Pencarian

Pedang Awan Merah 6

Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


"Baik, taijin." Gubernur itu lalu memanggil pelayang dan diperintahkan pelayan untuk mempersiapkan dua buah kamar untuk mereka. Kemudian dia memesan pula kepada pelayan agar dua orang tamu itu dilayani sebaik mungkin. "Nah, sampai besok, taihiap dan lihiap. Kami masih mempunyai banyak urusan yang harus diselesaikan." "Silakan, taijin. Sampai besok!" kata Leng Si dan San Ki.
Malam itu, setelah memeriksa dengan teliti bahwa ruangan di depan kamar mereka tidak ada orang lain dan percakapan mereka tidak dapat didengarkan oleh orang lain, San Ki dan Leng Si bercakap-cakap dan berunding.
"Bagaimana pendapatmu, Ki-suheng?" tanya Leng Si setelah mereka berada berdua saja.
"Hemm, aku mencium sesuatu yang busuk, berbau pemberontakan, sumoi."
"Akupun demikian, suheng. Dan kita bukanlah keturunan pemberontak. Aku tidak sudi diperalat oleh pembesar yang agaknya menghendaki pemberontakan." "Benar, kita sependapat, sumoi. Menurut pembicaraannya, agaknya gubernur ini membenci atau setidaknya tidak suka kepada Kaisar. Bahkan dia mengatakan bahwa dia mengenal baik thaikam Kui. Aku jadi curiga atas sikapnya yang ramah dan bersahabat itu. Jelas bahwa dia agaknya hendak mempergunakan kita, sumoi."
"Aku sendiri tidak pernah mendendam kepada Kaisar, suheng, biarpun ayahku ditangkap. Aku mengerti bahwa ini adalah ulah Kui-thaikam. Kaisar memang lemah, bukan berarti Kaisar jahat. Lalu apa yang harus kita lakukan, suheng?"
"Hanya ada dua pilihan bagi kita, sumoi. Pertama, kita tolak mentah-mentah ajakannya untuk bekerja untuk dia dan kita pergi dari sini. Kedua, kita terima uluran tangannya, dan kita pura-pura bekerja untuknya, akan tetapi sesungguhnya itu untuk menyelidiki apa yang sesungguhnya hendak diperbuat. Agar kalau benar dia merencanakan pemberontakan seperti yang kita duga, kita dapat melakukan sesuatu untuk membela kerajaan."
Leng Si mengangguk-angguk kagum. "Engkau benar, dan aku setuju memilih yang kedua itu, hitung-hitung sebagai petualangan yang menarik. Bagaimana pendapatmu kalau kita terima saja uluran tangannya itu" Siapa tahu, kalau Han Lin dan sumoi sampai gagal membebaskan ayahku, dengan bantuan gubernur ini ayahku dapat dibebaskan."
"Akan tetapi kalau begitu kita berhutang budi kepadanya, sumoi." "Benar, akan tetapi hutang budi bukanlah harus dibalas dengan membantu pemberontakan. Sudahlah, soal ayahku begaimana nanti sajalah. Yang penting, kita sudah sepakat unutk menerima uluran tangannya. Kita harus selalu waspada dan bekerja sama. Kita tolak kalau disuruh melakukan kejahatan atau yang sifatnya pemberontakan."
"Baik, sumoi. Aku setuju dan aku girang sekali bertemu dengan engkau dan dapat bekerja sama seperti ini."
"Aku juga girang sekali, suheng." Keduanya saling bertemu pandang dan keduanya merasa bahwa telah terjalin keakraban dan kecocokan satu sama lain. Akan tetapi San Ki teringat kepada Ji Kiang Bwe dan dia mengerutkan alisnya sambil menarik napas panjang.
Leng Si yang memperhatikannya melihat perubahan pandang mata itu. Pandang mata itu tadinya begitu mesra dan bahagia ketika memandangnya, dan tiba-tiba saja mata itu termenung dan alis itu berkerut ditambah tarikan napas panjang tanda bahwa hati pemuda itu terganggu sesuatu.
"Ada apakah, Ki-suheng" Engkau kelihatan berduka."
"Aku tiba-tiba saja teringat akan urusan yang menimpa diriku, yang sangat memusingkan hatiku, sumoi."
"Ada urusan apakah, suheng" Atau merupakan rahasia pribadimu yang tidak boleh diungkapkan kepada orang lain?" "Memang urusan pribadi yang tidak boleh dketahui orang lain, akan tetapi kepadamu aku tidak dapat merahasiakannya, sumoi. Entah mengapa, timbul kepercayaan besar dalam hatiku terhadapmu. Baiklah, kau dengarlah masalahku yang memusingkan hatiku."
San Ki lalu bercerita tentang Ji Kiang Bwe dan suaminya, Souw Kian Bu. Betapa dia datang berkunjung kepada sumoinya yang seperti adiknya sendiri itu, dan ketika mereka bertemu dengan suasana akrab, suami sumoinya itu menjadi cemburu dan kini suami sumoinya itu lari pergi meninggalkan rumah dengan marah.
"Aih, mengapa dia begitu pencemburu" Terus terang saja, suheng, apakah ada apaapa antara engkau dengan sumoimu itu?" "Sumoi, sudah kukatakan tadi bahwa kepadamu aku tidak dapat menyimpan rahasia. Biarlah engkau ketahui semuanya walaupun hal ini merupakan rahasia pribadi, bahkan rahasia hatiku. Tidak kusangkal bahwa dahulu, ketika kami masih sama-sama menjadi murid subo Pek Mau Siankouw, aku telah jatuh cinta kepada sumoi Ji Kiang Bwe. Akan tetapi karena ia hanya menyayangiku sebagai kakak sendiri, akupun tidak berani menyatakan cintaku, sampai ia kembali ke Kim-kok-pang bahkan menjadi ketuanya. Sejak itu, tentu saja aku jauh darinya dan baru setelah berpisah bertahun-tahun, aku berkunjung kepadanya. Akan tetapi siapa mengira, hal itu bahkan menjadikan terjadinya malapetaka bagi sumoi. Suaminya merasa cemburu dan meninggalkannya pergi. Aku merasa bersalah, sumoi, karena itu aku pergi ini sebetulnya untuk mencari Souw Kian Bu, suami dari sumoi."
Leng Si menghela napas panjang. Ia tidak kecewa mendengar masa lalu pemuda yang dikaguminya itu, karena bukankah ia sendiri juga pernah jatuh cinta kepada Han Lin"
"Memang tidak enak sekali kalau kita bertepuk tangan sebelah dalam urusan cinta..." katanya. San Ki segera berkta, "Walaupun dahulu aku pernah jatuh cinta kepada sumoiku, setelah ia menikah dengan sendiri tidak ada sedikitpun pikiran yang bukan-bukan dalam hatiku. Aku bukanlah orang macam itu, Si-sumoi. Setelah suami sumoiku pergi, aku bersumpah kepadanya untuk mencari dan membawa pulang kepadanya suaminya itu."
"Memang itu baik sekali, Ki-suheng. Setidaknya membuktikan bahwa engkau memang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan sumoi Ji Kiang Bwe itu. Suaminya itu orang macam apakah, begitu pencemburu?"
"Dia seorang yang gagah perkasa, sumoi. Souw Kian Bu adalah seorang pendekar muda yang telah membuat nama besar dengan sepak terjangnya yang gagah perkasa." "Akan tetapi dia pencemburu, tanda bahwa dia tidak mampu menguasai nafsunya sendiri. Aku akan membantumu, suheng. Kalau bertemu dengan dia, demi sumoi Ji Kiang Bwe, aku akan memaki-makinya dan mengingatkannya bahwa isterinya sama sekali tidak bersalah, bahwa cemburunya itu tidak berdasar dan bodoh sekali."
Pada keesokan harinya, mereka berdua menghadap Gubernur Coan yang menyambut mereka dengan ramah dan memerintahkan orangnya untuk menghidangkan santapan apgi untuk mereka. Setelah makan pagi yang ditemani sendiri oleh Gubernur Coan bertanya. "Bagaimana, ji-wi sudah mengambil keputusan mengenai tawaran kami kemarin?"
San Ki memang sudah menyerahkan kepada sumoinya untuk menjadi wakil pembicara, karena sumoinya itu memang lebih pandai bicara. "Sudah, taijin. Kami telah membicarakan semalam. Setelah kami mempertimbangkannya masak-masak, maka kami anggap bahwa pendapat taijin itu benar dan kami bersedia unutk membantu taijin. Apakah tugas yang diberikan taijin kepada kami?"
"Untuk sementara, biarlah kalian menjadi pengawal pribadi kami. Kebetulan hari ini kami hendak mengunjungi rapat pertemuan yang teramat penting, yang sehubungan dengan niat kita untuk mengubah keadaan. Karena itu, kalain harap suka menjadi pengawalku dan ikut hadir pula dalam pertemuan agar kalian mengerti apa yang harus dilakukan."
San Ki dan Leng Si saling lirik dan Leng Si berkata, "Baik, taijin kami gembira sekali dapat bekerja untuk taijin." Demikianlah, mulai hari itu kedua kakak beradik seperguruan itu bekerja pada Gubernur Coan, mendapatkan kamar untuk masing-masing di bagian belakang gedung gubernur itu. Dan pada hari itu juga, setelah hari menjadi malam, gubernur mengajak mereka pergi, akan tetapi kepergian gubernur ini tidak resmi. Buktinya dia berjalan kaki, tidak naik kereta dan juga mengenakan pakaian seperti penduduk biasa! Gubernur Coan pergi dengan menyamar dan ketika San Ki dan Leng Si mengikutinya, mereka pergi ke sebuah rumah penginapan besar yang berada di kota Nan-yang, bahkan masuk dari pintu belakang. Penjaga pintu belakang hotel itu agaknya sudah tahu karena dia hanya membungkuk-bungkuk dengan hormat dan mempersilakan Gubernur Coan dan dua orang pengikutnya masuk ke dalam ruangan luas yang tertutup. Dan ternyata di situ telah berkumpul beberapa orang yang tidak dikenal San Ki. Akan tetapi ketika Leng Si melihat tiga orang kakek yang juga berada di situ bersama orang-orang lain, ia terkejut. Mereka itu adalah Sam Mo-ong! Ada urusan apa tiga orang datuk sesat yang ia tahu bekerja untuk kepala suku Mongol itu hadir di tempat ini, di tengah kota Nan-yang dalam sebuah pertemuan rapat yang dihadiri Gubernur Coan"
Juga Sam Mo-ong mengenal Jeng I Sianli Cu Leng Si, maka mereka merasa tidak enak sekali. Akan tetapi Leng Si datang sebagai pengikut Gubernur Coan, merekapun diam saja, pura-pura tidak mengenalnya.
Yang hadir di situ adalah Kwan-ciangkun, panglima berusia lima puluh tahun bermuka merah yang gagah, kepala pasukan di Lok-yang dan mengepalai pasukan yang kuat dan besar jumlahnya. Dia hadir bersama dua orang panglima bawahannya yang juga menjadi semacam pengawalnya dan Sam Mo-ong ternyata datang sebagai pengikut seorang yang gendut pendek berusia lima puluh lima tahun, pakaiannya seperti seorang pembesar dalam istana dan dia ini bukan lain adalah Kui-thaikam, yang mengepalai seluruh thaikam di istana.
Kui-thaikam yang lebih dulu memperkenalkan tiga orang pengikutnya ini dengan bangga kepada Kwan-ciangkun dan Gubernur Coan. "Kwan-ciangkun dan Coan-taijin, perkenalkan tiga saudara ini. Mereka adalah Sam Mo-ong seperti yang pernah saya bicarakan. Yang ini adalah Hek-bin Mo-ong, dan yang ini Pek-bin Mo-ong. Yang di sana itu adalah Kwi-jiauw Lo-mo dan mereka sudah menunjukkan surat kepercayaan dari Ku Ma Khan."
Sam Mo-ong cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada semua orang. Kini tiba giliran Gubernur Coan memperkenalkan dua orang pengikutnya.
"Ini adalah dua orang pembantuku yang baru, harap dikenal baik karena mereka ini adalah orang-orang yang sudah kami percaya dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Nona ini bernama Cu Leng Si dan ini adalah suhengnya bernama Gu San Ki. Mereka telah menyatakan hendak membantu kita semua memperbaiki keadaan negara yang kacau karena lemahnya pemerintahan ini."
Seperti yang dilakukan oleh Sam Mo-ong, Gu San Ki dan Leng Si yang memandang kepada semua orang segera bangkit berdiri dan memberi hormat. Diamdiam Leng Si memperhatikan orang yang berpakaian thaikam gendut itu karena ia sudah dapat menduga bahwa orang gendut yang matanya tajam seperti mata burung rajawali itu tentulah thaikam yang terkenal berkuasa itu, yaitu orang yang menyebabkan ayahnya ditangkap!
Gubernur Coan cukup cerdik untuk tidak membicarakan dulu tentang ayah Leng Si yang ditangkap itu, akan tetapi segera membicarakan persoalan yang lebih umum dan penting.
"Sekarang kita telah berkumpul, apa yang hendak kita bicarakan lebih dulu, Kuitaijin?" "Benar, kita harus membicarakan hal-hal yang terpenting dulu, agar kedatangan kita dari jauh tidak sia-sia dan dapat menentukan langkah selanjutnya yang harus diambil," kata Kwan-ciangkun yang datang dari Lok-yang.
Dari pertanyaan gubernur dan panglima itu saja mudah diketahui bahwa kendali persekutuan ini berada di tangan Kui-thaikam! Dialah yang akan memimpin rapat dan menentukan langkah. Dan hal ini tidak aneh karena dia ang berada di istana dan tahu akan segala keadaan di istana.
"Pertama-tama setelah memperkenalkan Sam Mo-ong kepada ji-wi, kita ingin membicarakan pesan dari Ku Ma Khan yang dibawa oleh mereka. Nah, Sam Mo-ong. Sekarang jelaskan untuk kedua kalinya pesan itu kepada Gubernur Coan dan Kwanciangkun, juga kepada yang lain-lain."
Kwi-jiauw Lo-mo yang menjadi pemimpin dari Sam Mo-ong, segera melirik ke arah Leng Si dan berkata, "Harap maafkan kami, Kui-taijin, akan tetapi kami merasa tidak enak dan tidak aman kalau bicara di depan orang-orang yang kalau bukan benarbenar berada di pihak kita, kelak bahkan akan dapat mencelakakan kita sendiri."
Kwan-ciangkun mengerutkan alisnya. "Apa yang dimaksudkan oleh Kwi-jiauw Lomo" Apakah tidak percaya kepada kami" Dua orang pengikut kami adalah dua orang panglima bawahan kami yang terpercaya!"
"Maaf, ciangkun. Tentu saja bukan kedua ciangkun itu yang saya maksudkan." "Ahh, agaknya Sam Mo-ong tidak percaya kepada kedua orang pengikutku yang baru ini" Kalau kalian tidak percaya kepada mereka, sama saja hendak mengatakan bahwa kalian tidak percaya kepadaku!" kata Gubernur Coan dengan wajah berubah merah.
"Maafkan, taijin. Tentu saja saya tidak bermaksud demikian, akan tetapi sebaiknya kita berhati-hati karena kebetulan sekali saya mengenal wanita ini yang berjuluk Jeng I Sianli!"
Leng Si bangkit berdiri. "Kwi-jiauw Lo-mo, perlu apa mengusik dan menyebutnyebut urusan pribadi" Urusan pribadi tidak perlu dibawa-bawa ke dalam perundingan mengenai negara! Atau, apakah perlu aku membongkar semua rahasia pribadi Sam Mo-ong yang terkenal busuk jahat dan banyak melakukan hal-hal yang memuakkan di dunia kang-ouw dan persilatan" Kalau memang begitu kehendakmu, hayo kita saling membongkar rahasia pribadi. Aku hendak melihat kejahatan apa yang pernah dilakukan Jeng I Sianli dan kejahatan apa yang pernah dilakukan Sam Moong!"
Mendengar ledakan ini, tentu saja Sam Mo-ong menjadi gentar. Bagaimanapun juga, tadinya mereka hanya ingin berhati-hati karena mereka tidak mempercayai Jeng I Sianli yang pernah membantu Sia Han Lin, musuh besar mereka. Dan mereka memang tidak dapat membongkar rahasia pribadi Leng Si karena memang belum pernah Jeng I Sianli melakukan kejahatan. Sedangkan mereka bertiga, memang mereka tidak pernah pantang melakukan apa saja.
Mendengar ucapan Leng Si yang demikian berkobar. Gubernur Coan menjadi tidak enak juga. "Sam Mo-ong, harap tidak membicarakan urusan pribadi. Nona Cu Leng Si adalah orang kepercayaanku, maka kalian boleh bicara secara terbuka, dan nona ini adalah tanggung jawabku!"
"Baiklah, kalau Coan-taijin berkata demikian. Kamipun tidak hendak menimbulkan urusan pribadi, hanya hendak bersikap hati-hati saja, demi kebaikan ciangkun dan taijin sendiri. Nah, seperti telah kami laporkan kepada Kui-taijin, kami datang diutus oleh raja kami Ku Ma Khan untuk mempererat hubungan kita. Raja kami telah mengirim beberapa puluh kati emas sebagai sumbangan agar pergerakan yang diatur cu-wi berjalan lancar. Juga raja kami telah mempersiapkan pasukan di perbatasan, supaya kalau sewaktu-waktu dibutuhkan dapat segera maju menolong lancarnya gerakan kalian. Raja kami juga menyatakan kagum dan penghargaan atas usaha kalian yang hendak membersihkan pemerintahan, agar dapat menjalin hubungan dengan bangsa kami dan tidak menimbulkan perang yang hanya akan meyengsarakan rakyat jelata."
Kwan-ciangkun dan Coan-taijin mengangguk-angguk. Memang, bangsa Mongol yang dipimpin Ku Ma Khan itu mendatangkan kesulitan besar, dan penyerbuan mereka dari utara dan barat mengganggu sekali kesejahteraan pemerintahan. Andaikata Kaisar diganti sekalipun, kalau masih ada gangguan itu tentu tidak akan ada kedamaian, maka kalau dapat berdamai dengan bangsa Mongol, maka hal itu akan baik sekali. Dan usaha berdamai dengan bangsa Mongol ini memang telah dirintis oleh Kui-thaikam sejak lama dan baru sekarang ini, dengan perantaraan Sam Mo-ong, hubungan langsung dapat dilakukan.
"Benar, seperti yang dilaporkan Sam Mo-ong," kata Kui-thaikam. "Bingkisan emas itu telah kami terima dan kami simpan untuk penambahan biaya persiapan gerakan kita. Dan tentang bantuan pasukan, mungkin saja kita perlukan kalau-kalau para panglima di Tiang-an dan perbatasan akan mengadakan perlawanan. Kami memang telah berhasil menghubungi para panglima, akan tetapi para panglima tua sukar sekali dibujuuk dan masih tetap setia kepada Kaisar yang lemah itu."
"Kalau para panglima di Lok-yang tidak perlu dikhawatirkan karena semua telah sepakat untuk membantu gerakan kita," kata Kwan-ciangkun dengan tegas. "Juga di Nan-yang ini dapat dikuasai dengan mudah karena pasukan di Nan-yang tidaklah begitu kuat dan kami akan mengunjungi dan membujuk para komandan pasukan di selatan. Setelah kami sekarang memiliki dua orang pembantu yang dapat diandalkan ini, kami merasa lebih leluasa bergerak dan merekahlah yang akan kami utus mengunjungi dan mengadakan kontak dengan para komandan pasukan di selatan."
"Bagus, kalau begitu masng-masing membagi tugas. Sam Mo-ong harap kembali dan melapor kepada Ku Ma Khan tentang pertemuan ini, dan agar segera pasukan di perbatasan itu diperkuat dan dipersiapkan. Akan tetapi harap menanti datangnya utusan dan jangan sembarangan bergerak kalau belum ada pemintaan dari kami."
"Baik, taijin, akan kami sampaikan kepada raja kami," kata Kwi-jiauw Lo-mo. "Dan Kwan-ciangkun harap memperkuat pasukan di Lok-yang sehingga kalau kami sudah memberi isyarat, dapat melakukan gerakan menuju ke kota raja."
"Baik, jangan khawatir, taijin, kami memang sudah mempersiapkan segalanya."
"Dan Coan-taijin, kamu harap suka lebih banyak mengadakan hubungan dengan para pejabat, karena makin banyak yang mendukung usaha kita akan lebih lancar."
"Siap, taijin. Akan tetapi bagaimana dengan gerakan di istana?" "Hal ini adalah tugasku. Kita sudah membagi tugas dan urusan dengan Kaisar menjadi tugas utamaku. Serahkan saja kepadakuu dan kalau usaha itu berhasil, berarti kalian harus membuat gerakan serentak. Nah, kita sudah cukup bicara, sampai dalam pertemuan mendatang. Kalian akan menerima undangan dariku, untuk menentukan tempat pertemuan itu."
Semua orang menyatakan setuku dan pertemuan itupun dibubarkan tanpa ada yang mengetahui bahwa di bagian dalam hotel itu baru saja diadakan pertemuan penting dan perundingan orang-orang yang hendak memberontak terhadap Kaisar Thai Tsung.
Setelah mengiringkan Gubernur Coan pulang ke rumah sendiri, tentu saja Leng Si dan San Ki segera mengadakan perundingan sendiri. "Wah, gawat, suheng. Seperti yang kukhawatirkan, Gubernur Coan merencanakan pemberontakan bersama sekutunya. Bahkan yang menjadi pimpinan adalah Kuithaikam yang menjebloskan ayah ke dalam penjara! Apa yang harus kita lakukan sekarang, suheng?"
"Tenanglah, sumoi. Kita tidak boleh gegabah, tidak boleh tergesa, harus menanti saatnya yang baik. Kalau kita sekarang tergesa, apa yang dapat kita lakukan" Melapor kepada Kaisar" Tidak ada buktinya dan bahkan kita yang dapat ditangkap Kaisar dan dituduh melakukan fitnah besar-besaran."
"Akan tetapi kita tidak boleh tinggal diam. Sudah jelas sekali kehendak thaikam itu walaupun tidak dia jelaskan. Tindakan apa terhadap Kaisar yang akan dia lakukan" Tentu hendak membunuh Kaisar dan menggantikannya dengan calon lain, mungkin seorang di antara para pangeran yang diperalatnya!"
"Kurasa demikian, akan tetapi kita harus berhati-hati. Kurasa tidak ada jalan lain kecuali menghubungi pejabat atau panglima di kota raja yang masih setia kepada Kaisar. Kalau saja kita mengenal panglima yang masih setia dan yang menguasai pasukan..."
"Ah, aku ingat, suheng. Ayah mempunyai seorang sahabat baik, yaitu Panglima Lo. Menurut ayah, kini yang tidak pernah korupsi dan tetap setia kepada Kaisar tidaklah banyak, akan tetapi di antara mereka yang paling menonjol adalah Panglima Lo. Karena kesetiaannya dan kejujurannya itulah maka dia selalu tergeser dan kedudukannya menjadi tidak penting, tidak menguasai pasukan besar. Akan tetapi kukira dialah yang paling tepat untuk dipercaya akan mampu menolong Kaisar kalau sampai benar thaikam gendut itu berniat tidak baik terhadap Kaisar."
"Baik, sumoi. Kau dengar bahwa kita akan diutus oleh Gubernur untuk menghubungi para pejabat. Bagaimana kalau kita mengusulkan agar kita mengunjungi para pejabat di kota raja dan membujuk mereka agar ikut dalam persekutuan busuk ini" Dengan demikian, kita akan mendapat kesempatan untuk mencari Lo-ciangkun."
"Bagaiman kalau dia tidak setuju dan tidak mengirim kita ke sana?" "Ke manapun dia mengirim kita, atau setuju atau tidak dia, kita dapat saja diamdiam pergi ke kota raja mencari Lo-ciangkun, bukan" Bagaimanapun juga, kita sudah mengetahui rahasia persekutuan busuk itu."
"Baik, suheng." Dan ternyata cocok dengan yang mereka inginkan, pada esok harinya, Gubernur Coan mengutus mereka untuk mengunjungi seorang pejabat tinggi di kota raja menyampaikan suratnya memperkenalkan mereka dan minta agar pejabat itu mendengarkan apa yang dipesankannya kepada mereka. Kemudian, gubernur itu memesan agar San Ki dan Leng Si membujuk pejabat tinggi bagian keuangan itu agar suka masuk ke dalam persekutuan mereka. Berangkatlah San Ki dan Leng Si dengan gembira ke kota raja. Mereka berdua melakukan perjalanan dengan hati senang, karena mendapatkan kesempatan untuk bergaul lebih akrab.
Sam Mo-ong pernah mencoba untuk mengacau dunia persilatan, mengadu domba antara partai-partai besar, akan tetapi semua usahanya gagal. Juga mereka gagal menyerang Beng-kauw, maka kini mereka melakukan usaha lain untuk membuat Kerajaan Tang menjadi semakin lemah. Mereka menyebar orang-orang mereka untuk memimpin gerombolan orang-orang jahat melakukan perampokan atau lain kejahatan. Pendeknya untuk mengacaukan rakyat untuk membuat keadaan menjadi tidak aman sehingga kelak kalau tiba saatnya, rakyat akan setuju untuk mengganti Kaisarnya yang dianggap tidak becus mengatur pemerintahan.
Pada suatu pagi di luar kota Lok-yang. Seorang gadis cantik jelita berjalan seorang diri. Ia masih muda, tidak akan lebih dari sembilan belas tahun usianya. Tubuhnya langsing dengan pinggang kecil dan pinggul besar, langkahnya gontai seperti seekor harimau betina, wajahnya bundar dengan kulit putih mulus. Sikapnya gagah dan berwibawa. Gadis cantik mani ini bukan lain adalah Yap Kiok Hwi, puteri ketua Cinling-pai.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kiok Hwi yang cantik ini jatuh hati kepada Han Lin dan ketika pemuda itu pergi, ia memberikan kalungnya kepada Han Lin dengan dalih bahwa kalau pemuda itu kehabisan biaya di perjalanan, kalung itu dapat dijual untuk penambah biaya. Setelah Han Lin pergi, Kiok Hwi merasa kesepian. Seolah-olah semangatnya terbawa pergi oleh pemuda yang dikaguminya itu. Ia dapat bertahan sampai setengah tahun, akan tetapi setelah selama itu tidak ada berita apa-apa dari pemuda yang dikasihinya, ia lalu mengambil keputusan untuk pergi merantau. Kepada ayahnya ia menyatakan hendak mengunjungi seorang pamannya yang tinggal di Lok-yang. Pamannya itu bernama Yap Gun dan membuka toko obat di sana karena Yap Gun selain ilmu silat, juga ahli pengobatan.
Demikianlah, ia meninggalkan Cin-ling-san melakukan perjalanan jauh seorang diri. Berkat ilmu silatnya yang tinggi, ia dapat mengatasi segala gangguan di dalam perjalanannya. Akan tetapo tentu saja ia tidak pernah berhenti bertanya-tanya orang tentang Sia Han Lin karena sesungguhnya kepergiannya ini untuk mencari pria yang dirindukannya itu! Ia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pemuda yang dirindukannya itu telah mengalami berbagai macam pengalaman hebat, bahkan terpaksa menikah di utara dengan Mulani, puteri Ku Ma Khan, kepala suku bangsa Mongol!
Dan pada pagi hari itu, ia berjalan dengan santai menuju ke Lok-yang dengan hati lemas karena selama ini ia tidak pernah mendengar sesuatu tentang Han Lin. Ia memasuki daerah yang berhutan dan kota Lok-yang masih sekitar dua puluj li dari tempat itu. Ia tidak tahu bahwa di tempat itu bersembunyi segerombolan penjahat yang menjadi satu di antara gerombolan bentukan Sam Mo-ong! Dan kebetulan sekali yang dipimpin oleh Tee-kui, orang kedua dari Thian Te Siang-kui yang kini dapat ditarik oleh Sam Mo-ong untuk bekerja kepada mereka.
Ketika Kiok Hwi sedang berjalan dengan santainya, tiba-tiba dari balik pohon dan semak belukar berlompatan tiga belas orang yang kelihatan buas dan liar. Mereka itu rata-rata bertubuh tinggi besar kokoh, tanda bahwa mereka memiliki tenaga yang kuat, berpakaian ringkas dan di punggung mereka nampak gagang golok. Ketika tiga belas orang ini melihat bahwa yang mereka hadang adalah seorang gadis yang cantik jelita, mereka semua segera tertawa-tawa menyeringai dengan sikap yang kurang ajar dan menjemukan sekali.
"Aduh, cantiknya seperti bidadari!"
"Ah, toako tentu akan senang sekali melihatnya!"
"Wah, kalau sudah jatuh ke tangan toako, kita tidak mungkin kebagian!"
"Ha-ha, nona manis membawa pedang di punggung, sungguh berani sekali mengadakan perjalanan seorang diri. Jangan-jangan ia lihai sekali!"
"Ha-ha, makin lihai semakin menarik. Aku tidak suka dengan wanita yang lemah."
"Kalau yang ini agaknya kuda liat, tentu toako akan gembira sekali."
"Hayo tangkap gadis ini! Toako tentu akan memberi hadiah." Kiok Hwi mendiamkan saja mereka itu. Ia sudah terbiasa dengan godaan, dan tidak gentar menghadapi orang-orang kasar yang ia duga tentu segolongan perampok itu. Ia tidak tergesa-gesa menghajar mereka karena kelancangan mulut mereka yang tidak sopan, karena ia ingin mendengar kalau-kalau mereka itu mengetahui tentang Han Lin.
"Eh, sobat, perlahan dulu. Aku ingin bertanya kepada kalian, apakah kalian mengerti di mana adanya seorang pemuda bernama Sia Han Lin?" "Heei, nona manis. Kenapa mencari yang namanya Sia Han Lin" Cari saja aku, namaku Bouw Mo Sin!" semua orang tertawa-tawa sampai bergelak. Kiok Hwi mengerutkan alisnya. Orang-orang seperti ini tidak mungkin diajak bicara secara baik-baik. "Kalau tidak ada yang tahu, sudahlah. Kalian pergi, jangan menggangguku atau aku akan marah dan tidak mengampuni kalian lagi!"
Ucapan ini mengandung ancaman, akan tetapi tiga belas orang yang biasa menggunakan kekerasan terhadap siapapun juga itu, mana takut menghadapi ancaman seorang gadis jelita berusia sembilan belas tahun kurang" Mereka menganggap gadis itu membual dan bergurau saja, maka mereka terkekeh-kekeh.
"Aduh, bidadari manis. Kami minta ampun!"
"Minta cium... ha-ha-ha!"
Marahlah Kiok Hwi. "Singgg...!" pedang telah terhunus di tangannya dan pedang yang terbuat dari baja yang baik itu berkilauan saking tajamnya.
"Wah-wah-wah, benar berani perempuan ini. Hendak melawan kita" Ha-ha-ha! Hayo kawan, kita berlumba menangkap dan serahkan kepada toako!" Belasan orang itu mengepung dan karena melihat pedang gadis itu demikian tajam berkilauan, untuk berjaga diri, merekapun menghunus golok masing-masing dan mengepung dengan sikap mengancam sekali.
"Kalian mencari mampus!" tiba-tiba Kiok Hwi berseru dan ketika ia menggerakkan pedangnya, namapk sinar berkelebat. Ia membalik dan menyerang orang yang berada di belakangnya, yang tidak menyangka-nyangka bahwa dia yang akan lebih dulu diserang. Karena itu, tak dapat dihindarkan lagi pedang itu melukai pahanya. Dia mengaduh dan terjengkang, darah mengucur dari pahanya yang tersayat pedang!
Semua orang menghentikan tawa mereka dan memandang marah karena seorang kawan mereka dilukai. "Perempuan setan, berani engkau melukai teman kami?" bentak mereka dan kini dua belas orang itu menyerang dengan golok mereka. Agaknya, melihat darah membasahi paha seorang rekan telah membuat mereka lupa akan kecantikan gadis itu dan kini golok mereka menyambar-nyambar dahsyat seperti ekumpulan burung elang menyambari seekor kelinci yang diperebutkan.
Namun, ternyata Kiok Hwi bukan kelinci melainkan seekor harimau betina. Ia memainkan ilmu pedang Cin-ling-pai yang indah dan gerakannya amat lincahnya, tubuhnya bagaikan seekor burung walet beterbangan ke sana sini, pedangnya menyambar-nyambar dan setelah lewat belasan jurus, sudah ada tiga orang yang terluka oleh sabetan pedangnya dan tidak mampu melanjutkan pengeroyokan. Sembilan orang penjahat itu menjadi marah dan juga berhati-hati. Rata-rata mereka memiliki ilmu silat lumayan, maka setelah mereka berhati-hati dan melakukan pengeroyokan dengan teratur, mulailah Kiok Hwi terdesak. Namun, gadis ini memutar pedangnya melindungi tubuh sehingga semua sambaran golok itu dapat tertangkis oleh sinar pedangnya.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Banyak orang laki-laki mengeroyok seorang gadis, sungguh tidak tahu malu!" dan melompatlah seorang pemuda bertubuh sedang, berpakaian serba biru dan begitu melompat, pemuda ini sudah menggerakkan sebatang pedang dan ternyata gerakannya mengandung tenaga yang cukup kuat. Tanpa banyak cakap lagi pemuda itu mengamuk dan membantu Kiok Hwi yang tentu saja menjadi tambah bersemangat. Mereka berdua mengamuk dan kembali tiga orang roboh oleh pedang Kiok Hwi dan pemuda itu. Enam orang yang masih dapat melanjutkan pengeroyokan mulai menjadi gentar karena kepandaian pemuda berbaju biru itu tidak kalah lihainya dibanding kepandaian si gadis cantik.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tawa yang mengandung gema keras dan muncullah seorang pendek kurus yang memegang sepasang golok. "Mundurlah kalian dan biarkan aku menghadapi mereka berdua!" teriak si cebol ini yang bukan lain adalah Tee-kui, orang kedua dari Thian Te Siang-kui (Sepasang Iblis Langit Bumi). Tee-kui atau iblis bumi ini bertubuh pendek kurus, akan tetapi ilmu kepandaiannya cukup tinggi dan diapun seorang laki-laki yang cabul. Begitu melihat Kiok Hwi yang cantik jelita, mulutnya segera mengilar dan dia mengacungkan goloknya.
"Nona manis, siapakah engkau dan siapa pula pemuda ini?" Timbul pula harapan di hati Kiok Hwi untuk dapat memperoleh keterangan tentang Han Lin dari si katai ini. Kalau anak buahnya tidak pernah mendengar tentang Han Lin, barangkali si katai ini yang menjadi pimpinan mereka pernah mendengarnya.
"Paman, aku kebetulan saja lewat di sini dan diganggu oleh anak buahmu. Saudara ini juga kebetulan saja datang menolong karena kami tidak saling mengenal. Paman, aku hanya ingin mengetahui apakah engkau mengenal seorang bernama Sia Han Lin dan tahu di mana dia sekarang?"
Tentu saja Tee-kui tahu siapa Sia Han Lin, Pendekar Pedang Awan Merah. Akan tetapi dia tidak mau mengakui, karena diapun tidak tahu di mana adanya Han Lin.
"Heh-heh-heh, Sia Han Lin sudah mampus. Kenapa mencari dia" Lebih baik ikut dengan aku dan menjadi isteriku, pasti senang!" "Jahanam busuk!" bentak Kiok Hwi marah sekali bukan hanya karena ucapan kurang ajar itu, melainkan dikatakan bahwa Han Lin telah tewas. Dara itu sudah menggerakkan pedangnya menyerang.
"Trangg...!" Tee-kui menangkis dan Kiok Hwi merasa betapa tangannya tergetar hebat, tanda bahwa si katai ini biarpun badannya kecil namun tenaganya besar sekali. mereka lalu bertanding dan sepasang golok di tangan Tee-kui segera mengepung gadis itu. Melihat ini, pemuda berpakaian biru itu sudah menggerakkan pedangnya pula membantu Kiok Hwi. Melihat Tee-kui dikeroyok dua, anak buahnya yang tinggal enam orang karena yang lain sudah terluka itu segera maju membantu Tee-kui sekarang berbalik Kiok Hwi dan pemuda baju biru itu yang dikeroyok.
Kiok Hwi dan pemuda itu tersesak hebat. Baru menghadapi Tee-kuo saja mereka sudah kalah tingkat, apa lagi Tee-kui dibantu oleh enam orang anak buahnya. Akan tetapi Kiok Hwi dan pemuda itu mengamuk dengan hebat, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya. Namun, tetap saja mereka terdesak dan keadaan mereka sudah gawat.
"Bunuh pemuda ini akan tetapi jangan lukai gadis ini. Aku membutuhkannya, haha-ha!" Tee-kui sudah tertawa-tawa girang, membayangkan betapa akan senangnya dia nanti kalau mendapatkan gadis yang cantik jelita ini.
Akan tetapi pada saat itu muncul seorang pria muda bercaping lebar. "Setan katai di mana-mana membikin kacau saja!" bentaknya dan dia sudah mencabut pedangnya dan dia sudah mencabut pedangnya lalu menerjang ke arah Tee-kui.
Tee-kui terkejut bukan main mengenal Souw Kian Bu yang pernah membantu ketika dia menyerang Can Kok Han. Dengan masuknya Souw Kian Bu yang lihai, dia merasa gentar dan dengan sigapnya dia lalu meloncat jauh dan melarikan diri. Anak buahnya tentu saja melarikan diri pontang panting ketika melihat pimpinan mereka sudah lebih dulu melarikan diri, termasuk mereka yang terluka, terseok-seok melarikan diri. Kian Bu dan Kiok Hwi juga tidak mengejar, demikian pula pemuda berpakaian biru.
Kiok Hwi mengangkat tangan memberi hormat kepada Kian Bu dan pemuda baju biru. "Ji-wi telah datang menolongku, sungguh merupakan budi besar sekali dan aku menghaturkan terima kasih."
"Nona, tidak perlu berterima kasih. Sudah selayaknya kalau kita saling tolong menghadapi penjahat, bukan?" kata si baju biru. "Perkenalkan, nona, aku Ting Bun, secara kebetulan saja lewat di sini dan melihat nona dikeroyok banyak orang. Dan saudara ini, siapakah?"
"Aku juga kebetulan lewat saja dan dapat membantu kalian. Namaku Souw Kian Bu. Tidak tahu, siapakah nona yang kalau tidak salah, memiliki ilmu pedang yang mirip ilmu pedang Cin-ling-pai?"
"Aku memang murid Cin-ling-pai!" kata Kiok Hwi gembira. "Ketua Cin-ling-pai adalah ayahku."
"Ah, jadi nona ini puteri Bu-eng-kiam-hiap" Pantas saja ilmu pedang nona demikian bagus!" kata Souw Kian Bu memuji. "Harap Souw-taihiap tidak terlalu memujji. Kalau taihiap tidak keburu datang membantu, tentu aku dan Ting-taihiap ini akan kalah melawan si katai tadi. Entah siapa dia, begitu lihainya."
"Dia" Dia adalah Tee-kui, orang kedua dari Thian Te Siang-kui," kata Souw Kian Bu. "Ahh, pantas ilmu kepadaiannya demikian hebat!" seru Kiok Hwi terkejut dan kini dia teringat kepada Han Lin, maka kepada kedua orang itu dia bertanya. "Sekarang aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan, barangkali ji-wi telah mengetahuinya. Aku sedang mencari seorang bernama Sia Han Lin, apakah ji-wi mengetahui dia berada di mana?"
Ting Bun menggeleng kepalanya. Pemuda yang berpakaian serba biru sederhana ini bertubuh sedang, berwajah tampan dan pendiam. Dia tak pernah mendengar nama Sia Han Lin, maka dia menggeleng kepala dengan hati kecewa karena dia ingin sekali dapat membantu nona yang sejak pertama kali melihatnya telah membuat hatinya jatuh bangun ini.
"Sia Han Lin" Kalau boleh aku bertanya, apakah hubunganmu dengan Sia Han Lin, nona?"
Kiok Hwi memandang tajam, jantungnya berdebar. Dari pertanyaan ini saja jelas bahwa pemuda bercaping ini sudah mengenal Han Lin.
"Aku sahabatnya, taihiap. Apakah taihiap mengenalnya" Di mana dia sekarang?" Kian Bu adalah seorang laki-laki yang sudah berpengalaman. Dari sikap dan pertanyaan itu saja dia sudah dapat menduga bahwa Kiok Hwi tentu telah jatuh cinta kepada saudara misannya itu. Dan diapun teringat kepada Can Bi Lan. Juga gadis puteri ketua Pek-eng Bu-koan itu jatuh cinta kepada Han Lin!
"Tentu saja aku mengenalnya karena dia adalah kakak misanku sendiri."
"Ahhh... ohhh...!" Kiok Hwi menjadi girang sekali sampai ber-ah-oh-oh, "dapatkah engkau mengatakan di mana dia berada sekarang?"
"Aku sendiri juga sedang mencarinya, nona. Aku hendak menyampaikan berita yang amat buruk baginya."
Wajah Kiok Hwi berubah. "Berita buruk" Apakah itu, taihiap" Boleh aku mengetahui berita buruk apa yang hendak kausampaikan kepada Lin-koko?"
"Berita bahwa isterinya telah tewas," kata Souw Kian Bu sambil memandang tajam. Wajah Kiok Hwi menjadi pucat seketika.
"Is... isterinya..." Sejak kapan dia menikah, taihiap?"
"Dia sudah menikah dengan seorang gadis Mongol."
"Ah, dan isterinya itu... tewas...?" suara Kiok Hwi bercampur isak. "Kasihan sekali, Lin-ko..." Souw Kian Bu menjadi lega. Bagaimanapun juga, gadis ini berhati baik. Tidak memperlihatkan cemburu, dan tidak marah, malah mengatakan kasihan. Tidak pencemburu, tidak seperti... dia!
"Nona, mati hidup seseorang telah ditentukan oleh Thian. Oleh karena itu, tidak perlu disesalkan," kata Ting Bun dengan nada suara menghibur. "Harap nona tidak terlalu sedih mendengar nasib sahabatmu itu, nona."
Mendengar ucapan itu, Kian Bu menghela napas panjang. "Benar yang dikatakan saudara Ting Bun ini. Segala sesuatu yang menimpa kehidupan seorang manusia sudah ditentukan sesuai dengan keadilan Thian, tidak perlu disesalkan. Akan tetapi betapa sukarnya... ah, sudahlah, aku harus melanjutkan perjalananku. Nona, kalau sekali waktu engkau bertemu dengan Han Lin, sampaikan pesanku kepadanya bahwa isterinya telah tewas dan kalau dia hendak mengetahui lebih banyak agar mencari aku di Wu-han."
"Baiklah, taihiap." "Nona, karena engkau sahabat kakak misanku, engkau sahabatku pula dan tidak semestinya menyebut aku taihiap. Namaku Souw Kian Bu dan engkau dapat kuanggap seperti adikku."
"Terima kasih, Bu-ko. Akan kusampaikan pesanmu kepada Lin-ko kelak, kalau saja aku dapat bertemu dengannya."
"Nah, selamat tinggal, Hwi-moi dan selamat tinggal, saudara Ting Bun."
"Selamat jalan," kata mereka berdua.
Setelah Kian Bu pergi, barulah Kiok Hwi dan Ting Bun menyadari bahwa sejak tadi mereka berdua diam saja, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan suara.
Akhirnya Kiok Hwi yang bicara, "Taihiap..." "Sudah sepatutnya kalau engkau juga jangan menyebut taihiap kepadaku, nona. Kalau engkau menyebut koko (kakak) kepada saudara Souw Kian Bu, kenapa kepadaku tidak?"
Kiok Hwi tersenyum. "Aku tidak berani, akan tetapi kalau engkau menghendaki..."
"Tentu saja, moi-moi, karena bukankah kita telah menjadi sahabat setelah pertemuan yang kebetulan ini?"
"Baiklah, Bun-ko."
"Hwi-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?"
"Aku akan mencari paman ke Lok-yang." "Aih, kebetulan sekali, Hwi-moi. Akupun hendak pergi ke Lok-yang mencari saudaraku. Kalau begitu, jika engkau tidak berkeberatan, bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama ke Lok-yang?"
"Tentu saja tidak berkeberatan, Bun-ko. Malah aku girang sekali karena dengan melakukan perjalanan berdua, kita tidak perlu khawatir kalau seandainya Tee-kui tadi menghadang dan mengganggu lagi."
"Tepat sekali ucapanmu, Hwi-moi. Mari kita berangkat."
Mereka melakukan perjalanan bersama dan dalam kesempatan ini mereka saling mempererat persahabatan dengan menceritakan keadaan diri masing-masing. Kiok Hwi bercerita bahwa ia hendak mengunjungi pamannya yang sudah lama tidak dijumpainya, sekalian merantau untuk meluaskan pengalamannya.
"Pamanku bernama Yap Gun dan dia membuka toko obat di Lok-yang, dan sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengna paman dan bibi." Ting Bun uga menceritakan keadaan dirinya. Dia sudah yatim piatu dan sejak kecil menjadi murid Bu-tong-pai bersama adiknya yang bernama Ting Bu. Adiknya itu pergi ke Lok-yang dia hendak menyusulnya.
"Kami berdua juga merantau untuk meluaskan pengalaman," kata Ting Bun. "Dan adikku itu memang bandel, ingin berpisah agar dapat memperoleh pengalaman hebat." Dia tersenyum. "Karena itu, dari Tiang-an dia lalu berangkat mendahului aku ke Lok-yang. Sekali ini kalau dia tersusul olehku, takkan kubiarkan dia meliar sendiri. Ternyata di daerah ini terdapat banyak penjahat yang lihai dan berbahaya sekali."
"Kalau adikmu itu menjadi murid Bu-tong-pai seperti engkau sendiri, kurasa tidak perlu mengkhawatirkannya. Dia pasti mampu berjaga diri."
"Benar juga katamu, Hwi-moi. Akan tetapi engkau melihat sendiri, gerombolan perampok yang mengganggu kita tadi berbahaya dan lihai."
"Akupun heran, Bun-ko. Sekarang ini keadaan bertambah parah, dan di mana-mana bermunculan gerombolan perampok yang lihai." Ting Bun menghela napas panjang. "Demikianlah kalau pemerintah lemah. Para pejabat hanya berkorupsi tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat. Penjagaan keamanan amat kurang, maka para penjahat berani merajalela dan keamanan hidup rakyat tidak terjamin."
Mereka memasuki kota Lok-yang dan berkunjung ke rumah Yap Gun, yaitu paman Kiok Hwi, adik dari Bu-eng-kiam-hiap Yap Kong Sing. Yap Gun seorang laki-laki berusia empat puluh enam tahun, tinggal di Lok-yang berdua dengan isterinya karena dia tidak mempunyai keturunan. Tubuhnya tinggi tegap, akan tetapi ilmu silatnya tidaklah sehebat ilmu kakaknya yang menjadi ketua Cin-ling-pai, karena sejak muda ia lebih tekun mempelajari obat-obatan dan ilmu pengobatan dari pada ilmu silat.
Yap Gun menerima kunjungan Kiok Hwi dan Ting Bun dengan alis terangkat karena dia merasa tidak mengenal dua orang muda itu.
"Gun-siok (paman Gun), lupakah paman kepadaku" Aku adalah Yap Kiok Hwi dari Cin-ling-pai!" seru Kiok Hwi yang geli melihat pamannya tidak mengenalnya. Barulah laki-laki itu bangkit dan wajahnya berseri-seri. "Ahh, Kiok Hwi! Bagaimana aku dapat mengenalmu" Engkau sudah dewasa sekali sekarang!" lalu orang itu berteriak memanggil isterinya. Seorang wanita setengah tua muncul dan berbeda dengan suaminya, wanita ini segera mengenal Kiok Hwi dan merangkulnya.
"Kiok Hwi, ah, betapa kami merindukanmu!" kata bibi itu yang memang amat sayang kepada Kiok Hwi karena ia sendiri tidak mempunyai anak.
"Kiok Hwi, dan siapakah pemuda ini?" "Ah, ya, paman. Ini adalah saudara Ting Bun, seorang sahabatku yang kebetulan bertemu di jalan, kami berdua menghadapi serombongan perampok. Dia murid Butong-pai, paman."
"Ah, bagus. Aku mendengar bahwa Bu-tong-pai banyak mempunyai murid yang menjadi pendekar yang pandai."
"Paman terlalu memuji," kata Ting Bun merendah. Mereka berempat lalu masuk ke dalam. Yap Gun menyuruh para pegawainya untuk berjaga toko dan dia bersama isterinya lalu bercakap-cakap dengna Kiok Hwi dan Ting Bun di ruangan belakang.
Setelah ditanya tentang perampokan itu dan Kiok Hwi menceritakan semua, gadis itu berbalik bertanya. "Bagaimana keadaan di Lok-yang sendiri, paman" Di luar kota banyak perampok, bagaimana dengan di dalam kota?"
"Ah, di sini juga sekarang banyak sekali terjadi hal-hal yang menggelisahkan. Baru sepekan yang lalu terjadi geger di tempat tinggal Kwan-ciangkun, panglima yang paling berkuasa di Lok-yang."
"Apa yang terjadi?" "Putera Kwan-ciangkun sakit parah. Akupun pernah dipanggil, akan tetapi dengan terus terang aku mengatakan bahwa aku tidak dapat mengobatinya karena penyakitnya amat parah. Apa yang dilakukan Kwan-ciangkun" Menghukum aku dengan tiga puluh cambukan. Akhirnya terpaksa aku memberitahu bahwa di Nanyang terdapat sahabatku yang ahli dalam hal pengobatan, yaitu Thian-te Yok-sian, dan agar puteranya dibawa ke sana untuk minta Thian-te Yok-sian mengobatinya. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Kwan-ciangkun" Dia mengirim pasukan memaksa dan menculik sahabatku itu dibawa ke sini dan disuruh mengobati, kalau gagal akan dibunuh!"
"Hemm, sungguh sewenang-wenang!" kata Kiok Hwi dan Ting Bun hampir berbareng. "Seperti yang kuduga, Thian-te Yok-sian sendiri agaknya tidak sanggup mengobati penyakit yang parah itu, penyakit yang kotor menjijikkan. Dengan dikawal pasukan, Thian-te Yok-sian mengunjungi aku untuk mencari obat-obat yang paling manjur. Namun, itu hanya menolong sementara saja dan keselamatan nyawa Thian-te Yoksian terancam. Akan tetapi, sepekan yang lalu muncullah muridnya bersama seorang pemuda yang kabarnya bernama Sia Han Lin..."
"Lin-ko...!" Kiok Hwi berseru girang.
"Engkau mengenalnya?"
"Tentu saja, paman. Dia pernah membersihkan nama baik Cin-ling-pai yang tercemar." "Karena kelihaian pemuda itu dan murid Thian-te Yok-sian maka dewa obat itu dapat disingkirkan, dilarikan oleh kedua orang itu. Menurut desas-desus, mereka bahkan mengancam Kwan-ciangkun dan akan membunuhnya kalau tidak membebaskan si dewa obat."
"Hebat!" seru Kiok Hwi gembira. "Dan sekarang mereka berada di mana, paman?" "Kukira mereka tidak akan berani kembali ke Nan-yang karena tentu Kwanciangkun tidak akan tinggal diam. Akan tetapi aku tahu bahwa Thian-te Yok-sian berasal dari daerah Huang-ho. Besar kemungkinan oleh murid dan penyelamatnya dia diantar ke Huang-ho."
"Kalau begitu, aku mau menyusul ke Huang-ho, Bun-ko, maukah engkau menemani aku pergi ke Huang-ho untuk menyusul mereka" Aku ingin sekali bertemu dengan Lin-ko!"
Ting Bun menghela napas panjang. Dia teringat adiknya, akan tetapi diapun lebih berat kepada Kiok Hwi walaupun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan Kiok Hwi begitu ingin bertemu dengan Han Lin.
"Kalau memang penting sekali pergi ke Huang-ho..."
"Bun-ko, apakah engkau lupa akan pesan Souw Kian Bu koko" Bukankah ada berita penting tentang kematian isterinya..." Wajah pemuda itu mendadak berseri. Kalau itu kepentingannya, tentu saja dia senang untuk menemani. Dia khawatir kalau-kalau Kiok Hwi hendak menyusul Han Lin karena mencinta pemuda itu. Dia tidak tahu bahwa memang tadinya Kiok Hwi mencinta Han Lin, akan tetapi sejak mendengar bahwa Han Lin telah menikah dengan gadis Mongol yang kemudian terbunuh, cintanya juga sudah menghilang, bahkan perhatian hatinya kini beralih kepada Ting Bun.
Malam itu mereka bermalam di rumah Yap Gun dan semalam itu dimanfaatkan oleh Ting Bun untuk berkeliaran di Lok-yang mencari adiknya. Namun usahanya siasia, dia tidak dapat menemukan adiknya itu, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dia dan Kiok Hwi pergi meninggalkan Lok-yang menuju ke daerah Huang-ho.
Kiranya tidak akan mungkin mencari seseorang yang tinggal di daerah Huang-ho kalau tidak diberitahu daerah mana dan apa nama dusunnya. Huang-ho (Sungai Kuning) beribu-ribu mil panjangnya dan daerahnya amat luas, meliputi beberapa propinsi. Akan tetapi Kiok Hwi sudah mendapat keterangan jelas dari pamannya. Thian-te Yok-sian berasal dari daerah Tong-beng, di lembah Huang-ho tak jauh dari Lok-yang, yaitu di sebelah timurnya. Maka merekapun melakukan perjalanan cepat menuju ke Tong-beng.
Baru saja mereka tiba kurang lebih sepuluh li dari Tong-beng, di sebelah barat, pada pagi hari itu selagi berjalan dengan Ting Bun, tiba-tiba Kiok Hwi berseru. "Linko..."
Ting Bun mengangkat muka memandang dan melihat dua orang sedang berjalan mendatangi dari depan. Seorang pemuda dan seorang gadis.
"Lin-ko...! Lin-ko...!" Kiok Hwi berlari menyambut pemuda dan gadis itu. Terpaksa Ting Bun mengikuti dari belakang. Pemuda dan gadis itu memang Han Lin dan Lie Cin Mei. Mereka baru saja mengantar guru Lie Cin Mei ke dusun kampung halamannya dan hendak melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Tentu saja Han Lin segera mengenal gadis yang berteriak-teriak memanggilnya itu dan dia terheran-heran melihat Kiok Hwi, puteri ketua Cin-ling-pai itu berada di situ, datang bersama seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
"Hwi-moi...! Kau di sini" Hendak ke mana dan dari manakah engkau, Hwi-moi?" "Aih, Lin-ko, susah payah aku mencarimu. Ada berita penting sekali yang harus kusampaikan kepadamu dan betapa girang hatiku dapat bertemu dengan engkau di sini..." akan tetapi Kiok Hwi memandang gadis jelita di samping Han Lin itu dengan penuh keraguan.
Han Lin menyadari akan kehadiran Cin Mei dan dia lalu memperkenalkan, "Hwimoi, perkenalkan. Ini adalah adik Lie Cin Mei yang berjuluk Kwan Im Sianli, murid dari paman Thian-te Yok-sian. Dan adik Cin Mei, ini adalah Yap Kiok Hwi, puteri dari Bu-eng-kiam-hiap Yap Kong Sin, ketua Cin-ling-pai."
Dua orang gadis yang sama cantik jelita itu saling memberi hormat, dan Kiok Hwi juga teringat akan kehadiran Ting Bun, maka diapun memperkenalkan. "Lin-ko, ini adalah saudara Ting Bun, murid Bu-tong-pai yang membantuku ketika aku diserang oleh Tee-kui dan anak buahnya. Bun-ko, inilah kakak Sia Han Lin yang kucari-cari."
"Hwi-moi, berita penting apakah yang katanya hendak kausampaikan padaku?"
"Boleh aku bicara sekarang?" tanya Kiok Hwi sambil melirik ke arah Cin Mei. Gadis yang halus perasaannya ini lalu berkata lirih.
"Kalau ingin bicara penting, lebih baik aku menjauhkan dii dari sini..." dan ia hendak melangkah pergi akan tetapi Han Lin segera memegang tangannya. "Siauw-moi, jangan begitu. Engkau tentu saja boleh mendengarkan apa saja yang akan disampaikan oleh Kiok Hwi. Hwi-moi, katakanlah apa yang akan kaubicarakan dengan aku."
"Hal ini mengenai isterimu, Lin-ko," kata Kiok Hwi lalu memandang tajam. "Isteriku...?" Han Lin berseru heran karena dia sendiri merasa tidak pernah beristeri. Hampir lupa dia akan keadaan Mulani yang sudah menjadi isterinya.
"Perempuan Mongol itu!" kata Kiok Hwi memperingatkan.
"Perempuan Mongol" Engkau sudah tahu tentang itu" Ada apakah dengannya, Hwi-moi?"
"Ia... ia telah tewas, Lin-ko." Han Lin terkejut setengah mati. Biarpun dia tidak mencinta Mulani sebagai seorang suami, akan tetapi dia sayang kepada gadis Mongol itu dan bagaimanapun juga, gadis itu sudah menikah dengannya, walaupun hanya menikah upacara saja.
"Apa..." apa yang telah terjadi dan bagaimana engkau dapat mengetahuinya" Ia berada di utara dan kau..."
"Lin-ko, akupun hanya mendengar dari pemberitahuan orang. Bun-koko ini yang menjadi saksi. Lin-ko, kenalkah engkau dengan orang yang bernama Souw Kian Bu?"
"Souw Kian Bu" Dia adalah saudara misanku." "Nah, kalau begitu benar sudah. Souw Kian Bu yang menceritakan kepadaku, memesan bahwa apa bila aku bertemu denganmu, aku harus menyampaikan berita bahwa isterimu telah meninggal dunia, Lin-ko."
Wajah Han Lin berubah layu. Kalau Souw Kian Bu yang menceritakan, tentu tidak dapat diragukan lagi. "Akan tetapi mengapa" Apa yang telah terjadi dengannya?" Melihat ini, Kiok Hwi merasa kasihan sekali. Wajah Han Lin nampak terkejut dan juga sedih. "Maafkan kalau aku membawa berita yang begini buruk bagimu, Lin-ko. Aku sendiri tidak tahu mengapa, karena kakak Souw Kian Bu tidak memberitahu padaku. Dia hanya berpesan agar kalau bertemu Lin-ko, aku mengabarkan tentang kematian itu dan kalau Lin-ko ingin tahu lebih jelas lagi, katanya agar Lin-ko pergi menyusul dia ke Wu-han."
"Wu-han?" Han Lin teringat bahwa orang tua Souw Kian Bu tinggal di Wu-han. "Baik, dan terima kasih banyak, Hwi-moi, sekarang juga aku akan pergi menyusul ke Wu-han. Selamat berpisah, Hwi-moi, jaga dirimu baik-baik. Selamat tinggal, saudara Ting Bun."
"Selamat jalan, Lin-ko, engkau juga jaga dirimu baik-baik!"
"Mari, siauw-moi," ajak Han Lin kepada Cin Mei dan mereka bergegas pergi dari situ.
Kiok Hwi dan Ting Bun saling pandang. "Hwi-moi, engkau pernah sangat sayang kepada pemuda itu, bukan?" Ting Bun bertanya dengan jujur. Melihat keterbukaan pemuda ini dalam mengajukan pertanyaan, Kiok Hwi mengangguk. "Dia pernah menyelamatkan nama Cin-ling-pai, menyelamatkan kehormatan dan nama baik Cin-ling-pai. Aku bersukur dan berterima kasih sekali kepadanya, dan mengaguminya, akan tetapi sebelum aku mendengar bahwa dia telah menikah dengan wanita Mongol..."
"Aku girang sekali mendengar ini, Hwi-moi."
"Eh, kenapa girang?"
"Entahlah, akan tetapi aku merasa girang sekali mendengar bahwa engkau tidak memikirkan dan mengharapkan dia lagi." Wajah Kiok Hwi menjadi merah sekali karena dia dapat merasakan apa yang tersembunyi di balik kata-kata itu. "Bun-ko, sekarang engkau hendak pergi ke manakah" Mungkin kita harus berpisah di sini."
"Ahh! Kenapa begitu" Engkau sendiri hendak ke mana, Hwi-moi?"
"Untuk sementara aku akan tinggal di rumah paman Yap Gun, untuk beberapa hari atau beberapa pekan." "Bagus, akupun hendak ke Lok-yang, aku belum dapat menemukan adikku. Pula, apakah engkau tidak tertarik akan halnya Kwan-ciangkun yang bertindak sewenangwenang" Aku ingin melakukan penyelidikan dan kalau perlu menambah ancaman yang diberikan oleh saudara Sia Han Lin kepadanya. Orang macam itu harus diberi hajaran, kalau tidak dia akan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata."
"Aku setuju sekali, Bun-ko. Aku akan minta kepada paman Yap Gun agar membolehkan engkau sementara tinggal di rumahnya." "Ah, tidak, Hwi-moi. Hal itu akan amat mengganggu beliau, dan juga tidak pantas karena aku bukan sanak keluarganya. Biarlah aku mencari adikku lebih dulu dan mudah bagiku untuk mencari tempat penginapan bersama adikku."
Mereka segera kembali ke Lok-yang dan tentu Yap Gun girang menerima keponakan yang tersayang itu, demikian pula isterinya. Ting Bun tidak tinggal di situ dan segera mencari adiknya. Hampir setiap hari dia datang berkunjung dan hubungan mereka semakin akrab. Biarpun keduanya tidak pernah menyatakan cinta, namun keduanya sudah maklum akan isi hati masing-masing karena segala kemesraan itu dapat mudah dilihat dari pandang mata mereka, dari suara mereka dan senyum mereka. Kalau dua hati sudah saling mencinta, bagi kedua orang itu mudah saja mengetahuinya, tidak dibutuhkan lagi kata-kata yang hanya pandai merayu.
Souw Kian Bu sudah tiba di rumah orang tuanya. Souw Hui San dan isterinya, Yang Kui Lan tentu saja merasa girang akan tetapi juga heran melihat putera mereka datang berkunjung seorang diri saja.
"Kian Bu, mana isterimu" Kenapa tidak ikut bersamamu berkunjung ke sini?" tanya ibunya heran.
"Ia sibuk dengan urusan Kim-kok-pang, ibu."
"Ah, Kian Bu, seharusnya engkau datang berkunjung bersama isterimu. Bagaimana engkau tinggal ia begitu saja?" tanya ayahnya.
"Ayah, sudah kukatakan, ia sibuk sekali dan aku sudah rindu sekali kepada ayah dan ibu, maka aku datang seorang diri saja." Akan tetapi suami isteri itu saling pandang dan mereka merasa tidak enak hati. Mereka khawatir kalau ada apa-apa antara putera dan mantunya, setidaknya ada percekcokan. Walaupun hati mereka menduga demikian, namun mereka tidak bertanya apa-apa lagi. Dan kecurigaan mereka semakin mendalam ketika mereka melihat sikap putera mereka selama berhari-hari tinggal di situ. Souw Kian Bu pada dasarnya adalah seorang muda yang periang, akan tetapi selama berada di situ nampak murung selalu dan kalau memperlihatkan wajah gembira, maka kegembiraan itu dibuat-buat. Kerut di antara alisnya tak pernah hilang dan sinar matanya juga muram.
Pada suatu pagi Kian Bu duduk termenung di halaman rumah yang berada di samping toko kain ayahnya. Dia tidak membantu toko, hanya termenung memandang ke pekarangan yang ditumbuhi bermacam bunga tanaman ibunya. Ayah dan ibunya sibuk melayani pembeli di toko kain mereka.
"Bu-te (Adik Bu)...!" Kian Bu terkejut mendengar panggilan dan mengangkat mukanya. Di pekarangan itu telah masuk dua orang muda, yang seorang segera dikenalnya sebagai Sia Han Lin saudara misannya sedangkan yang kedua adalah seorang gadis yang cantik jelita dan sikapnya lemah lembut.
"Lin-toako...!" serunya girang dan diapun bangkit berdiri lalu berlari menyongsong mereka di pekarangan.
"Bu-te, perkenalkan, ini adalah Kwan Im Sianli Lie Cin Mei, dan adik Cin Mei, ini adalah adik misanku Souw Kian Bu." Kedua orang yang diperkenalkan itu saling memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada. Akan tetapi mereka berdua itu segera sudah dicekam perasaan hati masing-masing.
"Lin-toako, bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa aku berada di rumah orang tuaku?" tanya Kian Bu.
"Bu-te, aku telah bertemu dengan Kiok Hwi, ia yang mengatakan bahwa... Bu-te, apa yang telah terjadi?"
"Lin-ko, mari kita bicara di taman saja agar jangan ada orang lain mendengarnya. Nona, silakan nona duduk menanti di kamar tamu sementara aku dan Lin-toako..." "Bu-te, tidak mengapa kalau adik Cin Mei mendengarnya. Ia sudah mengetahui semua. Ceritakan saja, aku tidak mempunyai rahasia apapun terhadap adik Cin Mei."
Ucapan Han Lin ini saja sudah cukup jelas bagi Kian Bu akan perasaan hati Han Lin terhadap Kwan Im Sianli. "Baiklah, mari kita masuk ke taman." Dia mendahului mereka memasuki taman bunga yang berada di sebelah kiri rumah itu, sebuah taman yang cukup indah karena terawat oleh tangan Yang Kui Lan yang memang mencintai bunga. Mereka duduk di bangku panjang dekat kolam ikan emas di tengah taman.
"Peristiwanya terjadi di kota Souw-ciu," Kian Bu mulai bercerita. "Ketika berada di rumah makan, aku melihat Thian-kui berkelahi dengan seorang pemuda yang kemudian kuketahui bernama Can Kok Han. Mereka bertanding akan tetapi keadaan mereka tidak seimbang."
"Tentu saja, Can Kok Han tidak mungkin mampu menandingi Thian-kui yang lihai itu," kata Han Lin. "Tiba-tiba Kok Han melemparkan sesuatu yang meledak dan membuat Thian-kui roboh pingsan. Kok Han hendak membunuhnya akan tetapi muncul Tee-kui yang menyerangnya dengan hebat sehingga Kok Han tidak sempat lagi menggunakan bahan peledaknya yang lihai itu. Aku lalu muncul membantunya dan Tee-kui segera lari membawa tubuh Thian-kui yang pingsan. Dan kau tahu bagaimana sikap Can Kok Han" Dia malah marah dan tidak senang terhadap bantuanku. Pemuda itu sungguh angkuh luar biasa."
"Hemm, memang pemuda itu memiliki watak sombong," kata Han Lin, teringat akan pengalamannya dengan Bi Lan. "Lalu bagaimana, Bu-te?"
"Ketika aku hendak pergi, muncul seorang wanita Mongol..."
"Mulani...!" "Benar, Lin-ko. Yang muncul adalah Mulani yang menegur Kok Han karena menggunakan obat pembius yang meledak itu dan menuduhnya dahulu juga melakukannya terhadap ia dan engkau. Kok Han mengaku dan pada saat itu, tanpa disangka-sangka, Mulani menghujamkan pedangnya ke dada Kok Han sehingga tewas seketika."
"Ahh...! Kiranya Kok Han pelakunya itu...!" Han Lin mengepal tinju dan dapat membayangkan betapa Kok Han melempar bahan peledak yang membius, kemudian ketika dia dan Mulani pingsan, pemuda itu memperkosa Mulani dan menelanjangi dia dan Mulani untuk memberi kesan bahwa dialah yang memperkosa Mulani.
"Pada saat itu terdengar ledakan lain dan muncullah seorang gadis yang kemudian kuketahui bernama Can Bi Lan, adik dari Can Kok Han itu dan ketika Mulani terpengaruh peledak yang membius, Bi Lan menyerangnya dengan tusukan pedang."
"Ahhh..., jadi Bi Lan yang membunuhnya!" "Tenang, Lin-ko. Menurut aku, Can Bi Lan itu tidak dapat disalahkan. Ia teidak tahu duduknya perkara dan melihat kakaknya dibunuh orang, wajah kalau ia membalas kematian kakaknya itu. Setelah Mulani menceritakan semuanya, barulah Bi Lan sadar dan ia merasa menyesal sekali telah membunuh Mulani, apa lagi ketika kakaknya sendiri yang mengaku telah memperkosa Mulani dan menjatuhkan fitnah kepadamu."
"Ahh, Mulani..." "Ketika itu Mulani masih sempat berpesan kepadaku bahwa ia minta maaf telah memaksamu menikahinya dan ia mengatakan bahwa engkau telah bebas, tidak lagi menjadi suaminya karena bukan engkau yang melakukan perbuatan terkutuk itu."
"Ahhh, Mulani..." Melihat Han Lin seperti orang yang menyesal sekali, Kwan Im Sianli Lie Cin Mei berkata, "Lin-koko, tidak perlu disesalkan. Bagaimanapun juga, mereka meninggal dunia setelah mengetahui semua persoalannya. Engkau tidak bersalah, dan yang bersalah sudah tewas. Adapun kematian Mulani, kurasa hal itu bahkan sebaiknya ia masih hidup dan mengetahui aib yang menimpa dirinya itu, tentu hidupnya akan penuh dengan kegetiran dan kedukaan. Semua telah terjadi, koko, dan yang terpenting, engkau tidak melakukan suatu kesalahan."
"Adik ini berkata tepat sekali, toako. Dan kiranya tidak bijaksana kalau engkau mendendam kepada Can Bi Lan." "Aku tidak mendendam kepada siapapun, Bu-te, hanya aku kasihan sekali kepada Mulani. Biarpun ia puteri kepala suku Mongol, harus diakui bahwa ia memiliki watak yang baik."
Pada saat itu, asyik-asyiknya mereka membicarakan soal kematian Mulani, mereka tidak tahu bahwa ada seseorang laki-laki memasuki taman itu dan dia berseru, "Souw Kian Bu, aku hendak bicara denganmu!"
Semua orang menengok dan ketika Kian Bu mengenal siapa orangnya yang memanggilnya, dia meloncat berdiri dan mukanya berubah merah sekali. matanya melotot memandang pemuda yang datang itu dan suaranya membentak nyaring.
"Engkau..." Berani benar engkau datang ke sini! Apa maumu?"
Pemuda itu bukan lain adalah Gu San Ki, suheng isterinya yang dicemburuinya itu.
San Ki tidak gentar menghadapi bentakan ini. "Souw Kian Bu, aku datang ke sini untuk membawamu pulang ke Kim-kok-pang, sekarang juga!"
"Apa" Beraninya engkau berkata begitu" Dasar manusia kurang ajar, pengkhianat cabul, kembalilah engkau kepada kekasihmu itu, jahanam!" Han Lin dan Cin Mei sampai kaget setengah mati melihat sikap Kian Bu. Pemuda yang periang dan bersikap ramah dan sopan itu saat ini nampak seperti setan, begitu marahnya sampai memaki-maki orang yang baru datang.
Pada saat itu terdengar suara melengking nyaring. "Aihh, inikah orangnya yang bernama Souw Kian Bu" Pantas, sikapnya begini tengik dan tidak tahu diri!" dan di situ muncullah Jeng I Sianli Cu Leng Si.
"Enci Leng Si...!" seru Han Lin.
"Suci...!" teriak Cin Mei. "Han Lin, Cin Mei, hangan kalian berani ikut-ikut. Aku harus membereskan lakilaki sombong, suami yang tidak tahu diri ini!" bentak Leng Si dan iapun sudah menghampiri Kian Bu yang menjadi semakin marah.
"Siapa engkau, wanita, yang datang-datang memaki orang?" bentaknya marah. "Dan kaukira engkau ini siapa begitu San Ki muncul lalu kau maki-maki seenak perutmu sendiri" Engkau suami pencemburu yang sudah tidak ketolongan lagi. Engkau berpikiran kotor, buruk, membyangkan yang bukan-bukan, dan mengukur baju orang lain dengan tubuh sendiri, mengira semua laki-laki sebusuk engkau! Engkau mencumburui Gu San Ki dengan isterimu, bukan?"
Kian Bu demikian marahnya sehingga hampir dia tidak mampu menahan diri lagi. "Kalau memang benar demikian, engkau mau apa" Aku mempunyai alasanku sendiri mencemburui dia! Engkau ini siapakah hendak mencampuri urusan kami?"
"Ketahuilah olehmu, Souw Kian Bu. Gu San Ki tidak perlu kaucemburui karena dia adalah tunanganku! Dan aku tidak rela tunanganku kaucemburui!"
Kian Bu terkejut. Gu San Ki sudah mempunyai tunangan dan agaknya wanita galak ini dikenal baik oleh Han Lin dan bahkan disebut suci oleh Cin Mei"
"Enci Leng Si, harap bersabar dulu!" kata Han Lin. "Souw Kian Bu ini adalah adik misanku, mengapa engkau caci maki seperti itu?"
"Sia Han Lin, kau dengar tadi atau tidak" Dia yang lebih dulu memaki-maki Gu San Ki yang datang dengan baik-baik hendak mengajaknya pulang kepada isterinya." Souw Kian Bu yang biasanya pandai bicara, sekali ini merasa tidak berdaya menghadapi Leng Si yang galak seperti kucing beranak itu. Dan pada saat itu, ramairamai itu terdengar dari luar taman dan muncullah Souw Hui San dan Yang Kui Lan.
"Kian Bu, ada apakah ramai-ramai ini" Heii, bukankah itu Sia Han Lin" Kapan kau datang?" tegur Yang Kui Lan. Han Lin segera memberi hormat kepada paman dan bibinya. "Maafkan, paman dan bibi kalau saya belum sempat menghadap paman dan bibi, dan lebih dulu bercakapcakap dengan Bu-te."
"Tidak apa, Han Lin. Dan mereka semua ini siapakah" Dan ada apa ramai-ramai tadi" Kami masih sempat mendengar nona ini memaki-maki, siapa yang dimakinya?" tanya Souw Hui San.
"Apakah paman dan bibi ini orang tua Souw Kian Bu" Kalau begitu, harap paman dan bibi dapat mengatur putera paman dan bibi ini yang telah bertindak keterlaluan!" kata Leng Si, kini mengatur kata-katanya dengan sopan.
Yang Kui Lan yang berwatak lembut itu mengerutkan alisnya. "Apa sebetulnya yang telah terjadi" Kian Bu, kenapa engkau diam saja" Katakan, apa yang telah terjadi?"
Han Lin segera berkata, "Bibi, agaknya persoalan ini membutuhkan keterangan kedua pihak, dan kurasa amat tidak baik kalau kita bicara di tempat terbuka seperti ini. Bagaimana kalau kita semua bicara di dalam rumah?"
"Tepat sekali," kata Souw Hui San. "Marilah, mari kalian semua ikut kami masuk ke dalam rumah dan bicara baik-baik seperti orang sopan." Mereka semua lalu ikut masuk ke dalam rumah dan memasuki ruangan belakang yang luas dan tertutup pintu dan jendelanya. Setelah duduk mengelilingi meja besar, barulah Souw Hui San berkata, "Nah, sekarang harap kalian jelaskan, apa sesungguhnya yang telah terjadi."
"Semua ini terjadi karena gara-gara kehadiran saya, oleh karena itu, kalau Souw Kian Bu membolehkan, biarlah saya yang akan menceritakan semua. Kalau saya bicara salah, nanti Kian Bu boleh saja menyanggahnya. Apakah ini disetujui?" kata Gu San Ki.
Kian Bu mengerutkan alisnya dan tidak membantah. Kemudian Gu San Ki mulai bercerita. "Nama saya Gu San Ki dan saya masih terhitung suheng dari isteri Souw Kian Bu karena saya adalah murid subo Pek Mau Siankouw."
"Ah, kalau begitu masih terhitung suhengku sendiri!" kata Cin Mei. "Sekarang aku ingat, engkau murid bibi guru Pek Mau Siankouw yang pernah datang berkunjung ke rumah kami!"
"Benar, sumoi," kata San Ki. "Selama lima tahun saya tinggal di rumah subo bersama sumoi Ji Kiang Bwe dan sejak sumoi meninggalkan perguruan, kami tidak pernah saling jumpa lagi. Sumoi Ji Kiang Bwe dan saya sudah seperti kakak beradik sendiri saja. Nah, beberapa bulan yang lalu, saya yang mendengar bahwa sumoi sudah menjadi ketua Kim-kok-pang dan sudah menikah, datang berkunjung. Pertemuan antara sumoi dan saya terjadi penuh kegembiraan kedua pihak dan sumoi yang sudah menganggap saya sebagai kakak sendiri begitu gembira sampai sumoi memegang kedua tangan saya. Pada saat itu muncul suaminya ini yang kemudian menjadi marahmarah, menyangka yang bukan-bukan lalu dia malah lari meninggalkan isterinya. Sumoi menangis dengan sedih dan yang merasa bersalah adalah saya. Oleh karena itu, saya lalu berjanji kepada sumoi untuk mencari Souw Kian Bu sampai dapat dan membawanya pulang kepada isterinya!"
"Akan tetapi begitu Ki-koko muncul, disambut oleh Souw Kian Bu dengan makimaki, maka saya menjadi marah dan membalas memaki-maki dia. Saya sebagai tunangan Ki-koko tidak terima mendengar tunangan saya dicemburui dan dimakimaki," sambung Leng Si. Han Lin dan Cin Mei memandang kepadanya dengan terheran-heran. Leng Si sudah bertunangan" Luar biasa sekali dan yang mersa paling gembira adalah Han Lin. Pemuda ini tahu bahwa kakak angkatnya itu pernah menyatakan cinta kepadanya, maka kini dia gembira bahwa kakak angkatnya itu telah mendapatkan seorang kekasih yang demikian gagah.
"Han Lin, benarkah engkau menyaksikan bahwa Kian Bu memaki-maki Gu San Ki ini, sehingga dia dibalas makian oleh nona ini?" demikian Souw Hui San bertanya, dia bersikap seadilnya.
"Benar sekali, paman. Hendaknya paman ketahui bahwa enci ini adalah kakak angkat saya sendiri, ia adalah Jeng I Sianli Cu Leng Si, murid dari Wi Wi Siankouw, dan adik ini adalah Kwan Im Sianli Lie Cin Mei, puteri dari Wi Wi Siankouw. Enci Leng Si tidak berbohong, demikian pula tunangannya."
"Kian Bu, apa artinya semua ini" Benarkah engkau mencemburui Gu San Ki ini dengan isterimu, dan benarkah engkau lari dari rumah meninggalkan isterimu dan menuduhnya berbuat yang bukan-bukan?"
Kian Bu menundukkan mukanya, merasa malu sekali dan baru sekarang dia melihat bahwa sikapnya memang keterlaluan. Cemburunya memang tidak beralasan dan sekarang dia melihat dengan jelas bahwa cemburunya terhadap Gu San Ki itu hanyalah merupakan perkembangan atau kelanjutan saja dari rasa cemburunya pada malam pertama! Dia kini dapat membayangkan betapa duka dan sengsara rasa hati isterinya yang tercinta. Pada hal, di lubuk hatinya dia percaya penuh akan kesetiaan isterinya dan percaya penuh bahwa isterinya dahulu belum pernah melakukan perbuatan yang mendatangkan aib.
"Aku memang bersalah, ibu. Aku terburu nafsu menuduh isteriku berbuat yang bukan-bukan. Gu-toako, di sini aku mohon maaf kepadamu. Aku telah menuduhmu berbuat yang tidak benar, pada hal semua itu hanya terdorong nafsu cemburuku semata."
Gu San Ki menjadi berseri wajahnya. "Souw-te, sungguh bahagia rasanya hatiku. Ketahuilah bahwa isterimu berduka sekali dan kuharap engkau segera pulang dan minta maaf kepadanya."
"Akan kulakukan itu, ayah dan ibu, aku akan mengajak Bwe-moi datang ke sini, harap ibu suka menambahkan permintaan maafku kepadanya." "Bagus, kalau begitu semuanya beres. Kiranya kita berada di antara orang-orang sendiri dan hanya terjadi sedikit kesalah pahaman. Han Lin, ternyata sahabatmu ini, nona Lie Cin Mei, nona Cu Leng Si dan Gu San Ki masih terhitung saudara-saudara seperguruan dari mantuku. Maka, pertemuan ini patut dirayakan!" kata Yang Kui Lan dengan gembira dan ia menahan orang-orang muda itu agar suka makan bersama.
Pesta kecil-kecilan ini bagi Souw Kian Bu juga terasa menggembirakan karena ganjalan hatinya karena cemburu itu telah lenyap sama sekali dan dia berjanji pada diri sendiri tidak akan lagi mencurigai atau mencemburukan isterinya yang tercinta.
Setelah selesai makan, empat orang muda itu berpamit untuk melanjutkan perjalanan. Mereka diantar oleh Kian Bu sampai di luar kota Wu-han dan setelah mereka melanjutkan perjalanan, Leng Si bertanya, "Han Lin dan sumoi, kalian sebetulnya hendak pergi ke manakah?"
"Kami hendak pergi ke kota raja, enci Leng Si," kata Han Lin.
"Ah, pedang pusaka itu belum juga kaukembalikan kepada Kaisar?"
"Belum, enci. Kami baru saja harus menolong dulu guru adik Cin Mei yang dipaksa Kwan-ciangkun di Lok-yang untuk mengobati puteranya."
"Guru sumoi?" Cin Mei lalu menceritakan tentang gurunya, yaitu Thian-te Yok-sian, yang kini telah diamankan dan kembali ke kampung halamannya di lembah Huang-ho.
"Dan engkau sendiri hendak pergi ke mana, suci?"
"Kami berdua hendak pergi ke kota raja juga. Kami telah bekerja kepada Gubernur Coan di Nan-yang."
"Ehhh" Sungguh aneh kalau engkau bekerja pada gubernur di Nan-yang, enci Leng Si." "Kami hanya berpura-pura saja, sebetulnya kami hendak menyelidiki karena Gubernur itu telah menjadi anggauta persekutuan yang hendak memberontak, dipimpin oleh Kui-thaikam."
"Ahhh...!"

Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bahkan Sam Mo-ong juga sudah menyusup ke sana, sebagai utusan Ku Ma Khan. Persekutuan itu bekerja sama pula dengan orang Mongol."
"Wah, gawat kalau begitu," kata Han Lin. "Kebetulan kita dapat bekerja sama. Sebaiknya engkau pergi menghadap Kaisar, menyerahkan pusaka dan mintalah kedudukan seperti yang dijanjikan, karena hanya dengan memiliki kedudukan engkau akan dapat melindungi Kaisar. Sebaiknya kalau kalian mendapatkan jabatan di dalam istana. Kami yang akan menyelidiki perkembangan persekutuan itu dengan pura-pura menjadi anak buah Gubernur Coan," kata Leng Si.
"Baik sekali kalau begitu. Kami setuju," kata Han Lin.
"Sebaiknya kita jangan masuk bersama-sama. Orang lain tidak boleh tahu bahwa kita saling mengenal, hal itu dapat membuka rahasia kami," kata pula Leng Si. Sebelum mereka berpisah, Cin Mei menggandeng tangan sucinya dan diajak bicara menjauh dari Han Lin dan San Ki. "Eh, eh, engkau kenapa, sumoi. Mau bicara saja pakai menarik orang pergi menjauh. Ada rahasia apa sih?"
"Tidak apa apa, suci. Aku hanya ingin menyampaikan terima kasihku atas usahamu mendekatkan aku dan Lin-koko." Leng Si tertawa dan mencubit lengan adiknya. "Aku juga ingin melihat kalian berbahagia, sumoi. Engkau memang merupakan satu-satunya wanita yang pantas untuk menjadi isteri adikku Han Lin dan aku pujikan semoga engkau berbahagia."
"Terima kasih, suci. Dan aku juga menghaturkan selamat kepadamu atas pertunanganmu dengan kakak Gu San Ki yang gagah itu."
Wajah Leng Si menjadi agak kemerahan. "Ah, itu tadi kukatakan hanya untuk memperkuat kedudukannya yang dituduh oleh Souw Kian Bu saja." "Tidak sungguh-sungguh" Tidak mungkin, kalau berpura-pura engkau tentu tidak akan sudi mengakui menjadi tunangannya. Dan agaknya Gu-toako juga tenang-tenang saja. Tidak, kalian tentu telah bersepakat untuk berjodoh. Kionghi (selamat), suci yang baik!"
Kembali Leng Si mencubit lengan sumoinya. "Sudahlah, engkau mau menggoda orang tua?" Dua pasang orang muda itu lalu melakukan perjalanan terpisah. Mereka tidak mau ada orang yang melihat mereka melakukan perjalanan bersama karena hal ini berbahaya sekali. Terutama bagi Leng Si dan San Ki yang telah diterima menjadi "orang kepercayaan" Gubernur Coan.
Yap Kiok Hwi berjalan-jalan di kota Lok-yang. Sudah seminggu ia tinggal di rumah pamannya, dan baru hari ini ia keluar dari rumah pamannya pergi berjalanjalan. Sebetulnya, ia bermaksud mencari Ting Bun, karena sehari kemarin pemuda itu tidak datang berkunjung ke rumah pamannya seperti biasa. Baru sehari tidak dikunjungi ia merasa tidak enak, merasa rindu! Maka, pagi itu iapun berpamit kepada paman dan bibinya untuk pergi berjalan-jalan, tentu saja tidak bilang bahwa ia hendak mencari sahabatnya itu.
Setelah berputar-putar sejak pagi, menjelang tengahari ia sudah merasa lelah, haus dan lapar. Dimasukinya sebuah rumah makan besar untuk memesan makanan. Hatinya berdebar tegang ketika dia melihat Ting Bun. Pemuda itu tidak melihatnya karena duduknya membelakanginya, akan tetapi ia segera mengenalnya. Ia sudah begitu hafal akan pemuda itu sehingga melihat dari jauh saja, biarpun dari belakang atau samping, ia akan dapat mengenalnya. Yang membuat hatinya merasa tegang dan berdebar adalah ketika melihat seorang gadis cantik duduk berhsapan dengan Ting Bun. Ia memandang penuh perhatian. Gadis itu usianya sebaya dengannya, berpakaian merah muda dan cantik sekali. Sepasang matanya lebar dan jeli, hidungnya mancung dan mulutnya selalu terenyum manis. Sebatang pedang berada di punggungnya. Dan mereka berdua itu bercakap-cakap dengan demikian mesranya, berbisik-bisik dan diseling senyum manis. Hatinya terasa panas bukan main, seperti dibakar! Akan tetapi, ia tentu saja tidak berani menegur, malu, karena ia tidak berhak melarang Ting Bun yang hanya sahabat biasa itu bergaul dengan siapapun. Ia hanya memperkeras suaranya ketika memesan makanan dan minuman untuk menarik perhatian. Usahanya berhasil. Ting Bun menoleh dan memandang kepadanya. Jelas Ting Bun orang itu, akan tetapi hanya sebentar saja memandang kepadanya lalu membuang muka lagi, pura-pura tidak mengenalnya! Hal ini yang membuat Kiok Hwi semakin panas. Kenapa harus pura-pura tidak melihatnya"
Hidangan itu menjadi tidak enak rasanya dan ia hanya makan sedikit saja. Setelah minum tehnya, Kiok Hwi mengambil keputusan untuk pergi mendahului mereka. Akan tetapi ia sengaja berjalan memutari meja mereka sehingga mau tidak mau Ting Bun pasti melihatnya. Dan benar saja, pemuda itu mengangkat muka memandangnya akan tetapi masih tetap berpura-pura tidak mengenalnya! Bahkan ia mendengar pemuda itu berbisik kepada temannya.
"Lan-moi, engkau sungguh lucu... ha-ha!" dan keduanya tertawa, seolah menertawainya. Ingin Kiok Hwi menendang meja mereka, akan tetapi ia masih mampu menguasai dirinya, bahkan dapat menggigit bibir menahan tangisnya yang sudah akan meledak-ledak. Ia segera kembali ke rumah pamannya, mengurung diri di dalam kamar untuk menangis sepuasnya. Ia merasa terhina sekali. Kalau Ting Bun mencinta gadis lain, iapun tidak dapat berbuat apa-apa, karena antara ia dan Ting Bun, walaupun ada tanda-tanda saling jatuh hati, namun masih belum saling menyatakan cinta. Kalau Ting Bun memperkenalkan gadis itu kepadanya, hal itu masih wajar. Akan tetapi Ting Bun tidak menghiraukannya, seolah tidak mengenalnya, bahkan menertawainya bersama gadis cantik berpakaian merah muda itu! Hati siapa tidak menjadi kesal dan mengkal"
Sore itu Ting Bun datang berkunjung. Ketika ia diberitahu bahwa pemuda itu datang, tadinya ia ingin menolak untuk menemuinya. Akan tetapi lalu timbul penasaran di hatinya. Setidaknya ia akan membalas penghinaannya itu atau menegurnya dengan keras. Tidak tahu diri dan tidak tahu malu, baru siang itu menghinanya, sorenya sudah berani muncul! Dengan dada seperti terisi api membara ia membedaki mukanya yang pucat, kemudian membusungkan dada dan melangkah keluar seperti seorang yang hendak menghadapi musuh besarnya!
Menurutkan kata hatinya, ingin ia menangis, ingin ia berteriak, akan tetapi semua itu ditahannya karena pada dasarnya Kiok Hwi memiliki watak pendiam. Ia harus menjaga kewibawaannya dan dengan pandang mata dingin ia memandang kepada pemuda yang segera bangkit berdiri ketika melihat gadis itu keluar.
"Hwi-moi, baru sekarang aku datang dan... eh, Hwi-moi, kenapa kedua matamu kemerahan" Apakah engkau habis menangis dan ada terjadi apakah, Hwi-moi?" Betapa palsunya! Masih berpura-pura lagi. Pemuda itu agaknya sudah nekat dan tidak tahu malu sama sekali. Baik, iapun akan bersandiwara dan pura-pura tidak tahu saja.
"Aku tidak apa-apa, Bun-koko. Engkau dari manakah, dan kenapa kemarin sehari tidak datang ke sini?" suaranya terdengar kering, walaupun telah diusahakan agar terdengar biasa. "Aku mencari adikku sampai ke luar kota, Hwi-moi. Di luar kota aku mendapat petunjuk, akan tetapi setelah kuikuti dan kususul, aku gagal mendapatkannya."
Hati Kiok Hwi terasa semakin panas. Betapa enak saja orang ini berbohong, pikirnya. "Dan siang tadi engkau berada di manakah?"
"Aku masih berada di luar kota, baru saja aku masuk kota dan langsung saja ke sini karena tentu engkau bertanya-tanya kenapa aku tidak datang menjengukmu."
"Siang ini engkau tidak pergi ke rumah makan?"
"Rumah makan" Tidak, apa maksudmu, Hwi-moi?" Kiok Hwi tidak dapat menahan kemarahannya. "Bun-ko, selama ini kuanggap engkau seorang sahabat yang baik dan jujur, akan tetapi tidak kusangka engkau seorang pembohong besar dan seorang yang sombong dan pengecut. Aku melihat sendiri engkau bersama seorang gadis berpakaian merah muda di rumah makan, bahkan aku lewat di depanmu dan engkau melihatku, akan tetapi engkau pura-pura tidak melihat. Dan sekarang engkau malah menyangkal pergi ke rumah makan! Begitukah sikap baik seorang sahabat" Kalau engkau sudah tidak ingin menjadi sahabatku, katakan saja terus terang!"
Ting Bun terbelalak, tidak marah bahkan nampak gembira. "Engkau melihatku di rumah makan bersama seorang gadis berpakaian merah" Cocok! Akupun mendengar tentang gadis berpakaian merah muda itu. Hwi-moi, mari, mari bawa aku ke rumah makan itu. Cepat, atau aku akan kehilangan jejaknya lagi!"
Ting Bun memegang tangan gadis itu dan ditariknya keluar, diajaknya berlari pergi ke rumah makan yang dimaksudkan Kiok Hwi tadi. Gadis ini merasa bingung, akan tetapi ia terpaksa mengikuti.
"Apa artinya ini, Bun-ko?"
"Yang kaulihat itu adikku!" Jawaban singkat ini membuka semua kegelapan. Akan tetapi, kalau benar adiknya, mengapa begitu persis" Mereka berlari ke rumah makan itu, akan tetapi tentu saja yang dicari sudah tidak ada karena peristiwa pertemuan itu terjadi siang hari tadi, dan sekarang sudah sore. Akan tetapi Ting Bun tidak kehilangan akal. Dia menemui seorang pelayan dan bertanya, "Paman, apakah paman tadi melihat seorang yang seperti aku datang berbelanja di sini bersama seorang nona berpakaian merah muda?"
Pelayan itu terbelalak. "Eh, apakah bukan tuan sendiri yang datang tadi" Tadi memang ada, siang tadi, tapi... kukira tuan."
"Tahukah engkau ke mana mereka pergi?"
"Aku tidak tahu, tuan. Hanya tadi mereka menanyakan rumah penginapan yang baik kepadaku, dan aku tunjukkan rumah penginapan Lok-an." Ting Bun segera mengajak Kiok Hwi pergi untuk mencari ke rumah penginapan Lok-an. Kiok Hwi semakin yakin kini bahwa Ting Bun tidak berbohong. Dari keterangan pelayan rumah makan itu tadi saja menunjukkan bahwa siang tadi memang ada seorang pemuda yang persis Ting Bun datang ke situ bersama seorang gadis berpakaian merah muda.
Ketika mereka memasuki halaman rumah penginapan itu, kebetulan sekali dari dalam keluar seorang pemuda yang persis Ting Bun, hanya warna pakaiannya saja yang berbeda, sehingga membuat Kiok Hwi bengong terlongong. Begitu persis Ting Bun orang itu, seperti pinang dibelah dua. Dan di samping berjalan seorang gadis berpakaian merah muda, seperti yang dilihatnya di rumah makan tadi.
Ting Bun girang bukan main.
"Bu-te...!" teriaknya.
"Bun-ko! Kau baru datang?"
"Wah, sudah kucari ke mana-mana baru sekarang bertemu. Kenapa engkau terlambat" Ke mana saja engkau dan siapa nona ini?"
"Mari kita masuk dan bicara di dalam, Bun-ko. Ada peristiwa penting yang ingin kubicarakan denganmu." Mereka lalu memasuki rumah penginapan itu dan pemuda yang diaku adik oleh Ting Bun itu mengajak mereka semua memasuki kamarnya di mana mereka duduk mengelilingi meja setelah pintu dan jendela ditutup rapat-rapat.
"Bun-ko, ini adalah nona Can Bi Lan, puteri ketua Pek-eng Bu-koan, sahabat baikku. Lan-moi, inilah kakak kembarku seperti yang kuceritakan kepadamu."
"Bu-te, dan ini adalah nona Yap Kiok Hwi, puteri ketua Cin-ling-pai. Kami juga kebetulan saja bertemu saling bantu menghadapi penjahat dan menjadi sahabat baik." Mereka yang diperkenalkan saling memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap depan dada. Dengan singkat Ting Bun bercerita kepada adiknya tentang pertemuannya dengan Kiok Hwi yang kini menjadi sahabat baiknya.
"Dan bagaimana denganmu, Bu-te" Di mana engkau bertemu dengan nona Can Bi Lan ini dan peristiwa penting apakah yang hendak kau bicarakan?" Ting Bu lalu bercerita. Dia adalah adik kembar dari Ting Bun dan memang kedua orang ini mempunyai wajah dan bentuk tubuh yang mirip sekali sehingga kalau orang tidak mengenal mereka dengan akrab sekali tentu tidak akna dapat memperbedakan mereka. Kedua kakak beradik kembar ini menjadi muring Bu-tong-pai dan setelah mereka tamat belajar, kedua orang muda yang berusia dua puluh tiga tahun ini meninggalkan Bu-tong-pai dan pulang ke rumah. Kemudian mereka mengambil keputusan untuk memanfaatkan ilmu silat yang mereka kuasai, untuk mencari pekerjaan di kota raja, mengabdi kepada kerajaan. Untuk itulah mereka pergi ke Lokyang dan kemudian kalau di tempat ini tidak berhasil, mereka akan melanjutkan ke ibukota Tiang-an.
Untuk menghindari agar tidak selalu menjadi perhatian orang karena persamaan mereka, juga karena ingin menikmati perjalanan seorang diri, Ting Bu meninggalkan kakaknya dan mereka melakukan perjalanan berpisah dengan janji akan bertemu di Lok-yang. Kalau Ting Bun mengambil jalan raya biasa, sebaliknya Ting Bu mengambil jalan pintas melalui gunung-gunung.
Pada suatu hari ketika tiba di luar kota Lok-yang, Ting Bu melihat seorang gadis berpakaian merah muda yang lihai sekali dikeroyok belasan orang yang berpakaian seperti orang Mongol. Para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu golok yang hebat juga sehingga gadis yang mengamuk dengan pedangnya itu terdesak. Melihat ini, Ting Bu tanpa diminta segera mencabut pedangnya dan membantu gadis itu. Bagaimanapun juga, yang dikeroyok itu seorang gadis Han sedangkan para pengeroyoknya adalah orang-orang Mongol, maka tanpa ragu lagi dia membantu gadis itu. Andaikata para pengeroyoknya bukan orang Mongol, tetap saja dia akan membantu si gadis. Tidak pantas belasan orang laki-laki mengeroyok seorang gadis muda.
Majunya Ting Bu membuat gadis itu mendapat semangat baru dan mereka berdua dapat membuat para pengeroyok kocar-kacir. Mereka melarikan diri, dan ada dua orang yang melarikan diri menuju ke kota Lok-yang karena mereka sudah salah mengambil langkah dan jurusan. Melihat ini, Ting Bu dan gadis itu melakukan pengejaran. Mereka ingin menangkap dua orang itu dan menguras keterangan dari mereka.
Mereka merasa heran sekali bagaimana kedua orang itu dapat memasuki Lok-yang tanpa menimbulkan kecurigaan kepada para perajurit penjaga di pintu gerbang. Mereka mengejar terus dan melihat dalam keremangan senja kedua orang itu bahkan lari memasuki benteng pasukan! Tentu saja mereka tidak dapat masuk, terhalang oleh pasukan jaga.
"Sungguh luar biasa! Mereka memasuki benteng!" seru Ting Bu kepada gadis berpakaian merah itu ketika mereka meninggalkan benteng itu. "Mungkinkah mereka itu pasukan yang menyamar?"
"Tidak, mereka memang orang Mongol aseli, akan tetapi anehnya, mereka seolah mempunyai hubungan baik dengan pasukan di benteng itu." "Nona, engkau siapakah dan bagaimana sampai dikeroyok mereka" Perkenalkan, namaku Ting Bu dan aku adalah murid Bu-tong-pai yang kebetulan lewat dan melihat engkau dikeroyok tadi."
Gadis itu memberi hormat. "Saudara Ting Bu, terima kasih atas bantuanmu tadi. Pantas engkau lihai, kiranya engkau adalah murid Bu-tong-pai yang besar. Aku sendiri hanya puteri seorang guru silat Pek-eng Bu-koan di kota raja, namaku Can Bi Lan."
"Nona Bi Lan, atau boleh aku menyebut adik saja?"
"Tentu saja boleh, Bu-ko, bukankah kita ini sebetulnya masih segolongan dan orang-orang yang menjunjung tinggi dan membela kebenaran dan keadilan?"
"Lan-moi, kenapa engkau sampai dikeroyok oleh orang-orang Mongol itu?" Bi Lan menarik napas panjang. "Panjang ceritanya, Bu-ko, akan tetapi biarlah kupersingkat saja. Aku mempunyai seorang kakak bernama Can Kok Han. Aku melihat kakakky itu terbunuh oleh seorang puteri Mongol. Nah, aku membalaskan kematiannya dan aku bunuh puteri Mongol itu. Dan orang-orang Mongol itu tentulah utusan raja Mongol untuk membalas kematian puterinya. Tadi mereka menghadangku dan setelah tahu aku bernama Can Bi Lan, tanpa banyak cakap lagi mereka hendak menangkapku. Aku melawan dan terjadilah pertempuran itu."
"Ah, begitukah kiranya" Akan tetapi, bagaimana mungkin mereka itu memasuki Lok-yang tanpa dicurigai, bahkan menghilang di dalam benteng?" "Ini memang aneh sekali, Bu-ko, karena itu, sebaiknya kalau kita melakukan penyelidikan di Lok-yang ini. Agaknya aku mencium bau yang tidak enak, siapa tahu panglimanya mempunyai hubungan dengan orang Mongol?"
Demikianlah pengalaman Ting Bu yang bertemu dan berkenalan dengan Bi Lan, seperti yang dia ceritakan kepada kakaknya.
"Dan siang tadi engkau bersama nona Bi Lan ini makan di rumah makan, Bu-te?"
"Benar, Bun-ko, bagaimana engkau dapat tahu?" "Bukan aku yang melihatnya, melainkan Hwi-moi inilah dan ia mengira engkau ini aku sehingga ia merasa penasaran karena engkau tidak mengenalnya, seolah-olah aku pura-pura tidak mengenalnya."
Kakak beradik itu tertawa, juga Bi Lan ikut tertawa, sedangkan Kiok Hwi menjadi kemerahan kedua pipinya. Untuk menghilangkan rasa malu dan rikuh, ia lalu berkata, "Sudahlah, kita sekarang perlu sekali membicarakan tentang orang-orang Mongol yang menghilang ke dalam benteng pasukan kerajaan itu. Mungkin saja di sana dijadikan tempat rahasia untuk mereka dan perlu sekali kita menyelidiki panglimanya. Aku menjadi curiga sekali kepada panglima yang mengepalai benteng itu."
"Engkau benar, enci Kiok Hwi. Kalau tidak diselidiki dan hal ini dibiarkan saja, tentu akan berbahaya. Siapa tahu, panglima di sini mempunyai hubungan dengan orang Mongol dan hendak melakukan pemberontakan," kata Bi Lan.
"Sebaiknya malam ini kita berempat melakukan penyelidikan, tentu saja tidak mungkin menyelidiki benteng yang terjaga ketat dan di mana berdiam ribuan orang pasukan. Kita sekarang menyelidiki di mana rumah gedung panglimanya dan kita selidiki rumah panglima itu."
Bi Lan dan Ting Bu menyuruh Kiok Hwi dan Ting Bun bermalam saja di rumah penginapan itu, tidak perlu menambar kamar karena Ting Bun dapat tinggal bersama adiknya, sedangkan Kiok Hwi tinggal bersama Bi Lan. Tentu saja karena sekamar, kedua orang gadis itu menjadi akrab sekali.
Ketika Ting Bun kembali dari penyelidikannya, dia memberi tahu bahwa rumah panglima itu berada di luar benteng dan bahwa yang menjadi komandan benteng adalah Kwan-ciangkun.
Malam hari itu mereka mengenakan pakaian hitam dan begitu mereka bertemu di luar, Bi Lan dan Kiok Hwi terkejut sekali karena sepasang saudara kembar itu kini mengenakan pakaian yang sama benar sehingga mereka tidak tahu lagi mana Ting Bun dan mana Ting Bu.
"Yang mana Bu-koko?" tanya Bi Lan. Seorang di antara mereka tertawa dan menjawab.
"Akulah, Lan-moi."
"Ah, Bu-ko, engkau harus memakai tanda khusus kalau tidak aku dan enci Kiok Hwi menjadi bingung tidak dapat memperbedakan kalian karena kalian persis sama."
Ting Bun tertawa. "Begini saja, Bu-te. Engkau memakai kain yang dilibatkan di lengan kananmu." Ting Bu lalu mengambil saputangan hitam dan mengikatkan saputangan itu di lengannya, pada pergelangan dan sekarang kedua orang gadis itu merasa lega karena dapat membedakan dan mengenal mana kakaknya dan yang mana adiknya. Setelah itu, mereka lalu menggunakan kepandaian mereka berkelebatan lenyap ditelan kegelapan malam dan melakukan perjalanan cepat menuju ke rumah Kwan-ciangkun.
Rumah gedung besar itu sepi karena malam sudah larut. Empat sosok bayangan orang berada di atas genteng dan berindap-indap merayap menuju ke belakang. Setelah jelas tidak ada orang di sana, mereka berlompatan, melayang masuk dan tiba di taman kecil di bagian belakang. Dari ruangan di belakang itu mereka melihat ada sinar terang mencuat dari jendela ruangan itu. Mereka saling memberi tanda dan menyelinap mengintai dari balik jendela karena mendengar orang bercakap-cakap.
Ketika mereka mengintai ke dalam, nampak ada belasan orang Mongol di sana, dan juga seorang berpakaian panglima berada di situ. Mereka menduga bahwa panglima itu tentu Kwan-ciangkun. Akan tetapi yang membuat Bi Lan terkejut bukan main adalah ketika ia melihat Sam Mo-ong berada di situ pula.
"Itu Sam Mo-ong...!" bisiknya kepada Ting Bu yang berada di dekatnya. Ting Bu membisikkan pula kepada kakaknya dan Kiok Hwi. Tentu saja mereka terkejut bukan main mendengar disebutnya nama tiga datuk yang sakti itu. Dan karena kaget mereka membuat sedikit gerakan dan ini sudah cukup bagi Sam Mo-ong untuk mendengarnya.
"Siapa di sana?" bentak Kwi-jiauw Lo-mo dan tubuhnya sudah melayang keluar jendela, diikuti Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong. Juga semua orang Mongol dan Kwan-ciangkun beramai-ramai keluar dari ruangan itu, bahkan Kwan-ciangkun segera membunyikan peluit dan dari luar berlarian masuk pasukan pengawal!
Empat orang itu terkejut sekali. Bi Lan yang maklum betapa lihainya Sam Mo-ong, apa lagi di situ terdapat belasan orang Mongol dan pasukan pengawal, sudah berteriak. "Kita lari...!"
"Kejar...!" teriak Kwi-jiauw Lo-mo akan tetapi pada saat itu Bi Lan sudah melemparkan bahan peledaknya yang mengeluarkan asap tebal. Ketika para pengejarnya menyingkir dan memutari asap, empat orang itu sudah lenyap dari situ.
"Wahm berbahaya sekali...!" kata Bi Lan kepada tiga orang kawannya setelah mereka tiba kembali ke kamar rumah penginapan. "Sam Mo-ong itu luar biasa saktinya dan aku pernah hampir tewas oleh seorang di antara mereka, yaitu Hek-bin Mo-ong. Pukulannya beracun ampuh bukan main. Untung aku masih mempunyai sebuah alat peledak itu, kalau tidak, sukar bagi kita untuk menyelamatkan diri."
"Ah, kalau begitu, jelas bahwa Kwan-ciangkun bersekongkol dengan orang-orang Mongol," kata Ting Bu. "Itu jelas karena Sam Mo-ong adalah pembantu utama Ku Ma Khan, raja bangsa Mongol. Akan tetapi kita berempat saja tidak akan dapat berbuat apa-apa," kata Bi Lan.
"Bagaimana kalau kita lapor kepada pemerintah?" tanya Ting Bun.
"Lapor kepada siapa" Kwan-ciangkun adalah komandan di sini, siapa yang lebih berkuasa darinya?" bantah Bi Lan.
"Bagaimana kalau kita lapor ke kkota raja?" kata Yap Kiok Hwi. "Satu-satunya jalan tentu demikian. Akan tetapi karena kita tidak mempunyai bukti, maka kita harus mencari pembesar tinggi yang kiranya akan dapat mempercayai laporan kita untuk disampaikan kepada Kaisar," kata Bi Lan. "Ayahku sebagai guru silat Pek-eng Bu-koan memiliki banyak kenalan pejabat yang berguru kepadanya. Mungkin ayahku dapat memberi jalan."
"Bagus, kalau begitu kita minta bantuan ayahmu, Lan-moi," kata Ting Bu. "Aku akan menemanimu ke kota raja." "Dan aku akan melapor kepada ayah. Kurasa Cin-ling-pai dapat membantu pemerintah dalam menghalau orang-orang Mongol yang hendak membikin kacau," kata Yap Kiok Hwi. "Kekuatan mereka terlampau besar kalau hanya kita yang menentangnya."
"Engkau benar, Hwi-moi, dan aku akan menemanimu ke Cin-ling-pai," kata Ting Bun dengan cepat.
Demikianlah, dua pasang orang muda itu pada keesokan paginya, cepat meninggalkan Lok-yang karena mereka maklum bahwa peristiwa semalam tentu akan berekor dan Kwan-ciangkun tentu akan menyebar anak buah untuk mencari mereka. "Langit dan bumi itu abadi
sebabnya Langit dan Bumi abadi
adalah karena mereka tidak hidup
untuk diri sendiri karena itu abadi!
Inilah sebabnya orang bijaksana
Membelakangi dirinya Karena itu dirinya tampil terdepan ia tidak menghiraukan dirinya.
Karenanya dirinya menjadi seutuhnya
Orang bijaksana tidak mempunyai keinginan pribadi
Maka dia dapat menyempurnakan dirinya." Han Lin dan Cin Mei yang sedang melakukan perjalanan ke kota raja dan tiba di bukit itu, berhenti melangkah. Han Lin tertarik sekali. Mmang ayat yang dibacakan orang itu adalah ayat yang dikenalnya, dari kitab To-tek-keng agama To. Ujar-ujar itu sendiri tidak aneh, akan tetapi cara membacakan yang mengagumkan hatinya. Bukan saja dibacakan dengan suara mantap dan meyakinkan, naun juga pada waktu itu memang tepat sekali dengan keadaan di dalam negeri. Saat ini, tidak semua orang hendak menonjolkan diri, memperebutkan kekuasaan sehingga terjadilah persaingan. Para gubernur juga hendak memperebutkan kekuasaan dan mereka itupun jatuh bangun. Memang manusia akan mengalami pasang surut, jatuh bangun, akhirnya lenyap. Langit dan Bumi dikatakan abadi karena Langit dan Bumi tidak berkehendakm akan tetapi selaras dengan To, selaras dengan kehendak Tuhan, karena itu abadi. Jadi merusak itu adalah "keinginan pribadi" karena keinginan pribadi ini adalah keinginan jasmani berupa nafsu-nafsu indera. Ingin senang sendiri, ingin berkuasa sendiri, ingin baik sendiri, ingin ini ingin itu semua untuk memuaskan nafsu daya rendah. Hanya manusia bijaksana yang dapat menyesuaikan diri dengan alam, tidak mementingkan diri, tidak menonjolkan diri. Justeru inilah yang membuatnya menjadi seorang bijaksana, seorang manusia seutuhnya!
"Cin Mei, mari kita lihat siapa yang membaca sajak sepagi ini!" kata Han Lin. Cin Mei tersenyum, mengangguk dan merekapun menyimpang ke kiri, ke arah suara itu. Setelah melalui dua tikungan, tibalah mereka di bawah rumpun bambu yang teduh dan di situ, di bawah rumpun bambu itulah nampak seorang setengah tua duduk seorang diri dan dialah yang membaca sajak dari ujar-ujar dalam To-tek-keng itu. Pria itu berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dan dari pakaiannya, jelas bahwa dia seorang sasterawan. Dia duduk di atas tanah berlandaskan daun-daun bambu kering dan di depannya terdapat sebuah tempat arak. Agaknya dia bersajak sambil meminum araknya.
"Selamat pagi, paman," kata Han Lin dan Cin Mei sambil menghampiri orang itu.
Sasterawan itu menoleh dan tersenyum. "Aih, dua orang muda yang gagah perkasa, selamat pagi dan apakah yang dapat kulakukan untuk kalian maka kalian menghampiri aku?" Sungguh teratur dan sopan ucapan itu.
"Kami hanya kebetulan lewat dan mendengar paman membaca sajak tadi. Kami tertarik sekali paman, bukan karena sajaknya dari ujar-ujar dalam To-tek-keng itu, melainkan apa yang menjadi maknanya. Dapatkah paman memberi penjelasan kepada kami mengapa paman sepagi ini membawa ujar-ujar itu?"
Dendam Membara 3 Misteri Elang Hitam Karya Aryani W Kucing Suruhan 8
^