Pencarian

Rajawali Emas 10

Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


Demikianlah, tiga orang muda itu melakukan perjalanan dengan penuh kegembiraan, terutama sekali yang membuat mereka selalu bergembira adalah sifat Li Eng yang amat jenaka dan lincah. Sementara itu, dengan amat tekunnya Kun Hong mempergunakan setiap kesempatan waktu untuk membalik-balik lembaran kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok dan makin banyak ia membaca, makin tertariklah hatinya. Secara diam-diam mulailah dia berlatih diri mempelajari ilmu yang amat aneh dan ajaib, yang erat hubungannya dengan ilmu batin karena ilmu ini hanya dapat dilakukan dengan pengerahan tenaga murni dan hawa sakti dalam tubuh. Dengan petunjuk-petunjuk yang berada dalam kitab ini, makin teranglah bagi Kun Hong tentang rahasia samadhi dan mengatur napas, dan memperkuat daya sakti dalam tubuhnya.
Semua ini ia latih di luar sepengetahuan dua orang gadis remaja itu yang selalu yakin bahwa paman mereka adalah seorang pemuda yang tampan, berwatak halus, berbudi, dan buta ilmu silat.
Semenjak pemberontak-pernberontak dibasmi belasan tahun yang lalu keadaan, di kota raja aman dan tenteram. Namun hal ini hanya berjalan beberapa tahun saja karena kini timbullah persaingan baru yang lebih ganas.
Persaingan antara putera-putera Kaisar termasuk keluarganya yang tentu saja merindukan singgasana untuk menggantikan Kaisar yang sudah tua. Mulailah para pangeran itu saling bermusuhan dalam usaha mereka menarik hati Kaisar agar mereka dijadikan calon pengganti Kaisar.
Demikian hebat persaingan ini yang kadang-kadang tidak dilakukan secara diam-diam melainkan secara terbuka, sehingga masing-masing mempunyai jagoan-jagoan sendiri. Persaingan mencapai puncaknya ketika putera mahkota, yaitu putera sulung dari Kaisar, telah tewas menjadi korban persaingan itu. Tak seorang pun tahu siapa pembunuhnya dan dengan apa dibunuhnya. Namun ahli silat tinggi maklum bahwa putera mahkota ini dibunuh oleh seorang ahli silat yang memiliki kepandaian luar biasa.
Seperti juga halnya dengan kaisar-kaisar lain atau hampir semua pemimpin dan pembesar yang menduduki kemuliaan dan memegang kekuasaan, Kaisar Tai-itsu juga mempunyai banyak isteri sehingga anaknya pun banyak pula. Hal ini membingungkan hatinya siapakah yang harus ia pilih menjadi putera mahkota setelah putera sulungnya meninggal dunia. Ia maklum akan persaingan dan permusuhan di antara putera-puteranya, selir-selirnya dan keluarganya. Maka karena Kaisar pun dapat menduga bahwa putera sulungnya itu terbunuh orang, ia menjatuhkan pilihannya kepada anak dari putera sulungnya itu yang bernama Hui Ti atau Kian Bun Ti menjadi pengganti putera mahkota. Hui Ti atau Kian Bun Ti ini adalah cucu Kaisar.
Pada waktu itu Kian Bun Ti ini telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan cerdik bukan main. Ia maklum akan bahayanya kedudukannya, maklum bahwa banyak paman-paman pangeran lain merasa iri hati akan kedudukannya. Maka dengan amat pandainya Kian Bun Ti mendekati Kaisar, berhasil menguasai hati dan kasih sayang kakeknya ini. Adalah atas bujukan pemuda cerdik inilah maka seorang pamannya yang dianggap paling berbahaya, yaitu Pangeran Yung Lo yang jujur dan keras, oleh Kaisar dihalau dari kota raja, diberi tugas pertahanan di utara, di kota raja lama, Peking.
Memang pada waktu itu tiada hentinya bangsa Morngol, Mancu, dan lain-lain suku bangsa dari utara selalu berusaha menyerang Kerajaan Beng yang baru ini. Pangeran Yung Lo tentu saja mentaati perintah dan berangkatlah dia ke utara menjalankan tugas berat ini.
Biarpun telah berhasil menghalau saingannya yang paling berbahaya, namun Kian Bun Ti masih belum lega karena ia maklum bahwa yang melihat kepadanya dengan mata penuh dengki masih banyak sekali. Maka ia pun lalu mengumpulkan orang-orang pandai untuk menjaga dirinya, bahkan dia sendiri mempelajari ilmu silat. Di samping kesukaannya mendekati ahli-ahli silat dan jagoan-jagoan, Pangeran yang masih muda ini pun terkenal sebagai seorang yang tak boleh melihat wanita cantik. Entah berapa banyaknya wanita-wanita cantik dan muda, jatuh hati dan menjadi korbannya, tertarik oleh ketampanannya atau kedudukannya maupun harta bendanya. Memang wanita manakah yang takkan tertarik oleh seorang pemuda yang tampan, cerdik, malah seorang pangeran calon kaisar pula"
Di dalam usahanya untuk menguasai keadaan dunia kang-ouw, Pangeran ini tidak segan-segan untuk mempergunakan perkumpulan-perkumpulan seperti Hek-kai-pang (Pengemis Hitam) dari mana ia bisa mendapatkan sumber berita tentang gerakan orang-orang kang-ouw sehingga ia dapat tahu siapa yang menjadi jagoan-jagoan baru dari para saingannya.
Pangeran Kian Bun Ti menjadi tertarik sekali ketika ia menerima laporan dari beberapa orang anggauta perkumpulan pengemis yang menjadi kaki tangan dan penyelidiknya tentang dua orang gadis cantik jelita anak murid Hoa-sanpai yang menggegerkan pertemuan dari Hwa-i Kai-pang. Pangeran ini tidak hanya tertarik oleh kecantikan dua orang dara remaja itu, melainkan terutama sekali tertarik oleh cerita tentang kehebatan ilmu silat mereka. Diam-diam ia mempunyai maksud hati yang baik sekali, maksud hati yang menjadi perpaduan dari seleranya terhadap dara ayu dan kebutuhannya akan pengawal yang lihai. Cepat ia memanggil beberapa orang kepercayaannya dan membagi-bagi perintah.
Sementara itu, Kun Hong dan dua orang dara remaja telah memasuki kota raja dengan gembira. Tiga orang muda yang semenjak kecilnya bertempat tinggal di pegunungan yang sunyi ini sekarang berjalan perlahan di atas jalan raya dengan mata terbelalak dan mulut tiada hentinya mengeluarkan seruan-seruan kagum dan memuji ketika mereka menyaksikan gedung-gedung terukir indah dl sepanjang jalan.
Apalagi Li Eng yang amat lincah itu, ia amat bergembira dan berlari ke kanan kiri mendekati setiap penglihatan yang baru dan asing baginya. Setiap ada bangunan indah dan besar ia berdiri terlongong di depannya, dan benda-benda yang diperdagangkan di sepanjang jalan dalam toko-toko pun tak lepas dari perhatiannya. Hui Cu yang lebih pendiam dan alim hanya merupakan, pengikut saja dan biarpun gadis ini juga amat kagum dan terheran-heran, namun ia dapat menekan perasaannya dan hanya tampak bibirnya yang kecil mungil mengulum senyum dan sepasang matanya bersinar-sinar menambah indah wajah yang berseri itu.
Pada waktu itu, orang-orang wanita berada di atas jalan raya bukanlah hal aneh. Banyak wanita berjalan di atas jalan raya, akan tetapi semua itu, adalah wanita-wanita pekerja kasar dan pedagang kecil, pendeknya wanita yang agak tua atau yang agak buruk rupa. Puteri-puteri bangsawan yang cantik-cantik hanya menampakkan diri di atas jalan raya dalam kendaraan tertutup.
Memang ada kalanya wanita-wanita kang-ouw, anak-anak penjual obat keliling memperlihatkan ilmu silat pasaran, tampak berjalan-jalan namun hal ini jarang terjadi. Oleh karena itu, ketika dua orang dara remaja ini memasuki kota raja, di sepanjang jalan mereka menjadi tontonan orang, terutama laki-laki muda dan tua yang tidak hanya mengagumi kecantikan dua orang gadis itu, akan tetapi terutama sekali mengagumi sikap mereka berdua yang begitu bebas.
Dua orang gadis ini mudah saja menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah gadis-gadis kang-ouw yang berkepandaian silat, terbukti dari pedang yang tergantung di pinggang mereka. Mudah juga diduga bahwa mereka berdua tentulah memiliki ilmu silat yang lihai, kalau tidak demikian, bagaimana dua orang gadis remaja yang begitu cantik jelita bisa melakukan perjalanan dengan aman dan selamat sampai ke kota raja"
Kecantikan mereka yang luar biasa itu tentu akan menjadi sebab kemalangan mereka, tentu mereka telah ditahan dan diambil oleh orang-orang jahat.
Karena dugaan inilah maka biarpun banyak mata laki-laki melotot dan mulut tersenyum-senyum, sejauh itu belum ada yang berani sembrono mengeluarkan kata-kata teguran atau godaan.
Yang mengherankan banyak orang adalah Kun Hong, Pemuda ini pakaiannya seperti seorang siucai, seorang terpelajar, akan tetapi pakaian itu sudah lapuk sehingga menimbulkan dugaan bahwa dia tentulah seorang terpelajar yang tidak lulus ujian dan jatuh miskin seperti banyak terdapat pada masa itu. Yang mengherankan orang, mengapa seorang siucai miskin seperti ini berjalan bersama dua orang dara remaja kang-ouw" Biasanya gadis-gadis kang-ouw yang cantik seperti ini tentu melakukan perjalanan, dengan laki-laki yang hebat pula yang luar biasa, aneh, atau yang gagah perkasa. Kenapa sekarang pengiringnya hanya seorang siucai jembel yang hanya tersenyum-senyum, berjalan perlahan seperti kehabisan tenaga" Lebih-lebih herannya orang-orang yang dekat dengan mereka ketika mendengar Li Eng dengan lincahnya menyebut siucai muda itu "paman". Heran sekali, usianya sepantar mengapa.disebut paman"
Kalau dua orang dara itu mengagumi keindahan, ukir-ukiran, bangunan, benda-benda aneh yang diperdagangkan orang, apalagi melihat sutera-sutera beraneka warna yang halus dan mahal, adalah Kun Hong kembang-kempis hidungnya dan berkeruyukan perutnya karena mencium bau masakan yang gurih dan sedap keluar dari banyak rumah makan di sepanjang jalan. Bau sedap dari bau masakan daging, bawang dan bumbu-bumbu menusuk hidungnya, membuat semua itu tidak seindah mangkok berisi masakan yang mengebul panas-panas di atas meja! Akan tetapi pemuda ini menekan seleranya, maklum bahwa tak mungkin ia dapat membeli masakan-masakan yang mahal itu.
Kalau Li Eng tidak ada perhatian lain kecuali terhadap barang-barang indah dan bangunan-bangunan megah yang tak pernah dilihatnya itu, adalah Hui Cu yang pendiam dan selalu tanpa diketahui orang lain memperhatikan pamannya, segera dapat menduga bahwa pamannya itu merasa lapar dan ingin makan. Ia lalu menyentuh tangan Li Eng dan berbisik di dekat telinganya. Li Eng tersenyum, menoleh kepada Kun Hong yang tidak tahu apa yang dibicarakan antara dua orang gadis itu.
"Paman Hong, apakah kau lapar dan ingin makan?" tiba-tiba Li Eng yang tak pernah menaruh hati sungkan-sungkan itu bertanya.
"Apa...." Betul... eh, tidak apa...." Kun Hong gagap karena pertanyaan yang tiba-tiba itu memang cocok sekali dengan pikirannya.
Li Eng segera menyambar tangannya dan digandeng menuju ke sebuah rumah makan. "Kalau lapar kenapa diam saja" Di sini banyak rumah makan, boleh kita pilih masakan yang enak!"
"Hush, jangan main-main." Kun Hong menahan. "Aku tidak punya uang, mana berani masuk rumah makan?"
bagian 54 Untuk apa uang" Kita tak usah beli, bisa minta," kata lagi Li Eng.
"Ihh, memalukan!" Kun Hong mencela.
Li Eng tertawa ditahan. "Hi-hik," kau lihat, Enci Hui Cu! Tidakkah aneh bukan main paman kita ini" Paman Hong, kau ini seorang kai-ong (raja pengemis) kok malu minta-minta?"
Digoda begini oleh Li Eng, gemas juga hati Kun Hong. "Sudah jangan terlalu menggoda orang kau, bocah nakal. Kujewer telingamu nanti!"
Li Eng hanya tertawa manja dan Hui Cu berkata, "Susiok, harap jangan kuatir, kami membawa bekal uang dan andaikata kurang, aku masih mempunyai gelang emas, dapat kita jual." Berbeda dengan Li Eng, suara nona ini sungguh-sungguh dan sama sekali tidak bermain-main.
"Nah, punya keponakan yang begini mencintai seperti Enci Cu, kau takut apa, Susiok?" Lagi-lagi Li Eng menggoda dan kali ini ia benar-benar menerima cubitan, bukan dari Kun Hong, melainkan dari Hui Cu sehingga ia menjerit mengaduh-aduh. Wajah Kun Hong sama merahnya dengan wajah Hui Cu. Ia merasa tidak enak sekali dengan godaan Li Eng itu, maka ia segera berkata dengan lagak seorang tua, "Sudahlah, di tengah jalan jangan bergurau-gurau.
Tidak patut dilihat orang!" Kemudian ditambahnya, "Kalau memang kalian membawa uang, mari kita makan di rumah makan itu."
Tiga orang muda ini memasuki rumah makan yang besar dan mewah, juga kelihatan menarik sekali karena pintu, jendela dan meja bangkunya dicat merah dan kuning. Melihat tiga orang muda ini memasuki rumah makan, pelayan kepala menyambutnya sendiri, terbungkuk-bungkuk menyambut dengan seluruh muka bulat itu tersenyum lebar. "Silakan... silakan Sam-wi (Tuan Bertiga) masuk. Selamat datang dan silakan Sam-wi takkan kecewa memasuki rumah makan kami yang tersohor di seluruh negeri!"
Kalau Li Eng dan Hui Cu menerima, sambutan yang amat menghormati ini dengan anggukan kepala angkuh, adalah Kun Hong yang menjadi sibuk membalas penghormatan orang. Ia melihat pelayan kepala ini orangnya gemuk, pakaiannya bersih dan rapi sekali, maka ketika ia melirik ke arah pakaiannya sendiri, ia menjadi malu dan sungkan. Pakaiannya lapuk dan kotor seperti pakaian jembel, bagaimana ia merasa enak hati menerima sambutan penghormatan sedemikian dari pengurus rumah makan ini"
Setelah ketiganya memilih sebuah meja di sudut dan mengambil tempat duduk, pelayan kepala ini seperti seekor burung kakatua nerocos terus,
"Sam-wi hendak menikmati apa" Arak wangi dari selatan, arak buah dari Tung-to, atau arak ketan dari pantai" Kami ada masakan-masakan istimewa, khusus untuk Sam-wi. Daging naga di tim, jantung hati burung sorga goreng setengah matang, kepala burung Hong dipanggang bumbu merah, kaki gajah masak sayur, buntut singa masak jamur, atau masih banyak macamnya.
Tiga orang itu saling pandang, Li Eng dan Hui Cu hanya tersenyum-senyum untuk menutupi perasaan malu karena semua nama masakan itu merupakan nama asing dan baru bagi mereka. Akan tetapi Kun Hong tanpa menyembunyikan keheranannya, mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Tidak main-mainkah pelayan ini" Bagaimana orang bisa memasak daging naga, jantung burung sorga, burung Hong, gajah, singa dan lain-lain itu" Dia sampai menjadi bingung dan tak dapat memilih. Bagaimana ia harus memilih antara masakan yang memang selama hidupnya baru kali ini ia dengar namanya itu" "Kalau Sam-wi sukar memilih, biarlah kami sediakan semua yang ada agar Sam-wi dapat makan seenaknya." Pelayan kepala itu lalu mengundurkan diri dan tak lama kemudian berdatanganlah pelayan-pelayan, ada yang membawa arak, ada yang mengantarkan mangkok dan cawan, ada yang mulai mengeluarkan masakan-masakan panas. Para tamu lain yang berada di situ memandang heran. Bagi orang kota ini, tidaklah aneh kalau ada orang memborong masakan-masakan mahal, akan tetapi kecantikan serta kebebasan dua orang dara remaja itu ditambah keadaan Kun Hong yang seperti jembel, benar-benar mendatangkan keheranan.
"Aku rela menghabiskan semua uang bekalku untuk dapat makan daging naga, burung Hong dan lain-lain binatang aneh itu," bisik Li Eng.
Hui Cu mengangguk. "Selama hidupku baru kali ini aku menjumpai masakan yang aneh. Untuk merasai daging naga aku pun rela mengorbankan gelangku."
Hanya Kun Hong yang bengong terlongong, setengah tidak percaya akan masakan yang aneh-aneh itu. Tak lama kemudian masakan yang berbau lezat dan sedap gurih telah tersedia di atas meja. Dengan selera besar tiga orang muda yang memang sudah lapar sekali ini mulai makan. Li Eng menggunakan Sumpit menjumputi daging dari setiap masakan untuk dicoba rasanya.
Ia terkikik lalu berkata, "Kurang ajar pelayan itu. Yang begini disebut daging ditim" Aku pernah makan daging ular kembang. Dan ini" Burung sorga apa"
Ini kan hati burung dara dan kepala burung Hong" Setan, ini hanya kepala ayam biasa. Kaki gajah" hi-hik, kaki babi dan buntut singa ini tentulah buntut kambing!"
Hui Cu juga tertawa kecil. Tak salah kata-katamu, Adik Eng. Akan tetapi harus diakui bahwa masakan ini bumbunya lengkap dan enak sekali."
Kun Hong juga tidak sungkan-sungkan menggasak makanan-makanan lezat itu. Mendengar percakapan dua orang dara itu ia memberi komentar, "Memang penggantian nama-nama itu hanya siasat untuk menarik perhatian tamu, apalagi yang datang dari luar kota raja."
"Tapi dia kurang ajar berani menipu kami," kata Li Eng. "Awas, orang itu patut dipukul kepalanya. Kita tak usah bayar!"
"Hush, omongan apa yang kau keluarkan itu, Li Eng?" Kun Hong membentak.
"Jangan kau mencari gara-gara. Apa tidak malu sudah makan membayar pukulan" Tidak boleh kau begitu!"
Li Eng bersungut-sungut. "Biarlah gelangku ini untuk bayar," kata Hui Cu.
"Tentu aku akan bayar, tapi juga akan kumaki karena dia telah menipu kita,"
kata pula Li Eng yang segera memberi isarat kepada pelayan kepala yang memandang dari jauh.
Dengan terbungkuk-bungkuk pelayan kepala ini datang menghampiri.
Mukanya berseri dan mulutnya segera berkata, "Tidakkah Sam-wi puas dengan masakan kami?"
"He, muka babi! Kauanggap aku ini orang apa" Berani kau mempermainkan kami dan membohong. Daging ular kau katakan daging naga, burung dara kau katakan burung sorga dan ayam biasa kau sebut burung Hong. Mana ada kaki gajah" Kaki babi. Kau benar-benar muka babi berani mempermainkan kami, apakah kau sudah bosan hidup?"
Muka yang tadinya berseri-seri itu tiba-tiba berubah pucat. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang muda itu dan suaranya yang gemetar sukar sekali. ditangkap maksudnya. Namun Li Eng dapat mendengar bahwa orang itu minta-minta ampun dan mohon supaya jangan dilaporkan kepada Thaicu (Pangeran). Kun Hong dan dua orang gadis itu terheran-heran.
Jelas bahwa pelayan kepala ini bukan takut kepada mereka, melainkan takut kalau-kalau mereka melaporkannya kepada Thaicu.
"Mana siauwte berani menghina tamu-tamu dari Thaicu" Memang nama masakan itu begitu...." demikian antara lain kata-kata Si Pelayan Gemuk ini.
"Hemm, kau menyebut-nyebut Thaicu segala" Siapa itu?" akhirnya Kun Hong bertanya karena ia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalah pahaman.
Pada saat itu, dari luar masuklah dua orang yang berpakaian indah dan penutup kepalanya menandakan bahwa mereka adalah orang-orang berpangkat. Semua pelayan memberi hormat kepada dua orang yang datang ini dan ketika mereka berdua berhadapan dengan Kun Hong, Li Eng, dan Hui Cu yang juga memandang dengan penuh perhatian, dua orang ini membungkuk-bungkuk dengan sikap menghormat.
"Sam-wi yang terhormat dipersilakan datang ke Istana Kembang di mana Putera Mahkota sudah menanti. Kendaraan tamu siap menanti di luar."
Karuan saja Kun Hong dan dua orang dara itu terlongong heran dan tidak mengerti. "Apakah yang kalian maksudkan?" tanya Kun Hong. "Kami tidak mempunyai hubungan dan janji-janji dengan siapapun juga, tidak mengenal putera mahkota...."
Dua orang tua itu membungkuk lagi. Thaicu amat tertarik kepada Sam-wi dan mulai saat beliau mendengar tentang Sam-wi, beliau menganggap Sam-wi sebagai tamu."
Li Eng segera berkata kepada Kun Hong "Paman Hong, lebih baik kita lekas pergi dari tempat ini, di sini banyak yang aneh-aneh dan membingungkan." Ia lalu mengeluarkan uang bekalnya dan bertanya kepada pelayan kepala, "Lekas hitung, berapa kami harus bayar makanan palsu ini."
Pelayan ini buru-buru menggerakkan tangannya menolak. "Ah, bagaimana Siocia (Nona) hendak membayar" Semua sudah terbayar lunas, malah berikut persennya, semua sudah beres oleh Thaicu."
Tiga orang muda itu kembali melengak. Lagi-lagi orang menyebut Thaicu.
Kenapa putera mahkota begitu memperhatikan mereka. Sejak kapankah mereka kenal dengan putera mahkota"
"Li Eng, putera mahkota telah berlaku baik kepada kita, tidak seharusnya kita menolak kebaikan orang. Dia menghendaki kita datang ke Istana Kembang, bukankah kau tadi menyatakan keinginanmu untuk dapat kesempatan melihat keadaan istana dari dalam" Nah, kesempatan ini sekarang tiba, kenapa kita tidak menerimanya?"
"Pendapat yang bijaksana sekali!" seorang di antara dua pembesar itu berkata girang. "Marilah, Kongcu dan Ji-wi Siocia (Nona Berdua), mari menggunakan kendaraan yang sudah menanti di luar rumah makan."
Kun Hong mengajak dua orang keponakannya keluar dan benar saja, sebuah kereta yang amat indah dengan dua ekor kuda telah menanti di depan.
Seorang di antara dua pembesar itu membukakan pintunya dan mempersilakan tiga orang "tamu agung" itu memasuki kereta. Tanpa ragu-ragu lagi Kun Hong naik dan diikuti oleh dua orang gadis yang masih ragu-ragu dan hanya terpaksa menrurut karena didahului oleh paman mereka.
Andaikata tidak ada Kun Hong di situ, sudah pasti Li Eng dan Hui Cu tidak akan sudi menerima undangan orang.
Setelah mereka semua duduk di dalam kereta, dua orang "pembesar" itu segera mengambil tempat kusir dan orang ke dua di belakang. Kiranya mereka itu adalah kusir kereta dan keneknya! Merah muka Kun Hong kalau teringat betapa tadi di dalam rumah makan ia mengira bahwa mereka adalah dua orang "pembesar" dari istana. Kiranya hanya kusir dan keneknya! Malu ia kalau melirik kearah pakaiannya sendiri yang patut membuat ia disebut orang jembel.
Di dalam kereta yang serba indah dan bersih itu, tiga orang muda ini duduk saling berpandangan dan sampai lama tidak membuka mulut. Betapapun tenangnya, hati Kun Hong berdebar juga kalau mengingat bahwa dia akan berhadapan dengan putera mahkota! Apalagi dua orang gadis itu yang tampak gelisah sekali.
"Paman Hong," akhirnya Li Eng berkata dengan suara berbisik, "Mengapa kau menerima undangan ini" Jangan-jangan orang bermaksud buruk dan jahat terhadap kita...."
"Jangan curiga yang bukan-bukan, Li Eng. Tempat ini adalah kota raja dan sudah tentu saja Kaisar sekeluarganya adalah tuan rumah. Kalau putera mahkota mengundang kita, berarti kita sebagai tamu diundang tuan rumah dan kehormatan besar ini sekali-kali tidak baik kalau kita tolak. Pula, apa buruknya kalau kita mendapat kesempatan bertemu dan bercakap-cakap dengan putera mahkota, dan berkesempatan pula melihat-lihat keadaan kota dalam Istana Kembang" Ah, kelak tentu kalian akan bercerita banyak di rumah tentang pengalaman ini."
Li Eng dan Hui Cu tidak berkata-kata lagi, terbenam dalam lamunan masing-masing. Memang menegangkan hati sekali perjalanan ini bagi mereka, akan tetapi juga mereka berdua merasa bahwa perjalanan ini amat berbahaya dan mencurigakan. Persamaan pendapat ini hanya mereka utarakan dengan pertukaran pandang mata. Hanya Kun Hong yang duduk enak-enak, nampaknya ayem dan tenang saja, malah sepasang matanya yang tajam itu bersinar-sinar gembira.
Istana Kembang berada di lingkungan istana yang paling pinggir, termasuk pinggir kota yang sunyi. Di sekitar istana itu penuh hutan-hutan yang ditanami banyak pohon-pohon yang indah, pohon-pohon buah dan pohon-pohon kembang. Di sekeliling istana merupakan taman bunga yang besar dan luas, di mana ditanam segala macam bunga. Di sana-sini terdapat empang ikan yang selain menjadi tempat peliharaan ikan-ikan emas yang indah-indah, juga menjadi tempat tumbuhnya bunga teratai yang berwarna-warni.
Kereta berhenti di depan gedung yang tidak begitu besar, akan tetapi bentuknya mungil dan seluruh bagian bangunan ini penuh dengan hasil-hasil seni ukir dan seni lukis. Begitu turun dari kereta, tiga orang muda asal pegunungan ini berdiri ternganga. Istana dan keindahan sekitarnya bagi mereka begitu aneh dan begitu indah yang biasanya hanya dapat mereka bayangkan dalam alam mimpi saja.
Beberapa orang pelayan yang pakaiannya juga seperti pembesar-pembesar datang menyambut, "Sudah sejak tadi putera mahkota menanti kedatangan Sam-wi yang terhormat. Sam-wi (Tuan Bertiga) dipersilakan langsung menuju ke ruangan istirahat di mana Thaicu sudah menanti," begitulah kata mereka dan seperti dalam mimpi tiga orang muda itu mengikuti para pelayan menuju ke pintu depan istana. Begitu memasuki pintu ini, tiga orang muda itu tiada habisnya mengagumi segala keindahan yang terdapat di situ. Lukisan-lukisan kuno, ukir-ukiran yang menghias ruangan dalam, perabot-perabot yang terbuat dari kayu harum, sutera-sutera yang berkilauan, batu-batu kemala dalam bentuk hiasan-hiasan, permadani halus yang menghias dinding dan lantai. Bukan main! Li Eng yang biasanya bebas dan tak mau tunduk itu kini merasa dirinya kecil sehingga tanpa ia sadari lagi berpegang erat-erat pada lengan kanan Kun Hong. Malah Hui Cu yang biasanya agak pemalu dan masih sungkan-sungkan bersikap terlalu intim terhadap pamannya, kini pun tanpa ia sadari lagi menggandeng tangan kiri Kun Hong. Sungguh sikap tiga orang muda ini seperti tiga ekor kelinci memasuki gua macan! Hanya Kun Hong yang biarpun tampak kagum sekali, masih dapat bersikap tenang, sedikit pun tidak ada perasaan takut seperti yang terdapat dalam pikiran dua orang dara remaja itu.
Di setiap lorong atau ruangan baru berganti pelayan yang bertugas mengantar mereka, Istana itu dari luar tampaknya kecil mungil, akan tetapi setelah dimasuki ternyata luas dan ruangan istirahat yang dimaksudkan itu ternyata jauh juga dari pintu depan. Kiranya berada di sebelah belakang, merupakan ruangan terbuka dengan atap berbentuk payung besar, tanpa dinding sehingga kelihatannya seperti dikelilingi kembang-kembang. Di empernya terdapat empang ikan yang lebar dan di tengah-tengahnya terdapat air mancur yang keluar dari mulut seekor naga batu. Benar-benar ruangan istirahat ini indah dan berhawa sejuk, tepat menjadi tempat beristirahat menghilangkan lelah.
Seorang laki-laki muda duduk menghadapi empang, kelihatannya melamun.
Usianya sebaya Kun Hong, tampan dan pakaiannya indah sekali, terbuat dari sutera berlukiskan burung Hong. Topinya juga aneh dan bersulamkan gambar naga, akan tetapi agaknya pemuda itu sedang kurang gembira sehingga rambutnya yang hitam keluar dari bawah topi didiamkannya saja.
"Yang Mulia, tiga orang tamu yang dinanti-nantikan sudah datang menghadap!" seorang pelayan melapor sambil menjatuhkan diri berlutut.
Pelayan lian sebelum berlutut berbisik kepada Kun Hong bertiga, "Harap Sam-wi berlutut memberi hormat."
Akan tetapi Kun Hong, apalagi Li, Eng juga Hui Cu, tidak mengerti akan bisikan ini, dan hanya memberi hormat seperti biasa mereka memberi hormat kepada orang lain yang sebaya usianya, yaitu dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke dada. Orang muda itu cepat bangkit dari duduknya dan gerakannya cepat sekali sehingga Hui Cu dan Li Eng segera dapat menduga bahwa orang itu tentu memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan juga.
Setelah berhadapan, ternyata bahwa orang muda itu lebih berwajah gagah daripada tampan. Terutama sepasang matanya membuat orang tak berani menentang pandang matanya lama-lama, penuh wibawa dan gerak-geriknya agung dan hal ini mungkin ia biasakan untuk disesuaikan dengan kedudukannya, putera mahkota! Inilah dia Kian Bun Ti, putera mahkota yang sebetulnya adalah cucu dari Kaisar, putera dari mendiang Putera Mahkota atau putera sulung dari Kaisar.
Berdebar keras hati Li Eng dan Hui Cu ketika melihat betapa sepasang mata yang agak lebar itu memandang kepada mereka penuh perhatian, lalu terpancar sinar kagum dari mata itu sebelum mulutnya tersenyum dan suaranya terdengar ramah,
"Ah, Tai-hiap yang menjadi Sin-kai Pangcu (Ketua Perkumpulan pengemis baru) dan kedua Li-hiap (Pendekar Wanita)! Girang sekali hatiku Sam-wi suka datang bercakap-cakap!" Ia melangkah maju dan pandang matanya bergantian menelan wajah Li Eng dan Hui Cu. Kemudian ia menoleh kepada pelayan dan berkata dengan suara yang jauh berbeda, yaitu suara memerintah yang berpengaruh dan angker.
"Sediakan arak Sian-ciu (Arak Dewa) dan daging kering, kemudian enyahlah dari sini, beri tahu para cianpwe, supaya menunggu dan tidak boleh menghadap sebelum dipanggil!"
Pelayan-pelayan itu sambil merangkak mengundurkan diri dan tak lama kemudian mereka datang membawa hidangan yang diminta, lalu mengundurkan diri lagi. Pangeran Kian Bun Ti dengan ramah lalu mempersilakan tiga orang muda itu mengambil tempat duduk di dekat empang. Sikapnya yang ramah, budi bahasanya yang manis mengusir rasa sungkan dari tiga orang itu. Malah Li Eng dengan cepat menguasai kembali kelincahan dan kebebasannya.
"Aduh, indahnya ikan-ikan ini.... Enci Cu, kau lihat yang di sudut itu... yang di sana itu... hi-hi, seperti ada jenggotnya!" Ia menarik tangan Hui Cu dan menuding-nuding dengan telunjuknya yang kecil runcing.
Pangeran Kian Bun Ti memandang kagum kepada dua orang gadis itu, terutama kepada Li Eng. Ia mendengar bahwa dua orang gadis itu memiliki kepandaian ilmu silat yang hebat. Tadi begitu bertemu, ia sudah heran bukan main karena sama sekali di luar dugaannya bahwa dua orang wanita kang-ouw yang menjadi "Jagoan" ternyata adalah dua orang dara remaja yang begini manis cantik jelita dengan bentuk tubuh yang tidak kalah oleh puteri-puteri istana. Apalagi sekarang, melihat mereka tertawa-tawa senang melihat ikan-ikan dengan sikap bebas dan sewajarnya, jauh bedanya dengan sikap puteri-puteri istana atau selir-selirnya, benar-benar menggugah rasa sayang di hati Pangeran ini. Akan tetapi diam-diam ia meragukan dan sangsi apakah benar-benar dua orang dara remaja jelita ini memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi" Rasa-rasanya tidak mungkin kalau melihat kehalusan sifat mereka dan usia mereka yang masih amat muda,
bagian 55 Pangeran mahkota ini lalu mengalihkan perhatiannya kepada Kun Hong.
Seorang pemuda sederhana yang halus budi dan bersikap sopan, begitu penilaiannya. Akan tetapi ketika Pangeran ini mengajak tamunya bicara tentang ketatanegaraan, ia kecewa karena ternyata bahwa pemuda aneh yang telah dipilih sebagai ketua baru dari perkumpulan Hwa-i Kai-pang yang baru itu, ternyata sama sekali buta politik kenegaraan dan kata-katanya penuh mengandung inti dari filsafat dan kebatinan sebagai penuntun manusia ke arah kebajikan. Hemm, orang muda yang berbakat menjadi pendeta, pikirnya kecewa. Orang seperti ini sama sekali tiada gunanya bagiku, demikian Pangeran Mahkota itu berkata kepada dirinya sendiri. Perhatiannya lalu diarahkan kembali kepada Li Eng dan Hui Cu yang masih mengagumi keindahan kembang-kembang, ikan-ikan dan arca serta ukiran indah yang menghias. taman,
"Pangcu, apakah kedua orang Li-hiap itu benar-benar keponakanmu" Kau masih begini muda, tidak akan jauh selisihnya usiamu dengan mereka, bagaimana bisa menjadi paman mereka?" akhirnya Pangeran itu bertanya kepada Kun Hong. Pemuda ini sebetulnya merasa kurang enak mendapat sebutan pangcu itu, akan tetapi karena memang kenyataannya ia sudah menerima kedudukan ketua Hwa-i Kai-pang, ia tidak dapat membantah.
Mendengar pertanyaan ini, Kun Hong tersenyum.
"Bukan keponakan dalam hubungan keluarga, Pangeran, melainkan dalam hubungan perguruan. Ayah saya adalah supek (uwa guru) dari ayah ibu mereka, oleh karena itulah maka saya terhitung sebagai paman guru mereka."
Pangeran Mahkota itu mengangguk-angguk. "Kalau begitu, Pangcu sebagai putera Ketua Hoa-san-pai dan sebagai paman dari kedua orang li-hiap ini, tentu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali."
Li Eng dan Hui Cu yang kini sudah duduk kembali di dekat Kun Hong, menahan senyum mereka mendengar ucapan ini. Kun Hong sendiri menjadi merah mukanya ketika ia menjawab,
"Ah, saya seorang yang bodoh mana tahu akan ilmu silat" Ayah dan Ibu pun melarang saya belajar ilmu silat semenjak kecil. Berbeda dengan kedua orang keponakanku ini, sedikit-sedikit mereka mengerti ilmu silat, Pangeran."
Pangeran Kian Bun Ti memandang kepada dua orang dara itu. Li Eng menentang pandang mata itu dengan sinar mata terbuka dan berani, sebaliknya, Hui Cu hanya membalas tenang-tenang kemudian menundukkan pandang matanya.
"Alangkah senangnya memiliki kepandaian siiat tinggi seperti Ji-wi Siocia ini dan alangkah akan merasa aman di hati kalau mempunyai teman seperti Ji-wi Li-hiap," demikian kata Pangeran itu penuh kekaguman dan sepasang matanya memancarkan cahaya ganjil.
Namun Li Eng masih terlalu muda dan tidak ada pengalaman sehingga pandang mata seperti ini dianggapnya bukan apa-apa. Hui Cu lebih tajam dan perasa sehingga gadis ini berdebar-debar dan tidak berani lagi menentang pandang mata Pangeran muda itu.
"Ah, Pangeran terlalu memuji!" Li Eng malah berani membantah. "Sedikit ilmu silat seperti yang kami miliki ini apakah artinya dibandingkan dengan keadaan Pangeran" Tinggal di tempat begini indah, terjaga oleh penjaga yang kuat, tidak ada setan pun berani mengganggu!"
"Ha-ha-ha, Nona pintar sekali bicara!" Pangeran itu gelak terbahak. "Kau sama sekali tidak tahu betapa kedudukan seorang pangeran tidaklah seenak orang sangka. Bahaya selalu mengancam dari kanan kiri, nyawa selalu dalam bahaya. Karena itulah tadi aku mengatakan betapa akan senang dan amannya kalau dapat selalu berteman dengan Nona berdua yang pandai ilmu silat dan yang tentu akan dapat menghalau setiap orang jahat yang datang hendak mengambil nyawaku!"
Kun Hong mengerutkan keningnya, di dalam hatinya ia tidak senang mendengar ucapan yang mengandung maksud hati seorang pria terhadap wanita ini. Namun ia tidak mau sembarangan mengeluarkan ketidak senangannya, apalagi karena Li Eng dan Hui Cu agaknya sama sekali tidak dapat menangkap maksud sebenarnya yang bersembunyi di balik pujian-pujian Pangeran itu.
Pada saat itu terdengar bentakan keras, "Hendak kami lihat siapa akan dapat membelamu, Pangeran! Kematianmu sudah di depan mata, siaplah!" Dan tahu-tahu dua orang laki-laki setengah tua dengan gerakan ringan dan cepat sekali telah melayang ke tempat itu, masing-masing tangan mereka memegang sebatang pedang dan langsung mereka itu menerjang Pangeran Kian Bun Ti.
"Celaka....!" Pangeran itu menjadi pucat dan ketakutan.
"Bangsat hina jangan menjual lagak!" tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Li Eng sudah melompat ke depan, diikuti oleh Hui Cu yang juga sudah mencabut pedangnya. Terdengar suara nyaring ketika dua pasang pedang itu bertemu di udara dan dua orang laki-kaki itu berteriak kaget sambil melangkah mundur satu tindak.
"Li Eng, Hui Cu, jangan membunuh orang!" Kun Hong dalam kagetnya berteriak kepada dua orang keponakannya itu.
Sementara itu, dua orang itu sudah menerjang maju, sekarang sasaran mereka bukanlah Pangeran Kian Bun Ti yang sudah lari bersembunyi di belakang pilar. Penyerang yang seorang, bertubuh pendek berkepala besar, dilayani oleh Hui Cu karena Li Eng sudah mendahuluinya menerjang orang ke dua kurus kering berusia lima puluh tahun lebih, Li Eng yang bermata tajam, begitu melihat gerakan dua orang ini ketika menyerang Pangeran tadi segera dapat tahu bahwa orang ke dua yang kurus kering inilah yang terlihai di antara keduanya maka ia mendahului Hui Cu memapaki orang ini.
Memang tidak salah dugaan Li Eng. Orang kurus kering itu selain lihai dan cepat ilmu pedangnya, juga memiliki tenaga Iwee-kang yang tinggi sehingga pedang di tangannya itu tergetar-getar mengeluarkan hawa pukulan yang dahsyat. Pedangnya berkelebat seperti burung elang menyambar-nyambar menjadi gulungan sinar putih, tangan kirinya tidak hanya dipergunakan untuk mengimbangi gerakan pedang di tangan kanan, malah kadang-kadang masih membantu serangan pedang dengan melancarkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan yang mengandung tenaga dalam yang berhawa panas!
Pendeknya, orang ini adalah ahli silat kelas tinggi yang hanya dapat digolongkan dengan tingkat para busu pengawal pribadi kaisar. Namun kali ini ia ketemu batunya dalam menghadapi Li Eng. Dengan jurus-jurus gerakan Tian-mo Po-in (Payung Kilat Menyapu Awan) dari Hoa-san-pai gadis ini memapaki gulungan sinar pedang lawannya sehingga gulungan sinar pedang itu menjadi buyar dan kacau. Adapun pukulan-pukulan lawan dengan tangan kirinya itu dapat ia elakkan dengan mengandalkan kegesitannya.
"Eh, kenapa gerakan Tian-mo Po-in begini hebat?" tiba-tiba laki-laki itu berseru keras. "Jurus ini adalah jurus Hoa-san Kiam-hoat yang paling hebat, tapi kenapa begini aneh" Ayaaa!" Ia berseru makin kaget ketika pedang gadis itu hampir saja menusuk lehernya kalau ia tidak lekas-lekas membuang diri ke belakang. Aneh sekali sikap lawan ini, pikir Li Eng. Agaknya mengenal baik ilmu pedang Hoa-san-pai, akan tetapi mengapa berkata keras-keras seperti hendak memberitahukan kepada seseorang" Dengan gemas Li Eng lalu merubah ilmu pedangnya dan menyerang dengan dahsyat. Kembali orang itu berteriak keras sambil memutar pedang untuk menjaga diri.
"Eh, Hoa-san Kiam-hoat mengapa begini ganas" Kau campur dengan ilmu pedang dari manakah" Kau murid siapa?"
Panas juga perut Li Eng mendengar betapa orang ini agaknya mengenal baik ilmu pedangnya. Sambil mengirim tusukan bertubi-tubi ia berseru, "Orang macam kau perlu apa bicara tentang ilmu silat Hoa-san-pai" Kalau memang gagah, kau hadapi ini!" Tiba-tiba sinar hitam berkelebat dari tangan kirinya dan ternyata Li Eng sudah mengeluarkan sabuk sutera hitamnya dan kini pedang dan sutera hitam itu menyambar-nyambar dahsyat sekali, mengurung lawan itu dari segala penjuru! Orang itu lagi-lagi mengeluarkan seruan kaget, masih mencoba untuk menyebutkan satu demi satu semua jurus yang dimainkan Li Eng, akan tetapi akhirnya ia tidak dapat membuka mulut lagi karena sibuk menghadapi serangan yang membuat ia harus memeras tenaga dan kepandaian untuk melindungi tubuhnya.
Sementara itu, lawan yang menghadapi Hui Cu juga berteriak-teriak, "Bocah ini ilmu pedangnya Hoa-san Kiam-hoat tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu pedang apa ini yang begini indah?"
"Tak usah banyak mulut, terimalah ini!" Hui Cu membentak dan menyerang lebih hebat lagi. Namun orang itu ternyata memiliki kepandaian yang tinggi juga sehingga ia mampu menangkis dan membalas. Malah ia masih terus berkata keras-keras,
"Eh, mengingatkan aku akan ilmu pedang dari Bu-tek Kiam-ong! He, bocah, kau pernah apa dengan Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan?"
Disebutnya nama guru ibunya itu, Hui Cu kaget juga akan tetapi tanpa menjawab ia menyerang terus bertubi-tubi dengan ilmu pedangnya yang amat indah.
"Hebat... hebat....!" Orang itu lagi-lagi memuji dan terpaksa berlaku hati-hati karena menghadapi dara remaja yang lihai ini ia maklum tak boleh sikap sembrono.
Adapun Kun Hong yang bangun berdiri dan menonton dari pojok, maklum bahwa Li Eng dengan mudah akan dapat mengalahkan lawannya sedangkan Hui Cu juga seimbang kepandaiannya dengan lawan yang seorang lagi. Tanpa ia sadari Kun Hong sudah memiliki pengertian mendalam tentang ilmu silat dan terutama sekali Hoa-san Kiam-hoat pernah dibacanya sampai tamat. Ia juga melihat betapa gerakan-gerakan Li Eng amat berbeda dengan ilmu yang dibacanya, lebih ganas dan juga aneh. Sedangkan ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Cu adalah Hoa-san Kiam-hoat yang bercampur dengan ilmu pedang yang indah gerakan-gerakannya. Betapapun juga, melihat gerakan kaki gadis ini ia terheran-heran karena ia merasa pernah mengenal gerakan-gerakan ini. Tiada hentinya pemuda ini berseru penuh kekuatiran, "Li Eng! Hui Cu! Hati-hati jangan kalian membunuh orang!" Ia sama sekali tidak menguatirkan keselamatan dua orang
keponakannya itu karena di luar kesadarannya ia telah dapat mengikuti pertandingan itu dan melakukan penilaian, akan tetapi ia amat kuatir kalau-kalau dua orang keponakannya itu melakukan pembunuhan, perbuatan yang amat dibenci-nya.
Pangeran Kian Bun Ti dengan mata berseri-seri memperhatikan dua orang gadis yang amat lihai itu, akan tetapi keningnya berkerut sebentar ketika ia menyaksikan sikap Kun Hong. Pikirnya, "Orang muda itu cerdik luar biasa, aneh dan baik budinya, tentu jujur dan setia. Akan tetapi sayang, hatinya lemah. Mana bisa aku memakai orang seperti ini?"
Biarpun wataknya jenaka dan nakal, namun entah bagaimana, Li Eng amat taat kepada pamannya atau lebih tepat lagi, ia tidak mau membikin marah atau susah kepada Kun Hong. Kalau menurut wataknya, orang yang jahat datang menyerang Pangeran ini patut ia bunuh kedua-duanya. Akan tetapi mendengar suara Kun Hong dan mengingat akan watak yang amat aneh dari pamannya ini, ia lalu memperhebat permainan sabuk suteranya sedangkan pedangnya hanya ia pakai untuk menangkis atau mengancam saja. Akhirnya lawannya tak dapat menahan lagi, terdengar bunyi "tar-tar-tar!" dengan nyaring bertubi-tubi dan orang itu memekik kesakitan, pedangnya terlepas dan ia meloncat tinggi lalu berjungkir-balik ke belakang. Muka, lengan dan leher luka-luka bekas cambukan sabuk sutera sedangkan beberapa bagian bajunya pecah-pecah.
"Si-te, lari!" teriaknya kepada temannya. Akan tetapi temannya pun amat bingung karena sedang didesak hebat oleh Hui Cu. Biarpun ia dapat mempertahankan diri, namun ia sama sekali tidak dapat mendesak gadis yang ilmu pedangnya indah dan lihai itu.
"Enci Cu, kata Paman tidak boleh dia dibunuh. Biarkan aku membagi hadiah kepadanya!" kata Li Eng sambil tertawa-tawa tanpa mengejar lawannya yang sudah kalah. Sebaliknya sabuk suteranya menyambar dan kini yang dijadikan bulan-bulanan adalah lawan Hui Cu. "Tar-tar-tar!" Orang ini pun menjerit dan pedang terlepas, muka dan badannya babak-belur dimakan cambuk. Karena Hui Cu tidak menyerangnya lagi dan gadis nakal itu hanya mempergunakan sabuk sutera untuk menghajarnya, ia lalu melompat jauh mengikuti temannya yang sudah lari terlebih dulu, meloncat pagar taman dan menghilang.
"Hebat! Bagus sekali....!! Pangeran Kian Bun Ti bertepuk tangan memuji sambil keluar dari belakang pilar, terus menghampiri Li Eng dan Hui Cu yang masih memegang pedang di tangan. Ia mengangguk-angguk dan berkata dengan wajah berseri,
"Nona berdua telah menyelamatkan nyawaku, entah dengan jalan apa aku dapat membalas budi kalian!"
Dua orang dara remaja itu hanya tersenyum dan wajah mereka juga berseri girang. Mereka tidak saja telah menolong tuan rumah yang amat ramah, akan tetapi lebih dari itu, telah menolong Pangeran, Pangeran Mahkota lagi! Akan tetapi Kun Hong mengerutkan kening!
Perasaannya yang halus dan tajam dapat menangkap nada tersembunyi di dalam kata-kata itu tadi. Segera ia maju dan menjura kepada Pangeran Kian Bun Ti sambil berkata,
"Harap Pangeran jangan berkata demikian. Sudah semestinya kalau dua orang keponakan saya membela Pangeran dari penyerangan orang-orang jahat tadi.
Dua orang keponakan saya tidak menanam budi dan Paduka tidak perlu berterima kasih."
Pangeran Kian Bun Ti menatap pandang mata pemuda ini dan untuk sejenak keduanya berpandangan, seakan-akan hendak menjenguk isi hati masing-masing dan seperti orang "mengukur tenaga", Pangeran itu hendak marah, dadanya sudah panas, akan tetapi ia menekan perasaannya lalu bertepuk tangan tiga kali. Sambil tersenyum ia berkata,
"Kegagahan dua orang Nona ini yang amat hebat sepatutnya dihormati dengan pesta dan perkenalan dengan para pembantuku."
Selagi tiga orang muda itu terheran-heran dan tidak mengerti, dari pintu dalam tiba-tiba bermunculan beberapa orang, setelah berkumpul semua ternyata mereka berjumlah tujuh orang. Ada yang berpakaian seperti pendeta, ada yang bertubuh gagah tinggi besar, ada pula yang lemah-lembut, akan tetapi semua orang ini segera memberi hormat kepada Pangeran Mahkota dengan cara masing-masing. Melihat bahwa semua membawa senjata di pinggang atau di punggung, dapat diduga bahwa tujuh orang ini tentulah orang-orang yang pandai ilmu silat.
Pangeran Kian Bun Ti memperkenalkan tujuh orang pembantunya itu dan menyebut nama mereka, akan tetapi Kun Hong dan dua orang keponakannya tidak memperhatikan biarpun mereka menjura dengan hormat. Hati dua orang dara itu mulai tak senang karena pandang mata tujuh orang ini mengandung sikap kurang ajar.
"Ha-ha-ha, kalian lihatlah. Dua orang Nona inilah baru patut disebut pendekar wanita yang gagah perkasa dan cantik jelita! Pernahkah kalian melihat dua orang dara remaja sehebat ini" Dengan tangkas dan mudahnya mereka berdua berhasil mengusir dua orang jagoan lari tunggang-langgang!"
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan tadi diperkenalkan sebagai Souw Ki berjuluk Tiat-jiu Busu (Jagoan Tangan Besi), tersenyum ketika ia berkata, "Pilihan Paduka tepat sekali, Pangeran. Hamba menghaturkan selamat!"
"Ha-ha-ha! Benar-benar menggirangkan hati, Pangeran. Dengan adanya dua orang siuli (puteri-puteri istana) segagah ini, pinto dan teman-teman tidak akan begitu kuatir lagi apabila tidak sedang berada dekat Paduka!" Orang yang tertawa-tawa ini adalah seorang berpakaian pendeta tosu berambut panjang yang tadi diperkenalkan dengan nama Thian It Tosu. Ia mengelus-elus jenggotnya yang panjang pula sambil memandang kepada Li Eng dan Hui Cu dengan mata berkedip-kedip seperti seorang yang mengajak bermain mata.
Bukan main sebalnya hati dua orang dara itu melihat kakek ini beraksi seperti monyet mencium terasi.
Sebelum Li Eng dan Hui Cu mengerluarkan suara untuk mengatakan kesebalan hati mereka, tiba-tiba terdengar suara berisik dan dari pintu yang menembus ke dalam gedung mungil itu berlari-larian keluar lima orang wanita muda yang cantik-cantik. Wanita-wanita ini masih muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun usianya dan pakaian mereka benar-benar membuat Li Eng dan Hui Cu memandang bengong. Pakaiannya itu mencolok sekali, terbuat dari sutera halus tipis sehingga samar-samar tampak pakaian dalam mereka yang berwarna-warni. Selain tipis membayang, juga amat ketat menempel pada tubuh mereka. Mereka ini rata-rata cantik jelita, ditambah dengan hiasan dan riasan pada muka dengan warna menghitam dan pemerah, kelima orang wanita muda ini semua memegang sebatang pedang terhunus yang mengkilap saking tajamnya! Munculnya lima orang wanita cantik berlenggang genit ini membuat tujuh orang tokoh jagoan itu tersenyum-senyum dan melirik-lirik.
Sementara itu, Pangeran Kian Bun Ti segera menegur, juga dengan senyum,
"Eh-eh, kalian ini Lima Macan Cantik datang-datang membawa pedang telanjang mau apakah?"
Seorang yang agaknya tertua di antara mereka berlima, menjawab dengan sikap manja dan genit kepada Pangeran Mahkota itu, "Hamba berlima mendengar bahwa Paduka menerima dua orang baru yang dibanggakan berkepandaian tinggi. Karena selama ini kami berlima yang menjadi selir-selir pengawal, maka diterimanya selir pengawal baru, kami ingin sekali mengukur kepandaian mereka." Setelah berkata demikian, dia dan empat orang temannya menoleh dan memandang kepada Li Eng dan Hui Cu dengan pandang mata tajam dan marah.
Pangeran Mahkota itu tertawa bergelak, juga tujuh orang pembantunya tertawa. Mengertilah mereka bahwa Lima Macan Cantik ini ternyata menjadi cemburu dan iri hati setelah mendengar perihal dua orang pendekar wanita itu.
"Ha-ha-ha, biarpun kalian cukup lihai, tak mungkin kalian dapat menangkan dua orang Nona perkasa ini."
Kata-kata ini bagi lima orang wanita itu merupakan ijin, maka cepat mereka bergerak menghadapi Li Eng dan Hui Cu yang berdiri berdampingan dan yang memandang dan mendengarkan semua ini dengan kening berkerut. Ketika lima orang wanita yang indah-indah pakaiannya itu menghampiri mereka, keduanya juga balas memandang tajam penuh selidik. Mereka berdua harus mengakui bahwa lima orang ini benar-benar cantik dan bergaya lembut tapi angkuh seperti lagak puteri-puteri bangsawan. Setelah berdiri sejajar di depan dua orang gadis ini dengan pedang melintang di depan dada, yang tertua menudingkan telunjuk tangan kiri kepada mereka berdua sambil membentak,
"Dua bocah dari gunung, kalian mengandalkan apakah berani memikat perhatian Pangeran" Coba kalian hadapi pedang kami!"
bagian 56 Li Eng dan Hui Cu saling pandang. Gilakah perempuan ini" Siapa yang memikat perhatian Pangeran" Sementara itu, Kun Hong sudah melangkah maju dan menjura ke depan lima orang wanita itu.
"Ngo-wi Toanio (Nyonya Besar Berlima), harap sudi bersabar dan tidak salah duga. Dua orang keponakanku ini sama sekali tidak hendak memikat perhatian siapa-siapa dan kami percaya penuh bahwa Ngo-wi tentu paling cantik dan paling pandai. Dua orang keponakanku tidak berani melawan Ngo-wi...."
Li Eng dan Hui Cu tidak senang sekali mendengar kata-kata paman mereka yang amat merendah ini, akan tetapi lima orang wanita-wanita itu jelas kelihatan bangga dan juga girang. Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa mereka berlima bukanlah wanita yang boleh dipermainkan, yang tertua segera menudingkan ujung pedangnya ke arah Kun Hong sambil membentak,
"Kau ini siucai jembel tak tahu aturan! Apa kaukira kami berlima ini adalah perempuan-perempuan sembarangan yang boleh diajak bicara oleh segala macam laki-laki seperti kau" Untuk dosamu ini seharusnya kupenggal kepalamu, akan tetapi karena Pangeran terkenal sebagai seorang besar yang budiman dan pengampun, biarlah kupotong telingamu yang kiri agar kau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat main-main!" Setelah berkata demikian, pedang ditangannya berkelebat ke arah telinga kiri Kun Hong. Pemuda ini di dalam hatinya terkejut sekali akan sikap yang berlebihan dari wanita-wanita ini.
Terpaksa ia melangkah mundur terhuyung-huyung menurutkan gerak langkah ajaib. Wanita itu makin penasaran karena sabetannya luput, cepat ia melangkah maju dan mengayunkan pedangnya lagi ke arah telinga kiri Kun Hong. Pemuda ini tetap terhuyung-huyung ke belakang dan sabetan-sabetan pedang itu tak pernah mengenai telinganya.
"Toanio, telinga adalah alat untuk mendengar, mana boleh dipotong?" kata Kun Hong, suaranya tetap tenang-tenang saja dan inilah yang lucu karena suaranya demikian tenang, akan tetapi ia terhuyung-huyung dan kelihatan gerak-geriknya seperti kebingungan. Memang, bagi yang tidak tahu, gerak langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun memang merupakan gerakan orang ketakutan atau kebingungan. Maka tertawalah tujuh orang jagoan yang berdiri di situ.
Mendengar suara ketawa ini, wanita itu salah duga, mengira bahwa dialah yang ditertawai, maka naiklah darahnya. Kini pedangnya tidak hanya ditujukan untuk memotong telinga dari Kun Hong, malah dipergunakan untuk menyerang membabi-buta untuk merobohkan pemuda itu. Kelihatannya makin repotlah Kun Hong, terjengkang-jengkang dan terhuyung-huyung, namun tak pernah tersentuh pedang yang menyambar-nyambar itu.
"Tranggg!" Wanita itu memekik kaget dan melompat ke belakang, tangannya terasa gemetar dan sakit. Kiranya Hui Cu sudah berdiri menghadapinya dengan pedang ditangan dan dengan sikap marah.
"Perempuan tak tahu malu! Berani kau menghina pamanku yang tak bersalah apa-apa?"
Wanita itu hanya sebentar saja kaget, lalu ia tersenyum sambil menoleh kepada empat orang temannya. "Adik-adik, lihatlah baik-baik. Perempuan ini mengakui keparat itu sebagai pamannya, Hi-hi, siapa orangnya dapat dibohongi begitu saja" Orang muda itu usianya tidaklah tua, sebaya dengannya, juga biarpun jembel dan kotor, mukanya tidaklah buruk bagi seorang laki-laki. Hemm-hemm, bocah gunung, bilang saja dia itu kekasihmu, kami akan percaya sepenuhnya, jangan bilang pamanmu."
"Tutup mulutmu yang kotor!" Hui Cu yang memang tak pandai bicara itu memaki, matanya yang bening berkilat bercahaya akan tetapi kedua pipinya merah karena jengah.
"Adik-adik, mari kita beramai hajar bocah gunung ini!" wanita itu berseru dan berlima mereka siap menerjang Hui Cu dengan pedang mereka. Gerakan mereka cukup kuat dan pasangan kuda-kuda mereka ternyata serupa, tanda bahwa mereka adalah sealiran.
"Bagus, kalian sudah bosan hidup!" Hui Cu menggetarkan pedang di tangannya, akan tetapi tiba-tiba di belakangnya Kun Hong membentak,
"Hui Cu, tahan! Mundurlah dan simpan pedangmu, Li Eng, kaulah yang maju menghadapi kelima orang nyonya besar ini, akan tetapi ingat, jangan sekali-kali membunuh orang!"
Hui Cu kecewa akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak pamannya, dengan mata berkilat ia menarik kembali pedangnya, menyimpannya dan melangkah mundur. Li Eng sambil tersenyum-senyurn menggantikannya maju dan gadis lincah jenaka ini maklumlah sudah tahu apa maksud pamannya menyuruh dia menggantikan Hui Cu. Memang sesungguhnya melihat Hui Cu yang sudah marah sekali itu, Kun Hong menjadi kuatir kalau-kalau Hui Cu salah tangan membunuh orang. Apalagi dalam sebuah pertempuran yang ramai, sukarlah untuk mengalahkan lawan tanpa membunuh. Berbeda dengan Li Eng yang ia tahu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari Hui Cu. Apalagi Li Eng memiliki senjata istimewa, yaitu sabuk sutera yang lemas maka lebih mudahlah bagi Li Eng untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.
Anehnya, melihat pertempuran yang akan pecah ini, baik Pangeran Kian Bun Ti maupun tujuh orang jagoannya sama sekali tidak mencampurinya. Malah mereka berdiri menonton dengan wajah berseri, seakan-akan yang terjadi di depan mereka adalah sebuah adegan sandiwara yang menyenangkan dan menarik. Hal ini saja menimbulkan kerut di kening Kun Hong dan pemuda ini mengambil keputusan bahwa kalau Li Eng sudah berhasil mengalahkan lima orang wanita galak itu, ia cepat-cepat minta pamit dan mengajak dua orang keponakannya meninggalkan tempat ini, malah harus cepat-cepat meninggalkan kota raja dengan segalanya yang serba aneh.
Li Eng yang dapat menangkap maksud hati pamannya, dengan gerakan tenang sekali meloloskan sabuk suteranya yang hitam panjang, menggulungnya di tangan kanan. Dengan senyum dikulum dan mata berseri ia memandang kepada lima orang puteri di depannya itu, menatap seorang demi seorang, lalu berkata dengan suaranya yang nyaring dan mengandung ejekan,
"Eh, lima orang nenek siluman betina, sungguh kau tak tahu diri. Kalau tidak paman kami yang menaruh kasihan, bukankah sekarang kalian berlima sudah menjadi bangkai di bawah pedang enci-ku?" Li Eng memang berani bersikap demikian karena ia sudah tahu pasti bahwa lima orang ini bukanlah lawan Hui Cu, apalagi lawan dia. Dari gerakan orang pertama ketika menyerang Kun Hong tadi saja tahulah dia bahwa lima orang wanita ini hanya lagaknya saja hebat, pada hakekatnya tidak memiliki kepandaian berarti.
Dimaki sebagai nenek dan siluman betina, karuan saja lima orang selir Pangeran itu menjadi marah bukan main. Tanpa banyak cakap lagi mereka berlima menerjang maju sambil menggerakkan pedang menyerang Li Eng.
Li Eng tidak mau berlaku sungkan lagi. Kedua tangannya bergerak, sinar hitam berkelebat dan terdengarlah bunyi, "tar-tar-tar-tar!" berulang kali. Lima orang pengeroyoknya itu belum pernah selama hidupnya mengalami pertempuran seperti ini. Mereka merasa seakan-akan ada petir menyambar-nyambar di atas kepala dan berturut-turut lima batang pedang melayang jauh terlepas dari pegangan lima orang wanita itu. Li Eng menggerakkan sabuk suteranya yang menyambar-nyambar dari atas ke bawah mengeluarkan bunyi melecuti muka dan tubuh kelima orang pengeroyoknya. "tar-tar-tar-tar-tar!" Lima orang wanita itu menjerit-jerit, perih dan sakit kulit yang terkena cambukan, lalu sambil menutupi muka dengan tangan, mereka lari meninggalkan tempat itu kembali ke dalam. Amat lucu melihat mereka lari dikejar sabuk sutera yang masih sempat mencambuki tubuh belakang mereka, membuat mereka memindahkan tangan dari muka ke tubuh belakang yang sakit semua dihajar cambuk!
"Cukup, Li Eng!" Kun Hong berteriak dan Li Eng menyimpan kembali sabuknya, lalu berdiri di dekat pemuda ini.
"Harap Paduka memaafkan keponakanku." Kun Hong menjura. "Dan perkenankan kami bertiga mohon diri, hendak melanjutkan perjalanan."
Pangeran Kian Bun Ti menggerak-gerakkan tangan, lalu tertawa, "Ah, Saudara Kun Hong apakah marah karena peristiwa tadi" Mereka berlima hanyalah selir-selirku yang bodoh, yang merasa diri sendiri pintar. Kalau mereka tadi bersikap kurang ajar, biarlah sekarang juga kusuruh masukkan ke dalam penjara."
Mendengar ini terkejutlah Kun Hong. "Ah, tidak... tidak... mereka tidak apa-apa, Pangeran. Tak usah dihukum...."
"Baiklah, dan untuk menebus kelancangan mereka, biarlah mulai sekarang mereka berlima menjadi pelayan dua orang keponakanmu ini."
Pucat muka Kun Hong sedangkan Hui Cu dan Li Eng saling pandang, masih belum mengerti apakah sebetulnya maksud hati dan kehendak Pangeran yang tampan dan selalu tersenyum-senyum itu.
Lagi-lagi Kun Hong menjura dan bicara sepertl orang yang belum mengerti akan maksud pangeran itu, "Banyak terima kasih atas anugerah Paduka kepada dua orang keponakan saya, juga terima kasih atas penyambutan serta kehormatan besar yang kami bertiga telah menerima dari Paduka. Akan tetapi terpaksa kami bertiga mohon diri, Pangeran. Perjalanan kami masih jauh dan harus kami lanjutkan sekarang juga."
"Perjalanan itu boleh dibatalkan atau ditunda!" Suara Pangeran itu kini terdengar sungguh-sungguh dan ketus. "Saudara Kun Hong, mulai saat ini aku mengangkat Li Eng sebagai selir pertama dan Hui Cu sebagai selir ke dua dan kedudukan mereka merangkap sebagai selir pengawal pribadiku!"
Baru sekaranglah dua orang dara remaja itu tahu akan maksud hati Pangeran itu. Muka mereka otomatis menjadi merah seperti udang direbus, mata mereka berkilat saking marah dan jengah, keduanya tanpa terasa telah meraba gagang pedang, Dengan dahi berkerut-kerut saking gelisah dan bingungnya, Kun Hong menjura berulang-ulang kepada Pangeran Mahkota itu, lalu bertanya,
"Pangeran, semenjak nenek moyang kita dahulu, bangsa kita selalu memegang teguh peraturan dan kesopanan. Dua orang keponakanku ini masih mempunyai orang tua, maka kiranya untuk urusan ini sebaiknya kalau Paduka berurusan dengan ayah bunda mereka seperti lazimnya. Sekarang, karena kami bertiga mempunyai tugas yang penting dan perjalanan masih jauh, perkenankanlah kami mengundurkan diri dan keluar dari sini."
"Ha-ha-ha, Saudara Kun Hong benar-benar mengagumkan, hafal akan segala pelajaran filsafat dan ujar-ujar kuno. Aku sama sekali tidak melanggar peraturan, karena bukankah kau ini paman dari mereka" Seorang paman, dalam hal ini, boleh menjadi wakil dan pengganti orang tua, karena itu, dihadapanmu aku mengajukan pinangan untuk menjadikan dua orang nona ini sebagai selir-selirku yang terkasih. Adapun kau sendiri, sesuai dengan bakat dan kepintaranmu, kuangkat menjadi pembesar yang mengurus perpustakaan istana!"
Tujuh orang jagoan itu mengeluarkan seruan kagum dan mereka segera mejura kepada Kun Hong sambil bersuara saling tunjang,
"Kionghi, kionghi (selamat)! Begini muda sudah menerima anugerah pangkat yang tinggi. Juga kionghi kepada dua orang Li-hiap ini!"
Akan tetapi Kun Hong cepat mengangkat kedua tangan dan menggoyang-goyangnya tanda bahwa ia menolak kesemuanya itu. Juga Li Eng dan Hui Cu sudah hampir tak dapat menahah kemarahan mereka. Mereka merasa terhina sekali oleh sikap Pangeran ini yang begitu mau menang sendiri, mengambil orang sebagai selirnya tanpa bertanya, baik kepada yang bersangkutan maupun kepada orang tuanya. Apakah dikiranya mereka itu seperti lima orang wanita tadi, dan dianggap sebagai perempuan murahan belaka"
"Terpaksa saya tidak dapat menerima semua itu, Pangeran. Pertama, saya yang muda mana berani mewakili orang tua mereka" Apalagi dalam soal perjodohan. Sama sekali saya tidak berani! Ke dua, saya merasa amat bodoh dari tidak terpelajar, bagaimana saya berani menerima kedudukan dari Paduka" Tidak, suigguhpun saya berterima kasih sekali, namun terpaksa saya menolak dan harapan saya hanya perkenan Paduka agar kami bertiga dapat pergi dari sini."
Merah wajah Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Selama hidupnya baru kali ini ia menghadapi orang-orangnya yang tidak lekas-lekas berlutut menghaturkan terima kasih setelah ia beri anugerah seperti itu. Wanita mana yang tidak ingin, bahkan saling berebut untuk menjadi selir terkasih dari Pangeran Kian Bun Ti yang terkenal muda, tampan, halus budi, dan calon kaisar" Laki-laki mana yang tidak ingin menjadi pembesar dan kedudukannya diberi sendiri oleh Pangeran Mahkota" Akan tetapi, pandang matanya tidak buta, pendengarannya tidak tuli, kali ini benar-benar dua orang dara muda, yang hendak diambil menjadi selirnya itu malah berdiri dengan muka marah sedangkan orang yang hendak diangkatnya menjadi pembesar perpustakaan malah menampik! Saking heran, marah dan kecewanya, Pangeran ini hanya berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak.
Seorang di antara tujuh jagoan pengawal Pangeran itu melompat maju, dan orang ini usianya sudah lewat lima puluh tahun, mukanya merah dan matanya jelas membayangkan bahwa dia adalah seorang pemarah dan sombong. Dia inilah yang terkenal dengan julukan Sin-toa-to (Golok Besar Sakti) bernama Liong Ki Nam. Di daerah Selatan namanya sudah amat terkenal dan ilmu goloknya memang hebat, boleh dibilang belum pernah ia menemui tandingan.
Watak orang ini memang paling berangasan dari teman-temannya, maka melihat sikap tiga orang muda dan mendengar jawaban Kun Hong tadi, ia segera memaki,
"Bocah! Kau diberi hati makin melonjak, Pangeran telah berlaku baik hati dan menghormat, kau malah makin besar kepala. Kau berani membantah perintah Pangeran, berarti memberontak! Apakah kau sudah bosan hidup?"
Sementara itu, Pangeran Kian Bun Ti nampak kesal, lalu berkata kepada tujuh orang jagoannya, "Harap para busu membereskan ini, aku menanti kabar."
Tanpa menoleh lagi kepada Kun Hong atau kepada dua orang dara remaja itu, Pangeran ini membalikkan tubuh dan dengan langkah yang membayangkan keagungan seorang calon kaisar, Pangeran ini memasuki rumah gedung.
Setelah Pangeran itu pergi, tosu rambut panjang, Thian It Tosu, mendekati Kun Hong dan berkata dengan suara halus,
"Orang muda, harap kau pikirkan baik-baik dan jangan membawa kemauan sendiri yang tidak wajar. Ingatlah, semua orang muda, bahkan yang tua-tua sekalipun, di seluruh negeri akan mengiri kalau melihat peruntunganmu yang amat bagus ini. Kau diangkat menjadi pembesar dalam istana dan dua orang keponakanmu dapat merebut hati Pangeran Mahkota.
Siapa tahu kelak kalau Pangeran telah menjadi kaisar, dua orang keppnakanmu itu akan tetap menjadi kekasih, tentu kau akan diangkat menjadi menteri!"
Kun Hong tersenyum lemah dan menggerakkan kepala. "Tidak bisa, To-tiang.
Sama sekali aku tidak bermaksud membantah Pangeran, apalagi memberontak. Akan tetapi sungguh-sungguh aku tidak bisa menerima jabatan karena aku memang tidak suka menjadi pembesar. Adapun tentang persoalan jodoh, kedua orang keponakanku ini mempunyai orang tua-orang tua, bagaimana aku berani melancangi mereka?"
"Eh, bocah goblok. Kau masih berkepala batu?" Sin-toa-to Liong Ki Nam lagi-lagi membentak dengan mata melotot. "Tidak usah banyak cerewet, pilih mana. Kau dan dua orang nona ini menurut dan menerima kemuliaan ataukah kalian ditangkap dan dijebloskan dalam penjara, mungkin dihukum penggal kepala!"
Tentu saja Kun Hong tidak takut mendengar ancaman maut ini. Baginya, tidak ada di dunia ini sesuatu yang dapat menimbulkan takut dalam hatinya asalkan ia yakin akan kebenarannya. Dan dalam hal ini ia sama sekali tidak merasa telah melakukan sesuatu kesalahan. Ia menarik napas panjang dan berkata,
"Belum pernah aku mendengar tentang pinangan dan pemberian anugerah yang bersifat paksaan. Baru saja dua orang keponakanku telah menolong pangeran dari bahaya maut akibat penyerangan dua orang jahat, akan tetapi sekarang dua orang keponakanku hendak dipaksa menjadi selir dengan ancaman hukuman penjara kalau tidak mau menurut. Benar-benar di tempat yang mewah ini tidak dikenal lagi kebenaran dan keadilan!"
Tujuh orang jagoan itu tertawa, agaknya geli mendengar ucapan ini, Malah Thian It Tosu lalu berkata, "Orang muda, kau benar-benar seperti katak dalam tempurung, berlagak pintar akan tetapi bodoh. Kau tidak tahu sampai di mana kekuasaan Pangeran Mahkota. Beliau adalah calon kaisar tahukah kau" Mana bisa orang jahat sembarangan hendak menyerang dan membunuh beliau" Kau kira kedua keponakanmu tadi menolong Pangeran dari penyerangan orang jahat" Ha-ha. Sebenarnya hanya karena Pangeran yang suka melihat dua orang gadis ini, ingin menguji sampai di mana tinggi kepandaian kedua Nona ini." Tosu itu bertepuk tangan dan dari luar berlari datang dua orang yang lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tujuh orang jagoan itu. Ketika Kun Hong dan dua orang keponakannya memandang, mereka ini kaget sekali karena mengenal bahwa dua orang yang baru datang ini bukan lain adalah... dua orang "penjahat" yang tadi menyerang Pangeran dan dihajar oleh Li Eng dan Hui Cu!
Kun Hong bengong, dan tahulah ia sekarang bahwa kiranya Pangeran hanya ingin menguji kepandaian dua orang keponakannya. Selagi ia kebingungan mengingat urusan sulit yang dihadapinya, terdengar Li Eng membentak keras dan mencabut pedangnya.
"Aturan mana semua ini" Biar Pangeran sekalipun, tidak boleh memaksa orang lain sesuka hatinya. Kami tidak sudi menuruti kehendak Pangeran, habis kalian ini mau apa?" Dengan gagah gadis ini berdiri tegak dengan pedang di tangan kanan dan sabuk sutera di tangan kiri, memasang kuda-kuda dan perbuatannya ini segera diturut oleh Hui Cu.
"Li Eng, jangan...." Kun Hong mencegah.
"Paman Hong, betapapun baik dan sabar hati orang, tak mungkih bisa memenuhi kehendakmu, mau dan diperhina oleh orang lain. Kita menolak paksaan mereka dan kalau mereka hendak menggunakan kekerasan, boleh dilihat. Orang-orang dari Hoa-san-pai bukanlah sebangsa pengecut yang takut mati demi membela kebenaran!" Suara Lie Eng penuh semangat dan baru kali ini terhadap Kun Hong ia bicara keras dan sungguh-sungguh.
"Kalian tidak boleh membunuh orang!" kata pula Kun Hong ketika melihat dua orang dara remaja itu sudah siap dengan pedang mereka dan tujuh orang jagoan itu pun tampaknya sudah siap untuk turun tangan.
"Kalau orang lain hendak mencelakakan kita, masa kita harus diam saja"
Kalau orang lain hendak membunuh kita, masa kita harus mandah saja?" kata pula Li Eng penasaran.
"Lebih baik dibunuh daripada membunuh!" Kun Hong tetap membantah.
Sementara itu, tujuh orang jagoan itu saling pandang dan mereka ini rata-rata memandang rendah kepada Li Eng dan Hui Cu. Harus diketahui bahwa tujuh orang ini adalah tokoh-tokoh besar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Mereka bukanlah jago-jago biasa macam dua orang yang tadi pura-pura menyerang Pangeran, melainkan tokoh-tokoh yang benar-benar termasuk ahli silat kelas tinggi.
Tiat-jiu Souw Ki yang bermuka hitam dan tinggi besar adalah seorang bajak tungal yang dahulu namanya malah lebih tenar daripada nama Ho-hai Sam-ong, tiga raja bajak di Huang-ho itu. Sesuai dengan nama. julukannya, Tiat-jiu berarti Kepalan Besi, tenaga luar dari tubuhnya hebat sekali, kepalan tangannya juga sekeras besi sehingga orang kata sekali pukul ia mampu membikin remuk kepala seekor harimau. Di samping kedahsyatan pukulan tangannya ini, ia pun seorang ahli bermain silat ruyung dengan ruyung bajanya yang besar dan berat.
Thian It Tosu adalah seorang tosu yang tingkatnya sudah tinggi di perkumpulan Ngo-lian-kauw, boleh dibilang merupakan tangan kanan dari Ketua Ngo-lian-kauwcu Kim-thouw Thian-li. Thian-It Tosu ini selain ilmu silatnya tinggi, tenaga dalam di tubuhnya amat kuat, juga sebagai seorang tosu ia mahir ilmu sihir dari Ngo-lian-kauw. Semenjak dahulu (baca cerita Raja Pedang) perkumpulan Ngo-lian-kauw ini memang selalu mencari kesempatan baik untuk menempel pihak yang menang, merupakan perkumpulan yang bersifat plin-plan. Sekarang, melihat betapa Pangeran Kian Bun Ti merupakan satu-satunya orang terkuat untuk menjadi calon pengganti Kaisar, perkumpulan ini tidak menyia-nyiakan kesempatan, lalu menempel Pangeran ini malah Thian It Tosu sendiri sebagai tokoh besar Ngo-lian-kauw masuk menjadi pengawal Pangeran Kian Bun Ti.
Orang ke tiga dan ke empat dari tujuh jagoan istana ini adalah sepasang saudara kembar dari Ho-pak. Dua orang yang usianya empat puluh lima tahun ini mempunyai muka yang sama bentuknya sehingga orang luar akan sukar untuk membedakan mereka kalau saja muka mereka tidak berbeda warnanya.
Bu Sek, yang tua bermuka kuning sedangkan Bu Tai yang ke dua, bermuka merah.
bagian 57 Mereka berdua ini terkenal dengan sebutan Ho-pak Siang-sai (Sepasang Singa dari Ho-pak) dan ilmu pedang mereka amat terkenal sebagai ilmu pedang warisan dari keluarga Bu yang sudah turun-temurun menjadi panglima perang.
Apalagi kalau sepasang saudara kembar ini maju bersama, ilmu pedang mereka menjadi ilmu pedang pasangan yang amat sukar dilawan, karena sebagai saudara kembar, mereka tidak saja memiliki persamaan dalam segala gerak-gerik, juga mereka mempunyai hubungan rasa yang amat erat sehingga permainan ilmu pedang mereka dapat digabung menjadi satu seolah-olah hanya seorang saja yang mainkan dua buah pedang.
Orang kelima adalah seorang kakek yang memegang sebuah tongkat bengkok, tongkat hitam yang terbuat dari kayu yang aneh dan kelihatan seperti sebatang tongkat pengcmis. Kakek ini pendiam dan kelihatan selalu seperti orang yang kurang semangat dan mengantuk, sama sekali tidak patut kalau disebut seorang jagoan. Usianya sudah enam puluh lima tahun lebih. Akan tetapi jangan dikira bahwa dia itu kurang bersemangat atau lemah. Kalau orang mendengar namanya, apalagi orang-orang kang-ouw tentu akan kaget setengah mati karena dia ini bukan lain adalah Bhong-lo-koai yang terkenal disebut Koai-tung (Tongkat Gila). Ilmu tongkatnya, untuk bagian tenggara tidak ada yang dapat menandingi!
Orang keenam adalah orang yang paling berangasan dan sombong, yaitu si ahli golok Sin-toa-to Liong Ki Nam. Usianya sudah lima puluh tahun akan tetapi ia terkenal pemarah dan bertenaga besar. Juga dia ini memiliki ilmu golok tunggal yang tidak dikenal asal-usulnya. Dahulunya Sin-toa-to Liong Ki Nam ini adalah seorang guru silat bayaran. Akan tetapi ternyata ia hanya memeras uang dari orang-orang kaya dan tidak pernah menurunkan ilmunya yang terkenal, yaitu ilmu goloknya. Ia hanya menurunkan ilmu silat pasaran saja sehingga tak pernah ia mempunyai murid yang berarti.
Betapapunjuga,tidak ada orang berani mengganggu murid-muridnya itu, karena biarpun Si Murid ini tidak memiliki kepandaian berarti, sebaliknya Liong Ki Nam ini betul-betul seorang yang tangguh dan kosen, sukar dikalahkan.
Akhirnya ia ditarik oleh Pangeran Kian Bun Ti dan dijadikan pengawal. Orang ke tujuh adalah orang yang paling kuat, usianya sudah enam puluh tahun lebih dan dialah yang paling aneh di antara tujuh jagoan ini. Orangnya tinggi kurus, sudah tua tapi pakaiannya selalu serba merah! Melihat mukanya yang terus-menerus tersenyum-senyum dan kalau bicara lucu, orang lain takkan menyangka bahwa dia seorang tokoh yang dihormati di istana. Kiranya lebih patut kalau ia dianggap orang yang miring otaknya. Akan tetapi kalau ada yang mendengar namanya, yaitu Ang-moko (Setan Merah), orang akan bergidik mengingat akan kekejaman orang ini yang dapat membunuh orang sambil tersenyum-senyum seperti, orang menyembelih ayam saja! Jangan dikira bahwa Ang-moko ini tidak lihai dan kalah oleh enam orang yang lain itu.
Biarpun ia tidak pernah kelihatan membawa senjata namun ilmu kepandaiannya ternyata malah paling tinggi di antara mereka yang berada di situ. Dan dalam hal kekejaman dan ketenaran namanya dia hanyalah di bawah tokoh-tokoh seperti Song-bun-kwi, Siauw-ong-kwi, Swi Lek Hosiang dan Hek-hwa Kui-bo, yaitu empat besar di dunia persilatan!
Demikianlah kedaan tujuh orang pengawal atau pembantu Pangeran Kian Bun Ti, maka juga tidaklah terlalu mengherankan apabila mereka ini sebagai tokoh tua memandang rendah kepada Li Eng dan Hui Cu yang masih belum ada nama. Kemenangan dua orang dara ini atas diri dua orang yang tadi pura-pura menyerang Pangeran, tidaklah berkesan apa-apa kepada mereka karena tingkat kepandaian dua orang ini pun hanya patut menjadi murid mereka.
Mendengar ucapan Li Eng dan melihat sikap dua orang gadis yang menantang itu, Sin-toa-to Liong Ki Nam yang berangasan itu tak dapat menahannya lagi.
Ia melangkah maju dan membentak, "Bocah cilik, kalian sombong sekali! Lebih baik lekas kau berlutut dan mentaati perintah Pangeran, jangan sampai membuat guru besarmu ini marah dan kehabisan kesabaran, lalu turun tangan kepadamu.
Li Eng adalah seorang yang juga m.emiliki kekerasan hati. Dengan mata berkilat ia memandang Liong Ki Nam, lalu mengeluarkan dengus mengejek dan berkata, "Keledai sombong! Keluarkan golok babimu itu, kutanggung dalam beberapa jurus kau akan minta ampun kepadaku!"
Berdiri alis Liong Ki Nam. "Keparat, gadis liar! Kau tidak tahu siapa aku"
Akulah Sin-toa-to Liong, Ki Nam! Golok saktiku ini kalau sudah kucabut harus membikin melayang jiwa orang, dan kau berani menyebutnya golok babi?"
"Hi-hik, mungkin untuk menyembelih babi juga kurang tajam. Entah kalau untuk memotong leher ayam. Eh, manusia sombong, tentu sudah banyak jiwa ayam kau bikin melayang dengan golokmu itu, ya"
Asal jangan ayam tetangga masih boleh juga," Li Eng melampiaskan kemarahannya dengan cara mengejek dan menghina.
"Setan perempuan!!" Tampak sinar berkelebat disusul gulungan sinar itu menyambar ke arah Li Eng. Kiranya dengan amat cepat Si Golok Sakti ini sudah mencabut senjatanya dan membacok ke arah Li Eng. Memang gerakannya hebat dan luar biasa cepatnya, namun kini ia menghadapi. Li Eng dara perkasa yang sudah mewarisi ilmu sakti dari Im-kan-kok (Lembah Akhirat).
"Trang! Tar-tar" Bunga api berpijar dan terpaksa Si Golok Sakti meloncat ke ke belakang untuk menghindari serangan ujung sabuk sutera hitam itu.
Sebaliknya diam-diam Li Eng terkejut sekali karena telapak tangarnya terasa menggetar ketika ujung sabuk suteranya menangkis golok lawan tadi. Ia maklum bahwa lawan ini benar-benar tak boleh dibuat main-main. Namun ia masih mengejek,
"Hi-hik, kenapa mundur" takutkah?" Di pihak Sin-toa-to Liong Ki Nam yang sudah banyak pengalaman, ia pun terkejut karena mendapat kenyataan bahwa dara remaja ini benar-benar lihai, tidak saja dapat menangkis serangan goloknya, malah dapat membalas dengan serangan sabuk sutera hitam yang aneh itu. Namun tentu saja ia tidak takut. Ia mengeluarkan suara menggereng ketika mendengar ejekan ini, lalu ia membentak,
"Siluman betina, kau tunggu golokku menamatkan riwayatmu!" Goloknya diputar-putar di atas kepala, berubah menjadi gulungan sinar mengerikan yang mengeluarkan suara mendesing-desing.
Tiba-tiba sebatang sinar hitam berkelebat memasuki gulungan sinar putih itu dan terdengar Liong Ki Nam berseru tertahan disusul loncatannya ke belakang dan ia berjungkir-balik lalu memandang kepada Bhong Lo-koai yang sudah berdiri di depannya bersandarkan tongkat hitam, matanya penuh pertanyaan dan teguran mengapa temannya ini tadi menahannya.
"Liong-kauwsu, sudah seringkali aku beri tahu bahwa amatlah tidak baik menurutkan nafsu amarah, membuat orang lupa diri. Kau pun tadi tak mampu mengendalikan kemarahan sampai kau lupa bahwa yang hendak kau serang itu adalah siuli-siuli pilihan Pangeran. Andaikata kau dapat membunuh mereka, apakah yang akan dikatakan kelak oleh Pangeran?"
Muka yang merah dari Liong Ki Nam tiba-tiba berubah pucat dan ingatlah ia bahwa tadi ia telah menurutkan nafsu dan sama sekali tidak ingat bahwa hampir saja ia mencelakai dirinya sendiri. Memang, sudah jelas bahwa Pangeran tergila-gila kepada dua orang gadis manis ini dan Pangeran menyerahkan persoalan ini, yaitu agar supaya dua orang gadis ini dapat menjadi selir-selir terkasih. Kalau sampai dia salah tangan membunuh mereka bukankah ia akan mendapat marah dari Pangeran" Bukan tak mungkin karena mengecewakan dan menyusahkan hati Pangeran, lehernya sendiri akan terpenggal tanpa ia mampu mempertahankannya lagi. Karena ini ia cepat mundur, menyimpan goloknya dan tidak berani berkata apa-apa lagi.
Sementara itu Bhong-lokai sudah melangkah maju. Tongkatnya yang hitam dan buruk itu bergerak perlahan ke arah Li Eng dan Hui Cu. Dua orang gadis ini adalah ahli-ahli silat tinggi tak dapat ditipu dengan gerakan yang kelihatannya lemah dan lembut ini. Segera keduanya mengangkat pedang menangkis. Dua batang pedang di tangan gadis itu bertemu dengan tongkat dan... tanpa mengeluarkan suara dua batang pedang itu menempel pada tongkat, tak dapat dilepaskan lagi seperti dua batang jarum menempel pada besi sembrani yang amat kuat.
"Nona berdua, lebih baik menyerah saja. Tiada gunanya memberontak terhadap perintah Pangeran, kalian akan berdosa besar," kata kakek aneh itu, matanya yang sipit itu makin meram. Diam-diam kakek ini mengerahkan seluruh tenaga Iwee-kangnya, karena selain ia harus menempel sepasang pedang dua orang gadis itu, juga ia berusaha menarik dan merampasnya.
Alangkah kagetnya ketika ia menghadapi perlawanan tenaga Iwee-kang yang juga tidak lemah, apalagi dari pihak Li Eng. Demikianlah, biarpun tampaknya tiga orang ini tidak bergerak dengan senjata mereka saling tempel, sebetulnya mereka sedang mengadu hawa sakti dalam tubuh untuk mencapai kemenangan.
Li Eng tak dapat menahan kemarahannya lagi. Orang-orang ini menganggap dia orang apakah maka berani main gila" Dengan seruan nyaring dan merdu tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah leher Bhong Lokoai. Cepat sekali sambaran ini dan dengan jitu mengarah jalan darah yang amat berbahaya bagi keselamatan kakek itu.
Bong Lo-koai mengeluarkan seruan tertahan saking kaget dan marahnya.
Tiba-tiba tongkatnya melepaskan tempelannya pada dua batang pedang, bergerak menangkis sabuk sutera itu. Ia mengalami kekagetan hebat namun berhasil menyelamatkan diri. Adapun Li Eng terkejut ketika merasa betapa sabuk suteranya terbetot dan lengannya kesemutan ketika tongkat itu menangkisnya. Malah Hui Cu terhuyung sedikit ketika pedangnya terlepas dari tempelan tongkat. Ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga Iwee-kang dari kakek ini luar biasa.
Kini maklumlah Li Eng dan Hui Cu bahwa mereka berdua menghadapi lawan-lawan tangguh. Baru dua orang itu saja, Sin-toa-to Liong Ki Nam dan terutama kakek ini, Bhong Lo-koai, memiliki kepandaian yang tinggi, malah Li Eng dapat menduga bahwa tingkat dua orang ini lebih tinggi dari tingkat Hui Cu, dan agaknya kakek aneh ini bukan merupakan lawan ringan baginya. Apalagi kalau tujuh orang itu semua maju, siapa tahu di antara mereka malah ada yang lebih lihai dari Bhong Lo-koai. Akan tetapi urusan ini menyangkut kehormatan mereka, tak mungkin mereka menyerah menjadi selir Pangeran! Biar mereka harus mempertaruhkan nyawa, mereka akan melawan sekuat tenaga. Dengan mata berkilat-kilat Li Eng dan Hui Cu memasang kuda-kuda dan Lie Eng berteriak marah,
"Anjing-anjing penjilat! Majulah kalian, majulah semua. Jangan harap kami akan menyerah sebelum leher kami putus!"
Ang-moko, yaitu seorang di antara para jagoan, yang tertua dan yang sejak tadi hanya tersenyum saja, kini berkata, "Kalau kalian tidak berhasil menawan dua ekor kuda betina liar ini, tidak saja Pangeran akan marah kepada kalian, juga nama kalian akan menjadi rusak. Masa tua bangka-tua bangka seperti kalian tidak mampu menangkap dua ekor kuda betina yang muda ini" Heh-heh-heh, memalukan sekali!"
"He, Ang-moko kakek tua! Kau hanya membuka mulut saja tapi tidak mau turun tangan. Habis apa kerjamu di sini?" teriak Souw Ki kasar.


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ang-moko tertawa lagi terpingkal-pingkal. "Aku suka mengurus pkerjaan besar, bukan segala macam usaha menangkap kuda betina yang liar. Kau lebih patut untuk pekerjaan macam ini."
"Sudahlah, untuk apa melayani kegilaan Ang-moko?" kata Sin-toa-to Liong Ki Nam. "Kita beramai tangkap dan tawan dua orang gadis ini, tangkap hidup-hidup jangan sampai lolos atau terluka." Enam orang itu memasang kuda-kuda, adapun Ang-moko hanya menonton sambil tertawa-tawa.
"Paman Hong, kalau aku mati di sini, tolong sampaikan kepada Ayah dan ibu bahwa anaknya mati sebagai seorang gagah!" kata Li Eng tanpa mengalihkan perhatiannya kepada para jagoan yang sudah siap hendak menerjangnya itu.
"Sampaikan hormatku kepada ayah ibuku, Hong susiok," kata Hui Cu, berbeda dengan Li Eng suaranya agak terharu dan sungguh-sungguh.
Kun Hong gelisah sekali, seperti diremas rasa hatinya. Ia tak kuasa mencegah pertempuran yang pasti akan berlangsung hebat ini, karena ia maklum bahwa dua orang keponakannya itu sudah tentu lebih baik berjuang sampai mati daripada menyerah menjadi selir Pangeran mata keranjang itu. Akan tetapi tidak benar ini, pikirnya. Melawan pemerintah, sama pula memberontak.
Biarpun tidak salah, dunia akan mengecapnya sebagai pemberontak dan pengkhianat dan hal ini akan menyeret nama baik seluruh keluarga. Tak boleh ia membiarkan dua orang keponakannya itu melakukan dosa seperti ini.
Dikumpulkannya tenaga batinnya yang gelisah, dipusatkan hawa sakti di tubuhnya, semua ditarik ke pusat pandangan mata lalu ia membentak,
"Li Eng dan Hui Cu! Simpan pedangmu dan jangan melawan."
Ketika ia berteriak demikian itu, para jagoan, sudah mulai bergerak maju mengeroyok Li Eng dan Hui Cu. Suara beradunya senjata sudah terdengar bertubi-tubi dan tubuh kedua orang gadis itu sudah lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka sendiri. Namun begitu teriakan ini terdengar, dua orang gadis itu melompat ke dekat Kun Hong seperti ditarik oleh tenaga gaib.
"Baiklah, Paman Hong," kata keduanya seperti dari satu mulut dan berbareng pula keduanya menyimpan pedang dan berdiri tegak menghadapi para jagoan itu yang saling pandang dan merasa terheran-heran. Hanya dua orang gadis itu saja yang merasakan betapa hebat dan ampuhnya pengaruh suara Kun Hong tadi, suara yang tak mungkin terbantah oleh mereka, suara yang harus mereka turut dan taati karena seakan-akan adalah suara dari hati mereka sendiri yang melumpuhkan seluruh daya kemauan. Kun Hong sendiri sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan yang tegang dan menggelisahkan tadi, ia telah mempergunakan tenaga batin dari ilmu hoat-sut yang ia baca dari kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok sehingga ia telah "menyihir" dua orang keponakannya sendiri sehingga dua orang dara itu menuruti perintah tanpa syarat lagi!
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Kiranya tidak keliru Pangeran memilih kau sebagai pengurus perpustakaan. Agaknya kau tidak sebodoh yang kami kira," kata Thian It Tosu. "Memang jauh lebih baik menyerah dan hidup penuh kemuliaan di sini daripada melawan kekuasaan Pangeran karena akan membuang nyawa sia-sia belaka."
"Kami bertiga menyerah untuk ditawan, bukan menyerah untuk menerima kedudukan," jawab Kun Hong dengan suara dingin.
Kembali tujuh orang itu saling pandang lalu Thian It Tosu mengangkat pundak.
"Kalian orang-orang aneh, tapi urusan kami sudah selesai, biarlah selanjutnya Tan-taijin yang akan mengurus kalian. Serahkan senjata!" Li Eng dan Hui Cu tidak melawan ketika pedang mereka dan sabuk sutera Li Eng dilucuti, sedangkan pedang di pinggang Kun Hong tidak ada yang menganggap karena memang tidak ada yang tahu. Siapakah orangnya dapat menduga bahwa pemuda yang lemah ini membawa-bawa pedang"
Mereka ditahan dalam tempat terpisah dan sebelum berpisah, Kun Hong berkata kepada dua orang gadis itu, "Jangan kuatir, aku akan berdaya upaya untuk menginsyafkan Pangeran agar kita dibebaskan kembali. Kita tidak berdosa.
Jangan kalian menggunakan kekerasan. Percayalah, orang yang benar pasti dilindungi Tuhan Yang Maha Adil."
Akan tetapi alangkah kaget hati Kun Hong ketika tiba-tiba Ang-moko dan Bhong Lo-koai bergerak ke depan menggerakkan tangan menyerang dua orang gadis itu. Karena Li Eng dan Hui Cu sama sekali tidak mengira akan datangnya serangan mendadak ini, mereka tak dapat mengelak dan roboh lemas dalam keadaan tertotok. Kiranya dua orang jagoan tua ini telah saling memberi tanda-tanda dan karena mereka tidak ingin melihat dua orang gadis yang kosen ini akan menimbulkan kerewelan lagi, keduanya turun tangan menotok jalan darah mereka.
"He, apa yang kalian lakukan?" Kun Hong berteriak-teriak. "Akan kulaporkan ini, kalian akan dihukum! Kami sudah menyerah, kenapa kalian merobohkan dua orang keponakanku" jahat sekali kalian...." Akan tetapi tujuh orang itu tidak mempedulikannya lagi, malah ia segera diseret ke lain jurusan sedangkan dua orang gadis yang sudah lemas tidak berdaya lagi itu dibawa ke tempat lain. Percuma saja Kun Hong berteriak-teriak sampai suaranya serak.
Ia dilempar ke dalam sebuah kamar kosong yang berjendela kecil beruji besi.
Hanya ada sebuah bangku panjang dan sebliah meja kecil di kamar ini, selebihnya kosong. Dengan hati risau Kun Hong melempar diri ke atas bangku dan dengan gelisah memikirkan nasib kedua orang keponakannya.
bagian 58 Pembesar yang oleh Kaisar dikuasai untuk mengatur semua urusan yang timbul dan terjadi di lingkungan istana, adalah Tan-taijin. Tan-taijin ini orang yang berwatak jujur dan setia, orangnya tinggi besar seperti raksasa dan mempunyai wibawa besar. Kiranya para pembaca masih ingat akan tokoh cerita ini yang bernama Tan Hok, pemimpin kaum Pek-lian-pai yang amat berjasa terhadap perjuangan. Malah dalam pergolakan belasan tahun yang lalu ketika para bekas pejuang saling brebutan kedudukan malah ada yang memberontak kepada Kaisar, kembali Tan Hok ini memperlihatkan jasanya dan menolong Kaisar dari serbuan kaum petualang yang hendak merebut kekuasaan. Akhirnya,Tan Hok yang tubuhnya tinggi besar dan gagah ini diangkat oleh Kaisar menjadi pengawal pribadinya dan kemudian malah diberi pangkat untuk mengurus segala persoalan yang terjadi di lingkungan istana.
Karena ini maka Tan Hok yang sekarang disebut Tan-taijin ini mempunyai pengaruh yang amat besar, semua kata-katanya. dipercaya oleh Kaisar dan sebagai seorang jujur dan keras hati, ia ditakuti dan disegani kerabat istana.
Seperti telah kita ketahui dalam bagian depan dari cerita ini, antara Tan Hok dan Tan Beng San terdapat pertalian persahabatan yang amat erat, malah pendekar sakti Tan Beng San menganggap raksasa ini sebagai kakak angkatnya. Oleh karena inilah maka semenjak Tan Beng San bersama isterinya, Cia Li Cu, tinggal di Thai-san, kedua orang gagah ini seringkali mengadakan hubungan. Tan-taijin seringkali pergi mengunjungi Thai-san, malah sudah beberapa kali Tan Beng San sekeluarganya berkunjung ke kota raja dan bermalam di gedung Tan-taijin, Karena Tan-taijin sendiri yang menikah dengan seorang gadis kota raja tidak mempunyai keturunan, maka seringkali puteri tunggal Tan Beng San tinggal di situ sampai berbulan-bulan.
Malah atas anjurannya, juga karena sayangnya ayah bundanya, puteri tunggal ini mempelajari segala kerajinan tangan wanita di kota raja sehingga selain mewarisi ilmu silat sakti dari ayah ibunya, gadis ini pun memiliki kepandaian puteri-puteri istana seperti sastra, menyulam, bermain musik, bermain catur dan lain-lain.
Urusan Kun Hong dan dua orang keponakannya pun otomatis terjatuh ke dalam tangan Tan-taijin, karena urusan itu merupakan urusan dalam. Para jagoan sudah maklum akan kelihaian Tan-taijin dalam menyelesaikan urusan yang sulit-sulit, maka setelah menjebloskan Kun Hong ke dalam penjara di dalam istana dan memasukkan dua orang gadis itu ke dalam kamar para selir Pangeran, mereka lalu melaporkannya kepada Tan-taijin.
Mula-mula Tan-taijin mengomel ketika mendengar bahwa secara mendadak Pangeran Mahkota mengangkat seorang pemuda menjadl pengurus perpustakaan dan dua orang gadis begitu saja menjadi selir. Watak orang muda omelnya, segala tergesa-gesa menurutkan nafsu hati. tetapi ia segera tertarik sekali mendengar bahwa "pemuda kepala batu" yang menolak anugerah besar ini ternyata adalah seorang dari Hoa-san-pai, demikian pula dua orang gadis yang katanya menolak pula anugerah Pangeran. Tadinya ia pun hampir tak dapat percaya kalau ada dua orang gadis muda yang menolak diangkat sebagai selir Pangeran Mahkota, akan tetapi setelah ia mendengar bahwa dua orang dara remaja itu adalah orang-orang Hoa-san-pai, ketidak percayaannya berubah dan ia tertarik sekali. Ia cukup mengenal pendekar-pendekar wanita yang tidak boleh disamakan dengan wanita-wanita biasa.
Kalau yang menolak anugerah tertinggi itu adalah pendekar-pendekar wanita dari Hoa-san-pai, hal itu bukanlah hal yang aneh. Dia harus dapat mengurus hal ini, mengatasinya dan mencari jalan pemecahannya yang baik. Karena ia mendengar bahwa pemuda yang diangkat menjadi pengurus perpustakaan itu adalah paman dari kedua gadis tadi, maka ia segera memberi perintah agar supaya pemuda bandel itu malam itu juga diantar ke gedungnya, akan ditemui dan diperiksa. Diam-diam ia menduga-duga siapakah pemuda ini dan putera siapa karena ia mengenal semua tokoh Hoa-san-pai.
Sebagai seorang tawanan, biarpun orang-orang tahu bahwa dia seorang laki-laki yang lemah, kedua tangan Kun Hong dibelenggu ketika orang membawanya menghadap Tan-taijin di ruangan tengah. Waktu itu hari sudah gelap dan di ruangan itu dipasangi lampu yang amat terang. Tan-taijin sendiri duduk menghadapi meja besar dalam pakaian kebesaran karena ia sedang memeriksa seorang tahanan. Amat gagahlah pembesar ini dalam pakaiannya yang mentereng seperti Kwan Kong saja. Benar-benar berwibawa setiap orang pesakitan tentu akan tunduk dan takut kalau diperiksa oleh seorang seperti Tan-taijin ini.
Melihat seorang pemuda kurus dan tampak lemah digiring masuk, Tan-taijin merasa kecewa. Tak patut pemuda ini menjadi murid Hoa-san-pai. Tadinya ia menduga akan bertemu dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang kesatria keturunan pendekar besar. Akan tetapi pemuda itu mempunyai keistimewaan pada matanya, yang mengingatkan Tan-taijin kepada sahabat dan saudara yang tercinta, pendekar besar Tan Beng San Si Raja Pedang!
Banyak persamaan antara mata kedua orang itu, pikirnya, begitu tajam, begitu cemerlang dan berani menentang segala.
Setelah pemuda itu berlutut di depan meja, Tan-taijin memberi isyarat kepada dua orang pengawal untuk meninggalkan ruangan itu. Ia ingin bicara empat mata dengan pemuda ini, ingin melakukan pemeriksaan mendalam tanpa disaksikan orang lain. Sejenak ia melihat kepala yang menunduk itu, lalu terdengar suaranya yang besar, tetap dan nyaring,
"Orang muda, kau berdirilah!" Kun Hong bangkit berdiri dan mereka berpandangan. Sejenak sinar mata mereka saling mengukur, saling menentang, kemudian meragu dan masing-masing seperti sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang lawan yang tidak mudah menyerah kalah.
"Orang muda, siapakah namamu, dari mana asalmu dan mengapa kau sampai ke kota raja sehingga menjadi seorang tahanan. Ceritakan semua dari awal sejelasnya, siapa tahu dari pengakuanmu itu aku akan dapat membebaskanmu." Suara Tan-taijin jelas, lambat, keras dan sekata demi sekata berkesan dalam hati Kun Hong. Namun, ketika pemuda ini tadi melihat pakaian yang indah mentereng, ruangan yang serem dan sikap yang agung dari pembesar yang memeriksanya, diam-diam ia mengeluh dan tidak dapat banyak mengharapkan keadilan.
Mendengar pertanyaan yang sekaligus mencakup seluruh persoalan yang harus ia ceritakan itu, Kun Hong menjawab singkat tanpa mengangkat muka yang menunduk memandang lantai.
'"Nama saya Kwa Kun Hong berasal dari Hoa-san, tidak sengaja sampai ke kota raja karena bersama dua orang keponakanku hanya hendak melihat-lihat saja. Kebetulan terdengar oleh Pangeran dari kami menerima undangan, Siapa tahu, Pangeran hendak memaksa kedua keponakan saya menjadi selirnya dan saya menjadi pengurus perpustakaan. Kami tidak mau dan ditahan.
Melihat sikap pemuda yang tenang-tenang dan sama sekali tidak takut ini, diam-diam Tan-taijin kagum juga. Apa lagi mendengar nama keturunan pemuda ini Kwa. Pernah apakah dengan Kwa Tin Siong" Pada saat itu, pintu di sebelah dalam terbuka dan muncullah seorang pemuda yang tampan sekali, dengan sepasang mata bersinar-sinar seperti bintang. Kun Hong sejenak terbelalak kagum, akan tetapi segera timbul ketidak senangannya karena ia melihat bahwa pemuda yang tampan itu ternyata hanya pemuda pesolek yang terlalu halus gerak-geriknya. Sebaliknya pemuda tampan itu seakan-akan tidak melihat kehadiran Kun Hong yang berdiri dengan keduua tangan terbelenggu, langsung berkata kepada Tan-taijin.
"Pek-hu (uwa), kautolonglah... aku, mendengar ada dua orang gadis muda jelita dari Hoa-san-pai ditahan dan hendak dipaksa menjadi selir oleh Pangeran!"
Tan-taijin dengan gerak matanya memberi isyarat bahwa di situ ada orang lain. Pemuda itu mencari dan melihat Kun Hong, maka ia segera melanjutkan,
"Pangeran sudah terlalu banyak selir-selirnya" Yang sudah punya banyak ingin tembah terus, aku yang belum punya seorang pun tidak kebagian!"
Makin muak perasaan Kun Hong terhadap pemuda tampan itu, maka ia memandang dengan mata melotot, terang-terangan ia menyatakan kemarahannya.
Pemuda itu balas memandang, mengerutkan alisnya dan bertanya,
"Ah, kiranya aku mengganggu Pek-hu. Bajingan apakah yang Pek-hu periksa malam-malam begini" Apakah dia tukang colong ayam Istana" Ataukah tukang copet" Jangan-jangan dia maling kuda, kabarnya banyak kuda hilang secara aneh dari kandang istana. Tapi dia tidak patut menjadi pencuri kuda, pantasnya menjadi maling ayam!" Terang bahwa pemuda ini sengaja menghina Kun Hong yang melotot marah itu.
Begitu pemuda tampan itu muncul wajah Tan-taijin yang tadinya bersungguh-sungguh berubah terang berseri. Ia segera menggerakkan tangannya dan berkata, "Kau duduklah, Tan-ji (Anak Tan) dan justeru dua gadis yang kaubicarakan itu ada hubungannya dengan orang ini. Kau duduk dan dengarlah."
Pemuda itu duduk tak jauh dari meja, duduk di atas bangku dan menumpangkan paha kiri ke atas paha kanannya, dengan sikap angkuh memandang Kun Hong yang menjadi makin gemas. Tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut, turun dari bangku, menghampiri Kun Hong dan begitu tangannya bergerak ia telah mengambil pedang di balik baju Kun Hong. "Ih, dia menyembunyikan pedang, Pek-hu!" katanya memperlihatkan pedang itu.
Diam-diam Kun Hong terkejut dan kecewa. Tadinya ia sudah merasa girang bahwa tidak ada orang menaruh curiga kepadanya. Kiranya pemuda ini yang dapat melihat pedangnya, malah kini pedang itu dirampasnya.
Kening pembesar itu berkerut. "Hemmm, menurut laporan kau seorang pemuda sastrawan yang lemah mengapa kau menyembunyikan pedang?"
Kini marahlah Kun Hong. Ia menentang pandang mata pembesar itu dan menjawab, "Pedang tetap pedang, benda yang tidak berdosa. Tergantung tangan yang memegangnya. Pedang itu adalah pemberian orang suci kepadaku, kenapa takkan kubawa" Tapi sama sekali bukan untuk...
membunuh orang atau untuk beraksi seperti dia itu!" Matanya memandang pemuda yang kini sudah mencabut pedang itu dari sarungnya dan memegang serta memandanginya seperti seorang ahli!
"Hemmm, sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang baik. Eh, dari mana dia mencuri pusaka ini?" Pemuda tampan itu menoleh dan pandang matanya tajam penuh selidik, mengiris jantung, bukan karena keindahannya melainkan karena penghinaannya yang bagi Kun Hong terasa amat perih. Saking marahnya Kun Hong sampai tak dapat mengeluarkan suara. Ia sendiri merasa heran mengapa terhadap pemuda pesolek yang terlalu tampan ini ia mudah sekali tersinggung dan marah, padahal biasanya ia tenang dan sabar saja menghadapi segala sesuatu. Ketika bertemu pandang, sengaja ia membuang muka seperti orang melihat binatang yang menjijikkan.
Sementara itu, Tan-taijin tidak begitu heran melihat Kun Hong menyembunyikan pedang di balik jubahnya. Sebagai seorang murid Hoa-sanpai sudah tentu saja soal membawa pedang bukan merupakan soal aneh lagi.
Yang aneh hanya karena pemuda ini tidak pandai ilmu silat, mengapa membawa pedang segala!
"Kwa Kun Hong" kata pula pembesar itu dengan suara keren, "Pangeran Mahkota begitu baik kepadamu, belum kenal sudah diundang, diadakan pesta, kemudian malah kau diberi anugerah pangkat. Mengapa kau menolaknya"
Penolakanmu itu berarti kau tidak kenal budi, berarti kau tidak menghormat putera Kaisar, dan tidak taat. Padahal aku mendengar laporan bahwa kau menerima ketika diangkat menjadi ketua perkumpulan pengemis, mengapa sekarang kau malah menolak ketika diberi kedudukan betul-betul oleh Pangeran Mahkota. Bukankah itu menunjukkan bahwa kau tidak setia kepada junjungan dan punya hati memberontak?"
"Eh-eh, orang macam ini jadi raja pengemis?" lagi-lagi terdengar pemuda tampan itu yang membuat kedua telinga Kun Hong serasa dibakar. Ia mengangkat muka, berdiri tegak dan suaranya menggeledek ketika menjawab pembesar itu, jawaban yang diselimuti kemarahannya yang bangkit karena sikap dan kata-kata Si Pemuda Tampan tadi.
"Taijin, saya ingin bicara terus terang, kalau menyinggung harap Taijin suka maafkan atau hukum, terserah, Setelah melihat keadaan di dalam istana-istana kerajaan, melihat kerajaan, melihat pembesar-pembesar istana, selaksa kali saya lebih suka menjadi ketua pengemis jembel daripada menjadi pembesar di istana! Menjadi ketua pengemis setidaknya masih mengingat akan nasib para pengemis, biarpun tampaknya hina namun merupakan pekerjaan mulia. Akan tetapi sebaliknya, orang-orang yang menyebut diri sendiri pembesar, yang hidup bergelimang dengan kemewahan, kemuliaan, dan kesenangan, apakah jasa mereka terhadap rakyat jelata" Pembesar-pembesar seperti Taijin ini, yang amat banyak jumlahnya di kota raja, pernahkah memikirkan nasib si kecil" Pernahkah mimpi bahwa kalau Taijin sedang tidur nyenyak di dalam gedung istana indah, ratusan ribu rakyat di gunung-gunung kedinginan karena dinding gubuk bobrok dan atap daun bocor" Kalau Taijin sedang makan masakan kota raja yang enak dan lezat, ingatkah akan ratusan ribu rakyat yang mengerang kelapar, bahkan ada yang mati karena perutnya kosong" Kalau setiap pagi dan sore berganti pakaian-pakaian indah dan mempersolek diri seperti Tuan Muda ini, pernahkah ingat akan ratusan ribu rakyat yang telanjang dan kedinginan" Padahal..." Sampai di sini Kun Hong menarik napas panjang, lalu disambungnya lebih bersemangat lagi,
"padahal kalau tidak ada rakyat, takkan ada raja, takkan ada pembesar seperti Taijin ini, takkan ada istana-istana indah ini. Hemmm, sudah banyak kubaca tentang manusia-manusia yang menyebut diri sendiri pemimpin dan pembesar seperti Taijin dan sebangsanya. Di waktu perang" Ah, ada rakyat yang maju!
Di waktu banjir" Musim kering panjang" Ada rakyat yang menanggulangi. Tapi kalau sudah mabuk penghidupan mewah dan enak rakyat dilupakan!"
Saking kaget, heran dan kagumnya, wajah Tan-taijin berubah-ubah dan wajah pemuda tampan itu kini menjadi merah sekali. Melihat wajah pembesar itu, Kun Hong makin bersemangat.
"Ah, Taijin terheran" Ha-ha, aku berani bertaruh bahwa orang seperti Taijin ini tak pernah keluar dari kota raja, setiap hari hanya mencium bau masakan sedap, melihat wanita cantik dan memakai pakaian indah. Coba Taijin tengok ke dusun-dusun, ke gunung-gunung, ke pinggir-pinggir laut, tengoklah kehidupan rakyat kecil di sana. Mungkin Taijin akan terbuka mata dan tidak berani lagi menari-nari di atas kemelaratan rakyat, berlaku sewenang-wenang, menangkap orang-orang tak berdosa, merampas gadis-gadis begitu saja..."
Pukulan Naga Sakti 10 Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Pendekar Laknat 7
^