gui, hawa pembunuh
meliputi seluruh tempat di sekelilingnya. Seperti ikan yang sudah terperangkap jaring yang sedemikian rapat, Shao Wang
Gui tidak melihat satu celah pun bagi dia untuk menyelamatkan diri.
Iblis tua itu pun melemparkan diri berlutut sambil berteriak, "Baiklah aku menyerah!"
Secepat kilat mereka bergerak, hampir bersamaan. Secepat kilat juga mereka berhenti saling menyerang. Satu lawan satu,
Shao Wang Gui dan Pendeta Chongxan mungkin lawan yang seimbang, tapi dua lawan satu, Shao Wang Gui tahu dia tidak
punya kesempatan menang, apalagi . Tadinya dia berharap bisa menyerang Ding Tao dengan tiba-tiba dan menjadikan
pemuda itu sebagai sandera, tapi kedua orang tokoh besar itu tidak bisa ditipu oleh kelicikannya, disusul dengan kecekatan setiap tokoh kelas atas yang sudah mengepung dirinya. Peluh pun membasahi dahi Shao Wang Gui, dia sudah membuat
satu perjudian dan dia kalah dalam taruhan itu. Tapi Shao Wang Gui masih belum ingin mati, dia memilih menyerah
meskipun itu artinya dia akan hidup sebagai orang cacat. Tidak ingin mengambil resiko lebih jauh, Pendeta Chongxan
segera menotok titik-titik penting di tubuh Shao Wang Gui, sehingga kekuatan Shao Wang Gui hilang untuk sementara.
Setidaknya sampai hukumannya selesai diputuskan.
"Aku menyerah, tapi terimalah ini, lencana tanda kekuasaan Wulin Mengzhu, kuharap Ketua Ding Tao bersedia memberikan
sedikit keringanan.", ujar Shao Wang Gui sambil menyerahkan sebuah lempengan yang terbuat dari logam misterius.
Logam itu memancarkan cahaya keemasan, di bagian tengah terdapat 3 buah mutiara berwarna putih salju. Di satu sisi
ukiran naga dan burung phoenis menghiasi lencana itu, di sisi lain tertulis Naga di langit, Harimau di darat, memberi
hormat. "Lencana kekuasaan Wulin Mengzhu!" Ah keparat iblis tua, rupanya membawa-bawa lencana itu ke mana-mana. Jadi benar
dugaanku, kau hanya membuang-buang waktu, menunggu kami lengah?", maki Bai Chungho.
"Tetua, bisakah melihat apakah itu benda yang asli?", tanya Ding Tao pada Pendeta Chongxan yang berdiri paling dekat
dengan Shao Wang Gui. Shao Wang Gui masih dalam keadaan belutut, menyerahkan lencana itu pada Pendeta Chongxan yang dengan wajar
menerimanya, tanpa terlihat ada perasaan curiga atau takut-takut. Pendeta Chongxan dengan teliti mengamati lencana itu, kemudian mengangsurkannya pada Bhiksu Khongzhen yang bergantian dengan Bai Chungho dan Xun Siaoma serta ketua
dari enam perguruan besar yang lain, memeriksa dan mengamati lencana itu.
Bhiksu Khhongzhen lah yang kemudian menjawab, sembari memberikan lencana itu pada Ding Tao, "Menurut
pengamatanku lencana itu asli, selamat Ketua Ding Tao, benar-benar langit menunjukkan pilihannya pada hari ini. Tidak
disangka di hari Ketua Ding Tao terpilih, lencana yang sudah lama hilang pun muncul kembali."
Bergantian para tokoh yang hadir pun memberikan ucapan selamat yang diterima Ding Tao dengan wajah sedikit bersemu
merah. "Jadi bagaimana keputusan Ding Tao atas Shao Wang Gui", setelah suasana reda Pendeta Chongxan pun bertanya.
Ding Tao dengan alis berkerut diam berpikir, akhirnya dia menjawab, "Musnahkan ilmu silatnya, kemudian putuskan urat
besar di pergelangan kaki. Namun untuk kesediaannya menyerah dan memberikan lencana ini tanpa paksaan, biarlah urat
besar di pergelangan tangannya tidak perlu diputuskan."
Shao Wang Gui pun menyembah-nyembah sambil menghaturkan terima kasih yang tiada tara. Beberapa orang
mengerutkan alis, namun kejutan yang terjadi timbul dari seorang yang masih muda. Siapa lagi jika bukan Huang Ren Fu.
"Tidak! Tidak! Tidak! Ding Tao apakah kau sudah silap oleh benda pusaka" Bagaimana kau bisa mengatakan dia
menyerahkannya dengan rela" Jika bukan karena terpaksa tidak akan dia menyerahkannya begitu saja. Aku sudah diam
saja ketika kau mengijinkan iblis itu untuk hidup sebagai orang cacat. Tapi kau justru mengurangi lagi hukumannya! Apa
kau sudah hilang akal!" Dia itu pantas mati beribu-ribu kali!", seru Huang Ren Fu menerobos kerumunan orang banyak.
"Saudara Ren Fu?", ujar Ding Tao berusaha menyabarkan pemuda itu.
"Jangan panggil aku saudara! Apa kau lupa siapa yang memberimu makan dan tempat tinggal saat kau masih kanak-
kanak!" Bagaimana kau bisa memberikan hukuman seringan itu pada iblis ini?", ujar Huang Ren Fu dengan mata melotot.
"Ren Fu! Hentikan! Sikapmu ini sudah keterlaluan!", Hua Ng Lau menyusul pemuda itu dan menegurnya dengan keras.
"Tapi guru"!"
"Diam kataku!", seru Hua Ng Lau dengan wajah marah.
Semarah-marahnya Huang Ren Fu, pemuda ini tidak kehilangan rasa hormatnya pada Hua Ng Lau, orang yang dia pandang
sebagai penolong jiwanya dan lebih penting lagi, penolong jiwa adiknya. Sambil mengepalkan tangan dia menundukkan
kepala. "Ketua Ding Tao, harap maafkan muridku yang masih muda ini.", ujar Hua Ng Lau dengan sedih.
Ding Tao pun menghela nafas, kemudian melihat ke sekelilingnya, dia tahu banyak orang yang terkejut oleh tindakan Huang Ren Fu, namun sebagian besar dari mereka bisa mengerti kedudukan pemuda itu dan apa yang mendorongnya melanggar
aturan dan memaki-maki seorang Wulin Mengzhu. Apalagi Ding Tao tidak memandang dirinya lebih tinggi dari Huang Ren
Fu, dalam pandangannya Huang Ren Fu masihlah tuan muda Huang dan dirinya adalah seseorang yang dahulu bekerja
untuknya. "Saudara Ren Fu" aku mengerti kemarahanmu dan aku yakin setiap orang yang ada di sini merasakan hal yang sama
denganmu. Aku pun merasakan kemarahan yang sama, meskipun sebagian besar rasa marahku mendingin pada saat aku
melihat pedangku membelah tubuh Thai Wang Gui menjadi dua. Benar memang dua orang ini melakukan banyak perbuatan
jahat, tapi saat melihat kematian datang menjemputnya, betapa aku merasa, lepas dari apa yang sudah mereka lakukan,
mereka pun manusia tak ada bedanya dengan kita.", ujar Ding Tao menjelaskan.
"Aku bisa memberikan banyak alasan padamu, mengapa aku mengampuni nyawa Shao Wang Gui. Salah satunya adalah
adanya 5 orang yang memimpin penyerangan atas keluarga Huang di Wuling, 3 orang sudah kita ketahui tapi masih ada 2
orang yang belum tertangkap. Shao Wang Gui yang masih hidup adalah rantai yang akan menghubungkan kita pada dua
orang tersebut.", ujar Ding tao memberikan penjelasan.
Penjelasan yang kedua ini nampaknya lebih mudah diterima oleh mereka yang mendengarnya daripada penjelasan Ding Tao
yang pertama. Penjelasan ini masuk di akal mereka dan penilaian mereka atas Ding Tao pun meningkat satu lapis. Tapi
bukan Ding Tao namanya jika dia hanya mengatakan apa yang ingin didengarkan orang, pemuda itu pun melanjutkan.
"Tapi aku tidak akan beralasan demikian, karena meskipun hal itu benar, tapi bukan itu yang membuatku memutuskan
untuk memberikan Shao Wang Gui kesempatan untuk hidup.", ujarnya menghapuskan sedikit pengertian dalam hati orang-
orang yang mendengarkan. Sekali lagi mereka dihadapkan pada kenyataan, bahwa Wulin Mengzhu yang terpilih kali ini adalah orang yang
membingungkan, "Dengar, dengarlah baik-baik, karena aku tidak ingin menyembunyikan apa-apa dari kalian semua.
Sebagai bagian dari orang-orang yang pernah menerima budi baik keluarga Huang, aku menginginkan pembalasan. Namun
sebagai Wulin Mengzhu dan sebagai manusia aku menolaknya."
"Cobalah kita tilik diri kita masing-masing, adakah dari kita yang bebas sepenuhnya dari rantai dendam dan pembalasan"
Jika hari ini aku sebagai Wulin Mengzhu, menggunakan kedudukanku untuk membalaskan dendam keluarga Huang. Maka
apa hakku untuk menolak, jika suatu saat nanti datang seseorang menuntut keadilan yang sama. Keadilan dari sudut
pandang dirinya" Jika dendam itu sudah berjalan turun temurun, dan bukankah hal itu bukan hal yang baru, lalu kepada
siapakah aku harus berpihak" Kalaupun kemudian aku memutuskan untuk memihak salah satu pihak, apakah itu menjadi
penyelesaian yang terbaik" Pada akhirnya di tanganku, dunia persilatan ini akan terbagi-bagi, antara mereka yang puas
dengan keputusanku dan mereka yang tidak puas."
"Jika hari ini Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui hampir saja membuat lapangan ini banjir darah. Jika hari ini aku
membalaskan dendam keluarga Huang dengan kedudukanku sebagai seorang Wulin Mengzhu, banjir darah itu akan datang
juga oleh tanganku sendiri. Meskipun bukan sekarang, tapi mungkin beberapa tahun lagi."
"Tindakanku kali ini, kalian ingatlah baik-baik. Selama aku menjadi Wulin Mengzhu, segala dendam di masa lampau
hendaknya kalian lupakan. Jika ada pertentangan antara dua keluarga, jangan berharap aku akan memihak salah satu dari
mereka. Siapa yang mengingkari keputusanku ini dan berusaha membalas dendam, dialah yang akan jadi lawanku sebagai
Wulin Mengzhu. Lupakan dendam pribadi, galang persatuan demi kepentingan bersama. Ingat di luar sana masih ada Ren
Zuocan, bahkan bukan tidak mungkin di belakang Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui masih ada pula tangan lain yang
menggerakkan.", ujar Ding Tao menutup penjelasannya.
Lama suasana pun jadi lengang, masing-masing orang memikirkan perkataan Ding Tao dan merenungkannya. Ada yang
puas, ada yang tidak puas. Tapi bila mengingat keadaan mereka saat itu, dengan adanya ancaman dari luar, mau tidak mau
mereka menerima kebenaran dari perkataan Ding Tao.
"Kalian sudah mendengar pendirianku, sebelum kalian menyesal, pikirkanlah baik-baik, apakah kalian masih mau
mengangkatku menjadi Wulin Mengzhu?", tanya Ding Tao setelah membiarkan tiap-tiap orang cukup waktu untuk berpikir.
Ditanya demikian, banyak orang menjadi terkejut, tidak menyangka Ding Tao masih memberikan kesempatan pada mereka
untuk menolak penunjukan dirinya sebagai Wulin Mengzhu. Padahal tidak terbersit sedikitpu kemungkinan itu dalam benak
mereka. Bahkan mereka yang merasa kurang puas pada penjelasan Ding Tao pun, tidak memandang apa yang disampaikan
Ding Tao sebagai sesuatu yang disampaikan oleh calon Wulin Mengzhu, melainkan oleh seorang Wulin Mengzhu. Satu
keputusan yang harus diterima, senang atau tidak. Tapi tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk berpikir karena Ketua
dari partai pengemis dengan hikmat menjawab pertanyaan Ding Tao itu dengan cepat.
"Kami dari Partai pengemis, bersumpah setia pada Wulin Mengzhu yang baru, Ketua Ding Tao dari Partai Pedang Keadilan.
Sejak saat ini, setiap anggota partai pengemis, wajib melakukan perintah dari Ketua Ding Tao atau dari perwakilan yang
dikirimnya, dengan penanda Lencana Naga dan Burung Phoenix.", ucap orang tua itu sambil membungkuk hormat.
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun segera menyusul, disusul kemudian oleh Xun Siaoma yang mewakili Partai
Hoasan dan Bhiksuni Huan Feng dari Emei. Setelah itu berturut-turut Kunlun dan Kongtong mengucapkan sumpah, dengan
sendirinya tokoh-tokoh duni persilatan yang lain pun susul menyusul mengucapkan sumpah. Kemudian dengan dipimpin
oleh Bhiksu Khongzhen, seluruh mereka yang hadir di kaki Gunung Shongsan itu mengucapkan sumpah setia menerima
Ding Tao selaku Wulin Mengzhu, untuk secara bersama mengikuti dan menegakkan keputusan yang dia keluarkan.
Setelah semua upacara singkat dan sederhana dilakukan, pecahlah kegembiraan mereka semua, Biara Shaolin tidak pelit-
pelit dalam mengeluarkan berbagai macam hidangan dan minuman. Dengan gesit bhiksu-bhiksu muda dari Shaolin
mengeluarkan meja serta peralatan makan. Tentu saja tidak semua orang mendapatkan meja, hanya bagi mereka yang
sebelumnya sudah disediakan kursi kehormatan saja. Panggung kayu dirobohkan dan dibersihkan pula dengan cepat.
Jumlah anak murid Shaolin yang mencapai ribuan dan terpimpin dengan baik membuat semuanya berjalan dengan cepat.
Kecekatan orang-orang Shaolin dalam mengubah lapangan menjadi tempat sebuah perayaan mengagumkan banyak orang.
Meskipun sebagai sebuah biara tentu saja semua jenis makanan yang dikeluarkan adalah masakan dari barang tidak
berjiwa, demikian pula minuman yang mereka hidangkan tidak mengandung arak. Namun suasana sudah cukup meriah
tanpa adanya arak sekalipun. Mereka yang tidak mendapatkan meja dan kursi pun mendapatkan bagian yang tidak
berbeda. Bedanya mereka harus menikmatinya sambil berdiri atau duduk di atas tanah. Namun buat orang-orang dari dunia
persilatan yang sudah bisa dengan kehidupan yang keras, hal-hal seperti itu tentu tidak menjadi masalah.
Di luar sepengetahuan orang, Zhong Weixia tanpa kentara mendekati Shao Wang Gui yang sudah diikat kaki tangannya dan
menjatuhkan secarik kertas di dekat kakinya. Tidak ada orang yang melihat Zhong Weixia melakukan hal itu. Tidak ada pula yang melihat bagaimana Shao Wang Gui mengambil secarik kertas itu diam-diam dan menyelipkan kertas itu di dalam
sepatunya. Meskipun pengawasan terhadap Shao Wang Gui cukup ketat, tapi mereka yang bertugas menjaga tidak mencurigai Zhong
Weixia. Mereka juga tidak mengawasi tiap gerak-gerik Shao Wang Gui yang sudah tertutuk oleh Pendeta Chongxan dan
terikat erat oleh tali yang kuat. Apalagi suasana sedang riuh ramai, merayakan diangkatnya Ding Tao sebagai Wulin
Mengzhu. "Ketua Ding Tao, tentang pelaksanaan hukuman atas diri Shao Wang Gui, apakah tidak sebaiknya dilaksanakan
secepatnya?", tanya Bai Chungho yang duduk semeja dengan Ding Tao.
"Hmm" dalam suasana perayaan seperti ini, melaksanakan satu hukuman, apakah bukan sebuah pertanda yang buruk?",
tanya Guang Yong Kwang yang juga duduk di meja yang sama dengan alis berkerut.
"Heh"! Kalau menurutku sih, membiarkan setan itu dalam keadaan sekarang ini justru merupakan pertanda yang buruk.
Entah bagaimana menurut Ketua Ding Tao?", ujar Bai Chungho sambil melirik ke arah Guang Yong Kwang, tapi pengemis
tua itu tidak ingin memancing perselisihan dengan Perguruan Kunlun, oleh karenanya dia kembali melemparkan masalah itu
pada Ding Tao. Ding Tao tidak segera menjawab, melainkan bertanya pada Bhiksu Khongzhen terlebih dahulu, "Tetua, jika Shaolin diminta
menjaga Shao Wang Gui selama semalam saja, apa kira-kira ada halangan?"
"Hmm" iblis itu sendiri memiliki banyak akal, selain itu para pendukungnya yang tidak berani muncul saat dia panggil.
Bukan tidak mungkin masih memiliki cukup keberanian dan kesetiaan untuk mencoba melepaskannya di waktu malam.Tapi
jika Pendeta Chongxan, Bhiksuni Huan Feng,Rekan Hua Ng Lau, Rekan Xun Siaoma dan Saudara Bai Chungho bersedia
membantu Shaolin untuk menjaganya. Kukira tidak akan ada masalah jika Ketua Ding Tao ingin menunda hukumannya
sampai besok pagi.", jawab Bhiksu Khongzhen.
Ding Tao yang peka segera menangkap kesan yang disampaikan oleh Bhiksu Khongzhen, dari enam ketua perguruan besar
dan tokoh yang hadir, nama Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang tidak disebut di dalamnya, "Hmmm, aku mengerti. Lalu
bagaimana dengan Tetua dan Ketua sekalian, apakah kira-kira ada masalah jika kalian membantu penjagaan atas diri Shao
Wang Gui malam ini?"
"Tidak, tidak ada masalah, tentu saja kami dengan suka hati akan membantu.", demikian mereka yang duduk satu meja,
beramai-ramai menjawab, termasuk Zhong Wei Xia dan Guang Yong Kwang.
"Baiklah kalau begitu, biarlah hukuman Shao Wang Gui kita tunda sampai besok pagi, tidak perlu pula semua orang
menyaksikannya yang hendak pulang ke tempatnya masing-masing hari ini juga, biarlah pulang. Tapi untuk malam ini
kuharap Tetua Bhiksu Khongzhen, Tetua Pendeta Chongxan, Tetua Hua Ng Lau, Tetua Bai Chungho dan Tetua Xun Siaoma
bersedia untuk berjaga-jaga. Tentunya orang-orang dari partai pedang keadilan pun akan ada yang ditugaskan untuk
membantu berjaga di Biara Shaolin.", ujar Ding Tao sambil memandang ke arah mereka yang namanya disebutkan.
"Ketua Ding Tao sungguh bijaksana, memang terlampau kasar jika perayaan seperti ini harus dinodai dengan penumpahan
darah.", ujar Guang Yong Kwang sambil melirik Bai Chungho dengan senyum dikulum.
"Heheh" siapa yang tidak tahu kalau pengemis itu wataknya kasar, yang penting luar dan dalam, tidaklah berbeda.
Daripada penampilan bagus namun isinya busuk, ini yang repot.", jawab Bai Chungho tidak mau kalah.
Guang Yong Kwang sudah membuka mulut hendak menjawab, tapi Zhong Weixia meletakkan gelasnya ke atas meja dengan
suara yang cukup keras, membuat Guang Yong Kwang menoleh ke arahnya, "Hmm" orang muda seharusnya belajar
hormat pada yang lebih tua. Lagipula apa Ketua Kunlun tidak malu, berdebat mulut dengan seorang pengemis?"
"Hee" jika ada yang hendak membuka suara, baiklah dia mengatakan hal-hal yang baik saja. Jangan sampai suasana jadi
rusak karena hal-hal sepele.", Xun Siaoma membuka mulut menengahi.
Wajah Guang Yong Kwang sudah memerah karena kesal, namun pemuda itu cepat menekan emosinya dan tersenyum
kembali, "Ah" rekan-rekan, aku mohon maafkan aku. Terkadang mulutku memang susah diatur. Ketua Bai Chungho, harap
kau anggap angin omonganku yang sebelumnya."
Bai Chungho tadinya masih ingin mendamprat pemuda itu beberapa kali lagi, namun karena Guang Yong Kwang sudah
memohon maaf di depan yang lain, dia pun jadi sungkan untuk menerukskan perdebatan, "Ya..ya" aku pun minta maaf
pada Ketua Guang Yong Kwang, maklumlah sehari-harinya aku ini hanya seorang pengemis. Mana mengerti tentang ajaran-
ajaran yang baik." Suasana yang sempat memanas pun jadi mereda, Ding Tao yang khawatir akan terjadi pertengkaran di antara mereka pun
jadi lega. Hari itu pun berlalu tanpa ada kejadian penting yang perlu diceritakan. Ding Tao masih harus bertemu dengan
ketua-ketua dari berbagai perguruan. Mendengar pendapat mereka mengenai apa-apa yang harus dia pertimbangkan
sebagai seorang Wulin Mengzhu. Keesokan harinya, kecuali dilakukannya hukuman atas Shao Wang Gui di depan tokoh-
tokoh persilatan, kesibukan yang sama seperti di hari sebelumnya masih menghabiskan waktu Ding Tao. Demikian 3 hari
berturut-turut Ding Tao dan para pengikutnya menghabiskan waktu di Gunung Songshan, menjadi tamu Biara Shaolin dan
Ding Tao menghabiskan waktu hanya untuk mendengarkan masukan-masukan dari tokoh dunia persilatan yang ingin
bertemu dengan dirinya. Ada pula ketua-ketua dari perguruan yang datang untuk mengakui keterlibatan mereka dalam
rencana Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui. Mereka ini datang untuk meminta ampunan dari Ding Tao sebagai Wulin
Mengzhu, kebanyakan mengaku bahwa mereka mengikuti rencana Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui karena terpaksa. Ada
yang anggota keluarganya disandera, ada pula yang dipaksa karena sudah menelan racun tertentu.
Tentu saja setiap laporan ini perlu diurus lebih lanjut, mereka yang mengaku anggota keluarganya disandera, selain datang untuk mengaku tentu saja juga datang untuk memohon bantuan. Demikian juga mereka yang dipaksa meminum racun
buatan dua iblis itu.Ding Tao pun harus membagi-bagi tugas dan memohon bantuan dari tokoh-tokoh yang dia percayai,
seperti Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan dan yang lain. Tidak ada kesempatan sedikitpun bagi Ding Tao untuk bertemu
dengan Huang Ren Fu untuk meluruskan kesalah pahaman di antara mereka. Atau menemui Hua Ying Ying untuk melepas
rindu. Tapi kesibukan itu pun akhirnya berakhir, sedikit demi sedikit tokoh-tokoh dunia persilatan yang menunggu di kaki Gunung Songshan untuk bertemu dengan Ding Tao semakin sedikit. Hingga akhirnya tidak tersisa seorang pun, tinggal para bhiksu
Biara Shaolin, Hua Ng Lau serta dua orang murid dan anak angkatnya, dan beberapa orang pengikut utama Ding Tao yang
masih menunggu. Saat akhirnya mereka berpamitan dengan Bhiksu Khongzhen dan para pimpinan di Shaolin pun,
rombongan mereka tinggal hanya 8 orang. Ding Tao, Hua Ng Lau, Hua Ying Ying, Huang Ren Fu, Ma Songquan, Chu Linhe,
Tang Xiong dan Li Yan Mao. Pengikut Ding Tao yang lain, yang jumlahnya mendekati seratus orang sudah kembali terlebih
dahulu ke tempat masing-masing membawa kabar gembira tentang terpilihnya Ding Tao sebagai Wulin Mengzhu di generasi
yang sekarang ini. Bagaimana pun juga apa yang mereka khawatirkan ternyata tidak terjadi. Dengan terkuaknya Thai Wang
Gui dan Shao Wang Gui sebagai dua orang otak dibalik penyerangan atas keluarga Huang di Wuling, ketakutan yang
membayangi mereka rasanya sebagian besar sudah hilang.
Dari pengakuan Shao Wang Gui, dua orang yang lain adalah Wu Shan Yee dan Kong Wan, raja perampok yang menguasai
pegunungan dan hutan-hutan di wilayah barat tenggara. Seharusnya Kong Wan dan anak buahnya ikut pula membaur
dengan penonton lain yang menghadiri pemilihan Wulin Mengzhu. Bersama dengan beberapa perguruan-perguruan kecil dan
besar yang ditundukkan oleh Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui secara diam-diam. Dari Shao Wang Gui juga didapatkan
banyak informasi yang diperlukan Ding Tao untuk membebaskan mereka yang dipaksa oleh sepasang Iblis itu untuk tunduk
pada perintahnya. Mereka yang mengikut secara suka rela karena iming-iming harta dan kekuasaan dicatat pula untuk
diperiksa dan diawasi lebih lanjut.
Setelah menghabiskan tiga hari penuh dengan berbagai macam urusan, berjalan dengan bebas dengan langit yang biru
cerah di atas, udara yang segar untuk dihirup dan pemandangan indah di kiri dan kanan jalan, hati Ding Tao pun terasa
sangat lega. Beberapa li jauhnya dari Biara Shaolin, melewati jalan yang lenggang, pemuda itu pun menghembuskan nafas lega,
"Hahhhh" Adik Ying Ying, bukankah hari ini indah sekali?"
"Benar, ini hari yang cerah, apalagi setelah beberapa hari terkurung terus dalam ruangan, tentu perasaan Kakak Ding Tao jadi ringan berjalan di luar.", jawab Hua Ying Ying sambil tersenyum.
Ding Tao pun tersenyum, saat dia menengok ke arah Hua Ying Ying, bau harum yang tersiar keluar dari tubuh gadis itu pun tercium oleh hidungnya yang tajam. Saling bertatapan, Hua Ying Ying kemudian menundukkan kepala, tersipu malu.
Demikian juga dengan Ding Tao, pemuda itu merasa malu dan jengah, apalagi dia teringat dengan keadaannya sekarang
ini. Dia sudah beristeri dua dan sekarang sedang mengagumi seorang gadis yang bukan isterinya. Teringat hal itu, mulut
Ding Tao jadi terkunci, lidahnya kelu dan kegembiraannya pun menguap hilang. Betapa mudah manusia dipermainkan susah
dan senang. Hua Ying Ying juga terdiam dan berjalan sambil menundukkan kepala saja. Entah sudah berapa hari, berapa minggu dan
berapa bulan dia merindukan Ding Tao" Sekarang ketika akhirnya dia berjalan di sisinya, justru dia tak mampu berbicara.
Padahal sekian banyak malam dia habiskan, membayangkan dan merencanakan, apa yang akan dia katakan seandainya dia
bertemu muka dengan Ding Tao. Sekarang justru dia tidak bisa mengucapkan apa-apa. Untuk beberapa lama, sepasang
kekasih yang dipisahkan oleh nasib ini pun berjalan dalam diam. Anggota rombongan yang lain adalah orang-orang dekat
mereka, tanpa perjanjian lebih dulu, dengan sendirinya mereka berjalan sedikit terpisah dari sepasang kekasih itu. Ma
Songquan, Hua Ng Lau dan Chu Linhe, berjalan sedikit di depan. Huang Ren Fu, Tang Xiong dan Li Yan Mao tertinggal cukup jauh di belakang, berbicara banyak tentang pengalaman mereka sejak kejadian di Wuling dan mengenang sahabat dan
saudara yang terbunuh di hari yang terkutuk itu.
Setiap kali hendak membuka percakapan, jantung Hua Ying Ying berdegup kencang. Sambil menggigit bibir gadis ini
mengumpulkan segenap keberaniannya untuk memulai pembicaraan. Matanya melirik ke arah Ding Tao, siapa sangka di
saat yang bersamaan Ding Tao juga sedang memandang dirinya. Wajah setengah tengadah, mata jeli dan bibir ranum yang
digigit, tiba-tiba Ding Tao merasa kakinya lemas dan jantungnya berdebaran lebih kencang.
"Ah" uhm", Adik Ying Ying", kau" cantik sekali.", di luar maunya dia pun berucap.
Hua Ying Ying yang tadinya mau bicara pun jadi lupa dengan apa yang sudah dia rencanakan, tergagap dia menundukkan
wajahnya dan menjawab, "Ah" Kakak Ding Tao bisa saja" bukankah kata orang isteri kakak secantik bidadari dari langit?"
Selesai berkata barulah gadis itu berpikir dan menyesal, "Jangan-jangan Kakak Ding Tao pikir aku cemburu" padahal bukan seperti itu maksudku. Tapi" apa memang aku tidak cemburu?""
Kembali keduanya terdiam beberapa lama, namun Ding Tao yang sudah memuji Hua Ying Ying tanpa maksud apa-apa,
merasa tidak enak jika tidak menjelaskan. Lagipula jawaban Hua Ying Ying memang bisa berarti macam-macam. Ding Tao
yang merasa dirinya memang bersalah, merasa harus menjelaskan. Mengapa harus menjelaskan" Karena dia ingin Hua Ying
Ying memaafkan dirinya, tidak marah apalagi benci terhadap dirinya" Apakah karena dia masih berharap bisa memperisteri
Hua Ying Ying" Berbagai pertanyaan ini berkecamuk dalam pikirannya, membuat dia terdiam.
"Kakak Ding Tao", apakah kakak marah oleh ucapanku barusan?", dengan suara perlahan Hua Ying Ying bertanya.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ding Tao yang sedang berpikir dan berkutat dengan tuduhan-tuduhan dalam hatinya sendiri pun terkejut mendengar
perkataan Hua Ying Ying, "Apa" Marah" Tidak tentu saja tidak. Apa yang adik katakan itu tidaklah salah. Adik tidak bersalah sedikitpun, justru" justru diriku-lah yang bersalah pada kalian semua."
Setelah terdiam sejenak, Ding Tao pun berkata, "Adik Ying, maafkanlah aku, aku tidak bisa menepati janjiku padamu.
Ternyata aku bukanlah lelaki yang setia"."
"Tidak" kakak tidak salah" Aku tahu, kalian semua mengira kami sudah mati terbunuh juga dalampembunuhan hari itu.",
jawab Hua Ying Ying, menggelengkan kepalanya perlahan.
Ding Tao pun bimbang, alangkah mudahnya untuk berkata ya, lama dia terdiam, hingga Hua Ying Ying menjadi ragu atas
jawabannya sendiri, "Kakak" bukankah benar kataku?"
Ding Tao menghela nafas panjang sebelum menjawab, "Seandainya aku bisa mengatakan ya, dengan nurani yang tidak
terganggu?" Bibir Hua Ying Ying bergetar, jantungnya berdegup kencang, "Maksud" kakak" apakah kakak tahu bahwa kami masih
hidup" ketika?"
"Tidak" tidak" bukan itu maksudku. Kami semua berpikir kalian sudah meninggal saat itu, memang sempat muncul
harapan saat kami berhasil menangkap Tiong Fa. Tapi.. kemudian"kami berusaha mencari jejak kalian" dan" tidak" dalam
hati kecilku aku percaya bahwa kalian berdua memang masih hidup. Tapi aku tidak tahu apakah itu hanyalah keinginanku,
atau memang hatiku berkata demikian?", Ding Tao buru-buru berusaha meluruskan maksudnya.
"Maafkan aku Adik Ying", di saat yang penting, aku justru kehilangan keyakinanku?", ujarnya perlahan.
Hua Ying Ying diam untuk beberapa lama, bergumul dengan perasaannya. Ding Tao hanya bisa memandanginya dengan
hati terasa perih, menyesal dan menyalahkan diri sendiri untuk kelemahannya. Apakah dia menyesali pernikahannya dengan
Murong Yun Hua dan Murong Huolin" Pemuda itu pun bertanya-tanya dalam hati, ada di sudut hatinya satu kejengkelan
pada Hua Ying Ying, mengapa gadis itu harus marah" Tidakkah dia bisa mengerti" Mengapa Hua Ying Ying tidak mau
membuat masalah ini menjadi mudah" Jika dia sudah bebas, mengapa tidak secepat mungkin menemui dirinya, jika saja dia
berbuat demikian, tentu Ding Tao tidak menikah dengan kedua Murong bersaudara dan tidak perlu merasa bersalah seperti
sekarang ini. Namun dengan cepat Ding Tao mengusir rasa itu pergi, merasa kesal pada diri sendiri karena berpikir
demikian. "Tidak apa" kakak tidak bersalah" aku bisa mengerti keadaan kakak. Bahkan Kak Huang Ren Fu dan Ayah Hua Ng Lau pun
berpikiran sama. Itu sebabnya kami memilih untuk menghilang, seandainya Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui tidak
muncul pada saat itu, sampai sekarang pun kami tidak akan muncul di hadapanmu.", ujar Hua Ying Ying setelah diam cukup
lama, bergumul dengan perasaannya sendiri.
"Mengapa kalian tidak datang padaku" Jika aku tahu bahwa kau masih hidup, maka aku tidak akan menikahi mereka
berdua.", tiba-tiba Ding Tao bertanya dengan kesal.
Hua Ying Ying yang mendengar nada kesal dalam suara Ding Tao jadi terkejut. Sejak tadi dia sudah menahan perasaan sakit yang timbul karena cemburu, mendengar nada kesal dalam suara Ding Tao, segala perasaan yang berusaha ditekan pun
meledak keluar. "Apa maksudmu mengapa kami tidak datang padamu!" Berapa lama kau menunggu dan mencari keberadaan kami" Apakah
lebih lama dari penantianku" Selama kami dalam tangan Tiong Fa, bisakah kau membayangkan apa yang harus kami lalui
setiap harinya" Ketika akhirnya kami berhasil membebaskan diri, aku mendengar bahwa kau sudah menikah! Justru karena
rasa cintaku padamu, aku memutuskan untuk membiarkanmu hidup bahagia, dengan dua orang isterimu!", seru Hua Ying
Ying dengan suara cukup keras.
Hua Ng Lau yang mendengar itu hanya bisa menghela nafas. Ma Songquan melirik ke arah isterinya dan Chu Linhe hanya
menggelengkan kepala perlahan. Ma Songquan pun hanya bisa menghela nafas, apalagi baginya urusan cinta Ding Tao
bukanlah urusan yang paling penting bagi dirinya. Di belakang, rombongan Huang Ren Fu, Tang Xiong dan Li Yan Mao pun
ikut mendengar seruan Hua Ying Ying itu. Huang Ren Fu yang sudah mendengar banyak cerita dari Tang Xiong dan Li Yan
Mao mengenai keadaan Ding Tao saat dia berusaha mencari mereka berdua, melangkah maju ke depan, ingin mendamaikan
keduanya, tapi Li Yan Mao yang sudah kenyang dalam pengalaman hidup, meraih tangannya dan menahan Huang Ren Fu
untuk ikut campur. "Biarlah" masalah ini tidak bisa diselesaikan orang luar" kecuali jika Nona Ying Ying yang datang padamu untuk minta
pendapat.", ujarnya tersenyum menenangkan.
Di depan sana Ding Tao menggertakkan gigi, menyesali apa yang barusan dia katakan, "Adik Ying Ying" maafkan aku"
maafkan aku" aku merasa marah pada diriku sendiri. Terlalu malu untuk mengakui kelemahanku" dan aku" aku" aku
berusaha lari dari kenyataan itu dan melemparkan kesalahan itu padamu.", ujarnya dengan setulus hati.
Masih dengan mata membara Hua Ying Ying menatap Ding Tao lurus-lurus, saat itu Ding Tao masih menunduk dengan
penuh penyesalan. Saat dia menengadahkan kepala dan memandang Hua Ying Ying, Ding Tao bisa melihat kemarahan dan
kesedihan di dalam dirinya.
"Adik Ying" memang aku yang bersalah"maafkan aku?", ujarnya dengan sepenuh hati.
Perlahan kemarahan dalam hati Hua Ying Ying mereda, tidak sakit itu tidak hilang sepenuhnya tapi kemarahannya sudah
mereda, perlahan dia menggelengkan kepala, "Sudahlah" Kakak Ding Tao juga tidak bersalah?"
"Tidak" kalian belum mendengar seluruh kisahnya?", ujar Ding Tao, suaranya sedikit bergetar.
Awalnya sedikit terbata-bata, namun dengan semakin banyaknya kata yang keluar, semakin lancar dia berbicara. Dari mulut Ding Tao mengalirlah kisah pertemuannya dengan Murong Yun Hua, bagaimana dalam perjalanannya ke Biara Shaolin dia
bertemu dengan dua gadis itu. Hingga pada malam itu, di mana dia akhirnya menyerah pada keinginan Murong Yun Hua.
Seperti membersihkan hatinya dari luka yang bernanah, kata-kata keluar dengan menderas.
"Adik Ying" kau lihat, sesungguhnya memang aku bersalah padamu" Bersalah pada kalian semua, aku mengerti jika kau
tidak bisa memaafkanku atau percaya padaku untuk kedua kalinya. Tapi jika kau masih mau memberiku kesempatan"
maukah kau" maukah kau menikah denganku?"
"Tidak" jangan kau jawab sekarang" aku sepenuhnya paham jika kau menolaknya?", ujar Ding Tao menatap lurus ke arah
Hua Ying Ying. Gadis itu menatap Ding Tao dengan berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hatinya, kemudian dia perlahan
menganggukkan kepala. Hari itu pun berlalu tanpa ada lebih banyak kata-kata di antara mereka berdua. Anggota
rombongan yang lain pun memberikan ruang bagi keduanya untuk mengurai benang cinta yang terajut kusut di antara
keduanya. Beberapa hari berlalu, kejadian yang sama masih berulang. Hua Ng Lau, Ma Songquan dan Chu Linhe berjalan di depan.
Huang Ren Fu, Li Yan Mao dan Tang Xiong berjalan jauh di belakang. Sementara Ding Tao dan Hua Ying Ying berjalan
berdua dalam diam. Hua Ying Ying benar-benar bergulat dengan perasaannya yang campur aduk tidak karuan, antara cinta,
marah, benci dan cemburu. Ketulusan Ding Tao, penyesalannya yang sungguh-sungguh dan rasa cinta yang belum pernah
padam, membuat gadis itu ingin memaafkan dan mengalah. Segala rasa sakit dan cemburu akan dia kubur dalam-dalam
asalkan dia bisa bersamanya. Di saat yang sama, rasa cinta itu juga yang membangkitkan kecemburuan dalam hatinya,
cemburu dan sakit hati karena merasa dikhianati. Ketika mereka beristirahat di penginapan pun, Hua Ying Ying akan
menyendiri, tak hendak dia bercakap-cakap dengan yang lain, kecuali beberapa kalimat pendek, sekedar untuk menjaga
kesopanan. Jika dia merasa sangat penat, dia akan datang pada Hua Ng Lau, orang tua itu sudah menjadi pengganti ayah
yang sangat dekat dengan hatinya. Lebih mirip seorang kakek yang memanjakan cucunya, daripada seorang ayah yang
lebih keras dalam mendidik puterinya.
Bila saat seperti itu tiba, Hua Ying Ying akan datang pada Hua Ng Lau, tidak ada kata yang keluar. Dia hanya datang untuk menyandar di bahu Hua Ng Lau dan menangis sepuas-puasnya. Hua Ng Lau yang sudah berumur, mengenal betul perangai
Hua Ying Ying, yang bisa manja namun juga keras dalam kemauan. Dia mengerti Hua Ying Ying tidak ingin bertanya, dia
ingin mengambil keputusan sendiri, dia datang hanya untuk mendapatkan penguatan dan dukungan, dan itulah yang
diberikan Hua Ng Lau. Hua Ng Lau tidak pernah membicarakan masalah Ding Tao dengan Hua Ying Ying. Jika gadis itu datang, maka Hua Ng Lau
pun akan membiarkan dia menangis sepuasnya. Jika dilihatnya, perasaan Hua Ying Ying sudah membaik, orang tua itu akan
bercerita tentang banyak hal, tapi tidak sedikitpun dia memberikan nasehat. Dia menunggu Hua Ying Ying bertanya, namun
tidak juga gadis itu bertanya.
Demikian beberapa hari berlalu, yang lain tidak berani ikut campur dalam urusan yang peka itu. Masalah hati memang
masalah yang rumit, apalagi hati seorang gadis.
Ratusan li jauhnya dari tempat Hua Ying Ying, seorang gadis lain dilanda masalah asmara yang tidak kalah peliknya.
"BRAGG !!!", seorang lelaki terlempar keluar lewat pintu yang belum dibuka, dari ruangan besar tempat pertemuan
Persatuan Harimau Putih yang merajai propinsi Shanxi.
Kalau terlempar keluar saja sudah sakit bukan main, apalagi sebelum keluar harus menuburuk pintu kayu yang keras,
setelah sampai di luar masih juga terguling-guling, lalu menabrak pot besar dari batu. Tapi yang terjungkal keluar setelah ditendang oleh seseorang dari dalam ruang pertemuan bukan orang biasa. Nama aslinya Auwyang Xia, nama panggilannya
kerbau besi, tubuhnya benar-benar liat dan keras. Benar-benar badannya seperti seekor kerbau yang berkulit dan berotot
besi. Sayangnya otaknya juga setingkat kerbau dan lebih suka main seruduk daripada berpikir dahulu sebelum bertindak.
Malasnya juga mirip kerbau, jika sudah kambuh penyakit malasnya, pekerjaan apapun akan dia tunda-tunda.
Tidak heran, kalau bekerja di mana pun Auwyang Xia sering mendapatkan caci maki dari atasannya. Herannya meskipun
kemalasannya sudah terkenal di mana-mana, tidak kurang juga orang yang berusaha mempekerjakan dia. Termasuk yang
baru saja menendang dia keluar dari ruangan sampai memecahkan daun pintu dan pot dari batu.
Yang ditendang punya nama, tentu yang menendang lebih ternama lagi. Siapa orangnya" Ternyata yang baru saja
menendang keluar Auwyang Xia adalah Wang Shu Lin atau yang lebih dikenal sebagai Ximen Lisi. Terbukanya rahasia Ximen
Lisi dalam pertemuan untuk memilih Wulin Mengzhu di kaki Gunung Songshan benar-benar membuat pusing gadis itu.
Maklum saja yang namanya geng-geng itu, berisi orang-orang kasar yang tidak kenal pendidikan dan andalannya hanyalah
kekuatan. Seringkali mereka memandang kaum wanita derajatnya beberapa lapis di bawah kaum lelaki. Selama ini Ximen
Lisi membuat mereka takluk dengan kepandaian dan kekuatannya. Namun ketika mengetahui bahwa dirinya adalah seorang
gadis, mulailah muncul perlawanan kecil di sana-sini.
Seperti yang baru saja terjadi dengan Auwyang Xia yang ditendang keluar olehnya.
"Kerbau! Kutunggu laporanmu akhir minggu ini. Jika urusan itu belum juga selesai, jangan salah jika lain kali bukan kakiku lagi, tapi pedangku yang bicara. Boleh kita lihat apakah kulit kerbaumu benar-benar sekeras besi.", seru Wang Shu Lin dari dalam ruangan, sedikitpun dia tidak menengok keluar untuk melihat nasib Auwyang Xia yang baru saja dia tendang hingga
terlempar belasan kaki jauhnya.
"Baik" baik nona" eh tuan" sebelum minggu ini berakhir aku akan datang untuk melapor?", jawab Auwyang Xia sambil
meringis menahan sakit. Di dalam ruangan Wang Shu Lin, mendengarkan jawaban Auwyang Xia dengan alis berkerut. Jari-jemarinya memijit dahinya
yang serasa mau pecah, karena banyak urusan tertunda, hanya karena dia seorang gadis. Zhu Jiuzhen dan Lu Jingyun,
sejak terbongkarnya penyamaran Wang Shu Lin, ikut datang ke Shanxi dan membantu Wang Shu Lin menjalankan
perkumpulannya. Dengan nada prihatin, Zhu Jiuzhen mendekati Wang Shu Lin, "Shu Lin", sabarlah, pelan-pelan mereka juga akan mengerti.
Bahwa Wang Shu Lin dan Ximen Lisi tidak ada bedanya."
Wang Shu Lin menghela nafas, "Hehh" Jiuzhen, sampai kapan kau dan kawanmu mau menumpang di sini" Apa kau pikir
aku tidak bisa mengatasi masalah ini sendiri?"
Lu Jingyun yang ikut datang sebagai sahabat Zhu Jiuzhen, hanya duduk di sudut ruangan sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Jiuzhen" Jiuzhen" ada ribuan gadis cantik di luar sana, mengapa harus mencari harimau betina?", batinnya dalam hati.
Zhu Jiuzhen sudah kenyang berhadapan dengan Wang Shu Lin yang berlidah tajam, "Hmm" apa kau sudah tidak
menganggapku sebagai teman" Masa kau keberatan hanya karena beberapa mangkok nasi dan beberapa guci arak saja?"
Wang Shu Lin sudah membuka mulutnya untuk memaki lagi, namun melihat ketulusan Zhu Jiuzhen untuk membantu
dirinya, tiba-tiba dia jadi tak tega. Apalagi dia tahu Zhu Jiuzhen menaruh hati padanya. Dahulu dia menganggap hal itu
sebagai sesuatu yang konyol dan patut ditertawakan, tapi sekarang, sekarang dia sendiri sudah mengenal apa itu cinta.
Tidak bisa lagi dia menertawakan Zhu Jiuzhen seperti dulu.
"Ah" dasar kalian segerombolan orang pemalas, kalau memang mau makan dan minum gratis sebaiknya kalian berdua
bekerja. Kau gantikan aku menyelesaikan urusan di sini, aku mau tidur, kepalaku pusing!", ujarnya sambil bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan.
"Ya" beristirahatlah yang banyak. Tidak usah kuatir segala urusan, ada kami berdua di sini, kau tidak usah kuatir.", ujar Zhu Jiuzhen sambil memandangi Wang Shu Lin berjalan pergi.
Wang Shu Lin hanya melambaikan tangan dan tidak menengok ke belakang. Air mata mengembang di pelupuk matanya.
"Mengapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak menentu" Mudah terharu, mudah marah, apakah aku sudah mulai gila..." Ah"
Ding Tao?", pikir gadis itu dalam hati.
Begitu dia sampai di luar dan tidak terlihat dari tempat Zhu Jiuzhen dan Lu Jingyun berada, gadis itu pun menyusut air mata yang sudah mau tumpah keluar. Setengah berlari, gadis itu pergi ke kamarnya. Jika dilihatnya orang lewat cepat-cepat dia berjalan dengan wajar, dengan wajah keras dan tegas, Wang Shu Lin menyembunyikan kegundahan dalam hatinya. Apa
yang sebenarnya membuat seseorang jatuh cinta" Sulit dikatakan, tiap-tiap orang mungkin berbeda, yang pasti saat ini
Wang Shu Lin sedang jatuh cinta pada Ding Tao. Cinta pertama di hatinya yang tertutup rapat, seperti air yang membual
keluar, semakin kuat di tekan, semakin rasa itu mendesak keluar dengan derasnya.
Begitu sampai di dalam kamar, gadis itu pun segera menutup dan memasang palang pintu, kemudian melemparkan
tubuhnya ke atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu.
Mengapa juga harus jatuh cinta, jika jatuh cinta, mengapa bukan pada Zhu Jiuzhen yang mencintainya sepenuh hati"
Mengapa harus jatuh cinta pada seorang pria yang sudah beristeri dua. Bahkan di luar dua isterinya itu, masih pula memiliki seorang kekasih dan tidak ada satu pun dari ketiganya yang buruk rupa. Sudah berpuluh bahkan beratus kali Wang Shu Lin
mematut-matut dirinya di depan cermin sejak dia meninggalkan kaki Gunung Songshan. Tidak sekalipun dia merasa dirinya
secantik Hua Ying Ying yang dia lihat berada dalam pelukan Ding Tao. Kekuatan yang dulu dia banggakan, sekarang justru
dia benci. Tubuh berotot yang menyimpan kekuatan yang bisa menundukkan setiap lawan, betapa jauh berbeda dengan
Hua Ying Ying yang gemulai dan begitu lembut dalam pelukan Ding Tao.
Terkadang perasaannya melambung ke atas bila mengingat seorang Zhu Jiuzhen bisa pula jatuh cinta padanya. Wajahnya
tidaklah buruk, bila dia melepas bajunya dan mengamati tubuhnya yang telanjang, dia bisa melihat lekak-lekuk tubuhnya
yang menggiurkan. Tapi di saat lain, penilaiannya terhadap diri sendiri berubah 180 derajat, apalagi jika mengingat pujian orang akan kecantikan dua orang isteri Ding Tao dan lebih-lebih lagi jika teringat oleh keayuan Hua Ying Ying yang
dilihatnya sendiri. Kalau ditimbang-timbang, entah siapa yang lebih merana. Apakah Hua Ying Ying ataukah Wang Shu Lin. Yang seorang
merasa dikhianati, karena dialah yang pertama memiliki Ding Tao, namun justru orang lain yang lebih dahulu menikah
dengan Ding Tao. Yang seorang lagi justru tidak pernah hadir dalam kehidupan Ding Tao sedikitpun, betapa dia
mendambakannya, betapa pula dia merasa dirinya terlalu mengada-ada.
Saat air matanya mengering, Wang Shu Lin bangkit berdiri, menatap cermin yang terpasang di kamarnya. Sebelum dia
pulang dari kaki Gunung Songshan, cermin itu tidak ada. Segera setelah dia kembali dari kaki Gunung Songshan, cermin itu pun ada dalam kamarnya.
Sudah belasan kali Wang Shu Lin berpikir untuk pergi dari Shanxi dan mencari Ding Tao untuk menyampaikan perasaan
dalam hatinya. Belasan kali pula dia menyingkirkan pikiran itu dari benaknya. Hari ini segenap rasa kesal dan juga cinta sudah tak tertahankan lagi olehnya.
"Gadis bodoh", apa pula yang kau takuti dan apa pula yang kau tangisi. Baik kita pergi sekarang, biarkan kata-kata yang pedas menyadarkanmu dari mimpi!", ujarnya dengan marah pada sosok dirinya yang terpantul di cermin.
Inilah Wang Shu Lin, Wang Shu Lin yang membasmi habis 16 orang kepala geng di Shanxi tanpa ampun. Boleh jadi dia
seorang gadis dengan segala emosinya, tapi Wang Shu Lin memang macan betina. Jika dia sudah mengambil keputusan,
apakah dunia mau menertawakan dia atau menghalanginya dia tidak akan mau tahu. Siapa peduli apakah tabu atau tidak.
Siapa mau peduli, apakah nanti Ding Tao akan menerima cintanya atau tidak. Dia mau kepastian dan dengan kepastian itu
dia ingin melangkah ke depan. Tak hendak dia terhenti di tempat dan menangisi seorang lelaki yang belum tentu
mencintainya, seperti dirinya mencintai dia. Jika memang ada kemungkinan, dia akan memperjuangkan cintanya. Jika
memang tidak ada kemungkinan, dia akan melupakannya.
Belasan kali dia berpikir demikian, namun rasa takut akan penolakan membuat dia terhenti. Tapi hari ini kekesalannya
sudah sampai di puncaknya.
Dengan jantung berdebar, dia mengeluarkan selembar kertas yang sudah dia tulis beberapa malam sebelumnya. Sebuah
pesan bagi Lu Jingyun dan Zhu Jiuzhen. Wang Shu Lin memang berbakat untuk jadi orang besar dalam dunia persilatan,
meskipun dia sering mengeluhkan keberadaan Zhu Jiuzhen dan Lu Jingyun, dia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan
untuk menunjukkan pada setiap pengikutnya, bahwa kedudukan dua orang itu hanyalah di bawah dirinya, namun di atas
setiap pengikut yang lain. Lain kata, lain pula siasat dan perbuatan. Dengan demikian, selembar surat inipun sudah cukup baginya untuk meninggalkan perkumpulan yang dia bangun di atas banjir darah dan peluh, di tangan dua orang yang dia
percayai. Bagi Wang Shu Lin, waktu terasa berjalan begitu lambat. Menunggu hingga kentongan berbunyi, menandakan malam sudah
larut, barulah dia mengendap-endap pergi keluar. Dalam hati Wang Shu Lin sempat tertawa geli, mengapa pula dia harus
mengendap-endap di tempatnya sendiri seperti seorang pencuri. Malam itu pun Wang Shu Lin menghilang dari Shanxi dan
keesokan paginya seisi rumah pun jadi geger oleh perbuatan gadis itu.
"Ke mana harimau betina itu pergi, seenaknya saja menitipkan urusan sebesar ini pada orang lain.", omel Lu Jingyun sambil membaca surat itu untuk ke sekian kalinya.
Tidak mendapat tanggapan sedikit pun dari Zhu Jiuzhen dia menengok pada sahabatnya itu, dilihatnya Zhu Jiuzhen diam
termenung. Mendesah panjang Lu Jingyun pun berkata, "Sudahlah", begitu banyak gadis di dunia ini, mengapa pula kau harus
memikirkan yang seorang itu?"
"Menurutmu dia pergi menemuinya?", tanya Zhu Jiuzhen tanpa menengok sedikitpun.
Lama Lu Jingyun terdiam, cara nasib mempertemukan orang memang unik. Persahabatannya dengan Zhu Jiuzhen, diawali
dari kejadian yang tak disengaja. Namun dalam waktu singkat, mereka sudah menjadi sahabat dekat. Kecocokan yang
timbul dengan begitu saja, setelah melewati berbagai petualangan bersama, berubah menjadi persahabatan yang kuat.
Sedemikian sehingga Lu Jingyun yang menyukai kebebasan, bersedia mengorbankannya buatcinta Zhu Jiuzhen pada Wang
Shu Lin. Sekarang sebagai sahabat dia tidak ingin menyampaikan pendapatnya, tidak ingin pula membohongi dia.
"Saudara Jing Yun, menurutmu dia pergi untuk menemuinya kan?", sekali lagi Zhu Jiuzhen bertanya.
Lu Jingyun menghela nafas dan menjawab, "ya?"
Zhu Jiuzhen diam cukup lama, kemudian bangkit berdiri dan berkata, "Ayolah, kita toh tidak mungkin makan, minum
dengan gratis." Tanpa banyak cakap, Lu Jingyun bangkit berdiri dan mengikuti Zhu Jiuzhen. Entah apa itu cinta, yang pasti, banyak orang berbuat bodoh karena satu perkataan itu. Banyak dari mereka yang saat rasa itu mulai mereda kemudian menyesalinya.
Tapi ada juga yang hidup hingga sekian puluh tahun tanpa pernah menyesali kata itu.
Jauh di selatan, rombongan Ding Tao akhirnya sampai juga di tepian sungaiYangtze. Sungai besar yang menjadi garis
pemisah, memisahkan dua wilayah daratan menjadi bagian utara dan selatan. Membentang sepanjang daratan, dari tibet
hingga Shanghai, sungai itu menjadi sumber penghidupan bagi jutaan orang, tapi juga menjadi sumber bencana saat banjir
datang menerpa. Seperti biasa, di tempat-tempat penyeberangan, ramai sekali orang berlalu lalang, pedagang kecil yang
menjajakan makanan, para saudagar dengan barang-barang bawaan mereka, tukang perahu, para pengelana dan sekian
banyak macam orang lainnya. Saat itu Ding Tao dan rombongannya beristirahat di sebuah kedai teh yang ada di dekat
tempat penyeberangan, sementara Tang Xiong pergi mencari tukang perahu langganan keluarga Huang. Selama beberapa
hati melakukan perjalanan bersama, hubungan Ding Tao dan Huang Ren Fu yang sempat merenggang sudah kembali
Memburu Iblis 11 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Keris Pusaka Sang Megatantra 6
^