Pencarian

Pedang Tetesan Air Mata 4

Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Wu Lei A Hero Without Tears Karya Khu Lung Bagian 4


Pelan-pelan Cho Tang-lay berkata lebih jauh: "Selokan ini terbuat dari batu putih yang kuat dan kokoh, halus dan rata dan tak pernah tersumbat, dari kamar tinggal Suma Cau-kun suami isteri, langsung tembus ke luar ke kebun bunga, langsung dan tiada hambatan lain." Walaupun kedua orang tabib ini menguasai ilmu pertabiban, namun kali ini mereka benar- benar tak dapat menebak obat apa yang dijual dalam cupu-cupu orang. Apalagi jika ada angin berhembus lewat, mereka serta merta mengendus bau obat yang semerbak. Sejak tadi sebenarnya seluruh permukaan batu telah dibersihkan dari salju yang menggenangi selokan dan tak ada kotoran lain yang harus dibersihkan. Ketika mereka mengendus bau obat-obatan inilah, dalam selokan tampak mengalir segumpal air kotor berwarna coklat, mengalir lewat di atas permukaan selokan tersebut. Cho Tang-lay segera menggapai seorang pembantunya yang segera menggunakan sebuah mangkuk kecil untuk mengambil air kotor tadi lalu dipersembahkan kehadapan kedua orang tabib kenamaan itu. "Coba kalian periksa, cairan apakah itu?" Tanpa dilihatpun kedua tabib itu tahu cairan apakah yang berada dalam mangkuk. Tentu saja cairan tersebut bukan air pecomberan, tak mungkin air pecomberan mengandung obat. Dengan pandangan sedingin salju, Cho Tang-lay mengamati wajah mereka, kemudian katanya: "Aku pikir kalian berdua tentu sudah tahu bukan, cairan apakah itu...?" Kian Tayhu ingin berbicara, namun bibirnya seakan-akan terjahit rapat, tak sepatah katapun yang sanggup diutarakan keluar. Apalagi Sie Tayhu, malahan mulutnya terkatup kencang dan tak mungkin dibuka kembali. "Inilah obat yang kalian resepkan untuk Lo-cong kemarin, dimasak semenjak malam kemarin hingga sekarang dan baru mendidih. Menurut apa yang kuketahui, setiap kali resep, obat tersebut paling tidak bernilai lima puluh tahil." Paras muka kedua orang tabib itu mulai berubah. Sebelum mereka mengucapkan sesuatu, Cho Tang-lay telah berkata lebih lanjut: "Semangkuk obat tersebut semestinya harus mengalir masuk ke dalam perut Suma Cau-kun, bagaimana mungkin bisa mengalir ke dalam selokan" Aku benar-benar tak mengerti." Setelah berhenti sejenak, dengan sepasang mata yang mencorongkan sinar tajam, dia melanjutkan: "Untung saja aku tahu, pasti ada orang yang memahami kejadian ini." "Siapa?" tanya Sie Tayhu tergagap, "siapa yang memahami kejadian ini?" "Kau!" Bagaikan dicambuk dengan pecut yang berpisau, Sie Tayhu bergetar keras dan hampir saja tak sanggup berdiri tegak.
"Bila kaupun tidak paham, sudah pasti hal ini disebabkan tempat ini kelewat panas," nada suara Cho Tang-lay tiba-tiba berubah kembali menjadi lembut, "bila seseorang lagi kepanasan, memang seringkali banyak masalah yang tak bisa diingat lagi olehnya." Kepada pembantunya dia lantas menitahkan: "Ayo cepat kalian bantu Sie Tayhu untuk melepaskan mantelnya." Buru-buru Sie Tayhu memegang mantel kulitnya kencang-kencang, lalu serunya tergagap: "Tak perlu sungkan-sungkan, tak usah sungkan-sungkan, mantel ini tak boleh dilepaskan....." Memakai mantel kulit yang tebal saja masih kedinginan setengah mati, apa lagi kalau dilepas, bisa mati kedinginan. Dua orang lelaki kekar itu tetap berdiri di kedua belah sisi Sie Tayhu, seakan-akan setiap saat sudah siap membantunya untuk melepaskan mantel kulit itu. Sedangkan Cho Tang-lay kembali telah bertanya dengan suara yang amat lembut: "Kau benar-benar tidak kepanasan?" Sie Tayhu menggelengkan kepalanya berulang kali. "Kalau begitu kau pasti sudah teringat bukan, obat yang seharusnya ditelan ke dalam perut, mengapa bisa mengalir dalam selokan?" Cho Tang-lay bertanya lebih jauh, "apakah hal ini dikarenakan di penderita tersebut memang pada hakekatnya tidak sakit?" "Aku tidak tahu!" Cho Tang-lay segera tertawa dingin, sementara dua orang lelaki kekar yang berdiri di kedua belah sisinya telah mencengkeram bahu Sie Tayhu kencang-kencang. Akhirnya tak tahan lagi Sie Tayhu berteriak keras: "Aku benar-benar tak tahu, pada hakekatnya aku belum pernah berjumpa dengannya." Kelopak mata Cho Tang-lay tiba-tiba saja berkerut kencang. "Kau tak pernah berjumpa dengannya" Kau tak bertemu dengan Suma Cau-kun?" serunya. "Ya, aku tak bertemu dengannya, aku benar-benar tidak bertemu dengannya." "Bukankah istrinya mengundang kau untuk memeriksa penyakitnya" Bagaimana mungkin kau malah tak bertemu dengannya?" "Jangan lagi orangnya, bayangannya pun belum pernah kujumpai," teriak Sie Tayhu makin gelisah, "dalam rumah itu hakekatnya tiada bayangan tubuhnya." Cho Tang-lay segera berdiri membungkam di situ, memandang ke langit nan kelabu, dia berdiri tenang sampai lama. Lama kemudian ia baru pelan-pelan berpaling menatap ke wajah Kian Tayhu dan sepatah demi sepatah kata bertanya: "Bagaimana dengan kau" Apakah kaupun tidak bertemu dengannya?" "Akupun tidak bertemu," jawab Kian Tayhu jauh lebih tenang, "sesungguhnya Suma Tayhiap tak ada di rumah, Suma Hujin mengundang kami tak lebih hanya memeriksakan penyakit dari sebuah ruangan yang kosong......."
Baru selesai perkataan itu diutarakan, mereka sudah mendengar suara dari Go Wan, istri Suma Cau-kun menambahkan: "Bila ada orang bersedia membayar lima ratus tahil emas murni, masih banyak tabib yang bersedia memeriksa penyakit yang diderita rumah kosong, lain kali bila aku hendak mencari lagi, pasti akan kucari mereka yang rada tidak takut dingin." ooo)O(ooo Kalau di bilang tempat tersebut terdapat orang sakit, maka orang itu sudah pasti adalah Go Wan. Paras mukanya sekarang kuning kepucat-pucatan dan lesu, sorot matanya yang semula jeli, kini berubah menjadi merah darah. Dengan sorot mata yang menakutkan, ia mengawasi tabib-tabib yang takut kedinginan itu, lalu berkata: "Aku tidak lebih hanya seorang perempuan, tentu saja aku tidak memiliki kepandaian sebesar apa yang Cho sianseng miliki, akupun tak akan meminta kepada kalian berdua untuk membuka mantel, "suaranya lebih dingin dari salju, "tapi kuanjurkan kepada kalian berdua agar periksa dulu pintu dan jendela sebelum berangkat tidur, jangan sampai bila mendusin di tengah malam, tiba-tiba menjumpai dirimu sudah berbaring di atas permukaan salju." Hijau membesi selembar wajah ke dua orang tabib tersebut sesudah mendengar ucapan tersebut. Seandainya sorot mata seseorang dapat digunakan untuk membunuh orang, bisa jadi mereka sudah menggeletak mati di atas permukaan salju. "Sekarang apakah kalian berdua sudah dapat dipersilahkan untuk enyah dari sini?" kata Go Wan lagi, "silahkan enyah!" Betapa kasarnya seseorang, bila pada dasarnya dia memang seorang yang berhati lembut, halus dan berbudi, maka dalam mengucapkan perkataan apapun, seringkali dia mendahului kata- katanya dengan kata 'silahkan'. "Cho sianseng," Go Wan kembali berkata setelah kedua orang tabib tadi angkat kaki, "aku ingin sekali lagi mohon petunjuk akan sesuatu hal darimu." "Soal apa?" "Harap kau dan mereka semua enyah dari hadapanku." Cho Tang-lay tidak memberikan reaksinya, bahkan sedikit reaksipun tak ada malah tiada perubahan apapun di atas mimik mukanya. "Sayang sekali, akupun tahu bahwa kau tak akan enyah dari sini," Go Wan menghela napas panjang, "kau adalah sahabat karib Suma Cau-kun, saudaranya, tiada orang kedua yang bisa lebih akrab daripada kalian berdua......" Di balik nada suaranya itu penuh mengandung nada sindiran dan ejekan, seperti Tiap-wu ketika berbicara dengan Cho Tang-lay. "Apalagi semua keberhasilan Suma Cau-kun tergantung pada usahamu, dia tak lebih hanya sebuah boneka dengan empat anggota badan serta otak yang sederhana, tanpa kau, tak mungkin dia bisa peroleh kesuksesan seperti hari ini."
Lalu dengan tertawa dingin Go Wan melanjutkan: "Paling tidak, kau tentu berpendapat demikian dalam hati kecilmu, bukankah demikian?" Cho Tang-lay masih belum memberikan reaksinya, dia bersikap seakan-akan sedang menyaksikan suatu adegan dalam sebuah sandiwara yang menarik. "Sudah barang tentu kau adalah seorang manusia yang luar biasa, sahabat yang hebat, karena kau telah mengorbankan segala-galanya demi dia, kehidupanmu dalam dunia inipun hanya karena dia, demi kesuksesannya, demi keberhasilannya menggetarkan dunia persilatan, menjadi Cong-piau-thau dari Piau-kiok terbesar, menjadi Toa-enghiong yang paling disegani di kolong langit." Tiba-tiba suara tertawa dingin dari Go Wan berubah bagaikan orang kalap: "Tapi, tahukah kau bagaimanakah kehidupan dari seorang Toa-enghiong yang kau tunjang itu?" Di balik suara tertawanya penuh mengandung nada sinis dan menghina. "Dia punya anak, punya bini, juga punya rumah, tapi sikapnya justru seakan-akan bukan anggota dari keluarga ini, pada hakekatnya dia belum pernah melewati hidupnya menurut cara dan keinginan sendiri, sebab dalam setiap tindakan, setiap masalah, kaulah yang mengaturkan segala sesuatu baginya, apa yang kau inginkan, dia harus melakukannya, bahkan untuk minum sedikit arakpun harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi....." "Cukup!" tiba-tiba Cho Tang-lay menukas, "perkataanmu sudah lebih dari cukup." "Betul, aku memang sudah bicara cukup," Go Wan menundukkan kepalanya, sementara air mata jatuh berlinang, "apakah kaupun ada perkataan yang hendak disampaikan?" "Hanya ada beberapa patah kata yang hendak kutanyakan kepadamu....." "Akan kujawab, aku tak akan memberi kesempatan kepadamu untuk bersikap macam kau menghadapi orang lain." Walaupun ucapannya masih kedengaran ketus, sesungguhnya hatinya sudah lembek. Ya, siapakah umat persilatan yang tidak mengenal Cho Tang-lay" Cho Tang-lay mempunyai seratus macam cara untuk memaksa seseorang berbicara dengan sejujurnya. "Lebih baik lagi bila kaupun cukup memahami akan hal tersebut," Cho Tang-lay berkata dingin, "apakah Suma Cau-kun telah meninggalkan Tiang-an?" "Benar!" "Mengapa kau masih berusaha mengelabuhi ku?" "Sebab aku menyuruh dia melakukan perbuatan yang ingin dia lakukan sendiri," kata Go Wan, "aku adalah isterinya, aku percaya setiap orang yang menjadi bini seseorang pasti berharap suaminya dapat menjadi seorang lelaki sejati yang hidup bebas dan merdeka, serta dapat menentukan nasib sendiri." "Sejak kapan dia telah pergi?" "Malam tanggal tujuh belas, kalau dihitung sekarang, mungkin dia sudah sampai di Lok-yang." "Lok-yang?"
Dibalik sorot mata serigala Cho Tang-lay yang berwarna kelabu, tiba-tiba tersirap cahaya merah darah. "Kau membiarkan dia pergi ke Lok-yang seorang diri" Apakah kau berharap dia pergi menghantar kematian?" "Kami adalah suami isteri, mengapa aku harus membiarkan dia pergi menghantar kematiannya?" Cho Tang-lay menatapnya lekat-lekat, lewat lama kemudian dengan nada suara yang jauh lebih tajam daripada sembilu dan jauh lebih beracun daripada sengatan kala beracun, sepatah demi sepatah dia berseru: "Karena Kwik Ceng!" Saban kali Cho Tang-lay berbicara dengan mempergunakan nada suara tersebut, paling tidak di dunia ini akan terdapat seseorang yang kena terhajar secara telak dan mematikan. "Karena Kwik Ceng!" Walaupun bagi pendengaran orang lain kata-kata tersebut tidak mengandung arti apa-apa, namun bagi pendengaran Go Wan justru seperti terpagut ular berbisa, bagaikan jatuh dari atas tebing yang beratus-ratus kaki tingginya. Ia tak mampu berdiri tegak lagi, wajahnya yang pucat dan kusut mengalami suatu perubahan yang sungguh tak terlukiskan dengan kata-kata. Tentu saja Cho Tang-lay tidak akan melepaskan kesempatan yang sangat baik itu dengan begitu saja. "Selama beberapa tahun ini, Suma Cau-kun selalu tertidur terpisah kamar denganmu, menyentuhmupun tidak," suara Cho Tang-lay kedengaran lebih dingin dan kejam, "padahal usiamu menjelang saat-saat bergairahnya bermain cinta, kebetulan juga di sampingmu terdapat Kwik Ceng si pemuda tampan yang kuat dan berotot, apalagi pandai sekali merayu dan membujuk. Sayang sekali dia telah tewas di Ang-hoa-ki, tewas di ujung golok Cu Bong, hingga batok kepalanya pun.........." "Cukup!" tiba-tiba Go Wan menjerit keras, "ucapanmu sudah lebih dari cukup." "Sebenarnya aku tak ingin mengungkap kejadian ini, sebab aku tak ingin menyedihkan hati Suma Cau-kun," kata Cho tang-lay lagi, "tapi sekarang terpaksa ku utarakan, maksudku agar kau mengerti, tiada perbuatanmu yang bisa mengelabuhi aku, itulah sebabnya bila kau ingin melakukan sesuatu perbuatan lagi di kemudian hari, haruslah bertindak kelewat berhati-hati." Sekujur badan Go Wan mulai gemetar keras. "Sekarang aku baru mengerti," teriaknya dengan sorot mata penuh rasa benci dan dendam, "kau sengaja mengirim Kwik Ceng ke Ang-hoa-ki, karena kau menginginkan dia pergi menghantar kematiannya, karena kau sudah lama mengetahui akan rahasia hubunganku dengannya." Mendadak ia menerkam ke depan, mencengkeram pakaian Cho Tang-lay sambil menjerit: "Ayo jawab, benar tidak" Benarkah begitu?" Cho Tang-lay hanya memandang dingin ke arahnya, lalu menggunakan jari tangannya untuk menghajar urat nadi pada sepasang tangan Go Wan.
Cengkeraman Go Wan segera terlepas dan tubuhnya roboh ke tanah, tapi ia masih juga bertanya: "Benar tidak" Benar tidak" Benarkah begitu?" Selama hidup dia tak akan mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, karena Cho tang- lay telah pergi, pergi tanpa berpaling lagi, memandang sekejappun tidak, seakan-akan dia dianggap kutu yang ditepiskan dari ujung bajunya, tak sudi untuk dipandang sekejap lagi. ooo)O(ooo Seutas tali yang kuat dan panjang sudah di pasang di atas tiang pintu dalam sebuah ruangan. Go Wan berdiri di bawah tali itu sambil memandang keluar jendela..... Segulung angin berhembus lewat, terasa dingin dan menggigilkan tubuh. "Hari apakah ini" Aku rasa tentu hari yang baik," gumam perempuan itu seperti orang bodoh. Pelan-pelan ia membuat simpul di ujung tali itu. Sebuah simpul mati untuk tali penggantungan sendiri. ooo)O(ooo Suasana dalam kota Lok-yang sangat ramai, terutama di jalan protokolnya, penuh dengan warung, toko, rumah makan dan pasar. Tapi kini, suasana jalan tersebut menjadi sepi, sangat lengang, seolah-olah menjadi kota mati. Bagaikan seorang manusia kuat dan sehat yang mati secara tiba-tiba, jalan itu menjadi mati, menjadi kota sepi. Pintu gerbang rumah makan sudah beberapa hari tak dibuka, meja penjagal babi di pasar pun tinggal bekas-bekas cincangan, di jalanan malah begitu sepi hingga tak nampak seorang manusiapun. Siapapun tak ingin melewati jalanan itu lagi, peristiwa tragis yang berlangsung di jalanan tersebut sungguh kelewat banyak dan menggidikkan hati. Hanya seekor anjing liar yang menggapai-gapaikan ekornya sedang menjilati bekas darah yang tak sempat di cuci bersih pada sela-sela lapisan batu cadas. Anjing liar memang tak pernah akan tahu darah di situ sebenarnya darah siapa. Kalau anjing liar tak tahu, si Kulit Kerbau tahu dengan pasti. ooo)O(ooo Di sebuah jalan kecil yang lain, di dalam sebuah warung kecil milik Lo-thio, si Kulit Kerbau sedang membual. 'Kulit Kerbau' adalah julukan seseorang, sebab pemuda yang gemar minum arak ini bukan cuma pandai membual, kulit mukanyapun sangat tebal, lebih tebal dari kulit kerbau sesungguhnya. Sekarang dia sedang membual di hadapan seorang asing yang datang dari jauh, karena orang asing itu sudah mengundangnya meneguk bercawan-cawan arak.
Yang dia bualkan sekarang adalah tragedi berdarah yang telah berlangsung di luar jalan Tong- tou-keng tempo hari. "Bocah keparat itu benar-benar seorang bocah maknya yang hebat, aku si Kulit kerbau betul- betul kagum kepadanya," kata si Kulit Kerbau berkaok-kaok. "maknya betul, memang bocah itu punya nyali, dia benar-benar tidak takut mati." Si orang asing itu hanya mendengarkan dengan membungkam, kemudian membantunya memenuhi cawan araknya. "Di kemudian hari aku baru tahu kalau bocah itu she Ko, dia adalah sahabat karibnya si singa tua," si Kulit Kerbau membual lebih lanjut, "Naga memang pantas berteman Naga, burung Hong wajib berteman dengan burung Hong, kalau tikus mah pantas berteman dengan tukang gangsir lubang. Perkataan ini aku baru merasa tepat sekali, hanya si singa tua baru memiliki teman yang hebat seperti dia." Dari balik mata si orang asing itu memercik sekilas cahaya tajam, namun dia menundukkan kepalanya dengan cepat. "Apakah kau juga hadir di sana waktu itu?" "Siapa bilang aku tidak berada di sana" Peristiwa macam ini tak akan kulewatkan dengan begitu saja," si Kulit Kerbau tampak gembira, "waktu itu kebetulan aku sedang sarapan di warung tehnya Oh tua, kulihat bocah itu muncul dengan langkah lebar, biarpun di bulan dua yang berhawa dingin, dia hanya memakai baju pendek yang amat ringkas, sedang jubah panjangnya di bawa di dalam cekalan, kemudian baru kuketahui rupanya pedangnya disembunyikan di bawah jubah tersebut." Tiba-tiba si Kulit Kerbau bangkit berdiri dan melakukan gerakan dengan sumpitnya. "Dengan gerakan beginilah, tahu-tahu pedangnya sudah menembusi ulu hati Coa lotoa sedemikian cepatnya, sampai orang lain tak sempat melihat dengan jelas." Dia menggelengkan kepalanya sambil menghela napas, terusnya: "Siapapun tak menyangka kalau bocah tersebut betul-betul punya kehebatan yang luar biasa, sampai-sampai aku si Kulit Kerbau pun turut dibikin ketakutan." "Lalu?" "Semua orang beranggapan si bocah itu tentu akan dicincang menjadi berkeping-keping, siapa tahu dari tengah langit tiba-tiba muncul sesosok bayangan manusia, seperti...... seperti panglima perang yang turun dari kahyangan saja......" Sengaja si Kulit Kerbau berhenti sebentar untuk meneguk araknya, kemudian sambil menatap si orang asing itu, dia berkata lagi: "Coba kau tebak, siapakah yang melayang turun dari atas langit itu?" "Apakah si singa tua?" Si Kulit Kerbau segera bertepuk tangan sambil bersorak: "Tepat sekali, memang dia yang datang." Main bercerita dia semakin bertambah semangat, terusnya: "Bagaimanapun juga, singa tua tetap singa tua, walaupun nasibnya belakangan ini kurang baik, orangnya juga bertambah kurus, tapi begitu berdiri tegak, gayanya masih tetap sekeren singa jantan......"
Sambil membusungkan dada dan menirukan gayanya Cu Bong, si Kulit Kerbau berkata lagi: "Dia adalah sahabatku, bunuhlah aku terlebih dulu." "Kemudian?" tanya si orang asing itu dingin, "apakah saudara-saudara dari Coa lotoa tak ada yang berani mengusiknya?" "Siapa yang berani berkutik" Begitu si singa tua pasang gaya, tak ada yang berani berkutik lagi." Tiba-tiba si Kulit Kerbau menghela napas panjang: "Aaaai......sebenarnya benar-benar tak ada orang yang berani mengusiknya, siapa tahu ternyata di situ hadir pula sejumlah anjing keparat dari luar daerah yang tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, mereka begitu berani mengusik si singa tua." "Orang dari luar daerah?" Si Kulit Kerbau manggut-manggut: 'Di kemudian hari aku baru tahu, rupanya kawanan bajingan telur busuk itu adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang sengaja diundang oleh Coa lotoa." Jilid ke-7 "Tapi Coa lotoa toh sudah mati, sekalipun mereka berhasil membunuh si singa tua, belum tentu ada orang yang membayar kepada mereka," kata si orang asing, "mengapa mereka masih bersedia menjual nyawa buat orang lain?" "Tentu saja mereka mempunyai perhitungan mereka sendiri," ujar si Kulit Kerbau dengan riang, "biarpun loko tak mengerti, aku mah dapat memahami jalan pemikiran mereka." "Oya?" "Engkoh tua mungkin tidak mengetahui manusia macam apakah si singa tua tersebut, tapi aku tahu, kawanan bedebah itupun pasti tahu........." "Tahu soal apa?" "Tahu kalau si singa tua tak akan melepaskan mereka dengan begitu saja." "Mengapa?" "Kawanan bedebah itu tahunya membunuh orang asal ada uang, sepasang tangan mereka sudah penuh berlepotan darah, apalagi bukan anggota Hiong-say-tong, andaikata si singa tua berhasil merebut kedudukannya kembali, apakah kau kira dia akan membiarkan batok kepala mereka tetap utuh di atas tengkuknya?" "Ehmmm, sangat masuk di akal," orang asing itu manggut-manggut membenarkan, "ucapanmu memang sangat masuk di akal." "Tapi bila mereka berhasil membinasakan si singa tua, paling tidak dari tangan anggota Coa lotoa akan diperoleh sedikit upah untuk jerih payah mereka, itulah sebabnya merekapun turun tangan secara nekad."
Dalam menghadapi persoalan yang begitu pelik dan rumit, kenyataannya si Kulit Kerbau dapat menerangkan satu persatu dengan sedemikian jelasnya, bagaimanapun manusia tersebut memang patut dikagumi akan kejelian dan kecerdasan otaknya. Maka setelah meneguk semangkuk besar arak, dia menambahkan: "Inilah yang dinamakan 'Siapa turun tangan lebih dulu akan tangguh, siapa turun tangan belakangan akan runtuh'." "Tapi siapa yang runtuh?" "Sebenarnya akupun tak dapat melihat dengan jelas," kata si Kulit Kerbau, "pertarungan yang kemudian berlangsung sungguh amat dahsyat dan menggetarkan sukma, dari sepuluh orang yang berada di tengah jalanan ada delapan orang di antaranya yang terkencing-kencing saking ngerinya." Dari balik sorot mata si Kulit Kerbau segera melintas kembali sinar negeri dan seram yang amat tebal, seolah-olah dia menyaksikan kembali daging manusia yang terpotong-potong dan berserakan di mana-mana. "Sesungguhnya aku si Kulit Kerbau bukan termasuk gentong nasi," dia melanjutkan, "tapi sehabis menonton jalannya pertarungan yang amat sangat sengit itu, paling tidak ada dua tiga hari aku tak tega makan dan tak nyenyak tidur." Suara pembicaraannya sudah kian bertambah serak, agaknya dia sudah tak ingin berbicara lebih jauh, tapi si orang asing tersebut segera memenuhi kembali cawannya dengan semangkuk arak. Semangkuk arak itu dengan cepatnya pula membangkitkan kembali kegembiraannya. "Sejak pertarungan dimulai, sebenarnya si singa tua dan bocah she Ko itu berhasil menduduki posisi di atas angin, tapi lambat-laun keadaannya makin payah." "Mengapa?" "Pepatah kuno bilang 'Sepasang tangan tak akan mampu menandingi empat tangan', lelaki sejati tak akan tahan bila dikerubuti, biarpun si singa tua gagah perkasa, bagaimanapun juga mereka toh hanya berdua, biarpun orang lain memberikan tengkuknya untuk di penggalpun, lama kelamaan akan pegal juga sepasang tangan mereka." Setelah menghembuskan napas panjang, si Kulit Kerbau berkata lebih jauh: "Menyaksikan keadaan ini, kawanan anggota Hiong-say-tong yang semula telah dibuat keder oleh kewibawaan si singa tua dan tampaknya tidak bernafsu lagi untuk mengusiknya, segera memanfaatkan kesempatan yang sangat baik ini untuk berusaha menghabisi nyawa si singa tua tersebut." Orang asing itu segera manggut-manggut. Diapun berpendapat demikian dan sudah menduga, perkembangan selanjutnya dalam peristiwa itu pasti begitu. "Asal orang-orang itu bersedia turun-tangan, niscaya si singa tua dan orang she Ko tersebut akan tercincang menjadi berkeping-keping........" katanya. Si Kulit Kerbau segera menghela napas panjang, katanya kemudian: "Pada waktu itu, aku sudah berharap agar mereka pergi secepatnya dari situ, lagi pula mereka bukannya tidak berkesempatan untuk melarikan diri, coba berganti aku si Kulit Kerbau, entah sudah kabur ke mana waktu itu."
"Jadi si singa tua tidak kabur?" "Tentu saja tidak!" sekali lagi si Kulit Kerbau membusungkan dadanya, "si singa tua itu manusia macam apa" Diapun bukan seorang perajurit tak bernama seperti aku ini, dengan kedudukan serta wataknya, biar dibunuhpun dia tak bakal mengambil langkah seribu." "Maka diapun tidak kabur?" "Tidak!" "Tapi akupun tahu kalau dia belum mati." "Tentu saja dia tidak mati, mana mungkin si singa tua itu bisa mati," setelah menghela napas panjang si Kulit Kerbau menambahkan, "tapi si Sepatu Paku telah mati." "Sepatu Paku?" tanya orang asing itu, "siapakah si Sepatu Paku?" "Seorang kesatria, seorang lelaki sejati yang luar biasa," wajah si Kulit Kerbau bercahaya merah karena bersemangat kembali, "selama hidup belum pernah kujumpai lelaki lain yang berjiwa kesatria seperti dia, coba kalau dia tidak mati, aku si Kulit Kerbau bersedia mencucikan kakinya setiap hari." Kemudian setelah berhenti sejenak dia menambahkan: "Bukan hanya aku saja yang kagum, setiap orang yang mengetahui tentang dia hampir rata-rata mengaguminya." "Kenapa?" kembali si orang asing itu bertanya. "Sebenarnya dia tak lebih hanya seorang pembantu si singa tua, tidak berbeda jauh dengan kaum begundal yang lain, orangnya selalu dijadikan bulan-bulanan," cerita si Kulit Kerbau dengan wajah merah, "tapi sekarang aku baru tahu, justru mereka yang di hari-hari biasa bersikap sok gagah, sok Enghiong-lah, yang merupakan cucu kura-kura yang sebenarnya, dialah yang sebenarnya seorang cecunguk sesungguhnya." Ketika berbicara sampai di sini, si Kulit Kerbau merasakan darah yang mengalir dalam tubuhnya seolah-olah mendidih. Sambil membuka mantel kulitnya yang tebal, dia berkata lebih jauh dengan suara yang lantang: "Waktu itu, dengan amat jelas kusaksikan bagaimana tubuhnya terkena sembilan belas buah bacokan maut hingga hidungnya kena terbacok separuh dan kulit mukanya dan hidungnya ikut tersayat pula......" "Lalu apa yang dia lakukan?" "Dia merobek kulit muka serta hidungnya yang tersayat itu kemudian dimasukkan ke dalam mulut dan ditelan, setelah itu goloknya diayunkan lagi menghabisi nyawa lawannya." Mendengar sampai di situ, si orang asing yang selalu menampilkan wajah dingin dan hambar itu segera meneguk habis secawan arak, lalu memuji dengan suara keras: "Lelaki sejati, betul- betul seorang lelaki sejati." Si Kulit Kerbau menggebrak mejanya keras-keras, kemudian melanjutkan: "Sayang sekali lelaki sejati seperti ini akhirnya harus tewas karena kehabisan tenaga, hingga sepasang lengan
dan sebuah kakinya kena terbacok kutung, ia baru roboh ke tanah, bahkan ketika robohpun mulutnya masih sempat menggigit segumpal daging badan orang lain hingga robek." "Bagaimana kemudian?" "Menyaksikan gugurnya seorang pahlawan yang begitu tangguh dan gagah perkasa, kami semua yang turut menyaksikan jadi amat terharu, hingga tak tahan lagi air mata jatuh bercucuran, bahkan para anggota Hiong-say-tong yang ingin membuat kekacauanpun turut melelehkan air mata karena terharu." Setelah menarik napas panjang, si Kulit Kerbau meneruskan: "Hanya si singa tua tidak melelehkan air mata, sebab yang mengucur keluar adalah darah segar, kelopak matanya sampai pada pecah dan robek, sementara darah bercucuran tiada hentinya seperti air mata. Walaupun dia sendiripun sudah hampir tak tahan, namun dengan menghimpun sisa kekuatan yang dimilikinya, dia menyerbu ke depan untuk mendekati si Sepatu Paku, lalu memeluk sahabatnya yang amat akrab ini kencang-kencang." Si Kulit Kerbau menyeka air matanya yang membasahi wajahnya, lalu menambahkan: "Waktu itu si Sepatu Paku belum mati, tapi napasnya tinggal satu-satunya....." ooo)O(ooo Darah telah membasahi seluruh jalan raya. Siau-ko masih terlibat dalam pertempuran yang amat sengit. Cu Bong berhasil memeluk tubuh si Sepatu Paku erat-erat, dia ingin berbicara namun tak sepatah katapun yang sanggup di utarakan keluar, hanya tetesan darah masih bercucuran dari kelopak matanya. Mendadak si Sepatu Paku membuka matanya yang telah basah oleh darah dan mengucapkan kata-katanya yang terakhir menjelang saat ajalnya tiba. "Lapor Tongcu, hamba tak dapat melayani Tongcu lagi, hamba akan segera berangkat ke alam baka." ooo)O(ooo Angin dingin masih saja berhembus kencang, menerbangkan bunga salju dari atas atap rumah. Air mata si Kulit Kerbau masih saja jatuh bercucuran membasahi wajahnya. Si orang asing itu tidak mengucurkan air mata, diapun tidak berbicara, namun sepasang tangannya mengepal kencang-kencang, seolah-olah sedang berusaha untuk mengendalikan perasaan sendiri, seperti kuatir kalau air matanya ikut bercucuran. Lewat lama, lama kemudian, si Kulit Kerbau baru berbicara lagi. "Sehabis mengucapkan perkataan itu, si Sepatu Paku putus nyawa, tapi di jalanan itu tiba-tiba saja berkumandang suara auman yang keras bagaikan suara geledek, bukan Cuma anggota Hiong-say-tong saja yang tidak tahan, bahkan aku sendiripun turut tak tahan." Kemudian dengan suara yang lebih diperkeras, si Kulit Kerbau bercerita lebih jauh.
"Tiba-tiba saja semua orang menyerbu ke depan dan membacok kawanan pembunuh bayaran yang penuh berlepotan darah itu dengan bacokan maut, bahkan akupun turut membacok tubuh mereka dengan beberapa kali bacokan." "Bagus! Bacokan bagus," seru si orang asing itu sambil menggebrak meja keras-keras lalu setelah memenuhi mangkuknya dengan arak, dia melanjutkan, "aku Suma Cau-kun harus menghormati pula secawan arak untukmu." "Traaaang.....!" Cawan arak yang berada di tangan si Kulit Kerbau terjatuh ke tanah dan hancur berkeping-keping. "Apa?" dia memandang si orang asing itu dengan terkejut, "kau.....apa kau bilang?" "Aku hendak menghormati secawan arak untukmu." "Siapakah kau" Tadi kau bilang siapa yang hendak menghormati secawan arak untukku?" "Seorang manusia yang bernama Suma Cau-kun" "Jadi kau adalah Suma Cau-kun?" "Ya, akulah orangnya." Tiba-tiba saja si Kulit Kerbau merasakan sekujur badannya menjadi lemas, seolah-olah dia akan tergeletak lemas di atas lantai saja. Serunya lagi dengan tergagap: "Hamba sama sekali tidak tahu kalau Toaya adalah manusia paling gagah nomor wahid di kolong langit, Suma Toaya adanya, hamba tidak berani menerima penghormatan arak dari Toaya." "Tidak! Aku harus menghormati secawan arak untukmu, harus menghormatimu, karena kaupun seorang Ho-han yang berjiwa ksatria." seru Suma Cau-kun keras, "padahal secawan arak masih kurang untuk menghormatimu, aku harus menghormati seguci arak untukmu." Ia benar-benar mengambil seguci arak dari meja, kemudian meneguk isinya lahap. Setelah itu dia baru mendongakkan kepalanya menghela napas panjang seraya berkata: "Setiap orang yang berada di kolong langit menyebutku sebagai seorang Eng-hiong, seorang jagoan yang tiada keduanya di dunia ini, padahal aku tak bisa melebihi seorang Sepatu Paku, apalagi dengan Cu Bong." ooo)O(ooo Angin yang berhembus di luar terasa amat dingin kencang, terasa pula dingin sekali, serasa membekukan seluruh anggota badan. Walaupun bulan ke dua telah menjelang tiba, namun jaraknya dengan musim semi seolah-olah masih terlampau jauh. ooo)O(ooo Bab-10. Delapan Puluh Delapan Pahlawan
Fajar telah menyingsing di kota Tiang-an. Namun langit masih berwarna kelabu, seluruh jagad bagaikan mati, sepi dan mati. Pintu gerbang yang kokoh dan angker dari kota Tiang-an pun masih tertutup rapat-rapat. Prajurit tua penjaga pintu gerbang kota, Lo-huang dan A-kim, baru saja memotong anjing liar semalam dan membeli dua kati arak, dua kati kueh. Bila orang sudah kekenyangan, tak heran kalau paginya tak bisa segera bangun. Bagi mereka yang melalaikan tugas untuk membuka pintu kota, hukumannya adalah hukuman penggal kepala. Tak heran kalau Lo-huang yang bangun terlambat segera bermandikan peluh dingin karena ketakutan, tak sempat mengenakan pakaian lagi, dia buru-buru lari ke pintu gerbang kota. "Udara begini dingin, mungkin tak akan ada orang yang masuk ke kota sedini ini," demikian ia mencoba menghibur diri. Siapa tahu, begitu pintu kota terbuka, dia langsung menjadi terperanjat. Di luar kota sana bukan cuma ada orang yang telah menunggu pintu di buka, bahkan paling tidak mencapai tujuh-delapan puluh orang. Ke tujuh-delapan puluh orang itu hampir semuanya mengenakan pakaian ringkas dengan sebilah golok besar terselip di punggungnya, mereka memakai ikat kepala terdiri dari secarik kain putih dengan sepotong kain kumal berwarna merah darah terjahit di bagian tengahnya. Paras muka orang-orang itu persis seperti udara pada hari ini, dingin, kaku dan menyeramkan, mendatangkan perasaan seram yang mendirikan bulu roma. Begitu pintu kota terbuka, orang-orang itupun terbagi menjadi dua rombongan dan masuk ke dalam kota dengan mulut membungkam, golok yang tersoren di punggung memercikkan pantulan cahaya tajam, sedang ikat kepalanya yang putih mendatangkan suasana yang lebih angker. Semua golok yang terselip di punggung merupakan golok telanjang, karena tak sebilahpun yang memakai sarung. Siapakah kawanan manusia yang penuh diliputi hawa nafsu membunuh itu" Mau apa mereka datang ke Tiang-an" Sebetulnya Lo-huang si petugas kota ingin menghadang dan menegur mereka, tapi entah mengapa lidahnya terasa seperti kaku secara mendadak sehingga tak sepatah katapun yang sanggup diutarakan. Rupanya pada saat itulah seorang lelaki kekar berkulit beruang, persis sedang lewat dihadapannya dengan sepasang matanya yang besar dan merah membara, dia melotot ke arahnya. Biarpun orang itu sudah kurus sehingga tinggal kulit membungkus tulang, namun tulangnya yang besar dan matanya yang tajam masih mendatangkan kewibawaan yang luar biasa, persis seperti binatang buas yang baru muncul dari tengah hutan.
Rambutnya yang kusut dan kalut diikat dengan secarik kain putih, di atasnya terjahit pula secarik kain berwarna merah darah. Satu-satunya orang yang berdandan berbeda sekali dengan rombongan itu adalah seorang pemuda yang kurus tapi tampan, dia membawa sebuah bungkusan berwarna hijau yang panjang dan mengikuti di belakangnya. Lo-huang menjadi lemas dan keder, dia tahu, manusia-manusia semacam itu adalah pembunuh-pembunuh yang bisa menghabisi nyawa orang tanpa berkedip. "Apakah kau ingin bertanya kepada kami datang dari mana dan mau apa?" Biarpun suara orang itu parau dan tak sedap di dengar, namun di balik nada suaranya itu terkandung kewibawaan yang mengerikan. "Dengarkanlah, dengarkan baik-baik, aku adalah Cu Bong, Cu Bong dari Lok-yang," serunya lantang, "kami datang ke Tiang-an untuk mencari mati." ooo)O(ooo Pada dasarnya paras muka Cho Tang-lay memang tiada perubahan apapun, tapi sekarang wajah tersebut nampaknya semakin kaku, bahkan setiap kulit mukanyapun turut menjadi kaku. Seandainya kau pernah menyaksikan wajah sesosok mayat yang mati beku di tengah salju, pasti kau dapat membayangkan bagaimanakah mimik muka dan perubahan wajah Cho Tang-lay sekarang. Seorang pemuda berusia belum sampai dua puluh tahunan berdiri tegak di hadapannya, mimik wajah orang ini kelihatannya tak jauh berbeda dengan wajah Cho Tang-lay. Pemuda ini bernama Cho Kim. Sebenarnya dia bukan she Cho, dia she Kwik, dia adalah adik kandung Kwik Ceng yang tewas di kota Ang-hoa-ki. Tapi semenjak Cho Tang-lay menerimanya sebagai anak angkat, dengan cepat dia telah melupakan nama aslinya. "Cu Bong telah masuk kota." Dialah yang melaporkan berita tersebut kepada Cho Tang-lay, dia juga yang berhasil menyelidiki kalau dari selokan air, tiap hari mengalir lewat cairan obat. Belakangan ini, pekerjaan yang dia lakukan bagi Cho Tang-lay jauh lebih banyak daripada pekerjaan yang dilakukan orang kepercayaan Cho Tang-lay manapun. "Berapa orang yang telah datang?" "Termasuk Ko Cian-hui, semuanya berjumlah delapan puluh delapan orang....." "Dia sendiri yang memberitahukan kepada Lo-huang si penjaga kota bahwa dia adalah Cu Bong?"
"Benar!" "Apalagi yang dia katakan?" "Dia bilang mereka datang ke Tiang-an untuk mencari mati." Tiba-tiba saja kelopak mata Cho Tang-lay berkerut kencang, sehingga tampaknya seperti dua biji gundu. "Mereka bukan datang ke Tiang-an untuk membunuh orang, melainkan datang untuk mati?" "Benar!" "Bagus, bagus sekali," tiba-tiba biji mata Cho Tang-lay mulai melompat-lompat, "sungguh amat bagus." Orang yang cukup memahami Cho Tang-lay pasti mengerti, hanya di saat menghadapi masalah yang paling gawat dan kritis, sepasang biji matanya baru akan melompat. Sekarang biji matanya mulai melompat, karena dia sudah melihat bahwa musuh yang datang bukan hanya delapan puluh delapan orang, melainkan delapan ratus delapan puluh orang. Orang yang datang membunuh sesungguhnya tidak menakutkan, justru orang yang datang untuk mati baru menakutkan, karena manusia ini seorang saja, bisa dibandingkan dengan sepuluh orang. "Coba kau ulangi sekali lagi dandanan mereka," "Setiap orang mengenakan pakaian ringkas, ikat kepala putih dan di atas ikat kepala tersebut terjahit secuwil kain berwarna merah tua....." Cho Tang-lay segera tertawa dingin. "Bagus, bagus sekali!" Kepada Cho Kim tanyanya kemudian: "Tahukah kau, darimana mereka dapatkan cuwilan kain berwarna merah tua itu?" Cho Kim menggeleng. "Sudah pasti cuwilan kain itu berasal dari pakaian darah yang dikenakan si Sepatu Paku," ujar Cho Tang-lay, "ketika sepatu paku menemui ajalnya, pakaian yang dikenakan tentu penuh berlepotan darah kental." Dari kota Lok-yang yang telah datang orang yang melaporkan seluruh kejadian peristiwa berdarah tersebut kepada Cho Tang-lay. "Sebenarnya Hiong-say-tong sudah berubah menjadi sebaskom pasir, tapi kematian dari si Sepatu Paku telah menggumpalkan kembali pasir tersebut menjadi lumpur," suara Cho Tang-lay kedengaran rada emosi, "Sepatu Paku, wahai Sepatu Paku, kematianmu memang sangat hebat!" "Benar!," kata Cho Kim pula, "sepatu paku tidak bagus bentuknya, sepatu paku pun murah harganya, biarpun di hari-hari biasa sepatu paku tak akan bisa mengenakan sepatu biasa, namun di saat salju sudah turun dan jalanan menjadi licin, hanya sepatu paku-lah yang paling berguna....."
Ucapan tersebut diutarakan sangat datar dan hambar, karena dia tak lebih hanya mengutarakan sebuah kenyataan. Cho Kim memang tidak termasuk seorang manusia yang gampang terpengaruh oleh keadaan. Cho Tang-lay mengawasi wajahnya, mengamati sampai lama, lama sekali kemudian dia bangkit berdiri dan melakukan sesuatu gerakan yang tak mungkin bisa diduga oleh siapapun. Mendadak dia bangkit berdiri dan memeluk tubuh Cho Kim, biarpun hanya merangkulnya, namun sudah merupakan suatu perbuatan yang belum pernah dilakukannya selama ini. Kecuali terhadap Suma Cau-kun, baru kali ini dia bersikap mesra terhadap lelaki lain. Cho Kim masih berdiri tegak di tempat semula, namun air matanya sudah bercucuran membasahi pipinya. Namun Cho Tang-lay seakan-akan tidak memperhatikan reaksinya, tiba-tiba dia mengalihkan pembicaraan ke soal lain, katanya lagi: "Cu Bong tahu bahwa aku berada di sini, namun untuk sementara waktu dia tak akan kemari untuk mencariku." "Benar!" "Kalau toh mereka datang untuk mencari mati, tentu saja aku harus memenuhi keinginan mereka, tentu saja akulah yang akan pergi mencarinya." "Benar!" "Ke delapan puluh delapan orang ini datang dengan tekad untuk mencari mati, delapan puluh delapan orang hanya satu kematian, delapan puluh delapan orang mempunyai sebuah semangat, semangat tersebut jelas sudah mencapai pada puncaknya, bila sampai meledak, maka tiada kekuatan yang dapat membendungnya." "Benar!" "Oleh sebab itu aku tak akan pergi mencari mereka sekarang." "Benar!" Dari balik wajah Cho Tang-lay yang kaku dan menyeramkan, tiba-tiba tersungging sekulum senyuman yang licik dan sinis, dia bertanya kemudian kepada Cho Kim. "Tahukah kau dengan cara apa aku hendak menghadapi mereka?" "Tidak!" Dengan menggunakan nada suaranya yang khas, sepatah demi sepatah Cho Tang-lay berkata: "Aku akan mengundang mereka bersantap malam ini, aku akan mengadakan pesta di loteng Tiang-an-kit untuk menjamu mereka." "Ya!" "Dan kau harus mewakiliku untuk mengundang mereka." "Baik!"
"Mungkin Cu Bong tak akan setuju, mungkin dia akan menganggap perjamuan ini sebagai perangkap," kata Cho Tang-lay lagi dengan suara hambar, "tapi aku percaya kau tentu mempunyai akal untuk membuat mereka datang, bukan hanya Cu Bong, Ko Cian-hui pun harus turut datang." "Baik!" sahut Cho Kim, "mereka pasti datang, sudah pasti akan datang menghadiri." "Akupun berharap kau bisa pulang dalam keadaan hidup." "Aku pasti dapat." jawab Cho Kim singkat. ooo)O(ooo Ketika Cho Tang-lay kembali ke dalam kamar tidur Tiap-wu yang hangat dan lembut, Tiap-wu sedang menyisir rambut. Rambutnya telah disisir sekali demi sekali, karena selain menyisir rambut, agaknya tiada pekerjaan lain yang bisa dan ingin dilakukannya. Cho Tang-lay berdiri dengan tenang menyaksikan dia menyisir rambut, menyisir sekali dan sekali..... Begitulah, yang satu menyisir rambut, yang lain memandang. Entah berapa lama sudah lewat, mendadak......' Taaaaak' sisir kayu itu patah menjadi tiga bagian. Padahal sisir itu merupakan hasil karya Giok-jin-hong dari kota Liu-ciu yang amat termashur, biarpun dipatahkan dengan dua belah tangan pun sukar untuk mematahkannya. Apalagi sisir itu dipergunakan seorang wanita, sedang wanita yang menyisir rambut sendiri biasanya akan menyisir dengan lembut tak mungkin akan mempergunakan tenaga yang kelewat besar. Tapi sekarang sisir itu sudah patah. Sepasang tangan Tiap-wu segera gemetar keras, sedemikian kerasnya dia gemetar sampai sebagian sisirnya yang masih terpegangpun ikut jatuh ke lantai. Cho Tang-lay sama sekali tidak menanggapi kejadian itu, sikapnya seakan-akan sama sekali tidak melihat peristiwa itu. "Malam nanti aku hendak mengundang orang untuk bersantap," ia berkata dengan suara lembut, "mengundang dua orang tamu agung untuk bersantap malam." Tiap-wu tidak langsung menjawab, dia masih mengawasi sisirnya yang patah itu dengan termangu, dia seakan-akan terpesona oleh peristiwa tersebut. "Malam ini akupun akan mengundang orang bersantap," ia berkata seperti orang dungu, "mengundang aku sendiri bersantap." Kemudian setelah tertawa bodoh, dia melanjutkan: "Saban hari aku selalu mengundang diriku sendiri untuk bersantap, bahkan manusia seperti akupun harus bersantap semangkuk habis tambah semangkuk lagi, aku selalu bersantap dengan riang gembira."
"Malam ini akupun berharap bisa membuat tamuku bersantap dengan riang gembira," ucap Cho Tang-lay, "maka dari itu aku harap kau suka melakukan sesuatu bagiku." "Terserah apapun yang ingin kau suruh lakukan," Tiap-wu tertawa bergelak tiada hentinya, "sekalipun kau suruh aku jangan makan nasi tapi makan tahi, aku akan tetap menurut untuk melahapnya." "Bagus, bagus sekali!" Cho Tang-lay tertawa bergelak, bahkan suara tertawanya nampak begitu riang gembira. "Padahal kaupun harus mengerti aku hanya berharap kau suka melakukan sesuatu bagiku," sepatah demi sepatah dia berkata, "aku hanya berharap kau sudi menari bagiku." Pedang mestika tak berperasaan, hidup tanpa impian. Menari untuk si dia, biar jadi kupu-kupu pun rela. ooo)O(ooo Rumah makan Tiang-an-kit berada di kota sebelah barat, bangunannya indah dan megah, hidangannya lezat lagi murah, di tambah pula dengan pelayanan yang ramah serta dijunjung prinsip 'tamu adalah raja', tidak heran kalau sejak pagi hari seluruh ruangan sudah penuh dengan tamu, tamu dari pelbagai ragam masyarakat. Selain dapat menikmati hidangan yang lezat dengan harga yang murah, orang yang bersantap di sinipun dapat menikmati kejadian yang lebih menarik. Seperti misalnya dapat menyaksikan berbagai manusia yang aneh dan hebat, dapat berjumpa dengan kawan-kawan yang sudah banyak tahun tak bersua. Bisa jadi ketika kau bersantap dengan keluargamu, di sudut sana kau jumpai bekas kekasihmu yang sedang melirik ke arahmu.... Maka dari itu bila ada orang yang tak ingin ditemukan orang lain, tidak seharusnya berkunjung ke tempat ini. Tak heran kalau Cu Bong berkunjung ke situ. Ia tak takut ditemukan orang, justru dia senang menanti datangnya orang-orang dari Toa Piau- kiok yang mencari gara-gara dengannya. Tiada orang yang berani bertanya kepada Cu Bong: "Mengapa kau harus menunggu di sini" Mengapa tidak sekaligus menyerbu ke Toa Piau-kiok?" Tentu saja Cu Bong mempunyai alasannya sendiri. Tiang-an adalah basis kekuatan dari Toa Piau-kiok, jago-jago lihay dalam Toa Piau-kiok inipun sangat banyak, terutama sekali kepandaian silat dari Suma Cau-kun serta Cho Tang-lay benar- benar menakutkan sekali. Sekarang masa jaya mereka sedang mencapai pada puncaknya, mereka telah menempati posisi yang paling menguntungkan. "Kami datang untuk beradu jiwa bukan untuk menghantar kematian, sekalipun harus mati, kami ingin mati dengan nilai yang tinggi."
Untuk memerangi musuh yang tangguh, bukan cuma semangat dan keberanian saja merupakan modal pokok. "Kami harus bersabar, harus mempunyai hati yang teguh, tambah dan harus dapat mengendalikan perasaan dihina dan dicemooh." 'Tiap-wu, mungkinkah kau akan menari bagi orang lain"' Cu Bong berusaha keras untuk tidak memikirkan dia. Walaupun tarian Tiap-wu cukup membuat hatinya terperana dan tak mungkin bisa melupakan untuk selamanya, tapi sekarang darah segar dari si Sepatu Paku belum lagi mengering. Dia bersumpah, darah yang mengalir dari tubuh si Sepatu Paku bukan untuk mengalir dengan sia-sia. Tiada orang minum arak. Semua orang merasakan hatinya terpengaruh emosi, semangat terasa berkobar-kobar dan tak perlu dirangsang lagi dengan arak. Mereka telah menempati tiga belas meja dalam rumah makan yang terdiri dari seratusan buah meja, tempat yang semula diisi penuh oleh tamu, sejak kemunculan mereka, separuh bagian di antaranya sudah pada menyingkir. Memandang pakaian dan golok mereka yang dikenakan, menyaksikan ikat kepala mereka yang putih, memandang hawa nafsu membunuh yang menyelimuti wajah mereka, setiap orang dapat melihat bahwa kehadiran tamu-tamu asing dari luar daerah ini bukan untuk minum teh. Yang ingin mereka hirup adalah darah. Darah dari musuh besar mereka. ooo)O(ooo Cho Kim datang sendirian. Ketika dia berjalan masuk ke dalam rumah makan, tak seorangpun yang menaruh perhatian kepadanya, sebab mereka hakekatnya tak ada yang tahu siapakah orang ini. Hanya Siau-ko seorang yang tahu. Pemuda ini sudah pernah meninggalkan kesan yang terlalu mendalam baginya. Cho Kim sebaliknya seperti sudah tidak mengenalnya lagi, begitu masuk ke dalam ruangan, dia langsung menuju ke hadapan Cu Bong. "Apakah kau adalah Cu Tongcu yang datang dari Hiong-say-tong di Lok-yang?" Cu Bong segera mendongakkan kepalanya dan mengawasinya dengan sepasang mata yang merah membara. "Akulah Cu Bong, siapakah kau?"
"Boan-pwee she Cho." "Kau she Cho?" Siau-ko sangat terkejut bercampur keheranan, "aku masih ingat, agaknya kau seperti bukan she Cho." "Oya?" "Kau sebenarnya she Kwik, aku masih dapat mengingatnya dengan jelas." "Tapi aku sudah tidak teringat lagi," ujar Cho Kim hambar, "kejadian yang sudah lewat, aku selalu dapat melupakannya dengan cepat pula, kejadian yang sudah seharusnya dilupakan, aku lebih-lebih tak ingin memikirkannya kembali." Dipandangnya Siau-ko dengan tenang, paras mukanya masih tetap kaku tanpa emosi. "Ada kalanya kau pun harus menirukan caraku ini, maka hidupmu mungkin saja akan jauh lebih riang dan gembira lagi." Dalam suatu saat yang tidak sesuai, kadangkala manusia akan teringat sesuatu masalah yang seharusnya tak patut dipikirkan. Kejadian seperti ini sesungguhnya memang merupakan salah satu penderitaan yang terbesar bagi umat manusia. Sekarang, apakah Siau-ko pun sedang teringat kembali perempuan yang tidak seharusnya diingat kembali itu" Tiba-tiba Siau-ko ingin minum arak. Ketika dia sedang mulai akan minum arak, mendadak Cu Bong tertawa tergelak, lalu mendongakkan kepalanya sambil tertawa terbahak-bahak. "Bagus, bagus sekali." dia berseru dengan lantang, "siapkan arak, aku hendak minum tiga cawan besar dengan manusia yang pandai berbicara ini." "Sekarang boanpwe tak ingin minum arak," tampik Cho Kim, "oleh sebab itu, boanpwe tak dapat menemani." Gelak tertawa Cu Bong segera terhenti, lalu melotot ke arahnya seperti binatang buas. "Kau tak ingin minum arak, kau pun tak ingin menemani aku minum......?" "Benar, boanpwe tak ingin minum, biar setetespun tak ingin," sepasang mata Cho Kim sama sekali tak berkedip, "boanpwe tak perlu menggunakan arak bila ingin melupakan sesuatu persoalan." Mendadak Cu Bong bangkit berdiri dan....... 'Praaaang' cawan arak itu sudah hancur berkeping-keping. "Kau benar-benar tak mau minum?" Paras muka Cho Kim masih tetap tenang, sama sekali tidak berubah. "Bila Cu Tongcu ingin membunuh sekarang, tentu saja dapat kau lakukan semudah membalikkan telapak tangan sendiri, tapi bila ingin menyuruhku minum arak, mungkin akan jauh lebih sukar daripada naik ke langit."
Cu Bong mendongakkan kepalanya dan kembali tertawa terbahak-bahak dengan nyaring. "Bocah keparat, kau memang bernyali," lalu tanyanya lagi, "kau mengaku she Cho, apakah Cho dari marga yang sama dengan Cho Tang-lay?" "Benar!" "Apakah Cho Tang-lay yang menyuruh kau datang kemari?" "Benar!" "Datang kemari mau apa?" "Boanpwe bertugas untuk mengundang Cu Tongcu dan Ko Tayhiap untuk hadir di rumah makan nomor satu di kota Tiang-an, Tiang-an-kit malam nanti, sebab Cho sianseng telah mempersiapkan perjamuan untuk menyambut kedatangan kalian." "Apakah dia tahu berapa banyak orang yang kami bawa?" "Kecuali Ko Tayhiap, orang yang dibawa Cu Tongcu kali ini adalah delapan puluh enam orang." "Masa dia hanya mengundang dua orang" Apakah Cho Tang-lay tidak merasa terlalu pelit?" seru Cu Bong sambil tertawa dingin. "Mungkin bukan masalah pelit, tapi demi sopan santun." "Sopan santun?" "Justru demi sopan-santun, maka Cho sianseng hanya mengundang Cu Tongcu dan Ko Tayhiap berdua." "Kenapa?" "Enghiong berdua adalah tokoh-tokoh yang hebat dari dunia persilatan, sekalipun sarang naga gua harimau, kalian toh bisa pergi dan datang semaunya sendiri." Kemudian setelah tertawa hambar, Cho Kim meneruskan: "Apa yang bisa kalian berdua lakukan, mungkin belum tentu bisa dilakukan orang lain." Mendengar ucapan mana, Cu Bong segera tertawa tergelak. "Haahhh...... haahhh..... haahhh.... bagus, bagus sekali. Sekalipun Tiang-an-kit merupakan sebuah loteng yang betul-betul merupakan sarang naga gua harimau, Cu Bong dan Siau-ko pasti akan menghadirinya juga. Tapi kau tidak seharusnya datang ke sini....." "Mengapa?" "Terhadap manusia yang sangat berbakat seperti kau, setelah datang kemari, masa kami akan membiarkan kau pergi dengan begitu saja.........?" Kemudian setelah tertawa main keras, bagaikan guntur yang menggelegar di tengah udara, Cu Bong berkata lebih jauh: "Apabila aku melepaskan kau pergi, bukankah segenap sahabat di
kolong langit akan mentertawakan aku Cu Bong sebagai manusia bermata tapi tak berbiji yang tidak mengenal enghiong?" Cho Kim tertawa lebar. "Nyo Kian bisa berpihak pada Toa Piau-kiok, Piau-kiok terbesar dalam dunia persilatan, mengapa aku tidak bisa berpihak pada Hiong-say-tong" Cuma sekarang, hal ini belum mungkin." "Harus di tunggu sampai kapan?" "Harus ditunggu sampai kekuatan dari Hiong-say-tong sudah mampu untuk mengalahkan Toa Piau-kiok, piau-kiok terbesar di dunia," Cho Kim berkata tanpa emosi, "boanpwe bukan seorang manusia yang setia kepada seseorang, namun aku selalu mengetahui gelagat dan situasi." Siau-ko memandang ke arah orang itu dengan terkejut, dia benar-benar tidak menyangka pemuda seperti dia bisa mengucapkan perkataan seperti ini. Cho Kim dengan cepat dapat menemukan perubahan pada mimik wajahnya itu, dengan cepat dia berkata lagi: "Aku berbicara dengan sejujurnya, kata-kata yang jujur seringkali memang kurang sedap untuk didengarkan." Cu Bong tidak tertawa lagi, dengan suara keras dia segera menegur nyaring: "Apakah aku harus melepaskanmu kembali guna membantu Cho Tang-lay menghadapi diriku?" "Boanpwe sudah pernah berkata, bila Cu Tongcu ingin membunuhku, hal tersebut bisa kau lakukan semudah membalikkan telapak tangan sendiri, namun seandainya Cu Tongcu benar- benar telah membunuhku, untuk menjumpai orang tersebut akan mengalami kesulitan lebih dari untuk mendaki ke langit." Paras muka Cu Bong segera berubah hebat. Tentu saja dia mengerti siapakah yang dimaksudkan Cho Kim. Perkataan itu terasa bagaikan sebuah ayunan cambuk yang menghajar tubuhnya, membuat dia menjadi tertegun dan untuk beberapa saat lamanya tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Pada saat itulah Cho Kim sudah membungkukkan badan memberi hormat seraya berkata: "Boanpwe mohon diri lebih dulu." Selesai berkata, dia betul-betul membalikkan badan dan beranjak pergi, bahkan sama sekali tidak kuatir ada orang yang akan membacok batok kepalanya dari belakang, malah dia tidak memandang lagi ke arah Cu Bong, walau hanya sekejappun. Otot-otot hijau di atas jidat Cu Bong sudah pada menonjol keluar semua, mungkin karena harus menahan amarah dan emosi yang meluap-luap. Ia tak dapat melupakan Cho Kim dengan begitu saja, tak dapat membiarkan anak buahnya melihat dia melepaskan seorang musuh besar mereka hanya disebabkan seorang perempuan. Tapi diapun tak bisa membiarkan Tiap-wu menemui ajalnya karena tindakannya ini. Tiba-tiba Siau-ko berkata sambil menghela napas: "Sungguh tak nyana dia bisa menilai dengan tepat, menebak secara jitu bahwa Cu Bong si Singa Jantan tak pernah akan membunuh seorang manusia yang datang kemari sebagai utusan dan tanpa bekal secuwil senjatapun."
Dia memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian melanjutkan: "Hanya seorang lelaki sejati yang bisa berbuat demikian, apalagi Cu Bong memang lelaki tulen." Seorang lelaki berikat kepala putih segera bangkit berdiri sambil berseru keras: "Perkataan Ko toako memang benar, kita sama-sama harus menghormati Tongcu dengan secawan arak." Delapan puluh enam orang lelaki kekar serentak mengiakan bersama dengan suara sekeras guntur. Siau-ko segera membuka kancing bajunya, kemudian berseru: "Bagus sekali, ambil arak!" ooo)O(ooo "Aku mengerti, Cu Bong masih belum dapat melepaskan Tiap-wu," dengan nada dingin Cho Tang-lay berkata, "tapi aku tidak menyangka kalau dia akan melepaskan kau dengan begitu saja." Di balik sorot matanya terbawa suatu perubahan yang sukar dipahami, lanjutnya: "Demi seorang wanita sudah melepaskan musuh besarnya dengan begitu saja, apakah Cu Bong tidak kuatir saudara-saudaranya memandang hina kepadanya karena kejadian ini" Apakah dia tidak takut akan mengurangi semangat mereka?" Setelah tertawa dingin dia menambahkan: "Benarkah Tiap-wu si perempuan ini memiliki daya tarik yang begitu besar?" "Semangat mereka tidak menjadi pudar karena peristiwa tersebut," kata Cho Kim, "mengapa?" "Sebab Ko Cian-hui cukup memahami perasaan Cu Bong waktu itu serta membantunya lolos dari kesulitan pada saat yang tepat, agar semua anggotanya mengira dia tidak membunuh dirimu bukan lantaran perempuan, melainkan demi kebenaran." Setelah menarik napas panjang Cho Tang-lay menambahkan: "Dua negeri yang sedang berperang, tidak akan menghukum mati sang utusan, Cu Bong adalah seorang manusia yang berjiwa besar, mana mungkin dia akan membunuh seorang manusia yang tidak membekal senjata......?" "Ya, benar! Ko Cian-hui memang berkata demikian," seru Cho Kim sambil menampilkan perasaan kagum. Cho Tang-lay segera tertawa dingin tiada hentinya. "Orang itu memang benar-benar sahabat sejati dari Cu Bong, sedangkan anak buah Cu Bong justru adalah babi-babi yang goblok." "Padahal orang-orang itu bukannya tidak memahami maksud Ko Cian-hui.....," ucap Cho Kim, "tapi merekapun tidak memandang hina Cu Bong lantaran peristiwa itu." "Oya?" "Sebab merekapun tidak berharap Cu Bong benar-benar menjadi seorang manusia yang dingin, kejam dan tak berperasaan, sebab seorang Enghiong yang tulen bukannya sama sekali tak berperasaan." "Hanya manusia mana yang benar-benar tak berperasaan?"
"Pentolan bajingan, Enghiong tiada berair mata, pentolan bajingan tiada berperasaan." Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Cho Tang-lay, lama sekali dia menatap wajah Cho Kim, kemudian baru berkata dengan suara dingin: "Seandainya Ko Cian-hui tidak berkata demikian, apakah Cu Bong bakal membunuhmu?" "Diapun tak akan berbuat demikian?" "Mengapa?" Suara Cho Kim berubah semakin dingin dan tenang: "Sebab dalam pandangannya, nyawa Tiap-wu jauh lebih berharga ketimbang nyawaku." ooo)O(ooo Suasana dalam ruangan kamar telah lama menjadi gelap, tapi Tiap-wu membiarkan kamarnya tetap gelap gulita, sebab dia memang tak senang memasang lampu. Apakah dia kuatir dirinya menjadi kunang-kunang yang akan menubruk ke api" Di tengah tungku pemanas tampak percikan cahaya api, Tiap-wu berdiri di tepi tungku pemanas itu dan pelan-pelan melepaskan pakaian yang dikenakannya. Tubuhnya yang bugil tampak berwarna putih bersih, putih dan halus bagaikan batu pualam. Tiba-tiba pintu didorong orang. Tiap-wu tahu ada orang memasuki kamarnya, tapi ia tidak berpaling, sebab selain Cho Tang- lay, tiada orang yang berani memasuki kamar ini. Ia membungkukkan badan, lalu mulai membelai kaki sendiri yang indah. Bukan orang lain saja, bahkan dia sendiripun dapat merasakan daya rangsang yang begitu kuat terpancar keluar dari atas kakinya itu. Tiada orang yang bisa melawan daya rangsang yang amat hebat itu, selamanya tak pernah ada. Itulah sebabnya dia keheranan, dia heran Cho Tang-lay hanya berdiri saja sambil memandangnya, berdiri semenjak tadi tanpa menunjukkan sesuatu reaksipun. Pakaiannya yang tipis kini sudah terlepas semua dari tubuhnya, kini dia berada dalam keadaan bugil, tanpa sehelai benangpun yang menempel di tubuhnya. Di bawah sinar rembulan yang memancar ke dalam ruangan, tubuhnya nampak lebih indah dan merangsang nafsu berahi. Tapi Cho Tang-lay masih tetap berdiri tegak di belakangnya, tanpa melakukan sesuatu reaksi. Akhirnya Tiap-wu tidak tahan lagi, dengan cepat dia berpaling, namun sekuntum bunga yang baru dipegangnya segera terjatuh ke atas tanah karena kaget. Ternyata yang masuk ke dalam kamarnya bukan Cho Tang-lay seperti apa yang ia duga semula.
Sewaktu berpaling, dia segera menyaksikan seorang pemuda berwajah pucat telah berdiri di hadapannya sambil memandang tak berkedip ke arahnya. Dengan cepat Tiap-wu dapat menguasai keadaan, dia bisa memulihkan kembali ketenangannya. Benar-benar tak pernah disangka olehnya selain Cho Tang-lay masih ada orang lain yang berani memasuki ruangan ini, tapi dia memang sudah terbiasa dilihat orang. Satu-satunya yang membuat dia merasa tidak terbiasa adalah sorot mata pemuda itu, dia merasa sorot matanya jauh berbeda dengan kebanyakan orang. Di kala orang lain menyaksikan tubuhnya yang bugil dan kakinya yang indah, sorot matanya seolah-olah memancarkan cahaya api yang berkobar-kobar. Tapi sorot mata pemuda ini justru dingin, sedingin salju dan setajam sembilu. Cara Cho Kim memandang Tiap-wu bagaikan dia memandang segumpal es atau sebilah mata golok. Tiap-wu balas memandang ke arahnya, memandang sampai lama, lama sekali, namun ia masih belum menemukan setitik perubahan pun pada wajah si anak muda tersebut. "Siapakah kau?" tak tahan Tiap-wu bertanya, "dapatkah kau memberitahukan kepadaku, siapakah kau?" "Cho Kim, aku bernama Cho Kim." "Manusiakah kau" Benarkah kau manusia yang terdiri dari darah dan daging?" "Ya, benar! Aku adalah manusia yang punya darah dan daging....." "Kau bukan orang buta?" "Bukan!" "Kau dapat melihatku?" "Tentu saja, setiap bagian tubuhmu yang paling rahasiapun sudah kulihat dengan amat jelas." Suaranya dingin dan kaku, namun cukup sopan, bahkan tidak terpengaruh emosi, tiada kedengaran nada suara yang terpengaruh oleh nafsu birahi atau nada lain. Apa yang dia ucapkan, seakan-akan hanya menuturkan suatu kenyataan belaka. Tiap-wu segera tertawa, dibalik suara tertawanya terkandung helaan napas, tanyanya kemudian keheranan: "Apakah kau tak pernah berbohong?" "Ada kalanya aku bisa berbohong, ada kalanya tidak. Bilamana tidak diharuskan untuk berbohong, aku selalu berbicara sejujurnya." "Sekarang, apakah kau merasa perlu untuk berbohong?" "Sama sekali tidak."
Sekali lagi Tiap-wu menghela napas panjang. "Tadi kau bilang setiap bagian tubuhku yang paling rahasiapun sudah kau saksikan dengan jelas, apakah kau tidak kuatir lo-cho akan mengorek keluar sepasang biji matamu?" Cho Kim memandang ke arahnya dengan tenang, lewat lama kemudian sepatah demi sepatah dia baru berkata: "Sekarang, dia sudah tak akan berbuat demikian lagi." Tiap-wu seperti tidak memberikan reaksi apapun, padahal dia sudah memahami arti dari perkataannya itu. "Sekarang dia tidak akan berbuat demikian lagi, apakah hal ini dikarenakan dia telah menyerahkan diriku untukmu?" tanyanya kepada Cho Kim. Cho Kim segera menggeleng. "Bukan kau" Tapi orang lain?" desak Tiap-wu lebih jauh. Cho Kim segera terbungkam. "Dia memang benar-benar sosial," suara Tiap-wu kedengarannya penuh ajakan yang sinis, "setiap lelaki yang pernah tidur denganku, tak seorangpun bisa melepaskan aku pergi dengan begitu saja." Lalu setelah menghela napas, terusnya: "Kejadian ini benar-benar pantas disayangkan." "Disayangkan?" "Aku merasa sayang bagimu," ucap Tiap-wu sambil menatap pemuda tersebut lekat-lekat, "kau masih muda, kaupun seorang lelaki yang tampan, aku selalu menyukai lelaki tampan seperti kau, kalian seperti tak pernah akan menjadi lelah." Biji matanya yang jeli makin meredup dan sayu, bibirnya makin lama semakin basah dan dia pelan-pelan berjalan mendekat, lalu menempelkan tubuhnya yang bugil dan hangat itu di atas badan Cho Kim. Menyusul kemudian pinggangnya meliuk-liuk seperti seekor ular, rintihan lirih yang merangsang bergema dari bibirnya. Menghadapi rangsangan seperti ini, ternyata Cho Kim tidak memberikan reaksi apapun. Tiap-wu mulai terengah-engah, tangannya mulai meraba kian ke bawah seperti lagi mencari sesuatu, tapi sebelum 'benda' tersebut teraba, sebuah tangan yang kuat telah mencengkeram tangannya, lalu tubuhnyapun terasa dilemparkan ke udara. Bagaikan melempar sebuah bola saja, Cho Kim melemparkan tubuh Tiap-wu ke atas pembaringan, lalu dengan suara dingin dia berkata: "Kau boleh saja mempergunakan berbagai cara untuk menyiksa diri, memperolok diri sendiri, terserah cara apapun yang hendak kau pergunakan, tapi tak akan kulakukan untuk diriku sendiri." "Kau tak bisa melakukannya?" Tiap-wu tertawa lagi, tertawa keras seperti orang kalap, "kau bukan lelaki rupanya?"
"Percuma saja bila kau ingin memanasi hatiku dengan cara begitu, tak nanti aku akan menyentuhmu." "Mengapa?" "Sebab akupun seorang lelaki, aku tak ingin setiap malam terbayang kembali gerakan erotikmu ketika tertindih di bawah untuk menyiksa diri sendiri." "Asalkan kau bersedia, setiap malam kau boleh memelukku dan mengajakku tidur bersama." Cho Kim segera tersenyum, senyumannya bagaikan terukir dari batu karang yang paling keras. 'Akupun pernah berpikir demikian, sayang sekali akupun tahu bagaimanakah akibat dari lelaki- lelaki yang setiap hari memelukmu dan mengajakmu tidur bersama." Tiap-wu tak bisa tertawa lagi setelah mendengar perkataan tersebut, tiba-tiba saja sorot matanya menampilkan perasaan sedih yang tak terlukiskan dengan kata-kata. "Ucapanmu memang benar," dia berkata sedih, "orang-orang yang setiap malam ingin memelukku dan mengajakku tidur bersama itu kalau belum terhitung mati, mereka pasti akan merasakan siksaan hidup yang paling berat." Makin berbicara suaranya kedengaran makin menderita dan parau: "Untung saja orang-orang itu kalau bukan telur busuk tentu orang tolol, terlepas mereka mau menderita secara bagaimanapun bukan urusanku." "Bagaimana dengan Cu Bong?" tiba-tiba Cho Kim bertanya, "Cu Bong termasuk telur busuk ataukah tolol?" Tiap-wu segera bangkit berdiri memandang kerdipan api di tengah tungku pemanas, dia termangu, lama, lama kemudian tiba-tiba saja dia tertawa dingin. "Kau anggap Cu Bong masih teringat diriku" Kau anggap Cu Bong akan bersedih hati karena aku?" "Apakah dia tak akan berbuat demikian?" "Pada hakekatnya dia bukan manusia," suara Tiap-wu penuh dengan perasaan dendam, "dia tak jauh berbeda dengan Cho Tang-lay." "Apakah dia sama sekali tak acuh kepadamu?" "Apa yang dia acuhkan?" teriak Tiap-wu, "dia hanya mengacuhkan nama besarnya, kedudukannya, kekuasaannya. Biarpun aku mampus di hadapan mukanya, tak nanti dia akan melelehkan air mata." "Sungguh?" "Di dalam anggapannya aku bukan manusia, aku tak lebih hanya sebuah alat pemuas nafsunya. Seperti boneka milik si upik, bila sedang senang diapun mempermainkan aku, bila sudah jemu, akupun dicampakkan ke samping, ada kalanya sampai berhari-hari lamanya dia tidak mengajakku berbicara, walau hanya sepatah katapun."
"Justru dia bersikap demikian kepadamu, maka kau baru memanfaatkan kesempatan di saat kami menyerbu Hiong-say-tong untuk melarikan diri?" "Akupun manusia, adakah manusia yang rela dianggap sebagai alat pemuas nafsu oleh orang lain?" tanya Tiap-wu, "pasti tidak ada!" "Tapi pernahkah kau bayangkan, mungkin kau telah salah menilai dirinya?" ucap Cho Kim hambar. "Dalam hal mana aku salah menilai?" "Bagi seorang lelaki seperti dia, biarpun dalam hati kecilnya amat menyukai seseorang, belum tentu perasaan tersebut diutarakan keluar, aku tahu ada banyak orang yang enggan mengutarakan perasaan sendiri, terutama terhadap perempuan yang disukainya." "Mengapa?" "Mungkin hal ini disebabkan mereka beranggapan, jikalau menunjukkan sikap romantis seperti ini di hadapan kaum wanita, perbuatan itu akan mengurangi kejantanannya sebagai seorang lelaki sejati, mungkin juga hal ini dikarenakan mereka pada hakekatnya tidak mengerti untuk apa berbuat demikian." "Cu Bong bukan manusia macam begini," Tiap-wu berkata dengan suara tandas, "siapapun tak ada yang menangkan dia, di dalam hal begini dia lebih mengerti daripada orang lain, lebih pandai melakukannya daripada orang lain." "Oya?" "Bila dia suka terhadap seseorang, perbuatan yang dia lakukan akan jauh lebih bagus ketimbang siapapun, kadangkala aku sendiripun sampai dibikin jemu oleh cara kerjanya bagi orang lain." "Tapi kau bukan orang lain, kau berbeda sekali dengan orang-orang lain." "Mengapa berbeda?" "Sebab kau adalah perempuannya, mungkin dia beranggapan kau seharusnya mengerti bahwa sikapnya terhadap dirimu jauh berbeda dengan orang lain." "Aku tidak mengerti, bila seorang lelaki benar-benar menyukai seorang wanita, semestinya ia tunjukkan perasaan tersebut kepadanya." "Mungkin hal ini dikarenakan kau belum dapat memahami dirinya." "Aku belum memahaminya?", sekali lagi Tiap-wu tertawa dingin, "aku sudah dipeluk dan ditiduri selama tiga empat tahun olehnya, masa aku belum memahaminya?" Sekali lagi sekulum senyuman kaku menghiasi wajah Cho Kim. "Tentu saja kau sangat memahaminya, lagi pula pasti jauh lebih memahami daripada kami semua." Malam telah menjelang tiba, suasana dalam kamar diliputi keheningan.
Lama kemudian Tiap-wu baru menghela napas panjang. "Apa yang kuucapkan hari ini, apakah sudah terlalu banyak?" "Benar!" sahut Cho Kim, "maka sekarang kita harus berangkat, aku memang bermaksud membawamu pergi." "Kau hendak membawaku kemana?" "Apakah kau lupa?" sepatah demi sepatah Cho Kim berkata, "kau toh sudah menyanggupi permintaan Cho sianseng untuk menari baginya malam ini." ooo)O(ooo Bab-11. Tarian Maut Kota Lok-yang masih terasa dingin membeku, bunga salju masih berguguran amat deras. Suma Cau-kun dengan mengenakan mantel tebal, bertopi lebar dan menunggang seekor kuda, menembusi badai salju yang lebat meninggalkan Lok-yang menuju ke Tiang-an. Dia tahu, bisa jadi Cu Bong sudah berada di Tiang-an sekarang. Walaupun kekuatan Toa Piau-kiok masih tangguh, namun kekuatannya terlalu menyebar. Jago-jago nomor wahid dari Toa Piau-kiok sebagian besar adalah tokoh-tokoh kenamaan suatu daerah, mereka jarang meninggalkan daerah masing-masing untuk berkumpul di kota Tiang-an, padahal jago-jago yang dibawa Cu Bong menuju ke Tiang-an kali ini hampir semuanya merupakan jago-jago berani mati yang memang sudah bertekad tak akan kembali lagi ke Lok-yang dalam keadaan hidup. Cho Tang-lay sudah pasti dapat melihat pula akan hal ini, tak mungkin dia akan mengajak Cu Bong untuk berduel keras lawan keras. Tapi dia pasti mempunyai cara yang baik untuk menghadapi Cu Bong dan cara tersebut tentu sangat manjur. Kelicikan, kesadisan dan kemunafikan merupakan cara-cara yang selalu mendatangkan kemujuran. Tiada orang yang lebih memahami Cho Tang-lay daripada Suma Cau-kun sendiri. Dan sekarang dia hanya berharap bisa pulang tepat pada saatnya dan mencegah Cho Tang- lay melakukan suatu perbuatan yang sudah pasti akan membuatnya menyesal sepanjang jaman. Ia sudah cukup tinggi mendaki pada puncak kedudukannya, dan sekarang ia sudah mulai lelah. Dia benar-benar tak ingin menginjak tubuh Cu Bong untuk mendaki ke tingkatan yang jauh lebih tinggi lagi. Dengan akal muslihat apakah Cho Tang-lay akan menghadapi Cu Bong dan Ko Cian-hui" Suma Cau-kun belum sempat memikirkannya, diapun tak berkesempatan untuk memikirkan secara bersungguh-sungguh.
Bunga salju beterbangan di angkasa seperti seekor kupu-kupu yang sedang menari di tengah udara. Mendadak hati Suma Cau-kun tenggelam, sebab dia sudah mengetahui cara apakah yang akan dipergunakan Cho Tang-lay. ooo)O(ooo Rumah makan Tiang-an-kit yang luas kini sepi dari pengunjung, sebab seluruh ruangan telah disewa oleh Cho Tang-lay. "Sungguh tak kusangka kalian berdua telah datang lebih awal dari kedatanganku." Ketika Cho Tang-lay naik ke loteng, Cu Bong dan Siau-ko sudah duduk di sana, seguci arakpun kini tinggal setengah guci. "Menjulurkan kepala juga satu bacokan, menarik kepala juga satu bacokan, kalau toh harus datang, mengapa tidak datang lebih awal" Apalagi mendapat kesempatan untuk minum arak bagus sepuasnya." sahut Cu Bong dingin. "Benar! Ucapan Cu Tongcu memang benar, memang seharusnya datang lebih awal," Cho Tang-lay tersenyum, "makin awal datang kemari, memang semakin banyak yang bisa dilihat." Dia mendekati jendela dan membuka seluruh daun jendela yang berada di situ, kemudian menambahkan: "Kecuali bunga Bwe yang memenuhi kebun, apa lagi yang berhasil Cu Tongcu lihat?" "Aku masih melihat setumpuk tahi anjing," Cu Bong berkaok, "entah anjing liar darimana yang menyusup kemari dan melepaskan hajatnya di sini." Air muka Cho Tang-lay sama sekali tidak berubah, diapun tidak marah walaupun sudah mendengar ucapan tersebut. "Dalam hal ini aku sendiripun kurang jelas," katanya, "tapi aku dapat menjamin, anjing liar tersebut sudah pasti bukan orang-orang yang ku tanam di situ, juga bukan berasal dari Toa Piau- kiok." "Darimana kau bisa tahu kalau anjing-anjing liar itu bukan berasal dari Toa Piau-kiok?" Cu Bong tertawa dingin, "kau telah bertanya kepada mereka" Berbicara dengan mereka?" Senyuman masih tetap menghiasi wajah Cho Tang-lay. "Ada sementara persoalan yang sebetulnya tak usah ditanyakan, seperti misalnya Cu Tongcu melihat seonggokan tahi anjing, sudah diketahui pasti ada anjing yang membuang hajatnya di sana, akupun tak usah menyelidiki lagi, apakah tahi itu betul-betul dilepaskan si anjing, sebab anjing maupun tahi anjing toh sama-sama tak dapat di ajak bicara." Cu Bong tertawa terbahak-bahak. "Haahhh..... haahh...... haaahhh.... bagus, bagus sekali, aku memang tak dapat menandingi dirimu." Lalu sambil mengangkat cawan tambahnya: "Terpaksa aku hanya bisa mengajakmu meneguk arak!"
"Biar meneguk arakpun pasti akan kulayani." Sekali teguk Cho Tang-lay menghabiskan isinya kemudian meneruskan: "Cuma saja, ada suatu persoalan yang tentunya baik kau maupun aku pasti memahaminya." "Soal apa?" Jilid ke-8 "Kesudian Cu Tongcu berkunjung kemari tentu bukan dikarenakan bersedia minum beberapa cawan arak, bukan?" "Oya?" "Cu Tongcu datang kemari tak lebih hanya ingin tahu permainan apakah yang sebenarnya sedang dipersiapkan oleh diriku, Cho Tang-lay, bukankah demikian?" Sekali lagi Cu Bong tertawa terbahak-bahak: "Lagi-lagi kau berbicara dengan sangat tepat, perkataanmu memang tepat sekali." Tiba-tiba dia menghentikan gelak tertawanya, kemudian sambil melototkan sepasang matanya yang merah membara dan bersinar tajam, dia menegur lagi kepada Cho Tang-lay dengan nada keras. "Sesungguhnya permainan apa yang hendak kau perlihatkan kepadaku?" "Padahal aku sendiripun tiada permainan apa-apa yang hendak kusuguhkan, kalau toh ada, yang bermain jelas bukan aku." "Kalau bukan kau, lantas siapa?" Cho Tang-lay menuang arak untuk cawannya sendiri dan meneguknya sedikit, kemudian dengan nadanya yang khas, sepatah demi sepatah dia berkata: "Malam ini, aku sengaja mengundang Cu Tongcu datang kemari karena ada orang yang akan menarikan suatu tarian bagi si dianya." Dengan cepat paras muka Cu Bong berubah hebat. Entah bagaimanakah perasaan hatinya di saat tersebut" Tiada orang yang memahami, juga tiada orang yang dapat melukiskan seperti misalnya tersayat pisau, tersengat api atau tertusuk jarum, siapakah yang dapat melukiskan perasaannya ketika itu" Cho Tang-lay mengangkat cawan araknya ke arah Siau-ko, kemudian pelan-pelan berkata: "Tarian dari Tiap-wu tiada keduanya di dunia ini, tariannya pun tak mungkin bisa disaksikan setiap orang, hari ini, rejeki kita boleh dibilang sungguh bagus." Siau-ko terbungkam, dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Sambil tertawa Cho Tang-lay berkata lebih lanjut: "Cuma saja, yang ingin kuharap saudara Ko saksikan pada malam ini, bukanlah tariannya." "Lantas apa yang harus kulihat?"
"Melihat seseorang," Cho Tang-lay berkata sepatah demi sepatah, "seseorang yang mungkin sangat ingin dijumpai saudara Ko." Paras muka Siau-ko turut berubah hebat. Seorang gadis yang sama sekali tak diketahui namanya, suatu perasaan cinta yang tak pernah terlupakan untuk selamanya..... Ingatan tersebut dengan cepat melintas lewat dan memenuhi seluruh benaknya. Setelah tertawa, pelan-pelan Cho Tang-lay berkata lagi: "Sekarang, tentunya saudara Ko sudah dapat menebak bukan, siapakah yang kumaksudkan?" "Praaang!" Cawan arak yang berada dalam genggaman Siau-ko hancur berkeping-keping, hancuran cawan tersebut segera menusuk ke dalam telapak tangannya. Tiba-tiba Cu Bong meraung keras, sambil menjulurkan tangannya yang besar dan berotot besar, ia cengkeram baju Cho Tang-lay, kemudian serunya: "Dia berada dimana" Orang yang kau maksudkan itu berada dimana....?" Cho Tang-lay sama sekali tak berkutik, memandang tangan Cu Bong dengan pandangan dingin, sampai tangan yang mencengkeram bajunya itu mulai mengendor, dia baru berkata: "Orang yang kumaksudkan dengan cepat akan tiba di sini." Perkataan tersebut seakan-akan ditujukan kepada Cu Bong, akan tetapi sepasang matanya justru menengok ke arah Siau-ko. ooo)O(ooo Sebuah kereta kuda berwarna hitam telah berhenti di depan pintu gerbang rumah makan Tiang-an-kit. Dari balik kebun yang luas, lamat-lamat kedengaran suara musik yang bergema sayup-sayup sampai, dibalik nada lagu yang dibawakan terkandung suatu kepedihan hati yang tebal. Tiap-wu duduk termangu dalam ruang keretanya sambil mendengarkan irama lagu tersebut. Ketika angin kencang berhembus lewat, entah berapa banyak daun kering yang berguguran ke atas permukaan salju bagaikan kupu-kupu yang sedang beterbangan. Ia membuka pintu kereta dan memungut daun kering itu, lalu memandangnya dengan termangu, entah sampai berapa lamanya. Titik-titik airpun mengalir jatuh ke bawah menimpa daun-daun yang kering itu, entah air mata, entah air hujan, persis seperti embun di atas dedaunan di musim semi. Angin kencang berhembus pula ke dalam ruang loteng rumah makan Tiang-an-kit, namun Cu Bong membuka pakaiannya lebar-lebar, seakan-akan dia berharap angin dingin yang tajam bagaikan sembilu itu justru menusuk ke dalam hatinya. Dia dan Siau-ko tidak bersuara.
Ingatan serta kenangan yang manis, kecut, getir serta pelbagai perasaan lain serasa menyumbat kerongkongan mereka. Seorang kakek buta yang berambut uban dengan membawa sebuah tongkat bambu pelan- pelan berjalan naik ke atas loteng. Seorang nona cilik berkuncir besar mengikuti di belakangnya dengan kepala tertunduk. Si kakek membawa seruling, sedang si nona membawa harpa, jelas mereka adalah pemusik yang akan mengiringi tarian dari Tiap-wu nanti. Walaupun di atas wajah si kakek yang penuh dengan kerutan tidak menampilkan perubahan apapun, namun setiap kerutan di atas wajahnya bagaikan sebuah kuburan, kuburan yang telah memendam beribu-ribu penderitaan dan kepedihan. Pelbagai tragedi yang berada di dunia ini sudah terlalu banyak yang dilihat olehnya. Sedangkan si nona cilik itu tak pernah melihat apa-apa, sebab diapun seorang yang buta, sudah buta sejak dilahirkan, pada hakekatnya tak pernah melihat cahaya matahari, tak pernah mengetahui bagaimanakah bentuk kegembiraan hidup di masa remaja. Dua manusia seperti ini, bagaimana mungkin bisa mengecap kebahagiaan dan kegembiraan" Dengan mulut membungkam kakek itu berjalan ke atas loteng, lalu berjalan menuju ke sudut yang sudah amat dikenalnya dan duduk. Bukan baru pertama kali ini dia berkunjung kemari, saban kali selalu membawakan lagu-lagu kesedihan. Menyanyikan lagu-lagu sedih bagi sementara orang yang banyak tertawa, untuk mengusik rahasia dan penderitaan mereka yang selama ini terpendam di dalam hati. Anehnya, orang-orang itupun selalu senang membiarkan dia berbuat begini. Ya, manusia memang makhluk yang sangat aneh, ada kalanya mereka justru mempergunakan kesedihan dan penderitaan sebagai suatu kenikmatan. Dari bawah loteng kembali bergema suara langkah kaki manusia, langkah itu amat lirih, sedemikian lirihnya sehingga sama sekali tidak menimbulkan getaran. Mendengar langkah kaki ini Siau-ko segera melompati meja menyusup ke mulut tangga da menyerbu ke bawah. Sebaliknya Cu Bong tetap tak berkutik di tempat. Seluruh badannya seolah-olah telah menjadi kaku, berubah menjadi sesosok mayat yang membatu, fosil yang mengeras bagaikan karang. Seorang wanita yang sama sekali tak diketahui siapa namanya, suatu perasaan cinta yang tak pernah akan terlupakan lagi. Sebetulnya Siau-ko mengira dia sudah tak akan berjumpa lagi dengannya, tapi sekarang ia justru telah muncul dihadapannya.
Mimpikah ini" Diapun telah memandang ke arah Siau-ko. Ia memandang pemuda itu dengan wajah termangu. Entah terkejut, entah gembira, seperti ingin menyongsong, tapi seperti juga hendak menghindar. Siau-ko tidak membiarkan perempuan itu menentukan pilihan sendiri. Dengan cepat dia menyerbu ke atas dan menariknya, menarik sepasang tangannya yang lembut. Kesemuanya ini bukan dalam impian, bukan pula dalam alam khayalan. Siau-ko dapat merasakan betapa hangat dan lembutnya tangan tersebut, dalam hatinyapun dapat merasakan kehangatan dan kemesraan yang meluap-luap. "Waktu itu mengapa kau harus pergi" Kau kemana" Mengapa bisa muncul lagi di sini?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut tak sebuahpun yang diajukan oleh Siau-ko. Asal mereka dapat bersua kembali, persoalan lain sudah bukan menjadi masalah penting lagi. "Kau telah datang, kau benar-benar telah datang. Kali ini aku tak akan membiarkan kau pergi lagi dari sisiku." Sambil menarik tangannya yang lembut, selangkah demi selangkah Siau-ko mundur ke belakang dan menaiki anak tangga, sorot matanya seakan-akan merasa berat untuk beralih lagi dari paras mukanya. Mendadak........... paras muka perempuan itu menunjukkan berbagai macam perubahan yang tak dapat dimengerti oleh siapapun. Kelopak matanya tiba-tiba mengerut kencang karena ngeri dan takut, tapi kemudian meluas dan menyambar, seluruh tubuhnya seakan-akan telah runtuh dan siap untuk roboh ke tanah. Sebenarnya apa yang telah ia saksikan" Siau-ko memandang ke arahnya dengan terkejut, sebenarnya dia ingin segera berpaling untuk melihat apa gerakan yang telah disaksikan oleh perempuan itu. Tapi secara tiba-tiba paras muka sendiri mengalami pula suatu perubahan yang menakutkan sekali, dia seolah-olah teringat akan suatu kejadian yang menakutkan. Lama, lama kemudian dia baru berani berpaling. Begitu memalingkan kepalanya, dia lantas melihat Cu Bong. Mimik wajah Cu Bong ketika itu persis seperti seekor binatang buas, seekor binatang buas yang terjebak dalam perangkap yang dipasang pemburu, begitu sedih, gusar dan putus asa. Sorot matanya tertuju ke depan mengawasi wajah si perempuan yang sedang ditarik Siau-ko naik ke loteng. Tiap-wu......!
Di dalam waktu singkat, Siau-ko telah memahami semua duduknya persoalan, dia telah mengerti apa gerangan yang sebenarnya terjadi. Tiap-wu......! Rupanya perempuan yang dicintai dan selama ini selalu diimpi-impikan tak lain tak bukan adalah Tiap-wu, perempuan yang tak pernah dilupakan oleh Cu Bong dan hampir membuatnya sinting. Ooh nasib, mengapa kau begitu kejam" Jelas peristiwa ini bukan kemauan takdir, bukan suatu kebetulan, sudah pasti bukan. Cho Tang-lay sedang memandang ke arah mereka, sorot matanya penuh senyuman yang terpancar dari balik matanya, seakan-akan merupakan ejekan dari seorang dukun sesat yang mentertawakan kawanan orang bodoh yang sedang mempersembahkan sesajian kepadanya. Tangan menjadi dingin. Setiap orang yang berada di situ meraskan tangannya menjadi dingin, kaku dan membeku. Dengan cepat Siau-ko melepaskan tangan Tiap-wu yang dingin dan kaku, lalu mulai mundur, mundur terus ke suatu sudut ruangan. Kini, sepasang mata Cu Bong telah menatap wajahnya tajam-tajam, sepasang mata yang membelalak besar dengan warna merah membara, persis sebilah tombak. Tentu saja sebilah tombak tajam yang berlumuran darah. Siau-ko merasa mampus seketika. Walaupun orangnya belum mampus, namun hatinya sudah mampus tertusuk oleh tombak tajam yang berlumuran darah. Tapi sayang, biarpun mampus juga belum dapat melepaskan diri dari keadaan. Apa yang bakal dilakukan Cu Bong terhadapnya" Apa pula yang harus dia lakukan terhadap Cu Bong" Siau-ko tak berani berpikir lebih jauh, diapun tak ingin memikirkannya. Pada hakekatnya semua pikiran dan perasaannya terasa bagaikan tersumbat. Satu-satunya yang bisa dia lakukan sekarang adalah angkat kaki. Siapa tahu, baru saja dia bersiap sedia untuk angkat kaki dari situ mendadak terdengar seseorang berseru keras: "Tunggu dulu." Siau-ko amat terkejut, dengan cepat ia jumpai Tiap-wu telah berhasil memulihkan kembali ketenangannya, ternyata dia tak takut menghadapinya. "Aku tahu kau akan pergi, akupun tahu kau pasti akan pergi dari sini," ucap Tiap-wu, "tapi kau harus tunggu sebentar sebelum pergi dari sini."
Sikapnya begitu tenang dan tegas, sepasang matanya seolah-olah mempunyai sesuatu kekuatan yang mampu membuat siapa saja tak mampu lagi untuk menampik permintaannya. Hanya seseorang yang berada dalam keadaan tak takut dan tak gentar terhadap segala masalah, baru dapat menampilkan kekuasaan semacam ini. Tiap-wu membalikkan kembali tubuhnya menghadap ke arah Cu Bong, lalu pelan-pelan berkata: "Aku masih ingat, kau pernah bilang, di saat aku hendak kemari, siapapun tak boleh pergi dari sini." Cu Bong mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, seolah-olah dia hendak menghancur- lumatkan seluruh dunia ini, memusnahkan semua yang dijumpainya. Cho Tang-lay yang selama ini hanya membungkam, tiba-tiba tertawa, tertawa amat licik, kemudian tanyanya kepada Tiap-wu: "Kau masih bisa menari?" "Pernahkah kau saksikan ulat sutera yang menyemburkan ludahnya?" kata Tiap-wu, "asal dia belum mati, seratnya tak akan pernah berhenti." Kemudian setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan: "Demikian pula dengan aku, asal aku masih hidup, akupun dapat menari." "Waaah....., kalau begitu bagus sekali." seru Cho Tang-lay sambil bertepuk tangan. Mantel bulu rase terlepas, pakaianpun beterbangan mengikuti gerakan menari. Si kakek pemusik yang selama ini duduk membungkam di sudut ruangan, mendadak bangkit berdiri, wajahnya yang lesu dan malas kelihatan mirip selembar kertas kuning yang sudah kusut. "Aku adalah seorang yang buta, sudah tua buta lagi, dalam hati kecilku sudah lama tak pernah ada masalah yang bisa membuat hatiku jadi gembira, memikirkan oleh sebab itu, aku selalu membawakan lagu-lagu sedih bagi toa-ya sekalian." Kemudian setelah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh: "Tapi hari ini, aku ingin melanggar kebiasaanku itu." "Melanggar kebiasaan dengan membawakan sebuah lagu yang berirama gembira?" tanya Cho Tang-lay. "Benar!" "Hari ini, apakah kau sudah dapat memikirkan masalah yang bisa meriangkan hatimu?" "Belum!" "Kalau toh belum, mengapa kau harus melanggar kebiasaan?" Dengan mempergunakan sepasang matanya yang buta dan sama sekali tak dapat melihat apa-apa, si pemusik berambut putih itu memandang ke tempat kejauhan yang gelap, lalu dengan suara parau dan sedih katanya: "Walaupun aku adalah seorang buta, mana tua buta lagi, namun aku masih dapat merasakan bahwa kejadian memedihkan yang bakal terjadi di sini hari ini, banyak sekali." ooo)O(ooo
Irama riang telah bergema memenuhi seluruh ruangan. Tiap-wu pun sudah membawakan tariannya. Tarian yang dibawakan olehnya merupakan tarian yang riang dan gembira, seakan-akan dia telah melupakan seluruh kesedihan dan kesengsaraan yang telah dialaminya sepanjang hidup. Mendadak si kakek pemetik harpa itu mulai mengucurkan air matanya..... Biarpun irama lagu yang dibawakan adalah irama lagu yang riang gembira, namun matanya yang buta justru mengucurkan air mata. Ia tak dapat melihat orang-orang yang hadir di dalam ruangan tersebut, namun ia dapat merasakannya. Begitu memedihkan, begitu gelap mencekam setiap orang yang hadir di sana. Irama gembira yang dibawakan olehnya hanya akan menambah kesedihan terasa bertambah sedih, irama gembira yang dipetik olehnya seakan-akan sudah berubah menjadi irama kematian. "Criiiiing.....! diiringi dentingan nyaring, tali senar harpa putus jadi dua. Tarianpun segera terhenti di tengah jalan. Tiap-wu bagaikan selembar daun kering terjatuh di kaki Cho Tang-lay. Mendadak ia meloloskan sebilah pisau dari balik laras sepatu Cho Tang-lay. Pisau itu adalah sebilah pisau belati yang berbatu zamrud pada ujung gagangnya. Ia mendongakkan kepalanya memandang sekejap ke arah Cu Bong, lalu berpaling dan memandang sekejap pula ke arah Siau-ko. Kini pisau pendeknya sudah terjatuh ke lantai, persis jatuh di atas lututnya. Darah segar berhamburan ke mana-mana dan membasahi seluruh permukaan lantai. Sepasang kaki itupun berubah menjadi dua batang kayu yang terpapas kutung jadi dua. Habis sudah riwayat seorang penari terkenal, dalam dunia ini tak mungkin akan dijumpai seorang penari dengan kaki yang kutung. Paha dan kaki yang begitu indah, tarian yang begitu luwes, tak mungkin akan dijumpai lagi di kolong langit. ooo)O(ooo Bab-12. Tempat Pembantaian Fajar baru menyingsing di kota Tiang-an. Langit masih diliputi kegelapan, jauh lebih gelap dari hari yang manapun. Siau-ko duduk seorang diri dalam kegelapan udara yang begitu dingin, hampir membuat darahnya membeku.
"Aku tidak bersalah!", tiada hentinya ia memberitahukan kepada diri sendiri, "tak pernah bersalah kepada Cu Bong, akupun tak pernah bersalah kepadanya, aku sama sekali tak bersalah." Cinta itu sendiri memang tidak bersalah. Bila seseorang mencintai seseorang yang lain, dia memang tak pernah akan bersalah. Sewaktu ia mencintai Tiap-wu, pada hakekatnya dia pun tak tahu kalau Tiap-wu sebenarnya adalah kekasih Cu Bong, bahkan membayangkan pun tak pernah. Tapi, setiap kali ia teringat bagaimanakah mimik wajah Cu Bong sewaktu bertemu Tiap-wu, hatinya selalu terasa menyesal dan sakit, bagaikan diiris-iris dengan pisau. Itulah sebabnya, akhirnya dia mengambil keputusan untuk angkat kaki dari situ. Sebenarnya diapun ingin menubruk ke muka memeluk Tiap-wu yang tergeletak di tengah genangan darah, dia ingin menyingkirkan semua masalah dan ingin memeluk perempuan yang pernah melintas dalam hidupnya selama ini. Dia ingin merawatnya, melindunginya, mencintainya selama hidup, biarpun kaki Tiap-wu sudah buntung, namun dia tetap mencintainya, cinta dengan sepenuh hati. Tapi Cu Bong telah mendahuluinya menubruk ke depan, dan memeluk tubuh Tiap-wu, itulah sebabnya tanpa mengucapkan sepatah katapun dia pergi berlalu dari sana. Dia memang hanya bisa pergi dari tempat yang penuh kedukaan itu. Tapi, seberapa jauh dia dapat pergi" Kemana ia dapat pergi" Berapa jauhkah dia harus menyingkir untuk melupakan semua kejadian tersebut" Siapa pula yang dapat membantunya untuk memberi jawaban atas pertanyaan tersebut" Saat mendekati fajar sudah makin mendekat, namun seluruh jagad masih diliputi kegelapan yang luar biasa. Siau-ko pun berbaring, membaringkan diri di atas permukaan salju yang dingin sambil mendongakkan kepalanya memandang langit yang gelap. Kemudian diapun memejamkan matanya rapat-rapat. Bukankah dengan mata terbukapun hanya kegelapan yang bisa terlihat" Apa pula bedanya dengan memejamkan mata" "Kalau keadaan begini dibiarkan berlangsung terus, akhirnya kau pasti akan mampus!" Baru saja Siau-ko memejamkan matanya, seseorang telah berkata dingin: "Dalam musim dingin tahun ini, paling tidak ada empat lima orang yang mati kaku di dalam kota Tiang-an, membeku bagaikan batu hingga anjing liarpun segan untuk mengendusnya." Siau-ko tetap membungkam, dia tak menggubris sama sekali terhadap perkataan itu.
Bukankah hidup amat susah dan penuh dengan penderitaan" Apa salahnya kalau lebih baik mati saja" Tapi orang itu justru tidak membiarkan dia mati. Mendadak dagu Siau-ko dicengkeram orang, kemudian mulutnya dipentangkan, tiba-tiba saja dia merasa ada segulungan cairan yang panas menyerbu ke dalam tenggorokannya dan mengalir ke dalam lambungnya. Dalam waktu singkat segumpal udara panas yang menyengat muncul dalam lambungnya dan membuat seluruh badannya terasa hangat kembali. Ketika dia membuka matanya, tampak seseorang telah berdiri dihadapannya bagaikan patung, di tangannya memegang sebuah peti. Seorang manusia yang sederhana dengan membawa sebuah peti yang sederhana pula. Apabila orang ini mengharapkan seorang untuk hidup terus, siapapun tak akan bisa mencari mati, tapi bila orang ini menginginkan kematian seseorang, maka siapapun tak akan bisa hidup lebih jauh. Siau-ko cukup memahami akan hal ini. "Arak bagus!" sambil melompat bangun ia berusaha untuk menunjukkan sikap acuh tak acuh, "bukankah arak yang kau berikan kepadaku tadi adalah Tay-mie-ciu dari Lu-ciu?" "Agaknya memang begitu." "Dalam masalah ini, jangan harap kau dapat mengelabui diriku, di saat orang lain masih minum susu, aku sudah mulai minum arak," Siau-ko tertawa tergelak, seakan-akan suara tertawanya amat riang, "ada orang yang sejak lahir sudah berbakat menjadi enghiong, ada pula yang berbakat menjadi jago pedang, tapi ada pula sementara orang yang pada dasarnya berbakat menjadi setan arak." "Kau bukan setan arak," orang itu memandang Siau-ko dingin, "kau adalah seorang telur busuk." Gelak tertawa Siau-ko makin menjadi-jadi. "Haaahhh.... haaahhh......haahhh..... mau telur busuk pun boleh juga, apa bedanya seorang telur busuk dengan setan arak?" "Ada sedikit perbedaan." "Dalam hal mana?" "Bila sudah kau lihat, tentu akan tahu sendiri." "Lihat apa" Kemana kita harus melihatnya?" Mendadak orang itu mencengkeram ketiak Siau-ko dan membawanya melejit ke udara. Setelah melewati beberapa puluh wuwungan rumah, orang itu baru berhenti. "Di sini!" katanya, "di sinilah kau boleh melihatnya!"
Tempat ini merupakan sebuah bangunan loteng yang megah, bangunan itu berada di tengah kebun yang luas. Inilah bangunan loteng rumah makan Tiang-an-kit. Fajar telah menyingsing, langitpun sudah terang, di tengah lamat-lamatnya suasana pagi yang penuh berkabut, tampak aneka bunga mekar dengan segarnya, hanya yang aneh, di atas permukaan salju pun penuh bertaburan bunga berwarna merah. "Bila kau mengira itu adalah bunga, maka anggapanmu keliru besar," kata si pembawa peti itu, "itu bukan bunga, tapi darah!" Siau-ko segera merasakan hatinya seolah-olah tenggelam ke dasar samudra yang paling dalam. Ia tahu darimana datangnya darah tersebut, diapun mengetahui darah siapa sajakah itu. Sewaktu Cu Bong datang ke sana, ia telah mempersiapkan semua anak buahnya di sekeliling tempat itu, dia memang telah mempersiapkan diri untuk melangsungkan suatu pertarungan mati- matian melawan Cho Tang-lay. "Tapi kaupun seharusnya dapat berpikir, Cho Tang-lay tak mungkin akan datang tanpa persiapan," kata si pembawa peti itu, "tempat ini tiada orangnya, hal ini disebabkan orang- orangnya berada di luar semua, dia sudah tahu kalau kalian menempatkan orang-orang di sini, oleh sebab itu dia melakukan pengepungan dari luar." Dalam operasinya kali ini, Cho Tang-lay telah menggerakkan tiga ratus dua puluh orang, itulah jumlah jago-jago tangguh yang bisa dikumpulkan olehnya selama dua hari terakhir ini. "Walaupun jumlah anggota mereka hampir beberapa kali lipat lebih banyak daripada kekuatanmu, namun Cho Tang-lay masih belum berani bertindak secara gegabah." "Ya, tentu saja mereka tak berani bertindak secara gegabah, sebab dia tahu orang-orang yang datang kali ini adalah kawanan manusia dari Hiong-say-tong yang tidak takut mati, mereka datang memang untuk beradu jiwa." "Beradu jiwa?" pembawa peti itu tertawa dingin, "kau kira setelah berani beradu jiwa lantas berguna?" Sambil menatap tajam wajah Siau-ko, dia melanjutkan: "Bila kau ingin beradu jiwa denganku, bergunakah itu" Dapatkah aku dibikin ketakutan sehingga tak berani turun tangan?" Pertanyaan ini tajam, mengarah dan tidak berperasaan, pada hakekatnya membuat orang tak mampu menjawab, dia sendiri memang tidak mengharapkan jawaban dari Siau-ko. "Ada kalanya beradu jiwa cuma mengantar kematian belaka," katanya lagi, "Cho Tang-lay tak akan jeri terhadap manusia-manusia seperti itu." "Lantas siapa yang dia takuti?" "Kau!" Siau-ko segera tertawa getir.
"Apakah kau sudah lupa dengan pertarunganku melawan Suma Cau-kun di bawah pagoda Tay-eng-tha tempo hari?" "Tapi Suma Cau-kun tidak berada di Tiang-an." "Dia berada dimana?" "Di Lok-yang, dia bukan manusia seperti Cho Tang-lay, diapun memiliki kegagahan seperti Cu Bong, hanya saja dia sudah kelewat lama dikendalikan orang." "Oya?" "Untuk menjadi seorang enghiong yang tak pernah terkalahkan, memang bukan suatu pekerjaan mudah, kehidupan Suma Cau-kun selama inipun bukan dilewatkan dalam hari-hari yang bahagia." Si manusia pembawa peti itu menghela napas bagi Suma Cau-kun, karena dalam hatinya sendiripun mempunyai perasaan yang sama. "Suma Cau-kun tidak berada di Tiang-an, dengan kekuatan Cho Tang-lay seorang, bagaimana mungkin dia bisa menghadapi kau dan Cu Bong" Bila dia turun tangan lebih dahulu, apakah kalian akan melepaskan dirinya dengan begitu saja?" Siau-ko memandang sekejap noda-noda darah yang menghiasi permukaan salju, tiba-tiba saja dia merasa punggungnya telah basah oleh keringat dingin. Seandainya bukan dikarenakan Tiap-wu, waktu itu dia dan Cu Bong memang mempunyai kesempatan yang baik sekali untuk membunuh Cho Tang-lay di meja perjamuan. "Sesungguhnya saat itu merupakan satu-satunya kesempatan yang terbaik untuk kalian, namun kalian telah melepaskannya dengan begitu saja, karena kau telah pergi," kembali manusia pembawa peti itu berkata, "tentu saja kau memang harus angkat kaki, karena kau adalah seorang lelaki sejati, sudah barang tentu kau tak akan bentrok sendiri dengan Cu Bong lantaran seorang wanita." Tiba-tiba nada suaranya menjadi dingin, tajam dan amat tak sedap didengar. "Tapi pernahkah kau pikirkan, ketika kau pergi justru merupakan saat Cu Bong amat membutuhkan kehadiranmu, kau serahkan seorang perempuan yang buntung kakinya untuk Cu Bong, lantas kau anggap tindakanmu itu sudah cukup setia, sudah cukup bersahabat, tapi aku justru menganggap kau lebih bersetia kawan kepada Cho Tang-lay, karena kau telah serahkan Cu Bong beserta delapan puluh enam saudaranya untuk dia." Siau-ko tak sanggup berbicara lagi, biar sepatah katapun sudah tak mampu diutarakan lagi, kini seluruh pakaian yang dikenakan telah basah kuyup oleh keringat dingin. "Oleh sebab itu merekapun hanya bisa beradu jiwa dengan orang-orangnya Cho Tiang-lay, sayang sekali beradu jiwapun belum tentu ada gunanya, begitu kau pergi, tempat inipun berubah menjadi tempat pembantaian." Berbicara sampai di sini, dia menatap tajam wajah Siau-ko, lalu bertanya dengan hambar: "Kau tahu, macam apakah tempat pembantaian tersebut?" Pelan-pelan Siau-ko mendongakkan kepalanya, menatap tajam-tajam lalu menjawab dengan suara yang sedih lagi parau: "Aku tidak tahu, kau tahu?"
"Tentu saja aku tahu, sebab waktu itu aku pun berada di sini." "Kau hanya duduk di sini, menyaksikan orang-orang itu dibantai orang seperti babi, seperti kambing?" "Aku bukan hanya melihat, bahkan menyaksikan setiap adegan demi adegan dengan jelas, setiap ayunan golok dapat kulihat semua sejelas-jelasnya." "Apakah kau merasa amat gembira?" "Tidak terlalu gembira, pun tidak terlalu susah," kata manusia pembawa peti itu hambar, "sebab hal ini memang urusanmu sendiri, persoalan yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan aku." Siau-ko selalu berusaha untuk mengendalikan amarahnya dan akhirnya amarah yang semakin memuncak ini mencapai pada puncaknya untuk meledak. "Sebetulnya kau ini manusia atau bukan?" "Aku manusia." "Kalau toh manusia, mengapa kau bisa duduk berpeluk tangan membiarkan orang dibantai seperti anjing dan babi?" teriak Siau-ko kepada manusia yang selalu tak tergerak oleh gejolak perasaan, "mengapa kau tidak berusaha untuk menolong mereka?" Orang itu tertawa, dengan senyum yang dingin membekukan, dia balik bertanya kepada Siau- ko: "Mengapa kau sendiri tidak tetap tinggal di sini untuk menolong mereka" Mengapa kau malah membaringkan diri di atas permukaan salju untuk menanti kematian?" Siau-ko segera terbungkam dalam seribu bahasa. "Seandainya kau benar-benar ingin mati, kau tak usah mencari kematian sendiri, sebab Cho Tang-lay telah mempersiapkan segala sesuatunya bagimu," ujar orang itu hambar, "aku tahu dia telah membantu mencarikan seseorang yang setiap saat dapat mengirim kau ke neraka." "Untuk mengirimku ke neraka pun bukan suatu pekerjaan yang mudah," Siau-ko tertawa dingin, "siapa yang dia cari?" "Orang yang dapat mengirimmu ke neraka memang tidak banyak, tapi orang yang dia cari adalah seorang pembunuh yang tak pernah gagal di dalam pekerjaannya." "Oya?" "Tentu kau harus tahu, ada sementara orang dalam dunia persilatan yang hidup untuk membunuh, semakin tinggi harganya semakin jarang kegagalan yang diperoleh." "Apakah orang yang dia cari merupakan orang dengan bayaran paling tinggi?" "Benar!" "Kaupun mengetahui siapakah orang itu?" "Aku tahu!" sahut manusia pembawa peti itu, "dia she Siau, bernama Lay-hiat."
Senopati Pamungkas I 17 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali 16
^