Pencarian

Pedang Awan Merah 3

Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


Kiok Hwi meloncat ke belakang untuk mengelak, kemudian mengelebatkan pedangnya dengan tubuh berputar dalam jurus serangan Sin-liong-tiauw-ti (Naga sakti sabetkan ekornya). Namun lawannya juga dapat meloncat ketika kakinya diserampang pedang itu.
Mereka saling serang dan yang paling terkejut adalah Han Lin karena dia mengenal ilmu golok yang dimainkan Gak Toan itu. Tidak salah lagi, itulah ilmu golok dari partai Hoat-kauw yang pernah dilihatnya dimainkan leh mendiang Ang-sin-liong Yu Kiat, orang pertama dari Bu-tek Ngo-sin-liong dari Hoat-kauw! Jelas Gak Toan ini murid Hoat-kauw dan mengertilah dia sekarang mengapa Gak Toan mati-matian menuduh Kiok Hwi memegang Ang-in-po-kiam. Kini dia mengerti bahwa yang menyebar desas-desus bahwa Cin-ling-pai mencuri pedang pusaka itu adalah sisa orang-orang Hoat-kauw! Tentu dilakukan untuk mengadu domba antara orang-orang kang-ouw yang dulu tidak mau tunduk kepada Hoat-kauw seperti halnya Cin-ling-pai.
Dia melihat bahwa Gak Toan ini cukup lihai, tentu dia seorang murid dari Bu-tek Ngo-sin-liong atau mungkin murid dari mendiang Hoat Lan Siansu sendiri. Seorang anggauta Hoat-kauw yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau perkelahian itu dilanjutkan, biarpun Kiok Hwi juga lihai, akan tetapi gadis itu tentu akan kalah. Maka, tanpa menanti sampai Kiok Hwi kalah, Han Lin melompat dengan gerakan indah, membuat salto beberapa kali dan tiba di atas panggung.
Begitu tongkat hitamnya bergerak, sinar hitam yang dahsyat menyambar di antara dua orang yang sedang bertanding, yang memaksa keduanya mundur dengan kaget sekali. Kiok Hwi memandang heran dna marah, akan tetapi Han Lin cepat berkata kepadanya. "Nona, jangan layani dia. Dia ini seorang saksi palsu yang membuat kesaksian bohong!" suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua orang. Kiok Hwi terkejut dan mundur.
Gak Toan tertawa mengejek. "Ha-ha-ha, agaknya ada orang yang takut kalau nona muda itu kalah, maka sengaja membikin kacau. Orang muda, siapa engkau dan apa maksudnya kata-katamu tadi?"
Han Lin tidak memperdulikan orang itu dan menghadap kepada ketua Cin-ling-pai sambil berkata, "Pangcu, saya datang bukan untuk mengacau pertemuan yang diadakan oleh Cin-ling-pai, melainkan untuk memberi kesaksian bahwa saksi ini adalah seorang pembohong besar, maka tidak perlu dia dilayani."
Bu-eng-kiam-hiap Yap Kong Sin tadi sudah melihat gerakan tongkat Han Lin dan mengenal orang pandai, maka dia membalas penghormatan Han Lin dan berkata, "Sobat muda, coba jelaskan mengapa engkau mengatakan dia pembohong besar. Kami juga tahu dia pembohong besar, sayang kami tidak mempunyai bukti."
"Ha-ha-ha, kalian menuduh aku berbohong, akan tetapi mana buktinya bahwa aku berbohong" Kalau Cin-ling-pai tidak mampu membuktikan bahwa mereka tidak mencuri Ang-in-po-kiam, maka itu hanya berarti bahwa desas-desus itu memang benar adanya!" kata Gak Toan dengan suara nyaring.
Banyak orang agaknya menyatakan setuju dengan pendapat Gak Toan ini dan Yappangcu namapk bingung dan memandang kepada Han Lin penuh harapan. "Jelas bahwa Gak Toan ini pembohon besar kalau mengatakan telah melihat Yapsiocia memainkan ilmu dengan Pedang Awan Merah!" seru Han Lin dengan nyaring. "Karena pedang pusaka itu selama ini berada di tanganku! Kalian lihat baik-baik, bukankah ini yang dinamakan Pedang Pusaka Awan Merah?" dia meraba buntalannya dan nampak sinar merah berkelebat ketika dia mencabut Ang-in-po-kiam.
Kembali orang-orang menjadi berisik dan semua orang mengakui bahwa itu adalah Pedang Pusaka Awan Merah. Melihat bahwa kebohongannya terbongkar, Gak Toan yang baru sekarang ingat bahwa pemuda ini dahulu ikut menyerbu Hoat-kauw bersama pasukan pemerintah, segera mendapat akal baru.
"Saudara-saudara sekalian! Kalau begini buktinya, hanya ada dua kemungkinan! Pertama, mungkin pihak Cin-ling-pai telah menitipkan pedang pusaka itu kepada pemuda ini, atau pemuda inilah yang sebenarnya menjadi pencuri pedang itu!"
Karena semua orang melihat bahwa pedang berada di tangan pemuda itu, maka ucapan ini agaknya dapat mereka terima dan mereka nampak bergerak dan agaknya siap hendak menerjang Han Lin.
"Omitohud...!" kata tokoh Siauw-lim-pai dan suaranya itu biarpun lembut dapat menembus suara kegaduhan yang kacau itu sehingga semua orang diam mendengarkan. "Orang muda, pedang pusaka itu bagaimana dapat berada di tanganmu" Jelaskanlah kalau engkau tidak mau dituduh sebagai pencurinya dari gudang pusaka."
"Benar," kata tosu tokoh Hoa-san-pai. "Harus dijelaskan benar siapa sesungguhnya pencuri pedang dari kota raja, agar nama dunia persilatan tidak menjadi cemar. Harus diketahui dengan jelas siapa yang bersalah dalam peristiwa ini!"
"Saudara sekalian yang gagah perkasa," kata Han Lin. "Pedang ini kudapatkan dari seseorang yang telah mencurinya dari gudang pusaka istana. Sebetulnya aku sedang dalam perjalanan menuju ke kota raja untuk menyerahkan kembali pedang pusaka ini kepsa pemiliknya, yaitu Sribaginda Kaisar. Akan tetapi dalam perjalanan aku mendengar tentang desas-desus bahwa Cin-ling-pai yang mencuri pedang ini dan bahwa Cin-ling-pai hari ini akan mengadakan pertemuan dengan para tokoh kangouw untuk membicarakan desas-desus itu. Mendengar ini, aku sengaja datang ke sini untuk membantu Cin-ling-pai membersihkan namanya. Tidak kusangka muncul Gak Toan ni yang menceritakan kebohongan besar dan aku tahu mengapa dia berbuat demikian. Saudara sekalian, ketahuilah yang melempar desas-desus melakukan fitnah kepada Cin-ling-pai adalah Hoat-kauw karena pencuri pedang yang sesungguhnya adalah mending Hoat Lan Siansu ketua Hoat-kauw yang telah dibasmi pemerintah karena bersekutu dengan bangsa Mongol untuk memberontak. Dan siapakah Gak Toan ini" Aku tadi melihat permainan goloknya dan aku yakin diapun seorang murid Hoat-kauw!"
Mendadak Gak Toan yang tadi masih berdiri di atas panggung, melompat jauh dan menyusup di antara tamu, terus melarikan diri. Semua orang masih tercengang mendengar ucapan Han Lin sehingga tidak ada yang sempat menghalangi larinya Gak Toan.
Ributlah semua orang setelah mendengar keterangan Han Lin. Akan tetapi masih ada juga yang merasa penasaran. "Bagaimana kita tahu bahwa cerita itu tidak berbohong" Tadipun cerita Gak Toan terdengar meyakinkan dan ternyata dia berbohong. Dan bagaimana dengan cerita yang ini" Tanpa saksi bagaimana kita dapat menerimanya begitu saja?"
Tiba-tiba terdengar suara dari bagian para tamu kehormatan di atas panggung dan seorang tosu tinggi kurus bermata sipit bangkit berdiri, "Siancai...! Pinto Tiong Sin Tojin dari Kun-lun-pai menjadi saksi akan kebenaran ucapan tai-hiap (pendekar besar) Sia Han Lin tadi!"
"Aku juga menjadi saksi akan kebenaran ucapannya!" terdengar suara melengking dan seorang pendeta wanita, yaitu Lian Hwa Siankouw wakil ketua Kwan-im-pai bangkit berdiri.
"Siancai! Pinto juga menjadi saksi. Apa yang dikatakan Sia-taihiap itu semuanya benar!" kini Thian Gi Tosu yang tinggi besar bermuka kehitaman, tokoh Go-bi-pai berseru dengan suaranya yang besar.
Melihat betapa tiga orang tokoh besar dunia persilatan ini memberikan kesaksian mereka, semua orang percaya dan lenyaplah keraguan mereka. Yang paling gembira tentu saja pihak Cin-ling-pai. Ketua Cin-ling-pai sendiri, Bueng-kiam-hiam Yap Kong Sin segera menghampiri Han Lin dan menarik tangan pemuda itu diajak duduk di tempat kehormatan. Semua orang mengelu-elukan Han Lin dan ketika pesta itu bubar, Han Lin ditahan oleh keluarga Cin-ling-pai, menjadi tamu terhormat di Cin-ling-pai.
"Kami seluruh keluarga Cin-ling-pai dibikin pusing oleh fitnah itu dan kami tidak tahu bagaimana harus membersihkan nama kami. Agaknya kami harus mempertahankan nama kami dengan pertumpahan darah kalau saja tidak muncul Siasicu yang membersihkan kembali nama kami. Tidak tahu bagaimana kami harus membalas budi kebaikan Sia-sicu," kata ketua Cin-ling-pai itu ketika dia menjamu Han Lin. Para tokoh Cin-ling-pai yang hadir dalam pesta kecil itu menganggukkan kepala dan mereka memandang kagum kepada Han Lin.
"Ah, Paman Yap, harap jangan banyak sungkan. Perbuatan saya ini merupakan kewajiban yang harus saya lakukan, sama sekali bukan budi kebaikan. Semua orang yang menjunjung tinggi kegagahan tentu akan bertindak seperti saya, membersihkan nama Cin-ling-pai yang terkenal sebagai perkumpulan yang gagah perkasa."
"Aku kagum sekali melihat gerakan taihiap Sia Han Lin ketika melerai pertandinganku melawan Gak Toan itu!" tiba-tiba Kiok Hwi berkata dengan gembira. "Karena itu, aku mohon kepada Sia-taihiap untuk memberi petunjuk sejurus dua jurus dalam ilmu pedang!"
Han Lin berusaha untuk menolak halus, akan tetapi Yap-pangcu sendiri lalu bangkit dan memberi hormat kepada Han Lin.
"Harap Sia-sicu tidak terlalu pelit untuk memberi petunjuk kepasa puteri kami." Terpaksa Han Lin melayani. Mereka semua lalu pergi ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dari Cin-ling-pai yang luas. Ketika berita ini terdengar oleh para anak buah Cin-ling-pai berbondong-bondong mereka datang ke lian-bu-thia untuk menonton pertandingan untuk menguji ilmu silat itu dengan gembira. Mereka semua maklum akan lihainya sumoi mereka, yaitu Yap Kiok Hwi yang menerima gemblengan khusus dari Yap-pangcu. Dan semua orang ingin melihat sendiri bagaimana hebatnya pemuda yang telah membersihkan nama Cin-ling-pai itu.
Kiok Hwi dengan gembira mencabut pedangnya dan memasang kuda-kuda. Han Lin memegang tongkat bututnya dan gadis itu yang melihat ini berkata, "Sia-taihiap, kenapa engkau tidak mencabut Ang-in-po-kiam?"
"Nona, kita hanya main-main saja, bukan" Biarlah, aku rasa sudah cukup kalau aku menggunakan tongkatku ini. Jangan pandang rendah tongkatku ini, nona. Ini tongkat wasiat peninggalan guruku!" karena ketika mengatakan ini suara Han Lin sungguhsungguh, maka Kiok Hwi tidak merasa dipandang rendah dan ia mulai menggerakkan pedangnya dengan gerakan indah dari ilmu pedang Cin-ling-pai.
"Lihat pedang!" teriaknya dan iapun mulai membuka serangan dengan tusukan pedang ke arah dada Han Lin. Pemuda ini miringkan tubuhnya dan tongkatnya meluncur ke arah lengan tangan gadis itu yang memegang pedang. Kiok Hwi memiliki gerakan yang cukup gesit. Melihat serangannya luput dan sebaliknya lengan kanan yang memegang pedang terancam, ia menarik kembali tangannya ke belakang, memutar tubuh ke kanan dan pedangnya berkelebat menyambar, kini membacok ke arah leher Han Lin dengan kecepatan kilat.
Han Lin kagum. Ilmu pedang Cin-ling-pai memang hebat dan gadis itu sudah menguasainya dengan baik, juga memiliki kecepatan mengagumkan. Hanya dalam tenaga sin-kang, gadis itu masih harus memperkuatnya lagi. Dia menangkis dengan tongkatnya dan balas menyerang. Namun Kiok Hwi juga dapat menghindarkan diri. Ketika tongkat Han Lin menyerampang ke arah kedua kakinya, gadis itu melompat ke atas, berjungkir balik dan ketika tubuhnya menukik turun, bagaikan seekor rajawali ia menyerang dari atas, pedangnya diputar cepat dan setelah dekat menyambar ke arah dahi Han Lin!
"Bagus!" Han Lin melempar tubuh ke samping dan berjungkir balik miring, kemudian tongkatnya diputar dan tepat dapat menangkis pedang gadis itu ang sudah berdiri dan menyabetkan pedangnya.
"Trangg...!" nampak bunga api terpercik dari pedang itu ketika tertangkis tongkat dan gadis itu merasa tangannya tergetar hebat. Namun ia masih belum puas dan menyerang lagi, sekali ini mengandalkan kecepatannya sehingga nampaknya Han Lin terdesak dan terhimpit oleh gulungan sinar pedang itu.
Tentu saja Han Lin sengaja mengalah. Dia bergerak mengimbangi gadis itu, dia tidak ingin mengalahkannya dalam waktu singkat agar tidak menyinggung harga diri nona itu. Maka pertandingan itu nampak seru dan seimbang membuat girang hati Kiok Hwi karena ia merasa dapat mengimbangi penolong Cin-ling-pai. Hanya ayahnya yang tahu bahwa pemuda itu banyak mengalah. Para murid Cin-ling-pai tidak ada yang mengetahui dan memuji ilmu pedang sumoi mereka.
Setelah merasa cukup, Han Lin ingin mengakhiri adu ilmu itu, akan tetapi tidak ingin mengalahkan gadis itu secara mutlak. Maka dia lalu mengubah ilmu tongkatnya dan memainkan Lui-tai-hong-tung (Tongkat Kilat dan Badai) dan tiba-tiba saja tongkat itu mengeluarkan angin menderu-deru. Bukan hanya Kiok Hwi yang terkejut, juga ketua Cin-ling-pai terbelalak dan para murid Cin-ling-pai terkejut sekali.
Kiok Hwi mencoba menahan diri dan memutar pedangnya dengan cepat sehingga pedang itu membentuk gulungan sinar yang seolah menjadi perisai baginya. Namun angin badai itu masih menembus perisai sinar itu dan membuatnya terhuyung ke belakang dan hampir saja terjengkang. Pada saat itu Yap-pangcu meloncat ke tengah di antara mereka dan diapun harus mengerahkan sin-kangnya agar tidak sampai terdorong oleh angin yang menderu itu.
"Cukup, Sia-sicu...!" katanya akan tetapi Han Lin sudah menghentikan gerakan tongkatnya dan angin menderu itupun lenyap.
"Wah, sungguh luar biasa sekali ilmu tongkatmu, sicu!" Yap-pangcu memuji sambil memberi hormat.
"Sia-taihiap, ilmu aneh apakah yang kaumainkan tadi" Menimbulkan angin badai!" kata pula Kiok Hwi kagum.
"Ah, Yap-siocia telah mengalah kepadaku. Terima kasih." "Mari kita melanjutkan makan minum, sicu," kata ketua itu gembira sekali dan mereka kembali ke ruangan tamu. Di situ, Yap-pangcu sendiri menuangkan anggur untuk mmeberi selamat dan hormat kepada tamunya.
Sementara itu, diam-diam Kiok Hwi merasa tertarik sekali. Ia tahu bahwa pemuda itu hendak menjaga namanya, maka ketika mengalahkannya, tongkatnya sama sekali tidak menyentuhnya. Pemuda itu mengalahkannya hanya dengan angin pukulan tongkatnya saja. Bagaimana kalau menyerang dengan tongkatnya, menyerang sehingga tongkat itu mengenai tubuhnya" Ia bergidik. Baru angin pukulannya saja begitu hebat! Ia tertarik sekali dan ketika matanya memandang, dari matanya terpancar sinar yang aneh, bahkan ia nampak tersipu kalau kebetulan Han Lin memandang kepadanya.
Pernah satu kali Yap-pangcu memergoki puterinya tersipu, dan diapun tersenyum. Dia adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berwatak jujur. Ketika timbul gagasan untuk menjodohkan puterinya dengan pemuda penolong Cin-ling-pai itu, segera saja dia mengajukan pertanyaan bertubi kepada Han Lin untuk mengetahui keadaannya.
"Sicu, kalau aku boleh bertanya, siapakah guru sicu yang menurunkan ilmu-ilmu yang hebat itu?" Han Lin telah dipesan oleh Lojin agar jangan memperkenalkan namanya, walaupun itu hanya Lojin (Orang Tua) saja, kepada orang lain, maka dia menjawab, "Mendiang suhu saya adalah Kong Hwi Hosiang."
"Ah, hwesio pengembara itu. Aku pernah mendengar namanya yang terkenal sebagai seorang locianpwe yang sakti. Dan siapakah orang tuamu, sicu?" Han Lin tersenyum untuk menutupi pedihnya hati mendengar orang bertanya tentang orang tuanya. "Ayah dan ibu saya telah tiada, paman. Saya yatim piatu dan sebatangkara."
"Maafkan aku, sicu, kalau aku bertanya tentang mereka dan membuatmu sedih."
Han Lin tersenyum. "Tidak mengapa, paman. Kematian adalah peristiwa yang sudah menjadi takdir, saya tidak lagi menyedihkan kematian mereka."
"Dan... berapakah usiamu, sicu?" ketua Cin-ling-pai mulai memancing. Han Lin masih menganggap pertanyaan itu wajar saja, timbul dari keakraban.
"Dua puluh satu tahun lebih, paman." "Dalam usia sekian, sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, sudah tentu sicu sudah berumah tangga, bukan" Di mana tempat tinggal sicu, dan apakah sicu sudah mempunyai putera?" pancingan itu semakin jelas, akan tetapi Han Lin yang belum mempunyai pengalaman dalam urusan ini, masih belum mengerti dan wajahnya berubah agak kemerahan ketika dia menjawab.
"Paman Yap Kong Sin, saya belum mempunyai anak, bahkan belum menikah."
"Kenapa, sicu" Seorang pendekar seperti sicu, sudah sepantasnya berumah tangga dan membentuk keluarga agar kelak ada yang melanjutkan perjuangan sicu."
"Aih, paman. Saya seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara, tidak mempunyai apa-apa, bagaimana saya akan memikirkan tentang perjodohan?" Girang bukan main perasaan hati ketua Cin-ling-pai itu. Dia mengerling ke arah puterinya dan melihat gadis itu menundukkan mukanya yang berubah kemerahan dan semua tokoh Cin-ling-pai yang hadir di situ tersenyum-senyum. Semua orang sudah tahu arah pembicaraan itu, kecuali Han Lin sendiri.
"Sia-sicu, maafkan ucapanku ini. Aku memang orang yang biasa bicara secara terbuka dan biarlah percakapan ini disaksikan dan didengar pula oleh para murid kepala dan suteku yang hadir di sini. Sicu, kami hanya mempunyai seorang ank, yaitu puteri kami Yap Kiok Hwi yang sekarang telah berusia delapan belas tahun dan masih belum juga terikat perjodohan dengan siapapun juga. Nah, kalau sicu setuju, kami bermaksud untuk menjodohkan kalian, yaitu sicu dan puteri kami."
"Aih, ayah...!" Kiok Hwi bangkit berdiri dan tersipu-sipu lari ke dalam mencari ibunya. Semua orang yang hadir di situ tersenyum melihat sikap Kiok Hwi. Dari sikap gadis itu saja sudah dapat diketahui bahwa Kiok Hwi tidak berkeberatan. Kalau keberatan tentu gadis yang juga jujur dan terbuka itu seketika sudah menyatakan penolakannya atas usul perjodohan ayahnya. Akan tetapi ia lari tersipu malu, itu tidak lain artinya tentu bahwa gadis itu juga menyetujui.
"Bagaimana, Sia-sicu?" tanya Yap Kong Sin yang tadi tertawa gembira melihat ulah puterinya. "Harap engkau tidak sungkan dan malu-malu, kami sudah biasa untuk bicara secara terbuka begini."
Tentu saja Han Lin tersipu dan merasa serba salah. Harus diakui bahwa Kiok Hwi adalah seorang gadis yang tidak ada cacat celanya sebagai seorang calon isteri. Masih muda, cantik jelita, gagah perkasa, puteri seorang ketua perkumpulan para pendekar pula. Apa lagi yang kurang" Mau cari yang bagaimana" Dan gadis itu agaknya juga tertarik kepadanya. Betapa akan bahagianya menerima kasih sayang seorang gadis jelita seperti Kiok Hwi.
"Paman, harap paman sekalian sudi memaafkan saya. Saya merasa amat berterima kasih dan terharu sekali atas maksud hati paman yang baik dan merasa amat terhormat. Seorang yatim piatu dan miskin seperti saya telah mendapat kehormatan dna penghargaan paman. Akan tetapi, paman, perjodohan adalah suatu peristiwa yang suci dan penting sekali dalam kehidupan seorang manusia, oleh karena itu harus dilakukan dengan keputusan hati yang bulat. Dan saya, pada saat ini, sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan, dan sama sekali belum ingin terikat tali kekeluargaan. Maka, maafkanlah saya yang tidak dapat menerima kehormatan besar ini."
Yap Kong Sin menghela napas panjang. "Engkau benar, sicu. Agaknya kami yang tergesa-gesa. Karena itu, biarlah kami tangguhkan saja hasrat hati kami ini sampai nanti pada saat sicu sudah siap benar. Akan tetapi kami harap sicu tidak melupakan usul perjodohann kami ini sehingga kalau sicu sudah mengambil keputusan untuk berjodoh, sicu dapat mempertimbangkan keinginan kami."
"Tentu saja, paman. Akan tetapi, saya harap paman tidak menganggap ini sebagai suatu ikatan. Kalau sampai nona Yap menemukan jodohnya, harap paman tidak ragu untuk menjodohkannya tanpa memikirkan saya. Dan sekarang, saya kira sudah cukup lama saya menunda keberangkatan saya, paman. Saya akan langsung ke kota raja menyerahkan Ang-in-po-kiam kepada Sribaginda Kaisar. Selamat tinggal."
Han Lin bangkit dan memberi hormat kepada tuan rumah, dan kepergiannya diantar oleh ketua itu sampai ke pintu gerbang depan. Han Lin melangkah menuruni lereng meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai. Dari puncak bukit dia memandang ke bawah dan pagi hari itu matahari bersinar cerah, pemandangan alam amatlah indahnya terbentang luas di bawah sana. Di sekelilingnya nampak bukit-bukit menonjol dalam berbagai bentuk yang aneh-aneh. Di sana sini nampak kabut tinpis yang membuat warna hijau pegunungan berubah menjadi kebiruan.
"Taihiap...!" Seruan ini membuat Han Lin berhenti menahan langkahnya dan menoleh. Kiok Hwi berlari-larian menuruni lereng itu. Ketika tiba di depannya, gadis itu agak terengah, mukanya menjadi kemerahan karena berlarian itu, rambutnya agak awutawutan tertiup angin.
Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan Han Lin bertanya. "Nona Yap, kenapa engkau menyusulku" Apakah ada pesan yang kaubawa dari Paman Yap?"
Gadis itu menggeleng kepalanya, dan belum dapat menjawab.
"Lalu, apakah yang menyebabkan nona berlarian menyusulku?"
Gadis itu nampak tersipu. "Tidak ada yang menyuruh aku, taihiap." "Nona, tidak enak rasanya engkau menyebut aku dengan sebutan taihiap. Cin-lingpai telah bersahabat denganku, maka jangan engkau menggunakan sebutan yang sungkan itu."
"Baiklah, Lin-ko (kakak Lin), akan tetapi engkaupun jangan menyebut aku dengan sebutan nona seperti kita ini orang yang asing satu kepada yang lain."
"Baik, Hwi-moi. Nah, katakan mengapa engkau menyusulku" Ada kepentingan apakah?" "Tidak ada kepentingan apa-apa, Lin-ko. Tadi aku berada di kamar ibu, ketika ayah datang memberitahukan bahwa engkau telah pergi meninggalkan Cin-ling-pai, aku terkejut dan segera menyusulmu. Aku tidak mengira bahwa engkau akan terus pergi begitu saja tanpa pamit kepadaku."
Han Lin tersenyum dan memberi hormat dengan kedua tangan di depan dada. "Maafkan aku, Hwi-moi, kalau aku tidak berpamit karena tidak sempat. Aku agak tergesa karena harus cepat mengembalikan pedang pusaka kepada Sribaginda Kaisar, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan lagi atas diriku."
"Aku tidak menyangka kita akan berpisah demikian cepatnya, Lin-ko." Han Lin tersenyum. "Setiap pertemuan pasti diakhiri dengan perpisahan, Hwi-moi. Dan sekarang kita telah bertemu, maak aku ingin mengucapkan selamat tinggal dan pamit kepadamu."
"Lin-ko, aku... aku ingin sekali ikut bersamamu ke kota raja, mengembalikan pedang pusaka itu ke istana. Aku... aku khawatir kalau terjadi apa-apa kepadamu dan aku ingin membantu. Biarkan aku menemanimu, Lin-ko."
Han Lin mengerutkan alisnya. Dia terkejut mendengar ucapan gadis itu. "Ah, Hwimoi, bagaimana mungkin itu" Orang tuamu tentu akan marah kepadaku kalau engkau ikut denganku."
"Aku yang bertanggung jawab!" "Tidak, Hwi-moi. Ini tidak baik. Seorang gadis seperti engkau pergi bersamaku, apa akan kata orang terhadap diriku" Pula, aku tidak memerlukan bantuan, dan aku... tidak sanggup melindungimu. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu denganmu" Ayahmu tentu akan menyalahkan aku."
"Lin-ko, engkau... menolak permintaanku" Apakah engkau tidak sayang kepadaku, Lin-ko?"
Han Lin tersenyum dan jantngnya berdebar. Salahkah perkiraannya bahwa dengan ucapan itu Kiok Hwi menghendaki bahwa dia sayang kepadanya" "Bukan soal tidak sayang, Hwi-moi, melainkan soal kepantasan dan tanggung jawab. Maafkan aku, Hwi-moi, aku sungguh tidak dapat membawamu pergi bersama. Selamat tinggal dan terima kasih atas budi kebaikan keluargamu selama ini!" setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi Han Lin menggunakan kepandaiannya untuk meloncat dan lenyap dari situ.
"Lin-ko...! Tunggu...!"
Terpaksa Han Lin menahan langkahnya dan kembali ke depan gadis itu. "Ada apakah, Hwi-moi?" Kiok Hwi melepaskan seuntai kalungnya yang terbuat dari pada emas dan digantungi seekor burung Hong emas dihias permata yang indah. "Toako, kalau engkau tidak mau membawa diriku, kau bawalah kalungku ini."
"Ehhh" Kalung" Untuk apa kalung itu bagiku?" tanyanya heran dan belum menerima kalung itu karena dia merasa bingung. "Lin-ko, perjalananmu jauh dan membutuhkan biaya besar. Karena itu, aku hanya mampu membekali perhiasan ini agar kalau engkau kekurangan biaya dapat kaujual untuk keperluanmu."
Terpaksa Han Lin menerimanya. Dia sudah menolak keinginan gadis itu untuk menemaninya, kalau sekarang dia menolak pula pemberiannya, tentu akan membuat gadis itu merasa kecewa. "Terima kasih, Hwi-moi. Engkau sungguh terlalu baik untukku." "Baik" Aih, Lin-ko. Kalau mau bicara tentang kebaikan, engkaulah yang sudah berbuat kebaikan yang tak ternilai harganya bagi Cin-ling-pai, membersihkan nama dan kehormatan kami."
"Sudah cukup, Hwi-moi, sekali lagi selamat tinggal dan sampaikan hormatku kepada ayah ibumu." Setelah memberi hormat, Han Lin membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Kiok Hwi mengikuti langkahnya dengan pandang mata sayu dan kedua mata gadis itu menjadi basah. Ah, ia tidak dapat menipu diri sendiri. Ia telah jatuh cinta kepada pemuda sederhana itu.
Kim-kok-pang adalah sebuah perkumpulan para pendulang emas yang berhasil. Semenjak Kim-kok-pang kematian ketuanya bernama Ji Kim Ek yang terbunuh oleh orang-orang Hoat-kauw dan kedudukan ketua digantikan Ji Kiang Bwe, puterinya yang gagah perkasa, perkumpulan itu semakin maju. Apa lagi ketika Ji Kiang Bwee menikah dengan Souw Kian Bu, pendekar yang tinggi pula ilmu silatnya, kedudukan Kim-kok-Pang di dunia persilatan semakin kokoh kuat. Di bawah bimbingan suami isteri pendekar ini, Kim-kok-pang bukan saja menjadi perkumpulan yang makmur karena penghasilan dari pendulangan emas itu ternyata cukup mendatangkan kemakmuran kepada para anggotanya, akan tetapi juga perkumpulan itu berkembang menjadi perkumpulan besar.
Kalau dulu di waktu Ji Kiang Bwee pertama kali memegang kedudukan ketua menggantikan ayahnya yang tewas perkumpulan itu hanya memiliki anggota kurang lebih seratus orang, kini selama satu tahun, jumlah anggota mereka ada dua ratus lebih keluarga, yang berarti lebih dari lima ratus orang. Perkampungan mereka menjadi semakin luas, dengan bangunan pondok-pondok yang memadai, walaupun tidak mewah. Pendeknya, setiap keluarga anggota Kim-kok-pang cukup sandang pangan dan papannya.
Souw Kian Bu membantu isterinya bahkan atas kehendak Ji Kiang Bwee yang disebut ketua adalah suaminya dan ia sendiri menjadi ketua kedua atau pembantu ketua pertama! Souw Kian Bu juga tidak tinggal diam. Dia mengharuskan anak-anak keluarga itu untuk belajar membaca menulis lalu merangkai ilmu silat yang diambil dari inti sari ilmu-ilmu mereka, dan menamakan ilmu silat itu Kim-kok-kun (Silat Lembah Emas).
Ji Kiang Bwee tidak hanya mewarisi ilmu silat dari ayahnya, ketua pertama Kimkok-pang, akan tetapi iapun murid Pek Mau Sian-kouw, pertapa wanita yang sakti. Sedangkan suaminya, Souw Kian Bu, menerima gemblengan dari ayah ibunya sendiri. Ayahnya adalah Souw Hui San, tokoh Gobi-pai yang lihai, dan ibunya Yang Kui Lan adalah murid mendiang Kong Hwi Hosiang maka tentu saja Souw Kian Bu memiliki ilmu silat yang lihai, bahkan hampir setingkat isterinya. Kalau suami isteri ini kemudian merangkai sebuah ilmu silat, maka tentu saja ilmu silat itu hebat. Dan kini semua anggota Kim-kok-pang diharuskan berlatih dengan ilmu Kim-kok-kun.
Kehidupan manusia di dunia ini tidak ada yang abadi, keadaannyapun tidak menentu. Seperti berputarnya roda, maka setiap orang manusia itu kadang berada di atas, kadang di bawah. Kadang tertawa bahagia, kadang menangis sedih. Kemujuran dan kemalangan silih berganti melanda kehidupan. Dan semua ini sudah wajar, seperti wajarnya atas dan bawah, kanan dan kiri, terang dan gelap dan sebagainya lagi keadaan yang berlawanan. Seseorang tidak mungkin mengenal senang kalau dia tidak pernah mengenal susah, tidak pernah mengenal enak kalau tidak pernah mengenal tidak enak. Mana mungkin mengenal rasa manis kalau tidak ada rasa lain yang berlawanan"
Hidup merupakan perjuangan. Perjuangan menghadapi segala macam tantangan dan tentangan. Justeru tantangan-tantangan inilah yang meramaikan hidup, memberi warna dan menjadi romantika kehidupan. Bayangkan, alangkah monoton, tanpa irama dan menimbulkan jenuh kalau kehidupan ini berjalan mulus tanpa adanya halangan dan rintangan sedikitpun. Orang akan menjadi malas dan tidak bergairah. Bagaimana muaknya kalau setiap saat kita hanya makan yang manis melulu, tanpa adanya rasa lain seperti pahit getir asin masam sebagai imbangannya. Betapa membosankan kalau segala sesuatu dapat dicapai secara mudah, tanpa kesukaran, tanpa halangan. Karena itu, bahagialah orang yang dapat menghagai kesulitan seperti menghargai kemudahan, dapat mengambil hikmah dari kesengsaraan serta melihat racun dalam kesenangan. Bukankah yang enak-enak itu biasanya mendatangkan penyakit dan obat itu hampir selalu terasa pahit"
Demikianlah pula dengan kehidupan Souw Kian Bu dan Ji Kiang Bwee yang nampaknya bahagia dan mulus. Baru pada malam pengantin pertama saja mereka sudah harus menghadapi tantangan yang membahayakan kelangsungan hidup berumah tangga mereka.
Biarkan Souw Kian Bu merupakan seorang pemuda yang sama sekali tidak mempunyai pengalaman dengan wanita, akan tetapi dari orang tuanya dia pernah mendapat pengertian tentang arti keperawanan seorang gadis. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa gelisah dan kecewa hatinya ketika dia mendapat kenyataan di malam pengantin pertama itu bahwa isterinya, Ji Kiang Bwee, bukan perawan lagi. Tentu saja hal ini membuatnya menjadi murung dan bahkan dia tidak mau menjawab ketika keesokannya harinya isterinya mengajaknya bicara.
Ji Kiang Bwe akhirnya mengetahui apa yang menyebabkan suaminya murung. "Bu-koko, aku mengerti bahwa aku sudah bukan perawan lagi, begitukah?" Pertanyaan yang demikian terbuka dari isterinya membuat Kian Bu mengangkat muka memandang wajah isterinya penuh selidik dan terdengarlah ucapannya yang bernada dingin sekali.
"Hemm, kalau engkau sudah mengetahu dan mengerti, tentu engkau mengerti pula betapa pentingnya hal itu bagi kelangsungan suami isteri!" "Suamiku, mencurigai dan menuduh itu adalah hakmu, boleh saja, akan tetapi itu tidak bijaksana kalau kau diamkan dan simpan di dalam hati saja. Kenapa tidak kau tanyakan sebabnya" Ada akibat tentulah ada sebabnya, bukankah begitu" Dan kalau engkau sudah mengetahui sebabnya, belum tentu engkau akan menyesal akibatnya."
Melihat isterinya bersikap tenang saja, jelas bukan sikap seorang yang bersalah, Kian Bu menjadi agak dingin hatinya dan diapun bertanya, "Bwe moi, antara suami isteri tidak semestinya ada rahasia. Dan urusan yang mengenai dirimu juga menyangkut diriku, sebaiknya kalau engkau ceritakan semua kepadaku untuk kupertimbangkan masak-masak. Terus terang saja, bagaimana engkau kehilangan keperawananmu?"
Kiang Bwe tersenyum dan agak tersipu. "Suamiku, percayalah, bukan karena aku pernah berjina dengan seseorang atau pernah diperkosa seseorang. Sama sekali tidak dan jauhkanlah bayangan itu dari pikiranmu. Aku sendiri tidak pernah menyadari bahwa peristiwa yang terjadi dahulu itu mengakibatkan aku kehilangan tanda keperawanan itu. Ketahuilah, ketika aku berlatih silat dengan ayahku, ayah melatihku dengan keras, mengharuskan aku melakukan jurus tendangan berantai sampai sempurna betul. Nah, dalam latihan itulah aku mengalami pendarahan, dan tentu itu agaknya telah mengakibatkan aku seperti ini."
Kian Bu mengangguk-angguk dan tersenyum. "Nah, kalau kaujelaskan begitu, tentu saja hatiku tidak merasa penasaran." Dia merangkul dan mencium isterinya. Agaknya selesai sudah perkara itu. Akan tetapi ternyata belum. Kiang Bwe melihat kerut di antara alis mata suaminya seringkali muncul dan akhirnya ia tidak tahan lagi. Ia mengajak suaminya berkunjung ke makam ayahnya. Kian Bu yang hanya mengira bahwa isterinya mengajaknya bersembahyang. Akan tetapi ketika isterinya sudah memegang hio (dupa biting) yang membara dan berlutut di depan makam itu, dia mendengar isterinya berkata dengan suara lantang.
"Ayah, ayah mengetahui dan menjadi saksi ketika aku dahulu ayah paksa berlatih jurus tendangan berantai dan aku terjatuh mengalami pendarahan. Ayah menjadi saksi dan aku bersumpah telah menceritakan keadaan yang sebenarnya...." Sampai di situ Kian Bwe menangis.
"Bwe-moi..!" Kian Bu merangkulnya dan menghibur. "Bwe-moi, kenapa engkau bersikap seperti ini" Aku percaya kepadamu, Bwe-moi, aku percaya...!" Kiang Bwe masih terisak. "Engkau tidak membohongi aku, koko. Aku dapat melihat pada wajahmu, betapa engkau kadang meragukan aku, kadang sangsi dan curiga...ah, Bu-ko, betapa hatiku tidak akan sedih dicurigai suami?"
Masalah keperawanan seorang isteri memang terkadang mendatangkan persoalan besar. Dan sikap suami seperti ini hanya menunjukkan bahwa soal itu teramat penting baginya.
"Aku tidak mencurigaimu, Bwe-moi. Sungguh!"
"Koko, sebetulnya engkau mencintai aku atau tidak?"
"Kenapa masih kautanyakan" Bukankah kita sudah menjadi suami isteri" Tentu saja aku cinta kepadamu, Bwe-moi." "Akan tetapi engkau meributkan soal keperawanan. Engkau mencintai aku, ataukah engkau mencintai keperawanan" Kalau engkau mencintai diriku, bukan masalah lagi keperawanan itu. Kalau engkau mencintaiku, tentu akan mencintaiku dengan segala kekurangan dan keburukanku!"
"Maaf, Bwe-moi. Andaikata, aku mencintaimu sebagai seorang janda, tentu soal itu tidak akan menjadi persoalan. Seorang suami selalu ingin memandang isterinya sebagai seorang yang suci atau setidaknya baik sesuai d engan apa yang dibayangkannya. Suami isteri memerlukan keterbukaan, tidak harus ada rahasia yang tersembunyi, karena rahasia tersembunyi menunjukkan kekurang percayaan. Bahkan andaikata engkau dahulu pernah berhubungan dengan orang lain atau pernah diperkosa sekalipun, kalau hal itu sudah kuketahui sebelumnya, tentu tidak akan menjadi persoalan. Akan tetapi sekarang aku telah menyadari kesalahanku, dan aku akan mengusir semua keraguanku. Percayalah!"
Dan semenjak hari itu memang wajah Kian Bu tidak pernah lagi murung seperti yang sudah. Agaknya peristiwa di makam ayah isterinya itu telah membuat dia percaya sepenuhnya kepada isterinya.
Namun, ada ganjalan di hati kedua suami isteri itu, yalah bahwa sampai setahun lebih mereka menikah, belum juga dikurnia seorang anak. Dan pada suatu hari, selagi Ji Kiang Bwe melatih ilmu silat kepada para anggota wanita Beng-kauw di taman belakang rumahnya, melatih tiga belas orang wanita itu mempergunakan senjata sabuk rantai dan membentuk barisan sabuk rantai dengan tekun, tiba-tiba terdengar orang berseru. "Bagus, sungguh merupakan barisan sabuk yang amat hebat!"
Kiang Bwe terkejut dan alisnya berkerut. Siapa yang begitu kurang ajar berani mengintai ia sedang melatih para anggotanya. Cepat ia membalikkan tubuhnya memandang ke arah orang yang mengeluarkan pujian itu. D an ia terbelalak. Seorang pria muda, berusia paling banyak dua puluh lima tahun, berwajah tampan berbadan tinggi, tegap berpakaian serba hitam, tengah berdiri sambil tersenyum memandangnya.
"Suheng....!" Akhirnya ia berseru gembira sekali. "Sumoi, kau baik-baik saja?" Pria itu melangkah maju menghampiri. Saking girangnya, Kiang Bwe memegang kedua tangan pria yang ternyata suhengnya itu. Ketika ia menjadi murid Pek Mau Sian-kouw selama lima tahun, gurunya itu sudah mempunyai murid laki-laki bernama Gu San Ki. Selama lima tahun Kiang Bwe belajar silat bersama suhengnya itu yang banyak membimbingnya dan hubungan mereka seperti kakak beradik saja.
"Suheng, angin apa yang membawamu datang ke sini" Dan bagaimana kabarnya dengan subo (ibu guru)?"
Gu San Ki tertawa dan sejenak mengamati sumoinya dari kepala sampai ke kaki, kemudia berkata, "Engkau nampak sehat dan bahagia, sumoi. Sukurlah."
Melihat para muridnya memandang kepada mereka, Kiang Bwe baru ingat dan berkata. "Ini adalah supek kalian. Beri hormat kepadanya. Dan tinggalkan kami. Tiga belas orang murid wanita itu lalu memberi hormat kepada Gu San Ki dan meninggalkan tempat itu. "Duduklah, suheng dan ceritakan segalanya," kata wanita itu sambil tersenyum gembira.
San Ki memandang ke sekeliling lalu bertanya, "Nanti dulu, sumoi. Di mana suamimu" Aku ingin berkenalan dengan dia."
"Dia sedang mengurus panen di sawah, nanti juga dia pulang. Bagaimana kabarmu dan subo" Ceritakanlah, suheng, aku sudah rindu sekali kepada kalian." San Ki tersenyum. "Benarkah" Engkau nampak bahagia dan....semakin cantik, sumoi. Maafkan bahwa ketika engkau menikah, aku tidak dapat hadir karena aku sedang tidak berada di rumah sedangkan subo sudah tua dan malas bepergian. Tentu suamimu gagah sekali bukan" Aku ingin berkenalan dengan pria yang beruntung sekali itu."
"Beruntung?" tanya Kiang Bwe. "Tentu saja. Pria yang dapat mempersuntingmu tentulah seorang pria yang paling beruntung di dunia ini!" kata San Ki dengan sikap sungguh-sungguh. "Engkau telah menjadi ketua Kim-kok-pang, dan aku mendengar bahwa engkau telah berhasil membimbing Kim-kok-pang ke jalan benar, berhasil memakmurkan anggotanya dan mempunyai seorang suami yang gagah perkasa dan mencinta."
"Suheng, sudahlah. Aku ingin mendengar tentang subo. "Bagaimana subo sekarang?"
"Subo sudah tua, usianya sudah hampir delapan puluh tahun. Biarpun kesehatannya masih baik, akan tetapi tubuhnya sudah lemah."
"Ah, aku rindu kepada subo," kata Kiang Bwe menarik napas panjang. "Dan tidak rindu kepadaku" Padahal aku rindu setengah mati kepadamu, sumoi," kata Sian Ki sambil tersenyum. Kiang Bwe memandang wajah suhengnya yang tampan gagah itu dan tertawa.
"Tentu saja akupun rindu kepadamu, suheng. Bagaimana keadaanmu sekarang" Kenapa sampai sekarang belum juga mengirim kartu merahmu kepadaku?"
"Ah, orang macam aku ini siapa yang sudi, sumoi" Setelah engkau menikah, rasanya aku tidak akan menikah selama hidupku..." Mendengar ini dan melihat wajah suhengnya nampak muram, Kiang Bwe terkejut sekali. Ia bangkit berdiri dan menghampiri suhengnya, meletakkan tangannya di atas pundak suhengnya itu. Suhengnya ini selalu baik kepadanya dan ia menganggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri saja, maka kata-kata itu tentu saja amat mengejutkan karena kata-kata itu jelas menyatakan bahwa suhengnya mencintanya sebagai seorang pria mencinta wanita dan agaknya dahulu mengharapkannya menjadi isterinya akan tetapi kalah dulu oleh Kian Bu.
"Gu-suheng...ingat, aku adalah sumoimu dan sejak dulu kau sudah kuanggap sebagai kakak kandungku sendiri," katanya lembut dan terharu.
San Ki menepuk-nepuk tangan yang berada di pundaknya itu. Aku tahu, sumoi, dan memang sudah nasibku demikian..."
Pada saat itu, terdengar suara orang. "Bagus sekali!"
Kiang Bwe meloncat saking kagetnya dan San Ki memutar tubuh dengan kaget. Di sana sudah berdiri Kiang Bu dengan muka merah dan mata mencorong. "Ah, Bu-koko, engkau sudah pulang" Perkenalkan, ini adalah suheng Gu San Ki yang pernah kuceritakan kepadamu. Sudah lama sekali, sejak aku meninggalkan subo, aku tidak bertemu lagi dengan dia. Kami berkumpul seperti suheng dan sumoi, selama lima tahun dan...."
"Bagus, bagus sekali!" kata pula Kian Bu dan suara suaminya itu amat mengejutkan Kiang Bwe. "Ahh, sekarang aku mengerti. Betapa bodohnya aku..." Dan Kian Bu berlari cepat memasuki rumah.
"Koko....!" Kiang Bwe mengejarnya masuk dan San Ki yang menjadi bingung dan khawatir juga mengejarnya.
Di dalam, Kian Bu telah mengambil pedangnya dan buntalan pakaiannya. Dia bertemu dengan isterinya di ruangan depan.
"Koko, engkau hendak pergi ke mana?" teriak isterinya.
"Jangan perdulikan lagi aku. Aku tidak sudi merampas kekasih orang lain!" "Sudahlah, aku sudah mengerti semuanya sekarang. Aku telah menghancurkan hati kedua orang kekasih. Sekarang engkau bebas, Kiang Bwe dan aku tidak akan menghalanginya lagi. Engkau boleh kembali kepada kekasihmu yang lama...!" Setelah berkata demikian, hatinya menjadi semakin panas karena dia kini teringat bahwa isterinya itu sudah tidak perawan lagi ketiak menikah dengannya. Dan suhengnya itu sudah lima tahun hidup bersama Kiang Bwe, tentu suhengnya itulah yang dahulu menjadi kekasihnya. Dia melompat dan pergi.
Di beranda depan dia bertemu dengan San Ki yang mencoba untuk menyadarkannya. "Saudara yang baik, harap jangan salah sangka. Aku...."
"Jangan engkau berani mencampuri urusanku!" bentak Kian Bu dan dia berlari terus. Akan tetapi di halaman depan, Kiang Bwe yang memiliki gin-kang hebat itu telah dapat menyusulnya. "Koko, engkau hendak pergi ke mana" Dengar dulu penjelasanku!"
"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, dan jangan menghalangiku kalau engkau tidak ingin mendengar makianku yang lebih keji lagi."
"Koko..!" Akan tetapi Kian Bu sudah mengibaskan tangannya yang dipegang isterinya dan dia berlari cepat meninggalkan perkampungan Beng-kauw. Kiang Bwe menangis sambil memasuki rumahnya. San Ki menyambutnya dengan prihatin. "Sumoi, maafkan aku. Semua ini kesalahanku belaka. Tidak seharusnya aku bersikap demikian...ah maafkan aku, sumoi." Dia merasa menyesal bukan main telah menjadi sebab pertikaian antara suami isteri itu.
"Bukan salahmu, suheng. Memang Bu-koko sudah bersikap cemburu dan penuh curiga semenjak kami menikah. Ahhh...hu-hu-huhh...." Wanita muda itu menangis. Ia tahu bahwa Kian Bu makin menjadi-jadi perasaan cemburunya. Dahulu, suaminya itu mau menerima keterangannya di depan makam ayahnya dan sudah bersikap baik. Agaknya sekarang kecurigaannya itu muncul lagi bersama datangnya suhengnya dan tentu suaminya itu menuduh ia dahulu menjadi kekasih suhengnya. Berat sekali pukulan bertubi yang diterimanya pagi itu. Pertama mendapatkan kenyataan bahwa suhengnya mencintanya sebagai seorang pria mencinta wanita, ini saja sudah merupakan pukulan berat baginya. Ditambah lagi dengan suaminya yang dipenuhi kecurigaan dan cemburu dan kini lari meninggalkan rumah.
San Ki menghela napas panjang. "Sumoi, aku bersalah dan aku bersumpah untuk membawa suamimu kembali kepadamu." Dia lalu meninggalkan sumoinya y ang masih menangis.
Kiang Bwe tidak memperdulikan suhengnya pergi. Bagaimanapun juga, kedatangan suhengnya itulah yang mengakibatkan kemarahan dan kepergian suaminya.
Lebih satu jam lamanya Kiang Bwe menangis di ruangan dalam setelah tadi San Ki meninggalkannya dan iapun berlari masuk ke dalam. Para muridnya merasa heran dan bingung melihat ketua mereka meninggalkan rumah dan ketua kedua atau isteri ketua itu menangis dan masuk ke dalam rumah tidak keluar lagi. Itulah sebabnya ketika dua orang tamu, sepasang suami isteri itu datang berkunjung, mereka mempersilakan mereka duduk di ruangan tamu dan mereka tidak ada yang berani melapor ke dalam.
"Di mana ketua Souw Kian Bu?" tanya tamu pria kepada seorang murid yang menyambut mereka.
"Beliau sedang keluar," jawabnya
"Dan isterinya, Ji Kiang Bwe?" tanya tamu wanita.
"Ji-pangcu.....eh, beliau berada di dalam...." kata murid itu.
"Kalau begitu cepat laporkan, katakan bahwa aku Yang Mei Li, dan suamiku, Sie Kwan Lee ketua Beng-kauw," kata Yang Mei Li.
Mendengar bahwa tamunya itu adalah ketua Beng-kauw dan isterinya, murid itu terkejut dan cepat ia memberanikan diri memasuki rumah itu dan mendapatkan ketuanya sedang duduk termenung di dalam ruangan tengah. Ji Kiang Bwe sudah berhenti menangis, namun masih duduk melamun dan iapun marah melihat seorang murid berani masuk tanpa dipanggil.
"Mau apa engkau?" bentaknya.
Murid itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan melapor. "Maafkan saya, pangcu. Di luar datang dua orang tamu yang mengaku sebagai ketua Beng-kauw dan isterinya." Kiang Bwe meloncat bangun. "Ahh, mereka datang....!?" Lupa akan keadaan dirinya, saking gembiranya Kiang Bwe lalu berlari keluar diikuti muridnya yang merasa lega bahwa ketuanya tidak jadi marah kepadanya.
"Mei Li...!" "Kiang Bwe...!" Kedua orang wanita cantik itu saling rangkul dan saling mencium pipi. Ketika mencium pipi Kiang Bwe inilah Mei Li melihat mata yang merah itu dan ada bekas air mata di pipinya. "Mei Li, engkau...engkau baru menangis! Ada apakah" Di mana koko Souw Kian Bu...?"
Kiang Bwe merangkul, menahan isaknya. "Aku sedang bingung, Mei Li. Kebetulan engkau datang. Mari masuk, akan kuceritakan kepadamu. Ah, harap Sie-toako suka menunggu di sini dulu." Ia memerintahkan muridnya untuk mengeluarkan minuman dan hidangan. Dan ia menarik Mei Li masuk ke dalam rumah. Mei Li memberi isarat kedipan mata kepada suaminya, agar suaminya maklum bahwa ada "urusan perempuan" yang perlu dibicarakan mereka berdua. Sia Kwan Lee mengangguk dan tersenyum.
Setelah tiba di ruangan dalam di mana tidak ada siapa-siapa kecuali mereka berdua, Mei Li dengan tidak sabar bertanya. "Kiang Bwe, apakah yang telah terjadi?" "Duduklah, Mei Li, biarkan aku mengambil napas dulu. Hatiku sesak dan tertekan sejak tadi. Ketahuilah, baru beberapa jam yang lalu suamiku, pergi meninggalkan dalam keadaan marah."
"Ehhh..." Rasanya tidak mungkin Bu-koko segalak itu. Setahuku, Bu-koko orangnya periang dan sabar. Ada peristiwa apakah, Kiang Bwe?" "Mula-mula suhengku datang dan Bu-koko berada di sawah. Kami girang sekali dengan pertemuan itu, karena semenjak aku meninggalkan subo, kami tidak pernah saling jumpa. Aku dan suhengku itu sudah seperti saudara saja sehingga pembicaraan kami akrab sekali. Kemudian suamiku datang dan melihat aku bicara akrab dengan suhengku, suamiku menjadi marah-marah dan pergi meninggalkan aku."
"Ah, sukar dipercaya. Kakakku itu tidaklah semudah itu marah dan...agaknya dia cemburu. Akan tetapi kalau dia tahu bahwa pria itu suhengmu, tidak semestinya dia cemburu."
Kiang Bwe menghela napas panjang. "Bukan salah dia, Mei Li, akan tetapi kesalahannya terletak kepadaku."
Mei Li mengerutkan alisnya. "Apa" Maksudmu engkau....dan suhengmu itu...." "Ihh, jangan menduga yang bukan-bukan, Mei Li. Saudaramu itu sejak pernikahan kami memang sudah menaruh cemburu kepadaku. Perasaan itu agaknya dipendamnya selama ini dan meledak ketika melihat aku bicara akrab dengan suheng."
"Akan tetapi mengapa cemburu sejak menikah, Kiang Bwe" Tentu ada sebabnya."
"Memang ada sebabnya, yaitu....pada malam pengantin yang pertama itu....dia....dia mengakui bahwa keperawananku sudah hilang."
Mei Li melompat berdiri dan mukanya merah ketika ia menatap wajah Kiang Bwe. "Kiang Bwe, apa maksudmu" Kau maksudkan bahwa engkau....engkau...sudah...." "Ya, Mei Li, akan tetapi jangan salah sangka seperti kakakmu itu. Aku sudah jelaskan kepadanya, bahkan bersumpah di depan makam ayahku yang menjadi saksi satu-satunya bahwa peristiwa itu terjadi karena ayah memaksaku untuk berlatih tendangan berantai. Latihan itu terlalu keras sehingga aku terjatuh dan terjadi pendarahan. Bu-koko sudah dapat menerima alasan ini dan selama ini agaknya dia sudah tidak mengingatnya lagi. Akan tetapi, ketika dia melihat aku bercakap-cakap dengan suheng dan kelihatan akrab, agaknya cemburu itu muncul lagi dan dia....dia marah-marah dan pergi...."Kiang Bwe menangis lagi.
Mei Li mengangguk-angguk. Mengertilah ia kini dan ia tidak terlalu menyalahkan kakaknya walaupun Kiang Bwe juga tidak bersalah. Salah satu pengertian yang rumit akibat cemburu buta. Melihat Kiang Bwe menangis sedih, Mei Li maklum bahwa wanita ini amat mencita suaminya dan ini merupakan pertanda baik baginya.
"Dan suhengmu itu, di mana dia?" tanyanya. "Suheng Gu San Ki juga melihat kepergian dan kemarahan suamiku, ketika aku menjelaskan kepadanya, dia merasa bertanggung-jawab dan bersalah. Diapun pergi dan berjanji akan mengembalikan suamiku kepadaku."
Mei Li menghela napas panjang. "Sungguh mati tidak kusangka ada peristiwa seperti ini di sini. Sedangkan aku datang inipun hendak menceritakan peristiwa gawat yang terjadi pada Beng Kauw.
Kiang Bwe seperti melupakan keadaannya sendiri. Ia berhenti menangis dan mengusap air matanya, memandang kepada Mei Li penuh perhatian dan ketika bertanya, ia sudah tidak menangis lagi. "Mei Li, peristiwa gawat apakah yang menimpa engkau dan suamimu?"
"Bagaimana kalau kita ajak suamiku untuk bicara sekarang" Masalahmu sudah kaubicarakan dengan aku dan aku berjanji kalau bertemu dengan Bu-koko aku akan membujuknya dan menjelaskan kepadanya bahwa cemburunya itu cemburu buta. Kita bicarakan soal Beng-kauw sekarang, bersama suamiku."
"Baiklah, Mei Li, mari kita bicara di ruangan belakang dan kita persilakan suamimu masuk." Dua orang wanita muda itu lalu mengundang Sie Kwan Lee menuju ke ruangan belakang di mana mereka bercakap-cakap tanpa diganggu orang lain.
"Nah, sekarang ceritakan a pa yang telah terjadi di Beng-kauw," kata Kiang Bwe setelah suami isteri itu mengambil tempat duduk. "Sepanjang yang kudengar, kalian telah berhasil membawa Beng-kauw maju pesat dan membersihkan nama Beng-kauw. Kenapa kalian bilang terjadi hal yang gawat?"
"Kami telah diserbu oleh Kui-jiauw Lo-mo dan Pek-bin Mo-ong," kata Mei Li. Kiang Bwe membelalakkan matanya. "Apa" Dua ekor kutu busuk itu masih berani membikin ribut" Hemm, mereka itu memang lihai akan tetapi bukankah mereka telah kalah ketika terjadi penyerbuan di Hoat-kauw?"
"Mereka berdua datang dan bermaksud untuk membalas dendam atas kematian Tong Seng Gun, cucu dari Kui-jiauw Lo-mo. Akan tetapi kami dapat mengusir mereka dengan kekuatan kami berdua dan para pembantu kami. Mereka dapat diusir dan kami hanya menderita beberapa orang anggota kami terluka," kata Sie Kwan Lee.
Kiang Bwe mengangguk. "Ah, untuk membalas dendam atas kematian Tong Seng Gun yang tewas di tangan Sie Pangcu! Sungguh orang tidak tahu malu. Cucunya yang sesat dan jahat, masih hendak dibalaskan kematiannya. Orang macam Tong Seng Gun, biar mati seratus kali juga masih belum sepadan dengan dosa-dosanya."
"Orang-orang sesat seperti mereka itu bagaimana mungkin dapat menghentikan atau mengubah watak mereka yang buruk" Mereka sudah menjadi budak nafsu dan sampai matipun agaknya akan tetap menjadi budak nafsu," kata Mei Li.
"Lalu sekarang ke mana kalian hendak pergi?" tanya Kiang Bwe. Yang menjawab adalah Sie Kwan Lee. "Kami hendak merantau, mengunjungi partai-partai persilatan besar u ntuk mendengar bagaimana sikap tanggapan mereka terhadap Beng-kauw. Kami khawatir kalau orang-orang seperti Sam Mopong akan menggunakan siasat, memburuk-burukkan nama baik Bengkauw.
"Kalau bertemu dengan Sam Mo-ong dan hendak menyerang mereka, kabarkan kepadaku. Aku tentu akan membantu kalian sekuat tenagaku," kata ketua Kim-kokpang itu penuh semangat.
"Kalau kebetulan kita bertemu mereka tentu akan kami tentang mereka. Di manamana tentu terdapat orang gagah yang akan membantu kita menentang Sam Mo-ong. Kami pergi untuk mengadakan hubungan yang lebih erat dengan partai-patai lain setelah nama Beng-kauw dibersihkan. Juga, selagi kami belum mepunyai anak sehingga dapat lebih leluasa mengadakan perjalanan," kata Mei Li.
"Mungkin akupun tidak akan lama tinggal di rumah," Kiang Bwe mengeluh. "Kalau dalam waktu beberapa pekan ini suamiku belum juga pulang. Aku akan mencarinya sampai dapat!" Kiang Bwe menahan tangisnya yang sudah berada di ujung bibirnya sehingga bibir itu gemetar.
"Aku yakin bahwa Bu-koko pasti akan pulang, Kiang Bwe. Aku tahu betul wataknya. Dia bukan seorang yang kejam dan tidak dapat menyadari kesalahannya." Suami isteri Beng-kauw itu tinggal selama tiga hari di Kim-kok-pang, kemudiann mereka melanjutkan perjalanan dan meninggalkan Kiang Bwe yang masih tenggelam ke dalam kesedihan karena kepergian suaminya tercinta.
Han Lin memasuki hutan di lereng bukit itu dengan sikap waspada. Dia merasa betapa hutan yang lebat itu amat gawat. Pantasnya hutan lebat itu dihuni setan dan iblis. Seorang petani yang dia tanyai jalan memperingatkan agar dia tidak mengambil jalan melalui hutan itu, melainkan memutar dan mengelilingi bukit, akan tetapi jalan terdekat adalah melalui hutan yang merupakan jalan pintas. Kalau dia melalui hutan itu, dalam waktu setengah hari dia akan sampai di Souw-ciu, sedangkan kalau memutari bukit, makan waktu sehari.
"Jarang ada yang berani melalui hutan itu, orang muda. Banyak binatang buas, ular-ulat besar dan kabarnya semua pelarian dan buruan pemerintah, penjahatpenjahat kejam, selalu menyembunyikan diri ke dalam hutan itu dan sukar ditemukan lagi."
"Paman, perampok atau orang jahat hanya mengincar harta, kalau aku tidak mempunyai apa-apa, tentu tidak akan diganggu," kata Han Lin dan pagi itu diapun memasuki hutan dengan sikap waspada.
Dua jam kemudian dia tiba di tengah hutan yang lebat. Memang ada beberapa ekor binatang hutan, akan tetapi mereka tidak mengganggunya, bahkan mereka berlarian ketika dia muncul.
Akan tetapi mendadak dia mencurahkan perhatian dan waspada. Di sebelah depan ada gerakan-gerakan yang bukan gerakan binatang. Dia berhenti melangkah dan benar saja, dari balik rumpun belukar dan pohon-pohon besar, bahkan dari atas pohon, berlompatan lima belas orang yang mengenakan pakaian hitam dan mereka semua memegang senjata. Ada yang memegang golok, pedang atau tombak, sikap mereka mengancam dan mereka segera bergerak mengepungnya.
Han Lin berdiri tenang dan penuh kewaspadaan namun sikapnya santai saja seolah tidak mengerti akan ancaman orang-orang itu. Setelah melihat seorang yang berkumis dan berjenggot lebat, bertubuh tinggi besar berdiri di depannya, dia tahu bahwa itulah kepala gerombolan itu, maka dia bertanya dengan lagak bodoh. "Saudara-saudara, selamat pagi. Kalian hendak ke manakah dan harap memberi jalan kepadaku."
Semua orang tertawa seolah ucapan pemuda itu terdengar lucu dan si kumis tebal membentak. "Orang muda, serahkan semua milikmu kalau engkau tidak ingin kami bunuh!" Si kumis tebal itu mengamangkan golok besarnya yang berkilauan saking tajamnya.
Han Lin bersikap tenang dan seperti orang bingung dia bertanya. "Saudara-saudara ini minta milikku! Milikku hanya pakaian tua, tidak ada harganya. Harap jangan mengganggu seorang miskin seperti aku. Lihat aku hanya mempunyai pakaian tua dan tongkat butut ini."
"Hoa-ha-ha-ha!" Si kumis tebal tertawa, mulutnya terbuka lebar dan bau dari mulutnya memuakkan menyergap hidung Han Lin sehingga dia terpaksa mundur dua langkah. "Orang muda, jangan berlagak tolol. Yang kami maksudkan, serahkan pedang di dalam buntalan itu!"
"Pedang...?" Han Lin masih berlagak tolol untuk memancing sampai di mana pengetahuan orang itu tentang Ang-in Po-kiam.
"Jangan berlagak bodoh. Pedang Awan Merah di punggungmu itu, serahkan kepada kami untuk ditukar dengan nyawamu." Han Lin tidak merasa heran. Setelah dia memperlihatkan pedang di dalam pertemuan Cin-ling-pai itu tentu saja beritanya sudah tersiar luas dan dia tahu bahwa dia menghadapi bahaya karena banyak tentu berlumba untuk mendapatkan pedang itu. Ada yang memang ingin memilikinya, dan ada yang ingin memperoleh hadiah besar dan kedudukan dari kaisar.
"Ah, itu yang kau maksudkan" Tidak semudah itu, kawan. Sebaiknya kalian mundur saja karena aku tidak suka kalau harus terpaksa memberi hajaran kepada kalian." Kini dia melintangkan tongkat bututnya di depan dada.
Si kumis tebal lalu memberi aba-aba kepada teman-temannya yang serentak menyerbu kepada Han Lin. Banyak golok, pedang dan tombak meluncur ke arah tubuhnya. Han Lin menggerakkan tongkatnya dan....angin badai bertiup menyambut lima belas orang itu. Begitu tongkat digerakkan maka berpelantinganlah lima belas orang itu, ada yang terjengkang, ada yang tersungkur, ada yang terpelanting dan mereka semua mengaduh-aduh. Ada yang kepalanya benjol, ada yang giginya rontok, hidungnya berdarah, salah urat atau patah tulang. Setelah semua orang roboh dalam waktu singkat sekali, Han Lin menghentikan gerakkan tongkatnya.
"Kalian perampok-perampok cilik hanya mengganggu orang tidak bersalah. Sekali ini aku mengampunimu, akan tetapi lain kali jangan harap aku akan mau melepaskan kalian!" katanya sambil menggerakkan tongkat bututnya dan datanglah angin besar seperti angin topan yang merontokkan daun-daun dari pohon di sekitar tempat itu. Melihat ini, para perampok itu menanti perintah, melarikan diri cerai-berai ke empat jurusan.
Han Lin melanjutkan perjalanan dan setelah matahari mulai condong ke barat, tibalah dia di luar kota Souw-ciu. Dia tidak mau segera memasuki kota karena dia menduga bahwa tentu banyak tokoh kang-ouw golongan hitam yang akan menghadangnya dan sudah menantinya di sana. Dia tidak ingin menimbulkan keributan di dalam kota dan memilih sebuah kuil tua yang berdiri di luar kota itu.
Tadinya dia mengira bahwa kuil itu kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi. Akan tetapi dia memasukinya, ternyata tiga orang hwesio penjaga kuil yang menyambutnya dengan sopan akan tetapi mereka itu lebih banyak berdiam diri.
"Maafkan kalau saya mengganggu, Sam-wi lo-suhu (tiga pendeta tua), saya bermaksud untuk bermalam di sini semalam kalau sam-wi tidak berkeberatan."
"Silakan, sicu. Akan tetapi di sini tidak ada makanan enak, hanya nasi dan sayur sederhana saja," kata hwesio tertua yang usianya sekitar enam puluh lima tahun.
"Terima kasih, lo-suhu. Nasi dan sayur sederhana amat lezat bagi perut yang lapar," kata Han Lin.
"Omitohud, silahkan, sicu. Sicu boleh menempati kamar itu." Kamar itu kotor, hanya ada sebuah dipan. Lantainya nampaknya baru saja dibersihkan dan temboknya sudah penuh lumut. Juga keadaan di ruangan lain kuil itu menunjukkan bahwa kuil itu memang tidak terawat.
Han Lin memasuki kamarnya dan menaruh buntalan pakaian dia atas dipan karena di situ tidak ada meja. Dia mendengar hwesio tua tadi membaca lian-keng (doa) sambil mengetuk-ngetuk kayu yang terdengar berirama.
Setelah hari mulai gelap, seorang hwesio mempersilakan Han Lin, untuk mandi. Bak mandi berada di belakang dan sudah terisi air, kata hwesio itu. Han Lin merasa tidak enak kalau dia harus merepotkan para hwesio di situ. Dia lalu menggendong buntalan pakaiannya, di dalam mana terdapat Pedang Awan Merah, lalu dia menjenguk ke tempat mandi. Ada tiga buah bak besar di situ, sudah terisi penuh dua bak, sedangkan yang satu bak lagi masih kosong. Dia bertanya kepada hwesio itu di mana sumber airnya dan setelah diberitahu, dia lalu memikul pikulan dua buah tempat air dari sumber air. Dengan cepat dia dapat memenuhi satu bak yang kosong, barulah dia mandi. Terasa segar dan sejuk sekali, rasa lelah seperti tercuci bersih bersama debu yang mengotori tubuh dan pakaiannya.
"Sicu, silakan makan," kata hwesio tadi. Diapun mengikuti hwesio itu pergi ke ruangan tengah di mana tiga orang hwesio itu lalu menghadapi meja makan. Han Lin waspada, khawatir kalau-kalau para hwesio itu orang jahat, yang menyamar dan akan meracuninya.
Akan tetapi mereka mengambil nasi dan lauk sayur sederhana dari tempat yang sama. Dia tidak takut diracuni karena tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi di dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang berbahaya sekali dan siapa tahu ada racun yang akan menembus kekebalannya.
Setelah melihat mereka makan dari nasi dan sayur yang sama, Han Lin lalu makan dan ternyata memang benar. Perut kosong ditambah kelelahan yang sudah diusir oleh mandi yang menyegarkan badan merupakan lauk yang paling lezat. Nasi biasa saja terasa amat harum dan gurih, apa lagi ditambah sayur.
Han Lin berterima kasih sekali kepada tiga orang hwesio itu, bukan saja karena dia memperoleh makanan dan dapat membersihkan tubuh lalu akan memberi tempat melewatkan malam, akan tetapi terutama sekali karena mereka itu membuktikan bahwa mereka bukanlah komplotan yang akan mengganggunya atau mengincar pedangnya.
Han Lin malam itu tidur dengan hati tenang. Dia menaruh buntalan pakaiannya dekat kepalanya, bahkan menggunakan pakaiannya untuk ganjal kepala. Dia tertidur pulas dan lewat tengah malam, tanpa diketahuinya, ada asap yang memasuki kamarnya lewat jendela! Asap itu menghitam dan tebal. Kemudian, tibatiba terdengar gembreng dan kaleng dipukul orang dengan gencar di luar pintu dan jendela kamar itu, menimbulkan suara yang berisik sekali.
Han Lin terkejut, terbangun dari tidurnya dan pada saat dia meloncat dari dipan, diselubungi asap hitam tebal, dia mendengar sambaran angin dan cepat dia menggerakkan kedua tangan, mengerahkan sin-kang dan memukul dengan hawa dari tenaga saktinya. Runtuhlah anak panah dan piauw yang menyambar dari segala penjuru itu. Akan tetapi sambaran senjata rahasia kian gencar sehingga Han Lin meraba tongkatnya yang berada di pembaringan, lalu memutar tongkatnya sambil melompat ke arah jendela dari mana masuk asap hitam itu.
"Brakkkk....!" Daun pintu itu jebol dan tongkatnya meluncur mengenai dada seorang yang memegang bambu yang dipakai untuk menyemprotkan asap hitam itu.
"Aduhh....!" Orang itu terjengkang dan dari sinar lampu yang tergantung di luar, ternyata bahwa orang itu adalah hwesio kepala yang baik hati tadi. Dari kanan kiri menyambar senjata golok. Gerakan dua golok itu cukup kuat sehingga Han Lin cepat melompat mundur untuk melihat siapa pengeroyoknya itu. Ternyata dua orang hwesioi yang lain! Tahulah ia bahwa tiga orang hwesio itu memang penjahat yang menyamar seperti yang dikhawatirkannya. Agaknya tadi mereka memang tidak memperlihatkan rahasia mereka sehingga Han Lin percaya penuh dan tidur nyenyak. Setelah mengetahui bahwa mereka adalah tiga orang hwesio tadi, Han Lin menggerakkan tongkatnya dua kali dan dua orang hwesio yang bersenjata golok itupun roboh.
Dia teringat akan buntalan pakaiannya. Selagi dia hendak melompat masuk kembali tiba-tiba ada serangan yang demikian hebat sehingga terpaksa dia melompat mundur lagi. Serangan itu merupakan angin dingin menyusup tulang dan tenaganya hebat bukan main. Begitu dia melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari pukulan jarak jauh yang dahsyat itu, kembali dari kirinya menyambar pukulan yang amat panas.
"Sam Mo-ong...!" serunya kaget dan dia tahu bahwa orang-orang yang dapat menyerang seperti itu hanyalah Hek bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong. Maka dia bersikap waspada karena cuaca amat gelapnya, dan setelah dia dapat mengelak dari dua pukulan itu, dia lalu memutar tongkatnya melindungi dirinya. Nampak bayangan banyak orang berkelebat dan mencoba menyerangnya dari kegelapan. Han Lin menggerakkan tongkatnya, memukul roboh beberapa orang dan tiba-tiba saja semua bayangan itu lenyap dalam kegelapan malam. Juga Hek bin Mo-ong dan Pek-bin Moong tidak nampak lagi.
Dengan gelisah Han Lin lalu melompat ke dalam kamarnya yang masih penuh asap itu melalui jendela. Dia menghampiri dipan, meraba-raba dan......buntalan pakaiannya telah lenyap tanpa bekas!
Han Lin terkejut. Setelah yakin bahwa buntalan pakaian berikut Pedang Awan Merah telah lenyap, dia marah sekali. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya berkelebat keluar. Akan tetapi setibanya di luar keadaan sunyi saja tidak nampak seorangpun manusia atau sesosokpun bayangan. Para hwesio dan beberapa orang yang dirobohkan tadipun sudah lenyap. Dia tahu bahwa dia telah terjebak, dipancing keluar dan pedangnya diambil orang.
"Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong pengecut curang!" teriaknya dengan suara yang menggetar dan bergema di seluruh hutan. "Sam Mo-ong, kembalikan pedangku dan kalau kalian memang gagah, hayo keluar dan kita bertanding secara gagah!"
Percuma saja dia berteriak-teriak sampai tenggorakannya serak. Yang menjawabnya hanya gema suaranya sendiri. Dengan lampu gantung di tangan, dia memeriksa seluruh kuil. Dan ternyata itu memang kuil kosong yang dipakai untuk menjebaknya. Dengan mendongkol sekali terpaksa dia melewatkan malam di kamarnya yang tadi, karena tidak mungkin mengejar atau melakukan pencarian di hutan pada malam yang gelap pekat itu.
Pada keesokan harinya, setelah terang tanah, dia keluar dari kuil dan alangkah dongkolnya melihat buntalan pakaiannya tergantung di ranting sebatang pohon di luar kuil, tentu saja pedangnya sudah tidak berada di dalam buntalan.
"Jahanam busuk, bedebah pengecut!" makinya dengan gemas, gemas kepada diri sendiri yang begitu mudah percaya kepada tiga orang hwesio, mudah begitu saja ditipu musuh sehingga pedang pusaka itu lenyap. Akan tetapi kemana dia harus mencari" Sudah dapat dipastikan bahwa serangan semalam itu dilakukan oleh Hekbin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong. Akan tetapi apakah yang lain itu anak buahnya, ataukah golongan lain" Dan yang mencuri pedangnya itu Sam Mo-ong ataukah orang lain" Dia tidak merasa heran kalau Sam Mo-ong mengetahui bahwa Ang-in Po-kiam berada di tangannya. Pertama, dahulu Sam Mo-ong juga hadir ketika Hoat-kauw diserbu pasukan dan kedua, tokoh Hoat0kauw yang hadir di pertemuan Cin-ling0pai itu tentu menceritakan segalanya kepada Sam Mo-ong.
Dengan langkah gontai karena hatinya merasa kecewa dan gelisah, Han Lin keluar dari hutan lebat hendak melanjutkan perjalanan ke Souw-ciu. Kemana lagi mencari jejak Sam Mo-ong kalau tidak ke Souw-ciu. Kota itu merupakan kota terdekat dan kiranya para datuk itu tentu pergi ke sana sebelum melanjutkan perjalanan entah ke mana.
Ketika sudah berada di dekat kota Souw-ciu, mendadak terdengar derap kaki kuda di belakangnya. Han Lin yang sedang murung tidak memperdulikan ini, hanya melangkah ke pinggir. Seekor kuda putih yang besar dan kuat lewat dengan cepat, dan penunggangnya adalah seorang wanita muda yang pakaiannya ringkas berwarna hijau, rambutnya riap riapan tertiup angin dan ketika lewat dekat Han Lin, pemuda ini mencium keharuman yang menyengat hidung.
Dia menjadi tertarik dan memperhatikan wanita itu. Tubuhnya ramping sekali dan melihat ia duduk di atas kuda yang membalap itu dengan enaknya, serasi dengan gerakan kuda sehingga seolah kuda yang mahir sekali, pikirnya.
Akan tetapi, mendadak kuda itu berhenti, mengangkat kedua kaki depan dan memutar tubuh. Sepasang mata yang seperti mata burung Hong itu menatapnya dan kuda itupun dijalankan kembali menghampirinya.
Han Lin bersikap tenang akan tetapi hatinya merasa tegang juga. Gadis jelita ini jelas menghampirinya dan setelah kini menghadapnya, dia melihat betapa jelitanya gadis itu. Gadis itu kelihatannya baru berusia dua puluh tahun akan tetapi pembawaannya sudah matang betul, pinggang ramping, pinggul besar dan tubuh itu memiliki lengkung lekuk yang menantang. Wajahnya bulat telur dan kulit mukanya putih kemerahan, dengan rambut hitam panjang terurai, alisnya kecil hitam panjang melengkung, matanya indah seperti mata burung Hong, hidung mancung dan mulutnya mendebarkan hati Han Lin. Entah mana yang lebih indah. Matanya atau mulutnya karena kedua bagian muka ini yang memiliki daya tarik luar biasa. Dagunya runcing dihiasi tahi lalat hitam. Pendeknya seorang gadis yang cantik jelita dan pakaiannya yang berwarna hijau itu ketat dan ringkas mencetak tubuhnya. Di punggungnya tergantung sepasang pedang.
Kuda itu berhenti tepat di depan Han Lin, membuat Han Lin terpaksa menahan langkahnya dan memandang dengan mata bertanya.
Gadis itu melompat turun, gerakannya ringan seperti seekor burung dan ia melepas kudanya begitu saja. Tentu seekor kuda yang sudah terlatih dengan baik. Melihat gadis yang jelas menghadangnya itu, Han Lin yang sedang murung menjadi jengkel. "Nona, apa maksudmu menghadang perjalananku?" tanyanya. Kalau dia tidak sedang murung, tentu sukar bersikap dingin terhadap seorang gadis sejelita ini. akan tetapi dia sedang marah dan jengkel.
"Sia Han Lin, tak perlu banyak cakap lagi. Serahkan Ang-in Po-kiam kepadaku!" kata wanita itu dan cara bicaranya sungguh angkuh sekali. Mendengar ucapan ini, kemarahan hati Han Lin berubah menjadi kegelian hati dan dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha....alangkah lucunya!" Tentu saja gadis itu mengerutkan alisnya dan membentak. "Tidak perlu membadut di sini. Cepat serahkan pedang pusaka di buntalanmu itu atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan.
Buntalan pakaianku ini" Engkau menghendaki ini?" Perlahan-lahan Han Lin menurunkan buntalannya lalu melemparkannya ke arah gadis itu sambil berseru, "Nah, makanlah buntalan ini!"
Karena sedang jengkel, mendengar wanita itu hendak merampas pedang yang sudah dicuri orang, Han Lin sengaja mengerahkan tenaganya ketika melemparkan buntalan pakaiannya ke arah gadis itu.
Wanita baju hijau itu dengan sigap menjulurkan tangan kiri menyambut dan dengan mudahnya ia menerima lemparan buntalan pakaian itu. Diam-diam Han Lin terkejut. Lemparannya mengandung tenaga sin-kang yang cukup kuat, akan tetapi gadis itu menerimanya begitu mudah. Ini hanya membuktikan bahwa gadis ini bukan orang sembarangan dan sudah memiliki tenaga sin-kang yang kuat sekali.
Setelah menerima buntalan itu dan menekan-nekannya, gadis itu maklum bahwa di dalamnya tidak terdapat pedang, maka ia melontarkan buntalan kembali kepada Han Lin. "Terimalah kembali barangmu!"
Han Lin menjulurkan tangan menangkap dan terasa olehnya betapa kuatnya tenaga lontaran itu. "Hemm, kukira engkau menghendaki pakaianku," dia mengejek.
"Sobat, tidak baik bermain-main di depan Jeng I Sianli (Dewi Baju Hijau) Cu Leng Si. Aku menghendaki Pedang Awan Merah. Hayo serahkan kepadaku!" "Nama yang bagus, Cu Leng Si dan julukannya juga bagus, Dewi Baju Hijau, akan tetapi wataknya jauh dari pada bagus. Seorang gadis cantik jelita ingin merampok, mana patut?"
"Sudahlah, jangan banyak cerewet. Aku membutuhkan pedang itu, dan pedang itupun bukan milikmu. Di mana kau sembunyikan pedang pusaka itu?" "Hemm, Cu Leng Si, dalam hal rampok-merampok atau curi-mencuri agaknya engkau masih harus belajar banyak. Engkau telah didahulu orang lain. Pedang itu semalam telah dicuri oleh Sam Mo-ong, sedangkan aku juga sedang mencari mereka, engkau malah muncul untuk merampoknya dariku. Ha-ha, bukanlah itu lucu sekali?"
Gadis itu mengerutkan alisnya yang hitam panjang melengkung seperti dilukis itu. Matanya yang seindah mata burung Hong kini mencorong seperti mata naga. "Aku tidak percaya! Jangan menggunakan nama Sam Mo-ong, aku tidak takut kepada mereka. Sia Han Lin, kuhitung sampai tiga, kalau engkau belum juga menyerahkan Ang-in Po-kiam kepadaku, jangan salahkan aku kalau pedangku akan memenggal lehermu!" Sing-sing....!" Nampak dua sinar berkelebat dan tahu-tahu kedua tangan wanita itu sudah memegang masing-masing sebatang pedang yabg berkilauan saking tajamnya.
"Cu Leng Si, engkau sudah memiliki dua batang pedang yang baik, mengapa masih menghendaki Ang-in Po-kiam" Alangkah murka engkau. Engkau tidak percaya atau percaya kepadaku, terserah. Kenyataannya, pedang itu dicuri Sam Mo-ong semalam, ketika aku bermalam di kuil tua itu!"
"Bohong! Sekali lagi, aku mulai menghitung, satu...dua...tiga..!" Dan sinar pedang itu mencuat, menyambar ke arah leher Han Lin dengan kecepatan kilat. "....empat...lima...enam...tujuh..." Han Lin mengelak dan melanjutkan hitungan gadis itu yang berhenti sampai tiga. "Wah, engkau sungguh ganas dan kejam sekali, Jeng! Sianli. Tidak cocok dengan julukanmu. Engkau memakai julukan Sianli (Dewi) akan tetapi engkau galak seperti kuntilanak!"
"Kuntilanak" Kau....kau....!" Dan kini Jeng I Sianli Cu Leng Si mengamuk. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar ganas. Kalau tadi ia hanya ingin menggertak saja agar Han Lin menyerahkan pedang pusaka, kini ia menyerang dengan siang-kaimnya untuk membunuh!
Han Lin kagum. Ilmu siang-kiam dari gadis ini hebat bukan main, mengingatkan dia kepada adik misannya Yang Mei Li yang dijuluki orang Hui-kiam Sian-Li (Dewi Pedang Terbang). Yang Mei Li juga menggunakan sepasang pedang terbang yang gerakannya hebat bahkan sepasang pedang itu dapat "diterbangkan" dengan dikendalikan tali sutera panjang.
Melihat pedang menyambar cepat diapun meloncat ke belakang untuk mengelak. Ketika pedang kedua menyusulkan serangan yang lebih ganas, Han Li menggerakkan tongkatnya menangkis.
"Trangggg...!" Keduanya kagum. Jeng I Sianli merasa betapa tangannya tergetar, demikian pula Han Lin. Dan wanita itu tidak lama tertegun, sudah menerjang lagi dengan tusukan dan bacokan pedangnya. Tongkat itu berputar cepat, menangkis dan balas menyerang. Ketika sepasang pedang bergerak semakin hebat dan nampak dua gulungan sinar kehijauan, Han Lin tidak ragu lagi untuk mengeluarkan kepandaiannya. Gadis ini memang lihai, tidak kalah dibandingkan dengan seorang di antara Sam Mo-ong sekalipun! Maka dia lalu memainkan Tongkat Kilat dan Badai. Angin besar menyambar-nyambar dan membuat baju hijau itu berkibar. Dan rambut hitam panjang yang hanya diikat dengan sutera merah, berkibar-kibar seperti bendera hitam.
Jeng I Sianli Cu Leng Si mengeluarkan teriakan melengking. Ia merasa kagum dan juga penasaran sekali. Sepasang pedangnya mengamuk seperti gelombang samudera. Han Lin merasa gembira mendapat lawan yang demikian tangguh. Dia mengubah gerakannya lagi dan mainkan tongkatnya dengan Khong-khi-ciang. Tongkat itu kini menyambar-nyambar tanpa mendatangkan angin pukulan sama sekali, tahu-tahu sudah mendekati sasaran dan mengancam jalan darah penting sehingga beberapa kali Cu Leng Si menjerit kaget. Namun gadis itu ternyata mampu menghindarkan semua serangan Han Lin.
Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan bunyi seperti suling melengking-lengking dan dari balik belukar dan pohon-pohon di tepi jalan, belasan orang berlompatan dari atas kuda mereka dan mengepung Han Lin. Mereka semua adalah wanita-wanita yang berusia dari dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun dan melihat gerakan mereka ternyata semua wanita itu gesit dan dapat bergerak cepat sekali!
Han Lin terheran-heran akan tetapi dia harus memutar tongkatnya karena belasan orang wanita itu sudah menggerakkan jala sutera yang menyerang dari berbagai jurusan, ditambah lagi serangan sepasang pedang Dewi Baju Hijau sendiri.
Betapapun lihainya Han Lin, kalau dia tidak mau melukai atau membunuh para pengeroyoknya, tentu saja dia terdesak hebat. Kalau dia mau bertindak kejam, merobohkan para pengeroyoknya, kiranya tak mungkin Jeng I Sianli dan lima belas orang anak buahnya itu akan mampu menangkapnya. Akan tetapi Han Lin merasa yakin bahwa mereka itu bukan orang-orang jahat, biarpun ilmu silat mereka hebat dan sikap mereka untuk menangkapnya. Beberapak helai jala untuk menimpanya dan dia seperti seekor ikan besar dalam jala, meronta akan tetapi tidak mampu keluar lagi. Tongkatnya bukan senjata tajam, tidak dapat membobol jala sutera yang kuat itu.
Sebuah totokan dari Jeng I Sianli yang istimewa telah membuat tubuh Han Lin menjadi lemas. Wanita itu lalu mengikatnya dalam gulungan jalan bersama tongkatnya.
"Kalian pergilah, pulang lebih dulu dan persiapkan kamar tahanan untuk orang ini!" katanya kepada belasan orang wanita itu yang segera menunggangi kuda mereka dan lenyap ke dalam hutan di tepi jalan.
Cu Leng Si menghampiri Han Lin yang tak mampu bergerak, meringkuk di dalam jalan. "Nah, sekarang engkau sudah menjadi tawananku. Cepat katakan di mana Angin Po-kiam dan mungkin saja aku akan membebaskanmu!" katanya dengan ketus.
Totokan itu hanya membuat Han Lin tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Dia tertawa mengejek. "Ha-ha-ha, baru sekali ini aku melihat seorang dewi berhati kejam seperti kuntilanak. Kita belum pernah saling mengenal, belum pernah berurusan, tidak ada permusuhan. Kenapa engkau bersikap kejam kepadaku" Engkau bersikap pengecut mengeroyokku d engan belasan orang anak buahmu. Jeng I Sianli Cu Leng Si, apakah engkau tidak malu ditertawakan orang sedunia?"
"Sia Han Lin manusia sombong. Engkaulah yang membuat aku bersikap begini. Engkau keras kepala, tidak juga mau menyerahkan Ang-in Po-kiam kepadaku! Aku tidak akan sudi melepaskanmu selama engkau belum mengaku di mana pedang itu dan menyerahkan kepadaku!"
Ia meloncat ke atas kudanya dan memegang tali jala, kemudia ia menjalan kudanya dan menyeret tubuh Han Lin yang terbungkus jala itu. Tentu saja hal ini menyakitkan karena Han Lin tidak mampu mengerahkan sin-kang untuk melindungi kulitnya yang terseret sehingga kulitnya lecet-lecet dan pakaiannya robek-robek.
"Mengakulah dan aku akan membebaskanmu!" kata Cu Leng Si.
"Kuntilanak, siluman rase, setan betina, apa yang harus kuakui?" bentak Han Lin marah karena dia me rasa dipermainkan dan dihina. "Bagus, engkau keras kepala ya" Cu Leng Si mempercepat langkah kudanya sehingga tubuh Han Lin, terseret-seret semakin cepat. Gadis itu mengambil jalan simpangan, tidak melalui jalan besar menuju ke kota Souw-ciu, melainkan mendaki sebuah bukit.
Untung bagi Han Lin bahwa rebahnya tadi telentang sehingga hanya tubuh bagian belakang saja yang babak bundas dan bajunya robek-robek. Buntalan pakaiannya tadi tergeser ke samping pundak ketika dia terseret.
Han Lin terpaksa diam saja dan hanya mengeraskan hatinya agar mulutnya jangan mengeluarkan rintihan. Melihat pemuda itu diam saja, Leng Si menghentikan kudanya dan menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat pemuda yang diseretnya itu rebah, telentang diam tak bergerak dengan mata terbalik dan lidah terjulur keluar.
"Celaka....!" teriaknya dan ia melompat turun dari atas kuda, menghampiri Han Lin dan berlutut di dekatnya. "Han Lin...! Han Lin....!" mengguncang tubuh yang nampaknya sekarat itu. Han Lin tetap tidak bergerak dan Leng Si segera menotoknya, melepaskan totokannya tadi dari balik jala.
Akan tetapi begitu totokannya terbebas, mendadak tangan Han Lin meraih dari dalam jala dan pergelangan tangan Leng Si sudah dipegangnya erat-erat!
"Nah, engkau menjadi tawananku sekarang!" katanya sambil tersenyum. Leng Si terkejut setengah mati. Dengan cepat direnggutnya tangan itu dan dengan tangan kanannya ia menotok lagi. Han Lin yang belum dapat bergerak leluasa di dalam jala terkena totokan lagi dan menjadi lemas kaki tangannya.
Leng Si meloncat berdiri, membanting-banting kaki saking gemasnya. Engkau menipuku, bedebah! Engkau patut dihajar!" Dan ia meloncat ke atas punggung kudanya lagi, kini menjalankan kudanya dengan cepat sehingga tubuh Han Lin terguncang-guncang dan terseret-seret!
Setelah lewat tiga li mereka memasuki hutan Leng Si menengok dan melihat pemuda itu telentang dan tersenyum-senyum saja, walaupun bajunya robek-robek dan kulitnya babak-bundas. Han Lin merasa tenang saja karena dia yakin bahwa wanita itu tidak bermaksud membunuhnya. Ketika tadi dia berpura-pura sekarat wanita itu merasa khawatir dan berusaha menolongnya. Wanita yang aneh, tidak jahat agaknya, akan tetapi hatinya keras seperti batu!"
Leng Si meloncat turun dari kudanya. Lalu ia melihat ke kanan kiri. Sambil menyeret tubuh Han Lin ia menghampiri pohon besar dan sekali loncat tubuhnya melayang naik sambil memegang ujung tali jala yang panjang. Kemudian ia melompat tutun setelah melibatkan tali jala itu dan dengan mengerahkan tenaganya, ia mengerek tubuh Han Lin ke adalam jala itu sehingga tubuh itu kini tergantung! Ia mengikatkan ujung teli jala ke batang pohon. Luar biasa sekali tali jala yang kecil itu, mampu menahan tubuh Han Lin.
Han Lin nampak seperti seekor ikan dalam jala yang digantung akan tetapi dia diam saja, hanya melirik dan mencoba untuk memandang wanita yang berada di bawah itu.
"Han Lin, engkau belum juga hendak mengaku di mana pedang itu kau sembunyikan?"
"Tidak ada gunanya. Mengakupun engkau tidak percaya. Lebih baik diam dan engkau boleh lakukan apa saja terhadap diriku!" "Kepala batu!" Leng Si memaki dan dengan muram ia lalu mengeluarkan anggur dan roti kering serta daging kering, lalu makan perlahan-lahan. Bau anggunr membuat jakun Han Lin turun naik, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa. Dia mengenang kembali rentetan peristiwa yang amat tidak menyenangkan hatinya. Mula-mula ditipu tiga orang hwesio, malamnya diserbu musuh dan Ang-in Po-kiam lenyap dicuri orang. Kemudian dia dihadang perampok dan akhirnya dapat ditawan oleh wanita ini. Dia belum tahu orang macam apa adanya Dewi Baju Hijau ini, dan apa maunya begitu bernapsu untuk mendapatkan Ang-in Po-kiam. Padahal wanita ini cantik jelita dan pembawaannya, menarik, halus lembut. Akan tetapi, dapat bersikap keras seperti baja, dan memiliki anak buah yang terlatih baik. Apakah seorang wanita yang demikian cantik jeliata ini termasuk seorang penjahat" Ilmu silatnya tinggi, kalau ia jahat sungguh merupakan hal yang patut disesalkan.
"Hemm, sayang...!" Ucapan hatinya itu tercetus keluar melalui mulutnya tanpa disengaja. "Apa kau bilang" Apanya yang sayang?" kata Leng Si yang selalu memperhatikan kalau-kalau pemuda itu mau mengaku di mana adanya pedang pusaka yang dicarinya itu.


Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sayang seribu sayang bahwa gadis secantik itu melakukan perbuatan yang demikian kejam, menyiksa orang yang tidak bersalah."
"Kalauu engkau tidak mau mengaku, aku akan dapat menggantungmu sampai mati di tempat ini!" kata Leng Si dengan gemas sekali. "Demi Tuhan, kenapa engkau sekejam itu?" Suara ini terdengar lembut dan disusul meluncurnya sinar perak yang menyambar ke arah tali sutera yang menggantung jala. Tali sutera disambar piauw perak (gin-piauw) itu dan Han Lin di dalam jala terjatuh ke atas tanah berdebuk.
Bagaikan seorang dewi yang turun dari kahyangan, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis lain, berpakaian sutera putih berkembang kuning. Kebetulan Han Lin menghadap kepada gadis itu dan dia terbelalak kagum. Seorang gadis cantik lain lagi. Lebih muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, akan tetapi wajahnya yang cantik itu, sikapnya yang lembut lemah gemulai itu, rambutnya yang digelung ke atas itu. Wah entah bagian mana yang terindah. Tubuhnya langsing pula, semampai dan wajahnya bersinar lembut, matanya begitu indah dan halus tatapannya, dengan bulu mata lentik, bibir yang selalu tersenyum ramah penuh kesabaran. Tiba-tiba Han Lin teringat akan patung Dewi Kwan Im yang pernah dilihatnya dalam kuil.
"Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im)...!" katanya di luar kesadarannya dan gadis berpakaian putih itu cepat menengok kepadanya. "Eh, engkau sudah mengenal aku?" Han Lin terbelalak. Jadi ini benar-benar bukan manusia" Benarkah seorang dewi. Dewi Kwan Im" Dia bengong saja dan tidak mampu menjawab.
Sementara itu Leng Si melangkah maju dan nampak marah sekali kepada wanita yang baru datang. "Sumoi, aku minta sekali ini engkau tidak mencampuri urusanku!" Gadis berpakaian putih itu tersenyum lebar dan menjawab penuh kesabaran. "Suci, selamanya aku belum pernah mencampuri urusanmu. Aku hanya memenuhi kewajiban seperti yang diberikan kepada ibu untuk kita berdua. Menentang kejahatan dan kekejaman, membela yang lemah dari penindasan. Katakan mengapa engkau memperlakukan orang ini sekejam itu?"
"Bukan urusanmu!" "Suci, aku tahu engkau bukan orang jahat, akan tetapi engkau keras hati dan tidak pernah mau menceritakan rahasiamu. Dengan sikapmu itu, engkau akan menemui banyak kesulitan, suci."
"Tidak perduli. Sumoi, sekali ini kuminta engkau pergi dan jangan mencampuri urusanku." "Aku tidak mau pergi kalau engkau belum menceritakan mengapa engkau menyiksa orang ini, suci. Lihat, dia luka-luka. Bahkan andaikata dia penjahat sekalipun, tidak semestinya engkau menyiksanya. Perbuatan itu sangat kejam dan kalau ibu tahu, tentu akan marah kepadamu."
"Jangan mencampuri urusan pribadiku!" Leng Si menjerit marah. "Akan kuapakan orang itu tidak ada sangkut pautnya denganmu. Pergilah!"
"Tidak, suci. Semua perbuatan kejam ada sangkut pautnya dengan aku, karena aku harus menentangnya!" "Sumoi, engkau hendak melawan aku" Ketahuilah, aku bukanlah Jeng I Sianli setahun yang lalu. Aku telah memperdalam ilmuku dan sekali ini mungkin pedangku akan mencelakanmu. Sebelum hal itu terjadi, sebaiknya engkau pergi saja."
"Membela kebenaran tidak boleh setengah-setengah, suci. Kalau perlu bahkan boleh dipertaruhkan dengan nyawa."
"Engkau akan mempertaruhkan nyawamu demi membela seorang yang tak kau kenal seperti dia itu?"
"Dia atau siapapun juga manusia yang perlu dibela kalau tidak bersalah dan terancam perlakuan kejam." "Cin Mei, engkau keterlaluan!" bentak Leng Si dan ia sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. "Engkau benar-benar hendak melawanku. Siapkan senjatamu!"
"Suci, apa gunanya ini" Aku hanya minta engkau menceritakan alasan perbuatanmu terhadap orang ini atau membebaskannya."
"Tutup mulut dan cabut senjatamu!" bentak pula Leng Si dengan marah. Gadis berpakaian putih itu menghela napas. "Engkau takkan dapat mengalahkan aku, suci."
"Singgg...!" pedang kiri Leng Si menyambar dahsyat dengan serangan pertamanya. Gadis bernama Lie Cin Mei itu menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke kanan, ke arah Han Lin dan sekali ia menggerakkan jari tangannya, totokan pada tubuh Han Lin telah terbebas!
Melihat ini, Jeng I Sianli Cu Leng Si terkejut dan juga maklum bahwa sekarang ia menghadapi bahaya. Baru melawan sumoinya saja belum tentu ia menang, apa lagi kini Han Lin yang ia sudah tahu kelihaiannya itu telah terbebas dari totokan. Kalau mereka maju berdua, dalam waktu singkat saja ia akan menderita kekalahan!
"Sumoi, engkau terlalu...!" katanya dengan isak tertahan dan sekali melompat, ia sudah berada di atas punggung kudanya yang dibalapkan lari meninggalkan tempat itu.
Cin Mei tidak memperdulikan lagi kepada sucinya. Ia membantu Han Lin keluar dari jala itu dan berkata lembut. "Rebahlah dulu, biar kuperiksa keadaanmu dan kuobati."
Han Lin merasa terharu oleh suara itu. Demikian lembut, demikian penuh kasih sayang seperti seorang ibu terhadap anaknya! Jari-jari tangan itu mulai memeriksa badannya, lecet-lecet di bagian tubuh belakangnya dan agaknya gadis itu hanya memperhatikan keadaan lukanya dan seperti tidak melihat bahwa dia setengah telanjang karena pakaian belakangnya robek-robek.
"Sukur kepada Tuhan...!" Gadis itu menghela napas panjang. "Engkau hanya luka lecet-lecet saja, tidak berbahaya. Aku mempunyai obat luka yang manjur sekali. Diamlah, kuobati akan tetapi agak perih rasanya." Dan ketika ia mengoleskan obat luka itu kepada bagian belakang tubuh Han Lin yang lecet-lecet, memang terasa perih sekali. Tentu saja Han Lin dapat menahan rasa nyeri seperti itu, namun dia mengaduh dan merintih sehingga gadis itu merasa kasihan dan dengan sentuhan lembut ia berusaha meringankan rasa nyeri itu.
"Cukup, dalam waktu beberapa jam saja luka-lukamu akan kering dan sembuh. Sekarang bergantilah pakaian sebelum kita bicara." Gadis itu bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya.
Han Lin merasa rikuh sekali, akan tetapi dia melihat bahwa gadis itu benar-benar membuang muka, sama sekali tidak melirik ke arahnya. Maka dia lalu meninggalkan celana dan baju yang bagian belakangnya terkoyak-koyak itu dan berganti dengan celana dan baju yang masih utuh dan bersih. Sampai dia selesai berpakaian gadis itu masih membalikkan diri membelakanginya. Gadis yang hebat, pikirnya kagum. Melampaui gadis-gadis yang pernah dijumpainya, baik dalam kecantikan maupun dalam sikap. Bahkan lebih anggun dibandingkan Dewi Pedang Terbang Yang Mei Li!
"Aku sudah berganti pakaian, nona, katanya. Gadis itu membalikkan tubuhnya dan begitu ia bertatap muka dengan Han Lin, pandang matanya menunjukkan keheranan dan pandang matanya menjelajahi tubuh Han Lin dari kepala sampai ke kaki. Ia memang keheranan karena baru sekarang ia melihat bahwa orang yang disiksa sucinya itu ternyata adalah seorang pemuda yang tampan sekali, yang menggendong buntalan pakaiannya dan memegang sebatang tongkat butut hitam.
"Apa yang akan kita bicarakan, nona?" tanya Han Lin melihat gadis itu, diam saja.
"Ohhh, aku akan membicarakan tentang suciku tadi. Kenapa ia menyiksamu. Kesalahan apakah yang kaulakukan kepadanya" Tidak biasanya suci menyiksa orang biarpun hatinya keras."
"Aku tidak bersalah apapun kepadanya, nona, bahkan mengenalnyapun tidak. Begitu bertemu dengan aku, ia memaksa aku mengakui di mana aku menyembunyikan pedang pusaka, pada hal aku sama sekali tidak menyembunyikannya."
Gadis itu menghela napas panjang. "Kuharap engkau suka memaafkan suciku. Memang ia keras hati kalau ingin mendapatkan sesuatu harus terlaksana. Akan tetapi, mengapa ia menyangka engkau menyembunyikan pedang pusaka. Kalau tidak ada alasannya, kiranya tidak mungkin ia menyangkamu begitu, dan pedang pusaka apakah itu?"
Melihat gadis itu bicara, lembut dan nampaknya jujur sekali, timbul kekagumana besar di hati Han Lin dan dia mengambil keputusan untuk berterus terang saja kepada gadis ini.
"Pedang itu adalah Pedang Awan Merah, nona...."
"Ang-in Po-kiam dari istana" Bagaimana dapat berada padamu, atau bagaimana suci menyangka demikian?"
"Memang pedang itu terjatuh ke tanganku, nona. Aku menemukannya dari tangan Hoat Lan Sian-su yang tewas ketika terjadi penyerbuan pasukan kepada Hoat-kauw."
"Hemm, luar biasa sekali. Lalu bagaimana?" "Aku dalam perjalanan menuju ke kota raja karena aku berniat untuk mengembalikan pedang itu kepada Sribaginda Kaisar. Akan tetapi ketika mendengar Cin-ling-pai difitnah sebagai pencuri pedang para tokoh kangouw, aku sengaja ke sana untuk membersihkan nama Cin-ling-pai yang aku tahu merupakan perkumpulan orang gagah itu."
"Bagus, tindakanmu itu benar sekali." "Nah, setelah semua orang tahu bahwa pencurinya bukan orang Cin-ling-pai melainkan orang Hoat-kauw, aku meninggalkan Cin-ling-pai untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja. Akan tetapi di tengah perjalanan, aku diserbu banyak orang yang dipimpin oleh Sam Mo-ong dan pedang itu dirampas oleh Sam Mo-ong."
"Ah, tiga datuk sesat itu?" Si nona nampak terkejut sekali mendengar disebutnya tiga datuk itu.
"Lebih celaka lagi, baru malam tadi aku kehilangan pedang, pagi ini sudah ditawan dan disiksa suci-mu yang baik hati seperti dewi itu!" "Jangan berolok-olok, aku sudah memintakan maaf untuk suci-ku, mengapa engkau masih mengejek juga" Jadi, jelas bahwa Sam Mo-ong yang merampas pedang itu darimu" Memang, menurut kata ibuku, di antara para datuk sesat, Sam Mo-ong yang paling licik dan jahat. Semoga Tuhan mengampuni dosa mereka. Namun sekali lagi, aku mintakan maaf atas perbuatan suci kepadamu. Selamat tinggal."
Sekali melompat gadis itu lenyap dari depan Han Lin dan pemuda itu semakin kagum. Siapa namanya" "Eh, nona tunggu dulu. Aku mempunyai pertanyaan penting sekali!"
Nampak bayangan putih berkelebat dan gadis itu sudah berada di depannya kembali. Diam-diam Han Lin tersenyum di hatinya. Jelas nona ini belum pergi jauh, mungkin menyelinap di balik pohon dan mengintainya.
"Ada apakah?" "Nona tadi mintakan maaf untuk suci nona kepadaku, benarkah itu?"
"Ya, benar dan kuharap engkau suka memaafkannya."
"Aku akan memaafkannya asla nona suka memenuhi permintaanku atau menjawab pertanyaanku yang teramat penting sekali."
Gadis itu tersenyum dan Han Lin merasa jantungnya melompat tinggi dan jungkir balik. Manisnya! "Pertanyaan apakah itu" Tanyalah!"
"Dan nona berjanji akan menjawab dengan sejujurnya, tidak berbohong kepadaku?"
Alis mata hitam itu berkerut sedikit. "Sobat, selama hidup aku tidak suka berbohong." "Bagus, ada dua pertanyaanku. Pertama, ketika tadi untuk pertama kali nona muncul, nona bertanya apakah aku sudah mengenal nona. Apa maksud pertanyaan itu?"
"Eh, jadi engkau belum mengenalku. Kenapa tadi engkau mengatakan Kwan Im Posat..." "Ah, apa hubungannya Dewi Kwan Im denganmu, nona" Ketika engkau muncul dengan pakaian putih, demikian cantik, demikian agung dan anggun, kukira engkau Dewi Kwan Im yang datang menolongku!"
Wajah yang ayu itu menjadi agak kemerahan dan mulut yang aduhai itu tersenyum. "Tidak ada sangkut pautnya akan tetapi orang-orang memberi julukan Kwan Im Sianli kepadaku."
"Wah, tepat sekali! Memang pantas sekali julukan itu. Sekarang pertanyaan kedua, nona. Bolehkah aku mengetahui namamu yang mulia?" "Hemm, namaku tidak mulia, biasa saja. Namaku Lie Cin Mei," jawabnya singkat. "Nah, dua pertanyaan sudah dijawab. Selamat tinggal!" Kembali ia berkelebat dan sekali ini Han Lin maklum bahwa gadis itu benar-benar telah pergi.
"Hemm, engkau tidak menanyakanku. Ah, lagi pula, apa urusannya dengan namaku. Sekarangpun ia sudah lupa kepadaku," demikian dia menggumam, hatinya tidak puas.
Akan tetapi, dia segera teringat akan Sam Mo-ong dan dengan hati geram dia melanjutkan perjalanannya memasuki kota Souw-ciu. Ku Ma Khan yang berusia lima puluh tahun itu duduk di kursi kebesarannya dengan sikap gagah. Pria yang tinggi besar ini memiliki wibawa yang kuat sekali. Sebagai seorang kepala suku Mongol yang berdarah campuran Kazak, dia pandai memimpin rakyatnya, pandai pula mempergunakan tenaga orang-orang pandai sehingga tidak mengherankan bahwa di antara pembantunya yang banyak terdapat orang-orang berkepandaian tinggi, bahkan Sam Mo-ong, tiga datuk yang sakti itupun suka menjadi pembantunya. Kwi-jiauw Lo-mo memang berdarah Mongol, peranakan Han, maka tidak mengherankan kalau dia menghambakan diri dengan setia kepada Ku Ma Khan. Hek-bin Mo-ong adalah pernakan Mancu, dan Pek-bin Mo-ong peranakan suku bangsa Hui yang juga sudah dikuasai orang Mongol.
Pada hari itu, Ku Ma Khan menerima kedatangan Sam Mo-ong dan puterinya, Mulani. Gadis itu segera merangkul ayahnya dengan sikap manja dan Ku Ma Khan yang amat sayang kepada anaknya itu, memang kedua pundak Mulani dan mengamati wajahnya sambil tertawa senang.
"Aih, tidak melihat beberapa bulan saja engkau nampak lebih dewasa, lebih matang dan lebih cantik, Mulani. Bagaimana, apakah perjalananmu ke selatan menghasilkan banyak pengalaman hebat?"
"Aku senang sekali, ayah. Dan kami pulang membawa oleh-oleh yang akan membuat ayah pasti senang sekali." "Ha-ha-ha, oleh-oleh apakah itu Sam Mo-ong, kalian bertiga yang setia dan bijak, oleh-oleh apa yang dikatakan puteriku tadi?" Ku Ma Khan tidak sabar menunggu penjelasan.
Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui yang menjadi orang pertama dari Sam Mo-ong menyerahkan sebatang pedang dengan kedua tangannya kepada Ku Ma Khan (Raja Ku Ma). "Khan Yang Mulia, inilah oleh-oleh dari kami, sebatang pedang pusaka."
Ku Ma Khan mengerutkan alisnya, menerima pedang dan mencabutnya. Nampak sinar kemerahan ketika pedang tercabut. "Hemmm, pedang yang baik sekali, bersinar merah. Akan tetapi, untuk apa pedang pusaka" Tanpa pedang pusakapun aku mampu memimpin laksaan prajurit untuk menggempur musuh." Dia agak kecewa melihat bahwa yang dikatakan oleh-oleh berharga itu hanya sebatang pedang lurus, pedang bangsa Han.
"Wah, ayah tidak tahu!" seru Mulani sambil memgang tangan kiri ayahnya. Pedang pusaka ini bukan pedang biasa, pedang ini dijadikan perebutan oleh semua orang kang-ouw dan selatan karena pedang ini adalah pedang pusaka milik Kaisar Tang!"
"Ehh" Pedang milik Kaisar Tang" Lalu untuk apa aku memiliki pedang ini?" "Khan yang mulia, pedang pusaka ini dicuri orang dari gudang pusaka Kerajaan Tang, dan karena pedang ini amat dihargai kaisar, maka dijadikan rebuatan semua tokoh kangouw. Kaisar sendiri mengumumkan bahwa siapa yang mengembalikan pedang ini akan diberi ganjaran harta dan kedudukan tinggi!"
Pendekar Pemetik Harpa 13 Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan 7
^