Pedang Tetesan Air Mata 5
Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Wu Lei A Hero Without Tears Karya Khu Lung Bagian 5
"Dan kau adalah Siau Lay-hiat." "Benar!" ooo)O(ooo Kini Siau-ko sudah berhasil menenangkan kembali hatinya, hanya rangsangan yang tajam dan dingin seperti ini dapat membuatnya menjadi tenang kembali dari kekalutan dan kepedihan. Kabut fajar baru muncul. Dengan tenang Siau-ko awasi manusia yang lebih misterius daripada kabut itu, kemudian menghela napas panjang. "Peristiwa ini memang benar-benar merupakan suatu kejadian yang patut disesalkan, aku benar-benar tidak menyangka kalau kau masih bersedia membunuh orang lantaran uang." "Akupun tidak menyangka, sudah lama aku tak pernah membunuh orang karena uang," sahut Siau Lay-hiat, "kejadian seperti ini bukan sesuatu yang menarik." "Kali ini mengapa kau harus melanggar kebiasaanmu?" Siau Lay-hiat tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung, di balik sorot matanya yang kelabu terpercik suatu mimik muka yang misterius bagaikan kabut. "Dalam tubuh setiap orang tentu mempunyai seutas tali yang tak berwujud, dalam sebagian besar hidupnya, diapun selalu terbelenggu erat-erat oleh tali itu," kata Siau Lay-hiat, "ada sementara orang yang talinya berwujud anak dan istri, ada pula orang yang talinya berwujud harta kekayaan." Ia menatap wajah Siau-ko tajam-tajam, kemudian meneruskan: "Biarpun manusia seperti kau dan Cu Bong tak akan terikat oleh tali seperti ini, namun kalianpun mempunyai tali yang sesungguhnya kalian ciptakan sendiri." Ia berhenti sejenak, kemudian lanjutnya: "Apakah tali yang kalian ciptakan sendiri itu, yakni perasaan kalian, kelewat berperasaan dan perasaan yang berlebihan itulah justru merupakan tali yang membelenggu kalian." "Bagaimana dengan kau sendiri?" tanya Siau-ko, "talimu berwujud apa" Tali macam apa yang dapat membelenggumu?" "Selembar surat perjanjian!" "Surat perjanjian?" Siau-ko tidak habis mengerti, "surat perjanjian apakah itu?" "Surat perjanjian untuk membunuh orang." Suara dari Siau Lay-hiat seolah-olah datang dari tempat yang amat jauh di sana. "Sekarang walaupun aku sudah menjadi seorang manusia yang memiliki kekayaan melebihi sebuah negeri, namun dua puluh tahun berselang, aku tak lebih hanya seorang pengembara yang tak bernama dan tak beruang, seperti keadaanmu sekarang, tiada teman, tiada sanak, tiada keluarga, tiada akar, kecuali peti ini, apapun tidak kumiliki....." "Apakah disebabkan peti itu merupakan semacam alat senjata untuk membunuh orang, maka kaupun mulai membunuh orang untuk menghidupi dirimu?"
"Semua orang yang kubunuh merupakan orang yang pantas dibunuh, sekalipun aku tidak membunuh mereka, mereka toh akan terbunuh juga di tangan orang lain," kata Siau Lay-hiat, "betul, balas jasa yang kuminta amat tinggi, namun kepercayaan orang terhadapku sangat baik, cukup membuat sebuah kontrak surat perjanjian, tugas tersebut tentu akan kuselesaikan secara baik." Nada suaranya penuh dengan sindiran, sindiran terhadap dirinya sendiri. "Justru karena alasan ini, maka saban malam aku selalu dapat tertidur dengan nyenyak." "Cuma kemudian kau toh cuci tangan juga karena uang yang berhasil kau raih sudah kelewat banyak," kata Siau-ko dingin. "Ya, akhirnya aku toh cuci tangan juga, bukan lantaran uang yang kuperoleh terlalu banyak, melainkan karena suatu malam setelah kubunuh seseorang, tiba-tiba saja berubah menjadi tak dapat tidur....." Sambil memegang petinya erat-erat, Siau Lay-hiat berkata lebih jauh: "Buat seseorang yang memang mengerjakan pekerjaan seperti ini, peristiwa semacam ini baru merupakan persoalan yang paling menakutkan....." "Bagaimana kisahnya sehingga tali itu tertinggal untukmu?" "Surat perjanjian itu sudah lama dipesan, dalam surat mana, pun telah dijelaskan, setiap saat setiap waktu, dia dapat menyuruh membunuh seseorang, entah kapanpun, aku harus membunuh orang itu, aku tak boleh menampiknya." "Jadi selama ini surat perjanjian itu belum pernah terlaksana." "Ya, belum! Bukan disebabkan aku tak ingin mewujudkannya, melainkan orang itu belum pernah meminta kepadaku untuk melaksanakan tugas tersebut." "Oleh karena itu, hingga sekarang surat perjanjian itu masih tetap berlaku?" "Ya, begitulah!" "Mengapa kau harus menerima kontrak surat perjanjian semacam ini?" kata Siau-ko sambil menghela napas, "apakah dia sanggup membayar dengan nilai yang sangat tinggi?" "Benar!" "Berapa yang telah dia bayar untukmu?" "Dia memberi selembar nyawa kepadaku." "Nyawa siapa?" "Nyawaku." Setelah berhenti sejenak, Siau Lay-hiat berkata lebih jauh: "Di saat aku menanda-tangani kontrak perjanjian tersebut, dia telah berkata, setiap waktu, setiap saat dia boleh menyuruhku untuk membunuh diriku sendiri." "Bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk menghabisi nyawamu, siapakah orang itu?"
Siau Lay-hiat menolak untuk menjawab pertanyaan tersebut, hanya ucapnya: "Aku hanya bisa memberitahukan kepadamu, sekarang surat perjanjian itu sudah dikirim kembali kepadaku dan diatasnya pun telah dicantumkan nama seseorang." "Seseorang yang harus kau habisi nyawanya?" "Benar!" "Dan nama orang itu adalah Ko Cian-hui?" "Benar" Siau Lay-hiat mengawasi wajah Siau-ko dengan tenang, sedangkan Siau-ko juga memandang ke arahnya dengan tenang. Kedua orang itu sama-sama tenang dan hambar, seolah-olah masalah membunuh dan dibunuh merupakan suatu persoalan yang sangat biasa. Lewat lama, lama kemudian, Siau-ko bertanya kepada Siau Lay-hiat: "Tahukan kau jenazah Cu Bong berada dimana" Aku ingin berziarah di hadapan lelayonnya." "Cu Bong belum menjadi mayat, untuk sementara ini dia belum akan mampus." Siau-ko segera merasakan napasnya seolah-olah menjadi terhenti, lama kemudian ia baru berkata lagi: "Kali ini apakah diapun berhasil menembusi kepungan?" "Bukan dia yang berhasil menembusi kepungan, Cho Tang-lay lah yang melepaskan dia pergi," ucap Siau Lay-hiat, "sesungguhnya dia sendiri sudah tak memiliki kesempatan untuk itu." "Mengapa Cho Tang-lay melepaskannya pergi?" "Sebab Cho Tang-lay akan menahannya untuk dipakai menghadapi Suma Cau-kun, kematian Cu Bong pasti akan menjadi berita besar yang akan menggemparkan seluruh dunia persilatan, biasanya perbuatan seperti ini selalu Cho Tang-lay sisihkan agar dilakukan sendiri oleh Suma Cau-kun." Setelah berhenti sejenak, pelan-pelan ia melanjutkan: "Untuk menciptakan seorang enghiong, sesungguhnya bukan suatu pekerjaan yang amat mudah." "Betul, memang bukan pekerjaan yang mudah." Selesai mengucapkan perkataan tersebut, mereka berdua sama-sama menutup mulut, sebab dari kejauhan sana telah muncul segumpal asap tipis berwarna merah, dalam suasana kelabu yang remang-remang begini, warna merah tersebut kelihatan seperti gumpalan darah segar di atas permukaan salju. Dengan amat cepatnya asap itu membuyar, lalu Siau Lay-hiat dengan mempergunakan suara yang aneh berkata kepada Siau-ko: "Aku hendak pergi ke suatu tempat yang sangat istimewa, mari kaupun turut aku." Darimana munculnya gumpalan asap tipis berwarna merah itu" Apakah sebagai perlambang dari suatu maksud yang istimewa" Sebagai suatu tanda rahasia" Ataukah semacam peringatan"
Tempat apakah yang istimewa itu" Mengapa Siau Lay-hiat mengajak Siau-ko menuju ke sana" Biasanya ada sementara orang yang suka membunuh dengan memilih suatu tempat yang istimewa. Apakah tempat itupun sebuah tempat penjagalan" Tempat itu bukan sebuah tempat pembantaian, tampaknya malah tiada sesuatu keistimewaan. Tempat tersebut tak lebih hanya sebuah kuil yang sangat kecil, sebuah kuil kecil yang didirikan di tengah sebuah sudut lorong yang sempit dan terpencil. Patung Toh-tee-kong yang dipuja dalam kuil tersebut sudah lama dilupakan orang, apalagi di tengah fajar bulan ke dua yang begitu dingin, sudah barang tentu tak ada jamaah yang hadir di situ. Siau-ko berdiri membungkam di belakang Siau Lay-hiat, memandang sepasang matanya yang redup tanpa berbicara, menyaksikan keadaan di sekitar sana, tiba-tiba saja hatinya merasa begitu kesepian, hingga tak terlukiskan dengan kata-kata. Tiap-wu, mengapa kau harus Tiap-wu" Mengapa kau bukan seorang perempuan yang lain" Sampai detik ini, dia masih belum juga menanyakan tentang nasib perempuan itu. Ya, dia tak dapat bertanya, sebab perempuan itu bukan miliknya, dia hanya bisa berharap menjadikan saat-saat di kala mereka masih berdua menjadi suatu kenangan yang paling indah di dalam hidupnya. Apa keistimewaan dari tempat ini" Mengapa Siau Lay-hiat membawanya kemari" Mau apa" Siau-ko tidak bertanya walau hanya sekecap pun. Sebaliknya Siau Lay-hiat justru berkata: "Mereka semua tahu, semua perbuatan yang kulakukan pada waktu itu telah mereka ketahui semua." "Mereka" Siapakah mereka?" "Mereka adalah mereka." Siau Lay-hiat berkata sambil menatap tajam patung di meja altar, "yaitu Toh-tee-kong dan Toh-tee-po." Siau-ko tidak mengerti Siau Lay-hiat pun tahu bahwa dia tidak mengerti. "Dua puluh tahun berselang orang-orang yang cukup berhak untuk meminta kepadaku membunuhkan seseorang, pasti tahu tentang tempat ini, mereka pun pernah berkunjung kemari,
meninggalkan sebuah alamat dan nama seseorang," Siau Lay-hiat menerangkan, "alamat untuk mengambil uang dan nama dari orang yang harus kubunuh." Dalam sebuah kuil yang terpencil, di suatu sudut ruangan yang rahasia, dimana terdapat sebuah bau bata yang bisa digerakkan, segulung kertas yang berisi catan, sejumlah harta yang menggiurkan dan selembar nyawa melayang. Begitu sederhana atau begitu pelik" Tiada seorangpun yang pernah menduganya. "Bila ku anggap orang itu pantas untuk dibunuh, maka aku akan mendatangi alamat yang mereka tinggalkan, di sana ada sejumlah uang yang menantikan kehadiranku," Siau Lay-hiat menerangkan, "cukup uangnya saja tak perlu orangnya, selama ini si langganan dan aku tak pernah saling bersua muka." "Bagaimana dengan mereka yang tewas di tanganmu?" "Orang yang diinginkan kematiannya oleh pihak lain dengan pembayaran yang tinggi, biasanya tentu mempunyai alasan yang cukup kuat bagi mereka untuk di bunuh, itulah sebabnya kuil yang kecil ini bisa jadi merupakan tempat terjadinya transaksi yang terbesar di kota Tiang-an." Nada suaranya kembali kedengaran penuh sindiran dan ejekan. "Pekerjaan yang kami laksanakan ini merupakan salah satu pekerjaan yang paling tua dari umat manusia, bahkan boleh dibilang merupakan pekerjaan kaum pria yang tertua di dunia ini." Tentu saja Siau-ko cukup memahami maksud dari perkataannya itu. Kaum wanita pun mempunyai semacam pekerjaan yang jauh lebih tua dari pada pekerjaan apapun, sebab mereka pun memiliki modal dasar yang paling kuno. "Enam belas tahun, enam belas tahun lebih tiga bulan, betapa panjangnya hari-hari itu," Siau Lay-hiat menghela napas panjang, "selama waktu-waktu itu, ada yang dilahirkan, ada yang menjadi tua, ada pula yang sudah mati, tapi tempat ini sedikit pun tiada perubahan apapun......." "Selama enam belas tahun ini, kau belum pernah datang kemari?" "Hingga dua hari berselang, aku baru datang kemari." "Selewatnya enam belas tahun mengapa kau berkunjung lagi secara tiba-tiba kemari?" tanya Siau-ko. "Karena aku telah menyaksikan kembali tanda 'api darah' yang pernah dikenal umat persilatan pada enam belas tahun berselang." "Yaitu asap berwarna merah yang baru saja kita saksikan tadi." "Benar!" Siau Lay-hiat berkata lebih jauh: "Bila api darah muncul, dalam dunia persilatan pasti terdapat seorang manusia penting yang tiba-tiba tewas, oleh sebab itu ada pula yang menyebutnya 'lencana kematian', lencana kematian untuk menggaet nyawa orang."
Setelah menarik napas panjang, ia menjelaskan kembali: "Setiap orang yang datang kemari mencariku, dia tentu akan pergi keluar kota untuk melepaskan asap berwarna merah itu. Pagi ini sudah tiga kali asap tersebut dilepaskan orang. Yang kau saksikan tadi merupakan ketiga kalinya." "Maka dua hari berselang kau sudah datang kemari dan telah menerima order dari kontrak surat perjanjian yang belum kau selesaikan itu....?" "Benar!" "Cho Tang-lay kah yang telah mempergunakan selembar nyawamu untuk ditukar dengan kontrak surat perjanjian tersebut?" "Bukan dia, ia masih belum pantas." Siau Lay-hiat tertawa dingin. "Tapi kau toh sudah tahu bahwa hal ini merupakan keinginan dari Cho tang-lay?" "Aku tahu, tentu saja aku tahu," suara Siau Lay-hiat kedengaran aneh, "semenjak orang itu melenyapkan diri secara tiba-tiba dari keramaian dunia, aku selalu tidak habis mengerti kemanakah dia telah menyembunyikan diri, hingga sekarang aku baru paham." Yang dia maksudkan sebagai 'dia' tak salah lagi adalah orang yang telah mengadakan kontak surat perjanjian dengannya. Tapi siapakah orang itu" Apakah dia mempunyai hubungan yang amat rahasia dengan Cho Tang-lay" Siau-ko tak ingin menanyakan tentang persoalan-persoalan itu, sesungguhnya dia sudah lelah, sedemikian lelahnya sampai seluruh badannya seolah-olah akan terlepas, tapi kini semangatnya justru berkobar kembali secara tiba-tiba. "Aku tahu, pada saat ini aku masih bukan tandinganmu, bila dapat mati di tanganmu, aku pun bisa mati tanpa menyesal, sebab paling tidak hal ini jauh lebih baik daripada mati di tangan orang lain, namun kau pun tidak akan semudah itu untuk membunuhku." Ia menatap peti yang berada dalam genggaman Siau Lay-hiat lekat-lekat, kemudian meneruskan: "Bila kau hendak membunuhku, paling tidak kau harus membuka petimu dulu, sebelum ku loloskan pedang ini, peti tersebut sudah harus kau buka." Kini pedangnya sudah diloloskan di tangan, tidak terbungkus dalam kain hijau lagi, sejak memasuki Tiang-an, ia memang sudah bersiap sedia meloloskan pedangnya setiap saat. Pelan-pelan Siau Lay-hiat membalikkan badannya, lalu menatap pedang di tangan Siau-ko lekat-lekat, mendadak sorot matanya memancarkan suatu perubahan yang sangat aneh. Jari-jemarinya yang memegang peti mendadak berubah menjadi pucat, otot hijau yang berada di punggung tangannya ikut menonjol keluar dengan tegangnya. Bila pedang diloloskan, setan dan dewa pun akan ketakutan. Tetesan air mata siapakah yang membekas di atas pedang itu" Tetesan air mata Siau Taysu. Pedang mestika itu toh sudah seleai ditempa, mengapa dia harus melelehkan air mata"
Karena dia telah meramalkan suatu tragedi, ia sudah melihat dari hawa pedang tersebut bahwa putra tunggalnya akan tewas di ujung pedang tersebut. Apakah putra tunggalnya bernama Siau Lay-hiat" Benar!. ooo)O(ooo Hawa panas menggumpal di ruang mandi. Cho Tang-lay sedang membersihkan badan, seolah-olah dia ingin mencuci bersih semua noda darah yang baru diperbuatnya semalam. Kamar mandinya terletak di sisi kamar tidurnya, bentuk maupun letaknya seperti kamar rahasia, dibangun begitu kokoh, rapat dan amat rahasia. Hal ini disebabkan karena selama dia sedang membersihkan badan, tak seorangpun boleh sampai memasuki ruangan tersebut. Setiap orang yang sedang mandi, baik dia seorang lelaki maupun wanita, tentu berada dalam keadaan telanjang bulat, tidak terkecuali Cho Tang-lay sendiri. Kecuali semasa masih bayi dulu, ketika berada di hadapan ibunya, selama hidup Cho Tang-lay tak pernah memperlihatkan tubuhnya yang bugil di hadapan siapapun. Cho Tang-lay adalah seorang cacad, seorang cacad yang tidak sempurna dalam pertumbuhan badannya. Bentuk kaki kirinya jauh lebih pendek daripada kaki kanannya, ia tak sempurna dalam perkembangan karena semasa masih berada dalam rahim ibunya, ia mengalami tindihan dari seseorang yang lain. Orang itu adalah adiknya. Cho Tang-lay adalah anak kembar. Sebenarnya dia mempunyai seorang adik, yang berada dalam rahim ibunya bersama-sama. Ia dilahirkan lebih dulu, sedang adiknya mati di dalam rahim ibunya, akibatnya ibunya turut mati setelah melahirkan. "Aku adalah seorang pembunuh, seorang yang dilahirkan sebagai pembunuh," dalam igauannya, seringkali Cho Tang-lay berteriak, "sejak dilahirkan aku telah membunuh ibuku dan adikku sendiri." Selama ini dia selalu menganggap cacad tubuhnya sebagai hukuman yang dilimpahkan Thian kepadanya, tapi dia tak pernah mau puas. Dengan segala daya upaya serta kemauan yang kuat, dia berusaha untuk menyingkirkan semua rintangan. Semenjak menanjak dewasa, tak pernah ada orang yang mengetahui kepincangannya, pun tiada orang yang pernah menduga, dulu ia sering mengeluh kesakitan, menderita kesengsaraan yang hebat hanya untuk berlatih berjalan seperti orang biasa.
Sayang sekali masih ada satu hal yang selamanya tak pernah bisa ia lakukan, walaupun ia bersedia mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya. Selama hidup, ia tak pernah bisa tumbuh menjadi seorang lelaki sejati. Salah satu bagian dari tubuhnya selalu mengecil seperti kepunyaan bocah cilik. Otot-otot hijau di punggung tangan Cho Tang-lay sudah pada menonjol keluar, menonjol karena air panas, dia paling suka merendamkan diri dalam air panas. Peralatan kamar mandinya ini khusus dia pesan dari negeri Hu-siang (kini Jepang) yang dibuat berbentuk antik dan mewah. Setiap kali sedang berendam diri dalam air panas, dia selalu akan merasa seolah-olah berada di sisi adiknya lagi, merasakan tekanan dan sengatan dari hawa panas yang nyaman. Ataukah dia sedang menyiksa diri" Atau sedang menghukum diri sendiri" Apakah diapun seringkali menyiksa dan menghukum orang sebagai pemuas nafsu sendiri" Yang dipikirkan Cho Tang-lay saat ini bukanlah persoalan-persoalan tersebut, yang sedang dipikirkan olehnya adalah suatu kejadian yang menarik, dia teringat akan Siau-ko dan Siau Lay- hiat. Yang satu adalah jagoan lihay yang tiada keduanya di kolong langit, bahkan memiliki sejenis senjata yang paling menakutkan di dunia ini. Tapi nasibnya sudah ditentukan, dia ditakdirkan untuk tewas oleh pedang mestika hasil penempaan ayahnya sendiri. Yang lain adalah seseorang yang semestinya, pada hakekatnya tiada kesempatan baginya untuk menghindari dari kenyataan. Tapi pedang mestika itu justru berada di tangannya. Siapakah di antara kedua orang ini yang bakal tewas" Cho Tang-lay merasa pertanyaan ini sangat menarik, betul-betul menarik sekali. Dia tak tahan ingin tertawa. Tapi dia tak sempat tertawa, senyumnya seolah-olah telah membeku di atas kulit wajahnya. Menyusul kemudian kelopak matanya turut menyusut kencang. Hanya orang yang sedang merasa tegang dan ngeri saja kelopak matanya baru akan berkerut kencang. Sekarang dia telah merasakan sesuatu yang gawat. Dia telah merasa ada seseorang dengan mempergunakan suatu cara yang hingga kini belum dipahami olehnya, telah membuka pintu kamar rahasianya dan seperti sukma gentayangan berdiri di belakang tubuhnya.
Kejadian ini sungguh merupakan suatu peristiwa yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Cho Tang-lay tidak percaya kalau dalam dunia ini benar-benar terdapat seseorang yang memiliki daya kemampuan sedemikian hebatnya. Tapi sekarang, mau tak mau dia harus percaya. Dengan cepat dia sudah teringat akan seseorang, hanya orang ini yang mungkin bisa berbuat demikian. "Siau Lay-hiat, aku tahu sudah pasti kau!" ucapnya kemudian. "Betul, memang aku," suara yang parau dan rendah menyahut. Tiba-tiba Cho Tang-lay menghela napas panjang. "Setan dan dewa akan ketakutan, perkataan seperti ini sudah tak bisa dipercaya lagi," dia berkata, "kalau tidak, mustahil kau bisa datang kemari?" "Mengapa?" "Sebab kau seharusnya sudah menjadi mayat sekarang, mampus di ujung pedang tetesan air mata milik Ko Cian-hui," ucap Cho Tang-lay, "bukankah takdir telah menentukan nasibmu?" Kemudian setelah menghela napas panjang, dia berkata lebih jauh: "Sekarang aku baru tahu, perkataan semacam ini sesungguhnya goblok dan menggelikan." "Bagaimana dahulu" Dahulu kaupun percaya?" tanya Siau Lay-hiat. "Belum tentu percaya seratus persen, belum tentu pula tidak mempercayainya." "Maka kaupun berusaha dengan segala daya upaya untuk memaksaku membunuh Ko Cian- hui?" tanya Siau Lay-hiat lagi, "apakah kau ingin mengetahui sesungguhnya di antara kami berdua, siapa yang akan mampus di tangan siapa?" "Benar!" "Perduli siapapun yang akan menjadi korban, mungkin kau tidak akan merasa sedih, bukan?" "Ya, aku memang tak akan bersedih hati, perduli siapa yang mati, semuanya sama-sama menguntungkan bagiku, bila kalian berdua bisa mati bersama, hal ini jauh lebih baik lagi, aku pasti akan membereskan jenasah kalian dengan sebaik-baiknya." Semua perkataan yang diutarakan boleh dibilang sejujurnya, karena Cho Tang-lay memang selalu berbicara jujur. Dalam keadaan demikian, dia memang tidak perlu berbicara bohong.... Apalagi berada di hadapan kebanyakan orang, pada hakekatnya dia tidak ada kepentingan untuk berbohong, apalagi berbohong kepada sementara orang, hal tersebut sama sekali tak ada gunanya. Dalam hal tersebut, agaknya Siau Lay-hiat sudah dapat memahaminya secara jelas. Dia paling suka mengadakan hubungan dengan manusia semacam ini, karena dia bisa menghindari banyak kesulitan yang sesungguhnya tidak perlu ada.
Bisa berselisih dengan manusia sebangsa ini, rasanya jauh lebih menggembirakan dari pada menjadi sahabat mereka. "Akupun selalu berbicara sejujurnya," demikian Siau Lay-hiat berkata, "setiap patah kata yang kuucapkan, lebih baik kaupun mempercayainya." "Aku tentu akan percaya." "Aku tahu, sebelum kau berjumpa denganku, kau pasti ingin sekali melihat manusia macam apakah diriku ini." "Ya, aku memang inginnya setengah mati." "Tapi bila kau berpaling dan memandang sekejap ke arahku, maka selama hidup jangan harap kau bisa melihat hal-hal yang lain." "Aku tak akan berpaling," seru Cho Tang-lay, "untuk sementara waktu ini, aku masih belum ingin mati." "Berbicara sejujurnya memang merupakan suatu kebiasaan yang sangat baik, aku harap kau bisa mempertahankan kebiasaan ini seterusnya.....", nada suara Siau Lay-hiat kedengaran datar dan sangat hambar, "asal kau berbicara sepatah saja kata bohong, maka aku akan menyuruhmu mati di dalam bak mandimu itu." "Sudah kukatakan tadi untuk sementara waktu ini, aku belum ingin mati," suara Cho Tang-lay pun kedengaran amat tenang, "tentu saja akupun tak ingin mati bugil dalam bak mandi seperti ini, kau harus percaya, perbuatan seperti ini tak mungkin bisa kulakukan." "Bagus sekali!" Agaknya Siau Lay-hiat sudah merasa sangat puas dengan keadaan seperti ini, oleh sebab itu diapun segera menanyakan suatu persoalan yang sangat ingin diketahui olehnya. "Dua puluh tahun berselang, aku pernah membuat kontrak surat perjanjian untuk membunuh seseorang dengan seseorang, apakah kau mengetahui tentang kejadian ini?" "Ya, aku tahu!" "Yang paling penting dari surat perjanjian itu adalah di atasnya selalu kosong, selalu kekurangan sederajat nama manusia." "Dalam hal ini pun aku mengetahui jelas." "Sekarang sudah ada orang mengirim kembali surat perjanjian tersebut kepadaku, bahkan diatasnya telah dicantumkan pula nama seseorang. Tahukah kau nama siapakah yang dicantumkan di atas surat perjanjian tersebut?" "Aku tahu!," Cho Tang-lay tertawa lebar, "akulah yang mencantumkan nama tersebut di atas surat perjanjian tersebut, bagaimana mungkin aku tidak tahu?" "Apakah surat perjanjian itu dibuat antara kau dan aku?" "Bukan! Aku masih belum pantas."
"Apakah kau yang menghantar ke sana?" "Benar! Seseoranglah yang menyuruhku menghantar ke sana, mengirim surat perjanjian itu ke dalam kuil Toh-tee-kong itu lebih dulu, kemudian menyulut api darah di luar kota, agar memastikan kau telah menyaksikannya, maka saban hari harus di sulut satu kali dan beruntun di sulut selama tiga hari." "Seseorang yang menyuruh kau mengirim kesana?" tiba-tiba nada suara Siau Lay-hiat berubah menjadi lebih parau, "tahukah kau siapakah orang itu?" "Aku tahu! Orang-orang yang mengetahui tentang dia pada menyangka dia sudah lama mati, masih banyak orang pula yang sama sekali tidak mengetahui namanya, tapi aku tahu, kecuali aku, tiada orang yang mengetahui tentang dia begitu banyak." "Kau tahu kalau dia masih belum mati?" "Benar!" "Kaupun mengetahui dimanakah orang itu berada?" "Ya!" "Bagus sekali," suara Siau Lay-hiat seolah-olah hendak menggetarkan sukma, "sekarang kau boleh bangkit berdiri." "Mengapa harus bangkit berdiri?" "Sebab kau akan membawaku untuk pergi menjumpainya." "Dapatkah aku menolak keinginanmu itu?" "Tidak dapat." Cho Tang-lay segera bangkit berdiri. Menghadapi masalah yang tak mungkin bisa diperdebatkan lagi ini, dia memang tak pernah berusaha untuk memperdebatkannya lagi. "Kau boleh mengenakan mantelmu dan memakai sepatumu, tapi lebih baik kau jangan melakukan pekerjaan yang lain lagi." Cho Tang-lay melangkah keluar dari bak mandinya dan mengenakan mantelnya, semua gerakan dilakukan sangat lamban, setiap gerakan dilakukan amat seksama dan berhati-hati. Sebab dia sudah menangkap di balik suara Siau Lay-hiat penuh mengandung nada dendam, benci dan hawa nafsu membunuh yang meluap-luap...... Siau Lay-hiat tak akan membunuhnya, pun tak akan memotong kakinya, tapi asal gerakan tubuhnya mendatangkan kecurigaan bagi Siau Lay-hiat, bisa jadi salah satu bagian dari tubuhnya akan terlepas dari badannya. Sudah barang tentu dia tak akan memberi kesempatan seperti ini kepada siapapun. Tak bisa disangkal lagi Siau Lay-hiat sedang mengawasi gerak-geriknya sekarang, terhadap setiap gerak-geriknya diamati dan diamati dengan seksama.
"Aku tahu, selama ini kau adalah seorang yang sangat tinggi hati, reaksi dan kecepatan gerakmu cukup mengagumkan, tenaga dalampun sudah terlatih cukup baik. Dalam kolong langit dewasa ini sudah jarang sekali ada orang yang sanggup mengalahkan dirimu. Akupun percaya Suma Cau-kun sudah bukan tandinganmu lagi, karena dia tak bisa menangkan ketenangan serta kesabaranmu. Belum juga kujumpai seseorang yang lain, yang jauh lebih tenang seperti kau." "Ada kalanya akupun berpikir demikian," kembali Cho Tang-lay tertawa, "setiap orang memang tak terlepas pernah merasa bangga akan kelebihan sendiri, terutama sekali di tengah malam yang sepi, rasa bangga tersebut akan terasa menggebu-gebu." "Kau belum pernah bertemu dengan diriku, juga belum pernah menyaksikan aku turun tangan, darimana kau bisa tahu kalau aku jauh lebih tangguh daripada dirimu?" tanya Siau Lay-hiat hambar, "pernahkah kau membayangkan mungkin sekali serangan yang kau lepaskan bisa membinasakan aku?" "Aku tak pernah berpikir ke situ, persoalan seperti ini pada hakekatnya tidak pernah kubayangkan ataupun kupikirkan." "Mengapa?" "Sebab aku melarang diriku sendiri untuk berpikir sampai di situ....." suara tertawa Cho Tang- lay kelihatan sedikit agak menyedihkan hati, "bila seseorang masih ingin hidup terus di dunia ini, buat apa dia mesti memikirkan persoalan-persoalan seperti itu?" Siau Lay-hiat segera tertawa dingin. "Oleh karena itu kau lebih suka menjadi seekor anjing penurut daripada mencoba-coba untuk turun tangan?" "Benar!" sahut Cho Tang-lay, "banyak persoalan di dunia ini memang begitulah bentuknya." ooo)O(ooo Pintu sempit di balik halaman yang kecil masih tertutup rapat-rapat. Cho Tang-lay berjalan menghampiri dan mengetuk pintu tiga ketukan keras disambung dengan sebuah ketukan pelan. Cara mengetuk seperti ini sudah pasti merupakan kode rahasia yang telah dijanjikan dengan si kakek dalam halaman, namun tiada jawaban. Jilid Ke-9 "Dia sedang pergi?" "Tidak! Dia ada di rumah, dia pasti berada di sini." jawab Cho Tang-lay menegaskan. "Apakah kau hendak memberitahukan kepadanya bahwa orang yang tak ingin dijumpainya telah datang, dan sekarang menyuruhnya cepat-cepat pergi?" "Kau seharusnya tahu, dia tak akan pergi selama hidup, dia tak pernah berusaha untuk melarikan diri," ucap Cho Tang-lay lagi, "apa lagi diapun sudah tahu bahwa kau pasti akan datang mencarinya." Namun suasana dalam halaman kecil itu tetap sepi, tidak kedengaran suara jawaban.
Untuk kesekian kalinya Cho Tang-lay mengetuk pintu, kali ini dia mengetuk pintu dengan suara yang jauh lebih keras. Tiba-tiba pintu itu terbuka, namun tiada orang yang munculkan diri untuk membuka pintu. Sedangkan si kakek itupun belum pergi dari sana. ooo)O(ooo Halaman kecil itu amat hening, aneka bunga memancarkan baunya yang harum. Si kakek masih duduk dalam gardu kecil, mukanya menghadap ke arah permukaan salju di depan gardu, seolah-olah dia sedang menikmati tarian dari Tiap-wu. Tapi Tiap-wu tak akan menari lagi. Si kakek pun tak akan menjadi tua lagi. Hanya pikiran dan perasaan yang bisa membuat seseorang menjadi tua. Bila seseorang tak bisa berpikir lagi, dan bila dia tak mempunyai perasaan lagi, maka orang itu tak pernah akan menjadi tua. Sekarang si kakek itu tak bisa berpikir lagi, dia tak dapat mempertimbangkan berbagai rencana maupun menganalisa berbagai masalah dunia. Kakek itupun tak pernah akan berperasaan lagi, tiada perasaan sedih, susah, senang atau menderita yang akan mengganggu pikirannya dan perasaannya. Hanya orang mati baru tak punya pikiran dan perasaan, hanya orang mati yang tak pernah akan menjadi tua. Kenyataannya, si kakek itu memang sudah mati. Biarpun sudah mati, dia masih seperti hidup saja, dengan membawa sikap yang begitu santai dan leluasa, duduk dalam gardu. Namun kenyataannya dia sudah tak bernyawa lagi. Sepasang matanya yang nakal bercampur cerdas tak akan bisa menyaksikan cahaya matahari lagi, tiada kesempatan untuk menikmati lembutnya matahari dan halusnya angin. Sepasang matanya telah berubah menjadi kelabu, persis seperti warna langit senja di musim dingin saat ini. Menyaksikan sepasang matanya itu, Cho Tang-lay tak sanggup untuk maju lebih ke depan lagi, biarpun selangkah saja, dia sudah tak ingin maju lebih ke depan. Sekujur badannya seakan-akan sudah turut membeku, membeku dan kaku bagaikan tubuh si kakek yang telah menjadi mayat. Kemudian dia pun melihat Siau Lay-hiat. Kelihatannya Siau Lay-hiat tidak begitu tinggi, namun dalam kenyataannya dia jauh lebih tinggi daripada kebanyakan orang, lagi pula sangat kurus.
Rambutnya hitam berkilat dan tak nampak sebuahpun yang telah beruban, rambut itu digulung menjadi satu menggunakan tusuk konde yang dikombinasikan dengan ikatan kain berwarna kelabu. Pakaian yang dikenakan juga berwarna kelabu, biarpun tidak sesuai dengan potongan tubuhnya, namun amat indah dan rapi. Di tangannya ia membawa sebuah peti, sebuah peti antik tapi sederhana. Hanya sekian yang berhasil dilihat Cho Tang-lay, karena yang terlihat olehnya tak lebih hanya punggung Siau Lay-hiat. Bagaikan segulung angin yang berhembus lewat melalui sisi tubuhnya, orang yang selama ini menempel terus di belakang tubuhnya seperti bayangan ini tahu-tahu sudah beralih ke hadapannya. Sesungguhnya bagaimanakah tampang muka dari manusia yang paling misterius dan paling menakutkan dalam dunia persilatan ini" Hingga sekarang Cho ang-lay masih belum sempat untuk melihatnya. Biarpun dia adalah seorang manusia yang jarang sekali menunjukkan perubahan perasaan, kadangkala tanpa disadaripun perasaan hatinya mengalir keluar juga. Punggung Siau Lay-hiat mulai bergetar, setiap bagian otot badannya seakan-akan ikut bergetar, kemudian bergemetar dengan keras, seolah-olah punggung itu sedang dicambuk orang sekeras-kerasnya...... Kematian dari kakek tersebut ibarat cambuk yang menghajar punggungnya. Siapapun dapat mengetahui dari nada pembicaraannya tadi, bahwa dia bukanlah sahabat dari kakek tersebut. Tak bisa disangkal lagi, di antara mereka sesungguhnya terjalin suatu dendam kesumat yang tak mungkin bisa dipunahkan dengan begitu saja. Ia memaksa Cho Tang-lay membawanya kemari, bisa jadi dia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mencuci bersih rasa dendam dan bencinya dengan menggunakan darah dari kakek itu. Sekarang si kakek telah mati, mengapa dia malah memperlihatkan perasaan sedih, emosi dan pedih yang luar biasa" Yang lebih hebat dan di luar dugaan lagi adalah Cho Tang-lay. Dia bukan seorang manusia yang berjiwa besar dan berlapang dada, ia tak akan memperkenankan siapapun mengusik martabat serta kehormatannya. Belum pernah ada manusia di dunia ini yang pernah menghina dan mencemoohnya seperti apa yang dilakukan Siau Lay-hiat kepadanya saat ini, hinaan dan cemoohan demikian hanya bisa dibersihkan dengan cucuran darah.
Andaikata dia membunuh Siau Lay-hiat, tiada orang yang akan keberatan, pun tiada orang yang akan merasa menyesal. Sekalipun dia menghirup habis darah yang mengalir keluar dari tubuh Siau Lay-hiat seperti meneguk arakpun, tiada orang yang akan bersedih hati. Siau Lay-hiat bukan seorang manusia yang patut dikasihani, semestinya Cho Tang-lay wajib menghabisi nyawanya. Setiap ada kesempatan yang amat baik, tidak seharusnya dia lepaskan peluang tersebut dengan begitu saja. Dan sekarang, inilah kesempatan yang terbaik bagi Cho Tang-lay untuk turun tangan. Kini punggung Siau Lay-hiat persis seperti sebidang tanah subur yang luas dan tanpa pertahanan yang siap menerima serbuan siapa saja. Ketika itu perasaan Siau Lay-hiat sedang dipengaruhi emosi dan merupakan saat-saat yang mudah baginya untuk menciptakan keteledoran dan kesalahan. Tapi anehnya Cho Tang-lay justru tidak melakukan sesuatu tindakan apapun jua. Padahal kesempatan yang baik ini bagaikan awan di tengah udara, sebentar saja akan melayang lewat dan selamanya tak pernah akan balik kembali. Mendadak napas Cho Tang-lay seakan-akan terhenti, kelopak matanya sekali lagi berkerut kencang. Akhirnya dia telah menyaksikan paras muka orang itu, manusia yang paling misterius dan paling menakutkan di dunia ini. Siau Lay-hiat telah membalikkan tubuhnya berhadapan muka dengan Cho Tang-lay. Dia mempunyai selembar wajah yang amat bersahaja, namun memiliki sepasang mata yang jauh lebih tajam daripada sebilah pedang mestika yang diloloskan dari sarungnya. "Bila ada orang yang hendak membunuhku, barusan adalah kesempatan yang paling baik," ujar Siau Lay-hiat, "kesempatan baik seperti itu tak pernah akan terulang kembali." "Aku dapat melihatnya." "Barusan, mengapa kau tidak berusaha untuk turun tangan?" "Karena aku sama sekali tidak berhasrat untuk membunuhmu," jawab Cho Tang-lay bersungguh-sungguh, "perbuatan seperti ini belum pernah melintas di dalam benakku." "Kau seharusnya dapat berpikir, kau semestinya tahu aku pasti akan membunuhmu." "Kau pasti akan membunuhku?" sorot mata Cho Tang-lay tak pernah beralih dari paras muka orang tersebut, "kau sepertinya tak pernah membunuh orang tanpa menerima bayaran?" "Tapi kali ini merupakan suatu pengecualian." "Mengapa?" "Sebab kau telah membunuhnya!"
Sorot mata Cho Tang-lay akhirnya dialihkan ke wajah si kakek yang berada dalam gardu, setelah itu kembali dia berkata: "Kau mengatakan aku telah membunuhnya" Kau anggap dia telah tewas di tanganku?" "Sebenarnya kau tak mungkin bisa mengusiknya, biar seujung rambutpun, kau tak bakal bisa mengusiknya," kata Siau Lay-hiat, "biarpun ilmu silat yang kau miliki cukup tangguh, namun dalam sekali gerakan tangan saja, dia sudah mampu untuk membinasakan dirimu." "Jangan lagi menggunakan telapak tangan, mungkin cukup dengan sebuah jari tangannya pun sudah mampu untuk menghabisi nyawaku." "Tapi keadaannya sekarang jauh berbeda, sebelum dia menemui ajalnya, ia sudah berupa seorang cacad." "Kau dapat melihat kalau tenaga dalamnya sudah lama dipunahkan orang?" "Ya, aku dapat melihatnya." "Apakah sejak kedatanganmu tadi kau sudah dapat melihatnya?" "Selama ini dia malang melintang di kolong langit, gerak-geriknya tak pernah diketahui orang, seandainya tenaga dalamnya tidak penuh, bagaimana mungkin dia bersedia menyembunyikan diri di situ dan hidup di bawah lindungan seseorang yang selamanya tak pernah dipandang sebelah matapun olehnya?" "Tentu saja dia tak akan memandang sebelah matapun terhadap seorang macam aku, tapi dia justru datang ke tempat kediamanku ini," kata Cho Tang-lay lagi, "sebab dia tahu, manusia seperti aku ini paling tidak masih mempunyai sedikit kebaikan." "Kebaikan apa?" "Aku dapat dipercaya, sangat dapat dipercaya, bukan saja orangnya bisa dipercaya, mulutku juga dapat dipercaya." "Oya?" "Tiada seorang manusiapun dalam dunia saat ini yang tahu kalau tenaga dalamnya telah punah, juga tak pernah ada orang yang tahu dia hidup mengasingkan diri di sini, sebab selama ini aku selalu menutup mulutku rapat-rapat." Dalam hal ini Siau Lay-hiat memang tak bisa membantah, dia harus mengakui akan kebenarannya. "Tidak sedikit umat manusia dalam dunia persilatan yang menginginkan selembar nyawanya, seandainya aku ingin mengkhianatinya, dia sudah lama tewas di tangan orang lain. Sekalipun aku hendak membunuhnya sendiri, buat apa mesti kutunggu hingga sekarang?" Tak bisa disangkal lagi, apa yang dia katakan memang merupakan suatu kenyataan. "Bukan begitu saja, malah diapun pernah menyelamatkan selembar jiwaku, itulah sebabnya di saat yang paling berbahaya, dia datang mencariku. Coba bayangkan saja dapatkah ku celakai jiwa seorang tua penolongku?" "Kau dapat?"
"Ya, sesungguhnya aku sudah lama tahu, sudah semenjak banyak tahun tahu dengan jelas," kembali Cho Tang-lay berkata. "Oya?" "Tatkala dia datang kemari, tenaga dalamnya telah dipunahkan orang, itulah sebabnya dia mengasingkan diri di sini, dalam hal ini kau seharusnya dapat menduganya, bukan?" Siau Lay-hiat tidak menjawab, tapi dia tidak menyangkal. Dua puluh tahun berselang, kakek itu belum tua, pada waktu itu tidak banyak jagoan dalam dunia persilatan yang sanggup menandingi kepandaian silatnya. "Orang lain memang tidak bisa, tapi kau pasti bisa!" suara Siau Lay-hiat kedengaran dingin dan menyeramkan. Kemudian setelah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh: "Biarpun tenaga dalamnya sudah punah, namun otaknya masih tetap dimiliki, otaknya justru merupakan harta karun yang tak pernah habis digali orang, didalamnya terkandung pikiran, kecerdasan dan segala macam rahasia besar yang jauh lebih berharga daripada harta karun yang manapun." Lalu setelah memandang Cho Tang-lay dengan pandangan dingin, dia menambahkan: "Selama ini kau tak pernah membunuhnya, hal ini disebabkan dia masih sangat berguna bagimu." Cho Tang-lay segera termenung dan bungkam dalam seribu bahasa, lama kemudian dia baru menghela napas panjang. "Ya, benar!" akhirnya Cho Tang-lay mengaku, "memang aku yang telah membunuhnya." Tangan Siau Lay-hiat yang memegang peti segera mengepal kencang, seolah-olah setiap saat dia dapat menggerakkan petinya untuk melakukan pembunuhan. "Sesungguhnya hingga saat inipun, dia masih berguna sekali bagiku," Cho Tang-lay menghela napas panjang, "sayang sekali saat ini sudah tiba saatnya untuk menghabisi nyawanya." Ia memandang sekejap ke arah peti yang berada dalam genggaman Siau Lay-hiat, kemudian katanya pula: "Sekarang apakah kaupun sudah bersiap sedia untuk turun tangan menghabisi nyawaku?" "Ya, benar!" "Sebelum kau turun tangan, dapatkah memberitahukan suatu hal lebih dahulu kepadaku?" "Soal apa?" "Benarkah kau hendak membunuhku untuk membalaskan dendam bagi kematiannya?" Sebelum Siau Lay-hiat menjawab pertanyaan itu, Cho Tang-lay telah menyangkalkan masalah tersebut lebih dulu. Kata Cho Tang-lay: "Sudah pasti bukan, dia berkata, kau tak akan membalaskan dendam bagi kematiannya, sebab dapat kulihat bahwa kau amat membencinya, jauh lebih benci daripada rasa bencimu terhadap siapapun, seandainya dia masih hidup, kaupun akan menghabisi nyawanya."
"Benar!" ternyata Siau Lay-hiat segera mengaku, "andaikata dia belum mati, akupun akan menghabisi nyawanya." Suaranya menjadi amat parau karena penderitaan. "Namun sebelum aku turun tangan, pasti akan kutanyakan pula suatu hal kepadanya, suatu hal yang cuma dia saja yang bisa memberitahukan kepadaku, suatu hal yang cuma dia yang bisa memecahkan rahasia tersebut. "Rahasia apa?" "Kau tak akan mengetahui apa yang hendak kutanyakan." "Seandainya aku tahu, lantas bagaimana" Apakah kaupun bersedia melepaskan aku?" Cho Tang-lay balas bertanya. Siau Lay-hiat memandang ke arahnya dengan pandangan dingin dan ia tak berbicara apa-apa lagi, hanya helaan napas panjang bergema memecahkan keheningan. "Sayang sekali, aku tidak mau, benar-benar tidak mau." "Kalau begitu, sungguh pantas disayangkan." Persoalan apa yang sebenarnya ingin ditanyakan oleh Siau Lay-hiat" Entah persoalan apapun itu, yang jelas saat ini sudah tidak penting lagi. Sekarang si kakek sudah mati, dalam dunia saat ini sudah tiada orang lagi yang dapat menjawab rahasia tersebut. Cho Tang-lay sudah pasti akan mati, siapapun seharusnya dapat melihat bahwa dia pasti akan mati. Siau Lay-hiat sudah mulai membuka peti senjatanya. Senjata apakah yang paling menakutkan di dunia ini" Sebuah peti. Peti itu menakutkan, tapi orang yang membawa peti tersebut lebih menakutkan lagi. Kelopak mata Cho Tang-lay mulai berkerut kencang. Sepasang matanya sedang mengawasi orang itu, sementara peluh dingin bercucuran membasahi wajahnya, seluruh tubuhnya sudah mulai gemetar keras. "Bluuuuk......!" akhirnya peti itu terbuka, terbuka sebuah celah yang kecil. Sekecil lirikan mata seorang gadis yang cantik. ooo)O(ooo Bab-13. Siapa Yang Jadi Domba"
Suma Cau-kun melarikan kudanya kencang-kencang menelusuri jalan raya yang menghubungkan Lok-yang dengan Tiang-an. Kudanya dilarikan kencang-kencang dan binatang tersebut dapat berlari dengan penuh tenaga, sebab sepanjang jalan dia sudah empat kali berganti kuda. Semua kuda yang dipergunakan rata-rata adalah kuda jempolan, kuda yang berlari kencang, sebab dia mengerti tentang kuda, diapun bersedia membeli dengan harga yang tinggi. Sekarang dia harus buru-buru kembali ke Tiang-an. Empat kali berganti kuda, setiap kali kuda yang diganti pasti roboh dan berbuih dari mulutnya. Keadaan Suma Cau-kun sendiripun tak jauh berbeda, ia sudah lelah dan kehabisan tenaga, setiap saat tubuhnya dapat roboh ke tanah. Sebab dia harus secepatnya sampai kembali di Tiang-an. Dalam hati kecilnya telah muncul suatu firasat jelek, dia seperti merasakan seseorang yang amat dekat hubungannya dengannya akan dibunuh seperti domba atau kerbau. Kota Tiang-an semakin dekat. Perasaan Suma Cau-kun bertambah gundah dan kalut, firasat jelek yang menghampirinya makin lama semakin bertambah kuat. Dia seolah-olah telah melihat ada seseorang yang amat dekat dengannya telah tergeletak di tengah genangan darah dan sedang berteriak sambil di tengah genangan darah dan sedang berteriak sambil meronta-ronta. Tapi dia tak dapat melihat siapa gerangan orang itu. Kali ini yang pasti mati di Tiang-an adalah Ko Cian-hui dan Cu Bong, sudah dapat diperhitungkan mereka tak akan bisa lolos dalam keadaan hidup. Tapi ia tidak menaruh perhatian terhadap mati hidupnya kedua orang ini, mereka bukan sanaknya juga bukan keluarganya. Bagaimana dengan Go Wan" Mungkinkah Go Wan" Hal ini mustahil rasanya. Go Wan adalah seorang wanita, belum pernah mencelakai orang lain, lagi pula selama ini hidupnya terpencil, bagaimana mungkin dia bisa menemui bencana yang begini menakutkan" Atau jangan-jangan Cho Tang-lay" Hal inipun jelas tak mungkin terjadi, dengan kecerdasan dan ilmu silat yang dimiliki Cho Tang- lay, entah dalam keadaan yang bagaimanapun gawatnya, sudah pasti ia dapat melindungi diri sendiri. Sekalipun dalam peristiwa kali ini pihak Toa Piaukiok menderita kekalahan total, sudah pasti dia dapat meloloskan diri dan mundur dengan selamat.
Kecuali beberapa orang ini, hampir boleh dikatakan tiada sanak keluarga yang dimilikinya lagi di dunia ini, lantas firasat yang jelek ini seharusnya terjatuh pada siapa" Suma Cau-kun tidak habis mengerti. Tentu saja diapun tak pernah akan menyangka kalau pada saat yang bersamaan Cho Tang- lay sedang berada dalam keadaan yang kritis, dia sedang menjadi domba yang akan dijagal orang. Cho Tang-lay memang seharusnya mati. Cho Tang-lay pun tahu belum pernah Siau Lay-hiat gagal di dalam usahanya. Tapi Cho Tang-lay tidak mati. ooo)O(ooo 'Bluuuuk.....!' Bersamaan dengan terbukanya peti itu, jari-jemari Siau Lay-hiat yang lincah dan bertenaga sudah mulai melakukan sesuatu gerakan. Asalkan dia mulai melakukan gerakan, maka dalam waktu singkat beberapa macam lempengan baja yang berada dalam petinya akan berubah menjadi semacam alat senjata yang mematikan, sebuah senjata yang sanggup menaklukkan Cho Tang-lay. Tapi pada detik-detik yang terakhir itulah, mendadak jari tangannya menjadi kaku. Sekujur badannya seolah-olah ikut menjadi kaku. Lewat lama, lama kemudian, ia baru mendongakkan kepalanya memandang wajah Cho Tang- lay, walaupun paras mukanya tidak menunjukkan sesuatu emosi, namun sorot matanya memancarkan perasaan gusar dan sedih bagaikan binatang buas yang hampir mati di tangan pemburu. Cho Tang-lay pun sedang balas menatapnya. Mereka berdua saling berdiri berhadapan muka, tiada yang berbicara, pun tiada yang bergerak. Entah berapa saat lagi lewat, tiba-tiba dari jalan sempit di luar kebun sana bergema suara langkah kaki manusia, ternyata Cho Kim muncul pula di situ. Di belakangnya mengikuti empat orang membawa peralatan arak, seorang membawa kopiah dan pakaian, sedang dua orang menggotong kursi kayu cendana yang dilapisi kulit binatang. Cho Tang-lay segera mengenakan celana, memakai sepatu dan topi kulit, kemudian duduk di kursi berlapis kulit binatang dan meneguk secawan arak anggur. Setelah itu dia baru berkata sambil menghela napas panjang: "Begini baru rasanya nyaman dan segar." Siau Lay-hiat tidak mendengar, juga tidak melihat, segala sesuatu yang berada di sekitar sana seakan-akan tidak terlihat dan terdengar lagi olehnya.
Bila ada orang yang melihat keadaannya, sudah pasti mereka akan beranggapan apa yang dilihat tak lebih hanya suatu khayalan belaka. Kejadian seperti ini pada hakekatnya tak mungkin akan terjadi. Berhadapan muka dengan musuh yang paling menakutkan, soal mati dan hidup hanya selisih senapasan belaka, namun dia masih bisa bersikap santai, masih dapat menyuruh orang membawakan kursi, mengambilkan arak dan berganti pakaian. Bila seseorang yang masih waras otaknya, tak mungkin dia akan melakukan pekerjaan seperti ini. Tapi Cho Tang-lay telah melakukannya. ooo)O(ooo Peti sudah dibuka, Siau Lay-hiat juga tidak melakukan sesuatu tindakan lagi. Manusia yang misterius, tapi menakutkan itu seolah-olah datang dari neraka, dan sekarang seakan-akan sukmanya sudah dipanggil kembali ke neraka, sehingga dia telah berubah menjadi mayat kaku yang telah membatu. Cho Tang-lay menuang kembali secawan arak dan dihirup setegukan, kemudian ia baru berpaling dan bertanya kepada Cho Kim. "Tahukah kau apa yang sesungguhnya telah terjadi?" "Tidak!" "Tahukah kau manusia macam apakah Siau sianseng ini?" Sebelum Cho Kim menjawab, Cho Tang-lay telah menerangkan lebih jauh. "Dia adalah seorang manusia yang luar biasa selama dua tiga puluh tahun terakhir ini, paling tidak ada empat lima puluh orang jago yang paling hebat di dunia ini telah tewas di tangannya." Cho Kim tidak berbicara, dia hanya mendengarkan dengan seksama. "Konon, peti yang berada di dalam cekalannya sekarang adalah senjata yang paling menakutkan di kolong langit," Cho Tang-lay berkata lebih jauh, "aku selama ini tak pernah merendahkan kemampuan sendiri, tapi akupun percaya bila dia turun tangan, aku akan berubah menjadi sesosok mayat." Dia memandang peti yang berada di tangan Siau Lay-hiat sekejap, kemudian melanjutkan. "Sekarang dia telah membuka peti itu, karena dia sebetulnya mau membunuhku, tapi hingga sekarang belum juga turun tangan, ternyata ia telah berubah menjadi orang bodoh yang berdiri melulu di sana sambil melihat aku minum arak, seolah-olah dia sudah lupa mau membunuhku." Siau Lay-hiat tidak mendengar, biar apapun yang dikatakan Cho Tang-lay, dia seolah-olah tidak mendengar.
Tiba-tiba Cho Tang-lay tertawa, kembali ia berkata: "Tentu saja dia bukannya tak berani membunuhku, manusia seperti aku, mungkin dalam pandangan Siau sianseng tak lebih hanya seekor anjing budukan." Ia berpaling ke arah Cho Kim dan bertanya lagi: "Tahukah kau, mengapa dia tidak membunuhku?" "Tidak!" "Dia tidak membunuhku karena dia sudah tak mampu membunuhku lagi, satu-satunya yang bisa dilakukan olehnya sekarang, adalah berdiri di sana, menunggu aku yang pergi membunuhnya, membunuhnya seperti anjing, mungkin malahan lebih mudah daripada membunuh anjing." Sebenarnya kejadian seperti ini pun mustahil bisa terjadi....... Tiada orang yang berani menghina dan mencemooh Siau Lay-hiat dihadapannya, seperti juga dahulu tiada orang yang berani menghina dan mencemooh dirinya. "Cho Kim, aku ingin bertanya kepadamu, tahukah kau apa sebabnya Siau-sianseng yang tiada keduanya di kolong langit mendadak bisa berubah menjadi seekor anjing?" "Tidak!" "Kau seharusnya dapat mengetahui akan hal ini, paling tidak pasti dapat mengetahui sedikit diantaranya," kata Cho Tang-lay dengan suara dingin, "bila persoalan semacam inipun tak bisa kau ketahui, mungkin untuk hidup sampai berumur dua puluh tahun pun sudah bukan hal yang mudah." "Benar, paling tidak aku seharusnya dapat melihat sedikit tentang hal ini." "Apa yang telah kau lihat?" "Mungkin Siau-sianseng telah dikuasai seseorang dengan mempergunakan semacam cara yang istimewa, mungkin seluruh tenaga dalam yang dimilikinya sudah tak bisa dikerahkan lagi." "Betul!" "Sesungguhnya Siau-sianseng adalah naga di antara manusia, bukan anjing, cuma Siau- sianseng pun tahu, bila si naga mati, biarpun seekor naga saktipun tak akan melebihi seekor anjing." Semua perkataan diutarakan dengan suara yang tenang, karena dia sedang membicarakan suatu kenyataan. "Tapi anjingpun bisa mati!" "Tentu saja dapat mati, cepat atau lambat, dia bakal mati, tapi paling tidak dia masih hidup hingga sekarang, entah naga atau manusia atau anjing, bisa hidup beberapa saat lagi toh jauh lebih baik daripada mati seketika. Bila dia masih hidup berarti dia masih punya harapan, asal masih terdapat setitik harapan, maka kesempatan tersebut tak akan dilepaskan dengan begitu saja."
"Sayang sekali aku sudah tidak melihat dia mempunyai sesuatu harapan lagi, "kata Cho Tang- lay lebih jauh, "entah siapa saja yang terkena racun dupa Kun-cu-hiang, mungkin dia tak akan mempunyai harapan apa-apa lagi." "Dupa Kun-cu-hiang?" "Persahabatan seorang Kun-cu selalu dilakukan dengan lembut dan halus, sama sekali tiada cacat dan tanda-tanda yang kurang sedap, begitu pula dengan Kun-cu-hiang." "Sama?" "Lembut dan bening seperti air, tidak berbau, tidak berwarna, seindah dan selembut pualam," suara Cho Tang-lay kedengaran sama lembutnya, "hanya ada satu perbedaan, Kun-cu-hiang si lelaki sejati ini sesungguhnya hanya manusia munafik, dia amat beracun." Setelah tersenyum, terusnya: "Bila persahabatan Kun-cu lembut seperti angin mamiri, maka racun dari si manusia munafik pun selembut angin mamiri, tanpa disadari orang akan mabuk, satu kali mabuk, maka sukma serasa melayang meninggalkan raganya." "Bagaimana mungkin Siau-sianseng bisa terkena racun itu?" "Karena di dalam pandangan Siau-sianseng, aku tak lebih hanya seekor anjing, lebih penurut daripada seekor anjing, di hadapan Siau-sianseng ada sementara persoalan yang untuk dipikirkan saja tak berani kupikirkan, karena bila hal tersebut melintas di dalam benakku, tak urung paras mukaku pasti akan berubah dan sudah dapat dipastikan Siau-sianseng akan dapat melihatnya." Cho Tang-lay memenuhi cawan araknya lagi. "Sudah barang tentu Siau-sianseng juga tak pernah menyangka kalau aku telah menyebarkan Kun-cu-hiang di dalam saku sesosok mayat, bila Siau-sianseng menghampiri mayat itu dan menggerakkan pakaiannya, Kun-cu-hiang segera akan menghembus ke atas wajahnya." Selesai menghela napas dia meneruskan: "Tentunya Siau-sianseng tak akan menyangka bukan, seekor anjing bisa melakukan perbuatan seperti ini." "Benar!" Cho Kim mengangguk, "lain kali dan selamanya aku tak akan menganggap seseorang sebagai seekor anjing." ooo)O(ooo Si kakek telah mati, rahasia yang paling ingin diketahui Siau Lay-hiat juga turut mati bersama kematiannya. Ketika dia melihat kematian si kakek itu, tentu dia akan memeriksa apakah orang itu benar- benar telah mati" Dan apakah sebabnya dia mati" Untuk memeriksa sebab dari kematian seseorang, tak bisa disangkal lagi, dia tentu akan menggerakkan pakaiannya. Co Tang-lay pasti sudah mengetahui dan memperhitungkan dengan tepat, asal Siau Lay-hiat masih hidup, dia tentu akan datang, maka dia telah mempersiapkan Kun-cu-hiang jauh sebelumnya. Sesungguhnya persoalan semacam ini merupakan suatu persoalan yang amat sederhana, sederhana sekali.
Sedemikian sederhananya, sehingga menakutkan. Sekali lagi Cho Tang-lay berkata sambil menghela napas: "Semasa masih hidupnya dulu, si kakek ini bukan seorang lelaki sejati, siapa pula yang bisa menduga, setelah matinya, dia masih memiliki harumnya dupa Kun-cu-hiang?" Kemudian setelah menggelengkan kepalanya berulang kali, dia menambahkan: "Ada kalanya seorang Kun-cu pun menakutkan sekali!" Apa yang dia ucapkan bukan kata-kata nasehat, lebih-lebih bukan falsafah hidup yang berguna bagi manusia. Apa yang dia katakan sekarang tak lebih hanya kata-kata yang sejujurnya. ooo)O(ooo Senja itu Suma Cau-kun telah sampai di kota Tiang-an. Kota ini merupakan tempat yang paling lama ia berdiam, sebagian besar jalanan di kota itu sangat dikenal olehnya, tapi sekarang kota itu kelihatan seperti telah berubah. Tiang-an yang kuno tak akan berubah, yang berubah sebenarnya adalah dia sendiri. Tapi dia sendiripun tak dapat mengatakan dimanakah letak perubahan tersebut, diapun tak tahu sejak kapan telah berubah. Di saat dia melangkahkan kakinya menyelusuri jalan raya di kota Lok-yang yang penuh dengan noda darah" Ataukah semenjak ia mendengar kisah pertarungan berdarah si Sepatu Paku dari si Kulit Kerbau" Bila seseorang baru bisa merangkak naik setelah melangkahi jenasah orang lain, sekalipun bisa merangkak sampai ke puncak pun, bukan suatu pekerjaan yang menggembirakan. Kini orang maupun kudanya sama-sama sudah lelah. Ketika kudanya dijalankan menyelusuri jalan yang terpencil di tepi kota, mendadak ia menangkap bayangan punggung seseorang yang sangat dikenalnya. Orang itu sudah berbalik memasuki bawah kota, lalu lenyap di balik kegelapan, selama ini orang itu berjalan tanpa berpaling. Tapi Suma Cau-kun yakin seyakinnya, bahwa orang itu adalah Ko Cian-hui. Sebelum dia mabuk oleh pengaruh arak, daya ingatan maupun ketajaman matanya jauh melebihi siapapun. Mengapa Ko Cian-hui belum mati" Mengapa Cho Tang-lay melepaskan dirinya" Apakah pihak Toa Piau-kiok dan Hiong-say-tong sudah terjadi bentrokan secara langsung" Suma Cau-kun ingin sekali menyusul ke depan dan bertanya kepada Ko Cian-hui, tapi dia lebih terburu-buru ingin pulang, melihat apakah firasat jeleknya memang benar.
Saat ini langit sudah menjadi gelap, tapi perasaannya sangat gundah dan gelisah. Berada dalam keadaan begini, siapa saja bisa jadi akan membuat kesalahan. Yang dia lihat mungkin saja bukan Ko Cian-hui. Kalau toh Siau Lay-hiat tidak tewas oleh pedang tetesan air mata, ini berarti Ko Cian-hui pasti sudah mati. Asalkan sudah menerima surat perjanjian untuk membunuh orang, belum pernah Siau Lay-hiat melepaskan korbannya dengan alasan apapun. Tentu saja diapun tak akan membuat pengecualian bagi Siau-ko. Siau-ko tak lebih hanya seorang gelandangan yang sama sekali tiada hubungan apa-apa dengan dirinya. ooo)O(ooo Siau-ko sendiripun tak mengerti apa sebabnya Siau Lay-hiat tidak membunuhnya, bahkan dia sudah membantu Siau Lay-hiat mencarikan berbagai alasan bagi dia sendiri itu. Dia benar-benar tak dapat menemukan sesuatu alasanpun yang bisa menjelaskan apa sebabnya Siau Lay-hiat melepaskan dia pergi. Hingga kini ternyata dia masih bisa hidup, kejadian tersebut benar-benar suatu keajaiban. Suma Cau-kun pun tidak salah melihat, orang yang baru saja dijumpainya adalah Ko Cian-hui. Siau-ko sendiri juga melihat kalau Suma Cau-kun sedang melarikan kudanya kencang- kencang. Tapi dia memang sengaja menghindar, karena selain Cu Bong, untuk sementara ini dia tak ingin bertemu dengan siapa saja. Dia datang mencari Cu Bong, mencari di seluruh sudut-sudut yang gelap di dalam kota Tiang- an. Sekarang adalah saat yang paling gawat bagi Cu Bong, saat dia paling membutuhkan teman, entah Cu Bong masih menganggapnya sebagai teman tau tidak, bagaimanapun juga dia tak dapat meninggalkan Cu Bong dengan begitu saja. Seandainya Cu Bong masih menemani Tiap-wu, bagaimana sikapnya setelah bersua dengannya nanti" Siau-ko telah membayangkan pula situasi yang amat pelik itu, namun dia telah mengambil keputusan untuk menghadapi keadaan tersebut dengan berani. ooo)O(ooo Langit semakin gelap. Bayangan kota Tiang-an yang gelap mulai menyelimuti Siau-ko, perasaannya semakin gundah dan berat. Cu Bong adalah seorang lelaki sejati, berjiwa besar dan lebih mengutamakan kesetiaan kawan.
Cu Bong sudah seharusnya memahami kesulitannya, seharusnya dapat memaafkannya. Tapi bagaimana dengan Tiap-wu. Sambil mengepalkan tinjunya, Siau-ko maju ke muka dengan langkah lebar. Mendadak cahaya golok berkelebat lewat, sebilah golok yang amat besar dan bersinar tajam telah membacok tiba dari kegelapan. Ketika golok itu diayunkan ke bawah, tak disangkal lagi, dia memang berniat untuk membacok batok kepala tersebut, sehingga terbelah menjadi dua bagian. Tapi entah siapa saja yang bermaksud hendak membacok Siau-ko hingga terbelah menjadi dua, jelas hal tersebut bukan suatu pekerjaan yang mudah. Apa lagi dalam genggamannya masih membawa pedang. Bacokan golok itu tidak terlalu cepat, ilmu golok yang dipergunakan juga bukan ilmu golok yang mengejutkan. Sebetulnya secara mudah ia dapat meloloskan pedang untuk melancarkan serangan balasan dan menghabisi nyawa orang yang bersembunyi di balik kegelapan. Namun dia tidak meloloskan pedangnya. Sebab pada saat yang terakhir dia telah menyaksikan ikatan kain putih di atas kepalanya dan melihat pula paras mukanya. Orang ini bernama Ban Gou, termasuk seorang Ho-han dalam perkumpulan Hiong-say-tong, termasuk juga salah satu dari ke delapan puluh enam ksatria berani mati yang datang ke Tiang-an kali ini. Sesungguhnya orang-orang itu tidak kenal dengannya, tapi sekarang semuanya adalah saudaranya, saudara yang sehidup semati dengan dirinya. Itu berarti bacokan tersebut sudah pasti telah salah membacok. "Aku adalah Siau-ko, Ko Cian-hui." Begitu tubuhnya mengegos ke samping, bacokan tersebut segera mengenai sasaran yang kosong, mata golok yang membentur tanah dengan cepat memercikkan bunga api. Dari balik kegelapan, tampak ada sepasang mata yang merah memburu sedang melotot, melotot ke arahnya. "Kau adalah Siau-ko, aku memang tahu kau, aku memang tahu kau adalah Siau-ko," tiba-tiba Ban Gou berteriak keras, "nenek busukmu!" Di tengah teriakan yang keras goloknya melepaskan bacokan lagi. Selain golok Ban Gou, masih terdapat beberapa bacokan lain.
Beberapa bilah golok itu semuanya bukan golok mestika, si pemegang golok itupun bukan jagoan yang hebat, namun setiap bacokannya justru mengandung rasa benci dan dendam yang membara, setiap orang seolah-olah berusaha untuk beradu jiwa. Siau-ko bukan seorang manusia yang takut mati. Tapi Siau-ko pun tak dapat mempergunakan pedangnya yang bisa menggorok leher orang- orang itu dalam sekejap mata, untuk menghadapi saudara-saudaranya, tapi diapun tak ingin mati dalam bacokan golok orang lain. Walaupun pedang mestika belum diloloskan, namun dalam ayunan sarung pedangnya itu, golok pada berjatuhan ke tanah, sementara tangan yang memegang golok pun tak mampu di angkat kembali. Biarpun goloknya sudah dipukul, tangan menjadi kesakitan, namun orang-orang itu tidak malah mundur, sorot mata mereka tetap memancarkan kemarahan, perasaan benci dan dendam yang luar biasa. "Bagus sekali orang she Ko, anggap saja kau memang mempunyai kepandaian," teriak Ban Gou keras-keras, "bila kau punya nyali, ayo habisi kami semua, bila masih ada yang tersisa, kau adalah anak jadah yang dipelihara anjing." "Aku tidak mengerti, apa artinya kesemuanya ini?" Siau-ko dibuat gusar pula, sedemikian gusarnya, sampai gemetar keras seluruh badannya, "aku betul-betul tidak mengerti." "Kau tidak mengerti" Kakek moyangmu! Kalau kau tidak mengerti, siapa pula yang akan mengerti?" teriak Ban Gou keras-keras, "kami semua menganggap dirimu sebagai manusia, siapa tahu kau justru seekor binatang, lo-cu sekalian mati-matian beradu jiwa, sebaliknya kau si binatang kabur kemana" Apakah hendak mencuri bini orang lain lagi......?" "Oooh, sekarang aku baru memahami maksud kalian, tapi kalian tak bakal mengerti," ujarnya sedih, "ada sementara persoalan yang tak mungkin bisa kalian pahami untuk selamanya." "Lantas apa yang kau inginkan?" "Aku hanya berharap kalian membawaku untuk berjumpa dengan Cu Bong." "Kau betul-betul bajingan yang tak tahu malu! Baru kau kembali meloncat-loncat kegusaran, kau masih mempunyai muka untuk bertemu dengannya?" "Aku harus pergi menjumpainya!" kata Siau-ko sambil menahan diri, "kalian harus membawaku ke sana." "Baik, lo-cu akan membawamu ke situ!" Tiba-tiba seorang lelaki kekar melompat ke depan dan menumbukkan kepalanya di atas dinding kota. Seketika itu juga batok kepalanya yang besar hancur berantakan, darah dan isi benak pun berhamburan di mana-mana. Memandang darah segar yang bercucuran, hati Siau-ko menjadi dingin, sebaliknya Ban Gou berteriak keras: "Kau masih ingin bertemu dengannya" Apakah ingin membuatnya mati karena gusar" Baik, aku akan membawamu ke situ." Dia pun menumbukkan batok kepalanya ke atas dinding kota.
Tapi Siau-ko sudah mempunyai pengalaman sekarang, dia segera menarik tangannya dan membantingnya ke tanah, kemudian tanpa berpaling dia membalikkan badan dan berlalu dari situ. Dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata. Dia tidak mengucurkan air mata. Air matanya kini sudah melebur ke dalam darahnya. ooo)O(ooo Bab-14. Perselisihan Cahaya lentera memancar dari lampu kristal, menyoroti sebuah peti yang amat sederhana. Di bawah lampu pun tampak manusia, namun bukan manusia sederhana pemilik peti itu. Orang tersebut adalah Cho Tang-lay. Langit belum terang tanah, maka ia memasang lampu sebagai penerangan. Cahaya lentera persis menyinari pipi sebelah kirinya yang kelihatan masih rapi. Separuh wajahnya hari ini tampak seperti wajah seorang ayah yang penuh keramahan dan kasih sayang. Apabila seseorang sedang merasa puas dan gembira, biasanya dia akan bersikap lebih ramah dan lembut kepada orang lain. Sekarang Cu Bong sudah berada dalam genggamannya, Hiong-say-tong sudah tumpas dan porak peranda, Ko Cian-hui juga sudah mati, paling tidak dia menganggap Ko Cian-hui sudah mati. Hampir setiap persoalan berada di dalam pengendaliannya. Musuh tangguh sudah dilenyapkan, kekuasaan berada di tangannya, tiada jagoan dari dunia persilatan yang bisa bersaing dengannya lagi. Bayangkan saja siapakah yang tak akan merasa puas dengan keadaan seperti ini" Seluruh usaha dan perjuangannya tak disangkal lagi telah mencapai pada puncak kesuksesan. Itulah sebabnya dia tidak membunuh Siau Lay-hiat. Keadaan Siau Lay-hiat sekarang hampir tak berbeda jauh dengan si kakek dalam gardu tersebut, segenap tenaga dalamnya telah punah, dia pun dikurung dalam halaman kecil tersebut, menunggu Cho Tang-lay datang untuk mengeruk seluruh kecerdasan dan segenap rahasia yang dimilikinya. Untuk melaksanakan pekerjaan seperti ini, Cho Tang-lay dapat melakukannya secara pelan- pelan, sedikitpun ia tidak gelisah ataupun cemas. Seorang pembunuh yang sama sekali kehilangan tenaga dalamnya, tak ubahnya seperti seorang pelacur tua yang tak sudi dijamah orang lagi, tiada jalan lain yang dapat ia tempuh, tiada tempat yang dapat ia singgahi.
Pekerjaan yang mereka lakukan sama-sama merupakan pekerjaan yang paling kuno dari umat manusia, tapi penderitaan yang mereka rasakan pun merupakan penderitaan yang paling tua dari manusia. Kini peti senjata Siau Lay-hiat sudah terjatuh ke tangan Cho Tang-lay. Diapun tahu kalau peti tersebut merupakan senjata yang paling rahasia dan paling menakutkan di dunia ini. Semenjak kematian Nyo Kian, si pengkhianat dari Hiong-say-tong, dia sudah mengetahui tentang betapa menakutkannya senjata tersebut. Ia percaya dalam dunia persilatan saat ini pasti terdapat banyak orang yang bersedia menjual nyawa mereka guna ditukar dengan senjata tersebut. Untung saja dia bukan orang-orang tersebut, dia sama sekali berbeda dengan orang-orang lain. Sekarang peti itu terpapar dihadapannya, tapi dia merasa malas untuk mengusiknya. Sebab dia merasa masih mempunyai senjata lain yang lebih menakutkan lagi, kecerdasan otaknya merupakan senjatanya yang paling ampuh. Bila ia sedang mempergunakan kecerdasannya, maka hal ini akan jauh lebih menakutkan daripada siapapun di dunia ini yang mempergunakan senjata tajam. Biarpun Siau Lay-hiat merupakan jagoan yang tiada duanya di dunia ini, namun selama berada dihadapannya, ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk turun tangan. Biarpun Cu Bong gagah dan perkasa, biarpun pengaruh dan kekuasaan Hiong-say-tong amat besar, namun dia toh sanggup menghancurkan mereka secara mudah. Ia dapat melakukan kesemuanya ini karena bukan saja dia dapat memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, bahkan diapun pandai menciptakan kesempatan. Di saat orang lain menganggap dia sudah kalah, di saat keadaannya makin kritis, bukan saja hatinya tidak menjadi gugup atau kalut, malahan ia dapat menciptakan kesempatan yang baik untuk merobohkan lawan, dari kalah meraih kemenangan. Hanya manusia semacam inilah yang baru benar-benar merupakan seorang manusia yang tangguh. Golok atau pedang atau senjata apapun, termasuk peti tersebut sesungguhnya tak lebih hanya senjata yang diandalkan pesilat kasaran belaka. Tapi rasanya kemenangan hanya bisa dicicipi dengan pelan dan lambat, dengan begitu baru akan terasa nikmatnya, ooo)O(ooo Cho Kim sudah lama menanti dihadapannya, maka secara diam-diam ia berniat mengundurkan diri. Tiba-tiba Cho Tang-lay menegurnya dengan mempergunakan suara yang lembut dan halus. "Kau sudah semalaman sengsara, mengapa tidak duduk dan minum secawan arak?"
"Aku tak bisa minum arak." "Kau boleh belajar minum," Cho Tang-lay tersenyum, "minum arak sesungguhnya bukan suatu pekerjaan yang sukar." "Tapi sekarang masih belum saatnya bagiku untuk belajar minum arak." "Sampai kapan kau baru akan mulai belajar?" senyum Cho Tang-lay mulai bersembunyi di balik bayangan gelap, "apakah hendak menunggu sampai kau bisa......." Ia tidak menyelesaikan perkataan tersebut, mendadak ia mengalihkan pembicaraan ke soal lain. Tanyanya kepada Cho Kim. "Siau-sianseng sudah kau atur secara baik-baik?" "Sudah!" "Sewaktu kau pergi tadi, bagaimanakah keadaannya" Apakah dia mengatakan sesuatu?" "Tidak! Dia masih seperti tadi, seolah-olah sama sekali acuh tak acuh terhadap persoalan yang ada." "Bagus sekali!" Cho Tang-lay kembali tersenyum, "hanya manusia yang bisa menerima takdir dan berusaha menenteramkan diri baru merupakan orang yang cerdik, hanya manusia semacam ini yang bisa hidup panjang umur." "Benar!" Kembali Cho Tang-lay berkata sambil tersenyum: "Ada kalanya aku merasa banyak hal yang dia miliki mirip dengan diriku, apa yang tak bisa dilakukan oleh sendiri, bukan saja dia tak akan melakukannya bahkan dipikirkan pun tidak." Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya dengan hambar: "Bila seseorang selalu senang melakukan pekerjaan yang tak bisa dilakukan oleh dirinya sendiri, tak urung dia akan mati juga akhirnya karena tergencet, Ko Cian-hui merupakan contoh yang terbaik." "Ko Cian-hui bukan contoh yang terbaik!" tiba-tiba Cho Kim berseru. "Dia bukan" Mengapa bukan?" "Sebab dia belum mati." "Kaupun tahu kalau dia belum mati?" "Ya, aku tahu. The Seng menyaksikan dengan mata kepala sendiri dia keluar dari kota kemarin sore sambil menenteng pedang." "The Seng?" Cho Tang-lay seperti berusaha mencari nama itu dari balik ingatannya, "dari mana kau bisa tahu kalau dia benar-benar telah melihat Ko Cian-hui?" "Begitu ia saksikan jejak Ko Cian-hui, The Seng segera pulang dan melaporkan kejadian tersebut kepadaku." "Dan kau percaya dengan perkataannya?"
"Aku percaya." Senyuman yang menghiasi wajah Cho Tang-lay kembali lenyap dari pandangan, katanya kemudian dengan suara lebih lembut: "Betul! Kau memang seharusnya percaya kepadanya. Bila kau ingin orang lain percaya kepadamu, kau harus membuat dia tahu bahwa kaupun sangat mempercayai dirinya." Mendadak dia seperti merasa kalau ucapan semacam itu tak patut diutarakan keluar, maka segera pembicaraan dialihkan ke soal lain." Dapatkah kau pikirkan Ko Cian-hui bisa pergi kemana?" "Aku pikir dia pasti akan pergi ke rumah pelacuran di Ang-hoa-ki untuk mencari Cu Bong, sekalipun Cu Bong tidak berada di sana, Ko Cian-hui pasti dapat menemukan jejaknya. Itulah sebabnya aku tidak menyuruh The Seng menguntitnya, asal dia masih berada di Tiang-an berarti dia masih berada dalam cengkeraman kita." Cho Tang-lay kembali tertawa, kali ini dia tertawa dengan penuh riang gembira. "Sekarang kau sudah mulai belajar minum arak," kata Cho Tang-lay kemudian, "kau sudah pantas untuk minum arak, bahkan jauh lebih pantas dari kebanyakan orang lainnya untuk minum arak." Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan menyodorkan cawan yang dipakainya selama iuni ke hadapan Cho Kim. Cho Kim segera menerimanya dan sekali teguk menghabiskan isi cawannya. Arak itu manis, namun dalam mulutnya terasa pahit dan getir. Ia telah menyadari kelewat banyak perkataan yang diucapkannya hari ini, bila dapat menarik kembali seluruh perkataan yang telah diutarakan tadi, ia rela mengorbankan sebuah lengan sendiri. Cho Tang-lay sendiri justru seolah-olah tidak merasakan reaksinya itu, sambil menerima kembali cawan kosong, dia memenuhi dengan arak kembali dan menghirupnya setegukan. "Siau Lay-hiat sudah tahu kalau Ko Cian-hui merupakan bencana besar di dalam kehidupannya, sedang Siau Lay-hiat belum pernah merasa menyesal, mengapa ia tidak membunuh Ko Cian-hui, walaupun sudah menerima kontrak surat perjanjiannya." Setelah termenung beberapa saat, Cho Tang-lay berkata lagi: "Mungkinkah di antara mereka terdapat sesuatu hubungan istimewa" Tapi hubungan apakah itu?" Mendadak dia meneguk habis isi cawannya, kemudian sambil memancarkan sinar tajam dari balik matanya, dia berkata lebih jauh. "Mungkin hubungan di antara mereka hanya si kakek itu yang bisa memastikan. Siau Lay-hiat ingin menanyakan sesuatu kepada si kakek itu tentulah persoalan ini yang hendak ditanyakan dan persoalan tersebut pasti amat penting artinya, itulah sebabnya kematian dari kakek tersebut menimbulkan hawa nafsu membunuh dalam hatinya karena setelah kematian dari kakek itu, tiada orang lagi di dunia ini yang bisa mengetahui sebetulnya Ko Cian-hui adalah putranya atau bukan." "Putranya?"
Sebenarnya Cho Kim sudah berniat tetap membungkam, tapi toh akhirnya tak tahan untuk berseru juga: "Bagaimana mungkin Ko Cian-hui adalah putra Siau Lay-hiat?" "Jadi kau anggap hal seperti ini tak mungkin terjadi?" Setelah tertawa dingin, Cho Tang-lay berkata lebih jauh: "Ko Cian-hui tak lebih hanya seorang pemuda yang sama sekali tak punya nama dan kedudukan, mengapa Siau Lay-hiat yang kejam dan tak berperasaan malah menolong jiwanya" Apabila di antara mereka tiada sesuatu hubungan yang khusus, biarpun ada sepuluh laksa Ko Cian-hui yang mau mampus di hadapan Siau Lay-hiat, dia tak akan menggerakkan jari tangannya untuk menolong." Ia memandang ke arah Cho Kim, nada suaranya juga berubah menjadi lembut kembali. "Kau harus percaya kepadaku, persoalan apapun mungkin bisa terjadi seperti misalnya Cu Bong seorang lelaki sejati yang berjiwa jantan dan perkasa, mengapa dia justru keok di tangan seorang wanita" Tapi dia toh akhirnya kalah, kalah secara mengenaskan, demikian pula dengan Siau Lay-hiat, siapa yang menduga dia bakal menderita kejadian seperti hari ini?" Sesudah menghela napas panjang, terusnya: "Padahal, demikian juga dengan aku, siapa yang bisa menduga aku bakal kalah di tangan seseorang di kemudian hari?" Mungkin ucapan tersebut bukan kata yang sejujurnya, namun dibalik perkataan itu terkandung suatu falsafah hidup yang mungkin bisa diresapi maknanya. Tiba-tiba Cho Kim mengundurkan diri. Dia tahu sekarang sudah mencapai saatnya dia harus mundur dari situ, karena dia tahu Suma Cau-kun sudah datang. Ia mendengar suara dari Suma Cau-kun sedang berkata: "Benar! Persoalan seperti ini pada hakekatnya memang tak pernah diduga oleh siapapun." ooo)O(ooo Pintu terbuka lebar. Suma Cau-kun berdiri persis di depan pintu, sementara kabut tebal berwarna putih menyelimuti suasana di luar sana. Dia sudah berusia pertengahan, pakaian dan rambutnya nampak amat kusut setelah menempuh perjalanan jauh, dia memang kelihatan lelah sekali. Tapi sewaktu berdiri di situ, ia nampak begitu gagah, tampan dan perkasa, jauh melebihi usia yang sebenarnya. Di antara kabut yang tebal dan cahaya lentera dalam kamar, dia nampak seperti malaikat langit dalam lukisan. Sewaktu Cho Tang-lay memandang ke arahnya, sorot matanya memancarkan sinar kagum. Dengan cepat ia bangkit berdiri dan menuangkan secawan arak baginya. Mengapa kau harus ke Lok-yang" Mengapa harus pura-pura sakit untuk membohongi diriku" Pertanyaan-pertanyaan tersebut tak sepatah katapun yang disinggung oleh Cho Tang-lay.
Di saat dia menemukan sikap dan perasaan Suma Cau-kun sedang tidak gembira, dia selalu menghindarkan diri untuk menyinggung persoalan-persoalan yang tidak menyenangkan ini. "Kau tentu sangat lelah, pasti terburu-buru untuk mengejar perjalanan, sebetulnya menurut dugaanku, besok atau lusa kau baru akan kembali ke sini," kata Cho Tang-lay. Setelah tersenyum, terusnya: "Bagaimanakah keadaan cuaca di Lok-yang?" Suma Cau-kun hanya membungkam, sikapnya nampak sedikit agak aneh. Lewat lama kemudian, ia baru menyahut: "Cuaca di sana sangat baik, jauh lebih baik daripada di sini. Darah yang berceceran di tanah pun dengan cepat mengering, jauh lebih cepat daripada di sini." Nada suaranya kedengaran sedikit rada aneh, namun Cho Tang-lay sendiripun seolah-olah tidak merasakan. "Bila darah sudah mengalir, cepat atau lambat pasti akan mengering kembali," kata Suma Cau-kun lagi, "cepat mengering atau terlambat mengeringnya, sesungguhnya tiada sangkut pautnya dengan diriku." "Ya, memang banyak kejadian di dunia ini yang demikian keadaannya." "Tapi banyak pula kejadian yang tidak begitu." "Oya?" "Bila manusia hidup di dunia ini, cepat atau lambat pasti akan mati, tapi cepat mati atau lambat matinya mempunyai perbedaan yang sangat besar, seperti misalnya kau hendak membunuh seseorang, dapatkah kau menunggu dia sampai mati lebih dulu baru turun tangan?" "Tidak dapat! Membunuh harus dilakukan seketika, bila waktu sudah lewat, maka keadaan pun berbeda, situasinya akan berubah pula." Sambil tersenyum dia angkat cawannya dan berkata lebih jauh: "Seperti misalnya minum arak, minum arak harus seketika, bila kau tidak meneguknya dengan segera, tapi meninggalkan untuk beberapa saat, arak tersebut tentu akan berubah menjadi kecut." "Betul! Perkataanmu memang tepat sekali," kata Suma Cau-kun menyetujui dengan cepat, "perkataanmu itu seolah-olah tak pernah bersalah untuk selamanya." Kemudian setelah meneguk habis isi cawannya, dia berkata lagi: "Dengan cawan ini kuhormati dirimu, karena kau telah mewakili Toa Piau-kiok kita untuk meraih suatu kemenangan yang gilang gemilang." "Jadi kau sudah mengetahui semua persoalan di sini?" "Aku tahu! Aku sudah pulang cukup lama, sudah kupikirkan cukup lama semua persoalan ini." "Persoalan apa?" "Persoalanmu!" Mimik muka Suma Cau-kun kelihatan bertambah aneh.
"Telah kupikirkan dengan seksama setiap persoalan yang telah kau lakukan bagiku selama tiga puluh tahun terakhir ini. Semakin kupikirkan, aku merasa kau benar-benar seorang manusia yang luar biasa. Aku memang benar-benar tak mampu menandingimu." Senyuman masih tetap menghiasi Cho Tang-lay, tapi senyuman tersebut sudah berubah menjadi kaku. "Mengapa kau harus memikirkan persoalan-persoalan seperti itu?" Suma Cau-kun tidak menjawab pertanyaan itu, dia malah membalikkan badan. "Mari ikutilah aku" katanya, "akan ku ajak kau menjumpai beberapa orang, setelah kau jumpai mereka, pasti akan segera kau pahami." ooo)O(ooo Fajar baru menyingsing. Kabut yang menyelimuti tempat itupun semakin tebal. Dalam kebun kecil ini tiada tanaman bunga, tapi penuh dengan tanaman kol, wortel, gambas dan sayur-sayuran. Semua sayuran itu hasil tanaman Go Wan sendiri. Suma Cau-kun memang gemar makan sayur-sayuran yang masih segar dan baru dipetik. Itulah sebabnya dalam kebun itu tiada bunga, melainkan aneka macam sayur-sayuran. Setiap pekerjaan yang dilakukan Go Wan, hampir semuanya demi suaminya, suaminya dan kedua orang anak mereka. Anak-anak mereka selalu penurut dan pintar, sebab sejak kecil Go Wan telah mendidik mereka secara baik, belum pernah membiarkan mereka mengetahui urusan orang tua, juga tak pernah membiarkan mereka berkeliaran di luar. Yang dimaksudkan sebagai di luar adalah lingkungan Toa Piau-kiok, di daerah yang tidak seharusnya dilihat dan dikunjungi oleh kanak-kanak. Kebun kecil dan sebuah loteng kecil di belakangnya merupakan dunianya Go Wan dan anak- anaknya. Sampai di situ, Cho Tang-lay baru ingat sudah beberapa hari ini tidak menjumpai mereka. Jelas hal ini merupakan suatu keteledoran baginya. Demi hubungannya dengan Suma Cau-kun, demi masa depan Toa Piau-kiok, ia bertekad tak akan menyinggung lagi peristiwa Kwik Ceng, bahkan akan bersikap lebih baik dan lebih luwes lagi terhadap Go Wan serta anak-anaknya. Di bawah loteng ada dua ruang tamu, sebuah ruang tamu utama dan sebuah ruangan untuk minum arak. Walaupun di tempat tersebut jarang dikunjungi tamu, Go Wan masih tetap mengatur ke dua buah ruangannya dengan rapi dan nyaman.
Di atasnya tempat tidur anak-anak mereka, dengan seorang mak inang dan dua orang budak yang di bawa dari rumah sebelum menikah dulu, untuk tinggal bersama mereka. Tapi suaminya tidak tinggal di sana. Suma Cau-kun sangat baik kepadanya, terhadap anak-anak pun sangat baik, tapi setiap malam tak pernah berdiam di sana. Fajar belum menyingsing, di atas loteng pun belum ada cahaya lentera. Mungkinkah Go Wan dan anak-anaknya masih tertidur nyenyak" Mengapa Suma Cau-kun membawa dirinya datang untuk menengok mereka" Cho Tang-lay benar-benar tidak habis mengerti. Jendela kamar ternyata dibiarkan terbuka lebar. Kabut putih yang berhembus lewat menciptakan suasana kelabu di sekitar sana, membuat ruangan tersebut nampak menyeramkan. Seorang ibu yang baik, ibu yang teliti, mengapa membiarkan anak-anaknya tidur dalam kedinginan" Di situ tak ada lampu, tak ada api. Tapi angin menghembus amat kencang. Dipandang dari balik kabut yang berwarna kelabu, dalam ruangan tersebut seolah-olah terdapat sesuatu benda yang sedang bergoyang terhembus angin. Tergantung di tengah udara dan bergoyang tiada hentinya. Mengapa bisa tergantung di tengah udara" Manusiakah, tapi siapakah dia" Tiba-tiba Cho Tang-lay merasakan hatinya seolah-olah tenggelam, kelopak matanya mendadak menyusut kencang. Dia memiliki sepasang mata yang amat tajam bagaikan mata Elang, apalagi setelah berlatih diri selama banyak tahun. Sekarang dia sudah dapat melihat bahwa yang tergantung di udara itu adalah manusia, bahkan dapat terlihat orang itu menggantung diri dengan seutas tali. Orang tersebut tak lain adalah Go Wan. Sebuah tali telah dibuatkan simpul mati dan ujung tali diikatkan pada tiang rumah, sementara ujung yang lain diikatkan pada tengkuk sendiri, menjirat di atas leher sendiri. Begitu kakinya meninggalkan tanah, simpul talipun akan menjirat lehernya yang akan berakibat kematian. Selain Go Wan, dalam ruangan itu masih terdapat orang-orang yang lain, seorang mak inang berambut putih, dua orang dayang muda dan sepasang bocah yang menawan hati, begitu menawan sehingga menimbulkan rasa senang bagi siapapun yang melihatnya.
Tapi sekarang, si mak inang tak pernah akan berubah lebih tua lagi, si dayangpun tak akan mengeluh masa remaja mereka yang hampir lewat. Jilid ke-10 Anak-anakpun tak akan menimbulkan rasa senang bagi yang memandangnya, sebaliknya hanya akan menimbulkan perasaan sedih dan penderitaan belaka. "Aku merasa bersalah kepadamu, maka aku mati. Aku pantas mati dan akupun harus mati. Anak-anak tidak semestinya mati, tapi akupun terpaksa mengajak mereka menemani aku untuk mati. Aku tak ingin membiarkan mereka menjadi anak yang tak beribu, akupun tak ingin membiarkan mereka setelah dewasa menjadi manusia macam Cho Tang-lay, sahabat karibmu itu. Ciu Ma adalah mak inangku, sejak kecil akupun menjadi dewasa karena menyusui darinya, selama ini dia selalu menganggap aku sebagai puterinya. Siau-hun dan Siau-hong ku anggap sebagai saudara angkatku sendiri. Setelah aku mati, merekapun tak ingin hidup terus, maka kami semua mati bersama-sama. Aku tidak mengharapkan kau memaafkan aku, asal kau bisa hidup terus secara baik-baik, akupun tahu, tanpa kami pun kau pasti masih bisa hidup terus secara baik-baik." Udara amat dingin, dingin membekukan badan. Belum pernah Cho Tang-lay merasa kedinginan seperti ini. Kamar tidur itu ternyata menjadi kuburan massal, dan dia sendiripun berada dalam kuburan ini. Seluruh tubuhnya, darahnya, seakan-akan ikut menjadi dingin membeku. "Apa yang telah terjadi" Kapan peristiwa ini berlangsung" Mengapa Go Wan mati?" Sederet pertanyaan diutarakan Cho Tang-lay tanpa terasa. "Kau tidak tahu?" seru Suma Cau-kun. "Aku tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu!" "Paling tidak mereka telah mati empat hari lamanya, masa kau masih tidak tahu?" nada suara Suma Cau-kun lebih dingin dari es, "kau betul-betul sangat memperhatikan mereka, aku memang sepantasnya berterima kasih kepadamu." Kata-kata tersebut bagaikan sebatang jarum panjang yang dingin seperti es menghunjam dari batok kepala Cho Tang-lay, dan tembus hingga ke dasar kakinya. Sebenarnya ia mempunyai banyak alasan untuk memberi penjelasan kepadanya. Beberapa hari belakangan ini, segenap kekuatan dan pikirannya ditujukan untuk menghadapi Hiong-say-tong, tempat inipun termasuk dunianya Go Wan dan anak-anak, jarang ada orang Toa Piau-kiok yang berkunjung ke situ. Namun ia tidak memberi penjelasan. Persoalan seperti ini pada hakekatnya sukar dijelaskan, betapapun ia berusaha memberi penjelasan, hal ini sama sekali tak ada gunanya.
Suma Cau-kun tidak memandang sekejappun ke arahnya, dia sendiripun tidak memperhatikan perubahan wajah dari Cho Tang-lay. "Kau bertanya kepadaku mengapa Go Wan bisa mati" Sebenarnya aku sendiripun tidak mengerti," kata Suma Cau-kun, "usianya belum tua, kesehatan badannya selama inipun sangat baik, dia juga suka dengan anak-anak, meskipun dia tidak terlalu setia kepadaku, namun selalu berusaha menunaikan tugas dan kewajiban sebagai istri." Suaranya tenang dan tanpa emosi, seakan-akan sedang mengutarakan sesuatu yang biasa. "Sebaliknya aku tak pernah mewujudkan tugas dan kewajibanku sebagai seorang suami, maka yang salah adalah aku, bukan dia." "Kaupun mengetahui tentang peristiwa itu?" "Aku tahu! Sudah lama mengetahuinya. Sebagai seorang suami belum tentu harus mengetahui paling akhir, akupun tahu peristiwa tersebut dengan cepat akan terlalui. Dia masih bisa menjadi istriku yang baik, masih bisa merawat anak-anakku secara baik." Setelah berhenti sejenak, sambungnya lagi dengan hambar. "Aku toh sudah bertekad hendak mengikuti cara dan maksudmu untuk menjadi seorang Enghiong yang luar biasa, maka aku wajib membayar segala pengorbanan." "Maka kaupun berlagak tidak tahu?" tanya Cho Tang-lay. "Benar! Sebab bila aku tahu maka aku pasti akan membunuhnya. Dalam satu keluarga seorang Enghiong, tidak diperkenankan sampai terjadinya peristiwa semacam ini, tentu saja aku harus menghabisi nyawanya." Setelah berhenti sebentar, dia meneruskan: "Oleh sebab itu akupun terpaksa berlagak tidak tahu, karena di sinilah terletak rumah tanggaku, dalam keadaan yang bagaimanapun juga, aku tak bisa menghancurkan rumah tangga ini. Bukan saja aku berpura-pura tak tahu, bahkan akupun harus berbuat sehingga dia mengira aku sama sekali tak tahu, dengan begitu rumah tangga ini baru bisa dijaga keutuhannya." Cho Tang-lay segera menunjukkan perasaan kaget dan tercengang. Hingga kini dia baru tahu bahwa sebelum ini pada hakekatnya ia belum memahami sama sekali tentang Suma Cau-kun. Dia belum pernah tahu kalau Suma Cau-kun masih memiliki perangai seperti ini. Ternyata dia adalah seorang manusia berperasaan, menghadapi kejadian seperti inipun masih bisa memikirkan kepentingan orang lain. "Sesungguhnya tiada lelaki di dunia ini yang sanggup menahan diri bila menghadapi kejadian seperti ini, tapi aku sudah berpikir lebih mendalam. Andaikata kejadian tersebut telah berlalu, bila anak-anak telah dewasa, kita masih dapat bersikap seakan-akan suami isteri yang berbahagia, hidup berdampingan sampai di akhir hari tua." Mendadak ia membalikkan tubuhnya menghadap Cho Tang-lay, lalu serunya lagi: "Andaikata bukan kau yang mendesaknya mati, kami pasti masih bisa hidup seperti ini." "Aku memaksanya mati?" suara Cho Tang-lay menjadi parau, "kau anggap aku yang memaksanya mati?"
"Bukan hanya dia dan Kwik Ceng yang mati karena kau desak, lambat-laun akupun bakal mati karena tekananmu, sebab selamanya kau menginginkan orang lain hidup menurut cara dan peraturanmu." Setelah menatap Cho Tang-lay tajam-tajam, ia berkata lebih jauh: "Oleh karena kau punya penyakit dalam hatimu, meski diluar kau bersikap angkuh dan tinggi hati, padahal dalam hati kecilmu tak pernah memandang sebelah matapun terhadap diri sendiri, maka kau menyuruh aku mewakilimu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya kau lakukan sendiri, kau hendak menciptakan aku sebagai lambang dari seorang Enghiong, karena di hati kecilmu kau telah menganggap aku sebagai penggantimu, dengan tak segan-segan kau akan memaksanya dan memojokkannya sampai mati." Sebagai akhir kata, Suma Cau-kun kembali menambahkan: "Inilah yang menjadi alasan dari kematian Go Wan, karena kau merasa dia sudah mulai merintangimu." Cho Tang-lay termenung, termenung sampai lama, lama sekali. Beberapa waktu kemudian ia baru bertanya: "Tadi kau memberitahukan kepadaku, bahwa kau sudah berpikir sangat lama, memikirkan banyak masalah, apakah hal ini dikarenakan kau merasa bahwa sekarang sudah saatnya bagimu untuk mengambil keputusan?" "Benar!" "Apakah kau sudah mempunyai keputusan sekarang?" "Benar!" "Kau telah memutuskan untuk berbuat bagaimana di kemudian hari?" "Bukan untuk di kemudian hari, tapi sekarang," kata Suma Cau-kun, "sekarang aku menyuruh kau pergi, selama hidup jangan bertemu lagi dengan diriku, selama hidup tak usah mencampuri urusanku lagi." Mendadak Cho Tang-lay menjadi limbung, seolah-olah tak sanggup lagi untuk berdiri tegak, seperti kepalanya dihantam orang dengan toya besar secara tiba-tiba. "Terserah apa saja yang hendak kau bawa pergi, pokoknya kau harus pergi dari sini," Suma Cau-kun menandaskan, "sebelum matahari terbenam hari ini, kau harus sudah meninggalkan Tiang-an sejauh-jauhnya." Tiba-tiba Cho Tang-lay tertawa. "Aku mengerti! Ucapan semacam ini bukan kau utarakan dengan kesungguhan hati," katanya lembut, "kau hanya merasa batinmu tertekan, kau merasa kelelahan, asal beristirahat sebentar saja maka kau akan melupakan semua perkataan tersebut." "Kali ini kau keliru besar," tukas Suma Cau-kun sambil menatapnya dingin, "kau masih ingat dengan apa yang barusan kita bicarakan" Bila ingin membunuh harus dikerjakan segera, jangan sampai kesempatan dibiarkan berlalu, dan begitu pula dengan kejadian sekarang." Kelopak mata Cho Tang-lay mulai berkerut kencang.
"Bagaimana kalau aku tak mau pergi?" katanya sepatah demi sepatah, "bila aku menolak untuk pergi, apakah kau akan membunuhku?" "Benar!" dengan nada yang sama sepatah demi sepatah, Suma Cau-kun menjawab, "bila kau menolak untuk angkat kaki, maka aku akan segera menghabisi nyawamu." ooo)O(ooo Lambat laun pagi haripun menjelang tiba, namun suasana di dalam ruangan tersebut justru berubah semakin seram dan mengerikan. Sebab dengan mencorongnya cahaya matahari, maka paras muka mayat-mayat yang mengerikan pun tampak lebih jelas. Di masa mereka masih hidup, orang-orang itu memang nampak menawan, tapi setelah mati, mereka justru nampak seram dan menakutkan. Cho Tang-lay berdiri berhadapan muka dengan Suma Cau-kun, mereka membiarkan angin dingin yang tajam bagaikan sayatan golok menerpa wajah mereka. "Sebenarnya aku bersedia pergi, manusia macam aku bisa saja pergi ke mana pun," ujar Cho Tang-lay, "tapi aku tak dapat pergi." Nada suaranya pun berubah menjadi dingin dan menggidikkan hati. "Sebab aku telah mengorbankan seluruh pikiran dan keringat untuk menciptakan seorang manusia seperti kau. Aku tak dapat membiarkan kau musnah di tangan orang lain. Tentunya kau tahu bukan perangaiku" Masih banyak masalah yang aku rela kerjakan sendiri." "Ya, aku memang tahu!" "Bukankah kita selalu dapat saling memahami?" "Benar!" Suma Cau-kun mengangguk, "itulah sebabnya aku telah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya." "Sejak kapan kau telah mempersiapkan diri?" "Sekaranglah aku sedang mempersiapkan diri. Bila ingin membunuh, maka lakukan dengan segera. Perkataan ini pasti akan kuingat selalu dalam benakku." "Di mana kau mempersiapkan diri?" "Di tempat ini juga!" Suma Cau-kun memandang sekejap mayat-mayat dalam ruangan, semasa hidupnya mayat- mayat itu merupakan orang yang paling dekat dengannya, mereka semua mempunyai hubungan perasaan yang tak akan terlupakan dengannya, dan kematian mereka pasti akan mendatangkan perasaan sedih dan menyesal yang berkepanjangan. Bahkan termasuk juga Cho Tang-lay sendiri. Bila Cho Tang-lay juga mati di sini, maka salah satu bagian yang terpenting dari kehidupannya akan musnah pula di sini.
"Di tempat inilah!" Suma Cau-kun berkata, "bukankah tiada tempat lain yang jauh bagus daripada tempat ini?" "Ya, memang tidak ada. Benar-benar tidak ada!" Cho Tang-lay menghela napas panjang. Dalam dunia ini terdapat semacam orang yang sangat istimewa, di hari-hari biasa mungkin tak akan kau temui biar dicari ke manapun, tapi di saat kau membutuhkannya, dia pasti berada di sisimu dan tidak akan membuat kau merasa kecewa. Cho Kim adalah manusia semacam ini. "Cho Kim, masuk kau!" Cho Tang-lay seolah-olah tahu kalau Cho Kim pasti berada di sekitarnya, asal dia memanggil, orangnya pasti akan menampakkan diri. Betul juga. Cho Kim memang tidak membuatnya kecewa. Cho Kim seperti tidak pernah membuat siapa saja merasa kecewa. Semenjak Cho Kim masih kecil dulu, ia sudah tak pernah membuat orang merasa kecewa. Tapi hari ini ia nampak agak lelah, pakaiannya masih pakaian yang dikenakan kemarin, bahkan lumpur di sepatunyapun belum sempat dibersihkan. Di hari-hari biasa, bukan begitu tampangnya. Di hari-hari biasa, betapapun repotnya dia, pasti akan meluangkan waktu untuk membenahi dandanannya, karena dia tahu Cho Tang-lay dan Suma Cau-kun adalah orang-orang yang sangat memperhatikan tentang soal ini. Untung saja Cho Tang-lay tidak terlalu memperhatikan soal ini sekarang, dia hanya memberi pesan secara ringkas. "Berlututlah kau dan sembahlah Suma Toaya." Cho Kim segera berlutut dan menyembah, sedangkan Suma Cau-kun tidak berusaha untuk menghalanginya, sorot matanya masih mengawasi ke arah Cho Tang-lay tanpa berkedip. "Kau tak usah menyuruh dia berlutut dan menyembah," kata Suma Cau-kun, "aku tahu bahwa dia adalah putra angkatmu karena kau tak punya putra, aku pasti akan mempertahankan keturunan dari marga Cho ini. Bila kau mati, aku pasti akan merawat dan memperhatikannya secara baik." Tak tahan dia menengok ke arah putra sendiri, sorot matanya segera memancarkan sinar kepedihan dan amarah. "Paling tidak, aku tak akan berbuat seperti kau memperhatikan putraku." "Aku percaya, aku percaya kepadamu sepenuhnya." kata Cho Tang-lay cepat. Ketika dilihatnya Cho Kim sudah selesai menyembah dan bangkit berdiri, dia berkata lebih jauh: "Kau sudah mendengar perkataan dari Suma Toaya, kaupun seharusnya tahu, Suma Toaya tak pernah ingkar janji kepada siapa saja. Bila dia yang merawatmu sudah pasti jauh lebih baik daripada aku yang memperhatikan dirimu."
"Aku mengerti," suara Cho Kim pun berubah menjadi parau karena rasa harunya, "tapi dalam kehidupanku kali ini, aku tak akan berganti marga lagi." "Kau mesti ingat, bila aku sudah mati, maka kau harus bersikap baik kepada Suma Toaya seperti sikapmu kepadaku sekarang." Tampaknya Cho Tang-lay dipengaruhi pula oleh emosi. "Biarpun di antara aku dan Suma Toaya telah terjadi persoalan apapun, itu merupakan urusan pribadi kami sendiri, bukan saja kau tak boleh menaruh perasan benci, lagi pula tak boleh menceritakan apapun yang kau saksikan hari ini kepada siapapun." "Aku tahu!" ucap Cho Kim sedih, "aku pasti akan melakukan seperti apa yang kau inginkan, sekalipun kau menyuruh aku mati, aku tetap akan menerimanya." Cho Tang-lay segera menghela napas panjang. "Kau memang selalu merupakan seorang anak baik, di kemudian hari kau tentu akan berhasil." Lalu sambil menatap tajam wajah Cho Kim, kembali dia berkata: "Kemarilah kau, ada semacam barang yang hendak kuberikan kepadamu, entah aku mati atau hidup, kau harus menyimpannya secara baik-baik." "Baik!" Cho Kim pelan-pelan berjalan mendekat. Tiba-tiba dari balik matanya memancarkan sinar kepedihan yang tak terlukiskan dengan kata-kata, seolah-olah dia sudah menduga kalau suatu peristiwa yang menyedihkan dan menakutkan bakal terjadi. Dia tidak berusaha untuk menghindar, sebab diapun tahu, peristiwa seperti ini tak mungkin bisa dihindari. Suma Cau-kun berpaling dan tidak memperhatikan kedua orang itu lagi. Ia telah bertekad, tak akan terpengaruh oleh siapapun dan tak akan berubah pendapat dikarenakan persoalan apapun. Kemudian ia mendengar suara yang sangat aneh, seperti kulit yang dirobek. Menanti dia berpaling lagi, dijumpainya Cho Tang-lay telah menghunjamkan pisaunya ke ulu hati Cho Kim. Cho Kim mundur setengah langkah, kemudian pelan-pelan roboh ke atas tanah. Sepanjang kejadian, dia sama sekali tidak berteriak. Paras mukanya yang pucat pias pun tidak memperlihatkan perasaan sakit, menderita, kaget dan tercengang, seakan-akan kejadian tersebut sudah berada di dalam dugaannya. Hal itu bukan dikarenakan gerak serangan dari Cho Tang-lay yang kelewat cepat, sebaliknya dikarenakan ia sudah membuat persiapan. Sebelum maju mendekat, dia seakan-akan sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Malah sebaliknya paras muka Suma Cau-kun yang memperlihatkan perubahan dan menunjukkan rasa kaget bercampur tercengang.
"Mengapa kau membunuhnya?" Suma Cau-kun segera membentak, "apakah kau takut aku menyiksanya setelah kematianmu nanti?" "Bukan! Kau berjiwa besar dan berwelas asih, tak mungkin akan kau lakukan perbuatan seperti itu." Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan suara yang sangat tenang ia berkata lebih jauh: "Aku membunuhnya karena aku tak bisa membiarkan dia hidup untukmu....." "Mengapa?" "Karena dia adalah seorang manusia yang sangat berbahaya, licik dan kejam. Sekarang usianya masih begitu muda dan aku masih bisa membunuhnya, bila dibiarkan hidup beberapa tahun lagi, mungkin aku sendiripun bukan tandingannya." Dia melepaskan mantel kulit binatangnya dan dipakai untuk menutupi jenasah Cho Kim. Beberapa gerakan yang dilakukan olehnya ini dilakukan dengan lemah lembut seperti seorang ayah yang menutupi jenasah anaknya. Walaupun begitu, nada suaranya justru dingin dan sama sekali tiada perasaan. "Sekarang dia sudah memupuk kekuatan sendiri, bila aku masih hidup, aku masih dapat mengendalikan dia, tapi kalau aku sudah mati, dalam dua tiga tahun saja, dia sudah pasti dapat menduduki jabatanmu sekarang, dan kemudian dia akan membinasakan dirimu." Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya lagi dengan suara hambar: "Bila aku harus membiarkan seorang manusia yang begitu berbahaya hidup di sampingmu, sudah pasti aku tak bisa hidup dengan perasaan tenang." Semua perkataan itu diutarakan dengan nada datar dan hambar, sedemikian datar dan hambarnya seolah-olah dia baru saja membunuh seekor nyamuk belaka. Dia seperti tak ingin membiarkan Suma Cau-kun tahu, bahwa bagaimanapun licik, kejam dan buasnya dia terhadap orang lain, namun perasaannya terhadap Suma Cau-kun tetap bersungguh- sungguh. Dalam hal ini, memang tiada orang yang bisa menyangkal lagi atas kenyataan tersebut. Suma Cau-kun mengepal sepasang tinjunya keras-keras, darah segar yang mengalir dalam setiap urat nadinya seolah-olah telah mendidih. Tapi dia berusaha keras untuk mengendalikan diri, sebab dia sudah tak ingin hidup seperti dahulu lagi, hidup di dalam pengekangan. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang manusia yang terdiri dari darah dan daging, dia enggan menjadi seorang boneka. Mayat isterinya masih tergantung di atas tiang, sedangkan ke dua orang putranya yang lincah dan pintar sudah tak akan memanggil ayah lagi kepadanya, apakah dia harus menyerah" Mendadak Suma Cau-kun melejit ke tengah udara, bagaikan burung walet dia menerobos lewat dari bawah tiang penggantungan.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 9 Panji Wulung Karya Opa Pedang Golok Yang Menggetarkan 5
"Dan kau adalah Siau Lay-hiat." "Benar!" ooo)O(ooo Kini Siau-ko sudah berhasil menenangkan kembali hatinya, hanya rangsangan yang tajam dan dingin seperti ini dapat membuatnya menjadi tenang kembali dari kekalutan dan kepedihan. Kabut fajar baru muncul. Dengan tenang Siau-ko awasi manusia yang lebih misterius daripada kabut itu, kemudian menghela napas panjang. "Peristiwa ini memang benar-benar merupakan suatu kejadian yang patut disesalkan, aku benar-benar tidak menyangka kalau kau masih bersedia membunuh orang lantaran uang." "Akupun tidak menyangka, sudah lama aku tak pernah membunuh orang karena uang," sahut Siau Lay-hiat, "kejadian seperti ini bukan sesuatu yang menarik." "Kali ini mengapa kau harus melanggar kebiasaanmu?" Siau Lay-hiat tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung, di balik sorot matanya yang kelabu terpercik suatu mimik muka yang misterius bagaikan kabut. "Dalam tubuh setiap orang tentu mempunyai seutas tali yang tak berwujud, dalam sebagian besar hidupnya, diapun selalu terbelenggu erat-erat oleh tali itu," kata Siau Lay-hiat, "ada sementara orang yang talinya berwujud anak dan istri, ada pula orang yang talinya berwujud harta kekayaan." Ia menatap wajah Siau-ko tajam-tajam, kemudian meneruskan: "Biarpun manusia seperti kau dan Cu Bong tak akan terikat oleh tali seperti ini, namun kalianpun mempunyai tali yang sesungguhnya kalian ciptakan sendiri." Ia berhenti sejenak, kemudian lanjutnya: "Apakah tali yang kalian ciptakan sendiri itu, yakni perasaan kalian, kelewat berperasaan dan perasaan yang berlebihan itulah justru merupakan tali yang membelenggu kalian." "Bagaimana dengan kau sendiri?" tanya Siau-ko, "talimu berwujud apa" Tali macam apa yang dapat membelenggumu?" "Selembar surat perjanjian!" "Surat perjanjian?" Siau-ko tidak habis mengerti, "surat perjanjian apakah itu?" "Surat perjanjian untuk membunuh orang." Suara dari Siau Lay-hiat seolah-olah datang dari tempat yang amat jauh di sana. "Sekarang walaupun aku sudah menjadi seorang manusia yang memiliki kekayaan melebihi sebuah negeri, namun dua puluh tahun berselang, aku tak lebih hanya seorang pengembara yang tak bernama dan tak beruang, seperti keadaanmu sekarang, tiada teman, tiada sanak, tiada keluarga, tiada akar, kecuali peti ini, apapun tidak kumiliki....." "Apakah disebabkan peti itu merupakan semacam alat senjata untuk membunuh orang, maka kaupun mulai membunuh orang untuk menghidupi dirimu?"
"Semua orang yang kubunuh merupakan orang yang pantas dibunuh, sekalipun aku tidak membunuh mereka, mereka toh akan terbunuh juga di tangan orang lain," kata Siau Lay-hiat, "betul, balas jasa yang kuminta amat tinggi, namun kepercayaan orang terhadapku sangat baik, cukup membuat sebuah kontrak surat perjanjian, tugas tersebut tentu akan kuselesaikan secara baik." Nada suaranya penuh dengan sindiran, sindiran terhadap dirinya sendiri. "Justru karena alasan ini, maka saban malam aku selalu dapat tertidur dengan nyenyak." "Cuma kemudian kau toh cuci tangan juga karena uang yang berhasil kau raih sudah kelewat banyak," kata Siau-ko dingin. "Ya, akhirnya aku toh cuci tangan juga, bukan lantaran uang yang kuperoleh terlalu banyak, melainkan karena suatu malam setelah kubunuh seseorang, tiba-tiba saja berubah menjadi tak dapat tidur....." Sambil memegang petinya erat-erat, Siau Lay-hiat berkata lebih jauh: "Buat seseorang yang memang mengerjakan pekerjaan seperti ini, peristiwa semacam ini baru merupakan persoalan yang paling menakutkan....." "Bagaimana kisahnya sehingga tali itu tertinggal untukmu?" "Surat perjanjian itu sudah lama dipesan, dalam surat mana, pun telah dijelaskan, setiap saat setiap waktu, dia dapat menyuruh membunuh seseorang, entah kapanpun, aku harus membunuh orang itu, aku tak boleh menampiknya." "Jadi selama ini surat perjanjian itu belum pernah terlaksana." "Ya, belum! Bukan disebabkan aku tak ingin mewujudkannya, melainkan orang itu belum pernah meminta kepadaku untuk melaksanakan tugas tersebut." "Oleh karena itu, hingga sekarang surat perjanjian itu masih tetap berlaku?" "Ya, begitulah!" "Mengapa kau harus menerima kontrak surat perjanjian semacam ini?" kata Siau-ko sambil menghela napas, "apakah dia sanggup membayar dengan nilai yang sangat tinggi?" "Benar!" "Berapa yang telah dia bayar untukmu?" "Dia memberi selembar nyawa kepadaku." "Nyawa siapa?" "Nyawaku." Setelah berhenti sejenak, Siau Lay-hiat berkata lebih jauh: "Di saat aku menanda-tangani kontrak perjanjian tersebut, dia telah berkata, setiap waktu, setiap saat dia boleh menyuruhku untuk membunuh diriku sendiri." "Bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk menghabisi nyawamu, siapakah orang itu?"
Siau Lay-hiat menolak untuk menjawab pertanyaan tersebut, hanya ucapnya: "Aku hanya bisa memberitahukan kepadamu, sekarang surat perjanjian itu sudah dikirim kembali kepadaku dan diatasnya pun telah dicantumkan nama seseorang." "Seseorang yang harus kau habisi nyawanya?" "Benar!" "Dan nama orang itu adalah Ko Cian-hui?" "Benar" Siau Lay-hiat mengawasi wajah Siau-ko dengan tenang, sedangkan Siau-ko juga memandang ke arahnya dengan tenang. Kedua orang itu sama-sama tenang dan hambar, seolah-olah masalah membunuh dan dibunuh merupakan suatu persoalan yang sangat biasa. Lewat lama, lama kemudian, Siau-ko bertanya kepada Siau Lay-hiat: "Tahukan kau jenazah Cu Bong berada dimana" Aku ingin berziarah di hadapan lelayonnya." "Cu Bong belum menjadi mayat, untuk sementara ini dia belum akan mampus." Siau-ko segera merasakan napasnya seolah-olah menjadi terhenti, lama kemudian ia baru berkata lagi: "Kali ini apakah diapun berhasil menembusi kepungan?" "Bukan dia yang berhasil menembusi kepungan, Cho Tang-lay lah yang melepaskan dia pergi," ucap Siau Lay-hiat, "sesungguhnya dia sendiri sudah tak memiliki kesempatan untuk itu." "Mengapa Cho Tang-lay melepaskannya pergi?" "Sebab Cho Tang-lay akan menahannya untuk dipakai menghadapi Suma Cau-kun, kematian Cu Bong pasti akan menjadi berita besar yang akan menggemparkan seluruh dunia persilatan, biasanya perbuatan seperti ini selalu Cho Tang-lay sisihkan agar dilakukan sendiri oleh Suma Cau-kun." Setelah berhenti sejenak, pelan-pelan ia melanjutkan: "Untuk menciptakan seorang enghiong, sesungguhnya bukan suatu pekerjaan yang amat mudah." "Betul, memang bukan pekerjaan yang mudah." Selesai mengucapkan perkataan tersebut, mereka berdua sama-sama menutup mulut, sebab dari kejauhan sana telah muncul segumpal asap tipis berwarna merah, dalam suasana kelabu yang remang-remang begini, warna merah tersebut kelihatan seperti gumpalan darah segar di atas permukaan salju. Dengan amat cepatnya asap itu membuyar, lalu Siau Lay-hiat dengan mempergunakan suara yang aneh berkata kepada Siau-ko: "Aku hendak pergi ke suatu tempat yang sangat istimewa, mari kaupun turut aku." Darimana munculnya gumpalan asap tipis berwarna merah itu" Apakah sebagai perlambang dari suatu maksud yang istimewa" Sebagai suatu tanda rahasia" Ataukah semacam peringatan"
Tempat apakah yang istimewa itu" Mengapa Siau Lay-hiat mengajak Siau-ko menuju ke sana" Biasanya ada sementara orang yang suka membunuh dengan memilih suatu tempat yang istimewa. Apakah tempat itupun sebuah tempat penjagalan" Tempat itu bukan sebuah tempat pembantaian, tampaknya malah tiada sesuatu keistimewaan. Tempat tersebut tak lebih hanya sebuah kuil yang sangat kecil, sebuah kuil kecil yang didirikan di tengah sebuah sudut lorong yang sempit dan terpencil. Patung Toh-tee-kong yang dipuja dalam kuil tersebut sudah lama dilupakan orang, apalagi di tengah fajar bulan ke dua yang begitu dingin, sudah barang tentu tak ada jamaah yang hadir di situ. Siau-ko berdiri membungkam di belakang Siau Lay-hiat, memandang sepasang matanya yang redup tanpa berbicara, menyaksikan keadaan di sekitar sana, tiba-tiba saja hatinya merasa begitu kesepian, hingga tak terlukiskan dengan kata-kata. Tiap-wu, mengapa kau harus Tiap-wu" Mengapa kau bukan seorang perempuan yang lain" Sampai detik ini, dia masih belum juga menanyakan tentang nasib perempuan itu. Ya, dia tak dapat bertanya, sebab perempuan itu bukan miliknya, dia hanya bisa berharap menjadikan saat-saat di kala mereka masih berdua menjadi suatu kenangan yang paling indah di dalam hidupnya. Apa keistimewaan dari tempat ini" Mengapa Siau Lay-hiat membawanya kemari" Mau apa" Siau-ko tidak bertanya walau hanya sekecap pun. Sebaliknya Siau Lay-hiat justru berkata: "Mereka semua tahu, semua perbuatan yang kulakukan pada waktu itu telah mereka ketahui semua." "Mereka" Siapakah mereka?" "Mereka adalah mereka." Siau Lay-hiat berkata sambil menatap tajam patung di meja altar, "yaitu Toh-tee-kong dan Toh-tee-po." Siau-ko tidak mengerti Siau Lay-hiat pun tahu bahwa dia tidak mengerti. "Dua puluh tahun berselang orang-orang yang cukup berhak untuk meminta kepadaku membunuhkan seseorang, pasti tahu tentang tempat ini, mereka pun pernah berkunjung kemari,
meninggalkan sebuah alamat dan nama seseorang," Siau Lay-hiat menerangkan, "alamat untuk mengambil uang dan nama dari orang yang harus kubunuh." Dalam sebuah kuil yang terpencil, di suatu sudut ruangan yang rahasia, dimana terdapat sebuah bau bata yang bisa digerakkan, segulung kertas yang berisi catan, sejumlah harta yang menggiurkan dan selembar nyawa melayang. Begitu sederhana atau begitu pelik" Tiada seorangpun yang pernah menduganya. "Bila ku anggap orang itu pantas untuk dibunuh, maka aku akan mendatangi alamat yang mereka tinggalkan, di sana ada sejumlah uang yang menantikan kehadiranku," Siau Lay-hiat menerangkan, "cukup uangnya saja tak perlu orangnya, selama ini si langganan dan aku tak pernah saling bersua muka." "Bagaimana dengan mereka yang tewas di tanganmu?" "Orang yang diinginkan kematiannya oleh pihak lain dengan pembayaran yang tinggi, biasanya tentu mempunyai alasan yang cukup kuat bagi mereka untuk di bunuh, itulah sebabnya kuil yang kecil ini bisa jadi merupakan tempat terjadinya transaksi yang terbesar di kota Tiang-an." Nada suaranya kembali kedengaran penuh sindiran dan ejekan. "Pekerjaan yang kami laksanakan ini merupakan salah satu pekerjaan yang paling tua dari umat manusia, bahkan boleh dibilang merupakan pekerjaan kaum pria yang tertua di dunia ini." Tentu saja Siau-ko cukup memahami maksud dari perkataannya itu. Kaum wanita pun mempunyai semacam pekerjaan yang jauh lebih tua dari pada pekerjaan apapun, sebab mereka pun memiliki modal dasar yang paling kuno. "Enam belas tahun, enam belas tahun lebih tiga bulan, betapa panjangnya hari-hari itu," Siau Lay-hiat menghela napas panjang, "selama waktu-waktu itu, ada yang dilahirkan, ada yang menjadi tua, ada pula yang sudah mati, tapi tempat ini sedikit pun tiada perubahan apapun......." "Selama enam belas tahun ini, kau belum pernah datang kemari?" "Hingga dua hari berselang, aku baru datang kemari." "Selewatnya enam belas tahun mengapa kau berkunjung lagi secara tiba-tiba kemari?" tanya Siau-ko. "Karena aku telah menyaksikan kembali tanda 'api darah' yang pernah dikenal umat persilatan pada enam belas tahun berselang." "Yaitu asap berwarna merah yang baru saja kita saksikan tadi." "Benar!" Siau Lay-hiat berkata lebih jauh: "Bila api darah muncul, dalam dunia persilatan pasti terdapat seorang manusia penting yang tiba-tiba tewas, oleh sebab itu ada pula yang menyebutnya 'lencana kematian', lencana kematian untuk menggaet nyawa orang."
Setelah menarik napas panjang, ia menjelaskan kembali: "Setiap orang yang datang kemari mencariku, dia tentu akan pergi keluar kota untuk melepaskan asap berwarna merah itu. Pagi ini sudah tiga kali asap tersebut dilepaskan orang. Yang kau saksikan tadi merupakan ketiga kalinya." "Maka dua hari berselang kau sudah datang kemari dan telah menerima order dari kontrak surat perjanjian yang belum kau selesaikan itu....?" "Benar!" "Cho Tang-lay kah yang telah mempergunakan selembar nyawamu untuk ditukar dengan kontrak surat perjanjian tersebut?" "Bukan dia, ia masih belum pantas." Siau Lay-hiat tertawa dingin. "Tapi kau toh sudah tahu bahwa hal ini merupakan keinginan dari Cho tang-lay?" "Aku tahu, tentu saja aku tahu," suara Siau Lay-hiat kedengaran aneh, "semenjak orang itu melenyapkan diri secara tiba-tiba dari keramaian dunia, aku selalu tidak habis mengerti kemanakah dia telah menyembunyikan diri, hingga sekarang aku baru paham." Yang dia maksudkan sebagai 'dia' tak salah lagi adalah orang yang telah mengadakan kontak surat perjanjian dengannya. Tapi siapakah orang itu" Apakah dia mempunyai hubungan yang amat rahasia dengan Cho Tang-lay" Siau-ko tak ingin menanyakan tentang persoalan-persoalan itu, sesungguhnya dia sudah lelah, sedemikian lelahnya sampai seluruh badannya seolah-olah akan terlepas, tapi kini semangatnya justru berkobar kembali secara tiba-tiba. "Aku tahu, pada saat ini aku masih bukan tandinganmu, bila dapat mati di tanganmu, aku pun bisa mati tanpa menyesal, sebab paling tidak hal ini jauh lebih baik daripada mati di tangan orang lain, namun kau pun tidak akan semudah itu untuk membunuhku." Ia menatap peti yang berada dalam genggaman Siau Lay-hiat lekat-lekat, kemudian meneruskan: "Bila kau hendak membunuhku, paling tidak kau harus membuka petimu dulu, sebelum ku loloskan pedang ini, peti tersebut sudah harus kau buka." Kini pedangnya sudah diloloskan di tangan, tidak terbungkus dalam kain hijau lagi, sejak memasuki Tiang-an, ia memang sudah bersiap sedia meloloskan pedangnya setiap saat. Pelan-pelan Siau Lay-hiat membalikkan badannya, lalu menatap pedang di tangan Siau-ko lekat-lekat, mendadak sorot matanya memancarkan suatu perubahan yang sangat aneh. Jari-jemarinya yang memegang peti mendadak berubah menjadi pucat, otot hijau yang berada di punggung tangannya ikut menonjol keluar dengan tegangnya. Bila pedang diloloskan, setan dan dewa pun akan ketakutan. Tetesan air mata siapakah yang membekas di atas pedang itu" Tetesan air mata Siau Taysu. Pedang mestika itu toh sudah seleai ditempa, mengapa dia harus melelehkan air mata"
Karena dia telah meramalkan suatu tragedi, ia sudah melihat dari hawa pedang tersebut bahwa putra tunggalnya akan tewas di ujung pedang tersebut. Apakah putra tunggalnya bernama Siau Lay-hiat" Benar!. ooo)O(ooo Hawa panas menggumpal di ruang mandi. Cho Tang-lay sedang membersihkan badan, seolah-olah dia ingin mencuci bersih semua noda darah yang baru diperbuatnya semalam. Kamar mandinya terletak di sisi kamar tidurnya, bentuk maupun letaknya seperti kamar rahasia, dibangun begitu kokoh, rapat dan amat rahasia. Hal ini disebabkan karena selama dia sedang membersihkan badan, tak seorangpun boleh sampai memasuki ruangan tersebut. Setiap orang yang sedang mandi, baik dia seorang lelaki maupun wanita, tentu berada dalam keadaan telanjang bulat, tidak terkecuali Cho Tang-lay sendiri. Kecuali semasa masih bayi dulu, ketika berada di hadapan ibunya, selama hidup Cho Tang-lay tak pernah memperlihatkan tubuhnya yang bugil di hadapan siapapun. Cho Tang-lay adalah seorang cacad, seorang cacad yang tidak sempurna dalam pertumbuhan badannya. Bentuk kaki kirinya jauh lebih pendek daripada kaki kanannya, ia tak sempurna dalam perkembangan karena semasa masih berada dalam rahim ibunya, ia mengalami tindihan dari seseorang yang lain. Orang itu adalah adiknya. Cho Tang-lay adalah anak kembar. Sebenarnya dia mempunyai seorang adik, yang berada dalam rahim ibunya bersama-sama. Ia dilahirkan lebih dulu, sedang adiknya mati di dalam rahim ibunya, akibatnya ibunya turut mati setelah melahirkan. "Aku adalah seorang pembunuh, seorang yang dilahirkan sebagai pembunuh," dalam igauannya, seringkali Cho Tang-lay berteriak, "sejak dilahirkan aku telah membunuh ibuku dan adikku sendiri." Selama ini dia selalu menganggap cacad tubuhnya sebagai hukuman yang dilimpahkan Thian kepadanya, tapi dia tak pernah mau puas. Dengan segala daya upaya serta kemauan yang kuat, dia berusaha untuk menyingkirkan semua rintangan. Semenjak menanjak dewasa, tak pernah ada orang yang mengetahui kepincangannya, pun tiada orang yang pernah menduga, dulu ia sering mengeluh kesakitan, menderita kesengsaraan yang hebat hanya untuk berlatih berjalan seperti orang biasa.
Sayang sekali masih ada satu hal yang selamanya tak pernah bisa ia lakukan, walaupun ia bersedia mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya. Selama hidup, ia tak pernah bisa tumbuh menjadi seorang lelaki sejati. Salah satu bagian dari tubuhnya selalu mengecil seperti kepunyaan bocah cilik. Otot-otot hijau di punggung tangan Cho Tang-lay sudah pada menonjol keluar, menonjol karena air panas, dia paling suka merendamkan diri dalam air panas. Peralatan kamar mandinya ini khusus dia pesan dari negeri Hu-siang (kini Jepang) yang dibuat berbentuk antik dan mewah. Setiap kali sedang berendam diri dalam air panas, dia selalu akan merasa seolah-olah berada di sisi adiknya lagi, merasakan tekanan dan sengatan dari hawa panas yang nyaman. Ataukah dia sedang menyiksa diri" Atau sedang menghukum diri sendiri" Apakah diapun seringkali menyiksa dan menghukum orang sebagai pemuas nafsu sendiri" Yang dipikirkan Cho Tang-lay saat ini bukanlah persoalan-persoalan tersebut, yang sedang dipikirkan olehnya adalah suatu kejadian yang menarik, dia teringat akan Siau-ko dan Siau Lay- hiat. Yang satu adalah jagoan lihay yang tiada keduanya di kolong langit, bahkan memiliki sejenis senjata yang paling menakutkan di dunia ini. Tapi nasibnya sudah ditentukan, dia ditakdirkan untuk tewas oleh pedang mestika hasil penempaan ayahnya sendiri. Yang lain adalah seseorang yang semestinya, pada hakekatnya tiada kesempatan baginya untuk menghindari dari kenyataan. Tapi pedang mestika itu justru berada di tangannya. Siapakah di antara kedua orang ini yang bakal tewas" Cho Tang-lay merasa pertanyaan ini sangat menarik, betul-betul menarik sekali. Dia tak tahan ingin tertawa. Tapi dia tak sempat tertawa, senyumnya seolah-olah telah membeku di atas kulit wajahnya. Menyusul kemudian kelopak matanya turut menyusut kencang. Hanya orang yang sedang merasa tegang dan ngeri saja kelopak matanya baru akan berkerut kencang. Sekarang dia telah merasakan sesuatu yang gawat. Dia telah merasa ada seseorang dengan mempergunakan suatu cara yang hingga kini belum dipahami olehnya, telah membuka pintu kamar rahasianya dan seperti sukma gentayangan berdiri di belakang tubuhnya.
Kejadian ini sungguh merupakan suatu peristiwa yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Cho Tang-lay tidak percaya kalau dalam dunia ini benar-benar terdapat seseorang yang memiliki daya kemampuan sedemikian hebatnya. Tapi sekarang, mau tak mau dia harus percaya. Dengan cepat dia sudah teringat akan seseorang, hanya orang ini yang mungkin bisa berbuat demikian. "Siau Lay-hiat, aku tahu sudah pasti kau!" ucapnya kemudian. "Betul, memang aku," suara yang parau dan rendah menyahut. Tiba-tiba Cho Tang-lay menghela napas panjang. "Setan dan dewa akan ketakutan, perkataan seperti ini sudah tak bisa dipercaya lagi," dia berkata, "kalau tidak, mustahil kau bisa datang kemari?" "Mengapa?" "Sebab kau seharusnya sudah menjadi mayat sekarang, mampus di ujung pedang tetesan air mata milik Ko Cian-hui," ucap Cho Tang-lay, "bukankah takdir telah menentukan nasibmu?" Kemudian setelah menghela napas panjang, dia berkata lebih jauh: "Sekarang aku baru tahu, perkataan semacam ini sesungguhnya goblok dan menggelikan." "Bagaimana dahulu" Dahulu kaupun percaya?" tanya Siau Lay-hiat. "Belum tentu percaya seratus persen, belum tentu pula tidak mempercayainya." "Maka kaupun berusaha dengan segala daya upaya untuk memaksaku membunuh Ko Cian- hui?" tanya Siau Lay-hiat lagi, "apakah kau ingin mengetahui sesungguhnya di antara kami berdua, siapa yang akan mampus di tangan siapa?" "Benar!" "Perduli siapapun yang akan menjadi korban, mungkin kau tidak akan merasa sedih, bukan?" "Ya, aku memang tak akan bersedih hati, perduli siapa yang mati, semuanya sama-sama menguntungkan bagiku, bila kalian berdua bisa mati bersama, hal ini jauh lebih baik lagi, aku pasti akan membereskan jenasah kalian dengan sebaik-baiknya." Semua perkataan yang diutarakan boleh dibilang sejujurnya, karena Cho Tang-lay memang selalu berbicara jujur. Dalam keadaan demikian, dia memang tidak perlu berbicara bohong.... Apalagi berada di hadapan kebanyakan orang, pada hakekatnya dia tidak ada kepentingan untuk berbohong, apalagi berbohong kepada sementara orang, hal tersebut sama sekali tak ada gunanya. Dalam hal tersebut, agaknya Siau Lay-hiat sudah dapat memahaminya secara jelas. Dia paling suka mengadakan hubungan dengan manusia semacam ini, karena dia bisa menghindari banyak kesulitan yang sesungguhnya tidak perlu ada.
Bisa berselisih dengan manusia sebangsa ini, rasanya jauh lebih menggembirakan dari pada menjadi sahabat mereka. "Akupun selalu berbicara sejujurnya," demikian Siau Lay-hiat berkata, "setiap patah kata yang kuucapkan, lebih baik kaupun mempercayainya." "Aku tentu akan percaya." "Aku tahu, sebelum kau berjumpa denganku, kau pasti ingin sekali melihat manusia macam apakah diriku ini." "Ya, aku memang inginnya setengah mati." "Tapi bila kau berpaling dan memandang sekejap ke arahku, maka selama hidup jangan harap kau bisa melihat hal-hal yang lain." "Aku tak akan berpaling," seru Cho Tang-lay, "untuk sementara waktu ini, aku masih belum ingin mati." "Berbicara sejujurnya memang merupakan suatu kebiasaan yang sangat baik, aku harap kau bisa mempertahankan kebiasaan ini seterusnya.....", nada suara Siau Lay-hiat kedengaran datar dan sangat hambar, "asal kau berbicara sepatah saja kata bohong, maka aku akan menyuruhmu mati di dalam bak mandimu itu." "Sudah kukatakan tadi untuk sementara waktu ini, aku belum ingin mati," suara Cho Tang-lay pun kedengaran amat tenang, "tentu saja akupun tak ingin mati bugil dalam bak mandi seperti ini, kau harus percaya, perbuatan seperti ini tak mungkin bisa kulakukan." "Bagus sekali!" Agaknya Siau Lay-hiat sudah merasa sangat puas dengan keadaan seperti ini, oleh sebab itu diapun segera menanyakan suatu persoalan yang sangat ingin diketahui olehnya. "Dua puluh tahun berselang, aku pernah membuat kontrak surat perjanjian untuk membunuh seseorang dengan seseorang, apakah kau mengetahui tentang kejadian ini?" "Ya, aku tahu!" "Yang paling penting dari surat perjanjian itu adalah di atasnya selalu kosong, selalu kekurangan sederajat nama manusia." "Dalam hal ini pun aku mengetahui jelas." "Sekarang sudah ada orang mengirim kembali surat perjanjian tersebut kepadaku, bahkan diatasnya telah dicantumkan pula nama seseorang. Tahukah kau nama siapakah yang dicantumkan di atas surat perjanjian tersebut?" "Aku tahu!," Cho Tang-lay tertawa lebar, "akulah yang mencantumkan nama tersebut di atas surat perjanjian tersebut, bagaimana mungkin aku tidak tahu?" "Apakah surat perjanjian itu dibuat antara kau dan aku?" "Bukan! Aku masih belum pantas."
"Apakah kau yang menghantar ke sana?" "Benar! Seseoranglah yang menyuruhku menghantar ke sana, mengirim surat perjanjian itu ke dalam kuil Toh-tee-kong itu lebih dulu, kemudian menyulut api darah di luar kota, agar memastikan kau telah menyaksikannya, maka saban hari harus di sulut satu kali dan beruntun di sulut selama tiga hari." "Seseorang yang menyuruh kau mengirim kesana?" tiba-tiba nada suara Siau Lay-hiat berubah menjadi lebih parau, "tahukah kau siapakah orang itu?" "Aku tahu! Orang-orang yang mengetahui tentang dia pada menyangka dia sudah lama mati, masih banyak orang pula yang sama sekali tidak mengetahui namanya, tapi aku tahu, kecuali aku, tiada orang yang mengetahui tentang dia begitu banyak." "Kau tahu kalau dia masih belum mati?" "Benar!" "Kaupun mengetahui dimanakah orang itu berada?" "Ya!" "Bagus sekali," suara Siau Lay-hiat seolah-olah hendak menggetarkan sukma, "sekarang kau boleh bangkit berdiri." "Mengapa harus bangkit berdiri?" "Sebab kau akan membawaku untuk pergi menjumpainya." "Dapatkah aku menolak keinginanmu itu?" "Tidak dapat." Cho Tang-lay segera bangkit berdiri. Menghadapi masalah yang tak mungkin bisa diperdebatkan lagi ini, dia memang tak pernah berusaha untuk memperdebatkannya lagi. "Kau boleh mengenakan mantelmu dan memakai sepatumu, tapi lebih baik kau jangan melakukan pekerjaan yang lain lagi." Cho Tang-lay melangkah keluar dari bak mandinya dan mengenakan mantelnya, semua gerakan dilakukan sangat lamban, setiap gerakan dilakukan amat seksama dan berhati-hati. Sebab dia sudah menangkap di balik suara Siau Lay-hiat penuh mengandung nada dendam, benci dan hawa nafsu membunuh yang meluap-luap...... Siau Lay-hiat tak akan membunuhnya, pun tak akan memotong kakinya, tapi asal gerakan tubuhnya mendatangkan kecurigaan bagi Siau Lay-hiat, bisa jadi salah satu bagian dari tubuhnya akan terlepas dari badannya. Sudah barang tentu dia tak akan memberi kesempatan seperti ini kepada siapapun. Tak bisa disangkal lagi Siau Lay-hiat sedang mengawasi gerak-geriknya sekarang, terhadap setiap gerak-geriknya diamati dan diamati dengan seksama.
"Aku tahu, selama ini kau adalah seorang yang sangat tinggi hati, reaksi dan kecepatan gerakmu cukup mengagumkan, tenaga dalampun sudah terlatih cukup baik. Dalam kolong langit dewasa ini sudah jarang sekali ada orang yang sanggup mengalahkan dirimu. Akupun percaya Suma Cau-kun sudah bukan tandinganmu lagi, karena dia tak bisa menangkan ketenangan serta kesabaranmu. Belum juga kujumpai seseorang yang lain, yang jauh lebih tenang seperti kau." "Ada kalanya akupun berpikir demikian," kembali Cho Tang-lay tertawa, "setiap orang memang tak terlepas pernah merasa bangga akan kelebihan sendiri, terutama sekali di tengah malam yang sepi, rasa bangga tersebut akan terasa menggebu-gebu." "Kau belum pernah bertemu dengan diriku, juga belum pernah menyaksikan aku turun tangan, darimana kau bisa tahu kalau aku jauh lebih tangguh daripada dirimu?" tanya Siau Lay-hiat hambar, "pernahkah kau membayangkan mungkin sekali serangan yang kau lepaskan bisa membinasakan aku?" "Aku tak pernah berpikir ke situ, persoalan seperti ini pada hakekatnya tidak pernah kubayangkan ataupun kupikirkan." "Mengapa?" "Sebab aku melarang diriku sendiri untuk berpikir sampai di situ....." suara tertawa Cho Tang- lay kelihatan sedikit agak menyedihkan hati, "bila seseorang masih ingin hidup terus di dunia ini, buat apa dia mesti memikirkan persoalan-persoalan seperti itu?" Siau Lay-hiat segera tertawa dingin. "Oleh karena itu kau lebih suka menjadi seekor anjing penurut daripada mencoba-coba untuk turun tangan?" "Benar!" sahut Cho Tang-lay, "banyak persoalan di dunia ini memang begitulah bentuknya." ooo)O(ooo Pintu sempit di balik halaman yang kecil masih tertutup rapat-rapat. Cho Tang-lay berjalan menghampiri dan mengetuk pintu tiga ketukan keras disambung dengan sebuah ketukan pelan. Cara mengetuk seperti ini sudah pasti merupakan kode rahasia yang telah dijanjikan dengan si kakek dalam halaman, namun tiada jawaban. Jilid Ke-9 "Dia sedang pergi?" "Tidak! Dia ada di rumah, dia pasti berada di sini." jawab Cho Tang-lay menegaskan. "Apakah kau hendak memberitahukan kepadanya bahwa orang yang tak ingin dijumpainya telah datang, dan sekarang menyuruhnya cepat-cepat pergi?" "Kau seharusnya tahu, dia tak akan pergi selama hidup, dia tak pernah berusaha untuk melarikan diri," ucap Cho Tang-lay lagi, "apa lagi diapun sudah tahu bahwa kau pasti akan datang mencarinya." Namun suasana dalam halaman kecil itu tetap sepi, tidak kedengaran suara jawaban.
Untuk kesekian kalinya Cho Tang-lay mengetuk pintu, kali ini dia mengetuk pintu dengan suara yang jauh lebih keras. Tiba-tiba pintu itu terbuka, namun tiada orang yang munculkan diri untuk membuka pintu. Sedangkan si kakek itupun belum pergi dari sana. ooo)O(ooo Halaman kecil itu amat hening, aneka bunga memancarkan baunya yang harum. Si kakek masih duduk dalam gardu kecil, mukanya menghadap ke arah permukaan salju di depan gardu, seolah-olah dia sedang menikmati tarian dari Tiap-wu. Tapi Tiap-wu tak akan menari lagi. Si kakek pun tak akan menjadi tua lagi. Hanya pikiran dan perasaan yang bisa membuat seseorang menjadi tua. Bila seseorang tak bisa berpikir lagi, dan bila dia tak mempunyai perasaan lagi, maka orang itu tak pernah akan menjadi tua. Sekarang si kakek itu tak bisa berpikir lagi, dia tak dapat mempertimbangkan berbagai rencana maupun menganalisa berbagai masalah dunia. Kakek itupun tak pernah akan berperasaan lagi, tiada perasaan sedih, susah, senang atau menderita yang akan mengganggu pikirannya dan perasaannya. Hanya orang mati baru tak punya pikiran dan perasaan, hanya orang mati yang tak pernah akan menjadi tua. Kenyataannya, si kakek itu memang sudah mati. Biarpun sudah mati, dia masih seperti hidup saja, dengan membawa sikap yang begitu santai dan leluasa, duduk dalam gardu. Namun kenyataannya dia sudah tak bernyawa lagi. Sepasang matanya yang nakal bercampur cerdas tak akan bisa menyaksikan cahaya matahari lagi, tiada kesempatan untuk menikmati lembutnya matahari dan halusnya angin. Sepasang matanya telah berubah menjadi kelabu, persis seperti warna langit senja di musim dingin saat ini. Menyaksikan sepasang matanya itu, Cho Tang-lay tak sanggup untuk maju lebih ke depan lagi, biarpun selangkah saja, dia sudah tak ingin maju lebih ke depan. Sekujur badannya seakan-akan sudah turut membeku, membeku dan kaku bagaikan tubuh si kakek yang telah menjadi mayat. Kemudian dia pun melihat Siau Lay-hiat. Kelihatannya Siau Lay-hiat tidak begitu tinggi, namun dalam kenyataannya dia jauh lebih tinggi daripada kebanyakan orang, lagi pula sangat kurus.
Rambutnya hitam berkilat dan tak nampak sebuahpun yang telah beruban, rambut itu digulung menjadi satu menggunakan tusuk konde yang dikombinasikan dengan ikatan kain berwarna kelabu. Pakaian yang dikenakan juga berwarna kelabu, biarpun tidak sesuai dengan potongan tubuhnya, namun amat indah dan rapi. Di tangannya ia membawa sebuah peti, sebuah peti antik tapi sederhana. Hanya sekian yang berhasil dilihat Cho Tang-lay, karena yang terlihat olehnya tak lebih hanya punggung Siau Lay-hiat. Bagaikan segulung angin yang berhembus lewat melalui sisi tubuhnya, orang yang selama ini menempel terus di belakang tubuhnya seperti bayangan ini tahu-tahu sudah beralih ke hadapannya. Sesungguhnya bagaimanakah tampang muka dari manusia yang paling misterius dan paling menakutkan dalam dunia persilatan ini" Hingga sekarang Cho ang-lay masih belum sempat untuk melihatnya. Biarpun dia adalah seorang manusia yang jarang sekali menunjukkan perubahan perasaan, kadangkala tanpa disadaripun perasaan hatinya mengalir keluar juga. Punggung Siau Lay-hiat mulai bergetar, setiap bagian otot badannya seakan-akan ikut bergetar, kemudian bergemetar dengan keras, seolah-olah punggung itu sedang dicambuk orang sekeras-kerasnya...... Kematian dari kakek tersebut ibarat cambuk yang menghajar punggungnya. Siapapun dapat mengetahui dari nada pembicaraannya tadi, bahwa dia bukanlah sahabat dari kakek tersebut. Tak bisa disangkal lagi, di antara mereka sesungguhnya terjalin suatu dendam kesumat yang tak mungkin bisa dipunahkan dengan begitu saja. Ia memaksa Cho Tang-lay membawanya kemari, bisa jadi dia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mencuci bersih rasa dendam dan bencinya dengan menggunakan darah dari kakek itu. Sekarang si kakek telah mati, mengapa dia malah memperlihatkan perasaan sedih, emosi dan pedih yang luar biasa" Yang lebih hebat dan di luar dugaan lagi adalah Cho Tang-lay. Dia bukan seorang manusia yang berjiwa besar dan berlapang dada, ia tak akan memperkenankan siapapun mengusik martabat serta kehormatannya. Belum pernah ada manusia di dunia ini yang pernah menghina dan mencemoohnya seperti apa yang dilakukan Siau Lay-hiat kepadanya saat ini, hinaan dan cemoohan demikian hanya bisa dibersihkan dengan cucuran darah.
Andaikata dia membunuh Siau Lay-hiat, tiada orang yang akan keberatan, pun tiada orang yang akan merasa menyesal. Sekalipun dia menghirup habis darah yang mengalir keluar dari tubuh Siau Lay-hiat seperti meneguk arakpun, tiada orang yang akan bersedih hati. Siau Lay-hiat bukan seorang manusia yang patut dikasihani, semestinya Cho Tang-lay wajib menghabisi nyawanya. Setiap ada kesempatan yang amat baik, tidak seharusnya dia lepaskan peluang tersebut dengan begitu saja. Dan sekarang, inilah kesempatan yang terbaik bagi Cho Tang-lay untuk turun tangan. Kini punggung Siau Lay-hiat persis seperti sebidang tanah subur yang luas dan tanpa pertahanan yang siap menerima serbuan siapa saja. Ketika itu perasaan Siau Lay-hiat sedang dipengaruhi emosi dan merupakan saat-saat yang mudah baginya untuk menciptakan keteledoran dan kesalahan. Tapi anehnya Cho Tang-lay justru tidak melakukan sesuatu tindakan apapun jua. Padahal kesempatan yang baik ini bagaikan awan di tengah udara, sebentar saja akan melayang lewat dan selamanya tak pernah akan balik kembali. Mendadak napas Cho Tang-lay seakan-akan terhenti, kelopak matanya sekali lagi berkerut kencang. Akhirnya dia telah menyaksikan paras muka orang itu, manusia yang paling misterius dan paling menakutkan di dunia ini. Siau Lay-hiat telah membalikkan tubuhnya berhadapan muka dengan Cho Tang-lay. Dia mempunyai selembar wajah yang amat bersahaja, namun memiliki sepasang mata yang jauh lebih tajam daripada sebilah pedang mestika yang diloloskan dari sarungnya. "Bila ada orang yang hendak membunuhku, barusan adalah kesempatan yang paling baik," ujar Siau Lay-hiat, "kesempatan baik seperti itu tak pernah akan terulang kembali." "Aku dapat melihatnya." "Barusan, mengapa kau tidak berusaha untuk turun tangan?" "Karena aku sama sekali tidak berhasrat untuk membunuhmu," jawab Cho Tang-lay bersungguh-sungguh, "perbuatan seperti ini belum pernah melintas di dalam benakku." "Kau seharusnya dapat berpikir, kau semestinya tahu aku pasti akan membunuhmu." "Kau pasti akan membunuhku?" sorot mata Cho Tang-lay tak pernah beralih dari paras muka orang tersebut, "kau sepertinya tak pernah membunuh orang tanpa menerima bayaran?" "Tapi kali ini merupakan suatu pengecualian." "Mengapa?" "Sebab kau telah membunuhnya!"
Sorot mata Cho Tang-lay akhirnya dialihkan ke wajah si kakek yang berada dalam gardu, setelah itu kembali dia berkata: "Kau mengatakan aku telah membunuhnya" Kau anggap dia telah tewas di tanganku?" "Sebenarnya kau tak mungkin bisa mengusiknya, biar seujung rambutpun, kau tak bakal bisa mengusiknya," kata Siau Lay-hiat, "biarpun ilmu silat yang kau miliki cukup tangguh, namun dalam sekali gerakan tangan saja, dia sudah mampu untuk membinasakan dirimu." "Jangan lagi menggunakan telapak tangan, mungkin cukup dengan sebuah jari tangannya pun sudah mampu untuk menghabisi nyawaku." "Tapi keadaannya sekarang jauh berbeda, sebelum dia menemui ajalnya, ia sudah berupa seorang cacad." "Kau dapat melihat kalau tenaga dalamnya sudah lama dipunahkan orang?" "Ya, aku dapat melihatnya." "Apakah sejak kedatanganmu tadi kau sudah dapat melihatnya?" "Selama ini dia malang melintang di kolong langit, gerak-geriknya tak pernah diketahui orang, seandainya tenaga dalamnya tidak penuh, bagaimana mungkin dia bersedia menyembunyikan diri di situ dan hidup di bawah lindungan seseorang yang selamanya tak pernah dipandang sebelah matapun olehnya?" "Tentu saja dia tak akan memandang sebelah matapun terhadap seorang macam aku, tapi dia justru datang ke tempat kediamanku ini," kata Cho Tang-lay lagi, "sebab dia tahu, manusia seperti aku ini paling tidak masih mempunyai sedikit kebaikan." "Kebaikan apa?" "Aku dapat dipercaya, sangat dapat dipercaya, bukan saja orangnya bisa dipercaya, mulutku juga dapat dipercaya." "Oya?" "Tiada seorang manusiapun dalam dunia saat ini yang tahu kalau tenaga dalamnya telah punah, juga tak pernah ada orang yang tahu dia hidup mengasingkan diri di sini, sebab selama ini aku selalu menutup mulutku rapat-rapat." Dalam hal ini Siau Lay-hiat memang tak bisa membantah, dia harus mengakui akan kebenarannya. "Tidak sedikit umat manusia dalam dunia persilatan yang menginginkan selembar nyawanya, seandainya aku ingin mengkhianatinya, dia sudah lama tewas di tangan orang lain. Sekalipun aku hendak membunuhnya sendiri, buat apa mesti kutunggu hingga sekarang?" Tak bisa disangkal lagi, apa yang dia katakan memang merupakan suatu kenyataan. "Bukan begitu saja, malah diapun pernah menyelamatkan selembar jiwaku, itulah sebabnya di saat yang paling berbahaya, dia datang mencariku. Coba bayangkan saja dapatkah ku celakai jiwa seorang tua penolongku?" "Kau dapat?"
"Ya, sesungguhnya aku sudah lama tahu, sudah semenjak banyak tahun tahu dengan jelas," kembali Cho Tang-lay berkata. "Oya?" "Tatkala dia datang kemari, tenaga dalamnya telah dipunahkan orang, itulah sebabnya dia mengasingkan diri di sini, dalam hal ini kau seharusnya dapat menduganya, bukan?" Siau Lay-hiat tidak menjawab, tapi dia tidak menyangkal. Dua puluh tahun berselang, kakek itu belum tua, pada waktu itu tidak banyak jagoan dalam dunia persilatan yang sanggup menandingi kepandaian silatnya. "Orang lain memang tidak bisa, tapi kau pasti bisa!" suara Siau Lay-hiat kedengaran dingin dan menyeramkan. Kemudian setelah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh: "Biarpun tenaga dalamnya sudah punah, namun otaknya masih tetap dimiliki, otaknya justru merupakan harta karun yang tak pernah habis digali orang, didalamnya terkandung pikiran, kecerdasan dan segala macam rahasia besar yang jauh lebih berharga daripada harta karun yang manapun." Lalu setelah memandang Cho Tang-lay dengan pandangan dingin, dia menambahkan: "Selama ini kau tak pernah membunuhnya, hal ini disebabkan dia masih sangat berguna bagimu." Cho Tang-lay segera termenung dan bungkam dalam seribu bahasa, lama kemudian dia baru menghela napas panjang. "Ya, benar!" akhirnya Cho Tang-lay mengaku, "memang aku yang telah membunuhnya." Tangan Siau Lay-hiat yang memegang peti segera mengepal kencang, seolah-olah setiap saat dia dapat menggerakkan petinya untuk melakukan pembunuhan. "Sesungguhnya hingga saat inipun, dia masih berguna sekali bagiku," Cho Tang-lay menghela napas panjang, "sayang sekali saat ini sudah tiba saatnya untuk menghabisi nyawanya." Ia memandang sekejap ke arah peti yang berada dalam genggaman Siau Lay-hiat, kemudian katanya pula: "Sekarang apakah kaupun sudah bersiap sedia untuk turun tangan menghabisi nyawaku?" "Ya, benar!" "Sebelum kau turun tangan, dapatkah memberitahukan suatu hal lebih dahulu kepadaku?" "Soal apa?" "Benarkah kau hendak membunuhku untuk membalaskan dendam bagi kematiannya?" Sebelum Siau Lay-hiat menjawab pertanyaan itu, Cho Tang-lay telah menyangkalkan masalah tersebut lebih dulu. Kata Cho Tang-lay: "Sudah pasti bukan, dia berkata, kau tak akan membalaskan dendam bagi kematiannya, sebab dapat kulihat bahwa kau amat membencinya, jauh lebih benci daripada rasa bencimu terhadap siapapun, seandainya dia masih hidup, kaupun akan menghabisi nyawanya."
"Benar!" ternyata Siau Lay-hiat segera mengaku, "andaikata dia belum mati, akupun akan menghabisi nyawanya." Suaranya menjadi amat parau karena penderitaan. "Namun sebelum aku turun tangan, pasti akan kutanyakan pula suatu hal kepadanya, suatu hal yang cuma dia saja yang bisa memberitahukan kepadaku, suatu hal yang cuma dia yang bisa memecahkan rahasia tersebut. "Rahasia apa?" "Kau tak akan mengetahui apa yang hendak kutanyakan." "Seandainya aku tahu, lantas bagaimana" Apakah kaupun bersedia melepaskan aku?" Cho Tang-lay balas bertanya. Siau Lay-hiat memandang ke arahnya dengan pandangan dingin dan ia tak berbicara apa-apa lagi, hanya helaan napas panjang bergema memecahkan keheningan. "Sayang sekali, aku tidak mau, benar-benar tidak mau." "Kalau begitu, sungguh pantas disayangkan." Persoalan apa yang sebenarnya ingin ditanyakan oleh Siau Lay-hiat" Entah persoalan apapun itu, yang jelas saat ini sudah tidak penting lagi. Sekarang si kakek sudah mati, dalam dunia saat ini sudah tiada orang lagi yang dapat menjawab rahasia tersebut. Cho Tang-lay sudah pasti akan mati, siapapun seharusnya dapat melihat bahwa dia pasti akan mati. Siau Lay-hiat sudah mulai membuka peti senjatanya. Senjata apakah yang paling menakutkan di dunia ini" Sebuah peti. Peti itu menakutkan, tapi orang yang membawa peti tersebut lebih menakutkan lagi. Kelopak mata Cho Tang-lay mulai berkerut kencang. Sepasang matanya sedang mengawasi orang itu, sementara peluh dingin bercucuran membasahi wajahnya, seluruh tubuhnya sudah mulai gemetar keras. "Bluuuuk......!" akhirnya peti itu terbuka, terbuka sebuah celah yang kecil. Sekecil lirikan mata seorang gadis yang cantik. ooo)O(ooo Bab-13. Siapa Yang Jadi Domba"
Suma Cau-kun melarikan kudanya kencang-kencang menelusuri jalan raya yang menghubungkan Lok-yang dengan Tiang-an. Kudanya dilarikan kencang-kencang dan binatang tersebut dapat berlari dengan penuh tenaga, sebab sepanjang jalan dia sudah empat kali berganti kuda. Semua kuda yang dipergunakan rata-rata adalah kuda jempolan, kuda yang berlari kencang, sebab dia mengerti tentang kuda, diapun bersedia membeli dengan harga yang tinggi. Sekarang dia harus buru-buru kembali ke Tiang-an. Empat kali berganti kuda, setiap kali kuda yang diganti pasti roboh dan berbuih dari mulutnya. Keadaan Suma Cau-kun sendiripun tak jauh berbeda, ia sudah lelah dan kehabisan tenaga, setiap saat tubuhnya dapat roboh ke tanah. Sebab dia harus secepatnya sampai kembali di Tiang-an. Dalam hati kecilnya telah muncul suatu firasat jelek, dia seperti merasakan seseorang yang amat dekat hubungannya dengannya akan dibunuh seperti domba atau kerbau. Kota Tiang-an semakin dekat. Perasaan Suma Cau-kun bertambah gundah dan kalut, firasat jelek yang menghampirinya makin lama semakin bertambah kuat. Dia seolah-olah telah melihat ada seseorang yang amat dekat dengannya telah tergeletak di tengah genangan darah dan sedang berteriak sambil di tengah genangan darah dan sedang berteriak sambil meronta-ronta. Tapi dia tak dapat melihat siapa gerangan orang itu. Kali ini yang pasti mati di Tiang-an adalah Ko Cian-hui dan Cu Bong, sudah dapat diperhitungkan mereka tak akan bisa lolos dalam keadaan hidup. Tapi ia tidak menaruh perhatian terhadap mati hidupnya kedua orang ini, mereka bukan sanaknya juga bukan keluarganya. Bagaimana dengan Go Wan" Mungkinkah Go Wan" Hal ini mustahil rasanya. Go Wan adalah seorang wanita, belum pernah mencelakai orang lain, lagi pula selama ini hidupnya terpencil, bagaimana mungkin dia bisa menemui bencana yang begini menakutkan" Atau jangan-jangan Cho Tang-lay" Hal inipun jelas tak mungkin terjadi, dengan kecerdasan dan ilmu silat yang dimiliki Cho Tang- lay, entah dalam keadaan yang bagaimanapun gawatnya, sudah pasti ia dapat melindungi diri sendiri. Sekalipun dalam peristiwa kali ini pihak Toa Piaukiok menderita kekalahan total, sudah pasti dia dapat meloloskan diri dan mundur dengan selamat.
Kecuali beberapa orang ini, hampir boleh dikatakan tiada sanak keluarga yang dimilikinya lagi di dunia ini, lantas firasat yang jelek ini seharusnya terjatuh pada siapa" Suma Cau-kun tidak habis mengerti. Tentu saja diapun tak pernah akan menyangka kalau pada saat yang bersamaan Cho Tang- lay sedang berada dalam keadaan yang kritis, dia sedang menjadi domba yang akan dijagal orang. Cho Tang-lay memang seharusnya mati. Cho Tang-lay pun tahu belum pernah Siau Lay-hiat gagal di dalam usahanya. Tapi Cho Tang-lay tidak mati. ooo)O(ooo 'Bluuuuk.....!' Bersamaan dengan terbukanya peti itu, jari-jemari Siau Lay-hiat yang lincah dan bertenaga sudah mulai melakukan sesuatu gerakan. Asalkan dia mulai melakukan gerakan, maka dalam waktu singkat beberapa macam lempengan baja yang berada dalam petinya akan berubah menjadi semacam alat senjata yang mematikan, sebuah senjata yang sanggup menaklukkan Cho Tang-lay. Tapi pada detik-detik yang terakhir itulah, mendadak jari tangannya menjadi kaku. Sekujur badannya seolah-olah ikut menjadi kaku. Lewat lama, lama kemudian, ia baru mendongakkan kepalanya memandang wajah Cho Tang- lay, walaupun paras mukanya tidak menunjukkan sesuatu emosi, namun sorot matanya memancarkan perasaan gusar dan sedih bagaikan binatang buas yang hampir mati di tangan pemburu. Cho Tang-lay pun sedang balas menatapnya. Mereka berdua saling berdiri berhadapan muka, tiada yang berbicara, pun tiada yang bergerak. Entah berapa saat lagi lewat, tiba-tiba dari jalan sempit di luar kebun sana bergema suara langkah kaki manusia, ternyata Cho Kim muncul pula di situ. Di belakangnya mengikuti empat orang membawa peralatan arak, seorang membawa kopiah dan pakaian, sedang dua orang menggotong kursi kayu cendana yang dilapisi kulit binatang. Cho Tang-lay segera mengenakan celana, memakai sepatu dan topi kulit, kemudian duduk di kursi berlapis kulit binatang dan meneguk secawan arak anggur. Setelah itu dia baru berkata sambil menghela napas panjang: "Begini baru rasanya nyaman dan segar." Siau Lay-hiat tidak mendengar, juga tidak melihat, segala sesuatu yang berada di sekitar sana seakan-akan tidak terlihat dan terdengar lagi olehnya.
Bila ada orang yang melihat keadaannya, sudah pasti mereka akan beranggapan apa yang dilihat tak lebih hanya suatu khayalan belaka. Kejadian seperti ini pada hakekatnya tak mungkin akan terjadi. Berhadapan muka dengan musuh yang paling menakutkan, soal mati dan hidup hanya selisih senapasan belaka, namun dia masih bisa bersikap santai, masih dapat menyuruh orang membawakan kursi, mengambilkan arak dan berganti pakaian. Bila seseorang yang masih waras otaknya, tak mungkin dia akan melakukan pekerjaan seperti ini. Tapi Cho Tang-lay telah melakukannya. ooo)O(ooo Peti sudah dibuka, Siau Lay-hiat juga tidak melakukan sesuatu tindakan lagi. Manusia yang misterius, tapi menakutkan itu seolah-olah datang dari neraka, dan sekarang seakan-akan sukmanya sudah dipanggil kembali ke neraka, sehingga dia telah berubah menjadi mayat kaku yang telah membatu. Cho Tang-lay menuang kembali secawan arak dan dihirup setegukan, kemudian ia baru berpaling dan bertanya kepada Cho Kim. "Tahukah kau apa yang sesungguhnya telah terjadi?" "Tidak!" "Tahukah kau manusia macam apakah Siau sianseng ini?" Sebelum Cho Kim menjawab, Cho Tang-lay telah menerangkan lebih jauh. "Dia adalah seorang manusia yang luar biasa selama dua tiga puluh tahun terakhir ini, paling tidak ada empat lima puluh orang jago yang paling hebat di dunia ini telah tewas di tangannya." Cho Kim tidak berbicara, dia hanya mendengarkan dengan seksama. "Konon, peti yang berada di dalam cekalannya sekarang adalah senjata yang paling menakutkan di kolong langit," Cho Tang-lay berkata lebih jauh, "aku selama ini tak pernah merendahkan kemampuan sendiri, tapi akupun percaya bila dia turun tangan, aku akan berubah menjadi sesosok mayat." Dia memandang peti yang berada di tangan Siau Lay-hiat sekejap, kemudian melanjutkan. "Sekarang dia telah membuka peti itu, karena dia sebetulnya mau membunuhku, tapi hingga sekarang belum juga turun tangan, ternyata ia telah berubah menjadi orang bodoh yang berdiri melulu di sana sambil melihat aku minum arak, seolah-olah dia sudah lupa mau membunuhku." Siau Lay-hiat tidak mendengar, biar apapun yang dikatakan Cho Tang-lay, dia seolah-olah tidak mendengar.
Tiba-tiba Cho Tang-lay tertawa, kembali ia berkata: "Tentu saja dia bukannya tak berani membunuhku, manusia seperti aku, mungkin dalam pandangan Siau sianseng tak lebih hanya seekor anjing budukan." Ia berpaling ke arah Cho Kim dan bertanya lagi: "Tahukah kau, mengapa dia tidak membunuhku?" "Tidak!" "Dia tidak membunuhku karena dia sudah tak mampu membunuhku lagi, satu-satunya yang bisa dilakukan olehnya sekarang, adalah berdiri di sana, menunggu aku yang pergi membunuhnya, membunuhnya seperti anjing, mungkin malahan lebih mudah daripada membunuh anjing." Sebenarnya kejadian seperti ini pun mustahil bisa terjadi....... Tiada orang yang berani menghina dan mencemooh Siau Lay-hiat dihadapannya, seperti juga dahulu tiada orang yang berani menghina dan mencemooh dirinya. "Cho Kim, aku ingin bertanya kepadamu, tahukah kau apa sebabnya Siau-sianseng yang tiada keduanya di kolong langit mendadak bisa berubah menjadi seekor anjing?" "Tidak!" "Kau seharusnya dapat mengetahui akan hal ini, paling tidak pasti dapat mengetahui sedikit diantaranya," kata Cho Tang-lay dengan suara dingin, "bila persoalan semacam inipun tak bisa kau ketahui, mungkin untuk hidup sampai berumur dua puluh tahun pun sudah bukan hal yang mudah." "Benar, paling tidak aku seharusnya dapat melihat sedikit tentang hal ini." "Apa yang telah kau lihat?" "Mungkin Siau-sianseng telah dikuasai seseorang dengan mempergunakan semacam cara yang istimewa, mungkin seluruh tenaga dalam yang dimilikinya sudah tak bisa dikerahkan lagi." "Betul!" "Sesungguhnya Siau-sianseng adalah naga di antara manusia, bukan anjing, cuma Siau- sianseng pun tahu, bila si naga mati, biarpun seekor naga saktipun tak akan melebihi seekor anjing." Semua perkataan diutarakan dengan suara yang tenang, karena dia sedang membicarakan suatu kenyataan. "Tapi anjingpun bisa mati!" "Tentu saja dapat mati, cepat atau lambat, dia bakal mati, tapi paling tidak dia masih hidup hingga sekarang, entah naga atau manusia atau anjing, bisa hidup beberapa saat lagi toh jauh lebih baik daripada mati seketika. Bila dia masih hidup berarti dia masih punya harapan, asal masih terdapat setitik harapan, maka kesempatan tersebut tak akan dilepaskan dengan begitu saja."
"Sayang sekali aku sudah tidak melihat dia mempunyai sesuatu harapan lagi, "kata Cho Tang- lay lebih jauh, "entah siapa saja yang terkena racun dupa Kun-cu-hiang, mungkin dia tak akan mempunyai harapan apa-apa lagi." "Dupa Kun-cu-hiang?" "Persahabatan seorang Kun-cu selalu dilakukan dengan lembut dan halus, sama sekali tiada cacat dan tanda-tanda yang kurang sedap, begitu pula dengan Kun-cu-hiang." "Sama?" "Lembut dan bening seperti air, tidak berbau, tidak berwarna, seindah dan selembut pualam," suara Cho Tang-lay kedengaran sama lembutnya, "hanya ada satu perbedaan, Kun-cu-hiang si lelaki sejati ini sesungguhnya hanya manusia munafik, dia amat beracun." Setelah tersenyum, terusnya: "Bila persahabatan Kun-cu lembut seperti angin mamiri, maka racun dari si manusia munafik pun selembut angin mamiri, tanpa disadari orang akan mabuk, satu kali mabuk, maka sukma serasa melayang meninggalkan raganya." "Bagaimana mungkin Siau-sianseng bisa terkena racun itu?" "Karena di dalam pandangan Siau-sianseng, aku tak lebih hanya seekor anjing, lebih penurut daripada seekor anjing, di hadapan Siau-sianseng ada sementara persoalan yang untuk dipikirkan saja tak berani kupikirkan, karena bila hal tersebut melintas di dalam benakku, tak urung paras mukaku pasti akan berubah dan sudah dapat dipastikan Siau-sianseng akan dapat melihatnya." Cho Tang-lay memenuhi cawan araknya lagi. "Sudah barang tentu Siau-sianseng juga tak pernah menyangka kalau aku telah menyebarkan Kun-cu-hiang di dalam saku sesosok mayat, bila Siau-sianseng menghampiri mayat itu dan menggerakkan pakaiannya, Kun-cu-hiang segera akan menghembus ke atas wajahnya." Selesai menghela napas dia meneruskan: "Tentunya Siau-sianseng tak akan menyangka bukan, seekor anjing bisa melakukan perbuatan seperti ini." "Benar!" Cho Kim mengangguk, "lain kali dan selamanya aku tak akan menganggap seseorang sebagai seekor anjing." ooo)O(ooo Si kakek telah mati, rahasia yang paling ingin diketahui Siau Lay-hiat juga turut mati bersama kematiannya. Ketika dia melihat kematian si kakek itu, tentu dia akan memeriksa apakah orang itu benar- benar telah mati" Dan apakah sebabnya dia mati" Untuk memeriksa sebab dari kematian seseorang, tak bisa disangkal lagi, dia tentu akan menggerakkan pakaiannya. Co Tang-lay pasti sudah mengetahui dan memperhitungkan dengan tepat, asal Siau Lay-hiat masih hidup, dia tentu akan datang, maka dia telah mempersiapkan Kun-cu-hiang jauh sebelumnya. Sesungguhnya persoalan semacam ini merupakan suatu persoalan yang amat sederhana, sederhana sekali.
Sedemikian sederhananya, sehingga menakutkan. Sekali lagi Cho Tang-lay berkata sambil menghela napas: "Semasa masih hidupnya dulu, si kakek ini bukan seorang lelaki sejati, siapa pula yang bisa menduga, setelah matinya, dia masih memiliki harumnya dupa Kun-cu-hiang?" Kemudian setelah menggelengkan kepalanya berulang kali, dia menambahkan: "Ada kalanya seorang Kun-cu pun menakutkan sekali!" Apa yang dia ucapkan bukan kata-kata nasehat, lebih-lebih bukan falsafah hidup yang berguna bagi manusia. Apa yang dia katakan sekarang tak lebih hanya kata-kata yang sejujurnya. ooo)O(ooo Senja itu Suma Cau-kun telah sampai di kota Tiang-an. Kota ini merupakan tempat yang paling lama ia berdiam, sebagian besar jalanan di kota itu sangat dikenal olehnya, tapi sekarang kota itu kelihatan seperti telah berubah. Tiang-an yang kuno tak akan berubah, yang berubah sebenarnya adalah dia sendiri. Tapi dia sendiripun tak dapat mengatakan dimanakah letak perubahan tersebut, diapun tak tahu sejak kapan telah berubah. Di saat dia melangkahkan kakinya menyelusuri jalan raya di kota Lok-yang yang penuh dengan noda darah" Ataukah semenjak ia mendengar kisah pertarungan berdarah si Sepatu Paku dari si Kulit Kerbau" Bila seseorang baru bisa merangkak naik setelah melangkahi jenasah orang lain, sekalipun bisa merangkak sampai ke puncak pun, bukan suatu pekerjaan yang menggembirakan. Kini orang maupun kudanya sama-sama sudah lelah. Ketika kudanya dijalankan menyelusuri jalan yang terpencil di tepi kota, mendadak ia menangkap bayangan punggung seseorang yang sangat dikenalnya. Orang itu sudah berbalik memasuki bawah kota, lalu lenyap di balik kegelapan, selama ini orang itu berjalan tanpa berpaling. Tapi Suma Cau-kun yakin seyakinnya, bahwa orang itu adalah Ko Cian-hui. Sebelum dia mabuk oleh pengaruh arak, daya ingatan maupun ketajaman matanya jauh melebihi siapapun. Mengapa Ko Cian-hui belum mati" Mengapa Cho Tang-lay melepaskan dirinya" Apakah pihak Toa Piau-kiok dan Hiong-say-tong sudah terjadi bentrokan secara langsung" Suma Cau-kun ingin sekali menyusul ke depan dan bertanya kepada Ko Cian-hui, tapi dia lebih terburu-buru ingin pulang, melihat apakah firasat jeleknya memang benar.
Saat ini langit sudah menjadi gelap, tapi perasaannya sangat gundah dan gelisah. Berada dalam keadaan begini, siapa saja bisa jadi akan membuat kesalahan. Yang dia lihat mungkin saja bukan Ko Cian-hui. Kalau toh Siau Lay-hiat tidak tewas oleh pedang tetesan air mata, ini berarti Ko Cian-hui pasti sudah mati. Asalkan sudah menerima surat perjanjian untuk membunuh orang, belum pernah Siau Lay-hiat melepaskan korbannya dengan alasan apapun. Tentu saja diapun tak akan membuat pengecualian bagi Siau-ko. Siau-ko tak lebih hanya seorang gelandangan yang sama sekali tiada hubungan apa-apa dengan dirinya. ooo)O(ooo Siau-ko sendiripun tak mengerti apa sebabnya Siau Lay-hiat tidak membunuhnya, bahkan dia sudah membantu Siau Lay-hiat mencarikan berbagai alasan bagi dia sendiri itu. Dia benar-benar tak dapat menemukan sesuatu alasanpun yang bisa menjelaskan apa sebabnya Siau Lay-hiat melepaskan dia pergi. Hingga kini ternyata dia masih bisa hidup, kejadian tersebut benar-benar suatu keajaiban. Suma Cau-kun pun tidak salah melihat, orang yang baru saja dijumpainya adalah Ko Cian-hui. Siau-ko sendiri juga melihat kalau Suma Cau-kun sedang melarikan kudanya kencang- kencang. Tapi dia memang sengaja menghindar, karena selain Cu Bong, untuk sementara ini dia tak ingin bertemu dengan siapa saja. Dia datang mencari Cu Bong, mencari di seluruh sudut-sudut yang gelap di dalam kota Tiang- an. Sekarang adalah saat yang paling gawat bagi Cu Bong, saat dia paling membutuhkan teman, entah Cu Bong masih menganggapnya sebagai teman tau tidak, bagaimanapun juga dia tak dapat meninggalkan Cu Bong dengan begitu saja. Seandainya Cu Bong masih menemani Tiap-wu, bagaimana sikapnya setelah bersua dengannya nanti" Siau-ko telah membayangkan pula situasi yang amat pelik itu, namun dia telah mengambil keputusan untuk menghadapi keadaan tersebut dengan berani. ooo)O(ooo Langit semakin gelap. Bayangan kota Tiang-an yang gelap mulai menyelimuti Siau-ko, perasaannya semakin gundah dan berat. Cu Bong adalah seorang lelaki sejati, berjiwa besar dan lebih mengutamakan kesetiaan kawan.
Cu Bong sudah seharusnya memahami kesulitannya, seharusnya dapat memaafkannya. Tapi bagaimana dengan Tiap-wu. Sambil mengepalkan tinjunya, Siau-ko maju ke muka dengan langkah lebar. Mendadak cahaya golok berkelebat lewat, sebilah golok yang amat besar dan bersinar tajam telah membacok tiba dari kegelapan. Ketika golok itu diayunkan ke bawah, tak disangkal lagi, dia memang berniat untuk membacok batok kepala tersebut, sehingga terbelah menjadi dua bagian. Tapi entah siapa saja yang bermaksud hendak membacok Siau-ko hingga terbelah menjadi dua, jelas hal tersebut bukan suatu pekerjaan yang mudah. Apa lagi dalam genggamannya masih membawa pedang. Bacokan golok itu tidak terlalu cepat, ilmu golok yang dipergunakan juga bukan ilmu golok yang mengejutkan. Sebetulnya secara mudah ia dapat meloloskan pedang untuk melancarkan serangan balasan dan menghabisi nyawa orang yang bersembunyi di balik kegelapan. Namun dia tidak meloloskan pedangnya. Sebab pada saat yang terakhir dia telah menyaksikan ikatan kain putih di atas kepalanya dan melihat pula paras mukanya. Orang ini bernama Ban Gou, termasuk seorang Ho-han dalam perkumpulan Hiong-say-tong, termasuk juga salah satu dari ke delapan puluh enam ksatria berani mati yang datang ke Tiang-an kali ini. Sesungguhnya orang-orang itu tidak kenal dengannya, tapi sekarang semuanya adalah saudaranya, saudara yang sehidup semati dengan dirinya. Itu berarti bacokan tersebut sudah pasti telah salah membacok. "Aku adalah Siau-ko, Ko Cian-hui." Begitu tubuhnya mengegos ke samping, bacokan tersebut segera mengenai sasaran yang kosong, mata golok yang membentur tanah dengan cepat memercikkan bunga api. Dari balik kegelapan, tampak ada sepasang mata yang merah memburu sedang melotot, melotot ke arahnya. "Kau adalah Siau-ko, aku memang tahu kau, aku memang tahu kau adalah Siau-ko," tiba-tiba Ban Gou berteriak keras, "nenek busukmu!" Di tengah teriakan yang keras goloknya melepaskan bacokan lagi. Selain golok Ban Gou, masih terdapat beberapa bacokan lain.
Beberapa bilah golok itu semuanya bukan golok mestika, si pemegang golok itupun bukan jagoan yang hebat, namun setiap bacokannya justru mengandung rasa benci dan dendam yang membara, setiap orang seolah-olah berusaha untuk beradu jiwa. Siau-ko bukan seorang manusia yang takut mati. Tapi Siau-ko pun tak dapat mempergunakan pedangnya yang bisa menggorok leher orang- orang itu dalam sekejap mata, untuk menghadapi saudara-saudaranya, tapi diapun tak ingin mati dalam bacokan golok orang lain. Walaupun pedang mestika belum diloloskan, namun dalam ayunan sarung pedangnya itu, golok pada berjatuhan ke tanah, sementara tangan yang memegang golok pun tak mampu di angkat kembali. Biarpun goloknya sudah dipukul, tangan menjadi kesakitan, namun orang-orang itu tidak malah mundur, sorot mata mereka tetap memancarkan kemarahan, perasaan benci dan dendam yang luar biasa. "Bagus sekali orang she Ko, anggap saja kau memang mempunyai kepandaian," teriak Ban Gou keras-keras, "bila kau punya nyali, ayo habisi kami semua, bila masih ada yang tersisa, kau adalah anak jadah yang dipelihara anjing." "Aku tidak mengerti, apa artinya kesemuanya ini?" Siau-ko dibuat gusar pula, sedemikian gusarnya, sampai gemetar keras seluruh badannya, "aku betul-betul tidak mengerti." "Kau tidak mengerti" Kakek moyangmu! Kalau kau tidak mengerti, siapa pula yang akan mengerti?" teriak Ban Gou keras-keras, "kami semua menganggap dirimu sebagai manusia, siapa tahu kau justru seekor binatang, lo-cu sekalian mati-matian beradu jiwa, sebaliknya kau si binatang kabur kemana" Apakah hendak mencuri bini orang lain lagi......?" "Oooh, sekarang aku baru memahami maksud kalian, tapi kalian tak bakal mengerti," ujarnya sedih, "ada sementara persoalan yang tak mungkin bisa kalian pahami untuk selamanya." "Lantas apa yang kau inginkan?" "Aku hanya berharap kalian membawaku untuk berjumpa dengan Cu Bong." "Kau betul-betul bajingan yang tak tahu malu! Baru kau kembali meloncat-loncat kegusaran, kau masih mempunyai muka untuk bertemu dengannya?" "Aku harus pergi menjumpainya!" kata Siau-ko sambil menahan diri, "kalian harus membawaku ke sana." "Baik, lo-cu akan membawamu ke situ!" Tiba-tiba seorang lelaki kekar melompat ke depan dan menumbukkan kepalanya di atas dinding kota. Seketika itu juga batok kepalanya yang besar hancur berantakan, darah dan isi benak pun berhamburan di mana-mana. Memandang darah segar yang bercucuran, hati Siau-ko menjadi dingin, sebaliknya Ban Gou berteriak keras: "Kau masih ingin bertemu dengannya" Apakah ingin membuatnya mati karena gusar" Baik, aku akan membawamu ke situ." Dia pun menumbukkan batok kepalanya ke atas dinding kota.
Tapi Siau-ko sudah mempunyai pengalaman sekarang, dia segera menarik tangannya dan membantingnya ke tanah, kemudian tanpa berpaling dia membalikkan badan dan berlalu dari situ. Dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata. Dia tidak mengucurkan air mata. Air matanya kini sudah melebur ke dalam darahnya. ooo)O(ooo Bab-14. Perselisihan Cahaya lentera memancar dari lampu kristal, menyoroti sebuah peti yang amat sederhana. Di bawah lampu pun tampak manusia, namun bukan manusia sederhana pemilik peti itu. Orang tersebut adalah Cho Tang-lay. Langit belum terang tanah, maka ia memasang lampu sebagai penerangan. Cahaya lentera persis menyinari pipi sebelah kirinya yang kelihatan masih rapi. Separuh wajahnya hari ini tampak seperti wajah seorang ayah yang penuh keramahan dan kasih sayang. Apabila seseorang sedang merasa puas dan gembira, biasanya dia akan bersikap lebih ramah dan lembut kepada orang lain. Sekarang Cu Bong sudah berada dalam genggamannya, Hiong-say-tong sudah tumpas dan porak peranda, Ko Cian-hui juga sudah mati, paling tidak dia menganggap Ko Cian-hui sudah mati. Hampir setiap persoalan berada di dalam pengendaliannya. Musuh tangguh sudah dilenyapkan, kekuasaan berada di tangannya, tiada jagoan dari dunia persilatan yang bisa bersaing dengannya lagi. Bayangkan saja siapakah yang tak akan merasa puas dengan keadaan seperti ini" Seluruh usaha dan perjuangannya tak disangkal lagi telah mencapai pada puncak kesuksesan. Itulah sebabnya dia tidak membunuh Siau Lay-hiat. Keadaan Siau Lay-hiat sekarang hampir tak berbeda jauh dengan si kakek dalam gardu tersebut, segenap tenaga dalamnya telah punah, dia pun dikurung dalam halaman kecil tersebut, menunggu Cho Tang-lay datang untuk mengeruk seluruh kecerdasan dan segenap rahasia yang dimilikinya. Untuk melaksanakan pekerjaan seperti ini, Cho Tang-lay dapat melakukannya secara pelan- pelan, sedikitpun ia tidak gelisah ataupun cemas. Seorang pembunuh yang sama sekali kehilangan tenaga dalamnya, tak ubahnya seperti seorang pelacur tua yang tak sudi dijamah orang lagi, tiada jalan lain yang dapat ia tempuh, tiada tempat yang dapat ia singgahi.
Pekerjaan yang mereka lakukan sama-sama merupakan pekerjaan yang paling kuno dari umat manusia, tapi penderitaan yang mereka rasakan pun merupakan penderitaan yang paling tua dari manusia. Kini peti senjata Siau Lay-hiat sudah terjatuh ke tangan Cho Tang-lay. Diapun tahu kalau peti tersebut merupakan senjata yang paling rahasia dan paling menakutkan di dunia ini. Semenjak kematian Nyo Kian, si pengkhianat dari Hiong-say-tong, dia sudah mengetahui tentang betapa menakutkannya senjata tersebut. Ia percaya dalam dunia persilatan saat ini pasti terdapat banyak orang yang bersedia menjual nyawa mereka guna ditukar dengan senjata tersebut. Untung saja dia bukan orang-orang tersebut, dia sama sekali berbeda dengan orang-orang lain. Sekarang peti itu terpapar dihadapannya, tapi dia merasa malas untuk mengusiknya. Sebab dia merasa masih mempunyai senjata lain yang lebih menakutkan lagi, kecerdasan otaknya merupakan senjatanya yang paling ampuh. Bila ia sedang mempergunakan kecerdasannya, maka hal ini akan jauh lebih menakutkan daripada siapapun di dunia ini yang mempergunakan senjata tajam. Biarpun Siau Lay-hiat merupakan jagoan yang tiada duanya di dunia ini, namun selama berada dihadapannya, ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk turun tangan. Biarpun Cu Bong gagah dan perkasa, biarpun pengaruh dan kekuasaan Hiong-say-tong amat besar, namun dia toh sanggup menghancurkan mereka secara mudah. Ia dapat melakukan kesemuanya ini karena bukan saja dia dapat memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, bahkan diapun pandai menciptakan kesempatan. Di saat orang lain menganggap dia sudah kalah, di saat keadaannya makin kritis, bukan saja hatinya tidak menjadi gugup atau kalut, malahan ia dapat menciptakan kesempatan yang baik untuk merobohkan lawan, dari kalah meraih kemenangan. Hanya manusia semacam inilah yang baru benar-benar merupakan seorang manusia yang tangguh. Golok atau pedang atau senjata apapun, termasuk peti tersebut sesungguhnya tak lebih hanya senjata yang diandalkan pesilat kasaran belaka. Tapi rasanya kemenangan hanya bisa dicicipi dengan pelan dan lambat, dengan begitu baru akan terasa nikmatnya, ooo)O(ooo Cho Kim sudah lama menanti dihadapannya, maka secara diam-diam ia berniat mengundurkan diri. Tiba-tiba Cho Tang-lay menegurnya dengan mempergunakan suara yang lembut dan halus. "Kau sudah semalaman sengsara, mengapa tidak duduk dan minum secawan arak?"
"Aku tak bisa minum arak." "Kau boleh belajar minum," Cho Tang-lay tersenyum, "minum arak sesungguhnya bukan suatu pekerjaan yang sukar." "Tapi sekarang masih belum saatnya bagiku untuk belajar minum arak." "Sampai kapan kau baru akan mulai belajar?" senyum Cho Tang-lay mulai bersembunyi di balik bayangan gelap, "apakah hendak menunggu sampai kau bisa......." Ia tidak menyelesaikan perkataan tersebut, mendadak ia mengalihkan pembicaraan ke soal lain. Tanyanya kepada Cho Kim. "Siau-sianseng sudah kau atur secara baik-baik?" "Sudah!" "Sewaktu kau pergi tadi, bagaimanakah keadaannya" Apakah dia mengatakan sesuatu?" "Tidak! Dia masih seperti tadi, seolah-olah sama sekali acuh tak acuh terhadap persoalan yang ada." "Bagus sekali!" Cho Tang-lay kembali tersenyum, "hanya manusia yang bisa menerima takdir dan berusaha menenteramkan diri baru merupakan orang yang cerdik, hanya manusia semacam ini yang bisa hidup panjang umur." "Benar!" Kembali Cho Tang-lay berkata sambil tersenyum: "Ada kalanya aku merasa banyak hal yang dia miliki mirip dengan diriku, apa yang tak bisa dilakukan oleh sendiri, bukan saja dia tak akan melakukannya bahkan dipikirkan pun tidak." Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya dengan hambar: "Bila seseorang selalu senang melakukan pekerjaan yang tak bisa dilakukan oleh dirinya sendiri, tak urung dia akan mati juga akhirnya karena tergencet, Ko Cian-hui merupakan contoh yang terbaik." "Ko Cian-hui bukan contoh yang terbaik!" tiba-tiba Cho Kim berseru. "Dia bukan" Mengapa bukan?" "Sebab dia belum mati." "Kaupun tahu kalau dia belum mati?" "Ya, aku tahu. The Seng menyaksikan dengan mata kepala sendiri dia keluar dari kota kemarin sore sambil menenteng pedang." "The Seng?" Cho Tang-lay seperti berusaha mencari nama itu dari balik ingatannya, "dari mana kau bisa tahu kalau dia benar-benar telah melihat Ko Cian-hui?" "Begitu ia saksikan jejak Ko Cian-hui, The Seng segera pulang dan melaporkan kejadian tersebut kepadaku." "Dan kau percaya dengan perkataannya?"
"Aku percaya." Senyuman yang menghiasi wajah Cho Tang-lay kembali lenyap dari pandangan, katanya kemudian dengan suara lebih lembut: "Betul! Kau memang seharusnya percaya kepadanya. Bila kau ingin orang lain percaya kepadamu, kau harus membuat dia tahu bahwa kaupun sangat mempercayai dirinya." Mendadak dia seperti merasa kalau ucapan semacam itu tak patut diutarakan keluar, maka segera pembicaraan dialihkan ke soal lain." Dapatkah kau pikirkan Ko Cian-hui bisa pergi kemana?" "Aku pikir dia pasti akan pergi ke rumah pelacuran di Ang-hoa-ki untuk mencari Cu Bong, sekalipun Cu Bong tidak berada di sana, Ko Cian-hui pasti dapat menemukan jejaknya. Itulah sebabnya aku tidak menyuruh The Seng menguntitnya, asal dia masih berada di Tiang-an berarti dia masih berada dalam cengkeraman kita." Cho Tang-lay kembali tertawa, kali ini dia tertawa dengan penuh riang gembira. "Sekarang kau sudah mulai belajar minum arak," kata Cho Tang-lay kemudian, "kau sudah pantas untuk minum arak, bahkan jauh lebih pantas dari kebanyakan orang lainnya untuk minum arak." Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan menyodorkan cawan yang dipakainya selama iuni ke hadapan Cho Kim. Cho Kim segera menerimanya dan sekali teguk menghabiskan isi cawannya. Arak itu manis, namun dalam mulutnya terasa pahit dan getir. Ia telah menyadari kelewat banyak perkataan yang diucapkannya hari ini, bila dapat menarik kembali seluruh perkataan yang telah diutarakan tadi, ia rela mengorbankan sebuah lengan sendiri. Cho Tang-lay sendiri justru seolah-olah tidak merasakan reaksinya itu, sambil menerima kembali cawan kosong, dia memenuhi dengan arak kembali dan menghirupnya setegukan. "Siau Lay-hiat sudah tahu kalau Ko Cian-hui merupakan bencana besar di dalam kehidupannya, sedang Siau Lay-hiat belum pernah merasa menyesal, mengapa ia tidak membunuh Ko Cian-hui, walaupun sudah menerima kontrak surat perjanjiannya." Setelah termenung beberapa saat, Cho Tang-lay berkata lagi: "Mungkinkah di antara mereka terdapat sesuatu hubungan istimewa" Tapi hubungan apakah itu?" Mendadak dia meneguk habis isi cawannya, kemudian sambil memancarkan sinar tajam dari balik matanya, dia berkata lebih jauh. "Mungkin hubungan di antara mereka hanya si kakek itu yang bisa memastikan. Siau Lay-hiat ingin menanyakan sesuatu kepada si kakek itu tentulah persoalan ini yang hendak ditanyakan dan persoalan tersebut pasti amat penting artinya, itulah sebabnya kematian dari kakek tersebut menimbulkan hawa nafsu membunuh dalam hatinya karena setelah kematian dari kakek itu, tiada orang lagi di dunia ini yang bisa mengetahui sebetulnya Ko Cian-hui adalah putranya atau bukan." "Putranya?"
Sebenarnya Cho Kim sudah berniat tetap membungkam, tapi toh akhirnya tak tahan untuk berseru juga: "Bagaimana mungkin Ko Cian-hui adalah putra Siau Lay-hiat?" "Jadi kau anggap hal seperti ini tak mungkin terjadi?" Setelah tertawa dingin, Cho Tang-lay berkata lebih jauh: "Ko Cian-hui tak lebih hanya seorang pemuda yang sama sekali tak punya nama dan kedudukan, mengapa Siau Lay-hiat yang kejam dan tak berperasaan malah menolong jiwanya" Apabila di antara mereka tiada sesuatu hubungan yang khusus, biarpun ada sepuluh laksa Ko Cian-hui yang mau mampus di hadapan Siau Lay-hiat, dia tak akan menggerakkan jari tangannya untuk menolong." Ia memandang ke arah Cho Kim, nada suaranya juga berubah menjadi lembut kembali. "Kau harus percaya kepadaku, persoalan apapun mungkin bisa terjadi seperti misalnya Cu Bong seorang lelaki sejati yang berjiwa jantan dan perkasa, mengapa dia justru keok di tangan seorang wanita" Tapi dia toh akhirnya kalah, kalah secara mengenaskan, demikian pula dengan Siau Lay-hiat, siapa yang menduga dia bakal menderita kejadian seperti hari ini?" Sesudah menghela napas panjang, terusnya: "Padahal, demikian juga dengan aku, siapa yang bisa menduga aku bakal kalah di tangan seseorang di kemudian hari?" Mungkin ucapan tersebut bukan kata yang sejujurnya, namun dibalik perkataan itu terkandung suatu falsafah hidup yang mungkin bisa diresapi maknanya. Tiba-tiba Cho Kim mengundurkan diri. Dia tahu sekarang sudah mencapai saatnya dia harus mundur dari situ, karena dia tahu Suma Cau-kun sudah datang. Ia mendengar suara dari Suma Cau-kun sedang berkata: "Benar! Persoalan seperti ini pada hakekatnya memang tak pernah diduga oleh siapapun." ooo)O(ooo Pintu terbuka lebar. Suma Cau-kun berdiri persis di depan pintu, sementara kabut tebal berwarna putih menyelimuti suasana di luar sana. Dia sudah berusia pertengahan, pakaian dan rambutnya nampak amat kusut setelah menempuh perjalanan jauh, dia memang kelihatan lelah sekali. Tapi sewaktu berdiri di situ, ia nampak begitu gagah, tampan dan perkasa, jauh melebihi usia yang sebenarnya. Di antara kabut yang tebal dan cahaya lentera dalam kamar, dia nampak seperti malaikat langit dalam lukisan. Sewaktu Cho Tang-lay memandang ke arahnya, sorot matanya memancarkan sinar kagum. Dengan cepat ia bangkit berdiri dan menuangkan secawan arak baginya. Mengapa kau harus ke Lok-yang" Mengapa harus pura-pura sakit untuk membohongi diriku" Pertanyaan-pertanyaan tersebut tak sepatah katapun yang disinggung oleh Cho Tang-lay.
Di saat dia menemukan sikap dan perasaan Suma Cau-kun sedang tidak gembira, dia selalu menghindarkan diri untuk menyinggung persoalan-persoalan yang tidak menyenangkan ini. "Kau tentu sangat lelah, pasti terburu-buru untuk mengejar perjalanan, sebetulnya menurut dugaanku, besok atau lusa kau baru akan kembali ke sini," kata Cho Tang-lay. Setelah tersenyum, terusnya: "Bagaimanakah keadaan cuaca di Lok-yang?" Suma Cau-kun hanya membungkam, sikapnya nampak sedikit agak aneh. Lewat lama kemudian, ia baru menyahut: "Cuaca di sana sangat baik, jauh lebih baik daripada di sini. Darah yang berceceran di tanah pun dengan cepat mengering, jauh lebih cepat daripada di sini." Nada suaranya kedengaran sedikit rada aneh, namun Cho Tang-lay sendiripun seolah-olah tidak merasakan. "Bila darah sudah mengalir, cepat atau lambat pasti akan mengering kembali," kata Suma Cau-kun lagi, "cepat mengering atau terlambat mengeringnya, sesungguhnya tiada sangkut pautnya dengan diriku." "Ya, memang banyak kejadian di dunia ini yang demikian keadaannya." "Tapi banyak pula kejadian yang tidak begitu." "Oya?" "Bila manusia hidup di dunia ini, cepat atau lambat pasti akan mati, tapi cepat mati atau lambat matinya mempunyai perbedaan yang sangat besar, seperti misalnya kau hendak membunuh seseorang, dapatkah kau menunggu dia sampai mati lebih dulu baru turun tangan?" "Tidak dapat! Membunuh harus dilakukan seketika, bila waktu sudah lewat, maka keadaan pun berbeda, situasinya akan berubah pula." Sambil tersenyum dia angkat cawannya dan berkata lebih jauh: "Seperti misalnya minum arak, minum arak harus seketika, bila kau tidak meneguknya dengan segera, tapi meninggalkan untuk beberapa saat, arak tersebut tentu akan berubah menjadi kecut." "Betul! Perkataanmu memang tepat sekali," kata Suma Cau-kun menyetujui dengan cepat, "perkataanmu itu seolah-olah tak pernah bersalah untuk selamanya." Kemudian setelah meneguk habis isi cawannya, dia berkata lagi: "Dengan cawan ini kuhormati dirimu, karena kau telah mewakili Toa Piau-kiok kita untuk meraih suatu kemenangan yang gilang gemilang." "Jadi kau sudah mengetahui semua persoalan di sini?" "Aku tahu! Aku sudah pulang cukup lama, sudah kupikirkan cukup lama semua persoalan ini." "Persoalan apa?" "Persoalanmu!" Mimik muka Suma Cau-kun kelihatan bertambah aneh.
"Telah kupikirkan dengan seksama setiap persoalan yang telah kau lakukan bagiku selama tiga puluh tahun terakhir ini. Semakin kupikirkan, aku merasa kau benar-benar seorang manusia yang luar biasa. Aku memang benar-benar tak mampu menandingimu." Senyuman masih tetap menghiasi Cho Tang-lay, tapi senyuman tersebut sudah berubah menjadi kaku. "Mengapa kau harus memikirkan persoalan-persoalan seperti itu?" Suma Cau-kun tidak menjawab pertanyaan itu, dia malah membalikkan badan. "Mari ikutilah aku" katanya, "akan ku ajak kau menjumpai beberapa orang, setelah kau jumpai mereka, pasti akan segera kau pahami." ooo)O(ooo Fajar baru menyingsing. Kabut yang menyelimuti tempat itupun semakin tebal. Dalam kebun kecil ini tiada tanaman bunga, tapi penuh dengan tanaman kol, wortel, gambas dan sayur-sayuran. Semua sayuran itu hasil tanaman Go Wan sendiri. Suma Cau-kun memang gemar makan sayur-sayuran yang masih segar dan baru dipetik. Itulah sebabnya dalam kebun itu tiada bunga, melainkan aneka macam sayur-sayuran. Setiap pekerjaan yang dilakukan Go Wan, hampir semuanya demi suaminya, suaminya dan kedua orang anak mereka. Anak-anak mereka selalu penurut dan pintar, sebab sejak kecil Go Wan telah mendidik mereka secara baik, belum pernah membiarkan mereka mengetahui urusan orang tua, juga tak pernah membiarkan mereka berkeliaran di luar. Yang dimaksudkan sebagai di luar adalah lingkungan Toa Piau-kiok, di daerah yang tidak seharusnya dilihat dan dikunjungi oleh kanak-kanak. Kebun kecil dan sebuah loteng kecil di belakangnya merupakan dunianya Go Wan dan anak- anaknya. Sampai di situ, Cho Tang-lay baru ingat sudah beberapa hari ini tidak menjumpai mereka. Jelas hal ini merupakan suatu keteledoran baginya. Demi hubungannya dengan Suma Cau-kun, demi masa depan Toa Piau-kiok, ia bertekad tak akan menyinggung lagi peristiwa Kwik Ceng, bahkan akan bersikap lebih baik dan lebih luwes lagi terhadap Go Wan serta anak-anaknya. Di bawah loteng ada dua ruang tamu, sebuah ruang tamu utama dan sebuah ruangan untuk minum arak. Walaupun di tempat tersebut jarang dikunjungi tamu, Go Wan masih tetap mengatur ke dua buah ruangannya dengan rapi dan nyaman.
Di atasnya tempat tidur anak-anak mereka, dengan seorang mak inang dan dua orang budak yang di bawa dari rumah sebelum menikah dulu, untuk tinggal bersama mereka. Tapi suaminya tidak tinggal di sana. Suma Cau-kun sangat baik kepadanya, terhadap anak-anak pun sangat baik, tapi setiap malam tak pernah berdiam di sana. Fajar belum menyingsing, di atas loteng pun belum ada cahaya lentera. Mungkinkah Go Wan dan anak-anaknya masih tertidur nyenyak" Mengapa Suma Cau-kun membawa dirinya datang untuk menengok mereka" Cho Tang-lay benar-benar tidak habis mengerti. Jendela kamar ternyata dibiarkan terbuka lebar. Kabut putih yang berhembus lewat menciptakan suasana kelabu di sekitar sana, membuat ruangan tersebut nampak menyeramkan. Seorang ibu yang baik, ibu yang teliti, mengapa membiarkan anak-anaknya tidur dalam kedinginan" Di situ tak ada lampu, tak ada api. Tapi angin menghembus amat kencang. Dipandang dari balik kabut yang berwarna kelabu, dalam ruangan tersebut seolah-olah terdapat sesuatu benda yang sedang bergoyang terhembus angin. Tergantung di tengah udara dan bergoyang tiada hentinya. Mengapa bisa tergantung di tengah udara" Manusiakah, tapi siapakah dia" Tiba-tiba Cho Tang-lay merasakan hatinya seolah-olah tenggelam, kelopak matanya mendadak menyusut kencang. Dia memiliki sepasang mata yang amat tajam bagaikan mata Elang, apalagi setelah berlatih diri selama banyak tahun. Sekarang dia sudah dapat melihat bahwa yang tergantung di udara itu adalah manusia, bahkan dapat terlihat orang itu menggantung diri dengan seutas tali. Orang tersebut tak lain adalah Go Wan. Sebuah tali telah dibuatkan simpul mati dan ujung tali diikatkan pada tiang rumah, sementara ujung yang lain diikatkan pada tengkuk sendiri, menjirat di atas leher sendiri. Begitu kakinya meninggalkan tanah, simpul talipun akan menjirat lehernya yang akan berakibat kematian. Selain Go Wan, dalam ruangan itu masih terdapat orang-orang yang lain, seorang mak inang berambut putih, dua orang dayang muda dan sepasang bocah yang menawan hati, begitu menawan sehingga menimbulkan rasa senang bagi siapapun yang melihatnya.
Tapi sekarang, si mak inang tak pernah akan berubah lebih tua lagi, si dayangpun tak akan mengeluh masa remaja mereka yang hampir lewat. Jilid ke-10 Anak-anakpun tak akan menimbulkan rasa senang bagi yang memandangnya, sebaliknya hanya akan menimbulkan perasaan sedih dan penderitaan belaka. "Aku merasa bersalah kepadamu, maka aku mati. Aku pantas mati dan akupun harus mati. Anak-anak tidak semestinya mati, tapi akupun terpaksa mengajak mereka menemani aku untuk mati. Aku tak ingin membiarkan mereka menjadi anak yang tak beribu, akupun tak ingin membiarkan mereka setelah dewasa menjadi manusia macam Cho Tang-lay, sahabat karibmu itu. Ciu Ma adalah mak inangku, sejak kecil akupun menjadi dewasa karena menyusui darinya, selama ini dia selalu menganggap aku sebagai puterinya. Siau-hun dan Siau-hong ku anggap sebagai saudara angkatku sendiri. Setelah aku mati, merekapun tak ingin hidup terus, maka kami semua mati bersama-sama. Aku tidak mengharapkan kau memaafkan aku, asal kau bisa hidup terus secara baik-baik, akupun tahu, tanpa kami pun kau pasti masih bisa hidup terus secara baik-baik." Udara amat dingin, dingin membekukan badan. Belum pernah Cho Tang-lay merasa kedinginan seperti ini. Kamar tidur itu ternyata menjadi kuburan massal, dan dia sendiripun berada dalam kuburan ini. Seluruh tubuhnya, darahnya, seakan-akan ikut menjadi dingin membeku. "Apa yang telah terjadi" Kapan peristiwa ini berlangsung" Mengapa Go Wan mati?" Sederet pertanyaan diutarakan Cho Tang-lay tanpa terasa. "Kau tidak tahu?" seru Suma Cau-kun. "Aku tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu!" "Paling tidak mereka telah mati empat hari lamanya, masa kau masih tidak tahu?" nada suara Suma Cau-kun lebih dingin dari es, "kau betul-betul sangat memperhatikan mereka, aku memang sepantasnya berterima kasih kepadamu." Kata-kata tersebut bagaikan sebatang jarum panjang yang dingin seperti es menghunjam dari batok kepala Cho Tang-lay, dan tembus hingga ke dasar kakinya. Sebenarnya ia mempunyai banyak alasan untuk memberi penjelasan kepadanya. Beberapa hari belakangan ini, segenap kekuatan dan pikirannya ditujukan untuk menghadapi Hiong-say-tong, tempat inipun termasuk dunianya Go Wan dan anak-anak, jarang ada orang Toa Piau-kiok yang berkunjung ke situ. Namun ia tidak memberi penjelasan. Persoalan seperti ini pada hakekatnya sukar dijelaskan, betapapun ia berusaha memberi penjelasan, hal ini sama sekali tak ada gunanya.
Suma Cau-kun tidak memandang sekejappun ke arahnya, dia sendiripun tidak memperhatikan perubahan wajah dari Cho Tang-lay. "Kau bertanya kepadaku mengapa Go Wan bisa mati" Sebenarnya aku sendiripun tidak mengerti," kata Suma Cau-kun, "usianya belum tua, kesehatan badannya selama inipun sangat baik, dia juga suka dengan anak-anak, meskipun dia tidak terlalu setia kepadaku, namun selalu berusaha menunaikan tugas dan kewajiban sebagai istri." Suaranya tenang dan tanpa emosi, seakan-akan sedang mengutarakan sesuatu yang biasa. "Sebaliknya aku tak pernah mewujudkan tugas dan kewajibanku sebagai seorang suami, maka yang salah adalah aku, bukan dia." "Kaupun mengetahui tentang peristiwa itu?" "Aku tahu! Sudah lama mengetahuinya. Sebagai seorang suami belum tentu harus mengetahui paling akhir, akupun tahu peristiwa tersebut dengan cepat akan terlalui. Dia masih bisa menjadi istriku yang baik, masih bisa merawat anak-anakku secara baik." Setelah berhenti sejenak, sambungnya lagi dengan hambar. "Aku toh sudah bertekad hendak mengikuti cara dan maksudmu untuk menjadi seorang Enghiong yang luar biasa, maka aku wajib membayar segala pengorbanan." "Maka kaupun berlagak tidak tahu?" tanya Cho Tang-lay. "Benar! Sebab bila aku tahu maka aku pasti akan membunuhnya. Dalam satu keluarga seorang Enghiong, tidak diperkenankan sampai terjadinya peristiwa semacam ini, tentu saja aku harus menghabisi nyawanya." Setelah berhenti sebentar, dia meneruskan: "Oleh sebab itu akupun terpaksa berlagak tidak tahu, karena di sinilah terletak rumah tanggaku, dalam keadaan yang bagaimanapun juga, aku tak bisa menghancurkan rumah tangga ini. Bukan saja aku berpura-pura tak tahu, bahkan akupun harus berbuat sehingga dia mengira aku sama sekali tak tahu, dengan begitu rumah tangga ini baru bisa dijaga keutuhannya." Cho Tang-lay segera menunjukkan perasaan kaget dan tercengang. Hingga kini dia baru tahu bahwa sebelum ini pada hakekatnya ia belum memahami sama sekali tentang Suma Cau-kun. Dia belum pernah tahu kalau Suma Cau-kun masih memiliki perangai seperti ini. Ternyata dia adalah seorang manusia berperasaan, menghadapi kejadian seperti inipun masih bisa memikirkan kepentingan orang lain. "Sesungguhnya tiada lelaki di dunia ini yang sanggup menahan diri bila menghadapi kejadian seperti ini, tapi aku sudah berpikir lebih mendalam. Andaikata kejadian tersebut telah berlalu, bila anak-anak telah dewasa, kita masih dapat bersikap seakan-akan suami isteri yang berbahagia, hidup berdampingan sampai di akhir hari tua." Mendadak ia membalikkan tubuhnya menghadap Cho Tang-lay, lalu serunya lagi: "Andaikata bukan kau yang mendesaknya mati, kami pasti masih bisa hidup seperti ini." "Aku memaksanya mati?" suara Cho Tang-lay menjadi parau, "kau anggap aku yang memaksanya mati?"
"Bukan hanya dia dan Kwik Ceng yang mati karena kau desak, lambat-laun akupun bakal mati karena tekananmu, sebab selamanya kau menginginkan orang lain hidup menurut cara dan peraturanmu." Setelah menatap Cho Tang-lay tajam-tajam, ia berkata lebih jauh: "Oleh karena kau punya penyakit dalam hatimu, meski diluar kau bersikap angkuh dan tinggi hati, padahal dalam hati kecilmu tak pernah memandang sebelah matapun terhadap diri sendiri, maka kau menyuruh aku mewakilimu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya kau lakukan sendiri, kau hendak menciptakan aku sebagai lambang dari seorang Enghiong, karena di hati kecilmu kau telah menganggap aku sebagai penggantimu, dengan tak segan-segan kau akan memaksanya dan memojokkannya sampai mati." Sebagai akhir kata, Suma Cau-kun kembali menambahkan: "Inilah yang menjadi alasan dari kematian Go Wan, karena kau merasa dia sudah mulai merintangimu." Cho Tang-lay termenung, termenung sampai lama, lama sekali. Beberapa waktu kemudian ia baru bertanya: "Tadi kau memberitahukan kepadaku, bahwa kau sudah berpikir sangat lama, memikirkan banyak masalah, apakah hal ini dikarenakan kau merasa bahwa sekarang sudah saatnya bagimu untuk mengambil keputusan?" "Benar!" "Apakah kau sudah mempunyai keputusan sekarang?" "Benar!" "Kau telah memutuskan untuk berbuat bagaimana di kemudian hari?" "Bukan untuk di kemudian hari, tapi sekarang," kata Suma Cau-kun, "sekarang aku menyuruh kau pergi, selama hidup jangan bertemu lagi dengan diriku, selama hidup tak usah mencampuri urusanku lagi." Mendadak Cho Tang-lay menjadi limbung, seolah-olah tak sanggup lagi untuk berdiri tegak, seperti kepalanya dihantam orang dengan toya besar secara tiba-tiba. "Terserah apa saja yang hendak kau bawa pergi, pokoknya kau harus pergi dari sini," Suma Cau-kun menandaskan, "sebelum matahari terbenam hari ini, kau harus sudah meninggalkan Tiang-an sejauh-jauhnya." Tiba-tiba Cho Tang-lay tertawa. "Aku mengerti! Ucapan semacam ini bukan kau utarakan dengan kesungguhan hati," katanya lembut, "kau hanya merasa batinmu tertekan, kau merasa kelelahan, asal beristirahat sebentar saja maka kau akan melupakan semua perkataan tersebut." "Kali ini kau keliru besar," tukas Suma Cau-kun sambil menatapnya dingin, "kau masih ingat dengan apa yang barusan kita bicarakan" Bila ingin membunuh harus dikerjakan segera, jangan sampai kesempatan dibiarkan berlalu, dan begitu pula dengan kejadian sekarang." Kelopak mata Cho Tang-lay mulai berkerut kencang.
"Bagaimana kalau aku tak mau pergi?" katanya sepatah demi sepatah, "bila aku menolak untuk pergi, apakah kau akan membunuhku?" "Benar!" dengan nada yang sama sepatah demi sepatah, Suma Cau-kun menjawab, "bila kau menolak untuk angkat kaki, maka aku akan segera menghabisi nyawamu." ooo)O(ooo Lambat laun pagi haripun menjelang tiba, namun suasana di dalam ruangan tersebut justru berubah semakin seram dan mengerikan. Sebab dengan mencorongnya cahaya matahari, maka paras muka mayat-mayat yang mengerikan pun tampak lebih jelas. Di masa mereka masih hidup, orang-orang itu memang nampak menawan, tapi setelah mati, mereka justru nampak seram dan menakutkan. Cho Tang-lay berdiri berhadapan muka dengan Suma Cau-kun, mereka membiarkan angin dingin yang tajam bagaikan sayatan golok menerpa wajah mereka. "Sebenarnya aku bersedia pergi, manusia macam aku bisa saja pergi ke mana pun," ujar Cho Tang-lay, "tapi aku tak dapat pergi." Nada suaranya pun berubah menjadi dingin dan menggidikkan hati. "Sebab aku telah mengorbankan seluruh pikiran dan keringat untuk menciptakan seorang manusia seperti kau. Aku tak dapat membiarkan kau musnah di tangan orang lain. Tentunya kau tahu bukan perangaiku" Masih banyak masalah yang aku rela kerjakan sendiri." "Ya, aku memang tahu!" "Bukankah kita selalu dapat saling memahami?" "Benar!" Suma Cau-kun mengangguk, "itulah sebabnya aku telah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya." "Sejak kapan kau telah mempersiapkan diri?" "Sekaranglah aku sedang mempersiapkan diri. Bila ingin membunuh, maka lakukan dengan segera. Perkataan ini pasti akan kuingat selalu dalam benakku." "Di mana kau mempersiapkan diri?" "Di tempat ini juga!" Suma Cau-kun memandang sekejap mayat-mayat dalam ruangan, semasa hidupnya mayat- mayat itu merupakan orang yang paling dekat dengannya, mereka semua mempunyai hubungan perasaan yang tak akan terlupakan dengannya, dan kematian mereka pasti akan mendatangkan perasaan sedih dan menyesal yang berkepanjangan. Bahkan termasuk juga Cho Tang-lay sendiri. Bila Cho Tang-lay juga mati di sini, maka salah satu bagian yang terpenting dari kehidupannya akan musnah pula di sini.
"Di tempat inilah!" Suma Cau-kun berkata, "bukankah tiada tempat lain yang jauh bagus daripada tempat ini?" "Ya, memang tidak ada. Benar-benar tidak ada!" Cho Tang-lay menghela napas panjang. Dalam dunia ini terdapat semacam orang yang sangat istimewa, di hari-hari biasa mungkin tak akan kau temui biar dicari ke manapun, tapi di saat kau membutuhkannya, dia pasti berada di sisimu dan tidak akan membuat kau merasa kecewa. Cho Kim adalah manusia semacam ini. "Cho Kim, masuk kau!" Cho Tang-lay seolah-olah tahu kalau Cho Kim pasti berada di sekitarnya, asal dia memanggil, orangnya pasti akan menampakkan diri. Betul juga. Cho Kim memang tidak membuatnya kecewa. Cho Kim seperti tidak pernah membuat siapa saja merasa kecewa. Semenjak Cho Kim masih kecil dulu, ia sudah tak pernah membuat orang merasa kecewa. Tapi hari ini ia nampak agak lelah, pakaiannya masih pakaian yang dikenakan kemarin, bahkan lumpur di sepatunyapun belum sempat dibersihkan. Di hari-hari biasa, bukan begitu tampangnya. Di hari-hari biasa, betapapun repotnya dia, pasti akan meluangkan waktu untuk membenahi dandanannya, karena dia tahu Cho Tang-lay dan Suma Cau-kun adalah orang-orang yang sangat memperhatikan tentang soal ini. Untung saja Cho Tang-lay tidak terlalu memperhatikan soal ini sekarang, dia hanya memberi pesan secara ringkas. "Berlututlah kau dan sembahlah Suma Toaya." Cho Kim segera berlutut dan menyembah, sedangkan Suma Cau-kun tidak berusaha untuk menghalanginya, sorot matanya masih mengawasi ke arah Cho Tang-lay tanpa berkedip. "Kau tak usah menyuruh dia berlutut dan menyembah," kata Suma Cau-kun, "aku tahu bahwa dia adalah putra angkatmu karena kau tak punya putra, aku pasti akan mempertahankan keturunan dari marga Cho ini. Bila kau mati, aku pasti akan merawat dan memperhatikannya secara baik." Tak tahan dia menengok ke arah putra sendiri, sorot matanya segera memancarkan sinar kepedihan dan amarah. "Paling tidak, aku tak akan berbuat seperti kau memperhatikan putraku." "Aku percaya, aku percaya kepadamu sepenuhnya." kata Cho Tang-lay cepat. Ketika dilihatnya Cho Kim sudah selesai menyembah dan bangkit berdiri, dia berkata lebih jauh: "Kau sudah mendengar perkataan dari Suma Toaya, kaupun seharusnya tahu, Suma Toaya tak pernah ingkar janji kepada siapa saja. Bila dia yang merawatmu sudah pasti jauh lebih baik daripada aku yang memperhatikan dirimu."
"Aku mengerti," suara Cho Kim pun berubah menjadi parau karena rasa harunya, "tapi dalam kehidupanku kali ini, aku tak akan berganti marga lagi." "Kau mesti ingat, bila aku sudah mati, maka kau harus bersikap baik kepada Suma Toaya seperti sikapmu kepadaku sekarang." Tampaknya Cho Tang-lay dipengaruhi pula oleh emosi. "Biarpun di antara aku dan Suma Toaya telah terjadi persoalan apapun, itu merupakan urusan pribadi kami sendiri, bukan saja kau tak boleh menaruh perasan benci, lagi pula tak boleh menceritakan apapun yang kau saksikan hari ini kepada siapapun." "Aku tahu!" ucap Cho Kim sedih, "aku pasti akan melakukan seperti apa yang kau inginkan, sekalipun kau menyuruh aku mati, aku tetap akan menerimanya." Cho Tang-lay segera menghela napas panjang. "Kau memang selalu merupakan seorang anak baik, di kemudian hari kau tentu akan berhasil." Lalu sambil menatap tajam wajah Cho Kim, kembali dia berkata: "Kemarilah kau, ada semacam barang yang hendak kuberikan kepadamu, entah aku mati atau hidup, kau harus menyimpannya secara baik-baik." "Baik!" Cho Kim pelan-pelan berjalan mendekat. Tiba-tiba dari balik matanya memancarkan sinar kepedihan yang tak terlukiskan dengan kata-kata, seolah-olah dia sudah menduga kalau suatu peristiwa yang menyedihkan dan menakutkan bakal terjadi. Dia tidak berusaha untuk menghindar, sebab diapun tahu, peristiwa seperti ini tak mungkin bisa dihindari. Suma Cau-kun berpaling dan tidak memperhatikan kedua orang itu lagi. Ia telah bertekad, tak akan terpengaruh oleh siapapun dan tak akan berubah pendapat dikarenakan persoalan apapun. Kemudian ia mendengar suara yang sangat aneh, seperti kulit yang dirobek. Menanti dia berpaling lagi, dijumpainya Cho Tang-lay telah menghunjamkan pisaunya ke ulu hati Cho Kim. Cho Kim mundur setengah langkah, kemudian pelan-pelan roboh ke atas tanah. Sepanjang kejadian, dia sama sekali tidak berteriak. Paras mukanya yang pucat pias pun tidak memperlihatkan perasaan sakit, menderita, kaget dan tercengang, seakan-akan kejadian tersebut sudah berada di dalam dugaannya. Hal itu bukan dikarenakan gerak serangan dari Cho Tang-lay yang kelewat cepat, sebaliknya dikarenakan ia sudah membuat persiapan. Sebelum maju mendekat, dia seakan-akan sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Malah sebaliknya paras muka Suma Cau-kun yang memperlihatkan perubahan dan menunjukkan rasa kaget bercampur tercengang.
"Mengapa kau membunuhnya?" Suma Cau-kun segera membentak, "apakah kau takut aku menyiksanya setelah kematianmu nanti?" "Bukan! Kau berjiwa besar dan berwelas asih, tak mungkin akan kau lakukan perbuatan seperti itu." Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan suara yang sangat tenang ia berkata lebih jauh: "Aku membunuhnya karena aku tak bisa membiarkan dia hidup untukmu....." "Mengapa?" "Karena dia adalah seorang manusia yang sangat berbahaya, licik dan kejam. Sekarang usianya masih begitu muda dan aku masih bisa membunuhnya, bila dibiarkan hidup beberapa tahun lagi, mungkin aku sendiripun bukan tandingannya." Dia melepaskan mantel kulit binatangnya dan dipakai untuk menutupi jenasah Cho Kim. Beberapa gerakan yang dilakukan olehnya ini dilakukan dengan lemah lembut seperti seorang ayah yang menutupi jenasah anaknya. Walaupun begitu, nada suaranya justru dingin dan sama sekali tiada perasaan. "Sekarang dia sudah memupuk kekuatan sendiri, bila aku masih hidup, aku masih dapat mengendalikan dia, tapi kalau aku sudah mati, dalam dua tiga tahun saja, dia sudah pasti dapat menduduki jabatanmu sekarang, dan kemudian dia akan membinasakan dirimu." Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya lagi dengan suara hambar: "Bila aku harus membiarkan seorang manusia yang begitu berbahaya hidup di sampingmu, sudah pasti aku tak bisa hidup dengan perasaan tenang." Semua perkataan itu diutarakan dengan nada datar dan hambar, sedemikian datar dan hambarnya seolah-olah dia baru saja membunuh seekor nyamuk belaka. Dia seperti tak ingin membiarkan Suma Cau-kun tahu, bahwa bagaimanapun licik, kejam dan buasnya dia terhadap orang lain, namun perasaannya terhadap Suma Cau-kun tetap bersungguh- sungguh. Dalam hal ini, memang tiada orang yang bisa menyangkal lagi atas kenyataan tersebut. Suma Cau-kun mengepal sepasang tinjunya keras-keras, darah segar yang mengalir dalam setiap urat nadinya seolah-olah telah mendidih. Tapi dia berusaha keras untuk mengendalikan diri, sebab dia sudah tak ingin hidup seperti dahulu lagi, hidup di dalam pengekangan. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang manusia yang terdiri dari darah dan daging, dia enggan menjadi seorang boneka. Mayat isterinya masih tergantung di atas tiang, sedangkan ke dua orang putranya yang lincah dan pintar sudah tak akan memanggil ayah lagi kepadanya, apakah dia harus menyerah" Mendadak Suma Cau-kun melejit ke tengah udara, bagaikan burung walet dia menerobos lewat dari bawah tiang penggantungan.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 9 Panji Wulung Karya Opa Pedang Golok Yang Menggetarkan 5