Pisau Terbang Li 4
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Bagian 4
tersenyum. Katanya, "Sepertinya aku tak akan mungkin jadi
terkenal." Sahut Li Sun-Hoan, "Mungkin itu lebih baik."
295 Ketika ia melihat senyuman A Fei, senyum Li Sun-Hoan
pun terasa lebih alami. Senyuman mereka seolah-olah
sedang membicarakan masalah yang paling menarik di
seluruh dunia. Semua orang memandang kedua orang ini, tak
menyadari apa permasalahan pada diri mereka. Tiba-tiba
A Fei melayang ke samping Li Sun-Hoan. Ditariknya
lengan Li Sun-Hoan dan berkata, "Ketenaran adalah
masalah kecil. Namun hari ini kita bisa bertemu, itu harus
dirayakan dengan arak."
Sahut Li Sun-Hoan, "Biasanya aku tak mungkin menolak
minum arak. Tapi hari ini"."
Dian-jitya menyambungnya, "Sayangnya hari ini dia tidak
bisa." A Fei berkata dengan dingin, "Kata siapa?"
Dian-jitya melambaikan tangannya. Dua orang bertubuh
kekar maju. Salah seorang berkata, "Dian-jitya yang
mengatakannya. Semua orang tunduk pada katakatanya."
Yang seorang lagi menyambung, "Yang membangkang,
harus mati!" Walaupun mereka kelihatannya seperti pelayan,
kecepatan mereka maju ke muka menandakan bahwa
ilmu silat mereka cukup tinggi.
296 Selagi mereka masih berbicara, dua batang golok baja
berputar sangat cepat, menjadi seperti dua pelangi
terbang. Menggulung angin yang dahsyat, kedua golok
ini menyambar ke arah A Fei. Satu dari kiri, satu dari
kanan. Satu ke atas, satu ke bawah. Menebas secepat
kilat ke pundak A Fei. A Fei hanya menghadapi serangan mereka dengan
tatapan dingin. Ia tidak bergerak sama sekali. Tiba-tiba
terlihat sekilat cahaya. Dan sekilat lagi. Lalu terdengar
dua jerit kesakitan. Dua golok terlontar ke udara. Kedua
lengan kiri kedua orang itu memegangi lengan kanan
mereka. Wajah mereka sungguh kesakitan. Darah
mengalir deras dari antara jari-jari mereka.
Namun pedang A Fei masih terselip di pinggangnya.
Tidak ada yang melihat dia menghunus pedangnya.
Namun kini dari ujung pedangnya menetes darah segar.
Pedang yang luar biasa cepat!
Senyum Dian-jitya pun lenyap.
A Fei berkata dengan tenang. "Kata-kata Tuan Ketujuh
adalah perintah. Sayangnya, pedangku tidak patuh pada
perintah. Dia hanya tahu membunuh orang."
Wajah kedua orang itu sungguh terpana. Mereka mundur
beberapa langkah sebelum lari keluar keluar. Pedang
memang tak bisa memberi perintah, namun kadangkadang
mereka lebih efektif daripada perintah siapapun
juga. 297 A Fei menarik lengan Li Sun-Hoan. "Mari kita pergi
minum arak. Aku tak percaya masih ada orang yang
berani menghalangi kita."
Sebelum Li Sun-Hoan menjawab, Liong Siau-hun
bertanya, "Jika kau ingin dia pergi, mengapa tak kau
buka saja Hiat-to (jalan darah)nya?"
Mulut A Fei terkunci. Hati Li Sun-Hoan tercekat. Ia
teringat kejadian hari itu".
Hari itu A Fei menangkap Ang Han-bin dan meninggalkan
dia untuk Li Sun-Hoan. Hari itu Li Sun-Hoan pun merasa heran. Mengapa A Fei
tidak menutup saja Hiat-to (jalan darah)nya" Kini ia
mengerti sebabnya! Pedang pemuda ini mungkin tiada tandingannya, tapi ia
tidak tahu apa-apa tentang ilmu totok!
Hati Li Sun-Hoan langsung merosot, namun wajahnya
tetap tenang. Katanya sambil tersenyum, "Hari ini aku
tak punya uang untuk mentraktirmu."
A Fei berpikir sejenak, lalu berkata, "Hari ini aku yang
traktir." Sahut Li Sun-Hoan, "Aku tidak akan pernah minum arak
yang tidak kubeli dengan uangku sendiri."
A Fei menatapnya. Di wajahnya yang kaku tersirat
kesedihan. 298 Ia mengerti, Li Sun-Hoan tidak ingin membahayakan
dirinya. Jika ia tidak dapat membuka Hiat-to (jalan darah) Li Sun-
Hoan, ia harus menggendong Li Sun-Hoan keluar. Jika ia
menggendong Li Sun-Hoan, maka kemungkinan mereka
berdua tak akan bisa keluar lagi selamanya.
Mata Dian-jitya berbinar lagi. Ia memandang wajah
mereka satu per satu, lalu tersenyum dan berkata, "Li
Sun-Hoan memang adalah pria sejati. Ia tidak mau
menyeret orang lain jatuh bersamanya. Sobat muda,
sudah saatnya kau pergi."
Li Sun-Hoan tahu bahwa rase tua ini melihat di mana
kelemahan A Fei. Oleh sebab itu ia berkata cepat, "Kau
tak perlu memancing dia. Ia tak akan terpengaruh. Lagi
pula, walaupun sambil menggendong aku, belum tentu
kalian semua dapat mengalahkan dia."
Ia melanjutkan lagi. "Kau pun tahu aku tak akan pergi
dengannya. Jika aku pergi dengan dia sekarang, aku tak
akan punya kesempatan untuk membersihkan Cayhe."
Kata-kata ini ditujukan pada A Fei.
A Fei berdiri menatapnya, lalu berkata, "Kalau mereka
berkata bahwa engkau adalah Bwe-hoa-cat , maka
engkau pasti adalah Bwe-hoa-cat , bukan?"
Li Sun-Hoan tertawa. "Kata-kata sebagian orang memang
tidak bisa dibedakan dari kentut yang besar."
299 A Fei bertanya, "Lalu mengapa kau harus peduli jika
mereka hanya kentut?"
Tiba-tiba diputarnya tubuhnya dan diangkatnya Li Sun-
Hoan, digendong di punggungnya. Saat itulah Dian-jitya
bergerak. Bayangan tongkatnya terlihat menusuk ke
sebelas titik Hiat-to (jalan darah) yang terpenting di dada
A Fei. Jika ujung tongkatnya menyentuh tubuh A Fei
sedikit saja, maka A Fei tidak akan mungkin bergerak
lagi. A Fei tidak berusaha menghunus pedangnya!
Ia memang seperti Li Sun-Hoan. Jika pedangnya
terhunus, dia pasti meminta darah.
Namun saat ini, ia tidak tahu bagaimana caranya
mengalahkan Dian-jitya. Semua orang memandang bayangan tongkat Dian-jitya
dengan tegang. Ilmu totok Dian-jitya adalah salah satu
yang terbaik dalam dunia persilatan, namun sepertinya ia
sulit sekali menundukkan anak muda ini.
Tio Cing-ngo berkata, "Membunuh Bwe-hoa-cat adalah
penghargaan yang tertinggi. Mengapa ada orang yang
menyia-nyiakan kesempatan baik ini?"
Sebelum kalimatnya selesai, tujuh orang telah
menghunus senjata mereka. Semuanya tertuju pada Li
Sun-Hoan. Lim Sian-ji segera menghampiri Liong Siauhun
dan berkata, "Losi, mengapa kau tak menghentikan
mereka?" 300 Liong Siau-hun menyahut, "Kau tidak bisa lihat bahwa
Hiat-to (jalan darah)ku telah ditutup?"
Saat itu terdengarlah bunyi yang keras. Tiga orang telah
jatuh ke tanah. Akhirnya A Fei menghunus pedangnya!
Ia mungkin tak bisa melukai Dian-jitya, namun jika ada
yang mencari kematian, pedangnya hanya dapat
memberikan bantuan. Darah terlihat di sela-sela kilatan
pedang. Jubah Li Sun-Hoan pun telah bersimbah darah.
Kini semua senjata telah disimpan kembali. Semua
senjata, kecuali tongkat pendek Dian-jitya, yang serupa
ular meliuk-liuk menyerang titik-titik Hiat-to (jalan darah)
A Fei. Lim Sian-ji mendesah dan berkata, "Tio-toaya adalah pria
sejati. Tidak mungkin ia akan main keroyok."
Mata Tio Cing-ngo langsung berbinar, katanya, "Tapi
menghadapi orang macam Bwe-hoa-cat tak perlulah kita
memperhatikan aturan dunia persilatan!"
Diraihnya tombak panjang yang berada di sampingnya.
Langsung diserangnya punggung Li Sun-Hoan.
Ternyata reputasinya memang hanya kosong
melompong. Gerakan Tio Cing-ngo cukup mengagumkan.
Tongkat dan tombak itu lebih panjang daripada pedang
pendek A Fei, sehingga posisinya kurang
301 menguntungkan. Dan lagi, ada seseorang di atas
punggungnya. Pada awalnya, Dian-jitya ingin mengambil keuntungan
dari senjatanya yang lebih panjang untuk mengalahkan A
Fei. Namun ia selalu luput pada saat yang terakhir, entah
bagaimana. Setelah begitu banyak jurus, ia baru menyadari bahwa
anak muda ini tidak pernah menyerang sekali pun.
Namun gerakan A Fei sungguh luar biasa. Pada saat ia
akan menutup Hiat-to (jalan darah) A Fei, anak muda ini
bisa berkelit dengan misterius.
Dian-jitya cukup berpengetahuan dalam ilmu silat,
namun ia tidak bisa menduga ilmu aliran mana yang
digunakan anak muda ini. Tiba-tiba terpikir olehnya suatu ide. Ia tersenyum. "Sobat
muda, mengapa tak kau turunkan saja dia. Kalau tidak,
sebelum dia menyeretmu jatuh bersamanya, kaulah yang
akan menyeret dia jatuh bersamamu."
A Fei mengertakkan giginya. "Jika kau ingin aku
menurunkannya, mengapa kau terus menyerang aku?"
Dian-jitya segera menarik tongkatnya dan mundur
beberapa langkah. Tombak Tio Cing-ngo pun terhenti di
tengah jalan dan ditarik kembali.
A Fei tidak memandang mereka sama sekali.
Didudukkannya Li Sun-Hoan pada sebuah kursi. Wajah Li
Sun-Hoan merah padam. Namun dia berusaha keras
302 menahan diri untuk tidak terbatuk. Ia kuatir kalau
batuknya akan mengganggu konsentrasi A Fei.
A Fei memandang Li Sun-Hoan, lalu memutar badannya
memandang Tio Cing-ngo dan berkata, "Aku menyesal
akan satu hal. Waktu itu, mengapa tak kubunuh kau?"
Selagi berbicara, pedangnya pun terhunus.
Kecepatan pedang ini memang tak terkatakan.
Bagaimana mungkin Tio Cing-ngo dapat menghindarinya.
Tepat saat darah akan tertumpah, terdengar suara dari
luar, "Omitohud." Selagi berbicara, sesosok bayangan
dari luar masuk ke dalam. Waktu suku kata kedua
terdengar, bayangan itu telah berada di belakang A Fei.
Awalnya A Fei akan menyerang Tio Cing-ngo, namun
tiba-tiba dibaliknya pedangnya ke arah sebaliknya,
menyerang bayangan itu. Setelah itu terdengar suara keras, pedangnya
menghantam bayangan itu, yang ternyata adalah tasbih
pendeta. Pedangnya masih bergetar, namun A Fei tetap berdiri
tidak bergeming. Kini fajar telah tiba. Berbarengan dengan sinar matahari pagi, enam pendeta
berpakaian kelabu masuk ke dalam bangsal. Yang paling
depan beralis putih, namun wajahnya masih terang dan
pandangan matanya berbinar-binar.
303 Dibukanya telapak tangannya. Tasbih itu pun kembali ke
tangannya. Setelah pulih dari rasa terkejutnya, Tio Cing-ngo
menenangkan dirinya. Ia membungkuk di depan pendeta
beralis putih itu. "Aku tidak tahu bahwa pendeta akan
datang. Maaf aku tidak menyambutmu di luar."
Pendeta beralis putih itu hanya tersenyum. Matanya
terarah pada A Fei. Lalu katanya, "Pedangmu cepat
sekali." Kata A Fei, "Jika pedangku tidak cepat, aku rasa kau
datang tepat waktu untuk menunjukkan kepadaku arah
ke neraka." Pendeta beralis putih itu berkata, "Aku hanya tak ingin
melihat kematian lagi. Oleh sebab itu aku bergerak.
Walaupun pedangmu cepat, namun tidak akan lebih
cepat daripada mata Sang Buddha."
Sahut A Fei, "Apakah tasbihmu lebih cepat daripada mata
Sang Buddha" Jika aku mati oleh tasbihmu, bukankah itu
berarti kematian juga?"
Tio Cing-ngo memotong cepat, "Berani-beraninya kau
bicara seperti itu pada seorang Hou-hoat-taysu (padri
agung pembela agama)!"
Pendeta beralis putih itu hanya tersenyum. "Tidak apaapa.
Mulut anak muda ini setajam pedang juga."
304 Tiba-tiba Lim Sian-ji tersenyum dan berkata, "Sim-bi
Taysu telah melepaskanmu. Cepatlah pergi sekarang."
Tio Cing-ngo berkata dingin, "Kurasa dia tidak bisa lagi
pergi sekarang!" Sahut A Fei, "O ya" Kau kira kau bisa menghalangi aku
sekarang?" Sambil berbicara, ia telah melangkah ke luar.
Wajah Tio Cing-ngo berubah. Katanya, "Pendeta"."
Dian-jitya cepat-cepat menyela, "Sim-bi taysu sungguh
pemaaf. Ia hanya seorang pemuda. Biarkanlah ia pergi."
Sim-bi berbicara dengan serius, "Aku datang setelah
menerima surat dari Ciangbun-suheng Siau-lim-si, bahwa
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang murid Siau-lim-si, Cin Tiong, telah terluka parah.
Maka aku segera datang."
Tio Cing-ngo mendesah. Lalu melirik pada Li Sun-Hoan.
"Sayang pendeta datang terlambat."
Kini di luar sudah terang. Orang-orang mulai berlalulalang
di jalan. A Fei berjalan di atas salju. Walaupun
langkahnya ringan, hatinya sangat berat.
Lalu didengarnya suara orang berseru, "Tunggu!
Tunggu!" Suara itu jernih dan merdu. A Fei tidak perlu menoleh
untuk tahu siapa yang mengerjar di belakang.
305 Ini karena semua orang di jalan kini berhenti bicara dan
berhenti berjalan. Mereka semua bengong seperti orang
tolol memandang orang di belakang A Fei.
A Fei tidak menoleh. Ia terus berjalan.
Lalu tercium bau harum di belakangnya. Keharumannya
sungguh memabukkan. Mau tidak mau, dipalingkannya
wajahnya. Lim Sian-ji masih tetap cantik dan menggairahkan.
Mata A Fei masih sedingin salju.
Lim Sian-ji menundukkan kepalanya. Mukanya bersemu
merah. "Aku ingin minta maaf. Aku"."
Kata A Fei, "Kau tak perlu minta maaf."
Lim Sian-ji menggigit bibirnya. "Tapi orang-orang itu
sungguh salah. Dan begitu kasar."
Sahut A Fei, "Itu tidak ada hubungannya dengan
engkau." Kata Lim Sian-ji, "Tapi kau telah menyelamatkan aku.
Bagaimana aku"."
Sahut A Fei, "Aku menyelamatkanmu. Aku tidak
menyelamatkan mereka. Aku tidak menyelamatkanmu
untuk memohon maaf atas kesalahan mereka."
Lalu ia bertanya lagi, "Ada lagi yang ingin kau katakan?"
306 Lim Sian-ji terdiam. Ia tidak pernah bertemu dengan
orang seperti ini. Ia selalu yakin bahwa gunung es
sedingin apapun akan mencair di hadapannya.
Lalu A Fei berkata, "Selamat tinggal."
Ia membalikkan badan dan berjalan lagi. Baru beberapa
langkah, Lim Sian-ji berseru lagi, "Tunggu sebentar. Ada
lagi yang hendak kusampaikan."
Sahut A Fei, "Tidak perlu."
Namun kata Lim Sian-ji, "Tapi". jika sesuatu terjadi pada
Li Sun-Hoan, siapakah yang harus kuberi tahu?"
A Fei menoleh cepat dan berkata, "Kau tahu kuil Sim di
sebelah barat?" Sahut Lim Sian-ji, "Jangan lupa, aku sudah tinggal di sini
enam tahun." "Aku akan berada di situ. Sebelum gelap aku tak akan
pergi." Lalu Lim Sian-ji bertanya, "Dan setelah malam?"
A Fei menengadah memandang langit. Katanya, "Jangan
lupa, Li Sun-Hoan adalah sahabatku. Aku tidak punya
banyak teman. Dan sahabat seperti Li Sun-Hoan, tidak
mungkin dicari gantinya. Jadi kalau dia mati, dunia ini
akan menjadi sangat membosankan."
307 Lim Sian-ji mengeluh. "Aku tahu kau pasti masih
berencana untuk menyelamatkannya. Tapi tahukah
engkau, sahabat sebaik apa pun tidak berharga sebesar
nyawamu." A Fei memandang Lim Sian-ji dalam-dalam, langsung ke
bola matanya. Katanya perlahan tapi tegas, "Aku
sungguh-sungguh berharap kau tidak akan pernah
mengatakannya lagi. Kali ini, aku akan berpura-pura
tidak mendengar." Bab 15. Cinta Sejati Setelah hujan salju terus menerus untuk beberapa hari,
matahari muncul kembali hari ini.
Namun cahayanya tidak sampai ke ruangan yang satu
ini. Sungguh pun demikian, Li Sun-Hoan tidak putus asa.
Ia tahu beberapa tempat di dunia ini tidak pernah
merasakan cahaya matahari.
Lagi pula, ia kenal baik dengan keputusasaan.
Ia tidak tahu pasti apa yang akan dilakukan oleh Tian,
Tio-lotoa dan yang lain terhadapnya. Ia malas
memikirkan hal-hal seperti itu. Saat itu, Dian-jitya sedang
mengantarkan para pendeta Siau-lim-si menemui Cin
Hau-gi dan putranya. Mereka melemparkan Li Sun-Hoan
ke sebuah gudang kosong. Akan tetapi, Liong Siau-hun
diam saja. Li Sun-Hoan tidak menyalahkan Liong Siau-hun.
308 Liong Siau-hun punya alasannya sendiri. Lagi pula, ia pun
tidak bisa berbuat apa-apa.
Li Sun-Hoan hanya berharap A Fei tidak kembali untuk
menyelamatkannya. Ia tahu bahwa walaupun pedang A
Fei sangat cepat, ilmu silatnya mempunyai banyak
lubang kelemahan. Jika ia bertemu dengan orang seperti
Dian-jitya atau Sim-bi Taysu, dan pedangnya tidak
melihat darah pada gebrakan pertama, mungkin pedang
itu takkan dapat melihat darah untuk selama-lamanya.
Hanya dalam waktu tiga tahun, A Fei akan dapat
memperbaiki kekurangannya. Pada saat itulah ia tidak
akan terkalahkan. Jadi paling tidak dia harus hidup tiga tahun lagi.
Lantai di situ amat basah. Li Sun-Hoan terbatuk-batuk
lagi. Ia berharap bisa minum arak.
Namun sekarang, harapan sesederhana itu pun tak bisa
terwujud. Jika orang lain ada dalam posisinya, mungkin
orang itu sudah menangis meraung-raung.
Namun Li Sun-Hoan malah tertawa. Ia berpikir bahwa
beberapa hal di dunia ini sungguh menggelikan.
Rumah ini dulu adalah miliknya. Semua yang berada di
sini adalah kepunyaannya. Tapi kini semua orang
menganggap dia adalah seorang pencuri, bahkan
mengurungnya di kamar sempit seperti ini seperti seekor
anjing. Siapa yang menyangka"
309 Tiba-tiba pintu terkuak. Mungkin Tio Cing-ngo sudah tidak sabar lagi menunggu
dan ingin membunuhnya sekarang juga"
Namun ternyata bukan Tio Cing-ngo yang datang. Ia
mencium wangi arak. Dan dilihatnya tangan yang
memegang botol arak. Tangan itu kecil dan pergelangan tangannya tertutup
oleh baju berwarna merah.
Tanya Li Sun-Hoan, "Siau-in, kaukah itu?"
Ang-hai-ji masuk sambil cekikikan. Ia memegang botol
arak itu dengan kedua tangannya dan mencium wangi
arak itu. Katanya sambil tersenyum lebar, "Aku tahu, kau
pasti ingin minum arak, bukan?"
Li Sun-Hoan tersenyum. "Karena kau tahu aku ingin
minum arak, kau membawakannya untukku, bukan?"
Ang-hai-ji mengangguk. Dituangnya arak itu ke dalam
cawan, dan disodorkannya ke hadapan Li Sun-Hoan.
Baru Li Sun-Hoan membuka mulutnya, Ang-hai-ji
menarik kembali tangannya. Lalu sambil tersenyum
berkata, "Sebelum minum, kau harus menebak arak
apakah ini." Li Sun-Hoan memejamkan matanya. Ditariknya nafas
dalam-dalam, lalu berkata, "Ini adalah arak tua Tik-yapjing.
Arak kesukaanku. Jika aku tak mengenali arak ini,
aku memang pantas mati."
310 Ang-hai-ji tersenyum. "Tak heran semua orang bilang
bahwa Li-tamhoa adalah ahli dalam hal wanita dan arak.
Jika kau ingin minum arak ini, maka jawablah
pertanyaanku." "Apa pertanyaanmu?"
Senyumnya yang lebar kini lenyap.
Ia menatap wajah Li Sun-Hoan dan bertanya, "Apa
hubunganmu dengan ibuku" Apakah ia sangat
menyukaimu?" Wajah Li Sun-Hoan langsung berubah. Katanya, "Apakah
kau sungguh-sungguh ingin tahu?"
Jawab Ang-hai-ji , "Mengapa seorang anak tidak boleh
bertanya tentang ibunya?"
Li Sun-Hoan berkata dengan marah. "Tidakkah kau
menyadari betapa ibumu mengasihi ayahmu dengan
segenap hatinya" Mengapa kau malah berpikir
sebaliknya?" Ang-hai-ji tertawa dingin. "Kau pikir kau bisa
menyembunyikan ini dari diriku" Jangan mimpi."
Dikertakkan giginya. "Waktu ibu mendengar apa yang
terjadi padamu, ia menutup pintu kamarnya dan
menangis tersedu-sedu. Waktu aku hampir mati pun, ia
tidak menangis seperti itu. Maka aku bertanya sekarang.
Kenapa?" 311 Hati Li Sun-Hoan merosot jatuh. Ia merasa seperti
segumpal lumpur, diinjak-injak oleh orang yang lewat.
Setelah sekian lama, diteguhkannya hatinya. "Akan
kuberitahukan padamu sekarang. Kau boleh meragukan
siapapun juga. Tapi jangan ragukan ibumu. Karena tidak
ada sesuatupun yang disembunyikannya. Sekarang,
ambil arak itu dan pergi."
Ang-hai-ji menatapnya. "Arak ini untukmu. Mana
mungkin kubawa kembali?"
Ditumpahkannya secawan arak itu ke muka Li Sun-Hoan.
Li Sun-Hoan tidak bergerak. Ia tidak memandang wajah
Ang-hai-ji sama sekali. Ia hanya berkata, "Kau masih
kecil. Aku tidak menyalahkanmu."
Ang-hai-ji tertawa dingin. "Kalaupun aku bukan anak
kecil, apa yang dapat kau perbuat?"
Tiba-tiba dikeluarkannya sebilah pisau, dilambailambaikannya
di depan wajah Li Sun-Hoan. "Lihat pisau
ini baik-baik. Ini kan pisaumu. Ibu bilang bahwa jika aku
mempunyai pisau ini, maka kau akan melindungi aku.
Tapi bisakah kau melindungi aku sekarang" Kau bahkan
tidak bisa melindungi dirimu sendiri!"
Li Sun-Hoan mengeluh. "Kau benar. Lagi pula, pisau itu
untuk membunuh, bukan untuk perLindungan."
Wajah Ang-hai-ji memucat. Dengan berdesis ia berkata,
"Kau telah membuatku cacad. Kini akan kubuat kau
merasakan kesakitan yang sama. Kau"."
312 Tiba-tiba terdengar suara dari luar. "Siau-in" Apakah kau
ada di dalam?" Suara ini hangat dan tenang. Namun ketika Li Sun-Hoan
dan Ang-hai-ji mendengarnya, wajah mereka langsung
berubah. Ang-hai-ji segera menyimpan pisaunya dan
segera seulas senyum lugu menghiasi wajahnya. "Ibu,
aku di sini. Aku membawa arak untuk Paman Li. Tapi
waktu ibu memanggil, aku terkejut, Aku jadi tidak
sengaja menumpahkan arak itu ke wajah Paman Li."
Lim Si-im muncul di pintu. Matanya yang cantik tampak
sembap, penuh kesedihan. Namun waktu ia melihat Ang-hai-ji , wajahnya menjadi
hangat. "Paman Li tidak mau minum arak sekarang. Dan
kau pun harus tidur sekarang. Ayo."
Ang-hai-ji berkata, "Paman Li tidak bersalah, bukan"
Mengapa kita tidak menolongnya?"
Lim Si-im menjawab dengan lembut, "Anak kecil jangan
berbicara seperti itu. Sana pergi tidur."
Ang-hai-ji menoleh dan menatap Li Sun-Hoan, "Paman
Li, aku harus pergi sekarang. Besok aku bawakan arak
lagi untukmu." Li Sun-Hoan memandang senyum lugu anak itu dan
keringat dingin pun membasahi sekujur tubuhnya.
Didengarnya Lim Si-im mendesah. "Awalnya aku kuatir ia
akan mencoba melukaimu. Tapi sekarang".sekarang aku
313 tidak kuatir lagi. Walaupun dia telah melakukan banyak
kesalahan, ia adalah anak yang baik."
Li Sun-Hoan hanya dapat tersenyum.
Lim Si-im tidak memandangnya. Setelah beberapa saat,
ia berkata, "Dulu kau selalu menepati janjimu. Mengapa
kau berubah?" Li Sun-Hoan merasa tenggorokannya tersumbat, ia tidak
bisa bicara. "Kau berjanji tidak akan menemui Lim Sian-ji. Tapi
mereka malah menemukanmu di bilik Lim Sian-ji."
Li Sun-Hoan tertawa. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia
tertawa. Sambil memandangi kakinya ia berkata, "Aku
ingat gudang ini dibangun baru lima belasan tahun yang
lalu." "Ya." "Akan tetapi kini tempat ini terasa sangat tua. Jendelanya
sudah pecah. Atapnya berlubang. Ini artinya bahwa
sepuluh tahun memang waktu yang lama. Jika suatu
bangunan bisa berubah, mengapa manusia tidak?"
Lim Si-im meremas-remas tangannya sendiri, lalu
bertanya, "Sejak".Sejak kapan kau jadi seorang
penipu?" Sahut Li Sun-Hoan, "Aku selamanya adalah seorang
penipu. Hanya saja sekarang aku lebih berpengalaman."
314 Li Sun-Hoan tetap tersenyum. Tujuannya telah tercapai.
Ia ingin menyakiti wanita ini. Menyakitinya supaya ia
pergi. Ia tidak akan menyeret siapapun jatuh bersama
dengan dia. Jadi dia pasti tak berperasaan, menyakiti
orang-orang yang dicintainya.
Karena inilah orang-orang yang disayanginya.
Menyakiti mereka sama dengan menyakiti diri sendiri.
Walaupun senyum masih menghiasi bibirnya, hatinya
telah hancur berantakan. Ia memejamkan matanya rapat-rapat supaya air mata
tidak keluar. Waktu ia membuka matanya, Lim Si-im
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih ada di situ, sedang menatap langsung ke matanya.
"Me"Mengapa kau masih ada di sini?"
Sahut Lim Si-im, "Aku hanya ingin memastikan. Apakah
kau?"...apakah kau memang Bwe-hoa-cat ?"
Tawa Li Sun-Hoan langsung meledak. "Apakah aku Bwehoa-
cat " Kau bertanya apakah aku Bwe-hoa-cat "."
Kata Lim Si-im, "Walaupun aku tidak percaya, aku ingin
mendengarnya dari mulutmu sendiri."
Li Sun-Hoan masih tertawa. "Jika kau tidak percaya,
mengapa masih bertanya" Jika kau tahu aku adalah
penipu, mengapa bertanya juga" Jika aku berbohong
satu kali, aku bisa berbohong seratus kali! Bahkan seribu
kali!" 315 Wajah Lim Si-im makin pucat. Seluruh tubuhnya
gemetar. Setelah sekian lama ia berkata, "Aku akan membebaskan
engkau. Aku tidak peduli apakah kau itu Bwe-hoa-cat
atau bukan. Aku tetap akan membebaskan engkau. Aku
hanya berharap kali ini kau tak akan kembali lagi!"
Li Sun-Hoan berseru, "Berhenti! Kau pikir aku akan pergi
melarikan diri seperti seekor anjing" Kau pikir orang
macam apakah aku?" Lim Si-im tidak menghiraukan dia. Ia mendekat untuk
membuka Hiat-to (jalan darah) Li Sun-Hoan.
Saat itu terdengar suara berkata, "Si-im. Apa yang
sedang kau lakukan?"
Itu suara Liong Siau-hun.
Lim Si-im menoleh dan menatap Liong Siau-hun. Ia
berbicara sekata demi sekata, "Kau tidak tahu apa yang
sedang kulakukan?" Wajah Liong Siau-hun memucat, "Tapi"."
Kata Lim Si-im, "Tapi apa" Kaulah yang seharusnya
melakukan ini! Sudah lupakah kau akan segala budi
baiknya pada kita" Sudah lupakah kau akan masa lalu"
Apakah kau akan berpangku tangan melihat dia mati
seperti ini?" 316 Liong Siau-hun meremas-remas tangannya. Lalu ia
memukul-mukul dadanya. "Aku memang tidak punya
nyali. Aku penakut. Aku pengecut. Tapi pikirlah sebentar
saja. Bagaimana kita dapat melakukan ini" Jika kita
melepaskan dia, apakah mereka akan melepaskan kita?"
Lim Si-im memandang suaminya seakan-akan
memandang seorang yang tidak dikenalnya. Ia mundur
beberapa langkah. "Kau telah berubah. Kau juga telah
berubah" Dulu kau tidak seperti ini!"
Liong Siau-hun mendesah. "Kau memang benar. Aku
telah berubah. Karena kini aku telah mempunyai anak
dan istri. Apapun yang kuperbuat, merekalah
prioritasku." Sebelum ia selesai bicara, istrinya sudah menangis. Di
dunia ini tidak ada yang dapat menggerakkan hati
seorang ibu lebih kuat daripada anaknya sendiri.
Liong Siau-hun berlutut di hadapan Li Sun-Hoan,
wajahnya penuh dengan air mata. "Toako, aku telah
mengecewakan engkau. Aku hanya dapat memohon
pengampunanmu." Sahut Li Sun-Hoan, "Mengampunimu" Aku tak mengerti
apa maskudmu. Aku telah mengatakannya padamu. Ini
bukanlah kesalahanmu. Jika aku ingin pergi, aku sudah
pergi. Aku tidak memerlukan engkau untuk
menyelamatkanku." 317 Ia masih memandangi kakinya, karena ia tidak tahan
memandang wajah mereka berdua. Ia kuatir ia tak akan
dapat membendung air matanya.
Liong Siau-hun berkata, "Toako, aku tahu
penderitaanmu, namun aku jamin, mereka tidak akan
membunuhmu. Kau hanya perlu bertemu dengan Sim-oh
Taysu Tan Okngkau akan baik-baik saja."
Li Sun-Hoan mengernyitkan keningnya. "Sim-oh Taysu"
Apakah mereka berencana membawaku ke Siau-lim-si?"
Sahut Liong Siau-hun, "Benar. Cin Tiong adalah murid
kesayangan Sim-oh Taysu. Tapi Sim-oh Taysu tak akan
menuduh orang sembarangan. Lagi pula Cianpwe Pekhiau-
sing pun sedang berada di Siau-lim-si. Ia pun akan
membantumu mendapatkan keadilan."
Li Sun-Hoan diam saja. Ia melihat Dian-jitya datang.
Dian-jitya memandangnya dengan senyum mengejek.
Pada saat Dian-jitya datang, sekejap Lim Si-im telah
menenangkan dirinya, mengangguk sedikit lalu berjalan
keluar. Angin malam terasa menusuk tulang. Ia melangkah dua
tindak, lalu berseru, "Anak In, keluarlah engkau."
Ang-hai-ji muncul malu-malu dari balik gudang itu dan
tersenyum takut-takut, "Bu, aku tidak bisa tidur,
jadi".aku"."
318 Potong Lim Si-im gemas, "Jadi kau antarkan mereka ke
sini. Betul kan?" Ang-hai-ji tertawa dan menubruk ke pelukan ibunya.
Tapi segera terlihat wajah ibunya yang murung, sehingga
diurungkan niatnya. Ia berhenti dan menundukkan
kepalanya. Lim Si-im hanya memandangnya dengan terdiam. Ini
adalah anak kesayangannya, darah dagingnya. Setetes
air mata jatuh ke pipinya.
Setelah sekian lama, ia menghela nafas panjang.
Ditengadahkannya wajahnya memandang ke langit dan
berkata, "Mengapa kebencian jauh lebih sulit dilupakan
daripada budi baik"."
*** Thi Toan-kah mengepalkan tangannya dan berjalan
mondar-mandir di halaman sebuah kuil. Setelah sekian
lama, api telah padam namun tidak seorang pun berniat
menyalakannya lagi. A Fei duduk di situ diam saja, tidak bergerak.
Thi Toan-kah berkata dengan gusat, "Aku sudah
mengira, walaupun kau telah membunuh Bwe-hoa-cat ,
para "pahlawan besar" itu takkan mau mengakuinya. Jika
sekawanan serigala melihat sebongkah daging,
bagaimana mungkin mereka mau melepaskannya?"
Kata A Fei, "Kau sudah memperingatkanku, namun aku
tetap pergi. Aku harus pergi!"
319 Thi Toan-kah mengeluh. "Untungnya kau pergi. Kalau
tidak kau tidak akan tahu bagaimana muka para
"pahlawan besar" itu yang sebenarnya."
Ia menoleh dan menatap A Fei lekat-lekat. "Kau benarbenar
tidak melihat Tuanku?"
Sahut A Fei, "Tidak."
Thi Toan-kah memandang onggokan kayu yang sudah
tidak berapi itu dan mulai mondar-mandir lagi, sambil
menggumam sendiri, "Aku ingin tahu apa yang sedang
dilakukannya"."
Kata A Fei, "Dia tidak pernah mau orang menguatirkan
dirinya." Thi Toan-kah tertawa lepas. "Benar sekali. Walaupun
para "pahlawan" itu menganggap dia seperti duri dalam
daging, seperti paku yang mencucuk mata, tapi tidak
seorang pun dari mereka berani menyentuhnya."
A Fei hanya menggumam tidak jelas.
Thi Toan-kah melihat ke luar pagar. "Langit sudah cerah,
aku harus pergi." Sahut A Fei, "Baiklah."
Thi Toan-kah berkata, "Jika kau kebetulan bertemu
dengan Tuanku, tolong sampaikan "Setelah Thi Toan-kah
berhasil mengatasi permasalahannya, pasti ia akan
kembali mencari Tuannya"."
320 Sahut A Fei, "Baiklah."
Thi Toan-kah menatap wajahnya yang tirus,
menggenggam tangannya, dan berkata, "Selamat tiggal."
Walaupun di matanya terbayang kekuatiran, ia memutar
badannya dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi.
A Fei masih berdiri mematung di sini, namun di matanya
yang bersinar tajam, kelihatan ada setitik kecil air
mengambang. A Fei segera memejamkan matanya, namun setetes air
mata lolos dari sudut matanya, seperti tetesan embun
dingin di padang rumput. Ia tidak menceritakan pertemuannya dengan Li Sun-
Hoan kepada Thi Toan-kah, karena ia tidak ingin Thi
Toan-kah menggadaikan nyawanya untuk Li Sun-Hoan.
Dialah yang akan pergi menggadaikan nyawanya untuk
menyelamatkan Li Sun-Hoan!
Apakah harga sepotong nyawa dalam persahabatan"
Setelah sekian lama, cahaya matahari membentuk
bayangan seseorang di halaman kuil itu. Bayangan yang
hitam panjang itu datang menghampiri A Fei.
A Fei tidak membuka matanya, ia hanya bertanya,
"Apakah engkau yang datang" Ada kabar apa?"
321 Naluri A Fei memang bagaikan binatang buas. Yang
datang memang adalah Lim Sian-ji. Sahutnya, "Kabar
baik." Kabar baik" A Fei hampir tidak bisa mempercayai bahwa masih ada
kabar baik di dunia ini. Sambung Lim Sian-ji, "Walaupun ia belum dibebaskan,
setidaknya ia tidak ada dalam bahaya."
"Oh?" Lim Sian-ji menerangkan, "Dian-jitya dan yang lainnya
hanya dapat menuruti usul Sim-bi Taysu untuk
membawa dia ke Siau-lim-si. Ciangbun-jin Siau-lim-si,
Sim-oh Taysu, selalu bersikap adil. Dan kudengar Pekhiau-
sing sedang berada di sana pula. Jika kedua orang
ini tidak bisa membersihkan namanya, tak ada seorang
pun di dunia yang bisa."
Tanya A Fei, "Siapakah Pek-hiau-sing?"
Lim Sian-ji mengikik geli, "Orang ini adalah orang yang
paling terpelajar di seluruh dunia. Tidak ada sesuatu pun
yang dia tidak tahu. Katanya dia bisa tahu apakah Bwehoa-
cat itu asli atau palsu."
A Fei terdiam beberapa saat. Tiba-tiba dibukanya
matanya dan ditatapnya Lim Sian-ji lekat-lekat. "Tahukah
kau orang yang paling menjijikkan di dunia itu orang
macam apa?" 322 Lim Sian-ji tersenyum. "Jangan-jangan yang kau maksud
adalah lelaki munafik semacam Tio Cing-ngo itu?"
Sahut A Fei, "Pahlawan yang palsu memang pantas
dibenci, namun yang paling menjijikkan adalah orang
yang sok pintar." Tanya Lim Sian-ji, "Sok pintar" Apakah maksudmu
seperti Pek-hiau-sing?"
Sahut A Fei, "Betul. Orang semacam ini selalu
menganggap dirinya lebih daripada orang lain. Ia
menganggap dirinya sangat pandai, tidak ada sesuatu
pun yang ia tidak tahu. Hanya dengan kata-katanya ia
bisa menentukan nasib orang lain. Namun sebenarnya
seberapa banyak yang dia tahu?"
Lim Sian-ji berkata, "Tapi kata orang"."
A Fei tertawa dingin. "Hanya karena semua orang
berkata bahwa tidak ada sesuatu pun yang dia tidak
tahu, akhirnya ia menipu dirinya sendiri. Dia jadi benarbenar
percaya bahwa tidak ada sesuatu pun yang dia
tidak tahu." Lanjut A Fei lagi, "Aku malah lebih mempercayai orang
yang merasa tidak tahu apa-apa."
Jika seseorang ingin memberikan kesan yang baik
tentang dirinya, cara yang terbaik adalah membiarkan
orang lain tahu bahwa ia menyukai dirinya sendiri. Lim
Sian-ji telah menggunakan cara ini berulang kali.
323 Namun kali ini ia tidak berhasil. A Fei memandang salju
yang telah turun lagi. Lalu ia bertanya, "Kapan mereka
akan membawanya pergi?"
Jawab Lim Sian-ji, "Besok pagi."
Tanya A Fei, "Mengapa mereka menunggu sampai besok
pagi?" Sahut Lim Sian-ji, "Malam ini mereka mengadakan
jamuan makan malam untuk Sim-bi Taysu."
A Fei menoleh cepat dan menatap Lim Sian-ji dengan
tajam, "Tidak ada alasan lain?"
Tanya Lim Sian-ji, "Mengapa harus ada alasan lain?"
Sahut A Fei, "Sim-bi Taysu tidak mungkin mau menyianyiakan
satu hari hanya untuk makan malam."
Lim Sian-ji memutar matanya. "Ia tidak ingin tinggal
hanya karena makan malam. Ia harus menunggu karena
malam ini akan datang tamu penting yang lain."
"Siapa?" Sahut Lim Sian-ji, "Thi-tiok siansing, (Pendekar Suling
Besi)." A Fei bertanya, "Thi-tiok siansing" Siapakah dia?"
Mata Lim Sian-ji melebar, ia sangat terkejut. "Kau tidak
tahu siapa Thi-tiok siansing?"
324 Kata A Fei, "Mengapa aku harus tahu siapa dia?"
Lim Sian-ji mengeluh. "Karena walaupun Thi-tiok siansing
bukanlah yang Terhebat di dunia persilatan saat ini, ia
tidak jauh dari posisi itu."
"Oh." Lanjut Lim Sian-ji, "Katanya ilmu silat orang ini sungguh
tinggi, bahkan tidak lebih rendah dari ketua Tujuh partai
besar dunia persilatan."
Pada saat berbicara, ia memperhatikan reaksi A Fei.
Sekali lagi, A Fei mengecewakan dia.
Di wajahnya tidak terbayang rasa takut sedikit pun.
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan kini dia tertawa. "Jadi mereka membawa Thi-tiok
siansing untuk mengatasi aku."
Lim Sian-ji memandang ke bawah. "Sim-bi Taysu selalu
merencanakan segala sesuatu dengan teliti. Ia kuatir"."
A Fei memotong ucapannya, "Ia kuatir aku akan pergi
menyelamatkan Li Sun-Hoan, jadi dipanggilnya Thi-tiok
siansing untuk menjadi pengawal."
Kata Lim Sian-ji, "Walaupun mereka tidak memanggilnya,
Thi-tiok siansing tetap akan datang."
"Kenapa?" 325 Jawab Lim Sian-ji, "Karena selir yang dikasihinya juga
mati di tangan Bwe-hoa-cat ."
Lalu kata A Fei, "Jadi mereka akan makan malam
sebelum pergi." Lim Sian-ji berpikir sejenak. "Atau mungkin?"
A Fei menyelesaikan kalimatnya, "Atau mungkin mereka
takkan pernah pergi."
Tanya Lim Sian-ji, "Mengapa?"
Sahut A Fei, "Jika istriku mati di tangan seseorang, aku
tak akan membiarkannya hidup dan pergi ke Siau-lim-si."
Wajah Lim Sian-ji berubah. "Kau kuatir bahwa begitu Thitiok
siansing tiba ia akan segera turun tangan terhadap Li
Sun-Hoan?" "Mmmmm." Lim Sian-ji terdiam. Lalu ia mendesah, katanya, "Benar
juga. Ada kemungkinan begitu. Thi-tiok siansing bukan
orang yang bisa dibujuk. Jika ia sudah berniat turun
tangan, bahkan Sim-bi Taysu tak akan dapat
mencegahnya." Lalu A Fei berkata, "Kau sudah cukup berbicara.
Sekarang kau boleh pergi."
326 Lim Sian-ji masih terus bertanya, "Apakah kau berencana
menyelamatkan Li Sun-Hoan sebelum Thi-tiok siansing
tiba?" Sahut A Fei, "Apa pun yang kurencanakan, tidak ada
sangkut-pautnya denganmu. Selamat tinggal."
Lim Sian-ji terus mendesak, "Tapi kalau hanya dengan
kekuatanmu seorang, tak mungkin kau dapat
menyelamatkan dia!" Dilanjutkannya lagi, "Aku tahu ilmu silatmu cukup tinggi,
namun Dian-jitya dan Tio Cing-ngo pun bukan orang
lemah. Dan lagi, masih ada Sim-bi Taysu yang
merupakan orang Loji (Jisuheng) di Siau-lim-si. Tenaga
dalamnya sangat murni"."
A Fei hanya memandangnya dingin, tanpa mengucapkan
sepatah katapun. Lim Sian-ji terus bicara, "Hin-hun-ceng saat ini bisa
dikatakan penuh dengan ahli-ahli silat. Jika kau ingin
melakukan penyelamatan, itu" itu?"
A Fei melanjutkannya, "Itu tindakan gila, bukan?"
Lim Sian-ji menundukkan kepalanya, tidak berani
menatap matanya. A Fei tertawa keras-keras. "Setiap orang ada saatnya
melakukan tindakan yang sedikit gila. Sekali-sekali saja,
itu bukanlah hal yang buruk."
327 Lim Sian-ji menunduk lagi. "Aku tahu maksudmu."
"Oh." Kata Lim Sian-ji, "Tidak ada seorang pun yang
menyangka kau akan berani bertindak di siang hari
bolong. Pengawasan mereka pasti tidak terlalu ketat.
Dan lagi, semalam mereka sangat sibuk. Mungkin
mereka akan tertidur sampai siang"."
Kata A Fei, "Kau sudah bicara terlalu banyak"."
Sahut Lim Sian-ji, "Baik, aku akan pergi sekarang. Tapi
kau". kau harus berhati-hati. Jika terjadi sesuatu, jangan
lupa ada seseorang di Hin-hun-ceng yang berhutang
nyawa padamu." *** A Fei menunggu satu jam di luar Hin-hun-ceng.
Ia merunduk di sana, seperti menunggu di luar sarang
tikus. Ujung rambut sampai kakinya tidak bergerak sama
sekali. Yang bergerak hanya sepasang bola matanya
yang setajam burung elang.
Angin dingin menyayat kulitnya, seperti pisau.
Namun ia tidak peduli sedikit pun. Waktu dia berumur
sepuluh tahun, untuk menangkap seekor rubah ia
menunggu di atas salju tanpa bergerak selama dua jam
penuh. 328 Saat itu dia bisa bertahan karena ia lapar. Jika ia tidak
mendapatkan rubah itu, ia akan mati kelaparan. Untuk
bertahan hidup, tidaklah sulit bagi manusia untuk
menanggung penderitaan. Namun menanggung penderitaan demi orang lain,
supaya mereka bisa tetap hidup, tidaklah semudah itu.
Hanya sedikit sekali orang yang dapat melakukannya.
Saat itu terlihat seseorang terhuyung-huyung keluar dari
Hin-hun-ceng. Walaupun jaraknya cukup jauh, A Fei bisa
melihat bahwa wajah orang ini burikan.
Ia tidak tahu bahwa orang burikan ini adalah ayah Lim
Sian-ji, namun dia tahu bahwa orang ini adalah pelayan
yang berkedudukan tinggi di Hin-hun-ceng.
Seorang pelayan biasa tak mungkin bersikap angkuh
seperti itu. Dan jika ia bukan seorang pelayan, sikapnya
pun tak mungkin angkuh seperti itu.
Perut orang ini sepertinya penuh dengan arak.
Kini ia sedang berjalan sempoyongan ke arah warung teh
untuk membual besar-besaran. Tidak disangkanya, saat
ia tiba di ujung gang, sebilah pedang telah terarah ke
tenggorokannya. A Fei sebenarnya tidak suka menggunakan pedangnya
terhadap orang semacam ini. Tapi menggunakan pedang
untuk berbicara kadang-kadang lebih efektif daripada
menggunakan lidah. Ia berkata dingin, "Aku tanya satu
kali, kau jawab satu kali. Jika kau tidak menjawab, akan
329 kubunuh kau. Jika jawabanmu salah, akan kubunuh kau.
Mengerti?" Si burik ingin mengangguk, tetapi ia takut pedang itu
malah akan menusuknya. Ia ingin berbicara, namun
suaranya tidak keluar. Arak dalam perutnya telah
berubah menjadi keringat dingin.
Tanya A Fei, "Aku bertanya, apakah Li Sun-Hoan masih
berada di dalam Puri?"
Sahut si burik, "Ya"."
Bibirnya bergetar beberapa kali sebelum kata itu bisa
terucapkan. Tanya A Fei, "Di mana?"
Jawab si burik, "Di gudang kayu bakar."
Kata A Fei, "Antarkan aku ke sana!"
Si burik menjadi sangat ketakutan, "Bagaimana aku bisa
mengantarkan kau ke sana". Aku"Aku tidak tahu
bagaimana"." Kata A Fei, "Kau bisa memikirkan caranya."
Tiba-tiba digerakkannya pedangnya. Terdengar bunyi
"chi", dan pedang itu menancap ke dinding.
Tatapan A Fei menembus mata si burik dan ia berkata
dingin, "Kau bisa memikirkan suatu cara, bukan?"
330 Gigi si burik gemeletuk. "Y"ya?"
Kata A Fei, "Bagus. Berbaliklah dan berjalanlah ke dalam.
Jangan lupa, aku ada di belakangmu."
Ini bukan kali pertama si burik mengajak temannya
datang berkunjung. Jadi waktu A Fei mengikutinya dari
belakang, si penjaga pintu tidak begitu memperhatikan.
Gudang kayu bakar itu tidak jauh dari dapur, namun
dapur terletak jauh dari ruang utama. Karena tempat
seorang pria bukanlah di dapur dan pemilik Hin-hun-ceng
yang terdahulu adalah seorang pria sejati.
Si burik mengambil jalan pintas ke arah gudang kayu
bakar. Mereka tidak bertemu dengan siapapun.
Walaupun ada yang memergoki, mereka akan berpikir
kedua orang ini pasti sedang menuju ke dapur untuk
mengambil makanan dan arak.
Dalam halaman yang sepi itu, tampak sebuah bangunan
menyendiri. Di luar sebuah pintu yang sudah bobrok
terlihat sebuah gembok yang besar.
Si burik berkata terbata-bata, "Tuan"Li-tayhiap terkunci
di dalam sana. Tuan, Anda?"
A Fei menatapnya lekat-lekat, "Kurasa kau tak akan
berani membohongi aku."
Si burik tertawa gelisah, "Mana mungkin seorang pelayan
berani berbohong. Aku tak berani menggadaikan
kepalaku untuk berkelakar seperti itu."
331 Sahut A Fei, "Bagus."
Setelah mengucapkan kata ini, ia mengulurkan tangan
dan memukul jatuh si burik sampai pingsan. Ia berlari
dan menendang pintu bobrok itu hingga terbuka.
Bab 16. Kebaikan Hati yang Palsu
Tidak ada orang yang menjaga di depan pintu. Mungkin
tidak ada yang menyangka A Fei akan datang di siang
hari bolong. Atau mungkin mereka ingin tidur siang hari
itu. Di gudang itu ada satu jendela kecil. Di dalam sangat
gelap, seperti sebuah penjara. Di dekat gundukan kayu
bakar seseorang tergolek.
Sewaktu A Fei melihat mantel bulu itu, darah di dadanya
langsung bergolak. Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ia
merasakan persahabatan yang begitu dalam dengan
orang ini. Ia melangkah mendekat dan berkata, "Kau?"
Pada saat itulah, sebilah pedang berkilat dari bawah
jubah itu! Sambaran pedang yang secepat kilat ini sungguh
mengagetkan A Fei. Sangat tidak terduga. Dan sangat sangat cepat.
332 Untungnya pedang A Fei masih tergenggam di
tangannya. Pedangnya lebih cepat lagi, kecepatannya tak
terbayangkan. Walaupun orang itu menyerang lebih dulu,
A Fei masih lebih cepat. Pedang A Fei mengenai pegangan pedang orang itu.
Pergelangan tangan orang itu langsung kesemutan dan
pedangnya terlepas dari tangannya.
Orang ini pun ahli pedang tingkat tinggi. Dalam keadaan
seperti inipun ia tidak lengah. Ia berguling dan menjauh
beberapa meter. Saat itulah A Fei melihat wajahnya. Ia
adalah Yu Liong-sing. Namun A Fei tidak tahu siapa dia, sehingga
konsentrasinya tidak terganggu. Ia menyerang lagi
sambil keluar dari tempat itu. Walaupun gerakannya
sangat cepat, tapi sudah terlambat.
Sebuah golok emas dan tongkat telah menghadang
langkahnya. Juga beberapa orang muncul dari balik
gundukan kayu bakar itu. Tiap-tiap orang dengan busur
dan anak panah yang terbidik padanya. Pada jarak
sedekat ini, anak panah sangatlah mematikan.
Betapa pun kuat dan hebatnya seseorang, jika ia
berharap bisa keluar hidup-hidup dari tempat itu, ia
sedang bermimpi. Dian-jitya tertawa, "Adakah yang ingin kau sampaikan,
Sobat?" 333 A Fei mendesah. "Silakan saja."
Dian-jitya berkata, "Kau tidak mau membuang-buang
waktu. Baik, akan kukabulkan keinginanmu."
Ia melambaikan tangannya dan anak-anak panah itu
datang menghujaninya. Saat itulah A Fei berguling di tanah. Tangannya meraih
pedang yang jatuh dari tangan Yu Liong-sing. Dalam
tangannya, pedang itu seakan-akan menari-nari
menahan anak-anak panah yang berhamburan datang.
Sekejap saja, ia telah sampai di pintu.
Tio Cing-ngo mengaum keras dan golok emasnya
menusuk ke arah A Fei. Sebelum jurusnya selesai, ia melihat kilatan cahaya di
depannya. Jurus pedangnya bukan main cepatnya.
Waktu Tio Cing-ngo berusaha mengelak, sudah terlambat
baginya. Pedang A Fei telah menembus tenggorokannya.
Darah pun muncrat keluar.
Dian-jitya tercekat. Namun A Fei sudah meninggalkan tempat itu.
Tian Ki-hondak mengejar A Fei, namun diurungkannya.
Tio Cing-ngo masih memegangi lehernya. Sungguh ajaib,
dia masih belum mati. 334 A Fei melayang meninggalkan taman itu. Sebelum pergi,
dilemparkannya pedang Yu Liong-sing ke arah Dian-jitya.
Dian-jitya ingin mengejar, namun tidak jadi.
Yu Liong-sing mengeluh panjang. "Anak muda itu
sungguh luar biasa cepat!"
Dian-jitya pun terkekeh, "Peruntungannya pun tidak
jelek." Yu Liong-sing bertanya, "Peruntungan?"
Kata Dian-jitya, "Tak kau lihatkah dua anak panah yang
menembus tubuhnya?" Sahut Yu Liong-sing, "Kau benar. Jurus pedangnya belum
sempurna benar, sehingga ia masih belum dapat
menahan seluruh anak panah itu. Namun ia bisa
melindungi dirinya begitu rupa sampai tidak terluka."
Kata Dian-jitya, "Itu karena ia mengenakan Kim-si-kah .
Aku memperhitungkan segala sesuatu, namun aku lupa
akan hal ini. Kalau tidak, tidak mungkin ia bisa keluar
dari tempat ini hidup-hidup."
Yu Liong-sing memandang pedang itu dan mengeluh
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi. "Tidak seharusnya ia datang kembali hari ini."
Dian-jitya tertawa. "Jangan terlalu memikirkan
kekalahanmu. Lagi pula, walaupun ia berhasil lolos dari
perangkap kita, belum tentu ia bisa meninggalkan Puri
ini." 335 Saat A Fei keluar dari pintu, ia mendengar lantunan lagu
Buddha. Lagu itu terdengar sangat keras dan sepertinya
bersumber dari segala arah.
Lalu lima orang pendeta mengelilinginya.
Yang pertama adalah Sim-bi Taysu.
A Fei segera melihat ke sekelilingnya dan berusaha tetap
tenang. Ia hanya berkata, "Jadi sekarang pendeta pun
menjebak orang." Sim-bi Taysu menjawab dengan tenang. "Aku tidak
bermaksud melukai siapapun. Kata-katamu sangat tajam.
Namun kata-kata tidak dapat melukai siapapun juga,
kecuali dirimu sendiri."
Ia berbicara dengan nada datar. Namun ketika kata-kata
ini sampai ke telinga A Fei, suara itu bergetar dengan
kuat. Kata A Fei, "Kelihatannya ada juga yang dapat
menggunakan kata-kata sebaik aku."
Ia tahu, jika ia ingin melarikan diri ke atas, tasbih
pendeta itu akan dapat melukai kakinya. Jadi
kesempatannya hanyalah dengan meloloskan diri dari
antara dua pendeta. Namun ketika ia bergerak sedikit, pendeta-pendeta itu
telah berputar mengelilingi dia. Kelimanya bergerak
sangat cepat, A Fei tak mungkin meloloskan diri.
336 Begitu A Fei berhenti, pendeta-pendeta itu pun berhenti.
Sim-bi Taysu berkata, "Sebagai pendeta, kami tidak ingin
membunuh. Kau mempunyai pedang di tanganmu dan
sepatu di kakimu. Jika kau dapat memecahkan formasi
Lo-han-tin kami, kau boleh pergi."
A Fei mulai bernafas dalam-dalam. Tubuhnya diam tidak
bergerak. Ia bisa melihat bahwa ilmu silat pendeta-pendeta ini
sangat tinggi, dan kerja sama mereka sangat baik.
Formasi mereka tidak punya kelemahan sama sekali.
Ketika A Fei berusia sembilan tahun, ia melihat seekor
burung bangau dikelilingi oleh seekor ular besar.
Walaupun burung bangau itu berparuh tajam, ia diam
saja tidak bergerak. Awalnya ia tidak mengerti apa sebabnya. Belakangan ia
tahu bahwa ternyata si bangau mengerti perangai si ular.
Setelah mengelilingi si bangau, si ular dapat menyerang
dengan kepala atau dengan ekornya. Jika si bangau
menyerang kepalanya, ekor si ular akan menjerat. Jika si
bangau menyerang ekornya, kepala si ular akan
memagut. Oleh sebab itu, si bangau hanya berdiri di situ. Si ular
menjadi tidak sabar, dan menyerang lebih dulu. Hanya
dengan cara itulah si bangau dapat menghadapi
serangan dengan sigap dan mengalahkan ular itu.
Mengalahkan kecepatan dengan ketenangan.
337 Oleh sebab itu, selama para pendeta itu tidak bergerak,
ia pun tetap diam. Setelah beberapa saat, tampak para pendeta itu menjadi
tidak sabar. "Apakah engkau sudah menyerah."
"Belum." Sim-bi Taysu bertanya, "Lalu mengapa engkau tidak
berusaha pergi?" Sahut A Fei, "Kalian tidak ingin membunuh aku dan aku
tidak bisa membunuh kalian. Jadi aku tidak bisa pergi."
Sim-bi terkekeh. "Jika kau bisa membunuhku, aku tidak
akan menyesal." Sahut A Fei, "Bagus."
Dengan kilatan pedang yang sangat tiba-tiba, A Fei
menyerang Sim-bi. Pendeta Siau-lim-si ini segera menyerang balik.
Namun tiba-tiba A Fei mengubah gerakannya. Tidak
seorang pun tahu bagaimana ia melakukannya. Mereka
hanya tahu, tiba-tiba ia berbalik ke arah lain.
Awalnya jurus itu diarahkan ke Sim-bi, namun kini
terarah pada tangan salah seorang pendeta yang lain.
Kata Sim-bi, "Bagus sekali."
338 Sambil berbicara, ia menggulung lengan bajunya. Lengan
baju pendeta Siau-lim-si sangat tajam, setajam pisau. Ia
bersiap-siap menyerang A Fei.
Walaupun keempat pendeta yang lain sedang diserang,
ia tidak perlu membantu mereka mempertahankan diri.
Inilah kelebihan formasi Lo-han-tin.
Tidak ada yang menyangka bahwa saat itu A Fei kembali
mengubah gerakannya lagi.
Ketika ahli pedang yang lain berganti jurus, mereka
hanya mengubah asal arah serangan atau tujuan arah
serangan. Namun A Fei dapat mengubah arah seluruh
tubuhnya. Jurus yang tadinya mengarah ke timur, bisa berubah
tiba-tiba ke barat. Tidak ada yang berubah, hanya gerakan kakinya saja
yang secepat kilat. Di detik berikutnya, pedangnya telah merobek lengan
baju Sim-bi. Pedang dan tubuh telah menyatu. Jika
pedang lolos, tubuh pun lolos.
Sim-bi lalu berkata, "Hati-hati di jalan. Kuantarkan kau
keluar." A Fei lalu merasa serangkum tenaga di belakangnya,
seolah olah batang besi yang besar memukul
punggungnya. Walaupun ia memakai Kim-si-kah , ia
masih merasa sangat kesakitan.
339 Salah seorang pendeta itu berseru, "Kejar dia!"
Namun Sim-bi berkata, "Tidak perlu."
Kata pendeta itu, "Ia tak mungkin pergi terlalu jauh.
Mengapa membiarkan dia lolos?"
"Jika ia tidak mungkin pergi jauh, buat apa susah-susah
mengejarnya?" Pendeta itu berpikir sejenak, lalu berkata, "Susiok
memang benar." Sim-bi memandang ke arah A Fei pergi, lalu berkata,
"Seorang pendeta tidak boleh melukai orang, sebisa
mungkin." Dian-jitya pun mengawasi kejadian itu dari kejauhan. Ia
terkekeh. "Pendeta-pendeta ini memang pandai. Jika
orang lainlah yang membunuh orang itu untuk mereka,
mereka tidak akan peduli."
Tenaga yang disalurkan melalui tapak tangan pendeta
Siau-lim-si itu memang benar-benar kuat. A Fei perlu
cukup lama untuk mengembalikan keseimbangannya.
Ia tahu ia telah terluka dalam cukup parah. Namun
paling tidak ia bisa sembuh dari luka seperti ini.
Setelah bertahun-tahun menjalani latihan dan
penderitaan, ia menjadi sangat tahan bantingan.
Tubuhnya seperti terbuat dari baja.
340 Jika A Fei bisa lolos, ia memang sungguh seorang yang
beruntung. Sangat sedikit orang yang dapat lolos dari
serangan bersama lima pesilat tangguh Siau-lim-si.
Hanya saja, A Fei tidak ingin lolos.
Di manakah mereka menyembunyikan Li Sun-Hoan"
Bagaikan elang, mata A Fei memantau sekelilingnya. Ia
segera berlari menuju ke halaman belakang. Di sana
lebih bayak tempat untuk bersembunyi.
Tiba-tiba terdengar suara tawa.
Di depan sana terlihat sebuah paviliun. Orang yang
tertawa itu sedang duduk di sana, membaca buku.
Sepertinya ia sangat asyik dengan bacaannya.
Ia mengenakan baju yang biasa, bahkan agak lusuh.
Wajahnya kurus, berwarna kuning, dengan jenggot
panjang. Ia tampak seperti seorang pelajar tua yang
tidak bisa mengurus dirinya sendiri.
Namun hanya pesilat tangguhlah yang dapat membuat
suara tertawanya terdengar begitu jelas dari jarak yang
begitu jauh. A Fei berhenti. Dipandangnya orang itu menyelidik.
Orang tua itu seperti tidak melihat A Fei. Ia membalik
halaman bukunya terus membaca dengan serius.
341 A Fei melangkah mundur. Setelah sepuluh langkah, ia
memutar badan dan melayang pergi. Dalam dua langkah
ia sudah ada dalam hutan Bwe.
A Fei menarik nafas panjang, menelan darah di
kerongkongannya. Lukanya ternyata lebih parah daripada sangkaannya. Ia
tidak dapat bertempur lagi dengan keadaannya sekarang.
Pada saat itulah terdengar suara seruling.
Suara seruling itu sangat jernih dan keras. Kelopakkelopak
bunga Bwe berjatuhan di sekeliling A Fei.
Lalu dilihatnya seseorang sedang meniup seruling di
bawah pohon Bwe di belakangnya. Orang itu adalah
Siucai itu tua yang dilihatnya semenit yang lalu.
Kali ini, A Fei tidak menghindar. Sambil memandang
orang tua itu dan menyapa, "Thi-tiok Siansing?"
Suara seruling itu perlahan-lahan lenyap.
Ia memandang A Fei cukup lama, lalu tiba-tiba bertanya,
"Kau terluka?" A Fei sangat terkejut. Penglihatan orang ini sangat tajam.
Thi-tiok Siansing bertanya lagi, "Terluka di
punggungmu?" Sahut A Fei, "Kalau sudah tahu, mengapa bertanya lagi?"
342 "Sim-bi melukaimu?"
A Fei hanya menggeram, "Hmmmmh."
Thi-tiok Siansing menggelengkan kepalanya. "Sepertinya
pendeta Siau-lim-si itu tidak sungguh-sungguh hebat."
A Fei bertanya, "Mengapa?"
Thi-tiok Siansing menerangkan. "Untuk orang setingkat
dia, tidak seharusnya dia menyerangmu dari belakang.
Dan jika dia melakukannya, seharusnya dia tidak
membiarkanmu hidup cukup lama dan bertemu dengan
aku." Ia tiba-tiba tersenyum. "Mungkinkah pendeta tua itu
ingin menggunakan tangan orang lain untuk
membunuhmu?" Kata A Fei, "Aku akan memberi tahu engkau tiga hal.
Pertama, jika ia tidak menyerangku dari belakang, ia
tidak mungkin bisa melukaiku. Kedua, walaupun dia
memukulku, dia tetap tidak bisa membunuhku. Ketiga,
kau pun tak mungkin dapat membunuhku!"
Thi-tiok Siansing tertawa terbahak-bahak. "Kau sombong
sekali, anak muda." Tiba-tiba ia berhenti tertawa. "Karena kau terluka, aku
tidak seharusnya menantangmu. Namun karena engkau
begitu sombong, aku harus memberimu pelajaran."
343 A Fei merasa ia sudah terlalu banyak bicara. Ia tidak
mengatakan apa-apa lagi. Thi-tiok Siansing berkata lagi, "Karena kau sudah terluka,
kau boleh mulai tiga jurus lebih dulu."
A Fei memandangnya, lalu terkekeh.
Sambil terkekeh ia menyelipkan pedangnya kembali ke
pinggangnya. Ia berbalik dan berjalan pergi.
Thi-tiok Siansing berkata, "Kau sudah bertemu
denganku. Kau pikir kau bisa pergi hidup-hidup?"
A Fei tidak menoleh. Ia menyahut dingin, "Jika aku tidak
pergi, maka kau pasti mati."
Thi-tiok Siansing tak bisa menahan tawanya. "Siapa yang
mati" Kau atau aku?"
Kata A Fei, "Tidak ada seorangpun yang bisa
memberikan aku keuntungan tiga jurus awal."
"Jadi kalau aku memberi, aku akan mati?"
"Ya." Kata Thi-tiok Siansing, "Mengapa tidak kita coba saja?"
A Fei diam saja. Dibalikkannya tubuhnya dan ditatapnya
orang itu dalam-dalam. Thi-tiok Siansing belum pernah melihat mata seperti itu.
344 Sepasang mata ini tidak berperasaan. Seperti terbuat dari
batu. Jika mata itu menatapmu, mata itu seperti seorang
dewa yang menatap mahluk ciptaanya.
Tanpa disadarinya, Thi-tiok Siansing mundur beberapa
tindak. Saat itulah A Fei memulai serangannya.
Sekali pedangnya menyerang, tidak akan luput.
Ini adalah filosofi A Fei. Jika ia tidak yakin akan menang,
ia tidak akan menghunus pedangnya!
Butiran salju dan bunga-bunga Bwe beterbangan di
udara, sungguh pemandangan yang sangat cantik.
Tubuh Thi-tiok Siansing pun melayang-layang menari di
tengah-tengahnya. A Fei tidak melihat ke atas. Ia hanya menarik kembali
pedangnya. Thi-tiok Siansing melayang turun. Mengapung perlahanlahan
seperti kertas yang tertiup angin. Terlihat
genangan darah di atas salju.
A Fei memandangi darah di tanah, katanya, "Tidak ada
seorangpun yang dapat memberikan aku keuntungan
tiga jurus awal. Satu jurus pun tidak!"
Thi-tiok Siansing bersandar pada sebatang pohon.
Wajahnya sangat pucat. Dadanya penuh dengan noda
darah. 345 Ia tidak sempat menggunakan suling besinya yang
terkenal sedunia itu! A Fei berkata lagi, "Namun kau tidak mati, karena kau
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memegang kata-katamu."
Ia terkekeh. "Paling tidak kau lebih baik dari Sim-bi."
Sim-bi berkata bahwa ia tidak akan melukai A Fei. Jikalau
A Fei bisa lolos dari formasi mereka, ia boleh pergi.
Namun ia malah membokong A Fei. Ini adalah pelajaran
yang sangat berharga, yang tak akan pernah dilupakan A
Fei. Thi-tiok Siansing kemudian berkata, "Kau masih punya
dua jurus lagi." "Dua lagi?" A Fei memandangnya sesaat, lalu menjawab, "Baik."
Ia menyerang perlahan dan ringan. Dua tinju yang
hampir tidak menyentuh tubuh Thi-tiok Siansing. "Nah,
aku sudah memberimu tiga"."
Saat itulah terdengar suara mendesing pelan, Sepuluh
"Jarum Bintang Beku Badai Hujan" melesat keluar dari
suling besi! Wajah Thi-tiok Siansing yang mucat, kini berbinar-binar.
Katanya, "Hari ini aku mendapat sebuah pelajaran
berharga. Jangan pernah memberi keuntungan tiga jurus
awal pada siapapun. Kau pun harus belajar satu hal. Jika
346 kau sudah menyerang, lebih baik kau bunuh musuhmu.
Kalau tidak, lebih baik tidak menyerang sama sekali!"
A Fei mengertakkan giginya sambil memandang jarumjarum
di kakinya. Ia menjawab sekata-demi sekata, "Aku
tak akan pernah melupakannya!"
Thi-tiok Siansing berkata, "Bagus. Sekarang, pergilah."
Sebelum A Fei sempat menjawab, terdengar seruan dari
jauh. "Cianpwe". Cianpwe Suling Besi". Apakah kau telah
menangkapnya?" Thi-tiok Siansing segera mendesak A Fei, "Cepatlah. Aku
tak dapat membunuhmu, tapi aku pun tak ingin kau mati
di tangan orang lain!"
A Fei segera berguling pergi.
Kakinya tak dapat bergerak, namun tangannya masih
Lincah. Ia merasa darah naik ke kerongkongannya. Walaupun
dia mati-matian menahannya, ia tidak berhasil.
Walaupun tidak ada yang mengejar, dia tidak yakin bisa
hidup lebih lama. Ia hanya ingin bertemu dengan Li Sun-
Hoan, dan mengatakan padanya bahwa ia telah berusaha
sekuat tenaga. 347 Sebelum ia jatuh pingsan, ia melihat sesosok bayangan
menghampirinya. *** Hanya ada satu lilin dalam ruangan.
Liong Siau-hun sedang memandangi Li Sun-Hoan.
Dibiarkannya Li Sun-Hoan selesai batuk-batuk, lalu
diberinya minum secawan arak.
Setelah ia menghabiskan cawan itu, Li Sun-Hoan
tersenyum. "Toako, lihatkah engkau bahwa tak ada
setetes pun yang tumpah." Walaupun aku digantung
terbalik seperti ini, aku masih bisa minum arak dengan
baik." Liong Siau-hun pun ingin tersenyum, namun tidak bisa.
"Mengapa tak kau biarkan aku membuka Hiat-to (jalan
darah)mu?" Sahut Li Sun-Hoan, "Aku tak bisa menahan godaan. Jika
kau membuka Hiat-to (jalan darah)ku, aku pasti akan
kabur." Liong Siau-hun berkata, "Nam".namun sekarang tidak
ada siapa-siapa. Tidakkah kau mengerti apa yang sedang
kulakukan?" Li Sun-Hoan menjawab cepat, "Toako, tidakkah kau
mengerti apa yang sedang kulakukan?"
Sahut Liong Siau-hun, "Aku tahu, tapi".."
348 Li Sun-Hoan tersenyum. "Aku tahu apa yang hendak kau
katakan. Tapi kau tidak berbuat kesalahan apapun. Dan
hanya untuk secawan arak itu, aku tak akan pernah
menyesali persahabatan kita."
Bab 17. Sifat Aslinya Ketahuan
Sewaktu Liong Siau-hun mendengarnya, ia menundukkan
kepalanya cukup lama. "Besok"besok kau akan pergi. Aku"."
Kata Li Sun-Hoan, "Tak perlu repot-repot mengantar. Aku
tidak suka mengantar kepergian orang dan akupun tidak
suka orang berbuat begitu padaku. Waktu aku melihat air
wajah orang saat mengantar, aku malah jadi ingin
muntah." Ia terkekeh lalu melanjutkan, "Lagi pula, aku kan tidak
pergi jauh. Mungkin dalam beberapa hari aku akan
kembali." Liong Siau-hun pun kelihatan bersemangat lagi. "Kau
benar. Waktu kau datang nanti, aku pasti akan
menyambutmu. Lalu kita bisa mabuk bersama."
Tiba-tiba terdengar suara seseorang berkata, "Kau tahu
pasti dia tidak akan kembali. Mengapa kau masih
membohongi dirimu sendiri?"
349 Lim Si-im masuk. Wajahnya yang cantik kelihatan sangat
rapuh. Hati Li Sun-Hoan serasa ditusuk sembilu. Namun ia masih
tersenyum. "Mengapa aku tidak akan kembali" Ini adalah
tempat tinggal sahabat-sahabat karibku. Aku"."
Lim Si-im segera memotong dengan dingin, "Siapa
sahabatmu" Kau sama sekali tidak punya teman di sini."
Ia menuding ke arah Liong Siau-hun. "Kau pikir dia ini
sahabatmu" Jika dia memang sahabatmu, seharusnya dia
membebaskanmu sekarang juga."
Liong Siau-hun berusaha membela diri, "Tapi dia"."
Lim Si-im memotong lagi, "Dia tidak mau pergi karena
dia tidak mau kau mendapat kesulitan. Namun mengapa
kau tidak melepaskan dia" Dia bisa memutuskan apakah
dia mau lari atau tidak. Namun, kaulah yang harus
memutuskan apakah kau akan melepaskan dia atau
tidak." Ia tidak menunggu Liong Siau-hun untuk menjawab. Ia
memutar badannya dan berlalu dari situ.
Liong Siau-hun berdiri dan berkata, "Apapun yang akan
kau lakukan, aku harus melepaskan engkau."
Li Sun-Hoan tertawa keras-keras.
Liong Siau-hun kelihatan bingung. "Meng"mengapa kau
tertawa?" 350 Sahut Li Sun-Hoan, "Sejak kapan kau mau diperintah
oleh seorang wanita" Liong Siau-hun yang kuingat
adalah seorang pria tulen. Bukan seorang pria lemah
yang takut pada istrinya."
Liong Siau-hun mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Bahkan air mata mulai tampak di sudut matanya. "Toako,
kau" kau sangat baik padaku. Bukannya aku tidak tahu
apa maksudmu. Hanya"hanya saja, bagaimana harus
kubalas budimu?" Kata Li Sun-Hoan, "Kebetulan aku perlu bantuanmu."
"Apa yang kau perlukan" Katakan saja, aku lakukan
apapun keinginanmu."
Kata Li Sun-Hoan, "Ingatkah kau pada pemuda A Fei
yang datang semalam?"
"Tentu saja." Li Sun-Hoan berkata, "Jika ia terlibat kesulitan, tolong
bantu dia." Liong Xiau Yun mendesah. "Bahkan dalam situasi seperti
ini, kau masih begitu memperhatikan orang lain. Apakah
kau pernah memperhatikan dirimu sendiri?"
Kata Li Sun-Hoan kering, "Katakan padaku, apakah kau
akan melakukannya atau tidak."
"Tentu saja akan kupenuhi permintaanmu. Tapi mungkin
aku takkan pernah berjumpa dengan dia."
351 Li Sun-Hoan sangat terkejut. "Kenapa" Mungkinkah
dia"." Liong Siau-hun berusaha keras untuk tersenyum. "Kau
melihat dai pergi kemarin. Apakah mungkin dia kembali
lagi?" Li Sun-Hoan mengeluh. "Aku sangat berharap ia tidak
kembali lagi. Namun aku tahu ia pasti datang."
Liong Siau-hun bertanya, "Jika ia datang untuk
menyelamatkanmu, mengapa dia belum tiba?"
Ia menarik nafas panjang dan melanjutkan. "Toako, aku
tahu kau memperhatikan sahabatmu lebih dari apapun
juga di dunia ini. Namun tidak semua orang seperti
engkau." Li Sun-Hoan berusaha tersenyum. "Apa yang akan
dilakukannya adalah keputusannya sendiri. Aku hanya
berharap engkau mengingat bahwa ia adalah sahabatku,
sewaktu engkau berjumpa dengan dia."
Sahut Liong Siau-hun, "Sahabatmu adalah sahabatku
juga." Tiba-tiba seseorang berteriak dari luar, "Liong-siya".
Liong-siya." Liong Siau-hun segera bangkit, namun segera duduk
kembali. "Toako, kau"."
352 Li Sun-Hoan tersenyum lalu berkata, "Aku tidak ingin
minum lagi. Kau pergilah. Dan jangan lupa, besok kau
tidak perlu mengantar."
Liong Siau-hun berjalan keluar dan dilihatnya Dian-jitya
berdiri di bawah pohon. Ia segera berjalan ke sana dan
bertanya dengan berbisik, "Apakah kau berhasil
menangkapnya?" Sahut Dian-jitya, "Tidak."
"Apa" Begitu banyak orang yang telah kau kerahkan,
ditambah dengan Sim-bi Taysu Thi-tiok Siansing". tidak
dapat menyelesaikan satu anak muda saja?"
Kata Dian-jitya, "Tapi anak muda ini sangat luar biasa.
Bahkan sedikit menakutkan. Ia tidak hanya telah melukai
Kakak Tio-lotoa, kini ia pun melukai Thi-tiok Siansing!"
Liong Siau-hun menghentakkan kakinya. "Aku tahu anak
muda ini tidak mudah ditundukkan. Tapi katamu Thi-tiok
Siansing pasti dapat mengatasinya."
Kata Dian-jitya, "Walaupun ia berhasil lolos, ia kena
dilukai oleh telapak tangan Sim-bi."
Sahut Liong Siau-hun, "Kalau begitu, ia tidak mungkin
lari terlalu jauh. Mengapa tidak kau kejar dia?"
Dian-jitya berkata, "Pendeta-pendeta Siau-lim-si itu
sedang mengejarnya. Begitu ada kabar baik, aku akan
segera mengabarimu."
353 Kata Liong Siau-hun, "Aku akan pergi menyelidiki. Kau
tempatkan seseorang untuk berjaga di sini."
Di belakang pohon Bwe itu ada gunung-gunungan.
Setelah kedua orang itu pergi, seseorang muncul dari
balik gunung-gunungan itu. Matanya yang cantik penuh
dengan keheranan dan tidak percaya. Juga sakit hati dan
kebencian. Seluruh badannya menggigil, dan air mata membasahi
wajahnya. Hati Lim Si-im hancur berkeping-keping. Lalu dengan
langkah mantap ia berjalan ke arah kamar Li Sun-Hoan.
Namun segera didengarnya ada langkah-langkah orang,
sehingga Lim Si-im kembali bersembunyi di balik gununggunungan
itu. Dian-jitya membawa delapan orang ke situ dan berkata,
"Jaga dia. Jangan biarkan seorang pun masuk ke sini.
Siapapun yang masuk, bunuh."
Ia sedang tergesa-gesa hendak menangkap A Fei,
sehingga belum habis kalimatnya, dia sudah berlari pergi.
Lim Si-im menggigit bibirnya. Begitu kerasnya sampai
darah keluar. Ia menyesali dirinya sendiri, mengapa malas berlatih ilmu
silat. 354 Kini ia baru menyadari bahwa ada hal-hal yang hanya
dapat diselesaikan dengan bertempur.
Ia tidak punya ide bagaimana ia bisa masuk ke kamar
itu. Tapi tiba-tiba ia mendengar sesuatu. Langkah-langkah
orang. Langkah itu tidak terlalu berirama, namun sangat
cepat. Lim Si-im menyadari, ini adalah Thi-tiok Siansing.
Ia mendengar Thi-tiok Siansing berseru nyaring, "Apakah
orang she Li itu ada di kamar ini?"
Seorang penjaga menjawab, "Kami tidak tahu pasti."
Thi-tiok Siansing berkata, "Kalau begitu, biarkan aku
masuk dan memeriksa."
Penjaga itu menjawab, "Dian-jitya berpesan bahwa tidak
seorang pun boleh masuk."
Kata Thi-tiok Siansing, "Dian-jitya" Siapa yang peduli"
Tidakkah kalian tahu siapa aku?"
Penjaga itu memandang dengan curiga ke arah pakaian
Thi-tiok Siansing yang belepotan darah. "Siapapun tidak
boleh masuk." Thi-tiok Siansing menjawab, "Baiklah."
355 Ia mengangkat tangannya sedikit. Segenggam jarum pun
segera melesat. Mata Li Sun-Hoan terpejam, seakan-akan tertidur.
Tiba-tiba didengarnya jeritan orang kesakitan. Suara itu
tidak terlalu keras, dan pendek saja.
Ia mengangkat alisnya. "Apakah ada yang sedang
berusaha menolongku?"
Lalu ia melihat seseorang yang membawa seruling besi
masuk ke kamarnya. Wajahnya penuh dengan hawa
membunuh. Pandangan Li Sun-Hoan berhenti pada seruling besi itu.
"Thi-tiok Siansing."
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thi-tiok Siansing memandangi wajahnya. "Hiat-to (jalan
darah)mu tertutup?" Li Sun-Hoan tersenyum. "Kau tahu, jika ada arak di
hadapanku dan aku tidak minum, pasti artinya aku tidak
bisa bergerak." Kata Thi-tiok Siansing, "Kalau kau tidak bisa bergerak,
seharusnya aku tidak membunuhmu. Tapi aku harus
membunuhmu." "Hah?" Thi-tiok Siansing menatapnya lekat-lekat, "Engkau tidak
ingin tahu sebabnya?"
356 Li Sun-Hoan terkekeh. "Jika aku bertanya, pasti engkau
akan menerangkan dan menjadi marah. Jika kemudian
aku berusaha membela diri, kau pasti tidak akan percaya,
dan masih tetap akan membunuhku. Jadi buat apa
susah-susah bicara?"
Wajah Thi-tiok Siansing tiba-tiba menjadi sangat sedih.
"Ju-ih, kau sungguh mati mengenaskan. Tapi paling tidak
sekarang aku akan membalaskan dendammu."
Ia mengangkat seruling besinya.
Li Sun-Hoan menghela nafas. "Ju-ih, waktu kau melihat
aku, pasti kau akan sangat terkejut. Karena walaupun
kau tidak mengenal aku, aku mengenalmu"."
Tiba-tiba Lim Si-im masuk ke dalam kamar itu. "Tunggu
sebentar. Ada yang ingin kukatakan."
Thi-tiok Siansing menoleh terkejut. "Nyonya" Aku
sarankan agar kau tidak terlibat urusan ini. Tidak ada
seorang pun yang boleh ikut campur."
Wajah Lim Si-im menjadi hijau. "Aku tidak bermaksud
mencegahmu melakukan apa yang kau inginkan. Tapi ini
adalah rumahku. Jika seseorang harus dibunuh, biarkan
aku yang melakukannya."
"Tapi mengapa kau ingin membunuhnya?"
Sahut Lim Si-im, "Aku punya lebih banyak alasan untuk
membunuhnya daripada engkau. Kau ingin
membunuhnya untuk membalaskan dendam istrimu.
357 Namun aku ingin melakukannya demi anakku. Aku hanya
punya satu orang anak."
Maksudnya sudah jelas. Thi-tiok Siansing punya lebih dari
satu istri. Thi-tiok Siansing berpikir cukup lama, lalu berkata,
"Baiklah, kau boleh maju lebih dulu."
Ia sangat percaya diri bahwa jarum suling besinya sangat
cepat bagai kilat. Jadi walaupun Lim Si-im maju lebih
dulu, ia masih dapat mendahuluinya membunuh Li Sun-
Hoan. Namun ketika Lim Si-im berjalan melewatinya, ia
tiba-tiba berputar dan menyerangnya.
Walaupun ilmu silat Lim Si-im cetek, ia pun bukan wanita
yang lemah. Ia menggunakan seluruh kekuatannya
mendorong dengan telapak tangannya. Lagi pula, Tuan
Suling sama sekali tidak menyangka, jadi serangannya
cukup ampuh. Dan karena luka sebelumnya terbuka lagi, tubuh Thi-tiok
Siansing gemetar hebat, darah mulai mengucur keluar
dan akhirnya dia pingsan.
Lim Si-im sendiri sangat terkejut melihatnya, dan hampir
ikut pingsan. Li Sun-Hoan tahu bahwa dia tidak pernah menginjak
seekor semut sekalipun! Kini, melihat Lim Si-im melukai
seseorang, ia tidak tahu apakah ia harus merasa sedih
atau gembira. Tapi ia menekan seluruh emosinya dan
hanya berkata, "Mengapa kau datang lagi?"
358 Lim Si-im mengambil nafas panjang beberapa kali untuk
menenangkan diri. "Aku datang kembali untuk
membebaskanmu." Li Sun-Hoan mengeluh. "Apakah kau belum jelas juga"
Aku tidak akan pergi."
Kata Lim Si-im, "Aku tahu, kau tidak ingin pergi karena
Liong Siau-hun. Tapi kau tidak tahu bahwa dia".dia"."
Tubuhnya mulai menggigil lagi, bahkan lebih dari
sebelumnya. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat,
sampai kuku-kukunya melukai kulitnya. Dengan segenap
tenaganya ia berkata, "Ia telah mengkhianatimu. Ia
bersekongkol dengan mereka semua."
Setelah ia mengatakan itu, tenaganya habis terkuras.
Jikalau tidak ada kursi di dekatnya, mungkin ia sudah
jatuh rebah di tanah. Ia pikir Li Sun-Hoan pun pasti
sangat terkejut. Namun ternyata wajah Li Sun-Hoan tidak berubah
sedikitpun. Malahan ia terkekeh. "Pasti ada
kesalahpahaman. Bagaimana mungkin ia mengkhianati
aku?" Lim Si-im kembali mengumpulkan tenaganya dan
berpegangan pada meja. Seluruh meja itu pun ikut
bergetar. Katanya, "Aku melihatnya dengan mataku sendiri, dan
mendengarnya dengan telingaku sendiri."
359 Sahut Li Sun-Hoan, "Mata dan telingamu pasti salah."
Kata Lim Si-im gusar, "Kau tidak mempercayaiku?"
Li Sun-Hoan berkata dengan lembut, "Kau terlalu lelah
dua hari belakangan ini. Jadi tidak heran kalau pikiranmu
kacau. Pergilah beristirahat. Besok pasti kau akan
kembali menyadari bahwa suamimu adalah laki-laki yang
baik." Lim Si-im memandang dia. Pikirannya sungguh galau.
Setelah sekian lama, akhirnya ia menelungkup di atas
meja dan mulai menangis. Li Sun-Hoan memejamkan matanya. Ia tidak mampu
memandangnya. Suaranya bergetar, katanya, "Mengapa
kau"." Sebelum ia selesai bicara, ia mulai batuk-batuk. Kali ini
darah ikut tersembur. Akhirnya Lim Si-im tidak dapat lagi mengendalikan
dirinya. Sepuluh tahun perasaan yang tertahan, meledak
keluar saat itu. Ia segera menubruk ke arah Li Sun-Hoan. "Jika kau tidak
pergi, aku akan mati di hadapanmu."
Li Sun-Hoan mengatupkan giginya. Ia berkata perlahanlahan,
"Apa hubungannya kematianmu dengan diriku?"
Lim Si-im menengadah memandangnya. Suaranya sangat
lemah. "Kau".kau".kau"."
360 Setiap kali dia bicara satu kata, ia mundur selangkah.
Tiba-tiba ia menabrak seseorang di belakangnya.
Wajah Liong Siau-hun terlihat kaku seperti baja.
Ia melingkarkan tangannya kuat-kuat di pinggang
istrinya. Seakan-akan kuatir jika ia melepaskannya,
istrinya akan pergi dan tak kembali lagi.
Lim Si-im memandang tangan suaminya. Setelah kembali
tenang, ia berkata dengan dingin, "Lepaskan tanganmu.
Dan ingatlah, jangan sekali-kali menyentuhku lagi."
Akhirnya dilepaskannya pelukannya dan memandang
istrinya, "Kau sudah tahu semuanya?"
Lim Si-im menjawab dingin, "Tidak ada rahasia yang
abadi di dunia ini."
"Kau"kau telah memberitahukan padanya?"
Li Sun-Hoan tersenyum. "Sebenarnya dia tidak perlu
memberitahukan padaku. Aku sudah tahu dari semula."
Awalnya Liong Siau-hun tidak punya muka
memandangnya. Baru sekarang ia mengangkat
kepalanya. "Kau sudah tahu?"
"Ya." "Sejak kapan?" 361 Li Sun-Hoan menghela nafas. "Waktu kau menarik
tanganku dan membiarkan Dian-jitya menutup Hiat-to
(jalan darah)ku. Tapi". walaupun aku tahu kau terlibat,
aku tidak menyalahkanmu."
Kata Liong Siau-hun, "Jika kau sudah tahu, mengapa kau
tak mengatakan apa-apa?"
"Buat apa?" Lim Si-im memandang Li Sun-Hoan. "Kau tidak
mengatakannya karena aku, bukan?"
Li Sun-Hoan mengangkat alisnya. "Karena kau?"
Kata Lim Si-im lagi, "Kau tidak ingin menyakiti diriku,
atau merusak keluarga kami. Karena keluarga ini
adalah"." Ia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Air mata
kembali membasahi wajahnya.
Tawa Li Sun-Hoan meledak tiba-tiba. "Mengapa wanita
selalu berpikir bahwa segala sesuatu berputar
mengelilingi mereka" Aku tidak mengatakannya karena
aku tahu itu tidak ada manfaatnya. Aku juga tidak pergi
karena aku tahu mereka tidak akan membiarkan aku
pergi." Kata Lim Si-im, "Tidak peduli apa yang kau katakan
sekarang. Karena aku sudah tahu"."
362 Potong Li Sun-Hoan, "Apa yang kau tahu" Tahukah kau
mengapa ia melakukannya" Ia kuatir kalau aku akan
merusak keluarga kalian. Itu sebabnya ia melakukan
semua ini! Karena dalam pandangannya, keluarga lebih
penting dari apa pun juga di dunia ini. Ia merasa bahwa
engkaulah orang yang paling berharga dalam hidupnya."
Lim Si-im menatap dia lekat-lekat, lalu tiba-tiba juga
tertawa terbahak-bahak. "Ia telah menghancurkanmu,
tapi kau masih juga membelanya" Bagus. Kau memang
sahabat sejati. Tapi, sadarkah engkau bahwa aku juga
manusia" Tega-teganya kau berbuat seperti ini padaku!"
Li Sun-Hoan mulai terbatuk-batuk lagi. Darah mengotori
sekelilingnya. Kini Liong Siau-hun pun kehilangan kendali dan mulai
berteriak. "Tadinya aku adalah kepala keluarga di sini.
Tapi begitu kau muncul, aku merasa seperti seorang
tamu. Aku mempunyai anak yang hebat. Tapi begitu kau
datang, ia menjadi anak yang cacad."
Li Sun-Hoan mendesah. "Kau benar. Seharusnya aku
tidak datang kembali."
Lim Si-im memejamkan matanya. Air mata terus mengalir
membasahi seluruh wajahnya. "Jika kau pernah
memikirkan aku sekejap saja, seharusnya kau tidak
berbuat seperti ini."
Sahut Liong Siau-hun, "Aku tahu. Tapi aku terlalu kuatir."
Lim Si-im bertanya, "Kuatir apa?"
363 Jawab Liong Siau-hun, "Kuatir kau akan meninggalkan
diriku. Walaupun kau tidak mengatakannya, aku tahu
bahwa kau". kau tidak bisa melupakan dia. Aku kuatir
kau akan kembali ke dalam pelukannya."
Lim Si-im melompat dari kursinya dan berteriak dengan
marah, "Singkirkan tanganmu! Kau bukan hanya seorang
yang licik, tapi kau pikir aku ini orang macam apa" Kau
pikir dia itu orang macam apa?"
Lim Si-im bersimpuh di lantai dan menangis meraungraung
tidak terkendali. "Apakah kau sudah lupa bahwa
aku" aku adalah istrimu?"
Liong Siau-hun berdiri mematung di tempatnya. Hanya
air matanya yang bergulir di pipinya.
Li Sun-Hoan memandang mereka berdua dan berpikir
dalam hatinya, "Salah siapakah ini semua" Siapa yang
salah"." *** Di tempat lain, A Fei merasa seperti berbaring di dalam
gumpalan awan, tubuh terasa lemas dan melayanglayang
di tengah semacam bau harum yang sedap.
Ia sudah mendusin, tapi rasanya seperti dalam mimpi.
Dalam mimpinya juga selalu ditemui salju, ladang
belukar, binatang buas dan serentetan bencana dan
penderitaan yang tak habis-habis....
364 Dan terdengar seseorang berkata, "Apakah kau sudah
bangun?" Suara ini sungguh merdu, sungguh lembut.
Waktu A Fei membuka matanya, ia melihat wajah
seorang dewi. Wajah ini memiliki senyum yang termanis,
yang terlembut di seluruh dunia. Matanya penuh dengan
cinta kasih yang murni. Wajah ini hampir mirip dengan ibunya.
Ia teringat waktu ia masih kecil dan jatuh sakit, ibunya
selalu duduk di sampingnya seperti ini, dan mengawasi
dia dengan sabar. Namun itu sudah lama sekali. Sangat lama, sampai ia
hampir melupakannya".
A Fei berusaha bangkit dari tempat tidur itu. "Di
manakah aku?" Waktu ia berusaha duduk, ia terjatuh rebah kembali.
Lim Sian-ji membantu ia duduk dengan telaten dan
berkata dengan lembut, "Jangan kuatir di mana engkau
berada. Anggap saja ini rumahmu."
"Rumahku?" Ia tidak pernah punya rumah.
365 Kata Lim Sian-ji, "Aku rasa rumahmu pasti sangat
hangat, karena kau memiliki ibu yang sangat baik. Ia
pasti sangat lembut, sangat cantik dan kau sangat
mencintainya." A Fei hanya duduk terdiam. Setelah beberapa saat ia
berkata, "Aku tidak punya rumah, juga tidak punya ibu."
Lim Sian-ji kelihatan bingun. "Tapi"tapi waktu engkau
pingsan, kau terus-menerus memanggil ibumu."
A Fei diam saja, tidak bergerak dan wajahnya pun tidak
berubah. "Beliau sudah meninggal waktu aku berusia
tujuh tahun." Walaupun wajahnya menatap kosong, matanya mulai
basah. Lim Sian-ji menunduk. "Maafkan aku. Aku"seharusnya
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku tidak mengungkit kenangan sedih itu."
Kemudian A Fei bertanya, "Apakah engkau yang
menolongku?" Sahut Lim Sian-ji, "Waktu aku tiba, kau sudah pingsan.
Lalu aku membawamu ke sini. Selama kau berada di sini,
aku berjanji tidak ada orang lain yang akan masuk."
Kata A Fei, "Sebelum ibuku meninggal, beliau berpesan
supaya aku tidak menerima kebaikan orang lain. Aku
tidak pernah melupakannya. Namun sekarang"."
366 Wajahnya yang kaku kini menjadi hidup dan ia berteriak,
"Kini aku berhutang nyawa padamu!"
Lim Sian-ji menjawab dengan lembut, "Kau tidak
berhutang apa-apa. Jangan lupa, kau pun pernah
menyelamatkan nyawaku."
A Fei terus mengeluh. "Mengapa kau tolong aku"
Mengapa kau tolong aku?"
Lim Sian-ji memandangnya dengan sabar. Ia meletakkan
tangannya di wajah A Fei. "Jangan pikir apa-apa
sekarang. Nanti" nanti kau akan tahu mengapa aku".
aku menolongmu. Mengapa aku berbuat ini padamu."
Tangannya benar-benar cantik.
A Fei memejamkan matanya.
Ia tidak tahu bahwa ia dapat mempunyai perasaan
seperti ini. Ia bertanya, "Jam berapa sekarang?"
"Belum tengah malam."
A Fei berusaha bangkit lagi.
Lim Sian-ji bertanya, "Ke mana kau mau pergi?"
A Fei mengertakkan giginya. "Aku tak bisa membiarkan
mereka membawa Li Sun-Hoan."
367 Kata Lim Sian-ji, "Tapi mereka sudah pergi."
A Fei jatuh terduduk ke atas tempat tidur. Wajahnya
berkeringat. "Tapi katamu ini belum tengah malam?"
Sahut Lim Sian-ji, "Memang betul. Tapi Li Sun-Hoan
sudah dibawa pergi kemarin pagi."
A Fei terpana. "Aku tidur begitu lama?"
Kata Lim Sian-ji, "Luka-lukamu sangat berat. Jika orang
itu bukan engkau, aku rasa orang itu tidak akan dapat
bertahan hidup. Jadi sekarang engkau harus patuh
padaku dan menunggu sampai kesehatanmu pulih."
"Tapi Li"."
Potong Lim Sian-ji cepat, "Jangan bicara tentang dia lagi.
Keadaannya saat ini tidak segawat keadaanmu. Jika kau
ingin pergi menolongnya, tunggu sampai luka-lukamu
sembuh." Ia menggeser tubuh A Fei, sehingga kepala A Fei ada di
atas bantal. "Jangan kuatir. Sim-bi Taysu sendiri yang
membawa dia. Dia tidak akan menemui kesulitan di
jalan." *** Li Sun-Hoan duduk di atas kereta, memandang Dian-jitya
dan Sim-bi. Ia berpikir ini sungguh menarik, sehingga ia
tidak dapat menahan senyumnya.
Dian-jitya menatapnya dan bertanya, "Apa yang lucu?"
368 Sahut Li Sun-Hoan, "Aku hanya berpikir bahwa ini sangat
menarik." "Apa yang menarik?"
Li Sun-Hoan menguap, memejamkan matanya, seolaholah
akan tidur. Dian-jitya mengguncang-guncangkan tubuhnya. "Apa
yang menarik pada diriku?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Maaf, aku bukan berbicara tentang
engkau. Ada banyak orang yang menarik di dunia ini,
tapi kau tidak termasuk. Kau sangat membosankan."
Dian-jitya sungguh geram, tapi akhirnya dilepaskannya
cekalannya. Sim-bi tidak tahan untuk tidak bertanya, "Apakah
menurutmu aku menarik?"
Ia tidak pernah bertemu dengan orang yang menanggap
dia menarik. Li Sun-Hoan menguap lagi. Katanya sambil tersenyum,
"Aku berpikir kau cukup menarik karena sebelum ini aku
belum pernah berada di kereta kuda bersama dengan
seorang pendeta. Aku selalu berpikir bahwa pendeta
tidak pernah naik kuda atau kereta kuda."
Sim-bi juga tersenyum. "Pendeta kan juga manusia. Kami
tidak hanya naik kereta kuda, kami juga perlu makan."
369 Kata Li Sun-Hoan, "Tapi jika mau duduk di atas kereta,
mengapa tidak duduk dengan nyaman" Caramu duduk
membuat orang berpikir bahwa kau mempunyai
semacam penyakit kulit."
Wajah Sim-bi langsung berubah. "Kau ingin aku menutup
mulutmu?" Sim-bi memandang Dian-jitya. Tangan Dian-jitya telah
bergerak ke arah salah satu Hiat-to (jalan darah) Li Sun-
Hoan. Ia tersenyum. "Jika aku menekan di sini, kau tahu
apa yang akan terjadi, bukan?"
Li Sun-Hoan terkekeh. "Jika kau menekan di situ, maka
kau tidak akan mendengar banyak kisah yang menarik."
Kata Dian-jitya, "Kalau begitu, aku rasa aku akan"."
Di tengah-tengah perkataannya itu, tiba-tiba kuda-kuda
meringkik keras, dan berhenti.
Dian-jitya berteriak pada orang-orang yang di luar, "Apa
yang terjadi" Apa".."
Waktu ia menyingkapkan tirai dan melihat ke luar,
wajahnya seketika pucat pasi.
Seseorang berdiri di atas salju. Tangan kanannya
memegangi kereta kuda, sehingga kuda-kuda itu tidak
dapat maju. Ia hanya berdiri di situ, tidak bergerak
sedikitpun. Bab 18. Satu Hari Banyak Kejutan
370 Orang itu mengenakan baju hijau. Baju itu terlalu
panjang untuk ukuran orang biasa, namun untuk orang
ini baju itu malah tampak terlalu pendek.
Ia dapat membuat orang merasa takut karena tubuhnya
yang sangat tinggi. Ia juga mengenakan topi panjang
yang tampak aneh. Dari jauh ia kelihatan seperti
sebatang pohon. Kemampuannya untuk menghentikan kuda yang sedang
berlari, sangat mengerikan. Namun matanya lebih
mengerikan lagi. Mata itu seperti bukan mata manusia.
Matanya hijau, dan berkilauan.
Waktu Dian-jitya melihat ke luar, ia segera masuk
kembali. Ia kelihatan seperti orang sakit.
Sim-bi bertanya, "Ada seseorang di luar?"
Kata Dian-jitya lemah, "In Gok."
Li Sun-Hoan tersenyum. "Sayangnya ia sama seperti
teman-temanku yang lain. Ia hanya menginginkan
kepalaku." Wajah Sim-bi terlihat muram. Ia membuka pintu kereta
dan menyapa, "Ih-jisiansing."
Si Setan Hijau memandangnya, lalu berkata dingin,
"Apakah engkau Sim-oh Taysu" Atau Sim-bi?"
371 Sim-bi Taysu menjawab, "Pendeta tidak boleh berdusta.
Di sini ada juga Tuan Dian-jitya dan Li-tayhiap."
Kata In Gok, "Bagus. Serahkan saja Li Sun-Hoan dan
kalian boleh pergi."
Sahut Sim-bi, "Bagaimana jika aku tidak setuju?"
Kata In Gok lagi, "Maka aku harus membunuhmu dulu,
baru membunuh Li Sun-Hoan!"
Tiba-tiba ia menyorongkan tangannya. Terlihat kilatan
warna hijau, dan Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau) telah
maju terarah pada Sim-bi.
Sim-bi membaca mantra Tan Okmpat pendeta muda
berjubah abu-abu segera datang. Setelah Sim-bi
mengelak dari serangan pertama ini, pendeta-pendeta
muda itu mengelilingi In Gok.
Lalu In Gok tertawa. Selagi tertawa, disambitkannya sebatang panah yang
mengeluarkan asap hijau. Sim-bi langsung berteriak,
"Tahan nafas!" Ia memperingatkan murid-muridnya, namun ia sendiri
lupa. Ketika diucapkannya kata "tahan", bau yang aneh
masuk ke dalam mulutnya. Ketika para pendeta yang lain melihat perubahan
wajahnya, mereka langsung panik.
372 Sim-bi segera melayang beberapa meter ke belakang,
duduk bersila dan mulai bermeditasi. Ia mengerahkan
tenaga dalamnya untuk mendorong racun itu keluar.
Para pendeta Siau-lim-si itu langsung membentuk barisan
seperti tembok di depannya. Mereka hanya menguatirkan
keselamatan Sim-bi. Mereka lupa pada Li Sun-Hoan.
Namun In Gok tidak mempedulikan mereka. Ia berjalan
menuju ke kereta. Li Sun-Hoan masih di sana, namun Dian-jitya sudah
pergi. In Gok menatap Li Sun-Hoan dan bertanya, "Apakah
engkau membunuh Ku Tok?"
"Ya." Kata In Gok, "Bagus. Menukar nyawamu dengan nyawa
Ku Tok bukanlah satu kerugian bagimu."
Ia mengangkat Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)nya".
*** A Fei menatap langit-langit. Ia tidak berbicara sudah
sangat lama. Kata Lim Sian-ji, "Apa yang kau pikirkan?"
Jawab A Fei, "Apakah kau pikir ia akan menemui bahaya
di tengah jalan?" 373 Lim Sian-ji tersenyum. "Tentu saja tidak. Ada Sim-bi
Taysun, Dian-jitya yang mengawalnya. Siapa yang berani
menyerangnya?" Ia membelai rambut A Fei. "Jika kau memperhatikan aku,
beristirahatlah. Aku akan tetap di sini. Aku berjanji tidak
akan pergi." A Fei menatapnya. Matanya sungguh penuh kehangatan.
Akhirnya A Fei pergi tidur.
*** In Gok menatap Li Sun-Hoan. "Ada lagi yang ingin kau
katakan?" Li Sun-Hoan memandang Jing-mo-jiu (Tangan Setan
Hijau)nya. "Satu kalimat saja."
"Apa?" Li Sun-Hoan mendesah. "Mengapa datang jauh-jauh
hanya untuk mati?" Tiba-tiba ia memutar tangannya.
Pisau berkilat dan In Gok terjengkang ke belakang.
Begitu banyak darah menggenang di atas salju.
Kini In Gok sudah pergi jauh. Ia berteriak, "Li Sun-Hoan,
jangan lupa. Aku"."
374 Sampai di situ, ia berhenti.
Angin musim dingin mengiris kulit bagai pisau. Padang
salju tiba-tiba hening mencekam.
Tiba-tiba terdengar seseorang bertepuk tangan. Dianjitya
keluar dari balik kereta, tersenyum dan bertepuk
tangan. "Bagus. Bagus. Bagus. Pisau Kilat si Li memang
tidak pernah luput. Sehebat yang dikatakan orangorang."
Li Sun-Hoan terdiam sejenak lalu berkata, "Jika kau
bebaskan seluruh Hiat-to (jalan darah)ku, ia tidak akan
bisa lolos." Dian-jitya tertawa. "Jika kubebaskan semua Hiat-to (jalan
darah)mu, maka engkaulah yang lolos. Hanya dengan
satu tangan yang bisa bergerak dan satu pisau saja, kau
telah berhasil melukai In Gok cukup berat. Aku harus
ekstra hati-hati menghadapi orang seperti engkau."
Saat itu para pendeta itu telah menggotong Sim-bi
kembali. Setelah duduk dalam kereta, Sim-bi langsung
berkata, "Ayo pergi."
Setelah beberapa saat ia berkata lagi, "Jing-mo-jiu
(Tangan Setan Hijau) sangat berbahaya."
Dian-jitya tersenyum. "Tapi tidak lebih berbahaya
daripada Pisau Kilat si Li."
Sim-bi memandang Li Sun-Hoan, "Aku tidak menyangka
kau akan menyelamatkan kami."
375 Li Sun-Hoan terkekeh. "Aku hanya menyelamatkan diriku
sendiri. Jangan pikirkan itu. Jangan repot-repot berterima
kasih." Kata Dian-jitya, "Aku hanya bertanya apakah dia mau
pergi dengan kita ke Siau-lim-si atau tinggal dengan In
Gok. Lalu kubuka Hiat-to (jalan darah) tangan kanannya
dan kuberinya sebilah pisau."
Lalu ia menyeringai, "Itu saja sudah cukup."
Kata Sim-bi, "Pisau Kilat si Li yang legendaris"..sangat
sangat cepat!" Walaupun gerak refleksnya kurang baik, namun ia
memiliki tenaga dalam yang sangat hebat. Menjelang
malam Sim-bi telah berhasil mendorong keluar semua
racun dari dalam tubuhnya. Keesokan paginya, ia hampir
pulih sepenuhnya." Lalu mereka melihat ada sebuah kedai di tepi jalan.
Makanan tanpa arak, sama seperti masakan tanpa
garam. Kering dan hambar.
Kata Dian-jitya, "Sudah bagus ada makanan. Jangan
berharap terlalu muluk."
Peraturan Siau-lim-si sangat ketat. Para pendeta ini tidak
mengeluarkan suara sedikit pun selagi makan. Walaupun
hanya sayuran rebus, mereka sudah terbiasa. Lagi pula,
setelah perjalaLam-yang-hu cukup jauh, mereka sangat
lapar. Jadi mereka pun makan cukup lahap.
376 Hanya Sim-bi, yang baru pulih dari racun itu, tidak
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makan apa-apa. Li Sun-Hoan akhirnya menyumpit sepotong tahu. Baru
akan dimakannya, diletakkannya kembali. Wajahnya
berubah. "Kita tidak bisa makan ini."
Kata Dian-jitya, "Jika Li-Tamhoa tidak mau makan
makanan biasa seperti ini, silakan saja pergi dengan
perut kosong." Li Sun-Hoan hanya menyahut datar, "Makanan ini
beracun." Dian-jitya tertawa. "Hanya karena kami tidak
mengijinkanmu minum arak, bukan berarti?"
Tiba-tiba ia berhenti tertawa. Seakan-akan
tenggorokannya tersumbat.
Ini karena ia melihat wajah keempat pendeta Siau-lim-si
itu menjadi abu-abu. Mereka sendiri tidak menyadarinya
dan terus saja makan. Sim-bi segera berkata, "Semua berhenti makan! Segera
bermeditasi dan Lindungi organ-organ penting."
Para pendeta itu tidak menyadari apa yang sedang
terjadi. Mereka hanya tersenyum. "Apakah Susiok
menyuruh kami?" Sim-bi berkata cepat, "Tentu saja. Tak tahukah kalian
bahwa kalian sudah keracunan?"
377 "Siapa yang keracunan?"
Lalu keempat orang ini saling pandang. Semua bersamasama
berkata, "Wajahmu"."
Sebelum kalimat mereka selesai, keempatnya jatuh
tergeletak. Dalam sekejap saja tubuh mereka sudah
mulai membusuk. Racun itu bukan hanya tidak berasa dan tidak berbau,
juga bisa membuat orang yang keracunan tidak merasa
apa-apa. Waktu mereka sadar mereka telah keracunan,
mereka sudah tidak tertolong lagi.
Dian-jitya bergidik, "Racun apakah ini" Bagaimana racun
ini bisa begitu hebat" Siapakah pelakunya?"
Li Sun-Hoan memandang pada kalajengking di dinding.
"Aku tahu ia akan datang, cepat atau lambat."
Dian-jitya bertanya dengan tak sabar, "Siapa" Kau tahu
siapa dia?" Kata Li Sun-Hoan, "Ada dua jenis racun di dunia ini. Yang
satu berasal dari rumput dan tanaman. Yang satu lagi
dari ular dan serangga. Banyak orang yang bisa
membuat racun dari tanaman, tapi sangat sedikit yang
bisa membuat racun dari ular dan serangga. Dan hanya
satu orang yang dapat membuat racun yang bisa
membunuh orang tanpa disadari korbannya."
Dian-jitya terbelalak, "Maksudmu Ngo ... Ngo-tok-tongcu
dari Kek-lok-tong di daerah Miau (Ngo-tok-tongcu)?"
378 Kata Li Sun-Hoan, "Aku berharap bukan dia."
"Mengapa ia datang ke sini" Untuk apa ia datang ke
sini?" Sahut Li Sun-Hoan, "Ia datang mencari aku."
Ia tahu Li Sun-Hoan pasti tidak mempunyai teman
seperti ini. Ia hendak mengatakan sesuatu, namun
diurungkannya. "Tampaknya kau tidak punya banyak
teman, tapi punya segudang musuh."
Kata Li Sun-Hoan, "Aku tidak keberatan punya banyak
musuh. Namun seseorang hanya perlu sedikit saja
sahabat, karena kadang-kadang sahabat itu lebih
mengerikan daripada musuh."
Sim-bi tiba-tiba memotong dan bertanya, "Bagaimana
kau tahu ada racun dalam makanan itu?"
Kata Li Sun-Hoan, "Sama seperti waktu berjudi. Aku
hanya bergantung pada perasaanku. Jika seseorang
menanyakan sebabnya, aku tidak bisa menjawabnya."
Sim-bi memandang dia penuh curiga, lalu katanya, "Mulai
sekarang, kita hanya makan apa yang dia makan."
Mereka meninggalkan keempat jenazah pendeta itu di
biara setempat dan melanjutkan perjalanan.
Walaupun mereka bisa terus berjalan tanpa makan, kusir
kereta tidak mau ikut lapar bersama dengan mereka. Jadi
waktu mereka lewat sebuah kedai, ia berhenti dan
379 makan di situ. Ia membeli beberapa buah roti dan makan
dalam perjalanan. Dian-jitya terus memandangnya. Setelah beberapa saat
ia bertanya, "Berapa harga roti ini?"
Kusir kereta itu tersenyum. "Murah sekali, dan cukup
lezat. Cobalah sedikit."
Dian-jitya tersenyum. "Roti ini tidak mungkin beracun.
Mengapa tak kau coba sedikit, Pendeta?"
Sim-bi berkata, "Makanlah sedikit, Li-tayhiap."
Li Sun-Hoan terkekeh. "Tak kusangka kalian berdua
sungguh penuh kesopanan."
Ia mengambil satu dengan tangan kirinya, karena hanya
tangan kirinya yang bisa bergerak. Lalu dia berkata, "Kita
tidak bisa makan ini."
Kata Dian-jitya, "Namun kusir kereta itu makan, dan
tidak terjadi apa-apa."
Sahut Li Sun-Hoan, "Dia bisa makan, namun kita tidak."
"Mengapa?" "Karena ia bukanlah orang yang hendak dibunuh oleh
Ngo-tok-tongcu!" Dian-jitya tertawa dingin, "Apakah kau ingin menipu kami
dan membuat kami mati kelaparan?"
380 Sahut Li Sun-Hoan, "Jika kau tidak percaya, makan saja."
Dian-jitya menatapnya, lalu menyuruh kusir kereta untuk
berhenti. Ia belah roti itu menjadi dua, dan memberikan
setengah bagian pada kusir kereta itu. Kusir itu makan
dan tidak menunjukkan tanda-tanda keracunan sama
sekali. Dian-jitya berkata dingin, "Kau masih berpikir
bahwa kita tidak bisa makan roti itu?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Tidak."
Ia menguap. Lalu seolah-oleh tertidur.
Dian-jitya sungguh kesal, lalu katanya, "Aku akan makan
untuk membuktikan bahwa kau salah."
Walaupun ia berkata begitu, ia tidak makan roti itu. Lalu
dilihatnya seekor anjing liar lewat dekat kereta mereka.
Kelihatannya anjing itu pun sedang kelaparan.
Dian-jitya memberikan setengah bagian roti yang sisa
pada anjing itu. Anjing itu mengendus-endus, makan
sedikit lalu pergi. Sepertinya ia tidak suka roti itu.
Namun setelah beberapa langkah, tiba-tiba anjing itu
meloLiong nyaring, melompat dan terkapar mati.
Dian-jitya dan Sim-bi sungguh terkejut.
Li Sun-Hoan menghela nafas. "Sudah kubilang. Masih
untung, hanya seekor anjing yang mati, bukan kalian."
381 Sebelumnya, Dian-jitya kelihatan begitu percaya diri.
Namun kini wajahnya berubah total. Ia memandang pada
kusir itu dan bertanya menyelidik, "Ada apa ini?"
Kusir itu sangat ketakutan. "Aku sungguh tidak tahu. Aku
membeli roti itu dari warung tadi."
Dian-jitya mengguncang-guncangkan tubuh kusir itu.
"Lalu mengapa anjing itu mati dan kau masih hidup"
Siapa yang menaruh racun pada roti itu kalau bukan
engkau?" Kusir itu hanya gemetar, tak tahu harus menjawab apa.
Kata Li Sun-Hoan, "Tidak ada gunanya mengancam dia.
Dia sendiri pun tidak tahu apa yang terjadi."
"Jika dia tidak tahu, siapa yang tahu?"
"Aku tahu." Dian-jitya berusaha menenangkan dirinya. "Kau tahu"
Cepat jelaskan!" Sahut Li Sun-Hoan, "Roti itu beracun, namun sup yang
dimakannya di warung itu mengandung obat
penawarnya." Dian-jitya berkata dingin, "Kita kan mungkin saja turun
juga untuk makan sup itu."
Kata Li Sun-Hoan, "Jika kita makan sup itu, racunnya
tidak akan dimasukkan ke dalam roti.
382 Tipuan Ngo-tok-tongcu memang tidak dapat ditebak.
Dalam menghadapi orang seperti itu, kau hanya bisa
menutup mulutmu rapat-rapat."
Sim-bi berkata, "Ya sudah, kalau begitu kita tidak usah
makan saja untuk beberapa hari ini. Ayo lekas jalan lagi."
Dian-jitya berkata, "Walaupun kita tidak makan, aku
kuatir bahaya itu akan tetap ada."
"Mengapa?" "Karena kemungkinan ia akan menunggu sampai kita
sangat lemah, baru menyerang."
Sim-bi tidak tahu harus menjawab apa.
Lalu mata Dian-jitya berbinar. "Aku ada ide."
"Apa?" Dian-jitya berbisik, "Tujuannya kan bukan kita. Maka
kalau kita"." Ia melirik pada Li Sun-Hoan dan berhenti bicara.
Wajah Sim-bi menjadi murung. Aku sudah berjanji akan
membawanya ke Siau-lim-si. Aku tidak dapat
membiarkannya mati di tengah jalan."
Dian-jitya tidak berkata apa-apa lagi. Namun setiap kali
ia memandang Li Sun-Hoan, matanya menyiratkan niat
membunuh. 383 Pendeta bukan hanya harus makan dan tidur, mereka
pun harus buang hajat. Sim-bi menyadari juga akan hal ini. Namun apapun yang
sedang dilakukannya, dia tidak mau Li Sun-Hoan berada
di luar pengamatannya. Dian-jitya menjadi sungguh kesal dan tidak sabar, namun
ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Keesokan harinya, mereka melihat sebuah warung
menjual roti. Warung itu cukup ramai. Orang mengantri
untuk membeli. Waktu mereka mendapatkan roti itu,
mereka segera memakannya. Tak seorang pun mati
keracunan. Dian-jitya tidak bisa menahan diri lagi. "Bisakah kita
makan ini?" Kata Li Sun-Hoan, "Mereka boleh memakannya. Namun
kita tidak bisa. Walaupun sepuluh ribu orang
memakannya dan tidak terjadi apa-apa, jika kita makan,
kita pasti keracunan sampai mati!"
Jika Li Sun-Hoan mengatakan ini dua hari yang lalu,
Dian-jitya tidak mungkin percaya. Namun sekarang,
Dian-jitya harus mempercayainya.
Lalu terdengar seorang anak berteriak, "Ibu! Ibu! Aku
mau makan roti." Mereka melihat dua orang anak berusia sekitar tujuh
tahun sedang berada dekat warung itu. Mereka
384 berteriak-teriak dan melompat-lompat. Seorang wanita
keluar dari warung itu dan menampar mereka.
Anak itu menangis. "Kalau aku sudah jadi orang kaya
nanti, aku tidak mau lagi makan roti. Aku hanya mau
makan mi telur saja."
Li Sun-Hoan mengeluh. Begitu besar jurang antara yang
kaya dengan yang miskin. Dalam bayangan anak-anak
ini, bahkan mi telur pun adalah suatu kemewahan.
Jalan itu sempit dan begitu banyak orang di sana. Cukup
lama kereta mereka tidak bisa lewat.
Kini terlihat kedua anak itu masing-masing membawa
semangkuk bubur. Mata mereka tetap tertuju pada
orang-orang yang sedang makan roti.
Tiba-tiba, Dian-jitya turun dari kereta. Ia menaruh
beberapa keping uang di meja si penjual roti, dan
mengambil beberapa buah roti. Lalu ia menghampiri
kedua anak ini dan berkata, "Aku beri kalian roti ini.
Kalian beri padaku bubur itu. Bagaimana?"
Mata kedua anak itu langsung bersinar-sinar. Mereka
belum pernah bertemu dengan orang sebaik ini.
"Aku beri kalian uang untuk membeli permen juga.
Bagaimana?" Melihat ini, Sim-bi terkekeh. Akhirnya Dian-jitya
membawa dua mangkuk bubur itu ke dalam kereta. Simbi
tersenyum. "Kau cerdik juga rupanya."
385 Dian-jitya tertawa. "Yah, kita kan perlu tenaga untuk bisa
meneruskan perjalanan."
Ia memberikan semangkuk kepada Sim-bi.
Walaupun bubur ini terasa hambar, mereka memakannya
seperti makaLam-yang-hu sedap luar biasa, karena
mereka yakin bubur itu tidak beracun.
Dian-jitya memandang Li Sun-Hoan dan terkekeh.
"Apakah kau pikir ini bisa dimakan?"
Sebelum menjawab, Li Sun-Hoan mulai terbatuk-batuk.
Dian-jitya tersenyum sambil berkata, "Jika Ngo-toktongcu
sudah tahu sebelumnya bahwa anak-anak itu
ingin makan roti, dan sudah tahu bahwa kita akan
menggunakan roti itu untuk barter dengan bubur ini,
sehingga ia telah menaruh racun dalam bubur ini, maka
aku rela mati." Setelah mengatakannya, dihabiskannya semangkuk
bubur itu dengan sekali telan.
Sim-bi pun merasa bahwa bubur itu tidak mungkin
beracun. Karena betapa pun hebatnya dia, Ngo-toktongcu
tidak mungkin dapat menebak apa yang akan
terjadi! 386 Bab 19. Aneh tapi Nyata Sim-bi yakin bubur itu tidak beracun, namun bagaimana
pun juga, ia adalah seorang pendeta. Jadi sewaktu Dianjitya
sudah menghabiskan mangkuknya, ia masih pada
suapan kedua. Dian-jitya tersenyum. "Dengan kecepatan seperti ini, kita
akan tiba di Siong-san besok pagi."
Sim-bi juga terlihat lega. Katanya, "Akan ada muridmurid
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menyambut kita satu dua hari ini. Selama"."
Tiba-tiba ia berhenti bicara. Tubuhnya gemetar hebat,
dan mangkuknya terjatuh dari tangannya. Buburnya
tumpah membasahi bajunya.
Wajah Dian-jitya memucat. "Pendeta". Kau?"
"Ada racun dalam bubur ini?"
Sim-bi menghela nafas. Tidak sanggup bicara.
Dian-jitya mencekal baju Li Sun-Hoan. "Lihat wajahku.
Apakah wajahku"."
Lalu ia terdiam, karena ia tahu tidak ada gunanya
bertanya. 387 Li Sun-Hoan mendesah. "Walaupun aku selalu
menganggapmu memuakkan, aku tetap tidak ingin
melihatmu mati." Wajah Dian-jitya putih seperti kertas. Tubuhnya gemetar,
dan ia menatap Li Sun-Hoan. Lalu ia tertawa terbahakbahak,
"Walaupun kau tidak ingin melihatku mati, aku
ingin melihatmu mati! Seharusnya aku sudah
membunuhmu sejak lama!"
Kata Li Sun-Hoan, "Kau pikir sekarang sudah terlambat
untuk membunuhku?" Dian-jitya mengertakkan giginya. "Benar. Terlambat
untuk membunuhmu sekarang. Untungnya, belum terlalu
terlambat." Tiba-tiba tangannya mencengkeram leher Li Sun-Hoan.
*** A Fei bangkit berdiri. Wajahnya masih pucat, namun tubuhnya berdiri tegap.
A Fei berjalan mengelilingi kamar itu dua kali, lalu
bertanya, "Apakah kau pikir ia akan sampai di Siau-lim-si
dengan selamat?" Kata Lim Sian-ji, "Kau tidak bisa bercakap-cakap lebih
dari tiga kalimat tanpa menyinggung tentang Li Sun-
Hoan, ya" Dapatkah kita tidak membicarakan dia"
388 Mengapa kau tidak berbicara tentang aku" Atau tentang
dirimu?" A Fei memandangnya dengan tenang dan bertanya,
"Apakah dia bisa sampai dengan selamat di Siau-lim-si?"
Apapun yang dikatakan Lim Sian-ji, ia hanya punya satu
pertanyaan ini. Lim Sian-ji tertawa. "Ah, kau. Aku benar-benar tidak bisa
mengubahmu." Ia menarik tangan A Fei untuk duduk di
sampingnya, lalu katanya dengan manis, "Jangan kuatir.
Mungkin saat ini ia sedang minum teh dengan Pendeta
Sim-oh Taysu. Kau tahu, teh dari Siau-lim-si sangatlah
terkenal." Akhirnya A Fei merasa tenang, bahkan tersenyum santai.
"Dari yang aku tahu, walaupun ia sudah ditawan, ia tidak
akan pernah minum teh."
*** Li Sun-Hoan tidak dapat bernafas.
Wajah Dian-jitya juga tampak semakin aneh. Ia pun kini
sulit bernafas. Namun sepertinya ia tidak bisa
melepaskan cengkeramannya, sekalipun dalam kematian.
Li Sun-Hoan hanya merasa bahwa sekelilingnya menjadi
gelap. Wajah Dian-jitya terlihat makin samar. Ia tahu,
sebentar lagi ia akan mati.
389 Dalam keadaan ini, ia pikir ia akan teringat akan banyak
hal dalam hidupnya. Seseorang pernah memberitahu hal
ini padanya. Namun kenyataannya, saat ini ia tidak teringat apapun
juga. Tidak ada kenangan pahit. Hanya ada sesuatu yang
lucu. Ia jadi ingin tertawa.
Ia tidak pernah menyangka ia akan mati bersama-sama
dengan Dian-jitya. Sepertinya Dian-jityalah yang akan
menemaninya berjalan ke alam baka.
Tiba-tiba ia mendengar suara Dian-jitya. "Li Sun-Hoan,
nafasmu panjang sekali. Mengapa kau tidak mati-mati?"
Sebenarnya Li Sun-Hoan ingin menjawab, "Aku
menunggumu mati lebih dulu."
Tapi ia tidak bisa mengatakannya. Bernafas pun ia tidak
bisa. Lalu terdengar suara keras. Sepertinya dari jauh, namun
sepertinya juga berasal dari Dian-jitya.
Kini sekelilingnya menjadi terang kembali.
Ia melihat Dian-jitya. Dian-jitya telah tergeletak jatuh dari kursi kereta.
Matanya yang mati masih menatap Li Sun-Hoan.
Terlihat Sim-bi bernafas tidak teratur, sepertinya ia baru
saja menggunakan tenaga yang cukup besar.
390 Li Sun-Hoan memandangnya beberapa saat, lalu
bertanya, "Mengapa kau menyelamatkan aku?"
Sim-bi tidak menjawab. Ia malah terus membuka Hiat-to
(jalan darah) Li Sun-Hoan. "Sebelum Ngo-tok-tongcu
datang, kau pergilah cepat."
Li Sun-Hoan tidak bergerak sama sekali. "Mengapa kau
menyelamatkan aku" Apakah sekarang kau sudah yakin
bahwa aku bukan Bwe-hoa-cat ?"
Sahut Sim-bi, "Pendeta selalu tidak ingin tangannya
berlumuran darah sebelum mati. Siapapun engkau,
cepatlah pergi." Li Sun-Hoan memandangi wajah Sim-bi yang menghitam,
lalu mendesah. "Terima kasih. Sayangnya, walaupun aku
bisa melakukan begitu banyak hal, melarikan diri
bukanlah salah satunya."
Sim-bi berkata tergesa-gesa. "Ini bukan waktunya
menjadi pahlawan. Tenaga dalammu belum pulih. Kau
tidak akan dapat mengalahkan dia."
Tiba-tiba kuda-kuda itu meringkik keras. Kusir kereta
menjerit dan kereta mereka menabrak sebatang pohon.
Sim-bi tergeletak di samping kereta dan bertanya,
"Mengapa kau belum pergi juga" Apakah kau ingin
menyelamatkanku?" 391 Li Sun-Hoan berkata dengan tenang, "Jika kau bisa
meyelamatkan aku, mengapa aku tidak bisa
menyelamatkan engkau?"
Kata Sim-bi, "Namun kematianku tidak jauh lagi.
Mengapa harus dipermasalahkan kapan aku mati?"
Kata Li Sun-Hoan, "Tapi kau belum mati, bukan?"
Ia berhenti bicara dan mengeluarkan sebilah pisau.
Sebilah pisau yang kecil, tipis.
Pisau Kilat si Li! Senyum terbayang di bibir Li Sun-Hoan.
Kereta itu sudah terguling ke samping. Rodanya masih
berputar, berderak-derak nyaring. Di tempat yang sunyi
seperti itu, suara itu sungguh menyakitkan telinga.
Kata Li Sun-Hoan, "Roda ini perlu diminyaki."
Dalam keadaan seperti ini ia masih berpikir bahwa roda
itu perlu diminyaki! Sim-bi merasa orang ini sungguh
aneh luar biasa. Ia sudah hidup selama 60 tahun, tapi baru kali ini
bertemu dengan orang seperti ini.
Li Sun-Hoan mendukung dia keluar dari kereta. Angin
dingin menerpa muka mereka.
392 Kata Sim-bi, "Kau tak perlu melakukan ini. Sudah"pergi
saja." Malam ini tidak ada bulan. Sim-bi berusaha keras, namun
tetap tidak bisa melihat apa-apa.
Terdengar Li Sun-Hoan berseru, "Apakah engkau Ngotok-
tongcu?" Tidak ada jawaban. Kata Li Sun-Hoan, "Jika kau tidak ada di sini, maka kami
akan pergi." Sim-bi bertanya, "Ke mana kita akan pergi?"
"Kuil Siau-lim-si, tentunya."
Sim-bi sungguh terkejut, "Siau-lim-si?"
Kata Li Sun-Hoan, "Kita sudah begitu bersusah-payah
untuk pergi ke Siau-lim-si, bukan?"
Kata Sim-bi, "Ta"tapi sekarang kau tak perlu lagi pergi
ke sana." Sahut Li Sun-Hoan, "Sebenarnya, aku harus pergi ke
sana." "Mengapa?" "Karena di Siau-lim-si ada obat penawar untuk racun ini."
393 Sim-bi sungguh tidak habis pikir. "Kenapa kau
menyelamatkan aku" Aku ini musuhmu."
Kata Li Sun-Hoan, "Aku menyelamatkanmu karena
engkau adalah seorang manusia."
Sim-bi mengeluh. "Jika kita benar-benar bisa sampai di
Siau-lim-si, akan kuberitahukan pada semua orang
bahwa kau sungguh tidak bersalah. Aku yakin sekarang,
kau tidak mungkin adalah Bwe-hoa-cat ."
Li Sun-Hoan hanya tersenyum. Ia tidak mengatakan apaapa.
Kata Sim-bi, "Sayangnya, jika kau terus menggendongku,
kau tidak akan pernah sampai di Siau-lim-si. Walaupun
Ngo-tok-tongcu tidak mau memperlihatkan dirinya, ia
tidak akan membiarkan engkau lolos."
Li Sun-Hoan terbatuk sedikit.
Kata Sim-bi lagi, "Dengan ilmu meringankan tubuhmu,
kau mungkin bisa lolos. Mengapa kau harus membawa
aku" Aku sudah sangat berterima kasih karena engkau
berpikir untuk menyelamatkanku."
Tiba-tiba terdengar suara tawa. "Wah. Seorang pendeta
Siau-lim-si berteman akrab dengan Tamhoa, pemabuk
yang gemar wanita. Siapa yang bisa percaya?"
Suara tawa kadang terdengar dekat, kadang terdengar
sangat jauh. Tidak dapat di duga dari mana datangnya.
394 Sim-bi bertanya, "Ngo-tok-tongcu?"
Suara itu menjawab, "Bagaimana rasanya bubur itu"
Sedap, bukan?" Kata Li Sun-Hoan, "Jika kau ingin membunuhku,
mengapa tidak keluar saja dan melakukannya?"
Ngo-tok-tongcu menjawab, "Aku tidak perlu keluar untuk
membunuhmu." "O ya?" "Sampai hari ini, aku sudah membunuh 392 orang. Tidak
seorangpun dari mereka yang pernah melihat aku.
Bahkan bayanganku pun tidak mereka lihat."
Li Sun-Hoan tersenyum. "Kata orang kau adalah seorang
cebol dan rupamu sangat buruk. Oleh sebab itu kau tidak
ingin dilihat orang. Kelihatannya memang betul."
Setelah hening beberapa saat, Ngo-tok-tongcu
menjawab, "Aku akan membiarkanmu hidup sampai
besok pagi." Li Sun-Hoan tertawa. "Tentu saja aku akan hidup sampai
besok pagi. Tapi aku kuatir, tidak demikian dengan
engkau." Sebelum ia selesai tertawa, terdengar bunyi seruling.
395 Tiba-tiba tampak bayangan benda-benda besar dan kecil
di atas salju. Ia tidak tahu benda apakah itu. Apapun
benda itu, ia harus menahan nafasnya.
Kata Sim-bi, "Ketika Ngo-tok-tongcu muncul, tubuh
orang-orang mulai membusuk. Jika kau tidak pergi
sekarang, kapan lagi?"
Li Sun-Hoan seolah-olah tidak mendengarnya. Lalu
katanya, "Katanya dia punya ribuan hewan beracun.
Mengapa aku hanya lihat beberapa saja" Apa yang
lainnya sudah mati?"
Suara seruling terdengar makin cepat. Beberapa hewan
melata itu sudah merayapi kaki mereka. Sim-bi sudah
hampir muntah. Ngo-tok-tongcu lalu tertawa. "Ini adalah hewan-hewan
kesayanganku, mereka mengandung tujuh macam racun.
Mereka tidak hanya makan daging, tapi sesudah itu
mereka akan menghabiskan tulang-tulangmu juga."
Sebelum ia selesai bicara, sebilah pisau telah melesat!
Sim-bi hampir terpekik. Ia tahu, pisau Li Sun-Hoan adalah satu-satunya harapan
mereka. Tapi Li Sun-Hoan tidak dapat melihat apa-apa.
Jika pisaunya meleset, matilah mereka berdua.
Ia sedang bertaruh dengan nyawanya.
396 Dan kesempatan mereka tipis sekali.
Sim-bi tidak menyangka Li Sun-Hoan akan mengambil
resiko sebesar itu. Saat itu kilau pisau telah tertelan kegelapan. Namun tibatiba
kegelapan itu mengeluarkan jeritan yang
melengking! Seseorang keluar dari kegelapan itu.
Orang itu kelihatan seperti seorang anak kecil. Ia
mengenakan baju pendek. Kakinya yang kecil bisa
terlihat. Dalam malam musim dingin ini, ia tidak tampak
kedinginan. Kepalanya kecil, namun matanya bersinar tajam.
Matanya penuh dengan kemarahan dan
ketidakpercayaan. Mata itu menatap Li Sun-Hoan lekatlekat.
Ia ingin bicara, namun kata-kata tak dapat keluar.
Sim-bi lalu melihat pisau kecil Li Sun-Hoan telah
tertancap di lehernya. Ia tidak tahan untuk mencabut
pisau itu. Waktu ia mencabutnya, darah menyembur ke
luar. Ngo-tok-tongcu akhirnya berkata, "Pisau yang sangat
berbahaya." Saat itu, hewan-hewan itu telah merayapi tubuh Li Sun-
Hoan dan Sim-bi. Namun kini mereka tidak bergerak lagi.
397 Li si pisau terbang memang tidak ada duanya, namun
mereka berdua tetap saja bisa dimakan hidup-hidup oleh
hewan-hewan beracun itu. Siapa sangka, ketika darah Ngo-tok-tongcu menyembur,
hewan-hewan itu langsung melompat ke arah
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenggorokannya. Dalam waktu singkat, seluruh tubuhnya habis. Namun
setelah hewan-hewan itu memakannya habis, mereka
pun berhenti bergerak. Sangat ironis bahwa Ngo-tok-tongcu mati oleh racunnya
sendiri. Sim-bi akhirnya menghela nafas lega. "Bukan saja
pisaumu yang tidak ada duanya di dunia ini, namun
ketenanganmu juga." Pahlawan Dan Kaisar 18 Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Kasih Diantara Remaja 8
tersenyum. Katanya, "Sepertinya aku tak akan mungkin jadi
terkenal." Sahut Li Sun-Hoan, "Mungkin itu lebih baik."
295 Ketika ia melihat senyuman A Fei, senyum Li Sun-Hoan
pun terasa lebih alami. Senyuman mereka seolah-olah
sedang membicarakan masalah yang paling menarik di
seluruh dunia. Semua orang memandang kedua orang ini, tak
menyadari apa permasalahan pada diri mereka. Tiba-tiba
A Fei melayang ke samping Li Sun-Hoan. Ditariknya
lengan Li Sun-Hoan dan berkata, "Ketenaran adalah
masalah kecil. Namun hari ini kita bisa bertemu, itu harus
dirayakan dengan arak."
Sahut Li Sun-Hoan, "Biasanya aku tak mungkin menolak
minum arak. Tapi hari ini"."
Dian-jitya menyambungnya, "Sayangnya hari ini dia tidak
bisa." A Fei berkata dengan dingin, "Kata siapa?"
Dian-jitya melambaikan tangannya. Dua orang bertubuh
kekar maju. Salah seorang berkata, "Dian-jitya yang
mengatakannya. Semua orang tunduk pada katakatanya."
Yang seorang lagi menyambung, "Yang membangkang,
harus mati!" Walaupun mereka kelihatannya seperti pelayan,
kecepatan mereka maju ke muka menandakan bahwa
ilmu silat mereka cukup tinggi.
296 Selagi mereka masih berbicara, dua batang golok baja
berputar sangat cepat, menjadi seperti dua pelangi
terbang. Menggulung angin yang dahsyat, kedua golok
ini menyambar ke arah A Fei. Satu dari kiri, satu dari
kanan. Satu ke atas, satu ke bawah. Menebas secepat
kilat ke pundak A Fei. A Fei hanya menghadapi serangan mereka dengan
tatapan dingin. Ia tidak bergerak sama sekali. Tiba-tiba
terlihat sekilat cahaya. Dan sekilat lagi. Lalu terdengar
dua jerit kesakitan. Dua golok terlontar ke udara. Kedua
lengan kiri kedua orang itu memegangi lengan kanan
mereka. Wajah mereka sungguh kesakitan. Darah
mengalir deras dari antara jari-jari mereka.
Namun pedang A Fei masih terselip di pinggangnya.
Tidak ada yang melihat dia menghunus pedangnya.
Namun kini dari ujung pedangnya menetes darah segar.
Pedang yang luar biasa cepat!
Senyum Dian-jitya pun lenyap.
A Fei berkata dengan tenang. "Kata-kata Tuan Ketujuh
adalah perintah. Sayangnya, pedangku tidak patuh pada
perintah. Dia hanya tahu membunuh orang."
Wajah kedua orang itu sungguh terpana. Mereka mundur
beberapa langkah sebelum lari keluar keluar. Pedang
memang tak bisa memberi perintah, namun kadangkadang
mereka lebih efektif daripada perintah siapapun
juga. 297 A Fei menarik lengan Li Sun-Hoan. "Mari kita pergi
minum arak. Aku tak percaya masih ada orang yang
berani menghalangi kita."
Sebelum Li Sun-Hoan menjawab, Liong Siau-hun
bertanya, "Jika kau ingin dia pergi, mengapa tak kau
buka saja Hiat-to (jalan darah)nya?"
Mulut A Fei terkunci. Hati Li Sun-Hoan tercekat. Ia
teringat kejadian hari itu".
Hari itu A Fei menangkap Ang Han-bin dan meninggalkan
dia untuk Li Sun-Hoan. Hari itu Li Sun-Hoan pun merasa heran. Mengapa A Fei
tidak menutup saja Hiat-to (jalan darah)nya" Kini ia
mengerti sebabnya! Pedang pemuda ini mungkin tiada tandingannya, tapi ia
tidak tahu apa-apa tentang ilmu totok!
Hati Li Sun-Hoan langsung merosot, namun wajahnya
tetap tenang. Katanya sambil tersenyum, "Hari ini aku
tak punya uang untuk mentraktirmu."
A Fei berpikir sejenak, lalu berkata, "Hari ini aku yang
traktir." Sahut Li Sun-Hoan, "Aku tidak akan pernah minum arak
yang tidak kubeli dengan uangku sendiri."
A Fei menatapnya. Di wajahnya yang kaku tersirat
kesedihan. 298 Ia mengerti, Li Sun-Hoan tidak ingin membahayakan
dirinya. Jika ia tidak dapat membuka Hiat-to (jalan darah) Li Sun-
Hoan, ia harus menggendong Li Sun-Hoan keluar. Jika ia
menggendong Li Sun-Hoan, maka kemungkinan mereka
berdua tak akan bisa keluar lagi selamanya.
Mata Dian-jitya berbinar lagi. Ia memandang wajah
mereka satu per satu, lalu tersenyum dan berkata, "Li
Sun-Hoan memang adalah pria sejati. Ia tidak mau
menyeret orang lain jatuh bersamanya. Sobat muda,
sudah saatnya kau pergi."
Li Sun-Hoan tahu bahwa rase tua ini melihat di mana
kelemahan A Fei. Oleh sebab itu ia berkata cepat, "Kau
tak perlu memancing dia. Ia tak akan terpengaruh. Lagi
pula, walaupun sambil menggendong aku, belum tentu
kalian semua dapat mengalahkan dia."
Ia melanjutkan lagi. "Kau pun tahu aku tak akan pergi
dengannya. Jika aku pergi dengan dia sekarang, aku tak
akan punya kesempatan untuk membersihkan Cayhe."
Kata-kata ini ditujukan pada A Fei.
A Fei berdiri menatapnya, lalu berkata, "Kalau mereka
berkata bahwa engkau adalah Bwe-hoa-cat , maka
engkau pasti adalah Bwe-hoa-cat , bukan?"
Li Sun-Hoan tertawa. "Kata-kata sebagian orang memang
tidak bisa dibedakan dari kentut yang besar."
299 A Fei bertanya, "Lalu mengapa kau harus peduli jika
mereka hanya kentut?"
Tiba-tiba diputarnya tubuhnya dan diangkatnya Li Sun-
Hoan, digendong di punggungnya. Saat itulah Dian-jitya
bergerak. Bayangan tongkatnya terlihat menusuk ke
sebelas titik Hiat-to (jalan darah) yang terpenting di dada
A Fei. Jika ujung tongkatnya menyentuh tubuh A Fei
sedikit saja, maka A Fei tidak akan mungkin bergerak
lagi. A Fei tidak berusaha menghunus pedangnya!
Ia memang seperti Li Sun-Hoan. Jika pedangnya
terhunus, dia pasti meminta darah.
Namun saat ini, ia tidak tahu bagaimana caranya
mengalahkan Dian-jitya. Semua orang memandang bayangan tongkat Dian-jitya
dengan tegang. Ilmu totok Dian-jitya adalah salah satu
yang terbaik dalam dunia persilatan, namun sepertinya ia
sulit sekali menundukkan anak muda ini.
Tio Cing-ngo berkata, "Membunuh Bwe-hoa-cat adalah
penghargaan yang tertinggi. Mengapa ada orang yang
menyia-nyiakan kesempatan baik ini?"
Sebelum kalimatnya selesai, tujuh orang telah
menghunus senjata mereka. Semuanya tertuju pada Li
Sun-Hoan. Lim Sian-ji segera menghampiri Liong Siauhun
dan berkata, "Losi, mengapa kau tak menghentikan
mereka?" 300 Liong Siau-hun menyahut, "Kau tidak bisa lihat bahwa
Hiat-to (jalan darah)ku telah ditutup?"
Saat itu terdengarlah bunyi yang keras. Tiga orang telah
jatuh ke tanah. Akhirnya A Fei menghunus pedangnya!
Ia mungkin tak bisa melukai Dian-jitya, namun jika ada
yang mencari kematian, pedangnya hanya dapat
memberikan bantuan. Darah terlihat di sela-sela kilatan
pedang. Jubah Li Sun-Hoan pun telah bersimbah darah.
Kini semua senjata telah disimpan kembali. Semua
senjata, kecuali tongkat pendek Dian-jitya, yang serupa
ular meliuk-liuk menyerang titik-titik Hiat-to (jalan darah)
A Fei. Lim Sian-ji mendesah dan berkata, "Tio-toaya adalah pria
sejati. Tidak mungkin ia akan main keroyok."
Mata Tio Cing-ngo langsung berbinar, katanya, "Tapi
menghadapi orang macam Bwe-hoa-cat tak perlulah kita
memperhatikan aturan dunia persilatan!"
Diraihnya tombak panjang yang berada di sampingnya.
Langsung diserangnya punggung Li Sun-Hoan.
Ternyata reputasinya memang hanya kosong
melompong. Gerakan Tio Cing-ngo cukup mengagumkan.
Tongkat dan tombak itu lebih panjang daripada pedang
pendek A Fei, sehingga posisinya kurang
301 menguntungkan. Dan lagi, ada seseorang di atas
punggungnya. Pada awalnya, Dian-jitya ingin mengambil keuntungan
dari senjatanya yang lebih panjang untuk mengalahkan A
Fei. Namun ia selalu luput pada saat yang terakhir, entah
bagaimana. Setelah begitu banyak jurus, ia baru menyadari bahwa
anak muda ini tidak pernah menyerang sekali pun.
Namun gerakan A Fei sungguh luar biasa. Pada saat ia
akan menutup Hiat-to (jalan darah) A Fei, anak muda ini
bisa berkelit dengan misterius.
Dian-jitya cukup berpengetahuan dalam ilmu silat,
namun ia tidak bisa menduga ilmu aliran mana yang
digunakan anak muda ini. Tiba-tiba terpikir olehnya suatu ide. Ia tersenyum. "Sobat
muda, mengapa tak kau turunkan saja dia. Kalau tidak,
sebelum dia menyeretmu jatuh bersamanya, kaulah yang
akan menyeret dia jatuh bersamamu."
A Fei mengertakkan giginya. "Jika kau ingin aku
menurunkannya, mengapa kau terus menyerang aku?"
Dian-jitya segera menarik tongkatnya dan mundur
beberapa langkah. Tombak Tio Cing-ngo pun terhenti di
tengah jalan dan ditarik kembali.
A Fei tidak memandang mereka sama sekali.
Didudukkannya Li Sun-Hoan pada sebuah kursi. Wajah Li
Sun-Hoan merah padam. Namun dia berusaha keras
302 menahan diri untuk tidak terbatuk. Ia kuatir kalau
batuknya akan mengganggu konsentrasi A Fei.
A Fei memandang Li Sun-Hoan, lalu memutar badannya
memandang Tio Cing-ngo dan berkata, "Aku menyesal
akan satu hal. Waktu itu, mengapa tak kubunuh kau?"
Selagi berbicara, pedangnya pun terhunus.
Kecepatan pedang ini memang tak terkatakan.
Bagaimana mungkin Tio Cing-ngo dapat menghindarinya.
Tepat saat darah akan tertumpah, terdengar suara dari
luar, "Omitohud." Selagi berbicara, sesosok bayangan
dari luar masuk ke dalam. Waktu suku kata kedua
terdengar, bayangan itu telah berada di belakang A Fei.
Awalnya A Fei akan menyerang Tio Cing-ngo, namun
tiba-tiba dibaliknya pedangnya ke arah sebaliknya,
menyerang bayangan itu. Setelah itu terdengar suara keras, pedangnya
menghantam bayangan itu, yang ternyata adalah tasbih
pendeta. Pedangnya masih bergetar, namun A Fei tetap berdiri
tidak bergeming. Kini fajar telah tiba. Berbarengan dengan sinar matahari pagi, enam pendeta
berpakaian kelabu masuk ke dalam bangsal. Yang paling
depan beralis putih, namun wajahnya masih terang dan
pandangan matanya berbinar-binar.
303 Dibukanya telapak tangannya. Tasbih itu pun kembali ke
tangannya. Setelah pulih dari rasa terkejutnya, Tio Cing-ngo
menenangkan dirinya. Ia membungkuk di depan pendeta
beralis putih itu. "Aku tidak tahu bahwa pendeta akan
datang. Maaf aku tidak menyambutmu di luar."
Pendeta beralis putih itu hanya tersenyum. Matanya
terarah pada A Fei. Lalu katanya, "Pedangmu cepat
sekali." Kata A Fei, "Jika pedangku tidak cepat, aku rasa kau
datang tepat waktu untuk menunjukkan kepadaku arah
ke neraka." Pendeta beralis putih itu berkata, "Aku hanya tak ingin
melihat kematian lagi. Oleh sebab itu aku bergerak.
Walaupun pedangmu cepat, namun tidak akan lebih
cepat daripada mata Sang Buddha."
Sahut A Fei, "Apakah tasbihmu lebih cepat daripada mata
Sang Buddha" Jika aku mati oleh tasbihmu, bukankah itu
berarti kematian juga?"
Tio Cing-ngo memotong cepat, "Berani-beraninya kau
bicara seperti itu pada seorang Hou-hoat-taysu (padri
agung pembela agama)!"
Pendeta beralis putih itu hanya tersenyum. "Tidak apaapa.
Mulut anak muda ini setajam pedang juga."
304 Tiba-tiba Lim Sian-ji tersenyum dan berkata, "Sim-bi
Taysu telah melepaskanmu. Cepatlah pergi sekarang."
Tio Cing-ngo berkata dingin, "Kurasa dia tidak bisa lagi
pergi sekarang!" Sahut A Fei, "O ya" Kau kira kau bisa menghalangi aku
sekarang?" Sambil berbicara, ia telah melangkah ke luar.
Wajah Tio Cing-ngo berubah. Katanya, "Pendeta"."
Dian-jitya cepat-cepat menyela, "Sim-bi taysu sungguh
pemaaf. Ia hanya seorang pemuda. Biarkanlah ia pergi."
Sim-bi berbicara dengan serius, "Aku datang setelah
menerima surat dari Ciangbun-suheng Siau-lim-si, bahwa
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang murid Siau-lim-si, Cin Tiong, telah terluka parah.
Maka aku segera datang."
Tio Cing-ngo mendesah. Lalu melirik pada Li Sun-Hoan.
"Sayang pendeta datang terlambat."
Kini di luar sudah terang. Orang-orang mulai berlalulalang
di jalan. A Fei berjalan di atas salju. Walaupun
langkahnya ringan, hatinya sangat berat.
Lalu didengarnya suara orang berseru, "Tunggu!
Tunggu!" Suara itu jernih dan merdu. A Fei tidak perlu menoleh
untuk tahu siapa yang mengerjar di belakang.
305 Ini karena semua orang di jalan kini berhenti bicara dan
berhenti berjalan. Mereka semua bengong seperti orang
tolol memandang orang di belakang A Fei.
A Fei tidak menoleh. Ia terus berjalan.
Lalu tercium bau harum di belakangnya. Keharumannya
sungguh memabukkan. Mau tidak mau, dipalingkannya
wajahnya. Lim Sian-ji masih tetap cantik dan menggairahkan.
Mata A Fei masih sedingin salju.
Lim Sian-ji menundukkan kepalanya. Mukanya bersemu
merah. "Aku ingin minta maaf. Aku"."
Kata A Fei, "Kau tak perlu minta maaf."
Lim Sian-ji menggigit bibirnya. "Tapi orang-orang itu
sungguh salah. Dan begitu kasar."
Sahut A Fei, "Itu tidak ada hubungannya dengan
engkau." Kata Lim Sian-ji, "Tapi kau telah menyelamatkan aku.
Bagaimana aku"."
Sahut A Fei, "Aku menyelamatkanmu. Aku tidak
menyelamatkan mereka. Aku tidak menyelamatkanmu
untuk memohon maaf atas kesalahan mereka."
Lalu ia bertanya lagi, "Ada lagi yang ingin kau katakan?"
306 Lim Sian-ji terdiam. Ia tidak pernah bertemu dengan
orang seperti ini. Ia selalu yakin bahwa gunung es
sedingin apapun akan mencair di hadapannya.
Lalu A Fei berkata, "Selamat tinggal."
Ia membalikkan badan dan berjalan lagi. Baru beberapa
langkah, Lim Sian-ji berseru lagi, "Tunggu sebentar. Ada
lagi yang hendak kusampaikan."
Sahut A Fei, "Tidak perlu."
Namun kata Lim Sian-ji, "Tapi". jika sesuatu terjadi pada
Li Sun-Hoan, siapakah yang harus kuberi tahu?"
A Fei menoleh cepat dan berkata, "Kau tahu kuil Sim di
sebelah barat?" Sahut Lim Sian-ji, "Jangan lupa, aku sudah tinggal di sini
enam tahun." "Aku akan berada di situ. Sebelum gelap aku tak akan
pergi." Lalu Lim Sian-ji bertanya, "Dan setelah malam?"
A Fei menengadah memandang langit. Katanya, "Jangan
lupa, Li Sun-Hoan adalah sahabatku. Aku tidak punya
banyak teman. Dan sahabat seperti Li Sun-Hoan, tidak
mungkin dicari gantinya. Jadi kalau dia mati, dunia ini
akan menjadi sangat membosankan."
307 Lim Sian-ji mengeluh. "Aku tahu kau pasti masih
berencana untuk menyelamatkannya. Tapi tahukah
engkau, sahabat sebaik apa pun tidak berharga sebesar
nyawamu." A Fei memandang Lim Sian-ji dalam-dalam, langsung ke
bola matanya. Katanya perlahan tapi tegas, "Aku
sungguh-sungguh berharap kau tidak akan pernah
mengatakannya lagi. Kali ini, aku akan berpura-pura
tidak mendengar." Bab 15. Cinta Sejati Setelah hujan salju terus menerus untuk beberapa hari,
matahari muncul kembali hari ini.
Namun cahayanya tidak sampai ke ruangan yang satu
ini. Sungguh pun demikian, Li Sun-Hoan tidak putus asa.
Ia tahu beberapa tempat di dunia ini tidak pernah
merasakan cahaya matahari.
Lagi pula, ia kenal baik dengan keputusasaan.
Ia tidak tahu pasti apa yang akan dilakukan oleh Tian,
Tio-lotoa dan yang lain terhadapnya. Ia malas
memikirkan hal-hal seperti itu. Saat itu, Dian-jitya sedang
mengantarkan para pendeta Siau-lim-si menemui Cin
Hau-gi dan putranya. Mereka melemparkan Li Sun-Hoan
ke sebuah gudang kosong. Akan tetapi, Liong Siau-hun
diam saja. Li Sun-Hoan tidak menyalahkan Liong Siau-hun.
308 Liong Siau-hun punya alasannya sendiri. Lagi pula, ia pun
tidak bisa berbuat apa-apa.
Li Sun-Hoan hanya berharap A Fei tidak kembali untuk
menyelamatkannya. Ia tahu bahwa walaupun pedang A
Fei sangat cepat, ilmu silatnya mempunyai banyak
lubang kelemahan. Jika ia bertemu dengan orang seperti
Dian-jitya atau Sim-bi Taysu, dan pedangnya tidak
melihat darah pada gebrakan pertama, mungkin pedang
itu takkan dapat melihat darah untuk selama-lamanya.
Hanya dalam waktu tiga tahun, A Fei akan dapat
memperbaiki kekurangannya. Pada saat itulah ia tidak
akan terkalahkan. Jadi paling tidak dia harus hidup tiga tahun lagi.
Lantai di situ amat basah. Li Sun-Hoan terbatuk-batuk
lagi. Ia berharap bisa minum arak.
Namun sekarang, harapan sesederhana itu pun tak bisa
terwujud. Jika orang lain ada dalam posisinya, mungkin
orang itu sudah menangis meraung-raung.
Namun Li Sun-Hoan malah tertawa. Ia berpikir bahwa
beberapa hal di dunia ini sungguh menggelikan.
Rumah ini dulu adalah miliknya. Semua yang berada di
sini adalah kepunyaannya. Tapi kini semua orang
menganggap dia adalah seorang pencuri, bahkan
mengurungnya di kamar sempit seperti ini seperti seekor
anjing. Siapa yang menyangka"
309 Tiba-tiba pintu terkuak. Mungkin Tio Cing-ngo sudah tidak sabar lagi menunggu
dan ingin membunuhnya sekarang juga"
Namun ternyata bukan Tio Cing-ngo yang datang. Ia
mencium wangi arak. Dan dilihatnya tangan yang
memegang botol arak. Tangan itu kecil dan pergelangan tangannya tertutup
oleh baju berwarna merah.
Tanya Li Sun-Hoan, "Siau-in, kaukah itu?"
Ang-hai-ji masuk sambil cekikikan. Ia memegang botol
arak itu dengan kedua tangannya dan mencium wangi
arak itu. Katanya sambil tersenyum lebar, "Aku tahu, kau
pasti ingin minum arak, bukan?"
Li Sun-Hoan tersenyum. "Karena kau tahu aku ingin
minum arak, kau membawakannya untukku, bukan?"
Ang-hai-ji mengangguk. Dituangnya arak itu ke dalam
cawan, dan disodorkannya ke hadapan Li Sun-Hoan.
Baru Li Sun-Hoan membuka mulutnya, Ang-hai-ji
menarik kembali tangannya. Lalu sambil tersenyum
berkata, "Sebelum minum, kau harus menebak arak
apakah ini." Li Sun-Hoan memejamkan matanya. Ditariknya nafas
dalam-dalam, lalu berkata, "Ini adalah arak tua Tik-yapjing.
Arak kesukaanku. Jika aku tak mengenali arak ini,
aku memang pantas mati."
310 Ang-hai-ji tersenyum. "Tak heran semua orang bilang
bahwa Li-tamhoa adalah ahli dalam hal wanita dan arak.
Jika kau ingin minum arak ini, maka jawablah
pertanyaanku." "Apa pertanyaanmu?"
Senyumnya yang lebar kini lenyap.
Ia menatap wajah Li Sun-Hoan dan bertanya, "Apa
hubunganmu dengan ibuku" Apakah ia sangat
menyukaimu?" Wajah Li Sun-Hoan langsung berubah. Katanya, "Apakah
kau sungguh-sungguh ingin tahu?"
Jawab Ang-hai-ji , "Mengapa seorang anak tidak boleh
bertanya tentang ibunya?"
Li Sun-Hoan berkata dengan marah. "Tidakkah kau
menyadari betapa ibumu mengasihi ayahmu dengan
segenap hatinya" Mengapa kau malah berpikir
sebaliknya?" Ang-hai-ji tertawa dingin. "Kau pikir kau bisa
menyembunyikan ini dari diriku" Jangan mimpi."
Dikertakkan giginya. "Waktu ibu mendengar apa yang
terjadi padamu, ia menutup pintu kamarnya dan
menangis tersedu-sedu. Waktu aku hampir mati pun, ia
tidak menangis seperti itu. Maka aku bertanya sekarang.
Kenapa?" 311 Hati Li Sun-Hoan merosot jatuh. Ia merasa seperti
segumpal lumpur, diinjak-injak oleh orang yang lewat.
Setelah sekian lama, diteguhkannya hatinya. "Akan
kuberitahukan padamu sekarang. Kau boleh meragukan
siapapun juga. Tapi jangan ragukan ibumu. Karena tidak
ada sesuatupun yang disembunyikannya. Sekarang,
ambil arak itu dan pergi."
Ang-hai-ji menatapnya. "Arak ini untukmu. Mana
mungkin kubawa kembali?"
Ditumpahkannya secawan arak itu ke muka Li Sun-Hoan.
Li Sun-Hoan tidak bergerak. Ia tidak memandang wajah
Ang-hai-ji sama sekali. Ia hanya berkata, "Kau masih
kecil. Aku tidak menyalahkanmu."
Ang-hai-ji tertawa dingin. "Kalaupun aku bukan anak
kecil, apa yang dapat kau perbuat?"
Tiba-tiba dikeluarkannya sebilah pisau, dilambailambaikannya
di depan wajah Li Sun-Hoan. "Lihat pisau
ini baik-baik. Ini kan pisaumu. Ibu bilang bahwa jika aku
mempunyai pisau ini, maka kau akan melindungi aku.
Tapi bisakah kau melindungi aku sekarang" Kau bahkan
tidak bisa melindungi dirimu sendiri!"
Li Sun-Hoan mengeluh. "Kau benar. Lagi pula, pisau itu
untuk membunuh, bukan untuk perLindungan."
Wajah Ang-hai-ji memucat. Dengan berdesis ia berkata,
"Kau telah membuatku cacad. Kini akan kubuat kau
merasakan kesakitan yang sama. Kau"."
312 Tiba-tiba terdengar suara dari luar. "Siau-in" Apakah kau
ada di dalam?" Suara ini hangat dan tenang. Namun ketika Li Sun-Hoan
dan Ang-hai-ji mendengarnya, wajah mereka langsung
berubah. Ang-hai-ji segera menyimpan pisaunya dan
segera seulas senyum lugu menghiasi wajahnya. "Ibu,
aku di sini. Aku membawa arak untuk Paman Li. Tapi
waktu ibu memanggil, aku terkejut, Aku jadi tidak
sengaja menumpahkan arak itu ke wajah Paman Li."
Lim Si-im muncul di pintu. Matanya yang cantik tampak
sembap, penuh kesedihan. Namun waktu ia melihat Ang-hai-ji , wajahnya menjadi
hangat. "Paman Li tidak mau minum arak sekarang. Dan
kau pun harus tidur sekarang. Ayo."
Ang-hai-ji berkata, "Paman Li tidak bersalah, bukan"
Mengapa kita tidak menolongnya?"
Lim Si-im menjawab dengan lembut, "Anak kecil jangan
berbicara seperti itu. Sana pergi tidur."
Ang-hai-ji menoleh dan menatap Li Sun-Hoan, "Paman
Li, aku harus pergi sekarang. Besok aku bawakan arak
lagi untukmu." Li Sun-Hoan memandang senyum lugu anak itu dan
keringat dingin pun membasahi sekujur tubuhnya.
Didengarnya Lim Si-im mendesah. "Awalnya aku kuatir ia
akan mencoba melukaimu. Tapi sekarang".sekarang aku
313 tidak kuatir lagi. Walaupun dia telah melakukan banyak
kesalahan, ia adalah anak yang baik."
Li Sun-Hoan hanya dapat tersenyum.
Lim Si-im tidak memandangnya. Setelah beberapa saat,
ia berkata, "Dulu kau selalu menepati janjimu. Mengapa
kau berubah?" Li Sun-Hoan merasa tenggorokannya tersumbat, ia tidak
bisa bicara. "Kau berjanji tidak akan menemui Lim Sian-ji. Tapi
mereka malah menemukanmu di bilik Lim Sian-ji."
Li Sun-Hoan tertawa. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia
tertawa. Sambil memandangi kakinya ia berkata, "Aku
ingat gudang ini dibangun baru lima belasan tahun yang
lalu." "Ya." "Akan tetapi kini tempat ini terasa sangat tua. Jendelanya
sudah pecah. Atapnya berlubang. Ini artinya bahwa
sepuluh tahun memang waktu yang lama. Jika suatu
bangunan bisa berubah, mengapa manusia tidak?"
Lim Si-im meremas-remas tangannya sendiri, lalu
bertanya, "Sejak".Sejak kapan kau jadi seorang
penipu?" Sahut Li Sun-Hoan, "Aku selamanya adalah seorang
penipu. Hanya saja sekarang aku lebih berpengalaman."
314 Li Sun-Hoan tetap tersenyum. Tujuannya telah tercapai.
Ia ingin menyakiti wanita ini. Menyakitinya supaya ia
pergi. Ia tidak akan menyeret siapapun jatuh bersama
dengan dia. Jadi dia pasti tak berperasaan, menyakiti
orang-orang yang dicintainya.
Karena inilah orang-orang yang disayanginya.
Menyakiti mereka sama dengan menyakiti diri sendiri.
Walaupun senyum masih menghiasi bibirnya, hatinya
telah hancur berantakan. Ia memejamkan matanya rapat-rapat supaya air mata
tidak keluar. Waktu ia membuka matanya, Lim Si-im
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih ada di situ, sedang menatap langsung ke matanya.
"Me"Mengapa kau masih ada di sini?"
Sahut Lim Si-im, "Aku hanya ingin memastikan. Apakah
kau?"...apakah kau memang Bwe-hoa-cat ?"
Tawa Li Sun-Hoan langsung meledak. "Apakah aku Bwehoa-
cat " Kau bertanya apakah aku Bwe-hoa-cat "."
Kata Lim Si-im, "Walaupun aku tidak percaya, aku ingin
mendengarnya dari mulutmu sendiri."
Li Sun-Hoan masih tertawa. "Jika kau tidak percaya,
mengapa masih bertanya" Jika kau tahu aku adalah
penipu, mengapa bertanya juga" Jika aku berbohong
satu kali, aku bisa berbohong seratus kali! Bahkan seribu
kali!" 315 Wajah Lim Si-im makin pucat. Seluruh tubuhnya
gemetar. Setelah sekian lama ia berkata, "Aku akan membebaskan
engkau. Aku tidak peduli apakah kau itu Bwe-hoa-cat
atau bukan. Aku tetap akan membebaskan engkau. Aku
hanya berharap kali ini kau tak akan kembali lagi!"
Li Sun-Hoan berseru, "Berhenti! Kau pikir aku akan pergi
melarikan diri seperti seekor anjing" Kau pikir orang
macam apakah aku?" Lim Si-im tidak menghiraukan dia. Ia mendekat untuk
membuka Hiat-to (jalan darah) Li Sun-Hoan.
Saat itu terdengar suara berkata, "Si-im. Apa yang
sedang kau lakukan?"
Itu suara Liong Siau-hun.
Lim Si-im menoleh dan menatap Liong Siau-hun. Ia
berbicara sekata demi sekata, "Kau tidak tahu apa yang
sedang kulakukan?" Wajah Liong Siau-hun memucat, "Tapi"."
Kata Lim Si-im, "Tapi apa" Kaulah yang seharusnya
melakukan ini! Sudah lupakah kau akan segala budi
baiknya pada kita" Sudah lupakah kau akan masa lalu"
Apakah kau akan berpangku tangan melihat dia mati
seperti ini?" 316 Liong Siau-hun meremas-remas tangannya. Lalu ia
memukul-mukul dadanya. "Aku memang tidak punya
nyali. Aku penakut. Aku pengecut. Tapi pikirlah sebentar
saja. Bagaimana kita dapat melakukan ini" Jika kita
melepaskan dia, apakah mereka akan melepaskan kita?"
Lim Si-im memandang suaminya seakan-akan
memandang seorang yang tidak dikenalnya. Ia mundur
beberapa langkah. "Kau telah berubah. Kau juga telah
berubah" Dulu kau tidak seperti ini!"
Liong Siau-hun mendesah. "Kau memang benar. Aku
telah berubah. Karena kini aku telah mempunyai anak
dan istri. Apapun yang kuperbuat, merekalah
prioritasku." Sebelum ia selesai bicara, istrinya sudah menangis. Di
dunia ini tidak ada yang dapat menggerakkan hati
seorang ibu lebih kuat daripada anaknya sendiri.
Liong Siau-hun berlutut di hadapan Li Sun-Hoan,
wajahnya penuh dengan air mata. "Toako, aku telah
mengecewakan engkau. Aku hanya dapat memohon
pengampunanmu." Sahut Li Sun-Hoan, "Mengampunimu" Aku tak mengerti
apa maskudmu. Aku telah mengatakannya padamu. Ini
bukanlah kesalahanmu. Jika aku ingin pergi, aku sudah
pergi. Aku tidak memerlukan engkau untuk
menyelamatkanku." 317 Ia masih memandangi kakinya, karena ia tidak tahan
memandang wajah mereka berdua. Ia kuatir ia tak akan
dapat membendung air matanya.
Liong Siau-hun berkata, "Toako, aku tahu
penderitaanmu, namun aku jamin, mereka tidak akan
membunuhmu. Kau hanya perlu bertemu dengan Sim-oh
Taysu Tan Okngkau akan baik-baik saja."
Li Sun-Hoan mengernyitkan keningnya. "Sim-oh Taysu"
Apakah mereka berencana membawaku ke Siau-lim-si?"
Sahut Liong Siau-hun, "Benar. Cin Tiong adalah murid
kesayangan Sim-oh Taysu. Tapi Sim-oh Taysu tak akan
menuduh orang sembarangan. Lagi pula Cianpwe Pekhiau-
sing pun sedang berada di Siau-lim-si. Ia pun akan
membantumu mendapatkan keadilan."
Li Sun-Hoan diam saja. Ia melihat Dian-jitya datang.
Dian-jitya memandangnya dengan senyum mengejek.
Pada saat Dian-jitya datang, sekejap Lim Si-im telah
menenangkan dirinya, mengangguk sedikit lalu berjalan
keluar. Angin malam terasa menusuk tulang. Ia melangkah dua
tindak, lalu berseru, "Anak In, keluarlah engkau."
Ang-hai-ji muncul malu-malu dari balik gudang itu dan
tersenyum takut-takut, "Bu, aku tidak bisa tidur,
jadi".aku"."
318 Potong Lim Si-im gemas, "Jadi kau antarkan mereka ke
sini. Betul kan?" Ang-hai-ji tertawa dan menubruk ke pelukan ibunya.
Tapi segera terlihat wajah ibunya yang murung, sehingga
diurungkan niatnya. Ia berhenti dan menundukkan
kepalanya. Lim Si-im hanya memandangnya dengan terdiam. Ini
adalah anak kesayangannya, darah dagingnya. Setetes
air mata jatuh ke pipinya.
Setelah sekian lama, ia menghela nafas panjang.
Ditengadahkannya wajahnya memandang ke langit dan
berkata, "Mengapa kebencian jauh lebih sulit dilupakan
daripada budi baik"."
*** Thi Toan-kah mengepalkan tangannya dan berjalan
mondar-mandir di halaman sebuah kuil. Setelah sekian
lama, api telah padam namun tidak seorang pun berniat
menyalakannya lagi. A Fei duduk di situ diam saja, tidak bergerak.
Thi Toan-kah berkata dengan gusat, "Aku sudah
mengira, walaupun kau telah membunuh Bwe-hoa-cat ,
para "pahlawan besar" itu takkan mau mengakuinya. Jika
sekawanan serigala melihat sebongkah daging,
bagaimana mungkin mereka mau melepaskannya?"
Kata A Fei, "Kau sudah memperingatkanku, namun aku
tetap pergi. Aku harus pergi!"
319 Thi Toan-kah mengeluh. "Untungnya kau pergi. Kalau
tidak kau tidak akan tahu bagaimana muka para
"pahlawan besar" itu yang sebenarnya."
Ia menoleh dan menatap A Fei lekat-lekat. "Kau benarbenar
tidak melihat Tuanku?"
Sahut A Fei, "Tidak."
Thi Toan-kah memandang onggokan kayu yang sudah
tidak berapi itu dan mulai mondar-mandir lagi, sambil
menggumam sendiri, "Aku ingin tahu apa yang sedang
dilakukannya"."
Kata A Fei, "Dia tidak pernah mau orang menguatirkan
dirinya." Thi Toan-kah tertawa lepas. "Benar sekali. Walaupun
para "pahlawan" itu menganggap dia seperti duri dalam
daging, seperti paku yang mencucuk mata, tapi tidak
seorang pun dari mereka berani menyentuhnya."
A Fei hanya menggumam tidak jelas.
Thi Toan-kah melihat ke luar pagar. "Langit sudah cerah,
aku harus pergi." Sahut A Fei, "Baiklah."
Thi Toan-kah berkata, "Jika kau kebetulan bertemu
dengan Tuanku, tolong sampaikan "Setelah Thi Toan-kah
berhasil mengatasi permasalahannya, pasti ia akan
kembali mencari Tuannya"."
320 Sahut A Fei, "Baiklah."
Thi Toan-kah menatap wajahnya yang tirus,
menggenggam tangannya, dan berkata, "Selamat tiggal."
Walaupun di matanya terbayang kekuatiran, ia memutar
badannya dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi.
A Fei masih berdiri mematung di sini, namun di matanya
yang bersinar tajam, kelihatan ada setitik kecil air
mengambang. A Fei segera memejamkan matanya, namun setetes air
mata lolos dari sudut matanya, seperti tetesan embun
dingin di padang rumput. Ia tidak menceritakan pertemuannya dengan Li Sun-
Hoan kepada Thi Toan-kah, karena ia tidak ingin Thi
Toan-kah menggadaikan nyawanya untuk Li Sun-Hoan.
Dialah yang akan pergi menggadaikan nyawanya untuk
menyelamatkan Li Sun-Hoan!
Apakah harga sepotong nyawa dalam persahabatan"
Setelah sekian lama, cahaya matahari membentuk
bayangan seseorang di halaman kuil itu. Bayangan yang
hitam panjang itu datang menghampiri A Fei.
A Fei tidak membuka matanya, ia hanya bertanya,
"Apakah engkau yang datang" Ada kabar apa?"
321 Naluri A Fei memang bagaikan binatang buas. Yang
datang memang adalah Lim Sian-ji. Sahutnya, "Kabar
baik." Kabar baik" A Fei hampir tidak bisa mempercayai bahwa masih ada
kabar baik di dunia ini. Sambung Lim Sian-ji, "Walaupun ia belum dibebaskan,
setidaknya ia tidak ada dalam bahaya."
"Oh?" Lim Sian-ji menerangkan, "Dian-jitya dan yang lainnya
hanya dapat menuruti usul Sim-bi Taysu untuk
membawa dia ke Siau-lim-si. Ciangbun-jin Siau-lim-si,
Sim-oh Taysu, selalu bersikap adil. Dan kudengar Pekhiau-
sing sedang berada di sana pula. Jika kedua orang
ini tidak bisa membersihkan namanya, tak ada seorang
pun di dunia yang bisa."
Tanya A Fei, "Siapakah Pek-hiau-sing?"
Lim Sian-ji mengikik geli, "Orang ini adalah orang yang
paling terpelajar di seluruh dunia. Tidak ada sesuatu pun
yang dia tidak tahu. Katanya dia bisa tahu apakah Bwehoa-
cat itu asli atau palsu."
A Fei terdiam beberapa saat. Tiba-tiba dibukanya
matanya dan ditatapnya Lim Sian-ji lekat-lekat. "Tahukah
kau orang yang paling menjijikkan di dunia itu orang
macam apa?" 322 Lim Sian-ji tersenyum. "Jangan-jangan yang kau maksud
adalah lelaki munafik semacam Tio Cing-ngo itu?"
Sahut A Fei, "Pahlawan yang palsu memang pantas
dibenci, namun yang paling menjijikkan adalah orang
yang sok pintar." Tanya Lim Sian-ji, "Sok pintar" Apakah maksudmu
seperti Pek-hiau-sing?"
Sahut A Fei, "Betul. Orang semacam ini selalu
menganggap dirinya lebih daripada orang lain. Ia
menganggap dirinya sangat pandai, tidak ada sesuatu
pun yang ia tidak tahu. Hanya dengan kata-katanya ia
bisa menentukan nasib orang lain. Namun sebenarnya
seberapa banyak yang dia tahu?"
Lim Sian-ji berkata, "Tapi kata orang"."
A Fei tertawa dingin. "Hanya karena semua orang
berkata bahwa tidak ada sesuatu pun yang dia tidak
tahu, akhirnya ia menipu dirinya sendiri. Dia jadi benarbenar
percaya bahwa tidak ada sesuatu pun yang dia
tidak tahu." Lanjut A Fei lagi, "Aku malah lebih mempercayai orang
yang merasa tidak tahu apa-apa."
Jika seseorang ingin memberikan kesan yang baik
tentang dirinya, cara yang terbaik adalah membiarkan
orang lain tahu bahwa ia menyukai dirinya sendiri. Lim
Sian-ji telah menggunakan cara ini berulang kali.
323 Namun kali ini ia tidak berhasil. A Fei memandang salju
yang telah turun lagi. Lalu ia bertanya, "Kapan mereka
akan membawanya pergi?"
Jawab Lim Sian-ji, "Besok pagi."
Tanya A Fei, "Mengapa mereka menunggu sampai besok
pagi?" Sahut Lim Sian-ji, "Malam ini mereka mengadakan
jamuan makan malam untuk Sim-bi Taysu."
A Fei menoleh cepat dan menatap Lim Sian-ji dengan
tajam, "Tidak ada alasan lain?"
Tanya Lim Sian-ji, "Mengapa harus ada alasan lain?"
Sahut A Fei, "Sim-bi Taysu tidak mungkin mau menyianyiakan
satu hari hanya untuk makan malam."
Lim Sian-ji memutar matanya. "Ia tidak ingin tinggal
hanya karena makan malam. Ia harus menunggu karena
malam ini akan datang tamu penting yang lain."
"Siapa?" Sahut Lim Sian-ji, "Thi-tiok siansing, (Pendekar Suling
Besi)." A Fei bertanya, "Thi-tiok siansing" Siapakah dia?"
Mata Lim Sian-ji melebar, ia sangat terkejut. "Kau tidak
tahu siapa Thi-tiok siansing?"
324 Kata A Fei, "Mengapa aku harus tahu siapa dia?"
Lim Sian-ji mengeluh. "Karena walaupun Thi-tiok siansing
bukanlah yang Terhebat di dunia persilatan saat ini, ia
tidak jauh dari posisi itu."
"Oh." Lanjut Lim Sian-ji, "Katanya ilmu silat orang ini sungguh
tinggi, bahkan tidak lebih rendah dari ketua Tujuh partai
besar dunia persilatan."
Pada saat berbicara, ia memperhatikan reaksi A Fei.
Sekali lagi, A Fei mengecewakan dia.
Di wajahnya tidak terbayang rasa takut sedikit pun.
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan kini dia tertawa. "Jadi mereka membawa Thi-tiok
siansing untuk mengatasi aku."
Lim Sian-ji memandang ke bawah. "Sim-bi Taysu selalu
merencanakan segala sesuatu dengan teliti. Ia kuatir"."
A Fei memotong ucapannya, "Ia kuatir aku akan pergi
menyelamatkan Li Sun-Hoan, jadi dipanggilnya Thi-tiok
siansing untuk menjadi pengawal."
Kata Lim Sian-ji, "Walaupun mereka tidak memanggilnya,
Thi-tiok siansing tetap akan datang."
"Kenapa?" 325 Jawab Lim Sian-ji, "Karena selir yang dikasihinya juga
mati di tangan Bwe-hoa-cat ."
Lalu kata A Fei, "Jadi mereka akan makan malam
sebelum pergi." Lim Sian-ji berpikir sejenak. "Atau mungkin?"
A Fei menyelesaikan kalimatnya, "Atau mungkin mereka
takkan pernah pergi."
Tanya Lim Sian-ji, "Mengapa?"
Sahut A Fei, "Jika istriku mati di tangan seseorang, aku
tak akan membiarkannya hidup dan pergi ke Siau-lim-si."
Wajah Lim Sian-ji berubah. "Kau kuatir bahwa begitu Thitiok
siansing tiba ia akan segera turun tangan terhadap Li
Sun-Hoan?" "Mmmmm." Lim Sian-ji terdiam. Lalu ia mendesah, katanya, "Benar
juga. Ada kemungkinan begitu. Thi-tiok siansing bukan
orang yang bisa dibujuk. Jika ia sudah berniat turun
tangan, bahkan Sim-bi Taysu tak akan dapat
mencegahnya." Lalu A Fei berkata, "Kau sudah cukup berbicara.
Sekarang kau boleh pergi."
326 Lim Sian-ji masih terus bertanya, "Apakah kau berencana
menyelamatkan Li Sun-Hoan sebelum Thi-tiok siansing
tiba?" Sahut A Fei, "Apa pun yang kurencanakan, tidak ada
sangkut-pautnya denganmu. Selamat tinggal."
Lim Sian-ji terus mendesak, "Tapi kalau hanya dengan
kekuatanmu seorang, tak mungkin kau dapat
menyelamatkan dia!" Dilanjutkannya lagi, "Aku tahu ilmu silatmu cukup tinggi,
namun Dian-jitya dan Tio Cing-ngo pun bukan orang
lemah. Dan lagi, masih ada Sim-bi Taysu yang
merupakan orang Loji (Jisuheng) di Siau-lim-si. Tenaga
dalamnya sangat murni"."
A Fei hanya memandangnya dingin, tanpa mengucapkan
sepatah katapun. Lim Sian-ji terus bicara, "Hin-hun-ceng saat ini bisa
dikatakan penuh dengan ahli-ahli silat. Jika kau ingin
melakukan penyelamatan, itu" itu?"
A Fei melanjutkannya, "Itu tindakan gila, bukan?"
Lim Sian-ji menundukkan kepalanya, tidak berani
menatap matanya. A Fei tertawa keras-keras. "Setiap orang ada saatnya
melakukan tindakan yang sedikit gila. Sekali-sekali saja,
itu bukanlah hal yang buruk."
327 Lim Sian-ji menunduk lagi. "Aku tahu maksudmu."
"Oh." Kata Lim Sian-ji, "Tidak ada seorang pun yang
menyangka kau akan berani bertindak di siang hari
bolong. Pengawasan mereka pasti tidak terlalu ketat.
Dan lagi, semalam mereka sangat sibuk. Mungkin
mereka akan tertidur sampai siang"."
Kata A Fei, "Kau sudah bicara terlalu banyak"."
Sahut Lim Sian-ji, "Baik, aku akan pergi sekarang. Tapi
kau". kau harus berhati-hati. Jika terjadi sesuatu, jangan
lupa ada seseorang di Hin-hun-ceng yang berhutang
nyawa padamu." *** A Fei menunggu satu jam di luar Hin-hun-ceng.
Ia merunduk di sana, seperti menunggu di luar sarang
tikus. Ujung rambut sampai kakinya tidak bergerak sama
sekali. Yang bergerak hanya sepasang bola matanya
yang setajam burung elang.
Angin dingin menyayat kulitnya, seperti pisau.
Namun ia tidak peduli sedikit pun. Waktu dia berumur
sepuluh tahun, untuk menangkap seekor rubah ia
menunggu di atas salju tanpa bergerak selama dua jam
penuh. 328 Saat itu dia bisa bertahan karena ia lapar. Jika ia tidak
mendapatkan rubah itu, ia akan mati kelaparan. Untuk
bertahan hidup, tidaklah sulit bagi manusia untuk
menanggung penderitaan. Namun menanggung penderitaan demi orang lain,
supaya mereka bisa tetap hidup, tidaklah semudah itu.
Hanya sedikit sekali orang yang dapat melakukannya.
Saat itu terlihat seseorang terhuyung-huyung keluar dari
Hin-hun-ceng. Walaupun jaraknya cukup jauh, A Fei bisa
melihat bahwa wajah orang ini burikan.
Ia tidak tahu bahwa orang burikan ini adalah ayah Lim
Sian-ji, namun dia tahu bahwa orang ini adalah pelayan
yang berkedudukan tinggi di Hin-hun-ceng.
Seorang pelayan biasa tak mungkin bersikap angkuh
seperti itu. Dan jika ia bukan seorang pelayan, sikapnya
pun tak mungkin angkuh seperti itu.
Perut orang ini sepertinya penuh dengan arak.
Kini ia sedang berjalan sempoyongan ke arah warung teh
untuk membual besar-besaran. Tidak disangkanya, saat
ia tiba di ujung gang, sebilah pedang telah terarah ke
tenggorokannya. A Fei sebenarnya tidak suka menggunakan pedangnya
terhadap orang semacam ini. Tapi menggunakan pedang
untuk berbicara kadang-kadang lebih efektif daripada
menggunakan lidah. Ia berkata dingin, "Aku tanya satu
kali, kau jawab satu kali. Jika kau tidak menjawab, akan
329 kubunuh kau. Jika jawabanmu salah, akan kubunuh kau.
Mengerti?" Si burik ingin mengangguk, tetapi ia takut pedang itu
malah akan menusuknya. Ia ingin berbicara, namun
suaranya tidak keluar. Arak dalam perutnya telah
berubah menjadi keringat dingin.
Tanya A Fei, "Aku bertanya, apakah Li Sun-Hoan masih
berada di dalam Puri?"
Sahut si burik, "Ya"."
Bibirnya bergetar beberapa kali sebelum kata itu bisa
terucapkan. Tanya A Fei, "Di mana?"
Jawab si burik, "Di gudang kayu bakar."
Kata A Fei, "Antarkan aku ke sana!"
Si burik menjadi sangat ketakutan, "Bagaimana aku bisa
mengantarkan kau ke sana". Aku"Aku tidak tahu
bagaimana"." Kata A Fei, "Kau bisa memikirkan caranya."
Tiba-tiba digerakkannya pedangnya. Terdengar bunyi
"chi", dan pedang itu menancap ke dinding.
Tatapan A Fei menembus mata si burik dan ia berkata
dingin, "Kau bisa memikirkan suatu cara, bukan?"
330 Gigi si burik gemeletuk. "Y"ya?"
Kata A Fei, "Bagus. Berbaliklah dan berjalanlah ke dalam.
Jangan lupa, aku ada di belakangmu."
Ini bukan kali pertama si burik mengajak temannya
datang berkunjung. Jadi waktu A Fei mengikutinya dari
belakang, si penjaga pintu tidak begitu memperhatikan.
Gudang kayu bakar itu tidak jauh dari dapur, namun
dapur terletak jauh dari ruang utama. Karena tempat
seorang pria bukanlah di dapur dan pemilik Hin-hun-ceng
yang terdahulu adalah seorang pria sejati.
Si burik mengambil jalan pintas ke arah gudang kayu
bakar. Mereka tidak bertemu dengan siapapun.
Walaupun ada yang memergoki, mereka akan berpikir
kedua orang ini pasti sedang menuju ke dapur untuk
mengambil makanan dan arak.
Dalam halaman yang sepi itu, tampak sebuah bangunan
menyendiri. Di luar sebuah pintu yang sudah bobrok
terlihat sebuah gembok yang besar.
Si burik berkata terbata-bata, "Tuan"Li-tayhiap terkunci
di dalam sana. Tuan, Anda?"
A Fei menatapnya lekat-lekat, "Kurasa kau tak akan
berani membohongi aku."
Si burik tertawa gelisah, "Mana mungkin seorang pelayan
berani berbohong. Aku tak berani menggadaikan
kepalaku untuk berkelakar seperti itu."
331 Sahut A Fei, "Bagus."
Setelah mengucapkan kata ini, ia mengulurkan tangan
dan memukul jatuh si burik sampai pingsan. Ia berlari
dan menendang pintu bobrok itu hingga terbuka.
Bab 16. Kebaikan Hati yang Palsu
Tidak ada orang yang menjaga di depan pintu. Mungkin
tidak ada yang menyangka A Fei akan datang di siang
hari bolong. Atau mungkin mereka ingin tidur siang hari
itu. Di gudang itu ada satu jendela kecil. Di dalam sangat
gelap, seperti sebuah penjara. Di dekat gundukan kayu
bakar seseorang tergolek.
Sewaktu A Fei melihat mantel bulu itu, darah di dadanya
langsung bergolak. Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ia
merasakan persahabatan yang begitu dalam dengan
orang ini. Ia melangkah mendekat dan berkata, "Kau?"
Pada saat itulah, sebilah pedang berkilat dari bawah
jubah itu! Sambaran pedang yang secepat kilat ini sungguh
mengagetkan A Fei. Sangat tidak terduga. Dan sangat sangat cepat.
332 Untungnya pedang A Fei masih tergenggam di
tangannya. Pedangnya lebih cepat lagi, kecepatannya tak
terbayangkan. Walaupun orang itu menyerang lebih dulu,
A Fei masih lebih cepat. Pedang A Fei mengenai pegangan pedang orang itu.
Pergelangan tangan orang itu langsung kesemutan dan
pedangnya terlepas dari tangannya.
Orang ini pun ahli pedang tingkat tinggi. Dalam keadaan
seperti inipun ia tidak lengah. Ia berguling dan menjauh
beberapa meter. Saat itulah A Fei melihat wajahnya. Ia
adalah Yu Liong-sing. Namun A Fei tidak tahu siapa dia, sehingga
konsentrasinya tidak terganggu. Ia menyerang lagi
sambil keluar dari tempat itu. Walaupun gerakannya
sangat cepat, tapi sudah terlambat.
Sebuah golok emas dan tongkat telah menghadang
langkahnya. Juga beberapa orang muncul dari balik
gundukan kayu bakar itu. Tiap-tiap orang dengan busur
dan anak panah yang terbidik padanya. Pada jarak
sedekat ini, anak panah sangatlah mematikan.
Betapa pun kuat dan hebatnya seseorang, jika ia
berharap bisa keluar hidup-hidup dari tempat itu, ia
sedang bermimpi. Dian-jitya tertawa, "Adakah yang ingin kau sampaikan,
Sobat?" 333 A Fei mendesah. "Silakan saja."
Dian-jitya berkata, "Kau tidak mau membuang-buang
waktu. Baik, akan kukabulkan keinginanmu."
Ia melambaikan tangannya dan anak-anak panah itu
datang menghujaninya. Saat itulah A Fei berguling di tanah. Tangannya meraih
pedang yang jatuh dari tangan Yu Liong-sing. Dalam
tangannya, pedang itu seakan-akan menari-nari
menahan anak-anak panah yang berhamburan datang.
Sekejap saja, ia telah sampai di pintu.
Tio Cing-ngo mengaum keras dan golok emasnya
menusuk ke arah A Fei. Sebelum jurusnya selesai, ia melihat kilatan cahaya di
depannya. Jurus pedangnya bukan main cepatnya.
Waktu Tio Cing-ngo berusaha mengelak, sudah terlambat
baginya. Pedang A Fei telah menembus tenggorokannya.
Darah pun muncrat keluar.
Dian-jitya tercekat. Namun A Fei sudah meninggalkan tempat itu.
Tian Ki-hondak mengejar A Fei, namun diurungkannya.
Tio Cing-ngo masih memegangi lehernya. Sungguh ajaib,
dia masih belum mati. 334 A Fei melayang meninggalkan taman itu. Sebelum pergi,
dilemparkannya pedang Yu Liong-sing ke arah Dian-jitya.
Dian-jitya ingin mengejar, namun tidak jadi.
Yu Liong-sing mengeluh panjang. "Anak muda itu
sungguh luar biasa cepat!"
Dian-jitya pun terkekeh, "Peruntungannya pun tidak
jelek." Yu Liong-sing bertanya, "Peruntungan?"
Kata Dian-jitya, "Tak kau lihatkah dua anak panah yang
menembus tubuhnya?" Sahut Yu Liong-sing, "Kau benar. Jurus pedangnya belum
sempurna benar, sehingga ia masih belum dapat
menahan seluruh anak panah itu. Namun ia bisa
melindungi dirinya begitu rupa sampai tidak terluka."
Kata Dian-jitya, "Itu karena ia mengenakan Kim-si-kah .
Aku memperhitungkan segala sesuatu, namun aku lupa
akan hal ini. Kalau tidak, tidak mungkin ia bisa keluar
dari tempat ini hidup-hidup."
Yu Liong-sing memandang pedang itu dan mengeluh
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi. "Tidak seharusnya ia datang kembali hari ini."
Dian-jitya tertawa. "Jangan terlalu memikirkan
kekalahanmu. Lagi pula, walaupun ia berhasil lolos dari
perangkap kita, belum tentu ia bisa meninggalkan Puri
ini." 335 Saat A Fei keluar dari pintu, ia mendengar lantunan lagu
Buddha. Lagu itu terdengar sangat keras dan sepertinya
bersumber dari segala arah.
Lalu lima orang pendeta mengelilinginya.
Yang pertama adalah Sim-bi Taysu.
A Fei segera melihat ke sekelilingnya dan berusaha tetap
tenang. Ia hanya berkata, "Jadi sekarang pendeta pun
menjebak orang." Sim-bi Taysu menjawab dengan tenang. "Aku tidak
bermaksud melukai siapapun. Kata-katamu sangat tajam.
Namun kata-kata tidak dapat melukai siapapun juga,
kecuali dirimu sendiri."
Ia berbicara dengan nada datar. Namun ketika kata-kata
ini sampai ke telinga A Fei, suara itu bergetar dengan
kuat. Kata A Fei, "Kelihatannya ada juga yang dapat
menggunakan kata-kata sebaik aku."
Ia tahu, jika ia ingin melarikan diri ke atas, tasbih
pendeta itu akan dapat melukai kakinya. Jadi
kesempatannya hanyalah dengan meloloskan diri dari
antara dua pendeta. Namun ketika ia bergerak sedikit, pendeta-pendeta itu
telah berputar mengelilingi dia. Kelimanya bergerak
sangat cepat, A Fei tak mungkin meloloskan diri.
336 Begitu A Fei berhenti, pendeta-pendeta itu pun berhenti.
Sim-bi Taysu berkata, "Sebagai pendeta, kami tidak ingin
membunuh. Kau mempunyai pedang di tanganmu dan
sepatu di kakimu. Jika kau dapat memecahkan formasi
Lo-han-tin kami, kau boleh pergi."
A Fei mulai bernafas dalam-dalam. Tubuhnya diam tidak
bergerak. Ia bisa melihat bahwa ilmu silat pendeta-pendeta ini
sangat tinggi, dan kerja sama mereka sangat baik.
Formasi mereka tidak punya kelemahan sama sekali.
Ketika A Fei berusia sembilan tahun, ia melihat seekor
burung bangau dikelilingi oleh seekor ular besar.
Walaupun burung bangau itu berparuh tajam, ia diam
saja tidak bergerak. Awalnya ia tidak mengerti apa sebabnya. Belakangan ia
tahu bahwa ternyata si bangau mengerti perangai si ular.
Setelah mengelilingi si bangau, si ular dapat menyerang
dengan kepala atau dengan ekornya. Jika si bangau
menyerang kepalanya, ekor si ular akan menjerat. Jika si
bangau menyerang ekornya, kepala si ular akan
memagut. Oleh sebab itu, si bangau hanya berdiri di situ. Si ular
menjadi tidak sabar, dan menyerang lebih dulu. Hanya
dengan cara itulah si bangau dapat menghadapi
serangan dengan sigap dan mengalahkan ular itu.
Mengalahkan kecepatan dengan ketenangan.
337 Oleh sebab itu, selama para pendeta itu tidak bergerak,
ia pun tetap diam. Setelah beberapa saat, tampak para pendeta itu menjadi
tidak sabar. "Apakah engkau sudah menyerah."
"Belum." Sim-bi Taysu bertanya, "Lalu mengapa engkau tidak
berusaha pergi?" Sahut A Fei, "Kalian tidak ingin membunuh aku dan aku
tidak bisa membunuh kalian. Jadi aku tidak bisa pergi."
Sim-bi terkekeh. "Jika kau bisa membunuhku, aku tidak
akan menyesal." Sahut A Fei, "Bagus."
Dengan kilatan pedang yang sangat tiba-tiba, A Fei
menyerang Sim-bi. Pendeta Siau-lim-si ini segera menyerang balik.
Namun tiba-tiba A Fei mengubah gerakannya. Tidak
seorang pun tahu bagaimana ia melakukannya. Mereka
hanya tahu, tiba-tiba ia berbalik ke arah lain.
Awalnya jurus itu diarahkan ke Sim-bi, namun kini
terarah pada tangan salah seorang pendeta yang lain.
Kata Sim-bi, "Bagus sekali."
338 Sambil berbicara, ia menggulung lengan bajunya. Lengan
baju pendeta Siau-lim-si sangat tajam, setajam pisau. Ia
bersiap-siap menyerang A Fei.
Walaupun keempat pendeta yang lain sedang diserang,
ia tidak perlu membantu mereka mempertahankan diri.
Inilah kelebihan formasi Lo-han-tin.
Tidak ada yang menyangka bahwa saat itu A Fei kembali
mengubah gerakannya lagi.
Ketika ahli pedang yang lain berganti jurus, mereka
hanya mengubah asal arah serangan atau tujuan arah
serangan. Namun A Fei dapat mengubah arah seluruh
tubuhnya. Jurus yang tadinya mengarah ke timur, bisa berubah
tiba-tiba ke barat. Tidak ada yang berubah, hanya gerakan kakinya saja
yang secepat kilat. Di detik berikutnya, pedangnya telah merobek lengan
baju Sim-bi. Pedang dan tubuh telah menyatu. Jika
pedang lolos, tubuh pun lolos.
Sim-bi lalu berkata, "Hati-hati di jalan. Kuantarkan kau
keluar." A Fei lalu merasa serangkum tenaga di belakangnya,
seolah olah batang besi yang besar memukul
punggungnya. Walaupun ia memakai Kim-si-kah , ia
masih merasa sangat kesakitan.
339 Salah seorang pendeta itu berseru, "Kejar dia!"
Namun Sim-bi berkata, "Tidak perlu."
Kata pendeta itu, "Ia tak mungkin pergi terlalu jauh.
Mengapa membiarkan dia lolos?"
"Jika ia tidak mungkin pergi jauh, buat apa susah-susah
mengejarnya?" Pendeta itu berpikir sejenak, lalu berkata, "Susiok
memang benar." Sim-bi memandang ke arah A Fei pergi, lalu berkata,
"Seorang pendeta tidak boleh melukai orang, sebisa
mungkin." Dian-jitya pun mengawasi kejadian itu dari kejauhan. Ia
terkekeh. "Pendeta-pendeta ini memang pandai. Jika
orang lainlah yang membunuh orang itu untuk mereka,
mereka tidak akan peduli."
Tenaga yang disalurkan melalui tapak tangan pendeta
Siau-lim-si itu memang benar-benar kuat. A Fei perlu
cukup lama untuk mengembalikan keseimbangannya.
Ia tahu ia telah terluka dalam cukup parah. Namun
paling tidak ia bisa sembuh dari luka seperti ini.
Setelah bertahun-tahun menjalani latihan dan
penderitaan, ia menjadi sangat tahan bantingan.
Tubuhnya seperti terbuat dari baja.
340 Jika A Fei bisa lolos, ia memang sungguh seorang yang
beruntung. Sangat sedikit orang yang dapat lolos dari
serangan bersama lima pesilat tangguh Siau-lim-si.
Hanya saja, A Fei tidak ingin lolos.
Di manakah mereka menyembunyikan Li Sun-Hoan"
Bagaikan elang, mata A Fei memantau sekelilingnya. Ia
segera berlari menuju ke halaman belakang. Di sana
lebih bayak tempat untuk bersembunyi.
Tiba-tiba terdengar suara tawa.
Di depan sana terlihat sebuah paviliun. Orang yang
tertawa itu sedang duduk di sana, membaca buku.
Sepertinya ia sangat asyik dengan bacaannya.
Ia mengenakan baju yang biasa, bahkan agak lusuh.
Wajahnya kurus, berwarna kuning, dengan jenggot
panjang. Ia tampak seperti seorang pelajar tua yang
tidak bisa mengurus dirinya sendiri.
Namun hanya pesilat tangguhlah yang dapat membuat
suara tertawanya terdengar begitu jelas dari jarak yang
begitu jauh. A Fei berhenti. Dipandangnya orang itu menyelidik.
Orang tua itu seperti tidak melihat A Fei. Ia membalik
halaman bukunya terus membaca dengan serius.
341 A Fei melangkah mundur. Setelah sepuluh langkah, ia
memutar badan dan melayang pergi. Dalam dua langkah
ia sudah ada dalam hutan Bwe.
A Fei menarik nafas panjang, menelan darah di
kerongkongannya. Lukanya ternyata lebih parah daripada sangkaannya. Ia
tidak dapat bertempur lagi dengan keadaannya sekarang.
Pada saat itulah terdengar suara seruling.
Suara seruling itu sangat jernih dan keras. Kelopakkelopak
bunga Bwe berjatuhan di sekeliling A Fei.
Lalu dilihatnya seseorang sedang meniup seruling di
bawah pohon Bwe di belakangnya. Orang itu adalah
Siucai itu tua yang dilihatnya semenit yang lalu.
Kali ini, A Fei tidak menghindar. Sambil memandang
orang tua itu dan menyapa, "Thi-tiok Siansing?"
Suara seruling itu perlahan-lahan lenyap.
Ia memandang A Fei cukup lama, lalu tiba-tiba bertanya,
"Kau terluka?" A Fei sangat terkejut. Penglihatan orang ini sangat tajam.
Thi-tiok Siansing bertanya lagi, "Terluka di
punggungmu?" Sahut A Fei, "Kalau sudah tahu, mengapa bertanya lagi?"
342 "Sim-bi melukaimu?"
A Fei hanya menggeram, "Hmmmmh."
Thi-tiok Siansing menggelengkan kepalanya. "Sepertinya
pendeta Siau-lim-si itu tidak sungguh-sungguh hebat."
A Fei bertanya, "Mengapa?"
Thi-tiok Siansing menerangkan. "Untuk orang setingkat
dia, tidak seharusnya dia menyerangmu dari belakang.
Dan jika dia melakukannya, seharusnya dia tidak
membiarkanmu hidup cukup lama dan bertemu dengan
aku." Ia tiba-tiba tersenyum. "Mungkinkah pendeta tua itu
ingin menggunakan tangan orang lain untuk
membunuhmu?" Kata A Fei, "Aku akan memberi tahu engkau tiga hal.
Pertama, jika ia tidak menyerangku dari belakang, ia
tidak mungkin bisa melukaiku. Kedua, walaupun dia
memukulku, dia tetap tidak bisa membunuhku. Ketiga,
kau pun tak mungkin dapat membunuhku!"
Thi-tiok Siansing tertawa terbahak-bahak. "Kau sombong
sekali, anak muda." Tiba-tiba ia berhenti tertawa. "Karena kau terluka, aku
tidak seharusnya menantangmu. Namun karena engkau
begitu sombong, aku harus memberimu pelajaran."
343 A Fei merasa ia sudah terlalu banyak bicara. Ia tidak
mengatakan apa-apa lagi. Thi-tiok Siansing berkata lagi, "Karena kau sudah terluka,
kau boleh mulai tiga jurus lebih dulu."
A Fei memandangnya, lalu terkekeh.
Sambil terkekeh ia menyelipkan pedangnya kembali ke
pinggangnya. Ia berbalik dan berjalan pergi.
Thi-tiok Siansing berkata, "Kau sudah bertemu
denganku. Kau pikir kau bisa pergi hidup-hidup?"
A Fei tidak menoleh. Ia menyahut dingin, "Jika aku tidak
pergi, maka kau pasti mati."
Thi-tiok Siansing tak bisa menahan tawanya. "Siapa yang
mati" Kau atau aku?"
Kata A Fei, "Tidak ada seorangpun yang bisa
memberikan aku keuntungan tiga jurus awal."
"Jadi kalau aku memberi, aku akan mati?"
"Ya." Kata Thi-tiok Siansing, "Mengapa tidak kita coba saja?"
A Fei diam saja. Dibalikkannya tubuhnya dan ditatapnya
orang itu dalam-dalam. Thi-tiok Siansing belum pernah melihat mata seperti itu.
344 Sepasang mata ini tidak berperasaan. Seperti terbuat dari
batu. Jika mata itu menatapmu, mata itu seperti seorang
dewa yang menatap mahluk ciptaanya.
Tanpa disadarinya, Thi-tiok Siansing mundur beberapa
tindak. Saat itulah A Fei memulai serangannya.
Sekali pedangnya menyerang, tidak akan luput.
Ini adalah filosofi A Fei. Jika ia tidak yakin akan menang,
ia tidak akan menghunus pedangnya!
Butiran salju dan bunga-bunga Bwe beterbangan di
udara, sungguh pemandangan yang sangat cantik.
Tubuh Thi-tiok Siansing pun melayang-layang menari di
tengah-tengahnya. A Fei tidak melihat ke atas. Ia hanya menarik kembali
pedangnya. Thi-tiok Siansing melayang turun. Mengapung perlahanlahan
seperti kertas yang tertiup angin. Terlihat
genangan darah di atas salju.
A Fei memandangi darah di tanah, katanya, "Tidak ada
seorangpun yang dapat memberikan aku keuntungan
tiga jurus awal. Satu jurus pun tidak!"
Thi-tiok Siansing bersandar pada sebatang pohon.
Wajahnya sangat pucat. Dadanya penuh dengan noda
darah. 345 Ia tidak sempat menggunakan suling besinya yang
terkenal sedunia itu! A Fei berkata lagi, "Namun kau tidak mati, karena kau
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memegang kata-katamu."
Ia terkekeh. "Paling tidak kau lebih baik dari Sim-bi."
Sim-bi berkata bahwa ia tidak akan melukai A Fei. Jikalau
A Fei bisa lolos dari formasi mereka, ia boleh pergi.
Namun ia malah membokong A Fei. Ini adalah pelajaran
yang sangat berharga, yang tak akan pernah dilupakan A
Fei. Thi-tiok Siansing kemudian berkata, "Kau masih punya
dua jurus lagi." "Dua lagi?" A Fei memandangnya sesaat, lalu menjawab, "Baik."
Ia menyerang perlahan dan ringan. Dua tinju yang
hampir tidak menyentuh tubuh Thi-tiok Siansing. "Nah,
aku sudah memberimu tiga"."
Saat itulah terdengar suara mendesing pelan, Sepuluh
"Jarum Bintang Beku Badai Hujan" melesat keluar dari
suling besi! Wajah Thi-tiok Siansing yang mucat, kini berbinar-binar.
Katanya, "Hari ini aku mendapat sebuah pelajaran
berharga. Jangan pernah memberi keuntungan tiga jurus
awal pada siapapun. Kau pun harus belajar satu hal. Jika
346 kau sudah menyerang, lebih baik kau bunuh musuhmu.
Kalau tidak, lebih baik tidak menyerang sama sekali!"
A Fei mengertakkan giginya sambil memandang jarumjarum
di kakinya. Ia menjawab sekata-demi sekata, "Aku
tak akan pernah melupakannya!"
Thi-tiok Siansing berkata, "Bagus. Sekarang, pergilah."
Sebelum A Fei sempat menjawab, terdengar seruan dari
jauh. "Cianpwe". Cianpwe Suling Besi". Apakah kau telah
menangkapnya?" Thi-tiok Siansing segera mendesak A Fei, "Cepatlah. Aku
tak dapat membunuhmu, tapi aku pun tak ingin kau mati
di tangan orang lain!"
A Fei segera berguling pergi.
Kakinya tak dapat bergerak, namun tangannya masih
Lincah. Ia merasa darah naik ke kerongkongannya. Walaupun
dia mati-matian menahannya, ia tidak berhasil.
Walaupun tidak ada yang mengejar, dia tidak yakin bisa
hidup lebih lama. Ia hanya ingin bertemu dengan Li Sun-
Hoan, dan mengatakan padanya bahwa ia telah berusaha
sekuat tenaga. 347 Sebelum ia jatuh pingsan, ia melihat sesosok bayangan
menghampirinya. *** Hanya ada satu lilin dalam ruangan.
Liong Siau-hun sedang memandangi Li Sun-Hoan.
Dibiarkannya Li Sun-Hoan selesai batuk-batuk, lalu
diberinya minum secawan arak.
Setelah ia menghabiskan cawan itu, Li Sun-Hoan
tersenyum. "Toako, lihatkah engkau bahwa tak ada
setetes pun yang tumpah." Walaupun aku digantung
terbalik seperti ini, aku masih bisa minum arak dengan
baik." Liong Siau-hun pun ingin tersenyum, namun tidak bisa.
"Mengapa tak kau biarkan aku membuka Hiat-to (jalan
darah)mu?" Sahut Li Sun-Hoan, "Aku tak bisa menahan godaan. Jika
kau membuka Hiat-to (jalan darah)ku, aku pasti akan
kabur." Liong Siau-hun berkata, "Nam".namun sekarang tidak
ada siapa-siapa. Tidakkah kau mengerti apa yang sedang
kulakukan?" Li Sun-Hoan menjawab cepat, "Toako, tidakkah kau
mengerti apa yang sedang kulakukan?"
Sahut Liong Siau-hun, "Aku tahu, tapi".."
348 Li Sun-Hoan tersenyum. "Aku tahu apa yang hendak kau
katakan. Tapi kau tidak berbuat kesalahan apapun. Dan
hanya untuk secawan arak itu, aku tak akan pernah
menyesali persahabatan kita."
Bab 17. Sifat Aslinya Ketahuan
Sewaktu Liong Siau-hun mendengarnya, ia menundukkan
kepalanya cukup lama. "Besok"besok kau akan pergi. Aku"."
Kata Li Sun-Hoan, "Tak perlu repot-repot mengantar. Aku
tidak suka mengantar kepergian orang dan akupun tidak
suka orang berbuat begitu padaku. Waktu aku melihat air
wajah orang saat mengantar, aku malah jadi ingin
muntah." Ia terkekeh lalu melanjutkan, "Lagi pula, aku kan tidak
pergi jauh. Mungkin dalam beberapa hari aku akan
kembali." Liong Siau-hun pun kelihatan bersemangat lagi. "Kau
benar. Waktu kau datang nanti, aku pasti akan
menyambutmu. Lalu kita bisa mabuk bersama."
Tiba-tiba terdengar suara seseorang berkata, "Kau tahu
pasti dia tidak akan kembali. Mengapa kau masih
membohongi dirimu sendiri?"
349 Lim Si-im masuk. Wajahnya yang cantik kelihatan sangat
rapuh. Hati Li Sun-Hoan serasa ditusuk sembilu. Namun ia masih
tersenyum. "Mengapa aku tidak akan kembali" Ini adalah
tempat tinggal sahabat-sahabat karibku. Aku"."
Lim Si-im segera memotong dengan dingin, "Siapa
sahabatmu" Kau sama sekali tidak punya teman di sini."
Ia menuding ke arah Liong Siau-hun. "Kau pikir dia ini
sahabatmu" Jika dia memang sahabatmu, seharusnya dia
membebaskanmu sekarang juga."
Liong Siau-hun berusaha membela diri, "Tapi dia"."
Lim Si-im memotong lagi, "Dia tidak mau pergi karena
dia tidak mau kau mendapat kesulitan. Namun mengapa
kau tidak melepaskan dia" Dia bisa memutuskan apakah
dia mau lari atau tidak. Namun, kaulah yang harus
memutuskan apakah kau akan melepaskan dia atau
tidak." Ia tidak menunggu Liong Siau-hun untuk menjawab. Ia
memutar badannya dan berlalu dari situ.
Liong Siau-hun berdiri dan berkata, "Apapun yang akan
kau lakukan, aku harus melepaskan engkau."
Li Sun-Hoan tertawa keras-keras.
Liong Siau-hun kelihatan bingung. "Meng"mengapa kau
tertawa?" 350 Sahut Li Sun-Hoan, "Sejak kapan kau mau diperintah
oleh seorang wanita" Liong Siau-hun yang kuingat
adalah seorang pria tulen. Bukan seorang pria lemah
yang takut pada istrinya."
Liong Siau-hun mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Bahkan air mata mulai tampak di sudut matanya. "Toako,
kau" kau sangat baik padaku. Bukannya aku tidak tahu
apa maksudmu. Hanya"hanya saja, bagaimana harus
kubalas budimu?" Kata Li Sun-Hoan, "Kebetulan aku perlu bantuanmu."
"Apa yang kau perlukan" Katakan saja, aku lakukan
apapun keinginanmu."
Kata Li Sun-Hoan, "Ingatkah kau pada pemuda A Fei
yang datang semalam?"
"Tentu saja." Li Sun-Hoan berkata, "Jika ia terlibat kesulitan, tolong
bantu dia." Liong Xiau Yun mendesah. "Bahkan dalam situasi seperti
ini, kau masih begitu memperhatikan orang lain. Apakah
kau pernah memperhatikan dirimu sendiri?"
Kata Li Sun-Hoan kering, "Katakan padaku, apakah kau
akan melakukannya atau tidak."
"Tentu saja akan kupenuhi permintaanmu. Tapi mungkin
aku takkan pernah berjumpa dengan dia."
351 Li Sun-Hoan sangat terkejut. "Kenapa" Mungkinkah
dia"." Liong Siau-hun berusaha keras untuk tersenyum. "Kau
melihat dai pergi kemarin. Apakah mungkin dia kembali
lagi?" Li Sun-Hoan mengeluh. "Aku sangat berharap ia tidak
kembali lagi. Namun aku tahu ia pasti datang."
Liong Siau-hun bertanya, "Jika ia datang untuk
menyelamatkanmu, mengapa dia belum tiba?"
Ia menarik nafas panjang dan melanjutkan. "Toako, aku
tahu kau memperhatikan sahabatmu lebih dari apapun
juga di dunia ini. Namun tidak semua orang seperti
engkau." Li Sun-Hoan berusaha tersenyum. "Apa yang akan
dilakukannya adalah keputusannya sendiri. Aku hanya
berharap engkau mengingat bahwa ia adalah sahabatku,
sewaktu engkau berjumpa dengan dia."
Sahut Liong Siau-hun, "Sahabatmu adalah sahabatku
juga." Tiba-tiba seseorang berteriak dari luar, "Liong-siya".
Liong-siya." Liong Siau-hun segera bangkit, namun segera duduk
kembali. "Toako, kau"."
352 Li Sun-Hoan tersenyum lalu berkata, "Aku tidak ingin
minum lagi. Kau pergilah. Dan jangan lupa, besok kau
tidak perlu mengantar."
Liong Siau-hun berjalan keluar dan dilihatnya Dian-jitya
berdiri di bawah pohon. Ia segera berjalan ke sana dan
bertanya dengan berbisik, "Apakah kau berhasil
menangkapnya?" Sahut Dian-jitya, "Tidak."
"Apa" Begitu banyak orang yang telah kau kerahkan,
ditambah dengan Sim-bi Taysu Thi-tiok Siansing". tidak
dapat menyelesaikan satu anak muda saja?"
Kata Dian-jitya, "Tapi anak muda ini sangat luar biasa.
Bahkan sedikit menakutkan. Ia tidak hanya telah melukai
Kakak Tio-lotoa, kini ia pun melukai Thi-tiok Siansing!"
Liong Siau-hun menghentakkan kakinya. "Aku tahu anak
muda ini tidak mudah ditundukkan. Tapi katamu Thi-tiok
Siansing pasti dapat mengatasinya."
Kata Dian-jitya, "Walaupun ia berhasil lolos, ia kena
dilukai oleh telapak tangan Sim-bi."
Sahut Liong Siau-hun, "Kalau begitu, ia tidak mungkin
lari terlalu jauh. Mengapa tidak kau kejar dia?"
Dian-jitya berkata, "Pendeta-pendeta Siau-lim-si itu
sedang mengejarnya. Begitu ada kabar baik, aku akan
segera mengabarimu."
353 Kata Liong Siau-hun, "Aku akan pergi menyelidiki. Kau
tempatkan seseorang untuk berjaga di sini."
Di belakang pohon Bwe itu ada gunung-gunungan.
Setelah kedua orang itu pergi, seseorang muncul dari
balik gunung-gunungan itu. Matanya yang cantik penuh
dengan keheranan dan tidak percaya. Juga sakit hati dan
kebencian. Seluruh badannya menggigil, dan air mata membasahi
wajahnya. Hati Lim Si-im hancur berkeping-keping. Lalu dengan
langkah mantap ia berjalan ke arah kamar Li Sun-Hoan.
Namun segera didengarnya ada langkah-langkah orang,
sehingga Lim Si-im kembali bersembunyi di balik gununggunungan
itu. Dian-jitya membawa delapan orang ke situ dan berkata,
"Jaga dia. Jangan biarkan seorang pun masuk ke sini.
Siapapun yang masuk, bunuh."
Ia sedang tergesa-gesa hendak menangkap A Fei,
sehingga belum habis kalimatnya, dia sudah berlari pergi.
Lim Si-im menggigit bibirnya. Begitu kerasnya sampai
darah keluar. Ia menyesali dirinya sendiri, mengapa malas berlatih ilmu
silat. 354 Kini ia baru menyadari bahwa ada hal-hal yang hanya
dapat diselesaikan dengan bertempur.
Ia tidak punya ide bagaimana ia bisa masuk ke kamar
itu. Tapi tiba-tiba ia mendengar sesuatu. Langkah-langkah
orang. Langkah itu tidak terlalu berirama, namun sangat
cepat. Lim Si-im menyadari, ini adalah Thi-tiok Siansing.
Ia mendengar Thi-tiok Siansing berseru nyaring, "Apakah
orang she Li itu ada di kamar ini?"
Seorang penjaga menjawab, "Kami tidak tahu pasti."
Thi-tiok Siansing berkata, "Kalau begitu, biarkan aku
masuk dan memeriksa."
Penjaga itu menjawab, "Dian-jitya berpesan bahwa tidak
seorang pun boleh masuk."
Kata Thi-tiok Siansing, "Dian-jitya" Siapa yang peduli"
Tidakkah kalian tahu siapa aku?"
Penjaga itu memandang dengan curiga ke arah pakaian
Thi-tiok Siansing yang belepotan darah. "Siapapun tidak
boleh masuk." Thi-tiok Siansing menjawab, "Baiklah."
355 Ia mengangkat tangannya sedikit. Segenggam jarum pun
segera melesat. Mata Li Sun-Hoan terpejam, seakan-akan tertidur.
Tiba-tiba didengarnya jeritan orang kesakitan. Suara itu
tidak terlalu keras, dan pendek saja.
Ia mengangkat alisnya. "Apakah ada yang sedang
berusaha menolongku?"
Lalu ia melihat seseorang yang membawa seruling besi
masuk ke kamarnya. Wajahnya penuh dengan hawa
membunuh. Pandangan Li Sun-Hoan berhenti pada seruling besi itu.
"Thi-tiok Siansing."
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thi-tiok Siansing memandangi wajahnya. "Hiat-to (jalan
darah)mu tertutup?" Li Sun-Hoan tersenyum. "Kau tahu, jika ada arak di
hadapanku dan aku tidak minum, pasti artinya aku tidak
bisa bergerak." Kata Thi-tiok Siansing, "Kalau kau tidak bisa bergerak,
seharusnya aku tidak membunuhmu. Tapi aku harus
membunuhmu." "Hah?" Thi-tiok Siansing menatapnya lekat-lekat, "Engkau tidak
ingin tahu sebabnya?"
356 Li Sun-Hoan terkekeh. "Jika aku bertanya, pasti engkau
akan menerangkan dan menjadi marah. Jika kemudian
aku berusaha membela diri, kau pasti tidak akan percaya,
dan masih tetap akan membunuhku. Jadi buat apa
susah-susah bicara?"
Wajah Thi-tiok Siansing tiba-tiba menjadi sangat sedih.
"Ju-ih, kau sungguh mati mengenaskan. Tapi paling tidak
sekarang aku akan membalaskan dendammu."
Ia mengangkat seruling besinya.
Li Sun-Hoan menghela nafas. "Ju-ih, waktu kau melihat
aku, pasti kau akan sangat terkejut. Karena walaupun
kau tidak mengenal aku, aku mengenalmu"."
Tiba-tiba Lim Si-im masuk ke dalam kamar itu. "Tunggu
sebentar. Ada yang ingin kukatakan."
Thi-tiok Siansing menoleh terkejut. "Nyonya" Aku
sarankan agar kau tidak terlibat urusan ini. Tidak ada
seorang pun yang boleh ikut campur."
Wajah Lim Si-im menjadi hijau. "Aku tidak bermaksud
mencegahmu melakukan apa yang kau inginkan. Tapi ini
adalah rumahku. Jika seseorang harus dibunuh, biarkan
aku yang melakukannya."
"Tapi mengapa kau ingin membunuhnya?"
Sahut Lim Si-im, "Aku punya lebih banyak alasan untuk
membunuhnya daripada engkau. Kau ingin
membunuhnya untuk membalaskan dendam istrimu.
357 Namun aku ingin melakukannya demi anakku. Aku hanya
punya satu orang anak."
Maksudnya sudah jelas. Thi-tiok Siansing punya lebih dari
satu istri. Thi-tiok Siansing berpikir cukup lama, lalu berkata,
"Baiklah, kau boleh maju lebih dulu."
Ia sangat percaya diri bahwa jarum suling besinya sangat
cepat bagai kilat. Jadi walaupun Lim Si-im maju lebih
dulu, ia masih dapat mendahuluinya membunuh Li Sun-
Hoan. Namun ketika Lim Si-im berjalan melewatinya, ia
tiba-tiba berputar dan menyerangnya.
Walaupun ilmu silat Lim Si-im cetek, ia pun bukan wanita
yang lemah. Ia menggunakan seluruh kekuatannya
mendorong dengan telapak tangannya. Lagi pula, Tuan
Suling sama sekali tidak menyangka, jadi serangannya
cukup ampuh. Dan karena luka sebelumnya terbuka lagi, tubuh Thi-tiok
Siansing gemetar hebat, darah mulai mengucur keluar
dan akhirnya dia pingsan.
Lim Si-im sendiri sangat terkejut melihatnya, dan hampir
ikut pingsan. Li Sun-Hoan tahu bahwa dia tidak pernah menginjak
seekor semut sekalipun! Kini, melihat Lim Si-im melukai
seseorang, ia tidak tahu apakah ia harus merasa sedih
atau gembira. Tapi ia menekan seluruh emosinya dan
hanya berkata, "Mengapa kau datang lagi?"
358 Lim Si-im mengambil nafas panjang beberapa kali untuk
menenangkan diri. "Aku datang kembali untuk
membebaskanmu." Li Sun-Hoan mengeluh. "Apakah kau belum jelas juga"
Aku tidak akan pergi."
Kata Lim Si-im, "Aku tahu, kau tidak ingin pergi karena
Liong Siau-hun. Tapi kau tidak tahu bahwa dia".dia"."
Tubuhnya mulai menggigil lagi, bahkan lebih dari
sebelumnya. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat,
sampai kuku-kukunya melukai kulitnya. Dengan segenap
tenaganya ia berkata, "Ia telah mengkhianatimu. Ia
bersekongkol dengan mereka semua."
Setelah ia mengatakan itu, tenaganya habis terkuras.
Jikalau tidak ada kursi di dekatnya, mungkin ia sudah
jatuh rebah di tanah. Ia pikir Li Sun-Hoan pun pasti
sangat terkejut. Namun ternyata wajah Li Sun-Hoan tidak berubah
sedikitpun. Malahan ia terkekeh. "Pasti ada
kesalahpahaman. Bagaimana mungkin ia mengkhianati
aku?" Lim Si-im kembali mengumpulkan tenaganya dan
berpegangan pada meja. Seluruh meja itu pun ikut
bergetar. Katanya, "Aku melihatnya dengan mataku sendiri, dan
mendengarnya dengan telingaku sendiri."
359 Sahut Li Sun-Hoan, "Mata dan telingamu pasti salah."
Kata Lim Si-im gusar, "Kau tidak mempercayaiku?"
Li Sun-Hoan berkata dengan lembut, "Kau terlalu lelah
dua hari belakangan ini. Jadi tidak heran kalau pikiranmu
kacau. Pergilah beristirahat. Besok pasti kau akan
kembali menyadari bahwa suamimu adalah laki-laki yang
baik." Lim Si-im memandang dia. Pikirannya sungguh galau.
Setelah sekian lama, akhirnya ia menelungkup di atas
meja dan mulai menangis. Li Sun-Hoan memejamkan matanya. Ia tidak mampu
memandangnya. Suaranya bergetar, katanya, "Mengapa
kau"." Sebelum ia selesai bicara, ia mulai batuk-batuk. Kali ini
darah ikut tersembur. Akhirnya Lim Si-im tidak dapat lagi mengendalikan
dirinya. Sepuluh tahun perasaan yang tertahan, meledak
keluar saat itu. Ia segera menubruk ke arah Li Sun-Hoan. "Jika kau tidak
pergi, aku akan mati di hadapanmu."
Li Sun-Hoan mengatupkan giginya. Ia berkata perlahanlahan,
"Apa hubungannya kematianmu dengan diriku?"
Lim Si-im menengadah memandangnya. Suaranya sangat
lemah. "Kau".kau".kau"."
360 Setiap kali dia bicara satu kata, ia mundur selangkah.
Tiba-tiba ia menabrak seseorang di belakangnya.
Wajah Liong Siau-hun terlihat kaku seperti baja.
Ia melingkarkan tangannya kuat-kuat di pinggang
istrinya. Seakan-akan kuatir jika ia melepaskannya,
istrinya akan pergi dan tak kembali lagi.
Lim Si-im memandang tangan suaminya. Setelah kembali
tenang, ia berkata dengan dingin, "Lepaskan tanganmu.
Dan ingatlah, jangan sekali-kali menyentuhku lagi."
Akhirnya dilepaskannya pelukannya dan memandang
istrinya, "Kau sudah tahu semuanya?"
Lim Si-im menjawab dingin, "Tidak ada rahasia yang
abadi di dunia ini."
"Kau"kau telah memberitahukan padanya?"
Li Sun-Hoan tersenyum. "Sebenarnya dia tidak perlu
memberitahukan padaku. Aku sudah tahu dari semula."
Awalnya Liong Siau-hun tidak punya muka
memandangnya. Baru sekarang ia mengangkat
kepalanya. "Kau sudah tahu?"
"Ya." "Sejak kapan?" 361 Li Sun-Hoan menghela nafas. "Waktu kau menarik
tanganku dan membiarkan Dian-jitya menutup Hiat-to
(jalan darah)ku. Tapi". walaupun aku tahu kau terlibat,
aku tidak menyalahkanmu."
Kata Liong Siau-hun, "Jika kau sudah tahu, mengapa kau
tak mengatakan apa-apa?"
"Buat apa?" Lim Si-im memandang Li Sun-Hoan. "Kau tidak
mengatakannya karena aku, bukan?"
Li Sun-Hoan mengangkat alisnya. "Karena kau?"
Kata Lim Si-im lagi, "Kau tidak ingin menyakiti diriku,
atau merusak keluarga kami. Karena keluarga ini
adalah"." Ia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Air mata
kembali membasahi wajahnya.
Tawa Li Sun-Hoan meledak tiba-tiba. "Mengapa wanita
selalu berpikir bahwa segala sesuatu berputar
mengelilingi mereka" Aku tidak mengatakannya karena
aku tahu itu tidak ada manfaatnya. Aku juga tidak pergi
karena aku tahu mereka tidak akan membiarkan aku
pergi." Kata Lim Si-im, "Tidak peduli apa yang kau katakan
sekarang. Karena aku sudah tahu"."
362 Potong Li Sun-Hoan, "Apa yang kau tahu" Tahukah kau
mengapa ia melakukannya" Ia kuatir kalau aku akan
merusak keluarga kalian. Itu sebabnya ia melakukan
semua ini! Karena dalam pandangannya, keluarga lebih
penting dari apa pun juga di dunia ini. Ia merasa bahwa
engkaulah orang yang paling berharga dalam hidupnya."
Lim Si-im menatap dia lekat-lekat, lalu tiba-tiba juga
tertawa terbahak-bahak. "Ia telah menghancurkanmu,
tapi kau masih juga membelanya" Bagus. Kau memang
sahabat sejati. Tapi, sadarkah engkau bahwa aku juga
manusia" Tega-teganya kau berbuat seperti ini padaku!"
Li Sun-Hoan mulai terbatuk-batuk lagi. Darah mengotori
sekelilingnya. Kini Liong Siau-hun pun kehilangan kendali dan mulai
berteriak. "Tadinya aku adalah kepala keluarga di sini.
Tapi begitu kau muncul, aku merasa seperti seorang
tamu. Aku mempunyai anak yang hebat. Tapi begitu kau
datang, ia menjadi anak yang cacad."
Li Sun-Hoan mendesah. "Kau benar. Seharusnya aku
tidak datang kembali."
Lim Si-im memejamkan matanya. Air mata terus mengalir
membasahi seluruh wajahnya. "Jika kau pernah
memikirkan aku sekejap saja, seharusnya kau tidak
berbuat seperti ini."
Sahut Liong Siau-hun, "Aku tahu. Tapi aku terlalu kuatir."
Lim Si-im bertanya, "Kuatir apa?"
363 Jawab Liong Siau-hun, "Kuatir kau akan meninggalkan
diriku. Walaupun kau tidak mengatakannya, aku tahu
bahwa kau". kau tidak bisa melupakan dia. Aku kuatir
kau akan kembali ke dalam pelukannya."
Lim Si-im melompat dari kursinya dan berteriak dengan
marah, "Singkirkan tanganmu! Kau bukan hanya seorang
yang licik, tapi kau pikir aku ini orang macam apa" Kau
pikir dia itu orang macam apa?"
Lim Si-im bersimpuh di lantai dan menangis meraungraung
tidak terkendali. "Apakah kau sudah lupa bahwa
aku" aku adalah istrimu?"
Liong Siau-hun berdiri mematung di tempatnya. Hanya
air matanya yang bergulir di pipinya.
Li Sun-Hoan memandang mereka berdua dan berpikir
dalam hatinya, "Salah siapakah ini semua" Siapa yang
salah"." *** Di tempat lain, A Fei merasa seperti berbaring di dalam
gumpalan awan, tubuh terasa lemas dan melayanglayang
di tengah semacam bau harum yang sedap.
Ia sudah mendusin, tapi rasanya seperti dalam mimpi.
Dalam mimpinya juga selalu ditemui salju, ladang
belukar, binatang buas dan serentetan bencana dan
penderitaan yang tak habis-habis....
364 Dan terdengar seseorang berkata, "Apakah kau sudah
bangun?" Suara ini sungguh merdu, sungguh lembut.
Waktu A Fei membuka matanya, ia melihat wajah
seorang dewi. Wajah ini memiliki senyum yang termanis,
yang terlembut di seluruh dunia. Matanya penuh dengan
cinta kasih yang murni. Wajah ini hampir mirip dengan ibunya.
Ia teringat waktu ia masih kecil dan jatuh sakit, ibunya
selalu duduk di sampingnya seperti ini, dan mengawasi
dia dengan sabar. Namun itu sudah lama sekali. Sangat lama, sampai ia
hampir melupakannya".
A Fei berusaha bangkit dari tempat tidur itu. "Di
manakah aku?" Waktu ia berusaha duduk, ia terjatuh rebah kembali.
Lim Sian-ji membantu ia duduk dengan telaten dan
berkata dengan lembut, "Jangan kuatir di mana engkau
berada. Anggap saja ini rumahmu."
"Rumahku?" Ia tidak pernah punya rumah.
365 Kata Lim Sian-ji, "Aku rasa rumahmu pasti sangat
hangat, karena kau memiliki ibu yang sangat baik. Ia
pasti sangat lembut, sangat cantik dan kau sangat
mencintainya." A Fei hanya duduk terdiam. Setelah beberapa saat ia
berkata, "Aku tidak punya rumah, juga tidak punya ibu."
Lim Sian-ji kelihatan bingun. "Tapi"tapi waktu engkau
pingsan, kau terus-menerus memanggil ibumu."
A Fei diam saja, tidak bergerak dan wajahnya pun tidak
berubah. "Beliau sudah meninggal waktu aku berusia
tujuh tahun." Walaupun wajahnya menatap kosong, matanya mulai
basah. Lim Sian-ji menunduk. "Maafkan aku. Aku"seharusnya
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku tidak mengungkit kenangan sedih itu."
Kemudian A Fei bertanya, "Apakah engkau yang
menolongku?" Sahut Lim Sian-ji, "Waktu aku tiba, kau sudah pingsan.
Lalu aku membawamu ke sini. Selama kau berada di sini,
aku berjanji tidak ada orang lain yang akan masuk."
Kata A Fei, "Sebelum ibuku meninggal, beliau berpesan
supaya aku tidak menerima kebaikan orang lain. Aku
tidak pernah melupakannya. Namun sekarang"."
366 Wajahnya yang kaku kini menjadi hidup dan ia berteriak,
"Kini aku berhutang nyawa padamu!"
Lim Sian-ji menjawab dengan lembut, "Kau tidak
berhutang apa-apa. Jangan lupa, kau pun pernah
menyelamatkan nyawaku."
A Fei terus mengeluh. "Mengapa kau tolong aku"
Mengapa kau tolong aku?"
Lim Sian-ji memandangnya dengan sabar. Ia meletakkan
tangannya di wajah A Fei. "Jangan pikir apa-apa
sekarang. Nanti" nanti kau akan tahu mengapa aku".
aku menolongmu. Mengapa aku berbuat ini padamu."
Tangannya benar-benar cantik.
A Fei memejamkan matanya.
Ia tidak tahu bahwa ia dapat mempunyai perasaan
seperti ini. Ia bertanya, "Jam berapa sekarang?"
"Belum tengah malam."
A Fei berusaha bangkit lagi.
Lim Sian-ji bertanya, "Ke mana kau mau pergi?"
A Fei mengertakkan giginya. "Aku tak bisa membiarkan
mereka membawa Li Sun-Hoan."
367 Kata Lim Sian-ji, "Tapi mereka sudah pergi."
A Fei jatuh terduduk ke atas tempat tidur. Wajahnya
berkeringat. "Tapi katamu ini belum tengah malam?"
Sahut Lim Sian-ji, "Memang betul. Tapi Li Sun-Hoan
sudah dibawa pergi kemarin pagi."
A Fei terpana. "Aku tidur begitu lama?"
Kata Lim Sian-ji, "Luka-lukamu sangat berat. Jika orang
itu bukan engkau, aku rasa orang itu tidak akan dapat
bertahan hidup. Jadi sekarang engkau harus patuh
padaku dan menunggu sampai kesehatanmu pulih."
"Tapi Li"."
Potong Lim Sian-ji cepat, "Jangan bicara tentang dia lagi.
Keadaannya saat ini tidak segawat keadaanmu. Jika kau
ingin pergi menolongnya, tunggu sampai luka-lukamu
sembuh." Ia menggeser tubuh A Fei, sehingga kepala A Fei ada di
atas bantal. "Jangan kuatir. Sim-bi Taysu sendiri yang
membawa dia. Dia tidak akan menemui kesulitan di
jalan." *** Li Sun-Hoan duduk di atas kereta, memandang Dian-jitya
dan Sim-bi. Ia berpikir ini sungguh menarik, sehingga ia
tidak dapat menahan senyumnya.
Dian-jitya menatapnya dan bertanya, "Apa yang lucu?"
368 Sahut Li Sun-Hoan, "Aku hanya berpikir bahwa ini sangat
menarik." "Apa yang menarik?"
Li Sun-Hoan menguap, memejamkan matanya, seolaholah
akan tidur. Dian-jitya mengguncang-guncangkan tubuhnya. "Apa
yang menarik pada diriku?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Maaf, aku bukan berbicara tentang
engkau. Ada banyak orang yang menarik di dunia ini,
tapi kau tidak termasuk. Kau sangat membosankan."
Dian-jitya sungguh geram, tapi akhirnya dilepaskannya
cekalannya. Sim-bi tidak tahan untuk tidak bertanya, "Apakah
menurutmu aku menarik?"
Ia tidak pernah bertemu dengan orang yang menanggap
dia menarik. Li Sun-Hoan menguap lagi. Katanya sambil tersenyum,
"Aku berpikir kau cukup menarik karena sebelum ini aku
belum pernah berada di kereta kuda bersama dengan
seorang pendeta. Aku selalu berpikir bahwa pendeta
tidak pernah naik kuda atau kereta kuda."
Sim-bi juga tersenyum. "Pendeta kan juga manusia. Kami
tidak hanya naik kereta kuda, kami juga perlu makan."
369 Kata Li Sun-Hoan, "Tapi jika mau duduk di atas kereta,
mengapa tidak duduk dengan nyaman" Caramu duduk
membuat orang berpikir bahwa kau mempunyai
semacam penyakit kulit."
Wajah Sim-bi langsung berubah. "Kau ingin aku menutup
mulutmu?" Sim-bi memandang Dian-jitya. Tangan Dian-jitya telah
bergerak ke arah salah satu Hiat-to (jalan darah) Li Sun-
Hoan. Ia tersenyum. "Jika aku menekan di sini, kau tahu
apa yang akan terjadi, bukan?"
Li Sun-Hoan terkekeh. "Jika kau menekan di situ, maka
kau tidak akan mendengar banyak kisah yang menarik."
Kata Dian-jitya, "Kalau begitu, aku rasa aku akan"."
Di tengah-tengah perkataannya itu, tiba-tiba kuda-kuda
meringkik keras, dan berhenti.
Dian-jitya berteriak pada orang-orang yang di luar, "Apa
yang terjadi" Apa".."
Waktu ia menyingkapkan tirai dan melihat ke luar,
wajahnya seketika pucat pasi.
Seseorang berdiri di atas salju. Tangan kanannya
memegangi kereta kuda, sehingga kuda-kuda itu tidak
dapat maju. Ia hanya berdiri di situ, tidak bergerak
sedikitpun. Bab 18. Satu Hari Banyak Kejutan
370 Orang itu mengenakan baju hijau. Baju itu terlalu
panjang untuk ukuran orang biasa, namun untuk orang
ini baju itu malah tampak terlalu pendek.
Ia dapat membuat orang merasa takut karena tubuhnya
yang sangat tinggi. Ia juga mengenakan topi panjang
yang tampak aneh. Dari jauh ia kelihatan seperti
sebatang pohon. Kemampuannya untuk menghentikan kuda yang sedang
berlari, sangat mengerikan. Namun matanya lebih
mengerikan lagi. Mata itu seperti bukan mata manusia.
Matanya hijau, dan berkilauan.
Waktu Dian-jitya melihat ke luar, ia segera masuk
kembali. Ia kelihatan seperti orang sakit.
Sim-bi bertanya, "Ada seseorang di luar?"
Kata Dian-jitya lemah, "In Gok."
Li Sun-Hoan tersenyum. "Sayangnya ia sama seperti
teman-temanku yang lain. Ia hanya menginginkan
kepalaku." Wajah Sim-bi terlihat muram. Ia membuka pintu kereta
dan menyapa, "Ih-jisiansing."
Si Setan Hijau memandangnya, lalu berkata dingin,
"Apakah engkau Sim-oh Taysu" Atau Sim-bi?"
371 Sim-bi Taysu menjawab, "Pendeta tidak boleh berdusta.
Di sini ada juga Tuan Dian-jitya dan Li-tayhiap."
Kata In Gok, "Bagus. Serahkan saja Li Sun-Hoan dan
kalian boleh pergi."
Sahut Sim-bi, "Bagaimana jika aku tidak setuju?"
Kata In Gok lagi, "Maka aku harus membunuhmu dulu,
baru membunuh Li Sun-Hoan!"
Tiba-tiba ia menyorongkan tangannya. Terlihat kilatan
warna hijau, dan Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau) telah
maju terarah pada Sim-bi.
Sim-bi membaca mantra Tan Okmpat pendeta muda
berjubah abu-abu segera datang. Setelah Sim-bi
mengelak dari serangan pertama ini, pendeta-pendeta
muda itu mengelilingi In Gok.
Lalu In Gok tertawa. Selagi tertawa, disambitkannya sebatang panah yang
mengeluarkan asap hijau. Sim-bi langsung berteriak,
"Tahan nafas!" Ia memperingatkan murid-muridnya, namun ia sendiri
lupa. Ketika diucapkannya kata "tahan", bau yang aneh
masuk ke dalam mulutnya. Ketika para pendeta yang lain melihat perubahan
wajahnya, mereka langsung panik.
372 Sim-bi segera melayang beberapa meter ke belakang,
duduk bersila dan mulai bermeditasi. Ia mengerahkan
tenaga dalamnya untuk mendorong racun itu keluar.
Para pendeta Siau-lim-si itu langsung membentuk barisan
seperti tembok di depannya. Mereka hanya menguatirkan
keselamatan Sim-bi. Mereka lupa pada Li Sun-Hoan.
Namun In Gok tidak mempedulikan mereka. Ia berjalan
menuju ke kereta. Li Sun-Hoan masih di sana, namun Dian-jitya sudah
pergi. In Gok menatap Li Sun-Hoan dan bertanya, "Apakah
engkau membunuh Ku Tok?"
"Ya." Kata In Gok, "Bagus. Menukar nyawamu dengan nyawa
Ku Tok bukanlah satu kerugian bagimu."
Ia mengangkat Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)nya".
*** A Fei menatap langit-langit. Ia tidak berbicara sudah
sangat lama. Kata Lim Sian-ji, "Apa yang kau pikirkan?"
Jawab A Fei, "Apakah kau pikir ia akan menemui bahaya
di tengah jalan?" 373 Lim Sian-ji tersenyum. "Tentu saja tidak. Ada Sim-bi
Taysun, Dian-jitya yang mengawalnya. Siapa yang berani
menyerangnya?" Ia membelai rambut A Fei. "Jika kau memperhatikan aku,
beristirahatlah. Aku akan tetap di sini. Aku berjanji tidak
akan pergi." A Fei menatapnya. Matanya sungguh penuh kehangatan.
Akhirnya A Fei pergi tidur.
*** In Gok menatap Li Sun-Hoan. "Ada lagi yang ingin kau
katakan?" Li Sun-Hoan memandang Jing-mo-jiu (Tangan Setan
Hijau)nya. "Satu kalimat saja."
"Apa?" Li Sun-Hoan mendesah. "Mengapa datang jauh-jauh
hanya untuk mati?" Tiba-tiba ia memutar tangannya.
Pisau berkilat dan In Gok terjengkang ke belakang.
Begitu banyak darah menggenang di atas salju.
Kini In Gok sudah pergi jauh. Ia berteriak, "Li Sun-Hoan,
jangan lupa. Aku"."
374 Sampai di situ, ia berhenti.
Angin musim dingin mengiris kulit bagai pisau. Padang
salju tiba-tiba hening mencekam.
Tiba-tiba terdengar seseorang bertepuk tangan. Dianjitya
keluar dari balik kereta, tersenyum dan bertepuk
tangan. "Bagus. Bagus. Bagus. Pisau Kilat si Li memang
tidak pernah luput. Sehebat yang dikatakan orangorang."
Li Sun-Hoan terdiam sejenak lalu berkata, "Jika kau
bebaskan seluruh Hiat-to (jalan darah)ku, ia tidak akan
bisa lolos." Dian-jitya tertawa. "Jika kubebaskan semua Hiat-to (jalan
darah)mu, maka engkaulah yang lolos. Hanya dengan
satu tangan yang bisa bergerak dan satu pisau saja, kau
telah berhasil melukai In Gok cukup berat. Aku harus
ekstra hati-hati menghadapi orang seperti engkau."
Saat itu para pendeta itu telah menggotong Sim-bi
kembali. Setelah duduk dalam kereta, Sim-bi langsung
berkata, "Ayo pergi."
Setelah beberapa saat ia berkata lagi, "Jing-mo-jiu
(Tangan Setan Hijau) sangat berbahaya."
Dian-jitya tersenyum. "Tapi tidak lebih berbahaya
daripada Pisau Kilat si Li."
Sim-bi memandang Li Sun-Hoan, "Aku tidak menyangka
kau akan menyelamatkan kami."
375 Li Sun-Hoan terkekeh. "Aku hanya menyelamatkan diriku
sendiri. Jangan pikirkan itu. Jangan repot-repot berterima
kasih." Kata Dian-jitya, "Aku hanya bertanya apakah dia mau
pergi dengan kita ke Siau-lim-si atau tinggal dengan In
Gok. Lalu kubuka Hiat-to (jalan darah) tangan kanannya
dan kuberinya sebilah pisau."
Lalu ia menyeringai, "Itu saja sudah cukup."
Kata Sim-bi, "Pisau Kilat si Li yang legendaris"..sangat
sangat cepat!" Walaupun gerak refleksnya kurang baik, namun ia
memiliki tenaga dalam yang sangat hebat. Menjelang
malam Sim-bi telah berhasil mendorong keluar semua
racun dari dalam tubuhnya. Keesokan paginya, ia hampir
pulih sepenuhnya." Lalu mereka melihat ada sebuah kedai di tepi jalan.
Makanan tanpa arak, sama seperti masakan tanpa
garam. Kering dan hambar.
Kata Dian-jitya, "Sudah bagus ada makanan. Jangan
berharap terlalu muluk."
Peraturan Siau-lim-si sangat ketat. Para pendeta ini tidak
mengeluarkan suara sedikit pun selagi makan. Walaupun
hanya sayuran rebus, mereka sudah terbiasa. Lagi pula,
setelah perjalaLam-yang-hu cukup jauh, mereka sangat
lapar. Jadi mereka pun makan cukup lahap.
376 Hanya Sim-bi, yang baru pulih dari racun itu, tidak
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makan apa-apa. Li Sun-Hoan akhirnya menyumpit sepotong tahu. Baru
akan dimakannya, diletakkannya kembali. Wajahnya
berubah. "Kita tidak bisa makan ini."
Kata Dian-jitya, "Jika Li-Tamhoa tidak mau makan
makanan biasa seperti ini, silakan saja pergi dengan
perut kosong." Li Sun-Hoan hanya menyahut datar, "Makanan ini
beracun." Dian-jitya tertawa. "Hanya karena kami tidak
mengijinkanmu minum arak, bukan berarti?"
Tiba-tiba ia berhenti tertawa. Seakan-akan
tenggorokannya tersumbat.
Ini karena ia melihat wajah keempat pendeta Siau-lim-si
itu menjadi abu-abu. Mereka sendiri tidak menyadarinya
dan terus saja makan. Sim-bi segera berkata, "Semua berhenti makan! Segera
bermeditasi dan Lindungi organ-organ penting."
Para pendeta itu tidak menyadari apa yang sedang
terjadi. Mereka hanya tersenyum. "Apakah Susiok
menyuruh kami?" Sim-bi berkata cepat, "Tentu saja. Tak tahukah kalian
bahwa kalian sudah keracunan?"
377 "Siapa yang keracunan?"
Lalu keempat orang ini saling pandang. Semua bersamasama
berkata, "Wajahmu"."
Sebelum kalimat mereka selesai, keempatnya jatuh
tergeletak. Dalam sekejap saja tubuh mereka sudah
mulai membusuk. Racun itu bukan hanya tidak berasa dan tidak berbau,
juga bisa membuat orang yang keracunan tidak merasa
apa-apa. Waktu mereka sadar mereka telah keracunan,
mereka sudah tidak tertolong lagi.
Dian-jitya bergidik, "Racun apakah ini" Bagaimana racun
ini bisa begitu hebat" Siapakah pelakunya?"
Li Sun-Hoan memandang pada kalajengking di dinding.
"Aku tahu ia akan datang, cepat atau lambat."
Dian-jitya bertanya dengan tak sabar, "Siapa" Kau tahu
siapa dia?" Kata Li Sun-Hoan, "Ada dua jenis racun di dunia ini. Yang
satu berasal dari rumput dan tanaman. Yang satu lagi
dari ular dan serangga. Banyak orang yang bisa
membuat racun dari tanaman, tapi sangat sedikit yang
bisa membuat racun dari ular dan serangga. Dan hanya
satu orang yang dapat membuat racun yang bisa
membunuh orang tanpa disadari korbannya."
Dian-jitya terbelalak, "Maksudmu Ngo ... Ngo-tok-tongcu
dari Kek-lok-tong di daerah Miau (Ngo-tok-tongcu)?"
378 Kata Li Sun-Hoan, "Aku berharap bukan dia."
"Mengapa ia datang ke sini" Untuk apa ia datang ke
sini?" Sahut Li Sun-Hoan, "Ia datang mencari aku."
Ia tahu Li Sun-Hoan pasti tidak mempunyai teman
seperti ini. Ia hendak mengatakan sesuatu, namun
diurungkannya. "Tampaknya kau tidak punya banyak
teman, tapi punya segudang musuh."
Kata Li Sun-Hoan, "Aku tidak keberatan punya banyak
musuh. Namun seseorang hanya perlu sedikit saja
sahabat, karena kadang-kadang sahabat itu lebih
mengerikan daripada musuh."
Sim-bi tiba-tiba memotong dan bertanya, "Bagaimana
kau tahu ada racun dalam makanan itu?"
Kata Li Sun-Hoan, "Sama seperti waktu berjudi. Aku
hanya bergantung pada perasaanku. Jika seseorang
menanyakan sebabnya, aku tidak bisa menjawabnya."
Sim-bi memandang dia penuh curiga, lalu katanya, "Mulai
sekarang, kita hanya makan apa yang dia makan."
Mereka meninggalkan keempat jenazah pendeta itu di
biara setempat dan melanjutkan perjalanan.
Walaupun mereka bisa terus berjalan tanpa makan, kusir
kereta tidak mau ikut lapar bersama dengan mereka. Jadi
waktu mereka lewat sebuah kedai, ia berhenti dan
379 makan di situ. Ia membeli beberapa buah roti dan makan
dalam perjalanan. Dian-jitya terus memandangnya. Setelah beberapa saat
ia bertanya, "Berapa harga roti ini?"
Kusir kereta itu tersenyum. "Murah sekali, dan cukup
lezat. Cobalah sedikit."
Dian-jitya tersenyum. "Roti ini tidak mungkin beracun.
Mengapa tak kau coba sedikit, Pendeta?"
Sim-bi berkata, "Makanlah sedikit, Li-tayhiap."
Li Sun-Hoan terkekeh. "Tak kusangka kalian berdua
sungguh penuh kesopanan."
Ia mengambil satu dengan tangan kirinya, karena hanya
tangan kirinya yang bisa bergerak. Lalu dia berkata, "Kita
tidak bisa makan ini."
Kata Dian-jitya, "Namun kusir kereta itu makan, dan
tidak terjadi apa-apa."
Sahut Li Sun-Hoan, "Dia bisa makan, namun kita tidak."
"Mengapa?" "Karena ia bukanlah orang yang hendak dibunuh oleh
Ngo-tok-tongcu!" Dian-jitya tertawa dingin, "Apakah kau ingin menipu kami
dan membuat kami mati kelaparan?"
380 Sahut Li Sun-Hoan, "Jika kau tidak percaya, makan saja."
Dian-jitya menatapnya, lalu menyuruh kusir kereta untuk
berhenti. Ia belah roti itu menjadi dua, dan memberikan
setengah bagian pada kusir kereta itu. Kusir itu makan
dan tidak menunjukkan tanda-tanda keracunan sama
sekali. Dian-jitya berkata dingin, "Kau masih berpikir
bahwa kita tidak bisa makan roti itu?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Tidak."
Ia menguap. Lalu seolah-oleh tertidur.
Dian-jitya sungguh kesal, lalu katanya, "Aku akan makan
untuk membuktikan bahwa kau salah."
Walaupun ia berkata begitu, ia tidak makan roti itu. Lalu
dilihatnya seekor anjing liar lewat dekat kereta mereka.
Kelihatannya anjing itu pun sedang kelaparan.
Dian-jitya memberikan setengah bagian roti yang sisa
pada anjing itu. Anjing itu mengendus-endus, makan
sedikit lalu pergi. Sepertinya ia tidak suka roti itu.
Namun setelah beberapa langkah, tiba-tiba anjing itu
meloLiong nyaring, melompat dan terkapar mati.
Dian-jitya dan Sim-bi sungguh terkejut.
Li Sun-Hoan menghela nafas. "Sudah kubilang. Masih
untung, hanya seekor anjing yang mati, bukan kalian."
381 Sebelumnya, Dian-jitya kelihatan begitu percaya diri.
Namun kini wajahnya berubah total. Ia memandang pada
kusir itu dan bertanya menyelidik, "Ada apa ini?"
Kusir itu sangat ketakutan. "Aku sungguh tidak tahu. Aku
membeli roti itu dari warung tadi."
Dian-jitya mengguncang-guncangkan tubuh kusir itu.
"Lalu mengapa anjing itu mati dan kau masih hidup"
Siapa yang menaruh racun pada roti itu kalau bukan
engkau?" Kusir itu hanya gemetar, tak tahu harus menjawab apa.
Kata Li Sun-Hoan, "Tidak ada gunanya mengancam dia.
Dia sendiri pun tidak tahu apa yang terjadi."
"Jika dia tidak tahu, siapa yang tahu?"
"Aku tahu." Dian-jitya berusaha menenangkan dirinya. "Kau tahu"
Cepat jelaskan!" Sahut Li Sun-Hoan, "Roti itu beracun, namun sup yang
dimakannya di warung itu mengandung obat
penawarnya." Dian-jitya berkata dingin, "Kita kan mungkin saja turun
juga untuk makan sup itu."
Kata Li Sun-Hoan, "Jika kita makan sup itu, racunnya
tidak akan dimasukkan ke dalam roti.
382 Tipuan Ngo-tok-tongcu memang tidak dapat ditebak.
Dalam menghadapi orang seperti itu, kau hanya bisa
menutup mulutmu rapat-rapat."
Sim-bi berkata, "Ya sudah, kalau begitu kita tidak usah
makan saja untuk beberapa hari ini. Ayo lekas jalan lagi."
Dian-jitya berkata, "Walaupun kita tidak makan, aku
kuatir bahaya itu akan tetap ada."
"Mengapa?" "Karena kemungkinan ia akan menunggu sampai kita
sangat lemah, baru menyerang."
Sim-bi tidak tahu harus menjawab apa.
Lalu mata Dian-jitya berbinar. "Aku ada ide."
"Apa?" Dian-jitya berbisik, "Tujuannya kan bukan kita. Maka
kalau kita"." Ia melirik pada Li Sun-Hoan dan berhenti bicara.
Wajah Sim-bi menjadi murung. Aku sudah berjanji akan
membawanya ke Siau-lim-si. Aku tidak dapat
membiarkannya mati di tengah jalan."
Dian-jitya tidak berkata apa-apa lagi. Namun setiap kali
ia memandang Li Sun-Hoan, matanya menyiratkan niat
membunuh. 383 Pendeta bukan hanya harus makan dan tidur, mereka
pun harus buang hajat. Sim-bi menyadari juga akan hal ini. Namun apapun yang
sedang dilakukannya, dia tidak mau Li Sun-Hoan berada
di luar pengamatannya. Dian-jitya menjadi sungguh kesal dan tidak sabar, namun
ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Keesokan harinya, mereka melihat sebuah warung
menjual roti. Warung itu cukup ramai. Orang mengantri
untuk membeli. Waktu mereka mendapatkan roti itu,
mereka segera memakannya. Tak seorang pun mati
keracunan. Dian-jitya tidak bisa menahan diri lagi. "Bisakah kita
makan ini?" Kata Li Sun-Hoan, "Mereka boleh memakannya. Namun
kita tidak bisa. Walaupun sepuluh ribu orang
memakannya dan tidak terjadi apa-apa, jika kita makan,
kita pasti keracunan sampai mati!"
Jika Li Sun-Hoan mengatakan ini dua hari yang lalu,
Dian-jitya tidak mungkin percaya. Namun sekarang,
Dian-jitya harus mempercayainya.
Lalu terdengar seorang anak berteriak, "Ibu! Ibu! Aku
mau makan roti." Mereka melihat dua orang anak berusia sekitar tujuh
tahun sedang berada dekat warung itu. Mereka
384 berteriak-teriak dan melompat-lompat. Seorang wanita
keluar dari warung itu dan menampar mereka.
Anak itu menangis. "Kalau aku sudah jadi orang kaya
nanti, aku tidak mau lagi makan roti. Aku hanya mau
makan mi telur saja."
Li Sun-Hoan mengeluh. Begitu besar jurang antara yang
kaya dengan yang miskin. Dalam bayangan anak-anak
ini, bahkan mi telur pun adalah suatu kemewahan.
Jalan itu sempit dan begitu banyak orang di sana. Cukup
lama kereta mereka tidak bisa lewat.
Kini terlihat kedua anak itu masing-masing membawa
semangkuk bubur. Mata mereka tetap tertuju pada
orang-orang yang sedang makan roti.
Tiba-tiba, Dian-jitya turun dari kereta. Ia menaruh
beberapa keping uang di meja si penjual roti, dan
mengambil beberapa buah roti. Lalu ia menghampiri
kedua anak ini dan berkata, "Aku beri kalian roti ini.
Kalian beri padaku bubur itu. Bagaimana?"
Mata kedua anak itu langsung bersinar-sinar. Mereka
belum pernah bertemu dengan orang sebaik ini.
"Aku beri kalian uang untuk membeli permen juga.
Bagaimana?" Melihat ini, Sim-bi terkekeh. Akhirnya Dian-jitya
membawa dua mangkuk bubur itu ke dalam kereta. Simbi
tersenyum. "Kau cerdik juga rupanya."
385 Dian-jitya tertawa. "Yah, kita kan perlu tenaga untuk bisa
meneruskan perjalanan."
Ia memberikan semangkuk kepada Sim-bi.
Walaupun bubur ini terasa hambar, mereka memakannya
seperti makaLam-yang-hu sedap luar biasa, karena
mereka yakin bubur itu tidak beracun.
Dian-jitya memandang Li Sun-Hoan dan terkekeh.
"Apakah kau pikir ini bisa dimakan?"
Sebelum menjawab, Li Sun-Hoan mulai terbatuk-batuk.
Dian-jitya tersenyum sambil berkata, "Jika Ngo-toktongcu
sudah tahu sebelumnya bahwa anak-anak itu
ingin makan roti, dan sudah tahu bahwa kita akan
menggunakan roti itu untuk barter dengan bubur ini,
sehingga ia telah menaruh racun dalam bubur ini, maka
aku rela mati." Setelah mengatakannya, dihabiskannya semangkuk
bubur itu dengan sekali telan.
Sim-bi pun merasa bahwa bubur itu tidak mungkin
beracun. Karena betapa pun hebatnya dia, Ngo-toktongcu
tidak mungkin dapat menebak apa yang akan
terjadi! 386 Bab 19. Aneh tapi Nyata Sim-bi yakin bubur itu tidak beracun, namun bagaimana
pun juga, ia adalah seorang pendeta. Jadi sewaktu Dianjitya
sudah menghabiskan mangkuknya, ia masih pada
suapan kedua. Dian-jitya tersenyum. "Dengan kecepatan seperti ini, kita
akan tiba di Siong-san besok pagi."
Sim-bi juga terlihat lega. Katanya, "Akan ada muridmurid
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menyambut kita satu dua hari ini. Selama"."
Tiba-tiba ia berhenti bicara. Tubuhnya gemetar hebat,
dan mangkuknya terjatuh dari tangannya. Buburnya
tumpah membasahi bajunya.
Wajah Dian-jitya memucat. "Pendeta". Kau?"
"Ada racun dalam bubur ini?"
Sim-bi menghela nafas. Tidak sanggup bicara.
Dian-jitya mencekal baju Li Sun-Hoan. "Lihat wajahku.
Apakah wajahku"."
Lalu ia terdiam, karena ia tahu tidak ada gunanya
bertanya. 387 Li Sun-Hoan mendesah. "Walaupun aku selalu
menganggapmu memuakkan, aku tetap tidak ingin
melihatmu mati." Wajah Dian-jitya putih seperti kertas. Tubuhnya gemetar,
dan ia menatap Li Sun-Hoan. Lalu ia tertawa terbahakbahak,
"Walaupun kau tidak ingin melihatku mati, aku
ingin melihatmu mati! Seharusnya aku sudah
membunuhmu sejak lama!"
Kata Li Sun-Hoan, "Kau pikir sekarang sudah terlambat
untuk membunuhku?" Dian-jitya mengertakkan giginya. "Benar. Terlambat
untuk membunuhmu sekarang. Untungnya, belum terlalu
terlambat." Tiba-tiba tangannya mencengkeram leher Li Sun-Hoan.
*** A Fei bangkit berdiri. Wajahnya masih pucat, namun tubuhnya berdiri tegap.
A Fei berjalan mengelilingi kamar itu dua kali, lalu
bertanya, "Apakah kau pikir ia akan sampai di Siau-lim-si
dengan selamat?" Kata Lim Sian-ji, "Kau tidak bisa bercakap-cakap lebih
dari tiga kalimat tanpa menyinggung tentang Li Sun-
Hoan, ya" Dapatkah kita tidak membicarakan dia"
388 Mengapa kau tidak berbicara tentang aku" Atau tentang
dirimu?" A Fei memandangnya dengan tenang dan bertanya,
"Apakah dia bisa sampai dengan selamat di Siau-lim-si?"
Apapun yang dikatakan Lim Sian-ji, ia hanya punya satu
pertanyaan ini. Lim Sian-ji tertawa. "Ah, kau. Aku benar-benar tidak bisa
mengubahmu." Ia menarik tangan A Fei untuk duduk di
sampingnya, lalu katanya dengan manis, "Jangan kuatir.
Mungkin saat ini ia sedang minum teh dengan Pendeta
Sim-oh Taysu. Kau tahu, teh dari Siau-lim-si sangatlah
terkenal." Akhirnya A Fei merasa tenang, bahkan tersenyum santai.
"Dari yang aku tahu, walaupun ia sudah ditawan, ia tidak
akan pernah minum teh."
*** Li Sun-Hoan tidak dapat bernafas.
Wajah Dian-jitya juga tampak semakin aneh. Ia pun kini
sulit bernafas. Namun sepertinya ia tidak bisa
melepaskan cengkeramannya, sekalipun dalam kematian.
Li Sun-Hoan hanya merasa bahwa sekelilingnya menjadi
gelap. Wajah Dian-jitya terlihat makin samar. Ia tahu,
sebentar lagi ia akan mati.
389 Dalam keadaan ini, ia pikir ia akan teringat akan banyak
hal dalam hidupnya. Seseorang pernah memberitahu hal
ini padanya. Namun kenyataannya, saat ini ia tidak teringat apapun
juga. Tidak ada kenangan pahit. Hanya ada sesuatu yang
lucu. Ia jadi ingin tertawa.
Ia tidak pernah menyangka ia akan mati bersama-sama
dengan Dian-jitya. Sepertinya Dian-jityalah yang akan
menemaninya berjalan ke alam baka.
Tiba-tiba ia mendengar suara Dian-jitya. "Li Sun-Hoan,
nafasmu panjang sekali. Mengapa kau tidak mati-mati?"
Sebenarnya Li Sun-Hoan ingin menjawab, "Aku
menunggumu mati lebih dulu."
Tapi ia tidak bisa mengatakannya. Bernafas pun ia tidak
bisa. Lalu terdengar suara keras. Sepertinya dari jauh, namun
sepertinya juga berasal dari Dian-jitya.
Kini sekelilingnya menjadi terang kembali.
Ia melihat Dian-jitya. Dian-jitya telah tergeletak jatuh dari kursi kereta.
Matanya yang mati masih menatap Li Sun-Hoan.
Terlihat Sim-bi bernafas tidak teratur, sepertinya ia baru
saja menggunakan tenaga yang cukup besar.
390 Li Sun-Hoan memandangnya beberapa saat, lalu
bertanya, "Mengapa kau menyelamatkan aku?"
Sim-bi tidak menjawab. Ia malah terus membuka Hiat-to
(jalan darah) Li Sun-Hoan. "Sebelum Ngo-tok-tongcu
datang, kau pergilah cepat."
Li Sun-Hoan tidak bergerak sama sekali. "Mengapa kau
menyelamatkan aku" Apakah sekarang kau sudah yakin
bahwa aku bukan Bwe-hoa-cat ?"
Sahut Sim-bi, "Pendeta selalu tidak ingin tangannya
berlumuran darah sebelum mati. Siapapun engkau,
cepatlah pergi." Li Sun-Hoan memandangi wajah Sim-bi yang menghitam,
lalu mendesah. "Terima kasih. Sayangnya, walaupun aku
bisa melakukan begitu banyak hal, melarikan diri
bukanlah salah satunya."
Sim-bi berkata tergesa-gesa. "Ini bukan waktunya
menjadi pahlawan. Tenaga dalammu belum pulih. Kau
tidak akan dapat mengalahkan dia."
Tiba-tiba kuda-kuda itu meringkik keras. Kusir kereta
menjerit dan kereta mereka menabrak sebatang pohon.
Sim-bi tergeletak di samping kereta dan bertanya,
"Mengapa kau belum pergi juga" Apakah kau ingin
menyelamatkanku?" 391 Li Sun-Hoan berkata dengan tenang, "Jika kau bisa
meyelamatkan aku, mengapa aku tidak bisa
menyelamatkan engkau?"
Kata Sim-bi, "Namun kematianku tidak jauh lagi.
Mengapa harus dipermasalahkan kapan aku mati?"
Kata Li Sun-Hoan, "Tapi kau belum mati, bukan?"
Ia berhenti bicara dan mengeluarkan sebilah pisau.
Sebilah pisau yang kecil, tipis.
Pisau Kilat si Li! Senyum terbayang di bibir Li Sun-Hoan.
Kereta itu sudah terguling ke samping. Rodanya masih
berputar, berderak-derak nyaring. Di tempat yang sunyi
seperti itu, suara itu sungguh menyakitkan telinga.
Kata Li Sun-Hoan, "Roda ini perlu diminyaki."
Dalam keadaan seperti ini ia masih berpikir bahwa roda
itu perlu diminyaki! Sim-bi merasa orang ini sungguh
aneh luar biasa. Ia sudah hidup selama 60 tahun, tapi baru kali ini
bertemu dengan orang seperti ini.
Li Sun-Hoan mendukung dia keluar dari kereta. Angin
dingin menerpa muka mereka.
392 Kata Sim-bi, "Kau tak perlu melakukan ini. Sudah"pergi
saja." Malam ini tidak ada bulan. Sim-bi berusaha keras, namun
tetap tidak bisa melihat apa-apa.
Terdengar Li Sun-Hoan berseru, "Apakah engkau Ngotok-
tongcu?" Tidak ada jawaban. Kata Li Sun-Hoan, "Jika kau tidak ada di sini, maka kami
akan pergi." Sim-bi bertanya, "Ke mana kita akan pergi?"
"Kuil Siau-lim-si, tentunya."
Sim-bi sungguh terkejut, "Siau-lim-si?"
Kata Li Sun-Hoan, "Kita sudah begitu bersusah-payah
untuk pergi ke Siau-lim-si, bukan?"
Kata Sim-bi, "Ta"tapi sekarang kau tak perlu lagi pergi
ke sana." Sahut Li Sun-Hoan, "Sebenarnya, aku harus pergi ke
sana." "Mengapa?" "Karena di Siau-lim-si ada obat penawar untuk racun ini."
393 Sim-bi sungguh tidak habis pikir. "Kenapa kau
menyelamatkan aku" Aku ini musuhmu."
Kata Li Sun-Hoan, "Aku menyelamatkanmu karena
engkau adalah seorang manusia."
Sim-bi mengeluh. "Jika kita benar-benar bisa sampai di
Siau-lim-si, akan kuberitahukan pada semua orang
bahwa kau sungguh tidak bersalah. Aku yakin sekarang,
kau tidak mungkin adalah Bwe-hoa-cat ."
Li Sun-Hoan hanya tersenyum. Ia tidak mengatakan apaapa.
Kata Sim-bi, "Sayangnya, jika kau terus menggendongku,
kau tidak akan pernah sampai di Siau-lim-si. Walaupun
Ngo-tok-tongcu tidak mau memperlihatkan dirinya, ia
tidak akan membiarkan engkau lolos."
Li Sun-Hoan terbatuk sedikit.
Kata Sim-bi lagi, "Dengan ilmu meringankan tubuhmu,
kau mungkin bisa lolos. Mengapa kau harus membawa
aku" Aku sudah sangat berterima kasih karena engkau
berpikir untuk menyelamatkanku."
Tiba-tiba terdengar suara tawa. "Wah. Seorang pendeta
Siau-lim-si berteman akrab dengan Tamhoa, pemabuk
yang gemar wanita. Siapa yang bisa percaya?"
Suara tawa kadang terdengar dekat, kadang terdengar
sangat jauh. Tidak dapat di duga dari mana datangnya.
394 Sim-bi bertanya, "Ngo-tok-tongcu?"
Suara itu menjawab, "Bagaimana rasanya bubur itu"
Sedap, bukan?" Kata Li Sun-Hoan, "Jika kau ingin membunuhku,
mengapa tidak keluar saja dan melakukannya?"
Ngo-tok-tongcu menjawab, "Aku tidak perlu keluar untuk
membunuhmu." "O ya?" "Sampai hari ini, aku sudah membunuh 392 orang. Tidak
seorangpun dari mereka yang pernah melihat aku.
Bahkan bayanganku pun tidak mereka lihat."
Li Sun-Hoan tersenyum. "Kata orang kau adalah seorang
cebol dan rupamu sangat buruk. Oleh sebab itu kau tidak
ingin dilihat orang. Kelihatannya memang betul."
Setelah hening beberapa saat, Ngo-tok-tongcu
menjawab, "Aku akan membiarkanmu hidup sampai
besok pagi." Li Sun-Hoan tertawa. "Tentu saja aku akan hidup sampai
besok pagi. Tapi aku kuatir, tidak demikian dengan
engkau." Sebelum ia selesai tertawa, terdengar bunyi seruling.
395 Tiba-tiba tampak bayangan benda-benda besar dan kecil
di atas salju. Ia tidak tahu benda apakah itu. Apapun
benda itu, ia harus menahan nafasnya.
Kata Sim-bi, "Ketika Ngo-tok-tongcu muncul, tubuh
orang-orang mulai membusuk. Jika kau tidak pergi
sekarang, kapan lagi?"
Li Sun-Hoan seolah-olah tidak mendengarnya. Lalu
katanya, "Katanya dia punya ribuan hewan beracun.
Mengapa aku hanya lihat beberapa saja" Apa yang
lainnya sudah mati?"
Suara seruling terdengar makin cepat. Beberapa hewan
melata itu sudah merayapi kaki mereka. Sim-bi sudah
hampir muntah. Ngo-tok-tongcu lalu tertawa. "Ini adalah hewan-hewan
kesayanganku, mereka mengandung tujuh macam racun.
Mereka tidak hanya makan daging, tapi sesudah itu
mereka akan menghabiskan tulang-tulangmu juga."
Sebelum ia selesai bicara, sebilah pisau telah melesat!
Sim-bi hampir terpekik. Ia tahu, pisau Li Sun-Hoan adalah satu-satunya harapan
mereka. Tapi Li Sun-Hoan tidak dapat melihat apa-apa.
Jika pisaunya meleset, matilah mereka berdua.
Ia sedang bertaruh dengan nyawanya.
396 Dan kesempatan mereka tipis sekali.
Sim-bi tidak menyangka Li Sun-Hoan akan mengambil
resiko sebesar itu. Saat itu kilau pisau telah tertelan kegelapan. Namun tibatiba
kegelapan itu mengeluarkan jeritan yang
melengking! Seseorang keluar dari kegelapan itu.
Orang itu kelihatan seperti seorang anak kecil. Ia
mengenakan baju pendek. Kakinya yang kecil bisa
terlihat. Dalam malam musim dingin ini, ia tidak tampak
kedinginan. Kepalanya kecil, namun matanya bersinar tajam.
Matanya penuh dengan kemarahan dan
ketidakpercayaan. Mata itu menatap Li Sun-Hoan lekatlekat.
Ia ingin bicara, namun kata-kata tak dapat keluar.
Sim-bi lalu melihat pisau kecil Li Sun-Hoan telah
tertancap di lehernya. Ia tidak tahan untuk mencabut
pisau itu. Waktu ia mencabutnya, darah menyembur ke
luar. Ngo-tok-tongcu akhirnya berkata, "Pisau yang sangat
berbahaya." Saat itu, hewan-hewan itu telah merayapi tubuh Li Sun-
Hoan dan Sim-bi. Namun kini mereka tidak bergerak lagi.
397 Li si pisau terbang memang tidak ada duanya, namun
mereka berdua tetap saja bisa dimakan hidup-hidup oleh
hewan-hewan beracun itu. Siapa sangka, ketika darah Ngo-tok-tongcu menyembur,
hewan-hewan itu langsung melompat ke arah
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenggorokannya. Dalam waktu singkat, seluruh tubuhnya habis. Namun
setelah hewan-hewan itu memakannya habis, mereka
pun berhenti bergerak. Sangat ironis bahwa Ngo-tok-tongcu mati oleh racunnya
sendiri. Sim-bi akhirnya menghela nafas lega. "Bukan saja
pisaumu yang tidak ada duanya di dunia ini, namun
ketenanganmu juga." Pahlawan Dan Kaisar 18 Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Kasih Diantara Remaja 8